Bab 7 - Cemburu Mencuci Hati
Melihat ini, Hek-te-ong
terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng seperti binatang buas, ia
menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor
beruang menerkam. Bu Pun Su tak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk
menyerang lawan dengan pedangnya. Cepat ia membanting pedang sehingga menancap
di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan.
Dua pasang tangan yang amat
kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua orang sakti mengadu
tenaga lwee-kang, karena dari sepuluh jari tangan masing-masing keluar hawa
lwee-kang yang disalurkan.
˜Krek... krek... krek...!!
Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa
itu adalah suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong
menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke belakang, lalu roboh dengan
jari-jari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan tetapi ia sudah
tidak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok. Ternyata bahwa dalam adu
tenaga lwee-kang tadi, ia terkena pukulan hawa lwee-kangnya sendiri yang
membalik karena tidak dapat menahan sin-kang yang mengalir keluar dari
jari-jari tangan Bu Pun Su.
Bu Pun Su menarik napas
panjang. ˜Siancai... siancai...! katanya perlahan, ˜Hek-te-ong dan Pek-in-ong
binasa karena kehendak Tuhan.!
Cheng-hai-ong berdiri pucat.
Ia marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya tewas dalam
keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun
Su, apalagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat
membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan.
Diam-diam otaknya bekerja dan ia lalu maju menghampiri Bu Pun Su, sikapnya
tenang.
˜Bu Pun Su, kau telah
menewaskan kedua orang suhengku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat
kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu
mengadu nyawa.!
˜Aku tahu dan aku bersedia,
Cheng-hai-ong,!, jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang. Kalau tidak amat
terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk
membunuh oriang.
˜Kedua suhengku mempunyai
kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam tanganmu.
Apalagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak
menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?!
Bu Pun Su tersenyum dingin, ˜Sesukamulah,
aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan mengadu kepandaian macam
apa pun akan kuterima.!
˜Bagus!! Tiba-tiba sikap
lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan sikap yang
gembira dan sinar mata yang kejam!
˜Bu Pun Su adalah seorang
tokoh besar, kiranya takkan menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Bu
Pun Su, aku disebut orang Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau), maka sedikit
kepandaian yang kumiliki tentu saja ada hubungannya dengan air, atau lebih
tepat lagi, aku lebih leluasa bergerak di dalam air daripada di atas bumi. Oleh
karena itu, Bu Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa di dalam air sungai
ini!! Ia menudingkan telunjuknya ke arah air Sungai Yalu Cangpo yang airnya
mengalir tenang dan lambat, menandakan bahwa air itu amat datam.
Biarpun di dalam hatinya Bu
Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa lawannya demikian licik
dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada wajahnya tidak sedikit pun
nampak rasa gelisah atau takut. Ia bahkan tersenyum dan berkata,
˜Cheng-hai-ong, aku sama
sekali tidak ingin mencelakai siapapun juga. Sekarang kedua suhengmu telah
tewas karena kesalahan mereka sendiri. Kalau kau mengembalikan kitab dan pedang
secara sukarela kemudian kau kembali ke tempat asalmu dan jangan mengganggu
kami, juga melepaskan Mo-kauw dari pimpinanmu, siapakah yang sudi mencampuri
urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau bahkan menantangku, tidak tahu
kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air ataukah untuk bertempur?!
Cheng-hai-ong sebenamya memang
gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biarpun ia yakin bahwa di dalam air, ia
akan lebih unggul akan tetapi orang semacam Bu Pun Su ini, biarpun di dalam air
atau di lautan api sekalipun, tetap merupakan lawan yang berbahaya dan tangguh.
Maka ia ingin berlaku hati-hati dan menjawab,
˜Bu Pun Su, pertama-tama aku
menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita sama lihat siapa di
antara kita yang lebih pandai.! Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawab
agar tidak memberi kesempatan membantah kepada Bu Pun Su, orang ke tiga dari
Thian-te Sam-kauwcu ini melompat dan tubuhnya sudah melayang turun ke dalam
Sungai Yalu Cangpo. Semua orang berlari-lari mendekati tebing sungai untuk
melihat. Mereka menjadi kagum sekali dan di sana-sini terdengar seruan memuji.
Memang kepandaian Cheng-hai-ong hebat. Lain orang kalau ingin terapung di air,
tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun hanya membuat sebagian tubuh
saja yang terapung.
Akan tetapi, tidak demikian
dengan Cheng-hai-ong. Entah bagaimana, dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat
dan aneh, ia dapat membuat tubuhnya terapung dalam keadaan berdiri tegak dan
yang tenggelam ke dalam air hanya kaki sebatas lutut saja! Lutut itu
bergerak-gerak terus dan dapat diduga bahwa kedua kaki itulah yang bergerak
secara istimewa sehingga tubuhnya dapat tegak di permukaan air, dan tangan
kanan Cheng-hai-ong sudah memegang senjatanya yang luar biasa, yakni rantai
dengan ujungnya tengkorak manusia! Orang ini tertawa mengejek sambil memandang
ke arah Bu Pun Su!
˜Bu Pun Su, beranikah kau turun
ke sini?! tantangnya dengan nada suara mengejek.
˜Kwan Cu, jangan kena terjebak
oleh tipu muslihatnya!! Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su, kemudian dengan suara
keras dan mengamang-amangkan cambuknya ke arah Cheng-hai-ong, ia membentak
keras,
˜Cheng-hai-ong, manusia busuk!
Kau hendak mempergunakan kecurangan, memancing lawan ke dalam air. Kami bukan
sebangsa katak yang biasa main di darat dan di air, mana kami sudi melayanimu
di air, kau katak bukan tikus pun bukan? Hayo naik ke darat dan kau boleh
mencoba rasanya cambukku ini sebelum bangkaimu kulemparkan ke dalam air.!
Bu Pun Su tersenyum. ˜Air
Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan tetapi selama masih
ada nelayan, kita takut apa! Tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, ke air
sungai yang demikian lebar dan dalam!
Semua orang melongok ke bawah,
kawan-kawan Bu Pun Su amat khawatir karena mereka belum pernah mendengar bahwa
pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan tetapi apa yang mereka
lihat di permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar membuat mereka melongo,
bahkan pihak Mo-kauw yang menyaksikan pemandangan ini menjadi pucat dan tak
berani bernapas. Apakah yang mereka lihat?
Bu Pun Su telah melompat dan
tiba di permukaan air seperti di atas tanah keras saja! Pendekar sakti ini
berdiri di permukaan air, tidak bergeming, tidak sukar sama sekali,
tersenyum-senyum dan enak saja menghadapi Cheng-hai-ong yang menjadi pucat.
Ini tak mungkin, pikir
Cheng-hai-ong. Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan ia tahu bahwa
berdiri tanpa bergerak di permukaan air seperti sehelai daun kering, adalah hal
yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Kalau sekiranya ia melihat Bu
Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, ia masih percaya karena seorang
yang gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi seperti Bu Pun Su, kiranya dapat
melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di permukaan air tanpa bergerak?
Kemudian, tiba-tiba
Cheng-hai-ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di tempat itu.
Ketika ia dan suheng-suhengnya menanti datangnya Bu Pun Su, ada suara ketawa
aneh di permukaan air, dan ia telah menyerang dengan jarum ke arah permukaan
air, akan tetapi tidak kelihatan siapapun juga. Apakah tak mungkin ada orang
pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu telah membantu Bu
Pun Su dan menyangga kedua kakinya?
˜Jahanam, jangan main
sembunyi, keluarlah kalau laki-laki!! seru Cheng-hai-ong dan tiba-tiba tangan
kirinya bergerak dan beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di
bawah kaki Bu Pun Su!
Bu Pun Su menggerakkan kakinya
menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke kiri.
˜Kong Hwat, kau lawanlah dia
ini, sama-sama setan air!! kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan kakinya,
tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.
Terdengar suara ketawa
bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su ˜berdiri! di atas air,
muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu ketawa
terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali. Akan tetapi sepasang
matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja dari
rambutnya tidak menetes-netes turun air sungai, tentu orang akan melihat air
matanya bercucuran!
˜Dia Nelayan Cengeng!! seru
Sui Ceng dan ia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa
Bu Pun Su tadi sebelum melompat ke dalam sungai sudah tahu bahwa Nelayan
Cengeng berada di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui
hal ini?
Adapun Cheng-hai-ong ketika
melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu Pun Su,
menjadi marah sekali. Ia menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai
menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi,
tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap
lagi ke bawah permukaan air. Tiba-tiba nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan
memaki-maki. Senjatanya bergerak memukul ke bawah, akan tetapi tetap saja
tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian, dua
orang ˜setan air! itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing
tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu
kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar sungai terjadi pergumulan hebat.
Bu Pun Su memang datang
bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu Cangpo.
Dua orang kenalan lama itu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su
hendak menghadapi orang-orang Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu,
Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan sukarela ikut ke tempat itu. Akan
tetapi ia tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari
sungai, mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun
Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggauta Mo-kauw
mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang.
Sementara itu, orang-orang
Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka telah tewas, menjadi marah
sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru
keras memberi aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah mereka sehingga
kembali terjadi perang tanding hebat antara orang-orang Mo-kauw melawan
orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun. Adapun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam
Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi, tentu
saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le,
Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat dan tokoh-tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.
Pertandingan ini tidak
seimbang. Setelah Thian-te Sam-kauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak
Mo-kauw kalah jauh, apalagi kalau Bu Pun Su ikut membantu kawan-kawannya.
Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton,
kadang-kadang menengok ke arah sungai.
Pergumulan di dalam sungai
antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat. Sayangnya mereka
yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini antara
dua orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan.
Sebetulnya, kalau bertanding
di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan kiranya Kong Hwat
takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan Cengeng ini
memang cerdik. Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh, oleh karena itu
ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka di darat, melainkan
menanti di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya dan tak usah takut
terhadap siapapun juga.
Biarpun kini ia menghadapi
Cheng-hai-ong yang lihai, namun ternyata setelah mereka bertanding di dalam
air, Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu.
Pertempuran di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lwee-kang
tidak begitu ampuh lagi setelah orang berada di dalam air, apalagi segala macam
senjata rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali
jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah
kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan
kekuatan bertahan napas.
Dalam hal ini pun Cheng-hai-ong
kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Kalau mereka berdua bertanding kekuatan
menahan napas di dalam air kiranya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan
tetapi, setelah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya hampir kehabisan
napas diam-diam Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang
dalamnya berlubang. Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini ujungnya ia
masukkan mulut dan pipa alang-alang yang panjang itu timbul di permukaan air
ketika Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya. Kemudian, dengan
leluasa ia dapat berganti hawa dan bernapas melalui pipa kecil itu!
Dengan akal ini, tidak heran
apabila tak lama kemudian, ia dapat menggempur dada Cheng-hai-ong dengan
senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat! Cheng-hai-ong yang napasnya
memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi
lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh
air sungai yang mengalir tenang. Kong Hwat sendiri cepat naik dan me.nyembulkan
kepala di atas permukaan air. Ia melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi
Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu
turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran
air, pergi dari tempat itu.
Para anggauta Mo-kauw melihat
pula tubuh Cheng-hai-ong yang sudah menjadi mayat dan hanyut di permukaan air
sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka makin kalut.
Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.
Tiba-tiba terdengar pekik
nyaring, ˜Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan pihakmu!!
Seorang wanita melompat dan
memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu Pun Su.
Pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun
sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,
˜Semua kawan tahan senjata!!
Bun Sui Ceng yang lain-lain
heran sekali dan melompat mundur. Beberapa orang Siauw-lim dan Kun-lun yang
masih mendesak lawan, tentu saja tidak mau mundur karena selagi mereka menang
dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti? Tiba-tiba mereka melihat bayangan
orang berkelebat cepat di depan mereka dan tahu-tahu senjata di tangan mereka
telah lenyap dirampas orang! Terpaksa mereka melompat mundur dengan kaget, dan
makin heranlah mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata
mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su sendiri!
˜Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu
pergilah!! kata Bu Pun Su dengan suara kaku dan muka pucat.
Semua orang menjadi
terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia
melangkah maju dan cambuknya berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah
Wi Wi Toanio!
Akan tetapi, sekali
menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar
jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan
tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Darah mengucur dari
kulit yang pecah terkena cambuk!
˜Ayaaa....!! Sui Ceng melompat
ke belakang dengan kaget sekali. ˜Kwan Cu, apakah kau sudah gila?! Ia memandang
ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya mengancam.
˜Kau mau membela dia? Akan
kubunuh wanita jahanam ini....! akan dapat mentaati permintaanmu.! kata pula Bu
Pun Su kepada Wi Wi Toanio.
Wi Wi Toanio tersenyum
mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena
orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apalagi
suaminya sudah meninggal dan perlu diurus. Dapat menyelamatkan diri saja sudah
lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekaii, karena ia maklum bahwa kalau
pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa
dan menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng,
kemudian berlari pergi dari situ, diikuti oleh semua orang.
Hek Pek Mo-ko sendiri, dan
juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan
mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi
dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi
orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu?
Setelah pihak lawan pergi
semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tak dapat menahan lagi
kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,
˜Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba
menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, mengapa kau bahkan memberi
kesempatan kepada mereka untuk lari?!
˜Thian-te Sam-kauwcu sudah
tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mo-kauw.
Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dan pihak Mo-kauw memang tidak
ada permusuhan sesuatu, mengapa kita harus terlalu mendesak?! kata Bu Pun Su.
Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta
Kun-lun-pai juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat
dirampas kembali dan pencurinya, yakni Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas.
Mengapa harus memperbesar permusuhan dengan Mo-kauw yang sebetulnya hanya
diperalat oleh Thian-te Sam-kauwcu?
Maka setelah mengambil benda
pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-si dan Kun-lun-pai lalu
meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggauta-anggauta yang terluka.
Berturut-turut Swie Kiat Siansu,
Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya hanya
tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di tempat
itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa pendekar ini
begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio.
Bu Pun Su tersenyum dan
memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadang-kadang
memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan
kadang-kadang menundukkan mukanya. Memang di antara tiga orang pendekar yang
kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat mengharukan dan juga
membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit. Setelah berpisah puluhan
tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau
terbayang (baca kisah Pendekar Sakti).
˜Sui Ceng, kau ternyata masih
keras hati seperti dulu. Sebetulnya aku mengharapkan untuk melihat kau dan Kun
Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat
membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!!
˜Kwan Cu,! kata Sui Ceng
bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi kepada bekas tunangannya, yakni
The Kun Beng, ˜kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dahulu sudah beku terhadap
laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah mahluk yang tak dapat dipercaya dan
berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng seperti isi dadamu,
kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri.!
Tentu saja Kun Beng merasa
terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini
tidak terasa lagi olehnya.
˜Memang Saudara Kwan Cu
seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu
makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kau anggap sebagai hukuman atas
perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi melukai hati Kwan Cu... benar-benar
kau telah berdosa!!
Kata-kata ini benar-benar
mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang
mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua
pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya.
Mendengar kata-kata dua orang
itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. ˜Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini, manakah
ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku
seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng
seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji
lagi...!
Sui Ceng dan Kun Beng
mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.
˜Sui Ceng kau tadi bertanya
tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio; isteri dari An Kai Seng. Nah,
sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu laki-laki tunggal
yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang
aneh tadi.! Kemudian ia menceritakan betapa ia pernah terpikat oleh kecantikan
Wi Wi Toanio sehingga melakukan hal yang amat keji dan rendah memalukan, yakni
mengadakan perhubungan dengan isteri orang!
˜Nah, sekarang kalian tahu
akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk Lu Kwan Cu sudah
mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!! Setelah berkata demikian, dengan suara
ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su berkelebat dan lenyap
dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih
bergema dari tempat jauh.
Setelah meninggalkan lembah
Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai
kepada isterinya, juga amat rindu kcpada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia
berpisah dengan mereka! Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga
bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih
selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang
suatu apa. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat di mana kedua
matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai. Kiang
Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak
tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa
isterinya akan terkejut dan girang, ia merencanakan untuk memasuki rumahnya
tanpa diketahui oleh siapapun dan tahu-tahu ia akan tidur di atas pembaringan
di dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah
tidur di situ?
Kiang Liat tak menyangka sama
kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di
kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi.
Dengan mudah, Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang
pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya. Sekali melompat ia
telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di
lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah
ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan
seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas
pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!
˜Ceng Si, kau dan Cia Sun
benar-benar keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang
banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Mengapa kalian
seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau
tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan
menghibur hatiku yang gelisah memikirkan dia, sebaliknya kau datang untuk
mengganggu dan lagi-lagi kau minta uang dalam jumlah yang terlalu besar.
Darimana aku bisa mendapatkan uang itu?!
Mendengar kata-kata isterinya
ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia menahan napas, mendengarkan percakapan
dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya
mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Semenjak
kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap
isterinya?
˜Nyonya muda mengapa begitu
pelit? Kalau tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi
menikah dengan siucai miskin itu? Di waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan
bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan
mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani
siucai bekas kekasih nyonya muda itu.!
Kiang Liat tak sanggup
mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan
tetapi baiknya ia dapat menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat
pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan. Ia masih bersangsi apakah benar-benar
isterinya dahulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah
isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu
mencintanya.
Akan tetapi kalau ia ingat
betapa semua perhiasan isterinya tak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan
kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan
diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ah, apa artinya ini? Dan kata-kata
Ceng Si, tadi? Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya,
membuat ia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang
diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek,
kadang-kadang membentak-bentak, dan kadang-kadang ia tertunduk di pinggir jalan
menangis tersedu-sedu!
Semalam suntuk Kiang Liat
berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila, terjadi perang tanding hebat di
dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang
melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak lesu dan susut, waktu
semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun
lebih tua dari kemarin sore!
Tukang kuda di belakang
gedungnya kaget setengah mati ketika pagi-pagi sekali ia melihat majikannya
menyerbu kandang kuda, tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda dan
membalapkan kuda itu ketuar dari kandang! Tukang kuda itu melongo,
menggosok-gosok matanya, kemudian ia berlari-lari ke gedung, minta menghadap
nyonya muda!
˜Hujin, celaka. Telah terjadi
sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!!
Song Bi Li, isteri Kiang Liat,
pucat seketika. ˜Eh, pagi-pagi kau mengapa bicara yang bukan-bukan? Majikanmu
belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan
mulutmu, jangan kau kurang ajar!! kata Bi Li marah.
˜Hamba bersumpah tidak berani
main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang ke kandang
dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe...
pakaiannya kusut, mukanya seperti tidak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar
matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin....!
Bi Li mengerutkan keningnya.
Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum
menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?
˜Kiu Pek-pek, coba kau ajak
kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!! katanya,
kemudian Bi Li masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya
berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.
Ketika memikirkan keadaan
isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat dapat mengambil kesimpulan. Boleh
jadi sekali isterinya dahulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah
menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa
salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya. Oleh karena itu, orang
pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya
karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian membalapkan kuda itu
menuju ke tempat tinggal Cia Sun.
Memang Cia Sun sekarang sudah
makmur keadaannya. Uang dan perhiasan yang diperasnya dari Bi Li bukan sedikit.
Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia
berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya seperti seorang tuan tanah
yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang
dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang
sudah menjadi isterinya!
Pada pagi hari itu, tanpa
menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang
kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam isterinya, Ceng Si,
datang membawa perhiasan dan uang dan tentu saja seperti biasanya, begitu
mendapat uang, Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran
di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya!
Akan tetapi baru saja ia
hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar
derap kaki kuda dan dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya.
Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang
apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah...
barangkali pagi ini baru pulang? Biarpun hatinya berdebar, Cia Sun menahan
kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut
kedatangan Kiang Liat.
Dari jauh ia sudah menjura di
atas kudanya dan berkata ramah, ˜Selamat pagi, Kiang-wan-gwe. Berkat kebaikan
Wan-gwe, sekarang siauwte telah memperoleh banyak kemajuan.! Kata-kata ini
diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini
merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.
˜Jahanam keparat!! serunya dan
sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar
tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan
menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu
makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tidak menghiraukan lagi dua
orang yang kini berhadapan dalam keadaan tegang itu.
˜Ampun Wan-gwe. Apa dosaku
maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?! Cia Sun berlutut sambil
mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.
Kalau menuruti hawa nafsu di
dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanya-tanya
lagi. Akan tetapi ia hendak mendengar pen gakuan Cia Sun, karenanya ia
menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,
˜Bajingan besar, lekas kau
mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?!
Kalau ia mendengar kilat
menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar
pertanyaan ini.
˜Apa...! Hamba... hamba
tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin...!
Sebuah tendangan membuat tubuh
Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai
menangis, memohon ampun.
˜Hayo mengaku terus terang!!
Kiang Liat membentak lagi. ˜Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu bahwa
dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo
lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!!
Cia Sun benar-benar bingung.
Saking bingungnya, siucai yang bersifat pengecut ini dalam usahanya
membersihkan dan menolong diri, bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li.
˜Ampun, Kiang-wan-gwe,
sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu
itu. yaa... sesungguhnya adalah Song-siocia yang mendesak siauwte, yang
menyatakan cinta, memberi surat dan lain-lain. Siauwte sendiri mana berani?
Siauwte... siauw ...! Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang
Liat telah mengayun tangan. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang
dapat ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan
darah kematiannya.
Pada waktu itu, beberapa orang
dusun tiba di tempat itu dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal itu
membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja,
semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani
mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota,
langsung menuju ke gedungnya.
Song Bi Li yang semenjak pagi
tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu
keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa
yang datang benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun
kaget bukan main melihat wajah suaminya yang muram dan kelihatan tua.
Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang sama sekali tidak
mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam
gedung dan menuju ke kamar.
Dengan muka pucat, hati
berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan Im
Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam
kamar, tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li
menekan perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis, lalu maju dan
berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,
˜Suamiku, kau baru datang?
Tentu kau lelah sekali.! Suaranya halus dan manis sedangkan kedua tangannya
mulai membuka sepatu suaminya. Biasanya memang Bi Li amat cinta kepada suaminya
dan setiap kali suaminya datang dari tempat jauh, ia lalu membuka sepatu,
menyediakan air hangat pencuci kaki dan air teh untuk minum. Ia tidak
mengijinkan pelayan melakukan hal ini, tidak puas kalau tidak melayaninya
sendiri! Biasanya Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan
kasih sayang yang demikian besar dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika
melihat isterinya membungkuk dan meraba sepatunya, tiba-tiba kakinya bergerak
dan tubuh Bi Li terlempar ke sudut kamar!
Setan cemburu telah menguasai
hatinya, membikin buta matanya dan mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.
Bi Li tidak mengeluarkan
keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada suaminya dengan
mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih menyakiti hati
daripada rasa sakit yang diderita oleh pundak dan kepalanya ketika ia terbentur
pada dinding. Ia merayap bangun dan berjalan periahan menghampiri suaminya,
lalu berlutut lagi di sampingnya.
˜Suamiku, apakah dosanya
isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan nyawa kalau
memang berdosa...!! katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan dari
sepasang matanya menetes dua titik air mata.
Melihat keadaan isterinya itu,
melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai itu awut-awutan, muka yang
biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat, sepasang mata yang biasanya ia
anggap sebagai sepasang batu kemala terindah di dunia ini sekarang memandang
kepadanya dengan sayu, Kiang Liat hampir tak kuat menahan lagi. Ingin ia
memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun atas perbuatannya tadi,
ingin ia menangis seperti anak kecil dan menceritakan semua kesusahan hatinya
di dada isterinya.
Akan tetapi, bayangan Cia Sun
tak pernah meninggalkan ruang matanya, membuat Kiang Liat makin benci melihat
isterinya. Terpaksa ia meramkan matanya, tidak berani memandang muka Bi Li,
lalu berkata perlahan akan tetapi tajam seperti ujung pedang,
˜Dosamu? Tanyalah kepada
jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah kepada
kekasihmu, kau siluman betina!!
Bi Li terkejut sekali, bukan
hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya, terutama sekali karena
mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.
˜Kau... kau membunuhnya...?!
Ucapan ini sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya
membunuh orang, akan tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu
dan nafsu marah, dianggap sebagai pernyataan kaget dan duka dari Bi Li bahwa
kekasihnya telah dibunuh.
˜Kau tangisi kekasihmu yang
sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata hanya seorang
perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu. Anak itu... anak itu pun
barangkali bukan anakku...!!
Bi Li menjerit dan di lain
saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia tidak kuat menerima
pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata keji yang keluar
dari mulut Kiang Liat, suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa raganya.
Ketika Bi Li siuman kembali,
ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan mulutnya
bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barangkali
penderitaan batin Kiang Liat di saat itu tidak kalah hebatnya kalau
dibandingkan dengan Bi Li. Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan semua
fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.
Kiang Liat menengok, pandang
matanya penuh benci dan jemu.
˜Apa lagi yang kau tangiskan?!
˜Suamiku... kau... kau terlalu
kejam...!
Kiang Liat hampir saja
menendang tubuh isterinya karena kembali ia salah sangka, mengira bahwa isterinya
menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi ia dapat menguasai
kemarahannya dan hanya berdiri memandang dengan mata melotot.
˜Kau... kejam sekali menuduh
aku berbuat yang bukan-bukan... tak perlu kusangkal lagi, memang betul dahulu
sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan surat-menyurat
dengan orang she Cia itu. Akan tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor di dalam
hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi nama Thian, demi Langit dan
Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya
su-rat-menyurat belaka...!
( Note ˜ Memang malam
pertamanya gak ngerasain apa? Perawan apa nggak?? Jaman dulu kan belum ada
sepeda)
˜Bohong! Kau habiskan uang dan
perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun, kau mempergunakan Ceng Si sebagai jembatan,
kau kira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?!
˜Ampunkan aku, suamiku...
memang, aku telah bersalah, tidak memberitahukan semuanya kepadamu... aku
tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut kehilangan cinta
kasihmu... akan tetapi sungguh mati aku tidak melakukan hal yang tidak patut,
hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah....!
˜Perempuan rendah!! Kiang Liat
berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, meninggalkan Bi Li Yang
menangis tersedu-sedu di dalam karnar itu, di atas lantai.
Semenjak hari itu, Kiang Liat
tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan anaknya, membawa kuda
dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati patah dan pikiran selalu
diliputi kedukaan dan kekecewaan. Cinta kasihnya kepada isterinya tak dapat ia
lupakan, bahkan makin jauh ia pergi, makin rindulah ia kepada isterinya dan
puterinya. Berkali-kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan
isterinya, untuk kembali hidup berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia
seperti dahulu lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang sudah mencuci hati dan
pikiran seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat
pikirannya menjadi gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang sebesar-besarnya
dapat berubah menjadi kebencian yang dahsyat.
Rasa rindu kepada anak
isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa cinta kasihnya
dan tidak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya ia malah benci
kepada diri sendiri dan menganggap diri sendiri terlalu lemah. Maka ia lalu
merantau makin jauh lagi dari rumahnya, melakukan perbuatan seperti yang layak
dilakukan oleh seorang pendekar. Karena ini, namanya menjadi makin ternama di
dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiusian (Dewa Tangan Seribu) makin terkenal.
Waktu berjalan cepat tak
terasa dan empat tahun telah lewat semenjak Kiang Liat meninggalkan rumahnya.
Pada suatu hari ketika ia sedang duduk seorang diri mengenang nasibnya yang
buruk, dalam sebuah kelenteng bobrok di Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan
turun dengan derasnya. Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan
mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan matanya betapa dahulu di
waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir bersama isterinya,
duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun.
Alangkah mesra dan bahagianya
waktu itu, dan mengingat akan semua ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im
Giok yang tersenyum-senyum dan secara lucu menyebut-nyebut ayah berkali-kali,
air mata mengucur turun dari sepasang mata pendekar itu. Cepat-cepat ia
mengusapnya dengan punggung tangan. Tak patut seorang pendekar gagah
mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan. Akan tetapi percuma
saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak dapat menahan lagi
air matanya yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang bercucuran dari atas.
Selagi Kiang Liat menumpahkan
kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba ia mendengar
suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas
lutut, ia melihat seorang kakek pengemis berdiri di hadapannya dengan sikap
tenang.
˜Suhu...! Kiang Liat
menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.
˜Orang bodoh, kau pulanglah,
isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan
memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau berduka
selalu, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!!
Sebelum Kiang Liat sempat
bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ. Kiang Liat
maklum bahwa watak suhunya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar
juga. Ia tidak memikirkan lagi tentang suhunya, pikirnya penuh dengan berita
yang diterimanya. Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia
terkejut bukan main dan seketika itu rasa marah jauh lebih besar daripada
kesedihannya. Tanpa mempedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di
lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.
Berita mengejutkan yang
disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak ditinggalkan
oleh suaminya. Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau
saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini takkan dapat
menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami
masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni sangkaan suaminya
bahwa dia telah berlaku jina sebelum menjadi isteri yang benar-benar terasa tak
kuat ia menahan. Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima
ejekan dan sindiran dari orang-orang yang tidak suka kepada keluarga Kiang. Bi
Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan barang-barang
berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan
membeli obat dan lain keperluan. Keadaannya makin lama makin buruk, akan tetapi
Bi Li tidak mempedulikan keadaannya sendiri. Siang malam yang menjadi
ingatannya hanya suaminya.
Kiang Liat yang dirindukannya
setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang mohon kepada Yang Maha Esa
agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.
Akan tetapi, sudah terlampau
banyak buktinya, harapan manusia selalu tidak cocok, bahkan sebaliknya dengan
kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, melainkan seorang yang
menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!
Wanita yang berusia hampir
empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis remaja
berusia dua puluhan ini, datang tanpa diundang, bahkan tanpa diketahui orang,
tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau
seorang siluman!
Bi Li segera mengenalnya, maka
biarpun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera maju
berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.
˜Adikku yang manis, mengapa
kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya...! Pek Hoa
berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.
Mendengar teguran ini Bi Li
tak dapat tahan lagi lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputus-putus
nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan,
menceritakan nasibnya, yang amat sengsara, betapa ia dahulu tertipu oleh Cia Sun
dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua rahasia sehingga
marah-marah, membunuh Cia Sun dan meninggalkannya.
Orang seperti Pek Hoa ini mana
tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan tetapi
mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.
˜Mengapa susah-susah? Lebih
baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anak. Mana anakmu?!
Setelah melihat Im Giok yang
sudah berusia hampir enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang dengan mata
terbelalak kagum. Seorang anak perempuan berpakaian merah, dengan rambut hitam
panjang dikuncir menjadi dua terikat dengan pita biru tergantung di depan
pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah, bergerak-gerak
membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan mancung nampak lucu
sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat telur
dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan. Pendeknya, wajah seorang bocah
perempuan yang sehat dan mungil sekali. Biarpun baru berusia enam tahun, Im
Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan
mengatakan bahwa bocah ini adalah calon seorang gadis yang cantik luar biasa.
˜Pek Hoa-cici, benar-benar
anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!! Bi Li mengulangi kata-kata yang
sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.
Pek Hoa Pouwsat adalah seorang
wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang wanita yang
hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tidak pernah ia mengenal kebahagiaan
rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, meli hat Im Giok tiba-tiba
saja ia menjadi terharu, apalagi setelah mendengar ucapan Bi Li, ia terpaksa
mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya air mata. Diam-diam ia berkata kepada
diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya!
Kedatangan Pek Hoa Pouwsat
menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat
mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat
dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.
Adapun Im Giok sendiri, amat
suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang
jeli, dengan berterang ia memuji, ˜Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?!
Pek Hoa menangkap dan
mengangkatnya di atas pangkuan. ˜Anak yang baik, kelak kau lebih cantik
daripada aku atau ibumu.! Katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok dan
beberapa kali meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa
apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya ketika ia mendapat
ken yataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni memiliki tubuh
sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah dengan
kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak
tentu akan menjadi seorang pandai.
Untuk mengetahui isi hati dan
pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, ˜Im Giok sukakah kau menjadi muridku?!
Bocah itu melirik ke arah
ibunya, lalu berkata dengan senyum lucu. ˜Belajar membaca dan menulis lagi,
Bibi? Ah, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar
dan membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa mengajarku,
karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Lebih senang belajar menjahit dan
menyulam! Apalagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku.!
Pek Hoa tertawa. ˜Kau suka
belajar menari.!
Im Giok melompat turun dari
pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri. ˜Menari
seperti anak-anak wayang yang per nah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah,
aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat,
Bibi, kalau kau mau mengajarku menari penyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka
sekali!!
˜Apa kelak kau ingin menjadi
anak wayang tukang menari?! tanya ibunya, pura-pura tak senang.
˜Apa salahnya, ibu? Mereka itu
cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang
memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton daripada
menonton. Bibi, mau kau mengajarku?! Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik
tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.
Demikianlah hati Bi Li gembira
sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka
bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar
suara anaknya memanggil. Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im
Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah ˜terbang! ke jendela yang sudah
terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apalagi Im Giok berkali-kali memanggil
˜Ibu...! Ibu...! Bibi, aku
tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!!
˜Enci Pek Hoa, kau hendak bawa
anakku ke manakah?! Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut
kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!
Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah
dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung
kekejaman luar biasa.
˜Ha, ha, ha, Bi Li! Tak usah
kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kau pikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku
atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha, ha, mungkin dahulu kau selalu
membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang baru kau tahu bahwa kecantikan tidak
membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau
juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!!
Sekali berkelebat tubuh Pek
Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar dari
jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!
Sejak tadi, Bi Li berdiri
terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela
sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan
itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik. Setelah Pek Hoa lenyap bersama
Im Giok, barulah Bi Li sadar. Ia menjerit dan memburu ke jendela, akan tetapi
mana bisa ia mendapatkan Pek Hoa yang sudah melompat ke atas genteng dan
berlari cepat sekali?
˜Im Giok... anakku... Im
Giok... kembalikanlah anakku... Im Giok...!! Setelah memanggil-manggil sampai
suaranya hampir habis, akhirnya Bi Li menjadi lemas.
Dipaksanya berlari ke luar dan
mengejar ke sana ke mari, terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh pingsan di
luar rumah, dekat jalan, di atas tanah yang basah.
Setelah matahari naik tinggi,
baru ada para tetangga yang melihat keadaan Bi Li dan ramai-ramai mereka
menolong nyonya muda yang bernasib malang ini. Akan tetapi, tubuh nyonya muda
yang selama ini memang lemah dan sering sakit, tidak dapat menahan serangan
batin yang hebat ini. Bi Li jatuh sakit berat. Karena tetangga yang mau
menolong dan merawatnya juga amat miskin, terpaksa seluruh isi rumah dari Bi Li
dijual untuk membeli obat dan keperluan lain.
Keadaan Bi Li amat payah.
Siapa yang dapat menolongnya? Kakeknya sendiri, Song Lo-kai telah meninggal
dunia tak lama setelah Kiang Liat pergi. Nyonya muda yang hidup sebatang kara
ini terserang sakit panas dan batuk-batuk, setiap saat ia hanya memanggil dan
menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya. Sebulan kemudian, Bi Li
menghembuskan nafas terakhir. Tak seorang pun menangisi kematiannya, para
tetangga yang cukup baik hati menjaganya, hanya menarik napas panjang dan
merasa kasihan.
Kegotong-royongan para
tetangga yang miskin pulalah yang mencegah jenazah nyonya muda ini terlantar.
Mereka bekerja sama dan dengan amat sederhana dan bersahaja, jenazah Bi Li
dimasukkan dalam peti mati tipis dan disembahyangi sekedarnya.
Baru saja peti itu hendak
diangkat orang untuk dibawa ke kuburan, tiba-tiba seorang wanita gembel datang
berlari-lari dan menjatuhkan diri berlutut di depan peti sambil menangis
terlolong-lolong. Pakaiannya kotor tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan
mukanya penuh debu dan lumpur sehingga ia menjijikkan sekali. Tak seorang pun
di antara para tetangga itu mengenalnya.
˜Hujin... mengapa kau tega meninggalkan
hamba...? Siapa yang akan merawat dan melayanimu Hujin? Bawalah hamba serta...
Hujin, hamba... hamba mohon ampun atas segala dosa...! Wanita ini menangis
sedih sekali, tiba-tiba ia berhenti menangis dan... tertawa bergelak!
˜Ha, ha, ha, Kiang Liat! Kau
kehilangan anak dan isteri, bagus! Cia Sun, kau mampus dengan mata mendelik,
salahmu sendiri. Ha, ha, ha!!
Sekarang baru para tetangga
itu mengenalnya. Perempuan gembel yang otaknya sudah tak beres ini bukan lain
adalah Ceng Si. Memang semenjak suaminya, Cia Sun, tewas oleh Kiang Liat, Ceng
Si menjadi ketakutan selalu, takut kalau-kalau Kiang Liat juga akan mencari dan
membunuhnya. Ia insyaf bahwa ia pun berdosa dalam urusan pemerasan terhadap Bi
Li. Di samping rasa takut terhadap Kiang Liat, ia pun benci kepadanya. Ketika
mendengar bahwa suaminya dibunuh oleh Kiang Liat Ceng Si melarikan diri ke luar
kota.
Ia terjatuh ke tangan orang
jahat. Karena Ceng Si memang masih muda dan mempunyai wajah cantik dan tubuh
menarik, ia menjadi permainan orang-orang jahat. Selama tiga tahun lebih ia
terjatuh dari satu ke lain tangan dan terperosok makin dalam ke jurang
kehinaan. Akhirnya, Ceng Si mulai berubah pikirannya. Bajingan-bajingan yang
mempermainkannya, melihat otaknya sudah miring, tentu saja lalu menendangnya
dan demikianlah, Ceng Si hidup berkeliaran sebagai seorang wanita gembel yang
gila!
Kebetulan sekali saat Bi Li
menghembuskan napas terakhir, Ceng Si telah tiba di kota itu kembali dan wanita
setengah gila ini mendengar tentang berita kematian Bi Li lalu berlari-lari
mendatangi rumah bekas majikannya.
***
Rumah gedung bekas tempat
tinggal keluarga Kiang masih berdiri tegak, akan tetapi sekarang keadaannya
menyeramkan sekali. Rumah besar itu kelihatan gelap dan kotor, penuh sarang
laba-laba dan debu. Tak sebuah pun prabot rumah kelihatan menghias rumah gedung
itu, karena semua prabot rumah dijual oleh para tetangga untuk membiayai
perawatan Bi Li ketika sakit dan meninggal.
Sungguhpun rumah itu sudah
kosong tidak ada penghuninya, namun tak seorang pun berani mengganggu atau
menjualnya, karena siapakah yang berani menjual rumah gedung milik keluarga
Kiang? Mereka semua tahu bahwa biarpun Kiang Liat pada waktu itu tidak ada di
situ, akan tetapi kalau pendekar itu kembali dan melihat rumahnya dijual orang,
tentu orang yang menjualnya itu takkan diberi ampun. Semua orang di kota
Sian-koan tentu saja sudah mengenal nama Kiang Liat sebagai seorang yang
memiliki kepandaian silat tinggi.
Semenjak meninggalnya Bi Li
rumah itu dikosongkan saja. Akan tetapi tetap setiap hari sekali, kadang-kadang
sore dan ada kalanya pagi-pagi, halaman depan rumah gedung kosong itu tentu
disapu dan dibersihkan oleh seorang perempuan gembel gila, yakni Ceng Si!
Pada suatu pagi, kurang lebih
sepekan setelah Bi Li meninggal, Kiang Liat tiba di kota Sian-koan!
Bagaimanapun gelisah hatinya mendengar dari gurunya bahwa puterinya diculik
orang dan isterinya sakit keras, namun Kiang Liat masih ingat untuk bertukar
pakaian yang pantas sehingga ketika ia masuk kota Sian-koan, ia telah merupakan
seorang laki-laki muda berpakaian seperti seorang- pendekar yang gagah.
Tentu saja penduduk Sian-koan
mengenalnya dan semua orang memandangnya dengan sinar mata berkasihan. Siapa
yang tidak merasa kasihan melihat orang laki-laki yang telah ditinggal mati
isterinya dan anaknya diculik orang pula? Akan tetapi, semua orang merasa takut
dan segan untuk menegur Kiang Liat, karena mereka tahu akan pembunuhan yang
dilakukan oleh Kiang Liat kepada Cia Sun tanpa mereka ketahui latar
belakangnya.