Melihat ini, Hek-te-ong
terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng seperti binatang buas, ia
menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor
biruang menerkam. Bu Pun Su tak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk
menyerang lawan dengan pedangnya. Cepat ia membanting pedang sehingga menancap
di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan. Dua
pasang tangan yang amat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua
orang sakti mengadu tenaga lwee-kang, karena dari sepuluh jari tangan
masing-masing keluar hawa lwee-kang yang disalurkan.
“Krek... krek... krek...!”
Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa
itu adalah suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong
menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke belakang, lalu roboh dengan
jari-jari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan tetapi ia sudah
tidak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok. Ternyata bahwa dalam adu
tenaga lwee-kang tadi, ia terkena pukulan hawa lwee-kangnya sendiri yang
membalik karena tidak dapat menahan sin-kang yang mengalir keluar dari
jari-jari tangan Bu Pun Su.
Bu Pun Su menarik napas
panjang. “Siancai... siancai...” katanya perlahan, “Hek-te-ong dan Pek-in-ong
binasa karena kehendak Tuhan…”
Cheng-hai-ong berdiri pucat.
Ia marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya tewas dalam
keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun
Su, apalagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat
membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan.
Diam-diam otaknya bekerja dan ia lalu maju menghampiri Bu Pun Su, sikapnya
tenang.
“Bu Pun Su, kau telah
menewaskan kedua orang suhengku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat
kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu
mengadu nyawa.”
“Aku tahu dan aku bersedia,
Cheng-hai-ong,”, jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang. Kalau tidak amat
terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk
membunuh oriang.
“Kedua suhengku mempunyai
kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam tanganmu.
Apalagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak
menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?”
Bu Pun Su tersenyum dingin,
“Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan mengadu
kepandaian macam apa pun akan kuterima.”
“Bagus!” Tiba-tiba sikap
lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan sikap yang
gembira dan sinar mata yang kejam! “Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar,
kiranya takkan menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Bu Pun Su, aku
disebut orang Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau), maka sedikit kepandaian yang
kumiliki tentu saja ada hubungannya dengan air, atau lebih tepat lagi, aku
lebih leluasa bergerak di dalam air daripada di atas bumi. Oleh karena itu, Bu
Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa di dalam air sungai ini!” Ia
menudingkan telunjuknya ke arah air Sungai Yalu Cangpo yang airnya mengalir
tenang dan lambat, menandakan bahwa air itu amat datam.
Biarpun di dalam hatinya Bu
Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa lawannya demikian licik
dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada wajahnya tidak sedikit pun
nampak rasa gelisah atau takut. Ia bahkan tersenyum dan berkata,
“Cheng-hai-ong, aku sama
sekali tidak ingin mencelakai siapapun juga. Sekarang kedua suhengmu telah
tewas karena kesalahan mereka sendiri. Kalau kau mengembalikan kitab dan pedang
secara sukarela kemudian kau kembali ke tempat asalmu dan jangan mengganggu
kami, juga melepaskan Mo-kauw dari pimpinanmu, siapakah yang sudi mencampuri
urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau bahkan menantangku, tidak tahu
kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air ataukah untuk bertempur?”
Cheng-hai-ong sebenamya memang
gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biarpun ia yakin bahwa di dalam air, ia
akan lebih unggul akan tetapi orang semacam Bu Pun Su ini, biarpun di dalam air
atau di lautan api sekalipun, tetap merupakan lawan yang berbahaya dan tangguh.
Maka ia ingin berlaku hati-hati dan menjawab,
“Bu Pun Su, pertama-tama aku
menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita sama lihat siapa di
antara kita yang lebih pandai.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawab
agar tidak memberi kesempatan membantah kepada Bu Pun Su, orang ke tiga dari
Thian-te Sam-kauwcu ini melompat dan tubuhnya sudah melayang turun ke dalam
Sungai Yalu Cangpo. Semua orang berlari-lari mendekati tebing sungai untuk
melihat. Mereka menjadi kagum sekali dan di sana-sini terdengar seruan memuji.
Memang kepandaian Cheng-hai-ong hebat. Lain orang kalau ingin terapung di air,
tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun hanya membuat sebagian tubuh
saja yang terapung. Akan tetapi, tidak demikian dengan Cheng-hai-ong. Entah
bagaimana, dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat dan aneh, ia dapat membuat
tubuhnya terapung dalam keadaan berdiri tegak dan yang tenggelam ke dalam air
hanya kaki sebatas lutut saja! Lutut itu bergerak-gerak terus dan dapat diduga
bahwa kedua kaki itulah yang bergerak secara istimewa sehingga tubuhnya dapat
tegak di permukaan air, dan tangan kanan Cheng-hai-ong sudah memegang
senjatanya yang luar biasa, yakni rantai dengan ujungnya tengkorak manusia!
Orang ini tertawa mengejek sambil memandang ke arah Bu Pun Su!
“Bu Pun Su, beranikah kau
turun ke sini?” tantangnya dengan nada suara mengejek.
“Kwan Cu, jangan kena terjebak
oleh tipu muslihatnya!” Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su, kemudian dengan suara
keras dan mengamang-amangkan cambuknya ke arah Cheng-hai-ong, ia membentak
keras, “Cheng-hai-ong, manusia busuk! Kau hendak mempergunakan kecurangan,
memancing lawan ke dalam air. Kami bukan sebangsa katak yang biasa main di
darat dan di air, mana kami sudi melayanimu di air, kau katak bukan tikus pun
bukan? Hayo naik ke darat dah kau boleh mencoba rasanya cambukku ini sebelum
bangkaimu kulemparkan ke dalam air.”
Bu Pun Su tersenyum. “Air
Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan tetapi selama masih
ada nelayan, kita takut apakah?” Tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, ke air
sungai yang demikian lebar dan dalam!
Semua orang melongok ke bawah,
kawan-kawan Bu Pun Su amat khawatir karena mereka belum pernah mendengar bahwa
pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan tetapi apa yang mereka
lihat di permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar membuat mereka melongo,
bahkan pihak Mo-kauw yang menyaksikan pemandangan ini menjadi pucat dan tak
berani bernapas. Apakah yang mereka lihat? Bu Pun Su telah melompat dan tiba di
permukaan air seperti di atas tanah keras saja! Pendekar sakti ini berdiri di
permukaan air, tidak bergeming, tidak sukar sama sekali, tersenyum-senyum dan
enak saja menghadapi Cheng-hai-ong yang menjadi pucat.
Ini tak mungkin, pikir
Cheng-hai-ong. Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan ia tahu bahwa
berdiri tanpa bergerak di permukaan air seperti sehelai daun kering, adalah hal
yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Kalau sekiranya ia melihat Bu
Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, ia masih percaya karena seorang
yang gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi seperti Bu Pun Su, kiranya dapat
melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di permukaan air tanpa bergerak?
Kemudian, tiba-tiba
Cheng-hai-ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di tempat itu.
Ketika ia dan suheng-suhengnya menanti datangnya Bu Pun Su, ada suara ketawa
aneh di permukaan air, dan ia telah menyerang dengan jarum ke arah permukaan
air, akan tetapi tidak kelihatan siapapun juga. Apakah tak mungkin ada orang
pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu telah membantu Bu
Pun Su dan menyangga kedua kakinya?
“Jahanam, jangan main
sembunyi, keluarlah kalau laki-laki!” seru Cheng-hai-ong dan tiba-tiba tangan
kirinya bergerak dan beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di
bawah kaki Bu Pun Su!
Bu Pun Su menggerakkan kakinya
menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke kiri.
“Kong Hwat, kaulawanlah dia
ini, sama-sama setan air!” kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan kakinya,
tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.
Terdengar suara ketawa
bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su “berdiri” di atas air,
muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu ketawa
terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali. Akan tetapi sepasang
matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja dari
rambutnya tidak menetes-netes turun air sungai, tentu orang akan melihat air
matanya bercucuran!
“Dia Nelayan Cengeng!” seru
Sui Ceng dan ia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa
Bu Pun Su tadi sebelum melompat ke dalam sungai sudah tahu bahwa Nelayan
Cengeng berada di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui
hal ini?
Adapun Cheng-hai-ong ketika
melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu Pun Su,
menjadi marah sekali. Ia menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai
menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi,
tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap
lagi ke bawah permukaan air. Tiba-tiba nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan
memaki-maki. Senjatanya bergerak memukul ke bawah, akan tetapi tetap saja
tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian,
dua orang ”setan air” itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing
tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu
kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar sungai terjadi pergumulan hebat.
Bu Pun Su memang datang
bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu Cangpo.
Dua orang kenalan lama itu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su
hendak menghadapi orang-orang Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu,
Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan sukarela ikut ke tempat itu. Akan
tetapi ia tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari
sungai, mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun
Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggauta Mo-kauw mentertawakan
Bu Pun Su yang belum datang.
Sementara itu, orang-orang
Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka telah tewas, menjadi marah
sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru
keras memberi aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah mereka sehingga
kembali terjadi perang tanding hebat antara orang-orang Mo-kauw melawan
orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun. Adapun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam
Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi, tentu
saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le,
Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat dan tokoh-tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.
Pertandingan ini tidak
seimbang. Setelah Thian-te Sam-kauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak
Mo-kauw kalah jauh, apalagi kalau Bu Pun Su ikut membantu kawan-kawannya.
Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton,
kadang-kadang menengok ke arah sungai.
Pergumulan di dalam sungai
antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat. Sayangnya mereka
yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini antara
dua orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan. Sebetulnya, kalau
bertanding di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan kiranya
Kong Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan
Cengeng ini memang cerdik. Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh,
oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka di darat,
melainkan menanti di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya dan tak
usah takut terhadap siapapun juga. Biarpun kini ia menghadapi Cheng-hai-ong
yang lihai, namun ternyata setelah mereka bertanding di dalam air,
Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu. Pertempuran
di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lwee-kang tidak begitu
ampuh lagi setelah orang berada di dalam air, apalagi segala macam senjata
rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali
jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah
kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan
kekuatan bertahan napas.
Dalam hal ini pun Cheng-hai-ong
kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Kalau mereka berdua bertanding kekuatan
menahan napas di dalam air kiranya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan
tetapi, setelah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya hampir kehabisan
napas diam-diam Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang
dalamnya berlubang. Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini ujungnya ia
masukkan mulut dan pipa alang-alang yang panjang itu timbul di permukaan air
ketika Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya. Kemudian, dengan
leluasa ia dapat berganti hawa dan bernapas melalui pipa kecil itu!
Dengan akal ini, tidak heran
apabila tak lama kemudian, ia dapat menggempur dada Cheng-hai-ong dengan
senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat! Cheng-hai-ong yang napasnya
memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi
lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh
air sungai yang mengalir tenang. Kong Hwat sendiri cepat naik dan me.nyembulkan
kepala di atas permukaan air. Ia melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi
Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu
turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran
air, pergi dari tempat itu.
Para anggauta Mo-kauw melihat
pula tubuh Cheng-hai-ong yang sudah menjadi mayat dan hanyut di permukaan air
sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka makin kalut.
Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.
Tiba-tiba terdengar pekik
nyaring, “Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan pihakmu!”
Seorang wanita melompat dan
memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu Pun Su.
Pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun
sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,
“Semua kawan tahan senjata!”
Bun Sui Ceng yang lain-lain
heran sekali dan melompat mundur. Beberapa orang Siauw-lim dan Kun-lun yang
masih mendesak lawan, tentu saja tidak mau mundur karena selagi mereka menang
dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti? Tiba-tiba mereka melihat bayangan
orang berkelebat cepat di depan mereka dan tahu-tahu senjata di tangan mereka
telah lenyap dirampas orang! Terpaksa mereka melompat mundur dengan kaget, dan
makin heranlah mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata
mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su sendiri!
“Wi Wi, lekas kau pergilah.
Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih
“Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu
pergilah!” kata Bu Pun Su dengan suara kaku dan muka pucat.
Semua orang menjadi
terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia
melangkah maju dan cambuknya berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah
Wi Wi Toanio!
Akan tetapi, sekali
menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar
jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan
tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Darah mengucur dari
kulit yang pecah terkena cambuk!
“Ayaaa....!” Sui Ceng melompat
ke belakang dengan kaget sekali. “Kwan Cu, apakah kau sudah gila?” Ia memandang
ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya mengancam.
“Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini....” akan dapat mentaati
permintaanmu.” kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.
Wi Wi Toanio tersenyum
mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena
orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apalagi
suaminya sudah meninggal dan perlu diurus. Dapat menyelamatkan diri saja sudah
lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekaii, karena ia maklum bahwa kalau
pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa
dan menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng,
kemudian berlari pergi dari situ, diikuti oleh semua orang.
Hek Pek Mo-ko sendiri, dan
juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan
mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi
dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi
orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu?
Setelah pihak lawan pergi
semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tak dapat menahan
lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,
“Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba
menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, mengapa kau bahkan memberi
kesempatan kepada mereka untuk lari?”
“Thian-te Sam-kauwcu sudah
tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mo-kauw.
Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dan pihak Mo-kauw memang tidak
ada permusuhan sesuatu, mengapa kita harus terlalu mendesak?” kata Bu Pun Su.
Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta
Kun-lun-pai juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat
dirampas kembali dan pencurinya, yakni Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas.
Mengapa harus memperbesar permusuhan dengan Mo-kauw yang sebetulnya hanya
diperalat oleh Thian-te Sam-kauwcu?
Maka setelah mengambil benda
pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-si dan Kun-lun-pai lalu
meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggauta-anggauta yang terluka.
Berturut-turut Swie Kiat
Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya
hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di
tempat itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa
pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio.
Bu Pun Su tersenyum dan
memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadang-kadang
memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan
kadang-kadang menundukkan mukanya. Memang di antara tiga orang pendekar yang
kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat mengharukan dan juga
membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit. Setelah berpisah puluhan
tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau
terbayang (baca kisah Pendekar Sakti).
“Sui Ceng, kau ternyata masih
keras hati seperti dulu. Sebetulnya aku mengharapkan untuk melihat kau dan Kun
Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat
membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!”
“Kwan Cu,” kata Sui Ceng
bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi kepada bekas tunangannya, yakni
The Kun Beng, “kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dahulu sudah beku terhadap
laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah mahluk yang tak dapat dipercaya dan
berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng seperti isi dadamu,
kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri.”
Tentu saja Kun Beng merasa
terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini
tidak terasa lagi olehnya.
“Memang Saudara Kwan Cu
seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu
makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kauanggap sebagai hukuman atas
perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi melukai hati Kwan Cu... benarbenar
kau telah berdosa!”
Kata-kata ini benar-benar
mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang
mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua
pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya.
Mendengar kata-kata dua orang
itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. “Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini, manakah
ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku
seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng
seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji
lagi...”
Sui Ceng dan Kun Beng
mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.
“Sui Ceng kau tadi bertanya
tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio; isteri dari An Kai Seng. Nah,
sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu laki-laki tunggal
yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang
aneh tadi.” Kemudian ia menceritakan betapa ia pernah terpikat oleh kecantikan
Wi Wi Toanio sehingga melakukan hal yang amat keji dan rendah memalukan, yakni
mengadakan perhubungan dengan isteri orang!
“Nah, sekarang kalian tahu
akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk Lu Kwan Cu sudah
mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!” Setelah berkata demikian, dengan suara
ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su berkelebat dan lenyap
dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih
bergema dari tempat jauh.
Setelah meninggalkan lembah
Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai
kepada isterinya, juga amat rindu kcpada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia
berpisah dengan mereka! Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga
bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih
selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang
suatu apa. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat di mana kedua
matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai. Kiang
Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak
tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa
isterinya akan terkejut dan girang, ia merencanakan untuk memasuki rumahnya
tanpa diketahui oleh siapapun dan tahu-tahu ia akan tidur di atas pembaringan
di dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah
tidur di situ?
Manusia manakah yang tahu akan
ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib manusia
yang hanya dipegang dan ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri?
Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang-kadang amat aneh, ganjil, dan sukar
dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil! Misalnya, seorang yang
berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, sebaliknya seorang yang
berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu
sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat.
Terlontarlah kata-kata “tidak adil” dari mulut mereka yang masih belum kuat
iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya. Akan tetapi tidak
demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan
keadilan Tuhan secara mutlak.
Dia ini bahkan akan menerima
segala apa yang oleh manusia dianggap “sengsara” atau “menderita” dengan hati
tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir
batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa
dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tak dapat diubah pula oleh siapapun
juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu
yang adil dan baik. Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang
menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus! Kasihan mereka yang lemah
hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan menjadi
luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam
penyelewengan yang akan menghancurkan hidupnya sendiri!
Kiang Liat tak menyangka sama
kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di
kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi.
Dengan mudah, Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang
pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya. Sekali melompat ia
telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di
lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah
ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan
seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas
pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!
“Ceng Si, kau dan Cia Sun
benar-benar keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang
banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Mengapa kalian
seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau
tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan
menghibur hatiku yang gelisah memikirkan dia, sebaliknya kau datang untuk
mengganggu dan lagi-lagi kau minta uang dalam jumlah yang terlalu besar.
Darimana aku bisa mendapatkan uang itu?”
Mendengar kata-kata isterinya
ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia menahan napas, mendengarkan percakapan
dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya
mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Semenjak
kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap
isterinya?
“Nyonya muda mengapa begitu
pelit? Kalau tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi
menikah dengan siucai miskin itu? Di waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan
bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan
mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani
siucai bekas kekasih nyonya muda itu.”
Kiang Liat tak sanggup
mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan
tetapi baiknya ia dapat menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi!
Hati dan pikirannya tidak karuan. Ia masih bersangsi apakah benar-benar
isterinya dahulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah
isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu
mencintanya.
Akan tetapi kalau ia ingat
betapa semua perhiasan isterinya tak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan
kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan
diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ah, apa artinya ini? Dan kata-kata
Ceng Si, tadi? Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya,
membuat ia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang
diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek,
kadang-kadang membentak-bentak, dan kadang-kadang ia tertunduk di pinggir jalan
menangis tersedu-sedu! Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota
seperti orang gila, terjadi perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya,
pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu
akan pangling. Ia nampak lesu dan susut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan
sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore!
Tukang kuda di belakang
gedungnya kaget setengah mati ketika pagi-pagi sekali ia melihat majikannya
menyerbu kandang kuda, tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda dan
membalapkan kuda itu ketuar dari kandang! Tukang kuda itu melongo,
menggosok-gosok matanya, kemudian ia berlari-lari ke gedung, minta menghadap
nyonya muda!
“Hujin, celaka. Telah terjadi
sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!”
Song Bi Li, isteri Kiang Liat,
pucat seketika. “Eh, pagi-pagi kau mengapa bicara yang bukan-bukan? Majikanmu
belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan mulutmu,
jangan kau kurang ajar!” kata Bi Li marah.
“Hamba bersumpah tidak berani
main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang ke kandang
dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe...
pakaiannya kusut, mukanya seperti tidak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar
matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin....”
Bi Li mengerutkan keningnya.
Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum
menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?
“Kiu Pek-pek, coba kauajak
kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!” katanya,
kemudian Bi Li masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya
berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.
Ketika memikirkan keadaan
isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat dapat mengambil kesimpulan. Boleh
jadi sekali isterinya dahulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah
menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa
salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya. Oleh karena itu, orang
pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya
karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian membalapkan kuda itu
menuju ke tempat tinggal Cia Sun.
Memang Cia Sun sekarang sudah
makmur keadaannya. Uang dan perhiasan yang diperasnya dari Bi Li bukan sedikit.
Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia
berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya seperti seorang tuan tanah
yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang
dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang
sudah menjadi isterinya!
Pada pagi hari itu, tanpa
menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang
kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam isterinya, Ceng Si,
datang membawa perhiasan dan uang dan tentu saja seperti biasanya, begitu
mendapat uang, Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran
di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya!
Akan tetapi baru saja ia
hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar
derap kaki kuda dan dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya.
Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang
apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah...
barangkali pagi ini baru pulang? Biarpun hatinya berdebar, Cia Sun menahan
kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut
kedatangan Kiang Liat.
Dari jauh ia sudah menjura di
atas kudanya dan berkata ramah,
“Selamat pagi, Kiang-wan-gwe.
Berkat kebaikan Wan-gwe, sekarang siauwte telah memperoleh banyak kemajuan.”
Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi
pendekar ini merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.
“Jahanam keparat!” serunya dan
sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar
tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan
menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu
makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tidak menghiraukan lagi dua
orang yang kini berhadapan dalam keadaan tegang itu.
“Ampun Wan-gwe. Apa dosaku
maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?” Cia Sun berlutut sambil
mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.
Kalau menuruti hawa nafsu di
dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanya-tanya
lagi. Akan tetapi ia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia
menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,
“Bajingan besar, lekas kau
mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?”
Kalau ia mendengar kilat
menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar
pertanyaan ini.
“Apa...! Hamba... hamba
tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin...”
Sebuah tendangan membuat tubuh
Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai
menangis, memohon ampun.
“Hayo mengaku terus terang!”
Kiang Liat membentak lagi. “Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu bahwa
dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo
lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!”
Cia Sun benar-benar bingung.
Saking bingungnya, siucai yang bersifat pengecut ini dalam usahanya
membersihkan dan menolong diri, bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li. “Ampun,
Kiang-wan-gwe, sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah, tidak berdosa
apa-apa. Dahulu itu… yaa... sesungguhnya adalah Song-siocia yang mendesak
siauwte, yang menyatakan cinta, memberi surat dan lain-lain. Siauwte sendiri
mana berani? Siauwte... siauw ...” Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya
karena Kiang Liat telah mengayun tangan. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya
jerit itulah yang dapat ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan
yang mengenai jalan darah kematiannya.
Pada waktu itu, beberapa orang
dusun tiba di tempat itu dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal itu
membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja,
semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani
mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota,
langsung menuju ke gedungnya.
Song Bi Li yang semenjak pagi
tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu
keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa
yang datang benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun
kaget bukan main melihat wajah suaminya yang muram dan kelihatan tua.
Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang sama sekali tidak
mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam
gedung dan menuju ke kamar.
Dengan muka pucat, hati
berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan Im
Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam kamar,
tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li menekan
perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis, lalu maju dan berlutut di
dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,
“Suamiku, kau baru datang?
Tentu kau lelah sekali.” Suaranya halus dan manis sedangkan kedua tangannya
mulai membuka sepatu suaminya. Biasanya memang Bi Li amat cinta kepada suaminya
dan setiap kali suaminya datang dari tempat jauh, ia lalu membuka sepatu,
menyediakan air hangat pencuci kaki dan air teh untuk minum. Ia tidak
mengijinkan pelayan melakukan hal ini, tidak puas kalau tidak melayaninya
sendiri! Biasanya Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan
kasih sayang yang demikian besar dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika
melihat isterinya membungkuk dan meraba sepatunya, tiba-tiba kakinya bergerak
dan tubuh Bi Li terlempar ke sudut kamar! Setan cemburu telah menguasai
hatinya, membikin buta matanya dan mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.
Bi Li tidak mengeluarkan
keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada suaminya dengan
mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih menyakiti hati
daripada rasa sakit yang diderita oleh pundak dan kepalanya ketika ia terbentur
pada dinding. Ia merayap bangun dan berjalan periahan menghampiri suaminya,
lalu berlutut lagi di sampingnya.
“Suamiku, apakah dosanya
isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan nyawa kalau
memang berdosa...!” katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan dari
sepasang matanya menetes dua titik air mata.
Melihat keadaan isterinya itu,
melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai itu awut-awutan, muka yang
biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat, sepasang mata yang biasanya ia
anggap sebagai sepasang batu kemala terindah di dunia ini sekarang memandang
kepadanya dengan sayu, Kiang Liat hampir tak kuat menahan lagi. Ingin ia
memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun atas perbuatannya tadi,
ingin ia menangis seperti anak kecil dan menceritakan semua kesusahan hatinya
di dada isterinya. Akan tetapi, bayangan Cia Sun tak pernah meninggalkan ruang
matanya, membuat Kiang Liat makin benci melihat isterinya. Terpaksa ia meramkan
matanya, tidak berani memandang muka Bi Li, lalu berkata perlahan akan tetapi tajam
seperti ujung pedang,
“Dosamu? Tanyalah kepada
jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah kepada
kekasihmu, kau siluman betina!”
Bi Li terkejut sekali, bukan
hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya, terutama sekali karena
mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.
“Kau... kau membunuhnya...?”
Ucapan ini sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya
membunuh orang, akan tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu
dan nafsu marah, dianggap sebagai pernyataan kaget dan duka dari Bi Li bahwa
kekasihnya telah dibunuh.
“Kautangisi kekasihmu yang
sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata hanya seorang
perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu. Anak itu... anak itu pun
barangkali bukan anakku...!”
Bi Li menjerit dan di lain
saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia tidak kuat menerima
pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata keji yang keluar
dari mulut Kiang Liat, suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa raganya.
Ketika Bi Li siuman kembali,
ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan mulutnya
bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barangkali
penderitaan batin Kiang Liat di saat itu tidak kalah hebatnya kalau
dibandingkan dengan Bi Li. Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan semua
fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.
Kiang Liat menengok, pandang
matanya penuh benci dan jemu.
“Apa lagi yang kautangiskan?”
“Suamiku... kau... kau terlalu
kejam...”
Kiang Liat hampir saja
menendang tubuh isterinya karena kembali ia salah sangka, mengira bahwa
isterinya menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi ia dapat
menguasai kemarahannya dan hanya berdiri memandang dengan mata melotot.
“Kau... kejam sekali menuduh
aku berbuat yang bukan-bukan... tak perlu kusangkal lagi, memang betul dahulu
sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan surat-menyurat
dengan orang she Cia itu. Akan tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor di dalam
hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi nama Thian, demi Langit dan
Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya
su-rat-menyurat belaka...”
“Bohong! Kauhabiskan uang dan
perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun, kau mempergunakan Ceng Si sebagai jembatan,
kaukira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?”
“Ampunkan aku, suamiku...
memang, aku telah bersalah, tidak memberitahukan semuanya kepadamu... aku
tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut kehilangan cinta
kasihmu... akan tetapi sungguh mati aku tidak melakukan hal yang tidak patut,
hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah....”
“Perempuan rendah!” Kiang Liat
berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, meninggalkan Bi Li Yang
menangis tersedu-sedu di dalam karnar itu, di atas lantai.
***
Semenjak hari itu, Kiang Liat
tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan anaknya, membawa kuda
dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati patah dan pikiran selalu
diliputi kedukaan dan kekecewaan. Cinta kasihnya kepada isterinya tak dapat ia
lupakan, bahkan makin jauh ia pergi, makin rindulah ia kepada isterinya dan
puterinya. Berkali-kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan
isterinya, untuk kembali hidup berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia
seperti dahulu lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang sudah mencuci hati dan
pikiran seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat
pikirannya menjadi gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang
sebesar-besarnya dapat berubah menjadi kebencian yang dahsyat. Rasa rindu
kepada anak isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa
cinta kasihnya dan tidak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya
ia malah benci kepada diri sendiri dan menganggap diri sendiri terlalu lemah.
Maka ia lalu merantau makin jauh lagi dari rumahnya, melakukan perbuatan
seperti yang layak dilakukan oleh seorang pendekar. Karena ini, namanya menjadi
makin ternama di dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiusian (Dewa Tangan Seribu)
makin terkenal.
Waktu berjalan cepat tak
terasa dan empat tahun telah lewat semenjak Kiang Liat meninggalkan rumahnya.
Pada suatu hari ketika ia sedang duduk seorang diri mengenang nasibnya yang
buruk, dalam sebuah kelenteng bobrok di Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan
turun dengan derasnya. Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan
mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan matanya betapa dahulu di
waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir bersama isterinya,
duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun.
Alangkah mesra dan bahagianya waktu itu, dan mengingat akan semua ini, ditambah
pula dengan bayangan wajah Im Giok yang tersenyum-senyum dan secara lucu
menyebut-nyebut “pa-pa” berkali-kali, air mata mengucur turun dari sepasang
mata pendekar itu. Cepat-cepat ia mengusapnya dengan punggung tangan. Tak patut
seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan.
Akan tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak
dapat menahan lagi air matanya yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang
bercucuran dari atas.
Selagi Kiang Liat menumpahkan
kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba ia mendengar
suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas
lutut, ia melihat seorang kakek pengemis berdiri di hadapannya dengan sikap
tenang.
“Suhu...” Kiang Liat
menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.
“Orang bodoh, kau pulanglah,
isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan
memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau berduka
selalu, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!”
Sebelum Kiang Liat sempat
bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ. Kiang Liat
maklum bahwa watak suhunya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar
juga. Ia tidak memikirkan lagi tentang suhunya, pikirnya penuh dengan berita
yang diterimanya. Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia
terkejut bukan main dan seketika itu rasa marah jauh lebih besar daripada
kesedihannya. Tanpa mempedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di
lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.
Berita mengejutkan yang
disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak ditinggalkan
oleh suaminya. Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau
saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini takkan dapat
menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami
masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni sangkaan suaminya
bahwa dia telah berlaku jina sebelum menjadi isterin yang benar-benar terasa
tak kuat ia menahan. Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia
menerima ejekan dan sindiran dari orang-orang yang tidak suka kepada keluarga
Kiang. Bi Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan
barang-barang berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar
pelayan dan membeli obat dan lain keperluan. Keadaannya makin lama makin buruk,
akan tetapi Bi Li tidak mempedulikan keadaannya sendiri. Siang malam yang
menjadi ingatannya hanya suaminya.
Kiang Liat yang dirindukannya
setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang mohon kepada Yang Maha Esa
agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.
Akan tetapi, sudah terlampau
banyak buktinya, harapan manusia selalu tidak cocok, bahkan sebaliknya dengan
kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, melainkan seorang yang
menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!
Wanita yang berusia hampir
empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis remaja
berusia dua puluhan ini, datang tanpa diundang, bahkan tanpa diketahui orang,
tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau
seorang siluman!
Bi Li segera mengenalnya, maka
biarpun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera maju
berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.
“Adikku yang manis, mengapa
kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya...” Pek Hoa
berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.
Mendengar teguran ini Bi Li
tak dapat tahan lagi lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputus-putus
nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan,
menceritakan nasibnya, yang amat sengsara, betapa ia dahulu tertipu oleh Cia
Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua rahasia sehingga
marah-marah, membunuh Cia Sun dan meninggalkannya.
Orang seperti Pek Hoa ini mana
tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan tetapi
mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.
“Mengapa susah-susah? Lebih
baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anak. Mana anakmu?”
Setelah melihat Im Giok yang
sudah berusia hampir enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang dengan mata
terbelalak kagum. Seorang anak perempuan berpakaian merah, dengan rambut hitam
panjang dikuncir menjadi dua terikat dengan pita biru tergantung di depan
pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah, bergerak-gerak
membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan mancung nampak lucu
sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat telur
dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan. Pendeknya, wajah seorang bocah
perempuan yang sehat dan mungil sekali. Biarpun baru berusia enam tahun, Im
Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan
mengatakan bahwa bocah ini adalah calon seorang gadis yang cantik luar biasa.
“Pek Hoa-cici, benar-benar
anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!” Bi Li mengulangi kata-kata yang
sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.
Pek Hoa Pouwsat adalah seorang
wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang wanita yang
hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tidak pernah ia mengenal kebahagiaan
rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, melihat Im Giok tiba-tiba
saja ia menjadi terharu, apalagi setelah mendengar ucapan Bi Li, ia terpaksa
mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya air mata. Diam-diam ia berkata kepada
diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya!
Kedatangan Pek Hoa Pouwsat
menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat
mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat
dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.
Adapun Im Giok sendiri, amat
suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang
jeli, dengan berterang ia memuji, “Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?”
Pek Hoa menangkap dan
mengangkatnya di atas pangkuan. “Anak yang baik, kelak kau lebih cantik
daripada aku atau ibumu.” Katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok dan
beberapa kali meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa
apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya ketika ia mendapat
kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni memiliki tubuh
sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah dengan
kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak
tentu akan menjadi seorang pandai.
Untuk mengetahui isi hati dan
pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, “Im Giok sukakah kau menjadi muridku?”
Bocah itu melirik ke arah
ibunya, lalu berkata dengan senyum lucu. “Belajar membaca dan menulis lagi,
Bibi? Ah, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar
dan membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa mengajarku,
karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Lebih senang belajar menjahit dan
menyulam! Apalagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku.”
Pek Hoa tertawa. “Kau suka
belajar menari.”
Im Giok melompat turun dari
pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri. “Menari
seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku
senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat,
Bibi, kalau kau mau mengajarku menari penyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka
sekali!”
“Apa kelak kau ingin menjadi
anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak senang.
“Apa salahnya, ibu? Mereka itu
cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang
memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton daripada
menonton. Bibi, mau kau mengajarku?” Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik
tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.
Demikianlah hati Bi Li gembira
sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka
bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar
suara anaknya memanggil. Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im
Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah “terbang” ke jendela yang sudah
terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apalagi Im Giok berkali-kali memanggil
“Ibu...! Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”
“Enci Pek Hoa, kau hendak bawa
anakku ke manakah?” Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut
kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!
Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah
dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung
kekejaman luar biasa.
“Ha, ha, ha, Bi Li! Tak usah
kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kaupikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku
atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha, ha, mungkin dahulu kau selalu
membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang baru kau tahu bahwa kecantikan tidak
membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau
juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!”
Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara
ketawanya masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!
Sejak tadi, Bi Li berdiri
terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela
sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan
itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik. Setelah Pek Hoa lenyap bersama
Im Giok, barulah Bi Li sadar. Ia menjerit dan memburu ke jendela, akan tetapi
mana bisa ia mendapatkan Pek Hoa yang sudah melompat ke atas genteng dan
berlari cepat sekali?
“Im Giok... anakku... Im
Giok... kembalikanlah anakku... Im Giok...!” Setelah memanggil-manggil sampai
suaranya hampir habis, akhirnya Bi Li menjadi lemas. Dipaksanya berlari ke luar
dan mengejar ke sana ke mari, terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh pingsan di
luar rumah, dekat jalan, di atas tanah yang basah.
Setelah matahari naik tinggi,
baru ada para tetangga yang melihat keadaan Bi Li dan ramai-ramai mereka
menolong nyonya muda yang bernasib malang ini. Akan tetapi, tubuh nyonya muda
yang selama ini memang lemah dan sering sakit, tidak dapat menahan serangan
batin yang hebat ini. Bi Li jatuh sakit berat. Karena tetangga yang mau
menolong dan merawatnya juga amat miskin, terpaksa seluruh isi rumah dari Bi Li
dijual untuk membeli obat dan keperluan lain.
Keadaan Bi Li amat payah.
Siapa yang dapat menolongnya? Kakeknya sendiri, Song Lo-kai telah meninggal
dunia tak lama setelah Kiang Liat pergi. Nyonya muda yang hidup sebatang kara
ini terserang sakit panas dan batuk-batuk, setiap saat ia hanya memanggil dan
menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya. Sebulan kemudian, Bi Li
menghembuskan nafas terakhir. Tak seorang pun menangisi kematiannya, para
tetangga yang cukup baik hati menjaganya, hanya menarik napas panjang dan
merasa kasihan.
Kegotong-royongan para
tetangga yang miskin pulalah yang mencegah jenazah nyonya muda ini terlantar.
Mereka bekerja sama dan dengan amat sederhana dan bersahaja, jenazah Bi Li
dimasukkan dalam peti mati tipis dan disembahyangi sekedarnya.
Baru saja peti itu hendak
diangkat orang untuk dibawa ke kuburan, tiba-tiba seorang wanita jembel datang berlari-lari
dan menjatuhkan diri berlutut di depan peti sambil menangis terlolong-lolong.
Pakaiannya kotor tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan mukanya penuh debu dan
lumpur sehingga ia menjijikkan sekali. Tak seorang pun di antara para tetangga
itu mengenalnya.
“Hujin... mengapa kau tega
meninggalkan hamba...? Siapa yang akan merawat dan melayanimu Hujin? Bawalah
hamba serta... Hujin, hamba... hamba mohon ampun atas segala dosa...” Wanita
ini menangis sedih sekali, tiba-tiba ia berhenti menangis dan... tertawa
bergelak! “Ha, ha, ha, Kiang Liat! Kau kehilangan anak dan isteri, bagus! Cia
Sun, kau mampus dengan mata mendelik, salahmu sendiri. Ha, ha, ha!”
Sekarang baru para tetangga
itu mengenalnya. Perempuan jembel yang otaknya sudah tak beres ini bukan lain
adalah Ceng Si. Memang semenjak suaminya, Cia Sun, tewas oleh Kiang Liat, Ceng
Si menjadi ketakutan selalu, takut kalau-kalau Kiang Liat juga akan mencari dan
membunuhnya. Ia insyaf bahwa ia pun berdosa dalam urusan pemerasan terhadap Bi
Li. Di samping rasa takut terhadap Kiang Liat, ia pun benci kepadanya. Ketika
mendengar bahwa suaminya dibunuh oleh Kiang Liat Ceng Si melarikan diri ke luar
kota.
Ia terjatuh ke tangan orang
jahat. Karena Ceng Si memang masih muda dan mempunyai wajah cantik dan tubuh
menarik, ia menjadi permainan orang-orang jahat. Selama tiga tahun lebih ia
terjatuh dari satu ke lain tangan dan terperosok makin dalam ke jurang
kehinaan. Akhirnya, Ceng Si mulai berubah pikirannya. Bajingan-bajingan yang
mempermainkannya, melihat otaknya sudah miring, tentu saja lalu menendangnya
dan demikianlah, Ceng Si hidup berkeliaran sebagai seorang wanita jembel yang
gila! Kebetulan sekali saat Bi Li menghembuskan napas terakhir, Ceng Si telah
tiba di kota itu kembali dan wanita setengah gila ini mendengar tentang berita
kematian Bi Li lalu berlari-lari mendatangi rumah bekas majikannya.
***
Rumah gedung bekas tempat
tinggal keluarga Kiang masih berdiri tegak, akan tetapi sekarang keadaannya
menyeramkan sekali. Rumah besar itu kelihatan gelap dan kotor, penuh sarang
laba-laba dan debu. Tak sebuah pun prabot rumah kelihatan menghias rumah gedung
itu, karena semua prabot rumah dijual oleh para tetangga untuk membiayai
perawatan Bi Li ketika sakit dan meninggal. Sungguhpun rumah itu sudah kosong tidak
ada penghuninya, namun tak seorang pun berani mengganggu atau menjualnya,
karena siapakah yang berani menjual rumah gedung milik keluarga Kiang? Mereka
semua tahu bahwa biarpun Kiang Liat pada waktu itu tidak ada di situ, akan
tetapi kalau pendekar itu kembali dan melihat rumahnya dijual orang, tentu
orang yang menjualnya itu takkan diberi ampun. Semua orang di kota Sian-koan
tentu saja sudah mengenal nama Kiang Liat sebagai seorang yang memiliki
kepandaian silat tinggi.
Semenjak meninggalnya Bi Li
rumah itu dikosongkan saja. Akan tetapi tetap setiap hari sekali, kadang-kadang
sore dan ada kalanya pagi-pagi, halaman depan rumah gedung kosong itu tentu
disapu dan dibersihkan oleh seorang perempuan jembel gila, yakni Ceng Si!
Pada suatu pagi, kurang lebih
sepekan setelah Bi Li meninggal, Kiang Liat tiba di kota Sian-koan!
Bagaimanapun gelisah hatinya mendengar dari gurunya bahwa puterinya diculik
orang dan isterinya sakit keras, namun Kiang Liat masih ingat untuk bertukar
pakaian yang pantas sehingga ketika ia masuk kota Sian-koan, ia telah merupakan
seorang laki-laki muda berpakaian seperti seorang- pendekar yang gagah.
Tentu saja penduduk Sian-koan
mengenalnya dan semua orang memandangnya dengan sinar mata berkasihan. Siapa yang
tidak merasa kasihan melihat orang laki-laki yang telah ditinggal mati
isterinya dan anaknya diculik orang pula? Akan tetapi, semua orang merasa takut
dan segan untuk menegur Kiang Liat, karena mereka tahu akan pembunuhan yang
dilakukan oleh Kiang Liat kepada Cia Sun tanpa mereka ketahui latar
belakangnya.
Namun, Kiang Liat juga tidak
mempedulikan pandang mata semua orang itu. Ia bergegas menuju ke rumahnya. Akan
tetapi, setelah tiba di jalan depan rumah, ia berdiri terpaku dan mukanya
menjadi pucat. Rumahnya nampak seram dan kosong. Dengan langkah lambat ia
memasuki pintu pekarangan dan berjalan perlahan menuju ke ruang depan.
Tiba-tiba ia mendengar suara
ketawa terkekeh-kekeh, suara ketawa seorang wanita. Cepat Kiang Liat memutar
tubuh memandang ke sebelah kanan. Di bawah pohon ia melihat seorang wanita
jembel memegang sebatang sapu, tertawa-tawa memandang kepadanya, bahkan
kadang-kadang telunjuknya menuding ke arahnya, nampaknya perempuan itu geli
sekali.
“Kau siapakah dan apa yang
kaulakukan di sini?” tanya Kiang Liat.
“Hi, hi, hi... Kiang Liat, kau
sudah lupa lagikah kepadaku? Aku siapa? Ha, ha, lucu sekali. Bukankah aku ini
bekas kekasihmu yang bernama Ceng Si? Sudah begitu pelupakah engkau?”
Kiang Liat terkejut dan tak
terasa melangkah mundur dua tindak dengan hati kasihan dan ngeri.
“Ceng Si...! Kau... kau
gila...? Mau apa kau di sini dan mana... mana Bi Li?”
Tiba-tiba Ceng Si menangis
tersedu-sedu. “Song-hujin sudah mati... kau yang membunuhnya... kau yang
mencabut nyawanya .... !”
Kian Liat makin pucat mukanya
dan otomatis ia menoleh ke arah rumah gedungnya yang kosong dan kotor, lagi
sunyi sekali, sama dengan perasaan hatinya yang kosong dan sunyi.
“Ceng Si, kau mengacau,
bagaimana aku bisa membunuhnya? Aku baru saja datang...”
Ceng Si memekik keras dan
matanya memancarkan sinar kemarahan ketika ia melangkah maju dan seperti hendak
memukul kepala Kiang Liat dengan sapunya.
“Kau laki-laki jahanam! Kau
manusia kejam! Kau telah membunuh suamiku dan sekarang... ha, ha, ha! Isterimu
mati, anakmu lenyap, semua karena kejahatanmu sendiri! Kiang Liat, aku puas
melihatmu sekarang, setan dan iblis telah membalas kejahatanmu. Kau marah-marah
meninggalkan isterimu, isteri yang berhati putih bersih dan suci! Kaukira dia
bermain gila dengan Cia Sun? Ha, ha, ha, goblok sekali engkau! Bi Li dahulu
seorang gadis suci bersih, mana bisa ia bermain gila dengan seorang laki-laki?
Cia Sun sengaja memancingnya, untuk mendapatkan hartanya, aku menjadi
pembantunya yang setia! Ha, ha, Bi Li yang bodoh itu mudah saja kami tipu,
mudah saja kami takut-takuti kalau tidak mau memberi harta benda akan kami
adukan kepada suaminya yang tolol. Ha, ha, dan suaminya menjadi cemburu,
membunuh Cia Sun lalu meninggalkannya.” Ceng Si tadinya marah-marah, lalu
tertawa-tawa mengejek, kemudian tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu.
“Kasihan Bi Li... kasihan
Song-ciocia nonaku yang manis budi... kasihan sekali karena ditinggal suami dan
disakiti hatinya, dituduh yang bukan-bukan... kasihan sekali, hatinya hancur,
hidupnya sengsara... semua karena Kiang Liat, jahanam yang telah membunuh
suamiku....”
Makin banyak mendengar
kata-kata Ceng Si, makin pucatlah muka Kiang Liat. Akhirnya ia tidak tahan dan
sekali kedua tangannya digerakkan ia telah memegang kedua pundak Ceng Si,
menekannya keras-keras sehingga perempuan itu menjerit kesakitan,
“Jangan bunuh aku...!”
jeritnya sekali-kali dengan muka takut sekali. Rasa takut yang dulu membuatnya
melarikan diri sekarang memenuhi hatinya lagi, maka ia menjerit-jerit minta
ampun.
“Ceritakan semua tentang
hubungan Bi Li dan Cia Sun!” bentak Kiang Liat. “Kalau kau bohong, kepalamu
akan kuhancurkan di sini juga!”
“Ampun Kiang-wangwe...
ampunkan hamba... sesungguhnya saya tidak salah apa-apa, yang salah adalah
bangsat Cia Sun itulah. Dia yang dulu sengaja memancing Siocia dan membujukku.
Dia bilang kalau Siocia bisa menikah dengannya, aku kelak akan ia ambil sebagai
ji-hujin. Karena itu, aku membujuk-bujuk Siocia yang masih muda dan hijau,
kuserahkan surat-surat dan sajak-sajak indah dari Cia Sun dan memaksa Siocia
membalas surat-suratnya. Setelah itu, surat-surat dari Siocia itu disimpan dan
dipergunakan sebagai alat pemeras. Siocia ketakutan sekali kalau-kalau
surat-suratnya terlihat oleh Kiang-wangwe, maka segala permintaan kami berdua
diturutinya saja. Banyak sudah uang dan perhiasan dapat kami peras dari Siocia
dan...”
Kata-kata Ceng Si berhenti
sampai di situ saja, disambung dengan keluhnya mengaduh-aduh ketika tubuhnya
terlempar dan menubruk batang pohon. Saking gemas dan tidak dapat menahan
kemarahan hatinya lagi, Kiang Liat melemparkan tubuh perempuan itu. Tadinya ia
hendak membunuhnya, akan tetapi ia masih ingat bahwa perempuan ini sudah menjadi
orang gila, hukuman yang sudah cukup hebat bagi hidupnya.
Dengan kedua kaki lemas, Kiang
Liat berlari memasuki gedungnya. Berlari-lari memasuki kamar isterinya dan di
depan ambang pintu ia terpaku dengan mata terbelalak. Seakan-akan ia melihat
isterinya berdiri di tengah kamar.
“Bi Li, isteriku sayang... kau
ampunkan dosaku, Bi Li...” ia berbisik dan maju lalu menjatuhkan diri berlutut,
kedua lengan menubruk dan hendak memeluk kaki isterinya. Akan tetapi, ia
memeluk tempat kosong dan ketika ia mengangkat muka, ternyata di situ tidak ada
siapa-siapa dan ia berlutut di tengah kamar yang kosong, kotor, dan penuh
sarang laba-laba!
“Bi Li...” hatinya merasa
tertusuk-tusuk dan di lain saat Kiang Liat terjungkal pingsan di tengah kamar
itu. Sudah terlalu lama Kiang Liat menahan tekanan batin yang maha dahsyat, dan
akhir-akhir ini ditambah lagi dengan penyiksaan diri secara sengaja, yakni
sering kali mengosongkan perut. Bahkan sebelum pulang ke Siang-koan, sudah
sepekan Kiang Liat tidak makan. Sekarang, pukulan terakhir yang hebat, yang
dilakukan oleh Ceng Si, merupakan tusukan yang jitu dan melukai jantungnya. Ia
amat mencinta Bi Li isterinya, kemudian karena cemburu dan kecewa, ia
meninggalkan isterinya yang disangka dahulu melakukan penyelewengan kesusilaan
itu dengan hati sakit sekali.
Kini, tidak saja ia mendengar
anaknya telah hilang diculik orang, bahkan mendengar isterinya itu, telah
meninggal dunia, ini semua tidak begitu hebat kalau dibandingkan dengan
pengakuan Ceng Si bahwa sebenarnya Bi Li sama sekali tidak berdosa, sama sekali
tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik bahkau telah menjadi korban
penipuan dan pemerasan Cia Sun dan Ceng Si! Dan isterinya meninggal dunia
karena sedih dan sengsara, akibat ditinggalkan suaminya! Jadi tepat sekali kata-kata
Ceng Si si gila itu bahwa dialah yang membunuh isterinya sendiri.
Kiang Liat menggeletak pingsan
di tengah kamar isterinya itu sampai lewat tengah hari. Ketika ia siuman dan
dapat bergerak kembali, kamar itu telah gelap. Kiang Liat nanar seketika,
tubuhnya panas, kepalanya pusing dan kedua kakinya gemetar lemas. Ia merangkak
bangun, terhuyung-huyung dan ketika teringat olehnya akan segala sesuatu yang
dialaminya pagi tadi, bibirnya mengeluarkan keluhan, hatinya terasa
disayat-sayat.
“Bi Li... Bi Li...” kedua
matanya menjadi basah dan tak lama kemudian, ia merupakan seorang laki-laki
yang layu, terhuyung-huyung keluar dari rumah gedung itu dengan langkah lemas.
Tetangganya, Empek Lai yang
bekerja sebagai penjual sayur, memandangnya dengan sepasang mata berkasihan
ketika Kiang Liat berdiri di depan pintu rumahnya.
“Lai-lopek, tolonglah
kaututurkan kepadaku apa yang kau tahu tentang hilangnya anakku Im Giok...”
kata Kiang Liat dengan suara hampir berbisik.
“Aah... Kiang-wangwe, marilah
masuk. Silakan duduk... ah, sayang datangmu terlambat, Wan-gwe... kasihan anak
dan isterimu...” kata empek itu dengan suara bernada kasihan.
Kiang Liat menggeleng
kepalanya, kata-kata empek itu makin menyedihkan hatinya. “Lopek, tak usahlah,
terima kasih. Katakan saja siapa yang telah menculik anakku…”
“Tak seorang pun di antara
kami yang mengetahui dengan pasti, Wan-gwe. Kami temui Hujin telah menggeletak
pingsan di atas tanah di luar rumahnya, kami menolongnya dan setelah ia siuman
dari pingsannya, ia jatuh sakit hebat. Dalam igauannya, kami mendengar
berkali-kali ia menyebut-nyebut namamu dan nama Nona Im Giok, kemudian ada juga
ia menyebut nama Enci Pek Hoa dan minta kembali anaknya dari orang yang ia
sebut Enci Pek Hoa...”
Keterangan ini menambah perih
hati Kiang Liat. Apalagi di bagian isterinya pingsan di luar rumah, kemudian
bagian yang menceritakan betapa dalam sakit menghadapi maut isterinya masih
terus menyebut-nyebut namanya, ini benar-benar membuat hatinya berdarah dan
sakit bukan main. Kiang Liat tak dapat menahan lagi, terus saja ia membalikkan
tubuh tanpa minta permisi lagi, pergi dari situ dengan kaki limbung dan tangan
kirinya menekan dada kiri yang terasa sakit sekali. Tak lama kemudian ia
terbatuk-batuk dan... darah segar keluar dari mulutnya!
“Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat…”
demikian ia berbisik. “Anakku terjatuh di tangannya... aku... aku harus hidup,
menolong anakku. Awas kau, siluman... aku akan mengadu nyawa denganmu...”
Dalam keadaan yang amat
sengsara, dan kadang-kadang batuk-batuk dan muntahkan darah, Kiang Liat
meninggalkan kota Sian-koan, dalam perjalanan mencari Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat, orang yang telah menculik Kiang Im Giok, puterinya.
***
“Bibi, aku mau kembali ke
rumah ibu...” Suara ini terdengar nyaring dan keras. Kalau ada orang yang
kebetulan berada di hutan besar itu, tentu akan terheran-heran mendengar suara
ini, suara seorang anak perempuan. Bagaimana seorang anak perempuan dapat
berada di dalam hutan yang begitu liar dan luas? Apalagi kalau orang itu
melihat bahwa anak perempuan itu hanya berdua saja dengan seorang gadis yang
cantik sekali. Dua orang perempuan, seorang gadis dan seorang bocah, berdua
saja di dalam hutan yang terkenal banyak binatang buas dan perampok-perampok
ini, benar-benar aneh!
Anak perempuan itu adalah Kiam
Im Giok, puteri tunggal dari Kiang Liat dan Bi Li yang telah diculik oleh Bi
Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Im Giok malam tadi ketika sedang tidur nyenyak,
diam-diam telah didekati oleh Pek Hoa, ditekan jalan darahnya sehingga anak ini
terus tidur seperti pingsan, tidak merasa sesuatu lagi. Pada keesokan harinya,
setelah pergi jauh dari kota Sian-koan, Pek Hoa menyadarkannya. Im Giok merasa
terheran-heran ketika mendapatkan dirinya berada dalam pondongan tamu yang
cantik itu.
”Bibi, bagaimana kita bisa
berada di sini? Kau hendak membawaku ke manakah?”
“Im Giok, anak baik, bukankah
kau sudah mau menjadi muridku? Sebagai murid yang baik, kau harus ikut ke mana
pun juga gurumu pergi.”
Akan tetapi Im Giok sudah
teringat akan ibunya. Ia memberontak minta turun dan setelah ia diturunkan dari
pondongan Pek Hoa, ia berkata keras,
“Bibi, aku mau kembali ke
rumah ibu!”
Kata-kata ini ia ulangi terus
dan sepasang matanya yang tajam itu menatap wajah Pek Hoa, seakan-akan hendak
menjenguk isi hati wanita itu, untuk menetapkan, apakah wanita itu baik atau
jahat.
“Im Giok, bukankah kau sudah
menyatakan suka menjadi muridku? Ayahmu seorang gagah, dan kau sebagai anaknya
juga harus berwatak gagah, tidak boleh menarik kembali janjimu.”
“Aku memang suka menjadi muridmu,
akan tetapi di rumah ibu. Aku tidak tega meninggalkan ibu seorang diri. Ibu
sering kali sakit...”
Pek Hoa tersenyum. Diam-diam
ia kagum sekali melihat anak itu. Cantik dan gagah, berdiri tegak menentangnya
seperti seekor harimau kecil! Benar-benar seorang murid yang banyak harapan,
pikirnya.
“Im Giok, jangan khawatir.
Ibumu sudah kusembuhkan.”
“Bagaimana kau bisa
menyembuhkannya, Bibi?” Im Giok memandang tidak percaya.
Pek Hoa tertawa memperlihatkan
barisan gigi yang putih seperti mutiara di balik sepasang bibirnya yang merah
sehat.
“Kau anak bodoh! Masih tidak
percaya akan kepandaian gurumu sendiri? Orang menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat, tidak tahukah kau artinya?”
Biarpun baru berusia enam
tahun, Im Giok sudah pandai membaca kitab dan ia mengerti akan arti huruf-huruf
dan sebutan-sebutan.
“Artinya bahwa kau seorang
Bidadari Cantik. Memang, kau cantik sekali, Bibi, lebih cantik dari ibu. Akan
tetapi, apa buktinya kau seorang bidadari yang pandai mengobati ibu? Kata
orang, bidadari pandai terbang, apa kau bisa terbang?”
Kembali Pek Hoa tertawa dan
memuji sifat teliti dari anak itu.
“Bagus, kau masih belum
percaya kalau belum melihat bukti. Sifat ini amat baik dan harus kaupelihara
selama hidupmu. Apalagi menghadapi kaum pria, kau jangan gampang percaya. Kau
masih sangsi apakah aku bisa terbang? Tentu saja bisa. Kalau kau sudah melihat
buktinya, apakah kau takkan rewel lagi dan mau ikut dengan aku tanpa banyak
tanya?”
Im Giok memang masih kecil,
baru enam tahun usianya. Akan tetapi ia seorang anak cerdik sekali. Ia semenjak
kecil telah ditinggalkan ayahnya yang berkepandaian tinggi, maka dalam hal ilmu
silat tinggi, boleh dibilang ia masih buta. Maka tentu saja ia menganggap
mustahil bagi seorang manusia untuk dapat terbang seperti bidadari atau burung.
Oleh karena ini, tanpa banyak sangsi lagi ia mengangguk. Ia rela meninggalkan
ibunya untuk menjadi murid seorang bidadari yang pandai terbang, bukankah itu
enak sekali? Ia bisa mengajak ibunya bertamasya ke... bulan!
“Kaulihatlah, bukankah di
puncak pohon itu terdapat seekor burung kecil yang indah sekali?” tanya Pek Hoa
sambil menunjuk ke atas.
Im Giok memandang dan sebentar
saja sepasang matanya yang berpandangan tajam itu dapat melihat seekor burung
dada kuning sedang berloncat-loncatan dari ranting ke ranting puncak pohon yang
tinggi.
“Aku melihat, burung dada
kuning, bukan?”
“Bagaimana orang dapat
menangkapnya?”
“Mana bisa ditangkap? Burung
itu pandai terbang. Kalau kita memanjat pohonnya, tentu ia sudah lari terbang
ketakutan,” jawab Im Giok.
“Nah, kau lihat baik-baik. Aku
akan terbang ke atas pohon dan menangkapnya!” Sebelum Im Giok mengeluarkan
ucapan tidak percaya, Pek Hoa menggerakkan kedua lengannya dan tubuhnya
melayang naik dengan gerakan cepat sekali sehingga Im Giok memandang ke atas
dengan melongo. Gadis cilik ini melihat betapa Pek Hoa benar-benar seperti
seekor burung besar menyambar ke atas, baju celananya dari sutera itu
berkibar-kibar tertiup angin membuat ia kelihatan seperti seorang bidadari
cantik jelita tengah terbang bermain-main dengan bunga dan burung.
Tentu saja sepasang mata Im
Giok yang belum terlatih itu tidak dapat melihat bahwa Pek Hoa tentu saja sama
sekali bukan “terbang”, melainkan melompat ke atas, menyambar dahan untuk
menarik tubuh makin ke atas, demikianlah, dari cabang ke cabang, Pek Hoa sempat
membuat tubuhnya kelihatan seperti terbang. Gin-kangnya memang sudah tinggi
sekali sehingga jangan kata Im Giok seorang bocah, biarpun orang dewasa kalau
belum tajam pandangan matanya, pasti akan mengira dia benar-benar pandai
terbang seperti bidadari.
Tak lama kemudian, Pek Hoa
melayang turun dan di tangannya sudah tergenggam seekor burung kecil dada
kuning yang tadi kelihatan oleh Im Giok, Im Giok tidak tahu bahwa Pek Hoa tadi
telah mempergunakan tenaga lwee-kang untuk menghantam burung itu. Ketika ia
melompat ke atas, burung itu hendak terbang, akan tetapi dengan menggerakkan
tangan kanan ke arah burung, Pek Hoa telah berhasil membuat burung itu jatuh ke
bawah yang segera ia sambar dengan tangan kiri.
Dalam anggapan Im Giok, Pek
Hoa tadi tentu telah terbang, maka kini percayalah ia bahwa Pek Hoa tentu
seorang bidadari yang pandai. Cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut sambil
berkata,
“Pouwsat, teecu sekarang suka
menjadi murid dan ikut pergi ke manapun juga, asal teecu diajar terbang!”
Pek Hoa tertawa girang.
“Bodoh, aku bukan bidadari jangan memanggil pouwsat. Mulai sekarang kau menjadi
muridku, kau harus mentaati semua perintahku, akan tetapi kau tidak boleh
menyebut pouwsat, harus menyebut Enci Pek Hoa saja. Mengerti?”
Im Giok merasa heran, akan
tetapi ia lebih suka menyebut enci daripada harus menyebut pouwsat.
“Baikiah, Enci Pek Hoa. Lekas
kau beri pelajaran terbang padaku, Enci...”
Pada saat itu, terdengar suara
orang-orang tertawa dan tak lama kemudian muncul tiga orang laki-laki dari
semak-semak belukar. Mereka ini adalah tiga orang perampok yang berwatak kasar
dan kejam. Usia mereka sedikitnya ada empat puluh tahun, dan ketiga-tiganya
menakutkan sekali dengan cambang-cambang bauk dan tubuh kekar berotot.
“Siapakah mereka, Enci...?” Im
Giok bertanya, agak kaget akan tetapi tidak takut.
“Diam dan lihatlah saja
bagaimana aku menghadapi orang-orang macam ini,” kata Pek Hoa.
Sementara itu, tiga orang
perampok itu memang datang karena tertarik oleh suara Im Giok dan Pek Hoa.
Tadinya mereka mengira bahwa tentu ada rombongan yang lewat dan di dalam
rombongan terdapat wanita-wanitanya yang kini agaknya tengah beristirahat di
situ dan bercakap-cakap. Oleh karena itu dengan hati-hati mereka menghampiri
dan mengintai, karena biasanya rombongan yang lewat di hutan ini tentu dikawal
oleh piauwsu (pengawal) pandai ilmu silat. Setelah mereka mengintai, hampir
mereka tak dapat percaya akan penglihatan sendiri. Bagaimana seorang wanita dan
seorang bocah dapat berada di tengah hutan tanpa pengawal? Mereka segera
melompat keluar dari semak-semak dan menghampiri Pek Hoa dan Im Giok.
Kalau tadi tiga orang perampok
itu sudah terheran-heran, kini setelah berhadapan dengan Pek Hoa dan Im Giok,
mereka menjadi bengong. Tiga pasang mata yang kemerahan dibuka lebar-lebar,
mengagumi wajah Pek Hoa yang luar biasa cantiknya itu. Kemudian, tiga buah
kepala digerakkan saling pandang, lalu meledaklah suara ketawa mereka yang
menyeramkan.
“Ha, ha, ha, Ji-te dan Sam-te,
alangkah lucunya! Kita tiga orang laki-laki yang tidak takut menghadapi harimau
betina, kini harus bersembunyi untuk mengintai, tak tahunya yang diintai
hanyalah seorang bidadari cantik dan seorang anak mungil. Ha, ha, ha!”
Dua orang adik angkatnya
tertawa-tawa geli pula, dan pandangan mata tak pernah dilepaskan dari wajah Pek
Hoa, bahkan kini sikap mereka kurang ajar sekali.
“Twako, biarpun tadi kita
menyusup-nyusup dan bersembunyi-sembunyi, akan tetapi sama sekali tidak rugi.
Biar aku disuruh menyusup-nyusup lagi sampai tertusuk-tusuk duri, aku bersedia
asal bisa mendapatkan seorang bidadari seperti dia ini. Ha, ha, ha!”
“Huah, siauwte. Bunga indah
seperti ini, mana Twako mau memberikan kepada kita? Bagiku, lebih baik aku
mengambil bocah ini kalau dipelihara beberapa tahun lagi saja, kiranya takkan
kalah cantik oleh dara itu.”
Orang pertama, yang agak
pendek tubuhnya dan yang paling tua, tertawa bergelak. “Ji-te memang benar
sekali. Bunga ini indah dan cantik, selama hidupku sudah banyak aku memetik bunga,
akan tetapi belum pernah aku melihat yang seindah ini. Ji-te dan Sam-te
terpaksa kuminta supaya kali ini mengalah.” Kemudian ia melangkah maju
menghampiri Pek Hoa yang masih berdiri memandang sambil tersenyum manis sekali.
“Aduh, Nona... senyummu itu...
ah, kau bisa bikin orang menjadi gila dengan senyum seperti itu! Mari ikut
dengan aku, Nona. Jangan kau takut-takut. Ketahuilah, aku ini jelek-jelek juga
raja hutan ini, orang menyebutku Hek-lim-ong (Raja Hutan Hitam). Dua orang ini
adalah adik-adikku, atau calon adik-adikmu, juga bukan sembarang orang karena
kiranya tidak ada keduanya orang-orang yang disebut Siang-san-houw (Sepasang
Harimau Gunung) seperti mereka ini. Mari, Nona manis, mari kupondong agar kedua
kakimu tidak lelah. Kau siapakah? Dari mana hendak ke mana?” Dengan lagak
dibuat-buat dan menjemukan sekali, Hek-lim-ong menghampiri Pek Hoa. Lagaknya
demikian menjemukan dan menakutkan sehingga Im Giok menjadi ketakutan juga.
“Enci Pek Hoa, lekas kauusir
mereka...” katanya.
Orang ke dua dari tiga sekawan
ini, yakni Twa-san-houw (Harimau Gunung Tertua), menyengir dan ikut melangkah
maju.
“Aha, kiranya enci adik!
Pantas saja yang kecil demikian cantik mungil, hampir sama dengan yang besar.
Twako, kau tangkap yang besar, biar aku menangkap yang kecil.”
Sementara itu, biarpun
bibirnya yang merah dan berbentuk indah tersenyum manis dan matanya
bersinar-sinar namun di dalam hatinya Pek Hoa sudah marah sekali sehingga ia
merasa seakan-akan dadanya hendak meledak. Ia maklum bahwa kalau saja ia
memperkenalkan nama dan julukannya, tiga orang ini kalau tidak lari
tunggang-langgang tentu menjatuhkan diri berlutut minta ampun. Akan tetapi ia
tidak menghendaki terjadinya hal ini. Keinginan hatinya pada saat itu tak lain
hanya membunuh tiga orang yang sudah menghinanya ini.
“Bagus! Bagus sekali kalian
sudah menyebutkan nama, karena kalau tidak, aku tentu akan selalu merasa
kecewa. Tidak enak mencabut nyawa orang-orang yang tidak diketahui siapa
namanya.”
Mendengar kata-kata ini,
Ji-san-houw (Harimau Gunung ke Dua) tertawa terkekeh-kekeh.
“Ha, ha, ha, alangkah lucunya!
Mencabut nyawa? Heh-heh-heh, memang nyawa terasa tercabut kalau melihat
senyumnya, melihat lirikan matanya, nyawaku rela tercabut kalau aku bisa...”
Kata-kata ini disusul oleh
jeritan menyayat hati ketika tangan kiri nona ini bergerak dan sinar putih
menyambar ke arah dada Ji-san-houw. Ketika Hek-lim-ong dan Twa-san-houw kaget
memandang adik mereka, ternyata Ji-san-houw telah rebah tak bernyawa lagi,
matanya mendelik dan dari mulut serta hidungnya mengalir darah menghitam.
Ternyata ia telah terkena serangan Pek-hoa-ciam (Jarum Bunga Putih) dari Pek
Hoa, semacam am-gi (senjata rahasia) jarum putih berkepala bunga yang
mengandung racun berbahaya sekali!
Suasana berubah seketika.
Kalau tadi Hek-lim-ong dan Twa-san-houw tertawa-tawa geli, sekarang mereka
menjadi pucat sekali dan Twa-san-houw dengan amat marahnya mencabut senjata
golok besar dari pinggang.
“Eh, tidak tahunya setangkai
bunga hutan liar, bukan sembarang bunga. Hayo lekas berlutut minta ampun kalau
kau tidak ingin lehermu kupenggal sekarang juga!”
Benar-benar Twa-san-houw tidak
dapat melihat keadaan. Hal ini bukan karena ia bodoh atau nekat melainkan
karena kepandaiannya masih tidak begitu tinggi sehingga ia tidak dapat menduga
apakah yang telah menjadi sebab kematian Ji-san-houw.
“Cacing busuk, apakah kau
tidak ingin menyusul kawanmu? Dengan cara bagaimana kau hendak menyusulnya?
Hayo katakan, kau boleh pilih sendiri, ingin cepat atau lambat?” kata Pek Hoa
dengan suara mengejek.
Twa-san-houw mengeluarkan
gerengan keras dan ia cepat menyerbu, membacokkan goloknya ke arah leher Pek
Hoa.
“Ji-te, jangan merusak mukanya
yang cantik...!” Hek-lim-ong berseru mencegah. Memang Hek-lim-ong ini mata
keranjang sekali. Seorang wanita muda biasa sudah dapat membuat ia
tergila-gila, apalagi sekarang ia menghadapi seorang dara seperti Pek Hoa yang
memang memiliki kecantikan seperti bidadari. Maka, biarpun seorang kawannya
telah terbunuh oleh Pek Hoa, masih saja ia tidak menaruh hati benci kepada dara
ini dan masih saja ia ingin memiliki nona yang jelita itu. Maka ia mencegah
ketika melihat Twa-san-houw menyerang nona itu dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi, dalam sekejap
saja kekhawatiran Hek-lim-ong akan keselamatan nona cantik itu lenyap menjadi
perasaan gelisah akan keselamatannya sendiri. Dengan sepasang matanya ia
menyaksikan kejadian yang benar-benar hebat. Ketika tadi golok di tangan
Twa-san-houw menyambar ke arah lehernya, Pek Hoa sama sekali tidak mengelak
atau menangkis. Hanya kedua kakinya bergerak cepat luar biasa mengirim
tendangan kilat ke arah bawah pusar lawannya. Hanya terdengar pekik dari mulut
Twa-san-houw dan di lain saat, tubuh rampok itu terjengkang, goloknya berpindah
tangan dan nyawanya telah melayang dan menyusul adiknya sebelum tubuhnya
menyentuh tanah!
Kepandaian Hek-lim-ong tentu
saja lebih tinggi daripada kepandaian kedua orang kawannya yang sudah tewas.
Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa ketika merampas golok dan mengirim
tendangan maut, membuka mata Hek-lim-ong. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan
seorang dara perkasa yang memiliki kepandaian silat tinggi. Dalam sekejap mata
nafsu hatinya untuk memiliki diri nona itu lenyap terganti nafsu hati untuk
membunuh Pek Hoa dan melindungi keselamatan diri sendiri. Tanpa mengeluarkan
suara lagi ia mencabut goloknya dan menyerbu, membacok dengan gerak tipu
Tiong-sin-hian-in (Menteri Setia Persembahkan Cap Kebesaran). Bacokannya cukup
cepat dan dilakukan dengan tenaga yang besar sekali.
Namun, Hek-lim-ong adalah
seorang kasar dan bodoh. Ilmu silatnya hanyalah ilmu silat kampungan belaka,
ilmu silat yang biasa dipelajari oleh penjahat-penjahat kecil. Dalam setiap
perkelahian, Hek-lim-ong lebih mengandalkan tenaga dan keberanian serta
gertakan belaka. Kini ia menghadapi Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terpandai
dan terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu. Sama saja halnya dengan sebuah semangka
besar menghadapi sebilah pisau kecil!
Pek Hoa menggerakkan golok di
tangan, yang tadi ia rampas dari Twa-san-houw, menangkis serangan lawan dengan
pengerahan tenaga lwee-kang. Goloknya digerakkan dan begitu sepasang golok
bertemu, Hek-lim-ong tak kuat memegang senjatanya lagi. Seakan-akan lengan yang
memegang golok terkena aliran yang membuat lengannya lumpuh dan kesemutan.
Golok terlepas dari tangan dan tanpa kenal malu lagi Hek-lim-ong membalikkan
tubuh dan melarikan diri seperti dikejar setan.
Pek Hoa tertawa nyaring dan
merdu, tangan kanannya bergerak, golok meluncur dan Hek-lim-ong mengeluarkan
jerit kematian yang panjang mengerikan, tubuhnya tersungkur ke tanah, akan
tetapi dadanya tak dapat menyentuh tanah karena tertahan oleh ujung golok.
Ternyata golok yang dilontarkan oleh Pek Hoa tadi telah menembus punggungnya
dan ujung golok sarnpai keluar dari dadanya!
Semua peristiwa ini disaksikan
oleh Im Giok yang berdiri seperti patung, sepasang matanya terbelalak lebar,
kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar keras. Selama hidupnya belum pernah
ia menyaksikan orang mati, apalagi orang terbunuh secara demikian mengerikan.
Sekarang ia memandang dengan mata penuh kengerian kepada Pek Hoa.
“Im Giok, kenapakah? Takutkah
kau melihat semua ini?”
“Tidak takut, akan tetapi
ngeri sekali Enci Pek Hoa. Kenapa kau membunuh mereka?”
“Mereka orang-orang jahat,
harus dibunuh. Kelak kalau kau sudah besar dan memiliki kepandaian seperti aku,
kau pun harus membunuh orang-orang seperti ini.”
“Aku tidak akan berani
melakukan, Enci Pek Hoa. Terlalu mengerikan.”
“Mengerikan? Apanya yang
ngeri? Coba kau tengok dan pandang muka mereka itu, bukankah lebih buas daripada
binatang hutan? Macam mereka, kalau tidak dibunuh, bagi kita, lebih-lebih bagi
wanita muda, amat berbahaya, jauh lebih berbahaya daripada binatang hutan.”
“Aku tidak berani melihat muka
mereka!”
Tiba-tiba Pek Hoa menyambar
lengan tangan Im Giok dan ditariknya anak itu di dekat mayat Ji-san-houw. Mayat
ini paling mengerikan karena mukanya menyeringai dan dari mulut hidung keluar
darah hitam, tanda terkena senjata rahasia Pek-hoa-ciam.
“Buka matamu, lihat muka
penjahat ini baik-baik. Hayo pandang!” kata Pek Hoa kepada Im Giok yang menutup
matanya. “Im Giok, apakah pada harl pertama kau sudah lupa akan janjimu? Kau
harus taat kepada semua perintahku, mengerti? Hayo buka matamu dan pandang
baik-baik muka tiga orang laki-laki jahat ini!”
Im Giok terpaksa membuka
matanya. Pek Hoa membawanya dekat sekali dengan mayat Ji-san-houw sehingga
tercium olehnya bau yang amat tidak enak.
“Lihat! Pandang terus sampai
muka ini kelihatan jahat dan buasnya olehmu. Kau tidak boleh merasa ngeri
melihatnya, bahkan harus merubah rasa ngeri menjadi benci! Kau harus membenci
laki-laki seperti ini. Harus! Pandang terus sampai kau tidak merasa ngeri
lagi.”
Memang, obat paling manjur
untuk mengatasi perasaan adalah kenekatan. Orang yang penakut akan menjadi
berani kalau nekat. Demikian pula Im Giok. Gadis cilik ini tadinya merasa ngeri
dan takut-takut untuk mendekati mayat-mayat itu, apalagi disuruh memandangnya
dari dekat. Akan tetapi, setelah ia dipaksa oleh Pek Hoa dan ia menjadi nekat,
benar saja, tak lama kemudian lenyap rasa ngeri dan takut-takut. Yang ada hanya
sebal, muak dan benci.
“Ingatlah, laki-laki macam ini
kalau tidak dibunuh, akhirnya akan mencelakakan kita sendiri. Kau tentu masih
ingat akan ucapan-ucapan mereka tadi. Mereka ini kurang ajar, tidak menghormati
wanita, tidak menghargai wanita. Mereka ini bisanya hanya menghina dan
mengganggu wanita belaka, menganggap wanita seperti manusia peliharaan, seperti
benda perhiasan, seperti baju atau topi, bahkan seperti sepatu mereka! Kelak
kau harus menghukum dan membasmi laki-laki kurang ajar seperti ini. Mengerti?”
Im Giok masih kanak-kanak.
Usianya baru enam tahun, akan tetapi ia memang cerdik sekali sehingga ia dapat
menangkap maksud dari semua kata-kata Pek Hoa. Jiwa yang masih bersih, hati
yang masih kosong itu kini terisi oleh ajaran-ajaran watak yang amat berbahaya
dan aneh dari Pek Hoa Pouwsat, siluman wanita murid Thian-te Sam-kauwcu.
Sedikit demi sedikit, Pek Hoa hendak menjadikan anak yang disayangnya ini men
jadi seperti dia! Cantik jelita, berilmu tinggi ganas dan bebas melakukan apa
saja tanpa mempedulikan tata hukum atau tata susila. Apa saja dapat dilakukan
oleh Pek Hoa asalkan ia menganggapnya benar dan hal ini menyenangkan hatinya!
Makin giranglah hati Pek Hoa
setelah beberapa bulan kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat sebagaimana
yang ia duga, Im Giok memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Semua
teori dan dasar persilatan yang diajarkan kepadanya dapat ia terima dengan
mudah, bahkan ketika ia mulai dilatih bersilat, gerakannya amat indah dan lemah
gemulai seperti orang menari! Makin sayanglah Pek Hoa kepada muridnya ini, dan
dengan giat ia mulai menurunkan ilmu kepandaiannya yang tinggi kepada Im Giok.
Hati Pek Hoa masih belum puas.
Musuh besarnya terlalu banyak dan ia bercita-cita untuk membalas mereka semua.
Ia harus membalas atas kematian tiga orang suhunya. Musuh besarnya yang harus
dibalas adalah Kiang Liat, Han Le, Bu Pun Su, Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu,
Pok Pok Sianjin, The Kun Beng, dan orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun! Terlalu
banyak. Akan tetapi, dapat kubalas seorang demi seorang, pikir Pek Hoa. Yang
paling ditakutinya adalah Bu Pun Su seorang. Yang lain-lain sih tidak begitu
berat. Sekarang ia telah dapat membalas kepada orang yang pernah menolak cinta
kasihnya, orang yang paling lemah di antara musuh-musuh besarnya, yakni Kiang
Liat. Ia memang tidak mempunyai niat untuk membunuh Kiang Liat, hanya ingin
melihat Kiang Liat menderita. Oleh karena itu, ia merasa cukup kalau sekarang
dapat merampas Im Giok dan menjadikan murid sehingga kelak Kiang Liat akan
mendapat malu.
Karena maklum bahwa
musuh-musuh besarnya, selain Kiang Liat, adalah tokoh-tokoh terkemuka, yang
pandai dan lihai, untuk sementara waktu, Pek Hoa tidak berani memperlihatkan
diri dan tidak banyak beraksi di dunia kang-ouw. Ia maklum bahwa kalau hendak
membalas sakit hati, ia harus memperdalam kepandaiannya. Di antara banyak macam
kepandaian yang pernah ia pelajari dari Thian-te Sam-kauwcu, ada semacam
kepandaian ilmu silat yang tadinya ia anggap rendah sehingga tidak begitu ia
pelajari secara mendalam. Ilmu kepandaian ini adalah semacam ilmu silat yang
khusus diciptakan oleh Pek-in-ong tokoh dua dari barat ini, khusus diciptakan
untuk Pek Hoa, murid yang terkasih itu. Seperti telah diketahui, tiga orang
tokoh barat itu selain ahli ilmu silat tinggi, juga ahli ilmu sihir. Melihat
muridnya yang cantik jelita, yang selain menjadi murid juga menjadi kekasih,
Pek-in-ong lalu menciptakan ilmu silat yang sesungguhnya bukan merupakan ilmu
pukulan, melainkan merupakan ilmu sitat yang diubah sedemikian rupa sehingga dalam
setiap gerakan mengelak, menangkis, maupun memukul menjadi gerakan tari yang
dapat menjatuhkan iman seorang laki-laki. Gerakan yang demikian memikat dan
lebih tepat kalau disebut tarian yang melanggar kesopanan, tarian cabul yang
ddpat membangkitkan nafsu jahat dan dapat menyelewengkan hati pria yang tadinya
bersih!
Dahulu Pek Hoa tidak begitu
memperhatikan ilmu silat baru yang namanya juga mengerikan, yakni ilmu silat
Bi-jin-khai-i (Wanita Cantik Membuka Pakaian)! Dianggapnya bahwa ilmu silat ini
diciptakan oleh Pek-in-ong hanya untuk memuaskan nafsu hati guru ke dua ini
saja, atau untuk melihat dia menari-nari menghibur hatinya. Akan tetapi
sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai dan memutar daya upaya untuk
membalas dendam, ia teringat akan ucapan Hek-te-ong, tokoh pertama dari barat
atau suhunya yang pertama ketika gurunya ini menyaksikan ia bermain
Bi-jin-khai-i. “Pek Hoa, sayang ilmu silat ciptaan Pek-in-sute ini tidak ada
isinya. Ataukah kau yang tidak berlatih sungguh-sungguh. Kalau kau sudah dapat
menangkap isinya dan kaumainkan dengan pengerahan tenaga rahasia, kiranya kelak
akan dapat kaupergunakan merobohkan lawan yang ilmu silatnya jauh melebihi
tingkatmu.”
Teringat akan ini, Pek Hoa
lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin-khai-i. Kini terbukalah ingatan dan
matanya akan kelihaian dan keajaiban ilmu silat ini maka diam-diam ia merasa
bersukur sekali. Selama empat tahun ia membawa Im Giok bersembunyi di sebelah
puncak yang sunyi dari Pegunungan Ci-lin-san. Setiap hari, tiada bosannya Pek
Hoa melatih diri dan melatih muridnya.
Im Giok makin lama makin
nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahun-tahun ia hidup bersama Pek
Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa menurun pula kepadanya. Yang terutama sekali
adalah kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im Giok juga menjadi seorang
pesolek! Anak ini semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga
wajah serta tubuh agar selalu kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari
Im Giok melihat Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur yang kemudian dipecahkan
lalu dicampur dengan obat, lalu diminumnya!
“Eh, Enci Pek Hoa. Biasanya
kita makan telur setelah dimasak dahulu, mengapa kau minum telur mentah?”
“Kau tahu apa, Im Giok? Telur
yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan menjadi tua!”
Im Giok yang baru berusia
sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Hoa menggerakkan
alisnya, gerakan yang amat genit sungguhpun harus diakui amat menarik hati
pula. Memang, banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti menggerakkan bibir
di waktu bicara dan cara senyumnya yang kesemuanya amat manis dan menarik,
telah menurun kepada Im Giok!
“Enci Pek Hoa, aku selalu
percaya kepadamu, akan tetapi kali ini agaknya aku sukar untuk percaya.
Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?”
Pek Hoa tersenyum dan kembali
Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali diam-diam ia harus mengakui
bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang cantik dan muda.
“Im Giok, yang biasa kita
makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang telur, dan amat
sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang hanya dapat
ditemukan di daerah yang amat sukar di utara. Yang kuminum tadi telur terakhir,
maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini.”
“Akan tetapi apa buktinya
bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi tetap muda?”
“Kaulihat aku? Coba katakan,
Im Giok, apakah aku tidak cantik?”
“Kau cantik sekali, Enci Pek
Hoa.” Pek Hoa tersenyum puas. “Kelak kau lebih cantik daripada aku, Im Giok.
Kaubilang aku cantik dan berapa kaukira usiaku?”
“Kalau kubandingkan dengan
wanita-wanita lain yang kita jumpai, paling banyak kau tentu berusia dua puluh
tahun.”
Kembali senyum manis membayang
bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.
“Dua puluh tahun? Anak baik,
usiaku sudah, dua kali itu, lebih lagi...”
“Empat puluh tahun?” Im Giok
berseru tidak percaya.
Pek Hoa mengangguk. “Inilah
bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali putih).”
Im Giok menjadi girang sekali.
“Mari kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun ingin muda selalu dan
cantik seperti engkau.”
Demikianlah sifat-sifat Pek
Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar seperti yang
dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama makin cantik dan agaknya ia takkan
kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan.
Im Giok juga amat suka
mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya sering
kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari sutera halus.
Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah.
“Bagus, kau mempunyai kesukaan
yang sama dengan aku di waktu masih remaja, Im Giok. Aku pun suka akan warna
merah. Warna merah membuat hati gembira dan membesarkan nyali. Juga kau amat
pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu yang putih halus itu.”
Selain mewarisi beberapa sifat
dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok sudah menerima
pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang luar biasa sekali,
apalagi memang Pek Hoa mengajar dengan sungguh hati. Dalam waktu empat tahun
saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan pedangnya, bahkan
kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin-i, ia menonton dan memperhatikan.
“Enci Pek Hoa, ilmu silat yang
kaumainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku ingin mempelajari ilmu
silat itu Enci?”
Pek Hoa tiba-tiba menghentikan
permainan silatnya dan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri.
“Hush, kau anak kecil
bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini? Ilmu silat ini hanya boleh dimainkan
oleh seorang dara yang sudah dewasa.”
Im Giok merasa aneh dan
kecewa. Diam-diam tiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan dan diam-diam ia
dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini, di bagian yang indah
gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan
ia ingin memetiknya untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang
dilatihnya. Memang nona cilik ini amat suka akan tari-tarian dan akan segala
yang indah-indah.
Pada suatu hari, Pek Hoa
mengajak muridnya turun dari puncak persembunyian itu. Tidak seperti biasanya
kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-dusun, kali ini Pek
Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya
pula.
“Enci Pek Hoa, kita akan pergi
ke manakah?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak
bepergian.
“Kita turun gunung dan pergi
jauh, tidak kembali ke sini lagi.”
Hampir saja Im Giok bersorak
kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan saja, menindas hatinya yang rindu
kepada ibu dan rumah.
Akan tetapi setelah mendapat
latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Maka
betapapun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu tidak nampak
perubahan.
“Apakah Enci akan membawaku ke
Sian-koan? Ataukah hendak mencari Ayah?” Dua macam pertanyaan ini sudah
meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan
keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di
Sian-koan. Adapun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa
ayahnya telah meninggalkan ibunya, ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk
Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Ia
mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja meninggalkan ibunya
setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!
“Sebelum menikah dengan
ayahmu, ibumu dahulu telah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang
sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih
menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama.
Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan
hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih
ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.” Demikian Pek Hoa
mengarang, hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan
sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguhpun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.
“Akan tetapi sekarang kabarnya
ayahmu telah menjadi gila.” Kata-kata ini membuat hati Im Giok terharu sekali
sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk mencari ayahnya.
Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk
meninggalkan puncak gunung. Sekarang begitu gurunya mengajaknya turun gunung,
otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.
“Tidak, Im Giok. Kita tidak
pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku mempunyai urusan yang lebih
penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si
untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!”
Tentu saja Im Giok tidak
berani membantah.
“Ingatlah, Im Giok. Aku telah
dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain telah
membunuh tiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau
ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu
lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya
terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat
membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su.”
“Bu Pun Su...?” baru kali ini
Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.
“Im Giok, jangan kaupandang
rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan
tetapi dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri
tidak berdaya terhadap dia, dan kelak kau orangnya yang kuharapkan akan dapat
membalasnya.”
Demikianlah, sambil menuturkan
pengalamannya, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah
cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak
bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun
lebih. Setelah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek
Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni
pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Ia gentar menghadapi Bun Sui Ceng
karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin-khai-i
yang baru ia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.
Adapun rasa gentarnya terhadap
Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini
sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang tiga
orang suhunya sendiri! Karena itu, ia merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya
yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su.
***
Tidak ada orang yang berjumpa
dengan mereka terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang dengan penuh
kekaguman yang tak mudah dilihat setiap kali. Seorang dara berbaju biru putih,
cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya.
Rambutnya hitam panjang,
digelung dengan model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai
bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, di sebelah kanan terhias burung hong
dari emas dan permata. Sepasang anting-anting panjang berrnata merah tergantung
di bawah telinga, bergerak-gerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan
sepatunya baru dan terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang pedang yang,
menempel di punggung, dengan ronce-ronce pedang warna merah berkibar di atas
pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula
yang membuat tiap orang laki-laki yang memandang kagum, tidak berani bersikap
kurang ajar.
Yang ke dua masih belum
dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan
luar biasa cantiknya. Dillhat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah
dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya. Akan tetapi kalau
diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada
sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini menarik hati setiap orang.
Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah. Pakaiannya serba merah, terbuat
dari sutera indah pula. Rambutnya dikucir dan dihias dengan pita merah pula.
Juga di punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang pedang pendek
dan langkah kakinya yang tegap dan lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia
memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.
Pek Hoa dan Im Giok, dua orang
itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pamandangan di kota-kota, terutama
sekali Im Giok. Mereka tidak mempedulikan pandangan mata kagum dari para
laki-laki yang mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang
mata itu tidak ada artinya. Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah
empat tahun lebih ia tidak pernah menghadapi pandang mata kagum dari para pria
maka kini ia merasa gembira dan bangga bukan main. yata bahwa empat lima tahun
tidak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya! Ini semua berkat telur
pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat membuat orang menjadi awet muda.
Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang
cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap
seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu,
melainkan tersenyum makin manis dan bangga.
Akan tetapi, setelah kembali
terjun ke dalam dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati
dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti
dahulu-dahulu. Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan
gurunya. Sering kali di waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang di
mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan
di depan mata Im Giok, ketika tuan rumah bangun dari tidur dan melihat
pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang
membunuh semut saja!
“Enci Pek Hoa, mengapa setelah
mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak mempunyai dosa
apa-apa?” Im Giok memprotes.
“Im Giok, mengapa ribut-ribut
urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia telah memergoki kita, ini
artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya?
Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-ouw, siapa kuat dia menang!”
Jawaban ini meragukan hati Im
Giok. Biarpun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan selalu
melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik.
Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya seorang laki-laki gagah perkasa maka
sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah. Menghadapi perbuatan
yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apalagi ketika ia melihat
beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi
meninggalkannya sampai semalam suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang
dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga. Namun ia tidak dapat
menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapapun juga, ia harus akui
bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih
sayang.
Beberapa pekan kemudian, Pek
Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar di tengah
kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya kalau Pek Hoa memasuki gedung
besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya melalui genteng!
“Enci Pek Hoa, rumah siapakah
ini?”
“Rumah seorang gagah bernama
Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Kau harus sebut Susiok (Paman
Guru) kepadanya.”
Kedatangan mereka segera
disambut oleh tuan rumah, seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih, tubuhnya
tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya,
pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan
curang.
“Aduuh, pantas saja aku
bermimpi kejatuhan bulan!” laki-laki itu berseru sambil tertawa-tawa dan kedua
lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seakan-akan siap hendak
memeluknya. “Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung...”
Kata-katanya berhenti ketika
Pek Hoa mengerutkan alis dan memberi isarat dengan matanya ke arah Im Giok,
mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin,
laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok,
sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.
“Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini
benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih yang
sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha, ha,
ha!”
Sekali pandang saja, Im Giok
merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguhpun ia dapat
menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan serinya.
“Im Giok, beri hormat kepada
Kam-susiok,” kata Pek Hoa.
Terpaksa Im Giok menjura untuk
memberi hormat tanpa memandang wajah orang.
“Teecu Kiang Im Giok memberi
hormat kepada Kam-susiok,” katanya sederhana lalu berdiri lagi di samping
gurunya.
“Ha, ha, bagus sekali.
Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya,” Kam Kin
menepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang
cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi
pakaian mereka sesungguhnya tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau
mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin.
“Siapkan, kamar yang bersih
dan layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,” katanya kepada mereka. Sambil
tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan
ditariknya nona cilik ini di dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan
tetapi Pek Hoa berkata, “Kau pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah
sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi kita bertemu
kembali di ruang depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiokmu.”
Terpaksa Im Giok ikut dengan
tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara ketawa-ketawa dari
Pek Hoa dan Kam Kin, dan lapat-lapat ia mendengar lagi sebutan-sebutan mesra
dari mulut Kam Kin kepada gurunya.
Di dalam kamarnya Im Giok
hampir menangis. Ia kecewa sekali. Makin terbukalah matanya dan biarpun belum
berani ia menuduh gurunya sebagai seorang penjahat wanita cabul, akan tetapi
kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai ragu-ragu. Ia tidak ragu lagi
bahwa tuan rumah yang bernama Giam-ong-to Kam Kin ini bukanlah orang baik-baik.
Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya? Ia tidak dapat tidur sama sekali.
Bocah yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan
gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat
bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia
baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah
ayahnya. Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan!
Biarpun Pek Hoa baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk
dan taat, harus menelan apa saja yang disuguhkan kepadanya. Semua perbuatan
gurunya yang sebetulnya ia anggap amat tidak patut dan tidak menyenangkan
hatinya, mau tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia
tidak boleh menyatakan pendapatnya.
Seperti biasa, di mana saja
Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di rumah gedung dari
orang she Kam ini pun ia dilayani dengan baik-baik, bahkan ia disuguhi
makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat merasai
kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan makanan dengan paksa hanya untuk
berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang demikian baik.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Im Giok sudah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan
gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah datang ke kamarnya
dan berkata dengan wajah berseri,
“Im Giok, mari kita berangkat!
Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada seorang di antara
musuh-musuh besarku.”
“Yang mana, Enci?” tanya Im
Giok ikut gembira karena hendak menyaksikan pertempuran.
“Hwesio-hwesio dari
Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio muridnya. Kebetulan sekali
dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota ini.”
Akan tetapi, kegembiraan Im
Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam Kin telah menanti di
pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-laki ini hendak ikut
pergi pula! Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya,
maka ia cepat berkata,
“Susiokmu akan ikut
membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya paling, baik.”
Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk menyenangkan hati muridnya.
“Jangan yang itu. Kuda itu
masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!” Kam Kin cepat berkata
sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im Giok.
Im Giok tidak biasa menunggang
kuda. Akan tetapi sebagal murid orang pandai yang sudah memiliki kepandaian
lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan ringan ia melompat ke atas
punggung kuda hitam itu.
Mereka segera berangkat. Kam
Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, sedangkan Im Giok menjalankan
kuda di belakang mereka. Dengan hati sebal dan muak ia melihat betapa sikap
gurunya dan susioknya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua orang itu
bersendau-gurau dengan sikap mesra. Makin besarlah perasaan tidak suka mendesak
di hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang yang selama ini ia anggap
sebagai gurunya.