Bab 13 - Cinta Pertama
Setelah selesai bersilat,
Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata,
˜Aku orang she Chi telah
memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat bahwa aku naik ke
panggung ini atas perintah Suma-taijin.! Ia lalu melompat turun dan kembali
duduk di tempatnya semula. Lie Kian Tek memberi isarat dengan tangannya kepada
seorang bermuka kuning yang tadi ikut mengantar ia datang, yakni seorang di
antara lima orang kawannya. Orang bermuka kuning ini mengangguk sambil menyeringai,
kemudian berrseru keras,
˜Suma-taijin, hamba mohon
diberi kesempatan mewakili Shansi!!
Sebelum Suma-huciang menjawab,
tubuhnya telah melayang ke atas panggung dengan gerakan indah. Ternyata orang
ini datang-datang mendemonstrasikan gin-kang yang lihai.
Suma-huciang tertawa. ˜Boleh,
boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran pihak Shan-si,!
jawabnya.
Si Muka Kuning tersenyum lalu
menjura kepada penonton, kemudian berkata suaranya lantang tinggi.
˜Siauwte bernama Coa Keng,
menerima titah Lie-kongcu mewakili Shan-si. Akan tetapi, siauwte bukan seorang
yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan sedikit kepandaian yang
tak berarti sebaliknya banyak orang yang tak perlu banyak pamer. Kalau orang
berkepandaian seperti Lie-kongcu, patutlah kalau diperlihatkan kepada orang
banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap dipandang. Akan tetapi
melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat, benar-benar siauwte diam-diam
menggeleng kepala. Siauwte tidak mau seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan
keburukan dan kebodohan sendiri.!
˜Eh, Coa-kauwsu, kau naik ke
panggung mau bersilat atau berpidato?! terdengar Chi Liok menegur. Orang-orang
tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa Keng sehingga muka yang
kuning itu menjadi hijau.
˜Chi-piauwsu, bermain silat
seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau tadi hanya
menjual keburukan dah kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini dan mengawani
aku bermain-main sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan suasana, bukan?
Ataukah, kau... takut?!
Inilah tantangan hebat. Chi
Liok mendongkol sekatli, akan tetapi piauwsu ini tidak berani sembarangan
bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu ia anggap kurang ajar sekali, akan tetapi ia
tidak berani bersikap seperti itu di depan Suma-huciang. Maka ia memandang ke
arah pembesar ini. Bukan saja Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga
ia tahu siapa adanya Lie Kiain Tek dan kawan-kawannya. Ribut dengan mereka
berarti memancing kekacauan besar, dan memancing timbulnya pertentangan besar
antara mereka yang anti Kaisar dan pihaknya yang pro Kaisar, yang memang sudah
lama sekali diam-diam saling membenci.
Suma-huciang sejak tadi
sebelum keadaan meruncing, sudah bertukar pikiran dengan Tiauw Ki, bahkan sudah
menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di istana. Di antara
nasihat-nasihat yang dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini menyampaikan hasrat
kaum berkuasa di istana bahwa Suma-huciang diberi tugas untuk memancing sampai
di mana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan Honan terhadap Kaisar dan
sampai di mana pula kekuatan mereka. Kini ia menghadapi tantangan, tantangan
untuk timbulnya keributan hebat, yang ia tahu sengaja dicetuskan oleh Lie Kian
Tek.
Agaknya memang pemuda putera
gubernur itu datang hanya berdalih memberi selamat, akan tetapi sebetulnya
sudah mendapat tugas dari ayahnya. Inilah kesempatan baik, pikir Suma-huciang.
Kesempatan untuk menguji dan melihat ˜isi hati! musuh-musuhnya, tanpa
menimbulkan kesan bahwa keributan terjadi karena perasaan pribadi. Maka ia lalu
mengangguk kepada Chi Liok.
Piauwsu itu setelah melihat
isarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, menjadi gembira
sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan kepandaian di atas panggung
ia bermain lambat-lambatan, kini sekali melompat ia telah melayang ke atas
panggung menghadapi Coa Keng! Ia menjura, dibalas oleh Coa Keng. Dua jago
berhadapan dan saling mengukur ˜isi! lawan dengan pandangan mata. Penonton
memandang tegang.
˜Saudara Coa Keng,
betul-betulkah kau mengundang aku naik ke panggung untuk melayanimu bermain
silat?! tanya Chi Liok, suaranya masih tenang.
Coa Keng tersenyum mengejek.
˜Mengapa tidak betul? Untuk meramaikan suasana pesta dan sebagai penghormatan
kepada Suma-taijin, sudah sepatutnya kita bermain-main sebentar. Asal saja kau
tidak takut, karena dalam permainan silat bersama kita sama-sama maklum bahwa
kemungkinan terluka besar sekali, bahwa ada kemungkina terpukul tewas.!
˜Ini sebuah tantangan!! Chi
Liok menegur, gemas.
˜Kau takut?! Coa Keng menggerakkan
alis, menghina.
˜Orang sombong, kau sajalah
yang mempunyai keberanian? Baik, kuterima tantanganmu. Di sini banyak sekali
yang melihat betapa kurang ajarnya sikapmu, dan bahkan aku hanya membela diri,
membela kepentingan nama taijin, nama daerah dan namaku sendiri. Kaumulailah!!
Coa Keng mengeluarkan suara
nyaring dan tiba-tiba dengan suara licik, sambil masih tertawa terus ia
mengirim pukulan kilat ke arah lambung Chi Liok!
˜Bukk!! tubuh Chi Liok
terpental dan hampir saja piauwsu ini roboh kalau ia tidak lekas-lekas
berpoksai dan berdiri lagi. Mukanya agak berubah, akan tetapi pukulannya tadi
tidak mendatangkan luka dalam yang hebat karena ia keburu mengerahkan lwee-kang
ke arah bagian yang akan terpukul.
˜Kau curang!! bentaknya.
˜Bukankah kau menyuruh aku
mulai? Baru sekali pukul saja hampir roboh. Ha, ha, ha!!
˜Rasakan ini!! Chi Liok
menyerang tiba-tiba sebelum lawannya berhenti tertawa. Pukulannya hampir saja
mengenai leher di bagian yang berbahaya kalau saja Coa Keng tidak lekas-lekas
miringkan tubuh sehingga yang terpukul hanya pundaknya. Namun ini cukup membuat
Coa Keng terhuyung ke samping tiga tindak sambil meringis karena pundaknya
terasa sakit sekali.
˜Kurang ajar kau!! bentaknya
dan di lain saat dua orang ini sudah saling gebuk, saling tendang dan
bertanding secara kasar sekali. Sebetulnya ilmu silat mereka juga tidak terlalu
rendah akan tetapi oleh karena watak Coa Keng amat kasar, cara berkelahinya
juga kasar sehingga mereka itu lebih sering memukul tanpa membahayakan lawan
daripada mengirim serangan yang betul-betul membahayakan keselamatan lawan
Pertempuran itu berjalan seru
dan bagi orang-orang yang tidak tahu ilmu silat atau yang masih rendah
kepandaiannya, memang pertandingan itu nampak ramai dan menegangkan sekali.
Akan tetapi bagi orang-orang yang kepandaiannya tinggi, makin lama pertempuran
itu nampak makin menjemukan. Akhirnya terdengar suara teriakan sakit dan tubuh
Coa Keng terlempar terkena tendangan Chi Liok dan menggelundung keluar dari
panggung!
Orang-orang wanita yang tadinya
masih menonton dengan muka khawatir mengeluarkan jeritan dan cepat-cepat mereka
berbondong pergi meninggalkan panggung untuk duduk di tempat semula, menjauhi
panggung. Hanya ada empat orang wanita termasuk Im Giok yang tidak pergi dan
karena ini Im Giok dapat menduga bahwa tiga orang wanita di dekatnya itu
tentulah orang-orang yang mengerti ilmu silat. Ia melirik dan melihat bahwa
mereka ini adalah seorang wanita tua yang memegang tongkat dan rambutnya diikat
kain putih, sedangkan yang dua orang adalah gadis-gadis yang berpakaian
sederhana akan tetapi cukup manis. Sikap mereka memang bukan orang-orang
sembarangan dan Im Giok ingin sekali tahu siapa gerangan mereka bertiga ini.
Sementara itu, di atas
panggung terjadi hal lain yang menggemparkan. Begitu tubuh Coa Keng terguling
meninggalkan tempat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan
Chi-piauwsu sudah berdiri seorang kakek. Kakek ini satu kali menggerakkan
tangan ke depan, Chi Liok memekik dan terlempar keluar panggung!
˜Orang-orang macam ini berani
menjual lagak di atas panggung, benar-benar tidak menghormat kepada
Suma-taijin, harap disuruh keluar tokoh Tiang-hai yang betul-betul memiliki
kepandaian untuk bermain-main dengan aku. Barangkali Taijin sudah lupa lagi,
aku adalah Cheng-jiu Tok-ong dari barat dan kini mewakili Shansi.!
Im Glok terkejut bukan main.
Tadi ia tidak melihat kakek ini dan tiba-tiba kakek itu naik ke panggung, tentu
untuk mengacau. Teringat olehnya bahwa Giam-ong-to Kam Kin, murid kakek ini pun
telah menjadi seorang komandan pasukan, tentu pasukan dari Gubernur Shansi!
Kalau demikian, tentu Cheng-jiu Tok-ong menjadi kaki tangan Lie Kian Tek.
Mengingat sampai di sini, Im
Giok lalu menengok ke arah Kian Tek. Akan tetapi ia tidak melihat pemuda itu
dan kursinya kosong. Otomatis Im Giok teringat akan bungkusan yang disumbangkan
oleh Tiauw Ki kepada Suma-huciang maka ia menengok ke arah meja tempat menaruh
barang-barang sumbangan.
Di lain saat, tubuh Im Giok
lenyap, yang tampak hanya bayangan merah yang cepat sekali. Gadis ini tadi
melihat Lie Kian Tek berada di dekat meja dan sedang menegur seorang laki-laki
yang dengan gerakan cepat sekali mengulur kedua tangan mengambil barang-barang
berharga yang kecil-kecil dari atas meja!
Kedatangan Im Giok tak
terlihat oleh mereka dan tahu-tahu orang laki-laki yang bertubuh kecil pendek
itu berseru kaget ketika pundaknya ditotok orang. Akan tetapi ia ternyata lihai
bukan main karena masih sempat ia mengelak dan biarpun totokan itu masih
mengenai pundaknya, akan tetapi tidak berakibat apa-apa. Im Giok yang menotok
kaget dan sama sekali tidak mengira orang itu demikian lihai, maka ia menyerang
terus sambil membentak,
˜Bangsat kecil, kau hendak
mencuri apa?!
Dua kali lm Giok menyerang dan
dua kali gagal karena Si Kate Kecil itu dengan amat lincahnya dapat mengelak
dan hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba Lie Kian Tek menendangnya
sambil berseru,
˜Kau hendak lari ke mana?!
Kembali secara mengagumkan,
sekali Si Kate itu mengelak dan mencoba untuk lari terus. Dua kali lagi Im Giok
berusaha menangkapnya, dan tiga kali Lie Kian Tek sudah mencoba untuk
merobohkannya dengan serangan maut, namun semua dapat dielakkan oleh Si Kate
itu.
˜Copet, kau bikin gara-gara
saja, tidak tahu sedang kucari-cari!! tiba-tiba terdengar teguran orang.
Mendengar suara ini Si Kate lalu melesat dan tahu-tahu ia telah berada di
belakang orang ini dan mencari perlindungan di belakangnya! Ketika Im Giok dan
Lie Kian Tek menengok, ternyata orang yang datang ini adalah Suma-ciang!
˜Lie-kongcu, apakah kesalahan
dia ini maka kau serang dia?! tanya Suma-huciang kepada Lie Kian Tek.
˜Aku melihat dia menggeratak
di meja dan hendak mencopet barang-barang sumbangan,! kata putera gubernur itu.
Suma-huciang menengok kepada
Im Giok, ˜Dan kau, Nona, mengapa pula kau hendak menangkapnya?!
˜Aku melihat dia mengambil
barang-barang dari atas meja, Taijin,! jawab In Giok sambil mengerling ke arah
Tiauw Ki yang juga menengok dan memandang ke arah mereka dari tempat duduknya
di belakang panggung.
Suma-huciang tertawa. ˜Harap
kalian maafkan dia ini. Dia dijuluki Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti) dan di
Tiang-hai sudah terkenal. Dia nakal akan tetapi tak pernah membawa pergi barang
orang lain. Copet, kau mengambil apa saja? Hayo lekas keluarkan!!
Sin-touw-ong yang kate sekali
tubuhnya itu tersenyum-senyum gembira seperti seorang pelawak, kemudian ia
mengeluarkan banyak sekali benda dari sakunya yang banyak pula.
Benda-benda itu dikeluarkan
satu demi satu seperti tukang sulap dan Im Giok sendiri terheran-heran karena
sukar dipercaya bagaimana seorang kate seperti itu dapat menyimpan benda
sebanyak itu tanpa kelihatan dari luar. Juga, yang membikin ia cemas di antara
benda-benda itu tidak terdapat bungkusan sumbangan Tiauw Ki yang ternyata telah
lenyap dari atas meja!
˜Kembalikan barang-barang itu,
dan mari kauwakili Tiang-hai di atas panggung, Touw-ong,! kata Suma-huciang
yang tidak mempedulikan semua itu dan tidak memperhatikan barang apa yang
mungkin hilang.
Sin-touw-ong cepat
mengembalikan barang-barang itu di atas meja, kemudian ia berjalan menuju ke
panggung bersama Suma-huciang. Im Giok memandang kepada Lie Kian Tek dengan
penuh curiga, akan tetapi mukanya menjadi merah ketika ia melihat pemuda itu
tengah memandangnya sambil tersenyum penuh arti!
˜Nona, kau benar-benar gagah.
Kau benar-benar mengagumkan dan dibandingkan dengan engkau, semua wanita yang
berada di sini, juga yang berada di mana saja, tidak ada artinya! Nona,
pertemuan ini benar-benar dapat dinamakan jodoh. Kau dan aku berjodoh, maukah
kau ikut aku keluar dari tempat ini dan kita bercakap-cakap di tempat yang
lebih sunyi dan dingin? Hubungan kita perlu dipererat dan....!
˜Jahanam, tutup mulutmu!! Im
Giok memaki marah dan gadis ini lalu pergi ke tempat duduknya. Mukanya terasa
panas sekali dan kedua pipinya merah sekali. Ia mendongkol bukan main. Kalau
tidak ingat bahwa dia berada di tempat orang lain dan kalau ia tidak ingat akan
tugasnya mengawal Tiauw Ki dan melakukan perintah Susiok-couwnya, tentu ia tadi
sudah memukul putera gubernur yang bermulut lancang itu.
Sementara itu, di atas
panggung Cheng-jiu Tok-ong sudah berhadapan dengan Sin-touw-ong. Cheng-jiu
Tok-ong tertawa bergelak dan berkata lantang,
˜Ha, ha, ha, Suma-taijin
bagaimanakah ini? Benar-benarkah Taijin mengajukan dia ini ke atas panggung?!
Ketika ia melihat pembesar itu
mengangguk sambil tersenyum, Cheng-jiu Tok-ong menjadi marah. Ia merasa terhina
sekali karena harus menghadapi seorang demikian tak berarti. Ditatapnya wajah
Sin-touw-ong seperti seekor harimau menatap tikus.
˜Kau ini manusia tiada guna,
benar-benar kau sudah bosan hidup? Kau manusia tidak ternama, tahukah kau
dengan siapa kau berhadapan?!
Raja copet yang kate itu
cengar-cengir seperti seorang badut. Ia mempunyai bentuk muka yang lucu,
tubuhnya pendek kecil matanya lebar dan hidungnya dapat bergerak-gerak. Apalagi
berhadapan dengan Cheng-jiu Tok-ong, benar-benar seperti seorang raksasa
berhadapan dengan seorang katai.
˜Aku memang tidak terkenal,
akan tetapi kau... kau ini siapa?! tanyanya memicingkan mata.
˜Setan pendek, dengar
baik-baik. Aku adalah Cheng-jiu Tok-ong!!
Si Kate menggerakkan kedua
pundaknya. ˜Aku tidak ternama, kau pun tidak terkenal,! katanya acuh tak acuh.
˜Bangsat, aku adalah tokoh
besar dari barat. Di dalam dunia kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal
namaku?! Cheng-jiu Tok-ong membentak.
˜Setan besar, kau tidak
mengenal namaku, aku pun tidak mengenal namamu, siapa di antara kita yang
paling tidak terkenal? Kau bernama Cheng-jiu Tok-ong (Raja Racun Bertangan
Seribu), aku berjuluk Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti), sungguh kalau dibilang
kita ini tidak terkenal, akan tetapi sebetulnya kau dan aku adalah raja-raja
besar!!
Meledak suara ketawa para
hadirin di situ mendengar kata-kata ini.
˜Lo-enghiong, mengapa tidak
lekas-lekas ratakan setan pendek itu dengan tanah? Injak saja kepalanya, habis
perkara!! seorang kawan dari Lie Kian Tek berseru tak sabar lagi melihat
jagonya dipermainkan oleh raja copet itu.
˜Ya, ya, injaklah! Injaklah!!
Sin-touw-ong mengejek dan memasang kuda-kuda rendah sekali di depan Cheng-jiu
Tok-ong, seakan-akan mempersiapkan diri untuk diinjak. Kembali terdengar suara
orang tertawa riuh, sungguhpun mereka yang sudah mengenal kelihaian Cheng-jiu
Tok-ong, merasa khawatir akan keselamatan Si Kate itu.
˜Bangsat tukang copet, bersiaplah
untuk mampus!! Cheng-jiu Tok-ong yang tidak dapat menahan sabarnya lagi sudah
maju menyerang. Serangannya keras dan cepat sekali sehingga Sin-touw-ong
terkejut bukan main. Raja copet ini bukan orang biasa. Dia adalah seorang
kang-ouw yang sudah berpengalaman dan sebagai seorang maling dan copet, ia
memiliki kepandaian istimewa, yakni kepandaian menjaga diri. Ia licin bagaikan
belut dan gerakannya lincah, ditambah pula dengan bentuk tubuhnya yang pendek
kecil, sukarlah bagi lawan untuk menyerangnya. Tentu saja ia pernah mendengar
nama besar Cheng-jiu Tok-ong, akan tetapi ia tidak mengira bahwa serangan
lawannya akan sehebat itu.
Cepat raja copet itu mengelak.
Akan tetapi Cheng-jiu Tok-ong, seorang tokoh besar persilatan yang sudah lebih
berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak
mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi.
Setiap serangannya merupakan pukulan atau tendangan maut, jangankan baru
seorang seperti Sin-touw-ong, biarpun lebih tinggi kepandaiannya takkan kuat
menerima pukulan ini.
Im Giok memandang semua ini
dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan bertempur dengan Cheng-jiu
Tok-ong, maka ia tahu sampai di mana kelihaian kakek ini. Dan menurut
pandangannya, biarpun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar biasa dan ilmu
silat yang berdasarkan pertahanan dan penjagaan diri, akan tetapi kalau
dibandingkan dengan Cheng-jiu Tok-ong, masih jauh sekali.
Ia dapat menduga bahwa Si Kate
itu biarpun seorang pencopet, tentulah termasuk orang atau pembela
Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw Ki. Pula ia
ingin sekali menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan Tiauw Ki yang
disumbangkan kepada Suma-huciang karena tadi lenyap dari atas meja. Si Kate
itulah yang mengambilnya dan belum mengembalikannya? Ataukah Lie Kian Tek?
Melihat Sin-touw-ong sudah
terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung melompat ke atas
panggung dan sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang leher baju
Sin-touw-ong dan membawanya lompat ke dekat tempat Suma-huciang. Gerakan ini
cepat sekali dan Cheng-jiu Tok-ong yang mengenal gadis itu menjadi berubah air
mukanya. Kakek ini merasa sangsi. Kepada gadis itu biarpun ia tahu amat lihai,
ia masih belum jeri akan tetapi kalau ia teringat akan Bu Pun Su yang pernah
menolong gadis itu, bulu tengkuknya berdiri!
Semua orang menjadi gempar
ketika melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara aneh telah menahan
Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang. Akan tetapi Im Giok tidak
mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata,
˜Taijin, tadi kulihat barang
sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali dicuri oleh tukang copet
itu!!
Tiauw Ki dan Suma-huciang
bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im Giok.
˜Terima kasih, Nona. Kalau
Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang. Touw-ong, lekas kau
haturkan terima kasih kepada penolongmu!!
Sin-touw-ong cengar-cengir,
kemudian ia menjura berkali-kali dan di depan Im Glok sambil berkata,
˜Nona yang cantik dan gagah
perkasa, mataku sungguh buta tidak melihat Bukit Thai-san! Akan tetapi aku
tidak kalah terhadap setan beracun itu.!
˜Kau tidak kalah? Jangan
main-main?! Suma-huciang berkata menegur orangnya.
Si Tukang Copet mengeluarkan
sebuah benda dari sakunya yang aneh dan Im Giok terkejut. Ternyata bahwa
pencopet ini telah berhasil mencopet golok pusaka dari lawannya, yakni,
Cheng-tok-ong (Golok Racun Hijau).
˜Inilah buktinya bahwa aku
tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat penolak racun!! Kembali
dirogohnya saku bajunya dan. keluarlah obat bubuk dalam botol tanah.
Im Giok merasa kagum sekali.
Biarpun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi dalam hal ilmu mencopet,
kiranya orang kate ini sudah patut disebut Raja Copet Sakti!
Sementara itu, di atas
panggung, Cheng-jiu Tok-ong berteriak-teriak, ˜Ha, ha, ha, begitu sajakah
jagoan dari Tianghai? Segala tukang copet dan tukang maling! Ha, ha, ha. Hayo,
mana lagi jago Tiang-hai? Suma-taijin, apakah pertunjukan silat disudahi sampai
di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu? Kalau begitu, biarlah kita
menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha, ha, ha!!
˜Hm, manusia itu menghina
sekali,! kata Sin-touw-ong.
˜Biarlah, lebih baik kita
sudahi keributan ini,! usul Tiauw Ki.
Suma-huciang menghela napas.
˜Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali kalau aku sendiri
naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaian manusia
sombong kaki tangan Gubernur Lie itu!!
Sambil berkata demikian,
pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat menangkap arti pandang
mata Suma-huciang. Kiranya pembesar ini bermata tajam sekali. Sekali saja
melihat bagaimana gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia maklum bahwa Im Giok memiliki
kepandaian tinggi dan pasti dapat melawan Cheng-jiu Tok-ong. Akan tetapi karena
baru saja ia kenal dengan gadis ini, apalagi baru saja gadis ini telah bebaskan
Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut di tangan lawannya, ia tidak berani minta
kepada Im Giok untuk mewakilinya di atas panggung.
˜Taijin, kalau Taijin
menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori oleh manusia itu, akan
kulakukan sekarang juga.!
˜Ah, aku akan membikin repot
saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau dibawa olehnya,! kata
pembesar itu.
˜Tidak apa, Taijin. Justru
karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka orang menghina
Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku sendiri,! kata
Im Giok yang cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan. Lebih
dulu dengan amat cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di
bawah hidungnya dan ia mencium bau wangi sekali.
Dengan gerakan ringan Im Giok
melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dari atas
panggung Im Giok melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im Giok tidak peduli
itu semua dan langsung ia menghadapi Cheng-jiu Tok-ong yang masih ragu-ragu
karena mengira gadis ini datang dikawal oleh Bu Pun Su!
˜Apa kau datang hendak
melanjutkan pertandingan dahulu itu? Asal saja kau berani maju sendiri, jangan
bawa-bawa orang tua!! katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im Giok.
Gadis itu tersenyum, lalu
berkata keras kepada orang banyak, ˜Si Sombong ini mengira bahwa dia telah
menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau tidak aku datang
membawa pergi Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini telah berhasil mencopet
isi perutnya tanpa ia mengetahui!!
˜Bohong! Omongan apa ini? Dia
yang hampir saja mampus!! bantah Cheng-jiu Tok-ong marah.
Kiang Im Giok tersenyum manis
dan memperlihatkan golok yang dibawanya dengan mengacungkan senjata itu ke atas
agar kelihatan oleh semua orang yang hadir.
˜Tok-ong, kaulihat baik-baik,
golok siapakah ini? Dan bungkusan obat penawar racun ini, punya siapa pula?!
Cheng-jiu Tok-ong kaget bukan
main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di pinggang dan bungkusan obat di
dalam saku telah lenyap!
˜Bagaimana bisa berada di
tanganmu?! tanyanya heran dan mukanya berubah merah.
˜Siapa lagi kalau bukan Sin-touw-ong
yang mengambilnya? Nah, kalau dia menghendaki, apakah dia tidak bisa mengambil
nyawamu daripada mengambil dua benda ini dari tubuhmu? Benar-benar kau tidak
tahu diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima kalah?! Dalam kata-kata ini,
Im Giok mengancam, kemudian ia melemparkan golok dan bungkusan obat itu ke atas
lantai panggung.
Cheng-jiu Tok-ong ragu-ragu.
Ia masih jerih menghadapi Im Giok yang amat lihai ilmu pedangnya, juga ia takut
setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak bersembunyi di tempat itu
dan akan muncul kalau sampai ia mendesak Im Giok. Kini, secara aneh sekali Si
Kate itu telah berhasil mencopet golok dan bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet
itu yang melakukan hal aneh ini?
Dia tadi sudah mendesak hebat,
apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya? Siapa tahu kalau-kalau ini
pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak mungkin! Mengingat sampai di
sini, Cheng-jiu Tok-ong bergidik dan ia pikir lebih baik mundur sebelum celaka.
Sekarang ada kesempatan baik baginya untuk mundur tanpa mendapat malu.
Ia lalu membungkuk, mengambil
senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan kepada Im Giok
melainkan kepada Sin-touw-ong.
˜Kepandaian Sin-touw-ong
benar-benar lihai sekali membuat orang kagum!! Setelah berkata begitu,
Cheng-jiu Tok-ong lalu melompat turun dari panggung.
Im Giok tersenyum puas. Memang
ia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari Suma-huciang itu berubah
menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan nyawa. Baiknya ia dapat mengusir
mundur Cheng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata dan gertakan belaka, tanpa
menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa kalau sampai terjadi
pertempuran, walaupun ia takkan kalah, akan tetapi juga bukan hal yang mudah
untuk mengalahkan Cheng-jiu Tok-ong!
Gadis ini melompat turun dari
panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki. Pembesar itu
menyambutnya dengan muka berseri.
˜Baiknya ada Lihiap yang
mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang akan dihina oleh orang lain,! katanya, kemudian
pembesar ini berkata dengan suara lantang,
˜Terima kasih kepada para
enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk meramaikan pesta ini. Sekarang
tiba giliran para penari yang akan memperlihatkan keindahan tarian mereka!!
Terdengar musik dibunyikan
orang dan tak lama kemudian, tujuh orang penari yang cantik jelita muncul di
atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang indah gemulai membuat
darah orang-orang muda yang hadir di situ tersirap ke muka dan denyut jantung
menjadi cepat sekali. Perhatian semua tamu tercurah kepada para penari dari
kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa bicara dengan Tiauw Ki.
˜Tidak apa, Giok-moi,! kata
pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu tentang hilangnya
bungkusan barang sumbangan.
˜Bungkusan itu kosong tidak
terisi apa-apa yang berharga. Surat dari Kaisar yang sesungguhnya tidak berada
di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang ketika kami bercakapcakap
tadi.!
Im Giok menjadi lega dan ia
memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan kecerdikan pemuda ini.
Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh orang lain dan ini
berarti tugas Im Giok mengawal pemuda dan suratnya berhasil baik. Kini surat
sudah berada di tangan Suma-huciang, orang yang berhak, maka sudah tidak ada
tugas apa-apa lagi di tempat itu.
˜Kalau begitu, tugas kita
sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?! tanyanya.
˜Sebetulnya aku sendiri pun
tidak suka tinggal terlalu lama di sini,! jawab Tiauw Ki sambil melempar
kerling ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa
ketidak-senangan itu disebabkan oleh kehadiran putera gubernur itu. ˜Akan
tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini dan besok
hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im
Giok.!
˜Keberatan sih tidak, asal
saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu,! kata Im Giok
mengerutkan kening.
˜Giok-moi yang baik, dengan
adanya kau di sini, aku takut apakah?! Kata-kata ini disertai senyum dan
pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok. Tiba-tiba
gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani
memandang langsung kepada Tiauw Ki.
˜Aku hanya memenuhi perintah
Susiok-couw...! katanya kemudian perlahan. Karena takut kalau-kalau keadaan
mereka diperhatikan oleh orang lain lalu mengalihkan pandangan mata ke atas
panggung di mana para penari sedang memperlihatkan kepandaian mereka dengan
indahnya.
Demikianlah, pesta berjalan
terus dengan lancar dan kejadian sebelum tari-tarian diadakan agaknya sudah
dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri agaknya tidak ada
aksi-aksi selanjutnya.
Setelah tari-tarian berhenti
dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan juga lagu-lagu merdu,
berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada tuan rumah sambil
menghaturkan terima kasih. Akhirnya Suma-huciang sendiri yang sudah tua merasa
lelah dan minta maaf kepada para tamu yang masih hadir, mengundurkan diri untuk
mengaso. Setelah minta maaf kepada tamu-tamu yang tak berapa banyak lagi dan
menjura, Suma-huciang lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok
ia berkata,
˜Nona, kalau Nona hendak
mengaso, sebuah kamar sudah tersedia. Silakan.!
Im Giok menjura kepada tiga
orang wanita yang masih berada di situ, yakni nenek yang duduk dengan dua orang
wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan itu. Mereka sejak tadi
diam saja maka Im Giok juga tidak mempedulikan mereka dan tidak tahu siapakah
gerangan mereka ini.
Ketika tiga orang ini berjalan
menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie Kian Tek dan
kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur ini nampak tengah bercakap-cakap dengan
Cheng-jiu Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura.
˜Lie-kongcu, maafkan aku tak
dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak mengaso. Kamar untuk
Lie-kongcu dan rombongan telah dipersiapkan di penginapan terbesar di kota ini.
Silakan Kongcu bersenang-senang menikmati nyanyian di sini dan bilamana Kongcu
hendak beristirahat, perintahkan saja kepada pelayan untuk mengeluarkan
kendaraan.!
Lie Kian Tek tersenyum dan
menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok.
˜Terima kasih, memang sebentar
lagi kami hendak beristirahat pula. Selamat tidur, Suma-taijin.!
Suma-huciang yang diiringkan
oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam.
Pembesar itu setelah tiba di ruangan yang sunyi ini lalu berkata kepada Tiauw
Ki,
˜Gan-siucai, tentu kau masih
ingat akan semua pesanku, bukan? Ada sedikit pesanku lagi harap disampaikan
kepada Hong-siang, yakni bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak begitu
besar apabila dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan. Oleh karena
itu, terhadap Honan (Propinsi Honan) hendaknya ditaruh perhatian sepenuhnya dan
jangan diabaikan.!
Tiauw Ki mengerutkan keningnya
dan matanya memandang heran. Sebelum ia mengeluarkan pertanyaan, ia didahului
oleh pembesar itu.
˜Aku tahu mengapa kau
terheran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan tenang-tenang saja,
akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh yang kelak akan
membahayakan kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, harap
kau mengaso dan besok cepat menyampaikan pesanku. Hong-siang akan mengerti apa
yang kaumaksudkan.!
Terpaksa Tiauw Ki tidak
membantah. Ia menjura dan berkata,
˜Baiklah, Taijin, akan saya
perhatikan dan sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya dan
Kiang-lihiap berangkat. Kalau tidak sampai berpamit, harap Taijin sudi
memaafkan.!
Suma-huciang menoleh kepada Im
Giok, tersenyum berkata,
˜Kau sungguh mengagumkan,
Kiang-lihiap. Aku harus berterima kasih kepadamu. Benar-benar kau patut menjadi
cucu murid Bu Pun Su seorang sakti yang sejak dulu aku kagumi. Tolong
kausampaikan hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau bertemu dengan dia.!
Im Giok menjadi jengah
mendengar pujian ini dan cepat memberi hormat. Kemudian pembesar itu memasuki
kamarnya dah kedua orang muda itu pun pergi ke kamar masing-masing yang sudah
disediakan setelah mereka berjanji akan berangkat besok pagi-pagi pada waktu
ayam jantan berkokok.
Malam hari itu Im Giok tak
dapat tidur. Gelisah ia di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau terjadi
sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa diri Suma-huciang atau
Gan Tiauw Ki. Ancaman terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan
hatinya, akan tetapi kalau ia ingat bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki
bukanlah tugas ringan dan keselamatan anak muda itu selalu terancam, Im Giok
menjadi gelisah. Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu? Ia
selalu memikirkan Tiauw Ki, setiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi
pikirannya, tanpa disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya,
gema suara pemuda itu selalu berdengung di telinganya!
˜Aku harus melindunginya,
biarpun harus bertaruh nyawa!! pikir gadis yang sedang tergoda asmara ini.
Keputusan ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk
bersila di atas pembaringannya dan beristirahat dengan cara bersamadhi.
Menjelang subuh ada ia mendengar suara berkeresekan di atas genteng. Ia membuka
mata dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi karena selanjutnya
tidak ada suara apa-apa, ia pun tidak mau lancang mengejar keluar, takut
kalau-kalau hanya akan menimbulkan keributan belaka. Sayang sekali gadis ini
tidak keluar, kalau ia melakukan hal ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya
hal yang mengerikan!
Tak lama kemudian, terdengar
ayam jantan berkokok, saling sambut ramai sekali. Im Giok melompat turun dari
pembaringannya, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan buntalan pakaian
di punggung dan siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur, maka ia dapat
bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa menyisir rambutnya yang digelung indah,
cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja.
Ia mendengar langkah kaki di
luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya ia buka dan ternyata Tiauw Ki sudah
berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat. Dua orang pelayan menghampir,
mereka dan menjura sambil berkata,
˜Selamat pagi, Siauw-ya dan
Siocia! Apakah berangkat sekarang?!
˜Benar, Lopek. Tolong suruh
tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di depan.!
˜Baik, Siauw-ya,! jawab
pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong uang perak sebagai
hadiah dari Tiauw Ki. Dua orang muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari
gedung yang besar dan panjang ini.
˜Enak tidurkah kau malam tadi,
Giok-moi?! tanya Tiauw Ki kepada Im Giok.
˜Enak juga. Dan kau?!
˜Aku gelisah saja, entah
mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas,! jawab Tiauw Ki.
Im Giok teringat akan bunyi di
atas genteng. Kamar pemuda ini tidak jauh dari kamar Suma-huciang, maka
tanyanya,
˜Twako, apakah kau tidak ada
mendengar apa-apa malam tadi? Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau ada
apa-apa kau mendengarnya.!
Tiauw Ki menggeleng kepala.
˜Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan tetapi sukurlah,
sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa.!
Diam-diam Im Giok merasa lega,
akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak mengerti ilmu
silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang tinggi ilmu
silatnya? Ia malam tadi mendengar suara yang ia tahu adalah suara kaki orang
menginjak dan berjalan di atas genteng, orang yang ilmu gin-kangnya sudah
tinggi sekali. Ataukah barangkali pendengarannya salah? Karena selanjutnya
tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut.
Sementara itu, pelayan-pelayan
tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka berangkatlah Tiauw Ki dan
Im Giok di pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih remang-remang dan segala apa
nampak berwarna kelabu.
Sampai lama mereka melarikan
kuda berdampingan tanpa mengeluarkan kata-kata. Keduanya muram. Tanpa kata-kata
mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi, yakni perpisahan. Im Giok
sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Suma-huciang dan
menyampaikan pesanan Kaisar. Karenanya ia harus memisahkan diri. Tidak
selayaknya seorang gadis seperti dia terus-terusan melakukan perjalanan bersama
seorang pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Kini ia harus pulang ke Sian-koan,
sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa harus berpisah. Tidak
ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda tujuan.
Tanpa berkata-kata keduanya
maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai di sungai kecil yang
berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana terdapat jalan simpangan
dan di sana keduanya akan berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.
Makin dekat dengan sungai itu, otomatis keduanya memperlambat larinya kuda
sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan saja!
˜Adik Im Giok, kau selanjutnya
akan ke mana?! Tiauw Ki bertanya, sebuah pertanyaan yang aneh dan lucu karena
keduanya sudah sama-sama mengetahui ke mana gadis itu akan pergi kalau tidak
pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan!
Pertanyaan ini saja sudah
membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im Giok maklum pula akan hal ini.
Memang cinta kasih itu aneh sekali. Biarpun pemuda dan gadisnya sama-sama
selama hidupnya belum pernah mengalami buaian asmara dan baru sekali itu
mengalami perasaan yang amat aneh ini, namun keduanya seakan-akan sudah
berpengalaman, keduanya sudah dapat menangkap maksud hati masing-masing hanya
dengan rasa. Kerling mata mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis
membayangkan perasaan hati berdebar, gerak-gerik mengisyaratkan suara hati.
Demikianlah tajamnya seorang
yang menghadapi pujaan hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada kontak
yang timbul oleh getaran-getaran perasaan.
Sungguhpun Im Giok maklum
mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana ia hendak pergi, ia menjawab
juga perlahan sambil menundukkan muka,
˜Aku hendak pulang ke
Siang-koan. Dan kau... ke manakah, Twako?!
˜Tentu ke kota raja... tugasku
belum selesai. Sayang...!
Lama tidak terdengar mereka
berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari belum kelihatan,
akan tetapi cahayanya sudah mengusir kabut fajar dan menggugah alam yang
terlelap dalam mimpi. Yang terdengar hanya suara kicau burung, diseling derap
kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan di atas jalan berbatu.
˜Mengapa sayang, Twako?! Im
Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di dalam hati sebelum ia
mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar menanti jawab, seperti seorang
penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim.
˜Sayang karena... karena
terpaksa kita harus berpisah.! Suara pemuda itu menggetar dan tiba-tiba Im Giok
menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan
dirinya, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan
malu dan jengah yang luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa
dapat membuat ia menguasai dirinya lagi. Ia tersenyum dan dengan wajah ayu
memandang Tiauw Ki.
˜Twako, kau ini aneh. Ada
waktu bertemu pasti ada waktu berpisah. Bukankah ada kata-kata para cerdik
pandai jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya terpisah? Atau jelasnya bahwa
pertemuan adalah awal perpisahan?!
Tiauw Ki yang tiba-tiba
menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang berseri dan
mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari sudah muncul
setinggi-tingginya, menjadi seperti orang linglung.
˜Mengapa demikian?! Pertanyaan
ini tidak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu
pemuda ini hafal akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan
tetapi pada saat itu, otaknya seakan-akan tertutup dan ia tidak sadar apa-apa,
yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis yang berada
di sampingnya.
Melihat betapa pemuda itu
duduk di atas kudanya sambil memandang bengong kepadanya seperti orang kena
sihir, Im Giok tersenyum makin lebar.
˜Mengapa? Eh, Gan-twako, tentu
saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak bertemu lebih dulu,
bagaimana bisa berpisah?!
Jawaban yang merupakan kelakar
ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia menarik napas panjang dan berkata,
˜Tepat sekali kata-katamu,
Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku... berat sekali perpisahan
ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno itu, ingin
kuganti...!
Im Giok mengangkat alisnya dan
memandang lucu. ˜Ehm, kau ingin menyaingi para pujangga kuno dan merubah
kata-kata mereka?!
˜Ya, khusus tentang pertemuan
itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk kita berdua,
Adikku. Pertemuan bukan awal perpisahan, akan tetapi pertemuan adalah awal
persatuan abadi. Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan lebih baik?!
Im Giok menutup mulutnya
menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya.
˜Ada-ada saja kau ini, Twako,!
katanya seperti marah. Akan tetapi suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata
yang seperti marah ini, maka Tiauw Ki juga membalapkan kudanya mengejar.
˜Adik Im Giok, tunggu...! Kita
takkan berpisah selamanya!! Tiauw Ki berani berteriak menyatakan perasaan
hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang timbul kembali rasa
malu dan jengah, tidak mau menghentikan kudanya.
Karena kuda dibalapkan,
sebentar saja tahu-tahu telah tiba di sungai yang melintang di depan. Im Giok
tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. Melihat sungai itu
ia tersadar bahwa semua tadi bukan main-main, melainkan sungguh-sungguh
perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia pun menjadi berduka. Alisnya
berkerut, kegembiraanaya lenyap sama sekali. Ia telah merasai kebahagiaan luar
biasa di dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan dengan
pemuda itu mendukakan hatinya.
˜Giok-moi...!! Tiauw Ki juga
sudah tiba di situ dan pemuda ini melompat turun dari kudanya. ˜Giok-moi, harap
jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk meninggalkan aku maka kau
tergesa-gesa?!
Im Giok melompat turun dari
kudanya pula dan berkata, ˜Twako, jangan kau berkata begitu...! Dalam suaranya
kini terkandung sedu-sedan.
˜Marilah kita pergunakan saat
terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan kepada kuda kita
beristirahat,! kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir sungai di mana
terdapat rumput yang hijau dan gemuk. Im Giok meniru perbuatannya dan setelah
dua ekor kuda itu makan rumput dengan lahapnya, mereka lalu mencari tempat
duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari situ, di pinggir sungai kecil terdapat
sebatang pohon yang teduh dan di bawah pohon tetdapat batu-batu sungai yang
besar dan bersih licin. Kesitulah kedua orang ini berjalan perlahan.
Tiauw Ki duduk di atas sebuah
batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga duduk di atas batu tak
jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan ujung daun pepohonan
yang tumbuh di dekatnya.
˜Adik Giok, rasa-rasanya
janggal dan aneh sekali kalau kita harus berpisah di sini. Benar-benar heran
sekali, bagiku terasa seakan-akan kita sudah berkumpul selamanya, sudah
semenjak kecil, semenjak lahir... Giok-moi, benar-benar berat untukku harus
berpisah darimu, tak sampai hatiku...!
˜Habis, bagaimana, Twako. Kita
harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja dan aku pulang ke
Sian-koan.!
˜Memang seharusnya demikian.
Akan tetapi... ah, rasanya aku sedikitpun juga tidak ada keinginan sama sekali
untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi bersamaku ke kota raja
atau aku pergi bersamamu ke Sian-koan...!
Im Giok melirik, mukanya merah
dan hatinya berdebar senang.
˜Mana boleh begitu, Gan-ko?
Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya? Kau ke kota raja dan setelah
selesai tugasmu, bukankah kau dapat mengunjungi aku di Sian-koan?!
Di dalam kata-kata ini
terkandung sindiran yang dalam, seakan-akan Im Giok menyatakan bahwa ia akan
menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik dapat mengerti
arti yang terkandung dalam kata-kata ini, maka saking girang dan perasaannya,
ia menangkap kedua tangan gadis itu.
˜Giok-moi.! suaranya gemetar.
Selama hidupnya baru kali ini
Im Giok merasai sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Menurut kata hatinya, ingin
ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang oleh jari-jari yangan yang
gemetar dari pemuda itu, akan tetapi ia tidak kuasa menarik tangannya
seakan-akan telah hilang semua tenaganya! Ia hanya menundukkan muka dan
bibirnya tersenyum malu.
˜Giok-moi, betulkah kau akan
menerimaku kalau aku sewaktu-waktu datang ke Sian-koan!! suara Tiauw Ki
perlahan dan halus penuh perasaan.
˜Mengapa tidak?! Im Giok hanya
menjawab singkat karena ia sendiri takut untuk bicara terlalu panjang,
mendengar betapa suaranya sendiri gemetar!
˜Tidak. tidak ada halangannya
kalau. kalau aku.! Tiauw Ki tak dapat melanjutkan kata-katanya.
˜Ada apakah, Gan-twako?
Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?!
Tiauw Ki makin gagap menerima
teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu berkata nekad,
˜Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan... dan...!
˜Dan apa...!!
˜Aku... aku hendak...
meminangmu!! Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di kerongkongannya
ini akhirnya terlepas juga.
Im Giok sejak tadi sudah
menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya yang cantik itu
menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan seperti buah tho
masak, membikin ia nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada gadis secantik
Im Giok, apalagi kalau yang memandangnya seorang yang jatuh hati kepadanya, ia
seperti bidadari dari kahyangan saja!
˜Bagaimana, Giok-moi...?!
tanya Tiauw Ki.
Im Giok mengerling dengan
sudut matanya kepada pemuda itu, bibirnya yang manis tersenyum malu, lalu ia
menundukkan muka kembali sambil berkata lirih, ˜Entahlah...!
Tiauw Ki menjadi makin berani
melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang kecil halus itu
dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu duduk di atas batu
yang lebih rendah, maka setelah ditarik ia bersandar kepada paha Tiauw Ki.
˜Giok-moi, bagaimana? Apakah
kau keberatan kalau kelak kupinang?!
Bukan main malunya Im Giok dan
ia tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil tersenyum-senyum malu dan matanya
ditundukkan, ia hanya menjawab dengan gelengan kepala perlahan.
Tiauw Ki merasa diayun di
sorga ke tujuh. Ingin ia melompat turun dari atas batu dan menari-nari
kegirangan atau ingin ia mengangkat tubuh Im Giok dalam pondongannya dan
diputar-putar. Akan tetapi sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia
tidak berani melakukan hal ini. Sebagai seorang pemuda yang tahu akan arti
kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki hanya memandang kepada wajah kekasihnya
dengan mata bersinar, wajah berseri dan penuh kasih sayang.
˜Terima kasih, Moi-moi, terima
kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudara-saudaramu tidak suka kepadaku dan
tidak mau menerima?! Di dalam ucapan ini terkandung suara yang penuh kecemasan,
maka Im Giok cepat mengangkat muka dan berkata tegas,
˜Aku tidak mempunyai saudara
kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suciku Giok-gan Niocu Song Kim Lian!!
Tiauw Ki tersenyum lega, lalu
tertawa kecil. ˜Ah, sucimu itu benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa dan
berhati mulia, biarpun agak galak. Akan tetapi tentu saja tidak melawan kau
baik dalam hal kegagahan, kemuliaan maupun kecantikan.!
Im Giok hanya melempar senyum
menghadiahi pujian kekasihnya ini.
˜Akan tetapi, bagaimana
kalau... kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku? Ayahmu seorang gagah, tentu
dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda sekolah yang lemah....!!
Kembali dalam suara pemuda itu terkandung kekhawatiran besar.
˜Ibuku sudah tidak ada, dan
Ayah... dia amat sayang kepadaku, tak mungkin Ayah membiarkan aku kecewa dan
berduka.! Im Giok mengambil tusuk kondenya dan memberikan benda itu kepada
Tiauw Ki dengan suara halus, ˜Koko, inilah tusuk kondeku, harap kausimpan
baik-baik.!
Tiauw Ki menerima benda itu
dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. ˜Terima
kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku, akan kuanggap
sebagai penggantimu. Dengan adanya tusuk kondemu ini, Moi-moi, akan terhibur
hatinya. Hanya menyesal sekali, aku adalah seorang yang bodoh dan miskin, tidak
mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadamu kecuali ini...!
Pemuda itu mengeluarkan sebuah
kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah menjadi kebiasaan
para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya.
˜Kipas ini tadinya masih
kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini tidak seharusnya
dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh...! Sambil berkata
demikian, dari dalam saku bajunya, pemuda itu ˜menyulap! keluar sebatang pit
dan arang tintanya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi arang
tinta dan di atas batu itu ia menulis huruf-huruf indah di atas kipasnya yang
putih bersih. Im Giok hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya
ini dengan bibir tersenyum dan hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok
membaca tulisan yang indah gayanya itu :
konde dan kipas
menjadi saksi
bertemunya dua hati
di bawah pohon, di tepi sungai.
semoga cinta kasih kita
kekal abadi takkan berpisah,
sehidup semati. ]/I]
Tiauw Ki memberikan kipas itu
kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri.
˜Aduh indahnya tulisanmu,
Koko...! katanya.
Akan tetapi Tiauw Ki hanya
menatap wajahnya, nampaknya berduka.
˜Kau mengapa, Twako?!
˜Sayang pertemuan seindah ini
diputuskan oleh perpisahan...! kata Tiauw Ki sambil memegang pundak gadis itu
ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar kepadanya.
˜Hanya untuk sementara waktu,
Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu selesai? Aku selalu
menantimu di sana, Koko...!
Kata-kata ini terdengar begitu
manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharunya kedua mata pemuda itu
sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke dadanya lebih erat lagi dan sampai
lama mereka tak bergerak, tenggelam ke dalam lautan madu asmara. Biarpun
keduanya diam tak bergerak, biarpun suasana di sekitar mereka sunyi senyap,
namun suara daun pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka
seperti suara musik mengiringi nyanyian surga yang amat merdu. Pohon, daun,
batu apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawa-tawa dan ikut
beriang gembira. Tiauw Ki dan Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan
yang paling indah di antara segala macam perasaan, namun keduanya masih sadar
sepenuhnya dan ingat akan kesopanan dan kesetiaan.
Sungguh mengagumkan mereka
ini, tauladan bagi muda-mudi beradab. Mereka pun diombang-ambingkan oleh ombak
asmara yang memabukkan, namun, mereka pantang melakukan pelanggaran dan mereka
teguh bagaikan karang di pantai samudra. Apapun juga yang terjadi, mereka
berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang bagaimanapun juga, ATURAN
(Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan termasuk dalam Lee ini dan
karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan sampai mengecewakan hati
kekasihnya dengan pelanggaran tatasusila yang mereka junjung tinggi!
Dalam keadaan bagaikan
setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak berkurang. Pendengarannya
memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran ketika tiba-tiba Im Giok
renggutkan kepalanya yang tadinya bersandar pada dadanya sambil berkata,
˜Koko, ada penunggang kuda
datang...!
Tiauw Ki memperhatikan dan
sampai lama setelah suara itu makin mendekat baru ia mendengar derap kaki kuda.