Bab 15 - Utusan Go-Bi-Pai
Im Giok sudah terlalu lelah
untuk mengejar mereka. Sebaliknya, ia melihat Pek Hoa Pouwsat mengeluh,
melepaskan sepasang pedangnya dan terhuyung-huyung mau roboh. Cepat Im Giok
melompat dan memeluk wanita itu. Melihat betapa Pek Hoa telah menjadi seorang wanita
yang mukanya tua dan buruk seperti iblis, dan melihat pula betapa bekas gurunya
ini sekarang menderita luka berat dalam usahanya menolong nyawanya, hati Im
Giok menjadi terharu sekali dan semua kebencian yang timbul di hatinya terhadap
bekas guru ini lenyap, terganti oleh kasih sayang yang hangat seperti yang dulu
terkandung di hatinya terhadap bekas guru ini.
˜Enci Pek Hoa...! bisiknya
sambil memondong tubuh bekas gurunya itu, dibawa ke tempat yang bersih dari
tumpukan mayat. Tiauw Ki menguatkan tubuh dan setengah merangkak ia pun
menghampiri tempat itu.
Pek Hoa Pouwsat membuka
matanya dan terlihatlah oleh Im Giok bahwa nenek ini benar-benar Pek Hoa
Pouwsat gurunya. Sepasang mata yang bersinar-sinar dan bening bagus itu memang
mata Pek Hoa. Tidak ada wanita kedua yang memiliki mata sebagus mata Pek Hoa,
demikian pikir Im Giok. Ketika pandang matanya melihat luka di leher, pundak,
dan dada yang mengeluarkan darah hijau, Im Giok menahan isak.
˜Enci Pek Hoa...!! bisiknya
lagi.
Pek Hoa tersenyum dan terbukalah
mulutnya yang ompong. Im Giok bergidik. Dahulu gigi Pek Hoa bukan main
indahnya, berderet rapi dan putih bersih laksana mutiara.
˜Im Giok, anak baik, kau makin
cantik saja...! Kemudian ia muntahkan darah yang wamanya hijau pula.
˜Im Giok..., aku... aku takkan
lama lagi dapat bertahan... kau cantik, sayang sekali kalau lenyap
kecantikanmu... kau pergilah ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih) carilah
telur Pek-tiauw... campur dengan obat ini... kau minum setengah tahun sekali...
selama hidup kau akan tinggal muda dan cantik...!
Pek Hoa menghentikan
kata-katanya dan tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan, kemudian ia tertawa
ha-ha-hi-hi, nampaknya geli dan seperti ada sesuatu yang lucu, tertawa terus
akan tetapi suara ketawanya makin lama makin lemah sehingga akhirnya terhenti
sama sekali!
˜Enci Pek Hoa, kau mati karena
aku... terima kasih...! bisik Im Giok di dekat telinga bekas gurunya dan tak
tertahan pula dua titik air mata menetes di kedua pipinya. Sayang sekali Im
Giok tidak sempat mendengar tentang pengalaman Pek Hoa, tidak tahu tentang
riwayatnya sehingga ia menyimpan obat pemberian bekas gurunya itu tanpa
ragu-ragu lagi. Kalau saja ia tahu... kiranya ia akan membuang obat itu
jauh-jauh dengan ngeri hati.
Sebagaimana telah dituturkan
di bagian depan, setelah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan terusir dari Pulau
Pek-le-tho, Pek Hoa-Pouwsat pergi dengan hati perih sekali. Ia tidak berdaya
menghadapi Bu Pun Su kakek sakti itu dan betapapun sakit hatinya, ia tak dapat
berbuat apa apa. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah karena ia telah
mengandung. Ia mendekati dan menggoda Han Le bukan sekali-kali karena ia
mencinta pengemis Sakti itu.
Tadinya ia bermaksud
menundukkan Han Le agar cita-citanya membalas dendam tercapai, agar ia mendapat
pembantu yang lihai. Memang ia berhasil karena bukankah ia telah berhasil
menewaskan Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang dua orang tokoh Siauw-lim-pai,
juga menewaskan Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai atas bantuan Han Le! Sayang
sekali bahwa biarpun bantuan dari Han Le, tetap saja ia tidak mampu mengalahkan
Bu Pun Su yang amat lihai itu. Dan semua itu dibelinya dengan penghinaan hebat.
Tadinya ia hendak mengganggu
Han Le, tidak tahunya ada juga rasa kasih sayang di dalam lubuk hatinya
terhadap Han Le, apalagi ia telah mengandung! Dan kini ia terusir dari pulau
itu, terpisah dari Han Le dan sama sekali tidak dapat membalas dendamnya.
Bukan main marah dan kecewanya
hati Pek Hoa. Ia bersembunyi di dalam hutan lebat, menanti saat kelahiran anak
yang dikandungnya. Wanita ini memang berhati keras dan merupakan seorang yang
luar biasa sekali. Tanpa bantuan siapa-siapa, berkat lwee-kangnya yang tinggi
dan kepandaiannya yang sudah sampai di tingkat puncak, ia dapat melahirkan anak
yang dikandungnya dengan selamat. Akan tetapi apa yang terjadi? Setelah anaknya
terlahir, terjadi perubahan hebat pada dirinya!
Kulitnya mengeriput, rambutnya
yang hitam panjang berubah menjadi putih, sebaliknya kulitnya yang putih
menjadi hitam dan tubuhnya menjadi kurus kering!
Pek Hoa Pouwsat semenjak kecil
mengutamakan kecantikan dan untuk menjaga kecantikannya ia bahkan setengah
tahun sekali makan telur Pek-tiauw yang dicarinya dengan susah payah. Dengan
obat ini ia memang tidak pemah tenjadi tua dan selalu tetap cantik dan muda.
Sekarang ia berubah menjadi demikian tua dan buruk, tentu saja hal ini
merupakan pukulan yang hebat sekali baginya. Ia tidak mengira sama sekali bahwa
khasiat obat itu akan musnah bahkan menjadi sebaliknya, merusak semua
kecantikannya apabila ia mempunyai anak! Kini baru ia tahu dan saking marah dan
sedihnya, Pek Hoa Pouwsat seperti orang gila lalu membanting mati anaknya
sendiri!
Kemudian ia lalu berlari-lari
seperti orang gila, merantau ke sana ke mari sampai akhimya ia bertemu dengan
Im Giok yang dikeroyok oleh Cheng-jiu Tok-ong dan orang-orangnya. Melihat
Cheng-jiu Tok-ong, timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit,
maka ia mengambil keputusan untuk membunuh bekas gurunya ini. Juga melihat Im
Giok yang cantik jelita, Pek Hoa tersenyum seorang diri dan berkata,
˜Dia harus menggantikan
aku..., ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku pula...!
Demikianlah, Pek Hoa Pouwsat
lalu menyerbu dan berhasil membunuh Cheng-jiu Tok-ong juga berhasil memberikan
obatnya kepada Im Giok. Biarpun untuk tercapainya dua maksud ini dia harus
mengorbankan nyawanya.
Setelah Pek Hoa Pouwsat
meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya berpelukan dan
keduanya mengeluarkan air mata.
˜Aduh, Giok-moi, sama sekali
aku tidak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam keadaan hidup,! kata Tiauw Ki.
Im Giok meraba muka Tiauw Ki
yang penuh luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian Tek, menjamah luka-luka itu
dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang.
˜Kasihan sekali kau, Koko...
kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang diri...!
˜Tidak ada yang harus
dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau marah dan pergi, agar
kau selamat...!
˜Aku tahu, Koko, aku
mengerti... alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku.!
˜Aku mencintamu lebih dari
mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi...!
Setelah keharuan mereka
mereda, Tiauw Ki bertanya,
˜Nenek yang menolong kita itu,
siapakah dia?!
˜Dahulu, di waktu kecil, dia
pemah menjadi guruku. Tadinya dia yang berjalan sesat, akan tetapi selalu aku
tahu bahwa di dalam hatinya, ia amat sayang kepadaku. Dan ternyata benar...!
Suara Im Giok menjadi lambat penuh keharuan. ˜Dia mengorbankan nyawa untukku...
Aku harus merawat jenazahnya baik-baik, Twako. Dia harus dikubur baik-baik...!
Tiauw Ki menyetujui dan sibuklah
mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek Hoa Pouwsat.
˜Bagaimana dengan mereka itu?
Sudah sepatutnya mereka itu dikubur juga, bukankah mereka manusia?! Tiauw Ki
menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di sana-sini dan suaranya gemetar.
Ngeri ia melihat mayat manusia yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu.
Benar-benar hebat amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa Pouwsat.
Im Giok memandang dan menarik
napas panjang. ˜Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita berdua dapat mengubur mayat
sebanyak itu? Apalagi tanpa ada alat untuk menggali lubang.!
˜Akan tetapi hatiku tidak
menginginkan mereka itu ditinggalkan begitu saja menjadi makanan binatang
buas...! Tiauw Ki membantah.
˜Jangan khawatir, Koko.
Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya. Pula, mereka itu adalah
anggauta pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan mereka akan datang
kembali untuk mengurus mayat mereka. Dan lagi, kita harus cepat-cepat
meninggalkan tempat ini. Kalau mereka datang lagi membawa bala bantuan,
celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat melawan
lagi...!
Kebetulan sekali mereka masih
dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya lari kacau-balau, maka cepat mereka
menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju ke utara, ke kota raja. Di tengah
perjalanan, Tiauw Ki berkata,
˜Giok-moi, aku ingin sekali
lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu pergi ke Sian-koan menemui
ayahmu. Kalau... kau sudah menjadi isteriku, kau harus membuang jauh-jauh
pedangmu dan selanjutnya kita hidup dalam damai dan tenteram. Aku tidak bisa
membiarkan isteriku merenggut nyawa manusia sedemikian banyaknya...!!
Im Giok tersenyum. Hatinya
membantah, karena dalam hal pertempuran, membunuh atau terbunuh adalah hal
biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut karena maklum bahwa
kekasihnya yang lemah itu baru saia terlepas dari bahaya maut dan baru
mengalami sesuatu yang benar-benar menakutkan. Perjalanan dilakukan cepat dan
ketika mereka lewat di sebuah kota, Im Giok membeli obat di toko obat untuk
mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki.
***
Kiang Liat yang melakukan
perjalanan ke Go-bi-san untuk menyampaikan surat dari Bu Pun Su kepada Ketua
Go-bi-pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak gunung itu dengan
selamat. Ia menghadap ciangbunjin dari Go-bi-pai, yakni Twi Mo Siansu, seorang
kakek berusia tujuh puluh tahun lebih dan sikapnya halus, tubuhnya tinggi kurus
dan alisnya putih semua. Kakek ini setelah membaca surat dari Bu Pun- Su,
mengangguk dan tersenyum.
˜Bu Pun Su benar-benar mengagumkan
sekali. Sudah tua masih berhati muda, bergelora dan bersemangat.
Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa,
orang-orang seperti kita ini mau bisa apakah?!
Mendengar kata-kata ini, di
dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali. Alangkah lemah dan pikunnya
ketua Go-bi-pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani bilang
apa-apa, hanya mendengarkan lebih lanjut. Juga para murid Go-bi-pai yang berada
di situ, yang jumlahnya belasan orang, tidak ada yang mongeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengar suara yang
nyaring dan mengandung tenaga.
˜Maafkan teecu, Susiok. Teecu
sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan bicara dalam urusan yang sama
sekali teecu tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, sungguhpun teecu tunduk dan
setuju akan kata-kata Susiok tadi bahwa apapun yang diusahakan oleh manusia,
akhimya keputusan berada di tangan Thian, namun, sebagai manusia yang berakal
budi, apalagi yang menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan seperti kita, teecu
rasa sudah sepatutnya kalau kita berusaha demi keadilan dan kebajikan. Adapun
akibat dan keputusannya, memang terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan
kalau pendapat teecu keliru dan selanjutnya mohon petunjuk, Susiok.!
Semua orang memandang kepada
pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang
pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah, patut sekali menjadi
seorang pendekar. Pakaiannya indah, pedangnya tergantung di pinggang, alisnya
hitam dan matanya berapi-api. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun. Kalau
Kiang Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda ini, adalah
lain-lain murid Go-bi-pai yang berada di situ memandang dengan muka merah dan
ada yang khawatir. Mereka menduga bahwa Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali,
karena sudah merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para anak murid tidak
sekali-kali boleh mencampuri percakapan antara guru besar ini dengan tamu yang
datang. Apalagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh para anak
murid. Akan tetapi pemuda ini telah berlancang mulut, tidak saja mencampuri
percakapan, bahkan terang-terangan berani mencela pendirian Twi Mo Siansu!
Suasana menjadi sunyi dan
tadinya Twi Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang mata yang masih amat
tajam berpengaruh itu memandang kepada pemuda gagah itu dengan marah. Akan
tetapi ketika bertemu dengan wajah yang tampan terbuka, mata yang berani
menentangnya penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali dan ia
tersenyum.
˜Bagus sekali, Liem Sun Hauw.
Biarpun pendirianmu itu pikiran orang muda jalan dan tidak sejalan dengan
pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Go-bi-pai dari luar kuil,
tentu tidak tahu akan peraturan di dalam kuil, maka kelancanganmu itu
kumaafkan. Sayang Suheng telah meninggal, kalau tidak tentu ia akan bangga
sekali mendengar ucapan muridnya di depanku.! Kakek ini lalu tertawa dengan
girang.
˜Harap maafkan, Susiok.
Sesungguhnya teecu tadi telah lancang tanpa dipikir dulu, harap banyak maaf.!
˜Tidak apa, tidak apa. Bahkan
kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa gerangan orangnya yang dapat
mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biarpun tidak sejalan dengan
pikiranku, aku setuju sekali dengan pendirianmu. Karena itu aku pun setuju
dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu minta bantuanku agar supaya kita
dari Go-bi-pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak penyerang mendatangi
dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara berada dalam bahaya dan
ancaman musuh berbagai pihak. Hal ini dapat dilakukan oleh semua anak murid
yang berada di sini melakukan penjagaan di sepanjang tapal batas sebagai
pengawas. Akan tetapi tentang permintaan ke dua dari Bu Pun Su agar supaya aku
turun gunung dan menghubungi kawan-kawan untuk memperkokoh persatuan dan
melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri, sungguh tak dapat kulakukan.
Kaulah, Sun Hauw, kau yang harus mewakili aku turun gunung!!
˜Teecu siap sedia menjalankan
perintah Susiok. Mohon nasihat dan petunjuk selanjutnya agar teecu dapat
melakukan tugas dengan baik,! jawab pemuda itu dengan suara tegas dan
bersemangat.
˜Kau hubungi semua tokoh besar
dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri sudah menyatakan setuju sekali
akan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti ini kita semua harus bersatu.
Jangan sampai ada perpecahan diantara kita dan kalau misalnya ada, urusan itu
harus dibereskan secara damai. Persatuan harus ditujukan untuk melindungi
negara dan rakyat dari bahaya. Apabila benar-benar terjadi perang, tentu muncul
banyak manusia jahat dan perlu sekali kita melindungi rakyat jelata dari
penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku kepada mereka dan pertama-tama
lebih tepat kalau kau pergi ke Bu-tong-san mengingat bahwa partai Bu-tong-pai
pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan dengan Kim-san-pai. Katakan kepada
Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-tong-pai bahwa kalau dia mau mengadakan
pertemuan damai dengan pihak Kim-san-pai, boleh mempergunakan kuil kita di
Go-bi-san sini.!
˜Teecu sudah ingat akan semua
pesan Susiok dan akan mentaati,! kata Sun Hauw, pemuda gagah itu.
Tiba-tiba seorang di antara
para anak murid Go-bi-pai yang duduk di situ, berdiri dan berkata dengan suara
lantang,
˜Maaf, Suhu. Teecu merasa
kurang puas dengan diangkatnya Liem-sute sebagai wakil Suhu. Hal ini menyangkut
nama baik partai kita, maka teecu merasa ragu-ragu apakah kelak nama baik
partai kita tidak akan terancam bahaya. Liem-sute baru saja datang di
Go-bi-pai, baru tiga hari dan hanya menurut pengakuannya sendiri Suhu tahu
bahwa dia adalah murid Thian Mo Siansu Supek. Bagaimana kalau dia itu sebenamya
bukan murid Supek? Sungguhpun andaikata dia itu benar-benar murid Supek, masih
belum boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-bi-pai, mengingat bahwa antara
Suhu dan Supek...!
˜Cukup!! Twi Mo Siansu
membentak dan murid yang bicara tadi, seorang tosu pula berusia kurang lebih
empat puluh lima tahun, tak berani melanjutkan kata-katanya dan duduk kembali.
˜Tek Sin, aku mengerti akan
maksud kata-katamu. Kita telah menerima tugas untuk menjadi tukang menggalang persatuan,
bagaimana kita masih ingat akan perpecahan sendiri? Tidak, bagaimanapun juga,
murid Suheng adalah murid Go-bi-pai pula. Keraguanmu tentang kemampuan Sun
Hauw, memang tepat. Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya apakah benar dia itu
anak murid Go-bi-pai, dan apakah kiranya dia sudah cukup kuat untuk melakukan
tugas mewakili aku.!
Tek Sin Tojin terkejut. Tak
disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat suhunya marah dan ia kini diharuskan
menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid pertama dari Twi Mo Sian-su
dan tadi mendengar tugas mewakili suhunya diberikan kepada pemuda itu, tentu
saja ia merasa tidak senang. Sekarang, ada jalan baginya untuk memperlihatkan
bahwa pandangannya tepat dan bahwa gurunya telah berlaku keliru menyerahkan
tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti Liem Sun Hauw yang baru saja
datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu.
˜Teecu tidak berani menolak
perintah Suhu,! katanya sambil berdiri, lalu katanya kepada Liem Sun Hauw.
˜Liem-sute, kau sudah mendengar sendiri perintah Suhu bahwa pinto harus
mengujimu. Oleh karena itu, marilah kita pergi ke lian-bu-thia (tempat berlatih
silat).!
Liem Sun Hauw tersenyum dan
menjura kepada tosu yang tubuhnya tinggi besar ini. ˜Twa-suheng, siauwte mana
berani menolak? Hanya mengharap belas kasihan Suheng dan jangan berlaku terlalu
keras kepada siauwte yang masih hijau.! Sambil berkata demikian, Liem Sun Hauw
lalu bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke lian-bu-thia.
˜Tidak usah ke lian-bu-thia,
di ruangan inipun cukup lebar kalau hanya untuk menguji kepandaian saja, Tek
Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini saja,! kata Twi Mo Siansu. Semua
anak murid Go-bi-pai lalu mengundurkan diri berdiri di pinggir untuk memberi
tempat yang lega bagi dua orang yang hendak mengadu kepandaian itu. Juga Kiang
Liat yang sebagai tamu tidak berani turut bicara lalu minggir. Ia melihat Tek
Sin Tojin sebagai seorang tosu tinggi besar yang jelas sekali bertenaga kuat
dan dari pandang mata tosu ini ia dapat mengetahui bahwa Tek Sin Tojin mempunyai
lwee-kang dan kepandaian yang tinggi. Maka diam-diam ia mengkhawatirkan keadaan
pemuda tampan itu. Kiang Liat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa Tek Sin
Tojin merasa iri hati kepada Sun Hauw dan dalam ujian silat ini tentu saja tosu
itu berusaha untuk membikin malu dan merobohkan Sun Hauw.
Liem Sun Hauw menanggalkan
jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas, menambah kegagahannya karena
nampak bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Ia berdiri di tengah ruangan
menghadapi Tek Sin Tojin dengan tubuh direndahkan dan kepala ditundukkan, tanda
menghormat kepada saudara tua.
˜Liem-sute, pinto lihat ada
pokiam (pedang pusaka) tergantung di pinggangmu. Dalam ujian ini, apakah kau
hendak mempergunakan pedang?!
Liem Sun Hauw menjura.
˜Siauwte serahkan pada kebijaksanaan Suheng saja, bagaimana cara Suheng hendak
menguji, siauwte siap mentaati perintah.!
˜Hemm, kalau begitu cabut
pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja.!
Liem Sun Hauw patuh. Ia
menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan, tanda bahwa pedang itu
adalah pedang yang baik. Ia memutar pedangnya dengan gerakan indah dan cepat,
tahu-tahu pedang itu kini telah dipegang di bagian pucuknya dan gagangnya
disodorkan ke arah Tek Sin Tojin, tangan kiri dibuka terpentang di depan dada.
Melihat ini, Kiang Liat tahu bahwa biarpun kelihatannya aneh sekali memegang
ujung pedang secara terbalik, namun gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan
dan tentu saja mempunyai arti tertentu.
˜Ketika Suhu memberikan
gin-kiam (pedang perak) ini kepada siauwte, Suhu berpesan siauwte jangan
sekali-kali menggunakan pedang ini untuk menghina orang dan melawan bertangan
kosong dalam pibu,! kata pemuda itu dengan sikap hormat.
Twi Mo Siansu
mengangguk-angguk girang. ˜Ah kiranya Suheng masih ingat akan pesan Sucouw,
masih ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya.!
Memang Go-bi-pai terkenal
keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang anak murid sama
sekali tidak boleh memamerkan ilmu pedangnya, juga tidak boleh menghadapi lawan
dalam pibu (pertandingan persahabatan) yang bertangan kosong dengan pedang.
Kalau terjadi lawan itu bertangan kosong menantang, ia harus menyerahkan pedang
itu dengan sikap dan gerakan tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Sun Hauw
ini. Tadi memang Tek Sin Tojin menguji apakah pemuda ini mengerti akan
peraturan ini dan ternyata Sun Hauw mengerti baik!
˜Kau memberikan pedangmu
kepadaku? Baik, kuterima dan awas terhadap caraku mengembalikannya!! kata Tek
Sin Tojin. Tangan kanannya menyambar dan di lain saat pedang itu telah
berpindah ke dalam tangannya, tosu tinggi besar itu lalu membuat gerakan
melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali, kemudian pada jungkiran
terakhir, ia menggerakkan tangannya dan pedang itu meluncur seperti anak panah
menyambar ke arah dada Liem Sun Hauw!
Pemuda itu cepat meloloskan
sarung pedangnya dan dengan gerakan indah namun cepat sekali ia menyambut
pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung pedang dan... tepat sekali
pedang itu masuk ke dalam sarungnya, mengeluarkan suara keras! Indah sekali
gerakan dua orang itu. Tek Sin Tojin melakukan gerakan menyambit yang merupakan
jurus terakhir dari ilmu pedang Go-bi-pai, yakni gerakan yang digebut Sin-liong
kian-hwe (Naga Sakti Mengulur Ekor) yang dimaksudkan untuk dipergunakan pada
saat terakhir atau pada saat sudah amat terdesak oleh lawan yang lebih tangguh.
Timpukan pedang yang tidak
terduga-duga ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil merobohkan
lawan, sedikitnya memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan diri!
Adapun Sun Hauw yang sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung
pedangnya dan cepat memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-bi-pai,
melakukan jurus ilmu silat yang disebut Sin-liong siu-cu (Naga Sakti Menyambut Mustikanya).
Memang, dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sun Hauw benar-benar
seorang anak murid Go-bi-pai yang jempol.
Adapun Kiang Liat yang juga
seorang ahli pedang terkemuka, melihat petunjukan ilmu pedang ini, diam-diam
merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Go-bi-pai memang cabang yang memiliki
ilmu pedang indah dan aneh-aneh, maka menyaksikan demonstrasi tadi, ia merasa
gembira dan memuji,
˜Bagus sekali!! Ia tidak tahu
bahwa memang di dalam ilmu pedang cabang Go-bi-pai terdapat pelajaran terakhir,
yakni bersilat dengan sarung pedang. Hal ini dipelajari untuk menjaga
kalau-kalau pedang terampas lawan, maka biarpun dengan sarung pedang, masih
dapat anak murid Go-bi-pai melakukan perlawanan hebat.
Sementara itu, sekarang Tek
Sin Tojin dan Liem Sun Hauw sudah mulai bertempur dengan tangan kosong. Gerakan
mereka cepat dan indah, setiap pukulan ditangkis atau dielakkan dengan tepat
dan cepat. Dilihat sepintas lalu, mereka seakan-akan dua orang anak murid
Gobi-pai sedang berlatih silat, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian, karena
Tek Sin Tojin mendesak dan menyerang dengan sungguh-sungguh.
Sekali saja Liem Sun Hauw
meleset dalam menangkis atau mengelak, ia akan terpukul dan mendapat luka di
dalam tubuh yang tidak ringan! Akan tetapi ternyata Liem Sun Hauw hafal akan
semua jurus serangannya sehingga pemuda ini dapat menangkis atau mengelak
dengan tepat, serta melakukan serangan balasan sebagaimana mestinya dalam jurus
dan gerak yang dilakukannya menghadapi suhengnya ini.
Kalau tadi melihat demonstrasi
ilmu pedang Kiang Liat merasa kagum, sekarang melihat ilmu silat tangan kosong
yang diperlihatkan, ia tidak merasa heran atau kagum. Ilmu silat itu memang
cepat dan indah lagi kuat gerakannya, akan tetapi tidak terlalu hebat dan Kiang
Liat merasa bahwa ilmu silatnya sendiri, ilmu silat keturunan keluarga Kiang
atau ilmu silat yang ia dapat dari Han Le dan Bu Pun Su, tidak usah kalah
menghadapi ilmu silat yang dimainkan oleh kedua orang itu.
Lima puluh jurus telah lewat
dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak sutenya, apalagi mengalahkannya!
Tiba-tiba tosu itu merubah gerakannya dan kagetlah Liem Sun Hauw. Biarpun ia
sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-bi-pai, tapi baru kali ini ia melihat
ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin. Ilmu silat ini hebat
sekali dan gerakannya seperti seorang kakek tua memberi pelajaran menulis
dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw terdesak.
Akan tetapi pemuda ini
mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya. Kini Twi Mo Siansu
sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu silat yang cepat
sekali gerakannya akan tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari Go-bi-pai!
Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena mengeluarkan ilmu silat
˜simpanan!. Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin adalah ilmu
silat Go-bi-pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang dicalonkan
menjadi ketua apabila ketua yang sekarang meninggal dunia, maka tidak
sembarangan dikeluarkan. Bahkan Thian Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi
pelajaran ilmu silat ini maka tentu saja Liem Sun Hauw tidak mengenalnya.
Akan tetapi Twi Mo Siansu yang
merasa senang melihat kegagalan Sun Hauw, tadinya ingin sekali tahu sampai
berapa lama Sun Hauw dapat mempertahankan diri. Alangkah kagetnya ketika ia
melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar biasa dan yang agaknya
dapat menandingi ilmu silat simpanan Go-bi-pai itu!
˜Tahan! Tek Sin dan Sun Hauw,
cukuplah ujian ini!! seru Twi Mo Siansu. Ia khawatir kalau-kalau sampai terjadi
korban dan ia merasa malu kalau sampai akhirnya Tek Sin Tojin kalah, apalagi di
situ terdapat seorang tamu. ˜Tek Sin, bagaimana pendapatmu? Sudah puaskah kau?!
Tek Sin Tojin adalah seorang
jujur. Ia cepat berlutut di depan suhunya dan berkata, ˜Dalam hal ilmu silat
Go-bi-pai, Liem-sute sudah memperlihatkan bahwa dia benar-benar anak murid
Go-bi-pai dan tidak kalah oleh teecu sendiri. Bahkan agaknya Liem-sute sudah
mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih hebat!! Kata-kata ini mengandung
sindiran bahwa sebagai murid Go-bi-pai, tidak selayaknya Sun Hauw menjadi murid
partai lain tanpa seijin Ketua Go-bi-pai.
˜Liem Sun Hauw, apakah kau
menjadi murid dari partai lain?! tanya Twi Mo Siansu dengan suara keren.
Sun Hauw berlutut, ˜Teecu hanya
menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu, tidak menjadi murid partai lain.!
˜Sute, jangan kau bohong!
Kalau menjadi murid partai lain, lebih baik mengaku saja, mungkin Suhu masih
dapat mempertimbangkan!! tegur Tek Sin Tojin.
˜Mana siauwte berani membohong
di depan Susiok, Suheng?!
˜Ilmu silatmu dalam
jurus-jurus terakhir bukan ilmu silat Go-bi-pai! Apakah kau hendak menyangkal?!
˜Memang bukan ilmu silat
Go-bi-pai, akan tetapi siauwte menerima pelajaran ilmu silat itu dari Suhu
pula, dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh yang sakti
bernama Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.!
Twi Mo Siansu terkejut
mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di antara tokoh-tokoh
terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping Bu Pun Su dan Han
Le.
˜Sun Hauw, mengapa kau tadi
mengeluarkan ilmu silat itu? Apakah kau hendak memamerkannya dan menganggap
bahwa ilmu silat itu lebih unggul daripada ilmu silat Go-bi-pai?!
˜Tidak sekali-kali teecu
berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi teecu tiba-tiba menghadapi serangan
jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali tidak teecu kenal, yang hebat dan
membingungkan teecu. Karena merasa bahwa tidak ada jurus ilmu silat Go-bi-pai
yang teecu kenal dapat menghadapi serangan Suheng itu, terpaksa teecu
mengeluarkan ilmu silat lain itu... harap Susiok sudi memaafkan.!
Twi Mo Siansu menarik napas
panjang. ˜Sudahlah. Di dunia ini memang banyak sekali ilmu silat tinggi, mana
bisa Go-bi-pai berani mengangkat dada mengagulkan kepandaian sendiri? Hanya
pesanku, Sun Hauw, apabila kau mengeluarkan ilmu silat yang tadi, kau
sekali-kali tidak boleh mengaku sebagai anak murid Gobi-pai! Pantangan besar
bagi murid Go-bi-pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan ilmu silat
Go-bi-pai.!
˜Teecu mentaati perintah
Susiok,! kata Sun Hauw.
Twi Mo Siansu berpaling kepada
Kiang Liat. ˜Sicu, sampaikan kepada sahabat baik Bu Pun Su bahwa permintaannya
sudah kuterima dan kusetujui. Tentang penjagaan di bagian utara, aku berianji
akan mengerahkan anak murid Go-bi-pai. Dan tentang usaha mempersatukan
sahabat-sahabat segolongan, kaulihat murid Liem Sun Hauw mewakili aku dan akan
berusaha mendamaikan urusan antara Kim-san-pai dan partai Bu-tong-pai.!
˜Terima kasih, Locianpwe.
Setelah saya melihat sikap saudara muda Liem ini, saya merasa kagum dan
tertarik. Oleh karena perjalanan menuju Bu-tong-san sejalan dengan perjalanan
saya, maka ingin sekali saya menemani Saudara Liem di perjalanan,! kata Kiang
Liat.
Setelah membuat persiapan dan
minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah Kiang Liat dan Liem Sun Hauw
turun gunung. Mereka merupakan dua orang jantan yang sama-sama gagah perkasa,
hampir seimbang kokoh kekar bentuk tubuhnya, sama-sama tampan dan gagah, hanya
bedanya, Kiang Liat sudah setengah tua, rambutnya sebagian sudah putih dan
mukanya sudah berjenggot berkumis, sedangkan Liem Sun Hauw masih muda, mukanya
masih halus. Kiang Liat sengaja mengerahkan ilmu lari cepat dan Liem Sun Hauw
yang muda tahu bahwa dirinya di!jajal! oleh utusan Bu Pun Su ini.
Sudah lama Liem Sun Hauw
mendengar nama besar Bu Pun Su yang dipuja-puja oleh mendiang suhunya, Thian Mo
Siansu, maka sekarang ia girang sekali dapat berkenalan dengan seorang yang
masih ada hubungan dengan Bu Pun Su. Melihat dirinya diuji, ia pun mengerahkan
gin-kang dan berlari secepat terbang mengimbangi kecepatan Kiang Liat. Mereka
menuruni Gunung Go-bi-san, melompati jurang dan melalui jalan yang sukar dengan
enak saja seperti orang berlari-lari di atas tanah rata.
Kiang Liat pernah menerima
latihan ilmu lari cepat Yan-cu-hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng,
maka dalam ilmu lari cepat, ia sudah mencapai tingkat tinggi. Oleh karena ini,
biarpun Liem Sun Hauw juga lihai, masih pemuda ini kalah setingkat. Namun Kiang
Liat juga tidak bermaksud membikin malu pemuda itu dan sengaja mengurangi
kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng. Setelah bercakap-cakap,
keduanya makin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa ilmu lari cepat
orang tua ini masih melampauinya, merasa kagum. Ia makin merasa suka karena Kiang
Liat ternyata tidak meninggalkannya dan tidak memamerkan kemenangannya.
Tiba-tiba di sebuah tikungan
jalan, mereka melihat seorang tosu gemuk pendek berdiri menghadang di tengah
jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan setelah dekat, Liem Sun Hauw mengenal
tosu ini sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu. Melihat sikap tosu yang
bermuka kuning dan bertubuh gemuk pendek ini, diam-diam Sun Hauw merasa tak
enak hati.
˜Agaknya Suheng ada keperluan
penting maka menanti siauwte di sini,! kata Sun Hauw sambil memberi hormat.
˜Memang ada keperluan penting
sekali,! kata tosu itu, suaranya tinggi dan menggetar. Mendengar suara ini dan
melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam Kiang Liat terkejut
karena maklum bahwa tosu yang kelihatannya tidak seberapa ini ternyata adalah
seorang seorang ahli lwee-keh yang memiliki tenaga lwee-kang tinggi.
˜Barangkali kau belum tahu, pinto adalah Tek Le Tojin, murid kedua dari
Ciangbunjin (ketua) Gobi-pai.!
Melihat sikap ini, Sun Hauw
merasa mendongkol sekali. Sikap ini menunjukkan seakan-akan dia tidak dianggap
sebagai murid Go-bi-pai, melainkan dianggap sebagai tamu. ˜Siauwte sudah
mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-suheng?!
˜Kau dipercaya oleh Suhu
memikul tugas yang berat. Tadi sudah pinto saksikan kepandaianmu, akan tetapi
sayang, Suhu buru-buru menahan. Oleh karena tugasmu penting sekali, pinto masih
merasa penasaran dan hendak meyakinkan apakah betul-betul kau akan sanggup
melakukan tugas itu karena kalau kiranya kau tidak patut menjadi wakil Suhu, masih
belum terlambat kau mengembalikan tugas itu kepada Suhu.!
˜Apa maksud Suheng?! tanya Sun
Hauw tak senang.
˜Menguji apakah betul-betul
kau patut menjadi wakil Suhu!! jawab Tek Le Tojin tegas.
Mendengar ucapan tosu muka
kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw mengerutkan kening,
hatinya tidak senang sekali.
˜Suheng Tek Le Tojin, mengapa
Suheng melakukan ini? Bukankah Suheng sendiri tadi sudah menyaksikan bahwa
Susiok telah memberi kekuasaan kepada siauwte untuk melakukan tugas ini?!
Tek Le Tojin tersenyum
menyeringai. ˜Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah. Akan tetapi kali ini
pinto benar-benar meragukan apakah kepercayaan Suhu kepadamu bijaksana. Kau
bocah kemarin sore yang belum tahu akan seluk beluk dunia kang-ouw,
bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas dengan baik? Apalagi kalau diingat
bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua partai
besar, Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Pinto sendiri yang sudah banyak makan garam
dunia masih ragu-ragu, apakah pinto akan berhasil menunaikan tugas itu, apalagi
seorang bocah macam engkau. Hemmm, apakah yang kauandalkan? Maka majulah, pinto
hendak mencobamu agar hati pinto tenteram kalau kau pergi. Bagimu mungkin nama
besar Go-bi-pai tidak ada artinya, namun bagi pinto dan para anak murid
Go-bi-pai amat besar artinya dan harus dijaga baik-baik, kalau perlu bahkan
dibela dengan taruhan nyawa!!
Sun Hauw merasa mendongkol. Ia
dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat tosu yang jujur ini, yang
meragukan keputusan Ketua Go-bi-pai sekali-kali bukan untuk menghinanya atau
untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu, melainkan untuk menjaga nama
baik Go-bi-pai yang kini mengutus seorang anak murid yang bukan langsung
belajar di Go-bi-san. Pendeknya, tosu ini tidak percaya akan kepandaiannya.
Kali ini aku harus memperlihatkan kepandaianku. Pikir pemuda ini dengan hati
gemas.
˜Baikiah, Suheng. Kau adalah
saudara tua, maka aku sebagai saudara muda mana berani membantah kehendakmu?
Biarlah Kiang-lo-enghiong ini menjadi saksi bahwa ujian kepandaian ini adalah
kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang menghendaki. Maka kalau sampai Susiok
marah, aku tidak mau memikul tanggung jawabnya.!
˜Baik, baik, biarlah Sicu ini
menjadi saksi. Nah, Liem-sute kau bersiaplah!! Sambil berkata demikian, Tek Le
Tojin memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun Hauw. Kuda-kudanya biasa saja,
kuda-kuda ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi kelihatan kokoh kuat seakan-akan
kedua kakinya telah berakar ke dalam tanah.
Melihat pasangan kuda-kuda
ini, didalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih tosu ini? Sudah
disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid kepala
Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid kedua
ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah murid kedua
lebih pandai daripada murid pertama?
˜Baiklah, Suheng. Siauwte
menanti pelajaran dari Suheng!! kata Sun Hauw sambil memasang kuda-kuda pula
menghadapi tosu itu.
Tek Lojin mulai menyerang
sambil berseru,
˜Awas serangan!! dan tangannya
memukul ke arah dada Sun Hauw. Pemuda ini dengan tenang lalu memindahkan kaki
sambil menangkis. Akan tetapi ia kaget sekali ketika lengannya beradu dengan
lengan tosu itu, karena ia merasa lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan
tenaga serangan ini demikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong! Ah,
sekarang tahulah dia. Ji-suhengnya ini adalah seorang yang memiliki lwee-kang
tinggi sekali, mugkin lebih kuat daripada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas
dan kini tidak berani lagi ia menerima pukulan suhengnya dengan tangkisan
langsung, sebaliknya ia mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas
menyerang. Ia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya,
juga pemuda ini menerima latihan gin-kang istimewa dari mendiang gurunya.
Akan tetapi lagi-lagi ia
terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin, biarpun tidak
mengenai tubuhnya, sudah mendatangkan angin pukulan yang panas dan dahsyat! Ia
tidak tahu bahwa tingkat ilmu lwee-kang dari Tek Le Tojin sudah amat tinggi dan
bahwa tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan lwee-kang tinggi yang
disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat).
Biarpun ilmu silat yang
dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap pukulan Tek Le Tojin
mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya mengalahkan Sun Hauw.
Sun Hauw benar-benar terdesak
hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin ini bahkan lebih kejam
daripada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin mendesak terus dengan
pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kiranya kalau mengenai tepat
pada sasarannya akan mendatangkan akibat hebat!
Karena tidak tahan menghadapi
serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw berseru keras dan kembali ia
mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang suhunya, yakni ilmu
pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus ia melawan dengan ilmu
silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le Tojin.
˜Bocah lancang! Kau sudah lupa
akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu silat iblis ini?! bentak
Tek Le Tojin!
˜Suheng yang mulai lebih
dulu!! bantah Sun Hauw. ˜Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan yang panas
itu? Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak terdapat pukulan macam itu!!
˜Begitu? Baik, kau tahanlah
pukulanku dengan ilmu iblismu itu!! Setelah membentak begini, Tek Le Tojin lalu
memukul dengan penggunaan tenaga sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus
mempergunakan kelincahan untuk mengelak. Kemudian dengan luar biasa cepatnya
dan tidak kalah hebat, ia membalas dengan serangan-serangannya yang tidak
dikenal gerakannya oleh Tek Le Tojin sehingga tosu ini menjadi kelabakan. Dalam
marahnya, ketika kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan
dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin lalu menyambut pukulan itu dengan
telapak tangannya.
˜Plak!! Dua pasang telapak
tangan bertemu dan Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang tangannya! Ia
terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, namun sia-sia
belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakan-akan menyedot tangannya
membuat kedua tangan Sun Hauw menjadi menempel dan perlahan-lahan Sun Hauw
merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan suhengnya itu menyerang ke
dadanya melalui sepasang lengannya!
Ia makin terkejut dan gelisah
karena sebagai seorang ahli silat tinggi maklumlah pemuda ini bahwa suhengnya
sedang menyerangnya dengan tenaga lwee-kang yang tinggi, menyerang secara keji
karena serangan ini kalau sampai melukai jantungnya berarti mengantar ia
menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)! Untuk melepaskan diri tak mungkin, maka Sun
Hauw lalu mengerahkan seluruh lwee-kangnya untuk melawan serangan ini. Baiknya
ia pun sudah mendapat latihan lwee-kang dari mendiang suhunya dan biarpun
tingkatnya masih kalah banyak dalam hal tenaga lwee-kang oleh suhengnya ini,
akan tetapi setidaknya tenaganya dapat menolak kembali serangan itu dan dapat
ia mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan saja bahwa
tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji.
Akan tetapi harapannya
ternyata kosong belakang. Tek Le Tojin tidak mengurangi serangannya, bahkan
mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda itu. Bahkan untuk
memamerkan keunggulannya dalam mengadu tenaga lwee-kang itu, ia masih membuka
mulut menyindir,
˜Hemm, begini sajakah orang
yang hendak mewakili Go-bi-pai? Benar-benar mengecewakan dan memalukan sekali!!
Diperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan kedua
lengan tangannya sudah mulai gemetar!
˜Sungguh mengherankan sikap
tokoh Go-bi-pai!! Tiba-tiba terdengar suara menggeledek dan Sun Hauw merasa
pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, tenaga yang dahsyat
melalui sepasang lengannya menyerang Tek Le Tojin sehingga tosu itu merasa
kedua lengannya kesemutan dan otomatis tempelannya lenyap tenaganya. Sun Hau,
mempergunakan tangan sambil melompat ke belakang. Ia terhuyung-huyung dan tentu
akan roboh saking lemasnya kalau saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan
punggungnya.
Tek Lek Tojin memandang Kiang
Liat dengan sepasang mata terbuka lebar dan mulut tersenyum masam.
˜Sudah menerima pelajaran dari
Kiang-sicu, sungguh mengagumkan...!! Memang, yang membantu Sun Hauw tadi bukan
lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak tega melihat pemuda itu
diancam bahaya maut oleh tangan suhengnya sendiri. Ia merasa penasaran, dan
biarpun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara dua orang murid
Go-bi-pai, akan tetapi ia tidak bisa membiarkan pemuda itu terbunuh begitu
saja.
Setelah berkata demikian
sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu lalu berlari naik ke
puncak lagi dengan cepat.
˜Sungguh berbahaya...! Sun
Hauw berkata sambil menarik napas panjang, ˜Baiknya ada Kiang-lo-enghiong yang
menolongku, kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan nasibku. Terima kasih
banyak, Kiang-lo-enghiong.!
˜Sudahlah, aku tidak bisa
membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan pandai, sayang
sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin Tojin sebagai
calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin lebih berbakat untuk menjadi
seorang ahli silat tinggi.!
Karena baru saja Sun Hauw
harus mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya dan tekanan Tek Le Tojin sudah
menyerang hebat, maka ia perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatannya. Kiang
Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan sambil beristirahat mereka
bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda ini, sebaliknya Liem Sur
Hauw makin menghormat karena kini ia baru ia tahu betul bahwa utusan Bu Pun Su
ini adalah seorang berkepandaian tinggi.
˜Agaknya Suheng Tek Le Tojin,
seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku karena aku murid Thian Mo
Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,! Sun Hauw bercerita, ˜Dahulu
Suhuku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai dibantu oleh Susiok Twi
Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai amat keras dan ketinggalan jaman,
maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya melebihi
pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhuku tidak
menyetujui peraturan-peraturan ini dan setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit
demi sedikit ia hendak merubahnya. Pendeknya ia hendak menjadi pencipta aliran
baru untuk menyesuaikan keadaan partai dengan kemajuan jaman. Akan tetapi,
Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang penganut aliran lama dalam peraturan
Go-bi-pai yang amat kukuh sehingga mulailah terjadi bentrokan paham antara Suhu
dan Susiok.
Perubahan yang hendak
dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu hendak memperkembangkan ilmu silat
Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai tidak hanya dimiliki oleh
para pendeta saja, akan tetapi dapat dipergunakan oleh orang-orang untuk
membasmi kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang
mengkhawatirkan kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan terjatuh ke dalam
tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-bi-pai.
Pendirian Susiok ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam kuil.!
Kiang Liat mengangguk-angguk.
˜Dua macam pendirian, namun keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Suhumu
benar karena apakah artinya para guru besar Go-bi-pai dahulu susah payah
menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan di dalam kuil dan tidak
dipergunakan untuk kebaikan umat manusia? Sebaliknya, susiokmu juga benar karena
memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali terjadi. Akan tetapi,
sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya,
biarpun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang
keras dan setiap murid diharuskan belajar di puncak Go-bi-san.!
˜Sayang dahulu tidak ada
Lo-enghio yang memberi nasihat kepada Suhu dan Susiok. Akan tetapi, pertikaian
itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang kepada Susiok, lalu
meninggalkan Go-bi-san dan menyerahkan kedudukannya kepada Susiok. Suhu sendiri
lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa orang murid di dalam
perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang terakhir sampai
Suhu meninggal di kampungku.!
˜Di manakah kampungmu?!
˜Kampungku Pek-kan-mui
terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu tinggal di sana
sampai tujuh tahun. Aku muridnya tunggal dan terakhir. Bahkan Suhu tinggalnya
juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah yang sudah menjadi
duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima tahun. Kemudian
karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan berpesan agar supaya
aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada Susiok serta memberi tahu
tentang kematian Suhu.!
Kiang Liat tertarik sekali
mendengar penuturan Sun Hauw. Apalagi ketika mendengar keadaan pemuda ini yang
tidak mempunyai ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan pemuda ini dengan
keadaan puterinya. Timbul rasa sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini
dan timbul keinginan hatinya untuk mengambil Sun Hauw sebagai mantunya,
dijodohkan dengan Kiang Im Giok. Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa kagum sekali
kepada Kiang Liat, juga ingin mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih
jelas.
˜Kalau aku boleh bertanya,
Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-enghiong yang lihai ini murid
siapakah?!
Kiang Liat tersenyum. ˜Aku
ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku pemah menjadi
murid Suhu Han Le, juga pernah menerima pelajaran dari pendekar wanita sakti
Bun Sui Ceng dan Supek Bu Pun Su pemah pula memberi pelajaran kepadaku.!
˜Aduh, pantas saja Lo-enghiong
begini lihai...! Sun Hauw berseru kagum dan menjura memberi hormat. ˜Harap
maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang hormat.!
˜Hushh, mengapa banyak
sungkan-sungkan? Apa sih artinya kepandaian? Betapapun tinggi Gunung Thai-san,
masih ada langit yang berada di atasnya! Betapapun pandainya seseorang, pasti
ada yang lebih pandai daripadanya. Kita sudah menjadi sahabat apa perlunya
berlaku sheji (sungkan)?!
˜Terima kasih atas kepercayaan
Lo-enghiong kepadaku yang muda dan bodoh. Di manakah Lo-enghiong tinggal? Siapa
tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung.!
˜Rumahku di Sian-koan dan di
sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku, ibunya sudah meninggal
dunia semenjak anakku masih kecil sekali...! Kiang Liat menarik napas panjang
dan meramkan mata karena teringat akan isterinya yang tercinta.
˜Ahhh aku ikut menyesal sekali
akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong...! cepat-cepat Sun Hauw menghibur
melihat keadaan Kiang Liat.
Pendekar ini membuka kedua
mata, bibimya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya basah. ˜'Terima
kasih, kau baik sekali, Liem-sicu.!
˜Namaku Sun Hauw, harap
Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap aku sebagai
sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak mendengar Lo-enghiong
bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!!
˜Baiklah Sun Hauw, kau memang
seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu bahagia, jangan seperti
aku...!
Melihat betapa Kiang Liat
kembali akan terbenam dalam kesedihan, Sun Hauw yang pandai membawa diri itu
berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa orang tua itu kepada
kenangan yang menggembirakan. ˜Loenghiong, kau begini gagah perkasa, sudah
tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?!
Maksud Sun Hauw berhasil. Kini
setelah teringat akan puterinya, berserilah lagi wajah Kiang Liat, matanya
bersinar-sinar gembira. Bukan hanya dapat membikin Kiang Liat untuk sementara
melupakan isterinya yang sudah meninggal, bahkan pertanyaan ini menimbulkan
kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda yang tampan dan gagah lagi
menyenangkan hati ini.
˜Kau maksudkan puteriku Im
Giok? Ha, ha, orang sudah memberi julukan padanya Ang I Niocu! Salahnya
sendiri, dia sejak kecil suka memakai pakaian serba merah sih. Kepandaiannya?
Ah, dia memang beruntung, Supek Bu Pun Su sendiri berkenan memberi beberapa
ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya pada waktu ini
kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi daripada tingkat kepandaianku!!
Diam-diam Sun Hauw terkejut.
Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, dan sekarang Kiang Liat
sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bemama Ang I Niocu Kiang Im
Giok itu lebih tinggi lagi?
˜Lo-enghiong benar-benar
berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga gagah perkasa. Benar-benar
membuat siauwte tunduk dan kagum,! kata Sun Hauw.
˜Sun Hauw, kau sendiri apakah
sudah menikah?!
Ditanya tentang ini secara
tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian mukanya berubah
merah dan ia menggeleng kepala.
˜Belum Lo-enghiong.!
˜Hemm, usiamu kurasa sudah
lebih dua puluh dan sudah sepatutnya kalau sudah mempunyai jodoh.!
˜Siauwte berusia dua puluh dua
tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana berani menyeret anak orang lain
dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?!
Jawaban ini menyenangkan hati
Kiang Liat.
˜Kata-katamu itu mencerminkan
watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus berani bertanggung
jawab atas semua perbuatannya. Akan tetapi ucapanmu itu tidak betul. Bukan
kemiskinan yang mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan, melainkan
ketidakrukunan atau ketidakcocokan keadaan dan watak. Sudah lama sekali aku
mencari-cari calon jodoh puteraku, akan tetapi karena aku takut kalau-kalau
wataknya tidak cocok, maka sampai sekarang aku masih belum menemukan orangnya.
Anakku memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu ia mengutamakan
kegagahan seperti semua keluarga kami, selain ini, tentang muka, hmmm. bagiku,
di muka bumi ini, kecuali mendiang ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia!
Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara terus terang. Sampai sekarang belum
pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut menjadi jodoh Im Giok. Dan
sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifat-sifatmu, aku melihat kau
seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu baik, dan kau
mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan gagah, kiranya pantas sekali
menjadi calon jodoh puteriku.!
Mendengar kata-kata ini bukan
main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah seperti udang
direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tidak berani langsung menatap
wajah Kiang Liat.
˜Bagaimana, anak muda?
Bersediakah kau menjadi calon suami puteriku?! Didesak begini, Sun Hauw tak
dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya dapat juga ia
menjawab,
˜Maaf, Lo-enghiong. Urusan ini
datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tak tahu bagaimana harus menjawab.
Kiranya perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku dari Bu-tong-san aku akan
singgah di Sian-koan dan memberi jawaban keputusan.!
Kiang Liat mengangguk-angguk
gembira. ˜Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku
sudah puas. Memang, syarat dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari
persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu keadaan hati
orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar
kata-kataku kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha, ha, ha! Baiklah, Sun
Hauw, aku menunggu kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong
kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok, kau takkan dapat tidur nyenyak lagi.
Ha, ha, ha!!
˜Aku yang bodoh menghaturkan
banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari Lo-enghiong yang
dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak tidak akan
mengecewakan hati Lo-enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa di kandung
badan, aku takkan melupakan Lo-enghiong. Aku bersumpah untuk datang ke
Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku.!
Demikianlah, dengan hati
girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Ia menuju pulang
ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-san.
***
Giok-gan Niocu Song Kim Lian
semenjak kecilnya memang sudah memiliki sifat-sifat kurang baik dari seorang
gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul. Di dalam hatinya ia
boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh bayangan pemuda-pemuda
tampan. Selama ia tinggal bersama gurunya dan sumoinya, ia masih tak dapat
berbuat sesuka hatinya karena takut kepada gurunya, juga takut dan segan kepada
Kiang Im Glok. Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoinya pergi dalam waktu
berbareng, yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan
Kiang Liat oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana
kuda betina liar tidak dipasangi kendali lagi!
Ia bersuka-suka dan
bermain-main dengan para pemuda kota Siang-koan yang boleh dibilang semua
memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit. Setiap hari Kim Lian
bersama serombongan pemuda tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual
tampang, pemuda-pemuda anak orang kaya yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa
kecuali mengatur pakaian dan merawat muka seperti perempuan, pergi berpesiar
sambil bergurau gembira. Penduduk-penduduk tua di Sian-koan menggeleng kepala
menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi siapakah berani menegur Giok-gan Niocu
Song Kim Lian yang selain memiliki kepandaian tinggi juga menjadi murid
Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar di Sian-koan?
Perjalanan Im Giok dan Kiang
Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian dan karenanya
membuat ia menjadi makin berani dan binal. Gadis yang merasa tidak ada orang
yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal sampai-sampai
pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda pemogoran untuk datang di
taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan bergembira!
Para pelayan di rumah gedung
keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan mereka ikut
bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan
itu adalah ketika dengan pakaian yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang
menggairahkan, Kim Lian keluar dan bermain silat pedang di tengah-tengah taman.
Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja
berpamer, tidak saja memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali
memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata
yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di antaranya hampir copot dan
melompat keluar dari kepala!
Tepuk tangan riuh-rendah dan
sorak-sorai gembira setiap kali terdengar menyambut setiap jurus atau gerakan
yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tidak mau bersilat dengan gerak cepat,
melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambat-lambatan agar setiap gerakannya
dapat ˜dinikmati! oleh pandang mata kawan-kawannya.
Selagi para pemuda itu
ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat dengan
bibir merah tersenyum-senyum manis dan mata jeli, melirik-lirik genit,
tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat oleh para pemuda itu,
akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika wajah Kim Lian
memucat dan gerakan silatnya berhenti.
˜Suci...!!! Setelah terdengar
suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan memandang ke
belakang dan di situ berdiri seorang gadis berpakaian merah, gadis cantik
jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah lama pula
menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani menyatakan karena Ang I
Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im Giok,
kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.
˜Pergi kalian orang-orang tak
beradab!! bentak Im Giok sambil menghunus pedang menggertak rombongan pemuda
itu.
Maka pergilah mereka seorang
demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil, bagaikan anjing-anjing
diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu berekor tentu
masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para pelayan juga
bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masing-masing.
˜Sumoi... kau sudah datang?
Ah, mereka itu... eh, aku... aku kesepian setelah kau dan Suhu pergi, maka
hendak mengadakan sedikit pesta...!
˜Mengapa mendatangkan
orang-orang lelaki melulu? Suci, kau benar-benar keterlaluan. Kalau tidak
merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan terjerumus...!
˜Mereka... mereka itu mengagumiku,
mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan, aku... aku senang sekali
mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi! Kim Lian mencoba membantah.
Im Giok menghela napas,
kehabisan akal. Memang ia sudah tahu akan sifat kakak seperguruannya ini yang
agak ˜mata keranjang!.
˜Sudahlah, masih baik aku yang
mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah yang datang tidak
saja kau mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan ditampar seorang demi
seorang.!
˜Hi-hi-hi, aku ingin melihat
muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar menjadi bengkak
seperti semangka,! kata Kim Lian genit. ˜Sebetulnya aku pun tidak suka dengan
pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi dimanakah mencari pemuda gagah
seperti Suhu di waktu muda? Karena tidak ada yang demikian, mereka itu untuk
kawan pun... bolehlah...!
˜Cukup! Suci, mengapa bicaramu
seperti itu? Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas kau berganti pakalan
yahg pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah duduk di ruang tamu.!
˜Siapa?! tanya Kim Lian
terheran.
Wajah Im Giok berubah merah.
Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna kemerahan yang menjalar
kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian.
˜Dia adalah Gan-siucai.!
˜Ooo, diakah? Yang kau antarkan
ke Tiang-hai? Yang dulu kita tolong dari tangan perampok?!
Im Giok mengangguk. ˜Benar,
dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan menghaturkan terima
kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekas kau berganti pakaian.!
˜Apa Suhu belum pulang juga?!
tanya Kim Lian.
˜Kalau dia tidak berada di
sini tentu berarti belum pulang, aku baru saja datang, mana aku bisa tahu?!
jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan sucinya yang ditinggal
seorang diri di rumah. Ia akan perlahan-lahan membicarakan tentang sikap
sucinya ini dengan ayahnya, karena kalau dibiarkan saja, bisa berbahaya nasib
hidup sucinya ini.
Setelah Kim Lian muncul lagi,
Im Giok makin mendongkol saja. Sucinya benar-benar terlalu. Sekarang menghadapi
Tiauw Ki, sucinya telah berganti pakaian indah dan baru, mukanya dibedaki tebal
dan bibir serta pipinya dimerah-merah! Dengan gerakan genit menarik Kim Lian
memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga sudah berdiri dan memberi hormat, lalu
Kim Lian berkata dengan suara halus merdu,
˜Ah, kiranya Gan-siucai yang
menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih ingat kepadaku?!
Tiauw Ki tersenyum ˜Tentu saja
Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah menolong nyawaku!!
Kim Lian mengeluarkan suara
ketawa, ˜Ah, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau yang harus berkata demikian,
sebaliknya akulah yang masih berterima kasih kepadamu. Kau telah memperlihatkan
pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow Bu Pun Su. Budimu itu
yang demikian besarnya, sampai mati pun aku Song Kim Lian takkan dapat
melupakannya!!
Sambil berkata demikian, ia
tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang penuh arti. Memang
sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat
menarik hati, karena keindahan matanya maka ia diberi julukan Giok-gan Niocu
(Nona bermata Kemala).
Melihat sikap Kim Lian ini,
diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak hati, akan tetapi pemuda
ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian ia berkata kepada Im
Giok,
˜Karena Kiang-lo-enghiong
belum pulang, biarlah aku pergi dulu dan aku akan menanti kedatangannya di
rumah penginapan. Mudah-mudahan saja ia akan datang tak lama lagi.!
Im Giok juga mendongkol
melihat sikap sucinya, maka memang lebih baik kalau kekasihnya itu lekas-lekas
pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,
˜Baikiah Gan-ko. Rumah
penginapan Liok-nam di ujung barat kota adalah rumah penginapan terbesar dan
baik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah pulang, tentu akan kuberi
kabar kepadamu.!
Tiauw Ki memberi hormat lalu
meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu pergi, Kim Lian lalu
memegang tangan Im Giok.
˜Eh, Sumoi yang manis. Agaknya
ada apa-apanya antara dia dan kau!! Wajah Im Giok menjadi merah sekali.
˜Jangan main-main, Suci.
Betapapun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan.!
˜Aha, jadi benar ada
apa-apanya? Nah, aku dapat membayangkan... aduh, aku tahu, aku dapat menduga...
hi-hi-hi-hi...!!
˜Suci, jangan sembarangan
bicara! Apa yang kau tahu? Apa yang kaubayangkan dan kauduga?!
˜Ah, begitu mesra,
adduuuhhh...! Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan kiri
pipinya.
˜Suci, jangan bikin aku marah.
Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan perempuan macam itu. Apa yang
kau duga?!
˜Sumoi, apa salahnya kalau kau
suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?!
˜Kau menyangka keliru!!
˜Yang betul bagaimanakah?! Kim
Lian memancing.
˜Takkan kuceritakan padamu!!
Im Giok berpura-pura marah.
˜Ah, begitu? Adikku yang baik,
kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau tak bercerita terus
terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku sendiri? Hmmm, dapat
kubayangkan betapa mesranya...! kembali Kim Lian menggoda.
˜Suci Kim Lian, jangan kau
main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk... meminangku. Ini
sungguh-sungguh bukan main-main!!
˜Aaaahh... begitukah?! Kim
Lian memeluk sumoinya. ˜Adikku yang manis, kau harus menceritakan pengalamanmu
kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan begitu mudah menjatuhkan
pilihan?!
Keduanya memasuki kamar dan di
dalam kamar itu dua orang gadis ini bicara kasak-kusuk. Im Giok menceritakan
pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya.
˜Dia seorang berbudi mulia,
Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang besar kepada diriku, dan
sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya demi untuk menolongku.
Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua sebaik dia.!
Terdengar isak tangis dan Kim
Lian memeluk adiknya sambil menangis.