Ang I Niocu Bab 18 - Perampok

Ang I Niocu Bab 18 - Perampok
Bab 18 - Perampok

˜Nona, kau begini muda, begini cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang aneh dan sukar dipercaya. Kalau kami melihat seekor singa betina, atau seekor ular betina atau binatang-binatang buas yang lain lagi, kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau seorang diri saja berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak mungkin! Ketahuilah bahwa kami bukannya orang-orang yang tidak menghargai persahabatan di dunia kang-ouw dan pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san Sam-kui yang terkenal gagah perkasa. Mungkin kau juga seorang kang-ouw, melihat lagakmu dan pedangmu, maka kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau suka menjawab pertanyaan kami, Nona manis.!

Biarpun kata-kata yang keluar dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu aturan, akan tetapi pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati Ang I Niocu, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata singkat,

˜Aku tidak peduli tentang Min-san Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan dengan kalian!! Setelah berkata demikian Ang I Niocu lalu berjalan pergi dari puncak itu, kegembiraannya yang tadi lenyap oleh gangguan ini.

Akan tetapi dua belas orang itu serentak mengejar dan menghadang di depannya. Pemimpin yang berhidung hitam tadi berkata,

˜Nanti dulu, Nona. Mengapa terburu-buru? Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja masih tidak mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm, kalau begitu kau seorang asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan kepada kami!!

Ang I Niocu mengerti bahwa ia berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi ia tetap tenang. Ia juga mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini, yakni siapa yang dianggap bukan kawan atau kenalan, apabila lewat di daerah mereka harus ˜membayar pajak jalan! atau kasarnya dirampok barang-barang bawaannya!

˜Berapa aku harus membayar pajaknya?! tanya Ang I Niocu. Sebagai seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan di dunia kang-ouw agar jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini sudah bersedia mengeluarkan uang untuk sekadar menyokong mereka.

Akan tetapi, orang-orang itu saling pandang dengan muka cengar-cengir, kemudian terdengar seorang di antara mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung Hitam.

˜Twako, minta ia tinggalkan pakaian yang dipakainya!!

˜Setuju...! Biar hilang sombongnya!!

˜Serahkan kepadaku saja untuk membikin jinak kuda betina liar ini!!

Kata-kata yang tak sopan mulai terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata,

˜Kau dengar sendiri, Nona manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik jelita dan masih muda, kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau bekalmu. Akan tetapi kami hanya menghendaki pakaian yang menempel di badanmu itu supaya kautanggalkan dan kau berikan kepada kami.!

Kata-kata ini disambut sorak-sorai para perampok itu. Ang I Niocu tetap tersenyum akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar, orang akan melihat belahan bibirnya yang bawah tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan cahaya berapi-api. Inilah tandanya bahwa Ang I Niocu menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Dengan gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau menghadapi orang-orang kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan menyentuh mereka. Untuk menggunakan pedang ia malu kepada diri sendiri. Masa menghadapi tikus-tikus busuk macam ini saja ia harus mencabut pedangnya? Akhirnya matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon, maka tersenyumlah ia, senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki itu makin tergiur hatinya.

˜Kalian ini tikus-tikus hutan berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah pembayaran pajakku ini!!

Tiba-tiba dua belas orang itu berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan mereka. Sebagai gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar ranting di tanah, kemudian menjerit-jeritlah mereka, disusul tubuh mereka roboh tumpang tindih. Si Hidung Hitam tahu-tahu kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang berubah merah karena darah, ada pula yang daun telinganya pecah dan ada yang lengannya tertusuk ranting, dan sebentar saja dua belas orang itu melarikan diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut!

Ang I Niocu melempar rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum manis dan langkah tenang ia turun dari tempat itu menghampiri kudanya. Dengan perlahan ia menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Ia mengira bahwa para perampok itu tentu sudah tobat dan tidak muncul lagi. Akan tetapi ternyata dugaannya ini keliru.

Baru saja ia turun dari puncak itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari segala jurusan muncul banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang tentu saja lebih hafal akan keadaan di situ dan dapat mengambil jalan pendek menghadang perjalanan Ang I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan orang, dipimpin oleh Min-san Sam-kui yang menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.

Melihat tiga orang yang pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para perampok itu, Ang I Niocu bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari atas kudanya.

˜Pek-hong-ma, kau tunggu aku di bawah sana!! katanya sambil menepuk punggung kuda itu. Kuda Pek-hong-ma ini sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi amat penurut dan karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona majikannya. Mendapat tepukan itu, ia lalu berlari-lari turun gunung! Dengan tenang Ang I Niocu lalu menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang menjadi pemimpin mereka.

Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa memandang kepada Ang I Niocu dengan mata mengandung kemarahan besar, sungguhpun kemarahan Ang Kim tercampur oleh keheranan dan kekaguman melihat gadis muda cantik jelita itu. Adalah Pek-ciang Kwan Liong yang berdiri dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menahan napas dan dadanya berdebar-debar.

˜Demi Iblis!! katanya perlahan dengan mata tak pernah berkedip menatap wajah dan bentuk tubuh gadis baju merah di depannya itu, penuh takjub. ˜Kalau dia itu manusia dan bukan dewi kahyangan, tidak tahu lagi aku apa bedanya antara gadis dan dewi!!

Mendengar ini, Bi Hoa adiknya membantah perlahan, ˜Apakah dewi kahyangan saja yang memiliki kecantikan luar biasa? Juga siluman rase memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan manusia biasa. Jangan kau salah duga, siluman rase disangka dewi kahyangan.!

˜Biarpun ia siluman rase atau siluman tikus, kalau bisa mendapatkan dia, aku akan merasa bahagia sekali... alangkah manisnya, eh, Bi-moi pernahkah kau melihat bibir semanis itu? Hemm...!

Percakapan antara kakak dan adik yang dilakukan bisik-bisik dan dari jarak jauh ini kiranya takkan dapat terdengar oleh telinga Ang I Niocu kalau saja gadis ini bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi. Pendengarannya jauh lebih tajam daripada pendengaran manusia biasa, maka ia dapat menangkap semua percakapan itu dan diam-diam ia tersenyum geli.

Sementara itu, Toa-to Ang Kim sudah menegur dengan kata-kata keras dan ketus, ˜Nona yang lewat di daerah kami! Kau mengaku berjuluk Ang I Niocu dan sudah melukai orang-orang kami secara kejam. Sebetulnya siapakah kau, dari golongan mana dan apa maksudmu datang ke wilayah kami melakukan penghinaan? Apakah sengaja kau mencari permusuhan dengan Min-san Sam-kui?!

˜Kepala berandal, enak saja kau bicara! Anak buahmu bersikap kurang ajar sekali sehingga terpaksa aku turun tangan memberi hajaran. Kau yang tidak bisa mendidik anak buahmu, tidak menegur mereka dan minta maaf kepadaku, sebaliknya hendak menegurku? Aku tidak mencari permusuhan dengan siapapun juga, andaikata aku tidak suka kepada kalian ini orang-orang kasar, agaknya Susiok-couwku Bu Pun Su takkan membolehkan aku mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi ini bukan berarti aku takut! Biar kalian sekalipun kalau bertindak kurang ajar dan keterlaluan, tak urung akan mendapat bagian!!

˜Bocah sombong rasakan, pedangku!! Bi Hoa sudah menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyerang Ang I Niocu.

Hanya nampak sinar pedang berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa. Ternyata Ang I Niocu telah mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian cepat dan kuat sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di atas tanah, sedangkan pedang kedua kalau ia tidak buru- buru melompat ke belakang dengan muka pucat, tentu akan terlepas pula!

˜Sumoi, tahan...!! Toa-to Ang Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala rampok yang tinggi besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu sambil berkata ramah,

˜Ah, tidak tahunya Li-hiap adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf, maaf, kami mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap Li-hiap sudi memaafkan perbuatan kurang ajar dari anak buah kami dan kelancangan Sumoi tadi.!

Diantara tiga orang kepala rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki pandangan yang lebih luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi terkejut bukan main mendengar nama Bu Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu, juga melihat betapa sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat merampas sebatang pedang dari tangan sumoinya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan diplomasinya.

Ang I Niocu adalah puteri seorang pendekar besar, juga murid dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, maka gadis ini dapat membawa diri. Melihat sikap orang tertua dari Min-san Sam-kui, ia pun merobah sikapnya dan membalas penghormatan itu.

˜Kalau mau bicara tentang maaf, siauwmoi juga mohon maaf sebanyaknya bahwa kedatangan siauwmoi di Bukit Min-san yang sesungguhnya hanya kebetulan lewat belaka, mendatangkan banyak gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalahpahaman telah diatasi, perkenankan siauwmoi melanjutkan perjalanan turun gunung mencari kudaku yang sudah lari lebih dulu tadi.! Memang bagi Ang I Niocu, tidak perlu ia menanam bibit permusuhan dengan segala macam penjahat rendah, apalagi kalau tidak ada sebab-sebabnya yang kuat. Ia takut akan mendapat marah dari Bu Pun Su karena dalam perjalanan berusaha mendamaikan permusuhan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, amat tidak baik kalau usaha itu ia mulai dengan permusuhannya dengan golongan lain! Maka ia hendak menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi dasar harus terjadi keributan, tiba-tiba Pek-ciang Kwan Liong, orang ke dua dari Min-san Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh hormat menjura ke depan Ang I Niocu sambil mengeluarkan suaranya yang merdu halus,

˜Lihiap Ang I Niocu, aku yang. rendah Pek-ciang Kwan Liong, ikut menghaturkan terima kasih atas ketinggian budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita baru saja berjumpa, akan tetapi kau telah mendapat kedudukan tinggi dalam pandangan kami. Kelihaianmu dan pribudimu yang luhur benar-benar membuat kami kagum dan tunduk. Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan, aku mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Li-hiap singgah di tempat kami untuk mempererat perkenalan ini. Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling membantu dalam urusan besar.!

Ang I Niocu merasa ragu-ragu. Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan cepat-cepat pergi dari situ. Akan tetapi, orang telah mengajukan permintaan demikian penuh hormat dan merendah, tidak enak juga kalau ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,

˜Ah, Koko, kau ini tidak bisa melihat gelagat. Lihiap Ang I Niocu biarpun sudah memaafkan kita, akan tetapi tadi bermusuh dengan kita, mana ia percaya kepada undanganmu? Tentu disangka kita hendak menjebaknya!!

Merah muka Ang I Niocu mendengar ini. Dengan suara mengejek ia berkata,
˜Hemm, sesungguhnya aku hendak menolak undangan ini. Akan tetapi karena khawatir disangka takut akan jebakan, biarlah aku melihat-lihat sarang kalian.!

Berseri wajah Pek-ciang Kwan Liong. Ia segera memberi perintah kepada para anak buah berandal untuk mempersiapkan segata sesuatu di ˜pesanggrahan! untuk menyambut datangnya tamu agung, dan mempersiapkan meja perjamuan!

Setelah itu, dengan langkah tenang dan gagah Ang I Niocu diiringkan naik ke sebuah puncak tak jauh dari situ, puncak yang penuh dengan pohon-pohon liar. Di tengah-tengah hutan di puncak bukit ini terdapat sebuah rumah kayu yang besar. Inilah tempat tinggal dari Min-san Sam-kui, adapun para anak buah rampok itu tinggal di sekeliling puncak, di dalam gubuk-gubuk kecil yang dibangun di sana-sini.

Ketika mulai mendaki puncak bukit ini, di kanan kiri lorong berdiri para perampok dengan senjata di tangan, berdiri tegak seperti barisan memberi hormat seorang jenderal yang lewat. Keadaan amat angker dan menakutkan, akan tetapi Ang I Niocu tetap tenang-tenang saja, berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.

Iring-iringan ini masuk ke dalam bangunan besar dan diam-diam Ang I Niocu merasa kagum karena keadaan di dalam bangunan kayu ini jauh bedanya dengan keadaan di luar. Belasan pemuda dan pemudi yang nampak di ruangan tamu dan kelihatan sebagai pelayan-pelayan tidak kasar-kasar seperti para perampok itu, bahkan boleh dibilang rata-rata para pemudanya tampan-tampan dan para gadisnya cantik-cantik.

Sama sekali ia tidak mengira bahwa para pemuda ini adalah orang-orang culikan yang dipaksa dan dibawa ke tempat itu sebagai kekasih Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa dan juga gadis-gadis itu adalah orang-orang culikan yong dipaksa menjadi kekasih Pek-ciang Kwan Liong! Mereka ini selain bertugas menghibur hati kakak beradik mata keranjang ini, juga bekerja sebagai pelayan dan selalu berada di dalam bangunan, tidak pernah keluar, apalagi ikut merampok. Mereka ini pendiam tidak banyak bicara, dan pucat-pucat, muka orang-orang yang putus harapan.

Di ruangan tamu yang lebar itu telah sedia meja panjang penuh dengan hidangan-hidangan lezat. Kembali Ang I Niocu terheran-heran karena bagaimana di tengah hutan dan di puncak gunung itu orang bisa mendapatkan hidangan-hidangan seperti di rumah makan di kota saja? Ia tidak tahu bahwa memang di tempat ini disediakan bahan-bahah masakan yang serba lengkap, juga di situ terdapat sebuah dapur yang besar dan lengkap, bahkan terdapat pula seorang koki culikan. Kesukaan Toa-to Ang Kim yang terutama adalah makanan enak, maka untuk memenuhi selera dan memuaskan hatinya Ang Kim setiap hari diadakan pesta besar memotong ayam dan sapi.

˜Untuk menghormati kedatangan Li-hiap, sebelum melanjutkan perjalanan kami mengadakan sekedar makan-minum. Setelah mengaso sebentar baru Li-hiap dapat melanjutkan perjalanan,! kata Ang Kim sambil tertawa ramah.

˜Mana bisa begitu sebentar? Kami harap Li-hiap suka bermalam di tempat kami yang buruk ini barang semalam dua malam,! Kwan Liong menyambung cepat-cepat, sedangkan Kwan Bi Hoa hanya tersenyum-senyum saja dan kadang-kadang memandang kepada seorang pelayan tampan dengah mata mendelik kalau pelayan ini mengerling ke arah Ang I Niocu dengan pandang mata kagum. Agaknya perempuan ini besar sekali cemburunya!

˜Undangan makan kuterima dengan senang hati dan terima kasih. Akan tetapi untuk bermalam di sini betul-betul tak mungkin. Aku harus segera melanjutkan perjalanan,! jawab Ang I Niocu dan tanpa malu-malu ia segera mengambil tempat duduk ketika pihak tuan rumah mempersilakannya. Mereka lalu mulai makan minum. Ang I Niocu berlaku seolah-olah ia makan dan minum semua hidangan tanpa ragu-ragu dan tanpa sangsi-sangsi. Padahal sebenarnyalah amat hati-hati dan waspada, hidungnya bekerja keras mencium bau setiap makanan dan minuman sebelum makanan atau minuman itu memasuki mulut dan perutnya. Akan tetapi ia sengaja tidak pernah mengeringkan cawan araknya sehingga setelah pihak tuan rumah menghabiskan tujuh delapan cawan, ia baru menghabiskan tiga cawan saja.

Pek-ciang Kwan Liong yang mukanya sudah mulai kemerahan akibat pengaruh arak berdiri dan tertawa-tawa sambil memegang seguci arak yang baru didatangkan oleh pelayan.

˜Lihiap Ang I Niocu mengapa sungkan-sungkan? Arak kami adalah arak simpanan, arak wangi yang sudah puluhan tahun usianya, amat baik untuk menyehatkan tubuh dan menambah semangat. Harap Li-hiap sudi menerima secawan arak untuk menghormati pertemuan yang amat membahagiakan hati ini!!.

Tentu saja Ang I Niocu tak dapat menolak dan memberikan cawannya untuk diisi penuh. Arak kali ini adalah arak berwarna merah yang baunya harum sekali, mengalahkan arak yang tadi-tadi. Ang I Niocu mengikuti mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya. Sebelum arak itu memasuki mulutnya, hidungnya mencium bau keras diantara bau harum, akan tetapi tanpa memperlihatkan tanda sesuatu, Ang I Niocu menenggak arak itu. Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, berdiri, dan memegang kepala sambil menundukkan mukanya, lalu terhuyung-huyung seperti orang pusing.

Ia mendengar Ang Kim bertanya, ˜Eh, eh, Li-hiap kenapa...?! Juga ia mendengar suara ketawa Kwan Bi Hoa, kemudian ia mendengar suara yang diharap-harapkan, yakni suara Kwan Liong yang berkata perlahan penuh kegembiraan, ˜Aha, sudah kena... roboh... roboh...!

Ang I Niocu terguling miring dan roboh tak bergerak lagi! ˜Sute apa yang kau lakukan?! terdengar Ang Kim membentak sutenya.

Kwan Liong tidak menjawab akan tetapi yang menjawab adalah Kwan Bi Hoa yang tertawa-tawa genit, ˜Twa-suheng seperti tidak tahu saja, mana Liong-ko mau melepaskan orang begini cantik?!

˜Bi-moi benar, Twa-suheng,! kata Kwan Liong, ˜Belum pernah selama hidupku aku melihat seorang gadis secantik ini. Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, tentu selamanya aku akan terkenang dan tergila-gila.!

Ang Kim menarik napas panjang. ˜Asal kau berhati-hati saja. Dia itu lihai sekali...!

˜Jangan khawatir, Suheng. Aku sudah biasa menundukkan singa-singa betina liar. Kalau sekali ia sudah menjadi punyaku, tentu ia akan menjadi penurut dan dia akan menjadi pembantu kita yang amat boleh diandalkan.!

Ang Kim mengomel sambil menghirup araknya. ˜Sesukamulah, kesukaanmu main-main seperti ini tidak akan menambah panjangnya usiamu. Aku lebih baik makan dan minum...! terdengar dengan lahapnya ia mengunyah daging dan mendorongnya ke dalam perut dengan arak beberapa teguk.

Kwan Bi Hoa yang sudah setengah mabuk, membelai-belai rambut seorang pemuda pelayan yang berlutut di dekatnya, sedangkan Kwan Liong sambil tertawa haha-hihi mendekati Ang I Niocu, dan berlutut
Ang I Niocu yang kelihatan seperti orang pingsan tak berdaya itu, tiba-tiba membuka mulutnya dan arak tadi menyembur keluar dari mulutnya, mengenai muka Kwan Liong.

˜Ayaaa...!! Kwan Liong menjerit sambil melompat mundur dan kedua tangannya menutupi muka yang terasa pedas sekali terkena semburan arak tadi. Akan tetapi di lain saat, sinar pedang berkelebat dan kepala Pek-ciang Kwan Liong terpisah dari lehernya yang terbabat putus oleh pedang di tangan Ang I Niocu!

Dara baju merah ini berdiri dengan mata berapi-api, pedang di tangan dan sikapnya mengancam sekali. Toa-to Ang Kim berdiri seperti patung di atas kursinya, terlampau kaget sehingga untuk beberapa lama ia tak dapat bergerak. Siang-kiam Sian-li Kwah Bi Hoa juga melompat berdiri dengan mata terbelalak, kaget setengah mati melihat kakaknya sudah menggeletak dengan leher putus.

˜Bagus, kalian memang buta, akan tetapi tadinya kukira kalian sudah sembuh dan dapat melihat. Tidak tahunya kalian ini tikus-tikus busuk yang tidak pandai menggunakan mata. Orang-orang macam kalian ini kalau tidak dibasmi, untuk apalagi aku sejak kecil mempelajari ilmu?! kata Ang I Niocu dan sekali kakinya menendang, sebuah meja penuh piring dan mangkok melayang ke arah Kwan Bli Hoa. Perempuan ini cukup gesit, melompat ke samping dan yang menjerit roboh adalah pelayan yang tadi dibelainya, terpukul meja.

Para pelayan menjerit dan lari ke sana ke mari mencari tempat sembunyi. Para anak buah perampok yang menjaga di luar, cepat menyerbu masuk dengan senjata di tangan. Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa sudah sadar dari kagetnya dan kini Ang Kim memegang goloknya yang besar sedangkan Bi Hoa memegang sepasang pedang siap menggempur Ang I Niocu.

Ang I Niocu mengeluarkan suara ketawa yang merdu akan tetapi yang membangkitkan bulu tengkuk para perampok ketika gadis ini berkata,

˜Rakyat Min-san, saksikanlah aku Ang I Niocu membebaskanmu dari gangguan perampok-perampok Bukit Min-san!! Di lain saat, tubuh Ang I Niocu berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah yang menyambar ke sana ke mari, dikeroyok oleh Ang Kim, Kwan Bi Hoa, dan puluhan orang perampok yang biasanya berlaku sewenang-wenang kepada rakyat di sekitar daerah itu. Pedang di tangan Ang I Niocu luar biasa sekali ganasnya, setiap kali meluncur pasti merobohkan seorang perampok yang tewas di saat itu juga.

Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran yang hebat. Meja kursi yang tadi dipakai pesta, melayang ke sana ke mari terkena terjangan dan tendangan. Mangkok piring yang pecah tertumbuk dinding kayu atau jatuh di lantai menerbitkan suara hiruk-pikuk. Ini semua masih ditambah oleh orang-orang berteriak kesakitan. Darah membanjiri ruangan itu.

Akhirnya hanya lima orang tangan kanan mereka saja yang masih melakukan pengepungan. Yang lain-lain tidak ada lagi. Banyak yang menggeletak tak bernyawa, akan tetapi lebih banyak pula yang melarikan diri karena gentar menghadapi pendekar wanita baju merah yang kosen itu.

Golok besar yang dimainkan oleh Ang Kim cukup kuat dan tangguh. Golok ini diputar mengeluarkan angin dan sinar pedang Ang I Niocu sukar menembus benteng sinar goloknya yang bergulung-gulung. Juga Kwan Bi Hoa berdaya upaya membalas kematian kakaknya, sepasang pedangnya diputar cepat, membalas serangan Ang I Niocu dengan serangan maut. Lima orang perampok yang ikut mengeroyok benar-benar merupakan anak buah yang setia, karena sungguhpun mereka ini kewalahan benar, namun mereka tidak mau melarikan diri meninggalkan dua orang pemimpin mereka itu.

Ang I Niocu tadinya mengharapkan mereka ini melepaskan senjata dan minta ampun. Kalau terjadi hal demikian, kiranya ia pun tidak tega untuk membunuh mereka, asal saja mereka mau berjanji untuk mengubah cara hidup, ia bersedia untuk memberi ampun. Akan tetapi melihat kekerasan kepala mereka, timbul amarah di dalam hatinya.

˜Bangsat-bangsat kecil, kalian tak boleh dikasih hati!! bentaknya dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah. Kalau tadi permainan pedangnya cepat menyilaukan mata, adalah sekarang menjadi lambat dan gerakan tubuhnya amat indah seperti orang menari-nari. Akan tetapi kini setiap kali pedangnya digerakkan, bukan hanya sebagai main-main belaka, melainkan merupakan serangan yang tak dapat ditangkis lagi. Sekali pedangnya berkelebat ke arah dua orang perampok, biarpun dua orang itu sudah menangkis dengan golok, tetap saja pedang itu menyeleweng dan meneruskan serangannya tanpa dapat dielakkan lagi. Dua orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Ang I Niocu melanjutkan serangannya dan dalam beberapa jurus saja tiga orang perampok yang lain roboh juga.

˜Apakah kalian masih belum mau bertobat!! Ang I Niocu memberi kesempatan terakhir kepada Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa.

Jawaban yang diterimanya hanya sabetan golok besar pada lehernya dan tusukan sepasang pedang pada dada dan leher!

˜Kalian sudah bosan hidup!! bentak Ang I Niocu yang tiba-tiba lenyap menjadi bayangan merah yang melesat ke sebelah kiri tubuh Kwan Bi Hoa. Sebelum perempuan cabul ini dapat menangkis, pedang Ang I Niocu sudah memasuki lambungnya, membuat ia terguling roboh. Sebuah jeritan ngeri merupakan perbuatan terakhir yang dapat ia lakukan.

Melihat sumoinya roboh, Toa-to Ang Kim menjadi nekat. Goloknya diputar dalam penyerangan mati-matian. Akan tetapi, seorang lawan seorang, dia ini bukanlah lawan tanding dari Ang I Niocu. Dalam tiga jurus kemudian, pedang Ang I Niocu telah memasuki rongga dadanya dan matilah kepala rampok yang sudah menumpuk dosa selama bertahun-tahun ini.

Ang I Niocu memandang ke kanan kiri. Tidak kelihatan seorang pun anggauta perampok. Ia berjalan memasuki ruangan dalam. Tiba-tiba belasan orang laki perempuan berlari keluar dan berlutut di depannya sambil menangis. Mereka ini ternyata adalah pelayan-pelayan tadi yang sudah bersembunyi di belakang dan kini mereka berlutut di depan Ang Niocu dengan ketakutan.

˜Mohon ampunkan hamba sekalian, Li hiap. Hamba sekalian hanya orang-orang culikan yang tidak berdosa...! mereka meratap..

Ang I Niocu menjadi terharu sekali dan diam-diam ia mengutuk kejahatan para perampok dan merasa girang bahwa yang dibasminya benar-benar segerombolan orang jahat pengganggu rakyat.

˜Jangan takut, aku memang akan menolong kalian. Sekarang kumpulkan semua barang-barang berharga, bagi-bagi di antara kalian, kemudian kalian boleh pulang ke kampung masing-masing.!
Dengan girang sekali belasan orang laki-perempuan itu lalu berserabutan lari ke dalam kamar-kamar di mana terdapat barang-barang berharga dan tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di luar, masing-masing membawa bungkusan besar. Ang I Niocu lalu membakar bangunan besar itu yang sebentar saja menjadi lautan api karena bangunan itu terbuat dari kayu.

˜Kalian pulanglah ke rumah masing-masing,! kata pula Ang I Niocu.

Rombongan orang muda itu menjatuhkan diri berlutut untuk menghaturkan terima kasih, kemudian mereka berlari-lari turun gunung dengan kegirangan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka, kegirangan burung-burung yang dilepas dari sangkarnya yang sempit.

Ang I Niocu lalu turun gunung lagi melalui lereng yang tadi, untuk mencari kudanya. Akan tetapi, alangkah heran dan cemasnya ketika ia tidak dapat menemukan Pek-hong-ma. Ia telah memanggil-manggil nama kuda itu dengan suara keras, akan tetapi tetap saja Pek-hong-ma tidak mau muncul.

˜Eh, kemanakah dia?! Ang I Niocu menjadi cemas. ˜Apakah ada kuda lain di sini yang menariknya?! Gadis itu mempergunakan kepandaiannya, berlari cepat ke sana ke mari, melompati jurang-jurang kecil yang kiranya dapat dilompati kudanya. Tiba-tiba ia mendengar suara ringkik Pek-hong-ma di balik gunung kecil. Cepat ia berlari ke tempat itu dan ketika ia tiba dibelokan gunung ini, ia melihat pemandangan yang membuat bibir dan pelupuk matanya gemetar saking marahnya.

Kuda Pek-hong-ma telah rebah miring, dalam keadaan berkelojotan hampir mati. Leher dan dadanya mengucurkan darah. Ketika mata kuda itu melihat Ang I Niocu, binatang ini mengeluarkan suara lagi menggelogok, kakinya berkelojotan keras seperti hendak meronta-ronta, kemudian menjadi lemas. Binatang itu telah menjadi bangkai.

Dengan sinar mata tajam berapi, Ang I Niocu memandang kepada orang-orang yang berada di tempat itu, yang semua berdiri seperti patung dan memandang kepadanya dengan sinar mata menantang. Di dekat kuda itu berdiri tiga orang wanita, yaitu seorang nenek dan dua orang gadis. Sekali pandang saja Ang I Niocu mengenal mereka. Nenek itu bukan lain adalah Koai-tung Toanio tokoh besar Kong-thong-pai dan dua orang gadis itu adalah anak-anaknya yang terkenal dengan sebutan Kim-jiu Siang-eng Kwan Ci-moi! Tiga orang wanita itu dahulu pernah bertempur dengannya ketika ia melakukan perjalanan bersama Gan Tiauw Ki.

Apakah kehendak tiga orang wanita yang sekarang datang bersama serombongan orang yang berpakaian seperti pasukan pemerintah? Dahulu tiga orang wanita ini sengaja mencari gara-gara dan memusuhinya dan sekarang, begitu muncul mereka agaknya sengaja membunuh kudanya Pek-hong-ma, apakah artinya semua ini?

Saking marahnya melihat Pek-hong-ma dibunuh, Ang I Niocu membentak sambil menudingkan pedang yang sudah dicabutnya ke arah tiga orang wanita itu.

˜Kalian ini tiga siluman wanita ibu dan anak mengapa selalu memusuhiku? Dahulu kalian sudah menjadi pecundang, mengapa ada orang-orang begitu tidak tahu malu, menimpakan sakit hati kepada kudaku? Sungguh keji dan pengecut besar!!

Koai-tung Toanio yang dahulu pendiam sekarang nampak marah sekali. Ia menudingkan tongkatnya ke arah Ang I Niocu dan berkata marah,

˜Manusia keji Ang I Niocu! Baru saja kau telah membunuh anak-anakku Kwan Liong dan Kwan Bi Hoa, masih saja kau berkata tidak mempunyai kesalahan kepada kami? Manusia celaka, dahulu kau melakukan penghinaan terhadap kami masih boleh kami lupakan, akan tetapi sekarang, kau berani membunuh mati dua orang anakku dan kawan-kawan mereka. Benar-benar aku tidak bisa hidup bersamamu di muka bumi ini, seorang diantara kita harus mampus sekarang dan di sini juga!!

Ang I Niocu kaget dari baru sekarang ia melihat beberapa diantara pelayan yang tadi ia bubarkan berada di situ, berlutut dan bajunya robek-robek, agaknya tadi dicambuki dan disuruh mengaku. Tidak tahunya dua orang Min-san Sam-kui adalah anak dari Koai-tung Toanio atau kakak-kakak dari dua orang gadis yang sekarang menghadapinya bersama mereka. Ia menjadi marah dan biarpun tiga orang wanita itu datang bersama pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, semuanya nampak tegap-tegap dan merupakan tentara terlatih, ia sama sekali tidak menjadi gentar.

˜Pantas... pantas ...! Hari ini aku bertemu dengan keluarga besar penjahat dan pengecut! Majulah kalian, biar aku tidak kepalang tanggung dan biar pedangku kenyang dan puas membabat iblis-iblis bermuka manusia!!

Di lain saat Ang I Niocu sudah dikeroyok dan sebuah pertempuran yang seru terjadi di lapangan itu. Saking marahnya melihat kuda kesayangannya dibunuh, kini Ang I Niocu mengamuk hebat. Ia mengeluarkan ilmu pedangnya Sian-li Kiam-sut atau ilmu Pedang Tari Bidadari, yang nampaknya indah namun amat berbahaya bagi lawan. Sukar sekali mata mengikuti gerakan-gerakannya, nampaknya hanya sebagai seorang dewi cantik menari-nari, akan tetapi di sekeliling tubuh dewi ini nampak sinar terang. Inilah sinar pedang yang menyambar-nyambar tanpa dapat diketahui ke mana gerakan selanjutnya sehingga musuh yang sedemikian banyaknya itu menjadi bingung dan pengeroyokan menjadi kacau-balau.

Akan tetapi, para pengeroyok sekarang ini jauh bedanya kalau dibandingkan dengan para pengeroyok di puncak gunung tadi. Tadi para pengeroyok Ang I Niocu hanya terdiri dari kaum perampok yang kasar dan hanya mengandalkan tenaga besar belaka dalam pertempuran. Kali ini para pengeroyok yang membantu Koai-tung Toanio dan dua orang anaknya adalah pasukan terlatih dari Gubernur Lie Kong gubernur yang mempunyai cita-cita memberontak di Propinsi Shansi. Mereka ini terdiri dari perajurit-perajurit pilihan yang sedikit-banyak mengerti ilmu silat, maka pengepungan dan penyerbuan mereka teratur sekali. Mereka dapat bekerja sama, baik dalam penyerangan maupun dalam pertahanan sehingga sebegitu lama Ang I Niocu belum berhasil merobohkan seorang lawan pun, sedangkan pengepungan makin lama makin rapat.

Baru beberapa jam yang lalu, Ang I Niocu sudah melakukan pertempuran hebat, dikeroyok oleh banyak orang dan di dalam pertempuran membasmi kawanan perampok di Bukit Min-san itu telah membutuhkan banyak tenaga. Oleh karena itu, ia sudah amat lelah. Sekarang, ia menghadapi keroyokan musuh yang lebih tangguh, tentu saja keadaannya menjadi terancam. Namun Ang I Niocu adalah seorang gadis yang tidak mengenal apa artinya takut.

Sedikit pun ia tidak menjadi gentar dan khawatir, bahkan kini pedangnya diputar makin cepat sehingga dalam beberapa gebrakan ia berhasil merobohkah tiga orang anggauta pasukan yang mengepungnya. Hasil ini membuat para pengepungnya terkejut dan kacau-balau, sedangkan semangat Ang I Niocu bertambah. Biarpun ia sudah merasa lemas kaki tangannya, ia memaksa diri, memutar-mutar pedangnya dengan gerakan-gerakan lincah sekali sehingga kembali ia merobohkan dua orang.

˜Serbu dan bunuh saja!! Koai-tung Toanio kini berseru keras dengan penasaran dan marah sekali. Tadinya ia memang berpesan kepada anak buah pasukan itu untuk menangkap hidup-hidup Ang I Niocu, karena ia mempunyai maksud untuk menyerahkan gadis baju merah itu kepada majikan mudanya, yakni Lie Kian Tek putera gubernur. Akan tetapi melihat sepak-terjang Ang I Niocu yang demikian hebat, ia merubah niatnya. Orang dengan kepandaian seperti gadis baju merah ini kiranya tidak mungkin ditawan hidup-hidup.

Benar saja, setelah ia mengeluarkan aba-aba ini, para anak buah pasukan yang juga khawatir akan menjadi korban kalau berlaku lemah terhadap gadis cantik jelita yang kosen itu, mulai mendesak dengan serangan-serangan maut. Barulah sekarang Ang I Niocu terdesak, karena ia harus menjaga diri betul-betul terhadap desakan dan serangan puluhan batang senjata yang melancarkan serbuan-serbuan mengancam keselamatan itu. Betapapun juga, ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan bilamana saja terdapat lowongan, pasti pedangnya merobohkan seorang dua orang lawan.

Namun, pasukan itu adalah pasukan terlatih dan di dalam ketentaraan Gubernur Shansi, pasukan ini disebut Pasukan Maut. Mereka itu telah dilatih, tidak saja latihan jasmani, akan tetapi juga dilatih untuk bertempur sampai orang terakhir! Menghadapi pasukan yang semua tidak takut mati ini, Ang I Niocu menjadi kewalahan juga. Akan tetapi ia pun tidak kenal artinya takut atau mundur.

Bagaikan seekor naga betina ia mengamuk dan pedangnya berkelebat-kelebat tubuhnya menyambar ke sana ke mari, sepak-terjangnya benar-benar hebat. Biarpun Ang I Niocu mengerti bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, tak mungkin ia dapat menewaskan sekian banyaknya lawan dan akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan roboh, namun ia masih belum mau menyerah dan tidak sudi melarikan diri sebelum tenaganya habis betul-betul!

˜Kaum pemberontak hina-dina sungguh tak tahu malu mengandalkan orang banyak mengeroyok seorang dara!! tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda gagah perkasa, yang diiringkan oleh belasan orang berpakaian seperti jago-jago silat. Sikap mereka gagah sekali dan atas isyarat pemuda gagah itu mereka menyerbu dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka serupa, menandakan banwa mereka datang dari satu partai, ilmu pedang yang menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dan sebaliknya, dibarengi bentakan-bentakan nyaring.

Ang I Niocu seperti pernah melihat ilmu pedang seperti ini, kalau tidak salah ilmu pedang partai Bu-tong-pai. Sebentar saja pasukan Gubernur Lie menjadi kalang-kabut dan Ang I Niocu kini hanya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan dua orang gadisnya saja. Biarpun dengan datangnya pemuda tampan gagah bersama kawan-kawannya itu merupakan pertolongan baginya, namun diam-diam Ang I Niocu merasa mendongkol sekali.

Gadis ini memang mempunyai watak yang tinggi hati dan tidak mau kalah. Biarpun berada di dalam bahaya dia tidak mengharapkan pertolongan orang lain, apalagi pertolongan serombongan orang laki-laki yang tak pernah dikenalnya. Seorang diantara dua gadis puteri Koai-tung Toanio yang melihat datangnya bala bantuan ini, memaki marah dan kecewa,

˜Dasar perempuan jalang, di mana-mana ada laki-laki yang membantu. Cih, tak tahu malu!!

Naik darah Ang I Niocu mendengar makian ini. Tanpa mempedulikan serangan lain, pedangnya menyambar ke arah orang yang memakinya. Ketika tongkat Koai-tung Toanio menyodok dadanya, ia tidak mengelak dan tidak menunda serangannya, hanya menyampok dengan tangan kiri. Tongkat itu terpental, akan tetapi Ang I Niocu merasa lengannya sakit sekali. Ia menggigit bibir dan melanjutkan serangannya sampai ujung pedangnya mengenai pundak gadis yang memakinya tadi. Gadis itu memekik dan roboh dengan pundak kanan hampir putus!

Koai-tung Toanio dan puterinya yang seorang lagi cepat mendesak sehingga Ang I Niocu tidak ada kesempatan untuk mengirim tusukan kedua, namun ia telah puas, wajahnya berseri dan ia melayani para pengeroyoknya dengan tenang. Ketika ia melihat pemuda gagah yang membantunya mengamuk hebat dan berada dekat dengan tempat di mana ia bertempur, ia berseru kepada pemuda itu, ˜Aku tidak membutuhkan bantuan kalian. Pergilah!!

Pemuda itu tertegun dan menengok, mengeluarkan seruan kaget dan menjauhkan diri dari pertempuran, berdiri seperti patung memandang kepada Ang I Niocu dengan penuh kekaguman. Agaknya baru sekarang ia melihat wajah orang yang dibantunya dan penglihatan ini membuat ia tercengang.

Melihat ini, Ang I Niocu makin mendongkol. Gadis ini sudah terlalu sering menyaksikan laki-laki berlaku seperti itu apabila memandang kepadanya dan ia menjadi mendongkol sekali, disamping keinginan hendak mempermainkan laki-laki yang tergila-gila kepadanya. Senyumnya penuh ejekan dan ia sengaja memainkan ilmu silatnya dengan gerakan dan gaya yang indah sekali seperti orang menari-nari.

Adapun Koai-tung Toanio yang melihat betapa pihaknya terdesak dan jatuh banyak korban, lalu memberi aba-aba keras dan ia sendiri menyambar tubuh puterinya yang terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu. Ang I Niocu yang sudah lelah bukan main tentu saja tidak mau mengejar, demikian pula orang-orang yang datang membantunya tidak mau mengejar.

Semua orang itu kini menoleh dan memandang kepada Ang I Niocu dengan sinar mata kagum, bukan hanya kagum melihat ilmu silat gadis ini, akan tetapi terutama sekali kagum akan kecantikannya yang memang jarang bandingnya itu. Melihat ini, Ang I Niocu tersenyum mengejek lalu memutar tubuhnya dan lari dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka!

Melihat ini, pemuda tampan dan gagah tadi lalu melompat dan mengejarnya sambil berseru, ˜Li-hiap yang gagah perkasa, harap kau tunggu dulu, mari kita bicara!!

Akan tetapi Ang I Niocu hanya menoleh sebentar dan berkata, ˜Aku tidak ada urusan dengan kau!! Dan ia berlari terus, kini makin cepat.

Pemuda itu penasaran mengerahkan gin-kangnya. Sekali melompat ia telah maju dua puluh kaki lebih! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu pun melompat, bahkan lebih jauh daripada lompatannya.

˜Nona, harap kau berhenti dulu, aku hanya ingin berkenalan!! serunya pula, akan tetapi Ang I Niocu tidak mempedulikannya, bahkan mempercepat larinya.

Pemuda itu masih hendak mengejar sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, akan tetapi sia-sia, gadis itu dapat berlari lebih cepat dan sebentar saja sudah lenyap di balik gunung!

Terpaksa Ang I Niocu melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Setelah melihat bahwa pemuda tampan itu tidak mengejarnya lagi, baru terasa olehnya betapa lelahnya setelah dua kali berturut-turut ia melakukan pertempuran hebat tadi. Ia berhenti dan duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Dengan ujung lengan bajunya, disusutnya peluh yang membasahi leher dan jidatnya. Matahari telah tenggelam di barat dan keadaan sudah mulai gelap. Tak terasa pula senja telah lewat dan malam sudah diambang pintu.

Baru sekarang, disamping kelelahan yang sangat, Ang I Niocu merasa lapar sekali. Sejak pagi ia belum makan dan sehari penuh hanya bertempur saja. Lengan kirinya sekarang terasa sakit sekali, akibat benturan dengan tongkat Koai-tung Toanio tadi. Kemudian ia teringat lagi akan kudanya yang sudah mati. Celaka sekali, dengan kehilangan Pek-hong-ma, ia kehilangan segala-galanya yang menjadi bekal. Pakaian, uang dan lain-lain semua berada di atas punggung Pek-hong-ma dan sekarang semua itu hilang. Ang I Niocu mengerutkan keningnya, wajahnya muram. Semenjak ia ikut ayahnya, ia selalu dimanja dan selalu terpenuhi apa yang menjadi kehendaknya, belum pernah kekurangan makan dan pakaian.

Sekarang, seorang diri dan lelah serta lapar setelah kehilangan segalanya, ia merasa sengsara sekali. Tak terasa lagi air matanya jatuh bertitik ketika ia tiba-tiba teringat kepada ayahnya dan kepada Gan Tiauw Ki. Ketika masih tinggal di gedung ayahnya, belum pernah ia merasa selelah dan selapar ini. Ketika ia melakukan perjalanan-perjalanan dengan Tiauw Ki, alangkah jauh bedanya dengan sekarang. Dengan Gan Tiauw Ki ia mengalami perjalanan yang penuh madu, penuh kegembiraan dan kebahagiaan.

Tiba-tiba ia bangkit berdiri, ˜Alangkah bodohku, susiok-couw akan marah kalau melihat aku selemah ini...! pikirnya. Ia berjalan lagi, menuju ke sebuah dusun yang atap-atap rumahnya sudah kelihatan dari situ. Sebelum cuaca menjadi gelap ia harus sudah berada di dusun itu kalau ia tidak mau tidur di tengah hutan.

Alangkah herannya ketika ia tiba di luar dusun, ia disambut oleh semua penduduk dusun, di sana-sini terdengar seruan!

˜Ang I Niocu...! Dia sudah datang... Sambut Ang I Niocu, pendekar kita yang mulia...!
Kemudian baru Ang I Niocu tahu bahwa diantara para penyambut itu terdapat bekas-bekas pelayan di pesanggrahan perampok. Tentu mereka ini yang sudah mengabarkan tentang pembasmiannya terhadap para perampok itu. Kepala kampung itu, seorang laki-laki setengah tua yang berkumis panjang, mengepalai penyambutan dan menjura dengan penuh hormat kepadanya.

˜Li-hiap yang mulia, telah bertahun-tahun kami hidup dalam ketakutan dan penindasan kaum perampok di Min-san. Bahkan ada beberapa orang muda dusun kami diculik, selain harta benda kami. Kini muncul Li-hiap yang gagah perkasa, yang telah membasmi mereka dan berarti membebaskan kami dari cengkeraman perampok jahat. Benar-benar Thian telah mengirim Li-hiap sebagai seorang dewi untuk menolong kami yang sudah lama memohon kemurahan dan keadilan Thian.! Setelah berkata demikian, kepala kampung itu berlutut di depan Ang I Niocu, diturut oleh semua orang kampung.

Akan tetapi, ketika mereka mengangkat kepala, ternyata dara baju merah itu telah lenyap! Tentu saja mereka heran dan kagum sekali, dan sekali lagi mereka berlutut, mengira bahwa gadis yang cantik luar biasa dan bisa ˜menghilang! itu benar-benar seorang dewi kahyangan utusan dari langit! Semenjak hari itu, orang sekampung seringkali memasang hio, memuja kepada dewi penolong baju merah itu.

Adapun Ang I Niocu dengan bersungut-sungut berlari cepat meninggalkan kampung itu. Dasar awak lagi sial, gerutunya. Ia sama sekali tidak mau melayani sambutan orang-orang kampung yang menganggapnya seperti dewi itu, karena ia maklum bahwa kalau ia melayani mereka, akan berarti ia tidak tidur lagi semalam suntuk. Tentu orang-orang kampung akan mengerumuninya, akan memujanya, dan ia akan menjadi pusat perhatian orang belaka. Padahal ia melakukan perkerjaan di puncak bukit tadi, mati-matian membasmi perampok, sama sekali bukan untuk mencari muka atau mencari nama.

Disambut secara demikian oleh kepala kampung dan penduduknya, bukan menkadi girang, sebaliknya Ang I Niocu menjadi mendongkol dan pergi tanpa pamit.

Malam hari itu Ang I Niocu terpaksa tidur di atas pohon di dalam hutan, dan perutnya yang berteriak-teriak kelaparan itu ia diamkan dengan beberapa butir buah apel. Ia tidak mengira bahwa perbuatannya membasmi Min-san Sam-kui dan anak buahnya di Pegunungan Min-san itu telah menggemparkan dunia kang-ouw dan sekaligus nama Ang I Niocu disebut-sebut orang! Ia dianggap sebagai tokoh hebat yang baru muncul di dunia kang-ouw.

Dengan melakukan perjalanan cepat, dua pekan kemudian Ang I Niocu sudah tiba di kaki Pegunungan Kim-san. Dari keterangan seorang penduduk dusun di kaki pegunungan ini, ia mendapat tahu bahwa kuil Kim-san-pai berada di puncak yang sebelah kiri. Ang I Niocu langsung mendaki puncak ini.

Baru saja ia tiba di lereng, ia mendengar suara orang-orang dari bawah dan dilihatnya lima orang tosu berlari-lari mendaki puncak itu. Dua orang diantara mereka memondong tubuh dua orang tosu tua yang wajahnya pucat dan matanya dipejamkan, agaknya terluka atau sakit payah.

Melihat Ang I Niocu berdiri di pinggir jalan memandang mereka, lima orang tosu itu balas memandang dengan sinar mata bercuriga. Kemudian dua orang yang memondong tosu-tosu terluka tadi berlari terus, sedangkan yang tiga orang berhenti di depan Ang I Niocu.

Ang I Niocu yang melihat cara lima orang tosu tadi berlari cepat, maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang berkepandaian tinggi, maka ia lalu menjura dan berkata,

˜Mohon, tanya, apakah betul jalan ini menuju ke kuil dari Kim-san-pai? Apakah Sam-wi Totiang juga hendak ke sana?!

Mendengar pertanyaan Ang I Niocu yang ramah itu, tiga orang tosu tadi berkurang kecurigaannya. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berusia kurang-lebih empat puluh tahun, memberi hormat dan menjawab,

˜Tidak salah dugaan Nona, ini memang jalan menuju ke kuil Kim-san-pai dan pinto bertiga memang betul sedang menuju ke sana karena pinto bertiga adalah tosu-tosu dari Kim-san-pai. Tidak tahu siapakah Nona ini dan apakah maksud penghormatan kunjungan Nona ini?!

˜Aku adalah... orang-orang memanggilku Ang I Niocu, dan aku datang ke sini atas perintah susiok-couwku, Bu Pun Su.! Ang I Niocu tidak mau memperkenalkan nama sendiri karena ia memang lebih suka namanya tidak diketahui orang dan lebih suka dikenal sebagai Ang I Niocu.

Nama Ang I Niocu baru saja terkenal, dan para tosu Kim-san-pai itu belum pernah mendengarnya, maka nama ini tidak mendatangkan apa-apa. Akan tetapi ketika Ang I Niocu menyebutkan nama Bu Pun Su, berubah wajah mereka dan berseri pandang mata mereka. Otomatis ketiganya lalu memberi hormat dengan membungkuk.

˜Maafkanlah, pinto bertiga tidak tahu bahwa Niocu adalah utusan Sin-taihiap Bu Pun Su. Marilah, kami antarkan Niocu bertemu dengan Suhu, karena kebetulan sekali pinto bertiga juga mau menghadap Suhu.!

Setelah berkata demikian, tiga orang tosu itu lalu berlari cepat mendaki puncak itu, nampaknya terburu-buru sekali.

˜Maaf, Nona, pinto bertiga jalan di depan!! kata tosu tadi sambil menoleh, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia sudah tidak dapat melihat lagi nona yang tadi ditinggalkannya. Hanya bayangan merah berkelebat melewati mereka dan sebentar saja bayangan merah tadi sudah jauh di atas!

˜Hebat... !! tosu itu menarik napas panjang dan berkata kepada dua orang kawannya, ˜melihat kepandaiannya, dia betul-betul utusan Sin-taihiap Bu Pun Su dan agaknya nama baik Kim-san-pai akan dapat tercuci bersih!! Ia lalu mengajak dua orang kawannya untuk cepat-cepat mengejar ke puncak.
Ketika tiga orang tosu itu sudah di puncak dan memasuki kuil besar yang berada di situ, mereka melihat semua tosu sudah berkumpul di ruangan besar, bahkan guru mereka juga sudah berada di situ. Adapun Nona Baju Merah tadi hanya duduk agak jauh tidak berani mengganggu karena guru besar Kim-san-pai sedang sibuk memeriksa dua orang tosu yang terluka. Tiga orang tosu yang baru datang mendapat jalan dan segera masuk ke tengah ruangan dimana guru mereka bersila di lantai memeriksa dua orang anak murid yang tadi dipondong naik.

"Suhu...!" tiga orang tosu ini berlutut.

Kakek yang memeriksa tosu-tosu terluka tadi memandang. Ternyata dia adalah seorang tosu tua. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih akan tetapi ia masih kelihatan sehat dan kuat. Keningnya berkerut dan pandang matanya muram, tanda bahwa ia sedang menahan ketidaksenangan hatinya.

"Siauw Seng Cu, coba kauceritakan, apa yang sebetulnya terjadi atas diri dua orang susiokmu ini," kata kakek itu yang bukan lain adalah Thian Beng Cu, ketua dari Kim-san-pai. Berbeda dengan partai lain, para tosu di Kim-san-pai mempergunakan nama dengan huruf belakang Cu semua, dari ketuanya sampai tosu pelayan.

Siauw Seng Cu, yakni tosu yang tadi bercakap-cakap dengan Ang I Niocu, lalu bercerita. Dan untuk mengetahui lebih jelas tentang pertentangan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, baiklah kita meninjau keadaan antara kedua partai itu dan apa sebabnya kedua partai itu sampal bermusuhan.

Kim-san-pai dan Bu-tong-pai berdekatan, hanya berbeda puncak saja akan tetapi masih satu daerah pegunungan, yakni pegunungan Bu-tong-san. Bahkan kalau melihat riwayat dahulu, Kim-san-pai masih ada hubungan dengan Bu-tong-pai, karena pendiri dari Kim-san-pai adalah sute dari pendiri Bu-tong-pai, jadi ilmu silat mereka masih berasal dari satu sumber. Tentu saja ratusan tahun kemudian, ilmu silat itu berkembang biak dan mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya banyak perbedaannya, masing-masing mempunyai corak dan kelihaian sendiri.

Asal mulanya, kakak beradik seperguruan, yakni pendiri Bu-tong-pai dan pendiri Kim-san-pai, hanya berpisah puncak sebagai tempat bertapa. Akan tetapi kemudian murid-murid mereka setelah berkembang biak, mempunyai perbedaan dalam kepercayaan atau agama, kalau pihak si suheng itu anak muridnya menganut Agama Buddha, adalah anak murid si sute menganut Agama To.

Inilah kiranya yang menjadikan jurang pemisah sehingga akhirnya timbul dua partai persilatan yang berbeda sekali, yakni Bu-tong-pai yang menganut Agama Buddha dan Kim-san-pai penganut Agama To. Ratusan tahun kemudian, di puncak Bu-tong-san berdiri kelenteng besar di mana dipuja patung Buddha dan penghuni atau pendeta-pendetanya yakni anak murid Bu-tong-pai, terdiri dari hwesio-hwesio gundul. Sebaliknya di puncak Kim-san, berdiri kuil besar dari Agama To dan anak murid Kim-san-pai adalah tosu-tosu yang mempunyai nama akhir huruf Cu.

Selama ratusan tahun, perhubungan antara kedua partai ini baik saja, sungguhpun berbeda agama, akan tetapi mereka tidak mau saling menyinggung, tidak mau saling mengejek, walaupun tak boleh dibilang bahwa hubungan mereka itu erat dan baik. Pendeknya, mereka kedua pihak sadar bahwa diantara mereka masih ada hubungan saudara seperguruan, dan untuk menjaga jangan sampai terjadi salah paham, sengaja, kedua pihak saling menjauhi dan hanya "saling mendoakan" saja dari jauh!

Akan tetapi, kurang lebih dua tahun yang lalu, mulailah terjadi permusuhan antara dua partai yang bersaudara ini. Di kaki pegunungan Bu-tong-san, di sebuah dusun terdapat dua orang pemuda kakak beradik Lai Tek dan Lai Seng. Semenjak kecil Lai Tek menjadi anak murid Kim-san-pai, sedangkan Lai Seng ketika sedang menggembala kerbau, dibawa oleh seorang hwesio Bu-tong-pai yang melihat bakat baik dalam dirinya dan selanjutnya Lai Seng menjadi murid Bu-tong-pai.

Setelah tamat mempelajari ilmu silat di Kim-san-pai, Lai Tek pulang ke dusunnya membawa kepandaian tinggi dan dia menjadi petani menggantikan pekerjaan ayahnya. Adapun Lai Seng dibujuk oleh gurunya untuk masuk menjadi hwesio karena oleh gurunya dianggap bahwa murid ini hanya akan memperoleh kebahagiaan hidup abadi apabila suka menjadi hwesio. Lai Seng tidak mau menerima bujukan ini, bahkan minggat dari Bu-tong-pai dan pulang ke dusunnya, di mana ia membantu pekerjaan kakaknya yang tentu saja girang sekali melihat adiknya pulang sudah menjadi seorang pandai pula.

Sayang sekali bahwa watak Lai Seng jauh bedanya dengan kakaknya. Lai Tek seorang yang jujur dan berbudi baik, menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Sebaliknya setelah turun gunung, Lai Seng menjadi "binal" dan mulailah melakukan hal-hal yang tidak patut. Bahkan berani mengandalkan kepandaiannya untuk mengganggu anak gadis orang dan minta harta secara paksa setengah merampok! Berkali-kali Lai Tek yang mendengar akan kejahatan dan penyelewengan adiknya, menegur, bahkan pernah terjadi perkelahian antara kakak beradik ini yang berakhir dengan kemenangan Lai Tek.

Akan tetapi, Lai Seng ternyata tidak kapok dan masih seringkali melanggar, sungguhpun kini secara bersembunyi agar jangan diketahui kakaknya Lai Seng, maklum di dunia ini dia hanya mempunyai adiknya itu seorang sebagai anggauta keluarganya, juga tidak mau main keras, hanya kadang-kadang memberi nasihat dengan pengharapan kelak adiknya yang masih mudah itu dapat merubah kesalahannya.

Pada suatu hari, ketika Lai Tek sedang bekerja di sawahnya, seorang tetangganya datang berlari-lari dan memberi tahu bahwa adiknya sedang bertempur dengan dua orang hwesio gundul. Lai Tek meninggalkan paculnya di tengah sawah, dengan kedua kaki tangan masih penuh lumpur, ia berlari pulang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat Lai Seng roboh, terpukul oleh dua orang hwesio itu tepat pada saat ia datang.

"Keparat gundul, kau bunuh adikku?" bentaknya sambil menyerang.

Dua orang hwesio itu melompat mundur. "Nanti dulu, Sicu. Pinceng berdua datang untuk membunuh seorang anak murid Bu-tong-pai yang menyeleweng dan melakukan kejahatan. Harap kau jangan mencampuri urusan pinceng."

Lai Tek maklum bahwa dua orang hwesio ini tentulah orang-orang Bu-tong-pai yang datang menghukum Lai Seng, akan tetapi pada saat itu, perasaan kasih sayang terhadap adiknya dan kesedihan besar melihat adiknya menggeletak mati itu menutup semua pertimbangan.

"Dia itu adik kandungku, bagaimana tidak boleh ikut campur? Hwesio keji, semenjak lahir dia itu sudah menjadi adikku, sedangkan dia baru menjadi murid Bu-tong-pai setelah dia sudah besar. Kalian membunuhnya secara keji, tanpa minta pertimbanganku. Hutang nyawa harus dibayar nyawa pula!" Setelah berkata demikian, Lai Tek mengambil pedangnya dan menyerang dua orang, hwesio itu. Tingkat kepandaian Lai Tek memang sudah tinggi, dan serangannya itu dilakukan dalam keadaan nekad dan marah sekali. Dalam pertempuran mati-matian, akhirnya seorang hwesio Bu-tong-pai tewas di tangan Lai Tek dan hwesio ke dua melarikan diri, memberi laporan kepada para pimpinan Bu-tong-pai.

Lo Beng Hosiang, Bu-tong-san Ciang-bunjin adalah seorang kakek yang sabar dan alim. Mendengar laporan ini, ia menarik napas panjang dan berkata,

"Lai Tek membalas sakit hatinya karena melihat adiknya dihukum mati, itu sudah sewajarnya. Hanya sayang sekali dia sebagai seorang gagah tidak menjunjung keadilan, tidak rela melihat adiknya dihukum padahal adiknya itu sudah terang-terang meniadi seorang penjahat pengganggu rakyat. Akan tetapi, perbuatannya itu bukan berarti bahwa dia pun jahat, hanya dia tidak dapat melepaskan kasih sayangnya terhadap adiknya. Apalagi dia itu masih anak murid Kim-san-pai, oleh karena itu, biarlah urusan ini dihabiskan saja, tak perlu diperpanjang."

Akan tetapi, para hwesio lain diam-diam tidak menyetujui pendapat ini dan beberapa orang hwesio yang merasa penasaran, diam-diam pergi naik ke puncak Kim-san-pai, menjumpai ketuanya dan menyampaikan protes.

Thian Beng Cu, ketua Kim-san-pai yang sudah tua itu, mendengarkan protes hwesio-hwesio Bu-tong-pai dengan tenang, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
"Baiklah, pinto akan memanggil Lai Tek dan akan minta pertanggungan jawabnya. Kalau memang betul dia bersalah, pasti pinto akan menghukumnya. Harap sampaikan salam pinto kepada Lo Beng Hosiang dan semoga kelak dia tidak sampai keliru memilih murid." Kata-kata ini memperingatkan bahwa gara-gara semua peristiwa itu terletak dalam kesalahan memilih murid dari pihak Bu-tong-pai.

Inilah kata-kata sindiran yang memperingatkan bahwa kesalahan bukan berada di pundak pihak Kim-san-pai dan semua ini sebetulnya adalah sudah sepatutnya. Para hwesio Bu-tong-pai yang mendengar ini pun dapat mengerti, maka mereka sudah merasa puas mendengar janji Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai bahwa Lai Tek akan diadili, sambil menghaturkan terima kasih mereka turun dari puncak Kim-san dan pulang ke Bu-tong-san. Akan tetapi, ketika pada keesokan harinya tiga orang tosu Kim-san-pai atas perintah Thian Beng Cu mendatangi dusun tempat tinggal Lai Tek untuk memanggil pemuda ini ke Kim-san-pai, mereka mendapatkan Lai Tek telah menggeletak di kamarnya dengan tubuh rusak dicacah-cacah senjata tajam dan di tembok kamarnya terdapat tulisan dengan huruf darah, Mampuslah Lai Tek, anak murid partai peniru Bu-tong-pai
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati tiga orang tosu itu. Tanpa memberitahukan guru mereka lagi, mereka lalu menyerbu Bu-tong-pai dan di sana mereka menantang. Mereka merasa yakin bahwa yang membunuh Lai Tek pasti orang-orang Bu-tong-pai.

Terjadi pertempuran di puncak Bu-tong-pai, akan tetapi tiga orang tosu yang tingkatnya hanya ke tiga ini tentu saja kalah oleh hwesio Bu-tong-pai yang tentu saja mengajukan jago yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan hati sakit dan tubuh luka-luka, tiga orang tosu itu pulang ke Kim-san-pai dan mengadu kepada Thian Beng Cu.

Ketua Kim-san-pai mengerutkan kening, meraba-raba jenggotnya yang putih dan menggeleng-geleng kepalanya
"Eh, eh, bagaimana bisa terjadi seperti ini? Mereka membunuh Lai Tek, kalau ini untuk membalaskan kematian seorang hwesio Bu-tong, itu masih tidak apa. Akan tetapi mereka menghancurkan tubuh Lai Tek, ini sungguh-sungguh tidak sesuai dengan watak seorang penganut agama! Dan mereka menuliskan kata-kata menghina, hemm, dalam hal apakah partai Kim-san-pai meniru Bu-tong-pai?"

"Dan mereka itu tidak mau mengaku bahwa mereka yang membunuh Lai Tek, Suhu," kata seorang di antara tiga orang tosu itu.

Thian Beng Tosu mengangguk-angguk. "Dapat dimengerti... dapat dimengerti. Sudah tentu saja Lo Beng Hosiang dan lain-lain tokoh Bu-tong-pai tidak mau mengakui perbuatan rendah itu dan mungkin sekali pekerjaan busuk itu dilakukan oleh seorang murid Bu-tong-pai secara diam-diam. Akan tetapi baik kita tunggu, tentu Lo Beng Hosiang akan berusaha menangkap pembunuh Lai Tek itu."

Demikianlah, ketua kedua pihak sama-sama bersikap sabar dan tidak mau memperbesar urusan itu. Akan tetapi anak buah kedua pihak makin panas hati dan semenjak hari itu, seringkali terjadi bentrokan antara anak-anak murid Bu-tong-pai dan anak-anak murid Kim-san-pai.

Adapun lima orang yang bertemu di lereng gunung dengan Ang I Niocu itu, mereka adalah tosu-tosu Kim-san-pai. Dua orang yang terluka adalah Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang sute dari Thian Beng Cu, sedangkan yang tiga orang lagi adalah murid-murid Thian Beng Cu yang sudah tinggi kepandaiannya.

Tujuh orang tosu ini tadinya diutus oleh Thian Beng Cu untuk mewakilinya, pergi ke Bu-tong-pai untuk. berunding dengan pihak Bu-tong-pai yang maksudnya mendamaikan urusan pertikaian antara anak-anak murid kedua pihak itu. Akan tetapi, sebelum tiba di kuil para hwesio Bu-tong-pai, baru saja tiba di lereng bukit, mereka bertemu dengan serombongan hwesio Bu-tong-pai yang melarang mereka naik. Karena kedua pihak memang sudah mendendam, lalu diadakan pibu di lereng gunung itu. Masing-masing pihak mengajukan jagonya. Untuk mencegah pihaknya mengalami kekalahan, maka Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang tosu tua itu mengajukan diri. Dari pihak Bu-tong-pai maju dua orang hwesio tua yang kosen pula. Pertempuran berjalan sengit dan akhirnya Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dapat merobohkan dua orang lawannya. Kemudian dari pihak Bu-tong-pai muncul seorang jago muda, bukan seorang hwesio.

Pemuda ini lihai sekali dan melihat gerakan-gerakannya, dia itu bukan anak murid Bu-tong-pai, melainkan lebih tepat kalau menjadi anak murid Go-bi-pai karena ilmu pedangnya lihai sekali. Menghadapi pemuda yang menjadi jago Bu-tong-pai ini, seorang demi seorang kedua tosu tua Kim-san-pai kena dirobohkan! Setelah dua orang susiok ini roboh, tentu saja lima orang tosu Kim-san-pai yang lain tidak berani maju, tahu bahwa hal itu akan percuma saja dan akan menambah besar rasa malu. Mereka lalu menggotong tubuh dua orang tosu tua itu, dibawa kembali ke puncak Kim-san dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu.

Demikianlah penuturan Siauw Seng Cu, murid dari Thian Beng Cu atau seorang diantara lima orang tosu tadi. Ketua Kim-san-pai yang mendengar ini, nampak marah akan tetapi masih berusaha sedapat mungkin menahan perasaannya.

"Kembali hal ini tidak ada hubungannya dengan Lo Beng Hosiang. Keributan itu terjadi di lereng Bu-tong-san dan diluar pengetahuan Lo Beng Hosiang. Pinto tak dapat ikut campur. Hal ini hanya akan mengeruhkan suasana. Sayang sekali kedua orang sute kurang dapat menyabarkan hati dan telah terjun ke dalam pertempuran sebelum bertemu dengan Lo Beng Hosiang sendiri." Ia menarik napas panjang lalu menyuruh muridmuridnya membawa Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu ke dalam kamar untuk dirawat selanjutnya. Luka-luka mereka biarpun parah, akan tetapi tidak membahayakan jiwa.

Setelah dua orang yang terluka itu dibawa masuk, Thian Beng Cu menyapu para tosu anak-anak murid Kim-san-pai yang jumlahnya empat puluh orang lebih dan hadir di tempat itu, lalu berkata,
"Kalian harus dapat menjaga diri dan menahan perasaan. Mulai hari ini, tidak boleh sekali-kali mencari gara-gara dengan pihak Bu-tong-pai. Kecuali kalau ada pihak mereka datang mencari gara-gara, jangan turun tangang akan tetapi cepat memberitahu agar pinto sendiri yang dapat membereskan!" Di dalam kata-kata ini biarpun terkandung nasihat supaya anak murid Kim-san-pai bersabar, namun bukan sekali-kali memperlihatkan sifat takut, karena kalau ada apa-apa, Thian Beng Cu sendiri hendak turun tangan. Jelas bahwa tosu tua ini mengalah, akan tetapi bukan takut.

Tiba-tiba diantara pakaian para tosu yang berwarna putih, kuning dan abu-abu itu, mata Thian Beng Cu yang masih tajam melihat warna merah yang menyolok mata. Ketika ia memandang, ia terkejut dan heran bukan main melihat seorang gadis cantik jelita duduk di bagian belakang para hadirin.

"Eh, siapakah Nona yang berada di sana?" tegurnya.

Siauw Seng Cu cepat berkata, "Maaf bahwa tadi teecu belum sempat memberitahukan akan kedatangan seorang tamu. Dia itu adalah seorang utusan dari Sin-taihiap Bu Pun Su."

Berseri wajah tosu tua itu dan tangannya memberi isarat kepada semua anak muridnya supaya bubar dari ruangan itu. Kemudian ia melambai ke arah Ang I Niocu dan berkata,

"Jangan berkecil hati bahwa pinto tidak dari tadi menyambut, karena adanya sedikit keributan tadi. Mari, Nona, silakan duduk di sini."

Ang I Niocu menghampiri Ketua Kim-san-pai dan memberi hormat. "Locianpwe, harap maafkan kalau kedatanganku mengganggu. Aku diutus oleh Susiok-couw Bu Pun Su untuk bertemu dengan Locianpwe."

"Aha, jadi Pendekar Sakti Bu Pun Su itu masih ada di dunia ini? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali kalau seorang pendekar besar dan sakti seperti dia itu masih ingat bahwa di dunia ini terdapat sebuah partai kecil seperti Kim-san-pai. Nona, siapakah namamu dan kau diutus apakah oleh Susiok-couwmu itu?"

"Maaf, Locianpwe, maaf kalau aku tidak dapat memberitahukan nama kecilku yang sudah kulupakan. Orang menyebutku Ang I Niocu dan kedatanganku di sini adalah atas perintah Susiok-couw Bu Pun Su. Susiok-couw mendengar tentang pertikaian yang timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Orang tua itu merasa prihatin sekali meridengar akan hal ini, maka mengutus aku datang ke sini untuk mohon kepada Locianpwe atau lebih luas lagi kepada pihak Kim-san-pai agar supaya suka menghentikan segala permusuhan antara kawan sendiri yang hanya mendatangkan kerugian bersama. Susiok-couw Bu Pun Su minta supaya aku menyampaikan bahwa pada waktu ini, negara sedang terancam bahaya perang dari pihak pemberontak-pemberontak, dan rakyat sedang menderita karena kekacauan timbul di mana-mana. Oleh karena itu, perlu bagi kita semua untuk menghimpun tenaga dan memperkuat persatuan, menghilangkan segala macam salah paham di antara kita. Demikianiah pesan Susiok-couw dan orang tua itu mengharap supaya Locianpwe sudi mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai."

Thian Beng Cu tersenyum dan mengangguk-angguk perlahan.

"Ang I Niocu, kau masih begini muda sudah melupakan nama sendiri, alangkah hebatnya kesengsaraan yang kauderita. Pinto hanya mengharap kau akan kuat menahan ujian hidup ini dan tidak menjadi putus harapan, karena kau yang sudah dipilih Bu Pun Su untuk mewakilinya dalam urusan ini, tentu kau sudah memiliki kekuatan itu. Pandangan Bu Pun Su yang kaukemukakan tadi memang betul, akan tetapi, apa kaukira pinto sendiri tidak menyadari akan hal itu? Kalau sekiranya pinto tidak menjaga keutuhan perhubungan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, apakah tidak sudah terjadi pertumpahan darah besar-besaran? Kau sudah sejak tadi berada di tempat ini, kiranya kau pun sudah mendengar sendiri apa yang baru saja terjadi. Pinto sudah berusaha hendak mendamaikan urusan, akan tetapi sayangnya, utusan pinto bahkan dihadang di jalan dan dua orang suteku dilukai. Nona biarpun masih muda, akan tetapi kau adalah utusan Bu Pun Su, oleh karena itu, pinto menyerahkan urusan ini kepadamu untuk dibereskan. Usaha untuk damai dari pihak kami sudah cukup dan kalau dipaksakan lagi, kiranya hanya akan mendatangkan keributan saja. Biarlah sekarang kau yang mencoba untuk membereskan."

Thian Beng Cu memang cerdik. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi Bu-tong-pai, akan tetapi tadi ia mendengar bahwa kedua orang sutenya itu dirobohkan oleh seorang anak murid Go-bi-pai. Hal ini bukan main-main, karena kalau tidak hati-hati, bisa jadi Kim-san-pai akan bertambah seorang musuh lagi, yakni Go-bi-pai.

Dan kalau ini terjadi, benar-benar amat berbahaya dan akan makin membahayakan kedudukan Kim-san-pai. Oleh karena itu, setelah kini Ang I Niocu muncul sebagai utusan Bu Pun Su, biarlah ia mengoperkan tugas perdamaian itu kepada gadis ini.

Ang I Niocu menyanggupi dan malam hari itu Ang I Niocu mendengar penuturan para tosu Kim-san-pai tentang asal mula pertikaian itu timbul. Sementara itu, diam-diam Thian Beng Cu menyuruh seorang muridnya untuk pergi ke Propinsi Hokkian dan mencari seorang sutenya yang sudah lama merantau, yakni Eng Yang Cu. Sutenya ini jauh lebih muda darinya, usianya paling banyak lima puluh tahun, akan tetapi kalau dibanding tingkat kepandaiannya, kiranya Eng Yang Cu ini termasuk orang paling tinggi tingkatnya di Kim-san-pai.

Memang Eng Yang Cu yang paling disayang oleh mendiang guru mereka, dan menerima warisan ilmu yang paling banyak. Sebetulnya, Eng Yang Cu inilah dahulunya yang dicalonkan menjadi ketua Kim-san-pai, akan tetapi ternyata bahwa Eng Yang Cu mempunyai darah perantau dan tidak betah tinggal di puncak gunung.

Oleh karena itu, terpaksa kedudukan ciangbunjin diserahkan kepada Thian Beng Cu, murid tertua dan Eng Yang Cu melakukan perantauan di Propinsi Hokkian. Thian Beng Cu, memanggil sutenya yang boleh diandalkan itu untuk menjaga kalau-kalau usaha perdamaian gagal dan pecah pertempuran antara kedua pihak, hanya sutenya inilah yang boleh ia andalkan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ang I Niocu sudah bangun dan bersiap-siap hendak ke Bu-tong-pai. Ia telah memperoleh keterangan dan penjelasan dari Ketua Kim-san-pai, sekarang ia harus menemui Ketua Bu-tong-pai sehingga setelah mendengar keterangan kedua pihak, mudah baginya untuk mendamaikan urusan ini. Ia merasa girang bahwa ternyata pihak Kim-san-pai amat bijaksana dan tidak menghendaki dilanjutkannya permusuhan itu.

"Mudah-mudahan saja pihak Bu-tong-pai juga dapat diajak berunding," pikirnya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar