Bab 18 - Perampok
˜Nona, kau begini muda, begini
cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di tempat ini benar-benar
merupakan hal yang aneh dan sukar dipercaya. Kalau kami melihat seekor singa
betina, atau seekor ular betina atau binatang-binatang buas yang lain lagi,
kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau seorang diri saja berada di
tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak mungkin! Ketahuilah
bahwa kami bukannya orang-orang yang tidak menghargai persahabatan di dunia
kang-ouw dan pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san Sam-kui yang terkenal gagah
perkasa. Mungkin kau juga seorang kang-ouw, melihat lagakmu dan pedangmu, maka
kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau suka menjawab pertanyaan kami, Nona
manis.!
Biarpun kata-kata yang keluar
dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu aturan, akan tetapi
pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati Ang I Niocu, maka ia
lalu bangkit berdiri dan berkata singkat,
˜Aku tidak peduli tentang Min-san
Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan dengan kalian!!
Setelah berkata demikian Ang I Niocu lalu berjalan pergi dari puncak itu,
kegembiraannya yang tadi lenyap oleh gangguan ini.
Akan tetapi dua belas orang
itu serentak mengejar dan menghadang di depannya. Pemimpin yang berhidung hitam
tadi berkata,
˜Nanti dulu, Nona. Mengapa
terburu-buru? Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja
masih tidak mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm,
kalau begitu kau seorang asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan
kepada kami!!
Ang I Niocu mengerti bahwa ia
berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi ia tetap tenang. Ia juga
mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini, yakni siapa yang dianggap
bukan kawan atau kenalan, apabila lewat di daerah mereka harus ˜membayar pajak
jalan! atau kasarnya dirampok barang-barang bawaannya!
˜Berapa aku harus membayar
pajaknya?! tanya Ang I Niocu. Sebagai seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan
di dunia kang-ouw agar jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini
sudah bersedia mengeluarkan uang untuk sekadar menyokong mereka.
Akan tetapi, orang-orang itu
saling pandang dengan muka cengar-cengir, kemudian terdengar seorang di antara
mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung Hitam.
˜Twako, minta ia tinggalkan
pakaian yang dipakainya!!
˜Setuju...! Biar hilang
sombongnya!!
˜Serahkan kepadaku saja untuk
membikin jinak kuda betina liar ini!!
Kata-kata yang tak sopan mulai
terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I Niocu sambil
tertawa-tawa dan berkata,
˜Kau dengar sendiri, Nona
manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik jelita dan masih muda,
kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau bekalmu. Akan tetapi kami
hanya menghendaki pakaian yang menempel di badanmu itu supaya kautanggalkan dan
kau berikan kepada kami.!
Kata-kata ini disambut
sorak-sorai para perampok itu. Ang I Niocu tetap tersenyum akan tetapi kalau
diperhatikan benar-benar, orang akan melihat belahan bibirnya yang bawah
tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan cahaya berapi-api. Inilah
tandanya bahwa Ang I Niocu menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dadanya.
Dengan gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau
menghadapi orang-orang kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan
menyentuh mereka. Untuk menggunakan pedang ia malu kepada diri sendiri. Masa
menghadapi tikus-tikus busuk macam ini saja ia harus mencabut pedangnya?
Akhirnya matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon,
maka tersenyumlah ia, senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki
itu makin tergiur hatinya.
˜Kalian ini tikus-tikus hutan
berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah pembayaran pajakku
ini!!
Tiba-tiba dua belas orang itu
berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan mereka. Sebagai
gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar ranting di tanah,
kemudian menjerit-jeritlah mereka, disusul tubuh mereka roboh tumpang tindih.
Si Hidung Hitam tahu-tahu kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang
berubah merah karena darah, ada pula yang daun telinganya pecah dan ada yang
lengannya tertusuk ranting, dan sebentar saja dua belas orang itu melarikan
diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut!
Ang I Niocu melempar
rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum manis dan
langkah tenang ia turun dari tempat itu menghampiri kudanya. Dengan perlahan ia
menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Ia mengira bahwa para perampok itu
tentu sudah tobat dan tidak muncul lagi. Akan tetapi ternyata dugaannya ini
keliru.
Baru saja ia turun dari puncak
itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari segala jurusan muncul
banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang tentu saja lebih hafal
akan keadaan di situ dan dapat mengambil jalan pendek menghadang perjalanan Ang
I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan orang, dipimpin oleh Min-san Sam-kui yang
menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.
Melihat tiga orang yang
pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para perampok itu, Ang
I Niocu bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari atas kudanya.
˜Pek-hong-ma, kau tunggu aku
di bawah sana!! katanya sambil menepuk punggung kuda itu. Kuda Pek-hong-ma ini
sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi amat penurut dan
karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona majikannya. Mendapat
tepukan itu, ia lalu berlari-lari turun gunung! Dengan tenang Ang I Niocu lalu
menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang menjadi pemimpin mereka.
Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam
Sian-li Kwan Bi Hoa memandang kepada Ang I Niocu dengan mata mengandung
kemarahan besar, sungguhpun kemarahan Ang Kim tercampur oleh keheranan dan
kekaguman melihat gadis muda cantik jelita itu. Adalah Pek-ciang Kwan Liong
yang berdiri dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menahan napas dan
dadanya berdebar-debar.
˜Demi Iblis!! katanya perlahan
dengan mata tak pernah berkedip menatap wajah dan bentuk tubuh gadis baju merah
di depannya itu, penuh takjub. ˜Kalau dia itu manusia dan bukan dewi kahyangan,
tidak tahu lagi aku apa bedanya antara gadis dan dewi!!
Mendengar ini, Bi Hoa adiknya membantah
perlahan, ˜Apakah dewi kahyangan saja yang memiliki kecantikan luar biasa? Juga
siluman rase memiliki kecantikan yang melebihi kecantikan manusia biasa. Jangan
kau salah duga, siluman rase disangka dewi kahyangan.!
˜Biarpun ia siluman rase atau siluman
tikus, kalau bisa mendapatkan dia, aku akan merasa bahagia sekali... alangkah
manisnya, eh, Bi-moi pernahkah kau melihat bibir semanis itu? Hemm...!
Percakapan antara kakak dan
adik yang dilakukan bisik-bisik dan dari jarak jauh ini kiranya takkan dapat
terdengar oleh telinga Ang I Niocu kalau saja gadis ini bukan seorang pendekar
yang berilmu tinggi. Pendengarannya jauh lebih tajam daripada pendengaran
manusia biasa, maka ia dapat menangkap semua percakapan itu dan diam-diam ia
tersenyum geli.
Sementara itu, Toa-to Ang Kim
sudah menegur dengan kata-kata keras dan ketus, ˜Nona yang lewat di daerah
kami! Kau mengaku berjuluk Ang I Niocu dan sudah melukai orang-orang kami
secara kejam. Sebetulnya siapakah kau, dari golongan mana dan apa maksudmu datang
ke wilayah kami melakukan penghinaan? Apakah sengaja kau mencari permusuhan
dengan Min-san Sam-kui?!
˜Kepala berandal, enak saja
kau bicara! Anak buahmu bersikap kurang ajar sekali sehingga terpaksa aku turun
tangan memberi hajaran. Kau yang tidak bisa mendidik anak buahmu, tidak menegur
mereka dan minta maaf kepadaku, sebaliknya hendak menegurku? Aku tidak mencari
permusuhan dengan siapapun juga, andaikata aku tidak suka kepada kalian ini
orang-orang kasar, agaknya Susiok-couwku Bu Pun Su takkan membolehkan aku
mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi ini bukan berarti aku takut! Biar
kalian sekalipun kalau bertindak kurang ajar dan keterlaluan, tak urung akan
mendapat bagian!!
˜Bocah sombong rasakan,
pedangku!! Bi Hoa sudah menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat
menyerang Ang I Niocu.
Hanya nampak sinar pedang
berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa. Ternyata Ang I Niocu telah
mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian cepat dan kuat
sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di atas tanah,
sedangkan pedang kedua kalau ia tidak buru- buru melompat ke belakang dengan
muka pucat, tentu akan terlepas pula!
˜Sumoi, tahan...!! Toa-to Ang
Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala rampok yang tinggi
besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu sambil berkata ramah,
˜Ah, tidak tahunya Li-hiap
adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf, maaf, kami
mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap Li-hiap
sudi memaafkan perbuatan kurang ajar dari anak buah kami dan kelancangan Sumoi
tadi.!
Diantara tiga orang kepala
rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki pandangan yang lebih
luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi terkejut bukan main
mendengar nama Bu Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu, juga melihat betapa
sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat merampas sebatang pedang dari tangan
sumoinya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini benar-benar tidak boleh
dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan diplomasinya.
Ang I Niocu adalah puteri
seorang pendekar besar, juga murid dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw,
maka gadis ini dapat membawa diri. Melihat sikap orang tertua dari Min-san Sam-kui,
ia pun merobah sikapnya dan membalas penghormatan itu.
˜Kalau mau bicara tentang
maaf, siauwmoi juga mohon maaf sebanyaknya bahwa kedatangan siauwmoi di Bukit
Min-san yang sesungguhnya hanya kebetulan lewat belaka, mendatangkan banyak
gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalahpahaman telah diatasi, perkenankan
siauwmoi melanjutkan perjalanan turun gunung mencari kudaku yang sudah lari
lebih dulu tadi.! Memang bagi Ang I Niocu, tidak perlu ia menanam bibit
permusuhan dengan segala macam penjahat rendah, apalagi kalau tidak ada
sebab-sebabnya yang kuat. Ia takut akan mendapat marah dari Bu Pun Su karena
dalam perjalanan berusaha mendamaikan permusuhan antara Bu-tong-pai dan
Kim-san-pai, amat tidak baik kalau usaha itu ia mulai dengan permusuhannya dengan
golongan lain! Maka ia hendak menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan
melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi dasar harus
terjadi keributan, tiba-tiba Pek-ciang Kwan Liong, orang ke dua dari Min-san
Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh hormat menjura ke
depan Ang I Niocu sambil mengeluarkan suaranya yang merdu halus,
˜Lihiap Ang I Niocu, aku yang.
rendah Pek-ciang Kwan Liong, ikut menghaturkan terima kasih atas ketinggian
budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita baru saja
berjumpa, akan tetapi kau telah mendapat kedudukan tinggi dalam pandangan kami.
Kelihaianmu dan pribudimu yang luhur benar-benar membuat kami kagum dan tunduk.
Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan, aku mohon dengan hormat dan sangat,
sudilah kiranya Li-hiap singgah di tempat kami untuk mempererat perkenalan ini.
Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling membantu dalam urusan besar.!
Ang I Niocu merasa ragu-ragu.
Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan cepat-cepat pergi dari situ.
Akan tetapi, orang telah mengajukan permintaan demikian penuh hormat dan
merendah, tidak enak juga kalau ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia
mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,
˜Ah, Koko, kau ini tidak bisa
melihat gelagat. Lihiap Ang I Niocu biarpun sudah memaafkan kita, akan tetapi
tadi bermusuh dengan kita, mana ia percaya kepada undanganmu? Tentu disangka
kita hendak menjebaknya!!
Merah muka Ang I Niocu
mendengar ini. Dengan suara mengejek ia berkata,
˜Hemm, sesungguhnya aku hendak
menolak undangan ini. Akan tetapi karena khawatir disangka takut akan jebakan,
biarlah aku melihat-lihat sarang kalian.!
Berseri wajah Pek-ciang Kwan
Liong. Ia segera memberi perintah kepada para anak buah berandal untuk
mempersiapkan segata sesuatu di ˜pesanggrahan! untuk menyambut datangnya tamu
agung, dan mempersiapkan meja perjamuan!
Setelah itu, dengan langkah
tenang dan gagah Ang I Niocu diiringkan naik ke sebuah puncak tak jauh dari
situ, puncak yang penuh dengan pohon-pohon liar. Di tengah-tengah hutan di
puncak bukit ini terdapat sebuah rumah kayu yang besar. Inilah tempat tinggal
dari Min-san Sam-kui, adapun para anak buah rampok itu tinggal di sekeliling
puncak, di dalam gubuk-gubuk kecil yang dibangun di sana-sini.
Ketika mulai mendaki puncak
bukit ini, di kanan kiri lorong berdiri para perampok dengan senjata di tangan,
berdiri tegak seperti barisan memberi hormat seorang jenderal yang lewat.
Keadaan amat angker dan menakutkan, akan tetapi Ang I Niocu tetap tenang-tenang
saja, berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.
Iring-iringan ini masuk ke
dalam bangunan besar dan diam-diam Ang I Niocu merasa kagum karena keadaan di
dalam bangunan kayu ini jauh bedanya dengan keadaan di luar. Belasan pemuda dan
pemudi yang nampak di ruangan tamu dan kelihatan sebagai pelayan-pelayan tidak
kasar-kasar seperti para perampok itu, bahkan boleh dibilang rata-rata para
pemudanya tampan-tampan dan para gadisnya cantik-cantik.
Sama sekali ia tidak mengira
bahwa para pemuda ini adalah orang-orang culikan yang dipaksa dan dibawa ke
tempat itu sebagai kekasih Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa dan juga gadis-gadis
itu adalah orang-orang culikan yong dipaksa menjadi kekasih Pek-ciang Kwan
Liong! Mereka ini selain bertugas menghibur hati kakak beradik mata keranjang
ini, juga bekerja sebagai pelayan dan selalu berada di dalam bangunan, tidak
pernah keluar, apalagi ikut merampok. Mereka ini pendiam tidak banyak bicara,
dan pucat-pucat, muka orang-orang yang putus harapan.
Di ruangan tamu yang lebar itu
telah sedia meja panjang penuh dengan hidangan-hidangan lezat. Kembali Ang I
Niocu terheran-heran karena bagaimana di tengah hutan dan di puncak gunung itu
orang bisa mendapatkan hidangan-hidangan seperti di rumah makan di kota saja?
Ia tidak tahu bahwa memang di tempat ini disediakan bahan-bahah masakan yang
serba lengkap, juga di situ terdapat sebuah dapur yang besar dan lengkap,
bahkan terdapat pula seorang koki culikan. Kesukaan Toa-to Ang Kim yang
terutama adalah makanan enak, maka untuk memenuhi selera dan memuaskan hatinya
Ang Kim setiap hari diadakan pesta besar memotong ayam dan sapi.
˜Untuk menghormati kedatangan
Li-hiap, sebelum melanjutkan perjalanan kami mengadakan sekedar makan-minum.
Setelah mengaso sebentar baru Li-hiap dapat melanjutkan perjalanan,! kata Ang
Kim sambil tertawa ramah.
˜Mana bisa begitu sebentar?
Kami harap Li-hiap suka bermalam di tempat kami yang buruk ini barang semalam
dua malam,! Kwan Liong menyambung cepat-cepat, sedangkan Kwan Bi Hoa hanya
tersenyum-senyum saja dan kadang-kadang memandang kepada seorang pelayan tampan
dengah mata mendelik kalau pelayan ini mengerling ke arah Ang I Niocu dengan
pandang mata kagum. Agaknya perempuan ini besar sekali cemburunya!
˜Undangan makan kuterima
dengan senang hati dan terima kasih. Akan tetapi untuk bermalam di sini
betul-betul tak mungkin. Aku harus segera melanjutkan perjalanan,! jawab Ang I
Niocu dan tanpa malu-malu ia segera mengambil tempat duduk ketika pihak tuan
rumah mempersilakannya. Mereka lalu mulai makan minum. Ang I Niocu berlaku
seolah-olah ia makan dan minum semua hidangan tanpa ragu-ragu dan tanpa
sangsi-sangsi. Padahal sebenarnyalah amat hati-hati dan waspada, hidungnya
bekerja keras mencium bau setiap makanan dan minuman sebelum makanan atau
minuman itu memasuki mulut dan perutnya. Akan tetapi ia sengaja tidak pernah
mengeringkan cawan araknya sehingga setelah pihak tuan rumah menghabiskan tujuh
delapan cawan, ia baru menghabiskan tiga cawan saja.
Pek-ciang Kwan Liong yang
mukanya sudah mulai kemerahan akibat pengaruh arak berdiri dan tertawa-tawa
sambil memegang seguci arak yang baru didatangkan oleh pelayan.
˜Lihiap Ang I Niocu mengapa
sungkan-sungkan? Arak kami adalah arak simpanan, arak wangi yang sudah puluhan
tahun usianya, amat baik untuk menyehatkan tubuh dan menambah semangat. Harap
Li-hiap sudi menerima secawan arak untuk menghormati pertemuan yang amat
membahagiakan hati ini!!.
Tentu saja Ang I Niocu tak
dapat menolak dan memberikan cawannya untuk diisi penuh. Arak kali ini adalah
arak berwarna merah yang baunya harum sekali, mengalahkan arak yang tadi-tadi.
Ang I Niocu mengikuti mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya. Sebelum arak
itu memasuki mulutnya, hidungnya mencium bau keras diantara bau harum, akan
tetapi tanpa memperlihatkan tanda sesuatu, Ang I Niocu menenggak arak itu. Tiba-tiba
ia mengerutkan alisnya, berdiri, dan memegang kepala sambil menundukkan
mukanya, lalu terhuyung-huyung seperti orang pusing.
Ia mendengar Ang Kim bertanya,
˜Eh, eh, Li-hiap kenapa...?! Juga ia mendengar suara ketawa Kwan Bi Hoa,
kemudian ia mendengar suara yang diharap-harapkan, yakni suara Kwan Liong yang
berkata perlahan penuh kegembiraan, ˜Aha, sudah kena... roboh... roboh...!
Ang I Niocu terguling miring
dan roboh tak bergerak lagi! ˜Sute apa yang kau lakukan?! terdengar Ang Kim
membentak sutenya.
Kwan Liong tidak menjawab akan
tetapi yang menjawab adalah Kwan Bi Hoa yang tertawa-tawa genit, ˜Twa-suheng
seperti tidak tahu saja, mana Liong-ko mau melepaskan orang begini cantik?!
˜Bi-moi benar, Twa-suheng,!
kata Kwan Liong, ˜Belum pernah selama hidupku aku melihat seorang gadis
secantik ini. Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, tentu selamanya aku akan
terkenang dan tergila-gila.!
Ang Kim menarik napas panjang.
˜Asal kau berhati-hati saja. Dia itu lihai sekali...!
˜Jangan khawatir, Suheng. Aku
sudah biasa menundukkan singa-singa betina liar. Kalau sekali ia sudah menjadi
punyaku, tentu ia akan menjadi penurut dan dia akan menjadi pembantu kita yang
amat boleh diandalkan.!
Ang Kim mengomel sambil
menghirup araknya. ˜Sesukamulah, kesukaanmu main-main seperti ini tidak akan
menambah panjangnya usiamu. Aku lebih baik makan dan minum...! terdengar dengan
lahapnya ia mengunyah daging dan mendorongnya ke dalam perut dengan arak
beberapa teguk.
Kwan Bi Hoa yang sudah
setengah mabuk, membelai-belai rambut seorang pemuda pelayan yang berlutut di
dekatnya, sedangkan Kwan Liong sambil tertawa haha-hihi mendekati Ang I Niocu,
dan berlutut
Ang I Niocu yang kelihatan
seperti orang pingsan tak berdaya itu, tiba-tiba membuka mulutnya dan arak tadi
menyembur keluar dari mulutnya, mengenai muka Kwan Liong.
˜Ayaaa...!! Kwan Liong
menjerit sambil melompat mundur dan kedua tangannya menutupi muka yang terasa
pedas sekali terkena semburan arak tadi. Akan tetapi di lain saat, sinar pedang
berkelebat dan kepala Pek-ciang Kwan Liong terpisah dari lehernya yang terbabat
putus oleh pedang di tangan Ang I Niocu!
Dara baju merah ini berdiri
dengan mata berapi-api, pedang di tangan dan sikapnya mengancam sekali. Toa-to
Ang Kim berdiri seperti patung di atas kursinya, terlampau kaget sehingga untuk
beberapa lama ia tak dapat bergerak. Siang-kiam Sian-li Kwah Bi Hoa juga
melompat berdiri dengan mata terbelalak, kaget setengah mati melihat kakaknya
sudah menggeletak dengan leher putus.
˜Bagus, kalian memang buta,
akan tetapi tadinya kukira kalian sudah sembuh dan dapat melihat. Tidak tahunya
kalian ini tikus-tikus busuk yang tidak pandai menggunakan mata. Orang-orang
macam kalian ini kalau tidak dibasmi, untuk apalagi aku sejak kecil mempelajari
ilmu?! kata Ang I Niocu dan sekali kakinya menendang, sebuah meja penuh piring
dan mangkok melayang ke arah Kwan Bli Hoa. Perempuan ini cukup gesit, melompat
ke samping dan yang menjerit roboh adalah pelayan yang tadi dibelainya,
terpukul meja.
Para pelayan menjerit dan lari
ke sana ke mari mencari tempat sembunyi. Para anak buah perampok yang menjaga
di luar, cepat menyerbu masuk dengan senjata di tangan. Toa-to Ang Kim dan
Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa sudah sadar dari kagetnya dan kini Ang Kim
memegang goloknya yang besar sedangkan Bi Hoa memegang sepasang pedang siap
menggempur Ang I Niocu.
Ang I Niocu mengeluarkan suara
ketawa yang merdu akan tetapi yang membangkitkan bulu tengkuk para perampok
ketika gadis ini berkata,
˜Rakyat Min-san, saksikanlah
aku Ang I Niocu membebaskanmu dari gangguan perampok-perampok Bukit Min-san!!
Di lain saat, tubuh Ang I Niocu berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah
yang menyambar ke sana ke mari, dikeroyok oleh Ang Kim, Kwan Bi Hoa, dan
puluhan orang perampok yang biasanya berlaku sewenang-wenang kepada rakyat di
sekitar daerah itu. Pedang di tangan Ang I Niocu luar biasa sekali ganasnya,
setiap kali meluncur pasti merobohkan seorang perampok yang tewas di saat itu
juga.
Medan pesta berubah menjadi
medan pertempuran yang hebat. Meja kursi yang tadi dipakai pesta, melayang ke
sana ke mari terkena terjangan dan tendangan. Mangkok piring yang pecah
tertumbuk dinding kayu atau jatuh di lantai menerbitkan suara hiruk-pikuk. Ini
semua masih ditambah oleh orang-orang berteriak kesakitan. Darah membanjiri
ruangan itu.
Akhirnya hanya lima orang
tangan kanan mereka saja yang masih melakukan pengepungan. Yang lain-lain tidak
ada lagi. Banyak yang menggeletak tak bernyawa, akan tetapi lebih banyak pula
yang melarikan diri karena gentar menghadapi pendekar wanita baju merah yang
kosen itu.
Golok besar yang dimainkan
oleh Ang Kim cukup kuat dan tangguh. Golok ini diputar mengeluarkan angin dan
sinar pedang Ang I Niocu sukar menembus benteng sinar goloknya yang
bergulung-gulung. Juga Kwan Bi Hoa berdaya upaya membalas kematian kakaknya,
sepasang pedangnya diputar cepat, membalas serangan Ang I Niocu dengan serangan
maut. Lima orang perampok yang ikut mengeroyok benar-benar merupakan anak buah
yang setia, karena sungguhpun mereka ini kewalahan benar, namun mereka tidak
mau melarikan diri meninggalkan dua orang pemimpin mereka itu.
Ang I Niocu tadinya
mengharapkan mereka ini melepaskan senjata dan minta ampun. Kalau terjadi hal
demikian, kiranya ia pun tidak tega untuk membunuh mereka, asal saja mereka mau
berjanji untuk mengubah cara hidup, ia bersedia untuk memberi ampun. Akan tetapi
melihat kekerasan kepala mereka, timbul amarah di dalam hatinya.
˜Bangsat-bangsat kecil, kalian
tak boleh dikasih hati!! bentaknya dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah.
Kalau tadi permainan pedangnya cepat menyilaukan mata, adalah sekarang menjadi
lambat dan gerakan tubuhnya amat indah seperti orang menari-nari. Akan tetapi
kini setiap kali pedangnya digerakkan, bukan hanya sebagai main-main belaka,
melainkan merupakan serangan yang tak dapat ditangkis lagi. Sekali pedangnya
berkelebat ke arah dua orang perampok, biarpun dua orang itu sudah menangkis
dengan golok, tetap saja pedang itu menyeleweng dan meneruskan serangannya
tanpa dapat dielakkan lagi. Dua orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Ang I
Niocu melanjutkan serangannya dan dalam beberapa jurus saja tiga orang perampok
yang lain roboh juga.
˜Apakah kalian masih belum mau
bertobat!! Ang I Niocu memberi kesempatan terakhir kepada Toa-to Ang Kim dan
Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa.
Jawaban yang diterimanya hanya
sabetan golok besar pada lehernya dan tusukan sepasang pedang pada dada dan
leher!
˜Kalian sudah bosan hidup!!
bentak Ang I Niocu yang tiba-tiba lenyap menjadi bayangan merah yang melesat ke
sebelah kiri tubuh Kwan Bi Hoa. Sebelum perempuan cabul ini dapat menangkis,
pedang Ang I Niocu sudah memasuki lambungnya, membuat ia terguling roboh.
Sebuah jeritan ngeri merupakan perbuatan terakhir yang dapat ia lakukan.
Melihat sumoinya roboh, Toa-to
Ang Kim menjadi nekat. Goloknya diputar dalam penyerangan mati-matian. Akan
tetapi, seorang lawan seorang, dia ini bukanlah lawan tanding dari Ang I Niocu.
Dalam tiga jurus kemudian, pedang Ang I Niocu telah memasuki rongga dadanya dan
matilah kepala rampok yang sudah menumpuk dosa selama bertahun-tahun ini.
Ang I Niocu memandang ke kanan
kiri. Tidak kelihatan seorang pun anggauta perampok. Ia berjalan memasuki
ruangan dalam. Tiba-tiba belasan orang laki perempuan berlari keluar dan
berlutut di depannya sambil menangis. Mereka ini ternyata adalah
pelayan-pelayan tadi yang sudah bersembunyi di belakang dan kini mereka
berlutut di depan Ang Niocu dengan ketakutan.
˜Mohon ampunkan hamba
sekalian, Li hiap. Hamba sekalian hanya orang-orang culikan yang tidak
berdosa...! mereka meratap..
Ang I Niocu menjadi terharu
sekali dan diam-diam ia mengutuk kejahatan para perampok dan merasa girang
bahwa yang dibasminya benar-benar segerombolan orang jahat pengganggu rakyat.
˜Jangan takut, aku memang akan
menolong kalian. Sekarang kumpulkan semua barang-barang berharga, bagi-bagi di
antara kalian, kemudian kalian boleh pulang ke kampung masing-masing.!
Dengan girang sekali belasan
orang laki-perempuan itu lalu berserabutan lari ke dalam kamar-kamar di mana
terdapat barang-barang berharga dan tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di
luar, masing-masing membawa bungkusan besar. Ang I Niocu lalu membakar bangunan
besar itu yang sebentar saja menjadi lautan api karena bangunan itu terbuat
dari kayu.
˜Kalian pulanglah ke rumah
masing-masing,! kata pula Ang I Niocu.
Rombongan orang muda itu
menjatuhkan diri berlutut untuk menghaturkan terima kasih, kemudian mereka
berlari-lari turun gunung dengan kegirangan yang hanya dapat dirasakan oleh
mereka, kegirangan burung-burung yang dilepas dari sangkarnya yang sempit.
Ang I Niocu lalu turun gunung
lagi melalui lereng yang tadi, untuk mencari kudanya. Akan tetapi, alangkah
heran dan cemasnya ketika ia tidak dapat menemukan Pek-hong-ma. Ia telah
memanggil-manggil nama kuda itu dengan suara keras, akan tetapi tetap saja
Pek-hong-ma tidak mau muncul.
˜Eh, kemanakah dia?! Ang I
Niocu menjadi cemas. ˜Apakah ada kuda lain di sini yang menariknya?! Gadis itu
mempergunakan kepandaiannya, berlari cepat ke sana ke mari, melompati
jurang-jurang kecil yang kiranya dapat dilompati kudanya. Tiba-tiba ia
mendengar suara ringkik Pek-hong-ma di balik gunung kecil. Cepat ia berlari ke
tempat itu dan ketika ia tiba dibelokan gunung ini, ia melihat pemandangan yang
membuat bibir dan pelupuk matanya gemetar saking marahnya.
Kuda Pek-hong-ma telah rebah
miring, dalam keadaan berkelojotan hampir mati. Leher dan dadanya mengucurkan
darah. Ketika mata kuda itu melihat Ang I Niocu, binatang ini mengeluarkan
suara lagi menggelogok, kakinya berkelojotan keras seperti hendak
meronta-ronta, kemudian menjadi lemas. Binatang itu telah menjadi bangkai.
Dengan sinar mata tajam
berapi, Ang I Niocu memandang kepada orang-orang yang berada di tempat itu,
yang semua berdiri seperti patung dan memandang kepadanya dengan sinar mata
menantang. Di dekat kuda itu berdiri tiga orang wanita, yaitu seorang nenek dan
dua orang gadis. Sekali pandang saja Ang I Niocu mengenal mereka. Nenek itu
bukan lain adalah Koai-tung Toanio tokoh besar Kong-thong-pai dan dua orang
gadis itu adalah anak-anaknya yang terkenal dengan sebutan Kim-jiu Siang-eng
Kwan Ci-moi! Tiga orang wanita itu dahulu pernah bertempur dengannya ketika ia
melakukan perjalanan bersama Gan Tiauw Ki.
Apakah kehendak tiga orang
wanita yang sekarang datang bersama serombongan orang yang berpakaian seperti
pasukan pemerintah? Dahulu tiga orang wanita ini sengaja mencari gara-gara dan
memusuhinya dan sekarang, begitu muncul mereka agaknya sengaja membunuh kudanya
Pek-hong-ma, apakah artinya semua ini?
Saking marahnya melihat
Pek-hong-ma dibunuh, Ang I Niocu membentak sambil menudingkan pedang yang sudah
dicabutnya ke arah tiga orang wanita itu.
˜Kalian ini tiga siluman
wanita ibu dan anak mengapa selalu memusuhiku? Dahulu kalian sudah menjadi
pecundang, mengapa ada orang-orang begitu tidak tahu malu, menimpakan sakit
hati kepada kudaku? Sungguh keji dan pengecut besar!!
Koai-tung Toanio yang dahulu
pendiam sekarang nampak marah sekali. Ia menudingkan tongkatnya ke arah Ang I
Niocu dan berkata marah,
˜Manusia keji Ang I Niocu!
Baru saja kau telah membunuh anak-anakku Kwan Liong dan Kwan Bi Hoa, masih saja
kau berkata tidak mempunyai kesalahan kepada kami? Manusia celaka, dahulu kau
melakukan penghinaan terhadap kami masih boleh kami lupakan, akan tetapi
sekarang, kau berani membunuh mati dua orang anakku dan kawan-kawan mereka.
Benar-benar aku tidak bisa hidup bersamamu di muka bumi ini, seorang diantara
kita harus mampus sekarang dan di sini juga!!
Ang I Niocu kaget dari baru
sekarang ia melihat beberapa diantara pelayan yang tadi ia bubarkan berada di
situ, berlutut dan bajunya robek-robek, agaknya tadi dicambuki dan disuruh
mengaku. Tidak tahunya dua orang Min-san Sam-kui adalah anak dari Koai-tung
Toanio atau kakak-kakak dari dua orang gadis yang sekarang menghadapinya
bersama mereka. Ia menjadi marah dan biarpun tiga orang wanita itu datang
bersama pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, semuanya nampak
tegap-tegap dan merupakan tentara terlatih, ia sama sekali tidak menjadi
gentar.
˜Pantas... pantas ...! Hari
ini aku bertemu dengan keluarga besar penjahat dan pengecut! Majulah kalian,
biar aku tidak kepalang tanggung dan biar pedangku kenyang dan puas membabat
iblis-iblis bermuka manusia!!
Di lain saat Ang I Niocu sudah
dikeroyok dan sebuah pertempuran yang seru terjadi di lapangan itu. Saking
marahnya melihat kuda kesayangannya dibunuh, kini Ang I Niocu mengamuk hebat.
Ia mengeluarkan ilmu pedangnya Sian-li Kiam-sut atau ilmu Pedang Tari Bidadari,
yang nampaknya indah namun amat berbahaya bagi lawan. Sukar sekali mata
mengikuti gerakan-gerakannya, nampaknya hanya sebagai seorang dewi cantik menari-nari,
akan tetapi di sekeliling tubuh dewi ini nampak sinar terang. Inilah sinar
pedang yang menyambar-nyambar tanpa dapat diketahui ke mana gerakan selanjutnya
sehingga musuh yang sedemikian banyaknya itu menjadi bingung dan pengeroyokan
menjadi kacau-balau.
Akan tetapi, para pengeroyok
sekarang ini jauh bedanya kalau dibandingkan dengan para pengeroyok di puncak
gunung tadi. Tadi para pengeroyok Ang I Niocu hanya terdiri dari kaum perampok
yang kasar dan hanya mengandalkan tenaga besar belaka dalam pertempuran. Kali
ini para pengeroyok yang membantu Koai-tung Toanio dan dua orang anaknya adalah
pasukan terlatih dari Gubernur Lie Kong gubernur yang mempunyai cita-cita
memberontak di Propinsi Shansi. Mereka ini terdiri dari perajurit-perajurit
pilihan yang sedikit-banyak mengerti ilmu silat, maka pengepungan dan
penyerbuan mereka teratur sekali. Mereka dapat bekerja sama, baik dalam
penyerangan maupun dalam pertahanan sehingga sebegitu lama Ang I Niocu belum
berhasil merobohkan seorang lawan pun, sedangkan pengepungan makin lama makin
rapat.
Baru beberapa jam yang lalu,
Ang I Niocu sudah melakukan pertempuran hebat, dikeroyok oleh banyak orang dan
di dalam pertempuran membasmi kawanan perampok di Bukit Min-san itu telah
membutuhkan banyak tenaga. Oleh karena itu, ia sudah amat lelah. Sekarang, ia
menghadapi keroyokan musuh yang lebih tangguh, tentu saja keadaannya menjadi
terancam. Namun Ang I Niocu adalah seorang gadis yang tidak mengenal apa
artinya takut.
Sedikit pun ia tidak menjadi
gentar dan khawatir, bahkan kini pedangnya diputar makin cepat sehingga dalam
beberapa gebrakan ia berhasil merobohkah tiga orang anggauta pasukan yang
mengepungnya. Hasil ini membuat para pengepungnya terkejut dan kacau-balau,
sedangkan semangat Ang I Niocu bertambah. Biarpun ia sudah merasa lemas kaki
tangannya, ia memaksa diri, memutar-mutar pedangnya dengan gerakan-gerakan
lincah sekali sehingga kembali ia merobohkan dua orang.
˜Serbu dan bunuh saja!!
Koai-tung Toanio kini berseru keras dengan penasaran dan marah sekali. Tadinya
ia memang berpesan kepada anak buah pasukan itu untuk menangkap hidup-hidup Ang
I Niocu, karena ia mempunyai maksud untuk menyerahkan gadis baju merah itu
kepada majikan mudanya, yakni Lie Kian Tek putera gubernur. Akan tetapi melihat
sepak-terjang Ang I Niocu yang demikian hebat, ia merubah niatnya. Orang dengan
kepandaian seperti gadis baju merah ini kiranya tidak mungkin ditawan
hidup-hidup.
Benar saja, setelah ia
mengeluarkan aba-aba ini, para anak buah pasukan yang juga khawatir akan menjadi
korban kalau berlaku lemah terhadap gadis cantik jelita yang kosen itu, mulai
mendesak dengan serangan-serangan maut. Barulah sekarang Ang I Niocu terdesak,
karena ia harus menjaga diri betul-betul terhadap desakan dan serangan puluhan
batang senjata yang melancarkan serbuan-serbuan mengancam keselamatan itu.
Betapapun juga, ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan bilamana saja
terdapat lowongan, pasti pedangnya merobohkan seorang dua orang lawan.
Namun, pasukan itu adalah
pasukan terlatih dan di dalam ketentaraan Gubernur Shansi, pasukan ini disebut
Pasukan Maut. Mereka itu telah dilatih, tidak saja latihan jasmani, akan tetapi
juga dilatih untuk bertempur sampai orang terakhir! Menghadapi pasukan yang
semua tidak takut mati ini, Ang I Niocu menjadi kewalahan juga. Akan tetapi ia
pun tidak kenal artinya takut atau mundur.
Bagaikan seekor naga betina ia
mengamuk dan pedangnya berkelebat-kelebat tubuhnya menyambar ke sana ke mari,
sepak-terjangnya benar-benar hebat. Biarpun Ang I Niocu mengerti bahwa kalau
pertempuran ini dilanjutkan, tak mungkin ia dapat menewaskan sekian banyaknya
lawan dan akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan roboh, namun ia masih
belum mau menyerah dan tidak sudi melarikan diri sebelum tenaganya habis
betul-betul!
˜Kaum pemberontak hina-dina
sungguh tak tahu malu mengandalkan orang banyak mengeroyok seorang dara!!
tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda gagah perkasa,
yang diiringkan oleh belasan orang berpakaian seperti jago-jago silat. Sikap mereka
gagah sekali dan atas isyarat pemuda gagah itu mereka menyerbu dengan pedang
mereka. Permainan pedang mereka serupa, menandakan banwa mereka datang dari
satu partai, ilmu pedang yang menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dan
sebaliknya, dibarengi bentakan-bentakan nyaring.
Ang I Niocu seperti pernah
melihat ilmu pedang seperti ini, kalau tidak salah ilmu pedang partai
Bu-tong-pai. Sebentar saja pasukan Gubernur Lie menjadi kalang-kabut dan Ang I
Niocu kini hanya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan dua orang gadisnya
saja. Biarpun dengan datangnya pemuda tampan gagah bersama kawan-kawannya itu
merupakan pertolongan baginya, namun diam-diam Ang I Niocu merasa mendongkol
sekali.
Gadis ini memang mempunyai
watak yang tinggi hati dan tidak mau kalah. Biarpun berada di dalam bahaya dia
tidak mengharapkan pertolongan orang lain, apalagi pertolongan serombongan
orang laki-laki yang tak pernah dikenalnya. Seorang diantara dua gadis puteri
Koai-tung Toanio yang melihat datangnya bala bantuan ini, memaki marah dan
kecewa,
˜Dasar perempuan jalang, di
mana-mana ada laki-laki yang membantu. Cih, tak tahu malu!!
Naik darah Ang I Niocu
mendengar makian ini. Tanpa mempedulikan serangan lain, pedangnya menyambar ke
arah orang yang memakinya. Ketika tongkat Koai-tung Toanio menyodok dadanya, ia
tidak mengelak dan tidak menunda serangannya, hanya menyampok dengan tangan
kiri. Tongkat itu terpental, akan tetapi Ang I Niocu merasa lengannya sakit
sekali. Ia menggigit bibir dan melanjutkan serangannya sampai ujung pedangnya
mengenai pundak gadis yang memakinya tadi. Gadis itu memekik dan roboh dengan
pundak kanan hampir putus!
Koai-tung Toanio dan puterinya
yang seorang lagi cepat mendesak sehingga Ang I Niocu tidak ada kesempatan
untuk mengirim tusukan kedua, namun ia telah puas, wajahnya berseri dan ia
melayani para pengeroyoknya dengan tenang. Ketika ia melihat pemuda gagah yang
membantunya mengamuk hebat dan berada dekat dengan tempat di mana ia bertempur,
ia berseru kepada pemuda itu, ˜Aku tidak membutuhkan bantuan kalian. Pergilah!!
Pemuda itu tertegun dan
menengok, mengeluarkan seruan kaget dan menjauhkan diri dari pertempuran,
berdiri seperti patung memandang kepada Ang I Niocu dengan penuh kekaguman.
Agaknya baru sekarang ia melihat wajah orang yang dibantunya dan penglihatan
ini membuat ia tercengang.
Melihat ini, Ang I Niocu makin
mendongkol. Gadis ini sudah terlalu sering menyaksikan laki-laki berlaku
seperti itu apabila memandang kepadanya dan ia menjadi mendongkol sekali,
disamping keinginan hendak mempermainkan laki-laki yang tergila-gila kepadanya.
Senyumnya penuh ejekan dan ia sengaja memainkan ilmu silatnya dengan gerakan
dan gaya yang indah sekali seperti orang menari-nari.
Adapun Koai-tung Toanio yang
melihat betapa pihaknya terdesak dan jatuh banyak korban, lalu memberi aba-aba
keras dan ia sendiri menyambar tubuh puterinya yang terluka, lalu melarikan
diri dari tempat itu. Ang I Niocu yang sudah lelah bukan main tentu saja tidak
mau mengejar, demikian pula orang-orang yang datang membantunya tidak mau
mengejar.
Semua orang itu kini menoleh
dan memandang kepada Ang I Niocu dengan sinar mata kagum, bukan hanya kagum
melihat ilmu silat gadis ini, akan tetapi terutama sekali kagum akan
kecantikannya yang memang jarang bandingnya itu. Melihat ini, Ang I Niocu
tersenyum mengejek lalu memutar tubuhnya dan lari dari tempat itu tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka!
Melihat ini, pemuda tampan dan
gagah tadi lalu melompat dan mengejarnya sambil berseru, ˜Li-hiap yang gagah
perkasa, harap kau tunggu dulu, mari kita bicara!!
Akan tetapi Ang I Niocu hanya
menoleh sebentar dan berkata, ˜Aku tidak ada urusan dengan kau!! Dan ia berlari
terus, kini makin cepat.
Pemuda itu penasaran
mengerahkan gin-kangnya. Sekali melompat ia telah maju dua puluh kaki lebih!
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu pun melompat, bahkan
lebih jauh daripada lompatannya.
˜Nona, harap kau berhenti
dulu, aku hanya ingin berkenalan!! serunya pula, akan tetapi Ang I Niocu tidak
mempedulikannya, bahkan mempercepat larinya.
Pemuda itu masih hendak
mengejar sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, akan tetapi
sia-sia, gadis itu dapat berlari lebih cepat dan sebentar saja sudah lenyap di
balik gunung!
Terpaksa Ang I Niocu
melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Setelah melihat bahwa pemuda
tampan itu tidak mengejarnya lagi, baru terasa olehnya betapa lelahnya setelah
dua kali berturut-turut ia melakukan pertempuran hebat tadi. Ia berhenti dan
duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Dengan ujung lengan bajunya,
disusutnya peluh yang membasahi leher dan jidatnya. Matahari telah tenggelam di
barat dan keadaan sudah mulai gelap. Tak terasa pula senja telah lewat dan
malam sudah diambang pintu.
Baru sekarang, disamping
kelelahan yang sangat, Ang I Niocu merasa lapar sekali. Sejak pagi ia belum
makan dan sehari penuh hanya bertempur saja. Lengan kirinya sekarang terasa
sakit sekali, akibat benturan dengan tongkat Koai-tung Toanio tadi. Kemudian ia
teringat lagi akan kudanya yang sudah mati. Celaka sekali, dengan kehilangan
Pek-hong-ma, ia kehilangan segala-galanya yang menjadi bekal. Pakaian, uang dan
lain-lain semua berada di atas punggung Pek-hong-ma dan sekarang semua itu
hilang. Ang I Niocu mengerutkan keningnya, wajahnya muram. Semenjak ia ikut
ayahnya, ia selalu dimanja dan selalu terpenuhi apa yang menjadi kehendaknya,
belum pernah kekurangan makan dan pakaian.
Sekarang, seorang diri dan
lelah serta lapar setelah kehilangan segalanya, ia merasa sengsara sekali. Tak
terasa lagi air matanya jatuh bertitik ketika ia tiba-tiba teringat kepada
ayahnya dan kepada Gan Tiauw Ki. Ketika masih tinggal di gedung ayahnya, belum
pernah ia merasa selelah dan selapar ini. Ketika ia melakukan
perjalanan-perjalanan dengan Tiauw Ki, alangkah jauh bedanya dengan sekarang.
Dengan Gan Tiauw Ki ia mengalami perjalanan yang penuh madu, penuh kegembiraan
dan kebahagiaan.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri,
˜Alangkah bodohku, susiok-couw akan marah kalau melihat aku selemah ini...!
pikirnya. Ia berjalan lagi, menuju ke sebuah dusun yang atap-atap rumahnya
sudah kelihatan dari situ. Sebelum cuaca menjadi gelap ia harus sudah berada di
dusun itu kalau ia tidak mau tidur di tengah hutan.
Alangkah herannya ketika ia
tiba di luar dusun, ia disambut oleh semua penduduk dusun, di sana-sini
terdengar seruan!
˜Ang I Niocu...! Dia sudah
datang... Sambut Ang I Niocu, pendekar kita yang mulia...!
Kemudian baru Ang I Niocu tahu
bahwa diantara para penyambut itu terdapat bekas-bekas pelayan di pesanggrahan
perampok. Tentu mereka ini yang sudah mengabarkan tentang pembasmiannya
terhadap para perampok itu. Kepala kampung itu, seorang laki-laki setengah tua
yang berkumis panjang, mengepalai penyambutan dan menjura dengan penuh hormat
kepadanya.
˜Li-hiap yang mulia, telah
bertahun-tahun kami hidup dalam ketakutan dan penindasan kaum perampok di
Min-san. Bahkan ada beberapa orang muda dusun kami diculik, selain harta benda
kami. Kini muncul Li-hiap yang gagah perkasa, yang telah membasmi mereka dan
berarti membebaskan kami dari cengkeraman perampok jahat. Benar-benar Thian
telah mengirim Li-hiap sebagai seorang dewi untuk menolong kami yang sudah lama
memohon kemurahan dan keadilan Thian.! Setelah berkata demikian, kepala kampung
itu berlutut di depan Ang I Niocu, diturut oleh semua orang kampung.
Akan tetapi, ketika mereka
mengangkat kepala, ternyata dara baju merah itu telah lenyap! Tentu saja mereka
heran dan kagum sekali, dan sekali lagi mereka berlutut, mengira bahwa gadis
yang cantik luar biasa dan bisa ˜menghilang! itu benar-benar seorang dewi
kahyangan utusan dari langit! Semenjak hari itu, orang sekampung seringkali
memasang hio, memuja kepada dewi penolong baju merah itu.
Adapun Ang I Niocu dengan
bersungut-sungut berlari cepat meninggalkan kampung itu. Dasar awak lagi sial,
gerutunya. Ia sama sekali tidak mau melayani sambutan orang-orang kampung yang
menganggapnya seperti dewi itu, karena ia maklum bahwa kalau ia melayani
mereka, akan berarti ia tidak tidur lagi semalam suntuk. Tentu orang-orang
kampung akan mengerumuninya, akan memujanya, dan ia akan menjadi pusat
perhatian orang belaka. Padahal ia melakukan perkerjaan di puncak bukit tadi,
mati-matian membasmi perampok, sama sekali bukan untuk mencari muka atau
mencari nama.
Disambut secara demikian oleh
kepala kampung dan penduduknya, bukan menkadi girang, sebaliknya Ang I Niocu
menjadi mendongkol dan pergi tanpa pamit.
Malam hari itu Ang I Niocu
terpaksa tidur di atas pohon di dalam hutan, dan perutnya yang berteriak-teriak
kelaparan itu ia diamkan dengan beberapa butir buah apel. Ia tidak mengira
bahwa perbuatannya membasmi Min-san Sam-kui dan anak buahnya di Pegunungan
Min-san itu telah menggemparkan dunia kang-ouw dan sekaligus nama Ang I Niocu
disebut-sebut orang! Ia dianggap sebagai tokoh hebat yang baru muncul di dunia
kang-ouw.
Dengan melakukan perjalanan
cepat, dua pekan kemudian Ang I Niocu sudah tiba di kaki Pegunungan Kim-san.
Dari keterangan seorang penduduk dusun di kaki pegunungan ini, ia mendapat tahu
bahwa kuil Kim-san-pai berada di puncak yang sebelah kiri. Ang I Niocu langsung
mendaki puncak ini.
Baru saja ia tiba di lereng,
ia mendengar suara orang-orang dari bawah dan dilihatnya lima orang tosu
berlari-lari mendaki puncak itu. Dua orang diantara mereka memondong tubuh dua
orang tosu tua yang wajahnya pucat dan matanya dipejamkan, agaknya terluka atau
sakit payah.
Melihat Ang I Niocu berdiri di
pinggir jalan memandang mereka, lima orang tosu itu balas memandang dengan
sinar mata bercuriga. Kemudian dua orang yang memondong tosu-tosu terluka tadi
berlari terus, sedangkan yang tiga orang berhenti di depan Ang I Niocu.
Ang I Niocu yang melihat cara
lima orang tosu tadi berlari cepat, maklum bahwa ia berhadapan dengan
orang-orang berkepandaian tinggi, maka ia lalu menjura dan berkata,
˜Mohon, tanya, apakah betul
jalan ini menuju ke kuil dari Kim-san-pai? Apakah Sam-wi Totiang juga hendak ke
sana?!
Mendengar pertanyaan Ang I
Niocu yang ramah itu, tiga orang tosu tadi berkurang kecurigaannya. Seorang di
antara mereka, yang tertua dan berusia kurang-lebih empat puluh tahun, memberi
hormat dan menjawab,
˜Tidak salah dugaan Nona, ini
memang jalan menuju ke kuil Kim-san-pai dan pinto bertiga memang betul sedang
menuju ke sana karena pinto bertiga adalah tosu-tosu dari Kim-san-pai. Tidak
tahu siapakah Nona ini dan apakah maksud penghormatan kunjungan Nona ini?!
˜Aku adalah... orang-orang
memanggilku Ang I Niocu, dan aku datang ke sini atas perintah susiok-couwku, Bu
Pun Su.! Ang I Niocu tidak mau memperkenalkan nama sendiri karena ia memang
lebih suka namanya tidak diketahui orang dan lebih suka dikenal sebagai Ang I
Niocu.
Nama Ang I Niocu baru saja
terkenal, dan para tosu Kim-san-pai itu belum pernah mendengarnya, maka nama
ini tidak mendatangkan apa-apa. Akan tetapi ketika Ang I Niocu menyebutkan nama
Bu Pun Su, berubah wajah mereka dan berseri pandang mata mereka. Otomatis
ketiganya lalu memberi hormat dengan membungkuk.
˜Maafkanlah, pinto bertiga
tidak tahu bahwa Niocu adalah utusan Sin-taihiap Bu Pun Su. Marilah, kami
antarkan Niocu bertemu dengan Suhu, karena kebetulan sekali pinto bertiga juga
mau menghadap Suhu.!
Setelah berkata demikian, tiga
orang tosu itu lalu berlari cepat mendaki puncak itu, nampaknya terburu-buru
sekali.
˜Maaf, Nona, pinto bertiga
jalan di depan!! kata tosu tadi sambil menoleh, akan tetapi alangkah kagetnya
ketika ia sudah tidak dapat melihat lagi nona yang tadi ditinggalkannya. Hanya
bayangan merah berkelebat melewati mereka dan sebentar saja bayangan merah tadi
sudah jauh di atas!
˜Hebat... !! tosu itu menarik
napas panjang dan berkata kepada dua orang kawannya, ˜melihat kepandaiannya,
dia betul-betul utusan Sin-taihiap Bu Pun Su dan agaknya nama baik Kim-san-pai
akan dapat tercuci bersih!! Ia lalu mengajak dua orang kawannya untuk
cepat-cepat mengejar ke puncak.
Ketika tiga orang tosu itu
sudah di puncak dan memasuki kuil besar yang berada di situ, mereka melihat
semua tosu sudah berkumpul di ruangan besar, bahkan guru mereka juga sudah
berada di situ. Adapun Nona Baju Merah tadi hanya duduk agak jauh tidak berani
mengganggu karena guru besar Kim-san-pai sedang sibuk memeriksa dua orang tosu
yang terluka. Tiga orang tosu yang baru datang mendapat jalan dan segera masuk
ke tengah ruangan dimana guru mereka bersila di lantai memeriksa dua orang anak
murid yang tadi dipondong naik.
"Suhu...!" tiga
orang tosu ini berlutut.
Kakek yang memeriksa tosu-tosu
terluka tadi memandang. Ternyata dia adalah seorang tosu tua. Usianya sudah
tujuh puluh tahun lebih akan tetapi ia masih kelihatan sehat dan kuat.
Keningnya berkerut dan pandang matanya muram, tanda bahwa ia sedang menahan
ketidaksenangan hatinya.
"Siauw Seng Cu, coba
kauceritakan, apa yang sebetulnya terjadi atas diri dua orang susiokmu
ini," kata kakek itu yang bukan lain adalah Thian Beng Cu, ketua dari
Kim-san-pai. Berbeda dengan partai lain, para tosu di Kim-san-pai mempergunakan
nama dengan huruf belakang Cu semua, dari ketuanya sampai tosu pelayan.
Siauw Seng Cu, yakni tosu yang
tadi bercakap-cakap dengan Ang I Niocu, lalu bercerita. Dan untuk mengetahui
lebih jelas tentang pertentangan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, baiklah
kita meninjau keadaan antara kedua partai itu dan apa sebabnya kedua partai itu
sampal bermusuhan.
Kim-san-pai dan Bu-tong-pai
berdekatan, hanya berbeda puncak saja akan tetapi masih satu daerah pegunungan,
yakni pegunungan Bu-tong-san. Bahkan kalau melihat riwayat dahulu, Kim-san-pai
masih ada hubungan dengan Bu-tong-pai, karena pendiri dari Kim-san-pai adalah
sute dari pendiri Bu-tong-pai, jadi ilmu silat mereka masih berasal dari satu
sumber. Tentu saja ratusan tahun kemudian, ilmu silat itu berkembang biak dan
mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya banyak perbedaannya, masing-masing
mempunyai corak dan kelihaian sendiri.
Asal mulanya, kakak beradik
seperguruan, yakni pendiri Bu-tong-pai dan pendiri Kim-san-pai, hanya berpisah
puncak sebagai tempat bertapa. Akan tetapi kemudian murid-murid mereka setelah
berkembang biak, mempunyai perbedaan dalam kepercayaan atau agama, kalau pihak
si suheng itu anak muridnya menganut Agama Buddha, adalah anak murid si sute
menganut Agama To.
Inilah kiranya yang menjadikan
jurang pemisah sehingga akhirnya timbul dua partai persilatan yang berbeda
sekali, yakni Bu-tong-pai yang menganut Agama Buddha dan Kim-san-pai penganut
Agama To. Ratusan tahun kemudian, di puncak Bu-tong-san berdiri kelenteng besar
di mana dipuja patung Buddha dan penghuni atau pendeta-pendetanya yakni anak
murid Bu-tong-pai, terdiri dari hwesio-hwesio gundul. Sebaliknya di puncak
Kim-san, berdiri kuil besar dari Agama To dan anak murid Kim-san-pai adalah
tosu-tosu yang mempunyai nama akhir huruf Cu.
Selama ratusan tahun,
perhubungan antara kedua partai ini baik saja, sungguhpun berbeda agama, akan
tetapi mereka tidak mau saling menyinggung, tidak mau saling mengejek, walaupun
tak boleh dibilang bahwa hubungan mereka itu erat dan baik. Pendeknya, mereka
kedua pihak sadar bahwa diantara mereka masih ada hubungan saudara seperguruan,
dan untuk menjaga jangan sampai terjadi salah paham, sengaja, kedua pihak
saling menjauhi dan hanya "saling mendoakan" saja dari jauh!
Akan tetapi, kurang lebih dua
tahun yang lalu, mulailah terjadi permusuhan antara dua partai yang bersaudara
ini. Di kaki pegunungan Bu-tong-san, di sebuah dusun terdapat dua orang pemuda
kakak beradik Lai Tek dan Lai Seng. Semenjak kecil Lai Tek menjadi anak murid
Kim-san-pai, sedangkan Lai Seng ketika sedang menggembala kerbau, dibawa oleh
seorang hwesio Bu-tong-pai yang melihat bakat baik dalam dirinya dan
selanjutnya Lai Seng menjadi murid Bu-tong-pai.
Setelah tamat mempelajari ilmu
silat di Kim-san-pai, Lai Tek pulang ke dusunnya membawa kepandaian tinggi dan
dia menjadi petani menggantikan pekerjaan ayahnya. Adapun Lai Seng dibujuk oleh
gurunya untuk masuk menjadi hwesio karena oleh gurunya dianggap bahwa murid ini
hanya akan memperoleh kebahagiaan hidup abadi apabila suka menjadi hwesio. Lai
Seng tidak mau menerima bujukan ini, bahkan minggat dari Bu-tong-pai dan pulang
ke dusunnya, di mana ia membantu pekerjaan kakaknya yang tentu saja girang
sekali melihat adiknya pulang sudah menjadi seorang pandai pula.
Sayang sekali bahwa watak Lai
Seng jauh bedanya dengan kakaknya. Lai Tek seorang yang jujur dan berbudi baik,
menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Sebaliknya setelah turun gunung, Lai
Seng menjadi "binal" dan mulailah melakukan hal-hal yang tidak patut.
Bahkan berani mengandalkan kepandaiannya untuk mengganggu anak gadis orang dan
minta harta secara paksa setengah merampok! Berkali-kali Lai Tek yang mendengar
akan kejahatan dan penyelewengan adiknya, menegur, bahkan pernah terjadi
perkelahian antara kakak beradik ini yang berakhir dengan kemenangan Lai Tek.
Akan tetapi, Lai Seng ternyata
tidak kapok dan masih seringkali melanggar, sungguhpun kini secara bersembunyi
agar jangan diketahui kakaknya Lai Seng, maklum di dunia ini dia hanya
mempunyai adiknya itu seorang sebagai anggauta keluarganya, juga tidak mau main
keras, hanya kadang-kadang memberi nasihat dengan pengharapan kelak adiknya
yang masih mudah itu dapat merubah kesalahannya.
Pada suatu hari, ketika Lai
Tek sedang bekerja di sawahnya, seorang tetangganya datang berlari-lari dan
memberi tahu bahwa adiknya sedang bertempur dengan dua orang hwesio gundul. Lai
Tek meninggalkan paculnya di tengah sawah, dengan kedua kaki tangan masih penuh
lumpur, ia berlari pulang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat Lai
Seng roboh, terpukul oleh dua orang hwesio itu tepat pada saat ia datang.
"Keparat gundul, kau
bunuh adikku?" bentaknya sambil menyerang.
Dua orang hwesio itu melompat
mundur. "Nanti dulu, Sicu. Pinceng berdua datang untuk membunuh seorang
anak murid Bu-tong-pai yang menyeleweng dan melakukan kejahatan. Harap kau
jangan mencampuri urusan pinceng."
Lai Tek maklum bahwa dua orang
hwesio ini tentulah orang-orang Bu-tong-pai yang datang menghukum Lai Seng, akan
tetapi pada saat itu, perasaan kasih sayang terhadap adiknya dan kesedihan
besar melihat adiknya menggeletak mati itu menutup semua pertimbangan.
"Dia itu adik kandungku,
bagaimana tidak boleh ikut campur? Hwesio keji, semenjak lahir dia itu sudah
menjadi adikku, sedangkan dia baru menjadi murid Bu-tong-pai setelah dia sudah
besar. Kalian membunuhnya secara keji, tanpa minta pertimbanganku. Hutang nyawa
harus dibayar nyawa pula!" Setelah berkata demikian, Lai Tek mengambil
pedangnya dan menyerang dua orang, hwesio itu. Tingkat kepandaian Lai Tek
memang sudah tinggi, dan serangannya itu dilakukan dalam keadaan nekad dan
marah sekali. Dalam pertempuran mati-matian, akhirnya seorang hwesio
Bu-tong-pai tewas di tangan Lai Tek dan hwesio ke dua melarikan diri, memberi
laporan kepada para pimpinan Bu-tong-pai.
Lo Beng Hosiang, Bu-tong-san
Ciang-bunjin adalah seorang kakek yang sabar dan alim. Mendengar laporan ini,
ia menarik napas panjang dan berkata,
"Lai Tek membalas sakit
hatinya karena melihat adiknya dihukum mati, itu sudah sewajarnya. Hanya sayang
sekali dia sebagai seorang gagah tidak menjunjung keadilan, tidak rela melihat
adiknya dihukum padahal adiknya itu sudah terang-terang meniadi seorang
penjahat pengganggu rakyat. Akan tetapi, perbuatannya itu bukan berarti bahwa
dia pun jahat, hanya dia tidak dapat melepaskan kasih sayangnya terhadap
adiknya. Apalagi dia itu masih anak murid Kim-san-pai, oleh karena itu, biarlah
urusan ini dihabiskan saja, tak perlu diperpanjang."
Akan tetapi, para hwesio lain
diam-diam tidak menyetujui pendapat ini dan beberapa orang hwesio yang merasa
penasaran, diam-diam pergi naik ke puncak Kim-san-pai, menjumpai ketuanya dan
menyampaikan protes.
Thian Beng Cu, ketua
Kim-san-pai yang sudah tua itu, mendengarkan protes hwesio-hwesio Bu-tong-pai
dengan tenang, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
"Baiklah, pinto akan
memanggil Lai Tek dan akan minta pertanggungan jawabnya. Kalau memang betul dia
bersalah, pasti pinto akan menghukumnya. Harap sampaikan salam pinto kepada Lo
Beng Hosiang dan semoga kelak dia tidak sampai keliru memilih murid."
Kata-kata ini memperingatkan bahwa gara-gara semua peristiwa itu terletak dalam
kesalahan memilih murid dari pihak Bu-tong-pai.
Inilah kata-kata sindiran yang
memperingatkan bahwa kesalahan bukan berada di pundak pihak Kim-san-pai dan
semua ini sebetulnya adalah sudah sepatutnya. Para hwesio Bu-tong-pai yang
mendengar ini pun dapat mengerti, maka mereka sudah merasa puas mendengar janji
Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai bahwa Lai Tek akan diadili, sambil menghaturkan
terima kasih mereka turun dari puncak Kim-san dan pulang ke Bu-tong-san. Akan
tetapi, ketika pada keesokan harinya tiga orang tosu Kim-san-pai atas perintah
Thian Beng Cu mendatangi dusun tempat tinggal Lai Tek untuk memanggil pemuda
ini ke Kim-san-pai, mereka mendapatkan Lai Tek telah menggeletak di kamarnya
dengan tubuh rusak dicacah-cacah senjata tajam dan di tembok kamarnya terdapat
tulisan dengan huruf darah, Mampuslah Lai Tek, anak murid partai peniru Bu-tong-pai
Dapat dibayangkan betapa
marahnya hati tiga orang tosu itu. Tanpa memberitahukan guru mereka lagi,
mereka lalu menyerbu Bu-tong-pai dan di sana mereka menantang. Mereka merasa
yakin bahwa yang membunuh Lai Tek pasti orang-orang Bu-tong-pai.
Terjadi pertempuran di puncak
Bu-tong-pai, akan tetapi tiga orang tosu yang tingkatnya hanya ke tiga ini
tentu saja kalah oleh hwesio Bu-tong-pai yang tentu saja mengajukan jago yang
lebih tinggi tingkatnya. Dengan hati sakit dan tubuh luka-luka, tiga orang tosu
itu pulang ke Kim-san-pai dan mengadu kepada Thian Beng Cu.
Ketua Kim-san-pai mengerutkan
kening, meraba-raba jenggotnya yang putih dan menggeleng-geleng kepalanya
"Eh, eh, bagaimana bisa
terjadi seperti ini? Mereka membunuh Lai Tek, kalau ini untuk membalaskan
kematian seorang hwesio Bu-tong, itu masih tidak apa. Akan tetapi mereka
menghancurkan tubuh Lai Tek, ini sungguh-sungguh tidak sesuai dengan watak
seorang penganut agama! Dan mereka menuliskan kata-kata menghina, hemm, dalam
hal apakah partai Kim-san-pai meniru Bu-tong-pai?"
"Dan mereka itu tidak mau
mengaku bahwa mereka yang membunuh Lai Tek, Suhu," kata seorang di antara
tiga orang tosu itu.
Thian Beng Tosu
mengangguk-angguk. "Dapat dimengerti... dapat dimengerti. Sudah tentu saja
Lo Beng Hosiang dan lain-lain tokoh Bu-tong-pai tidak mau mengakui perbuatan
rendah itu dan mungkin sekali pekerjaan busuk itu dilakukan oleh seorang murid
Bu-tong-pai secara diam-diam. Akan tetapi baik kita tunggu, tentu Lo Beng
Hosiang akan berusaha menangkap pembunuh Lai Tek itu."
Demikianlah, ketua kedua pihak
sama-sama bersikap sabar dan tidak mau memperbesar urusan itu. Akan tetapi anak
buah kedua pihak makin panas hati dan semenjak hari itu, seringkali terjadi
bentrokan antara anak-anak murid Bu-tong-pai dan anak-anak murid Kim-san-pai.
Adapun lima orang yang bertemu
di lereng gunung dengan Ang I Niocu itu, mereka adalah tosu-tosu Kim-san-pai.
Dua orang yang terluka adalah Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang sute dari
Thian Beng Cu, sedangkan yang tiga orang lagi adalah murid-murid Thian Beng Cu
yang sudah tinggi kepandaiannya.
Tujuh orang tosu ini tadinya
diutus oleh Thian Beng Cu untuk mewakilinya, pergi ke Bu-tong-pai untuk.
berunding dengan pihak Bu-tong-pai yang maksudnya mendamaikan urusan pertikaian
antara anak-anak murid kedua pihak itu. Akan tetapi, sebelum tiba di kuil para
hwesio Bu-tong-pai, baru saja tiba di lereng bukit, mereka bertemu dengan
serombongan hwesio Bu-tong-pai yang melarang mereka naik. Karena kedua pihak
memang sudah mendendam, lalu diadakan pibu di lereng gunung itu. Masing-masing
pihak mengajukan jagonya. Untuk mencegah pihaknya mengalami kekalahan, maka
Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang tosu tua itu mengajukan diri. Dari
pihak Bu-tong-pai maju dua orang hwesio tua yang kosen pula. Pertempuran
berjalan sengit dan akhirnya Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dapat merobohkan dua
orang lawannya. Kemudian dari pihak Bu-tong-pai muncul seorang jago muda, bukan
seorang hwesio.
Pemuda ini lihai sekali dan
melihat gerakan-gerakannya, dia itu bukan anak murid Bu-tong-pai, melainkan
lebih tepat kalau menjadi anak murid Go-bi-pai karena ilmu pedangnya lihai
sekali. Menghadapi pemuda yang menjadi jago Bu-tong-pai ini, seorang demi
seorang kedua tosu tua Kim-san-pai kena dirobohkan! Setelah dua orang susiok
ini roboh, tentu saja lima orang tosu Kim-san-pai yang lain tidak berani maju,
tahu bahwa hal itu akan percuma saja dan akan menambah besar rasa malu. Mereka
lalu menggotong tubuh dua orang tosu tua itu, dibawa kembali ke puncak Kim-san
dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu.
Demikianlah penuturan Siauw
Seng Cu, murid dari Thian Beng Cu atau seorang diantara lima orang tosu tadi.
Ketua Kim-san-pai yang mendengar ini, nampak marah akan tetapi masih berusaha
sedapat mungkin menahan perasaannya.
"Kembali hal ini tidak
ada hubungannya dengan Lo Beng Hosiang. Keributan itu terjadi di lereng
Bu-tong-san dan diluar pengetahuan Lo Beng Hosiang. Pinto tak dapat ikut
campur. Hal ini hanya akan mengeruhkan suasana. Sayang sekali kedua orang sute
kurang dapat menyabarkan hati dan telah terjun ke dalam pertempuran sebelum
bertemu dengan Lo Beng Hosiang sendiri." Ia menarik napas panjang lalu
menyuruh muridmuridnya membawa Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu ke dalam kamar
untuk dirawat selanjutnya. Luka-luka mereka biarpun parah, akan tetapi tidak
membahayakan jiwa.
Setelah dua orang yang terluka
itu dibawa masuk, Thian Beng Cu menyapu para tosu anak-anak murid Kim-san-pai
yang jumlahnya empat puluh orang lebih dan hadir di tempat itu, lalu berkata,
"Kalian harus dapat
menjaga diri dan menahan perasaan. Mulai hari ini, tidak boleh sekali-kali
mencari gara-gara dengan pihak Bu-tong-pai. Kecuali kalau ada pihak mereka
datang mencari gara-gara, jangan turun tangang akan tetapi cepat memberitahu agar
pinto sendiri yang dapat membereskan!" Di dalam kata-kata ini biarpun
terkandung nasihat supaya anak murid Kim-san-pai bersabar, namun bukan
sekali-kali memperlihatkan sifat takut, karena kalau ada apa-apa, Thian Beng Cu
sendiri hendak turun tangan. Jelas bahwa tosu tua ini mengalah, akan tetapi
bukan takut.
Tiba-tiba diantara pakaian
para tosu yang berwarna putih, kuning dan abu-abu itu, mata Thian Beng Cu yang
masih tajam melihat warna merah yang menyolok mata. Ketika ia memandang, ia
terkejut dan heran bukan main melihat seorang gadis cantik jelita duduk di
bagian belakang para hadirin.
"Eh, siapakah Nona yang
berada di sana?" tegurnya.
Siauw Seng Cu cepat berkata,
"Maaf bahwa tadi teecu belum sempat memberitahukan akan kedatangan seorang
tamu. Dia itu adalah seorang utusan dari Sin-taihiap Bu Pun Su."
Berseri wajah tosu tua itu dan
tangannya memberi isarat kepada semua anak muridnya supaya bubar dari ruangan
itu. Kemudian ia melambai ke arah Ang I Niocu dan berkata,
"Jangan berkecil hati
bahwa pinto tidak dari tadi menyambut, karena adanya sedikit keributan tadi.
Mari, Nona, silakan duduk di sini."
Ang I Niocu menghampiri Ketua
Kim-san-pai dan memberi hormat. "Locianpwe, harap maafkan kalau
kedatanganku mengganggu. Aku diutus oleh Susiok-couw Bu Pun Su untuk bertemu
dengan Locianpwe."
"Aha, jadi Pendekar Sakti
Bu Pun Su itu masih ada di dunia ini? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali
kalau seorang pendekar besar dan sakti seperti dia itu masih ingat bahwa di
dunia ini terdapat sebuah partai kecil seperti Kim-san-pai. Nona, siapakah
namamu dan kau diutus apakah oleh Susiok-couwmu itu?"
"Maaf, Locianpwe, maaf
kalau aku tidak dapat memberitahukan nama kecilku yang sudah kulupakan. Orang
menyebutku Ang I Niocu dan kedatanganku di sini adalah atas perintah
Susiok-couw Bu Pun Su. Susiok-couw mendengar tentang pertikaian yang timbul
antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Orang tua itu merasa prihatin sekali
meridengar akan hal ini, maka mengutus aku datang ke sini untuk mohon kepada
Locianpwe atau lebih luas lagi kepada pihak Kim-san-pai agar supaya suka
menghentikan segala permusuhan antara kawan sendiri yang hanya mendatangkan
kerugian bersama. Susiok-couw Bu Pun Su minta supaya aku menyampaikan bahwa
pada waktu ini, negara sedang terancam bahaya perang dari pihak
pemberontak-pemberontak, dan rakyat sedang menderita karena kekacauan timbul di
mana-mana. Oleh karena itu, perlu bagi kita semua untuk menghimpun tenaga dan
memperkuat persatuan, menghilangkan segala macam salah paham di antara kita.
Demikianiah pesan Susiok-couw dan orang tua itu mengharap supaya Locianpwe sudi
mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai."
Thian Beng Cu tersenyum dan
mengangguk-angguk perlahan.
"Ang I Niocu, kau masih
begini muda sudah melupakan nama sendiri, alangkah hebatnya kesengsaraan yang
kauderita. Pinto hanya mengharap kau akan kuat menahan ujian hidup ini dan
tidak menjadi putus harapan, karena kau yang sudah dipilih Bu Pun Su untuk
mewakilinya dalam urusan ini, tentu kau sudah memiliki kekuatan itu. Pandangan
Bu Pun Su yang kaukemukakan tadi memang betul, akan tetapi, apa kaukira pinto
sendiri tidak menyadari akan hal itu? Kalau sekiranya pinto tidak menjaga
keutuhan perhubungan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, apakah tidak sudah
terjadi pertumpahan darah besar-besaran? Kau sudah sejak tadi berada di tempat
ini, kiranya kau pun sudah mendengar sendiri apa yang baru saja terjadi. Pinto
sudah berusaha hendak mendamaikan urusan, akan tetapi sayangnya, utusan pinto
bahkan dihadang di jalan dan dua orang suteku dilukai. Nona biarpun masih muda,
akan tetapi kau adalah utusan Bu Pun Su, oleh karena itu, pinto menyerahkan
urusan ini kepadamu untuk dibereskan. Usaha untuk damai dari pihak kami sudah
cukup dan kalau dipaksakan lagi, kiranya hanya akan mendatangkan keributan
saja. Biarlah sekarang kau yang mencoba untuk membereskan."
Thian Beng Cu memang cerdik.
Ia sama sekali tidak gentar menghadapi Bu-tong-pai, akan tetapi tadi ia
mendengar bahwa kedua orang sutenya itu dirobohkan oleh seorang anak murid
Go-bi-pai. Hal ini bukan main-main, karena kalau tidak hati-hati, bisa jadi
Kim-san-pai akan bertambah seorang musuh lagi, yakni Go-bi-pai.
Dan kalau ini terjadi,
benar-benar amat berbahaya dan akan makin membahayakan kedudukan Kim-san-pai.
Oleh karena itu, setelah kini Ang I Niocu muncul sebagai utusan Bu Pun Su,
biarlah ia mengoperkan tugas perdamaian itu kepada gadis ini.
Ang I Niocu menyanggupi dan
malam hari itu Ang I Niocu mendengar penuturan para tosu Kim-san-pai tentang
asal mula pertikaian itu timbul. Sementara itu, diam-diam Thian Beng Cu
menyuruh seorang muridnya untuk pergi ke Propinsi Hokkian dan mencari seorang
sutenya yang sudah lama merantau, yakni Eng Yang Cu. Sutenya ini jauh lebih
muda darinya, usianya paling banyak lima puluh tahun, akan tetapi kalau
dibanding tingkat kepandaiannya, kiranya Eng Yang Cu ini termasuk orang paling
tinggi tingkatnya di Kim-san-pai.
Memang Eng Yang Cu yang paling
disayang oleh mendiang guru mereka, dan menerima warisan ilmu yang paling
banyak. Sebetulnya, Eng Yang Cu inilah dahulunya yang dicalonkan menjadi ketua
Kim-san-pai, akan tetapi ternyata bahwa Eng Yang Cu mempunyai darah perantau
dan tidak betah tinggal di puncak gunung.
Oleh karena itu, terpaksa
kedudukan ciangbunjin diserahkan kepada Thian Beng Cu, murid tertua dan Eng
Yang Cu melakukan perantauan di Propinsi Hokkian. Thian Beng Cu, memanggil
sutenya yang boleh diandalkan itu untuk menjaga kalau-kalau usaha perdamaian
gagal dan pecah pertempuran antara kedua pihak, hanya sutenya inilah yang boleh
ia andalkan.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Ang I Niocu sudah bangun dan bersiap-siap hendak ke
Bu-tong-pai. Ia telah memperoleh keterangan dan penjelasan dari Ketua
Kim-san-pai, sekarang ia harus menemui Ketua Bu-tong-pai sehingga setelah
mendengar keterangan kedua pihak, mudah baginya untuk mendamaikan urusan ini.
Ia merasa girang bahwa ternyata pihak Kim-san-pai amat bijaksana dan tidak
menghendaki dilanjutkannya permusuhan itu.
"Mudah-mudahan saja pihak
Bu-tong-pai juga dapat diajak berunding," pikirnya.