Bab 19 - Mendamaikan Pertikaian
Akan tetapi, sebelum ia
berangkat, tiba-tiba ia melihat beberapa orang tosu berlari-lari masuk dengan
muka berubah dan mendengar mereka memberi laporan kepada Thian Beng Cu bahwa
ada beberapa orang hwesio Bu-tong-pai datang menyerbu Kim-san-pai. Mendengar
ini, Ang I Niocu berkata,
"Locianpwe, biarkan aku
menghadapi mereka!" Ia merasa penasaran sekali dan melihat gelagat seperti
ini, ia hampir menduga bahwa di dalam pertikaian itu, pihak Bu-tong-pailah yang
keterlaluan!
Dengan mempergunakan ilmu lari
cepat, Ang I Niocu turun dari puncak. Tak lama kemudian benar saja, ia melihat
serombongan orang mendaki puncak itu. Mereka ini terdiri dati tujuh orang
hwesio gundul dan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Melihat sikap mereka,
makin besar dugaan Ang I Niocu bahwa mereka ini sengaja datang mencari
keributan, maka ia lalu mencabut pedangnya dan memegang pedang itu dengan sikap
tenang dan gagah. Setelah mereka datang dekat, baru ia tahu bahwa mereka ini
adalah rombongan orang-orang Bu tong-pai yang pernah membantunya menghadapi
keroyokan Koai-tung Toanio dan pasukan pemberontak Lie. Pemuda itu ternyata
adalah pemuda tampan yang mengejar-ngejarnya untuk berkenalan!
Adapun pemuda itu serta
rombongannya ketika melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di
tangan, segera mengenalnya dan pemuda itu melompat cepat menghampirinya.
"Kau di sini,
Nona..." tegurnya dengan wajah berseri.
Akan tetapi Ang I Niocu
memandang kepadanya dengan muka dingin dan sinar mata menyelidik. Kemudian Ang
I Niocu menghadapi tujuh orang hwesio itu dan berkata, suaranya nyaring akan
tetapi halus,
"Cu-wi Suhu sekalian ini
bukankah hwesio-hwesio Bu-tong-pai?"
Seorang diantara tujuh orang
hwesio itu, yang tertua, menjawab,
"Betul, Nona, pinceng dan
saudara-saudara pinceng adalah anak-anak murid Bu-tong-pai. Kau sendiri
siapakah dan mengapa dahulu dikeroyok oleh pasukan pemberontak?"
"Aku Ang I Niocu dan
urusanku dengan mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Yang
terpenting sekarang ini, kalian datang ke Kim-san mempunyai keperluan
apakah?"
Hwesio itu nampaknya tidak
senang.
"Ang I Niocu, kau bilang
tadi bahwa urusanmu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Sebaliknya, urusan
kami di Kim-san ini pun kiranya tidak ada sangkut-pautnya denganmu!"
Ang I Niocu tersenyum dan
kalau tadinya diantara para hwesio itu ada yang marah, maka kemarahan itu
sekaligus mencair oleh senyum yang luar biasa manisnya ini. Pemuda tampan itu
sampai melongo dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Begitu hebat wajah
Ang I Niocu menarik hatinya.
"Hwesio-hwesio dari
Bu-tong-pai ketahuilah. Aku sudah mendapat tugas dari Locianpwe Thian Beng Cu
untuk menyelesaikan urusan pertikaian antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai.
Sekarang aku justru hendak pergi ke Bu-tong-pai menghadap Lo Beng Hosiang untuk
mendamaikan urusan. Akan tetapi, baru kemarin utusan Kim-san-pai yang datang ke
Bu-tong-pai untuk mendamaikan urusan, telah dilukai orang." Ang I Niocu
mempergunakan lirikan matanya yang tajam menyambar ke arah pemuda tampan itu.
"Dan melihat gelagatnya, agaknya kalian inilah yang menyerang mereka.
Sekarang, kalian datang ke sini dengan sikap aneh, membawa-bawa pula seorang
jagoan. Mau apakah?"
Pemuda itu menjadi merah
mukanya! Cepat ia maju dan menjura kepada Ang I Niocu, lalu bicara dengan
suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan,
"Maaf, maaf... harap
Niocu sudi memberi maaf. Agaknya dalam urusan ini ada kesalahpahaman, dan
antara kau dan aku kiranya ada persamaan tugas. Ketahuilah, Nona, aku Liem Sun
Hauw murid Go-bi-pai mewakili Susiok Twi Mo Siansu, datang ke Bu-tong-pai juga
dengan maksud mendamaikan urusan perselisihan antara Bu-tong dan
Kim-san-pai."
Tiba-tiba pemuda itu menunda
kata-katanya karena ia melihat betapa sepasang mata yang indah itu mengeluarkan
sinar berapi-api dan wajah gadis itu menjadi merah. Jelas sekali bahwa gadis
itu marah luar biasa kepadanya.
"Eh. Nona... kau...
mengapa kau marah kepadaku?" tanyanya gagap.
Memang, Ang I Niocu marah
sekali sehingga ia merasa seluruh tubuhnya tergetar-getar. Tangan yang memegang
pedang menggigil dan kalau ia tidak mengerahkan seluruh tenaga batin, tentu ia
sudah sejak tadi menyerang pemuda di depannya ini. Jadi inilah pemuda yang
bernama Liem Sun Hauw, inilah pemuda yang disebut-sebut oleh ayahnya dahulu,
pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Inilah pemuda yang menjadi gara-gara,
menjadi biang keladi sehingga ia kehilangan kekasihnya dan kehilangan ayahnya
pula. Kalau tidak ada pemuda ini di muka bumi, kiranya ia tidak akan kehilangan
ayahnya, dan kiranya ia akan dapat berjodoh dengan Gan Tiauw Ki.
"Kau...?" Ketika
hendak mengeluarkan kata-kata, ternyata lehernya seperti tercekik dan yang
keluar hanya sebuah kata-kata itu saja.
Pemuda itu memandang heran. Ia
tidak mengerti mengapa nona cantik ini begitu marah kepadanya. Akan tetapi Ang
I Niocu teringat akan tugasnya, teringat bahwa ia sedang melakukan tugas yang
diperintahkan oleh susiok-couwnya Bu Pun Su. Kalau ia menuruti nafsu hatinya
sehingga urusan itu menjadi kacau, tentu ia akan mendapat marah besar dari
susiok-couwnya. Setelah dapat menekan debar jantungnya, ia berkata, melanjutkan
kata-katanya tadi,
"Kau bilang hendak
mendamaikan, mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan mengapa
kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke Bu-tong-san? Mengapa pula
sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau
mengandalkan apakah demikian sombong?"
Menghadapi tuduhan Ang I
Niocu, Liem Sun Hauw merasa penasaran sekali. Sebagaimana telah dituturkan di
bagian depan, pemuda ini telah dipilih oleh Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai
sebagai wakilnya memenuhi permintaan Bu Pun Su. Tugas Liem Sun Hauw adalah
untuk mendamaikan pertikaian yang timbul antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini memiliki kepandaian
tinggi dan telah mendatangkan rasa kagum kepada Kiang Liat sehingga pendekar
itu memungut pemuda ini sebagai mantunya!
Setelah Liem Sun Hauw berpisah
jaIan dengan Kiang Liat, pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-pai
yang amat jauh itu. Karena perjalanan lni melalui Propinsi Shansi, dan
kampungnya hanya terletak seratus li dari jalan itu, ia singgah dulu di
kampungnya, Peng-kan-mui untuk memberi tahu ayahnya akan segala pengalamannya.
Pemuda ini memang seorang anak berbakti dan ia tidak tega meninggalkan ayahnya
seorang diri terlalu lama.
Alangkah sedihnya ketika ia
mendapatkan ayahnya yang sudah tua dan duda itu ternyata sedang menderita sakit
panas yang agak berat juga. Terpaksa ia menunda perjalanannya. Tugas yang ia
terima dari susioknya boleh jadi penting, akan tetapi lebih penting lagi
menjaga dan merawat ayahnya. Oleh karena inilah maka perjalanannya terlambat.
Sampai lima bulan lebih ia tinggal di rumahnya untuk merawat ayahnya.
Ketika ia pergi, yang merawat
ayahnya Tang Siok Lan, gadis tetangga yang semenjak kecil sudah dikenalnya.
Gadis ini manis dan terkenal sebagai bunga kampung Peng-kan-mui, dan melihat
gelagatnya, semenjak dahulu gadis itu "ada hati" kepadanya. Akan
tetapi, tentu saja tidak pernah menyatakan hal ini dengan kata-kata atau
gerakan, hanya sinar matanya saja yang berkata banyak. Sebaliknya, Sun Hauw
juga amat suka kepadanya, kawan mainnya semenjak kecil. Seperti juga dia, Siok
Lan telah ditinggal mati ibunya dan. hanya hidup bersama ayahnya dan kakaknya
yang sudah menikah dan tinggal satu rumah dengan ayahnya.
Setelah Sun Hauw datang, Siok
Lan mengundurkan diri dan pemuda itu yang menggantikannya merawat ayahnya
sendiri. Akan tetapi boleh dibilang setiap hari Siok Lan pasti datang untuk membawa
ini-itu, untuk menyatakan ini-itu, sehingga diam-diam Sun Hauw makin suka dan
merasa berhutang budi kepada gadis manis itu.
Akhirnya ayahnya sembuh dan
Sun Hauw teringat kembali akan tugasnya. Diceritakannya semua pengalamannya
kepada ayahnya, kecuali tentang maksud Kiang Liat menariknya menjadi mantu.
"Berangkatlah, Sun Hauw.
Sudah menjadi tugasmu memenuhi perintah susiokmu itu. Akan tetapi kau
berhati-hatilah dan jangan terlalu lama pergi. Setelah tugasmu selesai kau
harus segera pulang, karena aku bermaksud merayakan pernikahanmu."
Sun Hauw kaget.
"Pernikahan...!"
Ayahnya mengangguk. "Kau
sudah cukup dewasa, Sun Hauw. Dan kau melihat sendiri betapa baiknya Siok Lan.
Kiranya di atas dunia ini sukar mencari keduanya. Pula, bukankah ia kawan mainmu
semenjak kecil? Dan bukankah kalian sudah saling suka? Aku sudah mengambil
keputusan dan berdamai dengan ayahnya, perjodohan antara kau dan Siok Lan sudah
kuikat. Kau kuberi waktu setengah tahun, Anakku. Ayah sudah tua dan sudah ingin
melihat seorang cucu."
Sun Hauw menundukkan kepalanya
saja, tidak berani membantah. Memang harus ia akui bahwa selama ini,
satu-satunya gadis yang menarik hatinya hanyalah Siok Lan seorang. Akan tetapi,
mendengar ucapan ayahnya tentang perjodohannya dengan Siok Lan, ia teringat
akan usul Kiang Liat dan ia menjadi ragu-ragu. Tak dapat disangkalnya bahwa
Siok Lan adalah seorang gadis pilihan. Cukup cantik manis dan ia sudah tahu dan
kenal betul akan watak gadis itu yang lemah-lembut, halus dan berbudi mulia.
Akan tetapi, gadis itu adalah seorang yang lemah, yang tidak pernah belajar
ilmu silat sedikit pun juga! Berbeda dengan puteri dari Kiang Liat, pendekar
yang berilmu tinggi itu. Apalagi menurui penuturan Kiang Liat sendiri,
puterinya bernama Kiang Im Giok dan berjuluk Ang I Niocu itu, kepandaiannya
bahkan lebih tinggi daripada Kiang Liat. Padahal ilmu kepandaian Kiang Liat
saja sudah tinggi sekali!
Sun Hauw menjadi bimbang.
Bingung ia kalau harus memilih. Siok Lan cantik jelita, berbudi baik, akan
tetapi tidak pandai silat. Ang I Niocu Kiang Im Giok lihai ilmu silatnya akan
tetapi ia belum pernah melihatnya, tidak tahu apakah dia itu juga cantik dan
bagaimana wataknya.
Akan tetapi, Sun Hauw tidak
berani membantah. Ia tidak mau membikin ayahnya kecewa dan berduka, maka ia
tidak menyatakan sesuatu tentang perjodohan ini. Maka berangkatlah Sun Hauw
menuju ke Bu-tong-san.
Ketika tiba di kaki Pegunungan
Min-san, di tengah jalan ia bertemu serombongan anak murid Bu-tong-pai. Sun
Hauw bermata tajam dan sekali melihat saja ia dapat menduga bahwa rombongan
yang terdiri dari belasan orang ini adalah orang-orang berkepandaian silat.
Maka ia menyapa mereka dan mengajak berkenalan. Alangkah girangnya ketika
mereka itu terus terang mengaku bahwa mereka adalah anak-anak murid Bu-tong-pai
yang sedang melakukan tugas meronda.
Ternyata bahwa Bu-tong-pai
juga tidak tinggal diam dan berpeluk tangan saja melihat adanya
pemberontakan-pemberontakan di berbagai tempat. Atas perintah Lo Beng Hosiang
ketua Bu-tong-pai, anak-anak murid yang bukan hwesio diberi tugas melakukan
penjagaan dan penyelidikan di beberapa tempat. Min-san termasuk wilayah
perbatasan Secuan-Kansu-Shensi, maka di tempat ini pun terdapat anak-anak murid
Bu-tong-pai, yang melakukan ronda dan penjagaan. Rombongan yang bertemu dengan
Sun Hauw inilah rombongan anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan
penyelidikan.
"Kebetulan sekali,"
kata Sun Hauw. "Siauwte juga sedang menuju ke Bu-tong-pai atas perintah
dari Susiok Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai." Dengan singkat ia lalu menuturkan
tentang tugasnya.
Tentu saja rombongan
Bu-tong-pai itu merasa girang, akan tetapi mereka menyatakan bahwa pada waktu
itu mereka sedang menyelidiki ke puncak Min-san, karena mendengar kabar tentang
datangnya sepasukan pemberontak, yakni anah buah pasukan pemberontak Lie di
propinsi Shensi.
"Kami harus menyelidiki
apa yang mereka lakukan di sini, dan kalau perlu mengusir mereka," kata
seorang di antara rombongan Bu-tong-pai itu.
Karena Sun Hauw juga termasuk
orang yang anti pemberontak, ia lalu menyatakan kesediaannya untuk membantu.
Demikianlah, mereka mendaki puncak Min-san dan kebetulan sekali melihat Ang I
Niocu dikeroyok oleh pasukan pemberontak, lalu turun tangan membantunya.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu tidak mau menghubungi
mereka dan meninggalkan Sun Hauw yang amat tertarik oleh kecantikannya.
Memang Sun Hauw benar-benar
tertarik sekali. Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat
seorang dara demikian ayu dan demikian tinggi ilmu silatnya. Tidak mengherankan
apabila ia terpesona dan merasa seakan-akan semangatnya terbetot keluar
mengikuti bayangan nona itu. Diam-diam ada juga dugaan di dalam hatinya yang
memberdebar-debar. Nona itu berpakaian serba merah, cantik jelita dan lihai
sekali.
Apakah dia itu yang disebut
Ang I Niocu, puteri dari Kiang Liat? Kalau teringat akan dugaan ini, Sun Hauw
menjadi berdebar-debar. Kalau betul nona itu Ang I Niocu yang hendak dijodohkan
dengan dia, aduuuh! Bukan main cantiknya! Dan bukan main tinggi ilmu silatnya.
Akan tetapi, wataknya... mengapa demikian galak?
Dengan rombongan Bu-tong-pai,
Sun Hauw lalu menuju ke Bu-tong-san. Kebetulan sekali, baru saja ia naik sampai
di lereng puncak Bu-tong-san dan disambut oleh para hwesio penyambut, tiba-tiba
seorang hwesio berlari-lari dari bawah melaporkan bahwa ada orang-orang
Kim-san-pai datang menyerbu! Sementara itu, Sun Hauw di sepanjang jalan telah
mendengar dari anak-anak murid Bu-tong-pai bahwa Kim-san-pai selalu mencari
perkara dan permusuhan, dan biarpun Bu-tong-pai sudah banyak mengalah, selalu
Kim-san-pai mendesak mengandalkan ilmu silatnya yang katanya lebih tinggi dari
Bu-tong-pai!
Hal ini memang sudah wajar.
Setiap kali ada dua pihak bermusuhan, tentu masing-masing pihak tidak mau
mengaku salah, dan selalu menganggap pihak yang lain amat jahat. Siapakah
orangnya yang berani mengaku dia yang salah dan pihak lawan yang benar? Orang
demikian inilah betul-betul orang gagah, akan tetapi di dunia hanya ada satu
setiap seribu!
Sun Hauw tidak mau berlaku
ceroboh. Biarpun ia sudah mendapat kesan jelek tentang Kim-san-pai dari para
anak murid Bu-tong-pai, akan tetapi ia hendak melihat dulu dan tidak akan
mencampuri kalau tidak perlu sekali. Maka ia pun ikut dengan para hwesio itu
turun lagi dari lereng untuk menyambut datangnya rombongan Kim-san-pai.
Kalau dua pihak yang
bermusuhan dan di dalam hati telah mengandung dendam dan benci saling bertemu,
sukarlah untuk mengharapkan kata-kata yang baik dan suasana menjadi panas
sekali dan hal ini dapat dimaklumi. Para hwesio Bu-tong-pai ketika melihat
tujuh orang tosu naik ke puncak Bu-tong-pai sambil mempergunakan ilmu lari
cepat, sudah menduga salah dan menuduh mereka itu sengaja memamerkan kepandaian
mereka dalam ilmu lari cepat!
Kini kedua rombongan itu sudah
saling berhadapan.
"Tosu-tosu sombong kalian
berani naik ke sini mau apa?" tegur seorang hwesio Bu-tong-pai. Semua
hwesio Bu-tong-pai telah mencabut pedang dan bersiap sedia memandang kepada
para tosu itu dengan penuh curiga.
Para tosu Kim-san-pai melihat
sikap bermusuh dari hwesio-hwesio Bu-tong-pai itu pun merasa tersinggung dan
tak senang. Apalagi kalau mereka lihat bahwa hwesio-hwesio yang menyambut
mereka dengan sikap kurang ajar dan bermusuh ini bukanlah hwesio-hwesio tingkat
tinggi, melainkan hwesio tingkat rendah saja. Yang datang adalah dua orang sute
dari Ketua Kim-san-pai bersama lima orang hwesio tingkat tinggi, ini merupakan
rombongan orang-orang terkemuka dari Kim-san-pai. Akan tetapi kedatangan mereka
disambut secara kasar oleh hwesio-hwesio tingkat rendah. Benar-benar hal ini
merupakan penghinaan bagi Kim-san-pai.
Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu,
dua orang sute Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai mengerutkan kening. Thian Lok Cu
adalah seorang tosu yang berwatak keras. Melihat sikap para hwesio itu ia lalu melangkah
maju dan berkata nyaring,
"Sobat-sobat gundul
ketahuilah bahwa kami datang untuk bertemu dengan Lo Beng Hosiang, bukan untuk
ribut mulut dengan kalian. Lekas kalian laporkan kedatangan kami kepada Lo Beng
Hosiang atau kalian menyingkir agar kami dapat naik sendiri ke kuil
Bu-tong-pai!"
"Tosu sombong! Macam
kalian ini mau bertemu dengan guru besar kami? Kalau ada keperluan, lekas
beritahu kepada kami, kalau tidak lebih baik kalian lekas-lekas pergi dari sini
sebelum kami terpaksa mendorong kalian menggelundung turun!" kata seorang
hwesio yang pernah menjadi pecundang dalam sebuah pertempuran dengan anak murid
Kim-san-pai beberapa hari yang lalu.
Suasana menjadi makin panas
ketika serombongan hwesio turun pula dari atas. Mereka ini sebagian besar adalah
hwesio-hwesio tingkat rendah yang paling merasa "dendam" kepada pihak
Kim-san-pai maka ramailah mereka mengeluarkan kata-kata menantang. Para tosu
Kim-san-pai juga sudah mencabut pedang, takut kalau-kalau para hwesio yang amat
banyak itu menyerbu dengan tiba-tiba. Thian Lok Cu menggerak-gerakkan tangannya
sambil membentak,
"Hwesio-hwesio tidak tahu
aturan, apakah kalian hendak mengeroyok kami?"
Seorang hwesio bermuka hitam
melompat keluar dan melintangkan toya di depan dadanya. Hwesio ini adalah Twi
Kang Hwesio, murid termuda dari Lo Beng Hosiang, sifatnya jujur dan berangasan,
tidak mau kalah. Ia sudah marah sekali mendengar kata-kata Thian Lok Cu tadi,
maka katanya dengan suara menggeledek,
"Tosu bau! Masa untuk
menghadapi seorang Kim-san-pai saja harus dilakukan keroyokan? Pinceng sendiri
sudah cukup mencegah kau naik dan membikin ribut. Hayo turun, atau kau berani
menghadapi toyaku ini?" Diamang-amangkan toyanya di depan muka Thian Lok
Cu.
"Keparat gundul, kami
datang dengan maksud baik, kalian sengaja mengajak pibu? Baik, baik, jangan
kira Kim-san-pai tidak mempunyai orang lihai. Kalau aku kalah olehmu, aku akan
kembali ke Kim-san-pai dan belajar sepuluh tahun lagi."
Tak dapat dicegah pula,
pertempuran hebat pasti akan terjadi. Melihat hal ini, Thian Hok Cu yang lebih
tua dan lebih sabar daripada Thian Lok Cu, menggoyang-goyang tangan dan
berkata,
"Sahabat-sahabat dari
Bu-tong-pai, harap tenang dan sabar. Lebih baik melaporkan kepada Lo Beng
Hosiang bahwa kami hendak bertemu bukan mencari keributan di sini."
Akan tetapi suasana yang sudah
panas itu mana bisa dibikin dingin oleh Thian Hok Cu yang tidak pandai bicara?
Seorang hwesio tinggi kurus yang memegang pedang, yakni suheng dari Twi Kang
Hwesio, yang bernama Lu Pek Hwesio, melangkah maju menghadapi Thian Hok Cu
sambil berkata,
"Tosu, kalau kau tidak
berani menerima tantangan pibu, lebih baik kau pulang saja dan jangan berlagak
pula di sini. Ingat bahwa di sini adalah tempat kami!"
Terdengar suara seorang hwesio
dari belakang, "'Ha, satu lawan satu saja dia sudah ketakutan. Lihat
mukanya pucat seperti mayat, ha, ha. Tosu pengecut!"
Memang Thian Hok Cu mempunyai
muka yang pucat kuning, maka sindiran ini benar-benar menyakitkan hatinya.
Thian Lok Cu berkata kepada
suhengnya,
"Suheng, apakah kita
harus diamkan saja orang-orang hutan ini menghina partai kita? Sedikitnya kita
harus menjaga nama baik Kim-san-pai. Mari kita layani tantangan pibu
mereka."
Didesak seperti itu, akhirnya
Thian Hok Cu kehilangan kesabaran pula. Ia memandang kepada rombongan hwesio
dan berkata,
"Biarlah kami berdua
layani tantangan pibu kalian. Akan tetapi kalau kami menang, kami harus boleh
naik menemui Lo Beng Hosiang!"
Twi-Kang Hwesio dan Lu Pek
Hwesio sudah siap sedia. Twi Kang Hwesio Si muka hitam menghadapi Thian Lok Cu
dan berkata,
"Menang kalah masih belum
tentu mengapa ribut-ribut? Kalau kalian bisa menangkan kami, tentu saja kalian
boleh lakukan apa yang kalian suka, siapa berani menghalang? Siaplah dan lihat
senjata!"
Sambil berkata begini, toyanya
menyelonong ke depan melakukan serangan pertama. Dengan mudah Thian Lok Cu
menangkis, dan terjadilah pertempuran sengit antara Thian Lok Cu melawan Twi
Kang Hwesio dan Thian Hok Cu yang bertempur melawan Lu Pek Hwesio. Berbeda
dengan sutenya yang main toya, Lu Pek Hwesio bermain pedang dan pertempuran ini
lebih ramai. Suara senjata bertemu senjata terdengar nyaring menegangkan hati,
berkelebatnya sinar senjata menambah keseraman pertempuran itu.
Liem Sun Hauw semenjak tadi
hanya menonton, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia diberi tugas
untuk mendamaikan pertikaian antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, dan sekarang
ia menjadi saksi pertempuran antara kedua partai itu! Kalau ia turun tangan
keadaannya tak akan menjadi lebih baik, pikirnya. Suasana sudah terlalu panas
dan kedua pihak sudah marah sekali. Kalau ia datang memisah, belum tentu mereka
suka menurut, bahkan dia sendiri mungkin akan dimusuhi oleh kedua pihak! Ia
telah mendapat kesan baik tentang Bu-tong-pai dan kesan buruk tentang
Kim-san-pai, dan sekarang ia lihat bahwa pertempuran itu adalah sebuah pibu
yang adil, maka ia menjadi serba salah dan hanya menonton di pinggir.
Tak lama kemudian ternyata
bahwa kepandaian dua orang tosu Kim-san-pai itu masih lebih tinggi tingkatnya
daripada kepandaian Twi Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio. Hampir bersamaan
waktunya, dua orang hwesio itu roboh dengan menderita luka-luka ringan, terkena
tusukan dan babatan pedang dua orang tokoh Kim-san-pai itu.
Para hwesio Bu-tong-pai
menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan lebih
dari lima puluh orang hwesio ini agaknya hendak menyerbu, mengeroyok tujuh
orang tosu Kim-san-pai. Melihat hal ini, Liem Sun liauw cepat melompat ke
tengah, mendahului para hwesio itu dan menghadapi Thian Hok Cu dan Thian Lok
Cu.
"Ji-wi totiang harap
mundur saja dan jangan lanjutkan maksud naik ke puncak," katanya nyaring.
Para hwesio yang melihat
pemuda utusan Ketua Go-bi-pai itu maju, berhenti bergerak dan menjadi besar
hati. Mereka tahu akan kelihaian utusan Go-bi-pai ini maka diam-diam mereka
hanya memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Adapun Thian Hok Cu dan Thian
Lok Cu, setelah mendapat kemenangan, tentu saja tidak mau mundur. Mereka
menganggap amat tidak adil kalau pihak yang menang bahkan harus mundur!
Bukankah tadi sudah dijanji bahwa karena mereka menang, mereka akan
diperkenankan menemui Lo Beng Hosian?
"Kau ini siapakah dan ada
hak apakah akan melarang kami?" Thian Lok Cu membentak marah.
Liem Sun Hauw tersenyum.
"Totiang, siauwte sekali-kali bukan melarang, hanya siauwte anggap jauh
lebih baik menghindari pertengkaran yang makin menghebat daripada berkeras
kepala."
"Kami sudah menang, kau
mau apa? Kalau masih ada yang penasaran, boleh coba-coba. Kami selalu sedia
melayani, asal jangan dilakukan pengeroyokan secara pengecut!" kata pula
Thian Lok Cu. Sun Hauw mengerutkan kening. Sikap yang diperlihatkan oleh tosu
ini sama sekali tidak baik, pikirnya. Sikap yang seperti inilah yang
memperbesar permusuhan yakni sikap tidak mau mengalah dan keras kepala. Tosu
ini menganggap diri sendiri paling pandai, dan kiranya perlu diberi hajaran.
Demikian Sun Hauw berpikir.
Kalau sampai terjadi
pertempuran keroyokan, kiranya tujuh orang tosu ini akan berbahaya sekali
keselamatan jiwa mereka, daripada pertempuran keroyokan lebih baik dia turun
tangan dulu mengusir mereka turun gunung.
"Totiang, kau memang
keras kepala dan mengira di dunia ini kau sendiri yang paling kuat. Aku ingin
sekali mencoba-coba!" Sambil berkata demikian, Sun Hauw mengeluarkan
pedangnya dan berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.
Thian Lok Cu mengeluarkan
suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya, bergerak dan ia sudah mulai menyerang
sambil berseru,
"Bocah lancang, lihat
pedang!"
Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika pemuda itu menangkis, Thian Lok Cu merasa tangannya tergetar hebat,
tanda bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang besar. Kemudian ia menjadi lebih
kaget dan heran lagi menyaksikan ilmu pedang yang cepat dan ganas, jauh bedanya
dengan ilmu pedang Bu-tong-pai!
Akan tetapi ia tidak sudi
mundur dan melawan dengan gerakan cepat dan nekat. Akan tetapi, ternyata bahwa
ilmu pedang dari pemuda tampan ini lihai sekali. Setelah tiga puluh jurus lebih
bertempur dengan sengit dan seru, akhirnya dengan mengeluarkan jurus yang
hebat, yakni jurus yang disebut Sin-rno-sam-bu (Payung Sakti Memutar Tiga
Kali), Sun Hauw berhasil merobohkan Thian Lok cu.
Jurus ini sebetulnya bukan
ilmu pedang Go-bi-pai, melainkan ilmu pedang Thian Mo Siansu yang disamping
memiliki ilmu silat Go-bi-pai juga memiliki ilmu sliat lihai dari orang-orang
sakti sehingga Thian Mo Siansu dapat menciptakan ilmu pedang tersebut.
Dengan pedang diputar
merupakan bundaran sehingga nampaknya seperti orang memakai payung, Sun Hauw
berhasil melukai kedua pundak Thian Lok Cu sehingga tosu itu roboh tak dapat
bangun lagi. Kawan-kawannya menolongnya dan Thian Hok Cu melompat maju dengan
pedang di tangan.
"Anak muda, pinto lihat
ilmu pedangmu bukan dari Bu-tong-pai, kau agaknya masih menjadi anak murid
Go-bi-pai, mengapa kau mencampuri urusan kami? Apakah Twi Mo Siansu mengajarmu
untuk menjadi orang yang usil dan suka mencampuri urusan orang lain?"
Mendengar ini, Liem Sun Hauw
kaget. Ternyata tosu ini dapat mengenal ilmu pedang dan agaknya kenal pula
kepada Ketua Go-bi-pai, susioknya Twi Mo Siansu. Cepat ia menjura memberi
hormat dan berkata,
"Totiang, harap maafkan.
Memang siauwte anak murid Go-bi-pai yang datang untuk mendamaikan urusan antara
Bu-tong-pn dan Kim-san-pai. Akan tetapi sayang sekali Totiang dan kawan-kawan
Totiang datang mengacaukan keadaan dan memperbesar permusuhan. Oleh karena itu,
siauwte harap Totiang sudi pulang saja ke Kim-san-pai dan lain hari siauwte
akan datang minta rnaaf kepada Ketua Kim-san-pai."
"Bocah sombong, kaukira
pinto takut kepadamu? Kau bilang datang untuk mendamaikan urusan, akan tetapi
kau bahkan melukai suteku! Kalau kau mau menjadi jago undangan Bu-tong-pai,
mari kita coba-cobal" Sambil berkaia demikian, Thian Hok Cu menyerang
dengan pedangnya. Tosu ini tentu saja tidak mau mengalah karena keadaan sudah
seperti itu. Sutenya terluka dan kalau ia mengundurkan diri begitu saja,
sikapnya ini bersifat pengecut sekali.
Sun Hauw menarik napas panjang
dan terpaksa melayani. Sebetulnya ia tidak suka berkelahi dengan tosu-tosu
Kim-san-pai dan kalaupun bertempur, ia tidak suka melukai mereka. Akan tetapi,
kepandaian tosu ini sudah tinggi dan sukarlah baginya mencapai kemenangan tanpa
melukainya. Ia hanya menang sedikit, menang dalam hal ilmu pedang, maka seperti
juga tadi, terpaksa ia membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah
lihainya.
Pertempuran kedua ini lebih
hebat daripada tadi, kedua pihak nampak berimbang dan sama kuatnya. Para hwesio
Bu-tong-pai dan para tosu Kim-san-pai menonton pertempuran itu sambil menahan
napas. Tentu saja di dalam hati, masing-masing pihak menjagoi jago sendiri. Di
pihak Bu-tong-pai yang hadir di situ, pemuda Go-bi-pai ini merupakan orang
terpandai, demikian pula di pihak Kim-san-pai yang berada di situ, Thian Hok Cu
merupakan jago terlihai.
Oleh karena itu, pertempuran
ini merupakan pertempuran terakhir yang menentukan. Kalau pihak Kim-san-pai
kalah, berarti tidak ada yang akan berani maju lagi dan mereka harus turun
gunung. Sebaliknya, andaikata pemuda itu kalah, tentu hwesio Bu-tong-pai akan
lari naik dan melaporkan hal ini kepada guru besar mereka.
Akan tetapi, akhirnya ternyata
pula bahwa Liem Sun Hauw lebih unggul. Pemuda ini telah mewarisi ilmu silat
yang aneh-aneh dari gurunya, yakni Thian Mo Siansu, siapa sudah pernah menerima
latihan oleh kakek sakti Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.
Setelah bertempur lima puluh
jurus lebih, akhirnya Thian Hok Cu terpaksa harus mengakui keunggulan Sun Hauw
dan tosu ini roboh pula oleh babatan pedang pada paha dan pukulan tangan kiri
pada dadanya. Sun Hauw terpaksa merobohkannya dengan cara ini karena kalau
tidak, kiranya dia sendiri yang akan termakan oleh pedang Thian Hok Cu yang
lihai.
Demikianlah, para hwesio
Kim-san-pai bersorak-sorak girang dan para tosu yang tinggal lima orang itu
lalu memondong tubuh susiok mereka dan berlari turun gunung. Adapun para hwesio
Bu-tong-pai lalu mengantar Sun Hauw naik ke puncak di mana ia disambut oleh Lo
Beng Hosiang yang mengerutkan keningnya ketika mendengar apa yang telah
terjadi. Hwesio tua ini menggeleng-geleng kepalanya dan berkata penuh sesal,
"Ah, mengapa terjadi hal
seperti itu di lereng sini dan tak seorang pun memberi laporan kepada pinceng?
Kalau pinceng tahu sejak tadi, tentu pinceng akan mencegah terjadinya
pertempuran."
"Mereka terlalu menghina,
Suhu," kata seorang hwesio. "Dua orang Suheng telah roboh terluka dan
kiranya teecu semua takkan ada yang dapat melawan dan terpaksa menelan hinaan
orang-orang Kim-san-pai kalau saja Liem-enghiong ini tidak keburu datang
menolong dan membersihkan nama kita."
Lo Beng Hosiang memandang
kepada pemuda tampan yang hadir di situ dan tadi memberi hormat kepadanya.
"Sicu dari manakah?"
tanyanya singkat.
"Teecu bernama Liem Sun
Hauw, anak murid Go-bi-pai. Teecu diutus oleh Susiok Twi Mo Siansu untuk
menghadap Locianpwe dan untuk berusaha mendamaikan pertikaian yang terjadi
antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Susiok berpesan bahwa semua ini adalah atas
usul desakan Sin-taihiap Bu Pun Su yang menghendaki agar pada waktu sekarang
ini kita melupakan segala kesalahpahaman dengan golongan sendiri, menghimpun
persatuan guna membela negara dan melindungi rakyat dari ancaman perang.
"Karena hal itu, Susiok
lalu menunjuk teecu untuk datang ke sini. Dan kebetulan sekali tadi teecu
melihat pertempuran antara serombongan tosu Kim-san-pai dengan para hwesio di
sini. Teecu sudah berusaha memisah, memohon kepada tosu-tosu Kim-san-pai untuk
pulang, akan tetapi siapa kira, mereka itu berkeras memperlihatkan kepandaian,
sehingga terpaksa teecu menghadapi mereka. Selanjutnya mohon petunjuk
Locianpwe, bagaimanakah pendapat Locianpwe dan usaha apa yang kiranya dapat
dilakukan untuk mendamaikan pertikaian ini."
Lo Beng Hosiang menghela napas
lagi.
"Kau datang hendak
mendamaikan urusan, akan tetapi kau bahkan melukai dua orang tosu Kim-san-pai.
Bagaimana ini?"
"Teecu bertanggung jawab
sepenuhnya akan hal ini" jawab Sun Hauw gagah. "Teecu akan datang ke
Kim-san-pai dan akan teecu jelaskan kepada Ketua Kim-san-pai disertai
permintaan maaf."
"Bagus, seorang laki-laki
harus berani memikul akibat dari perbuatannya sendiri. Sayang kedua orang
muridku Kang Bok Sian dan Kang Ek Sian sudah turun gunung, kalau mereka masih
ada di sini, biarpun mereka itu bukan orang-orang yang menggunduli kepala
mereka kiranya takkan terjadi keributan-keributan ini." Lo Beng Hosiang
menulis sepucuk surat kepada Thian Beng Cu, memanggil murid kepalanya, yakni
hwesio gemuk pendek Ki Keng Hosiang dan menyuruh muridnya ini membawa surat dan
membawa semua hwesio yang pernah melakukan pertempuran dengan pihak
Kim-san-pai, bersama Liem Sun Hauw menuju ke Kim-san!
"Serahkan surat pinceng
ini kepada Thian Beng Cu, sampaikan salamku dan serahkan pula semua anak murid
Bu-tong-pai yang pernah bertempur. Katakan kepada Thian Beng Cu bahwa dia boleh
menghukum anak-anak murid Bu-tong-pai ini sebagai seorang paman guru!"
Liem Sun Hauw memuji
kebijaksanaan Guru Besar Bu-tong-pai ini yang hendak melenyapkan permusuhan
sekaligus dengan jalan menyuruh semua anak muridnya datang ke Kim-san-pai
menerima hukuman. Demikianlah Liem Sun Hauw lalu pergi ke Kim-san-pai bersama
anak murid Bu-tong-pai itu dan seperti telah dituturkan di bagian depan,
rombongan ini ketika sampai di lereng Bukit Kim-san, disambut oleh Ang I Niocu!
***
Liem Sun Hauw ketika melihat
Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, menjadi terkejut, heran
dan girang sehingga ia menyapanya. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Ang I Niocu sebaliknya menyindirnya, mengatakan pemuda ini menjadi
"jago" pihak Bu-tong-pai dan bermaksud untuk menghina Kim-san-pai.
Liem Sun Hauw menolak semua tuduhan itu dan menyatakan bahwa ia pun bertugas
sama, yaitu mendamaikan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, tetapi Ang I Niocu
marah bukan main.
Marah karena sekarang ia tahu
bahwa pemuda tampan ini adalah pemuda yang diusulkan oleh almarhum ayahnya
untuk menjadi calon suaminya! Pemuda yang dicap menjadi penyebab kematian
kekasihnya, Gan Tiauw Ki beserta kematian ayahnya. Ang I Niocu menahan-nahan
nafsu marahnya dan hanya memaki Sun Hauw dengan kata-kata pedas,
"Kau bilang hendak
mendamaikan, tetapi mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan
mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke Bu-tong-san? Mengapa
pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau
mengandalkan apakah demikian sombong?"
Sun Hauw seperti orang tuli.
Ia tidak memperhatikan semua kata-kata itu dan sepasang matanya seperti kena
hikmat, menatap bibir indah yang berkata-kata tanpa berkedip. Kecantikan Ang I
Niocu yang luar biasa itu benar-benar membikin Sun Hauw seperti gila. Apalagi
kalau ia ingat betapa ayah dari gadis jelita ini telah memilihnya menjadi calon
mantu!
"Jawab
pertanyaanku!" Ang I Niocu membentak marah, mukanya agak merah karena ia
maklum apa artinya pemuda itu menjadi termenung seperti patung.
Adapun tujuh orang hwesio
Bu-tong-pai yang terpilih sebagai orang-orang bertanggung jawab dalam
pertikaian terhadap Kim-san-pang adalah hwesio-hwesio yang tingkatnya sudah
tinggi, yakni anak murid Lo Beng Hosiang sendiri. Mendengar desakan Ang I Niocu
kepada Liem Sun Hauw, seorang diantara mereka membela Sun Hauw yang
kelihatannya "mati kutunya" menghadapi nona baju merah itu.
"Ang I Niocu, harap
jangan salah sangka terhadap Liem-sicu. Dia ini betul-betul penolong kami dan
bermaksud baik...."
"Siapa menyangkal bahwa
dia itu penolong Bu-tong-pai? Akan tetapi sekali-kali aku tak percaya dia ini
menjadi pendamai! Menolong sepihak memusuhi pihak lain sama sekali bukan sifat
seorang pendamai, karena dia berat sebelah dan menghina orang mengandalkan
kepandaiannya yang ia kira tidak ada keduanya di kolong langit! Aku datang
sebagai pendamai antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, sudah pasti sekali aku
tidak mau menghina Bu-tong-pai juga tidak mau memusuhi Kim-san-pai."
Liem Sun Hauw menjadi serba
salah dan memang kepandaian kata-katanya sudah lenyap entah ke mana setelah ia
berhadapan dengan Ang I Niocu. Dalam pandangannya, segala gerak-gerik Ang I
Niocu menarik hati dan menambah kemanisan dan kecantikannya. Kini dimarahi oleh
Ang I Niocu, ia hanya tundukkan mukanya yang sebentar merah sebentar pucat,
seperti seorang anak nakal dimarahi oleh ibunya.
"Li-hiap, untuk meredakan
permusuhan, pinceng sekalian datang ke sini, hendak menghadap Locianpwe Thian
Beng Cu, dan Liem-sicu yang bertugas sebagai pendamai dari Go-bi-pai, ikut
sebagai perantara," kembali hwesio itu membela Sun Hauw.
"Losuhu bertujuh kalau
hendak menghadap Ketua Kim-san-pai untuk menjernihkan suasana, hal itu amat
baik dan patut dipuji, dan memang demikianlah seharusnya kalau orang hendak
memperbaiki hubungan satu sama lain. Aku pun sedang hendak berangkat menemui Lo
Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi orang she Liem ini biar di
sini jangan ikut masuk, dia tidak akan mendamaikan urusan bahkan mungkin akan
mengacau lagi!"
"Niocu harap kau suka
maafkan aku..." akhirnya Sun Hauw dapat bicara kembali setelah
menenteramkan hatinya yang berguncang.
"Memang aku sudah berlaku
terburu nafsu dan melukai dua orang tosu Kim-san-pai dalam pibu yang terjadi di
Bu-tong-san. Oleh karena itu maka kedatanganku ini pun hendak memohon ampun
kepada Locianpwe Thian Beng Cu dan bersama para Suhu ini hendak menyerahkan
diri menerima hukuman. Sekarang baru Niocu saja sudah tidak dapat memaafkan,
apalagi para tosu Kim-san-pai. Biarlah kalau begitu kau bunuh saja aku untuk
menebus dosaku terhadap Locianpwe Sin-tai-hiap Bu-Pun Su..." Sambil berkata
demikian, Sun Hauw melolos pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Ang I
Niocu.
Gadis itu tidak mau menerima
pedang, agak heran dan terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama Bu
Pun Su.
"Mengapa pula kau
menyebut-nyebut nama Susiok-couw Bu Pun Su?" tanyanya wajar.
"Sesungguhnya, tugasku
ini adalah kehendak Sin-tai-hiap Bu Pun Su yang menyampaikan pesannya kepada
Susiok Twi Mo Siansu melalui utusannya, yakni Lo-enghiong Kiang Liat yang
akhirnya menjadi sahabat baikku. Aku dipilih oleh Susiok untuk mengerjakan
tugas ini, tidak tahunya karena kebodohanku aku bahkan memburukkan keadaan.
Kalau Sin-taihiap Bu Pun Su mendengar akan hal ini, apakah aku dapat diampuni,
lagi? Kalau Kiang Lo-enghiong yang baik hati dan mulia itu mendengar, bukankah
aku bisa mati saking karena malu"
Tentu saja Sun Hauw sengaja
menyebut-nyebut nama Bu Pun Su dan Kiang Liat untuk mengambil hati gadis yang
kecantikannya telah merobohkan hatinya itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa
semua kata-katanya itu bahkan merupakan garam yang diulaskan pada luka di dalam
hati Ang I Niocu, mendatangkan rasa perih dan sakit karena mengingatkan ia akan
semua peristiwa duka yang dialaminya. Hal ini bahkan menambah kebenciannya
terhadap Sun Hauw sehingga kalau mungkin di saat itu juga ia memenggal leher
pemuda itu.
Akan tetapi pada saat itu,
dari puncak bukit datang Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai, diiringi oleh
tosu-tosu muridnya, merupakan rombongan yang keren dan agung. Para tosu
Kim-san-pai yang berada di situ cepat memberi hormat kepada ketua mereka.
Dengan air muka tenang dan
ramah, Thian Beng Cu memandang kepada para hwesio Bu-tong-pai yang tujuh orang
itu, melempar pandang tak acuh kepada Sun Hauw, lalu berkata kepada para hwesio
itu,
"Cu-wi Suhu dari
Bu-tong-pai, harap tidak kecil hati kalau pinto terlambat menyambut. Pesan
apakah yang Cu-wi bawa dari sahabat Lo Beng Hosiang?"
Melihat sikap dan mendengar
kata-kata Ketua Kim-san-pai ini, para hwesio Bu-tong-pai menjadi merah mukanya,
malu kepada diri sendiri dan heran mengapa Ketua Kim-san-pai yang selama ini
disangka sombong, ternyata seorang kakek yang baik hati dan ramah tamah. Serta
merta mereka berlutut memberi hormat. Kakek Kim-san-pai itu sudah begitu
merendahkan diri, maka kini tanpa ragu-ragu lagi para hwesio Bu-tong-pai maklum
bahwa mereka berhadapan dengan seorang tua yang berhati mulia dan tunduklah
mereka.
Ki Keng Hosiang, pendeta gemuk
pendek yang memimpin rombongan Butong-pai itu, lalu berkata, "Teecu
bertujuh menerima titah Suhu untuk menghadap kepada Susiok, selain untuk
menyerahkan surat dan menyampaikan salam dari Suhu, juga teecu yang telah
melakukan banyak dosa menghina saudara-saudara dari Kim-san-pai, sengaja datang
menyerahkan diri untuk menerima hukuman."
Thian Beng Cu menarik napas
panjang, mengelus-elus jenggotnya dan wajahnya nampak gembira sekali dan kalau
diperhatikan orang akan melihat sepasang matanya menjadi basah.
"Gurumu Lo Beng Hosiang
seorang bijaksana, kalian tidak salah apa-apa, bahkan saudara-saudara mudamu
dari Kim-san-pai yang keliru. Kesinikan surat dari suhumu agar pinto dapat
segera mengetahui petunjuk apa
yang diberikan kepada pinto yang bodoh."
Pada saat itu, Liem Sun Hauw
yang merasa terharu menyaksikan pertemuan tokoh-tokoh dari kedua pihak yang
saling mengalah, merasa malu terhadap Thian Beng Cu yang ternyata seorang kakek
yang begitu halus dan baik hati. Ia pun lalu, berlutut dan berkata,
"Locianpwe, teecu Liem
Sun Hauw utusan dari Go-bi-pai, karena cupat pengetahuan dan lancang, telah
salah tangan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Sekarang teecu sudah insyaf
akan kesalahan sendiri dan menghadap untuk menerima hukuman."
Thian Beng Cu menunda niatnya
membaca surat dari Lo Beng Hosiang, memandang kepada Liem Sun Hauw dan
mengangguk-angguk.
"Anak murid Go-bi-pai
memang amat mengagumkan, begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi, dan
berani pula bertanggung jawab atas perbuatannya. Liem-sicu, kalau kau tidak
datang mengakui kesalahanmu, memang nama baik Go-bi-pai akan tercemar, akan
tetapi dengan pengakuanmu ini, segala apa sudah beres. Di dalam pibu, kalah
menang sudah lumrah, terluka atau tewas bukan hal aneh. Antara kau atau
Go-bi-pai dengan kami tidak ada urusan apa-apa, habis sampai di sini
saja."
Sun Hauw menjadi girang
sekali, akan tetapi kata-kata itu membuat ia makin tunduk dan malu. Thian Beng
Cu lalu membuka surat dari Lo Beng Hosiang. Selain permintaan maaf bagi
murid-muridnya, di dalam surat itu Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa tentang
pembunuhan atas diri Lai Tek, sesungguhnya bukanlah perbuatan anak murid
Bu-tong-pai, dan menurut dugaan Lo Beng Hosiang, tentu dilakukan oleh pihak ke
tiga yang ingin mengadu-dombakan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Oleh karena
itu, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa penjahat atau pihak ke tiga inilah yang
harus dicari.
Thian Beng Cu menghadapi Ang I
Niocu yang masih berdiri di situ. Gadis ini ketika melihat betapa para hwesio
mengaku salah dan betul-betul datang hendak menerima hukuman, juga menjadi
girang dan terharu. Tak disangkanya bahwa tugasnya selesai dengan demikian
mudahnya, apalagi ketika ia melihat Sun Hauw juga menerima salah dan rela
dihukum, kebenciannya terhadap pemuda ini agak berkurang.
"Ang I Niocu, kau sebagai
utusan Sin-taihiap Bu Pun Su, kau telah mendengar dan melihat sendiri keadaan
anak-anak murid Bu-tong-pai yang ternyata jauh lebih baik daripada anak-anak
murid Kim-san-pai. Oleh karena kedatangan mereka inilah, maka segala
kesalahpahaman telah dapat dibikin beres dan dihabiskan sampai di sini saja. Di
dalam suratnya ini, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa pihak Bu-tong-pai
betul-betul tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap diri Lai Tek, dan
menduga bahwa tentu ada pihak ke tiga yang melakukan perbuatan itu untuk
mengadu domba antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tidak tahu bagaimanakah
baiknya kalau menurut pendapat Niocu?"
"Soalnya sudah jelas
bahwa memang tentu ada penjahat yang membunuh Lai Tek dan berbuat seolah-olah
yang melakukan hal itu dari pihak Bu-tong-pai. Akan tetapi, perbuatan penjahat
itu lebih banyak mendatangkan kerugian kepada Bu-tong-pai daripada kepada
Kim-san-pai. Lai Tek anak murid Kim-san-pai tewas sebagai orang gagah dan tidak
ada kecewanya, sebaliknya dengan perbuatan itu, nama baik Bu-tong-pai tercemar.
Oleh karena itu, menurut pikiranku, sudah menjadi kewajiban Bu-tong-pai untuk
menyelidiki hal ini dan menangkap pembunuhnya. Biarpun begitu, demi kebaikan
kembali hubungan antara kedua partai yang sudah menjadi tugas yang kupikul
menurut perintah Susiok-couw, aku akan berusaha pula untuk membongkar rahasia
ini dan membekuk penjahatnya."
Sun Hauw melompat berdiri,
menjura kepada Thian Beng Cu, lalu menghadapi Ang I Niocu sambil berkata cepat,
"Niocu, cocok sekali
petunjukmu tadi. Memang sudah seharusnya Bu-tong-pai mencuci bersih namanya
dari perbuatan terkutuk penjahat yang membunuh Lai Tek itu. Dan untuk pekerjaan
ini, biarlah aku yang akan melakukannya. Aku telah berlaku lancang dan biar pun
aku diberi tugas menjernihkan suasana antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai,
ternyata aku bahkan mengeruhkan suasana. Sekarang ada pekerjaan ini, biar aku yang
diwajibkan, hutang-hutang menebus dosaku!"
Ang I Niocu memandang kepada
pemuda itu dengan tajam dan diam-diam ia harus akui bahwa Liem Sun Hauw adalah
seorang pemuda yang bersemangat dan gagah. Pantas saja ayahnya suka kepada
pemuda ini dan hendak menjodohkannya dengan aku, pikirnya. Kebenciannya
terhadap pemuda itu makin berkurang saja.
"Bagaimana, Locianpwe?
Apakah Locianpwe menyetujui kalau teecu yang mencoba untuk menangkap penjahat
pembunuh Lai Tek-enghiong itu?" Sun Hauw bertanya kepada Thian Beng Cu
dengan suara mendesak.
Thian Beng Cu
mengangguk-angguk dan tersenyum. "Liem-sicu, kau memang gagah dan kiranya
tepat kalau kau yang mencarinya. Untuk hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ang
I Niocu tadi, pinto serahkan saja kepada pihak Bu-tong-pai. Pinto hanya bisa
menyampaikan terima kasih atas maksudmu yang mulia ini, Liem-sicu."
"Kalau begitu,
perkenankan teecu berangkat sekarang untuk membekuk batang leher pembunuh Lai
Tek-enghiong!" kata Sun Hauw penuh semangat sambil mengerling kepada Ang I
Niocu.
Tiba-tiba terdengar suara
orang, lemah-lembut terdengarnya, "Tidak usah, tidak usah... penjahat itu
telah tertangkap...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di situ
berdiri seorang tosu yang usianya kurang lebih lima puluhan tahun, gerak-geriknya
halus dan sinar matanya tajam berpengaruh.
"Eng Yang Cu-sute... kau
baru datang...?" kata Thian Beng Cu dengan suara girang. "Dan
betulkah penjahat itu telah tertangkap?"
Tosu itu yang bukan lain
adalah Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai yang menjadi sute termuda dari Thian Beng
Cu dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada tokoh-tokoh Kim-san-pai
lainnya, akan tetapi yang selalu merantau, memberi hormat kepada suhengnya lalu
berkata,
"Memang betul, penjahat
itu bukan lain adalah Siang-hek-pian (Sepasang Pian Hitam) Bwee Cat. Seperti
Suheng tentu masih ingat, Siang-hek-pian Bwee Cat pernah memusuhi Kim-san-pai
dan pernah jatuh oleh siauwte. Agaknya ia mengandung dendam sakit hati dan
melihat salah paham yang timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, ia turun
tangan, menewaskan muridku Lai Tek kemudian mempergunakan nama Bu-tong untuk
mengadu domba."
"Sute yang baik,
bagaimana kau bisa mengetahui ini semua dan bagaimana kau bilang bahwa dia itu
sudah tertangkap?" tanya Thian Beng Cu dengan girang, sedangkan wajah Liem
Sun Hauw menjadi muram sekali mendengar bahwa penjahat yang rnenjadi biang
keladi pertikaian itu telah tertangkap.
"Dalam perantauan siauwte
mendengar tentang pertikaian Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai dan siauwte
mendengar pula sebab-sebab pertikaian itu, Siauwte tidak percaya bahwa
Bu-tong-pai akan berlaku sekeji itu, maka siauwte teringat akan Siang-hek-pian
Bwee Cat. Kalau ada orang yang hendak mencelakakan Kim-san-pai, kiranya hanya
penjahat itulah yang menaruh dendam dan pernah menjadi pecundang.
Siauwte lalu mencarinya dan
setelah berjumpa, betul saja dia yang melakukan pembunuhan terhadap Lai Tek,
katanya untuk memancing siauwte supaya mencarinya. Kami bertempur dan ternyata
selama ini ia telah mempertinggi ilmunya sehingga hampir saja siauwte kalah dan
celaka dalam tangannya. Tidak heran apabila Lai Tek mudah saja ia tewaskan,
tidak tahunya penjahat itu telah berguru lagi semenjak kalah di Kim-san-pai.
Masih baik nasib siauwte, pada saat itu datang dua orang bersaudara, yakni Kang
Bok Sian dan Kang Eng Sian. Dua orang pendekar muda ini ternyata adalah anak
murid Bu-tong-pai dan mereka pun mendengar pula tentang pertikaian antara
Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Dari orang-orang kang-ouw
mereka mendengar tentang Siang-hek-pian Bwee Cat yang menyombongkan
perbuatannya, yakni membunuh Lai Tek murid Kim-san-pai. Karena dua orang
saudara Kang yang gagah perkasa itu telah mendengar pula akan sebab pertikaian
kedua partai mereka lalu mengerti bahwa biang keladinya adalah Bwee Cat dan mencarinya.
Kebetulan sekali siauwte terdesak dan mereka berdua turun tangan membantu.
Barulah penjahat itu dapat dirobohkan, sayang sekali dalam keadaan tewas
sehingga tidak mungkin siauwte seret ke sini untuk membuat pengakuan."
Thian Beng Cu menggeleng-geleng
kepalanya. Kemudian ia menoleh kepada para anak muridnya dan kepada tujuh orang
hwesio Bu-tong-pai yang berada di situ, lalu berkata dengan suaranya yang halus
berpengaruh,
"Kalian murid-murid
Kim-san-pai dan murid-murid Bu-tong-pai dengarlah baik-baik. Penuturan suteku
Eng Yang Cu ini menjadi cermin bagi kalian. Kalian yang berada di sini,
ribut-ribut saling menuduh dan saling menyerang, menurutkan hati panas.
Sebaliknya Eng Yang Cu dan dua orang saudara Kang sebagai murid-murid
Kim-san-pai dan Bu-tong-pai yang jauh dari sini, bahkan sudah bekerja sama
untuk menangkap penjahat. Murid-murid Kim-san-pai, kalian tirulah sikap susiok
kalian ini dan murid-murid Bu-tong-pai harap meniru perbuatan kedua saudara
Kang yang gagah perkasa."
Sementara itu, Liem Sun Hauw
lalu berkata kepada Thian Beng Cu dengan muka muram,
"Locianpwe, ternyata
bahwa teecu seorang yang tidak ada gunanya sama sekali, kalau lebih lama di
sini hanya akan mengotorkan tempat saja. Mohon maaf sebanyaknya dan perkenankan
teecu pergi. Cuwi Suhu dari Bu-tong-pai, tolong sampaikan hormatku kepada
Locianpwe Lo Beng Hosiang di Bu-tong-pai. Nona Ang I Niocu, aku sudah banyak
melakukan kesalahan terhadapmu, maaf..." Setelah berkata demikian, dengan
cepat sekali Liem Sun Hauw melompat dan pergi dari situ, berlari turun dari
lereng Bukit Kim-san-pai.
Semua orang memandang dengan
bengong dan diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda tampan dan gagah itu
yang sebetulnya bukan bertindak salah, hanya kurang teliti dan kurang
hati-hati.
"Saudara Liem, tunggu
dulu!" Ang I Niocu berseru dan di lain saat ia sudah melompat sambil
berkata, "Totiang, maafkan aku tak dapat lebih lama lagi tinggal di
sini!" Sebelum Ketua Kim-san-pai menjawab, tubuhnya sudah lenyap dan yang
nampak hanya bayangan merah berkelebat dan meluncur turun gunung.
"Siapa mereka itu?"
tanya Eng Yang Cu kagum sekali melihat kehebatan dua orang muda itu.
"Yang pertama adalah Liem
Sun Hauw, murid mendiang Thian Mo Siansu dari Go-bi-pai untuk mendamaikan
urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Yang ke dua tadi adalah Ang I Niocu,
puteri dari Jeng-jiu-sian Kiang Liat, Bu Pun Su adalah susiok-couwnya dan ia
pun datang perintah atas perintah Bu Pun Su untuk maksud yang sama, yakni
mendamaikan kedua partai."
Eng Yang Cu menarik napas
panjang. "Ahhh, anak-anak muda sekarang memang hebat. Kepandaian mereka
tadi benar lihai, apalagi nona baju merah tadi, gin-kangnya sudah sampai
ditingkat yang melebihi kita..."
Liem Sun Hauw yang merasa
kecewa sekali karena usahanya melakukan tugas yang diserahkan kepadanya oleh
Twi Mo Siansu selalu menemui kegagalan, merasa amat malu. Ia telah mengeruhkan
suasana dan sebelum ia dapat menebus kesalahannya, dengan menangkap biang
keladi permusuhan, ia telah didahului oleh Eng Yang Cu!
Saking malu dan kecewanya ia
lalu meninggalkan Kim-san-pai. Yang membuat ia malu sesungguhnya bukan terhadap
orang lain, melainkan terhadap Ang I Niocu. Ia telah tertarik dan jatuh hati
kepada gadis ini, apalagi setelah ia tahu bahwa gadis itulah yang dicalonkan
menjadi isterinya oleh Kiang Liat. Dan sekarang di depan gadis itu ia kelihatan
sebagai seorang yang bodoh!
Biarpun ia berlari cepat
sekali, sebentar saja ia tersusul oleh Ang I Niocu. Tadi Sun Hauw mendengar
suara panggilan Ang I Niocu, akan tetapi ia mengira bahwa gadis yang cantik
tapi galak itu akan menyalahkan dan menyindirnya, maka ia tidak mau berhenti
sebelum jauh dari para tokoh Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Selain ini ia pun
henidak menguji ilmu lari cepat dari gadis itu dan diam-diam ia mengerahkan
ilmu lari cepat yang paling diandalkan, yakni Liok-te-hui-teng (Lari Seperti
Terbang di Atas Bumi), karena ia tahu bahwa gadis itu mengejarnya.
Akan tetapi alangkah kagumnya
ketika tak lama kemudian, gadis itu telah menyusulnya. Bayangan merah
berkelebat di samping kanannya dan di lain saat gadis itu telah berdiri
beberapa tombak jauhnya di sebelah depan, tersenyum menghadang di jalan.
Ang I Niocu sengaja mengejar
Sun Hauw karena gadis ini ingin sekali mendengar dari pemuda ini tentang
hubungan ayahnya dengan pemuda ini. Ingin ia mengetahui bagaimana pemuda ini
bertemu dengan ayahnya dan bagaimana pula ayahnya sampai mempunyai maksud
menjodohkan dia dengan pemuda itu.
Selain ini, ia pun agak
menyesal atas sikapnya yang menghina dan keras terhadap Sun Hauw, dan sekarang
ternyata bahwa sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang yang menyombongkan
kepandaian dan sengaja membantu Bu-tong-pai melakukan penghinaan terhadap
Kim-san-pai. Semua pertengkaran yang terjadi hanya timbul oleh kesalah-pahaman.
Sungguhpun pada mukanya terbayang
kemuraman, namun di dalam hatinya Sun Hauw merasa girang sekali melihat gadis
itu. "Nona, apakah kau masih merasa penasaran? Aku sudah mengaku salah
dan..."
"Saudara Liem, jangan kau
salah sangka. Tadi kau menyebut nama ayahku. Di mana kau pernah bertemu dengan
dia dan kapankah? Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang Ayah."
Seketika wajah Sun Hauw berseri, hatinya berdebar-debar girang dan ia menarik
napas lega.
"Aku bertemu dan
berkenalan dengan ayahmu yang gagah perkasa dan mulia itu di Go-bi-san,"
ia mulai bercerita, "ketika aku menghadap Susiok Twi Mo Siansu, kebetulan
ayahmu datang dan menyampaikan pesan kepada Susiok dari Sin-taihiap Bu Pun Su.
Susiok lalu memilih aku untuk berusaha mendamaikan pertikaian antara
Bu-tong-pai dan Kim-san-pai dan hal ini menimbulkan iri hati dan tidak
senangnya beberapa orang anak murid Go-bi-pai. Aku sendiri biarpun anak murid
Go-bi-pai, akan tetapi suhuku adalah seorang perantau dan hampir tidak
mempunyai hubungan lagi dengan Go-bi-pai."
emudian Sun Hauw menuturkan
bagaimana ia telah diserang oleh tokoh Go-bi-pai Tek Le Tojin dan hampir celaka
kalau saja tidak ditolong oleh Kiang Liat. Dan bagaimana perjalanannya ke
Bu-tong-pai tertunda dan terlambat karena ia singgah di kampungnya dan terpaksa
menunda perjalanannya ke Bu-tong-san karena ia harus merawat dulu ayahnya yang
sedang sakit payah. Semua ini telah dituturkan di bagian depan dan kiranya tak
perlu diulang pula.
Demikianlah, Nona. Apakah
ayahmu sudah pulang dan apakah kau sudah bertemu dengan orang tua yang mulia
itu?" Sun Hauw menutup penuturannya dan balas bertanya. Ang I Niocu tak
dapat menjawab, hanya mengangguk. Hatinya seperti ditusuk-tusuk karena
teringatlah ia akan segala peristiwa antara dia dan ayahnya yang menyebabkan
kematian ayahnya.
Sun Hauw makin berdebar. Kalau
gadis ini sudah bertemu dengan ayahnya, tentu sudah mendengar pula tentang
maksud pertalian jodoh itu. Matanya bersinar-sinar, mukanya merah ketika ia
menatap wajah dara cantik jelita yang berdiri sambil menundukkan muka di depannya
itu.
"Syukurlah kalau ayahmu
sudah pulang, Nona. Kuharap saja orang tua yang gagah perkasa itu dalam
sehat-sehat dan selamat. Ah, alangkah inginku menghadap Kiang-lo-enghiong,
alangkah rindu hatiku bertemu muka dengan dia lagi. Aku amat menghormat dan
memujanya, Nona, selembar nyawaku ini masih berada di dalam tubuhku hanya
berkat pertolongan ayahmu."
Mendengar kata-kata yang
diucapkan dengan sungguh-sungguh ini, Ang I Niocu menjadi amat terharu. Ia
meramkan kedua matanya dan merasa hatinya perih sekali. Ketika ia membuka lagi
kedua matanya, ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur deras.
Cepat-cepat ia mempergunakan ujung lengan baju untuk menutupi matanya dan
mengusap air matanya.
"Ang I Niocu... kau
kenapa.? Maafkan kalau aku kesalahan bicara..." Sun Hauw berkata kaget.
Ang I Niocu dapat menekan
perasaannya dan kini menjadi tenang kembali.
"Saudara Liem, harap
kaumaafkan kelemahanku. Sesungguhnya, perlu kiranya kauketahui bahwa Ayah telah
meninggal dunia tujuh bulan yang lalu."
Tiba-tiba muka Sun Hauw
menjadi pucat dan ia merasa seperti kehilangan semangatnya. Kemudian ia
menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, menutupi mukanya dengan kedua tangan
dan biarpun ia tidak mengeluarkan suara, kedua pundaknya bergerak-gerak dan
tahulah Ang I Niocu bahwa pemuda ini telah menangis!
Diam-diam ia menjadi terharu
hadap pemuda ini, sekarang perasaan ini lenyap dan ia harus mengaku bahwa
kecuali mendiang Gan Tiauw Ki, pemuda ini merupakan seorang pemuda pilihan dan
baik, yang pernah ditemuinya. Hanya kata-kata perlahan sekali
"gakhu..." terdengar dari mulut pemuda itu. Wajah Ang I Niocu menjadi
merah sekali ketika mendengar pemuda itu mengeluarkan kata-kata sebutan gakhu
(ayah mertua) itu, akan tetapi kata-kata itu diucapkan perlahan sekali dan
agaknya pemuda itu menahan hatinya agar tidak mengeluarkan suara. lagi.
Memang Sun Hauw di samping
keharuan dan kesedihannya, juga merasa bimbang dan gelisah. Calon mertuanya
sudah meninggal dunia, apakah nona ini sudah tahu tentang perjodohan yang
diikat? Bagaimana kalau Nona ini belum diberi tahu oleh ayahnya. Ingin sekali
ia bertanya kepada Ang I Niocu tentang ini, akan tetapi tentu saja ia merasa
malu dan sungkan. Sebaliknya ia lalu membikin tenang hatinya, diam-diam ia
mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri lagi. Sepasang matanya masih
basah dan mukanya merah.
"Niocu," suaranya
serak dan pandang matanya kepada Ang I Niocu penuh perasaan kasih dan iba,
"sungguh aku ikut berdukacita dan alangkah kaget hatiku mendengar warta
menyedihkan ini. Niocu, ayahmu demikian sehat dan gagah perkasa ketika bertemu
dengan aku, bagaimana ia bisa meninggal dengan mendadak? Apa sebabnya?"
Kalau saja masih ada kemarahan
dan kebencian dalam hati Ang I Niocu terhadap pemuda ini, tentu ia akan
menjawab dengan makian dan tuduhan bahwa pemuda inilah yang menjadi gara-gara
kematian ayahnya. Akan tetapi sikap Sun Hauw mendatangkan kesan baik dalam hati
Ang I Niocu dan gadis itu hanya menjawab singkat,
"Ayah meninggal karena
sakit bagian jantungnya."
Keduanya berdiam diri agak
lama. Sun Hauw tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur nona itu. Akhirnya
ia hanya dapat bertanya dengan perlahan,
"Niocu, apakah... apakah
mendiang ayahmu ada meninggalkan sesuatu pesanan untuk aku...?"
Tentu saja Ang I Niocu dapat
menangkap maksud pertanyaan itu, tentu pemuda ini hendak bertanya tentang
maksud perjodohan yang direncanakan ayahnya. Akan tetapi ia hanya menggeleng
kepala dan tidak berkata apa-apa.
"Niocu, apakah kau tidak
mempunyai keluarga lain?" Kembali Ang I Niocu menggeleng kepalanya.
"Kau sebatang kara di dunia ini?" pertanyaan ini penuh perasaan iba.
Ang I Niocu mengangguk, tidak
berani mengeluarkan suara karena tahu bahwa suaranya tentu akan gemetar.
Pertanyaan-pertanyaan ini membangkitkan kesedihan hatinya. Sampai lama Sun Hauw
diam saja, penuh bimbang, ragu dan iba.
"Niocu, aku hendak
melaporkan urusan Bu-tong-pai dan Kim-san-pai yang sudah selesai itu kepada
Susiok di Go-bi-pai, setelah itu aku akan menghadiri pertemuan yang diadakan
oleh Sin-taihiap Bu Pun Su. Kalau aku boleh bertanya, kau hendak ke mana?"
"Aku juga harus
menghadiri pertemuan di puncak Gunung Thai-san, seperti yang dipesan oleh
Susiok-couw Bu Pun Su."
Wajah Sun Hauw berseri.
"Kalau begitu, Niocu, apabila kau tidak menganggap aku terlalu lancang dan
kurang ajar, maukah kau mengijinkan aku mengiringkan perjalananmu? Kita
sejalan, dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau boleh melakukan perjalanan
bersamamu."
Karena sikap pemuda itu memang
amat baik dan menyenangkan hatinya, Ang I Niocu tidak merasa keberatan. Di atas
dunia ini ia memang hidup sebatang kara, tiada keluarga tiada teman, sekarang
ada pemuda ini yang baik hati dan sopan, mengapa menolak perjalanan bersama?
Sedikitnya ia akan dapat menyelidiki dan mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya
dari pemuda yang menjadi pilihan ayahnya ini.
Berangkatlah dua orang muda
itu menuruni Bukit Kim-san dan dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka
perjalanan cepat sekali. Sikap Sun Hauw benar-benar amat sopan dan baik
sehingga Ang I Niocu makin suka kepadanya,. sungguhpun sukar dikatakan bahwa
gadis itu membalas cinta kasihnya. Setelah kehilangan Gan Tiauw Ki dan ayahnya,
memang amatlah sukar bagi Ang I Niocu untuk dapat mencinta pemuda lain.
Memang, Sun Hauw seorang
pemuda yang baik dan gagah. Tidak saja ia telah memiliki kepandaian yang
tinggi, akan tetapi juga ia pandai membawa diri. Perjalanan berbulan-bulan
bersama Ang I Niocu menjadi ujian baginya. Biarpun ia tergila-gila kepada Ang I
Niocu, mabuk oleh kecantikan gadis ini yang memang luar biasa sekali sehingga
ia mencinta gadis ini dengan sepenuh hati dan perasaan, namun belum pernah ia
memperlihatkan sikap yang kurang ajar dan melanggar tatasusila.
Bahkan, biarpun sepasang
matanya selalu menyorotkan sinar cinta kasih yang berkobar-kobar, bibirnya tak
pernah mengeluarkan sepatah kata pun tentang perasaan yang terkandung dalam
hatinya itu. Tiap malam, kalau Ang I Niocu sudah pulas di dalam kamar lain di
penginapan, atau di dalam kamar di sebuah kelenteng kosong di mana mereka
bermalam, Sun Hauw gelisah tak dapat tidur dan kadang-kadang ia duduk bersandar
pada meja sembahyang di dalam kelenteng dan melamun! Tentu saja yang terbayang
hanyalah Ang I Niocu yang gagah perkasa dan cantik jelita, dan terbayanglah
pula pertemuannya yang pertama kali dengan dara pujaan hatinya itu.
Kadang-kadang pemuda ini
menjadi muram wajahnya, penuh kegelisahan dan kedukaan, kalau ia teringat
betapa akan sengsara hidupnya kalau gadis itu kelak menolaknya! Ia pun bingung
mencari jalan bagaimana untuk bicara dengan Ang I Niocu tentang kehendak
mendiang Kiang Liat mengenai tali perjodohan itu.
Karena nama Ang I Niocu sudah
mulai terkenal, apalagi semenjak ia membasmi gerombolan perampok di Bukit
Min-san itu, tidak ada penjahat yang berani sembarangan mengganggunya dalam perjalanan
itu. Lebih-lebih karena di situ ada Liem Sun Hauw dan pemuda ini yang sudah
sudah lama merantau di dunia kang-ouw bersama mendiang suhunya, juga merupakan
tokoh yang terkenal dan ditakuti penjahat. Para kaum liok-lim mempunyai mata
yang awas dan telinga yang tajam, dan mereka tidak mau mengganggu orang-orang
gagah yang sekiranya akan merugikan mereka sendiri.
Ketika mereka tiba di jalan
simpangan yang dekat dengan kampung tempat tinggal Sun Hauw, pemuda itu
berkata,
"Nah, di sinilah jalan
yang menuju ke rumah ayahku, Niocu. Kau tentu tidak keberatan kalau kita
singgah sebentar, bukan? Aku harus menengok keadaan Ayah karena ketika
kutinggalkan, dia baru saja sembuh dari sakit."
Hal ini memang seringkali
dikemukakan oleh Sun Hauw dalam perjalanan, yakni bahwa pemuda itu hendak
singgah di kampung halamannya. Ang I Niocu tidak keberatan dan ia memang ingin
sekali melihat keadaan keluarga pemuda ini.
Mereka membelok dan dengan
cepat menuju ke kampung Peng-kan-mui. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar
kampung itu, tiba-tiba Sun Hauw menghentikan kakinya dan mukanya berubah. Ang I
Niocu juga berhenti dan menoleh, memandang heran kepada pemuda itu.
"Mengapa kita berhenti di
sini?" tanyanya.
Sun Hauw teringat akan sesuatu
yang membuat hatinya berdebar cemas dan yang membuatnya tiba-tiba berhenti itu.
Ia teringat akan Siok Lan, gadis yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi
isterinya! Ia mengajak Ang I Niocu ke rumahnya, bahkan bermaksud minta kepada
ayahnya supaya melamar gadis ini sebagai calon isterinya. Akan tetapi bagaimana
dengan Siok Lan? Karena dahulu ayahnya sudah menetapkan perjodohannya dengan
Siok Lan, maka urusan ini menjadi sulit dan harus dipecahkan dengan perlahan.
Kalau ia mengajak Ang I Niocu ke rumah ayahnya, bagaimana kalau terjadi hal-hal
yang tidak dikehendakinya? Bagaimana kalau andaikata ayahnya marah-marah dan
Ang I Niocu mendengar tentang pertunangannya dengan Siok Lan? Bisa ribut dan
tentu Ang I Niocu akan tersinggung, akan marah!
"Niocu, baru sekarang aku
ingat dan betapapun besar malu dan kecewaku kepadamu, terpaksa hal ini
kukemukakan secara terus terang kepadamu. Kau tahu bahwa Ayah adalah seorang
dusun yang kuno dan pendiriannya masih kolot. Kalau tiba-tiba saja aku datang
bersama engkau, tentu ia akan menyangka yang bukan-bukan dan mengira bahwa aku
telah menyeleweng. Hal ini bukan saja tidak baik bagiku, juga akan menyinggung
perasaanmu. Oleh karena itu, aku harap kau sudi memaafkan aku, Niocu. Biarlah
aku yang masuk lebih dulu, memberitahukan tentang perjalananku dan tentang
kunjunganmu, agar orang tua itu tidak salah paham dan dapat menyambut
kunjunganmu."
Wajah Ang I Niocu menjadi
merah. Akan tetapi bagaimana ia bisa marah? Pemuda ini bicara dengan begitu
terus terang dan secara terbuka, sehingga sama sekali tidak dapat disebut
menghinanya, bahkan telah melindunginya dari keadaan yang benar-benar akan
dapat menyinggung dan menghinanya, misalnya kalau tiba-tiba ayah pemuda itu
memaki-maki puteranya di depannya, tentu hal ini akan membuat dia merasa
terhina. Oleh karena itu ia pun, tersenyum manis sekali dan berkata,
"Aku mengerti, Saudara
Liem. Tidak apa, karena memang aku tidak berhak mengganggu orang tua itu. Kau
masuklah ke kampung dan tengok orang tuamu. Biar aku berjalan-jalan di kampung
ini melihat-lihat. Kiranya setengah hari cukup untuk melepas rindu kepada
ayahmu, bukan? Nah, sekarang masih pagi. Nanti lewat tengah hari kita bertemu
pula di luar kampung ini untuk melanjutkan perjalanan."
Sun Hauw tidak berani banyak
membantah. Masuklah dua orang muda itu ke kampung Peng-kan-mui dalam keadaan
berpisah. Sun Hauw membelok ke kanan dan Ang I Niocu membelok ke kiri. Kampung
itu besar juga sehingga Ang I Niocu takkan merasa kesepian selama menanti Sun
Hauw menyelesaikan kunjungannya ke rumah. Ia berjalan perlahan di sepanjang
jalan kampung itu, tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang terheran-heran
dan kagum melihatnya.
***
Di bawah sebatang pohon di
belakang rumahnya, Tang Siok Lan berdiri termenung. Gadis manis ini
kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang membelai-belai batan pohon dengan
jari-jari tangannya yang halus. Baru saja ia mendengar warta girang, warta yang
dianggapnya paling baik di antara segala berita. Warta tentang datangnya Liem
Sun Hauw, kekasih dan tunangannya! Ia telah "jatuh hati" kepada Liem
Sun Hauw semenjak ia masih kecil! Teringat ia ketika dahulu, sama-sama masih
seorang anak berusia enam tujuh tahun, ia selalu bermain-main dengan Sun Hauw
di tempat ini, di kebun rumahnya di mana Sun Hauw setiap hari datang
mengajaknya bermain-main.