Ang I Niocu Bab 19 - Mendamaikan Pertikaian

Ang I Niocu Bab 19 - Mendamaikan Pertikaian
Bab 19 - Mendamaikan Pertikaian

Akan tetapi, sebelum ia berangkat, tiba-tiba ia melihat beberapa orang tosu berlari-lari masuk dengan muka berubah dan mendengar mereka memberi laporan kepada Thian Beng Cu bahwa ada beberapa orang hwesio Bu-tong-pai datang menyerbu Kim-san-pai. Mendengar ini, Ang I Niocu berkata,
"Locianpwe, biarkan aku menghadapi mereka!" Ia merasa penasaran sekali dan melihat gelagat seperti ini, ia hampir menduga bahwa di dalam pertikaian itu, pihak Bu-tong-pailah yang keterlaluan!

Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, Ang I Niocu turun dari puncak. Tak lama kemudian benar saja, ia melihat serombongan orang mendaki puncak itu. Mereka ini terdiri dati tujuh orang hwesio gundul dan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Melihat sikap mereka, makin besar dugaan Ang I Niocu bahwa mereka ini sengaja datang mencari keributan, maka ia lalu mencabut pedangnya dan memegang pedang itu dengan sikap tenang dan gagah. Setelah mereka datang dekat, baru ia tahu bahwa mereka ini adalah rombongan orang-orang Bu tong-pai yang pernah membantunya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan pasukan pemberontak Lie. Pemuda itu ternyata adalah pemuda tampan yang mengejar-ngejarnya untuk berkenalan!

Adapun pemuda itu serta rombongannya ketika melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, segera mengenalnya dan pemuda itu melompat cepat menghampirinya.

"Kau di sini, Nona..." tegurnya dengan wajah berseri.

Akan tetapi Ang I Niocu memandang kepadanya dengan muka dingin dan sinar mata menyelidik. Kemudian Ang I Niocu menghadapi tujuh orang hwesio itu dan berkata, suaranya nyaring akan tetapi halus,
"Cu-wi Suhu sekalian ini bukankah hwesio-hwesio Bu-tong-pai?"

Seorang diantara tujuh orang hwesio itu, yang tertua, menjawab,
"Betul, Nona, pinceng dan saudara-saudara pinceng adalah anak-anak murid Bu-tong-pai. Kau sendiri siapakah dan mengapa dahulu dikeroyok oleh pasukan pemberontak?"

"Aku Ang I Niocu dan urusanku dengan mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Yang terpenting sekarang ini, kalian datang ke Kim-san mempunyai keperluan apakah?"

Hwesio itu nampaknya tidak senang.

"Ang I Niocu, kau bilang tadi bahwa urusanmu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Sebaliknya, urusan kami di Kim-san ini pun kiranya tidak ada sangkut-pautnya denganmu!"

Ang I Niocu tersenyum dan kalau tadinya diantara para hwesio itu ada yang marah, maka kemarahan itu sekaligus mencair oleh senyum yang luar biasa manisnya ini. Pemuda tampan itu sampai melongo dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Begitu hebat wajah Ang I Niocu menarik hatinya.

"Hwesio-hwesio dari Bu-tong-pai ketahuilah. Aku sudah mendapat tugas dari Locianpwe Thian Beng Cu untuk menyelesaikan urusan pertikaian antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Sekarang aku justru hendak pergi ke Bu-tong-pai menghadap Lo Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi, baru kemarin utusan Kim-san-pai yang datang ke Bu-tong-pai untuk mendamaikan urusan, telah dilukai orang." Ang I Niocu mempergunakan lirikan matanya yang tajam menyambar ke arah pemuda tampan itu. "Dan melihat gelagatnya, agaknya kalian inilah yang menyerang mereka. Sekarang, kalian datang ke sini dengan sikap aneh, membawa-bawa pula seorang jagoan. Mau apakah?"

Pemuda itu menjadi merah mukanya! Cepat ia maju dan menjura kepada Ang I Niocu, lalu bicara dengan suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan,

"Maaf, maaf... harap Niocu sudi memberi maaf. Agaknya dalam urusan ini ada kesalahpahaman, dan antara kau dan aku kiranya ada persamaan tugas. Ketahuilah, Nona, aku Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai mewakili Susiok Twi Mo Siansu, datang ke Bu-tong-pai juga dengan maksud mendamaikan urusan perselisihan antara Bu-tong dan Kim-san-pai."

Tiba-tiba pemuda itu menunda kata-katanya karena ia melihat betapa sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar berapi-api dan wajah gadis itu menjadi merah. Jelas sekali bahwa gadis itu marah luar biasa kepadanya.

"Eh. Nona... kau... mengapa kau marah kepadaku?" tanyanya gagap.

Memang, Ang I Niocu marah sekali sehingga ia merasa seluruh tubuhnya tergetar-getar. Tangan yang memegang pedang menggigil dan kalau ia tidak mengerahkan seluruh tenaga batin, tentu ia sudah sejak tadi menyerang pemuda di depannya ini. Jadi inilah pemuda yang bernama Liem Sun Hauw, inilah pemuda yang disebut-sebut oleh ayahnya dahulu, pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Inilah pemuda yang menjadi gara-gara, menjadi biang keladi sehingga ia kehilangan kekasihnya dan kehilangan ayahnya pula. Kalau tidak ada pemuda ini di muka bumi, kiranya ia tidak akan kehilangan ayahnya, dan kiranya ia akan dapat berjodoh dengan Gan Tiauw Ki.

"Kau...?" Ketika hendak mengeluarkan kata-kata, ternyata lehernya seperti tercekik dan yang keluar hanya sebuah kata-kata itu saja.

Pemuda itu memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa nona cantik ini begitu marah kepadanya. Akan tetapi Ang I Niocu teringat akan tugasnya, teringat bahwa ia sedang melakukan tugas yang diperintahkan oleh susiok-couwnya Bu Pun Su. Kalau ia menuruti nafsu hatinya sehingga urusan itu menjadi kacau, tentu ia akan mendapat marah besar dari susiok-couwnya. Setelah dapat menekan debar jantungnya, ia berkata, melanjutkan kata-katanya tadi,

"Kau bilang hendak mendamaikan, mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke Bu-tong-san? Mengapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?"

Menghadapi tuduhan Ang I Niocu, Liem Sun Hauw merasa penasaran sekali. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini telah dipilih oleh Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai sebagai wakilnya memenuhi permintaan Bu Pun Su. Tugas Liem Sun Hauw adalah untuk mendamaikan pertikaian yang timbul antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan telah mendatangkan rasa kagum kepada Kiang Liat sehingga pendekar itu memungut pemuda ini sebagai mantunya!

Setelah Liem Sun Hauw berpisah jaIan dengan Kiang Liat, pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-pai yang amat jauh itu. Karena perjalanan lni melalui Propinsi Shansi, dan kampungnya hanya terletak seratus li dari jalan itu, ia singgah dulu di kampungnya, Peng-kan-mui untuk memberi tahu ayahnya akan segala pengalamannya. Pemuda ini memang seorang anak berbakti dan ia tidak tega meninggalkan ayahnya seorang diri terlalu lama.

Alangkah sedihnya ketika ia mendapatkan ayahnya yang sudah tua dan duda itu ternyata sedang menderita sakit panas yang agak berat juga. Terpaksa ia menunda perjalanannya. Tugas yang ia terima dari susioknya boleh jadi penting, akan tetapi lebih penting lagi menjaga dan merawat ayahnya. Oleh karena inilah maka perjalanannya terlambat. Sampai lima bulan lebih ia tinggal di rumahnya untuk merawat ayahnya.

Ketika ia pergi, yang merawat ayahnya Tang Siok Lan, gadis tetangga yang semenjak kecil sudah dikenalnya. Gadis ini manis dan terkenal sebagai bunga kampung Peng-kan-mui, dan melihat gelagatnya, semenjak dahulu gadis itu "ada hati" kepadanya. Akan tetapi, tentu saja tidak pernah menyatakan hal ini dengan kata-kata atau gerakan, hanya sinar matanya saja yang berkata banyak. Sebaliknya, Sun Hauw juga amat suka kepadanya, kawan mainnya semenjak kecil. Seperti juga dia, Siok Lan telah ditinggal mati ibunya dan. hanya hidup bersama ayahnya dan kakaknya yang sudah menikah dan tinggal satu rumah dengan ayahnya.

Setelah Sun Hauw datang, Siok Lan mengundurkan diri dan pemuda itu yang menggantikannya merawat ayahnya sendiri. Akan tetapi boleh dibilang setiap hari Siok Lan pasti datang untuk membawa ini-itu, untuk menyatakan ini-itu, sehingga diam-diam Sun Hauw makin suka dan merasa berhutang budi kepada gadis manis itu.

Akhirnya ayahnya sembuh dan Sun Hauw teringat kembali akan tugasnya. Diceritakannya semua pengalamannya kepada ayahnya, kecuali tentang maksud Kiang Liat menariknya menjadi mantu.
"Berangkatlah, Sun Hauw. Sudah menjadi tugasmu memenuhi perintah susiokmu itu. Akan tetapi kau berhati-hatilah dan jangan terlalu lama pergi. Setelah tugasmu selesai kau harus segera pulang, karena aku bermaksud merayakan pernikahanmu."

Sun Hauw kaget. "Pernikahan...!"

Ayahnya mengangguk. "Kau sudah cukup dewasa, Sun Hauw. Dan kau melihat sendiri betapa baiknya Siok Lan. Kiranya di atas dunia ini sukar mencari keduanya. Pula, bukankah ia kawan mainmu semenjak kecil? Dan bukankah kalian sudah saling suka? Aku sudah mengambil keputusan dan berdamai dengan ayahnya, perjodohan antara kau dan Siok Lan sudah kuikat. Kau kuberi waktu setengah tahun, Anakku. Ayah sudah tua dan sudah ingin melihat seorang cucu."

Sun Hauw menundukkan kepalanya saja, tidak berani membantah. Memang harus ia akui bahwa selama ini, satu-satunya gadis yang menarik hatinya hanyalah Siok Lan seorang. Akan tetapi, mendengar ucapan ayahnya tentang perjodohannya dengan Siok Lan, ia teringat akan usul Kiang Liat dan ia menjadi ragu-ragu. Tak dapat disangkalnya bahwa Siok Lan adalah seorang gadis pilihan. Cukup cantik manis dan ia sudah tahu dan kenal betul akan watak gadis itu yang lemah-lembut, halus dan berbudi mulia. Akan tetapi, gadis itu adalah seorang yang lemah, yang tidak pernah belajar ilmu silat sedikit pun juga! Berbeda dengan puteri dari Kiang Liat, pendekar yang berilmu tinggi itu. Apalagi menurui penuturan Kiang Liat sendiri, puterinya bernama Kiang Im Giok dan berjuluk Ang I Niocu itu, kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Kiang Liat. Padahal ilmu kepandaian Kiang Liat saja sudah tinggi sekali!

Sun Hauw menjadi bimbang. Bingung ia kalau harus memilih. Siok Lan cantik jelita, berbudi baik, akan tetapi tidak pandai silat. Ang I Niocu Kiang Im Giok lihai ilmu silatnya akan tetapi ia belum pernah melihatnya, tidak tahu apakah dia itu juga cantik dan bagaimana wataknya.

Akan tetapi, Sun Hauw tidak berani membantah. Ia tidak mau membikin ayahnya kecewa dan berduka, maka ia tidak menyatakan sesuatu tentang perjodohan ini. Maka berangkatlah Sun Hauw menuju ke Bu-tong-san.

Ketika tiba di kaki Pegunungan Min-san, di tengah jalan ia bertemu serombongan anak murid Bu-tong-pai. Sun Hauw bermata tajam dan sekali melihat saja ia dapat menduga bahwa rombongan yang terdiri dari belasan orang ini adalah orang-orang berkepandaian silat. Maka ia menyapa mereka dan mengajak berkenalan. Alangkah girangnya ketika mereka itu terus terang mengaku bahwa mereka adalah anak-anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan tugas meronda.

Ternyata bahwa Bu-tong-pai juga tidak tinggal diam dan berpeluk tangan saja melihat adanya pemberontakan-pemberontakan di berbagai tempat. Atas perintah Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai, anak-anak murid yang bukan hwesio diberi tugas melakukan penjagaan dan penyelidikan di beberapa tempat. Min-san termasuk wilayah perbatasan Secuan-Kansu-Shensi, maka di tempat ini pun terdapat anak-anak murid Bu-tong-pai, yang melakukan ronda dan penjagaan. Rombongan yang bertemu dengan Sun Hauw inilah rombongan anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan penyelidikan.

"Kebetulan sekali," kata Sun Hauw. "Siauwte juga sedang menuju ke Bu-tong-pai atas perintah dari Susiok Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai." Dengan singkat ia lalu menuturkan tentang tugasnya.

Tentu saja rombongan Bu-tong-pai itu merasa girang, akan tetapi mereka menyatakan bahwa pada waktu itu mereka sedang menyelidiki ke puncak Min-san, karena mendengar kabar tentang datangnya sepasukan pemberontak, yakni anah buah pasukan pemberontak Lie di propinsi Shensi.

"Kami harus menyelidiki apa yang mereka lakukan di sini, dan kalau perlu mengusir mereka," kata seorang di antara rombongan Bu-tong-pai itu.

Karena Sun Hauw juga termasuk orang yang anti pemberontak, ia lalu menyatakan kesediaannya untuk membantu. Demikianlah, mereka mendaki puncak Min-san dan kebetulan sekali melihat Ang I Niocu dikeroyok oleh pasukan pemberontak, lalu turun tangan membantunya. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu tidak mau menghubungi mereka dan meninggalkan Sun Hauw yang amat tertarik oleh kecantikannya.

Memang Sun Hauw benar-benar tertarik sekali. Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang dara demikian ayu dan demikian tinggi ilmu silatnya. Tidak mengherankan apabila ia terpesona dan merasa seakan-akan semangatnya terbetot keluar mengikuti bayangan nona itu. Diam-diam ada juga dugaan di dalam hatinya yang memberdebar-debar. Nona itu berpakaian serba merah, cantik jelita dan lihai sekali.

Apakah dia itu yang disebut Ang I Niocu, puteri dari Kiang Liat? Kalau teringat akan dugaan ini, Sun Hauw menjadi berdebar-debar. Kalau betul nona itu Ang I Niocu yang hendak dijodohkan dengan dia, aduuuh! Bukan main cantiknya! Dan bukan main tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi, wataknya... mengapa demikian galak?

Dengan rombongan Bu-tong-pai, Sun Hauw lalu menuju ke Bu-tong-san. Kebetulan sekali, baru saja ia naik sampai di lereng puncak Bu-tong-san dan disambut oleh para hwesio penyambut, tiba-tiba seorang hwesio berlari-lari dari bawah melaporkan bahwa ada orang-orang Kim-san-pai datang menyerbu! Sementara itu, Sun Hauw di sepanjang jalan telah mendengar dari anak-anak murid Bu-tong-pai bahwa Kim-san-pai selalu mencari perkara dan permusuhan, dan biarpun Bu-tong-pai sudah banyak mengalah, selalu Kim-san-pai mendesak mengandalkan ilmu silatnya yang katanya lebih tinggi dari Bu-tong-pai!

Hal ini memang sudah wajar. Setiap kali ada dua pihak bermusuhan, tentu masing-masing pihak tidak mau mengaku salah, dan selalu menganggap pihak yang lain amat jahat. Siapakah orangnya yang berani mengaku dia yang salah dan pihak lawan yang benar? Orang demikian inilah betul-betul orang gagah, akan tetapi di dunia hanya ada satu setiap seribu!

Sun Hauw tidak mau berlaku ceroboh. Biarpun ia sudah mendapat kesan jelek tentang Kim-san-pai dari para anak murid Bu-tong-pai, akan tetapi ia hendak melihat dulu dan tidak akan mencampuri kalau tidak perlu sekali. Maka ia pun ikut dengan para hwesio itu turun lagi dari lereng untuk menyambut datangnya rombongan Kim-san-pai.

Kalau dua pihak yang bermusuhan dan di dalam hati telah mengandung dendam dan benci saling bertemu, sukarlah untuk mengharapkan kata-kata yang baik dan suasana menjadi panas sekali dan hal ini dapat dimaklumi. Para hwesio Bu-tong-pai ketika melihat tujuh orang tosu naik ke puncak Bu-tong-pai sambil mempergunakan ilmu lari cepat, sudah menduga salah dan menuduh mereka itu sengaja memamerkan kepandaian mereka dalam ilmu lari cepat!

Kini kedua rombongan itu sudah saling berhadapan.

"Tosu-tosu sombong kalian berani naik ke sini mau apa?" tegur seorang hwesio Bu-tong-pai. Semua hwesio Bu-tong-pai telah mencabut pedang dan bersiap sedia memandang kepada para tosu itu dengan penuh curiga.

Para tosu Kim-san-pai melihat sikap bermusuh dari hwesio-hwesio Bu-tong-pai itu pun merasa tersinggung dan tak senang. Apalagi kalau mereka lihat bahwa hwesio-hwesio yang menyambut mereka dengan sikap kurang ajar dan bermusuh ini bukanlah hwesio-hwesio tingkat tinggi, melainkan hwesio tingkat rendah saja. Yang datang adalah dua orang sute dari Ketua Kim-san-pai bersama lima orang hwesio tingkat tinggi, ini merupakan rombongan orang-orang terkemuka dari Kim-san-pai. Akan tetapi kedatangan mereka disambut secara kasar oleh hwesio-hwesio tingkat rendah. Benar-benar hal ini merupakan penghinaan bagi Kim-san-pai.

Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, dua orang sute Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai mengerutkan kening. Thian Lok Cu adalah seorang tosu yang berwatak keras. Melihat sikap para hwesio itu ia lalu melangkah maju dan berkata nyaring,

"Sobat-sobat gundul ketahuilah bahwa kami datang untuk bertemu dengan Lo Beng Hosiang, bukan untuk ribut mulut dengan kalian. Lekas kalian laporkan kedatangan kami kepada Lo Beng Hosiang atau kalian menyingkir agar kami dapat naik sendiri ke kuil Bu-tong-pai!"

"Tosu sombong! Macam kalian ini mau bertemu dengan guru besar kami? Kalau ada keperluan, lekas beritahu kepada kami, kalau tidak lebih baik kalian lekas-lekas pergi dari sini sebelum kami terpaksa mendorong kalian menggelundung turun!" kata seorang hwesio yang pernah menjadi pecundang dalam sebuah pertempuran dengan anak murid Kim-san-pai beberapa hari yang lalu.

Suasana menjadi makin panas ketika serombongan hwesio turun pula dari atas. Mereka ini sebagian besar adalah hwesio-hwesio tingkat rendah yang paling merasa "dendam" kepada pihak Kim-san-pai maka ramailah mereka mengeluarkan kata-kata menantang. Para tosu Kim-san-pai juga sudah mencabut pedang, takut kalau-kalau para hwesio yang amat banyak itu menyerbu dengan tiba-tiba. Thian Lok Cu menggerak-gerakkan tangannya sambil membentak,

"Hwesio-hwesio tidak tahu aturan, apakah kalian hendak mengeroyok kami?"

Seorang hwesio bermuka hitam melompat keluar dan melintangkan toya di depan dadanya. Hwesio ini adalah Twi Kang Hwesio, murid termuda dari Lo Beng Hosiang, sifatnya jujur dan berangasan, tidak mau kalah. Ia sudah marah sekali mendengar kata-kata Thian Lok Cu tadi, maka katanya dengan suara menggeledek,

"Tosu bau! Masa untuk menghadapi seorang Kim-san-pai saja harus dilakukan keroyokan? Pinceng sendiri sudah cukup mencegah kau naik dan membikin ribut. Hayo turun, atau kau berani menghadapi toyaku ini?" Diamang-amangkan toyanya di depan muka Thian Lok Cu.

"Keparat gundul, kami datang dengan maksud baik, kalian sengaja mengajak pibu? Baik, baik, jangan kira Kim-san-pai tidak mempunyai orang lihai. Kalau aku kalah olehmu, aku akan kembali ke Kim-san-pai dan belajar sepuluh tahun lagi."

Tak dapat dicegah pula, pertempuran hebat pasti akan terjadi. Melihat hal ini, Thian Hok Cu yang lebih tua dan lebih sabar daripada Thian Lok Cu, menggoyang-goyang tangan dan berkata,
"Sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai, harap tenang dan sabar. Lebih baik melaporkan kepada Lo Beng Hosiang bahwa kami hendak bertemu bukan mencari keributan di sini."

Akan tetapi suasana yang sudah panas itu mana bisa dibikin dingin oleh Thian Hok Cu yang tidak pandai bicara? Seorang hwesio tinggi kurus yang memegang pedang, yakni suheng dari Twi Kang Hwesio, yang bernama Lu Pek Hwesio, melangkah maju menghadapi Thian Hok Cu sambil berkata,
"Tosu, kalau kau tidak berani menerima tantangan pibu, lebih baik kau pulang saja dan jangan berlagak pula di sini. Ingat bahwa di sini adalah tempat kami!"

Terdengar suara seorang hwesio dari belakang, "'Ha, satu lawan satu saja dia sudah ketakutan. Lihat mukanya pucat seperti mayat, ha, ha. Tosu pengecut!"

Memang Thian Hok Cu mempunyai muka yang pucat kuning, maka sindiran ini benar-benar menyakitkan hatinya.

Thian Lok Cu berkata kepada suhengnya,
"Suheng, apakah kita harus diamkan saja orang-orang hutan ini menghina partai kita? Sedikitnya kita harus menjaga nama baik Kim-san-pai. Mari kita layani tantangan pibu mereka."

Didesak seperti itu, akhirnya Thian Hok Cu kehilangan kesabaran pula. Ia memandang kepada rombongan hwesio dan berkata,
"Biarlah kami berdua layani tantangan pibu kalian. Akan tetapi kalau kami menang, kami harus boleh naik menemui Lo Beng Hosiang!"

Twi-Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio sudah siap sedia. Twi Kang Hwesio Si muka hitam menghadapi Thian Lok Cu dan berkata,
"Menang kalah masih belum tentu mengapa ribut-ribut? Kalau kalian bisa menangkan kami, tentu saja kalian boleh lakukan apa yang kalian suka, siapa berani menghalang? Siaplah dan lihat senjata!"

Sambil berkata begini, toyanya menyelonong ke depan melakukan serangan pertama. Dengan mudah Thian Lok Cu menangkis, dan terjadilah pertempuran sengit antara Thian Lok Cu melawan Twi Kang Hwesio dan Thian Hok Cu yang bertempur melawan Lu Pek Hwesio. Berbeda dengan sutenya yang main toya, Lu Pek Hwesio bermain pedang dan pertempuran ini lebih ramai. Suara senjata bertemu senjata terdengar nyaring menegangkan hati, berkelebatnya sinar senjata menambah keseraman pertempuran itu.

Liem Sun Hauw semenjak tadi hanya menonton, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia diberi tugas untuk mendamaikan pertikaian antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, dan sekarang ia menjadi saksi pertempuran antara kedua partai itu! Kalau ia turun tangan keadaannya tak akan menjadi lebih baik, pikirnya. Suasana sudah terlalu panas dan kedua pihak sudah marah sekali. Kalau ia datang memisah, belum tentu mereka suka menurut, bahkan dia sendiri mungkin akan dimusuhi oleh kedua pihak! Ia telah mendapat kesan baik tentang Bu-tong-pai dan kesan buruk tentang Kim-san-pai, dan sekarang ia lihat bahwa pertempuran itu adalah sebuah pibu yang adil, maka ia menjadi serba salah dan hanya menonton di pinggir.

Tak lama kemudian ternyata bahwa kepandaian dua orang tosu Kim-san-pai itu masih lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Twi Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio. Hampir bersamaan waktunya, dua orang hwesio itu roboh dengan menderita luka-luka ringan, terkena tusukan dan babatan pedang dua orang tokoh Kim-san-pai itu.

Para hwesio Bu-tong-pai menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan lebih dari lima puluh orang hwesio ini agaknya hendak menyerbu, mengeroyok tujuh orang tosu Kim-san-pai. Melihat hal ini, Liem Sun liauw cepat melompat ke tengah, mendahului para hwesio itu dan menghadapi Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu.

"Ji-wi totiang harap mundur saja dan jangan lanjutkan maksud naik ke puncak," katanya nyaring.
Para hwesio yang melihat pemuda utusan Ketua Go-bi-pai itu maju, berhenti bergerak dan menjadi besar hati. Mereka tahu akan kelihaian utusan Go-bi-pai ini maka diam-diam mereka hanya memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Adapun Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, setelah mendapat kemenangan, tentu saja tidak mau mundur. Mereka menganggap amat tidak adil kalau pihak yang menang bahkan harus mundur! Bukankah tadi sudah dijanji bahwa karena mereka menang, mereka akan diperkenankan menemui Lo Beng Hosian?

"Kau ini siapakah dan ada hak apakah akan melarang kami?" Thian Lok Cu membentak marah.
Liem Sun Hauw tersenyum. "Totiang, siauwte sekali-kali bukan melarang, hanya siauwte anggap jauh lebih baik menghindari pertengkaran yang makin menghebat daripada berkeras kepala."

"Kami sudah menang, kau mau apa? Kalau masih ada yang penasaran, boleh coba-coba. Kami selalu sedia melayani, asal jangan dilakukan pengeroyokan secara pengecut!" kata pula Thian Lok Cu. Sun Hauw mengerutkan kening. Sikap yang diperlihatkan oleh tosu ini sama sekali tidak baik, pikirnya. Sikap yang seperti inilah yang memperbesar permusuhan yakni sikap tidak mau mengalah dan keras kepala. Tosu ini menganggap diri sendiri paling pandai, dan kiranya perlu diberi hajaran. Demikian Sun Hauw berpikir.

Kalau sampai terjadi pertempuran keroyokan, kiranya tujuh orang tosu ini akan berbahaya sekali keselamatan jiwa mereka, daripada pertempuran keroyokan lebih baik dia turun tangan dulu mengusir mereka turun gunung.

"Totiang, kau memang keras kepala dan mengira di dunia ini kau sendiri yang paling kuat. Aku ingin sekali mencoba-coba!" Sambil berkata demikian, Sun Hauw mengeluarkan pedangnya dan berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.

Thian Lok Cu mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya, bergerak dan ia sudah mulai menyerang sambil berseru,

"Bocah lancang, lihat pedang!"

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pemuda itu menangkis, Thian Lok Cu merasa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang besar. Kemudian ia menjadi lebih kaget dan heran lagi menyaksikan ilmu pedang yang cepat dan ganas, jauh bedanya dengan ilmu pedang Bu-tong-pai!

Akan tetapi ia tidak sudi mundur dan melawan dengan gerakan cepat dan nekat. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari pemuda tampan ini lihai sekali. Setelah tiga puluh jurus lebih bertempur dengan sengit dan seru, akhirnya dengan mengeluarkan jurus yang hebat, yakni jurus yang disebut Sin-rno-sam-bu (Payung Sakti Memutar Tiga Kali), Sun Hauw berhasil merobohkan Thian Lok cu.

Jurus ini sebetulnya bukan ilmu pedang Go-bi-pai, melainkan ilmu pedang Thian Mo Siansu yang disamping memiliki ilmu silat Go-bi-pai juga memiliki ilmu sliat lihai dari orang-orang sakti sehingga Thian Mo Siansu dapat menciptakan ilmu pedang tersebut.

Dengan pedang diputar merupakan bundaran sehingga nampaknya seperti orang memakai payung, Sun Hauw berhasil melukai kedua pundak Thian Lok Cu sehingga tosu itu roboh tak dapat bangun lagi. Kawan-kawannya menolongnya dan Thian Hok Cu melompat maju dengan pedang di tangan.

"Anak muda, pinto lihat ilmu pedangmu bukan dari Bu-tong-pai, kau agaknya masih menjadi anak murid Go-bi-pai, mengapa kau mencampuri urusan kami? Apakah Twi Mo Siansu mengajarmu untuk menjadi orang yang usil dan suka mencampuri urusan orang lain?"

Mendengar ini, Liem Sun Hauw kaget. Ternyata tosu ini dapat mengenal ilmu pedang dan agaknya kenal pula kepada Ketua Go-bi-pai, susioknya Twi Mo Siansu. Cepat ia menjura memberi hormat dan berkata,

"Totiang, harap maafkan. Memang siauwte anak murid Go-bi-pai yang datang untuk mendamaikan urusan antara Bu-tong-pn dan Kim-san-pai. Akan tetapi sayang sekali Totiang dan kawan-kawan Totiang datang mengacaukan keadaan dan memperbesar permusuhan. Oleh karena itu, siauwte harap Totiang sudi pulang saja ke Kim-san-pai dan lain hari siauwte akan datang minta rnaaf kepada Ketua Kim-san-pai."

"Bocah sombong, kaukira pinto takut kepadamu? Kau bilang datang untuk mendamaikan urusan, akan tetapi kau bahkan melukai suteku! Kalau kau mau menjadi jago undangan Bu-tong-pai, mari kita coba-cobal" Sambil berkaia demikian, Thian Hok Cu menyerang dengan pedangnya. Tosu ini tentu saja tidak mau mengalah karena keadaan sudah seperti itu. Sutenya terluka dan kalau ia mengundurkan diri begitu saja, sikapnya ini bersifat pengecut sekali.

Sun Hauw menarik napas panjang dan terpaksa melayani. Sebetulnya ia tidak suka berkelahi dengan tosu-tosu Kim-san-pai dan kalaupun bertempur, ia tidak suka melukai mereka. Akan tetapi, kepandaian tosu ini sudah tinggi dan sukarlah baginya mencapai kemenangan tanpa melukainya. Ia hanya menang sedikit, menang dalam hal ilmu pedang, maka seperti juga tadi, terpaksa ia membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah lihainya.

Pertempuran kedua ini lebih hebat daripada tadi, kedua pihak nampak berimbang dan sama kuatnya. Para hwesio Bu-tong-pai dan para tosu Kim-san-pai menonton pertempuran itu sambil menahan napas. Tentu saja di dalam hati, masing-masing pihak menjagoi jago sendiri. Di pihak Bu-tong-pai yang hadir di situ, pemuda Go-bi-pai ini merupakan orang terpandai, demikian pula di pihak Kim-san-pai yang berada di situ, Thian Hok Cu merupakan jago terlihai.

Oleh karena itu, pertempuran ini merupakan pertempuran terakhir yang menentukan. Kalau pihak Kim-san-pai kalah, berarti tidak ada yang akan berani maju lagi dan mereka harus turun gunung. Sebaliknya, andaikata pemuda itu kalah, tentu hwesio Bu-tong-pai akan lari naik dan melaporkan hal ini kepada guru besar mereka.

Akan tetapi, akhirnya ternyata pula bahwa Liem Sun Hauw lebih unggul. Pemuda ini telah mewarisi ilmu silat yang aneh-aneh dari gurunya, yakni Thian Mo Siansu, siapa sudah pernah menerima latihan oleh kakek sakti Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, akhirnya Thian Hok Cu terpaksa harus mengakui keunggulan Sun Hauw dan tosu ini roboh pula oleh babatan pedang pada paha dan pukulan tangan kiri pada dadanya. Sun Hauw terpaksa merobohkannya dengan cara ini karena kalau tidak, kiranya dia sendiri yang akan termakan oleh pedang Thian Hok Cu yang lihai.

Demikianlah, para hwesio Kim-san-pai bersorak-sorak girang dan para tosu yang tinggal lima orang itu lalu memondong tubuh susiok mereka dan berlari turun gunung. Adapun para hwesio Bu-tong-pai lalu mengantar Sun Hauw naik ke puncak di mana ia disambut oleh Lo Beng Hosiang yang mengerutkan keningnya ketika mendengar apa yang telah terjadi. Hwesio tua ini menggeleng-geleng kepalanya dan berkata penuh sesal,

"Ah, mengapa terjadi hal seperti itu di lereng sini dan tak seorang pun memberi laporan kepada pinceng? Kalau pinceng tahu sejak tadi, tentu pinceng akan mencegah terjadinya pertempuran."

"Mereka terlalu menghina, Suhu," kata seorang hwesio. "Dua orang Suheng telah roboh terluka dan kiranya teecu semua takkan ada yang dapat melawan dan terpaksa menelan hinaan orang-orang Kim-san-pai kalau saja Liem-enghiong ini tidak keburu datang menolong dan membersihkan nama kita."

Lo Beng Hosiang memandang kepada pemuda tampan yang hadir di situ dan tadi memberi hormat kepadanya.

"Sicu dari manakah?" tanyanya singkat.

"Teecu bernama Liem Sun Hauw, anak murid Go-bi-pai. Teecu diutus oleh Susiok Twi Mo Siansu untuk menghadap Locianpwe dan untuk berusaha mendamaikan pertikaian yang terjadi antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Susiok berpesan bahwa semua ini adalah atas usul desakan Sin-taihiap Bu Pun Su yang menghendaki agar pada waktu sekarang ini kita melupakan segala kesalahpahaman dengan golongan sendiri, menghimpun persatuan guna membela negara dan melindungi rakyat dari ancaman perang.

"Karena hal itu, Susiok lalu menunjuk teecu untuk datang ke sini. Dan kebetulan sekali tadi teecu melihat pertempuran antara serombongan tosu Kim-san-pai dengan para hwesio di sini. Teecu sudah berusaha memisah, memohon kepada tosu-tosu Kim-san-pai untuk pulang, akan tetapi siapa kira, mereka itu berkeras memperlihatkan kepandaian, sehingga terpaksa teecu menghadapi mereka. Selanjutnya mohon petunjuk Locianpwe, bagaimanakah pendapat Locianpwe dan usaha apa yang kiranya dapat dilakukan untuk mendamaikan pertikaian ini."

Lo Beng Hosiang menghela napas lagi.

"Kau datang hendak mendamaikan urusan, akan tetapi kau bahkan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Bagaimana ini?"

"Teecu bertanggung jawab sepenuhnya akan hal ini" jawab Sun Hauw gagah. "Teecu akan datang ke Kim-san-pai dan akan teecu jelaskan kepada Ketua Kim-san-pai disertai permintaan maaf."

"Bagus, seorang laki-laki harus berani memikul akibat dari perbuatannya sendiri. Sayang kedua orang muridku Kang Bok Sian dan Kang Ek Sian sudah turun gunung, kalau mereka masih ada di sini, biarpun mereka itu bukan orang-orang yang menggunduli kepala mereka kiranya takkan terjadi keributan-keributan ini." Lo Beng Hosiang menulis sepucuk surat kepada Thian Beng Cu, memanggil murid kepalanya, yakni hwesio gemuk pendek Ki Keng Hosiang dan menyuruh muridnya ini membawa surat dan membawa semua hwesio yang pernah melakukan pertempuran dengan pihak Kim-san-pai, bersama Liem Sun Hauw menuju ke Kim-san!

"Serahkan surat pinceng ini kepada Thian Beng Cu, sampaikan salamku dan serahkan pula semua anak murid Bu-tong-pai yang pernah bertempur. Katakan kepada Thian Beng Cu bahwa dia boleh menghukum anak-anak murid Bu-tong-pai ini sebagai seorang paman guru!"

Liem Sun Hauw memuji kebijaksanaan Guru Besar Bu-tong-pai ini yang hendak melenyapkan permusuhan sekaligus dengan jalan menyuruh semua anak muridnya datang ke Kim-san-pai menerima hukuman. Demikianlah Liem Sun Hauw lalu pergi ke Kim-san-pai bersama anak murid Bu-tong-pai itu dan seperti telah dituturkan di bagian depan, rombongan ini ketika sampai di lereng Bukit Kim-san, disambut oleh Ang I Niocu!

***

Liem Sun Hauw ketika melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, menjadi terkejut, heran dan girang sehingga ia menyapanya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang I Niocu sebaliknya menyindirnya, mengatakan pemuda ini menjadi "jago" pihak Bu-tong-pai dan bermaksud untuk menghina Kim-san-pai. Liem Sun Hauw menolak semua tuduhan itu dan menyatakan bahwa ia pun bertugas sama, yaitu mendamaikan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, tetapi Ang I Niocu marah bukan main.

Marah karena sekarang ia tahu bahwa pemuda tampan ini adalah pemuda yang diusulkan oleh almarhum ayahnya untuk menjadi calon suaminya! Pemuda yang dicap menjadi penyebab kematian kekasihnya, Gan Tiauw Ki beserta kematian ayahnya. Ang I Niocu menahan-nahan nafsu marahnya dan hanya memaki Sun Hauw dengan kata-kata pedas,

"Kau bilang hendak mendamaikan, tetapi mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke Bu-tong-san? Mengapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?"

Sun Hauw seperti orang tuli. Ia tidak memperhatikan semua kata-kata itu dan sepasang matanya seperti kena hikmat, menatap bibir indah yang berkata-kata tanpa berkedip. Kecantikan Ang I Niocu yang luar biasa itu benar-benar membikin Sun Hauw seperti gila. Apalagi kalau ia ingat betapa ayah dari gadis jelita ini telah memilihnya menjadi calon mantu!

"Jawab pertanyaanku!" Ang I Niocu membentak marah, mukanya agak merah karena ia maklum apa artinya pemuda itu menjadi termenung seperti patung.

Adapun tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang terpilih sebagai orang-orang bertanggung jawab dalam pertikaian terhadap Kim-san-pang adalah hwesio-hwesio yang tingkatnya sudah tinggi, yakni anak murid Lo Beng Hosiang sendiri. Mendengar desakan Ang I Niocu kepada Liem Sun Hauw, seorang diantara mereka membela Sun Hauw yang kelihatannya "mati kutunya" menghadapi nona baju merah itu.

"Ang I Niocu, harap jangan salah sangka terhadap Liem-sicu. Dia ini betul-betul penolong kami dan bermaksud baik...."

"Siapa menyangkal bahwa dia itu penolong Bu-tong-pai? Akan tetapi sekali-kali aku tak percaya dia ini menjadi pendamai! Menolong sepihak memusuhi pihak lain sama sekali bukan sifat seorang pendamai, karena dia berat sebelah dan menghina orang mengandalkan kepandaiannya yang ia kira tidak ada keduanya di kolong langit! Aku datang sebagai pendamai antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, sudah pasti sekali aku tidak mau menghina Bu-tong-pai juga tidak mau memusuhi Kim-san-pai."

Liem Sun Hauw menjadi serba salah dan memang kepandaian kata-katanya sudah lenyap entah ke mana setelah ia berhadapan dengan Ang I Niocu. Dalam pandangannya, segala gerak-gerik Ang I Niocu menarik hati dan menambah kemanisan dan kecantikannya. Kini dimarahi oleh Ang I Niocu, ia hanya tundukkan mukanya yang sebentar merah sebentar pucat, seperti seorang anak nakal dimarahi oleh ibunya.

"Li-hiap, untuk meredakan permusuhan, pinceng sekalian datang ke sini, hendak menghadap Locianpwe Thian Beng Cu, dan Liem-sicu yang bertugas sebagai pendamai dari Go-bi-pai, ikut sebagai perantara," kembali hwesio itu membela Sun Hauw.

"Losuhu bertujuh kalau hendak menghadap Ketua Kim-san-pai untuk menjernihkan suasana, hal itu amat baik dan patut dipuji, dan memang demikianlah seharusnya kalau orang hendak memperbaiki hubungan satu sama lain. Aku pun sedang hendak berangkat menemui Lo Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi orang she Liem ini biar di sini jangan ikut masuk, dia tidak akan mendamaikan urusan bahkan mungkin akan mengacau lagi!"

"Niocu harap kau suka maafkan aku..." akhirnya Sun Hauw dapat bicara kembali setelah menenteramkan hatinya yang berguncang.

"Memang aku sudah berlaku terburu nafsu dan melukai dua orang tosu Kim-san-pai dalam pibu yang terjadi di Bu-tong-san. Oleh karena itu maka kedatanganku ini pun hendak memohon ampun kepada Locianpwe Thian Beng Cu dan bersama para Suhu ini hendak menyerahkan diri menerima hukuman. Sekarang baru Niocu saja sudah tidak dapat memaafkan, apalagi para tosu Kim-san-pai. Biarlah kalau begitu kau bunuh saja aku untuk menebus dosaku terhadap Locianpwe Sin-tai-hiap Bu-Pun Su..." Sambil berkata demikian, Sun Hauw melolos pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Ang I Niocu.

Gadis itu tidak mau menerima pedang, agak heran dan terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama Bu Pun Su.

"Mengapa pula kau menyebut-nyebut nama Susiok-couw Bu Pun Su?" tanyanya wajar.

"Sesungguhnya, tugasku ini adalah kehendak Sin-tai-hiap Bu Pun Su yang menyampaikan pesannya kepada Susiok Twi Mo Siansu melalui utusannya, yakni Lo-enghiong Kiang Liat yang akhirnya menjadi sahabat baikku. Aku dipilih oleh Susiok untuk mengerjakan tugas ini, tidak tahunya karena kebodohanku aku bahkan memburukkan keadaan. Kalau Sin-taihiap Bu Pun Su mendengar akan hal ini, apakah aku dapat diampuni, lagi? Kalau Kiang Lo-enghiong yang baik hati dan mulia itu mendengar, bukankah aku bisa mati saking karena malu"

Tentu saja Sun Hauw sengaja menyebut-nyebut nama Bu Pun Su dan Kiang Liat untuk mengambil hati gadis yang kecantikannya telah merobohkan hatinya itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa semua kata-katanya itu bahkan merupakan garam yang diulaskan pada luka di dalam hati Ang I Niocu, mendatangkan rasa perih dan sakit karena mengingatkan ia akan semua peristiwa duka yang dialaminya. Hal ini bahkan menambah kebenciannya terhadap Sun Hauw sehingga kalau mungkin di saat itu juga ia memenggal leher pemuda itu.

Akan tetapi pada saat itu, dari puncak bukit datang Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai, diiringi oleh tosu-tosu muridnya, merupakan rombongan yang keren dan agung. Para tosu Kim-san-pai yang berada di situ cepat memberi hormat kepada ketua mereka.

Dengan air muka tenang dan ramah, Thian Beng Cu memandang kepada para hwesio Bu-tong-pai yang tujuh orang itu, melempar pandang tak acuh kepada Sun Hauw, lalu berkata kepada para hwesio itu,

"Cu-wi Suhu dari Bu-tong-pai, harap tidak kecil hati kalau pinto terlambat menyambut. Pesan apakah yang Cu-wi bawa dari sahabat Lo Beng Hosiang?"

Melihat sikap dan mendengar kata-kata Ketua Kim-san-pai ini, para hwesio Bu-tong-pai menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri dan heran mengapa Ketua Kim-san-pai yang selama ini disangka sombong, ternyata seorang kakek yang baik hati dan ramah tamah. Serta merta mereka berlutut memberi hormat. Kakek Kim-san-pai itu sudah begitu merendahkan diri, maka kini tanpa ragu-ragu lagi para hwesio Bu-tong-pai maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang tua yang berhati mulia dan tunduklah mereka.

Ki Keng Hosiang, pendeta gemuk pendek yang memimpin rombongan Butong-pai itu, lalu berkata, "Teecu bertujuh menerima titah Suhu untuk menghadap kepada Susiok, selain untuk menyerahkan surat dan menyampaikan salam dari Suhu, juga teecu yang telah melakukan banyak dosa menghina saudara-saudara dari Kim-san-pai, sengaja datang menyerahkan diri untuk menerima hukuman."

Thian Beng Cu menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya dan wajahnya nampak gembira sekali dan kalau diperhatikan orang akan melihat sepasang matanya menjadi basah.

"Gurumu Lo Beng Hosiang seorang bijaksana, kalian tidak salah apa-apa, bahkan saudara-saudara mudamu dari Kim-san-pai yang keliru. Kesinikan surat dari suhumu agar pinto dapat
segera mengetahui petunjuk apa yang diberikan kepada pinto yang bodoh."
Pada saat itu, Liem Sun Hauw yang merasa terharu menyaksikan pertemuan tokoh-tokoh dari kedua pihak yang saling mengalah, merasa malu terhadap Thian Beng Cu yang ternyata seorang kakek yang begitu halus dan baik hati. Ia pun lalu, berlutut dan berkata,

"Locianpwe, teecu Liem Sun Hauw utusan dari Go-bi-pai, karena cupat pengetahuan dan lancang, telah salah tangan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Sekarang teecu sudah insyaf akan kesalahan sendiri dan menghadap untuk menerima hukuman."

Thian Beng Cu menunda niatnya membaca surat dari Lo Beng Hosiang, memandang kepada Liem Sun Hauw dan mengangguk-angguk.

"Anak murid Go-bi-pai memang amat mengagumkan, begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi, dan berani pula bertanggung jawab atas perbuatannya. Liem-sicu, kalau kau tidak datang mengakui kesalahanmu, memang nama baik Go-bi-pai akan tercemar, akan tetapi dengan pengakuanmu ini, segala apa sudah beres. Di dalam pibu, kalah menang sudah lumrah, terluka atau tewas bukan hal aneh. Antara kau atau Go-bi-pai dengan kami tidak ada urusan apa-apa, habis sampai di sini saja."

Sun Hauw menjadi girang sekali, akan tetapi kata-kata itu membuat ia makin tunduk dan malu. Thian Beng Cu lalu membuka surat dari Lo Beng Hosiang. Selain permintaan maaf bagi murid-muridnya, di dalam surat itu Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa tentang pembunuhan atas diri Lai Tek, sesungguhnya bukanlah perbuatan anak murid Bu-tong-pai, dan menurut dugaan Lo Beng Hosiang, tentu dilakukan oleh pihak ke tiga yang ingin mengadu-dombakan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Oleh karena itu, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa penjahat atau pihak ke tiga inilah yang harus dicari.

Thian Beng Cu menghadapi Ang I Niocu yang masih berdiri di situ. Gadis ini ketika melihat betapa para hwesio mengaku salah dan betul-betul datang hendak menerima hukuman, juga menjadi girang dan terharu. Tak disangkanya bahwa tugasnya selesai dengan demikian mudahnya, apalagi ketika ia melihat Sun Hauw juga menerima salah dan rela dihukum, kebenciannya terhadap pemuda ini agak berkurang.

"Ang I Niocu, kau sebagai utusan Sin-taihiap Bu Pun Su, kau telah mendengar dan melihat sendiri keadaan anak-anak murid Bu-tong-pai yang ternyata jauh lebih baik daripada anak-anak murid Kim-san-pai. Oleh karena kedatangan mereka inilah, maka segala kesalahpahaman telah dapat dibikin beres dan dihabiskan sampai di sini saja. Di dalam suratnya ini, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa pihak Bu-tong-pai betul-betul tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap diri Lai Tek, dan menduga bahwa tentu ada pihak ke tiga yang melakukan perbuatan itu untuk mengadu domba antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tidak tahu bagaimanakah baiknya kalau menurut pendapat Niocu?"

"Soalnya sudah jelas bahwa memang tentu ada penjahat yang membunuh Lai Tek dan berbuat seolah-olah yang melakukan hal itu dari pihak Bu-tong-pai. Akan tetapi, perbuatan penjahat itu lebih banyak mendatangkan kerugian kepada Bu-tong-pai daripada kepada Kim-san-pai. Lai Tek anak murid Kim-san-pai tewas sebagai orang gagah dan tidak ada kecewanya, sebaliknya dengan perbuatan itu, nama baik Bu-tong-pai tercemar. Oleh karena itu, menurut pikiranku, sudah menjadi kewajiban Bu-tong-pai untuk menyelidiki hal ini dan menangkap pembunuhnya. Biarpun begitu, demi kebaikan kembali hubungan antara kedua partai yang sudah menjadi tugas yang kupikul menurut perintah Susiok-couw, aku akan berusaha pula untuk membongkar rahasia ini dan membekuk penjahatnya."

Sun Hauw melompat berdiri, menjura kepada Thian Beng Cu, lalu menghadapi Ang I Niocu sambil berkata cepat,

"Niocu, cocok sekali petunjukmu tadi. Memang sudah seharusnya Bu-tong-pai mencuci bersih namanya dari perbuatan terkutuk penjahat yang membunuh Lai Tek itu. Dan untuk pekerjaan ini, biarlah aku yang akan melakukannya. Aku telah berlaku lancang dan biar pun aku diberi tugas menjernihkan suasana antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, ternyata aku bahkan mengeruhkan suasana. Sekarang ada pekerjaan ini, biar aku yang diwajibkan, hutang-hutang menebus dosaku!"
Ang I Niocu memandang kepada pemuda itu dengan tajam dan diam-diam ia harus akui bahwa Liem Sun Hauw adalah seorang pemuda yang bersemangat dan gagah. Pantas saja ayahnya suka kepada pemuda ini dan hendak menjodohkannya dengan aku, pikirnya. Kebenciannya terhadap pemuda itu makin berkurang saja.

"Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe menyetujui kalau teecu yang mencoba untuk menangkap penjahat pembunuh Lai Tek-enghiong itu?" Sun Hauw bertanya kepada Thian Beng Cu dengan suara mendesak.

Thian Beng Cu mengangguk-angguk dan tersenyum. "Liem-sicu, kau memang gagah dan kiranya tepat kalau kau yang mencarinya. Untuk hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ang I Niocu tadi, pinto serahkan saja kepada pihak Bu-tong-pai. Pinto hanya bisa menyampaikan terima kasih atas maksudmu yang mulia ini, Liem-sicu."

"Kalau begitu, perkenankan teecu berangkat sekarang untuk membekuk batang leher pembunuh Lai Tek-enghiong!" kata Sun Hauw penuh semangat sambil mengerling kepada Ang I Niocu.

Tiba-tiba terdengar suara orang, lemah-lembut terdengarnya, "Tidak usah, tidak usah... penjahat itu telah tertangkap...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di situ berdiri seorang tosu yang usianya kurang lebih lima puluhan tahun, gerak-geriknya halus dan sinar matanya tajam berpengaruh.

"Eng Yang Cu-sute... kau baru datang...?" kata Thian Beng Cu dengan suara girang. "Dan betulkah penjahat itu telah tertangkap?"

Tosu itu yang bukan lain adalah Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai yang menjadi sute termuda dari Thian Beng Cu dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada tokoh-tokoh Kim-san-pai lainnya, akan tetapi yang selalu merantau, memberi hormat kepada suhengnya lalu berkata,

"Memang betul, penjahat itu bukan lain adalah Siang-hek-pian (Sepasang Pian Hitam) Bwee Cat. Seperti Suheng tentu masih ingat, Siang-hek-pian Bwee Cat pernah memusuhi Kim-san-pai dan pernah jatuh oleh siauwte. Agaknya ia mengandung dendam sakit hati dan melihat salah paham yang timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, ia turun tangan, menewaskan muridku Lai Tek kemudian mempergunakan nama Bu-tong untuk mengadu domba."

"Sute yang baik, bagaimana kau bisa mengetahui ini semua dan bagaimana kau bilang bahwa dia itu sudah tertangkap?" tanya Thian Beng Cu dengan girang, sedangkan wajah Liem Sun Hauw menjadi muram sekali mendengar bahwa penjahat yang rnenjadi biang keladi pertikaian itu telah tertangkap.

"Dalam perantauan siauwte mendengar tentang pertikaian Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai dan siauwte mendengar pula sebab-sebab pertikaian itu, Siauwte tidak percaya bahwa Bu-tong-pai akan berlaku sekeji itu, maka siauwte teringat akan Siang-hek-pian Bwee Cat. Kalau ada orang yang hendak mencelakakan Kim-san-pai, kiranya hanya penjahat itulah yang menaruh dendam dan pernah menjadi pecundang.

Siauwte lalu mencarinya dan setelah berjumpa, betul saja dia yang melakukan pembunuhan terhadap Lai Tek, katanya untuk memancing siauwte supaya mencarinya. Kami bertempur dan ternyata selama ini ia telah mempertinggi ilmunya sehingga hampir saja siauwte kalah dan celaka dalam tangannya. Tidak heran apabila Lai Tek mudah saja ia tewaskan, tidak tahunya penjahat itu telah berguru lagi semenjak kalah di Kim-san-pai. Masih baik nasib siauwte, pada saat itu datang dua orang bersaudara, yakni Kang Bok Sian dan Kang Eng Sian. Dua orang pendekar muda ini ternyata adalah anak murid Bu-tong-pai dan mereka pun mendengar pula tentang pertikaian antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

Dari orang-orang kang-ouw mereka mendengar tentang Siang-hek-pian Bwee Cat yang menyombongkan perbuatannya, yakni membunuh Lai Tek murid Kim-san-pai. Karena dua orang saudara Kang yang gagah perkasa itu telah mendengar pula akan sebab pertikaian kedua partai mereka lalu mengerti bahwa biang keladinya adalah Bwee Cat dan mencarinya. Kebetulan sekali siauwte terdesak dan mereka berdua turun tangan membantu. Barulah penjahat itu dapat dirobohkan, sayang sekali dalam keadaan tewas sehingga tidak mungkin siauwte seret ke sini untuk membuat pengakuan."

Thian Beng Cu menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian ia menoleh kepada para anak muridnya dan kepada tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang berada di situ, lalu berkata dengan suaranya yang halus berpengaruh,

"Kalian murid-murid Kim-san-pai dan murid-murid Bu-tong-pai dengarlah baik-baik. Penuturan suteku Eng Yang Cu ini menjadi cermin bagi kalian. Kalian yang berada di sini, ribut-ribut saling menuduh dan saling menyerang, menurutkan hati panas. Sebaliknya Eng Yang Cu dan dua orang saudara Kang sebagai murid-murid Kim-san-pai dan Bu-tong-pai yang jauh dari sini, bahkan sudah bekerja sama untuk menangkap penjahat. Murid-murid Kim-san-pai, kalian tirulah sikap susiok kalian ini dan murid-murid Bu-tong-pai harap meniru perbuatan kedua saudara Kang yang gagah perkasa."

Sementara itu, Liem Sun Hauw lalu berkata kepada Thian Beng Cu dengan muka muram,
"Locianpwe, ternyata bahwa teecu seorang yang tidak ada gunanya sama sekali, kalau lebih lama di sini hanya akan mengotorkan tempat saja. Mohon maaf sebanyaknya dan perkenankan teecu pergi. Cuwi Suhu dari Bu-tong-pai, tolong sampaikan hormatku kepada Locianpwe Lo Beng Hosiang di Bu-tong-pai. Nona Ang I Niocu, aku sudah banyak melakukan kesalahan terhadapmu, maaf..." Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Liem Sun Hauw melompat dan pergi dari situ, berlari turun dari lereng Bukit Kim-san-pai.

Semua orang memandang dengan bengong dan diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda tampan dan gagah itu yang sebetulnya bukan bertindak salah, hanya kurang teliti dan kurang hati-hati.

"Saudara Liem, tunggu dulu!" Ang I Niocu berseru dan di lain saat ia sudah melompat sambil berkata, "Totiang, maafkan aku tak dapat lebih lama lagi tinggal di sini!" Sebelum Ketua Kim-san-pai menjawab, tubuhnya sudah lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebat dan meluncur turun gunung.

"Siapa mereka itu?" tanya Eng Yang Cu kagum sekali melihat kehebatan dua orang muda itu.
"Yang pertama adalah Liem Sun Hauw, murid mendiang Thian Mo Siansu dari Go-bi-pai untuk mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Yang ke dua tadi adalah Ang I Niocu, puteri dari Jeng-jiu-sian Kiang Liat, Bu Pun Su adalah susiok-couwnya dan ia pun datang perintah atas perintah Bu Pun Su untuk maksud yang sama, yakni mendamaikan kedua partai."

Eng Yang Cu menarik napas panjang. "Ahhh, anak-anak muda sekarang memang hebat. Kepandaian mereka tadi benar lihai, apalagi nona baju merah tadi, gin-kangnya sudah sampai ditingkat yang melebihi kita..."

Liem Sun Hauw yang merasa kecewa sekali karena usahanya melakukan tugas yang diserahkan kepadanya oleh Twi Mo Siansu selalu menemui kegagalan, merasa amat malu. Ia telah mengeruhkan suasana dan sebelum ia dapat menebus kesalahannya, dengan menangkap biang keladi permusuhan, ia telah didahului oleh Eng Yang Cu!

Saking malu dan kecewanya ia lalu meninggalkan Kim-san-pai. Yang membuat ia malu sesungguhnya bukan terhadap orang lain, melainkan terhadap Ang I Niocu. Ia telah tertarik dan jatuh hati kepada gadis ini, apalagi setelah ia tahu bahwa gadis itulah yang dicalonkan menjadi isterinya oleh Kiang Liat. Dan sekarang di depan gadis itu ia kelihatan sebagai seorang yang bodoh!

Biarpun ia berlari cepat sekali, sebentar saja ia tersusul oleh Ang I Niocu. Tadi Sun Hauw mendengar suara panggilan Ang I Niocu, akan tetapi ia mengira bahwa gadis yang cantik tapi galak itu akan menyalahkan dan menyindirnya, maka ia tidak mau berhenti sebelum jauh dari para tokoh Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Selain ini ia pun henidak menguji ilmu lari cepat dari gadis itu dan diam-diam ia mengerahkan ilmu lari cepat yang paling diandalkan, yakni Liok-te-hui-teng (Lari Seperti Terbang di Atas Bumi), karena ia tahu bahwa gadis itu mengejarnya.

Akan tetapi alangkah kagumnya ketika tak lama kemudian, gadis itu telah menyusulnya. Bayangan merah berkelebat di samping kanannya dan di lain saat gadis itu telah berdiri beberapa tombak jauhnya di sebelah depan, tersenyum menghadang di jalan.

Ang I Niocu sengaja mengejar Sun Hauw karena gadis ini ingin sekali mendengar dari pemuda ini tentang hubungan ayahnya dengan pemuda ini. Ingin ia mengetahui bagaimana pemuda ini bertemu dengan ayahnya dan bagaimana pula ayahnya sampai mempunyai maksud menjodohkan dia dengan pemuda itu.

Selain ini, ia pun agak menyesal atas sikapnya yang menghina dan keras terhadap Sun Hauw, dan sekarang ternyata bahwa sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang yang menyombongkan kepandaian dan sengaja membantu Bu-tong-pai melakukan penghinaan terhadap Kim-san-pai. Semua pertengkaran yang terjadi hanya timbul oleh kesalah-pahaman.

Sungguhpun pada mukanya terbayang kemuraman, namun di dalam hatinya Sun Hauw merasa girang sekali melihat gadis itu. "Nona, apakah kau masih merasa penasaran? Aku sudah mengaku salah dan..."

"Saudara Liem, jangan kau salah sangka. Tadi kau menyebut nama ayahku. Di mana kau pernah bertemu dengan dia dan kapankah? Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang Ayah." Seketika wajah Sun Hauw berseri, hatinya berdebar-debar girang dan ia menarik napas lega.

"Aku bertemu dan berkenalan dengan ayahmu yang gagah perkasa dan mulia itu di Go-bi-san," ia mulai bercerita, "ketika aku menghadap Susiok Twi Mo Siansu, kebetulan ayahmu datang dan menyampaikan pesan kepada Susiok dari Sin-taihiap Bu Pun Su. Susiok lalu memilih aku untuk berusaha mendamaikan pertikaian antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai dan hal ini menimbulkan iri hati dan tidak senangnya beberapa orang anak murid Go-bi-pai. Aku sendiri biarpun anak murid Go-bi-pai, akan tetapi suhuku adalah seorang perantau dan hampir tidak mempunyai hubungan lagi dengan Go-bi-pai."

emudian Sun Hauw menuturkan bagaimana ia telah diserang oleh tokoh Go-bi-pai Tek Le Tojin dan hampir celaka kalau saja tidak ditolong oleh Kiang Liat. Dan bagaimana perjalanannya ke Bu-tong-pai tertunda dan terlambat karena ia singgah di kampungnya dan terpaksa menunda perjalanannya ke Bu-tong-san karena ia harus merawat dulu ayahnya yang sedang sakit payah. Semua ini telah dituturkan di bagian depan dan kiranya tak perlu diulang pula.

Demikianlah, Nona. Apakah ayahmu sudah pulang dan apakah kau sudah bertemu dengan orang tua yang mulia itu?" Sun Hauw menutup penuturannya dan balas bertanya. Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya mengangguk. Hatinya seperti ditusuk-tusuk karena teringatlah ia akan segala peristiwa antara dia dan ayahnya yang menyebabkan kematian ayahnya.

Sun Hauw makin berdebar. Kalau gadis ini sudah bertemu dengan ayahnya, tentu sudah mendengar pula tentang maksud pertalian jodoh itu. Matanya bersinar-sinar, mukanya merah ketika ia menatap wajah dara cantik jelita yang berdiri sambil menundukkan muka di depannya itu.

"Syukurlah kalau ayahmu sudah pulang, Nona. Kuharap saja orang tua yang gagah perkasa itu dalam sehat-sehat dan selamat. Ah, alangkah inginku menghadap Kiang-lo-enghiong, alangkah rindu hatiku bertemu muka dengan dia lagi. Aku amat menghormat dan memujanya, Nona, selembar nyawaku ini masih berada di dalam tubuhku hanya berkat pertolongan ayahmu."

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh ini, Ang I Niocu menjadi amat terharu. Ia meramkan kedua matanya dan merasa hatinya perih sekali. Ketika ia membuka lagi kedua matanya, ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur deras. Cepat-cepat ia mempergunakan ujung lengan baju untuk menutupi matanya dan mengusap air matanya.

"Ang I Niocu... kau kenapa.? Maafkan kalau aku kesalahan bicara..." Sun Hauw berkata kaget.
Ang I Niocu dapat menekan perasaannya dan kini menjadi tenang kembali.

"Saudara Liem, harap kaumaafkan kelemahanku. Sesungguhnya, perlu kiranya kauketahui bahwa Ayah telah meninggal dunia tujuh bulan yang lalu."

Tiba-tiba muka Sun Hauw menjadi pucat dan ia merasa seperti kehilangan semangatnya. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan biarpun ia tidak mengeluarkan suara, kedua pundaknya bergerak-gerak dan tahulah Ang I Niocu bahwa pemuda ini telah menangis!

Diam-diam ia menjadi terharu hadap pemuda ini, sekarang perasaan ini lenyap dan ia harus mengaku bahwa kecuali mendiang Gan Tiauw Ki, pemuda ini merupakan seorang pemuda pilihan dan baik, yang pernah ditemuinya. Hanya kata-kata perlahan sekali "gakhu..." terdengar dari mulut pemuda itu. Wajah Ang I Niocu menjadi merah sekali ketika mendengar pemuda itu mengeluarkan kata-kata sebutan gakhu (ayah mertua) itu, akan tetapi kata-kata itu diucapkan perlahan sekali dan agaknya pemuda itu menahan hatinya agar tidak mengeluarkan suara. lagi.

Memang Sun Hauw di samping keharuan dan kesedihannya, juga merasa bimbang dan gelisah. Calon mertuanya sudah meninggal dunia, apakah nona ini sudah tahu tentang perjodohan yang diikat? Bagaimana kalau Nona ini belum diberi tahu oleh ayahnya. Ingin sekali ia bertanya kepada Ang I Niocu tentang ini, akan tetapi tentu saja ia merasa malu dan sungkan. Sebaliknya ia lalu membikin tenang hatinya, diam-diam ia mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri lagi. Sepasang matanya masih basah dan mukanya merah.

"Niocu," suaranya serak dan pandang matanya kepada Ang I Niocu penuh perasaan kasih dan iba, "sungguh aku ikut berdukacita dan alangkah kaget hatiku mendengar warta menyedihkan ini. Niocu, ayahmu demikian sehat dan gagah perkasa ketika bertemu dengan aku, bagaimana ia bisa meninggal dengan mendadak? Apa sebabnya?"

Kalau saja masih ada kemarahan dan kebencian dalam hati Ang I Niocu terhadap pemuda ini, tentu ia akan menjawab dengan makian dan tuduhan bahwa pemuda inilah yang menjadi gara-gara kematian ayahnya. Akan tetapi sikap Sun Hauw mendatangkan kesan baik dalam hati Ang I Niocu dan gadis itu hanya menjawab singkat,

"Ayah meninggal karena sakit bagian jantungnya."

Keduanya berdiam diri agak lama. Sun Hauw tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur nona itu. Akhirnya ia hanya dapat bertanya dengan perlahan,

"Niocu, apakah... apakah mendiang ayahmu ada meninggalkan sesuatu pesanan untuk aku...?"

Tentu saja Ang I Niocu dapat menangkap maksud pertanyaan itu, tentu pemuda ini hendak bertanya tentang maksud perjodohan yang direncanakan ayahnya. Akan tetapi ia hanya menggeleng kepala dan tidak berkata apa-apa.

"Niocu, apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?" Kembali Ang I Niocu menggeleng kepalanya. "Kau sebatang kara di dunia ini?" pertanyaan ini penuh perasaan iba.

Ang I Niocu mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara karena tahu bahwa suaranya tentu akan gemetar. Pertanyaan-pertanyaan ini membangkitkan kesedihan hatinya. Sampai lama Sun Hauw diam saja, penuh bimbang, ragu dan iba.

"Niocu, aku hendak melaporkan urusan Bu-tong-pai dan Kim-san-pai yang sudah selesai itu kepada Susiok di Go-bi-pai, setelah itu aku akan menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Sin-taihiap Bu Pun Su. Kalau aku boleh bertanya, kau hendak ke mana?"

"Aku juga harus menghadiri pertemuan di puncak Gunung Thai-san, seperti yang dipesan oleh Susiok-couw Bu Pun Su."

Wajah Sun Hauw berseri. "Kalau begitu, Niocu, apabila kau tidak menganggap aku terlalu lancang dan kurang ajar, maukah kau mengijinkan aku mengiringkan perjalananmu? Kita sejalan, dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau boleh melakukan perjalanan bersamamu."

Karena sikap pemuda itu memang amat baik dan menyenangkan hatinya, Ang I Niocu tidak merasa keberatan. Di atas dunia ini ia memang hidup sebatang kara, tiada keluarga tiada teman, sekarang ada pemuda ini yang baik hati dan sopan, mengapa menolak perjalanan bersama? Sedikitnya ia akan dapat menyelidiki dan mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari pemuda yang menjadi pilihan ayahnya ini.

Berangkatlah dua orang muda itu menuruni Bukit Kim-san dan dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka perjalanan cepat sekali. Sikap Sun Hauw benar-benar amat sopan dan baik sehingga Ang I Niocu makin suka kepadanya,. sungguhpun sukar dikatakan bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya. Setelah kehilangan Gan Tiauw Ki dan ayahnya, memang amatlah sukar bagi Ang I Niocu untuk dapat mencinta pemuda lain.

Memang, Sun Hauw seorang pemuda yang baik dan gagah. Tidak saja ia telah memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi juga ia pandai membawa diri. Perjalanan berbulan-bulan bersama Ang I Niocu menjadi ujian baginya. Biarpun ia tergila-gila kepada Ang I Niocu, mabuk oleh kecantikan gadis ini yang memang luar biasa sekali sehingga ia mencinta gadis ini dengan sepenuh hati dan perasaan, namun belum pernah ia memperlihatkan sikap yang kurang ajar dan melanggar tatasusila.

Bahkan, biarpun sepasang matanya selalu menyorotkan sinar cinta kasih yang berkobar-kobar, bibirnya tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun tentang perasaan yang terkandung dalam hatinya itu. Tiap malam, kalau Ang I Niocu sudah pulas di dalam kamar lain di penginapan, atau di dalam kamar di sebuah kelenteng kosong di mana mereka bermalam, Sun Hauw gelisah tak dapat tidur dan kadang-kadang ia duduk bersandar pada meja sembahyang di dalam kelenteng dan melamun! Tentu saja yang terbayang hanyalah Ang I Niocu yang gagah perkasa dan cantik jelita, dan terbayanglah pula pertemuannya yang pertama kali dengan dara pujaan hatinya itu.

Kadang-kadang pemuda ini menjadi muram wajahnya, penuh kegelisahan dan kedukaan, kalau ia teringat betapa akan sengsara hidupnya kalau gadis itu kelak menolaknya! Ia pun bingung mencari jalan bagaimana untuk bicara dengan Ang I Niocu tentang kehendak mendiang Kiang Liat mengenai tali perjodohan itu.

Karena nama Ang I Niocu sudah mulai terkenal, apalagi semenjak ia membasmi gerombolan perampok di Bukit Min-san itu, tidak ada penjahat yang berani sembarangan mengganggunya dalam perjalanan itu. Lebih-lebih karena di situ ada Liem Sun Hauw dan pemuda ini yang sudah sudah lama merantau di dunia kang-ouw bersama mendiang suhunya, juga merupakan tokoh yang terkenal dan ditakuti penjahat. Para kaum liok-lim mempunyai mata yang awas dan telinga yang tajam, dan mereka tidak mau mengganggu orang-orang gagah yang sekiranya akan merugikan mereka sendiri.

Ketika mereka tiba di jalan simpangan yang dekat dengan kampung tempat tinggal Sun Hauw, pemuda itu berkata,

"Nah, di sinilah jalan yang menuju ke rumah ayahku, Niocu. Kau tentu tidak keberatan kalau kita singgah sebentar, bukan? Aku harus menengok keadaan Ayah karena ketika kutinggalkan, dia baru saja sembuh dari sakit."

Hal ini memang seringkali dikemukakan oleh Sun Hauw dalam perjalanan, yakni bahwa pemuda itu hendak singgah di kampung halamannya. Ang I Niocu tidak keberatan dan ia memang ingin sekali melihat keadaan keluarga pemuda ini.

Mereka membelok dan dengan cepat menuju ke kampung Peng-kan-mui. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar kampung itu, tiba-tiba Sun Hauw menghentikan kakinya dan mukanya berubah. Ang I Niocu juga berhenti dan menoleh, memandang heran kepada pemuda itu.

"Mengapa kita berhenti di sini?" tanyanya.

Sun Hauw teringat akan sesuatu yang membuat hatinya berdebar cemas dan yang membuatnya tiba-tiba berhenti itu. Ia teringat akan Siok Lan, gadis yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi isterinya! Ia mengajak Ang I Niocu ke rumahnya, bahkan bermaksud minta kepada ayahnya supaya melamar gadis ini sebagai calon isterinya. Akan tetapi bagaimana dengan Siok Lan? Karena dahulu ayahnya sudah menetapkan perjodohannya dengan Siok Lan, maka urusan ini menjadi sulit dan harus dipecahkan dengan perlahan. Kalau ia mengajak Ang I Niocu ke rumah ayahnya, bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tidak dikehendakinya? Bagaimana kalau andaikata ayahnya marah-marah dan Ang I Niocu mendengar tentang pertunangannya dengan Siok Lan? Bisa ribut dan tentu Ang I Niocu akan tersinggung, akan marah!

"Niocu, baru sekarang aku ingat dan betapapun besar malu dan kecewaku kepadamu, terpaksa hal ini kukemukakan secara terus terang kepadamu. Kau tahu bahwa Ayah adalah seorang dusun yang kuno dan pendiriannya masih kolot. Kalau tiba-tiba saja aku datang bersama engkau, tentu ia akan menyangka yang bukan-bukan dan mengira bahwa aku telah menyeleweng. Hal ini bukan saja tidak baik bagiku, juga akan menyinggung perasaanmu. Oleh karena itu, aku harap kau sudi memaafkan aku, Niocu. Biarlah aku yang masuk lebih dulu, memberitahukan tentang perjalananku dan tentang kunjunganmu, agar orang tua itu tidak salah paham dan dapat menyambut kunjunganmu."

Wajah Ang I Niocu menjadi merah. Akan tetapi bagaimana ia bisa marah? Pemuda ini bicara dengan begitu terus terang dan secara terbuka, sehingga sama sekali tidak dapat disebut menghinanya, bahkan telah melindunginya dari keadaan yang benar-benar akan dapat menyinggung dan menghinanya, misalnya kalau tiba-tiba ayah pemuda itu memaki-maki puteranya di depannya, tentu hal ini akan membuat dia merasa terhina. Oleh karena itu ia pun, tersenyum manis sekali dan berkata,

"Aku mengerti, Saudara Liem. Tidak apa, karena memang aku tidak berhak mengganggu orang tua itu. Kau masuklah ke kampung dan tengok orang tuamu. Biar aku berjalan-jalan di kampung ini melihat-lihat. Kiranya setengah hari cukup untuk melepas rindu kepada ayahmu, bukan? Nah, sekarang masih pagi. Nanti lewat tengah hari kita bertemu pula di luar kampung ini untuk melanjutkan perjalanan."

Sun Hauw tidak berani banyak membantah. Masuklah dua orang muda itu ke kampung Peng-kan-mui dalam keadaan berpisah. Sun Hauw membelok ke kanan dan Ang I Niocu membelok ke kiri. Kampung itu besar juga sehingga Ang I Niocu takkan merasa kesepian selama menanti Sun Hauw menyelesaikan kunjungannya ke rumah. Ia berjalan perlahan di sepanjang jalan kampung itu, tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang terheran-heran dan kagum melihatnya.

***

Di bawah sebatang pohon di belakang rumahnya, Tang Siok Lan berdiri termenung. Gadis manis ini kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang membelai-belai batan pohon dengan jari-jari tangannya yang halus. Baru saja ia mendengar warta girang, warta yang dianggapnya paling baik di antara segala berita. Warta tentang datangnya Liem Sun Hauw, kekasih dan tunangannya! Ia telah "jatuh hati" kepada Liem Sun Hauw semenjak ia masih kecil! Teringat ia ketika dahulu, sama-sama masih seorang anak berusia enam tujuh tahun, ia selalu bermain-main dengan Sun Hauw di tempat ini, di kebun rumahnya di mana Sun Hauw setiap hari datang mengajaknya bermain-main.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar