Bab 10 - Kuning Dan Merah
˜Teecu tidak tahu akan
kedatangan Suhu Bu Pun Su, mohon ampun jika teecu tidak menyambutnya,! katanya
penuh hormat dan segan. Memang kalau ada orang di dunia ini yang disegani dan
ditakuti oleh Kiang Liat, orang itu tak lain hanya Bu Pun Su dan mungkin juga
Han Le.
Bu Pun Su memandang kepada
Kiang Liat, sinar matanya penuh belas kasihan.
˜Kiang Liat, jangan terlalu
jauh dilarutkan oleh lamunan dan kedukaan. Inilah Kiang Im Giok puterimu,
sengaja kubawa ke sini agar kau dapat hidup kembali bersama puterimu.
Pergunakanlah sisa hidupmu sebaiknya untuk mendidik anakmu ini, Kiang Liat.!
Mendengar ini, dengan muka
pucat Kiang Liat menengok ke arah Im Giok. Ayah dan anak berpandangan, dua
pasang mata perlahan-lahan mengeluarkan air mata, dua pasang bibir
bergerak-gerak dan bergemetar tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata. Kiang Liat
mengulurkan dua lengan yang tangannya menggigil, dan Im Giok perlahan melangkah
maju.
˜Im Giok... kau... anakku...?!
˜Ayaah...!!
Di lain saat ayah dan anak itu
sudah berpelukan dan bertangisan. Bu Pun Su terbatuk-batuk untuk menenangkan
hatinya sendiri yang ikut merasa terharu dan pilu, kemudian setelah membiarkan
mereka melepaskan perasaan hati untuk sementara, lalu berkata,
˜Sudahlah, tak baik menurutkan
perasaan, mendatangkan kelemahan saja. Kiang Liat, anakmu ini berbakat baik
dalam ilmu silat, biar aku tinggalkan dua macam ilmu silat untuk kelak kau
turukan kepadanya. Akan tetapi kau hati-hatilah, wataknya keras dan aneh, perlu
dikendalikan dengan kuat!!
Kiang Liat girang sekali
mendengar ini.
˜Im Giok, anakku, lekas kau
menghaturkan terima kasih kepada Susiok-couw-mu (Paman Kakek Guru).! Kiang Liat
menarik tangan Im Giok dan keduanya berlutut di depan kakek sakti itu.
Dengan amat tekun, Kiang Liat
mempelajari dua ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su untuk Im Giok.
Pertama-tama Bu Pun Su minta supaya Im Giok bersilat menurut apa yang ia
pelajari dari Pek Hoa Pouwsat. Bu Pun Su adalah seorang sakti yang memiliki
kepandaian aneh dan luar biasa. Sekali saja melihat, ilmu silat apapun juga
dapat ia tiru dengan gerakan yang jauh lebih sempurna daripada aselinya!
Demikian pula dengan ilmu
silat yang dimainkan oleh Im Giok, sekali melihat kakek ini dapat menurunkan
ilmu silat yang sama, akan tetapi yang sama sekali bebas dari kelemahan dan
kekurangan. Pendeknya, Bu Pun Su memperbaiki dan menyempurnakan ilmu silat yang
seperti tarian, yang dipelajari oleh Im Giok dari Pek Hok Pouwsat. Adapun ilmu
silat ke dua yang ia turunkan kepada Kiang Liat untuk Im Giok adalah ilmu silat
pedang yang disesuaikan pula dengan gerakan dan bakat yang sudah menjadi dasar
dari Im Giok. Selain dua macam ilmu silat yang khusus untuk Im Giok ini, juga
kepada Kiang Liat kakek ini menurunkan ilmu berlatih lwee-kang dan gin-kang
sehingga Kiang Liat merasa bersukur sekali. Sampai dua pekan Bu Pun Su tinggal
di kelenteng kuno itu bersama Kiang Liat dan Im Giok dan siang malam mereka
tekun menerima pelajaran baru dari kakek sakti itu.
Setelah selesai dan hendak
meninggalkan mereka, Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh.
˜Kiang Liat, dan kau juga Im
Giok, dengarkan baik-baik. Setelah kalian menerima pelajaran dariku, maka
selanjutnya kalian harus menjaga diri baik-baik. Sekali saja aku mendengar
kalian menggunakan kepandaian yang kalian pelajari dariku untuk melakukan
perbuatan menyeleweng dan sewenang-wenang, aku sendiri akan datang memberi
hukuman berat.!
Setelah Bu Pun Su pergi, Kiang
Liat memeluk puterinya dan berkata dengan hati gembira.
˜Anakku, mari kita pulang ke
Sian-koan dan mulai hidup baru. Akan kusediakan rumah gedung untukmu,
pakaian-pakaian indah dan jangan kau khawatir, anakku. Aku akan berusaha supaya
kau kelak menjadi seorang dara perkasa yang jarang tandingannya, seorang yang
hidup penuh kebahagiaan tidak kekurangan sesuatu!!
Im Giok sudah mendengar sumpah
ayahnya dari atas genteng, maka ia tidak perlu mendengar janji-janji yang lain.
Ia sudah merasa amat kasihan dan terharu melihat nasib ayahnya, dan ia merasa
amat bangga karena ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki gagah yang patut
dibanggakan.
Demikianlah, ayah dan anak itu
pulang ke Sian-koan. Dengan uang yang ia simpan, Kiang Liat membangun sebuah
gedung baru dengan taman bunga yang luas dan indah, perabot-perabot rumah serba
baru, pendeknya ia berusaha untuk membikin senang hati puteri tunggalnya. Im
Giok baru berusia hampir sebelas tahun, maka menerima budi kecintaan ayahnya
yang berlimpah-limpah ini, mau tidak mau timbul sifat manja dalam hatinya.
Memang beginilah, tidak hanya Kiang Liat, banyak orang tua-tua di dunia ini
yang keliru menyatakan sayangnya kepada anak sehingga bukan anak menjadi baik
sebagaimana yang diharapkan, sebaliknya anak menjadi manja.
Untungnya, Im Giok memang
sudah mempunyai dasar watak gagah dan baik sehingga sikap ayahnya itu hanya
mendatangkan sebuah cacat lagi, yaitu manja dan ingin dituruti segala
kehendaknya. Di samping ini lain sifat yang ia warisi dari Pek Hoa Pouwsat
adalah sifat pesolek, suka berhias dan berpakaian serba indah dan serba merah,
tidak lupa untuk menambah merah pada bibirnya, menambah hitam pada alisnya
sehingga setiap saat gadis ini kelihatan seperti seorang bidadari baru turun
dari kahyangan!
Akan tetapi harus diakui bahwa
Im Giok benar-benar baik sekali bakatnya dalam ilmu silat. Ditambah lagi oleh
semangat Kiang Liat yang amat besar. Pendekar ini benar-benar mempunyai
cita-cita untuk membuat puterinya menjadi seorang gagah, maka ia amat tekun dan
hati-hati memimpin puterinya dalam ilmu silat, maka dapat dibayangkan betapa
pesat kemajuan yang diperoleh Im Giok.
Akan tetapi, kadang-kadang Im
Giok merasa kesepian. Hidup di dekat Kiang Liat jauh bedanya dengan ketika ia
masih bersama dengan Pek Hoa. Betapapun besar sayangnya Kiang Liat kepadanya,
akan tetapi ayahnya itu seorang pria, dan Im Giok membutuhkan pergaulan dengan
sesama kelamin. Selain ini, Im Giok yang melihat ayahnya masih belum tua dan
begitu gagah, diam-diam juga prihatin dan berduka kalau teringat akan ibunya.
Banyak buku yang ia baca
karena ayahnya menyediakan untuknya dan mengajarnya pula, memberi pelajaran
kepada Im Giok bahwa seorang seperti ayahnya itu sudah sepatutnya kalau menikah
lagi dengan seorang gadis cantik pengganti ibunya yang telah meninggal.
Sifat Im Giok yang tidak
pemalu dan periang itu membuat ia sebentar saja mempunyai banyak kawan di kota
Sian-koan. Tidak jarang gadis ini keluar rumah dan mengunjungi tetangga dan
biarpun hal ini termasuk kebiasaan yang janggal, namun ayahnya tidak
melarangnya. Kiang Liat cukup maklum bahwa puterinya telah memiliki kepandaian
yang cukup untuk dipakai menjaga diri, dan selain ini, siapakah yang berani
mengganggu puteri Jeng-jiu-sian Kiang Liat?
Setahun kemudian, pada suatu
sore, Im Giok pulang dari tetangga bersama seorang gadis yang cantik. Gadis ini
pipinya kemerahan, sepasang matanya yang jeli dan kocak kelihatan agak berduka.
Namun harus diakui bahwa gadis memiliki sepasang mata yang indah dan bening,
seperti sepasang kemala. Usianya kurang lebih enam belas tahun dan tubuhnya
sehat dan nampaknya biasa bekerja berat.
Kiang Liat bangkit dari
kursinya dan memandang dengan mata terbelalak heran. Dengan malu-malu gadis
remaja itu menjura sebagai penghormatan kepada Kiang Liat.
˜Im Giok, siapakah nona ini
dan mengapa kau membawa dia ke sini?! tanya Kiang Liat dengan nada menegur
dalam suaranya.
˜Ayah, jangan marah dulu,!
kata Im Giok dengan sikap manja, ˜dia ini adalah sahabat baikku, namanya Kim
Lian, Song Kim Lian, rumahnya di sebelah barat itu. Enci Kim Lian, kau duduk
dulu di sini, ya! Aku mau bicara dengan Ayah,! Im Giok lalu menghampiri
ayahnya, memegang tangan ayahnya itu dan menariknya ke ruangan sebelah dalam.
Dengan kening berkerut Kiang
Liat mengikuti puterinya, hatinya tidak enak.
˜Ada apa Im Giok?! tanyanya
setelah mereka berada di ruang dalam.
˜Ayah, bagaimana ayah lihat
Enci Kim Lian itu? Cantik dan matanya seperti mata burung Hong, bukan?!
Kerut di kening Kiang Liat
makin mendalam. ˜Kalau dia cantik dan bermata bagus, habis mengapa?!
˜Ayah, aku selalu merasa
kesunyian.!
˜Kan ada Ayah, ada banyak pelayan.!
˜Ayah laki-laki dan para
pelayan... ah, mereka selalu bermuka-muka, aku tidak suka. Ayah juga... Ayah
juga kesepian, bukan?!
Kiang Liat memegang pundak Im
Giok, memandang tajam dan berkata,
˜Im Giok, pikiran ganjil
apakah yang terkandung dalam kepalamu? Hayo katakan terus terang, jangan
berputar-putar.!
Im Giok menarik napas panjang,
sukar agaknya untuk bicara. Akhirnya ia memberanikan hatinya, memegang tangan
ayahnya dengan sikap manja dan berkata,
˜Jangan marah, ya Ayah? Aku
bermaksud baik. Sahabatku Kim Lian ini adalah seorang sahabat yang baik, lagi
pula dia sudah yatim piatu, kalau saja... kalau saja dia dapat tinggal di sini,
aku mempunyai kawan, alangkah baiknya.!
˜Menjadi pelayan?! Kiang Liat
menjelaskan.
Im Giok cemberut. ˜Dia sahabatku,
bagaimana harus menjadi pelayan? Biarkan saia dia tinggal di sini, serumah
dengan kita, Ayah.!
Kembali kening Kiang Liat
berkerut. ˜Ah, Im Giok. Ada-ada saja kau ini. Tak tahukah kau bahwa seorang
gadis dewasa seperti dia itu tidak patut sekali kalau tinggal di rumah orang
lain, apalagi di rumah seorang duda?!
˜Karena itu, alangkah baiknya
kalau Ayah... kawin saja dia!! kata Im Giok cepat.
Tangan ayahnya yang tadinya
memegang pundak tiba-tiba terlepas dan Kiang Liat terduduk di atas kursi,
wajahnya pucat dan matanya melotot memandang kepada Im Giok. Gadis cilik ini
kaget sekali dan agak ketakutan, mundur dua langkah.
˜Im Giok...! akhirnya
terdengar suara Kiang Liat, lambat dan perlahan, dengan gigi dirapatkan menahan
nafsu marah. ˜Kalau bukan kau yang mengajukan usul macam ini, tentu kupukul
mampus sekarang juga! Apa kau sudah gila? Kalau tidak untuk kau aku sudah
menyusul ibumu. Untuk apa hidupku di dunia ini melainkan untuk kau? Bagaimana
kau bisa menyuruh aku menikah dengan perempuan lain dan mengkhianati ibumu?!
Im Giok menangis dan menubruk
ayahnya. Ia berlutut dan menaruh kepala di atas pangkuan ayahnya.
˜Ampunkan aku, Ayah. Aku tidak
sengaja menyakiti hati Ayah. Aku hanya ingin punya kawan, aku... aku kehilangan
Enci Pek Hoa. Ayah...!
Melihat keadaan anaknya, luluh
hati Kiang Liat, lenyap marahnya. Ia berpikir sejenak lalu berkata,
˜Sudah, diamlah, anakku. Aku
bisa memenuhi keinginanmu, akan tetapi bukan menikah. Mengingat bahwa Kim Lian
sudah yatim piatu, dan selain engkau aku pun tidak punya murid, dan melihat
gerak kakinya tadi cukup tegap dan kuat, biarlah dia menjadi muridku belajar di
sini dan mengawanimu. Bagaimana?!
Im Giok hampir bersorak. Ia
bangkit berdiri, memeluk ayahnya dan berlari ke ruangan depan. Tak lama
kemudian ia sudah datang lagi berlarian sambil menggandeng tangan Kim Lian.
Agaknya dia sudah menuturkan kepada sahabatnya itu, karena begitu berhadapan
dengan Kiang Liat, Kim Lian lau menjatuhkan diri berlutut dan
mengangguk-anggukkan kepala sambil menyebut,
˜Suhu...!! suaranya merdu dan
halus.
˜Bangunlah! Kau menjadi
muridku atas desakan Im Giok. Akan tetapi entah kau suka atau tidak belajar
ilmu silat yang kasar,! kata Kiang Liat.
˜Ayah... jangan Ayah memandang
rendah kepada Enci Kim... eh, kepada Suci (Kakak Seperguruan) Kim Lian. Dalam
bermain-main dan selama setahun menjadi kawanku, dia telah banyak dapat meniru
gerakan silatku. Suci, coba kau perlihatkan kebisaanmu kepada Ayah.!
˜Ah Sumoi, kau membikin aku
malu saja...! Kim Lian mengerling dengan muka merah dan senyum dikulum.
Kiang Liat kembali mengerutkan
kening melihat lagak yang genit dan menarik hati laki-laki ini. Hmmm, dalam
banyak hal gerak-gerik Kim Lian ini hampir sama dengan anaknya, pikirnya.
˜Tak usah malu-malu, kau
perlihatkanlah apa yang sudah kau pelajari. Dengan melihat gerakanmu, aku bisa
mengira-ira sampai di mana tingkatmu.!
Mendengar perintah suhunya,
Kim Lian lalu bersilat seperti apa yang ia lihat dan pelajari dari Im Giok. Dan
Kiang Liat tercengang. Benar sekali kata-kata Im Giok. Gadis cantik ini
memiliki bakat yang luar biasa, sungguhpun tidak sebesar bakat Im Giok, akan
tetapi kelemasan gerak kaki tangannya menunjukkan bahwa Kim Lian mempunyai
bakat ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada gadis-gadis biasa. Memang
sukar mencari seorang murid wanita dengan bakat seperti ini. Timbullah
kegembiraan hati Kiang Liat dan mulai hari itu Kim Lian menjadi murid
Jeng-jiu-sian Kiang Liat, belajar ilmu silat bersama Im Giok yang tentu saja
sudah amat jauh meninggalkannya. Bahkan dalam latihan sehari-hari, boleh
dibilang Kim Lian dilatih oleh Im Giok yang mewakili ayahnya. Kiang Liat masih
saja berlaku sungkan dan likat-likat, maka ia hanya memberi contoh dan
petunjuk-petunjuk teori saja, sedangkan prakteknya ia serahkan kepada Im Giok
untuk mengajar sucinya.
Benar saja, setelah Kim Lian
tinggal di rumah gedung itu, Im Giok menjadi gembira sekali. Tidak saja ia
menjadi makin giat berlatih ilmu silat, juga ia tekun memperdalam ilmu surat
dan bahkan suka belajar menyulam bersama sucinya. Adapun dalam hal mempersolek
diri, agaknya Kim Lian merupakan imbangan yang baik bagi Im Giok. Tentu saja
Kim Lian tidak secantik Im Giok, karena sesungguhnya sukar mencari seorang
gadis secantik Im Giok, akan tetapi pada umumnya Kim Lian juga seorang gadis
yang manis dan cantik, lagi pandai beraksi.
Biarpun Kim Lian mulai belajar
ilmu silat setelah ia berusia belasan tahun dan telah dewasa, akan tetapi
berkat bakatnya yang baik dan terutama sekali oleh karena ia belajar di bawah
pimpinan seorang ahli silat kelas tinggi, maka ia pun mewarisi ilmu silat
tinggi dan menjadi seorang ahli silat yang pandai. Seperti juga Im Giok, ia
memiliki gin-kang yang luar biasa, hanya sedikit saja kalah oleh sumoinya itu,
sungguhpun dalam hal lwee-kang ia kalah jauh.
Akan tetapi, diam-diam Kiang
Liat merasa amat khawatir kalau ia melihat watak muridnya ini. Sering kali Kim
Lian memperhatikan sikap genit dan memikat di depannya, mengingatkan pendekar
ini akan sikap Ceng Si dahulu. Kadang-kadang ia membentak dan menegur muridnya
ini, yang diterima oleh Kim Lian dengan senyum manis memikat. Beberapa kali
Kiang Liat bahkan menyuruh puterinya menegur, dan kalau Im Giok sudah menegur,
baru Kim Lian menghentikan aksinya. Memang Kim Lian tidak takut kepada suhunya
karena ia merasa lebih leluasa dan dapat menghadapi seorang laki-laki, akan
tetapi terhadap Im Giok, ia merasa takut dan segan. Pertama karena ia merasa
berhutang budi kepada sumoinya ini. Kalau tidak ada sumoinya yang menariknya ke
dalam rumah gedung mewah itu, hidupnya tentu kekurangan dan mungkin sekali
terlantar.
Ke dua, ia memang tahu bahwa
kepandaian sumoinya jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.
˜Im Giok, sekarang sucimu
telah berusia dua puluh tahun lebih, kiranya sudah cukup lama ia berada di sini
dan sudah patut baginya untuk berumah tangga. Bagaimana pikiranmu kalau aku
mencarikan seorang suaminya untuknya?! pada suatu hari Kiang Liat berkata
demikian kepada Im Giok yang sudah berusia empat belas tahun lebih. Gadis ini
sudah cukup dewasa untuk mengerti akan maksud ayahnya. Sering kali Kim Lian
memperlihatkan sikap yang memikat di depan ayahnya, maka tentu ayahnya merasa
tidak enak sekali. Memang, bagi ayahnya, akan lebih baik kalau Kim Lian keluar
dari situ dan menikah dengan seorang pemuda yang baik.
˜Baiklah, akan saya sampaikan
kepadanya, Ayah,! kata Im Giok yang akhir-akhir ini merasa kasihan dan juga
gelisah melihat keadaan ayahnya. Setelah beberapa kali menghadapi godaan Kim
Lian, Kiang Liat teringat lagi kepada isterinya dan kepada Ceng Si yang dahulu
menggodanya, maka terkenanglah ia akan kebodohannya, akan kekejamannya terhadap
isterinya. Kenangan ini membikin kambuh sakit jantungnya, membuatnya pucat dan
kadang-kadang batuk-batuk, bahkan sering di tengah malam ia tertawa-tawa dan
menangis lagi!
Akan tetapi ketika Im Giok
menyampaikan usul ayahnya kepada Kim Lian, sucinya itu memperlihatkan muka
berduka, bahkan lalu menghadap Kiang Liat sambil berlutut dan menangis.
˜Suhu, teecu mohon supaya Suhu
jangan menyuruh teecu pergi dari sini. Teecu rasanya tidak sanggup untuk
berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Suhu, tentang menikah, teecu sama sekali tidak
ada niat, karena selamanya teecu ingin melayani Suhu dan mengawani Sumoi...!
Kata-kata ini biarpun
diucapkan dengan suara bersedih dan terputus-putus, akan tetapi bagi
pendengaran Kiang Liat hanya bermaksud satu, yakni Kim Lian akan menerima
dengan hati terbuka kalau gurunya mau mengambilnya sebagai isteri sehingga
gadis ini selamanya akan melayaninya, juga takkan berpisah dari Im Giok! Merah
muka Kiang Liat dan ia merasa dadanya sakit. Ia selalu ingat akan kesetiaan
mendiang isterinya dan akan kekejiannya memfitnah isterinya, maka ia telah
bersumpah untuk membalas isterinya itu dengan kesetiaan selama hidup. Oleh
karena ini, setiap godaan seorang wanita membangkitkan penyesalannya kepada
diri sendiri dan membuat dadanya terasa sakit.
˜Kim Lian, jangan kau
mengeluarkan kata-kata seperti itu. Setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan
perpisahan. Kami tentu saja tidak mengusirmu, dan terus terang saja,
kehadiranmu di rumah ini banyak mendatangkan kegembiraan Im Giok dan untuk ini
aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi tentang menikah, kau sudah berusia
dua puluh tahun lebih, sudah lebih dari cukup waktunya untuk berumah tangga
sendiri, Kim Lian. Jangan kau khawatir, aku dapat memilihkan seorang calon
suami yang baik, percayalah kepadaku karena sebagai guru aku takkan menyesatkan
murid sendiri...!
Makin sedih tangis Kim Lian
mendengar ini. Ia merangkul Im Giok lalu berkata, ˜Suhu, apa saja kehendak Suhu
pasti teecu taati asal saja teecu jangan disuruh berpisah dengan Suhu dan
Sumoi. Tentang menikah... teecu akan menanti Sumoi. Kalau Sumoi sudah menikah ,
barulah teecu suka menikah pula... ini sudah menjadi sumpah di dalam hati
teecu.!
Kiang Liat menjadi mendongkol.
Ia dapat menduga bahwa kata-kata itu hanya akal saja, alasan untuk menggagalkan
usulnya.
˜Hmm, perempuan memang aneh.
Lain di mulut lain di hati,! pikirnya.
˜Pada hatinya jelas nampak ia
ingin melayani laki-laki, akan tetapi mulutnya bilang tidak mau menikah!!
Kemudian dengan suara marah ia berkata,
˜Kim Lian, kau yang bersumpah,
bukan aku yang memaksa. Kau harus memegang teguh sumpahmu itu, kalau tidak, aku
akan marah kepadamu. Aku tidak sudi melihat muridku bermain lidah dan tidak
dapat dipegang kata-katanya. Ingat, kau sudah bersumpah takkan menikah sebelum
Im Giok menikah. Baik, akan begitulah jadinya!! Setelah berkata demikian, Kiang
Liat meninggalkan dua orang gadis itu dan masuk ke dalam kamarnya.
Semenjak saat itu, sikap Kiang
Liat makin pendiam. Jarang sekali ia bicara dengan Im Giok. Kepada Kim Lian, ia
sama sekali tidak pernah bicara lagi. Akan tetapi anehnya, mulai saat itu ia
makin giat melatih dua orang gadis itu. Pagi-pagi sekali ia sudah memaksa
mereka bangun, berlatih ilmu silat sampai kedua orang gadis itu hampir tidak
kuat lagi. Demikian pun pada siang hari, bahkan sering kali pada malam hari.
Pendeknya, Kiang Liat tidak memberi mereka kesempatan untuk bermalas-malasan.
˜Seorang wanita harus kuat,
baru aman hidupnya,! katanya di depan dua orang gadis itu. ˜Kalian harus dapat
menerima semua kepandaianku sebelum aku lupa lagi.!
Demikianlah, hampir tiga tahun
lamanya Kiang Liat menggembleng puterinya dan muridnya. Payah-payah Im Giok dan
Kim Lian mengikuti latihan ilni, akan tetapi hasilnya juga luar biasa sekali.
Im Giok secara terpisah telah menerima latihan ilmu-ilmu silat yang
ditinggalkan oleh Bu Pun Su untuknya, dan ternyata ia memang cocok sekali
dengan ilmu silat gubahan Bu Pun Su ini. Gerakannya memang lemas dan indah,
sehingga sering kali diam-diam Kiang Liat mengerutkan keningnya karena kalau ia
melihat puterinya itu bersilat seperti orang menari dengan mata bersinar-sinar,
pipi kemerah-merahan dan bibir tersenyum-senyum, teringatlah ia akan Pek Hoa
Pouwsat!
Alangkah miripnya anaknya itu
dengan Pek Hoa. Benar seperti pernah dikatakan oleh Bi Li isterinya dahulu.
Adapun Kim Lian, selama tiga
tahun ini pun memperoleh kemajuan hebat. Tujuh tahun ia menjadi murid Kiang
Liat, akan tetapi yang tiga tahun terakhir ini hasilnya jauh melampaui empat
tahun pertama. Kepandaian Kim Lian kini sudah dapat direndengkan dengan tingkat
orang-orang pandai, bahkan sudah hampir menyusul kepandaian Kiang Liat sendiri.
Tentu saja ia masih kalah oleh Im Giok yang ternyata bahkan telah melampaui ayahnya
sendiri!
Hal ini adalah karena ia
mempelajari jimu silat gubahan Bu Pun Su secara mendalam, sedangkan Kiang Liat
hanya menghafal saja agar tidak lupa. Apalagi Kiang Liat memang hanya bersilat
untuk mengajar, sama sekali tidak pernah ia berlatih untuk kemajuan diri
sendiri. Bahkan kalau terlalu lama ia bersilat, dada kirinya terasa sakit
sekali. Ia maklum bahwa ia telah mendapat luka di dalam, mendapat penyakit di
dalam jantungnya, akan tetapi ia sengaja tidak mau mengobati, tidak mau mencari
obat. Tidak jarang ia batuk-batuk darah, akan tetapi semua ini ia sembunyikan
dari Im Giok, takut kalau-kalau puterinya akan menjadi gelisah dan berduka
karenanya.
***
Pada suatu pagi dan indah di
musim Chun (Semi). Matahari muncul di angkasa yang bersih sambil tersenyum
gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau burung dan mekarnya bunga
di dalam hutan. Binatang-binitang hutan pun nampak bergembira di saat seperti
itu. Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci
dan tikus melompat ke sana ke mari di antara gerombolan pohon kembang.
Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari mengelilingi bunga cantik.
Seperti kelinci yang tidak
takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tidak takut akan ancaman
burung-burung. Agaknya di saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas
pun merasa enggan untuk mengotori suasana damai dan tenteram dengan pembunuhan
kepada sesama mahluk, sungguhpun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang
kosong dan lapar! Ataukah kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu
sudah kenyang maka mereka tidak mengganggu kelenci dan kupu-kupu? Mungkin
sekali, karena, hanya manusia-manusia saja yang masih temaha dan murka dalam
kekenyangannya. Lain mahluk tidak ada yang sekejam manusia.
Tiba-tiba terdengar suara
manusia tertawa yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup-sampai kemudian makin
jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara ketawa semerdu
itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan yang indah dan gembira menyambut munculnya
matahari itu. Kemudian tersusul bunyi derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa
gadis remaja.
Kalau orang memperhatikan
seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali mengapa mula-mula
terdengar suara nyaring baru kemudian terdengar derap kaki kuda bagaimana suara
ketawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat mengatasi suara derap
kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh? Akan tetapi kalau
pendengar tadi seorang ahli silat tinggi, ia akan tahu bahwa suara ketawa tadi
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan penggunaan ilmu yang disebut
Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).
Kemudian terdengar suara yang
bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja, ˜Sumoi, jangan terlalu
cepat! Kau lihat bunga ini, alangkah indahnya...!! Yang bicara ini adalah
seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing, berwajah cantik, sepasang
matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah dari
kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan bagus bentuknya. Ia memakai baju
warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah, tangan kiri memegang
kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanan memegang sebatang
cambuk pendek. Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah
sikapnya. Usianya sudah dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah
sudah masak dan sedap dipandang.
Gadis baju kuning ini
menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana terdapat
kembang-kembang berwarna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyum-senyum
memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk di tangannya
digerakkan, cambuk itu meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di lain saat
setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya. Lihai sekali ia mainkan
cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan membawa
kembang itu kepadanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun
tidak! Tanda bahwa lwee-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu
tertawa-tawa dan kembali berkata,
˜Sumoi, lihat alangkah
indahnya bunga-bunga ini!!
Kembali cambuk pendeknya
bergerak dan setangkai bunga kuning di lain saat telah berada di tangan
kirinya. Ia memandang dan mencium dua tangkai bunga putih dan kuning itu,
kemudian ia memandang ke arah bunga merah. Tangan kanan yang memegang cambuk
bergerak lagi. Cambuk meluncur ke bawah.
˜Tar...!! Sinar merah melayang
dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang terpental melayang ke atas.
Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah kanan.
˜Suci, bunga merah tak boleh
sembarang dipetik!! kata dara yang baru datang dan yang menunggang seekor kuda
bulu putih.
Kalau orang gagah kagum dan
tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini ia akan
terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau ia melihat gadis yang baru datang
ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal, bahkan kiranya akan
jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda. Cantik jelita sukar
menemukan cacat-celanya.
Rambutnya hitam sekali, halus
panjang, biarpun digelung secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan
dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan, memanjang dan bermain-main
di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam kecil
memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata
yang melengkung dan panjang.
Mata itu memang tidak begitu
bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi begitu bening
dan jelas terisi api kehidupan yang tak pernah padam, membayangkan semangat
yang kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup yang sehat. Yang paling
mengesankan adalah bibirnya yang berbentuk manis sekali, akan tetapi
kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu nampak mengeras, tanda
bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras membaja, sungguhpun
pada bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati
seorang wanita sejati.
Gadis ini usianya baru tujuh
belas tahun paling banyak, namun sinar matanya sudah menunjukkan kematangan
jiwa, juga bentuk tubuhnya amat bagus, berisi dan sedang. Tubuh ini tertutup
oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan terbuat dari sutera mahal. Di
pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Tangan
kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang
tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu
memetik bunga merah.
˜Sumoi, mengapa kau mencegah
aku memetik bunga?! tanya gadis baju kuning, keningnya berkerut tanda tak
senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat seakan-akan ia takut
terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya itu.
˜Suci, apakah kau tidak
melihat warna bunga itu?!
Nona baju kuning memandang ke
arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata, ˜Aha, Ang I Niocu (Nona
Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik orang!! Ia tertawa
lagi dengan sikap genit.
Dara baju merah itu pun
tertawa dan menjawab, ˜Giok-gan Niocu, (Nona Bermata Kemala), tidak boleh
sembarangan saja orang memetik bunga merah!!
Keduanya tertawa gembira. Nona
baju juning itu melemparkan bunga putih ke arah sumoinya yang tidak mengelak
atau menyambut, dan bukan main... bunga itu dengan tepat sekali menancap di
atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias rambut seolah-olah ditancapnya
tangan-tangan. Dari sini saja dapat dibuktikan betapa hebat dan tinggi
kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu.
˜Terima, kasih, Suci. Terima
kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci.!
˜Aku lebih suka yang kuning
ini,! dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di atas rambutnya,
menambah kecantikannya.
Siapakah dua orang gadis yang
seperti bidadari ini? Dara-dara jelita yang selain cantik remaja menarik hati,
juga memiliki kepandaian istimewa? Dara baju merah itu bukan lain adalah Kiang
Im Giok yang semenjak ikut Pek Hoa Pouwsat memang suka sekali mengenakan
pakaian merah dan oleh orang-orang di kota Sian-koan mendapat sebutan Ang I
Niocu. Adapun dara baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim
piatu yang menjadi murid Kiang Liat. Karena gadis ini memiliki sepasang mata
yang luar biasa seperti kemala, maka para pemuda kota Sian-koan menghadiahi
julukan Giok Gan Niocu. Bagi para penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah
amat terkenal, terutama sekali bagi para pemudanya.
Biarpun Im Giok lebih cantik
dan hal ini diakui bahwa semua orang, namun para pemuda di kota Sian-koan lebih
guka mendekati Kim Lian, karena tak seorang pun berani main-main terhadap Im
Giok yang terkenal amat angkuh dan galak terhadap pria. Dan kalau dua orang
gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main terhadap
mereka semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat tinggi, bahkan
ada yang berani menyatakan bahwa kepandaian mereka sudah lebih tinggi daripada
kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri! Akan tetapi Kim Lian tidak seperti
Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira hati para pemuda-pemuda
yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning bermata intan ini suka
melayani mereka bicara sebentar apabila bertemu di jalan.
Oleh karena ini, semua pemuda
kota Sian-koan seakan-akan berlumba untuk merebut hati Giok Gan Niocu,
sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani berlagak.
Im Giok memang berwatak keras,
terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak pernah sudi memberi hati.
Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari Kam Kin, dan hal ini
cukup membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apalagi karena dalam
pandangannya, di kota Sian-koan, tidak ada seorang pun pemuda yang patut
mendapatkan perhatiannya! Sebaliknya, Kim Lian sering kali mempercakapkan
tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di kota Sian-koan yang didengar oleh Im
Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para pemuda, banyak berlancang mulut menyatakan
bahwa Kim Lian adalah kekasihnya.
Telah dituturkan di bagian
depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam lamunan dan kenangan
akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri dan isterinya, dan hubungannya
dengan puteri dan muridnya hanya apabila ia melatih ilmu silat mereka.
Selebihnya, Im Giok dan Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri, pelayan
banyak, uang ada, segala lengkap. Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah seorang
gadis yang pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim Lian yang
wataknya binal dan tidak mau tunduk terhadap siapapun kecuali terhadap gurunya,
patuh juga menghadapi Im Giok.
Tidak jarang kedua gadis ini
keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar kota, untuk
pesiar. Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jago-jago silat di kota lain
untuk minta petunjuk atau kasarnya untuk menguji kepandaian! Dan setiap kali
mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru silat atau jago silat itu
roboh baik oleh Im Giok maupun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah maka sebentar
saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota.
Pada pagi hari itu, untuk
menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini meninggalkan kota Sian-koan,
menunggang kuda berpesiar ke dalam hutah yang indah itu. Hutan ini belum pernah
mereka datangi karena letaknya memang jauh kurang lebih lima puluh li dari
Sian-koan, terletak di lereng pegunungan yang kaya akan hutan-hutan indah.
Seperti biasa, mereka
bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di dalam hutan itu.
˜Ayah telah berkata benar,!
kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke kanan kiri, ˜indah
sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah menyuruh kita berangkat
sebelum fajar agar dapat pagi-pagi sampai di sini.!
˜Suhu memang sudah banyak
pengalaman, sudah menjelajah di seluruh pelosok. Aku ingin sekali berkelana
seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu,! kata Giok Gan Niocu Song Kim Lian.
˜Mengapa tidak? Aku pun ingin
sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci. Kalau teringat akan
guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia.!
˜Kau ingin mencoba kepandaian
bekas gurumu sendiri?! tanya Kim Lian.
˜Tidak hanya mencoba, bahkan
aku harus meroboh kannya. Dialah yang menyebabkan ibuku meninggal dunia dan ayahku
berduka selalu. Dialah musuh besarku yang harus kubunuh!! kata Im Giok dengan
suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia teringat betapa ia amat kagum
dan cinta kepada gurunya itu.
˜Mengapa tidak sekarang saja
kau pergi mencarinya? Aku suka membantumu, Sumoi, biarpun kepandaianku tidak
ada artinya.!
Im Giok menarik napas panjang.
˜Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku tidak tega, dia
kelihatan selalu bersedih...! Wajahnya yang cantik menjadi muram dengan
mendadak, juga Kim Lian mengerutkan sepasang alisnya yang hitam seperti dicat.
Tadi ketika mereka bergembira
dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang setelah
keduanya berdiam diri telinga mereka menangkap suara yang mencurigakan, sayup
sampai terdengar bentakan-bentakan dan derap kaki kuda.
Ang I Niocu Kiang Im Giok
mendengar lebih dulu, karena memang telinganya lebih terlatih.
˜Suci ada terjadi sesuatu di
sebelah timur hutan ini,! katanya.
Kim Lian miringkan kepalanya,
penuh perhatian. ˜Benar, Sumoi. Ada orang berteriak minta tolong. Mari kita ke
sana.!
Akan tetapi Im Giok sudah
membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah membalapkan kuda
masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlumba, akan tetapi kalau
biasanya mereka berlumba sambil tertawa, kini mereka beriumba dengan kening
berkerut dan sikap garang.
Mereka selain berkepandaian
silat tinggi, juga ahli menunggang kuda, maka sebentar saja mereka telah tiba
di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga mereka tadi. Dan apa yang
mereka lihat di situ membuat dua orang dara itu menjadi merah mukanya saking
marahnya.
Ternyata bahwa serombongan
orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti tentara, sedang
menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa buntalan seperti
orang-orang sedang mengungsi. Rombongan orang-orang ini terdiri dari lima orang
kakek dan tujuh orang muda yang pakaiannya seperti pelajar-pelajar lemah.
Keadaan di situ mengerikan
sekali. Semua anggauta rombongan pengungsi itu telah menggeletak mandi darah,
ada yang masih berkelojotan menghadapi maut. Akan tetapi yang mengagumkan
sekali, di situ terdapat seorang pemuda pelajar yang melawan mati-matian.
Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguhpun tubuhnya sudah penuh luka.
Ia menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri dan sungguhpun gerakannya
menandakan bahwa ia tidak mengerti ilmu silat, namun agaknya ia memiliki
keberanian besar sehingga dengan nekat ia masih dapat melawan dan melindungi
diri. Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu,
maka ia dibuat permainan, sengaja tidak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini
sambil ditertawakan.
Ada sebagian pula tentara yang
mengumpul-ngumpulkan bungkusan yang tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari
barang berharga.
˜Anjing-anjing hina dina!!
Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya sudah
melayang turun dari kuda. Bagaikan seekor harimau betina ia menerjang dan
robohkan dua orang yang tadinya berdiri bengong melihat kedatangan dua orang
bidadari ini.
Kim Lian menyambut sebatang
pedang yang tadi dipegang oleh dua orang ini dan sekali babat putuslah leher
dua orang itu.
Keadaan menjadi geger. Semua
serdadu ini memandang dan mereka yang tadinya mengumpul-ngumpulkan barang, kini
menerjang Kim Lian.
˜Keparat jahanam, kalian harus
dibasmi!! Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah sinar merah menyambar ke
sana ke mari lalu sinar merah ini menerjang mereka yang tengah mempermainkan
pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena mereka menjadi korban
pedang di tangan Ang I Niocu Kiang Im Giok!
Pemuda itu entah saking
lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah makin kagum dan
herannya melihat melihat seorang dara baju merah sedemikian gagah dan cantik
jelitanya, tiba-tiba lenyap semua daya dan semangatnya melawan dan lemasiah ia,
lalu tertunduk dengan mata bengong.
Im Giok dan Kim Lian mengamuk
garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang serdadu menggeletak dalam
keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok. Pedangnya berkelebatan dan
setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang lawan. Akan tetapi tak pernah
Im Giok menewaskan lawannya, hanya merobohkannya saja. Berbeda dengan Im Giok,
orang yang roboh oleh pukulan Kim Lian pasti takkan dapat bangun lagi untuk
selamanya!
Menghadapi amukan dua orang
dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu tidak kuat
bertahan lagi. Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting dan
sebagian pula berteriak-teriak keras,
˜Kam-ciangkun...! Tolonglah
kami...!
˜Suci, sudahlah jangan
mengejar mereka,! Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak mengejar terus. Kim
Lian tak puas, akan tetapi ia tidak membantah dan menghentikan pengejarannya.
Ketika dua orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi telah
menghasilkan robohnya enam belas orang lawan, yang enam orang tewas dan yang
sepuluh terluka. Akan tetapi ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa
rombongan pengungsi tadi sebanyak dua belas orang, sebelas orang telah tewas.
Hanya pemuda sastrawan yang tabah tadi saja masih hidup, tubuhnya penuh darah
akan tetapi luka-lukanya ringan dan ia masih duduk bengong telongong memandang
ke arah Im Giok dan Kim Lian.
Melihat betapa semua serdadu
dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu, Si Sastrawan muda
lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyung-huyung menghampiri Im Giok dan
Kim Lian, kemudian menjura dengan tubuh gemetar saking lemah dan sakit-sakit.
˜Ji-wi-lihiap sungguh gagah...
sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini...! ia menengok ke arah
kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi, ˜mereka ini... tak tertolong
lagi...! Pemuda itu menjadi pucat dan nampak berduka sekali.
"Akan tetapi kami dapat
menolongmu," kata Kim Lian sambil memandang dengan mata bersinar-sinar.
Juga Im Giok baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang
berdiri di depannya itu.
Tadi dalam keributan ia tidak
memperhatikan, akan tetapi sekarang baru ia melihat dan ia harus mengaku bahwa
selamanya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah
demikian tampan dan menarik hati. Juga tadi ia telah membuktikan bahwa
semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi bahwa pemuda ini berjiwa
besar. Dalam keadaan sengsara, ia tidak memikirkan keadaan diri sendiri, bahkan
menyayangkan bahwa kawan-kawannya tidak tertolong. Juga bicaranya demikian
sopan-santun, lemah-lembut dan ketika bicara, matanya tidak memandang kurang
ajar seperti semua laki-laki yang pernah dijumpainya! Hati Im Giok berdebar
aneh.
Mendengar kata-kata Kim Lian,
pemuda itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.
"Biarpun aku amat
berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah menyelamatkan
nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang seperti aku
tertolong kalau mereka ini tewas? Aku seorang yatim piatu tiada guna, lemah dan
tak dapat melindungi mereka ini... sebaliknya mereka ini... ah, keluarga mereka
menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau tahu akan malapetaka
ini..."
Bicara sampai di situ, pemuda
itu makin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan semenjak tadi tubuhnya
yang tidak terlatih itu telah terlalu banyak menahan rasa nyeri dari
luka-lukanya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi kepalanya
pening kedua kakinya lemas dan pandang matanya gelap. Akhirnya ia terguling dan
tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju dan
memeluknya!
"Suci...!" Im Giok
menegur dengan muka berubah merah ketika ia melihat bagaimana sucinya memeluk
tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan juga...
panas!
"Sumoi, dia patut
dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah..." Kim Lian membela diri
sambil tersenyum, kemudian dengan perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas
tanah.
Im Giok mengambil botol arak
dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia meminumkan sedikit arak pada
pemuda yang masih pingsan itu, kemudian setelah memeriksa beberapa luka yang
agak banyak mengeluarkan darah, tanpa sungkan-sungkan lagi ia lalu menotok
jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah. Kim Lian memandang semua ini
dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya ia melihat sumoinya berlaku
demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda!
"Sumoi, lihat siapa yang
datang itu!" tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri. Im Giok juga
mendengar suara derap kaki berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat
berdiri, tak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang telah siuman dan
perlahan bangun duduk dengan tubuh masih lemas.
Yang datang adalah sisa dari
serdadu yang mereka amuk tadi, kini datang berlari mengiringkan dua orang yang
menarik perhatian. Yang seorang adalah laki-laki setengah tua yang berpakaian
sebagai seorang komandan tentara, lengkap dengan baju bersisik besi dan golok
besar tergantung di pinggang. Orang kedua adalah seorang kakek jangkung dan
bungkuk, kepalanya besar sekali akan tetapi tubuhnya kurus kecil, sehingga
nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat cara kakek aneh ini berlari,
tahulah Im Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh itulah yang tak boleh dipandang
ringan karena terang sekali memiliki kepandaian tinggi.
Kim Lian sama sekali tidak
mengenal dua orang ini, apalagi melihat, mendengar pun belum pernah. Akan
tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan tadi, ia merasa
kenal akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu dengannya. Ketika melihat
golok besar yang tergantung di pinggang orang, tiba-tiba teringatlah ia bahwa
komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa Pouwsat!
"Suci, komandan itu
adalah Giam-ong-to Kam Kin, kau sambutlah kalau mereka bermaksud buruk. Kakek
aneh itu bagianku, ia lebih lihai," kata Im Giok berbisik. Kim Lian
tersenyum mengejek. Biarpun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, namun ia pernah
mendengar cerita im Giok tentang Golok Maut ini dan ia memandang rendah.
Memang betul apa yang
dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang berjuluk
Giam-ong-to Si Golok Maut. Adapun kakek yang aneh itu adalah Cheng-jiu Tok-ong
(Raja Racun Tangan Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga pernah menjadi guru
Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu. Dia
adalah seorang tokoh barat. Dahulu ketika ia masih muda memang Cheng-jiu
Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat, akan tetapi karena di Tiongkok
terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, I Kak Thong
Thaisu, Kiu-bwe Coa-li, Hek I Hui-mo, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai
(tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Cheng-jiu Tok-ong tidak berani muncul
di pedalaman Tiongkok.
Operasi kejahatannya hanya di
perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan dan India saja.
Setelah puluhan tahun ia bersembunyi dan bertapa, sekarang tua-tua ia turun
gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, Giam-ong-to Kam Kin.
Semenjak masih mudanya, Kam
Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan dari
orang-orangnya bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang
gadis gagah, ia marah sekali. Akan tetapi begitu sampai di tempat itu dan
memandang kepada dua orang gadis yang cantik jelita jarang tandingannya,
matanya bersinar dan mulutnya menyeringai. Apalagi ketika melihat Im Giok, ia
benar-benar merasa kagum bukan main. Selama hidupnya belum pernah ia bertemu
dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa juga tidak secantik ini,
pikir Kam Kin. Akan tetapi karena berada bersama gurunya dan juga di depan anak
buahnya, ia berkata,
"Ah, inikah dua gadis
yang sudah berani mati membunuh tentara?"
Im Giok melangkah maju dan
berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri mulutnya. "Bagus
sekali sejak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan tentara? Apakah
kedatanganmu ini hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?"
Kam Kin melengak dan memandang
Im Giok penuh perhatian. Ia telah berpisah dari Im Giok semenjak anak ini
berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun telah lewat dan kini Im Giok telah menjadi
seorang gadis dewasa. Akan tetapi dahulu pun ketika berusia sepuluh tahun, Im
Giok telah memiliki dasar kecantikan yang mengagumkan. Biarpun kini ibarat
bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi garis-garis pada mukanya, bentuk mata
hidung dan mulutnya tidak berubah dan akhirnya teringatlah Kam Kin.
"Kiang Im Giok! Kau kah
ini?"
"Baru terbuka
matamu," kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek.
"Kurang ajar! Kau berani
bersikap begini terhadap susiokmu sendiri?" Kam Kin membentak. Ia marah
sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya
sehingga untuk sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid keponakannya
itu.
"Kam Kin, siapakah Nona
ini?" tanya Cheng-jiu Tok-ong dengan suaranya yang seperti burung kakatua.
"Suhu, dia ini sebetulnya
bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan tetapi memang
wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya." Kemudian ia berpaling
lagi kepada Im Giok dan membentak,
"Im Giok, andaikata kau
tidak menaruh sungkan kepada susiokmu, apakah kau juga tidak menaruh hormat
terhadap sucouwmu (kakek gurumu)? Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada
sucouwmu ini, guru dari Suci Pek Hoa."
Akan tetapi Im Giok memandang
dingin dan menjawab, "Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini. Jangan kau
mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini."
Kam Kin menjadi marah sekali.
Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke muka Im Giok.
"Bocah tak tahu aturan! Tidak saja kau telah membunuh banyak anggauta
tentara, akan tetapi kau juga bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu!
Kau benar-benar telah bosan hidup!"
"Monyet bercelana, kau
berani menghina sumoiku?" tiba-tiba Kim Lian membentak marah dan ia
melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil bertolak pinggang.
"Mentang-mentang, kau berjuluk "Si Golok Maut", lalu hendak
menjual lagak di sini? Tidak laku, monyet!"
"Gadis liar kurang ajar!"
Kam Kin marah sekali.
"Kau yang kurang
ajar!" bentak Kim Lian. "Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihat,
kutampar mulutmu!"
Baru saja kata-kata ini
diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak, Kam Kin bingung melihat
gerakan ini dan berlaku agak lambat.
"Plak!" tangan kiri
Kim Lian menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah.
"Anjing betina, kubunuh
kau!" bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya.
"Kutempiling kepalamu,
awas!" Kim Lian berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua tangannya.
Lagi-lagi terdengar suara "plak!" dan topi di kepala Kam Kin sampai
miring terkena tamparan telapak tangan gadis jenaka itu, Kam Kin merasa
kepalanya puyeng dan cepat ia melompat ke belakang menggeleng-geleng kepala
untuk mengusir rasa puyeng
Kemudian, sambil mengeluarkan
suara keras seperti seekor harimau, ia menyerang Kim Lian dengan golok
besarnya.
Tadi Kim Lian berhasil dengan
tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah mewarisi ilmu silat
dari keluarga Kiang yang amat lihai. Ilmu silat yang selain indah seperti
tarian, juga mengandung gerakan yang membingungkan dan tidak terduga-duga.
Apalagi setelah ilmu silat itu
diperbaiki oleh nasihat-nasihat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya
mengagumkan orang. Akan tetapi setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tidak
berani lagi berlaku main-main. Gerakan golok Kam Kin benar-benar amat berbahaya
dan kuat, tidak seharusnya dilawan dengan main-main. Berbeda dengan Im Giok
yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong
secara lebih mendalam. Gadis ini memang berbakat sekali untuk
menggerak-gerakkan tangan kakinya, maka Kiang Liat Si Dewa Tangan Seribu
memberi pelajaran ilmu silat tangan kosong secara tekun kepada muridnya ini.
Menghadapi rangsakan golok Kam
Kin, gadis ini lalu mengeluarkan ilmu silatnya dan mainkan gerak tipu ilmu
silat tangan kosong yang bernama Kong-jiu-sin-i (Tangan Kosong Menyambut
Hujan). Kedua lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari tangannya
dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan orang menari, akan tetapi gerakan
sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor ular,
sedangkan jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan darah
yang amat berbahaya. Beberapa kali dalam gebrakan pertama saja, jalan darah di
pergelangan lengan, siku dan pundak kanan Kam Kin hampir saja menjadi korban!
Kam Kin terkejut sekali dan ia berlaku hati-hati, maklum bahwa ia menghadapi
seorang gadis cantik jelita yang benar-benar lihai.
Pada jurus ke tiga puluh,
terdengar Kim Lian menjerit nyaring, "Monyet tua, pergilah!"
Jari-jari tangan kiri Kim Lian
menyambar cepat, menangkis serangan golok dengan mendahului kecepatan lawan,
menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang memegang golok. Pada saat itu
juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk muka dan kaki kiri menyusul cepat
menendang lutut!
Kam Kin terkejut sekali karena
tidak mengira bahwa lawannya akan secepat itu, berani menyampok pergelangan
tangannya, kemudian tiba-tiba jari tangan kanan gadis itu sudah menusuk dan
hampir saja matanya menjadi korban. Cepat ia membuang tubuh bagian atas ke
belakang untuk menyelamatkan mukanya, akan tetapi segera serangan kaki Kim Lian
sudah mengenai sasaran. Kam Kin berseru kesakitan dan tubuhnya terlempar ke
belakang, jatuh bergebruk dan merintih-rintih karena sambungan tulang lututnya
terlepas!
Anak buahnya cepat menolong
dan menggotong ke pinggir. Kim Lian tertawa-tawa mengejek, "Monyet tua,
mana golok mautmu?"
"Bocah sombong,
pergilah!"
Yang berseru ini adalah kakek
tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang masih bertolak
pinggang dan tertawa-tawa. Kim Lian maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat
ia mengangkat tangan menangkis ketika melihat kakek itu menggerakkan ujung
lengan bajunya yang panjang ke arahnya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika
ujung lengan baju itu bagaikan hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang
menangkis tadi dan sebelum ia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa
dirinya dibetot! Kim Lian mengerahkan lwee-kang untuk menahan tubuh sambil
menarik lengannya akan tetapi tiba-tiba ia berseru,
"Celaka...!" dan
tubuhnya terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja, Im
Giok tidak cepat-cepat menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis
ini tidak jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel dan terangkat ke atas!
Ternyata bahwa Chen-jiu
Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu mengerahkan
tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau tadi membetot
sekarang ia mendorong. Tidak heran apabila Kim Lian terjengkang ke belakang,
terbawa oleh tenaga betotannya sendiri ditambah tenaga dorongan Tok-ong. Gadis
ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap hendak menyerang.
˜Kakek bangkotan, kau
curang!" bentaknya.
"Suci, mundurlah."
Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya. Kemudian Im Giok
menghadapi Cheng-jiu Tok-ong dan berkata tenang,
"Kalau tidak salah,
Locianpwe ini adalah Cheng-jiu Tok-ong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi aku
yang muda sungguh merasa heran sekali mengapa Locianpwe mendiamkan saja, bahkan
membela Giam-ong-to Kam Kin yang setelah menjadi komandan membiarkan anak
buahnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Aku dan suciku sedang
bermain-main di hutan ini dan kami melihat banyak tentara melakukan pembunuhan
besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu, tanpa
mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ong-to Kam Kin, kami membela
rakyat dan melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini membawa
sisa tentara mempunyai niat apa?"
"Bocah, kau benar-benar
menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan mengagumi
kata-katamu sebagai seorang bocah kau ternyata mempunyai pandangan yang luas
dan kata-kata yang teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek Hoa, berarti
kau adalah cucu muridku. Bagaimana kau berani sekali bersikap begini kurang
ajar terhadapku? Andaikata kau sekarang juga menjatuhkan diri berlutut dan
minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun. Sikapmu sudah jauh melampaui
batas. Mengapa?"
"Locianpwe, jangan salah
sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti berani bersikap
kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang sesungguhnya karena
aku telah diculiknya dari orang tua, oleh karena itu aku pun tak mungkin
mengaku kau sebagai sucouw."