-------------------------------
----------------------------
006 Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
1
SAMPAI menjelang tengah malam
pesta perkawinan puteri Ki Lurah Rantas Madan dengan putera Ki Lurah Jambar
Wulung masih kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil
menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati
permainan gamelan dan suara pesinden Nit Upit Warda yang lembut mengalun
membawakan tembang “Kembang Kacang.”
Kedua mempelai yang berbahagia
yaitu Ning Leswani dan Rana Wulung kelihatan duduk diantara para tamu dibarisan
kursi paling depan, tepat dimuka panggung. Ki Lurah Rantas Madan duduk di
samping Rana Wulung bersama istrinya sedang Ki Lurah Jambar Wulung di sebelah
Ning Leswani juga bersama istrinya.
Karena masing-masing mempelai
yang kawin adalah anak-anak lurah dari dua desa yang berdekatan maka dengan
sendirinya suasana perkawinan meriah dan besar-besaran. Malam itu adalah malam
pesta perkawinan yang pertama dan besok lusa akan dilanjutkan dengan pesta
perkawinan yang kedua dan ketiga.
Pada menjelang dinihari di
mana udara dinginnya mencucuk tulang-tulang sampai ke sungsum, tamu-tamu sudah
banyak yang pulang.
Beberapa orang yang masih
disana sudah mengantuk bahkan banyak yang tertidur seenaknya di kursi. Para
pemain gamelan di bawah pimpinan Ageng Comal tak ketinggalan ketularan kantuk
sehingga Ageng Comal menghentikan permainan sampai di situ.
Ki Lurah Rantas Madan dan Ki
Lurah Jambar Wulung bersama istri masing-masing berdiri dari kursi mereka dan
disertai beberapa orang lainnya kemudian melangkah mengiringi kedua penganten
masuk ke dalam rumah besar yang tentunya terus ke dalam kamar!
Namun, belum lagi rombongan
ini mencapai tangga langkan rumah, dari atas atap mendadak berkelebat satu
sosok tubuh manusia, melompat ke atas panggung! Kedua kakinya menjejak taron
(salah satu alat bunyi-bunyian dalam permainan gamelan) sedang kedua tangan
berkacak pinggang.
Jarak atap rumah dan lantai
panggung demikian tingginya tapi manusia tadi melompat ke atas taron tanpa
menimbulkan suara sedikitpun. Bahkan taron itu sama sekali tidak bergerak
ataupun bergeser!
Orang ini masih muda belia,
berbadan agak kurus dan tinggi.
Rambutnya gondrong sampai ke
bahu. Pada parasnya yang gagah itu terbayang sifat buas, apalagi jika
diperhatikan sepasang bola matanya hal itu akan lebih kentara lagi.
Pemuda ini mengenakan jubah
hitam yang sangat panjang sehingga menjela-jela di atas taron dan lantai
panggung. Jubah hitam ini disulam dengan bunga besar-besar berwarna kuning.
Pada belakang kain penutup kepalanya tertancap sebuah bunga kertas yang juga
berwarna kuning.
Melihat alat bunyi-bunyian
diinjak seenaknya demikian rupa oleh seorang pemuda tak dikenal, tentu saja
Ageng Comal menjadi marah sekali. Pemimpin kesenian gamelan ini maju melangkah
sambil membentak.
“Pemuda kurang ajar! Turun
dari taron itu sebelum kupatahkan batang lehermu!”
Seringai menggurat di wajah si
pemuda. Dari mulutnya meledak suara tertawa yang menggetarkan dan menggidikkan
serta membuat liang telinga seperti ditusuk-tusuk!
Suara tertawa itu, yang didahului
oleh suara bentakan Ageng Comal tadi dengan serta merta membuat semua orang
berpaling. Tamu-tamu yang duduk terhenyak tidur di kursi terbangun oleh
kedahsyatan tertawa si jubah hitam dan semua mata ditujukan adanya.
Beberapa orang yang mengenali
ciri-ciri pemuda di atas taron itu berseru kaget. “Pendekar Pemetik Bunga!”
Maka suasana itupun mendadak
sontak menjadi gempar penuh ketegangan. Yang memiliki senjata segera
menggerakkan tangan bersiap sedia menjaga segala kemungkinan.
Ki Rantas Madan berbisik pada
menantunya, “Rana, bawa istrimu ke dalam, cepat!”
Sedang Ki Lurah Jambar Wulung
berbisik pula pada istrinya, “Wiri, cepat masuk ke dalam. Bawa besanmu serta…”
Rana Wulung yang memang pernah
mendengar dan mengetahui siapa adanya manusia bergelar “Pendekar Pemetik Bunga”
itu segera memegang lengan istrinya lalu membimbing Ning Leswani. Istri Ki
Lurah Jambar Wulung serta besannya mengikuti di belakang mereka.
Namun baru saja mereka
bergerak satu langkah, pemuda jubah hitam di atas taron membentak garang.
“Siapa berani meninggalkan
tempat ini berarti mampus!”
Semua yang melangkah jadi
berhenti.
Ki Lurah Jambar Wulung hendak
melangkah kea rah panggung, besannya – Rantas Madan – memegang lengannya dan
berbisik, “Jangan tempuh jalan kekerasan, Ki Lurah Jambar. Manusia ini tinggi
ilmunya dan berbahaya. Biar aku yang bicara…”
Habis berkata demikian Ki
Lurah Rantas Madan maju ke depan panggung. Dia menegur dengan nada seramah
mungkin.
“Pendekar Pemetik Bunga,
kedatanganmu sungguh tak kami duga. Kalau kau ke sini hendak memberikan restu
ucapan selamat kepada puteri dan menantuku, sebelumnya aku haturkan terima
kasih.”
“Ah..,” Pendekar Pemetik Bunga
rangkapkan tangan di muka dada kemudian tertawa bergelak-gelak. Matanya yang
menyipit hampir terpejam karena tertawa itu. Dan dalam tertawa itu sesungguhnya
kedua matanya memandang tajam kepada Ning Leswani yang cantik jelita. Disekanya
ujung bibirnya dengan telapak tangan.
“Orang tua, kau sedikit lebih
ramah dari besanmu,” kata Pendekar Pemetik Bunga pula. ”Tapi ketahuilah, aku
datang ke sini bukan buat kasih ucapan selamat tapi sebaliknya.”
Pendekar Pemetik Bunga untuk
kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak.
“Aku datang untuk menjemput
puterimu, Ki Lurah,” katanya. “Dia sudah ditakdirkan menjadi milikku!”
Berubahlah air muka orang
banyak terutama Rantas Madan, Jambar Wulung, Rana Wulung dan Ning Leswani.
Suasana sehening dipekuburan.
Tegang mencekam.
Ki Lurah Jambar Wulung tak
dapat lagi menahan hati dan luapan amarahnya.
“Setan alas! Lekas angkat kaki
dari sini kalau tidak ingin kupecahkan batok kepala sintingmu itu!”
Pendekar Pemetik Bunga
mendengus.
“Mulutmu keliwat besar, Ki
Lurah. Kau andalkan ilmu apakah?!” bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Sebagai jawaban, Jambar Wulung
melompat ke atas panggung. Laki-laki ini tidak memiliki ilmu kesaktian dan tak
pernah menuntut ilmu kebathinan. Namun dalam ilmu silat luar dia sudah
menjajakinya sampai tingkat teratas. Karenanya tidak mengherankan gerakannya
melompat ke atas panggung tadi gesit dan enteng. Namun Pendekar Pemetik Bunga
menyaksikan gerakan itu dengan sikap sinis dan air muka mengejek.
Matanya yang tajam dan
pengalamannya yang dalam sekilas saja sudah melihat dan mengetahui bahwa Ki
Lurah Jambar Wulung hanya memiliki ilmu silat luar, tak mempunyai isi apa-apa!
Di lain pihak, begitu kedua
kakinya menginjak lantai panggung, begitu Jambar Wulung berkelebat mengirimkan
serangan. Meski ilmu silatnya ilmu silat yang tak memiliki tenaga dalam, namun
serangan yang dilancarkannya menimbulkan angin deras.
“Huh, segala silat picisan.
hendak diandalkan!” ejek Pendekar Pemetik Bunga. “Makan sikutku ini, Ki Lurah!”
Manusia ini kelihatan menggeserkan kaki kirinya sedikit dan tahu-tahu terdengar
suara, “ngek!”
Suara itu keluar dari mulut
Jambar Wulung. Tubuh Ki Lurah ini terpelanting menabrak gong besar di sudut
panggung sebelah kanan, terus jatuh ke bawah panggung bersama alat
bunyi-bunyian itu dengan menimbulkan suara hiruk pikuk.
Begitu terhampar di tanah
Jambar Wulung tak bangun lagi alias pingsan. Dua tulang iganya telah hancur
remuk di makan sikut Pendekar Pemetik Bunga!
Melihat ayahnya dibuat
demikian rupa, naiklah darah Rana Wulung.
Tapi sebelum dia bergerak,
mertuanya – Ki Lurah Tantas Madan – cepat memegang bahunya. Orang tua ini
segera mendahului hendak melompat ke panggung tapi di atas panggung dilihatnya
Ageng Comal sudah berhadap-hadapan dengan Pendekar Pemetik Bunga!
“Pemuda keparat! Biang racun
pengacau! Jaga kepalamu!”
Ageng Comal dengan
mempergunakan pukulan gong menyerbu ke muka. Pemuda yang diserang rundukkan
kepala. Begitu pukulan gong berdesing di atasnya, cepat sekali tangan kirinya
meluncur ke muka. Ageng Comal yang juga pernah mendalami ilmu silat melihat
serangannya lewat serta menyaksikan serangan balasan lawan dengan sigap memiringkan
tubuh ke kiri. Serentak dengan itu lutut kanannya dilipat menyongsong pukulan
lawan!
Secara ilmu luar, memang walau
bagaimanapun kepalan tak akan menang melawan lutut. Dan adalah sangat berbahaya
bagi seorang yang menyerang dengan tinju bila dia meneruskan niatnya menyerang
lutut yang keras dengan tinjunya! Namun Pendekar Pemetik Bunga sama sekali
tidak menarik pulang serangannya!
“Ageng Comal!! Lekas tarik
tanganmu!” teriak seorang dibawah panggung berteriak memberi peringatan.
Tapi, “Braak!”
Kasip sudah!
Pemimpin kesenian gamelan itu
menjerit. Tubuhnya terguling pingsan di lantai panggung. Tulang tempurung
lututnya hancur, kakinya sendiri teruntai-untai hampir putus!
Semua mata melotot. Semua muka
pucat den semua mulut melongo!
Bagaimanakah tidak! Pemuda
jubah hitam di atas panggung itu merobohkan lawannya tanpa bergeser satu
langkahpun!
Di lain kejap seorang lain
telah melompat pula ke atas panggung.
Orang itu adalah Rantas Madan
yang sudah sejak tadi tak dapat lagi menahan hati panasnya.
Pendekar Pemetik Bunga
lontarkan pandangan mengejek pada orang tua itu.
“Kau juga mau cari penyakit
hah?!” hardiknya.
“Selagi masih ada waktu
berlututlah minta ampun! Hukumanmu pasti kuperingan!,” kata Rantas Madan.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh.
“Jangan ngaco, orang tua!
Kalau mau konyol marilah!” Tentu saja ditantang demikian rupa membuat Ki Lurah
Rantas Madan semakin berkobar kemarahannya. Tanpa menunggu lebih lama laki-laki
ini yang pernah menuntut ilmu kesaktian di Gunung Simping menerkam ke muka.
Dalam jarak satu meter saja
serangannya sudah menimbulkan angin bersiuran yang tajam dan menerpa ke arah
Pendekar Pemetik Bunga.
Yang diserang maklum bahwa
lawannya yang seorang ini berbeda dengan dua orang yang terdahulu. Tanpa
menghentikan tertawanya tadi, Pendekar Pemetik Bunga lantas mengangkat dan
melambaikan tangan kirinya ke muka. Setiap angin keras yang menggetarkan
panggung bersuit memapas tubuh Ki Lurah Rantas Madan. Serangannya dengan serta
merta buyar dan tubuhnya sendiri kemudian terangkat ke udara setinggi lima
tombak, hampir menyundul atap panggung!
Dengan cekatan Ki Iurah Rantas
Madan jungkir balik di udara kemudian dengan gerakan kilat menukik dan
menghantamkan tangan kanannya ke arah lawan! inilah jurus “Walet Menukik
Lembah!”
Pemuda bertampang gagah tapi
buas garang itu terkejut sekali sewaktu merasakan angin panas menyerang
kepalanya! Cepat-cepat dia rundukkan tubuh sebatas pinggang dan balas
mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kanan.
Ki Lurah Rantas Madan
terdengar menjerit. Tubuhnya mental ke atas, melabrak dan membobolkan atap
panggung, lenyap dari pemandangan untuk kemudian terdengar gedebuk tubuhnya
sembilan tombak di tanah di belakang panggung! Waktu jatuh kepalanya lebih
dahulu, tulang lehernya patah! Nyawanya lepas. Ning Leswani dan beberapa
perempuan yang ada di sana menjerit! Bersama ibunya temanten perempuan itu
hendak lari memburu ayahnya namun Rana Wulung dan seorang lainnya, menahan
mereka.
Rana Wulung seorang pemuda
terpelajar yang tak kenal satu jurus ilmu silatpun! Namun menyaksikan kematian
ayah serta mertuanya itu gelaplah pemandangannya! Keris perhiasan penganten
yang tersisip di pinggang segera dicabut. Ketika melompat ke atas panggung kaki
kanannya hampir terserandung!
“Ho-ho! Temanten juga mau ikut-ikutan
minta digebuk?!” teriak Pendekar Pemetik Bunga.
“Kubunuh kau keparat!” bentak
Rana Wulung menggeledek. Keris di tangan kanannya ditusukkan sekeras-keras dan
secepat-cepatnya ke dada Pendekar Pemetik Bunga.
“Budak tolol!” maki Pendekar
Pemetik Bunga.
Sekali pemuda jubah hitam itu
gerakkan tangannya maka keris yang dipegang Rana Wulung sudah kena dirampas,
dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya!
Suata tertawa Pendekar Pemetik
Bunga kemudian terdengar mengumandang diseantero panggung. Kemarahan dan sakit
hati Rana
Wulung tiada terperikan.
Dengan kedua tinju terpentang dia menyerbu ke muka.
“Edan betul!” bentak Pendekar
Pemetik Bunga. “Masih tak melihat tingginya gunung dalamnya lautan!” Dan
manusia ini segera menyongsong serangan Rana Wulung dengan tendangan maut yang
mengarah lambung!
Kalau saja Rana Wulung seorang
yang mengetahui sedikit ilmu silat, dalam posisinya seperti saat itu sebenarnya
dia masih sanggup dan punya kesempatan untuk mengelak atau berkelit atau
sekaligus melompat cepat ke samping. Tapi sayang, pemuda ini tidak tahu apa-apa
tentang persilatan dan kaki maut Pendekar Pemetik Bunga sementara itu semakin
dekat menyambarnya ke perut si pemuda.
Setengah kejapan lagi pasti
robeklah perut Rana Wulung. Ning Leswani menjerit. Ibu Rana Wulung juga
menjerit untuk kemudian jatuh pingsan sebelum sanggup menyaksikan apa yang
bakal dialami anaknya!
Beberapa orang mengeluarkan
seruan tertahan. Agaknya tak satupun yang bisa berbuat apa-apa! Agaknya sudah
nasib Rana Wulung bakal menemui kematiannya pada hari pernikahannya itu!
2DI SAAT ajal sudah di depan
mata, di saat maut hendak merenggut maka tiada terduga, di saat itu pula dari
bawah panggung sebelah barat melesat sebuah benda yang mengeluarkan cahaya
berkilau. Benda ini melesat ke arah kaki kanan Pendekar Pemetik Bunga yang
mencari maut di perut Rana Wulung!
Tentu saja Pendekar Pemetik
Bunga menjadi terkejut dan terpaksa menarik pulang serangannya. Benda yang
berkilau itu lewat dan menghantam taron sehingga alat bunyi-bunyian ini
terbalik dan hancur berantakan! Benda apakah yang sehebat itu dan siapa
gerangan yang melemparkannya? Siapa yang telah menolong Rana Wulung dari
kematian?!
“Pembokong licik! Cepat
unjukkan diri,” teriak Pendekar Pemetik Bunga marah sekali. Sepasang matanya
yang buas menyapu ke arah barang panggung.
Di bagian barat panggung
berdiri beberapa orang. Mata Pendekar Pemetik Bunga yang tajam tidak berhasil
kali ini menduga siapa gerangan manusia yang telah melemparkan senjata rahasia
tadi.
Dengan marah Pendekar Pemetik
Bunga mengangkat tangan kanannya ke udara dan berteriak, “Kalau tidak ada yang
mengunjuk diri, semua yang ada di panggung barat pasti kubikin mampus!”
Seorang laki-laki tua yang
berdiri di belakang sebuah kursi di bagian barat panggung berbatuk-batuk
beberapa kali. Laki-laki ini berpakaian bagus dan bertopi tinggi yang dihiasi
manik-manik. Jelas ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan atau
hartawan. Dia mengangkat kursi yang di depannya ke samping dan melangkah ke
muka panggung, berhenti sejarak dua tombak dari panggung.
“Cepat beri tahu siapa kau!”
bentak Pendekar Pemetik Bunga. Tangan kanannya masih belum diturunkan dan kini
telapaknya yang terbuka diarahkan pada orang tua berpakaian bogus.
“Aku hanya seorang tamu yang
mengunjungi pesta perkawinan ini, orang muda….”
“Hem… cuma seorang tamu saja
berani campur tangan! ilmu melemparkan senjata rahasia pengecut tadikah yang
kau andalkan?!”
Orang tua itu berbatuk-batuk
lagi.
“Meski cuma tamu buruk
begini,” katanya, “Aku juga adalah sahabat baik dari tuan rumah dan besannya.
Sungguh tidak enak sekali melihat nasib sahabat-sahabat yang nahas tanpa
bersedia turun tangan!”
“Oo begitu? Bagus!” ujar
Pendekar Pemetik Bunga pula.
“Sanggupkah kau menerima
pukulan tangan kananku?!” Orang tua berpakaian bagus itu tertawa dingin.
“Orang muda, nyalimu memang
besar sekali. Sayang kejahatanmu dan kebuasanmu jauh lebih besar lagi sehingga
aku yang tua ini terpaksa tak bisa berpangku tangan…”
“Orang gendeng yang tak tahu
gunung Semeru di depan hidung!
Terima pukulan Tapak Jagat
ini!”
Si orang tua cepat menyingkir
ke samping waktu Pendekar Pemetik Bunga menghantamkan telapak tangan kanannya
kedepan.
Semua orang terkejutnya bukan
olah-olah sewaktu melihat bagaimana tanah bekas tempat si orang tua berpakaian
bogus tadi menjadi berlubang besar di landa ilmu pukulan ‘Tapak Jagat’ si
pemuda jubah hitam. Pasir berterbangan, kursi-kursi jungkir balik berpatahan
sedang bumi bergetar! Kalau saja si orang tua tidak cepat menyingkir tak dapat
dibayangkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya! Namun di saat itu semua
orang dan Pendekar Pemetik Bunga sendiri sama memaklumi bahwa si orang tua
bukanlah orang tua sembarangan!
Tidak sembarang orang yang
sanggup mengelak dari pukulan ‘Tapak Jagat” itu!
“Orang tua, apakah kau masih
tetap berlaku pengecut tak mau kasih tahu nama?!”
“Ah, namaku atau siapa aku kau
tak perlu tahu. Aku tanya, apakah kau sudi angkat kaki dari sini atau tidak?!”
“Sombong betul” tukas Pendekar
Pemetik Bunga. “Jangan kira aku jerih terhadapmu. Silahkan naik ke atas
panggung!”
Si orang tua menghela nafas
panjang dan menggosok-gosok kedua tangannya. “Rupanya memang aku harus turun
tangan tidak tanggung-tanggung,” katanya pelahan tapi cukup terdengar oleh
semua orang.
“Betul! Memang dalam dunia
persilatan tidak boleh tanggung-tanggung!” menimpali Pendekar Pemetik Bunga.
“Kalau kau berani cari perkara, kau tak boleh tanggung-tanggung untuk pasrahkan
jiwa!”
Dan sekejap kemudian kedua
orang itupun sudah berhadap-hadapan di atas panggung, disaksikan puluhan pasang
mata, disaksikan oleh Rana Wulung yang saat itu menyingkir ke sudut panggung.
Rana tiada kenal siapa si orang tua. Namun dia maklum kalau orang tua ini
berilmu tinggi dan Rana Wulung berharap moga-moga si orang tua benar-benar bisa
menjadi tuan penolongnya.
“Apakah kau masih punya
simpanan senjata rahasia tadi, orang tua?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
Si orang tua tertawa dan balas
mengejek. “Kalau kau punya senjata keluarkalah, biar kuhadapi dengan tangan
kosong!”
“Sombong betul!” bentak
Pendekar Pemetik Bunga. Tanpa beranjak dari tempatnya dia lepaskan dua pukulan
tangan kosong yang dahsyat. Panggung itu tergetar keras. Si orang tua bersuit
nyaring dan melompat tiga tombak. Dari atas cepat berkelebat mencari posisi
baru dan balas mengirimkan dua jotosan yang tak kalah hebatnya. Dalam sekejapan
saja kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran seru. Lima jurus berlalu
cepat!
Pendekar Pemetik Bunga
penasaran sekali melihat ketangguhan lawan. Didahului dengan bentakan nyaring
dia mempercepat permainan silatnya. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini
dan dua jurus di muka dia sudah berhasil mendesak lawannya.
“Terima jurus kematianmu,
orang tua!” seru Pendekar Pemetik Bunga. Dan kejapan itu pula pukulannya yang
menyilang aneh membabat ke pinggang si orang tua. Yang diserang cepat
menyingkir sewaktu melihat serangan ganas itu dan menusukkan dua jarinya ke
muka, ke arah mata Pendekar Pemetik Bunga! Inilah jurus “Mencungkil Mata” yang
ganas.
Pendekar Pemetik Bunga tentu
saja tak mau kedua biji matanya dimakan dua jari lawan. Di lain pihak dia juga
tak mau tarik pulang pukulannya yang ganas. Karenanya dengan cepat pemuda itu
miringkan tubuh ke kiri. Sekaligus gerakannya Itu mempercepat perbawa serangan
tengannya ke arah pinggang lawan.
Si orang tua sadar kalau
tusukan jari tangannya tak bakal mancelakai lawan sebaliknya dirinya terancam
bahaya besar, lekas-lekas menjejak panggung dan melompat ke atas. Begitu lolos
dari gebukan lengan maut, si orang tua laksana alap-alap menukik ke bawah dan
lepaskan satu tendangan dua pukulan.
Jurus “Menembus Kabut
Mengintip Rembulan” yang dilancarkan si orang tua dikenal baik oleh Pendekar
Pemetik Bunga. Sambil tertawa mengejek dan menyebut jurus itu, si pemuda
berkelit lincah lantas kirimkan pukulan tangan kiri kanan yang mengarah empat
jalan darah berbahaya dari si orang tua!
Meski masih dalam terkejut
karena lawan mengetahui jurus yang dimainkannya namun si orang tua tiada ayal
untuk lekas-lekas menghindar dari serangan lawan!
“Orang tua, melihat jurus
Menembus Kabut Mengintip Rembulanmu tadi, ada hubungan apakah kau dengan Rah
Kuntarbelong? Lekas jawab!
Apa kau muridnya, hah?!”
Si orang tua menindih rasa
terkejutnya. Tak sangka kalau lawan bisa menduga nama gurunya!
Dan Pendekar Pemetik Bunga
sesaat kemudian tertawa bergelak.
“Tidak menyahut berarti
betul!” katanya. “Bagus sekali kalau begitu. Aku memang punya urusan yang belum
diselesaikan dengan Rah Kuntarbelong!
Sebagai permulaan kurasa ada
gunanya lebih dahulu bikin penyelesaian dengan muridnya!”
“Jangan banyak mulut Pendekar
terkutuk!” bentak si orang tua.
”Tahu pukulan apa yang bakal
kulepaskan ini?!” Pendekar Pemetik Bunga kerenyitkan kening dan memandang tajam
ke muka. Si orang tua dilihatnya berdiri dengan kaki merenggang. Lengan kiri
lurus ke bawah, tinju mengepal sedang tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di
atas kepala.
Lengan kanan itu kelihatan
berwarna biru.
“Ah cuma pukulan Kelabang
Biru…” ejek Pendekar Pemetik Bunga tapi diam-diam dia kerahkan tiga perempat
bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan karena dia sudah pernah tahu kehebatan
pukulan Kelabang Biru yang mengandung racun jahat itu yakni sewaktu berhadapan
di selatan tempo hari melawan Rah Kuntarbelong. “Lekaslah keluarkan supaya kau
sendiri melihat bahwa ilmu pukulanmu itu tak lebih dari kentut belaka!”
Geraham si orang tua
bergemeletakan diejek demikian rupa. Seluruh tenaga dalamnya sudah terpusat di
lengan dan lengan sampai ke ujung ujung jari sudah berwarna sangat biru.
Tiba-tiba terdengarlah
teriakan yang seperti mau merobek gendang-gendang telinga. Si orang tua
kelihatan menghantamkan lengan kanannya ke depan. Selarik sinar biru dengan
ganas menggebu ke arah Pendekar
Pemetik Bunga. Di saat itu
pula Pendekar Pemetik Bunga sudah menggerakkan tangan kanan melepaskan pukulan
“Tapak Jagat” yang diandalkan dengan tiga perempat tenaga dalamnya!
Begitu dua angin pukulan
bertemu terdengarlah suara berdentum laksana gunung meletus! Tiang-tiang
panggung patah, lantai dan keseluruhan panggung ambruk! Alat bunyi-bunyian yang
ada di atas panggung berhamburan, Rana Wulung mental ke luar panggung dan roboh
tak sadarkan diri sewaktu panggungnya menghantam batang sebuah pohon!
Kedua orang yang bertempur,
sewaktu panggung roboh cepat mencelat meninggalkan panggung. Dan ketika mereka
berdiri kembali berhadap-hadapan kelihatanlah bagaimana pucatnya paras si orang
tua. Satu pertanda bahwa saat itu dia menderita luka di dalam yang parah
sekali. Sebaliknya Pendekar Pemetik Bunga berdiri sambil melontarkan senyum mengejek
pada lawannya.
“Jika kau masih gila untuk
menempuh jalan kekerasan, jangan harap nyawamu akan tertolong!”
Si orang tua tahu, jika dia
mengerahkan tenaga dalamnya untuk meneruskan pertempuran, pastilah akan
mencelakai dirinya sendiri yang saat itu sudah terluka parah di bagian dalam.
Tapi untuk menyerah atau meninggalkan tempat itu adalah bertentangan sekali
dengan hati dan jiwa satrianya! Dicobanya mempertenang diri dan mengatur jalan
nafas serta aliran darah. Tapi dia tak berhasil. Nafas dan aliran darahnya
sudah tak karuan lagi!
“Budak, keluarkan kau punya
senjata!” bentak si orang tua.
“Ah, kalau kau mau keluarkan
senjata silahkan, tak usah memancing segala!” sahut si pemuda dengan tertawa
bergelak.
Mendengar ini si orang tua tak
sungkan-sungkan lagi untuk menanggalkan sabuk hitam yang ditaburi mutiara dari
Pinggangnya.
“Lusinan tokoh-tokoh jahat
sudah mampus dimakan sabuk mutiara ini, budak terkutuk! Kini kau adalah korban
selanjutnya!”
”Tak usah bicara panjang
lebar! Lekas majulah!” bentak si pemuda dan dalam hati dia berpikir-pikir
sampai di mana, kehebatan sabuk mutiara itu.
Si orang tua menggeru. Dia
maju dua langkah. Sabuk itu dipegangnya di tangan kiri. Nyatalah dia seorang
kidal. Dia menggeru lagi untuk kedua kalinya. Dan pada kali yang ketiga sambil
melompat ke muka si orang tua sapukan sabuk mutiaranya.
Kedahsyatan sabuk mutiara itu
sangat mengejutkan Pendekar Pemetik Bunga! Tubuhnya laksana dilanda
bertubi-tubi oleh ombak sebesar gunung. Dengan kerahkan tenaga dalam dan
andalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang tinggi dia berhasil mengelak sebat.
Namun tak urung akhirnya dia
kena di desak.
“Setan alas!” maki pemuda itu.
Untung saja lawannya sudah terluka di dalam yang teramat parah sehingga
gerakan-gerakannya agak lamban.
Melihat bahwa lawannya agak
jerih dan terdesak, si orang tua mempercepat gerakannya. Tiba-tiba Pendekar
Pemetik Bunga membungkuk dan kemudian berdiri lagi dengan memegang tepi jubah
hitamnya. Sekali dia mengebutkan tepi jubah hitam itu, hawa yang sangat pengap
menyambar dahsyat memapaki angin pukulan yang keluar dari sabuk mutiara si
orang tua! Si orang tua merasa kepengapan menyambar hidungnya. Nafasnya yang
memang sudah tidak normal kini menjadi tambah tak teratur. Ternyata sabuk
mutiara yang sangat diandalkannya tiada sanggup menghadapi kehebatan jubah
hitam lawan! Semakin lama tubuhnya semakin lemah, dadanya sesak dan
pemandangannya mengabur!
“Pemuda keparat, lihat ini!”
seru si orang tua. Tangan kanannya lenyap ke dalam saku baju dan ketika ke luar
lagi maka selusin senjata rahasia yang menyilaukan menyambar ke arah si pemuda.
Pendekar Pemetik Bunga tarik
jubahnya ke atas tinggi-tinggi lalu mengebutkannya ke bawah dengan cepat. Angin
pengap yang dahsyat menyambar. Lima senjata rahasia lawan berpelantingan. Tujuh
lainnya di sapu dan membalik menyerang pemiliknya sendiri! Malangnya si orang
tua tak menyangka dan tak sempat mengelak, Tubuhnya tak ampun lagi ditembusi ke
tujuh senjata rahasia miliknya sendiri! Orang tua itu mengeluarkan pekikan yang
menyayat hati! Tubuhnya tergelimpang di tanah. Dia mati dengan mata membeliak!
Mati dengan sabuk mutiara masih di tangannya.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa
mengekeh. Betapa menjijikkan dan mengerikan. Dia melangkah ke hadapan mayat si
orang tua dan membungkuk, Sabuk mutiara direnggutkannya dari tangan kiri mayat
lalu dipakainya di pinggang.
Dibalikkannya badannya.
Matanya memandang sekilas pada Ning Leswani yang berdiri dengan tubuh gemeter
dan muka pucat pasi.
Kemudian dia memandang
berkeliling. Dan serunya . “Siapa lagi yang inginkan mampus silahkan maju
dengan cepat.”
Tak satu orangpun yang
bergerak dari tempatnya.
Sambil tertawa panjang
Pendekar Pemetik Bunga melangkah mendekat Ning Leswani. Si gadis cepat menyurut
mundur. “Gadis manis, kau tak perlu takut padaku! Kau harus tahu, kunyuk yang
bernama Rana Wulung itu tidak pantas jadi suamimu. Lebih pantas jika kau ikut
aku…”
“Manusia biadab! Pergi…!”
teriak Ning Leswani. Pendekar Pemetik Bunga menyeringai. Dia maju melangkah.
Ibu Ning Leswani yang coba menghalanginya sambil berteriak-teriak dengan sekali
tepis saja tersungkur ke tanah.
“Pergi!” teriak Ning Leswani
lagi.
“Ya, kita pergi sama-sama
manisku!” sahut Pendekar Pemetik Bunga dengan mata yang memancarkan nafsu
menggelora. Diulurkannya tangannya untuk meraih pinggang gadis itu. Justru pada
saat itulah terdengar bentakan yang sangat nyaring.
“Pendekar terkutuk! Tarik
tanganmu…!”
3PENDEKAR Terkutuk Pemetik Bunga hentikan
gerakan tangannya yang hendak menjamah tubuh Ning Leswani. Kepalanya di putar.
Sepasang matanya membentur
sosok tubuh seorang laki-laki tua berbadan bungkuk, berambut dan berjanggut
putih. Orang tua yang berselempang kain putih ini berdiri dengan sebatang
tongkat bambu kuning di tangan kanan.
“Siapa kau?” bentak Pendekar
Pemetik Bunga.
Yang ditanya menyeringai dan
ketuk-ketukkan tongkat bambu kuningnya ke tanah. Ketukan ini membuat semua
orang merasa bagaimana tanah yang mereka pijak menjadi bergetar. Bambu kuning
di tangan si orang tua pastilah satu senjata yang sangat hebat. Dan orang-orang
yang masih ada di situ, yang membenci terhadap Pendekar Pemetik Bunga merasa
punya harapan kembali atas kemunculan si orang tua berselempangan kain putih
ini.
“Lekas jawab!” bentak Pendekar
Pemetik Bunga. “Kalau tidak kau akan mati percuma!”
Si janggut putih
ketuk-ketukkan lagi tongkat bambu kuningnya ke arah tanah. Matanya yang kecil
memandang tajam pada si pemuda jubah hitam.
“Ratusan hari turun gunung,
puluhan minggu mengarungi lembah dan bukit, berbulan-bulan menyeberangi sungai
memasuki hutan belantara akhirnya kau kutemui juga. Heh… he… he… he… he …!”
“Kau masih belum mau beri tahu
siapa namamu, orang tua? Jangan menyesal!”
“Namaku tidak penting, manusia
bejat. Yang penting ialah apa kau masih ingat kebiadaban yang kau lakukan di
desa Srintil beberapa bulan yang silam…?”
Pendekar Terkutuk Pemetik
Bunga kerutkan kening. Sepasang alis matanya menaik.
“Sembilan laki-laki tak
berdosa kau bunuh. Dua diantaranya adalah muridku. Empat orang perempuan di
desa itu kau bawa kabur, kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu semua…?!”
“Hem….” Pendekar Pemetik Bunga
manggut-manggut beberapa kali. “Tidak, aku tidak lupa,” katanya dengan terus
terang.
“Bagus sekali kalau kau tidak
lupa!” ujar si orang tua. Dan bambu di tangan kanannya di ketuk-ketukkannya
lagi. Tanah kembali bergetar. “Orang-orang desa telah datang kepadaku
mengadukan kebiadabanmu itu….”
“Berapa uang suap yang
diberikan orang-orang desa padamu untuk mencariku orang tua?!” ejek Pendekar
Pemetik Bunga.
Wajah si orang tua kelihatan
menjadi merah. Dia tertawa dingin.
“Sekalipun mereka tidak datang
ke puncak gunung Bromo, memang sudah sejak lama aku berniat turun tangan
membekuk batang lehermu…!”
Pendekar Pemetik Bunga tertawa
gelak-gelak, “Oh jadi kau adalah Datuk Bambu Kuning dari gunung Bromo?!”
Si orang tua kini balas
tertawa panjang-panjang sambil tangan kirinya mengusap-usap janggut putihnya
yang panjang menjela sampai ke dada.
“Kalau sudah tahu siapa aku,
mengapa tidak lekas-lekas bertobat dan bunuh diri? Atau masih perlu aku memecahkan
kepalamu dengan bambu kuning ini?!”
“Kentut!” maki Pendekar
Pemetik Bunga dengan muka membesi penuh marah.
“Kalau aku kentut, kau
tahinya!” kata Datuk Bambu Kuning pula dan tertawa lagi panjang-panjang seperti
tadi.
Naiklah darah Pendekar Pemetik
Bunga.
“Manusia tolol yang tidak tahu
gunung Semeru berdiri di muka hidung, terima kematianmu dalam tiga jurus!”
teriak Pendekar Pemetik
Bunga sambil menyerbu dengan
sabuk mutiara milik korbannya tadi.
Datuk Bambu Kuning terkejut
melihat sabuk itu. “Eh, itu adalah
senjata Kidal Boga, murid Rah
Kuntarbelong. Dari mana kau dapat, manusia bejat?!”
“Tanya pada setan di neraka
nanti!” sahut Pendekar Pemetik
Bunga seraya sabetkan sabuk
mutiara ke arah lawan. Angin laksana gunung gelombang menerpa Datuk Bambu
Kuning.
Datuk Bambu Kuning cepat
menghindar. “Rupanya kau bukan saja manusia bejat tukang bunuh dan tukang
perkosa tapi juga pencuri kesiangan huh!” Datuk Bambu Kuning kiblatkan tongkat
bambu kuningnya. Serangkum angin yang bukan main dahsyatnya menyambar dan
menahan serangan angin sabuk. Debu dan pasir beterbangan akibat angin kedua
senjata sakti itu!
Pendekar Terkutuk Pemetik
Bunga tak kurang kejutnya ketika merasakan serangan sabuknya menjadi tak
berarti sewaktu tongkat bambu kuning di tangan lawan menyambuti gempurannya
itu! Dengan serta merta pemuda ini percepat gerakannya. Dalam sekejap Datuk
Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara.
Namun sekali si orang tua
memekik keras dan sekali dia putar tongkat bambunya dalam jurus yang aneh maka
keluarlah dia dari kurungan serangan senjata lawan! Kini gempuran tongkat bambu
itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Si pemuda tiada habisnya
menggerutu dan memaki dalam hati sewaktu mendapatkan dirinya terdesak hebat
oleh gempuran lawan.
Apalagi sewaktu jurus kedua
berakhir dan sewaktu Datuk Bambu Kuning tertawa mengejek dan berkata. “Jurus
ketiga ini adalah jurus kematianmu, manusia bejat! Bukan jurus kematianku!” Dan
permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan semakin dahsyat. Sinar
kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda!
“Setan alas keparat!” maki
Pendekar Pemetik Bunga. Dengan gerakan yang sulit sekali dia membungkuk. Sabuk
mutiara diputar sebat melindungi tubuh sedang tangan kiri diulurkan untuk
menjangkau tepi jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah
di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar Pemetik Bunga
berdiri kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara mengeluarkan gelombang angin
yang laksana gunung besarnya sedang tepi jubah hitam menghamburkan angin pengap
yang sanggup menyesakkan jalan pernafasan yang menyendat tenggorokan serta
liang hidung!
Dalam jurus ketiga itu
kelihatanlah bagaimana gempuran Datuk Bambu Kuning menjadi lamban. Orang tua
itu berteriak keras dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun sia-sia saja.
Dirasakannya dadanya menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya laksana tersumbat.
Sukar baginya untuk bernafas!
Menanggapi hal ini si orang tua segera atur jalan darah dan tutup pemafasannya.
Tubuhnya lenyap sewaktu dia mempercepat gerakannya!
Namun kedahsyatan angin pengap
yang menderu dari tepi jubah memang tidak kepalang tanggung. Sebentar saja
serangan-serangan bambu kuning lawan sudah dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu
Kuning kembali menjadi lamban sewaktu orang tua itu tidak bisa mempertahankan
lagi menutup jalan nafasnya terus-terusan sedang sementara itu pertempuran
sudah berjalan lima jurus!
Pendekar Pemetik Bunga kembali
keluarkan suara tertawa sewaktu dia tahu bahwa dirinya telah berada di atas
angin. “Ha…ha…! Kau disuruh turun gunung oleh penduduk desa hanya untuk mencari
kematian saja Datuk Bambu Kuning!”
“Pendekar terkutuk jangan
terlalu besar harapan!” kertak Datuk Bambu Kuning. Diam-diam tiga perempat dari
tenaga dalamnya dikerahkan ke dada.
Tiba-tiba, “Bluuss!”
Selarik asap kuning menyembur
dari mulut si orang tua! Pendekar Pemetik Bunga terkejut bukan main dan cepat
tutup jalan nafasnya.
Keterkejutan dan saat menutup
jalan nafas tadi membuat gerakannya mengendur. Sewaktu din menghindar ke
samping sambil babatkan sabuk mutiaranya memapasi semburan asap kuning, bambu
di tangan kanan lawan datang menderu!
Si pemuda kebutkan tepi
jubahnya. Celaka! Asap kuning itu tak sanggup dibikin buyar oleh angin pengap
tepi jubah hitamnya!
Pendekar Pemetik Bunga
menjerit setinggi langit. Tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian dia berhasil ke
luar dari serangan lawan yang bukan kepalang dahsyatnya tadi. Sewaktu berdiri
mengatur jalan darah dan nafasnya kembali, diam-diam pemuda ini keluarkan
keringat dingin juga!
“Kau kira kau bisa lari dari
sini, manusia bejat?!” hardik Datuk Bambu Kuning. Mulutnya membuka dan asap
kuning menyembur lagi ke muka lawan. Pendekar Pemetik Bunga kembali tutup jalan
nafasnya dan melompat ke samping. Serangan kebutan tepi jubah dan sambaran
sabuk mutiara dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah lawan. Si orang tua
melompat tiga tombak ke atas dan sewaktu turun kembali menyemburkan asap kuning
dari mulutnya! Pendekar Pemetik Bunga menjadi kewalahan kini. Kewalahan dan
merutuk! Di samping itu tak habis heran kesaktian apakah yang dikandung oleh
asap kuning yang keluar dari mulut lawannya sehingga angin pengap jubah hitam
dan angin sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya!
Tiba-tiba pemuda itu
menggereng macam harimau. Tubuhnya melesat ke muka. Angin pengap menyerang
ketenggorokan Datuk Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari atas ke
bawah!
Si orang tua ganda tertawa
menghadapi serangan ini Bambu kuningnya diputar-putar, tiba-tiba dikiblatkan
demikian rupa
“Sreet!”
Sabuk mutiara di tangan kanan
Pendekar Pemetik Bunga kena disambar den terlepas mental dari tangan pemuda
itu! Si pemuda sendiri dengan jungkir balik susah payah baru berhasil ke luar
dari sambaran tongkat bambu serta semburan asap kuning yang dilepaskan lawan!
Matanya membeliak, mulutnya
komat kamit. Mukanya mengelam sewaktu si orang tua melangkah perlahan
mendekatinya dengan tertawa sedingin salju!
“Nyawa anjingmu hanya tinggal
beberapa detik saja, pemuda terkutuk!” kata Datuk Bambu Kuning. “Sejak hari ini
dunia persilatan akan bersih dari noda kekotoran manusia macam kau!”
“Aku masih belum menyerah
keparat!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Mulutnya masih komat-kamit. Matanya
dengan waspada memperhatikan setiap gerak yang dibuat Datuk Bambu Kuning.
“Aku memang tak suruh kau
menyerah, “ sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa sedingin tadi. “Aku cuma
perlu nyawa anjingmu!”
“Soal nyawa soal mudah,” tukas
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga.
Diam-diam dia salurkan seluruh
tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya.
Sesaat kemudian ujung jari itu
menjadi hitam legam dan mengeluarkan sinar menggidikkan. “Orang tua edan, kau
lihat jari ini?! “
Datuk Bambu Kuning memandang
dengan kerenyit kulit kening pada jari telunjuk tangan kanan Pendekar Pemetik
Bunga. Darahnya tersirap, mukanya berubah.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa
mengekeh. “Kenapa mukamu menjadi pucat, kunyuk tua?!”
Datuk Bambu Kuning tidak
menyahut. Mukanya bertambah pucat dan matanya melotot memandang tajam-tajam
pada jari telunjuk si pemuda.
Ketika jari telunjuk itu dan
ibu jari si pemuda membuat lingkaran. Datuk Bambu Kuning berseru kaget. “Ilmu
Jari Penghancur Sukma!” Dengan serta merta Datuk Bambu Kuning bagi dua aliran
tenaga dalamnya. Sebagian ke ujung tongkat bambu den sebagian lagi ke dada!
“Makan jariku ini, Datuk
keparat!” seru Pendekar Pemetik Bunga.
Dikejap itu juga dia
menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin hitam menderu laksana topan
prahara, menyereng ke arah Datuk Bambu Kuning. Di saat yang sama Datuk Bambu
Kuning sapukan tongkat di tangan kanan dan semburkan asap kuning!
Datuk Bambu Kuning berteriak
kaget ketika melihat angin pukulan bambu kuning dan sambaran asap kuningnya
buyar berantakan dilanda angin hitam lawan. Dan angin hitam yang menggidikkan
ini terus melesat ke arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat menyingkir tapi kasip!
Orang tua itu mencelat
beberapa tombak jauhnya ketika angina hitam menyambar tubuhnya. Dan
terdengarlah jeritnya melengking langit!
Datuk Bambu Kuning
terguling-guling di tanah. Sekujur tubuhnya hitam hangus! Nyawanya tidak
ketolongan lagi, putus kejap itu juga!
Pendekar Pemetik Bunga
mengatur jalan nafas dan aliran darahnya kembali. Sewaktu dia menggerakkan
kakinya baru disadariya bahwa kedua kakinya itu telah tenggelam ke dalam tanah
sedalam lima senti! Bila pemuda ini melangkah mendekati Ning Leswani, kembali
terdengar makian gadis itu.
Makian yang kemudian disusul
dengan jeritan. Tak ada satu orangpun yang berani menghalangi dan berbuat suatu
apa ketika Ning Leswani dipanggul oleh Pendekar Pemetik Bunga dan dilarikan!
Sampai pagi, sampai ketika
matahari muncul di utuk timur desa masih diselimuti oleh kehebohan atas apa
yang telah terjadi!
Ki Lurah Rantas Madan den Rana
Wulung bersama kira-kira selusin penduduk, dengan membawa berbagai senjata dan
menunggangi kuda coba mencari jejak Pendekar Pemetik Bunga. Namun ke mana
manusia durjana itu hendak dicari?! Menjelang tengah hari, mereka sudah
berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui Ning
Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu sudah rusak kehormatannya!
Dan seandainya pula mereka
berhasil menyergap Pendekar Pemetik Bunga, belum tentu mereka sebanyak itu bisa
membekuk batang lehernya!
Rantas Madan tahu suasana yang
dirasakan anggota-anggota rombongannya. Dia berunding dengan Rana Wulung dan
akhirnya diambil keputusan untuk pulang saja.
Terik matahari membakar kulit
di siang itu. Rana Wulung dengan muka pucat menunggangi kudanya di samping
Rantas Madan. Hati pemuda ini hancur sudah! Dendam kesumatnya terhadap Pendekar
Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya!
Ketika rombongan melalui
lereng sebuah bukit dalam perjalanan pulang itu, ada sesuatu yang menarik
perhatian Rana Wulung. Dia berpaling pada Rantas Madan.
“Bapak, kau lihat
burung-burung gagak yang beterbangan di puncak bukit itu.”
Ki Lurah Rantas Madan terkejut
lalu memandang ke puncak bukit di atasnya. Beberapa burung gagak hitam
dilihatnya terbang berputar-putar naik turun di atas puncak sana. Berdebar hati
laki-laki ini. Lalu dihentikannya rombongan.
“Kita ke sana!” mengambil
keputusan Rantas Madan. Masing-masing kemudian memacu kuda mereka ke puncak
bukit. Rana Wulung di depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini menghentikan
kudanya dan meneliti ke mana turunnya burung-burung gagak tadi. Diikuti oleh anggota-anggota
rombongan yang lain Rana Wulung bergerak ke arah serumpunan semak belukar
lebat. Waktu dia mencapai semak itu, empat ekor burung gagak terbang ke udara.
Rana Wulung melompat dari
kudanya dan lari ke balik semak belukar lebat.
“Tuhanku!” seru pemuda itu.
Lututnya goyah. Matanya membeliak.
Tiba-tiba laksana orang kalap
dia melompat ke muka sambil berseru nyaring . “Nining! Nining!”
Ning Leswani terhampar di atas
rerumputan. Tak selembar benangpun yang menutupi auratnya. Tubuh yang telanjang
ini sudah tiada nafas lagi dan sebagian sudah berlubang-lubang dipatuk
gagak-gagak hitam pemakan bangkai! Tubuh yang malang itulah yang dipeluk Rana
Wulung. Namun cuma sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan dan rombongan lainnya
sampai ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan!
Rantas Madan sendiri
hampir-hampir tak kuat pula menyaksikan pemandangan itu! Hampir tak sanggup
melihat anak kandung yang dikasihinya menemui kematian dalam cara yang
mengenaskan begitu rupa. Mulutnya komat kamit. Tenggorokannya turun naik.
“Anakku….” desis laki-laki
itu. Dia berlutut. Beberapa orang menarik Rana Wulung dari atas tubuh Ning
Leswani. Rantas Madan cepat membuka bajunya dan menutupi aurat anaknya dengan
baju itu. Air matanya berlinang. Dendam kesumat seperti mau memecahkan dadanya
saat itu!
4MUNCULNYA Pendekar Pemetik
Bunga menyebar maut, darah dan noda benar-benar menggemparkan dunia persilatan.
Kekejaman dan kebejatan terkutuk yang dilakukannya selama malang melintang
beberapa bulan belakangan ini benar-benar merupakan satu tantangan bagi dunia
persilatan, terutama mereka dari golongan putih. Hal ini tak dapat dibiarkan
lama, dan berlarut-larut. Beberapa tokoh silat utama dari golongan putih
kabarnya telah turun tangan membuat perhitungan dengan Pendekar Pemetik Bunga. Tapi
apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat dunia persilatan tambah geger!
Bagaimanakah tidak! Semua
tokoh-tokoh silat yang berani bikin perhitungan itu disikat mentah-mentah oleh
Pendekar Pemetik Bunga.
“Ilmu Jari Penghancur Sukma”
yang dimiliki pemuda terkutuk itu menjadi biang momok mengerikan bagi dunia
persilatan, apalagi bagi orang-orang yang tidak mengerti silat sama sekali!
Tiap kota dan desa, tiap kampung dan pelosok diselimuti rasa ketakutan dan
cemas. Takut dan cemas kalau Pendekar Pemetik Bunga akan muncul mendadak di
daerah mereka, menyebar maut dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak
berdosa!
Kejahatan, kebejatan dan
seribu satu macam perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Pendekar Pemetik Bunga
itu telah sampai pula ke puncak gunung Merbabu.
Saat itu tengah hari tepat.
Matahari berada dititik tertingginya.
Keterikan sinar matahari tiada
terasa di atas puncak gunung yang ditutupi halimun sejuk itu. Asap belerang
dari kawah gunung bergulung-gulung ke atas, bercampur jadi satu dengan halimun
dan menutupi pemandangan.
Di satu bagian dari puncak
gunung Merbabu, di dalam sebuah ruangan batu, diterangi oleh sebuah pelita
kecil kelihatan duduk seorang laki-laki tubuhnya kurus sekali, hampir tinggal
kulit pembalut tulang.
Tubuh yang kurus ini ditutupi
dengan sehelai selempang kain putih. Melihat kepada air mukanya yang penuh
dengan keriputan itu nyatalah bahwa manusia ini umurnya sudah lanjut sekali.
Tapi anehnya, rambut dan janggutnya yang panjang sampai ke pinggang itu masih
berwarna hitam legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar pelita.
Orang tua ini adalah Begawan
Citrakarsa. Saat itu dia tengah bersemedi mengheningkan cipta rasa dan menutup
semua inderanya. Ketika matahari menggelincir ke titik tenggelamnya, ketika
sinar kuning emas berpadu dengan sinar kemerahan menyaputi langit di ufuk barat
barulah Begawan itu menyelesaikan semedinya. Dibukanya kedua matanya, dibukanya
segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan Begawan ini berdiri dari duduknya
dan melangkah ke pintu.
Dari pintu batu tempat dia
berdiri itu dapat dilihatnya keseluruhan puncak Gunung Merbabu. Sebagian dari
puncak Gunung Merbabu itu telah diselimuti lagi oleh kabut belerang dan
halimun. Di kaki gunung menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah selatan
mengalir sebatang anak sungai. Begawan Citrakarsa menghela nafas dalam. Betapa
indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci itu
telah dikotori oleh segala macam kemaksiatan, segala macam kemesuman,
kejahatan, kebejatan!
Begawan Citrakarsa masuk
kembali ke dalam ruangan batu. Dari dinding ruangan batu diambilnya sebilah
keris lalu disisipkannya ke balik selempangan kain putih di pinggangnya. Dengan
sedikit lambaian tangan Begawan Citrakarsa memadamkan pelita dalam ruangan batu
itu. Dia melangkah ke pintu kembali. Di luar puntu terdapat sebuah batu besar.
Dengan mempergunakan tangan
kirinya Begawan ini menggeser batu itu hingga menutupi pintu ruangan batu. Batu
besar itu beratnya ratusan kati, tapi sang Begawan hanya menggesernya dengan
mempergunakan tangan kiri! Sampai dimana kehebatan tenaga dalam Begawan
bertubuh kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak dapat
dijajaki!
Bila angin dari timur bertiup
sejuk. Bila bola penerang jagat hanya seperenam bagiannya saja lagi yang
kelihatan di ufuk barat sana dan bila puncak gunung Merbabu hampir
keseluruhannya terselimut halimun maka Begawan itupun menggerakkan kakinya.
Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan lincah dan dengan kecepatan yang
luar biasa berlari di tepi kawah dengan seenaknya. Sekali-sekali melompati
jurang batu yang lebarnya sampai tiga – empat tombak. Bersamaan dengan
lenyapnya sang surya ke tempat peraduannya maka bayangan Begawan Citrakarsa pun
tak kelihatan lagi di puncak gunung Merbabu itu.
* * *
Tikungan jalan itu terletak di
tempat yang ketinggian. Sinar matahari panasnya seperti mau memanggang kulit.
Burung-burung kecil yang berlindung di balik daun-daun pepohonan berkicau tiada
hentinya seakan-akan turut gelisah oleh panasnya hari sehari itu.
Pemuda berambut gondrong di
atas cabang pohon duduk dengan sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku
jalan di kaki bukit. Sudah satu jam hampir dia berada di cabang pohon itu dan
apa yang ditunggunya masih juga belum muncul. Kekesalan hatinya dicobanya melenyapkan
dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan, cabang pohon yang diduduki pemuda
itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor kucingpun bila duduk di situ
pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi anehnya, diberati oleh tubuh
pemuda berambut gondrong itu, jangankan menjulai, bergerak sedikitpun cabang
pohon itu tidak! Kalau si pemuda bukannya seorang sakti mandraguna yang
memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, pastilah hal itu tak bisa kejadian.
Sepeminuman tah berlalu. Si
pemuda memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-liku jalan.
“Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu
tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan be…”
Tiba-tiba pemuda itu hentikan
makiannya. Bola matanya membesar dan dibibirnya menggurat seringai tajam. Jauh
di bawah bukit, diantara pohon-pohon di liku-liku jalan dilihatnya sebuah
kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh selusin penunggang
kuda. Debu menggebu ke udara. Pemuda itu kini tertawa-tawa sendirian. Hatinya
gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan pasti akan
melewati tikungan jalan dimana dia menunggu saat itu.
Kira-kira dua kali peminuman
teh maka terdengarlah derap kaki-kaki kuda dan gemerataknya suara roda kereta
mendekati tikungan jalan.
Karena tikungan itu mendaki,
maka pengemudi kereta dan penunggang penunggang kuda agak memperlambat lari
kuda masing-masing.
Pada saat itulah pemuda rambut
gondrong yang duduk di cabang pohon mengeluarkan suara memerintah yang
menggeledek!
“Berhenti!”
Beberapa ekor kuda yang di
muka sekali meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal kereta kagetnya bukan
main. Semua anggota rombongan menghentikan kuda masing-masing. Dan melihat
gelagat yang tidak baik, setiap anggota rombongan bersikap waspada.
“Semua laki-laki yang ada di
sini, termasuk pengemudi kereta kuharap segera angkat kaki tinggalkan tempat
ini. Berlalu dengan cepat!”
Begitu si pemuda memerintah.
Dan dia masih juga duduk di cabang pohon seenaknya.
Penunggang kuda yang paling
muka yang bertindak sebagai pimpinan rombongan mendongak ke atas dan bertanya
dengan membentak.
“Orang asing! Kau siapa?!”
“Buset! Kau punya nyali
membentak aku hah? Apa kau punya jiwa rangkap!”
Si penunggang kuda mendengus.
“Caramu memerintah nyatalah bahwa kau mempunyai niat jahat!”
“Betul sekali sobat! Karenanya
lekaslah tinggalkan tempat ini kalau kalian semua tidak mau cilaka!”
Penunggang kuda yang bertindak
sebagai pemimpin rombongan melihat sikap dan tempat di mana pemuda rambut
gondrong itu duduk sesungguhnya sudah sejak tadi mengetahui bahwa manusia asing
itu seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun dengan mengandalkan jumlah yang
banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata memiliki ilmu silat,
nyalinya tidaklah menjadi kendor menghadapi si pemuda rambut gondrong!
“Kalau kau seorang perampok,
cari saja orang lain untuk dirampok! Salah-salah riwayatmu bisa tamat sampai di
sini, sobat”
Pemuda di atas cabang pohon
tertawa gelak-gelak. Suara tertawanya menggetarkan tikungan jalan itu, juga
menggetarkan hati dua belas penunggang kuda! Bahkan suara tertawa itu telah
membuat satu tangan halus menyibakkan tirai kereta den memunculkan sebuah
kepala perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus mulus.
“Manusia-manusia tolol! Orang
sudah kasih ampun den kasih selamat kalian punya jiwa tapi malah berlagak jago!”
bentak orang di atas cabang pohon! “Silahkan cabut senjata kalian agar kalian
semua tidak mampus percuma!”
Habis berkata begitu si pemuda
laksana seekor alap-alap melompat turun. Tubuhnya berkelebat cepat dan
terdengadah jeritan yang menggidikkan! Tiga penunggang kuda terpelanting dari
punggung kuda masing-masing. Kepala ketiganya hancur remuk dimakan tendangan
kaki kanan pemuda tadi!
Yang sembilan orang lainnya,
tambah satu dengan pengemudi kereta dengan serentak segera mencabut golok
masing-masing. Tanpa menunggu lebih lama yang sembilan orang segera menyerbu
sedang pengemudi kereta dengan golok melintang di muka dada tetap berada di
atas kereta.
Sebentar saja hujan golok
menyelubungi si pemuda. Pemuda itu berdiri di tengah-tengah siuran golok dengan
bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa. Sekali-sekali dia membuat sedikit
gerakan. Meskipun sedikit gerakan itu sekaligus berhasil mengelakkan sembilan
serangan golok yang menderu-deru.
Tiba-tiba pemuda itu membentak
nyaring. Tubuhnya merunduk di antara bacokan dan tebasan golok. Pekik lolong
terdengar susul menyusul.
Empat pengeroyoknya
berpelantingan dan bergeletakan tanpa nyawa di tengah jalan. Yang lima orang
lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah-olah.
‘Tegal Ireng!” teriak pemimpin
rombongan. “Larikan kereta dari sini cepat! Aku dan yang lain-lainnya menahan
bangsat ini!”
Kusir kereta tak ayal lagi
segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda melonjak dan melompat ke muka.
Sementara itu lima golok menyerbu pemuda rambut gondrong dengan ganasnya. Tapi
yang diserbu ganda tertawa. Dia membuat lompatan setinggi tiga tombak. Dua
orang pengeroyoknya jungkir balik di makan tendangan. Bersamaan dengan Itu
tangan kanannya dihantamkan ke arah dua ekor kuda penarik kereta yang segera
hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang sangat dahsyat
Menghantam hancur delapan kaki binatang itu sehingga kuda dan kereta angsrok
kejalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya sedang dari dalam kereta
melengking jeritan perempuan!
Pemimpin rombongan, dengan
sangat penasaran cabut lagi sebatang golok dari pinggangnya. Dengan sepasang
golok, bersama dua orang kawannya dia menyerbu kembali!
“Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali
kalian memang patut kupuji! Tapi kalian adalah manusia-manusia tidak berguna!
Karenanya pergilah ke neraka!”
Pemuda rambut gondrong
kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum angin pengap menyerang ke arah
tenggorokan ketiga lawannya. Manusia-manusia itu mengenduskan suara seperti
tercekik sewaktu tubuh mereka mental dilanda angin dahsyat. Dari mulut
masing-masing menyembur darah segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan dengan
rubuhnya tubuh mereka ke tanah!
Pemuda berambut gondrong yang
mengenakan jubah hitam berbunga-bunga kuning tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba
dirasakannya sambaran angin di belakangnya. Dibalikkannya tubuhnya dengan
cepat.
Sebatang golok laksana anak
panah melesat ke arah batok kepalanya!
5Kurang ajar betul!” teriak
pemuda berjubah hitam. Dia gerakkan tangan kanannya. Lihai sekali golok maut
itu berhasil ditangkapnya lalu dilemparkannya ke arah kereta.
Laki-laki yang menjadi kusir
kereta, yang tadi melemparkan golok itu kepada si pemuda dengan serta merta
melompat dari kereta yang sudah angsrok itu dan bergulingan di tanah. Golok
menancap di bangku kayu pada bagian depan kereta!
Kusir kereta yang menyadari
bahwa dirinya kini tinggal sendirian, melihat serangannya tidak mengenai
sasaran jadi lumer nyalinya. Tanpa banyak cerita kusir ini segera ambil langkah
seribu seraya berteriak. “Den Ayu Galuh Warsih lekas lari selamatkan dirimu!”
“Kunyuk tengik!” teriak pemuda
berjubah hitam sambil keluarkan dengusan. “Kalau mau lari, larilah sendiri ke
neraka!”
Sekali pemuda ini lambaikan
tangan kanannya, kusir kereta itu mental menghantam pohon dilanda angin dahsyat
yang ke luar dari telapak tangan si pemuda!
Di saat itu pintu kereta
sebelah kanan terbuka lebar-lebar dan seorang gadis bertubuh ramping, berkulit
hitam manis yang memiliki wajah mempesona ke luar dengan paras pucat. Lututnya
gemetar. Bulu kuduknya merinding melihat sosok-sosok mayat pengawalnya yang
bertebaran di mana-mana, mati dalam keadaan mengerikan!
Gadis itu menyurut beberapa
langkah sewaktu pemuda berjubah hitam melangkah mendekatinya.
“Ah, dewiku, kenapa takut
padaku?” ujar si pemuda dengan mengulum senyum. “Namamu Galuh Warsih bukan? Dan
kau anaknya Sentot Sastra dari Kaliurang, betul?”
Galuh Warsih menyurut lagi
beberapa langkah. Pada tampang yang gagah dari si pemuda, pada sunggingan
senyumnya nyata kelihatan sifat kebuasan, sifat kejalangan!
Gadis ini terpekik sewaktu
sekali lompat saja si pemuda sudah berada dihadapannya.
“Saudara, kau siapa? Mengapa
membunuh pengawal-pengawalku?!”
Meski takutnya bukan main
namun Galuh Warsih masih bernyali mengajukan pertanyaan itu.
Yang ditanya tertawa.
“Ah.., itu satu pertanyaan
yang pantas dijawab,” katanya. Tangan kirinya ditopangkannya ke sanding
belakang kereta. “Namaku tak seberapa perlu dewiku sayang. Aku cukup dikenal
dengan gelar Pendekar Pemetik Bunga.”
Paras Galuh Warsih laksana
kain kafan, putih seperti tiada berdarah. Sebaliknya pemuda yang mengaku
bergelar Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak.
“Dan kalau dewiku bertanyakan
mengapa aku membunuh pengawal-pengawalmu itu adalah karena mereka sedeng semua!
Disuruh angkat kaki dari sini agar selamat malah minta mati!”
“Ayahku Bupati Kaliurang pasti
akan menyuruh pancung kepalamu atas semua kejahatan inil”
Pendekar Pemetik Bungs tertawa
mengekeh. “Sudahlah,” katanya, “di tempat bangkai-bangkai berserakan ini kita
tak usah banyak bicara.
Kau ikut aku, Galuh Warsih.
Kita pergi ke bukit sebelah sana…”
“Tidak!”
“Di bukit sana ada sebuah
pondok!”
‘Tidak, aku tidak mau! Aku
tidak sudi ikut sama kau manusia biadab!” teriak Galuh Warsih.
“Di situ, di pondok itu nanti
kau akan merasakan sorga dunia yang tiada taranya dewiku manis….” Dengan
tertawa gelak-gelak Pendekar Pemetik Bunga maju mendekati Galuh Warsih. Si
gadis cepat menyambar kayu patahan papan kereta dan dengan kedua tangannya
menghantamkan kayu itu ke kepala Pendekar Pemetik Bunga, Pemuda berhati bejat
itu ganda tertawa. Dia merunduk dan begitu maju, sekaligus dia sudah merangkul
pinggang Galuh Warsih.
Galuh Warsih menjerit
melolong-lolong. Kedua tangannya tiada henti mendambuni punggung dan menjambaki
rambut gondrong Pendekar Pemetik Bunga. Tapi pemuda itu tiada perduli. Malah
dengan tertawa dan bersiul-siul gembira laksana angin cepatnya tubuh Galuh
Warsih dilarikan ke puncak sebuah bukit di sebelah timur!
Hampir sepeminum teh kemudian
maka pondok kayu itu sudah kelihatan dari jauh. Nafsu yang menghempas-hempas
pembuluh darah dan menegangkan sekujur tubuh Pendekar Pemetik Bungs membuat
manusia terkutuk itu tancap gas tambah percepat larinya agar lekas-lekas sampai
ke pondok itu dan agar lekas pula melampiaskan nafsu bejat terkutuknya!
Tapi betapa terkejutnya
Pendekar Pemetik Bunga sewaktu makin dekat ke pondok itu sepasang telinganya
menangkap suara nyanyian.
Yang lebih mengejutkan ialah
karena suara nyanyian itu keluarnya dari dalam pondok kayu dihadapannya itu!
Dua tahun dilepas pergi,
Dua tahun turun gunung,
Dua tahun berbuat keji,
Dua tahun tak tahu untung.
Lima tahun belajar percuma
Lima tahun dididik tiada guna
Kehancuran dimana-mana
Pembunuhan di mana-mana
Semua karena buta hati dan
buta mata
Semua karena buta rasa
Percuma bagusnya gunung
Percuma tingginya gunung
Kalau meletus bencana di
mana-mana
Anak manusia lupa daratan
Anak manusia membuat kebejatan
Apakah selusin nyawa di badan?
Apakah ilmu setinggi awan?
Pendekar Pemetik Bunga
hentikan larinya. Galuh Warsih yang masih mendambun-dambun punggungnya, yang
masih berteriak-teriak meskipun suaranya parau segera ditotoknya. Dipasangnya
telinganya sedang kedua matanya memandang tajam-tajam ke arah pintu pondok yang
terbuka. Tak satu sosok manusiapun yang dapat dilihatnya dari tempat dia
berdiri.
Namun suara nyanyian tadi
kembali terdengar. Terdengar dan keluar dari pondok itu!
Dua tahun dilepas pergi,
Dua tahun turun gunung….
Ada suatu rasa aneh
menyelinapi hati Pendekar Pemetik Bunga. Rasa aneh ini bukan saja hanya sekedar
menyelinap, tapi juga membuat hatinya menciut-ciut dan dadanya berdebar. Dia
melangkah kembali, pelahan kini.
Mata memandang tajam, ke pintu
pondok yang terbuka, sikap penuh waspada.
Lima tombak dari hadapan
pondok, untuk kedua kalinya Pendekar Pemetik Bunga hentikan langkah. Bayangan
seseorang dapat dilihatnya melangkah ke pintu. Dalam kejapan mata kemudiannya
maka terbenturlah pandangannya pada tubuh seorang laki-laki tua bertubuh kurus
kering berselempang kain putih. Janggut dan rambutnya yang hitam menjelang
panjang sampai ke pinggang.
“Guru!” seru Pendekar Pemetik
Bunga.
Tubuh Galuh Warsih segera
diturunkannya dari pundak, didudukkannya di bawah sebatang pohon lalu dia
sendiri berlari dan berlutut dihadapan orang tua yang berdiri di ambang pintu
pondok.
Si orang tua, yang bukan lain
dari Begawan Citrakarsa adanya menyapu paras muridnya dengan pandangan mata
sedingin salju setajam pisau!
“Betulkah kau ini si
Wirapati?”
Masih berlutut, Pendekar
Pemetik Bunga angkat kepalanya. “Betul guru. Masakan guru lupa sama murid
sendiri!” Diam-diam Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati merasa bergidik jugs
melihat cara memandang gurunya.
“Guru…!”
Begawan Citrakarsa tidak
perdulikan seruan kaget muridnya melainkan meneruskan, “Mataku masih belum
kabur, telingaku masih belum tuli. Otakku masih belum tumpul! Wirapati yang
pernah kegembleng lima tahun di puncak Gunung Merbabu sudah tidak ada di atas
bumi ini…”
“Guru!” seru si murid sekali
lagi.
Begawan Citrakarsa tetap tak
ambil perduli seorang pemuda terkutuk yang di delapan penjuru angin dikenal
sebagai Pendekar Pemetik Bunga!
Berubahlah paras Pendekar
Pemetik Bunga alias Wirapati. Dia membathin, rupanya apa yang telah
dilakukannya sejak turun gunung dua tahun yang silam sudah diketahui oleh
gurunya. Dia berpikir-pikir mencari akal, apakah yang bakal dikatakannya pada
Begawan itu.
“Selama ini aku dikenal
sebagai tokoh silat golongan putih yang mengutamakan ilmu untuk kebaikan, dan
welas asih. Dunia persilatan menyegani dan menghormatiku! Tapi kini dari
delapan penjuru angin umpat dan kutuk serapah dilontarkan kepadaku! Keningku
dicoreng cemoreng oleh rasa malu yang tiada terkira! Semua itu adalah akibat
perbuatan bejatmu, Wirapati! Perbuatan terkutukmu!”
“Guru,” kata Pendekar Pemetik
Bunga dengan cepat. Akal busuk sudah didapatnya saat itu “Rupanya guru telah
tertiup oleh segala fitnah yang dilontarkan manusia-manusia biang racun! Lima
tahun murid dididik dan digembleng oleh guru masakan sesudahnya turun gunung murid
mau membuat kekotoran yang mencemarkan nama guru itu?! Semua fitnah belaka,
guru! Percayalah! Justru murid malang melintang di dunia persilatan untuk
membasmi kaum penjahat dan golongan hitam…!”
Begawan Citrakarsa tertawa
tawar. “Kaukah yang difitnah atau engkau yang memfitnah, Wirapati? Gadis yang
kau sandarkan di pohon itu cukup menjadi bukti! Kalau kau mau menipu aku,
tunggulah sampai mataku buta!”
Pendekar Pemetik Bunga tidak
kehabisan akal. Dia segera buka mulut pula, “Guru salah duga. Gadis itu adalah
anak Bupati Sentot Sastra dari Kaliurang yang barusan murid tolong dan lepaskan
dari tangan penculik-penculik dan perampok-perampok!”
Lagi-lagi Begawan Citrakarsa
tertawa tawar.
“Lidah tidak bertulang memang
bisa diputar balik!” katanya. “Tapi mataku tidak bisa diputar balik, Wirapati!
Aku saksikan sendiri apa yang terjadi di tikungan jalan tadi! Masihkah kau mau
berdusta di dalam kebejatanmu?!”
Kini Wirapati alias Pendekar
Pemetik Bunga tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya terkatup rapat-rapat
“Tak perlu kau berlutut
dihadapanku Wirapati! Sejak arang cemar kau corengkan ke mukaku, sejak itu pula
aku tak mengakuimu lagi sebagai murid!”
Rahang Pendekar Pemetik Bunga
menonjol bergemeletak.
“Kejahatanmu laksana laut
tidak bertepi! Dosamu sudah tak sanggup ditakar lagi! Sekarang berdirilah! Dan
katakan cepat, cara mati bagaimana yang kau inginkan?!”
Kaget Pendekar Pemetik Bunga
bukan alang kepalang!
Dipandangnya paras Begawan
Citrakarsa. Mimik dan sorotan mata si orang tua jelas menyatakan bahwa apa yang
diucapkannya itu bukan main-main!
“Guru….”
“Aku bukan gurumu!” bentak
Begawan Citrakarsa.
Perlahan-lahan Pendekar
Pemetik Bunga berdiri.
“Guru, kau betul-betul hendak
membunuhku?” tanya pemuda itu, “atau cuma main-main saja … ?”
“Bicara soal kematian bukan
bicara main-main budak terkutuk!” hardik Begawan Citrakarsa.
“Bersiaplah untuk mampus!”
Begawan itu angkat tangan
kanannya. Kemudian laksana kilat dipukulkan ke muka!
“Wuss!”
Asap putih mengepul dahsyat
melanda ke arah Pendekar Pemetik Bunga. Melihat gurunya mengeluarkan ilmu
dahsyat yang tak pernah dikenalnya atau diajarkan kepadanya sebelumnya,
yakinlah Pendekar Pemetik Bunga bahwa si orang tua betul-betul bertekat hendak
menghabisi nyawanya! Tak ayal, sebelum tubuhnya diserempet asap putih yang
mengandung hawa sangat panas itu, si pemuda segera melompat ke samping sampai
dua tombak!
“Bagus! Kau masih bisa
mengelak! Tapi nyawamu tetap harus minggat ke neraka murid laknat!” gertak
Begawan Cirakarsa. Tubuhnya berkelebat. Kini kedua tangannya yang kurus memukul
bersama-sama.
Sinar putih berbuntal-buntal
menyambar Pendekar Pemetik Bunga!
6Serangan ganas ini membuat
Pendekar Pemetik Bunga melompat sampai tiga tombak ke atas dan berseru nyaring,
“Orang tua aku masih menaruh hormat pada kau! Hentikan seranganmu!”
“Hormat nenek moyangmu!” maki
Begawan Citrakarsa beringas. Kedua tangannya kembali melesatkan buntalan sinar
putih. Pendekar Pemetik Bunga cepat-cepat menukik menyelamatkan diri.
Wirapati atau Pendekar Pemetik
Bunga jadi beringas pula kini.
“Begawan!” serunya lantang,
“jika kau tak hentikan senuigan, terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau! Harap
jangan menyesal!”
Begawan Citrakarsa tidak
perdulikan ucapan bekas muridnya.
Tubuhnya berkelebat cepat.
Angin bersiuran, debu beterbangan dan atap rumbia pondok di atas bukit itu
terbang bertaburan akibat keras dahsyatnya angin serangan sang Begawan!
Pendekar Pemetik Bunga
penasarannya bukan main. Kutuk serapah tiada henti-hentinya dikeluarkan dalam
hati. Kalau saja dia tidak memiliki tenaga dalam dan ilmu membentengi tubuh
yang tinggi sempurna, pastilah dalam dua jurus saja dirinya sudah konyol mati
kena digebuk salah satu lengan sang Begawan atau tersambar asap putih yang
panas beracun itu!
Dalam tempo yang singkat,
murid dan guru itu sudah bertempur delapan jurus. Keduanya kelihatan sama-sama
gesit dan sama-sama lihai.
Namun memasuki jurus kedua
belas walau bagaimanapun Pendekar Pemetik Bunga tiada sanggup lagi bertahan.
Sekali tubuhnya kena dilanda jotosan Begawan Citrakarsa, tubuhnya mencelat
mental membobolkan dinding kajang dan melingkar di lantai tanah dalam pondok!
Begawan Citrakarsa tidak
menunggu sampai di situ saja. Mulutnya berkomat kamit. Tangan kanannya diangkat
tinggi-tinggi. Tangan itu berwarna merah kini.
Dan sewaktu tangan itu
dipukulkan ke muka, lidah api yang dahsyat menyambar laksana topan prahara!
Dalam sekejapan mata saja pondok itu tenggelam dalam kobaran api! ‘Tamatlah
riwayatmu murid terkutuk!,’ Begitu Begawan Citrakarsa membatin. Tapi si orang
tua menjadi kaget bukan main sewaktu matanya melihat sosok tubuh bekas muridnya
itu berdiri tak jauh dari pondok yang tengah terbakar. Muka Pendekar Pemetik
Bunga kelihatan agak pucat tanda jotosan Begawan Citrakarsa tadi telah
menyebabkan luka yang cukup parah di bagian dalam tubuhnya!
Begawan Citrakarsa sendiri
diam-diam merasa heran melihat pemuda itu masih sanggup berdiri meski dengan
muka pucat pasi.
Jotosan yang dilancarkan tadi
mempergunakan hampir setengah bagian tenaga dalamnya, namun pemuda itu tidak
menemui ajalnya! Apakah selama turun gunung malang melintang berbuat kejahatan
bekas muridnya itu juga telah memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?!
Begawan Citrakarsa tidak mau
menunggu lebih lama. Tidak mau memberi kesempatan. Makin lekas dia berhasil
membunuh muridnya itu, berarti makin cepat dia mencuci tangan dan membersihkan
diri dari rasa malu yang melekat selama ini! Karenanya sang Begawan segera
melompat ke muka kembali, menyerbu laksana seekor singa jalang yang kelaparan!
Dari jarak beberapa meter
sebelum tubuhnya sampai kehadapan si pemuda, Begawan Citrakarsa sudah lancarkan
dua pukulan dan dua tendangan jarak jauh yang hebat!
Pendekar Pemetik Bunga saat
itu tengah alirkan tenaga dalam kebagian dada yang terluka dan atur jalan darah
serta nafas. Melihat datangnya serangan ini dia terpaksa menghindar cepat
sambil melepaskan pukulan “Tapak Jagat”.
Begawan Citrakarsa tertawa
mengejek. Ilmu pukulan ‘Tapak Jagat’ itu dialah yang menciptakan dan mewariskan
kepada Wirapati, masakan kini mempan dipakai untuk melawan penciptanya sendiri.
Namun tawa mengejek si orang tua berubah dengan keterkejutan!
Begawan Citrakarsa sampai
mengeluarkan seruan tertahan. Angin pukulan yang ditimbulkan oleh pukulan
‘Tapak Jagat” itu dahsyatnya bukan main, lebih dahsyat daripada jika dia
sendiri yang melepaskannya! Padahal Wirapati saat itu diketahuinya sedang
terluka akibat jotosannya tadi!
Jelaslah si pemuda benar-benar
telah menuntut ilmu kesaktian pada seorang tokoh utama dunia persilatan selama
dia malang melintang dua tahun belakangan ini!
Si orang tua kini tidak mau
memberi ampun lagi dan tak mau memperpanjang waktu! Lengking yang menggidikkan
ke luar dari tenggorokannya. Bumi laksana dilanda lindu. Telinga Pendekar
Pemetik Bunga laksana ditusuk dan kepalanya berdenyut pusing! Lengkingan yang
ke luar dari mulut Begawan Citrakarsa tiada kunjung henti sedang tubuh orang
tua ini boleh dikatakan sama sekali tidak kelihatan lagi ujudnya, hanya
bayangannya saja yang laksana angin bergulung-gulung menyelimuti tubuh Pendekar
Pemetik Bunga. Dan di antara angin serangan yang bergulung-gulung itu serangan
kaki tangan datang laksana hujan membadai! Inilah ilmu ciptaan Begawan
Citrakarsa yang dinamakan “Seribu Angin Seribu Badai” Hebatnya memang bukan
alang kepalang!
Tapi sang Begawan jadi komat
kamit beringas sewaktu dua jurus berlalu dan tak satu jotosan atau hantaman
lengan ataupun tendangan kakinya yang berhasil mengenai tubuh lawan. Malah
tiba-tiba dirasakannya dia laksana menyerang gunung batu yang menjungkir balikkan
kembali setiap serangannya sedang sambaran angin aneh terasa memengapkan liang
hidung serta tenggorokannya! Orang tua ini terpaksa tutup jalan nafas dan
melompat ke luar dari kalangan pertempuran.
Dilihatnya bekas muridnya itu
berlutut di tanah sedang tangannya kiri kanan tiada hentinya mengebut-ngebutkan
tepi jubah hitamnya. Dari tepi jubah hitam itulah ke luar angin pengap yang
ganas, membuat sang Begawan tidak berani kembali menyerang atau mendekat!
Tiba-tiba Begawan ini ingat
pada ilmu “Asap Putih Pencari Raga” yang dimilikinya serta diyakininya selama
tujuh tahun! Cepat-cepat dia melentingkan kedua telapak tangan ke muka.
Didahului oleh teriakan
menggeledek maka dua larik asap putih yang menyilaukan melesat ke muka.
Setengah jalan dua larikan asap itu berpencar menjadi dua lusin dan kedua
lusinnya menyerang ke arah dua puluh empat jalan darah kematian di tubuh
Pendekar Pemetik Bunga!
Pendekar Pemetik Bunga
kebutkan tepi jubahnya sekencang-kencangnya dan cepat bergulingan di tanah.
Untung sekali dia telah berguling menjauh begitu rupa karena angin pengap yang
dilepaskannya tadi kali ini tiada sanggup menahan serangan “Asap Putih Pencari
Raga” yang dilepaskan Begawan Citrakarsa. Dan ketika pemuda itu berdiri lalu
menoleh cepat ke tanah bekas tempat dia berada waktu diserang tadi, mau tak mau
keringat dingin memercik dikuduknya! Betapakah tidak! Di tanah mata kepalanya
sendiri menyaksikan 24 buah lobang sedalam setengah jengkal akibat serangan
bekas gurunya tadi! Sang Begawan mengeluarkan tertawa mengekeh.
“Kematianmu sudah hampir dekat
murid terkutuk!,” katanya. “Setan neraka mungkin sudah tak sabar menunggumu.
Cacing-cacing kuburan tentu ingin lekas-lekas menggerogoti dagingmu…!”
“Orang tua gendeng! Jangan
bermulut besar bicara ngaco! Sekali aku bilang mengadu nyawa padamu, jangan
harap kau bisa membunuhku tanpa kau punya nyawa anjing juga turut minggat ke
neraka jahanam!” Habis berkata begitu Pendekar Pemetik Bunga cabut bunga kuning
yang terbuat dari kertas dari balik ikatan rambut di kepalanya!
“Ooo… bunga kertas buruk
itukah yang kau andalkan untuk membunuhku?!” ejek Begawan Citrakarsa dengan
memencongkan hidung.
“Kau boleh mengejek kunyuk
keriput!” serapah Wirapati alias Pendekar Pemetik Bunga. “Sebentar lagi roh
busukmu akan terbang dibawa bunga maut ini!”
“Cuma bunga kertas mainan
bocah-bocah siapa takutkan?!” ejek Begawan Citrakarsa dan dengan serta merta
dia kiblatkan kedua tangannya, kembali memancarkan serangan “Asap Putih Pencari
Raga.”
Kali ini Pendekar Pemetik
Bunga tidak menghindar. Dia berdiri menunggu. Pada saat asap putih hendak
memancar seperti tadi, dengan cepat pemuda itu menekan tangkai bunga kertas
yang dipegangnya. Serta merta bertaburanlah gulungan sinar kuning. Bila asap
putih dan sinar kuning itu bertemu di udara maka terdengarlah suara berdentum
yang amat dahsyat. Jagat laksana goncang. Asap putih dan sinar kuning
berpalun-palun, gelung menggelung laksana beberapa ekor ular raksasa yang
tengah berkelahi gigit menggigit! Asap putih lambat laun lenyap dirambas dan
ditelan sinar kuning untuk kemudian terus menyerang Begawan Citrakarsa. Kejut
orang tua sakti ini bukan alang kepalang. Dia melompat ke samping tapi agak
terlambat karena sebagian lengan kirinya kena tersambar sinar kuning itu!
Dengan serta merta lengan sang Begawan menjadi kuning pekat!
Pendekar Pemetik Bunga tertawa
terbahak-bahak.
“Sinar kuning itu mengandung
racun dahsyat! Dalam tempo satu jam nyawamu pasti konyol!”
Begawan Citrakarsa mengambil
sebutir pil dan menelannya dengan cepat.
“Ha… ha, jangankan pil tahi
kambing itu! Obat dari kayanganpun tak bakal sanggup memunah racun dilenganmu
itu. Begawan goblok!”
Naik darah si orang tua meluap
sampai ke kepala. Mukanya kelam membesi. Racun kuning ditangan kirinya
dirasakannya mulai merambas mendekati pangkal bahu. Tak ayal lagi Begawan
Citrakarsa pergunakan tangan kanannya memutar dan membetot lengan kirinya itu!
“Kraak!”
Sungguh menggidikkan sewaktu
persendian bahu itu lepas dan daging berserabutan, urat-urat berbusaian
menyemburkan darah! Pendekar Pemetik Bunga sendiri meremang bulu kuduknya
melihat perbuatan sang Begawan!
“Jangan kira meski aku cuma
dengan satu tangan kini kau bisa lepas dari kematian, Wirapati keparat!” kata
Begawan Citrakarsa.
“Otakmu memang sudah miring,
Begawan!” kata Wirapati pula. “Tak satu kekuatanpun yang sanggup menandingi
bunga kertas kuning ini!” Begawan Citrakarsa tidak menjawab apa-apa melainkan
tangan kanannya menyelinap ke balik selempang kain putih di pinggangnya.
Sebilah keris bereluk dua
belas yang memancarkan sinar sangat merah kini tergenggam di tangan Begawan
itu. lnilah keris “Pancasoka” yang mempunyai keampuhan luar biasa! Jangankan
daging manusia, batu karang pun jika ditusuk pasti akan hancur lebur!
Sebagai bekas murid Begawan
Citrakarsa dengan sendirinya Wirapati tahu betul kehebatan senjata ini. Dia
meragu apakah kini bunga kertas kuningnya akan sanggup menghadapi keris
Pancasoka itu.
Karenanya untuk menjaga segala
kemungkinan Pendekar Pemetik Bunga segera membuka ikatan sabuk mutiara milik
Kidal Boga yang tempo hari dibunuhnya. “Kau lihat keris ini Wirapati?!”
“Ah… tak usah banyak omong!
Majulah biar kau juga dapat kehebatan sabuk mutiara ini!” tukas Wirapati!
Menggelegaklah kemarahan sang
Begawan. Dia melompat ke muka.
Keris Pancasoka berkiblat kian
kemari. Sinar merah laksana lidah api menyerang ganas. Setiap serangan
merupakan rangkaian yang sekaligus menjurus ke arah dua belas bagian tubuh
lawan! Inilah kehebatan senjata itu!
Wirapati tidak pula tinggal
diam. Sabuk mutiara diputar laksana kitiran. Gelombang angin menderu-deru
sedang bunga kertas ditangan kanan tiada hentinya mengeluarkan sinar kuning
yang mengandung racun jahat! Namun dua senjata ditangan Wirapati hampir tiada
daya menghadapi keris bereluk dua belas di tangan kanan Begawan Citrakarsa.
Ditambah lagi dengan amukan si
orang tua yang dahsyatnya bukan olah-olah.
Kalau saja satu tangannya
tidak cedera buntung pastilah amukannya itu tak akan tertahan-tahan oleh
Wirapati.
Dengan keris ditangan kanan
orang tua itu, pertempuran sudah berkecamuk selama enam puluh jurus! Daya tahan
dan kegesitan Begawan Citrakarsa meski dirinya sudah terlalu parah memang patut
dikagumi! Dalam pada itu dia sudah berhasil pula mendesak dan memepet lawannya
sampai kedekat reruntuhan pondok yang terbakar!
Dengan kertakkan geraham
kemudian membentak keras, Wirapati percepat gerakannya dan keluarkan
jurus-jurus dahsyat yang mengandung tipu-tipu ganas licik mematikan! Tapi
Begawan Citrakarsa yang sudah makan asam garam pertempuran yang sudah puluhan
tahun punya pengalaman dalam dunia persilatan mana bisa kena ditipu!
“Setan alas!” maki Pendekar
Pemetik Bunga. “Kunyuk tua haram jadah,” makinya lagi dalam hati. Dengan
mempergunakan jurus “Menyapu Awan Menerjang Mega,” pemuda ini akhirnya melompat
ke luar dari kalangan pertempuran!
“Pemuda terkutuk!” teriak
Begawan Citrakarsa, “Kau mau lari ke mana?!”
“Aku tidak lari iblis tua!”
bentak Pendekar Pemetik Bunga. Dia cepat-cepat tusukkan kembali bunga kertasnya
ke sela rambut di kepala, sabuk mutiara tetap dipegang di tangan kiri menjaga
segala kemungkinan.
Saat itu jarak antara mereka
terpisah sejauh lima meter.
“Begawan keparat! Mari kita
buat perjanjian!” Tiba-tiba Pendekar Pemetik Bunga ajukan usul.
“Heh, sudah mau hampir mampus
bikin segala macam usul! Apakah itu bukan cuma ulur waktu mencari kesempatan
lari…?!” ejek Citrakarsa.
“Sompret tua, aku berjanji!
Jika kau sanggup terima pukulanku, aku akan bunuh diri dihadapanmu!”
Begawan Citrakarsa tertawa
mengekeh-ngekeh. “Bunuh diri terlalu enak buatmu, Pendekar terkutuk!”
Si pemuda penasaran bukan
main. Tapi dia berkata lagi, “Kalau begitu kau terpaksa mampus percuma orang
tua! Dunia persilatan akan gempar bila mengetahui, seorang tokoh silat bernama
Citrakarsa dibunuh oleh muridnya sendiri…!”
Habis berkata begitu Pendekar
Pemetik Bunga tertawa panjang dan menggidikkan. Tangan kanannya diacungkan ke
muka, mulut berkomat-kamit sedang ibu jari dan telunjuk mendadak dengan cepat
berobah menjadi hitam!
Teganglah paras Begawan
Citrakarsa. Selama di puncak Gunung Merbabu dia telah mendengar bahwa bekas
muridnya yang murtad itu telah memiliki sejenis ilmu yang sangat sakti dan
berbahaya! Apakah ini agaknya ilmu kesaktian yang hendak dilancarkannya, hendak
dipakai menyerang?!
Jari tetunjuk dan ibu jari
Pendekar Pemetik Bunga atau Wirapati semakin hitam legam dan mengeluarkan sinar
mengerikan sedang paras sang Begawan semakin tegang, sebaliknya Pendekar
Pemetik Bunga tertawa terus tiada hentinya!
“Ilmu Jari Penghancur Sukma
ini sudah menelan puluhan tokoh-tokoh silat!” kata si pemuda yang tiba-tiba
hentikan tertawanya, “tokoh-tokoh silat yang tolol geblek sengaja mencari
mampus!”
“Hah!” kejut Begawan
Citrakarsa. “Murid murtad, dari mana kau dapat ilmu bejat itu?!”
Wirapati alias Pendekar
Pemetik Bunga tertawa lagi panjang-panjang.
Jari telunjuk dan ibu jarinya
mulai bergerak membentuk lingkaran siap untuk dijentikkan ke muka. Begawan
Citrakarsa cepat-cepat alirkan seluruh tenaga dalamnya ke keris yang ditangan
kanan sehingga senjata itu menyinarkan cahaya merah yang sepuluh kali menyilaukan
dari semula!
Pendekar Pemetik Bunga
memperlahan tertawanya. “Selusin keris Pancasoka ditanganmu, tiada nanti kau
sanggup menahan serangan jariku ini, Begawan keriput!”
“Laknat terkutuk! Jiwamu atau
nyawaku!” teriak Begawan Citrakarsa. Laksana anak panah tubuhnya melesat ke
muka. Keris Pancasoka mengiblatkan sinar merah yang dahsyat! Pohon-pohon dan
daun-daun di kiri kanan hangus berkepulan. Lidah api yang laksana naga raksasa
menyambar dalam kecepatan luar biasa ke arah Pendekar Pemetik Bunga!
Yang diserang mendengus
mengejek. Tubuhnya tidak sedikitpun bergerak! Kakinya tak satupun yang bergeser
membuat langkah mengelak!
Sebaliknya hanya jari telunjuk
dan ibu jari tangan kanannya saja yang tiba-tiba menjentik ke muka. Maka pada
detik itu juga didahului oleh angin keras laksana topan prahara, menderulah
gelombang sinar hitam, menyapu dan menerjang lidah api keris Pancasoka!
Begawan Citrakarsa yang
melihat gelombang apinya membalik menyerang dirinya sendiri berteriak kaget dan
melompat ke samping sejauh dua tombak. Tapi dari samping sinar hitam melanda
dengan dahsyatnya! Orang tua ini terguling-guling di tanah. Tubuhnya hangus
hitam dan mengepulkan bau daging yang terpanggang! Bahkan keris Pancasoka yang
saat itu masih tergenggam ditangan kanannya juga hangus menjadi hitam!
Pendekar Pemetik Bunga
meringkik macam kuda menjadi jalang melihat dedemit! Kemudian dia tertawa
gelak-gelak menyaksikan mayat gurunya yang menggeletak tanpa nyawa beberapa
tombak di hadapannya itu! Benar-benar si Wirapati ini murid murtad yang tiada
tara kekejamannya!
Tiba-tiba dia memutar tubuh
dan tertawa lagi gelak-gelak sewaktu melihat tubuh Galuh Warsih yang masih
duduk bersandar di batang pohon, tiada bergerak karena tadi telah ditotoknya.
Dia melangkah mendekati gadis itu.
“Dewiku,” katanya seraya
berlutut dihadapan Galuh Warsih, “kau sudah lihat bagaimana kehebatanku bukan?”
“Pemuda keparat, pergi! Jangan
dekati aku!” teriak Galuh Warsih. Meski dia ditotok dan tubuhnya tak bisa
bergerak sedikitpun namun pendengarannya tetap terbuka dan mulutnya masih bisa
bicara.
Pendekar Pemetik Bunga
menyeringai. Hidungnya kembang kempis.
Nafasnya panas memburu, diburu
oleh nafsu yag menggejolak!
Diulurkannya tangannya
membelai pipi gadis itu dan Galuh Warsih memaki lagi, menjerit-jerit!
“Kulitmu halus sekali, Galuh.”
“Pemuda setan! Pergi, jangan
sentuh tubuhku!” teriak Galuh Warsih.
“Ah… apakah tampangku
betul-betul seperti setan?” tanya si pemuda dengan cengar-cengir. Dan dialusnya
lagi pipi gadis itu. Galuh Warsih yang karena tidak bisa menggerakkan tangan
atau kakinya, penuh kegemasan diludahinya muka pemuda itu. Pendekar Pemetik
Bunga malah tertawa. Diambilnya ujung angkin Galuh Warsih, dengan angkin itu
disekanya ludah yang membasahi mukanya.
“Ludahmu seharum bunga semanis
madu, kenapa musti disembur ke mukaku? Bukankah lebih baik disemburkan ke dalam
mulutku? Ha… ha… ha…!”
“Kulit pipimu demikian
halusnya, Galuh,” kata si pemuda dan dicuilnya dagu si gadis. “Tentu kulit
tubuhmu lebih mulus lagi…”
Habis berkata begitu Pendekar
Pemetik Bunga segera elus bahu Galuh Warsih. Berdiri bulu kuduk si gadis
sebaliknya semakin menggejolak darah muda Pendekar Pemetik Bunga. Tangan yang
mengelus bahu itu kini turun ke dada. Air mata berlelehan di pipi Galuh Warsih.
Dia tahu, tak satupun yang bisa dilakukannya menghadapi perlakuan bejat itu.
Dia sadar apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Tak sanggup lagi dia menjerit,
tak kuasa lagi dia berteriak karena suaranya sudah habis ditelah keparauan!
“Gadis manis, kenapa musti
menangis?” tanya Pendekar Pemetik Bunga.
“Pemuda terkutuk…,” suara
Galuh Warsih antara terdengar dan tiada, “aku rela dibunuh daripada
diperlakukan begini rupa…”
“Heh…?!” Pendekar Pemetik
Bunga hela nafas dan kerutkan kening tanda heran. “Kau tahu manis, perempuan-perempuan
yang mati gadis kalau dia bisa bicara di liang kubur, pastilah dia minta
dihidupkan kembali!
Hidup kembali untuk merasakan
kenikmatan hidup antara laki-laki dan perempuan! Kau yang hidup kepingin mati…?
Lucu…. Mari dewiku, kini ke balik semak-semak sana! Di situ ada rumput, biar
kita bisa tidur bergulung lebih nikmat…!”
“Pergi! Jangan sentuh aku!”
suara Galuh Warsih mengandung keputusasaan.
“Oh, kau tak mau ke balik
semak-semak itu, Galuh? Tak apa… tak apa… di sinipun aku tak keberatan!”
Pendekar Pemetik Bunga ulurkan tangan kanannya kembali dan “breet!”
Kain penutup dada Galuh Warsih
robek besar. Dadanya tersingkap lebar. Sepuluh jari tangan Pendekar Pemetik
Bunga dengan terkutuknya laksana gila menggerayang menjamahi dada itu. meremas
seakan-akan hendak menghancur luluhkannya!
7Sejak kemarin senja sampai
siang hari itu Kadipaten Kaliurang tampak sibuk sekali. Senja kemarin lima
orang pembantu Bupati Sentot Sastra telah dikirim ke Kaliprogo wetan untuk
menyelidiki kenapa Galuh Warsih sampai sesenja itu tidak kunjung muncul di
Kaliurang. Pada tengah malam kelima pembantu Bupati yang menunggangi kuda itu
berhenti di satu tikungan di lamping bukit. Di bawah penerangan bintang-bintang
dan bulan sabit mereka menyaksikan tebaran mayat pengawal-pengawal Bupati yang
adalah juga kawan-kawan mereka. Semuanya mati dalam cara yang mengenaskan dan
menggidikkan. Sebagian besar hancur kepalanya atau bobol dada serta perutnya.
Kereta yang menjadi tumpangan anak gadis Bupati Sentot Sastra angsrok di tengah
jalan sedang dua ekor kuda penarik kereta hancur keempat kaki masing-masing!
Ketika seorang diantara yang lima itu meloncat turun dan memeriksa kereta,
ternyata kereta itu kosong.
“Aku tidak melihat Tegal
Ireng!” kata salah seorang dari mereka.
“Aku juga! Di mana kusir
kereta itu?”
“Mungkin dia satu-satunya yang
selamat… “
Tapi ketika menyelidik ke
tikungan yang menurun di sebelah sana mereka kemudian menemui mayat kusir
kereta itu menggeletak menelungkup di tanah tanpa nyawa!
“Aku tak dapat menduga apa
yang sesungguhnya terjadi di sini! Kalau rombongan Den Ayu Galuh Warsih
dihadang perampok, mengapa kawan-kawan kita mati dalam keadaan demikian rupa?
Dan kaki-kaki kuda yang hancur itu?!”
“Aku sendiri tak dapat
membayangkan apa yang terjadi dengan Den Ayu Galuh Warsih,” menyahuti pembantu
Bupati Kaliurang yarg lain, “Dia diculik, itu pasti sudah!”
“Diculik dan dirusak
kehormatannya?!” menambahkan yang lain. “Kalau begitu kita harus cari
jejak-jejak si penculik!”
“Di malam buta begini bukan pekerjaan
mudah mencari jejak-jejak manusia! Lagi pula siapapun manusia-manusianya yang
melakukan perbuatan biadab ini pastilah dia berilmu Tinggi! Orang berilmu
tinggi tidak terlalu bodoh untuk mau tinggalkan jejak!”
“Lantas kita bikin apa kalau
sudah begini?!”
“Kembali saja ke Kaliurang dan
beri keterangan pada Bupati Sentot?”
“Kalau kau mau disemprot,
kembalilah sendiri!”
Sepi beberapa lamanya.
Kesepian yang membuat bulu kuduk kelima orang itu menggerinding, ditambah lagi
dengan tiupan angin bukit di malam buta yang dingin itu.
“Sebaiknya kita teruskan saja
perjalanan ke Kaliprogo wetan,” mengusulkan seseorang.
Tapi tak ada seorangpun yang
menerima dan menyetujui usul itu.
Kelimanya kemudian mencari
tempat yang baik, agak jauh dari tikungan jalan, menyalakan api unggun,
berkemah di situ menunggu sampai pagi.
Esok paginya, dengan
sedapat-dapatnya kelima orang itu memperbaiki kereta yang rusak. Mayat
kawan-kawan mereka yang berjumlah dua belas ditumpuk sebisa-bisanya di dalam
dan di atas atap kereta. Dua diantara lima pembantu Bupati itu duduk di depan
kereta, satu memegang kendali. Kuda keduanya dipakai sebagai kuda-kuda penarik
kereta karena kuda-kuda milik kawan-kawan mereka yang menemui ajal itu tak
seekorpun yang hidup dan ada sekitar situ!
Kedatangan kelima orang itu
dengan membawa kereta yang ditumpuki dua belas mayat yang mengerikan tentu saja
menggemparkan seisi Kadipaten, bahkan menggemparkan seluruh Kaliurang!
Wajah Bupati Sentot Sastra
membeku mengelam. Kedua tangannya mengepal. Dia melangkah mundar mandir.
Kepanikan yang amat sangat membuat dia tak sanggup membuka mulut! Sebaliknya di
dalam kamar istrinya terdengar menangis meraung-raung.
“Mana anakku! Mana anakku!”
pekik ratap perempuan itu. “Galuh! Galuh Warsih, di mana kau anak? Oh Galuh!
Tuhan! Di mana anakku Tuhan”
Tenggorokan Bupati Sentot
Sastra turun naik. Dadanya menggelora.
Kematian kedua belas pengawal
Kadipaten itu membuat kepalanya serasa mau pecah oleh luapan darah! Di samping
itu yang membuat dia tak bisa diam dan seperti mau gila ialah karena tidak
mengetahui di mana anak gadisnya saat itu atau apa yang telah terjadi dengan
Galuh Warsih! Melihat kepada kenyataan yang terjadi, pasti nasib Galuh Warsih
tidak lebih baik dari kedua belas anak buahnya itu! Kepada siapakah kemarahan
yang meluap itu hendak dilepaskannya? Hendak dilampiaskannya?!
Laki-laki ini melangkah terus
mundar mandir! Setahunya sekitar perjalanan antara Kaliurang dan Kaliprogo
wetan tak ada gerombolan rampok jahat! Lantas siapakah yang telah melakukan kebiadaban
terkutuk itu?! Siapa yang menculik anak gadisnya? Anak tunggal satu-satunya
yang menjadi kesayangan tambatan hati?! Dan sementara itu telinganya tiada
henti mendengar ratap tangis istrinya yang bukan saja menyayat hati tapi juga
membuat darah di dalam tubuhnya semakin bergejolak mendidih!
Di langkan kadipaten itu, pada
sisi-sisi tangga sebelah atas terdapat masing-masing sebuah arca Batara Wisnu
yang duduk di atas seekor burung rajawali yang tengah mengembangkan sayapnya.
Mungkin karena luapan amarah yang tak terkendalikan dan tak tentu kepada siapa
dilampiaskan, ditambah pula mendengar ratap tangis istrinya di dalam, maka
sewaktu melawati arca itu untuk kesekian kalinya, tiba-tiba Bupati Sentot
Sastra menghantamkan tinju kanannya!
“Braak!”
Arca Batara Wisnu hancur
berkeping-keping! Itulah ilmu pukulan “Genta Kematian.” Kalau arca batu yang
keras itu sekali pukul saja sanggup dibikin hancur berkeping-keping, maka jika
dipukulkan kepada manusia tentulah tak dapat dibayangkan bagaimana akibatnya!
Sementara itu, para pembantu
Sentot Sastra yang berdiri dilangkan Kadipaten itu masing-masing sama merasa
takut dan cemas. Khawatir mereka kalau-kalau dalam amarah gelap mata seperti
itu, diri mereka pula yang bakal ketiban pulung dihantam sang Bupati!
Tiba-tiba laksana halilintar
di siang hari layaknya berteriaklah Sentot Sastra. Semua pembantu-pembantunya
yang berjumlah lima belas orang diperintahkannya untuk bersiap-siap.
“Kita akan ulangi lagi
penyelidikan!” teriaknya.
“Kau Darjakumara, bersama enam
orang lainnya menyelidik kejurusan Kaliprogo wetan den sekitarnya. Aku dan yang
lain-lain ke timur! Kalian harus berhasil mencari jejak manusia yang telah
melakukan kebiadaban ini! Harus berhasil membekuk batang lehernya! Siapa yang
kembali sebelum dapatkan itu manusia durjana akan kubunuh! Sekarang siapkan
kudaku!”
Seorang pembantu Sentot Sastra
segera berlalu untuk menyiapkan kuda sang Bupati sedang yang lain-lainnya
segera pula meninggalkan langkan Kadipaten guna mengambil kuda masing-masing
dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan mencari
manusia biang penimbul malapetaka itu. Mereka masing-masing menyadari bahwa
pencarian itu tidak akan berhasil dalam tempo yang singkat, tapi memakan waktu
berhari-hari.
Selang beberapa ketika lima
belas penunggang kuda ditambah dengan Sentot Sastra sendiri sudah berkumpul di
halaman Kadipaten.
Mereka siap menunggu perintah
dan langkah-langkah terakhir yang harus mereka lakukan.
Bupati Sentot Sastra menyapu
paras kelima belas orang anak buahnya itu lalu berkata, “Sekali lagi kalian
ingat baik-baik. Kalian musti temukan bangsat itu dan seret dia hidup-hidup ke
sini! Jika tak berhasil menemuinya, lebih baik tidak usah kembali! Kalian
menger….”
Bupati Sentot Sastra tidak
teruskan ucapannya. Sepasang matanya kini tidak lagi menyaputi paras
pembantu-pembantunya satu demi satu melainkan dialihkan ke lereng bukit di
sebelah selatan. Sentot Sastra seorang yang berilmu cukup tinggi sehingga
meskipun jarak bukit dengan tempatnya berada saat itu terpisah hampir dua ratus
tombak namun sepasang telinganya lapat-lapat mendengar suara siulan aneh yang
menggelombang tiada nada dalam lagu tak menentu!
Lima belas pasang mata
pembantu-pembantu Sentot Sastta sama dialihkan pula ke lereng bukit di sebelah
selatan itu. Dan dikejauhan kelihatanlah sesosok tubuh laki-laki berlari sangat
cepatnya laksana angin! Yang anehnya ialah pada pundak kiri laki-laki ini
terpanggul sebuah peti yang melihat kepada besarnya pasti puluhan kati
beratnya!
Sewaktu semua orang itu pertama
kali melihat manusia yang berlari cepat tersebut, jarak mereka demikian jauhnya
namun dalam beberapa kejapan mata kemudian tahu-tahu si manusia pemanggul peti
sudah berada di halaman Kadipaten dihadapan Bupati Sentot Sastra dan
pembantu-pembantunya!
Ternyata manusia pemanggul
peti kayu itu seorang pemuda berambut gondrong, bertampang keren dan punya
pandangan mata yang tajam menyorot. Peti yang dipundaknya beratnya puluhan kati
tapi dia berdiri seakan-akan peti itu sama sekali tidak ada di pundaknya!
Pemuda tak dikenal ini kemudian hentikan siulannya. Begitu siulan berhenti maka
dari celah-celah papan peti yang tidak begitu rapat menyebarkan bau busuk yang
seperti mau meranggas bulu hidung, membuat nafas sesak dan mau muntah. Lima
belas pembantu Sentot Sastra yang tak tahan segera menutup hidung sedang Sentot
Sastra sendiri dengan ilmunya yang sudah tinggi tutup jalan pernafasannya.
Si pemuda rambut gondrong yang
tak dikenal menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. Sikapnya ini membuat
Bupati Sentot Sastra kehilangan kesabarannya dan hendak mendamprat. Namun
sebelum mulutnya terbuka si pemuda asing sudah buka suara bertanya.
“Apakah aku berhadapan dengan
Bupati Kaliurang yang bernama Sentot Sastra?”
“Jawab dulu kau siapa?!”
sentak sentot Sastra.
“Siapa aku tidak penting, “
katanya. “Aku datang membawa peti ini untukmu.”
“Peti apa?! Apa isi peti itu!”
Si pemuda menghela nafas dalam
dan rawan. “Peti ini membawa berita buruk bagimu, Bupati.”
“Jangan bicara berbelit-belit!
Turunkan peti itu, aku mau lihat isinya!”
Si pemuda garuk lagi kepalanya
yang berambut gondrong lalu dengan sikap acuh tak acuh turunkan peti kayu yang
berat dari pundaknya.
Bersamaan dengan itu Sentot
Sastra melompat dari punggung kuda.
Dia maju mendekati peti.
Sebelum melangkah lebih dekat dia tiba-tiba ajukan satu pertanyaan, “Apakah
seseorang menyuruhmu mengirimkan peti ini padaku?!”
Si pemuda tertawa aneh dan
angkat bahunya.
Sentot Sastra penasaran dan
gusar sekali melihat sikap pemuda tak dikenal ini. Dia berpaling pada anak
buahnya den memerintah, “Buka peti itu!”
Yang diperintah turun dari
kudanya. Dengan masih menutup hidung karena tak tahan dilanda bau busuk yang
amat sangat itu dia melangkah mendekati peti kayu lalu dengan tangan kiri yang
gemetaran dibukanya kayu penutup peti! Begitu peti terbuka bau busuk yang lebih
dahsyat menyambar hidung. Ketika memandang ke dalam peti kayu itu semua orang
mengeluarkan seruan tertahan dan mata masing-masing melotot besar laksana mau
berlompatan dari rongganya!
Di dalam peti itu terbujur
sesosok tubuh manusia bertelanjang bulat. Kulitnya sudah membiru dan memar. Di
beberapa bagian kelihatan bekas penganiayaan. Dan manusia yang sudah menjadi
mayat busuk ini tiada lain adalah Galuh Warsih, anak kandung Bupati Sentot
Sastra sendiri! Maka menggunturlah bentakan Sentot Sastra!
“Kurung dan cincang sampai
lumat manusia ini!”
Begitu perintah terdengar
begitu lima belas golok panjang yang berkilauan ditimpa sinar matahari dicabut
dari sarungnya! Sentot Sastra sendiri sudah lebih dahulu melompat ke muka
dengan senjatanya yaitu sepasang pedang ungu!
Melihat dirinya diserang
mendadak begitu rupa, pemuda rambut gondrong segera berseru.
“Tunggu! Tahan dulu! Aku belum
kasih keterangan!”
“Iblis bermuka manusia biadab
terkutuk! Kasihlah keterangan pada hantu kuburmu nanti!” teriak Sentot Sastra!
Dan sesudah itu tujuh belas senjatapun berkiblatlah menyerang kesatu sasaran
yaitu tubuh pemuda berambut gondrong!
8Pemuda berambut gondrong
membentak gusar.
“Manusia tolol! Geblek sedeng!
Orang datang baik-baik. Malah disambut dengan ujung senjata! Gila betul!”
Makian ini tentu saja membuat
Sentot Sastra dan kelima belas anak buahnya menjadi semakin ganas dan kalap.
Bagi mereka tidak bisa tidak pemuda asing itulah yang telah membunuh dan
merusak kehormatan Galuh Warsih!
Tujuh belas senjata
berlomba-lomba, menderu dahsyat menggempur si pemuda. Pemuda itu dalam setengah
jurus saja sudah terkurung rapat!
“Manusia-manusia tolol! Apakah
kalian tidak mau hentikan serangan dan beri kesempatan aku kasih keterangan?!”
“Anjing kurap, mampuslah!”
damprat Sentot Sastra dan sepasang pedangnya membacok dari dua jurus yang
berlawanan sedang lima belas golok anak buahnya saling berlomba mencari sasaran
di tubuh si pemuda!
“Manusia-manusia tak tahu
diri! Jika kalian tidak mau hentikan kegilaan ini, jangan menyesal!”
Si pemuda membentak laksana
geledek, keluarkan satu siulan aneh yang menusuk dan menyakitkan liang telinga.
Dalam kejap itu pula tubuhnyapun lenyap dari pemandangan. Sepasang pedang
Sentot Sastra dan lima belas golok anak buahnya membabat angin kosong, saling
bentrokan satu sama lain dan menimbulkan suara nyaring, bunga-bunga api
bergemerlapan!
Mendengar suara ributnya
bentakan-bentakan, mendengar suara berkecamuknya senjata di halaman rumah,
Karsih Wardah, istri Bupati Sentot Sastra terkesiap, dia hentikan tangisnya dan
dengan senggak-sengguk lari ke langkan. Betapa terkejutnya sewaktu menyaksikan
suaminya dan lima belas orang pembantu Kadipaten tengah mengeroyok seorang
pemuda berambut gondrong tak dikenal yang hanya bertangan kosong dan terpaksa
berkelebat kian kemari guna mengelakkan serangan-serangan yang sangat ganas
itu!
Belum habis herannya Karsih
Wardah melihat pertempuran yang berkecamuk itu, maka dua matanya yang telah
sembab karena menangis membentur pada sebuah peti besar yang terletak di tanah.
Sementara itu lobang hidungnya dirambas oleh bau busuk yang tak dapat
dipastikan dari mana asalnya!
Sentot Sastra dan anak-anak
buahnya mana mau ambil peduli peringatan si rambut gondrong malah dia
memerintahkan agar menggempur pemuda rambut gondrong itu lebih hebat lagi!
“Dasar bodoh, dasar geblek
buta mata!” maki si pemuda. Sambil berguling di tanah disambarnya papan besar
penutup peti. “Ayo manusia-manusia keblinger, majulah!” Dan ketika Sentot Sastra
bersama pembantu-pembantunya masih juga kalap menyerang maka si pemuda
lemparkan penutup peti itu ke arah mereka. Sentot Sastra cepat melompat ke
samping tapi tiga orang pembantunya yang tak sempat mengelak terjerongkang di
tanah sewaktu dada mereka dilabrak penutup peti.
Dengan bertolak pinggang dan
sambil tertawa-tawa si pemuda rambut gondrong berkata mengejek.
“Masih buta mata gelap
pikiran, silahkan maju lagi!” Rahang Sentot Sastra bergemeletakan. Mulutnya
mengeluarkan suara menggeram.
Bupati Kaliurang ini berteriak
keras, “Bentuk barisan roda maut!”
Maka kedua belas orang anak
buahnya segera bergerak cepat membentuk lingkaran. Sekali Bupati itu berteriak
memberi isyarat maka kedua belas orang itupun bergeraklah berlari lari cepat
dalam lingkaran yang makin lama makin menciut sedang senjata masing-masing
membabat dari dua beias jurus, diseling dengan tikaman atau tusukan dan
diperhebat oleh kiblatan sepasang pedang Bupati Sentot Sastra.
Pakaian putih dan rambut
gondrong si pemuda berkibar-kibar oleh sambaran senjata. Debu dan pasir
beterbangan ke udara sedang barisan roda maut semakin menciut juga!
“Orang tolol memang susah
dikasih pelajaran kalau tidak digebuk!”
“Berbacotlah sepuasmu manusia
laknat! Sebentar lagi tubuhmu akan berkeping cerai berai!” teriak Sentot
Sastra.
Baru saja ia habis berkata
begitu si pemuda bersiut nyaring.
Tubuhnya berkelebat dua kali.
Suara seperti orang tercekik terdengar susul menyusul! Dan sewaktu Sentot
Sastra merasa bahwa cuma dirinya saja kini yang sendirian mencak-mencak
mengirimkan serangan maka laki-laki ini segera melompat ke luar dari kalangan
pertempuran!
Kemudian bila dilayangkannya
pandangannya berkeliling maka tiada terkirakan kagetnya!
Kedua belas pembantunya
berdiri laksana patung tak bergerak-gerak karena masing-masing mereka sudah
kena ditotok oleh pemuda yang sangat lihai itu!
Nyatalah bagi Sentot Sastra
bahwa pemuda itu tinggi sekali ilmunya dan bukan tandingannya. Kalau saja dia
ingin mencelakai diri dan orang-orangnya pastilah tidak sukar bagi pemuda itu
untuk melaksanakannya!
Namun gelap mata karena
menyangka keras bahwa pemuda itulah yang menjadi pembunuh anak kandungnya serta
menamatkan pembantu-pembantunya di tikungan jalan antara Kaliurang dan
Kaliprogo wetan, ditambah lagi saat itu istrinya Karsih Wardah dilihatnya lari
menghambur den menubruk peti di mana mayat Galuh Warsih terbujur dan
berteriak-teriak macam orang hilang ingatan, maka meski dua belas anak buahnya
ditotok tak bergerak, meski tiga lainnya menggeletak pingsan, namun Sentot
Sastra tetap membara dadanya, tetap berkobar nyalinya untuk dapat membunuh
menamatkan riwayat si pemuda! Karenanya disaat pemuda itu berdiri tolak
pinggang, dan tertawa-tawa, Sentot Sastra segera menyerbu kembali dengan
sepasang pedang ungunya.
Permainan sepasang pedang
Bupati Kaliurang itu memang patut dipuji. Apalagi kini dia mengeluarkan
jurus-jurus simpanan yang sangat diandalkannya. Dua gulung sinar ungu yang
laksana sepasang naga membungkus sekujur tubuh pemuda rambut gondrong dari atas
ke bawah!
Namun agaknya, walau
bagaimanapun kehebatan ilmu pedang sang Bupati, walau bagaimanapun lihai dan
sukar diduga tipu-tipu ilmu silatnya tetap saja dia tak dapat menghajar si
pemuda! Jangankan menebas atau membacok tubuh lawannya, menggores atau merobek
bajunya sajapun Sentot Sastra tidak sanggup!
“Bupati Sentot Sastra!” seru
si pemuda. “Apakah kau masih gelap mata mau meneruskan pertempuran ini?!”
“Iblis neraka tutup mulut!
Sebelum kutebas kau punya batang leher, sebelum kucungkil kau punya jantung dan
hati, pertempuran ini sampai kiamatpun tak akan kuhentikan!”
“Hebat sekali nyalimu!” memuji
si pemuda sejujurnya namun mimiknya melontarkan senyum sinis! “Tapi aku dan kau
tiada permusuhan, mengapa musti bertempur begini rupa?!”
“Tidak ada permusuhan bapak
moyang setanmu!” bentak Sentot Sastra penuh beringas!
“Anakku kau rusak
kehormatannya, kau bunuh!”
“Tobat… tobat!”
Si pemuda pukul-pukul
keningnya dengan telapak tangan kiri. “Justru aku datang ke sini untuk
mengantar mayat anakmu yang kutemui di bukit! Eh, malah-malah aku yang dituduh
jadi pembunuh! Dituduh tukang perkosa! tobat!”
“Tak usah membual atau jual
mulut!”
“Siapa membual, siapa jual
mulut?!”
“Sesudah melakukan perbuatan
terkutuk, kau pura-pura berbuat baik dan cuci tangan huh?!”
“Buset!” Si pemuda garuk-garuk
kepata dan mengomel. “Kalau tahu bakal ketiban pulung begini, tidak nanti aku
mau susah-susah bawa mayat kau punya anak ke mari, Bupati!”
“Sudah! tak perlu banyak
rewel! Pokoknya kau harus serahkan batang lehermu!” teriak Sentot Sastra dan
serentak dengan itu kembali dia menyerbu si pemuda.
Yang diserang geleng-gelengkan
kepala.
Sewaktu pedang ungu itu dengan
segala kehebatannya memapas dari kiri kanan, siap membabat putus tubuh si
pemuda menjadi tiga kutungan maka si pemuda geser kakinya satu langkah.
Serentak dengan itu kedua tangannya bergerak cepat hampir tak kelihatan,
memukul badan kedua pedang Sentot Sastra berseru keras, ia merasa terkejut
sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang pedangnya lepas dan mental dari
tangannya!
Sebaliknya si pemuda tertawa
gelak-gelak.
“Kalau masih punya niat main
amuk-amukan, silahkan ambil kembali pedangmu, Bupati!”
Mengelam muka Sentot Sastra
mendengar ejekan yang sekaligus merupakan tantangan itu. Karena malu dia tidak
ambil kedua senjata itu melainkan kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan
terus ke ujung-ujung jari!
“Heemm… pukulan apakah yang
kau hendak lancarkan?” mencemooh si pemuda!
Sentot Sastra merutuk dalam
hatinya.
“Meski kesaktianmu setinggi
langit, jangan harap kau sanggup menerima pukulan Genta Kematian-ku ini!” kata
Bupati Kaliurang itu pula.
Dengan menyebutkan nama ilmu
pukulan yang diyakininya selama tujuh tahun itu dia berharap si pemuda akan
kaget dan menciut nyalinya.
Tapi apa lacur! Malah si
pemuda tertawa bekakakan ketika mendengar nama ilmu pukulannya itu!
“Setahuku genta adalah semacam
klenengan yang dikalungkan di leher sapi atau kerbau! Itukah nama ilmu
pukulanmu? Tentunya kau berguru pada seekor sapi? Ha… ha… ha…!”
Kekalapan Sentot Sastra bukan
alang kepalang. Bentakannya mengguntur. Kedua lengannya bergetar dan
terpentang. Sekejapan mata kemudian tubuhnya lenyap dalam lompatan kilat
setinggi tiga tombak.
Sewaktu melewati si pemuda dia
kirimkan dua tendangan sekaligus! Si pemuda merunduk dan pada waktu itulah
gerakan lihai yang mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sempurna, Sentot
Sastra balikkan tubuh dan hantamkan kedua kepalannya ke kepala lawan!
Si pemuda yang merasakan angin
pukulan sangat keras menerpa belakang kepalanya bersuit nyaring, rundukkan
kepala dan secepat kilat putar tubuh!
Muka Bupati Sentot Sastra dari
Kaliurang itu mendadak sontak menjadi pucat pasi sewaktu lima jari tangan kanan
pemuda lawannya laksana japitan baja, sekaligus mencekal kedua lengannya
sehingga tak sedikitpun dia bisa berkutik! Dan bukan itu saja, dari jari-jari
tangan itu dirasakannya aliran aneh yang sejuk dingin menjalar ke lengannya,
terus ke bahu dan sekujur tubuhnya! Luapan amarah yang membakar dan menggelorai
darahnya kini menggendur. Pikiran jemih kini muncul dibenaknya. Tubuhnya lemah
lunglai, keringat dingin memercik dikeningnya. Akhirnya Sentot Sastra jatuh
duduk menjelepok di tanah sewaktu pemuda itu lepaskan cekalan pada kedua
lengannya!
“Orang muda, siapakah kau
sebetulnya?” tanya Sentot Sastra. Nada suaranya kini tidak keras dan tidak
bernada marah lagi seperti tadi-tadi.
Si pemuda tertawa.
“Aku datang ke sini bukan
untuk mengobral nama atau kasih keterangan siapa aku, tapi untuk menolong
mengantarkan mayat anakmu.”
Sentot Sastra memutar
kepalanya ke arah peti. Istrinya dilihatnya terkulai pingsan di tepi peti itu,
sedang dua belas pembantu-pembantunya sampai itu saat masih berdiri mematung
dalam keadaan tertotok!
Sang Bupati kembali palingkan
kepala pada si pemuda. Lama dia menatap paras pemuda itu. Dan pada paras yang
masih muda belia itu kini dapat dilihatnya sifat kesatria gagah perkasa dan
kejujuran.
“Orang muda, kau betul-betul
tidak melakukan perbuatan terkutuk terhadap anakku?”
Si pemuda gelengkan kepala.
“Lantas siapa yang melakukannya?”
Si pemuda angkat bahu. “Akupun
tengah mencarinya! Dunia persilatan kini dihebohkan oleh munculnya seorang
pendekar terkutuk berjubah hitam dengan bunga-bunga kuning. Nama aslinya aku
tidak tahu tapi dia digelari sebagai Pendekar Pemetik Bunga!”
“Pendekar Pemetik Bunga!”
mengulang Sentot Sastra. “Yaaa… aku pernah dengar tentang manusia durjana itui
Tapi dulu dia cuma malang melintang di barat, kini tahu-tahu muncul di sekitar
sini…!”
“Kunyuk lapar perempuan
begitu, di mana ada perempuan cantik pasti di situ dia muncul unjuk tampang
bikin kejahatan!” menyahuti si pemuda.
Perlahan-lahan Sentot Sastra
berdiri kembali. Kedua tangannya mengepal.
“Aku akan cari bangsat itu
sampai dapat dan habiskan nyawanya!”
Pemuda rambut gondrong naikkan
kedua alis matanya.
“Jangankan kau, gurunya
sendiri yang jauh lebih sakti sanggup dibunuhnya!”
“Lantas apakah aku akan
berpangku tangan melihat anakku dibunuh dan dirusak begini rupa?!” tanya Sentot
Sastra hampir berteriak.
“Aku hargai keberanianmu, Bupati,”
memuji si pemuda. “Tapi keberanian yang hanya mengendalikan nafsu besar
kekuatan nihil, adalah keberanian buta. Kau akan mati sia-sia ditangannya!”
“Kematian bukan apa-apa
bagiku! Semua manusia nantinya akan mati juga…”
“Terserah padamu, Bupati. Aku
cuma kasih nasihat! Mungkin nasihatku tidak ada harganya.” Sentot Sastra
termangu-mangu beberapa lamanya.
Tiba-tiba dia berseru sewaktu
dilihatnya pemuda di hadapannya putar tubuh hendak berlalu.
“Orang muda, tunggu! kau mau
ke mana?”
“Aku masih ada urusan lain.
Sampai jumpa Bupati.”
“Kau masih belum terangkan
namamu.”
Pemuda itu tertawa lagi.
Begitu murah tertawa baginya. “Aku sudah bilang namaku tidak penting.”
“Tenting atau tidak penting
itu bukan urusan. Tapi padaku kau tetap harus kasih tahu. Dan
pembantu-pembantuku ini kau harus lepaskan totokannya kembali!”
“Pijit saja tengkuknya
satu-satu, pasti totokannya lepas,” memberi tahu si pemuda.
“Sudahlah, kalau kau penasaran
lihat saja bagian kepala dari peti kayu itu. Di situ tertulis namaku!” kata si
pemuda pula. Cepat-cepat Sentot Sastra melangkah ke bagian kepala peti di dalam
mana mayat anaknya terbujur. Yang ditemui Bupati ita di sana bukan tulisan atau
huruf yang membentuk nama, melainkan pada kayu di kepala peti itu tertera tiga
buah angka yaitu 212.
“Dua satu dua!” seru Sentot
Sastra kaget. “Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”
Dipalingkannya kepalanya.
Kejutnya bertambah-tambah.
Pemuda tadi sudah tak ada lagi di tempat itu! Sentot Sastra geleng-gelengkan
kepalanya tiada henti.
Tidak sangka dia akan
berhadapan dengan pendekar bersifat kocak yang kadangkala seperti orang
sinting, tapi bertampang keren dan berhati jujur, penolong manusia-manusia yang
tertindas, penghancur kejahatan, momok tokoh-tokoh silat golongan hitam!
“Pantas, pantas… kiranya dia.
Pantas mana aku sanggup menghadapinya!” kata Sentot Sastra pula dan dia
melangkah mendapatkan istrinya yang pingsan di tepi peti.
9Dua puluh tahun yang silam….
Tak berapa jauh dari kaki
Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur. Kebun sayur mayur
terbentang menghijau di mana-mana.
Bila seseorang berdiri di atas
pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka tampaklah pemandangan yang
sangat indah dari lembah Manukwilis. Di atas pedataran tinggi itu terletaklah sebuah
bangunan dari tembok yang selain besar juga sangat bagus bentuknya. Keseluruhan
bangunan ini dicat putih dan dipagari dengan tembok setinggi lima tombak. Untuk
masuk ke halaman dalam bangunan cuma ada sebuah pintu. Pintu ini juga terbuat
dari batu yang hanya bisa dibuka secara rahasia. Kalau bukan orang yang berilmu
sangat tinggi jangan harap bisa masuk ke dalam halaman bangunan karena di atas
tombak yang tingginya lima tombak itu masih ditancapi lagi dengan besi-besi
runcing berduri-duri panjang setinggi tiga tombak!
Bangunan atau gedung apakah
sesungguhnya yang terdapat di belakang tembok itu dan siapakah pemiliknya?
Konon kabarnya gedung itu adalah sebuah biara. Biara itu kini diketuai oleh
seorang Biarawati bernama Wilarani. Biarawati ini sudah lanjut usianya, hampir
mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa muda dia merupakan seorang gadis
cantik yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup
muda remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang dicintainya lari
meninggalkannya dan kawin dengan seorang anak bangsawan kaya raya sedangkan
Wilarani sendiri adalah anak petani miskin.
Keputusasaan karena patah hati
itu membawa akibat yang mendalam bagi Wilarani. Orang tuanya berusaha
mencarikan jodoh lain untuknya, namun kegetiran percintaan yang telah dialami
oleh Wilarani, yang membawa dirinya masuk kedalam lembah makan hati dan
kesengsaraan bathin tak dapat lagi ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun
dengan pemuda-pemuda gagah lainnya, sekalipun puluhan pemuda-pemuda sekitar tempat
kediamannya dan dari jauh-jauh datang melamar serta tergila-gila kepadanya!
Bagi Wilarani dunia ini sudah
bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta murni itu, cinta suci sejati hanya ada
dalam mulut, tidak dalam kenyataan! Dalam keputusasaan karena patah hati, dalam
kehancuran bathin dan kegelapan pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang tuanya
meninggal dunia, maka Wilarani yang saat itu sudah berumur hampir tiga puluh
dan pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi tak kesampaian memetik bunga
harum sekuntum itu telah mulai menyiarkan ejekan-ejekan bahwa dia kini sudah
menjadi “perawan tua”, akhirnya Wilarani mengambil keputusan untuk meninggalkan
rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.
Dia pergi tanpa tujuan. Hampir
satu tahun dia malang melintang tiada karuan. Keadaannya sudah demikian
menyedihkan, pakaian compang-camping dan tubuh kurus sakit-sakitan. Hanya satu
bukti kehidupan masa mudanya yang sampai saat itu masih dimilikinya, yaitu
parasnya yang cantik. Paras itu masih belum pupus kejelitaannya meski pada
tepi-tepi matanya telah timbul garis-garis ketuaan dan pada pipi yang agak
cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.
Dan kecantikan yang masih
belum pupus inilah yang membuatnya suatu ketika dihadang oleh segerombolan
rampok-rampok buas di tengah rimba belantara. Dia diseret kesarang rampok.
Pimpinan rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu beberapa orang
perempuan untuk memandikan dan membersihkan tubuh Wllarani, memberinya pakaian
yang bagus dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti itu semua, namun daya apa
yang akan dibuatnya untuk mempertahankan diri serta kehormatannya?! Dia
dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat bagus dan tak lama kemudian
pemimpin rampok bertampang buruk buas bercambang bawuk menjijikkan masuk ke
dalam kamar itu!
Si kepala rampok
bersinar-sinar sepasang bola matanya.
Dibasahinya bibirnya dengan
ujung lidah dan berkata disertai seringai buruk dan hidung kembang kempis.
“Ternyata kau seorang
perempuan jelita! Ahh… kecantikanmu tidak kalah dengan gundik-gundikku yang
paling cantik disini!”
Kepala rampok itu melangkah
mendekati Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar serta muka pucat pasi di
sudut kamar.
“He… he… kenapa menyudut
ketakutan? Aku bukan macan yang mau menelanmu bulat-bulat! Tap! laki-laki kuat
yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha… ha… ha…!”
Kemudian peluk dan ciumanpun
datang bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu menjeri-jerit tiada
hentinya dan mendorong si kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi tempat
tidur!
Kepala rampok itu duduk di
tepi tempat tidur dan tertawa cengar-cengir. Wilarani lari ke pintu tapi pintu
itu dikunci!
“Perempuan,” kata si kepala
rampok. “Parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku tak mau gunakan kekerasan
padamu. Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka pakaianmu biar aku bisa
lekas-lekas lihat keindahan tubuhmu!”
“Laki-laki durjana! Lepaskan
aku! Keluarkan aku dad sini!”
Si kepala rampok tertawa
gelak-gelak.
Dia bangkit dari tempat tidur.
“Kalau tak mau buka baju
sendiri berarti terpaksa aku yang telanjangi kau!” katanya.
Diterkamnya Wilarani.
Jari-jari tangannya yang besar-besar bergerak kian kemari merobeki seluruh
pakaian yang melekat ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit dan
menjerit!
Mendadak di luar terdengar
pula suara jeritan. Terdengar lagi susul menyusul tiada henti dan dibarengi
dengan suara beradunya senjata!
Belum habis kejut si kepala
rampok tahu-tahu pintu kamar di dalam mana dia berada bersama Wilarani untuk
melampiaskan nafsu terkutuknya ditendang bobol dari luar dan sesaat kemudian
sesosok tubuh menerobos masuk ke dalam!
Yang masuk ternyata seorang
nenek-nenek tua berkepala botak berjubah putih. Di tangannya sebelah kanan
tergenggam seikat sapu lidi!
“Iblis tua dari manakah yang
berani membuat kekacauan di sini?!” bentak si kepala rampok dengan beringas!
Si nenek tertawa
melengking-lengking.
“Iblis tua dari neraka, kunyuk
berewok!” balasnya membentak. “Aku diutus oleh setan-setan neraka untuk minta
kau punya jiwa!”
Dan habis berkata begini si
nenek sapukan sapu lidi di tangan kanannya! Kepala rampok terkejut sekali! Dia
tak menyangka kalau sapu lidi itu adalah satu senjata ampuh yang dapat
melepaskan angin pukulan laksana badai hebatnya!
Sambil membentak garang
laki-laki itu segera cabut goloknya yang mempunyai panjang satu setengah meter
dan lebar hampir satu jengkal!
Si nenek ganda tertawa melihat
senjata lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu menerjang dengan satu tebasan
lihai mematikan, si nenek kepala botak melengking-lengking lagi, berkelebat
cepat dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin kosong!
Kejut si kepala rampok bukan
olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi adalah jurus “Ekor Naga Menebas
Gunung!” Selama ini tak satupun manusia yang selamat dad serangaonya yang
dahsyat itu. Tapi si nenek kepala botak mengelakkannya dengan mudah dan sambil
tertawa melengking-lengking!
Belum lagi habis kejut kepala
rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk laksana kilat ke mukanya.
Kepala rampok berseru kaget dan mundur cepat ke belakang. Tapi punggungnya
tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu terus ke
mukanya!
Terdengar jeritan laki-laki
itu!
Seluruh mukanya hancur
berlubang-lubang laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah buta dan darah
membanjir membasahi mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong laksana srigala
haus darah.
Kedua telapak tangan menekap
muka. Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke lantai, menggelepar-gelepar
beberapa kali lalu menggeletak tiada nyawa lagi!
“Perempuan kau lekas ikut!”
berseru si nenek kepala botak pada Wilarani.
Wilarani yang masih dikungkung
rasa terkejut dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti kata-kata si nenek!
Sementara itu di luar terdengar suara puluhan kaki datang berlari mendekati
kamar itu!
“Ayo lekas!” teriak si nenek.
“Nenek, kau siapakah? A… aaaku….”
“Perempuan geblek! Sekarang
bukan saatnya bertanya!” Si nenek kepala botak segera sambar tubuh Wilarani,
memondangnya dibahu kiri lalu lari ke pintu dengan cepat.
Tapi begitu dia sampai di
ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok sudah menghadang
dengan berbagai senjata di tangan!
“Ini dia kunyuk tua berkepala
botak yang telah membunuh sebelas orang kawan-kawan kita!” teriak rampok yang
terdepan!
Beberapa orang dibarisan
terdepan itu yang telah memandang ke dalam kamar sama berteriak kaget! “Anjing
tua ini juga telah bunuh pemimpin kita!”
“Serbu!”
“Kalau mau mampus cepatlah
maju!” teriak si nenek. Dibarengi dengan suara tertawanya yang
melengking-lengking maka sapu lidi di tangan kanannya disapukan ke muka! Lima
rampok dibarisan terdepan terpekik! Tubuhnya rebah dengan muka berlumuran
darah! Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah
menyerbu menerobos ambang pintu, dengan serentak kiblatkan senjata
masing-masing ke arah si nenek yang sampai saat itu masih memondong tubuh
Wilarani di atas pundak kirinya. Wilarani sendiri saat itu sudah tidak sadarkan
diri alias pingsan!
“Rampok-rampok bejat! Kalian
memang tak perlu dikasih hidup!” seru si nenek! Didahului dengan tendangan kaki
kanan yang mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar sapunya sekeliling tubuh!
Maka susul menyusullah suara
pekik kematian belasan rampok! Yang masih hidup tidak punya nyali lagi
meneruskan mengeroyok si nenek yang mereka anggap bukannya manusia tapi
benar-benar iblis! Mereka yang masih hidup ini segera ambil langkah seribu.
Tapi si nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-rampok itu sudah lari beberapa
jauhnya, dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu semua perampok yang larikan
diri jungkir balik berpelantingan den menemui kematiannya!
Sewaktu Wilarani siuman
didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar yang bagus dan si nenek kepala
botak berjubah putih dilihatnya duduk di sebuah kursi goyang, duduk asyik
menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan sepotong roti.
Wilarani bangkit dari
pembaringan di mana dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya ternyata dia
telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap tepinya.
Si nenek terus juga
bergoyang-goyang di kursi itu terus juga memakan rotinya.
“Nenek…”
“Akh… kau sudah siuman
Wilarani? Bagus-bagus!”
Wilarani terkejut sewaktu si
nenek menyebut namanya. Darimana perempuan tua ini tahu dirinya. Sedangkan dia
sendiri baru kali ini bertemu muka.
“Kau tidak perlu heran bila
aku mengenal namamu,” bicara lagi si nenek. Lalu dicampakkannya tepi roti yang
keras lewat jendela kamar.
Wilarani memandang sekilas
lewat jendela itu. Di luar dilihatnya tembok putih yang sangat tinggi
menghalangi pemandangan. Pada bagian atas tembok terdapat besi-besi berduri
setinggi beberapa tombak. Kemudian perempuan ini alihkan kembali pandangannya
pada si nenek yang duduk di kursi goyang, lalu berdiri dan melangkah kehadapan
si nenek.
Dihadapan nenek kepala botak
ini Wilarani menjura hormat dan berkata.
“Nenek, meski aku tidak kenal
kau tapi kau telah selamatkan aku dari perbuatan terkutuk dan kebejatan! Aku
yang buruk ini haturkan terima kasih sedalam-dalamnya…”
Si nenek tertawa gelak-gelak.
Dari atas meja disampingnya diambil lagi sepotong roti yang terletak di dalam
piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat lapar sewaktu dilihatnya roti
yang di atas meja itu. Tapi si nenek tidak menawarkan kepadanya.
“Kau duduk saja kembali ke
pembaringan itu,” memerintah si nenek.
Wilarani menurut dan duduk di
tepi tempat tidur.
Karena si nenek tidak
berkata-kata dan asyik terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah Wilarani.
“Nenek, apakah aku yang rendah ini boleh tahu siapa kau adanya dan di mana aku
berada saat ini?!”
Si nenek habiskan dulu rotinya
baru menjawab.
“Siapa aku?! He, itulah yang
aku sendiri tidak tahu!” Lalu nenek itu tertawa terlengking-lengking.
Wilarani tak habis heran.
Nenek kepala botak ini agaknya seorang sakti yang aneh misterius.
Dalam pada itu si nenek membuka
lagi mulutnya, berkata. “Orang-orang juga sering bertanya seperti kau. Siapa
aku?! siapa aku?! Dan aku selalu bilang pada mereka aku sendiri tidak tahu!
Kadang-kadang ada yang keliwatan mendesak, tanya terus, tanya terus! Lalu aku
jawab aku adalah seorang nenek-nenek buruk berkepala botak!” Kembali si nenek
tertawa melengking-lengking!
Mau tak mau Wilarani ikut pula
tertawal “Ha…,” si nenek hela nafas. “Kau bisa juga tertawa ya? Kata orang
kalau banyak tertawa bisa awet muda! tapi aku yang sudah tua semakin banyak
tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!”
Wilarani tertawa cekikikan.
Tapi tertawanya itu ditahan-tahan karena khawatir si nenek akan marah! Terhadap
orang bersifat aneh musti berlaku hati-hati, demikian membathin Wilarani.
“Wilarani!” berkata si nenek
sesudah roti kedua dihabiskannya. “Di mana kau berada saat ini pun, kau tak
perlu tahu! Yang penting yang musti kau ketahui ialah bahwa kau harus diam di
sini bersamaku selama dua puluh tahun!”
Kagetlah Wilarani.
“Nenek, apa maksudmu…?!” tanya
Wilarani.
Lama si nenek berdiam diri,
memandang lurus-lurus ke tembok kamar dihadapannya seakan-akan pandangannya itu
hendak menembus ketebalan tembok itu.
“Selama dua puluh tahun itu
kau sama sekali tidak boleh meninggalkan tembok ini, tidak boleh keluar dari
tembok yang membatasi gedung ini! Jika kau melanggar pantangan itu, hukuman
yang berat akan jatuh atas dirimu dan kau akan disekap selama empat puluh tahun
dipenjara di bawah tanah yang gelap gulita!”
Berubahlah paras Wilarani
mendengar ucapan si nenek. Dia membathin jika si nenek membawanya ke sini
dengan maksud jahat mengapa dia telah ditolong dari tangen perampok-peramok
itu? Tapi kini sesudah ditolong kenapa pula dia musti tinggal selama dua puluh
tahun dalam gedung itu tak boleh keluar dan jika melanggar pantangan akan
disekap dipenjara bawah tanah selama empat puluh tahun?! Sungguh aneh! Aneh
tapi diam-diam juga menggidikkan Wilarani! Kalau dia mengikuti kehendak si
nenek, berarti dua puluh tahun kemudian dia sudah menjadi nenek-nenek pula dan
dalam keadaan masih perawan, perawan tua! Sebaliknya bila dia membantah, dia
akan disekap empat puluh tahun dalam penjara bawah tanah, ini berarti pada saat
dia dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun!
“Aku tahu apa yang kau pikirkan
dalam benakmu!” berkata tiba-tiba si nenek. “Dan kau juga musti tahu banyak hal
tentang dunia luar, tentang dunia persilatan! Apa yang kau ketahui tentang
dunia luar, tentang dunia persilatan?!”
“Banyak nenek….”
“Coba sebutkan!”
Wilarani bungkam. Dia memang
banyak mengetahui seluk beluk dunia luar semenjak pengembaraannya meninggalkan
kampung halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran itu penuh dengan tokoh-tokoh
persilatan kalangan hitam serta putih meskipun dia bukanlah seorang yang telah
mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.
Si nenek menyeringai.
“Kau bilang tahu banyak! Tapi
kau tidak dapat menuturkannya!” kata si nenek kepala botak yang sampai saat ini
masih belum diketahui namanya oleh Wilarani.
“Kau tahu Wilarani, dunia yang
sekarang ini tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti Allah menjadikannya!
Dulu dunia ini begitu suci! Tapi kini keindahan itu telah lenyap tak digubris
manusia-manusia bertangan kotor berhati jahat! Kekotoran terjadi dimana-mana,
kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman, ketidakadilan, penindasan,
pembunuhan. Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan persilatan. Dunia persilatan
telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau golongan yang
mengutamakan kebaikan serta membantu sesama manusia, golongan yang bercita-cita
luhur demi menenteramkan bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan hitam mempunyai
tindakan dan cita-cita yang berlawanan dengan golongan putih! Mereka membuat
kejahatan, kemaksiatan, kemesuman, penindasan sampai kepada pembunuhan. Semakin
hari semakin banyak juga jumlah golongan hitam ini balk yang menjadi perampok,
maupun yang menjadi bergundal-bergundal kaum bangsawan atau kerajaan, atau yang
bertindak malang melintang seenaknya sendiri saja melakukan kejahatan tanpa
pertanggungan jawab!
Demikian banyaknya penganut
golongan hitam hingga golongan putih menjadi terdesak dan kewalahan bahkan
boleh dikatakan kini menjadi banyak yang tidak berdaya menghadapi
bergajul-bergajul golongan hitam itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat
golongan hitam atau putih itu adalah laki-laki! Kaum laki-laki telah mencoba
untuk menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil. Golongan hitam telah membuat
keonaran di mana-mana. Membuat ribuan manusia rakyat jelata hidup dalam
kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hari besok dan besoknya lagi! Kaum
laki-laki telah tidak berhasil menciptakan apapun di dunia ini demi keselamatan
hidup bersama. Ketidakadilan, kekacauan, segala macam kejahatan, pokoknya
seribu satu macam kegagalan telah dibuat kaum laki-laki!
Melihat kepada kenyataan itu
semua maka aku yang sudah pikun ini yang sudah tak selembar rambutpun tumbuh di
batok kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah saatnya bagi kaum perempuan
untuk bangun, untuk bangkit menggantikan kedudukan kaum laki-laki yang telah
menemui kegagalan itu! Kaum perempuan harus bangun sebagai penegak keadilan,
pembasmi kejahatan dan musti bisa menciptakan satu dunia yang aman tenteram dan
damai!”
Lama si nenek terdiam, lama
pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek.
“Tapi nenek,” berkata
Wilarani, “apakah cita-cita luhur itu mungkin berhasil..?”
Si nenek tertawa gelak-gelak
dan menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya.
“Kenapa tidak mungkin katamu?!
Apa selama ini cuma kaum laki-laki yang bisa menjagoi dunia persilatan? Apa
cuma orang laki-laki yang bisa main silat dan memiliki ilmu kesaktian?! Apa
cuma orang laki-laki yang becus mainkan pedang atau keris atau golok?! Kentut
semua kalau orang berpikir begitu! Justru orang laki-laki kalau tidak
dibrojotkan sama perempuan pasti tidak ada di dunia ini. Bukan begitu…?!” Si
nenek tertawa melengking-lengking.
Wilarani tak dapat pula
menahan rasa gelinya lalu tertawa cekikikan.
“Memang… memang untuk
melaksanakan dan mewujudkan cita-cita itu tidak mudah, memakan waktu lama dan
penuh pengorbanan! Kita haruslah menghubungi tokoh-tokoh silat wanita golongan
putih yang masih hidup saat ini. Mereka pasti mau diajak bersama. Seperti si
Sinto Weni yang diam di puncak Gunung Gede. Dulu dia menjagoi dunia persilatan
selama puluhan tahun, ilmunya tinggi, dihormati kawan dan ditakuti lawan!
Kabarnya kini dia sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan
membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jika aku menyambanginya dan
tuturkan cita-citaku, pasti dia mau bergabung.
Sifatnya sangat aneh, macam
orang gila! Karena itu di dunia persilatan dia dikasih gelar si Sinto Gendeng!
Nah, kalau kita punya tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng itu, masakan aku
tak sanggup mewujudkan cita-citaku?!”
Si nenek kepala botak
memalingkan kepalanya pada Wilarani.
“Bagaimana? Kau pilih dua
puluh tahun tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di sekap empat puluh tahun
di bawah tanah?!”
Wilarani merenung lama sekali.
Hidupnya di dunia luar sana
sejak ditinggal kekasihnya memang sudah tak punya arti apa-apa. Di dunia ini
dia hanya sebatang kara.
Orang tua sudah meninggal,
sanak saudara tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan dan kejahatan yang
selalu memburu manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula sejak kekasihnya lari
kawin itu keputusasaan yang mendalam membuat Wilarani kehilangan kepercayaan
pada laki-laki!
Baginya laki-laki tiada lain
seorang penipu yang bercinta dengan mulut dan kemudian melarikan diri bila
menemui perempuan lain yang lebih cantik! Yang keturunan orang baik-baik,
bangsawan kaya raya!
Diingatnya pula pertolongan
serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya! Setelah merenung lagi
beberapa lama maka akhirnya Wilarani membuka mulut bersuara.
“Baiklah nenek tua, aku akan
tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun!”
“Bagus!” Si nenek kepala botak
tertawa dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang beberapa lamanya di atas kursi
goyangnya kemudian berkata. “Besok pagi kau akan kumandikan dengan air kembang
dua puluh rupa! Dan mulai besok kau ku angkat menjadi muridku! Ku akan didik
kau selama dua puluh tahun! Bila otakmu cerdas dan rajin, punya kemauan, kau
kelak kuangkat jadi murid kepala, mengepalai lima puluh janda-janda dan
gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini.”
Wilarani berdiri dari
pembaringan dan menjura dihadapan si nenek kepala botak.
“Nenek, aku haturkan terima
kasih karena menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi mengambil aku jadi
muridmu.”
Nenek itu manggut-manggut di
kursi goyangnya.
Dia bertepuk tiga kali.
Pintu kamar terbuka. Seorang
perempuan muda berparas ayu, berjubah dan bertutup (berkerudung) kain putih
masuk ke dalam kamar itu, menjura di hadapan si orang tua.
“Biarawati Sembilan belas siap
menunggu perintah,” kata perempuan ini.
“Umumkan pada seisi Biara
Pensuci Jagat bahwa besok akan ada upacara pemandian biarawati baru yang akan
kuangkat menjadi muridku secara resmi!”
“Baik Eyang,” menjura
perempuan berjubah dan berkerudung kepala kain putih kemudian berlalu.
Si nenek yang dipanggil Eyang
oleh Biarawati Sembilanbelas tadi menepuk tangannya dua kali. Pintu terbuka
lagi. Seorang perempuan muda yang berparas cantik dan juga mengenakan jubah
serta kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.
Seperti Biarawati
Sembilanbelas dia menjura dan berkata,
“Biarawati Tigapuluhdua siap
menunggu perintah.”
Dan si nenek berkata,
“Perintahkan biarawati-biarawati di bagian dapur menyediakan makanan untuk
kawanmu yang baru ini!”
Biarawati Tigapuluhdua
mengerling pada Wilarani sebentar kemudian mengangguk. Setelah menjura dia
segera pula meninggalkan kamar itu.
10Dua puluh tahun sesudah
Wilarani dating pertama kali di Biara Pensuci Jagat…
Kamar itu diselimuti
kesunyian. Hampir tak ada perbedaan dengan masa-masa di duapuluh tahun yang
silam. Hanya dua manusia yang ada di dalam kamar itulah yang kelihatan banyak
berubah.
Nenek kepala botak kelihatan
semakin tua. Kedua mata serta pipinya mencekung, keriput-keriput ketuaan sukar
untuk dihitung berapa banyak menggores di mukanya. Umurnya sudah lebih dari
sembilan puluh tahun. Namun suara dan tutur katanya tetap keras dan tegas dan
pandangan matanya setajam ujung pedang! Dihadapan nenek tua kepala botak ini
duduk seorang permpuan berusia setengah abad. Rambutnya hampir putih semuanya.
Pada parasnya juga jelas kelihatan gurat-gurat ketuaan. Namun gurat-gurat
ketuaan ini tiada sanggup memupus kecantikan yang dimilikinya sejak masa
mudanya.
“Muridku Wilarani,” berkata si
nenek. “Dua puluh tahun sudah berlalu, dua puluh tahun sudah lewat. Rasanya
cepat sekali. Kalau tidak melihat kepada tampang-tampang dan perubahan yang
terjadi di diri kita rasanya masa dua puluh tahun itu seperti hari kemarin
saja. Dua puluh tahun mendidikmu dan memberi banyak tugas padamu tidak
mengecewakanku! Sebagian besar dari cita-cita yang kita rintis sudah kelihatan
buahnya. Telah banyak tokoh-tokoh golongan hitam dan rampok-rampok rimba hijau
yang kita musnahkan. Cuma sayang beberapa tokoh silat perempuan golongan putih
yang kita harapkan bantuannya hilang lenyap tiada kuketahui. Entah mati, entah
sembunyi atau bertapa mempersuci diri! Eyang Sinto Gendeng, itu jago perempuan
yang memiliki kesaktian luar biasa ketika kusambangi ke Gunung Gede, tak ada di
pertapaannya! Tapi kita jangan kecewa. Cita-cita kita untuk meneteramkan dunia
ini, untuk mensucikan jagat milik Tuhan ini agar kembali pada keadaan sewaktu
semulanya dulu, harus kita laksanakan!
Beberapa tokoh silat perempuan
sudah sepakat dengan kita untuk mengambil alih penenteram dunia ini dari tangan
laki-laki. Mereka diantaranya Dewi Kerudung Biru dan Dewi Lembah Bulan Sabit.
Sekalipun aku tak ada nanti
usaha dan cita-cita kita musti terus dijalankan karena selama dunia ini
berputar, selama itu pula kejahatan dan kekacaubalauan berlangsung! Sekarang
jumlah biarawati yang ada di dalam Biara Pensuci jagat ini sudah berjumlah seratus
orang. Seratus satu dengan kau dan seratus dua dengan aku. Lima puluh dari
biarawatibiarawati itu adalah angkatan tua yang seangkatan dengan kau tapi
dibandingkan dengan kau, ilmumu jauh lebih tinggi. Kau sudah mewariskan seluruh
ilmuku, Wilarani. Yang lima puluh lainnya adalah biarawati dari golongan baru,
yang masih muda-muda. Kau dan kawan-kawanmu harus ajarkan ilmu kesaktian aku
pernah ajarkan pada mereka.
Bila tiba saatnya mereka harus
disebar di seluruh pelosok guna menjalankan tugas yang dibebankan oleh
cita-cita kita bersama!”
Si nenek kepala botak
memandang ke langit-langit kamar. Ketika kepalanya diturunkan kembali dia
bicara lagi maka suaranya bernada rawan.
“Wilarani, hari ini sudah tiba
saatnya bagiku untuk menerangkan siapa namaku.”
Wilarani memandang serius pada
gurunya.
“Selama ini kau memanggil aku
dengan sebutan nenek. Biarawati-biarawati lainnya memanggilku dengan sebutan
Eyang, namun siapa aku tetap tak satupun dari kalian yang tahu!” nenek ini
terbatuk-batuk beberapa kali baru meneruskan.
“Namaku Supit Jagat. Nama
Supit Jagat ini bukan ibu atau bapakku yang memberikannya tapi guruku sendiri
jadi, nenek guru bagimu! Guruku itu sendiri namanya adalah Supit Jagat pula!
Ketika dia mau meninggal dunia dia memberi pesan agar namanya itu kuambil
sebagai nama..! sebelumnya aku tiada bernama dan beliau cuma memanggilku dengan
sebutan “upik.” Dan beliau juga berpesan agar jika aku mempunyai murid nanti,
maka murid itu harus menukar namanya dengan Supit Jagat! Di samping aku, Biara
Pensuci Jagat ini ada seratus orang muridku. Aku tidak membedakan mereka dengan
kau! Tapi dari kenyataan kau adalah murid yang paling cerdas, rajin, patuh
serta yang paling tinggi ilmunya! Karena itulah nama Supit Jagat kuwariskan
kepadamu dan musti kau pakai mulai detik ini juga. Kau mengerti?”
Wilarani mengangguk.
Supit jagat atau nenek
berkepala botak itu berdiri dan melangkah ke dinding di mana tergantung sapu
lidi yang merupakan senjatanya yang sangat sakti. Diambilnya sapu itu lalu dia
melangkah ke hadapan Wilarani.
“Muridku, seikat sapu lidi ini
bernama Sapu Jagat. Ini merupakan senjata sakti yang merupakan salah satu
senjata utama diantara senjata yang termashyur di dunia persilatan! Senjata ini
kuwarisi dari guruku dan hari ini kuwariskan kepadamu!”
Tentu saja Wilarani hampir tak
percaya mendengar ucapan gurunya itu.
“Ayo, terimalah!,” kata Supit
Jagat yang berkepala botak.
Dan Supit Jagat yang berambut
putih (Wilarani) ulurkan kedua tangannya menerima seikat sapu lidi itu. Sewaktu
telapak tangannya menyentuh sapu lidi itu Wilarani merasakan adanya satu
keanehan. Pada kedua telapak tangannya menjalar hawa yang sangat sejuk, terus
ke lengan, terus menjalar ke seluruh kakinya. Dan pada detik itu pula tubuhnya
terasa ringan laksana mengapung di awan! Sapu Jagat ternyata telah memberikan
satu kekuatan baru yang hebat pada Wilarani sewaktu kedua tangannya menyentuh
senjata itu!
“Terima kasih, guru,” kata
Wilarani dengan penuh khidmat dan menjura sampai beberapa kali.
Si nenek tertawa perlahan. Ada
kelainan pada tertawanya kali ini.
Paras yang tua keriput dimakan
umur sembilan puluh tahun itu kelihatan rawan, sepasang mata yang biasanya
menyorot tajam kini kelihatan sedikit redup.
Tiba-tiba Eyang Supit Jagat
membentak.
“Sekarang tutup kedua matamu rapat-rapat,
Supit!”
Supit Jagat atau Wilarani
segera menutup kedua matanya sebagaimana yang diperintahkan. Dalam dia
berpikir-pikir apa yang hendak dilakukan gurunya tiba-tiba laksana petir
menyambar, satu tamparan keras melanda pipinya sebelah kiri! Tak ampun lagi
Wilarani rebah ke lantai tiada sadarkan diri!
Sewaktu dia sadarkan diri dan
mengucek-ngucek kedua matanya, Wilarani terkejut bikan main. Eyang Supit Jagat
dilihatnya menggeletak di lantai. Kedua matanya terpejam dan nafasnya tiada
lagi!
“Guru!” pekik Wilarani.
Tapi mana sang guru bisa
mendengar karena memang nyawanya sudah putus. Dan membuat Wilarani atau Supit
Jagat baru ini lebih heran ialah ketika merasakan tubuhnya enteng luar biasa
dan tenaga dalamnya berlipat ganda sampai beberapa kali! Urat-urat di dalam
tubuhnya laksana kawat dan pemandangan serta pendengarannya menjadi tajam
sekali!
Ingatlah Wilarani kejadian
sewaktu gurunya menyuruh dia memejamkan mata! Sang guru diam-diam melakukan
satu tamparan dahsyat dan disertai dengan tamparan itu sekaligus dia telah
menyalurkan seluruh tenaga dalam ke tubuhnya untuk kemudian dia sendiri
menghembuskan nafas penghabisan, meninggal dunia!
Supit Jagat mendukung tubuh
Eyang Supit Jagat ke atas pembaringan. Pada waktu itulah di lantai dilihatnya
segulung kertas. Supit Jagat mengambil gulungan kertas itu. Di situ ada
sebarisan kalimat yang berbunyi, “Surat ini baru boleh dibuka besok siang
tengah hari tepat.”
Esok harinya tepat di tengah
hari ketika sang surya bersinar terik di titik kulminasinya maka di dalam Biara
Pensuci Jagat seratus satu biarawati berkumpul di ruangan besar.
Sebelumnya pada pagi hari
jenazah guru mereka telah dikuburkan di taman di bagian muka gedung Biara.
Suasana sunyi sepi dalam
ruangan besar itu. Sunyi sepi serta masih diselimuti rasa duka cita karena
berpulangnya guru mereka yang juga merupakan Ketua Biarawati.
Wilarani yang kini sudah
mewariskan nama Supit Jagat tapi belum diketahui oleh biarawati-biarawati di
situ berdiri dari kursinya.
“Biarawati Satu,” katanya,
“Harap datang ke sini dan bacakan surat yang ditinggalkan oleh Ketua kita.”
Biarawati Satu, seorang yang
sudah lanjut usianya berdiri. Dari Wilarani diterima segulung kertas. Dia
melangkah ke mimbar dan membuka gulungan kertas itu. Kemudian terdengarlah
suaranya membacakan isi surat yang dibuat Eyang Supit Jagat sebelum matinya.
Muridku sekalian,
Jika kalian membaca suratku
ini maka aku sudah tidak ada, sudah dikubur di dalam tanah, kembali pada Tuhan
yang menciptakanku dan kalian semua!
Meski kini cuma kuburku yang
kalian lihat, meskipun aku tidak berada lagi diantara kalian namun cita-cita
kita yang luhur untuk menenteramkan dunia ini dari segala malapetaka dan
kegagalan yang dibuat oleh kaum lakl-laki, harus tetap kalian lanjutkan!
Selama aku hidup diantara
kalian, kita semua berada dalam keadaan rukun tenteram penuh persatuan. Bila
kini aku sudah tidak ada, kerukunan dan ketenteraman serta persatuan itu harus
kalian pupuk terus. Jika kalian pecah dan berselisih, berarti hancurnya cita-cita
yang hendak kita laksanakan dan dalam kuburku aku akan mengutuk kalian sebagai
murid-murid murtad!
Suratku ini juga kutulis untuk
menerangkan sedikit tentang diriku. Selama ini kalian memanggilku dengan
sebutan Eyang atau guru atau nenek. Puluhan tahun hidup bersamaku kalian tidak
tahu siapa namaku.
Namaku adalah Supit Jagat.
Pada hari ini namaku itu
kuwariskan kepada Biarawati Wilarani. Untuk selanjutnya dia berhak memakai nama
itu dan di hari ini pula kuresmikan dia sebagai Ketua kalian yang baru!
Kepadanya telah kuwariskan
senjata sakti bernama Sapu Jagat!
Siapa-siapa diantara kalian
yang kecewa dengan keputusanku ini, siapa-siapa diantara kalian yang tidak
senang, sebelum kalian menjadi pengkhianat-pengkhianat, lebih baik kalian
angkat kaki tinggalkan Biara Pensuci Jagat ini atau rohku akan ke luar dari
liang kubur untuk mencekik kalian semua!
Surat itu selesai dibaca oleh
Biarawati Satu kemudian diserahkan kembali kepada Wilarani atau yang kini
bernama Supit Jagat dan menjadi Ketua Biara Pensuci Jagat!
Supit Jagat menggulung surat
itu baik-baik. Dia berdiri di mimbar, memandang berkeliling kemudian berkata,
“Mungkin ada diantara saudara-saudaraku yang ingin bicara atau mengeluarkan
pendapatnya?”
Tak ada satu orangpun yang
menjawab. Tapi diantara para biarawati-biarawati itu terdengar suara saling
berbisik-bisik. Supit Jagat bertanya sekali lagi. “Tidak ada yang mau bicara
dan keluarkan pendapat? Terutama mengenai pengangkatanku oleh mendiang guru
kita sebagai Ketua Biara?”
“Boleh aku bicara?”
Tiba-tiba terdengar suara dari
balik gang besar yang menjadi salah satu ruangan luas itu. Semua biarawati
termasuk Supit Jagat terkejutnya bukan main, karena suara itu adalah suara
Iaki-laki! Dan seperti diketahui dalam Biara Pensuci Jagat itu, tak ada satu
orang laki-lakipun yang ada atau diam di sana! Semua mata dengan serta merta
merta diarahkan ke belakang tiang besar. Dan seorang laki-laki melangkah
seenaknya menuju ke mimbar!
11LAKI-LAKI ini masih muda
belia. Rambutnya gondrong menjela-jela sampai ke bahu. Parasnya gagah, sikapnya
waktu melangkah meski acuh tak acuh dan seenaknya namun mengandung kewibawaan
dan keperkasaan. Enam langkah dari mimbar dia berhenti dan menjura pada Supit
Jagat kemudian melayangkan senyuman pada puluhan biarawati-biarawati yang duduk
di ruangan itu.
Semua orang membathin siapakah
adanya pemuda ini dan cara bagaimanakah dia bisa masuk ke dalam gedung Biara
Pensuci Jagat?
Pintu gerbang dikunci, seseorang
yang tak tahu rahasia membuka pintu itu, meski bagaimanapun hebat serta tinggi
ilmunya niscaya dia tak sanggup membukanya! Melompati tembok juga mustahil.
Tembok halaman saja tingginya lima tombak dan ditambah besi-besi panjang
berduri setinggi tiga tombak! Di samping itu apakah kedatangan pemuda asing tak
dikenal ini membawa maksud baik atau niat jahat?!
Akan tetapi Supit Jagat meski
keterkejutannya serta rasa tidak enak menyelinapi hatinya, namun melihat si
pemuda menjura hormat kepadanya dia balas menganggukkan kepala, tapi tetap
tutup mulut menunggu sampai si pemuda bicara duluan.
“Apakah saat ini aku
berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat?!” tanya pemuda itu.
Melihat pada pertanyaan yang
diajukan ini Supit Jagat segera mengetahui bahwa pemuda itu belum berada lama
di ruangan tersebut.
Paling lama sejak ketika
Biarawati Satu membaca bagian terakhir dari surat mendiang Ketua Biara yang
lama.
“Betul orang muda, kau memang
berhadapan dengan Ketua Biara Pensuci Jagat,” menjawab Supit Jagat.
“Ah… syukur. Syukur kalau
begitu….’ Si pemuda garuk kepalanya dua kali.
“Orang muda harap terangkan
siapa kau. Bagaimana caramu bisa masuk ke gedung ini dan apakah membawa niat
baik atau buruk?” tanya Supit Jagat.
Pemuda itu tertawa malu macam
anak kecil. “Namaku buruk,” katanya, “jadi tak usahlah aku beri tahu pada Ketua
Biara Pensuci Jagat. Mohon maaf. Apalagi aku orang tolol dan banyak mencap aku
ini berotak miring…. “
Biarawati Lima, seorang
nenek-nenek berbadan sangat gemuk yang punya penyakit darah tinggi lekas naik
darah, berdiri dari kursinya dan membentak.
“Pemuda sedeng! Di sini bukan
tempat melawak! Lekas katakan apa maksudmu menyelinap ke sini. Jika kau membawa
niat jahat kupatahkan batang lehermu dan kulemparkan mayatmu ke luar tembok!”
Si pemuda naikkan kedua alis
matanya.
“Galak betul! Galak betul!”
katanya. “Aku datang ke sini bukan untuk melawak. Kau lihat sendiri ibu tua,
tak ada satu hal lucupun yang aku buat. Tak ada satu orang disini yang tertawa!
Bagaimana kau bisa bilang aku melawak?!”
Beberapa arang Biarawati
tertawa sembunyi-sembunyi. Biarawati Lima merah mukanya lalu berseru pada Supit
Jagat, “ketua, harap izinkan aku menghajar pemuda edan ini!” Ketua Biara
Pensuci Jagat lambaikan tangan memberi isyarat agar mempersabar diri. Dia
maklum kalau si pemuda bisa menyelinap masuk ke dalam gedung, pastilah dia
bukan sembarang orang!
“Orang muda, kuharap kau bisa
bicara seperlunya mengingat di mana kau berada saat ini dan mengingat pula kau
adalah tamu yang tidak diundang,” berkata Supit Jagat.
“Sekarang harap terangkan apa
maksud kedatanganmu ke sini.”
“Aku datang membawa maksud
baik dan persahabatan,” kata si pemuda.
“Hem, begitu? maksud baik dan
persahabatan macam manakah kiranya?” tanya Ketua Biara Pensuci Jagat pula.
Si pemuda memandang dulu
berkeliling lalu kembali palingkan kepala pada Supit Jagat. “Ketua”, katanya,
“kau saksikan sendiri, sebagian besar dari biarawati-biarawati di sini adalah
perempuan-perempuan muda dan cantik-cantik….”
“Pemuda kurang ajar! Mulutmu
pantas untuk disumpal dengan ujung pedangku!” bentak seorang biarawati. Tapi
Ketua Biara Pensuci Jagat kembali lambaikan tangan memberi isyarat agar anak
buahnya itu tidak bertindak kesusu dan duduk kembali ke kursinya.
Kepada si pemuda sang Ketua
berkata, “Teruskan ucapanmu!”
Setelah terbatuk-batuk
beberapa kali baru si pemuda membuka mulutnya kembali. “Kerbau sekandang bisa
dikurung! Harimau berlusin-lusin bisa disekap! Tapi kecantikan perempuan tak
bisa dikurung, tak bisa disembunyikan, tak bisa disekap! Betul atau tidak…?!”
Diam-diam Ketua Biara yang
baru ini menjadi gemas juga dalam hatinya. “Orang muda, ucapanmu terlalu
berbelit-belit! Bicara saja secara singkat tapi jelas!”
Si pemuda hela nafas dan garuk
kepala beberapa kali. Beberapa orang biarawati dari golongan tua berdiri dari
kursi dan berseru, “Ketua, kehadiran pemuda ini lebih lama tidak menyenangkan
kami! Harap beri izin kami untuk mengusirnya!”
Pemuda itu memandang pada
beberapa orang biarawati itu. “Kalian punya hak untuk mengusirku! Tapi alangkah
memalukan bila nanti kalian tahu kedatanganku secara baik-baik ini disambut
dengan pengusiran!”
“Baik atau jahat maksud
kedatanganmu, kami tidak suka kau hadir di sini.”
“Eh, apakah kau yang menjadi
Ketua di sini?” ejek si pemuda.
Merahlah muka si biarawati.
Dia segera hunus pedangnya dan
melompat mengirimkan satu serangan ganas. Si pemuda sedikit pun tidak bergerak!
Malahan dengan sikap acuh tak acuh dia berpaling pada Ketua Biara Pensuci
Jagat.
Sementara tebasan pedang
datang menyerangnya dia berseru, “Ketua! Sungguh penyambutan yang memalukan.
Bukannya aku disuguhi minuman malah dikasih tebasan pedang!”
Angin pedang menyambar tanda
senjata maut sudah berkelebat dekat sekali! Tapi si pemuda masih juga memandang
pada Ketua Biara Pensuci Jagat seakan-akan tak perduli atau tak tahu apa-apa
kalau dirinya diserang!
Namun!
Seruan tertahan bahkan kaget
memenuhi ruangan itu. Seratus pasang mata melotot. Biarawati yang menyerang si
pemuda kelihatan berdiri terhuyung-huyung sedang pedang yang tadi dipakainya
untuk menyerang kini kelihatan berada dalam tangan si pemuda! Jurus yang
dimainkan Biarawati Tujuhbelas tadi adalah jurus yang cukup lihai dalam ilmu
pedang Biara Pensuci Jagat. Tapi si pemuda menghancur leburkannya dalam satu
gebrakan saja dan dengan sikap acuh tak acuh, sambil bicara dengan Ketua
mereka! Betul-betul hebat!
Biarawati golongan muda yang
sejak tadi tertarik akan kecakapan tampang si pemuda kin! semakin tertarik
melihat ketinggian ilmu pemuda itu. Dan dalam hati masing-masing mereka
membathin siapakah gerangan pemuda ini?!
“Ketua Biara Pensuci Jagat,”
kata si pemuda, “kedatanganku ke sini dengan maksud baik dan bersahabat, tapi
orangmu telah menyerangku!
Orang lain mungkin sudah kalap
dan tak terima perlakuan ini! Tapi aku orang tolol dan rendah, tak apa-apa. Ini
soal biasa! Perempuan kalau sudah beringas memang suka menyerang duluan!”
Dengan tertawa-tawa pemuda itu
memutar tubuhnya dan melangkah kehadapan biarawati yang tadi menyerangnya. Dia
membungkuk sedikit lalu mengangsurkan senjata itu seraya berkata.
“Harap kau suka terima
pedangmu kembali dan maaf kalau aku bikin kau jadi kalap. “
Biarawati itu tak berkata
apa-apa. Diambilnya pedangnya kemudian berlalu dengan cepat.
“Orang muda, jika kau
betul-betul datang dengan niat baik dan bersahabat, bicaralah seringkas
mungkin!”
Pemuda itu mengangguk.
‘Tadi aku sudah bilang bahwa
kecantikan itu tak bisa disembunyi-sembunyikan, tak bisa dibendung dengan
tembok setinggi apapun!
Kecantikan sebagian besar
biarawati biarawati di sini telah diketahui oleh dunia luar dan tokoh-tokoh
persilatan! Telah sampai ke telinga seorang tokoh golongan hitam bergelar
Pendekar Pemetik Bunga…. “
Si pemuda tak bisa teruskan
keterangannya karena sampai di situ suasana di ruangan tersebut menjadi ribut!
Terpaksa Ketua Biara memberi tanda untuk menenangkan suasana.
Dan si pemuda meneruskan
keterangannya pula.
“Jika kalian di sini pada
gaduh mendengar nama Pendekar Pemetik Bunga berarti kalian sudah tahu manusia
macam apa dia adanya!”
Pemuda itu palingkan kepalanya
pada Supit Jagat. “Ketua Biara,” dia berkata lagi, “aku mendapat kabar bahwa
manusia terkutuk itu berada di sekitar sini akhir-akhir ini. Dan kabarnya lagi,
dia akan mendatangi Biara ini untuk melaksanakan perbuatan-perubatan mesumnya
selama ini!”
Suasana tegang dan sunyi
laksana dipekuburan mencekam ruangan besar itu.
Di dalam kesunyian yang tegang
itu, diam-diam Biarawati Satu berkata kepada Ketua Biara Biara Pensuci Jagat
dengan ilmu menyusupkan suara.
“Ketua, hatiku tetap bercuriga
pada pemuda ini. Aku yakin dia datang bukan dengan maksud baik. Apa yang
diucapkannya cuma omong kosong belaka.”
“Yang aku herankan ialah
bagaimana dia bisa masuk kesini,” menyahuti Supit Jagat. “Meski ilmu tinggi
tapi selama puluhan tahun tak ada satu tokoh silatpun yang sanggup masuk ke
Biara ini, apalagi tanpa setahu kita!”
Biarawati satu bertanya, “Apa
perlu aku suruh beberapa orang-orang kita untuk menyelidik sekeliling tembok
dan pintu gerbang?!”
“Lakukanlah!” kata Supit Jagat
pula.
Maka sepuluh orang biarawati
angkatan muda segera keluar meninggalkan ruangan itu. Pemuda rambut gondrong
tersenyum. Matanya tidak buta. Dia telah melihat tadi mulut Biarawati Satu dan
Ketua Biara Pensuci Jagat bergerak-gerak. Pasti ada yang dibicarakan kedua
orang itu, dan pasti menyangkut dirinya.
“Ketua Biara Pensuci Jagat,”
kata sipemuda seraya rangkapkan kedua tangan di muka dada. “Rupanya kau dan
biarawati-biarawati di sini sangat bercuriga padaku.”
“Tentu saja,” sahut Supit
Jagat. “Kau datang tanpa diundang, masuk dan bicara seenaknya, tidak mau
terangkan diri!”
“Apakah kau tidak percaya
kalau Pendekar Pemetik Bunga akan mendatangi tempatmu ini…?”
“Dia boleh datang dengan
maksud jahat. Tapi dia musti tinggalkan kepala di sini!”
Sipemuda tertawa bergelak.
“Nama Biara Pensuci Jagat
memang sudah lama dikenal dalam dunia persilatan. Ketuanya Supit Jagat memang
sakti luar biasa. Tapi jangankan kau, gurumu sendiripun tiada sanggup
menghadapi Pendekar Pemetik Bunga!”
“Kau menghina guru dan Ketua
kami!” teriak beberapa Biarawati. Mereka menyerbu si pemuda. “
Supit Jagat tidak berusaha
menahan. Dia ingin lihat sampai dimana kehebatan pemuda berambut gondrong itu.
Sepuluh pedang menyambar dengan mengeluarkan suara angin bersiuran. Karena yang
menyerang itu adalah biarawati-biarawati dari golongan tua yang ilmunya sudah
sempurna maka kehebatan serangan itu tidak terkirakan dahsyatnya.
Dalam sekejapan mata tidak
bisa tidak tubuh si pemuda akan tersatai!
Atau akan terputus
berkeping-keping!
“Sungguh memalukan!” seru si
pemuda. “Di sarang sendiri biarawati-biarawati yang katanya mau mensucikan
dunia ini dari segala kekotoran, menyerang main keroyok!”
“Bagi manusia-manusia edan tak
tahu peradatan dan kurang ajar, tak perlu merasa malu!” sentak salah seorang
dari biarawati yang menyerang.
Sekejap kemudian ruangan besar
itu bergemuruh oleh suara beradunya sepuluh badan pedang yang menimbulkan bunga
api yang terang sekali!
Semua orang berseru kaget.
Ketua Biara Pensuci Jagat membuka matanya lebar-lebar. Tapi si pemuda yang tadi
hendak dikermus lenyap dari pemandangan, entah kemana!
Tiba-tiba terdengar suara
salah seorang biarawati. “Hei! Lihat! Manusia itu sudah bergantung pada kawat
lampu!”
Semua kepalapun mendongak ke
langit-langit di atas ruangan! Ternyata betul. Pemuda berambut gondrong itu
bergantung di langit-langit ruangan dengan tangan kirinya memegangi kawat kecil
lampu yang menerangi ruangan besar itu! Kalau dia tidak memiliki ilmu
mengentengi tubuh yang tinggi luar biasa, pastilah kawat itu akan putus!
“Pemuda edan!” pekik seorang
biarawati, “jangan kira aku dan kawan-kawan tidak sanggup mengejar kau ke atas
sana!”
Sepuluh tubuh berjubah putih
laksana anak-anak panah melesat ke atas dan serentak itu pula kirimkan serangan
pedang yang lebih ganas yaitu jurus “Menabas Gunung Menusuk Rembulan”
Terdengar suara bersiut-siut
dan sedetik kemudian disusul oleh suara jatuhnya lampu minyak besar yang
tergantung di langit-langit ruangan! Kacanya dan semprongnya pecah bertebaran,
minyak tumpah membasahi lantai! Sepuluh pedang biarawati-biarawati tadi
nyatanya telah menabas putus kawat lampu hingga jatuh pecah berantakan ke
lantai.
Dan hebatnya lagi saat itu si
pemuda sudah berdiri lagi di tempatnya semula sebelum diserang pertama kali
tadi. Berdiri diantara pecahan kaca dan minyak lampu sambil tertawa-tawa
rangkapkan tangan di muka dada!
Penasaran sekali sepuluh
biarawati segera menukik dan hendak lancarkan serangan untuk ketiga kalinya!
Tapi kali ini Ketua Biara
Pensuci Jagat cepat berseru. “Tahan!”
Meski hati gusar tapi sepuluh
biarawati hentikan serangan namun ketika turun kelantai kembali tetap membentuk
posisi mengurung si pemuda!
“Para biarawati harap kembali
ke tempat,” perintah Ketua Biara Pensuci Jagat. Sepuluh biarawati turun
perintah itu. Mereka sarungkan pedang masing-masing dan duduk kembali ke tempat
semula.
Disaat itu pula sepuluh
biarawati yang tadi disuruh menyelidik keluar gedung kembali memasuki ruangan.
Dengan ilmu menyusupkan suara
Ketua Biara Pensuci Jagat hendak bertanya pada biarawati-biarawati itu, tapi
mendadak si pemuda sudah mendahului!
“Bagaimana?” tanyanya. “Apa
kalian menemui tembok pagar yang bobol atau pintu gerbang yang rusak?!”
Sepuluh biarawati itu tiada
perdulikan pertanyaan si pemuda melainkan melangkah ke hadapan Ketua mereka dan
melaporkan bahwa tidak ada satu tanda yang mencurigakanpun di luar sana.
Semuanya beres dan rapi! Ketua Biara Pensuci Jagat anggukkan kepala dan suruh
sepuluh biarawati itu kembali ke tempat masing-masing.
“Pemuda,” berkata sang Ketua.
“Ilmu yang barusan kau pamerkan…”
“Ah…!” memotong pemuda itu.
“Siapa yang pamerkan ilmu!” tanyanya. “Orang diserang toh musti mengelak? Siapa
sih orangnya yang mau ditusuk-tusuk dengan pedang? Yang mau dicincang? Kucing
budukpun pasti larikan diri atau mengelak!”
Tenggorokan Supit Jagat turun
naik beberapa kali. Kemudian dia berkata lagi. “Meski ilmumu setinggi gunung
sedalam lautan, meski pengalamanmu saluas bumi, tapi jika kau datang ke sini
dengan membawa niat jahat, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!”
Si pemuda menghela nafas.
“Apakah kalian di sini tuli
semua? Apa aku sejak tadi cuma bicara dengan tonggak-tonggak mati?!” katanya.
Lalu dia meneruskan. “Pertama datang aku sudah bilang bahwa maksudku ke sini
adalah membawa niat baik dan bersahabat! Bahkan aku kasih keterangan pada
kalian di sini bahwa Biara ini dan kalian semua sedang terancam bahaya! Bahaya
itu datangnya belum tentu tapi pasti datang! Bahaya Pendekar Pemetik Bunga!
Tapi kalian bukannya percaya, malah bercuriga padaku! Malah menyerang aku! Aku
yang edan apa kalian yang keblinger!”
“Kalau kau datang betul
membawa niat baik dan bersahabat, mengapa datang tidak memberi tahu lebih dulu?
Mengapa lancang masuk dengan diam-diam ke tempat orang?!” Si pemuda tertawa.
“Kalian sedang rapat! Sedang adakan
pertemuan! Kalau aku datang dengan mengetuk pintu gerbang sana atau
berteriak-teriak memberi salam, pastilah akan mengganggu rapat kalian.”
“Kau memang sudah mengganggu
kami!” semprot Biarawati Lima yang memang sejak tadi belum habis rasa penasarannya.
Si pemuda angkat bahu.
Dipalingkannya tubuhnya pada
Ketua Biara Pensuci Jagat, dan berkata.
“Ketua, jika kau dan semua
orang di sini menganggap aku telah mengganggu kalian dan mengacaukan suasana
pertemuan ini mohon dimaafkan. Aku tak akan mengganggu lebih lama.”
Pemuda itu menjura dua kali di
hadapan Supit Jagat. “Cuma jangan menyesal kalau keteranganku nanti terbukti
benar!”
Pemuda ini menjura satu kali
pada barisan biarawati-biarawati yang duduk berjejer-jejer di kursi lalu segera
hendak putar badan tinggalkan ruangan itu!
Mendadak biarawati gemuk tadi
berteriak.
“Ketua! Bukan mustahil pemuda
ini sendiri Pendekar Pemetik Bunga itu!”
Supit Jagat tercekat hatinya.
“Ya, bukan tak mungkin,” katanya membathin. Cepat-cepat dia bertepuk tiga kali dan
keseluruhan biarawati yang duduk di kursi berdiri cepat, menyebar di seluruh
tepi ruangan, menjaga jendela-jendela dan menjaga pintu-pintu! Tak mungkinlah
bagi si pemuda untuk meninggalkan tempat itu kini!
Lebih-lebih ketika terdengar
suara. “Sret… sret…, sret…!” Suara pedang yang dicabut dari sarungnya! Seratus
pedang kini melintang di tangan!
12Si pemuda memandang
berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening.
“Apa-apaan ini?!” tanyanya
membentak.
“Jika kau tidak mengaku bahwa
kau adalah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kau bisa keluar
hidup-hidup dari sini!” hardik Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Eeeeee… kenapa memaksa aku
yang bukan-bukan?!”
“Jangan banyak bacot! Mengaku
atau mampus?!” Yang membentak kali ini adalah Biarawati Lima.
Si pemuda geleng-geleng
kepala. “Tidak sangka biarawati-biarawati yang berhati suci jujur bisa bicara
membentak dan galak, serta agak kotor!”
Biarawati Lima melompat ke
muka. Pedangnya diacungkan tepat-tepat ke arah hidung si pemuda. Dia berpaling
pada Supit Jagat. “Ketua, tunggu apa lagi?!”
“Pemuda, kau sungguh tidak mau
mengaku diri?!” bertanya Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kalau aku tidak mengaku, aku
mau dibikin mampus! Kalau aku mengaku bahwa aku Pendekar Pemetik Bunga, seribu
kali lebih mampus! Kuharap kalian semua suka berpikir pakai otak dan jangan
galak-galakan! Tak ada perlunya! Kalau aku Pendekar Pemetik Bunga sudah sejak
tadi terjadi kemesuman di ruangan ini!”
Ketua Biara Pensuci Jagat
menimbang ucapan si pemuda. Memang betul juga, kalau pemuda ini adalah Pendekar
Pemetik Bunga tentu sudah sejak tadi terjadi hal-hal yang mengerikan!
“Sekarang, apakah kalian mau
memberi jalan padaku untuk keluar dari sini?!” terdengar si pemuda bertanya.
“Sebelum kau terangkan siapa
kau punya nama, berasal dari mana dan juga terangkan gelarmu, baru kami akan
izinkan kau berlalu dari sini!” kata Supit Jagat pula.
Pemuda itu garuk-garuk
kepalanya. Tiba-tiba meledaklah tertawanya! Lantai, dinding, langit-langit den
tiang ruangan bergetar oleh kumandang tertawanya yang panjang ini. Setiap hati
manusia yang ada di situ, termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat sendiri ikut
tergetar oleh kehebatan suara tertawa si pemuda!
“Kenapa kau tertawa?!” bentak
Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Siapa yang tidak bakal geli
dan ketawa!” menyahut si pemuda.
“Mula-mula kalian tanya siapa
aku? Siapa namaku. Siapa gelarku dan sekarang tanya aku berasal dari mana atau
tinggal di mana?! Persis pertanyaan-pertanyaan begitu macam muda mudi yang
sedang pacar-pacaran!”
Merahlah paras Ketua Biara
Pensuci Jagat.
“Tak dapat dihindarkan lagi
bahwa lantai ruangan ini akan basah oleh darahmu, pemuda bermulut kurang ajar!”
teriak sang Ketua. Dia gerakan tangan memberi isyarat. Dan selangkah demi
selangkah, seratus biarawati dari angkatan tua dan muda, dengan pedang ditangan
masing-masing, maju mendekati si pemuda!
Gilanya pemuda itu masih juga
berdiri tertawa-tawa di tengah ruangan, memandang berkeliling dan garuk-garuk
rambutnya yang gondrong!
Tiba-tiba seratus pekikkan
laksana guntur yang hendak meruntuhkan gedung biara itu berkumandang! Seratus
pedang berkiblat!
“Buset!” Si pemuda membentak
tak kalah nyaring. Diiringi dengan suitan yang memekakkan telinga dia melompat
tinggi-tinggi ke atas, kepalanya hampir menyundul langit-langit. Dalam tubuh
mengapung begitu rupa pemuda ini berseru, “Ketua, harap kau sudi hentikan
serangan ini dulu!”
“Serang terus!” sebaliknya
Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak.
“Aku tak mau kesalahan. tangan
dan cari permusuhan dengan kalian! Kita adalah sama-sama satu golongan!”
“Jangan ngaco!” tukas
Biarawati Lima.
“Ketua Biara, aku betul-betul
tidak mau bikin cilaka orang-orangmu!” berseru lagi si pemuda.
Tapi sang Ketua Biara tak mau
ambil perduli malah membentak lebih keras agar orang-orangnya menggempur pemuda
itu. Puluhan biarawati melesat ke atas, puluhan pedang berkelebat!
Pemuda itu menggerendeng dalam
hatinya. Kedua telapak tangannya dikembangkan dengan cepat kemudian dipukulkan
ke bawah!
Maka angin dahsyat laksana
topan menderu ke bawah memapasi serangan-serangan lawan. Betapapun puluhan
biarawati-biarawati itu bersikeras menyerbu ke atas dan kerahkan tenaga dalam
serta ilmu meringankan tubuh mereka namun tiada berhasil. Mereka laksana
tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. setiap mereka melesat ke
atas, tubuh mereka kembali mental ke bawah berpelantingan, banyak yang
mendeprok jatuh duduk!
Heranlah sang Ketua Biara
Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan yang dimiliki pemuda
itu, demikian dia membathin.
Melihat betapa orang-orangnya
mengalami kesia-siaan, tiada hasil melakukan serangan mereka maka Supit Jagat
sendiri segera turun dari mimbar dan berseru, “Pemuda, turunlah! Hadapi aku!”
“Ah… Ketua Biara, sungguh satu
kehormatan yang kau sendiri juga mau turun tangan pada budak hina ini,” dan
sementara itu sepasang mata si pemuda melirik ke pintu di ujung kanan yang kini
tiada terjaga lagi karena keseluruhan biara di ruangan itu ambil bagian
menyerangnya.
“Tapi,” melanjutkan si pemuda
sementara kedua telapak tangannya masih terus juga dipukulkan berkali-kali ke
bawah memapasi serangan-serangan lawan, “harap maaf, saat ini aku tidak punya
kesempatan untuk main-main dengan kau! Lagi pula aku anggap kita semua ini
adalah orang satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara!”
Pemuda itu melompat ke samping
lalu menukik ke arah pintu. Penasaran sekali Ketua Biara Pensuci Jagat lepaskan
satu pukulan jarak jauh yang dahsyat!
“Braak!”
Sebagian tiang pintu yang
besarnya lebih dari sepemeluk tangan hancur lebur.
Tapi si pemuda sudah lenyap!
“Kejar!” teriak Supit Jagat.
“Kita musti tangkap manusia itu hidup atau mati!”
Maka ruangan besar itupun
kosong melomponglah kini. Semua biarawati termasuk Supit Jagat rnenghambur ke
luar. Seluruh halaman diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan belasan biarawati mengejar
keluar dan belasan lainnya melompat ke atas atap, namun si pemuda lenyap tiada
bekas!
Supit Jagat memerintahkan
orang-orangnya untuk kembali masuk ke dalam Biara. Dan waktu mereka memasuki
ruangan pertemuan tadi, semuanyapun terkejutlah!
Di lantai ruangan,
dikursi-kursi dan di beberapa bagian dinding ruangan sebelah bawah bertebaran
puluhan deretan angka 212.
“Dua satu. Dua!” desis Supit
Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat ini memandang biarawati-biarawati angkatan
tua. Ya, hanya mereka yang seumur dengan dialah yang mengerti apa arti angka
212 itu sedang biarawati-biarawati angkatan muda hanya melongo tak mengerti!
Ketua Biara Pensuci Jagat
memberi isyarat pada kira-kira sepuluh orang biarawati angkatan tua agar
mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar.
Ketua Biara ini duduk di kursi
goyang yang dulu menjadi kursi kesayangan Ketua mereka yang telah meninggal
dunia. “Sekarang kita sudah tahu siapa adanya pemuda itu,” berkata Supit Jagat.
“Dia bukan lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid
Eyang Sinto Gendeng dipuncak gunung Gede yang menurut guru kita tempo hari
merupakan kawan baiknya!”
“Kalau begitu,” menyela
Biarawati Lima yang bertubuh gemuk pendek dan yang tadi paling gemas terhadap
pemuda itu, “keterangan yang diberikannya bukan omong kosong belaka!”
“Betul!” Supit Jagat anggukkan
kepala.
“Kalau dia memang golongan
kita sendiri, sama-sama golongan putih,” kata Biarawati Sembilan. “Kenapa tidak
siang-siang dia terangkan diri…?!”
“Pemuda itu memang aneh,”
menyahut Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kadang-kadang orang
menganggapnya pemuda gila, edan kurang ingatan! Kalau kalian kenal pada
gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih gila lagi! Gila dan edan, bicara
seenaknya! Bahkan dalam bertempur menyabung nyawapun dia tertawa-tawa atau
bersiul-siul seperti yang kalian lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya
yang tadi memang bukan orang-orang yang suka agul-agulkan nama atau obral gelar
di mana-mana.
Kurasa itulah sebabnya pemuda
tadi tidak mau kasih keterangan siapa dia sebenarnya!”
Sunyi beberapa lamanya.
“Ketua, bagusnya kita segera
bersiap-siap menjaga segala kemungkinan atas datangnya Pendekar Pemetik Bunga
itu!”
“Ya. Biarawati Satu, kau atur
semuanya. Perketat penjagaan! Tambah alat-alat rahasia di sekitar tembok dan
pintu gerbang!”
“Perintah akan kami jalankan,
Ketua,” sahut Biarawati Satu, lalu bersama kawan-kawannya yang lain segera
meninggalkan tempat itu setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat.
Sementara itu dua orang
biarawati muda yang kelelahan mencari-cari Wiro Sableng di luar tembok halaman
dan yang bekerja di bagian dapur biara segera langsung menuju ke bagian dapur
itu. Sesudah minum melepaskan dahaga mereka bermaksud akan meneruskan pekerjaan
mereka sehari-hari di dapur. Namun betapa terkejutnya kedua biarawati sewaktu
masuk ke dalam dapur, mereka mendapatkan seorang pemuda yang bukan lain Wiro
Sableng Pendekar Maut Naga Geni 212 tengah duduk di sebuah kursi dengan angkat
kaki dan melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti paha ayam goreng sisa malam
tadi!
Segera keduanya hendak
berteriak. “Ssst…” .
Wiro Sableng letakkan jari
telunjuknya di atas kedua bibirnya sedang mulutnya saat itu menggembung penuh
nasi. Tapi mana dua biarawati tak mau berdiam diri. Keduanya sama hendak
berteriak lagi dan menghambur dari dapur. Wiro tak dapat berbuat lain. Dia
hantamkan dua jari tangan kanannya ke muka! Dengan serta merta tubuh kedua
biarawati itu berhenti mematung, mulut mereka yang tadi hendak berteriak
terbuka lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang keluar!
Itulah ilmu totokan jarak jauh
yang lihay sekali telah dilepaskan oleh murid Eyang Sinto Gendeng! Dan
selanjutnya seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dirumahnya sendiri Wiro
Sableng meneruskan melahap makanannya! Selesai makan dan meneguk air, Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur itu.
Sewaktu empat orang biarawati
yang juga bekerja di dapur memasuki dapur, keempatnya terkejut mendapatkan dua
kawan mereka berdiri tak bergerak sedang mulut menganga. Nyatalah mereka telah
ditotok. Segera totokan itu dilepaskan.
“Siapa yang menotok kalian?!”
“Pemuda itu!”
“Maksudmu Wiro Sableng?!
Pendekar 212?!”
“Ya!” sahut yang seorang.
Yang seorang lagi memberi
keterangan, “Kami haus dan mau minum lalu melanjutkan tugas sehari-hari.
Tahu-tahu pemuda itu sudah nongkrong di kursi sana, melahap nasi dan makan
daging ayam!”
“Pantas dicari-cari di luar
gedung tidak ada! tak tahunya nongkrong di dapur! Pemuda lapar!”
Ketika hal itu dilaporkan
kepada Ketua Biara Pensuci Jagat mula-mula dalam terkejutnya Supit Jagat
setengah tak percaya.
Namun kemudian tiba-tiba
meledaklah suara tertawanya. Biarawati-biarawati yang datang melapor itupun
akhirnya ikut-ikutan pula tertawa!
13Gadis berbaju kuning ringkas
itu menghentikan larinya di tepi kali berair jernih dengan batu-batu besar di
tengah-tengahnya bertebaran laksana pulau-pulau kecil. Disibakkannya rambutnya
yang mengurai di kening dan disekanya keringat yang membasahi kuduknya.
Dihelanya nafas dalam, nafas yang ditarik dengan disertai rasa keputusasaan dan
kegemasan!
Dua hari yang lalu dia sudah
berhasil menemui jejak manusia yang dicarinya. Kemarin dia bahkan telah
menguntit manusia itu tapi hari ini sesampainya di tepi kali itu, bayangan
manusia yang dikejarnya kembali lenyap laksana ditelan bumi, laksana amblas
masuk ke dalam kali!
Penuh letih akhirnya gadis ini
dudukkan diri di tepi kali, di atas sebuah batu hitam. Dia memandang ke hulu
sungai. Satu pemandangan yang indah untuk disaksikan. Sementara itu angin
bertiup pula sepoi-sepoi basah. Di luar sepengetahuan gadis berbaju kuning ini,
menyelam antara kelihatan dan tidak, berenang seekor ular kali sebesar lengan.
Kaki-kaki si gadis yang berkulit putih mulus dan bagus, yang sebagiannya masuk
ke dalam air, itulah yang telah menarik perhatian sang ular dan membuatnya
segera berenang ke arah mangsanya ini!
Setengah langkah ular itu
berada dari kedua kakinya, barulah si gadis sadar. Cepat dia tarik kedua kaki
dari dalam air. Sang ular dengan ganas terus mengejar naik ke atas batu. Tapi
nasibnya malang. Kali ini gadis baju kuning pergunakan kaki kirinya untuk
menendang!
Binatang itu mencelat mental.
Kepalanya hancur. Tubuhnya menggelepar-gelepar seketika lalu mati dan
dihanyutkan arus sungai.
Gadis baju kuning itu berumur
sekitar 19 tahun. Sepasang matanya bening dan jeli. Parasnya bujur telur dan
ayu, tak membosankan untuk dipandang. Di atas sepasang matanya yang bening jeli
itu berpeta dua buah alis laksana bulan sabit bagusnya!
Namun di balik keayunan paras
itu, di belakang kejelitaan wajah itu samar-samar kelihatan satu rasa duka
derita yang berpaut dengan rasa dendam kesumat!
Lima hari yang lalu dia masih
berada di Goa Blabakan. Dan hari itu dia berhadap-hadapan dengan gurunya.
“Empu, murid minta diizinkan untuk meninggalkan pertapaan untuk beberapa
waktu…”
Empu Tumapel memandangi paras
muridnya beberapa lama.
“Pelajaran yang kuberikan
padamu masih belum selesai, Sekar,” berkata sang guru, “Kau ingat bahwa lima
tahun lagi baru kau boleh meninggalkan Goa Blabakan ini?”
“Murid ingat, guru. Murid
tidak lupa,” sahut Sekar. “Tapi kabar yang murid terima dari orang desa yang
datang kemarin siang…. Guru tentu dapat memakluminya.”
Dan gadis itu menyeka air mata
yang meleleh dipipinya. “Aku tidak mengajarkan kau menangis, Sekar! Aku
mengajarkan kau ilmu silat, Ilmu kesaktian, ilmu bathin, Ilmu menguatkan jiwa,
lahir dan bathin! Bukan Ilmu menangis!” Sekar seka lagi sisa-sisa air matanya
dan hentikan tangis.
“Murid tahu, guru. Tapi guru
juga musti maklum. Ayahku dibunuh. Ibuku dan adik perempuanku diperkosa lalu
dibunuh! Dapatkah hati seorang perempuan menghadapi semua ini tanpa air mata?
Dan karena peristiwa itulah murid minta izin kepada guru untuk meninggalkan
pertapaan ini beberapa lamanya guna mencari manusia terkutuk itu!”
Empu Tumapel merenung dan
setelah menghela nafas dalam diapun berkata, “Sekalipun kuizinkan padamu pergi,
sekalipun kau bertemu dengan manusia itu, belum tentu kau berhasil
menghadapinya Sekar. Belum tentu kau dapat membalaskan sakit hati dan dendam
kesumatmu!”
‘°Murid tahu, manusia itu
sakti luar biasa! Tapi demi menuntut kebenaran, demi arwah orang tua dan
adikku, dengan doa restu guru serta pertolongan Tuhan, murid yakin murid akan
sanggup menghadapinya! Tapi guru, apakah ilmu meskipun sakti luar biasa jika
dipergunakan untuk kejahatan akan sanggup menghadapi kebenaran dan kekuatannya
Tuhan?!”
Empu Tumapel yang berumur enam
puluh tahun terdiam oleh ucapan muridnya itu.
“Kau akan mati percuma di
tangan manusia itu, Sekar,” katanya setelah berdiam diri beberapa lama.
“Tidak, guru. Sekalipun aku
mati, aku akan mati dengan puas. Puas karena aku telah membela keadilan,
menghancurkan kejahatan. Aku akan mati syahid guru!”
“Baik… baiklah muridku,” kata
Empu Tumapel. Dibelainya kepala muridnya itu. Dan dalam jubahnya dikeluarkan
seuntai rantai baja yang panjangnya dua meter. Pada ujung rantai baja ini
terdapat sebuah bola baja berduri. Keseluruhan senjata ini memancarkan sinar
putih dan hawa dingin tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
“Kuizinkan kua pergi, Sekar.
Dan bawalah senjata Rantai Petaka Bumi ini. Mudah-mudahan kau berhasil…”
Sekar berlutut di hadapan
gurunya.
“Terima kasih guru… Terima
kasih guru juga mempercayakan dan meminjamkan senjata ini padaku….”
Lamunan tentang saat lima hari
itu serta merta buyar sewaktu dari hulu sungai Sekar, si gadis berbaju kuning,
melihat sesosok bayangan putih berlari cepat di atas kali, hanya sekali-sekali
kakinya menjejak batu-batu yang banyak bertebaran di atas kali.
Cepat Sekar berdiri dan
menunggu penuh waspada. Orang yang berlari hentikan larinya dan berdiri di atas
sebuah batu besar sejarak satu-dua meter di hadapan gadis itu.
“Eh, saudari, kau berada
sendiri di tepi kali ini, ada apakah?!” Sekar menatap paras pemuda yang tampan
itu. Sewaktu dia memperhatikan rambut gondrong yang menjela sampai ke bahu si
pemuda, berdetak hatinya! Bukan tidak mustahil manusia ini adalah Pendekar
Pemetik Bunga yang tengah dicarinya dan kini telah bertukar pakaian. Dia
sendiri memang tidak pernah melihat jelas tampang Pendekar Terkutuk itu!
Menimbang begini. Sekar segera
keluarkan “Rantai Petaka Bum!” dari balik pakaiannya, terus menyerang dengan
ganas! Si pemuda terkejut!
“Gila betul! Ditanya baik-baik
dijawab dengan serangan!” Cepat-cepat dia menghindar. Angin dingin menyambar
tubuhnya sewaktu Rantai Petaka Bumi lewat di depan dadanya!
“Saudari, itu senjata sakti!
Jangan dibuat main-main!”
“Tutup mulut! Justru dengan
senjata inilah akan kuhancurkan kepalamu pemuda bejat!”
Si pemuda keluarkan siulan dan
tertawa gelak-gelak. Inilah ciri-ciri khas dari pendekar yang tak asing lagi
yaitu Wiro Sableng si Pendekar 212!
“Kenal belum, ketemupun baru
kali ini sudah bisa menyumpahiku pemuda bejat! Kau mimpi atau apa?!”
“Keparat, terima kematianmu
dalam tiga jurus!”
Sekar menyerang dengan
dahsyat. Rantai Petaka Bumi menyapu dengan mengeluarkan suara dahsyat laksana
halilintar, menebarkan angin laksana topan hingga air kali bermuncratan dan
batu-batu kali yang tersambar bola baja berduri itu hancur berantakan!
“Saudari!” seru Wiro Sableng.
“Kau ini main-main atau bagaimana?” Pemuda ini terpaksa jungkir balik di atas
kali menghindari serangan senjata lawan yang dahsyat. Dan sebelum kedua kakinya
menjejak disalah satu batu kali. Rantai Petaka Bumi itu sudah menyapu lagi ke
arah kakinya!
“Hebat!” seru Wiro Sableng
benar-benar kagum.
“Ya, hebat! Memang hebat!
Sebentar lagi kepalamu akan dibikin hebat oleh bola baja berduri ini!” tukas
Sekar.
Wiro Sableng terpaksa jungkir
balik sekali lagi. Seorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh sempurna biasa
saja pasti tak akan sanggup melakukan dua kali jungkir balik itu. Tapi Pendekar
212 ilmu mengentengi tubuhnya sudah lebih tinggi dari kesempurnaan!
Si gadis melihat serangannya
melanda angin kosong jadi penasaran sekali. Saat itu jurus kedua. Tanpa tedeng
aling-aling dia melompat ke muka lebih dekat pada si pemuda dan putar Rantai
Petaka Bumi dengan jurus “Bumi Dilanda Lindu!”
Jurus ini memang hebat luar
biasa, padahal si gadis baru mewarisi setengahnya saja dari gurunya! Karena tak
ingin melawan dan karena tak mau membuat si gadis cilaka, lagi pula merasa
tidak ada permusuhan apa-apa, maka Wiro Sableng sejak tadi hanya mengelak,
sekalipun tak balas menyerang. Gesit sekali Pendekar dari Gunung Gede ini
melompat ke tepi kali.
“Saudari harap tahan dulu
seranganmu!”
“Jangan banyak rewel Pendekar
Terkutuk Pemetik Bungai Kau tetap musti kubunuh! Arwah orang tua dan adikku tak
akan tenang di alam baka sebelum nyawa anjingmu kurenggut dari tubuh keparatmu!”
Lantas si gadis melompat pula ke tepi kali.
“Hai! Kalau begitu kau salah
duga, gadis baju kuning!” kata Wiro Sableng pula. “Aku bukannya Pendekar
Terkutuk Pemetik Bunga!”
“Tak perlu dusta! Kau kira
bisa selamat dengan jual mutut begitu rupa?!”
“Aku tidak dusta! Apa kau
pernah lihat aku memetik bunga dan bunga apa? Bunga matahari atau bunga mawar
atau….”
“Bunga bola baja kematianmu
ini, laknat!” sentak Sekar. Dan kembali dia menyerang secara ganas.
Pendekar kita terpaksa
mengelak lagi dan lompat ke cabang sebatang pohon.
“Kalau keliwat kesusu bisa
tidak beres saudari. Aku masih belum habis bicara! Kuharap kau suka simpan itu
senjata dan mari kita bicara baik-baik…”
Bukannya si gadis baju kuning
simpan senjata meiainkan bola baja berduri itu diluncurkannya ke batang pohon
di atas mana Wiro Sableng berada.
“Kraak!”
Batang pohon hancur dan
tumbang. Pendekar 212 sendiri sudah lompat ke pohon yang lain!
Gemas sekali Sekar segera
melompat ke pohon itu! Dan di atas cabang pohon yang tak seberapa besar itu
maka kini terjadilah pertempuran yang seru! Namun Wiro Sableng tetap tidak
mengadakan perlawanan atau balas menyerang. Ini membuat si gadis jadi
penasaran.
“Ayo, pemuda keparat! Kenapa
diam saja?! Apa nyalimu sudah lumer?! Keluarkan senjatamu!”
Lama-lama diserang gencar
demikian rupa Wiro Sableng kewalahan juga. Dia Iompat ke bawah. Sekar sebatkan
rantai baja ke pinggang si pemuda. Dengan gesit Wiro Sabieng mengelak kesamping
lalu gerakkan tangan kanannya!
Sekar terpelanting dari cabang
pohon akibat betotan Wiro Sableng pada rantai bajanya. Ketika dia turun ke
tanah dengan jungkir balik, Rantai Petaka Bumi sudah berada di tangan Wiro
Sableng!
“Kembalikan senjataku!” teriak
Sekar.
Wiro Sableng tertawa dan
bersiul-siul. Rantai baja yang panjangnya dua meter itu dililitkannya di
pinggangnya. Lalu dengan bertolak pinggang dia berkata. “Silahkan ambil
sendiri, nona manis!”
Tiada terkirakan geramnya
murid Empu Tumapel itu. Tapi dasar bernyali besar, dengan tangan kosong dis
menerkam ke muka dan lancarkan satu jurus aneh bernama “Kabut Pagi Menelan
Embun.”
Jurus ini dilakukan dengan
gerakan yang sangat cepat hingga waktu menyerang itu tubuh Sekar lenyap laksana
kabut tipis! Tapi mata Pendekar Sakti 212 tak dapat ditipu. Betapapun cepatnya
gerakan lawan namun dalam kelebatan itu masih sanggup dilihatnya bagaimana
kedua tangan lawan terkembang hendak mencengkeram muka sedang sepasang kaki
menendang ke dada dan ke selangkangan!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede itu dengan gerakan kilat miringkan tubuhnya ke samping. Sewaktu
tumit lawan masih akan menyerempet pinggulnya dengan cepat di tangkapnya ujung
kaki si gadis dan dibantingkan ke atas! Sekar jungkir balik di udara! tapi
jatuhnya tetap berdiri! Hidung gadis ini kembang kempis. Mukanya merah kelam
karena marah! Hatinya geram karena sadar tiada akan sanggup menghadapi pemuda
yang sangat tinggi ilmu silatnya itu!
“Kau letih eh?!”
“Diam!” lengking Sekar.
“Saudari, dalam hidup ini,
dalam segala hal manusia itu tidak boleh serba kesusu….”
“Jangan jual kentut!”
“Juga jangan suka lekas marah
penasaran….”
“Diam!” teriak Sekar hingga
suaranya menggema diseantero kali.
Si pemuda tertawa dan
geleng-gelengkan kepala. Dia berpikir bagaimana caranya menghadapi gadis galak
macam yang satu ini.
Tiba-tiba dia dapat akal.
“Saudari, kalau kau tetap
keras kepala tak bisa bicara baik-baik aku akan pergi dari sini dan larikan
senjatamu!”
“Ke ujung bumipun kau lari aku
akan kejar!”
Wiro Sableng angkat bahu dan
garuk-garuk kepala!
“Tak pernah aku ketemu gadis
yang keras kepala dan tak mau mengerti macammu ini, saudari!”
“Kembalikan senjataku”
“Aku akan kembalikan. Tapi
kalau kau pergunakan lagi untuk menyerangku…?”
“Kau tahu itu senjata milik,
siapa?”
“Aku tidak tanya!”
Sekar memaki-maki!
“Kalau guruku Empu Tumapel
tahu senjatanya dibuat main dan dihina, pasti nyawamu yang cuma selembar tak
akan aman’“
“Heh… jadi kau muridnya Empu
Tumapel?! Akh… orang tua itu adalah kawan main kelerengku sewaktu masih kecil.
Dan kau tahu, dia suka main curang. He…. He… he…!”
Marahlah Sekar. Dia menyerbu
dengan kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya ke lengan. Tapi kali ini Wiro
Sableng tidak tinggal diam. Lebih cepat dari serangan si gadis baju kuning,
lebih cepat pula sepasang jari telunjuknya menotok jalan darah di tubuh si
gadis! Maka mematunglah Sekar, tapi telinga masih bisa mendengar dan mulut
masih bisa bicara! Wiro Sablang tertawa cengar cengir.
“Sebetulnya aku tidak punya
waktu banyak, tapi kau bikin perjalananku terhalang! Menyerang membabi buta
tanpa alasan….”
“Diam! Lekas lepaskan totokan
ini!”
“Sabar gadis manis! Kalau kau
marah dan membentak begitu parasmu makin cantik, tahu…?!”
Wajah Sekar bersemu merah.
“Kau menyangka bahkan menuduh
aku tetah membunuh orang tua serta adikmu! Apakah kau punya alasan? Punya
bukti!”
Sekar diam.
“Kau bilang aku Pendekar
Pemetik Bunga! Kau yakin betul?!”
Sekar tetap diam Wiro Sableng
tertawa.
“Dengar saudari, semua
tuduhanmu salah belaka! Justru aku tengah dalam perjalanan mencari manusia yang
bergelar Pendekar Pemetik Bunga itu.”
“Kau dusta!” tukas Sekar.
“Terserah. Tapi aku tak punya
waktu lama melayanimu! Pertumpahan darah akan segera terjadi di Biara Pensuci
Jagat! Aku tak boleh terlambat!”
“Kembalikan dulu senjataku dan
lepaskan totokan ini!” Wiro Sableng buka lilitan Rentai Petaka Bumi dari
pinggangnya. Dilepaskannya totokan di tubuh Sekar lalu diserahkan rantai baja
itu kepada si gadis kemudian segera balikkan tubuh.
“Tunggu!” seru Sekar.
Wiro Sableng hentikan langkah.
“Tadi kau bilang bahwa kau
dalam perjalanan mencari Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga. Apa kau tahu di mana
manusia itu berada…?”
“Tahu atau tidak tahu
memangnya kenapa?!”
“Aku juga punya urusan yang
harus diselesaikan dengan manusia bejat itu….”
“Ya, kau sudah bilang tadi.
Jadi maksudmu mau sama-sama seperjalanan dengan aku heh?!”
Untuk kesekian kalinya paras
si gadis jadi bersemu merah. “Kuharap kau jangan bicara keliwat kurang ajar,
saudara!” bentak Sekar.
“Sudahlah, kita tak banyak
waktu! Kalau mau sama-sama memburu itu manusia biang racun penimbul bahala,
lekaslah!”
“Kau jalan duluan,” kata Sekar
yang hatinya masih bimbang dan bercuriga terhadap si pemuda. Dia khawatir kalau
Wiro Sableng adalah benar-benar Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang hendak
menipunya.
“Tak perlu tanya! Jalanlah!”
Pendekar 212 bersiul dan
pencongkan hidungnya. Sekali dia berkelebat maka tubuhnya sudah melompat lima
tombak ke muka. Sekar tidak tinggal diam, segera pula dia kerahkan ilmu larinya
untuk mengikuti Wiro Sableng.
14Ketua Biara Pensuci Jagat terkejut
ketika melihat jarum alat rahasia di dalam kamarnya bergerak-gerak! Segera
ditekankannya sebuah tombol di tepi tempat tidur. Dua buah pintu rahasia
terbuka dan delapan orang biarawati muncul. Kedelapannya menjura lalu berpaling
ke arah alat rahasia yang dituding oleh Ketua mereka.
“Atur pengurungan!” kata Ketua
Biara itu pula. “Lima puluh di dalam, lima puluh di luar! Yang datang ini
mungkin orang yang kita tunggu-tunggu!”
Delapan biarawati menjura lagi
lalu meninggalkan kamar Ketua mereka. Supit Jagat, Ketua Biara memandang lagi
ke jarum alat rahasia.
Jarum itu kini kelihatan diam
tak bergerak-gerak, tapi sesaat kemudian kelihatan bergerak lagi.
Kali ini ketua Biara itu
segera membentak, “Tamu di atas atap, silahkan turun unjukkan diri!”
Baru saja Supit Jagat berkata
begini maka terdengarlah suara menggemuruh! Atap dan langit-langit kamar amblas
roboh! Diiringi oleh suara tertawa bekakakan sesosok tubuh berjubah hitam
melompat turun dalam gerakan yang sangat enteng! Yang datang ternyata betul Pendekar
Pemetik Bunga!
“Ha… he… sungguh satu
kehormatan dapat berkunjung ke Biaramu ini, Supit Jagat!” .
Baru saja Pendekar Pemetik
Bunga berkata demikian empat dinding kamar amblas ke dalam lantai dan kini
terbukalah satu ruangan besar.
Disetiap tepi ruangan berbaris
dua lapis biarawati-biarawati angkatan tua dan angkatan muda berseling-seling!
Kesemuanya dengan pedang di tangan!
“Hem…” Pendekar Pemetik Bunga
memandang berkeliling. Tidak ada bayangan rasa terkejut pada parasnya. “Rupanya
sudah ada persiapan untuk menyambut kedatanganku!” katanya.
Ketua Biara Pensuci Jagat
tertawa mengekeh.
“Nama kotormu sudah lama kami
dengar. Noda busuk yang kau tebar di mana-mana sudah sejak lama hendak kami
putus! Nyawa bejatmu sudah sejak lama ingin kami kirim ke neraka jahanam! Tapi
hari ini agaknya kami tak perlu susah-susah turun tangan ke luar Biara!
Malaekat maut rupanya telah membawamu ke sin!!”
Pendekar Terkutuk Pemetik
Bunga rangkapkan tangan di muka dada.
“Betapa indahnya susunan
kata-katamu. Supit Jagat!” berkata Pendekar Pemetik Bunga. “Tapi ketahuilah,
aku datang ke sini bukan dibawa oleh malaekat maut, sebaliknya justru
mengantarkan malaekat maut yang ingin cepat-cepat naerenggut nyawa kalian!
Dan….” Pendekar bertampang buas ini batuk-batuk beberapa kali. “Dan menyedihkan
sekali, rupanya hanya kroco-kroco tua macammu yang ditakdirkan mampus!
Biarawati-biarawati muda belia
musti dihadiahkan untukku!”
“Kurasa matamu belum buta
Pendekar Terkutuk!” sahut Supit Jagat.
“Belum buta untuk melihat
orang-orangku yang berdiri, dalam satu barisan maut, belum buta untuk melihat
pedang-pedang yang melintang!”
“Aku memang tidak buta!”
Pendekar Pemetik Bunga memandang lagi berkeliling. “Tapi sebaiknya
biarawati-biarawati muda itu tak usahlah ikutikutan bertempur! Mereka akan mati
percuma sebelum merasakan betapa nikmatnya hidup di dunia ini! Betapa nikmatnya
berada dalam pelukanku! Betapa nikmatnya tidur bersa….”
Sebilah pedang meluncur tepat
di depan hidung Pendekar Pemetik Bunga, membuat pemuda ini tersurut satu langkah
dan terputus kata-katanya!
“Apakah lidahmu kelu hingga
tak bisa teruskan buka mulut?” ejek Supit Jagat.
“Ketua Biara Pensuci Jagat!
Kau adalah manusia yang musti mati pertama kali di dalam gedung ini! Darahmu
akan mensucikan lantai biara ini!”
Habis berkata begitu Pendekar
Pemetik Bunga buka gulungan sabuk mutiara di pinggangnya sedang tenaga dalam
dialirkan tiga perempat bagiannya ke tangan kanan! Dua tangaa itupun kemudian
bergerak dengan serentak!
Pukulan”Tapak Jagat” menggebu
dahsyat di barengi oleh gelombang angin yang keluar dari sabuk mutiara! Gedung
bergoncang, bumi laksana dilanda lindu! Tapi disaat itu Ketua Biara Pensuci
Jagat sudah berpindah tempat dan dengan satu lengkingan keras dia memberi
isyarat agar lima puluh biarawati yang ada di ruangan itu segera menyerang!
Maka berkecamuklah pertempuran
yang bukan olah-olah dahsyatnya! Lima puluh pedang menderu! Satu-satunya lawan
yang diserang berkelebat ganas balas menyerang! Dan dalam setiap kelebatan
musti ada jatuh korban di pihak biarawati. Yang menemui ajalnya ini justru
biarawati-biarawati angkatan tua yang sudah berumur! Rupanya Pendekar Pemetik
Bunga benar-benar hanya akan menumpas biarawati-biarawati tua sebaliknya
membiarkan hidup biarawati-biarawati muda belia untuk kemudian akan dilalap
dirusak kehormatannya!
Ketika hampir separoh dari
biarawati angkatan tua menemui ajalnya, ketika lantai diruangan terbuka itu
sudah licin dan amis oleh baunya darah maka Supit Jagat segera membentak. Dia
tak mau lebih banyak jatuh korban dipihaknya! “Semuanya mundur!”
Perintah yang laksana geledek
ini dipatuhi oleh setiap biarawati.
Semuanya mundur ke tepi dan di
tengah ruangan besar itu kini hanya Ketua Biara serta Pendekar Pemetik Bunga
saja yang berdiri berhadap-hadapan dalam jarak delapan tombak. Di lantai
bertebaran belasan tubuh biarawati-biarawati tua yang telah menemui ajalnya!
“Kebinatanganmu sudah lebih
dari binatang! Kebejatanmu sudah melewati batas! Kebiadabanmu seluas luatan!
Dosamu setinggi gunung!
Segera keluarkan senjatamu, manusia
terkutuk!”
Pendekar Pemetik Bunga
menyeringai.
“Rupanya Ketua Biara sendiri
yang hendak turun tangan?! Bagus!” ujar Pendekar Pemetik Bunga. “Tapi kalau
tadi aku dikeroyok puluhan bergundal-bergundalmu aku hanya bertangan kosong,
masakan menghadapi kau seorang diri musti pakai senjata segala?!”
“Kau akan binasa bersama
kecongkakanmu manusia dajal!” Marah sekali Ketua Biara Pensuci Jagat itu. Maka
pada saat itu juga dikeluarkannya senjatanya yaitu seikat sapu lidi yang
bernama Sapu Jagat, warisan dari Ketua Biara yang terdahulu!
Melihat senjata yang
dikeluarkan lawannya adalah seikat sapu lidi maka Pendekar pemetik Bunga
tertawa memingkal!
“Nenek Ketua, kau mau menyapu
atau bertempur? Sapu lidi buruk itukah senjatamu?! Lucu sekali… betul-betul
lucu!” Supit Jagat maju tiga langkah.
Tiba-tiba dia sapukan sapu
lidinya ke arah lawan! Pendekar Pemetik Bunga berseru kaget. Berubahlah
parasnya! Angin yang ke luar dari sapu lidi itu dahsyatnya laksana badai
prahara, seperti menghancur leburkan sekujur tubuhnya! Secepat kitat dia segera
melompat ke samping sampai empat tombak! Tapi Ketua Biara tidak kasih
kesempatan, segera pula dia memapas dengan senjatanya!
Ketika lima belas jurus dia
terkurung rapat oleh sambaran Sapu Jagat yang dahsyat itu, menggeramlah Pendekar
Pemetik Bunga. Pukulanpukulan
“Tapak Jagat” dan kebutan
“Angin Pengap” tepi jubahnya sama sekali tidak mempan menerobos gulungan angin
sapu lidi lawan!
Pada jurus kedua puluh satu
Pendekar Pemetik Bunga memekik tertahan sewaktu ujung sapu menyerempet dadanya
dan membuat jubah hitamnya robek besar!
Tidak tunggu lebih lama
Pendekar Pemetik Bunga segera cabut kembang kertas kuning yang menancap di
kepalanya. “Semua tutup jalan nafas atau ke luar dari sini!” teriak Supit Jagat
karena dia maklum bahwa kembang kertas itu mengandung racun yang sangat
dahsyat! Biarawati-biarawati angkatan muda segera tinggalkan ruangan sedang
biarawati-biarawati angkatan tua tetap di tempat.
Pertempuran kini telah
berjalan tiga puluh empat jurus dan yang memengkalkan Pendekar Pemetik Bunga
ialah racun kuning yang setiap detik menggebu ke luar dari bunga kertasnya sama
sekali tidak sanggup menerobos angin sapu lidi sang ketua Biara malahan kalau
dia tidak berhati-hati, racun bunga kertas itu sering kali dihantam membalik ke
dirinya sendiri!
Di saat pertempuran berjalan
semakin dahsyat, di saat tubuh kedua orang itu hanya merupakan bayang-bayang
yang dibungkus oleh sinar kuning serta lingkaran-lingkaran angin Sapu Jagat
maka tiba-tiba terdengarlah suara siulan siulan nyaring yang tak menentu yang
kemudian disusul oleh suara nyanyian seseorang!
Hanya biarawati-biarawati di
tepi kalangan pertempuran yang berani mendongak ke atas, ke arah datangnya
suara nyanyian itu sedang mereka yang bertempur meskipun hati masing-masing tercekat
mendengar nyanyian ini namun tiada berani palingkan muka!
Anak laki-laki hamil dalam
perut perempuan
Itu namanya anugerah Tuhan
Anak laki-laki lahir dari
rahim perempuan
Itu namanya kuasa Tuhan
Anak laki-laki dibesarkan
perempuan
Itu namanya kasih sayang
Laki membunuh perempuan
Itu namanya dosa besar
Laki-laki memperkosa perempuan
Itu namanya terkutuk
Menuntut ilmu buat kebaikan
Itu namanya bijaksana
Menuntut ilmu buat kejahatan
Itu namanya kesetanan
Dua tahun turun gunung
Malang melintang kelantang
keluntung
Di timur membunuh
Di barat memperkosa
Di selatan membunuh dan
memperkosa
Di utara memperkosa dan
membunuh
Dosa setinggi gunung
Dosa di mana-mana
Kejahatan sedalam lautan
Kejahatan dimana-mana
Guru sendiri turun gunung
Dibunuh dengan kepala dingin
Itu namanya laknat kualat
Pendekar Pemetik Bunga yang
merasa bahwa nyanyian itu ditujukan kepadanya mengerling sekilas dan di atas
loteng yang bobol dari mana dia menerobos masuk tadi dilihatnya dua orang duduk
berjuntai di atas tiang palang. Yang seorang laki-laki berpakaian putih, dialah
yang menyanyi tadi.
Yang seorang lagi gadis cantik
berpakaian kuning!
Biarawati-biarawati yang ada
di tepi ruangan yang juga melihat ke atas loteng segera mengenali pemuda yang
bernyanyi itu yakni bukan lain daripada Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212! Karenanya mereka tidak ambil perduli. Sementara itu dari kalangan
pertempuran terdengar lagi pekik Pendekar Pemetik Bunga. Ujung Sapu Jagat telah
melanda untuk kedua kalinya bagian dada, sehingga jubah yang sudah robek kini
robek tambah besar. Kulit dada pemuda itu sendiri kelihatan tergurat merah,
sakitnya bukan main!
Di atas loteng Sekar yang
sudah sejak tadi tak dapat menahan melompat turun, tapi lengannya dicekal
erat-erat oleh Wiro Sableng.
“Jangan bodoh! Jika kau
mengetengahi pertempuran itu salah-salah kau bisa kena gebuk sapu Ketua Biara
atau kena tersambar racun jahat bunga kertas Pendekar Pemetik Bunga!”
“Aku tidak takut mati! Biar
mati asalkan pemuda terkutuk itu mampus ditanganku!”
Sekar hendak melompat lagi
tapi lengannya tetap dicekal Pendekar 212 dan Wiro tak perdulikan rutukan yang
dikeluarkan gadis itu.
“Lihat saja dulu, Sekar!
Sekarang belum saatnya kita turun tangan!”
“Tapi kalau bangsat itu mampus
di tangan Ketua Biara. Aku akan menyesal percuma seumur hidup!”
Wiro tertawa.
“Pendekar Terkutuk itu belum
keluarkan ilmu simpanannya, jangankan si Ketua, guru Ketua Biara itupun tak
bakal sanggup menghadapinya!”
Sekar ingat akan ucapan Empu
Tumapel yaitu tentang ilmu “Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki Pendekar
Pemetik Bunga! Karenanya dia terpaksa ikuti nasihat Wiro dan tetap duduk di
samping pemuda itu di atas loteng.
Pertempuran di bawah sana
sudah berkecamuk enam puluh empat jurus!
“Crass!”
Pendekar Pemetik Bunga lompat
ke luar dari kalangan pertempuran sewaktu sapu lidi senjata lawan membabat
putus tangkai bunga kertas sedang bunganya sendiri robek-robek bertaburan!
“He… he… he… bersiaplah untuk
menghadap setan kuburan pemuda terkutuk!” kata Ketua Biara Pensuci Jagat pula.
Pendekar Pemetik Bunga, yang biasanya menyahuti setiap ejekan lawannya dengan
beringas kini bungkam seribu bahasa. Bola matanya bersinar tapi kelopak matanya
kelihatan menyipit dan mencekung sedang tampangnya buas dan mulutnya berkemik!
Dia berdiri di tengah ruangan dengan sepasang kaki merenggang.
Tiba-tiba kelihatanlah ibu
jari dan jari telunjuk tangan kanannya memancarkan sinar hitam! Pendekar 212
yang berada di atas loteng tersentak kaget dan berseru keras.
“Ketua Biara Pensuci Jagat!
Lekas menghindar! Kau tak bakal sanggup menghadapi ilmu Jari Penghancur Sukma
itu!” Tapi Supit Jagat tidak ambil peduli. Malah dengan tubuh laksana gunung
karang dia tetap berdiri di tempat dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke sapu
lidi di tangan kanan!
Ibu jari dan jari telunjuk
Pendekar Pemetik Bunga mulai membentuk lingkaran. Sinar hitam jari-jari itu
menggidikkan.
“Ketua Biara, lekas
menghindar!” seru Wiro sekali lagi. Namun tetap Supit Jagat tidak bergerak dan
hadapi lawannya dengan penuh ketabahan!
“Edan betul!” teriak Wiro
Sableng!
Pendekar 212 bersuit nyaring.
Tak seorangpun yang melihat kalau tangannya sebelah kanan saat itu sudah
berubah menjadi putih laksana perak menyilaukan!
Di lain kejap Pendekar Pcmetik
Bunga jentikkan jari telunjuknya.
Dihadapannya Supit Jagat
hantamkan pula sapu lidinya dalam satu jurus tusukan yang dahsyat!
Larikan sinar hitam yang
dahsyat menggidikkan menggebu ke arah Supit Jagat. Sinar hitam ini dipapasi
oleh angin membadai yang berwarna putih agak kelabu dari sapu sang Ketua Biara!
Hebatnya, sebelum dua sinar maut itu sama-sama berbenturan, dari atas loteng
satu sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan memapak di tengah-tengah
kedua sinar tadi!
Itulah Pukulan Sinar Matahari
yang telah dilancarkan oleh pendekar 212 dari atas loteng!
Tiga dentuman yang
berkumandang secara serentak menggetarkan bumi. Dunia laksana mau kiamat!
Dinding-dinding ruangan pecah-pecah, banyak yang ambruk! Tiang-tiang gedung
biara beberapa diantaranya runtuh bergemuruh! Loteng amblas!
Biarawati-biarawati yang ada di dalam gedung segera berlompatan ke luar
termasuk Pendekar Pemetik Bunga dan Supit Jagat, Wiro Sableng sendiri
sabelumnya telah melesat meninggalkan loteng bersama Sekar. Sewaktu kedua orang
ini sampai di halaman muka, keduanya mendapatkan Ketua Biara dan Pendekar
Pemetik Bungs telah berhadap-hadapan kembali!
Diam-diam Pendekar 212
berunding dengan Sekar. Kemudian Wiro berseru, “Ketua Biara, harap kau suka
memberi kesempatan padaku untuk turun tangan menjajal pemuda yang katanya
berilmu setinggi gunung sedalam lautan dan congkak ini!”
Supit Jagat setelah melihat
kehebatan ilmu Jari Penghancur Sukma lawannya menyadari bahwa dia tak akan
sanggup menghadapi Pendekar Pemetik Bunga! Seruan Pendekar 212 tadi adalah
kesempatan yang paling baik baginya untuk mengundurkan diri tanpa kehilangan
muka.
“Pendekar 212, jika kau memang
punya urusan tertentu dengan manusia keparat ini silahkan maju!”
“Licik!” teriak Pendekar
Pemetik Bunga. Matanya beringas memandangi Wiro Sableng.
Pendekar 212 sebaliknya
tertawa mengejek!
“Dalam kamus kehidupanmu,
rupanya kau masih kenal arti kata licik heh? Apakah kau juga tahu apa artinya
kebejatan? Apa arti terkutuk dan apa arti kualat serta dosa?!”
Merah padam paras Pendekar
Pemetik Bunga!
“Kunyuk bermuka manusia, kau
siapa? Apa kepentinganmu mencampuri urusan orang lain?!”
“Apa kepentinganku? Banyak…
banyak sekali sobat! Kau bisa tanya nanti pada iblis-iblis penjaga kubur atau
setan-setan di neraka…” Habis berkata begini Wiro Sableng tertawa bekekekan.
“Anjing kurap yang tak tahu
diri, makan jariku ini!” Sinar hitam berkiblat melanda Wiro Sableng!
Pendekar 212 yang sudah punya
rencana tersendiri tidak memapasi serangan lawan dengan seluruh tenaga
dalamnya. Dia tak ingin manusia terkutuk itu mati dalam tempo singkat!
Sambil lancarkan pukulan sinar
matahari dia melompat setinggi enam tombak. Dari bawah Pendekar Pemetik Bunga
kebutkan lengan jubahnya!
Dua lusin bola-bola hitam
menderu ke arah Wiro Sableng. Yang diserang menyambut dengan pukulan “Benteng
Topan Melanda Samudera.” Dua puluh empat bola-bola hitam itu meledak dan udara
tertutup kabut hitam!
Pendekar 212 yang tahu maksud
licik lawannya, begitu kabut hitam menutupi pemandangan segera jungkir balik
dua kali berturut-turut. Bila dalam sekejapan mata kemudian dia sudah ke luar
dari kabut hitam itu maka kelihatanlah Pendekar Pemetik Bunga melarikan diri ke
arah pintu gerbang biara. Lima orang biarawati yang menjaga pintu itu sekali
jentikan jari saja segera dibikin meregang nyawa oleh Pendekar Pemetik Bunga.
Pemuda ini kemudian bergerak
cepat menekan tombol rahasia pembuka pintu. Tapi Pendekar 212 tahu-tahu
menghadang dihadapannya!
“Mau lari ke mana sobat?!”
bentak Wiro Sableng.
Sebenarnya Pendekar Pemetik
Bunga bukanlah seorang pengecut.
Namun melihat ilmu “Jari Penghancur
Sukma” yang dilancarkan terhadap Wiro Sableng tiada mempan sama sekali maka
lumerlah nyalinya!
Kegusaran membuat Pendekar
Pemetik Bunga menjadi kalap, apalagi dalam keadaan kepepet begitu rupa. Dia
menyerbu membabi buta! Tangan kiri mengebutkan sabuk mutiara sedang tangan
kanan kembali lancarkan ilmu “Jari Penghancur Sukma”
Wiro tetap tak mau sambuti
serangan dahsyat itu dengan kekerasan.
Dia jatuhkan diri ke tanah,
bergulingling cepat mendekati lawan sebelum larikan sinar hitam menyerempet
tubuhnya untuk kemudian tahu-tahu dia sudah berada di belakang Pendekar Pemetik
Bunga!
Pendekar Pemetik Bunga
membalikkan badan secepat kilat. Tapi begitu tubuhnya berbalik, begitu dua
ujung jari melanda urat besar dipangkal lehernya! Tak ampun lagi pemuda terkutuk
ini menjadi kaku tegang tubuhnya!
“He… he…. Apakah kini kau bisa
jual tampang pamerkan segala ilmu silat dan kesaktianmu, manusia terkutuk?!”
ejek Wiro Sableng.
“Bangsat rendah! Kelak kau
akan rasakan pembalasanku…!”
Sementara itu Sekar yang
melihat musuh besarnya berada dalam keadaan tertotok segera datang berlari dan
keluarkan Rantai Petaka Bumi.
“Manusia bermuka iblis! Hari
ini lunaslah hutang jiwa orang tua dan adikku!”
“Wuut!”
Rantai baja dengan bola baja
berduri menderu ke arah kepala Pendekar Pemetik Bunga! Pendekar ini membeliak
besar kedua matanya, keringat dingin berbutir-butir di keningnya! Dari mulutnya
ke luar jerit ketakutan setinggi langit!
Sesaat lagi bola berduri itu
akan menghantam hancur remukan kepala Pendekar Pemetik Bunga, satu tangan
memukul ke depan dan bola berduri lewat setengah jengkal di alas kepala si
pemuda yang sudah ketakutan setengah mati.
“Wiro! Apa-apan kau?!” sentak
Sekar karena Wiro-lah yang membuat serangan mautnya tak mengenai sasaran!
“Jangan bodoh, Sekar! Mati
dalam tempo yang singkat terlalu enak buat manusia macam dia!” Wiro berpaling
pada Ketua Biara Pensuci Jagat dan beberapa biarawati yang ada di situ.
“Bukankah demikian?” ujarnya.
Supit Jagat tertawa mengekeh.
“Kita jebloskan saja dia ke
dalam sumur binatang berbisa!”, mengusulkan Supit Jagat.
Wiro tertawa dan gelengkan
kepala.
Dipegangnya dagu Pendekar
Pemetik Bunga lalu tanyanya, “Sobat, apakah kau pernah memikirkan bagaimana
sakitnya sekujur tubuhmu bila jalan darahmu menyungsang terbalik?!”
Pucat pasilah muka Pendekar
Pemetik Bunga.
“Demi Tuhan, aku minta agar
dibebaskan! Aku bertobat. Betul-betul tobat…! Aku betul-betul tobat…! Aku mohon
keadilan!” kata Pendekar Pemetik Bunga. Kepalanya dipalingkan pada Supit Jagat,
mohon belas kasihan. Dan saat itu dia mulai menangis merengek-rengek macam anak
kecil!
“Kau mohon keadilan dan mohon
pengampunan?” tanya Supit Jagat dengan tertawa-tawa.
“Ya, dan aku akan bertobat,”
sahut Pendekar Pemetik Bunga.
“Baik, kami akan ampuni kau
punya jiwa. Tapi ada syaratnya!”
“Apapun syaratnya akan aku
terima,” kata Pendekar Pemetik Bunga tanpa ragu-ragu.
Ketua Biara Pensuci Jagat
tertawa, “Syaratnya mudah saja. Cungkil sendiri kau punya jantung dan serahkan
padaku!” Pendekar Pemetik Bunga menangis meraung-raung minta diampuni. Matanya
menjadi bengkak dan merah.
“Pendekar 212, sebaiknya lekas
saja dimulai penjatuhan hukuman atas dirinya!” kata Supit Jagat.
“Betul, makin cepat makin
baik!”
Wiro membelai-belai rambut
Pendekar Pemetik Bunga dengan senyum-senyum. “Kasihan.., kasihan….” katanya.
Kemudian dua jari tangannya bergerak melakukan totokan di beberapa bagian tubuh
Pendekar Pemetik Bunga.
Semua orang menunggu apa yang
bakal terjadi. Pendekar Pemetik Bunga sudah seputih kain kafan tampangnya, keringat
mengucur mulai dari kulit kepala sampai ke kaki! Mula-mula dia tak merasakan
apa-apa. Tapi kemudian kepalanya terasa sampai sakit.
Rasa sakit menjalar ke seluruh
tubuh! Peredaran darah dalam tubuhnya tidak normal lagi. Berdenyut membalik!
Dan lolongan-lolongan yang mengerikan ke luar tiada hentinya dari mulut
laki-laki itu. Beberapa saat kemudian Wiro lepaskan totokan di tubuh pemuda
terkutuk itu. Kini rasa sakit semakin menjadi-jadi. Dunia ini seperti
menyungsang di mata Pendekar Pemetik Bunga. Dia lari sana lari sini, berteriak
tak karuan, mencak-mencak, berguling di tanah! Beberapa menit berlalu darah
mulai mengucur dari kedua lobang hidung, mata serta telinganya!
Wiro berpaling pada gadis baju
kuning di sebelahnya “Sekar, jika kau mau turun tangan inilah saatnya. Tapi
jangan bunuh dia sekaligus!”
Rahang-rahang Sekar
bergemeletakkan. Dia maju satu langkah. Rantai Petaka Bumi diputar-putar.
Melihat ini Pendekar Pemetik Bunga lari jauhkan diri.
Tapi “wuutt!”
Bola baja berduri menderu.
Pendekar Pemetik Bunga
berteriak. Kupingnya yang sebelah kanan putus! Darah mengucur lebih banyak.
Sekali lagi bola baja itu berdesing dan kali yang kedua ini sasarannya adalah
telinga sebelah kiri Pendekar Pemetik Bunga! Keganasan dendam Sekar tidak
sampai di situ saja, bola bajanya menderu lagi menghantam hidung si pemuda
hingga hidung itu hancur melesak dan tampang Pendekar Pemetik Bunga sungguh
mengerikan untuk dipandang!
“Sudah cukup, Sekar?!” tanya
Wiro Sableng.
“Belum!” jawab gadis itu
pendek dan beringas. Sementara itu Pendekar Pemetik Bunga sudah terhampar di
tanah dekat tembok, megap-megap dan masih menjerit-jerit! Di antara jeritan itu
terdengar lagi deru bola baja berduri dua kali berturut-turut! Yang pertama
menghantam tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga, tangan yang telah puluhan kali
melakukan kejahatan membunuh manusia-manusia tak berdosa! Hantaman yang kedua
melanda tepat pada anggota rahasia di antara selangkangan Pendekar Pemetik
Bunga yang selama dua tahun telah puluhan kali merusak kehormatan perempuan
terutama gadis-gadis berparas cantik!
Tubuh Pendekar Pemetik Bunga
mengegelepar-gelepar. Nyawanya masih belum putus, hampir diambang sekarat!
“Ketua Biara Pensuci Jagat,
bagaimana dengan kau?,” tanya Wiro.
Supit Jagat tertawa sedingin
salju. Ingat dia pada orang-orangnya yang telah menemui ajal di tangan pemuda
itu. Dia maju selangkah.
“Pendekar terkutuk! Apakah kau
masih bias mendengar suaraku?!”
“Uh…uh..”
“Hem bagus… Meski matamu tak
dapat melihat karena genangan darah tapi dengarlah aku akan lukis parasmu
seindah mungkin dengan sapu lidiku ini!”
Habis berkata demikian, Supit
Jagat tusukkan ujung sapu lidinya ke muka Pendekar Pemetik Bunga! Jeritan
pemuda itu terdengar lagi, tapi tidak sekeras tadi. Suaranya sudah sember dan
mukanya mengerikan lebih kini! Tusukan Sapu Jagat membuat mukanya itu laksana
dipanteki dengan ratusan paku!
Pendekar Pemetik Bunga
menggelepar-gelepar. Berguling ke kiri dan ke kanan, bergelimang darah serta
debu. Kematiannya sungguh mengerikan. Namun mungkin itu belum seimbang dengan
kejahatan-kejahatan yang paling terkutuk yang pernah dilakukannya selama dua
tahun.
T A M A T