-------------------------------
----------------------------
032 Bajingan Dari Susukan
1
Lelaki berpakaian merah itu
berlari seperti dikejar setan. Dalam kegelapan malam tubuhnya beberapa kali
membentur pohon, pakaiannya robek-robek terkait duri, bahkan kulitnya penuh
dengan barut luka yang menjadi perih akibat teresap keringat. Namun semua itu
tidak diperdulikannya. Dia lari terus sekencang yang bisa dilakukannya walau
nafasnya mulai menyesak dan lidahnya terjulur-julur seperti anjing gila. Di
tangan kirinya ada kantung kain.
Sambil berlari dia berulang
kali berpaling ke arah timur. Saat demi saat langit di jurusan itu tampak
menjadi terang. Hal inilah yang agaknya ditakuti orang berpakaian merah itu.
Sebentar-sebentar dari mulutnya terlontar kata-kata “Celaka…..! Celaka diriku!
Tak mungkin aku mencapai tempat itu sebelum matahari terbit! Celaka! Mati….!
Aku akan mati!” Orang ini berlari terus. Berusaha lebih kecang. Namun tenaganya
hampir punah. Kedua kakinya seperti diberati batu besar. Beberapa kali dia
terserandung jatuh tapi bangkit kembali dan berlari lagi. Berpaling kembali ke
timur, langit di sana tampak semakin terang.
“Celaka! Celaka diriku…..!”
Sekali lagi dia tersungkur di tanah. Kantung kain yang dibawanya terlepas.
Cepat-cepat benda ini diambilnya lalu dia bangkit dan lari lagi.
Di pepohonan mulai terdengar
kicau burung. Jalan mendaki yang dilaluinya mulai terang. Seperti ada semangat
dan kekuatan baru dalam tubuh orang itu, dia mampu lari lebih kencang. Pondok
kayu di ujung jalan yang mendaki itu, yang kelihatan di kejauhan, itulah yang
seolah memberi kekuatan padanya. Akan tetapi maksudnya untuk mencapai pondok
itu tidak pernah kesampaian. Ketika di timur matahari memancarkan cahayanya
yang kuning kemerahan dan berangsur memutih, ketika rambasan cahaya sang surya
ini menimpa tubuh orang yang berlari itu, kontan dari mulutnya terdengar suara
jeritan. Sekujur tubuhnya seperti ditusuk ribuan jarum. Lalu seperti ada api
yang memanggang. Tubuhnya mengepulkan asap. Dia menjerit lagi. Tapi masih
berusaha lari. Sejarak lima belas langkah dari poneok kayu di ujung jalan
mendaki, orang ini jatuh terguling. Sekali ini dia tak sanggup lagi untuk
bangkit. Matanya membeliak. Kakinya melejang-lejang. Darah tampak mengucur dari
telinga, hidung dan sela bibirnya.
“Pangeran……
Pangeran….tol…..tolong aku…..” Orang itu memanggil di antara suara erangannya.
“Pangeran…….!”
Tiba-tiba pintu pondok yang
sejak tadi tertutup terpentang lebar. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam
dengan gambar matahari serta gunung di bagian dada dan berikat kepala merah
keluar dai dalam pondok. Sesaat dia memandang pada lelaki yang melingkar di
tanah, melejang-lejang sambil tiada hentinya mengerang. Si baju hitam
bertampang angkuh mendengus dingin.
“Manusia tolol!” teriaknya.
“Mengapa kau kembali dalam keadaan terlambat! Melanggar pantang!”
“Pangeran….Aduh….tubuhku!
Tubuhku seperti dibakar!”
“Bangsat! Jawab pertanyaanku!”
hardik si baju hitam yang jelas-jelas adalah Pangeran Matahari, pemuda
berkepandaian tinggi dan memiliki kesaktian dari puncak Merapi. Yang sejak
beberapa waktu lalu mengacau dan menimbulkan malapetaka bukan saja dalam rimba
persilatan tetapi juga dalam kalangan Kerajaan bahkan menembus sampai ke dalam
istana! “Katakan mengapa kau datang terlambat!”
“Mo….mohon ampunmu Pangeran.
Aku tergoda nafsu….Aku bermain-main dengan seorang janda muda dan kesiangan!”
“Keparat! Kau memang tidak
pantas jadi Bajingan Dari Susukan!” Pangeran Matahari ulurkan kaki kanannya.
Dengan jari-jari kaki dibetotnya kantong kain yang masih berada di tangan kanan
lelaki di hadapannya. Kantong kain ini melayang ke udara dan cepat ditangkapnya
dengan tangan kiri.
“Pangeran……tolong……”
Pangeran Matahari tidak
perdulikan erangan orang. Dia membuka kantong kain dan memeriksa isinya. Tampak
beberapa potong perhiasan, beberapa bongkah perak lalu kepingan uang logam.
“Setan! Hasilmu tidak
seberapa!”
“Pangeran! Tolong…. Tubuhku
seperti dipanggang….”
Pangeran Matahari menyeringai.
“Nafsu sama dekatnya dengan darah dalam tubuh manusia! Nafsu menjadi sahabat
manusia sejak langit dan bumi diciptakan! Tetapi dalam hal yang bersifat
pantangan bila manusia sampai lupa diri, dia akan musnah!”
“Aku mohon ampunmu Pangeran.
Tolong….. Selamatkan selembar nyawaku…..”
“Tak ada yang bisa
menyelamatkanmu manusia tolol! Tidak setan tidak juga malaikat!”
Pangeran Matahari melangkah
menuju pintu pondok. Di balakangnya terdengar lolong lelaki yang tubuhnya
tampak mengepulkan asap dan mulai berubah kehitaman seperti kayu gosong. Dia
berguling-guling di tanah.
“Pangeran. Tolong…. Hanya kau
yang bisa menolongku! Tolong…..!”
“Tubuhmu telah tersiram sinar
matahari! Mati adalah lebih baik bagimu!” ujar Pangeran Matahari. Di depan
pintu pondok dia berhenti lalu berseru.
“Gajah Rimbun! Kemari kau!”
Dari dalam pondok melompat
keluar seorang pemuda bermuka bulat, berkulit hitam legam, berkumis dan
berjengot tipis. Sikapnya tangkas, gerakannya gesit. Dia memberi hormat pada
Pangeran Matahari seraya berkata. “Saya sudah di hadapanmu Pangeran!”
“Kau lihat manusia tolol
itu?!”
Si muka bulat bernama Gajah
Rimbun berpaling ke arah lelaki yang masih melejang-lejang di tanah, tapi
lejangannya makin lama makin perlahan. Suara teriakannya minta tolong semakin
sember dan hanya tinggal erangan parau.
“Saya melihatnya Pangeran….”
Kata Gajah Rimbun.
“Apakah kau mau jadi manusia
tolol seperti dia?”
“Tidak Pangeran. Saya tidak
ingin….”
“Kalau begitu ingat semua
pesan dan pantangan. Selalu kembali kemari sebelum matahari terbit!”
“Saya akan ingat semua pesan
dan pantangan, Pangeran.”
“Mulai hari ini kau akan
bergelar Bajingan Dari Susukan! Ingat hal itu baikbaik. Kemanapun kau pergi
perkenalkan dirimu dengan julukan itu…..!”
“Akan saya lakukan Pangeran.”
“Dari semua yang kupesankan
untuk dilakukan, yang paling penting adalah menyelidiki di mana beradanya dua
manusia bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dan
seorang lagi entah lelaki entah perempuan, tapi dulu dikenal dengan nama Ni Luh
Tua Dari Klungkung, muncul dengan sosok tubuh seorang nenek!”
“Saya akan menyelidiki
Pangeran!”
“Jangan lupa mengeduk harta
dan uang sebanyak mungkin!”
“Saya tidak lupa Pangeran.”
“Kau tahu di mana harus
memusatkan pekerjaan?”
“Pangeran sudah mengatakan
sebelumnya. Di Kotaraja dan desa-desa kaya…..!”
“Bagus! Sekarang mendekatlah
padaku!”
Gajah Rimbun melangkah
mendekati Pangeran Marahari. Pada jarak satu langkah Pangeran Matahari angkat
kedua tangannya dan letakkan di atas kedua bahu Gajah Rimbun. Pemuda ini
merasakan ada hawa panas dari telapak tangan Pangeran Matahari, masuk ke dalam
tubuhnya lewat bahu.
“Sekarang kau boleh pergi! Ingat
perintah, ingat larangan, ingat pantangan! Dalam tubuhmu ada satu kekuatan yang
membuat kau mampu melakukan tugas dan mampu menghancurkan siapapun yang berani
menghalangimu!”
“Saya pergi Pangeran…..”
“Pergilah. Bawa mayat manusia
tolol itu! Lemparkan ke dalam jurang!”
“Akan saya bawa Pangeran.”
Lalu Gajah Rimbun memanggul mayat hangus yang sejak tadi tergeletak di tanah
dan tinggalkan tempat itu melalui jalan tanah menurun.
Kapak Maut Naga Geni 212DUA
Diiringi alunan gamelan
pengantin lelaki keluar dari dari pintu sebelah kanan ruangan besar, melangkah
bersama para pengiring lalu duduk di atas kasur tertutup permadani. Di sebelah
kanan penghulu berjubah dan bersorban putih siap memimpin jalannya upacara akad
nikah.
Dari pintu sebelah kiri, diapit
oleh para pengiring, keluarlah pengantin perempuan yang kemudian mengambil
tempat duduk berhadap-hadapan dengan pengantin lelaki.
Melihat pada keadaan kedua
mempelai, maka ini adalah satu perkawinan yang benar-benar tidak serasi.
Pengantin lelaki, seorang lelaki tua yang pantas disebut seorang kakek.
Bertubuh kurus, berwajah cekung keriput, berambut putih dan berkumis jarang
yang juga sudah berwarna putih. Sebaliknya sang mempelai perempuan belum lagi
berusia enam belas tahun, berparas cantik jelita tapi jelas masih
kekanak-kanakan. Kepalanya selalu tertunduk, seolah-olah menyembunyikan
sepasang matanya yang balut karena terlalu banyak menangis.
Ketika penghulu mulai membuka
upacara, alunan gamelan terdengar menjadi perlahan lalu berhenti sama sekali.
Di antara para tamu yang hadir
pada sore menjelang malam itu tampak dan terasa adanya sesuatu yang tidak enak.
Tidak enak bukan saja karena menyaksikan upacara pernikahan si kakek dengan si
gadis yang pantas menjadi cucunya, melainkan disebabkan oleh polah tingkah
seorang tetamu muda bermuka hitam, berjenggot dan berkumis tipis. Saat itu tuan
rumah masih belum mempersilahkan para tetamu untuk mencicipi minuman ataupun
hidangan. Tapi tamu yang satu ini justru dengan seenaknya melahap makanan yang
ada di depannya, meneguk minuman sepuasnya dan duduk sambil senyum-senyum
cengengesan. Padahal sekian banyak wajah dan pandangan mata menatapnya dengan
asam bahkan ada yang berang.
Seorang lelaki mendekati
pemuda itu. dia adalah salah seorang anggota keluarga pihak pengantin lelaki
yang punya hajat. Orang ini menegur dengan berbisik. “Saudara, harap kau
berhenti makan minum. Jika upacara pernikahan sudah selesai kau boleh makan
sekenyangmu dan minum sampai mabuk….”
Pemuda yang ditegur kelihatan
bersikap acuh. Tenpa berpaling dia malah menjawab. “Perutku lapar. Makanan dan
minuman dihidangkan untuk disantap tetamu. Dan aku adalah tetamu di tempat ini.
jika kau tuan rumah, mengapa tidak menghormati tetamu…..?”
Lelaki yang tadi menegur
tampak tak enak mendengar kata-kata itu. maka dia berkata lagi, kini bukan
berbisik tapi dengan suara keras hingga terdengar oleh orang-orang di
sekitarnya. “JIka sebagai undangan di situ tidak mau menghormati upacara ini,
saya persilahkan saudara meninggalkan tempat ini. Pesta ini diadakan bukan
untuk orang-orang rakus dan kelaparan!”
“Oooo begitu…..?” Si pemuda
kembali menyahuti dan lagi-lagi tanpa berpaling pada orang yang menegurnya.
“Baiklah, aku akan meninggalkan tempat ini sebentar. Tapi harap kau ikut
bersamaku!” Lalu pemuda itu berdiri. Dia menyentuh bahu orang yang menegurnya.
Anehnya orang ini seperti bahu seekor kerbau yang dicucuk hidung kemudian
melangkah mengikuti si pemuda meninggalkan ruangan. Para tetamu yang hadir
menyangka pihak tuan rumah itu sengaja mengantarkan si pemuda keluar ruangan.
Mereka merasa lega karena kini pemuda yang menyebalkan itu sudah keluar. Namun
tak seorangpun tahu kalau sesuatu telah terjadi dengan anggota keluarga tuan
rumah itu.
Tak selang berapa lama, pemuda
tadi nampak muncul kembali. Seorang diri. Dan dia kembali duduk di tempatnya
semula. Seperti tadi diapun kembali pula melahap makanan yang ada di
hadapannya.
Sementara itu upacara
pernikahan sampai pada mempersembahkan dan mempertunjukkan emas kawin lelaki
untuk mempelai perempuan.
Emas kawin itu terletak di
atas sebuah nampan perak besar, berupa tiga buah kotak kayu kecil berisi emas
perhiasan dan beberapa di antaranya bertahtakan batubatu permata yang sangat
mahal. Ketika tiga buah kotak itu dibuka, tiba-tiba pemuda yang asyik menggerogoti
paha ayam bangkit berdiri. Dua kali membuat lompatan dia telah berada di
hadapan penghulu.
“Perkawinan gila ini tidak
perlu diteruskan! Kalian harus membayar semua kegilaan ini dengan tiga kotak
berisi perhiasan itu!” Pemuda itu berteriak lantang. Sekali dia berkelebat maka
tiga kotak kayu berisi perhiasan sudah berada dalam kempitan tangan kirinya.
Serta merta ruang besar itu
menjadi geger. Semua orang terkejut. Penghulu terbeliak. Pengantin lelaki dan
para pengiringnya tegak melompat. Beberapa perempuan pengiring pengantin
perempuan terpekik sementara pengantin perempuan sendiri untuk pertama kali
angkat wajahnya dan menyaksikan kejadian itu dengan terheran-heran.
Penghulu berjubah putih
setelah lenyap kagetnya kini berganti marah. Namun sebelum dia membentak,
seorang lelaki bertubuh tinggi besar mengenakan jas tutup coklat gelap sudah
lebih dulu menghardik. Dia adalah paman pengantin perempuan.
“Orang gila kesasar! Lekas
letakkan kembali tiga kotak kayu itu! Dan cepat minggat dari sini!”
Si pemuda tertawa lebar. “Aku
tahu sampean adalah Sentono Puro, paman pengantin perempuan! Aku juga tahu
sampeanlah yang mengatur secara paksa perkawinan ini. karena sampean
mengharapkan imbalan harta dan uang serta jabatan dari pengantin lelaki, seekor
kambing tua itu!”
Plaak!
Tamparan keras melabrak pipi
si pemuda. Yang menampar adalah Sentono Puro, paman pengantin perempuan.
Yang ditampar usap pipinya
yang tampak merah. Tak kelihatan bayangan rasa sakit pada air mukanya, malah
pemuda ini menyeringai. Tiba-tiba dia gerakkan tangan kanannya.
Bukk!
Sentono Puro terpental ketika
dada kirinya ditumbuk jotosan si pemuda. Tubuhnya terguling di atas permadani.
Dia mencoba bangkit kembali. Tapi matanya tampak mendelik dan detik itu pula
tubuhnya tersungkur kembali. Kali ini tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya.
Darah mengucur di sela bibirnya!
“Kurang ajar! Kembalikan
perhiasan milikku itu!” Pengantin lelaki tiba-tiba berteriak. Dua orang
perngiringnya tempak mencabut keris.
Si pemuda kembali tertawa
lebar. “Masih untung aku hanya mengambil perhiasan milikmu, bandot tua. Apakah
kau mau aku juga mengambil jiwamu seperti yang kulakukan pada Sentono Puro
barusan?! Bandot tua tak bermalu! Memaksa kawin anak orang yang pantas jadi
cucunya!”
Dua orang pengiring pengantin
yang sudah tidak sabar, langsung saja melompati pemuda itu sambil tusukkan
keris.
“Kalian cecunguk-cecunguk
pengiring kambing tua memang layak mampus dahulu!” Si pemuda membentak. Tangan
dan kakinya bergerak. Dua penyerang terlempar ke belakang. Yang satu melolong
setinggi langit karena hancur selangkangannya, satunya lagi remuk dadanya.
Keduanya menyusul Sentono Puro.
Jerit pekik terdengar di
sana-sini. Pengantin perempuan dilarikan ke ruangan lain. Para tetamu menjauh
ketakutan. Namun seseorang menyeruak ke depan seraya membentak “Pemuda iblis.
Lehermu layak ditabas!”
Pemuda itu berpaling. Di
hadapannya tegak seorang pemuda berpakaian ungu, sikapnya keren dan di tangan
kanannya ada sebilah golok panjang.
“Hem….. Lagakmu boleh juga
sobat. Siapa kau?” tanya pemuda yang merampas tiga kotak perhiasan.
“Aku Suto Anget. Perwira
Ketiga pada jajaran Pasukan Kotaraja!” Pemuda yang memegang golok kenalkan
diri. “Kau sendiri siapa? Mengapa berani mengacau perjamuan orang? Malah
menggarong emas kawin?!”
“Aku bukan menggarong! Tapi
menghukum bandot tua yang pergunakan kekayaan dan kekuasaan untuk mengawini
seorang gadis cilik!”
“Lagakmu seperti pahlawan
saja!” dengus Suto Anget. “Kau belum menerangkan siapa dirimu!”
“Dengan senang hati aku
perkenalkan. Aku Bajingan Dari Susukan!”
“Seorang bajingan rupanya!
Memang gelar yang tepat sekali!” ujar Suto Anget. Goloknya diangkat setinggi
bahu, siap membabat. “Jika kau tidak segera mengembalikan tiga kotak perhiasan
itu, putus lehermu!”
“Aku mau lihat bagaimana kau
memutus leherku!” dengus Bajingan Dari Susukan.
“Bagus kalau kau memang sudah
siap untuk mati! Ingat, kau berhadapan dengan Perwira Kerajaan!”
“Suto Anget! Jangan kau
bawa-bawa nama Kerajaan! Ayo bergeraklah!”
Golok di tangan Perwira Ketiga
itu berkelebat mengeluarkan suara angin bersiuran, menabas ke arah batang leher
pemuda bermuka hitam. Tapi serangan maut ini hanya setengah jalan. Dalam satu
gerakan cepat jotosan tangan kanan Bajingan Dari Susukan menghantam dada sang
Perwira lebih dulu. Tubuh Suto Anget mencelat mental, pedangnya terlepas, dia
terjengkang di lantai semburkan darah segar lalu rebah tak berkutik lagi.
Sebelum tubuh itu mencium lantai Bajingan Dari Susukan sudah menyambar kembali
tiga kotak kayu yang tadi diletakkannya di atas nampan perak. Tepat di saat
yang sama pengantin tua bangka itu hendak mengambilnya. Penasaran didahului
orang, kakek tua itu serta merta melompati si pemuda. Satu tangan coba merampas
kotak-kotak berisi perhiasan, satunya lagi mencakar kea ah wajah.
Traak!
Pengantin tua menjerit.
Tubuhnya terhuyung-huyung sambil pegangi tangan kanannya yang patah akibat
dipukul Bajingan Dari Susukan. Pemuda ini menyeringai.
“Masih untung cuma lenganmu
yang kupatahkan! Bukan lehermu!”
Habis berkata begitu pemuda
ini melangkah ke pintu sebelah kiri. Sesaat kemudian terdengar pekik jerit
orang banyak.
“Pengantin perempuan
dilarikan!”
“Pengantin perempuan diculik!”
Kekacauan di tempat perhelatan
itu tidak terkirakan lagi. Pengantin lelaki terduduk di pelaminan, tidak
henti-hentinya berteriak seperti orang kurang waras.
“Perhiasanku! Tolong! Emas
kawin itu….. Istriku…..Istriku….. Mana istriku……!”
Kapak Maut Naga Geni 212TIGA
Di langit bulan setengah
lingkaran tertutup awan. Malam yang gelap jadi tambah gelap. Udara tambah
dingin karena menjelang dini hari. Di dalam pondok kayu di ujung jalan yang
mendaki, Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan duduk menghadap Pangeran
Matahari yang duduk bersila tiada hentinya tersenyum dan memuji.
“Kau memang pantas menyandang
julukan Bajingan Dari Susukan itu Gajah Rimbun. Hasilmu yang pertama sangat
memuaskan. Bukan saja tiga kotak berisi barang-barang perhiasan ini, tapi kau
malah juga membawakan seorang gadis cantik untukku….”
“Itu jika Pangeran berkenan
padanya. Kalau tidak, sayapun tak akan menampik….” Menjawab Gajah Rimbun.
Pangeran Matahari tertawa
gelak-gelak.
“Ketika saya bawa lari gadis
ini tidak melawan atau menejrit. Katika saya tanyakan, katanya dia pasrah
hendak diapakan asal bebas kawin paksa dengan bandot tua bermuka kambing itu….”
“Hemm…. Beegitu? Siapa namanya
Gajah Rimbun?” bertanya Pangeran Matahari.
“Katakan namamu pada
Pangeran….” Berkata Gajah Rimbun pada gadis yang masih berpakaian pengantin dan
duduk di sudut ruangan. Tak ada bayangan rasa takut padanya. Hanya dalam hati
dia bertanya-tanya, mengapa pemuda yang menculiknya itu memanggil pemuda
berpakaian hitam dengan sebutan Pangeran. Apakah dia benar-benar seorang
Pangeran?
“Nama saya Sri Andini….”
Menerangkan si gadis enam belas tahun.
“Namamu bagus. Apakah kau
menyukai si pemuda yang menculikmu ini…..?”
Ditanya begitu Sri Andini tak
bisa menjawab.
“Kau bebas memilih aku atau
dia. Tak ada paksaan….” Berkata Pangeran Matahari, membuat si gadis tambah
bingung.
Jika dibandingkan antara dua
pemuda itu, tentu saja yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari jauh
lebih gagah dan tampan.
“Jika saya memilih salah satu
di antara kalian, lantas apakah yang hendak kalian lakukan….?” Sri Andini yang
memang masih kekanak-kanakan itu bertanya polos, membuat Pangeran Matahari
tertawa lebar sedang Gajah Rimbun senyumsenyum kecut. Dia hampir dapat
memastikan kalau gadis itu akan memilih Pangeran Matahari.
“Siapa saja yang kau pilih di
antara kami, maka kau akan mendapatkan malam pengantinmu di sini….” Berkata
Pangeran Matahari.
“Pengantin….? Pengantin tanpa
nikah…..?”
Pangeran Matahari tertawa
gelak-gelak. “Nikah itu hanya dilakukan oleh orang-orang tolol! Nah katakan
pilihanmu!”
“Saya…..saya memilih kakak
ini….” kata Sri Andini sambil berpaling pada Gajah rimbun membuat pemuda ini
terkesiap hampir tak percaya namun diam-diam merasa takut kalau-kalau Pangeran
Matahari menjadi marah.
“Gajah rimbun rezekimu besar!”
kata sang Pangeran. Lalu berdiri dan melangkah ke pintu. Tiba-tiba dia
membalikkan tubuh. Tangan kanannya digerakkan perlahan. Di seberangnya
terdengar jeritan Sri Andini. Tubuhnya terpental menghantam dinding. Wajah yang
tadi putih, tubuh yang tadinya berkulit mulus kini tampak gosong menghitam.
“Pangeran!” seru Gajah Rimbun
tersentak kaget hingga melompat dari duduknya. “Mengapa kau membunuh gadis
itu….?”
“Manusia tak berbudi layak
disingkirkan…..!”
“Tak berbudi bagaimana
maksudmu Pangeran?”
“Kalau tidak aku yang
memerintahkanmu mengadakan perjalanan, tidak nantinya dia selamat dari kawin
paksa itu. Kini setelah selamat dia melupakan budi orang!”
“Tapi mana dia tahu kalau saya
menyelamatkannya bertalian dengan tugas yang Pangeran berikan….?”
“Manusia berbudi selalu
berusaha mencari tahu, Gajah Rimbun!” sahut Pangeran Matahari.
“Tapi, gadis ini masih
kanak-kanak…..”
Pangeran Matahari menyeringai.
“Tubuhnya matang montok. Payudaranya besar. Kerlingan matanya menikam. Itukah
yang kau sebut kanak-kanak….. Atau inginkan kau berdebat dengan aku, Gajah
Rimbun?”
“Tidak…. Saya tidak bermaksud
begitu Pangeran. Hanya sayang…..”
“Apa yang sayang…..?’
“Sebetulnya dia bisa kita
manfaatkan….”
“Sebaiknya kau lupakan dia
Gajah Rirmbun. Kau telah menyelesaikan tugas dengan baik. Tapi hanya
sebahagian. Berita apa yang kau dapat tentang dua manusia bernama Wiro Sableng
dan Ni Luh Tua Klungkung….?” “Mohon maafmu Pangeran. Tak satupun saya menyirap
kabar tentang orang-orang itu. tapi saya punya berita lain yang tak kalah
pentingnya……”
“Lekas katakan. Jika tidak
cukup penting nyawamu imbalannya!”
Pucatlah paras Gajah Rimbun.
Tapi orang ini sangat yakin berita yang didapatnya sangat berguna bagi Pangeran
Matahari. Maka diapun menjelaskan.
“Kalangan istana saat ini
tengah mengamati bahkan boleh dikatakan mencurigai istri Sri baginda yang
ketiga…..”
“Hemmmm…..” Pangeran Matahari
keluarkan suara bergumam. Sepasang alis matanya yang tebal mencuat ke atas.
Setengah acuh ia bertanya. “Apa yang menjadi dasar kecurigaan itu. Dan
kecurigaan tentang apa?”
“Kecurigaan bahwa Raden Ajeng
Siti Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga itu, mempunyai hubungan tertentu
dengan Pangeran…..”
Diam-diam Pangeran Matahari
semakin tertarik akan cerita Gajah Rimbun. Namun sikap dan air mukanya di luar
tetap seperti tak acuh.
“Mengapa orang-orang itu
bersikap demikian? Aneh…..!”
“Menurut penuturan, sewaktu
Pangeran menyerbu Istana beberapa bulan yang silam, mereka mengenali cincin
emas bergambar burung rajawali yang Pangeran pakai itu. Menurut mereka, cincin
itu dikenal sebagai milik Raden Ayu Puji Lestari. Jika ibu dan puterinya itu
tidak dapat menerangkan apa hubungan mereka dengan Pangeran, besar kemungkinan
Sri baginda sendiri akan mengambil tindakan hukum. Memenjarakan istri dan
puterinya itu…..”
“Raja tolol!” kertak Pangeran
Matahari. “Ibu dan anak itu juga tolol! Tidak bisa memberikan jawaban….”
“Mereka tidak bisa membela
diri. Karena tidak bisa memperlihatkan mana cincin milik puteri pemberian Sri
Baginda……”
Pangeran Matahari terdiam.
Sesaat kemudian dia berkata. “Kau berangkatlah ke Kotaraja. Serahkan cincin itu
pada Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati. Dengan demikian dia dan ibunya akan
dapat mementahkan kecurigaan orang-orang itu…..”
“Jadi….jadi benar cincin itu
milik Raden Ayu Pauji Lestari?” bertanya Gajah Rimbun.
“Aku tidak menyuruhmu banyak
bertanya Gajah Rimbun. Tugasmu adalah menyerahkan cincin ini pada puteri itu!”
sentak Pangeran Matahari dengan mata mendelik, membuat Gajah Rimbun ketakuran
dan buru-buru meminta maaf atas kelancangannya, lalu cepat mengambil cincin
emas yang diangsurkan Pangeran Matahari. “Kau tahu siapa-siapa saja yang
bersikap curiga pada ibu dan puterinya itu?”
“Yang pertama Patih Kerajaan.
Lalu Panglima Kotaraja Raden Kertopati. Kalau saya tidak salah Panglima
Balatentara Kerajaanpun bersikap sama. Malah dia yang mula-mula sekali minta
Sri Baginda mangusut istri ketiga dan puterinya itu…..”
“Gajah Rimbun, kau pergilah
cepat. Ingat baik-baik satu hal. Siapa saja yang akan mencelakai kedua
perempuan itu aku perintahkan kau untuk membunuhnya!”
Tentu saja Gajah Rimbun
terkejut mendengar kata-kata itu. “Saya siap menjalankan perintah Pangeran.
Tapi jika harus berhadapan dengan orang-orang seperti Raden Kertopati Panglima
Kotaraja dan Raden Mas Jayengrono Panglima Kerajaan, mana mungkin saya punya
kemampuan?”
“Tak perlu kawatir. Kau akan
punya kemampuan. Mendekatlah!”
Gajah Rimbun naju mendekati
Pangeran Matahari. Sang Pangeran angkat kedua tangannya. Telapak kiri kanan
ditempelkannya ke dada Gajah Rimbun. Mulutnya tampak berkomat-kamit. “Sekarang
kau sudah punya kemampuan Gajah Rimbun. Pergilah! Dan ingat, jangan lupa
memperkenalkan siapa namamu!”
“Saya ingat Pangeran. Nama
saya adalah Bajingan Dari Susukan!” jawab Gajah Rimbun.
Kapak Maut Naga Geni 212EMPAT
Ponggawa berkuda hitam itu
memasuki halaman rumah besar kediaman R.A. Siti Hinggil. Sesaat dia bicara
dengan perajurit yang tengah bertugas di pintu. Perajurit ini masuk ke dalam.
Tak selang berapa lama dia keluar kembali dan mempersilakan ponggawa tadi masuk
mengikutinya. Kedua orang ini duduk bersila di depan sebuah kasur tinggi
berselimutkan permadani. Duduk menunggu tanpa ada satupun yang bicara.
Tak berapa lama kemudian istri
Sri Baginda yang ketiga keluar diiringi seorang anak lelaki berusia enam tahun,
berwajah cakap dan berpakaian bagus. Inilah Pangeran Sabrang, putera bungsu
R.A.Siti Hinggil, adik Puji Lestari Ambarwati yang juda merupakan adik Pangeran
Anom alias Pangeran Matahari. Anak ini duduk seenaknya di samping ibunya yang
duduk di atas kasur tinggi.
“Kau membawa berita atau pesan
dari Keraton…..?” R.A. Siti Hinggil bertanya.
Ponggawa itu memberi hormat
sebelum menjawab. “Betul sekali Raden Ajeng….. Bisakah saya sampaikan
sekarang?”
“Katakanlah…..”
“Raden Ajeng dan Raden Ayu
Puji Lestari diminta Patih Haryo Unggul untuk menghadap siang nanti sehabis
Ba’dal Asar.”
“Apakah Patih mengatakan
mengapa dia memanggil kami?”
“Tidak Raden Ajeng. Rasa rasa
tentunya Raden Ajeng lebih tahu…..”
“Apakah Sri Baginda mengetahui
kalau kami berdua harus menghadap?”
“Sudah tahu Raden Ajeng.
Justru dalam pertemuan nanti Sri Baginda akan ikut hadir,” menjelaskan ponggawa
itu.
“Kalau begitu ini adalah
kehendak Sri Baginda. Patih hanya dipakai sebagai penyambung lidah. Kau boleh
pergi. Katakan kami berdua akan datang menghadap sehabis sembahyang Asar.”
Ponggawa itu memberi hormat
lalu dengan terbungkuk-bungkuk meninggalkan tempat itu, diikuti perajurit yang
tadi menemaninya. Ketika dia melangkah ke tempat kuda hitamnya ditambatkan,
ponggawa itu terkejut. Di atas kuda itu tampak duduk seorang pemuda tak dikenal
berkulit hitam bermuka bundar. Menyangka orang hendak mencuri kudanya, ponggawa
itu segera menghunus pedangnya.
“Bangsat pencuri! Besar sekali
nyalimu!” Pedang di tangan ponggawa menderu. Namun sesaat kemudian terdengar
pekiknya. Bersamaan dengan pekik dan terlepasnya pedang, terdengar pula suara
kraak! Ternyata tulang siku tangan kanannya remuk dihantam tendangan pemuda di
atas kuda.
Perajurit di sebelahnya
mengangkat tangan, siap untuk menusukkan tombaknya. Tapi diapun bernasib sama.
Tombak yang hendak dihantamkannya ke perut orang patah dua dan mental ke udara
begitu dilabrak tendangan pemuda di atas kuda.
“Ponggawa! Kau kembali ke
Keraton! Katakan pada orang-orang di sana bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan
puterinya tidak akan datang menghadap ke sana! Juga katakan jika mereka masih
berani mengganggu ketentraman ibu dan anak itu, jika mereka masih menaruh
curiga terhadap keduanya, mereka bakal menemui kesulitan. Bahkan kematian!”
“Kau…..kau siapa……?!” bertanya
si ponggawa.
“Namaku Bajingan Dari Susukan.
Berani malawan kehendakku berarti minta mampus! Pergi lekas…..!”
“Tapi….. Kudaku…..”
“Kudamu tetap di sini! Kau
bisa jalan kaki…..”
“Tidak bisa. Itu kuda istana.
Aku harus kembali bersamanya…..”
“Begitu? Baiklah! Kau boleh
menungganginya. Berarti kedua kakimu tak ada gunanya!”
Pemuda di atas kuda hitam
melompat turun. Begitu menjejakkan tanah dia melompati si ponggawa. Kaki
kanannya menabas. Terdengar dua kali suara kraak. Ponggawa itu tersungkur ke
tanah, menjerit kesakitan. Kedua tulang kakinya kiri kanan patah. Dalam keadaan
menjerit-jerit kesakitan, Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun angkat
tubuhnya dan naikkan ke atas punggung kuda hitam. Kuda ini digebraknya,
membuatnya lari kencang membawa ponggawa yang masih terus berteriak-teriak.
Suara jerit ribut-ribut di
halaman membuat Siti Hinggil dan Puji Lestari keluar dari dalam gedung diikuti
Pangeran Sabrang. Mereka masih sempat melihat ponggawa yang tadi menghadap
terbujur melintang di atas punggung kuda yang berlari meninggalkan halaman
rumah besar.
“Apa yang terjadi dengan
ponggawa itu…..?” bertanya Siti Hinggil. Perajurit yang ada di tangga rumah tak
berani membuka mulut. Ketika pandangan Siti Hinggil membentur Gajah Rimbun dia
segera menegur “Kau siapa?”
Gajah Rimbun menjura hormat
tapi matanya sesaat mengerling pada Puji Lestari Ambarwati. Hatinya berdesir.
Tak pernah dia melihat gadis secantik ini. Rambutnya yang hitam. Kulitnya yang
kuning mulus. Sepasang mata yang berkilatkilat dan tubuh yang begitu besar
montok. Apakah sebenarnya hubungan Pangeran Matahari dengan kedua perempuan
ini? Hatinya benar-benar terpikat pada Puji Lestari. Jika Pangeran Matahari
mengizinkan, sangat beruntung kalau dia dapat memiliki gadis ini. Tapi memiliki
puteri raja? Gajah Rimbun mentertawai dirinya sendiri. Heh, apa salahnya?!
“Orang bertanya kau tak
menjawab! Apakah bisu? Atau tuli?!” Yang membentak adalah Puji Lestari. Membuat
Gajah Rimbun gugup.
“Saya….. Ga…..eh, saya
Bajingan Dari Susukan…..”
“Nama apa itu?!” ujar Puji
Lestari. “Apa betul itu namamu?”
“Betul sekali Raden Ayu. Nama
saya memang jelek…..”
“Mungkin sifatmu lebih jelek!”
kata Puji Lestari ketus. Sekali melihat pemuda bermuka hitam itu dia langsung
merasa tidak senang.
Siti Hinggil bersikap lebih
wajar. “Ada apa kau di sini. Mengapa ponggawa itu terbujur dan menjerit-jerit
di atas kudanya?”
“Saya di sini menjalankan
tugas, Raden Ajeng. Ponggawa itu mendapat celaka karena ulahnya sendiri!”
“Kau bukan perajurit istana
atau perajurit Kerajaan. Tugas apa yang kau lakukan di sini?!”
“Menjaga keselamatan Raden
Ajeng dan puteri sehubungan dengan adanya niat buruk orang-orang Keraton
mencurigai Raden Ajeng berdua…..”
Siti Hinggil terkejut. Puji
Lestari mengerenyit.
“Maksudmu apa?” bertanya Siti
Hinggil.
“Maksud saya sehubungan dengan
tuduhan bahwa Raden Ajeng dan Raden Ayu berdua mempunyai hubungan dengan
Pangeran Matahari. Saya diperintahkan membunuh siapa saja yang berani
menyulitkan orang-orang di rumah ini…..”
“Siapa yang memerintahkanmu?”
tanya Puji Lestari.
“Saya tidak berani
mengatakannya, Raden Ayu,” jawab Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun.
“Siapapun kau adanya dan
perintah apapun yang sedang kau jalankan, aku tidak senang melihatmu di sini.
Keselamatan rumah ini adalah dalam tanggung jawab Raja…..”
“Namamu saja Bajingan Dari
Susukan! Siapa percaya padamu!” manyambung Puji Lestari. “Jangan-jangan kau
bangsa maling atau garong yang hendak berbuat jahat terhadap kami!”
Gajah Rimbun tersenyum tawar.
Dan menjawab “Jika saya ingin berbuat jahat, sudah dari tadi dapat saya
lakukan. Semudah saya membalikkan telapak tangan!” berkata pemuda itu. “Lihat
apa yang ada dalam tangan saya!” katanya demikian. Tangan kirinya yang tadi
terkepal dibukanya. Siti Hinggil dan Puji Lestar sama-sama memandang ke arah
tangan kiri itu. Dan keduanya sama-sama terkejut. Di atas telapak tangan si
pemuda bermuka hitam mereka melihat sebuah tusuk kundai emas.
“Astaga!” Raden Ajeng Siti
Hinggil berseru seraya memegang rambutnya. Tusuk kundai yang ada di tangan si
pemuda adalah tusuk kundai yang sebelumnya menancap di gelungan kondenya!
Bagaimana benda itu tahu-tahu berada dalam tangan pemuda ini tanpa dia melihat
kapan orang mengambilnya bahkan tanpa merasa sama sekali?
“Kau punya ilmu hitam!” sentak
Puji Lestari.
Gajah Rimbun tersenyum.
“Saya tidak punya ilmu
apa-apa, Raden Ayu,” jawab pemuda itu. Lalu mengembalikan tusuk kundai emas
pada Siti Hinggil.
“Lebih cepat kau pergi dari
sini, lebih baik!” kata istri Sri Baginda yang ketiga itu.
“Saya memang akan pergi Raden
Ajeng. Tapi tidak terlalu jauh. Satu hal perlu diketahui. Justru Sri Baginda
sendiri sangat menaruh curiga pada kalian ibu dan anak. Kalangan istana menduga
keras kalian punya sangkut paut tertentu dengan Pangeran Matahari. Berniat
menumbangkan tahta Raja. Ini semua gara-gara cincin milik Raden Ayu yang
diberikan dan dipakai oleh Pangeran Matahari waktu menyerbu keraton tempo
hari…..”
“Jadi! Kalau begitu Pangeran
itulah yang memerintahkanmu!” ujar Sri Puji Lestari.
“Saya tidak berani membenarkan
hal itu,” jawab Gajah Rimbun.
“Katakan di mana Pangeran itu
sekarang?” ujar sang dara.
“Saya tidak tahu dia ada di
mana Raden Ayu. Saya ditugaskan untuk menyerahkan barang ini…..” Lalu Gajah
Rimbun mengeluarkan cincin emas bergambar burung rajawali pada Puji Lestari.
Dalam terkejut Puji Lestari
mengambil cincin itu, mengamatinya sebentar lalu memandang pada ibunya.
“Saya yakin, Pangeran Matahari
yang menyuruhnya!”
Siti Hinggil mengangguk dan
membuka mulut hendak menanyakan sesuatu. Tapi Bajingan Dari Susukan sudah
berkelebat pergi.
Kapak Maut Naga Geni 212LIMA
Belum lama Gajah Rimbun
berlalu, belum lama Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya serta Pangeran
Sabrang masuk ke dalam rumah besar, serombongan orang berkuda muncul. Mereka
berjumlah lima orang. Dari pakaian dan senjata yang tersisip di pinggang
masing-masing jelas mereka adalah abdi-abdi atau pasukan Kerajaan. Bertindak
sebagai pemimpin seorang perwira muda bertubuh tinggi kurus yang memiliki
sepasang mata sangat merah. Di kalangan pasukan dia dikenal dengan julukan Si Mata
APi. Pandangannya memang angker dan ilmu silatnya cukup tinggi.
Baru saja kelima orang itu
turun dari kuda masing-masing, bahkan belum sempat bicara dengan perajurit
pengawal yang datang menyongsong. Gajah Rimbun tahu-tahu sudah berdiri di
tangga rumah besar. Sikapnya jelas menghalangi siapa saja yang hendak masuk.
Sementara itu sebuah kereta kecil kelihatan memasuki pintu halaman.
Perwira muda berjuluk si Mata
Api memandang tak berkesip pada Gajah Rimbun, membuat Bajingan Dari Susukan ini
tergetar juga hatinya.
“Tampangmu baru hari ini
kulihat! Aku tahu pasti kau bukan perajurit Kerajaan atau pengawal gedung
kediaman istri Sri Baginda! Mengapa kau berani menjual lagak kurang ajar di
hadapan kami pasukan Kerajaan?!”
Gajah Rimbun seperti tak acuh.
Sambil memandang ke kiri dia bertanya “Perwira, apakah kau mencari orang
bernama Bajingan Dari Susukan?”
“Bukan saja mencarinya, tapi
akan mematahkan batang lehernya!” sahut Si Mata Api. “Dia telah menganiaya
seorang anak buahku!”
“Ah, kalau begitu kau datang
tepat pada waktunya.” Habis berkata begitu Gajah Rimbun ulurkan lehernya.
“Akulah orang yang kalian cari. Silakan mematahkan batang leherku!”
“Bangsat! Memang minta
mampus!” teriak Si Mata Api marah. Tapi dia tak mau turun tangan sendiri.
Seraya berpaling pada empat orang anak buahnya dia berikan perintah “Cincang
keparat muka hitam ini!”
Empat buah pedang berkeresekan
keluar dari sarung masing-masing lalu serentak diayunkan ke arah Gajah Rimbun.
Dua menabas pundak, satu membacok kepala, satunya lgai membabat leher yang
masih diulurkan!
Apa yang terjadi kemudian
membuat Si Mata Api yang terkenal buas menjadi bergidik. Ketika empat buah
pedang itu dilihatnya hanya tinggal sejengkal mencapai sasaran, tiba-tiba
pemuda bermuka hitam gerakkan kedua tangannya. Dua buah pedang mencelat ke
udara bersamaan dengan jeritan dua perajurit. Tangan masingmasing patah dan
tampak berubah menjadi hitam. Dua perajurit lagi terhempas ke tanah dan
berguling-guling sambil menggerung. Tubuh mereka tampak mengeluarkan asap. Sesaat
kemudian keduanya melingkar tak berkutik lagi dalam keadaan tubuh gosong
seperti dibakar!
Ketika pemuda itu hendak
bergerak ke arahnya, Si Mata Api cepat berseru “Tahan!”
“Eh, kau takut mampus……?”
tanya Gajah Rimbun sambil menyeringai. Membuat Si Mata Api merinding.
“Jika kau menyerah
hidup-hidup, hukuman atasmu akan kuperingan!”
“Kalau kau mau pergi dari
sini, nyawamu akan kuampunkan!” balas Bajingan Dari Susukan.
“Kurang ajar! Kau kira aku
takut padamu!” bentak Si Mata Api. Tinju kanannya menderu deras ke arah muka
Gajah Rimbun. Yang diserang merunduk tapi buk! Tinju yang tadi mengarah muka
tahu-tahu berubah cepat menghantam dada dan mengenai dada kiri Gajah Rimbun
dengan keras hingga pemuda ini terjengkang.
Melihat lawan dapat dipukul
rubuh dalam satu jurus saja, Si Mata Api timbul keberanian dan rasa percaya
diri. “Hanya begitu saja kehebatan keparat ini!” katanya dalam hati. Lalu dia
melompat seraya kirimkan tendangan kaki kanan ke muka Gajah Rimbun. “Hancur
kepalamu!” teriak Si Mata Api.
Tapi sekali ini dia kecele.
Bukan kepala lawan yang hancur tapi kaki kanannya yang kena ditangkap. Sebelum
dia sempat menarik kaki yang tertangkap sambil menghujamkan tumit kirinya ke
dada lawan, tahu-tahu dia merasakan sekujur tubuhnya panas seperti dipanggang
api. Sesaat kemudian tubuhnya terlempar ke atas. Karena sakit, terkejut dan
bingung, walaupun sudah jungkir balik agar dapat jatuh di atas kedua kakinya,
namun tetap saja perwira muda itu jatuh bergedebuk, jatuh punggung di tanah.
Sekujur tubuhnya tampak merah seperti terseduh. Dari mulutnya keluar suara
mengerang menahan sakit yang luar biasa. Ketika dia mencoba bangkit, sebuah
kaki yang kuat dan berat meninjak dadanya. Memandang ke atas ternyata pemuda
bermuka hitam itu yang menginjaknya!
“Nyawamu kuampunkan! Kembali
ke istana dan sampaikan pesanku pada semua orang di sana! Jangan sekali-kali
mengganggu dan membuat kesulitan atas diri Raden Ajeng Siti Hinggil serta
puterinya. Ibu dan anak itu tidak ada hubungan apaapa dengan Pangeran
Matahari. Siapa berani mengabaikan pesanku ini akan berhadapan dengan malaikat
maut! Katakan namaku adalah Bajingan Dari Susukan!”
Gajah Rimbun angkat kakinya
dari atas dada Si Mata Api. Dengan menanggung sakit amat sangat perwira muda
ini bangkit berdiri. Dalam keadaan seperti itu dia melihat sebilah pedang
tergeletak di tanah tiga jengkal dari tangan kanannya. Secepat kilat perwira
ini menyambar senjata itu, lalu sambil membalikkan tubuh dia ayunkan pedang
tepat pada batasan pinggang Bajingan Dari Susukan.
“Diberi ampun malah minta
racun!” rutuk Gajah Rimbun. Kaki kanannya bergerak leih cepat melabrak dada Si
Mata Api. Tubuh perwira itu terpental bersama pedang yang terlepas dari
pegangannya. Dia melingkar dekat roda kereta, mengerang beberapa kali, muntah
darah lalu pingsan.
Di atas kereta, kusir tua
berkumis putih gemetar ketakutan setengah mati ketik Bajingan Dari Susukan
melangkah mendatangi.
“Angkat tubuh perwira itu.
Bawa ke istana! Jika dia mampus di perjalanan maka kau yang harus menyampaikan
apa yang kau lihat dan apa yang kau dengar di tempat ini! mengerti?!”
“Sa….saya mengerti….” Kusir
tua cepat turun lalu mengangkat tubuh Si Mata Api dengan susah payah. Tanpa
menunggu lebih lama dia segera membedal kuda penarik kereta.
Ketika Gajah Ribun melangkah
meninggalkan tempat itu, di tangga rumah tampak tegak Raden Ajeng Siti Hinggil
dan Puji Lestari Ambarwati.
“Lagi-lagi kau berani membuat
onar di sini!” terdengar ucapan Puji Lesatri disertai air muka sangat tidak
senang.
Gajah Rimbun membungkuk
hormat. “Maafkan saya Raden Ayu. Bajingan Dari Susukan hanya menjalankan
perintah….”
“Kau tunggulah! Orang-orang
dari istana pasti akan menangkapmu hidup atau mati!”
Gajah Rimbun tersenyum. Dengan
ilmu hebat yang diberikan Pangeran Matahari secara aneh, tak satu orangpun
ditakutinya. Dia yakin sekali hal ini. Yang dipikirkannya justru bagaimana
kalau nanti setelah Pangeran Matahari mengambil kembali kepandaiannya itu.
sekali lagi pemuda bermuka bundar itu melayangkan senyumnya pada Puji Lestari,
menjura dan meninggalkan tempat itu.
Ketika kusir tua menceritakan
apa yang terjadi. Ruang sidang istana menjadi gempar.
“Apakah kejadian ini perlu
segera diberitahu pada Sri Baginda?” tanya Raden Kertopati, Panglima Pasukan
Kotaraja.
“Sebaiknya kita periksa dulu
keadaan perwira itu. Mungkin dia bisa memberi keterangan lebih banyak!”
menjawab Raden Mas Jayengrono, Kepala Balatentara Kerajaan. Lalu bersama-sama
Patih Haryo Unggul, diiringi belasan perwira tinggi dan perwira muda mereka
meninggalkan ruangan sidang, menuju halaman istana. Ketika diperiksa ternyata
perwira muda berjuluk Si Mata Api itu sudah tak bernyawa lagi.
“Melihat keadaan tubuhnya yang
merah seperti terpanggang, perwira ini menemui ajal akibat ilmu kesaktian yang
bukan sembarangan…..” ujar Patih Haryo Unggul setelah memeriksa dengan teliti.
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang?” bertanya Kertopati.
“Siapkan selusin perwira. Bawa
seratus perajurit! Kurung rumah kediaman Raden Ajeng Siti Hinggil dari jarak
lima tombak!” Yang berkata adalah Raden Mas Jayengrono.
“Ada baiknya dimas Kertopati
ikut berangkat ke sana…..” berkata patih Kerajaan. “Salah satu dari kami akan
menyusul. Jangan melakukan apa-apa sebelum kami datang…..”
Maka Raden Kertopati segera
jalankan perintah atasannya itu. Setelah rombongan itu pergi Patih Haryo Unggul
berpaling pada Raden Mas Jayengrono dan bertanya “Apakah Raden Mas pernah
mendengar orang berjuluk Bajingan Dari Susukan itu sebelumnya?”
Yang ditanya menggeleng.
Patih haryo Unggul usap-usap
dagunya. “Aneh,” desisnya. “Seorang dengan julukan seperti itu, tak dikenal
sebelumnya, tapi memiliki ilmu luar biasa. Bertindak sebagai pelindung dan
pembela Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya….. Sungguh aneh!”
“Saya rasa ada baiknya paman
patih memberi tahukan Sri Baginda. Biar saya menyusul Raden Kertopati untuk
melihat sampai di mana kehebatan orang itu….”
“Saya setuju hal itu,” sahut
Patih Haryo Unggul. “Yang penting menyelidiki. Kita harus tahu apa hubungan
Bajingan Dari Susukan ini dengan istri Sri Baginda. Ingat keterangan kusir tua
itu…..? Dia sempat mendengar ketika Bajingan Dari Susukan berkata bahwa dia
hanya menjalankan tugas. Nah, kita harus tahu siapa di belakangnya. Siapa yang
menugaskannya! Jika tidak dapat dari orangnya langsung, istri Sri Baginda itu
pasti mengetahui…..”
“Saya berangkat sekarang Paman
patih…..”
“Pergilah. Walaupun manusia
itu tidak terkenal, tapi jangan Raden Mas menganggapnya enteng. Saya lebih suka
kalau dia dapat ditangkap hidup-hidup…..”
“Itu memang keinginan saya
paman patih,” jawab Raden Mas Jayengrono. Namun dalam hatinya diapun punya
keinginan untuk menyaksikan bahkan hendak menjajal sampai di mana kehebatan
manusia yang memperkenalkan dirinya sebagai Bajingan Dari Susukan itu.
Kapak Maut Naga Geni 212ENAM
Ketika Kepala Balatentara
Kerajaan Raden Mas Jayengrono sampai di tempat kediaman istri Raja yang ketiga
maka dia menyaksikan satu pemandangan luar biasa. Halaman rumah yang cukup luas
itu dikurung rapat oleh puluhan perajurit. Sekitar enam perajurit, dua perwira
muda dan seorang perwira tinggi tampak tergeletak di tanah. Kebanyakan dari
mereka sudah tak berkutik lagi alias mati. Yang masih diup terdengar mengerang
megap-megap tanda umurnyapun tak bakal lama. Rata-rata mereka menderita patah
tulang tangan atau kaki, atau hancur tulang-tulang iganya. Yang menemui
kematian rata-rata kelihatan kehitaman kulit tubuhnya, seperti hangus
dipanggang api.
Raden Ajeng Siti Hinggil,
Raden Ayu Lestari dan Pangeran Sabrang tegak di tangga rumah, menyaksikan Raden
Kertopati yang dibantu oleh seorang perwira tinggi dan tiga orang perwira muda
mengeroyok seorang pemuda berkulit hitam, berwajah bundar. Melihat pada ilmu
silat yang dimainkan pemuda tak dikenal ini, jelas dia tidak memiliki
kepandaian yang dapat diandalkan. Bahkan boleh dikatakan hampir tak ada sama
sekali jurus-jurus ilmu silat yang dimainkannya. Akan tetapi, setiap gerakan
yang dibuatnya mengeluarkan deru angin tanda dia memiliki tenaga dalam yang
kuat. Dan setiap dia menggerakkan tangan dan kakinya, para pengeroyok cepat
bertindak mundur atau menyelamatkan diri. Yang terlambat kalau tidak menemui
ajal pastilah cidera berat!
Beberapa kali Jayengrono
melihat para pengeroyok berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan ke tubuh
pemuda itu. Namun seperti kebal pukulan, si pemuda seolah-olah tidak
merasakannya. Dia terus merangsak menyerang para pengeroyoknya.
Ada satu hal yang sempat
diperhatikan Kepala Balatentara Kerajaan itu. betapapun hebatnya tenaga dalam
dan berbahayanya setiap gerakan tangan atau kaki si pemuda namun dia tidak
memiliki nafas yang panjang. Dadanya turun naik, tenggorokannya bergerak-gerak
dan hidungnya mengembang-kempis tanda nafasnya mulai memburu.
“Hentikan pertempuran!”
Tiba-tiba Raden Mas Jayengrono berteriak keras.
Pihak Kerajaan yang mengenali
suara Kepala Balatentara itu segera berhenti menyerang. Masing-masing melompat
dua langkah ke belakang. Mereka semua memandang dengan heran pada Raden Mas
Jayengrono.
“Ada apakah? Mengapa kangmas
menghendaki perkelahian ini dihentikan…..?” bertanya Kertopati. Tubuhnya tampak
mandi keringat tanda tenaganya terkuras.
“Biarkan aku bicara dulu
dengan pemuda berkulit hitam itu,” jawab Jayengrono. Lalu dengan suara lebih
perlahan hingga hanya Kertopati yang mendengar, dia menegur. “Bukankah Patih
sudah memberi ingat. Jangan melakukan apa-apa sebelum salah satu dari kami
datang ke tempat ini?”
“Saya ingat sekali pesan itu
kangmas. Tapi pemuda itu tiba-tiba muncul dan mengusir kami dari tempat ini…..”
menjawab Kertopati.
Jayengrono berdehem beberapa
kali lalu palingkan kepalanya ke arah Gajah Rimbun.
“Kau orangnya yang bernama
Bajingan Dari Susukan?” tanya Kepala Balatentara Kerajaan dari atas punggung
kuda.
Gajah Rimbun alias Bajingan
Dari Susukan mengangguk. Dia tegak di tengah kalangan dengan sikap pongah
sambil bertolak pinggang.
Dengan tenang meskipun hatinya
mulai jengkel, Jayengrono kembali bertanya “Mengapa kau membuat keonaran di
tempat kediaman istri Sri Baginda?”
“Bukan aku yang membuat
keonaran tapi kalian yang datang menimbulkan kerusuhan” sahut Bajingan Dari
Susukan.
“Namamu cocok dengan sifatmu!
Kau pandai bersilat lidah! Apa hakmu melarang abdi Kerajaan yang diperintah
Raja untuk memeriksa Raden Ajeng Siti Hinggil?” bertanya Jayengrono dengan mata
melotot.
“Raja menyuruh menyelidik
istrinya sendiri! Ini adalah aneh!” tukas bajingan Dari Susukan. “Jika kalian
hendak menyelidik orang lain, mengapa Raden Ajeng dan puterinya yang kalian
curigai?!”
“Karena cincin emas milik
Raden Ayu Paji Lestari dipakai oleh seorang pengacau mengaku bernama Pangeran
Matahari! Kalau tak ada sangkut paut dengan orang itu mana mungkin cincin
tersebut ada padanya? Raden Ayu telah memberikannya karena ada hubungan
tertentu! Bukan begitu…..?” Jayengrono berkata sambil berpaling dan memandang
tajam pada Puji Lestari Ambarwati, membuat gadis ini sesaat gugup dan pucat
wajahnya.
Saat itu terdengar suara
Bajingan Dari Susukan kembali. “Sungguh kecurigaan keji! Menuduh tanpa bukti!
Raden Ayu perlihatkan bahwa cincin itu tak pernah kau berikan pada siapapun!”
Puji Lestari ulurkan tangan
kirinya. Pada jari manis tangan kiri sang puteri kelihatan cinicn emas
bergambar burung rajawali melingkar di jari manisnya.
Sesaat Raden Jayengrono jadi
terpaku. Penuh heran tak mengerti. Bagaimana cincin yang beberapa waktu lalu
jelas dilihatnya berada di tangan Pangeran Matahari kini tahu-tahu sudah ada
lagi di jari Raden Ayu Puji Lestari. Padahal beberapa hari lalu ketika ditanya,
sang puteri tidak dapat memperlihatkan benda itu.
“Ada sesuatu yang tidak beres
di sini!” ujar Jayengrono. Dia memandang berkeliling lalu memerintah “Tangkap
pemuda ini!”
Teriakan ini membuat beberapa
orang yang ada di sekeliling Bajingan Dari Susukan segera melompat menyerbu.
Mereka adalah Raden Kertopati Kepala Pasukan Kotaraja, tiga orang perwira muda
dan dua orang perwira tinggi. Dalam waktu sekejapan saja pemuda berkulit hitam
itu sudah dilanda hujan serangan. Bukan serangan biasa tapi serangan mengandung
tenaga dalam tinggi. Jangankan manusia, seekor kerbau besarpun akan babak belur
dihantam pukulan dan tendangan orang-orang itu.
Terdengar suara
gedebak-gedebuk ketika tinju dan kaki mendarat di tubuh Bajingan Dari Susukan.
Tubuhnya terbanting kian kemari. Tapi anehnya dia seperti tidak merasakan
apa-apa. Jangankan menjerit, meringispun tidak. Melihat kejadian ini dengan
beringas Raden Kertopati merangsak ke depan, lancarkan serangan-serangan dalam
jurus-jurus ganas. Raden Mas Jayengrono tampak tertegun. Hampir tak pernah
dilihatnya bawahannya itu menggempur lawan seperti itu. Kenyataannya memang
Bajingan Dari Susukan dibuat terpental dan bergulingan di tanah sewaktu kaki
kanan Raden Kertopati tepat menghantam lambungnya.
Belum sempat bangun, dua
perwira muda dan dua perwira tinggi berkelebat berebut cepat mengirimkan
serangan. Kalau tidak mati dalam keadaan mengerikan pastilah pemuda berkulit
hitam itu akan menderita luka parah dan cacat seumur hidupnya. Demikian
orang-orang yang ada di tempat itu memastikan. Namun apa yang terjadi kemudian
membuat semua orang terkejut bahkan Jayengrono keluarkan seruan tertahan.
Didahului bentakan keras tubuh Bajingan Dari Susukan melesat setinggi satu
tombak. Tangan dan kakinya bergerak. Empat perwira Kerajaan yang tadi
menggempurnya mental berpelantingan. Masing-masing keluarkan jeritan
mengerikan. Tubuh keempatnya kemudian jatuh ke tanah tak berkutik kagi daalm
keadaan hangus hitam!
“Manusia ini bukan saja
memiliki kekebalan tapi kesaktian mematikan….” Desis Raden Mas Jayengrono
sementara Raden Kertopati tegak tak bergerak dengan muka pucat!
“Pembunuh biadab! Siapa kau
sebenarnya?!” membentak Jayengrono.
“Sudah diberitahu masih saja
bertanya! Bukankah lebih baik kalian pergi semua dari tempat ini dan jangan
ganggu Raden Ajeng Stiti Hinggil serta puterinya!”
“Kentut busuk!” maki
Jayengrono. Memandang pada keadaan mayat yang hangus hitam itu, Kepala
Balatentara Kerajaan ini tiba-tiba saja ingat sesuatu dan curiga besar. Ketika
beberapa waktu lalu Pangeran Matahari menyerbu istana, lawanlawan yang mati di
tangannyapun mengalami nasib seperti keempat perwira itu. mati dengan tubuh
hangus hitam seperti dipanggang. Ilmu pemuda mengaku Bajingan Dari Susukan ini
serupa dengan yang dimiliki Pangeran Matahari. Maka Jayengronopun kembali
membentak “Apa hubunganmu dengan Pangeran Matahari?!”
“MAsih saja mengajukan
pertanyaan! Jika kalian tidak cepat minggat dari sini, jangan menyesal kalau
cuma arwah kalian yang meninggalkan tempat ini!” Berkata Bajingan Dari Susukan
alias Gajah Rimbun sambil menyeringai dan berkacak pinggang.
“Sombong dan menghina sekali!”
kertak Jayengrono yang saat itu masih duduk di atas punggung kudanya. Dia
berpaling pada Raden Kertopati dan berkata memberi perintah “Dimas, tangkap
keparat itu hidup atau mati!”
Menerima perintah seperti itu
Kepala Pasukan Kotaraja itu menjadi agak terkesiap. Melihat kehebatan pemuda
kulit hitam hatinya jadi meragu apakah kepandaian silat dan kesaktiannya akan
mampu menghadapi orang itu.
Melihat bawahannya itu tidak
bergerak dari tempatnya Jayengrono cabut keris berhulu gading gajah di
pinggangnya dan melemparkan senjata ini pada Raden Kertopati seraya berkata
“Pergunakan Kiyai Gajah Putih ini! Masakan tubuhnya tidak akan tertembus
sekalipun dia punya kesaktian seperti malaikat!”
Kiyai Gajah Putih adalah
sebilah keris berhulu gading berbadan putih karena terbuat dari perak yang
diramu dengan sejenis racun jahat berwarna putih. Senjata sakti mandraguna ini
didapat Raden Mas Jayengrono dari gurunya almarhum. Untuk mendapatkan keris itu
Jayengrono harus menempuh ujian sangat berat. Yaitu berpuasa selama 100 hari
dengan hanya minum air embun yang ada di dedaunan serta hanya sekepal nasi
putih setiap malam Jum’at. Setelah itu dia harus pula bersamadi di tujuh tempat
selama 7 hari untuk setiap tempat. Ketika sang guru menyerahkan keris itu
kepadanya, disebutkan pula satu larangan yang tidak boleh dilanggar oleh
Jayengrono setelah memiliki senjata itu yakni larangan menggauli perempuan yang
bukan istrinya alias berzina.
Raden Kertopati menyambut
Kiyai Gajah Putih yang dilemparkan Jayengrono kepadanya. Jelas dia tak bisa
berbuat lain maka Kepala Pasukan Kotaraja ini segera mencabut senjata itu.
Begitu keris keluar dari sarungnya memancarlah cahaya putih. Cahaya ini menjadi
lebih terang karena saat itu matahari hampir tenggelam dan udara mulai gelap.
Sesaat Bajingan Dari Susukan
merasa keder juga melihat cahaya angker keris di tangan Kertopati. Namuan dia
begitu yakin akan kehebatan ilmu titipan yang diberikan Pangeran Matahari
padanya. Maka dengan tetap berkacak pinggang, pemuda berkulit hitam ini
sunggingkan seraingai mengejek.
“Kalau kau memang hendak mencoba
kehebatan keris butut itu, mengapa tidak lekas menyerang?!”
Jayengrono panas sekali
hatinya mendengar keris saktinya diejek dan dilecehkan begitu saja oleh
Bajingan Dari Susukan. Dia berteriak marah “Dimas! Lekas bunuh bangsat itu!”
Maka Kertopatipun melompat
menyergap lawannya sambil tikamkan Kiyai Gajah Putih. Sinar putih berkiblat
disertai desingan angin. Bajingan Dari Susukan berkelit sambil menuju ke depan.
Gerakannya menjotos terasa seperti tertahan oleh angin yang datang menyambar
dari badan keris. Maka dia ganti pergunakan kaki untuk menendang kaki musuh.
Kertopati melompat sambil tikamkan keris di tangan kanannya sekali lagi. Kali
ini ke arah tenggorokan lawan.
Buk!
Tendangan Bajingan Dari
Susukan meskipun agak meleset masih sempat menghajar betis kanan Raden
Kertopati hingga orang ini kehilangan keseimbangan, limbung dan jatuh
tersungkur. Walaupun tusukan keris ke arah tenggorokan meleset namun dalam
jatuhnya Raden Kertopati masih berkesempatan membabatkan Kiyai Gajah Putih ke
arah kedua kaki lawan.
Breet!
Kaki celana kiri Bajingan Dari
Susukan robek besar. Salah satu bagian pahanya tergurat ujung keris. Untuk
pertama kalinya terdengar suara pekik kesakitan keluar dari mulut Bajingan Dari
Susukan. Meskipun pahanya hanya tergurat sedikit dan sama sekali tidak
mengeluarkan darah namun tubuhnya terasa menjadi sangat dingin hingga
gigi-giginya bergemeletakan.
“Celaka! Apakah kesaktian yang
diberikan Pangeran Matahari tidak sanggup menghadapi keris putih itu…..?!”
Bajingan Dari Susukan merasa kawatir sekali. Rasa kecut membayangi hatinya.
Apakah dia akan terus berkelahi di situ atau sebaiknya pergi saja, kembali dan
melapor pada Pangeran Matahari?
Sementara itu Raden Kertopati
yang tadi terjatuh berusaha bangun. Alangkah kagetnya Kepala Pasukan Kotaraja
ini ketika mendapatkan dirinya tak sanggup lagi bangkit. Disingsingkannya kaki
celananya. Betisnya yang tersingkap kelihatan menghitam. Pucatlah paras
Kertopati. Dia cepat menotok pangkal paha dan bagian dada di dekat jantung untuk
mencegat aliran rasun jahat. Lalu masih dengan menggenggam keris Kiyai Gajah
Putih di tangan Kepala Pasukan Kotaraja ini gulingkan tubuh menajuhi Bajingan
Dari Susukan. Beberapa orang perwira segera menolongnya dan menggotongnya ke
dekat tangga rumah besar.
Menyaksikan kejadian itu Raden
Mas Jaengrono melompat urun dari kudanya. Dia akan turun tangan sendiri untuk
menghajar Bajingan Dari Susukan. Namun di saat yang sama pula pemuda berkulit
hitam itu sudah melompat dari kalangan pertempuran. Berkelebat ke arah pintu
halaman.
“Tangkap! Jangan biarkan dia
lari!” teriak Jayengrono seraya mengangkat tangan kanan untuk menghantam dengan
pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Namun serangan ini terpaska
di batalkan karena belasan perajurit dan para perwira saat itu telah
berserabutan mengejar Bajingan Dari Susukan hingga menutup alur pukulan. Kalau
diteruskan hanya akan mencelakai orang-orang sendiri.
Jayengrono semakin gemas dalam
hati. Terlebih lagi ketika kemudian dilihatnya di depan sana perajurit-perajurit
dan para perwira yang berusaha menangkap Bajingan Dari Susukan terlempar dan
rubuh ke tanah. Empat di antaranya menemui ajal dengan tubuh menghitam hangus!
“Manusia laknat!” kertak
Jayengrono. Karena tak bisa berbuat lain akhirnya Kepala Balatentara Kerajaan
ini melangkah cepat ke langkan rumah besar. Saat itu Raden Ajeng Siti Hinggil,
Raden Ayu Puji Lestari dan Pangeran Sabrang masih berada di sana.
“Raden Ajeng,” tegur
Jayengrono seraya membungkuk. “Izinkan saya bicara denganmu di dalam.” Lalu
tanpa menunggu jawaban orang Jayengrono mendahului memasuki rumah besar,
langsung menuju ke sebuah ruangan berpintu kayu berukirukir di mana biasanya
dipakai Sri Baginda beristirahat bilamana sedang mengunjungi istrinya yang
ketiga ini.
Sewaktu Bajingan Dari Susukan
melarikan diri dikejar oleh para perajurit dan perwira Kerajaan, di pinggir
jalan, di seberang rumah kediaman Raden Ajeng Siti Hinggil, terlindung di balik
kerapatan pohon-pohon bambu tampak dua orang pemuda secara diam-diam
menyaksikan apa yang terjadi di depan mereka. Pemuda pertama berpakaian serba
putih, berambut gondrong. Sesekali tampak dia menggaruk-garuk kepala, entah
gemas melihat pertempuran yang tengah berlangsung entah memang kepalanya gatal.
Kawan di sebelahnya seorang pemuda bertampan cakap, berbadan langsing berambut
pendek dan mengenakan pakaian warna abu-abu.
“Bagaimana, kita tangkap
pemuda bermuka bundar itu?” bertanya si abu-abu ketika melihat Bajingan Dari
Susukan hendak melarikan diri.
“Enggg…..” si gondrong garuk-garuk
kepalanya sesaat. “Aku punya rencana lain,” katanya kemudian. “Ingat, tadi kita
sudah sama menduga, pemuda itu memiliki ilmu aneh. Keanehan itu dapat
dihubungkan dengan ilmu kesaktian Pangeran Matahari. Setiap lawan yang mereka
bunuh, menemui kematian dengan cara sama. Tubuh hangus hitam. Kalau kita
tangkap dia sekarang, berarti kita tidak dapat mengetahui sumber semua keanehan
ini. Jika benar dia ada sangkut paut dengan Pangeran sialan itu, berarti kita
tidak dapat mencari jejaknya. Justru inilah kesempatan paling baik untuk
mencari tahu di mana biang kerok itu berada lalu membekuknya!”
“Lalu, apa yang ada di
benakmu?” tanya si abu-abu.
“Aku akan menguntit si hitam
muka bundar itu…..”
“Kalau cuma itu serahkan saja
padaku….”
“Tidak. Kau harus menolong
Raden Ajeng Siti Hinggil dan bicara dengan Jayengrono….” Menyahuti pemuda
gondrong.
“Aku kawatir kalau-kalau
Jayengrono dapat menerka siapa aku sebenarnya. Maksud menolong bisa jadi
berantakan. Lagi pula sejak aku memutuskan untuk tidak kembali mengabdi pada
Sri Baginda aku akan merasa kikuk menghadapi orang-orang itu. Kau saja yang
bicara dengan mereka. Aku biar menguntit si hitam bernama Bajingan Dari Susukan
itu….. Lagi pula aku masih punya hutang piutang yang harus aku selesaikan
dengan Pangeran Matahari. Kalau saja si hitam tadi memang benggolan
cecunguknya!”
“Kalau itu sukamu baiklah.
Tapi bagaimana aku nanti mencari dan menyusulmu….?” Tanya si gondrong sambil
memegang bahu pemuda berpakaian abu-abu.
“Nah, tanganmu lagi-lagi
menggerayang seenaknya. Ingat, aku bukan leleaki sepertimu…..!” Pemuda
berpakaian abu-abu itu mengomel cemberut sambil menepiskan tangan yang memegang
bahunya.
Si gondrong tertawa geli. “Aku
lupa! Seharusnya kau tidak menyamar seperti ini sahabat! Bangsat itu sudah lari
jauh, bagaimana aku menyusul dan mencarimu?”
“Gampang saja! Aku akan
mematahkan ranting-ranting pepohonan yang kulalui….”
“Kau cerdik! Pergilah. Tapi
hati-hati…..!” Dan si gondrong ini kembali lupa. Sambil menyuruh pergi
tangannya menepuk pantat pemuda bertubuh ramping itu. “Brengsek!” teriak si
abu-abu
Kapak Maut Naga Geni 212TUJUH
Raden Mas Jayengrono menunggu
sampai Raden Ajeng Siti Hinggil duduk di kursi besar lalu menutup pintu
ruangan. Hanya mereka berdua saja ada di tempat itu. Di ruangan itu masih
terdapat beberapa buah kursi namun Kepala Balatentara Kerajaan itu memilih
berdiri. Sesaat dia tegak sambil menatap wajah Siti Hinggil hingga akhirnya
perempuan ini menundukkan kepala dengan wajah bersemu merah.
“Ada apakah saya dibawa ke
ruangan ini?” terdengar kemudian suara Siti Hinggil, perlahan tapi cukup jelas.
“Saya hanya ingin jawaban
jujur,” berkata Jayengrono. “Apa hubungan Raden Ajeng dengan orang bernama
Pangeran Matahari itu? Lalu mengapa sampai ada seorang pemuda yang muncul serta
bertindak selaku pelindung Raden Ajeng dan anak-anak…..”
“Sebelum saya menjawab, saya
ingin mengajukan satu pertanyaan lebih dahulu….” Kata Siti Hinggil pula yang
membuat Raden Mas Jayengrono agak terkejut.
“Apa pertanyaan itu?”
“Betul Raden Mas yang telah
mengambil langkah untuk mencurigai kami anak beranak serta melakukan
pengusutan?”
“Saya hanya menjalankan tugas,
Raden Ajeng. Demi keselamatan kita semua. Demi keselamatan Kerajaan…..”
Siti Hinggil tersenyum lalu
menggelengkan kepala. “Saya tahu apa sebab sebenarnya…..”
“Hemmm….” Raden Mas Jayengrono
mengusap dagunya.
“Raden Mas mendendam kepada
saya…..”
“Apa yang perlu kudendamkan
Raden Ajeng?”
“Karena sejak Pangeran Anom
lahir saya tidak mau lagi mengikuti kinginan Raden Mas…..”
“Kau keliru Siti…..” Tiba-tiba
saja Jayengrono menyebut nama istri Sri Baginda itu secara langsung.
Dan anehnya Siti Hinggilpun
melakukan yang sama. “Tidak Jayeng. Saya tidak keliru. Saya tahu benar
hatimu…..”
“Jika kau tahu mengapa kau
bersikap lain…..?”
Air muka Siti Hinggil nampak
redup menggelap. Kedua matanya berkacakaca. “Apakah tidak cukup kita membuat
kesalahan dengan melahirkan Puji Lestari dan Pangeran Anom…..? Apakah kita akan
menambah dengan satu jiwa manusia lagi, lagi dan lagi….? Bukankah saya katakan
saya sudah bertobat dan tak akan mengulanginya lagi yaitu setelah Anom lahir?
Juga bukankah sebulan setelah Anom lahir kau mendapatkan keris sakti itu dan
harus mematuhi larangan untuk tidak menggauli perempuan lain selain istrimu……”
Jayengrono diam sejenak. Kemudian
jawabnya “Kau tahu istri tunggalku selain sakit-sakitan dan aku tidak punya
selir atau istri peliharaan. Semua itu karena aku masih mengharapkan kau dan
hubungan kita kembali seperti dulu…… Delapan belas tahun aku menunggu Siti.
Delapan belas tahun aku tak pernah merasakan kehangatan kasih sayang dan
tubuhmu seperti dulu….”
“Saya sudah bertobat Jayeng
dan kau punya larangan. Cukup hubungan kita yang berlumuran dosa itu hanya
menghasilkan Puji dan Anom. Jangan ditambah lagi…..”
“Persetan dengan larangan itu
Siti! Apakah kau menyuruh aku harus meracun Sri Baginda agar dapat menikah dan
memilikimu secara syah……?’
“Kau akan terkutuk dunia
akhirat jika kau melakukan itu Jayeng!”
“Kalau begitu…… berarti apa
yang kuinginkan lebih baik dari pada membunuh Sri Baginda dan mengambilmu jadi
istri…..”
“Keduanya sama-sama besar
dosanya. Sekalipun kau membunuh Sri baginda, tidak akan aku mau diperistrikan
olehmu! Pembunuh dari suami anak-anakku…..!”
“Puji dan Anom bukan anakmu
dan anak Raja! Tapi anak kita!” ujar Jayengrono dengan mata membesar.
“Saya ingin keluar dari
ruangan ini Jayeng. Bukakan pintu itu…..” kata Siti Hinggil sambil bergerak
bangkit dari kursi.
Tapi Jayengrono memberi
isyarat agar dia duduk kembali. “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi!”
“Aku tidak ada hubungan
apa-apa dengan Pangeran Matahari. Juga tidak tahu mengapa ada pemuda yang
muncul mengaku hendak melindungi kami….”
“Siti, jangan dusta! Sangat
jelas ceritanya bagiku! Cincin emas bergambar burung rajawali milik puterimu,
milik anak kita pernah terlihat dipakai Pangeran Matahari waktu keparat itu
menyerbu Istana! Setelah sekian lama lenyap tahu-tahu cincin itu dikabarkan
berada di tangan Puji! Kalau tidak ada apa-apa mana mungkin hal itu bisa
terjadi!”
Siti Hinggil duduk terpaku di
kursinya. “Sebaiknya kukatakan saja bagaimana kejadiannya….?” Hati kecil
perempuan ini bertanya-tanya. Namun sebelum dia sempat membuka mulut, di
hadapannya Raden Mas Jayengrono melangkah mendekati dan berkata setengah
berbisik seraya merunduk.
“Dengar Siti. Aku sudah
mengatur satu rencana hingga kita bisa berhubungan seperti dulu tanpa satu
orangpun tahu atau curiga, termasuk Sri baginda….”
Siti Hinggil tercengang
mendengar kata-kata Jayengrono itu.
“Apa maksudmu Jayeng?”
“Kau akan kutangkap dan dimasukkan
dalam kamar penyekapan di salah satu bagian istana. Di situ aku telah membuat
sebuah pintu rahasia hingga bisa keluar masuk tanpa ada yang mengetahui. Kita
bisa bertemu setiap saat. Kita bisa melakukan apa yang dulu pernah kita lakukan
delapan bels tahun lalu. Bukankah ini yang samasama kita tunggu Siti? Delapan
belas tahun! Gila! Waktu yang sangat lama!”
“Tidak!” Siti Hinggil bangkit
dari kursi besar. Wajahnya menyatakan perasaan hatinya yang sangat marah. “Aku
sudah bertobat! Apapun yang terjadi aku tidak akan mengulang perbuatan terkutuk
itu lagi! Yang sudah ya sudah! Cukup kita mempunyai dua orang anak haram. Puji
dan Anom…..”
“Tapi sekali ini kita tak
perlu menjalin hubungan yang menghasilkan keturunan!”
“Keluarlah dari ruangan ini!”
ujar Siti Hinggil dengan suara mendesis.
“Kalau begitu aku betul-betul
akan menyuruh tangkapmu! Dengan tuduhan mempunyai hubungan dengan perusuh dan
pembunuh bernama Pangeran Matahari itu!”
“Kau boleh melakukan apa saja.
Aku tidak takut!….. jawab Siti Hinggil. Ketika dia hendak melangkah ke pintu
tiba-tiba dari luar terdengar pintu diketuk.
“Panglima Jayengrono harap
segera keluar untuk memberikan pertolongan!”
“Keparat!” maki Jayengrono
dalam hati. Seperti hendak ditendangnya pintu itu berikut orang yang ada di
luar karena geramnya. Namun mau tak mau dia terpaksa membuka pintu seraya
membentak “Ada apa berani mengganggu kami yang sedang melakukan pembicaraan
penting?!”
Perwira muda yang tegak di
depan pintu dengan muka pucat ketakutan cepat membungkuk.
“Raden Kertopati gawat. Racun
pukulan Bajingan Dari Susukan agaknya tak terbendung oleh totokan. Darah mulai
keluar dari hidung, telinga dan mulutnya!”
“Lalu kalau sudah begitu apa
kau kira aku bisa menoong?! Apa kau kira aku dukun patah ahli pengobatan?!” sentak
Jayengrono.
Perwira muda itu semakin
ketakutan. “Maafkan saya Panglima. Saya hanya melapor karena kawatir…..”
“Di mana dia sekarang?”
“Masih terbaring di tangga
depan….”
“Pergilah! Aku akan menyusul
ke sana!” kata Jayengrono. Setelah perwira muda itu berlalu Jayengrono
berpaling ada Siti Hinggil. “Kau tak ingin merubah keputusanmu?”
“Tidak.” Jawab Siti Hinggil.
“Sekalipun kepalau kau pancung!”
“Hatimu terlalu keras. Mana
cinta kasih yang dulu selalu kau berikan untuk kehangatan kita berdua…..?”
“Masa lalu tak perlu diungkit
dan tak akan terulang lagi. Apa masih belum jelas bagimu Jaeng?”
“Kau akan menyesal Siti…..”
“Mudah-mudahan tidak!” habis
berkata begitu Siti Hinggil melangkah keluar pintu.
Marah dan jengkel Raden mas
Jayengrono meninggalkan ruangan itu menuju serambi rumah. Dalam hati dia
merutuk. “Mengapa si Kertopati itu tidak mampus saja! Kalau tidak oleh
keadaannya mungkin aku masih bisa membujuk perempuan itu. Ah Siti….. Delapan
belas tahun memang cukup lama. Tapi tidak terlalu cepat untuk mengikis cinta
gelap kita…..”
Sewaktu Jayengrono sampai di
tangga depan rumah besar itu dia terkejut mendapatkan seorang pemuda berpakaian
putih berambut gondrong tengah duduk bersimpuh di samping tubuh Kertopati yang
tergeletak di lantai serambi, dekat tangga. Di tangan pemuda itu tergenggam
sebilah kapak bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan tertimpa cahaya
sang surya yang hendak tenggelam. Salah satu mata kapak ditempelkannya di betis
Kertopati yang berwarna hitam seperti hangus yakni akibat tendangan Bajingan
Dari Susukan tadi. Kertopati sendiri berada dalam keadaan pingsan.
“Hai! Siapa kau! Apa yang kau
lakukan?!” hardik Jayengrono. Dalam kemarahan dia tidak sempat mengingat atau
mengenali pemuda gondrong itu.
Yang ditanya karena sedang
berusaha mengobati Kertopati dengan menghimpun kekuatan tenaga dalam dan
mengosongkan pikiran dari segala cipta dan rasa tentu saja tidak menjawab. Hal
ini membuat Jayengrono menjadi tambah marah. Sambil menggereng dia ulurkan
tangan untuk menjambak rambut pemuda itu. Rambut itu berhasil disentuhnya.
Namun jari-jari tangannya terasa panas dan dia tak mampu menggerakkan apalagi
menyentak menjambak. Perlahan-lahan Jayengrono lepaskan jambakannya.
Kapak Maut Naga Geni
212DELAPAN
Pemuda gondrong berpakaian dan
berikat kepala putih yang duduk bersila dengan menempelkan kapak berkilat ke
betis Raden Kertopati nampak menggigil sekujur tubuhnya ketika dia mengerahkan
tenaga dalam untuk mulai menyedot racun jahat mematikan yang telah menjalari
sebagian tubuh Kepala Pasukan Kotaraja itu. Butirbutir keringat memercik ke
keningnya sebesar-besar jagung.
Perlahan-lahan, mata kapak
yang tadi berkilat tampak meredup oleh cairan darah kehitaman yang tersedot
keluar dari betis Kertopati. Si gondrong terengahengah napasnya namun dia
terus kerahkan kekuatan tenaga dalam untuk menyedot hingga semakin banyak darah
hitam yang keluar. Ketika darah hitam berangsurangsur berubah menjadi merah,
pertanda racun maut yang mendekam di tubuh Kertopati telah tersedot keluar semuanya
maka si pemuda memperkendur sedotan tenaga dalamnya.
Sepasang kaki Kertopati tampak
bergerak. Sedotan yag dilakukan si pemuda sekaligus telah memusnahkan dua
totokan yang dibuat sendiri oleh Kertopati. Kepala Pasukan Kerajaan ini
terdengar mulai mengerang pertanda telah sadarkan diri meski kedua matanya
masih tertutup. Ketika si gondrong mengangkat kapaknya dan meniupnya, secata
aneh noda darah hitam pada mata kapak itu sirna sementara Kertopati telah pula
membuka sepasang matanya. Sesaat dia menatap wajah si gondrong, lalu memandang
berkeliling. Mula-mula dia tidak apa yang terjadi, mengapa dia berada dalam
keadaan terbujur di serambi rumah besar itu. Setelah memejamkan mata beberapa
ketika dan memusatkan jalan pikiran, Kertopati mulai dapat menduga apa yang
dialaminya.
“Kau……” desisnya ketika
kembali matanya memandang wajah pemuda berambut gondrong. Yang ditegur
menyeringai dan menyisipkan senjatanya ke pinggang.
Saat itu Raden mas Jayengrono
melangkah berputar hingga dia dapat melihat wajah si pemuda dengan jelas.
“Bukankah kau yang beberapa
hari lalu bersama kawanmu membantu kami orang-orang Kerajaan menghadapi
Pangeran Matahari…..?” Jayengrono menegur.
“Ah, kau masih ingat pada kami
Raden Mas…..” menyahuti si pemuda.
Raden Kertopati dengan bantuan
dua orang perwira bangkit dan bersila di lantai serambi. “Pendekar 212…….. Kau
muncul lagi menyelamatkan diriku. Bagaimana aku harus mengucapkan terima
kasih…..”
Si gondrong yang memang adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng kembali menyeringai. “Jangan berterima kasih pada
saya, semua adalah atas keredohan Yang Maha Kuasa….”
Kertopati hanya bisa
geleng-gelengkan kepala.
“Kau dulu pergi secara
diam-diam dalam kabut asap sewaktu istana terbakar. Kini kau muncul secara
aneh. Jangan-jangan kaupun sebenarnya ada sangkut pautnya dengan Pangeran
Matahari…..”
Yang bicara adalah Raden Mas
Jayengrono. Entah dari mana Kepala Balatentara Kerajaan ini mempunyai jalan
pikiran seperti itu hingga mengeluarkan ucapan yang mengejutkan semua orang
yang ada di situ. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede sendiri
dicurigai seperti itu tetap duduk bersila dan tenang, malah masih sunggingkan
senyum.
“Raden Mas, orang telah
menolong kita, mengapa menuduh yang tidak pada tempatnya?” menegur Raden
Kertopati
“Pertolongan bisa saja
menyembunyikan sesuatu!” jawab Jayengrono. “Banyak masalah yang harus kuusut.
Soal hubungan Raden Ajeng Siti Hinggil masih belum tuntas. Kini muncul pemuda
ini dengan masalah baru. Sebaiknya kita berjagajaga dimas Kertopati!” lalu
tiba-tiba sekali Kepala Balatentara Kerajaan itu menusukkan dua jari tangannya
ke arah dada kiri Pendekar 212.
Wiro Sableng cepat menangkis.
Tapi totokan Jayengrono
mendarat di dadanya lebih dulu hingga tak ampun lagi tubuhnya menjadi kaku
kejang. Seharusnya jalan suaranyapun ikut tertutup. Namun karena gerakan
menangkisnya tadi, totokan Jayengrono hanya sempat membuat auratnya saja yang
kaku sedang jalan suara masih membuka.
“Jadi begini balasan kalian
orang-orang Kerajaan…..?!” Wiro Sableng keluarkan ucapan. “Sungguh kalian
manusia-manusia tidak berbudi!”
“Raden Mas, saya minta pemuda
itu dibebaskan…..” Yang bicara adalah Raden Kertopati sementara semua orang
yang ada di tempat itu sama tidak mengerti mengapa Jayengrono menotok pemuda
gondrong yang telah menyelamatkan jiwa Raden Kertopati.
“Serahkan saja urusan ini
padaku dimas. Kau harus istirahat agar kesehatanmu pulih kembali. Jika dia
ternyata memang tidak menyembunyikan niat jahat terhadap kita, pasti akan
kubebaskan. Aku ada satu pertanyaan untukmu gondrong! Dulu kau muncul bersama
kawanmu pemuda langsing berpakaian abu-abu itu. Di mana dia sekarang?”
“Dia justru menguntit pemuda
kulit hitam yang kabur itu!” jawab Wiro polos.
“Nah, apa kataku. Temanmu itu
bukan menguntit mungkin sakali tengah menolongnya dari luka akibat goresan
Kiyai Gajah Putih!”
“Heran, bagaimana orang
sepertimu punya pikiran buruk dan picik seperi itu!” tukas Wiro Sableng yang
membuat wajah Jayengrono bersemu merah. Dia lalu cepatcepat memberi perintah
pada orang-orangnya untuk menaikkan pendekar itu ke atas punggung seekor kuda.
Dia juga memerintahkan para bawahannya untuk menangkap Raden Ajeng Siti Hinggil
dan Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati.
Di atas punggung kuda, dalam
keadaan tertotok Pendekar 212 Wiro Sableng terdengar keluarkan ucapan.
“Bawa pemuda itu!” teriak
Jayengrono pada bawahannya.
Sesaat setelah kuda yang
membawa Pendekar 212 berlalu, Kepala Balatentara Kerajaan ini masih tegak
termangu. “Apa maksud keparat itu dengan tembok ruangan punya seribu
telinga…..?” dia membatin dalam hati, namun tak bisa menjawab ataupun menduga.
Di dalam ruangan batu yang
terletak di bawah tanah pada ujung timur kawansan istana, Pendekar 212 Wiro
Sableng tergeletak di atas lantai dingin berlumut. Dia merasa bersyukur karena
Jayengrono tidak merampas Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggangnya.
Berkali-kali dia mencoba mengerahkan tenaga dalam untuk memusnahkan totokan
yang menguasai tubuhnya, tapi sia-sia saja. Dalam merutuk habis-habisan
perbuatan panglima Balatentara Kerajaan itu, Wiro tenggelam dalam satu
kekawatiran yang amat sangat.
Seperti dituturkan di muka,
antara dia dan pemuda berpakaian kelabu sahabatnya itu telah diatur rencana.
Wiro akan menolong Raden Ajeng Siti hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari dari
tuduhan Jayengrono sedang si kelabu akan menguntit pemuda berkulit hitam
(Bajingan Dari Susukan) untuk menyelidik siapa pemuda itu sebenarnya dan kemana
dia melarikan diri.
Dalam serial Wiro Sableng
sebelumnya yang berjudul “Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi” telah dijelaskan
bahwa pemuda berbaju kelabu itu bukan lain adalah seorang gadis jelita
berkepandaian tinggi bernama Ni Luh Tua Klungkung. Selama beberapa tahun dia
menyamar sebagai seorang nenek yang selalu mengenakan pakaian biru dan mengabdi
pada Kerajaan. Sampai pada suatu hari dia menjadi putus asa ketika dirinya
dikalahkan oleh Pangeran Matahari. Tak kuat menanggung rasa malu dan merasa tak
layak kembali mengabdikan diri pada Kerajaan maka Ni Luh Tua Klungkung terbujuk
oleh hasutan setan, menjadi mata gelap dan hampir bunuh diri jika tidak
tertolong oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Keduanya kemudian jadi bersahabat.
Keadaan sahabatnya inilah yang
sangat dikawatirkan Wiro. Saat itu Ni Luh Tua Klungkung menguntit dan mengejar
Bajingan Dari Susukan. Kalau benar dugaan bahwa pemuda berkulit hitam itu ada
sangkut pautnya dengan Pangeran Matahari dan kalau sampai sahabatnya itu
berhadapan degan Pangeran keparat itu, berarti Ni Luh Tua Klungkung akan
menemui bahaya besar tanpa dia sendiri dapat menolong.
“Jayengrono keparat! Kau akan
menerima pembalasanku!” begitu Wiro memaki tiada henti. Lalu pendekar ini
menyesali diri sendiri. Mangapa dia menyetujui usul gadis itu untuk menguntit
Bajingan Dari Susukan, bukan dia sendiri yang melakukannya? Wiro menarik nafas
dalam. “Kalau sampai terjadi apa-apa dengan sahabatku itu, sampai ke nerakapun
aku akan mencari Pangeran keparat itu….” Wiro berjanji pada diri sendiri. “Apa
yang bisa kulakukan saat ini? Sialan betul! Apakah aku harus berteriak seperti
orang gila?! Sialan! Benar-benar sialan!”
Kapak Maut Naga Geni
212SEMBILAN
Matahari yang mulai tenggelam,
malam yang mulai turun membuat udara mulai gelap. Meskipun pemandangan dalam
jarak jauh agak tertutup kini namun pendengaran yang tajam membuat Ni Luh Tua
Klungkung tetap dapat mengetahui ke mana arah lari orang yang dikuntitnya.
Sambil berlari dia tidak lupa untuk mematahkan setiap ujung ranting dri
pepohonan yang dilaluinya. Ini adalah sesuai janjinya pada Pendekar 212 Wiro
Sableng, Sebagai petunjuk jika pendekar itu menyusul dan mencarinya. Dia sama
sekali tidak tahu kalau kini Wiro tengah mendapatkan kesulitan, ditotok dan
disekap di sebuah ruangan bawah tanah.
Gajah Rimbun alias Bajingan
Dari Susukan berusaha mempercepat larinya. Goresan luka keris sakti Kiyai Gajah
Putih terasa sangat perih dan sekujur tubuhnya saat demi saat semakin dingin.
Demikian dinginnya hingga walaupun dia berlari sejauh itu namun tak setetes
keringatpun keluar dari pori-pori tubuhnya. Nafasnya mulai menyesak. Lidahnya
terjulur dan kepalanya terasa pening. Namun semangatnya menjadi besar ketika di
kajauhan dia mulai melihat jalan lurus mendaki. Di antara kegelapan turunnya
malam, dia bahkan dapat melihat pondok kayu di ujung jalan yang mendaki itu.
Begitu dia sampai di depan
bangunan langsung Gajah Rimbun jatuhkan diri ke tanah, mengengah-engah dan
keluarkan seruan tercekik “Pangeran, saya Gajah Rimbun telah kembali!”
Tak ada jawaban.
“Agaknya Pangeran tak ada di
rumah….” Membatin Gajah Rimbun.
Kreekek….. Terdengar suara
berkereketan. Pintu pondok terbuka. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam
muncul. Ada gambar gunung dan matahari di dada pakaian hitam itu.
“Pangeran!” seru Gajah Rimbun.
“Bajingan Dari Susukan! Kau
kembali lebih cepat dari perkiraan! Apakah kau berhasil menjalankan tugas
sesuai perintah?!”
“Saya berusaha melakukan
sesuai dengan petunjuk dan perintah! Namun mohon maafmu Pangeran. Saya menemui
kesulitan…..” jawab Gajah Rimbun. Ada bayangan rasa takut tersembunyi di antara
kata-katanya.
Paras Pangeran Matahari tampak
berubah.
“Katakan apa yang terjadi…..”
katanya perlahan tapi uaranya bernada angker.
Gajah Rimbun lalu menerangkan
pengalamannya di Kotaraja. Dia juga memperliatkan goresan luka yang kini tampak
seperti membusuk di pahanya. Pangeran Matahari sama sekali tidak perduli dengan
luka itu. Menolehpun dia tidak. Sementara itu karena rasa dingin yang semakin
menggila, Gajah Rimbun kini tak sanggup lagi berdiri. Kedua kakinya seperti
beku. Tubuhnya terduduk ke tanah.
“Sayang…..sayang sekali…..”
kata Pangeran Matahari sambil melangkah mundar-mandir di depan pondok.
“Kehebatan yang telah kau perlihatkan sehari sebelumnya menjadi pupus dengan
kegagalan hari ini…..!”
“Saya telah melakukan apa yang
saya bisa, Pangeran…..”
“Diam!” hardik Pangerarn
Matahari. “Kau bukan melakukan apa yang kau bisa. Tapi harus melakukan apa yang
ditugaskan! Kau tahu artinya kegagalan ini?!”
Gajah Rimbun terdiam. Wajahnya
yang pucat semakin pucat.
“Saya mohon pertimbanganmu
Pangeran. Beri kesempatan sekali lagi….” Meminta Gajah Rimbun.
Pangeran Matahari mendengus
lalu tertawa hambar.
“Bagiku kesalahan dan
kegagalan bukanlah satu hal yang bisa diperbaiki. Karena itu sudah terjadi!
Penyesalanpun tiada arti! Namun aku masih bermurah hati memberikan satu
kesempaan padamu…..”
“Terima kasih Pangeran! Terima
kasih! Apa yang harus saya lakukan Pangeran tinggal mengatakan. Saya akan
mengerjakannya!”
“Begitu…..?” ujar Pangeran
Matahari tak acuh. “Apakah kau sadar waktu kau melarikan diri kembali ke mari
ada orang yang menguntitmu…..?!”
Terkejutlah Gajah Rimbun
mendengar pertanyaan itu. Dia memandang berkeliling dengan mata dibesarkan tapi
tak melihat orang lain berada di tempat itu.
“Manusia tolol! Percuma kau
menyandang nama Bajingan Dari Susukan!” memaki Pangeran Matahari. Dia berpaling
ke arah semak belukar lebat di sebelah kiri jalan yang menurun lalu berseru.
“Penguntit! Keluarlah dari
tempat persembunyianmu!”
Ni Luh Tua Klungkung yang
berada di balik rerumpunan semak belukar itu, menyadari kehadirannya di situ
sudah diketahui orang tak bisa berbuat lain kecuali keluar perlihatkan diri.
Ketika melihat siapa yang
muncul itu, Pangeran Matahari kaget sesaat kemudian langsung saja dia mengumbar
tawa panjang.
“Ha….ha…..ha….! Cicak kurus
berpakain kelabu ini rupanya! Mana kawanmu satu lagi! Pemuda gendeng itu……!”
Ni Luh Tua Klungkung tak mau
kalah. Dia ikut mengumbar tawa melengking. “Aku memang sudah menduga! Manusia
bernama bajingan Dari Susukan itu pasti cecunguk kaki tanganmu! Dan terbukti
memang benar! Meminjam tangan orang lain untuk berbuat kejahatan! Rupanya sejak
kabur dari Kotaraja tempo hari kau tak punya nyali lagi untuk turun tangan
sendiri!”
“Keparat sombong! Mendekatlah
biar aku dapat melihat tampangmu lebih jelas! Jangan sembunyi di balik bayangan
pohon dan kegelapan!”
“Jika kau ingin melihat lebih
jelas silahkan datang mendekat ke hadapanku!” sahut Ni Luh Tua Klungkung.
Rahang Pangeran Matahari yang
memang berbentuk menonjol jadi tambah menggembung. Dia berpaling pada Gajah
Rimbun.
“Tugasmu Bajingan Dari
Susukan! Bunuh pemuda itu!”
Mendengar perintah Pangeran
Matahari, meskipun berdiri saja sudah sangat susah bagi Gajah Rimbun, namun
demi harapan pengampunan maka dia kerahkan seluruh sisa tenaga dan melompat ke
hadapan Ni Luh Tua Klungkung,langsung menghantamkan jotosan ke muka pemuda berpakian
kelabu itu.
Ni Luh Tua Klungkung tak
berani menangkis. Dia berkelit ke samping lalu angkat kaki kanannya mengirimkan
tendangan ke arah tulang rusuk lawan. Gajah Rimbun yang saat itu memang tak
berdaya lagi karena racun keris Kiyai Gajah Putih tak sanggup mengelak.
“Kraak…..!”
Tiga baris tulang-ulang iganya
patah. Tubuhnya terpental menghantam dinding pondok. Matanya mendelik dan
nafasnya minggat. Orang ini sebenarnya bukan mati karena tendangan Ni Luh Tua
Klungkung, tapi lebih banyak diakibatkan oleh racun keris sakti yang telah
mempengaruhi sekujur tubuhnya. Pada titik puncak rasa dingin yang tak
tertahankan nyawanya pun lepas, berbarengan dengan datangnya tendangan lawan
tadi! Hal inipun diketahui oleh Pangeran Matahari.
Selain memang tak ada rasa
takut terhadap pemuda berpakaian kelabu ini, sejak peristiwa kekalahannya dalam
pertempuran di Kotaraja beberapa waktu lalu (baca serial Wiro Sableng :
Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi) maka sang pangeran telah menanam dendam
kesumat terhadap pemuda satu ini dan juga terhadap Wiro Sableng. Itulah
sebabnya Pangeran Matahari menyuruh Bajingan Dari Susukan untuk menyelidik.
Meskipun Bajingan Dari Susukan gagal menyelamatkan Raden Ajeng Siti Hinggil dan
puterinya namun sebenarnya untuk tugas menyelidik dua musuh besar itu sebagian
sudah dijalankan oleh Bajingan Dari Susukan tanpa sadarnya. Yaitu membawa Ni
Luh Tua Klungnkung ke tempat Pangeran Matahari.
Sampai saat itu Ni Luh Tua
Klungkung tetap tegak di bagian gelap bayangan pohon. Dia sengaja mendekam di
situ karena kawatir di tempat terang lawan dapat mengetahui siapa dia adanya.
“Hem…. Kau membunuh orangku!
Berarti bertambah lagi hutangmu padaku! Berarti tak bakal ada pengampunan
untukmu pemuda kerempeng!”
Ni Luh Tua Klungkung
mendengus. “Aku datang ke mari bukan untuk minta pengampunan! Justru untuk
menyingkirkan kejahatan yang disebabkan oleh manusia sesat macammu!”
“Bagus sekali kalau begitu!
Rupanya kau masih belum tahu dalamnya lautan, tingginya Merapi! Umurmu hanya
tinggal tujuh hitungan!” Habis berkata begitu Pangeran Matahari gerakkan tangan
kanannya. Perlahan saja.
Ni Luh Tua Klungkung yang
sudah mengetahui benar kehebatan lawan, cepat berkelebat lenyap sebelum sang
pangeran lepaskan pukulan tangan kosong. Lompatan yang dilakukan mendahului
serangan lawan memang menyelamatkannya dari serangan. Di bawah kakinya sesiur
angin panas menyambar ganas. Gadis yang menyamar seperti seorang pemuda itu
merasakan kedua kakinya seperti disambar api. Secepat kilat jungkir balik di
udara. Ketika tubuhnya membentuk garis sama datar dengan tanah maka dia segera
lepaskan pukulan saktinya. Tangan kiri memegang perut. Tangan kanan diluruskan
ke arah lawan. Mulut ditiupkan keras-keras. Serangkum angin berwarna kekuningan
yang menebar bau harum kayu cendana mambuntal menerpa Pangeran Matahari!
Sebelumnya sang pangeran telah
menyaksikan kehebatan ilmu silat dan kesaktian pemuda berpakaian kelabu itu
ketika terjadi pertempuran hebat disaat itu dia berdampingan dengan Pendekar
212 Wiro Sableng. Walau lawan ternyata memiliki kesaktian yang tidak bisa
dianggap enteng, namun tentu saja Pangeran Matahari yang congkak itu tidak
merasa kecut sama sekali. Apalagi si pemuda hanya sendirian. Sebelum buntalan
sinar kuning menyentuh dan mencelakinya, Pangeran Matahari langsung menghantam
dengan pukulan sakti bernama Merapi Meletus. Tangan kanannya diangkat
tinggi-tinggi ke atas. Lima jari tangan membentuk tinju. Tiba-tiba tangan itu
disentakkan ke bawah lalu dihantamkan ke atas. Bersamaan dengan itu lima jari
yang tadi mengepal dibuka serentak.
Terdengar suara berdentum
laksana gunung meletus. Hawa panas menyambar. Ranting-ranting dan daun-daun
pepohonan meranggas hangus. Buntalan sinar kuning yang jadi andalan pemuda baju
kelabu buyar sirna.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan
tubuhnya bergoncang keras. Dia kerahkan tenaga dalam sambil dorongkan kedua
telapak tangan ke depan, bertahan agar tidak jatuh. Namun sewaktu Pangeran
Matahari balas mendorong, tak ampun gadis ini terpental jungkir balik. Kain
pembungkus kepalanya tanggal. Rambut samaran pendek terlepas dan kini tambut
aslinya yang panjang hitam tergerai sampai ke punggung.
“Hai!” seru Pangeran Matahari
kaget. “Kau ini pemuda banci atau perempuan sungguhan! Pasti wajah aslimu kau
sembunyikan di balik sehelai topeng! Ha….ha….ha…! Jika wajahmu nanti kulihat
cukup cantik, malam ini berarti aku akan mendapat kawan tidur dalam pondok!”
“Manusia dajal! Maut sudah di
depan mata masih saja bicara ngacok!” hardik Ni Luh Tua Klungkung.
Pangeran Matahari kembali
tertawa bergelak. Tubuhnya berkelebat lenyap. Di lain kejap si gadis sudah
terkurung dalam serangan dahsyat yang membuatnya bertahan mati-matian. Beberapa
kali dia terpental ketika berusaha menangkis hantaman lawan. Biasanya siapa
saja yang berani bentrokan lengan dengan Pangeran Matahari akan menemui celaka
bahkan maut. Tangan akan hitam hangus oleh racun jahat yang dimiliki sang
pangeran. Tapi anehnya Ni Luh Tua Klungkung tidak mengalami cidera apa-apa
kecuali sakit di bagian luar saja. Diam-diam gadis ini jadi merinding. Tak bisa
tidak musuh memang sengaja tidak ingin mencelakainya karena punya maksud
tertentu yaitu menangkapnya hidup-hidup agar dapat melakukan niat kejinya!
Breet…..!
Ni Luh Tua Klungkung terpekik.
Topeng tipis yang menutupi wajahnya kena disambar hingga wajah aslinya kini
tersingkap jelas!
“Nah….nah! ternyata kau memang
cantik jelita! Kau pantas jadi teman tidurku. Besar nian rezekiku malam ini!”
“Keparat! Mampuslah!” teriak
Ni Luh Tua Klungkung. Tiga jari tangannya menusuk ke tenggorokan lawan.
Pangeran Matahari berkelebat lenyap. Sebelum gadis itu sempat mengetahui di
mana lawannya berada tiba-tiba pakaiannya terasa ditarik.
Breett…..breet…..breett……
Ni Luh Tua Klungkung kembali
terpekik. Pakaiannya robek besar di beberapa bagian hingga auratnya tersingkap.
Selagi dia sibuk berusaha menutupi tubuhnya yang hampir telanjang itu, satu
remasan keras mencengkam payudaranya sebelah kiri. Gadis itu menjerit. Setelah
itu tubuhnya kaku. Suaranya pun lenyap! Dia tak kuasa menyelamatkan diri. Tak
dapat berteriak minta tolong. Dengan nafas menyeringai dan nafsu berkobar
Pangeran Matahari memeluk tubuh gadis itu lalu menggendongnya ke arah pondok
kayu.
Kapak Maut Naga Geni
212SEPULUH
Orang itu melangkah sepanjang
lorong batu yang hanya diterangi sebuah pelita yang hampir padam karena
kehabisan minyak. Langkahnya terhuyung-huyung. Kalau tidak ditolong oleh
sebatang tongkat yang digenggamnya di tangan kanan, mungkin dia tak sanggup
berjalan. Sesekali dia berhenti melangkah, bersandar ke dinding batu sambil
mengurut dada, mengaur jalan nafas, mengumpulkan tenaga, baru melangkah lagi.
Di depan sana lorong yang
dilaluinya membelok ke kiri. Lalu tampaklah sebuah pintu besar dijaga oleh dua
orang perajurit bertubuh kekar bertampang galak. Masing-masing membekal sebilah
golok dan sebatang tombak.
“Siapa di sana!” Salah seorang
pengawal pintu membentak begitu melihat ada orang bertongkat mendatangi.
Yang ditegur tidak menjawab.
“Hai! Mengapa tidak menjawab!
Lekas bicara atau akan kutembus dengan tombak ini!” Pengawal tadi mengangkat
tombak di tangan kanannya tinggi-tinggi. Kawan di sebelahnya melakukan hal yang
sama.
“Aku Raden Kertopati, Kepala
Pasukan Kotaraja!”
Kedua perajurit pengawal cepat
turunkan tombak, membungkuk memberi hormat dan salah seorang dari mereka buru-buru
meminta maaf.
“Kami tidak tahu kalau Raden
ang datang…..”
“Pemuda tawanan itu masih ada
di dalam….?”
“Masih ada di dalam Raden….”
“Buka pintu! Aku ingin bicara
dengannya!” memerintah Kertopati.
“Maaf Raden! Kami menerima
perintah agar tidak memperkenankan siapapun masuk ke dalam menemui tawanan…..!”
“Siapa yang membei perintah?”
tanya Raden Kertopati.
“Raden Mas Jayengrono.
Panglima Balatentara Kerajaan…..”
Raden Kertopati menggeram “Di
Kotaraja ini aku adalah atasan kalian. Berarti kalian ikut perintahku! Buka
pintu besi itu!”
“Kami tak berani melakukannya
Raden….”
“Kalian tidak mentaati
perintahku?!” hardik Raden Kertopati marah.
“Kami hanya taat pada perintah
Panglima Raden Mas Jayengrono!”
Raden Kertopati diam sejenak.
“Baiklah…..” katanya kemudian. Dia memutar tubuh seperti hendak berlalu. Namun
tiba-tiba tongkat kayu di tangan kanannya berdesing ke udara. Praak…..praaak!
Kepala dua perajurit pengawal
yang tegak di kiri kanan pintu rengkah! Keduanya tersungkur ke lantai batu.
Raden Kertopati cepat mengambil kunci dari pinggang salah seorang pengawal itu
lalu membuka gembok besi yang membuhul rantai besar pengunci pintu. Dengan
cepat dia menyelinap masuk ke dalam. Di dalam ternyata gelap sekali. Tak ada
lampu, tak ada cahaya. Kertopati terpaksa mengambil pelita yang ada di lorong.
“Pendekar 212 kau berada di
sebelah mana…..?” Kertopati berseru seraya mengangkat lampu minyak
tinggi-tinggi.
Wiro Sableng yang terbujur di
salah satu sudut rruangan tak segera menjawab. Dia tak dapat mengenali suara
itu karena gaungan yang memantul pada empat dinding batu. Kertopati memanggil
sekali lagi. Baru kali ini Wiro mengenali suara Kepala Pasukan Kotaraja itu.
“Raden, aku di sudut kiri di
belakangmu!”
Kertopati membalik lalu
melangkah cepat ketika dilihatnya pemuda itu di sudut ruangan dalam keadaan tak
berdaya. Lampu minyak diletakkannya di lantai. Dia sendiri kemudian berlutut di
samping Pendekar 212.
“Aku datang untuk menolongmu.
Membayar budi dengan budi…..”
“Terima kasih Raden. Aku
sebenarnya tidak mengawatirkan keselamatan diriku. Yang kucemaskan adalah
sahabatku pemuda berbaju kelabu itu. Kalau dia sampai tertangkap Pangeran
Matahari…… Tolong lepaskan totokan di dadaku…..”
“Jangan kawatir. Jayengrono
memang ahli ilmu totokan. Sulit dilepas. Tapi aku tahu cara membebaskanmu!”
kata Kertopati. Pakaian Wiro di bagian dada disingkapkannya lalu dia
mendekatkan mulut dan meniup dada itu. Dengan ujung tongkat dia membuat tusukan
cukup keras pada dada yang ditotok hingga Pendekar dari Gunung Gede itu merintih
kesakitan. Sekali lagi Kertopati meniup dada si pemuda. Setelah itu dia membuat
tiga kali usapan, barulah totokan di tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng terlepas
musnah. Wiro cepat duduk bersila mengatur jalan nafas dan aliran darah.
“Terima kasih Raden. Aku harus
meninggalkan tempat ini sekarang juga. Tapi sebelum pergi ada satu
permintaanku. Maukah kau menolong Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya……?”
“Kalau bisa mengapa tidak?”
“Dua perempuan itu hanya
korban hati busuk Jayengrono. Kebetulan saja sang puteri pernah memberikan
cincin emas burung rajawali itu pada Pangeran Matahari……” Lalu Wiro
menceritakan apa yang diketahuinya tentang riwayat cincin itu. “Nah jelas bagi
Raden kalau mereka tidak ada sangkut paut apa-apa dengan Pangeran Matahari…..”
“Saya akan menghadap raja dan
meminta agar ibu dan anak itu dibebaskan. Tap saya tetap merasa aneh mengapa
Jayengrono bertindak terlalu jauh seperti itu……”
“Karena ada satu rahasia
Raden…..”
“Rahasia?? “ Kertopati
kerenyitkan kening.
“Saya akan ceritakan rahasia
itu padamu. Saya mendengar secara kebetulan ketika datang ke rumah Raden Ajeng
Siti Hinggil sore tadi…..”
Lalu Wiro Sableng menuturkan
percakapan antara Jayengrono dan Siti Hinggil yang sempat didengarnya meskipun
dia berada di luar ruangan.
Tentu saja Raden Kertopati
terbelalak hampir tak percaya mendengar penuturan Wiro Sableng itu.
“Nah kau sudah tahu Raden.
Saya pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu…..”
Selagi Raden Kertopati masih
terkesiap oleh cerita yang disampaikan Wiro, Pendekar 212 sudah melompat ke
pintu dan mencari jalan sendiri menuju tembok timur istana.
Dalam kegelapan malam ternyata
tidak mudah bagi Wiro untuk mencari jejak sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung.
Meskipun tanda-tanda patahan ranting pepohonan yang dibuat gadis itu dapat
ditemuinya namun gerakannya menjadi lambat karena terhalang oleh kepekatan
malam.Di dalam kamar yang luas Raden Mas Jayengrono merasa sangat gelisah.
Sebentar dia berbaring di atas tempat tidur empuk, lalu berdiri, melangkah
mundar mandir atau duduk di kursi, melangkah lagi, mundar mandir dan sesekali
memandang ke dalam taman lewat jendela kamar. Demikian terus menerus
keadaannya. Hatinya risau karena tidak dapat menerka apa sebenarnya yang
dimaksud oleh Pendekar 212 Wiro Sableng dengan ucapannya “…….tembok ruangan
punya seribu telinga……”
“Teka-teki apa yang
dilontarkan pemuda keparat itu padaku sebenarnya……” merutuk Kepala Balatentara
Kerajaan itu. Dia kembali melangkah mudar mandie lalu membantingkan diri di
atas tempat tidur. Memandang ke langit-langit kemar yang penuh ruangan.
Memejamkan mata. Tiba-tiba lelaki tinggi besar ini membuka kedua matanya
besar-besar.
“Jangan-jangan……”desisnya.
Tubuhnya melompat dari atas tempat tidur. Dia menyambar keris Kyai Gajah Putih
dari atas meja batu mar-mar. Tanpa pengiring dia menuju ke istana lewat pintu
sebelah timur. Setengah berlari dia memasuki lorong menuju pintu ruangan di
mana Pendekar 212 Wiro Sableng disekap. Tidak dapat tidak, dengan ilmu
kesaktiannya yang tinggi, pemuda itu telah sempat mencuri dengar pembicaraannya
dengan Siti Hinggil di rumah perempuan itu.
“Kalau tidak kubunuh, ulahnya
nanti bisa berekor panjang!” kertak Jayengrono.
Dia sampai di depan pintu besi
itu. Dan terperangah!
Pintu terbuka lebar. Dua orang
perajurit pengawal telah jadi mayat dengan kepala pecah. Ketika dia memeriksa
ke dalam, ruangan penyekapan itu ternyata kosong melompong. Pemuda yang
dijebloskan di tempat itu ternyata telah lenyap!
“Celaka aku!” keluh
Jayengrono. “Siapa yang punya pekerjaan ini! Siapa yang menolong membebaskan
pemuda keparat itu! Pasti hanya satu orang! Si keparat Kertopati! Ya, siapa
lagi!”
Raden Mas Jayengrono segera
mendatangi rumah kediaman Raden Kertopati. Di sana didapatinya Kepala Pasukan
Kotaraja itu tengah tidur nyenyak mendengkur. Dari seorang pengawal dia
mendapat keterangan kalau sejak sore tadi Raden Kertopati tak pernah
meninggalkan kamar tidurnya.
“Aku yakin hanya manusia satu
ini yang mampu dan mau menolong si gondrong itu! Tapi ternyata dia tidur sejak
sore…… Ah, semua urusan bisa jadi gila! Bagaimana bisa jadi begini…..!”
Jayengrono sama sekali tidak
tahu kalau Kertopati sudah menduga kira-kira apa yang bakal terjadi kalau
lenyapnya tawanan itu sampai diketahui. Maka Kertopati siang-siang sudah
menyusun rencana, memberi kisikan pada seluruh anak buahnya dan berpura-pura
tidur nyenyak di atas tempat tidur. Ketika Jayengrono meninggalkan halaman
rumahnya, dia memperhatikan lewat jendela dengan sesungging senyum.
“Riwayatmu akan berakhir tak
lama lagi Jayeng…..” katanya masih terus tersenyum penuh arti.
Kapak Maut Naga Geni
212SEBELAS
Seumur hidupnya Pangeran
Matahari belum pernah melihat aurat terlarang orang perempuan, apalagi
menyentuhnya. Mendapatkan seorang gadis cantik dalam keadaan tak berdaya di bawah
kekuasaannya sepenuhnya membuat pemuda ini serta merta terbakar oleh nafsu
terkutuk. Setelah menotok tubuh Ni Luh Tua Klungkung secara aneh yakni dengan
jalan meremas payudaranya, Pangeran Matahari mendukung tubuh gadis itu ke dalam
pondok kayu. Sambil mendukung tangannya bebas tiada hentinya menggerayang kian
kemari.
Meski tubuhnya penuh gelegak
marah namun sang gadis tidak mampu berbuat apa untuk membebaskan diri, apalagi
menolak kehendak keji Pangeran Matahari. Dalam hatinya sudah tekad bulat untuk
bunuh diri jika kelak dia masih dibiarkan hidup setelah dirusak kehormatannya.
Sekarang mari kita ikuti
kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng yang saling kejar dengan
waktu karena sudah mendapat firasat kalau sahabatnya gadis yang sampai saat itu
tidak diketahuinya nama aslinya tengah mengalami bahaya besar. Malam makin
gelap dan bertampah sulit baginya untuk meneliti secara cepat rerantingan patah
yang ditinggalkan sang dara sebagai jejak. Di sebuah bukit patahan ranting
berakhir. Tak ada lagi ranting lain yang patah padahal memandang berkeliling
pendekar ini sama sekali tidak melihat apa-apa. Tak ada tanda-tanda terjadi
perkelahian di tempat itu. tak ada pula bangunan di sekitar situ.
“Tak mungkin gadis itu lenyap
menembus tanah bebukitan ini atau terbang ke langit…..” ujar Wiro Sableng
seraya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong. Dia meneliti ke
jurusan kiri, ke sebelah kanan, tetap saja tidak menemui apa-apa. Ketika dia
coba bergerak lurus ke depan, sebuah jalan kecil mendaki terbentang di
hadapannya. Setelah meneliti sesaat, Wiro ikuti jalan mendaki ini. di depan
sana di kegelapan malam dilihatnya sebuah bangunan kayu. Sepuluh langkah
sebelum dia sampai ke bangunan itu, sesosok tubuh ditemuinya tergelimpang di
jalan kecil itu. ketika ditelitinya sosok tubuh itu ternyata pemuda bermuka
bundar berkulit hitam yang dikenal sebagai Bajingan Dari Susukan. Tubuh itu
hanya merupakan mayat dingin.
Murid Eyang Sinto Gendeng
memandang berkeliling. Sunyi yang aneh terasa membungkus tempat itu. pintu
pondok tampak tertutup. Tak ada nyala lampu di sebelah dalam. Tapi bagi sang
pendekar yang sudah berpengalaman tidak ada nyala lampu belum tentu berarti
tidak ada seorangpun di dalam sana. Jika seorang lelaki hendak berbuat bejat
terhadap seorang gadis maka tentunya dia akan mencari tempat yang sedap. Wiro
hunus Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tanpa suara melangkah mendekati pintu
pondok kayu. Sepasang telinganya terpentang untuk mencari dengar setiap
gerakan. Suara nyamuk yang terbang di kejauhanpun tak bakal lepas dari
pendengarannya.
Braak!
Wiro Sableng tendang pintu
pondok hingga hancur dan terpentang lebar. Keadaan di dalam pondok yang tak
seberapa besar itu gelap pekat. Wiro memasang telinga. Tak ada seorangpun di
dalam sana. Tapi tak mungkin pondok ini dibangun kalau hanya ditinggal kosong
melompong. Atau pemiliknya sedang keluar? Tapi Ni Luh Tua Klungkung lenyap di
sekitar tempat ini! Wiro menggenggam senjata mustikanya lebih erat. Dengan
langkah tetap dia masuk melalui pintu. Baru saja kakinya menginjak lantai papan
di sebelah dalam mendadak telinganya mendengar suara berdesir dari empat
jurusan!
“Senjata rahasia!” seru Wiro
dalam hati seraya kertakkan rahang. Kapak Naga Geni 212 diputar membentuk
lingkaran. Sinar terang berkiblat disertai gaungan seperti ribuan tawon
mengamuk.
Tring…..tring….tring…..tring.
Empat buah benda yang
berdesing ternyata adalah empat buah pisau terbang kecil, hancur mental
berantakan.
“Pembokong pengecut! Unjukkan
tampangmu!” teriak Pendekar 212 marah.
Tapi tak ada jawaban. Tak ada
gerakan. Jelas senjata rahasia itu dipasang untuk menjebak lawan yang lengah.
Bukan mustahil masih ada senjata-senjata rahasia lainnya tersembunyi di tempat
itu. Dari pada mendapat serangan konyol begitu rupa Wiro memutuskan untuk
menghancurkan pondok kayu itu. Maka dia hantamkan pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera ke arah atap. Bersamaan dengan mental hancurnya atap dan runtuhnya
empat dinding kayu, Wiro melesat keluar bangunan. Dari kejauhan dia
memperhatikan bangunan yang kini hanya merupakan kepingkeping hampir sama rata
dengan tanah. Lagi-lagi tak ada suara tak ada gerakan. Tapi ketika dia
melangkah mendekati, satu letusan dahsyat menggelegar membuat pendekar dari
Gunung Gede itu jatuh duduk ke tanah.
Letusan yang terjadi membuat
lantai bangunan terbongkar. Di situ Wiro melihat sebuah lobang batu berbentuk
tangga menurun yang sebelumnya tersembunyi di bawah lantai kayu bangunan. Kuduk
pendekar ini menjadi dingin. Bulu romanya berdiri. Kalau tadi dia sempat
menginjak lantai di atas lobang itu, ledakan dahsyat tadi pasti akan menghancur
luluhkan seluruh tubuhnya. Dengan hancurnya pondok kayu tersebut maka tak ada
lagi senjata rahasia yang tersembunyi. Wiro memutuskan untuk menyelinap
memasuki lobang batu itu. namun dia cepat melesat ke atas cabang sebuah pohon
ketika lapat-lapat telinganya mendengar ada orang yang melangkah cepat menaiki
tangga batu.
Sesaat kemudian sebuah kepala
gondrong berikat kain merah muncul dari dalam lobang. Kepala ini bergerak
berputar seperti meneliti keadaan. Ketika merasa aman, kepala ini segera
bergerak keluar. Kelihatanlah sebuah sosok tubuh mengenakan pakaian hitam
bergambar matahari dan puncak gunung.
“Pangeran Matahari……” desis
Wiro tercekat. Lalu dia melihat sosok tubuh siapa yang dipanggul di bahu kiri
sang pangeran. Sosok tubuh itu hampir tidak tertutup karena seluruh pakaian yan
masih melekat hanya tinggal cabikan-cabikan belaka.
“Keparat haram jadah! Kalau
dia sampai telah memperkosa sahabatku itu akan kucincang tubuhnya, kuhisap
darahnya!” Geraham Pendekar 212 bergemeletakan.
“Manusia iblis! Kau hendak
lari ke mana?!” teriak Pendekar 212 menggeledek. Ketika dilihatnya Pangeran
Matahari hendak berkelebat kabur sambil mendukung tubuh Ni Luh Tua Klungkung.
Kagetnya sang pangeran bukan kepalang.
Sambil meneruskan larinya dia hantamkan tangan kiri ke atas pohon di mana
Pendekar 212 berada.
Wuss!
Cabang, ranting dan dedaunan
pohon besar iru hangus dan luruh sementara Wiro sudah melayang turun lebih
dahulu. Kapak Naga Geni 212 menderu dalam kegelapan malam. Melihat sinar
menyilaukan berkiblat dan mendengar suara seperti tawon mengamuk Pangeran Matahari
maklum siapa yang menyerangnya. Satusatunya senjata yang mempunyai cirri-ciri
serangan seperti itu adalah Kapak Maut Naga Geni 212. Pemiliknya siapa lagi
kalau bukan Pendekar 212 dari Gunung Gede.
“Dicari-cari ternyata kau
datang sendiri mengantar nyawa! Hutang lamamu rupanya hendak kau bayar hari ini
bersama bunganya!” Pangeran Matahari menegur keren dengan kaki terkembang,
tangan kiri di pinggang dan tubuh Ni Luh Tua Klungkung masih di atas bahu
kanannya.
“Manusia congkak takabur! Dosa
dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Hari ini kau tambah lagi dengan satu
kekejian!” bentak Wiro.
Pangeran Matahari tertawa
bergelak.
“Rupanya kaupun berhasrat
mendapatkan perawan ini! Ha…ha…ha! Kau memang belum terlambat Pendekar 212!
Tapi jangan harap kau bisa membebaskan gadis ini dari tanganku!”
Gembira mendengar pengakuan
Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro Sableng hampir bertindak lengah ketika
musuh di hadapanny aitu tiba-tiba menyerbu sambil lepaskan pukulan maha ganas
yang dimilikinya yakni pukulan Gerhana Matahari!
Sinar kuning, hitam dan merah
mencuat panas melanda ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro tak berani membalas
karena kawatir akan mencelakai Ni Luh Tua Klungkung. Didahului bentakan nyaring
pendekar ini melesat tiga tombak ke udara. Dari atas dia menukik sambil
babatkan Kapak Naga Geni 212. Tapi Pangeran Matahari berlaku cerdik. Dia tidak
menangkis ataupun balas menyerang melainkan angsurkan tubuh gadis yang ada di
bahunya, memotong tabasan senjata lawan.
Wiro berseru kaget dan
buru-buru tarik pulang serangannya. Saat itulah kembali Pangeran Matahari
menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Kali ini lebih dahsyat lagi karena
mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Wiro kembali melompat sambil
lindungi diri dengan Kapak Naga Geni 212. Pohon besar di belakangnya terdengar
berderak lalu roboh dalam keadaan terbakar!
“Iblis keparat!” maki Pendekar
212. Dadanya terasa sesak. Dia melompat turun ke tanah langsung sisipkan Kapak
Naga Geni 212 di pinggang lalu angkat kadua tangan dengan telapak tangan
menghadap ke arah lawan. Perlahan-lahan dua telapak tangan itu diputar, mulut
terkancing dan sepasang mata memandang tak berkesip ke arah Pangeran Matahari.
Sikap tegak Wiro yang sama
sekali tidak terlindung itu di mata Pangeran Matahari merupakan suatu sasaran
empuk. Maka dia segera siapkan pukulan Gerhana Matahari untuk ketiga kalinya.
Tapi mendadak sontak saat itu dirasakannya udara menjadi sangat dingin, sepuluh
kali lebih dingin dari udara di puncak Merapi di mana dia pernah tinggal
sebelumnya! Sekujur tubuh sang pangeran seperti dilapisi es. Rahangnya
menggembung, hembusan nafasnya seperti mengeluarkan asap. Lututnya mulai goyah!
“Ilmu apa yang tengah
dikeluarkan setan ini untuk menyerangku!” gumam Pangeran Matahari dengan
gigi-gigi bergemeletakkan. Dia hantamkan tangan kanannya. Lepaskan pukulan
Gerhana Matahari. Sinar kuning, merah dan hitam memang berkiblat. Namun sebelum
mencapai tubuh Wiro, hawanya yang panas membakar berubah menjadi dingin hingga
ketika serangan itu melanda Pandekar 212, dia hanya merasakan seperti disapu
angin sejuk!
Kaget Pangeran Matahari bukan
kepalang. Diam-diam nyalinya mulai menciut. Namun manusia congkak ini tak mau
mangalah begitu saja. Sekali lagi dia hendak mencoba. Bahu kanannya digerakkan.
Tubuh Ni Luh Tua Klungkung mencelat mental ke arah semak belukar dan tersangkut
di sana. Sang pangeran kemudian membuat kedudukan yang hampir sama dengan apa
yang dilakukan Wiro. Kedua kakinya mengangkang. Tangan diangkat ke atas. Mulut
komat kamit. Telapak tangan digerakkan perlahan. Didorong ke arah Wiro.
Terdengar suara berdesir. Menyusul deru angin panas keluar dari masing-masing
telapak tangan.
Di seberang Pangeran Matahari,
Wiro tetap tegak di tempatnya dan lipat gandakan kekuatan tenaga dalamnya.
Tubuhnya bergetar keras dan keringatnya bercucuran padahal udara di tempat itu
dingin bukan kepalang!
Deru angin panas yang keluar
dari dua telapak tangan Pangeran Matahari, yang disesrtai kekuatan tenaga dalam
penuh mula-mula tertahan seolah terbendung oleh tembok baja yang sangat atos.
Begitulah kehebatan ilmu Angin Es yang jarangjarang dikeluarkan oleh Pendekar
212. Namun ternyata murid Sinto Gendeng ini tak bisa bertahan lama. Karena
begitu Pangeran Matahari mendorong sambil maju selangkah demi selangkah Wiro
meraskan dadanya menjadi panas. Ketika dia merasa tak sanggup bertahan maka
sambil berteriak keras Wiro menekuk lutut dan menghantam ke depan dengan Dewa
Topan Menggusur Gunung. Ilmu pukulan sakti ini didapatnya dari Tua Gila di
pulau Andalas. Terdengar suaa menggemuruh yang mengingatkan Pangeran Matahari
pada meletusnya Gunung Merapi belasan tahun silam. Pukulan Merapi Meletus yang
terus dilancarkannya dan diharapkan dapat merobohkan lawan ternyata kini mulai
menjadi kendur.
“Gila!” maki Pangeran
Matahari.
Sementara tangan kiri masih
terus bertahan dari serangan pukulan Merapi Meletus, tangan kanan tiba-tiba
diturunkan dan dengan tangan ini dia kembali lancarkan pukulan sakti dengan
kempiskan perutnya. Inilah satu pertanda bahwa dia kini menghadapi lawan dengan
seluruh tenaga dalam yang ada!
Letusan dahsyat menggelegar di
tempat itu. tanah puncak bukit longsor di beberapa bagian. Pohon-pohon
bertumbangan. Ni Luh Tua Klungkung yang menyangsrang di semak belukar jatuh
terguling dan secata aneh totokan yang menguasai tubuhnya mendadak terlepas
buyar!
Pendekar 212 Wiro Sableng
terpental sampai enam langkah. Sebaliknya Pangeran Matahari jatuh duduk lalu
terbanting ke tanah. Mulutnya terasa panas dan asin pertanda ada darah yang
melesat lewat tenggorokannya, melesat ke mulut. Dadanya mendenyut sakit.
Sadarlah manusia ini kalau tingkat tenaga dalamnya walaupun sangat tipis, tapi
masih berada di bawah lawannya.
Ketika dapatkan dirinya
terbebas dari totokan, tanpa sadar akan keadaan dirinya, Ni Luh Tua Klungkung
langsung melompat ke arah Pangeran Matahari sambil ayunkan kepalan menghantam
batok kepala orang yang tadi hampir menodainya. Meskipun masih dicekam rasa
kaget, sakit dan kecut namun Pangeran Matahari masih sempat melihat datangnya
serangan itu. Kalau tadi dia tengah berusaha bangkit, diserang begitu rupa maka
dia jatuhkan diri kembali ke tanah sambil hantamkan tangan kanan ke atas
melepas tangkisan dan juga sekaligus totokan karena sang pangeran masih
menginginkan gadis itu tertawan hidup-hidup.
Namun di saat yang sama dari
jurusan kiri Pendekar 212 Wiro Sableng menyerbu melompatinya dan lepaskan
pukulan tangan kosong jarak pendek. Hingga mau tak mau Pangeran Matahari
terpaksa batalkan serangan terhadap Ni Luh Tua Klungkung sambil mengelak lalu
pusatkan perhatian untuk menangkis serangan Wiro.
Perkelahian jarak pendek iu
tidak dapat menghindarkan terjadinya bentrokan lengan. Justru inilah yang
diharapkan Pangeran Matahari karena dia percaya dengan terjadinya bentrokan dia
dapat mengirimkan racun jahat hitam panas dan menghanguskan ke ubuh lawan.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng yang yakin akan keampuhan Kapak Naga Geni 212
unuk menolak segala macam racun jahat tidak ingin menghindari bentrokan itu.
Maka ketika dua lengan saling beradu kedua pemuda itu sama-sama terlempar.
Pangeran Matahari karena
sebelumnya telah terluka di dalam berada pada keadaan cukup parah. Tubuhnya
terguling sambil mulutnya muntahkan darah segar. Wiro memang terlepas dari
keganasan racun manghanguskan sang pangeran tapi tulang lengan kanannya terasa sakit
tanda ada bagian yang retak.
“Ah, untuk kedua kalinya aku
terpaksa mengalah! Keparat betul!” mengeluh dan memaki Pangeran Matahari dalam
hati. Bertapapun hatinya ingin memboyong Ni Luh Tua Klungkung kembali namun
keselamatan diri lebih diutamakannya. Maka tanpa pikir panjang dan menunggu
lebih lama Pangeran Matahari segera berkelebat larikan diri kea ah kanan, ke
bagian paling gelap di sekitar tempat itu.
Ni Luh Tua Klungkung nekad
hendak mengejar tapi Wiro cepat mencegah sambil berseru “Jangan kejar!” Dia
kawatir gadis ini justru bakal mengalami malapetaka baru.
Sang dara hentakkan kakinya ke
tanah. “Kau melarangku mengejar manusia terkutuk yang hendak merusak
kerhormatanku! Apa hakmu!” Si gadis berbalik dan menghardik marah.
Wiro buka bajunya dan
melemparkan pakaian ini ke arah Ni Luh Tua Klungkung. “Kau pakailah baju itu.
Tubuhmu terbuka tak karuan!”
Mendengar ucapan Wiro baru
sadar sang dara akan keadaan dirinya. Sambil memungut baju yang dilemparkan itu
dia berkata “Aku bersumpah untuk membunuh manusia satu itu!” Ni Luh mengenakan
baju itu di balik pohon besar yang tumbang. Karena dia lebih pendek dari Wiro
maka baju putih yang cukup dalam itu dapat menutupi tubuhnya sampai sebatas
lutut.
“Kau tak kurang suatu apa
sahabat?” tanya Wiro ketika Ni Luh Tua Klungkung keluar dari balik pohon.
“Untung kau cepat datang.
Terlambat sedikit saja aib besar pasti sudah menimpa diriku! Pangeran keparat
itu terhalang maksud kejinya ketika atap pondok bobol dan dinding-dinding
runtuh. Disusul letusan peledak yang agaknya memang sengaja ditanamnya di
lantai pondok. Dia membawaku lari keluar sekalian untuk menyelidiki siapa yang
jadi korban bahan peledaknya. Gila! Udara di sini mengapa dingin sekali seperti
di punca gunung!”
“Itu karena kau memakai baju
pinjaman!” sahut Wiro seraya tersenyum. “Aku yang bertelanjang dada tidak
merasa dingin apa-apa!”
“Uh! Kalau tidak terpaksa
siapa sudi mengenakan baju busuk dan basah oleh keringat ini!” jawab sang dara
merengut.
Wiro kembali tertawa. “Kurasa
kau lebih bagus muncul dengan wajah aslimu dari pada memakai segala macam
topeng penyamaran!”
Ni Luh Tua Klungkung mengusap
wajahnya. “Sebaiknya kita pergi saja dari tempat celaka ini! Makin cepat aku
mendapatkan pakaian pengganti akan lebih baik bagiku!” Lalu dara itu tinggalkan
puncak bukit gelap tersebut. Pendekar 212 Wiro Sableng mengikuti dari belakang.
TAMAT