-------------------------------
----------------------------
017 Lima Iblis Dari Nanking
1
DI BAWAH pemerintahan Cu Goan
Ciang yang berhasil mengusir kaum penjajah Mongol didirikanlah kerajaan
Tiongkok baru yang diberi nama Kerajaan Beng. Sebagai raja Cu Goan Ciang lebih
dikenal dengan sebutan Kaisar Thaycu.
Ibukota kerajaan yang dulu
terletak di Peking (Ibukota Utara) dipindahkan ke Nanking (Ibukota Selatan).
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan serangan tak terduga dari
bangsa Mongol.
Di samping itu sejumlah
balatentara besar ditempatkan di Peking dan sebagai panglima tertinggi di
Peking merangkap wakil langsung Kaisar di Nanking, oleh Kaisar Thaycu
diangkatlah putera kandungnya yang bernama Cu Yung Lo.
Sebelum meninggal dunia Kaisar
Thaycu yang bertahta di istana Nanking mengangkat Hui Ti sebagai penggantinya.
Hui Ti adalah cucu yang amat disayangi Kaisar, merupakan putera dari anak
sulungnya, jadi adalah keponakan langsung Pangeran Yung Lo.
Pengangkatan Hui Ti sebagai
Kaisar baru inilah yang kemudian menjadi pangkal silang sengketa dan malapetaka
dalam Kerajaan Beng. Sebagai anak kandung atau putera Kaisar Thaycu, Pangeran
Yung Lo merasa lebih berhak untuk menjadi Kaisar dibanding dengan Hui Ti yang
hanya seorang cucu. Hal ini kemudian berubah menjadi pertentangan dan
perpecahan dan pada puncaknya mengakibatkan perang saudara yang hebat.
Pangeran Yung Lo dengan
sejumlah balatentara besar menyerbu Nanking. Peperangan tak dapat dihindar dan
peperangan ini bertambah dahsyat karena tidak saja melibatkan balatentara kedua
belah pihak tetapi juga melibatkan banyak tokoh-tokoh dunia kangouw
(persilatan)
Pihak Selatan dengan
mati-matian berusaha mempertahankan diri dari serbuan yang hebat itu. Namun
segala upaya sia-sia belaka. Balatentara Pangeran Yung Lo laksana air bah.
Selatan kalah, Nanking jatuh dan Kaisar Hui Ti tertawan hidup-hidup. Dia
dijebloskan ke dalam penjara, masih untung tidak dijatuhi hukuman gantung atau
pancung.
Meskipun kemudian perang sudah
lama berakhir, tetapi keamanan negeri tidak keseluruhannya dapat ditanggulangi.
Di mana-mana sisa-sisa pasukan yang masih setia pada Kaisar Hui Ti mengadakan
kekacauan, menimbulkan kerusuhan-kerusuhan, perampokan dan pembunuhan. Pospos
tentara yang tak begitu kuat dan terutama yang terletak di tempat terpencil
menjadi korban penyerbuan.
Dalam suasana Kerajaan Beng
seperti scat itulah terjalinnya kisah silat ini.
***
SUATU HARI, sebulan setelah
Kaisar Hui Ti ditumbangkan, serombongan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan
seorang perwira muda berkepandaian tinggi tampak bergerak meninggalkan Nanking.
Mereka tengah mengawal sebuah kereta berisi emas milik bekas Kaisar Hui Ti
untuk di bawa ke Peking atas perintah Kaisar Yung Lo.
Dua hari berlalu. Rombongan
telah jauh meninggalkan Nanking namun Peking yang menjadi tujuan masih amat
jauh di sebelah Utara.
Karena matahari tidak bersinar
terlalu terik dan angin sejuk bertiup sepanjang perjalanan, kusir kereta
memegang tali les sambil bernyanyi kecil. Di sebelahnya duduk seorang, pengawal
berusia agak lanjut tetapi memiliki ilmu silat bukan sembarangan, bahkan
kepandaiannya setingkat lebih tinggi dari perwira muda yang menjadi pimpinan
rombongan itu. Pengawal tua ini bernama Thian Gay dan dikenal dengan julukan
Thian Gay Si Tangan Baja.
Di sebelah depan kereta yang
membawa emas dan juga di sebelah belakang terdapat masingmasing enam orang
pengawal hingga keseluruhan rombongan berjumlah 15 orang. Karena mereka membawa
emas yang tak ternilai harganya maka keberangkatan rombongan ini sangat
dirahasiakan.
Sampai hari ke tiga perjalanan
berjalan lancar tanpa suatu halangan. Akan tetapi pada hari ke empat, sewaktu
rombongan mengambil jalan memotong terdekat memasuki sebuah hutan di kaki bukit
terjadilah hal yang mengejutkan. Jalan di hadapan perwira muda pemimpin
rombongan tibatiba saja runtuh amblas! Ternyata di situ telah digali sebuah
lobang besar yang diganjal dengan ranting-ranting kecil dan kemudian ditutup
kembali baik-baik dengan tanah serta dedaunan.
Tak ampun lagi kuda yang
ditunggangi sang perwira, termasuk enam pengawal di belakangnya terperosok dan
terjebak masuk ke dalam lobang yang dalamnya hampir lima kaki. Jika enam
pengawal berseru kaget kalang kabut maka perwira muda tadi masih dapat
menguasai diri. Dengan sikap tenang tapi gesit danmengandalkan gingkangnya
(ilmu meringankan tubuh) yang lihay dia melesat dari punggung kuda. Sebelum
kedua kakinya menginjak tanah, tiba-tiba telinganya menangkap suara berdesing.
Menyusul kemudian terdengar jerit kematian yang mengerikan!
Enam pengawal yang barusan
berhamburan masuk lobang bersama beberapa ekor kuda tunggangan mereka,
menggapai-gapai mencoba keluar dari lobang tersebut. Ada yang patah tulang
bahu, tulang kaki atau tangan. Dalam keadaan seperti itu, belum mampu mereka
keluar dari lobang, selusin golok terbang menderu, menancap di dada, ada yang
di leher atau perut, bahkan ada yang menancap di kening, membuat ke enam
pengawal itu roboh, mengerang sebentar lalu mati!
Kuda-kuda yang meringkik
hingar bingar juga ikut menjadi korban golok-golok terbang yang ganas itu.
Akan keadaan kereta pembawa
emas, bila saja kusir tidak cepat menahan tali kekang, pastilah kereta itu akan
ikut menghambur terperosok masuk ke dalam lobang. Orang tua di samping kusir
kelihatan kerenyitkan kulit kening. Lalu dia keluarkan seruan keras.
"Semua siap sedia! Ada tangan-tangan
jahat yang menjebak kita di tempat ini!" Selesai berteriak tangan kanannya
lalu dihantamkan ke atas, ke arah sebatang pohon besar.
"Bangsat yang berani
berlaku kurang ajar tunjukkan tampang-tampang kalian!"
Serangkum angin menderu keluar
dari tangan Thian Gay Si Tangan Baja dan krak! Batang pohon di sebelah atas
patah. Cabang dan ranting-ranting serta dedaunan melayang gugur. Detik itu pula
terdengar suara tertawa bekakakan yang menggetarkan seantero hutan dan membuat
bergemetarnya mereka yang mendengar.
Lima sosok tubuh berkelebat
dari atas pohon yang tumbang dan serentak dengan itu enam batang golok terbang
bersiuran ke arah Thian Gay!
Karena tidak menduga akan
mendapat serangan mendadak begitu rupa sedangkan dia baru saja melepas pukulan,
Thian Gay menjadi cukup kaget. Dua golok terbang dihantamnya dengan tangan
kanan. Begitu tangan kanannya beradu dengan golok-golok olah dua golok tadi
melabrak baja dan patah. Tak percuma dia mendapat julukan Si Tangan Baja.
Dengan menjatuhkan diri ke samping
dua buah golok lainnya berhasil dielakkan. Golok kelima dapat ditangkis dengan
tendangan tepat pada gagang golok. Namun serangan golok ke enam agak terlambat
dikelitnya. Bret! Bagian tajam golok merobek bahu pakaiannya, melukai daging
tubuh di bagian itu. Paras Thian Gay berubah. Jika dia masih dapat dihantam
oleh senjata lawan yang keenam sudah dapat dipastikannya bahwa penyerang bukan
manusia tingkat rendahan.
Mengingat tanggung jawabnya
dalam pengawalan kereta Thian Gay tak mau berlaku ayal. Dia melirik pada
perwira muda di sampingnya yang saat itu sudah cabut pedang dan tengah
menghadapi lima manusia yang baru saja melayang turun dari atas pohon.
Kelimanya berjubah hitam. Empat berambut gondrong awut-awutan Sedang yang
kelima berkepala botak berkilat. Tampang mereka buas seperti singa lapar, penuh
berewok dan menyeramkan. Pandangan mata mereka membersitkan kegarangan, haus
darah dan maut!
Lelaki gondrong yang tegak
paling ujung sebelah kanan keluarkan suara tertawa. Tubuhnya tinggi kurus.
Seputar pinggang jubahnya melilit belasan golok terbang. Bila dia bergerak
senjatasenjata itu bergesekan dan mengeluarkan suara gemerisik menggidikkan.
Manusia ini dikenal dengan panggilan Gui-kun Kui-to alias Gui Kun Si Golok
Iblis. Dialah tadi yang telah melemparkan golokgolok terbang merenggut nyawa
enam pengawal dan juga menyerang Thian Gay.
Di sebelah Gui-kun Kui-to
berdiri kambratnya yang memiliki rambut merah gondrong paling panjang menyela
sampai ke punggung. Rambut ini bukan sembarang rambut karena bisa dipergunakan
sebagai senjata maut! Rambutnya inilah yang membuat dia mendapat julukan Iblis
Rambut Merah atau Ang-mo It-kui.
Orang yang ketiga berdiri
sambil rangkapkan tangan di depan dada. Kepalanya botak licin dan berkilat.
Tubuhnya pendek gemuk. Dia terkenal dengan panggilan Tiat-thou-kui atau Iblis
Kepala Besi. Kalau kawannya tadi mengandalkan rambut sebagai senjata maka yang
satu ini mengandalkan kepalanya sebagai senjata maut. Boleh dikatakan sebagian
besar musuhnya menemui kematian di tanduk atau disodok dengan kepalanya yang
botak keras laksana bola besi itu!
Manusia berjubah hitam yang
keempat tegak dengan sikap angker, lebih seram dari yang lainlainnya. Tubuhnya
paling tinggi dan paling besar. Dialah yang dikenal dengan gelaran Nan-king
Kuiong atau Raja Iblis dari Nanking. Dan dialah yang menjadi pimpinan dari
semua manusia-manusia seram itu.
Orang terakhir berdiri di
ujung kiri. Dia bertubuh katai. Sepuluh kuku tangannya panjangpanjang dan
berwarna hitam. Inilah Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar Maut!
Thian Gay Si Tangan Baja
memandang dengan mata terpentang lebar pada kelima manusia berjubah itu. Dia
berusaha menekan debaran jantungnya.
"Nan-king Ngo-kui …
" desisnya membisiki perwira muda yang tegak di sebelahnya.
Mendengar bisikan itu berubahlan
paras si perwira yang bernama Ex Cu Liong. Sedang enam pengawal lainnya begitu
mendengar siapa manusia-manusia yang ada di depan mereka jadi bergetar lutut
masing-masing dan paras mereka laksana kain kafan.
Siapa yang tidak kenal dengan
Nan-king Ngo-kui atau Lima Iblis dari Nanking. Lima datuk iblis golongan hitam
yang berkepandaian tinggi. Pada masa perang saudara dulu mereka dikenal sebagai
pembantu utama Kaisar Hui Ti. Begitu perang berakhir dan Hui Ti ditawan,
kelimanya melenyapkan diri. Tahu-tahu kini muncul dalam keadaan begitu rupa.
Melihat cara mereka muncul dengan menyebar maut, jelas kelimanya mempunyai
maksud jahat dan keji.
Diam-diam Thian Gay mengeluh.
Meskipun perwira Cu Liong berkepandaian tidak rendah akan tetapi menghadapi
lima manusia iblis itu sama saja dengan usaha hendak lolos dari lubang jarum.
Jago tua Thian Gay sudah mencium maut kematiannya sendiri!
***
2
KALAU tadi perwira muda Cu
Liong hendak naik pitam melihat kematian enam anak buahnya, kini setelah
mengetahui siapa adanya lawan yang dihadapi mau tak mau dia harus menekan
amarah dan tidak boleh bertindak gegabah. Cu Liong membuka mulut.
"Sungguh tidak disangka
hari ini kami akan bertemu dengan Nan-king Ngo-Kui yang terkenal. Mengingat
perang telah lama usai dan pihak Pemerintah juga tidak pernah mengutik-utik
diri ngo-wi locianpwe sekalian meskipun dulu diketahui ngo-wi membantu
pemberontak Hui Ti, maka adalah menjadi tanda tanya bagi kami mengapa hari ini
begitu muncul ngo-wi langsung menjatuhkan tangan maut pada anak-anak buahku
yang tidak berdosa?"
Gui-kun Kui-to, orang ke lima
dalam urutan lima manusia iblis itu batuk-batuk beberapa kali lalu menyahuti.
"Perwira anjing
peliharaan Yung Lo! Kau dengarlah baik-baik. Perang memang sudah lama selesai
tetapi akibatnya masih tetap akan terasa, malah mungkin lebih hebat dari
peperangan itu sendiri!
Kau menyebut Kaisar Hui Ti
sebagai pemberontak. Kotor dan lancang sekali mulutmu. Kaisar Thaycu sendiri
yang mengangkatnya untuk menduduki tahta kerajaan Beng. Dan si Yung Lo yang
temahak busuk itulah yang telah melakukan pengkhianatan, memberontak! Sekarang
kalian sebagai kaki tangan Yung Lo keparat itu boleh merasa menang. Tapi ingat,
akan datang harinya kalian akan menerima pembalasan!"
Merah paras perwira Cu Liong
yang dimaki anjing.
"Memandang nama besar
ngo-wi sekalian aku masih mau memberi maaf atas kata-kata yang bersifat
menghina diriku. Tapi penghinaan kurang ajar terhadap Kaisar Yung Lo
benar-benar tak bisa diberi ampun!"
"Oh begitu?" ujar
Gui-kun Kui-to.
Si botak Tiat-thou-kui
menimpali. "Kalau tak bisa diberi ampun, lalu apakah kau akan menangkap
kami berlima?" Habis bertanya begitu si botak lantas tertawa mengejek.
"Rasanya belum terlambat
bagi kalian berlima untuk kembali ke jalan benar. Bila kalian bersedia ikut ke
Kotaraja menghadap Kaisar Yung Lo, aku bersedia memintakan ampun bagi kalian
dan bukan mustahil Kaisar mau mengambil kalian-kalian sebagai
pembantu-pembantunya… "
"Dijadikan anjing
peliharaannya seperti dirimu?" tukas Tiat-thou-kui pula dan bersama
kawankawannya dia tertawa gelak-gelak.
Thian Gay Si Tangan Baja yang
sejak tadi bungkam mendehem beberapa kali lalu berkata, "Memang tak
mungkin bagi kami memaksa ngo-wi ikut ke Kotaraja. Sebaiknya lupakan saja apa
yang barusan kita perbincangkan dan sekarang masing-masing kita sama
meninggalkan tempat ini dengan aman."
Cu Liong hendak membuka mulut
membantah ucapan Thian Gay itu. Mana mungkin kematian enam anak buahnya dapat
dilupakan begitu saja. Bagaimana pertanggunganjawabnya nanti terhadap atasannya
di Kotaraja? Namun ketika melihat isyarat mata yang diberikan Thian Gay
terpaksalah perwira muda ini membatalkan niatnya.
"Tua bangka Thian Gay,
kau memang pandai bicara," berkata Nan-king Kui-ong, pentolan kepala lima
manusia iblis itu. "Tetapi kenapa kau dan orang-orangmu buru-buru hendak
pergi?"
Saat itu Thian Gay sudah
membalikkan diri melangkah mendekati kereta. Langkahnya tertahan.
Dalam batin dia bertanya
apakah manusia-manusia iblis itu sudah mengetahui apa isi kereta? Di dengarnya
suara Nan-king Kui-ong kembali, "Bagus kalau kau mau melupakan apa yang
telah terjadi.
Sekarang bagaimana kalau kau
dan perwira muda ini masuk saja ke pihak kami?!"
"Siapa sudi!" bentak
Cu Liong dengan keras.
Sebaliknya Thian Gay menjawab
dengan bijaksana. "Tawaranmu itu biarlah kupertimbangkan dulu. Nanti
kukirim orang untuk menemui kalian berlima."
"Eh, mana bisa begitu
aturannya," kata Ang-mo It-kui, orang keempat dari Lima Iblis. "Tanya
sekarang harus jawab sekarang!"
Thian Gay jadi serba salah.
"Maaf, kalau kalian keliwat memaksa, mana mungkin … "
Ang-mo It-kui berpaling pada
Nan-king Kui-ong. "Kalau begitu kita tak perlu bicara panjang lebar lagi
dengan cecunguk-cecunguk ini!"
Nan-king Kui-ong menyeringai
lalu mengangguk dan berkata: "Bunuh mereka. Semua!"
Maka Ang-mo It-kui lantas maju
menerjang Cu Liong sedang Gui-kun Kui-to menyerbu ke arah Thian Gay Si Tangan
Baja.
"Hai apakah kalian tidak
akan membantu tuan-tuan besar kalian?" berteriak Tui hun Hui mo pada enam
pengawal yang masih tegak tertegun di depan kereta.
Para pengawal mengerti kalau
mereka tak bakal hidup lama. Memikir sampai di situ rasanya saat itu mereka mau
ambil langkah seribu. Namun mengingat tugas dan pengabdian terhadap Kaisar,
keenamnya memutuskan untuk cabut senjata dan bergerak maju membantu Cu Liong
serta Thian Gay.
Sambil tertawa mengekeh
Tui-hun Hui-mo jentikkan kuku-kuku jarinya yang panjang dan berwarna hitam.
Lima pengawal menjerit lalu roboh bergelimpangan kena sambaran lima larik sinar
hitam yang keluar dari ujung-ujung kuku Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar
Maut. Pengawal yang keenam bernasib lebih buruk. Tubuhnya mencelat dimakan
tendangan manusia iblis itu hingga dadanya hancur. Sementara itu perkelahian
antara Gui-kun Kui-to Si Golok Iblis berkecamuk melawan Thian Gay dengan
hebatnya. Satu kali lengan mereka saling beradu keras. Thian Gay Si Tangan Baja
tersurut empat langkah sedang Gui-kun Kui-to terpental tiga langkah dan
lengannya terasa seperti hancur. Daging lengan di bagian yang beradu kelihatan
membengkak merah kebiruan.
Nyatanya julukan Si Tangan
Baja yang dimiliki Thian Gay bukan julukan kosong. Pukulannya datang
bertubi-tubi membuat Gui-kun Kui-to jago kelima dari Nan-king Ngo-kui harus
mengeluarkan kegesitannya berkelebat kian kemari untuk mengelakkan serangan
lawan. Menangkis kini dia tak berani. Sekali salah satu bagian tubuhnya kena
dihantam tangan lawan pasti celaka.
Setelah dua puluh jurus masih
saja dia menjadi bulan-bulanan serangan lawan, Gui-kun Kui-to jadi penasaran.
Tanpa malu-malu dia menghunus golok besar yang terselip di pinggang kirinya.
Sekali dia memutar senjata itu, anginnya saja membuat Thian Gay harus bertindak
waspada. Dengan golok di tangan tampaknya Gui-kun Kui-to berhasil menahan
serangan tangan kosong lawan. Merasa mulai berada di atas angin manusia iblis
ini lancarkan serangan-serangan ganas.
Namun satu kali sewaktu
tubuhnya kehilangan keseimbangan karena begitu bernafsu membacok dan ternyata
hanya menghantam tempat kosong, dari samping Thian Gay memukul badan golok
hingga senjata itu terlepas mental dan patah dua!
Gui-kun Kui-to bersurut
mundur.
Melihat hal ini Nan-king
Kui-ong segera berteriak, "Tiat-thou-kui! Kau bantulah Gui Kun!"
Tiat-thou-kui, orang ketiga
dari Nan-king Ngo-kui yang berkepala botak itu menggerang. Dia usap-usap
botaknya sambil bergerak memasuki kalangan perkelahian. Di saat yang sama
Gui-kun Kui-to kembali maju. Dan kini terjadilah perkelahian dua lawan satu.
Dikeroyok begitu rupa mulamula Thian Gay bisa bertahan beberapa jurus. Namun
kemudian dia mulai tampak terdesak.
Selain memiliki
pukulan-pukulan tangan kosong yang deras Iblis Kepala Besi itu ternyata amat
berbahaya kepalanya yang botak. Thian Gay sudah pasang tekad. Kalaupun dia
menemui ajal di tangan pengeroyok, paling tidak salah satu lawannya harus ikut
mati bersamanya. Namun tekadnya itu sama sekali tidak menjadi kenyataan. Karena
beberapa saat kemudian, dalam satu jurus yang hebat, selagi dia berusaha
mengelakkan pukulan dan tendangan Gui-kun Kui-to, tahu-tahu dari samping
Tiat-thou-kui kirimkan satu serangan ganas. Kepalanya yang lebih keras dari
besi melesat ke dada Thian Gay. Jago Kaisar ini berusaha mengelak sambil
memukul kepala lawan dengan tangan kanannya. Dia begitu yakin bahwa tangannya
yang atos akan sanggup menghancurkan kepala lawan. Mana mungkin besi bisa
menang lawan baja!
Tetapi sesaat lagi ubun-ubun
Tiat-thou-kui akan kena digeprak, seperti seekor ular kobra tahutahu kepala
manusia iblis itu melesat ke bawah, menyelusup menghantam perut Thian Gay.
Thian Gay Si Tangan Baja terdengar
menjerit. Tubuhnya mencelat jauh. Terhampar di tanah tanpa bergerak dan tak
bernyawa lagi. Mati dengan perut pecah!
Sambil bersihkan darah yang
mengotori kepala botaknya Tiat thou kui tertawa gelak-gelak.
Sementara itu perkelahian
antara Iblis Rambut Merah alias Ang-mo It-kui melawan perwira muda Cu Liong
telah memasuki jurus ke 29. Meski sang perwira memegang pedang dan mengurung
lawan dengan serangan menderu-deru namun sebegitu jauh pedangnya masih belum
mampu menyentuh tubuh lawan. Sebaliknya setiap kali Ang-mo It-kui menggoyangkan
rambutnya maka menghamburlah angin serangan yang berbahaya dan rambut panjang
manusia iblis ini seolah-olah berubah menjadi pedang yang memapas atau menusuk
dan membuat Cu Liong terkesiap.
"Ang-mo It-kui!"
terdengar seruan Nan-king Kui-ong, pimpinan dari lima manusia iblis itu.
"Jangan beri malu nama
besar Nan-king Ngo-kui. Masakan menghadapi cacing tanah yang masih ingusan
begitu saja kau tak sanggup membereskannya dengan cepat?"
Mendengar teguran itu Ang-mo
It-kui menjawab, "Harap maafkan pangcu. Bukan maksudku untuk main-main.
Tapi tubuh ini sudah lama tidak bergerak badan. Aku ingin mencari sedikit
kesegaran. Tapi baiklah. Kau lihatlah ini!" (pangcu = ketua/pemimpin)
Habis berkata begitu Ang-mo
It-kui mengeluarkan suara tertawa aneh. Kepalanya digoyangkan. Sebagian
rambutnya yang menyela bahu melesat ke depan membelit pedang Cu Liong yang
datang menyambar. Perwira Kerajaan ini coba menarik pedangnya. Dia jadi
terkejut. Karena semakin ditarik, semakin kuat libatan rambut merah itu!
Ang-mo It-kui menyentakkan
rambutnya. Cu Liong berusaha mempertahankan pedang. Tapi dia kalah kuat.
Tubuhnya terbetot ke depan. Detik itu pula gerombolan rambut yang lain dari
Ang-mo It-kui menyambar ke depan, menghantam tepat kening perwira muda itu.
Cu Liong hanya dapat keluarkan
rintihan pendek. Di keningnya kelihatan lobang besar yang mengeluarkan darah
dari kepalanya yang rengkah!
***
3
BUKIT kecil itu terletak dua
hari perjalanan kuda dari Hankouw. Di sebuah peladangan gandum yang subur
seorang lelaki berusia 40 tahun sibuk menyiapkan hasil ladangnya karena dua
hari di muka seorang pembeli dari Hankouw bakal datang memborong seluruh
gandumnya.
Di tepi ladang seorang anak
lelaki berumur 8 tahun asyik membuat puput dari gulungan daun kelapa. Dia
adalah Sun Bi anak pemilik ladang gandum itu sedang sang ayah adalah Ki Hok
Bun.
Tiba-tiba Hok Bun menghentikan
pekerjaannya. Dia berdiri tenang-tenang. Sepasang telinganya yang tajam
mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Dia berpaling ke arah bukit. Di lereng
tampak lima orang penunggang kuda bergerak menuruni bukit, diikuti oleh tiga
ekor kuda yang membawa barang.
"Ada orang datang
ayah," kata Sun Bi seraya berlari mendapatkan ayahnya.
Ki Hok Bun mengangguk. Hatinya
tiba-tiba saja merasa tidak enak. Makin dekat rombongan ke lima orang itu makin
tidak enak perasaannya. Kelima penunggang kuda berseragam jubah hitam. Di
hadapan rumah Ki Hok Bun lima penunggang kuda berhenti dan turun dari kuda
masingmasing.
Ingat akan istrinya yang ada
di rumah. Ki Hok Bun cepat-cepat keluar dari balik kerimbunan pohon-pohon
gandum. Sun Bi berlari kecil mengikutinya dari belakang.
Sepuluh langkah dari langkan
rumah, orang berjubah hitam yang tubuhnya paling tinggi dan paling besar
mengangkat kedua tangannya, tertawa bergelak dan berseru, "Hok Bun
ciangkun!"
Sesaat Ki Hok Bun tertegun dan
kaget. Sudah sekian lama tak seorang pun pernah lagi memanggilnya dengan
sebutan ciangkun itu. Sebuah sebutan terhormat yang hanya diberikan pada
perwira tinggi Kaisar. Dan kini ada orang yang memanggilnya dengan sebutan itu.
Namun ketika dia mengenali siapa adanya si tinggi besar itu maka diapun berseru
gembira.
"Bu ceng enghiong! Kukira
siapa. Sungguh pertemuan yang tidak disangka!" Keduanya kemudian saling
rangkul.
Ki Hok Bun lalu berpaling pada
empat orang berjubah lainnya dansatu demi satu mereka merangkul pemilik ladang
gandum itu.
"Lima sahabat lama berada
di sini. Benar-benar membuat aku gembira."
Karena suara ribut-ribut di
luar, The Cun Giok, istri Ki Hok Bun meninggalkan masakannya di dapur dan
menjenguk keluar.
"Ini anak ciangkun
…?" orang berjubah tinggi besar yang bukan lain adalah Nan-king Kui-ong
bertanya sambil memandang pada Sun Bi.
"Betul."
"Dan gadis itu … ?"
lelaki berambut merah Ang-mo It-kui menunjuk ke arah pintu. Mendengar
disebutnya "gadis" yang lain-lain ikut berpaling.
"Dia istriku,"
menerangkan Ki Hok Bun. "Waktu perang ibunya Sun Bi meninggal dunia. Hidup
sendirian di peladangan begini sepi sekali. Aku lalu mencari pengganti ibunya
Sun Bi."
Bola mata lima manusia iblis
itu bersinar-sinar seolah-olah hendak menelanjangi sekujur tubuh Cun Giok.
Perempuan yang cantik jelita yang tadinya mereka sangka adalah seorang gadis
itu ternyata adalah istrinya Hok Bun.
Nan-king Kui-ong basahi bibir
dengan ujung lidah lalu berkata, "Ah, sungguh nasibmu jauh lebih beruntung
dari kami, ciangkun. Kau kini hidup tenteram, punya anak, punya ladang luas dan
punya istri muda cantik sekali!" Kui-ong basahi bibirnya kembali dengan
uiung lidah dantenggorokannya tampak turun naik.
Diam-diam Hok Bun merasa tidak
senang melihat sikap dan cara memandang kelima orang itu terhadap istrinya.
Cepat-cepat dia berkata,
"Cun Giok masuklah. Hidangkan anggur harum. Lalu atur meja.
Sahabatsahabatku ini tentu dahaga dan lapar."
Cun Giok segera masuk ke dalam
sementara Hok Bun mempersilahkan kelima orang itu masuk ke rumah danmengambil
tempat duduk. Sambil berkipas-kipas sesekali Nan-king Kui-ong yang nama aslinya
adalah Bu Ceng melirik ke ruang dalam mengintai istri Hok Bun. "Kau
beruntung sekali ciangkun. Beruntung sekali … " ujar Nan-king Kui-ong.
Hok Bun tersenyum.
"Antara kita tak ada lagi ikatan atau hubungan ketentaraan. Karenanya tak
usah menyebutku dengan panggilan ciangkun itu … "
"Ah, kau terlalu
merendah. Kau tahu dalam waktu singkat kau akan dikembalikan pada jabatan
lamamu sebagai perwira tinggi. Bahkan mungkin sebagai seorang jenderal. Dan
orang-orang kembali akan memanggilmu dengan sebutan ciangkun. Kau tak usah
sungkan-sungkan. Bukankah begitu sahabatku?"
Empat orang yang ditanyai sama
mengangguk menanggapi ucapan Nan-king Kui-ong itu.
"Bu Ceng enghiong,"
kata Hok Bun, "kulihat kau habis mengadakan perjalanan jauh bersama
teman-teman. Di luar sana ada tiga kuda membawa peti-peti besar. Apa isi
peti-peti itu kalau aku boleh tahu?"
"Begini ciangkun. Eh,
kalau kau tak sudi dengan sebutan itu bagaimana jika kami panggil dengan
sebutan twako saja?" yang berkata adalah si gundul Tiat-thou-kui. Twako
artinya kakak dan memang di antara mereka Hok Bun berusia paling tua.
"Kami berlima beberapa hari lalu telah menghadang anjing-anjing Kaisar
Yung Lo di luar kota Nanking. Memang sedang hoki, rombongan anjing Kaisar itu
ternyata membawa sebuah kereta berisi tiga peti emas. Semua anggota rombongan
kami bunuh. Dan kini tiga peti emas itu menjadi milik kita bersama!"
"Kita?" ujar Hok Bun
tak mengerti. "Kita siapa maksudmu?"
"Ya kita! Kami dan kau
twako!" yang menjawab adalah Ang-mo It-kui.
Hok Bun berpaling pada Bu Ceng
alias Nan-king Kui-ong. Sesaat kemudian dia berkata, "Bu Ceng enghiong,
sakit hati kita terhadap mereka yang kini berkuasa memang tak mungkin bisa
dihapus lenyap untuk selama-lamanya. Namun adalah terlalu berbahaya bagi kau dan
teman-teman melakukan perampokan. Apalagi disertai membunuh prajurit Kerajaan
dan dua orang perwira. Tokoh-tokoh silat yang berpihak pada pemerintah
sekarang, dibantu ratusan perajurit Kerajaan pasti akan mencari cuwi sekalian.
Kita semua bisa celaka. Termasuk istri dan anakku."
"Siapa takutkan
mereka?" tukas Gui-kun Kui-to seraya betulkan letak golok-golok terbangnya
yang berisikan seputar pinggang.
"Memang aku tahu betul
para enghiong di sini tidak menaruh takut terhadap mereka. Tetapi alat-alat
Kerajaan bisa bikin susah kita semua dan membuat hidup jadi tidak tenterarn.
Perlu diingat, keadaan sekarang sudah berbeda Bu Ceng enghiong."
"Berbeda bagaimana?"
tanya Nanking Kui Ong.
Hok Bun tak menjawab. Setelah
menghela nafas panjang dia kemudian bertanya, "Apa gunanya para enghiong
di sini melakukan perampokan itu?"
"Karena perang sebenarnya
belum berakhir twako dan kita perlu biaya untuk meneruskan peperangan,"
sahut Bu Ceng pula.
"Ah, lagi-lagi aku tidak
mengerti jalan pikiranmu," ujar Hok Bun. "Perang sudah lama berakhir.
Sejak lebih dari satu bulan lalu. Sejak jatuhnya Nanking ke tangan orang-orang
Kaisar Yung Lo. Sejak Kaisar Hui Ti yang kita hormati dijebloskan dalam
penjara. Apakah kau dan kawan-kawan tidak melihat kenyataan ini, sobatku?"
Bu Ceng memandang pada keempat
kawannya. Sesaat kemudian kelimanya sama tertawa gelak-gelak. Bu Ceng
geleng-gelengkan kepala.
"Kau salah twako. Salah
besar. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa di mana-mana sisasisa prajurit
Kaisar Hui Ti kini tengah melakukan perang gerilya di bawah pimpinan
perwira-perwira yang masih setia. Mereka berusaha menumbangkan kekuasaan Kasiar
Yung Lo yang kini mengangkat diri sebagai Kaisar Kerajaan Beng, di atas darah
dan nyawa, di atas pengkhianatan keji. Inilah yang disebut kenyataan,
twako."
"Memang itu adalah
kenyataan," jawab Hok Bun pula. "Tapi kenyataan yang tak mungkin
bertahan lama. Jumlah mereka yang bergerilya terlalu sedikit dan kekuatan
mereka terpencar-pencar, tak mungkin menghadapi balatentara Kerajaan, apalagi hendak
menumbangkan Kaisar Yung Lo. Mereka semua akan mati konyol dan perjuangan akan
sia-sia. Saat ini di mana musuh berada dalam puncak kekuatan, adalah bunuh diri
kalau kita berani angkat senjata."
"Lantas apakah akan
dibiarkan begitu saja anjing besar bernama Yung Lo itu bertahta sebagai Kaisar
yang bukan haknya? Dirampas secara keji?" ujar orang kedua dari Nan-king
Ngo-kui yakni Tui-hun Hui-mo.
"Sudah barang tentu tak
dapat dibiarkan. Tetapi juga tidak mungkin untuk menumbangkan kekuasaannya pada
saat sekarang ini. Mereka terlalu kuat. Perajurit-perajuritnya saja berjumlah
jutaan, belum terhitung perwira-perwira tinggi dan pembantu-pembantu dari
kalangan kangouw." (kangouw=dunia persilatan)
Bu Ceng kelihatan beringas.
Dia bangkit dari kursinya danmelangkah mundar mandir. Cun Giok saat itu keluar
membawa enam gelas berikut beberapa guci kecil anggur, lalu masuk kembali ke
dalam diikuti sorot mata liar Nan-king Ngo-kui. Tiat-thou-kui menelan liurnya
melihat telapak kaki nyonya rumah yang begitu putih.
"Apa yang aku katakan
semuanya benar twako, "terdengar suara Bu Ceng. "Dan justru karena
keadaan yang demikianlah membuat kami datang kemari. Orang-orang terlalu
sedikit dan terpencar. Senjata kurang pula. Di samping itu rakyat kurang membantu
karena takut terhadap pemerintah.
Namun walau bagaimanapun
perjuangan ini harus dilanjutkan. Menumbangkan Yung Lo dan mengangkat kembali
Kaisar Hui Ti. Perjuangan ini bukan saja memerlukan tenaga tetapi juga biaya.
Dan biaya itu rasanya sudah
mulai kita dapatkan. Yakni dengan adanya tiga peti besar berisi emas yang tak
ternilai harganya itu. Ini baru sebagian kecil saja dari modal kita untuk
menghimpun orangorang yang masih setia terhadap Kaisar Hui Ti. Kita akan
mempersenjatai mereka, melatih mereka untuk perang. Dengan kekayaan yang kita
miliki bahkan kita dapat membeli orang-orang berkepandaian tinggi untuk
menyingkirkan Yung Lo, kaki-kaki tangannya serta cecungukcecungguknya!"
"Semua rencanamu itu sama
saja dengan mimpi siang bolong, Bu Ceng enghiong. Jika kau terbangun musnahlah
mimpi itu. Jika kau nekad untuk meneruskannya maka celaka akan
menghadang."
"Setiap perjuangan harus
dengan pengorbanan. Kami berlima tidak takut mati, entah twako," tukas
Ang- mo It-kui dengan nada pedas.
"Kau betul sekali,"
menyahuti Hok Bun. "Perjuangan harus dengan pengorbanan. Tapi pengorbanan
yang sia-sia apa gunanya? Harap kalian merenungkan hal itu baik-baik."
Nanking Kui Ong menghentikan
langkah mundar-mandir. Nadanya agak geram ketika berkata, "Aku dan
kawan-kawan datang kernari bukan membawa persoalan untuk direnungkan. Kami
datang membawa rencana guna dilaksanakan. Dan kau harus ikut bersama kami
twako!" Hok Bun usap-usap dagunya.
"Maafkan aku. Itu tidak
mungkin kulakukan. Aku tidak mau melibatkan diri dengan kalian. Aku sudah muak
dengan peperangan."
Nan-king Kui-ong danempat
kawannya terkejut mendengar ucapan Hok Bun itu dan saling pandang. Mereka tidak
menyangka kalau kata-kata seperti itu bakal keluar dari mulut Ki Hok Bun.
Seorang bekas perwira tinggi yang semasa perang dulu menjadi atasan dan
pimpinan mereka.
"Ki Hok Bun twako,"
kata Nanking Kui Ong dengan suara bergetar. "Kau yang dulu dijuluki
Kim-hong Kiam-khek atau Pendekar Pedang Pelangi, terkenal dimana-mana, ditakuti
lawan di segala penjuru dandisegani serta dihormati teman seperjuangan, apakah
kini telah berubah menjadi macan kertas yang paling pengecut di muka bumi ini?
Tinggal nama belaka?"
Wajah Hok Bun tampak menjadi
merah kelam mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu. Lalu dengan menahan
emosi dia berkata, "Aku tak akan bicara panjang lebar mengenai rencana
ataupun perjuangan kalian. Jika kalian berlima masih menghormatiku sebagai
bekas pimpinan maka dengarlah nasihatku. Untuk sementara lupakan segala sesuatu
yang berbau perjuangan. Jauhkan keterlibatan dengan perang. Cobalah menempuh
hidup yang damai tenteram. Dengan bermodalkan tiga peti emas itu kalian bisa
memulai hidup baru yang bahagia bahkan mewah. Bukankah itu lebih baik dari
harus mengorbankan diri menantang bahaya api peperangan?"
Ang-mo It-kui geleng-geleng
kepala dan menoleh pada Nan-king Kui-Ong. "Pangcu, percuma saja. Ki Hok
Bun yang di depan kita ini agaknya sudah bukan lagi manusia gagah yang berjuluk
Kimhong Kiam-khek seperti dulu. Sekarang dia telah berubah menjadi manusia pengecut,
banci bahkan mungkin sudah jadi tikus!"
"Tutup mulutmu Ang-mo
It-kui! Jangan kurang ajar!" hardik Ki Hok Bun dan plak!
Tamparannya dengan keras
mendarat di pipi Ang-mo It-Kui. Demikian kerasnya hingga orang keempat dari
Nan-king Ngo-kui ini terjajar beberapa langkah, menyeringai kesakitan.
Sebenarnya rasa sakit itu tidak begitu dirasakan oleh Ang-mo It-kui. Namun
marah dan malu membuat dia jadi kalap mata gelap. Dia berteriak garang. Lalu
sambil menggembor seperti harimau luka dia melompat ke depan, menyerang Ki Hok
Bun bekas perwira tinggi Kerajaan itu dengan satu jotosan maut ke arah dada di
bagian jantung!
***
4
SEBAGAI orang yang pernah
menjadi atasan Ang-mo It-Kui dan empat manusia iblis lainnya itu Ki Hok Bun
tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian mereka. Namun saat itu dia jadi
terkejut menyaksikan angin pukulan Ang-mo It-kui. Jelas mengandung satu
kekuatan luar biasa. Yang berarti manusia ini telah jauh maju tenaga dalamnya
dalam waktu singkat. Dan melihat Ang-mo It-kui dalam melancarkan serangan
sengaja mengarah bagian yang berbahaya nyatalah bahwa orang ini tidak mainmain
bahkan ingin membunuhnya!
Tanpa berlaku ayal Ki Hok Bun
cepat berkelit ke samping. Namun sekonyong-konyong Angmo It-kui susul
serangannya yang gagal itu dengan serangan baru berupa tendangan dan hantaman
tangan kiri.
Ki Hok Bun berseru keras.
Melompat ke udara. Pukulan tangan kiri lawan lewat di sampingnya sedangkan
tendanyan yang juga berhasil dielakkannya menghantam meja kayu hingga
berantakan. Kendi anggur serta gelas yang ada di atasnya berhamburan dan pecah
berantakan.
"Ang-mo It-Kui!"
hardik Ki Hok Bun. "Jangan kau berani kurang ajar di rumahku! Tinggalkan
tempat ini atau kau akan menyesal!"
Habis berkata begitu Ki Hok
Bun dorongkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Ang-mo Itkui menjadi kaget
ketika merasakan bagaimana dari telapak tangan itu keluar satu dorongan kuat
laksana sebuah batu besar ratusan kati, mendorongnya dengan hebat. Ang-mo
It-kui berusaha pertahankan diri dengan memperkuat kuda-kuda kedua kakinya.
Namun ketika Ki Hok Bun datang lebih dekat tak ampun tubuhnya terjengkang dan
jatuh terguling di halaman depan rumah. Dengan pelipis bergerak-gerak menahan
amarah Ki Hok Bun berpaling pada Nan-king Kui-ong. "Bu Ceng
enghiong," katanya. "Kau bawalah kawan-kawanmu dari sini sebelum aku
jadi kalap dan menurunkan tangan salah!"
Nan-king Kui-ong tidak senang
melihat kejadian ini. Sepasang matanya membeliak garang. "Terhadap
Kerajaan dan Kaisar Yung Lo laknat itu kau menunjukkan kepengecutan. Tetapi
terhadap kawan sendiri, bekas anak buahmu, kau memiliki nyali luar biasa besar
bahkan tega memukulnya!"
"Aku telah menerima
kalian dengan baik. Tapi kalau kalian berlaku memaksa dan kurang ajar, jangan
salahkan kalau aku memberi sedikit peringatan…"
"Sedikit peringatan?
Memukul Ang-mo It-kui sampai begitu rupa kau sebut sebagai sedikit
peringatan…?" ujar Nan-king Kui-ong berang sementara Ang-mo It-kui bangkit
dari tanah. "Sudahlah Bu Ceng, jangan banyak mulut. Lekas pergi dari sini.
Bawa anak buahmu. Aku tak ingin melihat tampang-tampang kalian lagi!"
Iblis Kepala Besi
Tiat-thou-kui yang sejak tadi sudah tidak sabaran maju ke hadapan Ki Hok Bun
dan membuka mulut,
"Ki Hok Bun, lagakmu
keren amat! Apa ilmumu sudah setinggi langit sedalam lautan hingga berani berkata
dan bertindak seenaknya terhadap kami? Dulu kami memang anak-anak buahmu, tapi
sekarang keadaan berbeda. Kau tidak lebih tinggi dari kami. Tadi-tadi kami
sengaja untuk tetap menghormatimu, tapi nyatanya kau keras kepala … "
"Diam!" sentak Ki
Hok Bun. "Sekali aku bilang pergi dari sini ya pergi! Jangan banyak
cingcong!"
"Oho … hebatnya! Sombong,
keras kepala tapi pengecut!" ejek Gui-Kun Si Golok Iblis sambil
menggerakkan tangan seperti orang hendak bertolak pinggang. Tapi tiba-tiba
tangan kanan itu mencabut golok besar yang ada di sisi kirinya. Begitu golok
keluar dari sarung Gui Kun lantas kirimkan satu serangan ganas.
"Bagus Gui Kun! Kaupun
minta digebuk!" teriak Ki Hok Bun marah. Cepat dia membebaskan diri dari
serangan golok. Marah karena serangannya dapat dielak begitu mudah, Gui Kun
putar senjatanya dan membabat membalik untuk membacok putus tangan Hok Bun.
Tapi bekas perwira yang berpengalaman ini sudah dapat membaca maksud lawan.
Sambil merunduk Hok Bun menghantamkan tangan kanarinya ke atas.
"Krak!"
Bersamaan dengan terdengarnya
suara patahan lengan, terdengar pekik kesakitan Si Golok Iblis Gui Kun. Dia
melompat menjauhi lawan dan masih lindungi diri sambil pergunakan tangan kiri
untuk lemparkan golok terbang. Namun Hok Bun sudah lebih dulu melompat ke
samping hingga tiga golok terbang hanya mengenai tempat kosong lalu menancap di
dinding rumah.
Nan-king Kui-ong melengak
marah. Dua anak buahnya telah dihajar. Tapi untuk maju sendiri melakukan
pembalasan dia merasa bimbang. Bagaimanapun tingkat kepandaian Hok Bun tidak
bisa dibuat main. Kalau tidak maju berbarengan sulit untuk menghadapi orang
ini. Memikir sampai ke situ lalu diapun berteriak,
"Keroyok bangsat
ini!"
Maka Tui-hun Hui-mo Iblis
Pengejar Maut dan Ang-mo It-kui serta Tiat-thou-kui dan juga Gui Kun yang kini
hanya mengandalkan tangan kiri memegang golok serentak menyerbu ke depan.
Sedang Nan-king Kui-ong sendiri membantu dari belakang dengan kiriman
pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh yang sangat berbahaya. Ki Hok Bun
kertakkan rahang.
"Main keroyok! Nyatanya
kalianlah yang pengecut! Majulah lebih dekat biar kucincang kalian lebih
cepat!" teriak Hok Bun.
"Maut sudah di depan
mata! Kau masih saja bicara sombong dan ngaco! Kawan-kawan mari kita jagal
manusia ini cepat-cepat!" balas berteriak Nan-king Kui-ong.
Ki Hok Bun selain memiliki
kepandaian silat yang tinggi jelas bukan seorang berjiwa kecil dan pengecut.
Pengalamannya amat luas dalam perkelahian ataupun medan peperangan. Karenanya
tidak salah dia mendapat julukan Pendekar Pedang Pelangi Kim-hong Kiam-khek,
ditakuti lawan disegani kawan. Dibanding dengan kelima pengeroyoknya secara
satu-satu lima orang itu bukan apa-apa baginya. Namun jika Nan-king Ngo-kui
bergabung jadi satu dia harus bertindak hati-hati. Dia tahu betul orang-orang
itu bukan saja rata-rata memiliki ilmu silat lihay tetapi juga licik penuh tipu
muslihat. Kalaupun dia harus mati menghadapi mereka dia tidak takut, namun yang
dicemaskannya ialah kalau-kalau terjadi sesuatu dengan anak istrinya.
Rambut merah Ang-mo It-kui
berkelebat ganas kian kemari. Terkadang rambut ini laksana seutas cambuk. Namun
terkadang dapat berubah seperti sebilah golok atau pedang yang datang membabat
atau menusuk atau menotok. Sepuluh jari tangan Tui-hun Hui-mo yang berkuku-kuku
panjang hitam laksana cakar burung garuda, berkelebat ganas kian kemari. Sekali
bagian tubuh sempat kena digaruk pastilah akan berbusaian dagingnya. Ditambah
dengan golok di tangan kiri Guikun Kui-to yang tak kalah berbahayanya serta
kepala besi maut dari Tiat- thou-kui lalu serangan tangan kosong jarak jauh
dari Nan-king Kui-ong yang datang bertubi-tubi, maka kedudukan Ki Hok Bun
benar-benar berbahaya. Apalagi saat itu dia hanya bertangan kosong, hanya
mengandalkan ginkang dan Iwekang belaka.
Lima belas jurus berlalu.
Dalam keadaan cukup kepepet Ki Hok Bun masih berhasil menunjukkan kehebatannya
yaitu memukul dada Gui-kun Kui-to hingga iblis satu ini muntah darah dan
terpaksa keluar dari kalangan pertempuran. Namun sebaliknya Hok Bun juga
mengalami cidera yang berbahaya.
Bahunya sebelah kiri telah
terkena sambaran kuku tangan Tui-hun Hui-mo. Pelipisnya terluka dan mengucurkan
darah akibat hantaman rambut Ang-mo It-kui sedang serudukan kepalaTiat-thoukui
sempat satu kali melabrak sisinya hingga dua tulangnya menjadi patah.
Ki Hok Bun sadar kalau dirinya
dalam bencana besar. Namun untuk menyerah tentu saja tak ada dalam kamus
hidupnya. Dia keluarkan seluruh kepandaiannya namun sia-sia belaka. Tiga lawan
mengurung dengan rapat hingga sulit baginya untuk mencapai Nan-king Kui-ong
yang secara licik selalu melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh dengan
berlindung di belakang anak buahnya.
Setelah dua puluh jurus lebih
bertahan mati-matian, Ki Hok Bun mulai terdesak. Pukulan demi pukulan,
tendangan demi tendangan, sodokan kepala besi, cakaran kuku dan hantaman rambut
maut bertubi-ttibi melabraknya. Saat-saat terakhir sebelum roboh Hok Bun berhasil
menjambak rambut Ang-mo It-kui dan siap untuk memuntir patah leher lawan yang
satu ini. Namun sebelum hal itu dapat dilakukannya satu pukulan Nan-king
Kui-ong melanda dari samping. Dia merasakan bahunya seperti remuk. Didahului
satu jeritan keras Ki Hok Bun terlempar dan roboh. Tubuhnya penuh darah yang
keluar dari bekas luka yang menguak di mana-mana. Dia sudah pasrah untuk mati.
Karenanya dia berteriak, "Manusia-manusia iblis keparat! Aku tidak takut
mati! Bahkan kalau kalian tidak membunuhku saat ini juga, kalian akan menyesal
seumur hidup karena pembalasanku lebih mengerikan dari apa yang kalian lakukan
hari ini terhadapku!"
Nan-king Kui-ong menyeringai.
Dia melangkah mendekati Hok Bun yang tidak berdaya. Sambil injak kepala orang
ini dia berkata,
"Mula-mula kami memang
berpikiran bahwa manusia pengecut dan keras kepala sepertimu ini perlu
disingkirkan dari muka bumi. Tapi mana kami puas kalau belum menyiksamu lebih
dulu. Kau akan segera merasakannya dan…"
Belum habis kata-kata itu
tiba-tiba terdengar suara berteriak, "Ayah…! Ayah … apa yang terjadi.
Manusia-manusia jahat itu…oh!"
Yang berteriak adalah Sun Bi,
putera Hok Bun yang berusia 8 tahun. Anak ini datang berlari-lari dan
menjatuhkan diri di tanah memeluk tubuh ayahnya.
Tiba-tiba satu tangan besar
kasar dan keras menjambak rambutnya dan menyentakkannya hingga Sun Bi terpekik
kesakitan dan tubuhnya terangkat ke atas. Dia coba meronta melepaskan diri
bahkan menendang Nan-king Kui-ong yang menjambaknya namun mana anak kecil ini
sanggup melawan kekuatan manusia iblis seperti Bu Ceng.
"Ki Hok Bun!" seru
Bu Ceng. "Manusia pengecut dan pengkhianat teman sepertimu tak layak punya
turunan. Karena pasti turunan itu akan menjadi manusia sepertimu pula!"
"Keparat Bu Ceng!"
Hok Bun coba bangun tapi rebah kembali ke tanah. "Kau hendak apakan
anakku. Lepaskan dia!" Nafas Hok Bun menyengal dan dari mulutnya keluar
darah. "Kau lihat sendiri apa yang bakal terjadi dengan anakmu. Ini
pelajaran bagus untukmu yang telah berani melawan Nan-king Ngo-kui." Lalu Bu
Ceng angkat tinggi-tinggi tubuh Sun Bie.
"Jangan ganggu
anakku!" satu jeritan perempuan terdengar. Yang berteriak adalah The Cun
Giok, istri Hok Bun, ibu tiri Sun Bi. Bagi Cun Giok, meski Sun Bi hanya seorang
anak tiri namun dia sangat mengasihi anak ini seperti putera k.andung sendiri.
Cun Giok coba menarik dan
merampas Sun Bi dari tangan kepala gerombolan manusia iblis itu. Namun Ang-mo
It-Ku memegang bahunya dan merangkulnya dan belakang. Nan-king Kui-ong sendiri
kembali mengangkat tubuh Sun Bi tinggi-tinggi lalu dengan kekejaman luar biasa
anak itu dibantingkannya keras-keras ke tanah. Terdengar suara mengerikan
ketika kepala Sun Bi membentur tanah. Tanpa suara anak yang malang ini
menghembuskan nafas penghabisan diiringi pekik Cun Giok dan seruan tanpa daya
Hok Bun.
Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng
tertawa mengekeh, memandang pada Hok Bun yang hanya bisa mengutuk dan mengutuk.
Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berpaling pada Ang-mo It-kui yang saat itu
masih merangkuli tubuh Cun Giok. Ang-mo It-kui bukan hanya merangkul agar
perempuan itu tidak lepas namun kini rangkulannya menjadi kurang ajar. Bahkan
salah satu tangannya bergerak meraba bagian tubuh sebelah atas Cun G iok.
Sepasang mata Bu Ceng
kelihatan membesar. Sambil menyeringai dia mendekati kedua orang itu.
"Ang-mo It-kui, enak
benar kau mendekap tubuh bagus itu. Serahkan dia padaku!"’ Ang-mo It-kui
tertawa ha-ha-hehe dan mendorong tubuh Cun Giok ke hadapan Nan-king Kuiong.
***
5
SEJAK pertama kali melihat
istri Hok Bun yang muda dan cantik jelita itu, nafsu kotor telah merasuk Bu
Ceng. Namun karena saat itu Hok Bun masih dipandangnya sebagai atasan dan
diperlukan tenaganya maka dia berusaha bersikap hormat. Namun kini setelah
terjadi perkelahian maka rasa hormat itu dengan sendirinya lenyap. Nafsu kotor
kembali bersarang dalam dirinya.
Tubuh Cun Giok yang terdorong
ke hadapannya segera ditangkapnya. Ciuman beringas di daratkannya bertubi-tubi
ke wajah perempuan itu. Cun Giok meronta dan menjerit coba melepaskan diri.
Namun sambil tertawa-tawa disaksikan oleh kawan-kawannya Bu Ceng merobek
pakaian Cun Giok hingga perempuan ini akhirnya berada dalam keadaan hampir
telanjang. Cun Giok merasakan tubuhnya didukung.
"Bu Ceng manusia iblis!
Kau hendak apakan istriku! Lepaskan dia! Cun Giok larilah. Selamatkan
dirimu!" Hok Bun berteriak. Dia sudah dapat membayangkan apa yang bakal
menimpa istrinya. Namun tidak mungkin bagi Cun Giok untuk melepaskan diri.
"Hok Bun, kau dapat
melihat sendiri apa yang bakal kulakukan. Masakan hanya kau saja yang dapat
menikmati perempuan secantik ini. Ha … ha … ha …!" Bu Ceng gulingkan tubuh
Cun Giok di atas lantai rumah. "Pegangi dia!" perintahnya pada anak
buahnya. Ang-mo It-kui dan Tiat-thou-kui membungkuk memegangi tangan Cun Giok.
Bu Ceng kemudian tanpa malu-malu
lepaskan pakaian dalamnya dan singsingkan jubahnya lalu jatuhkan diri di atas
tubuh Cun Giok yang tak mampu membebaskan diri dan menolak penghinaan keji itu.
Hok Bun pejamkan mata. Tak sanggup dia menyaksikan hal itu, darahnya
menggelegak. Namun tak satupun yang bisa dilakukannya.
"Bu Ceng, jangan terlalu
temahak! Berikan giliran padaku!" Tui-hun Hui-mo berteriak dan tegak di
belakang Bu Ceng sambil menyingkapkan jubahnya.
Bu Ceng menyeringai. Dia
berdiri sambil seka keringat dan rapikan pakaiannya. "Jangan takut sobat.
Kau segera dapat giliran. Tapi jangan lupa pada kawan-kawan."
Begitulah, satu persatu kelima
manusia iblis itu melakukan perbuatan terkutuk atas diri The Cun Giok hingga
akhirnya perempuan ini pingsan tak sadarkan diri.
"Apa yang kita lakukan
sekarang?" tanya Tiat-thou-kui sambil usap kepala botaknya yang basah oleh
keringat.
"Bunuh saja perempuan
itu. Juga lakinya!" jawab Golok Iblis Gui Kun.
"Ya, memang Hok Bun harus
dibunuh. Kalau tidak bisa bikin urusan berabe di kemudian hari,"
menyetujui Ang-mo It-kui.
"Betul … " sahut
Nan-king Kui-ong manggut-manggut. "Tapi setahuku dia memiliki sebilah
pedang mustika. Kim-hong-kiam. Aku harus dapatkan dulu senjata itu …."
Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong
lantas melangkah mendekati Hok Bun. Dia membungkuk dan menjambak rambut bekas
perwira tinggi itu.
"Hok Bun, mungkin aku
bisa membatalkan niat untuk menghabisi nyawamu saat ini. Asal saja kau mau
memberi tahu di mana kau simpan Kim hong kiam … "
Sepasang mata Ki Hok Bun
terbuka sedikit.
"Kau inginkan pedang itu
… ?" desisnya.
"Betul. Dan nyawamu
kuampuni. Bahkan mungkin akan kuberi beberapa batang emas untukmu…"
"Kau ambillah pedang itu
di neraka kelak …" kata Ki Hok Bun lalu diludahinya muka Bu Ceng. Air
ludah bercampur darah berlepotan di muka Bu Ceng.
"Bangsat haram
jadah!" teriak Bu Ceng marah. Kepala Hok Bun dibantingkannya ke tanah
hingga lelaki ini pingsan. "Seret dia ke dalam rumah dan bakar hidup-hidup
bersama istri dan bangkai anaknya!"
Hok Bun di gotong ke langkan
rumah, terpisah beberapa meter dari istri dananaknya. Ang-mo It-kui kemudian
mencari minyak pembakar di dapur lalu menyulut api. Dalam keadaan api berkobar
semakin besar kalima manusia iblis itu tinggalkan tempat tersebut.
***
KI HOK BUN siuman dari
pingsannya sewaktu sebagian rumahnya telah dimakan api. Bagian yang dimakan api
itu roboh. Tiang-tiang serta palung-palung kayu berapi jatuh di atas tubuh anak
dan istrinya langsung menembus perempuan yang pingsan ini tanpa dapat
diselamatkan. Api kemudian mulai menjilati kaki Hok Bun.
Lelaki ini sebenarnya sudah
pasrah untuk dilamun api dan menyusul anak istrinya. Baginya tak guna lagi
hidup tanpa kedua orang yang dicintainya itu. Namun bila dia ingat kekejaman
perbuatan Nan-king Ngo-kui, terutama Bu Ceng yang menjadi pimpinan maka dendam
kesumat yang amat besar membuat hati kecilnya berontak. Tidak, dia tidak boleh
mati saat itu! Dia harus hidup. Kemudian mencari Nan-king Ngo-kui dan membunuh
mereka satu per satu guna membalaskan dendam kesumat. Hutang nyawa dan darah harus
mereka bayar dengan darah dan nyawa pula!
Memikir sampai ke situ Ki Hok
Bun kumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada. Dia coba beringsut menjauhi jilatan
api. Namun keadaannya saat itu sudah sangat lemah. Sama sekali tiada daya.
Tulang belulangnya serasa hancur luluh. Darahnya tertalu banyak keluar.
Pemandangan matanya makin lama makin guram.
Lelaki ini sama sekali tidak
mampu untuk menyelamatkan dirinya. Saat itu satu-satunya yang dianggapnya bisa
menolong adalah Tuhan. Karenanya dalam hati Hok Bun membathin :
"Thian, berikan kekuatan
pada hambaMu ini. Biarkan aku hidup terus agar dapat membalas kejahatan dan
kebiadaban lima manusia iblis itu. Jangan biarkan aku mati mengenaskan begini
rupa … "
Sementara itu kobaran api
semakin mengganas. Palang kayu yang membelintang di bagian atap rumah dan tepat
di atas kepala Ki Hok Bun berderak patah sewaktu api membakar loteng.
Bersamaan dengan bagian loteng
palang kayu itu runtuh tepat mengarah tubuh Ki Hok Bun yang menggeletak tiada
daya di lantai. Hok Bun sendiri tidak menyadari hal ini karena sesaat sesudah
dia berdoa menyebut nama Tuhan, dia langsung jatuh pingsan. Agaknya akan segera
tamatlah riwayat bekas perwira ini dandendam kesumatnya tak akan pernah dapat
dibalasnya.
Namun sebelum ajal berpantang
mati. Maut anak manusia berada dalam tangan Yang Maha Kuasa. Di saat yang
sangat kritis itu tiba-tiba terdengar satu siulan aneh dan nyaring, menyusul
berkelebatnya sesosok bayangan putih yang disertai sambaran angin yang luar
biasa derasnya. Balok kayu dan loteng yang tadinya akan menimpa dan menimbun
tubuh Ki Hok Bun laksana dihantam badai mental jauh. Bahkan sebagian dari rumah
yang sudah dilamun api itu ikut ambruk akibat hantaman angin yang entah dari
mana datangnya.
Di lain kejap bayanyan putih
tadi bekelebat cepat menyambar Ki Hok Bun dan membawanya lari dari tempat itu.
Siapa gerangan yang
menyelamatkan Ki Hok Bun? Manusia atau malaikatkah dia karena demikian cepat
gerakannya hingga cuma bayangannya saja yang kelihatan? Di puncak bukit dia
memperlambat larinya. Nyatanya dia adalah manusia biasa juga. Masih muda,
berambut gondrong menyala bahu. Kepalanya diikat dengan sehelai kain putih.
Dari mulutnya terus menerus membersit siulan lagu tak menentu. Larinya seperti
gerabak gerubuk tetapi laksana kilat. Mukanya seperti wajah seorang tolol,
cengar cengir tak tentu juntrungan.
Setiup angin berhembus melawan
arah larinya. Rambut gondrong pemuda ini melambai-lambai ditiup angin. Pakaian
di bagian dada yang tak terkancing tersibarlebar. Pada dada yang penuh otot itu
kelihatan tertera tiga buah angka aneh yakni : 212.
Pada waktu itu dalam dunia
kangouw Tiongkok tersebar berita tentang munculnya seorang pemuda asing
bertampang tolol tetapi memiliki kepandaian tinggi luar biasa Demikian
tingginya hingga sulit untuk mengetahui apakah para datuk atau tokoh silat yang
terkenal masa itu dapat disejajarkan dengan tingkat kepandaiannya. Banyak
tokoh-tokoh silat golongan hitam yang telah rubuh bahkan terbunuh di tangan
pendekar asing itu. Akibatnya dia menjadi momok nomor satu bagi kaum sesat.
Sebaliknya para jago silat golongan putih merasa gembira dan banyak yang ingin
berkenalan dengan pemuda itu. Namun sulit sekali untuk menemukannya. Dia muncul
secara mendadak. Membasmi manusia-manusia jahat secara tak terduga lalu
melenyapkan diri hampir tanpa bekas untuk kemudian muncul lagi di tempat lain
dan membuat kegemparan.
Pendekar yang menjadi buah
tutur di Tionggoan bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah melakukan pengembaraan di
daratan Tiongkok. Dan dialah yang saat itu menyelamatkan Ki Hok Bun alias
Pendekar Pedang Pelangi dari kematian.
Sebenarnya bukan satu
kebetulan Wiro Sableng berada di tempat itu danberhasil menyelamatkan Hok Bun.
Sudah sejak satu bulan lalu dia mendengar nama Nan-king Ngo-kui yang
menggetarkan dan ditakuti. Mereka melakukan pembunuhan dan perampokan di
mana-mana. Menculik anak gadis atau istri orang. Sekalipun dulu mereka dikenal
sebagai pembantu-pembantu Kaisar Hui Ti dan berjuang menghadapi balatentara
Yung Lo, namun kejahatan dan kebiadaban yang kini mereka lakukan benar-benar
sudah melewati batas.
Dua hari lalu Wiro berada di
Hankouw danmendengar berita tentang dirampoknya tiga peti emas milik Kaisar
Yung Lo. Dua perwira dan selusin prajurit pengawal menemui kematian. Dari
tanda-tanda yang ditemukan di tempat kejadian sudah dapat ditebak bahwa pelaku
perampokan dan pernbunuhan yang sangat berani itu adalah Nan-king Ngo-kui.
Sebelum Kaisar Yung Lo mengirimkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran,
Wiro Sableng sudah mendahului menuju utara. Dia berhasil mengetahui ke jurusan
mana kelima manusia iblis itu membawa lari barang rampokannya. Namun di sebuah
daerah luas yang berbukit-bukit Wiro kehilangan jejak mereka.
Sebagai pendekar yang ingin
menumpas kejahatan dan membela mereka yang lemah dan tertindas Wiro tidak akan
mencampuri urusan peperangan ataupun mempersoalkan tiga peti emas yang dirampok
Nan-king Ngo-kui. Dia mencari kelima manusia iblis itu karena telah mendengar kejahatan
dan kemesuman yang mereka lakukan sejak satu bulan terakhir ini. Sudah barang
tentu perbuatan seperti itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut.
Wiro juga mengetahui bahwa
telah banyak tokoh-tokoh silat golongan putih di Tionggoan yang turun tangan
terhadap kelima iblis itu. Namun sebegitu jauh belum ada hasilnya. Bukan saja
karena mereka memang memiliki kepandaian tinggi dan selalu berkelompok dalam
setiap saat, tetapi mereka juga licik dan dapat melenyapkan diri dengan cepat
setiap habis melakukan kejahatan.
Sadar kalau untuk kesekian
kalinya dia kehilangan jejak orang-orang yang dikejarnya Wiro mengomel dalam
hati dan garuk-garuk kepala. Tapi dia tidak berputus asa. Di bukit di mana dia
berada banyak tumbuh pohon-pohon tinggi. Dia memilih yang paling tinggi lalu
memanjatnya. Dari atas pohon ini dia dapat memandang ke segala penjuru sejauh
mungkin. Dia mengeluarkan suara bersiul sewaktu di arah selatan dilihatnya
kepulan asap hitam bergulung-gulung membumbung ke udara.
"Kebakaran biasa atau …
?" Wiro bertanya pada dirinya sendiri.
Setelah berpikir sejenak
sambil meneliti keadaan di bagian lain akhirnya Wiro memutuskan untuk
mendatangi sumber kebakaran itu. Bukan mustahi kebakaran itu ditimbulkan oleh
iblis-iblis yang tengah dikuntitnya. Dia cepat-cepat turun dari atas pohon dan
dengan pergunakan ilmu larinya dia lari ke arah selatan. Namun kedatangannya
terlambat. Yang ditemuinya hanya bekas kebiadaban yang dilakukan oleh Nan-king
Ngo-kui. Kelima manusia jahat itu tak ditemuinya, pasti sudah menghilang jauh.
Masih untung dia sempat menyelamatkan seorang lelaki yang dia tidak kenal dan
tubuhnya penuh dengan luka-luka.
***
6
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
membawa Ki Hok Bun ke sebuah telaga kecil berair jernih. Bekas perwira kerajaan
itu masih berada dalam keadaan pingsan. Wiro mengagumi kekuatannya. Manusia
biasa dengan menderita luka-luka seperti itu pasti sudah tidak tertolong
nyawanya.
Wiro membersihkan sedapatnya
luka yang terdapat di tubuh Ki Hok Bun, lalu pada luka itu ditaburinya sedikit
obat bubuk. Setelah menunggu beberapa saat dia telungkupkan tubuh Ki Hok Bun
dan tempelkan telapak tangannya di punggung telanjang orang itu dan salurkan
hawa dingin sakti ke tubuh Ki Hok Bun. Setengah jam kemudian dia ganti
mengalirkan hawa panas lewat dada.
Tak berapa lama menjelang
matahari akan tenggelam Ki Hok Bun sadar. Mula-mula dia merasakan denyutan
sakit pada kepala dan dadanya. Ternyata rasa sakit tidak hanya di tempat itu
saja namun boleh dikata di setiap bagian tubuhnya. Perlahan-lahan dia membuka kedua
matanya. Yang dilihatnya adalah langit luas berwarna merah kekuningan akibat
tersapu sinar sang surya yang hendak tenggelam. Sesaat matanya tak berkesip.
Jalan pikirannya masih belum jernih.
"Di mana aku ini … "
pikirnya. Dia coba menggerakkan kepala sedikit dan memandang berkeliling.
Tiba-tiba dia ingat pada anak dan istrinya. Langsung berteriak memanggil,
"Cun Giok, Sun Bi … kalian di mana?!" Seperti ada satu kekuatan yang
memasuki tubuhnya dia melompat duduk namun kemudian roboh kembali dengan pemandangan
berkunang-kunang. Bila kedua matanya mulai jernih kembali maka pemandangannya
membentur sosok tubuh Wiro Sableng yang duduk di dekatnya.
"Kau … kau siapa? Mana
istriku? Mana Sun Bi … Apa yang terjadi?"
‘Twako sebaiknya kau jangan
banyak bicara dan bertanya. Atur jalan darah dan pernafasan. Kau terluka berat.
Coba kendalikan tenaga dalammu …"
"Kau orang asing … Logat
bicaramu aneh …"
Wiro garuk-garuk kepala dan
tersenyum. Dari balik pakaiannya dia keluarkan dua buah pil. Satu berwarna
merah dan satunya lagi hitam.
"Telan obat ini …"
Wiro hendak masukkan dua butir pil itu ke dalam mulut Hok Bun, tetapi orang ini
menjauhkan mulutnya. Pandangan mata dan wajahnya menunjukkan keraguan kalau
tidak mau dikatakan curiga. Tentu saja Hok Bun berperasaan demikian karena dia
belum pernah kenal atau melihat Wiro sebelumnya.
"Tak usah takut.
Percayalah, obat ini akan menolongmu," kata Wiro. Akhirnya Hok Bun membuka
mulut dan menelan juga obat itu walaupun dengan agak susah payah. Wiro kemudian
urut pelipis lelaki itu. Perlahan-lahan Hok Bun pulas dan tertidur sampai
keesokan harinya. Ketika dia bangun yang dirasakannya bukan lagi sakit tetapi
lapar dan haus. Wiro mendudukkannya bersandar pada sebatang pohon di tepi
telaga. Lalu menyodorkan dua buah apel, makanan yang dimilikinya. Buah ini
cepat sekali dihabisi Hok Bun. Selesai makan pemandangan dan jalan pikiran
lelaki ini menjadi lebih jernih. Dia menatap Wiro Sableng beberapa lama.
Kemudian dia ingat apa yang
telah menimpa keluarganya. Hok Bun menangis dan tiada henti memanggil- manggil
nama istri dan anaknya. Wiro maklum malapetaka besar telah menimpa orang ini
karenanya dia membiarkan saja Hok Bun hanyut dalam perasaannya.
Hok Bun akhirnya sadar bahwa
menangis tidak akan mendatangkan hasil apa-apa padanya. Karena belum sanggup
berjalan, dia merangkak ke tepi telaga dan mencuci mukanya lalu kembali ke
tempat semula.
"Twako, apa yang telah
terjadi. Aku menemukanmu di rumah yang terbakar … " Wiro membuka mulut
bertanya.
Ki Hok Bun menatap ke langit
di atasnya. Lalu menghela nafas. "Kau sendiri siapa orang muda? Kulihat
jelas kau bukan orang sini," balik bertanya Hok Bun.
"Namaku Wiro Sableng Aku
memang orang asing di Tionggoan ini."
Ki Hok Bun kerenyitkan kening.
"Wiro Sableng … Aku rasa pernah dengar namamu akhir-akhir ini. Kau seorang
pendekar asing yang membuat gempar dunia kangouw. Nyatanya kau adalah inkong
tuan penolongku. Tai-hiap aku berhutang nyawa padamu. Biar aku menghaturkan
terima kasih yang sebesar-besarnya." Habis berkata begitu Hok Bun merangkak
ke hadapan Wiro dan membuat gerakan hendak berlutut. Tetapi Wiro cepat-cepat
mencegah.
"Jangan panggil aku
dengan sebutan pendekar besar itu twako," ujar Wiro. "Kalau aku boleh
tahu apakah sebenarnya yang telah terjadi. Mengapa kau kutemui dalam rumah yang
terbakar itu?"
"Mereka yang
melakukannya?"
"Mereka siapa?"
"Manusia-manusia iblis
itu. Nan-king Ngo-kui!"
"Ah, aku sudah menduga.
Aku memang sudah sejak lama mencarinya. Aku berhasil menguntit mereka dari
Han-kouw, tetapi kehilangan jejak dan terlambat … "
Ki Hok Bun lalu menceritakan
apa yang telah terjadi dan juga tak lupa menerangkan sedikit mengenai riwayat
hidupnya.
"Aku tidak mengira kalau
berhadapan dengan seorang bekas perwira tinggi kerajaan," kata Wiro dengan
sikap hormat.
Hok Bun tersenyum pahit.
"Dulu … sekarang aku bukan apa-apa. Sekarang aku seorang lelaki yang
sengsara." Hok Bun terdiam sejenak. Kemudian. "Orang muda, seumur
hidup mungkin aku tak dapat membalas semua pertolongan dan jasamu. Biarlah hari
ini aku menganggapmu sebagai saudara. Sebagai adik…"
"Betul-betul satu
kehormatan besar bagiku twako. Terima kasih."
"Satu dua hari di muka
aku akan mulai mencari lima manusia iblis itu!" kata Hok Bun dengan nada
penuh dendam.
Wiro tersenyum dan gelengkan
kepalanya.
"Twako, kau masih jauh
dari sembuh. Sebelum kesehatanmu luar dalam pulih kembali untuk sementara
sebaiknya lupakan soal dendam kesumat itu."
"Lebih cepat aku dapat
memenggal kepala manusia-manusia jahanam itu lebih baik rasanya. Pembalasan
harus dilakukan dalam waktu cepatl"
"Kau tengah menghadapi
persoalan besar twako. Karenanya tak boleh bertindak sembarangan.
Sekali salah langkah bisa
besar akibatnya, Lima manusia iblis itu bukan saja berkepandaian tinggi tetapi
juga licik … "
Hok Bun terdiam. Apa yang
dikatakan Wiro itu betul. Akhirnya dia berkata,: "Besok aku akan kembali
ke tempat kediamanku."
"Sebaiknya jangan. Itu
hanya akan mendatangkan pukulan berat pada batinmu," menasihatkan Wiro.
"Tapi aku harus mengurus
jenazah dan abu anak istriku."
"Aku sudah membayar orang
desa untuk mengurus jenazah mereka," menerangkan Wiro. Hok Bun menatap
wajah pendekar itu lama-lama. Kedua matanya berkaca-kaca. "Kau baik sekali
Wiro. Aku benar-benar berhutang budi dan-nyawa terhadapmu …"
"Sudahlah, jangan sebut hal
itu. Besok pagi sebaiknya kita pergi ke kota terdekat. Mencari penginapan. Di
situ kau bisa dirawat lebih baik."
Ki Hok Bun mengangguk. Namun
keesokan paginya ketika Wiro bangun didapatkannya lelaki itu tak ada lagi di
situ.
***
APAKAH yang telah dilakukan
oleh Ki Hok Bun? Ke manakah bekas perwira tinggi kerajaan ini pergi
meninggalkan Wiro Sableng yang telah menolongnya?
Malam itu sewaktu Wiro sedang
tidur nyenyak dekat perapian di tepi telaga diam-diam Ki Hok Bun bangun.
Diperhatikannya pendekar asing itu sesaat. Meskipun dia telah mengangkat
saudara terhadap Wiro dan pernah mendengar hal-hal menggemparkan yang dilakukan
pendekar itu namun dia masih belum tahu banyak tentang si pemuda. Hal ini
disebabkan karena Wiro lebih banyak muncul di utara sedang Ki Hok Bun tinggal
di selatan.
Sebetulnya Hok Bun tak ingin
meninggalkan Wiro secara diam-diam seperti itu karena ini satu perbuatan
danperadatan yang tidak baik. Namun dia terpaksa melakukan hal itu. Dia harus
kembali ke rumahnya yang telah musnah, betapapun hancur hatinya kelak
menyaksikan rumah yang telah jadi puing-puing hitam itu. Dia merasa tidak
tenteram seumur hidup bahkan sampai ke liang kubur kalau tidak dapat membunuh
habis ke lima musuh besarnya itu.
Malam berganti siang. Ketika
matahari sudah naik tinggi barulah Hok Bun sampai di lereng bukit. Tubuhnya
terasa letih sekali. Tetapi tekad dan semangat balas dendam atas kematian istri
dan anaknya membuatnya tidak merasakan semua itu. Dia berlari menuruni lereng
bukit. Untuk beberapa lamanya dia tegak termenung di hadapan rumahnya yang kini
hanya tinggal puing-puing hitam.
Sebagian ladang gandumnya juga
terbakar. Air mata Ki Hok Bun sukar dibendung. Dia menggigit bibir menahan
sakit batin.
Selagi dia tegak begitu rupa
seorang penduduk mendatanginya. Dengan pandangan wajah haru orang ini berkata,
"Saudara Ki, aku datang memberi tahu bahwa jenazah istri dan anakmu telah
kami perabukan. Jika kau ingin melihat abunya, ada di rumah abu
Thian-an-tang."
Ki Hok Bun mengucapkan terima
kasih sambil menganggukkap kepala. Karena tak ingin mengganggu lebih lama orang
tadi minta diri dan cepat-cepat berlalu.
Beberapa saat kemudian Ki Hok
Bun melangkah dari hadapan reruntuhan rumahnva menuju ke sebatang pohon
Yang-liu yang tumbuh seratus meter dari bekas rumahnya. Dekat pohon ini
terdapat sebuah pilar batu. Dengan sepotong besi pendek Ki Hok Bun menggali
tanah di sebelah kanan pilar. Kira-kira menggali sedalam satu meter ditemuilah
sebuah kotak terbuat dari kayu besi yang tahan air dan rayap. Dari dalam kotak
ini Ki Hok Bun kemudian mengeluarkan sebilah pedang yang ketika dicabut serta
merta memancarkan sinar tujuh warna. Inilah Kim-hong-kiam atau Pedang Pelangi.
Sebuah senjata mustika sakti
yang kehebatannya telah membuat Ki Hok Bun mendapat julukan Pendekar Pedang
Pelangi atau Kim-hong kiam-khek.
Sesaat Ki Hok Bun mendongak ke
langit sambil pejamkan mata. Selama perang saudara, sebagai seorang perwira
kerajaan yang taat pada atasannya yakni Kaisar Hui Ti dia telah berjuang
mati-matian membela kehormatan dan tahta Kaisarnya tanpa parnrih ataupun
memikirkan apakah Kaisar Hui Ti berada di pihak yang benar atau bukan.
Ketaatannya adalah sama dengan disiplin militer dan jiwa satria.
Sebenarnya sebelum pecah
perang nama Ki Hok Bun telah dikenal dan kepadanya telah lama melekat gelar
Pendekar Pedang Pelangi. Namun di masa perang saudara itulah justru dia
membuktikan kehebatan dan jiwa besarnya. Dalam setiap pertempuran Ki Hok Bun
bukannya menghadapi perajurit-prajurit atau para perwira yang pada dasarnya
adalah saudara satu bangsanya dan bertempur karena tugas menjalankan perintah
atasan. Justru yang dicari dan dihajarnya habishabisan adalah mereka yang
berperang untuk maksud tertentu, mencari keuntungan sendiri atau memancing di
air keruh. Orang-orang itu biasanya adalah tokoh-tokoh silat golongan hitam.
Lantas mengapa Ki Hok Bun membasmi tokoh-tokoh silat lawan dari golongan hitam
sementara dipihaknya sendiri juga terdapat tokoh-tokoh silat culas golongan
hitam seperti Nan-king Ngo-kui?
Sebenarnya Ki Hok Bun tidak
suka terhadap Nan-king Ngo-kui yang pada masa perang adalah bawahannya
langsung. Namun kalau Kaisar Hui Ti sendiri yang mengangkat dan mengambil
mereka sebagai pembantu, mana bisa dia menolak? Lagi pula saat itu kedudukan
Kotaraja Selatan (Nan-king) dalam keadaan gawat. Serangan balatentara utara
demikian dahsyatrnya hingga mau tak mau orangorang semacam Nan-king Ngo-kui
terpaksa dimanfaatkan tenaganya.
Pada saat Ki Hok Bun memegang
pedang pelangi itu bukan semua peristiwa dimasa perang saudara itu yang terbayang
di matanya, melainkan adalah tampang-tampang lima manusia iblis yang telah
membunuh anak istri dan menghancurkan kehidupannya.
"Mereka harus mati di
tanganku!" desis Ki Hok Bun. Perlahan-lahan kepalanya yang mendongak
langit di turunkan dan kedua matanya dibuka kembali. Pedang pelangi
dimasukkannya ke dalam sarung lalu disusupkannya di balik punggung pakaian.
Dengan hati berat dia meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah rumah abu
Thian-an-tang.
Ketika sampai di rumah abu,
didapatinyaa banyak orang berkumpul di pintu masuk. Mereka adalah penduduk
setempat dan kebanyakan para petani seperti Hok Bun. Melihat Hok Bun datang,
salah seorang dari mereka yang agaknya menjadi wakil orang-orang itu maju
mendatangi dan menyampaikan rasa berlasungkawa sedalam-dalamnya atas musibah
yang telah menimpa lelaki itu. Kemudian dijelaskan pula bahwa para pemuda desa
sudah bermufakat untuk membantu Hok Bun guna mencari Nan-king Ngo-kui.
Hok Bun terharu sekali
mendengar kata-kata itu. Dipegangnya bahu petani itu dan berkata, "Lopek,
aku menghaturkan terima kasih padamu dan juga pada semua saudara-saudara di
sini. Soal dendam kesumat terhadap lima manusia iblis itu adalah urusan
pribadiku. Aku akan mencari mereka sekalipun ke neraka. Dengan tanganku sendiri
akan kuhabisi nyawa mereka satu persatu. Sekali lagi terima kasih. Thian akan
membalas kebaikan dan ketulusan budi kalian."
Selesai berkata demikian Ki
Hok Bun langsung masuk ke dalam rumah abu. Seorang pegawai mengantarkannya ke
tempat di mana dua buah peti kecil berisi abu anak dan istrinya disimpan. Di
hadapan peti-peti kecil itu Ki Hok Bun bersembahyang. Selesai sembahyang,
sambil bercucuran air mata dia tak dapat lagi menahan diri. Tiba-tiba sret! Hok
Bun cabut Kim-hong-kiam. Tujuh sinar pelangi berkilauan. Pegawai rumah abu
sampai tersurut saking kaget dantakutnya karena disangkanya tiba-tiba saja Ki
Hok Bun menjadi mata gelap dan hendak mengamuk.
"Istriku The Cun Giok dan
anakku Sun Bie. Kalian dengarlah baik-baik. Aku Ki Hok Bun, suami dan ayahmu
bersumpah untuk mencari dan membunuh lima manusia biadab yang telah berlaku
keji dan membunuh kalian. Percayalah, kematian mereka akan jauh lebih sengsara
dari penderitaan yang telah kalian terima dari mereka. Semoga Thian memberikan
tempat yang sebaikbaiknya bagi kalian di alam baka!" Ki Hok Bun sarungkan
pedangnya kembali, putar tubuh dan tinggalkan rumah abu itu.
***
7
SAAT itu telah memasuki musim
semi. Pohonpohon yang tadinya hanya merupakan cabang-cabang gundul dan
rerantingan kini mulai ditumbuhi dedaunan hijau segar. Bunga-bunga kemudian
mulai bermekaran dari kuncupnya. Kemanapun mata dilayangkan kehijauan segarlah
yang kelihatan menyedapkan mata.
Di tikungan sebuah sungai
berair jernih dan dangkal dan dasarnya ditebari batu-batu kecil, lima orang
berjubah hitam asyik membersihkan wajah masing-masing. Sekalipun telah dicuci
tetap saja tampang-tampang mereka tampak kotor liar berangasan, penuh ditumbuhi
cambang bawuk, kumis dan jenggot tak terurus.
Mereka bukan lain adalah
Tui-hun Hui-mo, Tiat-thouw-kui, Ang-mo It-kui, Gui-kun Kui-to dan pangcu
(pimpinan) mereka biang iblis bernama Bu Ceng bergelar Nan-king Kui-ong.
Setelah mencuci muka masing-masing mereka mencari tempat duduk di sekitar
perapian yang telah padam untuk menikmati kelinci panggang. Ang-mo It-kui dari
tadi tampak tidak tenang. Sebentar-sebentar dipeganginya perutnya.
"Ada apa dengan
kau?" bertanya Bu Ceng.
"Perutku sakit,"
sahut Ang-mo It-kui seraya mengunyah daging kelinci dengan muka berkerenyit.
Perutnya mulas. Entah apa
sebabnya. Sejak tadi malam hal ini dirasakannya. Tadi telah dicobanya untuk
buang hajat besar tapi tak mau keluar. Berulang kali dia kentut di dalam
jubahnya yang hitam dan bau apak itu. Mulas perutnya semakin tidak tertahankan.
Agaknya sekali ini dia betulbetul akan buang air besar. Daging kelinci yang
belum habis dimakannya dibuangnya ke tanah. Lalu dia berdiri menuju bagian
tikungan sungai yang tertutup rapat oleh pohon-pohon dansemak belukar lebat.
"Eh, kau mau kemana
lagi?"tanya Gui-kun Kui-to.
"Buang hajat besar!"
jawab Ang-mo It-kui tanpa menoleh. Sesaat kemudian dia sudah lenyap di balik
pepohonan dan semak belukar kira-kira sepuluh tombak dari tempat dimana
kawan-kawannya berada.
Sementara Ang-mo It-kui
mendekam di sebelah sana dan kawan-kawannya asyik menyantap daging kelinci
panggang, Si Golok Iblis Gui Kun membuka mulut.
"Aku kawatir kalau-kalau
tiga peti emas yang kita sembunyikan itu diketahui orang dan digasak
habis!"
Sebelumnya, beberapa hari yang
lalu, untuk mempercepat perjalanan Bu Ceng telah memutuskan menyembunyikan tiga
peti emas rampokan di satu tempat rahasia.
Sambil mengunyah daging
kelinci panggang dalam mulutnya, Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong berkata,
"Kalau tak ada di antara kita yang berkhianat, sampai kiamat tak ada orang
lain yang bakal tahu rahasia itu."
Tiai-thou-kui mengunyah daging
kelinci dalam mulutnya dengan segan-seganan. "Lama-lama aku jadi jemu juga
dengan kehidupan macam begini …"
Sepasang mata Nan-king Kui-ong
membeliak. Dia semburkan makanan dalam mulutnya, meneguk tuak dari buli-buli
kecil, menyeka mulut lalu bertanya dengan nada garang. "Kau bilang apa
tadi Tiat-thou-kui?"
Sesaat Tiat-thou-kui jadi
kuncup juga nyalinya melihat pandangan mata dan wajah pangcunya itu. Dia tahu
Nan-king Kui-ong sangat tersinggung bahkan marah sekali mendengar kata-katanya
tadi. Sambill usap-usap kepala botaknya dia berkata,
"Kau jangan buru-buru
marah dulu pangcu. Tapi coba kau pikir dengan hati dingin dan otak tenang.
Sepanjang hari kita selalu di rongrong oleh kawatir karena alat-alat kerajaan
senantiasa melakukan pengejaran dan mencari kita dimana-mana. Belum lagi
tokoh-tokoh silat golongan putih atau yang bekerja untuk Yung Lo. Dalam pada
itu sampai saat ini sisa-sisa pasukan yang terpecah dan berhasil kita kumpulkan
masih sangat kecil. Bahkan kita banyak mendapat tantangan dari orangorang
sendiri. Seperti si Ki Hok Bun itu misalnya…" Tiat-thou-kui menghentikan
kata-katanya dan sejenak memandang pada pangcunya.
"Terus . . . teruskan
pidatomu Tiat-thou-kui!" kata Bu Ceng.
"Bukan pidato pangcu.
Maafkan aku. Ini Cuma sekedar untuk dipikirkan, Kuperhitungkan, sampai setengah
tahun dimuka belum tentu kita dapat mewujudkan apa yang menjadi rencana kita.
Kalau kurenungkan dalam-dalam bukankah lebih baik bila emas rampasan yang tiga
peti itu kita bagi lima, lalu mencari jalan sendiri-sendiri untuk menempuh
hidup baru…" Nan-king Kui-ong menyeringai aneh.
Tiba-tiba dia melompat dan
mencekal leher jubah Tiat-thou-kui, sekaligus menyentakkannya hingga si kepala
botak itu terangkat tegak.
"Tiat-thou-kui keparat!
Dengar baik-baik. Jangan kau berani bicara seperti itu lagi di hadapanku,
bahkan jangan kau berani punya jalan pikiran seperti itu. Jangan coba pengaruhi
teman-temanmu dengan mulut manis. Atau kau akan kubunuh detik ini juga!"
Sesaat kedua orang itu saling
pandang. Nan-king Kui-ong dengan mulut komat kamit entah mengucapkan apa lalu
mendorong keras keras dada Tiat-thou-kui hingga si botak ini jatuh terjengkang
di tanah.
Untuk beberapa lamanya tak
satu orangpun yang membuka mulut. Sunyi bahkan siliran tiupan anginpun tidak
kedengaran. Namun mendadak sontak kesunyian itu dirobek oleh satu jeritan amat
menggidikkan. Suara jeritan Ang-mo It-kui!
Keempat orang itu tersentak
kaget. Saling pandang sesaat.
"Itu jeritan Ang-mo
It-kui …" kata Si Golok Iblis Gui Kun.
Kontan keempat mereka melompat
ke arah semak-semak dan pepohonan rapat di ujung kanan dari mana datangnya
jeritan itu.
Beberapa langkah lagi mereka
akan sampai pada deretan pohon-pohon tersebut tiba-tiba dari balik kerimbunan
semak belukar melesat sebuah benda merah kehitaman, menyambar deras ke jurusan
Nan-king Kui-ong dan tiga kawannya.
Dalam keterkejutan ke empatnya
cepat berkelit menghindarkan diri. Benda merah tadi jatuh ke tanah. Begitu
mereka perhatikan maka masing-masing empat manusia iblis itu keluarkan seruan
keras. Tampang mereka kontan menjadi pucat pasi laksana kain kafan. Betapakan
tidak. Benda merah kehitaman itu ternyata adalah kepala berwajah merah dan
berambut hitam Ang-mo It-kui yang tetah dijagal! Dari bekas potongan lehernya
masih menyembur darah segar mengerikan!
"Ang-mo It-kui … ah. Apa
yang terjadi denganmu sobat? Siapa yang membunuhmu?!" desis Tiat-thou-kui
dengan suara bergetar dan lutut goyah. Di antara empat kawannya dia memang
paling dekat dengan Ang-mo It-kui.
Tentu saja kutungan kepala itu
tidak bisa memberikan jawaban. Kesunyian menggidikkan menyungkup tempat itu.
Tiba-tiba sepasang mata garang Nan-king Kui-ong melihat suatu gerakan.
Didahului suara menggembor dia membentak keras dan hantamkan tangan kanannya ke
depan.
Krak! Krak!
Dua batang pohon patah. Semak
belukar rambas berhamburan. Di belakang semak belukar yang rambas itu kelihatan
tegak seorang bertubuh tinggi besar, bermuka kotor penuh cambang bawuk serta
kumis meliar dan rambut awut-awutan.
Sepasang matanya membersitkan
sinar menggidikkan. Maut. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang
mengeluarkan tujuh sinar angker. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Bun alias
Pendekar Pedang Pelangi! Kim-hong Kiam-khek!
Apakah yang telah terjadi
dengan Ang-mo It-kui orang ke empat dari Nan-king Ngo-kui itu hingga dia
menemui kematian amat menyeramkan begitu rupa?
Seperti diceritakan sebelumnya
Ang-mo It-kui diserang sakit perut dan membuat dia memisahkan diri dari empat
kawannya. Dia pergi ke tepi sungai diantara pohon-pohon dan semak belukar rapat
untuk membuang hajat besar. Dia sama sekali tidak menduga justru di tempat
itulah maut tengah menantinya!
Sesaat satelah dia turunkan
pakaian dalam dan singsingkan jubah lalu berjongkok, tiba-tiba saja seolah-olah
keluar dari dalam air muncul sesosok tubuh di hadapannya. Nyawa Ang-mo It-kui
serasa terbang. Kalau orang lain yang muncul dia tidak akan demikian kagetnya.
Tetapi melihat sosok tubuh Ki Hok Bun di depannya benar-benar membuat manusia
iblis yang satu ini seperti sudah berhenti nafasnya detik itu juga!
"Kau….!" suara
Ang-mo It-kui bergetar. Dia melompat bangun. Namun dia lupa pada celana dalam
yang melingkar di pergelangan kakinya. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat
kakinya terjirat celana dalamnya sendiri dan akibatnya tak ampun lagi tubuhnya
tersungkur ke depan.
Ang-mo It-kui tahu bahaya apa
yang bakal dihadapinya. Sebetulnya dengan kepandaiannya yang tinggi dia tidak
perlu kawatir bakal dapat dirobohkan dalam waktu cepat oleh siapapun. Namun kemunculan
Ki Hok Bun benar-benar tidak disangkanya. Dia laksana melihat setan kepala
sepuluh. Karenanya Ang-mo It-kui segera buka mulut untuk berteriak memberi tahu
kawan-kawannya.
Namun Ki Hok Bun telah tahu
gelagat. Sebelum Ang-mo It-kui sempat keluarkan suara dia melompat ke depan dan
menotok urat jalan suara di pangkal leher musuh besarnya itu hingga detik itu
juga manusia iblis ini sama sekali tidak sanggup keluarkan suara selain
haha-huhu macam orang gagu sedang sepasang matanya melotot. Sebenarnya kalau
saja dia tidak terlalu dicekam ketakutan luar biasa dan dapat menguasai diri
tidak akan terlalu mudah bagi Ki Hok Bun untuk dapat menotoknya begitu rupa.
Ki Hok Bun keluarkan seringai
maut.
"Jangan harap kau bisa
lari selamatkan diri manusia biadab! Hari pembalasan telah datang. Bersiaplah
untuk berangkat ke neraka!"
Kedua mata Ang-mo It-kui
membeliak. Dia melangkah mundur hendak larikan diri namun secepat kilat Ki Hok
Bun sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya.
"Mau lari ke mana
binatang?" Di tangan kanan Ki Hok Bun saat itu sudah tergenggam Pedang
Tujuh Pelangi.
Ang-mo It-kui angkat kedua
tangannya dan goyang-goyangkan kepala. Dia sadar tak mungkin lari. Maut sudah
di depan mata. Sekalipun saat itu dia memegang senjata pula belum tentu dia
dapat lolos. Bahkan dibantu oleh empat kawannya pun sukar untuk cari selamat
karena dia sudah tahu kehebatan pedang mustika di tangan lawan.
"Huk … huk . . . huk . .
. " Ang-mo It-kui lagi-lagi angkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Dengan
berbuat begitu dia bermaksud hendak mengatakan agar Ki Hok Bun jangan
membunuhnya. Tentu saja hal ini suatu hal yang tidak mungkin. Selama beberapa
minggu Ki Hok Bun telah menguntit lima musuh besarnya itu. Kini salah seorang
dari mereka sudah berada dalam tangannya.
"Iblis-iblis di neraka
sudah lama menunggumu manusia keparat! Pergilah ke sana!"
Pedang di tangan Ki Hok Bun
berkelebat. Tujuh warna sinar pelangi bertabur. Ang-mo It-kui membuang diri ke
samping dan lepaskan satu pukulan tangan kosong tetapi tak menemui sasaran.
Seperti diketahui rambut merah
panjang Ang-mo It-kui merupakan senjata hebat yang bisa menotok, menusuk,
mencekik bahkan melibat dan merampas senjata lawan. Namun menghadapi Pedang
Tujuh.Pelangi dia tidak berani pergunakan rambutnya untuk melakukan semua itu.
Matimatian dia keluarkan seluruh kepandaiannya. Untuk lari sudah tidak bisa.
Setiap dicobanya setiap kali pula Ki Hok Bun berhasil menghadangnya. Pedang
lawan seolah-olah telah berubah jadi puluhan banyaknya dan mengurung dirinya dari
berbagai jurusan.
Ang-mo It-kui cuma sanggup
bertahan selama empat jurus. Jurus kelima Pedang Tujuh Pelangi menyambar putus
tangan kirinya kemudian berbalik menusuk dada. Darah seperti mancur dari dua
bagian tubuh yang terluka itu. Pembalasan Ki Hok Bun masih belum berhenti. Di
lain saat tangan kanannya jadi sasaran sambaran pedang. Ang-mo It-kui menjerit
tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Dalam keadaan tubuh sempoyongan
ujung pedang datang lagi menyambar. Kali ini merobek perutnya hingga isi perut
manusia iblis ini berbusaian keluar.
Ki Hok Bun tampaknya masih
belum puas. Pedangnya dibabatkan ke bagian bawah perut dan cras! Putuslah
keseluruhan anggota rahasia Ang-mo It-kui yang dulu telah menodai The Cun Giok,
istri Ki Hok Bun!
Sampai disitu masih juga Ki
Hok Bun belum merasa puas. Pembalasannya betul-betul mengerikan. Hanya manusia
yang dilanda dendam kesumat seperti dialah yang sanggup melakukan hal seperti
itu. Dia ingin mendengar bagaimana jerit kesakitan melanda musuh besarnya itu
sebelum dia menghabisi nyawanya. Maka dengan tangan kirinya dia lepaskan
totokan di leher Ang-mo It-kui.
Begitu totokan lepas maka
menggeledeklah jeritan setinggi langit dari tenggorokan Ang-mo It-kui yang
sejak tadi terbendung. Tubuhnya roboh ke tanah dan detik itu pula Pedang
Pelangi membabat menyambar batang lehernya. Nyawanya lepas begitu kepalanya
menggelinding!
Jeritan Ang-mo It-kui itulah
yang membuat terkejut empat manusia iblis lainnya. Sewaktu mereka mendatangi Ki
Hok Bun telah menunggu dengan menjambak rambut kepala Ang-mo It-kui di tangan
kirinya lalu melemparkan kutungan kepala itu ke arah Nan-king Kui-ong dan tiga
kambratnya.
Bukan saja menyaksikan
kutungan kepala kawan mereka membuat keempat manusia iblis itu menjadi
menggerinding ngeri, tetapi yang membuat mereka terkesiap dan kaget sekali
adalah menyaksikan berdirinya Ki Hok Bun di hadapan mereka.
"Ki … Ki Hok Bun …
Kau?" Suara Nan-king Kui-ong bergetar. Lidahnya terasa kelu dan
tenggorokannya seperti tercekik.
Ki Hok Bun alias Kim-hong
Kiam-khek mendengus. Sementara Bu Ceng gosok-gosok kedua matanya seperti tak
percaya pada pemandangannya sendiri.
Kemudian terdengar suara tawa
Ki Hok Bun mengekeh. Bagi keempat iblis itu suara kekehan tersebut laksana
suara malaikat maut dari liang kubur.
"Ki Hok Bun … bukankah,
bukankah kau sudah mampus? Mati ditembus api bersama istri dan anakmu. Dulu
…?" Yang buka suara adalah si botak kepala besi Tiat-thou-kui.
"Memang … memang aku
sudah mampus iblis botak! Dan yang kalian lihat berdiri di hadapan kalian saat
ini ada!ah setannya Ki Hok Bun. Setannya yang datang dari neraka untuk
melakukan pembalasan atas kejahatan biadab yang telah kalian lakukan. Heh . . .
kalian sudah lihat bagaimana cara mampusnya Ang-mo It-kui? Kalau masih belum
jelas silahkan lihat lebih terang!"
Habis berkata begitu Ki Hok
Bun tendang sosok tubuh tanpa kepala Ang-mo It-kui ke hadapan ke empat musuh
besarnya itu. Empat manusia iblis ini saking ngerinya tak berani memandang ke
jurusan tubuh kawannya itu.
"Pedang sakti itu. Celaka
. . . Rupanya masih ada padanya," Nan-king Kui-ong mengeluh ketika
memandang senjata di tangan Ki Hok Bun. Dia tahu bagaimanapun tingginya ilmu
silat tangan kosong bekas perwira tinggi ini namun kalau dia mengeroyok bersama
kawan-kawannya pasti dia mampu mengalahkan Ki Hok Bun. Namun jika pedang sakti
itu berada dalam genggaman Ki Hok Bun mau tak mau manusia iblis ini jadi gentar
sekalipun dia masih memiliki tiga kawan untuk membantunya.
"Apakah kalian sudah siap
untuk mampus menyusul Ang-mo It-kui …?" tanya Ki Hok Bun dengan pandangan
mata tak berkedip.
"Twako dengarlah … Mari
kita bicara dulu," berkata Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong dan diamdiam dia
berikan isyarat pada Si Golok Iblis Gui Kun.
Ki Hok Bun meludah ke tanah.
"Kau mau bicara apa
manusia iblis biang racun kejahatan? Silahkan bicara dengan pedangku!"
Habis berkata begitu Ki Hok
Bun segera menerjang ke depan namun mendadak dari samping kiri menderu setengah
lusin golok terbang, mencari sasaran di enam bagian tubuhnya!
Ki Hok Bun kertakkan rahang.
Pedang Pelangi di tangan kanannya digerakkan. Tujuh warna sinar pelangi
bertaburan. Terdengar suara berdentrangan enam kali berturut-turut. Setengah
lusin golok terbang yang dilepaskan Si Golok Iblis Gui Kun mental patah dua
dihantam Pedang Pelangi.
Di saat yang sama dari jurusan
lain Nan-king Kui-ong lepaskan satu pukulan tangan kosong yang menimbulkan
angin deras ke arah lambung Ki Hok Bun. Berbarengan dengan itu menyambar pula
sepuluh sinar hitam panjang yang membersit keluar dari jentikan kuku-kuku jari
Tui-hun Huimo. Sedang dari belakang didahului dengan suara menggembor seperti
banteng mengamuk kepala besi Tiat-thou-kui datang menyeruduk!
"Bagus! Kalian main
keroyok. Berarti lebih cepat aku dapat mencincang kalian sekaligus!" seru
Ki Hok Bun.
Nan-king Kui-ong tertawa
mengejek.
"Justru kami ingin
menolong agar kau lekas-lekas bisa bertemu dengan anak istrimu di
akherat!"
Mendidih darah Ki Hok Bun
mendengar ucapan itu. Dia berseru keras. Tujuh sinar pelangi berkiblat seputar
tubuhnya hingga diri dan pedang sakti itu seolah-olah lenyap dari pemandangan.
Sesaat kemudian terdengar seruan kaget susul menyusul keluar dari mulut ke
empat pengeroyok. Nan-king Kui-ong tersurut mundur dan cepat-cepat melompat ke
samping ketika pukulan hawa saktinya yang membentur sinar pedang mustika
seperti membal dan terpental kembali menghantam dirinya sendiri.
Tui-hun Hui-mo yang berbadan
katai mundur jumpalitan menjauhi kalangan pertempuran. Wajahnya seputih kertas
sewaktu menyaksikan bagaimana dua kuku jarinya sebelah kiri dan tiga lagi di
sebelah kanan kena dibabat putus oleh pedang sakti lawan. Kedua tangannya
terasa panas. Masih untung bukan jari-jari tangannya yang kena disambar.
Orang ke tiga dari lima iblis
itu yakni Gui-Kun Kui-to juga mundur dengan tampang pucat pasi sambil pegangi
jubah hitamnya yang robek besar di bagian dada kena dimakan ujung Pedang
Pelangi. Sedang Tiat-thou-kui yang menyeruduk dari belakang terpaksa tarik
pulang serangannya karena mendadak sontak Ki Hok Bun kirimkan satu tendangan ke
belakang.
Bagaimanapun atosnya batok
kepala Tiat-thou-kui yang terkenal seperti besi itu, namun untuk beradu dengan
tendangan kaki seorang berkepandaian tinggi seperti Pendekar Pedang Pelangi dia
musti berpikir tiga kali!
Sesaat empat manusia iblis itu
diam tak bergerak di tempat masing-masing, mengurung Ki Hok Bun di
tengah-tengah. Perlahan-lahan Nan-king Kui-ong susupkan tangan kanannya ke
balik jubah. Sesaat kemudian dia telah memegang sebuah senjata aneh. Senjata
ini berbentuk hudtim (kebutan) sedang ujungnya yang lain berbentuk tombak besi
bermata dua berkilauan.
"Hem … jadi senjata
curian itu masih berada di tanganmu, biang iblis?" sentak Hok Bun.
Senjata di tangan Nan-king
Kui-ong dulunya adalah milik seorang tokoh silat golongan putih pembantu Kaisar
Yung Lo. Dalam satu pertempuran di medan perang tokoh silat itu menemui ajalnya
dikeroyok Nan-king Ngo-kui, senjatanya lalu dirampas oleh Nan-king Kui-ong.
"Ha .. ha. Agaknya kau
takut menghadapi senjata ini Hok Bun?" ejek Nan-king Kui-ong.
Sebagai jawaban Ki Hok Bun
lantas putar pedangnya. Melabrak ganas ke arah pangcu manusia-manusia iblis
yang tinggal empat orang itu. Jurus yang dikeluarkan Hok Bun saat itu bernama
ko-sing poan-swat atau bintang mengejar rembulan.
Tak kalah hebatnya Nan-king
Kui-ong keluarkan jurus pit-bun ki-khek atau menutup pintu menolak tetamu guna
menangkis serangan ganas lawan. Gerakan ini sebenarnya dimainkah dalam ilmu
silat tangan kosong. Tapi karena Kui-ong berkepandaian tinggi maka dengan
senjata di tangan dia membuat gerakan yang amat hebat. Namun bagaimanapun dia
tak mau ambil risiko untuk bentrokan senjata dengan pedang sakti di tangan
lawan. Karena sebelum ujung tombak mata dua saling beradu dengan Pedang
Pelangi, Nan-king Kui-ong membuat gerakan joan-hun ki-gwat atau menyusup awan
mengambil rembulan.
Ki Hok Bun bukan pendekar
kemarin. Dia maklum kalau lawan takut untuk bentrokan senjata. Maka buru-buru
dia kiblatkan pedangnya dalam jurus tiang-hong koan-jit atau pelangi menutup
matahari. Akibatnya Nan-king Kui-ong tak dapat lagi melihat lawan maupun
pedang. Gulungan sinar tujuh warna menyambar deras menyilaukan mata dan
mengurungnya. Dia terpaksa mundur dua langkah. Justru saat itu Hok Bun tidak
memberi kesempatan dan susul dengan serangan thian-sing tui-sin atau bintang
meluncur turun.
Pedang Pelangi laksana kilat
menyambar deras dari atas ke bawah. Kali ini Nan-king Kui-ong mati langkah. Mau
tak mau dia harus menangkis dengan senjatanya untuk selamatkan diri dari bahaya
maut.
Sambil putar senjata ke depan
pangcu manusia-manusia iblis itu berteriak, "Kawan-kawan bantu aku
cepat!"
Maka tiga serangan menggebu ke
arah Hok Bun. Namun semuanya luput karena Hok Bun sudah lebih dulu melompat ke
atas dan dari atas meneruskan serangannya tadi yang kini jadi lebih dahsyat.
Trang!
"Auu!"
Nan-king Kui-ong terpekik. Dia
melompat mundur jauh-jauh. Salah satu jari tangan kanannya putus sedang senjata
hudtimnya hancur berkeping-keping dihantam Pedang Pelangi. Tiga kawannya yang
barusan menyerang kini mundur pula berserabutan ketika Ki Hok Bun kembali
kiblatkan pedang saktinya ke arah mereka.
Diantara empat iblis itu Iblis
Pengejar maut Tui-hun Hui-mo dan Si Golok Iblis Gui Kun sebenarnya sudah runtuh
nyalinya. Hanya si botak kepala besi Tiat-thou-kui yang masih cukup berani dan
bertekad untuk menghancurkan tubuh lawan dengan serudukan-serudukan kepaia
besinya. Nanking Kui-ong sendiri merasa malu kalau terlalu menunjukkan rasa
kawatirnya. Namun dia menyadari bahwa saat itu keadaan sangat tidak
menguntungkannya. Malah jika dia tidak mengambil keputusan cepat mereka
berempat bisa mengalami celaka besar menemui kematian satu persatu. Dia
berpaling pada Si Golok Iblis Gui Kun dan memberi isyarat. Gui Kun yang cepat
menangkap arti isyarat pangcunya itu menganggukkan kepala dan mengirimkan isyarat
yang sama pada Tui-hun Hui-mo. Malang bagi si kepala besi Tiat-thou-kui karena
berada di sebelah depan dia tak dapat melihat isyarat isyarat tersebut.
Karenanya terpaksa Nan-ing Kui-ong berseru,
"Kawan-kawan, tinggalkan
tempat ini. Lain hari kita buat perhitungan dengan bangsat itu!"
"Ho… ho! Mau lari kemana
manusia-manusia keparat?!" teriak Hok Bun seraya melompat memburu. Sambil
melompat itu dia kirimkan satu tendangan ke arah si kepala besi Tiat-thou-kui.
Karena memang berada sangat dekat, di samping itu tidak menyangka kalau sambil
mengejar ke jurusan lain lawan akan kirimkan tendangan, Tiat-thou-kui agak
terlambat mengelak. Akibatnya bahu kirinya kena dihantam tumit Hok Bun hingga
remuk dan dia terpelanting jatuh tergelimpang di tanah. Di lain kejap Hok Bun
sudah berhasil menghadang tiga manusia iblis lainnya.
"He … he … Kalian boleh
lari. Tapi tinggalkan nyawa kalian disini!" kata Hok Bun sambil
melintangkan pedang sakti di depan dada.
Nan-king Kui-ong dan dua
kawannya terkesiap kaget. Hebat sekali gin-kang bekas perwira tinggi itu hingga
belum sempat mereka bergerak jauh tahu-tahu sudah kena dihadang. Jika tidak
memakai tipu muslihat tak bakal bisa lolos. Demikian Nan-king Kui-ong membatin.
"Hok Bun, jangan terlalu
sombong! Aku akan perlihatkan sepucuk surat dari Kaisar Hui Ti untukmu. Surat
ini diloloskan lewat penjara …"
"Akal busukmu tak bakal
mempan manusia iblis!" kata Hok Bun yang sudah mencium niat licik lawan.
Namun karena disebutnya nama Hui Ti bekas Kaisar kepada siapa dia pernah mengabdi,
agak tergerak juga hati Ki Hok Bun. Karena itulah dia hanya tegak berdiam diri.
Dari balik jubah pakaiannya Nan-king Kui-ong keluarkan segulung kertas merah
mudah yang ujungnya berjumbai-jumbai benang hijau. Kertas dengan jumpai-jumbai
seperti itu memang adalah ciri-ciri surat Kaisar Hui Ti. Nan-king Kui-ong
membuka gulungan kertas lalu mengangsurkannya ke hadapan Hok Bun seraya
berkata,
"Kau bacalah sendiri
isinya!"
Ketika mengangsurkan surat itu
sebuah benda bulat hitam sebesar ujung ibu jari melesat ke udara disertai bunyi
mendesis tajam. Sadarlah kini Hok Bun kalau dia memang telah tertipu. Dia
melompat ke depan sambil kiblatkan pedang namun terlambat!
Bola kecil hitam itu.meledak
di udara membersitkan asam hitam pekat bergulung-gulung. Keadaan di tikungan
sungai itu menjadi gelap gulita. Pemandangan Hok Bun tertutup. Kemanapun
berpaling hanya kehitaman yang kelihatan. Hok Bun merutuk dalam hati. Dia
melompat jauh-jauh ke belakang. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu.
Selang beberapa lama asap
hitam mulai menipis. Nan-king Kui-ong dan kawan-kawannya telah lenyap. Tetapi
ternyata tidak semua mereka sempat melarikan diri.
Tiat-thou-kui yang tadi kena
dihantam tendangan kelihatan merangkak di tanah sambil pegangi bahu kirinya
yang remuk.
"Pangcu …! Kawan-kawan!
Jangan tinggalkan aku!" teriak Tiat-thou-kui. Namun sang pangcu dan dua
kawannya sudah lari jauh. Sepasang kaki dilihatnya melangkah mendekatinya.
Ketika dia mendongak pandangannya membentur wajah Ki Hok Bun yang garang angker.
"Sampai lidahmu copot
berteriak, tak ada satu orangpun yang bakal menolong manusia keparat!"
Dengan tubuh menggigil
Tiat-thou-kui berdiri tegak. Dihadapannya Ki Hok Bun melangkah semakin dekat
dengan pedang terhunus di tangan. Tiba-tiba Hok Bun gerakkan tangan kanannya
yang memegang pedang. Tiat-thou-kui mengelak ke kiri, lompat ke kanan, mundur
dan melompat berulang kali, berusaha menyelamatkan diri dari sambaran pedang
yang datang bertubi-tubi.
Sebagai orang ke tiga di
antara Lima Iblis Dari Nan-king Tiat-thou-kui memiliki ilmu kepandaian yang
tidak rendah. Namun dalam keadaan terluka serta hanya ditinggal sendirian
begitu rupa dia jadi mati kutu.
Karena melompat terus-terusan
lama lama tenaganya jadi kendor dan nafasnya memburu. Satu kali terdengar teriakan
Tiat-thou-kui ketika kepalanya kena digores pedang dan senjata itu terus
membabat putus telinga kirinya. Darah mengucur membasahi wajahnya hingga
tampangnya benarbenar menyeramkan seperti iblis. Sadar kalau dirinya tak bakal
lolos dari tangan musuh tiba-tiba Tiatthoukui jatuhkan diri dan berlutut.
Setengah meratap dia berkata,
"Twako Kim-hong
Kiam-khek, aku menyerah dan pasrahkan diri padamu. Aku mohon padamu sudilah
mengampuni selembar nyawa yang hina dina ini. Aku sadar kini kalau sudah
tersesat ikut berbuat jahat bersama Bu Ceng dan kawan-kawan. Aku insaf dan
tobat. Aku bersedia membantumu membalaskan sakit hati terhadap ketiga orang itu
. . . "
"Cuh!" Hok Bun
meludahi muka Tiat-thou-kui. "Tutup mulut busukmu yang banyak akal.
Omongan iblis aku tak mau
dengar!" lalu tanpa banyak bicara lagi Hok Bun gerakkan pedang pelanginya.
Tiat-thou-kui terpekik dan tekap mukanya dengan kedua tangan. Sambaran pedang
tadi telah memutus hidung dan bibirnya hingga tampangnya jadi luar biasa
mengerikan.
Rasa sakit yang amat sangat
membuat si botak ini menjadi kalap. Hilang rasa takutnya. Dia sadar percuma
saja minta ampun. Dari pada mati sia-sia lebih baik melawan. Siapa tahu dengan
serangan membabi buta dia berhasil merobohkan lawan.
Maka dengan nekad didahului
macam suara harimau menggereng Tiat-thou-kui menerjang ke depan, hantamkan
tangan kanannya. Angin pukulan deras menyambar Hok Bun tapi segera terpental
begitu membentur sinar pedang tujuh warna pelangi dan membalik menyerang
tuannya sendiri.
Selagi Tiat-thou-kui kalang
kabut mengelakkan angin pukulannya sendiri Ki Hok Bun kembali membabatkan
pedangnya. Kali ini Tiat-thou-kui tak punya daya lagi untuk mengelak. Dengan
kalap dia sorongkan kepalanya melabrak perut lawan.
Ki Hok Bun memutar arah pedangnya
sedikit dan cras! Tamatlah riwayat orang ke tiga dari Nan-king Ngo-kui ini.
Kepalanya terbacok terbelah sampai ke pangkal leher!
Meski Tiat-thou-kui sudah
menggeletak tak bernyawa namun Ki Hok Bun seperti kemasukan setan terus saja
membacokkan pedangnya ke sekujur tubuh orang itu. Pembalasan bekas perwira
tinggi ini benar-benar sadis. Dua musuh besar telah mati di tangannya. Masih
ada tiga orang lagi yang harus dicarinya!
***
8
PELACURAN adalah salah satu
macam pekerjaan yang paling tua di dunia. Sama tuanya dengan umur ummat manusia
dan terdapat di mana-mana.
Umumnya di masa perang dan
sesudah perang pelacuran lebih menjadi-jadi dibanding dari masa damai. Hal ini
disebabkan karena kesulitan hidup akibat peperangan itu sendiri. Demikian pula
yang terjadi di Tiongkok sesudah perang saudara berkecamuk.
Kota-kota seperti Peking, Tien
Tsien, Hankouw, Nanking, Shanghai, Ningpo, Kanton dan sebagainya timbul menjadi
pusat-pusat hiburan dengan pelacuran pada tingkat teratas. Bahkan gejala
buruknya kehidupan sosial ini menjalar pula ke kota-kota kecil, ke pedalaman.
Salah satu dari kota-kota
kecil yang dilanda pelacuran itu adalah Ankeng di propinsi Kiangsi, kira-kira
20 lie di barat laut Nanking. Meskipun Ankeng cuma sebuah kota kecil namun
karena menjadi pusat pertemuan dari tiga buah jalan raya maka tak urung kota
ini senantiasa ramai setiap siang maupun malam. Pelacuran merajalela. Mulai
dari kelas murahan di lorong-lorong gelap yang sempit sampai ke tingkat tinggi
di gedung-gedung besar danmewah.
Suatu hari di Ankeng, saat itu
matahari pagi baru saja menyingsing naik. Di dalam sebuah kamar pada satu
gedung mewah di pusat kota, yakni sebuah gedung pelacuran, terjadi pertengkaran
antara seorang pelacur muda dengan lelaki yang telah memakainya semalam suntuk.
"Cis!" pelacur yang
bernama Lu Sian Cin mengomel. "Semalam suntuk kau berpuas-puas menikmati
diriku. Masakan dibayar sebegini?!"
Lelaki berambut gondrong
awut-awutan bertampang seram penuh cambang bawuk liar serta kumis jenggot
meranggas sesaat memandang Lu Sian Cin sambil menyeringai sementara kedua
tangannya sibuk mengikat ikat pinggang jubah hitamnya yang dekil danbau.
"Lelaki brengsek. Kalau
tak punya uang cukup jangan datang ke tempat ini!" kernbali terdengar
omelan Lu Sian Cin.
Sang tamu yang berbadan tinggi
jengkel juga mendengar ucapan itu dan berkata, "Kalau tak mau dibayar
sebegitu biar kuambil kembali uang itu!" Lal!u diulurkannya tangannya
hendak mengambil uang di atas meja. Begitu uang dimasukkannya kembali ke
kantong di balik jubahnya tahu-tahu plak!
Tamparan perempuan lacur itu
mendarat di salah satu pipinya.
"Benar-benar lelaki tidak
bermalu!"
Mendapat tamparan begitu rupa
si berewok yang bukan lain adalah Bu Ceng alias Nan-ing Kuiong menjadi naik
darah. Dijambaknya rambut si pelacur dan sekali tangannya bergerak perempuan
itu dilemparkannya keluar pintu.
Lu Sian Cin menjerit-jerit
kesakitan. Keningnya terantuk dinding pintu kelihatan bengkak dan mengucurkan
darah.
Seorang lelaki tinggi besar
bermuka hitam, entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah berada di tempat itu.
Gerakannya enteng tanda dia memiliki ilmu. Sesaat dia memandang pada tetamu
berjubah hitam. Lalu berpaling pada Lu Sian.
"Ada apa?" tanya si
muka hitam ini. Namanya Song Bun Lip. Dia adalah kepala keamanan di gedung
pelacuran itu. Perlu diketahui Lu Sian Cin adalah primadona dari semua pelacur
yang ada disitu dan paling muda usianya. Sudah sejak lama Bun Lip menaruh hati
pada pelacur ini dan agaknya Lu Sian pun senang padanya. Tentu saja melihat
orang,yang disayanginya luka seperti itu Bun Lip jadi marah. Apalagi setelah Lu
Sian Cin menerangkan apa yang terjadi.
Song Bun Lip membantu Sian Cin
berdiri lalu berpaling pada Bu Ceng dan berkata, "Loya berjubah hitam.
Pinceng adalah Song Bun Lip, kepala keamanan di gedung ini. Pinceng dan majikan
tak ingin terjadi keributan di sini, karenanya pinceng harap loya suka membayar
sewajarnya. Loya telah mendapat hiburan. Bukankah pantas membayar menurut
aturan?" (loya = tuan besar. pinceng = saya)
Nan-king Kui-ong yang penaik
darah, ditegur begitu rupa mula-mula hendak melabrak si tinggi besar kepala
keamanan itu. Namun melihat Song Bun Lip bersikap tenang dan pandangan matanya
tajam diam-diam Bu Ceng jadi tercekat juga. Setelah membetulkan ikat pinggang
jubahnya dia berkata,
"Aku kan sudah membayar.
Betina sialan ini malah mengumel, memakiku bahkan menampar. Apa kalian di sini
tidak memberi pelajaran sopan santun padanya hingga dia tahunya cuma naik ke
atas ranjang, mengangkang lalu minta uang dengan cara yang kurang ajar? Sekarang
siapapun kau adanya, apapun pangkatmu di tempat ini menyingkirlah. Aku mau
pergi!" Song Bun Lip batuk-batuk beberapa kali.
"Setiap saat tentu saja
loya boleh pergi. Namun tentunya setelah membayar seperti yang pinceng bilang
tadi."
"Hem … berani kau
memaksa?!"
"Bukan memaksa loya. Kami
di sini cari makan …"
"Kalau tuan besarmu tidak
mau bayar, kau mau apa manusia muka hitam?" ejek Bu Ceng.
"Jika demikian adanya,
terpaksa pinceng menjalankan apa yang menjadi tugas pinceng," sahut Song
Bun Lip.
Bu Ceng tertawa bergelak.
"Manusia bermuka hitam
macam pantat kuali, rupanya kau tidak melihat gunung Thaysan di depan mata
hah?"
Sehabis berkata demikian
Nanking Kui Ong dorongkan tangan kanannya ke dada kepala keamanan itu. Song Bun
Lip terkejut karena detik itu juga dia merasa dadanya seperti ditindih batu
besar. Kontan mukanya berubah pucat.
Sebagai kepala keamanan Bun
Lip memang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Tapi semua yang
dimilikinya hanya ilmu luar atau ilmu kasar belaka. Di dalam dia sama sekali
tidak mempunyai isi. Sebelum tubuhnya terlempar dan terjengkang, lelaki ini
melompat ke samping dan dari samping langsung kirimkan satu jotosan ke pelipis
Bu Ceng. Meski pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam namun demikian
hebatnya hingga kalau sampai mendarat di kepala Bu Ceng pastilah manusia iblis
ini akan rengkah kepalanya!
Akan tetapi tentu saja Bu
Ceng, manusia pertama dan pimpinan dari Nanking Ngo Kui tidak semudah itu untuk
dijatuhkan. Dengan gerakan seperti acuh tak acuh dan sikap memandang rendah Bu
Ceng mengelak dan entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu buk!
Kepala keamanan tempat
pelacuran itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental ke luar kamar,
terguling-guling di langkan gedung terus terhampar di halaman depan, muntah darah,
mengerang kesakitan tetapi masih sanggup bangun kembali.
Song Bun Lip orang yang tahu
membaca kehebatan lawan. Dengan tangan kosong tak mungkin dia sanggup melayani
si jubah hitam ini. Karenanya dia segera cabut golok. Dengan mulut berlumuran
darah dia melangkah mendekati Bu Ceng. Yang diserang tegak tolak pinggang di
tangga gedung.
Sementara itu orang mulai
banyak berkumpul di depan gedung. Ankeng adalah kota hiburan yang hangat.
Setiap perkelahian atau sesuatu yang berbau kekerasan akan segera menarik
perhatian orang banyak. Mereka akan menonton dengan senang malah memberi
semangat agar perkelahian menjadi lebih hebat.
Wut!
Golok di tangan Bun Lip
menyambar ke arah tenggorokan Bu Ceng. Serangan maut ini disambut dengan ganda
tertawa oleh Nan-king Kui-ong.
"Manusia pantat kuali tak
tahu diri. Kau rasakanlah bagaimana senjatamu sendiri akan menembus
dadamu!"
Song Bun Lip sudah dapat
memastikan bahwa serangan kilatnya yang ganas itu akan membuat bergelindingnya
kepala lawan. Tetapi tidak dinyana tahu-tahu sikutnya terasa remuk berderak dan
di lain saat lengannya tertekuk hingga ujung goloknya dengan sebat dan tak
dapat dihindarinya lagi menusuk keras ke arah badannya sendiri!
Semua orang yang ada disitu
bergidik dan menyaksikan dengan mata membeliak ngeri apa yang bakal dialami
Song Bun Lip. Saat itu tiba-tiba terdengar jeritan perernpuan.
"Lelaki keparat! Kalau
kau bunuh dia maka kau sendiri bakal mampus!"
Yang berteriak adalah Lu Sian
Cin. Dia mendatangi dengan menggenggam sebilah golok penjagal babi. Senjata ini
diayunkannya dari arah samping ke kepala Bu Ceng. Hebatnya Bu Ceng seolah-olah
tidak mengacuhkan serangan tersebut dan terus menekan golok dalam genggaman Bun
Lip ke dada kepala keamanan itu. Nainun sedetik lagi golok penjagal babi akan mendarat
di batok kepalanya, Bu Ceng kebutkan lengan kiri jubahnya. Angin deras menderu.
Lu Sian Cin terpekik.
Tubuhnya mencelat dan dia
terguling muntah darah di tanah, pingsan. Beberapa orang segera datang
menolongnya.
Song Bun Lip sadar bahwa dia
tak bakal menghindari dari goloknya sendiri yang ditusukkan ke arah dadanya.
Ini membuat dia menjadi kalap dan sengaja dorongkan tubuh ke depan sambil
menendang ke arah selangkangan lawan. Maksudnya hendak berjibaku. Tapi dengan
mempergunakan lututnya Bu Ceng berhasil menahan tendangan maut itu sebaliknya
ujung golok sudah menyentuh dada pakaian Bun Lip.
Sedetik lagi ujung golok akan
menembus dada Song Bun Lip tiba-tiba terdengarlah satu siulan aneh. Bersamaan
dengan itu sebuah benda merah sebesar kepalan melayang di udara. Plak!
Benda itu menghantam tangan
kanan Nan-king Kui-ong dan pecah. Ternyata sebuah apel merah. Meski cuma apel
belaka tetapi begitu terkena lemparan Nan-king Kui-ong merasakan tangan
kanannya seperti lumpuh hingga cekalannya terlepas. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Song Bun Lip untuk meloloskan diri. Namun pukulan tangan kiri Nan-king
Kui-ong masih sempat mampir di bahunya hingga dia terbanting ke tanah dengan
tulang bahu remuk. Ini adalah lebih baik dari pada ditembus goloknya sendiri!
Sambil menguruti tangan
kanannya dengan tangan kiri Bu Ceng memandang berkeliling.
"Bangsat rendah dari mana
yang berani campur tangan dengan jalan membokong? Lekas tunjukkan
tampang!"
Teriakan Bu Ceng ini demikian
kerasnya hingga semua orang yang ada disitu tergetar kecut dan mundur beberapa
langkah. Sepasang mata kepala manusia iblis ini menyorot berkeliling
mencari-cari. Akhirnya pandangannya membentur seorang pemuda asing berambut
gondrong yang duduk ongkang kaki di atas bangku di bawah emper sebuah warung
penjual teh pahit. Di bangku di sampingnya ada sebuah keranjang berisi
buah-buah apel. Seolah-olah dia cuma berada sendiri di situ dan seperti orang
kelaparan pemuda asing tadi yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang tanpa acuh terus saja asyik menggerogoti buah-buah apel yang manis itu.
Pelipis Bu Ceng
bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Karena cuma pemuda asing ini saja yang
memegang dan makan apel di sekitar tempat itu maka Bu Ceng yakin sekali dialah
tadi yang telah melemparnya dengan buah itu!
"Bangsat rendah yang
sedang makan apel! Kemari kau!" bentak Bu Ceng.
Wiro Sableng sesaat hentikan
mengunyah apel dalam mulutnya dan berpaling. Sejenak dia memandang pada Bu Ceng
dengan sepasang mata disipitkan, garuk-garuk kepala, meludahkan apel yang dalam
mulutnya ke tanah lalu acuh kembali mengambil buah apel baru dari dalam
keranjang dan memakannya. Tentu saja sikap Wiro ini membuat Bu Ceng naik darah
setengah mati.
"Benar-benar minta
dihajar bangsat ini!" kertak Bu Ceng. Dengan langkah-langkah besar dia
mendatangi Wiro. Sekali tendang bangku kayu yang diduduki murid Sinto Gendeng
ini hancur berkeping-keping. Namun anehnya Wiro sendiri tetap tak bergerak di
tempatnya. Jangankan bergerak, bergemingpun tidak. Sikapnya seolah-olah dia masih
duduk di atas bangku yang tak kelihatan seperti tadi. Lalu perlahan-lahan
tubuhnya merunduk turun ke bawah, duduk menjelepok di tanah sambil terus
mengunyah apel!
Kalau tadi orang banyak tampak
agak takut menyaksikan keberangan Bu Ceng, maka kini melihat kelakuan si pemuda
asing semuanya jadi tersenyum lucu dan ingin menyaksikan bagaimana lanjutan
kejadian ini.
Bu Ceng yang bermata tajam
sadar kalau pemuda asing tak dikenal itu memiliki kepandaian namun amarah
membuatnya jadi kalap. Apalagi disaksikan demikian banyak pasang mata. Dia
merasa direndahkan dan dipermainkan.
"Budak gondrong keparat!
Kau mau jual tampang dan pamer ilmu padaku hah?!"
"Eh muka berewok berjubah
hitam kau bau busuk. Kenalpun aku tidak padamu. Mengapa usil
menggangguku?" Wiro Sableng menjawab seenaknya.
"Setan alas!
Mampuslah!" teriak Bu Ceng yang seumur hidupnya baru sekali itu dihina
demikian rupa dan di depan banyak orang pula. Kaki kanannya menderu ke arah
kepala Wiro Sableng. Orang banyak terkesiap malah ada yang mengeluarkan seruan
tertahan karena mengira detik itu-juga pastilah kepala si pemuda berambut
gondrong yang tidak dikenal akan pecah.
Di saat itu justru terdengar
suara siulan aneh. Dan tahu-tahu tendangan Bu Ceng hanya rnengenai tempat
kosong. Semua orang melongo heran. Bu Ceng sendiri melengak kaget karena dia
tidak dapat melihat kapan pemuda yang hendak dibunuhnya itu bergerak dan ketika
memandang ke atas tahu-tahu dilihatnya Wiro sudah berada di cabang sebatang
pohon besar sambil duduk goyanggoyang kaki dan makan buah apel!
Sebenarnya jika Bu Ceng mau
berpikir sedikit jauh dari situ dia harus memaklumi bahwa pemuda asing itu
memiliki kepandaian yang bukan sembarangan. Namun amarah sudah membuatnya mata
gelap. Dia menghantam ke atas lepaskan satu pukulan sakti yang mengandung
tenaga dalam hebat.
Segulung angin laksana
hembusan topan melabrak deras ke arah pendekar kita. Bukan saja cabang di mana
Wiro duduk hancur berantakan tetapi batang pohon juga ikut patah dan pohon itu
tumbang dengan suara menggemuruh disertai pekik orang banyak. Wiro sama sekali
tidak kelihatan. Sepasang mata Nan-king Kui-ong bergerak liar mencari-cari.
"Hai!" terdengar
suara rremanggil.
Bu Ceng berpaling. Setan
betul! Pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di belakangnya memegang keranjang apel sambil
cengar-cengir.
"Jika kuberikan apel satu
keranjang ini padamu, maukah kau tidak menggangguku lagi?" tanya Wiro
tentu saja mempermainkan.
"Anjing geladak hina
dina! Kau rupanya tidak tahu berhadapan dengan siapa! Apakah kau pernah
mendengar nama Nan-king Ngo-kui? Lima Iblis Dari Nanking? Akulah pemimpinnya.
Aku Nan-king Kui-ong!"
Mendengar kata-kata itu semua
orang menjadi gempar dan banyak diantara mereka yang buruburu tinggalkan tempat
itu. Yang masih berani mengintip-intip dari tempat jauh. Siapa yang tidak
pernah mendengar nama Lima Iblis Dari Nanking? Dan kini justru kepalanya, biang
iblisnya yang muncul!
Bu Ceng sadar kalau dalam
marahnya telah ketelepasan mulut mengatakan siapa dirinya. Kalau saja ada alat
Kerajaan di tempat itu pasti dia akan menghadapi urusan yang tidak sedap. Wiro
Sableng sendiri tak kalah kagetnya ketika mengetahui bahwa manusia berjubah
hitam busuk yang sejak tadi dipermainkannya itu adalah pemimpin dari Nan-king
Ngo-kui.
"Hm, jadi inilah manusia
biang racun yang jadi musuh saudara angkatku Ki Hok Bun!" katanya dalam
hati. Dan sekaligus yang selama ini diburunya pula. Sesaat Wiro tertegak diam
sambil garukgaruk kepala. Kemudian dia berkata, "Ah, mataku sangat buta.
Tidak melihat gunung Thaysan di depan mata. Jika kau memang Nan-king Kui-ong,
biarlah aku memberikan penghormatan dengan menyerahkan apel-apel ini
padamu!"
Setelah berkata begitu Wiro
goyangkan keranjang apel yang dipegangnya. Dan empat belas buah apel yang masih
ada dalam keranjang itu laksana meteor melesat ke arah 14 bagian tubuh Nanking
Kui Ong. Menyaksikan ini orang banyak yang mengintip dari tempat kelindungan
merasa kagum.
Pemuda ini rupanya memang
berilmu tinggi. Tapi menghadapi Nan-king Kui-ong sama saja mencari mati. Begitu
mereka berpikir.
Bu Ceng sendiri tak kurang
kagetnya. Melemparkan buah apel dalam keranjang tanpa menyentuh langsung
buah-buah itu sudah merupakan kepandaian tersendiri, apalagi kalau buah-buah
tersebut dijadikan senjata yang ampuhl Hanya tokoh silat berkepandaian tinggi
yang sanggup melakukan hal seperti itu. Menilik kepada tampangnya yang tolol
dan sikapnya yang seperti orang miring otak Nanking Kui Ong sulit untuk
mempercayai bahwa pemuda berambut gondrong itu telah melakukan kehebatan
tersebut. Namun justru itulah kenyataan yang terjadi dan jika dia tidak
bertindak cepat niscaya bakal cidera!
Nan-king Kui-ong membentak
garang. Sekali kebutkan ujung lengan jubah hitamnya sebelah kanan, enam buah
apel mental berhamburan. Enam lainnya dihajar dengan kebutan lengan jubah kiri
dan dua sisanya dikelit dengan gerakan cepat.
"Oho …!" seru Wiro
yang melihat Bu Ceng membuat gerakan menghantam dan mengelak itu, "Rupanya
selain jadi iblis nyatanya kau juga pandai menari! Ha … ha … ha!"
"Sialan benar. Kalau
tidak segera kubunuh bangsat ini bisa membuat darah muncrat dari benakku!"
kata Bu Ceng dalam hati. Sementara itu di hadapannya Wiro kembali membuka
mulut.
"Hai! Setahuku kalian
berjumlah lima orang. Mana empat iblis jejadian lainnya?"
"Makan dulu gebukanku ini
baru nanti kujawab!" ujar Bu Ceng lalu melompat ke depan sambil dorongkan
kedua tangannya yang dikepal ke arah dada Wiro Sableng. Inilah serangan tangan
kosong yang mengandalkan tenaga dalam tinggi bernama Soan-hong hiap-in atau
angin berpusing mengejar awan. Belum lagi dua kepalan itu mengenai sasarannya,
angin pukulannya saja sudah membuat pakaian Wiro berkibar-kibar dan dadanya
seperti ditekan!
Melihat kehebatan serangan
lawan, Wiro Sableng tak mau berlaku ayal walau tampangnya masih tetap cengar
cengir. Cepat dia melompat ke samping dan dari arah ini bermaksud lancarkan
satu sodokan lutut ke pinggul lawan.
Namun serangan angin berpusing
mengejar awan mempunyai cahaya yang tidak terduga. Karena begitu dielakkan
tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa membalik. Dan kini bukan saja dua tinju
yang bergerak menyerang tetapi satu kaki ikut pula berkelebat ke bawah perut
Wiro Sableng!
Wiro Sableng keluarkan siulan
nyaring. Tubuhnya mengapung sampai dua tombak dan dari atas laksana elang
menyambar anak ayam dia menukik. Lima jari tangannya menyambar ke arah kepala
Nan-king Kui-ong yang berambut panjang awut-awutan.
Nan-king Kui-ong geram sekali.
Belum pernah serangannya yang begitu hebat dapat diruntuhkan lawan malah kini
mendapat serangan balasan. Bu Ceng rendahkan kuda-kuda kedua kakinya. Tubuhnya
kini merunduk dan serentak dengan itu tangan kirinya memukul ke atas. Sesaat
kemudian kedua orang itu sama-sama mengeluarkan seruan.
Meskipun sudah merunduk namun
jari-jari tangan Wiro masih sempat menjambak putus segenggam rambut di kepala
Bu Ceng hingga kulit kepalanya mengeluarkan darah. Sakitnya tentu saja bukan
kepalang.
Sebaliknya Wiropun kena
dihantam oleh pukulan Hoan-thian-ciang (pukulan membalik langit) yang
dilepaskan lawan. Tubuhnya tergetar dan dadanya berdenyut sakit. Cepat-cepat
dia jungkir balik dan begitu berdiri di atas kedua kakinya dia segera salurkan
tenaga dalam ke bagian tubuh yang kena dihantam.
Bu Ceng merasakan dan melihat
jelas pukulan saktinya tadi tepat mengenai dada lawan. Tapi Wiro masih tegak
berdiri tanpa cidera bahkan masih bisa cengar cengir, membuat tokoh terlihai
dari Lima Iblis Dari Nanking ini jadi melengak kaget kalau tidak mau dikatakan
dingin tengkuknya. Selama ia memiliki ilmu pukulan Hoan-thian-ciang itu, tak
ada satupun musuh yang bisa selamat, paling tidak muntah darah atau terluka di
dalam.
Sebenarnya ingin sekali Bu
Ceng mengetahui siapa adanya pemuda acing berambut gondrong bertampang tolol
ini. Namun untuk bertanya dia merasa jatuh harga diri danakan menunjukkan
kekecutan beiaka. Dalam hatinya dia membatin, "Keparat ini memiliki
kepandaian tinggi. Berbahaya.
Kalau tidak segera kuhabisi
bisa berabe buntut-buntutnya …" Maka tanpa menunggu lebih lama Nanking
Kui-ong langsung menyerang.
Dia kerahkan seluruh
kepandaiannya, gunakan gin-kang dan iwekangnya yang tinggi dalam setiap pukulan
atau tendangan yang dilancarkan. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan hanya bayangan
jubah hitamnya berkelebat kian kemari. Demikian hebatnya serbuan Nan-king
Kui-ong hingga Wiro merasa seolah-olah ada setengah lusin musuh yang
menggempurnya saat itu. Tubuhnya disambar angin serangan dari berbagai penjuru
dan sesaat kemudian satu pukulan menyerempet bahunya hingga pendekar ini
melintir. Nan-king Kui-ong yang melihat lawan kehilangan keseimbangan kirim
tendangan ganas dari samping kiri ke arah perut. Namun saat itu Wiro sudah
dapat menguasai diri.
Murid Sinto Gendeng ini
membentak nyaring. Saat itu pula tubuhnya lenyap dari pemandangan dan yang ada
kini hanya bayangan putih menyambar kian kemari. Kini Nan-king Kui-ong yang
ganti kebingungan. Sekilas dilihatnya sosok tubuh Wiro seperti ada di sebelah
kanan. Diserangnya ke jurusan itu namun tahu-tahu dia sendiri mendapat serbuan
dari sebelah kiri.
Setelah menggempur lima belas
jurus tanpa hasil Nan-king Kui-ong mulai gelisah. Jubah hitamnya telah basah
oleh keringat dan ini membuat pakaian itu menebar bau yang semakin menjadi
jadi. Seumur hidupnya dia tak pernah kucurkan begitu banyak keringat untuk
perkelahian yang masih di bawah dua puluh jurus. Tiba-tiba.
Buk!
Nanking Kui Ong mengeluh dan
pegangi dadanya yang kena disodok sikut lawan. Belum lagi hilang rasa sakitnya
dia harus pula menerima jambakan pada rambutnya. Demikian hebatnya hingga pada
bekas rambut yang tercabut itu kelihatan kepalanya seperti botak dan mengucurkan
darah. Nanking Kui-ong meraung kesakitan.
"Setan alas! Aku
bersumpah untuk membunuhmu saat ini juga!" teriak Bu Ceng dalam sakit dan
marahnya. Dan wuut! Satu sinar biru berkiblat menyambar ke arah Wiro Sableng.
Melihat angkernya sinar dan derasnya angin yang menyambar Wiro tak berani
bertindak gegabah. Dia melompat mundur. Memandang ke depan dilihatnya lawan
memegang sebuah tasbih yang memancarkan sinar biru. Senjata ini adalah senjata
mustika hasil rampasan pada masa perang dulu. Wiro yang bisa menduga hal ini
berseru mengejek.
"Seorang iblis bersenjata
tasbih, sungguh lucu dan tak pantas. Kau curi dari mana tasbih itu?!"
Rahang Bu Ceng menggembung.
"Bagaimana keparat asing ini tahu kalau tasbih ini adalah senjata
curian," katanya dalam hati. Tanpa banyak bicara melayani kata-kata Wiro
tadi dia langsung saja menyerbu dengan menyabatkan tasbih. Sinar biru yang
keluar dari senjata sakti ini menderu menelikung aneh disertai hawa dingin
menggidikkan.
Wiro cepat berkelit
menghindarkan serangan lawan. Namun tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa
senjata itu membalik dan kembali menabur sinar biru. Demikian terjadi berulang
kali. Kalau saja Wiro tidak memiliki kegesitan yang ditunjang oleh ilmu
meringankan tubuh yang tinggi niscaya sudah beberapa kali dia kena dihantam
tasbih mustika, paling tidak terserempet sinarnya yang mengandung hawa dingin.
Serangan Nan-king Kui-ong
datang bertubi-tubi. Sinar biru dan hawa dingin menggebu-gebu.
Menelikung dan mengurung dari
berbagai arah, mempersempit ruang gerak Pendekar 212 Wiro Sableng.
Lambat laun hawa dingin itu
dirasakannya mulai membuat matanya perih dan menekan denyut jantungnya.
"Gila! Lama-lama aku bisa
remuk dibuatnya!" kata Wiro.
Lalu dia membentak nyaring.
Sikap dan gerakannya seperti hendak mengeluarkan satu serangan balasan yang
hebat detik itu juga. Hal ini membuat Nan-king Kui-ong cepat berlaku waspada.
Namun justru saat itu Wiro sama sekali tidak melancarkan serangan hebat atau
melepas pukulan sakti melainkan seperti seorang gila atau tepatnya seperti
seekor monyet terbakar buntut dia melompatlompat petatang peteteng. Sesekali
dia menggelitiki tubuhnya sendiri seperti lutung lalu tertawa gelak sambil
garuk-garuk kepala.
"Keparat ini benar-benar
miring otaknya!" kertak Nan-king Kui-ong. Dia salurkan tenaga dalamnya
lebih besar hingga tasbih di tangannya memancar lebih terang dan menderu-deru
sewaktu dia kembali mulai menggempur. Akan tetapi bagaimanapun dahsyatnya
serangan manusia iblis ini tak satupun berhasil mengenai Wiro Sableng padahal
lawan kelihatan begitu jelas untuk diserang bahkan ditamatkan riwayatnya.
Ilmu silat yang dikeluarkannya
Wiro Sableng saat itu adalah ilmu silat "orang gila" yang
dipelajarinya dari gurunya yang kedua yakni Tua Gila. Ilmu silat ini memang
aneh dan mempunyai kemampuan luar biasa. Seumur hidupnya manusia berjuluk
Nan-king Kui-ong baru kali itu menyaksikan ilmu silat macam begitu. Mau tak mau
dia jadi bingung. Lebih-lebih ketika Wiro salurkan hawa sakti pada kedua
tangannya hingga setiap serangan tasbih dapat dibendung.
Nan-king Kui-ong hampir hilang
kesabarannya ketika dalam satu jurus dia melihat kedudukan lawan dianggapnya
lemah. Maka dia tidak membuang kesempatan dan langsung menerjang. Tasbih di
tangan kanannya menabur sinar terang menyilaukan, membabat dari samping kiri.
Tampaknya hendak menghantam ke jurusan dada Wiro Sableng yang terbuka. Namun
sebelum sampai, tiba-tiba senjata itu melesat menghantam ke jurusan kepala!
Orang banyak yang menyaksikan
kejadian itu menahan nafas. Wiro terlihat seperti tidak berdaya untuk mengelak.
Sekali ini akan hancurlah kepala pemuda asing ini, pikir mereka.
Sesaat lagi tasbih itu akan
mengenai sasarannya, Pendekar 212 angkat tangan kanannya ke muka. Telapak
tangan menghadap ke depan dan jari-jarinya menekuk membentuk cakar. Sambil
kerahkan tenaga dalamnya murid Sinto Gendeng ini sudah siap untuk menangkis
tasbih dan sekaligus merenggut merampasnya. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi
mendadak terdengar suara menderu.
Tujuh warna sinar pelangi
berkiblat, menyeruak diantara kepala Wiro dan ujung Tasbih. Sedetik kemudian
tasbih itu putus hancur bertaburan dengan mengeluarkan suara bergemerincing!
Nan-king Kui-ong berseru kaget
dan melompat mundur. Dia masih kurang cepat. Ujung sinar pelangi mengejarnya
dan bret! Pakaiannya di bagian dada robek besar. Pucatlah wajah manusia iblis
ini.
Di saat itu pula terdengar
suara bentakan garang: "Manusia iblis bernama Bu Ceng! Hari ini kutagih
hutang darah dan nyawa! Serahkan kepalamu!"
***
9
BU CENG yang kenali suara
menggeledek itu berpaling ke kiri. Wajahnya berubah putih. Dadanya berdebar dan
lututnya bergetar goyah. Memandang ke kiri dilihatnya Ki Hok Bun Pendekar
Pedang Pelangi tegak dengan muka membersitkan hawa pembunuhan. Di tangan
kanannya berkilauan pedang pelangi.
"Celaka, bagaimana dia
bisa muncul di sini," keluh Bu Ceng.
"Twako, kukira siapa.
Terima kasih kau telah menyelamatkan mukaku yang buruk ini dari hantaman tasbih
curian itu!" kata Wiro merendah ketika dia melihat kehadiran Ki Hok Bun di
tempat itu.
Melengak Bu Ceng mendengar
Wiro memanggil twako terhadap Ki Hok Bun. "Ah, tambah celaka jadinya.
Rupanya kedua orang ini sudah saling kenal!" Bu Ceng jadi bingung dan
takut sekali. Menghadapi Wiro Sableng saja dia sudah tak mampu, apalagi kini
datang pula Ki Hok Bun untuk membalaskan dendam.
Nan-king Kui-ong melangkah
mundur sewaktu Ki Hok Bun mendekatinya. Matanya liar ke kiri dan ke kanan. Hok
Bun tahu apa yang ada dalam benak manusia iblis ini. "Larilah jika kau
memang mampu!" ujar Hok Bun.
Sadar kalau dia tak mungkin
melarikan diri Bu Ceng yang banyak akal dan licik ini tiba-tiba jatuhkan diri
dan bersujud.
"Ki Hok Bun
ciangkun," katanya tanpa mengangkat keningnya dari tanah. "Mengingat
hubungan baik kita di masa perang dahulu, sudilah ciangkun mengampunkan
selembar nyawaku. Aku sekarang benar-benar insyaf dan bertobat. Aku berjanji
akan kembali ke jalan benar."
"Manusia iblis! Kau lupa
apa yang telah kau lakukan terhadap anak dan istriku? Sekarang kau mengemis
minta ampun!"
Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong
angkat kepalanya. Sambil berlutut kini dia berkata "Ciangkun, aku
betul-betul merasa berdosa atas semua perbuatanku di masa lampau. Apapun yang
bakal kau lakukan atas diriku akan kuterima asal kau mau mengampunkan
nyawaku."
"Enak betul
ucapanmul" kata Ki Hok Bun. Saat itu dia tak dapat lagi menahan hati. Kaki
kanannya menderu menendang dada Bu Ceng. Pimpinan manusia-manusia iblis itu
terlempar. Sambil mengerang dia bangkit berlutut seperti tadi dan kembali
merengek minta diampuni.
Ki Hok Bun menyeringai. Pedang
pelangi di angkatnya tinggi-tinggi. Sebelum memenggal leher musuh besarnya ini
dia berniat menebas bagian-bagian tubuh Bu Ceng terlebih dahulu. Namun sebelum
pedang itu meluncur turun tiba-tiba didengarnya Wiro Sableng berseru
"Twako terlalu bodoh untuk cepat-cepat membunuhnya!"
Pendekar Pedang Pelangi Ki Hok
Bun berpaling. Dilihatnya Wiro kedipkan mata dan berkata "Waktu manusia
iblis ini melakukan perbuatan biadab itu dia tidak sendirian. Ada empat orang
kawannya. Kudengar kau telah berhasil membunuh dua di antara mereka. Berarti
masih ada dua iblis lainnya. Di mana dua iblis itu berada pasti dia tahu. Kita
tak bakal susah-susah mencari mereka … "
Sepasang mata Bu Ceng
kelihatan membesar dan bersinar. Sambil mengangkat tangannya dia berkata,
"Ciangkun, jika kuberi tahukan di mana mereka berada apakah kau mau
mengampuniku?
Aku tak perduli apa yang kau
akan lakukan terhadap Si Golok Ib!is Gui Kun dan Tui-hun Hui-mo…"
"Lekas katakan di mana
mereka!" bentak Ki Hok Bun yang merasa bahwa ucapan Wiro ada benarnya.
Kalau Bu Ceng dibunuhnya saat itu memang berarti dia berhasil melampiaskan
dendam kesumatnya. Akan tetapi dia akan butuh waktu untuk mencari dua manusia
iblis lainnya. Tak ada salahnya menunda kematian Nan-king Kui-ong dan
pergunakan manusia ini sebagai alat untuk mencari dua kambratnya. "Hai,
lekas katakan di mana mereka!" sentak Ki Hok Bun kembali.
"Tapi kau akan
mengampuniku bukan …?"
Yang menjawab adalah Wiro.
"Soal nyawamu bisa diatur kemudian sobat. Sekarang lebih baik terangkan di
mana dua anak buahmu itu berada."
Bu Ceng tak segera menjawab.
Dia seperti memikirkan sesuatu. Ki Hok Bun tempelkan ujung pedang ke
tenggorokannya. Kontan Bu Ceng membuka mulut, "Baiklah, aku akan katakan.
Mereka … mereka berada di sebuah rumah pelacuran. Di Ankeng ini juga. Aku akan
tunjukkan pada kalian."
Bu Ceng lalu berdiri. Diiringi
Ki Hok Bun danWiro Sableng serta orang banyak yang ingin menyaksikan kejadian
itu lebih lanjut, dia menuju ke pinggiran kota. Song Bun Lip dan Lu Sian Cin
kelihatan diantara rombongan orang yang mengikuti.
"Awas kalau kau menipu
kami Bu Ceng," kata Ki Hok Bun memperingatkan.
"Ciangkun, kau percayalah
padaku. Bahkan jika kau betul nanti mengampuni jiwaku, kelak tiga peti emas
rampokan dulu bisa kita bagi dua. Kau masih ingat pada peti-peti emas itu
ciangkun?"
Ki Hok bun muak mendengar
kata-kata Bu Ceng itu. Dia membentak, "Sudah, jangan banyak mulut. Jalan
terus!"
Wiro Sableng yang mendengar
ucapan Bu Ceng itu hanya tertawa menyengir. Siapa yang mau percaya pada
kata-kata manusia iblis seperti Bu Ceng?
Rumah mesum di mana saat itu
Iblis Pengejar Maut Tui-hun Hui-mo dan Golok Iblis Gui Kun berada dan tengah
bersenang-senang terletak agak di pinggiran kota Ankeng. Melihat munculnya
seorang berjubah hitam bertampang seram diiringi seorang lelaki separuh baya
berwajah penuh berewok serta seorang pemuda asing berambut gondrong, ditambah
pula dengan serombongan orang banyak yang mengikuti mereka dari belakang, tentu
saja pemilik gedung pelacuran, germo serta tukang pukulnya kaget bercampur
heran.
"Ada apakah?" tanya
sang germo seorang bertubuh gemuk bermuka merah. Ki Hok Bun bepaling pada Bu
Ceng dan menganggukkan kepalanya. Bu Ceng lantas berkata,
"Dua orang kawanku ada di
dalam sana. Panggil mereka. Katakan pangcu mereka memanggil!"
"Maksud loya dua orang
berjubah hitam dan berewokan seperti loya?"
"Betul!"
Germo itu menatap Bu Ceng
sesaat. Hatinya bergetar melihat keangkeran manusia iblis ini. Lalu berpaling
pada Ki Hok Bun dan Wiro Sableng.
"Loya … mereka sedang
istirahat dan menghibur diri. Mana mungkin aku berani mengganggu mereka?"
si germo akhirnya berkata.
Nan-king Kui-ong menunjukkan
tampang berang dan membentak, "Apa perlu kami yang langsung masuk?!"
Wiro garuk-garuk kepaia sedang
Ki Hok Bun pegang gagang pedangnya. Melihat gelagat yang kurang baik ini tukang
pukul rumah pelacuran hendak melangkah maju namun cepat ditahan oleh sang
germo. Dia sudah berpengalaman dan maklum kalau tiga orang yang ada di depannya
itu bukan manusia-manusia biasa. Pasti orang-orang dari rimba hijau
(persilatan). Dan dia tak mau mencari urusan dengan orang-orang tersebut.
"Baik loya, aku akan
beritahu mereka," kata si germo lalu cepat-cepat masuk ke dalam. Saat itu
Tui-Hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to sedang duduk di atas sebuah kursi besar ditemani
dua pelacur sambil meneguk anggur. Si Golok Iblis Gui Kun memangku seorang
pelacur berkulit putih bertubuh langsing. Hampir tiada henti dia menciumi
pelacur ini. Kalau saja bukan lantaran uang tentu saja si pelacur merasa jijik
terhadap manusia ini. Sementara itu Iblis Pengejar Maut Tui hun asyik mendekapi
pelacur pilihannya, seorang perempuan berbadan gemuk dan berambut panjang.
Tangannya merayap kian kemari.
Kedua apak buah Nan-king
Kui-ong ini saat itu sudah siap-siap untuk masuk ke kamar masingmasing ketika
germo berbadan gemuk mendatangi.
"Loya berdua harap
maafkan. Ada orang mencari loya… "
Merasa terganggu tentu saja
kedua orang itu marah sekali. Iblis Pengejar Maut Tui hun membentak sambil
bantingkan gelas anggur ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
"Aku sudah bilang berapa
kali! Jangan ganggu kalau kami sedang bersenang-senang …!"
"Tapi yang mencari adalah
…"
"Sekalipun setan aku tak
perduli!" kini Si Golok Iblis Gui Kun yang buka mulut keras.
Sesaat germo itu jadi bingung.
Dia tidak mau kehilangan dua orang tamunya ini yang walaupun kasar liar serta
bertampang bengis tapi nyatanya punya banyak uang. Namun dia juga tidak mau
cari urusan dengan tiga manusia di luar sana.
Maka dia memberanikan diri
membuka mulut memberi tahu. "Yang mencari adalah pangcu loya berdua…"
Dua manusia iblis itu sesaat
saling pandang. Dengan segan dan sambil menggerutu keduanya bangkit dari kursi
setelah terlebih dulu meminta pelacur pilihan masing-masing untuk menunggu.
Begitu sampai di luar keduanya kontan melengak kaget setengah mati. Mereka
memang melihat pemimpin mereka tegak di halaman rumah, tetapi di samping sang
pangcu juga berdiri Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi, yang
kemunculannya pasti sudah dapat diterka yaitu untuk membalaskan dendam kesumat.
Selain itu mereka melihat pula seorang pemuda asing berambut gondrong
bertampang tolol yang mereka tidak kenal. Lalu orang banyak yang sudah
berkumpul di tempat itu.
Keduanya heran mengapa ketua
mereka tegak agak gelisah dan kelihatannya dialah yang telah membawa Ki Hok Bun
serta pemuda asing itu ke tempat tersebut. Sepasang mata Iblis Pengejar Maut
Tui-hun memperhatikan robek besar di dada pakaian pemimpinnya. Pasti sesuatu
telah terjadi pikirnya. Lalu dia memberi kisikan pada kambrat di sebelahnya.
"Ada yang tidak beres.
Kita kabur saja. Naga-naganya kita bisa celaka!"
Si Golok Iblis Gui Kun
mengangguk perlahan-lahan. Namun saat itu mereka dikagetkan oleh seruan pangcu
mereka, "Ciangkun, tunggu apa lagi. Bunuh saja kedua manusia tak berguna ini!"
"Pangcu!" seru
Gui-kun Kui-to. "Jadi kau bersekutu dengan Ki Hok Bun…" Habis berkata
begitu dia berpaling pada Tui-hun Hui-mo danberkata "Tunggu apa lagi. Mari
kabur!"
Kedua orang itu secepat kilat
putar tubuh hendak masuk ke dalam rumah dan seterusnya melarikan diri lewat
pintu belakang. Namun keduanya serta merta hentikan langkah ketika tahu-tahu di
hadapan mereka sudah menghadang pemuda asing berambut gondrong itu sambil tolak
pinggang dan cengar cengir.
Tidak mengenali siapa adanya
orang Si Golok Iblis Gui Kun langsung membentak, "Bangsat rendah! Kau
siapa berani menghalangi kami?! Kepingin mampus?!" Wiro pencongkan
hidungnya.
"Mau kabur …? Tempat
kabur manusia-manusia iblis macam kalian adalah neraka!"
Tui-Hun Hui-mo marah sekali.
Lima kuku jarinya yang hitam panjang dan mengandung racun jahat bekelebat ganas
meremas ke arah muka Wiro Sableng!
Sebagai orang kedua dari
Nan-king Ngo-kui, Tui-hun Hui-mo tentu saja memiliki kepandaian tinggi luar
biasa. Jurus yang barusan dikeluarkannya untuk menyerang Wiro adalah hek-hou
wat-sim atau macan hitam mengorek hati. Sekali kepala lawan kena remas pastilah
akan hancur, mata terkorek keluar, hidung dan mulut copot! Belum lagi racun
mematikan yang terkandung dalam kuku kuku hitam itu.
Tetapi hebatnya Wiro Sableng
melayani serangan musuh itu dengan mengejek seperti orang mempermainkan.
"Buset! Kau ini perempuan
atau banci. Pelihara kuku begini panjang? Bagusnya kupotes saja!"
Wiro miringkan mukanya yang
hendak diremas. Tangan kanannya bergerak dan pletek… pletek… pletek… Tiga kuku
jari Tui-hun Hui-mo patah berpeletekan. Manusia iblis ini meraung kesakitan.
Jarijari tangannya mengucurkan darah?
Melihat apa yang terjadi
dengan kawannya, Si Golok Iblis Gui Kun tak tinggal diam. Sekali bergerak empat
golok terbang dilemparkannya ke arah Wiro Sableng. Pemuda kita keluarkan siulan
tinggi. Tubuhnya bekelebat. Dua golok berhasil dikelit dan menancap pada kusen
pintu. Dua golok lainnya dengan sikap acuh tak acuh ditangkapnya lalu trak …
trak. Kedua senjata ini dipatahkannya! Tentu saja Si Golok Iblis Gui Kun jadi
terkesiap setengah mati. Selama hidup baru sekali ini dia menemui lawan yang
kepandaiannya begitu tinggi. Sedang Tui-hun Hui-mo menjadi goyah lututnya dan
meleleh nyalinya..
Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng
yang sebelumnya sudah menyaksikan danmerasakan sendiri kehebatan Wiro saat itu
terkesima demikian rupa karena nyatanya pemuda asing berambut gondrong itu
benar-benar luar biasa. Dia yakin kalau Ki Hok Bun sendiripun masih ketinggalan
jauh. Bahkan gurunya sendiri menurut Bu Ceng paling tidak masih dua tingkat di
bawah pemuda itu.
Ki Hok Bun sendiri diam-diam
tak habis mengagumi kelihayan Wiro. Sulit dipercayanya ada manusia sehebat ini.
Selagi Ki Hok Bun maupun
Nanking Kui Ong tertegun begitu rupa Wiro sudah mencekal rambut panjang dua
manusia iblis itu lalu mendorongnya dengan keras hingga Tui-hun Hui-mo dan
Gui-kun Kui-to jatuh tergelimpang di tanah tepat di hadapan Ki Hok Bun.
Keduanya cepat bangun dan
bersurut mundur melihat Ki Hok Bun cabut pedang mustikanya.
"Pangcu!" berseru
Golok Iblis Gui kun memanggil ketuanya. "Aku tak percaya kau bersekutu
dengan musuh besar kita ini. Tapi kenapa kau suruh bunuh kami? Bantu kami
menghadapi mereka!"
Bu Ceng tertawa mendengar
kata-kata anak buahnya itu dan berkata, "Sobatku Gui-kun harap maafkan.
Saat ini aku bukan pangcumu lagi. Antara kita tak ada hubungan apa-apa lagi.
Tak ada satu orangpun yang sanggup menyelamatkan nyawa kalian dari kematian di
tangan Ki Hok Bun ciangkun. Namun ciangkun masih berbaik hati memberi
kesempatan pada kalian untuk membela diri!"
"Pengkhianat busuk!"
maki Si Golok Iblis Gui Kun.
Tui-hun Hui-mo yang sudah
melihat tidak ada jalan lain tiba-tiba berteriak, "Ki Hok Bun!
Apakah untuk menghadapi kami
berdua yang mengandalkan tangan kosong kau begitu pengecut hendak pergunakan
Pedang Pelangi?"
Tui-hun Hui-mo sebetulnya coba
mengukur tingkat kepandaian Ki Hok Bun. Dalam tangan kosong jika dikeroyoik dua
dia merasa pasti akan dapat mengalahkan Ki Hok Bun. Tetapi jika lawan memegang
Pedang Pelangi, sulit untuk menyelamatkan diri.
Namun di lain pihak Ki Hok Bun
yang berjiwa kesatria sejati begitu mendengar kata-kata salah seorang lawannya
segera sarungkan Pedang Pelangi. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia menerjang ke
hadapan kedua musuh besarnya itu. Maka terjadilah perkelahian dua lawan satu
yang hebat.
Tui-hun Hui-mo meskipun
tangannya sebelah kanan terluka namun kehebatannya boleh dibilang hampir tidak
berkurang. Serangan-serangannya berupa cakaran dan pukulan serta tendangan
datang bertubi-tubi. Demikian pula Gui-kun Hui-to yang bertubuh tinggi kurus
itu. Serangannya menggebu-gebu. Walaupun dia cuma jago ke lima di antara lima
manusia iblis dari Nanking namun tingkat kepandaiannya tidak boleh dipandang
remeh. Apalagi kedua orang itu sadar kedudukan mereka dalam keadaan terjepit
hingga keduanya mengadu nyawa karena laripun sudah tidak mungkin.
Sepuluh jurus berlalu.
Walaupun belum kelihatan Ki Hok Bun terdesak namun dia dibikin repot juga dan
hanya sekali-kali mampu balas menyerang. Jika saja pangcu mereka membantu pasti
Ki Hok Bun dapat dibereskan. Memikir ke situ Gui-kun Kui-to berteriak,
"Pangcu! Lekas bantu kami!"
Namun Nan-king Kui-ong cuma
tersenyum. Saat itu sebenarnya dia berada dalam keadaan tertotok. Pada saat
sampai di depan rumah pelacuran Ki Hok Bun telah menotok manusia iblis ini
hingga dia hanya mampu buka mulut tapi tak dapat bergerak. Kalaupun dia tidak
dalam keadaan tertotok tak juga dia akan membantu kedua anak buahnya itu. Tentu
saja dia merasa senang melihat kematian mereka dari pada dirinya sendiri jadi
korban. Memang begitulah sifat manusia iblis seperti Bu Ceng. Tak perduli anak
buah celaka asal diri sendiri selamat!
Memasuki jurus ke dua puluh
karena menyerang terus menerus tanpa hasil, tenaga dua manusia iblis itu mulai
mengendor. Kini Ki Hok Bun ambil kesempatan.
Di jurus ke dua puluh satu
jotosannya menghantam Si Golok Iblis Gui-kun hingga tubuhnya melintir setengah
lingkaran Gui-kun pegangi dadanya yang terasa sakit dan nafasnya sesak. Dia
merasa seperti mau muntah. Ketika dia meludah, ludahnya bercampur darah!
Tubuhnya terhuyung-huyung
seperti hendak roboh ke tanah. Dia berputar-putar, tapi begitu berada tepat di
belakang Ki Hok Bun yang tengah menghadapi Tui-hun Hui-mo secepat kilat dia
cabut empat buah golok dan melemparkannya ke arah lawan yang membelakang!
"Twako awas serangan
curang!" seru Wiro memberi tahu. Dia tak mungkin menolong karena saat itu
berada tepat di belakang Ki Hok Bun. Kalau dia menghantam runtuh empat pisau
itu dengan pukulan tangan kosong ada kemungkinan satu dari senjata tersebut
akan mengenai Ki Hok Bun.
Bekas perwira tinggi Kaisar
itu sendiri sudah mendengar suara bersiuran dari arah belakang. Ditambah dengan
teriakan peringatan Wiro dia sadar kalau telah diserang secara curang.
Secepat kilat Ki Hok Bun
jatuhkan diri seraya tangkap sepasang kaki Tui-hun Hui-mo.
Meskipun kaget melihat gerakan
lawan menjatuhkan diri dan menangkap kakinya namun Tui-hun Hui-mo melihat
adanya kesempatan baik untuk mencengkeram kepala dan pundak Ki Hok Bun.
Namun sebelum maksudnya ini
kesampaian dua dari empat golok terbang yang dilemparkan Gui kun Kui to
menancap tepat di dadanya. Manusia iblis ini menjeril keras. Matanya melotot.
Dia tergelimpang di tanah.
Golok Iblis Gui-kun bukan
kepalang kagetnya ketika menyaksikan bagaimana serangan mautnya tadi justru
membunuh kawan sendiri! Sesaat dia tertegun terkesiap. Justru ini adalah satu
kesalahan besar karena saat itu pula laksana seekor singa lapar Ki Hok Bun
melompatinya. Sepuluh jari tangannya langsung menyambar batang leher Gui-kun.
Gui-kun memberontak, berusaha melepaskan diri. Tapi cekikan itu laksana jepitan
baja. Nafasnya menyengal. Lidahnya terjulur keluar. Mulutnya membusah ludah
campur darah. Matanya membeliak. Bagian hitamnya makin menghilang.
Sesaat kemudian terdengar
suara berderak tanda remuknya tulang leher Gui Kun. Nyawanya lepas. Tubuhnya
terkulai.
Tiba-tiba seperti orang
kemasukan setan Ki Hok Bun berteriak sambil mencabut Pedang Pelangi. Semua
orang yang ada di situ menyaksikan bagaimana tujuh sinar pelangi berkiblat kian
kemari membuntal tubuh Gui kun. Lalu sinar itu berpindah ke arah tubuh Tui-hun
Hui-mo.
Kemudian kelihatanlah hal yang
mendirikan bulu tengkok karena terlalu mengerikan. Tubuh Gui-kun dan Tui-hun
Hui-mo kini terkapar di tanah dalam keadaan tidak utuh lagi. Tercincang mulai
dari ujung kepala sampai ke ujung kaki! Wiro sendiri bergidik menyaksikan hal
itu sedang Nan-king Kuiong melengos ke jurusan lain!
Nan-king Kui-ong kemudian
menyadari bahwa ada seseorang yang mendekatinya dari arah depan. Ketika dia
berpaling ke jurusan itu dadanya jadi berdebar. Ki Hok Bun dilihatnya melangkah
mendatangi dengan Pedang Pelangi terhunus. Senjata mustika ini penuh lumuran
darah. Darah Gui- Kun dan Tui-hun!
"Bu Ceng, katakan di mana
kau sembunyikan tiga peti emas itu?" tiba-tiba Ki Hok Bun ajukan
pertanyaan.
"Ciangkun … seperti yang
aku bilang. Tiga peti emas itu akan kita bagi dua. Kita bisa berangkat ke sana
sekarang."
"Baik, tapi aku ingin kau
memberitahu dulu di mana tempat kau sembunyikan. Aku tidak mau tertipu … "
"Tapi … ciangkun, apa kau
tidak percaya padaku?"
Ki Hok Bun menyeringai.
"Jangan banyak tanya Bu Ceng. Katakan lekas. Atau kucincang kau seperti
kawan-kawanmu detik ini juga?"
Tubuh Bu Ceng alias Nanking
Kui Ong bergeletar.
"Letaknya kira-kira lima
puluh lie dari sini. Di sebelah selatan ada sebuah reruntuhan klenteng. Di
tanah pada pintu sebelah belakang tiga peti emas itu kupendam…"
"Kau berani dusta
terhadapku Bu Ceng?!" hardik Ki Hok Bun.
"Aku tidak dusta ciangkun.
Kita ke sana saja sekarang jika ciangkun tidak percaya," sahut Bu Ceng.
Ki Hok Bun anggukkan kepala
dan mengerling ke arah Wiro. Melihat isyarat ini Wiro lalu lepaskan totokan di
tubuh Bu Ceng seraya berkata, "Manusia tolol. Apakah kau pernah mendengar
kalau bangsa iblis dan setan macammu ini akan ditempatkan Thian di sorga
sekalipun dia menyerahkan seratus peti emas?"
Sesaat Bu Ceng tertegun.
"Apa maksudmu?"
tanya dengan suara besar serak.
"Maksudku kau tetap harus
mampus. Dosa dankejahatanmu sudah selangit. Malah sudah menerobos langit! Kalau
bukan karena kau biang racunnya istri dan anak saudara angkatku itu tak akan
menemui kematian. Nah sekarang kau hadapilah twakoku itu!"
Wajah Bu Ceng yang garang jadi
berubah putih kertas. Pucat pasi.
"Tapi… tapi … bukankah
dia sudah janji memberi ampun dan tiga peti emas itu kami bagi dua…?"
"Jangan bicara ngelantur
manusia durjana!" hardik Ki Hok Bun. "Siapa sudi memberi ampun
padamu. Pengampunan tidak akan menghidupkan kembali anak serta istriku! Soal
emas itu kau bisa terima bagianmu di neraka!"
"Jadi… kau sengaja
menipuku?!" Mata Bu Ceng melotot.
Kembali Ki Hok Bun
menyeringai.
"Terserah kau mau bilang
apa. Yang jelas kau akan susul empat anak buahmu. Mereka telah tak sabar
menunggumu di neraka. Di dunia kalian sama-sama berbuat kejahatan. Ganjarannya
di akhirat juga harus kalian rasakan sama-sama!"
Dendam kesumat yang membara
membuat Ki Hok Bun merasa tidak perlu memikirkan segala macam aturan persilatan
ataupun jiwa satria terhadap musuh paling besarnya ini. Pedang sakti di tangan
kanannya tergenggam erat. Sekali senjata ini menabas maka terpekiklah Bu Ceng.
Tangan kanannya putus. Pedang berkelebat lapi. Tangan kirinya kini yang jadi
sasaran. Sekali lagi senjata itu menderu. Dan anggota rahasia Bu Ceng amblas
putus!
Terdengar suara seperti sapi
dipotong keluar dari tenggorokan pimpinan manusia-manusia iblis itu. Tubuhnya
jatuh ke tanah tanpa nyawa lagi. Dan seperti tadi, seperti kamasukan setan Ki
Hok Bun bacokkan pedangnya berulang kali ke tubuh Bu Ceng hingga tubuh itu tak
karuan rupa lagi, hancur luluh!
Sesaat setelah sadar akan
dirinya Ki Hok Bun jatuhkan diri di tanah. Mulutnya bergetar ketika berkata,
"Istriku The Cun Giok, anakku Sun Bie, hari ini aku Ki Hok Bun telah
membalaskan sakit hati kalian atas lima manusia iblis itu. Kuharap kalian
berdua bisa tenteram kini di alam baka …. " Lalu KI Hok Bun menangis
sesenggukan.
‘Twako, bangunlah…!" kata
Wiro sambil memegang bahu saudara angkatnya itu. Perlahan-lahan Ki Hok Bun
berdiri. Ditatapnya muka pemuda itu lalu berkata,
"Tarima kasih. Aku
berhuYtng budi bahkan bwhutang nyawa terhadapmu. Kau sudah tahu di mana tiga
peti emas itu disembunyikan. Pergilah ke sana dan ambillah…!"
Wiro Sableng tersenyum dan
geleng-gelengkan kepala.
"Sekarang bukan saatnya
bicara segala hutang budi hutang nyawa. Soal emas itu, aku mana ada hak untuk
memilikinya. Takdir menentukan emas itu harus menjadi milikmu…"
"Kalau begitu tiga peti
emas itu kukembalikan saja pada Kaisar Yung Lo," kata Ki Hok Bun pula.
Wiro jadi mendelik.
"Kenapa jadi begitu tolol twako? Kalaupun mau dikembalikan cukup dua saja,
yang satu ambil olehmu. Kau sudah kehilangan segala-galanya twako. Anak istri,
rumah dan ladang. Kau perlu sesuatu untuk modal masa depanmu!"
Ki Hok Sun merenung. "Kata-katamu
akan kupertimbangkan Wiro. Sekarang aku akan menuju ke sana. Kau ikut…?"
"Tidak twako. Aku akan
melanjutkan perjalanan. Masih hanyak daerah selatan ini yang belum kudatangi!
"Kalau begitu kita
berpisah dan selamat jalan. Selama langit masih biru, hutan masih hijau dan air
sungai masih mengalir ke laut, aku tak akan melupakanmu dan kuharap kita bisa
berjumpa kembali!"
Wiro mengangguk.
"Kudoakan agar kau bahagia twako."
Keduanya saling rangkul
beberapa ketika. Lalu Ki Hok Bun tinggalkan tempat itu lebih dulu. Wiro
memperhatikan sampai saudara angkatnya itu lenyap di kejauhan. Setelah Ki Hok
Bun tak kelihatan lagi dia putar tubuh siap pule untuk pergi. Namun tiba-tiba
satu tangan halus memegang lengannya. Dia berpaling. Ternyata pelacur jelita bernama
Lu Sian Cin itu. "Eh, ada apakah nona …?"
"Tayhiap, kau telah
menolongku. Kalau tak ada kau mungkin aku sudah mati di tangan manusia iblis
itu. Aku merasa tidak tenteram sebelum dapat membalas budi bessrmu itu…"
"Eh, aku tidak
mengharapkan imbalan apaapa…"
"Terus terang akupun tak
punya harta apa-apa. Kecuali…"
"Kecuali apa
maksudmu?"
Lu Sian Cin membisikkan satu
kata-kata mesra ke telinga Wiro Sableng membuat pemuda ini jadi merah wajahnya
tapi juga senyum-senyum.
"Kau mau…?"
Wiro garuk-garuk kepala. Siapa
yang tak mau diajak bersenang-senang oleh perempuan secantik Lu Sian Cin ini?
Tapi walau bagaimana pun Lu Sian Cin adalah pelacur. Dan ini membuat pendekar
kita jadi meragu. Namun untuk menyenangkan hati perempuan itu dia berkata,
"Baiklah, aku akan datang ke tempatmu. Kau berangkat saja lebih dulu.
Nanti kususul!" Wiro kedipkan matanya. Lu Sian Cin tersenyum gembira dan
setengah berlari tinggalkan tempat itu.
TAMAT