-------------------------------
----------------------------
020 Hidung Belang Berkipas Sakti
1
Matahari bersinar terik
membakar jagat. Pemuda berpakaian sederhana itu melangkah menyusuri jalan
berdebu. Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh dua orang prajurit
bersenjatakan tombak dia berhenti. Sesaat dengan sepasang matanya yang
disipitkan diperhatikannya bangunan pintu gerbang yang kokoh itu. Lalu dia
berpaling pada salah seorang pengawal yang berdiri di situ.
”Apakah ini gedung kediaman
Adipati Kebo Panaran?” bertanya si pemuda.
Pengawal yang ditanya tidak
segera menjawab. Dia memandang penuh curiga, meneliti pemuda itu dari kepala
sampai ke kaki. Segera dia tahu kalau Si pemuda adalah seorang desa yang baru
saja turun ke kota.
Dengan sikap meremehkan
pengawal itu menjawab.
“Betul. Kau ada keperluan apa
orang desa?!”
“Aku ingin bertemu Adipati,”
jawab si pemuda.
“Ingin bertemu dengan Adipati
Kebo Panaran? Heh….” Pengawal yang satu ini berpaling pada kawannya. Lalu
tertawa bergelak. “Sobat,” katanya pada kawannya. “Kau dengar ucapan pemuda
ini?”
Prajurit yang satu ikut-ikutan
tertawa dan berkata. “Sebelum kami muak melihatmu, sebaiknya lekas pergi dari
sini!”
“Tapi… aku ingin bertemu
Adipati,” sahut Si pemuda pula.
“Heh, memaksa rupanya. Apa
maumu sebenarnya?!” prajurit pertama maju selangkah sambil menggenggam
tombaknya.
“Mau cari pekerjaan,” jawab si
pemuda tanpa ragu-ragu.
“Buset! Tak ada pekerjaan
untuk manusia macammu di sini. Adipati sudah punya tukang kebun. Sudah punya
penjaga kuda….”
“Bukan pekerjaan macam begitu
yang aku inginkan,” memotong pemuda desa tadi.
“Ahai! Lalu pekerjaan macam
apa yang kau inginkan? Jadi juru masak barangkali?!”
Sepasang mata pemuda itu
semakin menyipit. Tiba-tiba dia tersenyum.
“Prajurit pengawal pintu!”
kata pemuda itu dengan suara tandas. “Kau dengar baik-baik. Namaku Dipasingara.
Katakan pada Adipatimu bahwa aku datang untuk mencari pekerjaan!”
“Sekalipun namamu Bapak Moyang
Setan aku tidak perduli. Menyingkir dari sini atau batang tombak ini akan
membuat kepalamu jadi benjol besar!”
Si pemuda masih saja tersenyum
mendengar ancaman itu. Malah dia menyambuti dengan ucapan: “Rupanya suasana di
kota benar-benar harus memakai segala macam kekerasan. Sobat, aku minta tolong
padamu agar memberi tahu Adipati, kalau tidak..”
“Kalau tidak kau mau apa?” Si
prajurit jadi berang.
“Aku terpaksa nyelonong
sendiri masuk ke dalam gedung!”
“Pemuda desa kurang ajar! Kau
betul-betul minta digebuk!”
Tombak besi di tangan pengawal
pintu gerbang menyambar ke arah pemuda yang mengaku bernama Dipasingara itu.
Sesaat lagi pastilah remuk atau paling tidak benjol besar kepalanya. Tapi apa
yang terjadi kemudian membuat terkejut kawan prajurit yang satu ini.
Hampir sama sekali tidak
kelihatan bergerak, tahu-tahu pengawal yang mengemplangkan tombak telah
terpental ke atas untuk kemudian jatuh bergedebuk di tanah tanpa sadarkan diri
lagi. Tombak yang tadi dipakainya untuk memukul kini berpindah tangan digenggam
Dipasingara!
“Bangsat rendah! Berani kau
mencelakai kawanku!” teriak pengawal yang seorang lagi marah sekali. Dia melompat
dan tusukkan mata tombaknya ke dada pemuda desa itu.
Dipasingara ulurkan tangan
kirinya. Tahu-tahu bagian belakang mata tombak berhasil dicekalnya lalu
disentakkan kuat-kuat. Tak ampun lagi pengawal yang menyerang terbetot kencang
ke depan, terguling di tanah dengan muka berkelukuran! Meski dia tidak jatuh
pingsan namun luka-luka yang mengeluarkan darah memenuhi tubuhnya, sakitnya
bukan kepalang. Dia terduduk di tanah tanpa bisa berbuat apa-apa selain
mengerang kesakitan.
Dipasingara menimang-nimang dua
batang tombak yang barusan dirampasnya. Satu demi satu tombak itu kemudian
ditancapkannya di tanah tepat diantara kedua kaki prajurit Kadipaten itu.
Kemudian dia melangkah ke pintu gerbang. Baru saja dia menggerakkan tangan
untuk membuka pintu, Sebuah kereta yang dikawal oleh serombongan penunggang
kuda yang rata-rata berbadan kekar herbenti di situ.
Penunggang kuda paling depan
yang berkumis melintang membentak dari punggung kuda tunggangannya.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Bola matanya yang besar menyorot
si pemuda. Kembali dia membentak: “Siapa kowe?!”
Dengan tenang pemuda itu
menjawab. “Namaku Dipasingara. Aku ingin bertemu dengan Adipati Kebo Panaran.
Untuk maksud baik. Mau cari pekerjaan. Aku sudah minta izin dan tolong kedua
pengawal ini. Tapi tanpa alasan mereka malah menurunkan tangan kasar
terhadapku. Cuma sayang mereka terlalu kesusu!”
“Pemuda edan! Anak-anak
tangkap pemuda ini!” teriak si kumis melintang. Rupanya dia yang jadi pimpinan.
Empat lelaki berpakaian
seragam, bertubuh besar tegap melompat turun dari punggung kuda lalu serempak
menyerbu Dipasingara untuk meringkusnya hidup-hidup.
Namun mereka cuma bisa
menangkap angin. Karena pada detik itu Si pemuda telah lenyap dan tahu-tahu
sudah berdiri di samping kereta.
Justru saat itu pula tirai
kereta disingkapkan orang dari dalam. Sebuah kepala laki-laki kemudian muncul.
Di sampingnya tampak kepala seorang perempuan muda berparas cantik luar biasa.
“Sura… ada apa ribut-ribut?”
tanya lelaki dalam kereta. Suaranya besar parau, tak sedap didengar.
Suramanik, demikian nama
lelaki berkumis melintang yang tadi berikan perintah untuk menangkap
Dipasingara cepat menjawab:
“Tidak ada apa-apa Adipati.
Tak perlu khawatir. Cuma seekor kecoak sinting kesasar kemari dan berbuat
sedikit kerusuhan. Mohon maafmu. Kami akan segera mengenyahkannya dari sini!”
Dipasingara memalingkan
kepalanya ke jendela kereta. Dilihatnya seorang lelaki berpakaian bagus,
berkopiah tinggi, bermuka putih. Menurut taksirannya paling tidak orang ini
berusia setengah abad. Di sebelahnya duduk seorang perempuan berparas rupawan
yang membuat Dipasingara sejenak tertegun. Namun menyadari bahwa orang di dalam
kereta itu pastilah Adipati Kebo Panaran dan istrinya maka cepat-cepat
Dipasingara membuka mulut.
“Adipati Kebo Panaran. Mohon
dimaafkan segala tindakanku. Semuanya terjadi karena terpaksa. Aku harus
mempertahankan diri dari orang-orangmu yang menyerang secara sewenang-wenang.
Aku datang dari jauh. Sengaja hendak menemuimu untuk minta pekejaan. Bolehkah
aku tolong membukakan pintu gerbang agar keretamu bisa lewat…?”
Sesaat Kebo Panaran menatap
tampang pemuda itu. Wajahnya cakap. Sikapnya sederhana tetapi hormat tanda dia
bukan seorang pemuda gelandangan tak karuan,
“Orang muda, kau siapa?”
bertanya sang Adipati.
Sepasang mata Dipasingara
mengerling sekilas pada perempuan yang duduk dalam kereta di samping Adipati.
Cuma sekilas, tetapi pandangan mata tajam pemuda ini membuat bergetar hati
serta dada Galuh Resmi, istri Kebo Panaran.
“Namaku Dipasingara” menjawab
si pemuda. “Sengaja datang dari jauh untuk cari pekerjaan.”
“Hemmm.. begitu?” ujar Kebo
Panaran. Dia mengerling pada dua pengawal pintu gerbang yang terkapar di tanah.
“Apakah menghantam dua
prajurit Kadipaten itu salah satu pekerjaan yang kau inginkan…?!”
“Mohon maaf Adipati. Bukan
maksudku untuk berbuat kurang ajar. Tapi mana mungkin aku berdiam diri jika
yang satu dari mereka hendak mengemplang kepalaku, yang satu lagi hendak
menembus dadaku dengan tombak?!”
Kebo Panaran terdiam.
Sebaliknya Suramanik yang sejak
tadi menahan amarah kini membentak: “Adipati, biar kuhajar pemuda hina dina
ini!”
Tapi sang Adipati melambaikan
tangannya. Mencegah kepala pengawalnya untuk melaksanakan maksudnya.
“Aku akan bukakan pintu
gerbang untukmu,” kata Dipasingara tanpa mengacuhkan Suramanik. Lalu
didorongnya daun pintu gerbang lebar-lebar.
Kusir kereta memandang pada
pemuda itu dengan air muka tidak senang. Tetapi Adipati Kebo Panaran memberi
isyarat agar kereta segera dimasukkan ke dalam.
Ketika Dipasingara ikut-ikutan
hendak masuk ke dalam Suramanik mengusirnya dengan beringas.
“Biarkan dia masuk Sura,”
terdengar suara Adipati dari dalam kereta.
Dengan amat penasaran
Suramanik terpaksa membiarkan Dipasingara memasuki halaman Kadipaten.
2
Adipati dan istrinya turun
dari kereta. Dipasingara berdiri dekat tangga Kadipaten. Sepasang matanya yang
sipit menatap paras perempuan itu. Ketika itu Galuh Resmi mengerling pula,
sesaat pandangan mata mereka saling bertemu. Galuh Resmi palingkan wajahnya dan
cepat-cepat menaiki tangga lalu masuk ke dalam gedung. Bentrokan pandangan ini
sama sekali tidak diketahui Adipati Kebo Panaran. Sebaliknya Suramanik sempat
melihatnya sehingga semakin besar kegusarannya terhadap Dipasingara.
Kusir membawa kereta ke
halaman samping. Kebo Panaran memberi isyarat pada Dipasingara untuk
mengikutinya ke langkan Kadipaten, sementara Suramanik dan anak buahnya tetap
berdiri di anak tangga sebelah bawah. Dua orang prajurit sebelumnya sudah
disuruhnya untuk menggotong dua pengawal pintu gerbang yang cidera.
“Nah sekarang katakan
pekerjaan apa yang kau inginkan,” kata Adipati. Tapi dia tak menunggu jawaban
malah menambahkan: “Untuk mengurus kandang kuda aku sudah punya orang. Tukang
kebun juga sudah ada. Pengawal banyak. Kau mau kujadikan sebagal perawat kuda-kuda
kesayanganku?”
“Terima kasih Adipati. Terima
kasih atas kepercayaanmu. Namun bukan pekerjaan macam itu yang aku inginkan.”
Di bawah langkan gedung
Suramanik menggertakkan rahangnya tanda marah. Sudah diberi pekerjaan menolak
pula. Dasar manusia kampung tidak tahu diri. Demikian kepala pengawal Kadipaten
itu mengumpat dalam hati.
“Lantas pekerjaan yang
bagaimana yang kau inginkan?” tanya Adipati pula.
“Aku ingin menjadi kepala
pengawal di Kadipaten ini, Adipati!”
Kebo Panaran tersentak kaget
mendengar ucapan Dipasingara. Dia mulai berpikir apakah pemuda ini sehat
otaknya atau bagaimana. Suramanik sendiri sampai melotot kedua matanya. Saat
itu dia adalah kepala pengawal Kadipaten. Dan justru pekerjaan itulah yang
diinginkan Si pemuda sialan itu! Benar-benar membuat Suramanik menjadi panas
dingin menahan amarah. Kalau saja Adipati Kebo Panaran tidak ada di situ sudah
sejak tadi dilabraknya pemuda lancang mulut itu!
Kebo Panaran batuk-batuk
beberapa kali. “Tentunya kau tidak bicara bertele-tele atau ngaco, orang muda.
Aku sudah memiliki kepala pengawal. Tak mungkin jabatan itu kuberikan padamu.”
“Rasanya tak ada yang tak
mungkin di dunia ini, Adipati,” jawab Dipasingara.
“Disamping itu untuk jadi
kepala pengawal tidak sembarangan. Ada syarat-syaratnya.”
“Apakah syarat-syarat itu
Adipati?”
Kebo Panaran merasa didesak
dan jadi jengkel.
“Sudahlah orang muda. Aku tak
punya waktu lama untuk bicara denganmu. Juga tak ada pekerjaan lowong di sini
untukmu. Kecuali jika kau mau bekerja sebagai perawat kuda-kudaku. Kalau tidak
silahkan pergi dan cari pekerjaan di tempat lain!”
Dipasingara terdiam sejenak.
Lalu angkat bahu. Dia menjura “Jika begitu katamu baiklah Adipati. Aku minta
diri….”
Pemuda itu membalikkan tubuh
dan siap untuk pergi. Tapi di belakangnya terdengar Kebo Panaran berkata:
“Tunggu dulu!”
“Ada apa Adipati?” tanya
Dipasingara.
Saat itu sang Adipati teringat
akan dua pangawal pintu gerbang yang telah dipreteli Dipasingara. Tak dapat
tidak tentu pemuda ini memiliki kepandaian silat yang diandalkan. Kalau tidak
mana dia mampu dan punya keberanian untuk berbuat begitu. Dan jika dia
menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten pasti dia tidak main-main.
“Dengar orang muda,” kata Kebo
Pananan. “Aku akan memberikan jabatan yang cukup layak untukmu. Asal saja kau
mau menerangkan kepandaian apa saja yang kau miliki!”
“Maaf Adipati. Rahasia diriku
tak mungkin kuberitahu. Aku hanya menginginkan jabatan kepala pengawal. Lain
tidak….”
Suramanik yang sejak tadi
sudah kelangsangan dilanda amarah, serasa terbakar tubuhnya. Dia merasa dihina
oleh pemuda desa itu. Suramanik melompat ke langkan Kadipaten dan berkata
lantang:
“Adipati, aku bersedia
menyerahkan jabatanku pada pemuda kurang ajar ini jika dia sanggup menerima
pukulanku satu kali saja pada dadanya!”
Suramanik memang bukan
sembarang orang. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi tentu dia tak akan
menjabat kepala pengawal Kadipaten.
Kebo Panaran terkesiap
mendengar ucapan kepala pengawalnya itu. Urusan jadi ruwet jika pemuda desa itu
sampai kena dihantam tinju Suramanik apa jadinya? Sebaliknya dengan tenang
Dipasingara menyahuti:
“Kalau aku sanggup menahan
pukulanmu, kau akan kehilangan jabatanmu, kepala pengawal!”
“Mari kita buktikan!” bentak
Suramanik dengan mata melotot dan amarah meluap. Dalam hatinya dia berkata:
“Sekali jotosanku mendarat di dadamu kau akan terbang ke neraka!”
Dipasingara berpaling pada
Adipati Kebo Panaran.
“Adipati, apakah kau izinkan
kami menjalankan pertaruhan ini?”
“Itu urusan kalian. Tapi
kunasihatkan agar kau jangan menantang Suramanik. Lebih bagus kau mencari
selamat dan tinggalkan tempat ini!” Begitu jawaban Kebo Panaran karena dia tahu
kehebatan kepala pengawalnya.
“Karena aku tetap menginginkan
jabatan kepala pengawal Kadipaten, mohon maafmu Adipati kalau aku terpaksa
melayani tantangannya.”
Dipasingara turun ke halaman.
Di belakangnya menyusul Suramanik. Kebo Panaran yang juga ingin menyaksikan adu
tanding itu ikut turun sementara beberapa prajurit berdiri membentuk lingkaran
besar. Ditengah-tengah lingkaran Suramanik dan Dipasingara saling
berhadap-hadapan.
Di belakang tirai jendela
depan gedung Kadipaten sepasang mata mengintai dengan hati berdebar. Yang
mengintip ini adalah Galuh Resmi, istri Kebo Panaran. Diam-diam dia telah
mendengar percakapan orang-orang itu dan kini ingin melihat apa yang bakal
terjadi.
Entah mengapa dia sangat
menyesalkan ketololan pemuda bertampang gagah itu yang mau saja melayani
tantangan Suramanik. Dia tahu Suramanik berilmu tinggi dan kabarnya memiliki
pukulan sakti.
“Dia pasti mati begitu pukulan
Suramanik menghantam dadanya!” membathin Galuh Resmi. Aneh. Perempuan ini
merasa kawatir. Mengkawatirkan keselamatan pemuda yang tidak dikenalnya itu.
“Sudah siapkah kau menerima
pukulanku?!” terdengar suara Suramanik. Rahangrahangnya tampak menonjol.
“Sebentar sobat,” jawab
Dipasingara. “Biar kubuka dulu bajuku agar kau bisa mencari bagian yang empuk
untuk kau pukul!”
“Manusia takabur! Sebentar
lagi akan kau rasakan akibat tingkahmu yang sembrono!” tukas Suramanik.
Dengan tenang Dipasingara
membuka bajunya. Kini dia berdiri bertelanjang dada. Tubuhnya kelihatan bersih
ramping.
“Nah kau carilah sasaran yang
empuk!” kata pemuda itu pada Suramanik disertai senyum sinis.
Seorang prajurit Kadipaten
memaki dalam hatinya:
“Pemuda gendeng! Sudah mau
mati masih saja bicara sombong!”
Dengan menyeringai geram
Suramanik mengepalkan jari-jari tangan kanannya. Seluruh tenaga dalamnya
dialirkan ke situ. Dia sengaja mengerahkan keseluruhan kekuatannya karena ingin
melihat pemuda kurang ajar itu meregang nyawa dalam sekali pukul!
Sebagai kepala pengawal
Kadipaten Suramanik memiliki beberapa pukulan sakti. Yang paling hebat adalah
pukulan “Wesi Ireng”. Selama lima tahun dia telah melatih diri untuk menguasai
ilmu pukulan dahsyat tersebut. Dan kini pukulan itulah yang akan dihadiahkannya
pada Dipasingara.
Perlahan-lahan tangan kanan
Suramanik sampai sebatas pergelangannya berubah menjadi kehitaman. Semua orang
termasuk Dipasingara melihat perubahan yang mengerikan itu. Adipati Kebo
Panaran maklum kalau kepala pengawalnya benar-benar ingin menghabiskan riwayat
pemuda desa itu dengan pukulan Wesi Ireng. Dia tahu, jangankan dada manusia,
tembok tebal sekali pun akan hancur luluh dihantam pukulan itu. Dan yang
mencengangkan sang Adipati ialah bahwa si pemuda itu masih saja tenang-tenang
bahkan selalu menyunggingkan senyum mengejek terhadap Suramanik.
“Kasihan…” kata Kebo Panaran
dalam hati. “Dia tak sadar kalau sebentar lagi akan menemui kematian!”
Suramanik mundur selangkah.
Tangan kanannya diangkat sebatas kepala.
“Kau sudah siap untuk mampus
orang muda?” ujar Suramanik.
“Cepatlah, aku sudah siap
sejak tadi!”
“Kalau begitu kau terimalah
detik kematianmu!”
Didahului satu bentakan garang
Suramanik menghantamkan tinju kanannya ke dada Dipasingara.
“Buk!”
Tinju keras tepat menghantam
dada Dipasingara di bagian jantung. Dan terdengarlah satu pekikan dahsyat!
3
Tubuh Dipasingara sedikit pun
tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Didepannya Suramanik terbungkuk-bungkuk
memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri. Belasan kerut kesakitan muncul di
kulit mukanya yang beringas. Semua orang kini menyaksikan bagaimana tangan
kanan Suramanik yang tadi sebatas pergelangan berwarna hitam, kini menjadi
gembung lecet. Dari mulut kepala pengawal ini tiada hentinya terdengar suara
rintihan.
Terkejutlah Adipati Kebo
Panaran. Juga semua orang. Termasuk Galuh Resmi yang mengintip di balik tirai
jendela. Semula semua orang sudah sama memastikan bagaimana pemuda itu akan
terjengkang dilanda jotosan sakti Wesi Ireng, menggeletak di tanah tanpa nyawa.
Apa yang kemudian terjadi hampir tak dapat mereka percaya.
Suramanik masih mengerang.
Lututnya terasa goyah. Dia coba bertahan tapi tak mampu. Dia jatuh berlutut.
Tangan kanannya tampak semakin merah. Dari bagian-bagian yang lecet darah mulai
membersit. Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. Setelah menarik nafas dalam
dia berkata:
“Suramanik, ternyata pemuda
itu sanggup menahan pukulanmu….”
Rahang Suramanik menggembung.
“Aku tahu maksud ucapanmu Adipati. Tak usah kawatir. Aku bukan bangsa manusia
yang tidak memegang janji. Kau terimalah pemuda hina dina itu menjadi kepala
pengawal Kadipaten!”
Habis berkata begitu Suramanik
memutar tubuh untuk berlalu.
“Tunggu!” seru Dipasingara.
Dari balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong kertas kecil. Di dalam
kantong ini terdapat sejenis obat mujarab.
“Taburkan obat ini di
tanganmu. Lukamu pasti akan sembuh dalam waktu cepat!”
Suramanik mendengus dan
menampik kantong kertas yang dilemparkan padanya.
“Aku tak butuh obatmu! Apa
yang kau lakukan hari ini kelak akan kubalas berikut bunganya! Bersiaplah dari
sekarang. Karena aku pasti datang menemuimu!”
Suramanik membalikkan tubuh
dan berlalu cepat. Ketika dia lenyap dikejauhan semua mata kini ditujukan pada
Dipasingara. Pada dasarnya prajurit-prajurit Kadipaten itu diam-diam mengagumi
kehebatan si pemuda. Namun masing-masing mereka juga merasa kurang senang
terhadap sikap dan tindak tanduk Dipasingara yang mereka anggap ombong.
Setelah beberapa lama
kesunyian menggantung, akhirnya Kebo Panaran membuka mulut:
“Orang muda, sesuai
perjanjianmu dengan Suramanik dan dengan kepergiannya dari sini maka mulai saat
ini jabatan kepala pengawal menjadi hakmu. Namun sebelum jabatan itu kuberikan
padamu, satu ujian lagi harus kau lewati….”
“Adipati, apa maksudmu?” tanya
Dipasingara,
Sebagai jawaban Kebo Panaran
melemparkan sebilah golok pada Dipasingara. Lalu pada enam orang prajurit
Kadipaten dia berseru:
“Cabutlah golok kalian dan
serang dia!” Pada Dipasingara Kebo Panaran menambahkan “Kau harus sanggup
merobohkan mereka dalam waktu tiga jurus. Tapi ingat, tak satu pun harus
terluka!”
Dipasingara menyambut golok
yang dilemparkan sambil tersenyum sementara enam prajurit dengan golok terhunus
menyebar berkeliling, mengurungnya!
Di belakang jendela Galuh
Resmi yang masih mengintip kembali merasa cemas. Dikeroyok oleh enam
prajurit-prajurit kelas satu apakah pemuda itu sanggup bertahan?
Enam golok serentak berkelebat
menyerang.
Dipasingara menekuk kedua
lututnya. Golok di tangan kanannya dibabatkan ke atas dalam bentuk lingkaran.
“Trang… trang… trang….” Terdengar suara beradunya senjata sampai enam kali
berturut-turut. Lalu suara bergedebukan dan pekik kesakitan susul menyusul.
Dengan mata kepalanya sendiri
Adipati Kebo Panaran menyaksikan bagaimana setelah menangkis serangan enam
golok si pemuda lantas pergunakan kaki dan tangan kirinya serta gagang golok
untuk menghajar ke enam pengeroyoknya hingga tiga orang terpelanting roboh, dua
kena di totok dan satu berdiri sambil pegangi hidungnya yang mengucurkan darah.
Di belakang jendela Galuh
Resmi sampai ternganga takjub melihat kejadian itu.
Kebo Panaran memegang bahu
Dipasingara. “Kau ternyata tidak mengecewakan. Kau memang pantas menjadi kepala
pengawal Kadipaten. Mulai hari ini kau menjalankan tugas di Kadipaten Gombong!”
Dipasingara tersenyum dan
menjura dalam-dalam.
“Terima kasih Adipati. Terima
kasih.” Katanya seraya mengembalikan golok yang tadi diberikan Kebo Panaran.
Ketika Adipati itu berlalu
Dipasingara memalingkan kepalanya ke arah jendela. Meski cuma sekilas tapi
masih sempat dilihatnya wajah Galuh Resmi. Galuh Resmi merasakan wajahnya
bersemu merah dan bergegas masuk ke dalam kamar. Sesaat dia tegak di depan kaca
menatap wajahnya sendiri. Pemuda itu tahu kalau dia mengintip. Betapa malunya.
Tetapi kenapa dia begitu merasa tertarik padanya?
Kebo Panaran, Adipati yang
berusia setengah abad itu menaruh kepercayaan penuh pada kepala pengawalnya
yang baru. Namun dia tidak menduga sama sekali kalau justru Dipasingara sebenarnya
adalah manusia biang racun yang bakal merusak rumah tangganya.
Tanpa setahu siapa pun di
gedung Kadipaten itu, diam-diam Dipasingara mulai main api dengan Galuh Resmi.
Banyak hal yang membuat istri Adipati Gombong itu melayani kedipan mata, lirikan
nakal dan senyum berbisa Dipasingara. Pertama Dipasingara seorang pemuda
bertampang gagah. Pertemuan pertama dulu dengan ketinggian ilmunya telah
mendatangkan rasa kagum dalam diri Galuh Resmi. Kedua, karena kehidupan rumah
tangga perempuan itu dengan Kebo Panaran tidak berbahagia. Sebagai seorang
lelaki berusia 50 tahun Kebo Panaran tidak mungkin mempunyai kesanggupan untuk
menjalankan kewajiban badaniah terhadap istri yang cantik jelita dan baru
berusia delapan belas tahun itu. Ketidak sanggupan ini ditambah pula dengan
seringnya sang Adipati melakukan kunjungan kerja ke desa-desa. Lalu pergi
menghadap pembesar-pembesar di Kotaraja untuk memberi laporan. Semua ini
membuat Galuh Resmi seperti terasing jauh dalam kesunyian.
Ketika Dipasingara muncul dengan
keberaniannya yang nakal berbisa Galuh Resmi tak kuasa untuk mengelak bahkan
tanpa disadari dia sendiri senantiasa membalas setiap senyuman kepala
pengawalnya yang gagah itu.
Meskipun tidak merupakan
kebiasaan tapi pada umumnya setiap pembesar di masa itu mempunyai dua buah
kamar tidur. Satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk istrinya. Demikian
pula dengan Kebo Panaran. Setiap malam dia selalu tidur di kamar besar di
sebelah depan gedung Kadipaten sedang istrinya di kamar lain yang bersebelahan.
Antara kedua kamar itu dihubungkan dengan sebuah pintu. Dengan adanya dua kamar
inilah Dipasingara mempunyal kesempatan untuk berbuat lebih berani.
Suatu malam, ketika seluruh
gedung Kadipaten diselimuti kesunyisenyapan Dipasingara ke luar dari kamarnya di
bagian belakang gedung Kadipaten. Malam itu dia telah menyusun rencana untuk
melaksanakan niat terkutuk yang selama ini masih ditahan-tahannya. Dia yakin
Galuh Resmi tidak akan menolak. Kalau pun ternyata nanti perempuan cantik itu
tidak bersedia melayaninya akan dipaksanya dengan kekerasan, lalu menyingkir
dari Gombong. Habis perkara! Bukankah maksudnya meminta jabatan kepala pengawal
Kadipaten itu sebenarnya hanyalah kedok belaka? Karena yang diintainya bukan
lain adalah istri Adipati Gombong yang muda belia dan cantik rupawan itu!
Di hadapan pintu kamar yang
diketahuinya adalah kamar tidur Galuh Resmi, kepala pengawal itu berhenti,
tegak sejenak memasang telinga. Semuanya serba sunyi. Dia melangkah mendekati
pintu satu lagi. Di sini didengarnya suara dengkur Adipati Kebo Panaran.
Dipasingara kembali ke pintu
pertama dan mulai mengetuk daun pintu perlahan-lahan. Tak selang beberapa lama
didengarnya suara orang turun dari ranjang, disusul suara langkahlangkah kaki.
Lalu pintu di depannya terbuka sedikit. Wajah Galuh Resmi menyeruak di celah
pintu. Perempuan ini tampak agak kaget melihat Dipasingara.
“Ada apakah…?” tanya Galuh
Resmi.
“Adipati telah tidur?”
“Ya, kenapa?”
“Boleh aku masuk?” tanya
Dipasingara. Matanya memandang tajam. Lalu tanpa menunggu jawaban dia mendorong
daun pintu dan menyelinap masuk ke dalam. Sampai di dalam daun pintu ditutupnya
dengan cepat.
“Kepala pengawal, tindakanmu
masuk ke dalam kamar dan malam-malam begini sangat diluar kesopanan!” Suara
Galuh Resmi bergetar.
Dipasingara tersenyum.
“Kau tau mengapa aku datang
kemari, Galuh?” ujar Dipasingara pula. Suaranya setengah berbisik dan senyum
masih terus menyungging di bibirnya.
Galub Resmi merasakan dadanya
berdebar. Pemuda yang selama ini selalu memanggilnya dengan sebutan “jeng” kini
langsung menyebut namanya.
“Kau ingin bertemu dengan
Adipati?”
Dipasingara menggeleng.
“Aku hanya ingin menemuimu.
Bukankah pertemuan ini sudah sejak lama sama kita nantikan?”
“Kepala pengawal. Jaga
mulutmu..”
“Namaku Dipasingara.”
“Jika Adipati tahu kau masuk
malam-malam ke sini, kau bisa celaka!”
“Dan agar suamimu tidak tahu
boleh kukunci pintu yang menghubungkan kamar ini dengan kamar sebelah?”
“Tidak! Kau harus ke luar dan
sini Dipasingara. Saat ini juga!”
Kembali si pemuda tersenyum.
Dia melangkah ke arah pintu penghubung lalu menguncinya.
“Kau…! Apa-apaan ini? Apa
maksudmu Dipasingara?”
Kepala pengawal itu melangkah
ke hadapan Galuh Resmi, membuat perempuan ini tersurut mundur.
“Kalau kau berani melakukan
sesuatu terhadap ku, aku akan menjerit!” Galuh mengancam.
“Galuh, jangan tipu dirimu
sendiri,” bisik Dipasingara. “Jangan tipu perasaan hati sanubarimu. Apakah
layangan senyum dan lirikan mata mesramu selama ini hendak kau musnahkan dengat
satu teriakan yang akan membangunkan seluruh isi gedung Kadipaten ini?”
“Tapi….”
“Aku menyukaimu. Dan kau
menyukaiku. Kita sama-sama tau hal itu. Atau masihkah kau hendak berpura-pura?”
“Kalau semua itu terjadi tidak kuinginkan sampai sejauh ini. Kau berani masuk
ke kamarku!”
“Lagi-lagi kau menipu dirimu
Galuh. Aku yakin bahwa kau sepenuhnya menyadari bahwa satu saat pertemuan
seperti ini pasti akan terjadi. Aku telah masuk ke mari menemuimu, orang yang
kukagumi kecantikannya, yang ku… yang kukasihi. Apakah semua itu hendak kau
hancurkan…?”
Gauh Resmi tundukkan kepala.
Dadanya yang kencang bergoyang turun naik.
“Masih banyak kesempatan untuk
bertemu Dipa. Jika memang kau inginkan. Bukan malammalam begini. bukan di
kamar….”
“Jadi kau inginkan aku keluar
dari kamar ini?” tanya Dipasingara.
Galuh Resmi tak menjawab.
Disadarinya bahwa diam-diam dia memang menyukai Dipasingara pada saat pertama
kali melihat pemuda ini. Tetapi tindakan Dipasingara masuk ke dalam kamar
seperti itu sangat berbahaya. Namun untuk menyuruh si pemuda ke luar dari kamarnya
hatinya terasa sangat berat. Sesaat dia hanya bisa berdiam diri. Kemudian
dirasakannya nafas pemuda itu menghembus hangat di wajahnya. Lalu terasa
pegangan jarijari tangan Dipasingara pada kedua bahunya.
“Kau izinkan aku bersamamu
malam ini di sini Galuh?”
Pemuda itu mengusap dagu Galuh
Resmi. Perlahan-lahan diangkatnya hingga perempuan itu menengadah. Sepasang
mata mereka saling bertatapan.
“Dipa, kau terlalu berani
Dipa. Terlalu berani.” desis Galuh Resmi.
“Semuanya karena kau. Demi kau
Galuh…” balas berbisik Dipasingara.
Perempuan itu menggeliat
sewaktu lehernya disentuh ciuman Dipasingara. Ah, betapa tubuhnya menjadi
menggigil panas dingin tetapi nikmat. Betapa darahnya menyentak-nyentak. Betapa
lainnya terasa peluk dan ciuman pemuda itu dibanding dengan rangkulan suaminya
yang berusia setengah abad itu!
“Jangan di sini Dipa. Jangan
di sini…” kata Galuh Resmi waktu pemuda itu membimbingnya ke tempat tidur.
Tapi Dipasingara menghujaninya
dengan ciuman bertubi-tubi pada pangkal lehernya. Membuat perempuan itu
bergelinjang, menggeliat dan mengeluarkan suara lirih. Nafasnya memburu tetapi
tersendat-sendat.
“Tidak di sini Dipa. Aku
khawatir suamiku bangun….”
“Semua pintu telah kukunci.
Tak ada yang harus kau takutkan,” kata Dipasingara. Dia membungkuk, membenamkan
hidungnya di celah antara kedua buah dada Galuh Resmi, membuat perempuan itu
mencengkeramkan kuku-kuku jarinya ke punggung Dipasingara. Ketika tubuhnya
diangkat, Galuh menggelungkan tangannya ke leher si pemuda.
Kini dia terbaring di atas
tempat tidur. Dipa yang membaringkannya. Galuh memejamkan matanya. Tak berani
menatap wajah Dipasingara. Sesaat kemudian dirasakannya jari-jari tangan
Dipasingara menyelinap di balik pakaiannya. Galuh Resmi tersentak, menggeliat
kelangsangan. Selama ini hanya jari-jari tangan lelaki tua bernama Kebo Panaran
yang menggerayangi tubuhnya. Betapa lainnya dengan rabaan seorang pemuda.
Galuh Resmi menggeliat lagi,
lagi dan lagi sampai akhirnya tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan menggigit
dada Dipasingara. Pemuda itu mengeluh kesakitan tapi sekaligus menimbulkan
gelegak rangsangan. Tangan Dipasingara menggerayang lebih berani. Galuh Resmi
merasa seperti pembuluh-pembuluh darahnya meletus sewaktu pemuda itu mulai
membuka pakaiannya. Tidak berani dia membuka matanya. Tak berani dia membuka
mulut. Desau nafasnya membara. Dirasakannya tubuh Dipasingara meneduhi
tubuhnya. Tubuh kukuh itu dipeluk Galuh Resmi kuat-kuat.
Demikianlah malam itu telah
terjadi hubungan gelap dan mesum antara Dipasingara dengan Galuh Resmi. Antara
seorang kepala pengawal dengan perempuan yang menjadi istri Adipati atasannya
sendiri! Apa yang terjadi malam itu baru merupakan permulaan saja dari
serangkaian panjang perbuatan mesum terkutuk diantara mereka berdua.
4
Betapa pun suatu kejahatan
tidak akan berlangsung selama-lamanya tanpa diketahui orang. Bagaimana pun
sesuatu yang berbau busuk itu tak mungkin dibungkus disembunyikan. Lama
kelamaan akan tercium dan ketahuan juga. Demikian pula dengan segala perbuatan
mesum yang dilakukan Dipasingara dan Galuh Resmi.
Hanya dalam waktu dua bulan,
entah bagaimana sebabnya, seisi gedung Kadipaten telah mengetahui hubungan
gelap dan kotor kedua orang itu. Hanya karena takut terhadap Galuh Resmi,
terlebih lagi ngeri akan tindakan yang bakal dilakukan Dipasingara yang berilmu
tinggi itu, maka tak ada seorang pun yang berani menyampaikan atau mengadukan
kebusukan itu pada Adipati Kebo Panaran. Namun pada akhirnya diam-diam Kebo
Panaran merasakan adanya kelainan pada tindak tanduk istrinya.
Kemudian diperhatikannya pula
tingkah laku Dipasingara. Sikap Galuh Resmi jika berada di dekat kepala
pengawalnya itu, Pastilah ada hubungan tertentu antara kedua orang ini. Dan
hubungan antara lelaki muda dengan seorang perempuan jelita apalagi kalau bukan
menjurus pada hubungan hati dan badaniah? Sudah sampai sebegitu jauhkah hal itu
terjadi?
Kebo Panaran berusaha mencari
bukti-bukti. Tetapi gagal. Dicobanya memancing kedua orang itu dengan pura-pura
pergi menjalankan tugas ke kota atau ke desa-desa. Lalu diamdiam bersama
beberapa pengawal dia melakukan pengintaian. Tapi semuanya tetap tidak membawa
hasil.
Suatu ketika Kebo Panaran
mendapat akal. Sengaja dicarinya satu kesempatan baik. Selagi berdua-dua dengan
Galuh Resmi berkatalah Adipati ini:
“Istriku Galuh, seingatku
telah lebih dari tiga bulan dinda tak pernah menyambangi ibu mertuamu di
Karangtretes….”
“Memang betul kanda. Sudah
tiga bulan kita tak pernah ke sana.” Menyahuti Galuh Resmi.
“Aku kawatir kalau-kalau nanti
mereka kecewa dalam berharap-harap. Dan menganggapmu sebagai seorang menantu
yang tak punya perhatian…”
Galuh Resmi terdiam. Kebo
Panaran melirik dan meneruskan:
“Bagaimana kalau besok kau
berangkat ke Karangtretes?”
“Jika begitu kehendak kanda,
saya akan berangkat besok. Kanda tentu akan ikut serta pula bukan?”
“Ada urusan yang perlu
kuselesaikan di Kotaraja. Penting sekali. Aku tak mungkin menemanimu. Sampaikan
saja salam hormatku pada orang tuaku….”
“Ah, mana enak pergi tanpa
kanda. Kanda yang menyuruh saya pergi tapi kanda sendiri tidak ikut,” mengajuk
Galuh Resmi membuat Kebo Panaran agak bimbang apa benar sedemikian besar
perhatian serta kasih sayang istrinya.
“Lagi pula saat ini daerah
yang bakal dilalui kabar-kabarnya kurang aman,” kata Galuh Resmi lebih lanjut.
“Hal itu tak usah dinda
kawatirkan. Dipasingara akan mengawalmu pulang pergi bersama beberapa
prajurit.”
“Meskipun demikian, jika
urusan kakanda di Kotaraja cepat selesai, saya harap kanda mau menjemput ke
Karangtretes dan pulang bersama-sama.”
Kebo Panaran menganggukkan
kepalanya. Tak lama kemudian suami istri itu pun masuk ke kamar mereka. Di atas
ranjang malam itu Galuh Resmi sangat bergairah. Ini agak mengherankan Kebo
Panaran. Sebenarnya perempuan itu bergairah karena ingat saat berduadua dengan
Dipasingara yang bakal dialaminya dalam perjalanan ke Karangtretes pulang
pergi.
Karangtretes sebuah desa subur
di tepi lembah yang jaraknya kira-kira satu setengah hari perjalanan dari
Gombong. Jika seseorang berangkat pagi hari dengan mengendarai kuda, pada
malamnya dia akan sampai di sebuah kampung pusat perdagangan yang terletak
setengah hari perjalanan dari Karangtretes.
Biasanya orang akan berhenti
dan menginap di sana. Keesokan hari baru melanjutkan perjalanan lagi.
Demikian pula dengan rombongan
Galuh Resmi. Mereka sampai di kampung itu sewaktu siang telah berganti malam.
Dipasingara yang memimpin rombongan langsung membawa rombongan ke sebuah
penginapan. Di situ disewanya tiga buah kamar.
Kamar yang paling besar dan
bagus serta bersih untuk Galuh Resmi. Kamar kedua yang bersebelahan dengan
kamar pertama ditempati oleh kusir kereta dan prajurit-prajurit yang berjumlah
tiga orang. Kamar terakhir yang terletak di sebelah kiri kamar Galuh Resmi
ditempati oleh Dipasingara seorang diri.
Mengetahui bahwa yang menginap
adalah rombongan istri Adipati Gombong maka pemilik dan pembantu-pembantunya
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Karena perjalanan seharian
penuh itu, sehabis makan para prajurit dan kusir kereta yang keletihan langsung
masuk kamar dan tertidur pulas. Sebelumnya kepada mereka Dipasingara berkata
bahwa malam itu dia sendiri yang akan berjaga-jaga. Tetapi semua orang sudah
maklum kalau pimpinan mereka itu akan mempergunakan kesempatan untuk
bersenangsenang berbuat mesum dengan istri Adipati. Karena mereka tidak
perduli dan sudah muak maka langsung saja ke tempatnya tertidur.
Di dalam kamarnya Galuh Resmi
berdiri di depan kaca, memupuri wajahnya yang halus dengan bedak harum. Di
antara heningnya malam Galuh Resmi kemudian mendengar suara ketukan halus di
pintu kamar. Dia tersenyum. Diletakkannya kotak bedak di atas meja lalu
cepat-cepat membuka pintu.
“Aku masih belum selesai
berhias, engkau sudab datang kemari,” kata Galuh Resmi dengan senyum lebar
memanaskan birahi Dipasingara.
Tanpa menunggu lebih lama
Dipasingara masuk dan sekaligus mengunci pintu.
“Orang secantikmu tak perlu
berdandan lagi Galuh,” ujar Dipasingara.
“Seorang permaisuri raja pun
tetap memerlukan berhias. Apalagi aku…” sahut Galuh Resmi.
“Soalnya mungkin permaisuri
itu jelek. Dan kau secantik bidadari. Tidak pernah membosankan,…”
Tak sabar lagi Dipasingara
langsung mengulurkan kedua tangannya dan memeluk Galuh Resmi kencang-kencang.
Sebelumnya mereka telah biasa
berbuat kemesuman di gedung Kadipaten. Kini karena merasa lebih bebas serta
aman maka masing-masing lebih terangsang oleh kobaran nafsu, lebih hebat dari
yang sudah-sudah. Dalam keadaan setengah telanjang keduanya bergulingguling di
atas tempat tidur. Tempat tidur besar itu kini berubah menjadi sebuah arena
pertandingan. Pertandingan mesum.
“Dipa…” bisik Galuh Resmi
suaranya lirih. Matanya setengah terpejam. Jari-jarinya mencengkam punggung si
pemuda.
Dipasingara tahu betul apa
arti bisikan itu. Satu demi satu segera ditanggalkannya pakaian yang melekat di
tubuh Galuh Resmi. Ketika lelaki ini hendak melepaskan pakaian terakhir yang
melekat di aurat Galuh, tiba-tiba pintu kamar ditendang dari luar hingga
terpentang lebar dan hancur berantakan!
Menyusul terdengar suara
bentakan menggeledek.
“Manusia-manusia dajal! Malam
ini kalian berdua akan mampus dalam kemesuman!”
Galuh Resmi memekik. Dia
mengenali suara itu. Juga Dipasingara.
“Wuutt!”
Satu sambaran angin keras
menderu dekat kepala Dipasingara.
Pemuda ini cepat jatuhkan diri
dan berpaling menghadapi. Adipati Kebo Panaran! Dia
berhadap-hadapan dengan
Adipati itu! Di tangan kanan Kebo Panaran tergenggam sebilah pedanq panjang.
Parasnya kelam membesi, seram menggidikkan!
“Pemuda haram jadah! Jadi
inilah balas jasamu terhadapku! Mampuslah!”
Untuk kedua kalinya Kebo Panaran
membabatkan pedangnya ke arah kepala Dipasingara. Untuk kedua kalinya pula
kepala pengawal Kadipaten ini berhasil mengelak. Dengan kalap karena diamuk
amarah Kebo Panaran memburu dan hantamkan pedangnya bertubi-tubi.
“Kanda! Kanda Kebo Panaran! Hentikan…
Hentikan…!” Galuh Resmi menjerit panjang sambil menjangkau kain untuk menutupi
auratnya yang polos.
“Perempuan laknat! Kau mampus
duluan!”
Kebo Panaran tusukkan
pedangnya ke dada telanjang istrinya.
Galuh Resmi menjerit.
5
Sebelum ujung pedang menembus
dada yang putih telanjang itu, satu deru angin dahsyat datang memapas dari
samping. Kebo Penaran terhuyung-huyung, bahkan hampir
terpelanting jika dia tidak
lekas-lekas memperkuat kuda-kuda kakinya. Tusukan
pedangnya meleset jauh.
Ternyata Dipasingara telah
lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Hal ini membuat Adipati
Gombong itu menjadi penasaran.
Sambil berbalik tangan kirinya
dipukulkan ke depan.
Serangkum cahaya putih yang
luar biasa panasnya berkiblat. lnilah pukulan sakti bernama “Perak Mendidih”
yang merupakan pukulan paling hebat yang dimiliki oleh Adipati Gombong itu. Dia
sengaja mengeluarkan pukulan sakti itu siang-siang karena ingin menamatkan
riwayat Dipasingara detik itu juga.
Dipasingara kaget bukan
kepalang. Tidak disangkanya Adipati tua yang kelihatannya mulai pikun itu
ternyata memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang demikian hebatnya. Buru-buru
dia melompat ke samping selamatkan diri. Tak urung hawa panas masih sempat
menyambar pundak kirinya hingga kelihatan menjadi merah dan perih.
Pukulan “Perak Mendidih”
lewat, terus melanda dinding kamar hingga hancur hangus berkeping-keping dengan
suara gaduh, ini membuat terbangunnya seluruh isi penginapan.
“Bangsat!” bentak Adipati Kebo
Panaran geram ketika melihat pukulannya tidak mengenai sasaran. Dia pukulkan
tangan kirinya sekali lagi untuk melancarkan serangan yang sama.
Namun saat itu Dipasingara
sudah bersiap sedia. Dia tak ingin berada di tempat itu lebih lama dalam
keadaan hampir telanjang begitu rupa. Dari balik pakaiannya yang terletak di
tepi ranjang dikeluarkan sebuah benda hitam.
“Sreett!”
Benda hitam itu terbuka.
Ternyata adalah sebuah kipas hitam legam. Sekali Dipasingara menggoyangkan
tangannya, bersiurlah larikan sinar hitam yang sangat menggidikkan. Pukulan
“Perak Mendidih” yang siap dilancarkan Kebo Panaran musnah tertindih. Sinar
hitam terus melabrak.
Kebo Panaran menjerit keras.
Tubuhnya mental dan bergulingan di lantai, hangus hitam tanpa nyawa. Laksana
sepotong kayu dimakan api!
Galuh Resmi memekik tiada
henti.
Di luar kamar yang porak
poranda itu penghuni penginapan datang berlarian
Dipasingara menggigit bibir.
Cepat dia mengambil pakaiannya dan mengenakannya. Kipas hitam diselipkannya
dibalik pinggang. Lalu seperti tidak terjadi apa-apa di situ pemuda ini balikan
tubuh siap untuk berlalu.
“Dipa, kau mau ke mana…?” seru
Galuh Resmi. Dipasingara tersenyum. Senyum aneh yang lebih merupakan seringai
sadis di mata Galuh Resmi.
“Ke mana aku mau pergi itu
bukan urusanmu!” Kata-kata itu terluncur dari mulut Dipasingara. Ini sangat
mengejutkan Galuh Resmi.
“Jadi… jadi kau mau pergi
begitu saja?!”
“Antara kita tak ada hubungan
apa-apa sejak semula. Biar semua berakhir seperti itu!”
“Kau… jangan pergi Dipa! Bawa
aku bersama mu!”
Kembali Dipasingara
menyeringai buruk. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh.
“Aku tidak butuh kau lagi
Galuh. Aku telah mendapatkan segalanya darimu!’
“Mulutmu keji. Hatimu ternyata
jahat! Kau manusia jahat!”
Dipasingara tertawa bergelak.
Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu. Hanya suara tawanya saja
yang sesaat masih terdengar menggema di kejauhan di malam yang dingin.
Galuh Resmi merasakan dadanya
sesak. Dia menjerit keras lalu terkulai dan jatuh pingsan di lantai kamar.
Tiga prajurit Kadipaten
menghambur masuk ke dalam kamar diikuti oleh pemilik kedai dan
pembantu-pembantunya. Kesemuanya langsung terpaku di lantai begitu menyaksikan
sosok tubuh Adipati Kebo Panaran yang hangus hitam hampir tak dikenal
menggeletak di lantai. Tak jauh dan situ terkapar istrinya dalam keadaan tanpa
sehelai benangpun menutupi auratnya. Seseorang mengambil kain dan menutupi
tubuh ini.
Untuk beberapa lamanya tak
seorangpun melakukan sesuatu. Semuanya masih terpaku oleh rasa tak percaya
tetapi juga ngeri. Tiba-tiba tubuh Galuh Resmi kelihatan bergerak. Dua prajurit
segera mendekat untuk menolong. Tetapi perempuan muda ini tiba-tiba menjerit.
“Pergi! Jangan dekati aku!
Jangan pegang!”
Perempuan itu melompat tegak.
Dia seperti tidak menyadari kalau saat itu dia tidak berpakaian sama sekali dan
tegak di hadapan banyak orang. Tiba-tiba dia menjerit keras.
“Istri Adipati ini pasti sudah
jadi gila…” kata pemilik penginapan dalam hati.
Didahului oleh satu raungan
panjang, tiba-tiba Galuh Resmi lari ke tempat suaminya terbujur. Tanpa ada satu
orangpun yang dapat mencegah, perempuan ini mengambil pedang milik Kebo Panaran
lalu berteriak:
“Kanda Kebo Panaran! Ampuni
istrimu! Aku menyusulmu kanda!”
Apa yang terjadi kemudan
sangat cepat. Semua orang tertegun terkesiap. Tak seorangpun sempat atau mampu
mencegah tindakan Galuh Resmi. Mereka seolah-olah baru tersadar ketika Galuh
Resmi sudah terkapar mandi darah di lantai. Pedang Kebo Panaran menancap di
dadanya. Sungguh malang perempuan muda ini. Sisa hidupnya sejak beberapa bulan
lalu penuh kekotoran bergelimang dosa mesum. Dan kini kematiannyapun dalam
jalan yang sesat pula. Semua gara-gara Dipasingara. Pemuda terkutuk yang telah
melarikan diri entah kemana!
6
Jika seseorang berdiri di
puncak gunung Slamet, maka dia akan dapat melihat pemandangan indah terbentang
di bawahnya. Di mana-mana hutan menghijau segar, di seling oleh sawah luas yang
menghampar kuning laksana permadani emas. Beberapa sungai kecil yang mengalir
berkilau-kilau airnya ditimpa sinar matahari, tak ubah seperti ular yang tengah
melenggang lenggok.
Kita menuju ke lereng timur
gunung Slamet yang menjulang tinggi itu.
Di hadapan sebuah pondok papan
tampak berdiri seorang lelaki tua yang menurut taksiran paling tidak usianya
telah mencapai tuluhpuluhan. Di depan orang tua ini tegak seorang pemuda
bersama seorang gadis manis ayu, berkulit kuning langsat.
Setelah memandang pada pemuda
yang berdiri di hadapannya itu beberapa lama maka berkatalah si orang tua:
“Walau bagaimanapun kita tidak
dapat menolak kenyataan, bahwa di antara seribu satu peristiwa dalam kehidupan
manusia, sepasang di antaranya adalah pertemuan dan perpisahan. Setiap ada
pertemuan tentu ada pula perpisahan. Pertemuan tidak kekal karena selalu adanya
perpisahan. Demikianlah sifat segala apa yang ada di alam ini. Semuanya tidak
kekal. Tak ada yang abadi. Hanya satu yaitu Yang Esa sajalah yang akan tetap
kekal selama-lamanya.
Hari ini kalau aku tidak salah
hitung tepat sewindu lamanya kau tinggal bersamaku dan mengenyam segala macam
ilmu pelajaran. Justru di hari ini pula kepadamu akan kuberikan satu tugas.
Tugas ini membuat kau harus berpisah denganku. Dan lebih dari itu terpaksa
berpisah dengan orang yang kau kasihi.
Tetapi aku yakin Sanjaya,
perpisahan ini tentu sudah kau sadari sebelumnya. Karenanya sebagai seorang
lelaki kau tentu akan menunjukkan ketabahan hati dan kebesaran jiwa. Bila nanti
tugasmu telah selesai kau akan kembali kemari. Pertemuan kita nanti sekaligus
akan merupakan hari paling bahagia dalam hidupmu. Yakni perkawinanmu dengan
Wulandari…”
Sampai di situ orang tua itu
hentikan kata-katanya.
Dilihatnya Sanjaya menunduk
agak tersipu maka sedang Wulandari juga menunduk dengan wajah kemerahan.
“Sebagai seorang berilmu
tinggi,” melanjutkan orang tua itu, “Harus kau sadari bahwa setiap tugas adalah
mahal. Dan memang adalah menjadi satu kewajiban bagi seseorang yang telah
berilmu untuk mengamalkan ilmunya itu. Ilmu yang tidak diamalkan tak ada
gunanya. Tak ada manfaatnya.
Nah Sanjaya, tak banyak
nasihat atau petuah yang akan kuberikan pada saat ini. Segala sesuatunya nanti
akan terletak di tanganmu sendiri. Pergilah ke Kotaraja dan kembalilah bila
tugasmu sudah selesai. Berikan pengabdianmu yang tulus pada kerajaan. Aku
gurumu dan kekasihmu Wulandari akan menunggumu di sini”
Selesai berkata begitu si
orang tua lantas mengundurkan diri masuk ke dalam pondok guna memberikan
kesempatan pada sepasang muda mudi yang merupakan murid-murid kesayangannya.
Di bagian belakang pondok
terdapat sebuah kebun kecil. Di ujung kebun terletak telaga buatan berair
jernih karena berasal dari pancuran air gunung yang segar. Wulandari melangkah
ke tepi telaga diikuti oleh Sanjaya.
Lama keduanya berdiri di
tempat itu tanpa satu orangpun membuka mulut. Detik-detik perpisahan yang
menggugah hati itu membuat seolah-olah lidah mereka menjadi kelu, membuat mulut
masing-masing seperti terkunci, tak sanggup melafatkan kata-kata.
Namun setelah beberapa lama
akhirnya Sanjaya memecah kesunyian walau suaranya agak bergetar.
“Wulan, perpisahan ini
merupakan satu ujian bagi kita….”
“Aku kawatir kak,” sahut
Wulandari sambil memperhatikan air pancuran yang jatuh memercik di atas batu
hitam, baru mengalir ke dalam telaga.
“Apa yang kau kawatirkan?”
tanya Sanjaya.
“Kotaraja ribuan lebih bagus
segala-galanya dari pada di sini. Gadis-gadisnya cantik-cantik, tidak seperti
gadis buruk di puncak gunung Slamet ini. Akan sanggupkah kau menghadapi ujian
seperti itu?”
Sanjaya kontan tersenyum
lebar. Dia maju mendekati gadis itu. Sambil memegang jari-jari Wulandari dia
berkata:
“Selama rimba masih hijau dan
selama air sungai masih mengalir ke lautan lepas, selama itu pulalah cintaku
terhadapmu tak akan luntur. Selama itu pula aku setia pada cinta kita.”
Sunyi beberapa lamanya. Di
kejauhan terdengar kicau burung-burung. Jari-jari tangan mereka saling
beremasan. Wulandari kemudian melihat paras pemuda itu mendekati wajahnya.
Dipejamkannya kedua matanya. Lalu dirasakannya satu ciuman lembut dan mesra
pada keningnya. Dan terdengar bisikan Sanjaya:
“Wulan, aku pergi sekarang.
Jaga dirimu baik-baik…“
“Hati-hati. Dan lekas
kembali.” bisik Wulandari. Lalu dicabutnya tusuk kundai perak di rambutnya dan
menyerahkannya pada Sanjaya seraya berkata:
“Bawalah ini, simpan
baik-baik. Jika kau ingat aku ambil dia dan pandanglah. Mudahmudahan rindumu
akan terobat.”
“Terima kasih Wulan,” kata
Sanjaya dengan terharu sambil menerima tusuk kundai perak itu. Dia
berpikir-pikir benda apa yang akan diberikannya pada Wulandari sebagai balasan.
Tibatiba dia teringat pada cincin berbatu biduri bulan di tangan kirinya.
Ditanggalkannya benda itu lalu berkata: “Pakai cincin ini sebagai pengganti
diriku….”
Sanjaya kemudian memasukkan
cincin tersebut ke jari manis tangan kanan Wulandari. Setelah menyiapkan
barang-barang yang perlu dibawa dan memasukkannya dalam sebuah buntalan,
Sanjaya lalu berpamitan pada gurunya. Selesai pamit pemuda itu segera menuruni
gunung Slamet. Wulandari mengantarkannya sampai di sebuah tikungan dan baru
kembali ke pondok bilamana pemuda yang dicintainya itu lenyap dari pandangan di
kejauhan.
“Ya Tuhan, selamatkanlah dia
dalam perjalanan. Lindungi dia dalam tugas mengabdi Kerajaan. Selamatkan pula
dia dalam perjalanan kembali…” demikian Wulandari berdo’a dalam hati untuk
kekasihnya.
Hari itu adalah hari kedua
sejak Sanjaya meninggalkan pondok gurunya di gunung Slamet. Wulandari
mempersibuk diri dengan berbagai pekerjaan. Sehabis mengambil sayuran segar di
ladang, ditampungnya air pancuran dalam sebuah kendi besar. Sewaktu dia membawa
kendi serta sayuran itu kembali ke pondok, gadis ini dikejutkan oleh kemunculan
seorang yang tak dikenal di hadapannya.
Orang ini masih muda belia,
mungkin seusia Sanjaya. Pakaiannya putih sederhana. Rambutnya hitam tebal
menyela bahu. Wajahnya yang cakap tampan itu memiliki sepasang mata sipit yang
mempunyai pandangan tajam.
Sebagaimana terkejutnya
Wulandari demikian pula tampaknya pemuda asing itu. Dalam keterkejutan untuk
beberapa saat lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
“Maaf saudari…” si pemuda
akhirnya membuka mulut. Suaranya halus dan sikapnya sopan. “Kalau aku boleh
bertanya, apakah di sini tempat kediaman Eyang Wulur Pamenang?”
Wulandari tak segera menjawab.
Dia meneliti pemuda itu sesaat baru menganggukkan kepala.
“Apakah saat ini beliau ada di
dalam?” Wulandari mengangguk lagi. “Dapatkah aku bertemu dengan beliau?”
Sebelum Wulandari menjawab dari dalam pondok terdengar suara gurunya.
“Tamu yang datang, silahkan
masuk ke dalam pondokku yang buruk.”
Wulandari memberi jalan. Si
pemuda lalu masuk ke dalam pondok. Di bagian depan pondok pemuda itu melihat
seorang tua duduk bersila di atas sehelai kulit kambing putih. Dipangkuannya
ada seuntai tasbih warna kuning yang memancarkan sinar terang.
Begitu sampai di hadapan si
orang tua, pemuda tadi jatuhkan diri berlutut. Eyang Wulur Pamenang adalah
seorang yang paling tidak senang dihormati secara berlebihan, apalagi pakai
berlutut segala. Buru-buru dia berkata:
“Duduklah di tikar. Katakan
siapa kau, datang dari mana dan ada keperluan apa mencariku.”
Si pemuda duduk bersila di
hadapan Eyang Wulur Pamenang. Dia tidak segera membuka mulut memberikan
jawaban. Tampaknya ada sesuatu yang mengganjalnya.
“Anak muda, kau belum menjawab
pertanyaanku,” menegur Wulur Pamenang.
“Eyang, saya bernama Handaka.
Datang dari desa Kembiring, dua minggu perjalanan dari sini. Saya….”
Si pemuda tak bisa meneruskan
kata-katanya.
“Anak muda, tenanglah hatimu.
Bicaralah biasa. Tak usah ragu-ragu. Tak ada yang dikawatirkan di sini.”
“Saya, saya mencari Eyang
karena malapetaka besar telah menimpa kampung saya termasuk orang tua serta
saudara-saudara saya.”
“Malapetaka apakah yang telah
menimpa desa serta keluargamu?”
Si pemuda lantas menerangkan.
“Sehari sebelum terjadinya malapetaka itu seorang anggota gerombolan rampok
yang dipimpin oleh Warok Grimbil telah kedapatan mati dalam cara amat
mengerikan. Mayatnya ditemukan dalam desa kami. Sekujur tubuhnya mulai dari
kepala sampai ke kaki hancur lumat bekas dicincang. Tak seorangpun tahu siapa
yang membunuhnya dan bagaimana bisa berada di desa kami. Kemudian datanglah
malapetaka itu.
Warok Grimbil dan
orang-orangnya menyangka bahwa penduduk Kembiringlah yang telah membunuh anak
buah dan teman mereka itu. Malam hari, ketika penduduk sedang tidur Warok
Grimbil dan anak buahnya datang menyerbu. Setiap bangunan di desa dibakar.
Semua orang dibunuh. Tak perduli orang tua, perempuan ataupun anak-anak yang
tidak berdosa. Setelah melakukan perbuatan biadab itu gerombolan rampok membawa
harta benda dan ternak penduduk lalu melarikan diri…”
Eyang Wulur Pamenang termenung.
Memang sudah sejak lama mendengar kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan
rampok pimpinan Warok Grimbil seorang jahat yang berkepandaian tinggi.
“Kau sendiri bagaimana bisa
menyelamatkan diri?” bertanya Wulur pamenang.
“Sewaktu bencana itu terjadi,
saya berada di desa tetangga. Melihat kepulan asap dan langit merah tanda ada
kebakaran, saya cepat-cepat kembali ke Kembiring. Yang saya temui hanya
kemusnahan yang memilukan dan mengerikan. Di mana-mana mayat berkaparan, Warok
Grimbil dan anak buahnya telah melarikan diri di hadapan reruntuhan rumah saya,
saya temui kedua orang tua saya dan semua saudara-saudara menemui ajal dengan
cara yang mengerikan. Ketika saya menangis seperti orang gila, lapat-lapat saya
dengar suara orang menggerang sambil memanggil nama saya. Orang itu ternyata
adalah sahabat dan tetangga saya. Tubuhnya penuh luka bekas tusukan senjata
tajam. Dalam keadaan sekarat Ia masih bisa menerangkan bahwa Warok Grimbil
bersama anak-anak buahnyalah yang telah melakukan kebiadaban itu….”
Ketika Handaka mengakhiri
ceritanya suasana dalam pondok ini menjadi sunyi sampai akhirnya Eyang Wulur
Pamenang membuka mulut:
“Setelah kejadian itu, kau
langsung menuju kemari?”
“Betul Eyang.”
“Tentunya dengan mengandung
sesuatu maksud.”
“Benar. Tentang maksud itu
saya rasa Eyang tentu sudah maklum.”
“Ah, aku yang sudah tua ini
terlalu pikun untuk meraba maksud seseorang.”
“Eyang… apa yang telah terjadi
dengan orang tua dan saudara-saudara saya, telah menimbulkan satu dendam
kesumat yang berurat berakar dalam dada saya. Walau bagaimanapun, dan sampai di
manapun saya harus membalaskan sakit hati kematian orang-orang yang saya kasihi
itu. Namun saya menyadari, seorang diri tak mungkin untuk melakukan pembalasan.
Apalagi mengingat saya tidak memiliki kepandaian apapun. Karena itulah saya
datang kemari untuk meminta bantuan Eyang. Sudilah kiranya Eyang mengambil saya
jadi murid. Perkenankan saya menerima sejurus dua jurus ilmu silat dari
Eyang….”
Lama Wukir Pamenang termenung.
Ada beberapa hal yang membuat dia tidak bisa memberikan jawaban dengan segera.
Kejahatan orang-orang macam
Warok Grimbil sudah semestinya ditumpas. Namun menerima pemuda bernama Handaka
itu untuk jadi muridnya terasa agak berat bagi orang tua ini. Dia telah
mempunyai dua orang murid yaitu Sanjaya dan Wulandari. Di samping itu usianya
telah terlalu tua untuk memberikan pelajaran-pelalaran dasar pada seorang murid
baru. Kemudian ada satu hal yang membuat dia merasa keberatan untuk mengambil
Handaka jadi muridnya. Dia melihat satu bayangan pada wajah pemuda ini.
Sepasang mata Wulur Pamenang
yang tajam penuh pengalaman disertai perasaan hati yang arif melihat bahwa ada
sifat-sifat buruk tertentu mengendap dalam diri pemuda itu.
Namun untuk tidak mengecewakan
Handaka, Wulur Pamenang tidak mau menyatakan penolakannya secara
terang-terangan. SebaliknYa dia berkata:
“Handaka, ketahuilah dari
sekian banyak sifat-sifat buruk di dalam dunia ini satu di antaranya adalah
dendam dan balas dendam. Dendam yang selalu dilampiaskan tak akan habis-habisnya
sampai turun temurun. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya telah membunuh orang
tuamu, saudara-saudaramu serta sahabat-sahabatmu sedesa. Layak kalau rasa sakit
hati dan dendam berurat berakar dalam tubuhmu. Satu-satunya tekad yang ada
dalam hatimu saat ini adalah balas dendam!
Katakanlah pembalasan berhasil
kau lakukan. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya berhasil kau bunuh. Namun
tanpa setahumu Warok Grimbil mungkin memiliki seorang putera yang kelak
kemudian hari akan menuntut balas pula atas kematian ayahnya. Demikian
seterusnya tiada henti.
Semua ini terjadi lain tidak
karena manusia-manusia tidak dapat menahan nafsu untuk balas dendam
melampiaskan sakit hati dan pembalasan. Lalu bagaimanakah jadinya jika hal itu
berlangsung demikian rupa terus menerus? Dapat kau bayangkan sendiri Handaka.
Orang-orang yang tidak ada
sangkut paut dan dosa apa-apa harus menemui kematian dengan cara mengenaskan.
Kemanusiaan dan kebenaran sudah tidak dipikirkan lagi oleh manusia-manusia yang
katanya beradab. Mereka berubah menjadi binatang. Malah lebih jahat dari
binatang. Karenanya kuharap kau bisa menahan diri. Bersabar menghadapi musibah
atau cobaan besar ini. Tidak terpengaruh untuk menempuh jalan sesaat yang akan
merugikan dirimu sendiri, bahkan banyak orang!”
Setelah berdiam diri beberapa
lamanya baru Handaka membuka mulut memberikan jawaban:
“Semua yang Eyang katakan itu
memang benar. Tapi jika boleh saya menjawab, saya ingin mengajukan satu
pertanyaan. Apakah akan dibiarkan saja manusia-manusia macam Warok Grimbil itu
hidup terus malang melintang berbuat kejahatan, membunuh, merampok,
memperkosa?”
Wulur Pamenang tersenyum dan
menjawab:
“Betul Handaka. Betul sekali
kalau kau mengajukan pertanyaan seperti itu. Sebagai jawabannya ingin kukatakan
padamu bahwa di dunia ini bukan hanya manusia-manusia saja yang bisa mengambil
tindakan. Lebih dari itu kekuasaan Tuhan berada di mana-mana. Kelak manusia
macam Warok Grimbil dan anak-anak buahnya akan mendapat hukuman dan pembalasan
dari-Nya!”
Kini Handaka yang ganti tersenyum.
“Seorang manusia yang cuma
berlepas tangan menunggu pembalasan Tuhan tanpa mengadakan usaha sama sekali,
sama saja dia mati dalam hidupnya. Dan apakah arti serta gunanya hidup semacam
itu?”
“Kepala sama berambut Handaka,
rambut sama hitam. Tapi jalan pikiran orang berbeda satu dengan lainnya…” kata
Eyang Wulur Pamenang pula. Ucapan pemuda itu tadi telah membuat wajahnya yang
tua jadi berubah kemerahan,
“Betul Eyang, tetapi setiap
manusia yang bijaksana akan berusaha mengambil jalan ke arah yang benar.
Mungkin Eyang kurang atau tidak dapat merasakan sakit hati seseorang yang
mengalami musibah matapetaka seperti saya ini. Karena Eyang tidak terlibat.
Karena Eyang tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana lusinan
mayat manusia tak berdosa berhamburan dalam keadaan mengerikan. Mayat
perempuan-perempuan tua, perempuan hamil, anak-anak bahkan bayi yang masih
merahi”
Wulur Pamenang memandangi
tasbih hijau di pangkuannya lalu berkata:
“Baiklah Handaka. Aku mengerti
perasaan serta tekadmu. Semuanya kufahami. Namun bila kau menghendaki aku
mengambilmu jadi munid, sesungguhnya kau telah datang ke tempat yang salah….”
“Salah bagaimana Eyang?” tanya
Handaka tak mengerti.
“Orang tua pikun yang hampir
masuk liang kubur macamku ini, ilmu kepandaian apakah yang kumiliki dan bisa
kuajarkan padamu?”
“Ah, Eyang terlampau
merendahkan diri. Delapan penjuru angin dunia persilatan boleh dikatakan sudah
mengenal nama besar Eyang.”
“Akan lebih baik jika kau
mencari guru lain yang lebih segala-galanya dariku. Hingga kelak kau
benar-benar menjadi seorang pemuda yang berilmu tinggi”
“Eyang,” sahut Handaka. “Saya
telah datang kemari karena tekad saya sudah bulat hanya akan berguru kepada
Eyang, tidak kepada orang lain. Akan Eyang kecewakankah manusia bernasib buruk
ini?”
“Aku telah mempunyai dua orang
murid. Tak mungkin aku harus menerimamu pula….”
“Tak mungkin? Mengapa tidak
mungkin Eyang?” tanya Handaka.
Tapi orang tua itu tidak
menjawab. Setelah menunggu dan tidak kunjung ada sahutan, Handaka berkata:
“Baiklah Eyang, memaksa orang
yang tidak mau adalah tidak baik. Seperti saya katakan, saya tidak berniat
mencari guru lain. Jika saya turun dari puncak gunung Slamet ini, dengan ilmu
yang bernama ketabahan hati dan kesabaran serta senjata sepasang tangan ini
saya akan mencari Warok Grimbil. Apakah saya bakal dapat membunuhnya atau
kepala saya yang bakal menggelinding lebih dulu, entahlah…”
Handaka menjura di hadapan
Eyang Wulur Pamenang lalu berdiri.
“Sebelum saya pergi Eyang,
pernah saya mendengar ucapan seorang tua di desa. Katanya Seorang yang berilmu
tetapi tidak mau mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sama
artinya dengan seorang paling tolol di dunia ini. Dan kelak orang itu akan mati
dalam ketololannya. Apakah ucapan orang tua itu benar atau tidak harap Eyang
sudi merenungkannya…”
Sekali lagi pemuda itu menjura
lalu membalikkan tubuh. Pada saat Handaka mencapai ambang pintu dan siap untuk
melangkah keluar pondok tiba-tiba didengarnya Eyang Wulur Pamenang memanggil :
“Handaka, kembalilah! Aku akan
mengambilmu jadi murid!”
7
Enam bulan telah berlalu sejak
kedatangan Handaka dan sejak pemuda itu diambil menjadi murid Eyang Wulur
Pamenang di puncak gunung Slamet. Orang tua itu memang merasa heran melihat
Handaka dapat mengikuti setiap pelajaran silat yang diberikan dengan cepat
hingga hanya dalam waktu enam bulan dia benar-benar telah menguasai ilmu silat
yang diturunkan kepadanya.
Pemuda ini luar biasa,
demikian Wulur Pamenang berpendapat. Dia merasa tidak kecewa mendapatkan murid
seperti Handaka.
Sebagai dua orang saudara
seperguruan tentu saja hubungan Wulandari dengan Handaka rapat sekali. Mereka
sering berlatih berdua, sering bercakap-cakap. Sedikit demi sedikit rasa sepi
yang ada di hati Wulandari karena ditinggal Sanjaya menjadi berkurang bahkan
akhirnya pupus sama sekali. Harus diakui bahwa Handaka bukan saja lebih gagah
parasnya dari Sanjaya tetapi juga pandai bicara, suka bercerita dan sering
melucu.
Pada mulanya hubungan mereka
tidak lebih dari apa yang telah dilukiskan di atas. Namun lambat laun Wulandari
menyadari bahwa dari pihak Handaka hubungan itu telah dipandang secara lain.
Sampai pada suatu hari ketika mereka sedang berdua-dua di tepi telaga Handaka
mengatakan bahwa dia mencintal gadis itu.
Wulandari bukan seorang gadis
yang mudah berubah haluan. Sekali dia mencintai seseorang dia akan mencintai
selama-lamanya. Akan tetapi sudah lumrah seorang gadis yang kesepian kadangkala
tidak sanggup menghadapi godaan dari pemuda lain. Apalagi dari seorang pemuda
setampan Handaka yang pandai bicara lihay merayu. Hubungan mereka sehari-hari
yang selalu berdekatan itu lambat laun membuat Wulandari menjadi mulai tertarik
pada Handaka,
Gadis ini mulai
membanding-banding antara Handaka dengan Sanjaya yang jauh di Kotaraja. Dan
cinta, bilamana sudah sampai pada tingkat banding membandingkan tanda umurnya
tak akan lama lagi!
Demikianlah kalau dulu hampir
setiap saat Wulandari tak pernah melupakan Sanjaya setiap malam hampir tak
pernah dia lupa berdoa untuk keselamatan kekasihnya itu, maka kini mulai
dilupakan Wulandari.
Sebagai seorang tua lanjut
usia yang dalam waktu tidak lama lagi kelak bakal menutup mata, sekali seminggu
Wulur Pamenang pergi ke puncak Slamet paling tinggi dan sunyi untuk bersemedi,
bertafakur dalam sebuah goa.
Kesempatan-kesempatan seperti
inilah yang memberikan peluang-peluang baik pada Handaka dan Wulandari.
Mula-mula hanya saling pandang memandang. Kemudian meningkat saling beremesan
tangan. Lalu lebih berani lagi, lebih berani lagi hingga keadaan keduanya tidak
beda dengan hubungan suami istri.
Bagaimanapun juga lambat laun
Wulur Pamenang akhirnya mengetahui jalinan hubungan antara kedua muridnya itu.
Namun tak pernah diduganya sama sekali kalau hubungan mereka sudah demikian
rapatnya, melewati batas-batas hubungan adik dengan kakak, hubungan saudara
seperguruan, Wulur Pamenang memutuskan untuk menjauhkan kedua orang itu secara
halus. Handaka akan disuruhnya mendirikan sebuah pondok di lereng barat gunung
Slamet.
Namun sebelum hal itu
dilakukannya, Wulur Pamenang keburu mengetahui bahwa satu hal luar biasa telah
terjadi atas diri murid perempuannya itu. Rasa marah dan kecewa bertumpuk di
hati si orang tua. Menyesal mengapa dia dulu mengambil Handaka jadi murid.
Kesemuanya itu menumpuk menjadi kemarahan yang meluap.
Ketika Handaka sedang berlatih
silat di tepi telaga Wulur Pamenang membawa Wulandari ke ruang dalam pondok.
“Mungkin kau sudah bisa
menduga kenapa aku memanggilmu, Wulan?”
Sang murid memandang wajah
gurunya sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan pada wajah itu kini, juga
kelainan pada nada suaranya.
“Mana mungkin saya menduganya
Eyang,” kata Wulandari pula.
“Sejak beberapa lama ini aku
merasa curiga melihat hubunganmu dengan Handaka.” Bicara sampai di situ Wulur
Pamenang dapat melihat perubahan pada wajah muridnya. Lalu dia melanjutkan:
“Hari ini kupanggil kau karena
jelas kulihat ada perubahan pada dirimu. Pada tubuh jasmanimu.”
“Pe… perubahan apa maksud
Eyang….” Wulandari gugup. “Saya merasa tidak ada perubahan apa-apa….”
“Kau gugup Wulan….”
“Karena… karena saya terkejut
mendengar ucapan Eyang tadi.”
Wulur Pamenang tersenyum
rawan.
“Kau pandai bicara sekarang
Wulan. Dan pandai serta berani pula berdusta kepadaku. Lebih dari itu kau telah
menipu dirimu sendiri. Selama bertahun-tahun kau di sini tak pernah kuajarkan
padamu ilmu berdusta dan menipu diri. Kenapa tahu-tahu sekarang kau bisa
berbuat begitu? Apakah Handaka yang telah mengajarkannya padamu?”
Sampai di situ mulut Wulan
terkancing rapat. Kepalanya ditundukkan. Sepasang matanya tidak dapat lagi
menatap ke arah sang guru sedang wajahnya merah sampai ke telinga.
“Kau sudah ditunangkan dengan
Sanjaya. Apa kau lupa hal itu?”
Kepala Wulandari semakin
tertunduk.
“Jawab, kau lupa?”
“Tidak Eyang, saya tidak
lupa….”
“Bagus. Kalau kau betul-betul
tidak lupa. Lalu mengapa kau bermain api dengan pemuda lain? Mengapa kau
menjalin cinta dengan Handaka?”
“Eyang, saya… saya tidak….”
Wulandari tak dapat meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya dari mulutnya
mulai terdengar isak tangis. Kedua tangannya ditutupkan ke wajah.
“Diam!” bentak Wulur Pamenang.
“Aku paling benci melihat orang menangis. Terutama yang menangis karena
kesalahannya sendiri!”
Wulandari menyusut air
matanya. Ditahannya tangis yang hendak meledak sedapatdapatnya.
“Sejak akhir-akhir ini kau
tidak senang lagi dengan nasi dan sayuran. Kau jarang makan. Lebih banyak makan
asam-asaman dan buah-buahan. Pembawaan seperti itu hanya ada pada diri
perempuan yang sedang hamil! Apa kau juga hamil Wulan? Jawab pertanyaanku?“
“Eyang… saya… saya.”
“Katakan saja. Kau hamil atau
tidak?!” hardik sang guru.
“Tidak Eyang… saya tidak
hamil.. Hanya… hanya kurang enak badan sejak beberapa hari ini….”
“Murid penipu!” bentak Wulur
Pamenang seraya berdiri dari tikar kulit kambing yang didudukinya. Dia menunjuk
ke pintu. “Tidak kusangka akan sekotor itu hatimu. Tidak kusangka kau berani
bicara dusta terhadap gurumu! Pondok yang kudirikan ini kau nodai dengan
perbuatan mesum! Kau betul-betul terkutuk. Mulai hari ini kau tidak kusukai
sebagai murid lagi! Kau kuusir dan sini! Pergi!”
“Eyang…!” Wulandari jatuhkan
diri. “Ampuni muridmu ini!”
“Jangan bersujud dihadapanku.
Aku bukan Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku! Karena dosamu bukan padaku. Tapi
pada Sanjaya, pada Tuhan! Aku tidak sudi melihatmu lagi! Aku tidak sudi dalam
pondok kelak lahir seorang anak haram!”
Wulandari yang tidak tahan
lagi mendengar kata-kata gurunya itu menggerung dan lari ke luar pondok.
Wulur Pamenang katupkan
rahangnya rapat-rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia melangkah ke pintu
dan cepat-cepat menuju ke telaga.
Di situ Handaka tengah melatih
ilmu silatnya seorang diri.
“Pemuda keparat hidung belang!
Hentikan latihanmu! Mulai detik ini kau tidak kuizinkan mempergunakan ilmu
silat yang kuajarkan padamu!”
Handaka tampak terkejut
mendengar bentakan itu. Dihentikannya gerakannya dan berpaling dengan cepat.
Dilihatnya Eyang Wulur Pamenang berdiri tolak pinggang. Mukanya merah laksana
bara dan matanya berapi-api.
“Eyang, dengan siapakah Eyang
bicara?” bertanya pemuda itu.
Justru pertanyaan ini membuat
Wulur Pamenang tambah menggelegak amarahnya.
“Bangsat! Dengan siapa lagi
kalau bukan dengan manusia dajal sepertimu!”
Sepasang mata Handaka yang
sipit menjadi tambah sipit.
“Ada apakah hingga Eyang
sampai marah begini rupa…?”
Wulur Pamenang mendengus.
“Kau masih bisa berpura-pura
bertanya!”
“Saya tidak mengerti. Agaknya
telah terjadi sesuatu…?”
“Memang telah terjadi sesuatu!
Dan sesuatu itu kau yang menjadi biang keladinya! lngat sewaktu kau dulu
mengemis minta aku mengambilmu jadi murid! Setelah aku berbelas kasihan mau
menerimamu di sini, semua itu kini kau balas dengan noda besar! Kau main gila
dengan Wulandari. Padahal kau tahu gadis itu sudah ditunangkan dengan Sanjaya!
Kau rayu dia! Kau bujuk dan kau rusak kehormatannya. Kini gadis itu hamil! Kau
benar-benar manusia bejat!”
“Eyang, sebaiknya kita panggil
Wulandari ke sini agar kita….”
“Tak usah banyak bicara! Gadis
itu sudah kuusir. Dan kaupun musti angkat kaki dari sini. Tapi sebelumnya
hukuman yang setimpal akan kujatuhkan atas dirimu. Ulurkan kedua tanganmu!”
“Eyang, kau mau bikin apa…?”
tanya Handaka.
“Ulurkan kedua tanganmu
manusia murtad. Jangan banyak tanya!” hardik Wulur Pamenang.
Karena Handaka tidak mau
mengulurkan tangannya maka naik pitamlah si orang tua. Dari hidungnya ke luar
suara mendengus. Rahangnya bergemeletak. Dia melompat. Tangannya kiri kanan
dalam gerakan yang luar biasa cepatnya menyambar ke arah kedua tangan Handaka.
Wulur Pamenang yang telah banyak pengalaman dan memiliki ilmu tinggi yakin
sekali bahwa sekali bergerak dia bakal dapat meringkus murid terkutuk itu.
Namun betapa terkejutnya
ketika Handaka berhasil mengelakkan serangannya. Jika saja Handaka mengandalkan
kecepatan bergerak untuk mengelakkan serangan tersebut, si orang tua tak akan
demikian terkejutnya. Tapi disaksikannya sendiri si pemuda mengelakkan
serangannya tadi dalam gerakan ilmu silat aneh yang sama sekali tak pernah
diajarkannya pada Handaka!
Heran bercampur marah Wulur
Pamenang kembali menyerang si pemuda. Dan sekali inipun Handaka berhasil
berkelit dengan mempergunakan gerakan ilmu silat lain!
“Murid mesum! Jadi ternyata
kau memiliki ilmu silat lain?! Bagus! Akan kuberi hajaran padamu dalam dua
jurus!”
Habis berkata begitu Wulur
Pamenang berkelebat lenyap. Di lain detik dua buah angin pukulan tangan kosong
yang dahsyat menderu ke arah dada dan perut Handaka.
Si pemuda keluarkan bentakan
nyaring. Tubuhnyapun lenyap. Sesaat kemudian terdengar seruan tertahan ke luar
dari mulut Eyang Wulur Pamenang.
Betapakan tidak!
Serangan yang dilancarkan tadi
merupakan salah satu dari beberapa buah serangan terhebat yang dimilikinya,
bernama “Dua Naga Sakti Berebut Mangsa.” Tak pernah seorang musuhpun sebelumnya
sanggup mengelakkan dua jotosan itu sekaligus. Karena kedahsyatannya jarang dia
mengeluarkan pukulan maut itu. Namun kini serangannya itu tidak membawa hasil
apa-apa. Bahkan dia merasakan kedua tangannya bergetar sewaktu dipapasi
serangan balasan yang dilancarkan Handaka! Bertambah terkejutlah orang tua ini.
Mungkinkah Handaka telah memiliki ilmu silat tinggi sebelum dia mengambilnya
jadi murid?
Lalu apa maksud pemuda ini
sesungguhnya datang kepadanya? Siapakah dia sebenarnya? Melihat Wulur Pamenang
tertegun di hadapannya, Handaka lalu keluarkan suara tertawa.
“Wulur Pamenang!” kata pemuda
ini seenaknya memanggil tanpa sebutan Eyang, seolaholah dia bicara dengan
orang yang seusia dengan dirinya. “Kenapa kau tertegun? Bukankah kau sendiri
yang memerintahkan agar aku tidak boleh mempergunakan ilmu silat yang kupelajari
darimu? Mengapa heran kalau aku terpaksa mengeluarkan ilmu silat yang lebih
hebat dan lebih berguna dari ilmu silat jenis picisan yang kau ajarkan
padaku?!”
Muka Wulur Pamenang merah
sampai ke telinga. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kedua telapak tangan.
Tubuhnya bergetar, pelipisnya bergerak-gerak dan sepasang matanya seperti mau
melompat dari rongganya.
“Dajal bermuka manusia!” desis
Wulur Pamenang. “Aku sudah berpantang dan bertobat untuk tidak membunuh! Namun
hari ini biarlah aku menanggung dosa asal aku dapat mengirimmu ke dasar
neraka!”
Wulur Pamenang tutup ucapannya
dengan pukul kedua tangannya ke depan. Terdengar suara menderu. Bumi laksana
dilanda topan. Tanah bergetar. Debu dan pasir beterbangan. Semak belukar rambas
berhamburan. Daun-daun berguguran dan beberapa pohon rambas tumbang.
Dikejap itu dua larik sinar
hijau berkiblat mengerikan. Apapun yang ada di depan kedua sinar itu pasti
musnah!
Wulur Pamenang turunkan kedua
tangannya dan memandang ke depan. Handaka tak tampak lagi dihadapannya. Tak
dapat tidak pemuda itu pasti sudah menemui kematian dengan keadaan tubuh
mengerikan.
Tapi laksana mendengar petir
di liang telinganya, begitulah kagetnya Wulur Pamenang ketika didengarnya suara
tertawa bergalak. Orang tua ini memutar tubuhnya dengan cepat. Handaka berdiri
di depannya. Tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan memegang sebuah
kipas hitam yang dikibas-kibaskan di depan mukanya sambil tersenyum mengejek?
Kontan air muka Wulur Pamenang
berubah total ketika melihat kipas hitam di tangan Handaka itu.
“Kipas Pemusnah Raga…!” seru
orang tua itu setengah tercekik. “Pemuda dajal dari mana kau dapat kipas sakti
itu?!”
Handaka tertawa gelak-gelak.
“Mukamu pucat melihat kipas
ini? Ha… ha…. Dari mana aku mendapatkan itu bukan urusanmu?!”
“Sret!”
Handaka menggoyangkan
tangannya. Kipas hitam itu terkembang lebih lebar.
“Wulur Pamenang, karena kau
benar-benar inginkan jiwaku, kalau tidak kuhabisi kau sekarang di lain hari
tentu kau hanya akan membikin repotku saja! Nah, selamat jalan ke alam baka!”
Habis berkata begitu Handaka
mengibaskan kipasnya ke arah Wulur Pamenang. Si orang tua yang telah maklum
akan kehebatan senjata sakti di tangan lawan secepat kilat mengeluarkan senjata
andalan nya yakni sebuah tasbih hijau. Ketika sinar hitam pekat yang keluar
dari Kipas Pemusnah Raga berkelebat deras kearahnya, orang tua ini cepat
memapaskan tasbih hijaunya dengan sebat. Sinar hijau berkelibat menangkis
datangnya sambaran sinar hitam.
Sesaat kemudian terdengarkan
suara menggelegar!
Tasbih di tangan Wulur
Pamenang hancur bertaburan. Orang tua ini sendiri terpelanting jauh dan
menyangsang di semak-semak. Sekujur tubuhnya hitam hangus seperti terpanggang.
Handaka memandang sebentar
pada kedua kakinya yang amblas ke tanah sampai seperempat jengkal,
“Hebat juga tenaga dalam
monyet tua itu…” katanya dalam hati. Lalu sambil kipas-kipasan senjatanya
ditinggalkannya tempat itu. Dari mulutnya tiada henti keluar suara tertawa
mengakak.
8
Serombongan pasukan bekuda
kerajaan yang berjumlah tigapuluh orang dibawah pimpinan seorang perwira muda,
kelihatan ke luar dari pintu gerbang tenggara, bergerak cepat menuju ke
selatan. Perwira muda itu bukan lain adalah Sanjaya yang telah mengabdikan diri
pada Kerajaan. Dia membawa pasukannya ke arah kaki gunung Slamet menuju hutan
Walu dimana menurut keterangan disitulah bersarangnya gerombolan perampok jahat
yang dipimpin oleh Warok Grimbil.
Karena Sanjaya mengetahui
seluk-beluk daerah sekitar kaki gunung itu, maka Sri Baginda telah
mempercayakannya untuk memimpin pasukan Kerajaan guna menumpas gerombolan Warok
Grimbil.
Akhir-akhir ini memang
kejahatan yang dilakukan oleh Warok Grimbil dan anak-anak buahnya sudah sangat
di luar batas. Hampir setiap hari ada saja kampung atau desa yang menjadi
korban keganasannya. Berkali-kali pasukan kerajaan mencoba melakukan
penyergapan dan pengejaran, namun sampai sebegitu jauh semua usaha yang
dilakukan untuk membasmi geromboan itu tak kunjung berhasil.
Kini dibawah pimpinan Sanjaya,
murid Wulur Pamenang dari gunung Slamet kembali prajurit-prajurit Kerajaan
turun tangan. Apakah akan berhasil atau tidak, kenyataanlah nanti yang akan
menentukan.
Pada malam hari mereka
berhasil mencapai tepi timur hutan Walu, Sanjaya memerintahkan pasukannya untuk
berhenti dan berkemah di situ. Mereka berkemah tanpa menyalakan api unggun dan
sengaja dicari tempat yang gelap pekat serta perlindungan oleh semak-belukar
lebat. Karena jika mereka sampai terlihat oleh gerombolan Warok Grimbil pasti
akan sia-sialah rencana pembasmian itu.
Malam itu, sebelum masuk ke
dalam tendanya, lama sekali Sanjaya berdiri memandang ke sebelah utara, di mana
dalam kegelapan malam, jauh di sana kelihatan menghitam lereng gunung Slamet.
Telah sepuluh purnama dia meninggalkan gurunya dan tak pernah melihat kekasihnya
Wulandari. Telah sekian lama dia membendung kerinduan. Dia yakin gadis itu
tetap menantinya di puncak Slamet.
Masih terngiang ucapan
perpisahan Wulandari sewaktu dia akan pergi dulu: “Hati-hati. Dan lekas
kembali…”
Dari balik pakaiannya Sanjaya mengeluarkan
tusuk kundai perak yang tempo hari diberikan oleh Wulandari. Setiap dia
merindukan gadis itu, benda itu selalu dikeluarkannya, dipandang dan
ditimangnya, dibelai serta diciumnya. Namun perasaan rindu tak bisa
dilenyapkannya seluruhnya.
“Dua purnama lagi, bila Sri
Baginda memberi izin aku akan menjengukmu Wulan…” bisik Sanjaya. Lalu perwira
muda ini masuk ke dalam tendanya.
Ketika malam yang gelap sampai
pada saat sedingin dan sesunyi-sunyinya, mendadak terdengar teriakan beberapa
prajurit yang bertugas mengawal.
“Semua bangun Kita diserang!”
Suasana yang tadi sunyi-senyap
kini menjadi hiruk pikuk kacau-balau. Beberapa buah tenda tampak terbakar.
Kira-kira dua lusin manusia berseragam hitam muncul dari tempattempat gelap,
langsung menyerbu dengan berbagai senjata tajam.
Sanjaya melompat bangun,
menyambar pedang dan keluar dari tenda. Prajurit-prajurit dilihatnya tengah
bertempur melawan para penyerang. Dari pakaian serta tampang-tampang mereka
yang kotor tak terurus Sanjaya segera maklum bahwa penyerang adalah gerombolan
jahat. Dari gerombolan mana lagi yang berada di sekitar tempat ini kalau bukan
gerombolannya Warok Grimbil?
Sebuah benda melesat ke arah
Sanjaya. Perwira muda itu cepat putar pedangnya. Anak panah yang hendak
menghantam dadanya jatuh patah dua ke tanah. Sanjaya tak menunggu lebih lama,
segera terjun ke tengah-tengah kancah pertempuran.
Pertempuran dalam gelap-gulita
itu berjalan Seru. Suara beradunya senjata berselangseling dengan suara mereka
yang terpekik karena luka. Korban mulai berjatuhan di kedua belah pihak.
Sanjaya mengamuk hebat. Ini membuat penyerang menjadi kacau dan mulai mundur.
“Mana pemimpin kalian?!”
teriak Sanjaya.
Sebagai jawaban terdengar satu
suitan keras. Para penyerang serta-merta melompat mundur dan melarikan diri ke
dalam rimba belantara yang gelap.
“Jangan kejar!” seru Sanjaya
ketika dilihatnya beberapa anak buahnya hendak melakukan pengejaran.
Kerugian yang diderita pihak
Sanjaya cukup besar. Enam tenda musnah dimakan api. Tujuh prajurit menemui ajal.
Di pihak penyerang delapan orang tewas, seorang tertangkap hiduphidup, Namun
sebelum sempat ditanyai orang ini keburu meninggal karena luka-luka parah yang
dideritanya.
Pagi harinya setelah
prajurit-prajurit yang gugur dikuburkan di tepi hutan Walu, Sanjaya kembali
memimpin pasukannya memasuki rimba belantara itu. Mereka bergerak dengan sangat
hati-hati. Meskipun hutan itu liar dan rapat namun jelas kelihatan bekas-bekas
yang dilalui manusia.
Sanjaya menunggangi kudanya di
depan sekali. Dengan adanya penyerbuan malam tadi jelaslah bahwa kedatangan
rombongannya telah diketahui oleh Warok Grimbil. Di satu tempat Sanjaya membagi
dua pasukannya. Yang pertama terdiri dari sepuluh orang langsung dibawah
pimpinannya. Sisanya sebanyak dua belas orang dibawah pimpinan seorang perwira.
Kelompok pertama bergerak di sebelah depan, kelompok kedua menyusul di belakang
dalam jarak dua ratus langkah.
Di satu tempat kelompok
terdepan membelok ke kiri sedang kelompok kedua bergerak ke jurusan kanan.
Sesuai dengan rencana yang telah diatur Sanjaya dan orang-orangnya akan lebih
dulu menyerbu ke sarang Warok Grimbil. Jika pertempuran sudah berkecamuk baru
kelompok kedua menyerbu memberikan bantuan.
Sanjaya menghentikan kudanya
dan memberi pada anak buahnva. Lima belas meter di hadapan mereka kelihatan
sebuah rumah. Rumah pertama dan terdekat dari perkampungan perampok. Perwira
muda ini meneliti suasana. Menurut taksirannya di perkampungan di tengah hutan
itu paling tidak terdapat sekitar tujuh sampai delapan rumah. Ditambah dengan
sebuah bangunan yang agak besar. Dapat dipastikan bangunan besar ini adalah
tempat kediaman Warok Grimbil selaku pimpinan gerombolan. Perkampungan itu
tampak sunyi, tenang.
Seorang perempuan tengah
menjemur pakaian di samping sebuah rumah. Dua orang lainnya menumbuk padi di
halaman. Tak seorang anggota rampokpun kelihatan. Mungkinkah Warok Grimbil dan
orang-orangnya tengah pergi melakukan perampokan? Ini sama sekali tak masuk
akal. Karena dengan tewasnya banyak anggotanya malam tadi serta bahaya akan
diserang pagi hari tentunya Warok Grimbil tidak akan melakukan hal itu. Sanjaya
menduga keras Warok Grimbil telah menyusun satu rencana jebakan. Seorang
prajunit dikirim untuk menyelidiki sekeliling kampung. Tak berapa lama kemudian
prajurit ini kembali.
“Tak ada tanda-tanda bahwa
Warok Grimbil dan orang-orangnya sembunyi di sekitar kampung.” prajurit itu
melapor.
“Aneh,” kata Sanjaya. “Kita
tunggu sampai sepeminuman teh….” Sepeminuman teh lewat. Sanjaya memberi isyarat
pada anak buahnya. Mereka bergerak dengan cepat ke tengah perkampungan.
Orang-orang perempuan yang ada di luar tampak terkejut melihat kedatangan
prajurit-prajurit kerajaan. Ketakutan dan terbirit-birit mereka masuk ke dalam
rumah masing-masing.
“Kalian orang-orang perempuan
tak usah takut!” seru Sanjaya dari atas kudanya. Dia memandang tajam
berkeliling. Masih belum kelihatan seorang rampok pun.
“Mana orang laki-laki? Apakah
mereka dan Warok Grimbil bersembunyi dalan rumah?!” berseru Sanjaya.
Tak ada yang menjawab. Setiap
pintu rumah kelihatan tertutup. Sanjaya menunggu. Dia jadi kesal. Didekatinya
sebuah rumah dan digedor pintunya. Pintu terbuka. Dan keluarlah perempuan yang
tadi tampak menjemur pakalan.
“Lekas katakan di mana
rampok-rampok yang tinggal di sini?!”
Perempuan itu menggelengkan
kepalanya.
“Kau tidak tahu atau gagu?!”
sentak Sanjaya.
“Warok Grimbil membawa mereka
pagi-pagi tadi..” perempuan itu menerangkan.
“Semuanya?”
“Mereka menuju ke mana?” tanya
Sanjaya lagi.
“Tidak tahu. Tak seorang pun
diberitahu…”
Sanjaya menunjuk ke rumah
paling besar di tengah kampung
“Itu rumahnya Warok Grimbil?”
“Benar.”
“Siapa yang ada di dalamnya…”
“Empat perempuan muda
peliharaan Warok….” Sanjaya memberi isyarat pada anak-anak buahnya lalu
bergerak ke arah rumah besar. Suasana di dalam rumah besar itu kelihatan sunyi.
Sanjaya mendorong daun pintu. Ternyata tidak dikunci. Dari atas kudanya dia
dapat melihat empat orang perempuan duduk berjejer di ruangan dalam. Keempatnya
masih muda dan memiliki paras cantik. Yang membuat perwira muda ini jadi
menahan napas ialah karena empat perempuan tersebut duduk di tempat
masing-masing tanpa mengenakan pakaian! Malah ketika melihat Sanjaya dan
prajurit-prajurit itu di pintu, mereka tersenyum, menggeser duduk masing-masing
hingga sikap mereka benar-benar menantang dan mengundang! Prajuritprajurit
Kerajaan jadi melotot tak berkesip dan teguk air liur!
Salah seorang dari empat
perempuan bertelanjang itu melambaikan tangannya dan berkata:
“Kalian petugas-petugas
Kerajaan silakan masuk! Warok berpesan bahwa tamu mana saja yang datang harus
disambut dengan hormat dan hangat!”
Sepasang mata Sanjaya
menyipit. Dari suasana yang dihadapinya sekarang ini semakin yakin dia bahwa
Warok Grimbil betul-betul tengah memasang satu jebakan berbahaya. Dia memberi
tanda pada orang—orangnya agar berlaku waspada.
“Mana Warok Grimbil dan anak
buahnya?” tanya Sanjaya pada perempuan di dalam rumah.
“Masuklah. Mari kita bicara di
dalam sini..” menjawab perempuan di ujung kiri.
Perempuan yang di sampingnya
menyambung “Jauh-jauh dari Kotaraja kau tentu haus perwira muda. Haus dan
letih. Mari masuk minum anggur dan melemaskan otot-ototmu….”
Perempuan berikutnya
menimpali:
“Masuklah, minum anggur dan
bersenang-senang lalu tidur….”
Muka Sanjaya menjadi merah. Dia
berkata “Kalian dengar baik-baik. Siapa saja yang ada di sini bisa kami
tangkap. Kami berjanji akan membebaskan kalian jika kalian mau mengatakan di
mana Warok Grimbil dan anak buahnya.”
Keempat perempuan itu
tiba-tiba serentak berdiri. Tubuhnya yang telanjang bulat itu kelihatan jelas
dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Masukah perwira, tak pantas
bicara dari luar saja…” kata salah seorang dari mereka sambil membusungkan
dadanya yang padat.
“Geledah rumah ini!” perintah
Sanjaya.
Lima orang prajurit serentak
hendak turun dari kudanya.
Justru pada saat itu entah
dari mana datangnya, melayanglah sebuah anak panah dan menancap tepat di
samping pintu sebelah kanan. Pada ekor anak panah terikat sehelai kertas yang
ternyata sepucuk surat dan ditujukan pada pasukan Kerajaan.
Sanjaya merenggutkan surat
tersebut lalu membaca isinya. Di situ hanya tertulis satu baris kalimat dengan
huruf-hurufnya berbunyi:
“SELAMAT DATANG DAN SELAMAT
MAMPUS!”
9
Pada detik Sanjaya selesai
membaca sebaris kalimat itu, pada saat itu pula di sekitarnya terdengar suara
pekik riuh rendah. Empat perempuan telanjang di dalam rumah lenyap masuk ke
dalam sebuah kamar. Seorang prajurit di samping Sanjaya mengeluarkan seruan
tertahan. Sebatang anak panah menancap di dadanya. Tak ampun lagi prajurit ini
meliuk dan jatuh dari punggung kuda.
Tiba batang anak panah dalam
pada itu melesat ke arah Sanjaya. Murid Wulur Pamenang ini dengan cekatan
pergunakan ujung tali les kudanya untuk menghantam mental ketiga anak panah
itu! Ketika dia memandang berkeliling kelihatanlah sekitar dua lusin manusia
berseragam hitam bertampang ganas bersenjata pedang dan golok, bahkan ada yang
membawa kapak, menyerbu ke arah mereka.
Di belakang sana seorang
lelaki bertubuh pendek katai berjalan lenggang kangkung seenaknya. Di tangan
kirinya dia memegang sebuah bumbung berisi puluhan anak panah. Tanpa
mempergunakan busur, tapi dengan jalan melemparkan anak-anak panah itu dengan
tangannya, dia melakukan serangan panah tiada henti, terutama sekali ke arah
Sanjaya. Hebat sekali daya lempar manusia ini. Meskipun belum pernah bertemu
muka sebelumnya namun Sanjaya telah menduga bahwa manusia katai bermata liar
dan bercambang bawuk ini pastilah si pemimpin rampok Warok Grimbil. Tanpa
tunggu lebih lama Sanjaya segera cabut pedangnya.
Sembilan pajurit terpilih di
bawah pimpinan murid Wulur Pamenang itu dengan gagah berani baku hantam
menghadapi dua puluh empat rampok ganas. Hebat sekali jalannya pertempuran.
Menghadapi lawan yang lebih banyak di atas kuda kurang memberikan keleluasaan,
malah amat membahayakan bagi yang punya diri. Menyadari hal ini setelah
bertempur dua jurus Sanjaya berteriak memberi aba-aba agar semua anak buahnya
melompat turun dari kuda masing-masing.
Seorang prajurit yang kurang
hati-hati waktu melompat turun kena disambar perutnya oleh ujung golok lawan
hingga bobol dan ususnya membusai. Dengan demikian jumlah orang-orang Kerajaan
hanya tinggal delapan orang kini, sembilan dengan Sanjaya.
Walau hati geram tetapi mereka
tetap memakai perhitungan sambil menunggu datangnya bala bantuan kelompok
kedua. Sanjaya mengamuk dengan pedangnya. Dua orang rampok tergelimpang roboh.
Satu lagi kemudian menjenit dengan leher hampir putus. Melihat ini para
perampok yang mengurung memperciut kurungannya hingga Sanjaya dan anak buahnya
terjepit di tengah kalangan pertempuran. Namun mereka terus menghadapi lawan
dengan semangat tinggi penuh ketabahan.
Dua prajunit Kerajaan roboh,
dan ini harus diimbangi oleh empat nyawa anggota rampok. Warok Grimbil yang
sejak tadi hanya tegak menyaksikan jalannya pertempuran sambil sekalisekali
melemparkan panah, kini melompat ke muka. Lima batang anak panah terakhir yang
dipegangnya sekaligus dilemparkannya ke arah Sanjaya. Anak-anak panah ini
melesat ke arah lima bagian tubuh Sanjaya. Empat anak panah berhasil dihantam
runtuh dengan putaran pedang. Anak panah ke lima masih sempat menyerempet bahu
kiri pemuda itu.
“Perwira keparat! Mari sini!
Aku lawanmu!” teriak Warok Grimbil. Orangnya katai kecil. Tapi suaranya besar
luar biasa. Apalagi teriakannya tadi disertai dengan tenaga dalam hingga
terdengar hebat menggetarkan dada.
“Manusia kerdi!, jadi kau ini
biang durjana yang bernama Warok Grimbi!?” tanya Sanjaya sambil melintangkan
pedang di muka dada.
“Anjing Kerajaan! Kurobek mulutmu!”
bentak Warok Grimbil marah sekali. Tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu
selusin senjata rahasia berbentuk paku rebana telah melesat ke arah Sanjaya!
Murid Wulur Pamenang itu kaget
bukan kepalang. Tak disangkanya kepala rampok itu memiliki kecepatan luar biasa
dalam melancarkan serangan mendadak. Untung saja saat itu dia dalam sikap
melintangkan pedang di depan dada. Hingga dengan sigap dia bisa pergunakan
senjata itu untuk melindungi diri. Delapan paku rebana berhasil dihantam
mental, tiga buah dapat dikelit tapi yang satu lainnya menancap di bahu kiri,
dekat luka bekas serempetan anak panah.
Sanjaya menggigit bibir
menahan sakit dan cabut senjata rahasa itu dari bahunya. Di hadapannya Warok
Grimbil melompat, lima jari tangan kirinya bergerak ke mulut Sanjaya siap untuk
merobek tapi dapat dikelit.
Warok Grimbil ketawa mengekeh.
“Anjing Kerajaan, nyatanya tak
seberapa kehebatanmu. Kau datang hanya untuk mengantar nyawa!”
“Warok Grimbil manusia biadab!
Jika kau masih ingin hidup menyerahlah. Niscaya Kerajaan akan mengurangi
hukumanmu!” bentak Sanjaya.
“Hukum?” Sepasang ails mata
Warok Grimbil mencuat naik. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Seumur hidupku aku
tak pernah kenal hukum! Persetan dengan segala hukum!”
“Jika begitu kematian memang
pantas untukmu. Neraka sudah lama menantimu!”
Kembali Warok Grimbil tertawa
gelak-gelak.
“Justru di sinilah bangkaimu
akan menggeletak dan membusuk!” tukas pemimpin rampok hutan Walu itu.
“Perlawananmu akan sia-sia!
Kau dan anak buahmu sudah terkurung. Perhatikan sekelilingmu!”
Bola mata Warok Grimbil
berputar liar, memandang berkeliling. Saat itu memang dilihatnya kira-kira
selusin prajurit Kerajaan yang menunggang kuda dan bersenjata lengkap menyeruak
dari semak belukar, bergerak dalam posisi mengurung.
Warok Grimbil tertawa
mengejek.
“Siapa takut pada
kacoak-kacoak Kerajaan?” katanya. Lalu mendengus dan gerakan kedua tangannya
sekaligus!
Tangan pertama melepaskan satu
pukulan ke arah Sanjaya, yang satu lagi ke jurusan prajurit-prajurit yang baru
datang.
Sanjaya yang memang sudah
bersiap-siap denqan cepat melompat selamatkan diri. Sebaliknya dua orang
prajurit di muka sana, yang tidak menduga kalau bakal mendapat serangan,
terjungkal dari kuda masing-masing, menggelepar-gelepar beberapa kali di tanah,
lalu diam tak bergerak lagi.
“Warok Grimbil! Lihat pedang!”
terdengar seruan Sanjaya. Dan sinar pedang berkiblat ke arah kepala rampok itu.
Warok Grimbil menyingkir sebat
dan serentak membalas dengan pukulan tangan kosong lagi. Tapi Sanjaya tak mau
memberi kesempatan, mengirimkan satu tebasan ganas ke arah tangan lawan hingga
pemimpin rampok ini sambil memaki terpaksa tarik pulang tangannya.
Dalam jumlah kedua belah pihak
kini tampak berimbang sehingga kecamuk pertempuran semakin menggila.
Korban-korban berjatuhan hampir setiap dua jurus.
Beberapa bulan yang lalu Warok
Grimbil dan anak buahnya pernah disergap pasukan Kerajaan dibawah pimpinan dua
orang perwira. Bukan saja para penjahat itu berhasil menghadapi pasukan
Kerajaan tapi bahkan tak seorangpun yang mereka biarkan hidup. Semula Warok
Grimbil menyangka bahwa pasukan yang datang kali ini juga bakal dapat
dibereskannya dalam waktu singkat. Namun hatinya jadi tergetar ketika melihat
kenyataan bahwa perwira muda yang memimpin pasukan Kerajaan itu bukan orang
sembarangan. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dua perwira yang dulu pernah
dibunuhnya! karenanya sebelum mendapat celaka kepala rampok ini segera
keluarkan senjata yang amat diandalkan yakni sebuah keris berwarna ungu yang
ujungnya bercabang dua dan agak melengkung sedang gagangnya berukir kepala
kelabang. Keris ini bernama “Kelabang Ungu”.
Dari sinar yang memancari di
tubuh senjata itu Sanjaya segera maklum kalau keris lawan adalah sejenis
senjata yang tidak boleh dianggap remeh. Cepat-cepat Sanjaya lancarkan serangan
berantai. Warok Grimbil berkelit gesit. Tubuhnya yang katai itu lenyap dari
pemandangan. Kini hanya sinar ungu kerisnya saja yang tampak bergulung-gulung,
menyambar ganas kian kemari! Anginnya bersiur dan memerihkan kulit.
Meskipun keris di tangan Warok
Grimbil merupakan senjata sakti berbahaya, namun menghadapi sebatang pedang d
tangan Sanjaya, kepala rampok ini tidak bisa berbuat banyak. Beberapa kali
sudah senjatanya bentrokan dengan pedang lawan. Kepala rampok ini diam-diam mengeluh
karena setiap bentrokan yang terjadi dia segera mengetahui bahwa tenaga dalam
lawannya masih muda itu berada dua atau tiga tingkat di atasnya!
Tiba-tiba dari mulut Warok
Grimbil keluar satu teriakan dahsyat. Permainan silatnya mendadak sontak berubah.
Senjatanya bertabur laksana curahan hujan dan membuat Sanjaya menjadi bingung.
Sebelum perwira muda ini bisa
mengimbangi jurus-jurus aneh yang dimainkan lawannya itu tiba tiba dirasakannya
badan pedangnya telah terjepit di atas kedua ujung bercabang keris “Kelabang
Ungu”
Cepat-cepat Sanjaya hendak
menarik pedangnya. Namun jepitan itu ketat luar biasa. Sekali Warok Grimbil
memutar lengannya maka patahlah pedang Sanjaya.
Warok Grimbil tertawa panjang.
“Ajalmu sudah di depan mata,
perwira!” seru Warok Grimbil.
Tapi kepala rampok ini terlalu
cepat bergembira.
Sanjaya yang sudah memaklumi
bahaya apa yang dihadapinya, begitu pedangnya patah, pada kejap itu pula dia
mengirimkan satu tendangan kilat ke depan!
Warok Grimbil kaget bukan
main, tapi juga penasaran. Kelabang Ungu dibabatkannya ke bawah, ke arah kaki
Sanjaya. Namun apa yang dilakukannya sudah tenlambat. Kaki kanan lawan datang
lebih cepat. Sedapat-dapatnya Warok Grimbil jatuhkan diri ke samping secara
nekat. Kenekatannya tidak membawa hasil yang diharapkan karena kaki kanan
Sanjaya masih sempat menghantam siku tangan kanannya hingga siku itu bukan saja
tanggal dari persendiannya tetapi juga hancur tulangnya.
Jeritan kepala rampok itu
setinggi langit. Dia tak peduli lagi ke mana mental dan jatuhnya keris Kelabang
Ungu. Dia melompat dua tombak menjauhi Sanjaya. Tak mungkin lagi baginya untuk
meneruskan perkelahian. Anak-anak buahnya yang melihat keadaan pemimpin mereka
jadi ciut nyalinya. Hendak lari merasa takut karena belum mendapatkan perintah.
“Ringkus dia!” penintah
Sanjaya.
Lima orang prajurit segera
bergerak. Untuk meringkus pemimpin rampok yang tak berdaya dan kesakitan
setengah mati itu.
Tapi dalam detik itu
terjadilah hal yang sangat mengejutkan laksana adanya geledek di siang bolong.
“Adikku Grimbil! Siapa yang
berani kurang ajar menyakitimu?!”
Satu bentakan nyaring
terdengar disusul oleh jeritan-jeritan mengerikan. Lima prajurit yang tadi
hendak meringkus Warok Grimbil menjerit. Kelimanya berdiri terhuyung-huyung
sambil pegangi leher masing-masing. Dari leher itu menyembur darah. Ketika
Sanjaya memperhatikan dengan mata membelalak ternyata leher ke lima prajurit
telah ditancapi sebuah pisau kecil! Satu demi satu prajurit-prajurit yang
malang ini roboh ke tanah dan tak bergerak lagi selamalamanya.
Apakah yang telah terjadi?
Siapakah yang punya perbuatan membunuh lima prajurit itu hanya dalam sekejapan
mata saja?
10
Suasana sehening di pekuburan.
Semua yang bertempur laksana dipukau oleh satu kekuatan gaib. Semua sama
memutar kepala, berpaling ke jurusan munculnya seorang nenek-nenek aneh
bertubuh kurus kering, bermuka perot. Seperti Warok Grimbil, neneknenek ini
pun memiliki tubuh pendek katai. Dia mengenakan jubah yang amat dalam hingga
menjela sampai ke tanah. Setiap langkah yang dibuatnya menyebabkan debu
mengepul ke udara.
Jubah yang dikenakannya bukan
jubah sembarangan jubah. Pakaian ini mulai dari atas sampai ke bawah digantungi
dengan puluhan bahkan mungkin ratusan pisau-pisau kecil. Pisaupisau seperti
inilah yang telah mengakhiri nyawa lima prajurit Kerajaan tadi!
“Muning Kwengi!” seru Warok
Grimbil. Suara dan wajahnya menunjukkan kegembiraan luar biasa. Semangat dan
nyalinya tampak berkobar kembali ketika melihat siapa yang datang. Demikian
pula anggota-anggota rampok lainnya yang sebenarnya sudah siap-siap untuk ambil
langkah seribu.
“Muning! Syukur kau datang!
Lekas bunuh kerak-kerak Kerajaan itu! Perwira keparat ini lebih dulu!”
Muning Kwengi, demikian nama
si nenek katai ternyata adalah kakak kandung Warok Grimbil. Dia bertempat
tinggal di sebuah pulau di pantai utara. Dalam dunia persilatan karena
kehebatannya memainkan pisau kecil nenek ini diberi julukan “Iblis Pisau
Terbang.”
Seperti juga adiknya Muning
Kwengi pun bukanlah manusia baik-baik. Ilmu kepandaiannya dipergunakan untuk
malang-melintang berbuat kejahatan sekehendak hatinya. Di samping itu nenek tua
yang hanya tinggal beberapa meter dari liang kubur ini juga ternyata masih
genit, suka daun muda alias senang pada laki-laki yang jauh lebih muda apalagi
tampan. Memandang kepada adiknya dan melirik pada Sanjaya si nenek muka perot
cengar-cengir lalu berkata:
“Hanya seekor kucing dapur
begini kau sudah tidak mampu menghadapinya Grimbil? Huh, betul-betul membuat
aku tidak punya muka menjadi kakakmu!”
Muning Kwengi memandang
berkeliling. Lalu membentak pada anggota-anggota rampok yang memandang angker
padanya.
“Kalian kenapa melongo?! Ayo
musnahkan prajurit-prajurit Kerajaan itu! Itu urusan kalian!”
Anak-anak buah Warok Grimbil
yang sudah tahu siapa adanya nenek tua tersebut, timbul kembali keberaniannya.
Mereka serempak menyerbu prajurit-prajurit Kerajaan.
Muning Kwengi maju dua
langkah, kedip-kedipkan mata kirinya lalu menuding dengan jari telunjuk tangan
kirinya tepat-tepat ke arah Sanjaya yang tegak delapan langkah di hadapannya.
“Perwira, membunuhmu sama
mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku….”
“Begitu?!” tukas Sanjaya.
Sejak tadi dia sudah berwaspada. Cara muncul dan gerak-gerik nenek ini cukup
menyatakan bahwa dia bukan sembarangan.
Tingkat ilmunya jauh lebih
hebat dari Warok Grimbil, mungkin mendekati kepandaian gurunya Eyang Wulur
Pamenang.
Si nenek tertawa dan kedipkan
lagi mata kirinya.
“Sangat mudah!” kata Muning
Kwengi pula. “Tapi orang segagahmu terlalu sayang kalau harus mati muda mati
percuma. Jika kau bersedia ikut denganku dan jadi peliharaanku selama lima
tahun, akan kuampuni kau punya jiwa!”
Air muka Sanjaya menjadi gelap
merah. Muning Kwengi tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka peot! Tak tahu
diburuk diri! Tak ingat liang kubur sudah menganga masih saja punya otak kotor
cabul!”
“Ahai! Orang muda, jangan
bicara keliwat menghina!” sahut Muning Kwengi seraya usapusap kedua pipinya
yang kempot berkerut. “Aku memang sudah tua… sudah peot! Tapi bukan tua
sembarang tua. Bukan peot sembarang peot! Sekali kau merasakan kehangatan
pelukanku, sekali kau tidur bersamaku, seumur hidup kau akan mengekor ke mana
aku pergi! Hik… hik… hik… hik!”
Warok Grimbil yang tidak sabar
melihat tingkah laku kakaknya itu berteriak “Muning! Kau tunggu apa lagi? Bunuh
bangsat itu!”
“Sabar… sabar adikku! Kalau
aku bisa mendapatkan keuntungan dari daun muda ini bukankah lebih baik dia
dibiarkan hidup untuk sementara?!”
Warok Grimbil mengomel panjang
pendek. Dia maklum tak bakal dapat memaksa kakaknya yang beradat aneh itu.
Saking kesal akhirnya dia duduk menjelepok di tanah sambil coba mengobati
cedera di sikunya.
“Perwira,” kembali Muning
Kwengi membuka mulut sambil kedipkan mata kiri dan sunggingkan senyum di mulut
yang perot. “Coba kau pikir baik-baik. Inginkan hidup berarti kau bakal
mendapat banyak kenikmatan dariku. Inginkan mati maka kau bakal menemul ajal
secara mengenaskan detik ini juga! Nah, pilih mana?”
“Aku lebih suka mati berkalang
tanah daripada menjadi budak peliharaan manusia mesum macammu!” jawab Sanjaya.
Si nenek geleng-geleng kepala.
“Apakah musti kubuktikan
sekali lagi bahwa kematianmu itu nantinya benar-benar amat mengerikan? Nah kau
saksikanlah!”
Hampir tak terlihat kapan dia
menggerakkan kedua tangannya tiba-tiba terdengar suara bergemerincingan.
Sedetik kemudian diikuti oleh pekik susul menyusul. Sanjaya memutar tubuh ke
belakang. Delapan prajurit Kerajaan yang tengah bertempur melawan anggota
rampok roboh menggeletak. Di kepala masing-masing menancap pisau kecil yang
telah dilemparkan Muning Kwengi!
Ketegangan yang menggantung di
udara dirobek oleh suara tawa cekikikan Muning Kwengi!
“Indah atau sangat mengerikan
kematian itu hai perwira muda?”
“Memang mengerikan perempuan
iblis!” sahut Sanjaya dengan kertakkan rahang. “Tapi tidak lebih mengerikan
dari kematian yang bakal kau terima. Lihat!”
Sanjaya pukulkan tangan
kanannya ke depan. Selarik sinar yang memiliki tiga warna yaitu merah, biru dan
kuning menderu ke arah Muning Kwengi.
“Pukulan Tiga Racun!” seru si
nenek dan cepat-cepat menyingkir. “Ladalah! Apakah kau muridnya si Wulur
Pamenang?! Jadi si tua bangka perot itu masih juga belum mampus hah?!”
“Hatimu jahat dan mulutmu
kotor!” teriak Sanjaya. Pemuda itu marah sekali karena gurunya dihina dengan
sebutan demikian rupa. Kali ini dia lancarkan lagi Pukulan Tiga Racun dengan
tangan kiri kanan.
Muning Kwengi jatuhkan diri
sama rata dengan tanah. Serentak dengan itu dia cabut lima buah pisau kecil dan
melemparkannya ke arah Sanjaya. Karena saat itu dia tidak bersenjata terpaksa
pemuda ini jatuhkan diri ke tanah. Namun dari belakang sana Muning Kwengi
kembali melemparkan lima buah pisau. Sanjaya bergulingan di tanah. Tapi tak
urung salah satu pisau itu masih sempat menghantam tubuhnya, menancap di dada
sebelah kanan!
Perwira muda itu mengeluh.
Dengan menahan sakit dia cabut pisau tersebut langsung menyerbu ke arah si
nenek. Muning Kwengi alias Iblis Pisau Terbang menyambut dengan tawa mengejek.
Tubuhnya berkelebat lenyap. Dia sama sekali tidak melancarkan serangan. Agaknya
sengaja memamerkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi. Dengan berkelebat
kian kemari laksana bayang-bayang semua serangan Sanjaya dielakkannya dengan
gampang.
Di saat itu Sanjaya merasakan
dadanya yang bekas ditancapi pisau lawan sakit sekali. Nafasnya menyesak dan
kerongkongannya panas seperti tersekat. Serangannya menjadi kendor bahkan
ketika pandangannya menjadi gelap pemuda ini hanya bisa berdiri
terhuyunghuyung. Bumi ini laksana terbalik di matanya.
Muning Kwengi tersenyum.
“Racun pisau telah bekerja… racun pisau telah bekerja,” katanya dalam hati lalu
hentikan gerakannya. Dia maju beberapa langkah menghampiri Sanjaya dan berkata:
“Orang muda, sekarang maut ada
di depan hidungmu. Jika kau bersedia ikut denganku, akan kuberikan obat penawar
racun. Tapi jika kau tetap membandel, satu jam dimuka nyawamu tak akan
tertolong lagi…!”
“Lebih baik mati. Seribu kali
lebih baik mati daripada menyerahkan diri ikut dengan iblis macammu!” sahut
Sanjaya. Suaranya demikian perlahan seperti berbisik. Kedua kakinya tertekuk.
Tubuhnya terkulai dan jatuh ke tanah. Dari mulutnya ke luar ludah membusah.
Dalam keadaan seperti itu dilihatnya Warok Grimbil memungut sebatang golok dan
lari ke arahnya seraya berteriak:
“Muning Kwengi! Jika kau tidak
mau membunuhnya, biar aku yang bikin mampus bangsat ini!”
Sesaat kemudian golok di
tangan kiri kepala rampok itu diayunkan ke arah batok kepala Sanjaya. Si
perwira muda ini tak mampu berbuat apapun selain diam menunggu kematian.
Sekujur tubuhnya panas dingin akibat racun pisau. Di saat kematian datang itu
terbayang olehnya wajah gurunya, wajah Wulandari. Terakhir sekali dia berseru
menyebut nama Tuhan!
Selama seorang manusia tidak
melupakan Tuhannya maka selama itu pula Tuhan ingat kepadanya. Begitulah yang
terjadi dengan Sanjaya.
Pada detik golok di tangan
Warok Grimbil akan membelah batok kepala perwira muda itu, entah dari mana
datangnya, melayanglah sebuah batu sebesar kepalan. Terdengar pekik kepala
rampok itu. Sikut kirinya hancur. Golok terlepas dari tangannya. Dengan demikian
kedua sikut kiri kanan kepala rampok ini mengalami cedera parah.
Sebelum Sanjaya jatuh pingsan
masih sempat dilihatnya kemunculan seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian
serba putih, berdiri di bawah cucuran atap sebuah rumah sambil bertolak
pinggang dan cengar-cengir seenaknya seperti orang kurang waras!
11
Anjing kurap! Setan alas!
Siapa kau?!" bentak Muning Kwengi menggeledek dan marah sementara adiknya
Warok Grimbil terkapar di tanah mengerang kesakitan. Pemuda di bawah cucuran
atap kembali menyeringai dan keluarkan suara bersiul.
"Haram jadah!" maki
Muning Kwengi.
Sekali tangannya bergerak lima
pisau kecil terbang ke arah si pemuda. Di seberang sana pemuda berambut
gondrong itu kembali keluarkan suara bersiul. Dia telah lama mendengar
kehebatan nenek-nenek bertubuh katai itu. Karenanya begitu diserang segera dia
pukulkan tangan kirinya. Satu gelombang angin bersiur menerpa lima pisau
terbang. Senjata-senjata maut beracun itu mental dan hebatnya kini membalik
menggempur pemiliknya sendiri!
Kagetnya Muning Kwengi bukan
alang kepalang. Cepat dia menyingkir. Selama malang melintang memegang gelar
lblis Pisau Terbang hanya ada satu tokoh silat yang pernah membendung bahkan
mengembalikan serangan pisaunya. Tokoh silat itu adalah Dewi Siluman Dari Bukit
Tunggul yang kini sudah mati yaitu ketika terjadi perselisihan antara sesama
tokohtokoh golongan hitam. Dengan mata membeliak hatinya bertanya-tanya siapa
gerangan adanya pemuda berambut gondrong yang memiliki kepandaian bukan
sembarangan ini!
"Muning Kwengi!"
Tiba-tiba si pemuda berseru, membuat kaget si nenek.
"Ladalah! Kowe kenal
namaku!" tukas lblis Pisau Terbang.
Tanpa acuhkan keterkejutan
orang si rambut gondrong kembali berkata: "Seminggu lalu secara biadab kau
menghancurkan seluruh pesantren Bintang Hijau di lembah Beringin …."
"Oh, jadi kau anak murid
pesantren Bintang Hijau yang datang untuk menuntut balas?!" sentak Muning
Kwengi.
"Siapa aku, kau tak perlu
tahu! Setiap orang yang berada di jalan kebenaran berhak meminta pertanggungan
jawabmu atas semua kejahatan yang telah kau lakukan!"
"Hebat sekali!"
sahut Muning Kwengi lalu tertawa panjang. "Enam tokoh silat kelas satu
pernah mengeroyokku satu bulan lalu. Mereka juga bicara tentang segala macam
kebenaran dan tanggung jawab! Dan mereka semua mampus di tanganku!"
"Memang betul! Ada
kalanya kejahatan itu dapat menghancurkan kebenaran, tapi tidak
selamanya…."
"Ah ucapanmu tinggi dan
sombong. Melihat tampangmu yang tolol kau tentu bukan seorang terpelajar,
apalagi sastrawan! Disamping itu aku tidak terlalu suka mendengar obrolan
panjang lebar. Lekas terangkan siapa kau dan ilmu kepandaian apa yang hendak
kau andalkan hingga berani datang untuk jual tampang di hadapanku si lblis
Pisau Terbang?"
"Aku utusan kematian!
Mewakili malaikat maut untuk minta roh busukmu!" sahut pemuda berambut
gondrong.
Menggelegaklah kemarahan
Muning Kwengi. Rahangnya bertonjolan dan matanya membeliak. Didahului oleh
pekikan keras nenek-nenek ini melompat ke muka seraya lancarkan satu tendangan
dan dua pukulan tangan kosong yang hebat!
"Ciat!"
Pemuda rambut gondrong
membentak nyaring dan berkelebat ke samping. Tangannya yang mengepal dipukulkan
ke depan. Terdengar angin bersiur. Muning Kwengi tersentak kaget ketika
merasakan tubuhnya terapung di udara tak bisa maju lagi laksana ditahan oleh
selapis dinding yang amat atos!
"Dinding Angin Berhembus
Tindih Menindih!" seru nenek katai itu begitu dia mengenali pukulan
pertahanan yang dilepaskan lawan. Melihat kenyataan ini tergetarlah hatinya.
Mukanya menjadi pucat. Kini dia sudah dapat memastikan siapa adanya pemuda
gondrong itu!
Sebagai tokoh silat golongan
yang sudah terkenal di delapan penjuru angin tentu saja Muning Kwengi tidak mau
memperlihatkan kegentarannya. Setelah melompat ke samping guna menghindarkan
terpaan angin pukulan lawan, secepat kilat dia lemparkan setengah lusin pisau
beracun. Serangan ini masih disusul lagi dengan satu pukulan tangan kosong yang
mengeluarkan sinar biru menggidikkan!
Baik pisau terbang maupun
pukulan tangan kosong keduanya sama mengandung racun yang amat jahat.
Pemuda rambut gondrong
melompat, dua tombak ke udara. Dari atas dia lalu melepaskan satu pukulan
dahsyat yang selama ini merupakan pukulan yang telah menggetarkan dunia
persilatan.
lblis Pisau Terbang berseru
tegang ketika melihat sinar putih menyilaukan laksana kilat dari langit
menyambar panas ke arahnya!
"Pukulan Sinar
Matahari!"
Nenek-nenek itu membuang diri
ke samping kiri, bergulingan di tanah untuk kemudian berdiri dengan kedua
tangan dipentangkan di depan dada, menjaga segala kemungkinan sementara
wajahnya yang keriput kelihatan bertambah pucat.
Pukulan Sinar Matahari yang
dilepaskan si pemuda yang dengan demikian menyatakan bahwa dia adalah bukan
lain Wiro Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Geni 212, murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede!
Seruan Muning Kwengi yang
menyebut nama pukulan yang barusan dilepas lawan lenyap ditelan gelegar suara
beradunya sinar pukulan itu dengan sinar biru yang dilepaskan Muning Kwengi
untuk mempertahankan diri.
Dua pukulan itu laksana
raksasa, berkecamuk, bergelungan, lalu memecah ke kiri untuk kemudian
menyerempet sisa-sisa prajurit-prajurit dan anggota-anggota rampok yang masih
bertempur. Terdengar pekik-pekik kematian. Semuanya berkaparan di tanah dengan
tubuh hangus laksana dipanggang!
Muning Kwengi merasakan
dadanya berdenyut-denyut. Menggempur pemuda itu sampai lima puluh atau seratus
jurus sekalipun belum tentu dirinya akan sanggup mengalahkannya. Karenanya
daripada membuang-buang waktu dan bukan mustahil dia bisa celaka maka
neneknenek ini segera menyambar dan mendukung tubuh adiknya. Untuk tidak
kehilangan muka dia berkata:
"Pendekar 212! Sayang aku
tak punya waktu banyak. Jika nyalimu benar-benar besar aku tunggu kau! Malam
bulan purnama besar di pekuburan Blumbung!"
"Nenek-nenek keriput! Kau
mau ke mana?!" sentak Wiro Sableng. "Apa yang telah kau mulai hari
ini, harus diselesaikan hari ini juga!"
lblis Pisau Terbang pencongkan
mulut. Uengan tangan kanannya dilemparkannya tiga buah pisau ke arah Wiro
Sableng. Pendekar ini cepat menghantam serangan lawan dengan pukulan tangan
kosong. Namun pisau-pisau yang dilemparkan si nenek kali ini bukan sembarangan
pisau. Karena begitu angin pukulan Wiro membentur badan pisau, ketiga pisau itu
yang bagian dalamnya mempunyai rongga, meledak dan tiga gulungan asap hitam
menggebubu menutupi pemandangan!
"Kurang ajar!" maki
Wiro dan sadar kalau sudah tertipu. Tak menunggu lebih lama dia segera lepaskan
dua pukulan Sinar Matahari ke jurusan di mana Muning Kwengi sebelumnya tadi
berdiri. Tapi si nenek katai tidak roboh. Begitu asap bertabur dia melompat
tiga tombak ke samping kiri untuk kemudian lenyap di dalam rimba belantara
bersama adiknya.
Wiro Sableng garuk-garuk
kepala dan memandang berkeliling. Mayat bertaburan dimanamana. Perkampungan di
tengah hutan itu sesunyi di pekuburan. Wiro melangkah mendekati sosok tubuh
Sanjaya. Ditotoknya tubuh perwira yang malang itu di beberapa bagian kemudian
dipanggulnya meninggalkan tempat itu.
Di barat langit telah kuning
kemerahan. Sebentar lagi sang surya akan segera tenggelam. Pendekar 212 Wiro
Sableng tinggalkan hutan Walu dengan berlari cepat ke jurusan selatan.
Telaga itu terletak di antara
dua kaki bukit. Bulan sabit tampak menggantung tinggi di langit, sebentar-sebentar
tertutup angin kelabu yang berarak ke arah timur. Sebuah api unggun menyala di
salah satu tepian telaga. Tak berapa jauh dari api unggun kelihatan dua orang
lelaki duduk berhadap-hadapan.
"Sebaiknya kau berbaring
saja perwira. Agar kau bisa istirahat dan jalan darahmu teratur …."
"Ah, lagi-lagi kau
memanggilku dengan sebutan perwira itu Wiro. Namaku Sanjaya …."
Wiro cuma menyengir.
"Berbaringlah…" katanya lagi.
Sanjaya gelengkan kepala. Dia
memandang pada balutan di dadanya.
"Bubuk obat yang kau
berikan ternyata mujarab sekali. Aku telah berhutang nyawa terhadapmu…."
"Jangan kau sebut-sebut
lagi hal itu …."
"Menyebutnya atau tidak
namun itu adalah kenyataan."
Sanjaya diam seketika. Lalu:
"Bagaimana kau bisa muncul di perkampungan rampok itu?" tanyanya
kemudian.
"Aku memang sudah sejak
lama memburu bangsat tua berjuluk lblis Pisau Terbang itu. Kejahatannya
benar-benar telah lewat takaran. Terakhir sekali dia memusnahkan secara kejam
pesantren Bintang Hijau di lembah Beringin. Jejaknya kuikuti sampai ke dalam
rimba belantara Walu. Justru kuketahui di situ juga bersarang gerombolan rampok
ganas pimpinan Warok Grimbil. Menurut keterangan yang kudapat Warok Grimbil
masih bersaudara kandung dengan lblis Pisau Terbang. Kujelajahi rimba belantara
dan akhirnya betul-betul bertemu dua manusia jahat itu. Tapi sayang, keduanya
berhasil meloloskan diri!" Lalu Wiro menerangkan bagaimana dia telah
tertipu oleh tiga pisau terbang Muning Kwengi.
Karena sudah merasa sangat
dekat dengan Wiro maka tanpa ditanya Sanjaya menuturkan pula tugas yang
dijalankannya atas perintah Sri Baginda yakni untuk membasmi komplotan rampok
jahat Warok Grimbil, menangkap pemimpinnya hidup atau mati.
"Semua prajuritku menemui
kematian," keluh Sanjaya. "Bagaimana aku bisa kembali ke Kotaraja
begini rupa?!"
"Tak usah kawatir, cepat
atau lambat tentu ada orang lain yang akan membekuk kedua manusia jahat
itu."
"Betul, tapi aku yang
ditugaskan untuk membasminya justru aku sendiri yang selamat. Tidak mustahil
orang akan berprasangka buruk padaku …."
"Kalah atau menang dalam
satu pertempuran adalah satu hal yang lumrah sobat," menghibur Wiro.
"Yah, kekalahan yang
terlalu pahit untuk ditelan," desis Sanjaya. Dia teringat pada gurunya dan
menyambung dengan suara perlahan: "Yang akan mengalami kekecewaan besar
adalah Eyang Wulur Pamenang, guruku. Dia tentu malu mempunyai seorang murid
yang tidak berguna macamku ini. Aku sendiri tak punya muka untuk bertemu dengan
dia …."
Wiro Sableng garuk-garuk
kepala dan tertawa. "Jangan putus asa Sanjaya. Kita harus ingat, betapapun
tingginya ilmu seseorang kelak ada lain orang yang lebih tinggi kepandaiannya.
Di luar langit ada langit lagi. Begitu orang memberi perumpamaan …."
Sanjaya menghela nafas dalam
dan memandang ke utara di mana dalam gelapnya malam sepasang matanya masih
mampu melihat puncak gunung Slamet menghitam di kejauhan. Berada di situ pemuda
ini sama sekali tidak mengetahui malapetaka yang telah menimpa gurunya serta
tunangannya dua bulan yang lewat.
12
Kedai Pak Tanu terletak di tengah
pasar di pusat kota Bumiayu, merupakan kedai yang buka siang malam di kota
kecil itu. Karena Bumiayu menjadi pusat persimpangan lalulintas dari lima
jurusan maka meskipun kecil tapi sepanjang hari sampai malam kota ini
senantiasa ramai.
Kedai pak Tanu terkenal sampai
ke mana-mana dan selalu ramai pengunjungnya. Sebenarnya makanan yang dimasak bu
Tanu tidak terlalu luar biasa. Namun orang selalu datang ke sana untuk makan
atau minum karena harganya murah. Dan ada hal lain lagi yang membuat orang mengalir
sepanjang hari masuk ke kedai tersebut.
Pak Tanu mempunyai dua orang
anak. Satu lelaki seusia sepuluh tahun sedang satu lagi perempuan yang sudah
remaja puteri, berkulit hitam manis dan berparas cantik. Hidung mancung, bibir
kecil, dagu laksana lebih bergantung. Leher jenjang, alis laksana bulan sabit
dan bulu mata panjang melentik. Ditambah pula dengan lenggang lenggoknya ketika
berjalan serta sikapnya yang genit manja, semua itulah yang sebenarnya menjadi
penyebab mengapa kedai pak Tanu terkenal dan banyak dikunjungi orang.
Selaku pemilik kedai pak Tanu
agaknya memang sengaja menyuruh anak gadisnya itu duduk di kedai untuk melayani
para tetamu.
Colak colek dan cubitan tangan
lelaki-lelaki bagi Sri Wening -begitu nama puteri pak Tanu – sudah merupakan
hal-hal yang biasa, malah tak jarang banyaklah yang tergila-gila padanya. Makin
banyak yang tergila berarti tambah banyak tamu yang datang dan tambah penuh
kocek pak Tanu.
Sedemikian banyak para pemuda
dan para pedagang yang terpikat namun sebegitu jauh tak seorang pun yang bisa
mendekatinya. Banyak yang melamar malah. Semua ditolak. Jinakjinak merpati.
Begitulah julukan yang diberikan orang pada Sri Wening.
Suatu malam hujan lebat
sekali. Di kedai pak Tanu terdapat sekitar selusin tamu. Kebanyakan di antara
mereka minum teh atau kopi hangat sambil merokok dan tentunya tak lupa melirik
puteri pemilik kedai yang hitam manis itu. Kadang-kadang seseorang sengaja
menghabiskan minumannya cepat-cepat agar bisa minta minuman baru dan dengan
demikian berkesempatan untuk mengganggu, meraba atau mencolek Sri Wening yang
datang melayani.
Pada saat hujan lebat berganti
rintik-rintik, masuklah seorang tamu muda berpakaian sederhana. Dia memandang
dulu seputar kedai, lalu memilih tempat duduk di sudut yang agak terpencil.
Diusapnya wajahnya yang basah oleh air hujan. Sri Wening mendatangi dengan
lenggang-lenggok dan genit.
"Hai, kau datang lagi
sahabat muda," sapa Sri Wening dan tak lupa melontarkan senyum memikat.
"Ya … ya …" sahut si
pemuda sambil garuk-garuk belakang kepalanya.
"Nah, kau pasti lupa apa
yang kupesankan malam kemarin ketika kau datang ke mari …."
"Apa … ? Pesan apa
ya?" balik bertanya sang tamu sambil coba mengingat-ingat dengan tampang
yang tolol.
Sri Wening tertawa berderai
hingga semua orang memandang ke jurusannya. Diam-diam banyak yang merasa iri
pada tamu muda bertampang bodoh itu.
"Ah, kau seorang pelupa
rupanya! Malam kemarin kupesankan padamu agar kau memotong rambutmu yang
gondrong tak karuan itu! Kau ingat?!"
"Ya … ya, aku ingat sekarang.
Tapi … ngg …. Aku lebih suka gondrong begini!"
"Perempuan akan jijik
melihatmu!" ujar Sri Wening.
"Biar, biar semua
perempuan. Asal kau sendiri tidak," sahut si pemuda.
Kembali Sri Wening tertawa
panjang.
"Kau ceriwis!" Sri
Wening mencubit belakang tangan sang tamu. Si pemuda tersenyum dan kedipkan
matanya. "Kau genit. Ih!" Gadis itu menjauh.
"Katakan sekarang, kau
mau pesan makanan apa?"
"Seperti yang
semalam."
"Yang semalam?"
Sang tamu mengangguk. Sri
Wening masuk ke bagian belakang kedai. Tak lama kemudian dia ke luar kembali
membawa makanan dan minuman yang dipesan.
Saat itu dua orang tamu lagi
datang.
"Nah, habiskan makananmu
ya!" kata gadis itu lalu siap melayani dua tamu yang barusan masuk.
Selesai makan pemuda berambut gondrong itu duduk mengulurkan kedua kaki
seenaknya. Tangannya mengusap-usap perutnya yang kenyak gembul sedang kedua
matanya setengah terpejam. Dia kelihatan agak terganggu ketika seorang yang
sejak tadi duduk di dekatnya mendekati dan bertanya:
"Mengantuk?" Suara
bertanya ini sember dan tak sedap didengar.
Si pemuda palingkan kepala.
Yang menegurnya ternyata seorang kakek-kakek berhidung besar tapi pesek sekali.
Demikian peseknya hingga hampir sama dengan pipinya yang cekung keriput. Rambut
serta sepasang alis matanya berwarna putih oleh kelanjutan usia.
"Hemm …" pemuda yang
ditanya menjawab dengan gumam segan-segan.
"Kau datang dari mana,
rambut gondrong?" tanya si kakek.
"Desa …."
"Desa mana?"
Yang ditanya membetulkan
duduknya memperhatikan si kakek dengan pandangan meneliti. Si kakek justru
tertawa lebar. Waktu tertawa jelas kelihatan tak ada sepotong gigi pun yang
masih tumbuh di gusi atas mau pun bawah.
"Heh, aku bukan
menyelidik …" kata si kakek.
"Hanya orang-orang dengan
maksud tertentu yang suka menyelidiki orang lain …."
"Betul, kau betul sekali
anak muda." Kakek hidung pesek angguk-anggukkan kepalanya. Lalu
dikeluarkannya sebuah dompet tikar pandan. "Kau merokok?"
Si pemuda menggeleng.
Orang tua itu mencabut
sebatang rokok kawung, menyalakannya lalu duduk menyandarkan punggung ke
dinding kedai, memandang ke arah pintu.
"Kau sendiri siapa,
kek?" kini pemuda rambut gondrong ganti bertanya.
"Sama sepertimu. Tamu di
kedai ini. Hanya aku sudah kakek keriput dan kau masih muda …."
"Tua bangka konyol
…" maki si gondrong dalam hati. Sementara si kakek menghembuskan asap
rokoknya tinggi-tinggi ke udara. Sesaat kemudian dia membuka mulut kembali.
"Kuperhatikan sudah empat malam ini kau datang ke mari. Apa kecantikan dan
kegenitan anak gadis pemilik kedai ini telah membuatmu tergila-gila? Kulihat
kau tadi bercanda dengannya. Bahkan kedipkan mata segala!"
"Ah, matamu yang tua itu
ternyata belum lamur. Malah tajam sekali kek. Sudah kodrat alam jika pemuda
tertarik dengan gadis cantik. Tak dapat disalahkan. Tapi kau yang sudah begini,
apakah ikut tertarik dengan gadis itu kek? Kalau tak salah kaupun sudah empat
malam datang kemari!"
Si kakek tertawa mengekeh
hingga hidungnya yang lebar itu jadi tambah lebar dan tambah pesek.
"Sekalipun aku tergila
padanya, mana mungkin dia suka padaku. Bisa aku keblinger sendiri!" Habis
berkata begitu si kakek kembali tertawa lalu menyambung: “Anak muda, aku tak
akan mengganggumu lagi. Aku juga mengantuk dan ingin tidur sebentar." Lalu
dia kembali ke tempat duduknya semula. Hanya sebentar sudah terdengar
dengkurnya yang tidak sedap.
Wiro Sableng, si pemuda
berambut gondrong tadi kembali melunjurkan kakinya dan kedua matanya ditutupkan
setengah terpejam. Hampir satu kaili peminuman teh berlalu ketika kedua mata
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu tampak membesar dan memandang ke
arah pintu kedai.
Seorang pemuda bertampang
keren masuk dengan langkah tegap. Dia langsung duduk di belakang meja. Sepasang
matanya yang sipit tidak berkesip dan selalu tertuju pada Sri Wening. Si gadis
yang merasa diperhatikan balas memandang dan tersenyum genit lalu mendekati
pemuda itu.
"Orang gagah, kau datang
dari mana?" sapa Sri Wening.
Cuping hidung tamu yang
ditegur tampak bergerak-gerak, kedua matanya membesar sedikit.
"Datang dari jauh adik.
Bukankah namamu Sri Wening?"
"Ah, kau sudah tahu
namaku. Rupanya namaku diterbangkan angin sampai jauh …." Anak gadis pak
Tanu itu kembali melayangkan senyum memikat.
"Tentu parasmu yang
cantik jelita laksana harumnya bunga yang diterbangkan angin ke
mana-mana!"
"Kau pandai merayu. Siapa
namamu sahabat muda?" tanya Sri Wening.
"Prana."
"Hanya Prana? Tak ada
sambungannya?"
Si pemuda menggeleng.
"Pendek amat namamu. Tapi
bagus, sebagus orangnya. Nah sekarang katakan kau mau makan apa, mau minum
apa."
Tamu itu menyebutkan makanan
yang diinginkannya dan juga memesan tuak haruna satu buli-buli penuh. Sambil
menunggu pesanannya dia memandang berkeliling. Tak banyak yang menarik
perhatiannya dalam kedai itu. Juga terhadap Pendekar 212 yang tidur-tidur ayam
serta orang tua berhidung pesek yang mendengkur tak berapa jauh dari Wiro.
"Boleh aku menemanimu
makan?" tanya Sri Wening manja begitu selesai meletakkan hidangan di atas
meja.
"Tentu, tentu saja,"
jawab Prana gembira.
Diambilnya sebuah kursi dan
diletakkannya dekat-dekat ke kursinya lalu dipersilahkannya Sri Wening duduk di
situ. Tangan kanan menyuap makanan sedang tangan kiri memegangi pinggul gadis
pemilik kedai itu. Bagi Sri Wening yang genit hal ini belum pernah dilakukan
lelaki lain sebelumnya. Memang banyak yang suka mencubit tangannya, tapi
memeluk begitu benarbenar satu keberanian luar biasa. Bagi pak Tanu dan
istrinya yang memang sengaja memancing para tamu dengan kecantikan anaknya, hal
sejauh itu tidak diharapkannya. Tamutamu lain di kedai itu juga memperhatikan
dengan mata melotot. Ada yang dongkol, ada yang menganggap tindakan Prana
kurang ajar tapi ada juga yang iri. Hanya dua orang tamu yang sepertinya tidak
perduli. Yakni Wiro Sableng dan si kakek hidung pesek.
Selesai makan Prana meneguk
tuak dalam buli-buli sampai setengahnya. Wajahnya yang putih kelihatan menjadi
merah.
"Masakannya enak apa
tidak?” tanya Sri Wening.
Dia juga merasa risih dan
hendak berdiri. Tapi pelukan tangan Prana di pinggulnya kencang sekali, membuat
dia hampir tak bisa bergerak.
"Enak sekali. Pasti kau
yang memasaknya bukan?"
Sri Wening mengangguk meski
semua makanan yang dijual di kedai itu ibunyalah yang memasak. Dia hanya tahu
bersolek dan menunggu tamu. Prana menuang lagi tuaknya. Mukanya makin merah.
Tiba-tiba ditariknya kepala Sri Wening lalu diciumnya wajah gadis itu
bertubi-tubi. Si gadis menggeliat dan meronta serta berseru tegang setengah
marah setengah takut. Semua orang dalam kedai tampak terkejut. Pak Tanu dan
istrinya terkesima saling pandang.
Tiba-tiba pak Tanu berdiri dan
melangkah cepat ke meja Prana dan membentak keras:
"Manusia kurang ajar!
Lekas bayar makanan dan tuak itu. Lalu angkat kakimu dari kedaiku!"
Dibentak begitu si pemuda
tenang-tenang saja seperti tak mendengar. Malah tangannya merayap lebih berani.
Yang satu masih melingkar di pinggang Sri Wening, satunya lagi bergerak ke
dada. Pak Tanu cepat menarik anaknya dari pelukan Prana, tapi tak berhasil.
"Lepaskan anakku!"
teriak pak Tanu.
Prana mengekeh.
"Bukankah kau sendiri
yang sengaja menyuruh anakmu melayani tetamu, mengandalkan kecantikan dan
kegenitannya supaya dapat banyak uang. Sekarang dia tengah melayaniku, kenapa
kau justru jadi marah? Jangan takut aku tak akan lupa membayar harga makanan
dan tuak itu. Malah akan kutambah dengan harga kehangatan tubuh anakmu!"
Marah pak Tanu tak terbendung
lagi. Diambilnya buli-buli arak dari atas meja lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi.
"Jika tak kau lepaskan
anakku dan segera membayar, kupecahkan kepalamu!" ancam pak Tanu.
Prana ganda tertawa. Dia sama
sekali tidak perdulikan ancaman pemilik kedai malah kini dengan kurang ajar
tangan kanannya menyelinap di balik dada pakaian Sri Wening.
"Manusia bejat haram
jadah!" maki pak Tanu.
Tangan kanannya bergerak
menghantam buli-buli tuak ke kepala Prana. Tetapi pemilik kedai ini jadi kaget
ketika mendapatkan dirinya tahu-tahu sama sekali tidak dapat bergerak. Tangan
dan sekujur badannya kaku.
"Hai, kenapa diam
saja?" tanya Prana. "Bukankah kau hendak menghancurkan
kepalaku?"
"Setan alas! Aku tak bisa
menggerakkan tanganku. Aku tak bisa bergerak!" seru pak Tanu dengan mata
melotot. Rasa takut lebih banyak dari pada rasa heran.
Semua orang yang menyaksikan
dan mendengar ucapan pemilik kedai itu jadi melengak kaget. Pada saat itu pula
Sri Wening merasakan sesuatu tusukan pada punggungnya. Setelah itu dia juga tak
dapat bergerak. Dia hendak berteriak tapi mulutnya pun tak mau membuka.
Lidahnya seperti kelu! Dia sama sekali tak dapat mengeluarkan suara! Dari balik
pakaiannya Prana mengeluarkan beberapa keping uang dan dilemparkannya di atas
meja.
"Uang ini cukup banyak
untuk membayar makanan, tuak serta anak gadismu ini. Karenanya aku berhak untuk
membawanya sekarang …."
Selesai berkata begitu Prana
langsung berdiri dan memanggul Sri Wening di bahu kirinya.
"Kau mau bawa ke mana
anakku?!" teriak bu Tanu seraya berlari mendatangi.
"Oh, kau ibunya?"
ujar Prana. "Tak usah khawatir, aku akan membawa anakmu sebentar saja dan
tenang sajalah!" Prana lambaikan tangannya pada ibu Sri Wening yang tengah
berlari mendatangi langsung tertegun mematung tanpa bisa bergerak lagi di
samping suaminya. Kedua suami istri ini berteriak-teriak minta tolong. Kedai
itu jadi hingar bingar.
Beberapa orang tamu muda
segera menghadang di pintu depan.
"Eh, kalian mau
menghalangiku?" tegur Prana dengan pandangan angker.
"Penculik! Lepaskan gadis
itu kalau mau selamat!" teriak seorang pemuda bertubuh tinggi besar.
Prana menyeringai.
"Aku muak melihat
tampangmu. Pergilah!" hardik Prana seraya mendorongkan telapak tangan
kanannya ke depan. Pemuda itu kontan menjerit dan tubuhnya terlempar ke luar
kedai, jatuh di jalanan yang becek. Beberapa orang segera menghunus senjata dan
mengurung Prana.
"Aku peringatkan pada
kalian. Lebih baik menyingkir!" bentak Prana.
"Bangsat penculik! Makan
pisauku ini!" Dari samping seorang menghujamkan pisau panjang ke arah
lambung Prana. Yang diserang menggeser tubuhnya dengan cepat. Di lain kejap
tempelengannya sudah menghantam kening penyerang. Pemegang pisau melintir dan
jatuh di lantai tanpa bisa bangun lagi. Beberapa tamu lain yang juga berusaha
menyerbu mengalami nasib sama, dihantam pingsan satu demi satu. Gerakan Prana
cepat sekali tanda dia memiliki kepandaian silat yang tidak sembarangan.
Sampai saat itu baik Pendekar 212
Wiro Sableng maupun si kakek hidung pesek tetap saja duduk tenang-tenang di
tempat masing-masing. Yang satu tidur-tidur ayam, yang lain mengorok terus.
Namun ketika Prana melangkah ke arah pintu, dengkur si kakek tiba-tiba berhenti
dan terdengar satu bentakan:
"Manusia bernama Prana,
tunggu dulu! Jangan cepat-cepat pergi!"
Langkah si pemuda tertahan.
Dia rasa-rasa sudah pernah mendengar suara mirip-mirip seperti orang yang
membentak itu. Dia berpaling. Dilihatnya orang tua pesek yang tadi mendengkur berdiri
dari kursi dan melangkah kehadapannya. Prana bertindak waspada. Jika si kakek
mengetahui apa yang terjadi berarti tadi dia tidak sesungguhnya tertidur pulas
dan mendengkur!
"Prana, kau kenal aku …
?" tanya si kakek.
"Ada untung apa aku kenal
dengan kakek-kakek perot macammu! Aku tak punya banyak waktu untuk
bicara!"
Prana memutar tubuh hendak
berlalu. Tapi si kakek pesek memegang bahu kanannya. Pegangan ini laksana
tindihan batu besar. Terkejutlah si pemuda penculik.
"Orang tua, siapa kau
sebenarnya … ?" desis Prana. Sepasang matanya menyipit kejam.
"Pandanglah parasku yang
buruk ini Prana. Pandang baik-baik …" berkata si kakek.
Prana menatap wajah tua itu
dalam-dalam.
"Aku tidak kenal kau dan
jangan ikut campur urusanku!" kata Prana akhirnya dan siap hendak berlalu.
Tiba-tiba orang tua itu
menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya. Sehelai kulit tipis yang selama ini
menutupi mukanya dan merupakan topeng tipis terbuka, kini kelihatan wajahnya
yang asli. Ternyata wajahnya putih bersih meskipun penuh dengan keriput
ketuaan.
"Guru!" seru Prana
tersentak kaget begitu dia melihat wajah asli orang dihadapannya. Demikian
kagetnya pemuda itu hingga sampai mundur beberapa langkah.
13
Hemmm …" si orang tua
bergumam. "Betul. Aku memang gurumu yang bernama Jagat Kawung. Rupanya kau
masih bisa mengenali guru yang telah kau nodai dengan segala
perbuatan-perbuatan terkutukmu selama ini. Warangas! Aku menyesal seumur-umur
telah mengambilmu jadi murid. Lepaskan gadis itu dan bersiaplah untuk menerima
hukuman!" "Guru, aku tak mengerti maksud ucapanmu!" tukas Prana
yang oleh si kakek tadi disebut dengan nama aslinya yaitu Warangas.
"Turunkan gadis itu!" bentak Jagat Kawung.
"Aku telah memutuskan
untuk membawanya!" jawab Prana alias Warangas.
Sepasang mata si kakek
berkilat-kilat karena kemarahan luar biasa. "Di situ jelas terlihat
kebejatanmu! Dan kau masih hendak berpura-pura di hadapanku. Kepandaian yang
kuberikan padamu kau pergunakan untuk berbuat kejahatan. Merusak rumah tangga
orang. Mempermainkan isteri orang, menodai gadis-gadis. Kau muncul dengan
berbagai nama. Sebagai Dipasingara. Sebagai Handaka. Sebagai Prana. Namun kau
tetap Warangas, manusia busuk terkutuk, pemuda hidung belang bejat di atas
jagat ini! Turunkan gadis itu Warangas!"
"Tidak!"
"Kau membangkang perintah
gurumu?"
"Jika kau berani
menghukumku, mulai detik ini aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi!"
jawab Prana alias Handaka alias Dipasingara alias Warangas.
"Kalau begitu bersiaplah
untuk mampus!"
Jagat Kawung mencengkeramkan
tangan kirinya ke muka muridnya yang aslinya bernama Warangas itu. Tangannya
yang satu lagi mencengkeram ke perut. lnilah yang disebut gerakan maut
"Sepasang Cengkeraman Garuda Sakti."
Warangas cepat menyingkir. Dia
tahu kehebatan gurunya. Karena begitu berhasil mengelakkan serangan tadi
cepat-cepat dia menurunkan Sri Wening. Terlalu besar resikonya menghadapi sang
guru dengan masih memanggul gadis itu.
"Guru, kuharap kau mau
membendung kemarahan dan tidak menurunkan tangan kasar!"
"Manusia laknat. Jangan
panggil aku guru! Dan tak perlu mulut busukmu banyak bicara!" Kembali
Jagat Kawung berkelebat. Tapi kembali pula Warangas berhasil mengelakkan diri.
Di samping luapan amarah,
Jagat Kawung juga jadi heran melihat ilmu yang dimiliki Warangas jauh lebih
maju dari kepandaiannya yang pernah diturunkannya dulu. Maka tanpa membuang
waktu Jagat Kawung segera keluarkan jurus-jurus serangan ampuhnya. Serangannya
datang bertubi-tubi laksana hujan mencurah. Kedai itu bergetar oleh
sambaransambaran angin kedua orang yang baku hantam.
Dalam kelebatan tubuh hanya
merupakan bayang-bayang saja, tiba-tiba terdengar teriakan Jagat Kawung.
Teriakan ini disertai dengan berkiblatnya sinar merah menyala laksana lidah
api, menyambar ke arah tubuh Warangas. lnilah pukulan paling hebat yang
dimiliki Jagat Kawung. Selama lima belas tahun meyakini ilmu kesaktian tersebut
tak satu kekuatan lawanpun yang sanggup menghadapinya. Sudah dapat dibayangkan
oleh orang tua itu bagaimana tubuh muridnya yang terkutuk itu akan meleleh
matang dihantam pukulan sakti bernama "Pukulan Baja Merah" itu.
Namun sesaat kemudian jadi
melengak sewaktu menyaksikan bagaimana dari dua telapak tangan muridnya menderu
ke luar larikan-larikan sinar putih yang sanggup menahan dan menangkis pukulan
Baja Merah!
Tidak dapat tidak pastilah
Warangas telah berguru pada seorang sakti lainnya, pikir Jagat Kawung.
Di lain pihak meskipun
Warangas kelihatan sanggup menghadapi pukulan sakti gurunya namun saat itu
kedua telapak tangannya terasa panas laksana terpanggang dan berwarna merah
sedang dari mulutnya ke luar darah membuih.
Warangas cepat keluarkan
beberapa butir obat dan menelannya lalu kerahkan tenaga dalamnya ke bagian dada
yang dirasakannya berdenyut sekali. Kedua matanya yang sipit tampak merah.
Pandangan buas beringas!
"Tua renta keparat! Kau
rasakan pembalasanku!" kertak Warangas. Tangannya bergerak ke balik
pakaian.
"Sret!"
Sebuah benda hitam bertebar
membentuk setengah lingkaran.
Paras Jagat Kawung kontan
berubah melihat benda di tangan murid murtad itu. Jadi benarlah kabar yang
didengarnya selama ini bahwa Warangas memiliki senjata luar biasa, sebuah kipas
sakti berwarna hitam.
"Kipas Pemusnah
Raga!" desis Jagat Kawung. "Murid keparat darimana kau dapatkan benda
itu?!"
"Ha … ha … nada
pertanyaanmu jelas bahwa nyalimu menjadi ciut! Dari mana aku dapatkan benda ini
bukan urusanmu. Kalau kau tidak puas dengan jawabanku, silahkan tanya nanti
pada iblis-iblis di neraka!" Warangas lalu gerakan tangan kanannya yang
memegang kipas.
"Wut!"
Selarik sinar hitam pekat
menggidikkan ke luar menyambar dari Kipas Pemusnah Raga. Jagat Kawung berseru
keras dan angkat kedua tangannya ke atas. Dua larik pukulan Baja Merah
menyembur. Orang tua ini tidak yakin bahwa ilmu kesaktiannya itu bakal dapat
melindungi dirinya dari serangan kipas sakti lawan. Tapi daripada tidak berbuat
apa-apa sama sekali lebih baik melepaskan pukulan itu.
Ketidak yakinan Jagat Kawung
memang beralasan. Terlihat dengan nyata bagaimana sinar hitam pekat memukul dua
larik sinar merah. Selanjutnya sinar hitam Kipas Pemusnah Raga terus menggempur
ke arah si orang tua.
"Celaka! Matilah aku
sekarang!" keluh Jagat Kawung dalam hati. Dia berusaha membuang diri ke
samping namun kasip.
Di saat yang sangat kritis
dari samping tiba-tiba terdengar suara menderu laksana bumi dilanda air bah.
Sinar hitam tampak bergoyang-goyang lalu terdorong keras ke samping dan musnah
tak berbekas.
Jagat Kawung yang merasa
dirinya diselamatkan oleh gelambang angin yang datang dari samping tadi menjadi
amat terkejut. Lebih-lebih Warangas yang berdiri di seberang sana. Guru dan
murid serentak sama-sama berpaling. Di sudut sana Pendekar 212 Wiro Sableng
perlahanlahan bangkit berdiri dari kursinya seraya garuk-garuk kepala.
"Guru dan murid hendak
saling berbunuhan! Sayang … sayang sekali. Apalagi kalau sang guru sampai
celaka di tangan muridnya yang murtad. Orang tua, serahkan Warangas padaku. Aku
memang sudah lama mencarinya. Dosanya sudah lewat dari takaran!"
Sebelum Jagat Kawung sempat
bicara, Warangas sudah membuka mulut: "Pemuda rambut gondrong! Apa perlumu
ikut campur urusan orang lain?!"
"Untuk membasmi manusia
bejat macammu orang tak perlu mencari segala macam alasan," sahut Wiro.
"Kalau begitu kau mencari
mati!"
Lalu Warangas alias Handaka
alias Dipasingara alias Prana mengebutkan Kipas Pemusnah Raga. Sinar hitam
pekat kembali berkiblat. Murid Eyang Sinto Gendeng tak tinggal diam. Untuk
kedua kalinya dia lepaskan pukulan sakti "Dewa Topan Menggusur
Gunung."
Ketika kedua kekuatan sakti
itu saling bentrokan, kedai pak Tanu tak sanggup lagi menahan hebatnya getaran.
Meja dan kursi berpelantingan. Dua buah tiang kedai patah, salah satu dinding
bobol. Orang-orang yang pingsan dan bergeletak di lantai mencelat. Beberapa
diantaranya putus nyawanya. Sri Wening dan kedua orangtuanya dalam keadaan
tertotok juga ikut mental ke luar kedai.
Warangas merasakan sekujur
tubuhnya bergetar. Kipas saktinya hampir terlepas. Ketika dia memandang ke
bawah, ternyata kedua kakinya telah amblas sedalam sepertiga jengkal ke lantai
tanah kedai. Jagat Kawung sendiri terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Kurang ajar! Siapa
bangsat gondrong ini sebenarnya?!" maki Warangas dalam hati. Diamdiam
hatinya jadi tergetar. Belum yakin kalau serangannya benar-benar bisa ditahan
lawan maka dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya kembali dia kebutkan
kipas sakti. Sinar hitam menggidikkan kembali menderu dan melabrak ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro melepaskan lagi pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung. Keadaan kedai pak Tanu semakin porak poranda.
Warangas yang menyadari bahwa sinar hitamnya tak mampu menandingi pukulan lawan
yang menggemuruh cepat melompat jauh-jauh Wiro merasakan dadanya berdenyut. Dia
cepat memburu ketika di depan sana dilihatnya Warangas menangkap tubuh Sri
Wening. Jagat Kawung ikut mengejar. Tubuh Warangas lenyap di luar kedai,
menyelinap dalam kegelapan malam. Tapi baik mata Wiro maupun Jagat Kawung tak
bisa ditipu oleh kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya berhasil mengejar dan
berada di belakang pemuda penculik itu.
"Keparat hidung belang!
Tempat larimu satu-satunya adalah kematian!" tariak Wiro.
"Anjing kurap! Nyawa
anjingmulah yang bakal minggat ke neraka malam ini!" Satu bentakan garang
menimpali.
Wiro terkejut.
Yang membentak bukanlah
Warangas tapi orang lain. Tiga sosok tubuh berkelebat di kegelapan. Pendekar
212 terpaksa hentikan pengejarannya. Demikian pula Jagat Kawung. Gerakannya
tertahan oleh hadangan tiga orang tak dikenal. Ini membuat Warangas lolos dan
lenyap bersama gadis boyongannya.
"Sialan! Kalian
siapa?!" bentak Wiro pada tiga orang yang menghadang di hadapannya.
Kegelapan malam membuatnya tak dapat mengenali wajah mereka. Sewaktu ketiga
orang ini melangkah mendekati guru murid Eyang Sinto Gendeng ini mengenal
mereka.
"Kerak-kerak neraka!
Malam yang kalian janjikan masih dua hari dimuka! Apakah kalian datang sebelurn
waktunya karena sudah tak sabar lagi untuk mampus?!"
Dua orang di depan Wiro
mendengus. Yang satu lagi rangkapkan tangan di muka dada.
"Malam terang bulan
terlalu indah bagi kematian Pendekar 212! Kami memutuskan untuk mengambil
nyawamu pada malam mendung gelap ini. Apa kau sudah siap untuk mampus?"
"Warok Grimbil! Rupanya
nyalimu telah dipompa hingga menggembung besar! Apakah kedua sikutmu sudah
sembuh? Dan kau nenek kontet Muning Kwengi yang dulu melarikan diri, apakah
datang kemari karena mengandalkan kambratmu yang berkepala botak itu? Apa si
botak ini sobat atau gendakmu?!" Wiro menuding pada laki-laki berkepala
botak yang tegak di samping Muning Kwengi hingga manusia ini kertakkan rahang menahan
marah. Dia mengerling pada orang tua di samping Wiro. Si botak ini telah
mendengar kehebatan Wiro dari Muning Kwengi. Tapi justru saat itu dia memandang
rendah terhadap Wiro sebaliknya menganggap kakek itulah yang harus
diperhatikan. Kemelesetan dugaannya inilah yang justru bakal membuat dirinya
celaka.
"Jadi kalian bertiga
datang kemari untuk melanjutkan perhitungan tempo hari? Bagus! Kalian maju
bertiga atau sendiri-sendiri?!"
"Bedebah!" maki
Warok Grimbil bekas kepala rampok hutan Walu. Dicabutnya dua golok besar dari
pinggang lalu memberi isyarat pada Muning Kwengi alias lblis Pisau Terbang.
Nenek katai ini ganti memberi tanda pada si botak di sampingnya. Ketiga orang
ini kemudian dengan serentak menerjang ke arah Wiro.
Jagat Kawung yang merasa berhutang
nyawa lantas ikut terjun dalam pertempuran seraya berkata:
"Orang muda, aku bantu
kau!"
"Grimbil! Kau berdua
kakakmu hadapi kakek-kakek busuk ini. Aku biar melayani pemuda sampah ini yang
katamu tinggi ilmunya!"
Sebenarnya si botak merasa
gentar menghadapi Jagat Kawung. Karena itu sengaja disuruhnya kedua kakak
beradik itu mengeroyok si kakek. Wiro yang diduganya tidak memiliki kepandaian
apa-apa akan dilayaninya seorang diri. Warok Grimbil dan Muning Kwengi yang
telah pernah dihajar Pendekar 212 tentu saja merasa gembira karena dengan
demikian mereka akan terhindar dari malapetaka!
"Monyet botak!" ejek
Wiro. “Sebutkan dulu namamu supaya aku tidak sungkan-sungkan
menghadapimu!"
"Bocah ingusan! Mulutnya
sombong. Tapi biarlah nanti akan kurobek!" Sambil menuding dadanya si
botak ini meneruskan: "Jika ingin tahu aku inilah manusianya yang bernama
Lembu Surah bergelar Maut Tangan Delapan!"
Wiro tertawa gelak-telak.
"Bangsat kenapa kau
tertawa?" bentak si botak.
"Namamu seperti nama
binatang. Gelarmu tangan delapan. Tapi mengapa kulihat tanganmu Cuma dua? Kalau
namamu Lembu sepantasnya gelarmu Maut Kaki Ernpat!"
Marahlah Lembu Surah diejek
demikian. Seumur hidup baru sekali ini dia menerima penghinaan seperti itu. Dia
menerjang ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat dan tampaknya betul-betul
seperti berubah jadi sebanyak delapan buah dan kesemuanya menyerbu ke arah Wiro
Sableng. Karena tidak tahu lengan mana yang asli dan mana yang hanya bayangan
belaka, Wiro tak mau bertindak gegabah.
Serangan lawan disambutnya
dengan jurus "Kipas Sakti Terbuka". Kedua lengannya dipentang ke
atas. Sesaat kemudian terdengar pekik si Maut Tangan Delapan. Kedua tangannya
beradu keras dengan tangan Wiro. Salah satu tulang lengannya patah sedang
lengan yang lain menggembung merah kulitnya. Wiro sendiri merasakan kedua
lengannya panas dan perih.
Sekalipun memiliki ilmu
kepandaian yang tidak rendah tetapi pada dasarnya si botak berjuluk Maut Tangan
Delapan ini adalah jenis manusia berhati pengecut. Mendapat celaka pada jurus
pertama telah membuat nyalinya lumer.
"Grimbil! Kwengi! Maaf
saja! Aku masih ada urusan lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Aku
betul-betul menyesal ikut kalian kemari!"
Selesai berkata begitu Lembu
Surah cepat-cepat putar tubuh dan larikan diri dari tempat itu. Wiro tak
berniat mengejar karena antara dia dengan si botak itu sebenarnya tak ada
silang sengketa apa-apa. Kini dia hanya berdiri memperhatikan Jagat Kawung yang
dikeroyok oleh Warok Grimbil dan Muning Kwengi.
Pada saat Lembu Surah melarikan
diri Warok Grimbil masih sempat melemparkan caci maki pada si botak itu. Tiga
jurus pertama meskipun mengandalkan tangan kosong Jagat Kawung masih sanggup
mengimbangi kedua lawan. Namun ketika Muning Kwengi mulai melancarkan
serangan-serangan pisau terbang sedang Warok Grimbil menggempur dengan sepasang
golok besarnya, mau tak mau orang tua itu jadi tertekan juga. Ini mernbuat
Jagat Kawung jadi jengkel.
"Manusia-manusia sialan!
Kalau tidak karena kalian tentu murid keparat itu tidak akan lolos!"
Warok Grimbil dan Muning
Kwengi balas menjawab dengan tawa mengejek.
"Memakilah sepuasmu
sebelum roh busukmu meninggalkan tubuh peotmu!" teriak Warok Grimbil.
"Sombong! Kau yang lebih
dulu pergi ke neraka!" sahut Jagat Kawung lalu dari salah satu tangannya
menyambar selarik sinar menyala merah.
"Grimbil awas!"
teriak Muning Kwengi memperingatkan. Tapi sang adik berada dalam keadaan yang
sulit untuk mengelak. Kemudian terdengar pekik Warok Grimbil. Tubuhnya yang
katai terguling hangus laksana dipanggang. Tentu saja nyawanya tidak tertolong
lagi!
"Bangsat! Rasakan
pembalasanku!" bentak Muning Kwengi marah meluap melihat kematian adiknya
mengenaskan begitu rupa. Selusin pisau terbang dilemparkan ke arah Jagat
Kawung, tetapi sekali lagi sinar merah berkiblat. Selusin pisau terbang runtuh
ke tanah. Ketika orang tua itu hendak susul dengan pukulan kedua Wiro Sableng
cepat berseru: "Kakek, yang satu ini adalah bagianku!"
"Tahan! Jurus kematiannya
harus di tanganku!" tiba-tiba terdengar suara lantang.
Sesosok tubuh melompat dari
kegelapan. Terdengar deru sesiuran angin. Si katai Muning Kwengi yang bingung
karena berturut-turut ada tiga manusia yang inginkan jiwanya menjadi gugup
waktu mengelak. Sebilah pedang tajam berkelebat menyambar lehernya. Terdengar
suara seperti kambing disembelih dari tenggorokan perempuan bergelar lblis
Pisau Terbang itu. Darah menyembur dari lehernya yang hampir putus. Nenek katai
ini bersungkur ke tanah, mati di situ juga tanpa mengetahui siapa manusia yang
telah membunuhnya.
Seorang lelaki muda berwajah
liar tetapi lusuh berdiri termangu memandangi mayat Muning Kwengi.
"Siapa dia … ?"
tanya Jagat Kawung pada Wiro Sableng.
"Sanjaya, perwira muda
Kerajaan. Antara mereka memang ada dendam kesumat lama. Memang pantas nenek
rongsokan itu mati di tangannya. tengah menjalankan tugas Kerajaan."
Sanjaya melangkah ke arah Wiro
seraya menyarungkan pedangnya.
"Kita jumpa lagi
sobatku," kata perwira muda itu.
"Aku senang bertemu
denganmu lagi Sanjaya." Wiro lalu memperkenalkan Sanjaya pada Jagat
Kawung.
"Wajahmu kulihat mendung.
Tubuhmu lebih kurus. Agaknya ada sesuatu ganjalan dalam dirimu Sanjaya?"
tanya Wiro pula.
Sanjaya menghela napas
panjang. Lalu mengangguk. "Kesulitan besar Wiro. Rasanya tak sanggup
kupikui lebih lama …."
"Kami adalah
sahabatmu," kata Jagat Kawung. "Jika kau mau mengatakan kesulitanmu
itu, mungkin kami bisa membantu."
Lama Sanjaya berdiam diri,
baru menjawab: "Dua minggu lalu aku kembali ke gunung Slamet. Apa yang
kutemui disana benar-benar mengejutkan. Mayat guruku yang tinggal tengkorak
utuh hanya digumpali daging rusak di sana-sini kutemui menggeletak di semak
belukar. Tulang-tulangnya hangus hitam. Apa yang terjadi tidak kuketahui.
Wulandari adik seperguruanku juga merupakan tunanganku tak ada disitu. Seluruh
puncak gunung Slamet kuselidiki. Wulandari tetap tak kujumpai. Akhirnya aku
turun gunung. Di satu tempat kudengar suara tangis perempuan memilukan hati.
Ketika kudatangi ternyata Wulandari. Aku terkejut sekali melihat keadaannya.
Pakaiannya kotor dan robek-robek. Matanya merah bengkak karena terlalu banyak
menangis. Dia menjerit pada detik melihatku. Dia seperti orang yang ketakutan
lalu melarikan diri. Di satu tempat aku berhasil mengejarnya dan pada saat
itulah baru kulihat dengan jelas perutnya. Menggembung besar, mengandung! Tapi
yang paling menyedihkan ialah ketika kuketahui bahwa Wulandari tidak lagi sehat
otaknya. Kadang-kadang dia menangis. Kadang-kadang tertawa. Sulit sekali. Dia
menyebut-nyebut pembunuhan atas diri Eyang Wulur Parmenang. Menyebut seseorang
tak kukenal bernama Handaka. Lalu soal pengusiran dan anak haram yang
dikandungnya. Aku coba mempelajari semua keterangan dari keadaan dirinya itu
namun tetap sulit mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi. Kemudian Wulan
berteriakteriak dan lari. Kali ini aku tak dapat mengejarnya. Menurutku
satu-satunya orang yang bisa memberi keterangan adalah yang bernama Handaka
yang disebut-sebut Wulan itu. Aku berusaha melakukan penyelidikan tapi sia-sia
belaka. Mau pecah rasanya kepalaku dan mau gila rasanya otak ini!"
Lama kesunyian mencekam di
tempat itu setelah Sanjaya mengakhiri kisahnya. Ketika Jagat Kawung mengangkat
kepala dilihatnya sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng memandang lekat-lekat
kepadanya. Orang tua ini segera maklum apa arti pandangan ini.
"Wiro, kau jelaskan
semuanya pada Sanjaya …" kata Jagat Kawung perlahan.
Wiro berpaling pada Sanjaya.
"Ketahuilah, orang bernama Handaka itu adalah orang yang juga tengah kami
kejar. Barusan saja dia berada di sini, tetapi berhasil meloloskan diri
…."
"Lolos?! Ke mana dia
melarikan diri. Aku harus mengejarnya dan minta keterangan!" kata Sanjaya.
"Sabar perwira, sabar
…."
"Aku sudah meletakkan
jabatan. Aku bukan perwira Kerajaan lagi. Jangan panggil aku dengan sebutan
itu, Wiro."
Wiro manggut-manggut dan
meneruskan keterangannya.
"Handaka adalah salah
satu saja dari sekian banyak nama palsu yang dipakai orang itu. Nama aslinya
ialah Warangas. Dia pernah memakai nama Dipasingara. Muncul dengan nama Handaka
atau Prana dan sebagainya. Dia bukan manusia baik-baik. Kejahatan yang
dilakukannya adalah kejahatan paling terkutuk. Merusak kehormatan setiap
perempuan cantik yang ditemuinya, dengan berbagai cara dan akal. Tak perduli
apakah perempuan itu istri orang, apalagi masih gadis …."
"Kalau begitu tunanganku
Wulandari telah dirusak kehormatannya oleh pemuda itu. Hamil dan rusak jiwa
serta pikirannya."
"Mungkin sabatku, mungkin
sekali. Mungkin pula dia jugalah yang telah membunuh gurumu. Itu masih harus
kita selidiki." Wiro lalu menerangkan peristiwa di kedai pak Tanu.
"Dia memiliki sebuah senjata dahsyat yaitu sebuah kipas sakti berwarna
hitam. Karena itu dia dijuluki Hidung Belang Berkipas Sakti." Sesaat Wiro
terdiam. Lalu meneruskan: "Adalah satu kenyataan pahit dan pasti mengejutkanmu…."
Wiro tak meneruskan, melirik dulu pada Jagat Kawung. Orang tua ini mengerti dan
berkata: "Teruskan kalimatmu Wiro. Tak ada yang perlu dirahasiakan."
"Satu kenyataan pahit
bahwa Handaka itu bukan lain adalah murid orang tua ini sendiri."
"Apa?!" Suara Sanjaya
seperti geledek. Tanpa pikir panjang lagi dia segera cabut pedangnya.
"Jadi dia muridmu?! Kalau begitu kau pantas kucincang lebih dulu!"
Tangan Sanjaya yang memegang
pedang bergerak. Jagat Kawung hanya tundukkan kepala seolah-olah menyerah
pasrah untuk dibunuh saat itu juga. Tetapi Wiro Sableng cepat memegang lengan
bekas perwira Kerajaan itu dan berkata:
"Sabar sobatku. Sabar.
Jangan kalap membabi buta. Jika kau punya dendam terhadap muridnya adalah tolol
membalaskan sakit hati pada gurunya yang juga pernah mencari-carinya untuk
menjatuhkan hukuman!"
Kata-kata Wiro itu
mengendurkan kemarahan Sanjaya. Dengan tangan bergetar dan muka keringatan
disarungkannya pedangnya kembali. Kemudian didengarnya Jagat Kawung berkata:
"Biarkan dulu aku terus hidup untuk dapat menjatuhkan hukuman terhadap
murid murtad itu. Kelak jika dia sudah kusingkirkan dari dunia ini aku pasrah
menerima kematian di tanganmu! Memang terlalu memalukan untuk hidup lebih lama
…."
"Apa yang harus kita
lakukan sekarang?" tanya Sanjaya kemudian.
Sunyi sejenak.
"Apa lagi selain mencari
keparat bernama Warangas itu!" sahut Jagat Kawung. Di malam yang gelap
ketiga orang itu segera meninggalkan tempat itu.
14
Kuda coklat itu dipacunya
secepat-cepatnya menuju pantai selatan. Tiba-tiba si penunggang mendadak sontak
tarik tali kekang dan berhenti memasang teiinga. Lapatlapat dikejauhan
terdengar suara orang menangis. Suara tangis perempuan. Demikian memilukan
suara tangis itu hingga penunggang kuda ini turun dari kudanya dan melangkah ke
jurusan datangnya suara tangis tersebut.
Tak berapa lama kemudian, dari
balik semak belukar dilihatnya seorang perempuan duduk menyelepok di tanah.
Pakaiannya rombeng dan kotor. Rambutnya yang panjang tergerai awutawutan. Dia
tak dapat melihat jelas wajah perempuan ini karena ditutupi dengan kedua
telapak tangannya. Yang lebih menarik perhatian lelaki ini ialah kenyataan
bahwa perempuan yang menangis itu berperut besar alias sedang hamil. Paling
tidak hamil enam bulan.
Tiba-tiba suara tangisan itu
berhenti. Perempuan itu berdiri dan mencabut sebilah pedang. Kini lelaki itu
dapat melihat wajah perempuan itu. Cantik. Debu kotor tidak dapat
menyembunyikan kecantikannya. Sepasang matanya tampak merah dan beringas
berputarputar. Mendadak dia menjerit keras. Pedang di tangannya disabatkan
kian kemari merambas pohon-pohon dan semak belukar disekelilingnya.
"Mampus! Mampuslah kau
Handaka! Mampus! Kau musti mampus!"
"Perempuan gila …"
desis lelaki itu mengintip. "Bunting dan gila. Kasihan, kenapa dia jadi
Begitu … ?" Sesaat kemudian dilihatnya perempuan itu lari ke arah pantai
sambil terus berteriak-teriak dan menyabatkan pedangnya kian kemari. Mula-mula
dikiranya perempuan itu hendak menceburkan diri ke dalam laut Tapi ternyata
terus lari sepanjang tepi pasir ke arah timur. Karena jurusan larinya perempuan
itu kebetulan sama dengan arah yang hendak ditujunya cepat-cepat dia kembali ke
kudanya dan membuntuti dari kejauhan.
Siapakah adanya penunggang
kuda yang bertubuh kekar dan berkumis melintang ini? Dia bukan lain adalah
Suramanik, bekas kepala pengawal Kadipaten Gombong yang terpaksa melepaskan
jabatannya secara menyakitkan hati gara-gara Dipasingara yaitu sebagaimana yang
telah dituturkan pada permulaan kisah.
Sejak meninggalkan Gombong
sejak itu pula tertanam dendam kesumat terhadap Dipasingara. Melakukan
pembalasan berarti harus memiliki ilmu yang lebih tangguh. Ini disadari
sepenuhnya oleh bekas kepala pengawal itu. Maka setelah hampir satu setengah
bulan berkelana kian kemari akhirnya dia dapat juga berguru pada seorang tokoh
silat tak terkenal di timur. Meski tak terkenal dalam dunia persilatan namun
ilmu yang dipelajari Suramanik dari orang tersebut cukup tinggi.
Setahun lebih menuntut
kepandaian maka Suramanik merasa sudah cukup dan minta diri pada gurunya guna
mencari Dipasingara. Ternyata pemuda itu tidak ada lagi di Kadipaten Gombong.
Peristiwa yang menimpa Adipati Kebo Panaran, yang diceritakan orang padanya
benar-benar mengejutkan Suramanik. Ternyata Dipasingara adalah pendekar bejat
terkutuk yang bergelar Hidung Belang Berkipas Sakti.
Dari keterangan-keterangan
yang dapat dikumpulkan oleh Suramanik akhirnya dia mengetahui bahwa musuhnya
itu tidak mempunyai tempat kediaman tertentu tetapi sering berada di sebuah goa
di teluk yang tenang di pantai selatan. Maka Suramanik segera menuju ke tempat
itu. Dalam perjalanan ke selatan inilah dia bertemu dengan perempuan gila yang
sedang hamil dan bukan lain adalah Wulandari.
Selagi membuntuti Wulandari
dari belakang, Suramanik melihat tiga buah titik hitam bergerak cepat di
samping bukit tandus sebelah kirinya. Makin lama tiga titik itu makin besar
tanda makin dekat dan menuju ke jurusannya. Ternyata tiga titik tadi adalah
tiga orang yang tengah berlari cepat. Kira-kira dua puluh tombak dari Suramanik
ketiga orang itu berpencar. Jelas bahwa ketiga orang tak dikenal itu sengaja
mengurungnya.
"Berhenti!" satu
bentakan mengumandang.
Suramanik tarik tali kekang
kuda. Dia tahu kalau tiga orang itu memiliki ilmu lari cepat berarti mereka
bukan orang sembarangan. Dari atas punggung kudanya diperhatikan ketiganya.
Yang pertama seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong. Yang kedua
seorang kakek-kakek dan yang terakhir seorang lelaki muda berwajah gagah tapi
pucat. Di atas punggung kudanya Suramanik menunggu dengan sikap waspada.
"Bukan dia …" kata
pemuda berambut gondrong.
"Ya, memang bukan
dia," menyahuti si kakek.
"Kalian bertiga siapa dan
ada keperluan apa menyuruhku berhenti?" bertanya Suramanik.
"Harap maafkan,"
menjawab pemuda bermuka agak pucat. Dia adalah Sanjaya. "Kami kira kau
adalah orang yang tengah kami cari. Dapatkah kau menerangkan apakah Teluk
Segara Anakan masih jauh dari sini?"
Suramanik memandang ke tiga
orang itu ganti berganti baru menjawab. "Kira-kira sepenanakan nasi lagi.
Akupun tengah menuju ke sana …."
Sanjaya berpaling pada dua
kawannya yaitu Wiro Sableng dan Jagat Kawung. Lalu bertanya pada Suramanik:
"Apakah kau tinggal di sana?"
Suramanik menggeleng.
"Seperti kalian akupun
tengah mencari seseorang."
"Mencari seseorang? Boleh
aku tanya siapa nama orang yang kau cari itu?" Yang bertanya adalah Jagat
Kawung.
Sesaat Suramanik merasa
bimbang. Namun akhirnya menjawab juga. "Orang itu memiliki beberapa nama.
Tak tahu mana yang asli. Diantaranya yang kuketahui ialah Dipasingara dan
Handaka…."
"Kalau begitu kita
mencari orang yang sama!" kata Sanjaya.
"Urusan apa sampai kau
mencari orang itu?" kembali Jagat Kawung ajukan pertanyaan.
"Bangsat itulah yang
menyebabkan aku kehilangan jabatan sebagai kepala pengawal di kadipaten Gombong
sekitar satu tahun silam. Kudapat keterangan dia melarikan istri Adipati Kebo
Panaran dan membunuh Adipati itu."
Jagat Kawung menghela nafas
panjang. Dia memandang ke laut dan berkata: "Mari kita cepat-cepat
meneruskan perjalanan."
"Tunggu dulu," kini
Suramanik yang menahan.
"Ada satu kejadian yang
perlu kuterangkan pada kalian. Mungkin ada gunanya. Ketika kalian hadang aku,
sebenarnya aku tengah membuntuti seorang perempuan muda berotak miring yang
lari ke jurusan sana …."
Dada Sanjaya sesak. Parasnya
berubah.
"Apakah… apakah perempuan
itu sedang hamil…?" tanya Sanjaya.
"Ya. Bagaimana kau bisa
tahu?" Suramanik agak heran.
"Pasti Wulandari,
pasti!" desis Sanjaya. Tanpa tunggu lebih lama dia segera berkelebat
meninggalkan tempat itu disusul oleh Jagat Kawung dan Wiro Sableng serta
Suramanik yang menunggangi kuda.
Berlari selama kira-kira
sepenanakan nasi sampailah ke empat orang itu ke tempat yang dituju yaitu Teluk
Segara Anakan. Suasana tampak tenang. Ombak bergulung-gulung dari tengah lautan
menuju pantai dan memecah teratur di pasir, di antara batu-batu karang yang
banyak bertebaran di sana-sini.
"Inilah Teluk Segara
Anakan. Dipasingara sering datang ke sebuah goa yang terdapat di sekitar sini
…." Suramanik berkata.
"Kita cari goa itu sekarang
juga," kala Sanjaya tidak sabaran.
"Tunggu dulu
sobat-sobatku…” ujar Wiro sambil mengangkat tangan kanannya. “Aku mendengar
suara lelaki tertawa mengekeh diseling suara jeritan-jeritan perempuan …"
Semua orang memandang pada
Wiro. Tak satu pun di antara mereka mendengar suarasuara yang dikatakan
Pendekar 212 itu. Ini merupakan satu pertanda bagaimana jauh lebih tajamnya
pendengaran murid Eyang Sinto Gendeng itu.
Semua orang memasang telinga.
Sesaat kemudian Jagat Kawung berkata. "Betul … suara itu. Aku kenal benar.
Yang tertawa adalah si keparat murtad. Datangnya dari balik gundukan batu
karang besar di sebelah sana! Mari!"
Keempat orang itu dengan cepat
segera menuju ke jurusan batu karang yang menjulang di sebelah barat Teluk.
Semakin dekat ke sana semakin jelas terdengar suara tawa mengekeh serta jeritan
perempuan. "Mampus! Mampuslah kau Handaka!"
Begitu sampai di balik batu
karang, keempat manusia itu disambut oleh satu pemandangan luar biasa. Seorang
perempuan berambut panjang tergerai acak-acakan dan berperut besar hamil dengan
pedang di tangan menempur membabi buta seorang lelaki muda. Yang perempuan
ternyata adalah Wulandari, tunangan Sanjaya, sedang yang lelaki bukan lain
Warangas alias Dipasingara alias Handaka alias Prana dan banyak alias-alias
lainnya.
Perkelahian terjadi di depan
sebuah goa. Di mulut goa tegak seorang gadis berkulit hitam manis dalam keadaan
tubuh setengah telanjang, ikut menyaksikan jalannya pertempuran dengan tegang.
Perempuan hitam manis ini adalah Sri Wening, anak gadis pak Tanu yang telah
diculik dan disekap Warangas di goa itu sejak seminggu lalu. Ketika Wulandari
sampai ke goa itu Warangas tengah menggeluti tubuh Sri Wening.
Meskipun otaknya miring namun
serangan pedang Wulandari bukan serangan sembarangan dan amat berbahaya. Akan
tetapi Warangas menyambuti dengan ganda tertawa dan andalkan tangan kosong.
Sebentar-sebentar tangannya merobek pakaian lusuh dan kotor yang melekat di
tubuh Wulandari hingga lambat laun perempuan muda yang malang ini hampir berada
dalam keadaan telanjang. Perutnya yang buncit dan urat-urat membiru jelas
kelihatan.
Sanjaya tidak dapat menahan
luapan amarahnya lagi. Dihunusnya pedangnya lalu menghambur memasuki kalangan
pertempuran.
"Manusia dajal terkutuk!
Hari ini jangan harap kau bakal bisa lolos dari kematian!"
Warangas terkesiap kaget
melihat kemunculan Sanjaya yang tidak dikenalnya itu. Lebih kaget lagi ketika
di seberang sana dilihatnya pula Suramanik, Jagat Kawung dan Wiro Sableng.
Wulandari yang tengah mengamuk
dengan pedang di tangan ketika melihat Sanjaya menjerit keras dan lari ke balik
gundukan batu karang rendah. Di situ dia menangis dan berteriak-teriak tak
karuan.
Karena tidak merasa punya
silang sengketa dengan Sanjaya heranlah Warangas ketika Sanjaya menyerbunya
dengan serangan-serangan gencar.
Dia tak punya kesempatan untuk
tanya ini itu dan terpaksa harus kerahkan kepandaian untuk menghindari
sambaran-sambaran pedang lawan. Dalam pada itu dilihatnya Suramanik telah turun
dari kudanya dan langsung masuk ke kalangan pertempuran dengan sebilah golok
besar di tangan.
"Suramanik! Biar aku
sendiri yang akan mencincang rnanusia terkutuk ini!" teriak Sanjaya. Dia
ingin melampiaskan dendam kesumatnya seorang diri.
"Aku juga punya hak untuk
membelah batok kepalanya, Sanjaya!" tukas Suramanik.
"Akulah yang paling
berhak untuk mematahkan batang lehernya!" yang berteriak kali ini adalah
si kakek Jagat Kawung dan serentak dengan itu dia menyerbu dengan tangan
kosong, menghantamkan pukulan Baja Merah!
Mendapat tiga serangan yang
hebat luar biasa ini Warangas menyingkir satu tombak ke samping lalu melompat
tinggi ke udara. Ketika masih mengapung di atas, pemuda hidung belang ini cepat
keluarkan senjatanya yang amat diandalkan yakni Kipas Pemusnah Raga.
"Lekas menyingkir!"
seru Wiro Sableng ketika dilihatnya kipas hitam di tangan Warangas terkembang.
Wiro yang berada sekitar enam belas langkah dari kalangan pertempuran segera
lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung untuk menangkis sinar hitam kipas
sakti dan guna memberi kesempatan pada Jagat Kawung, Suramanik serta Sanjaya
menyingkir.
"Jika kalian bertiga
bertengkar untuk saling dapat membantai manusia bejat ini, biar aku saja yang
mewakili kalian semua! Bagaimanapun mengeroyok adalah tindakan yang tidak
terpuji!" kata Wiro sarnbil bersiap dengan pukulan berikutnya.
"Bagi manusia puntung
neraka macam dia tak perlu memakai segala tata cara persilatan. Yang penting
dia musti mampus!" teriak Sanjaya. Lalu pemuda ini melornpat ke udara
seraya kiblatkan pedangnya.
Sinar hitarn menggebu-gebu
mernaksa Sanjaya menyingkir jauh-jauh. Dari samping kiri kembali Jagat Kawung
mengirimkan pukulan Baja Merah sedang Suramanik begitu dilihatnya lawan
menjejakkan kaki di tanah cepat-cepat menyerbu dengan golok besarnya.
"Bangsat pengeroyok!
Mampuslah semua!" teriak Warangas marah dan kalap melihat serangan yang
datang tiada henti. Kipasnya dikembangkan lebih lebar lalu diputar dalam bentuk
lingkaran. Sinar hitam menderu ke seluruh penjuru, menyapu dahsyat laksana
topan prahara.
Di mulut goa terdengar jeritan
Sri Wening ketika sinar hitam itu menyambarnya, membantingkan tubuhnya yang
hangus tak bernyawa lagi ke dinding goa!
Wiro leletkan lidah. Ketika
sinar hitarn itu berkelebat ke arahnya murid Sinto Gendeng ini menangkis dengan
pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung sedang tangan kanannya melancarkan pukulan
Sinar Matahari.
Warangas merasakan tubuhnya
laksana disambar angin puting beliung. Sinar hitam yang menggebu dari kipas
saktinya musnah. Sebelum dia sempat mengimbangi diri dan membetulkan kuda-kuda
kedua kakinya, pukulan Sinar Matahari telah menyambar kipas saktinya hingga
senjata itu hancur berantakan!
Paras Warangas sepucat kain
kafan. Tengkuknya sedingin salju. Tanpa senjata di tangan menghadapi empat
lawan berkepandaian tinggi seperti itu membuat nyalinya meleleh. Maut telah di
ambang pintu!
Tanpa tunggu lebih lama
Warangas melompat tidak menduga kalau di balik batukarang itu justru ada
Wulandari. Sebelum dia sempat bergerak untuk terus melarikan diri mendadak
dirasakannya sambaran angin. Seolah-olah bumi yang dipijaknya roboh begitulah
tubuh Warangas terbanting ke pasir ketika kedua kakinya sebatas betis buntung
disambar pedang Wulandari.
Pemuda hidung belang itu
menjerit setinggi langit. Tubuhnya terguling ke bawah. Dia rnenjerit lagi
ketika dari kiri kanan Suramanik dan Sanjaya bersirebut cepat menghantarnkan
golok dan pedang masing-masing ke tubuhnya! Pedang di tangan Sanjaya membabat
robek dada Warangas sedang golok di tangan Suramanik membabat putus lengan
kirinya sampai ke bahu!
"Cukup! Sekarang
giliranku orang-orang muda!" Terdengar suara Jagat Kawung. Tubuhnya
berkelebat cepat. Tangannya menjambak rambut Warangas. Namun sebelum dia sempat
memuntir kepala muridnya yang murtad itu, satu sinar putih menderu dari samping
dan cras! Kepala Warangas terpisah dari badannya. Lehernya putus dibabat pedang
Wulandari. Darah rnenyernbur. Wulandari menjerit histeris dan lari ke arah
laut.
"Aku terlambat … aku
terlambat …" desis Jagat Kawung menyesali diri. Sekali dia meremas maka hancurlah
kepala Warangas!
Ketika melihat Wulandari lari
ke arah laut, Sanjaya cepat mengejar. Dia tahu apa yang bakal dilakukan, bekas
tunangannya itu dan segera menyergapnya.
"Lepaskan aku! Lepaskan!
Biar aku terjun ke dalam laut!" teriak Wulandari.
"Tenang Wulan. Sadarlah!
Kenapa kau mau mati dengan cara sesat bunuh diri?"
"Aku memang sudah sesat!
Lepaskan!" teriak Wulandari. Dia coba meronta melepaskan diri tapi tak
bisa. Tiba-tiba dia ingat pada pedang berdarah yang masih tergenggam di
tangannya. Secepat kilat senjata itu ditusukkan ke dadanya.
"Wulan! Jangan!"
jerit Sanjaya. Tapi terlambat. Pedang masuk jauh ke dada Wulandari. Tubuh
perempuan itu terkulai dalam pelukan Sanjaya.
"Wulan, kenapa kau
lakukan ini. Aku … aku masih mencintaimu. Kenapa kau tinggalkan aku
Wulan…?" Suara Sanjaya serak menahan tangis. Air matanya membersit dan
dadanya sesak.
Di saat kematian mendatang itu
jalan pikiran Wulandari tampaknya kembali normal. "Semuanya telah kasip
kakak. Diriku terlalu kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni dosaku
kakak. Aku telah mengkhianati janji walau sebenarnya akupun tetap mencintaimu
…."
"Wulan adikku … !"
Kepala Wulandari terkulai.
Wulandari hanya tinggal jasad kasar belaka kini. Jasad kasar yang ditancapi
pedang dan dilumuri darah. Angin dari luar bertiup lembut dan sejuk. Ombak
putih bergulung teratur dan memecah di depan kaki Sanjaya. Butir-butir air mata
berlelehan di pipi pemuda ini. Dia berlutut membaringkan tubuh Wulandari di
pasir pantai, memeluk dan menangisinya. Dia tak tahu entah berapa lama dia
berada dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya satu tangan memegang bahunya.
"Sobatku Sanjaya, Tuhan
menghendaki segala sesuatunya berakhir sampai di sini, dalam cara begini rupa.
Tabahkan hatimu, kuatkan iman. Akan lebih baik jika kita mulai menggali tempat
peristirahatan terakhir baik Wulandari …."
Sanjaya hanya menjawab dengan
anggukan. Diangkatnya jenazah tunangannya itu. Diikuti oleh Wiro, Suramanik dan
Jagat Kawung dia mendukung tubuh Wulandari ke bagian yang landai di bawah
naungan batu karang. Di situ mereka mulai menggali kubur.
Bila sang surya menggelincir
ke barat maka di pantai Teluk Segara Anakan kelihatan sebuah kubur. Empat orang
lelaki berdiri di sekeliling kuburan itu. Tapi tanpa diketahui oleh tiga orang
lainnya, salah seorang dari mereka yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng tahu-tahu
sudah berkelebat lenyap dari tempat itu.
– << TAMAT >> –