-------------------------------
----------------------------
028 Petaka Gundik Jelita
1
Hutan kecil itu terletak di
teluk yang sangat sepi. Hanya deburan ombak terdengar menderu di pasir
sepanjang siang dan malam hari. Ombak yang begitu ganas membuat teluk itu
hampir tak pernah didatangi manusia termasuk nelayan pencari ikan. Tersembunyi
di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar terdapat sebuah pondok kayu
beratap ijuk. Bangunan ini cukup besar, memiliki dua kamar serta langkan lebar.
Dua orang tampak duduk di langkan, berhadap-hadapan satu sama lain. Untuk beberapa
saat lamanya tak satupun dari mereka membuka mulut bersuara.
Duduk di sebelah kanan di
dekat pintu adalah seorang tua berambut sangat putih, berkulit hitam,
mengenakan pakaian berupa selempang kain kuning muda. Parasnya yang keriput
dimakan usia tampak tenang walau benak dan lubuk hatinya disamaki berbagai
pikiran dan perasaan. Di hadapannya duduk bersila seorang pemuda berpakaian
putih, berbadan langsing dan berkulit puith halus. Rambutnya yang hitam agak
tersuruk oleh ikat kepala putih. Meskipun dia berpakaian cara lakilaki, namun
keelokan paras dan kehalusan kulitnya tak dapat menyembunyikan bahwa sebenarnya
pemuda ini adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun.
“Empu, kau tadi hendak
membicarakan sesuatu. Tapi sejak tadi kau hanya berdiam diri….” Terdengar suara
gadis elok paras.
“Terus terang sebelumnya
percakapan ini sudah kupersiapkan. Namun pada waktu tiba saatnya terasa
tenggorokanku menjadi kering dan lidah seperti kelu,” kata orang tua yang
dipanggil dengan sebutan Empu. “Nawang Suri, ketahuilah, sejak kita tersingkir
dari Kotaraja lama, sejak orang tuamu terbunuh, sejak sanak saudara handai
taulan dan semua pejabat pengasuh dimusnahkan, sejak itu pula aku hampir-hampir
hilang rasa percaya diri…..”
“Tapi Empu!” sang dara bernama
Nawang Suri cepat memotongnya. “Selama ini justru empu selalu menanamkan
semangat percaya diri padaku. Selalu mengobarkan api keberanian dan tekad bulat
bahwa suatu ketika semua yang musnah itu akan kita dapatkan kembali. Adalah
aneh kalau sekarang empu bicara lain….”
Si orang tua itu batuk-batuk
beberapa kali lalu mengaanggukkan kepalanya. “Aku sudah tua Nawang dan aku
bukan manusia yang dapat menyembunyikan kenyataan. Sikap dan semangatku hanya
akan sampai sejauh batas usiaku yang tinggal tidak berapa lama lagi. Sebaliknya
semangat dan tekadmu masih harus menempuh jalan jauh dan sulit. Karena itulah
aku selalu mengobarkannya dalam hati sanubarimu. Jalan yang akan kau tempuh
tidak mudah apalagi mengingat kau seorang gadis muda usia. Namun menyadari bahwa
kau sebenarnya adalah satu-satunya kekuatan yang tingal, yang memiliki hak
sebagai pewaris Kerajaan lama yang dimusnahkan oleh penguasa yang sekarang,
maka kau harus mempunyai keyakinan, keberanian serta tekad bulat. Bahwa apapun
yang terjadi kau harus mendapatkan kembali hakmu yakni tahta Kerajaan yang
hilang. Kau harus dan memang hakmu kelak untuk menjadi Ratu penguasa di delapan
penjuru angin tanah kelahiranmu ini. siapa yang telah memusnahkan orang tua dan
saudara-saudaramu harus ganti dimusnahkan. Tahta yang hilang harus kembali ke
tanganmu. Kau satu-satunya yang berhak muridku. Seperti kukatakan tadi, jalan
untuk mencapai itu tidak mudah. Musuh begitu kuat dan besar. Namun dengan bekal
kepandaian yang kau miliki aku yakin kau akan berhasil mendapatkan tahta yang
hilang itu. Aku berdoa pada Dewa semoga pada saat kau dinobatkan menjadi Ratu,
aku yang tua ini masih diberikan umur panjang untuk menyaksikannya. Hanya satu
hal yang harus kau ingat Nawang. Ilmu kepandaian yang betapapun tingginya tidak
ada manfaatnya bilamana tidak disertai akal pikiran dan kecerdikan. Lakukan
rencana yang telah kita susun dengan sebaik-baiknya. Jika kau nanti
meninggalkan teluk ini bersikaplah selalu hati-hati. Aku tahu pasti mata-mata
penguasa berkeliaran di mana-mana. Sebelum kita berdua mereka temukan dan
tumpas, mereka tidak merasa aman. Hindari jalan-jalan umum. Jangan pernah
bicara dengan siapapun. Masuklah ke Kuto Gede pada malam hari. Ingat,
satu-satunya yang harus kau cari dan temui adalah Gama Manyar seorang ahli
ukir-ukiran perak. Sepertiku dia sebenarnya juga seorang empu. Nama sebenarnya
Empu Soka Panaran….”
Lama Nawang Suri terdiam
sebelum akhirnya berkata “Semua pesan dan petunjuk empu akan aku ikuti. Kalau
murid boleh bertanya kapan aku harus berangkat ke Kuto Gede?”
“Malam ini!” jawab Empu Andiko
Pamesworo.
“Malam ini? Begitu cepat?”
tanya Nawang Suri hampir tak percaya.
“Pekerjaan yang harus kita
lakukan memang jenis pekerjaan gerak cepat. Berlama-lama berarti hanya memberi
kesempatan pada penguasa untuk lebih leluasa menyusun kekuatan!”
“Jika begitu kata empu, aku
akan melakukannya.” Jawab Nawang Suri dengan hati bulat. “Kalau bertemu dengan
Empu Soka Panaran, apa yang murid harus katakan padanya?”
“Kau tak perlu bicara atau
mengatakan apa-apa. Dia sudah maklum arti kedatanganmu. Ingat baik-baik Nawang.
Selalu bersikap hati-hati. Jangan bicara dengan sipapun. Usahakan untuk tidak
bertemu dengan siapapun sebelum mencapai Kuto Gede. Juga jangan percaya pada
siapapun!”
“Saya akan ingat hal itu
baik-baik, empu saya minta diri untuk mempersiapkan segala sesuatu….”
“Tunggu dulu Nawang,” ujar
Empu Andiko Pamesworo. Dari balik selempang pakaian putihnya orang tua ini
mengeluarkan sebilah keris berhulu dan bersarung emas. Senjata ini memancarkan
sinar kuning yag angker. Empu Andiko mencium keris itu tiga kali
berturut-turut. Lalu meletakkannya di atas pangkuannya.
“Ini adalah Mustiko Geni,
pusaka tunggal Kerajaan semasa ayahmu memerintah. Siapa yang memilikinya dialah
yang berhak akan tahta kerajaan. Ini bukan senjata biasa Nawang. Keris ini
memiliki keampuhan luar biasa karena sakti. Bila kau cabut daari sarungnya akan
terpancar sinar merah dan hawa sepanas api akan membersit. Jarang lawan yang
sanggup menghadapinya. Karenanya kau hanya boleh mempergunakan bilamana dalam
keadaan terdesak sekali….”
Kagum Nawang Suri mendengar
keterangan sang empu. Matanya tak berkedip memandang senjata yang ada di atas
pangkuan itu.
“Ambillah Nawang….” Kata Empu
Andiko.
“Keris…..Mustiko Geni itu
untuk saya empu?” tanya Nawang Suri hampir tak percaya.
Aku tidak memberikannya padamu
Nawang. Keris ini adalah milikmu sebagai pewaris tunggal Kerarjaan. Selama ini
aku hanya tolong menyimpan…..”
Dengan dua tangan gemetar
Nawang Suri mengambil senjata itu dari atas pangkuan sang empu. Aneh. Mustiko
Geni ternyata enteng sekali. Pada saat dara memegang keris sakti tersebut,
detik itu pula Empu Andiko Pamesworo menjatuhkan diri bersimpuh.
Nawang Suri tersentak kaget.
“Empu, mengapa kau
menyembahku?!” tanya sang dara.
Si orang tua tersenyum.
“Karena kaulah pewaris tunggal Kerajaan yang syah. Karena kau adalah Ratuku
kepada siapa aku berakti!”
Nawang Suri menggigit bibirnya
lalu berkata perlahan “Seperti katamu empu. Perjalanan masih jauh. Belum
saatnya siapapun menyembahku. Aku saat ini hanya manusia biasa, tak lebih
seperti engkau sendiri….”
Ketika Empu Andiko Pamesworo
mengangkat wajahnya tampaklah air mata telah membasahi pipinya yang cekung.
“Muridku, sifat dan tutur bicaramu sangat menyerupai Sri Baginda, mendiang
ayahmu…..”
Kapak Maut Naga Geni 212DUA
Hanya beberapa saat saja
setelah Nawang Suri meninggalkan pondok di teluk, dalam kegelapan malam, di
bawah udara dingin mengandung garam di bawah deru ombak yang berdebur di atas
pasir, tiga sosok tampak berkelebat cepat laksana bayang-bayang. Tiga sosok
tubuh ini bergerak menuju pondok. Salah seorang mengintip lewat celah dinding,
dua lainnya berjaga-jaga. Yang mengintip kemudian kembali menemui dua kawannya.
“Di kamar yang ada lampu
menyala kulihat empu itu. Seroang diri. Kita berhasil mencapai tujuan. Tapi
orang yang kita cari mungkin tak ada di sini!”
“Sebelum pondok itu digeledah
mana mungkin kita tahu dia ada di dalam atau tidak!” menyahuti kawannya.
Agaknya dia yang menjadi pimpinan dari tiga manusia dalam gelap itu.
“Kita akan menyelidik sekarang
atau menunggu sampai pagi?” bertanya orang ketiga.
“Jangan tolol!” desis sang
pemimpin. “Apa yang bisa dilakukan malam ini haus dilakukan sekarang juga!”
Lalu dia memberi isyarat. Lelaki pertama berkelebat ke arah pintu belakang
pondok. Orang kedua laksana seekor burung alap-alap tanpa menimbulkan suara
sedikitpun melesat ke atas atap pondok yang terbuat dari tumpukan ijuk tetbal.
Yang berlaku sebagai pemimpin melangkah mendekati pintu depan. Siapapun
manusianya yang ada di dalam pondok itu jelas tak akan mungkin lolos atau
keluar tanpa diketahui.
“Andiko Pamesworo!” si
pemimpin berseru. Suaranya keras meskipun hampir larut oleh suara deburan ombak
di teluk. “Kami orang-orang Kerajaan berada di sini. Lekas keluar bersama
muridmu!”
Lampu di dalam pondok serta
merta padam. Kegelapan semakin mencekam tempat itu.
“Orang-orang Kerajaan!”
terdengar suara Empu Andiko Pamesworo dari dalam bangunan kayu “Lima tahun
berlalu. Akhirnya kalian datang juga. Aku memang sudah bosan menunggu. Tiga
orang tamu yang datang bersama angin dan kegelapan malam, silahkan masuk….”
Tiga orang yang mengaku
orang-orang Kerajaan itu diam-diam menjadi kaget. Masih berada di dalam pondok
yang gelap, bagaimana sang empu mengetahui kalau mereka berjumlah tiga orang!
Lelaki di atas atap tampak
mengangkat tangan, siap untuk menghantam. Kawannya yang tegak di pintu depan
memberi isyarat agar tidak bertindak kesusu. Lalu dia berseru “Empu tua! Jangan
kau berani berlaku tidak sopan terhadap kami! Mempersilahkan masuk tapi semua
pintu tak ada yang dibuka! Menyuruh masuk tapi rumah dalam gelap gulita!”
“Ha….ha….ha….!” Terdengar Empu
Andiko Pamesworo tertawa. “Menuduh aku si tua bangka berlaku tidak sopan. Lalu
apakah kalian bertiga punya sopan santun? Mendatangi tumah orang di tengah
malam buta sambil berteriak-teriak! Satu menghadang di pintu belakang, satu
lagi memanjat di atas atap. Lainnya menunggu di pintu depan! Tuan rumah mana
yang suka berbasa-basi dengan kalian?!”
Marahlah ketiga tamu dalam
gelap itu. Yang di pintu depan membentak.
“Masih untung kami datang dan
berteriak memberitahumu! Seharusnya pondok butut ini kami bakar dulu baru
bicara! Atau kau bersikap sombong karena belum tahu siapa kamu bertiga….?”
Tak ada jawaban dari dalam.
Empu Andiko tahu kalau yang datang ada tiga orang tapi mungkin tidak tahu
siapa-siapa ketiganya.
“Aku Buto Celeng dan dua
saudaraku Luwak Celeng serta Gagak Celeng! Kami datang untuk menangkapmu dan
muridmu!”
Dengan memberi tahu siapa
mereka si pemimpin yakni Buto Celeng mengira akan membuat sang empu menjadi
takut lantas keluar tunjukkan diri. Tapi dari dalam justru terdengar suara
ejekan menghina.
“Ah, tiga ekor celeng rupanya!
Kasihan, malam-malam buta begini kalian tersesat sampai ke teluk! Kalau begitu
tunggulah sampai pagi. Kalau hari sudah terang tentulah kalian tahu jalan
pulang!”
“Tua bangka kurang ajar!” Buto
Celeng marah sekali. “Diberi kesempatan jelas-jelas minta mati!” Dia lalu
memberi isyarat pada Gagak Celeng yang ada di atas atap. Sesaat kemudian nampak
api berkobar di atap yang terbuat dari ijuk itu. dalam waktu singkat kobaran
api melahap seluruh atap terus merambat ke dinding kayu. Ketika seluruh
bangunan telah dimakan api, lalu rubuh tinggal puing-puing hitam saja, tiga
orang itu melangkah mengitari reruntuhan pondok. Mereka tidak menemukan Empu
Andiko Pamesworo ataupun tulang belulangnya di antara reruntuhan. Selagi mereka
mencari-cari dari sebelah kiri terdengar suara menegur.
“Aku di sini! Mengapa mencari
di situ….?!”
Kagetlah Buto Celeng dan dua saudaranya.
Bagaimana mungkin sang empu menyelinap keluar dari dalam pondok yang dilalap
api tanpa mereka lihat atau ketahui?!
“Empu Andiko!” bentak Buto
Celeng. “Umurmu tidak lama! Lekas katakan di mana anak itu kau sembunyikan!”
“Siapa menyembunyikan siapa?!”
“Keparat! Siapa lagi kalau
bukan muridmu bernama Nawang Suri itu yang kami cari!” hardik Gagak Celeng.
Dialah tadi yang membakar pondok kediaman sang empu.
“Oh, muridku itu….” ujar sang
empu. “Aku akan memberitahu di mana dia berada kalau saat ini juga kalian bisa
menggantikan pondokku yang kalian bakar! Sanggup…..?!”
“Kau bicara ngacok!” membentak
Luwak Celeng. “Kau akan mendapat pondok baru di akhirat!”
Empu Andiko tertawa. “Kalian
tidak akan menemukan Nawang Suri di sini. Dia sudah lama pergi…..”
“Pendusta!” bentak Buto
Celeng.
“Lekas beritahu di mana gadis
itu berada!” menghardik Gagak Celeng.
“Sudah kukatakan dia tak ada
di sini.”
“Kalau begitu terpaksa kami
membunuhmu saat ini juga!” mengancam Buto Celeng.
Si orang tua itu tidak takut akan
ancaman itu menjawab sambil tersenyum. “Seharusnya kalian para perampas tahta
Kerajaan sudah membunuhku empat tahun silam! Malam ini kalian akan menyesal
tidak melakukan hal itu!”
“Adik-adikku!” seru Buto
Celeng. “Tua bangka ini memang tak layak dibiarkan hidup lebih lama!” begitu
selesai bicara Buto Celeng meelsat ke depan diikuti oleh dua saudaranya. Dalam
gelap malam dan udara dingin pecahlah perkelahian di tempat itu.
Buto Celeng dan dua adiknya
adalah tokoh-tokoh silat istana tingkat ketiga. Seperti diketahui tidak mudah
menjadi tokoh silat di kalangan Kerajaan. Karenanya walaupun cuma berada di
tingkat tiga deretan hulubalang terpercaya namun tingkat kepandaian tersebut
tidak sembarangan orang bisa mendapatkannya. Dengan kata lain ilmu silat yang
dimiliki tiga bersaudara Celeng itu berada pada tingkat tinggi. Apalagi mereka
berjumlah tiga orang. Maka arus serangan mereka dalam gebrakan pertama sudah
berarti kematian bagi Empu Andiko Pamesworo. Tak dapat tidak orang tua yang
malang ini akan menemui ajal dengan kepala pecah atau dada remuk atau perut
jebol!
Akan tetapi betapa terkejutnya
ketiga tokoh silat Istana tersebut ketika dengan gerakan tenang tapi gesit.
Laksana hembusan asap tubuh sang empu meliuk dan berhasil mengelakkan tiga
serangan maut mereka!
“Bagus! Keluarkan seluruh
kepandaianmu agar tidak mampus penasaran!” teriak Gagak Celeng coba menutupi
rasa kagetnya. Lalu seperti seekor burung tubuhnya melesat ke atas. Tangan dan
kaki menyebar serangan susul menyusul.
Kembali dengan satu gerakan
tenang dan gesit Empu Andiko berkelebat ke samping. Tubuhnya miring ke kiri dan
kaki kanannya tiba-tiba sekali menendang ke arah pinggang Gagak Celeng. Kalau
saja dari kiri kanan tidak datang Buto Celeng dan Luwak Celeng menyerbu dan
memaksa sang empu tarik kakinya yang menendang sambil mundur, maka sudah dapat
dipastikan pinggang Gagak Celeng akan termakan tendangan.
“Bangsat tua ini ternyata
boleh juga!” berbisik Luwak pada Buto.
“Kita harus mengurung dan
menggempurnya habis-habisan. Lama-lama masakan tenaganya tidak melorot. Kita
harus memaksanya bergerak cepat terus menerus hingga kehabisan tenaga!”
Ucapan Buto Celeng itu
diterima dua saudaranya. Ketiganya kembali menyerang. Kali ini dengan lebih
gencar. Angin pukulan dan tendangan menderuderu menggempur Empu Andiko. Dengan
mengandalkan jurus-jurus bertahan yang ampuh sampai delapan jurus di muka orang
tua itu berhasil membendung serangan tiga pengeroyok. Namun hal ini membuat dia
tidak berkesempatan melakukan serangan balasan. Agaknya tiga tokoh silat istana
itu mulai mengetahui di mana letak kelemahan jurus-jurus silat si orang tua.
Dalam keadaan kepepet Empu Andiko tibatiba keluarkan suara pekik seperti
seruling melengking, membuat tiga lawan sesaat tercekat. Sebelum ketiganya
pulih dari pengaruh pekikan aneh itu Empu Andiko Pamesworo berhasil menghantam
dada Luwak Celeng dengan jotosan tangan kiri yang amat keras.
Luwak Celeng terpelanting
empat langkah, jatuh terduduk di tanah. Mulutnya terasa panas dan asin. Ketika
meludah, yang jatuh ke tanah adalah cairan darah! Menahan sakit dengan kalap
Luwak Celeng bangkit berdiri dan di tangan kanannya kini tergenggam sebilah
pedang bermata dua. Tampaknya senjata ini bukan senjata biasa karena dalam
gelap memancarkan sinat keputihan.
Wutt!
Pedang di tangan Luwak Celeng
menyambar.
Wutt!
Wutt!
Ternyata ada dua pedang lagi
yang datang menyambar susul menyusul. Empu Andiko melompat selamatkan diri dari
sambaran tiga senjata itu. Di hadapannya, tiga bersaudara Celeng tegak memegang
pedang berbentuk sama dengan tampang bengis.
“Kalian orang-orang Kerajaan
ternyata tikus-tikus pengecut!” ujar Empu Andiko. Diam-diam dia menekan rasa
kawatirnya. Sambaran angin tiga pedang tadi membuat dia maklum bahwa tiga
senjata musuh itu akan menimbulkan kesulitan
baginya. “Pengecut! Mengeroyok
dan andalkan senjata!”
“Kalau kau punya senjata
keluarkanlah!” hardik Luwak Celeng.
“Senjataku ini!” Empu Andiko.
Dia melompat ke kiri. Sesaat kemudian di tangannya sudah terpegang sepotong
balok puing bangunan rumahnya yag terbakar. Ujung balok itu masih merah
membara. “Manusia-manusia pengecut! Ayo maju! Kalian tunggu apa lagi!”
Buto Celeng meludah ke tanah.
Luwak berteriak garang. Gagak sudah mendahului menyerbu. Justru dia disambut
dengan sodokan ujung balok membara. Ketika pedangnya dipakai untuk menghantam
balok itu, puing-puing berapi muncrat bertebaran, menghantam muka dan
pakaiannya. Gagak Celeng berteriak kesakitan lalu mengamuk marah. Dua
saudaranya ikut berteriak berang. Tiga pedang kembali berserabutan dalam gelapnya
malam. Serangan tiga pengeroyok itu mengarah bagianbagian yang sulit hingga
Empu Andiko menjadi sibuk. Setelah empat jurus lagi berlalu orang tua ini
menyadari bahwa tenaganya mulai terkuras. Gerakannya yang semula tenang tetapi
gesit kini tampak lamban. Dua sambaran pedang berhasil merobek pakaian
putihnya.
“Ha….ha! Sebentar lagi kulit
dan dagingmu yang akan kami robek-robek!” teriak Luwak Celeng. Dari mulutnya
semakin banyak darah mengucur. Sebenarnya saat itu rasa sakit di dadanya hampir
tak tertahankan lagi. Tapi kobaran api dendam dan kemarahan membuat dia berubah
seperti setan dan mengamuk habis-habisan.
“Empu Andiko!” berseru Buto
Celeng. “Jika kau mau memberitahu di mana Nawang Suri berada, kami bertiga akan
mengampuni nyawamu!”
Sang Empu menyeringai. Dia
tahu betul sifat culas orang-orang Kerajaan itu. tak bisa dipercaya. Dia tak
akan memberitahu apapun yang terjadi. Diberitahu atau tidak dia yakin ajalnya
akan sampai juga malam itu.
“Siapa sudi minta ampun pada
kaki tangan penumpas biadab!” Empu Andiko balas berteriak.
“Kalau begitu benar-benar kau
memilih mati!”
“Aku tidak takut mati. Tapi
paling tidak satu di antara kalian harus menyertaiku ke liang kubur!” teriak
Empu Andiko lagi. Balok di tangannya berputar aneh. Menghantam ke arah punggung
Luwak Celeng. Orang yang diamuk kamarahan itu seperti tidak menyadari bahaya
yang mengancamnya. Ketika Gagak memperingatkan, dia membuat gerakan yang salah
yaitu merunduk. Akibatnya balok berapi menghantam batang lehernya.
Terdengar dua kali suara kraak
dalam waktu hampir bersamaan. Kraak yang pertama adalah suara patahnya ujung
balok sedang kraak yang kedua suara patahnya batang leher Luwak Celeng!
Berhasilnya dia membunuh
seorang lawan ternyata harus dibayar mahal oleh Empu Andiko, yakni dengan nyawanya
sendiri. Baru saja dia membalikkan badan untuk mengahadapi dua lawan yang
datang menyerang, dua ujung pedang tahu-tahu sudah diarahkan kepadanya. Satu
menempel tepat di batang tenggorokan, satu lagi dipertengahan dada.
“Kami masih bersedia mengampunimu!”
kata Buto Celeng menyeringai.
“Ya!” ujar Gagak. “Lekas
katakan di mana Nawang Suri berada!”
“Tanyakan nanti pada mayatku!”
jawab Empu Andiko tenang dan dingin.
“Kalau begitu nyawamu memang
tidak tertolong lagi!” kertak Buto Celeng. Ujung pedang yang dipegangnya
ditusukkan kuat-kuat menembus tenggorokan. Di saat yang sama Gagak Celeng
hujamkan ujung senjatanya ke dada si orang tua. Tubuh yang seperti disatai itu
tergelimpang rubuh begitu keduanya menarik pedang masingmasing.
“Kita harus bergerak cepat!”
kata Buto Celeng sambil membersihka senjatanya dari noda darah. “Besar dugaanku
Nawang Suri belum lama meninggalkan tempat ini.”
“Sementara kau pergilah dulu.
Bagaimanapun ktia tak bisa meninggalkan mayat Luwak seperti ini…..” ujat Gagak
Celeng.
“Aku tahu. Tapi kita tak
banyak waktu. Gadis itu harus diringkus secepatnya. Besok pagi kita suruh orang
mengambil jenazah Luwak.”
Gagak terpaksa menyetujui
ucapan saudaranya itu. Keduanya kemudian berkelebat menerobos hutan gelap.
Kapak Maut Naga Geni 212TIGA
“Hujan gila!” maki orang itu
dalam hati seraya mempercepat larinya dalam kegelapan. Meski rimba belantara
itu cukup lebat namun tidak mampu membendung curahan hujan yang begitu deras.
Sebentar saja sekujur tubuh dan pakaian orang itu sudah basah kuyup. Dia
membetulkan letak buntalan perbekalan di punggungnya sesaat, lalu lari kembali
ke jurusan barat laut. Sebentar-sebentar dia meraba kumis tibpis yang menghias
bibirnya. Dia merasa lega ketika akhirnya keluar dari hutan kini bebukitan
kecil yang merupakan bukit sawah membentang di hadapannya.
Udara terasa dingin, apalagi
dalam keadaan basah kuyup seperti itu. Sebelumnya tak pernah dia berlari sejauh
itu namun sedikitpun dia tak merasa letih. Dengan lincah dia berlari di atas
pematang-pematang sawah yang cukup untuk pemijakan kaki serta licin pula.
Meskipun tidak letih namun ketika melihat sebuah dangau di ujung persawahan,
orang ini akhirnya pergi duduk di sana. Dia tak perlu merasa cepat-cepat dalam
perjalanan itu. Bukankah dia tak akan memasuki Kuto Gede besok siang. Tapi
sesuai petunjuk dia akan menunggu sampai malam, baru memasuki kota kecil itu
bila dirasakannya sudah aman.
Setelah merasa cukup lama
duduk di dangau itu, orang tersebut melompat turun dan melanjutkan perjalanan.
Baru saja dia berlari beberapa langkah lapat-lapat didengarnya suara orang
berlari di kejauhan. Ada lebih dari satu orang yang berlari ke jurusannya dan
sangat cepat. Ketika berpaling benar saja. Di lihatnya dua orang lelaki berlari
mendatangi. Yang sebelah depan malah terdengar berseru.
“Kisanak! Berhenti dulu!”
Orang berkumis terus saja
berlari. Malah berusaha lebih cepat hingga kedua orang d belakangnya
tertinggal.
“Hai tunggu! Jangan takut!
Kami bukan begal! Kami hanya ingin bertanya!” Orang di sebelah belakang kembali
berteriak. Dia dan kawannya mempercepat lari masing-masing. Orang di sebelah
depan akhirnya berhenti. Tapi dia tegak membelakangi hingga ketika kedua orang
itu sampai, mereka terpaksa mengelilinginya lalu tegak berhadap-hadapan.
“Dengar, kami bukan begal atau
rampok. Kami hanya ingin bertanya. Kisanak muda ini dari mana dan hendak menuju
ke mana?”
Yang ditanya geleng-gelengkan
kepala dan goyang-goyangkan tangan.
“Ah, kenapa tak mau menjawab?”
Lelaki di sebelah kanan yang bukan lain adalah Buto Celeng bertanya. “Kami
ingin bertanya apakah kisanak melihat seseorang melintas daerah ini?”
Kembali yang ditanya goyangkan
tangan dan kepala. Dari mulutnya terdengar suara “A…aa….uu…..u….”
“Pemuda ini gagu!” tanya Gagak
Celeng pada saudaranya.
“Kelihatannya begitu,” ujar
Buto Celeng. “Jadi kau tidak melihat siapa-siapa lewat di sini?”
“Aa….aa….uuuuu….uuuuu”
“Sudahlah! Kau boleh pergi
sana!” kata Gagak Celeng.
Pemuda berkumis itu
manggut-manggut lalu berlari pergi.
“Kenapa kau suruh pergi dia?”
tanya Buto Celeng agak jengkel.
“Habis kita mau bikin apa?
Ditanyapun dia tak bisa menjawab!”
“Setahuku orang gagu sekaligus
tuli. Pemuda tadi kelihatannya seperti tidak tuli,” ujar Buto Celeng.
“Apa pentingnya tuli atau
tidak. Lagi pula seseorang bisa saja menderita gagu setelah dewasa….”
“Hemmm…..” Buto Celeng
usap-usap dagunya. “Aku menaruh curiga pada pemuda itu. Tidakkah kau lihat
kumisnya tipis tapi cukup lebat. Padahal dagunya polos dan kedua pipinya licin.
Kulitnya sehalus kulit perempuan. Lalu suaranya. Memang seperti orang gagu.
Namun seolah menyenbunyikan sesuatu….”
“Kau melantur saja. Ayo kita
lanjutkan perjalanan!” kata Gagak Celeng.
“Tidak!” sahut Buto tegas.
“Aku akan mengejar pemuda halus itu!” Lalu tanpa tunggu lebih lama dia melesat
mengejar pemuda di depan sana. Mau tak mau adiknya terpaksa mengikuti.
“Hai orang muda! Tunggu!”
panggil Buto Celeng sambil lari dan kerahkan seluruh tenaga serta kepandaian
mengejar. Tidak seperti tadi, kali ini meskipun sudah diteriaki beberapa kali,
pemuda berkumis terus saja tetap lari dan ternyata Buto dan Gagak Celeng cukup
menemui kesulitan untuk memperpendek jarak.
“Kau lihat sendiri!” kata Buto
pada adiknya. “Jika dia seorang pemuda jembel gelandangan biasa masakan bisa
lari secepat itu!”
“Kau betul! Kita kejar terus!”
membenarkan Gagak Celeng.
“Aku kelupaan membawa senjata
rahasia. Kau ada membekali diri?”
“Aku juga tidak. Tapi aku ada
membawa sebilah pisau pendek. Biar kuhantam dengan pisau ini!” Gagak Celeng
keluarkan sebilah pisau pendek dari pinggangnya dan siap melemparkan senjata
ini.
“Arahkan ke kaki kanannya atau
kirinya! Aku ingin menangkap monyet itu tanpa banyak cidera!” berkata Buto
Celeng.
Gagak Celeng gerakkan tangan
kanannya. Pisau pendek mencuat di udara, emmbelah kegelapan malam, melesat ke
arah kaki kanan pemuda yang berlari.
Seperti terpeleset tiba-tiba
pemuda di depan sana jatuh terguling. Tubuh dan pakaiannya yang basah kini
penuh dengan tanah dan lumpur sawah. Buntalannya mental entah kemana. Ketika
dia bangkit dengan cepat, satu telapak kai menekan keningnya dengan kuat.
“Aa…uu…aaa….aaaa”
“A-u….auuuuuu!” sentak Buto
Celeng. “Aku mau tahu apakah kau benarbenar gagu!” Lalu Buto keluarkan
pedangnya, langsung ditusukkan ke perut si pemuda. Namun setengah jengkal dari
perut tusukannya ditahan. Jika pemuda ini benar-benar gagu dia hanya akan
mengeluarkan suara a-u….a-u. Tapi jika dia hanya berpura-pura gagu maka niscaya
akan menjerit.
“Aaaaa…….uuuuu…….uuuuu…….aaaaa……uuuuu!”
Pemuda itu goyanggoyangkan kedua tangannya. Kedua kaki menghempas-hempas. Tapi
injakan kaki kanan Buto Celeng berat dan keras.
“Bangsat! Kau mungkin memang
gagu! Tapi perlihatkan dulu siapa dirimu sebenarnya!” Habis berkata begitu
tangan kiri Buto Celeng melesat ke bawah hidung si pemuda.
Sret!
Kumis tipis di bagian sisi
kiri bibir si pemuda terlepas tanggal!
“Apa kataku!” seru Buto Celeng
sementara Gagak melongo tak percaya!
“Sekarang coba kuperiksa
rambutmu!” kembali Buto Celeng keluarkan suara keras. Dan tangan kirinya
berkelebat ke arah kain putih penutup dan ikat kepala si pemuda. Sebelum
maksudnya kesampaian untuk menarik ikat kepala tak terduga tibatiba si pemuda
keluarkan bentakan keras. Tangan kanannya memukul ke samping.
Buto Celeng menjerit
kesakitan. Kaki kanannya seperti dihantam pentungan besi. Mungkin tulang
keringnya sudah remuk saat itu!
Kapak Maut Naga Geni 212EMPAT
“Jahanam keparat!” bentak
Gagak Celeng marah. “Kau apakan saudaraku!” Lalu diapun cabut pedang mata dua
dari pinggang, langsung membacok ke bawah. Bagian tajam pedang hanya menghantam
lumpur pematang sawah karena orang yang dibacok dengan gerakan luar biasa telah
lebih dulu melompat dan kini tegak dengan memasang kuda-kuda kukuh.
“Bangsat! Katakan siapa kau
sebenarnya!” hardik Buto celeng. Rahangnya bertonjolan sedang kedua pelipisnya
bergerak-gerak saking geramnya.
Pemuda yang ditanya tak
menjawab ataupun bergerak. Dia tetap tegak memasang kuda-kuda. Memperhatikan
kedudukan kuda-kuda si pemuda. Gagak Celeng berbisik pada saudaranya “Jelas
keparat ini memiliki kepandaian silat. Aku curiga jangan-jangan dia orang yang
kita cari-cari! Lihat saja muka dan kulitnya seperti perempuan. Kalau tidak
menyembunyikan sesuatu mengapa tadi dia memakai kumis palsu!”
“Akupun menduga demikian,”
balas berbisik Buto Celeng. “Biar kita lihat apa dia betul seorang pemuda, atau
perempuan, ataupun banci!”
Habis berkata begitu Buto
Celeng tusukkan pedang di tangan kanannya ke arah dada pemuda di hadapannya.
Gerakannya ini sebenarnya hanyalah tipuan belaka karena begitu lawan mengelak,
Buto Celeng ulurkan tangan kiri untuk menjambret kain putih penutup kepala si
pemuda!
Tubuh yang membuat gerakan
mengelak mendadak menendang ke depan sewaktu tangan kiri Buto Celeng menyambar.
Tokoh silat tingkat tiga istana ini tidak tinggal diam. Sadar gerakannya
menjambret tidak kesampaian maka kembali pedangnya beraksi. Senjata ini
membabat deras ke arah kaki yang menendang. Bersamaan dengan itu dari samping
kanan Gagak Celeng ikut menggempur dengan satu tusukan ke sisi kiri si pemuda.
Terjadilah hal yang luar
biasa. Tubuh si pemuda mendadak sontak seperti melejit ke udara. Dua hantaman
pedang menggempur tempat kosong. Begitu tubuhnya melayang tutun, si pemuda
sebar serangan berupa tendangan berantai, masing-masing mengarah batok kepala
Buto dan Gagak Celeng.
Meskipun tersentak kaget
melihat ilmu meringankan tubuh serta serangan lawan namun dua tokoh silat
istana itu masih dapat mengelak. Malah begitu lawan baru saja menginjakkan
kedua kaki di pematang sawah, mereka kembali menyerbu dengan sebat. Sambil
melancarkan serangan deras, Buto Celeng berbisik pada saudaranya. “Perhatikan
gerakan si pemuda itu Gagak. Banyak sekali persamaannya dengan ilmu Empu Andiko
Pamesworo! Aku curiga, bahkan hampir pasti pemuda ini adalah orang yang kita
cari!”
“Tadipun aku sudah menduga!”
menjawab Gagak Celeng. “Kita gempur terus. Jangan beri kesempatan! Desak dia
agar masuk ke dalam sawah berlumpur!”
“Aku punya akal lain. Kita
akan segera lihat apakah dia benar orang yang kita cari atau bukan!”
“Apa yang hendak kau lakukan?”
tanya Gagak Celeng pula.
Sambil terus bolang-balingkan
pedangnya menyerang lawan, Buto Celeng tiba-tiba berteriak.
“Anak muda muka pucat! Jangan
kira kami tidak tahu siapa kau adanya! Jika kau tak lekas menyerahkan diri
niscaya kau akan menyusul gurumu ke akhirat! Ketahuilah kami adalah utusan dari
istana! Sarang kediaman gurumu telah kami temui malam ini! dan Empu Andiko
Pamesworo sudah kami bunuh!”
Paras pemuda berpakaian penuh
lumpur itu mendadak tampak berubah. Dia membuat gerakan melompat mundur.
“Manusia keparat! Kau membunuh
Empu Andiko katamu……?!”
Buto Celeng tertawa bergelak.
“Lihat! Ternyata dia tidak
gagu!”
“Dan suaranya seperti suara
perempuan!” menyambung Gagak Celeng.
“Betul! Dia memang perempuan!
Dan dia pastilah Nawang Suri, puteri raja yang berusaha menyusun
pemberontakan!”
Si pemuda nampak tercekat.
Karena terkejut mendengar kata-kata Buto Celeng tadi, dia telah membuka suara
yang berarti membuka rahasia diri dan penyamarannya.
“Ha….ha! Kau tidak bisa lari
dari kami Nawang Suri! Kau hanya punya satu pilihan. Tertangkap hidup-hidup
atau menyusul gurumu!”
“Manusia-manusia durjana! Jika
kalian benar telah membunuh Empu, kalian akan rasakan pembalasanku saat ini
juga!”
Buto Celeng dan Gagak Celeng
sambut ucapan lawan dengan tawa bergelak lalu sama-sama menghamburkan serangan
pedang. Mereka membuat gerakan-gerakan menjepit karena masih bermaksud untuk
menangkap lawan hidup-hidup. Tetapi ketika lawan yang bertangan kosong itu
bertahan dan balas menyerang dengan nekad, mau tak mau keduanya tidak
memperhitungkan lagi apapun yang terjadi. Gerakan pedang mereka berubah menjadi
ganas hingga bagaimanapun hebat pertahanan si pemuda cepat atau lambat bahaya
maut pasti akan melandanya!
Pada jurus kesembilan belas
dalam satu gebrakan hebat Buto Celeng membabat ke arah kepala lawan. Di saat
yang sama satu tusukan deras datang dari depan, dilakukan oleh Gagak Celeng.
Lawan yang dikeroyok merunduk untuk elakkan tebasan Buto Celeng. Tapi karena
sekaligus dia harus melompat mundur untuk selamatkan perut dari tusukan Gagak
Celeng maka gerakan merunduknya agak terlambat.
Breet!
Kain putih penutup kepala
robek besar. Rambut hitam panjang yang tadi tergelung di bali kain itu tergerai
keluar. Kini si pemuda tak dapat lagi menyembunyikan bahwa dirinya sebenarnya
adalah seorang gadis remaja. Dan dia bukan lain memang Nawang Suri!
“Ha….ha! Kedokmu benar-benar
sudah terbuka Nawang Suri!” seru Buto Celeng. Pegangannya pada hulu pedang
semakin diperketat. Serangannya dan serangan adiknya bertambah ganas.
Dalam kegelapan malam di
tempat terbuka di pesawahan itu tiba-tiba berkelebat pancaran sinar merah.
Serentak dengan itu dua tokoh silat istana tadi merasakan ada hawa panas yang
menyambar. Keduanya seperti terdorong ke belakang oleh satu kekuatan dahsyat
yang tidak kelihatan. Memandang ke arah tangan kanan Nawang Suri, terkejutlah
keduanya dan berseru hampir bersamaan.
“Keris Mustiko Geni!”
Kedua tokoh silat istana ini
merasakan dada masing-masing bergetar keras. Keris Mustiko Geni bukan saja
merupakan senjata tumbal dan lambang tahta kerajaan, tetapi sekaligus merupakan
satu senjata sakti luar biasa. Dan kini senjata itu ada di tangan lawan! Mereka
memang juga telah diperintahkan untuk mendapatkan keris tersebut, namun sama
sekali tidak menyangka kalau senjata sakti mandraguna itu ternyata berada di
tangan Nawang Suri.
“Celaka Buto…..” berbisik
Gagak celeng. “Kau lihat senjata itu?”
“Kita harus berhati-hati
Gagak. Keluarkan jurus-jurus empat simpai menjerat laba-laba…..”
Jurus yang barusan dikatakan
Buto Celeng itu adalah jurus terhebat dari ilmu pedang mereka dan selama ini
jarang sekali mereka keluarkan. Kini menghadapi lawan yang memegang senjata
sakti, keduanya tak mau ambil resiko. Didahului oleh bentakan garang dari mulut
Buto, dua bersaudara itu kembali menyerbu. Dua pedang berkelebat dalam udara
malam yang dingin, mengeluarkan deru berkesiuran menggidikkan. Sesuai dengan
nama jurusnya maka kehebatannya memang bukan olah-olah. Dua batang pedang
seperti berobah menjadi empat dan membentuk sisi empat persegi hingga Nawang
Suri seperti laba-laba terkurung dalam sebuah kotak maut!
“Mampus!” teriak Buto Celeng.
Pedang di tangannya membabat ke leher.
“Putus nyawamu!” teriak Gagak
Celeng tak kalah garang dan pedangnya menusuk ke dada.
Dalam gelap malam tiba-tiba
membeset sinar merah. Udara di tempat itu mendadak menjadi panas.
“Awas hantaman keris!” memberi
ingat Buto celen. Tapi terlambat.
Trang….trang…..!
Bunga api memercik dalam
gelapnya malam. Buto dan Gagak Celeng merasakan tangan masing-masing tergetar
keras. Ada hawa sangat panas menghantam ke arah mereka seperti memanggang.
Keduanya melompat mundur empat langkah. Ketika memperhatikan pedang di tangan
mereka tersentak kaget dan pucat. Kedua senjata itu telah patah buntung
disambar Keris Mustiko Geni! Luar biasa dan hampir tak dapat dipercaya oleh
tokoh istana itu.
“Bagaimana sekarang? Kalian
masih inginkan menangkapmu?!” bertanya Nawang Suri dengan nada mengejek.
“Gadis pemberontak! Apa kau
kira kami takut?!” bentak Buto Celeng. Tapi untuk sesaat dia tetap saja tak
bergerak di tempatnya. Lalu dia berbisik pada saudaranya. “Gagak, kita harus
merampas keris itu lebih dulu. Kalau tidak bisa berabe! Kau menyerang dari
kanan, aku dari kiri.”
Dua tokoh silat istana itu
dengan andalkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang mereka miliki
berkelebat cepat. Masing-masing juga kerahkan tenaga dalan pada dua tangan.
Memang hanya dengan mengandalkan kecepatan gerakan serta kekuatan tenaga mereka
bisa menghadapi lawan yang memegang senjata sakti luar biasa itu. Meskipun
demikian ternyata tetap saja Buto dan Gagak Celeng mengalami kesulitan. Setiap
keris menyambar, sinar merah berkiblat menggidikkan dan hawa panas memapas ke
arah keduanya. Setelah beberapa kali mencoba dan tetap gagal keduanya merubah
siasat. Sambil menjaga jarak untuk menghindarkan tusukan atau sambaran keris,
Buto dan Gagak Celeng lepaskan pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh.
Sekaligus mereka mengurung rapat karena bagaimanapun juga mereka tak ingin
Nawang Suri lolos. Justru hal ini yang membuat mereka menjadi celaka.
Pada jurus kedua puluh satu
Nawang Suri tampak seperti tergelincir di pematang sawah. Tubuhnya miring ke
kiri. Melihat ini Gagak Celeng tidak sia-siakan kesempatan. Dia memburu dengan
tendangan kaki kanan ke dada sang dara. Di saat itu pula Nawang Suri membuat
gerakan membalik sambil sabatkan keris Mustiko Geni. Terdengar pekik Gagak
Celeng ketika senjata sakti itu menggurat dadanya dalam dan deras. Tubuhnya
terhuyung-huyung. Kalau tak lekas ditopang oleh Buto Celeng pasti tercebur ke
dalam lumpur sawah. Namun di lain kejap Buto Celeng serta merta lepaskan tubuh
saudaranya itu. Tubuh Gagak Celeng terasa panas seperti bara. Pakaian dan
kulitnya tampak hangus kehitaman. Gagak Celeng menjerit sekali lagi. Nyawanya
lepas. Kedua kakinya tertekuk dan dia jatuh terjerambab ke dalam sawah!
“Gagak!” teriak Buto Celeng
memanggil dan hendak memburu. Tapi dia terpaksa menjauh karena saat itu Nawang
Suri kirimkan satu tikaman ke arahnya. Tengkuk Buto Celeng terasa dingin. Rasa
takut menggerayangi dirinmya. Berdua dengan Gagak saja dia tak sanggup
menghadapi anak murid Empu Andiko Pamesworo itu, apalagi seorang diri. Tak ada
jalan lain. Dia terpaksa berispa-siap cari kesempatan untuk melarikan diri.
Namun pada saat kesempatan muncul mendadak terdengar suara seruan dari arah
timur.
“Sungguh memalukan! Dua tokoh
silat istana berkepandaian tinggi tidak mampu membereskan seorang gadis kecil!”
Begitu seruan lenyap, sesosok
tubuh muncul dari kegelapan malam dan tegak di kanan Buto Celeng.
Kapak Maut Naga Geni 212LIMA
Merasa dihina Buto Celeng
semula hendak membentak marah. Tapi sewaktu dia berpaling dan melihat siapa
adanya orang yang barusan datang itu langsung saja dia tegak dengan sikap
hormat.
“Ah, kiranya orang gagah Sindu
Kalasan tokoh kelas satu bergelar Datuk Tongkat Dari Selatan!”
Orang yang ditegur batuk-batuk
beberapa kali. Dia berdiri dengan tangan kiri berkacak pinggang sedang tangan
kanan menimang-nimang sebuah tongkat bambu sepanjang tujuh jengkal. Tongkat
bambu ini berwarna kuning dan besarnya hanya sejari telunjuk.
Diam-diam Buto Celeng merasa
gembira. Dalam keadaan seperti iu siapa yang tidak senang melihat munculnya
kawan sendiri. Datuk Tongkat adalah tokoh silat istana pertama dan merupakan
orang ketiga dari hulubalang istana.
“Melihat pada senjata yang ada
di tangannya aku sudah bisa meraba.” Sahut Datuk Tongkat seraya timang-timang
tongkat bambu halus yang ada di tangan kanannya. “Bukankah dia Nawang Suri,
orang yang harus ditangkap hidup atau mati?”
“Betul sekali Datuk. Aku dan
saudara-saudaraku berhasil menemukan tempat kediaman gurunya di teluk. Empu
Andiko telah kami bunuh walau untuk itu adikku Luwak Celeng terpaksa menemui
kematian pula. Dan barusan adikku yang lain yaitu Gagak Celeng menemui ajal di
tangan gadis ini!”
“Sungguh malang nasibmu Buto.
Kehilangan dua saudara dalam satu malam. Lalu apa yang akan kau lakukan
sekarang…..?”
Buto Celeng terkesiap. Tak dapat
dia menjawab pertanyaan Datuk Tongkat itu.
“Kau ingin menangkap Nawang
Suri hidup atau mati, tetapi tak mampu. Betul begitu kan?”
Paras Buto Celeng berubah
kemerahan. Dia batuk-batuk beberapa kali sekedar menghilangkan rasa malu dan
penasaran. Tapi otaknya sangat cerdik. Dia cepat menjawab.
“Siapa bilang aku tak dapat
menangkap Nawang Suri? Dengan bantuan tokoh sehebatmu pasti itu bisa dilakukan!
Bukankah ini tugas semua para hulubalang istana?”
Datuk Tongkat alias Sindu
Kalasan tertawa mengekeh. Dia tahu betul. Di antara tiga kakak beradik Celeng,
Buto adalah yang paling lihay kepandaiannya tapi juga paling cerdik dan licin.
Sambil ketuk-ketukkan
tongkatnya ke tanah pematang sawah sang datuk menjawab “Kalau cuma bocah cilik
seperti gadis itu mengapa harus kita berdua Buto. Kau menyingkirlah. Biar aku
sendiri yang membereskannya. Tapi ingat satu hal….!”
“Hal apakah itu, Datuk?” tanya
Buto Celeng tak enak.
“Pada saat aku berhasil
menangkap gadis itu hidu-hidup lalu membawanya ke hadapan Sri Baginda di
istana, sekali-kali kau jangan mempunyai perasaan bahwa kau andil dalam kerja
besar menangkap anak pemberontak ini…..”
“Maksud Datuk….?”
“Maksudku jelas! Kau tak akan
menerima pahala apa-apa…..!”
“Tapi…..”
“Tutup mulutmu Buto Celeng!
Jangan sampai aku mengusirmu dari tempat ini!” bentak Datuk Tongkat.
“Datuk! Kita sama-sama orang
dalam istana. Kenapa kau bicara seperti itu? soal pahala, Sri Baginda nanti
yang akan memutuskan. Sri Baginda seorang bijaksana. Bagaimanapun dia tentu
tahu dan tak akan melupakan jasa para pembantunya!”
“Begitu…..?” ujar Datuk
Tongkat menyeringai. Kembali dia ketuk-ketukkan tongkatnya ke tanah.
Setiap dia membuat ketukan,
Nawang Suri yang berdiri beberapa langkah dari hadapannya merasakan tanah
pesawahan itu seperti bergetar. Getaran itu menjalar ke kedua kakinya, terasa
aneh seperti hendak melumpuhkan. Cepat sang dara ini kuatkan hati dan kerahkan
tenaga dalam. Tadi dia telah mendengar Buto Celeng menyebut orang berpakaian
lurik hitam bergaris coklat dan berblangkon aneh terbuat dari kain beludru itu
sebagai tokoh kelas satu istana. Berarti dia berhadapan dengan seorang
berkepandaian tinggi luar biasa. Hatinya merasa tidak enak. Tapi tidak enak
berarti takut. Dengan tengan gadis in tetap menunggu di tempatnya.
“Bocah cilik. Aku berbaik hati
memberikan pilihan padamu. Menyerah secara baik-baik dan kubawa ke Kuto Gede
atau kugebuk dulu baru mau ikut…..!”
Nawang Suri sunggingkan senyum
mengenjek. Lalu gadis ini menjawab.
“Manusia berblangkon bludru!
Jika kau tadi sudah tahu namaku berarti kau sudah tahu berhadapan dengan siapa.
Seharusnya kau dan juga monyet satu itu berlutut memberi hormat. Karena akulah
pewaris tunggal dan syah dari tahta kerajaan yang dirampas oleh tuan besarmu
yang sekarang berkuasa di Kuto Gede itu!”
“Gadis lancang tak tahu diri!”
bentak Buto Celeng. Sedang Datuk Tongkat Dari Selatan tampak terkesiap
mendengar ucapan Nawang Suri. Namun kemudian terdengar suara tawanya mengekeh.
“Malam hampir pagi….” Kata
sang datuk pula. “Dan kau masih larut dalam mimpi Nawang Suri! Nah serahkanlah
dirimu baik-baik tanpa perlawanan!”
“Siapa sudi menyerah! Kalau
kau memang punya nama besar tangkaplah diriku!”
Habis berkata begitu Nawang
Suri sebatkan Keris Mustiko Geni di tangan kanannya ke depan. Sinar merah
menyambar disertai terpaan hawa panas.
Datuk Tongkat Dari Selatan
yang maklum kehebatan senjata di tangan sang dara bersurut mundur.
“Ha….ha! Malam ini aku
berkesempatan membuat dua jasa besar bagi kerajaan. Pertama menangkap anak
pemberontak, kedua merampas Keris Mustiko Geni!”
“Ternyata kau yang mimpi Datuk
pengkhianat! Kau inginkan keris ini, ambillah!” seru Nawang Suri ditutup dengan
sambaran sinar merah dari bawah ke kiri ke atas kanan. Hawa panas menebar
menggidikkan.
Untuk kedua kalinya Datuk
Tongkat Dari Selatan menghindar cepat. Hanya kali ini sambil mengelak
selamatkan perut dan dadanya dari sambaran keris sakti sang datuk yang
merupakan orang ketiga teratas dalam barisan hulubalang istana, dia sekaligus
putar tongkat bambu kuningnya yang halus. Benda itu seperti berubah menjadi
tujuh batang disertai suara bersiur aneh, sangat cepat menyambar ke arah Keris
Mustiko Geni.
Nawang Suri yang percaya penuh
akan kehebatan senjata di tangannya, apalagi hanya menghadapi sebatang tongkat
bambu, putar pergelangan tangannya. Ujung keris laksana kilat menusuk
tenggorokan Datuk Tongkat.
Yang diserang tampak tenang.
Kaki kanannya melangkah ke depan. Tubuhnya dimiringkan ke belakang. Tongkatnya
melesat ke atas dan cepat sekali tahu-tahu sudah menempel di badan keris.
“Lepas!” terdengar seruan sang
datuk. Tangannya yang memegang tongkat disentakkan ke belakang.
Nawang Suri berseru kaget.
Tangna kanannya terasa seperti kesemutan. Jarijarinya menggeletar membuat
genggamannya pada hulu keris mengendur. Sementara itu ujung tongkat lawan
terasa seperti merekat badan keris. Ketika tongkat disentakkan, tak ampun lagi
Keris Mustiko Geni ikut terpental dan melayang ke udara.
Datuk Tongkat tertawa
mengekeh.
Buto Celeng leletkan lidah
karena kagum.
Nawang Suri kembali berteriak.
Tapi dia cepat sadar tanggap dan melompat ke udara untuk menjemput kerisnya.
Hanya saja gerakannya kalah cepat dengan lompatan Datuk Tongkat. Sang lawan
telah lebih dahulu melesat ke udara dan tangan kanannya cepat sekali menyambat
ke arah hulu keris. Tapi sebelum tangan itu sempat menyentuh Mustiko Geni, satu
siulan membeset di langit malam. Dan sebuah tangan tahu-tahu berkelebat lebih
cepat, memapas senjata sakti itu dari sergapan Nawang Suri maupun Datuk
Tongkat.
Dan bukan itu saja. Gerakan
sosok tubuh yang tahu-tahu muncul di tempat itu membuat Nawang Suri terpental
ke tanah sedang sang datuk terhuyung empat langkah!
“Keparat!” teriak Datuk
Tongkat marah. “Siapa berani mencampuri urusan orang?!”
Dia hantamkan tongkatnya ke
tanah. Tapi hanya mengenai tampat kosong!
Kapak Maut Naga Geni 212ENAM
Saat itu malam telah menjelang
fajar menyingsing. Di kejauhan langit sebelah timur tampak mulai terang
kemerahan. Keadaan di pesawahan meskipun masih diselimuti kegelapan namun dalam
jarak sampai sepuluh langkah seseorang masih dapat melihat cukup jelas orang
lain di hadapannya. Memandang ke depan Datuk Tongkat, Buto celeng dan Nawang
Suri melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih dan berambut gondrong tagak
menyeringai sambil memegang Keris Mustiko Geni di tangan kanannya.
“Pemuda kurang ajar! Siapa kau
berani-beranian ikut campur urusan orang!” membentak Datuk Tongkat. Lelaki
berusia enam puluh tahun ini marah bukan main. Namun sebagai orang pandai yang
banyak pengalaman dia tak mau gegabah. Jika seseorang berhasil mendahului
kecepatan gerakannnya bahkan sekaligus sempat membuatnya terhuyung, berarti
orang itu memiliki tingkat kepandaian yang bukan main-main.
“Manusia lancang ini harus
dihajar! Datuk biar aku yang memberi pelajaran padanya!” yang bicara adalah
Buto Celeng. Suaranya keras hampir berteriak.
“Bagus Buto, kau berilah
pelajaran padanya!” kata Datuk tongkat. Diam-diam dia sengaja memberi
kesempatan pada Buto Celeng padahal tujuan sebenarnya adalah untuk melihat
sampai di mana kehebatan pemuda yang barusan muncul, dan begitu muncul berhasil
merebut keris sakti.
Dengan sikap garang Buto
Celeng melompat. Tangan kanannya bergerak menyambar rambut si pemuda untuk
dijambak sementara tangan kanan kirimkan jotosan ke dada.
Buukk!
Tinju Buto celeng tepat
melabrak dada pemuda baju putih. Tapi anehnya justru dialah yang kemudian jatuh
terjengkang, melintan di atas pematang sawah sambil merintih pegangi tangan
kanannya yang tampak lecet. Sementara pemuda yang barusan dihantam tetap tegak
tak bergeming malah masih menyeringai seperti tadi!
Malu, kesakitan dan merasa
seperti dipermainkan membuat Buto Celeng naik darah. Dia bangkit berdiri.
Begitu tegak diahantamkan kaki kanan ke selangkangan si pemuda. Yang diserang
keluarkan siulan nyaring lalu kaki kirinya melesat ke depan, mengangkat betis
Buto Celeng kuat-kuat ke atas. Akibatnya tak ampun lagi Buto Celeng melintir
dan terlempar ke dalam sawah berlumpur. Tubuhnya jatuh menelungkup, sekujur
muka dan tubuhnya sebelah depan habis bercelemongan.
Datuk Tongkat Dari Selatan
alias Sindu Kalasan gigit-gigit bibirnya. Kalau tidak menyaksikan sendiri tentu
dia tak akan percaya ada seorang tokoh silat istana kelas tiga di buat mainan
oleh seorang pemuda tak dikenal.
“Orang muda, kau belum
menjawab pertanyaanku. Katakan siapa dirimu….!” Datuk Tongkat buka suara
kembali.
Bukan menjawab sebaliknya
pemuda yang ditanya malah membalik membelakangi sang datuk, lalu melangkah ke
hadapan Nawang Suri.
“Adik, apakah keris ini
milikmu….?”
Sesaat Nawang Suri diam saja.
Kemudian dia menganggukkan kepala.
“Ini senjata bagus. Harganya
tak ternilai dan kehebatannya pasti luar biasa. Ambillah dan simpan baik-baik.
Jangan sampai kelihatan bangsa pencuri atau perampok seperti dua monyet itu…..”
Karena si pemuda bicara dengan
suara keras seenaknya saja tentu katakatanya itu terdengar oleh Datuk Tongkat.
“Keparat! Kau benar-benar
mencari penyakit pemuda edan….!”
Tapi untuk sesaat Datuk
Tongkat tidak tampak bergerak dari tempatnya. Orang ini benar-benar cerdik. Dia
sudah sanggup menilai kehebatan pemuda tak dikenal itu. Lalu saat itu
dilihatnya Nawang Suri telah pula memegang Keris Mustiko Geni. Kalau dia
menyerang berarti bukan pemuda itu yang mencari penyakit, tapi dirinya sendiri.
Maka dengan tubuh menggeletar menahan marah dia tetap berdiri di tempatnya.
“Saudara budi pertolonganmu
tak kulupakan. Siapakah kau sebenarnya?” Nawang Suri ajukan pertanyaan.
Yang ditanya tertawa dan
garuk-garuk kepala. “Aku cuma seorang pemuda pengangguran dan luntang-lantung.
Datang jauh dari Gunung Gede….”
“Siapapun kau adanya kau tentu
punya nama….”
“Aku Wiro Sableng….”
“Nama aneh!” desis Nawang
Suri.
“Begitulah adanya. Monyet
itupun menyebutku pemuda edan. Nah, aku tak lebih dari itu. Adik, kau tentu
dalam perjalanan jauh. Kau sudah dapatkan kerismu kembali. Mengapa tidak segera
pergi meninggalkan tempat ini.”
“Eit! Tunggu dulu! Aku datang
kemari untuk menangkapmu dan menyita keris itu. Jika kau memang ingin pergi
boleh saja. Tapi tinggalkan nyawa dan Mustiko Geni!”
Yang bersuara adalah Datuk
Tongkat.
“Ho….ho!” Wiro Sableng tertawa
mengejek. “Cakapmu hebat nian kawan! Siapa kau yang mengaku memiliki nyawa dan
harta orang lain?”
“Aku Sindu Kalasan. Bergelar
Datuk Tongkat Dari Selatan. Hulubalang ketiga dari istana Kota Gede!”
“Hmmmm….. begitu?” ujar Wiro
Sableng seperti tak acuh padahal Datuk Tongkat mengira pasti si pemuda akan
terkejut bahkan jerih mengetahui siapa dia adanya.
“Seorang tokoh silat tinggi
istana beraninya melawan perempuan. Dan ternyata tidak mampu menghadapi gadis
ingusan seperti itu!”
Wajah Datuk Tongkat Dari
Selatan menjadi merah padam. Wiro Sableng tanpa memperdulikan sang datuk,
membalik dan melangkah mendekati Nawang Suri. “Mengapa belum pergi? Tinggalkan
tempat ini. Jika tua bangka berbelangkon aneh itu menghalangimu aku akan
memberi pelajaran padanya!”
Wiro melihat ada pancaran rasa
tidak senang di wajah sang dara. Sesaat setelah menatap wajah si pemuda, Nawang
Suri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. namun Datuk Tongkat cepat memapas
sambil hantamkan tongkatnya ke tangan Nawang Suri yang memegang senjata
mustika. Maksudnya untuk memukul jatuh keris itu tidak kesampaian karena dari
samping dua tangan yang kokoh menelikung pinggangnya, membuat tubuhnya
terpuntir. Ketika dia merasakan tubuhnya hendak dilemparkan ke dalam sawah
berlumpur Datuk Tongkat tusukkan tongkat bambu kuningnya ke perut Wiro. Ini
adalah satu serangan yang benar-benar mematikan. Bukan saja perut sang pendekar
muda itu akan bobol, tapi tongkat akan terus menembus sampai ke belakang
punggungnya!
“Mampus!” seru Datuk Tongkat.
Tapi dia kecele.
Dengan kecepatan luar biasa
Wiro jatuhkan diri ke tanah dan menyelusup di bawah selangkangan lawan. Bagitu
sang datuk berada di belakangnya, tanpa menoleh Wiro lepaskan satu jotosan
keras ke pinggang Datuk Tongkat. Terdengar sang datuk mengeluh kesakitan.
Sebelum tubuhnya terhuyung ke depan, dia masih sempat hantamkan tumit kiri ke
bahu lawan hingga Wiropun terjerambab namun cepat mengimbangi diri, membuat
lompatan dan dilain saat sudah tegak berdiri.
Saat itu Datuk Tongkat telah
pula berdiri. Tubuhnya bergetar menahan gejolak amarah. Seumur hidup baru hari
ini dia kena ditempelak lawan, seorang pemuda yang tidak dipandangnya sebelah
mata!
“Orang muda! Kau telah membuat
kesalahan besar terhadap Kerajaan!”
“Begitu?” seringai Wiro. “Coba
katakan apa kesalahanku!”
“Pertama, kau berani
mencampuri urusan seorang petinggi istana! Kedua kau berani melawan dan
menciderai dua tokoh silat istana yaitu aku dan Buto Celeng! Dan ketiga, ini
kesalahanmu yang besar yang tak bisa diampunkan! Kau menolong seorang
pemberontak besar. Berarti pada dirimu juga jatuh cap sebagai pemberontak!
Untuk semua itu kau layak dibunuh!”
Wiro Sableng manggut-manggut
beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak. “Jalan pikiran, pertimbangan dan ucapan
seseorang memang bisa saja berbeda. Tapi tidak disangka kalau hari ini aku
berhadapan dengan seorang hulubalang istana yang mempunyai jalan pikiran,
pertimbangan bahkan ucap keputusan yang benar-benar gila!”
“Jangan terlalu menghina,
keparat!” bentak Datuk Tongkat.
“Tunggu dulu! Ucapanku belum
habis!” balas menghardik Pendekar 212. “Aku tidak ada urusan dengan segala
macam pemberontak. Aku tidak merasa telah membuat kesalahan pada segala macam
kerajaan. Semua yang kulakukan semata adalah tindakan membela keadilan. Mana
bisa aku berpangku tangan melihat seorang perempuan hendak dicelakai oleh
seorang berkepandaian tinggi!”
“Alasan kuno! Jangan
menganggap kau seorang kesatria sejati! Kepentingan kerajaan adalah lebih utama
dari kepentingan pribadi. Apapun alasannya!”
“Lalu…..?” tanya Wiro pula.
“Kau harus mampus sebelum
matahari muncul pagi ini!”
“Tua bangka ngacok!” maki
Wiro. Lalu tanpa perdulikan orang dia balikkan diri untuk meninggalkan tempat
itu.
Tapi Datuk tongkat yang sudah
tidak dapat lagi menahan amarah dan kesabarannya sudah melompat kirimkan
serangan dengan tongkat bambunya. Senjata ini ditusukkan ke depan. Namun
setengah jalan mendadak berubah menjadi sambaran pulang balik, merupakan
gebukan pada tubuh Wiro kiri kanan!
Tentu saja Wiro tak bisa
berdiam diri melihat serangan ganas ini. Setelah membuat lompatan mundur untuk
hindarkan hantaman lawan, pendekar ini lepaskan satu pukulan tangan kosong
dengan kekuatan seperempat tenaga dalam. Dia terkejut ketika angin pukulan yang
deras itu dihantam punah oleh angin deras yang keluar dari tongkat lawan. Tak
dapat tidak hulubalang istana tingkat ketiga itu telah mengerahkan lebih dari
setengah tenaga dalamnya. Maka begitu pukulannya luput Wiro bersiap lepaskan
pukulan susulan. Tapi Datuk tongkat menyongsong lebih cepat. Tongkatnya
langsung dihantam ke arah tangan kanan si pemuda hingga Wiro terpaksa tarik
pulang pukulannya sambil melangkah ke samping. Justru tongkat sang datuk secara
aneh tiba-tiba membabat ke bawah lengannya dan bret!
Baju putih Pendekar 212 Wiro
Sableng robek besar!
Hal ini membuat Wiro bersurut
mundur sambil usap dadanya. Untung ujung tongkat hanya menyambar pakaiannya,
tak sampai menggurat atau melukai kulit dan daging dadanya. Hal ini sudah cukup
membuat murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini harus mengambil keputusan.
Akan terus melayani sang datuk atau pergi saja dari situ, mengabil sikap
mengalah.
Sebaliknya, keberhasilannya
merobek pakaian lawan membuat Datuk Tongkat Dari Selatan jadi bersemangat dan
berkeyakinan, apapun tingkat kepandaian yang dimiliki si pemuda, dia pasti
dapat membereskan pemuda itu. apalagi Buto Celeng yang masih terkapar di tepi
sawah sempat berteriak membakar “Bunuh dia Datuk! Pemuda keparat itu harus
dibunuh!”
“Kau dengar itu anak muda?
Umurmu tak lama lagi….!” Ujar Datuk Tongkat. Lalu kembali dia menyerbu.
Tongkatnya beputar aneh mengeluarkan deru keras dan siuran angin kencang. Wiro
berkelebat cepat. Pada satu kesempatan yang tidak disiasiakannya pemuda ini
lepaskan pukulan “Benteng Topan Melanda Samudera.”
Datuk Tongkat terkejut ketika
dia mendengar suara angin menggemuruh seolah-olah tampat itu diserang angin
puyuh yang dahsyat. Dia sabetkan tongkat bambunya ke depan. Kuda-kuda kedua
kakinya diperkuat. Ketika merasakan tubuhnya tak bisa bertahan dan hampir
terseret angin kencang itu maka dia hantamkan tangan kiri ke arah lawan dengan
pengandalan tenaga dalam yang ada.
Terjadilah hal yang hebat.
Daerah persawahan itu bergetar seperti dihantam lindu. Air dan lumpur
beterbangan ke udara. Datuk Tongkat berseru keras. Dia melompat ke atas
menghindari hantaman angin deras yang menerpa. Tapi begitu melompat begitu
tubuhnya terseret dan tunggang langgang di udara. Terpental jatuh masuk ke
dalam lumpur sawah. Dadanya mendenyut sakit. Pemandangannya berkunang-kunang.
Dia mencoba berdiri. Tapi kedua kakinya terasa goyah dan tak sanggup
diluruskan. Akhirnya dengan nafas megap-megap hulubalang ketiga istana ini
hanya bisa merangkak dalam lumpur, berusaha menggapai tepi pematang sawah.
Wiro sendiri meskipun tidak
jatuh tapi sekujur tubuhnya sampai ke rambut penuh berselomotan lumpur sawah.
“Keparat! Jangan lari kau!”
teriak Datuk Tongkat ketika dilihatnya Wiro Sableng melangkah meninggalkan
tempat itu sementara matahari telah muncul di ufuk timur dan daerah pesawahan
itu kini menjadi terang.
Wiro usap lumpur yang menempel
di wajah dan pakaiannya. Lumpur yang memenuhi telapak tangannya kini kemudian
dilemparkannya ke arah sang datuk, tepat menghantam pipi dan mata kirinya,
membuat sang datuk menggerung bukan saja karena sakit tapi lebih dari itu
karena amarah dan penasaran bukan kepalang. Seumur hidup baru sekali ini dia
dihantam babak belur seperti itu.
Tak berhasil mencegah Wiro
meninggalkan tempat itu akhirnya Datuk Tongkat berteriak pada Buto Celeng.
“Bantu aku mencari tongkat
bambuku!” Senjata andalannya itu terlepas dan mental entah ke mana sewaktu
angin pukulan sakti Wiro melabrak dirinya tadi.
Kapak Maut Naga Geni 212TUJUH
Meskipun hari malam dan gelap
namun tidak sulit bagi Nawang Suri untuk mencari rumah kediaman Gama Manyar
alias Empu Soka Panaran yang terletak di pinggiran Kuto Gede. Apalagi di pintu
pekarangan depan rumah besar yang berbentuk gapura itu jelas terlihat sebuah
bendera kecil berbentuk segi tiga warna biru. Itulah tanda utama yang menjadi
petunjuk.
Sesaat setelah memperhatikan
keadaan sekelilingnya Nawang Suri cepat memasuki pintu halaman, naik ke serambi
rumah. Tanpa ragu-ragu dia mendorong pintu kayu hitam dan menyelinap masuk ke
dalam. Begitu dia menutup pintu, seorang lelaki tua berpakaian putih dan
berkain sarung biru, meletakkan lempengan perak yang dipegangnya ke atas meja
lalu dengan cepat dia berdiri dari kursi, menyongsong Nawang Suri.
“Saya memang sudah punya
firasat. Kalau Raden Ayu akan muncul malam ini.” Lalu orang tua yang rambutnya
dikonde di atas kepala itu jatuhkan diri berlutut seraya berkata “Saya Soka
Panaran menghaturkan hormat dan bakti pada junjungan Ratu Nawang Suri……”
Nawang Suri merasa tidak enak.
Dia memandang ke kiri dan kanan lalu berkata “Empu, harap berhati-hati atas
sikap dan ucapanmu. Jika ada yang mendengar kita bisa celaka……”
“Ah, maafkan saya. Saya
terlalu gembira bertemu muka dengan Den Ayu hingga melupakan kerahasiaan. Saya
hanya seorang diri di sini….”
“Saya tahu. Tapi harap jangan
lupa kalau dinding dan atap itu terkadang mempunyai telinga!”
“Petunjuk Den Ayu itu akan
saya perhatiken,” ujar Gama Manyar seraya merunduk. Dia memang mempunyai
kebiasaan kalau bicara kata kan disebutnya sebagai ken.
“Berdirilah empu….” Kata Nawang
Suri yang merasa belum saatnya dihormat seperti itu.
Gama Manyar berdiri lalu
membawa Nawang Suri duduk ke sebuah kursi. “Duduklah….. Perjalanan jauh tentu
membuat Den Ayu kecapaian. Minumlah dahulu…..” Lalu orang tua ini menuangkan
air putih dari dalam kendi tanah ke sebuah cangkir. Nawang Suri menghabiskan
isi cangkir itu. Dia memandang berkeliling. Di mana-mana dia melihat berbagai
ukiran terbuat dari perak.
“Saya lihat Den Ayu tidak
melakukan penyamaran sebagaimana mestinya….” Terdengar Gama Manyar berkata.
Nawang Suri mengusap mulutnya
di sebelah bawah hidung. Sejak kumis palsunya dijambret dalam perkelahian di
sawah malam kemarin memang penyamarannya hanya tinggal pakaian lelaki dan kain
putih penutup kepala. Jika orang benar-benar memperhatikan maka kenyataan bahwa
dia seorang perempuan akan lebih cepat dapat diduga.
“Apakah Den Ayu menemui
kesulitan di jalan?” bertanya Gama Manyar karena ucapan tadi tidak mendapatkan
jawaban.
“Memang ada berita buruk
empu,” sahut Nawang Suri. Lalu dia menceritakan kematian Empu Andiko Pamesworo
seperi yang dikatakan Buto Celeng. Tentu saja Gama Manyar terkejut mendengar
hal ini. dia berusaha keras menahan dan membendung air mata agar tidak keluar.
“Tidak disangka dia yang lebih
muda ternyata mendahuluiku….” Kata sang empu perlahan.
“Saya berhasil membunuh salah
seorang dari mereka. Yang bernama Gagak Celeng. Tapi kemudian muncul seorang
tua berbelangkon beludru. Dia mengaku tokoh atau hulubalang istana tingkat
ketiga. Buto Celeng menyebut namanya Sindu Kalasan. Bergelar Datuk Tongkat Dari
Selatan….”
Paras Gama Manyar alias Empu
Soka Panaran berubah ketika Nawang Suri menyebutkan nama itu.
“Apa yang kemudian yang
terjadi Den Ayu?” tanyanya degan nada cemas.
“Dia hampir saja berhasil
merampas Keris Mustiko Geni kalau saja tidak muncul seorang penolong…..”
“Keris itu, apakah tetap
berada padamu?”
Nawang Suri mengangguk dan
menepuk pinggang pakaiannya di balik mana Keris Mustiko Geni tersisip.
“Syukur Gusti….” Kata Gama
Manyar lega. “Senjata itu bukan saja merupakan senjata mustika sakti. Tapi yang
paling penting itu adalah pelambang tahta kerajaan. Pewaris dan pemegang hanya
dialah yang berhak atas tahta, berarti hanya dia yang boleh menjadi Raja atau
Ratu!” Gama Manyar diam sebentar. Lalu dia berkata “Tadi Den Ayu menyebut
tentang seorang penolong….”
“Ya, dia menyelamatkan Mustiko
Geni dari tangan Datuk Tongkat. Sebelum saya disuruh pergi masih sempat saya
melihat dia menghajar Buto Celeng sampai setengah mati….”
“Siapakah orang itu Den Ayu?
Apakah dia ada meninggalkan nama?”
“Seorang pemuda edan berambut
gondrong…..”
“Pemuda edan…..?”
“Katanya namanya Wiro Sableng
dan dia pemuda luntang-lantung pengangguran dari gunung Gede…..”
Mendengar disebutnya nama itu
Gama Manyar tertegak dari kursinya dan menatap tajam pada Nawang Suri.
“Ada apakah empu?” tanya sang
dara. Dia agak heran melihat sikap orang tua itu.
“Wiro Sableng katamu Den Ayu.
Benar?”
“Benar. Memangnya kenapa
empu?”
“Ah…ah….ah….” Gama Manyar
geleng-gelengkan kepala lalu perlahanlahan duduk kembali ke kursinya. “Den
Ayu, ketahuilah sebenarnya kau sudah sangat beruntung ditolong oleh pemuda itu.
Tidak sembarang orang bisa bertemu dengannya dan mendapat pertolongannya. Dia
memang muncul dan malang melintang secara tiba-tiba dan seenaknya….”
“Siapa pemuda itu sebenarnya
empu?” tanya Nawang Suri.
“Dia murid seorang nenek sakti
di Gunung Gede. Dia seorang pendekar dengan nama besar. Bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212. Ilmu silat dan kesaktiannya luar biasa. Betapapun tingginya
kepandaian Datuk Tongkat, tetap saja dia tak bakal menang menghadapi pendekar
nomor satu itu.”
Karena memang belum pernah
nama besar Wiro Sableng maka Nawang Suri berkata “Siapapun pemuda itu adanya
saya tak suka padanya, empu!”
“Eh, kenapa kau berkata begitu
Den Ayu? Bukankah dia telah menanam budi pertolongan padamu?”
“Soal budi pertolongannya yang
besar tentu saja saya tak akan melupakan dan kelak akan saya balas. Tetapi dia
menganggap remeh saya!”
“Menganggap remeh
bagaimana….?’ Tanya Empu Sok Panaran yang dalam penyamarannya telah berganti
nama menjadi Gama Manyar.
“Dia menyebut saya sebagai
gadis ingusan! Keterlaluan!”
Si orang tua itu tertawa
panjang.”Itu tentu saja karena dia tidak mengetahui siapa kau adanya Den Ayu.
Seperti katamu tadi, pendekar itu memang suka edanedanan. Konyol. Tapi
sebenarnya dia adalah seorang berhati polos. Suka menolong. Nama besarnya
muncul dalam dunia persilatan setelah dia menghancurkan manusiamanusia dan
memusnahkan perserikatan-perserikatan jahat. Menghantam tokoh-tokoh silat
golongan hitam!”
“Apakah dia berada di pihak
kita atau bagaimana?” tanya Nawang Suri pula.
“Setahuku dia tidak pernah
berpihak pada satu golongan. Pegangan hidupnya adalah berpihak pada kebenaran
dan keadilan….”
“Kalau begitu apakah ada
kemungkinan kita meminta bantuannya?”
“Sulit bagi saya untuk
mengatakan ya. Saya tahu betul. Pendekar semacam dia sering kali bersikap aneh.
Jika dia ingin menolong, dia akan turun tangan tanpa diminta. Tapi kalau
diminta justru malah belum tetu dilakukannya….”
“Jika demikian tak usah kita
membicarakannya lebih panjang.”
“Den Ayu betul. Sebelum kemari
apakah sahabat tuaku Empu Andiko ada memberi petunjuk apa yang akan kita
lakukan untuk menghancurkan kerajaan dan pada akhirnya membunuh Sri Baginda?”
Nawang Suri mengangguk.
“Sebetulnya cara yang hendak ditempuh itu kurang berkenan di hati saya, empu.
Namun mengingat kita tidak mempunayi kekuatan, tidak memiliki bala tentara dan
para pendukung terpecah-pecah serta saling berjauhan tanpa ada pimpinan, maka
untuk sementara saya bersedia menempuh cara itu. pada saatnya nanti tetap kita
harus menggalang kekuatan berupa bala tentara….”
“Saya mengerti maksud Den Ayu.
Dan saya menurut serta setuju sekali. Saya telah menghubungi beberapa orang
tertentu di Kuto Gede. Tapi selagi masa hangat begini rupa, Den Ayu tahu
sendiri bagaimana besarnya bahaya menghubungi orang-orang itu. Karenanya
rencana yang sudah kita tetapkan harus terlebih dahulu dijalankan…..”
“Kapan kita mulai Empu?”
“Dua hari lagi Den Ayu.
Seorang penting akan datang kemari. Dia adalah korban kita yang pertama.”
“Siapakah dia empu?”
“Pangeran Onto Wiryo. Putera
Sri Baginda dari istrinya yang kedua. Saat ini dia memegang jabatan Kepala
Pasukan Kuto Gede. Ada kabar dia akan diangkat jadi Kepala Pasukan Kerajaan…..”
Nawang Suri mengusap-usap
dagunya yang halus. “Dia memang cukup pantas untuk jadi korban pertama….”
Katanya perlahan. Jari-jari tangannya tampak terkepal. Tanda tekadnya sangat
bulat dan kukuh.
Kapak Maut Naga Geni
212DELAPAN
Siang itu rombongan orang
berkuda memasuki halaman rumah Gama Manyar, ahli ukir barang-barang perak
terkenal di seluruh Kuto Gede. Di depan sekali seorang lelaki muda berusia
sekitar tiga puluh tahun, berpakaian mentereng, lengkap dengan sebilah keris
tersisip di pinggang. Lima orang lainnya berpakaian pasukan kerajaan bertindak
sebagai pengiring dan pengawal.
Lelaki muda berpakaian mewah
itu turun dari kudanya diikuti oleh lima pengawal.
“Kalian tunggu di luar sini.
Aku tak akan lama…..” kata si lelaki muda. Kelima pengirngnya menjura patuh.
Dengan langkah besar dan tegap lelaki tadi masuk ke dalam rumah. Di pintu depan
Gama Manyar keluar menyongsong.
“Paman Gama, apakah pesananku
tempo hari sudah selesai?” sang tamu ajukan pertanyaan.
Gama Manyar menjura hormat
sebelum menjawab.
“Sudah siap Raden. Hanya
menurut saya kalau mungkin bisa diberi satu hari lagi saya akan memperhalus
beberapa bagian yaitu pada bagian sayap dan ekornya. Tapi silahkan Pangeran
masuk dahulu….”
“Ya, ambillah barang itu. Aku
perlu melihatnya dahulu!”
Gama Manyar memberi jalan pada
tamunya lalu menutup pintu kembali.
Setelah mempersilahkan sang
tamu masuk maka diapun melangkah ke tengah ruangan, memanjangkan lehernya ke
pintu ruang tengah seraya berseru.
“Ratih….! Bawa kemari pesanan
Pangeran Onto Wiryo. Beliau sudah datang untuk melihatnya….”
Pangeran Onto Wiryo hendak
menanyakan sesuatu namun mulutnya terkancing ketika di pintu ruangan tengah
muncul sesosok tubuh yang elok, dilengkapi paras cantik jelita mempesona. Kedua
bahunya yang tidak tertutup sangat halus dan putih, dihias uraian rambut hitam
berkilat dan menebar bau harum. Yang muncul ini datang membawa sebuah ukiran
perak berbentuk seekor burung garuda mengembangkan sayap. Di punggung binatang
ini duduk dengan sikap gagah seorang berpakaian perwira tinggi dengan tangan
kanan memegang sebilah tombak. Melihat paras perwira pada ukiran perak itu
jelaslah mirip Pangeran Onto Wiryo, sang tamu.
Sepasang mata sang pangeran
tidak tertuju pada ukiran burung garuda dan patung dirinya di atas punggung
binatang itu, tetapi tertancap pada sang dara yang membawanya.
“Ratih….” Kata Gama Manyar.
“Ini Pangeran Onto Wiryo. Kepala pasukan Kotaraja. Beri hormat padanya…..”
Sang dara yang dipanggil
dengan nama Ratih, yang bukan lain adalah Nawang Suri membungkuk dalam-dalam.
Ketika hendak mengambil sikap duduk di lantai, sang pangeran yang sejak tadi
terpana terpesona cepat membungkuk, memegang bahunya dan menyuruhnya berdiri
kembali. Ketika Pangeran Onto Wiryo berpaling pada Gama Manyar, orang tua ini segera
maklum akan arti pandangan itu. maka diapun memberi keterangan.
“Harap maafkan Pangeran. Saya
tak pernah menerangkan kalau saya masih memiliki seorang anak keponakan. Dia
baru saja datang dari pantai utara. Saat ini dia hidup sebatang kara. Kedua orang
tuanya dan seorang adik lelakinya menemui ajal sebulan yang lalu akibat gunung
longsor. Itulah sebabnya saya memintanya datang kemari dan tinggal di sini
sambil membantu pekerjaan saya….”
Pangeran Onto Wiryo
mengangguk-angguk. Kedua matanya hampir tak berkesip.
“Apakah Pangeran tidak hendak
melihat dulu ukiran itu….?’
Sang pangeran yang hampir
terlupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu seperti tersentak lalu
cepat-cepat mengambil ukiran perak dari tangan Ratih. Sewaktu mengambil benda
itu, Gama Manyar jelas melihat bagaimana jari-jari tangan sang pangeran sengaja
mengelus jari-jari Nawang Suri.
Pangeran Onto Wiryo
memperhatikan ukiran burung garuda dan dirinya hanya sebentar saja.
“Bagus! Sangat bagus! Tak
perlu diperhatikan lagi paman Gama! Aku cukup senang menerimanya!” Lalu mata
sang pangeran kembali mengerling Ratih. Sesaat kemudian dia berkata “Paman
Gama, aku ingin berbicara sesuatu denganmu….”
Orang tua juru ukir sudah
maklum maksud sang pangeran. Dia memberi isyarat pada Nawang Suri sambil
berkata “Masuklah Ratih….”
Ratih menjura hormat pada sang
pangeran lalu cepat-cepat masuk ke dalam.
“Paman Gama, kau yakin
keponakanmu itu belum bersuami. Betul?”
“Betul pangeran…..”
“Bagus! Kalau begitu tak ada
halangan bagiku untuk mengambilnya jadi istri…..!”
Gama Manyar tempak terkejut.
Walau ini sebenarnya lebih merupakan satu kepura-puraan belaka.
“Pangeran bergurau agaknya…..”
“Aku tidak bergurau paman!”
Orang tua itu tertawa. “Dengar
pangeran. Keponakanku hanya seorang turunan rakyat jelata. Bahkan tidak berayah
dan tidak beribu lagi. Mana pantas dirinya dijadikan istri pangeran?”
“Soal pantas atau tidak bukan
urusan. Lagi pula bagiku itu merupakan hal yang pantas. Lebih dari pantas.
Terus terang baru sekali ini aku melihat gadis secantik dia…..”
“Ah, pengeran baru sekali ini
saja melihatnya. Belum tentu dia bisa menjadi istri yang baik…..”
“Paman….” Kata Pangeran Onto
Wiryo. “Sebagai seorang perajurit mataku sangat tajam. Aku tahu dan yakin
sekali, keponakanmu itu seorang yang baik. Katakan padanya aku akan
mengambilnya jadi istri!”
“Secepat itukah pangeran?”
“Lebih cepat lebih baik!”
“Ah, saya tak berani
mengatakan pada Ratih…..” ujar Gama Manyar lalu pura-pura termenung.
“Jika begitu biar aku yang
bilang padanya!”
“Pangeran terlalu mendesak.
Berilah waktu dua hari pada saya. Di saat yang baik akan saya sampaikan pada
gadis itu maksud pangeran…..”
“Dua hari terlalu lama. Satu
hari saja! Besok, siang seperti ini aku akan datang lagi kemari….” Dari dalam
sabuk besar di pinggangnya Pangeran Onto Wiryo mengeluarkan empat keping mata
uang perak dan menyerahkannya pada si orang tua. “Ini untuk pembayar ukiran…..”
“Tapi ongkosnya hanya dua
keping uang perak pangeran.”
“Aku tahu. Yang dua keping
adalah sekedar pemberian dariku.”
“Terima kasih. Pangeran baik
sekali….”
“Nah, aku pergi sekarang.
Ingat paman Gama. Besok siang aku akan datang lagi kemari…..”
“Sebelum pangeran pergi saya
ada beberapa permintaan…..”
“Ah, katakanlah. Kau ingin
pinjam uang atau apa?”
Si orang tua mengeleng.
“Permintaan saya, apakah pangeran bisa datang besok seorang diri saja?”
“Tentu ! kenapa harus begitu
paman?” tanya Pangeran Onto Wiryo.
“Saya tak ingin orang lain
ikut tahu akan maksud pangeran…..”
“Itu soal mudah. Aku akan
datang sendiri ke mari. Tanpa pengawal. Kalau perlu dengan pakaian biasa!”
“Itu lebih baik pangeran.
Ketahuilah, sebenarnya Ratih sudah pernah dicalonkan oleh kedua orang tuanya
dengan seorang pemuda di Kemukus…..”
“Lupakan pemuda itu paman. Aku
ini jelas sejuta kali lebih baik dari dia…..”
“Saya tahu pangeran. Satu
lagi, tentunya kalau nanti Pangeran jadi mengawini keponakan saya, urusan
dengan dua istri pangeran yang sekarang janganlah sampai menjadi pangkal silang
sengketa di antara keluarga.”
“Ha….ha…..ha…..! Sampai berapa
aku punya istri tak ada yang bisa ikut campur. Baik Sri Baginda, apalagi kedua
istriku …..”
“Kalau bagitu senang hati saya
mendengarnya,” kata Gama Manyar pula lalu mengantarkan Pangeran Onto Wiryo
sampai di pintu pagar halaman.
Kapak Maut Naga Geni
212SEMBILAN
Keesokan harinya, tepat pada
saat sang surya mencapai titik tertingginya di atas bumi, Kepala Pasukan
Kotaraja Pangeran Onto Wiryo muncul di rumah juru ukir Gama Manyar. Sesuai
permintaan si orang tua, Pangeran ini datang berkuda seorang diri dan tidak
mengenakan pakaian keperwiraan.
“Paman Gama, aku sudah datang.
Mana keponakanmu. Tentunya saat ini aku akan menerima berita menggembirakan!”
kata Pangean Onto Wiryo begitu berhadapan dengan Gama Manyar.
“Tak lama setelah pangeran
pergi hari kemarin, saya telah menemui Ratih dan menceritakan apa yang menjadi
maksud pangeran. Dia tidak memberikan kata putus. Tapi percayalah pangeran,
Ratih pasti bersedia menjadi istri pangeran. Hanya saja katanya dia ingin
bicara langsung dengan pangeran…..”
“Kalau begitu panggil dia
kemari agar segala pembicaraan dapat dilakukan secara cepat,” kata Pangeran
Onto Wiryo pula penuh tidak sabar.
“Gadis itu tidak ada di sini,”
menjelaskan Gama Manyar.
Kedua mata Pangeran Onto Wiryo
membesar dan alisnya naik terjungkat. “Apa maksudmu Paman? Keponakanmu tak ada
di sini?’
“Betul…. Menjelang siang tadi
dia pergi ke telaga Tegal Parang di timur Kuto Gede. Dia menunggu di sana dan
berpesan agar pangeran datang menemuinya di situ. Dia sengaja memilih tempat
tersebut karena bisa bicara bebas. Tak ada yang melihat, tak ada yang
mendengar…..Apakah pangeran berkenan datang ke situ menemuinya?”
Pangeran Onto Wiryo tertawa
lebar.
“Tentu saja! Tentu saja aku
akan menemuinya di telaga itu!” jawabnya. Lalu tanpa menunggu lebih lama dia
cepat-cepat meninggalkan rumah Gama Manyar, membedal kudanya kencang-kencang
menuju ke timur.
Tegal Parang merupakan sebuah
telaga kecil tetapi dalam. Di sekelilingnya terdapat batu-batu besar berwarna
hitam, lali pohon-pohon tinggi berdaun lebat. Daun-daun yang aneka warna dari
pepohonan memantul ke dalam air hingga air telaga itu terlihat seperti
berwarna-warni.
Ketika sampai di sana,
Pangeran Onto Wiryo segera melihat sesosok tubuh yang elok duduk di atas sebuah
batu, membelakanginya. Pengeran ini melompat turun dari kudanya, langsung
mendapatkan perempuan yag duduk di atas batu.
“Sudah lamakah kau menungguku
di sini Ratih…..?” pangeran menegur.
Orang di atas baru yang memang
adalah Ratih alias Nawang Suri menjura hormat, namun dia tidak turun dari batu
besar itu. Pangeran Onto Wiryo ikut duduk di atas batu, dekat sekali dengan
Ratih hingga dia dapat mencium bau harum yang keluar dan menebar dari tubuh
serta rambut sang dara.
“Indah sekali pemandangan di
telaga ini,” kata sang pangeran.
“Apakah pangeran sering datang
kemari?” tanya Ratih.
“Aku sering lewat di sekitar
sini namun tak pernah mampir, apalagi dudukduduk di batu seperti saat ini…”
“Apakah pangeran tidak marah
karena berlancang diri menyuruh pangeran datang kemari?”
“Kalau aku marah, aku tak akan
datang. Lagi pula yang akan kutemui adalah calon istriku sendiri!”
Ratih tersenyum, membuat sang
pangeran tambah mabuk kepayang. “Jadi pangeran rasa pasti kalau saya suka dan
bersedia menjadi istri pangeran yang ketiga?”
“Aku merasa pasti. Eh, memang
kenapa sampai kau bertanya begitu? Mungkin….?” Pangeran Onto Wiryo merasa tak
enak. Matanya memandang tak berkedip lalu tangannya menjamah bahu putih halus
Ratih.
Kembali sang dara tersenyum.
“Saya ingin memperlihatkan sesuatu. Bolehkan…..?’
“Tentu, tentu saja. Apa ang
ingin kau perlihatkan Ratih?” mendadak saja darah sang pangeran terasa panas
dan dadanya berdebar. Tangannya yang memegang bahu turun mengusap bagian bawah
leher Ratih.
Tangan kanan Ratih saat itu
turun ke pinggang memegang setagennya, makin keras debar jantung sang pangeran.
Gadis ini hendak membuka pakaiannya. Lalu…..ingin memperlihatkan auratnya?
Namun Ratih sama sekali tidak membuka gulungan setagen itu dia mengeluarkan
sebilah keris. Lalu diperlihatkan pada Pangeran Onto Wiryo seraya bertanya
“Tahukah pangeran, apa yang ada di tangan saya ini?”
“Keris! Sebilah keris!” sahut
Pangeran Onto Wiryo.
“Maksudnya saya keris apa?
Biasanya setiap senjata itu selalu diberi nama…..dapatkah pangeran
menerangkannya?”
Pangeran Onto Wiryo memang
pernah mendengar tentang Keris Mustiko Geni. Tapi seumur hidup dia belum pernah
melihatnya. Karenanya tentu saja diatak tahu nama keris yang diperihatkan
Ratih.
“Sulit bagiku menerka keris
itu. Apakah itu penting? Dan ada hubungannya dengan maksudku mengambilmu jadi
istri?”
“Betul sekali pangeran.
Senjata ini ada hubungannya dengan maksud pangeran itu….”
“Kau….kau akan memberikannya
padaku atau bagaimana?” tanya Pangeran Onto Wiryo. Makin lama makin tak
mengerti dia apa yang sedang dituju oleh gadis jelita itu.
“Apakah pangeran ingin
memilikinya?’ bertanya Ratih.
“Ah….kau baik sekali. Aku
benar-benar sangat terkesan akan sifat pribadi dirimu, Ratih. Tapi aku tak
menginginkan keris itu. aku menginginkan dirimu…..” jari-jari tanan sang pangeran
yang mengelus-elus leher sang dara bergerak turun, menyapu di bagian dada yang
membusung lembut.
“Pangeran belum melihat badan
keris ini. Akan saya perlihatkan pada pangeran,” kata Ratih lalu perlahan-lahan
mencabut keris Mustiko Geni dari sarungnya.
Begitu keris keluar dari
sarangnya, sinar merah memancar menyilaukan dan hawa panas membersit membuat
Pangeran Onto Wiryo terkesiap dan bergerak mundur, menatap senjata itu dengan
pandangan kagum.
“Senjata luar biasa!” katanya
memuji. Ini pasti senjata sakti…..”
“Benar pangeran. Ini memang
senjata sakti. Dan akan saya buktikan kesaktiannya!” selesai berkata begitu,
tiba-tiba Ratih alias Nawang Suri menusukkan Keris Mustika Geni ke dada
Pangeran Onto Wiryo. Pangeran ini berseru kaget dan cepat menepis dengan tangan
kanannya. Meskipun dia dapat menyelamatkan dada namun lengannya tersayat dalam.
Darah mengucur deras. Hawa sangat panas seperti memenggang tubuhnya. Pangeran
ini menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya perlahanlahan tampak menghitam.
Pakaiannya berubah kecoklatan seperti hangus. Pangeran Onto Wiryo menjerit
terus. Karena tak sanggup lagi menahan hawa panas yang membakar tubuhnya, dia
lari menceburkan diri ke dalam telaga Tegal Parang. Namun air telaga yang sejuk
itu tak dapat melenyapkan hawa panas tersebut. Tubuh sang pangeran nempak
menggeliat. Tangan dan kakinya melejang-lejang. Asap mengepul dari tubuh itu
tak beda sebuah benda panas dicelupkan ke dalam air. Tak lama kemudian tubuh
itu tak bergerak lagi dan perlahan-lahan tenggelam lenyap dari permukaan
telaga.
Ratih alias Nawang Suri
jatuhkan diri, berlutut di tepi telaga seraya mengacungkan Keris Mustiko Geni
yang masih terbungkus darah. Dari mulutmya terdengar ucapan.
“Ayah…..ibu! Korban pertama
jatuh sudah! Doakan agar anakmu dapat melanjutkan pembalasan agar sakit hati
dan dendam berkesumat terbalaskan. Agar tahta Kerajaan kembali ke tangan
kita……”
Masih ada beberapa patah kata
lagi sebenarnya akan diucapkan gadis itu. namun telinganya yang tajam mendengar
suara semak belukar terkuat, disusul oleh langkah-langkah kaki datang mendekat.
Nawang Suri melompat bangkit dan membalik. Keris Mustiko Geni siap di tangan.
“Kau!” seru gadis itu ketika
melihat siapa yang tegak di depannya.
“Kau juga!” balas orang yang
barusan datang. “Apa yang kau perbuat di sini…..?’
“Kau tak layak bertanya yang
bukan urusanmu!” Dalam hatinya Nawang Suri bertanya-tanya apakah pemuda di
hadapannya itu tahu atau menyaksikan apa yang terjadi.
“Kau betul. Aku tak layak
mencampuri urusanmu. Hanya saja tadi aku mendengar suara orang
menjerit-jerit….. dari arah sekitar sini.”
“Mungkin hanya pendengaranmu
yang menipu diri sendiri. Tak ada yang menjerit di sini. Barangkali juga suara
setan yang kau dengar. Lagi pula bukankah kau sendiri mengaku berotak miring.
Jadi apapu yang kau dengar hanya perasaan belaka!”
Pemuda di hadapan Nawang Suri
yang bukan lain adalah Wiro Sableng tertawa bergelak.
“Ya, beginilah nasib orang
sableng. Tapi aku melihat darah di keris mustika itu. Eh, kau masih saja
main-main dengan benda itu. Bukankah sudah kukatakan agar disimpan
baik-baik…..?”
Nawang Suri memasukkan Keris
Mustiko Geni ke dalam sarungnya tanpa membersihkan noda darah. Lalu
menyimpannya di balik setagen.
“Nah, sudah kusimpan!”
katanya. “Sekarang kau pergilah dari sini. Antara kita tidak ada apa-apa lagi!”
“Eh, mentang-mentang kau kini
berdandan dan berpakaian cantik bagus…..”
Nawang Suri tak lagi
mengacuhkan Wiro. Dia melangkah ke balik serumpun semak belukar. Dari balik
semak-semak ini dia mengambil sebuah buntalan. Dari buntalan dikeluarkannya
sehelai pakaian dan celana putih, juga sehelai sapu tangan besar berwarna putih
yang biasa dipakai untuk ikatan atau penutup kepala. Dengan cepat Nawang Suri
mengenakan pakaian putih itu. Lalu menyingsingkan kainnya tinggi-tinggi sehinga
kakinya sampai sebatas pertengahan paha terlihat jelas dan membuat sepasang
mata Wiro Sableng terbuka lebar-lebar menyaksikan pemandangan ini. Sebaliknya
seperti tak acuh Nawang Suri terus saja mengenakan celana panjang putih.
Selesai berpakaian dia menutupi kepalanya dengan sapu tangan. Lalu dari kantong
baju putih diambilnya sebuah kumis palsu, langsung dipasangnya di bawah hidung.
Sambil garuk-garuk kepala Wiro
Sableng berkata “Kau ini mestinya seorang pemain sandiwara yang cekatan!”
“Dengar sableng…..!” kata
Nawang Suri. Sikapnya tegas tapi justru membuat Wiro tak dapat menahan tawa.
“Aku akan meninggalkan tempat ini. Awas kalau kau berani mengikuti!”
“Kau benar-benar gadis aneh!
Apa arti semua ini……?!” tanya Wiro. Tapi dia tak mendapat jawaban. Sang dara
berkelebat dan lenyap di balik belukar tinggi. Ketika Wiro bergerak hendak
mengejar, sebuah benda laksana anak panah melesat menyambar ke arah kepalanya.
Cepat-cepat pendekar ini merunduk selamatkan diri. Benda itu ternyata patahan
sebuah ranting kayu.
“Gadis aneh tapi nekad!” desis
Wiro.
Kapak Maut Naga Geni
212SEPULUH
Hari pertama lenyapnya
Pangeran Onto Wiryo mulai mendatangkan keresahan di kalangan istana, termasuk
Sri Baginda, Kepala Pasukan Kerajaan dan tentu saja anak istrinya. Siang hari
kedua ketika sang pangeran masih juga belum muncul, keresahan itu berubah
menjadi kecurigaan. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan dirinya. Lalu
hal ini dihubungkan dengan keadaan kerajaan yang masih belum aman karena
diketahui ada kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha menimbulkan
kekacauan. Sembilan kelompok pasukan segera dibentuk untuk melakukan pencarian.
Pagi hari ketiga mayat pangeran Onto Wiryo diketemukan terapung di telaga Tegal
Parang. Kotaraja dan seluruh kerajaan menjadi gempar.
Mayat sang pangeran ditemukan
dalam keadaan rusak menggembung namun masih dapat dikenali. Apalagi di tepi
telaga kemudian ditemukan pula kuda tunggangannya. Yang menjadi pertanyaan
mengapa saat itu Pangeran Onto Wiryo hanya mengenakan pakaian biasa. Lalu bekas
luka pada tangannya menguatkan dugaan bahwa pangeran ini menemui ajal bukan
karena kecelakaan biasa, tapi seseorang telah membunuhnya, lalu melemparkan
mayatnya ke dalam telaga. Kerajaan berkabung selama dua minggu!
Sebelum jenazah dimakamkan
keesokan harinya, terlebih dahulu disemayamkan di pendopo besar istana. Ratusan
pejabat tinggi kerajaan termasuk para adipati dari berbagai penjuru datang
melayat. Bahkan di bawah penjagaan ketat rakyat jelata juga diberikan
kesempatan untuk menyatakan rasa duka cita mereka. Sementara itu para pimpinan
pasukan dibantu oleh tokoh-tokoh silat istana secara diam-diam melakuan
penyelidikan sebab musabab kematian Pangeran Onto Wiryo.
Larut malam sebelum Sri
Baginda masuk ke peraduannya Patih Kerajaan diminta datang menghadap. Sesuai
dengan suasana yang dihadapi sang patih menduga bahwa pemanggilan itu tentu
saja ada seluk beluknya dengan upacara pemakaman besok. Namun alangkah
terkejutnya patih ini karena Sri Baginda hanya bicara sedikit, lalu menanyakan
sesuatu.
“Paman Patih, sewaktu orang
banyak diberi kesempatan melayat, aku melihat seorang tua berpakaian serba
putih, yang kukenal dengan nama Gama Manyar. Ahli ukir barang-barang perak.
Apakah kau melihatnya siang tadi…..?’
Patih Wulung Kerso yang sudah
berusia lanjut mengangguk. “Tentu saja saya melihatnya, Sri Baginda.”
“Apakah kau juga melihat gadis
berparas cantik yang datang bersamanya?’ tanya Sri Baginda lagi.
“Ya, saya melihat gadis itu.”
“Siapakah gadis itu Paman
Patih?”
“Tak sempat saya selidiki.
Kehadirannya memang menarik banyak perhatian karena kejelitaan parasnya dan
kehalusan kulitnya. Apakah Sri Baginda menaruh kecurigaan terhadap gadis itu
atau terhadap Gama Manyar?”
Raja tersenyum dan
mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. “Jauh dari itu paman.
Baru kali ini aku melihat perawan secantik itu. Kurasa dia merupakan perempuan
tercantik di seluruh kerajaan….. Apa pendapatmu Paman?”
“Saya rasa begitu Sri
Baginda,” menjawa sang patih.
“Aku ingin menambah
perbendaharaan isi keputren.”
Mendengar kata-kata sang raja,
Patih Wulung Kerso angkat kepala. Kini dia tahu apa sebenarnya maksud Sri
Baginda memanggilnya. Sungguh tidak habis pikir patih tua ini. Dalam suasana
berkabung begitu rupa, malah jenazah Pangeran Onto Wiryo masih belum dimakamkan,
sang ayah, Raja di kerajaan itu telah memikirkan bahkan tertarik pada seorang
gadis dan bermaksud mengawininya. Dunia hampir kiamat agaknya!
“Kenapa kau terdiam Paman
Patih?” Sri Baginda bertanya.
“Ah….. Saya perlu petunjuk
lebih lanjut Sri Baginda.” Kata Patih Wulung Kerso.
“Aku ingin mengambil gadis
itu. Apa kau masih belum jelas?”
“Sebagai istri atau gundik,
Sri Baginda?”
Raja tertawa lebar. “Menurutmu
bagaimana?”
“Sebagai istri tentu saja
tidak mungkin. Karena maaf Sri Baginda. Sri Baginda sudah punya empat istri.
Berarti sebagai gundik saja…..”
“Bagus kalau kau mengerti
begitu. Sekarang kau kutugaskan untuk emnghubungi Gama Manyar, menyelidiki
siapa adanya gadis itu dan sekaligus mengatakan maksudku mengambilnya sebagai
gundik……”
“Saya akan melakukannya Sri
Baginda. Namun harap maaf mengingat kita masih dalam suasana berkabung, apa
maksud itu tidak bisa ditunda sampai empat belas hari?’
“Empat belas hari terlalu lama
Paman patih. Besok selesai upacara pemakaman kau utus seseorang untuk memanggil
Gama Manyar dan sampaikan maksudku. Katakan pada orang tua itu, apapun hubungan
gadis itu dengan dirinya itu satu kehormatan baginya. Kelak dia akan kuangkat
jadi juru ukir istana. Berarti dia akan menerima sejumlah tunjangan setiap
bulan dari istana…..”
“Kalau begitu titah Baginda,
saya akan melaksanakannya. Saya mohon diri. Hari hampir pagi……”
Sebagai seorang patih ternyata
Wulung Kerso bukan seorang yang bisa menahan rahasia. Maksud Sri Baginda hendak
mengambil gadis yang datang bersama Gama Manyar sebagai gundik dituturkannya
pada beberapa pejabat istana. Salah seoerang yang akhirnya mengetahui hal itu
adalah Sindu Kalasan, tokoh silat yang dikenal dengan gelar Datuk Tongkat Dari
Selatan.
“Sebagai seorang Raja tentu
saja Sri Baginda bisa berbuat begitu,” kata Datuk Tongkat berbisik-bisik pada
Patih Wulung Kerso. Saat itu mereka bersama yang lainlainnya berada di pendopo
di mana jenazah Pangeran Onto Wiryo bafu saja selesai dimandikan. “Hanya,
apakah tidak perlu asal usul gadis itu diselidiki lebih dulu?”
“Seharusnya memang demikian.
Namun mengingat dia datang bersama Gama Manyar, orang tua yang termasuk dalam
daftar bersih, maka hal itu rasanya bisa dilupakan. Hanya menurutku waktunya
yang kurang tepat. Terlalu tergesa-gesa memikirkan gundik jelita. Padahal
puteranya dikuburpun belum!”
Datuk Tongkat hanya tersenyum
kecil mendengar kata-kata sang patih. Sebentar-sebentar dia meraba pinggangnya.
“Kelihatannya kau kurang
sehat……”
“Sakit pinggangku kambuh
lagi,” jawab sang datuk. Padahal rasa sakit di pinggangnya itu adalah bekas
hantaman pukulan Wiro Sableng beberapa hari lalu. Setelah berpikir-pikir
sejenak Datuk Tongkat berkata “Terus terang gadis itu memang cantik sekali.
Kulitnya halus luar biasa. Rambutnya yang hitam tebal dan panjang membuat mata
lelaki tak bisa lepas dari memandangi wajah dan auratnya. Tak salah kalau Sri
Baginda sangat terpikat. Aku rasa-rasanya pernah melihat gadis itu sebelumnya.
Tapi sulit kuingat di mana dan kapan……”
Patih Wulung Kerso
menepuk-nepuk bahu sang datuk seraya berkata “Itu hanya rasa-rasamu Datuk.
Begitu sifat lelaki jika melihat perempuan cantik. Aku kawatir kaupun
terpikat…..”
“Kau betul. Tapi siapa yang
berani bersaing dengan Sri Baginda?’
Menjelang rembang petang
setelah siangnya dilakukan pemakaman jenazah Pangeran Onto Wiryo, seorang
utusan Ptih Kerajaan datang ke tempat kediaman juru ukir Gama Manyar.
“Pak juru ukir, kau diminta
datang menghadap Patih Wulung Kerso sekarang juga,” sang utusan menyampaikan
pesan. Diam-diam Nawang Suri ikut mendengarkan pembicaraan dari ruangan
sebelah.
“Jika Patih Kerajaan menyuruh
menghadap pasti ada sesuatu yang penting. Mungkin menyangkut soal
ukir-mengukir. Apakah sebagai utusan kau mengetahui maksud Patih Kerajaan
memanggilku?” bertanya Gama Manyar. Baginya pemanggilan dirinya hanya berarti
dua. Dirinya dicurigai. Atau jeratnya sewaktu membawa Nawang Suri melayat ke
istana sudah tepat mengenai diri Sri Baginda yang diketahuinya memang seorang
lelaki mata keranjang.
“Saya hanya seorang suruhan
pak juru ukir. Mana saya tahu maksud Patih. Harap bapak ikut saya sekarang.
Kereta sudah disiapkan di luar……”
“Kereta?” membatin Gama
Manyar. “Hmmmmm……. Kalau begitu mungkin sekali jeratku sudah mengena. Jika
bukan untuk satu berita yang kutunggu-tunggu mana mungkin patih mengirimkan
keret untuk menghormatiku. Jika aku dicurigai pasti serombongan pasukan sudah
mengurung rumah ini!”
Gama Manyar menganggukkan
kepala pada utusan yang datang. “Baiklah, sebelum pergi aku akan memberitahukan
keponakanku dulu,” katanya.
Beberapa saat sebelum matahari
terbenam, Gama manyar kembali, diantar dengan sebuah kereta. Begitu masuk ke
rumah, Nawan Suri langusng menemuinya. Si orang tua mengintai dari balik
jendela. Setelah memastikan orang yang tadi mengantarnya telah pergi jauh baru
dia membalik dan berkata “Sungguh tidak kusangka. Rencana kita akan terlaksana
lebih cepat dari yang diduga. Jerat yang kita pasang telah mengena!”
“Apa yang telah terjadi Empu?”
“Sri Baginda melihat Den Ayu
sewaktu melayat kemarin. Tadi sore Patih Wulung Kerso meminta saya menghadap.
Memberi tahu kalau Sri Baginda telah memutuskan mengambil Den Ayu sebagai
gundiknya……”
“Kalau begitu kita harus
menyusun rencana lebih terperinci. Pertama mengatur saat yang tepat kapan saya
harus membunuh Raja. Lalu kapan orang-orang kita menyerbu istana mengambil alih
kekuasaan……” Nawang Suri nampak sangat bersemangat.
“Karena waktu hanya sedikit,
kita harus bertindak cepat Den Ayu. Malam ini juga saya akan menemui
orang-orang kita di Susukan. Sri Baginda akan memboyong Den Ayu ke istana dua
hari di muka. Pada malam pertama dia memasuki kamar Den Ayu, itulah saatnya dia
harus dibunuh. Saya nanti akan membuatkan peta istana hingga Den Ayu bisa mudah
menyelinap melarikan diri. Menjelang pagi Den Ayu sudah harus muncul kembali memimpin
orang-orang kita merebut istana…..”
“Bagaimana dengan tugas juru
masak rahasia? Apakah dia mampu menyiapkan racun untuk tokoh-tokoh istana?”
“Orang kita yang satu ini
tampaknya penggugup. Saya sudah menarik dia dari istana sebelum kedoknya
terbuka. Berarti kita tetap mulai dengan membunuh Raja lebih dulu.”
“Pasukan yang akan menyerbu
istana. Apakah jumlahnya cukup kuat?”
“Jumlah pasukan kita memang
tidak besar Den Ayu. Namun unsur dadakan selagi mereka berada dalam suasana
geger akibat kematian Raja membuat kita berpeluang besar untuk mengambil alih
kekuasaan….”
“Kalau begitu empu segera saja
berangkat ke Susukan.”
“Memang saya akan segera
berangkat saat ini juga. Menurut Patih Wulung Kerso, atas kehendak Raja dia
akan mengirim beberapa orang petugas untuk menjaga rumah dan sekitarnya malam
ini. Saya pergi sekarang Den Ayu….”
“Baik empu. Hati-hatilah….”
Kata Nawang Suri. Secepatnya orang tua itu keluar, dia segera menutup pintu. Di
dalam kamarnya Nawang Suri mengambil Keris Mustiko Geni danmencabut senjata ini
dari sarungnya. Sinar merah menerangi kamar. “Keris sakti, kau akan mendapat
tugas besar. Setelah itu kau akan kembali menjadi lambang dan tumbal tahta
kerajaan!”
Gadis itu cepat sarungkan
senjata mustika itu kembali ketika di luar didengarnya suara derap kaki-kaki
kuda mendatangi. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu. Nawang
Suri menyelipkan Mustiko Geni di pinggang lalu keluar dari kamar.
Ketika pintu depan dibuka,
sesosok tubuh tinggi besar tegak di hadapan Nawang Suri. Orang ini langsung
menjura hormat dan dengan kepala agak tertunduk dia berkata.
“Gusti Ayu…. Saya
diperintahkan Patih Kerajaan untuk memimpin penjagaan di sini malam ini. Saya
Buto Celeng, datang bersama dua orang bawahan….”
Selesai berkata begitu baru orang
tersebut mengangkat kepalanya. Setelah jelas-jelas dia melihat wajah gadis di
hadapannya maka Buto Celeng berseru kaget seraya mundur “Bukankah….. bukankah
gusti ayu…. Kau….! Kau gadis pemberontak malam itu! Kau Nawang Suri…..!”
Kata-kata Buto Celeng hanya
sampai di situ. Pada detik Buto Celeng mengetahui siapa dirinya, Nawang Suri
mencabut Mustiko Geni dan secepat kilat menusukkannya ke dada kiri tokoh silat
istana kelas tiga itu. dua orang perajurit yang ikut bersama Buto Celeng dan
berada di tangga rumah tentu saja terkejut menyaksikan kejadian itu. Keduanya
melompati tangga memburu. Namun merekapun disambut dengan tusukan-tusukan
senjata sakti hingga menemui ajal menyusul Buto Celeng. Mayat ketiga orang itu
dinaikkan ke atas kuda tunggangan masing-masing. Setelah berganti pakaian
Nawang Suri menunggu sampai malam turun lebih gelap, lalu dalam kegelapan malam
tiga kuda bersama tiga mayat itu dibawanya ke arah timur di mana terdapat
sebuah jurang di tepi belantara.
Sebelum Buto Celeng
dilemparkannya ke dalam jurang ersama mayat dua perajurit itu, Nawang Suri
menyelipkan sepucuk kertas ke dalam saku pakaian Buto Celeng. Dengan seringai
puas gadis ini kemudian tinggalkan tempat itu. Di kejauhan terdengar suara
anjing melolong. Dinginnya udara mulai menucucuk persendian.
Kapak Maut Naga Geni
212SEBELAS
Ketika malam itu Patih Wulung
Kerso melaporkan pada Sri Baginda bahwa seorang pencari kayu menemukan mayat
Buto Celeng dan dua perajurit di dalam jurang di tepi hutan belantara
Jatilameh, sang raja tampaknya tak begitu tertarik. Dia yang sedang kasmaran
malah menanyakan keadaan Ratih calon gundiknya itu. sewaktu diberitahu Ratih
tak kurang suatu apa, Sri Baginda tertawa cerah.
“Syukur calon gundikku itu
berada dalam keadaan baik-baik. Kuharap agar kau mengatur membawanya malam ini
juga ke istana…..”
“Sri Baginda,” ujar Wulung
Kerso. “Apakah itu tidak terlalu cepat? Kita masih belum menujuh hari atas
berpulangnya putera Sri Baginda Pangeran Onto Wiryo…..”
“Soal gundikku dan puteraku
tak ada sangkut pautnya. Lakukan apa yang kuperintahkan. Atau kau ingin
membantah Paman Patih?”
“Maafkan saya Sri Baginda.
Bukan maksud saya berani membantah. Saya hanya menyampaikan sesuatu yang saya
rasa baik. Saya hanya menurut perintah. Bagaimana dengan mayat Buto Celeng dan
dua perajurit itu……?”
“Bagaimana apa lagi? Urus
penguburannya. Habis perkara. Kurasa mereka bertiga berkeluyuran malam tadi.
Bukannya berjaga-jaga di rumah Gama Manyar……”
“Menurut Den Ayu Ratih mereka
tak pernah sampai ke rumahnya…..”
“Jelas itu satu bukti lagi.
Mereka keluyuran. Dihadang para pemberontak yang menyelinap ke dalam Kotaraja
dan dibunuh!”
“Mungkin begitu Sri Baginda.
Namun orang-orang kita masih terus melakukan penyelidikan apa sebenarnya yang
terjadi. Ada sesuatu ditemukan dalam saku pakaian Buto Celeng.”
“Sesuatu apa?”
“Sepucuk surat. Agaknya dalam
istana banyak musuh dalam selimut. Untuk jelasnya silahkan Sri Baginda membaca
surat yang ditemukan dalam saku Buto Celeng ini…..” Lalu Patih Wulung Kerso
menyerahkan sepucuk surat yang sudah lecak dan kotor.
Mendapatkan dimas Sindu
Kalasan.
Dengan tewasnya Empu Andiko
Pamesworo kekuatan kita jelas berkurang. Karenanya kita harus bergerak cepat
sesuai dengan rencana. Sebelum aku mati, aku ingin Raja perampas tahta kerajaan
itu menemui ajalnya. Harap dimas segera menghubungi orang-orang kita untuk
menentukan hari penyerbuan. Jangan lupa mencari tambahan kekuatan baru,
terutama dari pihak tokoh-tokoh silat istana. Jabatan patih tetap menjadi
bagian dimas kelak
Tertanda
Resi Mulyorejo.
Kedua mata Sri Baginda
terbelalak dan memandang tak berkedip pada Wulung Kerso.
“Jadi……Jadi….”
“Sri Baginda sudah membaca
semua. Saya tinggal menunggu perintah…..” kata Patih Wulung Kerso ketika
melihat Sri Baginda gagap dan merah wajahnya.
“Panggil hulubalang pertama
dan kedua. Bawa dua lusin perajurit! Tangkap keparat itu sekarang juga. Dan
besok pagi gantung dia di alun-alun agar semua melihat apa akibat bagi
seseorang yang menjadi musuh dalam selimut!”
“Perintah saya lakukan Sri
Baginda. Saya mohon diri!” kata Patih Wulung Kerso.
“Tunggu dulu!” seru Raja.
“Resi keparat bernama Mulyorejo itu! Kukira sudah mampus dia! Ternyata masih
hidup. Apa sampai saat ini orang-orangmu masih belum mengetahui di mana tempat
persembunyiannya?”
“Manusia satu itu sulit
dilacak. Licin seperti belut…..”
“Sudah! Sudah! Pergi lakukan
tugasmu paman Patih. Aku tak mau dengar cerita panjag lebar tentang kehebatan
Resi keparat itu. yang perlu menangkap dan memancungnya! Lalu satu hal jangan
lupa! Ratih, gadis yang akan jadi gundik baruku harus berada di istana malam
ini juga. Aku sudah memerintahkan kepala rumah tangga istana menyiapkan sebuah
kamar baru di ujung kanan keputrenan….”
“Baik Sri Baginda. Semua
perintah akan saya lakukan….” Kata Patih Wulung Kerso lalu menjura dan berlalu
dari hadapan sang raja.
Sebagai tokoh silat tingkat
tinggi istana Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat Dari Selatan mendapat tempat
kediaman dalam lingkungan bangunan-bangunan istana. Rumahnya, sebuah gedung
kecil tapi mewah terletak di sebelah timur pintu gerbang. Dia tengah duduk
berangin-angin di langkan gedeung sambil mendengar nyanyian seorang kawula
ketika rombongan utusan Patih Wulung Kerso muncul, langsung menyerahkan surat
yang ditemukan dalam saku pakaian Buto Celeng.
“Ini fitnah busuk keparat!”
teriak Datuk Tongkat seraya menggebrak meja kayu di hadapannya hingga hancur
berkeping-keping. Surat itu diremasnya lalu dibantingnya ke lantai. Sepasang
matanya membelalak menatap dua orang yang tegak di hadapannya sambil melipat
sepasang tangan masing-masing di depan dada.
“Kalian berdua adalah
sahabat-sahabatku! Kalian pasti tidak mau mempercayai isi surat itu bukan…..?”
kembali sang datuk bicara.
“Apa yang tersirat itulah yang
nyata dimas Sindu.” Menjawab kakek berpakaian biru berikat pinggang putih yang
tegak memegang seuntai tasbih hijau. Muluntya senantiasa komat-kamit melafalkan
sesuatu. Dia adalah Ki Rawe Jembor, hulubalang barisan pertama yang memiliki
kepandaian dua tingkat di atas Datuk Tongkat dan merupakan pimpinan dari
seluruh tokoh silat istana yang mengabdikan diri pada kerajaan.
Di sebelah Ki Rawe Jembor
berdiri seorang lelaki berwajah pucat angker. Kedua pipi dan rongga matanya
sangat cekung. Dia dikenal dengan nama Imo Gantra, merupakan hulubalang barisan
kedua dan memiliki kepandaian satu tingkat di bawah Ki Rawe Jembor atau satu
tingkat di atas Datuk Tongkat.
Perlahan-lahan Sindu Kalasan
tegak dari kursi yang didudukinya. Dadanya turun naik tanda perasaannya
berkobar. Dia memandang berganti-ganti pada kedua tokoh di hadapannya lalu
berkata. “Kalian tidak bicara banyak. Jadi…..apakah kalian datang untuk
menangkapku? Menangkap sahabat sendiri?!”
“Antara kita tetap sebagai
sahabat-sahabat tak terpisahkan dimas Sindu,” menyahuti Imo Gantra. “Hanya
dalam soal tugas harap kau suka memisahkan persahabatan dan kenyataan.”
“Kami harap kau ikut secara
baik-baik. Di hadapan Sri Baginda kau akan berusaha membelamu.”
Datuk Tongkat menyeringai
sinis mendengar kata-kata Ki Rawe Jembor itu. “Jika kalian berniat membelaku,
kalian tak akan sampai datang kemari! Tidak kusangka, sahabat-sahabat yang
kukira sejati malam ini menunjukkan belangnya. Jika kalian hendak menangkapku
silahkan!”
Habis berkata begitu Datuk
Tongkat berteriak keras. Tubuhnya melesat ke atas, meelwati antara bahu Imo Gantra
dan Ki Rawe Jembor dan sampai di taman gedung. Dua lusin perajurit yang sejak
tadi berjaga-jaga segera mengurung sementara Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor
sudah berkelebat dan tegak mengapit sang datuk.
“Dimas Sindu. Aku anjurkan
agar kau menyerah secara baik agar tak ada darah yang tertumpah!”
Datuk Tongkat tertawa panjang.
“Mulutmu sungguh manis. Tapi hatimu palsu! Aku lebih suka memilih mati
bergenang darah dari pada menyerah!” Sepasang mata Datuk Tongkat membelalak
liar. Pada saat itulah dia melihat sebuah kereta terbuka memasuki pintu gerbang
dikawal oleh enam perajurit di bwah pimpinan seorang perwira.
Ketika melihat gadis cantik
yang duduk di atas kereta terbuka itu, entah bagaimana mendadak saja ingatan
sang datuk kembali pada peristiwa perkelahian di malam hari di daerah
pesawahan. Darah sang datuk tersirap. Wajahnya menunjukkan rasa kaget amat
sangat. Kalau pada malam sang dara melayat dia masih belum ingat siapa adanya
dara itu tapi saat ini mendadak saja ingatannya pulih kembali. Gadis di atas
kereta itu, yang diketahuinya hendak diambil gundik oleh Sri Baginda,
sesungguhnya adalah musuh besar kerajaan yang sedang dicari-cari. Yaitu bukan
lain ratu pemberontak Nawang Suri!
Nawang Suri sendiri merasakan
dadanya berdebar sewaktu melihat Datuk Tongkat memandang tak berkedip ke
arahnya.
“Celaka kalau dia sampai
mengenaliku,” membathin Nawang Suri. “Aku datang kemari terlalu cepat. Ternyata
datuk itu belum ditangkap. Surat palsu yang kuselipkan di kantong Buto Celeng
pasti datang terlambat ke tangan raja…..”
Nawang Suri palingkan
wajahnya, menghindari pandangan Datuk Tongkat. Namun jalan pikiran sang datuk
justru tampak jernih. Dia ingat ketika memeriksa mayat Buto Celeng dan dua anak
buahnya, ketiga orang itu menemui ajal dengan badan hangus hitam. Berarti
luka-luka yang dideritanya akibat tikaman senjata sakti. Dan kini dia tahu.
Senjata sakti apalagi kalau bukan Keris Mustiko Geni?!
“Gadis pemberontak! Kau mau
kemana!” berteriak Datuk Tongkat lalu melompat ke arah kereta. Tentu saja para
perajurit dan hulubalang istana yang mengurung cepat memapaki gerakannya.
“Kalian semua dengar! Gadis
ini adalah Nawang Suri, ratu pemberontak! Kita harus menangkapnya!” berteriak
Datuk Tongkat.
Imo Gantra mendengus. “Jangan
coba mengalihkan perhatian dimas Sindu! Justru kaulah yang harus kami tangkap
detik ini juga!”
“Tolol! Kalian tidak kenal
siapa dia! Aku pernah bentrokan dengan dia. Gadis ini adalah Nawang Suri, ratu
pemberontak yang dicari-cari. Dia memiliki Mustiko Geni!”
Ki Rawe Jembor tertawa sinis.
“Pemberontak tak menuduh pemberontak! Dimas Sindu, kau tahu siapa gadis itu?
Dia adalah calon gundik Sri Baginda. Kuharap mulutmu jangan ketelepasan bicara
yang tidak-tidak!”
“Kalian boleh mencincang aku!
Tapi tangkap dulu gadis itu!” teriak Datuk Tongkat marah dan sangat penasaran
karena ucapannya.
Ki Rawe Jembor memberi
isyarat. Belasan perajurit dan Imo Gantra kembali menyerbu. Terpaksa Datuk
Tongkat menghadapi orang-orang ini dan putar tongkat bambunya dengan sebat. Dua
perajurit terpekik dan terjengkang. Seorang roboh dengan dada mengucurkan darah
akibat tusukan tongkat bambu, satunya lagi merangkak di tanah sambil mengerang
karena tulang selangkangannya patah.
Meskipun orang-orang yang ada
di situ tidak mempercayai kata-kata Datuk Tongkat, namun dalam hatinya Nawang
Suri yang duduk di atas kereta merasa tak enak. Keadaannya kini sangat
terancam. Dia harus mengambil satu keputusan. Selagi para tokoh silat itu sibuk
hendak menangkap Datuk Tongkat dia harus mengambil keputusan, sekaligus melakukannya.
Tangannya bergerak perlahan ke arah pinggang. Di situ tersembunyi keris sakti
Mustiko Geni.
Di saat itu pula di pintu
gerbang pekarangan istana terdengar suara siulan. Sesosok tubuh berkelebat lalu
laksana seekor burung hinggap di atas tembok istana, duduk berjuntai
menyaksikan perkelahian seru antara para tokoh silat istana. Menurut orang yang
duduk di atas tembok ini, dalam waktu singkat sang datuk pasti akan konyol
dilabrak sereangan-serangan yang begitu banyak. Ketika berpaling ke arah kiri
diapun tampak tercengang melihat siapa dara yang duduk di atas kereta terbuka.
“Gadis itu! kini dia ada pula
di sini! Kalau dia benar pemberontak, berarti dia berada di sarang harimau!
Nekad! Berani betul dia! Apa yang hendak dilakukannya di sini. Tapi eh, dia
duduk di atas kereta diiringi para pengawal. Bagaimana mungkin…..?” Karena tak
habis pikir orang yang duduk di atas tembok itu gelenggelengkan kepala lalu
garuk rambutnya beberapa kali. Inilah ciri-ciri Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng!
Kapak Maut Naga Geni 212DUA
BELAS
Sri Baginda duduk
terkantuk-kantuk di atas kursi sambil menyedot pipa panjang. Bau tembakau yang
dibakar memenuhi ruangan besar. Di sebelah kirinya duduk Patih Wulung Kerso. Di
sebelah kanan berdiri Raden Cokroningrat, Kepala Pasukan Kerajaan.
“Gundikku itu masih belum juga
datang. Dan aku mendengar suara ribut-ribut di luar sana…..” kata Sri Baginda
pula setelah labih dulu menghembuskan asap pipanya jauh-jauh ke udara.
“Sebentar lagi Den Ayu gundik
Sri Baginda itu pasti sampai,” menjawab Cokro Ningrat. “Dan suara ribut-ribut
di luar itu adalah suara perkelahian mereka yang sedang menangkap Datuk
Tongkat.”
“Hanya menangkap seekor monyet
pengkhianat saja mengapa begitu riuhnya seperti tontonan pasar malam!” kata Sri
Baginda. Dengan rasa tak sabar dia menyerahkan pipanya pada seorang ponggawa
lalu bangkit dari kursi, melangkah ke langkan depan istana diikuti oleh Wulung
Kerso dan Cokro Ningrat.
Sewaktu Sri Baginda sampai di
tangga depan istana perkelahian tengah berlangsung seru. Datuk Tongkat Dari
Selatan tampak berlumuran darah di wajahnya sebelah kanan akibat hantaman
tasbih hijau KI Rawe Jembor yang tepat menghantam mata kanannya hinnga pecah
dan mengucurkan darah. Dalam keadaan terluka begini sang datuk mengamuk seperti
harimau kemasukan setan. Dia sudah maklum tak bakal bisa lolos dari kepungan
dua tokoh silat dan delapan perajurit itu. karenanya dia berjibaku. Mati tak
jadi apa asal paling tidak salah seorang dari dua tokoh silat istana itu juga
harus meregang nyawa di tangannya. Tongkat sang datuk menderu ganas. Menusuk
dan memukul ke pelbagai penjuru. Namun di jurus itu dia hanya mampu menghantam
dua orang perajurit saja sementara gempuran serangan atas dirinya semakin
membahayakan. Pada saat itulah dengan mata kirinya yang masih utuh Datuk
Tongkat melihat Sri Baginda muncul di tangga istana sementara kereta yang
membawa Nawang Suri juga sampai di depan tangga dan berhenti di hadapan sang
raja.
“Sri Baginda!” berteriak Datuk
Tongkat seraya melompat mendekati tangga istana. “Awas! Gadis di atas kereta
itu adalah Nawang Suri! Pemberontak yang selama ini dicari-cari…..!”
Ucapan Sindu Kalasan alias
Datuk Tongkat hanya sampai di situ. Untuk kedua kalinya tasbih hijau di tangan
Ki Rawe Jembor berdesing ganas, menghantam batok kepala Dauk Tongkat hingga
manusia yang pernah membaktikan dirinya pada istana ini harus menemui ajal di
tangan kawannya sendiri! Datuk Tongkat terkapar di ujung tangga istana denan
kepala pecah! Serta merta perkelahianpun berhenti.
Kejadian yang mengerikan itu
agaknya sama sekali tidak begitu menarik perhatian sang raja. Dia memalingkan
kepala ke arah perawan cantik jelita yang duduk di atas kereta, yang sebentar
lagi akan diboyongkan ke dalam kamar istana. Dia sendiri yang akan memegang
rangan Ratih, membantunya turun dari kereta lalu membawanya masuk ke dalam
istana. Namun maksud sang raja tak pernah kesampaian. Dari atas kereta
terdengar suara pekik menggelegar, mengejutkan semua orang. Selagi semua orang
terkesiap kaget, tubuh Nawang Suri tampak melompat. Sinar merah tiba-tiba
membersit di sertai hawa panas menebar angker.
“Keris Mustiko Geni!” teriak
Imo Gantra, Raden Cokro Ningrat dan Patih Wulung Kerso, juga Ki Rawe Jembor
ketika semua mereka melihat benda yang tergenggam di tangan Ratih, calon gundik
yang sebenarnya adalah Nawang Suri, musuh besar kerajaan. Semua orang memburu.
Namun jarak mereka dari raja terpisah cukup jauh. Selagi Sri Baginda tercekat
tak mengerti apa yang sebenarnya telah dan akan terjadi, keris sakti di tangan
Nawang Suri telah menghujam dalam di pertengahan dadanya!
“Gusti Allah! Celakalah
Kerajaan!” seru Ki Rawe Jembor menyaksikan raja berlumuran darah sambil
memegangi dada, tertegak gontai lalu roboh di anak tangga kedua.
“Sri Baginda tewas!” berseru
Imo Gantra.
Semua yang menyaksikan
bagaimana tubuh Sri Baginda sesaat berkelojotan, matanya membeliak. Dari
mulutnya keluar ludah membuih lalu sekujur tubuhnya tampak menghitam seperti
hangus!
Dalam keadaan seperti itu
Nawang Suri membalikkan diri menghadap orang-orang itu seraya mengacungkan
Keris Mustiko Geni yang berlumuran darah ke atas.
“Kalian semua dengar!” teriak
gadis ini. wajahnya buas dan matanya berapiapi. “Keris Mustiko Geni dalam
genggamanku! Berarti tahta kerajaan ada dalam tanganku! Tahta memang menjadi
hakku karena raja kalian sebelumnya telah merampas dari ayahku! Kalian harus
tunduk semua padaku! Aku Nawang Suri ratu penguasa di negeri ini!”
“Gadis nekad!” terdengar
seruan dari tembok istana. Nawang Suri melirik dan melihat Wiro Sableng duduk
di atas tembok itu. gadis ini mengomel dalam hati namun dia kembali menghadapi
orang-orang itu. dia harus menguasai keadaan dengan cepat. Hanya saja Ki Rawe
Jembor dan Imo Gantra merupakan orang tokoh pertama yang tak bisa dibuat
tunduk. Dengan tasbih diputar di tangan kanan Ki Rawe Jembor maju mendekat
seraya berkata “Gadis pemberontak! Kau telah membunuh raja! Nyawamu tak bisa
diampuni!”
Wutt!!
Tasbih hijau berkelebat. Sinar
hijau berkiblat, membuat Nawang Suri terhuyung dan cepat mundur seraya
menangkis dengan Keris Mustiko Geni. Di kakek yang maklum akan kehebatan
senjata di tangan lawan tak berani melakukan bentrokan. Dengan cerdik dia
berkelit lalu menggempur lagi dari samping. Sementara itu Imo Gantra, Cokro
Ningrat, sembilan perwira dan puluhan perajurit telah melakukan pengurungan
lalu mulai merangsak maju. Betapapun tingginya kepandaian Nawang Suri,
sekalipun senjata sakti tergenggam dalam tangannya namun menghadapi sekian
banyak musuh benar-benar bukan tandingannya. Apalagi pakaian yang dikenakannya saat
itu yakni kebaya dan kain panjang tidak memungkinkannya untuk bergerak leluasa.
Dalam waktu dua jurus saja gadis ini sudah terdesak hebat. Dalam jurus ketiga
Keris Mustiko Geni terlepas dari tangannya. Senjata mustika sakti ini cepat
disambar Patih Wulung Kerso. Nawang Suri sendiri melompat mundur sambil pegangi
tulang lengan kanannya yang patah dihantam tasbih Ki Rawe Jembor!
“Kalian mau membunuhku?!”
teriak Nawang Suri sambil bersandar ke tiang besar langkan istana. “Aku tidak
takut mati! Matipun bukan satu kesia-siaan bagiku! Yang penting aku telah
membalaskan sakit hati ayah bundaku! Membunuh raja kalian! Perampas tahta
kerajaan milik syah ayahku!”
Dua buah pedang, satu tombak,
satu jotosan berkekuatan tenaga dalam tinggi ditambah satu hantaman tasbih
sakti berebut cepat melabrak tubuh Nawang Suri. Sang dara yang memang nekad dan
merasa tidak takut malah sengaja menghadang kematian dengan tabah.
“Gadis nekad! Benar-benar
nekad! Gila!”
Terdengar teriakan jengkel
dari arah tembok halaman istana. Bersamaan dengan itu menderu suara aneh
laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar putih perak menyilaukan berkiblat.
Traang…..trang…..trang!
Dua pedang dan satu tombak
terbabat putus. Masing-masing pemegangnya terpental dan terpaksa lepaskan
senjata mereka yang telah puntung karena gaganggagang senjata itu mendadak
sontak terasa panas seperti terbakar! Imo Gantra kucurkan keringat dingin.
Kalau dia tak lekas menarik pulang pukulannya, tangan kanannya akan cacat putus
seumur hidup! Ki Rawe Jembor berseru tegang. Wajahnya pucat ketika dapatkan
tasbih saktinya kini tinggal seutas benang. Butiran-butiran tasbih hijau
melayang ke udara, jatuh bertebaran di langkan istana.
Di depan sosok tubuh Nawang
Suri kini tegak seorang pemuda berambut gondrong sambil memegang sebilah
senjata aneh yakni sebilah kapak bermata dua.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212!” seru Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor. Mereka berdua belum pernah bertemu
dengan Wiro Sableng. Tetapi melihat senjata yang ada dalam genggaman murid
Sinto Gendeng dari gunung Gede ini keduanya segera maklum siapa adanya pemuda
itu. kalau tadi mereka hendak bertindak garang maka kini terpaksa menahan diri.
“Pendekar 212! Tidak disangka
seorang bernama besar sepertimu ternyata membantu pemberontak!” menegur Ki Rawe
Jembor.
“Aku tidak merasa dibantu oleh
siapapun!” berteriak Nawang Suri.
Wir menyeringai dan melirik
sekilas pada sang dara, lalu menimpali. “Aku memang tidak membantunya!”
“Lalu mengapa muncul dan
mencampuri urusan kami orang-orang kerajaan?!” kertak Imo Gantra.
Wiro garuk-garuk kepala.
“Itulah susahnya jadi manusia seperti aku ini. aku bertindak tanpa
memperdulikan siapa adanya gadis ini. Aku hanya tak ingin melihat darah
tertumpah dalam ketidak adilan. Seorang gadis ingusan seperti ini hendak kalian
bunuh beramai-ramai!”
“Pemuda lancang! Berani kau
mengatakan aku!”
Wutt
Nawang Suri hantamkan jotosan
tangan kiri ke punggung Wiro Sableng. Pendekar ini cepat berkelit ke samping.
Tangan kirinya bergerak mengirimkan satu totokan. Detik itu juga Nawang Suri
merasakan tubuhnya kaku tegang.
“Gadis itu bukan gadis ingusan
pendekar,” kata Ki Rawe Jembor dengan pelipis bergerak-gerak dan suara
bergetar. “Dia adalah gembong pemberontak! Dia telah membunuh raja kami!”
“Kalau begitu kalian uruslah
jenazah Sri Baginda!” sahut Wiro pula. Lalu dengan gerakan cepat dia mendukung
tubuh Nawang Suri di bahu kirinya, sementara sang dara tidak hentinya
berteriak-teriak marah.
“Hendak kau bawa ke mana gadis
pemberontak itu…..?” kata Ki Rawe Jembor.
“Kemana aku ingin membawanya itu
bukan urusan kalian. Aku minta jalan dengan segala hormat!”
Imo Gantra mendengus. “Nama
besarmu kami hormati. Tapi jangan kira kami takut untuk melakukan sesuatu!”
Habis berkata begitu Imo Gantra memberi isyarat. Bersama Ki Rawe Jembor,
sembilan perwira tinggi termasuk kepala pasukan Cokro Ningrat, ditambah lagi
lusinan perajurit, segera menyerbu. Wiro sapukan Kapak Maut Naga Geni 212 ke
depan. Semua yang menyerang jadi kalang kabut dan berserabut mundur. Namun
sebatang tombak sempat menusuk bahu kiri Nawang Suri hingga gadis ini menjerit
kesakitan lalu pingsan melihat darahnya sendiri.
“Kalau kalian bersikeras dan
tak mau menahan diri, darah akan lebih banyak mengucur di langkan istana ini!”
Ancaman Wiro itu membuat Imo
Gantra dan Ki Rawe Jembor saling pandang. Akhirnya Ki Rawe Jembor berkata “Kau
boleh pergi. Tapi gadis pemberontak itu tetap harus kau tinggalkan di sini!”
“Kalian orang-orang kerajaan
mau menang sendiri! Ayah dan Ibu gadis ini telah kalian bunuh! Tahta kerajaan
kalian rampas! Apa itu masih belum cukup?!”
“Jika kau berpendapat demikian
maka biar aku mengadu jiwa denganmu!” Imo gantra tak dapat menahan diri lagi
dan siap melompati Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun Ki Rawe Jembor cepat
memegang bahunya dan membisikkan sesuatu. Imo Gantra meskipun masih penasaran
tampak agak kendur amarahnya.
“Pendekar 212!” kata Ki Rawe
Jembor. “Saat ini kami perbolehkan kau dan gadis itu pergi. Tapi ingat satu
hal. Kami tak akan tinggal diam. Kalian berdua tak bisa lari jauh! Pembalasan
kami labih kejam dari siksa neraka!”
Wiro Sableng manggut-manggut
sambil menyeringai. “Aku akan ingat baikbaik ucapanmu itu, orang tua. Tapi
satu hal dariku, kalian ingat pula baik-baik ucapanku ini. apa yang telah
terjadi hari ini kuanggap selesai dan berakhir sampai di sini. Tak ada silang
sengketa baru atau segala dendam kesumat. Tapi jika kalian kelak melakukan
sesuatu terhadap salah satu dari kami, berarti kalian membuka pintu neraka
untuk kalian sendiri!” Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan
siulan panjang, membuat beberapa kali lompatan dan lenyap dari halaman istana.
TAMAT