-------------------------------
----------------------------
030 Dosa Dosa Tak Berampun
1
MESKIPUN tanah Jawa dikenal
sebagai pusat perkembangan ilmu silat dan kesaktian, namun beberapa daerah di
tanah air telah pula mendapat nama harum berkat kehebatan para tokoh silat
serta kesaktian yang mereka miliki. Salah satu di antaranya adalah daratan Aceh
di Ujung Utara Pulau Andalas.
Dalam serial Wira Sableng
berjudul “Raja Rencong Dari Utara” telah dikisahkan munculnya seorang tokoh
silat sakti mandraguna, bernama Hang Kumbara, bergelar Raja Rencong Dari Utara.
Di situ dikisahkan bagaimana Raja Rencong berusaha mendirikan apa yang disebut
Partai Topan Utara. Dia mengundang berbagai tokoh silat yang ada di pulau
Andalas bahkan dari outau Jawa untuk datang ke Bukit Toba guna mengadakan
pertemuan dan membicarakan rencana besar itu. Padahal di balik semua itu Raja
Rencong mempunyai maksud keji yakni hendak membunuh semua para tokoh silat yang
hadir. Bilamana para tokoh itu berhasil disingkirkan maka dia akan menjadi raja
diraja rimba persilatan.
Raja Rencong mulai dengan menghancurkan
Pesantren Suhudilah. Para pengurus pesantren yakni Kiyai Hurajang, Kiyai
Selawan dan Kiyai Tanjung Laboh mati di tangan Raja Rencong. Padahal tiga Kiyai
itu merupakan orang-orang berkepandaian tinggi bahkan telah dianggap sebagai
Datuk rimba persilatan.
Kiyai Suhudilah sendiri, pucuk
pimpinan Pesantren Suhudilah akhirnya tewas pula di tangan Raja Rencong. Tak
ada satu kekuatanpun yang dapat membendung kehebatan Ilmu Kuku Api dan pukulan
Topan Pemutus Urat yang dimiliki Raja Rencong. Dengan dua ilmu luar biasa itu
dia malang melintang dalam rimba persilatan pulau Andalas.
Setelah Pesantren Suhudilah
disapu bersih maka Raja Rencong menggasak satu komplotan manusia-manusia jahat
yang dikenal dengan sebutan Gerombolan Setan Merah. Semula Raja Rencong
bermaksud mengambil lima tokoh Setan Merah untuk menjadi para pembantunya.
Tetapi ketika mereka menolak dan menghina. Raja Rencong membunuh kelimanya
yakni Setan Cambuk (Pemimpin Gerombolan Setan Merah), Setan Pedang, Setan
Pisau, Setan Darah dan Setan Rencong. Dalam kehidupannya yang penuh darah dan
maut itu Raja Rencong mempunyai seorang anak gadis bernama Pandansuri yang
memiliki kecantikan luar biasa, tetapi kekejaman dan keganasannya tidak kalah
dari Raja Rencong sendiri.
Apa yang terjadi di rimba
persilatan pulau Andalas itu sangat menggelisahkan hati seorang tua berusia
hampir tujuh puluh lima tahun. Orang ini dikenal dengan nama Datuk Mata Putih,
tokoh silat yang sangat disegani di pulau Andalas pada masa itu. Kedua matanya
berwarna putih. Hampir tak terlihat lensa mata yang hitam. Tapi dia tidak buta.
Dia merasa menyesal karena Rencong Emas yang kini dimiliki oleh Hang Kumbara
alias Raja Rencong Dari Utara adalah pemberiannya kepada Hang Kumbara sebagai
anak muridnya. Dan kini dengan Rencong Emas sakti mandraguna itulah sang murid
malang melintang menimbulkan keonaran, menurunkan tangan jahat, melakukan
pembunuhan serta perbuatan keji lainnya di mana-mana.
Karena tak dapat berpangku
tangan lebih lama maka Datuk Mata Putih meninggalkan goa pertapaannya mencari
sang murid. Dalam pertemuan di Bukit Toba, Datuk Mata Putih menasihatkan Hang
Kumbara agar bertobat dan tidak lagi melakukan kejahatan karena itu tidak
sesuai dengan perilaku seorang tokoh silat, apalagi mengingat dia adalah
muridnya sedang sang datuk sendiri begitu disegani dan dihormati sesama tokoh
persilatan.
Dengan dalih bahwa dia hanya
membalaskan sakit hati kematian ayahnya yang dibunuh secara kejam semena-mena
Hang Kumbara menganggap dia punya hak melakukan balas dendam. Namun kemudian
dendam terbalaskan itu menjadi dendam berangkai. Para tokoh silat memburunya.
Mau tak mau dia terpaksa mempertahankan diri dan menghancurkan semua orang yang
berusaha menuntut balas.
Apapun alasan yang dikemukakan
Hang Kumbara, semua itu tak dapat diterima oleh Datuk Mata Putih, dan mengharap
agar muridnya yang tersesat kembali ke jalan yang benar. Namun Hang Kumbara
menjawab: “Salahkah murid, sesatkah murid kalau murid murid membunuh belasan
manusia yang bertanggung jawab atas kematian ayah, bahkan ibu, adik-adik, calon
istriku dan seluruh anggota keluarganya…?!”
Datuk Mata Putih menyahuti:
“Orang-orang yang bertanggungjawab atas semua itu jumlahnya hanya sepersepuluh
saja dari jumlah manusia yang telah kau bunuh secara keji! Apa pertanggungan
jawabmu atau alasanmu atas yang sembilan persepuluh lainnya? Yang kau bunuh
tanpa pangkal sebab atau kesalahan atau dosa apa pun juga?!”
Karena putus asa melihat
kekerasan kepala muridnya itu maka Datuk Mata Putih memerintahkan Raja Rencong
untuk mengembalikan Rencong Emas yang dulu diserahkannya dan ikut bersamanya ke
pertapaan. Tentu saja Raja Rencong menolak perintah tersebut. Maka perkelahian
antara guru dan muridpun tak dapat dihindarkan lagi. Ternyata Datuk Mata Putih
tidak dapat menghadapi kehebatan sang murid. Guru yang malang ini akhirnya
tewas oleh tusukan Rencong Emas, senjata sakti yang diciptakannya sendiri yang
kemudian diberikannya pada Hang Kumbara!
Kematian Datuk Mata Putih
menggemparkan dunia persilatan terutama di belahan utara pulau Andalas.
Suatu hari berkumpullah empat
orang tokoh silat terkenal di puncak gunung Sinabung. Mereka adalah Panglima
Sampono selaku tuan rumah. Dia dikenal sebagai tokoh silat yang pernah
membaktikan diri pada Sultan Deli hingga akhirnya walaupun dia tidak bertugas lagi
di Kesultanan, gelar Panglima tetap melekat pada dirinya. Orang kedua ialah
Datuk Nan Sebatang lalu Lembu Ampel dan yang terakhir Sebrang Lor. Lembu Ampel
adalah tokoh silat berasal dari pulau Jawa tapi selama beberapa tahun terakhir
telah menetap di pulau Andalas. Keempat orang ini bertemu untuk membicarakan
masalah besar yang tengah dihadapi dunia persilatan saat itu yakni
merajalelanya Raja Rencong dengan segala keganasannya.
Sebrang Lor sendiri adalah
seorang tokoh silat dari daratan Malaka yang menyeberang ke Andalas untuk
membalas dendam kesumat. Menurut keterangannya Raja Rencong telah gentayangan
ke Malaka, membunuh tokoh-tokoh persilatan di sana yang tidak mau tunduk dan
bergabung padanya. Bahkan ketika kembali ke Andalas, Raja Rencong telah pula
menculik dua orang gadis.
Keempat orang itu menyadari
bahwa Raja Rencong memiliki kepandaian tinggi luar biasa. Sekalipun mereka
berempat belum tentu dapat mengalahkannya. Karenanya harus dicari akal yang
sebaikbaiknya. Atas saran Panglima Sampono diputuskan untuk menculik Pandansuri
yakni anak Raja Rencong. Bila anak gadisnya dikuasai maka sang ayah besar
kemungkinan bisa ditundukkan.
Di sebuah kaki bukit empat
tokoh silat tadi menghadang Pandansuri. Terjadi perkelahian hebat. Meskipun
memiliki kepandaian sangat tinggi yang didapatnya dari Raja Rencong namun
akhirnya Pandansuri terdesak. Tetapi sewaktu si gadis siap untuk diringkus,
muncullah Pendekar 212 Wiro Sableng memberikan pertolongan. Murid Eyang Sinto
Gendang ini sama sekali tidak mengetahui siapa adanya Pandansuri dan apa urusan
empat orang itu mengeroyok sang dara. Dia memberikan pertolongan hanya karena
tidak suka melihat ketidak adilan. Empat lelaki berkepandaian tinggi mengeroyok
seorang gadis berkerudung. Kalau tidak ditolong niscaya si gadis akan celaka.
Begitu dirinya terhindar dari tangkapan lawan, Pandansuri segera melarikan diri
setelah terlebih dulu mengancam akan memberitahukan kejadian pengeroyokan itu
pada Raja Rencong.
Setelah Pandansuri
meninggalkan kaki bukit, maka kemarahan kini tertumpah pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Perkelahian pecah kembali. Kini Wiro yang menjadi sasaran keroyokan.
Pendekar ini mempertahankan diri dengan mengandalkan Rencong Perak milik
Pandansuri yang terlepas mental dan berhasil disambarnya sewaktu gadis itu
berkelahi menghadapi Panglima Sampono dan tiga tokoh lainnya itu.
Dalam perkelahian yang
berlangsung cukup lama itu akhirnya Wiro berhasil menotok ke empat lawannya.
Namun dia kemudian jadi terkejut setelah mengetahui kalau gadis yang barusan
ditolongnya adalah anak Raja Rencong. Padahal Raja Rencong adalah manusia
durjana yang sedang dicari-carinya. Dia sengaja menyeberangi lautan, datang
dari tanah Jawa ke pulau Andalas untuk menumpas Raja Rencong yang jahat itu!
Setelah meminta maaf Wiro tinggalkan ke empat tokoh silat tadi masih dalam
keadaan tertotok.
Perbuatan-perbuatan biadab
Raja Rencong yang menggegerkan dunia persilatan akhirnya sampai pula ke telinga
Sultan Deli. Maka dikirimkannyalah Dipa Warsyah seorang perwira tinggi untuk
menangkap Raja Rencong hidup atau mati. Namun ternyata sang perwira bukan saja
tidak berhasil menemukan Raja Rencong Dari Utara malah dia akhirnya menemui
ajal di tangan Pandansuri, tewas dihantam pukulan ilmu kuku api yang ganas. Di
tempat yang sama terbunuhnya perwira tinggi Kesultanan Deli itu Pendekar 212
Wiro Sableng bertemu pula dengan Pandansuri. Melihat keganasan yang dilakukan
sang dara tentu saja Wiro merasa tidak senang. Apalagi sikap Pandansuri setelah
dulu ditolongnya dari keroyokan Panglima Sampono sama sekali tidak menunjukkan
itikad baik atau mengucapkan terima kasih. Maka tak dapat ladi dihalangi
terjadinya perkelahian antara kedua orang ini. Setelah terdesak hebat akhirnya
Pandansuri melarikan diri.PADA hari dan tanggal yang telah ditentukan diresmikanlah
berdirinya Partai Topan Utara. Puluhan tamu yang diundang tampak menaiki perahu
menuju bukit Toba. Mereka umumnya terdiri dari orang-orang dunia persilatan.
Bahkan banyak diantara mereka merupakan tokoh-tokoh silat ternama. Semua mereka
tidak menduga bahwa kedatangan mereka menghadiri peresmian berdirinya partai
darah itu hanyalah untuk mengantarkan nyawa belaka. Karena sebenarnya Raja
Rencong Dari Utara sudah menanam niat untuk membunuh mereka semua! Para tamu
duduk di sebuah tempat yang dinamakan Arena Topan Utara. Arena itu terletak di
bawah sebuah bangunan tua. Sesuai dengan rencana yang diatur, Raja Rencong akan
pergi ke mimbar dan Pandansuri akan menqgerakkan satu alat rahasia. Alat
rahasia ini akan menghancurkan bagian atas Arena Topan Utara dan semua orang
yang ada dalam Arena dengan sendirinya akan tertimbun hidup-hidup.
Apa yang dirundingkan ayah dan
anak dalam kamar rahasia itu sempat terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng
yang berhasil masuk menyusup ke tempat kediaman Raja Rencong. Tetapi celakanya
kehadiran Wiro sempat dirasakan oleh Raja Rencong. Maka diapun melakukan
penyelidikan sebelum menuju Arena Topan Utara. Satusatunya tempat bersembunyi
adalah sebuah kamar. Wiro segera masuk ke dalam kamar ini. Dinding, lantai dan
langit-langit kamar terbuat dari batu kasar dan seluruh ruangan penuh
berselimut debu.
Di tengah ruangan duduk
seorang lelaki tua bermuka biru dan berpipi sangat cekung. Tubuhnya yang kurus
tertutup sehelai jubah biru yang luar biasa besarnya hingga bagian bawah jubah
ini menutupi hampir separuh lantai ruangan batu. Kedua tangan orang tua aneh
ini buntung sebatas siku dan salah satu telinganya sumplung. Di lehernya
terikat sehelai rantai baja yang ujungnya dipantek dan ditanam pada dinding
batu di belakangnya. Kedua matanya tertutup. Sikapnya tak ubah seperti
seseorang yang sedang bersemedi.
“Hai… Orang tua, kau siapa?”
bisik Wiro. Dia kawatir kalau Raja Rencong muncul dengan tiba-tiba.
Orang tua yang dibisiki
membuka kedua matanya.
Astaga!. Wiro merasakan
tengkuknya dingin. Kedua mata itu hanya merupakan sepasang rongga yang dalam
dan mengerikan.
“Anak tolol!. Lekas sembunyi
dalam jubah di belakang punggungku!” berkata orang tua.
Wiro sadar kalau dirinya
terancam bahaya yakni jika Raja Rencong menemukannya di ruangan batu itu. Maka
tanpa pikir panjang dia segera melakukan apa yang dikatakan orang tua itu.
Menyusup masuk ke dalam jubah biru yang sangat besar. Meskipun orang nyata
menolongnya namun Wiro masih belum dapat memastikan apakah orang tua itu musuh
atau kawan. Karenanya diam-diam dia mengerahkan aji pukulan sinar matahari di
tangan kiri sedang tangan kanan menggenggam hulu Kapak Maut Naga Geni 212.
“Anak, aku bukan musuhmu!
Mengapa musti meraba senjata segala?” tiba-tiba orang tua bermata buta itu
mengiangkan pertanyaan ke telinga Wiro.
Suara mengiang itu! Luar biasa
sekali. Tentunya orang tua ini seorang sakti mandraguna. Mengapa kedua matanya
bolong begitu rupa, lalu dua tangan buntung dan ditambah rantai baja yang
mengikat lehernya?
Tiba-tiba pintu terpentang dan
terdengar bentakan Raja Rencong. “Tua renta buta! Siapa yang masuk ke sini?!”
Orang tua itu terdengar
menghela nafas dalam. Lalu terdengar suaranya halus sekali seperti suara anak
perempuan.
“Jika aku sampai tidak melihat
orang masuk kemari itu bukan karena ketololanku. Tapi karena memang kedua
mataku buta. Sebaliknya jika kau yang punya mata dan telinga sampai tidak
mengetahui, malah bertanya padaku itu adalah satu ketololan yang tak ada
taranya! Apakah kau memang melihat ada orang lain di tempat ini?!”
Ucapan itu membuat Raja
Rencong melontarkan kata-kata kotor.
“Eh, sudahkah kau periksa Hang
Kumbara?” tanya orang tua itu.
’Tutup mulutmu setan tua!”
sentak Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara.
Disentak begitu si orang tua
ganda tertawa dan menyahut: “Bukankah hari ini hari peresmian Partai Topan
Utara?”
“Kunyuk peot!” kembali Raja
Rencong menyentak. “Kau tahu apa tentang segala macam partai!”
“Aku memang tidak tahu
apa-apa! Tapi aku mempunyai firasat bahwa partaimu itu akan runtuh sebelum saat
peresmiannya. Dan kau sendiri akan mampus!”
“Ya! Aku akan mampus! Tapi
sebelum mampus untuk ke seratus kalinya terima dulu tamparanku!” Plaak!
Tamparan yang dilayangkan Raja
Rencong keras luar biasa. Tubuh orang tua itu terasa oleh Wiro menghuyung tapi
dia tidak roboh. Bibirnya yang pecah mengucurkan darah. Darah Pendekar 212 Wiro
Sableng menggelegak mengetahui orang tua yang telah menolongnya diperlakukan
seperti itu. Segera saja dia hendak melompat keluar dari dalam jubah. Tapi di
telinganya terdengar suara ngiangan seperti nyamuk.
“Jangan tolol anak!”
Mau tak mau terpaksa Wiro
mendekam terus di dalam jubah lebar itu. Kemudian terdengar pintu kamar
ditutupkan. Raja Rencong telah keluar.
“Sekarang kau boleh keluar!”
terdengar si orang tua berkata.
Wiro cepat keluar lalu menjura
hormat seraya berkata: “Terima kasih atas budi pertolonganmu. Siapakah kau ini
sebenarnya…?”
Orang tua itu tertawa. Tampak
gusinya yang tanpa gigi lagi.
“Sewaktu kudengar orang
berkelebat menuju belakang bangunan tua, sewaktu kudengar kau mengangkat
rerumpunan semak belukar lalu menyusup turun dalam lorong rahasia, hatiku
gembira. Kukira kau adalah Tua Gila. Tapi dari langkahmu kemudian segera
kuketahui bahwa kau bukan Tua Gila. Tapi, aku yakin kau pasti ada sangkut paut
dengan orang tua itu. Mungkin sekali kau muridnya. Betul…?”
Wiro Sableng melengak.
Kehebatan orang tua cacat ini sungguh luar biasa. “Kau betul. Secara kebetulan
aku bernasib baik dan mendapat beberapa jurus pelajaran ilmu silat dari Tua
Gila. Kalau aku boleh bertanya, bagaimana kau tahu setiap gerak gerikku?”
“Ilmu yang tinggi adalah
seribu mata seribu telinga. Tapi semua itu berakhir dalam kesia-siaan. Buktinya
diriku ini!”
“Kenapa kau sampai seperti
ini?” tanya Wiro.
“Muridku sendiri yang melakukannya!”
jawab orang tua itu.
“Muridmu?” kejut Wiro.
“Tak perlu terkejut atau heran
anakmuda. Dunia ini penuh dengan orang-orang sesat den murid murtad!”
“Kalau aku boleh bertanya
siapakah muridmu itu?”
“Masakan kau tak bisa menduga.
Siapa lagi kalau bukan Hang Kumbara!”
“Maksudmu Raja Rencong Dari
Utara?” “Itu gelarnya!”
“Benar-benar manusia
terkutuk!” desis Wiro geram. Sekali dia menggerakkan tangan kanannya, rantai
baja yang tertanam di dinding batu tanggal. Wiro lalu melepaskan bagian rantai yang
mengikat leher orang tua itu.
“Terima kasih anak muda. Aku
bisa bernafas lebih lega sekarang. Tenagamu luar biasa sekali…”
“Orang tua, aku tak punya
waktu banyak. Tugasku adalah untuk menghancurkan Partai Topan Utara. Berarti
juga memusnahkan Raja Rencong. Kalau tugas itu selesai aku akan kembali kemari
membawamu keluar dari tempat terkutuk ini! Maukah kau menerangkan siapa
namamu?”
“Ah, aku berterima kasih akan
maksud baikmu itu. Tapi diriku yang cacat dan pikun ini tak perlu kau pikirkan.
Yang penting selamatkan orang-orang itu. Dengar anak muda, namaku Nyanyuk
Ambar. Dulu aku diam di Gunung Singgalang. Sampai munculnya Hang Kumbara
manusia laknat itu. Dia datang mengemis ilmu padaku. Diluar tampaknya dia
seorang pemuda baik-baik. Lagi pula kuketahui kemudian sebelumnya dia berguru
pada Datuk Mata Putih, seorang sahabatku. Maka kuambil dia jadi murid dan
kuajarkan berbagai ilmu silat serta kesaktian. Tapi siapa nyana kalau manusia
itu sebenarnya sejak lama mendekam satu maksud jahat. Yaitu ingin menguasai
dunia persilatan di pulau Andalas ini dengan menghimpun sekian banyak tokoh
lalu membunuh mereka secara keji! Aku ketahui kemudian bahwa sahabatku Datuk
Mata Putih telah menemui ajal dibunuh oleh manusia keparat itu. Aku sendiri
tidak terlepas dari kekejamannya. Hanya saja aku masih dibiarkan hidup dengan
dalam cacat seperti ini!”
“Jadi Hang Kumbara juga yang
memutus kedua tanganmu?” tanya Wiro.
“Bukan hanya lenganku, anak.
Bukan hanya lenganku! Coba kau singkap jubah biru ini di bagian kaki.”
Wiro menyingkapkan jubah biru
Nyanyuk Amber. Astaga! Ternyata kedua kaki orang tua itu juga buntung sebatas
lutut!
“Hang Kumbara yang
melakukannya…” desis orang tua itu. “Dia juga yang mencongkel kedua mataku!”
“Manusia jahanam!” Kedua
tangan Wiro terkepal. “Orang tua, aku bersumpah untuk membunuh manusia itu!
Tapi mengapa dia melakukan hal itu padamu?”
“Seperti Datuk Mata Putih, aku
datang padanya dan memberi nasihat agar meninggalkan jalan sesat. Menghentikan
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh silat tak berdosa. Alasan itu sudah cukup
baginya untuk melakukan kekejian ini padaku. Dia membokongku dengan totokan.
Dalam keadaan tak berdaya tangan serta kakiku dipotongnya.
Kedua mataku dikoreknya. Lalu
aku dimasukkan ke dalam ruangan ini dan dirantai!”
“Belum pernah aku melihat dan
mendengar manusia seganas Hang Kumbara. Tempatnya jelas di neraka!”
Si orang tua tertawa mengekeh.
“Kau pergilah cepat! Jangan terlambat! Kalau orang-orang itu sampai menemui
ajal, celakalah dunia persilatan!”
Mendengar kata-kata itu Wiro
segera tinggalkan ruangan batu dengan cepat.
2
DI TENGAH-TENGAH Arena Topan
Utara terletak sebuah mimbar. Di belakang mimbar itu berdiri Raja Rencong Dari
Utara. Matanya menyorot memandang ke arah tamu-tamu yang hadir. Semua orang
yang hadir di situ terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama ialah golongan
hitam yang secara nyata-nyata bergabung dengan Raja Rencong. Golongan kedua
adalah golongan putih yang telah ditaklukkan dan dipaksa untuk masuk serta
menghadiri berdirinya Partai. opan Utara. Baik golongan hitam maupun golongan
putih di atas semuanya telah masuk perangkap Raja Rencong.
Golongan ketiga yang ialah
golongan putih yang sengaja datang ke tempat itu untuk membalaskan dendam
kesumat kematian kawankawan mereka yang telah dibunuh oleh Raja Rencong,
puterinya atau para kaki tangannya.
Raja Rencong melirik pada
sebuah tombol merah yang terletak di kayu mimbar dekat tangan kanannya. Sekali
dia menekan tombol ini maka tubuhnya akan melesat ke atas, keluar dari ruangan
itu lewat sebuah celah yang terbuka pada bagian atap ruangan. Lalu pada saat
yang sama lantai Arena Topan Utara-akan longsor ke bawah, menyusul runtuhnya
atap. Semua orang yang ada dalam Arena akan tertimbun hidup-hidup. Tak bakal
ada satu orang pun yang bisa menyelamatkan diri karena berbarengan dengan
runtuhnya atap serta amblasnya lantai, satu ledakan besar akan menghancur
luluhkan tempat itu!
Setelah memandang berkeliling
maka Raja Rencong membuka mulut memberi kata sambutan.
“Para hadirin sekalian.
Pertama sekali aku Raja Rencong Dari Utara mengucapkan terima kasih atas
kedatangan saudara-saudara di tempat ini. Dalam mendirikan Partai Topan Utara
ini, aku sama sekali tidak akan melihat asal-usul, atau menilai saudara-saudara
ini dari golongan mana. Bagiku, jika saudara-saudara telah bersedia datang dan
hadir di sini maka berarti saudara-saudara semua sudah bersedia masuk menjadi
anggota Partai Topan Utara!”
Pernyataan Raja Rencong itu
membuat para tokoh silat golongan putih yang datang untuk membalaskan dendam
kesumat menjadi gempar. Dalam keadaan suasana berisik tiba-tiba melesatlah ke
atas Arena empat sosok tubuh. Mereka adalah Panglima Sampono, Datuk Nan
Sabatang, Lembu Ampel dan Seorang Lor. Tiga kawan tegak berjejer sementara
Panglima Sampono melangkah tegap ke hadapan mimbar. Suasana yang tadi berisik
kini menjadi sehening di pekuburan. Ketegangan menggantung di udara!
“Manusia-manusia tidak tahu
peradatan!” teriak Raja Rencong marah sekali. “Perbuatan kalian naik ke atas
mimbar tanpa izinku merupakan penghinaan besar bagi semua anggota Partai yang
hadir di sini!”
Panglima Sampono sambil
bertolak pinggang menjawab dengan suara garang.
“Ketahuilah, kami berempat
datang kemari bukan untuk menghadiri peresmian segala macam partai kentut
busuk! Tapi untuk meminta pertanggungan jawabmu atas kematian sobat-sobat kami
para tokoh silat golongan pucih!”
“Kalau itu maksud kalian,
rupanya kalian berkenan untuk menyusul mereka ke akhirat!” tukas Raja Rencong.
Dia berpaling ke arah Arena sebelah timur dan berseru: “Empat Tombak Sakti!
Lenyapkan pengacau-pengacau ini!”
Empat orang berpakaian seragam
hitam melompat ke atas Arena. Tampang mereka galak buas dan angker. Begitu naik
ke arena begitu mereka hantamkan tombak ke arah kepala Panglima Sampono dan
tiga kawannya! Pertempuran pecah! Tampaknya kedua pihak saling berimbang.
Serangan datang silih berganti.
Lima belas jurus berlalu.
Korban pertama roboh. Dia adalah orang ketiga dari Empat Tombak Sakti. Meregang
nyawa di ujung pedang Sebrang Lor.
Menyusul kemudian Panglima
Sampono berhasil membantai orang kedua dari Empat Tombak Sakti. Kini
pertempuran berlangsung antara Datuk Nan Sabatang melawan orang ke satu sedang
Lembu Ampel melawan orang ke empat. Ternyata dua orang terakhir dari Empat
Tombak Sakti ini tidak mampu menahan serangan-serangan gencar dua tokoh silat
golongan putih itu. Setelah lima jurus berlalu keduanya tergelimpang menemui
ajal!
Rahang Raja Rencong tampak
menggembung. Gerahamnya terdengar bergemeletukkan.
“Tongkat Baja Hijau!” teriak
Raja Rencong. “Bunuh empat keparat itu!”
Sekelebat sosok tubuh
berpakaian hijau melesat ke atas Arena. Orang ini berbadan tinggi langsing.
Usianya agak lanjut dan tubuhnya bungkuk. Di tangan kanannya dia memegang
sebuah tongkat sebesar betis terbuat dari baja asli. Warna hijau yang
membungkus tongkat baja itu adalah lapisan racun ganas yang dahsyat!
“Tunggu apa lagi! Habisi
mereka!” teriak Raja Rencong.
Tongkat Baja Hijau mendongak
dan perdengarkan tawa mengekeh. Tongkat di tangan kanannya di ketuk-ketuk ke
lantai Arena. Hebat sekali. Semua orang merasakan bagaimana lantai yang mereka
injak terasa bergetar. Panglima Sampono dan kawan-kawan segera maklum kalau
manusia berjubah hijau itu memiliki kepandaian tinggi sedang senjata di
tangannya mengandung bahaya maut!
Tongkat Baja Hijau memandang
pada keempat orang di hadapannya dengan mimik mengejek dan menganggap rendah.
“Kalian akan maju satu-satu
atau berempat sekaligus? Lebih baik berempat agar aku tidak banyak membuang
waktu dan tenaga!”
Mengelam paras ke empat tokoh
silat itu. Panglima Sampono bergerak melangkah. Tapi Sebrang Lor mendahului ke
hadapan Tongkat Baja Hijau.
’Tampangmu tak banyak berubah!
Tapi pendirianmu kini berlainan!” berkata Sebrang Lor. “Setahuku dulu kau
adalah tokoh golongan putih. Sungguh disayangkan kalau kini kau menjadi
bergundal Raja Rencong, murid murtad pembunuh guru! Majulah, biar aku rasakan
hajaranmu!”
Tongkat Baja Hijau tertawa
bergelak.
“Sebrang Lor! Tempatmu jauh di
Malaka! Sulit nyawamu akan kembali ke sana!” Habis berkata begitu Tongkat Baja
Hijau menyerbu ke muka. Sinar hijau menggebu dari tongkat bajanya. Sebrang Lor
Cepar cabut pedang berkeluknya. Maka pecahlah perkelahian hebat. Tapi kehebatan
itu membawa malapetaka bagi diri Sebrang Lor. Serbuan tongkat baja hijau
laksana air bah, menderu-deru mengurung dirinya, menutup jalan serangan dan
lambat laun membobol pertahanan tokoh silat dari Malaka itu. Dia hanya sempat
bertahan sampai empat jurus. Di jurus ke lima tongkat lawan menggebuk bahu
tanpa dia bisa dikelit atau ditangkis. Sebrang Lor menjerit. Tubuhnya tercampak
ke luar Arena. Nyawanya lepas!
“Manusia iblis! Aku lawanmu!”
teriak Datuk Nan Sabatang menggeledek. Tubuhnya berkelebat dan keris biru di
tangannya meluncur sebat ke arah teng-gorokan Tongkat Baja Hijau!
“Jangan omong besar Datuk!”
ejek Tongkat Baja Hijau. Sekali tongkatnya disapukan Datuk Nan Sabatang
tersusut ke belakang. Wajahnya pucat.
“Ha… ha! Aku muak berkelahi
satu lawan satu! Ayo Sampono dan Lembu Ampel! Kalian berdua ikut majulah!”
Sambil menyerang Datuk Nan Sabatang,
Tongkat Baja Hijau membagi
serangan pula pada Panglima Sampono dan Lembu Ampel. Mula-mula kedua orang itu
tak mau membalas apalagi terjun ke kalangan pertempuran. Tapi karena diserang
terus menerus mau tak mau akhirnya mereka terpaksa juga turun ke gelanggang!
Bagi orang-orang yang hadir di
tempat itu nama Panglima Sampono dan kawan-kawannya adalah nama-nama besar.
Namun sewaktu menyaksikan berhasil mendesak ke tiga lawannya itu maka kini
dapat diukur betapa tingginya kepandaian kaki tangan Raja Rencong ini.
Dalam jurus ke sepuluh
terdengar pekik Datuk Nan Sabatang. Tubuhnya melesat. Kepalanya pecah dihantam
tongkat lawan.
“Sekarang giliran kalian
berdua untuk mampus!” seringai Tongkat Baja Hijau pada Panglima Sampono dan
Lembu Ampel. Didahului oleh teriakan menggeledek Tongkat Baja Hijau keluarkan
jurus serangan yang luar biasa hebatnya. Ujung tongkatnya seperti bercabang
dua. Satu menggebuk ke arah kepala Panglima Sampono, satunya lagi ke batok
kepala Lembu Ampel! Dan dua orang ini seperti kena tenung, hampir tak punya
kesempatan untuk selamatkan nyawa masingmasing! Para tamu yang hadir menahan
nafas.
Dalam detik yang tegang itu di
mana maut sudah siap mencengkam dua korban, tiba-tiba berkelebat satu bayangan
putih disertai suara siulan nyaring. Satu gelombang angin yang bukan olaholah
dahsyatnya menderu laksana topan membadai. Beberapa tokoh silat yang ada’d i
pinggiran Arena merasa tubuh mereka bergetar. Di saat itu tahu-tahu terdengar
pekik Tongkat Baja Hijau. Orang bersama tongkatnya mental keluar Arena
menghantam dinding ruangan dengan keras. Ketika jatuh ke lantai tubuh Tongkat
Baja Hijau tidak bergerak lagi. Mukanya hancur! Di tengah Arena semua mata
menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong sebahu, berpakaian dan berikat
kepala serba putih tegak menyeringai. Bajunya yang tidak berkancing
menyingkapkan dadanya yang penuh otot. Pada dada sebelah kanan ada rajah tiga
buah angka, berwarna hitam kebiruan.
3
SEPASANG mata Raja Rencong
Dari Utara membeliak seperti hendak melompat dari sarangnya. Kumis tebalnya
berjingkrak dan rahangnya menggembung. Suara menggembor terdengar di
tenggorokannya.
“Pemuda keparat! Siapa kau!”
bentak Raja Rencong sementara semua orang yang hadir di tempat itu ada yang
berdecak kagum tapi banyak yang melengak heran karena tidak mengetahui apa
sebenarnya yang terjadi saking cepatnya gerakan-gerakan di atas Arena.
“Siapa aku tidak penting! Aku
mau bicara!” jawab pemuda rambut gondrong seenaknya dan membuat semua orang
kini jadi tambah kaget melihat keberanian pemuda yang tak dikenal itu.
“Keparat! Kau minta mampus!”
teriak Raja Rencong menggeledek.
Lalu dia berseru garang.
“Sepasang Pengemis Gila! Bunuh
budak ini!”
Dari Arena sebelah kanan
melesat dua orang berpakaian kotor compang camping penuh tambalan dan berambut
acak-acakan. Tubuh mereka menghambur bau tidak sedap. Inilah dua tokoh silat
jembel sinting yang berjuluk Sepasang Pengemis Gila. Keduanya berteriakteriak
seperti monyet terbakar ekor. Dalam gerakan yang tidak karuan tiba-tiba mereka
menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng, pemuda yang tegak di tengah Arena. Di saat
yang sama mendadak dari samping kiri melompat pula seorang berpakaian merah.
Dari mulutnya menyembur arak merah yang menyerang ke seluruh jalan darah di
tubuh Panglima Sampono dan Lembu Ampel!
Dua tokoh silat lanjut usia
ini tentu saja terkejut dan serentak sama pukulkan tangan ke depan. Namun
sebelum dua pukulam sempat mencari sasaran, sebelum semburan arak menimbulkan
celaka, mendadak sontak terjadilah satu peristiwa yang membuat semua orang bangkit
tertegak dari kursi masing-masing.
Tiga jeritan terdengar susul
menyusul. Tiga sosok tubuh mencelat mental seperti dilabrak topan prahara lalu
terbanting ke dinding, mental lagi dan jatuh di-antara orang banyak! Apa yang
telah terjadi?
Ketiga Sepasang Pengemis Gila
dengan berteriak-teriak menyerang dirinya dan selagi Datuk Arak Sakti menyembur
ke arah Panglima Sampono dan Lembu Ampel, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede itu hantamkan kedua telapak tangannya sekaligus ke arah orang-orang yang
menyerbu. Arena Topan Utara seperti diguncang gempa, laksana dilanda badai.
Pendekar 212 telah melepaskan pukulan sakti bernama “dewa topan menggusur
gunung”.
Nama angker pukulan sakti itu
tidak nama percuma belaka. Itulah pukulan sakti mengandung tanga dalam tinggi
yang dipelajarinya dari Tua Gila. Dan betapapun hebatnya Sepasang Pengemis Gila
serta Datuk Arak Sakti namun mereka tak sanggup bertahan. Ketiganya mencelat
mental, terlempar ke dinding batu dan menemui kematian dalam cara mengerikan!
Di antara para hadirin tak
satu pun yang bergerak. Semua mata terpentang lebar ke arah Pendekar 212. Hal
yang sama terjadi juga dengan Raja Rencong. Dia tegak hampir tak bergeming. Dia
tahu betul, dua pukulan tangan kosong yang tadi dilepaskan si pemuda tadi adalah
pukulan “dewa topan menggusur gunung.” Dan setahunya hanya satu orang yang
memiliki pukulan dahsyat itu yakni seorang kakek sakti yang dipanggil dengan
sebutan Tua Gila. Ternyata kini pemuda tak dikenal itu memiliki ilmu yang sama.
Ada sangkut paut apakah antara pemuda ini dengan orang tua itu?
Diam-diam Raja Rencong
merasakan dadanya berdebar dan lututnya bergetar. Aneh! Benar-benar aneh!
Setahunya Tua Gila sudah lama meninggal dunia dan selama hidupnya orang tua itu
tak pernah mempunyai seorang muridpun. Bagaimana kini ada pemuda memiliki ilmu
pukulan sakti itu? Sepasang mata Raja Rencong bergerak berputar ke arah
hadirin. Dia sangat kawatir kalau-kalau Tua Gila tahu-tahu sudah ada pula di
sana di antara para tamu. Namun dia tak melihat orang tua itu. Hatinya lega
sedikit.
Sebagai tuan rumah yang telah
menyandang nama besar, tentu saja Raja Rencong tidak mau perlihatkan rasa
jerih. Dia merasa sudah saatnya untuk menekan tombol merah di atas mimbar
sebelum kekacauan baru muncul. Tak apa kehilangan dua tiga kaki tangan dan
pembantunya. Asal sesaat lagi semua orang yang ada di situ akan menerima
kematian termasuk pemuda gila di tengah Arena.
Sambil tertawa mengekeh Raja
Rencong menggerakkan tangannya lalu berteriak keras: “Manusia-manusia tolol!
Selamat jalan ke neraka!”
Lalu jari telunjuk tangan
kanan Rana Rencong menekan tombol merah sekuat-kuatnya.
Tapi tak satu pun terjadi.
Raja Rencong menekan lagi.
Lagi dan lagi. Bahkan kini menghantamkan telapak tangannya keras-keras ke
tombol merah itu. Namun atap di atas Arena tidak membuka dan papan Arena yang
dipijaknya tidak melesatkan tubuhnya ke atas. Juga lantai Arena di mana para
tamu duduk tidak roboh sedang langit-langit bangunan tidak runtuh!
Di hadapannya dilihatnya Wiro
Sableng menyeringai. Lalu suara gelak membabak keluar dari mulut pemuda itu.
“Raja Rencong! Ada yang tidak
beres rupanya?!”
Pertanyaan itu membuat Raja
Rencong membesi wajahnya. “Apa maksudmu?!” sentaknya.
“Ah! Kau tahu apa maksudku!
Kau panik! Lantai ruangan ini tidak amblas! Atap tidak runtuh! Ha… ha… ha! Kau
sudah menekan tombol rahasia tapi pesawat celaka yang hendak membunuh semua
orang yang hadir di sini tidak bekerja!”
Bukan main marahnya Raja
Rencong Dari Utara. Didahului menggereng seperti harimau lapar terluka dia jentikkan
sepuluh jari tangannya.
Sepuluh larik sinar merah
menyambar Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelumnya Wiro telah menyaksikan
keganasan ilmu kesaktian ini yaitu ketika dikeluarkan oleh Pandansuri. Kini
kalau Raja Rencong sendiri yang memainkannya tentu jauh lebih dahsyat.
Karenanya murid Sinto Gendeng segera melompat ke atap ruangan dan dari atas
lepaskan pukulan “sinar matahari”.
Arena Topan Utara laksana
disambar petir dan geledek ketika pukulan sinar matahari saling bentrokan
dengan sinar merah ilmu kuku api. Dua ilmu kesaktian yang dilancarkan dengan
kekuatan tenaga dalam sangat tinggi begitu saling beradu melesat ke kiri lalu
memecah ke arah empat penjuru. Jerit kematian terdengar di bagian itu. Sembilan
tokoh silat golongan hitam hangus mengerikan. Delapan tokoh golongan putih
meregang nyawa mengenaskan! Bau hangusnya tubuh-tubuh yang terpanggang memenuhi
tempat itu. Kekacauan meledak!
“Para tamu semua!” tiba-tiba
Wiro berteriak lantang. “Kalian sekarang tahu kalau Raja Rencong punya maksud
tersembunyi. Secara keji sebenarnya dia hendak membunuh kita semua yang hadir
hadir di sini! Kenapa tidak berebut pahala mencincangnya beramai-ramai?!”
Mendengar teriakan Wiro
Sableng itu semua tamu menjadi terbakar hati masing-masing, apalagi yang sejak
semula memang tidak suka terhadap Raja Rencong dan hadir di situ untuk
menghukumnya. Laksana air bah, tokoh silat golongan hitam dan putih bergabung
menjadi satu dan menyerbu Raja Rencong yang masih tertegun di atas mimbar
dengan dada berdenyut akibat bentrokan tenaga dalam dengan Wiro lewat pukulan
sakti tadi.
Raja Rencong adalah tokoh
silat sakti luar biasa. Keberaniannya dan kebengisannya tidak beda dengan
setan. Namun melihat sekian banyak para jago silat menyerbunya dia jadi gugup.
Nyalinya meleleh. Tanpa pikir panjang lagi dia berkelebat larikan diri. Tapi
arah larinya telah dihadang Wiro Sableng yang saat itu sudah menggenggam Kapak
Maut Naga Gen i 212.
“Keparat! Mampuslah!” teriak
Raja Rencong.
Sreett!
Raja Rencong cabut Rencong
Emasnya. Sinar kuning bertabur. Di waktu yang sama puluhan senjata datang
menderu Ketua Partai Topan Utara itu. Kapak Naga Geni 212 di depan sekali
dengan sinarnya yang menyilaukan disertai deru laksana ribuan tawon mengamuk!
Trang!
Rencong Emas dan Kapak Naga
Geni 212 beradu. Bunga api memercik. Raja Rencong mengeluh tertahan. Tangan
kanannya terasa panas dan getaran menjalar sampai ke pangkal bahunya. Sebelum
dia sempat memasang kuda-kuda baru laksana kilat Kapak Naga Geni 212 sudah
berkiblat kembali di depan hidungnya sementara di sekelilingnya puluhan macam
senjata datang menggempur.
“Huaaah!” Raja Rencong
membentak garang. Kedua tangannya kiri kanan membuat gerakan yang dinamakan
“sepasang kincir sakti menghadang bumi”. Ini bukan saja merupakan satu jurus
pertahanan yang ampuh tapi sekaligus merupakan jurus serangan mematikan.
Rencong Emas di tangan kanan mengeluarkan sinar kuning berbuntalbuntal sedang
lima jari tangan kiri tiada hentinya menjentikan ilmu kuku api. Tiga orang
tokoh silat tergelimpang roboh dihantam pukulan kuku api. Tapi hanya sampai
disitulah Raja Rencong sanggup menunjukkan keganasannya.
Sambaran Kapak Maut Naga Geni
212 yang menyilaukan mendesaknya. Angin senjata itu bukan saja menutup
pemandangannya tapi kedua matanya juga terasa perih.
Sesaat kemudian terdengar
jerit Raja Rencong! Telinga kanannya putus dibabat Kapak Naga Geni. Racun yang
ganas langsung merasuk ke peredaran darahnya. Sadar bahaya yang dialaminya Raja
Rencong cepat menotok beberapa urat penting di tubuhnya agar racun tidak
menjalar menuju jantung. Lalu dengan segala kehebatan yang dimilikinya Raja
Rencong mengamuk membabi buta. Dua tokoh lagi roboh di tangannya, satu si
antaranya adalah Lembu Ampel. Tokoh ini menjauhkan diri ke sudut ruangan.
Dadanya luka parah akibat tikaman Rencong Emas. Dia sadar racun jahat senjata
itu sebentar lagi akan meranjam tubuhnya. Didahului oleh satu teriakan keras
menyebut nama Tuhannya, Lembu Ampel akhirnya jatuh ke lantai tak bergerak lagi.
Amukan orang takut dan putus
asa seperti yang dilakukan Raja Rencong tidak berjalan lama. Ketika Kapak Naga
Geni 212 menyusup di antara serangan-serangan yang dilepaskannya. Raja Rencong
terdengar menjerit. Dia merasakan tangan kirinya panas sekali. Ketika dilihat
ternyata tangannya itu telah buntung disambar Kapak Naga Geni 212. Raja Rencong
menjerit lagi. Belasan senjata datang menusuk, menikam dan membacok sekujur
tubuhnya. Tubuh itu seperti dimandikan dengan darah. Tapi hebatnya Raja Rencong
masih tegak, bukan saja bertahan malah masih sanggup membuat gerakan-gerakan
pembalasan. Wiro yang sudah kehilangan kesabarannya segera putar Kapak Maut
Naga Geni 212. Suara seperti ribuan tawon mengaung laki disusul kembali jeritan
Raja Rencong.
Darah muncrat dari mukanya
yang hampir terbelah. Tubuh dan wajah yang hampir tidak berbentuk lagi itu
menggeletak di lantai Arena Topan Utara. Darah bergelimang di mana-mana. Masih
banyak para tokoh yang melampiaskan dendam kesumatnya menghujani tubuh tak
bernyata Raja Rencong itu dengan berbagai senjata, tendangan ataupun pukulan. Wiro
maklum segala sesuatunya kini telah berakhir. Pemuda ini cepat tinggalkan
tempat itu, lari menuju sebuah kamar di mana pesawat rahasia untuk membunuh
para tokoh persilatan berada. Di situ menggeletak Pandansuri, puteri Raja
Rencong dalam keadaan tertotok. Apakah yang terjadi dengan dara berkerudung
ungu ini?
Seperti diceritakan sebelumnya
Wiro Sableng telah bertemu dengan Nyanyuk Amber, orang tua sakti guru Raja
Rencong yang berada dalam keadaan dirantai tak berdaya. Setelah melepaskan
orang tua itu dari rantai yang mengikatnya Wiro memergoki Pandansuri di kamar
pesawat rahasia. Terjadi perkelahian. Dalam waktu tiga jurus Wiro berhasil
membuat gadis itu tak berdaya dan menotoknya hingga ketika ayahnya menekan
tombol sebagai tanda agar dia menggerakkan pesawat rahasia, sang dara tak mampu
melakukannya.
“Pemuda keparat! Apa yang
terjadi di luar sana! Aku dengar suara gaduh!” Pandansuri mendamprat begitu
Wiro masuk ke dalam ruangan. Pendekar 212 menyeringai.
“Kabar buruk bagimu. Ayahmu
menemui kematian di Arena Topan Utara. Riwayat keganasannya berakhir hari ini!”
Pandansuri merasakan tubuhnya
seperti hendak meledak.
Sepasang matanya dibalik
kerudung membeliak dan wajahnya tampak mengelam merah.
“Kurang ajar! Pasti kau yang
membunuh ayah!”
“Aku dan puluhan tokoh silat
yang hendak dicelakakannya!” sahut Wiro.
“Kau membunuh ayah! Berarti
kau harus mati di tanganku!” Wiro tertawa.
“Kenapa kau masih keras kepala
dan tidak mau sadar? Apa kau ingin menemui nasib sama seperti ayahmu? Mati
mengerikan di tangan puluhan tokoh silat yang masih ada di luar sana?”
“Aku tidak takut mati!
Lepaskan totokan di tubuhku! Mari kita berkelahi sampai seratus jurus!”
“Aku tak punya waktu melayani
orang kalap sepertimu. Sebelum pergi aku hanya ingin melihat wajahmu yang selalu
tersembunyi dibalik kerudung ungu itu!”
“Kurang ajar! Kalau kau berani
melakukan itu…!”
Tapi tangan Wiro sudah
bergerak menarik kain kerudung tipis yang menutupi wajah Pandansuri. Begitu
kerudung terlepas terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aih… Kiranya parasmu cantik
sekali…!” Wiro basahi bibirnya dengan ujung lidah dan garuk-garuk kepalanya
yang gondrong. “Hanya sayang aku tak bisa menikmati kecantikan parasmu
berlama-lama. Aku harus pergi dari sini bersama Nyanyuk Amber. Selamat tinggal
dara jelita…”
“Tunggu!” teriak Pandansuri.
“Lepaskan dulu totokan di tubuhku!”
Wiro putar langkahnya, menatap
paras Pandansuri sesaat lalu berkata: “Kalau totokan di tubuhmu kulepaskan apa
kau akan menyerangku dan mencari perkara baru?”
“Demi setan aku tidak akan
melakukan apa-apa selain membaca sepucuk surat!”
“Hemm… Ini adalah aneh!” ujar
Wiro. “Kau hendak membaca sepucuk surat. Dari siapakah? Tidak sangka kalau dara
segalakmu ini bisa punya pacar…!”
“Aku memang tidak punya pacar
dan surat itu bukan dari siapasiapa. Tapi dari ayahku sendiri! Ayahku yang
kalian bunuh itu!” jerit Pandansuri.
“Baiklah… Tapi kalau kau
bersumpah aku tak mau kau melakukannya atas nama setan. Kau pasti punya Tuhan.
Bersumpahlah atas NamaNya!”
“Aku bersumpah demi Tuhan!”
teriak Pandansuri.
Wiro melangkah mendekati.
Tangan kanannya bergerak melepaskan totokan di tubuh sang dara. Tapi tangan
kirinya diam-diam menyiapkan pukulan sinar matahari. Untuk berjaga-jaga kalau
tiba-tiba Pandansuri membokongnya setelah lepas dari totokan. Ternyata gadis
itu memang tidak menyerangnya. Begitu tubuhnya bebas dari balik pakaiannya dia
mengeluarkan sepucuk surat Tanpa memandang pada Wiro dia berkata: “Ayah
berpesan. Surat ini hanya boleh kubuka jika sesuatu terjadi dengannya. Yakni
kalau dia menemui ajal…”
Sang dara membuka, lipatan
surat lalu membaca apa yang dituliskan Raja Rencong di situ.
Pandansuri,
Kalau aku sudah mati maka
itulah saatnya kau harus mengetahui rahasia besar tentang dirimu. Sebenarnya
kau bukanlah anak kandungku. Kau kuculik ketika masih kecil. Ayahmu adalah
Kepala Kampung Pasirputih. Kembalilah padanya dan tempuhlah jalan hidup yang
baik.
Orang yang pernah menjadi
ayahmu
Raja Rencong.
Surat itu terlepas dari
pegangan Pandansuri. Air mata menggelinding membasahi pipinya.
“Hai… ada apakah saudari?
Mengapa kau menangis?” tanya Wiro.
Pertanyaan itu justru membuat
Pandansuri menjadi mengeras isakannya Wiro mengambil surat yang tercampak di
lantai lalu membacanya. Pendekar ini kemudian menarik nafas dalam. “Sekarang
jelas bagimu. Kau berasal dari orang baik-baik. Karenanya musti kembali ke
jalan yang baik. Mari kita tinggalkan Bukit Toba ini…” Wiro memegang bahu
Pandansuri, bantu gadis itu berdiri lalu mengembalikan surat yang tadi
dibacanya.
Keduanya melangkah menuju
kamar Nyanyuk Amber untuk membawa orang tua itu sama-sama meninggalkan Bukit
Toba, mengikuti puluhan tokoh silat yang lebih dahulu pergi meninggalkan tempat
angkara murka tersebut.
4
HANYA beberapa ketika setelah
para tokoh silat, Wiro Sableng, Pandansuri dan Nyanyuk Amber meninggalkan Bukit
Toba, langit di atas bukit itu tampak menghitam ditutup gumpalan awan mendung.
Dikejauhan terlihat petir menyambar hampir tiada henti. Lalu dentuman geledek
seperti hendak melumat bumi dan air danau. Tak lama kemudian hujan lebatpun
turun. Demikian derasnya hingga menutup batas pemandangan manusia. Di-bawah
hujan lebat begitu rupa, dari arah tenggara danau tampak melesat sebuah perahu
kecil ditumpangi satu orang. Hujan yang lebat menutupi pemandangan hingga tak
jelas siapa adanya orang diatas perahu itu. Namun begitu hujan mulai
mereda dan pemandangan menjadi
terang sedikit, kelihatanlah sosok tubuh di atas perahu kecil tadi. Ternyata
dia adalah seorang nenek berpakaian rombeng, bertubuh kurus kering. Rambutnya
yang putih diikat di atas kepala membentuk secuil konde. Berlawanan dengan
pakaiannya yang buruk rombeng, dibahunya tersandang sebuah selendang hitam
besar berhiaskan bunga-bunga dari benang emas. Di tangan kanannya nenek aneh
ini memegang sebuah tongkat bambu kuning kecil. Bambu inilah yang dijadikannya
sebagai kayu pendayung. Walaupun cuma sebuah bambu kecil namun hebatnya benda
ini menjadi pendayung yang ampuh luar biasa. Perahu yang dikayuh tampak melesat
membelah air danau yang bergelombang akibat hujan yang baru saja turun deras.
Di tangan kirinya si nenek
memegang sebuah tabung kaca berbentuk bulat dan sangat ramping bagian
tengahnya. Tabung kaca ini diisi dengan pasir. Pasir di bagian atas tabung
mengucur jatuh sedikit demi sedikit ke bagian tabung sebelah bawah. Saat itu
jumlah pasir yang jatuh ke bagian bawah tabung kaca telah mencapai setengah
ketinggiannya. Sepasang mata si nenek tiada hentinya memperhatikan tabung itu
sementara tangan kanannya terus mendayung dengan tongkat bambu kecil.
“Cepatlah perahu. Cepatlah!
Kalau sampai terlambat celakalah!. Aku harus menunggu sampat ada korban
lainnya. Mungkin setahun! Mungkin lima tahun! Mungkin sepuluh tahun! Atau
mungkin tidak untuk selama-lamanya! Cepat perahu! Cepatlah! Antarkan aku ke
pulau di depan sana! Cepat!”
Tak selang berapa lama perahu
kecil itu berhasil mencapai pulau di tengah danau. Pasir di tabung kaca sebelah
bawah hampir mencapai dua pertiga ketinggian tabung. Tanpa menunggu sampai
ujung perahu menyentuh daratan pulau si nenek langsung melompat dan laksana
terbang laru menuju puncak Bukit Toba. Jalan yang ditempuh sulit dan licin
akibat hujan namun si nenek sigap sekali gerakannya. Jangankan terpeleset,
malah enak saja dia melompat dan berlari, makin lama makin kencang hingga
akhirnya dia sampai di puncak Bukit Toba, langsung menyelinap masuk ke dalam
bangunan bertingkat dua.
Begitu sampai di ruangan besar
yang disebut Arena Topan Utara, si nenek lelerkan lidah gelengkan kepala. Kedua
matanya terbeliak. Mayat dilihatnya bergelimpangan di mana-mana. Darah
bergenang di pelbagai penjuru. Dia melirik ke tabung kanan di tangan kirinya.
Lalu tersentak bila ingat waktunya hanya tinggal sedikit.
Seperti seekor burung pemakan
mayat nenek ini melompat ke pertengahan Arena Topan Utara. Dia memandang
berkeliling. Kaki dan tongkatnya mengungkit setiap sosok tubuh di dekatnya.
Tapi orang atau mayat yang dicarinya belum juga bertemu. Dia memandang lagi
berkeliling. Pasir di dalam tabung hampir mencapai titik tertingginya. Si nenek
menjerit saking kawatirnya. Kemudian kedua matanya yang besar itu melihat sosok
tubuh yang dicarinya. Tergeletak tak jauh dari mimbar.
“Itu dia!” pekik si nenek
gembira.
Sekali lompat saja dia sampai
disamping mimbar. Sosok tubuh itu amat mengerikan. Penuh bacokan puluhan
senjata. Keadaannya seperti dicincang. Lebih mengerikan lagi bagian kepalanya.
Telinga kanan buntung. Bagian wajah sulit dikenali karena hampir terbelah oleh
luka besar yang menguak.
“Kasihan kau… kasihan kau anak
manusia! Tapi tunggulah! Sebentar lagi kau akan kutolong! Kau belum saatnya
mati! Belum saatnya!” Si nenek mendongak ke atas, tertawa seperti kuda
meringkik lalu bantingkan tabung kaca di tangan kirinya ke lantai.
Tabung kaca itu pecah dengan
mengeluarkan ledakan nyaring. Pasir di dalamnya muncrat ke udara disertai
kepulan asap berwarna kelabu, berbau busuk luar biasa. Sambil melangkah
terserok-serok nenek aneh itu acungkan tongkatnya tinggi-tinggi ke atas.
Mulutnya komat-kamit melafatkan mantera. Tiba-tiba dia memekik keras. Aneh!
Ujung buntalan asap kelabu
menyambar ke ujung tongkat bambu. Lalu laksana sehelai selendang panjang
bergerak mengikuti kemana bambu itu bergerak.
Si nenek turunkan bambu di
tangan kanannya mendekati kepala mayat yang terbelah. Begitu sampai di bagian
kepala, ujung tongkat disapukannya sepanjang belahan yang mengerikan itu. Aneh!
Luar biasa. Perlahan-lahan, setelah disapukan beberapa kali kepala yang
terbelah oleh hantaman Kapak Naga Geni 212 itu bertaut kembali meskipun tetap
meninggalkan bekas yang mengerikan yaitu mulai dari kening, memanjang ke bawah
melewati mata kiri dan pipi kiri. Si nenek tertawa tinggi.
Ujung tongkat berputar-putar
sesaat lalu mengusap-usap keseluruh bagian tubuh yang seperti dicincang itu.
Kembali keanehan terjadi. Tubuh yang penuh luka itu juga bertaut kembali. Darah
berhenti mengucur. Namun bekas-bekas luka yang ditinggalkan sangat mengerikan.
Si nenek sekali lagi terdengar tertawa. Tongkatnya diangkat tinggi-tinggi ke
udara. Mulutnya lagi-lagi komat-kamit. Tiba-tiba ujung tongkat menukik dan
menusuk bagian tenggorokan mayat. Inilah puncak dari segala keanehan dan keluar
biasaan.
Tenggorokan yang tadi kaku
tegang itu kini tampak bergerak, mulamula perlahan sekali, namun makin lama
makin kencang. Nenek aneh itu menjerit keras dan panjang. Perlahan-lahan
tubuhnya merunduk hingga dia tampak berlutut di atas kedua tempurung lututnya
yang kurus kering.
“Anak manusia! Kau memang
belum saatnya mati! Belum saatnya!” terdengar si nenek berseru. Dari kedua
matanya yang besar tampak meleleh air mata. Kedua tangannya diacungkan ke atas
dan dari mulutnya terdengar ucapan: “Sepuluh tahun menempa ilmu kehidupan! Hari
ini akhirnya aku berhasil! Guru! Hari ini murid berhasil meneruskan pekerjanmu!
Hanya sayang kau keburu menutup mata hingga tidak sempat menyangsikan awal dari
semua kehebatan ini! Hik… hik… hik…” Lalu si nenek menangis seperti anak kecil.
Mendadak si nenek hentikan
tangisnya. Di kedua telinganya seperti ada suara yang mengisang.
“Muridku… Meski aku sudah mati
tapi rohku masih tetap mengikuti semua tindak tandukmu! Guli Rampai! Dari
alamku aku turut bergembira melihat keberhasilanmu. Teruskan pekerjaanmu
muridku…” Suara mengiang lenyap.
“Guru!” Si nenek berteriak
memanggil. Lalu dia jatuhkan diri menelungkup di lantai. Sesaat kemudian
perlahan-lahan dia bangkit kembali, beringsut mendekati tubuh yang tadi kaku
mati dan kini tampak mulai bergerak tanda adanya tanda-tanda kehidupan yang
sulit diterima akal manusia. Si nenek angkat tubuh itu lalu memanggulnya diatas
bahu kiri. Dia memandang sekali lagi berkeliling, lalu lari keluar bangunan,
menuruni Bukit Toba menuju ke danau di mana perahu kecilnya berada.
***
TUBUH cacat penuh bekas luka
mengerikan itu terbujur tanpa penutup di atas tumpukan batu berwarna merah. Di
bagian bawah tumpukan batu itu terdapat celah memanjang dan di situ ada nyala
api yang terus menerus berkobar. Si nenek bermata besar duduk di atas sebuah
dingklik, menunggu dengan sabar. Tongkat bambu kuning kecil di tangan kanannya
diketukketukkan ke lantai batu, sesuai dengan gerak mendenyut pada dada orang
yang terbujur di atas batu merah.
Perlahan-lahan tetapi pasti
tak selang berapa lama kemudian dua mata yang tadi tertutup dari orang di atas
batu tampak membuka. Si nenek makin memperkencang ketukan tongkatnya ke atas
lantai.
“Buka yang besar. Buka yang
besar matamu anak manusia! Dan pandang wajahku… Pandang wajahku… ”
Mata yang terbuka semakin
besar. Lalu sesuai dengan kata-kata perempuan tua itu, kedua mata tadi bergerak
berputar memandang ke arah si nenek.
“Bagus anak manusia! Bagus!
Ternyata awal kehidupanmu membawa pertanda yang baik. Kau mau mendengar
perintahku. Kau sudah melihat aku. Katakan apa yang kau lihat! Katakan apa kau
kenal aku! Buka mulutmu! Buka! Kau bisa bicara! Kau tidak bisu! Kau pasti bisa
menjawab!”
“Si… siapa kau orang tua. Aku
tidak kenal padamu…” Tiba-tiba meluncur ucapan itu dari orang lelaki berwajah
mengerikan di atas batu.
Si nenek tertawa mengikik.
“Aih…! Suaramu jelek tapi
tidak apa! Yang penting kau bisa bicara! Hik… hikkk… hik… “
“Siapa kau… siapa kau…?”
“Hik… hik… hik. Tentu saja kau
tidak kenal aku. Aku adalah nenek tua bernama Guli Rampai bergelar Iblis Sesat
Jalan Hidup. Aku orang yang telah menghidupkanmu dari kematian!”
“Menghidupkan aku dari
kematian? Apakah aku pernah mati…?” Orang di atas batu bertanya.
“Hik… hik! Kau memang pernah
mati. Malah kalau aku sampai terlambat menemui mayatmu, tak mungkin aku bisa
menolong menghidupkanmu kembali. Setelah mati dan dihidupkan kembali apakah kau
masih bisa mengingat siapa dirimu…?”
Sepasang mata itu yang sebelah
kiri ada guratan angker bekas bacokan menatap langit-langit ruangan. Lalu dari
mulut orang ini meluncur ucapan: “Namaku Kumbara. Gelarku Raja Rencong Dari
Utara. Aku Ketua Partai Topan Utara…”
“Hebat! Kau hebat! Sungguh
luar biasa. Ternyata kau masih ingat siapa dirimu. Otakmu masih berjalan baik!
Tidak percuma aku memilihmu dan membawamu ke puncak Gunung Sorik Marapi ini…
Kau telah hidup kembali! Tetapi untuk mencapai kesempurnaan kau harus menunggu
satu tahun. Sebelum kau kusemayamkan selama satu tahun, apakah ada
pertanyaan…?”
Sosok tubuh di atas batu merah
yang ternyata adalah Raja Rencong Dari Utara alias Hang Kumbara kembali menatap
langit-langit ruangan di atasnya.
“Aku memang ada satu
pertanyaan. Mengapa… mengapa kau menghidupkan aku yang katamu sudah mati ini…?”
“Pertanyaan bagus anak
manusia… Kujawab dengan balas bertanya. Apakah kau tidak akan membalaskan sakit
hati kematianmu pada orang-orang yang telah mencelakaimu? Terhadap
manusiamanusia bernama Panglima Sampono misalnya. Lalu bekas gurumu yang merat
si Nyanyuk Amber itu. Lalu anak angkat yang kau asuh selama bertahun-tahun tapi
kemudian juga kabur meninggalkanmu si Pandansuri itu. Dan yang penting adalah
menuntut balas terhadap seorang anak manusia yang kini menjadi musuh besarmu.
Pendekar 212 Wiro Sableng… Darah dibalas darah. Nyawa dibayar nyawa. Dosa
dibayar dengan dosa…”
“Mereka jumlahnya banyak.
Mereka memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Apakah… apakah aku mampu membayar
dosa dengan dosa…?”
“Kau akan mampu. Aku Iblis
Sesat Jalan Hidup akan memberi kekuatan baru padamu. Bila tiba saatnya kelak
—-setelah satu tahun berlalu—- kau akan bangkit kembali. Cari orang-orang itu.
Bunuh mereka semua. Setelah musuh-musuhmu kau hancur Iudaskan, kau harus
melanjutkan dengan membunuh tokoh-tokoh silat lainnya. Bukankah kau ingin
menjadi raja diraja dunia persilatan?”
“Itu memang cita-citaku…”
“Bagus! Kau ternyata tidak
melupakan niat besarmu. Sekarang sudah saatnya bagimu tidur. Kau akan
kusemayamkan di atas batu panas ini selama satu tahun. Tutup kedua matamu
kembali…”
5
SATU tahun telah berlalu.
Puncak Gunung Sorik Merapi seperti tidak tersentuh oleh waktu. Tak tampak
perubahan. Di dalam bangunan berbentuk aneh, di atas tumpukan batu merah
terbaring sosok tubuh Hang Kumbara hampir merupakan jerangkong. Lebih
mengerikan lagi karena tubuh telanjang itu penuh dengan cacat bekas-bekas luka.
Wajah seperti setan, cekung dengan guratan luka besar melintang di kening,
melewati mata kiri terus ke pipi.
Di ambang pintu bangunan tegak
sosok tubuh Guli Rampai alias Iblis Sesat Jalan Hidup. Kepalanya mendongak ke
langit, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Sepasang matanya
terpejam, mulutnya komat kamit. Sesaat kemudian terdengar pekik aneh dari
mulutnya. Lalu menyusul ucapan-ucapan.
“Guru… Tiga ratus enam puluh
hari sudah berlalu. Hari ini hari penyelesaian segala pekerjaan. Hari ini
berakhirnya segala cara dan rasa. Apakah kau mendengarkan kata-kataku ini
guru…?”
Wajah angker nenek berambut
putih itu nampak tersenyum. Senyum yang lebih merupakan seringai menggidikkan.
Di kedua telinganya terdengar suara mengiang.
“Guli Rampai muridku, aku tak
pernah jauh darimu. Aku gembira kau telah menyelesaikan pekerjaanmu dengan
baik. Rampungkanlah segera. Tapi tahukah kau kalau hari penyelesaian adalah
juga hari pembebasan dari segala rasa dan jiwa…?”
“Murid mengerti guru. Murid
mengerti. Dan murid tidak kecewa…” berkata Guli Rampai lalu dia mulai
sesenggukan.
Suara mengiang membentak
seperti marah. “Jangan cengeng Guli!
Aku tak suka melihat orang
menangis. Rampungkan pekerjaanmu. Kalau selesai aku siap menunggumu…”
“Baik guru, murid akan
merampungkan pekerjaan. Harap maaf kalau murid berlaku lemah. Murid akan segera
menemuimu…”
Si nenek turunkan kedua
tangannya dan buka sepasang matanya. Dia membalikkan tubuh dan masuk ke dalam
bangunan, mendekati tumpukan batu merah dengan api menyala di bagian bawahnya
di mana terbujur tubuh Hang Kumbara alias Raja Rencong.
Dari sudut ruangan Guli Rampai
mengambil sebuah kendi berisi cairan berwarna biru. Dia mengelilingi tumpukan
batu merah sambil tiada hentinya merapalkan jampi-jampi. Kemudian dia berhenti
disamping tubuh Hang Kumbara. Cairan dalam kendi dituangkannya ke ujung kaki
Hang Kumbara, terus ke atas sampai ke perut, terus ke dada, melewati leher dan
berakhir di kepala. Di situ cairan biru dalam kendi tertuang habis. Saat itu
pula Guli Rampai bantingkan kendi tanah itu ke lantai. Terdengar letupan kecil
lalu kepulan asap biru yang membuntal membungkus tubuh Hang Kumbara. Ketika
kepulan asap lenyap terjadi keajaiban. Tubuh yang terbujur selama satu tahun
itu tiba-tiba melompat tegak. Kumis lebat yang tadinya layu seperti benang
basah kini berjingkrak garang. Hang Kumbara putar sepasang matanya yang merah.
Pandangannya membentur si nenek. Langsung saja lakilaki ini jatuhkan diri
berlutut.
Guli Rampai tertawa panjang.
“Hang Kumbara! Hari ini awal
kehidupan bagimu tapi awal kematian bagiku! Aku sudah menyelesaikan
pekerjaanku. Kini kau yang hidup yang akan meneruskan segala-galanya. Kau ingat
darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa dan dosa dibayar dengan dosa..”
“Saya ingat nenek Guli… “sahut
Hang Kumbara.
“Bagus! Lakukan apa yang ingin
kau lakukan. Dunia persilatan ada di tanganmu. Aku tidak mengajarkan ilmu silat
padamu. Juga tidak ilmu kesaktian. Karena sesungguhnya kau telah memiliki kedua
hal itu. Tapi kini dalam dirimu ada satu kekuatan dahsyat. Kau tak akan pernah
mati lagi. Kecuali satu hal yang tabu menimpa dirimu…”
Hang Kumbara terkejut dan juga
heran.
“Aku, aku tak akan pernah mati
lagi nenek Guli? Ah, mana mungkin. Mana ada manusia yang tidak pernah mati….”
“Kau harus percaya padaku
budak tolol! Tak ada satu kekuatan pun yang dapat mengakibatkan kematian
bagimu. Kecuali satu…”
Meskipun belum bisa percaya
namun Hang Kumbara bertanya juga. “Apakah yang satu itu nenek Guli?”
“Satu hal yang tabu. Satu
pantangan. Yakni kau tidak boleh bersinggungan dengan benda apa saja yang
berwarna biru. Apakah itu batu, kayu atau kain atau air, pokoknya yang berwarna
biru! Sekali tubuhmu tersentuh maka kekebalanmu akan punah! Sebatang rumputpun
sanggup menjadi penyebab kematianmu. Kau dihidupkan dan diberi kekuatan dengan
air biru dalam kendi tadi. Warna biru itu pula yang akan menjadi penyebab
kematianmu kelak. Kecuali jika kau memperhatikan apa yang jadi pantangan. Nah
sekarang berdirilah!” Hang Kumbara berdiri.
Si nenek berkata sambil
menatap tajam wajah angker lelaki itu.
“Mulai hari ini nama Hang
Kumbara harus kau kubur! Gelar Raja Rencong Dari Utara harus kau singkirkan.
Mulai detik ini namamu adalah Iblis Sesat Jalan Hidup…”
“Bukankah itu gelarmu nenek
Guli?”
“Betul. Tapi aku tidak
memerlukannya lagi. Kau yang akan meneruskan nama itu. Nah sekarang katakan
selamat jalan padaku!”
“Saya tidak mengerti maksudmu
nenek Guli…” ujar Hang Kumbara heran.
“Anak manusia tolol! Aku
bilang katakan selamat jalan padaku!” bentak si nenek marah.
“Selamat… selamat jalan nenek
Guli…”
Sang nenek tertawa panjang.
Tiba-tiba dia pukulkan tangannya ke kepala.
Praakk!
Batok kepala berambut putih
itu remuk. Tubuh kurus terkapar di lantai tanpa nyawa lagi. Hang Kum bara
sesaat merasa bergeming. Kemudian dia membungkuk mengambil selendang hitam
berbungabunga kuning emas milik si nenek dan mengenakannya di bahu kanan.
Dia melangkah ke pintu
bangunan. Di hadapannya, dari puncak Gunung Sorik Marapi di mana dia berada,
tampak menghampar dunia luas. Lelaki ini menyeringai lalu terdengar
teriakannya.
“Dunia persilatan. Tunggulah!
Hari ini Iblis Sesat Jalan Hidup akan muncul! Darah dibayar dengan darah. Nyawa
dibayar dengan nyawa. Dosa dibalas dengan dosa!”
6
PUNCAK Gunung Sinabung. Di
ruangan depan rumah kayu berlantai tinggi dan luas terbuka itu duduk sembilan
pemuda. Semuanya asyik mengaji. Alunan suara mereka mengaji terdengar enak
dalam keheningan malam menjelang pagi. Udara dingin di puncak gunung
seolah-olah tidak terasa. Mereka terus mengaji untuk menghabiskan waktu sebelum
melaksanakan sembahyang Subuh.
Bersandar ke daun pintu yang
tertutup, duduklah Panglima Sampono, berpakaian putih lengan panjang dan
sehelai sarung halus buatan Bugis. Kedua matanya dipicingkan. Tangan kiri
terletak di atas pangkuan sedang tangan kanan memegang tasbih. Meskipun dia
berzikir k busuk namun telinganya yang tajam dapat mendengar dan mengetahui
bacaan-bacaan muridnya yang salah. Dia langsung menegur dan meminta sang murid
mengulangi bacaannya dengan betul. Lapat-lapat dalam dinginnya udara dan
kegelapan masih mencekam terdengar suara burung berkuik.
Binatang ini agaknya sengaja
terbang berputar-putar di atas bangunan kayu. Suara kuikan binatang ini membuat
sebagian dari pemuda yang duduk mengaji menghentikan bacaanhya, saling pandang
sejenak, melirik pada Panglima Sampono yang tetap duduk tak bergerak di
tempatnya. Sebagiannya lagi memandang ke luar ke arah ke kegelapan.
“Suara burung gagak…” berbisik
seorang pemuda pada taman di sebelahnya.
“Seperti ada pertanda yang
tidak baik,” menjawab sang teman.
Sampai di situ suara burung di
atas atap semakin kencang. Binatang ini berputar-putar terus beberapa kali,
lalu terbang ke jurusan barat, menghilang dalam kegelapan.
“Siapa diantara kalian yang
percaya takhyul…” Tiba-tiba terdengar suara Panglima Sampono.
Tentu saja tak ada dari
sembilan pemuda itu berani menjawab meskipun jelas di antara mereka merasa
tidak enak mendengar suara gagak tadi.
“Pertanda dari Allah jangan
sekali-sekali diabaikan, tetapi sesuatu yang bersifat takhayul harus
dijauhkan…” Berkata lagi Panglima Sampono. “Aku tahu ada di antara kalian yang
merasa takut mendengar suara kuik burung malam tadi…” Sang Panglima sampai saat
itu masih terus bicara dengan kedua mata terpejam dan tangan kanan memegang
tasbih. “Tenangkan hati kalian, teruskan mengaji…”
Belum selesai Panglima Sampono
berkata mendadak satu suara lantang membelah kegelapan malam.
“Bagaimana murid-muridmu bisa
tenang. Kalau mereka menyadari maut datang menggerayang?!”
Panglima Sampono tersentak.
Kedua matanya segera dibuka. Sembilan muridnya telah lebih dulu berpaling ke
arah datangnya suara keras tadi. Sesosok tubuh tampak tegak di bawah pohon besar
di halaman kiri rumah kayu. Kegelapan malam membuat wajahnya tak dapat dilihat,
apalagi mengenali siapa adanya orang itu.
“Panglima, kita kedatangan
tamu…” berbisik seorang murid yang duduk paling dekat dengan sang guru.
Panglima Sampono mengangguk.
Kedua matanya berusaha menembus kegelapan malam. Namun tak dapat menerka siapa
adanya orang yang tegak di halaman itu.
“Subuh-subuh begini, tamu dari
mana yang datang ke tempat kami?” Menegur Panglima Sampono.
Sebagai jawaban orang dalam
gelap melangkah mendekat. Tujuh langkah dari tangga rumah dia berhenti. Sinar
lampu minyak di ruangan depan jatuh menimpa dan menerangi tubuhnya sebatas
pinggang ke bawah. Dada dan kepalanya masih tidak kelihatan. Panglima Sampono
dan sembilan muridnya melihat keanehan yang mengerikan. Orang yang datang itu
hanya mengenakan sehelai cawat hingga perut, paha dan kedua kakinya terlihat
jelas. Dan bagian tubuh itu penuh cacat bekas luka hingga samar-samar orang itu
kelihatan seperti diselimuti sisik-sisik lebar. Anehnya ada sehelai selendang
hitam berbunga kuning emas tergantung menutupi sebagian badannya. Lengan
kirinya buntung.
“ Orang yang datang, jika kau
membawa maksud baik kenapa ragu-ragu. Silahkan naik ke atas rumah” berkata
Panglima Sampono. Diuncang begitu rupa, sosok tubuh di depan rumah tiba-tiba
melesat. Di lain detik dia sudah tegak di ruangan yang terbuka leber itu.
Sembilan murid sang Panglima terkesiap kaget dan bersurat mundur dalam duduk
masing-masing. Panglima Sampono sendiri sempat kerenyitkan wajah dan si-pitkan
mata.
Manusia atau setankah mahluk
yang tegak di hadapan mereka saat itu?! Sosok tubuh penuh cacat bekas luka itu
ternyata memang menyandang sehelai selendang. Badannya sudah sangat mengerikan
untuk dipandang, tetapi wajahnya seribu kali lebih mengerikan. Muka yang cekung
itu juga penuh dengan bekas-bekas luka. Satu diantaranya seperti bekas bacokan,
memanjang dari kening, melewati mata kiri terus ke pipi dan samping dagu kiri.
Akibat cacat ini, mata kiri itu tampak seperti menyembul, merah menakutkan. Dia
tidak mengenakan pakaian lain, kecuali sebuah topi tinggi berwarna hitam,
bergaris kuning.
Panglima Sampono segera
membaui adanya bahaya. Sekilas dia teringat pada burung gagak yang tadi datang
dan berputar-putar di atas atap rumah sambil tiada hentinya berkuik. Haruskah
kini dia mempercayai bahwa pertanda yang diberikan oleh burung itu tadi kini
menjadi kenyataan? Meskipun hatinya agak terguncang melihat sosok tubuh yang
sangat mengerikan itu, namun dengan sikap tenang sang Panglima tegak dari
duduknya.
“Mahluk aneh entah manusia
entah apa, katakan siapa kau adanya. Mengapa subuh-subuh muncul di tempat
kami?” bertanya Panglima Sampono.
Orang yang ditanya tersenyum.
Tapi senyum itu justru membuat tampangnya jadi seburuk iblis.
“Aku manusia yang pernah mati,
tapi kini hidup kembali…!” Si mahluk menjawab dengan suara keras seperti penuh
kebanggaan.
“Berarti kau setan! Setan
gentayangan?!” ujar Panglima Sampono.
“Ha… ha… ha! Kau boleh bilang
begitu. Aku mungkin setan, mungkin juga hantu atau iblis! Tetapi apa pun nama
yang kau berikan padaku aku tetap adalah Iblis Sesat Jalan Hidup!”
“Iblis Sesat Jalan Hidup…?”
desis Panglima Sampono.
“Jangan meracau! Aku memang
belum pernah bertemu dengan manusia bergelar seperti itu. Tapi aku tahu pasti
dia adalah seorang nenek tua. Bukan lelaki bermuka iblis sepertimu!”
“Nenek yang kau maksudkan itu
sudah mati setahun lalu. Aku adalah pewaris kehidupannya. Karena itu layak
memakai gelar Iblis Sesat Jalan Hidup. Lihat… lihat baik-baik! Selendang yang
kusandang ini adalah miliknya. Pemberiannya. Juga kehidupanku dia pula yang
memberikan-Hanya sayang dia sudah mati! Hingga tidak dapat menyaksikan
bagaimana sebentar lagi aku akan membalas nyawa dengan nyawa, membalas darah
dengan darah, membalas dosa di atas dosa
“Apa maksudmu? Siapa kau
sesungguhnya?!” sentak Panglima Sampono sementara sembilan muridnya berdiri
tegak dalam dua kelompok. Lima di sebelah kanan, ampat di samping kiri. Mahluk
bertubuh dan berwajah angker itu tertawa panjang.
“Matamu melihat tetapi buta.
Otakmu jalan tetapi lupa. Apa kau tidak mengenali lagi siapa aku. Apa kau lupa
pada peristiwa setahun silam di Bukit Toba?!’
Berubahlah paras Panglima
Sampono. Jika orang yang datang ini menyebut-nyebut Bukit Toba dan masa setahun
yang lalu, jelas yang dimaksudkannya adalah peristiwa besar menggemparkan
ketika orangorang rimba persilatan muncul di sana untuk membasmi Raja Rencong
Dari Utara berikut partainya yang hendak didirikan yaitu Partai Topan Utara.
“Katakan apa sangkut pautmu
dengan peristiwa setahun lalu itu?”
Orang di tengah mangan kembali
tertawa. “Kau masih saja buta dan lupa. Buka matamu besar-besar, pasang
telingamu lebar-lebar. Lihat dan dengar! Aku adalah Hang Kumbara alias Raja
Rencong Dari Utara!”
“Hah?!” Panglima Sampono tentu
saja tidak percaya.
Salah seorang muridnya
berkata: “Mana mungkin! Raja Rencong sudah mati di tangan para tokoh silat!”
“Budak lancang! Kau tahu apa
tentang Raja Rencong!” menyentak orang di tengah ruangan yang bukan lain memang
adalah Raja Rencong Dari Utara yang kini menyandang nama Iblis Sesat Jalan
H,idup. “Raja Rencong sudah lama mati! Tapi kini Hidup lagi dengan nama Iblis
Sesat Jalan Hidup! Hidup untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat setahun
silam. Kau!” Iblis Sesat Jalan Hidup menunjuk dengan tangan ke kanannya
tepat-tepat ke arah Panglima Sampono. “Kau korban pembalasanku yang pertama!
Kau harus mampus di tanganku saat ini juga! Dan sembilan pemuda muridmu ini!
Karena mereka juga ada di sini dan ada sangkut paut dengan dirimu, mereka juga harus
mati!”
Iblis Sesat Jalan Hidup
tiba-tiba jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar merah yang
memancarkan panas luar biasa berkiblat mengerikan.
“Ilmu kuku api!” seru Panglima
Sampono. Sulit baginya untuk percaya bahwa manusia iblis yang tegak dan
menyerang itu adalah benar-benar Raja Rencong yang telah mati setahun lalu.
Tetapi ilmu pukulan sakti tadi memang hanya Raja Renconglah yang memilikinya!
“Anak-anak, lekas menyingkir!”
teriak Panglima Sampono lalu jatuhkan diri ke lantai dan dari sini menghantam
dengan tangan kanannya, lepaskan serangan balasan yang disertai tenaga dalam
penuh!
Tapi yang diserang sudah
berpindah tempat. Pukulan tangan kosong yang dilepaskan Panglima Sampono
menghantam atap bangunan kayu hingga sebagian atap itu hancur berantakan. Belum
sempat sang Panglima bergerak bangkit lima larik sinar merah panas kembali
menderu dari samping. Panglima Sampono gulingkan diri selamatkan diri. Tapi di
belakangnya tiga orang muridnya terdengar menjerit dan roboh dengan tubuh hangus
tanpa nyawa. Pemudapemuda lainnya cepat berlompatan ke halaman depan rumah
kayu, namun ketika sinar hitam kembali menyambar tak ampun lagi empat orang
roboh tergelimpang, putus nyawa! Hanya dua orang sempat melarikan diri dan
lenyap dalam kegelapan malam.
“Durjana biadab!” terdengar
teriakan Panglima Sampono.
Tubuhnya berkelebat dan
tahu-tahu kaki kanannya sudah meluncur deras ke muka Iblis Sesat Jalan Hidup
alias Raja Rencong. Yang diserang mendengus, mundur selangkah sambil miringkan
kepala. Begitu tendangan lawan lewat dia susupkan satu jotosan ke lambung sang
Panglima. Sadar bahaya mengancam Panglima Sampono selamatkan diri dengan
berjungkir balik di udara sambil tahu-tahu tangan kanannya mengemplang ke arah
batok kepala Iblis Sesat Jalan Hidup.
Buk!
Gebukan tangan kanan itu
menghantam deras di kepala Iblis Sesat Jalan Hidup, membuat tubuhnya terkapar
ke lantai tapi cepat bangkit kembali sambil tertawa mengekeh. Berdebarlah dada
Panglima Sampono. Kepala kerbau saja kalau terkena pukulannya tadi akan hancur,
tetapi bukan saja tidak terjadi apa-apa terhadap Kepala lawan, malah manusia
iblis itu tertawa mengekeh seperti mengejek.
“Mampuslah!” teriak
Panglima.Sampono. Kembali serangannya berkelebat. Kini berupa tendangan ke arah
bawah perut lawan. Yang diserang masih mengekeh. malah busungkan dada dan
kangkangkan kaki, menunggu datangnya tendangan.
Buk!
Tendangan kaki kanan Panglima
Sampono benar-benar menghantam selangkangan Iblis Sesat Jalan Hidup. Tak dapat
tidak anggota rahasianya pasti hancur. Tubuhnya sendiri mencelat sampai lima
langkah. Tapi seperti tadi dia cepat bangkit berdiri dan lagi-lagi sambil
tertawa mengekeh.
“Yang kuhadapi ini bukan
manusia. Benar-benar iblis agaknya!” membatin Panglima Sampono. Rasa kawatir
kini menyamaki dirinya.
Tapi untuk melarikan diri
sangat berpantang baginya. Selagi dia masih terkesiap melihat kehebatan lawan
yang mengerikan itu, tiba-tiba Iblis Sesat Jalan Hidup berteriak seperti
srigala melolong. Serentak dengan itu dia jentikkan lima jari tangan kanan. Sekali
ini Panglima Sampono terlambat bergerak untuk selamatkan diri. Dua larik sinar
hitam mengandung racun jahat sempat menyambar bahu dan pelipisnya. Jago tua
yang pernah menyandang nama harum di Pulau Andalas ini terpuntir beberapa kali
sebelum jatuh di lantai. Sesaat dia megapmegap, meregang nyawa. Iblis Sesat
Jalan Hidup melangkah mendekati dan praak! Kaki kanannya menendang kepala
Panglima Sampono!
7
PASIR PUTIH sebuah kampung
makmur terletak di pinggiran danau berair hijau kebiruan. Penduduknya rata-rata
berpenghasilan dari bercocok tanam di tanahnya yang subur atau mencari ikan di
danau yang sepanjang tahun seperti tak pernah habis-habis ikannya. Pemandangan
di sekeliling danau indah sekali, apalagi tepian danau ini ditebari dengan
pasir putih hingga kampung yang ada di situ akhirnya diberi nama Pasir Putih.
Rindang-Maruhun, Kepala
Kampung Pasir Putih, pagi hari tampak duduk di atas sebuah kursi goyang terbuat
dari rotan di serambi depan rumah besarnya. Sebatang rokok daun jagung yang
menebarkan asap harum tak lepas-lepas dari sela bibirnya. Memang orang tua
berusia lebih setengah abad ini pecandu rokok jagung nomor satu. Seharian dia
bisa menghabiskan sampai tiga puluh batang. Meskipun tua. Rindang Maruhun
memiliki badan kekar dan rambutnya belum ada yang putih, kumisnya hitam melebat
di bawah hidung. Sambil bergoyang-goyang dengan mata setengah terpejam dia
menyahuti salam orang yang melintas di depan rumahnya. Dia memang Kepala
Kampung yang disenangi dan dihormati penduduk di situ.
Pagi tadi dia telah
berkeliling kampung. Memang begitu kebiasaannya. Memperhatikan orang-orang yang
bekerja di ladang mereka, bercakap-cakap dengan mereka lalu pergi ke ladangnya
sendiri. Setelah bekerja cukup lama di ladang itu dia pergi ke danau
melihatlihat penduduk yang mencari ikan. Tak jarang penduduk memberinya ikan
hasil tangkapan dalam jumlah cukup banyak. Tapi Rindang hanya mengambil
beberapa ekor. Itupun kalau dia memang kepingin makan ikan. Kalau tidak maka
pemberian itu selalu ditolaknya dengan halus. Selagi duduk bergoyang-goyang
seperti itu sambil tiada hentinya menyedot dan menghembuskan asap rokok
jagungnya yang harum, tiba-tiba ada tiga orang penduduk lari memasuki halaman,
langsung menemuinya di serambi.
Rindang Maruhun buka kedua
matanya yang setengah terpejam. Tanpa mencabut rokok dari mulutnya dia
bertanya: “Kalian muncul seperti dikejar setan. Apa yang hendak kalian
sampaikan padaku? Minta rokok atau ingin kopi hangat?”
“Kepala Kampung, kami tidak
minta rokok atau inginkan kopi panas. Ada sesuatu yang hendak kami laporkan
pada Bapak Kepala…”
menjawab penduduk yang bertopi
hitam. Kawan di sebelahnya langsung saja menyambung.
“Kami menemui dua orang pemuda
tak dikenal. Tergeletak pingsan di tepi kampung sebelah selatan. Keduanya agak
mencurigakan…”
“Hemm…Rindang Maruhun hentikan
goyangan kursinya dengan menekankan tumit kaki kanannya ke lantai. “Waspada
adalah penting. Tapi buru-buru curiga itu tidak baik. Kalian melihat dan
menemui orang pingsan. Mengapa tidak menolong dan membawa keduanya kemari…?”
“Jadi, kami boleh menolong dan
membawanya kemari Bapak Kepala?”
“Tentu saja. Cari seorang
teman lagi agar kalian berempat bisa lebih mudah menggotongnya kemari…” kata
Rindang Maruhun pula.
Tiga orang penduduk kampung
Pasir Putih itu segera meninggalkan rumah Kepala Kampung. Sebelum pergi ke
tempat dimana mereka menemui dua pemuda tergeletak pingsan, lebih dulu
ketiganya mencari seorang kawan lagi untuk membantu. Ternyata yang ingin ikut
lebih dari enam orang.
Tak selang beerapa lama mereka
kembali ke rumah Kepala Kampung dengan menggotong dua orang pemuda. Keduanya
ternyata memang dalam keadaan pingsan dan dibaringkan di lantai serambi.
Rindang Maruhun segera memeriksa keadaan kedua pemuda tak dikenal itu. Tak ada
tanda-tanda bekas penganiayaan. Baju dua pemuda itu basah. Mungkin basah oleh
embun, mungkin juga telah berpadu dengan keringat. Sepasang kaki mereka tampak
pecah-pecah, penuh debu dan bekas-bekas tanah becek. Di beberapa bagian pakaian
keduanya kelihatan robek seperti terkait.
Rindang Maruhun
mengangguk-angguk. “Tak ada satupun di antara kalian yang mengenali mereka?”
Penduduk Kampung yang
berkerubung di tempat itu sama menidakkan.
“Berarti dia memang bukan
penduduk sekitar sini. Dua pemuda ini datang dari jauh. Wajah mereka pucat.
Mungkin karena tergeletak lama dalam udara dingin malam tadi. Mungkin juga
disebabkan oleh sesuatu yang menakutkan. Mungkin mereka dikejar Begu Ganjang…?”
(Begu Ganjang = Hantu Panjang, yang dipercayai oleh orang-orang Tapanuli
sebagai penimbul malapetaka yang mengerikan).
Mendengar disebutnya Begu
Ganjang penduduk yang ada di situ tampak gelisah. Beberapa di antaranya segera
meninggalkan rumah Kepala Kampung karena takut kalau-kalau Begu Ganjang itu
benarbenar muncul!
“Apa yang harus kita lakukan
Bapak Kepala?” tanya seorang penduduk yaitu yang tadi ikut menggotong dua
pemuda itu.
“Melihat denyutan urat nadi di
leher keduanya, tak lama lagi mereka akan segera siuman. Kalau mereka sudah
sadar, kita bisa menanyai,” jawab Rindang Maruhun.
Betul saja, tak selang berapa
lama kedua pemuda itu siuman dari pingsan masing-masing. Begitu sadar tentu
saja mereka terheran-heran mendapatkan diri berada di tempat itu, dikelilingi
banyak orang.
“Anak muda. Kami penduduk
Kampung Pasir Putih menemui kalian di pinggiran kampung sebelah selatan. Dalam
keadaan pingsan. Siapa kalian dan apa yang terjadi dengan kalian…?” bertanya
Rindang Maruhun.
“Ah, kalian rupanya telah
menolong kami. Terima kasih. Terima kasih… dua pemuda itu membungkuk berulang
kali.
“Eh, orang-orang di sini tidak
butuh ucapan terima kasih itu. Kami ingin tahu kalian berdua ini siapa dan
mengapa kami temui dalam keadaan pingsan?!” menegur sang Kepala Kampung.
Salah seorang pemuda itu lalu
menjawab.
“Kami murid pengajian Panglima
Sampono di Gunung Sinabung. Menjelang subuh ketika kami asyik mengaji menunggu
saat sembahyang tiba-tiba mendadak muncul seorang manusia dalam sosok tubuh dan
wajah yang mengerikan. Dia mengaku bernama Iblis Sesat Jalan Hidup. Dia datang
untuk membunuh Panglima Sampono dan kami murid-murid yang berjumlah sembilan
orang. Tujuh murid sepengajian kami saksikan menemui kematian. Panglima sendiri
kami yakin pasti telah pula dibunuh oleh mahluk itu…”
Mendengar keterangan itu maka
gemparlah semua orang yang ada di rumah Kepala Kampung Pasir Putih, termasuk
Rindang Maruhun sendiri. Bedanya orang tua ini bisa bersikap lebih tenang. Dia
berusaha mendapatkan keterangan lebih jelas, lalu merenung sambil pejamkan
mata. Sesaat kemudian Kepala Kampung ini buka kedua matanya dan berkata:
“Aku pernah mendengar nama
Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Namun apakah mahluk itu benar-benar ada sulit
dipercaya. Dia gentayangan melakukan segala kejahatan seperti dalam
dongeng-dongeng yang menakutkan. Sulit dipercaya…”
Baru saja Rindang Maruhun
mengucapkan kata-kata itu tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh disusul
oleh bentakan: “Dua anak murid Panglima Sampono! Kalian berhasil melarikan
diri! Tapi nyawa kalian batasnya cuma sampai di sini!”
Sesosok tubuh menebar bau
busuk berkelebat di udara. Dua pemuda murid pengajian Panglima Sampono yang
duduk di lantai serambi rumah Kepala Kampung Pasir Putih itu mencelat ke
dinding rumah, terhempas di lantai. Mengerang sesaat lalu tak berkutik lagi.
Darah mengucur dari mulut mereka.
Di tengah serambi tegak
sesosok tubuh berbau busuk, mengerikan dan wajah seseram iblis. Tangan kiri
buntung, tangan kanan berkacak pinggang. Orang banyak berlarian lintang-pukang
sedang Rindang Maruhun tertegun sambil melangkah mundur dan akhirnya terduduk
di kursi goyangnya. Setan atau hantukah yang tegak di hadapannya saat itu?
Mahluk seram itu tiba-tiba menunjuk tepattepat ke arah sang Kepala Kampung.
“Kau yang tadi berkata Iblis
Sesat Jalan Hidup sulit dipercaya keberadaannya, apakah kau yang bernama
Rindang Maruhun, Kepala Kampung Pasir Putih?!”
“Aku… aku…!”
Braak!
Mahluk seram bertopi tinggi
hitam dan menyandang selendang berbunga emas itu menendang kursi goyang yang
diduduki Rindang Maruhun hingga hancur berarit akan. Kepala Kampung itu sendiri
terguling beberapa kali, tapi selamat dan cepat berdiri.
“Kau yang bernama Rindang
Maruhun?! Lekas jawab! Umurmu tak lama lagi…!”
“Kau… kau hendak membunuhku?!
Apa salahku …”
Sekali lompat mahluk itu sudah
menjambak rambut sang Kepala Kampung. “Dengar… Akulah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Aku datang kemari untuk mencari seseorang. Mana anak gadismu yang bernama
Pandansuri itu!”
Rindang Maruhun terbelalak
mendengar orang menyebut nama anak gadisnya. Dia berusaha berontak. Tapi sulit
melepaskan jambakan di kepalanya. Takut dan sekaligus sakit membuat Rindang
Karuhun nekad. Sebagai Kepala Kampung dia memang memiliki ilmu pukulan. Namun
hanya dari tingkatan rendah yang mengandalkan tenaga luar dan kecepatan
gerakan. Dengan tangan kanannya dia menghantam ke arah hulu hati mahluk seram itu.
Iblis Sesat JalanHidup mengekeh. Tangan kanannya yang menjambak ditebaskan ke
bawah. Kraak!
Rindang Maruhun menjerit.
Lengan kanannya patah. Tubuhnya kemudian dibantingkan ke lantai. Kepala Kampung
itu terpuruk kesakitan di sudut serambi. Kemudian dia merasakan injakan kaki di
keningnya.
“Mana anak gadismu? Lekas
jawab!”
“Di… dia tak ada di sini.
Pergi dua… dua hari lalu…”
“Bangsat! Kau berani dusta?!”
“Aku tidak dusta! Dia
benar-benar tak ada di sini. Siapa kau? Mengapa mencari anakku?”
“Siapa aku sudah kukatakan.
Mengapa aku mencari gadis itu karena ada sesuatu yang harus diselesaikan. Nyawa
dibayar nyawa. Darah dibayar dengan nyawa. Dosa di atas dosa! Dia
mengkhianatiku dan melarikan diri dari Bukit Toba setahun lalu. Lekas katakan
ke mana gadis itu pergi…!” “Aku tidak tahu…” “Kau pasti tahu! Dia anakmu!”
“Aku benar-benar tidak tahu…”
“Kalau begitu biarlah kau
mampus dalam tidak tahu!”
Iblis Sesat Jalan Hidup tutup
kata-katanya dengan menekankan tumitnya ke kening Rindang Maruhun. Kepala
Kampung yang malang ini menggeliat-geliat dan melejang-lejangkan kaki. Ketika
nyawanya putus, tubuhnya pun tak bergerak lagi.
8
PANDANSURI duduk termenung di
depan telaga. Kedua kakinya sampai sebatas betis dimasukkan ke dalam air telaga
yang jernih dan sejuk. Saat itu hari masih pagi. Kicau burung masih terdengar
di sana-sini. Di atas langkan sebuah rumah bambu yang menjorok ke telaga, duduk
sosok tubuh berjubah biru dari seorang tua bermuka aneh dan seram. Wajahnya
berwarna biru, hampir segelap biru jubah yang dikenakan. Kedua matanya hanya
merupakan rongga berlobang sedang salah satu telinganya sumplung.
Sesaat orang tua ini
tengadahkan wajahnya ke atap langkan seperti hendak menembus atap bambu itu
dengan pandangan dua matanya yang bolong kosong. Kemudian dia berpaling ke arah
kiri telaga, dimana Pandansuri duduk. Dulu gadis ini selalu mengenakan kerudung
muka dan pakaian serba ungu. Namun sejak peristiwa di Bukit Toba dulu, sejak
Pendekar 212 Wiro Sableng menyibakkan kerudung yang selalu melindungi wajahnya,
sejak itu pula dia tak pernah lagi mengenakan kerudung muka ataupun pakaian
berwarna ungu. Kini dia selalu berpakaian serba putih, termasuk ikat kepala
untuk mengikat rambutnya yang panjang hitam.
“Masih sepagi ini kau sudah
duduk melamun? Bukankah lebih baik melatih jurus-jurus baru yang kuajarkan
padamu? Atau melatih ilmu pukulan sakti Surya Biru yang kurasa masih belum
mantap kau miliki? Berapa lama kau bersamaku Pandan? Satu tahun! Ah, itu jauh
dari cukup untuk mendalami ilmu pukulan sakti itu… “
Suara halus seperti suara
perempuan itu datang dari langkan rumah bambu dan ternyata adalah suara orang
tua bermata bolong. Pandansuri mengeluarkan kedua kakinya dari dalam air
telaga. Memang sudah setahun dia pulang balik meninggalkan kampungnya Pasir
Putih untuk menuntut ilmu kepandaian dari orang tua bernama Nyanyuk Amber itu.
Seperti dituturkan sebelumnya baik sang dara maupun si kakek sama-sama
diselamatkan oleh murid Eyang Sinto Gandeng sewaktu terjadi malapetaka di Bukit
Toba, yakni ketika didirikannya Partai Topan Utara oleh Raja Rencong alias Hang
Kumbara.
Atas petunjuk Wiro, Nyanyuk
Amber kemudian memilih tinggal di telaga yang sunyi tenang itu sedang
Pandansuri kemudian diambil oleh si kakek menjadi muridnya. Sebenarnya Nyanyuk
Amber ingin pula mewariskan pukulan satu “Surya Biru” pada pendekar 212 Wiro
Sableng, namun pendekar itu yang tidak mau dianggap mencari pamrih menolak
secara halus.
Seperti diketahui kedua tangan
dan kaki Nyanyuk Amber telah dibuat buntung oleh Raja Rencong karena pendekar sesat
ini kawatir sang guru akan menjatuhkan tangan keras dan hukuman kepadanya.
Karena itulah, selama Pandansuri berguru pada orang tua ini, sang dara telah
berusaha membuat sepasang kaki-kakian dari kayu dan rotan.
Dengan bantuan kaki palsu ini
akhirnya Nyanyuk Amber mampu berdiri, bahkan berjalan. Kini Pandansuri tengah
merencanakan membuat sepasang tangan palsu hingga kelak sang guru bisa hidup
secara lebih baik. Apa yang telah diperbuat gadis itu membuat Nyanyuk Amber
sangat sayang padanya hingga dia bertekad mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya
pada Pandansuri. Karena sebelumnya sang dara sudah memiliki ilmu silat dan ilmu
sakti yang ampuh, maka dalam waktu satu tahun pandansuri telah menguasai banyak
ilmu kepandaian yang diberikan gurunya. Terkadang
Nyanyuk Amber menggoda. Bahwa
kelak jika sang dara sudah berhasil penuh menguasai ilmu pukulan sakti “Surya
Biru” maka perlahan-lahan wajahnya akan berubah menjadi biru seperti wajah sang
guru! Tentu saja hal ini tidak sesungguhnya karena wajah biru si kakek memang
sudah begitu sejak dia dilahirkan!
Sebenarnya ada tiga hal yang
membuat sepagi itu Pandansuri duduk termenung di tepian telaga. Pertama
kenangannya yang tak bisa pupus terhadap pemuda gagah tapi suka menggoda dan
berkepandaian tinggi itu yakni bukan lain Wiro Sableng si gondrong yang selalu
dicapnya sebagai “pemuda konyol”! Tapi justru sejak pertama kali bertemu dia
tak bisa menipu perasaannya bahwa dia menyukai pemuda itu dan tak dapat
melupakannya. Setahun telah berlalu, sejak itu pula dia tak pernah bertemu
dengan pemuda itu. Padahal Wiro didengarnya pernah berjanji pada Nyanyuk Amber
akan datang menyambangi orang tua itu. Tapi sampai hari itu dia tak pernah
muncul.
Hal kedua yang menyamaki
pikiran sang dara ialah apa yang didengarnya terjadi di luaran sejak dua bulan
terakhir ini. Beberapa tokoh silat di pantai utara dan timur menemui kematian
di tangan seorang pembunuh yang dikatakan sebagai hantu mengerikan. Beberapa
perkumpulan persilatan dihancurkannya pula. Padahal semua yang jadi korbannya
adalah mereka yang tidak ada sangkut paut atau silang sengketa. Apakah rupanya
dunia persilatan ini tak pernah lepas dari kehadiran manusia-manusia biadab dan
terkutuk seperti itu?
Iblis Sesat Jalan Hidup!
Begitu nama si pembunuh yang sampai ke telinga Pandansuri. Ada dua hal yang
membuat dia tidak enak dan merasa heran. Yaitu si pembunuh kabarnya memiliki
ilmu kebal hingga tak mempan senjata, tak mempan pukulan sakti apapun. Kemudian
— ini yang membuat Pandansur risau— kabarnya pembunuh itu memiliki ilmu
kesaktian berupa jentikan jari-jari tangan yang mengeluarkan sinar hitam panas
menghanguskan. Setahu dia ilmu pukulan seperti itu adalah “ilmu kuku api” yaitu
seperti yang dipelajarinya dari Raja Rencong, ayah angkatnya yang mati sesat
itu. Di dunia persilatan hanya ada dua orang yang memiliki ilmu kuku api itu
yakni Raja Rencong dan dirinya sendiri. Kini Raja Rencong sudah tiada, berarti
hanya dia sendiri yang menguasai ilmu itu. Tapi mengapa tahu-tahu kini muncul
seorang lain dengan nama mengerikan dan memiliki ilmu yang sama?
Hal ketiga yang menjadi
pemikiran Pandansuri sepagi itu ialah mimpinya tadi malam. Dia melihat ayah dan
ibunya mengenakan pakaian serba putih. Sang ayah yakni Rindang Maruhun Kepala
Kampung Pasir Putih mengenakan sorban putih lalu sang ibu memakai selendang
putih. Dalam mimpi kedua orang tuanya itu menaiki sebuah kendaraan berbentuk
aneh yang dapat meluncur di atas air danau di pinggir kampung, lalu sambil
melambai-lambaikan tangan mereka terbang di atas danau, makin lama makin tinggi,
makin jauh dan akhirnya lenyap di balik awan.
Pandansuri tak dapat menerka
apa arti atau mimpinya itu. Sebab itulah sejak pagi dia sudah duduk di tepi
telaga, merenung berpikirpikir. Ketika Nyanyuk Amber menegurnya gadis itu
segera berdiri dan pergi mendapatkan sang guru. Setelah diam sesaat maka diapun
mengutarakan dua dari tiga hal yang menjadi pikirannya itu. Hanya soal pada
mengenang Wiro Sableng yang tidak dikatakannya pada sang guru. Nyanyuk Amber
menghela napas dalam, mendongak ke atas lalu memalingkan wajahnya ke arah
telaga sementara burung-burung masih terdengar berkicauan di pepohonan sekitar
situ.
“Iblis Sesat Jalan Hidup…”
desis si orang tua bermuka biru. “Satu nama bejat yang pernah kudengar sejak
enam puluh tahun lalu. Nama itu seperti sebuah legenda. Dikatakan orangnya ada,
tak pernah aku menemuinya. Dikatakan tidak ada tapi malapetaka yang
ditimbulkannya terjadi di mana-mana. Bertahun-tahun nama itu lenyap seperti
ditelan bumi. Tahu-tahu kini muncul kembali. Sebelum kau mengatakannya padaku
Pandan, ada seorang sahabat menyambangiku seminggu lalu. Diapun menceritakan
hal yang sama. Juga mengutarakan kekawatiran yang sama.
“Siapa sebenarnya manusia itu
guru? Jika dia memang seorang manusia, bukan setan atau iblis?” bertanya
Pandansuri.
“Sulit diduga. Dia muncul
seperti ibiis. Lalu lenyap seperti setan. Kematian dan darah ditinggalkannya di
mana-mana. Seperti tak ada yang sanggup menandinginya. Hanya yang mengherankan,
jika nama itu sudah muncul enam puluh tahun lalu, bagaimana masih terus ada
sampai saat ini? Seperti orangnya tak pernah mati-mati…” Orang tua ini
termenung sejurus. “Aku mendapat firasat, kemunculan manusia itu kali ini
seperti mencari sesuatu …”
“Apakah dia demikian hebatnya
hingga tak ada yang bisa mengalahkannya?” bertanya lagi Pandansuri,
“Di dunia ini sesungguhnya tak
ada manusia yang hebat atau luar biasa muridku. Apalagi jika berhadapan dengan
kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Segala sesuatunya hanya menunggu waktu saja.
Kalau aku tak salah ingat pernah seorang kawan mengatakan bahwa manusia
berjuluk Iblis Sesat Jalan Hidup itu konon mempunyai satu pantangan. Pantangan
inilah yang dapat mengalahkannya. Bahkan menamatkan riwayatnya. Hanya sayang,
sebelum sang kawan sempat menerangkan rahasia kelemahan Iblis itu, dia mati
terbunuh. Kurasa, besar sekali kemungkinan Iblis Sesat Jalan Hiduplah yang
telah membunuhnya!”
“Tidakkah kita bisa melakukan
sesuatu untuk mencegah manusia terkutuk itu berbuat malapetaka lebih jauh…?”
“Aku senang mendengar
pertanyaanmu itu Pandansuri. Hanya saja apakah yang bisa kita lakukan?
Mencarinya? Dicari ke mana?”
“Bagaimanapun kita harus
berbuat sesuatu, guru …”
“Betul muridku. Aku akan
memikirkan hal itu mulai sekarang.”
“Lalu bagaimana dengan mimpi
saya yang tadi saya ceritakan itu, guru?”
“Mimpi adalah bunga tidur,
Pandan. Mengingat Pasir Putih hanya setengah hari perjalanan dari sini, ada
baiknya kau pulang dulu.
Mungkin ayah atau ibumu kangen
padamu… “
“Tak mungkin mereka kangen.
Bukankah saya baru dua hari di sini? Dulu-dulu sampai berminggu-minggu…”
Nyanyuk Amber tersenyum
mendengar kata-kata muridnya itu lalu menjawab. “Rindunya orang tua yang
menandakan rasa sayang sukar diukur. Kelak kalau kau nanti sudah berumah tangga
dan punya anak, kau akan merasakan seperti itu…”
Mendengar ucapan gurunya
kembali terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng di pelupuk mata Pandansuri.
“Kau boleh memakai kudaku,
biar cepat sampai di rumah…” Terdengar ucapan Nyanyuk Amber.
“Terima kasih guru. Bolehkah
saya pergi sekarang juga?”
’Tentu saja, pergilah. Tapi
lekas kembali kemari. Aku punya firasat ada orang jauh yang akan berkunjung ke
tempat kita ini… “
“Siapakah guru?”
“Tak dapat kupastikan. Tapi
mungkin dia seorang yang selama ini selalu kau ingat-ingat… “
Wajah Pandansuri menjadi kemerahan.
Hampir terlompat mulutnya hendak menyebut nama Wiro Sableng. Tapi cepat-cepat
dia menutup mulut dengan jari-jari tangan.
Nyanyuk Amber tertawa
mengekeh. “Pergilah Pandan. Hati-hati di jalan.”
9
MENJELANG sampai ke Pasir
Putih, di kejauhan Pandansuri mendengar suara beduk dan tong tong dipukul tiada
henti. Sesaat gadis ini tercekat. Suara beduk dan tongtong seperti itu hanya
terdengar jika terjadi bahaya atau ada penduduk yang meninggal. Bahaya apa yang
menimpa kampungnya? Atau siapa yang meninggal dunia? Pandansuri menyentakkan
tali kekang kuda dan memacu binatang itu secepat yang bisa dilakukannya. Ketika
dia sampai di halaman rumah, belum lagi kuda berhenti, gadis ini sudah melompat
turun. Halaman rumah yang luas dipenuhi oleh penduduk. Rumah besar dipadati
orang. Dari sebelah dalam terdengar suara isak tangis. Pandansuri lari masuk ke
dalam, tak perduii lagi ada yang tersepak. Sampai di ruangan tengah gerakannya
tertahan. Kedua lututnya seperti goyah. Dua jenazah yang telah tertutup kain kafan
terbaring di atas kasur tinggi yang penuh dengan taburan bunga.
“Ayah…! Ibu!” raung
Pandansuri. Gadis ini seolah-olah sudah tahu betul siapa-siapa jenazah yang
terbujur di ruangan itu. Beberapa orang tua segera memeganginya ketika
Pandansuri menjatuhkan diri dan merangkuli kedua jenazah.
“Apa yang terjadi?! Apa yang
terjadi dengan ayah dan ibu?!” Jerit Pandansuri.
“Tenang Pandan… Tenang anakku.
Ini cobaan besar bagi kita semua. Tabahkan hatimu. Iman anakku, imanlah…” yang
berkata adalah seorang lelaki tua berkumis putih, kakak tertua ayah Pandansuri.
Kalau tidak dicegah orang
banyak Pandansuri seperti gila hendak merobek kain kafan untuk melihat wajah
ayah dan ibunya. Dengan susah payah gadis ini dibawa ke sebuah kamar. Di situ
diceritakan padanya apa yang terjadi pagi kemarin.
“Beberapa pembantu ayahmu ikut
terbunuh. Mereka sudah dikuburkan kemarin…” menjelaskan orang tua berkumis
putih. “Kami tidak tahu harus mencarimu ke mana. Untung kau datang saat ini
Pandan. Kalau tidak terpaksa jenazah keduanya kami makamkan karena tak mungkin
menunggu lebih lama…”
Pandansuri duduk terhenyak di
sudut kamar, bersimbah air mata dan keringat. Inilah rupanya makna mimpinya
malam tadi. Dan tidak terduga manusia jahat yang selama imi gentayangan
menyebar darah dan nyawa, yang bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu yang
menghabisi kedua orang tuanya. Setahunya ayahnya tak pernah mempunyai musuh.
Kenapa dia dibunuh mengenaskan begitu rupa? Juga ibunya yang tak berdosa. Lalu
beberapa pembantu ayahnya?!
Gadis itu bangkit berdiri.
Sikapnya agak tenang sekarang. Matanya yang tadi basah oleh air mata kini
tampak bersinar kemerahan. Dia melangkah ke pintu.
“Kau mau ke mana anakku?”
tanya kakak ayah si gadis.
“Aku akan mencari bangsat
bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Dia harus matai di tanganku!”
“Jangan bertindak kesusu.
Tidakkah kau ingin menyaksikan pemakaman ayah ibumu lebih dulu.?”
Mendengar kata-kata itu
Pandansuri segera sadar. Dia tak bisa pergi begitu saja bagaimana pun hebatnya
dendam kesumat membakar dadanya.
***
LAMA setelah muridnya pergi,
Nyanyuk Amber masih duduk di langkan rumah bambunya yang menjorok ke telaga.
Lapat-lapat diantara siuran angin dan gemericik air telaga yang terkena kibasan
ikan-ikan kecil, orang tua ini mendengar suara seseorang datang. Bersamaan
dengan itu hidungnya yang tajam mencium bau busuk tidak enak. Nyanyuk Amber
memutar kepalanya. Hatinya tiba-tiba saja menjadi gelisah. Orang yang datang
ini agaknya bukan tamu yang ditunggu-tunggunya. Dia duduk tak bergerak, menanti
dengan waspada. Sesiur angin berhembus. Sesosok tubuh berkelebat naik ke atas
langkan bambu itu. Tak ada sedikit gerakan pun terasa pada lantai bambu yang
tak seberapa kokoh itu. Ini satu pertanda bagi si orang tua bahwa orang yang
datang memiliki gerakan sebat dan keringanan tubuh yang luar biasa. Bau busuk
bertambah santar.
’Tamu dari mana yang datang
kemari… !’ menyapa Nyanyuk Amber.
Sesaat tak ada jawaban. Lalu
terdengar suara sember tapi garang.
“Jadi di sini kau bercokol tua
bangka buruk! Jangan harap kau bisa lari lebih jauh! Sekalipun kini kulihat kau
memiliki sepasang tangan dan kaki palsu yang membuatmu jauh jadi lebih jelek!
Ha… ha…ha…!”
Nyanyuk Amber kerenyitkan
kening. Sikapnya tetap tenang. Dia coba mengingat-ingat suara itu. Tapi tetap
saja dia tidak mengenali siapa adanya yang bicara.
“Tamu yang datang. Terangkan
siapa kau adanya dan ada keperluan apa kau muncul di gubukku?!”
Sang tamu kembali tertawa.
“Aku akan jawab pertanyaanmu yang kedua lebih dulu. Aku datang kemari untuk
mencabut nyawamu! Kau dengar itu!”
“Hemmm… Tubuhmu memancarkan
bau busuk. Pasti kau bukan Malaikat Jibril si pencabut nyawa. Tapi mengapa
merasa punya hak hendak membunuhku?!”
“Hak? Tua bangka buta! Aku
adalah raja diraja di dunia ini. Setiap hak apa pun yang kau sebutkan aku mempunyainya.
Termasuk hak untuk menghabisi riwayatmu! Hutang nyawa dibayar nyawa. Darah
dibayar darah. Dosa di atas dosa".
“Jelas kau ngacok. Sekarang
jawab pertanyaanku yang pertama tadi. Siapa dirimu!”
“Aku adalah bekas muridmu!
Dulu aku bernama Hang Kumbara. Bergelar Raja Rencong Dari Utara, Pemimpin
Partai Topan Utara yang hancur pada hari peresmiannya. Kau ikut ambil bagian
dalam menggagalkan berdirinya Partai itu. Kini dunia persilatan mengenalku
dengan nama baru. Iblis Sesat Jalan Hidup! Yang tak akan pernah mati oleh
kekuatan apa pun di dunia ini! Kau dengar itu tua bangka keparat?!”
Tentu saja Nyanyuk Amber
terkejut mendengar kata-kata orang yang ada di hadapannya itu. Hang Kumbara!
Raja Rencong Dari Utara! Bukankah manusia durjana itu sudah menemui kematiannya
lebih dari satu tahun silam? Bagaimana kini dia bisa hidup lagi? Dan benarkah
dia yang kini tegak di hadapannya? Sungguh satu kenyataan yang sulit dapat
dipercaya.
Selagi Nyanyuk Amber terkesiap
begitu rupa, Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba merasakan tengkuknya dingin dan
lutunya bergetar. Kedua matanya menatap tajam pada pakaian dan wajah si orang
tua. Jubah dan muka orang tua itu berwarna biru. Warna pantangan yang harus
dijauhinya. Sekati salah satu bagian tubuhnya tersentuh pakaian atau muka itu
tamatlah riwayatnya. Berarti dia harus menjaga jarak dan membunuh cepat-cepat
orang tua ini!
“Nyanyuk Amber! Waktumu sudah
sampai! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Iblis Sesat Jalan Hidup. Lalu dia
jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar hitam mengandung hawa
luar biasa panasnya berkiblat.
Nyanyuk Amber terkejut.
“Ilmu Kuku Api!” serunya
ketika mengenali deru dan hawa biru pukulan maut itu. Tubuhnya yang duduk
serta-merta melayang ke samping. Meskipun kini hanya memiliki sepasang kaki
kayu, namun gerakannya tampak sebat. Begitu berdiri dia segera hantamkan tangan
kanannya. Angin deras menerpa ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup tapi dengan mudah
dielakkan.
“Murid murtad! Siapapun kau
adanya! Jika kau benar Iblis Sesat Jalan Hidup maka aku akan membasmimu hari
ini!” teriak Nyanyuk Amber.
Iblis Sesat Jalan Hidup
tertawa mengejek.
Kraak! Dia patahkan salah satu
tiang bambu penyanggah atap langkan. Lalu dengan bersenjatakan potongan bambu
yang cukup panjang ini dia menyerang Nyanyuk Amber dengan ganas. Sejak Guli
Rampai — si Iblis Sesat Jalan Hidup perempuan tua itu— mengisi tubuhnya dengan
kekuatan aneh, kehebatan yang dimiliki Raja Rencong alias Hang Kumbara memang
luar biasa. Dalam waktu singkat, Nyanyuk Amber yang penuh pengalaman dalam
dunia persilatan itu terdesak hebat. Salah satu dari kaki kayunya hancur
dihantam potongan bambu.
Menyusul tangan kayu sebelah
kanan. Orang tua ini menjadi kerepotan dan bertahan mati-matian sambil
bersiap-siap menyalurkan tenaga dalam untuk melepaskan pukulan “Surya Biru”.
Namup meskipun dia sanggup mewariskan ilmu sakti itu pada Pandansuri, untuk
mempergunakannya sendiri dia mengalami kesulitan karena keadaan kedua tangannya
yang cacat.
Kraak!
Kaki kayu kedua hancur
dihantam ujung bambu. Nyanyuk Amber terbanting ke lantai langkan. Menyadari
bahaya, orang tua ini cepat gulingkan diri, tepat ketika Iblis Sesat Jalan
Hidup lepaskan lagi pukulan sakti ilmu kuku api! Lantai langkan hancur
berentakan, terbakar di beberapa bagian. Dalam waktu singkat api berkobar
ganas.
Nyanyuk Amber bergulingan di
tanah di tepi telaga. Ketika dia kemudian terduduk di tanah jubah birunya
kelihatan menggembung. Ini satu pertanda dia tengah menghimpun seluruh tenaga
dalam yang ada dan siap melakukan sesuatu yang hebat. Sebagai bekas muridnya,
Iblis Sesat Jalan Hidup alias Hang Kumbara tahu ilmu apa yang hendak
dilancarkan oleh sang guru. Yakni hawa panas yang menebar asap beracun berwarna
kuning.
Tanpa rasa takut karena
percaya akan kekebalan dirinya, Iblis Sesat Jalan Hidup malah melangkah
mendekati, tapi sejarak yang cukup aman agar jubah biru si kakek tidak
menyentuhnya.
“Kau hendak mengeluarkan ilmu
racun kayangan? Ha… ha… ha. Keluarkanlah! Ilmu butut itu stepa yang takut!”
Meskipun hatinya jadi panas
namun diam-diam Nyanyuk Amber merasa terkejut. Bagaimana musuh keparat itu
berani menantang seperti itu. Padahal selama ini tak satu orang pun sanggup
menyelamatkan diri dari kepungan asap mautnya. Nyanyuk Amber menggembos. Jubah
birunya yang tadi menggembung tiba-tiba menjadi kempes. Bersamaan dengan itu
dari bagian bawah jubah melesat keluar asap kuning pekat, membuntal dahsyat dan
langsung menerpa deras ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Yang diserang tetap tegak tak
bergerak dan masih terus mengumbar tawa mengejek. Ternyata asap beracun ganas
itu sama sekali tidak mempan merusak kulit apa lagi membunuhnya!
Selagi Nyanyuk Amber terkesiap
akan ini, didahului bentakan garang Iblis Sesat Jalan Hidup melompat ke depan
dan tusukkan ujung bambu di tangan kanannya. Dia tak berani menusuk ke tubuh
atau muka Nyanyuk Amber. Karenanya yang menjadi sasarannya adalah leher orang
tua itu!
Dalam keadaan tercekat melihat
ilmu racun kayangan tak sanggup menghabisi lawannya, Nyanyuk Amber bertindak
agak terlambat ketika tusukan bambu menderu ke arah tenggorokannya. Meskipun
dia semapat mengelak, tetap saja ujung bambu menyerempet lehernya, menimbulkan
luka cukup parah. Darah mengucur. Dalam keadaan seperti itu Iblis Sesat Jalan
Hidup kemudian susul dengan serangan ilmu kuku api. Tak adaa kesempatan lagi
bagi orang tua yang malang itu untuk selamatkan diri!
10
SAHABATKU tua bangka ompong!
Siapa yang berani mencelakaimu?!”
Mendadak satu seruan keras
terdengar. Bersamaan dengan itu berkiblat sinar putih menyilaukan mata. Hawa
panas luar biasa menebar, iblis Sesat Jalan Hidup terpental enam langkah.
Sesaat tubuhnya tergontaigontai, tapi dia tidak mengalami cidera apa-apa.
Sebaliknya bangunan bambu di belakangnya, yang sepertiganya telah dimakan api,
hancur lebur berantakan kena sambaran sinar putih perak tadi.
Tiga orang sama-sama
terheran-heran. Pertama tentu saja si Iblis Sesat Jalan Hidup. Selain heran
juga terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba. Meskipun tubuhnya cidera tetapi
sinar putih panas menyilaukan tadi sanggup membuatnya terpental. Yang kedua
adalah Nyanyuk Amber. Orang tua ini heran tak menyangka kalau ketika ajal sudah
di depan mata ternyata masih ada uluran tangan Tuhan yang menyelamatkannya. Dan
orang yang ketiga adalah dia yang barusan berkelebat muncul di tempat itu,
yakni bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede. Selama malang melintang dalam dunia persilatan, jika tidak
menghadapi lawan tangguh, tak akan dia melepaskan pukulan “sinar matahari!” Dan
jika sekali pukulan itu dilepaskan, maka korban akan jatuh tergelimpang. Tapi
adalah luar biasa bahwa sosok tubuh penuh cacat dengan wajah seangker iblis itu
tidak cidera seujung rambut pun. Padahal jelas pukulan sinar matahari tadi
tepat menghantam tubuhnya hingga terpental. Bahkan selendang hitam berbunga
kuning emas di bahunya tidak bergeming sedikit pun!
“Keparat! Kau rupanya!” bentak
Iblis Sesat Jalan Hidup.
“Heh, setan alas ini
mengenaliku. Siapa dia sebenarnya,”
membatin Wiro. “Kau muncul
sendiri di sini hingga tak susah-susah aku mencarimu! Hutang nyawa bayar nyawa.
Darah dibayar darah! Dosa di atas dosa!” tentu saja dia tidak mengenali siapa
sebenarnya manusia di hadapannya itu.
“Bagus! Kau sudah muncul tanpa
dicari! Berarti tak perlu membuang-buang waktu! Kalian berdus memang layak
mampus berbarengan di tempat ini!”
“Kalau bukannya setan kau
tentu iblis jejadian!” ujar Wiro menyahut ucapan Iblis Sesat Jalan Hidup.
Nyanyuk Amber diam-diam merasa
bersyukur atas munculnya Wiro yang memang sudah lama ditunggu-tunggunya. Namun
dia merasa perlu memberi tahu. Maka dengan mempergunakan ilmu mengiangkan
suara, dia berkata pada Pendekar 212. “Wiro, hati-hati! Mahluk yang dihadapanmu
adalah Iblis Sesat Jalan Hidup. Ilmunya tinggi dan dia kebal terhadap segala
macam pukulan maupun senjata! Dia tidak bisa dibikin mati!”
Karena sebelumnya tidak pernah
mendengar tentang mahluk bernama Iblis Sesat Jalan Hidup ini maka Wiro tentu
saja tidak dapat mempercayai kata-kata orang tua itu. Mana ada mahluk hidup
yang tidak dapat mati?
Mengetahui bagaimana jalan
pikiran wiro maka Nyanyuk Amber kembali kirimkan suaranya ke si pendekar:
“Iblis itu adalah penjelmaan Raja Rencong yang mati setahun silam!”
Makin tak mengerti pendekar
kita jadinya. Dulu dia sendiri bersama-sama puluhan tokoh silat mencincang Raja
Rencong di Arena Topan Utara. Kini diakah mahluk hidup bertubuh dan berwajah
seram ini?
Sebelum dia sempat berpikir
lebih lama, di hadapannya Iblis Sesat Jalan Hidup jentikkan lima jari tangan
kanannya. Lima sinar hitam pekat dan panas menggebubu!
“Ah! Ilmu kuku api!” seru Wiro
dalam hati. “Memang keparat itu rupanya!”
Untuk kedua kalinya Wiro
lepaskan pukulan sinar matahari guna menangkis ilmu kuku api. Sinar putih dan
sinar hitam saling baku hantam di udara, mengei-luarkan susara berdentum yang
disertai kilapan sinar api amat mengerikan. Ranting dan cabang serta daundaun
pepohonan yang ada di sekitar situ hangus kehitaman. Nyanyuk Amber leletkan
lidah. Hawa panas terasa menjalar sampai ke tubuhnya.
Jengkel melihat pukulan
saktinya tidak mempan maka Pendekar 212 Wiro Sableng cabut Kapak Maut Naga Geni
212. Suaara seperti ribuan tawon mengamuk memenuhi udara ketika senjata mustika
sakti itu berkelebat ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.
Yang diserang tegak tak
bergerak, bersikap menantang dan sunggingkan senyum mengejek. Malah berkata:
“Pilih bagian tubuhku yang empuk anak muda!”
Buuk!
Mata Kapak Naga Geni 212
menghantam dada Iblis Sesat Jalan Hidup. Tak ampun lagi tubuhnya terpental lalu
jatuh duduk. Tapi di lain kejap dia sudah bangkit berdiri kembali tanpa cidera
sedikit pun! Kejut Wiro Sableng bukan alang kepalang! Ilmu apakah yang kini
dimiliki Raja Rencong hingga senjata saktinya tidak mempan sama sekali. Hampir
tak percaya, dia pandangi kapak di tangannya. Di depannya terdengar suara tawa
parau Iblis Sesat Jalan Hidup.
“Aku pernah kau bunuh!
Sekarang kau ganti menemui kematian!
Arwahmu sudah lama ditunggu
arwahku!” Iblis Sesat Jalan Hidup melangkah mendekati Wiro. Tangan kanan
terpentang seperti hendak mencengkeram. Wiro tabaskan kapak saktinya.
Bukk!
Kembali kapak itu menghantam
dan tidak berdaya!
“Gila!” maki Wiro. Sebelum
lawan datang lebih dekat pendekar ini cepat menghantam dengan pukulan benteng
topan melanda samudera.
Seperti tadi Iblis Sesat Jalan
Hidup hanya terpental jatuh, bangkit berdiri dan mendatangi Wiro kembali!
Penasaran murid Sinto Gendeng hantamkan kapak saktinya sekali lagi. Kali ini
batok kepala Iblis Sesat Jalan Hidup yang diarahnya. Kalau dulu senjata itu
sempat membelah kepala Raja Rencong maka sekali ini hanya mengeluarkan suara
bergedebuk dan ternyata kepala itupun tak mempan dikapak!
“Wiro, kita harus cepat
menyingkir dari sini! Walaupun kita sanggup menghajarnya sampai seribu jurus
tapi dia tak akan dapat dimatikan. Sebaliknya kita akan kehabisan tenaga dan menjadi
korbannya!” Terdengar suara mengiang di telinga Wiro. Itulah suara Nyanyuk
Amber.
“Aku tidak akan berlaku
sepengecut itu! Aku yakin bangsat ini bisa dikalahkan!” menjawab Wiro.
“Jangan tolol! Sebelum kita
dapat memecahkan teka-teki kekebalannya, kita berdua bisa mati percuma di
tempat ini! Lekas dukung aku dan menyingkir dari sini! Cepat!”
Karena menyadari memang tak
mungkin melanjutkan penyerangan terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup mau tak mau
Wiro Sableng terpaksa mengikuti apa yang dikatakan Nyanyuk Amber. Dengan kapak
tetap di tangan kanan guna melindungi diri, Wiro sambar tubuh si orang tua dan
berkelebat ke jurusan timur.
Iblis Sesat Jalan Hidup
mengejar sambil lepaskan pukulan ilmu kuku api. Wiro putar Kapak Maut Naga Geni
212. Serangan lawan musnah setengah jalan tapi manusia iblis itu terus
mengejar. Hanya saja dalam ilmu lari tingkat kepandaiannya tidak dapat
menandingi murid Sinto Gendeng itu. Dalam waktu singkat dia sudah tertinggal
jauh. Akhirnya dua orang yang dikejar itu lenyap di kejauhan di antara
kelebatan pepohonan.
“Kalian tak akan bisa lolos
sekalipun lari ke ujung dunia! Tunggu saja waktunya. Sekarang lebih baik aku
mencari gadis keparat itu lebih dulu! Jika dia tidak ada di di sini, pasti dia
sudah kembali ke Pasir Putih!”
11
SANG SURYA tampak merah
membara tanda sebentar lagi akan masuk ke titik tenggelamnya. Di tanah
pekuburan yang terletak di sebelah selatan Pasir Putih keadaannya sudah sepi.
Dua jenazah telah dimakamkan. Para pengantar telah lama pergi. Hanya ada satu
orang kelihatan masih duduk bersimpuh di hadapan dua tumpukan tanah merah.
Pakaiannya yang putih kotor oleh merahnya tanah liat. Orang ini adalah
Pandansuri yang tengah menghadapi makam ayah dan ibunya. Perasaan dara ini saat
itu bercampur aduk. Pertama tentu saja rasa sedih dan duka cita yang mendalam
karena kematian kedua orang tuanya. Namun sekaligus dalam hatinya juga membara
dendam kesumat terhadap pelaku pembunuh yang tidak pernah dilihatnya, hanya
didengarnya bernama Iblis Sesat Jalan Hidup. Dalam hatinya sudah bulat tekad
untuk mencari manusia iblis itu guna menuntut balas.
Perlahan-lahan Pandansuri
berdiri. Di saat dirasakannya harus pergi meninggalkan tempat itu, kembali air
mata memercik dan meluncur di kedua pipinya.
“Ayah, ibu… Saya harus pergi sekarang.
Saya bersumpah di hadapan kubur ayah ibu untuk mencari pembunuh terkutuk itu.
Saya tak akan berhenti sebelum menemui dan membunuhnya!”
Ketika Pandansuri hendak
mencium bagian tanah di kepala kubur ibunya tiba-tiba di belakangnya terdengar
suara orang menegur. Satu suara yang keras tapi parau.
“Pandansuri! Kau tak perlu
jauh-jauh mencari pembunuh kedua orang tuamu! Orangnya sudah ada di sini. Aku
orangnya…!”
Kejut gadis itu bukan
kepalang. Sejak menerima tambahan ilmu dari Nyanyuk Amber, perasaan dan
pendengarannya jauh lebih tajam. Mengapa kini ada orang datang dari belakang
dia tidak dapat mengetahuinya? Hanya ada satu jawaban. Mungkin pikiran dan
perasaannya terlalu tertumpah pada nasib malang yang dihadapinya. Atau mungkin
pula orang yang datang memiliki kepandaian tinggi luar biasa.
Secepat kilat Pandansuri
balikkan tubuh. Serta merta gadis ini terperangah, hampir keluarkan saruan
kaget karena ngeri. Di hadapannya berdiri sosok tubuh dan wajah yang sangat
menyeramkan. Sosok tubuh ini hanya mengenakan sehelai celana pendek, bertelanjang
dada. Ada sehelai selendang hitam berbungabunga kuning emas melintang di
bahunya. Seluruh tubuh, mulai dari kaki sampai ke dada, terus ke wajah penuh
luka bekas cacat yang mengerikan, terutama luka melintang di atas mata dan pipi
kiri.
“Ha… ha…! Kau takut?! Kau tak
mengenaliku?!”
Sosok tubuh mengerikan itu
yang bukan lain adalah Iblis Sesat Jalan Hidup menyeringai.
“Siapa kau?!” sentak
Pandansuri setelah rasa kagetnya pulih.
“Aku Iblis Sesat Jalan Hidup!
Aku yang membunuh kedua orang tuamu…!”
“Iblis durjana!” teriak
Pandansuri. Gadis ini langsung jentikkan sepuluh jari tangannya. Sepuluh larik
sinar merah yang luar biasa panasnya berkiblat menghantam ke sepuluh bagian
tubuh termasuk kepala Iblis Sesat Jalan Hidup!
Yang diserang tak bergerak,
malah bersikap menunggu dan menantang. Lima larik sinar merah menghantam.
Terdengar suara berletupan. Sepuluh sinar merah musnah. Pukulan sakti tadi,
jangankan mencelakai atau membunuhnya, meninggalkan bekas pun tidak! Dinginlah
tengkuk Pandansuri. Wajahnya pucat lesu.
Iblis Sesat Jalan Hidup
tertawa bergelak. “Ilmu Kuku Api! Ilmu itu aku yang mengajarkannya padamu
Pandansuri!”
“Apa katamu?!”
“Ilmu Kuku Api itu! Aku yang
mengajarkannya padamu! Hari ini kau harus mengembalikannya padaku berikut nyawa
dan kehormatanmu!”
“Manusia iblis! Apa maksudmu!
Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku bernama Hang Kumbara.
Dulu bergelar Raja Rencong Dari Utara. Dulu pernah menjadi ayah angkatmu! Tapi
kau mengkhianatiku! Kau bekerja-sama dengan musuh-musuhku. Lalu kau melarikan
diri…!”
“Gila! Kau iblis gila! Ayah
angkatku menemui kematian setahun lalu di Bukit Toba! Jangan mengaku-aku yang
bukan-bukan. Dan ayah angkatku tidak seburuk tubuh dan mukamu yang busuk!”
Iblis Sesat Jalan Hidup
kembali tertawa. Tiba-tiba dia melompat ke depan. Sekali tangannya bergerak,
satu totokan melanda dada Pandansuri, membuat gadis ini terjatuh rubuh dan kaku
tegang tak bisa bergerak lagi!
Iblis Sesat Jalan Hidup
berlutut di sampingnya.
“Dulu kau selalu mengenakan
kerudung ungu. Kini kulihat kau tidak memakainya lagi. Ternyata baru kini
kusadari kau memiliki wajah cantik. Juga tubuh yang bagus! Ha… ha… ha…! Hutang
nyawa bayar nyawa. Darah dibayar dengan darah. Dosa di atas dosa!”
Iblis Sesat Jalan Hidup lalu
ulurkan tangannya.
Breet… bret… brettt!
Pakaian di tubuh Pandansuri
habis dirobeknya hingga gadis yang malang itu kini terbaring dalam keadaan
hampir tidak tertutup lagi auratnya. Yang bisa dilakukannya hanyalah memaki dan
menyumpah.
“Terkutuk! Iblis terkutuk!
Jika kau benar-benar Raja Rencong, jika kau benar-benar ayah angkatku lebih
baik bunuh aku dari pada kau perlakukan keji begini!” teriak Pandansuri.
“Dulu aku Raja Rencong! Dulu
aku ayah angkatmu! Sekarang aku adalah Iblis Sesat Jalan Hidup! Kau minta
mampus?! Aku akan membunuhmu, jangan kawatir! Tapi kau rasakan dulu dosa di
atas dosa!”
Lalu Iblis Sesat Jalan Hidup
jatuhkan dirinya di atas tubuh Pandansuri. Untuk kesekian kalinya gadis itu
menjerit. Di langit sinar merah telah meredup. Sang surya telah tenggelam dan
keadaan di pekuburan itu mulai gelap.
Tak jauh dari pekuburan…
Pendekar 212 Wiro Sableng
berlari kencang sambil mendukung kakek buntung Nyanyuk Amber.
“Hai… aku mendengar suara
orang menjerit,” berkata orang tua itu.
Saat itu Wiro masih belum
mendengar apa-apa.
“Suara itu datang dari arah
sana…” si kakek goyangkan kepalanya ke kanan.
“Mungkin hanya suara anak-anak
gembala yang pulang ke kampung sambil bermain berteriak-teriak…” ujar Wiro.
Memang dalam jarak sejauh itu dengan sumber suara, daya pendengaran Wiro masih
kalah jauh dari si kakek, karena itu dia masih juga belum mendengar apa-apa.
“Bocah torek! Telingamu perlu
dibersihkan! Lekas bawa aku ke jurusan sana…” Mengomel Nyanyuk Amber.
“Hari sudah hampir malam, kek!
Sebaiknya kita terus saja ke kampung. Bukankah ke situ tujuan kita guna mencari
muridmu?” Baru saja Wiro berkata demikian, dia merasakan kedua lutut orang tua
yang didukungnya menekan tubuhnya dan secara aneh gerakan larinya terseret ke
kanan. Dia kerahkan tenaga. Dia tahu kalau Nyanyuk Amber pergunakan kepandaian
untuk menguasainya agar menurut apa maunya. Sadar kalau si kakek memang lebih
lihay tenaga dalamnya, Wiro terpaksa berbelok ke kanan. Sesaat kemudian
pendekar ini berkata seperti mengomel: “Apa kataku kek! Kau menyuruhku
membawamu ke jurusan ini. Tahukah kau apa yang ada di depan kita?”
“Katakanlah!”
“Pekuburan!” jawab Wiro.
“Pekuburan! Lalu apa salahnya?
Jeritan itu semakin keras kini. Dan aku membaui sesuatu yang busuk!”
Wiro kini sudah pula mendengar
suara jeritan itu. Juga bau busuk seperti yang dikatakan si kakek.
“Hai! Bau busuk itu! Bukankah
ini bau busuk tubuh Iblis Sesat Jalan Darah?! Dia pasti ada di sekitar sini!”
kata Wiro.
“Tepat! Teruslah lari ke
jurusan jeritan itu. Aku hampir pasti itu adalah suara muridku!”
Ketika sampai di bagian
pekuburan yang membukit, Wiro melihat sosok tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup di
kejauhan, seperti tengah menghimpit seseorang di bawahnya.
“Durjana terkutuk!” teriak
Pendekar 212. Seperti terbang tubuhnya melesat ke arah dua kubur yang masih
merah, disamping mana Pandansuri siap dirusak kehormatannya.
Iblis Sesat Jaian Hidup bukan
tidak tahu kalau ada orang yang datang. Masih dalam keadaan terbaring di atas
tubuh Pandansuri dia lepaskan pukulan Kuku Api. Secepat kilat Wiro balas
menghantam dengan pukulan matahari. Nyanyuk Amber yang ada dalam dukungannya
tiba-tiba melesat ke udara, lalu jatuh di tanah, bergulingguling sampai
akhirnya berhenti karena tertahan oleh sebuah batu nisan. Dari jeritan muridnya
dia tahu persis di mana Pandansuri berada. Maka tubuhnya pun digulingkan ke
tempat gadis itu terbaring.
Iblis Sesat Jalan Hidup
kembali lepaskan pukulan Ilmu Kuku Api. Kali ini ke arah Nyanyuk Amber. Tapi
lagi-lagi Wiro menghantam dengan pukulan sinar matahari, malah tangan kirinya
sekaligus lancarkan pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila, yakni pukulan
“Dewa topan menggusur gunung”.
Tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup
terpental. Tapi setelah bergulingan beberapa kali dia cepat berdiri dan kini
menyerbu Pendekar 212 dengan pukulan sakti bernama “topan pemutus urat”.
Hebatnya bukan alang kepalang. Selain mengeluarkan suara menggemuruh, sekali
tubuh tersambar angin pukulan sakti ini maka kontan urat-urat yang ada di
bagian tubuh itu hancur berputusan!
“Pukulan Topan Pemutus Urat!”
seru Nyanyuk Amber ketika dia mengenali suara angin pukulan yang dilepaskan
Iblis Sesat Jalan Hidup. “Ah! Keparat itu rupanya memang benar-benar si Hang
Kumbara laknat! Aneh luar biasa! Bagaimana sudah mampus dia bisa hidup lagi?!”
Nyanyuk Amber terus
menggulingkan tubuhnya hingga akhirnya berhenti ketika menumbuk tubuh
Pandansuri.
Di bagian lain Pendekar 212
Wiro Sableng merasakan tubuhnya seperti dicengkeram oleh belasan tangan yang
tak kelihatan. Sadar akan bahaya kehebatan kesaktian lawan, murid Sinto Gendeng
ini keluarkan bentakan keras hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke depan sedang
tangan kiri lepaskan pukulan “dinding angin berhembus tindihmenindih”.
Tapi sungguh di luar dugaan
sang pendekar. Angin sakti pukulan lawan masih terus melabraknya. Untuk
selamatkan diri mau tak mau Wiro terpaksa melompat ke udara. Tapi saat itu
terdengar teriakan Nyanyuk Amber.
“Jatuhkan dirimu ke tanah”.
Rupanya orang tua itu tahu
cara bagaimnana menghadapi serangan “topan pemutus urat’ maka secepat kilat
Wiro Sableng jatuhkan diri, menelungkup sama rata ke tanah! Angin maut lewat di
atas punggungnya, bersiur sejuk seperti hembusan angin gunung!
“Gila…!” rutuk Wiro dan
melompat berdiri. Begitu berdiri dia segera lindungi.diri dengan hantamkan
pukulan “sinar matahari” ke arah lawan. Sadar kalau sebelumnya pukulan itu
tidak mampu menciderai manusia iblis itu maka Wiro susul dengan membabatkan
Kapak Naga Geni 212. Tabasannya sengaja diarahkan ke batang leher Iblis Sesat
Jalan Hidup.
Buk!
Mata kapak telak-telak
menghajar batang leher Iblis Sesat Jalan Hidup, membuat tubuhnya terbanting
jungkir balik. Tapi di lain saat dia kembali berdiri sambil keluarkan suara
tertawa mengekeh. Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini jadi keluarkan
keringat dingin. “Kalau iblis ini memang tidak bisa dibunuh, berarti nyawaku
kali ini tak akan ketolongan. Pasti juga orang tua dan gadis itu akan
dibunuhnya!”
Akan Nyanyuk Amber, begitu
tubuhnya membalik.
“Muridku… Kau tak apa-apa?”
“Kau mana bisa melihat guru!”
sahut Pandansuri yang masih terbungkus hawa amarah terhadap Iblis Sesat Jalan
Hidup. “Mahluk iblis itu hendak memperkosaku. Seluruh pakaianku habis
dirobeknya…“
“Ah, untung mataku buta. Kalau
tidak tentu aku menyaksikan pemandangan yang…”
“Dalam keadaan seperti ini kau
masih bisa bergurau! Guru! Kau keterlaluan!” potong Pandansuri dengan suara
keras tapi seperti hendak menangis.
“Sudah… sudah! Jangan marah
padaku. Bahaya belum lewat. Lekas kau tutupi tubuhmu dengan jubah biruku ini!”
kata Nyanyuk Amber pula. Lalu jubahnya tampak menggembung. Secara aneh pakaian
yang sangat besar dan berwarna biru itu bergerak naik ke atas melewati perut,
dada dan akhirnya lolos dari kepalanya. Jubah itu kemudian jatuh menutupi tubuh
Pandansuri yang nyaris telanjang. Si orang tua sendiri kini hanya mengenakan
celana kolor dekil!
“Guru! Aku harus menuntut
balas kematian ayah dan ibuku!
Mereka dibunuh oleh Iblis
Sesat Jalan Hidup. Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya. Bisakah kau tolong
melepaskan totokan di tubuhku?!”
“Ain. rupanya kau kena ditotok
oleh iblis itu. Pantas tadi kudengar hanya suaramu saja yang menjerit-jerit!
Lekas katakan bagian mana tubuhmu yang ditotok?”
“Dada…” menerangkan
Pandansuri.
Buk!
Nyanyuk Amber hantamkan
kepalanya ke dada gadis itu hingga Pandansuri terpekik kesakitan. Tapi justru
tumbukan kepala pada bagian dadanya itu membuat totokannya punah. Begitu
terlepas dari totokan gadis ini melompat tegak dengan tubuh berselimutkan jubah
biru Nyanyuk Amber yang menjela-jela sampai ke tanah pekuburan.
“Iblis laknak! Kau harus
mampus di tanganku!” teriak Pandansuri seraya bergerak mendekati Iblis Sesat
Jalan Hidup yang saat itu siap menerjang Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada
dalam keadaan terdesak.
Iblis Sesat Jalan Hidup
berpaling dan terkejut. Bukan ancaman maut yang diteriakkan Pandansuri yang
membuatnya terkejut, tetapi jubah biru milik Nyanyuk Amber yang menyelubungi
tubuh si gadis membuatnya jadi kecut.
“Gadis pengkhianat ayah
angkat! Pergi kau! Menjauh dari sini kalau tidak ingin kubahabisi detik ini
juga!”
Sebagai jawaban Pandansuri
jentikkan lima jari tnagan kanannya. Lima larik sinar merah ilmu kuku api
menyambar ganas ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup. Terdengar suara berletupan
ketika lima larik sinar merah itu menghantam tubuhnya dengan tepat. Tapi tak
sedikit cidera pun yang kelihatan. Bahkan selendang hitam yang sampai saat itu
masih tersandang di bahu kanannya tidak rusak sedikit pun!
“Pergi!” teriak Iblis Sesat
Jalan Hidup ketika Pandansuri semakin mendekat.
Satu-satunya daun telinga yang
dimiliki Nyanyuk Amber tampak bergerak-gerak. Orang tua ini memutar otak.
“Aneh…” katanya dalam hati. “Suara iblis itu seperti menunjukkan rasa takut.
Apa yang ditakutinya terhadap muridku? Bukankah mudah saja dia membunuh
sementara aku tak berdaya menolong…?”
“Pergi!” Iblis Sesat Jalan
Hidup berteriak lagi. Pandansuri semakin dekat. Takut jubah biru itu mengenai
tubuhnya. Iblis Sesat Jalan Hidup segera lepaskan pukulan “topan pemutus urat”.
Namun gebukan Kapak Maut Naga Geni 212 yang menghantam perutnya, meskipun tidak
dapat melukai kulitnya, membuat tubuhnya terpental dan jatuh duduk di atas
sebuah kuburan tua.
Sementara itu Pandansuri yang
penuh dengan dendam membara serta penasaran melihat ilmu kuku apinya tidak
mempan terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba ingat pada ilmu pukulan sakti
bernama “Surya Biru” yang selama satu tahun belakangan ini dipelajarinya dari
Nyanyuk Amber. Memikir bahwa inilah kesempatan untuk mempergunakan dan menjajal
kehebatan ilmu tersebut, dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, dari jarak
enam langkah Pandansuri bersiap untuk menghantam. Tapi baru saja dia hendak
mengangkat tangan kanan, di depannya Iblis Sesat Jalan Hidup telah melompat
tegak seraya kirimkan pukulan topan pemutus urat! Debu pasir dan tanah kuburan
beterbangan ke udara!
Sebagai bekas anak angkat dan
murid Raja Rencong alias Iblis Sesat Jalan Hidup, Pandansuri tentu saja
mengetahui bagaimana kehebatan dan keganasan ilmu pukulan sakti itu. Namun dia
pun mengetahui pula bagaimana cara menyelamatkan diri. Maka cepat-cepat gadis
ini jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Angin pukulan maut lewat di atas
tubuhnya.
“Keparat!” teriak Iblis Sesat
Jalan Hidup. Ingin dia melompat dan mencekik batang leher gadis itu.
Menghancurkan tulang belulang di sekujur tubuhnya.
Tapi jubah warna biru
membuatnya takut tak berani mendekat, apalagi sampai menyentuh jubah tersebut.
Warna biru adalah pantang yang berarti maut baginya!
Saat itu matahari sudah
tenggelam. Keadaan di pekuburan itu mulai gelap. Iblis Sesat Jalan Hidup
keluarkan suara menggembor.
“Kalau kuserang terus-menerus
masakan dua bangsat ini tak akan mampu kubereskan!” begitu dia membatin. Yang
dimaksudkannya dengan dua bangsat adalah Pandansuri dan Wiro Sableng. Nyanyuk
Amber —orang tua yang tak berdaya karena cacat tubuhnya itu— tidak dipandang
sebelah mata oleh sang iblis. Maka kembali dia lepaskan pukulan topan pemutus
urat ke arah Wiro sedang ilmu kuku api ke jurusan Pandansuri. Namun dengan
Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro mampu menangkis sambil jatuhkan diri ke
tanah sedang Pandansuri melihat gerakan lawan, lebih cepat melompat jauh
berkelit. Selagi Iblis Sesat Jalan Hidup geram dan gemas, dari samping Wiro
lepaskan pukulan sakti dengan tangan kirinya yakni pukulan topan melanda
samudera. Ketika Iblis Sesat Jalan Hidup jatuh dan terguling kena hantaman
pukulan itu, dia susul dengan pukulan sakti lainnya yang selama ini jarang
dikeluarkannya yakni pukulan angin es. Kapak diselipkan di pinggang. Kedua
tangan diangkat ke atas dengan telapak terkembang ke arah Iblis Sesat Jalan
Hidup. Dalam waktu singkat mendadak saja udara di tempat itu menjadi dingin
sekali seperti dibungkus es. Nyanyuk Amber merasakan tubuhnya bergetar
kedinginan.
Apalagi saat itu dia hanya
mengenakan celana kolor karena jubah birunya dipakai Pandansuri untuk menutupi
tubuhnya. Si gadis sendiri merasakan tubuhnya menggigil dan gigi-giginya
bergemeletukan. Makin lama udara makin dingin.
“Hai! Apa yang terjadi di
sini?! Mengapa tubuhku seperti beku?!”
seru Nyanyuk Amber. Orang ini
kerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa dingin luar biasa itu, tapi
sia-sia.
Pandansuri tersungkur ke tanah
setelah kedua lututnya tertekuk tak sanggup lagi berdiri menahan dingin. Akan
halnya Iblis Sesat Jalan Hidup, mahluk yang sebenarnya sudah mati ini sama
sekali tidak terpengaruh oleh ilmu kesaktian yang dikeluarkar Pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Pemuda keparat! Kau boleh
keluarkan segudang ilmumu! Tak satu pun yang bisa mencelakai apalagi membunuh
Iblis Sesat Jalan Hidup!” habis berkata begitu Iblis Sesat Jalan Hidup
menghantam dengan ilmu kuku api. Karena kali ini dia kerahkan seluruh tenaga
dalamnya yang ada maka lima larik sinar merah yang berkiblat panasnya bukan
alang kepalang. Udara dingin serta merta punah dan murid Sinto Gendeng terpaksa
jungkir balik selamatkan diri dari serangan lawan sambil memaki tegang!
Segitu merasa hawa dingin
lenyap dengan tiba-tiba, Pandansuri cepat berdiri. Tepat pada saat Iblis Sesat
Jalan Hidup berpaling ke arahnya dan kembali menghantam dengan pukulan topan
pemutus urat. Namun sekali ini sang dara bergerak lebih cepat. Pukulan sakti
“Surya Biru” yang dipelajarinya dari Nyanyuk Amber, yang sejak tadi ingin
dikeluarkannya, kini begitu melihat kesempatan serta merta dipukulkan ke arah
Iblis Sesat Jalan Hidup.
Di ujung jari-jari Pandansuri
menderu sebentuk sinar biru, bergulung-gulung seperti mata kikir membuntal
cepat ke arah sasaran, iblis Sesat Jalan Hidup berseru tegang melihat sinar
biru yang datang menyambar. Sesaat dia tertegun bingung dan kecut, tak tahu apa
yang harus dilakukan. Untuk menangkis pukulan sakti lawan dia kawatir cipratan
atau taburan sinar biru masih sempat menyambar tubuhnya. Mau tak mau dia
terpaksa melompat ke samping untuk selamatkan diri.
Celakanya dari samping
Pendekar 212 Wiro Sableng kembali menghantam dengan pukulan sinar matahari.
Akibatnya tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup yang barusan lepas dari hantaman
gulungan sinar biru, kini kembali terdorong dan langsung menabrak sinar biru
pukulan sakti Pandansuri.
Terjadilah satu hal yang
menggidikkan.
Iblis Sesat Jalan Hidup
terdengar menjerit seperti tolongan anjing. Tubuhnya mengeluarkan suara seperti
besi panas membara yang dicelupkan ke dalam air. Sekujur kulit dan daging
tubuhnya meleleh seperti dikelupas. Bau busuk sengit memenuhi udara. Tubuh yang
kini hanya tinggal tulang-belulang itu —tak beda seperti jerangkong— terkulai
lalu jatuh roboh ke tanah pekuburan. Lapat-lapat di kejauhan kembali terdengar
suara seperti anjing melolong. Wiro rasakan bulu kuduknya berdiri sedang
Pandansuri gemetar ngeri.
“Hai! Apa yang terjadi?!”
terdengar Nyanyuk Amber bertanya.
Pandansuri tak kuasa menjawab.
Dirinya masih dicengkam rasa ngeri. Wiro akhirnya membuka mulut.
“Muridmu berhasil membunuh
mahluk terkutuk itu…”
“Eh… Betul begitu? Ah, sungguh
luar biasa!” kata Nyanyuk Amber. “Bagaimana kau bisa melakukannya Pandan?”
Sang dara masih belum bisa
membuka mulut. Kembali Wiro yang
menjawab. “Tubuh manusia iblis
itu seperti lilin meleleh ketika muridmu menghantamnya dengan pukulan sakti
yang memancarkan gulungan sinar biru
“Pukulan Surya Biru!” seru si
orang tua. “Jadi itulah yang membunuhnya! Tuhan Maha Kuasa! Kini aku ingat!
Iblis Sesat Jalan Hidup berpantang dengan segala sesuatu berwarna biru!”
Wiro kerenyitkan kening sedang
Pandansuri berpaling memperhatikan wajah orang tua itu dalam gelap.
“Kini aku tahu mengapa dia
tadi seperti ketakutan ketika muridku mendekatinya. Bukankah kau mengenakan
jubahku yang berwarna biru… “
“Sulit kupercaya!” kata Wiro
seraya garuk-garuk kepala.
“Jika kalian tidak percaya,
coba tempelkan ujung jubahku pada sisa-sisa bangkai iblis itu!” berkata Nyanyuk
Amber.
Pandansuri melangkah mendekati
sosok jerangkong yang terhampar di tanah. Salah satu bagian ujung jubah yang
menjela-jela diangkatnya lalu dilepaskannya tepat di atas batok kepala atau
tengkorak jerangkong.
Cess!
Sang dara terloncat kaget dan
cepat mundur. Nyanyuk Amber tertawa.
Seperti tadi pertama kali
ketika sinar biru pukulan sakti yang dilepaskan Pandansuri, terdengar suara
laksana besi panas dicelup ke dalam air sewaktu jubah biru menempel dengan
tulang tengkorak. Tengkorak itu sendiri kini tampak remuk seperti tertimpa batu
besar dan berat!
“Kita patut bersyukur pada
Tuhan! Satu lagi kejahatan punah dari muka bumi ini!” berkata Nyanyuk Amber.
Lalu seperti menggerutu orang tua ini berseru: “Hai! Apakah kalian akan
membiarkan aku setengah telanjang seperti ini?!”
“Kami akan membawamu ke Pasir
Putih, guru,” menjawab Pandansuri. Lalu dia berpaling pada Wiro. Sesaat dara
ini menatap wajah pemuda yang selama ini selalu dikenangnya. Ketika sang
pendekar balas menatap, wajah Pandansuri langsung berubah merah. Cepat-cepat
dia berkata: “Sahabat, tugasmu mendukung guruku sampai ke rumah!”
“Ah, aku selalu kebagian
pekerjaan yang tidak enak. Tapi tak apa. Aku lebih suka mendukung tubuh gurumu
daripada disuruh memakai jubah birunya yang butut dan sedap baunya itu!”
“Hai! Jangan menghina jubahku!
Ingat, kau pernah kususupkan dalam jubah itu ketika Raja Rencong mencarimu!”
berseru Nyanyuk Amber.
Wiro menyeringai. Tapi dia
terus saja menggoda Pandansuri. “Kau tahu…” katanya pada gadis itu. “Kalau aku
tidak salah hitung, paling tidak jubah itu tak pernah dicuci selama sepuluh
tahun! Dan itu yang kau pakai sekarang! Hah… ha… ha! Apakah tubuhmu tidak
merasa gatal?!”
“Kau keterlaluan! Menghina
guru dan menggoda orang!” kata Pandansuri. Lalu gadis ini balikkan diri dan
tinggalkan tempat itu. Wiro tak bisa berbuat lain daripada mendukung Nyanyuk
Amber di punggungnya dan mengejar Pandansuri yang berlari menuju kampung Pasir
Putih.
TAMAT