-------------------------------
----------------------------
021 Neraka Puncak Lawu
1
SAAT ITU MEMASUKI permulaan
musim semi. Pohon-pohon yang dulu gundul tak berdaun kini kelihatan mulai
menghijau segar kembali. Dibagian barat daratan Madiun yang leas menjulanglah
pegunungan gunung Lawu dengan lebih dari setengah lusin puncakpuncaknya yang
tinggi. Sebegitu jauh hanya satu dua saja dari puncak pegunungan ini yang
pernah diinjak kaki manusia.
Pegunungan Lawu membujur dari
barat ke timur. Diapit disebelah utara oleh daerah Gondang dan pegunungan
Kendeng. Disebelah selatan terletak daerah Jatisrana, Purwantara dan pegunungan
Kidul serta dataran tinggi Tawangmangu. Pegunungan Lawu bukan saja dikenal
sebagai sebuah pegunungan terbesar di Madiun, namun juga merupakan pusat satu
partai silat terkenal dan disegani pada masa itu yakni partai Lawu Megah.
Sejak Resi Kumbara
mengundurkan diri lima tahun yang lalu maka tampuk jabatan ketua dipegang oleh
adiknya yang juga merupakan adiknya seperguruan Resi Tumbal Soka. Adapun
pengunduran diri Resi Kumbara, selain usianya yang sudah amat lanjut yakni
hampir mencapai 100 tahun, paderi ini sudah jemu dengan segala macam urusan
partai yang menyangkut 1001 macam masalah keduniaan.
Kalau Resi Kumbara dulu sempat
dan berhasil mengangkat nama partai Lawu Megah menjadi satu partai besar yang
dihormati dan disegani, maka agaknya tidak demikian dengan Resi Tumbal Soka.
Sejak dia memegang jabatan ketua, banyak perobahan-perobahan yang dilakukannya
di dalam partai. Keluarpun dia kurang mendapat tempat yang baik karena
tindakan-tindakannya yang tidak tepat. Akibatnya partai Lawu Megah pernah
berselisih faham dengan partai-partai silat-besar lainnya. Bahkan satu telah
terjadi bentrokan yang membawa korban dengan partai Merapi Indah. Beberapa
orang paderi tua pernah menemui Resi Kumbara di ruangan samadinya. Mereka
melaporkan keadaan di dalam dan di luar partai dan meminta agar Resi Kumbara
suka memegang jabatan ketua kembali. Sekurang-kurangnya untuk sementara sampai
kemendungan selama ini bisa dipulihkan.
Cuma sayang Resi Kumbara
menolak. Orang tua ini berkata, "Apa yang sudah kuserahkan pada orang lain
tak boleh kuminta kembali. Demikian juga dengan jabatan ketua partai.
Adik-adikku, sebenarnya kalian datang ke alamat yang salah. Bukan aku yang
harus kalian temui, tapi kakak kalian, Resi Tumbal Soka. Bukankah kalian bisa
berembuk dengan dia? Bukankah kalian pembantu-pembantunya? Temui dia dan
carilah jalan yang sebaik-baiknya. Cuma satu hal aku ingin tekankan. Aku tidak
suka melihat adanya keretakan di antara kalian. Tak ada yang paling baik dari
pada musyawarah danpersatuan. Nah, sekarang kalian pergilah. Aku tak ingin
diganggu lebih lama."
Kelanjutannya tak ada
seorangpun diantara paderi-paderi tua itu yang menemui Resi Tumbal Soka. Mereka
tahu sifat ketua mereka ini. Selain mempunyai pribadi yang tertutup, juga sulit
untuk diajak berunding. Dia merasa bahwa hitam putih segala sesuatunya dalam
partai adalah di tangannya. Dia bisa saja mendengarkan pendapatpendapat para
pembantunya, namun apa maunya juga yang kelak akan dijalankan. Akibatnya dalam
tubuh para pimpinan partai terjadi kelompok-kelompok yang saling bertolak
belakang.
Kelompok pertama dipimpin oleh
Resi Permana yang ingin melihat partai Lawu Megah kembali seperti masa sewaktu
dipimpin oleh Resi Kumbara. Kukuh di dalam dan mempunyai hubungan baik diluar
dalam kalangan persilatan.
Kelompok kedua dipimpin oleh
Resi Godra. Ketidaksenangan paderi ini terhadap ketuanya lebih banyak
ditimbulkan oleh hal-hal pribadi. Sesudah Resi Kumbara mengundurkan diri maka
dengan usianya yang sudah 90 tahun paderi Resi Godra merupakan orang yang
paling tua di partai Lawu Megah. Dengan sendirinya dia merasa mempunyai hak
untuk menduduki jabatan ketua. Namun dia menjadi kecewa sekati ketika jabatan
itu diserahkan pada Resi Tumbal Soka, padahal paderi ini 10 tahun lebih muda
dari dia. Rupanya sang ketua yang lama lebih mementingkan hubungan darah Resi
Tumbal Soka adik kandung Resi Kumbara dari pada tata cara yang berlaku.
Ditambah dengan sikap dan salah urus dari Resi Tumbal Soka, maka semakin tidak
sukalah paderi yang satu ini terhadap ketuanya itu. Kelompok ketiga ialah
kelompok Resi Tumbal Soka sendiri bersama pendukungpendukungnya. Meskipun di
luaran paderi tiga kelompok tersebut masih menunjukkan sikap rukun dan saling
hormat, namun diam-diam laksana api dalam sekam mereka saling bertentangan.
Pada pagi hari itu hujan
rintik-rintik turun di puncak gunung Lawu. Menyaksikan keadaan puncak ini
nyatalah bahwa ada satu peristiwa besar tengah terjadi di pusat partai terkenal
ini. Para pucuk pimpinan dan anak-anak murid partai semua berkumpul disebuah
lapangan besar. Pada tengah-tengah lapangan ini berdiri sebuah tiang kayu
setinggi tiga meter, lengkap dengan seutas tambang besar. Salah satu ujung
tambang ini dibuhul demikian rupa membentuk lingkaran sedang ujungnya yang lain
terikat kukuh pada palang kayu diatas tiang. Sebuah kursi terletak dekat tiang
itu. Sekali memandang saja jelaslah bahwa benda-benda itu dipersiapkan untuk
menggantung seseorang! Sejak berdirinya Partai Lawu Megah hampir 200 tahun yang
silam, tak pernah hal seperti ini berlangsung. Baru waktu Resi Tumbal Soka
menjabat ketualah peristiwa ini terjadi. Gerangan siapakah yang hendak
digantung pada pagi hari itu?
Ketua partai berdiri bersama
pembantu-pembantunya sekitar dua puluh langkah sebelah kanan tiang gantungan.
Disamping Resi Tumbal Soka tegak seorang dara berpakaian biru. Rambutnya kusut
dan wajahnya yang cantik kelihatan mendung. Sebentar-sebentar dia pergunakan
sehelai sapu tangan untuk menyapu air mata yang jatuh membasahi pipinya.
"Sularwasih! Hentikan
tangismu! Mana ketabahan hatimu sebagai seorang murid Partai Lawu Megah?"
Resi Tumbal Soka berkata pada gadis berpakaian biru. Gadis ini adalah murid
kesayangannya.
"Guru,kalau guru
mengizinkan, murid lebih suka mati bunuh diri saat ini juga… "
Sularwasih tiba-tiba menyahut
dengan suara parau.
"Jangan ngacol"
Ketua Partai Lawu Megah kelihatan marah. "Bukan kau yang harus mati, tapi
bangsat terkutuk itu! Kau akan saksikan sendiri kematiannya di tiang gantungan
sebentar lagi!"
Resi ‘Tumbal Soka memandang
berkeliling kemudian berseru, "Bawa pemuda laknat itu ke tiang
gantungan!"
Suara teriakan sang ketua yang
disertai hawa amarah den tenaga dalam amat tinggi laksana geledek menggetari
seantero puncak gunung Lawu. Bila getaran teriakan itu sirna, kesunyian
mencengkam menegangkan. Dari arah rumah besar kelihatan seorang pemuda berkulit
coklat keluar digiring oleh dua orang anak murid partai tingkat tertinggi.
Di sebelah depannya mendahului
seorang Resi. Pemuda berkulit coklat itu, memiliki rambut gondrong sampai ke
bahu. Kedua tangannya diikat di sebelah belakang dengan sehelai benang aneh
yang bagaimanapun diusahakannya tak sanggup diputuskan. Tampangnya tolol, tapi
sikapnya gagah bahkan dia melangkah cengar cenqir. Seolah-olah tengah dalam
perjalanan ke satu tempat yang bagus, bukan tengah menuju ke tiang gantungan
yang telah disediakan untuk dirinya!
Murid-murid partai berkerumun
di sebelah timur menyeruak memberi jalan. Pemuda asing den pengiringnya sampai
di depan tiang gantungan. Ketegangan semakin memuncak. Kesunyian tambah tidak
enak. Resi Tumbal Soka menganggukkan kepala pada paderi yang menyertai pemuda
berambut gondrong itu. Dan sang paderi lantas membalikkan diri, berpaling pada
si pemuda.
"Orang asing yang mengaku
bernama Wiro Sableng!" katanya dengan suara lantang hingga terdengar ke
segenap penjuru. "Kami orang-orang Partai Lawu Megah masih bersedia
memberikan sedikit kelonggaran padamu sebelum kau menjalani hukuman mati di
tiang gantungan . . . ."
Tawanan yang hendak dihukum
mati itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng, murid Eyang Sinto
Gendeng dari gunung Gede yang sejak beberapa tahun belakangan ini bertualang di
daratan Tiongkok. Wiro tersenyum mendengar ucapan paderi itu.
"Terima kasih.
Kelonggaran apakah yang kalian hendak berikan padaku…?!"
bertanya Wiro acuh tak acuh
tanpa memandang pada paderi yang tadi berkata padanya.
"Sebelum menjalani
hukuman mati kau diperkenankan mengajukan satu permintaan atau menyampaikan
pesan terakhir."
Kembali Wiro Sableng tertawa
cengar cengir.
"Aku tak punya karib
kerabat apa lagi sanak saudara disini. Pesan apa dan kepada siapa pula aku
kusampaikan… ?"
"Kalau begitu permintaan
terakhir saja," kata paderi itu.
"Permintaan terakhir . .
. ?" Wiro kerenyitkan kening. "Kalian sudah memutuskan untuk
membunuhku secara biadab, kini kenapa meributkan segala soal tetek bengek
begini rupa. Gantung saja aku detik ini juga habis perkara!"
Mendengar kata-kata Wiro itu,
Resi Tumbal Soka menjadi marah wajahnya dan berkata lantang, "Kau dihukum
gantung secara biadab karena kau telah melakukan kekejian yang biadab! Itu
sudah pantas menjadi bagianmu! Jika kau tidak ada kata-kata atau permintaan
terakhir, itu lebih baik. Kau akan lebih cepat kami singkirkan dari puncak
Gunung Lawu ini!"
"Resi Tumbal Soka, mulut
dan pendapat manusia itu tidak selamanya bisa dijadikan hakim yang adil.
Kudengarkan kau banyak melakukan hal-hal yang sembrono sebagai ketua partai.
Itu sebabnya ada yang tidak menyukaimu di pihak orang dalam sendiri dan juga di
dunia persilatan!" Habis berkata begitu Wiro tertawa mengekeh.
Marahlah ketua Partai Lawu
Megah. Dia berteriak, "Gantung dia sekarang juga!"
Diam-diam dingin juga tengkuk
Pendekar 212 dan bergetar juga dadanya. Ketika bahulan tali hendak dilingkarkan
ke lehernya lewat kepala, tiba-tiba dia berteriak, "Tunggu dulul Aku ingin
mengajukan satu permintaan terakhir!"
"Kurang ajar! Lekas
katakan apa permintaanmu!" teriak Resi Tumbal Soka jengkel dan marah
sekali. Dia memberi isyarat. Paderi yang hendak menjeratkan tali ke leher Wiro
menurunkan tangannya kembali.
Sepasang mata Wiro Sableng
bergerak ke arah gadis berpakaian biru yang masih sibuk menyeka air matanya.
Dia goyangkan kepalanya pada gadis ini seraya berkata: "Aku ingin bicara
dengan gadis itu!"
Semua orang saling pandang.
Tentu saja mereka tidak menduga sang tawanan akan mengajukan permintaan
demikian. Semua orang memandang pada Resi Tumbal Soka, menunggu keputusannya.
Ketua partai ini sendiri kelihatan bergerak-gerak pelipisnya. Dia berusaha menekan
amarahnya dan kemudian berkata, "Kau kami beri kesempatan untuk bicara
dengan gadis itu. Tapi cepat dan singkat!"
"Adik, kau kemarilah
mendekat!." Wiro berseru.
Sularwasih memandang melotot.
Mulutnya terbuka, "Manusia terkutuk! Aku tidak sudi bicara denganmu!"
2
SEPASANG ALIS MATA Wiro
Sableng naik ke atas. Keningnya mengerenyit.
"Jika kau tak mau bicara
denganku, berarti kelak kau bakal penasaran seumur hidup," kata pendekar
itu pula.
"Kaulah yang bakal jadi
setan penasaran!" teriak Sularwasih.
"Sularwasih, kita harus
memenuhi apa yang telah kita janjikan. Kau harus dengar apa yang
dikatakannya," ujar Resi Tumbal Soka, lalu berpaling pada Wiro.
"Katakan lekas apa yang ingin kau sampaikan padanya!"
"Apakah dia tidak boleh
maju lebih dekat ke hadapanku?" tanya Wiro.
"Muridku, kau majulah
sampai tiga langkah dari hadapannya," kata Resi Tumbal Soka.
Karena diperintah gurunya,
meskipun hati kecilnya membantah namun dia tak berani menolak. Sularwasih
melangkah ke hadapan Wiro Sableng.
"Sekarang bicaralah!"
seru ketua Partai Lawu Megah tak sabaran karena dilihatnya Wiro masih
cengar-cengir.
"Adik, kau, cantik sekali
jika menangis begini. Kedua pipimu jadi merah! " Katakata itu diucapkan
oleh Wiro setengah berbisik hingga cuma nona Sularwasih saja yang dapat
mendengarnya. Dan si nona justru tiba-tiba menggerakkan tangan kanannya.
"Plak!"
Satu tamparan mendarat pipi
Wiro. Demikian kerasnya hingga bibirnya luka dan mengeluarkan darah. Selagi
semua orang tercengang-cengang melihat kejadian itu, Wiro kembali membuka
mulut, "Nona Sularwasih, aku bersumpah bahwa aku sama sekali tidak merusak
kehormatanmu. Seorang lain yang melakukannya dan aku yang jadi kambing
hitamnya!" Kata-kata ini diucapkan Wiro dengan suara keras hingga semua
orang mendengar.
"Muridku, kembali ke
tempatmu semula!" terdengar seruan paderi Resi Tumbal Soka.
Sesaat Sularwasih masih tegak
menatap tajam pada Wiro Sableng. Entah tertegun dalam kemarahannya, entah
terpukau dalam ketidakpercayaannya atas pengakuan pemuda berambut gondrong itu.
Kemudian sadar akan kata-kata suhunya, gadis ini melangkah , mundur, kembali ke
tempat semula.
"Laksanakan hukuman
sekarang juga!" terdengar kembali seruan Resi Tumbal Soka.
Maka tali penggantung
dilingkarkan ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua orang murid partai dengan
paksa dan susah payah menaikkan pemuda itu ke atas kursi. Mereka kemudian
memegangi tawanan itu agar jangan berontak. Selagi perintah untuk menyingkirkan
kursi yang dipijak Wiro ditunggu, tiba-tiba dalam kesunyian yang amat menegangkan
itu terdengarlah suara nyanyian yang amat santar. Demikian santarnya sehingga
semua orang yang ada di situ termasuk Resi Tumbal Soka dan para pimpinan partai
lawu megah yang berkepandaian tinggi merasa liang telinga masing bergetar!
Semakin tinggi mendaki puncak
Gunung Lawu
Semakin indah permai
pemandangan
Semakin sembrono tindakan
seorang pimpinan
Semakin jauhlah dia tersesat
dalam aturan dunia persilatan
Keadilan sejati tidak ada di
muka bumi ini
Hukum yang benar jarang
ditemui
Semua orang bisa jadi hakim
Tapi tidak semua orang bisa
menghakimi tindakan diri sendiri.
Kata-kata dalam nyanyian itu
membuat paras Resi Tumbal Soka berobah. Dia berpaling ke arah timur. Baru saja
dia putar kepalanya, tahu-tahu sesosok tubuh laksana bayangan kilat telah
berkelebat di depan tiang gantungan. Seorang kakek-kakek kini kelihatan berdiri
di situ. Mukanya demikian kurus hingga hampir menyerupai tengkorak hidup!
Tubuhnya pun luar biasa kurusnya hingga kelihatan seperti jerangkong.
Melihat kakek-kakek ini Wiro berseru
keras. "Pendekar Pedang Akhirat! Kakek, aku yang hendak dihukum mati ini
rupanya masih diberi kesempatan untuk menghaturkan hormat danmengucapkan
selamat tinggal padamu. Apakah kau selama ini baik-baik saja?"
Ternyata kakek yang datang ini
adalah pendekar yang telah menggetarkan dunia persilatan selama puluhah tahun,
yang beberapa waktu lalu pernah diselamatkan Wiro Sableng dari satu lobang
sekapan yang hampir merenggutkan nyawanya. Pendekar Pedang Akhirat mendongak
pada Wiro yang tegak di atas kursi. Lalu tertawa gelak-gelak. "Selama ini
aku ada baik-baik saja, sobatku. Tampaknya kau sendiri tidak berada dalam
keadaan baik-baik heh? Nasibmu sungguh malang harus mampus di tiang
gantungan."
Wiro menyeringai kecut.
Si kakek kemudian
celengak-celenguk seputar pedataran yang penuh oleh para pimpinan dan
murid-murid Partai Lawu Megah. Kemudian pandangannya tertumbuk. Dia tertawa dan
menjura lalu berkata:
"Ah sobatku Resi Tumbal
Soka ,Sudah hampir empat puluh tahun sejak aku penghabisan sekali menginjakkan
kaki di puncak Gunung Lawu ini dulu. Ternyata kini banyak perubahan. Ada apakah
sebenarnya saat ini di sini, sobatku?"
Sesaat Resi Tumbal Megah masih
berdiam diri. Terkesiap oleh kedatangan si kakek yang tidak diduganya, yang
ternyata mengenal tahanan yang hendak digantung. Kemudian dia ingat dan
buru-buru balas menjura.
"Selamat datang di Partai
Tumbal Soka, sobatku Pendekar Besar Pedang Akhirat."
"Hai, julukanku hanya
Pendekar Pedang Akhirat, tak perlu ditambah dengan kata Besar!" Dan ini
membuat wajah Resi Tumbal Soka menjadi bersemu merah. Paderipaderi yang lain
tak berani membuka mulut, bahkan bergerak dari tempat masingmasing pun
tampaknya mereka takut. Semuanya tahu siapa adanya kakek bermuka tengkorak ini.
Seorang tokoh silat yang sampai hari itu masih dianggap sebagai datuknya orang
persilatan. Yang ilmu kepandaiannya sukar dijajagi. Bahkan Resi Kumbara yang
sudah mengundurkan diri belum tentu setingkat kepandaiannya dengan kakek
jerangkong ini. Apa lagi jika dibandingkan dengan Resi Tumbal Soka.
"Eh, aku tidak melihat
sobat lamaku paderi Resi Kumbara..!" tiba-tiba Pendekar Pedang Akhirat
berseru lagi dan memandang celangak-celinguk kian kemari dengan sikap lucu,
tapi tak satu orang pun berani tertawa, kecuali murid Eyang Sinto Gendeng yang
terus-terusan saja cengar-cengir.
"Kakakku itu sudah
mengundurkan diri dari segala urusan partai. Akulah kini yang menjadi ketua
Partai Lawu Megah," menyahuti Resi Tumbal Soka.
"Oh, begitu? Astaga!
Kalau begitu aku harus sekali lagi memberi penghormatan!"
Dan kembali si kakek
jerangkong itu menjura. Penghormatan yang sekali ini terasa satu hinaan halus
oleh Resi Tumbal Soka. Tapi dia tak mau memberikan reaksi apa-apa, cuma
wajahnya saja yang kembali kelihatan bertambah merah.
"Betul-betul banyak
perubahan di puncak Gunung Lawu ini," kata Pendekar Pedang Akhirat sambil
geleng-gelengkan kepalanya. "Hai! Sobatku Resi Tumbal Soka, kau belum
jawab pertanyaanku tadi. Ada apakah ramai-ramai di sini?"
"Seperti kau seksikan
sendiri. Pemuda asing itu akan menjalani hukuman mati. Menilik gelagat
kakek,gagah sebelumnya sudah kenal padanya!"
"Betul, aku memang kenal
padanya. Tapi kenapakah dia hendak digantung?" ia bertanya.
"Dia telah merusak
kehormatan salah seorang murid gunung Lawu," jawab Resi Tumbal Soka seraya
goyangkan kepalanya ke arah Sularwasih.
"Aha..! Ini betul-betul
urusan kapiran!" Eh Wiro, betulkah kau telah memperkosa nona itu?!"
Sepasang mata si kakek menyorot tajam laksana menembus batok kepala Pendekar
212.
Wiro gelengkan kepala.
"Aku bersumpah tidak melakukannya, kakek. Tapi mereka tidak percaya. Jika
saja anuku ini bisa bicara pasti dia akan mengatakan tidak!"
Pendekar Pedang Akhirat
tertawa gelak-gelak.
"Jika saja anumu itu bisa
bisa bicara! Hik..hik…. hik! Cuma sayang anumu tidak bisa bicara heh! Tapi
betul kau tidak mengganggu gadis itu? Maksudku memperkosanya?"
"Demi Tuhan tidak."
Si kakek mengangguk. "Aku
percaya pada sumpahmu," kata kakek itu. Lalu berpaling pada ketua partai.
"Dia sudah bersumpah. Bagaimana ini?"
"Siapa sudi percaya sumpahnya.
Mana ada maling yang mengaku."
"Tapi dia bukan
maling."
"Penjahat keji terkutuk.
Itu lebih pantas bukan?"
Si kakek tertawa.
"Setahuku pemuda sobatku ini tak pernah mencari perempuan. Justru
perempuanlah yang pada mencarinya."
"Kakek gagah, apa dalam
hal ini kau hendak mengatakan bahwa muridkulah yang sengaja menyerahkan dirinya
pada pemuda bajingan itu?!" kata paderi Tumbal Soka dengan nada keras.
"Ooo, tentu saja
tidak," sahut kakek muka tengkorak. "Tapi aku tak percaya kalau
sobatku ini telah memperkosa muridmu yang cantik itu."
"Itu urusanmu. Di sini
kami melaksanakan urusan kami. Menjatuhkan hukuman lengkap dengan bukti-bukti
dan saksi!" kata Resi Tumbal Soka pula.
"Hemm begitu? Bolehkah
aku mengetahui bukti atau mendengar saksi itu?"
Resi Tumbal Soka mengkal
sekali. Tapi dia menganggukkan kepala pada seorang pemuda bertampang keren yang
tegak di samping Sularwasih. "Berikan kesaksianmu padanya!"
"Waktu itu!" si
pemuda yang merupakan seorang murid partai tingkat tertinggi, mulai memberi
keterangan tapi buru-buru dipotong oleh kakek muka tengkorak.
"Tunggu, beritahu dulu
namamu!"
"Saya bernama Tandu
Wiryo," jawab si pemuda lalu mulai mengulangi keterangannya. "Waktu
itu saya dan adik seperguruan ini tengah menjalankan tugas dari ketua. Suatu
malam dalam perjalanan pulang kami menginap di sebuah penginapan. Di situ
sebelumnya telah menginap pula pemuda itu. Selagi kami mendaftar, saya saksikan
sendiri dia mengedip-ngedipkan matanya mengganggu adik. Semula adik hendak
menghajarnya, tapi saya larang karena menganggap pemuda itu berotak miring.
Malam hari itu saya ke luar sendirian, maksudnya untuk melihat-lihat kota.
Ketika kembali pada tengah malam, saya temui adik menangis di dalam kamarnya.
Ternyata peristiwa keji itu telah terjadi. Saya mengadakan penyelidikan. Di
dalam kamar adik saya temukan sebuah kancing baju. Ketika dicocokkan, persis
sama dengan kancing baju pemuda asing itu!"
"Mana kancing baju itu
sekarang?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
Tandu Wiryo mengeluarkan
sebuah kancing baju dari dalam saku pakaiannya. Si kakek mengamatinya dengan
teliti. Ketika dia berpaling memperhatikan pakaian Wiro, ternyata memang
kancing itu sama dengan kancing pakaian si pemuda. Dan salah satu dari
kancing-kancing tersebut tanggal, tak ada lagi di tempatnya!
3
PENDEKAR Peciang Akhirat
termenung sesaat. Kemudian dia berpaling pada Sularwasih dan bertanya,
"Sewaktu hal itu terjadi apakah kamarmu terang benderang?"
Yang menjawab adalah Tandu
Wiryo, "Sesuai dengan kebiasaannya, adik seperguruanku selalu tidur dengan
lampu dipadamkan."
"Bagaimana kau bisa tahu
kebiasaan adik seperguruanmu itu?" tanya Pendekar Pedang Akhirat pula.
Tak menduga ditanya demikian.
Tandu Wiryo jadi terkesiap diam. Saat itu Resi Tumbal Soka membuka mulut,
"Kakek gagah, aku tidak suka akan tanya jawab ini. Kau seolah-olah sebagai
seorang penyelidik. Sebagai seorang pembela. Jika kau ingin menyaksikan
pelaksanaan hukum gantung ini, silahkan. Jika tidak,"
"Supaya aku angkat kaki
dari sini?!" meneruskan kakek muka tengkorak sambil tersenyum.
"Tidak, sebelum persoalannya jelas begitu, aku tak akan pergi dari
sini!" Si kakek lalu berpaling pada Tandu Wiryo. "Orang muda, katakan
padaku kota dan penginapan di mana peristiwa itu terjadi."
Tandu Wiryo tidak segera
menjawab sedang parasnya menunjukkan rasa tidak enak. Dia menoleh pada Resi
Tumbal Soka dan baru berkata, "Tanpa izin ketua aku tak akan mau
menjawab."
"Beritahukan saja padanya
biar dia puas," ujar sang ketua pula.
"Penginapan Candi di
Muntilan," Tandu Wiryo memberitahu.
"Kakek gagah, apakah kau
puas sekarang?" tanya Resi Tunggal Soka.
"Puas. Tapi jadi tidak
puas bila hukuman ini dilangsungkan!"
"Apa maksudmu?"
tanya sang ketua partai seraya memandang tajam pada kakek muka tengkorak."
"Puluhan tahun aku hidup
dalam dunia persilatan, tak pernah kejadian orang digantung karena urusan
begini rupa. Apalagi sampai dilakukan oleh satu partai besar. Mungkin perbuatan
itu terkutuk dan keji. Tapi menggantungnya lebih terkutuk dan lebih keji. Jika
betul kau yakin pemuda asing ini salah, kenapa tidak dilaksanakan saja
pelaksanaan hukuman lewat perkelahian antara dia dengan muridmu ….?!"
"Kau bicara seenaknya
saja, kakek gagah. Kau tahu, untuk menangkap pemuda keparat itu kami
membutuhkan selusin murid-murid tingkat tertinggi, enam orang paderi utama dan
membutuhkan waktu setengah hari!"
"Memang serba
berabe," kata Pendekar Pedang Akhirat seraya usap-usap keningnya.
"Tapi akan lebih berabe
lagi jika hukuman gantung itu dilaksanakan. Nama partai Lawu Megah akan lebih
cemar di dunia persilatan."
"Persetan dengan orang
luar. Kami membuat sendiri dan menjalankan sendiri aturan partai kami!"
tukas Resi Tumbal Soka.
"Sekarang bagusnya begini
saja," kata si kakek pula. "Serahkan pemuda ini padaku.
Jika nanti memang terbukti dia
yang melakukan perbuatan keji itu, aku sendiri yang bakal menghukumnya!"
Resi Tumbal Soka tertawa
sinis.
"Dalam persoalan ini kau
adalah orang luar, kakek gagah. Kedatanganmu ke sini pun tidak kami
undang."
"Kalau begitu biar aku
pergi tanpa undangan pula dan harus bersama pemuda sobatku ini!"
Resi Tumbal Soka hilang
sabarnya. Dengan nada keras dia berkata, "Kakek gagah, nama besarmu kami
hormati. Harap kau juga menghormati kami. Kalau tidak terpaksa kami berlaku
tidak pada tempatnya terhadapmu!"
"Nah…. nah! Sekarang kau
rupanya menantangku di sarang sendiri dan mengandalkan jumlah banyak! Bagus ….
bagus! Itu lebih baik. Mari kita main-main barang sepuluh dua puluh jurus. Jika
aku kalah kau boleh gantung aku bersama sama pemuda itu. Tapi sebaliknya jika kau
kalah, pemuda itu harus kau serahkan padaku.
Nah itu adil sekali
bukan?!"
Resi Tumbal Soka sampai
bergemeletukkan gerahamnya saking marah mendengar ucapan Pendekar Pedang
Akhirat itu. Jika lain orang yang berkata demikian tanpa banyak tanya lagi
pasti dilabraknya. Namun dia menyadari kalau Pendekar Pedang Akhirat yang
bertampang angker itu bukan tandingannya. Jangankan dia, kakaknya sendiri belum
tentu mampu menghadapi tokoh-tokoh persilatan nomor satu ini. Untuk tidak
memperlihatkan rasa jerihnya, dengan seringai mengejek dia berkata,
"Sayang Partai Lawu Megah sedang melaksanakan urusan besar. Di lain
kesempatan jangankan baru sepuluh dua puluh jurus. Sampai seribu jurus pun aku
tak keberatan melayanimu!"
Pendekar Pedang Akhirat
tertawa jumawa dan menjawab, "Kalau kau merasa ragu untuk maju sendirian,
boleh saja mengajak beberapa paderi pembantumu."
"Kalau bicara jangan
keterlaluan memandang rendah diriku!" kata Resi Tumbal Soka marah sekali.
Mukanya merah padam. "Kami harap kau segera meninggalkan tempat ini!"
Kemudian tanpa mengacuhkan
lagi kakek muka angker itu Resi Tumbal Soka berpaling ke arah tiang gantungan
dan berteriak, "Laksanakan penggantungan!"
Seorang paderi segera gerakkan
kakinya untuk menendang kursi dimana Wiro tegak. Namun sebelum kakinya
menyentuh kursi tahu-tahu tubuhnya sudah tegang kaku hingga dia tegak dalam
keadaan seperti orang sedang menari. Jika semua orang merasa kaget maka
Pendekar Pedang Akbirat tertawa gelak-gelak. Resi Tumbal Soka memaki dalam hati
setengah mati. Dia yang berkepandaian demikian tinggi tidak melihat kapan si
kakek menggerakkan tangan mengirimkan totokan jarak jauh yang amat lihay hingga
tubuh paderi pembantunya serta-merta menjadi kaku!
"Itu cuma sekedar
peringatan saja bagi kalian semua yang ada di sini. Sekali lagi ada yang berani
turun tangan terhadap sahabatku pemuda asing itu aku tak segan-segan menurunkan
tangan jahat!" memperingatkan Pendekar Pedang Akhirat.
"Kakek, kau betul-betul
berani mencampuri urusan partai kamil Apa kau kira kami takut terhadap
jerangkong busuk macammu?" teriak Resi Tumbal Soka yang sudah sampai pada
puncak amarah dan kesabarannya. Sambil melangkah maju dia kibaskan lengan
jubahnya. Serta-merta buyarlah totokan pada tubuh paderi yang tadi hendak
menendang kursi. Tetapi di saat yang sama Pendekar Pedang Akhirat sudah
berkelebat. Demikian cepat gerakannya hingga di lain kejap semua orang
menyaksikan Wiro Sableng tak ada lagi di atas kursi dan kini tegak di samping
si kakek. Keduanya tertawa cengar-cengir.
"Kalian semua dengar!"
teriak Pendekar Pedang Akhirat dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
hingga puncak gunung Lawu itu laksana disambar geledek.
"Aku akan tinggalkan
tempat ini bersama sobatku si gondrong ini. Aku tak ingin membuat kerusuhan
dengan kalian orang-orang Partai Lawu Megah, apalagi sampai timbul bentrokan
kekerasan. Karenanya biarkan kami pergi dengan aman!"
"Mana bisa demikian,
manusia muka setan! Kau telah mengacau di sini. Telah melontarkan hina-hinaan.
Dan menculik tawanan yang hendak dihukum gantung!
Tinggalkan pemuda itu atau
kaupun akan kami gantung di puncak Lawu ini!"
"Kalau begitu sama-sama
kita lihat apa yang akan terjadi," sahut Pendekar Pedang Akhirat pula. Dia
bergerak memanggul tubuh Pendekar 212 karena memaklumi pemuda itu tak bakal bisa
lari cepat dengan tangan terikat ke belakang. Saat itu Resi Tumbal Soka memberi
isyarat. Dua belas paderi-paderi utama dan puluhan murid partai klas wahid
segera mengurung kakek itu. Melihat ini Wiro Sableng berbisik ke telinga
Pendekar Pedang Akherat, "Lekas kau putuskan benang yang mengikat
lenganku. Kau tak bakal bisa menghadapi mereka sebanyak ini meskipun ilmumu
selangit."
"Huss, kau diam sajalah.
Siapa pun takut menghadapi mereka. Benang sialan yang mengikat tanganmu itu tak
mungkin kulepaskan. Tak ada satu orang luar pun yang sanggup melepaskannya
kecuali Resi Tumbal Soka dan kakeknya!"
"Lalu apakah sampai
kiamat aku akan terikat begini rupa?" tanya Wiro setengah mengeluh.
"Kubilang kau diam
sajalah! Serahkan persoalan padaku. Lihat, orang-orang partai Lawu mulai
menyerang kita!"
Saat itu atas perintah yang
diberikan Resi Tumbal Soka melalui isyarat, beberapa paderi utama terutama dari
kelompok yang mendukung sang ketua telah bergerak menyerang Pendekar Pedang
Akherat dari segala penjuru.
"Hai, kalian ini
betul-betul hendak menyerangku?" teriak si kakek memberi peringatan yang
terakhir.
"Bunuh keduanya!"
yang berteriak adalah Resi Tumbal Soka ketua partai Lawu Megah.
Maka datanglah sembilan
serangan paderi laksana topan prahara. Menghadapi serangan ini Pendekar Pedang
Akherat tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia lenyap dari kalangan pertempuran. Pihak
yang menyerang jadi kaget. Memandang ke atas ternyata kakek itu sudah mumbul
bersama Wiro ke atas. Sembilan angin pukulan dasyat mengebubu. Kembali si kakek
tertawa dan balas memukul ke bawah. Terdengar seperti gunung meledak sewaktu
sembilan pukulan patai Lawu Megah dan satu pukulan si kakek beradu di udara
pada ketinggian dua tombak. Wiro merasakan tubuhnya dan si kakek terpental,
sampai setengah tombak. Sebaliknya di bawah sana dilihatnya sembilan paderi
Lawu berkaparan di tanah jatuh duduk. Empat diantaranya muntahkan darah segar.
"Kalian mencari
penyakit," teriak Pendekar Pedang Akherat. Diam-diam Wiro memuji kekuatan
tenaga dalam kakek penolongnya ini. Padahal dua tahun yang silam sepertiga dari
tenaga dalamnya pernah dipindahkannya ke tubuhnya yakni sewaktu Wiro selamatkan
kakek ini dari liang batu.
"Kakek sombong! Kau kira
kau dan pemuda terkutuk itu bakal bisa lolos dari sini?"
terdengar Resi Tumbal Soka
berteriak. Dia tutup teriaknya ini dengan menghantamkan lengan jubahnya ke
atas. Memang lengan jubah ini bukan saja merupakan senjata lihai bagi sang
ketua, tetapi juga dipakai untuk melepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh
yang disertai aliran tenaga dalam tinggi sekali. Di atas udara, sambil putar
tubuhnya, si kakek balas menghantam. Kembali terdengar ledakan di pancak gunung
Lawu itu. Tubuh si kakek terdorong ke samping sedang di bawah Resi Tumbal Soka
kelihatan pucat wajahnya setelah tubuhnya lebih dulu bergoncang keras akibat
bentrokan tenaga dalam tadi. Memandang ke atas, lawan dan Wiro Sableng sudah
tidak kelihatan lagi. Segera ketua partai Lawu Megah ini berteriak, "Tutup
semua jalan ke luar!"
Para paderi danmurid-murid
partai segera bergerak laksanakan perintah ini.
4
DENGAN gerakan cepat laksana
kilat dan hampir tak terlihat oleh tokoh-tokoh silat di puncak gunung Lawu itu
Pendekar Pedang Akherat berkelebat mendukung Wiro Sableng. Keduanya mendekam di
balik atap bangunan besar di ujung lapangan.
"Tutup semua jalan dan
geledah seluruh tempat!" terdengar kembali seruan Resi Tumbal Soka.
"Kakek, kita tak bisa
sembunyi lama-lama di sini," bisik Wiro Sableng pada si kakek bermuka
tengkorak. "Orang-orang itu pasti akan menyelidiki ke mari. Sekali mereka
melihat kita."
"Tamatlah riwayat
kita," menyambung si kakek sambil menyeringai yang membuat wajahnya tambah
buruk dan angker.
"Apa yang harus kita
lakukan sekarang?" bertanya Wiro.
"Kau tenang sajalah,
Wiro. Jangan terlalu kawatir. Rasa takut membuat akal manusia jadi
pendek."
Setelah meneliti keadaan di
bawah sana, Pendekar Pedang Akherat bergerak ke samping kiri atap, terus hingga
dia sampai di halaman belakang yang merupakan sebuah taman kecil. Di sini
dilihatnya dua orang berjaga-jaga. Seorang murid tingkat tinggi dan seorang
lagi paderi utama. Sekali lagi kakek bermuka angker itu meneliti sekelilingnya.
Lalu melompat ke bawah, tepat di atas bahu paderi utama yang tegak berjaga-jaga
di bawah cucuran air.
Buk!
Paderi itu serta-merta roboh
begitu kedua bahunya diinjak sepasang kaki Pendekar Pedang Akherat. Salah satu
tulang belikatnya patah. Dia hendak menjerit, tapi kaki kanan Wiro yang sedang
di panggul itu, telah lebih dulu menutup mulutnya hingga dia roboh bergedebukan
tanpa sempat menjerit.
Suara jatuhnya paderi ini
membuat murid Lawu yang berdiri kira-kira dua tombak dari sana memutar tubuh
dan berseru kaget. Namun seruannya pun tak keluar dari mulutnya karena sekali
Pendekar Pedang Akherat jentikkan jari-jari tangan kirinya maka tubuhnya
menjadi kaku tegang. Keadaannya lucu sekali. Berdiri dengan satu tangan
diangkat ke atas sedang mulut menganga!
Wiro Sableng hendak tertawa
gelak-gelak melihat kejadian ini. Tapi untung lekas Pendekar Pedang Akherat
menotok jalan suaranya.
"Pemuda geblek! Kau kira
kita dalam keadaan senang-senangkah maka kau hendak tertawa bekakakan?!"
desis kakek muka angker itu.
Dari sebuah gang di antara dua
hangunan pada samping kiri taman terdengar suara banyak orang mendatangi.
Secepat kilat Pendekar Pedang Akhirat berkelebat dari tempat itu, memasuki
sebuah gang lain yang mendaki. Gang ini panjang sekali dan menuju ke sebuah
bangunan berbentuk bundar. Bangunan ini terpisah jauh dari bangunan-bangunan
lainnya. Tanpa ragu-ragu si kakek membawa Wiro masuk ke dalam bangunan itu.
Di bagian dalam bangunan ini
merupakan satu ruangan bulat yang keseluruhan lantai, dinding dan
langit-langitnya terbuat dari batu pualam. Ruangan ini diterangi oleh sebuah
lampu kecil. Pada sudut yang agak kelam kelihatan duduk seorang kakek
berpakaian serba putih. Kedua matanya terpejam. Tubuhnya kurus sekali. Wajahnya
kelimis dan kelihatan masih segar untuk usia yang telah mencapai 100 tahun.
Mendapatkan orang tengah bersamadi, Pendekar Pedang Akherat agak kecewa. Namun
sebagai manusia yang tahu peradatan, setelah menjura dia lantas duduk menunggu
di sudut lain yang gelap. Di luar didengarnya suara orang berlari kian kemari
diseling oleh suara teriakan aba-aba.
Hampir dua jam menunggu, kakek
kurus yang bersamadi masih saja duduk tak bergerak. Tiba-tiba terdengar
langkah-langkah kaki mendatangi tertangkap oleh telinga tajam Pendekar Pedang
Akhirat. Kakek ini berangsur ke sudut ruangan yang lebih gelap. Kemudian di
ambang pintu kelihatan muncul Resi Tumbal Soka. Karena habis dari tempat terang
sedang sudut-sudut ruangan itu gelap, maka dia hanya dapat melihat kakek yang
duduk bersamadi di belakang lampu. Resi Tumbal Soka sesaat tampak ragu-ragu dan
hendak berbalik. Namun dengan memberanikan diri akhirnya dia membuka mulut.
"Kakang Resi Kumbara,
mohon maafmu. Apakah kau mendengar seseorang menyelusup ke ruangan
pengasinganmu ini?"
Setelah ditegur berulang kali,
barulah paderi yang tadi bersamadi buka sepasang matanya. Ternyata dia adalah
Resi Kumbara bekas ketua partai Lawu Megah, kakak Resi Tumbal Soka yang kini
berada dalam ruangan pengasingan. Hari demi hari dilewatinya dengan bersamadi
terus-menerus. Diganggu seperti itu tentu saja dia merasa gusar.
"Tumbal Soka, apakah kau
tidak tahu aturan hingga mengganggu orang yang sedang bersamadi di ruangan yang
tak satu orang lain pun boleh mendekati apalagi sampai masuk!" Kakek kurus
itu menegur. Pandangan matanya tajam sekali laksana sambaran ujung pedang yang
runcing.
"Mohon maafmu kakang.
Adik dan saudara-saudara satu partai tengah menghadapi kesukaran. Seorang
pemuda yang telah merusak kehormatan anak murid partai telah diculik dan
dilarikan oleh tokoh silat Pendekar Pedang Akhirat. Adik telah menyuruh tutup
semua jalan ke luar danmenggeledah seluruh tempat. Tapi kedua orang itu tidak kutemui.
Satu-satunya tempat yang belum diperiksa adalah di sini."
"Jadi kau mengira aku
menyembunyikan orang-orang itu? Sungguh lancang mulutmu, adik!"
"Bukan, adik tidak
berprasangka demikian. Cuma siapa tahu selagi kakak bersamadi dia menyusup dan bersembunyi
di sini," kata Resi Tumbal Soka pula.
"Sudahlah, jangan ganggu
aku lebih lama. Aku akan meneruskan samadi. Jika kau niasih kurang puas
silahkan periksa ruangan ini!"
Tanpa mengacuhkan adiknya Resi
Kumbara lantas pejamkan matanya kembali dan lagi bersamadi. Meskipun telah
disuruh melakukan pemeriksaan namun Resi Tumbal Soka tak berani
melaksanakannya. Dia berpikir-pikir talk mungkin kakaknya tidak mengetahui
kalau ada orang yang masuk, sekalipun tengah tenggelam dalam alam samadi.
Setelah merenung sejenak dia lantas tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah Resi
Tumbal Soka pergi, dari tempat gelap Pendekar Pedang Akhirat buka suara,
"Terima kasih sobat, kau telah melindungi kami berdua. Budimu tak akan
kulupakan. Apakah kau ikhlas menanam sedikit budi lagi pada kami?"
Terdengar helaan napas
panjang. Kakek yang tadi hendak bersamadi kembali buka kedua matanya.
Sebetulnya dia sudah tahu kalau ada dua orang masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Agaknya terlalu banyak
manusia yang tidak tahu peradaban di dunia ini. Masuk ke rumah orang tanpa izin
sudah menyalahi aturan. Apalagi masuk ke dalam ruangan seperti ini
danmengganggu orang yang bersamadi!"
"Harap dimaafkan sobatku
Resi Kumbara. Semua terjadi karena terpaksa," sahut Pendekar Pedang
Akhirat.
"Siapa berani berbuat
harus berani tanggung jawab. Pendekar Pedang Akhirat Batar
yang terkenal kawakan
menyembunyikan diri di ruangan pengasingan Partai Lawu
Megah setelah terlebih dulu
melakukan pengacauan …. Sungguh lucu!"
"Maaf, aku sama sekali
tidak mengacau. Semula aku datang kemari untuk menyambangimu. Tahu-tahu di sini
terjadi satu hal yang luar biasa. Seorang kawanku hendak digantung dengan cara
biadab. Apa pun kesalahannya mana mungkin aku lepas tangan."
"Kau tak berhak
mencampuri urusan partai kami."
"Agaknya sobatku Resi
Kumbara tidak tahu jelas persoalannya!"
"Aku sudah dengar semua
apa yang terjadi di luar sana," kata Resi Kumbara pula.
Sungguh luar biasa pendengaran
dedengkot Partai Lawu Megah ini. Meskipun berada di ruangan pengasingan yang bertembok
tebal dan jauh dari lapangan tempat penggantungan namun dalam samadinya dia
sanggup mendengar segala sesuatu yang berlangsung di luar sana!
"Syukurlah kalau kau
telah mengetahui persoalannya dengan jelas."
"Apakah kau yakin kalau
pemuda kawanmu itu betul-betul tidak berdosa?" Resi Kumbara bertanya.
"Aku tahu pribadinya.
Namun memang sulit untuk menyatakan padamu kalau dia betul tidak
bersalah."
"Kalau begitu kau telah
turun tangan secara sembrono!"
"Mungkin. Namun dengan
menggantung secara biadab, orang-orang Partai Lawu berarti melakukan
kesembronoan yang lebih besar. Sekarang aku minta padamu agar menunjukkan jalan
keluar bagi kami berdua!"
Resi Kumbara tertawa perlahan
dan elus janggutnya yang menjulai sampai ke dada.
"Pendekar Pedang Akhirat.
Kau telah berani mencampuri dan mengacau urusan orang. Sekarang kau menemui
jalan buntu dan minta tolong padaku. Apa kah tidak malu…. ?"
Kata-kata Resi Kumbara itu
cukup memukul kakek muka tengkorak. Namun sambil tertawa ayem dia menjawab.
"Dalam dunia biasa satu sama lain saling bertolongan. Hari ini kau
menolongku. Lain ketika aku akan ganti menolongmu."
Resi Kumbara geleng-gelengkan
kepalanya. "Tak mungkin kau menolongku. Usiaku sudah lanjut. Mungkin aku
sudah lebih dulu menutup mata sebelum pertolonganmu datang."
"Turut pada bicaramu,
kiranya kau tidak lebih baik dari adikmu yang tampaknya telah banyak sesat
dalam memimpin partai. Jika kawan satu golongan minta tolong, dan si penolong
mengharapkan balas jasa, sungguh aku tidak mengerti…."
Kini Resi Kumbaralah yang
merasa terpukul.
"Sebetulnya aku sudah
sejak lama tidak mau mencampuri urusan di luaran. Tapi memandang persahabatan
dan nama besarmu coba kau katakan pertolongan apa yang kau kehendaki. Mungkin
aku bias mempertimbangkan."
"Setahuku di puncak Lawu
ini ada jalan rahasia menembus terowongan. Tunjukkan padaku jalan itu dan aku
tak bakal melupakan budi besarmu ini…."
Resi Kumbara tertawa mendengar
kata-kata Pendekar Pedang Akhirat itu. "Rupanya nyalimu meleleh menghadapi
orang-orang Partai? Jika kau takut kenapa berani berlaku sembrono…. ?"
"Dalam kamus hidupku tak
ada kata takut, sobatku Resi Kumbara. Demi persahabatan dan memandang namamu
serta pimpinan partai lainnya, aku tak mau bentrokan dalam kekerasan. Harap kau
suka mempertimbangkan!"
Bekas ketua partai Lawu Megah
itu merenung sejenak,
"Baiklah, akan
kutunjukkan jalan rahasia itu padamu." kata Resi Kumbara pada akhirnya.
Pendekar Pedang Akhirat
menjura. "Terima kasihi sobat. Sekarang satu lagi kuminta budi
besarmu!"
"Eh, kau seperti lintah
darat minta tanah. Diberi sejengkal minta sedepa…."
Si Pedang Akhirat menyengir.
"Pertolongan kalau tanggung-tanggung sama saja tidak tidak menolong
bagiku," katanya.
5
RESI Kumbara balas tersenyum,
"Katakan apa maumu!"
Si kakek menunjuk pada
sepasang lengan Wiro Sableng yang terikat dengan sehelai benang putih halus.
"Partai Lawu terkenal
dengan ilmu yang aneh-aneh. Aku mengaku tolol tak mampu membuka atau memutus
benang yang mengikat lengan sahabatku itu. Kau tolonglah!"
Resi Kumbara lagi-lagi
tersenyum. Memang benang sutera halus Partai Lawu itu merupakan salah satu
benda aneh dalam dunia persilatan pada masa itu. Tak satu orang luar pun
sanggup memutusnya.
Acuh tak acuh paderi tua itu
cabut selembar janggutnya yang panjang putih lalu memberi isyarat agar si kakek
membawa Wiro Sableng ke dekatnya. Acuh tak acuh pula, seperti main-main Resi
Kumbara selusupkan janggutnya pada celah sempit antara lengan dan benang yang
mengikat. Ketika janggut itu kemudian ditarik maka putuslah benang aneh yang
mengikat kedua tangan Wiro. Mau tak mau si kakek jadi melongo menyaksikan hal
ini. Sebaliknya begitu ikatannya lepas. Wiro gerakkan tangannya untuk
garuk-garuk kepala.
"Hai, kau ucapkanlah
terima kasih pada sahabatku ini!" kata si kakek sambil tepuk punggung
Wiro.
Wiro yang tahu peradatan buru
menjura dan berulang kali mengucapkan terima kasih pada Resi Kumbara.
"Sekarang dimanakah pintu
terowongan rahasia itu, sobatku?"
"Tunggu dulu," sahut
Resi Kumbara. "Sebelum kalian pergi aku harus punya jaminan. Tanpa jaminan
kalian tak bisa kubiarkan pergi."
"Heh, jaminan bagaimana
maksudmu Resi Kumbara?" tanya Pendekar Pedang Akhirat.
"Bagaimana kalau nanti
sahabatmu yang gondrong itu ternyata benar-benar telah merusak kehormatan murid
Partai Lawu?"
"Kalau itu yang kau
tanyakan, jika terbukti dia bersalah, aku sendiri yang akan menghukumnya. Aku
sendiri yang akan membawa kepalanya kemari dan kuserahkan berikut kepalaku
sendiri sebagai penebus keteledoranku."
Resi Kumbara menyeringai.
"Bagaimana mungkin kau
menyerahkan kepalamu padaku karena itu berarti kau sudah konyol!"
tukasnya.
"Jangan berpura-pura
tolol sobatku! Aku akan bunuh diri di hadapanmu. Kau puas?"
Resi Kumbara menggeleng.
"Perjanjian jaminan ini
hanya kita bertiga yang membuat dan mengetahui, tak ada saksi. Aku kawatir
setelah aku mati duluan dalam usia tua, kalian tidak akan menepati janji."
"Kami bukan
manusia-manusia yang ingkar janji," Wiro bicara dengan nada kesal.
"Aku percaya, tapi tetap
aku tak dapat menerimanya. Kalian harus meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang
kalian anggap berharga."
Wiro Sableng garuk-garuk
kepala dan saling pandang dengan Pendekar Pedang Akhirat.
"Apakah aku harus
meninggalkan kepalaku saat ini?" tiba-tiba kakek muka tengkorak itu
bertanya.
"Tidak," sahut Reni
Kumbara. "Saat ini kepalamu itu tidak ada harganya bagi aku dan
partai…."
"Lantas apa maumu?"
tanya Wiro penasaran.
"Sesuatu yang berharga
dan pantas dijadikan jaminan," sahut sang paderi Partai Lawu.
Wiro kembali garuk2 kepalanya
yang gondrong. Tiba-tiba diambilnya Kapak Naga Geni 212. Begitu senjata ini
keluar dari balik pakaiannya maka sinarnya yang menyilaukan menerangi ruangan
yang redup gelap itu. Diam-diam Resi Kumbara terkesiap juga. Belum pernah dia
melihat senjata mustika yang hebat begini rupa dan aneh pula bentuknya. Sebuah
kapak bermata dua bertuliskan angka 212.
"Ini kau ambillah kakek
sebagai jaminan kami berdua. Tapi ingat aku tak ingin senjata warisan guruku
ini rusak atau cacat, apalagi sampai hilang. Kalau itu sampai terjadi seluruh
puncak Lawu ini akan kuterabas sama rata dengan tanah!" Resi Kumbara
tertawa dingin.
"Sejak ratusan tahun lalu
Partai Lawu Megah berdiri sampai hari ini tak ada yang sanggup melakukan hall
itu. Apalagi manusia semacammu yang bukannya terima kasih setelah menerima budi
orang justru malah pergi dengan meninggalkan ancaman."
Tampang Pendekar 212 jadi
mengelam merah tapi dari mulutnya yang menyeringai keluar suara siulan.
"Senjata itu sama
nilainya dengan nyawaku, Resi Kumbara. Kalau sampai hari ini belum ada orang
yang sanggup menggusur Partai Lawu Megah, jangan kira di kemudian hari tak ada
yang berani dan bisa melakukannya. Apalagi terhadap sebuah partai yang kini
nyata telah jauh sesat dalam tindak-tanduknya. Dan kau sebagai dedengkotnya
cuma bisa mengoceh, bersamadi yang sama sekali tak ada gunanya bagi partai dan
ketenteraman dunia persilatan. Kau berlepas tangan dengan berkedok mengasingkan
diri, bersamadi dan sudah tak mau ikut campur urusan dunia luar! Jika tidak ada
pendekar tua kawanku ini pasti telah berlangsung penggantungan biadab terhadap
diriku. Dan kau mengetahuinya tapi diam saja. Aku bukan bangsa manusia yang
takut mati jika memang punya salah dan dosa. Aku mungkin orang tolol, tapi aku
bersama kawanku ini mempunyai firasat bahwa dibalik kekalutan pimpinan di Lawu
ini ada tangan-tangan kotor yang hendak menjadikan aku kambing hitam yang
pantas digorok lehernia! Dengan cuma bersamadi sampai kiamat kau tak bakal
dapat melempangkan kembali orang-orangmu yang telah tersesat. Dan jangan kau
takabur Resi Kumbara, dalam keadaan seperti begini satu tangan jahil yang tak
punya kekuatan apa-apa bukan mustahil sanggup menggusur Partai Lawu. Bagaimana
kalau orangorangmu diadu domba? Apa bukan jadi berantakan nantinya?"
Wiro Sableng bakal nyerocos
terus kalau tidak diberi isyarat kedepan mata oleh Pendekar Pedang Akhirat.
Resi Kumbara sendiri saat itu merah padam wajahnya yang putih kelimis. Dia
hendak membuka mulut tapi si kakek buru-buru mendahului.
"Sudahlah, tak ada
gunanya kita berdebat saat ini. Lain kali saja kita teruskan obrolan ini dalam
suasana yang lebih tenang sambil makan minum tentunya. Kau sudah menerima
barang jaminan yang amat berharga. Sekarang tunjukkanlah pintu terowongan
rahasia itu."
Dengan menindih rasa marahnya,
Resi Kumbara lantas menekan salah satu ubin ruangan itu. Tiba-tiba lantai
ruangan sebelah kiri bergeser. Pada bekas geseran ini kelihatanlah sebuah
tangga batu yang menuju kebawah, memasuki mulut terowongan yang gelap. Tercekat
juga kedua orang itu rnelihat terowongan yang gelap seram ini.
"Kalian tunggu apa
lagi?!" texdengar suara Resi Kumbara.
Pendekar Pedang Akhirat Batara
angkat bahu dan melangkah menuju tangga menurun. Wiro Sableng sesaat
garuk-garuk kepala, memandang pada paderi yang duduk di hadapannya, angkat bahu
dan akhirnya melangkah pula mengikuti kakek muka angker. Di dalam terowongan
yang gelap itu tangan di depan matapun tak kelihatan. Wiro dan si kakek yang
melangkah sebelah depan berjalan dengan mengandalkan perasaan dan pendengaran
mereka yang tajam. Meskipun demikian tak jarang mereka terbentur pada dinding
terowongan pada tempat dimana terowongan itu membelok.
Yang menjengkelkan Wiro
Sableng inilah karena sepanjang perjalanan melewati terowongan itu si kakek
selalu mengajaknya bicara.
"Omong-omong gadis anak
murid Partai Lawu Megah yang bernarna Sularwasih itu cantik juga heh..?"
Batara berkata.
"Memangnya kenapa kau
berkata begitu?" bertanya Wiro Sableng.
"Aku berpikir-pikir,
apakah betul kau tidak memperkosa gadis itu. Soalnya aku yang sudah tua ini
bisa blingsatan juga melihatnya."
"Kakek tidak percaya
padaku?"
"Oh tentu. Tentu aku
percaya padamu. Tapi banyak hal-hal yang memberatkan tuduhan atas dirimu."
Wiro memaki dalam hati.
"Tapi aku sudah bilang,
kalau saja anuku ini bisa bicara!"
"Soal anumu itu tak usah
diulangi lagi. Sampai kiamatpun tak ada anu yang bisa bicara."
"Lalu, seandainya kakek
merasa ragu, kenapa menolongku?"
"Dengan satu syarat sobat
mudaku . . . ."
"Syarat apa?" tanya
Wiro penasaran.
"Jika nanti terbukti kau
memang bersalah, aku sendiri yang akan membawa kepalarnu kepada ketua partai
Lawu Megah" sahut Pendekar Pedang Akhirat. Dalam hatinya Pendekar 212 Wiro
Sableng kembali memaki.
6
SETELAH kurang lebih dua jam
menempuh terowongan gelap itu di sebelah depan tiba-tiba terdengar suara
Pendekar Pedang Akhirat mengeluh.
"Ada apakah …?"
tanya Wiro dari belakang seraya bersiap-siap. Melihat sikap Resi Kumbara tadi
diam-diam pendekar ini merasa curiga. Bukan mustahil terowongan itu memiliki
alat rahasia yang bakal mencelakakan dirinya dan si kakek.
"Terowongan ini
buntu!" seru Batara.
"Hah?!" Wiro
terkejut. Dia meraba ke depan.
Terasa olehnya dinding batu
yang keras. "Bekas ketua partai itu menipu kita! Sialan betul!"
Sesaat kedua orang itu
sama-sama terdiam.
"Apa yang harus kita
lakukan? Kembali ke tempat semula?"
"Kakiku letih. Sebaiknya
kita duduk saja dulu melepaskan lelah sambil omongomong", jawab si kakek.
Wiro Sableng garuk-garuk
kepala dan jadi menggerendeng. Bagaimana si kakek enak-enak saja bicara seperti
itu dan bukannya mencari jalan keluar dari terowongan? Namun karena tak tahu
mau berbuat apa, akhirnya pemuda ini duduk menjelepok di lantai terowongan,
bersandar ke dinding yang lembab. Dalam gelap itu Wiro merenung kejadian yang
baru saja dialaminya di puncak gunung Lawu. Kemudian dia bertanya.
"Kakek…. Tadi kau mengatakan banyak hal-hal yang memberatkan tuduhan atas
diriku. Misalnya apa …. ?"
"Kau ketahuan mengedipkan
mata sewaktu bertemu dengan Sularwasih itu di penginapan. …" Wiro Sableng tertawa.
"Kurasa kau pernah muda
sepertiku ini, kakek. Orang muda biasa suka iseng. Kau sendiri tadi mengatakan
sudah tua bangka begini masih blingsatan melihat gadis cantik itu. Soal iseng
dan mengedipkan mata apakah bisa dinilai sebagai memperkosa….?
Justru orang yang memperkosa
sering mendapat kehormatan dipungut mantu!" Si kakek tertawa gelak-gelak.
"Baiklah kalau kau bilang
begitu, sobat mudaku. Lantas kancing bajumu yang ditemui dalam kamar si Warsih
itu … ?"
"Akupun heran dan
bertanya-tanya bagaimana kancing baju keparat itu bisa ada dan ditemui disitu.
Padahal aku ingat betul kancing itu putus sewaktu aku menabrak keranjang sayur
seorang perempuan yang kebetulan keluar dari penginapan. Aku tak berusaha
menemukan kembali kancing baju itu. Ini agaknya menjadi kesalahan yang kini
kusesalkan…."
"Sulit bagimu untuk
membuktikan hal itu, bukan? Saksi-saksi hidup dan bukti kuat berada di pihak
Warsih!"
"Kelihatannya begitu.
Apalagi jika mengikuti jaIan pikiran yang berat sebelah. Namun kalau dari sudut
pemandanganku yang kau anggaplah geblek, akupun menaruh kecurigaan pada
seseorang…."
"Siapa?" tanya
Pendekar Pedang Akhirat.
"Aku tak dapat
mengatakannya karena belum ada bukti-bukti."
"Kau hendak mencari
kambing hitam …?"
"Kalau kambing putih ada,
buat apa cari kambing hitam?" ujar Wiro pula.
Si kakek tertawa bergelak.
"Asalkan jangan aku saja yang kau curigai…."
"Bisa saja. Karena kenapa
kau tahu-tahu muncul dipuncak gunung Lawu…." tukas Wiro.
Si kakek memaki panjang pendek
dan kini Wiro yang ganti tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba murid Eyang Sinto
Gendeng ini hentikan tawanya dan menggamit bahu Pendekar Pedang Akhirat.
"Aku mendengar
sesuatu…."
Kedua orang itu berdiam diri
dan sama-sama pasang telinga. Suara tadi terdengar lagi sayup-sayup lalu hilang.
"Suara kaki-kaki kuda." desis si kakek.
"Juga ada suara orang
berlari," menyahuti Wiro. Mereka menunggu. Namun suarasuara itu tidak
terdengar lagi.
Si kakek berdiri dari
duduknya. Dia merapatkan tubuhnya. pada dinding yang menutup terowongan. Ketika
telinganya ditempelkan ke dinding batu itu, rapat-rapat dia kembali dapat
mendengar suara derap kaki kuda, lalu lenyap sama sekali. Setelah meraba sana
sini, Batara kerahkan seluruh tenaganya dan coba mendorong dinding batu itu.
Terasa dinding ini bergerak sedikit demi sedikit.
"Wiro! Bantu aku
mendorong dinding buntu ini! Aku yakin kita sudah sampai di mulut pintu keluar
terowongan!"
Mendengar ucapan itu Wiro
segera berdiri dan bantu Pendekar Pedang Akhirat mendorong dinding. Oleh tenaga
dorongan yang luar biasa dari dua manusia berkepandaian tinggi ini, dinding
dihadapan mereka bergeser. Tiba-tiba terdengar suara keras. binding yang
didorong roboh. Cahaya terang masuk menyilaukan mata kedua orang itu.
Tetumbuhan liar banyak menutupi mulut terowongan. Keduanya keluar sambil
menyibakkan tanam-tanaman itu. Berdiri diluar mereka dapatkan saat itu berada
di kaki sebelah timur gunung Lawu.
"Sialan! Akhirnya kita
keluar juga dari terowongan celaka itu. Aku tadi sudah berprasangka buruk
terhadap ResiKumbara kata Wiro pula sambil yaruk-garuk kepala. Keduanya
mendorong dinding batu berat itu untuk menutupi terowongan rahasia. Terlindung
oleh tanaman-tanaman liar, orang yang tidak tahu sulit untuk membedakan batu
penutup terowongan itu dengan batu-batu besar yang berbentuk sama dan banyak
terdapat di kaki gunung Lawu itu.
"Nah sekarang bagaimana
kakek? Aku masih memikul urusan berat dan hendak berangkat ke selatan.
"Aku sendiri akan menuju
ke barat. Tapi satu bulan dimuka aku akan tunggu kau disini. Kurasa saat itu
aku sudah dapat mengetahui apakah kau bersalah atau tidak …"
Wiro Sableng menyeringai, dan
menjawab, "Mudah-mudahan kau datang tepat pada waktunya sebelum aku
menerabas puncak Lawu ini. Selamat jalan dan terima kasih kau telah
memperpanjang umurku sampai satu bulan dimuka."
Setelah masing-masing menjura
dan bergerak hendak pergi, satu keselatan lainnya ke barat, tiba-tiba terdengar
seruan lantang dari samping gunung sebelah kiri.
"Jangan harap kalian bisa
pergi dari sini dengan masih membawa nyawa."
Wiro dan si kakek muka
tengkorak sama-sama kaget. Memandang ke atas mereka lihat belasan orang
berlompatan turun dari lamping-lamping batu gunung ke tempat mereka.
Orang-orang ini bukan lain adalah paderi-paderi Lawu. Diantaranya Tandu Wiryo,
yang sebelumnya telah memberikan kesaksian sewaktu Wiro hendak di gantung.
"Digantung tidak maul
Dicincang rupanya lebih pantas," terdengar hardikan dari sebelah kiri.
Memandang ke jurusan ini dua pendekar yang barusan keluar dari terowongan
melihat lima penunggang kuda. Empat orang paderi danseorang gadis berpakaian
biru yang bukan lain adalah Sularwarsih.
Dikurung demikian Wiro Sableng
jadi melongo dan garuk-garuk kepala gondrongnya sedang Pendekar Pedang Akhirat
goleng-goleng kepala. Sekali memandang berkeliling dia sudah dapat menghitung
jumlah pengurungnya. Seluruhnya 21 orang!
"Kalian mau apa . . .
?!" Si kakek bertanya.
Tandu Wiryo mendengus.
"Orang datang minta nyawa
masih berlagak tolol!" sentaknya.
"Minta nyawa….? Sungguh
kaulah yang tolol orang muda. Mana ada didunia ini orang yang suka
menyedekahkan nyawanya!" Habis berkata demikian si kakek lalu tertawa
gelak-gelak. "Kalian semua cari penyakit. Lebih baik kembali ke puncak
Gunung Lawu. Aku sudah berjanji pada Resi Kumbara. Jika pemuda sobatku ini
nanti terbukti betul-betul bersalah, aku sendiri yang akan mengantarkan
kepalanya pada kalian!"
"Kami tidak butuh
kepalanya! Kami ingin nyawanya saat ini juga!" teriak Sularwarsih.
"Beranikah kau satu lawan
satu dengan dia….?" tanya Pendekar Pedang Akhirat dengan nada dan mimik
mengejek.
"Manusia laknat seperti
dia tak perlu dilayani satu persatu . . . !"
"Tapi sekurang-kurangnya
kau pernah melayaninya satu persatu, bukan Warsih? Itu jika betul-betul dia
yang merusak kehormatanmu heh….?"
Merahlah paras Sularwasih. Dia
menjerit keras dan cabut pedangnya, melompat turun dari kuda seraya berteriak.
"Bunuh manusia-manusia
haram jadah ini!"
Gerakan Warsih gesit dan cepat
sekali. Pedangnya bersiuran menyambar ganas ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Jika murid Eyang Sinto Gendeng ini tak lekas melompat ke belakang niscaya
lehernya sudah kena dibabat putus. Baru saja Wiro imbangi diri dari lompatan
mengelak disamping kiri dilihatnya empat paderi yang menemani Warsih telah
turun dari kuda masing-masing sedang dari kanan, Tandu Wiryo bersama
saudara-saudara seperguruan dan paderi-paderi lainnya telah menyerbu turut
pula.
"Kalian cari penyakit!
Betul-betul cari penyakit!" seru Pendekar Pedang Akhirat seraya berpaling
acuh tak acuh pada Wiro dan bertanya pada pendekar ini.
"Bagaimana pendapatmu,
sobatku?!"
"Apa boleh buat!"
sahut Wiro Sableng sambil angkat bahu. "Penyakit harus diobati. Kalau
tidak bisa berabe!"
7
DARI dua puluh satu orang
partai Lawu Megah yang menyerbu itu yang menggempur Pendekar 212 Wiro Sableng
adalah empat paderi utama, dua paderi biasa, lima murid kelas satu dan
Sularwasih serta pemuda bernama Tandu Wiryo. Sisanya sebanyak delapan orang
yakni empat paderi biasa danempat murid kelas satu mengurung dan menyerang
Pendekar Pedang Akhirat.
Semua penyerang dari Lawu ini
pergunakan pedang sedang dua yang jadi bulanan serangan-serangan sampai satu
jurus bergebrak masih andalkan tangan kosong. Meskipun sering memperlihatkan
sikap seperti orang tolol danmemiliki jalan pikiran macam orang sinting namun
kadang kadang Wiro Sableng tak jarang memiliki otak yang jernih dancerdik. Dia
merasa heran melihat orang-orang Partai Lawu lebih banyak menyerangnya dan
terdiri dari mereka yang berkepandaian tinggi. Semakin besarlah kecurigaannya
bahwa betul-betul ada yang tak beres dengan orang-orang itu. Pendekar Pedang
Akhirat sendiripun terheran-heran kenapa yang menyerangnya cuma paderi-paderi
biasa dan murid klas satu. Dan cara mereka menyerang jelas hanya mengurung
demikian rupa hingga dia terpisah jauh dari Wiro Sableng.
Empat paderi utama dan dua
paderi biasa serta empat murid partai klas satu dipimpin oleh Sularwasih dan
Tandu Wiryo melancarkan serangan laksana air bah yang betul-betul ganas hingga
akan celakalah Pendekar 212 dalam waktu singkat apabila dia masih mengandalkan
tangan kosong.
Wiro sendiri merasa agak
menyesal telah menyerahkan Kapak Naga Geni 212 pada Resi Kumbara hingga saat
itu dia menghadapi bahaya maut tanpa senjata sama sekali. Dengan mainkan ilmu
silat "orang gila" yang dipelajarinya dari Tua Gila di pulau Andalas
dulu, pendekar ini bergerak gesit kian kemari. Gerakan-gerakannya merupakan
sesuatu yang aneh bagi lawan hingga untuk sementar Wiro bisa selamat dari
serangan serangan maut lawannya. Dalam pada itu sesekali dia mainkan pula jurus-jurus
silat "tameng sakti menerpa hujan", "kincir padi memutar",
"kipas sakti terbuka"
dansebagainya yang merupakan
jurus-jurus pertahanan ampuh. Disamping itu Wiro pun lepaskan pula
pukulan-pukulan sakti "benteng topan melanda samudera", "orang
gila mengebut lalat" dan sebagainya yang membuat para penyerang berseru
kaget dan terpaksa mundur, tetapi kemudian menyerang lagi dengan ganas.
"Warsih!" teriak
Wiro Sableng. "Jika kau dan yang lain-lainnya ini tidak hentikan
pertempuran jangan menyesal . . ."
"Kaulah yang menyesal
bakal jadi setan kuburan!" teriak sang dara dan mendahului kawan-kawannya
menyerang Wiro Sableng. Pedangnya bersiur membabat ke leher pendekar itu. Dua
belas orang lainnya serentak menyerbu pula.
Wiro memaki panjang pendek dan
lepaskan pukulan. "Segulung ombak menerpa karang." Terdengar suara
menderu.
"Lekas menyingkir!"
teriak salah seorang paderi utama yang telah banyak pengalaman dan terkejut
melihat hebatnya pukulan sakti ini.
Dua orang murid partai tidak
keburu menghindar. Tubuhnya mencelat dihantam angin pukulan, jatuh ke tanah
muntah darah tak berkutik lagi alias mati! Empat paderi, melompat ke udara dan
dari atas kebutkan lengan jubah masing-masing. Empat gelombang angin deras
menggebu menangkis dan menghantam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro Sableng.
Terdengar suara berdentum.
Empat paderi kelihatan pucat
wajah masing-masing dan turun ketanah dengan tubuh gemetaran. Mereka menyadari
bahwa bentrokan pukulan sakti yang mengandung hawa tenaga dalam dahsyat itu
telah membuat tubuh mereka di sebelah dalam menjadi tidak beres untuk beberapa
ketika. Tandu Wiryo dan Warsih masih untung karena mereka keburu menghindar
dengan gerakan gesit.
Wiro sendiri yang terkena
sapuan empat angin deras yang menggebu dari lengan jubah paderi-paderi utama
gunung Lawu itu tampak agak terhuyung-huyung. Dadanya berdenyut-denyut seperti
ditekan batu berat. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, dari belakang
tiba-tiba terdengar suara menderu dingin.
Seseorang telah menyerangnya
dari belakang secara licik. Hal ini diketahui betul oleh Wiro. Seperti kilat
dia jatuhkan diri ke depan seraya tundukkan kepala. Gerakannya yang sepontan
ini menyelamatkan kepalanya dari sambaran pedang maut Tandu Wiryo yang datang
dari belakang Namun demikian bahu kirinya masih sempat kena bacok. Wiro
mengeluh kesakitan. Dirasakannya perih yang amat sangat lalu cairan panas
meleleh deras keluar dari bacokan itu. Darah!
"Bunuh! Habisi dia!"
teriak Sularwasih yang laksana jadi kesetanan melihat darah membasahi pakaian
dantubuh Wiro.
Sebaliknya rasa sakit akibat
luka besar pada bahu kirinya itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi
kalap. Seumur hidup barulah saat itu dia mendapat luka yang demikian parah dan
akibat serangan pengecut pula. Marahnya bukan alang kepalang. Teriakan
menggeledek keluar dari mulutnya. Dia putar tubuh menghadapi Tandu Wiryo.
Tangan kanannya bergetar oleh aliran tenaga dalam yang disalurkan secara
menyeluruh. Sesaat kemudian tangan itu sampai sebatas siku kelihatan berubah
menjadi putih perak.
"Awas! Dia hendak
lepaskan pukulan sakti yang dasyat!" teriak salah seorang paderi gunung
Lawu dengan suara gemetar bergidik.
Dari samping Warsih kirimkan
satu tusukan nekad ke tubuh Wiro Sableng dan kesempatan ini dipergunakan oleh
Tandu Wiryo untuk berpindah tempat Semula meskipun diserang dengan pedang
begitu rupa Wiro sudah bertekad untuk terus lepaskan pukulan sinar matahari ke
arah Tandu Wiryo. Namun karena si pemuda sudah berpindah tempat maka
Sularwasihlah yang kini jadi sasarannya.
Saat itu tusukan ujung pedang
sudah dekat sekali hingga akan kasiplah jika Wiro terus kalap untuk lancarkan
pukulan "sinar matahari". Menyadari hal ini maka Wiro melangkah
mundur dan pergunakan tangan kanannya untuk mencengkeram lengan Sularwasih. Si
gadis terdengar menjerit kesakitan, melompat jauh sambil kibas-kibaskan
tangannya yang kelihatan merah gembung melepuh akibat hawa panas tenaga dalam
pukulan "sinar matahari" pada tangan Wiro. Pedangnya telah berpindah
tangan, kena di rampas oleh Pendekar 212. Dengan pedang ini Wiro Sableng
kemudian mengamuk hebat. Dua murid partai roboh mandi darah. Empat paderi
datang menyongsong sambil berteriak marah.
"Paderi-paderi tua tidak
tahu diri! Seharusnya kalian memberi petunjuk pada orangorang muda partaimu!
Sekarang malah kalian sendiri yang ikut melibatkan diri! Mampuslah!"
Karena paderi-paderi itu masih
beberapa langkah di depannya, Wiro tidak menggunakan pedang rampasannya untuk
menyerang tetapi alirkan tenaga dalam ke tangan kiri. Ketika tangan itu serta
merta menjadi putih perak pendekar ini menghantamkannya ke depan. Maka laksana
topan prahara menderulah sinar putih menyilaukan mata dan panas luar biasa.
Terdengar jerit kematian empat
paderi utama partai Lawu Megah itu tatkala tubuh mereka kena disapu pukulan
"Sinar matahari". Mayat mereka terlempar sampai sepuluh tombak, jatuh
bergedebukan dalam keadaan hangus mengerikan!
Wiro sendiri sehabis
melepaskan pukulan "Sinar matahari" tersebut tiba-tiba mengeluh
tinggi. Kedua lututnya goyah, pemandangannya mendadak gelap berkunangkunang.
Akhirnya pendekar dari gunung Gede ini roboh tak sadarkan diri.
Sewaktu siuman dari pingsannya
Wiro Sableng rasakan kepalanya pusing dan berat sedang tubuhnya panas dingin.
Bahunya mendenyut sakit. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya. Mula-mula segala
sesuatunya tampak hitam dan gelap. Sesaat demi sesaat pemandangannya menjadi
pulih. Kini diketahuinya bahwa dirinya terbaring di atas kasur jerami dalam
sebuah ruangan terbuka dari satu bangunan tua. Sebuah lilin terletak disudut
ruangan. Tak seorangpun dilihatnya disitu. Dia berpikir, ingat pada apa yang
telah terjadi sebelumnya dan bertanya-tanya dimana gerangan Pendekar Pedang
Akhirat.
Tenggorokannya terasa sekat
dan kering. Wiro batuk-batuk beberapa kali. Mendadak diluar kamar didengarnya
suara orang berseru.
"Hai, kau sudah
siuman!"
Wiro tersirap. Suara itu bukan
suara si kakek melainkan suara perempuan. Rasa kawatir menggerayangi dirinya
karena dia tak dapat memastikan apakah itu suara Sularwasih murid Partai Lawu
Megah yang berniat membunuhnya itu atau bukan. Menyusul terdengar
langkah-langkah kaki mendatangi. Wiro semakin tegang. Pada puncak ketegangannya
pintu ruangan terblika mengeluarkan suara berkereketan karena engsel-engselnya
sudah karatan. Satu tangan halus tampak mendorong pintu itu. Kemudian kelihatan
sosok tubuh seorang perempuan berpakaian biru. Persis warna pakaian yang
sebelumnya dilihat Wiro dikenakan oleh Warsih!
"Celaka!" keluh
murid Sinto Gendeng dalam hati. "Pasti aku dibunuhnya saat ini
juga…!"
8
WIRO yang saat itu tak kuasa
bergerak karena demam panas dan lemah menyerang dan membuatnya seperti lumpuh,
hanya bisa pejamkan mata menunggu kematian. Tetapi maut yang ditunggu-tunggu
tak kunjung datang. Didengarnya suara orang berdiri dan berlutut disampingnya.
Lalu tangan halus sejuk meraba keningnya. Kemudian suara perempuan berkata,
"Heh,tadi kau sudah
siuman, kenapa sekarang diam kembali?"
Perlahan-lahan Wiro Sableng
buka sepasang matanya. Dibawah nyala api lilin yang tidak seberapa terang
pendekar ini lihat seorang gadis berpakaian biru bersimpuh disebelahnya. Semula
disangkanya Sularwasih ketika dilihat wajahnya ternyata bukan. Gadis ini
berwajah bujur telur, berkulit kuning. Rambutnya yang hitam digelung diatas
kepala ditancapi tusuk konde dari gading bergambar burung. Gerak-geriknya sama
sekali tidak kaku seolah-olah dia dan Wiro sudah akrab betul.
"Saudari!" tegur
Wiro Sableng agak tersendat, "kau ini siapakah? Aku berada di mana saat
ini….?"
"Ah…. rupanya kau
betul-betul telah siuman. Cuma kau masih terserang demam. Namaku Wilarani. Saat
ini kau berada di sebuah Candi tua yang tak terpakai lagi dan menjadi tempat
kediaman aku beserta ayahku."
"Ayahmu?" Wiro
kerenyitkan kening. Apa mungkin gadis ini puteri Pendekar Pedang Akhirat?
Mustahil. "Siapa nama ayahmu?" tanya Wiro kemudian.
"Panda Wisuna."
"Kau…. kau…." Wiro
tak dapat teruskan kata-katanya. Tenggorokannya kesat dan kering.
"Air…" desisnya.
Wilarani ambil sebuah gelas.
Isinya diminumkan pada Wiro.
"Racun apa ini?!"
tukas Wiro Sableng begitu dirasakannya air yang diteguknya pahit seperti
empedu.
Wilarani tertawa geli.
"Ini bukan. racun
pendekar. Tapi obat! Agar kau lekas sembuh."
"Kau… kau seorang
tabib?" tanya Wiro.
Sang dara baju biru gelengkan
kepala. "Tapi aku memang banyak mempelajari berbagai macam ilmu
pengobatan…."
"Baiklah, biar kuminum
obat itu " kata Wiro pula. "Sekalipun racun aku tak menyesal mati di
hadapanmu." Lalu pendekar ini teguk cairan dalam gelas sampai habis.
"Tahu berapa lama kau
pingsan, pendekar?"
"Tak usah sebut aku
pendekar. Namaku Wiro. Berapa lama aku pingsan?"
"Dua hari dua
malam!"
Wiro kaget karena tidak
menyangka sampai sedemikian lama dia jatuh pingsan.,
"Bagaimana aku sampai
kemari? Apa hubunganmu dengan Pendekar Pedang Akhirat?"
"Pendekar tua itu yang
membawamu kesini. Tadinya untuk minta pertolongan ayah agar kau diobati. Tapi
ayah sedang ke Weleri. Aku berusaha sebisaku…"
"Terimakasih. Kau baik
sekali. Aku berhutang besar padamu." kata Wiro pula. Wilarani tertawa.
"Dimana Pendekar Pedang
Akhirat sekarang?"
"Dia pergi dua hari yang
lalu tanpa memberi tahu kemana. Cuma dia pesankan agar aku merawatmu baik-baik.
Menurut orang tua itu kau pingsan akibat kehabisan darah dankarena
mempergunakan seluruh tenaga dalam untuk melepaskan pukulan sakti. Menurut apa
yang aku tahu jarang orang bisa selamat dari kematian jika mengalami hal
sepertimu ini."
Wiro Sableng menghela nafas
panjang.
"Kapan aku akan sembuh
danbisa meninggalkan tempat ini?"
"Tak dapat kupastikan.
Mungkin seminggu atau dua minggu lagi. Luka dibahumu parah sekali dan harus
kering betul baru bisa dikatakan sehat. Disamping itu sebaiknya kau tunggu
sampai ayah datang agar dapat memeriksa tubuhmu bagian dalam."
"Mungkin aku tak dapat
menunggu sekian lama," ujar Wiro pula.
"Kenapa?" tanya
Wilarani.
"Ada urusan besar yang
harus kulakukan "
"Urusan apa, kalau aku
boleh tanya."
"Pendekar Pedang Akhirat
tidak mengatakan kenapa aku sampai mendapat celaka begini rupa…"
"Tidak," sahut
Wilarani. "Justru aku ingin mendengarkan kisahnya dari kau sendiri…."
Pada dasarnya Wiro Sableng
tidak suka membeberkan persoalan. dirinya pada orang lain, apalagi gadis itu
baru dikenalnya. Namun setelah berpikir-pikir dan ingat kalau bukan Wilarani
yang menolong mungkin dia sudah mati saat itu atau paling tidak tengah meregang
ajal, maka akhirnya Wiro tuturkan juga nasib celaka yang menimpa dirinya.
Selesai Wiro menuturkan
riwayatnya, kedua orang itu kemudian saling berdiam diri beberapa lamanya.
"Jika kau sudah sembuh,
apa yang bakal kau lakukan?" bertanya Wilarani kemudian.
"Banyak dan berat
sekali!" sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. "Pertama aku harus
membersihkan diriku dari tuduhan keji itu. Ini berarti aku harus bias menemukan
siapa sebenarnya pemerkosa nona Warsih. Kemudian aku harus membawa orang itu
hidup-hidup kapuncak gunung Lawu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Jika senjata warisan guruku sudah dikembalikan danaku dapat turun dari puncak
Lawu dengan aman barulah berarti selesai urusan. Yang sulit ialah orang-orang
gunung Lawu pasti akan menyerbuku begitu aku muncul disana. Gila betul! Kenapa
aku jadi ketiban nasib sial begini!"
"Kurasa itu adalah
tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pendekar petualang macammu. Ketidak
tabahan justru itulah yang membuat seseorang celaka sebelum bahayanya sendiri datang
menimpa."
Pendekar 212 Wiro Sableng
merasa kena disentil oloh kata gadis itu. Diam-diam dia jadi malu pada diri
sendiri. Si gadis rupanya tahu bagaimana perasaan Wiro seat itu, maka die
buru-buru menghibur. "Memang begitulah keadaannya dunia. Yang kita
harapkan tidak terjadi, yang amit-amit minta dijauhkan justru nyelonong
menyusahkan!"
"Berapa jauh Magelang
dari sini!?" Wiro bertanya.
"Kira-kira dua hari
perjalanan dengan kuda." jawab Wilarani.
"Kenapa?" si gadis
kemudian bertanya.
"Besok aku akan berangkat
ke sana guna memulai penyelidikan."
"Besok? Sekarang saja kau
masih diserang demam. Lukamu masih basah. Apa mau mencari mati hendak pergi
besok?"
"Kalau dipikir-pikir
sebenarnya aku ini sudah mati. Yaitu kalau tidak ditolong oleh Pendekar Pedang
Akhirat dankau sendiri." Wilarani tersenyum kecil.
"Hidup penuh, hal hal
yang tak terduga bahkan kadang-kadang aneh…" kata gadis itu pula lalu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil menatap wajah Pendekar 212 Wiro
Sableng dia berkata, "Aku sendiri sebenarnya adalah anak murid partai Lawu
Megah."
Wiro Sableng kaget bukan
olah-olah. Kata-kata gadis itu laksana petir menyambar sampai ketelinganya.
Kalau saja dia tidak sakit parah saat itu niscaya dia sudah melompat saking
terkejutnya.
"Kalau begitu,kalau
begitu bukan mustahil kau memang hendak membunuhku disini. Secara
perlahan-lahan!" ujar Wiro pula dengan sepasang mata melotot pandangi
Wilarani.
Wilarani tertawa panjang.
"Kalau aku punya niat
membunuhmu, tentu sudah sejak tadi-tadi kulakukan!"
"Lantas kenapa tidak kau
lakukan?" tanya Wiro. "Tidakkah kau mengandung dendam padaku setelah
mendengar aku membunuh empat orang paderi utama gunung Lawu, lalu murid-murid
partai yang menjadi saudara seperguruanmu…. ?"
"Aku cuma menyesalkan dan
menyayangkan kejadian itu. Kehendak Tuhan rupanya harus terjadi demikian. Dan
pemuda-pemuda gunung Lawu dalam hal ini juga memiliki kesalahan."
"Aku betul-betul tak
mengerti kalau begini", ujar Wiro. "Tadi kau bilang anak tabib Panda
Wisuna. Sekarang kau katakan murid partai gunung Lawu. Bagaimana ini?!"
Kembali Wilarani tertawa.
"Saudari, jika kau betul
murid partai Lawu Megah iebih baik bunuh saja aku saat ini juga. Jangan aku
dipermainkan. Maut didepan mata tapi diulVr-ulur agar aku tersiksa!"
"Aku sudah bilang, kalau
ingin membunuhmu dapat kulakukan tadi-tadi dan semudah membalikkan telapak
tangan saja. Tapi apa perlunya ?"
"Heh!" Wiro
kerenyitkan kening. "Terangkan alasanmu."
9
ATAS desakan Wiro Sableng yang
mau tak mau merasa was-was juga setelah mengetahui kalau Wilarani adalah anak
murid partai Lawu Megah, maka akhirnya gadis itu memberikan keterangan.
Wilarani menjadi murid partai
Lawu Megah sejak masih berusia delapan tahun. Suatu hari Resi Kumbara turun
gunung. Waktu itu tengah berjangkit penyakit menular yang amat jahat. Siapa
yang sampai kejangkitan pasti akan menemukan kematian dalam waktu dua hari.
Resi Kumbara merupakan salah seorang yang kena terserang. Pada saat-sat kritis
Panda Wisuna (ayah Wilarani) menjumpai ketua partai itu, menggeletak tak
sadarkan diri di tepi sebuah anak sungai. Segera dibawanya ketempat kediamannya
di bekas candi tua itu dan diobati sampai sembuh.
Sebagai balas budi Resi
Kumbara kemudlan mengambil Wilarani jadi muridnya, dibawa ke puncak gunung
Lawu. Karena sang paderi sendiri yang memberikan pelajaran silat pada anak itu
maka 10 tahun kemudian jadilah Wilarani seorang gadis berkepandaian amat
tinggi. Jika dibandingkan dengan murid-murid gunung Lawu Megah klas satu,
kepandaiannya jauh lebih tinggi. Sularwasih dan Tandu Wiryo sendiripun jauh
tertinggal. Ada yang mempercayai bahwa dalam ilmu silat nona ini kepandaiannya
hampir mendekati Resi Kumbara sendiri. Cuma tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuhnya saja yang masih agak rendah. Tetapi bila dia rajin melatih diri
niscaya tidak sembarang orang mampu menghadapinya.
Beberapa tahun lewat akibat
pengunduran diri Resi Kumbara sebagai ketua partai maka terjadi banyak
perobahan dalam tubuh partai. Hal ini diketahui oleh ayah Wilarani. Maka dia
naik ke puncak gunung Lawu, bicara dengan puterinya itu, meminta agar dia
meninggalkan partai Lawu Megah selagi belum terjadi hal-hal yang tak
diinginkan.
Dilain pihak Wilarani sendiri
sejak Resi Kumbara yang sudah dianggapnya seperti ayah sendiri itu mengundurkan
diri, merasa dipencilkan oleh orang-orang disekitarnya. Kalau dulu selagi Resi
Kumbara menjabat ketua partai semua orang menghormati dan menyayanginya. Tetapi
sejak paderi itu melepaskan jabatannya, banyak paderi-paderi dan
saudara-saudara seperguruannya yang jelas-jelas memperlihatkan sikap mengejek
serta membencinya. Sering dia dihadapkan pada muka-muka asam, mendengar
kata-kata menyindir danmenghina hingga lambat laun gadis itu merasa tak betah
lagi diam di puncak gunung Lawu.
Dengan datangnya sang ayah
memintanya pergi meninggalkan gunung Lawu maka ini adalah satu hal yang paling
baik bagi Wilarani. Berdua ayahnya dia menemui Resi Kumbara untuk minta diri.
Sebenarnya berat bagi paderi tua itu untuk melepas murid kesayangannya itu.
Namun diam-diam dia sudah mengetahui apa yang dialami Wilarani sejak dia
mengundurkan diri sebagai Ketua. Yang membuat Resi Kumbara kagum danterharu
ialah bahwa sampai saat Wilarani meninggalkan gunung Lawu gadis ini tak pernah
satu kalipun mengadukan keadaan dirinya itu. Semua dihadapinya sendiri dengan
tabah dari masih tetap tersenyum serta menghormati orang-orang di sekitarnya,
padahal didalam hatinya sakit bukan kepalang.
"Nyatanya keadaan di
Partai Lawu Megah makin hari makin buruk. Untung sekali aku sudah tidak disitu
lagi."
"Tapi betapapun kau
adalah anak murid Lawu Megah. Dan paderi-paderi yang kau hormati serta
saudara-saudara seperguruanmu itu banyak yang kubunuh," ujar Wiro.
Witarani geleng-gelengkan
kepala. "Sejak aku meninggalkan gunung Lawu aku tidak lagi merasa murid
partai Lawu Megah, tapi murid Resi Kuinbara pribadi."
"Apakah tidak berniat
untuk pergi lagi kesana?" tanya Wiro Sableng pula.
"Jika kudengar guru
kenapa-kenapa, pasti aku akan naik ke puncak Lawu dan memberi peringatan pada
orang-orang yang kurang ajar itu."
"Sejak kau keluar dari
partai apa saja yang kau lakukan?"
"Yaah… aku tinggal
bersama ayah disini. Mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan…."
"Untung kau sempat
mempelajari. Kalau tidak aku pasti tak akan tertolong." kata Wiro pula.
Wilarani tersenyum. "Sebetulnya
dalam sakit begini kau tak boleh banyak bicara.
Minumlah obat ini!" Gadis
ini kemudian ambilkan secangkir obat lalu diminumkan pada Wiro. Beberapa saat
setelah minum itu Wiro merasakan mat8nya jadi berat sekali. Akhirnya pendekar
itu jatuh pulas. Seminggu kemudian Wiro Sableng merasakan tubuhnya sudah segar.
Cuma luka dibahu kirinya masih belum kering dan sesekali terasa mendenyut
sakit. Suatu hari ketika Wiro tengah berkemas-kemas karena dia memang sudah
memutuskan untuk pergi, datanglah Wilarani dan menegurnya.
"Kau hendak pergi ke
mana?"
"Magelang."
‘Tapi kau masih belum sembuh.
Kau harus menunggu paling cepat satu minggu lagi. Balutan pada bahumu harus
dibuka untuk diperiksa."
"Lukaku memang belum
kering, Wilarani. Tapi tubuhku segar sekali. Semua berkat bantuanmu. Aku ingin
tinggal lebih lama di tempat yang tenang dengan pemandangan indah di sekitarnya
ini. Tetapi urusan besarku memerlukan penyeleseian dengan segera.
"Jika kau mau menunggu
sampai lukamu baik, aku bersedia membantu kau menyelesaikan urusan itu."
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Ah, budi besarmu menolong aku dalam sakit belum dapat kubalas, jangen kau
tanamkan budi baru padaku."
"Terserahlah padamu.
Cuma!"
Wilarani tidak teruskan
katanya.
"Cuma ape?", Wiro
bertanya.
‘ Wilarani tak segera menjawab
seolah-olah meragu.
"Cuma apa,
Wilarani?" desak Wiro.
"Aku ingin agar kau
mengetahui satu hal…."
"Apa?"
"Dua murid gunung Lawu
yang bernama Sulawarsih dan Tandu Wiryo itu bukanlah orang baik-baik…."
"Maksudmu?"
"Aku tak bisa
menerangkan. Kau selidikilah sendiri." jawab Wilarani pula. "Kalau
kau hendak pergi, aku tak bisa menahan. Selamat jalan!" Lalu gadis itu
putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Lima hari kemudian menjelang
malam Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Magelang. Kota yang membawa riwayat
sial bagi dirinya. Setelah berkeliling meneliti keadaan kota baru dia menuju
penginapan Candi. Dia tersenyum pada pelayan yang masih mengenalinya.
"Ingin menginap disini
lagi raden?" Wiro mengangguk.
Ketika pelayan itu mengantarkannya
ke kamarnya, Wiro bertanya. "Kau masih ingat pertama kali aku menginap
disini sekitar empat minggu yang lalu?"
"Ya.. saya masih
ingat"
"Waktu itu ada sepasang
muda mudi yang juga menginap disini,Ingat?"
Pelayan itu berpikir sejenak.
Lalu, "Ingat, saya ingat betul! Gadisnya cantik sekali bukan? Ketika pergi
saya dan Gundali diberinya masing-masing dua tail perak. Mudamudi yang baik
sekali…. ! Entah kapan mereka akan datang kemari lagi. Jarang sekali tamu
sebaik mereka."
"Mereka menyewa berapa kamar?"
bertanya Wiro.
"Agaknya mereka bukan
suami istri. Dua orang pengelana. Mereka masing-masing menyewa satu kamar yang
saling berdampingan. Eh, kenapa tuan bertanya begitu?"
"Tidak apa-apa. Tadi kau
menyebut nama Gundali. Siapa orang itu!?"
"Gundali orang yang
bekerja sebagai ronda dan penjaga keamanan di penginapan ini……."
"Dia tinggal di Magelang
ini?"
"Tentu saja!"
"Aku ingin bertemu dengan
dia," kata Wiro pula.
"Tuan tak usah
susah-susah. Sebentar lagi dia akan datang di sini. Tugasnya memang khusus
malam hari!"
Wiro tepuk bahu pegawai hotel
itu dan ucapkan terima kasih. Dia langsung berbarina di tempat tidur karena
sekujur tubuhnya terasa letih. Tanpa disadari dia jatuh pulas. Ketika bangun,
yang pertama sekali diingatnya adalah orang bernama Gundali itu. Namun sewaktu
ditanyakan pada pelayan dia mendapat keterangan bahwa Gundali belum datang.
"Tidak seperti biasanya.
Seharusnya dia sudah berada di sini saat ini." kata pegawai hotel itu.
Wiro garuk-garuk kepala.
Setelah berpikir-pikir sejenak pendekar ini memutuskan lebih baik mandi
danmakan dulu, baru kemudian menunggu Gundali. Jika orang ini masih belum
datang juga dia akan minta bantuan pelayan itu Untuk mengantarkan ke rumah
Gundali. Dia harus menemui orang ini untuk minta beberapa keterangan. Selesai
membersihkan diri Wiro Sableng pergi makan di sebuah kedai tak berapa jauh dari
penginapan.
Tengah dia menyantap
makanannya, masuklah tiga orang tetamu yang langsung disambut oleh pemilik
kedai. Setelah menyebutkan makanan yang mereka pesan, salah seorang dari tetamu
itu bertanya. "Apakah kau sudah dengar peristiwa pembunuhan atas diri
Gundali penjaga penginapan Candi."
"Gundali dibunuh orang ….
?!" kata pemilik kedai yang bertubuh gemuk setengah berteriak. Karena
kerasnya ucapannya ini Wiro yang berada jauh di sudut sampai mendengar dan
menjadi tersentak kaget. Dia hentikan makannya dan memandang pada orang-orang
itu sambil pasang telinga.
"Waktu itu dia tengah
bersiap-siap hendak berangkat ke penginapan tempat dia bekerja. Baru saja keluar
pintu rumah tiba-tiba satu bayangan melompat dari atas atap, sebilah pedang
berkelebat dan putuslah kepala Gundali!"
Pemilik kedai menggigil ngeri.
"Kapan terjadinya?" tanyanya.
"Barusan saja. Rumahnya
ramai didatangi orang. Pembantu-pembantu Kadipaten sudah ada di sana mengusut
perkara pembunuhan ini!"
Sampai disitu Wiro berdiri
dari kursinya, letakkan uang di atas meja dan tinggalkan kedai. Karena
peristiwa terbunuhnya Gundali cukup menggemparkan dan saat itu banyak orang
yang berdatangan ke sana, maka tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari
rumah Penjaga penginapan yang malang itu.
10
KETIKA WIRO SAMPAI dirumah
Gundali, orang masih banyak berjubalan disana. Beberapa petugas sibuk melakukan
pengusutan. Wiro menyeruak diantara orang banyak. Diruangan depan dari rumah
yang kecil itu seorang wanita separuh baya duduk memangku seorang anak
perempuan sambil menangis tersedu-sedu. Perempuan ini pastilah isteri Gundali
yang malang, pikir Wiro. Segera dia mendekati perempuan ini. Karena dia seorang
asing dan berpakaian aneh, ditambah rambut gondrongnya, tentu saja dia menjadi
perhatian orang. Sebelumnya dia sampai ke dekat, istri Gundali, seorang petugas
menahannya.
"Orang asing, kau
siapa?" petugas itu bertanya.
"Gundali adalah sahabat
lamaku", sahut Wiro. "Aku datang kesini untuk menyampaikan rasa duka
citaku pada isterinya."
Setelah meneliti Wiro sejenak
akhirnya petugas itu mengizinkan Wiro menemui istri Gundali.
"Mbakyu, kau tentu tidak
mengenal aku. Tapi aku adalah sahabat suamimu. Terimalah rasa duka citaku yang
sedalam-dalamnya."
Janda itu angkat kepalanya,
memandang dengan agak heran pada pemuda berambut gorldrong di hadapannya lalu
tutup wajahnya dan kembali menangis tersedu-sedu.
"Dalam keadaan begini
masih saja ada orang gila yang datang mengganggu. . . "
Wiro Sableng pencongkan mulut,
garuk-garuk kepala. Meskipun jengkel penasaran dia berkata. "Mbakyu, aku
bukan orang gila. Aku sahabat suamimu. Aku ingin menolongmu mencari siapa
pembunuh suamimu itu dan menghukumnya. Asal saja saat ini kau bersedia membantu
berikan keterangan. . ." Wiro lantas keruk saku pakaiannya dan masukan dua
keping uang emas kedalam genggaman perempuan malang itu seraya berbisik.
"Jika kau tak keberatan sebaiknya kita bicara di dalam saja. . . ."
Meskipun dalam keadaan duka
cita karena kematian suami, namun dua keping uang emas itu membawa pengaruh
juga bagi sang janda. Dipandanginya uang itu, lalu pada Wiro, kemudian pada
jenazah suaminya yang terbaring diatas ranjang bertutupan seperai.
Perlahan-lahan dia berdiri, mendukung anaknya dan masuk ke ruangan dalam,
"Ceritakanlah bagaimana kejadiannya sampai suamimu dibunuh orang,"
kata Wiro begitu janda Gundali duduk di sebuah kursi diruangan dalam.
Janda malang itu keringkan
dulu air matanya baru menjawab. "Seperti biasa setiap suamiku hendak pergi
ketempat pekerjaannya, aku selalu mengantarkan sampai pintu depan. Waktu itu
ruangan depan agak gelap karena aku belum sempat menyalakan lampu. Suamiku
mencium anak tunggalnya ini dulu, kemudian membuka pintu depan.
Begitu dia melangkahkan kaki
dari ambang pintu tiba-tiba ada sesosok bayangan melompat turun dari atas. Aku
dan suamiku terkejut sekali. Kemudian kudengar suamiku berseru. "Ah raden!
Kau kiranya. Aku …" Ucapan suamiku itu hanya sampai di situ karena tiba-tiba
orang yang disebutnya raden itu menghunus pedang dan menebas lehernya hingga
putus. Aku sendiri kemudian jatuh pingsan …"
Sampai disini kembali janda
Gundali menangis.
Setelah tangisnya reda Wiro
Sableng bertanya. "Apakah kau kenal orang yang membunuh suamimu itu?"
"Saat itu didepan gelap.
Aku tak dapat melihat wajah si pembunuh. Cuma dari perawakannya kuduga dia
masih muda."
"Suaranya juga tak dapat
kau kenali?" Istri Gundali menggeleng.
Wiro diam sejenak sambil
tangannya tidak berkeputusan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Apakah suamimu punya
musuh di kota Magelang ini atau di tempat lain…?"
"Setahuku tidak. Meskipun
miskin tapi suamiku adalah orang baik-baik. . . ."
Wiro Sableng menghela nafas
panjang. Dia berpikir apa lagi yang hendak ditanyakannya. Kemudian dia ingat.
"Mungkin suamimu pernah
menceritakan sesuatu sehubungan dengan pekerjaannya sebagai penjaga keamanan di
penginapan Candi? Coba kau ingat-ingat mbakyu."
"Sesuatu apa?" balik
bertanya janda Gundali tak mengerti.
"Misalnya. . . mungkin
suamimu pernah menceritakan tentang tamu-tamu di penginapan…?"
Perempuan itu termenung
sejenak, kemudian dia anggukkan kepala. "Memang kadang-kadang dia pernah
bicara soal tetamu-tetamu. Tapi apa sangkut pautnya itu dengan kematian
suamiku?"
Wiro Sableng tak perdulikan
pertanyaan perempuan itu. Malah berkata. "Pernah suamimu menerangkan
tentang seorang tetamu lelaki muda, yang datang menginap bersama seorang gadis
cantik. Dan tamu lelaki itu kemudian memberikan dua tail perak pada suamimu….
?"
Sepasang mata istri Gundali
membesar dan memandang lebar-lebar pada Wiro Sableng.
"Memang ada,"
katanya, "dan pemuda itu memberi tambahan tiga tail lagi sewaktu
meninggalkan penginapan."
"Hemm… jarang orang yang
sebaik itu."
"Kau lebih baik dari dia.
Kau barusan memberikan dua keping uang emas padaku."
"Itu karena aku sahabat
suamimu," jawab Wiro pula berdusta padahal sebetulnya dia ingin mengorek
keterangan di samping memang berniat membantu perempuan yang kematian suami
itu. "Apa saja yang diceritakan suamimu mengenai muda-mudi itu selain
hadiah lima tail perak tersebut."
"Aku tak bisa
menceritakannya. Aku malu …" kata janda Gundali pula.
Wiro kerenyitkan kening dan
garuk-garuk kepala. "Memangnya kenapa. . . ? Dengar, aku ingin membantumu menangkap
dan menghukum pembunuh suamimu. Kurasa aku bakal dapat mengetahui siapa orang
nya. Tapi tanpa keterangan yang memberikan bukti-bukti darimu sulit bagiku . .
. ."
"Suamiku pernah
menceritakan tentang seorang pemuda asing, berambut gondrong. Dia meragukan
kesehatan pikiran orang itu. Agaknya kaulah orangnya, bukan?"
Wiro Sableng jadi
menggerendeng dalam hati.
"Mbakyu, siapa aku,
apakah orang gila atau setengah gila kuharap tak usah diperdulikan. Yang
penting pembunuh suamimu itu harus dihukum. Kalau dia masih berkeliaran di luar
bukan mustahil keselamatanmu dan puteri tunggalmu ini akan terancam pula."
Kelihatan bayangan rasa takut
pada wajah janda Gundali.
"Baiklah," kata
perempuan ini pada akhirnya. "Waktu itu sudah larut malam. Suamiku mematikan
lampu-lampu tertentu dalam penginapan. Sewaktu dia sampai di ujung gang pada
bagian mana muda-mudi itu menginap, dilihatnya si pemuda berdiri di depan pintu
kamar si pemudi, mengetuk perlahan-lahan. Kemudian pintu kamar terbuka, tamu
lelaki masuk ke dalam dan pintu dikunci kembali. Karena mengetahui kalau
sepasang muda-mudi itu adalah murid-murid Partai Lawu Megah yang berkepandaian
tinggi, dia tak berani berbuat apa-apa, apalagi menegur meskipun nyatanyata
masuk ke dalam kamar seorang gadis pada malam hari adalah perbuatan yang tidak
senonoh. Kemudian karena ingin tahu apa yang sebenarnya diperbuat oleh
murid-murid Lawu Megah itu suamiku keluar dan dari luar melakukan pengintaian
lewat celah-celah papan dinding. . . ."
Sampai disini janda Gundali
terdiam.
"Bagaimana terusnya? Apa
yang dilihat suamimu?" tanya Wiro tak sabaran.
"Dua orang itu
betul-betul melakukan perbuatan yang tidak senonoh! Mereka tengah
berpeluk-pelukan. Kemudian pindah ke ranjang. Kemudian mereka kelihatan
menanggalkan pakaian di tubuh masing-masing. Dan melakukan perbuatan mesum
itu…!"
Wiro keluarkan suara bersiul
dan mulutnya.
"Karena merasa jengah
suamiku tidak meneruskan pengintaian. Tapi kira-kira satu jam kemudian sewaktu
dia kembali mengintai, didengarnya dua orang itu bicara berbisik-bisik. Si
gadis mengatakan perasaan kawatirnya karena saat itu katanya dia telah hamil
jalan tiga bulan. . . ."
Wiro melengak kaget.
"Kalau begitu mereka melakukan hubungan sudah sejak lama!"
Janda Gundali mengangguk.
"Agaknya begitu. Rupanya mereka sudah mencoba mencari obat untuk
menggugurkan kandungan. Tapi sia-sia belaka. Kalau Tuhan punya kuasa minum obat
apapun kandungan itu tak bakal gugur! Suamiku mendengar si pemuda berkata bahwa
satu-satunya orang yang bisa menggugurkan kandungan itu adalah Resi Kumbara,
bekas ketua Partai Lawu Megah. Tetapi tentu saja mereka tidak bisa
melakukannya. Maka suamiku mendengar keduanya berunding. Yang pemuda rupanya
dapat akal keji. Dia menyebut-nyebut pemuda gondrong ceriwis yang juga menginap
di penginapan itu. Lalu tentang kancing baju milik orang itu yang tanggal dan
ditemuinya dekat kaki kursi. Dari pembicaraan jelas bahwa mereka tengah
mengatur rencana busuk, hendak mengambing hitamkan pemuda asing yang agaknya
adalah kau sendiri. Rupanya lelaki muda itu seperti mengetahui kalau ada orang
di dekat kamar karena dia kemudian membuka jendela. Untung saja suamiku
cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan pura-pura buang air kecil di balik
pohon. Namun agaknya pemuda itu menaruh curiga. Itulah sebabnya dia menambahkan
tiga perak lagi ketika hendak pergi. Maksudnya agar suamiku tidak membuka
rahasia malam itu."
"Cukup. . . . cukup dan
terima kasih atas keteranganmu itu. Tahukah kau sekarang siapa yang membunuh
suamimu malam ini? Pemuda bangsat itu. Namanya Tandu Wiryo. Dan si gadis mesum
itu bernama Sularwasihl"
Si janda terpekik kecil dan
memandang melotot pada Wiro.
Pendekar 212 pegang bahu janda
Gundali dan berkata. "Bila tiba nanti waktunya, aku akan bawa kau kepuncak
Lawu!" Habis berkata begitu Wiro tinggalkan perempuan yang kemudian
kembali menangis bersedu-sedu sambil peluki puterinya yang kini telah jadi anak
yatim.
11
JEJAK pendekar Pedang Akhirat
lolos dari puncak gunung Lawu bersama Wiro Sableng timbullah kecurigaan penuh
diantara para paderi dan semua anak murid partai yakni jika tidak dengan
bantuan Resi Kumbara, kedua orang itu pasti tidak bakal dapat melarikan diri.
Pintu rahasia dari terowongan yang menembus gunung ada dalam tempat pengasingan
bekas ketua partai itu. Nyata sudah bahwa Resi Kumbara telah membantu Wiro
dansi kakek muka tengkorak.
Hal ini membuat pihak-pihak
yang memang tidak menyukai Resi Kumbara menjadi marah, termasuk Resi Tumbal
Soka sendiri. Suasana di gunung Lawu hari-hari kelihatan tenang-tenang saja.
Namun ketenangan ini tidak beda laksana api dalam sekam yang sewaktu-waktu
pasti meledak. Dan ledakan itu nyatanya terjadi juga yakni empat minggu
kemudian.
Atas perintah Resi Tumbal Soka
semua paderi yang memegang pucuk pimpinan dikumpulkan di gedung perundingan.
Diluar gedung menjaga murid-murid partai kelas satu.
"Saudara-saudara separtai
yang aku cintai," Resi Tumbal Soka angkat bicara. "Kita semua sama
tahu bagaimana keadaan sesungguhnya dalam tubuh partai kita sejak lolosnya dua
orang manusia terkutuk itu. Rasanya tak perlu lagi dibentangkan panjang lebar
bagaimana mereka bisa lolos atau siapa yang memberi jalan pada mereka. Saat ini
aku mengumpulkan kalian semua adalah untuk membicarakan soal tanggung jawab
yang harus kita tuntut pada bekas ketua kita. Resi Kumbara meskipun adalah
bekas ketua yang kita hormati bahkan kakak kandungku sendir, namun jika berbuat
kesalahan bahkan penghianatan musti kita tuntut dan mintakan pertanggungan
jawabnya. Untuk itu mari kita beramai-ramai mendatangi tempat
persamadiannya!"
Sebelum paderi-paderi itu
berdiri, tiba-tiba salah seorang dari mereka mendahului dan tegak menghadang di
pintu. Paderi ini adalah Resi Permana yakni, paderi yang memimpin mereka yang
ingin melihat Partai Lawu Megah kembali pada masa jaya seperti dibawah pimpinan
Resi Kumbara dulu bahkan berharap agar Resi Kumbara sudi memegang jabatan ketua
kembali.
"Saudara-saudaraku
separtai," kata Resi Permana sambil rangkapkan tangannya didepan dada.
"Sebelum bertindak pikirkan baik-baik lebih dulu. Mengganggu kakak yang sedang
bersamadi saja sudah merupakan perbuatan tidak sopan. Apalagi hendak
menuntutnya. Dan secara beramai-ramai seperti ini, seperti gerombolan yang
datang menggarong saja!"
Mendengar ucapan saudara
seperguruannya itu merah padamlah wajah Resi Tumbal Soka. Dia maju ke hadapan
Resi Permana dan dengan nada keras marah menegur:
"Resi Permana! Kau sudah
keblinger atau bagaimana sampai berkata dernikian? Sudah terbukti kakak salah,
kau masih hendak membela. Rupanya kau bersekongkol jadi pengkhianat?!"
"Berkhianat suatu hal
yang keji, aku tahu hal itu," sahut Resi Permana pula. "Dan berlaku
kurang ajar pada leluhur tidak jauh kejinya dari berkhianat. Jangan kau berani
menuduh Resi Kumbara telah berkhianat. Kesalahannya memang nyata. Tetapi aku
rasa kakak tidak akan terlalu bodoh meloloskan orangorang itu begitu saja. Aku
yakin ada perjanjian tertentu yang mengikat diantara mereka!"
"Berjanji dengan
musuh-musuh partai justru adalah kesalahan yang harus dipertanggung jawabkan
pula!" tukas Resi Tumbal Soka. "Jika kau tidak ingin bersatu dengan
kami, menyingkirlah dari pintu itu!"
Resi Permana dalam hati marah
setengah mati terhadap Resi Tumbal Soka. Jika saja paderi itu tidak
dihormatinya sebagai ketua niscaya dia tidak segan-segan untuk berdebat mulut
lebih jauh. Bahkan tidak gentar melakukan kekerasan. Diam-diam dia menyesali
kenapa Resi Kumbara dulu menyerahkan jabatan ketua pada paderi ini.
Resi Permana menghindar dari
pintu. Tiga orang paderi lainnya, yang sama sefaham dengan Resi Permana tegak
disamping paderi ini, tak mau ikut bersama ketua Partai Lawu Megah dan paderi
lainnya. Resi Tumbal Soka memandang pada mereka berempat dengan pandangan
menyorot. Lalu dengan nada sinis dia berkata.
"Bagus! Jadi inilah
contohnya empat paderi yang jadi puntung-puntung pengkhianat. Kelak para pucuk
pimpinan akan mengadakan rapat untuk merundingkan tindakan apa yang bakal
dilakukan atas diri kalian!"
"Ketua, aku mohon sekali
lagi agar kau suka memikirkan tindakan ini sebelum melakukannya", kata
Resi Permana merendah dan sabar.
Pelipis Resi Tumbal Soka
kelihatan bergerakgerak saking marahnya. Dia menyemprot.
"Sebaiknya kau pikirkan
paderi-paderi dan murid murid partai yang mati dibunuh oleh kedua keparat itu
di kaki gunung begitu keluar dari terowongan rahasia!"
"Itu salah mereka
sendiri. Kenapa menghadang dan mengeroyok dengan sengaja!" sahut Resi
Permana.
Jika tidak dapat menindih
kemarahannya mungkin ketua Partai Lawu Megah sudah menampar Resi Permana saat
itu. "Kalau toh mereka yang terbunuh itu bisa datang dan bicara, pasti
mereka akan menyumpah dan mengutukmu habis-habisan!" Resi Tumbal Soka
bantingkan kakinya ke lantai hingga ubin ruangan amblas lalu putar tubuh
tinggalkan paderi Permana yang cuma tegak terdiam dan menarik nafas panjang
berulang kali.
***
SEPERTI biasanya Resi Kumbara
yang sudah lanjut usia itu ketika didatangi oleh adiknya bersama delapan paderi
utama tengah tenggelam dalam kekhusukan samadi. Namun begitu Resi Tumbal Soka
dan paderipaderi lainnya sampai di hadapannya, bekas ketua partai ini tiba-tiba
saja buka matanya yang terpejam dan hentikan samadinya. Dia memandang pada
adiknya dan semua paderi yang ada di situ dengan tersenyum. Dia tidak melihat
paderi Permana dan tiga paderi lainnya, tetapi tak mau bertanya.
"Adikku," Resi
Kumbara justru yang lebih dulu buka pembicaraan. "Kau dan saudara-saudara
lainnya tak usah menerangkan lagi panjang lebar maksud kedatangan kalian. Aku
sudah dengar semua pembicaraanmu di ruangan perundingan. . . ."
Resi Tumbal Soka dan delapan
paderi lainnya tidak terkejut karena mereka mengetahui kalau paderi tua itu
memiliki semacam ilmu pendengaran jarak jauh yang luar biasa.
Setelah memandang pada
saudara-saudara seperguruannya. Resi Tumbal Soka lantas menjawab,
"Syukurlah kalau kakang sudah mengetahui hingga kami tidak perlu
mengganggumu lama-lama."
Resi Kumbara manggut-manggut
sambil usap-usap janggutnya yang putih. "Aku mengakui bahwa memang akulah
yang membantu Pendekar Pedang Akhirat dan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu
melarikan diri lewat terowongan. Tetapi dengan syarat tertentu yaitu si Pedang
Akhirat itu harus mengantarkan sendiri kepala Wiro Sableng padaku jika nanti
terbukti bahwa dia benar-benar bersalah. Di samping itu karena keteledorannya
si kakek harus pula bunuh diri di hadapanku."
"Kakang percaya pada
janji manusia-manusia busuk macam mereka?" tukas Resi Tumbal Soka.
"Aku betul-betul tak mengerti."
"Soal busuk mereka belum
ketahuan adik. Ada orang yang di luaran kelihatannya kotor jahat, tetapi
hatinya putih bersih. Sebaliknya ada orang yang berpakaian bagus, baik budi
bahasa, manis tutur bicaranya, berlagak pegang disiplin dan aturan, tetapi di
dalamnya keji keropok."
Resi Tumbal Soka terdiam
mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian dia baru berkata. "Tapi
bagaimanapun kakak tetap salah."
"Betul, aku tahu hal
itu…" jawab bekas ketua partai Lawu Megah itu." Sebagai jaminan atas
perjanjian itu, Wiro Sableng telah menyerahkan senjata mustika warisan gurunya.
…" Dari balik jubah putihnya Resi Kumbara kemudian keluarkan Kapak Maut
Naga 212.
Baik Tumbal Soka maupun
delapan paderi lainnya sama membeliak kaget dan kagum melihat senjata aneh yang
memancarkan sinar terang berkilauan itu.
"Ini betul-betul bukan
senjata sembarangan dan agaknya tak ada duanya di jagat ini," membathin
Resi Tumbal Soka. Dan dalam hatinya timbullah niat buruk untuk memiliki kapak
sakti ini. Setelah memutar otak licinnya sesaat maka berkatalah dia.
"Kakak, senjata itu
terpaksa kami sita sebagai barang bukti. Bukti bahwa kau telah disuap oleh dua
orang jahat itu agar mereka bisa lolos."
Resi Kumbara tertawa jumawa
mendengar kata-kata adiknya itu. Dia sendiri maklum apa yang berada dalam hati
sang adik.
"Aku sudah mengatakan hal
yang sebenarnya. Jika kau menganggap ini barang sogokan dan hendak menyitanya,
aku tak keberatan. Cuma aku pesankan, jika nanti terbukti pemuda itu tidak
bersalah, kau harus kembalikan kapak itu padanya."
Habis berkata begitu Resi
Kumbara serahkan Kapal Maut Naga Geni 212 pada adiknya yang segera diambil oleh
Resi Tumbal Soka dan disimpannya di balik jubah.
"Sekarang apa lagi maumu,
adik?" bertanya Resi Kumbara.
"Sesuai dengan peraturan,
kakak terpaksa kami masukkan dalam penjara," kata Resi Tumbal Soka pula.
Resi Kumbara menarik nafas
panjang.
"Nasibku memang
sial," kata kakek ini, "Jika memang begitu menurut aturan aku tidak
akan membantah. Di penjara manakah aku hendak kalian jebloskan?"
Patut diketahui bahwa di
gunung Lawu terdapat tiga macam penjara. Yang pertama penjara berdinding batu
biasa. Kemudian penjara dibawah sebuah mata air yang amat dingin hingga siapa
yang masuk di sana akan merasakan seolah-olah dipendam dalam salju. Penjara ini
disebut Penjara Salju. Yang ketiga adalah Penjara Api. Disini hawanya panas
sekali karena pada sebelah luarnya di kelilingi oleh kobaran api.
Setelah berpikir sejenak Resi
Tumbal Soka berkata, kata, "Untuk sementara kakak kami tempatkan di
Penjara Biasa saja."
"Terima kasih,"
jawab Resi Kumbara sambil tersenyum dan berdiri. Baru saja dia hendak digiring
keluar ruangan samadi tiba-tiba berkelebatan empat sosok tubuh berjubah putih.
Di lain kejap Resi Permana dan tiga orang paderi yang setia padanya sudah
berdiri menghadang di pintu.
"Siapa yang berani
menjebloskan kakak ke penjara akan berurusan dulu denganku!" kata Resi
Permana lantang.
Melihat gelagat yang tidak
baik ini Resi Tumbal Soka segera maju menghadapi sambil bertolak pinggang.
"Aku ketua partai. Hitam
kataku harus hitam. Putih musti putih! Kau punya hak apakah bicara seperti
itu?!"
"Peduli setan dengan
segala hak! Seorang ketua yang baik tidak akan melakukan perbuatan seperti ini
terhadap orang yang menjadi kakak kandungnya. Apalagi yang telah mengangkatnya
sebagai ketua. Resi Tumbal Soka, aku harap kau bawa saudarasaudara yang lain
ini keluar dari sini. Kalau tidak niscaya terjadi pertumpahan darah
disini."
"Hemm. . . . Kau berani
berkata begitu terhadapku, paderi Permana. Sungguh besar nyalimu! Minggirlah
sebelum aku betul-betul marah!"
"Kau yang harus
menyingkir dari tempat ini!" teriak Resi Permana pula.
"Kurang ajar! Saudara-saudara,
tangkap pemberontak ini!" Seru Resi Tumbal Soka pada delapan paderi.
Segera delapan paderi yang
diperintahkan bergerak mengurung Resi Permana. Tiga paderi yang datang bersama
paderi Permana melihat ini segera pula bersiap-siap.
"Bagus! Kalian berempat
akan kujebloskan ke dalam Penjara Api!", teriak Resi Tumbal Soka marah.
Sehabis berteriak begitu ketua Partai Lawu Megah ini mendahului turun tangan,
lepaskan satu pukulan tangan kosong kearah Resi Permana yang saat itu sudah
alirkan pula tenaga dalamnya ke lengan jubah, siap untuk menangkis dan balas
menggempur. Sebelum pukulan tangan kosong Resi Tumbal Soka menghantam tiba-tiba
paderi ini rasakan bahunya dipegang orang dari belakang demikian keras hingga
dia bukan saja tak mampu menggerakkan tangan untuk memukul tetapi juga
seolah-olah dipantek kaku. Berpaling ke belakang Resi Tumbal Soka lihat
kakaknya tersenyum padanya.
"Sabar adik, bukan dengan
saudara sendiri ilmu kepandaian dipakai untuk menyerang!" Kemudian pada
Resi Permana dia berkata, "Paderi Permana, kedudukanmu tidak memungkinkan
kau dan saudara-saudara membelaku. Caranya juga salah. Kau harus hormat dan
patuh pada Resi Tumbal Soka …. "
Resi Permana gigit bibirnya
sampai berdarah saking kesal hatinya.
"Menghindarlah dari pintu
itu, paderi Permana. Biar mereka menggiring aku ke penjara. Soalnya aku memang
salah!"
Untuk beberapa lamanya Resi
Permana cuma berdiri tegak sambil geleng-gelengkan kepala. Kemudian dia
berkata. "Kalau begitu biar aku dan tiga paderi ini ikut bersamamu
dijebloskan dalam penjara!" katanya.
"Terima kasih kalau kau
memang bersedia menemaniku." ujar Resi Kumbara pula.
"Berkawan adalah lebih
baik dari pada sendirian. Apalagi dalam penjara!"
Maka kelima paderi gunung Lawu
itu kemudian digiring dan ramai-ramai dijebloskan dalam Penjara Biasa.
12
HANYA BEBERAPA JAM saja
sesudah Resi Kumbara, Resi Permana dan tiga orang paderi lainnya itu dimasukkan
ke dalam Penjara Biasa maka di jalan kecil pada lereng gunung Lawu kelihatan
sebuah kereta bertenda ditarik oleh dua ekor kuda yang tegaptegap, mel-ncur
mendaki dengan cepat. Bertindak sebagai sais dari kereta ini adalah seorang
pemuda berambut gondrong. Dia memegang les kuda sambil bersiul-siul nyaring
entah membawakan lagu apa. Pemuda ini bukan lain adalah murid Eyang Sinto
Gendeng dari gunung Gede atau Pendekar 212 Wiro Sableng. Disamping Wiro duduk
seorang perempuan separuh baya berwajah pucat ketakutan karena jalannya kereta
begitu kencang. Perempuan ini adalah janda Gundali. Di sebelah belakang duduk
pula seorang perempuan bertubuh gemuk berambut putih. Seperti istri Gundali
perempuan inipun ketakutan setengah mati naik kereta yang dipacu sekencang itu,
apalagi jalan kecil mendaki dan kiri kanan diapit jurang. Dia duduk berpegang
erat-erat, kedua matanya dipejamkan. Dia adalah tukang sayur di Magelang.
Ketika melewati sebuah
tikungan tajam dalam kecepatan tinggi, tiba-tiba dari lamping batu dikiri jalan
yang tingginya hampir lima belas tombak, melayang dua sosok tubuh. Janda
Gundali berteriak kaget, begitu juga tukang sayur yang membuka matanya karena
mendengar jeritan itu. Dua orang yang melompat dari atas lamping batu tinggi
itu, jatuh tepat diatas kereta yang tengah bergerak cepat, tanpa menimbulkan
suara sama sekali!
Wiro berbaling ke belakang.
Dia keluarkan suara siulan keras ketika mengenali siapa adanya dua orang yang
barusan melompat ke dalam kereta. Mereka bukan lain ialah Pendekar Pedang
Akhirat dan Wilarani yang tempo hari mengobati dan merawat Wiro Sableng.
"Senang bertemu denganmu
kembali, Wilarani!" kata Wiro dan memecut kuda penarik kereta agar lebih
cepat.
"Amboi! Apakah kau juga
senang bertemu denganku, Wiro? Kau hanya menegur gadis cantik ini!
Mentang-mentang aku sudah tua bangka!" berkata si kakek.
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kalian berdua hendak
membonceng kemanakah?!" tanya Wiro.
"Jalan buruk dan sukar,
panas pula. Bukankah lebih baik membonceng bersama kalian? Kita mempunyai
tujuan yang sama. Puncak gunung keparat ini!" jawab si kakek.
"Untuk menyerahkan
kepalaku pada Resi Kumbara?", tanya Wiro bergurau.
"Mungkin juga kepalaku
sekalian!" sahut Pendekar Pedang Akhirat. Lalu keduanya sama-sama tertawa.
Setelah melewati pertengahan
lereng Gunung Lawu kedatangan mereka ini sudah diketahui oleh muridmurid Partai
Lawu Megah yang melakukan penjagaan di tempat tinggi. Laporan segera dikirimkan
pada ketua partai. Resi Tumbal Soka segera memanggil beberapa orang paderi
kepercayaannya. Mereka bicara di satu ruangan tertutup selama sepuluh menit
kemudian bubar.
Sementara itu Wiro dan
kawan-kawannya masih terus memacu kuda-kuda kereta dijalan buruk mendaki itu.
Disatu tempat dimana sebelah kiri membentang jurang dalam sedang disebelah
kanan menjulang gunung batu tinggi, tiba-tiba terdengar suara menggemuruh
seolah-olah datang dari langit. Semua orang mendongak ke atas dan serentak
menjadi kaget. Tiga buah batu raksasa menggemuruh menggelinding ke bawah. Janda
Gundali dan perempuan gemuk tukang sayur menjerit ketakutan sambil pejamkan
mata dan tutup kepala dengan telapak tangan.
"Celaka! Matilah kita
semua!" seru Pendekar Pedang Akhirat. Wiro sendri garukgaruk kepala
kebingungan dan hentikan kereta.
"Wiro kau hantam batu
yang sebelah kanan, aku yag sebelah kiri. Batu ketiga elakkan! Dua perempuan
ini dibawa keluar kereta dan kau Wilarani, jangan bertindak ayal! Cepat!"
Mendengar kata-kata kakek muka
tengkorak itu Wiro Sableng segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan lalu
lepaskan pukulan "sinar matahari", menghantam batu besar di sebelah
kanan. Dibagian belakang kereta si kakek telah lepaskan pula pukulan tangan
kiri yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Terdengar suara berdentum sewaktu
pukulan-pukulan sakti itu menghancur-leburkan dua batu besar yang melayang
turun kebawah. Sehabis memukul hancur si kakek dan Wiro Sableng melesat dari
kereta sedang Wilarani merangkul janda Gundali serta Pedagang sayur, melompat
ke tempat yang aman. Batu raksasa ketiga jatuh menggemuruh dan tepat menghantam
kereta. Kereta dan dua ekor kuda itu tertindih lumat! Mengerikan untuk
disaksikan!
"Keparat haram jadah!
Orang-orang Partai Lawu Megah itu benar-benar minta dihajar!" maki Wiro
seraya bersihkan muka dan pakaiannya dari debu hancuran batu.
"Sudah, jangan memaki
saja sobatku! Mari kita lanjutkan perjalanan. Kau dukunglah nyonya gemuk itu,
aku akan menggendong janda Gundali. Kalau tidak, kita akan terlalu lama sampai
di puncak Gunung Lawu."
Habis berkata hegitu si kakek
sambar tubuh janda Gundali, terus membawa lari. Wiro menggerendeng garuk-garuk
kepala karena dia kebagian perempuan gemuk buntak itu, sementara Wilarani tertawa
geli, lambaikan tangan pada Wiro dan berkelebat mengikuti si kakek. Wiro
berpaling pada perempuan tukang sayur yang saat itu tegak menggigil sambil
pejamkan mata.
"Hai, gemuk! Marilah
kugendong kau!" seru Wiro seraya tampar pantat perempuan itu lantas
memanggulnya di bahu kanan. Si gemuk berteriak kaget, di lain kejap dia kembali
pejamkan matanya karena ngeri dibawa lari demikian cepatnya!
Setelah melewati jalan yang
sulit, dua jam kemudian sampailah mereka di puncak Gunung Lawu. Tak seorangpun
kelihatan sedang suasana tampak sunyi saja. Justru hal ini membuat tidak enak.
Ketegangan yang tersembunyi. menggantung diseantero tempat. Tepat pada saat
Wiro dan kawan-kawannya sampai di tengah lapangan terbuka, maka dari mana-mana
muncullah puluhan murid partai dan paderi-paderi. Sekali memandang saja Wiro
dan si kakek serta Wilarani sudah mengetahui kalau mereka semua telah terkurung
rapat.
Si kakek berbisik pada Wiro,
"Bagaimana sekarang?"
"Kau saja dulu yang buka
pembicaraan kakek. . . ." sahut Wiro.
"Tapi sebelum bicara
apakah aku boleh tertawa dulu?" tanya si kakek muka tengkorak masih bisa
bergurau.
"Tertawalah sepuasmu,
kalau nanti sudah mati kau tak bakal bisa lagi tertawa," jawab Wiro
setengah mengomel.
Wilarani senyum-senyum geli
melihat kelakuan kedua orang itu. Setelah menurunkan janda Gundali dari
panggulannya, si kakek memandang berkeliling lalu mulai tertawa. Mula-mula
perlahan-lahan, kemudian makin keras, makin keras dan panjang meninggi hingga
orang yang disitu merasakan bagaimana tanah yang mereka pijak bergetar akibat
suara tertawa dahsyat si kakek muka tengkorak.
"Orang-orang Gunung Lawu!
Penyambutan kalian ini masih kurang lengkap! Mana ketua kalian?" tiba-tiba
si kakek berseru.
Dari bangunan bertingkat di
sebelah kiri lapangan, terdengar jawaban. "Aku disini pendekar tua!"
Memandang ke jurusan itu kelihatan Resi Tumbal Soka berdiri di beranda tingkat
atas. Disebelah kirinya tegak Tandu Wiryo dan Sularwasih. Disamping kanan
berdirl dua orang paderi. Semua memandang dengan mata berapi-api. "Bagus
kalian datang sendiri mengantar nyawa hingga kami tak perlu susah-susah
mencari…!"
Si kakek berpaling pada Wiro,
kedipkan matanya lalu kedua orang ini tertawa cekakakan.
"Kami datang mengantar
nyawa katamu? Sungguh lucu sekali kedengarannya.
Bagaimana kalau aku katakan
bahwa kami datang untuk minta beberapa nyawa orang Partai Lawu Megah hari ini
heh!!"
Resi Tumbal Soka mendengus
marah. Di sebelahnya Tandu Wiryo berkata, "Kita tak perlu berdebat panjang
dengan bangsat-bangsat ini. Izinkan saya dan para paderi menghajarnya saat ini
juga!" Suara Tandu Wiryo bergetar bukan saja karena marah tetapi juga
karena takut luar biasa yakni setelah dia mengenali Isteri Gundali!
"Kau sabarlah muridku.
Serahkan semuanya padaku." jawab Resi Tumbal Soka pula.
Di bawah terdengar Wiro
Sableng buka suara.
"Ketua Partai Lawu Megah,
aku dan orang-orang ini datang untuk meneruskan kembali urusan yang
terbengkalai tempo hari!"
"Bagus! Kali ini kau tak
akan mampus digantung, tapi lumat dicincang!" yang menjawab adalah
Sularwasih.
Wiro Sableng keluarkan siulan.
"Amboi Warsih, kau ini tambah cantik saja. Tambah
gemuk malah. Apakah kau
sehat-sehat saja selama ini, tidak muntah-muntah … ?!"
Mendengar kata-kata itu
berubahlah paras Sularwarsih. Tubuhnya menggigil sedang di sebelahnya Tandu
Wiryo kelihatan pucat pasi. Jelas pemuda asing itu sudah tahu rahasia mereka
berdua. Sementara itu yang lain-lain, termasuk Pendekar Pedang Akhirat tampak
agak heran mendengar ucapan Wiro tadi sedang Wilarani mulai menduga-duga. Tiba-tiba!
Sret! Sret!
Tandu Wiryo dan Sularwasih
cabut pedang mereka, berteriak keras dan sambitkan senjata itu kebawah. Laksana
anak panah pedang Tandu Wiryo melesat kearah Wiro Sableng sedang pedang
Sularwasih menyambar kearah janda Gundali!
13
PENDEKAR Pedang Akhirat merasa
kaget dan heran kenapa Sularwasih menyerang janda Gundali dengan lemparan
pedangnya yang ganas. Disamping itu kakek ini juga jadi marah sekali.
"Sungguh orang-orang
partai Lawu Megah tak tahu aturan dan peradatan!" teriak kakek ini.
"Ini kukembalikan pedangmu Warsih." Sekali dorongkan tangan kirinya
ke depan maka pedang Sularwasih kelihatan tertahan di udara, kemudian melesat
membalik menyerang pemiliknya sendiri. Demikian derasnya luncuran pedang hingga
Sularwasih tak berani menyambut, buru-buru mengelak. Pedang itu menancap pada
langitilangit bangunan tingkat dua.
"Aku pun juga tidak butuh
pedangmu manusia Tandu Wiryo. Ambillah kembali!"
terdengar Wiro berseru. Ketika
pedang menyerang ke arahnya, pendekar ini berkelit ke samping. Dari samping dia
pukul gagang pedang hingga senjata itu mental tegak lurus ke atas. Begitu turun
kembali Wiro pukul belakang gagangnya. Kini pedang itu laksana kilat menyambar
ke arah Tandu Wiryo. Seperti juga dengan pedang Wasih, senjata ini melesat danmenancap
pada langit-langit ruangan tingkat dua.
"Kalian semua
dengar," tiba-tiba si kakek berteriak keras, membuat semua orang terdiam
tegang. "Sebelum aku dan sobat muda ini meneruskan pembicaraan aku harap
agar Resi Kumbara hadir di sini untuk mendengarkannya."
Resi Tumbal Soka tertawa
mengejek.
"Orang tua itu tak ada
urusan dengan kalian. Aku ketua Partai Lawu Megah yang menentukan hitam atau
putih disini."
"Baik! Tetapi jika nanti
kau mengambil keputusan secara tidak adil, ingat Tumbal Soka! Aku sudah tua dan
sudah jemu hidup di dunia ini. Mati bukan apa-apa bagiku. Tapi kematianku kelak
harus disertai dengan sekurang-kurangnya tiga puluh nyawa orang-orang Gunung
Lawu termasuk kau!"
Resi Tumbal Soka mendengus.
"Tua bangka sombong takabur. Lekas kemukakan persoalanmu sebelum kau
danbangsat gondrong itu kami cincang lumat."
Si kakek berpaling pada Wiro
Sableng, anggukkan kepala seraya berkata. "Selesaikan urusanmu, sobat
muda."
Wiro garuk-garuk kepala
beberapa kali lalu buka mulut.
"Ketua Resi Tumbal Soka!
Dulu kalian telah menuduhku secara membabi buta sebagai orang yang telah
merusak kehormatan nona Warsih. Hari ini aku datang untuk membeberkan persoalan
yang sebenarnya lengkap dengan saksi-saksi."
"Saksi-saksi palsu!"
teriak Tandu Wiryo.
"Sssst!" Wiro
palangkan jari telunjuknya diatas bibir. "Jika kau tidak diminta bicara,
belajarlah sopan santun berdiam diri!" kata-kata dan sikap Wiro yang lucu
tapi mengejek itu membuat Tandu Wiryo laksana terpanggang sementara Sularwasih
sendiri menggigil tubuhnya. Wiro lanjutkan kata-katanya.
"Sejak semula aku merasa
ada yang tidak beres di balik semua kejadian keji itu. Aku sengaja dijadikan
kambing hitam. Dan orang yang mengatur semua rencana keji itu adalah murid
Partai Lawu Megah sendiri. Itu mereka…. yang bernama Sularwasih danTandu
Wiryo."
"Bangsat! Kau berani
menuduh kurang ajar," teriak Tandu Wiryo dan hendak melompat turun dari
tingkat atas, tapi seorang paderi cepat mencegahnya.
"Tandu Wiryo! kenapa kau
kelihatan begitu sewot. Apa hendak menyembunyikan rasa takutmu…?" kembali
Wiro menempelak dengan ejekannya.
Mulut Tandu Wiryo kelihatan
komat kamit entah menyumpah apa. Sambil cengar cengir Wiro kemudian lanjutkan
kata-katanya. "Dua murid Partai Lawu Megah itu nyatanya sudah sejak lama
melakukan hubungan gelap, entah di luaran entah di puncak Gunung Lawu ini.
Pokoknya yang jelas hubungan terkutuk itu telah membuat Sularwasih hamil alias
bunting alias mengandung alias berbadan dua. Kalian dengar semua?! Sularwarsih
bunting akibat hubungannya dengan Tandu Wiryo.
Hal ini membuat mereka takut
dan berusaha menggugurkan kandungan. Tetapi telah kasip. Mereka mencari akal
untuk menyelamatkan diri dan sewaktu aku bertemu dengan mereka di penginapan
Candi. Magelang, ternyata akulah yang mereka jadikan bulan-bulanan kambing
hitam. Sekarang Sularwarsih sudah hamil memasuki empat bulan. Jika kalian tidak
percaya silahkan geledah perutnya."
Kata-kata Wiro yang tandas itu
membuat semua orang kaget laksana disambar petir.
"Tidak! Tidak! Dia
berdusta!" tiba-tiba Sularwarsih berteriak. Gadis ini tutup mukanya dengan
telapak tangan, lalu tanpa diduga siapapun dia melompat dari tingkat dua itu ke
genting bangunan di sebelahnya dan lenyap.
Pendekar Pedang Akhirat
berseru. "Resi Tumbal Soka apa kau tidak memerintah orang-orangmu untuk
mengejar dan menangkap gadis bunting itu?"
Wajah Resi Tumbal Soka membesi
merah padam.
"Hal itu bisa dilakukan
nanti. Toh dia mau lari kemala! Yang penting pemuda gondrong ini harus
mempertanggung jawabkan tuduhan kejinya itu."
Wiro tertawa mengejek.
"Ketua! Tuduhan bukan cuma tuduhan membabi buta dan palsu seperti yang
pernah dilakukan orang-orang Partai Lawu Megah terhadapku. Aku datang lengkap
membawa dua saksi hidup." Wiro berpaling pada janda Gundali dan berkata, "Perempuan
ini sekarang menjadi janda karena suaminya telah dibunuh oleh Tandu
Wiryo."
Kembali semua orang jadi
gempar.
"Suaminya bekerja di
Penginapan Candi di Magelang dan secara kebetulan telah mengintip perbuatan
mesum Tandu Wiryo dengan Sularwasih, bahkan mendengar juga pembicaraan mereka
hendak mencelakakan akau Mbakyu, kau tuturkan sendirilah semua apa yang kau
ketahui!"
Dengan tersendat-sendat janda
Gundali ceritakan apa yang pernah diterangkan suaminya padanya. Lagi-lagi
gunung Lawu menjadi gempar. Disaat itu tiba-tiba Tandu Wiryo putar tubuh hendak
melarikan diri tapi dari bawah Pendekar Pedang Akhirat yang sejak tadi
mengawasi pemuda ini cepat jentikkan jarinya, kirimkan totokan jarak jauh yang
lihay hingga detik itu juga Tandu Wiryo tak mampu berkutik lagi!
"Bagus…. bagus! Semua
mulai terang kini! Yang busuk mulai kelihatan belangnya!
Ayo sobatku sekarang aku ingin
tahu tentang perempuan gemuk ini. Siapa dia!" seru si kakek pula.
"Perempuan ini adalah
pedagang sayur mayur yang menjadi langganan penginapan Candi di Magelang. Hari
itu ketika aku masuk penginapan secara tak sengaja aku bertabrakan dengan dia
yang sedang membawa keranjang. Tabrakan ini membuat salah satu kancing bajuku
tanggal dan jatuh. Aku tak dapat menemukannya. Kancing baju inilah yang kemudian
diambil oleh Tandu Wiryo sebagai bukti bahwa aku seolah-olah memang pernah
masuk ke kamari Sularwasih! Sialan betul! Ibu gemuk, kau berikanlah
kesaksianmu!"
Perempuan gemuk tukang sayur
itu lantas memberikan kesaksiannya! Pucat pasi laksana kain kafan wajah Tandu
Wiryo.
"Resi Tumbal Soka!
Sekarang aku minta agar kau menggantung murid terkutuk itu!
Di hadapanku! Di hadapan
sobatku dan semua murid-murid partai! Jika kau dulu berani memutuskan hukuman
gantung bagi sobatku maka hari ini kau harus berani menjatuhkannya pada Tandu
Wiryo! Ayo!"
Mulut ketua partai Lawu Megah
tampak terpencong-pencong. Sulit baginya menjawab kata-kata kakek muka
tengkorak itu. Namun akhirnya dia berkata juga. "Soal hukuman itu adalah
urusan kami. Kau orang luar tidak layak mendikte!"
"Ah, sungguh enak sekali
kalau begitu Resi Tumbal Soka. Murid sudah terbukti salah masih tak mau
mengambil tindakan! Aku curiga jangan-jangan kaupun ikut terlibat
dalam_persoalan ini!" seru si kakek.
"Bangsat tua! Kurobek
mulutmu!"
"Silahkan, aku mau
lihat!" tantang si kakek yang memang sudah jengkel dan muak meiihat kctua
Partai Lawu Megah itu.
"Aku mengajukan
usul!" Wiro berseru tiba-tiba. "Bagaimana kalau Tandu Wiryo langsung
mempertanggungjawabkan perbuatan kejinya satu lawan satu denyanku?"
"Aku sudah bilang kami
yang membuat aturan di sini, bukan kalian yang mendikte!" teriak Resi
Tumbal Soka.
"Wah, berabe kalau begini
kakek." kata Wiro pada si kakek muka tengkorak.
"Sekarang kalian
kupersilahkan angkat kaki dari sini, kecuali Wilarani. Kau ada keperluan apakah
datang kemari bersama-sama mereka, Wilarani? Apa ikut bersekutu?!" kata
Resi Tumbal Soka pula.
"Saya datang untuk
menyambangi guru Resi Kumbara!" jawab Wilarani.
"Sayang sekali kakek itu
tak mungkin menerimamu. Lain kali saja. Dan kau pergilah pula dari sini!"
Wiro maju kemuka. "Aku
dan kawan-kawan akan pergi dari sini. Tetapi lebih dahulu harus bertemu dengan
Resi Kumbara. Tempo hari aku telah menyerahkan sebuah senjata mustika sebagai
jaminan. Sekarang aku harus memintanya kembali".
"Lupakan senjatamu itu.
Kalau semua sudah selesai pasti akan dikembalikan!"
"Kentut! Pokoknya aku
harus mendapatkan senjata itu kembali! Saat ini juga dan bukan nanti!"
"Memang senjata itu sudah
saatnya harus dikembalikan," kata si kakek pula.
"Kalian tak bisa bertemu
dengan dia…."
"Kenapa?"
"Dia tengah menjalani
hukuman dalam penjara bersama paderi Permana dan tiga paderi lainnya!"
Wilarani kaget sekali Wiro dan
Pendekar Pedang Akhirat jadi melongo.
"Kalau begitu kami akan menemuinya
di penjara!" kata Wiro kemudian.
"Kalian jangan keliwat
memaksa dan bicara seenaknya. Silahkan pergi dari sini dengan aman…."
"Resi Tumbal Soka
keparat! Kaulah rupanya yang jadi biang racun dari semua yang terjadi disini?
Turunlah dan mari bertempur sampai mampusl" teriak Wiro Sableng.
Seumur hidupnya Resi Tumbal
Soka tak pernah dimaki begitu rupa, apalagi di hadapan sekian puluh pasang
mata. Amarahnya mendidih. Dia berteriak memberi perintah, "Bunuh pemuda
itu!"
14
ENAM orang paderi dan delapan
murid kelas satu bergerak maju mengurung Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng ini
betul-betul sudah sampai dibatas kesabarannya. Dia membentak. "Kalian ini
tertalu bodoh, mau saja disuruh mampus! Atau memang sudah bosan hidup hingga
ingin buru-buru mati?"
Enam paderi keluarkan bentakan
buas dan menyerang Wiro tanpa banyak bicara lagi.
Disaat yang menegangkan itu
Wiro Sableng berseru memanggil kakek muka tengkorak. "Kakek, lihatlah
bagaimana aku mainkan jurus ke tiga dari ilmu pedangmu "Setan meratap
malaikat menangis!"
Si kakek yang tadi hendak
melakukan sesuatu terpaksa perhatikan pemuda itu. Wiro mainkan jurus ilmu
pedang itu dalam gerakan tangan kosong yang luar biasa yang dirasakan lebih
hebat dari pada yang dimainkan sendiri olehnya sementara tangannya bergetar
oleh kekuatan tenaga dalam. Tangan kiri tiba-tiba lepaskan pukulan "sinar
matahari" sedang tangan kanan menghantamkan pukutan "dewa topan
menggusur gunung."
Terjadilah hal yang hebat.
Puncak Gunung Lawu itu laksana di landa gempa. Jeritan enam paderi dan delapan
anak murid partai terdengar susul menyusul. Di seberang sana sembilan murid
partai lainnya ikut tersapu oleh dua pukulan maut itu. Wiro yang sudah kalap
terus mengamuk hingga keadaan tidak beda seperti di neraka!
Ketika semua itu terjadi,
diatas bangunan tingkat dua si kakek melihat Resi Tumbal Soka melepaskan
totokan ditubuh Tandu Wiryo dan membisikan sesuatu pada pemuda ini. Si kakek
cepat berpaling pada Wilarani dan berkata, "Kau tahu letak penjara di mana
Resi Kumbara dijebloskan?"
Gadis itu mengangguk.
"Pergilah ke sana dan
lepaskan gurumu. Dua perempuan ini kau selamatan lebih dulu ke tempat
aman!"
Habis berkata begitu si kakek
lantas melesat ke bangunan tingkat dua tepat pada saat Tandu Wiryo hendak
bergerak pergi! Sekali tangan si kakek mendorong, Tandu Wiryo jatuh ke lantai,
sekujur tubuhnya seperti lumpuh tak bisa lagi berkutik!
Melihat hal ini Resi Tumbal
Soka jadi marah.
"Tua bangka sundal! Kau
sudah saatnya dibasmi!" teriak ketua Partai Lawu Megah itu. Dalam
kemarahan paderi ini sudah tak bisa lagi mengontrol kata-katanya yang keluar.
Si kakek cuma tertawa
mendengar makian itu. Juga masih tertawa sewaktu Resi Tumbal Soka kebutkan
lengan jubahnya, kirimkan pukulan yang mengandung angin hebat sekali. Jangankan
manusia, batu sekalipun pasti ambruk terkena kebutan lengan jubah ini! Sesaat
lagi angin pukulan akan melabrak, kakek muka tengkorak ini dorongkan telapak
tangan kanannya ke depan menyambut serangan lawan. Terjadilah hal yang hebat.
Bangunan tingkat dua itu bergetar keras, langit-langit serta teralinya ambruk
sewaktu terjadi bentrokan dua kekuatan tenaga dalam yang dasyat!
Resi Tumbal Soka berseru
tegang, Parasnya pucat. Tubuhnya pasti terjungkal jika tidak tertahan dinding
bangunan. Memang dalam hal tenaga dalam ketua Partai Lawu Megah ini mana bisa
menang dari Pendekar Pedang Akhirat yang sudah dianggap jago nomor satu dalam
tenaga dalam dan pedang di dunia persilatan. Padahal sekitar satu tahun yang
silam dia pernah memberikan sebagian dari tenaga dalamnya pada Wiro Sableng
yakni waktu pemuda itu selamatkan si kakek dari liang maut. Sambil usap-usap
telapak tangannya yang bergetar dan terasa panas akibat bentrokan tenaga dalam
itu, si kakek tertawa mengekeh.
"Hari ini kau betul-betul
mendapat pelajaran, paderi brengsek!"
Dengan geraham bergemeletakan
Resi Tumbal Soka keluarkan Kapak Naga Geni 212 dari balik jubahnya. Kaget si
kakek muka tengkorak bukan kepalang.
"Heh! Bagaimana senjata
itu ada di tanganmu hah?!" serunya.
"Tak usah banyak
tanya!" hardik Resi Tumbal Soka. Sekali dia ayunkan Kapak Naga Geni 212
maka berkiblatlah sinar menyilaukan disertai suara mengaung seperti ratusan
tawon mengamuk!
Pendekar Pedang Akhirat yang
sudah maklum kehebatan senjata ini cepat melompat mundur dan cabut pedang
mustikanya. Pada dasarnya Resi Tumbal Soka mengetahui kehebatan ilmu pedang
lawan yaitu tak satu ilmu pedang lainpun pada masa itu sanggup menandinginya.
Namun karena sudah terlanjur kalap di samping merasa dapat mengandalkan senjata
yang kini ada di tangannya maka dia keluarkan jurus-jurus silat Partai Lawu
Megah yang paling hebat dan menyerbu lawannya tidak kepalang tanggung.
Pendekar Pedang Akhirat
sendiri terpaksa pula keluarkan jurus-jurus silat simpanannya. Baginya ilmu
silat lawan bukan apa-apa. Tetapi senjata Wiro yang di tangan Resi Tumbal Soka
itulah yang tak bisa dibuat main. Harus diakui bahwa pedang mustikanya sendiri
kehebatannya masih berada dibawah kapak itu. Setelah berhati-hati selama
delapan jurus akhirnya si kakek mulai dapat menguasai lawannya. Jurus demi
jurus, serangan pedangnya yang laksana berubah jadi puluhan banyaknya itu
mengurung Resi Tumbal Soka dari segala penjuru.
Dalam satu gebrakan yang hebat
tiba-tiba si kakek berteriak. "Lepaskan senjata itu, paderi brengsek!
Lepaskan dan berikan padaku!"
Tapi mana Resi Tumbal Soka
sudi menurut perintah lawannya itu. Malah sambil merangsak maju dia memaki.
"Tua bangka sundal! Sebentar lagi kau bakal mampus jadi setan
penasaran!"
"Paderi tolol! Diberi
peringatan tidak mau dengar! Sekarang kau harus serahkan senjata itu berikut
tanganmu!"
Pedang mustika di tangan kakek
lihay itu berkiblat dalam gerakan aneh dan tahutahu cras! Putuslah lengan kanan
Resi Tumbal Soka dan mental ke udara berikut Kapak Naga Geni 212. Resi Tumbal
Soka menjerit-jerit macam orang gila karena kesakitan. Dia kemudian totok
urat-urat besar di bahunya hingga darah berhenti memancur dari luka pada
lengan.
Pada saat itu dari arah timur
lapangan terdengar seruan keras mengumandang.
"Hentikan
pertempuran!"
Begitu berwibawa suara
teriakan itu hingga semua orang yang sedang bertempur berhenti memandang ke
timur kelihatanlah Resi Kumbara bersama Resi Permana dan tiga paderi serta
Wilarani.
"Tobat! Puncak Gunung
Lawu telah banjir darah. Satu hal yang seharusnya tak perlu terjadi!"
Bekas ketua Partai Lawu Megah ini memandang ke abangunan bertingkat dan kembali
berseru. "Resi Tumbal Soka, kau kemarilah!"
Saat itu Resi Tumbal Soka
bukan saja tengah mengalami luka parah tetapi juga sakit hati dendam kesumat
yang bukan kepalang. Dan kini mendengar kakaknya memanggil timbullah rasa
takutnya.
"Maaf kakang! Aku tak
bisa datang menghadapmu! Jikalau umur sama panjang tentu kita bakal bertemu
lagi!" Lalu Resi Tumbal Soka berpaling pada Pendekar Pedang Akhirat yang
tegak di depannya sambil menimang-nimang Kapak Naga Geni 212.
"Suatu ketika kelak aku
akan mencarimu, tua bangka sundal! Saat itu akan kau rasakan berapa hebatnya
pembalasanku!" Habis berkata begitu paderi ini putar tubuh.
"Hai, kunyuk tua! Kau
hendak lari kemana?!" seru si kakek dan bergerak hendak mengejar. Tapi
membatalkan gerakannya itu tatkala dibawah sana terdengar Resi Kumbara berseru.
"Biarkan saja dia, sobat! Memang dia tak layak berada lebih lama
disini."
Si kakek angkat bahu kemudian
pandangannya membentur tubuh Tandu Wiryo yang melingkar di lantai, lumpuh tak
bergerak akibat totokannya. Si kakek pergunakan kakinya untuk membuka totokan
di tubuh si pemuda terkutuk dan sekaligus menendangnya hingga Tandu Wiryo
mencelat mental dan jatuh tepat dihadapan Wiro Sableng!
Wiro jambak rambut pemuda ini
lalu tampar keras-keras pipi kanannya hingga mulutnya robek. Tandu Wiryo
meraung kesakitan.
"Buset! Suaramu kok jadi
buruk sekarang! Mana mulut besarmu yang suka bicara seenaknya itu!"
"Wiro!" terdengar
seruan Resi Kumbara, "Biarkan dia. Biar aku yang menjatuhkan hukuman pada
manusia sesat dan keji itu! Wiryo, kemari lekas!"
Dengan terhuyung-huyung dan
sambil pegangi pipinya yang mengucurkan darah. Tandu Wiryo melangkah kehadapan
Resi Kumbara.
"Semua ini terjadi
gara-garamu! Gara-gara nafsu kotormu! Gara-gara otakmu yang sesat, licik dan
keji! Seharusnya kupenggal kepalamu detik ini juga! Tetapi ada hukuman lain
yang lebih pantas bagimu biar kau rasakan selama hidupmu!"
Resi Kumbara ulurkan tangannya
ke selangkangan Tandu Wiryo. Terdengar pekik pemuda ini setinggi langit.
"Pergi dari sin.! Aku
tidak sudi lagi melihat mukamu! Seumur hidup Gunung Lawu merupakan daerah
terlarang bagimu!"
Terkangkang-kangkang Tandu
Wiryo tinggalkan tempat itu. Darah kelihatan bercucuran dari selangkangannya.
Semua orang tidak menyangka demikian kejam danmengerikannya hukuman yang
dijatuhkan oleh Resi Kumbara. Seluruh anggota rahasia pemuda itu diremas hancur
dan cacat selama-lamanya!.
Resi Kumbara menghela nafas
panjang dan memandang pada Wiro Sableng serta Pendekar Pedang Akhirat yang
melangkah mendatanginya.
"Apakah kalian berdua
sudah puas sekarang…?" menegur bekas ketua Partai Lawu Megah itu.
Si kakek batuk-batuk beberapa
kali.
"Bukan maksud kami sampai
terjadi yang begini. Tapi kau tentu maklum, keadaan memaksa. Aku yang tua dan
sahabat mudaku ini mohon maaf sebesar-besarnya. Karena cerita sebenarnya
tentang perkosaan itu telah diketahui oleh semua orang disini maka aku dan
sahabatku mohon diri!"
Si kakek dan Wiro menjura. Melirik
ke samping Wiro lihat Wilarani. "Kau bagaimana? Akan pergi sama-sama
kami?"
"Sayang aku tak bisa ikut
bersamamu, Wiro. Banyak tugas yang harus kulakukan di sini bersama guru!"
Wiro mengangguk. "Kau
murid yang baik. Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu tempo hari!"
Wiro lambaikan tangannya dan segera berkelebat pergi tapi si kakek memegang
bahunya dan angsurkan tangan kirinya yang memegang Kapak Naga Geni 212.
"Kau tak ingin membawa
ini?"
"Astaga, aku sampai lupa.
Terima kasih kakek. Mari kita pergi."
"Ya, kita segera pergi.
Tapi bagaimana dengan dua perempuan itu?" ujar si kakek seraya menunjuk
pada janda Gundali dan perempuan pedagang sayur.
Wiro garuk-garuk kepalanya.
Lalu dia mendekati janda Gundah dan langsung dukung perempuan ini seraya
berkata sambil tersenyum pada si kakek. "Sekarang giliranmu untuk
menggendong si gemuk itu!" Wiro tertawa gelak-gelak dan berkelebat pergi
sedang si kakek memaki panjang pendek. Mau tak mau dia harus mendukung nyonya
gemuk pedagang sayur itu!
Resi Kumbara cuma bisa
geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan kedua orang itu. Setelah terjadinya
peristiwa besar di puncak gunung Lawu itu dan perginya sang ketua Resi Tumbal
Soka, maka Resi Kumbara mengangkat Resi Permana menjadi ketua yang baru sedang dia
sendiri kembali mengundurkan diri ke ruangan samadi.
TAMAT