-------------------------------
----------------------------
024 Penculik Mayat Hutan Roban
SATU
Ketika perempuan tua pengurus
jenazah memberitahu bahwa kain kafan siap untuk ditutupkan, Sri Surti Purwani
meraung keras dan menubruk jenazah puterinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak
akan dilepaskan apapun yang terjadi.
Orang-orang perempuan yang ada
di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan dan ikut mengucurkan air mata.
Seorang lelaki bertubuh kurus, mengenakan blangkon coklat berbunga hitam dan
baju lurik hitam bergaris kuning coklat, menyeruak di antara mereka yang hadir
lalu memegang bahu Surti Purwani, berusaha menariknya seraya mengucapkan
kata-kata membujuk.
“Sudah bune. Cukup….. Relakan
anak kita pergi. Biar arwahnya tenang dialam baka…”
Setelah membujuk berulang kali
dan menarik tubuh permpuan itu dengan susah payah, akhirnya lelaki tadi—Sumo
Kabelan, suami Surti Purwani berhasil menjauhkan istrinya dari jenazah. Namun
begitu terpisah perempuan ini langsung pingsan hingga terpaksa digotong ke
kamar.
Sumo Kabelan Mengusap mukanya
beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung. Sebelum kain kafan
ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar
ke tiang besar ruangan dengan wajah yang ditutup dengan kedua tangan, menangis
terisak-isak.
“Witri…. Witri… Malang nian
nasibmu. Mengapa Gusti Allah datang menjemputmu dalam usia semuda ini…”
“Dimas Sumo….” Datang suara
dari samping. Yang bicara adalah seoranglelaki pendek gemuk, berkumis tebal.
Dia adalah kakak Sumo Kabelan yang hari itu menerima musibah, kematian puterinya
– anak tunggalnya – yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun. “Gusti
Allah mengambil Witri tentu karena Dia saying. Gusti Allah pasti tahu apa yang
diperbuatNya. Kita dan yang lain-lainnya kelak akan berkumpul lagi di akhirat…”
“Kasihan Witri… Kasihan
anakku…” kata Sumo Kabelan berulang kali.
Begitu kain kafan ditutup dan
diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang masuk membawa usungan.
Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik,
lalu di atas sekali kain hijau berumabirumbai benang kuning emas.
Seorang pemuda berkulit kuning
yang sejak tadi tampak ikut mengucurkan air mata beberapa kali merapikan kain
hijau penutup usungan. Dia adalah Jalatunda, pemuda yang seyogyanya menjadi
calon jodoh atau calon suami Suwitri, gadis yang meninggal itu.
Tak lama kemudian jenazah di
bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan. Selesai disembahyangkan, sebelum
diberangkakan menuju pemakaman, lelaki gemukberkumis tadi – kakak Sumo Kabelan
menyampaikan sambutan pendek, mengharap aga kedua orang tua dan sanak keluarga
yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon aga almarhumah
dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu mendoakan agar almarhumah diberi
tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu,
jenazahpun diusung ke pemakaman yang terletak cukup jauh. Di depan sekali
Jalatunda berjalan membawa paying besar untuk melindungi usungan dari teriknya
sengatan matahari di siang itu.
Selewatnya tengah hari
rombongan yang terdiri hampir seratus orang itusampai di pintu gerbang
pemakaman. Seorang pengemis tua tampak dudukmenjelepok dekat pintu dan
menadahkan tangannya minta dikasihani. Namun tak seorangpun mengacuhkan
pengemis ini. Di saat para pengantar semua berada dalam kesedihan siapa pula
yang akan tergerak untuk memberi uang pada tukang mintaminta itu.
Ketika rombongan pengantar
yang panjang sampai di bagian tengah, pengemis tadi ulurkan tangan menarik
pakaian seorang pengantar.
“Hai…siapakah yang meninggal?”
pengemis itu bertanya. Suaranya halus hampir tak terdengar. Mungkin karena
keletihan duduk di bawah terik matahari, mungkin juga dikarenakan usianya yang
sudah lanjut.
“Ah pengemis tua, apa perlumu
bertanya. Lepaskan bajuku!” kata lelaki yangbajunya ditarik lalu menyentakkan
tangan si pengemis.
“Bertanya saja tidak boleh…”
sang pengemis tampak jengkel.
Seorang pengantar yang
mendengar gerutuan pengemis itu walau tak acuh mau juga menjawab.
“Yang meninggal adalah anak
gadis Sumo Kabelan, tuan tanah dari desa Ambarwangi…”
“Ah kasihan…kasihan. Apakah
dia sudah kawin…?” pengemis tadi bertanya. Yang menjawab adalah pengantar
lainnya, yang terpisah tiga orang di belakang pengantar yang memberi keterangan
tadi.
“Pengemis tolol! Namanya saja
masih gadis. Masakan kalau sudah kawindikatakan gadis!”
“Ah, aku memang tolol! Kasihan
gadis itu….”
Pengemis itu geleng-gelengkan
kepala. Perlahan-lahan dia berdiri. Sesaat dia pandangi rombongan pengantar
jenazah sambil tepok-tepok pantat pakaiannya yang kotor penuh debu. Ketika kepala
rombongan sampai di liang lahat yang telah disiapkan untuk jenazah, dengan
langkah terserok-serok pengemis tadi mendatangi. Sambil melangkah mulutnya
tiada henti mengucapkan kata-kata kasihan.
Usungan diturunkan, diletakkan
di tepi liang lahat. Satu demi satu kain penutup usungan dibuka. Sambil tiada
hentinya mwlafatkan doa-doa, jenazah
kemudian dikeluarkan dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga
orang lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan
menyambutjenazah. Saat itulah, ketika jenazah hendak diterimakan dari tangan
empat orang ke tangan tiga orang tadi mendadak orang banyak yang berkerumun
mengelilingi lianglahat terkuak, terjerongkang jatuh bahkan ada yang terpental.
“Hai! Apa-apaan ini!” teriak
Sumo Kabelan hampir saja jatuh terjerambab kedalam liang lahat.
“Pengemis itu! Gila dia
rupanya!”
“Usir pengemis itu!” Terdengar
teriakan-teriakan.
Orang yang roboh berjatuhan
dan terpental semakin banyak. Pengemis yang tadi duduk dekat pintu makam
mendesak masuk. Seorang pengantar menarik lengannya. Tapi orang ini segera
roboh kena sikut. Seorang lain yang jadi marah menarik leher pakaiannya. Tapi
diapun terjerongkang kena tendangan. Setelah itu orang banyak yang menjadi
marah cepat mengurung malah muali mengeroyok pengemis tersebut. Namun semuanya
terpental dan berteriak kesakitan. Sebelum sesuatu dapat dilakukan, pengemis
itu melompat ke muka langsung merangkuljenazah Suwitri di bagian pinggang lalu
menaikkan ke bahu kirinya.
“Pengemis keparat! Apa yang
hendak kau lakukan?!” teriak Sumo Kabelan. Sementara kakaknya yang gemuk sudah
menyambar sebuah pacul dan siapmenghantamkannya. Namun hebat sekali gerakan
pengemis itu. Meski bahunyadiberati jenazah kaki kanannya melesat cepat
menendang tangan sigemuk hinggapatah dan pacul terlepas mental dari
pegangannya. Sumo Kabelan sendiri langsung jatuh ketika satu pukulan melabrak
dadanya. Dengan gerakan aneh pengemis itu melompat ke atas. Di lain kejap dia
sudah ke luar dari kurungan orang ramai.
“Pneculik jenazah”
“Penculik mayat!”
“Hai! Hendak kau larikan ke
mana jenazah gadis itu!”
Orang ramai mengejar. Sesaat
pengemis itu balikkan diri, tegak menunggu dengan sikap menanang. Sambil
menyeringai dia berkata
“Kalian inginkan mayat ini?
Ambillah kalau bisa!”
Jalatunda, pemuda yang tadinya
adalah calon suami Suwitri lari mengejar paling depan. Dia sampai pertama
sekali di hadapan pengemis itu. Begitu dekat pemuda ini langsung melayangkan
tinjunya ke muka si pengemis. Ganda tertawa penemis tua itu tangkap tinju kanan
Jalatunda denga telapak tangan kirinya lalu diputar kuat-kuat. Jalatunda
terpekik. Tulang telapak tangannya remuk, pergelangan tangannya lepas.
“Anak muda! Aku tidak heran
kau membela gadis ini walau sudah jadi mayat!
Tapi tidak kau atau siapapun
boleh merampasnya dariku…!” berkata pengemis tua itu dengan tampang galak.
“Keparat penculik! Tinggalkan
jenazah itu!”
Si pengemis tertawa.
“Kalau kau memang sangat
menginginkannya datanglah satu hari di muka ke hutan Roban sebelah timur! Kau
akan mendapatkan mayat kekasihmu kembali!”
“Jahanam! Lebih baik kubunuh
kau saat ini juga!” teriak Jalatunda. Lalumelompati pengemis itu.
Entah dai mana dapatnya, saat
itu tampak pemuda ini telah memegang di tangan kirinya sebilah parang berkarat.
Senjata ini dibacokkannya ke pinggangpengemis. Tapi dengan mudah dapat
dielakkan. Penuh luapan amarah Jalatunda tusukkan ujung parang ke dada pengemis
itu. Yang diserang gerakkan tangan kirinya, memukul badan parang dari samping.
Senjata itu patah dua dan terlepas mental dari tangan Jalatunda.
Si Pengemis tertawa panjang.
Ketika orang banyak sampai di
tempat itu, penculik mayat itu telah lenyap. Hanya suara tawanya yang masih
tertinggal dalam bentuk gema menggidikkan.
***
DUA
Satu hari dimuka, ratusan
penduduk desa Ambarwangi kelihatan berkelompok di ujung timur hutan Roban.
Penduduk desa-desa sekitarnya, yangmendengar kejadian dilarikannya mayat
Suwitri oleh seorang pengemis aneh, ikut pula mendatangi tempat itu. Keadaan di
situ tidak bedanya seperti orang yang sedangmengungsi. Banyak yang mendirikan
gubuk atau kemah sementara sambil menunggu apa yang akan terjadi.
Seperti kata pennculik sebelum
lenyap bersama jenazah Suwitri, jika jenazahitu memang diinginkan kembali, maka
satu hari dimuka orang-orang itu disuruhdatang ke ujung timur hutan Roban.
Jalatunda, calon suami Suwitri beserta Sumo Kabelan – ayah si gadis – lebih
dulu datang ke tempat itu. Sejak Suwitri dilarikan dan setelah penculik
mengeluarkan ucapan begitu keduanya langsung menuju tempat yang dikatakan.
Menunggu dan bermalam di situ dengan hati berdebar, menantikan apa yang bakal
terjadi.
Bersama beberapa orang
kawannya Jalatunda coba menyelidik agak jauh ke dalam hutan sebelah timur.
Namun mereka tidak menemukan apa-apa. Hutan Roban sejak lama terkenal
keangkerannya. Bukan saja penduduk sekitar itu menganggap rimba belantar itu
sarang segala macam makhluk halus, mulai dari jin sampai dedemit, mulai dari
setan pelayangan sampai hantu iblis, tetapi deketahui pula bahwa di dalam hutan
itu bercokol beberapa kelompok rampok ganas. Belum lagi binatang buas termasuk
ular berbisa! Karena itu Jalatunda dan kawan-kawannya tidak berani masuk
terlalu jauh ke dalam hutan.
Matahari telah jauh condong ke
barat. Saat yang dikatakan si penculik yakni satu hari dimuka, sudah hampir
mendekat. Namun tak ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu.Orang ramai mulai
gelisah, tegang dan tampak banyak pula yang merasa cemas. Jelatunda melangkah
mundar mandir. Sebentar-sebentar tangannya meraba hulu golok besar yang
diikatkannya ke pinggang. Dia sudah bertekad bulat. Jika pengemis penculik itu
muncul, pemuda ini akan menyerangnya, membunuhnya sampai mati. Kalau perlu dia
mau mengorbankan diri asal jenazah kekasihnya bisa didapat kembali.
Di bagian yang lain Sumo
Kabelan tegak dengan wajah gelisah, tiada lepaslepasmemandang kea rah hutan
yang kini mulai kelihatan meredup gelap karena sangsurya tidak lagi memancarkan
cahayanya di bagian ujung timur itu.
Di udara sekelompok urung
gagak hitam terbang berputar-putar sambil tidak henti-hentinya menguik.
“Burung-burung nazar itu….”
kata Sumo Kabelan dengan paras berubah.
“Pertanda yang tidak baik….”
Sambungnya kemudian perlahan.
Burung-burung itu masih terus
berputar dan menguik. Tiba-tiba lebih keras dari kuik binatang-binatang itu
dari dalam rimba belantara terdengar suara tawa melengking, menggetarkan serta
membuat setiap mereka yang mendengar jadi mengkirik ketakutan.
“Orang-orang Ambarwangi!”
ketika suara tertawa lenyap berganti terdengar suara orang berseru.
“Aku tahu kalian sudah lama
menunggu! Ambillah kembali jenazah gadis ini…!”
Sebuah benda putih melayang di
udara, melesat ke luar hutan Roban di mana ratusan orang menunggu. Benda ini
sesaat kemudian terayun membalik masuk lagi kedalam hutan. Ternyata bedna itu
terikat di ujung seutas tali. Dan tali ini ditambatkan pada cabang sebatang
pohon besar. Ketika diperhatikan benda yang terayun-ayun itu, ternyata adalah
sosok tubuh yang terbungkus kain kafan!
“Astaga! Pasti itu jenazah
Suwitri!” teriak seseorang.
“Darah!” seorang lain ikut
bereriak.
Jalatunda telah lebih dahulu
lari ke dalam hutan.
Dengan tangan kiri dia menahan
pocong yang teryaun-ayun. Begitu derasnya ayunan pocong membuat pemuda itu
hampir jatuh terseret. Namun cepat diamencabut golok dan menebas tali pengikat
ujung kain kafan. Jenazah yang jatuh cepatdisambutnya dengan bahu kirinya lalu
melarikannya ke luar hutan. Orang ramai segera menyongsong. Beramai-ramai
jenazah diturunkan dari bahu Jalatunda, dibaringkan hati-hati di tanah.
“Kenapa kain kafan berdarah!
Pasti terjadi sesuatu!” kata Sumo Kabelan. Lalulelaki ini membungkuk untuk
memeriksa.
Jalatunda bergerak lebih dulu.
Tali kain pengikat ujung-ujung dan bagian tengah jenazah dibukanya.
Bau busuk menyebar santar
begitu kain kafan tersingkap. Wajah Suwitri tampak utuh meski pucat dan membiru
di beberapa bagian. Tetapi ketika kain kafan sebelah bawah dibuka lebih lebar,
Jalatunda, Sumo Kabelan dan yang lain-lainnya terperangah mundur. Bagian dada
serta perut mayat tampak berlubang besar. Darah membeku di mana-mana.
“Jantung dan hatinya lenyap!”
teriak kakak Sumo Kabelan.
“Ya Tuhan! Apa yang terjadi
dengan jenazah anakku!” seru Sumo Kabelan.
Tubuhnya bergetar keras.
Lututnya goyah. Dia hampir roboh kalau tidak lekas ditahan.
“Sudah meninggal kenapa
jenazahnya masih dirusak…? Anakku…. Suwitri anakku….!”
Jalatunda duduk pejamkan mata
tak tega menyaksikan pemandangan yang mengerikan serta menusuk hati itu. Namun
disaat yang sama kemarahannya juga menggelegak. Tiba-tiba seperti orang
kemasukan setan dia berteriak keras. Melompat tegak. Kedua matanya mendadak
menjadi merah. Wajahnya membesi. Dia cabut kembali golok yang tadi
disarungkannya. Senjata ini ditabaskannya kian kemari. Dari mulutnya keluar
suara menggerung berkepanjangan disertai ludah membusah di selabibir.
Orang banyak serta merta
mundur menjauh.
“Jalatunda kemasukan setan!”
seseorang berteriak.
“Awas! Mungkin dia mau
mengamuk!”
“Menjauh!” teriak seorang yang
lainnya.
“Jala, tenang…. Kuatkan
hatimu!” Sumo Kabelan mendekat sambil membujuk.
“Jala! Sarungkan golokmu kembali!”
kata Sumo Kabelan. Kali ini dengan suara keras.
“Keparat! Bangsat!” teriak
Jalatunda tiba-tiba.
“Kemanapun akan kucari! Akan
kubunuh!”
Lalu pemuda ini balikkan
tubuhnya, lari masuk ke dalam hutan Roban.
“Jala! Kembali!” teriak Sumo
Kabelan. Yang lain-lain juga berseru memanggil. Namun pemuda itu lari terus
sambil acung-acungkan golok dan berteriakteriak.
Sesaat kemudian diapun lenyap
dalam kerapatan pepohonan.
***
TIGA
Nyi Ageng Jeliteng memandang
dengan kesal pada puterinya yang sampai saat ini masih saja menangis sambil
menelungkup di atas tempat tidur. “Rukmi tak ada gunanya kau menangis.
Sekalipun sampai keluar air mata darah itu tidak akan merubah pendirian ibu.
Apalagi ayahmu!”
Tejarukmi, gadis enam blas
tahun yang menangis di atas ranjang itu membalik dan menutupi wajahnya dengan
bantal besar. Tangisnya kini malah menjadi-jadi.
“Sikap tingkahmu hanya akan
memberi malu orang tuamu Rukmi. Percayalah,kami ayah dan ibumu ingin melihat
kau bahagia…”
Tejarukmi campakkan bantal
dari mukanya, setengah duduk dia berkata dengan muka balut “Kalau ibu ingin
melihat aku bahagia, mengapa memaksa saya harus kawin dengan lelaki yang tiga
puluh tahun lebih tua dari saya itu!”
Nyi Ageng Jeliteng
geleng-gelengkan kepala. “Kau masih belum mengerti nak…”
“Saya cukup mengerti iu. Lebih
dari mengerti. Yang ibu dan ayah pikirkan adalah kepentingan kalian berdua,
bukan kepentingan saya!”
“Lho, yang akan kawin itu kau,
bukan kami Rukmi. Jadi kau sendiri yang kelak akan merasakan kebahagiaan itu…”
“Siapa orang tuanya yang
bahagia kalau dikawin paksa! Dengan tua bangka beranak empat pula!”
Tejarukmi bantingkan kedua
kakinya ke atas tempat tidur.
“Dengar Rukmi anakku. Kami
tidak memasksa kau kawin saat ini juga. Tapi tahun depan. Di bulan Sura. Ketika
usiamu genap mencapai tujuh belas tahun!”
“Saya tidak akan kawin dengan
tua bangka itu!”
“Raden Jarot bukan orang
sembarangan Rukmi. Dia termasuk kerabat Istana, keponakan Pangeran Dirjo
Samekto….”
“Sekalipun dia raja diraja
saya tidak suka! Saya tidak mau kawin dengan dia!”
“Ibu tahu mengapa kau
menolak!” Nyi Ageng Jeliteng mulai tampak kesal. Ini kentara dari nada
suaranya.
Dan perempuan itu lebih
jengkel lagi ketika puterinya menukas “Kalau ibu sudah tahu saya menolak,
mengapa masih memaksa?!”
“Orang tua mana! Bangsawan
mana yang sudi anaknya bercinta dengan seorang anak petani miskin! Jangan lupa
turunan kita! Ayahmu bengsawan kelas satu. Orang tuaku juga turunan bangsawan
terhormat. Dan keu hendak mengotori darah bangsawanmu dengan darah pemuda miskin
yang hanya pandai mencangkul itu….?”
“Hanya kebetulan saja kakak
Wiguno seorang anak petani miskin. Tapia pa bedanya dia dengan kita? Sama-sama
manusia….?”
Nyi Ageng Jeliteng tertawa
mendengar kata-kata puterinya itu.
“Kau sudah terlalu jatuh larut
dalam dunia cinta. Ketahuilah bahwa dunia cinta itu adalah dunianya orang-orang
gila dengan seribu angan-angan muluk. Aku kawin dengan ayahmu tanpa mengenal
cinta. Tapi setelah kawin, apa yang kami rasakan jauh lebih bahagia dari
cinta…..”
“Kalau masa muda inbu tidak
mengenal cinta, pantas saja ibu bisa berkata begitu!” Hampir Nyi Ageng Jeliteng
menampar mulut anaknya itu.
“Tak ada gunanya menasehatimu.
Biar ayahmu yang nanti bicara. Dan kau tahu. Kalau ayahmu sempat naik pitam,
tangan dan kakinya akan melayang ke tubuhmu. Itu rupanya yang kau kehendaki!”
“Dipukul sampai matipun saya
tidak takut.” Jawab Tejarukmi.
“Anak durhaka!” kata Nyi Ageng
Jeliteng marah lalu berdiri dan tinggalkan kamar itu.
Keesokan harinya gedung besar
kediaman bangsawan Mangun Sarabean heboh ketika seisi gedung mengetahui bahwa
den ayu Tejarukmi lenyap. Beberapa potong pakaiannya berikut sejumlah perhiasan
miliknya yang ada dalam lemari ikut lenyap.
“Anak itu pasti meinggat!”
kata Raden Mas Mangun Sarabean sambil menggebrak meja. Dia lalu berteriak
memanggil pembantunya. Kepada para pembantu itu diminta agar menghubungi Raden
Jarot, meminta bantuan sejmulah pasukan untuk mencari anaknya yang lenyap.
“Periksa ke rumah pemuda
petani itu!” kata Mangun Sarabean. “Aku yakin Tejarukmi kabur bersama pemuda
keparat itu. Anakku harus kembali. Dan Wiguna kalau perlu dibikin mampus saja!
Dia yang jadi pangkal bahala semua ini!”
Mangun Sarabean lalu masuk ke
dalam menemui istrinya yang menangis menggerung-gerung.
Para pembantu yang disuruh segera
berangkat ke tempat kediaman Raden Jarot, lelaki yang sudah dicalonkan untuk
menjadi suami Tejarukmi. Sesuai dengan permintaan Mangun Sarabean maka Raden
Jarot menghubungi pamannya yaitu pangeran Dirjo Samekto guna mendapatkan
sejmulah pasukan untuk mencari Tejarukmi.
Pasukan yang dikerahkan
pangeran Dirjo Samketo ternyata adalah dari kelompok yang berpengalaman dan
merupakan andalan kerajaan. Karenanya tidak menghe-rankan Tejarukmi dan Wiguna
di sebuah pondok tua di dalam lembah Gilimanuk yang terletak sekitar setengah
hari perjalanan dari desa Ambarwangi. Ketika ditemukan sepasang merpati yang
saling mencinta ini berusaha melarikan diri dari kepungan.
Namun sia-sia. Wiguno, pemuda
petani miskin itu berusaha mempertahankan Tejarukmi, tetapi apa dayanya
menghadapi puluhan prjaurit tangkas bersenjata lengkap sedangkan dia hanya
mengandalkan tangan kosong. Dalam keadaan luka parah, atas perintah Mangun
Sarabean, Wiguno akhirnya tewas terbunuh! Mati di hadapan mata kepala Tejarukmi
yang membuat gadis itu langsung menjerit dan jatuh pingsan.
Selama beberapa hari Tejarukmi
mengunci diri dalam kamar. Tak mau makan, minumpun hanya sekedar membasahi
bibir. Lambat lau tubuhnya jadi kurus lemas, parasnya semakin pucat.
Suatu pagi ketika Nyi Ageng
Jeliteng bersama seorang pembantu membuka pintu kamar gadis itu dengan paksa
sambil membawa makanan, mereka dapati Tejarukmi terbujur di lantai. Dekat
kepalanya terletak sebuah mangkuk berisi warangan yang masih tersisa. Mulutnya
mengeluarkan busa. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Gadis ini mati bunuh
diri dengan jalan minum racun keras.
Dalam suasana heboh kematian
Tejarukmi itu, selagi gedung besar penuh didatangi penduduk sedesa serta
kerabat dekat, belum lagi jenazah sempat diman-dikan di tangga depan gedung
tampak seorang pengemis tua yang anehnya muncul dengan menunggang seekor kuda
jantan warna coklat. Diikuti pandangan mata sekian banyak orang yang
terheran-heran, pengemis itu turun dari kudanya lalu berkata “Kedatanganku
sebenarnya ingin minta sedekah. Tapi ada kejadian apakah di rumah besar ini
hingga orang begini banyak dan kudengar ada suara orang meratap di dalam
sana….”
“Pengemis berkuda,” seseorang
menjawab. “Bukan saatnya kau datang meminta-minta. Orang sedang ditimpa
musibah. Pergilah dari sini….”
“Musibah….ah….ah….ah. sungguh
kasihan. Rumah besar mentereng seperti ini seharusnya siisi dengan suasana
meriah ceriah. Bukan tangisan. Musibah apakah yang datang menimpa penghuni
gedung ini….?’
Meskipun kesal melihat
pengemis yang banyak tanya ini namun orang itu kembali menjawab “Den Ayu
Tejarukmi, puteri Nyi Ageng Jeliteng meninggal dunia.”
“Aih sungguh kasihan. Masih
mudakah dia? Saktikah dia hingga sempai ajal secepat itu….”
Seorang tinggi besar yaitu
pembantu merangkap penjaga gedung kediaman Mangun Sarabean memegang bahu
pengemis itu dan menyentakknnya ke belakang. “Pengemis buruk! Bawa kudamu!
Pergi dari sini!”
Pembantu itu terkejut ketika
sentakannya tidak berhasil membuat pengemis tadi tertarik ke belakang. Malah
dirasakannya tiba-tiba tangannya kesemutan dan kaku tak bisa digerakkan lagi.
Dia berteriak memberitahu kawan-kawannya ketika pengemis itu melangkah menaiki
tangga depan gedung. Maka empat orang segera menghadang si pengemis.
“Kalian mengapa berlaku kasar
padaku!” kata si pengemis. “Aku datang bukan untuk membuat keributan ataupun
mengganggu!”
“Pengemis buruk! Tempatmu
bukan di sini! Kau sengaja memaksa masuk. Jika kau inginkan sedekah kami akan
memberi. Tapi jika kau memaksa, kami terpaksa menggebukmu!” salah seorang dari
empat lelaki yang menghadang berkata.
“Aku hanya ingin melihat Den
Ayu Tejarukmi. Kudengar dia bunuh diri. Tapi apakah dia benar-benar sudah mati?
Tak bernafas lagi? Jika aku diperbolehkan melihat, siapa tahu aku bisa
mwnolong!”
“Menolong menghidupkannya?!”
ejek lelaki tadi.
“Kau tentu bergurau. Hanya
Gusti Allah yang bisa menghidupkan manusia dan mematikannya jika memang
dikehendakiNya. Yang aku ingin katakana siapa tahu gadis itu hanya pingsan.
Masih belum mati. Mungkin aku bisa menolongnya”
“Pengemis ngaco! Lekas pergi.
Jangan membuat ulah yang bukan-bukan di tempat berkabung ini!” Satu suara
membentak. Keras dan garang.
Si pengemis memalingkan
kepalanya. Di sebelah kirinya berdiri seorang bertubuh tinggi ramping,
mengenakan pakaian bagus dan mahal, lengkap dengan topi tinggi berwarna hitam.
Si pengemis manggut-manggut,
lalu menjawab “Aku mengerti, aku mengerti….”katanya. “Kau pantas marah.
Bukankah kau Raden Jarot, duda anak empat calon suami Den Ayu Tejarukmi yang
gagal…?”
Orang tinggi ramping itu
terkejut. Bagaimana pengemis yang tidak dia kenalnya tahu siapa dirinya adanya?
“Kalau kau sudah tahu siapa
aku, maka lekas pergi dari sini!” kata Raden Jarot pula.
“Tapi aku ingin menolong calon
istrimu itu!”
“Aku dan siapapun di sini
tidak butuh pertolonganmu!” bentak Raden Jarot.
“Kalau begitu kau tidak cinta
pada gais itu. Kau tak ingin melihat dia hidup kembali. Padahal sebelumnya kau
secara halus memaksa kedua orang tuanya agar gadis itu bisa kau jadikan
istrimu….!
Merah paras Raden Jarot
mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Tentu saja dia ingin melihat
Tejarukmi hidup kembali. Namun mana masuk akal kalau gadis yang sudah mati itu
bisa ditolong. Maka dia memberi isyarat pada empat lelaki yang mengurung si
pengemis agar menyeret orang tua itu. Selesai memberi isyarat maka diapun masuk
ke dalam gedung. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya terdengar suara
bak-buk-bak-buk disusul keluh kesakitan. Ketika dia menoleh kembali, empat
lelaki tadi dilihatnya terkapar di tanggga gedung. Ada yang memegang perut,
dada dan ada pula yang menutupi wajah dengan kedua tangan. Semuanya masih
meringis dan mengeluh kesakitan.
“Kurang ajar! Kau berani
memukul orang-orangku!” teriak Raden Jarot marah.
Sekali tubuhnya berkelebat,
tinju kanannya menderu ke muka pengemis tua itu. Sebagai orang yang dekat
dengan kalangan Istana, Raden Jarot memiliki kepandaian silat yang cukup
tinggi. Bahkan keris yang tersisip di pinggangnya diketahui adalah pemberian
seorang petinggi Istana yang dekat dengan Sri Baginda.
Melihat pukulan yan
dihantamkan Raen Jarot, semua orang yang hadir di tempat itu sama menduga si
pengemis tua akan terpental dengan kepala remuk, paling tidak bengkak berdarah
mukanya. Tetapi alangkah herannya mereka ketika dengan acuh tak acuh pengemis
itu angkat tangan kirinya, telapak tangan dikembangkan. Buk! Tinju Raden Jarot
menghantam telapak tangan yang dipakai untuk melindungi muka dari pukulan.
Lelaki ini merasakan tangannya
seperti menghantam tembok. Jika tidak malu pastilah dia akan menjerit
kesakitan. Tangannya tampak merah dan lecet-lecet. Melihat kenyataan ini Raden
Jarot segera maklum, siapapun adanya pengemis tua itu, dia adalah seorang yang
memliki kepandaian tinggi. Dan dengan memperlakukannya seperti itu jelas dia
membawa maksud yang tidak baik. Sambil menghunus kerisnya Raden Jarot
berteriak.
“Semua lelaki yang ada di
sini, Bantu aku meringkus pengemis keparat ini! Dia datang dengan maksud
jahat!”
Lebih dari selusin lelaki
segera melompat mengurung. Dua di antaranya adalah anggota pasukan yang
sebelumnya ikut melakukan pencarian ketika Tejarukmi minggat bersama Wiguno.
Melihat dirinya dikurung begitu rupa, pengemis itu berkacak pinggang dan
tertawa aneh.
“Usir kudanya! Jangan sampai
pengemis tua bangka keparat ini lolos!” teriak Raden Jarot.
Seseorang kemudian dengan
cepat menggebrak tubuh kuda coklat yang tadi ditunggangi di pengemis. Binatang
ini meringkik lalu lari kencang dan menghilang di kejauhan.
“Aku hanya memberi nasehat
pada kalian!” katanya kemudian pada orangorang yang mengurungnya.
“Menyingkirlah jika ingin
selamat!”
“Serbu! Ringkus pengemis
keparat ini! Bunuh jika perlu!” teriak Raden Jarot.
Pada saat itu tuan rumah yang
sedang berduka yakni Mangun Sarabean ke luar ruangan dalam. Melihat seorang
ttua berpakaian kotor penuh tambalan dikurung demikian rupa maka diapun
menegur.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Raden Jarot menerangkan dengan
cepat. Mangun Sarabean sesaat memperhatikan tangan kanan calon mantunya yang
lecet akibat tangkisan pengemis aneh itu. Lalu dengan suara perlahan tapi tegas
dia berkata
“Berikan pakaian bekas, dua
kaleng beras dan sejumlah uang padanya. Lalu biarkan dia pergi….!”
Habis berkata begitu Mangun
Sarabean melangkah masuk ke dalam kembali. Tapi kata-kata si pengemis
membuatnya hentikan gerakan dan berpaling
“Tuan rumah, sampeyan ternyata
baik sekali. Pakaianku memang kotor penuh tambalan. Tubuhku kurus tak terurus.
Tapi aku datang ke mari bukan untuk minta belas kasihan…. Apalagi minta
pakaian, uang dan beras…..!”
“Lalu apa maumu….?” Tanya
Mangun Sarabean. Ucapan si pengemis yang memanggilnya dengan sebutan sampeyan
serta nadanya yang kasar membuat Mangun Sarabean tersinggung. Hatinya kesal.
Apalagi dia ditimpa musibah besar kematian puterinya.
“Aku datang untuk melihat
jenazah Den Ayu Tejarukmi,” menjawab si pengemis.
“He, dia bukan sanak bukan
kerabatmu. Mengapa ingi melihat?” tanya
Mangun Sarabean. Sebelum dia
membuka mulut membentak, Raden Jarot sudah mendahului.
“Pengemis edan! Jangan kau
bicara segala macam aturan. Di sini berlaku aturan yang dibuat tuan rumah!
Tubuhmu yan gbabak belur akan kami lempatkan ke jalan sana!”
“Kalau memang begitu, biar kau
yang kugebuk lebih dulu!”
Tubuh pengemis kurus itu
berkelebat.
***
EMPAT
Raden Jarot melihat gerakan
pengemis itu begitu cepat hingga sulit mengetahui dengan apa dan baian mana
dari tubuhnya yan gmenjadi sasaran serangan. Untuk melindungi diri dia babat
keris di tangan kanannya lurus rata dari kiri ke kanan. Demikian derasnya
hingga badan keris mengeluarkan suara menderu. Tidak dapat tidak salah satu
bagian tubuh lawan pasti akan tersayat. Namun sesaat kemudian terdengar pekik
Raden Jarot. Keris di tangan kanannya mental ke atas dan menancap di
langit-langit serambi depan. Kemudain tubuhnya tampak terjerongkang ke
belakang, hampir jatuh duduk. Satu pukulan melabrak dadanya di sebelah tengah!
Mangun Sarabean kaget bukan
main. Dia tahu betul calon menantunya itu memiliki kepandaian silat tinggi.
Tapi bagaimana pengemis tua bertubuh kecil itu dapat menghantamnya dalam satu
kali gebrakan. Sambil menahan sakit dan megap-megap karena nafasnya sesak Raden
Jarot mencoba berdiri lalu berteriak pada orang-orang di sekelilingnya.
“Tunggu apa lagi?! Bunuh
bangsat pengacau itu!”
Kini lebih dari selusin orang
menyerbu. Termasuk Mangun Sarabean yang tidak dapat lagi menahan amarahnya.
ORang ini tanggalkan ikat pinggang besa yang terbuat dari kulit. Mangun
Sarabean diketahui bukanlah seorang yang memiliki ilmu silat atau kesaktian.
Namun ada yang mempercayai bahwa dalam salah satu kantong ikat pinggang kulit
itu tersimpan sebuah jimat yang konon didapat Mangun Sarabean dari seorang empu
di puncak gunung Merapi. Ada jimat ataupun tidak si pengemis sama sekali tidak
memandang sebelah mata pada ikat pinggang itu. Dan nyatanya demikian. Dalam
beberapa kali gerakan kilat si pengemis itu menggebrak ke kiri dank e kanan.
Terdengar pekik susul menyusul. Empat pengeroyok tergelimpang di lantai
serambi. Dua lainnya terguling sambil pegangi perut. Lalu ada yang terhempas ke
dinding, melorot tak berkutik. Mangun Sarabean sendiri tampak tagak
terhuyung-huyung. Ikat pinggang besarnya tampak telah putus jadi dua. Yang
lain-lain, termasuk Raden Jarot tegak terkesiap. Tak tahu mau berbuat apa.
Bukan saja karena merasa ragu-ragu untuk menyerang kembali tapi lebih banyak
jadi merasa takut.
Pengemis itu tegak berkacak
pinggang dan tertawa panjang. Lalu tubuhnya lenyap, berkelebat kea rah pintu
dalam. Sesaat kemudian di sebelah dalam terdengar pekik orang-orang perempuan.
“Tolong! Penculik!”
“Jenazah den ayu diculik!”
“Jenazah anakku dilarikan!
Tolong!”
Apakah yang terjadi?
Pengemis aneh itu tadi
ternyata masuk ke ruangan pembaringan jenazah. Mayat Tejarukmi uang terbujur di
atas kasur berseperai hijau berbunga emas, yang masih belum dimandikan atau
dikafani, dan hanya ditutup dengan sehelai kain batik dan sutera, disambar oleh
pengemis tadi dan dipanggulnya di bahu kiri. Sesaat dia memandang berkeliling
sambil menyeringai memperhatikan orang-orang perem-puan yang menjerit-jerit.
Nyi Ageng Jeliteng berteriak
sambil melompat.
“Penculik busuk! Kembalikan
anakku!” perempuan ini lalu mendorong si pengemis dengan tangan kiri sementara
tangan kanannya berusaha memegang pinggang jenazah puterinya. Tapi sekali balas
mendorong pengemis itu membuat Nyi Ageng Jeliteng terjatuh roboh dan terpekik.
Sebelum pengemis itu berkelebat pergi bersama mayat Tejarukmi, seorang
perempuan tua yang akan bertindak sebagai pemandi dan pengurus jenazh berusaha
menghalangi mencakar kedua tangannya ke tubuh penculik.
Bret!
Pakaian kotor bertambal-tambal
di bagian punggung pengemis itu robek. Hal ini membuat di pengemis marah
sekali. Dengan tumit kirinya ditendangnya perempuan tua itu hingga terjengkang
pingsan!
“Jangan coba-coba
menghalangiku!” si pengemis berteriak memberi peringatan. “Jika kalian masih
butuhkan jenazah ini, silahkan ambil besok sore di hutan Roban sebelah
tenggara!”
Habis berkata begitu si
pengemis tertawa panjang. Seperti melaynga, tubuhnya melesat ke jendela
samping. Jenazah Tejatukmi lenyap bersama lenyapnya pengemis itu.
Rumah besar keidaman Mangun
Sarabean menjadi gempar. Beberapa orang coba mengejar. Ada yang manunggang kuda
dan membawa senjata. Namun mau dikejar ke mana? Pengemis itu lenyap laksana
ditelan bumi!
“Tak mungkin kita meneruskan
pengejaran!” kata Mangun Sarabean di atas punggung kuda hitam. Tangan kirinya
terkepal tanda hatinya geram sekali.
Raden Jarot yang juga berkuda
dan berada di sebelahnya mengangguk perlahan tanda maklum.
“Pengemis itu!” katanya.
“Siapa dia sebenarnya!”
“Dan mengapa dia menculik
mayat Tejarukmi? Kalau Wiguno masih hidup mungkin kita bisa menuduhnya yang
melakukan penculikan. Tapi pemuda itu sudah mati….” Sesaat Mangun Sarabean
termangu duduk di atas punggung kuda sementara rombongan pengejar yang
berjumlah hampir dua puluh orang itu berada di belakang menunggu perintah
selanjutnya. “Mungkin ini dosa kita karena pemuda itu sampai terbunuh….?” Ujar
Mangun Sarabean kemudian.
Kata-kata itu membuat paras
Raden Jarot berubah.
“Apa yang akan kita lakukan
sekarang?” tanya Mangun Sarabean kemudian.
“Saya memutuskan pergi ke
hutan Roban sebelah tenggara! Pengemis keparat itu menyebut tempat tersebut
sebelum kabur!” kata Raden Jarot.
“Jangan, terlalu berkhayal!”
kata Mangun Sarabean. “Kau pasti tahu hutan itu bukan saja angker tapi penuh
binatang buas dan segala macam rampok!”
“Saya tahu betul hal itu.
Karenanya saya akan minta bantuan pasukan dari paaman Dirjo Samekto….”
“Kalau begitu aku kembali ke
Ambarwangi. Kau meneruskan ke tempat kediaman pamanmu itu…”
Raden Jarot memberi hormat
lalu bersama beberapa orang pengiringnya dia meninggalkan tempat itu sedang
Mangun Sarabean kembali ke rumahnya di Ambarwangi.
Lepas lohor hari itu tampak
serombongan pasukan berjumlah hampir tiga puluh orang, bergerak menuju hutan
Roban sebelah tenggara. Di sebelah muka menunggang kuda Raden Jarot didampingi
seorang perwira muda bernama Rangga Pangestu. Di dalam jajaran pengawal
Pangeran Dirjo Samekto perwira itu memegang tampuk pimpinan dan memiliki
kepandaian yang sudah dikenal kehebatannya di mana-mana. Di samping itu
pengalamannya juga cukup luas. Atas perintahnya seluruh anggota pasukan
termasuk dia dan Raden Jarot diharuskan membawa perisai.
Dia tahu betul, memasuki hutan
Roban berarti menantang maut. Serangan kaum perampok bisa terjadi secara
mendadak. Dan itu bisa berupa hujan panah atau lemparan tombak. Karenanya
perisai sangat diperlukan.
Rembang petang rombongan
sampai di tepi hutan Roban sebelah tenggara. Mereka masuk ke dalam hutan sejauh
beberapa ratus tomabak, lalu membuat perkemahan. Di sini Rangga Pangestu
mengatur rencana gerakan selanjutnya. Pertama sekali harus diingat, mereka
memasuki rimba belantara itu untuk mencari jenazah Tejarukmi, menangkap
hidup-hidup atau membunuh pengemis yang telah menculiknya. Berarti sepanjang
yang mereka bisa lakukan ialah menghindarai bentrokan dengan para perampok.
Kecuali jika mereka diserang, maka tak ada jalan lain mereka harus menumpas
penjahat itu.
Sore itu mereka akan
menyelidik bagian hutan di sebelah tenggara. Sebelum hari gelap mereka harus
sudak kembali ke kemah. Lalu keesokan paginya baru penyelidikan diteruskan.
Rombongan dibagi tiga kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah sekitar
sepuluh orang. Namun sampai hari menjadi gelap mereka tak menemukan apa-apa.
Jangankan jenazah Tejarukmi, tanda-tanda sedikitpun tak berhasil mereka
dapatkan. Menduga si penculik asal saja menyebut bagian tenggara hutan Roban
atau sengaja menyiasati, ditambah hari mulai gelap maka ketiga kelompok
penyelidik itu sesuai perjanjian kembali ke perkemahan. Ketika sampai di perkemahan
mereka dikejutkan mendapatkan puluhan orang berpakaian dan berikat kepala serba
hitam menduduki dan mengurung perkemahan. Bahkan sampai di atasatas pohon
sekitar kemah tampak sosok-sosok tubuh yang sama.
“Geromblan rampok….” Bisik
Raden Jarot.
Rangga Pangestu mengangguk.
Dia meneliti keadaa kemah dengan cepat. Tak ada tanda-tanda kerusakan atau
kekerasan. Ini satu tanda baik. Tanpa turun dari kudanya perwira itu berseru.
“Tamu dari mana yang datang
menyambangi perkemahan kami?!”
Seorang lelaki berpakaian
hitam, bertubuh kekar maju dua langkah. Dia masih muda, tetapi wajahnya penuh
cambang bawuk dan berkumis tebal.
“Kami anak buah Warok Kunto
Rekso! Ingin tahu apa yang dibuat sekelompok pasukan kerajaan di hutan Roban
ini!”
“Aku perwira muda wilayah
timur bernama Rangga Pangestu. Di sebelahku ini adalah Raden Jarot. Keponakan
Pangeran Dirjo Samekto. Mana pimpinan kalina. Aku ingin bicara dengannya!”
Rangga Pangestu sengaja
menerangkan dirinya dan siapa pula Raden Jarot untuk membuat para perompok
tidak berlaku sembarangan. Dia kenal betul keganasan perampok hutan Roban.
Nyawa manusia sama saja dengan nyawa seekor nyamuk!
Anggota perampok yang tadi
bicara memang tampak sedikit terkesiap begitu mendengar ucapan Rangga Pangestu
itu. Namun hanya seketika karena kemudian dengan suara lantang dia berkata
“Katakan apa maksud kalian
berada di sini!”
“Aku hanya bicara kalau
pimpinanmu ada di sini!” balas Rangga Pangestu.
Dia sudah dapat membaca situai
kalau para permpok itu tidak akan bertindak gegabah.
“Aku ada di sini perwira
muda!” Satu keras tapi serak datang dari arah pohon besar di samping kanan.
Rangga Pangestu dan semua
rombongan mendongak ke atas. Pada sebuah cabang besar duduk seorang lelaki
berpakaian dan berikat kepala hitam sambil menyedot sebuah pipa berbentuk aneh.
Rambutnya panjang sebatas bahu. Mukanya tertutup kumis dan cambang bawuk lebat.
Tampangnya menggetarkan, ditambah dengan barisan gigi-giginya yan gbesar nyaris
membentuk taring pada kedua sudut depan, maka tampangnya hampir menyerupai
seorang raksasa.
“Sekarang apakah kau ma
menerangkan tujuan kalian berada dalam hutan kekuasaanku?” Warok Kunto Rekso
buka suara lalu hembuskan asap pipanya ke udara.
Rangga Pangestu tahu betul di
dalam hutan Roban yang membentang dri barat sampai ke timur itu terdapat
beberapa kelompok rampok ganas. Seluruh kelompok berada di bawah pimpinan Kunto
Rekso. Bukan saja karena kepala rampok yang satu ini memiliki jumlah anggota
paling besar, tetapi juga karena mempunyai kepandaian tinggi setingkat perwira
madya.
Sebenarnya baik Rangga
Pangestu maupun Raden Jarot merasa tersinggung dengan sikap kepala rampok yang
bicara duduk di atas pohon sambil menghisap pipa seenaknya. Tapi mereka juga
menyadari, bangsa rampok hutan seperti itu mana mengenal segala macam
peradatan. Maka perwira muda itu membuka mulut memberi keterangan.
“Kami tengah mengejar seorang
penculik!”
Kunto Rekso cabut pipanya.
Menatap sesaat pada Rangga Pangestu lalu berkata “Mengejar seorang penculik?
Adalah aneh! Orang lua mana yang berani masuk ke hutan Roban?!”
“Kami tidak tahu jelas siapa
penculik itu adanya. Dia berpakaian seperti pengemis!” Yang bicara Raden Jarot.
“Apalagi seorang pengemis!”
ujar Kunto Rekso lalu tetawa sember. “Sulit bagiku mempercayai keteranganmu,
perwira muda!”
“Kami tidak berdusta. Seorang
pengemis tua menculik jenazah puteri bangsawan Mangun Sarabean dari
Ambarwangi….” Lalu Rangga Pangestu memberikan keterangan singkat aas apa yang
telah terjadi.
Sesaat kepala rampok di atas
pohon itu terdiam sambil usap-usap dagunya. Dia ingat kejadian hampir satu
bulan lalu. Ketika seorang pemuda bernama Jalatunda memasuki hutan Roban dalam
keadaan seperti gila sambil mengacung-acungkan golok. Pemuda itu kini berada di
markasnya menjadi pembantu juru masak.Ketika hampir dibunuh Jalatunda
menerangkan apa yang telah terjadi. Jenazah kekasihnya diculik seorang pengemis
tua. Jenazah ini kemudian ditemukan di hutan Roban sebelah timur tanpa jantung
dan hati. Apakah penculik jenazah puteri Mangun Sarabean itu pengemis yang
sama?
Melihat orang terdiam, Rangga
Pangestu berkata “Agaknya kau mengetahui sesuatu Warok….!”
“Jika daerah kekuasaanku
dikotori seseorang, aku harus mencari dan membunuh orang itu. Tapi jika kalian
mempunyai maksud terselubung, kalian tak akan keluar hidup-hidup dari hutan
ini!”
“Maksud terselubung apa?”
tanya Rangga Pangestu.
“Sebelumnya aku mengetahui
telah terjadi satu peristiwa penculikan. Bukan mustahil kajadian itu kalian
pergunakan sebagai topeng untuk melakukan penyerbu-an terhadap kami orang-orang
Roban!”
“Jangan berprasangka terlalu
jauh. Jika maksud kami hendak membasmi kalian, sudad tadi-tadi hal itu kami
lakukan!” ujar perwira muda itu.
Warok Kunto Rekso tertawa
sember.
“Malah kalau kau suka, kami
ingin minta bantuan kerja samamu!” Raden Jarot berkata.
“Bantuan maccam mana….?” Tanya
si kepala rampok acuh tak acuh.
“Ikut mencari pengemis
penculik itu. Dan menemukan kembali jenazah puteri Mangun Sarabean.
Kembali Warok Kunto Rekso
tertawa.
“Selama ini tak pernah
kejadian ada kerja sama antara kami orang-orang hutan Roban dengan orang-orang
kerajaan. Malah kalian selalu mengejar hendak membasmi kami. Sampai kejadian
sebelum bulan Maulud tahun lalu yaitu ketika hampir lima puluh perajurit
kerajaan menemui ajal dan tiga puluh anggota kami tewas. Aku tetap menaruh
syakwasangka kalian memanfaatkan situasi untuk melakukan sesuatu terhadap
kami!”
“Jika kau berpikir seperti itu
adalah salah!” ujar Rangga Pangestu.
“Warok!” kata Raden Jarot.
“Jika kau dan orang-orangmu mau membantu kau boleh ambil cincinku ini!” lalu
Raden Jarot loloskan cincin emas bermata jambrut besar dari jari manis tangan
kanannya.
Benda itu dilemparkannya ke
atas pohon yang segera ditangkap oleh si kepala rampok.
“Cincin bagus….!” Kata Warok
Kunto Rekso sambil memperhatikan cincin itu dalam kegelapan di atas pohon. Lalu
cincin tersebut dimasukkannya ke jari manis tangan kirinya sambil menyeringai
tiada henti. “Kua baik hati Raden Jarot. Terima kasih atas pemberianmu…”
Dari mulutnya kemudian
terdengar suara suitan keras. Serentak dengan itu puluhan anggota rampok yang
berada di sekitar perkemahan bergerak cepat dan lenyap masuk ke dlaam hutan.
Warok Kunto Rekso sendiri sudah lebih dulu melayang turun.
“Kejar kepala rampok itu!”
teriak Raden Jarot yang merasa tertipu oleh kesalahannya sendiri.
Tapi Rangga Pangestu cepat
berseru. “Semua tetap di tempat!”
“Cincinku!” ujar Raden Jarot.
Rangga Pangetu hanya
mengangkat bahu. Benda apapun yang telah dilarikan kepala rampok itu dan
berapapun nilainya dia tak akan mau memerintahkan orang-orangnya melakukan
pengejaran. Seperti yang ditandaskannya semula, mereka memasuki hutan Roban
yang penuh bahaya itu bukan untuk membuat bentrokan dengan para perampok. Tapi
untuk mencari jenazah Tejarukmi yang diculik
pengemis misterius!
***
LIMA
Keesokan harinya ketika dia
bangun pagi-pagi sekali, perwira muda Rangga Pangestu terkejut sewaktu seorang
prajurit datang melapor bahwa Raden Jarot telah pergi.
“Pergi? Pergi ke mana?!” tanya
Rangga Pangestu.
“Masuk ke dalam hutan sebelah sana.
Dia membawa serta selusin anggota pasukan. Katanya hendak mencari Warok Kunto
Rekso yang telah melarikan cincin jambrutnya!”
“Celaka! Manusia tolol!” ujar
Rangga Pangestu.
“Dia lebih sayangkan cincin
itu dari nyawanya. Bahkan melupakan tugas semula! Mencari jenazah Den Ayu
Tejarukmi!”
Sisa pasukan yang ada
disiapkan. Setelah diberi beberapa petunjuk kemah dibongkar lalu rombongan itu
masuk ke dalam hutan Roban. Kini tugas yang dihadapi bertambah satu yakni
mencari Raden Jarot. Mereka bergerak dengan hati-hati tanpa memecah rombongan.
Dalam jumlah yang kini menjadi sedikit itu sebenarnya ke adaan mereka jadi
sangat berbahaya. Sekali diserang gerombolan rampok sulit untuk bertahan. Jika
saja bukan Raden Jarot yang lenyap, mungkin Raden Rangga Pangestu memilihlebih
baik keluar dari hutan Roban dan kembali lagi jika sudah dapat tambahan
pasukan. Mau tidak mau Pangeran Dirjo Samekto pasti akan membebankan tanggung
jawab padanya jika terjadi apa-apa dengan Raden Jarot.
Menjelang tengah hari belum
kelihatan jejak pasukan yang dibawa Raden Jarot. Rombongan terpaksa berhenti
karena tak dapat menahan lapar. Selesai makan mereka istirahat sebentar.
Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang anggota pasukan membuang hajat ke
sebuah kali dangkal tak jauh dari tempa itu. Namun niat mereka untuk buang
hajat menjadi batal. Keduanya lari tergopoh-gopoh ke induk pasukan, langsung
menemui Rangga Pangestu.
“Ada apa…. Kalian seperti
dikejar setan?!” tanya Rangga Pangestu. Diam-diam dia sudah maklum kalau
sesuatu yang hebat telah dialami kedua anggota pasukan itu.
“Raden Jarot,” kata salah
seorang dari dua prajurit. Dia manrik nafas dalam dulu baru menyambung
“Mayatnya kami temukan dekat kali dangkal sebelah sana. Bersama anggota pasukan
yang dibawanya!”
Rangga Pangestu melompat dari
batang kayu yang didudukinya, langsung lari mendahului dua prajurit itu. Yang
lainnya menyusul. Di tepi kali dangkal berair kebiruan perwira muda itu
merasakan kedua kakinya seperti dipantek. Tubuh Raden Jarot terbujur setengah
menelungkup. Ada luka besar di pelipis kirinya lalu di pangkal leher. Tangan
kanannya hampir utus. Dan pada jari manis tangan kanan itu tampak cincin emas
berbatu jambrut besar yang malam tadi diberikannya pada Warok Kunto Rekso .
Rupanya kelompok pasukan yang dipimpin Raden Jarot berhasil menemui gerombolan
rampok itu dan terjadi pertempuran. Warok Kunto Rakso mengembalikan cincin yang
diambilnya tetapi sekaligus juga meminta nyawa Raden Jarot sebagai gantinya!
Dua belas orang prajurit juga
tampak tergelimpang di sepanjang tapi kali. Sebelas diantaranya sudah menemui
ajal. Satu yang masih hidup berada dalam keadaan luka berat dan sekarat. Dua
anggota rampok tampak terkapar tanpa nyawa di dekat situ.
Rangga Pangestu memerintahkan
orang-orangnya mengurus mayat Raden Jarot. Mayat yang lain dikuburkan di tepi
kali itu. Selesai penguburan jenazah Raden Jarot segera diusung menuju
Ambarwangi. Perwira muda itu sudah dapat membayangkan apa yang akan dilakukan
Pangeran Dirjo Samekto begitu mengetahui keponakannya menemui ajal di tangan
rampok hutan Roban.
Menjelang sore rombongan yang
kembali dengan membawa mayat Raden Jarot itu sampai di bagian tenggara hutan,
di mana sebelumnya mereka berkemah. Rangga Pangestu yang menunggang kuda di
sebelah depan mangangkat tangan memberi tanda agar rombongan berhenti.
“Aku mencium bau tidak enak….”
Katanya sambil memandang berkeliling.
Dia turun dari kudanya,
melangkah ke sederetan semak belukar lebat. Entah mengapa dadanya berdebar.
Bukankah daerah itu begian tenggara hutan Raoban, tempat yang dikatakan oleh
pengemis penculik sebagai tempat jenazah Tejarukmi dapat diambil kembali? Dan
bukankah saat itu sudah sore yakni saat yang dijanjikan oleh si penculik?
Semakin dekat ke semak-semak
semakin sentar bau tidak enak itu. Rangga Pangestu menyibakkan ranting-ranting
berdaun liar dengan tangan kanannya. Begitu semak belukar tersibak, tubuhnya
lasana tersengat. Di sebelah sana dilihatnya sosok tubuh Tejarukmi dalam
keadaan hampir tidak tertutup. Bagian dada kiri dan perutnya nampak robek besar.
Darah membeku di bagian luka itu. Luka dan darah beku inilah yang menebar bau
busuk!
“Gusti Allah!” sseru Rangga
Pangestu. “Manusia biadab macam mana yang tega melakukan hal ini!” Perwira muda
ini tahu sekali kalau luka besar pada bagian dada dan perut jenazah Tejarukmi
bukanlah akibat dikoyak binatang buas. Tapi diobol oleh tangan manusia, mungkin
memakai pisau besar yang tajam dan hatinya lenyap!
“Cari kain!” kata Rangga
Pangestu dengan suara bergetar. “Tutup jenazah itu!”
Seorang kemudian menutupi tubuh
Tejrukmi dengan kain tenda kemah karena memang hanya itulah yang ada. Lalu
sebuah usungan kayu dibuat dengan cepat. Dengan demikian kini ada dua jenazah
yang diusung menuju Ambarwangi. Jenazah Raden Jarot dan jenazah Tejarukmi yang
malang. Seperti yang sudah dibayangkan Rangga Pangestu sebelumnya, kematian
Raden Jarot menimbulkan kemarahan besar atas diri Pangeran Dirjo Samekto.
“Tak ada jalan lain!
Rampok-rampok hutan Roban itu harus dibasmi, dimusnahkan. Kalau perlu hutan
Roban dibumi hanguskan! Bagaimanapun mahal tantangannya!” Begitu kata-kata sang
pangeran di hadapan para pembantunya.
Namun sebelum keputusan itu
dijalankan dia berangakt dulu ke kotapraja guna mendapat persetujuan Sri
Baginda. Ternyata jalan yang hendak ditempuhnya itu disetujui raja. Maka lebih
dari tiga ratus perajurit yang kemudian dibagi dalam tiga kelompok besar di
bawah pimpinan tiga sampai empat perwira muda dan perwira tingi, beberapa hari
kemudian membanjir masuk ke dalam hutan Roban.
Empat perkampungan rampok
dihancur leburkan. Seratue anggota rampok yang mengadakan perlawanan menemui
kematian, sisanya yang masih hidup akhirnya melarikan diri. Namun ketika mereka
menyerbu ke perkampungan yan jadi makas kelompok Warok Kunto Rekso,
perkampungan itu ditemui dalam keadaan kosong.
Rupanya sang Warok tidak bodoh
dan sudah dapat mencium apa yang bakal terjadi setelah kematian Raden Jarot.
Maka sehari sebelum balatentara datang menyerbu mereka sudah meninggalakan
perkampungan, mengungsi ke satu tempat yang tidak diketahui.
***
ENAM
Sejak lima bulan terakhir
kawasan sekitar hutan Roban, mulai di wilayah timur maupun di barat, di sebelah
selatan ataupun bagian pantai utara dicekam oleh kegegeran yang menakutkan.
Terutama bagi keluarga yang memiliki anak gadis dan berada dalam keadaan sakit.
Jika gadis sakit itu akhirnya meninggal dunia bukan mustahil dia akan menjadi
korban penculikan manusia jahat yang sering muncul sebagai pengemis.
Kegelisahan rakyat itu terasa
juga sampai ke dalam tembok Istana. Setelah peristiwa penumpasan besar-besaran
para perampok hutan Roban maka pihak Istana telah menurunkan perintah, meneliti
setiap pengemis yang ada dipelbagai pelosok dan menahan mereka yang dicurigai.
Namun usaha itu ternyata belum menampakkan hasil.
Malah dua minggu yan gsilam
ketika seorang perawan di dukuh Jembar meninggal dunia mati tenggelam di kali
yan gsedang banjir, mayatnya diculik sebelum sempat dibawa ke kubur. Dua hari
kemudian mayat itu ditemukan di hutan Roban sebelah barat dalam keadaan persisi
sama seperti mayat-mayat lainnya. Tanpa jantung dan tanpa hati! Ini adalah
korban yang ke enam. Masih berapa korban lagi yang menunggu?! Kita kembali dulu
ke hutan Roban pada saat sehari sebelum balatentara kerajaan menyerbu.
Pagi itu Warok Kunto Rekso
memanggil pembantu-pembantu kepercayaannya. Dia memerintahkan agar pagi itu
juga merea segera meninggalkan perkampungan. Dia tidak mengatakan pengungsian
itu. Sebelum berangkat terjadi cekcok yang membuat kepala rampok naik darah.
Jalatunda, pemuda yang danggap kurang waras karena peristiwa penculikan Sueitri
menolak untuk meninggalkan perkampungan.
Jalatunda coba membuka mulut
untuk mengatakan sesuatu. Tapi dia tak mampu mengeluarkan sepotong suarapun.
Maka dia hanya balas melambaikan tangan.
“Jala…” kembali terdengar
suara gadis itu. “Jika kau ingin bertemu denganku teruskan perjalananmu menuju
ke barat. Ikuti arah tiga pohon beringin besar sampai akhirnya kau mencapai
sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ini ada daerah berbatu-batu.
Pada sebelah bawah akan kau
temui sebuah telaga berair hijau biru. Kau akan malihatku di situ Jala….”
Suwitri melambaikan tangannya. Tersenyum untuk terakhir kali lalu lenyap.
Jalatunda terbangun dari
tidurnya.
“Witri….”desis pemuda ini. Dia
duduk termenung dan mengingat-ingat apa yang barusan dimimpikannya. Tiba-tiba
pemuda ini berdiri. Dalam tubuhnya yang letih dan lapar itu seolah-olah ada sau
kekuatan baru. Sesuai dengan petunjuk mimpi, di malam gelap dalam rimba
belantara lebat pekat itu dia berjalan menuju ke barat.
Dalam perjalanan memang dia menemukan
tiga buah pohon beringin besar seperti yang dikatakn Suwitri dalam mimpi. Lalu
tepat di ujung pohon beringin yang terakhir, sekitar seratur tombak di depan
sana kelihatan bukit batu, menghitam dalam kegelapan. Batu-batu besar yang
membentuk bukit itu tertutup lumut tebal. Licinnya luar biasa. Jalatunda
berulang kali tergelincir sebelum akhirnya sampai di puncak bukit. Dia tak
berani berdiri di atas batu yang licin itu. Merangkak dengan kedua lutut dan
telapak tangan menjejak batu. Memandang ke bawah si pemuda melihat sebuah
telaga berair hijau kebiruan. Telaga itu tak seberapa besar. Di bagian tengah
terdapat sebuah batu rata hampir menyerupai meja besar dan di atas batu ini
duduklah sesosok tubuh tanpa pakaian. Tampaknya seprti tengah berlangir, tengah
mandi.
“Gila, Siapa malam buta begini
mandi di tempat seperti ini!” pikir Jalatunda.
Meskipun orang itu berambut
panjang namun tidak dipastikan oleh Jalatunda dia seorang perempuan atau
seorang lelaki. Pada masa itu banyak kaum lelaki yang memelihara rambut cukup
panjang menyerupai perempuan. Oran gyang duduk di atas batu rata menggosok
badannya dengan segumpal benda. Bagian tubuh dan muka yang digosok dengan
gumpalan itu kelihatan menjadi merah. Sekilas ketika orang tersebut memalingkan
mukanya ke kiri jelas kelihatan bagian mulutnya sangat merah. Selesai
menggosoki badannya, benda tadi dibuangnya ke dalam telaga lalu dia mengambil
lagi sebuah gumpalan merah yang sebelumnya terletak di atas ujung batu.
“Orang yang mandi itu jelas
bukan Suwitri….” Kata Jalatunda dalam hati.
“Tapi dia mengatakan aku akan
menemuinya di telaga ini…” Si pemuda meragu apakah dia akan berseru memanggil
atau bagaimana. Saat itu tiba-tiba orang yang sedang mandi melihat sosok tubuh
Jalatunda di ats batu yang ketinggian.
“Bangsat keparat! Berani
mengintai orang mandi!” kutuknya marah sekali.
Dia terjun ke dalam telaga.
Metika muncul di tangan kanannya tergenggam sebuah batu sebesar kepalan. Batu
ini dilemparkannya kea rah Jalatunda, tepat mengenai kepala si pemuda.
Keningnya pecah. Darah menyembur. Tubuh Jalatunda roboh terguling, jatuh
menggelinding ke kaki bukit. Hantaman batu itu sebenarnya tidak akan membuat
mati Jalatunda. Tapi waktu terguling tadi lehenya patah dihantam batu. Dia
megap-megap sesaat lalu diam tak berkutik lai! Mati!
***
TUJUH
Sebuah perahu kayu besar
merapat di Tanjung Karangwelang. Meskipun hanya merupakan sebuah pelabuhan
kecil tapi laut di sini tenang hingga banyak perahu dari pelbagai jurusan lebih
suka merapat di sini. Di samping itu sarana perhubungan berupa jalan dan
jembatan terpelihara baik hingga lalu lintas ke barat, timur dan selatan
berjalan lancar.
Kemunculan perahu besar ini
menarik perhatian banyak orang di sekitar pelabuhan. Boleh dikatakan jarang
sekali perahu besar berlabuh di Tanjung Karangwelang. Tersiar kabar yang
bersumber dari para awak kapal bahwa perahu besar itu adalah milik seorang
saudagar berlian di Martapura yang datang ke situ membawa salah seorang
puterinya yang sedang sakit keras.
Setelah perahu merapat maka
sebuah tandu besar diturunkan, diusung ke darat langsung dinaikkan ke atas
sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Saudagar berlian itu, seorang Cina
she Wong, bersama istri dan anak lelakinya ikut naik kereta.
Beberapa orang lelaki
tampaknya bertindak sebagai pengawal mengiringi kereta tersebut. Tujuan mereka
adalah kediaman seorang tabib yang tinggal di Kaliwungu.
Karena jalan yang baik maka
sebelum tengah hari rombongan itu telah sampai ke rumah sang tabib yang juga
keturunan Cina she Chou bernama Ap Yang. Tabib Chou memang sudah terkenal
sampai jauh ke luar tanah Jawa akan keahliannya mengobati berbagai macam
penyakit serta kemujaraban obatnya. Setelah hampir enam bulan mengobati
penyakit puterinya keluarga Wong memutuskan untuk membawa puteri mereka Wong
Cui Lan ke tanah Jawa, agar dapat diobati langsung oleh tabib Chou tadi.
Mengetahui tamu datang dari
jauh maka tabib Chou memberikan sambutan yang sebaik-baiknya. Sementara para
pembantunya menyiapkan minuman dan hidangan kecil maka dia meminta agar si sakit
langsung dibawa masuk ke dalam kamar periksa, dibaringkan di atas sebuah
ranjang tinggi.
Wong Cui Lan tampak pucat
sekali, kurus dan tertidur pulas. Wong Tam Pie, ayah si sakit segera menuturkan
sakit anaknya yang diderita sejak enam bulan lalu. Berbagai obat telah
diberikan. Bermacam-macam ahli pengobatan telah dimintakan bantuannya.
Namun sakitnya Cui Lan tidak
berkurang, malah keadaan gadis anak ketiga keluarga Wong itu semakin parah.
Setelah mendengar kemasyuran tabib Chou maka mereka memutuskan untuk membawa
Cui Lan pada tabib itu.
Setelah menatap sesaat wajah
si sakit, tabib Chou bertanya “Saudara Wong, para ahli pengobatan terdahulu
apakah mereka ada mengatakan anakmu mengidap sakit apa…?”
Wong Tam Pie gelengkan kepala.
“Tak ada seorangpun yang tahu. Mereka hanya menduga-duga. Malah ada yang bilang
anakku ini penyakitnya aneh….”
“Ada yang menduga dia
diguna-guna orang,” nyonya Wong ikut bicara. Tabib Chou memperhatikan bibir si
sakit yang berwarna kebiru-biruan lalu berkata “Anak kalian tidak sakit karena
guna-guna. Dia menderita kelainan jantung. Hanya saja….”
“Hanya saja bagaimana?” tanya
Wong Tam Pei ketika dilihatnya sang tabib tidak meneruskan ucapannya.
“Hanya saja kalian datang
terlambat…. Mohon dimaafkan saudara Wong”
“Apa maksudmu saudara tabib…?”
“Puterimu sudah meninggal.
Mungkin sekitar satu jam yang lalu.”
Nyonya Wong langsung menjerit
dan meraung. Wong Tam Pei dan puteranya berusaha berlaku tenang.
“Kau… Kau belum lagi
memeriksanya, bagaimana bisa bilang puteriku sudah meninggal?”
“Bibirnya kering dan biru. Itu
tanda yang sangat pasti. Tapi agar kau puas biarlah kuperiksa.” Maka tabib Chou
lalu memegang pergelangan tangan Cui Lan. Dia mengambil beberapa peralatan dan
melakukan beberapa kali pemeriksaan. Kemudain dia berpaling kepada ayah, ibu
dan anak itu sambil geleng-gelengkan kepala.
Wong Tam Pie terduduk
meneteskan air mata. Begitu juga puteranya. Sementara Nyonya Wong terus
menangis keras dan sambil memeluki dan menciumi wajah anak gadisnya.
“Apa yang kami lakukan sekarang?”
tanya anak lelaki Wong.
“Kalian beristirahat saja
dulu. Aku akan memberikan obat pengawet agar jenazah tetap utuh sampai di
Martapura. Cuma kalau aku boleh memberi nasehat, makin cepat kalian membawa
jenazah ke perahu dan berlayar akan makin baik.”
“Eh, kenapa begitu?” tanya
Wong Tam Pie.
Tabib Chou menarik nafas
panjang. “Kalian mungkin tak percaya….. Tapi inilah ceritanya” Lalu tabib Chou
menuturkan peristiwa-peristiwa penculikan atas jenazah enam orang gadis yang
menggemparkan dan mengerikan itu. Tentu saja keluarga Wong cemas bukan main
mendengar penuturan itu. Mereka tak ingin Cui Lan mengalami nasib yang sama.
“Kami mohon petunjukmu saudara
tabib. Kurasa kedatangan kami dengan perahu layar besar telah menarik perhatian
orang. Tak mungkin membendung rahasia. Kalau sang penculik sampai mengetahui
kejadian ini celaka kita….”
Tabib Chou merenung sejenak.
Sesaat kemudian dia berkata. “Ada baiknya kita menyimpan dua buah peti mati.
Satu besar dan satu lagi kecil dan ringan. Peti mati yang besar dibawa dengan
kereta terbuka hingga semua orang dapat melihat. Tapi jenazah puterimu tidak
dimasukkan dalam peti itu. Melainkan dalam peti mati yang kecil. Peti ini
diangkut dengan gerobak barang, ditutupi dengan sayuran. Nah, kalau penculik
muncul, pasti dia akan melarikan kereta yang membawa peti mati besar…” Wong Pie
segera dapat menangkap jalan pikiran tabib Chou. Maka segera apa yang
dinasehatkan tabib itupun dituruti dan segera dilaksanakan.
Udara di pelabuhan terasa
sangat panas. Angin mengandung garam bertiup gersang. Kecuali para pekerja,
kebanyakan orang lebih suka berada dalam bangunan. Sederetan kedai nasi dan
minuman di sepanjang pelabuhan dipenuhi oleh para tamu.
Kebanyakan dari mereka duduk
menikmati makanan atau secangkir kopi sambil ngobrol ngalor ngidul. Namun siang
itu pembicaraan semua orang hampir tidak banyak berbeda di setiap kedai. Mereka
membicarakan perahu besar milik saudagar berlian dari Martapura. Agaknya hampir
semua orang mengetahui kalau perahu milik saudagar Wong itu membawa anak gadis
yang sedang saki untuk diobati oleh tabib Chou.
Dalam salah satu kedai,
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng nampak menyantap nasi rawonnya
dengan lahap. Sesekali kedua matanya malirik pada seorang perempuan yang juga
berada di kedai itu tengah bersantap. Kalau saja perempuan ini tidak muda dan
cantik tidak nanti murid Sinto Gendeng itu melirik terus menerus. Yang dilirik
tampaknya tahu benar kalau dirinya diperhatikan orang, namun dia seperti tak
perduli. Dari pakaian biru ringkas yang dikenakan perempuan itu Wiro maklum
kalau si jelita berkulit kuning langsat ini adalah seorang dari kalangan
persilatan. Maka timbullah niatnya untuk ingin berkenalan. Apalagi wajah
perempuan muda ini mengingatkannya pada wajah Anggini, murid Dewa Tuak yang
pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu (Baca serial Wiro Sableng “Maut
Bernyanyi di Pajajaran”) Namun
sebelum maksdunya kesampaian di luar kedai terdengar ada kehebohan. Banyak
orang berbondong-bondong menuju dermaga.
“Apa yang terjadi…?” tanya pemilik
kedai pada seseorang yang kebetulan lewat.
Orang itu menjawab “Puteri
saudagar Cina yang datang dari seberang itu meninggal. Tabib Chou tak keburu
menolongnya!”
“Ah kasihan….!” Terdengar
desah perempuan berbaju biru tadi. Lalu seperti tamu lainnya dia berdiri dan
melangkah keluar kedai untuk melihat rombongan pembawa jenazah. Wiropun segera
tinggalkan tempat duduknya.
Sebuah kereta terbuka tampak
ditarik oleh dua ekor kuda, bergerak menuju dermaga di mana perahu besar
berada. Di belakangnya ada sebuah kereta lain ditumpangi keluarga Wong. Wong
Tam Pie duduk dengan kepala tertuntuk, mengucurkan air mata, menangis tanpa
suara. Di sebelahnya duduk istrinya yang sepanjang jalan menangis keras tiada
henti. Lalu putera mereka duduk di sebelah kusir kereta dengan kepala tegak
tapi mata merah.
Di kiri kanan kereta mengawal
enam orang. Di sebelah belakang sekali, jauh tertinggal dari rombongan induk
menyusul sebuah gerobak sarat berisi sayur. Orang banyak ikut mengiringi
rombongan itu menuju tepi dermaga. Wiro tegak di samping perempuan cantik
berbaju biru. Dia tengah berpikir-pikir bagaimana cara yang baik untuk menegur
perempuan ini. Tiba-tiba si baju biru berpaling padanya, tersenyum.
Ah pucuk dicinta ulam tiba,
pikir Wiro Sableng. Dia balas tersenyum. Perempuan itu mengulurkan tangannya
menyerahkan sejumlah uang kecil.
“Sahabat, kau tentu mau
menolongku.”
“Tentu saja. Eh, apa ini?”
Si baju biru memasukkan uang
receh itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata “Aku ada keperluan penting.
Tolong berikan uang ini pada pemilik kedai pembayar makanan yang tadi
kusantap!”
Senyum lebar penuh harapan
yang tadi menyeruak di mulut Wiro serta merta lenyap ketika dia mengetahui apa
maksud perempuan cantik itu. Sebelum dia sempat berbuat atau mengatakan
sesuatu, si baju biru telah lenyap di antara orang banyak.
Dengan jengkel Wiro
timang-timang uang itu dan akhirnya melangkah menuju kedai tempat dia makan
tadi. Tetapi langkahnya belum jauh ketika mendadak dari arah dermaga terdengar
suara keributan.
***
DELAPAN
Saat itu Wiro melihat kusir
kereta yang membawa peti mati mencelat mental dan terhempas di jalanan dihantam
tendangan seorang lelaki yang pakaiannya tampak seperti pengemis. Orang ini
kemudian menyambar tali kekang dua ekor kuda lalu menggebarak kedua binatang
itu. Sebelum kereta mayat menghambur, dua orang tampak berusaha menghalangi.
Keduanya adalah Wong Tam Pie dan puteranya.
Masing-masign membawa sebatang
tongkat. Enam orang berkuda ikut pula mencegat. Tapi pengemis di atas keeta
mayat hebat sekali. Dia pergunakan cambuk kuda untuk menghantam oran-orang itu.
Tongkat di tangan Wong Tam Pie mental sedang tongkat di tangan puteranya patah
daua. Lalu enam orang pengawal dihajar dengan cambukan hingga luka-luka
melintir kesakitan.
Peristiwa itu berlangsung cepat
sekali. Hingga ketika Wiro Sableng sampai di tempat itu si pengemis yang
melarikan kereta mayat sudah lenyap di tikungan jalan.
“Kejar!” teriak salah seorang
pengawal. Mukanya tampak luka bekas hantaman cambuk.
“Tidak usah!” Wong Tam Pie
mencegah yang membuat pengawal itu serta kawan-kawannya keheranan.
“Orang itu melarikan peti mati
jenazah puterimu seudagar Wong!” kata si pengawal.
“Biarkan dia mencuri peti dan
jenazh anakku. Semua segera naik ke atas perahu! Dahulukan gerobak sayur itu…!”
Wong Tam Pie, isterinya dan
anak laki-lakinya segera naik keatas perahu besar. Para awak perahu dibantu
oleh enam pengawal tadi menaikkan gerobak sayur ke dalam perahu. Tak lama
kemudian perahu besar itu pun mulai merenggang meninggalkan dermaga. Di atas
anjungan Wong Tam Pie nemapak berdiri dengan wajah lega.
“Untung tabib Chou menyusun
siasat jitu. Kalau tidak pasti jenazah Cui Lan sudah kena diculik penjahat!”
“Heran…” kata puteranya sang
saudagar. “Siapa sebenarnya pencuri tadi. Tampaknya seperti peminta-minta. Apa
perlunya mencuri mayat orang?”
“Akupun tidak mengerti. Dunia
ini semakin tua. Segala kejahatan dan keanehan bisa saja terjadi” kata saudagar
Wong lalu dia masuk beranjak meninggalkan anjungan.
Kita kembali ke pelabuhan. Ada
dua hal yang dirasa aneh oleh murid Sinto Gendeng. Pertama orang berpakaian
pengemis itu melarikan peti mati berisi jenazah puteri saudagar Cina itu. Kedua
mengapa sang saudagar sendiri mencegah para pengawalnya mengejar si pencuri dan
memerintahkan cepat-cepat naik keatas perahu besar. Karena tidak mendapatkan
jawabannya maka Wiro Sableng akhirnya memutuskan untuk mengejar sendiri kereta
mayat yang dibawa kabur itu. Dia menyambar seekor kuda yang tertambat tak jauh
dari situ lalu membedal binatang ini ke arah lenyapnya kereta tadi.
Kira-kira beberapa ratus
tombak dari tikungan jalan Wiro menemukan kereta itu berhenti di tepi jalan.
Penutup peti mati berada dalam keadaan terbuka. Ketika dia meneliti ke dalam
peti ternyata peti itu kosong!
“Jenazh puteri saudagar itu dilarikan….”
Membatin Wiro. Dia coba meneliti keadaan sekitarnya. Tak ada sesuatu yang dapat
dijadikan petunjuk kemana jenazah itu dibawa kabur. Berarti rasa ingintahunya
menemui jalan buntu hanya sampai di situ.
Sementara itu selagi Wiro
berusaha meneylidiki kejadian itu, di pelabuhan telah terjadi lagi kegemparan.
Saat itu orang benyak masih berkumpul di sepanjang dermaga. Mereka membicarakan
apa yang barusan terjadi sambil memandangi perahu besar semakin menjauh ke
tengah laut. Saat itulah seseorang terdengar berteriak.
“Hai! Orang yang melarikan
kereta mayat itu ada di sana! Lihat dia menendang pemilik perahu pukat!”
Semua orang memalingkan kepala
ke jurusan yang ditunjuk. Benar, mereka menyaksikan seorang pemilik perahu
kecil yang biasa dipakai untuk manangkap ikan terjatuh ke dalam air akibat
tendangan lelaki berpakaian pengemis yang tadi diketahui melarikan kereta
pembawa peti mati. Oang itu kemudian mendayung perahu menuju ke tangah laut,
kea rah perahu besar milik saudagar Wong. Yang luar biasanya ialah dia
menggunakan kedua tangannya sebagai pendayung.
Perahu pukat itu seperti
melesat membelah air laut, meluncur cepat di atas air menuju perahu besar.
Membuat semua orang hampir tak mempercayai pemandangan mata meeka sendiri!
“Tak ada manusia yang
mampumendayung perahu dengan tangan seperti itu!” kata seseorang.
“Kalau bukan malaikat pasti
dia seorang sakti luar biasa!” kata seorang lainnya. Lalu ada seorarng lainnya
lagi yang seprti bertanya “Eh, bukankah tadi dia melarikan peti mati berisi
jenazah puteri Cina itu! Sekarang seperti hendak mengejar perahu besar! Apa
yang hendak dilakukannya?!”
Orang banyak semakin
berjejalan di sepanjangan dermaga. Tak lama kemudian pukat itu berhasil
menyusul perahu besar, lalu tak selang berapa lama setelah itu tampak asap
hitam mengepul di atas perahu besar.
“Perahu besar itu terbakar!”
teriak orang banyak berbarengan.
Pada saat itulah Wiro sampai
kembali ke pelabuhan, dan ikut menyaksikan perahu besar dimakan kobaran api.
Perahu pukat tadi untuk beberapa lamanya tidak kelihatan lagi. Namun seseorang
kemudian melihat dan berseru ketika pukat itu tampak seperti menyeruak di
antara kepulan asap hitam, meluncur ke arah timur dan akhirya lenyap di titik
batas pemadangan.
“Apakah kalian semua di sini
hanya bisa menonton tanpa melakukan sesutau untuk menolong?!” Satu suara
terdengar di antara kerumunan orang banyak. Yang bicara ternyata adalah seorang
kakek mengenakan kain dan selempang putih. Mulutnya komat kamit. Kedua matanya
yang kelabu menatap jau ke tengah lautan, kea rah perahu besar yang diamuk api.
“Ah, empu Tembikar tupanya….”
Kata seseorang. Orang ini seperti sadar segera berteriak. “Yang memiliki perahu
besar itu!” Lalu dia mendahului lebih dari selusin perahu kecil didayung cepat
menuju perahu kayu yang terbakar. Namun nyala api besar sekali. Sebelum
orang0orang itu berhasil mendekat, perahu telah hampir musnah. Di antara
isinya, hanya dua orang awak kapal yang sempat menyelamatkan diri, terjun ke
laut lalu berenang sambil berpegangan pada potongan papan. Keduanya segera
ditolong dan dibawa ke darat. Sampai di darat mereka segera dihujani pertanyaan
apa yang terjadi. Kenapa perahu itu sampai terbakar. Salah seorang dari awak
perahu memberi keterangan tak jelas dari mana asalnya api. Ketika kebakaran itu
diketahui, kobaran api telah mengamuk hebat. Dan ini terjadi pada tiga bagian
perahu. Yakni buritan, bagian palka tengah lalu anjungan. Persediaan air di
perahu itu ternyata tidak mencukupi karena sewaktu berlabuh di Tanjung
Karangwelang belum sempat mengisi air.
Di dalam suasana kacau
beberapa orang awak kapal sempat melihat kemunculan tiba-tiba pengemis yang
sebelumnya diketahui telah melarikan kereta pembawa peti jenazah Cui Lan. Dia
tampak mengobrak abrik beberapa bagian perahu tanpa seorangpun awak kapal atau
keluarga saudagar Wong dan para pengawalnya dapat mencegah. Karena saat itu
masing-masing berusaha memadamkan api bahkan lebih banyak ingin menyelamatkan
diri dalam kebingungan. Pengemis tadi kemudian menemukan sebuha peti kayu yang
tersembunyi di bawah tumpukan sayur mayur dalam gerobak. Dia langsung
membukanya dan mengambil jenazah Cui Lan, puteri Saudagar Wong. Begitu dia
mendapatkan jenazah itu pengemis tersebut segera meninggalkan perahu besar,
melompat ke dalam perahu pukat, mengayuhnya menjauhi perahu besar dan lenyap!
Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk-garuk kepala mendengar keterangan awak perahu itu. Sejak beberapa bulan
lalu dia memang pernah mendengar peristiwa-peristiwa menggemparkan tentang
dicuri atau diculiknya jenazah anak gadis atau perempuan muda yang belum kawin.
Apakah artinya semua ini. Apa perlunya seseorang menculik mayat? Dan kabarnya
penculik itu adalah seorang pengemis, seperti manusia yang tadi disaksikannya
melairkan kereta mayat!
Di tengah laut perahu besar
itu hanya tinggal tiang-tiangnya saja yan gkelihatan. Baian lainnya sudah
musnah dimakan api dan enggelam ceraiberai ke dalam air laut. Asap hitam masih
mengepul-ngepul. Wiro yang saat itu ikut memandang kea rah kapal yang hampir
lenyap tiba-tiba dikagetkan oleh sesosok tubuh yan gtahu-tahu sudah tegak tepat
di depannya.
Ternyata yang berdiri di
hadapannya saat itu adalah kakek berpakaian putih yang tadi didengarnya
dipanggil dengan sebutan Empu Tembikar. Orang tua ini memandang tak berkedip
tepat ke wajah Wiro dengan sepasang matanya yang kelabu.
“Kau orang pandai. Tapi hanya
berpangku tangan!” Orang tua ini berkata. Suaranya tandas seperti menghukum.
Wiro berkedip. Hendak
menjawab. Tapi Empu Tembikar sudah meninggalkannya. Penasaran maka Wiro Sableng
mengikuti orang tua itu. Jauh sekali dia berjalan mengikuti hingga akhirnya
sampai di sebuah tambak ikan asin. Di sini Empu Tembikar membalikkan tubuhnya
dan bertanya “Mengapa kau mengikutiku?!”
“Ingin tahu apa maksud
ucapanmu tadi, orang tua?” balik bertanya murid Sinto Gendeng.
“Oh, jadi kau masih tidak
tahu. Ternyata kau tolol melompong. Aku tak suka bicara dengan orang pandir.
Apalagi orang pandir yang tidak tahu kebodohannya sendiri!”
“Kebodohan apa yang telah
kuperbuat?!” tanya Wiro dengan menahan jengkel.
“Aku tahu kau mampu menolong
orang-orang di kapal yang terbakar tadi itu. Tapi mengapa kau tidak melakukan
sesuatu….?”
Wiro garuk lagi kepalanya.
Lalu menjawab “Mampu belum tentu bisa. Perahu besar itu terbakar cepat sekali.
Ketika aku sampai di dermaga sudah hampir musnah. Kulihat banyak yang mencoba
turun ke laut untuk emnolong. Nyatanya mereka tidak dapat melakukan apa-apa.
Aku sama saja dengan manusia-manusia itu. Bukan orang pandai atau dewa yang
mempu malakukan pertolongan ajaib….!”
Si kakek bermata kelabu
tiba-tiba tertawa.
“Kau pandai bicara mencari
alas an. Ketika kereta pembawa peti mati dilarikan orang, kaupun bertindak
lalai….”
“Aku mengejar. Tapi kutemui
peti mati itu telah kosong,” menerangkan Wiro.
“Itu karena kau bertindak
terlambat. Apakah gurumu tak pernah mengajarkan bahwa soal waktu itu bisa sama
harganya dengan selembar nyawa manusia….?”
“Kau menyebut-nyebut guruku.
Apakah kau kenal dia?”
Si kakek angkat bahu lalu
melangkah pergi. Tapi Wiro cepat pegang bahunya.
“Orang tua, tunggu dulu. Tadi
kau menyebut aku berpangku tangan. Bodoh, pandir, lalai dan sebagainya. Aku mau
tanya. Apa saja yang telah kau lakukan selama kejadian-kejadian yang
menggemparkan di pelabuhan itu. Hanya bicara….?”
Paras orang tua itu sekilas
berubah. Kemudian dia tampak tersenyum.
“Orang tua adalah tempat
bertanya. Orang tua sumber petunjuk. Sebaliknya orang muda seperti kau adalah
para pelaksana….”
“Kalau begitu alangkah enaknya
jadi orang tua. Hanya tinggal bicara lalu menyalahkan orang muda….!”
“Terserah kalau kau
berpendapat seperti itu…”
Wiro tak mengacuhkan kata-kata
si mata kelabu itu. Dia berkata “Kalau katamu orang tua tempat bertanya, orang
tua sumber petunjuk. Lalu petunjuk apa yang dapat kau berikan saat ini?!”
“Bagus kau bertanya begitu.
Apakah kau ada mendengar peristiwa-peristiwa buruk yang dialami jenazah para
gadis di kawasan ini?”
“Tidak,” jawab Wiro sengaja
berdusta. “Apa petunjukmu selanjutnya?”
“Kejahatan itu harus
dihentikan!” jawab Empu Tembikar.
“Kenapa kau tidak
menghentikan?”
“Karena ada seorang lain yang
harus menghentikannya?”
“Siapa?” tanya Wiro.
“Kau….!”
Wiro melengak kaget.
“Mengapa musti aku?”
“Aku tidak tahu!”
“Kau tahu siapa pelaku
kejahatan itu? Pendulik itu?”
“Aku tidak tahu” jawab Empu
Tembikar.
“Kau mungkin tahu dimana
kediamannya?” tanya Wiro lagi.
“Aku tidak tahu. Tapi ada
petunjuk dia selalu membuang jenazah culikannya di arah timur, tenggara atau
timur lautan utan Roban.”
“Kalau dia menculik kemudian
membuang jenazah begitu saja, apa perlunya dia melakukan itu?”
“Untuk mengambil jantung dan
hati gadis yang mati itu!”
Wiro merasa tengkuknya jadi
dingin.
“Apa guna jantung dan hati
itu? Untuk disantap? Ih!”
Empu Tembikar mengeluarkan
segulung kertas dari balik selempang kain putihnya.
“Seseorang memberikan kertas
surat ini tiga tahun lalu padaku. Ambil dan bacalah isinya. Mungkin kau akan
mendapat petunjuk lebih lanjut….”
Habis berkata begitu Empu
Tembikar melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
***
SEMBILAN
Wiro Sableng mencari pohon
rindang dan duduk di bawahnya, pada pematang tambak ikan asin. Meskipun
matahari sore bersinar terik tapi tiupan angin yang sepoi-sepoi membuat udara
cukup nyaman. Pendekar ini membuka gulungan keras yang tadi diberikan Embpu
Tembikar. Tulisan di kertas itu cukup panjang, ditulis dengan huruf-huruf yang
membentuk tulisan bagus sekali. Wiro mulai membaca.
INTI SARI KEHIDUPAN INDAH KAUM
PEREMPUAN
Sejak dunia terkembang, sejak
perempuan dilahirkan di dunia, diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam, ada satu
kekuatan yang selalu menghantui kaum perempuan. Mereka takut dimakan usia.
Mereka takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan menjadi……
Belum sampai Wiro
menyelesaikan membaca kalimat terakhir itu tiba-tiba dia merasa ada angin yang
menyambar dari belakang kiri. Pendekar ini cepat menghantam dengan tangan
kirinya namun dia hanya memukul tempat kosong. Bersamaan dengan itu hidungnya
mencium bau harum. Sudut matanya menangkap gerakan sosok tubuh di samping
kanan. Secepat kilat murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan kunyuk melempar buah.
Satu gelombang angin deras membuntal. Tapi lagi-lagi pendekar ini kecele.
Ternyata kembali dia menghantam tempat kosong. Malah saat itu satu dorongan
yang luar biasa hebatnya membuat terhuyung-huyung ke kiri.
“Setan alas keparat!” maki
Wiro.
Selagi dia berusaha
mengimbangi diri, kertas yang ada dalam pegangan tangan kirinya tahu-tahu
disambar lepas. Dia kembali melihat gerakan orang sangat cepat dan berusaha
menelikung dengan tangan kanann sambil memukul denagn tangan kiri. Pess…!!!
Terdengar suara mendesis. Wiro
Sableng masih belum sempat melihat siapa adanya orang yang menyerang dan
merampas kertas tahu-tahu di sekelilingnya membuntal asap hitam berbau harum
aneh. Pemuda ini bukan saja jadi tertutup pemandangannya namun juga merasakan
sekujur tubuhnya menjadi lemas. Untung dia cepat sadar. Sambil tutup jalan
pernafasan, tangan kanan cepat memegang hulu Kapak Naga Geni 212. Hawa panas
segera menjalar dari hulu kapak. Tubuhnya yang kebal racun kini samakin
terlindungi oleh hawa panas mujizat yang keluar dari senjata mustika itu.
Perlahan-lahan kekuatannya pulih.
Asap hitam juga mulai lenyap.
Pemandangannya terang kembali. Tapi orang yang tadi belum sempat dilihatnya
dengan jelas, jangankan mukanya, sosok tubuhnya hampir tak terlihat, telah
lenyap dari tempat itu. Wiro Sableng memaki panjang pendek. Bagaimana hal itu
bisa terjadi. Bagaimana mungkin dia tidak bisa atau tidak punya kesempatan
melihat siapa adanya orang yang muncul dengan tiba-tiba lalu merampas kertas
yang sedang dibacanya. Wiro diam-diam menyadari.
Dan ini membuat tengkuknya
dingin. Jika orang tadi siapa pun adanya mau mencelakainya atau membunuhnya,
pasti halitu dapat dilakukannya. Wiro memandang jauh ke depan, kea rah tambak
ikan asin yang luas sementara matahari sore semakin redup. Pendekar ini
geleng-geleng kepala.
“Guru sendiri tidak sehebat
itu gerakannya. Belum pernah kujumpai manusia yang dapat bergerak demikina
cepat seperti kilat. Heh, apa betul dia manusia….? Bukan setan maghrib yang
kesasar? Dan bau harum aneh itu….?”
Pendekar 212 Wiro Sableng
cepat berdiri. Dia memandang berkeliling. Lalu dengan perasaan tetap tidak enak
dia segera tinggalkan tempat itu. Warok Kunto Rekso yang berjalan paling depan
memimpin hampir lima puluh orang anak buahnya hentikan langkah, mendongak kea
rah bukit di ujung pohon beringin. Hari itu adalah hari ketiga pengungsian yang
mereka lakukan sejak pasukan kerajaan menyerbu hutan Roban, menghancurkan
kelompok gerombolan rampok yang ada di situ. Jika saja dia tidak bertindak
cepat pasti kelompok yang dipimpinnya juga akan mengalami bencana yang sama.
Setelah masih jauh ke dalam hutan Roban, berputar-putar di pedalaman yang
sebelumnya tak pernah dijejakinya akhirnya siang itu mereka sampai di tempat
itu.
Kunto Rekso menyuruh anak
buahnya beristirahat sementara dia sendiri mulai memanjat bukit batu untuk
menyelisiki kadaan di atas sana. Namun tiba-tiba hidungnya mencium bau busuk.
Kepala rampok yang sudah berpengalaman ini segera mengetahui bau busuk itu
adalah bau bangkai manusia. Dia memandang berkeliling, lalu bergerak ke jurusan
kiri dari arah mana bau busuk daang dengan santar. Kunto Rekso tak perlu
mencari susah payah. Sosok tubuh itu segera ditemuinya. Terkapar melintang di
bawah sebtanag pohon berlumut. Betapa kagetnya kepala rampok ini ketika mengeahui
mayat busuk itu ternyata adalah mayat Jalatunda, pemuda pembantu juru masak
yang dianggapnya gila dan membangkang untuk ikut bersamanya.
“Buang mayat ini jauh-jauh
dari sini,” kata Kunto Rekso pada anak buahnya.
“Aku akan menyelidiki ke atas
bukit sana. Jika keadaan di sini cukup baik, aku memilih kita mendirikan
perkampungan baru di sini.” Lalu kepala rampok ini meneruskan maksudnya semula
menyelidiki ke puncak bukit batu. Penciumannya merasakan di atas sana ada air.
Dan betul memang. Ketika dia sampai di puncak bukit batu, di sebelah bawah
seberang depannya dilihatnya sebuah telaga berair hijau membiru. Di tengah
telaga tampak sebuah batu licin rat hampir berbentuk sebuah meja.
Kunto Rekso menarik nafas
dalam-dalam. Udara di tempat itu ternyata sejuk dan segar sekali.
“Ini tempat yang baik! Sangat
cocok untuk markas baruku!” Lalu kepala rampok ini mengeluarkan suara suitan
nyaring, memberi isyarat pada anak buahnya untuk segera naik ke atas.
Siang itu juga Kunto Rekso
memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan pembangunan perkampungan.
Beberapa pohon besar ditebang untuk diambil kayunya. Menjelang malam tiba baru
mereka berhenti bekerja. Besok pagi pekerjaan itu akan diteruskan.
Akan tetapi pada pagi harinya
justru terjadi kegemparan di antara rombongan perampok pimpinan Warok Kunto
Rekso. Sang pimpinan masih mengorok ketika seorang anak buahnya membangunkan.
“Keparat jaah! Mau kupecahkan
kepalamu berani membangunkanku?!”
“Warok, ada kejadian hebat.
Lima orang anggota kita kedapatan mati!” kata anggota rampok yang membangunkan
lalu cepat-cepat melompat mundur karena takut dihantam jotosan pemimpinnya.
“Apa katamu?!” Waro Kunto
Rekso melompat dari tidurnya. “Sipa yang amti…?!”
“Mereka dibunuh!” kata seorang
anggota lainnya.Lalu membawa Kunto Rekso ke kaki bukit batu di ujung kanan. Di
situ tergelimpang lima anak buahnya yang telah jadi mayat. Ketika diperiksa apa
yang dilaporkan tadi memang betul. Lima anggota rampok itu mati dibunuh. Leher
masing-masing tampak ketakutan tampak terkulai tanda patah!
“Keparta! Edan! Siapa yang
melakukan….?!” Sentak Kunto Rekso. Kunto
Rekso berpaling di batang
pohon itu tampak tertempel sehelai kertas yang dibubuhi tulisan. Sambil
menggereng menahan geram Kunto Rekso renggutkan kertas itu lalu membacanya dengan
pelipis bergerak-gerak.
Lima mayat itu adalah
peringatan pertama dan terakhir. Daerah ini adalah daerah kekuasaanku. Tak
seorangpun boleh menginjakkan kaki di sini. Apalagi hendak membangun
perkampungan. Sebelum matahari tinggi pagi ini, segera tinggalkan tempat!
“Setan alas!” kutuk Kunto
Rekso. “Siapa yang membuat surat ini pengecut! Tak berani memberitahu nama!”
Kepala rampok itu remas kertas itu sampai lumat. Berkali-kali dia membuat
gerakan seperti hendak mencabut golok besar di pinggangnya. Gerahamnya
terdengar jelas bergemeletakan.
“Pemimpin, apa yang harus kita
lakukan….?” Seorang anak buahnya bertanya.
“Apa yang harus kita lakukan?
Tolol! Tentu saja meneruskan pembangunan perkampungan! Di sini! Di tempat ini!”
“Tapi surat itu.”
“Keparat! Apa kau harus takut
pada selembar kertas?!” Kunto Rekso bantingkan kertas yang tadi diremasnya ke
tanah. “Semua teruskan pekerjaan! Aku akan mengawasi. Ku mau lihat siapa
manusianya yang berani membunuhi anak buahku! Jika dia muncul kucincang
tubuhnya dari kepala sampai kaki!”
Begitulah sementara beberapa
orang mengurus maya lima anggota rampok yang terbunuh secara aneh itu, yang
lain-lainnya meneruskan pekerjaan membangun perumahan. Warok Kunto Rekso
mengawasi dari atas pohon. Sesekali dia turun ke bawah dan berkeliling meneliti
keadaan. Sampai sore hari, bahkan ketika siang berganti malam tak terjadi
apa-apa. Tak ada yang muncul mengganggu atau menghalangi. Meskipun hanya lega
sedikit namun Kunto Rekso tetap merasa was-was.
Mengingat kematian lima anak
buahnya itu, dia ingat pula pada mayat Jalatunda yang ditemuinya sebelumnya.
Bukan mustahil Jalatunda mati dibunuh oleh orang yang sama. Tapi orang itu
sendiri siapa?
Begitu malam tiba Kunto Rekso
berjaga-jaga di atas pohon sementara selusin anak buahnya berganti-ganti
melakukan penjagaan di sebelah bawah. Tampaknya malam hari itupun akan berlalu
dengan tenang. Namun ternyata tidak!
Belum lagi sinar matahari pagi
sempat menembus kelebatan dedaunan pepohonan di kaki bukit batu itu, kehebohan
terjadi. Lima dari selusin anggota rampok yang melakukan pengawalan ditemui
telah menjadi mayat. Mati dengan cara yang sama seperti lima kawannya
terdahulu. Yakni dengan leher patah!
“Keparat anjing kurap!” teriak
Kunto Rekso menggeledek seraya cabut golok besarnya. Senjata ini diputarnya
berdesing-desing di atas kepala. Anak buahnya menjauh ketakutan.
“Ini sudah keterlaluan!
Keparat! Manusia pengecut! Keluar dari persembunyian-mu! Jangan hanya berani
membunuh secara membokong!”
Sesaat setelah bentakan kepala
rampok itu berakhir, mendadak terdengar suara tertawa melengking. Tak dapat
diduga apakah itu suara manusia, lelaki atau perempuan, ataukah suara jin
pelayangan!
“Lihat!” seorang anggota
rampok berseru seraya menunjuk ke atas.
Semua orang termasuk Warok
Kunto Rekso sama mendongak. Entah dari mana datangnya saat itu tampak melayang
sehelai kertas. Sekali lompat saja kertas itu sudah di tangkap Kunto Rekso
dengan tangan kirinya. Di situ terdapat beberapa baris tulisan.
Peringatan telah diabaikan.
Hukuman harus dijatuhkan. Sebelah mata sudah berkecukupan. Jika masih
membangkang jantung jadi imbalan!
Bergetar sekujur tubuh kepala
rampok itu. Bukan karena dia takut membaca surat tersebut, tetapi karena
menahan amarah yang tidak tahu hendak dilampiaskan pada siapa. Sambil meremas
kertas dengan tangan kiri dan sepasang mata memandang berkelilnga ke atas,
rahang menggembung dan geraham bergemeletukan, Warok Kunto Rekso tiba-tiba
lemparkan golok besarnya kea rah mana tadi datangnya suara tertawa aneh itu.
Golok besar dan berat itu melesat laksana anak panah, menembus kerapatan daun
pepohonan dan menancap di cabang bercagak tiga.
“Bangsat! Keparat!” maki Kunto
Rekso begitu mengetahui lemparan goloknya tidak mengenai sasaran apa-apa.
Di saat itu justru kembali
terdengar suara tawa mwlwngking. Lalu tiba-tiba saja meluncur sebuah benda
putih berkilat sepanjang ukuran jari kelingking. Begitu cepatnya benda ini
melesat hingga sukar dilihat bentuknya. Yang jelas itu adalah sebuah senjata
rahasia.
Ketika melihat benda ini Warok
Kunto Rekso meskipun menggebrak marah tapi mengenggap enteng. Kalau cuma satu
senjata rahasia yang terlihat jelas seperti itu siapa takut, kertaknya. Lalu
kepala rampok hutan Roban yang ditakuti ini secepat kilat menyambar golok
seorang anak buahnya. Dengan senjata ini dia memapas ke depan untuk menghantam
senjata rahasia yang melesat ke arah kepalanya.
Tring!
Golok dan senjata rahasia
bentrokan di udara keluarkan suara nyaring.Warok Kunto merasakan tangannya
bergetar hebat sementara goloknya patah dua tapi dirinya selamat dari serangan
senjata rahasia itu. Sementara itu matanya yang tajam kembali dapat menangkap
gerakan sesosok tubuh di atas pohon sebelah kiri. Secepat kilat patahan golok
yang masih digenggamnya dilemparkan ke arah gerakan itu. Namun baru saja golok
melesar lepas mendadak dari samping kembali melesat sebuah benda putih
berkilat. Betapapun hebat dan cepatnya kepala rampok itu kali ini taak mungkin
baginya untuk menyelamatkan kepalanya. Bahkan seorang anak buahnya yang
berusaha membantu dengan hantaman pedang gagal. Senjata rahasia itu menderu dan
menancap tepat di mata kirinya, menembus sampai belakang telinga!
Sang Warok meraung setinggi
langit. Darah muncrat membasahi mukanya. Dia lari kian kemari, berteriak tiada
henti dan memukul apa saja yang berada di dekatnya. Seorang anak buahnya yang
berkepandaian cukup tinggi segera menotok pelipis dan urat leher pimpinannya
ini. Meskipun darah terus mengucur namun rasa sakit berkurang sedikit.
“Setan! Tempat ini dikuasai
setan! Ada setannya!” kata Kunto Rekso. Dia merobek bajunya dan menggunakan
potongan kain ini untuk menutupi matanya yang bocor.
“Tinggalkan tempat ini! Semua
tinggalkan tempat ini!” perintahnya.
“Kami siap Warok. Tapi kita
menuju kemana?” bertanya seorang anggota rampok.
“Jalan saja dulu!” sahut Kunto
Rekso. “Mungkin kita menuju ke utara. Aku tak pasti. Yang penting tinggalkan
tempat celaka ini!”
Maka rombongan rampok yang
telah kehilangan sepuluh anggotanya itu segera tinggalkan tempat tersebut.
Mereka kemudian memang menuju ke utara. Di daerah pantai mereka membangun
sebuah perkampungan. Kelak di kemudian hari Warok Kunto Rekso merobah jalan
hidupnya yang sesat, dari rampok hutan daratan, menjadi perampok lautan. Dia
kemudian dikenal dengan julukan Bajak Laut Mata Satu.
Sementara mereka berlalu, di
kejauhan terdengar tawa melengking, panjang dan membuat bulu kuduk para
penjahat itu menjadi dingin. Masing-masing mempercepat langkah. Bukan meustahil
bencana yang lebih celaka akan menimpa mereka.
***
SEPULUH
Desa Wonotunggal terletak di
daerah berbukit-bukit yang sangat subur. Hasil sayur mayurnya yang segar-segar
dan beraneka macam menyebabkan desa ini terkenal di sepanjang pantai utara Jawa
Tengah bahkan sampai jauh ke pedalaman.
Dari hasil lading maupun sawah
dan peternakan, rata-rata penduduk Wonotunggal hidup berkecukpan. Di samping
itu ada hal lain yang membuat desa ini terkenal jauh sampai kemana-mana. Hal
ini ialah tentang para gadisnya yang rata-rata berkulit putih, senang
memelihara rambut panjang, berparas jelita ditambah dengan raut tubuh yang elok
mempesona.
Hal yang satu ini menyebabkan
banyak pemuda-pemuda dari desa-desa lain sering datang ke situ atau orang tua
sengaja pergi ke sana untuk meninjau menjajagi kemungkinan bagi mereka atau
putera mereka untuk mendapatka jodoh yang diidamkan. Umumnya para pemuda dan
orang tua tidak mengalami kekecewaan.
Mereka dating dan selalu
kembali dengan berita bagus, mendapatkan calon yang dapat dipersunting beberapa
bulan mendatang. Memang mereka harus cepat melaksanakan hajat baik itu, kalau
tidak sang dara akan jatuh ke tangan orang lain. Karenanya desa Wonotunggal
boleh dikatakan hampir setiap bulan selalu diramaikan dengan adanya pesta
perkawinan di sertai hiburan seperti wayang eong, wayang kulit atau ketoprak.
Dari sekian banyak bunga harum
jelita desa Wonotunggal, ada satu sekuntum yang memiliki kelebihan dari pada
dara-dara lainnya hingga dia menjadi primadona, bunga tercantik dari segala
bunga indah. Gadis ini anak seorang pemilik kebun tebu, berusia menjelang
delapan belas tahun. Melihat kepada usia pada masa itu banyak para gadis telah
berumah tangga pada umur enam belas atau tujuh belas. Bahkan terkadang di usia
lima atau empat belas. Karenanya usia dara yang satu ini, yang menjelang
delapan belas dianggap sudah melewati batas keharusan untuk kawin.
Namun demikian sang dara
sendiri ataupun orang tuanya tidak menganggap demikian. Malah semakin bertambah
usianya, semakin semarak bentuk badannya, semakin jelita parasnya dan semakin
matang sikap lakunya. Semua ini membuat semakin banyak pemuda yang
tergila-gila. Semakin banyak orang tua yang ingin agar putera mereka dapat
mempersunting sang dara. Namun Wilani, demikian nama sang dara kabarnya masih
belum mendapatkan pemuda yang berkenan di hatinya. Kabarnya pula sang orang tua
belum mendapatkan calon menantu yang cocok. Akibatnya lambat laun penduduk desa
menganggap Wilani dan orang tuanya jual mahal, ingin mencari suami yang gagah
serta kaya. Padahal tidak demikian adanya. Dan segala anggap pergunjingan yang dilakukan
orang banyak membuat nama gadis itu semakin tambah terkenal. Memang Wilani
memiliki banyak kelebihan dari gadis-gadis Wonotunggal lainnya. Parasnya bulat
telur, kulitnya licin putih dan mulus. Rambutnya hitam panjang sepinggang,
selalu kelihatan berkilat dan menabur bau minyak yang harum.
Sepasang matanya bening
seperti bersinar laksana bintang timur, dihiasi oleh sepasang alis tebal bak
bulan sabit dan sebaris bulu mata hitam lentik. Hidungnya kecil mancung.
Pipinya selalu merah seperti pauh dilayang. Bibirnya tak pernah memakai gincu
tetapi senantiasa merah oleh kesegaran yang memancar dari dalam tubuhnya.
Barisan gigi-giginya rata dan putih. Kalau dia tersenyum, cantiknya bukan main.
Siapa yang melihat pasti akan merasakan nafasnya sesak sesaat. Raut tubuhnya
ramping di pinggang besar di dada dan pinggul. Kalau berjalan lenggoknya
membuat para pemuda menelan air ludah. Banyak yang berusaha untuk mencuri
pandang pada sepasang betisnya yang terkadang tersingkap dari balik kain
panjang yang dikenakannya.
Segala kesemarakan kecantikan
dan keindahan tubuh Wilani itu tiba-tiba saja menjadi redup. desa Wonotunggal
kini diselimuti kesedihan. Sejak seminggu berselang dikabarkanWilani telah
jatuh sakit. Telah berbagai macam obat diberikan namun sakitnya tidak
berkurang, malah makin bertambah. Makanan maupun minuman sulit melewati
mulutnya. Akibatnya dikabarkan tubuhnya yang dulu bagus itu kini menjadi kurus.
Wajahnya yang dulu cantik jelita itu kini menjadi cekung.
Beberapa orang pandai termasuk
para dukun ahli pengobatan kabarnya telah pula dipanggil. Tapi sampai hari
kedua puluh satu sakit sang dara masih belum dapat dipulihkan. Banyak para
pemuda yang ingin datang menjenguk melihat si sakit.
Namun menurut orang tua
Wilani, anak mereka itu mengidap sejens penyakit menular. Hingga semua orang
yang ingin melihat dimintakan untuk tidak masuk ke dalam kamar di mana gadis
itu terbaring. Kalau Wilani sampai akhirnya meninggal dunia sebelum sempat
menginjak jenjang perkawinan, alangkah malangnya nasib gadis itu.
Demikian orang sedesa
berpendapat dengan rasa haru kasihan tentunya. Suatu malam, Ronocula, lelaki
yang menjadi kepala desa Wonotunggal datang menemui kedua orang tua Wilani.
Selama ini telah beberapa kali dia mengunjungi mereka namun sebegitu jauh tidaak
mendapat kesempatan untuk melihat sendiri si sakit. Diapun tidak memaksa karena
kalau memang Wilani menderita penyakit menular, siapa mau kebagian penyakit
berbahaya itu.
“Mas Prayit….” Kata Ronocula
pada ayah Wilani. “Aku dan orang sedesa selalu mendoakan agar puterimu yang
sedang loro itu ditolong oleh Gusti Allah dan dapat cepat disembuhkan dari
penyakitnya….”
“Terima kasih dimas Ronocula,”
jawab Prayit.
Ucapan seperti itu sudah
berulang kali didengarnya dari mulut sang kepala desa.
“Kami tidak mengharapkan
musibah menimpa keluargamu mas. Hanya saja, kalau puterimu diambil oleh Yang
Kuasa, ada satu hal yang harus kita perhatikan. Kau kita semua harus
berjaga-jaga….”
“Berjaga-jaga bagaimana
maksudmu dimas Ronocula?”
Lalu kepala desa itu menerangkan
tentang kisah tujuh gadis yang menggegerkan. Ketujuh jenazah gadis itu diculik
oleh seorang aneh yang selalu muncul seperti pengemis. Selang satu dua hari
kemudian mayatnya ditemukan kembali di pinggiran hutan Roban. Tapi hati dan
jantungnya telah lenyap dan jenazahnya rusak mengerikan.
“Aku memang ada juga mendengar
hal itu,” kata Prayit. “Tapi kukira semua itu hanya cerita kosong belaka…. Apa
perlunya orang menculik mayat…”
“Jangan bicara seperti itu mas
Prayit. Dunia sekarang ini semakin aneh. Berbagai kejadian yang tak masuk akal
bisa terjadi. Kejahatan di luar batas kemanusiaan berlangsung sulit dipercaya.
Nyawa manusia hampir tak ada harganya.
Kau ingat penuturan kepala
desa terdahulu, tentang orang-orang yang tengah mencoba kehebatan ilmunya? Membunuh
orang lain secara semena-mena demi untuk
kepentingan ilmunya….?”
Prayit terdiam sesaat. Lalu
dengan datar karena keletihan lelaki ini berkata
“Kalau cerita penculikan itu
memang benar, kuharap puteriku tidak akan mengalami nasib seperti itu…”
“Itu yang kita harapkan mas.
Namun berharap tanpa melakukan sesuatu, jika nanti sudah kejadian maka jangan
sampai ada penyesalan seumur hidup…”
“Lalu bagaimana menurutmu? Apa
yang baik yang harus kita lakukan…?’
“Kita harus membentukbarisan
pengamanan. Aku sendiri yang akan mengepalainya. Barisan ini terdiri dari lima
orang anak buahku, ditambah dengan guru silat Bagus Menakdari dukuh
Jatiwangi….”
“Terima kasih kalau kau mau
melakukan itu dimas,” kata Prayit gembira. Dia tahu sebagai kepala desa
Ronocula memiliki kepandaian silat yang dapat diandalkan, memiliki jimat yang
kabarnya membuat dirinya kebal segala macam senjata. Apalagi kalau guru silat
Bagus Menak bersama anak-anak muridnya itu membantu. “Aku akan merasa aman….”
Katanya menambahkan. “Hanya saja, yang paling baik adalah kalau puteriku dapat
disembuhkan. Kau dan yang lain-lainnya tak perlu bersusah payah….”
“Itulah yang selalu kami doa
dan harapkan,” sahut Ronocula.
Tapi doa dan harapan orang
sedesa Wonotunggal itu tidak tercapai. Dua hari setelah kedatangan kepala desa
tersebut, pada suatu pagi, belum lagi sang surya muncul, seisi desa telah
mendengar kabar duka datang dari rumah keluarga pemilik perkebunan tebu itu,
Wilani, puteri mereka telah meninggal dunia. Hampir seluruh penduduk desa datang
melayat dengan harapan dapat melihat paras gadis yang malang itu untuk terakhir
kali. Namun mereka kecewa karena ternyata jenazah telah dimandikan dan
dikafani. Menurut keluarga hal itu perlu dilakukan dengan cepat mengingat
kekhawatiran penyakit menular yang diderita si sakit akan menebar.
Di luar rumah, di antara
puluhan pelayat kelihatan kepala desa Ronocula duduk berdampingan dengan
seorang lelaki bertopi merah, berpakaian serba putih. Sehelai kain sarung
tersilang di bahunya. Orang yang bersikap pendiam tak banyak bicara ini adalah
guru silat Bagus Menak yang telah datang bersama Sembilan muridnya. Kesembilan
murid silat ini bersama-saa lima pembantu kepala desa senantiasa berkeliling
menjaga keamanan sesuai dengan yang direncanakan.
Karena pekuburan terletak
cukup jauh di luar desa maka setelah jenazah disembahyangkan dan dimasukkan ke
dalam usungan lalu dinaikkan ke atas sebuah gerobak terbuka, ditarik oleh dua
ekor sapi, dikusiri oleh seorang lelaki tua berwajah kotor dan berpakaian
tebal. Agaknya kusir gerobak ini memakai lebih dari sehelai pakaian. Namun
karena semua perhatian orang lebih tertuju pada keluarga yang ditimpa musibah
itu maka tak seorangpun yang memperhatikan keanehan pakaian kusir gerobak itu.
Juga tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir gerobak tersebut bukanlah
penduduk desa Wonotunggal ataupun desa tetangga. Juga tak seorangpun ingin atau
merasa perlu tahu bagaimana kusir bersama gerobaknya tahu-tahu sudah ada di
sana, padahal bukan kusir dan gerobak itulah yang semula dipesan.
Di bawah matahari pagi
rombongan pengantar jenazah bergerak menuju pekuburan, mengikuti gerobak sapi
yang berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan, udara yang tadi cerah tampak
mendung. Prayit memberi isyarat agar pemakaman segera dilakukan secepatnya
sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan dari gerobak sapi, jenazah
dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat. Pada saat jenazah dikeluarkan
inilah tiba-tiba kusir gerobak menanggalkan pakaiannya. Di balik pakaian itu
kelihatan pakaian lain yang penuh tambalan, kotor dan bau!
“Pengemis penculik!” teriak
Ronocula yang entah kenapa sejak memasuki tanah pemakaman tiba-tiba saja dia
menjadi curiga terhadap kusir gerobak itu.
Semua orang terkejut. Guru
silat Bagus Menak memberi isyarat ada Sembilan anak buahnya. Maka enam belas
orang, termasuk Ronocula segera mengurung kusir gerobak itu.
Sang kusir berdiri di atas
gerobak, menyeringai lalu tertawa panjang. Tawanya lenyap ketika tiba-tiba
Ronocula berteriak “Ringkus manusia itu!”
Para pengurung serta merta
menyerbu. Tak ada satupun yan gmenggunakan senjata. Mereka berpikir, untuk
menangkap seorang pengemis tua seperti itu, apa perlunya pakai senjata. Tapi
ketika empat orang terpental dan terjengkang roboh kena tendangan kaki serta
hantaman pengemis itu barulah mereka sadar. Ronocula segera cabut kerisnya,
Bagus Menak tanggalkan kain sarungnya yang ternyata di bagian dalam diisi
dengan potongan besi lentur.
Pengemis tadi kembali tertawa.
Kini dia mendahului menyerang. Bagus Menak sambut dengan hantaman kain sarung,
Ronocula datang dari samping dengan tusukan keris. Enam orang lainnya menggebuk
dengan berbagai senjata, mulai dari pisau, kelewang atau golok. Sementara itu
hujan rintik-rintik mulai turun. Prayit memperhatikan semua apa yang terjadi dengan
wajah pucat sementara kebanyakan para pengantar berusaha menjauhkan diri dan
memperhatikan apa yang selanjutnya terjadi dengan penuh cemas.
Hantaman kain sarung Bagus
Menak mengeluarkanangin deras. Tusukan keris Ronocula membuat angin berdesing.
Belum lagi senjata-senjata yang lain yang datang membabat. Tak dapat tidak
kusir gerobak itu akan tersatai dan tercincang tubuhnya.Tapi apa yang kemudian
terjadi justru kebalikannya.
Bagus Menak, guru silat lihay
berseru kaget ketika kain sarung dibetot lawan dan dia tak dapat
mempertahankan. Cepat orang ini gerakkan potongan besi yang terlindung di balik
kain sarung. Potongan besi itu kemudian melentur keras dan melesat kea rah
perut kusir gerobak. Tapi sebelum mencapai sasarannya pengemis di atas gerobak lepaskan
betotan pada kain sarung. Akibatnya Bagus Menak terhuyung ke belakang oleh daya
tarik kekuatannya sendiri sedang potongan besi melenceng ke samping menghantam
dua orang muridnya. Kedua orang ini terpekik kesakitan. Kepala dan wajah
keduanya tampak benjut.
Ronocula yakin sekali tusukan
kerisnya akan menancap di dada kiri pengemis. Hanya saja keyakinan ini berubah
jadi keterkejutan ketika orang yang diserangnya tiba-tiba melompat dan dengan
sekali menggerakkan tangan kanan senjata itu berhasil dirampasnya. Ronocula
keluarkan keringat dingin. Dia melihat empat senjata orang-orang yang ada di
pihaknya masih terus memburu lawan. Karenanya dia merasa ada kesempatan untuk
menyerbu sekalipun dengan tangan kosong.
Pengemis di atas gerobak
kembali melompat. Dua penyerang kembali mental sambil menjerit kesakitan.
“Makan kerismu ini!” pengemis
itu tiba-tiba berteriak dan tusukkan keris kepala desa kepada pemiliknya
sendiri. Dan sekian puluh pasang mata menyaksikan bahwa Ronocula sebenarnya
tidak kebal senjata. Keris miliknya sendiri menancap di dada, tepat di bawah
tenggorokannya.
Sebelum roboh kepala desa ini
masih sempat berteriak “Lindungi jenazah! Lindungi jenazah!”
Tapi percuma saja. Sebelum ada
yang sempat bergerak untuk melindungi jenazah Wilani, manusia berpakain
pengemis itu sudah lebih dulu berkelebat merampas jenazah lalu dipanggulnya di
bahu kiri.
Bagus Menak cepat menyerbu.
Masih dengan menggunakan kain sarung. Tapi kali ini nasibnya jauh lebih buruk
dari tadi. Tendangan si penculik jenazah mendarat sangat cepat di dadanya.
Tubuhnya terpuruk ke kolong gerobak muntah darah lalau tak bergerak lagi, entah
pingsan entah mati.
“He….he….!” Pengemis penculik
tertawa. “Jika perlu di antara kalian yang masih merasa memerlukan mayat gadis
ini, silakan datang ke hutan Roban sebelah timur besok malam!”
Habis berkata begitu penculik
ini cepat berkelebat. Tetapi empat orang anak murid Bagus Menak yang menjadi
kalap melihat kematian guru mereka, meskipun sadar bahwa penculik itu bukanlah
tandingan mereka, tetap saja menghadang dan menyerbu dengan senjata di tangan.
“Manusia-manusia tolol!” maki
pengemis penculik. “Mencari mati dengan percuma!” Tangan kanannya menghantam.
Kakinya sebelah kiri menyusul menendang. Dua anak murid Bagus Menak di sebelah
kanan terpelanting muntah darah.
“Ada lagi yang minta mampus?!”
Si pengemis menantang sambil menyeringai. Tak ada yang berani membuka suara.
Tak ada yang bergerak. Prayit, ayah Wilani terduduk setengah pingsan di tanah
dan digotong orang ke bawah pohon. Si penculik keluarkan tawa melengkingnya
lalu berkelebat dan cepat sekali tubuhnya bersama jenazah Wilani lenyap di
ujung pekuburan.
***
SEBELAS
Begitu keluar dari daerah
pekuburan pengemis penculik itu melarikan diri ke jurusan selatan, memasuki
hutan Roban yang angker. Dia berlari terus tanpa berhenti, tanpa merasa
kebaratan oleh sosok jenazah yang berada di bahu kirinya. Semakin ke dalam
hutan itu semakin rapat. Sinar matahari semakin sulit menembus kelebatan
daun-daun pepohonan, udara bertambah lembab dan gelap. Tapi si pengemis dapat
berlari sangat cepat. Jelas dia tahu sekali seluk beluk belantara ini.
Di satu bagian hutan yang
tidak pernah didatangi manusia si penculik membelok tajam ke kanan hingga
akhirnya dia sampai ke kaki sebuah bukit batu. Di sini barulah dia menghentikan
larinya, tapi hanya sesaat. Seringai aneh tersungging di mulutnya. Dari
tenggorokannya terdengar suara suitan keras. Lalu mulutnya berteriak.
“Pengusaha hari tua! Aku
datang membawa obat penawar usia!”
Habis berkata begitu dia
melompat mendaki bukit batu. Bukan hal yang mudah mendaki bukti batu berlumut
licin itu, apalagi secepat yang dilakukan si pengemis. Ditambah pula dengan
beban berat jenazah manusia pada bahu kirinya.
Tapi nyatanya semua itu
dilakukan dengan mudah oleh si penculik. Sampai di puncak bukit dia memandang
ke bawah. Ke arah telaga berair hijau kebiruan. Inilah bukit batu dan telaga
yang beberapa waktu lalu hendak dijadikan markas oleh Warok Kunto Rekoso.
Sepasang mata si pengemis tampak bersinar-sinar. Dari mulutnya kembali
terdengar suara siutan. Lalu dia melompat ke bawah, menuruni bukit batu hingga
akhirnya sampai di tepi telaga. Dengan satu lompatan besar dia berhasil
mencapai pertengahan telaga dimana terdapat sebuah batu besar rata berbentuk
meja.
Jenazah Wilani diturunkannya
lalu dibaringkan di atas batu besar itu. Sekilas tampak dia menyeringai sambil
pandangi sosok jenazah yang masih tertutup rapi oleh kain kafan. Beberapa kali
jenazah itu dibelai dan ditepuk-tepuknya.
“Bersabarlah…..bersabarlah…..”
katanya. “Aku akan ganti pakaian dulu. Aku akan berdandan dan berhias….” Lalu
pengemis ini putar tubuhnya dan melompat ke tepi telaga sebelah timur di mana
tumbuh sekelompok tanaman berbunga putih kecil-kecil.
Di sebelah belakang terdapat
lamping bebatuan menghitam datar. Dengan tangan kirinya pengemis itu mendorong
lampingan batu datar. Aneh, batu itu perlahan-lahan menggeser ke samping. Di
bekas dudukan batu itu kini tampak sebuah pintu dan di belakang pintu batu ini
muncul sebuah ruangan batu yang berwarna kelabu. Merapat ke dinding tengah
sebelah dalam ada sebuah pembaringan yang terbuat dari batu beralaskan kain
lembut tebal hampir menyerupai permadani.
Lalu ada dua buah kursi
mengapit sebuah meja kecil yang juga terbua dari batu. Di sudut lain terdapat ruangan
cekung pada dinding menyerupai lemari tanpa pintu. Dalam lemari ini kelihatan
tergantung pakaian yang kebanyakan berwarna biru. Ternyata ruangan batu itu
tidak bedanya dengan sebuah kamar tidur! Ada asap tipis keluar di sudut kanan
yang menebar bau harum semerbak. Pengemis tadi melangkah masuk. Dari dalam
lemari batu diturunkannya sehelai jubah panjang berwarna biru. Dengan jubah ini
dia menutupi sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai kaki. Pada bagian kepala
jubah terdapat dua buah lobang. Rupanya lobang-lobang ini dibuat demikian rupa
agar si pemakai jubah dapat melihat ke luar.
Setelah mengenakan jubah biru,
pengemis tadi melangkah ke luar kamar. Tanpa menutup kembali pintu batu dia
menuju ke telaga di hadapan pintu yang terbuka. Dari sebuah celah dia
mengeluarkan beberapa potong kayu warna warni lalu dedaunan seperti ramuan
obat. Terakhir dia mengambil pula sebuah cawan batu berisi minyak yang sangat
harum. Tanpa menganggalkan jubah ataupun pakaian pengemisnya orang ini masuk ke
dalam telaga. Tampaknya dia hendak mandi.
Berlangir mungkin. Sampai
matahari di luar hutan menjadi redup dan ambang sore siap memasuki malam si
pengemis masih belum keluar dari air telaga. Tak lama kemudian terdenganr suara
nyanyian. Suara nyanyian ini begitu perlahan dan halus sehingga sulit ditangkap
kata-kata yang dilafalkannya. Namun jelas suara itu adalah suara perempuan.
Tempat itu semakin gelap.
Tiba-tiba si pengemis keluar dari dalam air. Tubuhnya masih tertutup jubah
rapat. Kini tubuh itu mengeluarkan bau yang sangat harum. Sekeluarnya dari
dalam telaga, pengemis tadi tidak segera menuju ke ruangan batu, tapi dari
sebuah tempat di ujung barat telaga dia mengeluarkan hampir dua lusin potongan
bambu yang ternyata adalah obor. Ketika obor itu dinyalakannya dan dipasang
sekeliling telaga, keadaan di tempat itu menjadi terang, tetapi deperti
dikungkung oleh kesunyian yang menegakkan bulu roma. Sesaat pengemis berjubah
menatap ke arah batu di atas telaga di mana masih terbaring jenazah Wilani.
Kemudian agak tergegas dia
melangkah menuju pintu batu. Membukanya, masuk ke dalam ruangan batu dan
menutupnya. Lapat-lapat kemudian kembali terdengar suara nyanyian itu terdengar
tak putus-putusnya. Tepat ketika malam sampai pada pertengahan suara nyanyian
itu lenyap dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian pintu batu tampak bergeser ke
samping. Di ambang pintu batu itu kini tampak berdiri sesosok tubuh.
Orang ini tidak berpakaian
pengemis ataupun berjubah. Tetapi mengenakan pakaian biru yang terbuat dari
bahan sangat tipis. Dan ternyata dia adalah seorang dara berparas sangat
cantik, berkulit putih mulus. Demikian tipisnya pakaian biru yang dikenakannya
hingga nyala obor di sekeliling telaga membuat pakaian itu menjadi tembus
pandang dan auratnya yang ramping bagus kelihatan membayang jelas!
Dengan langkah ringan dan
wajah berseri-seri dara jelita ini melangkah ke tepi telaga. Ada sebuah benda
di tangan kanannya yan gberkilauan tertimpa api obor. Benda ini ternyata adalah
sebilah pisau besar yang sangat tajam matanya dan runcing ujungnya.
Waktu sampai di tepi telaga
sang dara hentikan langakh. Dia mendongak ke atas dan pejamkan kedua matanya.
Mulutnya kelihatan begerak-gerak seperti tengah melafatkan sesuatu. Mantera?
Sesaat kemudaian kepala itu diturunkan perlahan-lahan.
Sepasang mata dibuka kembali
dan kini memandang tepat-tepat tak berkedip ke arah jenazah di atas batu hitam.
Satu suitan nyaring seperti menembus langit di atas rimba belantara gelap itu.
Bersamaan dengan itu sosok tubuh berpakaian biru itu melesat ke tengah telaga, mendarat
tepat di atas batu besar.
“Penguasa hari tua!” sang dara
baju biru tiba-tiba berteriak. “Dipertengahan malam dingin ini aku kembali
datang! Obat penawar usia sudah tersedia! Tiba saatnya untuk melakukan hajat!”
Dara jelita angkat
tinggi-tinggi pisau di tangan kanannya ke atas. Beberapa kalai senjata ini
dibolang-balingkannya dalam gerakan menusuk, membabat, membacok ataupun
menikam. Setiap sambaran pisau mengeluarkan suara bersiuran disertai kalauan
akibat pantulan nyala obor sekeliling telaga.
Sesaat kemudian
gerakan-gerakan itu berubah menjadi lamban. Lalu perlahan-lahan pisau besar
diletakkan di atas batu, tepat di kepala jenazah. Sang dara sesaat pejamkan
mata,kembali mulutnya bergerk-gerak. Lalu kelihatan jari-jari tangannya
bergerak ke tubuh jenazah. Sambil membuka kedua mata dia mulai mambuka tali
kain putih pengikat jenazah di bagian perut. Nafasnya memburu dan panas.
Dadanya turun naik tanda dia tengah diselubungi satu gejolak yang dahsyat.
Selesai membuka tali pengikat di bagian perut, kini jari-jari tangannya pindah
ke atas siap untuk membuka tali pengikat di atas kepala!
Ketika kain kafan di bagian
kepala jenazah tersingkap lebar, deua manusia sama-sama tersentak kaget! Sang
dara sampai tersurut beberapa langkah. Hampir jatuh ke dalam telaga!
“Keparat! Siapa kau?!”
“Setan alas! Kau sendiri
siapa?!”
Dua bentakan menggeledek di
malam buta!
***
DUA BELAS
Sosok jenazah di atas batu
besar di tengah telaga tiba-tiba melesat tegak. Bret….! Bret….! Bret….! Kain
kafan putih yang membungkusnya robek-robek mulai dari ujung kaki sampai kepala.
Mengerikam! Apakah jasad Wilani yang sudah jadi mayat itu kini hidup kembali?!
Tetapi sosok tubuh yang kemudian tampak tegak di atas batu besar itu bukanlah
sosok tubuh Wilani. Melainkan sosok tubuh seorang pemuda berambut gondrong. Dia
mengenakan pakaian putih dengan baju tersingkap hingga dadanya yang telanjang
kelihatan tegap penuh otot. Di dada kanan ada guratan biru kehitaman susunan
tiga angka yakni 212. Di pinggang kirinya tersisip sebuah senjata berupa kapak
bermata dua yang berkilau-kilau tertimpa cahaya obor! Pemuda di atas batu –
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 – menyeringai tapi penuh waspada.
“Jadi kau rupanya!” desisnya.
“Tidak disangka gadis secantikmu ternyata penculik hutan Roban yang ganas itu!
Bukankah kau gadis yang kutemui di kedai di Tanjung Karangwelang?!”
Gadis berbaju biru tipis tak
menjawab. Sepasang matanya tampak seperti dikobari api, memandang tak berkedip
pada Wiro Sableng. Wajahnya yang memebersitkan hawa ganas itu justru membuatnya
tambah cantik di mata pendekar kita! Diam-diam dia ingat bau harum yang pernah
tercium olehnya beberapa waktu yang lalu. Bau yang sama kini berada di
sekelilingnya, bersumber oada tubuh yang bagus mulus itu.
“Kau juga orangnya yang
merampas surat yang kuterima dari Empu Tembikar! Pasti…!” kata Wiro Sableng.
Lalu dia geleng-gelengkan kepala. “Kalau tidak turun tangan dan melihat dengan
mata kepala sendiri sulit dipercaya. Kau yang begini cantik ternyata seorang
manusia iblis! Tujuh mayat gadis sudah kau lahap jadi korban! Aku hampir jadi
korban yang kedelapan! Tapi….ha….ha….ha….!” Wiro tertawa bergelak. “Kau tentu
tidak doyan jantung dan hati lelaki jelek sepertiku ini! ha…ha…ha….! Hari ini
kedokmu terbuka! Riwayatmu tamat sudah!”
Entah mengapa sang dara masih
tak membuka mulut. Mungkin masih terkesiap oleh rasa tak percaya atas apa yang
terjadi dan disaksikannya saat itu.
“Pemuda keparat! Penipu!”
tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut sang dara.
“Menipu jauh lebih baik dari
pada pembongkar jenazah!” tukas Wiro Sableng.
“Lagi pula kalau tidak
menyamar jadi mayat, bagaimana mungkin aku bisa menjbakmu seperti ini…!”
“Selanjutnya kau tak perlu
menyamar lagi! Kau benar-benar akan jadi mayat!” desis gadis berbaju biru.
“Sebelum mampus katakan siapa namamu!”
Wiro tersenyum.
“Namaku jelek. Tak pantas
diberi tahu pada gadis secantikmu. Hanya saja orang-orang tolol di luar sana
menyebutku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Aku sudah menyangka! Jadi kau
adalah murid nenek keparat Sinto Gendeng dari gunung Gede itu!”
“Hemm… Kau tahu juga asal usul
guruku!” ujar Wiro meski diam-diam merasa heran.”Tahukah kau bahwa hari ini kau
harus menebus semua kejahatanmu dengan selembar jiwamu?!” Namun dalam hatinya
Wiro bertanya-tanya akan tegakah dia membunuh seorang dara paling cantik yang
pernah ditemuinya ini? Di samping itu dia merasa perlu untuk mengorek
keterangan sebanyak-banyaknya dari perempuan ini. “Dengar, aku ada satu
pertanyaan. Mengapa kau melakukan semua kejahatan itu….?”
“Kau tidak layak bertanya! Kau
hanya layak mampus detik ini juga!”
Begitu bentakannya lenyap dara
baju biru itu langsung berkelebat. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu satu hantaman
angin yang luar biasa kerasnya menerpa Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika terjadi perampasan
surat Empu Tembikar di tambak ikan, Wiro sudah tahu jelas bahwa si perampas
memiliki kecepatan gerak luar biasa hingga tubuhnya sulit dilihat dengan jelas.
Saat itu dia kembali berhadapan dengan manusia lihay tersebut. Ilmu meringankan
tubuh sang dara jelas berada di atas tingkat kepandaiannya. Kalau sang dara
juga memiliki ilmu silat dan kesaktian di atasnya, celakanya aku pikir Wiro.
Begitu angin datang menerpa
Wiro Sableng melompat ke atas, jungkir balik lalu balas menghantam dengan
tangan kanan. Lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Gumpalan angin dahsyat
bergulung laksana batu besar menggelundung. Byarr!
Pukulan murid Sinto Gendeng
hanya mengenai air telaga hingga muncrat belasan tombak ke atas. Dikejap itu
pula dia melihat bayangan biru berkelebat dan satu sodokan siku menghantam
perutnya. Meskipun dia bisa mengelak namaun tak urung siku lawan masih
menyerempet. Perutnya terasa seperti mau pecah. Selagi dia menahan sakit satu
jotosan menyusul melabrak dada kirinya. Tubuhnya terhempas jauh dari atas batu
besar, masuk ke dalam telaga. Ternyata telaga itu hanya sedalam pinggang Wiro.
Murid Sinto Gendeng menahan sakit sambil menyumpah. Seumur hidup baru sekali
itu dia menghadapi lawan yang demikian hebat hingga dalam gebrakan pertama saja
dia sudah menerima dua hantaman!
Sadar kalau lawan tak mungkin
diimbangi kecepatan gerakannya maka dari dalam telaga Wiro lepaskan
pukulan-pukulan saktinya. Dia membuka serangan dengan pukulan Topan Melanda
Samudra. Suara seperti angin punting beliung menderu mengeirkan. Api obor
sepanjang tepi telaga berkelap kelip. Air telaga seperti mendidih dan muncrat
di sana sini. Daun-daun pepohonan jatuh berguguran.
Gadis baju biru yang berada di
ujung batu besar merasakan tubuhnya seperti hendak digulung ombak besar. Dia
melengking keras lalu menghantam dengan kedua tangan. Dua larik sinar biru
menggebubu, memporak porandakan serangan Wiro, membuat pendekar ini kaget
setengah mati. Ternyata sang dara memiliki pukulan sakti yang sanggup
memusnahkan serangannya tadi!
“Celaka! Gadis gila ini
memiliki pukulan sakti luar biasa! Ah, apakah aku harus mampus di tangannya?
Gila!” rutuk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Kalau tadi dia mengandalkan
setengah bagian saja dari tenaga dalamnya maka kini dia mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya. Kedua tangannya. Sepanjang ingatan Wiro baru
sekali itu dia mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menghadapi lawan.
Sesaat sebelum dua larik sinar
biru menghantam dada dan kepalanya Wiro Sableng pukulkan kedua tangannya.
Terdengar suara menderu-deru susul menyusul.
Gadis baju biru tersentak
kaget ketika melihat sinar pukulannya tertahan saja. Karena sedetik kemudian
deru angin yang tidak berhenti itu menggulung balik dua larik sinar pukulannya,
menyertnya ke belakang lalu menghempaskannya ke arah diri sendiri.
Sang dara berteriak keras.
Tubuhnya mencelat ke udara. Gerakannya hampir tak terlihat, tapi suaranya jelas
terdengar membuat Wiro mengetahui dimana lawan berada. Maka pukulan sakti
bernama Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih yang tadi telah dilepaskannya
kembali kini dihantamkan ke ats ke arah lawan. Dengan cerdik si baju biru
layangkan tubuhnya ke kiri. Menyangka lawan hendak larikan diri Wiro berseru
“Pengecut! Jangan kabur!”
“Keparat! Aku tidak akan
meninggalkan tempat ini sebelum nyawamu lepas meninggalkan tubuh!” teriak sang
dara. Lalu dalam satu gerakan aneh, laksana seekor burung pemakan mayat,
tubuhnya menyambar ke bawah. Tangan kanan menusuk ke arah mata, tangan kiri
mencari sasaran di tenggorokan Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang
menahan kekuatan tenaga dalam penuh melompat keluar dari air. Sambut serangan
lawan dengan memukulkan kedua lengannya. Dua pasang tangan beradu!
Wiro kembali terhempas ke
dalam telaga, hampir terjengkang ke dalam air. Sekujur tubuhnya terasa panas.
Di lain pihak dilihatnya dara berpakaian biru terpental satu tombak sambil
keluarkan suara menjerit tapi cepat jatuhkan diri di atas batu besar.
Dari gerakannya menjatuhkan
diri Wiro dapat memastikan gadis ini menderita cidera yang tidak enteng. Maka
dia segera memburu untuk membekuknya hidup-hidup. Tapi baru saja bergerak ke
arah batu, lima bauh benda putih berkilat menyambar ke arahnya!
“Senjata rahasia! Pengecut!”
teriak Wiro.
Sang dara keluarkan tawa
mengekeh. Selama ini paling banyak dia hanya mengeluarkan tiga buah senjaa
rahasia seperti itu dalam menghadapi lawan tangguh. Dan tak pernah satu pun
lawan yang luput dari kematian. Kini lima senjata rahasia berbentuk paku itu
dilepaskan sekaligus! Masakan tidak akan dapat manghantam lawan barang satupun?
Namun hari itu sang dara
menyaksikan bahwa kehebatan senjata rahasianya tidak berdaya ketika Wiro tanpa
tedeng aling-aling lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan tangan kanannya.
Terdengar suara menggelegar disertai kiblatan sinar menyilaukan. Air telaga menggejolak
tinggi. Batu besar hitam ditengah sana hancur lebur. Sang dara berseru tegang.
Tubuhnya tampak melesat ke kiri. Kecepatan gerakannya menyelamatkan dirinya
dari kematian. Namun tak urung bahu pakaian birunya yang terserempet sinar
pukulan terbakar hangus. Daging bahunya ikut terluka. Sakitnya bukan kepalang,
laksana tertempel besi panas!
Selagi lawan kesakitan, Wiro
pergunakan kesempatan untuk menerkam. Kaki kanannya mencelat lebih dulu. Namun
saat itu terdengar suara pesss….! Asap hitam mendadak sontak membuntal menutupi
seantero telaga.
Ketika terjadi perampasan
surat di tambak ikan, Wiro telah mengalami hal yang sama. Dia tak mau tertpu
untuk kedua kali. Lawan hendak melarikan diri dengan menutupi tabir pemandangan
denga asap hitam berbau harum aneh itu. Maka murid Sinto Gendeng cepat melesat
ke udara, melompat naik ke atas cabang sebatang pohon.
Dari sini dia dapat melihat
jelas keadaan di bawah telaga sampai jauh ke tepi sana. Dan saat itu dilihatnya
gadis berbaju biru berkelebat ke jurusan timur. Serta merta Wiro melayang
turun, memapasi dan menghadang sang dara! Kagetnya si gadis bukan kepalang.
Marah, penasaran tapi
diam-diam juga kagm melihat kehebatan pemuda itu, dia lepaskan lagi senjata
rahasianya. Kali ini sepuluh paku berkilat sekaligus!
“Curang!” maki Wiro. Tangan
kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip Kapak Maut Naga Geni 212. Sekali
senjata itu diputar maka berkiblatlah sinar putih menggidikkan. Sepuluh senjata
rahasia luruh, jatuh ke tanah dan telaga dalam keadaan luluh lantak!
Kini luluh pula nyali sang
dara. Namun untuk menyerah tak ada dalam kamus hidupnya. Dia lebih suka mengadu
jiwa dengan pemuda itu, maka segera dia menyerbu lagi. Tetapi sesuatu tiba-tiba
dirasakannya menempel di lehernya. Dingin menggidikkan. Memandang ke depan kini
tengkuknyalah yang dingin. Si pemuda tegak sambil menyeringai. Kapak Naga Geni
212 tergenggam di tangan kanannya. Salah satu mata kapak menempel ke batang
tenggorokan gadis itu, mulai mengiris bagian kulit yang halus hingga sang dara mengerenyit
kesakitan.
“Bunuh! Bunuhlah! Aku tidak
takut mati!” kata gadis itu.
Wiro Sableng masih tegak
menyeringai. Dalam rimba persilatan, manusia iblis seperti gadis ini tak banyak
cerita lagi harus segera dibunuh dimusnahkan. Tetapi entah mengapa tangan yang
memegang kapak itu tidak juga mau bergerak. Kemudian Wiro melihat sepasang mata
si gadis mulai berkaca-kaca. Susah payah dia berusaha menahan tangis.
Bagaimanapun jahatnya, dia tetap saja seorang perempuan. Air mata menetes
membasahi kedua pipinya.
“Bunuhlah….. Lekas bunuh!”
terdengar kata-kata itu meluncur berulang kali dari mulutnya. Namun kini tidak
sekeras tadi, semakin perlahan semakin memilukan. Wiro kertakkan rahang. Tangan
kanannya bergerak. Mata kapak melesat tapi menjauhi leher. Di lain kejap,
bagian gagangnya yang tumpul membalik, menusuk ke depan, menotok tepat bagian
leher dekat dada kiri sang dara. Tak ampun tubuh gadis ini melosoh jatuh, tak
bisa bergerak lagi. Tapi jalan suaranya tetap terbuka tidak putus. Sepasang
matanya yang basah menatap ke arah Wiro.
“Kenapa tidak kau bunuh?
Bukankah kau sengaja menjebakku agar dapat membunuhku….?” Berkata sang dara.
Saat itu Wiro sudah sisipkan
Kapak Maut Naga Geni 212 kembali ke pinggangnya.
“Dosamu memang sudah lewat
takaran. Kematian memang yang paling pantas bagimu. Namun aku perlu beberapa
keterangan….”
“Jangan mengoceh! Saat ini
bukan tempatnya untuk bertutur cakap. Cabut kapakmu tetakkan ke kepalaku!”
Wiro gelengkan kepala.
“Aku ingin tahu kenapa kau
melakukan itu semua? Menculik mayat para gadis. Mengorek jantung dan
hatinya….!”
“Itu bukan urusanmu!”
“Kau betul, itu bukan
urusanku,” ujar Wiro.
“Lalu kenapa tidak kau bunuh
aku saat ini?!”
“Kau juga merampas surat yang
kudapat daari Empu Tembikar….
Mengapa….. Itu bukan suratmu atau
surat kekasihmu…..!”
“Jangan coba melucu! Demi
penguasa usia, bunuh aku detik ini juga. Sekali aku lepas aku akan
membunuhmu….!”
Wiro tertawa.
“Katakan, siapa yang kau sebut
penguasa usia itu….!”
Paras sang dara berubah. Dia
baru sadar kalau telah ketelepasan bicara. Tapi dia bungkam seribu bahasa.
“Ketika sore tadi kau sampai
ke tempat ini, kau juga berteriak menyebut nama itu. Apakah dia sebangsa
makhluk yang menjerumuskanmu ke dalam perbuatan iblis itu?!”
“Dia tidak menjerumuskanku!
Semua yang terjadi adalah kemauan dan sumpahku sendiri!”
“Aku tak ingin bicara lebih
banyak. Yang aku inginkan saat ini adalah mati! Bunuh aku!”
“Dalam usia semuda ini, dengan
paras begini cantik, apakah kau tidak takut mati…..?”
“Aku bukan manusia kecoak
pengecut yang takut mati sepertimu!”
“Jangan bicara takabur orang
cantik. Tak ada satu manusiapun yang tidak takut pada kematian. Termasuk kau!
Jika kau mati, bukankah apa yang kau lakukan selama ini hanya berarti
kesia-siaan belaka?!”
“Aku telah menemukan apa yang
kuinginkan. Matipun kini aku tidak takut!”
“Kalau begitu katakan apa yang
telah kau temukan itu!”
“Bangsat ini pandai bicara
mengorek keterangan!” maki si gadis dalam hati. ”Lebih baik aku mengunci
mulut!” Maka diapun tidak bicara apa-apa lagi.
Wiro pegang bahu sang dara
sesaat. Kedua mata si gadis tampak melotot.
“Jangan kau berani menyentuh
tubuhku!” sentaknya.
“Dengar, aku tak mungkin
membunuh lawan yang tidak berdaya seperti keadaanmu ini. Kalau kau mau memberi
keterangan, mungkin aku akan mempertimbangkan utnuk melepaskanmu…..”
Si gadis tertawa.
“Aku tahu jenis pemuda macammu
ini. Merayu untuk mendapatakan sesuatu. Begitu dapat ……Cis!”
Wiro tetawa panjang, lalu
berkata “Kau tak mau bicara tak apa. Aku akan pergi dari sini….”
“Tidak! Kau tak boleh pergi
sebelum membunuhku!”
“Aku memang akan kembali,”
jawab Wiro. “Tapi kembali membawa binatang buas dan berbisa! Biar harimau dan
serigala lapar mencabik-cabik tubuhmu! Biar ular dan laba-laba seta
kalajengking berbisa mematuki dagingmu yang putih…” Lalu tanpa mengacuhkan lagi
murid Sinto Gendeng melangkah meninggalkan sang dara.
Kedua mata sang gadis kembali
tampak melotot. Kemudian terdengar suaranya meratap memilukan hati. Wiro
berjalan terus sampai akhirnya tiba-tiba dia mendengar gadis itu berseru
“Jangan pergi! Kembalilah….. Aku akan terangkan apa yang kau minta….”
Sekali lompat saja Wiro sudah
berada di hadapan gadis itu kembali.
“Nah, sekarang katakanlah
riwayatmu yang menggegerkan itu! Asal muasal sampai kau melakukan kejahatab
ganas luar biasa!”
Sesaat sang dara masih
tersedu-sedu. Namun perlahan-lahan dia kemudian mulai memberi keterangan.
“Semua berasal dari keinginan
gila…. Tidak, tidak gila. Sebenarnya wajarwajar saja. Setiap perempuan tak
ingin jadi tua. Takut dimakan usia…..”
“Hemm…. Aku ingat bunyi surat
yang kau rampas itu. Sama dengan keteranganmu. Perempuan takut dimakan usia….”
“Aku sengaja merampas surat
itu. Karena kawatir dapat kau jadikan bahan untuk menyelidiki diriku. Aku sudah
curiga tindak tandukmu sejak di Tanjung Karangwelang…. Hanya saja aku yang
bodoh. Ketika jenazah yang kukira jenazah Wilani itu kuculik, seharusnya aku
sadar mengapa jenazah itu begitu berat. Padahal tubuhnya pasti kurus karena dia
menderita sakit sekian lama….” Kini aku tahu, kau yang mengatur semua itu
bukan?”
Wiro mengangguk. “Apa hubungan
antara kejahatan yang kau lakukan dengan rasa takutmu dimakan usia….?’
“Seseorang mengatakan, jika
seorang perempuan berusia di bawah dua puluh tiga tahun inginkan tetap awet
muda sampai akhir hayatnya maka dia harus melakukan sesuatu. Sesuatu itu
adalah….”
“Menculik anak perawan yang
mati, mengambil jantung dan hatinya lalu memakannya!” potong Wiro.
“Aku memang menculik dan
mengambil hati serta jantung mereka. Tapi aku tidak memakannya!” sahut sang dara.
“Lalu?”
“Hati dan jantung harus
kuambil paling sedikit tujuh kali untuk digosokkan pada muka dan sekujur tubuh.
Itulah kekuatan mukjizat yang sanggup membuat seseorang perempuan menjadi tetap
muda seumur hidupnya….”
“Kau percaya pada kekuatan
gila itu?!”
Si gadis tak menjawab.
“Siapa yang menanamkan
kepercayaan itu padamu?” tanya Wiro.
“Empu Tembikar!”
“Edan! Tapi mengapa dia
memberikan padaku surat yang bisa membuka rahasia dirimu itu! Mengapa dia
menyuruh aku bertindak ketika terjadi kebakaran di atas perahu Cina itu…?”
“Mungkin….mungkin dia menyesal
telah memberitahukan hal itu padaku. Atau mungkin dia menyadari berlangir
dengan hati dan jantung anak perawan tidak mungkin dapat menahan ketuaan….”
“Lalu siapa penguasa usia yang
beberapa kali kau pekikkan itu?”
“Aku tidak tahu. Empu
mengatakan aku harus mengeluarkan ucapan itu setiap aku mendapat jenazah baru…”
Wiro menarik nafas dalam.
“Dunia penuh keanehan. Terkadang keanehan itu terselubung tangan iblis utnuk
menimbulkan bencana.” Sesaat Wiro menatap paras si gadis. “Katamu kau
mendapatkan ilmu awer muda itu dari Empu Tembikar. Apakah dia juga yang
mengajarkan ilmu silat hebat itu padamu…?”
“Kau bunuhpun aku tak bakal
memberi tahu siapa guruku dalam ilmu silat dan kesaktian. Beliau tidak ada
sangkut pautnya dngan kejahatan yang kuperbuat!”
“Kau murid yang baik,” kata
Wiro.
Si gadis tundukkan
pandangannya. “Sekarang kau sudah tahu semua riwayatku….”
“Belum semua.”
“Maksudmu?”
“Aku belum tahu siapa
namamu…?”
“Lebih baik kau tak perlu tahu
namaku…”
“Begitu? Umur dunia masih
panjang. Usia kita memungkinkan sewaktu-waktu kita bertemu lagi. Sungguh tidak
enak kalau aku tidak tahu namamu…”
“Ucapanmu seperti kau memang
bena-benar tak ingin membunuhku. Malah ingin bertemu lagi…”
Wiro angkat tangan kirinya.
Jari-jari tangannya diluruskan. Lalu dengan gerakan perlahan dia melepaskan
totokan di dada si gadis. Meskipun totokannya kini terlepas namun si gadis itu
tidak segera berdiri atau melompat menjauh. Sepasang matanya kembali tampak
berkaca-kaca.
“Kau bebas sekarang. Kau boleh
pergi kemana kau suka. Asal saja kau berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu
dulu. Menyamar jadi pengemis lalu menculik anak perawan orang…. Ha…ha…ha.
Tahu-tahu yang terculik anak jejaka!”
Sang dara tutup wajahnya dengan
kedua tangan. Wiro membantunya berdiri.
“Aku tak akan melupakan
kebesaran jiwa dan kebaikan hatimu ini,” kata sang dara sambil tundukkan
kepala. “Kuharap di kemudian hari aku bakal membalasnya.”
Wiro tersenyum mendengar
basa-basi kuno itu. Dia melangkah menuju tepian telaga dimana terletak pintu
yang menuju ruangan batu. Sebelum masuk ke dalam diambilnya dua buah obor dan
diletakkannya di sudut ruangan, lalu pergi duduk di salah satu kursi batu.
Sesaat kemudian gadis baju biru itu muncul di ambang pintu.
“Biar hatimu puas akan
kukatakan apa yang kau minta. Namaku Mantini.
Malam ini juga aku akan
berangkat ke Tanjung Karangwelang….”
“Ah, namamu bagus. Tak pernah
kudengar nama sebagus itu.”
Sang dara kelihatan merah
parasnya.
“Untuk apa kau ke Tanjung
Karangwelang?” tanya Wiro kemudian.
“Mencari Empu Tembikar. Kalau
tidak karena dia, aku tak akan melakukan kejahatan itu….”
“Tak ada gunanya. Dia hanya
memberi tahu apa yang diketahuinya. Tinggal kita si pendengar harus mencerna
dalam jalan pikiran yang sehat….”
“Tapi walau bagaimanpun dia
yang membuatku sesat. Dia harus bertanggung jawab!” “Terserah padamu. Tapi
malam-malam begini pergi apa perlunya. Kau butuh istirahat dari kegoncangan
jiwa yang besar ini. Dan bukankah kau berjanji pada orang-orang dari desa
Wonotunggal untuk mengembalikan jenazahku besok malam….?”
Untuk pertama kalinya gadis
bernama Mantini itu tersenyum. “Aku ingin pergi ke puncak sebuah gunung.
Bertobat dan minta ampun di sana! Mudah-mudahan Tuahn masi mau mengampuniku…”
kata Mantini sesaat kemudian.
“Bagus kalau begitu. Pagi
masih lama. Kau tidurlah, tutup pintu batu itu. Aku lebih suka tidur di tepi
telaga…”
“Jika kau suka, kau boleh
tidur dalam ruangan ini…”
Wiro menggeleng.
“Kau takut aku membokongmu
secara pengecut?” tanya Mantini.
“Justru kau yang harus takut
kalau aku yang membokongmu!” kata Wiro pula lalu tertawa gelak-gelak.
Keesokan harinya, ketika
mereka sampai ke tempat kediaman Empu Tembikar di Tanjung Karangwelang mereka
dapatkan orang tua itu dalam keadaan tak bernyawa dalam kamarnya. Sebilah keris
beracun menancap di lehernya. Tak dapat dipastikan apakah dia bunuh diri atau
dibunuh orang.
TAMAT