-------------------------------
----------------------------
014 Sepasang Iblis Betina
1
MATAHARI yang tadi bersinar
amat terik kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam yang datang berarak
dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan rintik-rintik
mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat
menyabung. Sekali lagi pula guntur menggelegar membuat seantero bumi bergetar.
Dan hujan rintik-rintik kini berganti dengan hujan lebat. Demikian lebatnya
hingga tak beda seperti dicurahkan saja layaknya dari atas langit. Sekejap saja
segala apa yang ada di bumi menjadi basah. Laut menggelombang, sungai menderas
arusnya, sawah-sawah tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu bertiup
angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum. Di kala setiap
orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua orang berusaha
mencari tempat berteduh guna menghindari hujar; lebat itu, maka di samping
sebuah bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat lari dengan
amat cepatnya. Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan,
tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau
ambil perhatian terhadap batu-batu licin yang mereka lompati dalam lari mereka
yang laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan
lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu nyatanya dua orang gadis cantuk
jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya bersaudara
atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian bukit yang terjal.
Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman
air hujan. Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas
kepala masing-masing. Pakaian yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka
hingga jelas kelihatan membayang keluar potongan badan mereka yang bagus
ramping. Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha
menembus tabir hujan dan kabut yang tebal.
"Heran," kata salah
seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu…."
"Kalau dia sampai bertemu
dengan lain orang, dan menuturkan apa yang diketahuinya tentang diri kita
sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang
dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat telur itu jelas
terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari
jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun
berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu. Kemudian kelihatan
keduanya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit sebelah timur.
Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka, namun itu tidak
mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di kaki bukit keduanya melompati
sebuah anak sungai. Kilat tibatiba menyambar lagi. Gadis baju kuning yang
berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak! Tunggu!"
"Hai ada apakah,
Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan larinya dan
berbalik!
"Waktu kilat menyambar
tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu …"
"Mari kita
selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik lengan
adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua
gadis itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di kejauhan dalam terangnya
sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang tua berkerudung
kain sarung yang telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan
terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang gadis berparas
jelita.
"Ka . . . kalian . . .
siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua gadis itu bukan
manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya
Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa kau lihat seorang pemudi
baju putih lewat di sini?"
"Ti .., tidak,"
jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!"
Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh aku tidak dusta
. . . ".
"Kita geledah
pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan si
orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang
tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu
diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si orang tua hingga
mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di bawah siraman hujan
lebat.
Dengan kakinya yang lain
Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu pintu hancur dan
terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat
jendela samping.
"Itu dia!" teriak
Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana
hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya mencekal leher
pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu gerakan kilat
dia membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru dia salah
tindak karena arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang datang dari samping.
Kini dia terkurung di tengahtengah.
"Kalian ini
manusia-manusia macam apakah?!" si pemuda berkata dengan suara keras.
"Sesudah menipu aku
kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua puluh tahun.
Wajahnya cakap dan kulitnya
kuning. Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh di balik tawanya
itu. Dan bayangan aneh ini membuat si pemuda merasa ngeri.
"Orang muda, jangan
banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati di tangan
kami!"
"Tapi aku tidak punya
kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah turutkan kemauan kalian.
Tapi ketika aku tahu bahwa kalian …"
"Plaak!"
"Heh, kuat juga kau
ya?!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk menangkap salah satu
kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah sebatang pohon waru. Tak
ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya berhamburan. Nyawanya putus
sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar pohon!
"Baru lega hatiku
sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya gelungan rambutnya. Dia
berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan
tempat ini."
Keduanya segera meninggalkan
tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba Nilamaharani menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya
Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah
membuka rahasia padanya."
"Kalau begitu …"
ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia sudah berada
kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia,
adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi tak perlu disuruh
dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Kepala orang tua yang
masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
***
2
HUTAN Bintaran terkenal
sebagai hutan yang banyak binatang perburuannya. Mulai dari kelinci sampai pada
rusa-rusa muda yang amat jinak. Karena itulah Adipati-adipati di Jawa Tengah
dan setiap orang yang gemar berburu, kerap kali melakukan perburuan di hutan
tersebut. Sekali waktu putera Adipati Muntilan bersama dua orang pembantunya
berangkat ke hutan Bintaran untuk berburu. Menjelang tengah hari mereka telah
berhasil membunuh tiga ekor kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu
merah. Tepat sewaktu matahari mencapai titik tertingginya, putera Adipati itu
duduk melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga.
"Sejuk sekali air telaga
ini," kata putera Adipati itu sambil merendamkan kedua kakinya ke dalam
air telaga. "Telaga apakah ini namanya paman?"
Salah seorang pembantu yang
sudah agak lanjut usianya menjawab, "Kalau saya tidak salah, ini Telaga
Puteri Intan Dewi." Lalu dituturkannya sedikit cerita tentang sampai
bagaimana telaga itu diberi nama demikian.
Baru saja pembantu itu
menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga yang terletak di seberang mereka
muncullah seekor anak rusa. Binatang ini memandang kian kemari lalu melangkah
lebih dekat ke tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera
Adipati Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika anak panah hendak
dilepaskannya, selintas pikiran timbul dalam hatinya. Anak rusa itu bagus
sekali bulunya. Coklat berbintik-bintik putih besar-besar. Hatinya pun tak tega
untuk membunuh binatang itu. Karena kelihatannya anak rusa ini cukup jinak,
maka Aryo Damar akhirnya memutuskan untuk menangkapnya hidup-hidup.
Aryo Darmo berdiri dan
mengambil jalan memutar. Sesaat kemudian dia sudah mengendapendap di belakang
anak rusa itu. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dari ayahnya. Karenanya dia
bisa bergerak cepat. Begitulah, ketika tinggal beberapa langkah lagi, Aryo
Darmo laksana seekor harimau melompat menerkam anak rusa itu.
Tapi si anak rusa lebih cepat
lagi. Dengan gesit dia melompat ke samping hingga Aryo Darmo menangkap angin.
Kalau dia tidak mempergunakan kedua tangannya untuk jungkir balik pasti
tubuhnya akan terjun ke dalam telaga!
Yang membuat Aryo Darmo
menjadi penasaran ialah anak rusa itu tidak lari jauh, tapi berdiri sekitar
enam tujuh langkah dari hadapannya, memandang kepadanya dengan
mengendipendipkan sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati
Muntilan itu untuk menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo melompat.
Hampir pemuda ini berhasil menangkap tengkuk binatang itu, si anak rusa
melompat binal dan lari ke dekat serumpun semak belukar yang terletak sepuluh
langkah dari si pemuda.
"Sialan!" maki Aryo
Darmo dengan kesal. "Kau mau lari ke mana hah?! Kau musti dapat kutangkap
hidup-hidup!" Maka dikejarnya binatang itu.
Demikianlah kejar mengejar
terjadi hingga tanpa disadari Aryo Darmo telah berada jauh dalam rimba
belantara yang lebat. Penuh lelah dan juga kesal pemuda ini akhirnya
mendudukkan dirinya di satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri
dilihatnya anak rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh darinya dan
mengedip-ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo Darmo tambah kesal.
"Binatang celaka! Kalau
tak dapat kutangkap hidup-hidup bangkaimupun tak jadi apa!" Lalu
dicabutnya kerisnya dan dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu
bahaya, siang-siang sudah melompat berpindah tempat hingga keris yang
dilemparkan luput dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini Aryo Darmo
menjadi naik darah. "Binatang celaka! Ke manapun akan kukejar kau!"
Setelah mengambil kerisnya dikejarnya kembali anak rusa itu. Dengan demikian
semakin jauhlah dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat. Sementara itu
tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang rata sejak tadi mengikuti gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap
karena rapatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh tiba-tiba anak rusa
yang dikejar Aryo Darmo lenyap dari pemandangan. Pemuda ini menghentikan
larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya suara lengking binatang
itu. Di lain kejap pemuda ini menjadi terkejut sewaktu di hadapannya muncul dua
orang dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang dari mereka memegang anak
rusa yang sejak tadi di kejar-kejarnya.
"Saudara, apakah kau
menginginkan binatang ini?" tanya dara yang memegang rusa. Di bibirnya
terlukis sekuntum senyum.
"Betul," jawab Aryo
Darmo. Lalu tanyanya, "Kalian berdua siapa? Kenapa berada dalam rimba
belantara begini rupa?"
"Aku Nilamaharani dan ini
adikku Nilamahadewi," jawab sang dara masih dengan senyumnya yang memikat,
"Kalau kami berikan anak rusa ini padamu, sebagai gantinya kau mau berikan
apa?"
"Ah, kau baik sekali
saudari. Beri tahu di mana rumahmu, kelak akan kusuruh orangorangku untuk
mengantarkan baju-baju bagus dan perhiasan-perhiasan indah kepada kalian
berdua, Eh, kalian ini kakak beradik, bukan?"
Nilamaharani mengangguk.
"Tempat kediaman kami mungkin sukar dicari oleh orang-orang suruhanmu.
Kecuali kalau kau tak berkeberatan ikut bersama kami untuk mengetahuinya."
"Tentu saja aku tidak
keberatan," jawab Aryo Darmo. Sudah barang tentu mana ada pemuda yang ;
menolak begitu saja ajakan dara berparas secantik ‘ Nilamaharani itu?
"Tapi", kata
Nilamahadewi, "tempat kami buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu bukan soal",
sahut Aryo Darmo.
"Kalau begitu kau
peganglah anak rusa ini dan mari kita berangkat", kata Nilamaharani pula.
Aryo Darmo menerima anak rusa
yang diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun meninggalkan tempat itu.
Sepanjang jalan mereka tak hentinya bercakapcakap. Demikian gernbiranya Aryo
Darmo dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu hingga boleh dikatakan dia
hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja anak rusa itu bukan ditangkap
dan diberikan oleh Nilamaharani, mungkin sudah sejak tadi-tadi dilepas
dilemparkannya.
Mereka tiba di luar rimba
belantara. Di hadapan mereka kini terbentang satu daerah berbukit-bukit. Kedua
dara itu berlari menuju ke sebuah bukit di sebelah barat, diikuti oleh Aryo
Darmo. Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik itu maklumlah si pemuda
bahwa keduanya orang-orang berilmu. Dengan mengandalkan ilmu lari yang
diajarkan ayahnya, dicobanya menyamai lari keduanya, namun siasia belaka. Dan
diam-diam Aryo Darmo jadi tambah tertarik pada dara-dara ini.
Setibanya di lereng bukit yang
di tuju. Nilamaharani menyibakkan serumpun semak belukar lebat. Maka
kelihatanlah sebuah goa batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah tempat kediaman
kami. Harap kau jangan . . . ".
"Ah, tempat kalian bersih
dan bagus", kata
Aryo Darmo memotong. Lalu
setelah dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang dimasukinya harum semerbak,
diterangi oleh sebuah pelita aheh yaitu sepotong kayu yang ujungnya berapi dan
memancarkan sinar kehijauan, tertancap kedinding. Ternyata di situ ada dua buah
ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti ruangan dalam goa.
"Silahkan duduk",
kata Nilamaharani. Ketika Aryo Darmo duduk membelakanginya, dara ini
mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini
Nilamahadewi berkata, "Saudara kau duduklah terus. Aku hendak keluar
sebentar"
Aryo Darmo mengangguk. Belum
sempat dia bertanyakan mau ke mana gadis itu, Nilamahadewi sudah lenyap di
mulut goa. Aryo Darmo tinggal sendirian di ruangan itu karena sebelumnya
Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi.
Pemuda ini memandang
berkeliling. Kemudian pandangannya di tujukan pada pelita kayu aneh yang
tertancap di dinding. Dia tak habis mengerti bagaimana ada sepotong kayu yang
dibakar terang begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya mengeluarkan sinar
kehijauan dan berbau harum pula. Selagi dia memperhatikan begitu rupa
dilihatnya sinar api tiba-tiba mengecil. Sebaliknya bau harum bertambah-tambah,
membuat pemuda ini merasa adanya aliran hawa aneh di dalam darah di sekujur
tubuhnya. Semakin lama semakin santar juga bau harum itu dan detik demi detik
Aryo Darmo semakin terangsang dibuatnya.
Dari ruangan dalam
Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling dan… Untuk beberapa saat lamanya
nafasnya terasa terhenti. Kedua matanya menyipit. Lalu cepat-cepat
dipalingkannya kepalanya. Terdengar suara tertawa kecil. Dan Nilamaharani
melangkah ke hadapan pemuda itu. Aryo Darmo masih memandang ke jurusan lain,
tak berani melihat kepada dara ini.
Sewaktu Nilamaharani muncul
tadi, bukan saja nafas pemuda itu serasa terhenti tapi dadanya ikut berdebar
dan darahnya bergejolak. Betapakan tidak! Dara itu telah berganti pakaian
dengan sehelai pakaian sutera kuning yang amat tipis hingga jelas kelihatan
potongan tubuh dan pakaian dalamnya. Senyum yang dilayangkannyapun lain dan
aneh. Ini dirasakan betul oleh Aryo Darmo, membuat rangsangan aneh yang
menjalari tubuh pemuda itu semakin menjadi-jadi.
"Kau melamun agaknya,
saudara Aryo," ujar Nilamaharani.
Pemuda itu memalingkan
kepalanya sedikit. "Adikmu pergi ke manakah?" tanya putera Adipati
Muntilan itu.
"Ah, dia kenapa
dipikirkan? Biar saja dia pergi ke manapun tak usah kita ributkan."
Aryo Darmo terdiam. Dia tak
mengerti mengapa si dara harus bicara begitu.
"Aku telah menyediakan
minuman untukmu di ruangan dalam," kata Nilamaharani.
"Terima kasih. Kenapa
musti susah??"
"Jangan pakai peradatan
segala. Mari kita masuk ke dalam," ajak Nilamaharani.
Aryo Darmo hendak menjawab
agar minuman itu dibawa saja ke tempat itu. Namun sebelum itu terucapkan
Nilamaharani telah menarik lengannya dan membawanya masuk ke ruangan dalam. Di
ruangan ini ada pelita kayu yang aneh yang sinarnya lebih suram dari ruangan
sebelumnya. Segala sesuatunya kelihatan samar-samar. Dan dalam kesamar-samaran
itu Aryo Darmo masih dapat melihat kalau saat itu dirinya dibawa ke arah sebuah
pembaringan.
"Maharani, apakah
maksudmu membawaku ke sini?" tanya Aryo Darmo dengan suara bergetar.
"Aryo, kau tahu apa
maksudku", jawab Nilamaharani berbisik ke telinga si pemuda hingga
hembusan nafasnya terasa hangat di pipi Aryo Darmo. Kemudian pemuda ini
merasakan lengan kiri sang dara melingkar di pinggangnya.
"Maharani kau …"
Ucapan itu tidak terteruskan
oleh Aryo Darmo karena saat itu Nilamaharani mendekatkan parasnya ke wajahnya
dengan amat berani. Kemudian dirasakannya bibir gadis itu menempel di atas
bibirnya.
"Maharani, aku …"
Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa
meneruskan kalimatnya. Kedua lututnya goyah,karena diberati tubuh gadis itu.
Akhimya keduanya terguling ke atas pembaringan.
"Kau tahu apa maksudku,
Aryo. Kau laki-laki, aku perempuan. Jangan jadi orang bodoh!"
"Tapi …"
"Tidak ada tapi-tapian
Aryo."
Dan sikap malu serta pikir
panjang Aryo Darmo cukup cuma sampai di situ. Laksana seekor ular besar yang
kelaparan pemudaa itu menggeliat atas pembaringan dan nmerangkul tubuh
Nilamaharani sekeras-kerasnya seperti mau melunyahkan dara itu sampai ke
tulang-tulangnya. Desau nafas panas dan tertawa berguman Nilamaharani membakar
darah Aryo Darmo, membuat dia berlaku lebih berani lagi. Pada puncak keberanian
yang dilakukan Aryo Darmo, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan pemuda itu
laksana geledek.
"Maharani, kau … !"
Teriakan yang menggetarkan
empat dinding ruangan itu dibarengi pula dengan pekik Nilamaharani.
Aryo Darmo tidak menunggu
lebih lama. Disambamya pakaiannya lalu melompat dari pembaringan.
"Aryo! Kembali!"
teriak Nilamaharani.
Mana pemuda itu mau kembali!
Apa yang dilihat dan diketahuinya tak akan membuat dia kembali meski didepannya
saat itu, menghadang setan kepala sepuluh sekalipun! Malah pemuda ini memaki
beringas.
"Manusia keparat!
Terkutuklah kau jadi puntung neraka!" Dia terus menghambur ke pintu goa.
Tapi baru saja dia berada di
luar, di sampingnya terdengar satu suara bentakan,
"Pemuda bangsat! Kau
berani bermulut kotor terhadap saudaraku. Terimalah kematianmu!"’
"Wuuut"!
Selarik angin deras menyambar
ke arah Arya Darmo!
***
3
DENGAN sebat Aryo Darmo
melompat ke samping sehingga serangan mendadak yang berbahaya itu berhasil
dielakkannya. Ketika dia berpaling satu serangan lagi melesat ke arahnya dan
untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
"Manusia laknat! Tentunya
kau juga sama terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo Darmo.
Habis membentak begitu dengan
tak kalah hebat dia mengirimkan serangan balasan berupa satu tendangan ke
uluhati lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah
dapat dielakkan oleh si dara yang kemudian melancarkan serangan balasan yang
amat berbahaya. Terlambat sedikit saja pastilah kepala Aryo Darmo akan dihantam
satu jotosan keras. Pemuda itu menjadi tercekat hatinya. Dari gerakan serangan
serta angin pukulan lawan dia tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang
lebih, bahkan jauh lebih tinggi darinya. Pada dasarnya bukan hal itu yang
membuat Aryo Darmo merasa takut dan ngeri. Tapi apa yang diketahui dan yang
telah dilihatnya beberapa saat yang lalulah membuat pemuda ini kemudian tak mau
lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat
tersebut.
"Adikku jangan biarkan
bangsat itu kabur!" terdengar teriakan Nilamaharani dari sibakan semak
belukar di mulut goa.
"Tentu saia
kakakku!" sahut Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompat lihay yang
bernama "katak sakti melompati gunung" maka tubuhnya melesat tinggi
ke udara dan, di lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo Darmo.
"Tubuh kasarmu boleh
pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi dengan seringai
buruk.
"Perempuan dajal! Kau
kira aku takut padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya berkelebat melancarkan
satu pukulan tangan kosong dari jarak delapan langkah. Sebelum pukulan tangan
kosong tersebut sampai, dia membuat satu lompatan sebat dan tahutahu tangan
kirinya telah menderu ke batok kepala Ni lamahadewi.
"Uh! Jurus "angin
berhembus pintu menutup" yang begini buruk hendak kau andalkan?!"
kata Nilamahadewi dengan
tertawa mongejek. Dan memang dengan amat mudah gadis itu berhasil mengelakkan
serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh penasaran si pemuda mengirimkan
serangan susulan yang bernama "empat dewa murka". Serangan ini
mempergunakan kedua tangan dan kaki yang digerakkan susul menyusul dan
kehebatannya cukup membuat kagum karena tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu
hanya tinggal bayangbayang saja.
"Jurus empat dewa
murka!" seru Nilamaharani yang datang dari belakang dengan mengeluarkan
suara dari hidung. Sekali tangannya bergerak, serangkum angin menderu dahsyat.
Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari serangannya sewaktu
dirasakannya hawa dingin meniup punggungnya. Dengan cepat dia melompat ke
samping, tapi masih kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu serta lengan
kirinya. Aryo merasakan bagian tubuhnya yang tersambar angin amat dingin itu
menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan lagi sedang hawa dingin mencucuk
menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan!
"Celaka!", keluh
pemuda itu dalam hati. Keringat dingin memercik dikeningnya. Kedua dara berbaju
kuning sementara itu hanya beberapa langkah saja di hadapannya dan sama-sama
siap melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo Darmo menggerakkan
tangannya mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari pinggangnya. Sinar jingga
keluar dari badan senjata itu tanda benda tersebut bukan senjata sembarangan.
"Kalau kau punya sepuluh
keris, cabutlah sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan
rahang.
"Perempuan terkutuk!
Matilah bersama kesombongan dan kebejatanmu!" teriak pemuda itu lalu
dengan cepat mengirimkan serangan ganas.
Sinar jingga berkiblat
berputar-pubat bukan saja menyambar ke arah Nilamaharani tapi juga sekaligus ke
arah Nilamahadewi. Untuk daerah sekitar Muntilan, permainan keris Aryo Darmo
sudah terkenal hebat di samping ayahnya sendiri. Tapi hari itu kehebatannya
tidak dipandang sebelah matapun oleh kedua dara berbaju kuning itu. Bahkan
dengan senyum mengejek mereka maju mendekat lalu melesat di antara sambaran
keris dan di lain kejap terdengarlah dua kali suara bergedebuk yang dibarengi
dengan jeritan Aryo Darmo.
Pemuda itu tersungkur di
tanah. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi untuk
selama-lamanya. Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah dua orang
bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga perlu kita bunuh pula, kakak?"
bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa tak perlu. Mereka
tak tahu apa-apa," jawab Nilamahadewi sambil memperhatikan tubuh Aryo
Darmo, pelipis kirinya rengkah sedang bahu kanannya hancur. "Pemuda
tolol," desis gadis itu. "Aku katakan padanya akan menyelamatkan dirinya
dari kematian bila dia melakukan apa yang aku mau. Tapi dia kabur dari kamar
itu …!"
Nilamahadewi tak berkata
apa-apa. Dia tahu sekalipun putera Adipati itu menuruti kehendak kakaknya,
kelak dia tetap akan dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya kakaknya berlalu
dari situ diapun mengikuti,
***
Ketika mayat Aryo Darmo
diusung oleh dua orang pembantunya memasuki halaman Kadipaten Muntilan, saat
itu Adipati Muntilah Jala Wisena tengah mengadakan pembicaraan dengan beberapa
orang Lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main melihat dua orang pembantu
Kadipaten muncul membawa usungan.
Jala Wisena yang di masa
mudanya dikenal sebagai "Orang Gagah Dari Muntilan" berdiri dari
kursinya.
"Ada apa? Siapa yang
kalian bawa ini?" tanya Adipati itu dan sebelum kedua pembantu tersebut
menjawab sudah disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi sosok tubuh di
atas usungan kayu.
"Anakku!" teriak
Jala Wisena menggelegar keras sewaktu dilihatnya siapa yang menjadi mayat dan
menggeletak di atas usungan itu. Empat orang Lurah yang hadir di situ bagai
terpaku di tempat masing-masing karena terkejut dan ngeri melihat kepala putera
Adipati mereka yang rengkah bergelimang darah.
"Apa yang telah terjadi?!
Lekas katakan apa yang terjadi?!" tanya Jala Wisena.
"Kami sendiri tidak tahu,
Adipati", jawab salah seorang pembantu.
Marahlah Jala Wisena mendengar
jawaban itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku pergi berburu bersama
kalian!". Satu tamparan kemudian melayang kepipi pembantu itu membuat dia
hampir terjerongkang di lantai.
"Ayo kau! Lekas beri
keterangan atau mau kehajar pula?!" bentak Jala Wisena pada pembantu yang
satu lagi.
"Benar Adipati, memang
kami berdua mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke hutan Bintaran.
Sesampainya di Telaga Intan Dewi kami berhenti dan pada waktu itu muncullah
seekor anak rusa. Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga sedang dia
sendiri pergi menangkap anak rusa itu. Karena lama ditunggu-tunggu dia tidak
kunjung kembali kami jadi kawatir lalu pergi mencarinya. Ketika kami temui dia,
Raden Aryo terhantar di tanah dalam keadaan sudah tak bernafas."
"Kurang ajar! Siapa yang
punya pekerjaan terkutuk begini rupa?!"
"Mungkin sekali dia telah
dihadang perampok, Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di sekitar Bintaran sama
sekali tak pemah ada perampok, bahkan malingpun tidak!" jawab Jala Wisena.
Kemudian matanya tertuju pada jari manis tangan kanan anaknya. Di jari manis
pemuda itu masih kelihatan sebentuk cincin emas berbatu hijau. Ini satu
pertanda bahwa Aryo Darmo bukan dibunuh oleh perampok.
"Barangkali musuh lama
yang membalaskan dendam kesumat," kata seorang Lurah pula.
"Boleh jadi," sahut
Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-gerahamnya. "Tapi seingatku
anakku tak pemah punya musuh atau silang sengketa dengan lain orang."
Kemudian dia berpaling pada pembantu tadi dan berkata, "Antarkan aku ke
tempat kau menemui mayatnya. Aku akan selidiki apa yang sebenarnya telah . . .
".
Adipati Muntilan itu tak
sempat meneruskan kata-katanya karena dari pintu ruangan dalam terdengar jerit
istrinya yang kemudian lari ke arah mayat puteranya yang masih menggeletak di
atas usungan. Ratap tangis istrinya membuat hati Adipati Muntilan ini laksana
disayat-sayat dan di lain pihak gelora amarahnya semakin membara. Sesudah
jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya dapat dipertenang maka bersama
keempat orang Lurah dan diantar oleh seorang pembantunya berangkatlah Adipati
Jala Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di sinilah saya
menemukan mayat Raden Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten bilamana
mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati Jala Wisena
memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-noda darah kelihatan jelas.
Semak-semak banyak yang rubuh tanda di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian
sepasang mata Adipati Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang segera
diambilnya. Benda itu adalah keris milik puteranya. Sambil menimang-nimang
senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau di situ telah
terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa? Perampok sudah jelas
bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki kepandaian yang cukup bisa
diandalkan. Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian, nyatalah
lawannya seorang yang berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah sekitar situ tempat
kediamannya seorang sakti yang tak mau tempatnya dikotori oleh orang luaran
hingga akhirnya si orang sakti memergoki puteranya dan membunuh pemuda itu.
Bersama kelima orang itu
Adipati Jala Wisena kemudian menyelidiki daerah yang banyak bukitbukitnya itu.
Dia berhenti di satu tempat di mana, dengan jelas dilihatnya bekas-bekas tapak
kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi perkelahian. Dia memandang
berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang mencurigakan. Namun baik Adipati
Jala Wisena maupun empat orang Lurah serta pembantu Kadipaten itu, tak
seorangpun yang menyadari kalau saat itu mereka tengah menjadi incaran dua
pasang mata yang tersembunyi di balik semak belukar lebat.
"Bagaimana
pendapatmu?" tanya pemilik salah sepasang mata itu yang bukan lain adalah
Nilamahadewi adanya.
"Adipati tua ini
tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang begini pasti sia-sia. Atau
mungkin kau mau mencoba?"
"Kau pancinglah yang
lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu Adipati itu, membawanya ke goa
masuk lewat jalan belakang".
Setelah berunding maka kedua
gadis itupun masuk ke dalam goa kembali sementara di luar sana Adipati Jala
Wisena masih terus menyelidik tempat sekitar situ dengan seksama. Sepeminum teh
berlalu . . . .
"Kita selidiki tempat
lain . . . ", kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru saja Adipati Muntilan itu
bergerak hendak meninggalkan tempat itu bersama rombongannya mendadak entah
dari mana datangnya melesatlah sebuah benda putih di hadapan mereka dan
menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena cepat mengambil benda itu yang
temyata adalah segulungan kertas. Ketika dibuka, di bagian dalam gulungan
terdapat tulisan yang berbunyi:
"Kalau ingin tahu siapa
pembunuh puteramu, suruhlah orang-orangmu ke Telaga Intan Dewi, Kau sendiri
harus pergi ke sebelah barat."
Jala Wisena memperlihatkan
surat itu pada keempat Lurah. Untuk beberapa lamanya mereka saling berpandangan
dan diam dalam jalan pikiran masing-masing.
"Kalau bukan seorang yang
berilmu tinggi pasti tak bakal sanggup melemparkan gulungan surat ini,"
kata Jala Wisena.
"Saya khawatir ini
hanyalah tipuan belaka Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin," sahut
Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. "tetapi mungkin pula petunjuk dari
seorang yang tak mau memperlihatkan diri." Dan setelah menimbang lebih
dalam akhirnya lakilaki itu memutuskan untuk mengikuti petunjuk dalam surat
tersebut. Keempat Lurah itu beserta pembantunya disuruhnya pergi ke jurusan
telaga sedang dia sendiri menuju ke barat. Menuju ke bagian barat berarti
meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk kembali ke hutan Bintaran sebelah timur.
Daerah ini di selimuti kegelapan karena sinar matahari boleh dikatakan tak
dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak belukar yang tumbuh di sana.
Belum jauh dia memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan oleh
suara teriakan perempuan minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke arah
datangnya teriakan itu. Seorang dara jelita berpakaian kuning dilihatnya
terhampar di bawah sebatang pohon besar. Mukanya pucat pasi dan membayangkan
rasa takut yang amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian rupa hingga
jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis muda, apakah yang
terjadi?", tanya Adipati Muntilan seraya memapah gadis itu berdiri.
Diam-diam dia amat mengagumi kejelitaan paras si gadis.
"Sa . . . satu makh . . .
makhluk aneh hendak menyergapku," jawab gadis itu seraya bangun dan
membetulkan pakaiannya yang tersingkap.
"Bagaimana sampai kau
tersesat ke dalam rimba belantara ini?"
"Aku . . . aku mengejar
kupu-kupu … aduh! Kakiku sakit sekali!". Gadis itu kelihatan
terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala Wisena cepat menopangnya.
"Rumahmu jauhkah dari
sini?".
"Tidak . . . tak berapa
jauh. Tapi …. kakiku terkilir dan sakit sekali. Tak bisa berjalan. Oh ….
tolonglah!"
"Mari kuantarkan kau ke tempatmu",
kata Jala Wisena lalu dipapahnya pinggang gadis itu dan diajaknya berjalan.
Tapi si gadis lagi-lagi mengeluh kesakitan.
"Aku tak bisa berjalan.
Sakit sekali. Tolonglah dukung …. aaa."
Adipati dari Muntilan itu jadi
serba salah. Tidak ditolong gadis itu kelihatannya menderita sekali.
Ditolongnya berarti dia harus mendukung tubuh gadis itu dan ini membuat hatinya
berdebar dan darah dalam tubuhnya mengalir lebih cepat dari biasanya.
"Aduh …. tolonglah,"
terdengar lagi gadis pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya Jala Wisena tak bisa
berbuat lain daripada mendukung si gadis dan membawanya ke sebuah tempat di
kaki bukit yang ditunjukkan.
"Melangkahlah ke pohon
beringin itu," kata gadis baju kuning. Jala Wisena melangkah ke pohon yang
dimaksudkan.
"Tolong tarik akar
gantung yang berdempetan di sebelah kanan."
Jala Wisena melakukan lagi apa
yang dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua buah akar gantung yang berdempetan
ditariknya maka terdengar suara berderak dan batang pohon beringin di
hadapannya yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah pintu. Si gadis
menyuruhnya masuk. Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala Wisena masuk ke
dalam. Pintu di belakangnya kemudian tertutup dengan sendirinya. Jala Wisena
seorang yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Tak syak lagi dia bahwa
gadis itu adalah murid seorang sakti yang diam di tempat tersebut.
Jala Wisena menuruni sebuah
tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran yang luasnya cuma satu kali satu
meter dan di hadapan pelataran itu terdapat sebuah tangga yang menuju ke sebuah
pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari ruangan di belakang pintu
tersebut.
"Itu tempatku," kata
gadis yang didukungnya.
Jala Wisena menaiki anak
tangga demi anak tangga dan akhirnya sampai diambang pintu yang terbuka. Hampir
tidak percaya laki-laki ini sewaktu melihat ruangan yang amat bagus di
hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah kamar lengkap dengan pembaringan.
"Baringkan aku di tempat
tidur itu," pinta si baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan
gadis tersebut diatas tempat tidur.
"Terima kasih," kata
gadis itu sambil melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis, kau ini siapakah
sebenamya dan tinggal dengan siapa di sini?" tanya Adipati Jala Wisena.
"Sebelum aku menjawab,
sudilah kau yang telah menolongku memberi tahu siapa kau adanya," kata
gadis itu pula, padahal sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa adanya Jala
Wisena.
"Aku Jala Wisena, Adipati
Muntilan."
"Astaga!" si gadis
kelihatan terkejut. "Aku telah berlaku lancang menyuruhmu seenaknya.
Tidak tahunya kau seorang
berpangkat tinggi harapkan sudi memaafkan kelancanganku Adipati."
Jala Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana Adipati sampai
berada di hutan Bintaran?"
Jala Wisena tak segera
menjawab. Akhirnya dia berkata juga, "Aku tengah mencari seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh puteraku".
Bola mata gadis yang
terlentang di tempat tidur itu membesar dan bertambah bagus kelihatannya.
"Bau apakah ini?"
tanya Jala Wisena sewaktul hidungnya dihambur bau harum semerbak.
Dia memandang berkeliling karena
dirasakannya kamar itu bertambah suram dari sewaktu mulamula dia memasukinya.
Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh yang terbuat dari kayu yang
ditancapkan ke dinding kamar.
"Duduklah di tepi tempat
tidur ini, Adipati." Jala Wisesa memalingkan kepalanya. "Terima
kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa terburu-buru? Aku
berjanji akan membantu mencari pembunuh puteramu. . . "
Karena sebelumnya yakin bahwa
gadis itu adalah murid seorang sakti maka tentu dia dan gurunya kenal baik seluk
beluk daerah sekitar bebukitan di situ dan hutan Bintaran.
"Tadi kau katakan ada
makhluk aneh yang hendak menyergapmu. Makhluk apa gerangan?"
"Tubuhnya tinggi besar,
mukanya amat mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan giginya besat-besar
merupakan taring. Ngeri sekali … Tak mau aku mengingat-ingatnya Adipati.
Kuharap kau jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi …."
"Kau tentu tak tinggal
sendirian di sini …."
"Betul, tapi sudah sejak
lama guruku pergi bertapa dan sampai saat ini masih belum kembali."
"Siapakah gurumu?"
tanya Jala Wisena.
"Sayang aku dipesan untuk
tidak memberitahukannya kepada siapapun," jawab gadis itu.
Dia menggerakkan tubuhnya
sedikit dan pakaiannya di sebelah bawah tersingkap membuat betis dan sebagian
pahanya menyembul keluar.
"Sejak beliau pergi, aku
sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak ada kawan untuk penghibur
hati.
Sementara itu Jala Wisena
merasakan ada hawa aneh yang mengungkungi dirinya. Aliran darahnya tidak
seperti biasanya. Akhir diputuskannya untuk pergi dari situ.
"Sebelum aku pergi
kuharap kau sudi memberi tahu namamu."
"Namaku
Nilamahadewi…"
"Baiklah, sampai bertemu
lagi Nila … "
"Tunggu, jangan pergi
dulu!" ujar gadis itu seraya bangkit dan duduk di tepi tempat tidur.
"Aku harus menyuguhkan
minuman untukmu."
"Ah, tak usah pakai
segala macam peradatan Nila!"
"Tapi …"
Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. .
"Kau mau ke mana,
sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu lekas sembuh," kata Adipadi
Jala Wisena seraya hendak memegang bahu Nilamahadewi karena dilihatnya gadis
itu hampir jatuh terjerembab.
Namun sebelum tangannya
memegang bahu itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap dalam satu gerakan
totokan yang lihay. Tak ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena menjadi kaku tegang!
"Nila, apa-apaan
ini?!" seru Jala Wisena.
Nila Mahadewi tertawa
mengikik. Tangannya bergerak kembali dan untuk selanjutnya Adipati itu tak bisa
membuka suara lagi karena urat lehernya sudah kena ditotok! Dalam keadaan tak
berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang mata Adipati
Muntilan ini membeliak besar sewaktu dilihat dan dirasakannya jari-jari tangan
Nilamahadewi satu demi satu membuka pakaian yang melekat ditubuhnya!
***
Matahari telah condong ke
barat. Empat orang Lurah dan seorang pembantu Kadipaten Muntilan yang sejak
tadi berada di tepi Telaga Puteri Intan Dewi mulai merasa gelisah.
"Jangan-jangan kita sudah
kena tipu," kata salah seorang dari mereka.
"Bagaimana kalau kita
kembali saja ke tempat tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya kelimanya
meninggalkan telaga tersebut dan kembali ke tempat di mana mereka telah
berpisah dengan Adipati Jala Wisena. Tapi…
"Gusti Allah!" jerit
salah seorang Lurah yang; berada di paling depan. Langkahnya terhenti, demikian
juga langkah yang lain-lainnya. Namun itu cuma seketika karena kelimanya
kemudian berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala Wisena yang menggeletak di
tanah tanpa pakaian dengan muka hancur tak bernyawa lagi!
***
4
DESA tembilangan merupakan
satu desa yang subur makmur dan penduduknya hidup tenteram. Hari itu boleh
dikatakan seluruh penduduk bersenang hati karena nanti malam akan diadakan
pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu pesta perkawinan anak laki-lakinya yang
tertua dengan seorang gadis desa yang berwajah ayu, berkulit hitam manis.
Di halamaw depan telah di
bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang golek. Hiburan semacarn
ini jarang terjadi di desa itu. Karena itulah senang hati penduduk jadi
bertambah-tambah. Meskii pertunjukan itu beberapa jam lagi baru akan dimulai
tapi telah banyak orang—terutama anak-anak—yang berkumpul di sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh
sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah penduduk desa Tembilangan
dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta perkawinan
itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji kecantikan pengantin perempuan.
Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa kagum akan kegagahan wajah
pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua, satu bulan satu matahari, demikianlah
orangorang memberikan perumpamaan.
Sementara itu di atas
panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya. Malam itu sengaja
dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua
orang menonton dengan penuh perhatian.
Semakin larut malam, semakin
asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana tegang terjadi sewaktu
Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah seorang dari lima
bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara itu, berhadapan
dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana atau Suyudana.
"Yoy Suyudana! Ambillah
gadamu. Mari kita bertempur!" kata Bima.
Suyudana menggereng.
"Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka kedua orang itupun
berhadap-hadapanlah dengan, masing-masing memegang sebuah gada di tangan.
Sebelum ki dalang melanjutkan kisah pewayangan yang penuh ketegangan itu
tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan kuning di atas kepalanya yang dibarengi
dengan ucapan persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu, "Memang
saat inilah yang aku tunggu-tunggu…!"
Tentu saja semua orang jadi
terkejut. Ki dalang menghentikan penuturannya. Semua memandang ke hadapan
panggung di mana berdiri dua orang dara berbaju kuning yang parasnya cantik
sekali. Untuk sejenak lamanya suasana sunyi sepi. Sunyi sepi yang tidak enak.
"Ah, tamu-tamu dari
manakah yang datang dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki dalang.
Salah seorang dara berpakaian
kuning tertawa panjang sedang yang satu lagi beliakkan matanya dan membentak.
"Tutup mulutmu! Kami tak ada urusan dengan kau!"
Kebopamenang, Kepala Desa yang
mengadakan pesta perkawinan berdiri dari kursinya dan melangkah ke hadapan
dara-dara jelita itu.
"Gadis-gadis cantik,
siapa gerangan kalian? Mengapa datang dengan cara begini rupa?"
"Kebopamenang, kau
kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya urusan dengan kau!" si dara yang di
samping kanan menjawab.
Tentu saja ucapan itu membuat
merah parasnya si kepala desa, apalagi dara itu tadi terangterangan menyebut
namanya seenaknya saja padahal dia telah berusia lebih dari enam puluh!
"Ada urusan atau tidak
nyatanya kau dan kawanmu telah mengganggu jalannya pesta perkawinan ini,"
kata Kebopamenang pula.
"Oh, begitu."
"Ya! Dan karena aku juga
merasa tak ada urusan dengan kalian berdua, kuharap kalian suka angkat kaki
dari sini!"
Kedua gadis itu tertawa
panjang-panjang.
"Ketahuilah! Kami berdua
utusan orang-orang Kurawa, datang ke sini untuk mengambil pengantin
laki-laki!"
"Jangan membanyol tak
karuan di sini!" sentak Kebopamenang.
"Eh, siapa yang
membanyol?!" ujar si dara yang di sebelah kiri.
"Dengar! Ini bukan
perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu keliwat
sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit pelajaran
padamu!"
Habis berkata begitu, entah
kapan tangannya bergerak tahu-tahu "plaak"! Sebuah tamparan
menghantam mulut si kepala desa hingga bibirnya pecah dan sebuah giginya
tanggal!
"Gadis keparat!"
teriak Kebopamenang marah bukan main. Tangan kanannya yang membentuk tinju
laksana kilat dipukulkan ke batok kepala Nilamahadewi.
"Tua bangka tolol!
Pergilah ke atas panggung sana!" seru Nilamahadewi. Kedua tangannya
digerakkan ke muka. Begitu lengan si kepala desa berhasil ditangkapnya terus
diputar dan sesaat kemudian tubuh kepala desa itu benar-benar dilempar melayang
ke atas panggung, melabrak sebagian wayang-wayang golek lalu terus menubruk ki
dalang hingga suasana di atas panggung jadi hiruk centang perentang!
Semua orang kaget bukan main.
Beberapa diantaranya ada yang maju ke muka untuk memberi hajaran pada
gadis-gadis yang berani berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa yang hendak mereka
lakukan itu tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi tambah kaget bukan main
karena saat itu kedua gadis berpakaian kuning tadi sudah tidak ada! Dan lebih
lebih kaget lagi karena pengantin laki-lakipun lenyap dari pelaminan sedang
pengantin perempuan tampak menjerit-jerit!
"Kalian mau bawa ke mana
aku?!" tanya pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada di atas bahu kiri
Nilamaharani dan dalam keadaan tertotok. Namanya Mahesa Munggul. Dialah pemuda
yang menjadi menantu kepala desa Kebopamenang yang kini dilarikan oleh
Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan kawatir, kau tak
akan kehilangan masa pengantin barumu, Mahesa Munggul …"
"Aku tak kenal kau dari
mana kau tahu namaku? Apa maksudmu melarikan diriku?!" Nilamaharani
tertawa.
"Kau tidak mengenal aku
itu tidak perlu! Malam pengantin baru kelak bakal kau temui bersamaku …".
Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi karena adiknya memotong
dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku! Jangan bicara
terlalu ceroboh seperti itu!"
"Apa maksud malam
pengantin baru bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul mengajukan
pertanyaan. Meskipun dirinya dipanggul oleh seorang dara jelita serta ucapan dara
itu bisa membuat hati seorang pemuda bergelora, tapi saat itu Mahesa Munggul
merasa sangat tidak enak.
"Sudahlah, kau jangan
banyak tanya!" kata Nilamaharani pula.
Tak lama kemudian Mahesa
Munggul melihat dirinya di bawa masuk menyeruak sebuah semak belukar. Dia heran
sekali karena sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah ruangan yang diterangi
dengan sebuah pelita aneh. Belum habis rasa herannya itu dia sudah dibawa pula
memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di atas tempat tidur yang empuk.
Bau harum yang aneh dan merangsang menabur hidung pemuda itu. Dilihatnya api
pelita di dalam ruangan bertambah kecil sedang bau rarum yang merangsang makin
bertambah-tambah.
"Lepaskan totokan di
tubuhku," Mahesa Munggul berkata dengan suara keras. Dia merasa heran
kemana perginya dara baju kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani
melontarkan senyum memikat dan duduk di tepi tempat tidur. Di pegangnya lengan
pemuda itu dan berkata,
"Dengar Mahesa. Kalau kau
bersikap menurut akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau keras kepala…"
"Kau mau berbuat apa
terhadapku?!"
"Ah, jangan bicara
membentak begitu padaku, Mahesa…" kata Nilamaharani. Tiba-tiba
dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya menyentuh bibir pemu,da itu.
Seorang pemuda sudah barang
tentu tak akan menolak jika dicium oleh dara jelita seperti Nilamaharani. Tapi
di saat itu Mahesa Munggul merasakan satu keanehan yang mendirikan bulu
tengkuknya.
Nilamaharani tertawa kecil.
Nafasnya jelas memburu dan memanasi wajah Mahesa Munggul. Diciumnya lagi pemuda
itu dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap ke bawah pinggang. Jika saja
Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan ditotok mungkin dia sudah
melompat dari atas tempat tidur itu!
"Gadis hina dina! Lekas
kau lepaskan totokanku!" teriak Mahesa Munggul menggeledek.
Nilamaharani tertawa lagi,
tertawa lagi dan tangannya menjalar semakin berani… semakin berani hingga
sekujur tubuh Mahesa Munggul menggeletar dilanda rangsangan yang tak pemah
dirasakannya sebelumnya. Ketika Nilamaharani melepaskan totokan di tubuhnya,
pemuda ini sudah lupa daratan den lupa segala apa yang dimarah dan
dingerikannya. Dengan keberingasan seorang pemuda yang ditelan nafsu birahi,
ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas tempat tidur, Dipeluknya ketat-ketat
laksana seekor ular menggelung hendak meramuk mangsanya. Gadis itu tertawa dan
menggeliat-liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap di dinding detik demi
detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu menjadi gelap. Hal
ini tidak terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang benaknya sudah tertutup
nafsu.
***
Sebuah gerobak barang yang
memuat segala macam sayur mayur meluncur di jalan buruk yang menuju ke desa
Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara sepanjang jalan terasa segar. Gerobak itu
dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di sampingnya duduk seorang
anak laki-laki empat belas tahun.
"Menurut ayah, apakah
anak kepala desa yang jadi pengantin itu dilarikan oleh makhluk jadi-jadian
yang menyaru gadis cantik?"
"Aku tidak tahu, nak.
Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar biasa. Sejak malam tadi seluruh
penduduk ikut membantu mencari Mahesa Munggul, dan sampai pagi ini pemuda itu
masih belum berhasil ditemukan…"
"Kemungkinan…
jangan-jangan dia sudah dibunuh, ayah."
"Huss! Mulutmu enak saja
bicara begitu!" kata ayah si anak.
Tapi baru saja dia berkata
demikian tiba-tiba kuda penarik gerobak yang dikemudikannya meringkik keras dan
menaikkan kedua kaki depannya hingga gerobak sayur itu hampir saja terbalik
bersama isi-isinya.
Laki-laki perngemudi gerobak
dan anaknya melompat dari atas gerobak. Di tengah jalan beberapa langkah di
hadapan mereka tergelimpangan sesosok tubuh laki-laki yang tidak mengenakan
pakaian barang selembar benangpun. Sekujur tubuhnya penuh dengan benjat benjut
bekas pukulan. Dengan langkah gemetar, pengemudi gerobak sayur itu mendekati
sesosok tubuh di tengah jalan itu. Meski sebagian besar muka orang yang
terhantar di tengah jalan itu rusak serta dilumuri darah tapi pengemudi gerobak
masih bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan anak laki-lakinya yang juga
mengenali berteriak,
"Ay… ayah! Ini adalah
Mahesa Munggul! Anak kepala desa kita!"
***
5
DI PUNCAK-PUNCAK dan
lereng-lereng bukit sejak pagi tadi kelihatan berkelebat kian kemari satu
makhluk kuning. Dari jauh kelihatannya seperti seekor burung raksasa yang
tengah mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila didekati temyata
dia bukan lain seorang manusia juga adanya yaitu seorang nenek-nenek berjubah
kuning. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh serta ilmu larinya yang
hebat dia berkelebat kian ke mari seolah-olah ada sesuatu yang sedang diselidik
dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia
berdiri di puncak sebuah bukit yang paling tinggi lalu memandang berkeliling.
"Heran," katanya
dalam hati, "seluruh bukit bahkan sampai ke hutan Bintaran telah
kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu berada?"
Nenek-nenek ini memandang lagi
berkeliling. Matanya yang hampir putih dan kabur itu lebih tajam dari mata
seekor burung elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya kali ini tak berdaya untuk
menjalankan tugasnya.
Sampai rembang petang, bahkan
sampai matahari tenggelam dan siang berganti malam, nenek-nenek itu masih juga
berkelebat kian ke mari. Namun akhirnya dia tahu apa yang dilakukannya itu
adalah sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak bukit ang paling tinggi dan
duduk bersila disitu bersemedi.
Sewaktu bintang gumintang
mulai bersembulan di angkasa raya, sewaktu rembulan tampak memunculkan dirinya
di langit biru maka dari puncak bukit yang paling tinggi itu terdengarlah suara
nyanyian yang menggema ke seluruh penjuru bahkan menyejak masuk ke dalam hutan
Bintaran membuat urung-burung hantu yang tadinya mengeluarkan suara yang
menegakkan bulu roma kini diam gelisah. Seluruh bebukitan dan hutan belantara,
seluruh epekatan malam serta siuran angin dingin, telah dicengkam oleh suara
nyanyian itu.
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad
celaka
Lebih sedih lebih derita
Diam sebentar, terdengar suata
helaan nafas panjang, lalu untuk kedua kalinya kembali terdengar suara nyanyian
itu.
"Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad
celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah
kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan
kotor
Pasti akan musnah
Karena isi dunia ini punya
Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan kutemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang
minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih
ringan …."
Demikianlah sampai larut malam
suara nyanyian itu masih juga terus terdengar dari puncak bukit diulang-ulang
dari baris pertama sampai baris terakhir. Menjelang dinihari, di sebuah tempat
rahasia di salah satu bukit dua orang gadis berpakaian kuning duduk saling
pandang. Mereka adalah Milamaharani dan adiknya Nilamahadewi.
"Aku yakin suara nyanyian
yang bergema sejak permulaan malam tadi adalah suara guru. Bagaimana
pendapatmu? Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Nilamahadewi kepada
kakaknya.
Nilamaharani merenung sejenak.
Lalu katanya:
"Kita tunggu saja. Lambat
laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi meninggalkan tempat ini."
Sang adik menggeleng.
"Kita sama tahu sifat
guru," katanya "sekali dia melakukan sesuatu sampai kapanpun tak akan
dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia tak tahu tempat
rahasia kita ini."
"Tapi aku yakin sekali
bahwa dia sudah mengetahui yang kita diami di daerah berbukit-bukit ini. Sampai
berapa lama kita bisa menunggu di sini? Sampai mati kelaparan karena kehabisan
makanan?".
Apa yang dikawatirkan oleh
adiknya itu cukup disadari oleh Nilamaharani.
"Memang kita tak bisa
bertahan selamanya di sini. Namun sekali kita keluar, dia pasti melihat kita.
Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi tertawa.
"Kenapa kau
tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata yang kau
ucapkan menunjukkan bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil itukah nyalimu?"
Paras Nilamaharani kelihatan
menjadi merah. Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak dilahirkan aku
bukan bangsa manusia pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni Mindi Julurkbalen di
luar sana aku tidak takut! Mari keluar!"
Nilamahadewi memegang lengan
kakaknya. "Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita tunggu sampai matahari
terbit…
"Selagi di luar gelap
siapa tahu kita bisa lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah, lagi-lagi kau
menunjukkan kepengecutanmu!"
"Sudah diam! Baik aku
akan turut ucapanmu!" bentak Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana
masih terdengar terus suara nyanyian. "Hidup sebatang kara …. penuh sedih
dan derita…
***
Sewaktu sang surya menyingsing
di ufuk timur, dari puncak bukit yang paling tinggi di daerah itu, nenek-nenek
berjubah kuning yang telah menyanyi sepanjang malam, melihat dua buah titik
kuning d lereng sebuah bukit yang terletak jauh di sebelah barat.
"Nah . . . . nah . . . ,
nah …. Akhirnya dua murid murtad itu keluar juga dari persembunyian
mereka," berkata si nenek dalam hati. Kerut-kerut keriput diwajahnya
kelihatan bertambah banyak dua kali dari sebelumnya sedang sepasang matanya
yang mengabur memantulkan sinar aneh. Tanpa membuang tempo lagi nenek-nekek ini
segera berdiri dan menggerakkan kedua kakinya. Kelihatannya sepasang kakinya
yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi hebatnya dalam waktu yang singkat
dia sudah berada jauh dari puncak bukit di mana dia berada sebelumnya.
Laksana seekor burung walet,
nenek-nenek itu "terbang" ke jurusan terlihatnya dua titik kuning
tadi.
"Murid-murid murtad!
Jangan kalian melarikan diri!" si nenek tiba-tiba berteriak. Hebat sekali,
suaranya menggema ke seantero bebukitan laksana suara guntur mendera daerah
itu!
"Ni Mindi Jalurkbalen!
Buka matamu lebar-lebar! Kami sama sekali tidak melarikan diri!"
Nenek-nenek yang bernama Ni
Mindi Jalurkbalen membeliakkan matanya karena rasa kaget yang tidak terperikan.
Suara teriakan balasan itu tak kalah kerasnya dengan teriakannya tadi.
"Tenaga dalamnya sudah
jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat seenak waduknya," kata Ni Mindi
Jalurkbalen. Di samping itu dia menjadi marah sekali karena bekas muridnya itu
beraniberanian menyebut namanya secara kurang ajar! Dipercepatnya larinya. Di
lain ketika pada akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan Nilamaharani serta
Nilamahadewi saling bertemu dipuncak sebuah bukit sementara sang surya sudah
muncul keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk beberapa lamanya Ni
Mindi Jalurkbalen berdiri dengan mulut menganga dan mata membeliak. Kemudian
terdengarlah kumandang suara tertawanya.
"Nah …. nah …. nah !
Sungguh lucu! Sungguh aneh! Sudah terbalikkah dunia ini? Atau iblis menipu
mataku?".
"Tua renta tak tahu diri!
Hentikan tawamu!" sentak Nilamaharani.
"Kurang ajar! Berani kau
membantah gurumu?!"
"Mengapa tidak? Dan kalau
kau tak lekas angkat kaki dari sini jangan menyesal umurmu cuma sampai hari ini!"
"Hem, begitu?! Jangan
keliwat sombong murid-murid laknat! Tadinya masih kusediakan sedikit
pengampunan bagi kalian. Tapi setelah melihat kekurang ajaran dan kesombongan
kalian jangan harapkan belas kasihanku!"
"Siapa yang butuh belas
kasihanmu?!", tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen
mengertakkan rahangnya. Untuk seketika pipinya yang kempot kelihatan
menggembung.
"Sebelum hukuman
kujatuhkan, jawab dulu satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek itu.
"Kenapa kalian jadi seperti ini? Apakah kalian sudah gila?!"
"Betul!" jawab
Nilamaharani. "Kami memang sudah pada gila. Demikian gilanya hingga
memutuskan bahwa nenek buruk macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari muka
bumi karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul murtad!
Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen lalu
memukulkan kedua tangannya ke arah dua kakak beradik itu! Dua gelombang sinar
hijau menderu dahsyat!
***
6
PUKULAN yang dilepaskan Ni
Mindi Jalurkbalen adalah pukulan "kelabang ijo" yang amat berbahaya.
Sekali salah satu bagian tubuh tersambar ilmu pukulan itu kontan sekujur badan
akan matang hijau dan orangnya akan mati detik itu juga. Jangankan manusia,
satu batu karang yang atospun akan hancur dilanda pukulan tersebut!
Dengan mengeluarkan suara tertawa
mengejek seakan-akan mereka hanya menghadapi seorang lawan bangsa kroco,
Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu dengan cepat mendorongkan
tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss!
Wuss!
Dua larik sinar hijau yang
lebih pekat dan lebih keras menyambar si nenek. Ni Mindi Jalurkbalen terkejut
bukan main.
Jelas ilmu pukulan yang
dilancarkan bekas kedua muridnya itu adalah ilmu pukulan "kelabang
ijo" juga yang dulu memang pernah diajarkannya kepada mereka. Tetapi
mengapa pukulan-pukulan kelabang ijo mereka luar biasa dahsyatnya padahal
sewaktu melepaskan pukulan kelabang ijo tadi Ni Mindi Jalurkbalen telah
mengerahkan hampir tiga perempat tenaga dalamnya!
"Kalau tidak mendapat
gemblengan dari seorang sakti lainnya niscaya mereka tak bakal dapat meyakini
ilmu pukulan itu sedemikian luar biasa hebatnya," membatin Ni Mindi
Jalurkbalen.
Segera seluruh tenaga dalamnya
dialirkan seluruhnya ke tangan hingga perbawa pukulan kelabang hijaunya lebih
dahsyat dari semula!
Sewaktu pukulan-pukulan
kelabang ijo itu saling bentrokan, terdengarlah suara ledakan yang amat
dahsyat. Langit di atas mereka laksana mau runtuh, puncak bukit bergetar, liang
telinga masingmasing menjadi pengang untuk beberapa ketika lamanya.
Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung
satu langkah ke belakang sedang di depannya Nilamaharani dan Nilamahadewi
tertawa gelak-gelak.
"Begitulah jadinya kalau
seorang nenek-nenek tua mau jual tampang memamerkan ilmu pukulan kelabang ijo
yang belum sempurna!", kata Nilamaharani menggejek.
Ni Mindi Jalurkbalen
mengertakan rahangnya. Kalau saja geraham darn gigi-giginya masih menumbuhi
gusinya pastilah dari mulutnya saat itu keluar suara berkeretakan saking
geramnya.
"Murid-murid murtad!
Sekalipun kau punya sepuluh kepala seratus kesaktian, jangan kira aku tak
sanggup memusnahkan kalian!", teriak Ni Mindi Jalurkbalen. Lalu laksana
seekor burung walet dia melompat ke muka. Dua tangan terkembang ke samping.
Perlu diketahui bahwa dalam dunia persiatan nenek-nenek ini dikenal dengan
julukan "Si Walet Sakti" karena jurus-jurus dan gerakan silatnya
kebanyakan hampir bersamaan dengan gerakan seekor burung walet.
"Jurus walet meminta jiwa
yang hendak dipamerkan?!" ejek Nilamahadewi ketika melihat gerakan yang
dibuat gurunya itu.
"Ini bukan jurus apa-apa,
murid murtad! Tapi jurus kematianmu! Nah, mampuslah!"
Tubuh Ni Mindi Jalurkbalen
lenyap dari hadapan kedua gadis itu dan sesaat kemudian dua buah kepalan
laksana palu godam menderu ke arah batok kepala Nilamaharani dan Nilamahadewi!
Dua kepala merunduk secepat
kilat. Dua lengan berkelebat ke udara! Terdengarlah suara beradunya lengan kiri
kanan Ni Mindi Jalurkbalen dengan lengan murid-muridnya. Dan terdengar pula
keluhan pendek nenek-nenek itu sewaktu merasakan lengannya sakit bukan main.
Dia jungkir balik di udara. Sambil jungkir balik begitu Si Walet Sakti mengeruk
jubah kuningnya dan dikejap itu menderulah dua lusin benda kuning sebesar uang
ringgit berbentuk bulan sabit, menyerang kedua kakak beradik itu dari dua belas
jurusan!
Selama malang melintang di
dunia persilatan kalau bukan tokoh-tokoh lihay, jarang sekali orang yang
sanggup mengelit atau menangkis lemparan senjata rahasia itu. Namun hari ini
untuk kesekian kalinya Ni Mindi Jalurkbalen dibikin kaget karena dengan
mengebutkan lengan-lengan pakaiannya, kedua lawannya berhasil membuat mental
duapuluh empat senjata rahasia yang amat diandalkannya itu! Tergetarlah kini
hati si nenek. Namun sudah barang tentu ia tak akan meninggalkan tempat itu
walau bagaimanapun juga.
"Ni Mindi
Jalurkbalen," kata Nilamaharani dengan menyunggingkan senyum sinis,
"Apakah kau masih belum sadar bahwa kau betul-betul seorang nenek-nenek
yang tak layak hidup lebih lama di dunia ini?"
"Iblis dajal! Makan
ini!" teriak Si Walet Sakti dengan amarah menggelegak.
Terdengar suara mendesing dan
sebuah besi hitam yang ujungnya diganduli lima buah kaitan sepanjang tiga
jengkal melesat ke mulut Nilamaharani.
Yang diserang terkejut karena
sebelumnya tak pernah mengetahui kalau gurunya memiliki senjata dahsyat itu.
Dengan satu gerakan aneh gadis ini membantingkan dirinya ke samping. Tubuhnya
menjungkir kepala ke bawah kaki ke atas dan salah satu kakinya dengan cepat
kemudian menendang batang besi tempat mencantelnya lima kaitan itu.
"Jurus iblis menendang
rembulan!" seru Ni Mindi Jalurkbalen ketika dia melihat dan mengenali
gerakan yang dibuat Nilamaharani. Saking kagetnya dia sampai tak sempat lagi
menarik pulang senjatanya. Kalau saja senjata itu tidak dipegangnya dengan erat
niscaya terlepas sewaktu tendangan Nilamaharani menghantam batang besi dengan
kerasnya, membuat batang besi itu bengkok.
"Murid dajal! Jadi kalian
telah menuntut pelajaran pada Iblis Penggoncang Bumi hah?!" Nilamaharani
tertawa tinggi, begitu juga adiknya.
"Nah . . . nah … nah!
Bagus! Pantas kelakuan kalian seperti dia selagi muda! Pantas kalian jadi
manusia-manusia binal terkutuk macam begini. Pantas kalian berubah
menjadi…"
"Anjing tua! Tutup
mulutmu!" bentak Nilamahadewi. Dia menjentikkan tangan kanannya dan
segulung angin padat sebesar kepalan, laksana sebuah batu melesat ke mulut Ni
Mindi Jalurkbalen, membuat nenek-nenek itu tak meneruskan ucapannya dan
lekas-lekas melompat ke samping.
"Kakakku!" kata
Nilamahadewi. "Mari lekas kita lenyapkan tua renta sialan ini sebelum dia
bicara yang bukan-bukan."
Dua gadis itu berkelebat cepat
dan menggempur Ni Mindi Jalurkbalen dengan seranganserangan beruntun yang amat
cepatnya. Nenek-nenek yang telah berumur puluhan tahun itu mulai merasakan
tekanan kurungan yang berbahaya. Jurus demi jurus dirinya semakin terdesak.
"Celaka! Celaka diriku!
Celaka dunia persilatan kalau aku tak behasil membunuh manusiamanusia nista
ini! Lebih baik aku mati bersama-sama mereka!" kata Ni Mindi Jalurkbalen.
Saat itu dia sudah bertempur hampir dua ratus jurus. Jubah kuningnya sudah banyak
yang bobol robek kena sambaran jari-jari atau jotosan lawan. Sekujur tubuhnya
sakit, dua buah tulang iganya patah sedang di lain pihak kedua lawannya
kelihatan masih segar bugar!
"Sepasang Iblis
Betina!" seru Ni Mindi Jalurkbalen menyebut nama julukan kedua muridnya
yang murtad itu. "Mari kita sama-sama ke neraka!"
Dari dalam saku jubahnya
dikeluarkannya sebuah bola berwarrra kuning lalu secepat kilat dibantingkannya
ke tanah. Terdengar suara ledakan dan di saat itu seluruh puncak bukit tertutup
oleh asap kuning yang pekat!
"Dewi! Tutup jalan
pemafasanmu dan lekas lari!" teriak Nilamaharani.
Kedua gadis itu menutup jalan
pernafasannya lalu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Di belakang mereka
terdengar suara tertawa Ni Mindi Jalurkbalen.
"Kalian mau lari ke mana?
Tubuh kalian sudah kena asap wesi kuning! Jangan harap umur kalian lebih
panjang dari sepeminum teh!".
Ucapan itu ditutup dengan
suara batuk-batuk si nenek. Benda yang dipecahkannya tadi adalah sebuah bola
kuning yang berisi racun wesi kuning yang amat jahat. Jangankan tercium,
sedikit saja kulit bersentuhan dengan racun yang meresap dalam asap tersebut,
niscaya sekujur kulit akan menjadi cacat dan orangnya akan menemui kematian
dalam tempo sepeminuman teh dengan keadaan tubuh yang mengerikan karena
kulitnya mengelupas. Dengan mengeluarkan senjata pembunuh yang dahsyat itu Ni
Mini Jalurkbalen telah memutuskan untuk bunuh diri dan sekaligus yakin bahwa
kedua muridnya yang murtad tupun ikut menemui ajal. Namun sampai matinya
nenek-nenek yang bergelar Si Walet Sakti ini tidak nengetahui bahwa maksudnya
itu menemui kegagalan. Pengorbanannya sia-sia belaka!
Dengan mempergunakan ilmu
lompatan "katak sakti melompati gunung", Nilamaharani dan adiknya
berhasil keluar dari kepungan asap beracun. Begitu keluar dari bahaya maut
tersebut mereka menyaksikan bagaimana pakaian yang mereka pakai robe krobek
akibat asap beracun sedang kulit mereka melepuh, mengelupas merah laksana
binatang dikuliti dan sakitnya tidak terperikan.
"Percepat larimu,
Dewi!" seru Nilamaharani. "Kalau kita terlambat sampai ke goa
celakalah kita!"
"Obat pemusnah racun itu
masih kau simpan di tempat dulu?" tanya Nilamahadewi.
Suaranya bergetar oleh
kekawatiran dan karena menahan sakit yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
"Hem…" jawab
Nilamaharani berguman. Meski ilmunya lebih tinggi satu tingkat dari adiknya
namun dia tidak sanggup menahan rasa sakit akibat racun wesi kuning. Tak lama
kemudian keduanya sampai di goa rahasia tempat kediaman mereka. Nilamaharani
masuk ke dalam kamar. Dengan kuku jarinya yang panjang runcing dicungkilnya
batu mar-mar pada dinding sebelah kanan kamar. Terlihatlah sebuah benda hitam
berbentuk tombo! Gadis ini menekan tombol itu dan sesaat kemudian dinding di
samping, kiri terbuka secara aneh. Pada celah yang terbuka itu kelihatanlah
sebuah ruangan berkotak-kotak seperti sebuah lemari. Semuanya ada tiga kotak.
Pada kotak sebelah bawah terdapat setumpukan pakaian dan perhiasan, kotak kedua
berbagai macam senjata, sedang kotak teratas bersusun berbagai macam botol.
Nilamaharani berjingkat dan setelah meneliti susunan botol-botol yang ada di
kotak teratas, lalu di ambilnya dua buah botol. Botol pertama berisi cairan
berwarna kuning muda, botol yang satu lagi berisi cairan kuning tua dan kental.
Sementara itu tanpa di suruh
Nilamahadewi telah menyiapkan empat gelas air putih. Kakaknya kemudian
menuangkan masing-masing tiga tetes cairan kuning muda ke dalam dua buah gelas,
lalu diaduk rata-rata dan diteguk sampai habis oleh kedua gadis itu. Rasa sakit
yang menyelubungi mereka dengan serta merta berangsur lenyap. Kini tinggal
kulit tubuh yang masih mengelupas merah mengerikan. Tiga tetes cairan kuning
pekat kemudian dimasukkan ke dalam dua buah gelas dan diaduk rata. Kedua gadis
itu kemudian melangkah ke sudut kamar sebelah kiri. Nilamaharani menginjak
sebuah batu mar-mar di lantai dan di sampingnya terbukalah sebuah lobang yang
merupakan tangga menuju ke sebuah kolam yang bagus sekali. Dua gelas air yang
telah dicampur dengan obat kuning pekat dimasukkan ke dalam kolam. Kelihatanlah
dua gelungan asap membumbung ke langit-langit ruangan, baunya anyir.Tanpa
menunggu lebih lama dua kakak beradik itu menceburkan dirinya ke dalam gulungan
asap kuning tersebut. Beberapa saat kemudian asap kuning itupun sirna. Kini kelihatanlah
kedua orang gadis itu dalam keadaan basah kuyup. Tapi ajaib, sekujur kulit
tubuh mereka yang tadi terkelupas merah kini telah kembali seperti sediakala!
Mereka melompat dari dalam
kolam.
"Untung sekali guru kita
Iblis Penggoncang Bumi memberikan obat-obat itu tempo hari. Kalau tidak
tamatlah riwayat kita …." kata Nilamahadewi.
"Jangan keburu berbesar
hati!" potong kakaknya. "Kita masih belum keluar dari bahaya maut!
Kita harus bersemedi selama tiga hari untuk mengeluarkan sisa-sisa racun wesi
kuning dari paru-paru kita!"
Kedua gadis itu naik ke
tingkat atas kembali. Setelah memasukkan botol-botol obat dan menutup celah
yang merupakan lemari itu, maka keduanya mencari tempat untuk mulai bersemedi
selama tiga hari. Begitulah dahsyatnya racun wesi kuning. Bagaimana dengan Ni
Mindi Jalurkbalen? Orang tua yang malang ini terpaksa meregang nyawa di puncak
bukit tanpa mengetahui bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah sia-sia
belaka.
***
7
DI MALAM yang gelap gulita
tanpa bintang tanpa rembulan, hanya angin malam yang bertiup menyilir dingin,
kelihatan satu sosok bayangan hitam berkelebat gesit di luar tembok kota-raja.
Dia sampai di tembok sebelah tenggara. Tanpa suara dan tanpa diketahui oleh
lima orang pengawal yang ada di situ, sosok tubuh itu melompat ke atas tembok
yang tingginya enam tombak, dari situ terus melompat turun memasuki kotaraja,
melompat dari satu pohon ke lain pohon, dari satu atap rumah ke lain atap rumah
sampai akhirnya tak lama kemudian dia sudah berada di wuwungan Istana!
Siapakah manusia yang demikian
hebat ilmu mengentengi tubuhnya hingga sanggup melompat di atas atap dan dari
pohon ke pohon begitu rupa? Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus kembali
pada tiga hari sebelumnya.. . .
Di sebuah kampung kecil
bernama Sukablabak yang terletak setengah hari perjalanan dari Muntilan, pada
tengah malam yang kelam pekat, dalam sebuah pondok berdinding kayang beratap
rumbia duduklah seorang laki-laki bertubuh kecil, bermuka cekung. Dia
memelihara kumis yang tebal melintang berkeluk ke atas. Demikian tebalnya dia
punya kumis hingga amat tidak pantas dibandingkan dengan mukanya yang kecil
cekung. Sepasang matanya yang besar senantiasa tak bisa diam, berputar-putar ke
segenap , penjuru pondok. Jelas ini menandakan rasa ketidaksabaran menyamaki
dirinya.
"Ini sudah lewat tengah
malam, Pandemang. Kenapa dia masih belum muncul?" laki-laki berkumis
melintang itu bertanya pada seorang yang bertubuh tinggi besar di sampingnya
bertampang keras kasar. Di pinggangnya kiri kanan tersisip masing-masing
sebilah golok empat persegi besar macam golok pejagal temak. Rambutnya
gondrong, memelihara kumis serta berewok.
"Mungkin dia mendapat
halangan, Pangeran," jawab orang bertubuh tinggi besar bernama Pandemang.
"Tapi percayalah, dia pasti datang menepati janjinya. Bukankah kita sudah
memberikan uang serta perhiasan banyak padanya?"
"Bukan kita, tapi
aku!" tukas si kumis melintang yang dipanggilkan Pangeran itu.
"Ya, aku," kata
Pandemang pula.
"Aku, aku, bukan aku
kau!" berkata lagi Pangeran itu.
"Ya, maksud hamba
Pangeran," kata Pandemang. Hatinya kesal. Tapi dia sudah tahu dan terbiasa
dengan sifat sang Pangeran yang seperti itu, keras, kepala, lekas marah dan tak
boleh bicara salah terhadapnya hadapnya meski kebanyakan dia sendiri yang tidak
mengerti dimaksud orang.
"Aku tunggu sampai
sepeminuman teh lagi," kata Pangeran itu, "kalau dia masih belum
datang, terpaksa kubatalkan rencana semula. Dan kau Pandemang, kau harus minta
kembali uang serta perhiasan itu padanya
"Ah …. ah …. ah …. ! Aku
sejak dari tadi sudah berada di sini, Pangeran Ranablambang!" tiba-tiba
terdengar satu suara.
Ranablambang dan Pandemang
sama-sama berbalik dengan cepat dan astaga! Orang yang mereka tunggu-tunggu
temyata sudah duduk menjelepok enak-enakan di sudut pondok di belakang mereka
dan tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok itu menjadi bergetar.
"Bagaimana kau bisa masuk
ke sini tanpa tahu kami?" tanya Ranablambang heran. Pangeran ini dan juga
Pandemang bukanlah orang-orang yang tidak tahu ilmu silat dan kesaktian.
Telinga dan mata mereka sudah terlatih baik. Tapi nyatanya orang yang mereka
tunggu sudah nyelonong masuk ke pondok itu tanpa mereka ketahui!
Si baju hitam menghentikan
gelak tawanya dan menunjuk ke atas. "Lewat atap itu," katanya
menjawab pertanyaan Pangeran Ranablambang seraya menunjuk ke atap pondok. Dan
ketika sang Pangeran serta Pandemang memandang ke atas kelihatanlah bagaimana
atap pondok itu sudah berlobang besar!
Pangeran Ranablambang jadi
melengak.
"Tak percuma kau digelari
Dewa Maling Baju Hitam," katanya kemudian. Si baju hitam kembali
memperdengarkan suara tertawanya lalu berdiri dengan perlahanlahan.
"Sebaiknya kita mulai
saja dengan urusan kita Pangeran. Nah, katakanlah apa maumu yang sebenarnya
menyuruh aku datang ke mari."
Pangeran Ranablambang
melangkah lebih dekat ke hadapan laki-laki berpakaian hitam itu lalu berkata
dengan amat pelahan. "Aku ingin kau mengambil Tombak Trisula dari kamar
Sri Baginda d Istana . . . . "
"Tombak Trisula?!"
ujar Dewa Maling.
"Sst…jangan bicara keliwat
keras!" ujar Pangeran Ranablambang. "Kau harus berhasil Dewa Maling.
Tombak itu sangat kubutuhkan agar aku bisa menduduki singgasana. Karena
memasuki Istana tidak gampang, apalagi senjata itu di simpan di satu tempat
rahasia di dalam kamar Sri Baginda."
"Kau tunjukkan saja
tempat rahasia itu, aku pasti berhasil mengambil senjata yang kau
inginkan," kata Dewa Maling pula.
"Jangan menganggap remeh
orang-orang di Istana," kata Ranablambang mendesis. "Kau dengarlah
penjelasanku. Tiga langkah dari pintu kamar Sri Baginda terdapat sebuah lampu
kuna yang terbuat dari perak, tergantung di dinding pada sebuah paku besar.
Tekanlah paku itu tiga kali berturut-turut maka dinding kamar yang terletak di
depan lampu itu yaitu pada bagian atas kepala peraduan Baginda akan terbuka dan
di dalamnya ada sebuah lemari besi. Lemari ini tidak mempunyai kunci tapi hanya
akan terbuka bila kau menekan sebuah tombol merah di bagian samping kanannya.
Di bagian ini terdapat dua belas buah tombol merah. Ingat, yang harus kau tekan
ialah tombol merah yang kesembilan dari tepi muka lemari. Bila tombol itu sudah
kau tekan—cukup satu kali tekan saja—maka pintu lemari besi akan terbuka dan di
dalamnya kau dapat melihat Tombak Trisula itu. Tapi sekali-kali jangan kau
segera mengambilnya. Begitu lemari terbuka, akan terdengar, suara mendesis
halus. Tunggu sampai desis itu berhenti, dan terus tunggu sampai sebuah tombol
putih muncul dengan sendirinya di bagian atas lemari sebelah dalam. Sesudah itu
baru kau bisa mengambil Tombak Trisula. Dan sebelum pergi jangan lupa
"Tunggu dulu!" bisik
Dewa Maling Baju Hitam. Dan detik itu pula tubuhnya melesat menembus lobang
atap dan lenyap di luar sana.
"Ada apa?!", seru
Pangeran Ranablambang dan Pandemang terkejut. Keduanya cepat membuka pintu dan
melompat keluar. Mereka melihat Dewa Maling berlari laksana terbang ke jurusan
selatan.
"Kalian tunggu saja di
pondok!" masih terdengar suara Dewa Maling di kejauhan sebelum tubuhnya
lenyap ditelan kepekatan gelap malam.
Pangeran Ranablambang dan
pembantu kepercayaannya cuma bisa saling pandang penuh tanda tanya di dalam
hati masing-masing. Yang mereka lakukan tidak lain hanyalah tetap menunggu di
pondok tersebut sebagaimana yang dipesankan oleh Dewa Maling Baju Hitam. Hampir
tiga kali peminuman teh barulah Dewa Maling kembali dan segera dihujani
pertanyaan oleh Pangeran Ranablambang serta Pandemang begitu mereka masuk ke
pondok.
"Waktu kau memberi
keterangan tadi," kata Dewa Maling, "aku melihat bayangan seseorang
di atas atap sana. Aku melompat ke atas tapi aneh begitu sampai di luar, orang
itu lenyap! Aku tak percaya kalau pemandangan telah menipuku. Karenanya seluruh
daerah ini kuselidik, tapi tetap bangsat itu tak berhasil kutemui!".
"Mungkin sekali dia
mata-mata Mahapatih," kata Pandemang.
Ketiga orang itu berdiam diri
beberapa lamanya… Kemudian kelihatan Pangeran Ranablambang menggelengkan
kepalanya. "Tidak mungkin", katanya, "tak seorang mata-mata
kerajaanpun yang sanggup naik ke atas atap itu tanpa kita ketahui. Apalagi
dengan hadirnya Dewa Maling di sini!"
"Kurasa mungkin aku salah
lihat", kata Dewa, Maling. Maksudnya berkata demikian ialah agar mereka
jangan terlibat lebih lama dalam segala macam dugaan itu. Meski hatinya sendiri
kurang enak, Dewa Maling kemudian berkata. "Lanjutkanlah keteranganmu,
Pangeran."
"Sesudah tombol putih
muncul di dalam lemari sebelah atas kau baru boleh mengambil Tombak Trisula
itu. Dan sebelum pergi jangan lupa untuk menekan lebih dulu tombol putih
itu."
"Pangeran," kata
Dewa Maling Baju Hita pula, "jika kau tahu dengan jelas seluk beluk
penyimpanan senjata tumbal kerajaan itu, mengapa tidak kau sendiri yang
mencurinya?"
Pangeran Ranablambang
memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang lalu tertawa pelahan.
"Masing-masing kita sudah ditakdirkan punya pekerjaan dan tugas
sendiri-sendiri."
katanya. Yang sebenarnya ialah
dia tak mempunyai nyali untuk melakukan hal itu karena Istana penuh dijaga oleh
pengawal-pengawal klas satu dan hulubalang-hulubalang istimewa yang berilmu
tinggi. Di atas semua itu Mahapatih Jayengrono adalah yang berbahaya. Sekali
saja dia gugup dan membuat kesalahan dalam melakukan pencurian itu pasti
tamatlah riwayatnya.
"Perlu aku ingatkan
padamu, Dewa Maling. Istana penuh dengan orang-orang berkepandaian tinggi,
terutama Mahapatih Jayengrono. Jangan kau salah tindak karena Istana terutama
kamar Sri Baginda penuh dengan alat-alat rahasia".
"Sri Baginda
bagaimana?"
"Dia tak perlu kau
kawatirkan. Dia tengah mengadakan perjalanan ke daerah."
"Baik, tapi apa yang
kulakukan ini musti ada ubi ada talasnya Pangeran," kata Dewa Maling pula.
"Kau tak perlu
kawatir!" kata Pangeran Ranaolambang. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya
sebuah kantong kulit dan diajukannya ke hadapan Dewa Maling.
"Terima ini. Limapuluh
keping uang emas. Kelak jika kau sudah berhasil menjalankan apa yang aku
perintahkan, kau bakal mendapat jabatan tinggi dalam Istana!".
Dewa Maling tersenyum.
Disambutnya kantong uang itu. Disimpannya di balik pakaian hitamnya.
"Kalau Tombak Trisula
sudah berada di tanganku, ke mana musti kuantar?"
Pangeran Ranablambang
mengatakan nama tempat maka sesaat kemudian ketiga orang itu meninggalkan
pondok tersebut.
Pangeran Ranablambang adalah
putera Sri Baginda yang memerintah Kesultanan Surakerto pada masa itu.
Sebenarnya dia tidak boleh memakai gelar atau sebutan Pangeran karena dia cuma
seorang putera dari salah satu selir Sri Baginda. Namun dengan penuh congkak
dan ketinggian hati Ranablambang telah mempredikatkan dirinya dengan sebutan
itu. Dasar orang tak tahu diuntung, meski dia tak punya hak untuk menggantikan
Sri Baginda, namun di hatinya sudah sejak lama bergejolak niat untuk menduduki
singgasana. Maka ketika diketahuinya bahwa setiap pewaris takhta kerajaan harus
menerima Tombak Trisula sebagai syahnya dia menjadi Raja, segera diaturnya rencana
untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Untuk melakukannya sendiri
Ranablambang tidak bernyali meski dia memiliki kepandaian yang tinggi. Maka
melalui seorang pembantu kepercayaannya yakni Pandemang, disuruhnyalah
laki-laki itu menemui seorang tokoh silat golongan hitam yang dikenal dengan
nama gelaran Dewa Maling Baju Hitam.
***
8
DENGAN mengandalkan ilmu lari
serta ilmu meringankan tubuhnya ditambah dengan pakaian hitam dan kegelapan
malam yang turut membantunya, dengan mudah pada akhirnya Dewa Maling sudah
berada di atas wuwungan Istana. Meski dia sudah diberi tahu jelas setiap
liku-liku Istana dan tempat penyimpanan Tombak Trisula, namun dia tak mau
memandang enteng orangorang yang ada di dalam Istana. Terutama Mahapatih
Jayengrono yang berumur setengah abad lebih itu, ilmu kepandaiannya tak bisa
dibuat main!
Dari tempatnya berada saat itu
Dewa Maling dapat melihat kira-kira lima puluh orang pengawal tingkat rendah
berada di sekeliling Istana. Kemudian ditambah lagi dengan dua puluh hulubalang
yang berkepandaian tinggi.
"Berabe juga," kata
Dewa Maling dalam hati. Tapi dia sudah mempunyai akal. Laksana seekor burung
walet dia melompat ke satu bagian yang gelap di halaman samping Istana. Dengan
mengendap-endap didekatinya seorang pengawal. Sekali totok saja pengawal itu
sudah tak berdaya. Di tempat gelap di bukanya pakaian pengawal itu lalu setelah
membuka pakaiannya pula, dengan cepat dikenakannya pakaian si pengawal.
Di tangga Istana di temuinya
seorang hulubalang. Setelah menjura pada hulubalang itu dia berkata,
"Mapatih Jayengrono mengharapkan kedatangan hulubalang dengan segera
karena ada satu urusan penting."
Karena yang menyampaikan pesan
itu seorang bawahannya tentu saja sang hulubalang tidak menaruh curiga.
"Di mana Mapatih berada?"
"Ikutilah saya,"
jawab si pengawal alias Dewa Maling.
Maka hulubalang itupun
mengikuti pengawal tersebut. Sampai di tempat gelap Dewa Maling tiba-tiba
membalikkan tubuhnya dan secepat kilat menotok pangkal leher sang hulubalang.
Dalam keadaan tak berdaya hulubalang itu dilucutinya pakaiannya. Dengan
menyamar sebagai seorang hulubalang, dengan mudah Dewa Maling memasuki Istana,
langsung menuju di mana terletaknya kamar Sri Baginda.
Di pintu kamar berdiri dua
orang hulubalang berkepandaian tinggi. Dewa Maling tidak takuti mereka. Tetapi
membuat kekerasan sama saja dengan mengundang datangnya bahaya. Dengan langkah
gagah Dewa Maling sampai di hadapan kedua hulubalang itu.
"Kalian bersiap-siaplah.
Sebentar lagi Mapatih Jayengrono akan datang ke sini menggeledah kamar Sri
Baginda," kata Dewa Maling.
Kedua hulubalang itu heran.
Salah seorang dari mereka bertanya, "Memangnya ada apakah?"
"Kau yang mengawal kamar
ini apa masih belum tahu? Betul-betul keterlaluan kalian! Apa saja yang kalian
buat di sini?".
Semakin heran kedua hulpbalang
itu dan mereka bertanya lagi: "Ada apakah?!". .
"Seorang jahat di ketahui
telah menyelinap masuk ke dalam kamar ini!" kata Dewa Maling pula.
"Apa?!" ujar dua hulubalang terkejut hampir bersamaan.
"Manusia-manusia tolol!
Kalian tidur saja di sini! Lihatlah pintu di belakang kalian yang terbuka
itu!"
Mendengar ucapan itu kedua
hulubalang tersewt serentak membalikkan tubuh. Begitu mereka ke dalam. Dengan
cepat kemudian pintu kamar diutupkan kembali. Sesuai dengan keterangan Pangeran
Ranablambang, tiga langkah di sebelah kanan pintu, pada dinding tergantunglah
sebuah lampu dari perak bakar berukir-ukir bagus sekali buatannya. Dewa Maling
Baju Hitam menekan paku besar di mana lampu itu tergantung, tiga kali
berturutturut. Di belakangnya erdengar suara barang bergerak. Ketika dia
berpaling ilihatnya dinding kamar di atas kepala peraduan Sri Baginda terbuka
dan tampaklah sebuah lemari besi. Cepat Dewa Maling melangkah ke hadapan
lemari. Di telitinya sejenak lalu dilihatnya deretan tomboltombol merah di
samping kanan lemari besi itu, emuanya ada 12 buah.
Dengan hati-hati Dewa Maling
menekan tombol merah yang kesembilan dari sebelah muka lemari. Ia menunggu
dengan berdebar. Lalu dilihatnya pintu lemari terbuka dan di dalamnya tampaklah
sebuah tombak pendek yang ujungnyz bercabang tiga. Sinar senjata mustika tumbal
kerajaan itu bukan saja menerangi seluruh lemari, tapi jugz menyeruak sampai•ke
muka Dewa Maling, menyilaukan mata laki-laki ini.
Sewaktu pintu lemari besi itu
terbuka, terde ngarlah suara mendesis. Begitu suara mendesis pada bagian atas
lemari sebelah dalam muncullah sebuah tombol putih. Inilah saat di mana Dewa
Maling harus mengambil Tombak Trisula diulurkannya tangannya mengambil senjata
mustika tumbal kerajaan itu.
Pada saat Dewa Maling
mengambil Tombak Trisula, di luar kamar dua orang hulubalang sampai di hadapan
pintu. Setiap dua jam sekali, hulubalang-hulubalang yang mengawal pintu kamar
Sri Baginda selalu diganti. Tentu saja kedua hulubalang ini terheran melihat
kamar itu tiada berpengawal sama sekali.
"Ke mana
hulubalang-hulubalang yang seharusnva ada di sini?!" tanya salah seorang
dari mereka.
"Aku kawatir ada sesuatu
yang tidak beres. Kau menyelidiklah ke ujung gang sebelah sana, aku akan
memeriksa kamar Sri Baginda".
Dengan cepat hulubalang yang
satu itu membuka pintu kamar. Di dalam kamar, Dewa Maling yang bertelinga tajam
telah mendengar percakapan kedua hulubalang itu. Maka dengan cepat dia
menyelinap di samping pintu sebelah kiri. Sewaktu pintu terbuka tubuhnya
tertutup oleh daun pintu. Dan selangkah lagi hulubalang itu masuk ke dalam
kamar Dewa Maling mengayunkan tinjunya ke batok kepala hulubalang itu. Dengan
mengeluarkan keluhan pendek si hulubalang tersungkur di lantai. Dewa Maling
cepat keluar dari kamar itu.
Tapi…!
Wutt…!
Angin keras menyambar
perutnya. Dia terkejut bukan main dan terpaksa. melompat ke belakang mencari
selamat. Yang menyerangnya ternyata adalah hulubalang yang tadi di sangkanya
telah jatuh pingsan.
"Kurang ajar! Makan
ini!" kertak Dewa Maling lalu mengirimkan satu tendangan ke dada lawan.
"Sret"!
Si hulubalang mencabut
pedangnya dan memapas kaki Dewa Maling dengan senjata itu. Mau tak mau Dewa
Maling terpaksa menarik pulang kakinya kembali. Dengan beringas dia melompat
dan dari atas mengirimkan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Namun
lagi-lagi lawannya sanggup berkelit. Angin pukulan menghantam lantai kamar.
Permadani yang menutupi lantai itu robek bertaburan sedang lantai batu pualam
hancur berkeping-keping dan seantero kamar bergetar laksana di goncang lindu!
Si hulubalang begitu mengelak
dengan sigap melancarkan serangan. Pedangnya berkiblat empat kali
berturut-turut!
"Setan alas!" maki
Dewa Maling penasaran. Tangan kanannya yang memegang Tombak Trisula digerakkan.
"Trang!"
Pedang di tangan si hulubalang
patah dua. Hulubalang itu berseru kaget dan lekas melompat ke belakang. Namun
lebih cepat dari gerakannya itu, Tombak Trisula meluncur menusuk dadanya.
Hulubalang tersebut mengeluh pendek. Sesudah itu tubuhnya terguling di atas
permadani dengan tiga lobang luka di dadanya!
Di luar terdengar suara
langkah-langkah kaki mendatangi. Dewa Maling menuju ke pintu dengan cepat.
Justru pada saat itu hulubalang-hulubalang Istana yang berkepandaian tinggi
tengah memasuki Antu kamar. Tanpa pikir panjang Dewa Maling memegang daun pintu
dan membantingkannya. Tiga orang hulubalang tak keburu mengelak. Dada dan tubuh
mereka dihantam daun pintu dengan kerasnya. Ketiganya kontan roboh tak sadarkan
diri dengan hidung masing-masing bercucuran darah!
Sewaktu Mapatih Jayengrono dan
lima orang hulubalang sampai di kamar tersebut, Dewa Maling sudah melarikan
diri lewat jendela.
"Jaga dengan ketat
seluruh tembok kotaraja!" kata Mapatih Jayengrono. Sehabis memberi
perintah itu dia segera melompati jendela dan lenyap. Jayengrono berumur
setengah abad lebih. Dalam ilmu dan kesaktian dia termasuk golongan tokoh-tokoh
yang disegani. Otaknya yang cerdik segera dapat menarik kesimpulan bahwa
seorang maling tingkat tinggi pastilah tidak akan melarikan diri lewat jalan
biasa. Karenanya, begitu tiba di halaman samping Istana, Jayengrono tak ayal
lagi segera melompat ke atas wuwungan. Apa yang diduganya ternyata tidak
meleset. Begitu dia menginjakkan kakinya di atas wuwungan, pada ujung atap Istana
sebelah utara dilihatnya dalam kegelapan berkelebat sesosok tubuh berpakaian
hulubalang. Sebelumnya Mapatih Jayengrono sudah diberi tahu bahwa pencuri yang
menyusup ke dalam Istana itu menyamar atau berpakaian sebagai seorang
hulubalang!
Dengan mengertakkan geraham,
Mapatih ini segera lari di sepanjang atap mengejar maling tersebut. Sementara
itu sambil lari dilihatnya belasan hulubalang dan puluhan pengawal-pengawal
tingkat tinggi telah bertebar berjaga-jaga di setiap sudut. Dapat dipastikan
bahwa si pencuri tak akan bisa lolos begitu saja!
Sewaktu Mapatih Jayengrono
sampai di ujung atap sebelah utara Istana, dia jadi amat penasaran karena orang
yang dikejarnya lenyap tiada bekas. Di bawah dilihatnya dua orang hulubalang
dan sembilan pengawal klas satu berjaga-jaya.
"Tak mungkin pencuri itu
lolos dari sini tanpa diketahui orang-orang di bawah sana", kata
Jayengrono dalam hati. "Pasti dia bersembunyi di sekitar sini."
Baru saja sang patih kerajaan
berpikir begitu, di ujung barat di dengamya suara hiruk pikuk dan seruan,
"Api! Api!"
Ketika Jayengrono berpaling ke
barat, benar saja, dilihatnya atap Istana tenggelam dalam kobaran api.
"Pengawal-pengawal klas
II dan klas III lekas padamkan api! Yang lain-lain tetap di tempat! Ini adalah
pancingan musuh!" teriak Jayengrono dengan suara lantang mengandalkan
tenaga dalam hingga terdengar ke segala pejuru.
Dengan matanya yang tajam
Jayengrono memandang teliti ke segenap penjuru, terutama ke tempat-tempat yang
gelap.
"Heran, ke mana perginya
maling itu." kata sang patih pada dirinya sendiri. Lalu berserulah dia,
"Maling edan! Sebaiknya menyerahlah! Kau sudah terkurung, tak mungkin bisa
kabur!".
Baru saja Mapatih Jayengrono
berseru demikian, mendadak di bawahnya terdengar teriakan, "Itu dia
malingnya! Lekas kejarl Itu dia malingnya …. lekas kejar!"
Tak ayal lagi para hulubalang
dan pengawal-pengawal yang ada di situ segera ikut mengejar. Mapatih Jayengrono
segera pula hendak menggerakkan kakinya. Tapi sekilas pikiran timbul dalam
benaknya yang cerdik dan berpengalaman. Dia tetap ditempatnya dan memandang ke
bawah dengan seksama. Dari tempatnya berdiri itu jelas dilihatnya hulubalang
yang tadi berteriak dan menunding sambil berlari, memperlambat larinya hingga
akhirnya dia tinggal seorang diri di belakang!
"Pasti dia
bangsatnya!" kertak Jayengrono. Tanpa membuang tempo lagi dia melompat ke
bawah. Selagi tubuhnya melayang di udara, mendadak tampak belasan benda
berkilauan menyambar kearahnya. Temyata hulubalang dibawah sana telah
melemparkan senjata-senjata rahasia kepada sang patih.
"Maling besar! Jangan
harap kau bisa lolos hidup-hidup dari sini!", teriak Javengrono.
Tangan kirinya dipukulkan
kelawan. Belasan senjata rahasia yang menyerangnya berpelantingan. Di bawahnya
terdengar kekehan si hulubalang yang memang bukan lain adalah Dewa Maling
adanya.
"Jayengrono, kau memang
cerdik. Kejar dan tangkaplah aku!".
Dewa Maling Baju Hitam
berkelebat ke tembok Istana yang saat itu sudah tak dijaga lagi karena
hulubalang-hulubalang dan para pengawal telah berlarian mengejar
"maling" yang tadi diteriakinya!
"Ayo kejar aku!"
tantang Dewa Maling kembali begitu dia menginjakkan kakinya di atas tembok.
Sebagai jawaban, sambil
melesat mengejar, Mapatih Djajengrono melepaskan satu pukulan tangan kosong
yang hebat. Tembok Istana hancur berantakan, tapi Dewa Maling sudah lenyap dari
situ. Hanya suara kekehannya terdengar di pohon besar di luar tembok Istana.
"Kurang ajar! Kau mau
lari ke mana bah?!" kertak Jayengrono dan segera menyusul. Kedua orang itu
untuk beberapa lamanya saling kejar mengejar di atas atap-atap rumah penduduk
dan kemudian, untuk kedua kalinya Jayengrono kehilangan orang kejarannya itu di
sebelah timur Kotaraja.
Ke mana pulakah lenyapnya Dewa
Maling saat itu? Sesungguhnya dia tak berada iauh dari sang patih kerajaan
Dengan mengandalkan ilmunya yang dinamakan "cecak merayap di atap",
Dewa Maling laksana seekor
cecak "menempelkan" dirinya di bawah ujung atap rumah penduduk yang
gelap!
Sewaktu dilihatnya patih itu
pergi ke jurusan lain segera Dewa Maling bergerak kejurusan yang berlawanan dan
akhirnya sampai di temook Kotaraja yang dikawal ketat. Para pengawal yang
bertugas di sini disamping berjaga-jaga mereka juga asyik membicarakan tentang
menyusupnya seorang maling lihay yang berhasil mencuri senjata mustika tumbal
kerajaan. Dewa Maling tidak takutkan pengawal-pengawal ini malah dengan sikap
keren dia melangkah ke hadapan mereka dan membentak,
"Kalian kunyuk-kunyuk
dogol semua! Kawan-kawan kalian bertempur mati-matian di depan mesjid
mengeroyok maling penyusup! Kalian enak-enakan ngobrol di sini! Lekas bantu
mereka! Biar aku yang berjaga-jaga di tempat ini!"
Mendengar bentakan yang
menggeledek itu, tanpa curiga dan banyak tanya para pengawal dan
hulubalang-hulubalang yang ada di situ segera lari menuju ke tempat di mana
dikatakan terjadi pertempuran hebat.
"Dasar manusia-manusia
tolol!" ujar Dewa Maling penuh geli. Kemudian segera dilompatinya tembok
tinggi batas kerajaan dan dalam tempo yang singkat dia sudah lenyap di
kegelapan malam.
Namun belum lagi sepeminuman
teh berlalu Dewa Maling merasa ada seseorang yang mengejarnya di belakang. Dan
belum sempat dia memalingkan kepala, satu bentakan nyaring terdengar sejarak
sepuluh tombak di belakangnya.
"Jangan harap kau bisa
kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
9
PADA WAKTU prajurit-prajurit
pengawal dan para hulubalang lari secepatnya menuju ke mesjid, mereka
berpapasan dengan Mapatih Jayengrono.
"Kalian mau ke
mana?!" tanya sang patih heran.
"Di depan mesjid tengah
terjadi pertempuran, Maling yang mencuri Tombak Trisula sedang dikeroyok. Kami
kesana untuk memberikan bantuan", menerangkan salah seorang hulubalang.
Heranlah Mapatih Jayengrono. Dia barusan lewat menyelidik di depan mesjid dan
di sana tak terjadi keributan apa-apa, apalagi pertempuran.
"Kalian telah kena
tipu!" kata Jayengrono pula. "Dari siapa kalian tahu ada pertempuran
di depan mesjid?"
"Seorang hulubalang klas
satu mengatakannya pada kami!"
"Kalian tolol
semual," bentak sang patih gusar bukan main.
Diikuti oleh pengawal-pengawal
serta hulubalang-hulubelang itu dia segera menuju ke tembok timur.
"Mana dia?!" tanya
Jayengrono dengan mata membeliak.
"Tadi . . . , tadi . . .
. dia bilang akan berjaga-jaga di si…"
"Plaak!"
Tamparan Patih Jayengrono
mendarat di pipi hulubalang itu hingga ucapannya yang tergagap-gagap ketakutan
terputus sampai di situ. Setelah memaki habis-habisan, tanpa membuang tempo
sang patih segera melompati tembok kerajaan dan lenyap dari pemandangan
orang-orang tersebut. Kurang dari sepeminuman teh dia berlari, didepannya
dilihatnya seorang berpakaian hulubalang berlari dengan sebat sekali. Nyatalah
orang itu memiliki ilmu lari yang lihay dan di samping itu, Jayengrono merasa
gembira karena inilah manusia yang dicari-carinya. Mahapatih yang berumur
setengah abad lebih ini segera mengerahkan pula ilmu larinya yang tak kalah
hebat dan dalam tempo singkat dia berhasil mendekati orang yang dikejarnya
dalam jarak sepuluh tombak. Maka mebentaklah dia,
"Jangan harap kau bisa
kabur seenaknya, bangsat pencuri!"
Orang yang lari di depan
terkejut dan memalingkan kepalanya. Ternyata dia memanglah Dewa Maling Baju
Hitam.
"Jayengrono! Kau keliwat
setia mengikutiku terus-terusan. Aku akan beri hadiah atas kesetiaanmu itu! Ini
terimalah!" kata Dewa Maling. Lalu dalam jarak kurang dari delapan tombak
dia menghantamkan tangan kanannya ke belakang. Mapatih Jayengrono yang tengah
lari kencang tak punya kesempatan untuk menangkis, dengan serta merta membuang
diri ke samping kiri.
Wuss!
Angin pukulan lawan lewat di
sampingnya, keras dan panas bukan main.
"Braak!
Angin pukulan yang lewat terus
menghantam sebuah pohon besar. Bukan saja pohon itu menjadi hangus hitam sampai
ke ranting-rantingnya tetapi juga tumbang dengan mengeluarkan suara bergemuruh.
"Kau berkelit dari
seranganku, Jayengrono! Berarti kau masih mau hidup. Kalau mau terus bernafas
kunasihatkan padamu agar kembali ke Kotaraja!"
Mahapatih Jayengrono
mendengus. Dalam jarak sedekat itu kini dia bisa melihat jelas wajah si
pencuri. Hatinya terkejut. Tak di sangkanya yang melarikan Tombak Trisula itu
adalah Dewa Maling Baju Hitam, seorang tokoh pencuri yang terkenal lihay di
dunia persilatan. Pantas saja dia sanggup melarikan senjata tumbal kerajaan
itu.
"Sebelum kuterima
nasihatmu, kau dengar dulu nasihatku!" menjawab Jayengrono. "Lekas
serahkan kembali Tombak Trisula. Dan kepalamu itu akan selamat dari
kehancuran!"
Dewa Maling tertawa
gelak-gelak mendengar ucapan Patih itu.
"Kau jauh dari sarangmu,
Mapatih! Kalau bicara jangan kelewat sombong!"
"Lekas kembalikan Tombak
Trisula itu!"
"Silahkan ambil
sendiri!" sahut Dewa Maling Baju Hitam seenaknya dan sambil menimangnimang
Tombak Trisula yang dipegangnya di tangan kiri.
Mapatih Jayengrono gusar bukan
main. Namun dia tak segera turun tangan. Ada beberapa hal yang harus
diketahuinya. Pertama, meski Dewa Maling terkenal sebagai pencuri klas wahid
yang tak ada bandingannya di dunia persilatan namun bagaimana dia bisa berhasil
mencuri Tombak Trisula sedang senjata mustika itu di simpan di tempat yang
paling tersembunyi dan penuh dengan senjata-senjata rahasia yang mengancam jiwa
setiap orang yang berani mengambilnya secara sembarangan?
Hal kedua yang ingin diketahui
oleh Mapatih Jayengrono ialah apakah ada seseorang yang bersembunyi di belakang
pencuri itu dan sekaligus memberi tahu seluk beluk penyimpanan Tombak Trisula,
dengan kata lain seorang telah memperalat Dewa Maling Baju Hitam!
"Dewa Maling, untuk apa
olehmu Tombak Trisula tumbal kerajaan itu? Sekalipun kau memilikinya jangan
harap kau bakal bisa menjadi Raja!"
Kembali Dewa Maling tertawa
gelak-gelak.
"Aku mau jadi raja atau
mau jadi setan pelayangan, itu bukan urusanmu, Mapatih!" sahutnya.
"Jika kau mau
mengembalikan senjata itu dan menerangkan siapa orang yang berdiri di
belakangmu, aku akan bikin habis persoalan. Dan di samping itu aku akan berikan
hadiah besar untukmu."
"Sudahlah Mapatih. Kau
kembalilah ke Kotaraja. Kenapa memusingkan benda yang bukan milik bapak
moyangmu?"
Marahlah Mapatih Jayengrono.
"Aku bertanggung jawab
atas segala apa yang terjadi di Kerajaan!" katanya. "Kalau kau tetap
keras kepala, jangan harap kau bakal melihat matahari pagi!"
"Kalau begitu kau yang
sebetuinva buru-buru inginkan mati, Jayengrono! Marilah kutolong kau mencari
jalan ke neraka!". Habis berkata begitu Dewa Maling Baju Hitam melompat
dan menyerang dengan mempergunakan Tombak Trisula. Senjata mustika bermata tiga
itu menusuk sebat ke dada Mapatih Jayengrono.
"Trang!"
Bunga api berpercikan.
Dewa Maling Baju Hitam kaget
bukan main. Dia hampir tak melihat kapan lawannya itu mencabut pedang yang
tergantung di pinggang kirinya dan tahu-tahu senjata itu sudah berada di
tangannya, dipakai untuk menangkis serangan Tombak Trisula! Memang dalam ilmu
pedang, Mapatih Jayengrono memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Pada umur
tigapuluh lima tahun dia sudah dijuluki sebagai "Raja Pedang Dari
Pajang" dan kini dalam umur setengah abad lebih ternyata ilmu
kepandaiannya semakin tinggi!
Meski Dewa Maling terkejut
bukan main, tapi sang patihpun tak kurang kagetnya. Sewaktu bentrokan senjata
tadi, lengannya tergetar keras dan kesemutan. Bahkan ketika ditelitinya salah
satu bagian mata pedangnya telah rompal akibat beradu dengan Tombak Trisula!
Melihat betapa ampuhnya
senjata mustika yang dipakai tumbal kerajaan itu, Patih Jayengrono maklum bahwa
saat itu dia tak boleh membuang-buang waktu. Maka begitu menyerang dia segera
mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat dan selama ini menggetarkan dunia
persilatan di Jawa Tengah!
Di lain pihak Dewa Maling
memaklumi pula bahwa dalam ilmu silat bersenjata dia hanya akan sanggup
melayani Raja PPdang Dari Pajang itu dalam tempo yang singkat. Untuk itu dia
harus mengandalkan kegesitan atau mengusahakan menghantam pedang lawan dengan
Tombak Trisula, atau cepat-cepat angkat kaki dari situ dengan mempergunakan
tipu muslihat! Namun meski bagaimanapun kegusaran yang ada di hati Dewa Maling
membuat laki-laki ini memutuskan untuk melayani terlebih dulu sang patih sampai
beberapa puluh jurus. Demikianlah maka kedua orang berilmu tinggi itu saling
bertempur dengan hebatnya dalam gelapnya malam. Dua puluh jurus berlalu. Saat
itu Dewa Maling sudah berada di bawah angin. Serangan pedang lawan datang
bertubi-tubi, kadang-kadang mencurah laksana air hujan.
"Bangsat tua ini lihay
betul!", maki Dewa Maling Baju Hitam dalam hati. Dalam keadaan begitu rupa
dia melompat menjauhkan diri seperti orang yang hendak mengambil langkah
seribu.
"Mau lari ke mana,
manusia jahat?!", bentak Mapatih Jayengrono. Lalu dengan satu gerakan
kilat memburu melompat dan mengirimkan dua bacokan ganas. Namun sekali ini sang
patih telah tertipu.
Gerakan yang dibuat oleh Dewa
Maling tadi sama sekali bukan untuk melarikan diri, tapi justru untuk memancing
lawan. Sewaktu Jayengrono melompat ke arahnya dengan membacokkan pedang, laksana
seekor kelinci dengan gesit Dewa Maling melompat ke samping lalu menyelinapkan
satu tusukan tombak ke bagian tubuh sebelah bawah lawan yang tidak terjaga.
Karena bacokannya mengenai
tempat kosong dengan sendirinya serangan balasan Dewa Maling membahayakan
sekali bagi Jayengrono. Derigan sebat patih ini membabatkan pedangnya ke bawah
karena dalam posisi begitu rupa cara itulah satu-satunya bagi dia untuk dapat
menyelamatkan jiwanya! Justru memang inilah yang di kehendaki oleh lawannya.
Melihat lawan membabatkan senjata ke bawah, Dewa Maling dengan keras memukulkan
Tombak Trisula ke atas menyongsong senjata lawan! Raja Pedang Dari Pajang
terkejut namun kasip. Tak ada kesempatan lagi untuk menghindarkan bentrokan
senjata tersebut.
"Trang!"
Pedang di tangan Mapatih
Jayengrono patah dua. Jayengrono cepat melompat mundur sedang di hadapannya
Dewa Maling tertawa mengekeh, tangan kanan memelintangkan Tombak Trisula di
depan dada sedang tangan kiri bertolak pinggang.
"Jayengrono! Sayang kau
terlalu keras kepala! Sudah ditakdirkan bahwa kau tak bakal melihat matahari
esok pagi!".
Dewa Mating menerjang ke muka.
Tombak Trisula berkiblat
menderu. Jayengrono berusaha menangkis sedapat-dapat nya dengan sisa patahan
pedang yang masih ada di tangannya sedang tangan kiri melepaskan satu pukulan
tangan kosong yang dahsyat. .
"Keparat!" maki Dewa
Maling karena dia tak menyangka kalau lawan yang sudah tak berdaya itu masih
memiliki pukulan sakti yang hampir saja menghantam dirinya kalau dia tidak
lekas-lekas menyingkii dan memaksanya membatalkan serangan mautnya tadi!
"Walau bagaimanapun kau
tak bakal bisa membawa lari Tombak Trisula itu, pencuri jahat!" kata
Jayengrono yang masih besar nyalinya meski kini sudah bertangan kosong.
Dewa Maling berkomat-kamit.
Dalam marahnya dia merasa sudah cukup lama melayani patih Pajang itu. Dari
dalam baju hitamnya yang terlindung oleh pakaian hulubalang dikeluarkannya
sebuah benda hijau berbentuk suling. Dengan kedua tangan terpentang Jayengrono
menunggu waspada. Senjata di tangan kiri lawan merupakan senjata aneh baginya.
Tiba-tiba Dewa Maling meletakkan salah satu ujung benda hijau berbentuk suling
itu di ujung bibirnya dan meniup. Satu suara melengking tajam menusuk anak
telinga menggema di keheningan malam. Asap hijau yang ditaburi manik-manik
merah menyala mencurah ke arah Jayengrono. Dalam kagetnya patih Pajang ini tak
sempat lagi menyingkir. Begitu asap hijau bertabur manik-manik merah menyambar
hidungnya, patih ini terbatuk-batuk, dari tenggorokannya terdengar suara seperti
mau muntah. Kedua lututnya goyah dan akhirnya tubuhnya tergelimpang pingsan.
Dewa Maling Baju Hitam tertawa
perlahan. "Jayengrono, kalau aku tidak membunuhmu sekarang bukan berarti
aku memiliki belas kasihan tefiadapmu! Racun jahat yang ada dalam tubuhmu akan
membuat kau menderita batuk darah seumur hidup! Dirimu akan tersiksa, dan itu
jauh lebih jahat dari pada kematian!"
Kembali Dewa Maling tertawa
perlahan. Kemudian dengan memboyong Tombak Trisula, dia berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu.Kira-kira Dewa Maling sudah berlalu sejauh seratus
tombak, satu bayangan putih entah dari mans datangnya tahu-tahu sudah berada di
tempat itu. Melihat sosok tubuh patih Jayengrono yang terhampar di tanah, orang
ini memaki.
"Sialan, aku
terlambat!"
10
ORANG berpakaian putih itu
membungkuk di samping tubuh Jayengrono. Wajah sang patih kelihatan membiru
sedang dari sela bibirnya keluar busa kental dan leher bengkak menggembung.
"Racun jahat," kata orang berpakaian putih dalam hati. Telapak tangan
kanannya di tekankan ke perut Jayengrono sedang jari-jari tangan kiri
mencengkeram leher patih itu. Sesaat kemudiankelihatan tubuh Jayengrono
menggeliat, lalu melejang-lejang. Dari mulutnya semakin banyak keluar busa dan
kini busa itu berwarna kehijauan. Kemudian terdengar perutnya menggereok dan
sang patih muntah dua kali berturut-turut.
Orang berpakaian putih merasa
lega melihat manusia yang ditolongnya muntah. Dia maklum, kalau Jayengrono
tidak muntah begitu rupa, niscaya nyawa sang patih tak mungkin di
selamatkannya. Tapi dia tahu bahwa sampai di situ keselamatan Jayengrono masih
belum terjamin sepenuhnya. Setelah mengalirkan hawa panas dan hawa dingin ke
dalam aliran darah sang patih lalu diambilnya dua butir obat dan dimasukkannya
ke dalam mulut patih itu. Setelah yaktn bahwa kini tak ada lagi racun jahat
yang mengendap dalam tubuh atau jalan nafas Jayengrono, laki-laki berpakaian
putih itu sebelum meninggalkan tempat tersebut dengan jari-jari tangan kanannya
menggurat tanah membuat tulisan.
Sementara seisi Istana Pajang
heboh oleh tercurinya Tombak Trisula serta lenyap tak diketahui ke mana
perginya Mapatih Jayengrono, malam yang dingin telah berganti dengan siang,
fajar telah menyingsing di timur.
Tubuh Mapatih Jayengrono yang
selama beberapa jam terhantar di tanah kelihatan bergerak. Sepasang matanya
membuka perlahan. Akhirnya patih ini siuman dan duduk menjelepok di tanah.
Mula-mula dia heran menyaksikan di mana dia berada saat itu. Namun bila dia
ingat apa yang telah terjadi barulah dia sadar. Dia memandang berkeliling dan
pada waktu itulah pandangannya membentur pada barisan-barisan tulisan yang
tertera di tanah di ujung kakinya.
Kembalilah ke Istana.
Tentang Tombak Trisula tak
usah dikawatirkan.
Mudah-mudahan dapat
kukembalikan dalam waktu yang singkat.
Pendekar 212.
Pendekar 212," desis
Jayengrono. Dia tak pernah kenal orang itu tapi di seluruh Jawa Tengah namanya
sudah tersohor sebagai seorang pendekar berusia muda yang amat tinggi ilmu
silat serta kesaktiannya, yang bertualang dari situ daerah ke daerah lain
menjalankan tugas membela kebenaran dan keadilan, menolong siapa saja yang
tertindas dan mendapat bahaya. Kemudian Jayengrono ingat pula bagaimana Dewa
Maling Baju Hitam telah meniupkan racun jahat kepadanya hingga dia roboh
pingsan. Tentu Pendekar 212 itulah yang telah menolongnya. Perlahan-lahan
Jayengrono berdiri. Dendam kesumatnya terhadap Dewa Maling amat besar, tapi dia
tak bisa berbuat suatu apa selain berharap bahwa Pendekar 212 Wiro Sableng
benar-benar bisa mengambil dan mengembalikan tombak tumbal Kerajaan itu. Dengan
harapan itulah Jayengrono meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke Istana
Pajang.
***
Kira-kira setengah hari
perjalanan dari Pajang terdapatlah sebuah lembah liar. Dulunya lembah ini
adalah sebuah lembah subur. Tapi sewaktu banjir melanda daerah itu, segala
kesuburan lembah tersebut ikut tersapu. Bahkan sebuah kuil yang terdapat di
situ ikut menjadi korban, hampir keseluruhannya diterjang banjir. Kini
sisa-sisa kuil tersebut masih berdiri meskipun sudah tak beratap lagi dan
dinding-dinding sebagian besar hanya tinggal sepotongsepotong. Boleh dikatakan
sejak lembah itu berubah menjadi lembah liar, tak seorang manusiapun yang
datang ke sana. Namun di hari itu adalah aneh karena di depan bekas-bekas
runtuhan kuil kelihatan dua ekor kuda besar tengah merumput. Terlindung di
balik reruntuhan tembok kuil berdiri dua orang laki-laki.
Yang satu bertubuh kecil
bermuka cekung. Kumisnya tebal melintang. Yang seorang lagi kebalikannya
berbadan besar tegap. Mereka berdua adalah Pangeran Ranablambang dan pembantu
kepercayaannya yaitu Pandemang.
"Aku kawatir kalau-kalau
si Dewa Maling gagal mencuri tombak itu," kata Pangeran Ranablambang.
"Mana mungkin, Pangeran.
Dia seroang cerdik, punya seribu akal dan berilmu tinggi pula," menyahut
Pandemang seraya mengusap-usap dagunya yang lebat ditumbuhi berewok.
"Tapi dia bisa saja
silap, lupa akan seluk beluk mengambil senjata itu."
"Percayalah Pangeran,
Dewa Maling pasti berhasil mengambil Tombak Trisula. Kalau tidak percuma dia
mendapat julukan hebat begitu rupa."
Untuk beberapa lamanya
Pangeran Ranablambang tak berkata apa-apa sampai pada akhirnya di tepi lembah
dilihatnya satu titik hitam muncui mendatang dengan cepat.
"Itu dia," kata
Pangeran Ranablambang gembira.
Pandemang memandang ke arah
yang ditunjuk. Titik hitam itu semakin dekat dan ternyata memang dia adalah
Dewa Maling Baju Hitam yang telah menanggalkan pakaian hulubalangnya.
"Bagaimana?
Berhasil?!" pertanyaan itu cepat-cepat diajukan oleh Pangeran Ranablambang
pada Dewa Maling begitu Dewa Maling sampai di hadapannya.
"Beres Pangeran!
Beres!" jawab Dewa Maling dengan tertawa lebar.
Gembiralah Pangeran
Ranablambang. Dia tertawa lebih lebar dari Dewa Maling lalu menepuk-nepuk bahu
Dewa Maling dan bertanya, "Mana keluarkanlah. Berikan padaku cepat."
Dari balik pakaian hitamnya
Dewa Maling mengeluarkan senjata tumbal kerajaan itu dan menyerahkannya pada
Pangeran Ranablambang. Setelah meneliti benda itu sebentar lalu sang pangeran
cepat-cepat menyimpannya di balik pakaiannya.
"Mari Dewa Maling, kau
bakal mendapat hadiah besar dariku," kata Pangeran Ranablambang. Dia
melangkah kekudanya. Dari dalam sebuah kantong kulit yang tergantung di leher
binatang itu dikeluarkannya dua buah kantong kain. "Yang ini berisi
barang-barang perhiasan, emas dan batu-batu permata. Kantong yang satu ini
berisi uang! Terimalah!"
Dewa Maling cepat mengulurkan
tangan menyambut hadiah besar itu. Setelah menyimpan baik-baik kedua kantong
tersebut maka bertanyalah dia.
"Bagaimana dengan janjimu
hendak mengangkat aku jadi orang berpangkat di Istana?" Ranablambang
tersenyum.
"Kau tak usah kawatir
Dewa Maling. Segera takhta Kerajaan sudah berada di tanganku pangkat apapun
yang kau inginkan pasti kuberi. Sekarang rencana kita itu masih cukup panjang
untuk diwujudkan meski Tombak Trisula sudah berada di tangan kita …."
"Apalagi yang harus kita
laksanakan, Pangeran?" bertanya Dewa Maling.
"Pertama-tama kita harus
melenyapkan Mapatih Jayengrono …. ".
Dewa Maling tertawa
gelak-gelak.
"Kenapa kau
tertawa?" tanya Pangeran Ranablambang heran.
"Soal diri Mapatih
Jayengrono, kau tak usah khawatir, Pangeran! Tak usah kawatir! Dia sudah
kubikin beres!"
"Maksudmu?!"
Dewa Maling lalu menerangkan
pertempurannya dengan Jayengrono dan bagaimana dia pada akhirnya berhasil
merobohkan tokoh tinggi Istana Pajang itu. Bukan main gembiranya Ranablambang.
Berkali-kali dipujinya Dewa Maling.
"Kalau begitu", kata
sang pangeran pula, "malam ini juga aku sudah bisa menggerakkan
balatentara Surabaya untuk menggempur Istana!"
Ranablambang mengangguk-angguk
kemudian katanya. "Dengar Dewa Maling. Pasukanpasukan akan memasuki
Kotaraja dari pintu selatan. Sebelum itu beberapa orangku yang ada di dalam
Kotaraja akan menimbulkan kebakaran. Kau sendiri terserah apakah mau ikut
menggempur bersama-samaku atau datang seorang diri
"Karena ada sedikit
urusan, biarlah aku datang seorang diri, Pangeran …." jawab Dewa Maling.
"Baiklah kalau begitu.
Sampai bertemu di Kotaraja malam ini!"
"Sampai ketemu,"
balas Dewa Maling lalu meninggalkan tempat itu.
Sesudah Dewa Maling lenyap
dikejauhan Pangeran Ranablambang dan Pandemang naik ke kuda masing-masing.
"Apa kataku,
Pangeran," berkata Pandemang. "Dewa Maling pasti berhasil mendapatkan
Tombak Trisula itu!"
Pangeran Ranablambang tak
berkata apa-apa melainkan menepuk pinggul kudanya agar lari lebih kencang.
"Agar lebih cepat
sebaiknya kita ambil jalan memotong saja Pandemang," kata Pangeran
Ranablambang.
"Baik, Pangeran",
menyetujui si pembantu. Maka kedua orang itupun membelok memasuki sebuah jalan
kecil. Pangeran Ranablambang di sebelah depan sedang pembantunya mengikut dari
belakang.
Ada kira-kira sepeminuman teh mereka
menempuh jalan liar kecil itu sewaktu di depan mereka terdengar suara siulan
membawakan lagu tak teratur dan tak menentu nadanya, tiada beda dengan
anak-anak yang baru pandai bersiul. Yang anehnya suara siulan itu masuk ke
telinga kedua penunggang kuda dan menggetarkan gendang-gendang telinga mereka.
"Siapa pula yang berada
di daerah liar dan bersiul begitu rupa?", ujar Pangeran Ranablambang pada
Pandemang.
"Ada kelainan dalam suara
siulan ini, Pangeran." memperingatkan Pandemang.
"Aku juga merasakan",
kata Pangeran Ranablambang dan mulai memperlambat lari kudanya. "Karena
itu bersikap waspadalah, Pandemang."
Setelah dua kali peminuman teh
jauhnya mereka menempuh jalan kecil itu rasa heran semakin bertambah. Betapakah
tidak, sudah sejauh itu tetap mereka masih belum juga memapasi atau melihat
orang yang bersiul sedang suara siulan tetap santar datangnya dari sebelah
muka!
"Seorang biasa tak
mungkin dapat bersiul seaneh ini," membatin Ranablambang. Dirabanya
pinggangnya untuk memastikan bahwa Tombak Trisula masih berada di situ. Setelah
satu kali peminuman teh lagi berlalu bertanyalah Pangeran Ranablambang.
"Bagaimana Pandemang,
apakah kita teruskan juga menempuh jalan kecil ini?"
"Terserah Pangeran.
Menurut hamba sebaiknya kita kembali saja."
"Tapi sudah jauh begini
kepalang tanggung," kata Ranablambang. Dia berpikir sejenak lalu.
"Biar kita teruskan saja.
Aku kepingin tahu siapa manusianya yang bersiul itu."
Maka keduanyapun memacu kuda
masing-masing kembali.
Tak selang berapa lama di
hadapan mereka tampaklah seseorang duduk di tepi jalan, bersandar ke sebatang
pohon. Kedua kakinya diulurkan ke depan. Orang inilah yang tengah asyik
bersiul-siul seenaknya. Bahkan ketika Pangeran Ranablambang dan Pandemang
sampai di tempat itu, dia terus saja bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah
tahu atau tidak perduli akan kehadiran kedua penunggang kuda itu.
"Hanya seorang pemuda
tolol gila, kiranya Pandemang. Kukira siapa!" kata Ranablambang pada
pembantunya.
Pandemang juga jadi mendongkol
ketika menyaksikan orang yang bersiul itu adalah seorang pemuda berpakaian
putih, bertampang tolol dan berambut gondrong.
"Orang edan, minggirlah!
Beri kami jalan!" membentak Pandemang.
Di bentak demikian rupa si
pemuda bukannya hentikan siulan, malah semakin memperkencangnya hingga baik
Pangeran Ranablambang maupun Pandemang terpaksa menutup jalan pendengaran
masing-masing agar telinga mereka tidak menjadi sakit pengang!
"Pemuda hina dina!"
bentak Pandemang lagi penuh marah, "berani kau bersikap kurang ajar
terhadap kami! Kupecahkan kepalamu!"
Pandemang melompat dari
kudanya. Tinjunya yang keras besar laksana palu godam diayunkan ke kepala
pemuda itu.
***
11
"PANDEMANG! Tahan
dulu," seru Pangeran Ranablambang.
Mau tak mau mendengar seruan
itu Pandemang menghentikan gerakannya. Dia berpaling dan bertanya heran.
"Mungkin dia tuli,
Pandemang. Hingga tak mendengar ucapan kita!"
"Sekalipun tuli tapi dia
tokh tidak buta, Pangeran!"
Ranablambang mengambil
sekeping uang perak. Sambil melemparkan uang itu ke depan kaki pemuda yang
duduk di tanah dia berkata,
"Pemuda, kalau kau hanya
seorang pengemis, ambillah uang itu dan menyingkirlah lekas!"
Si pemuda menghentikan
siulannya. Sebagai ganti dari mulutnya kini keluar suara tertawa membahak,
membuat dua ekor kuda yang ada di situ menjadi gelisah dan mengeluarkan suara
ringkikan ketakutan.
"Apa kata hamba,
Pangeran! Pemuda ini memang pantas diberi hajaran!" kata Pandemang.
Ranablambang kali ini juga
sudah menjadi gusar sehingga sewaktu pembantunya itu kembali mengayunkan tangan
memukul kepala si pemuda, dia tak menghalangi lagi.
"Braak!"
Suara itu dibarengi dengan
keluhan tinggi Pandemang. Entah kapan si pemuda bergerak, tahu-tahu pukulan
Pandemang meleset dan menghantam pohon di belakangnya hingga patah dan tumbang
dengan mengeluarkan suara berisik. Pandemang sendiri mengeluh kesakitan. Tinju
kanannya kelihatan merah lecet. Dan ini membuat laki-laki itu naik ke kepala
amarahnya. Masih dengan mengandalkan tangan kosong Pandemang menerjang ke muka
menyerbu si pemuda berpakaian putih.
Yang diserang ganda tertawa
lalu berkelit ke samping. Setiap serangan yang dilancarkan oleh Pandemang tak
satupun mengenai sasarannya. Ini membuat Pandemang semakin naik pitam sedang
lawannya terus menerus tertawa mengejek. Akhirnya Pandemang tak menunggu lebih
lama lagi. Dua bilah golok besar yang senantiasa tergantung di pinggangnya kiri
kanan dicabutnya. Sesaat kemudian sepasang senjata itu laksana hujan mencurah
menderu-deru ke arah pemuda berbaju putih. Dalam keadaan begitu rupa si pemuda
tak bisa main-main seperti tadi lagi. Dia musti bertindak cepat kalau tidak mau
dapat celaka. Didahului oleh suara siulan yang melengking tinggi laksana mau
merobek gendang-gendang telinga, pemuda itu berkelebat. Di lain kejap tubuhnya
lenyap menjadi bayangbayang dan Pandemang kini bingung sendiri karena tak dapat
melihat di mana lawannya berada.
"Buuk!"
Pandemang berteriak kesakitan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan hampir jatuh menelungkup karena satu pukulan
keras mendarat di punggungnya. Untung saja pukulan itu hanya mengandalkan
tenaga kasar, kalau disertai tenaga dalam niscaya Pandemang akan konyol detik
itu juga. Dengan beringas Pandemang membalikkan tubuh. Dua bilah goloknya
membacok susul menyusul namun lagi-lagi dia hanya menyerang tempat kosong.
Sebelum dia dapat memastikan di mana musuhnya berada, satu pukulan lagi
mendarat di ulu hatinya. Pandemang mengeluh pendek. Perutnya mual seperti mau
muntah. Ketika satu tamparan menghajar mukanya, tak ampun lagi laki-laki
bertubuh besar tinggi ini terhuyung nanar dan menggeletak pingsan di tanah!
Untuk beberapa lamanya
Pangeran Ranablambang tertegun heran di atas punggung kudanya. Dia tahu betul
tingkat ilmu kepandaian Pandemang. Tidak sembarang orang bisa mengalahkannya,
apalagi secepat dan secara main-main seperti yang dilakukan si pemuda.
"Pemuda rambut gondrong!
Siapakah kau sebetulnya?" bertanya Ranablambang.
"Aku adalah
Ranablambang!", jawab pemuda itu seenaknya dengan cengar cengir, lalu
meneruskan. "Anak seorang gundik yang ingin menjadi raja! Yang telah
mencuri Tombak Trisula tumbal kerajaan!".
Merahlah paras Ranablambang.
Dihunusnya kerisnya dari balik pinggang. Lalu dengan gerakan enteng melompat
turun dari punggung kuda. Selagi tubuhnya melayang di udara dia sudah
mengirimkan satu serangan yang hebat membuat pemuda rambut gondrong terpaksa
buruburu menyingkir. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan yang seru di jalan
kecil itu. Ternyata Ranablambang lebih tinggi ilmu silatnya dari Pandemang.
Gerakan-gerakannya gesit. Serangannya cepat sebat. Tiap-tiap ilmu silat yang
dimainkannya licik dan berbahaya. Kalau saja lawannya tidak hati-hati dan
berpengalaman mungkin sudah sejak tadi tadi dia mendapat celaka. Tiga puluh
jurus berlalu. Meski berada di atas angin Ranablambang masih belum berhasil
untuk merobohkan lawannya. Untuk mempercepat maksudnya mempecundangi lawan pada
jurus ketigapuluh-dua Pangeran ini mengeluarkan Tombak Trisula. Dengah keris di
tangan kiri dan tombak Trisula di tangan kanan dia melanjutkan menggempur si
pemuda.
"Ha . . . ha … ! Senjata
curian yang hendak kau andalkan Pangeran! Sungguh keterlaluan!" ejek
pemuda rambut gondrong. Sambil berkelit dijangkaunya golok besar milik
Pandemang. Dengan satu gerakan yang sebat, golok itu disapukannya terdepan. Ranablambang
mengelak cepat dan dari samping mengirimkan satu tusukan keras dengan Tombak
Trisula. Tapi dia kaget karena lawannya tak ada lagi di tempat semula. Dalam
kebingungan begitu rupa satu benda keras menghantam kepalanya sebelah belakang.
Sang Pangeran mengeluh pendek. Pemandangan mandangan berbinar-binar. Tanah yang
dipijaknya, laksana amblas dan sesaat kemudian dia tergelimpang pingsan
menyusul Pandemang. Pemuda berambut gondrong tertawa perlahan. Diambilnya
Tombak Trisula dari genggaman Ranablambang; lalu diselipkannya di pinggang di
balik bajunya.
***
Para pengawal di pintu gerbang
Kotaraja sebelah timur terkejut dan juga heran sewaktu menyaksikan seorang
pemuda asing dengan menunggangi kuda membawa dua sosok tubuh yang diletakkan di
atas punggung seekor kuda gandengan. Kejut serta keheranan mereka bertambah
lagi bilamana mengenali bahwa dua orang yang ada di punggung kuda gandengan itu
adalah Pangeran Ranablambang dan pembantunya yang bernama Pandemang.
"Bukalah pintu
gerbang!", kata si pemuda.
Di saat itu selusin pengawal
sudah mengurung pemuda ini, bersiap-siap untuk menangkapnya.
"Turun dari kuda dan
serahkan dirimu lekas!" kata pemimpin pengawal.
Si pemuda memaki dalam hati.
"Para pengawal! Kalian
tidak tahu apa-apa! Karena itu jangan banyak bacot! Lekas buka pintu gerbang!
Aku harus menghadap Mapatih Jayengrono selekasnya!"
"Katakan dulu siapa kau!
Kotaraja berada dalam keadaan darurat! Tidak sembarang orang boleh masuk! Apa
lagi kau datang membawa Pangeran Ranablambang beserta pembantunya dalam keadaan
begini rupa!"
"Bicaramu keren amat,
sobat!" ujar si pemuda rambut gondrong. "Sekali kuadukan pada Mapatih
Jayengrono pasti kau bakal mendapat hukuman!"
"Tak perlu mengancam!
Lekas serahkan dirimu!"
"Kalian mau buka pintu
gerbang ini atau tidak!" bentak si pemuda kesal.
"Sompret! Berani
membentak!" damprat kepaIa pengawal lalu melompat untuk menyentakkan kaki
pemuda itu. Namun sebelum maksudnya kesampaian si pemuda telah lebih dulu
menghantamkan tumitnya ke dada kepala prajurit itu hingga tubuhnya mencelat
mental dan jatuh duduk di tanah!
Melihat itu sepuluh prajurit
pengawal segera menghunus pedang masing-masing dan mengeroyok si pemuda
sementara seorang prajurit pengawal lainnya menyelinap masuk ke Kotaraja guna
melaporkan kejadian itu pada atasannya.
Ketika lima orang hulubalang
sampai ke tempat itu, mereka amat terkejut menyaksikan bagaimana sepuluh
prajurit pengawal berhamparan di depan pintu gerbang. Ada yang merintih
kesakitan, ada yang menggeletak pingsan sedang pemuda rambut gondrong masih
tetap berada di punggung kuda dengan senyum-senyum kecil seolah-olah tak ada
terjadi apa-apa di situ!
"Orang gendeng!"
bentak salah seorang hulubalang. Diikuti oleh orang kawannya dia segera
mencabut pedangnya membabat ke depan! Lima senjata maut berkelebat kencang!
"Tahan!" terdengar
satu bentakan memerintah keras.
Lima hulubalang kerajaan
menghentikan gerakan mereka. Yang datang adalah seorang lakilaki yang sudah
berumur tapi masih kelihatan gagah. Melihat orang ini, pemuda rambut gondrong
segera melompat turun dari atas kudanya dan menjura hormat seraya berkata:
"Mapatih Jayengrono… aku
yang rendah datang untuk menepati janji yang kutulis malam tadi."
Mula-mula Jayengrono
keheran-heranan atas ucapan pemuda yang tak dikenal itu. Namun bila dia ingat
apa yang dialaminya semalam, segera dia sadar.
"Apakah kau Pendekar 212
…?" sang patih bertanya.
"Betul, Mapatih,"
jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng.
Jayengrono memandang
berkeliling pada para hulubalang dan pengawal-pengawal pintu gerbang yang mulai
siuman. "Kalian ceroboh semua! Tidak mengenali siapa adanya pemuda ini!
Dialah yang menyelamatkan
Pajang! Yang datang untuk mengembalikan Tombak Trisula yang telah dicuri
itu!"
Tentu saja semua prajurit dan
hulubalang yang ada di situ menjadi kaget bukan main. Mana mereka menyangka
kalau, si pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu adalah Pendekar 212
Wiro Sableng yang selama ini sangat terkenal dalam dunia persilatan. Dengan
cepat mereka membuka pintu gerbang Kotaraja lebar-lebar.
Jayengrono membawa Wiro
Sableng ke gedung Kepatihan. Begitu duduk berhadap-hadapan Jayengrono segera
bertanya. "Pendekar, apakah kau berhasil mendapatkan kembali Tombak
Trisula?"
Wiro Sableng mengangguk. Dari
balik baju putihnya dikeluarkannya Tombak Trisula. Jayengrono menerima senjata
itu. Setelah menelitinya sebentar, berserulah Mapatih Pajang itu.
"Ini Tombak Trisula
palsu!"
Wiro Sableng terkejut dan
tersentak dari kursinya.
"Bagaimana Mapatih tahu
…?" tanya Pendekar 212.
"Sepintas lalu memang
kelihatan seperti yang asli," kata Jayengrono. "Tapi jika
diperhatikan akan kentara sinarnya redup dan buatannya kasar! Kalau kau tak
percaya lihat aku buktikan!"
Jayengrono mengambil sebilah
pedang pajangan yang tergantung di dinding ruangan itu. Dengan pedang itu
kemudian ditetaknya Tombak Trisula! Tombak tersebut langsung terpotong dua!
"Lihat!" kata
Jayengrono pula. "Pedang mustika milikkupun tak mungkin bisa memapas
Tombak Trisula. Ini hanya sebilah pedang biasa sanggup memotongnya jadi
dua!"
"Kalau begitu aku telah
tertipu!" kata Wiro Sableng sambil menggaruk-garuk kepalanya yang berambut
gondrong. Dan di dalam hati pemuda ini memaki setengah mati.
"Aku tak salahkan kau,
Pendekar 212." berkata Mapatih Jayengrono, "sebelumnya kau tak pernah
melihat Tombak Trisula yang asli . . . . ". Setelah saling berdiam diri
beberapa lamanya bertanyalah Jayengrono. "Apa yang harus kita lakukan
sekarang?"
"Sebaiknya bawa masuk
Ranablambang dan pembantunya. Kita bisa tanyai mereka," menganjurkan Wiro.
Jayengrono menyetujui anjuran
itu. Lalu kedua orang tersebutpun di bawa masuk ke ruangan itu tanpa dilepaskan
totokan di tubuh masing-masing.
"Pangeran
Ranablambang," kata Mapatih Jayeiigrono yang masih mau menyebut
"pangeran" terhadap pengkhianat itu, "karena kedokmu sudah
terbuka tak ada gunanya. kau bersembunyisembunyi lagi. Jawablah setiap
pertanyaanku dengan jujur. Di mana Tombak Trisula yang asli kau
sembunyikan?!"
"Apa?!"
"Di mana Tombak Trisula
yang asli kau sembunyikan?" mengulang Jayengrono.
Ranablambang yang bermuka
kecil tekung itu memandang tepat-tepat pada Jayengrono, lalu pada
potongan-potongan tombak yang menggeletak di lantai ruangan dan akhirnya
berkata, "Aku tidak mengerti maksudmu".
"Kau lihat potongan
senjata itu? Bentuknya persis seperti Tombak Trisula tapi adalah palsu!"
"Palsu atau tidak itu
bukan urusanku, Mapatih!" kata Ranablambang pula.
"Kau telah menyuruh Dewa
Maling Baju Hitam untuk mencuri senjata tumbal kerajaan itu. Ketika kau
kutangkap tombak tersebut ada padamu dan temyata palsu. Kau atau si pencurikah
yang telah menukarnya dengan yang palsu?" yang berkata ini adalah Wiro
Sableng.
"Orang gendeng, aku tidak
ada urusan denganmu! Aku tidak sudi menjawab pertanyaan orang gila!"
Wiro Sableng tertawa perlahan
dan menjawab. "Bagaimanapun gilanya diriku, tapi aku tidak segilamu,
Ranablambang. Seluruh Pajang tahu kalau kau cuma anak seorang gundik. Tapi
mengapa menyebut diri sebagai pangeran. Dan lebih dari itu berhasrat hendak
jadi raja pula! Mana yang lebih gila, aku atau kau?!"
Merahlah muka Ranablambang
mendengar ucapan itu.
"Lekas beritahu di mana
Tombak Trisula yang asli!" sentak Jayengrono.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan berdalih,
Pangeran!"
"Kalau dia tak mau
menjawab secara baik-baik, aku ada cara yang paling bagus untuk membuatnya
bicara, Mapatih," kata Wiro pula.
"Mapatih," membuka
suara Pandemang. "Pangeran Ranablambang tidak berdusta. Dia betulbetul
tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan Tombak Trisula asli dan yang
palsu".
"Lantas apa yang kau
ketahui, orang gagah?" tanya Wiro Sableng.
"Bangsat rendah, kelak
aku akan memenggal batang lehermu!", kata Pandemang mendesis.
"Sebelum kau memenggal
lehernya, kau musti selamatkan dulu kau punya batang leher sendiri! Ayo katakan
apa yang kau ketahui!" bentak Jayengrono.
"Aku tak mau
bicara!" jawab Pandemang.
"Baik, tak apa",
kata sang patih pula. Dipanggilnya beberapa orang hulubalang lalu di suruhnya
jebloskan kedua orang itu ke dalam penjara.
"Aku mempunyai dugaan,
Mapatih", kata Wiro Sableng begitu dia tinggal berdua dengan Jayengrono.
"Dugaan apa?"
"Mungkin sekali Dewa
Maling Baju Hitamlah yang punya pekerjaan. Dicurinya Tombak Trisula yang asli
lalu kepada Ranablambang diserahkannya yang palsu . . . .".
"Dugaanmu bukan
mustahil," ujar Mapatih Jayengrono. "Bisakah kau membantuku kembali
untuk mendapatkan Tombak Trisula yang asli itu?".
Sebagai jawaban Wiro Sableng
berdiri lalu berkata, "Akan aku usahakan, Mapatih."
"Usahakanlah sebelum Sri
Baginda kembali dari daerah. Kalau tidak aku bisa berabe!"
"Jangan kawatir Mapatih,
mudah-mudahan berhasil." kata Wiro Sableng. Meskipun ruangan itu mempunyai
pintu untuk keluar masuk tapi pemuda ini dengan seenaknya memilih jendela untuk
jalan lewat meninggalkan ruangan tersebut.
***
12
SEHABIS meninggalkan kuil tua
di lembah liar itu, Dewa Maling Baju Hitam tak hentinya merasa geli dalam hati
akan kebodohan pangeran Ranablambang yang telah kena ditipunya. Di samping ahli
mencuri, Dewa Maling adalah seorang licik yang teramat jahat hatinya. Begitu
Tombak Trisula berada di tangannya segera dia pergi ke seorang tukang tempa dan
disuruhnya membuat sebuah tombak yang bentuknya persis seperti Tombak Trisula
yang asli. Kemudian Tombak Trisula yang palsu itulah yang diserahkannya pada
Ranablambang.
"Dasar tolol!", kata
Dewa Maling dalam hati, "kini aku punya kesempatan untuk jadi Raja Pajang!
Jadi Raja Pajang! Jadi Raja, bukan main!".
Saking gembira dan geli akan
ketololan Ranablambang di puncak sebuah bukit Dewa Maling tertawa gelak-gelak
seorang diri.
"Orang gila dari manakah
yang tertawa disiang bolong begini rupa!" satu suara tinggi membentak. Dua
sosok bayangan bekelebat!
Dewa Maling Baju Hitam
terkejut, menghentikan tawanya dan memandang berkeliling. Berubahlah paras Dewa
Maling Baju Hitam sewaktu melihat dua orang gadis berjubah kuning berdiri
dikiri kanannya. Siapa yang tak kenal dengan Sepasang Iblis Betina yang
berparas cantik tapi berhati lebih kejam dari iblis?!
Untuk menghilangkan rasa
terkejut dan kegentaran hatinya Dewa Maling buru-buru menjura hormat dan
berkata.
"Ah, Sepasang Iblis
Betina kiranya. Harap dimaafkan kalau suara tertawaku mengganggu ketenteraman
kalian. Tapi hari ini aku benar-benar gembira…"
"Apa yang menyebabkan kau
gembira?" tanya Nilamaharani.
"Anu . . . . hem …. aku
menemukan sebuah kantung berisi perhiasan", jawab Dewa Maling dan sesudah
itu laki-laki ini memaki ketololannya dalam hati. Mengapa dia harus menjawab
begitu rupa?
Bukankah seribu jawaban
lainnya bisa diberikannya. Hatinya tercekat sewaktu Nilamaharani bertanya lagi.
"Mana coba kulihat kantung itu!"
Dengan masih memaki dalam hati
Dewa Maling mengeluarkan kantung yang dimaksudkannya lalu diserahkannya pada
Nilamaharani. Si gadis memeriksa isi kantung itu. Ternyata memang isinya
perhiasan.
"Nasibmu memang
beruntung, Dewa Maling. Namun sayang benda ini bukan rejekimu. Iblis-iblis di
neraka telah menentukan agar perhiasan ini diserahkan padaku!".
Berubahlah paras Dewa Maling.
"Ah, rupanya memang
demikian" kata Dewa Maling, "tapi lebih cocok lagi kalau perhiasan
itu kita bagi dua saja …"
"Tutup mulut
licikmu!" Nilamahadewi menukas. "Sekarang ayo lekas serahkan Tombak
Trisula yang asli kepadaku!"
Dewa Maling Baju Hitam laksana
disengat kalajengking. Dia undur beberapa langkah lalu tertawa.
"Kau bicara apakah, Iblis
Betina?"
Nilamahadewi balas tertawa
tapi penuh kesinisan. Dan gadis ini kemudian membentak. "Kau jangan
berpura-pura pilon! Jangan berlagak tidak tahu! Ayo lekas serahkan Tombak
Trisula itu!" Nilamahadewi mengulurkan tangan kanannya.
"Tombak Trisula? Tombak
Trisula apa …? Aku betul-betul tidak mengerti!" kata Dewa Maling masih
berpura-pura sedang hatinya tambah tidak enak. Naga-naganya bahaya perselisihan
tak mungkin lagi dihindarkan. Walau bagaimanapun dia tak bakal menyerahkan
Tombak Trisula tersebut. Yang membuat dia heran ialah bagaimana Iblis berbaju
kuning ini mengetahui bahwa Tombak Trisula tumbal Kerajaan yang asli ada
padanya!
Nilamahadewi mendengus dan
pandangan matanya berubah angker.
"Tombak Trisula yang kau
curi dari Istana Pajang! Ayo, kau masih mau dusta?!"
"Oh … sungguh telingamu
tajam sekali, sungguh matamu terang sekali!" sahut Dewa Maling pula sambil
memainkan senyum. "Jika tombak tersebut yang kau maksudkan, sayang telah
kuserahkan pada Pangeran Ranablambang karena dialah yang menyuruh aku untuk
mencurinya."
"Dan sebagai upahnya kau
dihadiahi perhiasa dalam kantong tadi bukan? Yang kau katakan kau temui di
tengah jalan?!" ujar Nilamaharani.
Nilamahadewi menimpali.
"Terhadap lain orang kau boleh bicara dusta! Tapi terhadap kami
awas!"
"Sungguh mati Tombak
Trisula sudah kuserahkan pada Pangeran Ranablambang.
Pembantunya yang bernama
Pandemang menyaksikan sendiri hal itu", kata Dewa Maling masih
mempertahankan kedustaannya sedapat-dapatnya.
Nilamahadewi tertawa tinggi.
"Memang… memang telah kau
serahkan pada si Ranablambang, tapi bukan tombak Trisula yang asli, melainkan
yang palsu!".
Berobahlah paras Dewa Maling
Baju Hitam. Tanpa membuang tempo lagi dia berkata,
"Maafkan aku Sepasang
Iblis Betina. Karena masih ada lain urusan aku mohon diri!"
Habis berkata begitu Dewa
Maling Baju Hitam cepat-cepat hendak berlalu. Tapi…
"Eeee … ee… ee! Mau ke
mana Dewa Maling?! Apa kau tidak punya telinga? Mana Tombak Trisula itu?!"
tanya Nilamahadewi dan cepat menghadang jalan Dewa Maling.
"Maaf Iblis Betina, aku
tak bisa bicara panjang lebar lagi. Jika kau inginkan Tombak Trisula, mintalah
langsung pada Pangeran Ranablambang."
"Kurang ajar! Masih
berani mempermainkan aku!" teriak Nilamahadewi marah. Dia menerjang ke
depan seraya mendorongkan telapak tangan kirinya. Serangkum angin keras
menyambar ke dada Dewa Maling Baju Hitam. Yang diserang cepat berkelit,
menjatuhkan diri lalu berguling aneh di tanah dan sesaat kemudian dia sudah
berada lima belas tombak jauhnya dari kedua dara berbaju kuning itu!
"Caramu lari boleh juga!
Tapi jangan harap bisa kabur mentah-mentah dari hadapanku!"
kertak Nilamahadewi. Dengan
mempergunakan ilmu lompatan yang disebut "katak sakti melompati
gunung", tubuhnya laksana terbang di udara dan sesaat kemudian sudah
menghadang di hadapan Dewa Maling Baju Hitam.
Kaget Dewa Maling Baju Hitam
bukan alang kepalang. Tahu bahwa pertempuran tak dapat dihindar dan untuk
laripun tak mungkin, begitu berhadap-hadapan Dewa Maling segera mengirimkan
satu tendangan ke uluhati Nilamahadewi. Serangan ini dengan mudah bisa dikelit
oleh Nilamahadewi namun dia terperdaya. Tendangan yang dilancarkan lawan
hanyalah tipuan belaka karena di saat dia bergerak mengelak, satu jotosan keras
dari samping kiri hampir saja meremukkan batok kepalanya kalau dari jurusan
lain kakaknya tidak datang membantu!
"Dasar iblis! Beraninya
main keroyok!" bentak Dewa Maling marah dan penasaran.
"Kau berani memaki,
bagus! Kupuntir lehermu!" teriak Nilamaharani.
"Majulah kalian berdua!
Aku tidak takut!" jawab Dewa Maling Baju Hitam. Baru saja dia berkata
begitu selarik sinar berkilauan menyambar membuat kedua lawannya tersentak
kaget dan mundur!
Temyata Dewa Maling Baju Hitam
telah mengeluarkan Tombak Trisula dan dengan senjata itu menyerang kedua
lawannya. Karena Tombak Trijula adalah senjata sakti yang tak bisa dibuat main
maka Nilamaharani dan adiknya harus berlaku hati-hati. Masih untung tombak
mustika itu berada di tangah lawan seperti Dewa Maling, kalau di tangan seorang
lawan yang jauh lebih tinggi kelihayannya pasti mereka akan mengalami
kesulitan. Menghadapi Dewa Malingpun saat itu keduanya tak mau bertindak
gegabah.
Tombak Trisula di tangan Dewa
Maling bersiut-siut laksana hujan mencurah. Sepasang Iblis Betina bergerak
gesit. Hanya bayangan warna baju mereka yang kuning kini yang kelihatan
berkelebat kian kemari. Dewa Maling mempercepat putaran serahgannya. Dia tahu
dirinya berada di atas angin dan kedua lawan tak berani maju mendekatinya. Enam
jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar suara dua
pekik yang keras dan menegakkan bulu roma. Di saat itu pula bayangan-bayangan
kuning lenyap dari hadapan Dewa Maling. Sepasang Iblis Betina laksana gaib.
Dewa Mating berlaku cerdik. Dia tak mau menghentikan putaran tombak yang
sekaligus melindungi tubuhnya. Sambil terus berbuat begitu sepasang matanya
berputar memandang berkeliling dengan tajam. Sebelum dia berhasil mengetahui di
mana kedua lawannya berada mendadak setiup angin dingin berhembus keras dari
samping kiri.
Dewa Maling terkejut. Tombak
Trisula hampir saja terlepas dari tangan kanannya. Namun dia selamat dari
pukulan "es iblis" yang amat berbahaya yang telah dilepaskan oleh
Nilamaharani dari atas cabang pohon di sebelah kiri sana. Sebenarnya tombak
mustika itulah yang telah menyelamatkan Dewa Maling. Kalau hanya mengandalkan
kekuatannya sendiri mungkin dia sudah mendapat celaka saat itu.
Baru terlepas dari bahaya maut
itu, Dewa Maling dibikin kaget lagi oleh kiblatan sinar kuning yang datang dari
samping kanan. Sekali lagi Tombak Trisula dibabatkannya. Meskipun kali ini
untuk kedua kalinya dia berhasil menyelamatkan diri namun Dewa Maling menjadi
gugup sewaktu dari depan dan dari belakang kembali setiup angin dingin luar
biasa menyambar dan dari depan selarik sinar kuning menderu. Hanya ada dua jalan
untukc menyelamatkan diri dari dua serangan ganas meminta jiwa itu.
Pertama memutar Tombak
Trisula. Namun ini masih memberi kesempatan salah satu serangan akan melanda
tubuhnya Dewa Maling yaitu bila gerakannya menangkis kalah cepat dengan perbawa
dua serangan tersebut. Cara kedua ialah dengan melompat ke atas! Dan cara
inilab memang yang paling baik. Tanpa membuang tempo lagi Dewa Maling
menjejakkan kedua kakinya. Sambil memutar Tombak Trisula di sekeliling
tubuhnya, Dewa Maling melesat ke udara setinggi tujuh tombak.
"Buk"!
Satu pukulan keras menghantam
bahu kanan Dewa Maling. Tulang selangkanya patah remuk. Jerit Dewa Maling
setinggi langit. Ketika dia terguling di tanah dan bangun dengan tertatih-tatih
baru disadarinya bahwa Tombak Trisula tak ada lagi dalam genggaman tangan
kanannya!. Dia memandang ke depan. Senjata mustika itu kini dilihatnya berada
di tangan Nilamaharani yang berdiri dengan bertolak pinggang dan menyunggingkan
senyum mengejek!
Dewa Maling menggerutu
setengah mati! Pada waktu dia melompat ke udara tadi. Nilamaharani yang berada
di belakangnya tanpa diperhitungkan lagi oleh Dewa Maling, telah menyusupkan
satu pukulan tapi tangan yang keras dan sekaligus berhasil merampas Tombak
Trisula dari tangan Dewa Maling.
"Manusia-manusia haram
jadah," maki Dewa Maling secara menggerakkan tangan mengeluarkan
senjatanya yakni sebuah suling berwarna hijau, dan mendekatkannya ke bibir.
Sebelum Dewa Maling meniup senjata itu, Nilamaharani telah menyerbu dengan
Tombak Trisula!
"Keparat!", maki Dewa
Maling. Dia terpaksa melompat jauh dan sejak detik itu tak punya kesempatan
lagi untuk mempergunakan suling hijaunya karena setiap saat dia dibikin sibuk
oleh serangan Tombak Trisula yang menderu ditambah pula dengan pukulan-pukulan
tangan kosong Nilamahadewi yang ikut bantu kakaknya!
"Kalau aku bertahan
terus, lama-lama aku bisa mampus percuma di sini," membatin Dewa Maling
Baju Hitam.
Sambil mengelakkan satu
tusukan tombak yang dilancarkan Nilamaharani, dengan gerakan yang tidak
kelihatan oleh kedua lawannya, Dewa Maling mengambil sebuah benda sebesar tutup
botol berwarna hitam.
"Betina-betina
edan!" teriak Dewa Maling Baju Hitam kemudian. "Jika kalian
benar-benar lihay, tangkislah senjata rahasiaku ini!"
Lalu dengan tangan kirinya
Dewa Maling Baju Hitam melemparkan benda tersebut. Nilamaharani juga menyangka
bahwa benda hitam itu betul-betul satu senjata rahasia, tak ayal lagi segera
menyapu dengan Tombak Trisula. Begitu benda hitam dan Tombak risula beradu,
terdengar suara letupan dan asap hitam yang amat tebal bertebar dengan cepatnya
di seluruh tempat, menghalangi pemandangan mata yang bagaimanapun tajamnya.
"Kurang ajar! Kita
tertipu!" seru Nilamaharani. Dan betul saja. Ketika asap hitam lenyap,
Dewa Maling Baju Hitampun tak tampak lagi mata hidungnya di situ!
***
13
SETELAH berhasil menyelamatkan
diri dari kematian di tangan Sepasang Iblis Betina dan mengobati lukanya, dalam
hati Dewa Maling Baju Hitam timbullah dendam kesumat untuk menuntut balas. Di
samping itu dia bertekat bulat untuk mendapatkan Tombak Trisula kembali. Namun
disadarinya bahwa kedua hal itu tak mungkin terlaksana kalau hanya dengan
mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa Maling Baju Hitam segera menemui
beberapa orang kawan satu alirannya. Maka sewaktu hari menjelang malam, bersama
orang-orang itu dia berunding di satu pondok, mengatur rencana batas dendam dan
merampas Tombak Trisula. Mereka berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling
sendiri. Di samping kanan Dewa Maling duduk seorang laki-laki bertubuh kecil
pendek atau lebih tepat kalau di katakan katai. Si katai ini berkepala botak
licin berkilat berlawanan dengan kepalanya yang licin plontos itu, mukanya
penuh ditumbuhi berewok atau cambang bawuk yang meranggas liar karena tak
pernah dicukur. Siapakah adanya pemuda ini?
Dia adalah Warok Kate, seorang
pemimpin rampok jahat yang bersarang di hutan Jatiluwak. Ilmunya tinggi karena
dulu dia adalah seorang murid pertapa sakti yang kemudian menyeleweng jadi
orang jahat. (Mengenai Warok Kare ini bacalah jilid ke 1 cersil : Pedang Sakti
Keris Ular Mas; karangan Bastian)
Orang kedua yang duduk di
sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam ialah seorang laki-laki yang cuma punya
satu mata. Matanya yang sebelah kanan hanya merupakan rongga hitam yang
mengerikan. Seperti Warok Kare, diapun memelihara berewok yang teramat lebat.
Tampangnya bukan saja seram tapi juga bengis kejam. Dia bernama Baraka Seta,
yang mendapat julukan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo karena bersama beberapa
anak buahnya dia sejak lama menjadi buaya sungai yang ditakuti. Siapa atau
perahu mana saja yang melewati Kali Progo, pastilah, akan dirampok dan para
penumpangnya dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka menyerahkan
barang-barang secara sukarela.
Orang ketiga duduk di depan
Maling Baju Hitam. Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya senantiasa pucat macam orang
mau, mati besok sedang sepasang matanya selalu saja berair. Dia mengenakan
jubah ,’ ungu gelap. Namun tak satu orangpun yang tahu. Dia dikenal dengan nama
gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat. Manusia ini bukan bangsa maling atau
perampok ataupun buaya air. Namun dia merupakan seorang tokoh golongan hitam
yang banyak hubungan rapat dengan orang-orang jahat.
"Nah, kalian sudah tahu
jelas siapa musuh yang bakal kita hadapi. Kedua Iblis Betina itu memang sakti
dan berkepandaian tinggi. Tapi dengan tipu daya serta jumlah kita yang berempat
ini masakan keduanya bisa berkutik?!"
"Memang, aku sendiri
punya dendam kesumat terhadap mereka sejak tiga bulan lewat," kata Buaya
Mata Satu Kali Progo.
"Nah, apalagi kalau
begitu! Dendam kesumat apakah?" tanya Dewa Maling pula.
"Suatu hari anak buahku
merampok habis-habisan sebuah perahu dagang di muara Kali Progo. Tahu-tahu
muncullah kedua iblis haram jadah itu mempreteli hasil rampokan mereka. Anak
buahku melawan. Lima orang dibunuh mentah-mentah, seorang masih sanggup
melarikan diri dengan jalan menyelam di sungai secara diam-diam lalu melaporkan
kejadian itu kepadaku. Sewaktu aku mendatangi muara sungai, bangsat-bangsat
betina itu sudah kabur bersama barangbarang rampokan!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar
Warok Kate bertanya. "Kapan kita akan mendatangi tempat mereka?"
"Malam ini juga, Warok.
Lebih cepat lebih baik!" jawab Dewa Maling Baju Hitam.
"Sret"!
Warok Kate mencabut golok
besar dipinggangnya. Sambil meraba-raba bagian yang amat tajam dari senjata itu
dan sambil menyeringai dia berkata,
"Tenanglah, golok! Malam
ini kau bakal minum darah segar! Lalu dengan tertawa mengekeh disarungkannya
senjata tersebut ke tempatnya kembali.
"Mari kita
berangkat", kata Dewa Maling Baju Hitam seraya berdiri.
Sebelum tiga orang lainnya
sempat ikut berdiri dari ambang pintu terdengar suara menegur.
"Seorang tamu datang,
masakan tuan rumah hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada peradatan!"
Dewa Maling Baju Hitam
terkejut. Dia saling pandang seketika dengan ketiga kambratnya lalu memandang
ke pintu dan membentak.
"Siapa di luar?!"
"Seorang tamu".
"Siapa nama dan datang
dari mana?" tanya Dewa Maling lagi. Sambil bertanya begitu diberikannya
isyarat pada Warok Kate untuk keluar lewat pintu belakang dan menyelidik.
"Aku datang dari
Kotaraja." terdengar sahutan si tamu malam yang masih berada di luar
pondok. "Aku diutus oleh Mapatih Jayengrono untuk bicara empat mata dengan
kau, Dewa Maling."
Dewa Maling memberi isyarat
sekali lagi dan kini Buaya Mata Satu. Dari Kali Progo serta
Setan Ungu Muka Pucat keluar
pula meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling tinggal
seorang diri.
"Sebelum kuizinkan kau
masuk, sebutkan dulu kau punya nama!" kata Dewa Maling.
"Amat pentingkah namaku
bagimu, Dewa Maling?!"
"Penting atau tidak aku
harus tahu! Lekas katakan!"
"Namaku Wiro
Sableng!"
Bagai dipakukan kedua kakinya
ke lantai pondok demikianlah terkejutnya Dewa Maling Baju Hitam. Dia memandang
berkeliling dan diam-diam merasa menyesal mengapa telah menvuruh ketiga
kambratnya meninggalkan pondak hingga dia tinggal sendirian di situ dalam
kekhawatiran yaitu setelah mendengar orang di luar pondok menyebutkan namanya.
"Pendekar 212 Wiro
Sableng!" kata Dewa Maling pula. "Aku tidak menyangka kalau kau ada
hubungan dengan Mapatih Jayengrono. Ada perlu apakah kau mencariku?"
"Aku sudah bilang ingin
bicara empat mata dengan kau."
"Kau tak usah kawatir
pembicaraan kita akan didengar orang. Tiga kawanku sudah kusuruh pergi.
Masuklah!" kata Dewa Maling dan diam-diam dikeluarkannya seruling hijau
yang berisi racun jahat lalu menunggu Wiro Sableng di depan pintu. Begitu si
tamu masuk akan segera disemburnya dengan racun tersebut.
Di luar pondok, Warok Kate dan
Buaya Mata Satu Dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka Pucat merasa amat heran.
Meskipun dia jelas mendengar percakapan antara Dewa Maling dengan tamu yang
mengaku bernama Wiro Sableng itu, tapi ketiganya sama sekali tidak melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sementara itu di dalam pondok
Dewa Maling sudah siap-siap dengan suling hijaunya yang beracun. Dia tersentak
seperti disengat kala sewaktu tahu-tahu dibelakangnya terdengar suara orang
menegur.
"Ah! Aku tak tahu kalau
kau menunggu di pintu depan. Harap maafkan karena aku masuk lewat pintu belakang!"
Dewa Maling menoleh. Seorang
pemuda berambut gondrong dilihatnya berdiri menutupkan pintu sambil menyeringai
kepadanya.
"Kau …. kau Pendekar 212
Wiro Sableng?" tanya Dewa Maling.
Pemuda itu menggaruk kepalanya
lalu mengangguk.
Selama ini Dewa Maling hanya
mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng dan tak pernah melihat
orangnya. Kini berhadapan dengan pemuda berambut gondrong dan bertampang
seperti orang dogol itu mana dia mau percaya kalau pemuda itulah Pendekar 212
Wiro Sableng? Rasa ngeri yang sebelumnya menyungkup diri Dewa Maling dengan
serta merta lenyap. Dan suaranyapun kembali garang, beringas.
"Katakan urusanmu!"
Wiro Sableng melangkah
beberapa tindak lalu baru menjawab.
"Urusanku sedikit sekali,
Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah kata."
"Bilang!"
"Kembalikan Tombak
Trisula!"
Sepasang bola mata Dewa Maling
memandang menyorot pada pemuda di hadapannya.
"Betul kau di utus oleh
Jayengrono?" Wiro mengangguk.
Dewa Maling tertawa
gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar.
"Aneh!" kata Dewa
Maling pula. "Seorang pendekar yang selama ini ditakuti dan menggetarkan
dunia persilatan kiranya hanya kacung buruk seorang Patih belaka!"
Di ejek demikian rupa Pendekar
212 Wiro Sableng bukannya marah malah ikut tertawa gelak-gelak hingga Dewa
Maling merasa bagaimana lantai pondok yang dipijaknya jadi bergetar keras!
"Kacung atau apapun kau
bilang yang penting lekas serahkan padaku Tombak Trisula!" kata Wiro
kemudian setelah menghentikan tawanya.
"Aku kawatir senjata itu
tidak kau sampaikan pada sang patih, tapi kau boyong sendiri!" ujar Dewa
Maling pula.
Wiro menyeringai.
"Lekas serahkan apa yang
kuminta!"
"Tombak Trisula sudah
kuberikan pada Ranablambang. Patih itu menipumu. Tentu dia bermaksud mengadu
domba kau dengan aku!"
Wiro tertawa lalu berkata,
"Trisula yang kau berikan pada Pangeran khianat itu adalah yang palsu!
Mana yang asli?"
"Hem, rupanya kau tahu
juga mana asli mana palsu. Dengar sobat, jika aku terangkan yang sebenarnya
padamu apakah kau mau segera angkat kaki dari sini!"
"Belum tentu."
"Jangan keras kepala!
Sepuluh macammu bisa kuhantam sekaligus!" ancam Dewa Maling.
"Dua puluh macammu
sanggup kulabrak dalam satu jurus!" balas Wiro seenaknya.
"Trisula yang asli telah
dirampas oleh Sepasang Iblis Betina." kata Dewa Maling dengan geram.
"Sekarang angkat kaki dari hadapanku!"
"Jangan bicara bohong,
Dewa Maling!" memperingatkan Wiro Sableng.
Saat itu pintu belakang dan
pintu depan pondok terbuka. Warok Kate dan Buaya Mata Satu berdiri di belakang
Pendekar 212 sedang dari pintu depan masuk Setan Ungu Muka Pucat. Seraya
menutupkan pintu Setan Ungu Muka Pucat berkata:
"Manusia keras kepata
macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja, Dewa Maling!"
Wiro Sableng mengeluarkan
suara bersiul dan menggoyangkan kepalanya pada Setan Ungu Muka Pucat lalu
berkata.
"Manusia muka sepucat
kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau tidak pasti aku sudah
menyangka kau adalah mayat hidup!" Habis berkata begitu Wiro Sableng
tertawa gelak-gelak.
"Bedebah!" bentak Setan
Ungu Muka Pucat dengan amat marah. Darahnya naik ke kepala tapi parasnya masih
tetap saja pucat pasi. Dia maju ke muka. Dengan jari-jari tangannya yang
berkuku panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar 212. Namun gerakannya itu
terhenti oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
"Jangan kesusu, sobatku!
Kalau dia mau bergabung dengan kita, kita ampunkan jiwanya."
Dewa Maling berpaling pada
Wiro dan bertanya. "Bagaimana? Kau bersedia ikut kami ke tempat Sepasang
Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula?!"
"Siapa sudi?!" sahut
Wiro tegas. "Kau bangsat manusia licik. Juga kawan-kawanmu yang tiga ini.
Dan aku tetap yakin bahwa senjata mustika itu ada padamu!"
"Kalau begitu mampuslah
bersama keyakinanmu itu!" bentak satu suara di belakang Pendekar 212. Satu
benda kemudian terdengar bersiur ke arah pemuda ini. Tanpa menoleh, dari suara
sambaran angin Wiro Sableng dapat mengetahui bahwa yang menyerangnya dari
belakang adalah Warok Kate. Dengan cepat pemuda itu bergerak ke kanan. Bila
dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan menendangkan
kaki kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan Warok Kate. Golok besar yang
dipakainya untuk menyerang terlepas mental sedang lengannya sakit bukan main
akibat tendangan lawan!
"Kalau mau menyerang, dari
depan, sobat! Bukan secara licik seperti itu!"
Kini terbukalah mata semua
orang yang ada di situ. Warok Kate seorang kepala rampok berilmu tinggi dan
luas pengalaman. Bagaimana dia bisa dihajar hanya dalam satu gebrakan saja?!
Rupanya nama Wiro Sableng yang digelari Pendekar 212 tidak kosong belaka!
"Kawan-kawan! Mari kita
kermus bangsat kurang ajar ini!" teriak Dewa Maling Baju Hitam.
Dengan senjatanya yang
berbentuk suling hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada Pendekar 212.
Kalau tadi dia merencanakan
untuk menyembur muka pemuda itu dengan racun senjata tersebut, kini hal itu tak
berani dilakukannya karena khawatir akan mencelakakan kawan sendiri. Tusukan
yang dilancarkan Dewa Maling adalah satu tusukan kilat yang berbahaya. Namun
tidak demikian mudah untuk merobohkan murid Eyang Sinto Gendeng dengan satu
kali serangan kilat itu. Sambil berkelit Wiro menerpa ke arah Setan Ungu Muka
Pucat yang hendak membokongnya dari samping.
"Buk!"
Dua kepalan sama-sama beradu.
Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir agar keluh kesakitan tidak
keluar dari mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan ketika diperhatikan ternyata kulit
tangannya telah lecet merah! Melihat ini Setan Ungu Muka Pucat segera
mengeluarkan senjatanya yakni sebuah tasbih berwarna ungu. Sementara itu Buaya
Mata Satu Dari Kali Progo telah pula mencabut pedang besar sedang Warok Kate
setelah mengambil senjatanya yang tadi terlepas, terus pula menyerbu. Dalam
pondok yang sempit itu dengan tangan kosong Pendekar 212 dikeroyok oleh empat
tokoh silat golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Wiro tahu adalah gila
kalau dia menghadapi keempat lawannya dengan terus mengandalkan tangan kosong.
Dalam dua atau tiga jurus pasti tubuhnya akan kena "disate"
senjata-senjata lawan. Karena dia tak bisa menggerakkan tangan untuk melepaskan
pukulan pukulan sakti maka tanpa membuang waktu lagi pemuda ini segera mencabut
Kapak Maut Naga Geni 212 dan balik pinggangnya. Sinar putihpun berkiblat!
"Awas Kapak Naga Geni
212!" seru Setan Ungu Muka Pucat memberi ingat kawankawannya.
Peringatan itu tak ada gunanya
karena sesaat kemudian terdengar suara "cras" yang dibarengi dengan
pekik Baraka Seta atau Buaya Mata Satu Dari Kali Progo. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang, dada mandi darah. Tersandar ke dinding pondok dan
akhirya roboh ke lantai tanpa. berkutik lagi.
Kekalapan Dewa Maling Baju
Hitam melihat kematian kambratnya membuat dia melupakan keselamatan
kawan-kawannya yang masih hidup. Dehgan serta merta ditiupnya sulingnya. Sinar
hijau bertabur manik-manik merah menyembur ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro sudah maklum betapa jahatnya racun dalam sinar itu, dengan serta merta
menyapukan Kapak Naga Geni 212 ke kiri. Keseluruhan sinar hijau dan manik-manik
merah tersapu ke kiri di mana Setan Ungu Muka Pucat berada. Tak ampun lagi
begitu racun tersebut tercium olehnya, Setan Ungu Muka Pucat terbatuk-batuk
beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau muntah. Tubuhnya
tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari sela bibir membasahi ludah.
"Dewa Maling! Tindakanmu
gegabah sekali!" teriak Warok Kate yang jadi penasaran melihat Setan Ungu
Muka Pucat yang tak mungkin diselamatkan lagi jiwanya. "Terpaksa
kubatalkan niat untuk ikut bersamamul Kau bertempurlah seorang diri melawan
pemuda itu!".
Habis berkata demikian Warok
Kate memutar tubuh dan melabrak pintu pondok, lenyap di kegelapan malam.
Melihat ini lumerlah nyali Dewa Maling Baju Hitam. Segera pula dia memutar
tubuh. Tapi Wiro Sableng mana mau memberi kesempatan lari pada yang satu ini.
Sebelum Dewa Maling mencapai pintu, Kapak Naga Geni 212 telah membabat putus
salah satu kakinya. Dewa Maling terbanting di tanah dan menjerit-jerit
kesakitan.
"Kalau kau terangkan di
mana Tombak Trisula yang asli, aku akan selamatkan jiwamu." kata Wiro.
"Setan alas! Aku sudah
bilang senjata itu dirampas oleh Sepasang Iblis Betina ….!"
"Di mana tempat kediaman
mereka?"
"Tanyalah sama setan
neraka!" jawab Dewa Maling. Racun Kapak Naga Geni 212 masuk ke jantungnya
dan detik itu juga manusia inipun meregang nyawa! Wiro menggeledah pakaian Dewa
Maling. Tombak Trisula tak ditemuinya.
***
14
MENURUT keterangan yang
didapat oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, tempat kediaman Sepasang Iblis Setina
terletak di daerah berbukit-bukit di seberang hutan Bintaran. Lima hari mengadakan
penyelidikan dia samasekali tak berhasil menemukan sarang kedua gadis jahat
tersebut. Selama ini Wiro telah mendengar perbuatan-perbuatan kejam yang pernah
dilakukan oleh Sepasang Iblis Betina. Ada hal yang mengherankannya, kenapa
justru laki-laki muda dan yang bertampang gagah yang selalu menjadi korban
kedua gadis tersebut?
Hari keenam berlalu. Wiro
Sableng memutuskan bila sampai hari ketujuh dia masih belum berhasil menemukan
kedua orang yang dicarinya itu, dia akan meninggalkan tempat tersebut dan
mencari keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka.
Demikianlah pada pagi hari
ketujuh itu Wiro Sableng baru saja selesai mandi di dalam Telaga Puteri Intan
Dewi yang terletak di hutan Bintaran sewaktu sepasang kaki putih mulus
dilihatnya melangkah lembut di antara semak-semak jauh di hadapannya. Pemuda
itu cepat naik ke darat dan mengenakan pakaiannya, lalu menunggu dengan tenang.
Namun ketenangan hati pendekar
muda ini hanya sejenak. Dadanya berdebar sewaktu pemilik kaki yang bagus tadi
muncul di balik sepatang pohon besar. Ternyata dia adalah seorang dara berparas
cantik sekali. Wiro mengingat-ingat beberapa orang gadis cantik yang pemah
ditemuinya. Namun harus diakuinya bahwa yang satu ini adalah yang paling cantik
yang pernah dilihatnya. Gadis ini mengenakan pakaian berbentuk jubah pendek
berwama biru tua berbungabunga kuning. Di tangan kirinya ada sebuah kendi
besar. Dara ini kelihatan terkejut dan menghentikan langkahnya sewaktu sepasang
matanya yang bersinar beradu pandang dengan Pendekar 212.
"Di pagi yang segar,
bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh indah sekali rasanya hidup ini
…." kata Pendekar 212 laksana seorang penyair. Dia tersenyum.
"Nona, siapakah
kau?" tanya Wiro Sableng seraya melangkah mendekati si gadis. Sang gadis undur
beberapa tindak. Wiro tertawa.
"Kau datang ke sini tentu
untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau tak usah perduli aku kalau memang tak
sudi bicara atau takut padaku. Aku tak akan mengganggumu." Pemuda ini
membalikkan badan dan merapikan pakaiannya. Di dengarnya gadis itu melangkah ke
tepi telaga. Lalu didengamya suara kendi dimasukkan ke dalam air telaga.
Sewaktu Wiro Sableng berpaling, dilihatnya gadis itu memandang tepat-tepat
padanya. Si gadis membuang muka sewaktu pandangan mereka saling bentur.
"Kalau dilihat membuang
muka. Orang melengah memperhatikan …" kata Wiro dalam hati.
Kemudian tanpa acuhkan gadis
itu dia melangkah pergi. Adalah satu hal yang membuat dia terkejut sewaktu di
dengamya gadis itu berseru. "Saudara, tunggu …. !"
Wiro Sableng berpaling.
"Ada apakah?"
"Kau jangan jalan ke arah
sana…."
"Eh… Terima kasih atas
nasihatmu. Kalau aku boleh tanya memangnya kenapa ….?" tanya Wiro.
"Daerah sebelah sana
berbahaya." jawab si gadis seraya bangkit dari tepi telaga karena kendi
yang di isinya telah penuh dengan air.
"Hem, begitu? Banyak
binatang liarnya?" tanya Wiro lagi.
"Bukan." jawab si
gadis. "Di situ daerah kediaman dua gadis jahat."
Wiro Sableng melangkah ke
hadapan si gadis. "Darimana kau tahu?"
"Aku tahu apa yang
terjadi di sini dari guruku. Beliau yang menceritakan".
"Siapa nama gurumu?"
tanya Wiro lagi.
"Maaf, tak bisa kuberi
tahu."
"Kau tahu betul tempat
kediamannya Sepasang Iblis Betina itu?"
Si gadis menggeleng.
"Tapi percayalah…" katanya. "mereka sering muncul di jurusan
yangtadi hendak kau tempuh."
"Kau dan gurumu tinggal
di sekitar sini?"
"Ya. Setiap hari aku ke
sini mengambil air." Wiro Sableng hendak menanyakan sesuatu tapi tak jadi.
Di belakangnya, kira-kira lima tombak jauhnya, di dengamya suara gemerisik
rantingranting. Dia berpaling dengan cepat lalu melompat ke jurusan ranting dan
semak belukar. Jelas dilihatnya bayangan kuning berkelebat. Namun aneh ketika
dia sampai di situ bayangan tersebut lenyap laksana ditelan bumi. Wiro ingat
pada keterangan yang diterimanya yaitu bahwa Sepasang Iblis Betina senantiasa
mengenakan jubah kuning. Bukan mustahil bayangan kuning tadi adalah bayangan
salah seorang dari mereka. Dengan perlahan-lahan dia kembali menemui si gadis.
Di lihatnya gadis ini berdiri menggigil dengan muka pucat.
"Tak usah kawatir. Tak
ada apa-apa…." kata Wiro menenangkan.
"Waktu aku bicara tadi,
sekelebatan kulihat sesosok tubuh berbaju kuning. Aku takut sekali, saudara.
Pasti dia! Pasti gadis jahat itu …."
"Kau ditipu pemandanganmu
sendiri, nona." kata Wiro meski hatinya sendiri tidak enak.
"Aku sudah memeriksa
tempat sekitar situ. Tak ada siapa-siapa."
"Aku harus kembali
cepat-cepat. Tapi … tapi, aku takut pulang sendirian."
"Mari kuantar." kata
Wiro Sableng pula.
Tanpa banyak cerita lagi kedua
orang itu mening galkan tempat tersebut. Tak selang berapa lamanya, dihadapan
serumpun semak belukar lebat gadis itu berhenti. Dengan tangan kanannya
disibakkannya semak-semak tersebut lalu berpaling pada Wiro dan berkata,
"Masuklah!"
"Tempat tinggalmu di sini
….?"
Jawaban si gadis tak
terdengar. Wiro menyetuak di antara semak-semak lalu masuk ke dalam. Dia
melangkah mengikuti gadis itu menyusuri sebuah lorong batu yang bersih dan
bagus hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh sebuah
pelita aneh. Pelita itu merupakan sebuah kayu hijau yang ditancapkan di dinding
ruangan. Bau harum aneh menyentuh penciuman Wiro Sableng. Dia memandang
berkeliling. Ruangan itu indah sekali. Si gadis menyuruhnya duduk.
Berada sendirian di dalam ruangan
itu Wiro merasakan ada kelainan dengan aliran darahnya: Untuk beberapa lamanya
diperhatikannya pelita aneh di dinding yang dilihatnya semakin redup cahayanya
sedang bau harum semakin mempengaruhi dirinya. Darahnya menyentak-nyentak dan
nafasnya memburu panas. Semua ini menimbulkan tanda bahaya dalam hati Wiro:
Segera dikerahkannya tenaga dalam dan ditutupnya penciumannya.
Selang beberapa ketika si
gadis muncul kembali. Dia mengenakan pakaian yang sama dengan sebelumnya namun
kali ini kelihatan lebih tipis hingga sinar lampu yang redup sekalipun sanggup
merambas memperlihatkan sekujur tubuhnya. Sepasang mata Pendekar 212 Wiro
Sableng menyipit.
"Gurumu mana…?"
tanya Wiro.
"Aku lupa mengatakan
sesuatu tentang guruku," kata gadis itu seraya duduk di hadapan Pendekar
212.
"Ada apa dengan
dirinya?"
"Dia kejam sekali. Sejak
aku dewasa tak pernah boleh berhubungan dengan laki-laki. Kau tentu tahu
bagaimana perasaan seorang dara yang sudah menginjak alam dewasa seperti aku
ini…."
"Aku mengerti…"
sahut Wiro, "tapi mengapa gurumu bertindak demikian?"
"Aku sendiri tidak tahu .
. . . ", jawab gadis itu sambil menundukkan kepala.
"Gurumu melarang kau
berhubungan dengan laki-laki. Lantas kenapa kau berani membawa aku ke
mari?"
"Beliau sedang bertapa.
Lusa baru kembali."
"Hem . . . . ",
gumam Wiro. Seorang gadis cantik, berpakaian tipis menggiurkan dan menyatakan
perasaannya tentang kerinduan terhadap seorang laki-laki kepada seorang
laki-laki. Aliran darah Wiro Sableng semakin menggelora panas. Denyut nadinya tambah
cepat. Dan di antara ke semua itu perasaan adanya bahaya semakin besar. Dia
ingat bagaimana dulu dia tenggelam dalam pelukan tubuh telanjang seorang dara
yang kemudian dara itu ternyata hendak merenggut jiwanya. Apakah gadis yang
satu inipun hendak berbuat begitu pula.
"Eh, kau masih belum
menerangkan namamu." Kata Wiro memecah kesunyian di antara mereka.
"Sebutkan namamu
dulu," sahut si gadis merajuk.
"Aku Wiro."
Si gadis mengangkat kepalanya.
"Wiro apa?" tanyanya.
"Wiro Sableng."
Meski bibir si gadis
merekahkan senyum namun sepasang mata Wiro Sableng tak bisa ditipu. Pada
bola-bola mata gadis di hadapannya itu ada pantulan sinar aneh saat itu dan
genta tanda bahaya semakin keras mengumandang di telinganya, menyuruhnya
berhati-hati.
"Namamu sendiri siapa,
nona . . . . ?", tanya Wiro setelah dia mempertenang diri sementara itu
jalan pemafasan hidungnya masih terus ditutup.
"Nilamaharani . . . .
", kata gadis itu menyebutkan namanya.
"Nama bagus," puji
Wiro. Lalu dilihatnya gadis itu berdiri dan sinar pelita hijau kembali
merambasi tubuhnya yang bagus.
"Aku sudah menyiapkan
minuman di dalam. Mari masuk ke ruang sana, Wiro," kata Nilamaharani.
Nafasnya menghembus panas di wajah Pendekar 212.
Wiro berdiri dan mengikuti
gadis itu. "Jika ini adalah satu tipuan nona …." kata murid Eyang
Sinto Gendeng ini dalam hati, "kau bakal mampus percuma."
Ruangan yang mereka masuki
juga diterangi oleh pelita aneh bersinar redup. Satu-satunya perabotan yang ada
di situ hanyalah sebuah tempat tidur. Bagian kepala tempat tidur yang bagus
berseperai kuning itu berbentuk meja panjang di mana terletak dua buah cangkir.
Wiro merasa tidak enak begitu melihat wama seperai di hadapannya, namun
seolah-olah tak ada apa-apa dengan tenang dia duduk di tepi terlipat tidur sewaktu
Nilamaharani mempersilahkannya. Meski saat itu perasaan adanya bahaya semakin
keras namun sebegitu jauh Wiro Sableng belum mengetahui siapa sebenarnya dara
jelita yang bernama Nilamaharani itu.
"Silahkan minum,
Wiro!" kata Nilamaharani sambil menyerahkan salah satu cangkir ke tangan
Pendekar 212. Kaki kirinya di pangkukan di atas kaki kanan hingga betis dan
pahanya yang putih tersingkap menantang.
Wiro Sableng mendekatkan bibir
cangkir ke bibimya. Matanya melihat cairan teh wangi yang ada dalam cangkir itu
berwama aneh, agak berminyak-minyak di sebelah atasnya. Dia yakin minuman itu
telah dicampur dengan racun jahat namun selama Kapak Naga Geni 212 masih
tersisip di pinggangnya, selama senjata ampuh penangkal segala macam racun itu
masih ada padanya, dia tidak takut racun jahat apapun di atas dunia ini.
Tanpa ragu-ragu diteguknya teh
itu sampai habis. Perutnya terasa hangat. Kemudian dari gagang Kapak Naga Geni
212 dirasakannya hawa dingin menyelusup ke dalam perutnya. Untuk beberapa
ketika dia merasa seperti digelitik kemudian segala sesuatunya seperti biasa
kembali. Hawa dari Kapak Naga Geni 212 telah punahkan racun jahat dalam
perutnya!
"Tehmu enak sekali dan
terima kasih." kata Wiro waktu mengembalikan cangkir kepada Nilamaharani.
Untuk beberapa lamanya kedua orang itu berdiam diri.
"Wiro…"
"Hem…?"
"Dapatkah kau
membayangkan bagaimana jadinya jika satu aliran arus sungai terus menerus
dibendung…?"
"Pertanyaanmu agak
aneh," sahut Wiro. "Tapi memang aku bisa membayangkan".
"Dapat pula kau bayangkan
bagaimana akibatnya?".
"Air akan naik dan lambat
laun walau bagaimanapun kuatnya bendungan pasti akan meledak pecah."
Nilamaharani menganggukkan
kepalanya.
"Itulah yang terjadi
selama ini dengan diriku, Wiro. Guruku melarang aku berhubungan dengan laki-laki.
Melarang … melarang dan akhirnya sewaktu aku berhadapan dengan seorang
laki-laki, dengan seorang pemuda macammu ini, aku tidak tahan Wiro. Mungkin ini
adalah ucapan yang tidak pantas tapi aku benar-benar tidak tahan…"
Wiro Sableng menggeser duduknya
sewaktu Nilamaharani menangis tersedu-sedu.
"Kau seorang yang suka
berterus-terang," kata Pendekar 212 pula seraya memegang bahu gadis itu.
Betapa lembutnya daging tubuhnya. "Aku senang pada orang yang bersifat
seperti itu."
"Kau senang pada diriku,
Wiro?"
"Ya."
"Oh…"
Nilamaharani menjatuhkan
kepalanya kepada Pendekar 212 dan dirangkulnya pemuda itu erat-erat. Wiro
mengelus punggung gadis ini. Perlahan-lahan dibukanya jalan pernafasannya.
Terciumlah betapa harumnya rambut Nilamaharani. Diciumnya kepala gadis itu.
Tiba-tiba dengan kebinalan seorang gadis yang telah berubah laksana seekor
singa kelaparan, Nilamaharani merangkul tubuh Wiro dan menggulingkannya di
pembaringan.
"Kau harus melakukannya
untukku, Wiro. Kau harus melakukannya untukku…" Sepasang kaki Nilamaharani
melejang-lejang, menggapai di sela-sela kaki Wiro Sableng. Nafasnya membara.
Untuk sekejap Wiro Sableng
lupa diri. Nafsunya menggelora. Kedua tangannya menggerayang di atas tubuh si
gadis. Tapi tiba-tiba laksana disengat ratusan kalajengking secara sekaligus.
Wiro Sableng tersentek dari atas pembaringan. Matanya memandang membelalak pada
tubuh Nilamaharani yang terbaring di atas tempat tidur yang saat itu hampir
tiada tertutup lagi!
"Manusia dajal hina dina!
Jadi .., jadi kau adalah seorang laki-laki …?! Gila! Terkutuk!" teriak
Wiro Sableng.
Nilamaharani memekik marah.
Dia melompat hendak menangkap tubuh pemuda itu dengan kedua tangannya yang
terpentang lebar. Tapi Wiro membantingkannya ke dinding. Untuk kedua kalinya
Nilamaharani memekik dan yang sekali ini dari kedua tangannya menyambar dua
larik sinar kuning.
"Pukulan es iblis!"
seru Wiro. "Jadi kau salah seorang dari Sepasang Iblis Betina, hah?"
Nilamaharani memekik lagi
macam kuda meringkik. Wiro mengangkat tangan kanannya dan secepat kilat memukul
ke muka. Sinar putih bertabur dan ruangan itu menggelegar sewaktu pukulan sinar
matahari yang dilepaskan Wiro berhantaman dengan pukulan "es iblis"
yang dilancarkan Nilamaharani.
"Pendekar 212, takdir
sudah menentukan bahwa riwayatmu berakhir di tempat ini!"
"Manusia banci keparat.
Dosamu tujuh kali lebih besar dari pelacur! Mampuslah!" teriak Wiro seraya
melepaskan pukulan sinar matahari sekali lagi.
"Wutt"!
Satu sinar yang menyilaukan
memapas pukulan sinar matahari. Satu benda bermata tiga hampir saja menyambar
leher pemuda itu kalau dia tidak lekas-lekas melompat ke belakang. Ketika dia
memandang ke depan di samping Nilamaharani yang saat itu sudah mengenakan
pakaian, berdiri seorang gadis berjubah kuning yang parasnya secantik
Nilamaharani. Dan di tangannya tergenggam sebuah tombak bermata tiga. Tombak
Trisula! Senjata mustika inilah yang telah memapas musnah pukulan sinar
matahari Wiro tadi!
"Bergundal baju
kuning!" bentak Wiro. "Kau tentunya juga seorang laki-laki seperti
dajal satu ini…"
"Tutup mulut kotormu,
bangsat!" teriak si jubah kuning yang memang adalah Nilamahadewi. Dia
menerjang ke muka seraya melancarkan satu tusukan dengan Tombak Trisula. Di
lain pihak Nilamaharani menyusul dengan satu serangan pukulan sakti yang hebat.
Satu teriakan dahsyat keluar dari mulut Pendekar 212.
Terdengar suara menggaung.
Sinar putih berkiblat dan "trang"! Tombak Trisula di tangan
Nilamahadewi terlepas mental.
"Kakak! Pemuda ini bukan
tandingan kita! Lekas lari lewat jalan rahasia!" seru Nilamahadewi pada
kakaknya. Kedua "gadis" itu lari ke sudut ruangan dan sama-sama
menekan dua buah tombol rahasia. Dua buah pintu terbuka dan keduanya segera
menghambur masuk ke pintu itu. Namun Pendekar 212 lebih cepat lagi. Tubuhnya
laksana terbang. Dari mulutnya keluar suara suitan nyaring dan Kapak Naga Geni
212 membabat ke muka. Kedua kakak adik itu menjerit dan tergelimpang di mulut
pintu rahasia. Pinggang masing-masing hampir putus dilanda Kapak Naga Geni 212.
Untuk seketika mereka masih kelihatan bergerak-gerak sesudah itu kaku tegang
untuk selama-lamanya.
Pendekar 212 Wiro Sableng
membungkuk mengambil Tombak Trisula yang tercampak di lantai sementara Kapak
Naga Geni sudah disisipkannya ke balik pakaian putihnya. Dia melangkah
mendekati mayat Nilamahadewi. Dengan ujung Tombak Trisula disingkapkannya jubah
kuning sebelah bawah "gadis" itu.
"Edan!" maki
Pendekar 212. "Dia juga lakilaki! Sialan!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi
Wiro Sableng keluar meninggalkan tempat itu. Sepasang Iblis Betina telah
menemui ajalnya. Dan Tombak Trisula harus segera diserahkannya pada Mapatih
Jayengrono di Istana Pajang.
TAMAT