-------------------------------
----------------------------
004 Keris Tumbal Wilayuda
PROLOG
SUARA beradunya berbagai macam
senjata, suara bentakan garang ganas yang menggeledek di berbagai penjuru,
suara pekik jerit kematiansera suara mereka yang merintih dalam keadaan terluka
parah dan menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana
maut yang menggidikkan!
Di mana-mana darah membanjir!
Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa nyawa! Bau anyir darah
memegapkan nafas, menggerindingkan bulu roma! Pertempuran itu berjalan terus,
korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa. Ada
yang terbabat putus batang lehernya. Ada yang robek besar perutnya sampai
ususnya menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah, kepala yang pecah, dada yang
tertancap tombak. Kutungan-kutungan tangan serta kaki!
Di dalam istana keadaan lebih
mengerikan lagi. Mereka yang masih setia dan berjuang mempertahnkan tahta
kerajaan, yang tak mau menyerah kepada kaum pemberontak meski jumlah mereka
semakin sedikit, terpaksa menemui kematian, gugur dimakan senjata lawan!
Istana yang pagi tadi masih
diliputi suasana ketenangan dan keindahan, kini tak beda seperti suasana dalam
neraka! Mayat dn darah kelihatan di mana-mana. Pekik jerit kematian tiada
kunung henti. Perabotan istana yang serba mewah porak poranda. Pihak yang
bertahan semakin terdesak. Agaknya dalam waktu sebentar lagi mereka akan
tersapu rata dengan lantai yang dulu licin berkilat tapi kini dibanjiri oleh
darah!
“Wira Sidolepen dan Braja
Paksi, menyerahlah!,” teriak seorang laki-laki berbadan kekar dan berkumis
melintang. Seperti kedua orang yang dibentaknya itu diapun mengenakan pakaian
perwira kerajaan.
Bradja Paksi kepala
balatentara Banten menggerang dan balas membentak. "Bangsat pemberontak!
Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan menyerah!”
Parit Wulung laki-laki yang
berkumis melintang itu tertawa bergelak. Sebelumnya dia adalah perwira pembantu
atau wakil kepala balatentara Banten tapi yang hari itu telah tersesat dan
memberontak terhadap kerajaan !
"Mengingat hubungan kita
sebagai ipar, aku masih mau tawarkan keselamatan buat roh busukmu! Tapi jika
kau sendiri yang hendaki kematian, jangan menyesal!”
Parit Wulung menerjang ke
muka. Pedangnya menyambar mengirimkan satu serangan yang cepat dan dahsyat.
Tapi dengan sebat Bradja Paksi menangkis dengan Pedangnya pula.
“Trang!”
Bunga api berkilauan.
Tangan Parit Wulung tergetar
hebat. Dia mundur selangkah namun lawan menyusuli dengan dua rangkai serangan
berantai yang membuat gembong pemberontak ini terdesak ke tiang besar di ujung
kanan. Sebagai kepala Balatentara Banten maka ilmu silat dan kesaktian Bradja
Paksi lebih tinggi dari wakilnya yang memberontak itu. Bagaimanapun cepat dan
sebatnya Parit Wulung putar pedang tetap saja dia tak bisa ke luar dari serangan-serangan
lawan, apalagi ketika dengan kalap Bradja Paksi sertai serangan-serangan
pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kosong. Namun itu tak berjalan lama.
Seorang berbadan kate,
berselempang kain putih yang kulit mukanya sangat hitam dan berkilat serta
berambut awut-awutan berkelebat ke muka. Tampangnya seperti singa.
"Parit Wulung! Biar aku
yang bereskan bangsat ini!"
Melihat siapa yang berkata itu
maka Parit Wulung dengan tidak menunggu lebih lama segera ke luar dari kalangan
pertempuran. "Resi Singo Ireng, rnemang dia pantas sekali untuk jadi
korbanmu! Cepat rampaslah nyawanya!"
Manusia muka hitam berbadan
kate yang bernama Resi Singo Ireng tertawa buruk. Tangan kanannya dihantamkan
ke muka. Secarik sinar putih melesat ke arah kepala balatentara Banten.
Bradja Paksi lompat tiga
tombak ke atas. "Bergundal pemberontak!". makinya. "Nyawamu di
ujung pedangku!,” Bradja Paksi menukik ke bawah. Pedangnya berkelebat cepat
sekali.
"Bret !"
Robeklah pakaian putih Singo
Ireng !
Maka marahlah Resi ini.
"Manusia hina dina!. Kalau kau punya Tuhan berteriaklah menyebut nama
Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di sini!".
Tangan kiri Singo Ireng
terangkat tinggi-tinggi ke atas dan kini berwarna hitam legam.
"Bradja Paksi awas! Itu
pukulan wesi item!,” terdangar teriakan seseorang yang tengah bertempur dengan
segala kehebatannya dekat pintu besar yang menuju ke ruang tengah istana.
Umurnya sudah agak lanjut namun gerakannya benar-benar tangguh dan. enteng
gesit mengagumkan! Dia adalah Wira Sidolepen, Patih Kerajaan Banten !
Terkejutlah Bradja Paksi
mendangar teriakan peringatan itu. Seluruh tenaga dalam segera dikerahkan. Pada
saat tangan kiri Resi Singo Ireng turun cepat ke bawah maka sinar hitam
menyambar ke muka. Dan di saat itu pula Bradja Paksi melompat ke samping, putar
pedang dan hantamkan tangan kiri ke depan.
Namun meskipun berilmu tinggi,
untuk saat itu Bradja Paksi masih belum sanggup menerima pukulan wesi item
lawan. Tubuhnya mencelat kena disambar sinar hitam, terlempar ke dinding istana
lalu terhampar di lantai penuh darah tanpa bisa berkutik lagi. Sekujur pakaian
dan tubuhnya hangus hitam!
Resi singo Ireng tertawa
senang menjijikkan untuk dipandang!
Melihat kematian Bradja Paksi
maka kalaplah patih Wira Sidolepen. Sekali dia menerjang, tiga prajurit
pemberontak yang menyerangnya berpelantingan dengan tubuh patahpatah! Sebagai
patih kerajaan, tingkat kepandaian Wira Sidolepen memang sudah sempurna dan
hampir setingkat dengan Singo Ireng. Gesit sekali maka tubuhnya sudah berada di
hadapan Resi itu.
"Ha… ha… kau juga mau
antarkan nyawa, Wira Sidolepen…”
"Tak perlu banyak mulut.
Terima ini…!" hardik sang patih. Pedangnya bergulung dengan sebat. Putaran
pedang mengeluarkan angin bersiuran yang melanda tubuh Resi Singo Ireng.
Terkejutlah Resi ini. Cepat-cepat dia gerakkan badan berkelit. Tahu bahwa
tingkat kepandaian lawan tidak berada di bawahnya rnaka pagi-pagi Singo Ireng
segera keluarkan pukulan "wesi ireng"-nya.
Melihat lawan keluarkan ilmu
yang ampuh itu, Wira Sidolepen segera pindahkan pedang ke tangan kiri. Mulutnya
komat kamit dan jari tangannya mendadak sontak berubah rnenjadi putih berkilau.
Inilah ilmu pukulan "mutiara penabur nyawa!" Parit Wulung yang tahu
kehebatan ilmu pukulan ini segera pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi
peringatan pada Singo Ireng.
"Awas, itu pukulan
mutiara penabur nyawa, Resi Singo Ireng !"
Mendengar ini maka sang Resi
lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua bentakan nyaring sama-sama terdangar
menggeledek dari mulut Singo Ireng dan Wira Sidolepen. Sinar hitam dan sinar
putih berkiblat saling papas.
“Akh….”
Tubuh patih itu terlempar
keras ke tiang istana. Sampai di lantai tubuhnya berkelojotan seketika lalu
diam tak bergerak tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh.
Sambil gosok-gosok tangan
kirinya. Singo Ireng putar kepala ke pintu di sampingnya. Di situ melangkah ke
arahnya seorang berselempang kain biru. Mukanya coreng moreng berbelang tiga
yaitu hitam, kuning dan merah. Rambutnya tersisir licin-lincin ke belakang.
Inilah dia Resi Macan Seta, kakak kandung Resi Singo Ireng. Kalau Singo Ireng
memiliki tampang seperti singa maka kakaknya sesuai dengan namanya, memiliki
tampang persis seperti macan!
"Kau tak bakal kuat
menerima pukulan mutiara penabur nyawa itu Singo Ireng, sekalipun kau
pergunakan ilmu wesi item! Sekurang-kurangnya kau akan terluka di dalam
Singo Ireng tertawa buruk! Dia
tak berkata apaapa karena maklum bahwa ucapan kakaknya itu adalah betul. Dan
diam-diam dia bersyukur karena Macan Seta telah menolongnya dengan pukulan
"sinar surya tenggelam" tadi!
–== 0O0 == –
1
PADA abad ke 15, Kerajaan
Demak diperintah oleh Baginda Trenggono. Di bawah Trenggono maka Demak mencapai
puncak kejayaannya. Di masa itu pula adik perempuan Trenggono kawin dengan
Fatahillah.
Untuk meluaskan daerah
perdagangan serta kekuasaan Demak maka Trenggono merasa perlu untuk menduduki
Banten. Maka pada tahun 1527, di bawah pimpinan Fatahillah menyerbulah
balatentara Demak. Banten jatuh, pelabuhan Sunda Kelapa diduduki dan sebagai
wakil Demak memerintahlah Fatahillah di Banten. Sebenarnya kurang tepat kalau
dikatakan bahwa Fatahillah bertindak sebagai wakil Trenggono atau wakil
kerajaan Demak karena luas lingkup kekuasaan serta pengaruh Fatahillah tak
ubahnya seperti Raja. Disamping itu, terlepas dari Demak, Fatahillah membentuk
balatentara tersendiri. Nama Fatahillah menjadi besar dan dihormati. Namun
demikian kesetiaannya terhadap kerajaan induk yaitu Demak tetap seperti
sediakala.
Sultan Hasanuddin dalam
menjalankan roda pemerintahan kerajaan Banten dibantu oleh penasihat utama
seorang tua bijaksana bernama Mangkubumi Mitra serta patih Wira Sidolepen.
Disamping itu bantuan kepala balatentara Banten yang bernama Bradja Paksi patut
pula disebutkan karena segala sesuatu yang bersangkutan dengan keamanan dan
keselamatan kerajaan terletak pada tanggung jawabnya sepenuhnya. Apalagi
mengingat pada masa itu sering kali terjadi bentrokan-bentrokan dengan pihak
Pajajaran. Bradja Paksi tadinya adalah seorang prajurit biasa di kerajaan
Demak. Tapi karena keberanian, kejujuran dan kepandaiannya maka dia menjadi
orang kesayangan Fatahillah. Ketika Fatahillah pindah ke Banten, Bradja Paksi
ikut serta. Kemudian dia diangkat jadi kepala balatentara Banten. Pangkat itu
terus dijabatnya sampai pada suatu hari di mana dia terpaksa mengorbankan
jiwanya sendiri untuk keselamatan kerajaan dan demi kesetiaan pengabdiannya
pada atasan!
Saat itu belum lagi satu bulan
Hasanuddin yang muda belia dinobatkan sebagai Sultan atau Raja Banten. Baik
patih Wira Sidolepen, maupun penasihat tua Mangkubumi Mitra serta kepala
balatentara Bradja Paksi, ataupun Sultan sendiri, mereka tak satupun yang tahu
kalau di batang tubuh kerajaan saat itu terdapat musuh dalam selimut yang
berbahaya, yang bergerak secara diam-diam!
Dan siapa yang akan menyangka
kalau musuh dalam selimut itu adalah Parit Wulung, perwira yang menjadi wakil
langsung dari kepala balatentara kerajaan! Hubungan Parit Wulung dengan Bradja
Paksi bukan saja sebagai bawahan dengan atasan, tetapi juga sebagai ipar karena
adik perempuan Bradja Paksi kawin dengan Parit Wulung.
Tapi Parit Wulung telah
tersesat. Lupa dia bahwa jabatan yang dipangkunya itu adalah berkat diangkat
atas kebijaksanaan Bradja Paksi. Lupa dia bahwa kerajaan yang telah memberi
pangkat kedudukan serta kehormatan dan kehidupan mewah. Nafsu hendak berkuasa
sendiri, nafsu hendak duduk ditakhta kerajaan sebagai Raja telah merangsang
segenap hati dari jiwa raganya!
Dalam mencapai usahanya
merebut takhta Kesultanan Banten itu sudah barang tentu dia tak bisa bergerak
sendiri. Disamping itu dia tahu pula bahwa untuk mencari pengikutpengikut dari
kalangan pihak dalam yaitu perwira-perwira dan menteri-menteri istana tidak
mungkin karena semua perwira dan menteri, apalagi patih Wira Sidolepen
sangatlah setianya kepada Kerajaan dan Sultan Hasanuddin. Karenanya maka
perwira pengkhianat itupun mencari sekutu di luar Banten. Peluang yang sangat
baik dilihatnya datang dari kerajaan tetangga yaitu Pajajaran. Beberapa perwira
Pajajaran secara diam-diam ditemuinya dan perwira-perwira itu sesudah diberikan
janji yang muluk-muluk bersedia mengirimkan ratusan prajurit untuk membantu
pemberontakan bila saatnya sudah tiba kelak.
Ratusan prajurit masih belum
dirasa mencukupi bagi Parit Wulung. Pengkhianat ini kemudian mendatangi seorang
sakti yaitu Resi Singo Ireng yang berdiam di pantai selatan. Resi ini bukan
saja mau membantu maksud busuk Parit Wulung karena dijanjikan akan dilimpahkan
harta kekayaan yang tiada terkira banyaknya, tapi juga mengikut sertakan kakak
kandungnya yang juga seorang Resi yaitu Resi Matjan Seta. Matjan Seta diam di
Teluk Keletawar. Tokoh silat ini baru saja membentuk satu partai silat yang
dinamainya Partai Api Selatan. Meski keduanya adalah Resi namun mereka telah
terperangkap oleh kesenangan duniawi sehingga masuk ke datam golongan hitam!
Pada hari yang telah
ditentukan maka pecahlah pemberontakan menggulingkan kerajaan itu! Ratusan
pasukan dari Pajajaran menyerbu. Pertempuran hebat terjadi di seantero Kotaraja
dan yang paling hebat adalah sekitar halaman istana.
Sebentar saja kaum pemberontak
sudah membobolkan pertahanan Banten. Istana dikepung, prajurit-prajurit
pemberontak di bawah pimpinan Parit Wulung, Singo Ireng dan Matjan Seta
menyerbu ke dalam istana. Menteri-menteri dan orang-orang cerdik pandai yang
terkurung dan tak dapat diselamatkan semuanya menemui ajal dipancung secara
kejam. Kepala balatentara Banten, patih Wira Sidolepen dan beberapa orang
penting lainnya turut serta menjadi korban keganasan kaum pemberontak itu !
Banten jatuh sebelum hari
rembang petang. Prajurit-prajurit Banten yang masih hidup dan terpaksa menyerah
bersama-sama rakyat disuruh membersihkan semua mayat-mayat yang bergeletakan di
setiap pelosok. Sedangkan di satu ruangan dalam istana Banten terjadi pertemuan
panting. Pertemuan penting ini diketuai oleh Parit Wulung. Yang hadir ialah
Resi Singo Ireng, Resi Matjan Seta, Karma Dipa dan Djuanasuta. Kedua orang
terakhir ini adalah penrwira-perwira Pajajaran sekutu Parit Wulung !
"Resi Singo Ireng, Resi
Matjan Seta dan saudara-saudara Karma Dipa, Djuapasuta. Kalian lihat sendiri,
berkat kerjasama kita maka apa yang kita rencanakan telah berhasil. Kini Banten
adalah milik kita bersama. Namun ada beberapa hal yang mengecewakan dilaporkan
oleh seorang perwira penghubung pihak kita. Sultan Hasanuddin lenyap tak
diketahui ke mana perginya. Kemungkinan besar bersama penasihat tua Mangkubumi
Mitra karena orang tua inipun tak diketahui di mana dia berada saat ini…".
Sampai di situ maka Karma Dipa
buka suara. "Kalau mereka hendak melarikan diri dari Banten adalah
mustahil. Seluruh perbatasan dijaga ketat oleh prajurit-prajurit kita!"
"Itu betul sekali,” jawab
Parit Wulung. "Disamping orang-orang kita terus melakukan penyelidikan
atas jejak kedua orang itu maka kita juga telah menangkap tiga orang yang diduga
keras mengetahui di mana bersembunyinya Sultan!"
Parit Wulung bertepuk tiga
kali. Pintu ruangan perundingan terbuka. Seorang pengawal masuk. "Bawa ke
sini Said Ulon !,” kata Parit Wulung pada pengawal itu.
Pengawal ke luar dengan cepat.
Sesaat kemudian masuk lagi bersama seorang kawannya membawa seorang laki-laki
tua berambut putih. Dialah Said Ulon, kepala rumah tangga istana. Kedua
pengawal ke luar lagi.
"Said Ulon, kau tahu
dimana Sultan sembunyi, bukan?!" ujar Parit Wulung.
Orang tua itu memandang ke
muka sebentar. Hatinya geram sekali melihat tampang Parit Wulung. Dua orang
anaknya telah menjadi korban akibat pemberontakan manusia itu. Seperti hendak
ditelannya bulat-bulat tubuh Parit Wulung saat ini. Kedua tangannya berusaha
melepaskan ikatan tali tapi tak berhasil.
Melihat ini Parit Wulung
segera berkata. "Jangan khawatir, kau akan kulepaskan dan kujamin
keselamatanmu bila memberi keterangan di mana Sultan berada…!"
"Ya… memang aku tahu…”
berkata Said Ulon.
"Haaaa…” Parit Wulung
tertawa lebar. "Di mana?," tanyanya.
Orang tua itu maju ke hadapan
Parit Wulung. "Di sini," katanya. Dan habis mengucapkan perkataan itu
maka diludahinya muka Parit Wulung!
"Jahanam hina dina!"
suara Parit Wulung menggeledek.
"Sret!" Pedangnya
dicabut dan "cras!” maka putuslah leher Said Ulon. Kepalanya menggelinding
di lantai tepat di muka pintu. Darah muncrat membasahi permadani yang menutupi
sebagian dari lantai ruangan !
Resi Matjan Seta tertawa
mengekeh melihat peristiwa itu.
Karma Dipa berkata dengan suara
datar. "Seharusnya kita tak perlu membunuh sekaligus manusia itu, Parit
Wulung. Kita bisa siksa dia sampai mengaku di mana adanya Sultan
Hasanuddin!"
Parit Wulung tak menjawab.
Noda darah dipedangnya disapukannya kepakaian Said Ulon lalu dimasukkannya ke
dalam sarungnya kembali. Kemudian Parit Wulung bertepuk lagi tiga kali.
Pintu terbuka. Pengawal yang
masuk tergagau melihat adanya kepala manusia di muka pintu. "Bawa masuk
tukang kuda itu!" kata Parit Wulung.
Tak lama kemudian pengawal
membawa masuk seorang pemuda bermuka pucat pasi. Baik Parit Wulung maupun
pemuda ini sebelumnya sudah saling mengenal.
"Siman Tjonet, kau lihat
mayat dan kepala di lantai itu?!"
Siman Tjonet si tukang urus
kuda-kuda milik istana mengangguk.
"Tentunya kau tak ingin
bernasib demikian, bukan? Nah coba terangkan di mana Sultan bersembunyi…!”
"Aku tak tahu…".
"Ah kau musti tahu.
Mungkin sekali Sultan telah melarikan diri bersama beberapa orang dengan
menunggangi kuda. Betul…"
"Aku tidak tahu..,"
jawab Siman Tjonet lagi seperti tadi.
Maka. marahlah Parit Wulung.
"Dangar Siman…,” desisnya. "Aku tahu bahwa beberapa bulan di muka kau
akan kawin. Kalau kau tetap ingin merasakan kenikmatan perkawinanmu itu, cepat
beri tahu di mana Sultan berada…”
"Kalau kau kasih keterangan…,"
menyambung Djuanasuta, "kami akan berikan uang serta perhiasan! Kau akan
beruntung seumur hidup…"
"Aku tidak tahu…"
"Betul-betul tidak
tahu…?!"
"Kalaupun tahu aku tidak
akan kasih keterangan pada bergundal pemberontak dan pengkhianat macam
kau!"
Parit Wulung tertawa buruk.
Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanannya bersitekan pada hulu pedang.
"Jangan jadi orang tolol Siman Tjonet!" berkata Karma Dipa sementara
Resi Matjan Seta dan adiknya asyik-asyik makan buah anggur yang terhidang di
atas meja. "Bicaralah, kau akan selamat dan jadi orang kaya!"
Siman Tjonet diam saja.
"Agaknya kau lebih suka
mati daripada hidup senang. Siman…?" tanya Parit Wulung.
"Disangkanya kalau dia
mati akan masuk surga dan ketemu bidadari!" berkata Resi Matjan Seta sambil
tertawa dan mengunyah buah anggur dalam mulutnya.
"Aku masuk surga atau
tidak itu bukan urusan kalian! Sebaliknya kalian semua kelak akan menjadi
puntung api neraka!" jawab Siman Tjonet dengan beraninya.
"Wah… kau benar-benar
tidak takut mati, anak muda. Tapi bagaimana kalau sebelum mati aku siksa kau
lebih dahulu, heh?!"
"Kalian boleh siksa aku
tapi di mana Sultan berada tetap kalian tak bisa tahu!"
"He… he… he..,” Resi
Matjan Seta berdiri dari duduknya. Mulutnya masih mengunyah buah anggur. Dia melangkah
ke hadapan Siman Tjonet, Tangan kanannya diletakkannya di atas kepala pemuda
itu.
"Manusia bermuka setan,
pergi!" hardik Siman Tjonet. Pemuda ini pergunakan kaki kanannya untuk
menendang tulang kering Resi Matjan Seta. Tapi aneh! Kedua kakinya terasa
sangat berat dan sukar digerakkan. Sementara itu kepalanya yang dipegang terasa
panas bukan main. Disamping panas kepalanya juga terasa seperti dicucuki oleh
ratusan jarum! Dari kepala rasa sakit menjalar ke sekujur tubuh si pemuda.
Pemuda ini merintih kesakitan.
Bila rasa sakit tak tertahankan lagi maka mulailah dia menjerit-jerit setinggi
langit. Betapa mengerikan suara jeritan itu terdangarnya. Peluh dingin
membasahi seluruh tubuh Siman Tjonet.
"Masih belum mau
bicara?!" bentak Parit Wulung.
"Pengkhianat terkutuk!
Pembalasan akan datang untuk kalian semua!".
"Bikin mampus dia Resi
Matjan Seta!,” perintah Parit Wulung.
Sang Resi mengekeh, telapak
tangannya semakin keras menekan batok kepala pemuda tukang kuda. Asap mengepul
dari telapak tangan laki-laki sakti itu.
Jeritan Siman Tjonet terdangar
semakin keras dan berubah menjadi suara erangan. Dari telinga, dari mata dan
dari lubang hidung serta mulutnya mengalir darah kental. Kedua lututnya
terlipat dan sesaat kemudian tubuh pemuda itu terhempas ke lantai, nyawanya
lepas! Resi Matjan Seta mengekeh lagi!
Dan Parit Wulung bertepuk
lagi. Maka tawanan yang ketigapun dibawa masuklah. Tawanan ini ternyata seorang
perempuan muda berparas rupawan.
Begitu dia masuk ke, ruangan
itu maka menjeritlah dia. Kedua tangannya yang tidak terikat dipakai untuk
menutupi muka dan matanya. Kengerian membuat tubuhnya gemetar ketika
menyaksikan kepala dan tubuh Said Ulon serta tubuh pemuda tukang kuda!
Resi Singo Ireng menunda
anggur yang hendak disuapkannya ke dalam mulut. Matanya menjalari si perempuan
muda mulai dari ujung rambut sampai ke kaki.
"Ah… ah… ah…! Yang satu
ini tak boleh dibunuh, Parit Wulung. Dia cukup pantas untuk jadi
peliharaanku!,” kata Resi bertampang singa itu.
Parit Wulung tak ambil
perhatian ucapan itu. Dia berkata pada si perempuan muda. "Suri Intan, kau
tak usah khawatir atau takut. Tidak ada yang akan menyakiti kau…”
"Aku tak percaya pada
kalian! Keluarkan aku dari sini!,” teriak perempuan itu. Suri Intan adalah
istri Braja Paksi kepala balatentara Banten yarig telah gugur dalam
mempertahankan kerajaan. Karena adik Bradja Paksi kawin dengan si pemberontak
Parit Wu-lung maka dengan sendirinya antara Parit Wulung dengan Suri Intan
terdapat hubungan keluarga yang dekat.
Parit Wulung coba tersenyum
mendangar ucapan perempuan itu. "Suri, apakah kau tahu di mana Sultan
Hasanuddin bersembunyi? Juga penasihat tua Mangkubumi Mitra…?!"
Si perempuan tiada peduli
dengan pertanyaan itu. "Keluarkan aku dari sini!" teriaknya.
"Dewiku manis…!"kata
Singo Ireng mengetengahi. "Kau akan ke luar dari sini, aku yang akan bawa
kau dan kita berdua akan senang-senang di tempatku di pantai utara. Tapi apa
salahnya sebelum pergi kau suka kasih penuturan apa yang kau ketahui mengenai
Sultan…"
"Aku tidak tahu apa-apa
mengenai Sultan. Yang aku tahu ialah bahwa kalian semua manusia-manusia
pengkhianat terkutuk! Balasan Tuhan akan datang kelak atas diri kalian!"
"Ah… ah… ah! Bicaramu
hebat sekali manisku…!" kata Singo Ireng. Dia berdiri dari kursinya.
Sambil melangkah mendekati Suri Intan dia meneruskan. "Aku suka pada
peremppan-perempuan yang pandai bicara…". Dia berdiri dua langkah di
hadapan Suri Intan. Bola matanya berkilat-kilat memandangi perempuan berparas
rupawan itu lalu dia berpaling pada Parit Wulung. "Aku yakin betul,"
katanya pada Parit Wulung. "perempuan ini pasti tidak dusta dengan
keterangannya. Dia tak tahu apa-apa tentang Sultan. Parit Wulung, biar aku
minta diri saja siang-siang untuk membawa dia ke kamar sebelah…. he… he…
he…!"
"Singo Ireng! Jangan ribut
soal lampiaskan nafsu saja. Kita harus cari dulu Sultan Hasanuddin sampai
dapat…!" Yang bicara ini adalah Matjan Seta, kakak Singo Ireng.
"Ladalah..,"
menyahuti Singo Ireng. "Itu urusan kalian. Aku sudah letih. Tubuhku
pegal-pegal. Perempuan ini pasti lihay sekali memijit. Bukankah begitu
dewiku…?" Dan Singo Ireng mencubit dagu Suri Intan.
"Tua bangka hidung
belang!" memaki Suri Intan. Tangannya bergerak hendak mencakar muka Singo
Ireng. Tapi sekali cekal saja maka perempuan itu sudah tak bisa berdaya lagi!
"Lepaskan aku,
lepaskan!,” Suri Intan meronta sekuat tenaga. Entah cekalan Singo Ireng yang
kemudian agak kurang ketat, entah karena rontakan Suri Intan yang memang sangat
keras maka perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cekalan Singo Ireng. Kemudian
secepat kilat dia lari ke pintu. Tapi nyatanya pintu dikunci dari luar oleh
pengawal. Dalam bingung dan ketakutan sementara itu Suri melihat Singo Ireng
mendatanginya dengan menyeringai dan bola mata berkilat-kilat sedang hidung
kembang kempis.
"Singo Ireng! Biarkan
dulu perempuan itu!" bentak Matjan Seta.
"Sudah diam sajalah
Seta!,” menggerendang Singo Ireng. "Sekarang kau terlalu banyak ribut,
nanti kalau aku lagi asyik kau dobrak pintu kamar dan minta diberi bagian!
Puh…!"
Singo Ireng maju ke muka dan
ulurkan tangan. "Jangah jamah aku!,” teriak Suri Intan. Dia lari seputar
ruangan dan Singo Ireng mengejarnya. Mengejar dengan tertawa terkekehkekeh.
"Manisku, kenapa musti main kucing-kucingan? Tampangku memang buruk. Tapi
nantilah, kalau kau sudah rasakan bagaimana pandainya aku di atas tempat tidur,
kau akan ketagihan… ha… ha… ha…!"
Suri Intan semakin kepepet ke
sudut ruangan.Tiba-tiba terjadilah hal yang tidak diduga oleh Singo Ireng dan
siapapun yang ada di ruangan itu.
Suri Intan melompat ke
samping, membenturkan kepalanya ke dinding ruangan! Semua orang yang ada di
ruangan itu sudah biasa dengan segala macam pemandangan maut, sudah biasa
melihat kematian manusia. Tapi mendangar suara beradunya kepala perempuan itu
dengan dinding yang keras, menyaksikan bagaimana kemudian Suri lntan terkapar
di lantai dengan kepala rengkah berlumuran darah, semuanya sama menjadi
merinding bulu tengkuknya! Suasana di ruangan itu seperti di pekuburan
sunyinya!
Kesunyian itu kemudian
dipecahkan oleh suara Matjan Seta. "Aku bilang apa, Singo Ireng! Kau lihat
sendiri sekarang. Apa kau masih bernafsu terhadap perempuan itu?!"
Singo Ireng tak menjawab.
Diputarnya badannya. Dia duduk kembali ke tempatnya. Dan seperti tak ada
apa-apa dia mulai lagi mengunyah buah anggur yang terhidang di atas meja!
Sesudah para pengawal
diperintahkan menyeret ketiga mayat itu maka Parit Wulung melanjutkan pertemuan
dengan membuka pembicaraan.
"Kurasa mengenai Sultan
tak perlu kita bicarakan panjang lebar. Cepat atau lambat orang-orang kita akan
segera menangkapnya. Tapi apa yang menjadi pikiranku ialah lenyapnya keris
pusaka kerajaan Tumbal yang menjadi syahnya kedudukanku sebagai seorang Raja,
nanti!"
"Keris itu pasti dibawa
kabur oleh Sultan Hasanuddin!" kata Resi Matjan Seta pula.
"Mungkin, tapi mungkin
pula dicuri atau dilarikan oleh seorang lain!"
Singo Ireng mengetengahi.
"Tanpa keris Tumbal Wilayuda itupun tak akan seorang yang bisa menolak
penobatanmu sebagai Raja Banten, Parit Wulung! Kecuali kalau mereka mau terima
nasib digerogoti cacing di liang kubur!"
"Soal itu aku tak
khawatir. Tapi dalam hal ini kita berhadapan dengan rakyat. Rakyat hanya akan
mengakui aku sebagai raja, bila keris Tumbal Wilayuda ada di tanganku!"
"Kenapa ambil pusing
dengan rakyat?,” tukas Singo Ireng. Mereka mau terima atau tidak, mereka mau
mampus sekalipun, kita tak perlu ambil peduli! Rakyat tidak lebih dari
domba-domba yang bisa kita halau sesuka hati !"
"Tapi, disamping itu
keris Tumbal Wilayuda adalah satu senjata sakti dan keramat…,” ujar Parit
Wulung.
"Sakti aku percaya, tapi
kalau dikatakan keramat itu adalah takhyul!,” menyahut Singo Ireng. Parit
Wulung tak berkata apa-apa namun dalam hati dia merasa tidak senang. Maka
berkatalah dia. "Aku minta pada kalian, terutama Resi Matjan Seta dan
Singo Ireng untuk mencari Sultan dan menemukan keris Tumbal Wilayuda itu sampai
dapat!"
Singo Ireng mengunyah
anggurnya lambat-lambat lalu berkata. "Ini tak termasuk dalam hitungan
kita Parit Wulung. Tempo hari kau hanya minta aku dan kakakku membantu
pemberontakan sampai terlaksana. Kini Banten sudah jatuh dan berada di tangamu,
perjanjian kita beres dan kami sudah saatnya menerima balas jasa!"
"Mengenai soal balas jasa
Resi berdua tak usah cemas, kalian berdua boleh membawa segala harta kekayaan
apa saja dari Banten ini sebanyak yang kalian bisa bawa. Tapi bila kalian
bersedia pula membantu mencari dan menangkap Sultan serta menemukan keris
pusaka Tumbal kerajaan itu, maka bagian kalian tentu akan lipat ganda !"
Singo Ireng manggut-manggut. "Baiklah,”
katanya. "Soal harta aku tidak begitu temahak. Tapi setiap perempuan
cantik di Banten ini adalah milikku!"
–== 0O0 == –
2
HARI itu adalah hari kedua
sesudah jatuhnya takhta kerajaan Banten ke dalam tangan kaum pemberontak
pimpinan Parit Wulung. Suasana di Kotaraja yang sehari sebeIumnya senantiasa
diliputi kepanikan kini mulai mereda. Namun di mana-mana kelihatan berkeliaran
tentara-tentara pemberontak sedang di setiap tempat yang dianggap penting
terutama di sepanjang perbatasan senantiasa dijaga ketat oleh tentara.
Pagi itu, pagi ketiga dari
berkuasanya kaum pemberontak kelihatanlah dua orang berjalan kaki. Yang satu
sudah tua dan terbungkuk-bungkuk. Yang satu lagi masih muda. Keduanya
mengenakan pakaian bertambal-tambal serta kotor. Kulit badan dan muka merekapun
coreng moreng dan rambut awut-awutan. Dari keadaan kedua orang ini, sepintas
lalu saja orang segera berkesimpulan bahwa mereka adalah pengemis-pengemis. Dan
setiap orang yang memapasi mereka tentu saja tak akan mau ambil peduli! Namun
siapa nyana kalau kedua orang ini adalah dua orang penting yang tengah dicari
oleh Parit Wulung dan pentolanpentolan pemberontak lainnya!
Yang tua adalah penasehat
istana yaitu Mangkubumi Mintra sedang yang masah sangat muda tiada lain
daripada Sultan Banten sendiri yakni Hasanuddin! Sewaktu maletusnya
pemberontakan, sewaktu istana sudah dikepung, dengan melalui jalan rahasia
kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri. Dan bukan keselamatan mereka
saja yang penting, tapi keduanya juga berhasil menyelamatkan keris pusaka
tumbal kerajaan yaitu keris Tumbal Wilayuda, keris yang menjadi lambang dan
ketentuan bahwa siapa pemiliknya maka dialah pewaris syah dari takhta kerajaan
Banten. Dan juga keris inilah yang pula dicari-cari oleh Parit Wulung bersama
pemberontak-pemberontak lainnya! Masing-masing mereka sama membawa buntalan
kecil. Sebenarnya baik Mangkubumi Mintra maupun Sultan Hasanuddin adalah
orang-orang yang berkepandaian silat dan kelas tinggi. Namun menghadapi sekian
banyak pemberontakan dan demi untuk menyelamatkan keris tumbal kerajaan,
keduanya memutuskan dengan terpaksa dan berat hati untuk mengundurkan diri.
Demikianlah, dengan menyamar
kedua orang itu meninggalkan Kotaraja. Matahari pagi masih belum sanggup
memupuskan butiran-butiran embun di daun-daun, namun panasnya terasa sudah
memerihkan kulit kedua orang itu. Mereka berhasil melewati pintu gerbang
Kotaraja tanpa halangan sesuatu apa meski pintu gerbang itu dijaga ketat oleh
duapuluh orang prajurit.
Si orang tua Mangkubumi Mintra
menarik nafas lega demikian juga Sultan. Namun penasehat tua ini kemudian
berkata dengan perlahan. "Kita masih jauh dari selamat, Sultan. Cuma satu
pesanku, bila terjadi apa-apa yang tak diingini kau lekaslah menghindar dan
lari ke tempat keluarganya Wirya Pranata di Ujung Kulon….”
Si pemuda anggukkan kepala.
Namun pada parasnya kelihatan sekelumit rasa jengah yang memerahkan kedua
pipinya yang kotor itu. lni suatu pertanda bahwa ada sesuatu hubungan antara
dia dengan keluarga Wirya Pranata di Ujung Kulon itu.
Pemuda atau Sultan menghela
nafas lagi. "Mudah-mudahan saja kita bisa terus selamat, bapak
Mangkubumi,” katanya.
"Memang itulah yang kita
harapkan. Semoga Tuhan melindungi kita". Mereka mendekati perbatasan kini.
Di sepanjang perbatasan dijumpai prajurit yang mengawal semakin banyak.
Keduanya diperiksa oleh beberapa orang prajurit. Bungkusan masing-masing
digeledah. Untunglah Sultan Hasanuddin telah menyembunyikan keris Tumbal
Wilayuda di dalam lipatan pakaiannya yang dikenakannya saat itu ! Dan kedua orang
inipun selamat pula dari pemeriksaan. Mereka bergegas menjauhi perbatasan.
"Aman sekarang…"
kata Sultan Hasanuddin. Tapi baru saja dia habis berkata begitu maka muncullah
serombongan pasukan berkuda. Pimpinan rombongan, seorang perwira pemberontak lambaikan
tangan memberi isyarat berhenti pada anak-anak buahnya. Perwira ini membawa
kudanya ke hadapan kedua orang tersebut."
"Pengemis-pengemis hina
dina!,” bentak perwira itu. "Apa kalian lihat dua orang pelarian melintas
di sini? Keduanya adalah Mangkubumi Mintra penasihat istana dan Sultan
Hasanuddin". Sambil bertanya begitu mata sang perwira menyorot meneliti
kedua orang di hadapannya.
Si orang tua menjawab .
"Tak satu orangpun yang kami lihat, Yang mulia…”
Jawaban yang hormat dan
mempergunakan tutur kata yang halus tinggi dari si orang tua mencurigakan sang
perwira. Biasanya pengemis-pengemis macam mereka bicara dalam bahasa rendahan.
Maka, terbitlah sekelumit kecurigaan di hati perwira itu. "Kami akan
geledah kalian!" katanya,
"Ah…, kami hanya
pengemis-pengemis yang hina dan terlantar. Apa untungnya menggeledah
kami?"
"Memang tak perlu
menggeledah manusia-manusia ini raden,” berkata seorang prajurit yang berada di
samping sang perwira. "Hanya akan mengotorkan tangan saja! Bau mereka
sangat menusuk hidung!"
Si perwira memang menganggap
betul katakata bawahannya itu. Tapi bila sepasang matanya yang tajam melihat
bagaimana telapak dan jari-jari tangan kedua orang yang dihadapannya sangat
halus, bukan seperti tapak dan jari-jari tangan yang biasa dilihatnya pada diri
pengemis-pengemis maka memerintahlah dia. "Tangkap manusia-manusia hina
dina ini!"
Mangkubumi Mintra yang tahu
bahwa penyamamaran mereka pasti akan terbuka, tanpa membuang waktu segera maju
ke muka dan berkata "Kalian keterlaluan, manusia-manusia macam kamipun
masih hendak kalian ganggu!" Bentakan ini, adalah juga terdorong rasa
dendam kesumat terhadap kaum pemberontak.
"Kurang ajar kau berani
bicara kasar terhadapku huh!" dengus perwira itu dan segera hunus
pedangnya sementara setengah lusin bawahannya segera mengurung mereka.
Mangkubumi Mintra tidak
tinggal diam. Dari balik pakaian pengemisnya dikeluarkannya sebilah pedang.
"Hemm… bagus! Sekarang
lebih jelas siapa kau adanya kunyuk tua hina-dina!"
Perwira itu tetakkan pedangnya
ke kepala Mangkubumi Mintra. Si orang tua membentak nyaring dan mundur beberapa
langkah sementara enam prajurit lainnya begitu cabut pedang masing-masing
segera pula menyerbu.
Mangkubumi Mintra putar pedang
dengan deras. Sinar pedang bergulung-gulung. Trang… trang… trang… trang
Terdengar suara beradunya pedang susul menyusul! Waktu pedangnya beradu dengan
pedang prajurit-prajurit, Mangkubumi Mintra tak terasa suatu apa, tapi ketika
membentur senjata sang perwira maka terkejutlah orang tua itu. Tangannya tergetar
keras. dan panas! Mangkubumi Mintra mengeluh. Nyatanya sang perwira mempunyai
kepandaian tingkat atas!
Maka berserulah Mangkubumi
Mintra pada Su1tan Hasanuddin. "Sultan larilah selamatkan diri. Biar aku
yang hadapi bergundal-bergundal pemberontak ini!"
"Tidak!" jawab
Sultan Hasanuddin. "Mati hihidup kita berdua, bapak!"
"Jangan bodoh Sultan!
Lari kataku!". Si orang tua putar pedangnya lebih sebat. Seorang lawan
yang mengurung menjerit keras dan melompat nanar dengan dada robek dimakan
ujung pedang!
"Keparat!,” maki perwira
pemberontak. Dia melompat dari kudanya. Sambil melompat, laksana seekor
alap-alap dia mengirimkan serangan ganas.
Pedangnya menderu memepas ke
arah batang leher Mangkubumi Mintra. Di saat itu si orang tua sedang menangkis
serangan seorang prajurit. Tangkisan ini terpaksa dibatalkannya dengan melompat
dan sebagai gantinya pedangnya diputar untuk menangkis pedang si perwira! Tapi
si perwira rupanya memiliki ilmu pedang dari Cabang Pantai Selatan yang
terkenal tangguh karena dengan tak terduga dan sangat cepat sekali serangan
yang tadi merupakan satu tebasan dengan tiba-tiba sekali berubah menjadi satu
tusukan tajam dan cepat!
Si perwira tertawa mengekeh.
Itulah jurus mematikan dari ilmu pedang yang dianutnya, yang dinamakan jurus
"menabas gunung menusuk bukit!"
Tentu saja tangkisan
Mangkubumi Mintra tidak mempunyai arti apa-apa. Orang tua ini cepat rubah
posisi senjatanya namun sia-sia karena ujung pedang lawan lebih dahulu
menghunjam di dadanya! Maka terdengarlah keluhan mengerikan dari tenggorokan
orang tua malang itu.
Di saat itu, Sultan Hasanuddin
sudah berhasil ke luar dari kurungan prajurit-prajurit pemberontak dan meskipun
hatinya berat namun dia terpaksa melarikan diri, bukan saja untuk menyelamatkan
diri sendiri, tapi juga menyelamatkan keris pusaka Tumbal Wilayuda demi untuk
menegakkan kembali kelak Kerajaan Banten! Namun sewaktu telinga mendengar
keluhan Mangkubumi Mintra, Sultan hentikan lari dan putar badan. Maka naik
pitamlah dia ketika menyaksikan bagaimana orang tua itu tersungkur di tanah
bermandikan darah.
"Pemberontak-pemberontak
durjana! Aku mengadu jiwa dengan kalian!,” seru Sultan Hasanuddin. Dia menyerbu
ke muka namun belum lagi dia melancarkan serangan maka terdengarlah suara
mengaung seperti suara tawon. Enam benda putih aneh dan berbentuk bintang yang
berkilauan melesat deras ke arah pemberontak-pemberontak. Lima prajurit
pemberontak coba hindarkan diri atau menangkis benda itu namun tiada ampun!
Kelimanya menjerit keras, rebah ke tanah, kelojotan seketika lalu kaku tegang
tiada nyawa!
Perwira pemberontak dalam
terkejutnya dan dengan kepandaiannya yang lebih tinggi pergunakan pedang untuk
memapaki benda bintang berkilau itu.
"Trang !"
Tampang perwira itu menjadi
pucat. Pedangnya memang bisa membuat mental benda maut yang menyerangnya namun
senjatanya sendiri putung dua dihantam benda tersebut !
Baik sang perwira maupun
Sultan Hasanuddin serentak putar kepala ke arah atas pohon besar dari arah mana
datangnya senjata-senjata rahasia tadi.
"Iblis keparat di atas
pohon turunlah! Jangan sembunyikan diri!,” bentak sang perwira.
Sebagai jawaban terdengar
suara tertawa bergelak kemudian sesosok tubuh dengan entengnya melayang turun
ke tanah dari atas pohon besar itu. Nyatanya dia adalah seorang pemuda bertampang
keren dan berambut gondrong. Umurnya mungkin tiada banyak beda dengan Sultan
sendiri. Saat itu bajunya tiada terkancing dan angin yang bertiup agak kencang
menyibak-nyibakkan baju putihnya sehingga jelaslah kelihatan angka 212 tertera
di dada kanannya Pendekar 212.
Melihat si pemuda ini
menghadapinya dengan tertawa mengejek demikian rupa maka membentaklah perwira
tadi. "Rupanya kau masih belum tahu dengan siapa berhadapan! Masih belum
tahu apa akibat campur tanganmu dalam uru…” Ucapan sang perwira cuma sampai di
situ. Hampir tak kelihatan Pendekar 212 telah gerakkan tangan dan lemparkan
bintang 212 ke arah perwira pemberontak yang sedang bicara itu. Maka
"heggg,” terdengarlah suara tercekik dari rangkungan si perwira ketika
senjata rahasia 212 dengan tepatnya masuk ke dalam mulut. Senjata rahasia itu
lenyap dan darah segera muncrat ke luar dari mulut sang perwira. Nasibnya
kemudian tidak beda dengan nasib bawahannya yang terdahulu!
Sultan Hasanuddin segera
dekati Pendekar 212. "Saudara, kau telah tolong. Aku…”
Pendekar 212 memberi isyarat.
Dia melangkah cepat dan membungkuk di hadapan Mangkubumi Mintra. Ternyata orang
tua itu masih bernafas satu-satu. Mulutnya bergerak-gerak.
"Sultan… mungkin dia mau
bicara padamu,” memberi tahu Pendekar 212 atau Wiro Sableng. Mendengar itu
Sultan Hasanuddin segera pula berlutut di samping tubuh si orang tua Mangkubumi
Mintra dengan sisa-sisa tenaga yang ada buka kedua matanya yang berbinar-binar.
Bila pandangannya menyentuh paras Sultan Hasanuddin maka tersenyumlah dia.
"Sultan, kau tak
apa-apa…?"
"Tidak bapak…".
Sultan membelai rambut orang tua itu dan menyeka keringat di keningnya.
Keringat dan kening itu sangat dingin seperti es.
"Syukurlah..," desis
Mangkubumi Mintra. "Aku yakin di bawahmu Kerajaan Banten yang syah akan
bisa ditegakkan kembali…"
Sultan Hasanuddin mengangguk.
Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tak jadi karena dilihatnya orang tua itu
memalingkan kepalanya kepada pemuda yang telah menolongnya.
"Pendekar muda… aku
gembira kau datang. Lebih gembira lagi karena kau telah berhasil menyelamatkan
Sultan. Tuhan kelak akan membalas jasamu yang besar ini…” Orang tua itu
terhenti bicaranya sejenak. Agaknya dia tengah mengumpulkan tenaga baru dari
sisa-sisa tenaganya yang terakhir. Lalu mulutnya terbuka kembali.
"Yang pasti adalah, bila
takhta Banten telah kembali pada pemiliknya yang syah, maka Kerajaan dan rakyat
Banten tak akan melupakan pertolongan atau jasamu ini…”
Pendekar 212 coba tersenyum.
Dia tahu bahwa keadaan orang tua itu tak mungkin lagi untuk ditolong. Maka
berkatalah dia. "Menyesal orang tua, aku tak bisa berbuat sesuatu apa
dengan lukamu…”
"Ah diriku yang sudah
rongsokan ini tak perlu diambil peduli. Aku gembira menemui kematian dengan
cara begini rupa… Gembira karena di saat menjelang kematian ini aku telah dapat
melihat sinar terang bahwa Banten pasti akan kembali kepada pewarisnya yang
syah…"
Mangkubumi memutar matanya
pada Sultan Hasanuddin. Mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu namun
malaekat maut meminta nyawanya lebih dahulu. Air mata menggenang di kedua mata
Sultan Hasanuddin. Digigitnya bibir sendiri untuk menahan keluarnya suara
isakan.
Tiba-tiba kening Pendekar 212
kelihatan mengerenyit. Kepalanya diputar ke jurusan timur. "Ada
apa…?" tanya Sultan yang saat itu masih belum mendengar suara apa-apa.
"Cecunguk-cecunguk
pemberontak itu kurasa…” ujar Pendekar 212.
Beberapa ketika kemudian
barulah Sultan mendengar suara derap kaki kuda yang banyak sekali, mendatangi
ke arah di mana mereka berada saat itu. Disusul beberapa saat lagi maka
diantara pohon-pohon dan semak-semak belukar tinggi kelihatanlah kira-kira dua
puluh prajurit pemberontak yang dipimpin oleh seorang berselempang kain putih
bermuka sangat hitam dan berambut gondrong acak-acakan. "Sultan,
tinggalkan tempat ini cepat!"
"Tidak bisa sobat!
Mangkubumi Mintra terbujur begini rupa dan adalah pengecut sekali meninggalkan
kau seorang diri. Apalagi kau adalah tuan penolongku !,” membantah Sultan
ketika dia diminta pergi. "Ini bukan soal pengecut Sultan! Yang penting adalah
keselamatan dirimu dan keselamatan keris Tumbal Wilayuda yang ada di
tanganmu."
Tentu saja Sultan Hasanuddin
menjadi kaget mendengar ucapan Pendekar 212. Sewaktu pertama kali pemuda itu
memanggilnya dengan sebutan "Sultan" dia telah terkejut dan kini
bahkan dia mengetahui pula bahwa keris Tumbal Wilayuda berada di tangannya!
Sementara itu rombongan
penunggang-penunggang kuda semakin dekat. Wiro Sableng atau Pendekar 212
berkata lagi. "Pergilah cepat sebelum terlambat! Soal jenazah orang tua
ini aku yang akan urus. Selama gunung masih hijau, kelak kita akan bertemu
kembali!"
Mendengar itu dan lagi memang
tak ada lain hal yang bisa diperbuatnya maka Sultan Hasanuddin segera
tinggalkan tempat itu.
Begitu dia lenyap di balik
semak-semak maka dua puluh prajurit pemberontak di bawah pimpinan si muka hitam
sampai di tempat itu. Dia memberi isyarat. Prajurit-prajurit menyebar. Dan
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 kini terkurung di tengah lingkaran dua puluh
prajurit bersenjata lengkap, di bawah pimpinan seorang tokoh silat yang kosen!
–== 0O0 == –
3
DIKURUNG begitu rupa Pendekar
212 tetap tenang-tenang saja seperti saat itu cuma dua sendirian saja berada di
situ. Si muka hitam yang tak lain Resi Singo Ireng kaki tangan Parit Wulung
adanya, menyapu tebaran-tebaran mayat di hadapannya dengan pandangan sedingin
salju. Yang agak mengherankan Resi muka hitam ini ialah mengapa di antara
mayat-mayat pasukan Parit Wulung juga terdapat mayat Mangkubumi Mintra. Tak
mungkin si pemuda rambut gondrong itu yang telah menebar mayat kecuali jika dia
mempunyai dendam kesumat terhadap kedua belah pihak yaitu pihak pasukan dan
Mangkubumi Mintra. Disamping itu dengan adanya mayat si orang tua tergeletak di
situ, pastilah sebelumnya Sultan Hasanuddin juga berada di situ! Singo lreng
memang berpikiran tajam. Melihat kepada pakaian Mangkubumi Mintra tahulah dia
bahwa penasihat istana itu berusaha melarikan diri dari Banten dengan menyamar
sebagai pengemis!
"Mana Sultan?"
bertanya Singo Ireng derrgan suara lantang kasar.
Pendekar 212 tidak menjawab.
Malahan dia memandang seperti tiada melihat apa-apa berada-disekelilingnya saat
itu! Dia menengadah ke atas memperhatikan matahari yang menaik tinggi.
Melihat sikap yang sangat
menghina ini, apa lagi di hadapan sekian banyaknya prajurit tentu saja Resi
Singa Ireng menjadi sangat penasaran serta malu. Mukanya yang hitam kelihatan
semakin tambah hitam. "Bocah gondrong! Apa kau tuli atau gagu? Orang
bertanya tidak dijawab?!"
Pendekar 212 masih tidak
menyahut. Malah kini jari-jari tangan kirinya mencungkilcungkil tepi lubang
hidungnya kemudian dia berbangkis dua kali berturut-turut!
"Keparat!" bentak
Singo Ireng dengan-suara menggeledek.
"Eeeeh… kau memaki pada
siapakah?!" bertanya Pendekar 212 sambil putar kepala seperti baru saat itu
disadarinya bahwa dia tidak berada sendirian di tempat itu!
"Prajurit-prajurit!
Tangkap bocah edan ini perintah Resi Singo Ireng dengan geramnya.
Maka dua puluh prajurit
pemberontak melompat turun dari kuda masing-masing, hunus senjata dan bergerak
cepat mendekati Pendekar 212.
"Bergundal
pemberontak," berseru Wiro Sableng atau Pendekar 212. "Kalau kau
ingin tangkap aku mengapa tidak turun tangan sendiri?!"
Di saat itu dua puluh prajurit
sudah menyerbu untuk menangkap Pendekar 212.
"Kalian kunyuk-kunyuk
pemberontak hanya datang minta digebuk!" ujar Pendekar 212 dengan
tersenyum. Tapi bila senyumnya itu putus maka mengumandanglah bentakan dahsyat.
Lima prajurit yang paling
dekat dan hendak turun tangan menangkapnya terpelanting dan bergetimpangan di
tanah tiada nyawa lagi!
Tersiraplah darah Resi Singo
Ireng! Tiada disangkanya pemuda gondrong bertampang bodoh itu mempunyai
kehebatan demikian rupa! Maka berserulah dia! "Tak perlu budak hina dina
ini ditangkap hidup-hidup. Cincang di tempat!"
Maka lima belas senjata tajam
berkiblat ke arah Pendekar 212.
"Heiyaaah !"
Tubuh Siro Sableng mencelat
tiga tombak ke atas, Seluruh serangan senjata lawan lewat di bawah kakinya.
Detik senjata-senjata itu menderu memapas angin kosong maka detik itu pula
dengan kecepatan yang hampir tak sanggup disaksikan oleh mata Pendekar 212
menukik ke bawah merampas pedang salah seorang prajurit. Dan ketika pedang itu
menderu laksana kitiran maka lima prajurit meregang nyawa mandi darah, dua
lainnya luka parah!
Dalam kejutnya menyaksikan
gebrakan yang dahsyat itu Resi Singo Ireng melihat satu bayangan berkelebat ke
arahnya. Dia tarik tali kekang kuda dengan cepat. Namun sebelum binatang
tunggangannya itu sempat bergerak, tubuh kuda ini sudah angsrok ke tanah!
Keempat kakinya terbabat putus. Binatang ini berguling di tanah
melejang-lejangkan kakinya yang buntung dan meringkik tiada henti! Untung saja
Resi yang kosen ini Cepat menyadari apa yang terjadi sehingga lekas-lekas dia
melompat ke samping dan berdiri dengan muka kelam membesi, mata menyorot!
Pendekar 212 tertawa
gelak-gelak sementara prajurit-prajurit yang masih hidup dengan nyali menciut
segera menjauhi ini pemuda yang dianggap mereka sangat berbahaya.
"Pemuda gondrong!
Kehebatanmu cukup untuk dikagumi! Tapi bila kau tahu dengan siapa saat ini
berhadapan, maka lekaslah berlutut minta ampun!" berkata Singo Ireng.
"Uh! Sama manusia jelek
macam kau buat apa perlu takut!". ujar Wiro Sableng dan tawanya semakin
menjadi-jadi!
"Ah… kalau begitu kau
sebutkanlah nama! Terhadap manusia-manusia yang punya sedikit ilmu, aku tidak
begitu senang jika membunuhnya tanpa tahu namanya terlebih dahulu!"
"Kalau butuh namaku aku
tak keberatan. Majulah biar kutulis dijidatmu!" kata Wiro Sableng pula
sambil acungkan jari telunjuk!
Menggeramlah sang Resi bermuka
hitam itu. Selama dunia terbentang, selama malang melintang dalam dunia
persilatan, baru hari itulah dia dihina dan direndahkan terus-terusan oleh
seseorang! Oleh seorang yang berusia jauh lebih muda dari padanya. Dari balik
pakaian Resi ini keluarkan sebuah senjata berbentuk aneh yaitu sebuah besi
panjang yang ujungnya berbentuk Iingkaran.
"Kalau kau punya senjata
pusaka, sebaiknya lekas keluarkan supaya mampus tidak rnenyesal!"
"Tak perlu banyak
cerewet!" semprot Pendekar 212. "Majulah! Senjataku cukup pedang
butut milik cecungukmu yang sudah mampus itu!"
Resi Singo Ireng yang berbadan
kate ini segera maju dan hamburkan serangan dahsyat. Senjata anehnya
mengeluarkan suara menderu, menimbulkan angin yang deras dan tajam. Ujung senjata
yang berbentuk lingkaran itu berubah laksana ratusan banyaknya! Searang lawan
yang berilmu tanggung dan bermata tidak awas akan sulit membedakan mana
lingkaran senjata yang asli dan mana yang bukan. Dalam lawan kebingungan maka
senjata itu akan menyeruak lewat kepalanya dan sekali putar saja pastilah patah
dan putus batang leher dibuatnya! Inilah kehebatan senjata sang Resi dari
pantai selatan itu!
Namun yang dihadapi Singo
Ireng dihari itu bukanlah seorang lawan berilmu tanggung, bukan seorang pemuda yang
hanya mengenal sejurus dua ilmu silat! Begitu senjata lawan membadai
menghampiri kepalanya, Wiro Sableng cepat merunduk dan selinapkan satu tusukan
deras kearah perut sang Resi!
Kaget Singo Ireng bukan
olah-olah! Cepat dia undur dua langkah dan papasi pertengahan senjata lawan
dengan tongkat besi lingkarannya.
"Trang" !
Dua senjata beradu
Karena senjata ditangan Singo
Ireng adalah senjata mustika sedang pedang ditangan Wiro hanya pedang biasa
maka patahlah pedang itu! Tapi sebaliknya Singo Ireng merasakan bagaimana
tangannya tergetar hebat dan panas pada bentrokan itu! Maklumlah dia bahwa
pemuda itu mempunyai tingkat tenaga dalam yang hebat sekali! Karenanya sang
Resi tanpa memberi peluang segera lancarkan serangan-serangan dahsyat! Sengaja
dikeluarkannya jurus-jurus yang hebat yaitu jurus "memetik bunga membelah
buah" lalu disusul dengan jurus "delapan gunung meletus gegap
gempita"! Diserang dengan dua jurus ini berikut pecahan-pecahannya yang
tak kalah dahsyat maka Pendekar 212 menjadi repot juga.
Namun bila dia sudah
mempercepat gerakannya, bila suara siulan sudah menggema melesat dari sela
bibirnya maka kelihatanlah kini bagaimana Resi Singo Ireng menjadi terdesak.
Meski terdesak, Resi ini dengan segala kelihayannya sanggup pertahankan diri
sampai sepuluh jurus dimuka!
"Manusia bermuka jelek!
Permainan silatmu baleh juga. Tapi apa kau sanggup menerima pukulanku
ini?!" tanya Pendekar 212. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas,
kedua mata dipejam. Kemudian kedua tangan itu mulai berputar-putar dengan
sebat! Maka menggemuruhlah suara angin. Debu dan pasir beterbangan, membuat
gelap pemandangan!
"Pukulan angin
puyuh!" seru Resi Singo Ireng sambil bersurut mundur. Mulutnya komat kamit
membaca aji penangkis. Kedua kakinya melesak kedalam tanah sampai dua dim!
Tubuhnya tergetar hebat. Pakaian putih serta rambutnya yang awut-awutan
berkibar-kibar!
Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro
Sableng hantamkan kedua tangannya kemuka. Tubuh Singo Ireng mencelat kebelakang
sampai lima tombak. Ketika dia berdiri maka tubuhnya terbungkuk tertatih-tatih,
hidungnya kembang kempis tanda nafasnya memburu tak teratur. Nyatalah bahwa
Resi kosen ini telah menderita luka parah didalam akibat pukulan Wiro Sableng
tadi. Senjatanya mental entah kemana! Wiro tertawa mengekeh.
Sebaliknya lawannya menggeram
laksana harimau terluka. Mulut terkatup rapat-rapat, rahang bertonjolan,
pelipis bergerak-gerak sedang mata menyorot merah!
"Pemuda, hari ini aku
Resi Singo Ireng biarlah mengadu jiwa pada kau!". Sang Resi angkat tangan
kirinya tinggi-tinggi. Detik demi detik tangannya itu menjadi hitam legam.
Tangan ini bergetar karena seluruh tenaga dalamnya dipusatkan kesitu!
Wiro Sableng tertawa mengejek.
"Rupanya kau sengaja mau bunuh diri manusia kate bertampang jelek! Dalam
keadaan terluka di dalam, melancarkan pukulan demikian rupa kau akan konyol
sendiri!".
Singo Ireng memang memaklumi
hal itu. Tapi dia sudah kepalang tanggung, sudah teramat malu dan sudah meluap
amarahnya! "Aku mati tapi kau juga mampus ditanganku, keparat!"
bentaknya.. Maka tangan kirinyapun turun kebawah dengan cepat. Selarik sinar
hitam yang menggidikkan menyambar kearah Pendekar 212! Itulah ilmu pukulan
"wesi item" yang telah membinasakan Braja Paksi, kepala balatentara
Banten!
Pendekar 212 melompat ke atas
sampai enam tombak. Angin pukulan "wesi item" terasa panas seperti
mau melumerkan kedua kakinya. Pendekar ini gigit bibir menahan perih lalu
1ancarkan serangan balasan yaitu pukulan yang tak asing lagi. "kunyuk
melempar buah"!
Di seberang sana tubuh Resi
Singo Ireng kelihatan jungkir balik kemudian jatuh duduk di tanah dan muntah
darah, lalu rebah tiada sadarkan diri!
Sebenarnya pukulan
"kunyuk melempar buah" itu belum tentu akan mencelakai sang Resi.
Namun karena dalam keadaan terluka di dalam dia telah rnelancarkan pukulan yang
keras dengan mengandalkan seluruh tenaga dalam maka dia rasa sendiri akibatnya.
Masih untung nyawanya tidak terbang!
Wiro Sableng tertawa mengekeh.
Dia melangkah mendekati tubuh Resi itu. Prajuritprajurit yang masih hidup,
yang dedikkan mata melihat bagaimana jago mereka dibikin babak belur demikian
rupa segera bersurut menjauh.
"Resi muka arang!,” kata
Pendekar 212. "Kau tanya siapa aku. Inilah kutuliskan aku punya
nama!". Dan habis berkata demikian pendekar ini segera guratkan angka 212
dikulit kening yang hitam dari Singo Ireng. Kemudian nendekar ini berdiri
kembali. "Kerak-kerak pemberontak!,” katanya pada perajurit-perajurit yang
masih hidup. "Kalian boleh menggotong manusia bermuka pantat kuali ini ke
Kotaraja! Jika hari ini aku tiada cabut nyawanya dan nyawa kalian, maka di lain
hari bila bertemu kembali jangan harap aku akan lepaskan nyawa kalian!
Sampaikan ini padanya bila dia sudah siuman!". Dan sesudah bicara demikian
Wiro Sableng segera tinggalkan tempat itu dengan membawa mayat Mangkubumi
Mintra.
–== 0O0 == –
4
DENGAN hati penuh duka sedih
mengenang kematian Mangkubumi Mintra yang sengaja korbankan nyawa untuk
selamatkan dirinya, Sultan Hasanuddin berlari sepanjang tepi rimba belantara
dikaki bukit. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan. Dan ini bukan saja
menambah besarnya dendam kesumat di hati Sultan terhadap Parit Wulung dan
benggolanbenggolan pemberontak lainnya tapi juga mempertebal tekatnya bahwa di
suatu ketika dia pasti akan kembali ke Banten dan membangun Kerajaan Banten
yang syah!
Menjelang senja dia mencapai
sebuah kota kecil yang terletak di timur Banten. Kota ini bernama Asoka.
Dulunya hanya merupakan pangkalan-pangkalan pemberhentian para pedagang dari
pelbagai penjuru sekitar situ. Kemudian pedagang-pedagang itu banyak yang
mendirikan gudang-gudang untuk barang-barang dagangannya, kemudiannya lagi
mereka juga mendirikan rumah-rumah sehangga lambat laun dari pangkalan dagang
maka berobahlah Asoka menjadi sebuah kota. Sebagai kota dagang tentu saja
sepanjang hari Asoka selalu sibuk. Kesibukan dan keramaian ini terus
berlangsung sampai jauh malam.
Sehabis mendapatkan sebuah
penginapan, Sultan mengelilingi kota melihat-lihat keramaian dan mengisi perut
disatu kedai. Ketika bulan sabit di atas langit tertutup oleh awan tebal
berwarna gelap maka Sultanpun kembali kepenginapannya. Matanya yang tajam
segera melihat adanya ketidakberesan dalam kamar dimana dia menginap. Seperai
agak kusut bantal-bantal tidak terletak ditempatnya semula sedang bungkusan
kecil yang berisi beberapa potong pakaian serta sejumlah uang yang
diletakkannya di kolong tempat tidur nyata sekali bekas dibuka dan digeledah
orang. Namun tidak sepotong barang-barangnyapun yang hilang!
Sultan merasa masygul. Dia
memandang berkeliling. Di dinding sebelah sana terdapat sebuah jendela. Jendela
itu masih tetap sebagaimana tadi ditinggalkannya. Tak ada tanda-tanda bekas
pengrusakan. Siapa gerangan yang telah masuk ke dalam kamar dan melakukan
penggeledahan? Mungkin seseorang, mungkin beberapa orang? Kalau dia atau mereka
itu dari golongan si tangan panjang atau pencuri, mengapa tidak sepotong barang
dan tak sepeser uangnyapun yang hilang? Kekhawatiran Sultan Hasanuddin semakin
besar karena dia berkesimpulan bahwa siapapun manusianya yang telah memasuki
kamarnya pastilah untuk mencari dan mencuri keris pusaka Tumbal Wilayuda!
Sultan Hasanuddin merasa
bersyukur karena sewaktu pergi tadi dia telah membawa keris tumbal kerajaan
itu. Kalau tidak pastilah senjata itu sudah lenyap dilarikan orang!
Malam itu Sultan sengaja tidur
dengan mematikan lampu minyak di dalam kamarnya. Matanya hampir terpicing
ketika lapat-lapat sepasang telinganya mendengar suara gemerisik di atas loteng
bangunan. Suara itu pasti sekali bukan suara kucing. Sultan pasang telinganya
lebih tajam. Suara gemerisik tadi lenyap dan kini dia hanya mendengar suara
rintik-rintik hujan gerimis di luar sana. Perlahan-lahan Sultan pejamkan
matanya kembali. Tapi ketika hampir pulas matanya itu terpicing, suara
gemerisik tadi didengarnya kembali. Kali ini Sultan bangun dari pembaringan dan
melangkah kesudut kamar. Dia menunggu dengan tangan kanan menempel erat-erat
dihulu pedang.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka!
Sultan terkejut. Dia ingat betul bahwa pintu kamar itu telah dikuncinya tadi, bagaimana
kini bisa terbuka semudah itu tanpa suara dan siapakah yang nlembukanya?!
Sultan tak menunggu lebih lama. Sesosok tubuh manusia yang sangat pendek masuk
mengendap-endap ke dalam. Manusia ini memakai jubah panjang. Karena tubuhnya
yang kate maka jubahnya menjela-jela sampai kelantai. Tiba-tiba orang itu putar
tubuh ke kiri dan melompat. Sebuah benda besar ditangannya yaitu sebilah golok
empat persegi panjang menderu ke arah dimana Sultan berdiri. Sultan sendiri
yang saat itu memang sudah siap siaga cabut pedangnya dengan cepat dan
menangkis!
"Trang"!
Bunga api memercik. Karena
kamar itu gelap maka sinar percikan bunga api menjadi terang sekali dan
menerangi kedua muka manusia yang berada disitu. Keduanya saling meneliti paras
lawan masing-masing!
Terkesiaplah Sultan Hasanuddin
ketika melihat bagaimana wajah manusia yang dihadapinya itu seramnya bukan
main. Rambutnya kaku berdiri laksana ijuk. Manusia ini memelihara berewok yang
meranggas lebat. Alisnya tebal, sepasang matanya besar merah. Bibirnya sumbing
dan dua buah giginya yang besar tersembul keluar. Manusia ini boleh dikatakan
tiada mernpunyai hidung karena daging hidungnya sama rata dengan pipinya yang
cekung! Dan bau badannya yang busuk sangat menusuk hidung!
"Manusia buruk! Jika kau
tidak tinggalkan kamar ini dengan cepat, jangan menyesal bila kukirim ke
akhirat!" ancam Sultan.
Manusia bermuka seram itu
tertawa dingin.
Dia hembuskan nafasnya yang
busuk kemuka. Sultan tutup jalan nafas di hidung dan untuk kedua kalinya
pergunakan pedang guna menangkis serangan lawan. Tapi kali ini keadaan tidak
seperti tadi Iagi. Meski Sultan sanggup menangkis senjata lawan namun pedangnya
sendiri terlepas mental, tangannya tergetar hebat. Tiba-tiba satu tangan
mendorongnya hingga dia terbanting dengan keras ke dinding!
Ketika dia imbangi diri
kembali, kaget Sultan tiada kepalang. Matanya membeliak menyaksikan bagaimana
keris Tumbal Wilajuda kini sudah berada di tangan manusia bermuka seram itu!
"Maling hina dina!
Kembalikan kerisku!" teriak Sultan.
Simuka buruk hamburkan tertawa
mengekeh. "Masih untung aku hanya minta kerismu ini, dan bukan
nyawamu!". Habis berkata begini manusia muka seram itu sekali gerakkan
badan tubuhnya menerjang ke muka mendobrak jendela untuk kemudian lenyap lewat jendela
yang ambruk itu dikegelapan malam!
"Pencuri terkutuk!".
Sultan melesat pula ke luar jendela. Dia masih sempat melihat bayangan pencuri
itu di balik sebuah gudang tua dan segera mengejar ke situ. Kejar mengejar itu
berjalan hanya sebentar saja karena sejurus kemudian si pencuri lenyap seperti
gaib ditelan bumi!
Sultan berdiri gemas memandang
berkeliling. Ke mana dia harus mengejar dan mencari si pencuri di malam buta
begini? Apakah manusia tangan panjang itu bukan salah seorang pula dari kaki
tangan Parit Wulung?!
Tengah kebingungan begitu rupa
tiba-tiba Sultan menangkap suara bentakan-bentakan orang yang tengah berkelahi.
Cepat Sultan lari ke balik sebuah bengkel kuda dan dalam kegelapan
dilihatnyalah dua manusia tengah bertempur dengan hebat. Salah seorang tiada
lain dari pada si pencuri yang tengah dicari-carinya sedang orang yang kedua
sesudah diperhatikan dengan teliti ternyata dia adalah pemuda rambut gondrong
yang pagi tadi telah menolongnya di perbatasan.
"Sobat! Serahkan pencuri
terkutuk ini padaku!" seru Sultan.
"Ah… selamat jumpa
Sultan," menjawab si rambut gondrong alias Pendekar 212.
"Tak perlu kotorkan
tangan pada manusia bau bangkai ini…!"
"Dia mencuri kerisku,
sobat!" memberi tahu Sultan.
"Aku tahu. Biar aku yang
ringkus dia!"
Begitu mendengar si pemuda
yang menyerangnya memanggil "Sultan" ‘terhadap lakilaki yang datang
itu terkejutlah si mulut sumbing. Dibalik terkejut hatinya juga senang.
"Ha… ha… jadi saat ini aku berhadapan dengan Sultan dan tukang pukulnya?
Bagus! Kerisnya aku sudah dapat, kini Sultannya sendiri datang antarkan diri
untuk ditangkap hidup-hidup. Pasti aku mendapat hadiah berlipat ganda dari
Parit Wulung…"
"Hem… jadi betul dugaanku
bahwa kau kaki tangannya bangsat pemberontak itu huh?! Terima pukulanku ini,
pencuri hina dina!"
Sultan lepaskan tiga pukulan
sekaligus! Tapi yang diserang ganda tertawa dan kebutkan lengan pakaiannya yang
bertambal-tambal. Serangkum angin dahsyat rnenyerang ke arah Sultan. Namun
angin pukulan itu buyar di tengah jalan, kena dihantam angin pukulan lain yang
datang dari samping!
Si muka seram menggerong.
"Agaknya malam ini Pengemis Bibir Sumbing musti rampas dua jiwa
sekaligus!".
Sultan tersurut sewaktu
mendengar manusia kate itu kenalkan diri. Pendekar 212 sendiri juga terkejut.
Nama Pengemis Bibir Sumbing memang sudah sejak lama terkenal sepanjang pesisir
Jawa Barat. Bersama dua orang lainnya maka Pengemis Bibir Sumbing dikenal
sebagai pemegang pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam! Tiba-tiba
Pengemis Bibir Sumbing lemparkan golok besarnya ke arah Pendekar 212. Senjata
ini dengan mudah bisa dielakkan. Begitu habis lemparkan golok, Pengemis Bibir
Sumbing acungkan kedua tangan datar-datar ke muka dengan telapak tangan
menghadap ke atas.
"Telapak tangan minta
sedekah nyawa!,” seru Pendekar 212 begitu dia kenali pukulan yang bakal
dilancarkan lawan.
"Sultan mundurlah!,”
serunya kemudian memperingatkan.
Tapi disaat itu Pengemis Bibir
Sumbing sudah mencelat ke muka dan membagi-bagi serangan telapak tangannya pada
Pendekar 212 dan Sultan!
Tahu bahwa pukulan lawan
sangat berbahaya maka Pendekar 212 segera hantamkan tangan kanannya ke muka.
Gelombang angin deras memukul ke arah Pengemis Bibir Sumbing. Meski tubuhnya
sendiri kemudian terpelanting sampai tiga tombak oleh serangan lawan namun
Pengemis Bibir Sumbing sebelumnya masih sanggup hantamkan telapak tangannya ke
dada Sultan!
Sultan Hasanuddin mengetuh
tinggi. Tubuhnya bergoncang, dadanya seperti melesak. Terbungkuk-bungkuk dia
berbatuk. Darah segar menyembur!
Pendekar 212 bersuit keras!
Tubuhnya lenyap pada detik Pengemis Bibir Sumbing coba lepaskan pukulan
"telapak tangan minta sedekah nyawa" untuk kedua kalinya.
"Sultan, cepat telan pil
ini!" teriak Wiro Sableng.
Sultan Hasanuddin sambuti pil
yang dilemparkan Pendekar 212 lalu menelannya dengan cepat Kemudian segera
duduk bersila mengatur jalan darah serta pernafasan, juga alirkan tenaga dalam
kebagian yang terluka.
Disaat Wiro Sableng berkelabat
maka lenyaplah tubuhnya dari penglihatan Pengemis Bibir Sumbing. Karena hanya
terdengar suaranya saja, maka Pengemis Bibir Sumbing kembali lancarkan pukulan
ganas dua kali berturut-turut ke arah suara lawan. Tapi Pendekar 212 tidak
bodoh dan Pengemis Bibir Sumbing salah perhitungan. .
"Plaak"!
Pengemis Bibir Sumbing
terpental empat tombak ke belakang. Kepalanya serasa pecah sedang kulit
keningnya laksana terbakar! Dan pada kulit keningnya itu kini kelihatan tiga
buah angka 212! Pengemis Bibir Sumbing meluap amarahnya. Tanpa hiraukan rasa
sakitnya pada keningnya dia menerpa kemuka kirimkan lima pukulan empat
tendangan! Pendekar 212 mendengus dan bersiul nyaring. Tangan kanan menghantam
ke muka. Angin pukulan menderu, menyusup di antara serangan lawan!
Untuk kedua kalinya Pengemis
Bibir Sumbing terpental. Kali ini sampai delapan tombak dan kali ini terus
terguling ke tanah dengan mulut memuntah darah! Tamatlah riwayatnya! Sultan
yang menyaksikan pertempuran hebat itu dalam sakitnya leletkan lidah penuh
kagum!
Pendekar 212 mendekati mayat
Pengemis Bibir Sumbing, memgambil keris Tumbal Wilayuda lalu menyerahkan
kemhali pada Sultan.
"Keris pusaka bagus!
Karena senjata ini banyak yang ingini sebaiknya disimpan lebih hati-hati,
Sultan".
Sultan menghela nafas panjang.
"Terima kasih,” katanya. "Dua kali kau telah menolongku sahabat.
Siapakah engkau?"
"Namaku Wiro Sableng,”
jawab Pendekar 212. "Kalau aku boleh kasih nasihat, baiknya kau tak usah
kembali kepenginapan, tapi segera teruskan perjalanan".
"Mengapa begitu?"
tanya Sultan.
"Terlalu banyak
manusia-manusia macam Pengemis Bibir Sumbing ini yang mencarimu dan inginkan
keris Tumbal Wilayuda".
Sultan merenung sejurus.
"Terima kasih atas nasihatmu, sahabat! Karena kau telah berbuat baik
kepadaku, perbuatan baik yang tak bakal kulupakan sebagai budi besarmu,
bagaimana kalau aku tawarkan agar ikut bersamaku meneruskan perjalanan?"
"Ah… itu satu kehormatan
besar bisa seiring denganmu, Sultan" jawab Pendekar 212 ramah. "Tapi
harap maafkan.. Aku masih banyak urusan. Namun demikian, aku berjanji tidak
akan berada jauh dari padamu…”
"Kalau begitu baiklah,
aku tidak memaksa’,” ujar Sultan. Dari balik pakaian samarannya yang
bertambal-tambal dikeluarkannya sebuah benda yang bercahaya. Diserahkannya
benda itu kepada Pendekar 212 tapi sang pendekar tak berani menyambutinya.
"Sobat, terimalah!"
kata Sultan pula.
"Benda apakah ini
Sultan?"
"Terimalah dulu".
Wiro menerimanya.
Benda itu ternyata sebuah
bintang bersudut delapan yang terbuat dari emas dan di tengah-tengahnya dihiasi
dengan sebutir berlian yang berkilauan. "Benda itu adalah bintang utama
Kerajaan Banten, yang diserahkan kepada siapa saja yang telah membuat jasa
terhadap Raja dan rakyat Banten, Wiro…"
"Ah… mana aku pantas
terima hadiah ini Sultan?" kata Wiro Sableng pula dengan kerendahan.
Tapi sultan memaksakan juga
agar Pendekar 212 menerima anugerah itu. Wiro menyimpan benda tersebut
baik-baik dibalik pakaiannya. "Terima kasih,” katanya.
"Lalu karena
penyamaraanmu sebagai pengemis sudah diketahui oleh golongan rampok dan
penjahat, sebaiknya ditukar saja, Sultan"
"Aku memang sudah merencana
begitu" kata Sultan pula.
Sekali lagi mereka saling
ucapkan terima kasih. Pendekar 212 menjura minta diri dan keduanyapun
berpisahlah.
–== 0O0 == –
5
KELUARGA Wirja Pranata adalah
keluarga bangsawan besar di Ujung Kulon. Selagi muda antara Wirja Pranata dan
Fatahillah terdapat jalinan persahabatan yang erat sehingga di suatu ketika
kedua sahabat itu berjanji bahwa bila mereka nanti salah satu memiliki anak
laki-laki dan anak perempuan, dikemudian hari kelak keduanya akan dijodohkan.
Puteri bangsawan Wirja Pranata
yaitu Anjarsari memang sudah lama tahu bahwa dirinya dijodohkan dengan Raja
Banten. Namun sampai sebegitu jauh belum pernah sekalipun dia bertemu muka
dengan calon suaminya itu. Dan ketika Sultan Hasanuddin muncul di sore hari itu
maka terkejutlah bangsawan Wirja Pranata.
"Sultan, apakah yang
telah terjadi ? Mengapa datang tanpa pengiring dan dalam pakaian begini rupa?”
Sultan Hasanuddin menggigit
bibir menahan gelora hatinya. Sesudah apa yang menggejolaki hatinya berkurang
maka mulailah dia beri penuturan.
Hal itu mengejutkan seluruh
keluarga bangsawan Wirja Pranata, termasuk Anjarsari yang curi mendengar
penuturan itu dari balik dinding kamar tidurnya.
Beberapa lamanya kesunyian
menyeling. Bangsawan Wirja Pranata dan isterinya duduk termanggu tanpa bisa
berkata apa-apa. Sultan sendiri juga terdiam beberapa Iamanya. Ketika Sultan
dipersilahkan kebelakang untuk membersihkan diri maka diamdiam Anjarsari
mencuri intip dari sela pintu. Hatinya berdebar dan darahnya berdebur-debur. Ah,
nyatanya Sultan yang bakal suaminya itu seorang pemuda yang berparas gagah
berkulit kuning halus, hampir sehalus kulit perempuan! Hatinya berbunga-bunga.
Kapan ayah atau ibunya akan menyuruhnya keluar dan berkenalan dengan Sultan?
Dan mengingat ini dada si gadis semakin menggemuruh. Ketika dia menghadap ke
kaca maka jelaslah kelihatan bagaimana parasnya ke merah-merahan!
Ketika senja berlalu dan hari
beralih menjadi malam maka barulah Anjarsari disuruh keluar oleh ibunya.
Pertemuan dengan Sultan benar-benar membuat lututnya gemetar, tapi juga membuat
hatinya mekar. Gadis ini tundukkan kepala, parasnya bersemu merah. Sultan
sendiri juga tundukkan kepala. Apa yang dikatakan ayahnya bahwa calon isterinya
adalah seorang gadis cantik sekarang menjadi kenyataan. Diam-diam pemuda ini
melirik dengan sudut matanya.
Bangsawan Wirja Pranata
berbatuk-batuk. Lalu bertanyalah dia pada calon mantunya itu . "Apakah
rencana Sultan selanjutnya?"
"Saya merencanakan untuk
pergi ke. Demak dan minta bantuan pasukan serta persenjataap
selengkapnya….."
"Itu tepat sekali,” kata
Wirja Pranata. “Tapi mengingat Demak masih jauh dari sini dan Sultan membawa
keris pusaka pula maka sebaiknya Sultan jangan pergi seorang diri"
Ucapan calon mertuanya itu
memang dirasa betul sekali oleh Sultan. Dan diam-diam dia teringat pada Wiro
Sableng, si pemuda sakti yang telah dua kali menolongnya. Kalau pemuda itu
berada bersamanya saat itu tentu dia tak usah khawatir bahaya apapun.
Sebagai orang tua yang tahu di
hati anak muda dan juga pernah muda, tak lama kemudian Wirja Pranata bersama
isterinya mengundurkan diri ke dalam kamar. Maka kini tinggallah kedua orang
itu. Suasana lain sekali jadinya kini. Suasana itu sungguh tidak enak, tapi
tidak enak yang enak! Rasa begini rupa baik oleh Anjarsari maupun oleh Sultan
sendiri tak pernah dialaminya sebelumnya. Cuma sudut-sudut mata mereka saja
yang sekali-sekali mencuri pandang. Ketika Anjarsari melirik untuk kesekian
kalinya maka pada detik itu pula Sultan mengerling. Beradulah dua kerlingan
mata itu! Anjarsari cepat-cepat menundukkan kepalanya menyembunyikan paras yang
semu kemerahan!
Kesunyian masih juga berjalan
terus sampai beberapa lamanya. Tiada satupun yang berani untuk membuka
pembicaraan. Sultan sendiri merasa tenggorokannya seperti tersekat, lidahnya
seperti kelu dan mulutnya terkancing!
Namun pada akhirnya Sultan
Hasanuddin membuka mulutnya juga. "Kalau tiada terjadi pengkhianatan Parit
Wulung, mungkin sampai hari ini belum ada kesempatan bagi kita untuk bertemu,
Sari…”
"Ya… hemm…, saya sangat
terkejut meindengar berita buruk itu, kakak,” berkata Anjarsari agak gugup.
Kemudian. "Apakah kakak akan segera berangkat ke Demak…?"
Sultan mengangguk.
"Memang lebih cepat lebih
baik. Ramanda di Cirebon sudah mendapat tahu peristiwa di Banten…?"
"Mudah-mudahan sudah
karena ada kukirimkan seorang utusan ke sana". Kemudian untuk
menghilangkan pembicaraan yang berjalan kaku itu maka Sultan mengajak Anjarsari
keluar rumah. Di luar ternyata malam itu berpemandangan indah. Bulan purnama
empat belas hari bersinar terang, bintang-bintang bertaburan di langit yang
biru cerah. Banyak dan sering sudah kedua remaja itu melihat bulan purnama pada
malam-malam terang bulan sebelumnya namun bagi mereka tiada seindah malam itu.
Di samping gedung besar
bangsawan Wirja Pranata terdapat sebuah taman kecil. Di dalam taman terletak
satu bangku panjang. Kedua remaja ini melangkah seiring ke bangku itu. Mendadak
Sultan putar kepalanya ketika sepasang telinganya yang tajam dalam kesunyian
itu mendengar suara bergeresek di atas genting. Sesosok bayangan hitam
kelihatan berkelebat ialu lenyap di bagian atap gedung yang lain. Meski
demikian cepat lenyapnya namun Sultan masih sempat melihat bahwa di tangan
kirinya sosok tubuh hitam itu memegang sebuah benda yang berbentuk keris.
"Celaka!" kata
Sultan dalam hati. Dia berseru dengan keras. "Berhenti!" Tapi
bayangan sosok tubuh tadi sudah sejak lama lenyap. Ketika disusul kehalaman
samping juga tak kelihatan lagi. Dalam kebingungannya Sultan sampai lupakan
Anjarsari. Dia lari masuk ke dalam gedung, terus ke kamar dan melihat bagaimana
kasur pembaringan berada dalam keadaan tak karuan. Ketika ditariknya kasur itu
di bagian kepala tempat tidur, maka keris Tumbal Wilayuda yang sebelumnya
disimpannya di sana, kini sudah tiada lagi! Lenyap! Dan pastilah sosok tubuh
yang melarikan diri tadi yang telah mencurinya!
"Pencuri keparat!"
maki Sultan. Dia lari lagi keluar. Ketika sampai di halaman samping terkejutlah
dia. Anjarsari tak ada lagi di dalam taman! Lenyap!
"Anjar!" memanggil
Sultan. "Anjarsari!" serunya lagi. Tapi tiada jawaban!
Maka di malam itu hebohlah
seisi gedung bangsawan Wirja Pranata. Sultan sendiri sesudah memberikan
penuturan, singkat segera berkelebat meninggalkan gedung. Keris Tumbal Wilayuda
lenyap! Tapi kekhawatirannya lebih lagi terhadap Anjarsari yang hilang secara
aneh itu. Maka dia memutuskan menyelidiki lenyapnya Anjarsari lebih dahulu lalu
baru mencari jejak si pencuri keris Tumbal Wilayuda!
Sesaat sesudah kepergian
Sultan, Wirja Pranata berkelabat pula ke arah yang berlawanan.
Malam dingin dan angin agak
kencang bertiupnya. Wirja Pranata adalah seorang bangsawan yang "mempunyai
isi" juga. Dalam waktu yang singkat dengan ilmu larinya yang sempurna dia
telah sampai di luar kota. Karena daerah luar kota merupakan daerah pesawangan
datar di tambah bulan bersinar terang maka dengan mudah di ujung pesawangan
Wirja Pranata dapat melihat dua sosok tubuh manusia tengah berlari kencang.
Yang di belakang sebat sekali larinya dan dalam waktu yang singkat berhasil
menyusul yang di muka. Kemudian kelihatan terjadi pertempuran! Tanpa menunggu
lebih lama bangsawan Wirja Pranata segera lari ke sana. Dia sampai ketika
pertempuran tengah berjalan hebat-hebatnya. Kedua orang yang bertempur adalah
seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih. Gerakannya gesit sekali dan
menimbulkan angin bersiuran. Lawannya adalah seorang laki-laki jangkung kurus
bermuka sangat seram berpakaian hitam. Salah satu matanya sangat besar sedang
yang lain hanya merupakan sebuah rongga hitam cekung yang sangat menggidikkan.
Gerakannya juga tak kalah hebat dari lawannya. Pakaiannya bertambal-tambal.
"Berhenti!" seru
Wirja Pranata.
Tapi yang bertempur tidak
ambil perduli. Yang bermuka seram malahan lancarkan empat serangan dahsyat yang
menimbulkan angin tajam dan panas!
Pemuda rambut gondrong berseru
nyaring, lompatkan diri ke udara lalu menukik lagi seraya hantamkan tangan
kanan ke muka. Angin laksana badai menderu menyerang si muka seram.
"Pukulan kunyuk melempar
buah!,” seru si muka seram kaget. Buru-buru dia kebatkan lengan pakaian
hitamnya. Tapi tubuhnya terduduk di tanah karena angin pukulan lawan nyatanya
lebih dahsyat. Pemuda rambut gondrong sendiri tersurut ke belakang beberapa
langkah, dadanya terasa sakit.
"Manusia muka setan ini
ilmunya tinggi sekali dan berbahaya!,” membatin si pemuda.
Sebaliknya si muka setan yang
tahu bahwa lawannya adalah seorang yang sangat tangguh segera berseru pada
Wirja Pranata. "Sobat! Kenapa diam saja?! Bukankah kedatanganmu kemari
untuk mencari pencuri keris? Inilah bangsat malingnya! Ayo tunggu apa lagi,
mari kita labrak!"
Si pemuda tertawa dingin.
Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Ketika tangan itu turun, segelombang
angin menggebubu menyerang tubuh si muka setan dari atas ke bawah! Manusia ini
segera kebutkan kedua ujung lengan bajunya. Pemuda gondrong sampai melesak
kedua kakinya sedalam dua senti ke tanah sedang si muka setan terguling di
tanah tapi cepat bangun lagi!
Diam-diam si pemuda rambut
gondrong terkejut.
Pukulan yang dilancarkan tadi
bukan sembarang dan mempergunakan hampir sepertiga tenaga dalamnya tapi lawan
ternyata tidak apa-apa malahan bisa bangkit kembali!
"Wirja Pranata!"
berseru si muka setan. "Kalau kau inginkan keris kembali lekas bantu aku
meringkus maling busuk ini! Apa kau tidak lihat pinggangnya menggembung? Keris
itu disembunyikannya di sana!"
"Orang tolol!,” maki si
pemuda. ”Kenapa terpengaruh omongan manusia muka setan ini?! -Dialah Yang
mencuri keris Tumbal Wilayuda!"
Wirja Pranata jadi bingung.
Tapi karena sudah terlanjur maka dia teruskan juga serangannya. Pernuda rambut
gondrong tiada hentinya memaki.
"Bangsawan Wirja Pranata,
sebaiknya mundurlah! Jangan sampai tertipu maling yang berteriak pencuri ini!”
Meski terkejut karena si
gondrong ketahui nmaanya namun Wirja Pranata terus juga lancarkan
serangan-serangan. Si rambut gondrong menggereng. Tiba-tiba bersuit keras.
Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan diputar-putar. Dia menghadap
tepat-tepat pada manusia muka setan. Dan manusia ini terkejut sekali "Pukulan
angin puyuh!,” serunya, dengan wajah tegang. Cepat-cepat dia keruk kantong baju
hitamnya, lompat empat tombak dan begitu tangannya keluar dari saku maka
melesatlah lima benda bersinar hitam ke arah si pemuda.
"Paku Darah Hitam!,” seru
Wirja Pranata ombil surut kebelakang. Hatinya meragu akan siapa sebenarnya
manusia muka seram itu.
“Hemm… jadi kau anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam?" gertak pemuda rambut gondrong. Sekali
dia hantamkan tangan kanan ke muka maka luruhlah paku-paku biru itu ke tanah!
Ketika dia hendak menyerang kembali si muka setan sudah lenyap!
–== 0O0 == –
6
DENGAN sangat penasaran
Pendekar 212 putar tubuh. "Kalau kau tidak bertindak gegabah pasti pencuri
keparat itu sudah kena diringkus!".
Memang meski hatinya bimbang
tapi Wirja Pranata sendiri juga meragu terhadap diri Wiro Sableng. "Kau
siapa?!" tanyanya.
"Sudah, saat ini bukan
tempatnya untuk bertanya jawab!". Pendekar 212 segera berkelebat ke arah
larinya si muka setan yang diduganya adalah seorang anggota Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam. Namun dibelakangnya terdengar suara berseru.
“Tunggu! Berhenti dulu!"
Karena tahu yang berseru
adalah Wirja Pranata maka Wiro tidak ambil perduli melainkan lari terus. Namun
sesaat kemudian berdesing sejumlah senjata rahasia menyerang ke arahnya. Dengan
beringas Pendekar 212 putar tubuh dan kebutkan tangan. Senjata-senjata rahasia
itu berpelantingan. Dan pada ketika itu pula Wirja Pranata sudah berdiri
dihadapannya.
"Jika kau orang baik-baik
mengapa tidak berani sebutkan nama terangkan diri?! Pastilah kau bangsanya kaki
tangan gotongan hitam!".
Wiro Sableng jadi betul-betul
penasaran kini. "Manusia tidak tahu diri! Tidak tahu membedakan mana yang
putih dan mana yang hitam! Tidak tahu dirinya tengah ditolong, malah mencap
orang seenaknya! Kalau bukan mengingat bahwa kau calon mertuanya Sultan, aku
sudah tampar kau punya mulut! Sekarang pergilah!". Wiro gerakkan kedua
tangannya. Dan tahu-tahu terdoronglah tubuh Wirja Pranata ke belakang sampai
empat tombak! Wirja Pranata rupanya menjadi kalap. Melihat pemuda rambut
gondrong itu hendak angkat kaki kembali maka segera dia hunus keris dan dengan
cepat kirimkan lima tusukan sekaligus!
"Manusia geblek,” maki
Pendekar 212 dalam hati sambil hindarkan diri dengan cepat.
Di lain saat maka tiba-tiba
muncullah satu bayangan manusia.
"Tahan!"
Kedua orang yang bertempur,
yang sama-sama mengenali suara pendatang baru itu segera hentikan pertempuran.
Pendekar 212 putar kepala pada
si pendatang lalu berkata. "Sultan, semangat calon mertuamu memang hebat!
Nyalinya besar tapi sayang pikirannya keliwat pendek!".
Merahlah paras Wirja Pranata
tapi dia juga heran mengetahui bahwa si rambut gondrong mengenali Sultan
Hasanuddin. Sultan kemudian memperkenalkan kedua orang itu. Barulah saat itu
Wiro menjura hormat.
Dengan batuk-batuk Wirja
Pranata bertanya pada Sultan. "Bagaimana dengan Anjarsari, apakah berhasil
ditemui…?"
Sultan menundukkan paras
kecewa lalu gelengkan kepala dengan pelahan.
“Terkutuk! Terkutuk!,” maki
Wirja Pranata dalam hati. Kedua tangannya terkepal membentuk tinju. Tentu saja
laki-laki ini sangat mengkhawatirkan keselamatan diri anak gadisnya itu.
Dalam pada itu Pendekar 212
mengetengahi. "Bapak Wirja, kau kembalilah ke Ujung Kulon. Kami berdua
segera akan mengejar bangsat pencuri itu,”
”Aku turut bersama
kalian!" kata Wirja Pranata dengan hati keras.
"Bapak,” ujar Sultan,
"saya tahu bagaimana perasaan dan kecemasan hati Bapak terhadap
keselamatan Anjarsari. Sayapun lebih kawatir lagi. Tapi percayalah, bersama
sahabat ini saya pasti akan dapat mencari Anjarsari dan menemukan keris Tumbal
Wilayuda serta membekuk bangsat-bangsat pencuri itu!".
"Kalau kau berkata
begitu, baiklah". Wirja Pranata akhirnya mengalah. Maka sesudah itu Wiro
Sableng dan Sultan Hasanuddinpun berlalu dengan cepat.
Ketika hari pagi kedua orang
itu masih juga belum berhasil meneemui jejak pencuri yang mereka cari. Dengan
perasaan lesu mereka sampai ke sebuah kota bernama Parangwilis. Seperti Asoka
maka Parangwilis adalah juga sebuah kota dagang yang besar. Bau makanan yang
harum menghambur keluar dari sebuah warung nasi. Kedua orang inipun masuklah ke
dalam warung tersebut. Karena rambutnya yang gondrong dan potongan tubuh yang
kekar dari Wiro Sableng serta tampang yang gagah dari Sultan Hasanuddin maka
kedua orang ini tentu saja menarik perhatian isi warung. Tapi tanpa acuh Wiro
dan Sultan terus saja menyantap makanan mereka.
Mendadak suasana dalam warung
nasi itu menjadi sunyi hening laksana dipekuburan! Wiro Sableng dan Sultan
segera merasakan perubahan ini. Sultan putar kepala memandang berkeliling
sedang Wiro Sableng putar bola matanya memandang cepat ke beberapa jurus.
Dari pintu muka warung masuk
seorang berpakaian kotor compang camping dan bertambal-tambal. Dari pintu
belakang dua orang lagi, kemudian dari jendela di samping kiri kanan
masing-masing dua orang lainnya! Muka-muka mereka rata-rata menunjukkan
kebengisan, rambut kusut masai, kumis serta janggut kasar meranggas!
Beberapa orang tamu yang
sedang makan dalam warung, melihat gelagat yang tidak baik ini segera jauhkan
diri ke pojok. Sultan dan Pendekar 212 karena merasa tidak ada sangkut paut
apa-apa dengan kesepuluh manusia itu tanpa ambil perduli terus menyantap
hidangan mereka.
Tiba-tiba salah seorang yang
datang dari pintu depan hantamkan tangan kananya ke muka. Angin deras melanda
meja makan di hadapan Wiro serta Sutan. Meja kayu yang besar dan berat itu tak
ampun lagi mental melabrak dinding warung. Piring serta gelas di atasnya
berpelantingan pecah! Namun di saat itu pula baik Pendekar 212 maupun Sultan
telah melompat ke samping dan berdiri saling memunggungi !
Serentak dengan itu maka
sepuluh manusia yang berpakaian compang-camping sudah mengurung keduanya dengan
rapat.
"Berhari-hari dicari baru
kini kutemui!,” kata laki-laki yang tadi melabrak meja dengan pukulannya yang
hebat.
"Kalian siapa?,” tanya
Sultan sambil bersiap sedia menjaga segala kemungkinan. Di belakang di
dengarnya Wiro Sableng mulai bersiul-siul seenaknya.
Orang tadi mengekeh.
Gigi-giginya hitam dan di sudut bibirnya terselip segumpal susur tembakau.
"Kami adalah anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!,” jawab
orang itu.
Terkejutlah Sultan. "Kami
berdua tidak merasa punya silang sengketa dengan kalian, mengapa datang
mengganggu?"
Anggota Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam itu mengekeh lagi. "Jangan jual bacot mengatakan tiada
silang-sengketa. Salah seorang dari kalian telah membunuh pemimpin kami
Pengemis Bibir Sumbing!"
"Oh, jadi kalian
anak-anak buahnya manusia jahat itu? Setiap manusia jahat akan menemui ajalnya
secara buruk! Kalian pergilah semua!"
Anggota Pengemis Darah Hitam
semburkan susurnya ke muka Sultan. Meski cuma susur tapi bahayanya besar sekali
karena mengandung tenaga dalam! Dengan cepat Sultan hantamkan tangan kanannya
ke depan, maka mentallah susur itu.
Sebagian dari air susur
menjiprat ke muka beberapa orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam
termasuk laki-laki yang telah menyemburkan susur itu tadi! Maka marahlah dia!
Dan segera membentak!
"Tangkap Sultan
hidup-hidup! Yang gondrong itu cincang sampai lumat!"
Sembilan pengemis yang diberi
komando segera menyerbu ke muka. Tubuh Sultan dan Wiro Sableng lenyap. Hanya
suara tertawa Pendekar 212 ini saja yang terdengar. Dan sesaat kemudian
terdengarlah suara . "bluk . . . . bluk …. bluk … bluk . . .”
Empat anggota Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam mencelat dan menggeletak di tanah tanpa nyawa! Sekali lagi
Pendekar 212 berkelebat dan dua lawan lagi mental ke luar kedai!
Melihat ini pengemis yang tadi
berikan komando segera keluarkan senjatanya berupa sebuah cambuk yang berwarna
hitam. Melihat ini maka tiga anggota lainnya yang masih hidup segera pula
keluarkan cambuk masing-masing. Dan sesaat kemudian maka laksana hujan
menggeletarlah cambuk-cambuk itu ke arah Wiro Sableng dan Sultan. Suasana tiada
ubah seperti halilintar. Kedai itu seakan-akan hendak hancur Iuluh tenggelam
oleh suara cambuk! Dan di saat itu tak ada satu tamu lainpun yang masih. berani
berada di dalam warung sedang pemilik warung sendiri sudah kabur entah ke mana!
Sultan melompat ke samping
kiri untuk hindarkan cambuk salah seorang lawan. Begitu terhindar segera dia
kirimkan serangan balasan namun dua cambuk lainnya tahu-tahu sudah melibat
kedua tangannya! Bagaimanapun dicoba oleh Sultan untuk lepaskan diri namun sia-sia
saja.
Di tain pihak Pendekar 212
coba keluarkan diri dari hantaman-hantaman cambuk dua orang lawannya yang
datang laksana hujan! Tapi memang permainan cambuk empat anggota Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam ini hebat sekali. Sementara Sultan di sebelah sana sudah
kena diringkus dan di seret ke pintu muka. Pendekar 212 dibikin sibuk dan
kepepet ke bagian belakang warung.
Geram sekali Wiro Sableng
lompat tiga tombak ke atas lalu menukik ke bawah seraya membagi serangan tangan
kiri kanan kepada dua orang lawannya.
Angin pukulan Pendekar 212
membuat kedua orang itu hanya terdorong seketika karena kebutan cambuknya yang
begitu dahsyat sanggup membendung hampir sebagian besar angin pukulan Wiro !
Dengan penasaran Pendekar 212
begitu sampai ke tanah kembali segera menyambar sebuah bangku panjang. Dengan
bangku panjang sebagai senjatanya maka mengamuklah Pendekar 212. Cambuk hitam
anggota Pengemis Dara.h Hitam betul-betul luar biasa. Senjata keduanya mendera
bangku hitam beberapa kali. Dan hancurlah bangku hitam itu !
Wiro Sableng menggerung. Kedua
tangannya bergetar dan dinaikkan tinggi-tinggi ke atas.
"Wut! Wutt…..!”
Warung nasi itu berderak
derik! Kedua lawan coba putar dan pecutkan cambuk mereka lebih deras lagi namun
angin yang menyambar dari lengan Pendekar 212 tak sanggup lagi mereka tahan.
Laksana topan kedua orang itu bermentalan kian ke mari. Cambuk mereka terlepas
dan tiba-tiba. "krraakkk !" Warung nasi itupun robohlah!
Sesaat kemudian bangunan ini
ambruk, maka Pendekar 212 sudah melabrak dinding dan lolos ke luar. Dua orang
anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam yang tadi sudah konyol tersambar
pukulan "angin puyuh" Pendekar 212 tertimbun mentahmentah!
Di luar warung yang rubuh,
Pendekar 212 bingung sendiri karena melihat Sultan bersama dua orang anggota
Pengemis Darah Hitam sudah lenyap. Dia segera minta beberapa keterangan pada
orang-orang di luar kemana lenyapnya ketiga orang itu.
"Kawanmu kena diringkus
dan dilarikan ke jurusan sana,” kata seseorang sambil menunjuk ke ujung jalan.
Maka tanpa membuang waktu Wiro Sableng segera mengejar ke arah yang
ditunjukkan.
–== 0O0 == –
7
PADA masa itu di Jawa Barat
telah sejak lama berdiri sebuah perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam. Anggotanya terdiri dari pengemis-pengemis yang tersebar di seluruh
pelosok dan di setiap kota. Setiap anggota perkumpulan mempunyai sebuah pecut
hitam dan rata-rara memiliki ilmu silat yang tinggi. Tentu saja karena hampir
setiap tempat dan daerah anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ada maka segala
sesuatu peristiwa besar dan rahasia dengan, sendirinya diketahui oleh mereka.
Demikian juga dengan peristiwa jatuhnya Banten ke tangan pemberontak dan
lenyapnya Sultan serta keris Tumbal Wilayuda. Yang terakhir sekali mereka juga
mengetahui hubungan Sultan dengan Andjarsari. Maka pucuk Pimpinan Perkumpulan
segera menyebar anak-anak buahnya untuk mendapatkan keris Tumbal Wilayuda
mencari Sultan serta menculik Andjarsari!
Demikian besarnya hasrat
mereka untuk berhasil dalam rencana tersebut maka sampaisampai salah seorang
dari pucuk pimpinan yang terdiri dari tiga pengemis berkepandaian tinggi,
memutuskan untuk turun tangan. Pucuk pimpinan yang seorang ini ialah Pengemis
Bibir Sumbing! Sebagaimana yang telah dituturkan sebelumnya, ketika Sultan
bermalam di satu penginapan maka Pengemis Bibir Sumbing telah mendatanginya dan
hampir berhasil membawa kabur keris Tumbal Wilayuda jika saja saat itu Pendekar
212 tidak muncul memberikan bantuan. Bukan saja Pengemis Bibir Sumbing tiada
berhasil dengan niatnya untuk mencuri keris pusaka tumbal kerajaan tapi dia
juga terpaksa serahkan jiwa! Dibanding dengan dua pucuk pimpinan lainnya yaitu
Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang maka memang kepandaian Pengemis
Bibir Sumbing jauh lebih rendah sehingga setelah bertempur beberapa gebrakan
secara hebat maka akhirnya Pengemis Bibir Sumbing menemui ajalnya di tangan
Pendekar 212.
Namun bahaya yang mengancam
Sultan serta keris pusaka itu tidak sampai di sana saja. Ketika Sultan bermalam
di rumah Wirya Pranata, seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam telah
berhasil melarikan keris tersebut selagi Sultan berada di taman dengan calon
istrinya Andjarsari! Dan Andjarsari sendiri kemudian juga telah diculik pula
oleh salah seorang anggota lain Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!
Adapun markas atau sarang
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu, terletak di dalam hutan belantara
Riungslaksa. Maka ke sanalah anggota-anggota perkumpulan yang telah berhasil
membawa orang yang mereka culik dan keris yang berhasil dicuri. Selama beberapa
hari itu kedua pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam menanti-nanti
juga akan hasil pekerjaan anggota-anggota mereka.
"Ah, lama betul sekali
ini anggota-anggota kita menjalankan tugasnya…,” berkata Pengemis Mata Buta.
Tubuhnya tinggi kurus macam tonggak. Pipinya cekung, rambutnya panjang tergerai
macam perempuan, sedang kedua matanya hanya merupakan dua buah rongga dalam
yang hitam sehingga dapat dibayangkan betapa mengerikannya wajah manusia ini!
"Ya… lama sekali,” jawab
Pengemis Kaki Pincang seraya menghela nafas dalam. Di sela bibirnya terselip
sebuah pipa yang bau tembakaunya busuk sekali! Manusia ini bermuka licin dan
berkulit sangat pucat laksana mayat! Kaki kanannya pincang. "Bahkan
Pengemis Bibir Sumbingpun tidak kelihatan mata hidungnya sampai saat ini!"
"Pengemis Bibir Sumbing
macam orang yang tidak percaya saja dengan anggota-anggota kita sampai-sampai
mau turun tangan sendiri…"
"Ah.., dia memang dari
dulu begitu sifatnya," kata Pengemis Kaki Pincang pula.
"Saudara Pengemis Mata
Buta, apakah menurutmu…”
Belum habis bicara Pengemis
Kaki Pincang maka di luar terdengar seruan. "Para Ketua, lihat apa yang
aku bawa!"
Dan sesaat kemudian muncullah
seorang anggota Perkumpulan yang berbadan tegap kekar. Dibahunya terpanggul
sesosok tubuh perempuan muda. Sosok tubuh perempuan ini bukan lain Andjarsari,
dibaring.kannya di atas lantai di hadapan kaki kedua pucuk pjmpinan
Perkumpulan. Saat itu Andjarsari tak dapat bergerak dan juga tidak sadarkan
diri karena telah ditotok.
Tentu saja sangat gembira hati
kedua Ketua Perkumpulan itu.
"Jasamu kepada
Perkumpulan cukup besar Lah Simpong," kata Pengemis Kaki Pincang seraja
gosok-gosok kedua telapak tangannya.
Cuping hidung anggota
Perkumpulan yang bernama Lah Simpong kelihatan membesar dan bergerak-gerak
tanda suka cita hatinya.
"Percayalah, para
Ketua," kata Lah Simpong pula. "Dengan berhasilnya gadis ini kita
tawan, Sultan pasti akan datang ke sini dan kita dengan mudah bisa
meringkusnya."
"Betul sekali!" kata
Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang hampir berbarengan.
Lah Simpong yang dulunya
adalah seorang peminta-minta di kota Menes basahkan bibir dengan ujung lidah,
"Para ketua," katanya "Apa aku boleh terima uang jasa
sekai-ang…?!"
"Tentu…!" jawab
pengemis Kaki Pincang. Dari balik pinggang dikeluarkannya sebuah kantong kulit
dan ditemparkannya ke hadapan Lah Simpong. Benda itu jatuh dengan mengeluarkan
suara berdering di muka kaki Lah Simpong. Dengan. menyeringai gembira maka Lah
Simpong segera membungkuk dan mengambil kantong uang itu. Dan pada saat itu
pulalah di luar terdengar seruan seseorang. "Apa artinya hasil yang dibawa
Lah Simpong dibandingkan dengan apa yang kami bawa ini wahai Para Ketua
Perkumpulan?!"
Dua sosok tubuh mencelat masuk
lewat jendela. Ketika mendarat dilantai sedikitpun kaki mereka tiada
mengeluarkan suara! Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta yang
meskipun buta tapi mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam luar biasa
sama-sama bergembira.
"Siapa yang kalian bawa
itu?" tanya Pengemis Mata Buta.
"Sultan! Sultan!"
kata Pengemis Kaki Pincang sambil melompat dari kursinya.
Pengemis Mata Buta tertawa
girang. Dari balik sabuknya dia keluarkan dua buah kantong kulit yang besar.
"Ini terima!" katanya. Dua orang anggota Pengemis Darah Hitam tadi
segera menyambutinya. Mereka menjura girang lalu mau putar diri dari situ namun
seseorang yang melompat masuk lewat pintu muka mengejutkan mereka!
"Aha… bawaanku memang
bukan manusia bernyawa! Bawaanku juga tidak besar cuma kecil sekal ! Tapi
justru apa yang kubawa ini merupakan satu tanda bahwa siapa pemiliknya adalah
mempunyai hak untuk menjadi raja di Banten!"
Pengemis Mata Buta dan
Pengemis Kaki Pincang meloncat dari kursi masing-masing !
"Mata Picak! Apakah kau
berhasil mencuri keris Tumbal Wilayuda?!" seru Pengemis Mata Buta dengan
nada gembira.
Anggota Perkumpulan yang
bermata buta sebelah dan bertampang angker itu tertawa mengekeh. Nama
sebenarnya tak satu anggota atau pemimpin perkumpulan yang tahu. Karena itu dia
dipanggil dengan gelaran Mata Picak. Di bandingkan dengan Pengemis Bibir
Sumbing maka kepandaian Mata Picak tiga tingkat lebih tinggi, ditambah lagi
bahwa dia mempunyai keistimewaan tersendiri yaitu mempunyai senjata rahasia
paku beracun! Kepandaiannya ini juga diturunkannya kepada anggota perkumpulan
termasuk para pucuk pimpinan sehingga lambat laun senjata rahasia itupun
disebut "paku darah hitam,” sesuai dengan nama perkumpulan mereka. Dengan
ketinggian ilmu silat ditambah dengan kelihayannya memainkan senjata rahasia "paku
darah hitam" maka sebenarnya Mata Picak adalah lebih tepat untuk menjadi
pimpinan perkumpulan daripada Pengemis Bibir Sumbing. Namun Pengemis Bibir
Sumbing sudah belasan tahun memasuki Perkumpulan bahkan dialah yang mula-mula
mempunyai prakarsa untuk mendirikan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu!
"Kita pesta tuak malam
ini!" seru Pengentis Mata Buta.
"Pesta tuak dan anggur!,”
menimpali Pengemis Kaki Pincang.
Kedua pimpinan Perkumpulan itu
sama-sama mengeluarkan sebuah kantung uang dan melemparkannya ke hadapan Mata
Picak. Memang inilah yang ditunggu-tunggu oleh si Mata Picak. Dengan segera
kedua kantung uang itu disambutinya. Dia menjura. Belum lagi sempat dia berdiri
tegak dari menjuranya itu maka dari pintu muka masuklah seorang anggota
Perkumpulan. Mukanya tak kalah bengis angker, namun di saat itu tampang itu
kelihatan sedikit pucat, lesu dan kuyu!
Pengemis Kaki Pincang kerutkan
kening melihat anggotanya ini. Tak biasanya Kuntawana berparas semurung itu.
Maka bertanyalah dia. "Kabar apakah yang agaknya kau bawa dari luar rimba,
Kutawana?!"
"Hemm… Kutawana juga
sudah kembali?" ujar Pengemis Mata Buta.
Anggota yang baru datang itu
menjura. Dihelanya nafas panjang lalu berkatalah dia . "Aku membawa kabar
buruk, para Ketua…”
"Kabar buruk
bagaimana?" tanya Pengemis Kaki Pincang sementara yang lain-lainnya juga
tujukan perhatian terhadap Kuntawarna.
"Kemarin aku memasuki
kota Asoka. Kota itu tengah berada dalam kegemparan karena menemukan sesosok
mayat di belakang bengkel kuda Ketika aku menyeruak diantara orang banyak
ternyata mayat itu adalah mayat Ketua Pengemis Bibir Surnbing!"
Terkejutlah semua orang.
"Ada keanehan dalam cara
matinya…".
"Keanehan bagaimana
maksudmu?!" tanya Pengemis Mata Buta.
Kulit keningnya hitam, dadanya
biru. Sedang pada kulit kening yang hitam itu tertera tiga buah angka. Angka
212!"
Terjadilah perubahan pada air
muka pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki Pincang
memandang pada pengemis Mata Buta. Pengemis Mata Buta sendiri di saat itu
merenung. "Bagaimana pendapatmu, Ketua Pengemis Mata Buta?" bertanya
Pengemis Kaki Pincang.
Sejurus lamanya barulah
menjawab Pengemis Mata Buta itu. Nada suaranya kentara berubah sekali kali ini.
"Sesudah hampir empat puluh tahun menghilang tak tentu rimbanya, ternyata
dia muncul kem-bali. Dia adalah momok yang menakutkan bagi tokoh-tokoh silat
golongan hitam macam kita ini, Ketua Kaki Pincang. Pastilah dia muncul untuk
kembali menghancurkan golongan kita seperti empat puluh tahun yang lalu
itu…"
"Maksudmu Pendekar 212
Kapak Maut Naga Geni si Sinto Gendeng itu…?!" tanya Pengemis Kaki Pincang.
"Siapa lagi!"
“Ah… kalau dia memang muncul
untuk maksud yang seperti masa lampau, dia salah perhitungah! Dunia persilatan
dulu tidak sama dengan dunia persitatan masa sekarang! Golongan hitam banyak
maju pesat, banyak mempunyai tokoh-tokoh kosen serta lihay dan sakti! Sinto
Gendeng boleh datang kemari. Dan itu berarti dia antarkan nyawa sendiri!"
Pengemis Mata Buta menarik
nafas dalam, "Kita tak bisa menganggap enteng momok perempuan itu, Ketua
Kaki Pincang,” kata Pengemis Mata Buta pula. "Ketahuilah, kedua mataku
yang buta ini, dialah yang telah mengoreknya dulu…".
Kagetlah Pengemis Kaki
Pincang. Matanya mendelik dan dipandanginya paras rekannya itu. Akhirnya dia
memandang ke jurusan lain karena merinding juga kuduknya memandang lama-lama
pada rongga rongga mata yang menggidikkan itu!
Suasana hening seketika. Dan
keheningan itu dipecahkan oleh bentakan Pengemis Mata Buta. "Kuntawana,
apa yang kau telah lakukan terhadap mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing…?!"
Terkejutlah Kuntawana.
"Jawab! Apa sesudah kau
temui lantas kau tinggal begitu saja….?!"
"Ketua… di saat itu mayat
Ketua Pengemis Bibir Sumbing dikerumuni oleh banyak orang. Di antaranya
beberapa prajurit kerajaan. Tak mungkin bagiku…”
"Tutup mulut! Kesalahanmu
besar! Kau dipecat sebagai anggota Perkumpulan!"
Muka Kuntawana menjadi pucat.
"Ketua…”
"Diam! Lekas angkat kaki
dari sini!"
"Para Ketua…”.
"Diam! Berlalulah sebelum
amarahku lebih memuncak!" bentak Pengemis Mata Buta.
Kuntawana menyuruh mundur.
"Aku bersedia kembali ke Asoka untuk mengambil mayat Ketua Bibir Sumbing…”
"Tak perlu," jawab
Pengemis Mata Buta tetap keras. "Aku bisa suruh anggota yang lain!".
Maka membesilah paras
Kuntawana. "Baik, aku akan pergi tapi serahkan dulu uang jasaku".
"Kurang ajar! Kau berani bicara seenaknya demikian rupa?! Ini
bagianmu!".
Pengemis Mata Buta kebutkan
lengan jubah hitamnya. Satu gelombang angin dahsyat melanda ke arah Kuntawana.
Terkejutlah Kuntawana. Dia tahu betul pukulan yang dilancarkan oleh si Mata
Buta itu. Pukulan "seribu topan!"! Dengan cepat Kuntawana melompat ke
atas namun dia tak bisa melompat tinggi karena bangunan di mana mereka berada
mempunyai loteng yang rendah!
"Celaka, mampuslah
aku!" kata Kuntawana di dalam hati.
Namun pada detik yang
berbahaya itu dari jendela samping satu larikan sinar merah menyambar memapaki
angin pukulan seribu topan dan kejapan itu juga buyarlah pukulan Pengemis Mata
Buta dan selamatlah Kuntawana!
Pengemis Mata Buta seorang yang
mempunyai perasaan luar biasa. Sepasang telinganya bukan saja tajam tapi juga
merupakan sebagai sepasang mata baginya.
Dia menoleh ke jendela.
"Keparat yang suka ikut campur urusan orang, coba perlihatkan diri!"
bentaknya.
Di diluar terdengar suara tertawa
bergelak. Sesaat kemudian sesosok tubuh berjubah merah dan berkerundung kain
merah dengan gerakan yang sangat sebat dan enteng sudah menjejakkan kaki di
lantai ruangan!
"Iblis Pencabut
Sukma!" teriak Pengemis Kaki Pincang berbarengan dengan anggotaanggota
Perkumpulan lainnya! Wajah mereka mengkerut tegang!
–== 0O0 == –
8
ORANG berkerundung merah
keluarkan suara tertawa mengekeh kembali. Pengemis Mata Buta rangkapkan kedua
tangannya di muka dada. "Kiranya lblis Pencabut Sukma! Pantas keras dan
hebat angin pukulannya! Tapi gerangan apakah yang membuat kau datang ke sini
serta mencampuri urusan Perkumpulan kami?!"
Laki-laki berkerundung yang
merupakan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma lagi-lagi tertawa
mengekeh. "Ketua-ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam, kuharap tanpa
banyak bicara segeralah serahkan Keris Tumbal Wilayuda, Sultan Hasanuddin dan
gadis itu kepadaku….!".
"Eh… ini suatu hal yang
tidak kami sangka! Rupanya kau juga inginkan semua itu heh…?”
"Hidung kerbau!,"
maki Iblis Pencabut Sukma. "Aku bilang jangan banyak bicara! Serahkan
cepat! Atau seluruh Perkumpulanmu akan kulabrak?!"
"Ah…. Kalau tak salah
kita ini masih sama-sama satu golongan. Kenapa harus bikin persoalan begini
rupa? Semua manusia berhak memang memiliki keris dan kedua manusia yang kau
katakan itu! Dan pihakku telah perhasil menguasainya, kau terlambat. Itu adalah
salahmu sen….."
"Katakan saja kau tak mau
menyerahkan apa yang aku minta!,” memotong lblis Pencabut Sukma.
"Untuk mendapatkan semua
itu pihakku sampai korbankan salah seorang ketuanya! Sekarang kau seenaknya
meminta! Aturan macam mana yang kau pakai?!" kata Pengemis Kaki Pincang.
"Kaki Pincang kau
menentukan kematianmu sendiri dengan bicara macam begitu..!" Pengemis Kaki
Pincang tertawa tawar. "Orang lain mungkin takut pada kau! Tapi aku
Pengemis Kaki Pincang boleh dicoba nyalinya!". lblis Pencabut Sukma
tertawa gelak-gelak. Kedua kakinya merenggang. "Dalam satu jurus kau akan
konyol ke akherat Pengemis Kaki Pincang!"
"Coba saja, aku mau
lihat!" kata Pengemis Kaki Pincang dengan tertawa menghina. Sementara itu
telinganya mendengar suara rekannya si Mata Buta yang disampaikan dengan ilmu
menyusupkan suara. "Ketua Kaki Pincang, hati-hatilah. Manusia ini
berbahaya….".
Ketika Iblis Pencabut Sukma
angkat tangan kanan ke atas, dan ketika Pengemis Kaki Pincang pusatkan tenaga
dalamnya ke tangan kiri tiba-tiba Kuntawana melompat antara tengah-tengah kedua
Orang itu.
"Manusia sontoloyo! Kau
juga minta dikirim keakhirat?!" bentak Iblis Pencabut Sukma. Kuntawana
menghadap pada Pengemis Mata Buta dan Kaki Pincang. "Para Ketua, harap
perkenankan aku melayani dajal berkerudung ini sebagai penebus
kesalahanku!".
"Hem…". Pengemis
Mata Buta merenung. "Baiklah. Kaki Pincang, kau mundurlah!"
Maka Pengemis Kaki Pincangpun
mundurlah sedang Kuntawana segera cabut cambuk hitamnya. Iblis Pencabut Sukma
menyeringai. "Manusia tampangmu cukup tiga langkah saja kulayani!".
katanya.
Kuntawana putar cambuknya
dengan sebat.
Iblis Pencabut Sukma maju satu
langkah.
Kuntawana tiba-tiba lepaskan
pukulan tangan kiri, sesudah itu laksana hujan cambuknya bergelegaran ke arah
lawan.
Iblis Pencabut Sukma majukan
langkah kedua. Jari-jari tangan kanannya terbentang ke muka seperti hendak
mencaakar sedang tangan kiri mengebut menahan serangan lawan. Pada detik dia
buat langkah ketiga maka tangan kanannya ditarik ke belakang dengan keras!
Inilah yang disebut ilmu pukulan pencabut sukma!
Kuntawana merasakan badannya
seperti tersedot! Isi perutnya seperti dibetot!
"Huah!"
Sesaat kemudian anggota
Pengemis Darah Hitam inipun muntah darahlah! Tubuhnya terkapar di lantai tanpa
nyawa!
Berdeburlah darah para anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan Pengemis Mata Buta
tergetar hati masing-masing! Kuntawana adalah anggota Perkumpulan yang ilmu
kepandaiannya tidak rendah. Tapi Iblis Pencabut Sukma membunuhnya hanya dalam
tiga langkah! Iblis Pencabut Sukma tengadahkan muka dan tertawa bekakakan
menegakkan bulu roma!.
"Siapa yang tidak senang
melihat mampusnya kroco itu boleh maju segera!,” katanya. Kemudian dia
berpaling pada dua orang pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Sepasang
matanya kelihatan menyorot berkilat. "Kalian berdua masih belum mau
serahkan apaapa yang aku minta?!".
Sebelum kedua Ketua Pengemis
Darah Hitam berikan jawaban sesosok tubuh dengan gerakan enteng melompat, ke
hadapan dua Ketua Pengemis Darah Hitam.
"Para Ketua,
perkenankanlah aku Lah Simpong untuk membasmi iblis yang kesasar ini!"
Pengemis Mata Buta tidak
memberikan sahutan. Dia tahu kepandaian Lah Simpong memang lebih tinggi dari
Kuntawana, tapi untuk menghadap lblis Pencabut Sukma, tingkat kepandaian Lah
Simpong masih belum dapat diharapkan. Sebaliknya Pengemis Kaki Pincang setelah
merenung sejurus, lalu anggukkan kepala dan berkata, "Baiklah, tapi
hati-hati. Manusia ini benar-benar ganas seperti iblis!"
Setelah diperkenankan begitu
rupa maka Lah Simpong segera putar badan. Cambuk di tangan kiri, sebuah toya
besi di tangan kanan maka diapun maju ke arah Iblis Pencabut Sukma.
Iblis Pencabut Sukma
menyeringai di balik kerundung kain merahnya. "Rupanya Para Ketua
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam lebih suka korbankan anggotanya dari pada maju
sendiri!"
"Jangan banyak mulut
manusia iblis! Lihat cambuk!"
Cambuk hitam di tangan kiri
Lah Simpong berkelebat. Suaranya menggelegar macam petir. Ujung cambuk dengan
sangat cepat, sukar dilihat oleh mata biasa, mendera ke muka si kerudung merah!
Sebelum serangan ini sampai, Lah Simpong susul dengan serangan toya besi hitam.
Kedua ujung toya menderu berubah seperti ratusan banyaknya dan menyerang
keselusin bagian tubuh Iblis Pencabut Sukma!
Yang diserang terkekeh-kekeh.
"Keluarkan seuruh kepandaianmu, Lah Simpong! Kalau tidak setengah jurus di
muka kau akan jadi mayat!".
"Tubuhmu yang akan
terkapar lebih dulu, iblisl". Ujung cambuk menyambar dengan dahsyat ke
muka Iblis Pencabut Sukma sementara toya besi sedetik lagi pasti akan
menghancur luluhkan tulang-tulang anggota Iblis Pencabut Sukma!
Tapi pada kejapan mata itu
Iblis Pencabut Sukma kebutkan lengan jubah merahnya. Selarik angin pukulan yang
hebat menyusup di antara deraan cambuk dan terus melabrak Lah Simpong. Tubuh
anggota Pengemis Darah Hitam ini jatuh duduk di lantai. Mukanya pucat laksana
mayat. Dia berusaha bangun. Tubuhnya tertatih-tatih tanda dia terluka parah di
dalam!
"Sekarang pasrahkan
ajalmu, Lah Simpong!". Iblis Pencabut Sukma angkat tangan kanannya lalu
ditarik ke belakang dengan cepat! Tubuh Lah Simpong seperti ditarik besi
berani, tersedot sampai dua tombak ke muka, lalu jatuh menelungkup. Darah
membuih dimulutnya. Ajalnya sampai!
Putihlah wajah dua Ketua
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Para anggota yang lain berdiri laksana kaku.
Mereka merasa seperti nyawa mereka sendiri yang lepas waktu menyaksikan
kernatian Lah Simpong itu!
"Keganasanmu sudah
keliwatan sekali, Iblis Pencabut Sukma!,” kata Pengemis Kaki Pincang.
"Jangan harap kau bakal bisa tinggalkan tempat ini dengan selamat!".
Pengemis Kaki Pincang maju dua langkah. "Mulailah, Iblis,” tantangnya.
Iblis Pencabut Sukma tertawa
dingin.
Pengemis Kaki Pincang
mendengus. "Kau tidak punya nyali untuk memulai?! Kalau begitu sambut
pukulanku ini!".
Pengemis Kaki Pincang angkat
tangan kanan. Namun dua anggota Perkumpulan melompat ke tengah kalangan. Mereka
adalah dua kakak beradik Sepasang Cakar Garuda yang dulunya merupakan
fakir-fakir miskin di kaki gunung Salak, tapi yang kemudiannya berhasil diseret
oleh Pengemis Kaki Pincang untuk masuk ke dalam Perkumpulan Pengernis Darah
Hitam.
"Para Ketua, kalau untuk
membereskan manusia ini, serahkan pada kami!,” kata Sepasang Cakar Garuda yang
tertua. •
Meskipun darahnya sudah
mendidih namun Pengemis Kaki Pincang yang percaya akan kemampuan kedua
anggotanya itu segera bersurut mundur!
"Bereskanlah cepat!,”
katanya.
"Ah lagi-lagi bangsa-bangsa
kroco yang disuruh maju!" menghina Iblis Pencabut Sukma.
"Kroco atau apa, tapi
ketahuilah nyawamu hanya beberapa kejapan mata saja Iblis!"
1blis Pencabut Sukma
mendengus. "Sombongnya!,” katanya.
Dan disaat itu cambuk-cambuk
lawan sudah menderu laksana topan, menyerang ke arah leher dan kaki, lalu
bergantian secara teratur dan cepat membabat ke dada dan ke perut! Dalam
seketika saja maka Iblis Pencabut Sukma sudah terbungkus serangan cambuk yang
bergelegaran itu. Jubah Merah dan kerudungnya berkibar-kibar karena kerasnya
sambaran cambuk hitam kedua lawan!
"Hemm… permainan cambuk
kalian boleh juga! Tapi aku mau lihat apa bisa menerima pukulan menendang
langit menjungkir awan ini?!".
Habis berkata demikian Iblis
Pencabut Sukma tendangkan kaki kiri ke muka dan hantamkan telapak tangan karian
dari bawah ke atas!
Disaat itu pula maka
menggelindinglah kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu. Tapi
begitu terhampar begitu keduanya bangun lagi meskipun dengan keluarkan keringat
dingin dan sama menyadari bahwa diri mereka di bagian dalam terluka parah!
Keduanya sama-sama menggerung.
Cambuk hitam mendera ganas. Sedang tangan kiri yang membentuk cakar burung
garuda dengan kecepatan yang luar biasa menyambar ke muka dan ke dada Iblis
Pencabut Sukma!
"Oh jadi kalian adalah
Sepasang Cakar Garuda huh?!" ujar Iblis Pencabut Sukma yang kenali
permainan silat kedua lawannya.
Sebaliknya dua anggota
Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu rupanya tidak mau kasih hati lagi.
Serangan-serangan mereka yang dahsyat itu mereka susuli dengan empat buah
tendangan sekaligus! Iblis Pencabut Sukma bersuit keras! Serasa mau pecah
gendang-gendang telinga mendengarnya! Begitu suitannya lenyap maka dari tangan
kirinya menyambarlah sinar merah yang menyeruak laksana kipas menyerang
Sepasang Cakar Garuda sekaligus! Kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam
itu mencelat ke loteng, satu amblas dan menyangsrang di papan loteng sedang
yang satu lagi jatuh bergedebukan ke lantai. Tubuh keduanya merah matang
laksana daging panggang!
Pengemis Kaki Pincang tahan
nafas. "Pukulan kipas merah,” membatin ketua Pengemis Darah Hitam ini
sedang Pengemis Mata Buta meskipun tidak dapat melihat namun perasaannya yang
tajam serta pendengarannya yang luar biasa, diam-diam juga mengetahui ilmu
pukulan
apa yang telah dilepaskan
lawan!
Ruangan itu sehening di
kuburan.
Sekali lagi Iblis Pencabut
Sukma menengadah dan keluarkan suara tertawa bekakakan.
Dari arah pintu melangkah
enteng seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Tubuhnya tinggi kekar.
Tampangnya seram. Kumis dan janggutnya tajam meranggas sedang salah satu
matanya picak.
"Para Ketua, izinkan aku
si Mata Picak membuat perhitungan dengan manusia itu!".
Baik Pengemis Kaki Pincang
maupun Pengemis Mata Buta sama-sama manggutkan kepala. Mata Picak adalah
anggota yang paling tinggi ilmunya dan mempunyai kelihayan dalam memainkan
senjata rahasia "paku darah hitam". Karena itu Ketua-ketua
Perkumpulan pengemis Darah Hitam sama mempercayakan bahwa anggota mereka yang
berilmu tinggi ini sanggup mengalahkan lawan yang tangguh itu.
Mata Picak putar tubuh
menghadapi Iblis Pencabut Sukma.
"Iblis Pencabut
Sukma," dia berkata, "aku Pengemis Mata Picak mohon diberi beberapa
jurus Relajaran dari kau!"
"Aha… Mata Picak, kau
punya peradatan sedikit. Bagus aku ampunkan jiwamu! Tapi lekas korek kau punya
biji mata lalu tinggalkan, tempat ini!"
Gigi-gigi dan geraham Pengemis
Mata Picak bergemeletakan. "Kepongahanmu setinggi langit Iblis Pencabut
Sukma. Tapi apa kau kira kau punya nyawa rangkap!".
lblis Pencabut Sukma tertawa
bergelak.
“Dikasih keampunan malah
menantang!"
"Sudahlah! Tiada guna
bicara panjang lebar padamu! Mulailah!".
–== 0O0 == –
9
“KARENA kau yang minta dikirim
keakhirat, maka kau mulailah lebih dulu, Mata Picak!" kata Iblis Pencabut
Sukma dengan jumawa.
Mendengar ini Pengemis Mata
Picak tidak sungkan-sungkan lagi. Laksana terbang, tubuhnya melesat ke muka.
Empat tendangan menderu, enam pukulan membadai!
Diam-diam Iblis Pencabut Sukma
terkejut juga melihat kehebatan lawan yang satu ini. Dia membentak garang dan
berkelebat cepat. Tubuhnyapun lenyap! Kelebatan tubuhnya mengeluarkan angin
deras yang membendung keseluruhan serangan lawan. Penuh penasaran Pengemis Mata
Picak keruk saku bajunya yang bertambal-tambal.
"Lihat paku!"
serunya.
Dua belas buah paku hitam yang
beracun melesat menyerang dua belas bagian tubuh Iblis Pencabut Nyawa. Manusia
berkerudung ini menggerung dan kebutkan kedua tangannya. Maka terdengarlah
jeritan Pengemis Mata Picak. Enam dari paku darah hitamnya yang beracun
berbalik dan menembus tubuhnya sedang enam lainnya mental ke loteng!
Terbeliaklah mata Pengemis
Kaki Pincang dan anggota-anggota Perkumpulan lainnya yang masih hidup sedang
Pengemis Mata Buta yang tidak punya mata kelihatan wajahnya mengkerut tegang.
"Iblis Pencabut
Sukma," buka suara Pengemis Mata Buta. "Kita sama-sama satu golongan
hitam. Antara pihakku dan pihakmu tiada permusuhan. Mengapa turun tangan sampai
seganas ini….?!"
"Ah, aku bosan mendengar
bicaramu yang itu ke itu juga! Walau bagaimanapun aku tidak sudi disama ratakan
satu golongan dengan kau! Aku beri waktu lima kejapan mata bagimu dan rekanmu
si pincang untuk merenung dan memenuhi permintaanku…"
Lima kejapan matapun lewat
dalam suasana hening tegang.
"Kalian manusia-manusia
keras kepala dan dogol geblek!" bentak Iblis Pencabut Sukma, "Lihat
ini!"
Sepasang tangannya terpentang
ke muka dan dua larik sinar merah yang menyeruak seperti kipas menggebubu ke
arah tiga belas orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki
Pincang dan Pengemis Mata Buta terkejut. Buru-buru keduanya hantamkan tangan
untuk memapasi namun luput! Di seberang sana tiga belas anggota Perkumpulan
Pengemis Darah Hitam mencelat ke dinding dan jatuh bertumpukan tanpa nyawa.
Tubuh mereka matang merah laksana dipanggang!
Maka murkalah kedua pucuk
pimpinan perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Keduanya maju berbarengan.
"He… he, dua tokoh silat
yang katanya lihay dan terkenal nyatanya hanya nama-nama kosong belaka,
menyerang main keroyok!,” kata Iblis Pencabut Sukma dengan suara lantang.
Pengemis Mata Buta, meskipun
tokoh silat jahat golongan hitam, tapi mendengar ini segera bersurut mundur dan
berkata . "Saudara Pengemis Kaki Pincang, bereskan biang malapetaka
ini!".
"Tak usah khawatir, Saudara
Mata Buta,” menyahut Pengemis Kaki Pincang. "Tapi aku tidak begitu senang
maenghadapi manusia yang sembunyikan muka dibalik kerudung!".
Habis berkata begini, dengan
keluarkan jurus "garuda sakti,” maka berkelebatlah Pengemis Kaki Pincang.
Demikian cepat gerakannya sehingga tak terduga sama sekali oleh Iblis Pencabut
Sukma.
"Sreet" !
Maka robek dan tanggallah
kerudung merah Iblis Pencabut Sukma! Dan terkejutlah Pengemis Kaki Pincang.
Muka Iblis Pencabut Sukma nyatanya benar-benar menyeramkan seperti iblis.
Keseluruhan mukanya hancur oleh bopeng-bopeng yang besar-besar (bopeng =
burik). Kedua matanya sangat besar dan menjorok ke muka serta jereng (juling).
Hidungnya hampir sebesar telapak tangan dan pesek lebar menutupi pipinya yang
cekung. Bibirnya sangat tebal dan tak bisa dikatupkan sehingga kelihatanlah
gigi-giginya yang besar-besar dan busuk!
Kejut Pengemis Kaki Pincang
hanya seketika. Menyusul terdengar suara tertawanya membahak. "Aha…
kiranya Iblis Pencabut Sukma bermuka terlalu buruk, lebih buruk dari iblis
sungguhan! Pantas sembunyikan muka dibalik kerudung!".
Iblis Pencabut Sukma mendongak
ke atas. Hidungnya keluarkan suara mendengus. "Jangan harap kau bisa
selamat dalam tiga jurus, setan alas!,” bentaknya.
Dan disaat itu Pengemis Kaki Pincang
sudah melayang sebat ke mukanya. Dua tangan terpentang kemudian membuat enam
serangan beruntun yang disusul oleh empat tendangan dahsyat!
Iblis Pencabut Sukma mengaum
macam harimau lapar. Sekali dia berkelebat maka lenyaplah tubuhnya dan pada
sekejapan mata kemudian sinar merah berbentuk kipas menggelombang menyerang
Pengemis Kaki Pincang.
"Saudara Kaki Pincang!
Hati-hatilah….!". memperingatkan Pengemis Mata Buta.
"Ah, cuma pukulan picisan
begini siapa yang takut!" sahut Pengemis Kaki Piricang seraya lompat tiga
tombak ke atas. Serangan lawan berhasil dielakkan oleh Pengemis Kaki Pincang.
Dengan geram Iblis Pencabut Sukma lompatkan diri pula ke udara seraya lancarkan
jurus "menendang langit menjungkir awan". Karena jurus ini mempergunakan
lebih dari setengah bagian tenaga dalamnya, maka tak ampun Pengemis Kaki
Pincang mencelat ke atas panglari (loteng). Loteng bobol! Beringas sekali,
sesudah berhasil lepaskan diri dari jepitan papan-papan loteng, Pengemis Kaki
Pincang cabut pipa besarnya dari balik pakaian yang bertambal-tambal! Sekali
menyedot, sekali menghembus maka melesatlah asap pipa yang pekat kelabu dan
mengandung racun ganas!
"Ilmu rongsokan macam ini
tak perlu dipertontonkan padaku, Kaki Pincang!,” ejek Iblis Pencabut Sukma.
Tangan kanannya diangkat ke atas lalu ditarik ke belakang! Pukulan pencabut
sukma! Pengemis Kaki Pincang dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya. Tapi apa
daya. Dia tak bisa selamatkan diri. Isi perutnya serasa dibetot, nafasnya
serasa disedot dan "puah…!".
Pengemis Kaki Pincang muntah
darah. Laksana daun kering tubuhnya yang tak bernyawa itu melayang ke bawah dan
terhampar di lantai! Perkataan Iblis Pencabut Sukma yang menyatakan bahwa dia
akan membunuh lawan dalam tiga jurus, kini terbukti!
Dengan tengadahkan mukanya yang
seram itu Iblis Pencabut Sukma tertawa panjang laksana serigala lapar di malam
buta!
Mengkerutlah wajah Pengemis
Mata Buta.
Urat-urat lehernya
menggelembung. Pelipisnya bergerak-gerak sedang rahang-rahangnya bertonjolan.
"Pengemis Mata Buta, hanya kau yang tinggal kini! Apa masih berkeras
kepala untuk tidak mau serahkan apa yang kuminta…?!".
Pengemis Mata Buta rangkapkan
tangan di muka dada. Kehebatan Iblis Pencabut Sukma memang luar biasa. Setelah
merenung sejenak maka buka suaralah dia.
"Iblis Pencabut Sukma,
sekalipun kau punya tiga kepala enam tangan, jangan harap aku tidak bernyali
untuk melawanmu. Juga jangan harap aku akan kabulkan permintaan gilamu!"
"Akh… kalau begitu
kasihan sekali! Perkumpulan Pengemis Darah Hitam rupanya sudah ditakdirkan para
iblis musti musnah hari ini!".
"Perkumpulan Pengemis
Darah Hitam tidak musnah! Sebaiknya bersiaplah untuk menghadap setan neraka,
manusia iblis! Manusia iblis macammu memang tempatnya pantas di neraka!".
Habis berkata demikian maka
Pengemis Mata Buta masukkan tangan kanan ke balik jubah bertambal-tambalnya.
Begitu tangan keluar maka bergemerlaplah sinar hitam sebilah pedang. Tergetar
juga Iblis Pencabut Sukma melihat sinar senjata ini.
"Jika kau punya senjata
bagusnya lekas dikeluarkan, Iblis!" berkata Pengemis Mata Buta.
"Untuk menghadapi manusia buta macam kau, perlu apa pakai senjata segala?!
Majulah, tanganku sudah gatal-gatal untuk mencabut nyawamu!".
"Jangan mimpi
Iblis!" bentak Pengemis Mata Buta. Sekali dia melompat ke muka maka
berkiblatlah taburan sinar hitam dari sambaran pedangnya!
Dan… "Plak"
Tubuh Iblis Pencabut Sukma
terdorong beberapa langkah kebelakang!
Terkejutlah Pengemis Mata Buta
ketika mengetahui bahwa lawannya tidak mendapat satu celaka apapun akibat ilmu
pukulan "telapak tangan minta sedekah" yang sangat diandalkannya itu,
padahal dalam ilmu pukulan ini dia sudah melatih diri sampai sepuluh tahun!
Rasa terkejut dan kecewa
melihat pukulannya hampa belaka membuat dalam kejapan itu Pengemis Mata Buta
menjadi sedikit lengah. Dan kesempatan ini tiada disia-siakan oleh lawan.
Iblis Pencabut Sukma kirimkan
satu tendangan ke perut lawan. Tak ampun lagi Pengemis Mata Buta jatuh duduk
terkapar di lantai. Belum lagi dia sempat bangun maka lawan sudah gerakkan
tangan lancarkan pukulan "pencabut sukma"!
Pengemis Mata Buta merasakan
adanya kekuatan dahsyat yang menyedot tubuhnya, segera dia buang diri ke
samping. Tapi kasip. Perutnya terbetot menggelegak. Darah segar menyembur dari
mulut. Tubuhnya kelojotan seketika. Sebelum meregang nyawa, manusia ini masih
bisa keruk saku jubahnya dan lemparkan selusin paku darah hitam ke arah lawan.
Ini tiada artinya bagi Iblis Pencabut Sukma. Dengan satu kebutan lengan baju
maka mentallah paku-paku beracun itu!
Selama beberapa ketika
terdengarlah suara tertavva Iblis Pencabut Sukma. Tertawa yang membuat kedua
matanya yang juling menjadi basah oleh air mata.
Manusia bermuka seram bopeng
ini kemudian membungkuk di hadapan Pengemis Mata Buta. Tangannya menggeledah di
balik jubah bertambal-tambal mencari keris Tumbal Wilayuda. Bila bertemu segera
diselipkan dibalik pinggangnya. Kemudian dia melangkah ke hadapan sosok tubuh
Anjarsari yang saat itu tiada sadarkan diri karena telah ditotok jalan darahnya
sewaktu dilarikan oleh Lah Simpong.
Iblis Pencabut Sukma memandang
dengan mata berkilat-kilat ke tubuh Anjarsari yang pakaiannya berada dalam
keadaan tak menentu. Dia menyeringai penuh arti. Dibelainya pipi gadis itu.
Betapa lembut dan halusnya. Dirabanya dadanya. Menggeletar tubuh Iblis Pencabut
Sukma. Kalau tidak ingat bahwa dia musti lekas-lekas meninggalkan tempat itu
maulah dia mengikuti segala lampiasan nafsunya. Dipanggulnya tubuh gadis itu di
bahu kiri kemudian dia melangkah ke hadapan Sultan yang terbujur di lantai dan
juga dalam keadaan tak berdaya karena ditotok.
Sewaktu Iblis Pencabut Jiwa
membungkuk pula untuk mengempit tubuh Sultan, tibatiba berkelebatlah sesosok
bayangan biru dan tahu-tahu tubuh Sultan disambar lalu dibawa lari!
Kejut Iblis Pencabut Sukma
tentu saja tiada terlukiskan.
"Kurang ajar! Hai,
berhenti!" teriaknya memerintah.
Tapi bayangan biru itu terus
kabur tancap gas. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma lemparkan tiga puluh jarum
merah ke arah simanusia berjubah biru. Yang diserang, tanpa menoleh lambaikan
tangan kirinya. Ketiga puluh jarum merah itupun mental laksana disapu topan!
Iblis Pencabut Sukma angkat
kaki coba mengejar. Tapi bayangan biru sudah lenyap. "Setan alas,” memaki
dia. "pasti perempuan laknat itu lagi!".
–== 0O0 == –
10
LARINYA manusia berjubah biru
itu sangat cepat sekali laksana angin. Sampai di satu puncak bukit, dia
berhenti dan lepaskan totokan di tubuh Sultan. Begitu siuman Sultan tentu saja
sangat terkejut mendapatkan dirinya dikempit oleh seseorang. Ketika dia coba
meneliti paras orang itu ternyata dia mengenakan kerudung biru. Bau tubuhnya
harum semerbak, seharum bunga melati yang tengah mekar diambang senja! Sultan
merenung sejurus. Otaknya berputar mengingat apa yang telah terjadi atas
dirinya sebelumnya. Kemudian dicobanya melepaskan diri dari kempitan manusia
jubah biru itu untuk turun ke tanah. Tapi bagaimanapun kerasnya dia gerakkan
badan, tetap saja dia tiada sanggup lepaskan diri.
"Saudara, kau siapakah?,”
bertanya Sultan.
Orang itu tiada menyahut
melainkan menjelajahi seantero kaki bukit dengan sepasang matanya yang bening.
"Saudara, kau tentu orang
yang telah menolong aku. Tapi siapakah engkau adanya? Mohon agar diriku
diturunkan,” berkata Sultan Hasanuddin. Orang itu tetap tak menyahut. Kemudian
dia berkelebat lagi dan tubuhnya lari lagi laksana angin ke arah sebelah timur.
"Saudara, jika kau tak
terangkan siapa kau, tidak menjadi apa. Tapi aku mohon agar diturunkan,”
berkata Sultan setelah dirinya diajak lari kira-kira setengah jam lamanya.
Si jubah biru lari terus.
Dengan rasa penasaran Sultan
berkata. "Jika kau tidak mau turunkan aku, terpaksa aku berlaku kasar
terhadapmu!."
Namun si jubah biru
berkerudung biru tetap tak perdulikan ucapan yang mengancam itu. Maka Sultanpun
gerakkan tangan kanannya untuk menyikut pinggang manusia jubah biru itu.
Tapi anehnya berkali-kali dia
lakukan hal itu maka tak satu hantaman sikunyapun yang berhasil mengenai
sasarannya.
"Pasti ini manusia sakti
luar bisa!" membathin Sultan Hasanuddin. "Saudara, aku ini mau dibawa
ke mana?" bertanya pula Sultan.
Agaknya manusia berkerudung
kain habis kesabarannya karena ditanya terus menerus. "Kau terlalu
cerewet, lihat sajalah!".
“Heh…?!”
Sultan menjadi kaget. Betapa
tidak karena orang yang membawa larinya itu ternyata adalah seorang perempuan!
Meski suaranya agak membentak namun kemerduannya tiada sirna. "Pantas
badannya berbau harum..," kata Sultan dalam hati. Dan bila dia menyadari
bahwa dirinya di kempit dan dibawa lari demikian rupa tentu saja Sultan menjadi
malu dan tidak enak. Dia meronta-ronta lagi. Tapi tetap tak berhasil.
Mereka kemudian memasuki
sebuah rimba belantara. Di tengah rimba belantara ini terdapat sebuah goa dan
ke dalam goa itulah si kerudung biru membawa Sultan. Ternyata di dalam goa
tiada beda terangnya dengan udara di luar. Gua ini panjang dan mempunyai
beberapa lorong yang bercabang-cabang, dan makin ke dalam makin menurun.
Akhirnya mereka berhenti di
satu ruang yang berbentuk kamar empat persegi. Disinilah baru si jubah biru
melepaskan dan menurunkan Sultan. Sultan berdiri dan memandang berkeliling.
Di salah satu dinding Sultan
membaca sebuah tulisan yang berbunyi GOA DEWI KERUDUNG BIRU, Sultan jadi kaget
dan memandang lekat-lekat ke paras si kerudung biru yang hanya sepasang matanya
yang bening dan berkilat saja yang kelihatan.
"Jadi saat ini aku
berhadapan dengan Dewi Kerudung Biru…?,” kata Sultan pelahan. Tapi hatinya agak
meragu.
Di dalam ruangan itu terdapat
dua buah batu hitam. Dewi Kerudung Biru pergi duduk ke salah satu batu lalu
berpaling pada Sultan.
"Silahkan duduk
Sultan," katanya mempersilahkan.
"Terima kasih,"
Sultan duduk. "Saudari, kau belum menjawab apakah kau yang selama ini
dikenal di dunia persilatan dengan nama julukan Dewi Kerudung Biru…?".
Yang ditanya tertawa merdu
berderai laksana taburan mutiara yang berjatuhan ke ubin.
"Itu tak perlu yang kau
tanyakan lagi, kau sudah baca apa yang tertulis di dinding itu, bukan?".
Dalam berkata begitu sepasang matanya tiada berkesip memandangi paras Sultan,
"Ah kalau begitu sungguh
tak terduga pertemuan ini. Terima kasih atas pertolonganmu Dewi Kerudung
Biru…," kemudian sambungnya. "karena kau telah membawa aku ke sini,
tentulah kau mempunyai maksud tertentu….".
"Betul" membenarkan
Dewi Kerudung Biru. "Aku tahu banyak apa yang telah terjadi dengan
dirimu…,”
"Terima kasih kalau Dewi
telah mau ambil perhatian terhadap diriku. Mohon petunjuk selanjutnya…..”
"Kau harus cepat pergi ke
Demak dan menemui Sultan Trenggono untuk meminta bantuan. Kembalilah ke Banten
dengan membawa sejumlah pasukan …….".
"Memang itu sudah menjadi
rencanaku Dewi,” kata Sultan pula.
"Ya, tapi pasukan saja
tidak cukup. Parit Wulung mempunyai benggolan-benggolan silat golongan hitam
yang sakti….”.
"Mohon petunjuk dari
Dewi…".
"Sebelum pergi kau harus
tinggal selama satu hari di sini untuk kuturunkan beberapa ilmu silat….".
Sultan gembira sekali. "Tapi," katanya. "waktu yang sesingkat
itu apakah bisa berhasil baik?!".
"Yang penting
dasar-dasarnya, kemudian baru latihannya dan terakhir pelaksanaannya…”
Sultan mengangguk. "Aku
haturkan rasa hormat terhadapmu, Dewi. Mulai hari ini kau adalah guruku,” kata
Sultan pula.
Dewi Kerudung Biru
geleng-gelengkan kepala. "Diriku tak perlu dihormati. Dan kuharap kau
jangan salah sangka. Kalau aku wariskan beberapa ilmu kepandaian padamu bukan
berarti aku telah menjadi guru dan kau telah menjadi murid….".
"Jadi…..?" tanya
Sultan heran.
"Semuanya adalah
semata-mata untuk menolongmu, Sultan".
"Terima kasih. Aku tak
akan melupakan kebaikanmu ini. Demikian juga dengan rakyat Banten kelak. Cuma,
untuk mengenang wajah penolongku, untuk mengukirnya dalam ingatanku, bolehkah
aku melihat paras aslimu, Dewi Kerudung Biru…?".
Dewi Kerudung Biru tertawa
lagi seperti mutiara jatuh berderai ke lantai. Merdu sekali suara itu membuat
Sultan semakin tambah ingin untuk melihat wajah yang ada dibalik kerudung itu.
Namun suara tertawa yang merdu
itu segera lenyap ketika di mulut gua terdengar suara ribut-*ribut.
"Pasti perempuan itu
telah membawa Sultan ke sini! Ayo kita selidiki ke dalam!".
Dan sesaat kemudian empat
sosok tubuh berjubah merah dan berkerudung merah muncul di ruangan itu. Sultan
terkejut sedang Dewi Kerudung Biru mendengus di balik kerudungnya.
Salah seorang dari anggota
Iblis Pencabut Sukma berseru dan menunjuk ke muka. "Lihat! Tidak salah
keterangan Wakil Ketua kita Sultan bersama dia!"
Anggota Iblis Pencabut Sukma
yang lain, yaitu yang berbadan tinggi langsing melangkah ke muka.
"Perempuan laknat! Lekas serahkan rnanusia itu pada kami!"..
"He… he…. berani memaki
berani mampus kunyuk kerudung merah!" kata Dewi Kerudung Biru pula.
"Betina edan, kau
andalkan apakah berani berkata demikian?!" membentak si tinggi langsing.
"Sebaiknya sebutkan nama masing-masing kalian! Aku tidak biasa membunuh
krocokroco tanpa tahu namanya!".
Si tinggi langsing tertawa
hambar. Sambil mendongak dan tepuk-tepuk dada dia berkata . "Namaku
Siralaya. Gelarku Tangan Perenggut Jiwa….!”
"Hem..bagus… bagus.
Gelaranmu boleh juga. Tapi aku anya apakah kau akan maju seorang diri atau
berempat sekaligus?!"
Merahlah muka Tangan Perenggut
Jiwa.
"Perempuan sedeng, sambut
seranganku ini!"
Tangan Perenggut Jiwa pukulkan
tangan kanannya. Berbarengan dengan itu Dewi Kerudung Biru dorongkan pula
tangan kirinya ke depan. Si jangkung langsing Tangan Perenggut Jiwa terkejut
ketika bagaimana angin pukulannya kena didorong oleh angin pukulan lawan
sehingga membalik menyerangnya! Cepat-cepat dia menghindar kesamping.
"Siralaya, kau
minggirlah. Biar aku yang selesaikan dajal betina ini!". Anggota Iblis
Pencabut Sukma yang kedua melangkah ke muka.
"Sebutkan namamu!"
bentak Dewi Kerudung Biru.
"Namaku tidak perlu. Tapi
gelarku adalah Si Penggoncang Langit!".
"Ho… ooo…. gelarmu
keliwatan sekali sehingga tidak cocok dengan tubuhmu yang kontet itu! Bagusnya
kau pakai gelar Kodok Buduk!" mengejek Dewi Kerudung Biru.
Mulut Si Penggoncang Langit
berkemik. Sekali kedua tangannya bergerak maka dua gelombang angin yang
menggetarkan ruangan itu melesat ke arah Dewi Kerudung Biru.
Hebatnya, sang Dewi yang saat
itu masih tetap duduk di atas batu keluarkan tertawa menghina dan kebutkan
tangan kanannya. Maka runtuhlah angin pukulan Si Penggoncang Langit!
Penasaran sekali anggota
Perkompulan Iblis Pencabut Sukma ini melompat ke muka. Dua tangan terpentang
lebar dan bergerak bersamaan dalam satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata!
"Manusia busuk macam kau
tidak pantas dekat-dekat padaku!" bentak Dewi Kerudung Biru. Tangan
kanannya memukul. Si Penggoncang Langit mencelat empat tombak terguling di
tanah, mengeluarkan suara seperti orang muntah, tapi yang keluar dari mulutnya
adalah semburan darah segar!
Dalam keadaan begini Si
Penggoncang Langit segera keruk saku jubah merahnya, keluarkan sebuah pil,
menelannya dengan cepat lalu bersemedi pula dengan cepat dalam cara yang aneh
yaitu kepala ke bawah kaki ke atas!
Melihat dua kawannya dibikin
kalah mentah-mentah maka majulah anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang
ketiga. Manusia ini berbadan gemuk.
"Dewi Kerudung Biru, aku
tak akan kasih tahu nama juga tak perlu sebutkan gelaranku padamu. Tapi jika
kau berpemandangan dan berpengalaman luas lihat seranganku ini!". Sigemuk
ini menutup kata-katanya dengan gerakkan dua tangannya. Maka enam pisau terbang
merah melayang ke arah enam bagian tubuh. Dewi Kerudung Biru! Diam-diam Sultan
terkejut melihat kehebatan serangan pisau ini. Dia khawatir kalau Dewi Kerudung
Biru tak sanggup mengelakkan keenam pisau itu sekaligus!
Tapi anehnya yang diserang
ganda tertawa semerdu perindu. Pisau terbang yang pertama ditangkapnya dengan
tangan kanan. Kemudian senjata ini dipergunakannya untuk menangkis lima pisau
terbang lainnya sehingga pisau yang di tangan maupun yang ditangkisnya patah
dua dan bermentalan!
Terbeliaklah mata keempat
anggota Iblis Pencabut Sukma itu. Lebih-lebih Si Pisau Terbang. Selama hidup
baru kali ini dia melihat serangan pisau-pisau terbangnya dihancurkan demikian
rupa! Dan dalam terkejutnya itu dia melihat Dewi Kerudung Biru lemparkan
kuntungan pisau kearahnya. Cepat-cepat Si Pisau Terbang berkelit tapi luput!
Kuntungan pisau masih sempat menyambar telinga kirinya. Dan putuslah daun
telinga laki-laki itu! Senjata makan tuan! Darah berlelehan. Dewi Kerudung Biru
tertawa cekikikan!
Kalap sekali maka berserulah
Si Pisau Terbang. "Kawan-kawan mari kita kermus dajal betina ini!".
Maka menyerbulah keempat
anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu. Melihat sang Dewi dikeroyok
begitu rupa Sultan Hasanuddin tak tinggal diam. Dia menerjang ke muka dan
lancarkan satu serangan cepat ke arah Tangan Perenggut Jiwa. Namun disaat itu
Dewi Kerudung Biru menyibakkan badannya kesamping dengan berkata. "Sultan,
kau tenang-tenang sajalah. Tak perlu susah-susah mengotorkan diri terhadap
kroco-kroco bau tengik ini!".
Sultan merasa tidak senang.
Walau bagaimanapun saktinya Si Kerudung Biru namun pengeroyokan curang demikian
rupa bertentangan dengan hati kesatrianya. Untuk kali kedua dia hendak menyerbu
kembali. Namun disaat itu, terdengar jeritan Si Penggoncang Langit. Tubuhnya
mencelat ke atas ruangan batu. Kepalanya hancur. Belum lagi tubuh Si
Penggoncang Langit sampai ke lantai maka terdengar pekik anggota Perkumpulan
Iblis Pencabut Sukma yang kedua. Tulang dadanya melesak ke dalam, iga-iganya
putus!
Si Pisau Terbang dan Tangan
Perenggut Jiwa mengamuk habis-habisan. Dua puluh jurus berlalu sangat cepat.
Dalam dua puluh jurus itu keduanya terus menerus mendesak Dewi Kerudung Biru
dengan hebat. Ruangan bergoncang laksana dilanda lindu! Tiba-tiba Dewi Kerudung
Biru melengking keras. "Iblis-iblis bau kentut! Minggatlah ke
neraka!".
Sepasang tangan sang Dewi yang
halus tapi mengandung hawa kematian yang dahsyat membagi serangan dalam jurus
dahsyat bernama "sepasang tangan menebar maut".
Si Pisau Terbang dan Tangan
Perenggut Jiwa tiada kesempatan lagi untuk mengelak. Menangkis mereka tiada
punya nyali. Menghadapi maut di depan mata ini maka menjeritlah keduanya!
Namun disaat itu pula dari
luar terdengar suara menggeledek. "Manusia yang berani menghina anggota
Perkumpulan adalah korbanku yang kedua ratus!". Begitu suara habis maka
dua larik sinar merah yang panas menyembur ke arah Dewi Kerudung Biru!
–== 0O0 == –
11
SULTAN melompat ke samping
untuk hindarkan sambaran sinar merah sedang Dewi Kerudung Biru sebaliknya malah
pentang kedua tangan dan mendorong ke muka. Pertemuan yang dahsyat dari dua
aliran pukulan menimbulkan goncangan yang hebat laksana dunia ini mau kiamat!
Dewi Kerudung Biru berdiri
tergontai seketika sedang lawan yang lepaskan pukulan tadi, yang saat itu
hendak masuk ke dalam goa, terdorong kembali keluar mulut goa kena diterpa
angin pukulan Dewi Kerudung Biru!
Sesaat kemudian ketika manusia
yang di luar goa itu masuk ke dalam ternyata dia adalah Wakil Ketua Perkumpulan
Iblis Pencabut Sukma. Di belakangnya menyusul satu lusin anggota lainnya.
Dengan marah, Wakil Ketua
Iblis Pencabut Sukma itu membentak. "Pisau Terbang dan Tangan Perenggut
Jiwa, kalian memalukan saja tidak sanggup menghadapi betina galak ini. Biar aku
yang jinakkan dia!".
Habis berkata begitu maka
Iblis Pencabut Sukma segera lancarkan jurus "menendang langit menjungkir
awan"! Tidak sampai di situ saja maka dia susul serangan itu dengan
taburan pukulan kipas merah! Betul-betul dua jurus yang sangat menggetarkan dan
luar biasa!
Dewi Kerudung Biru berkelebat
cepat. Mulutnya terbuka.
"Huaaah….!".
Dari mulut sang Dewi menyembur
sinar biru yang dahsyat.
Iblis Pencabut Sukma terkejut.
Bukan saja dua jurus serangannya tadi menjadi buyar, tapi serangan lawan dengan
hebatnya terus menyerang kearahnya.
"Asap kencana biru!,”
seru Iblis Pencabut Sukma dengan kaget. Cepat sekali dia melesat enam tombak ke
atas. Sewaktu turun dia sudah cabut sebilah pedang merah kemudian sambil
menyerang dia berteriak. "Anak-anak, ayo tunggu apa lagi?!".
Mendengar ini maka semua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma segera
menyerbu. Sultan lagi-lagi hendak turut membantu sang Dewi, namun setiap saat
dia gerakkan badan, setiap kali pula Dewi Kerudung Biru mendorongnya ke
belakang sehingga dia tak bisa berbuat apa-apa!
Dewi Kerudung Biru sungguh
luar biasa dalam bertahan dan menyerang. Namun lawanlawannya banyak sekali,
apalagi di bawah pimpinan Wakil Ketua mereka! Sesudah tiga puluh jurus berlalu
maka sang Dewi mulai terdesak. Dua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
berhasil ditewaskannya namun serangan-serangan lawan bukannya mengendur
melainkan bertambah dahsyat. Diam-diam Sultan menjadi gelisah. Kali ini sang
Dewi pasti tak bisa bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi, pikirnya. Maka pada
saat Dewi Kerudung Biru sibuk menghadapi lawannya, terbungkus oleh sinar pedang
merah dengan cepat Sultan menerjang ke muka. Bantuan Sultan dalam lima jurus di
muka sanggup mengimbangi lawan-lawan yang lihay itu. Namun lambat laun mulai
mengendor. Bersama sang Dewi kembali keduanya terdesak!
Dewi Kerudung Biru semburkan
lagi "asap kencana biru"nya. Namun angin pedang merah di tangan Wakil
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan hebatnya berhasil membuyarkan
asap sakti itu!
"Betina galak! Sekarang
terimalah kematianmu!" bentak Iblis Pencabut Sukma. Dia memberi isyarat
pada anak-anak buahnya. Berbarengan mereka sama angkat tangan kanan ke atas
siap untuk lancarkan pukulan "pencabut sukma". Satu pukulan
"pencabut sukma,” saja dahsyatnya bukan main, apalagi sekaligus duabelas
pukulan, dapat dibayangkan bagaimana luar biasa kehebatannya! Dewi Kerudung
Biru pentang kedua lengannya dan putar tubuh laksana baling-baling. Mulutnya
tiada henti menghembus-hembus mengeluarkan asap biru. Satu detik lagi maka
duabelas tangan lawanpun ditarik ke belakang!
Dalam suasana yang diliputi
seribu ketegangan itu, tiba-tiba mengaunglah suara seperti suara seribu tawon
mendengung. Di antara dengungan itu melengking pula suara siulan yang disusul
oleh berkiblatnya seputaran sinar putih menyilaukan mata!
Tiga anggota Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma, termasuk Tangan Perenggut Jiwa terpekik dan rebah ke lantai
mandi darah. Selarik sinar putih yang disertai raungan dahsyat kembali
berkiblat dan Wakil Ketua Perkumpulan Pencabut Sukma dan anak-anak buahnya
terpaksa batalkan serangan dan melompat ke satu pojok.
"Pendekar 212!"
terdengar seruan Sultan begitu dia kenali siapa adanya pendatang baru itu. Dewi
Kerudung Biru sendiri memandang pada Wiro Sableng dengan sinar mata yang
berkilat-kilat. Di balik pandangan mata itu seperti ada sesuatu yang
disembunyikannya. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan
anggota-anggota lainnya memandang menyorot penuh amarah.
Pendekar 212 Wiro Sableng
sunggingkan senyum di wajahnya yang keren sedang tangan kanannya mempermainkan
Kapak Maut Naga Geni 212. Melihat pada angka 212 yang tertera pada dua mata kapak
di tangan si pemuda maka berkatalah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut
Sukma, sambil melintangkan pedang di muka dada. "Jadi kaukah yang selama
ini dijuiuki Pendekar 212 itu…?!".
Jawaban Wiro Sableng hanya
tertawa mengekeh.
"Orang gendeng, apa kau
sudah bosan hidup mau campur urusan orang lain….?!,” tanya Wakil Ketua Iblis
Pencabut Sukma.
"Atau mungkin masih belum
tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!" ujar Si Pisau Terbang.
"Siapapun kalian adanya
tak lebih dari babi-babi cacingan yang diberi berjubah dan berkerudung merah!,”
ejek Pendekar 212 pula!
Marahlah Si Pisau Terbang.
Tanpa banyak cerita dia lepaskan sekaligus selusin pisau terbang beracun ke
arah Pendekar 212. Wiro Sableng gerakkan Kapak Maut Naga Geni 212 membuat
setengah lingkaran.
"Tring… tring….
tring…".
Kedua belas pisau terbang itu
musnah patah-patah. Melototlah mata Si Pisau Terbang. Dia menyurut undur dua
langkah.
"Pisau Terbang, kau
minggirlah. Biar aku yang antarkan manusia bosan hidup ini ke pintu gerbang akhirat!”
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma maju dua langkah. Sultan Hasanuddin dengan ilmu menyusupkan
suara beri peringatan pada Pendekar 212. "Sobat, hati-hatilah terhadapnya.
Dia sakti sekali!"’
Begitu peringatan Sultan
berakhir maka Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma telah lancarkan serangan pedang
merah dalam jurus yang luar biasa. Jurus ini sekaligus merupakan empat tebasan
dan empat tusukan!
"Ah cuma ilmu pedang
picisan saja mau diandalkan," Ejek Wiro. Kapak Naga Geni ditangannya
menderu. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tiada berani mengadu
senjata. Hatinya tergetar ketika merasakan bagaimana sinar putih senjata lawan
membuat pedangnya tak bisa bergerak leluasa. Manusia ini membatin.
"Celaka, paling lama aku hanya bisa layani si keparat ini dalam dua puluh
lima jurus!". Dan dia segera putar otak untuk cari kesempatan larikan
diri!
Pendekar 212 yang tahu gelagat
lawan segera lancarkan serangan ganas. Wakil Ketua Perkumpulan. Iblis Pencabut
Sukma angsurkan pedang merah kemuka untuk menangkis karena bertindak berkelit
tiada punya kesempatan lagi.
"Trang"!
Maka patahlah pedang merah
Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu! Keringat dingin memercik di
kening manusia iblis ini! Nyalinya lumer! Sambil angkat tangan kanannya
tinggi-tinggi ke atas untuk lepaskan pukulan yang sangat diandalkannya yaitu
pukulan pencabut sukma, maka dia berseru pada sisa-sisa anak buahnya.
"Kalian jangan mematung
saja! Mari sama kita bereskan anjing kurap ini!’".
Maka delapan anggota Perkumpulan
Iblis Pencabut Sukma dengan membentak dahsyat segera menerjang ke muka dan
langsung lancarkan pukulan pencabut sukma!
"Wiro! Awas! Mereka
hendak lepaskan pukulan pencabut sukma!" seru Dewi Kerudung Biru.
Bahwasanya sang Dewi mengetahui namanya inilah satu hal yang mengejutkan
Pendekar 212 Wiro Sableng! Keterkejutan ini membuat dia menjadi lengah
seperempatan detik. Dan itu sudah
cukup bagi Wakil Ketua Iblis
Pencabut Sukma serta anak-anak buahnya!
"Mampuslah!"
Dewi Kerudung Biru menjerit!
Sultan sendiri pucat lesi parasnya Tiba-tiba Pendekar 212 meraung laksana
halilintar. Dia melompat ke muka Kapak naga Geni 212 menderu. Empat suara
pekikan seperti mau memecahkan anak telinga. Empat anggota Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma terkapar dengan tubuh hampir kuntung! Pendekar 212 ayunkan Kapak
Naga Geni 212 sekali lagi namun disaat itu Wakil Ketua Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukmat dan sisa-sisa anak buahnya sudah lenyap larikan diri keluar
goa.
Pendekar 212 bediri nanar.
Sultan melompat ke muka dan merangkul tubuh Wiro. Di balik kerudungnya Dewi
Kerudung Biru menggigit bibir. Sepasang matanya yang jeli dipejamkan.Wiro ambil
sebutir pil dari saku pakaiannya lalu ditelan dengan cepat. Dewi Kerudung Biru
kemudian berdiri dan kedua tangannya ditekankan ke bahu Pendekar 212 untuk
alirkan tenaga dalam guna bantu menyembuhkan luka yang diderita Pendekar itu.
Namun sesaat kemudian Pendekar 212 mengerang halus lalu pingsan tiada sadarkan
diri!
–== 0O0 == –
12
SULTAN cemas sekali melihat
keadaan Pendekar 212 demikian rupa. Bersama Dewi Kerudung Biru, Wiro
dibaringkan di lantai, kepalanya diganjal dengan sehelai kain yang
dilipat-lipat.
"Dewi, apakah… apakah
dia…?" Sultan tak bisa meneruskan pertanyaannya.
Dewi Kerudung Biru hela nafas.
"Sebenarnya aku yang salah karena aku telah berseru memanggil namanya
tadi," berkata perempuan itu. Dihelanya lagi satu kali nafas dalam.
"Tapi lukanya tak begitu parah. Besok pagi dia sudah sembuh kembali.
Untung saja berilmu tinggi, kalau tidak keseluruhan isi perutnya pasti akan berbusai
ke luar dari mulut."
"Dewi, kau tahu nama
pemuda ini. Apakah kalian pernah kenal sebelumnya…?"
Dewi Kerudung Biru elakkan
pertanyaan itu dengan balik menanya. "Kau sendiri punya hubungan apa
dengan dia…?"
Maka Sultan Hasanuddin
menuturkan mulai pertama kali dia kenal dan ditolong oleh Pendekar 212.
Mendengar itu kembali sepasang mata Dewi Kerudung Biru berkilat-kilat. Dan hal
ini diam-diam diperhatikan oleh Sultan sehingga dia merasa yakin pastilah ada
hubungan apa-apa antara Dewi Kerudung Biru dengan Pendekar 212 sebelumnya. Tapi
untuk bertanya lebih jauh Sultan merasa segan.
"Dia memang sakti sekali,
Sultan,” berkata sang Dewi. "Sikapnya kadang-kadang lucu tapi juga
menyakitkan hati. Bahkan banyak orang yang menyangka dia kurang sehat pikiran.
Tapi hatinya sepolos permata, seputih kertas, jujur. Beberapa tokoh persilatan
telah meramalkan bahwa kelak dikemudian hari dia bakal merajai dunia
persilatan…"
Sultan Hasanuddin
manggut-manggut.
"Sultan, dalam hal ini
kita tak punya waktu lama. Aku akan ajarkan padamu beberapa jurus ilmu silat
dan ilmu asap kencana biru… "
"Aku haturkan ribuan
terima kasih Dewi," kata Sultan dengan gembira.
"Silakan duduk bersila
dan pejamkan mata," Dewi Kerudung Biru berkata.
Sultan menurut. Dia duduk
bersila dan pejamkan mata. Dewi Kerudung Biru kemudian salurkan tenaga dalamnya
ke tubuh Sultan melalui pundak. Selesai menerima saluran tenaga dalam itu
Sultan merasakan tubuhnya sangat enteng dan segar bugar. "Sekarang aku
akan ajarkan padamu dua jurus ilmu silat. Dua jurus ilmu silat ini hanya empat
orang yang pernah memilikinya. Yaitu Pendekar Seberang Lor, Resi Warajana, Dewi
Kencana Wungu. Ketiganya sudah meninggal. Aku adalah pewarisnya yang keempat
dan bila kuajarkan dua jurus itu kepadamu maka kau adalah perwaris yang kelima!
Jurus yang pertama ialah jurus naga kepala seribu mengamuk. Yang kedua, jurus
Cakar garuda emas. Keduanya merupakan jurus-jurus yang sukar dicari
bandingannya dalam dunia persilatan. Jika kau benar-benar meyakininya,
percayalah tidak sembarang musuh bisa melayanimu."
"Terima kasih Dewi…
ribuan terima kasih. Jadi kalau begitu Dewi adalah murid dari Dewi Kencana
Wungu…?"
Sang Dewi mengangguk.
"Mari kita mulai,” katanya.
Karena Sultan sebelumnya sudah
mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi juga maka kedua jurus yang diajarkan
padanya itu dengan mudah dan cepat bisa dipahaminya. Dewi Kerudung Biru gembira
sekali. Kemudian kepada Sultan diajarkan pula ilmu Asap kencana biru. Ilmu ini
agak sukar mula-mula dipahami oleh Sultan namun karena tekunnya beberapa jam
kemudian dia berhasil juga menguasainya.
"Kecerdasanmu luar biasa
sekali, Sultan,” kata Dewi Kerudung Biru. "Malam ini, sampai esok pagi
teruslah berlatih."
"Nasihat Dewi akan
kuperhatikan,” jawab Sultan. Dan malam itu, seorang diri Sultan melatih diri.
Dewi Kerudung Biru sementara itu duduk bersemadi. Meskipun dia pejamkan mata
namun bila ada jurus-jurus yang agak salah dilakukan oleh Sultan dia
mengetahuinya dan segera menegur !
Keesokan paginya…
Di luar gua burung-burung
berkicau bersahut-sahutan menyambut kedatangan pagi yang ditandai munculnya
sang surya di ufuk timur. Di dalam gua Sultan tengah duduk berhadap-hadapan
dengan Dewi Kerudung Biru.
"Yakini dan pelajari
terus ilmu-ilmu yang telah kau milik itu Sultan. Kelak kemudian hari kau akan
buktikan sendiri kemanfaatannya. Sekarang, selagi hari masih pagi, selagi udara
masih segar, maka segeralah berangkat ke Demak. Dalam semediku malam tadi aku
mendapat sedikit renungan petunjuk dari Yang Kuasa bahwa kekuasaan kaum
pemberontak yang kini bercokol di Banten tidak akan lama….”
Sultan mengangguk. Dia
memandang pada tubuh Pendekar 212 yang sampai saat itu masih juga terbaring
dalam pingsannya. "Bagaimana dengan sshabatku ini, Dewi? Kalau bisa aku
ingin berangkat bersama-sama dia…”
Dewi Kerudung Biru menggeleng.
"Dalam rencana untuk menumpas kaum pemberontak, dalam usaha menegakkan
yang benar dan menghancurkan yang bathil, kalian berdua sama satu tekat dan
satu hati. Namun dalam mencapainya masing-masing kalian mempunyai cara tersendiri.
Harap kau bisa merenungi hal ini, Sultan…”
Sultan Hasanuddin termenung
sejenak. Memang ucapan Dewi Kerudung Biru itu dapat dipahaminya.
Dia memandang lagi pada Wiro
Sableng. "Apakah dia akan segera siuman dan sembuh kembali, Dewi?"
bertanya Sultan.
Sang Dewi mengangguk.
"Mengenai diri Andjarsari
dan keris Tumbal Wilayuda, bisakah kau memberi petunjuk…?"
"Andjarsari diculik oleh
komplotan Iblis Pencabut Sukma, Keris Tumbal Wilayuda juga mereka yang
mencurinya…”
"Kalau begitu,” kata
Sultan dengan kepalkan tinju. "aku akan cari sarang mereka…!"
Dewi Kerudung Biru gelengkan
kepala. "Selain besar bahayanya juga kau mesti pergi ke Demak sekarang
juga Sultan."
"Aku tidak takut mati!,”
kata Sultan jantan. "Aku rela korbankan jiwa demi tegakkan Kerajaan Banten
yang syah kembali."
"Aku puji hati kesatriaan
dan kecintaanmu pada Kerajaan Banten, Sultan. Tapi ingat, agaknya caramu untuk
mencapai rencana itu hanya dengan mengikuti kehendak hati sendiri. Salah-salah
kau bisa celaka dan Banten tetap dikuasai oleh kaum pemberontak Parit
Wulung."
"Kalau begitu katamu, aku
menurut,” ujar Sultan Hasanuddin akhirnya. "Tapi sebelum pergi
perkenankanlah aku melihat parasmu."
Dewi Kerudung Biru menggeleng.
"Sayang, masih belum.saatnya aku mengabulkan permintaanmu Sultan. Harap
dimaafkan."
Sultan Hasanuddin menghela
nafas dalam. Dia ucapkan lagi rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.
"Jasa dan pertolonganmu
akan kuingat, akan dikenang oleh rakyat Banten. Disatu ketika aku akan datang
lagi menyambangimu, Dewi,” Sultan memanggut memberi hormat lalu meninggalkan
tempat itu.
Kira-kira tiga kali
sepeminuman teh lamanya Sultan meninggalkan Goa Dewi Kerudung Biru maka
dihadapan jalan yang ditempuhnya tahu-tahu muncullah tiga orang penunggang
kuda. Ketiganya berjubah dan berkerudung kain merah darah. Anggota-anggota
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma!”
Sesaat kemudian merekapun
berhadap-hadapanlah.
Anggota Perkumpulan Iblis
Pencabut Suma yang paling muka buka suara membentak, "Lekas mengaku, apa
kau Sultan Banten yang melarikan diri itu?!"
Kawannya yang lain menyela.
"Melihat kepada tampangnya pasti tidak salah lagi! Ayo kawan-kawan mari
kita berebut pahala meringkus manusia ini!"
Maka ketiga anggota
Perkumpullan Iblis itu pun melompatlah dari kuda masingmasing. Sambil melompat
ketiganya sekaligus keluarkan jurus warisan Ketua mereka yang dinamai
"tiga pasang lengan meremas tangkai bunga teratai" Yang satu datang
dari atas, yang kedua dari depan dan yang terakhir dari belakang! Tapi Sultan
yang sekarang jauh berbeda dengan Sultan sehari sebelumnya.
Sekali Sultan membentak maka
terpentanglah kedua tangannya yang mana disusul dengan gerakan sebat laksana
ribuan ekor naga menyengat kian ke mari !
Melihat ini, terkejutlah
ketiga penyerang. Buru-buru mereka batalkan serangan jurus pertama dan menyusul
dengan jurus "memukul kasur menggeprak bantal!" Ini adalah satu jurus
yang cukup lihay. Anggota Perkumpulan Iblis yang di atas hantamkan dua telapak
tangannya sekaligus sedang yang di depan dan di belakang kirimkan pukulan keras
ke dada dan ke punggung. Tak ayal lagi Sultan segera praktekkah ilmu yang baru
diyakininya dari Dewi Kerudung Biru yaitu keluarkan jurus "cakar garuda
emas!"
"Brettt… bret!"
"Kurang ajar! Matipun kau
masih cukup pantas untuk diserahkan kepada Ketua kami!" bentak anggota
Perkumpulan Iblis yang sempat selamatkan diri. Dia memberi isyarat pada dua
kawannya. Serentak ketiganya menyerbu dan angkat tangan kanan tinggi-tinggi.
Namun sebelum pukulan "pencabut sukma" itu sempat mereka laksanakan.
Sultan buka mulutnya dan asap biru menggebubu ke arah ketiga penyerangnya.
"Asap kencana biru!"
seru salah seorang anggota Perkumpulan Iblis dengan terkejut. Buru-buru dia
tutup jalan nafas. Tapi dua orang kawannya terlambat. Begitu tercium oleh
keduanya kepulan asap biru yang mengandung racun itu maka hancurlah
pembuluh-pembuluh darah dan pecahlah paru-paru mereka. Keduanya mati di situ
juga!
"Pemuda, ada hubungan apa
kau dengan Dewi Kerudung Biru? Apakah kau muridnya?!" bentak anggota
Perkumpulan Iblis yang masih hidup.
Sultan kertakkan rahang.
Tubuhnya berkelebat. Dua tangan terpentang lebih dahsyat dari yang pertama tadi
dan "brak"! Hancurlah mulut yang membentak itu! Tubuh anggota
Perkumpulan Iblis itu kelojotan sebentar lalu kaku tegang untuk selamalamanya !
–== 0O0 == –
13
KETIKA Wiro Sableng, siuman
dari pingsannya dirasakannya kepalanya dipangku oleh satu paha yang panas
sedang hidungnya mencium bau harum menyegarkan. Dibukanya matanya dan
pandangannya membentur sebuah wajah yang ditutupi kerudung kain biru. Terkejutlah
pemuda ini. Cepat-cepat dia bangun dan berdiri. Di balik kerudungnya, Dewi
Kerudung Biru menjadi kemerah-merahan pipinya.
Wiro Sableng memandang
berkeliling. Ruangan itu telah bersih dari mayat-mayat anggota Pepkumpulan
IbIis Pencabut Sukma. Sultan sendiri tiada kelihatan. "Kemana dia…?!"
tanya Wiro.
"Dia siapa…?"
"Sultan!"
"Sudah pergi pagi tadi.
Pergi ke Demak!" Pendekar 212 memandang lama-lama ke muka yang ditutup
kerudung itu. Suara perempuan di hadapannya ini rasanya pernah didengar dan
dikenalinya sebelumnya tapi lupa di mana!
Ketika ingat bahwa perempuan
itulah yang telah menolongnya, maka Pendekar 212-pun segera menjura.
"Dewi Kerudung Biru, aku
haturkan-terima kasih atas pertolonganmu. Di lain hari kelak aku akan balas
budi baikmu itu."
"Aku tak mengharapkan
balasan apa-apa…". Dan Dewi Kerudung Biru memandang ke jurusan lain ketika
untuk kesekian kalinya mata Pendekar 212 memperhatikan sepasang matanya
lakat-Iekat. Dadanya bergetar. Ditahannya gelora hatinya.
Melihat sikap sang Dewi, ingat
bahwa dia pernah mengenali suara perempuan itu sebelumnya maka inginlah Wiro
melihat paras di balik kerudung itu. Namun diajukannya dulu pertanyaan.
"Dewi, mungkin kau bisa memberi petunjuk di mana Andjarsari dan keris
Tumbal Wilayuda berada…?"
"Andjarsari diculik oleh
komplotan Iblis Pencabut Sukma. Keris Tumbal Wilayuda juga ada pada mereka. Kau
harus cepat turun tangan Pendekar 212!"
"Tapi dunia begini luas,
dimana aku akan cari mereka?"
"Komplotan itu bersarang
di Lembah Batu Pualam…!”
"Terima kasih atas
keteranganmu Dewi,” Wiro merenung sejenak. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.
"Dewi Kerudung Biru, sewaktu aku bertempur melawan anggota komplotan itu
kau telah berseru menyebut namaku. Tahu dari manakah…?"
Tergetarlah hati sang Dewi
mendengar pertanyaan ini. Dengan memandang kejurusan lain menjawablah dia .
"Nama seorang pendekar tentu saja dikenal sampai ke mana-mana…" ,
"Aku bukan pendekar
apa-apa..,” kata Wiro merendah. "Dan terus terang saja aku rasarasa
pernah bertemu dengan kau sebelumnya. Aku masih bisa ingat dan mengenali
suaramu…"
Dewi Kerudung Biru tundukkan
wajah. Matanya yang jeli dan bercahaya kini kelihatan redup dan diambangi air
mata. Ditekannya perasaannya yang menggelora. Dikerahkannya tenaga dalamnya
agar tidak gemetar suaranya. "Tidak . . . kita tak pernah bertemu
sebelumnya Pendekar
212. Dan di dunia ini mungkin
saja ada beberapa manusia yang punya suara hampir bersamaan . .
. ."
Wiro Sableng maju satu
langkah.
"Dewi, kalau kau tak mau
berterus terang, kasihlah tahu saja siapa namamu sebenarnya."
"Kau sudah tahu."
"Ah… Dewi Kerudung Biru
itu hanya nama gelaran belaka…,” jawab Wiro pula.
"Di lain hari mungkin aku
baru bisa beri tahu nama. Sekarang harap kau suka tinggalkan tempat ini.
Tapi pemuda itu tetap berkeras.
"Dengar Dewi, setiap orang yang pernah menolong aku, musti kuketahui siapa
dia adanya. Kalau kau tak mau kasih tahu nama tak apa. Namun apakah kau juga
tak sudi buka kerudung itu sebentar dan memperlihatkan paras…?"
Dewi Kerudung Biru menghela
nafas. "Itu juga tak perlu. Kau akan menyesal…"
"Menyesal kenapa?"
"Kau akan terkejut karena
mukaku sangat buruk dan mengerikan…".
"Muka yang buruk tapi
hati yang polos dan berbudi seribu kali lebih baik dari wajah bagus dan hati
busuk jahat."
"Permintaanmu tak dapat
kukabulkan,” kata Dewi Kerudung Biru dengan ketegasan yang dipaksakan.
Pendekar 212 maju lebih dekat.
"Kalau begitu..,” katanya, "harap maafkan karena aku terpaksa
melakukan ini". Wiro ajukan tangan hendak membuka kerudung penutup wajah.
"Apakah seorang ksatria
bersikap sekurang ajar dan tak tahu peradatan?!,” bentak Dewi Kerudung Biru.
Tangan Wiro tertahan seketika.
Tapi karena perempuan itu dilihatnya tiada menjauhkan kepalanya maka
diteruskannya niatnya.
“Sret!”
Terbukalah kerudung biru itu!
Dan terbeliaklah mata Pendekar
212. “Anggini.!,” serunya.
Ternyata paras di balik
kerudung itu adalah paras seorang gadis jelita. Gadis jelita yang dulu pernah
dikenal oleh Pendekar 212 sebagai murid Dewa Tuak! (Baca. "Maut Berjanji
di Pajajaran").
Untuk beberapa lamanya
kemudian Wiro Sableng hanya bisa berdiri terlongonglongong sedang Anggini
sendiri tundukkan kepalanya coba menyembunyikan sepasang matanya yang
berkaca-kaca dan juga sembunyikan parasnya yang membayangkan perasaan serta
gelora hatinya. Selama beberapa bulan dia telah berkelana untuk mencari
Pendekar 212 dan baru hari itu mereka jumpa dalam satu suasana yang tak
terduga!
"Apakah dia dapat
memaklumi bagaimana perasaan hatiku terhadapnya?" membathin Anggini atau
Dewi Kerudung Biru.
"Ini adalah satu hal yang
tak terduga. Anggi…ni…,” desis Wiro.
Anggini anggukkan kepala.
"Ya, suatu hal yang tak terduga..,” suaranya yang rawan ditindihnya dengan
tenaga dalam sehingga getaran hatinya tiada kentara oleh si pemuda.
"Tapi ini adalah juga
merupakan hal yang menggembirakan,” ujar Pendekar 212 pula. "Ilmumu maju
pesat sekali. Siapa yang menduga kalau Dewi Kerudung Biru itu nyatanya adalah
engkau sendiri…?!"
Karena Anggini diam saja dan
masih tundukkan kepala maka bertanyalah Wiro. "Aku tak mengerti, mengapa
tadi kau sengaja mengatakan parasmu buruk…”
"Ah….. Anggini tarik
nafas dalam.
Pendekar 212 merenung sejenak.
Terkenang dia pada satu malam beberapa bulan yang lewat ketika dia berada
berdua-duaan dengan Anggini yaitu sehabis pertempuran di Gua Sanggreng.
"Selama waktu ini tentu
kau telah menuntut ilmu pada seorang guru sakti. Bukankah demikian…?"
Anggini mengangguk.
"Rupanya kau kurang
begitu senang dengan pertemuan ini, Anggini?" tanya Wiro Sableng.
"Jangan menduga yang
bukan-bukan, Wiro..,” jawab Anggini dan dalam hatinya dia menambahkan.
"Kalau kau tahu perasaanku terhadapmu…"
Setelah termanggu sejurus maka
berkatalah Wiro. "Malam menjelang pagi tempo hari itu menyesal aku
terpaksa meninggalkan kau… Apakah kau sudah kembali dan bertemu dengan gurumu
Dewa Tuak…?"
Dewi Kerudung Biru menggeleng.
"Kenapa . . .?"
"Mana mungkin aku kembali
jika tidak memenuhi perintahnya tempo hari…?" Habis mengucapkan kata-kata
itu memerahlah kedua pipi Anggini karena jengah.
Wiro Sableng tertawa. "Ho-oh,
jadi rupanya cerita itu masih belum juga selesai sampai sekarang… Wiro
geleng-gelengkan kepala.” (Sebagaimana diketahui-dalam buku "Maut
Bernyanyi di Pajajaran,” guru Anggini yaitu Dewa Tuak berniat keras untuk
menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212. Tentu saja Pendekar 212 tidak mau.
Setelah terjadi beberapa jurus pertempuran yang sengaja ditimbulkan oleh Dewa
Tuak kemudian memerintahkan Anggini untuk mencari Pendekar 212 dan muridnya itu
tidak diperkenankan kembali kepertapaan, kecuali dengan membawa Pendekar 212
sebagai calon suaminya !)
"Semustinya kau kembali
ke tempat gurumu, Anggini. Siapa tahu dia telah merubah niatnya yang kurang
bisa diterima itu…!"
"Aku tahu sifat guruku,
Wiro. Sekali dia kasih perintah tak bakal ditariknya kembali! Dari jika aku tak
bisa melaksanakan perintahnya pulang ke pertapaan berarti hanya untuk terima
hukuman.
"Dan karena itu kau tak
kembali-kembali kesana . . . ?" .
"Ya,” lalu tanpa diminta
gadis itupun memberi penuturan. "Pagi sesudah kau pergi itu, aku terus mencarimu
sampai berbulan-bulan hingga pada suatu hari aku bertemu dengan dua orang
penunggang kuda berkerudung dan berjubah merah. Ternyata dia adalah Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan seorang anak buahnya. Kau sudah lihat
bagaimana keganasan komplotan mereka. Meskipun tak ada silang sengketa namun
mereka dengan sengaja mencari gara-gara hendak meringkusku. Anak buah Iblis itu
berhasil kubunuh tapi untuk menghadapi Ketua Iblis Pencabut Suma aku tiada
mampu. Dalam keadaan ditotok kemudian diriku dilarikan ke sarang mereka di
Lembah Batu Pualam, Aku dimasukkan ke sebuah kamar…"
Sampai di sini Anggini tak
meneruskan kalimatnya. Ditelannya nafasnya beberapa kali. Air mata yang sejak
tadi mengambang ke pipinya yang kemerahan. Wiro sendiri merasa dadanya dan
nafasnya seperti menyesak. Mungkin selama ini baru kali di saat itulah dia
berada dalam suatu keadaan yang serius demikian rupa. Sifat dan sikapnya yang
selama ini selalu lucu jenaka lenyap ditelan gelombang perasaan setelah
mendengar penuturan Anggini, penuturan yang masih belum habis.
Dengan menguatkan hatinya maka
Anggini kemudian meneruskan penuturan. "Ketua Iblis Pencabut Sukma laknat
itu hendak meperkosaku. Kemudian diriku akan diteruskannya pada
bawahan-bawahannya. Tapi Tuhan masih melindungiku. Sebelum Ketua Perkumpulan
laknat itu berhasil melampiaskan maksud terkutuknya, seorang nenek-nenek sakti
menerobos masuk ke dalam kamar dan melarikanku…"
Anggini menarik nafas dalam
seketika lalu meneruskan. "Ternyata nenek-nenek sakti itu adalah Dewi Kencana
Wungu. Aku dibawanya kepertapaannya dan diambilnya menjadi murid. Sekarang
beliau sudah tiada. Sudah meninggal…"
Lama kesunyian menjelang.
"Apakah rencanamu untuk
masa mendatang…?" bertanya Pendekar 212.
"Aku sendiri masih belum
tahu. Tapi yang pasti ialah aku harus membuat perhitungan dengan Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu…"
"Agaknya kita mempunyai
tujuan yang sama yaitu sama-sama menghancurkan komplotan terkutuk itu."
Lagi-lagi kesunyian menyeling.
"Anggini..,” kata Wiro
memecah kesunyian itu. "Sekali ini pertemuan kita tak bisa berjalan lama…”
”Kau memang selatu tidak
menginginkan pertemuan lama-lama denganku..,” kata Anggini atau Dewi Kerudung
Biru.
Pendekar 212 letakkan tangan
kirinya di bahu Kanan Anggini. Perawan itu merasakan ada hawa aneh yang nikmat
dan menenangkan hati mengalir ditubuhnya.
"Aku sudah bilang tadi
bahwa pertemuan ini sangat menggembirakan. Namun kita harus sama memaklumi
bahwa aku harus menyelamatkan Andjarsari dan merebut kembali Keris Tumbal
Wilayuda. Di lain hari kelak aku pasti akan menyambangimu di sini…"
Anggini terdiam.
Dipermainkannya kain biru yang tadi merupakan kerudung wajahnya.
"Aku pergi sekarang,
Anggini…"
"Wiro…,” suara Anggini
tersekat ditenggorokan.
Langkah Pendekar 212 tertahan.
Dipandanginya paras jelita di hadapannya. Kemudian dilihatnya bagaimana gadis
itu menggerakkan tangannya, meremas jari-jari tangannya yang diletakkan di
bahu. Sekelumit getaran menjalari darah muda Pendekar 212. Dia membungkuk dan
mencium kening Anggini. Ketika kepalanya hendak ditariknya kembali tiba-tiba
gadis itu merangkul lehernya erat sekali.
"Wiro… Wiro… jangan pergi
dulu…" bisik Anggini. Nafas mereka saling menghembusi wajah masing-masing.
Wiro membelai pipi yang halus lembut itu. Ketika Anggini memejamkan matanya,
Pendekar 212 menempelkan bibirnya ke bibir Anggini. Betapa hangatnya pertemuan
sepasang bibir itu. Mula-mula bibir itu diam membeku seperti mati. Kemudian
rangsangan mulai membuat getaran-getaran pada permukaan kulit bibir
masingmasing. Dan bila sudah demikian, maka sepasang bibir itupun mulai
menari-nari, saling lumas melumas. Keduanya berpagutan erat-erat seperti tak
hendak dilepaskan untuk selama-lamanya.
"Wiro… aku cinta padamu,
Wiro. Aku cinta padamu..,” bisik Anggini berulang kali.
"Hemm..,” Pendekar 212
menggumam. Digigitnya bibir perawan itu.
"Kaupun cinta padaku
bukan…?"
"Hemmm…,” Wiro menggumam
lagi.
"Jawab Wiro.
Katakanlah…,” Dan tanpa disadari saat itu tubuh keduanya sudah terbaring
berpagutan di lantai.
"Wiro . . . ."
"Tiba-tiba di ruangan itu
meledaklah suara tertawa yang dahsyat.
"Ha… ha… sungguh satu
pemandangan yang asyik untuk dilihat! Teruskan… teruskanlah! Pendekar 212,
kenapa tidak kau telanjangi saja tubuh gadis itu?! Itu seribu kali lebih
nikmat… Ha… ha… ha!"
Seorang lain kemudian
menyambungi suara yang pertama itu.
"Pendekar 212 nyatanya
hanya seorang Pendekar Cabul. Tapi tak apa! Sebelum dikirim ke liang kubur tak
apa kalau diberi kesempatan dulu bercumbu rayu! Di liang kubur kau hanya akan
bercumbu dan tidur dengan cacing!"
Baik Pendekar 212 Wiro Sableng
maupun Anggini sama-sama terkejut. Keduanya melompat cepat. Anggini merapikan
jubah birunya yang terbuka di bagian dada !
–== 0O0 == –
14
DI PINTU ruangan berdiri
berkacak pinggang dua manusia bermuka buruk angker. Yang berselempang kain
putih mukanya hitam macam pantat kuali, rambut awut-awutan, tampangnya seperti
singa dan dia bukan lain Resi Singo Ireng! Di keningnya tertera tiga angka 212.
Di sampingnya berselempang kain biru berdiri kakaknya yaitu Resi Macan Seta
yang tampangnya persis seperti macan. Kulit mukanya coreng moreng belang tiga,
kuning, merah dan hitam! Kedua pentolan pemberontak kaki tangan Parit Wulung
ini telah diperintahkan oleh Parit Wulung untuk mencari kembali Keris Tumbal
Wilayuda. Dan hari itu mereka sampai di Goa Dewi Kerudung Biru di mana mereka
telah dapat mencium jejak Pendekar 212. Bukan saja kedua Resi ini berprasangka
bahwa Keris Tumbal Wiiayuda sudah berada di tangan Pendekar 212, tapi Resi
Singo Ireng sendiri memang mempunyai dendam kesumat terhadap Pendekar 212 yaitu
sewaktu dibikin muntah darah dalam pertempuran di perbatasan Kerajaan Banten
tempo hari. Dan dendam kesumat itu masih dibawanya ke mana-mana sampai saat itu
dikulit
keningnya di mana tertera
angka pukulan 212!
"Siapa mereka, Wiro ?,”
tanya Anggini dengan ilmu menyusupkan suara.
"Dua manusia keparat yang
membantu Parit Wulung si pemberontak terhadap Banten!,” menyahuti Pendekar
212."
"Eeee… eee… eee. Kenapa
acara kalian tidak diteruskan?,” bertanya Resi Singo Ireng dengan nada
mengejek.
Pendekar 212 menyengir.
"Bicaramu keren sekali manusia muka pantat Kuali. Tentunya kau andalkan
manusia muka harimau yang disampingrnu itu, huh?!"
Mata Resi Macan Seta membeliak
garang. "Pentang kau punya mata, bukalah lebarlebar agar tahu dengan
siapa berhadapan!" bentaknya.
"Ah, manusia jelek
macammu perlu apa aku kenali. Lagi pula, melihat kepada tampangmu, aku kawatir
apa kau betul-betul manusia atau harimau jadi-jadian!,” Habis berkata begitu
maka Pendekar 212 tertawa mengakak.
"Pemuda besar mulut, aku
mau lihat apakah kau sanggup menerima pukulanku ini?" bentak Resi Matjan
Seta. Kata-kata ini ditutup dengan menghantam tangan kanannya ke muka. Maka
bertaburlah sinar merah kekuningan ke arah Wiro dan Anggini. Pukulan
"siaar surya tenggelam." .
Pendekar 212 dan Anggini
melompat ke samping Anggini sementara itu dengan cepat mengenakan kembali
kerudung birunya.
Kejut Resi Macan Seta bukan
kepalang ketika melihat Pendekar 212 dan si gadis sanggup mengelakkan
serangannya yang ampuh tadi. Nyatalah bahwa nama Pendekar 212 bukan kosong
belaka. Tidak disesalkan kalau tempo hari adiknya dapat dipecundangi!
Ketika melihat si gadis
mengenakan kerudung kejut Resi Matjan.Seta dan Singo Ireng lebih-lebih lagi.
"Kiranya kita berhadapan
pula dengan Dewi Kerudung Biru, saudaraku Singo Ireng!". kata Matjan Seta.
"Betul, tapi sang dewi
ini biar aku bekuk hidup-hidup. Tampang dan, tubuhnya yang montok lumayan
sekali untuk dikekapi sehari semalam!"
Marahlah Wiro mendengar ucapan
Singo Ireng itu. "Manusia pantat kuali, angka 212 di keningmupun belum
sanggup kau hapus, sekarang sudah berani-beranian unjuk gigi!"
Si Singo Ireng tidak ambil
peduli ucapan Wiro Sableng tapi segera menyerang Dewi Kerudung Biru. Sengaja
dikeluarkannya jurus "memetik bunga memotes tangkainya". Jurus ini
ialah satu jurus meringkus lawan yang didahului oleh satu totokan jarak jauh
yang dahsyat!
Namun dugaan Singo Ireng bahwa
dia akan sanggup membekuk hidup-hidup, Dewi Kerudung Biru dalam satu jurus
hebat itu meleset besar! Dewi Kerudung Biru sambuti serangannya dengan jurus
"naga kepala seribu mengamuk!"
Kaget sekali jadinya Resi
Singo Ireng ketika menyaksikan bagaimana kedua tangan lawan berkelebat sangat
cepat naik turun membabat ke samping dan berputar bergelung, menyerang ke
arahnya.
Selama malang melintang
membuat kejahatan di dunia persilatan baru kali ini dia menghadapi jurus aneh
ini! Sebaliknya Resi Matjan Seta yang punya lebih banyak pengalaman segera
berseru. "Singo lreng, awas itu pukulan naga kepala seribu mengamuk!"
Mendengar ini tersurutlah Resi Singo Ireng. Cepat-cepat dia kemudian melompat
ke udara ketika menukik ke bawah dia lancarkan empat tendangan empat pukulan.
Dalam sekejapan saja kedua orang itu sudah terlibat dalam jurus-jurus yang
dahsyat.
"Manusia muka coreng
moreng! Apa hanya kalian berdua saja yang datang antarkan nyawa ke mari…?"
tanya Pendekar 212 pada Matjan Seta.
"Bocah gila!" bentak
Matjan Seta marah sekali sehingga mukanya yang coreng moreng itu semakin
menyeramkan.
“Jika kau tidak kepingin
mampus, sebaiknya lekas serahkan Keris Tumbal Wilayuda dan beri tahu di mana
Sultan berada. Niscaya kau punya nyawa akan aku ampunkan!"
Pendekar 212 bersiul keras.
"Kau bukan Tuhan yang
bisa mengampunkan manusia! Sebaiknya kupertemukan saja kau lekas-lekas dengan
malaekat maut!"
Resi Macam Seta mengaum macam
harimau terluka. Tubuhnya berkelebatan dan lenyap. Angin dahsyat laksana angin
prahara menderu ke arah Pendekar 212. Secepat kilat Pendekar 212 jatuhkan diri
dari berguling di lantai. Tangan kanannya memukul ke atas! Pukulan Matjan Seta
yang tidak mengenai sasarannya terus melanda dinding batu. Dinding itu pecah!
Tetapi sebaliknya Resi ini merasakan bagaimana tubuhnya terasa seperti diangkat
ke atas dan satu angin tajam menyakiti kulit kakinya. Ketika dia memandang ke
muka Pendekar 212 sudah tak ada dihadapannya.
"Aku di sini, Matjan
Seta!"
Matjan Seta putar tubuh ke
belakang. Begitu tubuhnya berputar begitu dan melihat satu gumpalan angin yang
kerasnya laksana baja menderu ke arahnya. Resi ini tak ayal lagi melompat empat
tombak ke udara. Mendadak didengarnya suara siulan dekat sekali di
telinganya. Dia hantamkan
tangannya ke samping. Tapi….
"Bluk!"
Resi Matjan Seta terpelanting
ke lantai. Tulang punggungnya serasa remuk. Dia kerahkan tenaga dalamnya dengan
cepat ke bagian yang kena dipukul lawan lalu atur jalan nafas. Ketika dia
berdiri lurus-lurus kembali, muka macannya kelihatan bertambah angker. Kedua
kakinya terpentang lebar. Tubuhnya sedikit membungkuk ke muka. Kedua tangannya
yang diangkat ke atas kelihatan bergetar. Wiro maklum bahwa lawannya memusatkan
seluruh tenaqa dalamnya pada dua tangan itu, dengan segera pendekar ini
bersiap-siap pula!
Tangan kanan Resi Matjan Seta
kelihatan berwarna merah kekuningan. Lebih merah dan lebih kuning dari yang
tadi. Pendekar 212 tahu bahwa lawannya bakal lepaskan lagi pukulan "sinar
surya tenggelam" tapi yang lebih hebat dari yang pertama tadi. Dan ketika
melirik pada tangan kiri sang Resi, tangan itupun kini berwarna sangat merah
dan mengepulkan asap merah!
Dua pukulan sekaligus tak bisa
dianggap enteng! Pendekar 212 tidak mau ambil risiko. Segera tangan kanannya
ditinggikan ke atas. Dan cepat sekali lengan sampai ke jari-jari tangan kanan
itu menjadi sangat putih dan menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari !
Mata Resi Matjan Seta
membeliak melihat hal itu. "Pukulan sinar matahari!,” keluhnya dengan hati
tergetar. "Benar-benar pemuda rambut gondrong ini memiliki ilmu kesaktian
yang tinggi luar biasa! Apakah dia benar-benar telah mewarisi seluruh ilmu
kepandaian Eyang Sinto Gendeng…?,” demikian Matjan Seta membathin.
Namun percaya, bahwa dua,
pukulannya yaitu pukulan "inti api" dan pukulan "sinar surya
tenggelam" akan dapat mengimbangi pukulan lawan maka dengan serta merta dia
hantamkan kedua tangannya ke muka. Dua gelombang sinar merah pun menderu ke
arah Pendekar 212.
Pendekar 212 tunggu sampai dua
gelombang sinar itu berada di pertengahan jarak antara dia dan lawan. Dan
sedetik kemudian tangan kanannyapun turunlah ke bawah. Selarik sinar putih yang
sangat panas dan menyilaukan menggebubu melabrak dua gelombang sinar merah,
"Bumm !"
Ruangan batu itu tergoncang
hebat. Dinding batu angsrok, Lantai longsor sedang bagian atas ambruk!
Terdengar keluhan maut Resi Matjan Seta. Di saat yang rasanya seperti mau
kiamat itu Pendekar 212 berkelebat cepat menyambar tubuh Dewi Kerudung Biru dan
dilarikan ke luar goa. Sesaat mereka sampai di luar goa maka runtuhlah Goa Dewi
Kerudung Biru. Resi Singo Ireng yang tak sempat selamatkan diri, mati tertimbun
bersama saudaranya Resi Matjan Seta. Di luar goa Pendekar 212 dan Dewi Keradung
Biru saling berangkulan.
"Anggini… sangat
disesalkan tempatmu yang bagus menjadi hancur runtuh. Tapi sebagiannya masih
bisa kau pergunakan…”
Anggini mengangguk.
Disembunyikannya wajahnya di dada yang bidang itu.
"Anggini,” kata Wiro
lagi. Dilepaskannya pelukannya. "Waktuku tak banyak lagi. Aku harus segera
ke Lembah Batu Pualam tempat bersarangnya Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma…..
Sampai jumpa lagi, Anggini".
"Aku ikut Wiro….!"
seru gadis itu, Tapi Pendekar 212 sudah lenyap dari hadapannya.
Gadis itu termanggu sejurus.
Tapi kemudian segera pula dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
–== 0O0 == –
15
LEMBAH Batupualam…..
Lembah ini dikelilingi oleh pegunungan
batu pualam yang berkilauan ditimpa sinar sang surya. Di mana-mana bahkan
sampai ke dasar lembah terdapat gundukan-gundukan batu pualam putih. Di tengah
dasar lembah kelihatan sebuah gedung besar bertingkat dua yang keseluruhannya
mulai dari lantai sampai ke atap terbuat dari batu pualam. Gedung ini indah
sekali bentuknya. Di beberapa bagian di luar dan di dalam gedung batu pualam
ini terdapat ukiran-ukiran yang bagus sehingga sesungguhnya tak pantaslah bila
gedung itu menjadi markas atau sarangnya komplotan terkutuk Iblis Pencabut
Sukma!
Pendekar 212 berdiri di ujung
timur tepi lembah, berlindung di balik sebuah onggokan batu pualam. Dari
tempatnya berada dilihatnya gedung itu sepi-sepi saja. Tak ada seorangpun
anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kelihatan.
Dengan berlindung di balik
gugusan-gugusan dan puing-puing batu pualam, Pendekar 212 mulai menuruni
lembah. Dia sampai di dasar lembah kini. Jarak antaranya dengan gedung batu
pualam kurang lebih tiga puluhan tombak. Wiro melompat ke balik gugusan batu
pualam yang lain, melompat lagi ke kiri, lalu ke kiri lagi sehingga jaraknya
kini dengan gedung itu hanya sekira sepuluh tombak.
Pintu depan gedung terbuka
lebar-lebar, demikian juga jendela-jendela di tingkat bawah serta atas. Anehnya
sampai saat itu suasana masih sunyi senyap seperti tadi. "Mungkin ada
perundingan di dalam sana…,” pikir Pendekar 212. Dia memutuskan untuk menunggu
sampai kira-kira sepeminum teh. Sementara itu di tingkat kedua gedung batu
pualam…..
Di sebuah ruangan rahasia
kelihatan empat manusia berjubah dan berkerudung merah. Salah satu di antaranya
jubah dan kerudungnya lebih merah dari yang lain-lain. Dialah Ketua Perkumpulan
Iblis Pencabut Sukma. Dia duduk di sebuah kursi, membelakangi sebuah mimbar.
Dihadapannya duduk tiga orang, satu di antaranya ialah Wakil Ketua Perkumpulan.
Yang dua anggota anggota Perkumpulan yang berilmu tinggi. Di pangkuan Wakil
Ketua Perkumpulan saat itu terbaring tubuh Anjarsari.
Ketua Iblis Pencabut Sukma
manggutkan kepala dan Wakilnya segera berdiri. Tubuh Andjarsari diletakkannya
di kursi lalu dia melangkah kehadapan Ketua dan menjura.
"Ketua, harap dimaafkan
bila aku menjalankan tugas dan kembali ke sini agak terlambat. Ada beberapa
rintangan di tengah jalan…”
"Kau berhasil mendapatkan
Keris Tumbal Wilajuda?!" bertanya sang Ketua. Suaranya berat serak laksana
palu godam.
Wakil Ketua angguKkan kepala
lalu keluarkan sebilah keris yang keseluruhannya mulai dari sarung sampai ke
kerisnya terbuat dari emas. Karena senjata ini senjata mustika maka dengan
sendirinya memancarkan sinar kuning yang terang! Mata Ketua Iblis Pencabut
Sukma berkilat-kilat melihat senjata itu. Begitu diterumanya diperhatiKannya
sejurus lalu dimasukkannya ke batik pinggang.
"Apalagi yang kau
bawa?!" tanya sang Ketua. Wakilnya putar tubuh sedikit dan menuding pada
tubuh Andjarsari yang didudukkan di kursi. "Gadis itu adalah calon isteri
Sultan Hasanuddin. Aku berhasil menculiknya…….”
"Sultan sendiri bagaimana
. . . . . . , ?".
“Aku juga sebenarnya hampir
berhasil menculik dia waktu berada disarang Perkumpulan Pengemis Darah Hitam
tapi tahu-tahu sesosok bayangan biru melarikannya. Ketika kuikuti jejaknya
ternyata bayangan biru itu adalah Dewi Kerudung Biru. Perempuan dajal itu
hampir berhasil kutamatkan riwayatnya bersama beberapa orang anggota jika
seorang pemuda gila bergelar Pendekar 212 tidak muncul di situ!"
"Hem… memang akhir-akhir
ini kudengar kabar selentingan tentang munculnya seorang pendatang baru yang
aneh dalam dunia persilatan…."
Ketua Iblis Pencabut-Sukma
usap-usap dagunya yang tersembunyi di batik kerudung itu. Lalu tanyanya.
"Jadi kau dan anak-anak buah tak sanggup membereskan pendekar itu?".
"Manusia itu sakti
sekali. Dia memiliki sebuah kapak bermata dua….. Kapak Maut Naga Geni
212!"
"Hanya sebuah kapak buat
penebang pohon saja kau takuti…. Bagaimana dengan Perkumpulan Pengemis Darah
Hitam….?"
"Mulanya, karena merasa
bahwa kita masih satu golongan dan aliran dengan mereka, aku minta agar keris,
Andjarsari dan Sultan diserahkan secara baik-baik. Tapi mereka membangkang.
Terpaksa tak satupun yang aku kasih hidup…."
"Itu bagus!," kata
Ketua Iblis Pencabut Sukma "Dalam waktu dua atau tiga hari dimuka, kita
akan segera berangkat ke Banten! Sampai saat ini secara tidak langsung, dengan
adanya Keris Tumbal Wilajuda di tangan kita maka Banten sudah milik kita. Dan
sebagai balas jasamu, kau boleh ambil itu gadis!".
Gembiralah hati sang Wakil
mendengar itu. Sesaat sesudah sang Ketua meninggalkan ruangan disusul oleh dua
orang anggota kelas satu tadi maka Wakil iblis Pencabut Sukma segera memboyong
tubuh Andjarsari ke dalam kamarnya yang terletak dipaling ujung gedung tingkat
kedua.
Sepeminum teh telah lewat.
Wiro mengintai lagi dari balik
gugusan batu pualam. Gedung masih tetap sunyi senyap. Dengan rasa tak sabar
segera pemuda ini kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan laksana seekor alap-alap
melesat ke atas atap gedung batu pualam tingkat kedua. Bagian atas gedung ini
rata licin. Dan di sebelah sana beberapa tombak jauhnya, dua orang berjubah dan
berkerudung merah tengah asyik bermain dam. Begitu sudut mata mereka melihat
adanya bayangan sesosok tubuh di atas atap itu segera keduanya putar kepala.
"Hai!" seru salah
seorang dari mereka. "Siapa kau ?!,” membentak yang kedua. Pendekar 212
melintangkan jari tetunjuk tangan
kirinya di atas bibir.
"Sssst…………. desisnya. Kemudian dengan tiba-tiba tangan kanannya
dihantamkan ke muka. Tak ampun lagi kedua manusia berjubah merah itu rebah di
atas atap dengan menyembur darah sedang papan serta buah dam mental di udara
jauh sekali.
Pendekar 212 geli sendiri. Dia
memandang berkeliling. Kemudian lapat-lapat dari ujung atas sebelah sana
didengarnya suara jeritan perempuan. Dengan cepat pemuda ini lari ke ujung
atap. Di bawah atap, persis di atas sebuah jendela terdapat beberapa buah
lobang angin. Dari salah satu lobang angin ini Wiro mengintai ke dalam gedung!
Dan mendidihlah darah Pendekar 212 sewaktu menyaksikan apa yang terpampang di
dalam kamar di bawah atap itu.
Andjarsari berada dalam
keadaan hampir tak berpakaian. Rambutnya yang panjang kusut masai menjela-jela.
Gadis ini megap-megap dan menjerit-jerit serta meronta. Tapi tak kuasa sama
sekali untuk menyingkirkan tubuh Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
yang menghimpitnya dari atas!
Tidak membuang waktu lagi
Pendekar 212 melompat turun dan melabrak jendela kamar dengah satu tendangan
kaki kiri.
Kejut Wakil Ketua Perkumpulan
Iblis itu bukan alang kepalang! Jendela kamar dilihatnya hancur berantakan dan
sedetik kemudian sesosok tubuh melayang memasuki kamar!
"Bangsat rendah!"
memaki manusia bermuka angker itu. Secepat kilat dia melompat dari tempat tidur
dan menyambar jubah merahnya. Dia tak sempat mengenakan kerudungnya karena pada
saat itu Pendekar 212 sudah menyerang dengan ganas!
Wakil Ketua Iblis Pencabut
Sukma sambuti serangan lawan dengan jurus "menendang langit menjungkir
awan". Begitu hebatnya jurus ini sehingga Pendekar 212 terpaksa tahan
kegeramannya untuk melanjutkan serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh
Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma untuk lari ke luar kamar!
"Jalan lari satu-satunya
bagimu hanyalah ke neraka manusia durjana!,” bentak Pendekar 212 lalu memburu
dengan sebat.
Wakil Ketua itu melarikan diri
ke sebuah ruangan besar yang di setiap dindingnya terdapat lima buah pintu.
Begitu injakkan kaki di ruangan ini dia segera berteriak. "Anggotaanggota
Perkumpulan! Gedung ini kebobolan bahaya! Lekas ke luar!"
Serentak dengan itu maka dua
puluh pintu di empat dinding ruangan terbuka lebar dan melompatlah dua puluh
anggota Perkumpulan. Kesemuanya berjubah dan berkerudung merah dan mencekal
sebilah pedang merah! Wakil Ketua Perkumpulan sendiri cabut sebuah rujung emas
dari balik jubahnya. .
"Cincang pemuda sedeng
ini!,” Wakil Ketua beri komando. Kata-katanya ini ditutup dengan sambarkan
rujung emasnya ke arah Pendekar 212! Masih dalam jarak beberapa tombak maka
angin pukulan rujung telah menyambar dengan dahsyat ke arah Pendekar 212.
Hampir bersamaan pula dengan itu maka dua puluh anggota Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma menyerbu pula! Duapuluh batang pedang merah berkiblat! Hanya
sekejapan mata saja maka terbungkuslah Pendekar 212 dalam hujan pedang dan
sambaran rujung!
Murid Eyang Sinto Gendeng ini
menggerung dahsyat. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke lantai. Begitu jatuh di
lantai dua tangannya dihantamkan nembentuk dua lingkaran. Dua lingkaran sinar
putih panas yang menyilaukan mata menggelombang. Dimana-mana terdengar pekikan
kematian. Lebih dari separoh anak buah komplotan Iblis Pencabut Sukma terkapar
di lantai ruangan dengan tubuh hangus tersambar ilmu pukulan "sinar
matahari" Pendekar 212!
Melihat ini mereka yang masih
hidup menjadi lumer nyalinya dan mulai pikir-pikir untuk undurkan diri. Namun
tentu saja mereka juga takut pada pimpinan, terlebih lagi ketika. Wakil Ketua
mereka membentak. "Ayo! Kalian tak perlu takut! Mari gempur lagi dengan
jurus menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan!
Selama beberapa tahun
belakangan ini boleh dikatakan jarang sekali Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma
mengeluarkan jurus "menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan"
itu. Kecuali dalam menghadapi lawan yang benar-benar luar biasa tinggi ilmu
silat dan kesaktiannya. Dan hari itu bila mereka mengeluarkan jurus yang
dahsyat itu nyatalah bahwa lawan yang mereka hadapi benar-benar hebat! Dan
memang begitu kenyataannya!
Pendekar 212 sendiri begitu
dengar nama jurus ini tak ayal lagi segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212.
Selama ini dia cuma pernah dengar dan mengetahui nama jurus yang terdiri dari
empat untaian kata-kata. Kini lawan menyerangnya dengan jurus enam untaian
katakata. Pastilah ini suatu jurus yang luar biasa!
Maka begitu lawan menyerbu,
Pendekar 212 sudah putar Kapak Maut Naga Geni 212nya. Lolong kematianpun
bergemalah untuk kedua kalinya di ruangan itu! Enam anggota Perkumpulan Iblis
Pencabut Sukma menggeletak mandi darah. Dua orang yang masih hidup, ditambah
dengan Wakil Ketua Perkumpulan yang saat itu masih memegangi rujung emasnya
tapi yang sudah kuntung karena diterabas Kapak Pendekar 212, saling berikan isyarat.
Dua anggota yang masih hidup ini melompati Wiro dan kirimkan empat serangan
berantai sekaligus. Wakil Ketua mereka sendiri melompat kesebuah pintu dan
menekan satu tombol rahasia!
Pada detik Pendekar 212
menerabas tubuh kedua lawannya dengan Kapak Maut, maka pada detik itu pula
tiba-tiba lantai yang dipijaknya terbuka ke samping. Tak ampun lagi tubuhnyapun
melayang jatuh ke dalam sebuah ruangan sedalam dua puluh tombak sedang lantai
ruangan yang tadi membuka kini secara aneh tertutup oleh jalur-jalur besi
sebesar lengan !
"Ha… ha… ha…!" Wakil
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tertawa bekakakan. "Sekalipun kau
punya sepuluh kepala dua puluh tangan dan kaki jangan harap kau bisa ke luar
dari perangkap ini Pendekar 212!"
"Manusia sialan!"
maka Pendekar 212 sangat geram dan penasaran. Dihantamkannya tangan kanannya ke
atas. Sinar putih berkiblat. Lantai ruangan di atasnya hancur runtuh tapi
jalur-jalur besi yang menutup lobang perangkap sedikitpun tidak berobah. Wakil
Ketua Perkumpulan sendiri saat itu dengan cepat sudah menghindar ke samping
kemudian dari balik jubahnya dia keluarkan sebuah lonceng kecil. Begitu lonceng
dibunyikan maka muncullah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma diiringi oleh
dua orang anggota klas satu yang berkepandaian sangat tinggi.
Menyaksikan kematian banyak
sekali anak buahnva maka menggerenglah Ketua Perkumpulan ini. Mukanya yang
tersembunyi dibalik kerudung mengkerut tegang, matanya berkilat-kilat. Dia
melangkah kehadapan sang Wakil.
"Sesudah seluruh anggota
mampus begini rupa baru kau bunyikan lonceng memanggil aku? Bagus betul
perbuatanmu!"
Gemetarlah lutut Wakil Ketua
mendengar bentakan atasannya itu. "Tapi Ketua, manusia itu sakti luar
biasa. Namun demikian aku telah berhasil meringkusnya! Lihatlah ke bawah sana!"
"Keberhasilanmu tetap
tidak dapat menghindari hukuman yang bakal kau terima kelak!" desis Ketua
Perkumpulan. Dia melangkah ke tepi perangkap. Namun secepat kilat bersurut
mundur karena dari dasar perangkap menggebu segumpal angin dahsyat. Atap gedung
batu pualam yang tadi telah hancur dilanda pukulan sinar matahari kini kembali
berpelantingan!
"Kurang ajar!,” bentak
Ketua Perkumpulan. Tangan kanannya dipukulkan ke dasar perangkap. Dan
menderulati lima lusin jarum merah! Tapi lagi-lagi Ketua Perkumpulan ini
dikejutkan ketika angin sedahsyat badai membuat jarum-jarum beracunnya itu
menderu kembali ke atas! Jika tidak lekas pula dia menghindar dari tepi
perangkap pastilah senjata makan tuan!
"Budak hina dina! Kau
boleh keluarkan seribu ilmu tapi jangan harap kau bakal ke luar hidup-hidup
dari dalam perangkap ini!"
Habis berkata begitu dengan
ibu jari kaki kanannya Ketua Perkumpulan IbIis Pencabut Sukma menginjak sebuah
tombol di salah satu sudut perangkap sebelah atas! Di dasar perangkap, secara
aneh dinding terangkat kira-kira sejengkal dan laksana air bah dari keempat
celah dinding itu berserabutanlah ratusan binatang berbisa seperti ular,
kelabang, lipan dan kalajengking! Semuanya menyerbu menyerang Pendekar 212!
Murid Eyang Sinto Gendeng
melompat dua tombak. Begitu tubuhnya mengapung di udara tangan kirinya segera
mengambil batu api 212 dari balik pinggang. Sekali batu api dan Kapak Naga Geni
212 diadu maka lidah apipun menderulah ke lantai perangkap. Seluruh binatang
berbisa itu tak satupun yang hidup. Semuanya terbakar musnah dengan
mengeluarkan bau yang tak nyaman dan memegapkan jalan nafas.
Pendekar 212 tidak menunggu
lebih lama. Jika di luar dengan ilmu mengentengi tubuh dia bisa melompat sampai
tiga puluhan tombak lebih, mengapa di dalam perangkap yang cuma sedalam dua
puluh tombak itu dia tak bisa? Cuma yang dikhawatirkannya ialah jika dia tak
dapat menerobos atau menghancurkan jalur-jalur besi di atas perangkap itu
dengan Kapak Maut Naga Geni 212-nya !
Di atas sana tiba-tiba
dilihatnya Ketua dan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma kembali
mendekati tepi perangkap. Pendekar 212 segera hantamkan tangan ke atas mengirim
pukulan matahari dan serentak dengan itu dia melompat ke udara. Kapak Naga Geni
212 diputar dengan sebat!
"Trang… trang…
trang…!"
Ternyata Kapak Naga Geni 212
mampu menghancurkan jalur-jalur besi penutup perangkap. Pendekar 212 tertawa
gembira dan berdiri dengan berkacak tangan kiri dipinggang sementara empat
lawannya di ruangan itu diam-diam menjadi ngeri melihat kehebatan pemuda ini!
Dari kerudung dan jubahnya
yang lebih merah laksana darah. Pendekar 212 segera mengenali yang mana adanya
Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Maka berkatalah pemuda ini dengan
membentak. "Lekas serahkan Keris Tumbal Wilajuda. Dan jika kalian berjanji
untuk kembali ke jalan yang benar niscaya aku masih mau memberi ampun!"
Ketua Perkumpulan tertawa
mendengus. "Usia masih seumur jagung, tubuh masih bau amisnya orok,
mungkin tidurpun masih ngompol tapi sudah berani bicara membentak dan memerintah
dihadapanku!"
"Ucapanmu tidak lucu
Ketua Perkumpulan Iblis! Ringkas kata kau mau serahkan Keris Tumbal Wilajuda
atau tidak?!"
Perlahan-lahan Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma angkat tangannya ke udara. Gerakannya ini
diikuti oleh Wakil dan dua anggotanya.
"Baik!,” katanya,
"aku akan serahkan Keris Tumbal Wilajuda padamu, tapi serahkan dulu kau
punya jiwa!"
Habis berkata demikian maka
empat tanganpun sama-sama ditarik melancarkan pukulan yang sangat diandalkan
oleh Perkumpulan mereka yaitu pukulan pencabut sukma!
Dalam keadaan lengah seperti
di Goa Dewi Kerudung Biru tempo hari mungkin empat pukulan sakti itu akan
menamatkan riwayat Pendekar 212. Tapi kali ini keadaan berlainan, apalagi saat
itu Wiro memegang pula Kapak Maut Naga Geni 212 ditangan!
Begitu empat angin maut
membetot ke arah badannya maka Pendekar 212 berseru nyaring! Tubuhnya lenyap!
Menyusul suara siulan melengking dan Kapak Maut Naga Geni 212 membuat putaran
putih yang sebat sekali, angin yang ke luar dari Kapak sakti itu melanda hebat
tarikan angin maut keempat musuh. Dan setengah jurus kemudian dua anggota klas
satu Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma sama menjerit keras! Tubuh mereka rebah
ke lantai. Yang satu berbusaian isi perutnya, yang satu lagi hampir putus
batang lehernya !
Ketua dan Wakil Perkumpulan
terkutuk sama-sama tersurut! "Apa kau masih belum mau serahkan apa yang
kuminta?!" bentak Pendekar 212.
"Aku bilang serahkan
nyawamu lebih dulu, budak hina!" balas membentak Ketua Iblis.
"Manusia tolol, dikasih
ampun malah minta mampus!" Gusar sekali Pendekar 212 jadinya. Tubuhnya
berkelebat untuk kesekian kalinya. Kali ini dalam jurus "membuka jendela
memanah rembulan". Kapak Naga Geni mula-mula menderu sebat ke samping. Dan
terdengarlah jerit kematian Wakit Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Ketua
Perkumpulan tersirap dan melompat mundur ketika melihat Wakilnya
terhuyung-huyung dengan dada mandi darah lalu jatuh duduk di lantai! Namun
Pendekar 212 betul-betul tidak mau memberikan kesempatan lagi. Kapaknya terus menyelesaikan
jurus yang dibuat dan kini membabat deras ke udara!
Ketua Perkumpulan terkutuk itu
melolong setinggi langit! Dagunya terbabat putus berikut sebagian kerudungnya
sekaligus! Tubuhnya terbanting ke dinding! Ketika Kapak Maut Naga Geni hendak
membalik lagi guna menamatkan riwayat Ketua Perkumpulan durjana itu maka
tahu-tahu melesatlah sesosok tubuh manusia dan terdengar satu seruan.
"Bangsat yang satu ini
adalah bagianku, Wiro!".
–== 0O0 == –
16
PENDEKAR 212 berpaling yang
datang ternyata Dewi Kerudung Biru alias Anggini !
"Ah, kau rupanya Anggini.
Betul, memang tepat sekali kalau kau yang cabut nyawa anjing manusia terkutuk
ini! Kau selesaikanlah perhitungan lamamu!”
Ketika Pendekar 212 bicara
ini, Ketua Perkumpulan Iblis pergunakan kesempatan untuk menghambur ke pintu.
Tapi secepat kilat Wiro angsurkan kaki kirinya menyerimpung pergelangan salah
satu kaki Ketua Perkumpulan Iblis itu. Tak ampun lagi tubuhnya tersungkur ke
lantai!
"Cepat bangun, manusia
iblis agar cepat pula kuantarkan kau punya nyawa menghadap penjaga neraka!,”
bentak Dewi Kerudung Biru!
Perlahan-lahan Ketua
Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berdiri. Tiba-tiba dia hantamkan satu pukulan
ke arah Dewi Kerudung Biru. Tapi tenaga pukulannya ini sudah banyak berkurang
akibat luka didagunya yang mengandung bisa dan bisa mana mulai menjalar
kesegenap pembuluh darahnya!
Melihat lawan memukul, Dewi
Kerudung Biru berkelit cepat dan kirimkan serangan balasan yaitu jurus naga
kepala seribu mengamuk! Terkejutlah Ketua Perkumpulan Iblis melihat jurus yang
dahsyat ini. Dia melompat mundur tiga tombak dan berseru. "Dewi Kerudung
Biru, antara kau dan aku tiada permusuhan, mengapa kita musti bertempur begini
rupa?!"
Dewi Kerudung Biru tertawa
dingin sedingin salju. "Kau lupa pada seorang gadis yang hendak kau
perkosa beberapa bulan yang lalu?!" Dewi Kerudung Biru membuka kerudung
penutup wajahnya! "Apa kau masih lupa dan tidak kenali aku?!"
Terkejutlah Ketua Iblis
Pencabut Sukma melihat paras gadis dihadapannya. Namun rasa terkejutnya ini
tiada lama. Anggini kembali menyerbu.
Kali ini dalam jurus
"cakar garuda emas". Kedua tangannya terpentang.
"Breet!" Kuku-kuku
yang panjang dari gadis itu menyambar dada sang Ketua. Dan tidak sampai di sana
saja, Anggini buka mulutnya lebar-lebar.
"Huaah!"
Menyemburlah asap kencana biru
ke arah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Manusia ini menjerit. Tubuhnya
terhuyung-huyung. Ketika dia rebah ke lantai maka sekujur badannya menjadi
sangat biru! Tamatlah riwayat manusia yang paling terkutuk dan ganas itu. Belum
puas sampai di situ, Anggini maju mendekati mayat laki-laki itu lantas
menendang kepalanya. Tubuh Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma mencelat enam
tombak kepalanya hancur!
"Kau hebat sekali,
Anggini,” memuji Pendekar 212 seraya melangkah mendekati mayat Ketua Iblis
Pencabut Sukma. Ketika digeledah di balik pinggangnya diketemukan Keris Tumbal
Wilajuda!
"Apa yang harus kita
lakukan selanjutnya Wiro?,” bertanya Dewi Kerudung Biru atau Anggini.
Pendekar 212 merenung beberapa
lamanya lalu menjawab. "Setelah Keris Tumbal kerajaan ini berhasil
diketemukan, kurasa ada baiknya aku segera menemui Sultan Banten".
"Mengapa begitu?,” tanya
Anggini. "Bukankahkau sendiri sudah tahu bahwa Sultan Hasanuddin pergi ke
Demak untuk meminta bantuan balatentara dari Sultan Trenggono guna mengusir
kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten?"
"Betul, namun saat ini
aku ada rencana baru. Rencanaku ini akan sangat banyak mengurangi korban-korban
yang tiada berdosa…..”
"Aku tak mengerti
maksudmu,” kata Anggini pula. I
Pendekar 212 tersenyum.
"Kau akan mengerti setelah menyaksikannya sendiri nanti. Sementara aku
menyusul Sultan ke Demak, kuharap kau sudi pergi keperbatasan dan menunggu
kedatangan kami di sana…”
Bagi Anggini adalah lebih
disukainya bila dia bisa ikut bersama-sama dengan pemuda itu. Namun setelah
berpikir sejurus akhirnya dia menganggukkan kepala.
"Sampai jumpa Anggini,”
kata Pendekar 212 seraya memegang bahu gadis itu.
Anggini meremas seketika
jari-jari si pemuda dan sebelum tubuhnya lebih dijalari gelora darah muda maka
Pendekar 212 segera meninggalkan tempat itu.
Meskipun satu hari terlambat
namun dengan ilmu larinya yang sangat lihai, Wiro berhasil mendahului Sultan.
Hasanuddin yang berangkat ke Demak dengan menunggangi seekor kuda. Wiro menunggu
kedatangan Sultan di jalan luar kota sebelah timur. Tentu saja Sultan
Hasanuddin sangat terkejut dan heran bertemu dengan pemuda sahabatnya itu.
"Sahabat, bagaimana kau
tahu-tahu sudah muncul di sini?" tanya Sultan seraya turun dari kuda.
Dengan ringkas Wiro Sableng segera berikan keterangan. Selesai memberikan
keterangan maka dikeluarkannyalah Keris Tumbal Wilayuda dan diserahkannya pada
Sultan.
Berseri-serilah paras Sultan
Hasanuddin. "Sahabat jasamu sungguh tak dapat diukur dengan luasnya laut,
dengan tingginya gunung. Aku berterima kasih betul kepadamu…”
Wiro memotong ucapan Sultan
dengan berkata. "Sultan sebelum memasuki kota dan menemui Sultan Trenggono
perkenankanlah aku memberikan sedikit rencana….”
"Boleh saja.
Silahkan" kata Sultan seraya sisipkan Keris Tumbal Wilajuda dibalik
pinggang pakaian. "Dengan membawa balatentra Demak ke Banten berarti akan
pecah lagi peperangan dan pertumpahan darah di Banten. Sultan tentu lebih tahu
dariku bahwa akibat peperangan yang paling buruk ialah jatuhnya beban
penderitaan, serta kesengsaraan dipundaknya rakyat jelata….”
"Betul, dalam hal ini aku
memang sedapat-dapatnya berusaha agar penduduk jangan sampai banyak yang jatuh
korban,” kata Sultan pula.
Wiro mengangguk. "Di
samping itu, sebagian besar dari prajurit-prajurit pemberontak tiada lain hanya
merupakan alat mati yang bisa dikutak kutik oleh atasan! Di hati kecil mereka
sendiri mungkin tak ingin melakukan pertumpahan darah itu. Tapi demi tugas dari
atasan, mereka terpaksa melakukan peperangan yang kejam itu. Jadi letak
tanggung jawab, atau biang racun dari segala kemusnihan dan penderitaan itu
tiada lain terletak di tangan pentolan-pentolan tinggi pemberontak! Nah,
manusia-manusia inilah yang harus kita lenyapkan lebih dulu…. yang dibawah soal
mudah..Apalagi dua bergundalnya pembantu Parit Wulung yaitu Resi Singo Ireng
serta Macan Seta telah menemui ajal!"
"Apa yang kau katakan itu
semua adalah benar sobat,” kata Sultan. "Tapi aku masih belum melihat
bagaimana caramu yang tepat dan baik dalam merebut kembali takhta kerajaan
dengan menghindarkan pertumpahan darah…."
"Kalau Sultan bisa
memberikan sedikit kepercayaan kepadaku, pastilah aku akan bersedia
melaksanakannya… Maka Pendekar 212-pun menuturkan rencananya selengkapnya.
–== 0O0 == –
17
MALAM itu di satu ruangan
rahasia Parit Wulung, Karma Dipa, Djuanasuta dan seorang tokoh terkemuka dari
Partai Api Setan yaitu suatu partai silat yang dipimpin oleh Resi Matjan Serta
tengah melakukan perundingan penting. Tokoh silat ini adalah murid terpandai
dari Matjan Seta yang telah mewarisi seluruh kepandaian Resi itu. Namanya Rana
Tikusila. Dia dan selusin anggota partai lainnya sengaja diminta datang ke
Banten oleh Parit Wulung untuk memperkuat kedudukannya dan menjaga segala
sesuatu yang tak diingini. Seperti Matjan Seta, muka merekapun coreng moreng.
Parit Wulung yang duduk dikepala meja segera buka bicara. "Saudara-saudara
pertemuan ini adalah penting sekali sehubungan dengan Keris Tumbal Wilajuda.
Sampai seka[ang kita masih belum berhasil menemukannya sedang Sultan sendiri
tak diketahui jejaknya. Resi Singo Ireng dan Resi Matjan Seta tidak pula
kunjung ada kabar beritanya. Aku berharap…”
Parit Wulung tiba-tiba
hentikan ucapannya. Dia memandang ke sebuah alat rahasia disudut ruangan. Alat
itu kelihatan bergerak-gerak.
"Saudara-saudara
bersiaplah,” kata Parit Wulung. Ada tamu yang tak diundang rupanya mendengarkan
perundingan kita ini di atas loteng!"
Dan baru saja Parit Wulung
selesai mengucapkan kalimat itu, dua lembar papan loteng terbuka dan sesosok
tubuh laksana seekor alap-alap melayang turun. Suara kedua kakinya sama sekali
tiada terdengar sewaktu menjajaki lantai!
Rana Tikusila, Karma Dipa dan
Djuanasuta segera cabut senjata. Parit Wulung sendiri berdiri dari kursi dan
membentak.
"Manusia atau setan!
Apakah kau punya nyawa rangkap berani datang ke sini?!"
Tamu tak diundang itu
keluarkan, suara bersiul yang tak asing lagi yang menandakan bahwa dia bukan
lain daripada Pendekar 212 adanya.
"Kau terlalu menghina
padaku, Parit Wulung,” menyahuti Pendekar 212. Dia melirik sedikit ketika
melihat Rana Tikusila melangkah kehadapannya dengan pedang melintang.
"Lekas katakan apa maksud
kedatanganmu ke sini!,” kata Tikusila seraya angkat tinggitinggi tangan
kanannya yang memegang pedang.
"Aku adalah utusan
pribadi Sultan Hasanuddin!".
Maka terkejutlah semua yang ,
hadir di tempat itu. Dari balik pakaiannya Pendekar 212 keluarkan segulung
kertas dan melemparkan benda itu yang tepat jatuh memalang di atas gelas tuak,
dihadapan Parit Wulung.
"Silahkan baca,” kata
Pendekar 212 pula. Parit Wulung keretakkan rahang melihat sikap yang
merendahkan ini tapi gulungan surat di atas gelas diambil dan dibacanya juga.
Parit Wulung,
Aku berikan kesempatan padamu
untuk menyerahkan diri bersama bergundal-bergundal pemberontak lainnya malam
ini. Maksud busukmu untuk menduduki takhta kerajaan Banten secara tidak syah di
atas lumuran darah sekian banyak rakyat dan prajurit Banten serta sekian banyak
pembesar-pembesar istana yang tak berdosa akan sia-sia saja ! ,
Keris Tumbal Witajuda walau
bagaimanapun tak bakal kau dapat. Dua cecunguk pembantumu yaitu Resi Singo
Ireng dan Matjan Seta telah menemui ajalnya.
Jika kalian menyerah, hukuman
yang bakal dijatuhkan tidak begitu berat. Tapi bila kalian membangkang, kepala
kalian jadi imbalannya karena walau bagaimanapun yang bathil tak akan bisa
mengalahkan yang hak, kejahatan tak akan bisa mengalahkan, kebenaran !
Ingat, waktumu cuma sampai
malam ini !
Tertanda
SULTAN HASANUDDIN
Mengelam wajah Parit Wulung
membaca surat itu. Namun kemudian keluarlah suara tertawanya bergelak.
Diserahkannya surat itu pada Karma Dipa, Karma Dipa meneruskan pada Djuanasuta
dan Djuanasuta meneruskan lagi pada Rana Tikusila. Dan ruangan itu kemudian
pecahlah oleh suara tertawa bergelak keempat manusia itu.
Wiro sendiri mengerendeng
dalam hatinya. "Kau utusan Sultan yang tampangmu macam orang hutan!"
kata Rana Tikusila, "aku mau tanya, Sultanmu itu andalkan apakah sampai
berani membuat surat ancaman macam begini rupa ?!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kau keliwat menghina sobat!" katanya. "Coba lihat ke kaca besar
di dinding sana, tampangmu yang coreng moreng macam orang gila itu jauh lebih
buruk dari padaku! Kurasa kalau orang tuamu bukannya macan jadi-jadian pastilah
macan kesurupan!"
Maka marahlah Rana Tikusila
rnendengar hinaan ini.
"Sret,” dicabutnya
sebilah pedang lalu dengan, cepat kirimkan satu tusukan mematikan ke arah dada
Pendekar 212. Tusukan ini adalah sebagian dari jurus paling tangguh dalam ilmu
pedang Partai Api Setan dan dinamakan jurus "anak panah menembus
rembulan!" Selama menghadapi lawan-lawan tangguh jarang dari mereka yang
sanggup mengelakkannya Kalaupun berhasil maka biasanya tak akan mampu untuk
mengelakkan jurus susulan yang dinamakan "gendewa menyambar puncak
gunung".
Tapi hari itu Rana Tikusila
ketemu batunya. Tusukannya tiada tersangka hanya mengenai tempat kosong karena
berhasil dikelit oleh Pendekar 212. Dengan penasaran dan juga malu pada
kolega-koleganya di ruangan itu maka,Tikusila segera susul dengan jurus "gendewa
menyambar puncak gunung". Pedangnya membalik membabat ke arah pinggang
lawan!
Namun nasib anak buah Partai
Api Setan ini lebih buruk lagi. Dengan kecepatan yang sukar dilihat mata,
Pendekar 212 berhasil memukul sambungan siku Tikusila. Pedang mental ke udara,
Tikusila sendiri meraung kesakitan! Dan sesaat kemudian pedangnya sudah berada
di tangan Pendekar 212!
Mata Parit Wulung dan dua
orang lainnya membeliak besar. Rana Tikusila sendiri pucat pasi wajahnya,
memercik keringat dingin di keningnya!
"Aku datang ke sini bukan
untuk membuat keributan tapi hanya sekedar menyampaikan
surat Sultan Banten! Aku minta
jawaban sekarang juga apakah. kalian sudi menyerah atau tidak?!" Parit
Wulung merampas surat yang dipegang oleh Rana Tikusila lalu merobek-robeknya.
"Ini jawaban kami!" kata Parit Wulung pula serta melemparkan robekan
surat ke muka Wiro
Sableng. Pendekar muda ini,
tiup robekan surat-surat itu hingge bertebaran di lantai. "Besok pagi
jangan harap kalian masih bercokol di dalam istana ini…..” "Saudara-saudara,
sangkap manusia yang satu ini!". Parit Wulung beri perintah. Pendekar 212
tertawa mengekeh. Pedang di tangan kanan dilemparkannya ke lampu
besar yang menerangi ruangan
itu. Dengan serta merta gelaplah suasana dan secepat kilat Wiro melompat ke atas
loteng, lenyap dikegelapan malam.
Ketika pagi tiba maka
gemparlah seluruh penduduk Kotaraja. Bagaimanakah tidak. Di halaman depan
istana berjejer, bergantungan di tiang langkan muka lima belas manusia yang
sudah menjadi mayat. Mata semuanya mendelik, lidah terjulur dan pada kening
masing-masing tertera tiga angka yang tak asing lagi yaitu angka 212 !
Kelima belas manusia yang
telah menemui ajal dengan cara yang aneh ini ialah Rana Tikusila bersama dua
belas anggota Partai Api Setan, Djuanasuta dan Karma Dipa, dua pentolan
pemberontak dari Pajajaran!
Pada masing-masing leher
kelima belas mayat itu tergantung secarik kertas yang bertuliskan:
Kepada kalian telah diberikan
syarat keampunan untuk menyerah. Tapi kalian sengaja memilih kematian macam
begini. Kalian lupa bahwa kebathilan akan selalu hancur oleh yang hak.
Kepada para perajurit dan
rakyat Banten yang masih setia pada Sultan, hari ini adalah hari kebebasan
Banten dari cengkeraman kaum pemberontak !
Tertanda
SULTAN HASANUDDIN
Di balik kegemparan yang
menyungkupi setiap diri manusia yang ada di Banten maka berbagai pertanyaan
timbul pula dikalangan mereka. Siapakah yang telah membunuh dan menggantung
kelima belas manusia itu? Apakah arti angka 212 dikening mayat-mayat. Apakah
ada hubungannya dengan peristiwa terbunuhnya beberapa prajurit pemberontak
diperbatasan tempo hari? Apakah Sultan masih hidup dan, surat itu benar-benar
ditandatangani olehnya? Kalau betul masih hidup di mana dia berada sekarang?
Kemudian di mana pula Resi Singo Ireng serta Matjan Seta yang menjadi pentolan
pembantu utama Parit Wulung? Kalau betul Sultan sudah muncul kembali dan turun
tangan, mengapa Parit Wulung sendiri tidak digantung?!
Di dalam suasana yang serba
membingungkan dan penuh tanda tanya tak terjawab itu sekelumit harapan timbul
di kalangan rakyat bahwa mereka betul-betul akan bebas dari kaum pernberontak.
Sekelumit harapan ini ditunjang pula oleh sebagian besar balatentara Banten
yang sesungguhnya masih setia pada Sultan. Dan dari hanya sekelumit harapan
untuk bebas maka menjadilah satu tekat bulat untuk angkat senjata menumbangkan
kekuasaan yang tidak syah itu. Lagi pula satu-satunya pentolan pemberontak yang
masih bercokol di istana saat itu cuma tinggal Parit Wulung seorang. Yang
lain-lainnya sudah menemui kematian. Singo Ireng dan Matjan Seta sudah sejak
seminggu lenyap, mungkin juga kini cuma tinggal nama saja!
Sementara itu di dalam istana
begitu menyaksikan lima belas mayat yang digantung itu, sekujur tubuh Parit
Wulung laksana diserang demam panas dingin. Mukanya sepucat salju. Tengkuknya
sedingin es. Siapakah yang punya kerja menggantungi pembantu-pembantu utamanya
demikian rupa? Dugaannya keras pada pemuda yang datang malam tadi! Dalam
kebingungan dan kengeriannya Parit Wulung sampai lupa untuk memerintahkan agar
lima belas mayat yang digantung itu diturunkan!
Bila dia berhasil menguasai
dirinya kembali maka diperintahkannyalah beberapa kelompok pasukan untuk
melakukan pembersihan di seluruh Kotaraja dan menyelidik ke perbatasan. Namun
sebelum pasukan-pasukan itu bergerak, maka sebagian dari balatentara yang masih
setia pada Sultan bersama-sama dengan rakyat yang membawa berbagai macam
senjata sudah menyerbu laksana air bah. Harapan untuk bebas dari kaum
pemberontak, tekat bulat untuk menegakkan kembali Kerajaan Banten yang syah
serta pembalasan dendam kesumat atas sanak saudara dan karib kerabat yang mati
ditumpas kaum pemberontak tempo hari, itulah semua yang membuat mereka tanpa
diberi komando lagi, menyerbu dengan dahsyatnya !
Dan pada saat pertempuran
berkecamuk hebat maka melesatlah tiga sosok tubuh manusia dari wuwungan istana.
Yang pertama seorang perempuan berkerudung biru, yang kedua seorang pemuda
berambut gondrong bertampang gagah dan yang ketiga adalah Sultan sendiri! Maka
semangat tempur para penegak keadilan itupun berlipat gandalah!
Parit Wulung dan beberapa
orang sisa-sisa pembantunya yang berkepandaian tinggi bertahan mati-matian di
dalam kurungan kira-kira tiga puluh prajurit dan empat puluh rakyat jelata.
Ketika Sultan, Dewi Kerudung Biru dan Pendekar 212 maju pula ke tengah
gelanggang, maka hanya beberapa gebrakan saja tewaslah pembantu-pembantu utama
Parit Wulung! Manusia pengkhianat besar ini dengan putus asa coba bunuh diri
dengan hantamkan pedang ke kepalanya. Tapi Pendekar 212 lebih cepat merampas
senjata itu. Sultan dan Dewi Kerudung Biru kemudian meringkus Parit Wulung!
Maka hari itu tamatlah riwayat kekuasaan kaum pemberontak di bawah pimpinan
pengkhianat Parit Wulung dan kawan-kawannya!
Di mana-mana hanya tebaran
mayat yang kelihatan. Di mana-mana hanya suara-gegap gempita rakyat dan
prajurit-prajurit yang terdengar menyambut kemenangan dan mengelukelukan
Sultan Hasanuddin.
Kemudian diantara rakyat dan
prajurit-prajurit Banten banyak yang berteriak. "Gantung Parit Wulung!”
"Cincang tubuhnya sampai
lumat!"
"Hukum picis pengkhianat
itu !"
"Bakar saja
hidup-hidup!" teriak kelompok yang lain!
Sementara itu di langkan
istana, di bawah lima belas mayat yang masih tergantung berputar-putar di tiup
angin pagi, pendekar 212 dan Dewi Kerudung Biru berdiri dihadapan Sultan.
"Sultan kami rasa segala
sesuatunya sudah selesai kini. Kami berdua mohon diri….”
Sultan terkejut. "Tidak
bisa!,” kata Sultan setengah berteriak.
"Kalian berdua musti
tinggal dulu di sini beberapa lamanya. Bahkan aku sudah punya rencana untuk
mengangkat kau sebagai Kepala Balatentara Banten merangkap Pengawal Pribadiku,
Wiro!".
Wiro dan Anggini tersenyum.
"Hatimu mulia sekali Sultan,” sahut Pendekar 212. "Tapi kami berdua
adalah orang-orarig persilatan yang suka bertualang. Di lain hari kita akan
berjumpa dan berkumpul lagi…"
Sultan merasa kecewa.. Hatinya
juga sangat terharu. "Kalian berdua telah berjasa besar terhadap Kerajaan
dan rakyat Banten. Aku harus umumkan hai ini sekarang juga dihadapan rakyat….”
"Ah, jangan…. tak usah
Sultan" kata Anggini dan Wiro pula.
Sultan mengambil sebuah benda
berbentuk bintang bersudut delapan dengan sebuah berlian besar di tengahnya.
"Anggini,” kata Sultan pada Dewi Kerudung Biru, "benda ini adalah
bintang utama Kerajaan Banten yang hanya diserahkan pada siapa saja yang telah
berjasa pada Kerajaan dan Raja Banten. Ini juga sebagai tanda bahwa yang
memegangnya adalah sahabat Raja dan rakyat Banten. Terimalah….”
"Sultan… mana bisa aku
yang rendah dan sama sekali tidak membuat jasa apa-apa musti menerima bintang
penghargaan begitu rupa….?"
"Terimalah Anggini. Pada
Wiro juga sebelumnya telah pernah kuberikan…."
Dengan malu-malu Anggini
kemudian menerima jaga bintang bersudut delapan bermata berlian yang terbuat
dari emas itu, Tiba-tiba Sultan ingat sesuatu. "Andjarsari, bagaimana
Andjarsari …… ?"
"Dirinya tak perlu
dikhawatirkan Sultan,” menjawab Dewi Kerudung Biru. "Saat ini dia masih
berada di Lembah Batu Pualam dalam keadaan tak kurang suatu apa. Seorang
pengemudi kereta dan dua prajurit utama telah kami suruh ke sana untuk
menjemputnya….”
"Ah, jasa kalian berdua
benar-benar setinggi langit sedalam lautan. Aku betul-betul berterima kasih…”
Pendekar 212 tersenyum.
"Bukan kepada kami sebenarnya kau harus berterima kasih Sultan. Tapi
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya hamba-hamba Tuhan, hanya alat
Tuhan yang cuma sanggup berusaha sedang ketentuan tetap ditanganNya…….”
Sultan manggut-manggut. Dari
balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Tumbal Wilajuda. Dengan ujung senjata itu
digoresnya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan darah. "Kuharap
kalian berdua juga suka menggores telapak tangan masing-masing…"
Anggini dan Wiro saling
pandang. "Untuk apa kah Sultan?" tanya Wiro pula.
"Gores sajalah,” desak
Sultan.
Kedua orang itu kemudian sama
menggores telapak tangan masing-masing. Wiro menggores telapak tangan kanan
sedang Anggini tangan kiri. Sultan kemudian menempelkan eratrat telapak tangan
kanannya ke telapak tangan kanan Wiro sedang telapak tangan kiri ke telapak
kiri Anggini. Kemudian kedua tangannya diacungkan tinggi-tinggi ke udara. Dan
karena tak dapat membendung lagi perasaan hatinya maka berserulah Raja Banten
ini.
"Saudara-saudaraku para
prajurit dan rakyat Banten! Hari ini di bawah penyaksian kalian, aku mengangkat
saudara terhadap dua orang yang telah berjasa besar terhadap kita
sekalian…."
"Sultan!" seru
Pendekar 212. "Kami .ini hanya manusia-manusia rendah jelata, bagaimana
kau sudi mengangkat saudara…”
Sultan tersenyum.
"Darahku dan darah kalian telah bercampur. Tadi kau menyebut nama Tuhan,
apakah ada perbedaan aniara aku dan kalian sebagai manusia di mata
Tuhan….?!"
Dan Sultan berseru lagi.
"Yang di sebelah kananku ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan yang
berkerudung adalah Dewi Kerudung Biru Anggini !” `
Maka untuk kesekian kalinya
tardengarlah gegap gempitanya suara orang banyak yang menyambut ucapan Sultan
itu. Dan ketika sekilas Sultan memandang ke arah timur, maka
berserilah parasnya. Nun jauh
di sana, di lereng bukit, kelihatan meluncur sebuah kereta.
Kereta yang membawa
Andjarsari, calon permaisurinya.
TAMAT