-------------------------------
----------------------------
009 Rahasia Lukisan Telanjang
1
LANGIT terang cerah tiada
berawan. Matahari bersinar megah. Serombongan burung-burung pipit berarak dari
arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. Seorang pemuda gagah
berjalan lenggang kangkung seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar
matahari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia bersiul-siul
entah membawakan lagu apa. Suara siulannya menggema sepanjang jalan seantero
lamping gunung.
Bila seorang tokoh silat dunia
persilatan mendengar suara siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan
maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan lain daripada Wiro
Sableng, pemuda gagah yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Di satu tempat Wiro hentikan
langkahnya. Dia memandang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang
dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara dua buah gunung
menjulang tinggi laksana raksasa penjaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana
seekor ular besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena ditimpa
sinar matahari.
Wiro menyeka peluh yang
mencucur di keningnya dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya. Setelah
puas menikmati pemandangan yang indah itu dia melanjutkan perjalanan kembali
dan kali ini dengan mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam sekejap
saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia berharap akan sampai
sesenja-senjanya hari, ke tempat tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan
telah menyuruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan menurunkan
semacam ilmu pengobatan kepadanya.
Memasuki satu tikungan jalan
di dekat kaki gunung, Wiro memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit
sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam terjal serta luas dan
dalam. Seseorang yang jatuh ke sana jangan harap akan hidup sampai di dasar
jurang. Kalaupun dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti akan sia-sia!
Dari memperlambat larinya,
tiba-tiba Wiro Sableng berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk
mencangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya kurus sekali.
Demikian kurusnya hingga keadaannya tak ubah seperti tengkorak atau jerangkong
hidup!
Yang membuat Wiro Sableng
heran ialah apa yang tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil
duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah pigura kain putih yang
lebarnya satu meter sedang panjangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain
putih itu disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai daun pisang.
Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan kental berkelompok-kelompok beraneka
ragam warnanya.
Si orang tua membetulkan letak
pigura kain putih di hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan
kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwarna di atas daun pisang.
Dengan jari yang berselomotan cairan berwarna itu, si orang tua mulai
menggurat-gurat di atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak
mengetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ.
Wiro terus memperhatikan
dengan tak bersuara. Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya
dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212.
Lewat setengah jam kemudian di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas,
terlihat gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas tempat tidur dalam
sebuah kamar yang bagus. Ternyata si orang tua adalah seorang pelukis yang
lihai tetapi juga aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari
telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di atas daun pisang dan
di tempat sepi begitu rupa, di bawah teriknya sinar matahari!
Agar bisa memperhatikan lebih
jelas, tapi juga untuk tidak mengganggu si orang tua, maka Wiro Sableng
melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang tua berdiri dan mundur
beberapa langkah untuk meneliti lukisannya.
“Ah… bagus sekali… bagus
sekali! Bocah itu tentu akan senang melihatnya!” Suara orang tua ini kecil
halus seperti perempuan.
Wiro Sableng leletkan
lidahnya. Ternyata si orang tua telah melukis seorang perempuan telanjang yang
berbaring di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus. Perempuan itu
cantik sekali, rambutnya panjang menjela ke lantai kamar yang ditutupi
permadani. Tubuhnya yang tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya.
Mau tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan itu. Aneh orang
yang demikian tua mempunyai daya cipta yang merangsang begitu rupa. Dan siapa
pula bocah yang dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan senang
melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat lukisan perempuan telanjang?
Betul-betul keblinger, pikir Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini?
Sementara itu si orang tua kelihatan menambah beberapa guratan pada lukisannya.
Wiro Sableng memperhatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian
kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya. Karena jauh Wiro tak dapat
membacanya. Penuh rasa ingin tahu akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro
Sableng hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di kejauhan
didengarnya suara gemeletak roda kereta meningkahi derap kaki-kaki kuda. Sesaat
kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda
meluncur ke arah tikungan. Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang
kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan itu bergerak
perlahan. Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya. Apakah dia tidak
mendengar suara kedatangan kereta dan derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika
rombongan tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak
berpaling. Apakah dia tuli? Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari
kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang tersandar di batu lalu dengan
sikap hormat menegur si orang tua.
“Bapak, kuharap kau sudi ke
pinggir sedikit agar kereta bisa lewat.” Orang tua itu mencelupkan jari
telunjuk tangan kanannya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu
melanjutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah kanan lukisan.
Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia melangkah ke samping dan
menegur lagi lebih keras disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si
orang tua tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun tidak! Dari
dalam kereta terdengar suara seseorang.
“Pengawal, ada apakah kereta
berhenti?”
“Kita mendapat sedikit
rintangan Raden Mas Cokro,” jawab prajurit yang turun dari kuda. Dari jendela
kereta kemudian keluar kepala seorang laki-laki berparas gagah, berkumis rapi
dan mengenakan belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-taki ini
membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka tertariklah hatinya.
Dengan segera dia turun dari kereta. Digeleng-gelengkan kepalanya.
“Lukisanmu luar biasa
bagusnya, orang tua,” kata lakilaki ini. Untuk pertama kalinya orang tua
bertubuh jerangkong itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki
berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi pekerjaannya.
“Orang tua, aku tertarik
sekali dengan lukisanmu ini. Apakah kau sudi menjualnya?” Meski pekerjaannya
belum selesai, tapi melihat sikap orang demikian jumawa maka si orang tua
hentikan pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan tersenyum lagi.
“Terima kasih atas rasa
kagummu Raden Mas. Tapi sayang, lukisan ini bukan untuk dijual…” Raden Mas
Cokro menatap paras orang tua itu.
“Aku sanggup membayar mahal.
Kau tetapkan saja harganya…” Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak
tangannya.
“Mohon dimaafkan Raden Mas.
Lukisan ini tidak dijual. Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain.”
“Tapi aku sangat tertarik pada
yang satu ini,” kata Raden Mas Cokro.
“Menyesal sekali…”
“Akan kubeli lima puluh
ringgit.”
“Maaf Raden Mas…”
“Seratus ringgit!”
“Ah… sungguh penghargaanmu
besar sekali. Namun tak dapat kukabulkan Raden Mas…”
“Kalau begitu biar kubeli dua
ratus ringgit!” Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain dari sakunya
sementara keempat pengawalnya saling pandang dan kerenyitkan alis keheranan.
Meski lukisan itu bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga
yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak sampai setengah ringgit
satu minggu, menciut hati keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal
itu si orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya!
“Ini terimalah.” kata Raden
Mas Cokro seraya mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang ringgit
di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. Tapi lagi-lagi si orang tua
gelengkan kepala.
“Walau dibeli seberapa
mahalpun, lukisan ini tak dapat kujual Raden Mas. Mohon maafmu…” Raden Mas
Cokro kelihatan kurang senang dengan sikap si orang tua. Maka berkatalah dia,
“Apa dengan harga semahal itu
kau tetap tak mau menjualnya pada Adipati Pamekasan?”
“Ah…” Si orang tua menjura
dalam-dalam.
“Tak tahunya aku tengah
berhadapan dengan Adipati Pamekasan,” katanya. Dihelanya nafas panjang lalu
sambungnya,
“Benar-benar ini satu
kehormatan besar bagiku Adipati Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon
dimaafkan, lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan buatkan lukisan
lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau tak perlu membayar mahal… Kau pasti tak
akan kecewa Raden Mas…” Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa. Dibalikkannya
tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke dalam kereta.
“Lain kali kalau ada
kesempatan aku akan temui kau, orang tua. Di mana tempat tinggalmu?” tanya
Raden Mas Cokro lewat jendela kereta. Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil
tersenyum dia menjawab,
“Aku seorang pengembara
luntang lantung, Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap. Bila
lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku akan antarkan sendiri ke
Pamekasan…” Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasaran.
Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintahkannya anak buahnya
melanjutkan perjalanan! Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan
pekerjaannya. Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan garuk-garuk
kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! Harga tawaran yang semahal itu
ditolak oleh si orang tua. Betul-betul manusia ini aneh sekali! Mendadak Wiro
Sableng mendengar suara kaki yang berlari cepat. Belum lagi sempat dia
berpaling sesosok tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua. Hebat
sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya begitu dia muncul di depan
mata. Karena manusia ini tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng
memperhatikan dengan seksama. Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek.
Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi satu. Manusia tak berleher
ini berambut gondrong yang dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian
dada terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak sedap dipandang ialah
wajahnya. Mukanya yang berminyak itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir
tebal dan tak bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning
kelihatan menjorok ke luar.
“Ha… ha… ha. Ini betul-betul
satu lukisan yang bagus luar biasa!” berkata si gemuk yang baru datang ini.
Bola matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang tersandar di batu.
Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya tidak berpaling. Terus saja
dia menuliskan rentetan katakata pada bagian bawah kanan lukisan itu.
“Orang tua! Lukisan ini harus
kau berikan padaku!” kata si gemuk dengan suara keras lantang hingga
mengumandang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam jurang batu.
Hebat sekali tenaga dalam manusia ini! Namun kehebatan ini seperti tiada terasa
dan tiada diperdulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah mendekati
orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya di situ dianggap sepi. Bahkan apa
yang dikatakannya tadi tiada diambil perhatian oleh si orang tua!
“Orang tua! Apa kau tidak
dengar ucapanku tadi?!” bentak si gemuk. Barulah orang tua itu berpaling.
Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik ke atas. Ketika kedua
alis itu turun maka sekelumit senyum tersungging di bibirnya.
“Ah, kalau mataku tak salah
lihat… bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis
Dari Selatan?”
2
SI GEMUK terkesiap karena
tiada menyana kalau orang tua kurus kering itu mengetahui dirinya. Menurut
taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan manusia sembarangan.
“Bagus sekali kau kenali aku!”
kata si gemuk.
“Ini membuat aku tak banyak
cerewet untuk meminta lukisan itu padamu!” Si orang tua tertawa panjang.
Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia persilatan di daerah selatan pada masa
itu dikenal dua orang sakti bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang
berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan. Dia berjuluk Iblis Kurus.
Yang kedua berbadan gemuk pendek juga bermuka buruk seram dan bergelar Iblis
Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan dengan si orang tua itu!
Iblis Gemuk dan Iblis Kurus keduaduanya lebih dikenal dengan sebutan Dua Iblis
Dari Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga hadir Iblis Gemuk.
Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang muncul. Dan dalam dunia persilatan
keduanya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati jahat sehingga pantas
sekali julukan ‘Iblis’ itu bagi keduanya! Di samping berhati jahat, Iblis Gemuk
mempunyai kesukaan mengumpulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata
kuno, patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan yang dibuat si
orang tua maka hatinyapun tertariklah dan dia musti mendapatkan lukisan itu.
Tentu saja bukan dengan jalan membeli, tapi menurut caranya sendiri yaitu
kekerasan.
Setelah meneliti paras Iblis
Gemuk sebentar, maka menjawablah si orang tua,
“Lukisan ini tak bisa
kuberikan padamu, atau pada siapapun.”
“Setelah tahu siapa aku apakah
kau berani menolak?!” ujar Iblis Gemuk.
“Ah sudahlah pekerjaanku masih
belum selesai. Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis Gemuk.” Si orang tua
memutar kepalanya kembali dan hendak meneruskan pekerjaannya. Tapi Iblis Gemuk
segera membentak keras.
“Suka atau tidak suka lukisan
itu musti kau serahkan padaku! Kalau tidak kau akan menyesal orang tua…!” Si
orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa mengacuhkan Iblis Gemuk lagi dia
hendak meneruskan kembali pekerjaannya. Marahlah Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki
kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke samping. Tapi belum lagi tumit itu
sampai, si orang tua sudah berkelit dan berdiri. Iblis Gemuk terkejut Meski
acuh tak acuh tapi gerakannya untuk mengenyampingkan orang tua tadi adalah
salah satu jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang tidak mudah untuk dikelit.
Ini membuat Iblis Gemuk tambah marah dan serta merta pukulkan tangan kirinya ke
arah dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong itu!
“Manusia tidak tahu diri!”
bentak si orang tua mulai marah,
“Lekas kau pergi dari sini…!”
“Aku akan pergi tapi
sesudahnya menghadiahkan satu pukulan padamu dan mendapatkan lukisan itu!” Si
orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan dengan lambaikan tangan
kanannya ke muka! Iblis Gemuk menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana
sambaran angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan saja
pukulannya membelok ke samping tapi sekaligus membuat tubuhnya terhuyung-huyung
sampai empat lahgkah ke belakang!
“Orang tua badan tengkorak!
Cepat terangkan siapa kau sesungguhnya?!” bentak Iblis Gemuk. Si orang tua
tertawa pendek.
“Tak perlu kau tahu namaku.
Lekas tinggalkan tempat ini sebelum aku betul-betul marah!”
“Manusia jerangkong sialan!
Terpaksa tulang-tulang di badanmu kubikin berantakan!” Habis berkata begitu
Iblis Gemuk segera menyerbu ke muka dan kirimkan serangan yang ganas. Dalam
tempo yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di tikungan jalan
yang sempit itu. Di samping mereka, menunggu jurang batu yang luas dan dalam.
Salah saja membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau terpeleset, tak ampun
lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang! Pertempuran telah berjalan delapan
jurus. Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua yang kurus kering
itu memiliki gerakan yang demikian sebat dan entengnya. Beberapa kali dia
melihat bahwa orang tua ini mempunyai peluang untuk menjatuhkan tangan jahat terhadap
lawannya, namun tiada dipergunakan. Nyatalah bahwa orang tua ini berhati
demikian polosnya sehingga menghadapi lawan yang terangterangan hendak
bermaksud buruk kepadanya, dia masih belum mau lepaskan tangan keras!
“Iblis Gemuk! Apakah kau masih
belum mau angkat kaki dari sini?!”
“Kunyuk kurus kering! Terima
jurus Memukul Gunung Menentang Bukit ini!” teriak Iblis Gemuk. Tinju kanannya
menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan serentak dengan itu
menendang ke arah dada! Belum lagi pukulan dan tendangan itu sampai, anginnya
saja sudah menderu dahsyat! Buukk! Terdengar menyusul suara keluhan tinggi.
Tubuh Iblis Gemuk terbanting ke belakang, punggungnya menghantam gundukan batu
di atas mana Wiro Sableng duduk, kemudian melosong jatuh duduk di tanah.
Nafasnya megapmegap ketika berdiri. Masih untung dia terbanting ke samping
kanan, kalau ke samping kiri pastilah akan terlempar masuk jurang dan tamat
riwayatnya.
“Masih belum cukup peringatan
yang kuberikan padamu Iblis Gemuk?!” tanya si orang tua. Iblis Gemuk berkemak
kemik. Mukanya pucat. Nyatalah dia telah menderita luka di dalam yang cukup
parah akibat pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya!
“Bangsat tua! Kau tunggu di
sini! Hari ini juga Dua Iblis Dari Selatan akan menunjukkan jalan ke akhirat
padamu!” Si orang tua tertawa mengekeh.
“Kau mau panggil kambratmu si
Iblis Kurus…? Silahkan… silahkan! Masa ada tamu yang bakal datang aku hendak
pergi tinggalkan tempat ini? Pekerjaankupun belum selesai!” Iblis Gemuk meludah
ke tanah lalu berkelebat tinggalkan tempat itu, sedang si orang tua seperti
tiada terjadi apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya! Di atas batu yang tinggi
Wiro Sableng memutar otaknya berusaha mengingat-ingat siapa adanya orang tua
yang berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil mendadak entah dari mana
datangnya, tahu-tahu Wiro Sableng melihat di bawahnya telah berdiri seorang
nenek-nenek berbadan bungkuk berambut putih yang mukanya buruk sekali. Karena
Wiro sama sekali tiada mendengar kedatangan perempuan ini nyata sekali dia
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi luar biasa! Setelah memperhatikan sejenak
lukisan yang tersandar di atas batu maka perempuan tua renta ini menegur
bertanya,
“Orang tua, apakah kau melihat
dua orang kawanku lewat di sini…?” Tidak seperti biasanya, sekali ini begitu
ditegur maka orang tua itu hentikan pekerjaannya dan berpaling. Matanya yang
sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksama sedang keningnya berkerenyit.
“Hanya ada seorang yang lewat
di sini barusan,” jawab si orang tua.
“Iblis Gemuk, apakah dia yang
kau maksudkan?”
“Bukan!” jawab perempuan tua
itu. Dia melirik pada lukisan yang tersandar di batu.
“Itu kau yang membuatnya?”
“Betul.”
“Bagus sekali! Kuharap pada
tanggal satu bulan muka lukisan itu harus kau bawa ke Gunung Sumpang dan
menyerahkannya padaku! Kau dengar?”
“Tentu saja dengar. Tapi
menyesal sobat, lukisan ini tak bisa kuberikan pada siapa-siapa!”
“Aku tak perduli!” sentak si
perempuan bongkok.
“Umurmu memang kulihat sudah
lanjut! Tapi tentu kau tak ingin buru-buru mampus! Karenanya jangan banyak
mulut! Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada tanggal satu bulan di
muka!”
“Tidak mungkin!”
“Kau membantah?!” Orang tua
berbadan kurus gelengkan kepala.
“Jangankan diminta, dibeli pun
aku tidak sudi!”
“Kalau begitu kau ingin
cepat-cepat mati!”
“Sobat, Iblis Gemuk meminta
lukisan ini. Aku tidak berikan. Adipati Pamekasan berniat membelinya dua ratus
ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya. Tetap saja aku tak
bisa memberikan!”
“Kalau begitu kau berikanlah
nyawamu!” sahut si perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap untuk
kirimkan satu pukulan.
“Tahan dulu sobat!” ujar si
orang tua berbadan kurus.
“Sesungguhnya ada apakah
hingga kau begitu menginginkan lukisan itu?!”
“Itu kau tak perlu tanya! Aku
mau lukisanmu habis perkara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?!”
“Lucu! Sungguh lucu!”
“Apa yang lucu?!” sentak si
perempuan bungkuk bermuka keriput.
“Lukisan begini rupa banyak
orang yang menginginkannya, apa itu bukan lucu?!”
“Orang tua, jangan kau banyak
cingcong. Lekas serahkan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini!”
Habis berkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan kirinya ke arah batu di
atas mana Wiro Sableng duduk sembunyi sejak tadi! Byur! Sekali pukul saja maka
hancurlah bagian dasar batu besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon
tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam jurang dengan suara
menggemuruh. Wiro sendiri begitu merasa bagian bawah batu hancur segera melesat
dan berpindah ke puncak batu yang lain! Si orang tua tarik nafas
panjang-panjang dan gelenggelengkan kepala.
“Pukulan yang bagus luar
biasa! Pukulan yang hebat!” katanya memuji. Kemudian dipandanginya paras
perempuan di hadapannya.
“Sungguh mataku yang telah tua
ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku masih bersangsi, tapi melihat
pukulan Penghancur Baja yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku
betulbetul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang terkenal itu!” Jika si
orang tua kenali nama gelarannya ini tidak mengherankan si perempuan bungkuk
berambut putih. Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewakZtu si
orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya!
“Kalau kau sudah tahu
tingginya langit luasnya lautan, apakah kau masih banyak cerewet tak mau
serahkan lukisan itu?!”
“Langit memang tinggi, laut
memang luas! Tapi apakah semua itu dapat melebihi tinggi dan luasnya budi
manusia yang berhati luhur?” Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu.
“Lekas beri tahu siapa kau!”
sentaknya. Si orang tua geleng-gelengkan kepala.
“Manusia tetap manusia
sekalipun dia punya seribu nama! Manusia tak perlu agul-agulkan nama terhadap
sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama…!”
“Cacing kurus! Aku tak punya
waktu lama! Terpaksa lukisan itu kuambil sekarang juga!” kata Nenek Rambut
Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat menyambar lukisan
perempuan telanjang yang tersandar di batu. Namun mendadak sontak perempuan tua
itu merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang kesemutan! Ternyata si orang
tua telah melepaskan satu sentilan ujung jari ke arahnya!
“Jadi kau punya ilmu yang
diandalkan hah?!” lengking Nenek Rambut Putih. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia
segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan menikung yang sempit itu
terjadi lagi pertempuran. Kini lebih seru dari pertempuran antara si orang tua
dengan Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat cepat. Tubuh kedua
orang yang bertempur boleh dikatakan lenyap berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu
kerikil berhamburan, debu jalanan beterbangan. Wiro Sableng memperhatikan
dengan mata tak berkedip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap
pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat luar biasa serta mendatangkan
angin yang bersiuran. Tapi lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat
sepuluh jurus Nenek Rambut Putih berhasil didesaknya ke tepi jurang!
“Perempuan tua, jika kau tak
mau tinggalkan tempat ini secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di dasar
jurang sana!” Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia melompat ke
sebuah batu datar dan dari sini lancarkan satu tendangan ganas. Lawannya
berkelit gesit ke samping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di
hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkepingkeping! Si orang tua badan
jerangkong terkejut melihat hal ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan
jiwanya. Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap saja tubuhnya
lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih kebingungan sendiri! Bret! Si nenek tersurut
mundur. Pakaiannya di pinggang robek besar dan kulit badannya terasa dingin
sedang di hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa dan menegur,
“Kita tak ada permusuhan.
Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini!” Tenggorokan Nenek Rambut Putih
kelihatan turun naik. Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua
keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan tandingannya. Meski demikian
untuk menutupi rasa malunya, Nenek Rambut Putih berkata,
“Sayang aku tengah mencari dua
orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun aku akan ladeni kau.” Si
orang tua ganda tertawa.
“Permusuhan tanpa alasan bisa
dicari,” sahutnya
“Berlalulah…!”
“Tanggal satu di bulan muka
lukisan itu harus sudah kau sampaikan ke Gunung Sumpang! Kalau tidak aku dan
kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang tua!”
“Aku tidak punya kesalahan
apa-apa padamu. Perlu apa minta-minta ampun segala?!” menyahuti si orang tua.
Tapi Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang dari tempat itu! Baru
saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan sebelah kanan, maka dari
tikungan sebelah kiri terdengar seruan nyaring,
“Orang tua keparat! Aku datang
untuk menagih jiwamu!”
3
TERNYATA yang datang bukan
lain daripada Iblis Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si orang tua
berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian, tapi bersama seorang
laki-laki berbadan tinggi yang kurus luar biasa, lebih kurus dari si orang tua
sendiri. Keadaan tubuhnya serta tampangnya yang mengerikan persis seperti
jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini pun menguncir ke atas
rambutnya yang gondrong dan dia bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak kandung
dan kakak seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki ilmu kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripada Iblis Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah
mencari kakaknya itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang tua
melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelumnya! Si orang tua yang tadi
sudah hendak mencangkung untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara seruan
nyaring itu segera berdiri.
“Hem… kau betul-betul datang
menepati janji, Iblis Gemuk!” kata si orang tua sambil melirik pada Iblis
Kurus. Iblis Kurus memandang mencemooh.
“Adikku, apakah ini manusianya
yang telah berani turunkan tangan lancang terhadapmu?!”
“Betul, memang dia
bangsatnya!” sahut Iblis Gemuk. Iblis Kurus memperhatikan lukisan di belakang
si orang tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta merangsang. Tidak salah
kalau adiknya demikian tertarik dan menginginkannya.
“Manusia kurus cacingan macam
ini saja kau tidak sanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku menjadi
luntur!” Si orang tua tertawa dingin.
“Tampang dan tubuhmu jauh
lebih buruk dari aku, Iblis Kurus. Karenanya tak perlu mencela orang lain…”
“Kakakku, kurasa tak perlu
kita bicara panjang lebar dengan bangsat tua ini. Mari kita musnahkan dia!”
ujar Iblis Gemuk. Si orang tua tertawa mengekeh.
“Nyalimu melembung besar
kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan kakakmu ini, bukan?!”
“Orang tua keparat! Ajal sudah
di depan mata masih bisa bicara sombong!” Si orang tua berpaling pada Iblis
Kurus lalu berkata,
“Sobat, nama besar kalian
berdua sudah lama kudengar. Antara kita tak ada permusuhan…”
“Sesudah kau berani berlaku
lancang terhadap adikku, apakah itu bukan berarti permusuhan?!” potong Iblis
Kurus.
“Itu salah adikmu sendiri!”
sahut orang tua itu dengan nada sabar.
“Dia inginkan lukisanku. Aku
menolak. Dia memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah kalau aku memberi
sedikit pelajaran padanya?!”
“Tapi tidak seorangpun yang
boleh turun tangan seenaknya terhadap Dua Iblis Dari Selatan!” tukas Iblis
Gemuk. Si orang tua tertawa mengejek.
“Sifat manusia memang banyak
yang aneh,” katanya.
“Ingin menggebuk orang lain,
tapi digebuk tidak mau!” Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada.
“Orang tua, sebaiknya kau
serahkan saja lukisan itu pada adikku. Niscaya kami Dua Iblis Dari Selatan
tidak akan bikin urusan menjadi panjang!” Orang tua itu geleng-gelengkan
kepala.
“Heran,” katanya,
“mengapa di dunia ini masih
banyak manusia-manusia yang ingin memaksakan kehendaknya terhadap orang lain…”
“Kau mau serahkan lukisan itu
atau tidak?!” bentak Iblis Kurus.
“Kalau begitu lekas terangkan
namamu! Aku tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu nama atau julukannya
sekalipun manusia tak berguna macam kau!” Si orang tua tertawa panjang tapi
kali ini tawanya bernada rawan.
“Seharian ini banyak sekali
orang-orang yang ingin tahu namaku,” katanya.
“Padahal semua manusia
dilahirkan tidak bernama…”
“Jangan ngaco! Lekas beritahu
namamu!” hardik Iblis Kurus sambil maju satu langkah. Sebagai jawaban maka kali
ini orang tua aneh itu keluarkan serangkaian nyanyian: Puluhan tahun mengembara
Tiada berumah tiada bertempat tinggal Delapan penjuru angin penuh dengan
keindahan Bukankah pekerjaan baik, melukis segala yang indah? Mendengar suara
nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari Selatan. Mereka saling pandang sejenak.
“Jadi rupanya kaulah Si
Pelukis Aneh yang selama ini malang melintang dalam dunia persilatan?!” ujar
Iblis Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa adanya manusia di
hadapannya, tapi dia tidak takut Si orang tua yang memang Si Pelukis Aneh
adanya mengusap-usap dagunya.
“Sungguh tiada diduga hari ini
Dua Iblis Dari Selatan akan berhadapan dengan Si Pelukis Aneh akan pasrahkan
jiwanya di tanganku!” Si pelukis Aneh tertawa panjangpanjang.
“Rupanya hari ini aku terpaksa
mencabut pantangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain hendaki
jiwaku, mana mungkin aku berpangku tangan…?!”
“Bagus! Sekarang terima jurus
pertama ini kunyuk tua!” teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta menyerang ke
muka. Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya sudah tinggi maka
Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu silatnya. Tahu menghadapi lawan yang
tangguh maka Iblis Kurus keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya
sehingga dalam waktu yang singkat serangannya laksana hujan bertubi-tubi
melanda tubuh Si Pelukis Aneh! Dalam lima jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin
terdesak hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Gemuk untuk bergerak
mengambil lukisan perempuan telanjang yang tersandar di batu! Meski dalam
keadaan terdesak, si Pelukis Aneh masih sempat melihat gerakan lawannya yang
satu itu. Maka dengan melengking tinggi orang tua ini melompat sejauh dua
tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu tendangan ke arah Iblis
Gemuk. Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengambil lukisan itu dan
buru-buru menyingkir karena angin tendangan lawan deras dan bahayanya bukan
olah-olah! Baru saja Si Pelukis Aneh jejakkan kakinya di tanah, maka Iblis
Kurus telah menyerbunya dengan dua tendangan, dua pukulan! Namun kali ini Si
Pelukis Aneh telah rubah permainan silatnya. Matanya yang tajam dan penuh
pengalaman itu sudah melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. Maka sekali
tubuhnya berkelebat, Iblis Kurus merasakan desakan serangan yang hebat sekali
membuat dia selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak hebat. Dia
sama sekali tak dapat melihat gerakan lawan dan tahu-tahu tangan atau kaki
orang tua itu sudah berada dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurnalah maka dia masih sanggup
elakkan semua serangan lawan itu! Tapi sampai beberapa lama dia sanggup
bertahan?! Iblis Kurus menjadi gemas sekali. Semakin lama seakan terdesak dia.
Gerakan lawan yang campur aduk tak bisa dilihatnya mengacaukan serangan serta
jurus-jurus pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus keluarkan keringat dingin
sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi jurang! Setiap dicobanya untuk melompat
ke samping selalu dia berhadapan dengan tendangan-tendangan atau
jotosan-jotosan lawan yang menyambar di muka hidungnya hingga dia terpaksa
membatalkan niatnya untuk melompat ke samping! Dalam pada itu, detik demi detik
tepi jurang semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran yang kelima belas tepi
jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa langkah saja lagi di belakangnya!
“Gemuk! Lekas bantu aku!”
teriak Iblis Kurus. Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi sudah
punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang sebelumnya telah menghajarnya
segera cabut senjata dari balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi
bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan dilapisi emas murni
maka sinar kuning kelihatan menderu sewaktu pedang itu membabat ke arah
punggung Si Pelukis Aneh! Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar Iblis
Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran angin yang deras datang
menerpanya dari belakang! Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang
mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis Aneh dengan cepat memutar badan
menghadapi serangan pedang berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk! Kesempatan
ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk melompat ke samping menjauhi tepi
jurang batu lalu dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya sama
dengan yang di tangan Iblis Gemuk. Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro
Sableng menjadi penasaran. Segera dia hendak melompat dari atas puncak batu
untuk membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak jadi dilakukan karena pada
saat itu dilihat si kakek telah berkelebat dan kini di tangannya memegang
pelepah pisang yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia meletakkan
cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan untuk melukis! Dengan mempergunakan
benda ini sebagai senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya dengan
hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar sekali, ditambah dengan saluran
tenaga dalam yang tinggi maka setiap benda itu berkilat menderulah angin deras
luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis Gemuk dan Iblis Kurus! Dua
sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung ganas. Agaknya Dua Iblis Dari
Selatan itu mulai mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka.
“Bagus! Bagus! Keluarkan
seluruh kepandaianmu! Aku mau lihat!” seru Si Pelukis Aneh. Daun pisang di
tangannya bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali setiap jurus serangan
yang dilancarkan. Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi leletkan lidah
ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di tangan lawan sanggup membuat satu
goresan pada daun pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski digerakkan
demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata namun cairan-cairan aneka
warna yang ada di daun pisang itu tidak satu tetespun yang tumpah atau meleleh!
Benarbenar luar biasa kehebatan Si Pelukis Aneh! Dalam mengagumi kehebatan
orang tua itu tiba-tiba terdengar pekikan setinggi langit. Ternyata daun pisang
di tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis Kurus. Pedangnya mental sedang
tubuhnya terpelanting sampai beberapa tombak dan celakanya terus terguling ke
tepi jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba memegang sebuah batu
runcing yang menonjol di tepi jurang. Tapi pukulan daun pisang yang dialiri
tenaga dalam yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama sekali
kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang batu runcing itu dan menahan
dirinya agar tidak jatuh ke dalam jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian
pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya melayang masuk jurang.
Batu-batu runcing menantinya di dasar jurang! Untuk kedua kalinya terdengar
jeritan Iblis Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan! Melihat kakaknya yang
berilmu lebih tinggi menemui kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik.
Berdua dia tak sanggup menghadapi Si Pelukis Aneh, apalagi seorang diri! Maka
tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama Iblis Gemuk segera ambil
langkah seribu! Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang Iblis Kurus
yang menggeletak di tanah.
“Orang jahat, matamu sudah tak
layak hidup lebih lama, Iblis Gemuk!” teriak Si Pelukis Aneh lalu lemparkan
pedang ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri! Pedang itu menancap
tepat di pertengahan punggung Iblis Gemuk terus menembus sampai di luar ujung
pada dadanya! Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan! Si Pelukis Aneh mengusap
mukanya. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu dia duduk menjelapok di tanah dan
memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan kepala dari lukisan itu, dia
berseru,
“Orang yang sembunyi di atas
batu tinggi harap turun!” Kagetlah Wiro Sableng. Pendekar ini garuk-garuk
kepalanya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi keluar dari persembunyiannya dan
melompat turun.
4
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
jejakkan sepasang kaki di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu dia
berdiri di hadapan si orang tua segera dia menjura dan berkata,
“Aku yang muda merasa
beruntung sekali dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan penjuru
angin.” Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan yang tengah
dipandangnya.
“Siapa namamu…?”
“Wiro.”
“Apa kau punya gelar?” Wiro
Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab dengan gelengan kepala. Lantas Si
Pelukis Aneh bertanya lagi,
“Kenapa kau sembunyi di atas
batu sana?”
“Aku tak ingin mengganggumu, orang
tua.”
“Bagus, kau tahu peradatan
juga rupanya.” Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh palingkan wajah dan
meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang lagi pada lukisannya dan
menggoyangkan kepala.
“Menurutmu apakah lukisanku
ini bagus?” tanya Si Pelukis Aneh.
“Bagus luar biasa,” jawab Wiro
Sableng. Si Pelukis Aneh tertawa pendek.
“Kalau lukisan ini kuberikan
padamu, apakah kau mau menerimanya…?” Wiro berpikir sejenak. Adipati Pamekasan
telah menawar lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak
menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui kematian karena inginkan
lukisan itu. Nenek Rambut Putih dibikin kelabakan sewaktu memaksakan
kehendaknya atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si Pelukis Aneh
hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu kepadanya! Wiro menjawab,
“Ah, hatimu terlalu baik orang
tua. Aku yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu yang bagus luar
biasa ini?!” Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya.
“Manusia kerap kali tertipu
oleh pandangan matanya,” berkata Si Pelukis Aneh.
“Apa yang kelihatan bagus itu
belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu…?” Wiro anggukkan kepala.
“Kau mengangguk! Tapi apa kau
bisa beri satu contoh daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya buruk?”
Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat Wiro Sableng jadi
garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia
kemudian menunjuk ke arah gunung itu.
“Kau lihat gunung yang jauh
itu, orang tua?”
“Ya… ya…, aku lihat.”
“Dari sini kelihatannya bagus
sekali. Biru kehijauan. Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak
lebih daripada pohon-pohon besar liar, semak-semak belukar, tanah, batu-batu
dan lain sebagainya.” Pelukis Aneh tertawa.
“Kau betul! Otakmu cerdik.
Tentu kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang muda?” Wiro
Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab. Dia tahu betul kalau gurunya Eyang
Sinto Gendeng akan marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran. Maka
akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyumsenyum,
“Pengalaman adalah guru yang
paling baik dan bijaksana bagi setiap manusia…” Si Pelukis Aneh kerenyitkan
kening dan menatap paras si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandanglah
suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung dan jurang batu.
“Tong kosong selalu berbunyi
nyaring. Tong penuh tak akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi
akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit sering jual tampang, jual
pamer dan bermulut besar. Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat
macammu, Wiro!” Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut ‘bocah’. Maka
bertanyalah Wiro,
“Pelukis Aneh, siapakah yang
kau maksudkan dengan bocah itu?”
“Calon muridku!” jawab Si
Pelukis Aneh. Kemudian ditelitinya lukisan di hadapannya. Wiro memperhatikan
pula dengan seksama. Lukisan perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar
biasa. Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata. Memandang
lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga.
“Tadi kulihat Adipati
Pamekasan hendak membeli lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak
menjualnya?” tanya Wiro. Si Pelukis Aneh tertawa.
“Bacalah tulisan di sudut
kanan bawah.” katanya. Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu
memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh telanjang si perempuan
cantik saja. Kini diperhatikannya bagian yang dikatakan si orang tua. Pada
sudut bawah sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi: Lukisan ini
kuwariskan kepada calon muridku: Wira Prakarsa. Wiro manggut-manggut
“Calon muridmu itu, di manakah
sekarang?”
“Tentu saja di rumahnya.”
sahut Si Pelukis Aneh.
“Umurnya baru sepuluh tahun.
Kelak pada umur duabelas tahun baru dia kuambil jadi murid.”
“Lalu apa perlu lukisan
perempuan telanjang ini hendak kau serahkan padanya?” tanya Wiro tak mengerti,
“Ah… itu satu hal yang aku tak
bisa terangkan, orang muda.” Wiro maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian,
pendekar ini berkata pula,
“Begitu selesai apakah lukisan
ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?” Pelukis Aneh gelengkan kepala,
“Aku tidak terlalu bodoh.”
jawabnya.
“Sekarang saja orang-orang
jahat sudah pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan ini. Kalau
diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa berabe. Nanti pada dua tahun di
muka baru kuberikan.”
“Dua tahun di muka calon
muridmu itu baru berumur duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut
anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini macam ke padanya bukan
merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya…?!” Si Pelukis Aneh tertawa.
“Aku sudah bilang segala
sesuatu yang bagus itu seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu
keanehan dunia, kita manusia ini tahu apa?!” Wiro maklum kalau si orang tua
adalah seorang yang pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat aneh
sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi gelar Si Pelukis Aneh
kepadanya!
“Wiro.” berkata Pelukis Aneh.
“Kalau aku tak salah raba
agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau pengembaraan. Tengah menuju ke
manakah kau sebetulnya?” Wiro Sableng merasa bimbang untuk mengatakannya terus
terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah menuju Goa Belerang untuk menemui
Kiai Bangkalan. Maka pendekar ini menjawab,
“Manusia macamku ini berjalan
hanya sepembawa kaki saja, orang tua.” Setelah bicara-bicara beberapa lamanya
akhirnya Wiro Sableng minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di kaki
gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa perdulikan keterikan yang
membakar jagat itu, Pendekar 212 Wiro Sableng teruskan perjalanannya dengan
mempergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul. Ketika dia berada di
sebuah kaki bukit, mendadak di puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana
bintang malam bergerak cepat ke arah selatan. Wiro hentikan larinya guna dapat
meneliti lebih jelas. Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu
adalah dua orang manusia yang tengah berlari cepat. Wiro memperhatikan terus.
Dua titik kuning itu menuruni bukit di sebelah selatan terus laksana terbang
menuju ke daerah berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana sebelumnya
Wiro berada. Akhirnya dua titik kuning itu lenyap di batas pemandangan Pendekar
212 Wiro Sableng. Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang ditemuinya di
lamping pegunungan itu, mendadak hatinya menjadi berdesir, lebih cepat kalau
dikatakan berdebar! Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi
yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya mungkin pula orang-orang jahat
yang sengaja pergi ke gunung itu untuk melakukan perbualan yang tidak baik
terhadap Si Pelukis Aneh. Wiro merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir
begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan perjalanan namun
langkah.yang dibuatnya tertahan-tahan olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar
212 membalikkan diri lalu berlari cepat kejurusan selatan. Dua kali peminum teh
baru Wiro Sableng sampai ke tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa
terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dia sampai di tempat itu! Larinya dengan serta
merta terhenti. Sepasang kakinya laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit,
dada menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang terkatup rapat-rapat!
“Terkutuk!” desis Pendekar
212. Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang menggeletak di tikungan
jalan. Tubuh orang tua ini mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki
ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat dari besi berlapiskan
emas. Benda-benda yang merupakan senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung
racun yang luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro melihat tubuh Si Pelukis
Aneh berada dalam keadaan gembung membiru. Yang mengerikan ialah apa yang
tercengkeram di tangan kanan Si Pelukis Aneh yang sudah tidak bernyawa itu.
Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah kutungan lengan yang tertutup
kain kuning! Warna lain ini mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang
dilihatnya sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan lengan jubah
seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah terjadi lagi pertempuran di tempat
itu antara Si Pelukis Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di
kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski menemui kematian di
tangan dua pengeroyok namun Si Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan
kiri salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya masih mencengkeran
lengan itu! Wiro Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan perempuan
telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari situ! Pasti dua manusia
berpakaian kuning pengeroyok Si Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro
berdiri perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh meski dirinya
kebal terhadap segala macam racun. Dia harus menggali sebuah lubang dan
mengubur orang tua itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat yang
baik mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil tersembul di balik unggukan batu
yang terletak tak berapa jauh dari tepi jurang. Cepat-cepat Pendekar 212
melangkah ke batu itu. Di sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian
compangcamping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut besar. Sewaktu
diperiksa ternyata dia cuma pingsan. Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya
akhirnya anak ini siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya tolol
sekali!
“Namamu tentu Wira.” tegur
Pendekar 212. Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu memandang
pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihat tubuh Si Pelukis Aneh maka anak ini
kembali menangis lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan bagaimana dia sampai
berada di tempat itu. Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak memberi
penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya
dia tengah bermainmain di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian kuning
bertampang mengerikan mendatanginya. Salah seorang dari mereka langsung
mendukungnya dan membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan orang
yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di mana letak pegunungan yang
biasanya didatangi oleh calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia
memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis Aneh maka langsung saja
kedua orang berpakaian kuning itu menyerang calon gurunya. Menurut penuturan si
anak lama sekali ketiga orang itu bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang
menyerempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya membentur batu lalu
dia tak ingat apa-apa lagi! Wiro maklum kini apa yang telah terjadi.
“Apa kau pernah melihat kedua
orang itu sebelumnya?” Wira Prakarsa menggeleng.
“Tadi kau katakan muka kedua
orang itu mengerikan sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan itu?”
Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab dengan masih sesenggukan.
“Yang mendukungku matanya cuma
satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, bermata besar merah dan tak punya
kuping…” Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu dengan dua manusia macam
itu, juga tak pernah mendengar tentang ciri-ciri mereka sebelumnya.
“Apakah kau tahu apa yang
dibuat gurumu di sini sebelum dia meninggal?”
“Dia melukis. Katanya lukisan
itu untukku. Di dalam lukisan itu ada…” Si anak tarik kembali lidahnya dan tak
teruskan bicara.
“Ada apa…?” tanya Wiro ingin
tahu.
“Tidak, tak ada apa-apanya.”
Menyahuti si anak, lalu kembali dia menangis. Pendekar 212 Wiro Sableng semakin
yakin bahwa di dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada tersembunyi satu
rahasia besar yang cuma Si Pelukis Aneh dan calon muridnya itu yang tahu.
Apakah beberapa tokoh silat tahu rahasia itu sehingga mereka menginginkan
lukisan tersebut? Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan perempuan
bertelanjang itu belaka? Tapi agaknya dua manusia berpakaian kuning yang telah
membunuh Si Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan. Mungkin
sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang terkandung dalam lukisan itu!
Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur Si Pelukis Aneh maka Wiro
Sableng mendukung Wira Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang ke
rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani miskin yang saat itu
masih belum kembali dari ladangnya.
“Wira,” kata Pendekar 212
sambil pegang kepala si anak.
“Karena pemilik sah lukisan
itu adalah kau, maka aku akan mencarinya sampai dapat dan mengembalikannya
padamu…” Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang tolol. Sewaktu
meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak habis pikir bagaimana Si Pelukis Aneh
telah memilih anak yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat
pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang tolol geblek maka
segala pikiran yang bukan-bukan tentang Si Pelukis Aneh maupun anak tadi segera
lenyap.
“Kalau dia tolol karena dia
masih anak-anak,” ujar Wiro dalam hati.
“Aku yang sudah dedengkot
begini rupa masih sableng! Masih mending anak itu!”
***
Satu bulan kemudian dunia
persilatan dilanda kehebohan. Tokoh-tokoh silat terkenal dari delapan penjuru
angin dan partai-partai persilatan berusaha keras untuk mendapatkan sebuah
lukisan telanjang yang mengandung rahasia besar. Siapa yang berhasil
mendapatkan lukisan itu dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti
akan sangat beruntung karena di dalam lukisan itu terkandung semacam ilmu silat
dan ilmu kesaktian yang hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di
delapan penjuru angin! Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut
Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh silat. Terakhir sekali
kabarnya kembali jatuh ke tangan sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu
bulan itu telah belasan tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar hancur
lebur semua gara-gara lukisan perempuan telanjang yang mengandung rahasia besar
itu!
5
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
tengah berlari di antara rapatnya pohon-pohon dan semak belukar di dalam sebuah
rimba belantara sewaktu satu suara dengan santar menggeledek membentaknya.
“Berhenti!” Wiro terkesiap dan
hentikan larinya. Belum lagi dia sempat berpaling tahu-tahu sesosok tubuh telah
berdiri di hadapannya. Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai ke
dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi kiri kanan tergantung
dua buah bumbung bambu.
“Dewa Tuak!” seru Pendekar
212. Hatinya gembira tapi juga bersangsi. Manusia di hadapannya kelihatan
tambah tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski demikian masih tetap
tegap kuat (Tentang siapa adanya Dewa Tuak ini harap baca serial Pendekar 212
yang kedua yaitu: Maut Bernyanyi di Pajajaran). Wiro Sableng menjura
dalamdalam. Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu mengangkat salah
satu bumbung bambu dan meneguk tuak di dalamnya sampai lepas dahaganya. Setelah
menyeka mulutnya yang berselomotan tuak maka Dewa Tuak berkata,
“Beratus hari mencarimu, saat
ini baru bertemu!” Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini masih hendak
melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa menjodohkannya dengan muridnya?!
Untuk mengetahuinya maka Wiro cepat-cepat bertanya,
“Apakah kau masih juga hendak
memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak…?”
Dewa Tuak angkat lagi bumbung
tuak dan meneguknya beberapa kali. Kemudian digelengkan kepalanya
perlahanlahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya minuman yang diteguknya
itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar 212 merasa lega sedikit. Namun
demikian apa pula gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah
beratus hari dia mencari-cari dirinya?
“Aku tahu… aku tahu dulu itu
aku telah berlaku picik! Soal jodoh mana bisa dipaksakan?!” Dewa Tuak tertawa
gelak-gelak.
“Kalau begitu tengah menuju ke
manakah kau saat ini, Dewa Tuak?”
“Kau sendiri tengah menuju ke
mana Wiro?” Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang mencari lukisan
perempuan telanjang yang tengah dihebohkan dunia persilatan waktu itu. Namun
demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan berkata,
“Ah, rupanya kau juga telah
ikut-ikutan terlibat dalam mencari lukisan itu, orang muda?” Wiro terkejut.
“Kunasihatkan padamu agar
segera mengundurkan diri saja. Lukisan itu hanya mendatangkan malapetaka, lain
tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya. Satu partai besar telah
musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau juga ingin mati percuma hanya karena
lukisan telanjang itu?!”
“Tapi lukisan itu ada sangkut
pautnya dengan diriku, Dewa Tuak…”
“Eh, sangkut paut bagaimana?”
tanya Dewa Tuak heran. Maka Wiropun menuturkan pertemuannya dengan Si Pelukis
Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu calon murid Si Pelukis Aneh
itu. Dewa Tuak menarik nafas panjang.
“Memang, itu sudah menjadi tugasmu
orang muda. Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu kembali pada
pemiliknya yang sah…” Keduanya berdiam diri sebentar.
“Dewa Tuak, apakah kau sudah
mendengar tentang muridmu?” tanya Wiro.
“Sudah… sudah! Aku gembira
melihat dia kini berada dan bertapa di Goa Dewi Kerudung Biru. Dia beruntung
sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid oleh Dewi Kencana Wungu tempo
hari. Terakhir sekali aku bertemu katanya dia hendak mempersuci diri,
mengundurkan diri dari segala urusan duniawi.” Wiro Sableng termenung mendengar
keterangan Dewa Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat,
berdua-duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu.
“Sekarang marilah ikut aku,”
kata Dewa Tuak.
“Ikut ke mana Dewa Tuak?”
“Ikut sajalah.”
“Terima kasih. Tapi aku ada
urusan yang penting. Kau sendiri sudah maklum.”
“Justru aku ajak kau untuk
pergi ke satu tempat yang ada sangkut pautnya dengan lukisan yang tengah kau
cari itu!” ujar Dewa Tuak. Mendengar ini maka Wiro tidak membantah. Keduanya
segera meninggalkan tempat itu memasuki lebih dalam rimba belantara yang jarang
didatangi manusia! Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai di bagian rimba
belantara yang paling lebat. Pohon-pohon sangat besar dan rapat tumbuhnya.
Suasana lengang sunyi sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya
daun-daun pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti di malam hari
layaknya! Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang tinggi. Wiro sampai di
cabang dan berdiri di samping Dewa Tuak, terkejutlah dia. Sekira dua puluh
tombak di bawah sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang beratap rumbia.
“Pondok siapakah itu?” tanya
Wiro. Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu dengan suara
perlahan dia berbisik,
“Ikut aku dan jangan keluarkan
suara!” Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang lain. Melompat lagi,
melompat lagi dan akhirnya mendarat di atas wuwungan atap rumbia tanpa
keluarkan suara sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah berada pula di
sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat namun tanpa mereka mengandalkan
ilmu meringankan tubuh pastilah atap itu akan roboh! Dewa Tuak membungkuk dan
dengan hati-hati membuat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar
Wiro melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu lubang di atas atap itu.
Keduanya kemudian mengintai ke dalam pondok. Karena di dalam pondok agak gelap
maka mula-mula Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya yang mengintai itu
melihat seorang perempuan tua berambut hitam legam berdiri terbungkuk-bungkuk di
sudut pondok. Kedua matanya meram tapi mulutnya yang kempot berkomatkamit. Wiro
hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa adanya nenek-nanek itu tapi dia
khawatir suaranya terdengar oleh si nenek maka lantas dia pergunakan ilmu
menyusupkan suara. Namun belum sempat dia ajukan pertanyaan mendadak pintu
pondok terpentang lebar dan dua orang masuk ke dalam. Keduanya ternyata
neneknenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut biru, yang kedua
berambut putih. Di bahu masing-masing memanggul dua sosok tubuh yang agaknya
telah ditotok kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih kagetlah Wiro
Sableng karena perempuan tua ini bukan lain Nenek Rambut Putih yang sebelumnya
telah dilihatnya di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan lainnya itu pastilah
Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam!
“Pemimpin!” ujar Nenek Rambut
Biru,
“Inilah bangsatbangsat yang
kau inginkan itu!” Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi pemimpin kedua nenek
lainnya itu memandang dingin pada kedua laki-laki yang menggeletak di muka
kakinya.
“Buka jalan suara mereka!”
perintahnya. Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada jalan suara kedua orang
itu. Begitu jalan suaranya terbuka maka salah seorang dari dua laki-laki itu
membentak,
“Iblis betina, kau rupanya
yang jadi biang racun! Lekas lepaskan totokanku dan kawan-kawanku!” Nenek
Rambut Hitam tertawa melengking-lengking.
“Ketua Partai Angin Timur, aku
akan bebaskan kalian berdua jika kau beritahu di mana sarangnya Sepasang Elmaut
Kuning!” Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki yang seorang itu adalah
ketua sebuah partai, pastilah ilmunya tinggi sekali! Dan dari situ dapat pula
diukur tingginya ilmu Nenek Rambut Biru dan Rambut Putih yang telah berhasil
menawan ketua partai itu bersama seorang kawannya.
“Ada apa kau tanyakan sarang
kambratku itu?!” balas menanya Ketua Partai Angin Timur.
“Bedebah! Aku tak suruh kau
bertanya setan?!” bentak Nenek Rambut Hitam. Plaak! Tamparan Nenek Rambut Hitam
melayang melanda sang Ketua, membuatnya tergelimpang dan terguling di lantai
pondok. Dua buah giginya mencelat mental sedang bibirnya pecah! Paras Ketua
Partai Angin Timur membesi. Nyata kemarahan menggelegak dalam dirinya, tapi
karena ditolok maka yang bisa dilakukannya ialah memaki habishabisan! Nenek
Rambut Putih menjambak rambut Ketua Partai Angin Timur dan menyentakkannya
hingga laki-laki itu berdiri kembali di hadapan, pemimpinnya!
“Lekas terangkan di mana
sarang Sepasang Elmaut kuning!” hardik Nenek Rambut Hitam. Ketua Partai Angin
Timur mendengus!
“Maksudmu untuk mencari
lukisan telanjang itu tak akan berhasil, iblis betina!”
“Keparat betul! Kau mau bilang
apa tidak?!” Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur mendengus.
“Aku tidak tahu!” sahutnya.
“Sekalipun tahu aku tak akan
bilang padamu!” Nenek Rambut Hitam marah sekali. Diulurkannya tangannya. Sekali
remas saja maka hancurlah telapak dan jari jari tangan kanan sang Ketua!
Laki-laki itu menjerit kesakitan dan memaki habis-habisan! Kawannya keluarkan
keringat dingin.
“Itu masih belum apa-apa,”
ujar Nenek Rambut Hitam.
“Kalau kau tetap membangkang
tak mau kasih keterangan, seluruh tubuhmu akan kubikin hancur! Lekas katakan!”
“Nenek Rambut Hitam, kawanku
itu betul-betul tidak tahu letak sarangnya Sepasang Elmaut Kuning,” berkata
kambrat Ketua Partai Angin Timur.
“Kau tak usah berbacot!”
bentak sang nenek.
“Kalau dia tak tahu kau tentu
tahu ya?!” Pucatlah wajah laki-laki itu.
“Ayo lekas kalian katakan!
Kalau tidak kalian akan disiksa sampai setengah mampus!” teriak Nenek Rambut
Biru.
“Nenek Rambut Hitam! Kalian
dan kami masing-masing satu golongan, kenapa berbuat sejahat ini?” Nenek Rambut
Hitam tertawa melengking,
“Kalau kau dan kambratmu tidak
mau binasa percuma lekas beri keterangan!”
“Kalian penggal pun kami
berdua, tetap aku tak bisa kasih keterangan!”
“Aku mau lihat!” ujar Nenek
Rambut Hitam. Sekali dia gerakkan tangan kanannya maka tanggallah lengan kiri
Ketua Partai Angin Timur! Laki-laki ini melolong laksana srigala lapar,
mengerikan sekali! Pendekar 212 Wiro Sableng bergidik.
“Dewa Tuak, aku tak bisa melihat
kekejaman terkutuk itu berjalan lebih lama!” kata Wiro. Dia bergerak cepat
hendak menerobos atap. Tapi lebih cepat dari itu si orang tua yang memanggul
dua buah bumbung bambu memegang lengannya dan menjawab dengan ilmu menyusupkan
suara seperti yang dilakukan oleh Wiro waktu berkata padanya tadi.
“Biarkan, kita lihat saja!
Ketua Partai Angin Timur tidak beda dengan tiga orang nenek serta seorang
kawannya itu! Mereka sama-sama dari golongan hitam tukang bikin kejahatan di
dunia persilatan! Biar saja mereka saling bunuh! Kita menonton saja!”
“Tapi Ketua Partai Angin Timur
berada dalam keadaan tak berdaya!” tukas Wiro Sableng.
“Perduli amat! Sudahlah kita
lihat saja!” bentak Dewa Tuak pula. Wiro Sableng menggerutu dalam hati lalu dia
mengintai lagi lewat lobang.
“Ayo! Apa kau masih tidak mau
kasih keterangan?!” Si Nenek Rambut Hitam membentak. Jawaban Ketua Partai Angin
Timur adalah suara raungan yang mengerikan! Nenek Rambut Hitam berpaling pada
kawan Ketua Partai Angin Timur.
“Jaliwarsa! Kau tentu tak
ingin menerima nasib macam kambratmu itu, bukan?!” Pucatlah wajah laki-laki
yang bernama Jaliwarsa.
“Apa maksudmu Nenek Rambut
Hitam…?”
“Kau tentu tahu! Lekas katakan
di mana tempat kediaman Sepasang Elmaut Kuning!”
“Demi setan aku tidak tahu
sama sekali Nenek Rambut Hitam…” Nenek Rambut Hitam mendengus marah. Dia
berpaling pada anak buahnya.
“Rambut Biru! Cungkil mata
kirinya!” perintah Nenek Rambut Hitam.
“Tobat! Jangan…!” teriak
Jaliwarsa.
“Kalau begitu lekas buka
mulut!” sentak Nenek Rambut Hitam. Jaliwarsa menangis macam anak kecil. Meratap
mengatakan bahwa dia betul-betul tidak tahu di mana letak sarang Sepasang
Elmaut Kuning.
“Tak ada ampun bagimu! Cungkil
matanya!” bentak Nenek Rambut Hitam. Maka Nenek Rambut Biru melompat ke muka.
Dua buah jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa. Terdengar suara
mengerikan sewaktu biji mata laki-laki itu mencelat bersama semburan darah yang
disusul oleh suara melolong Jaliwarsa yang laksana gila karena kesakitan!
6
PEREMPUAN iblis!” teriak ketua
Partai Angin Timur yang menggeletak di lantai pondok.
“Kalian bunuhlah kami! Biar
kami bisa jadi setan dan mencekik batang leher kalian!” Nenek Rambut Hitam
tertawa mengekeh.
“Nyalimu boleh juga, kunyuk
sialan! Kalian minta mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian memang tidak berguna
hidup lebih lama!” Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki Ketua Partai Angin
Timur dan Jaliwarsa. Sekali kedua tangannya bergerak maka mencelatlah tubuh
kedua orang laki-laki itu ke atas atap. Serentak dengan itu si nenek berseru,
“Tukangtukang intip keparat,
terima ini!” Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak sangka kalau si
nenek begitu lihai sehingga sudah mengetahui kehadirannya bersama Dewa Tuak di
atas atap! Wiro dan Dewa Tuak cepat melompat ke samping. Pada saat itu pula
atap pondok bobol dihantam dua tubuh yang dilemparkan Nenek Rambut Hitam! Tubuh
Ketua Partai Angin Timur menghantam sebuah pohon, pinggangnya hancur dan jatuh
ke tanah tanpa nyawa! Kawannya menyangsang sebentar di sebuah pohon lain, lalu
jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala pecah! Maklum kalau tiga perempuan tua
berbadan bungkuk itu sudah mengetahui kedatangannya bersama Wiro, maka Dewa
Tuak segera melompat turun, masuk ke dalam pondok lewat atap yang bobol. Wiro
menyusul dan berdiri di sampingnya. Kelima orang itu saling menyapu dengan
pandangan mata masing-masing. Diam-diam ketiga nenek itu mengagumi kegagahan
tampang Wiro Sableng meskipun kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik
ketololan! Sedang masing-masing mereka sama kerenyitkan kening sewaktu melihat
Dewa Tuak membawa dua buah bumbung bambu yang agaknya berisi cairan. Cairan apa
mereka tak bisa menduga.
“Siapa kau?!” tanya Nenek
Rambut Hitam.
“Dan kau juga?!” katanya
sambil goyangkan kepala pada Wiro Sableng. Dewa Tuak tak segera menjawab melainkan
mengangkat salah satu dari bumbung bambu dan meneguk isinya beberapa kali.
Perlu diketahui kedua bumbung itu tidak ditutup. Meski dibawa berlari
bagaimanapun kencangnya atau dibawa melompat namun satu tetes pun tuak itu
tidak tumpah. Ini adalah berkat kehebatan tenaga dalam Dewa Tuak yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaannya! Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena
pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum bahwa si orang tua
berjanggut itu bukan seorang yang bisa dianggap remeh maka dia cuma memandang
saja dengan mata mendelik!
“Sobat-sobatku,” kata Dewa
Tuak kepada tiga orang nenek,
“Sebelum kita bicara-bicara
apakah tidak lebih bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini dulu?” Nenek Rambut
Hitam terkesiap seketika. Diperhatikannya orang tua di hadapannya lebih teliti.
Kemudian,
“Kalau aku tak salah duga,
apakah kau manusia yang bergelar Dewa Tuak?!” Dewa Tuak usut-usut janggutnya
yang panjang sampai ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi tuaknya beberapa
kali.
“Aku memang doyan tuak, tapi
aku bukan dewa!”
“Sejak puluhan tahun
belakangan ini kau lenyap dari dunia persilatan! Tahu-tahu kini muncul unjukkan
tampang! Tentu ada yang menyebabkannya! Apakah kau yang sudah tua karatan ini
telah terlibat pula dalam urusan mencari lukisan perempuan telanjang itu?!”
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
“Rupanya di dalam otakmu hanya
lukisan itu saja yang teringat nenek bangkotan! Kita yang sudah tua-tua begini
bukan tempatnya lagi mengurus segala macam persoalan duniawi!”
“Lantas perlu apa kau datang
ke sini dan mengintip tak tahu adat?! Dan cecunguk hijau ini apamu?!” Wiro
Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya disebul cecunguk hijau lalu
tertawa geli!
“Orang muda! Nyalimu cukup
besar untuk berani tertawa di hadapanku!”
“Tertawa saja apa susahnya?!”
ujar Wiro lalu tertawa lagi lebih keras hingga pondok itu terdengar hebat!
Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak buahnya. Tiada dinyana kalau si anak
muda memiliki tenaga dalam yang sehebat itu!
“Kau tanyakan dia?” ujar Dewa
Tuak seraya tuding Wiro dengan ibu jarinya.
“Dia adalah calon mantuku yang
tidak jadi!” Lalu orang tua ini tertawa bekakakan sampai kedua matanya berair.
Wiro cuma cengar-cengir mendengar ucapan Si Dewa Tuak.
“Cepat terangkan mengapa kau
berada di daerah ini?!” Saat itu untuk pertama kalinya Nenek Baju Biru buka
suara,
“Pemimpin, bukan tak mungkin
bangsat-bangsat ini tengah mencuri dengar percakapan kita tadi dengan Ketua
Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya mereka akan dapat diam-diam mencuri
dengar keterangan sarang Sepasang Elmaut Kuning!” Nenek Rambut Putih menimpali,
“Bukan tak mungkin pula mereka
tahu banyak tentang soal lukisan itu, pemimpin!” Ucapan-ucapan anak buahnya itu
termakan oleh Nenek Rambut Hitam. Maka segera dia memerintah,
“Rambut Biru! Kau ringkus si
tua bangka itu! Dan kau Rambut Putih, bekuk cecunguk hijau itu!” Nenek Rambut
Biru memang lebih tinggi kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia disuruh
meringkus Dewa Tuak.
“Perempuan-perempuan
keriputan! Kalian betul-betul tidak tahu adat!” gerutu Dewa Tuak lalu
cepat-cepal menyingkir ke samping kanan, mengelakkan totokan yang dilancarkan
Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak Dewa Tuak angkat bumbung bambunya hingga
ujungnya dengan tiada terduga menyerang ke arah pinggang lawan! Tapi Nenek
Rambut Biru tidak berkepandaian rendah! Penasaran melihat totokannya lewat,
dengan satu jeritan keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah pertempuran
yang hebat. Nenek Rambut Putih di lain pihak maju menghadapi Wiro Sableng.
Dengan memandang enteng dia lakukan serangan dan sekali menyerang dia yakin
akan sanggup meringkus si pemuda hidup-hidup. Tapi alangkah terkejutnya ketika
sambil tertawa lawannya berkelit dengan mudah bahkan berkata mengejek,
“Ah, jurus seperti ini telah
kulihat kau pergunakan untuk menyerang Si Pelukis Aneh!”
“Bocah hijau! Ada hubungan apa
kau dengan Si Pelukis Aneh?!” tanya Nenek Rambut Putih. Wiro tertawa. Bukan dia
menjawab pertanyaan si nenek malah berkata,
“Orang tua semacammu ini
sepantasnya banyak bikin ibadat dan sucikan diri! Bukannya malang melintang
bikin kejahatan dan ikut campur segala macam urusan duniawi!”
“Kentut ingusan. Atas
nasihatmu itu aku akan hadiahkan jurus Ekor Naga Mematuk Cakar Garuda
Berkiblat! Terimalah!” Gerakan si nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal bayangan
dan tahu-tahu tiga jari tangan kanannya menotok ke dada, sedang lima jari kiri
mencakar ke arah muka. Cakaran yang datangnya lebih dulu itu sebenarnya hanya
tipuan belaka karena serangan yang sebenarnya ialah totokan pada dada! Bila
lawan coba hindarkan mukanya dari cakaran maka kecepatan totokan tangan akan
ditambah dua kali lipat! Dan celakanya Pendekar 212 kini kena tertipu! Begitu
melihat lima jari mencakar di depan hidung dia segera buang kepala ke belakang
dan kaki kanan menderu ke arah si nenek. Namun di saat itu si nenek sudah
melesat ke samping, sedang tiga jari tangannya dengan kecepatan luar biasa
menderu ke arah dada Wiro Sableng! Penasaran sekali karena dia tahu bahwa
totokan yang lihai itu tak mungkin dikelit maka Wiro hantamkan tangan kanannya
dari atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si nenek berseru keras. Dia tersurut
sampai dua tombak, mukanya pucat bahkan terkejut. Nenek Rambut Hitam segera
maklum bahwa tenaga dalam anak buahnya itu jauh rendahnya dari si pemuda. Ini
adalah satu hal yang tak pernah disangkanya. Dan ketika dia memandang ke lengan
Si Rambut Putih, lengan neneknenek itu kelihatan bengkak membiru sedang lengan
Wiro Sableng hanya berbekas merah sedikit! Kemudian dilihatnya pula pertempuran
si rambut biru dengan Dewa Tuak. Anak buahnya itu tengah dibikin sibuk bahkan
dipermainkan malah! Gusarlah Nenek Rambut Hitam. Segera dia berseru,
“Kalian berdua jangan bikin
malu aku! Kuberi kesempatan tiga jurus lagi! Jika kalian tak bisa meringkus
kunyuk-kunyuk itu, kalian akan tahu rasa!” Mendengar seruan Si Rambut Hitam,
Rambut Putih dan Rambut Biru jadi takut sekali. Keduanya segera loloskan
setagen yang melilit di pinggang masing-masing lalu menyerang dengan lebih
sebat! Dua setagen yang merupakan senjata ampuh itu tak ubahnya laksana dua
ekor ular besar yang meliuk-liuk sebat kian kemari, kadang-kadang bergerak
cepat membelit pinggang, kadang-kadang menotok jalan darah bahkan kadang-kadang
mematuk ke arah kedua mata! Dan semua itu terjadi bertubi-tubi laksana kilat.
Betapapun Wiro dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka, namun tetap saja
keduanya dibikin terdesak dan tak sanggup ke luar dari gulungan setagen lawan!
“Setagen sialan,” gerendeng
Pendekar 212. Baik dia maupun Dewa Tuak kini segera merubah sikap. Kalau tadi
mereka cuma main-main dan mengejek lawan mereka, maka setelah terdesak hebat
dan terkurung setagen yang berbahaya itu, mereka mulai lancarkan
serangan-serangan balasan sehingga pertempuran berjalan semakin hebat! Dalam
tempo yang singkat lima jurus telah lewat. Nenek Rambut Hitam penasaran sekali
melihat kedua anak buahnya tiada sanggup meringkus lawan masingmasing, padahal
tiga jurus yang ditentukannya telah berlalu!
“Kalian berdua mundurlah!”
bentaknya marah. Nenek Rambut Biru segera melompat mundur. Namun karena agak
gugup ketakutan oleh bentakan pemimpinnya, dia menjadi sedikit lengah dan
akibatnya ujung selendangnya berhasil ditarik oleh Dewa Tuak sehingga robek!
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak! Di lain pihak Nenek Rambut Putih begitu melompat
begitu dirasakannya sekujur tubuhnya tak sanggup digerakkan. Ketika ditelitinya
ternyata lawannya telah melibat sekujur badannya dengan setagennya sendiri!
Pucatlah paras nenek tua ini. Dia maklum bahwa pemuda itu berilmu tinggi sekali
dan kalau bermaksud jahat pastilah sudah sejak tadi dia kena celaka! Nenek
Rambut Hitam maju ke hadapan kedua orang itu.
“Bagus!” katanya.
“Rupanya kalian memiliki ilmu
yang diandalkan! Aku mau lihat! Apakah kalian maju berdua atau
seorang-seorang?!” Dewa Tuak mendengus.
“Bagusnya berdua sekaligus
biar lekas kubereskan!” Dewa Tuak tertawa lagi dan meneguk tuaknya beberapa
kali.
“Dengar Rambut Hitam,” kata
Dewa Tuak pula.
“Mainmain dengan dua orang
anak buahmu itu sudah cukup. Lain kali saja kau kami hadapi…!”
“Kentut tua bangka! Katakan
saja kau tidak punya nyali menghadapi Nenek Rambut Hitam!” Dewa Tuak ganda
tertawa. Dia berpaling pada Wiro Sableng dan berkata,
“Mari kita pergi!” Tapi baru
saja dia bergerak Nenek Rambut Hitam sudah melompat ke hadapannya dan kirimkan
satu serangan yang luar biasa dahsyatnya. Kalau saja si orang tua tidak
bersikap waspada pastilah dadanya akan kena jotosan keras dan mukanya disambar
cakaran dahsyat! Marahlah Dewa Tuak melihat kenekatan si nenek.
“Dasar tua bangka geblek!
Masih saja mengikuti amarah membabi buta!”
“Jangan banyak ribut setan
tua! Makan jariku ini!” Dengan lebih ganas lagi Nenek Rambut Hitam menyerbu ke
muka. Lima jari tangan kanan bergerak ke perut sedang lima jari tangan kiri
mencengkeram ke muka Dewa Tuak. Angin serangan ini bukan main derasnya. Dewa
Tuak memaklumi bahwa dibandingkan dengan kedua anak buahnya sekaligus, si nenek
yang satu ini jauh lebih berbahaya! Dewa Tuak melompat ke belakang dan putar
kedua bumbung tuaknya. Maka punahlah kedua serangan Nenek Rambut Hitam! Sebelum
si nenek menyerang lagi Dewa Tuak berseru,
“Wiro kau layanilah perempuan
bongkok jelek ini!” Terkejutlah Nenek Rambut Hitam dan dua nenek lainnya
sewaktu Dewa Tuak menyebut nama si pemuda.
“Manusia-manusia keparat! Kau
berani main-main terhadapku?!” sentak Nenek Rambut Hitam.
“Siapa yang main-main? Kau
tanya aku jawab!” sahut Dewa Tuak.
“Apakah kau manusianya yang
bernama Wiro Sableng?! Yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” tanya
Nenek Rambut Hitam.
“Ah, perlu apa segala macam
nama, segala macam gelar! Majulah! Kuharap kau yang tua mau memberikan sedikit
pelajaran padaku si bocah hijau!” sahut Wiro pula. Meski Wiro tidak mengaku
terus terang siapa dia adanya namun Nenek Rambut Hitam yakin bahwa pemuda itu
memang Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Sejak berbulan-bulan
belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya seorang pemuda gagah di
dunia persilatan, yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212. Banyak tokoh silat golongan hitam yang berilmu tinggi mati konyol di
tangannya. Bahkan terakhir sekali, Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul, kabarnya
juga telah menemui kematian di tangan pendekar muda ini! Mau tak mau si Nenek
Rambut Hitam menjadi gentar juga. Untuk mengelakkan baku bantam dengan si
pemuda tapi tanpa kehilangan muka maka Nenek Rambut Hitam berpaling pada Dewa
Tuak dan berkata lantang,
“Kalau kau tak punya nyali
untuk menghadapiku, sebaiknya segera angkat kaki dari sini!” Dewa Tuak yang
sudah dapat menduga hati perempuan itu tertawa dan berkata,
“Aku yang tak punya nyali atau
kau yang takut hadapi kawanku itu?” Nenek Rambut Hitam tertawa bergetar.
“Orang muda! Tadinya aku hanya
berniat untuk meringkusmu hidup-hidup! Tapi karena kau begitu berani
menantangku, terpaksa umurmu cuma sampai hari ini saja!” Sesudah berkata begitu
si nenek menerjang ke muka. Wiro bergerak cepat. Mengelak dan lancarkan
serangan balasan yang anginnya saja membuat si nenek mengeluh! Tenaga dalam si
pemuda jauh lebih tinggi dari yang dimilikinya. Dalam tempo dua jurus Nenek
Rambut Hitam tak sanggup lagi lancarkan serangan-serangan bahkan musti
mempertahankan diri dan dalam jurus keempat terdesak hebat ke pojok pondok!
Tiba-tiba si nenek melengking dahsyat! Tubuhnya lenyap dan jurus permainan
silatnya berubah sama sekali. Serangannya gencar tiada terduga. Gerakan kaki
dan tangannya mendatangkan angin bersiuran dan tipu-tipunya berbahaya
mematikan! Inilah ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Ilmu Silat Delapan
Kaki Delapan Tangan yang telah dipelajari Nenek Rambut Hitam dari mendiang
gurunya! Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan memang patut dikagumi. Nyatanya
selama lima jurus Wiro Sableng dibikin bingung dan musti berhati-hati. Meski
ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalamnya jauh di atas si nenek namun
gerakan lawan yang tiada terduga-duga itu mematahkan pertahanannya! Dan dua
jurus di muka satu hantaman telapak tangan si nenek berhasil mampir di dada
Pendekar 212! Wiro merasakan dadanya sakit dan nafasnya sesak. Dia maklum kalau
saja dia tidak lebih tinggi tenaga dalamnya dari si nenek pastilah dia akan
mendapat luka di dalam yang amat berbahaya! Di lain pihak Nenek Rambut Hitam
tidak kepalang tanggung. Dia menyerbu lagi dengan lebih gencar! Tangan dan
kakinya laksana bertambah menjadi beberapa pasang lagi! Dan kembali Wiro
Sableng terdesak! Dewa Tuak kerenyitkan kening. Hanya sebegitukah kehebatan
Pendekar 212 sehingga menghadapi ilmu silat si nenek dia sudah dibikin
kewalahan demikian rupa?! Si nenek sendiri juga tiada menyangka bahwa dia akan berhasil
memukul lawannya. Diam-diam dia merasa berada di atas angin kini! Tiba-tiba
Wiro menyurut sejauh satu tombak.
“Ha… ha! Apakah nyalimu sudah
lumer orang muda?!” ejek Nenek Rambut Hitam.
“Ah, jangan lekas-lekas
berbesar hati sobat tua! Kau rasakan dulu pukulanku ini!” sahut Wiro. Serentak
dengan itu dia sudah alirkan sebagian tenaga dalamnya ke ujung tangan kanan.
Tangan itu dikepal dan diangkat ke atas. Didahului oleh satu bentakan nyaring,
Wiro Sableng pukulkan tangannya ke arah si nenek. Begitu memukul begitu
jari-jari tangan yang mengepal membuka kembali! Inilah Pukulan Kunyuk Melempar
Buah yang tak asing lagi! Nenek Rambut Hitam terkejut sekali sewaktu merasakan
gelombang angin keras laksana batu besar melanda ke arahnya. Sambil pukulkan
kedua tangannya sekaligus untuk menangkis dia cepat-cepat jungkir balik lalu
membuang diri ke samping! Braaak! Dinding pondok di belakang si nenek pecah dan
berhamburan! Tergetarlah hati Nenek Rambut Hitam melihat kehebatan pukulan itu.
Setelah tenangkan hatinya dia maju menghadapi lawannya kembali. Dan pada saat
itu untuk pertama kalinya Wiro Sableng membuka jurus pertempuran dengan
menyerang lebih dahulu! Si nenek dibikin gelagapan kini. Serangannya selalu
mengenai tempat kosong sedang pertahanannya saat demi saat semakin mengendur.
Bila dia tidak kuat lagi menghadapi pemuda itu maka tanpa malu-malu Nenek
Rambut Hitam lepaskan setagen dan cabut tusuk konde emas dari rambutnya! Dengan
kedua senjata itu dia menyerang Wiro Sableng. Setelah bertempur dua jurus maka Wiro
segera mengetahui bahwa tusuk konde yang kecil di tangan kanan si nenek jauh
lebih berbahaya daripada setagen di tangan kanannya! Semakin lama pertempuran
semakin seru. Tibatiba si nenek hentikan gerakannya dan memandang bingung
karena lawannya lenyap seperti ditelan bumi!
“Aku di sini, Rambut Hitam!”
Terdengar suara Wiro di belakangnya! Nenek Rambut Hitam kertakkan geraham dan
secepat kilat membalikkan tubuh. Tapi begitu tubuhnya membalik maka, plaaak…!
Telapak tangan kanan Wiro Sableng menghantam keningnya! Perempuan tua itu
melengking kesakitan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding pondok.
Pemandangannya gelap, kepalanya terasa pening sedang keningnya sakit bukan
main! Kedua anak buah Nenek Rambut Hitam terkejut! Belum pernah mereka melihat
pemimpin mereka dihajar demikian rupa! Selama ini tak pernah seorang pun yang
sanggup menghadapi Nenek Rambut Hitam tanpa mendapat celaka! Dan yang membuat
mereka lebih terkejut lagi ialah sewaktu melihat kening pemimpin mereka.
“Pemimpin, keningmu!” seru
Nenek Rambut Biru. Nenek Rambut Hitam usap keningnya. Kening itu sakit sekali
dan panas, tapi tidak terluka. Namun apakah yang menyebabkan Rambut Biru
demikian terkejutnya? Tak lain karena akibat pukulan telapak tangan kanan Wiro
tadi kini di kening Nenek Rambut Hitam tertera tiga deretan angka yaitu 212!
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak dan cegluk… cegluk… cegluk, dia lalu teguk
tuaknya.
“Rambut Hitam, sobatku telah
hadiahkan tiga buah angka di keningmu! Apakah kau masih belum mau mengaku
kalah?!” Berubahlah paras Nenek Rambut Hitam! Dia maklum apa yang telah terjadi
kini. Pukulan 212 yang mengguratkan angka telah menimpa keningnya. Tiga deretan
angka itu tak akan bisa dihilangkan seumur hidupnya! Nenek Rambut Hitam
menggerutu macam singa lapar!
“Anak haram jadah mampuslah!”
lengking si nenek. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya
berkomat-kamit. Seluruh pondok itu dengan tibatiba dilanda hawa yang amat
dingin menyembilu. Wiro sendiri yang tak mengerti apa yang tengah terjadi
sampaisampai bergeletar tubuhnya dilanda hawa dingin itu. Geraham-gerahamnya
bergemeletukan. Melihat ada kelainan ini secepat kilat Dewa Tuak berseru,
“Wiro cepat menghindar!
Bangsat keriput ini mau lepaskan pukulan Salju Kematian!” Habis berteriak
begitu Dewa Tuak secepat kilat meneguk tuaknya. Dalam pada itu Nenek Rambut
Hitam melengking nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro dan Dewa
Tuak! Satu gelombang benda putih yang bentuknya putih seperti salju, menderu
amat dingin ke arah kedua orang itu. Dewa Tuak runcingkan mulutnya yang
menggembung lalu menyembur ke muka! Terdengar suara laksana air bah sewaktu
semburan tuak dan pukulan salju kematian saling beradu. Bumi seperti mau
kiamat. Dewa Tuak cepat tarik lengan Wiro Sableng lalu melompat ke atas atap
menerobos melewati lobang besar. Dari sebuah cabang pohon kemudian Wiro melihat
bagaimana pondok itu hancur lebur dan setengahnya tertimbun oleh lapisan salju
putih! Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ketiga nenek itu tidak
kelihatan. Pendekar 212 lalu putar kepala ke cabang di samping. Dia terkejut
sewaktu melihat Dewa Tuak duduk bersila di atas cabang dengan pejamkan mata.
Wajah orang tua ini pucat sekali. Rupanya bentrokan ilmu pukulan tadi telah
membuat si orang tua menderita luka di dalam yang parah juga. Lama Dewa Tuak
bersila seperti itu. Sewaktu dia buka kedua matanya kembali, cepat-cepat
diambilnya sebutir pil dan ditelannya. Sesaat kemudian wajahnya yang pucat
telah normal lagi seperti biasa! Dewa Tuak tarik nafas panjang,
geleng-gelengkan kepala dan leletkan lidah sewaktu memandang ke pondok yang
kini tertimbun salju kematian itu!
“Ternyata benar perempuan
busuk itu telah mendapatkan ilmu Pukulan Salju Kematian!” kata Dewa Tuak
seakan-akan pada dirinya sendiri.
“Kelihatannya masih kurang
sempurna. Tapi sudah demikian luar biasa…!” Wiro sendiri diam-diam bergidik
juga melihat pukulan yang bernama Salju Kematian itu. Tenaga dalam Dewa Tuak
berada jauh di atas Nenek Rambut Hitam, tapi pukulan Salju Kematian yang
dilepaskan si nenek membuat Dewa Tuak menderita luka yang cukup hebat!
“Meski seseorang memiliki
tenaga dalam yang sepuluh kali lebih tinggi, tapi jangan coba-coba berani adu
kekuatan dengan pukulan salju kematian itu.” Dewa Tuak gelenggeleng kepala
kembali.
“Aku tak mengerti, bagaimana
keparat betina itu berhasil memiliki ilmu Salju Kematian. Itu adalah salah satu
dari beberapa ilmu pukulan yang pernah menggetarkan dunia persilatan dan
menjadi rajaraja ilmu pukulan!”
“Jika ilmu semacam itu
dipergunakan untuk kejahatan bisa berbahaya,” kata Wiro pula.
“Itulah yang aku kuatirkan,”
desis Dewa Tuak. Diam-diam Wiro ingin sekali menghadapi Nenek Rambut Hitam itu
kembali. Apakah ilmu pukulan Sinar Matahari-nya sanggup menghadapi ilmu pukulan
Salju Kematian itu?
“Dewa Tuak, apa yang kita buat
sekarang?” tanya Wiro.
“Aku bermaksud meneruskan
perjalanan mencari lukisan telanjang itu…” Tak ada jawaban. Wiro berpaling.
Astaga! Dewa Tuak tak ada lagi di sampingnya. Dia mencari-cari tapi orang tua
itu tiada kelihatan.
“Dewa Tuak! Di mana kau?!”
teriak Wiro memanggil. Tetap tak ada jawaban. Wiro hendak melompat turun. Tapi
tiba-tiba pada batang pohon di mana dia berada dilihatnya sebaris tulisan
‘Pergilah ke Utara!’. Pasti itu adalah tulisan Dewa Tuak. Maka tanpa menunggu
lebih lama Wiro segera melompat dari atas pohon.
7
MATA yang cuma sebuah itu
memandang tanpa berkedip pada lukisan perempuan telanjang yang terletak di atas
meja. Digelengkannya kepalanya lalu dirobahnya letak lukisan itu dan
ditelitinya kembali. Dirobahnya lagi, ditelitinya lagi, demikian sampai satu
jam lebih. Akhirnya dia menjadi penasaran sekali dan memaki habis-habisan.
“Keparat betul! Keparat
betul!”
“Mata Picak!” satu suara
menegur laki-laki yang memaki-maki itu.
“Lama-lama kau bisa jadi
gila!” Elmaut Kuning Mata Picak palingkan kepala dan mendelikkan matanya yang
cuma satu.
“Kuping Sumplung! Kau bisanya
mengejek saja!” kata si Mata Picak.
“Perlu apa tergesa-gesa? Toh
lukisan itu sudah ada di tangan kita. Dan lambat laun pasti kita akan berhasil
membongkar rahasia yang terkandung di dalamnya!”
“Tolol betul kau Kuping
Sumplung!” sentak Mata Picak.
“Apa kau tidak tahu dunia
persilatan kalang kabut? Tokohtokoh persilatan kasak-kusuk mencari-cari lukisan
ini? Ingat waktu lukisan ini dirampas oleh Awan Langit tempo hari? Aku khawatir
lukisan yang mengandung ilmu silat hebat ini akan dirampas orang lain lagi
sebelum kita berhasil memecahkan rahasianya!”
“Tapi marah-marah dan memaki
begitu mana mungkin kau bakal bisa menecahkannya!” ujar Elmaut Kuning Kuping
Sumplung. Keduanya bukan lain daripada dua tokoh silat golongan hitam yang
bergelar Sepasang Elmaut Kuning. Merekalah yang telah membunuh Si Pelukis Aneh
dan melarikan lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu telah lama berada di
tangan mereka namun tak seorang pun dari mereka yang berhasil memecahkan
rahasianya. Lukisan itu telah berpuluh-puluh jam mereka teliti mereka jungkir
balikkan, namun tetap saja tak dapat mereka membongkar rahasia ilmu silat yang
menurut keterangan terkandung dalam lukisan itu! Jangan-jangan Si Pelukis Aneh
hanya menipu saja! Lukisan ini tak ada apa-apanya! Elmaut Kuning Kuping
Sumplung perhatikan lengan kirinya yang buntung akibat dibetot putus oleh Si
Pelukis Aneh sewaktu bertempur beberapa bulan yang lalu! Dia kemudian tertawa
dingin dan berkata,
“Kau sekarang yang jadi orang
tolol! Kalau lukisan ini tak ada apa-apanya masakan orang tua keparat itu
sampai-sampai mau mengadu jiwa!” Elmaut Kuning Mata Picak jambak-jambak
rambutnya.
“Tapi sialan sekali! Masakan
sampai saat ini kita tak bisa memecahkan rahasianya?!” Kuping Sumplung duduk di
sebuah bangku batu. Ditatapnya sebentar lukisan di hadapannya. Dia sendiri
sebenarnya heran juga karena sampai sedemikian lama tak sanggup membongkar
rahasia lukisan tersebut.
“Apakah kau sudah meneliti
kayu pigura lukisan itu?!” bertanya Elmaut Kuning Kuping Sumplung.
“Setiap sudut lukisan ini
sudah kuteliti. Juga bagian belakangnya!” sahut Mata Picak.
“Agaknya kita membutuhkan
seseorang yang bisa membuka rahasia lukisan ini…” desis Kuping Sumplung.
“Tapi siapa manusianya?!”
tanya Mata Picak.
“Satusatunya manusia yang tahu
rahasia lukisan ini adalah Si Pelukis Aneh sendiri! Dan dia sudah mampus di
tangan kita!”
“Siapa tahu calon muridnya
juga mengetahui…” kata Kuping Sumplung pula. Elmaut Kuning Mata Picak tertegun.
“Mungkin juga…” desisnya.
“Kalau begitu kita datangi
anak itu kembali dan paksa dia memberi keterangan!” ujar Kuping Sumplung seraya
berdiri dari duduknya.
“Tempat anak itu ratusan kilo
dari sini…”
“Soal jauh bukan halangan!”
potong Kuping Sumplung.
“Ada hal lain yang aku
khawatirkan,” ujar Mata Picak.
“Apa?”
“Kalau kita pergi berarti kita
harus membawa lukisan ini. Dan kau tahu sendiri! Puluhan orang-orang persilatan
mengincar-incar lukisan ini! Kita bisa konyol sendiri dikeroyok beramai-ramai!”
Elmaut Kuning Kuping Sumplung tertawa dingin.
“Apa nyalimu sudah keropok?!”
ejeknya dengan pencongkan hidung. Mata Picak menjadi gusar.
“Mulutmu kelewat tekebur,
Kuping Sumplung! Meski kita berilmu tinggi namun aku tak mau terlibat dengan
manusia-manusia yang membikin kita jadi berabe dan tambah urusan! Di lain hal
kita musti mengakui bahwa di atas kita masih ada tokoh-tokoh persilatan yang
benar-benar lihai dan kosen! Apakah kau mau kehilangan satu lenganmu lagi?!”
Merah-lah paras Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Dia balikkan badannya dengan
cepat hendak tinggalkan tempat itu. Tapi mendadak di ambang pintu goa
langkahnya tertahan dan parasnya berubah.
“Mata Picak! Lekas ke sini!”
seru Kuping Sumplung. Mata Picak heran mendengar nada seruan kawannya itu. Dia
melangkah cepat ke pintu goa dan terkejut. Goa di mana mereka berada itu
terletak di satu dasar lembah yang penuh dengan batu-batu besar. Di balik
batu-batu yang bertebaran di lembah kelihatan banyak sekali orang laki-laki
yang berseragam hitam. Di tangan masing-masing tergenggam sebatang golok besar
berbentuk empat segi seperti golok penjagal babi! Menurut taksiran Mata Picak,
orang-orang yang ada di lembah itu semuanya berjumlah sekitar duapuluh orang!
Melihat kepada golok-golok besar empat persegi di tangan mereka yang
berkilau-kilau ditimpa sinar matahari, melihat pula kepada pakaian seragam
hitam yang mereka kenakan, Sepasang Elmaut Kuning segera mengenali siapa mereka
itu adanya.
“Kroco-kroco sialan ini pasti
hendak membalaskan sakit hati ketua mereka,” desis Mata Picak.
“Kurasa demikian. Agaknya
mereka belum tahu letak tempat kita ini. Apakah perlu kita segera bertindak…?”
tanya Kuping Sumplung. Mata Picak manggut-manggut. Dengan tersenyum aneh dia
melangkah ke luar dari goa. Kuping Sumplung mengikut di belakang. Tiba-tiba
Elmaut Kuning Mata Picak melesat ke balik sebuah batu besar. Dalam kejap itu
pula terdengar suara keluhan pendek. Di lain kejap dari balik batu itu
melesatlah sesosok tubuh berpakaian hitam, laksana terbang ke udara dan kemudian
jatuh di atas sebuah batu besar dalam keadaan tulang belulang hancur
berantakan! Belasan manusia berpakaian hitam-hitam yang ada di lembah batu itu
terkejut dan lari ke batu besar di mana kawan mereka menggeletak mengerikan
tanpa nyawa! Semuanya terkejut dan berubah paras masing-masing. Dan darah
mereka tersirap sewaktu di lembah batu itu mengumandang dua buah suara tertawa
yang menggidikkan! Ketika mereka palingkan kepala, semuanya melihat dua orang
berjubah kuning berewokan berdiri di atas sebuah batu yang menjulang lima
tombak tingginya!
“Sepasang Elmaut Kuning!” seru
mereka hampir serentak. Elmaut Kuning Mata Picak dan Kuping Sumplung tertawa
lagi cekakakan. Tiba-tiba Mata Picak hentikan tawanya dan bertanya membentak,
“Siapa yang menjadi pemimpin rombongan
tikus-tikus busuk ini?!” Seorang laki-laki berbadan tegap, berkumis melintang,
dada berbulu, melompat ke muka dan menuding keren.
“Kalian berdua turunlah untuk
menerima kematian!” Sepasang Elmaut Kuning saling pandang lalu untuk kesekian
kalinya tertawa lagi gelak-gelak.
“Apakah kau mimpi atau
mengigau di siang bolong?!” sentak Kuping Sumplung.
“Ketuamu sudah mampus di
tangan kami!”
“Ketua Perguruan Seberang
Kidul boleh lenyap. Tapi Perguruan Seberang Kidul tak dapat dimusnahkan dari
muka bumi ini…!”
“Kalau begitu kami Sepasang
Elmaut Kuning akan menggusur Perguruan Seberang Kidul hari ini juga hingga cuma
tinggal nama!”
“Tak usah bermulut besar!
Lekas turun!” teriak si kumis melintang. Dia dan kawan-kawannya adalah
anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Ketua mereka telah menemui kematian
di tangan Sepasang Elmaut Kuning gara-gara terlibat dalam perebutan lukisan
perempuan telanjang!
“Tikus-tikus busuk! Ketahuilah
kalian akan melepas jiwa di sini!” teriak Mata Picak dan serentak dengan itu,
diikuti oleh kambratnya si Kuping Sumplung dia melompat ke bawah. Belasan
laki-laki bersenjata golok besar dan berpakaian seragam hitam segera mengurung
dan dengan serempak menyerbu Sepasang Elmaut Kuning! Maka terjadilah
pertempuran yang amat hebat di lembah berbatu-batu itu.
“Kalian mencari mati!” seru
Mata Picak.
“Bangkai kalian akan membusuk
di sini! Akan digerogoti burung-burung pemakan mayat!” bentak Kuping Sumplung!
Lalu keduanya dengan berbarengan hantamkan tangan kanan ke muka. Dua larik
sinar kuning menderu. Puluhan benda berwarna kuning yang berbentuk paku
beterbangan gencar ke arah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul yang hendak
menuntut balas kematian ketua mereka.
“Paku Emas Beracun!” pekik
anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul. Yang berkepandaian tinggi putar golok
mereka dengan sebat menangkis. Yang lain-lain berserabutan menghindar. Tapi
serangan senjata rahasia paku emas beracun dari kedua tokoh silat golongan
hitam itu luar biasa sekali, tak sanggup ditangkis, sukar dikelit! Dua kelompok
anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul roboh bertumpukan. Mereka berkelojotan
sebentar lalu diam meregang jiwa! Tubuh masing-masing penuh ditancapi paku-paku
emas beracun! Dua belas orang yang masih hidup dengan kalap membabi-buta
menyerang Sepasang Elmaut Kuning. Dua belas golok besar menderu bersirebut
cepat! Laksana hujan menerpa ke arah dua manusia yang diserang! Sepasang Elmaut
Kuning ganda tertawa. Keduanya hantamkan tangan kembali ke muka. Dan terdengar
lagi pekikan-pekikan manusia yang dilanda serangan senjata rahasia itu. Delapan
orang menggeletak roboh! Delapan jiwa melayang!
“Kawan-kawan larilah!” seru
seorang dari empat anak murid Perguruan Seberang Kidul yang masih hidup. Maka
serentak dengan itu keempatnya keluar dari kalangan pertempuran dan melarikan
diri.
“Mau lari ke mana?!” bentak
Mata Picak.
“Kalian musti ikut sama-sama
kawan kalian ke neraka!” Lalu menyusul selarik sinar kuning menderu ke punggung
keempat orang yang lari menyelamatkan jiwa itu. Sinar kuning menyambar! Keempatnya
mencelat mental dan menjerit, lalu roboh menyusul kawan-kawan mereka! Seperti
yang dikatakan oleh Elmaut Kuning Kuping Sumplung tadi, maka kini Perguruan
Seberang Kidul betulbetul hanya tinggal nama saja lagi!
“Manusia-manusia tolol!” desis
Mata Picak seraya sapukan pandangannya pada mayat-mayat yang bertebaran di atas
dan di antara batu-batu di lembah itu. Kuping Sumplung sebaliknya bertanya,
“Bagaimana? Kurasa makin cepat
kita berangkat ke tempat anak itu, makin baik!”
“Anak mana maksudmu?” tanya
Mata Picak.
“Calon muridnya si Pelukis
Aneh!”
“Ah, rencanamu itu perlu
dipikirkan masak-masak dulu!” sahut Mata Picak seraya melangkah ke goa. Dengan
hati penasaran Kuping Sumplung melangkah di belakangnya. Baru saja Mata Picak
sampai di mulut goa tiba-tiba meledaklah suaranya,
“Celaka! Lukisan itu lenyap!”
Kedua orang itu melesat masuk ke dalam goa! Lukisan perempuan telanjang yang
sebelumnya terletak di atas meja kini tak ada lagi di tempat itu!
“Bangsat kurang ajar! Siapa
yang berani-beranian jadi maling di sarangku?!” teriak Mata Picak lari ke luar
goa dan melompat ke atas sebuah batu yang tinggi. Sewaktu dia sampai di atas
batu dan memandang berkeliling, di jurusan timur dilihatnya sesosok tubuh
berlari cepat sekali. Dan sosok tubuh itu memboyong sebuah benda empat persegi
yang bukan lain daripada lukisan perempuan telanjang adanya!
8
MANUSIA yang melarikan lukisan
perempuan telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia mengenakan jubah merah yang
panjang sekali hingga menjelajela sepanjang larinya. Debu, pasir, dan batu-batu
kerikil beterbangan dilanda angin jubah manusia katai ini. Hebatnya manusia ini
larinya luar biasa cepatnya. Dalam sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam
lembah batu. Pohon-pohon di kiri kanan yang dilaluinya laksana terbang!
Tiba-tiba dia merasa ada yang mengejar di belakangnya. Dia berpaling dan
melihat dua manusia berjubah kuning laksana kilat berlari ke arahnya. Si katai
terkesiap dan tancap gas, berlari lebih cepat. Lewat sepeminum teh seketika dia
menoleh lagi ke belakang, kedua pengejarnya ternyata hanya tinggal beberapa
puluh langkah saja lagi! Manusia katai ini merutuk.
“Celaka! Kedua bangsat itu
betul-betul lihai!” Dan bila kedua pengejar yang bukan lain daripada Sepasang
Elmaut Kuning adanya hanya tinggal lima belas langkah di belakangnya maka si
katai segera robah ilmu larinya. Gerakan kakinya menjadi lambat dan tidak
teratur, tapi anehnya bagaimana pun sepasang Elmaut Kuning mempercepat lari
mereka, tetap jarak mereka tak berobah dari lima belas langkah! Itulah ilmu
lari yang disebut Seribu Kaki Menipu Jarak yang telah dikeluarkan oleh manusia
katai. Ilmu lari semacam ini hanya beberapa tokoh silat saja yang memilikinya!
“Heran!” kata Elmaut Kuning
Kuping Sumplung.
“Jarak kita demikian dekatnya
tapi kenapa tidak bisa mengejar bangsat itu?!”
“Kurasa dia memiliki ilmu lari
Seribu Kaki Menipu Jarak,” sahut Mata Picak yang berpengalaman lebih luas dan
berpemandangan tajam.
“Berhenti!” teriak Kuping
Sumplung. Tapi mana si katai mau hentikan larinya! Marahlah Mata Picak. Hilang
kesabarannya.
“Berhenti! Kalau tidak aku
akan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun!” Tergetarlah hati si katai. Tapi untuk
berhenti dia juga tidak mau. Dia lari terus dan berusaha memperlebar jarak!
“Bedebah laknat!” maki Mata
Picak. Tangan kanannya diangkat ke atas dan dihantamkan ke muka. Si katai
menoleh sewaktu dirasakannya sambaran angin dingin menyambar di belakangnya.
Melihat selarik sinar kuning dan paku-paku emas menderu ke arahnya dengan
segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia membalas dengan satu pukulan
tangan kosong yang mendatangkan angin panas yang luar biasa dahsyatnya!
Sepasang Elmaut Kuning tersirap kaget dan buru-buru menghindar.
“Badan kate, jubah merah
panjang dan pukulan angin panas! Pastilah maling ini Si Katai Bisu!” teriak
Mata Picak. Dan ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu sudah dua puluh
tombak jauhnya. Bersama Kuping Sumplung dia mengejar kembali! Di satu
pendakian, mendadak si katai hentikan larinya dan kaget sekali. Jalan buntu dan
di depannya kini terbentang sebuah jurang yang lebar dan tak mungkin untuk
dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam!
“Ha-ha! Kau mau lari ke mana
maling laknat?!” teriak Kuping Sumplung. Tapi Si Katai Bisu tidak kehilangan
akal. Laksana seekor burung walet dia melompat ke cabang sebuah pohon.
“Turun!” teriak Mata Picak.
“Serahkan lukisan itu dan
berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu!”
“Ha-hu… ha-hu… ha-hu!” Si
Katai Bisu keluarkan suara.
“Ayo turun lekas!” teriak
Kuping Sumplung.
“Ha-hu… ha-hu… ha-hu!”
“Kurang ajar! Kalau begitu kau
mampuslah!” Mata Picak angkat tangan kanannya.
“Ha-hu!” Si Katai Bisu
menunjuk ke dadanya lalu menunjuk ke lukisan perempuan telanjang kemudian
tertawa dan mencibir! Mata Picak yang tak mengerti apa maksud manusia itu siap
untuk memukulkan tangannya ke atas. Tiba-tiba Si Katai Bisu lindungi dirinya
dengan lukisan perempuan telanjang! Mata Picak terkesiap kaget dan batalkan
serangannya. Kini dia maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si Katai
Bisu tadi. Yaitu jika dia meneruskan melancarkan pukulan Paku Emas Beracun maka
paku-paku itu akan merusak lukisan perempuan telanjang karena Si Katai Bisu
mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya! Mata Picak memaki
hahis-habisan. Tiba-tiba Kuping Sumplung melompat ke muka dan memukul. Braak!
Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tumbang. Tapi Si Katai Bisu sudah
melompat ke pohon lain!
“Setan alas!” Mata Picak
melesat ke depan dan lancarkan satu serangan dari jarak satu tombak. Si Katai
Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil pergunakan lukisan perempuan
telanjang untuk menangkis serangan lawan. Mau tak mau Elmaut Kuning Mata Picak
tak berani lancarkan serangan yang terlalu ganas terhadap lawannya karena
khawatir akan merusak lukisan!
“Kuping Sumplung! Serang bangsat
itu dari belakang!” teriak Mata Picak marah sekali. Elmaut Kuning Kuping
Sumplung segera berkelebat dan menyerang Si Katai Bisu dari belakang, sedang
dari muka Mata Picak kembali menyerbu! Namun Si Katai Bisu tidak menjadi gugup!
Tanpa tedeng aling-aling dia putar lukisan perempuan telanjang seputar
badannya. Karena lukisan itu kini dialiri tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka
bukan saja putaran lukisan mengeluarkan angin dahsyat sekali, tapi juga
merupakan serangan balasan yang sekaligus memapaki serangan Sepasang Elmaut
Kuning! Dalam waktu yang singkat sepuluh jurus telah berkecamuk! Sepasang
Elmaut Kuning menyumpah-nyumpah tak ada hentinya. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata
Picak mendapat akal. Sewaktu pertempuran berjalan seru-serunya dia memukul ke
bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini membuat Si Katai Bisu melompat ke udara.
Melihat ini dengan cepat Mata Picak menyusul dengan satu serangan ke arah
selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa ke arah kedua tangannya
kemudian berputar lagi ke belakang menyambar lengan kiri Kuping Sumplung yang
hendak menotok punggung Si Katai Bisu! Hampir tiga puluh jurus berlalu maka
berserulah Elmaut Kuning Mata Picak pada kambratnya.
“Keluarkan jurus Elmaut
Menggila!” Kedua manusia berjubah kuning itu mundur setombak lalu dibarengi
dengan jerit pekik dahsyat yang laksana merobek gendang-gendang telinga
keduanya menyerbu kembali dalam satu jurus aneh! Lambat laun suara pekik dan
jerit yang datangnya dari pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi
gugup dan panik gerakan-gerakan silatnya! Tiba-tiba tangan kanan Elmaut Kuning
Mata Picak memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu dengan sambaran
lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya hanya tipuan belaka. Karena begitu lukisan
menderu secepat kilat Mata Picak tarik pulang serangannya dan ganti dengan satu
tendangan ke arah pinggang. Pada saat yang sama dari belakang Elmaut Kuning
Kuping Sumplung lancarkan pula satu serangan ganas ke arah kepala. Si Katai
Bisu menggerung lalu membuang diri ke samping kanan. Lukisan disabetkan dengan
cepat ke bawah sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian bawah jubahnya.
Serangkum angin merah menyambar ke arah Kuping Sumplung membuat manusia ini
batalkan serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain pihak Elmaut
Kuning Mata Picak yang tidak berani adu kekuatan dengan lukisan yang menyambar
kakinya, terpaksa tarik pulang tendangannya. Namun Mata Picak menjadi gugup
sewaktu melihat bagaimana ujung pigura lukisan menyambar ganas ke arah matanya
tak sanggup dikelit! Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan matanya hanyalah
dengan pergunakan lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan merusakkan
lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis tentu akan terluka
pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut Kuning Mata Picak lebih baik melihat
lukisan itu rusak, toh nanti bisa diperbaiki lagi. Juga merasa lebih baik
lengannya mendapat luka daripada harus kehilangan matanya yang cuma tinggal
satu-satunya! Maka diapun angkat lengan kirinya dengan cepat. Braak! Kayu
pigura lukisan perempuan telanjang patah dan sudutnya menganga. Lengan kiri
Elmaut Kuning Mata Picak juga patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian dengan
kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan Paku Emas Beracun! Rasa sakit membuat
dia tidak perduli lagi apakah pukulannya yang dahsyat itu akan menghancurkan
lukisan di tangan lawan! Melihat datangnya serangan yang dahsyat dari lawan, Si
Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas kebutkan jubah merahnya.
Segelombang sinar merah laksana topan prahara memapasi serangan Elmaut Kuning
Mata Picak. Belasan paku kuning beracun yang melesat ke arah manusia katai itu
luruh, bahkan beberapa di antaranya ada yang membalik menyerang Mata Picak
sendiri, membuat manusia ini dengan cepat menghindar ke samping selamatkan
diri! Si Katai Bisu membalikkan badan dengan cepat sewaktu di belakangnya
terasa sambaran angin dingin. Namun kasip! Belasan paku kuning telah dilepaskan
Kuping Sumplung! Jaraknya sudah dekat sekali, tak mungkin ditangkis tak bisa
dikelit! Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk berjibaku dan
tendangan kaki kanannya ke kepala Kuping Sumplung sedang tangan kanan mendorong
ke muka! Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Si Katai Bisu! Sembilan
paku emas beracun menancap di dadanya. Tiga di antaranya langsung menembus
jantung! Tak ampun lagi begitu jatuh di tanah, nafasnya lepas sedang sekujur
badannya kelihatan menggembung biru! Di lain pihak meski dia dapat
menyelamatkan kepalanya dari tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut Kuning
Kuping Sumplung tak sempat menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan yang
dilepaskan Si Katai Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau saja tubuh
itu tidak membentur patahan pohon yang tadi dipukulnya, pasti Elmaut Kuning
Kuping Sumplung akan melayang ke dasar jurang batu! Kuping Sumplung muntahkan
darah segar lalu roboh pingsan! Mata Picak segera menyambar lukisan yang rusak
piguranya lalu memanggul tubuh Kuping Sumplung dan meninggalkan tempat itu
dengan cepat.
9
DI SEBELAH utara kelihatan
Gunung Merapi menjulang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke
duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng dalam mencari lukisan
perempuan telanjang. Saat itu dia tengah menuju ke sebuah kota kecil yang
terletak di selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi Pendekar 212
hentikan larinya dan berjalan seperti biasa. Jauh di hadapannya dilihatnya
seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping berjalan melenggang-lenggok
dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi batu yang setiap saat diguncang-guncangnya
hingga mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya terkempit sebuah
tas daun pandan. Yang membuat Wiro diam-diam jadi tertegun ialah karena dalam
dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua berpakaian compang-camping itu sudah berada
di hadapannya. Wiro sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus saja
melangkah seenaknya dan hendak memapasi Wiro. Maka Pendekar 212 pun menegur
bertanya,
“Orang tua, apakah ini jalan
yang menuju ke kota Paritsala?” Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa
menoleh pada si pemuda dia membuka mulut,
“Siapa tanya siapa?” Lalu
tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu berbunyi berkerontangan. Wiro
tersenyum lagi.
“Namaku Wiro. Aku dalam
perjalanan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang betul?” Perlahan-lahan
orang tua itu putar kepalanya dan memandang Wiro Sableng dari atas sampai ke
kaki.
“Ah… melihat kepada air mukamu
rupanya kau tengah mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang…” Dan habis
berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan lagi kaleng di tangan
kanannya. Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan si orang tua dan
menduga-duga siapa adanya manusia ini.
“Coba ulurkan telapak tangan
kirimu!” si orang tua tibatiba memerintah. Wiro Sableng meragu seketika. Dia
tidak kenal dengan orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya.
Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu Wiropun ulurkan telapak tangan
kirinya. Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu dengan telunjuk
tangan kirinya diikutinya guratan-guratan garis pada telapak tangan pemuda itu.
Wiro Sableng terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak tangannya,
telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah batu besar yang ratusan kati
beratnya! Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka Wiro segera kerahkan
tenaga dalamnya ke telapak tangan kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti
garis-garis pada telapak tangannya dan Wiro merasa tangannya tergetar hebat.
Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat dingin berpercikan di keningnya
dan sedikit tenaga dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua.
Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak tangannya akan terpukul ke
bawah! Namun di saat itu untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan
sambil batuk-batuk dia berkata,
“Orang muda, masa depanmu
penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis di telapak
tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya yang selalu mengikuti perjalanan
nasibmu! Tapi kau tak perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun besar
bahaya kau kelak akan berhasil melewati semuanya.” Orang tua aneh kerontangkan
kalengnya beberapa kali lalu meneruskan,
“Garis percintaanmu tidak
begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat mata keranjang,
tidak boleh lihat perempuan cantik…” Kaleng berisi batu berkerontang lagi.
Wajah Pendekar 212 kelihatan merah menjengah! Dan si orang tua bertanya,
“Kau tengah menuju ke
Paritsala?”
“Betul orang tua,” jawab Wiro.
“Kunasihatkan agar dibatalkan
saja…”
“Memangnya ada apakah?”
“Kesulitan. Kesulitan! Kau
selalu ditunggu kesulitan dan bahaya di mana-mana…”
“Tapi seorang kawanku
menganjurkan agar pergi ke utara…,” kata Wiro yang ingat akan petunjuk yang
diberikan Dewa Tuak. Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontangkerontangkan
kalengnya lalu hendak menindak meninggalkan tempat itu.
“Orang tua, kuucapkan terima
kasih atas petunjukmu. Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu…” Orang
tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan dengan melangkah acuh tak acuh dia
meninggalkan Wiro Sableng sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si Segala
Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku tidak tahu… Dua kalimat
dalam lagu yang dibawakan orang tua aneh itu terus diulang-ulangnya sampai
akhirnya dia lenyap di kejauhan. Wiro Sableng berdiri terlongong-longong. Orang
persilatan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar tentang orang tua aneh
yang bernama Segala Tahu itu? Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan.
Dia mengembara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia berpapasan
dengan seseorang pastilah dia akan mengatakan sesuatu. Dan apa yang
dikatakannya itu selalu betul. Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh
orangorang dunia persilatan. Wiro merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan
orang tua itu. Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persimpangan jalan
dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai dengan petunjuk Si Segala Tahu agar
jangan terus ke Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di
belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan gemeletak suara kereta. Wiro
berpaling, sepuluh orang penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing dengan
cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda putih. Debu
mengepul sepanjang jalan. Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang kuda
berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka terpampang gambar kepala burung
garuda. Pada bagian samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu. Dan
sewaktu Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas dilihatnya seraut wajah perempuan
muda berparas cantik sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi Wiro masih
terkesiap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana sinar bintang
timur di malam cerah! Wiro memandang ke jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah
Pendekar 212 akan ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah
menempuh jalan vang ditempuh rombongan itu. Hari telah petang sewaktu Wiro
Sableng memasuki Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang
dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun tertambat di halaman.
Karena bangunan itu adalah rumah penginapan maka Wiro Sableng pun segera menuju
ke sana. Baru saja Pendekar 212 berdiri di tangga bawah pintu penginapan,
seorang pelayan muncul. Umurnya sudah agak lanjut.
“Orang muda, apakah kau berniat
menginap di sini?”
“Betul” sahutWiro.
“Sayang sekali. Seluruh kamar
sudah disewa orang…”
“Seluruh kamar?” ujar Wiro
heran. Dia menggoyangkan kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di
halaman.
“Apakah rombongan pemilik
kereta itu yang telah menempatinya?”
“Ya.”
“Berapakah jumlah kamar di
penginapan ini?”
“Enam belas… Mengapa?”
“Rombongan itu jumlahnya tidak
sampai enam belas orang,” kata Wiro.
“Pasti ada kamar yang masih
kosong untukku…”
“Sudah kubilang semua kamar
diambil oleh rombongan itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja
yang hendak menginap di sini…” Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya,
“Kalau begitu aku musti cari
penginapan lain,” katanya setengah menggerutu.
“Di sini tak ada lagi
penginapan lain.”
“Hem…” Wiro menggumam.
“Terpaksa kau menolong
menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak jadi apa.”
“Tak mungkin orang muda.
Seluruh penginapan ini sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!” Wiro
Sableng jadi penasaran.
“Apa kau kira aku tak sanggup
membayar sewa untuk sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?!”
Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal.
“Kuharap kau tak usah
memaksa-maksa dan bicara lantang. Salah-salah kau bisa berabe!” Wiro keluarkan
suara bersiul.
“Kenapa bisa jadi berabe,
Bapak?” tanya pemuda ini
“Ah! Tak usah kau banyak
tanya!” Pelayan itu putar tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro mencekal bahunya
hingga dia tak bisa bergerak.
“Katakan dulu kenapa bisa jadi
berabe!” desis Wiro ke telinga pelayan itu. Dan si pelayan mendadak merasa
kecut sewaktu merasakan bagaimana telapak tangan Wiro yang berada di bahunya
membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai!
“Orang muda, seluruh
penginapan ini telah disewa oleh Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan
rombongannya tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan dilangsungkan
perkawinan anak gadisnya dengan seorang pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi…”
Wiro angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada sekilas bayangan raut wajah
gadis jelita yang dilihatnya tewat jendela kereta.
“Sekarang kau lekaslah berlalu
dari sini. Kau tahu, Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali
dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan kena tamparannya. Dan
manusia tampangmu ini sekali tampar saja pasti kepalamu menggelinding!” Wiro
tertawa gelak-gelak.
“Kurang ajar! Siapa yang
berani bikin ribut di sini!” Tibatiba satu suara garang membentak dan sesaat
kemudian seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di ambang pintu.
Dia berpakaian hitam dan di bagian dada bajunya ada gambar kepala burung garuda
putih. Dia berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro. Pelayan
penginapan berdiri dengan muka pucat!
“Pemuda hina dina! Lekas
angkat kaki dari sini! Kalau tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!”
“Hak apakah kau mengusirku?!”
tanya Wiro dengan senyum mengejek. Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya
dengan cepat diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng. Begitu terjambak segera
hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi besar ini bukan alang kepalang
sewaktu jari-jari tangannya yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang
sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras luar biasa, tak sanggup
tangannya memuntir!
“Mampus!” teriak si tinggi
besar itu seraya sentakkan tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak
ditanggalkannya kepala Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya rambut pemuda itu
akan berserabutan dari batok kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian
betul-betul tak diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyentakkan
tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan darah di dadanya! Si tinggi
besar mengeluh tertahan. Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan
kaku, Wiro cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya ke sebuah pohon di
halaman penginapan. Tubuh si tinggi besar menyangsrang di antara cabang pohon,
tak bisa bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. Wiro sebaliknya
tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu! Sepasang mata yang
bersinar-sinar mengintai di balik jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti
kepergian Pendekar 212.
10
KETIKA dia menempuh jalan yang
menuju ke luar kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang mendekatinya
dari arah belakang. Menyangka bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si
tinggi besar tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon. Nyatanya si
penunggang kuda adalah pelayan penginapan tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di
tengah jalan dan memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada di
jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana.
“Hai! Kau mencari aku?!” tanya
Wiro dari balik pohon. Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon.
“Lekas ikut bersamaku!” kata
si pelayan.
“Ikut ke mana?” tanya Wiro
heran.
“Jangan bertanya dulu. Kita
tak punya banyak waktu. Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti
pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!”
“Aku tak percaya padamu.
Mungkin kau mau menipu?!” Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali!
“Lekaslah!” kata si pelayan
lagi. Parasnya pucat tanda cemas. Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung
kuda di belakang si pelayan.
“Bapak,” bisik Wiro waktu
mereka berlalu dengan cepat,
“Kalau kau menipuku, aku akan
gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!” Sesaat kemudian keduanya
meninggalkan jalan itu dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan
hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan berangsur gelap. Wiro
Sableng memandang berkeliling. Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan
penginapan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal tangan si pelayan.
“Jika bukan bermaksud jahat,
kenapa kau ajak aku ke sini?!” desis Wiro Sableng.
“Kalau aku betul-betul
menipumu kau boleh betot batang leherku!” jawab si pelayan. Wiro hendak buka
suara kembali tapi tak jadi. Pintu belakang penginapan terbuka dan dua orang
berpakaian hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada dadanya
melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan menunggangi dua ekor kuda, keduanya
meninggalkan bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap ditelan hembusan angin malam
di kejauhan!
“Ikut aku!” kata pelayan itu.
“Tunggu!” jawab Wiro.
“Terangkan dulu apa arti semua
ini!”
“Orang muda, aku sendiri tidak
tahu apa-apa. Aku cuma diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun
tak ada yang bermaksud jahat padamu!”
“Dari siapa kau terima
perintah! Dan apa saja perintah itu?!” tanya Wiro Sableng lagi,
“Kita tak punya waktu banyak.
Lekas ikuti aku!” Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola matanya
berputar liar waspada kian kemari sambil melangkah. Mereka masuk lewat dapur
penginapan. Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang kelihatan
ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan
hati-hati membuka sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di bagian
belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah gudang tempat menyimpan
segala macam perabotan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro Sableng
melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya mereka sampai di sebuang gang.
Pelayan memberi isyarat agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya. Lima
langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya terdapat deretan pintu-pintu
kamar, si pelayan berhenti dan berpaling pada Wiro.
“Bukalah pintu kamar di ujung
sebelah kanan itu dan masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu
adalah orang yang memerintah aku!” Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki
dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati pintu kamar di
ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke
dalam dengan cepat dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam kamar,
terkesiaplah Pendekar212! Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning
langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar laksana bintang timur.
Dia berpakaian biru berbungabunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada
rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde dari emas yang
berukir-ukir kepala burung garuda. Sang dara melangkah ke dekat Wiro.
Dikuncinya pintu kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis
hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujurnya tubuh sang dara! Dara
jelita ini kemudian melangkah kembali ke tengah kamar.
“Saudari apakah artinya ini?”
tanya Wiro Sableng. Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si
jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka akan menemui seorang
laki-laki bertampang galak tapi tak dinyana kini dia berhadapan seorang gadis
jelita. Dan Wiro ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang
dilihatnya di tengah jalan tadi sore!
“Saudara, apakah kau bisa
bicara dengan ilmu menyusupkan suara?” si gadis bertanya perlahan. Wiro Sableng
terkejut
“Apaan pula ini?” tanyanya
dalam hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. Kemudian dengan ilmu
menyusupkan suara si gadis berkata,
“Aku telah saksikan apa yang
kau lakukan ternadap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi. Kurasa kau
adalah orang yang bisa menjadi tuan penolongku…”
“Hem…,” Wiro garuk-garuk
kepalanya.
“Pertolongan apakah yang bisa
kulakukan untukmu? Kalau aku tidak salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua
Perguruan Garuda Sakti.” Si gadis anggukkan kepala.
“Aku dan ayah serta sepuluh
orang anak-anak muridnya tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi…”
“Pelayan itu mengatakan bahwa
kau hendak melangsungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua
Perguruan Merapi.”
“Betul, bagus kalau dia
mengatakan hingga aku tak perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si
jelita. Lalu sambungnya,
“Perkawinanku dengan anak
lakilaki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku yang memaksa. Aku
tak kuasa menolak paksaan itu di samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama
besar ayah! Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua Perguruan
Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan tanpa memberi malu pada ayah dan
juga untuk menghindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah antara
perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.”
“Kalau kau tak suka pada anak
laki-laki Ketua Perguruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, kenapa
tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 212 pula.
“Kau lihat sendiri. Selama
satu bulan terakhir ini akananak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah
sendiri bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat meraba maksudku hendak
lari. Di samping itu aku khawatir pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang
telah sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri mendapat tekanan dari
mereka.” Wiro merenung sejenak.
“Apakah kau punya kekasih?
Seorang pemuda yang kau cinta?!” tanya Wiro seenaknya, Anak Ketua Perguruan
Garuda Sakti itu kelihatan merah parasnya. Tapi dengan terus terang dia
kemudian anggukkan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia berkata,
“Kekasihku telah ditangkap.
Disiksa dan dikurung di sebuah goa batu…” Dan di mata yang bersinar seperti
bintang timur itu Wiro Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian
mengambang di kelopak mata si gadis.
“Lantas apakah yang bisa
kutolong padamu, Saudari?” tanya Wiro.
“Menolong agar perkawinanku
bisa batal!”
“Aku orang tolol, mana mungkin
sanggup melakukan itu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Sekarang bukan saatnya
berpura-pura, Saudara. Pertolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur
hayat.” Wiro berpikir, lalu,
“Kau ingin kularikan
sekarang?!” tanya Wiro mengambil keputusan pendek.
“Jangan. Ketua Perguruan
Merapi akan salah sangka dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan
mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar ayah akan luntur karena
berilmu tinggi dan punya anak buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak.
Apalagi menjelang hari-hari perkawinan itu…”
“Berabe juga kalau begini,”
kata Wiro. Dipijit-pijitnya keningnya.
“Kapan upacara perkawinanmu
dilakukan di puncak Merapi?”
“Lusa siang. Jam dua belas
tepat!” jawab si gadis. Wiro berpikir-pikir lagi.
“Baiklah,” kata Pendekar 212
kemudian.
“Aku sudah dapat satu cara
yang baik untuk membatalkan perkawinanmu. Aku akan muncul tepat pada saat
upacara pernikahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi apakah aku
boleh tahu namamu…?” Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu kamar
diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar suara lantang.
“Permani! Buka pintu cepat.”
Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat pasi. Wiro Sableng
memandang berkeliling. Agaknya tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi
begitu matanya membentur jendela, Wiro segera melompat. Tanpa suara dibukanya
jendela itu dan dalam detik itu juga dia sudah tenyap di luar sana setelah
terlebih dulu menutupkan daun jendela kembali!
“Permani!” Ketukan pada pintu
kini berganti dengan gedorangedoran. Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar.
Seorang laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan tinggi tegap masuk
ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari tangannya berwarna putih dan panjang sekali!
Inilah Ketua Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul. Dia memandang
sekeliling kamar dengan matanya yang besar penuh teliti. Permani berdiri di
hadapan laki-laki dengan hati berdebar.
“Kau menyembunyikan seseorang
di sini, Permani?!” tanya Manik Tunggul. Permani tertawa.
“Kecurigaan ayah terhadap anak
sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu.
“Siapa dan untuk apa pula aku
menyembunyikan seseorang dalam kamar ini?!” Manik Tunggul memandang ke loteng
lalu memeriksa setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat tidur!
“Sepuluh orang anak murid ayah
mengawalku siang malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang masuk ke
sini masa mereka tidak tahu?” ujar Permani. Manik Tunggul masih belum percaya
akan ucapan anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya. Di luar
suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya tampak berdiri di bawah sebuah
pohon. Mereka tengah berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali.
“Permani, menjelang hari
perkawinanmu ini kuharap kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri
malu ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya permusuhan antara aku
dengan Ketua Perguruan Merapi!”
“Ayah, meski aku tidak suka
pada calon suamiku itu, tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain
daripada patuh atas segala kemauanmu…” kata Permani dengan tundukkan kepala.
Manik Tunggul tepuk bahu anaknya.
“Kau anak yang berbakti,” kata
Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan
kamar.
***
Malam itu di sebuah dangau tua
di tengah sawah, Wiro Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan
perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia kini sengaja melibatkan
diri dalam urusan orang lain? Mengapa dia telah menerima permintaan tolong
gadis anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini berarti dia mencari
sengketa, menghadapi dua buah Perguruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki
dirinya sendiri. Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua itu
telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghiraukannya. Dan kini dia
terjerumus dalam persoalan rumit penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya
sendiri! Paras jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua Perguruan Garuda
Sakti itulah mungkin yang telah memukaunya hingga bersedia turun tangan berikan
bantuan! Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu,
“kau punya sifat mata
keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik…” Wiro menyeringai dan sambil
garuk-garuk kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.
11
DI PUNCAK Gunung Merapi.
Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir serta hiasan gaba-gaba
dikelilingi oleh sebuah panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk
lingkaran, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian sebeleh utara
panggung berbentuk lingkaran terdapat sebuah podium. Di depan podium ini
terletaklah sebuah pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di
pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang bertaburan berlian,
segala apa yang dipakainya, semua itu tak dapat menyembunyikan parasnya yang
buruk dan cekung. Dialah Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, calon suami
Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ rata-rata adalah orang-orang dunia
persilatan dan beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang disegani!
Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa naik ke atas podium dan upacara
perkawinan segera akan dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang
pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon besannya yaitu
Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila upacara pernikahan selesai, para tamu
akan dijamu makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-pertandingan silat
yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan di atas panggung besar kayu jati!
Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling. Dari sebuah bangunan
keluarlah pengantin perempuan, diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang
memandang kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji kecantikan
paras Permani! Dilihat kepada rupa memang ada juga di antara para tamu yang
merasa kurang cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada nama besar
Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan itu menjadi sirna. Siapa yang tak
kenal dengan Bogananta? Siapa yang tak kenal dengan Sokananta yang berilmu
tinggi?! Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas panggung di depan
podium maka pengantin laki-laki pun berdiri dan suara seruling berhenti.
Serentak para hadirin pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan dilangsungkan,
dipimpin oleh seorang tua bernama Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di
masa itu Wararayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin upacara
perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di bawah pimpinannya pastilah kedua
mempelai akan hidup bahagia! Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga
muncul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik Tunggul serta Sokananta
kelihatan gelisah. Permani yang berdiri dengan menundukkan kepala juga tampak
gelisah. Tapi apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang digelisahkan
orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai saat itu orang yang hendak
menolongnya belum juga kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau
terlambat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?! Telah lewat sepeminum teh.
Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat sangat membuat kulit
muka Manik Tunggul merah laksana saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung
jawab mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak Bogananta juga
kelihatan merah parasnya, tapi bukan karena malu melainkan merasa terhina!
Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik sebuah batu karang besar
di tepi kawah kelihatan muncul seorang berjubah biru. Manik Tunggul tersirap
kaget. Jubah biru adalah pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakah
manusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik batu karang itu? Dan
waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini, terkejutlah Manik Tunggul serta
para hadirin. Langkah si jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan
angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat, maka tersiraplah darah
Manik Tunggul dan semua orang. Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi
anehnya jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik Tunggul sebagai
milik Wararayan? Apakah yang telah terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua
itu berada dan siapa pula manusia yang datang ini?! Si jubah biru memiliki
paras yang dilapisi dengan tanah liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakkan
diikat dengan robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di tangan kirinya
ada sebuah pecahan kaca rias bersudut runcing sedang di tangan kanannya
menggenggam sebatang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat di
sekitar kawah gunung. Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak murid
Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti segera hendak turun tangan, tapi
ketua masing-masing memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam posisi
mengurung si jubah biru. Akan tetapi Permani begitu dia melihat si jubah biru
ini, meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan rambut awut-awutan
tak karuan, namun dia masih bisa mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda
gagah yang dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar penginapan,
bukan lain orang yang diharapkannya sebagai tuan penolongnya! Hati dara ini
lega sedikit. Tapi apaapaan dia berbuat macam orang gila begini rupa? Tiba-tiba
si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar 212 keluarkan suara macam orang
tua dan menggigil,
“Uh… uh… dinginnya! Dingin
sekali!” Dan kedua tangannya didekapkan di dada sedang geraham-gerahamnya
bergemeletukan persis macam orang kedinginan! Di samping itu karena suaranya
sengaja dialiri tenaga dalam yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang
telinga para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka injak! Semua
orang heran campur terkejut! Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik.
Bagaimana manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?!
“Jubah biru!” bentak Manik
Tunggul.
“Manusia atau setankah kau?!”
“Hai… aku bicara soal
dinginnya hari. Apakah kau tidak merasa? Apakah kalian semua di sini tidak
kedinginan? Uh.. uh…!” Semua orang saling pandang.
“Jubah biru, lekas terangkan
siapa kau. Dan dari mana kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?!” Kembali
Manik Tunggul buka suara keras. Wiro Sableng dengan menahan geli di dalam hati
purapura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri. Kemudian sambil
tuding-tudingkan tombak batu hitam di tangan kanan dia berkata,
“Anak-anakku… kalian semua
dengarlah!”
“Persetan manusia edan!”
hardik Bogananta beringas.
“Kau kira kami ini apamu
sampai memanggil kami anakanakmu?!” Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah
dia tudingkan tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan Merapi
itu.
“Kalian dengar dulu… jangan
ganggu bicaraku. Siapa yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan
dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa di khayangan!” Lalu Wiro
Sableng pura-pura menggigil kedinginan lagi!
“Dingin… uh… dingin sekali! Di
dasar kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main! Uh…!”
“Manusia gila! Kalau kau tak
segera angkat kaki dari sini kutekuk batang lehermu!” ancam Manik Tunggul.
“Aku bukan manusia… bukan
manusia!” kata Wiro lantang keras hingga setiap orang yang mendengar tergetar
dadanya!
“Aku adalah titisan dewa di
khayangan! Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada dan terjadi
di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian tahu hai manusia-manusia ceroboh,
pesta perkawinan yang kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa
di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua! Kalian hendak dikutuk! Hendak
disapu dengan angin topan dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang
aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian…”
“Keparat pendusta!” bentak
Manik Tunggul.
“Kau kira kami bisa dikelabui
oleh orang gila macammu?!” Wiro Sableng menyeringai dan keluarkan suara
mengekeh. Dalam hatinya dia memaki!
“Aku pendusta katamu?! Aku
orang gila bilangmu…?! Kau akan lihat… akan lihat!” kata Wiro pula dengan suara
keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang terletak dua puluh
tombak dari panggung. Jarak yang duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa
kali gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun! Di tepi kawah Wiro
komat-kamitkan mulut. Dalam hati dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu
hitam di tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan pecahan kaca rias di
putar-putarnya kian kemari! Kemudian terdengarlah kumandang suaranya yang
menggelegar ke dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas.
“Wahai dewa-dewa di khayangan!
Kalian telah menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku ada
manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu yang ada di bawah pengawasanku.
Kalian dengar sendiri bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai
pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila! Demi memandang mukaku,
demi menjaga kesucian tempat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap
perlihatkanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka…!” Wiro putar-putarkan kedua
tangannya ke udara.
“Hukumlah mereka wahai dewa!”
seru Wiro lagi dan seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan.
Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh. Maka mengaunglah suara
angin makin keras. Para tamu yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi
jatuh berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan mereka yang mengerti silat
segera kerahkan tenaga dalam agar tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru
angin semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba di atas panggung
serta podium tanggal beterbangan, tak ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi
tinggi yang dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan kelihatanlah
kepalanya yang berambut jarang!
“Tahan!” teriak Manik Tunggul
seraya melompat ke muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si
jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak dirinya sendiri! Dia
melompat ke samping dan sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan Wiro.
Pakaiannya berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang keluar dari
tangan sang Pendekar 212!
“Jubah biru, hentikan semua
ini! Aku mau bicara padamu!” Berada sedemikian dekat Manik Tunggul melihat
bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si jubah biru bukan lain
daripada sikap seorang ahli silat! Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini
menjadi curiga. Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia biasa
seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa!
“Tahan!” teriak Manik Tunggul
sekali lagi.
“Aku mau bicara!” Wiro tertawa
mengekeh dan mendongak ke langit.
“Dewa-dewa, aku mohon
hentikanlah kemurkaanmu.” Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu
mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan Manik Tunggul yang ada
di sampingnya Wiro melangkah kembali ke atas panggung di depan podium sambil
tertawa mengekeh-ngekeh!
“Masih untung, masih untung
dewa mau mengampuni kalian manusia-manusia sombong!” kata Wiro. Dia melirik ke
samping. Manik Tunggul berada di dekatnya. Dan Wiro buka mulut kembali,
“Itu baru sepersepuluh dari
kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti kalian semua sudah tak ada
di sini! Sudah terbang laksana daun kering dan mampus!” Wiro komat-kamit dan
acungkan pecahan kaca ke muka.
“Sekarang kalian dengar
semua!” serunya menggeledek.
“Dewa telah mengampuni kalian
orangorang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengampunan itu. Telah lima
ratus tahun lebih kawah Gunung Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah
dibersihkan dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun lebih
khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini dewa memerintahkan aku, dan
aku memerintahkan kamu semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan
kepadaku!” Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya terkejut.
Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta mendelik memandang kepadanya. Cuma
seorang yang kelihatan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain Permani.
Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang menyamar itu.
“Kalian dengar? Pengantin
perempuan harus diserahkan padaku…!” Wiro melangkah mendekati Permani. Tapi
baru satu langkah, Manik Tunggul sudah memapasinya.
“Jubah biru! Aku tidak percaya
kau titisannya dewa! Kau tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau
kau maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku ini!” Habis berkata
begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti melompat ke muka. Kedua tangannya
berkelebat cepat!
12
WIRO Sableng terkejut melihat
datangnya serangan dua tangan yang mencengkeram dengan dahsyat itu. Buru-buru
dia melompat ke belakang dan kiblatkan tombak batu hitam di tangan kanannya
memapasi serangan lawan! Kini Manik Tunggul-lah yang terkejut! Serangan yang
dilancarkannya tadi adalah jurus Sepuluh Jari Sakti Menggarap Gunung, merupakan
satu jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya. Tapi si jubah biru
mengelakkannya dengan cepat bahkan kalau dia tidak cepat menarik pulang kedua
tangannya pastilah akan dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah biru! Wiro
tertawa mengekeh.
“Manusia sombong dan kotor
hendak melawan titisan dewa?I” ejeknya.
“Kau akan tahu rasa!” Malu bercampur
amarah yang meluap Manik Tunggul siap menyerang kembali. Tapi di saat itu
sesosok tubuh melompat ke depan dan satu seruan terdengar,
“Ketua Perguruan Garuda Sakti,
biar aku calon mantumu tunjukkan bakti padamu! Biar aku yang ringkus manusia
kentut dewa itu!” Sreet! Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, si pengantin
laki-laki yang akan jadi suami Permani cabut pedangnya lalu tanpa tedeng
aling-aling menyerbu kirimkan satu tusukan satu babatan! Pendekar 212 tertawa
gelak-gelak dan elakkan serangan pedang dengan satu putaran tombak batu. Dengan
penasaran Sokananta susul dua tusukan kilat dan dua tebasan sekaligus! Wiro
putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran Terbang Ke Langit. Melihat
gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah serangannya bukan main dongkolnya
Sokananta. Dia ambil keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga dalam
sekaligus! Trang! Trak! Tombak batu hitam di tangan kanan Wiro Sableng patah
dua. Sebaliknya pedang di tangan Sokananta terlepas mental, tangannya tergetar
hebat dan pedas membuat dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap ketika dia
hendak melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua Perguruan Merapi
ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental ternyata sudah berada di tangan
lawannya! Gelaplah muka Sokananta ditelan rasa malu dan kegeraman yang menyala!
Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara semua orang! Sokananta
adalah anak kandung gemblengannya sendiri. Meski tenaga dalamnya masih belum
mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap ringan, dan di samping
itu seluruh ilmu silatnya telah dikuasai oleh Sokananta! Bagaimana kini dia
bisa dipecundangi dalam satu gebrakan itu aja? Untuk tidak membuat anaknya
kehilangan muka maka Bogananta berseru memerintahkan anak-anak buahnya
nenyerang si jubah biru. Di lain pihak Manik Tunggul segera pula memerintahkan
anak-anak buahnya. Enam belas orang bertomba ke depan podium bukan saja
mengurung Wiro tapi dengan serentak menyerangnya! Pendekar 212 tertawa dan
keluarkan suara bersiul. Begitu gelombang serangan datang menggempurnya, pemuda
ini melompat ke udara dan sewaktu menukik turun, kembali terdengar jerit empat
orang pengeroyok. Keempatnya menggelinding ke tanah dalam keadaan pingsan. Dan
di depan podium, empat orang lainnya berdiri mematung karena di totok oleh Wiro
dengan bagian belakang yang tumpul dari patahan tombak batu hitamnya! Melihat
ini baik Bogananta maupun Manik Tunggul segera maklum bahwa si jubah biru
bukanlah tandingan anak-anak murid mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya
belum tentu berada di bawah mereka!
“Bangsat!” bentak Bogananta
marah.
“Rupanya kau sengaja datang
mengacau ke sini! Lekas berlutut atau aku akan urus jalan ke akhirat bagimu!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Terhadap titisan dewa kau
berani main perintah seenaknya! Makan pukulanku ini!” bentak Wiro pura-pura
marah lalu lancarkan satu pukulan yang sebenarnya hanya satu kepura-puraan
saja. Dia tiada permusuhan dengan semua orang di situ, karenanya dia tak punya
niat untuk turun tangan jahat! Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat luar
biasa, Bogananta cepat-cepat menghindar sewaktu angin pukulan menyambar ke
arahnya dan dengan jurus Naga Menyelinap Dari Balik Rimba Belantara, Ketua
Perguruan Merapi ini kembali menyerbu! Wiro tak melihat gerakan lawan tahu-tahu
tubuhnya sudah berada dekat sekali dan tinju kiri kanan sudah berada di depan
hidung! Hanya sedetik Pendekar 212 terkesiap melihat jurus serangan yang tak
terduga dari lawan. Sekejap kemudian tangan kirinya sudah bergerak dan pecahan
kaca rias bersudut-sudut runcing melesat ke arah tenggorokan Bogananta!
“Keparat!” maki Bogananta. Dia
pergunakan tangan kanan memukul kaca itu hingga hancur lebur, sebaliknya tinju
kiri diteruskannya ke arah muka lawan! Namun serangan ini telah berkurang
kecepatannya karena gerakan yang dibuatnya waktu memukul hancur kaca tadi! Dan
dengan sendirinya tangan kiri Bogananta menjadi makanan yang empuk bagi
Pendekar 212. Namun karena dia tak punya niat turun tangan jahat maka Wiro cuma
tarik lengan laki-laki itu, memuntirnya dengan cepat! Begitu tubuh Bogananta
terputar, Wiro segera menotok punggungnya. Keluh kesakitan yang hendak keluar
dari mulutnya Bogananta sirna di tenggorokannya karena tubuhnya keburu kaku
dilanda totokan Pendekar212! Tercekatlah hati Manik Tunggul. Ilmu silat dan
kepandaian calon besannya itu dua tingkat lebih tinggi dari dia! Berarti adalah
mencari konyol kalau dia coba pula turun tangan! Tapi agar tidak dicap
pengecut, Ketua Perguruan Garuda Sakti ini segera lompat ke depan Wiro. Begitu
menyerang dia keluarkan jurus ilmu silatnya yang paling hebat yaitu Seribu
Garuda Mengamuk! Kedua tangan Manik Tunggul terkembang ke samping laksana sayap
burung garuda. Sekali tubuh kena terpukul pasti hancur remuk! Dari mulutnya
keluar suara berkuikkuik macam suara garuda sedang di samping memukul, kedua
tangannya secepat kilat bisa berobah mencengkeram setiap bagian tubuh lawan!
Satu jurus Pendekar 212 kena dirangsak ke sudut panggung dekat para tamu duduk.
Tapi memasuki jurus kedua sekali berkelebat terdengarlah keluhan Ketua
Perguruan Garuda Sakti itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke muka. Sepasang kakinya
laksana tiada bertulang. Tubuhnya tergelimpang di panggung. Wiro telah menotok
kedua urat kakinya sekaligus sehingga Manik Tunggul laksana lumpuh tak sanggup
berdiri! Wiro memandang berkeliling dengan tawa berderai. Tamu-tamu dilihatnya
dicekam oleh rasa kejut dan takut. Inilah saatnya untuk melarikan Permani,
pikir Wiro. Segera dia hendak melompat ke tempat sang dara. Namun dari panggung
sebelah timur melesat sesosok tubuh berjubah hitam. Lesatannya sangat ringan
luar biasa dan tanpa suara tahu-tahu dia sudah di atas panggung kayu jati!
Manusia berjubah hitam ini ternyata seorang perempuan separuh baya yang
berparas cantik sekali. Namun sekali melihat sinar matanya, Wiro segera maklum
bahwa manusia ini di samping tinggi ilmu silatnya juga mempunyai hati jahat!
Tiba-tiba jubah hitam menunjuk cepat-cepat ke arah Wiro Sableng!
“Manusia yang mengaku titisan
dewa, harap datang ke hadapanku!” Suara perempuan ini besar parau dan
menggetarkan liang telinga. Wiro mengagumi kehebatan tenaga dalam perempuan
ini. Siapakah dia pikir Wiro dan tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang
tak boleh dibuat main-main, Pendekar 212 segera melompat ke panggung kayu jati!
Semua mata kini ditujukan ke panggung, pada kedua orang itu!
“Aku tak suka bikin urusan
dengan manusia yang sembunyikan tampangnya di balik penyamaran! Lekas
perlihatkan mukamu yang sebenarnya dan buka jubah biru itu!” Wiro kaget namun
dia tertawa.
“Kupuji ketajaman matamu! Tapi
harap kau suka terangkan siapa kau dan apa maksudmu jual lagak di atas panggung
ini!” Tentu saja Si Jubah Hitam marah sekali. Dia tahan kemarahannya dan
berkata datar,
“Ketahuilah, aku datang untuk
menagih hutang jiwa!”
“Ohh… kukira kau berdiri di
sini hendak membela kedua ketua perguruan itu.”
“Aku tak ada sangkut paut
dengan mereka! Aku adalah kakak seperguruan Dewi Kala Hijau yang kau bunuh
beberapa tahun yang lalu!” (Tentang siapa adanya Dewi Kala Hijau harap baca
serial Wiro Sableng yang berjudul Neraka Lembah Tengkorak). Kaget Wiro Sableng
bukan alang kepalang! Dewi Kala Hijau yang pernah dibunuhnya tempo hari ilmunya
tinggi luar biasa. Dan kini kakak seperguruannya datang menuntut balas! Tentu
ilmunya lebih hebat lagi! Tapi meskipun demikian mana pemuda ini merasa jerih.
Malah dia tertawa dan berkata,
“Kau datang kurang cocok
waktunya, perempuan gagah. Sekarang bukan saatnya menagih segala macam hutang,
apalagi hutang jiwa!” Dengan acuh tak acuh Wiro bertindak mendekati Permani,
tapi dari samping Sokananta telah memapasi. Di tangannya kiri-kanan kini
tergenggam dua bilah pedang mustika yang berkilauan ditimpa sinar matahari!
Begitu memapas begitu anak Ketua Perguruan Merapi ini kiblatkan kedua
senjatanya. Wiro yang maklum bahwa dua batang pedang itu bukan pedang biasa tak
mau bertindak ceroboh. Anginnya saja sudah memerihkan kulitnya. Dia melompat
mundur mengelak dan pada saat dia berada dekat Bogananta secepat kilat Wiro
mencabut pedang yang tergantung di pinggang kiri Ketua Perguruan Merapi itu!
Kini sibuklah Sokananta. Dia terdesak hebat ketika salah satu pedangnya dibikin
mental. Muka pemuda berambut jarang ini pucat lesu sewaktu ujung pedang ayahnya
yang di tangan Wiro menyambar laksana kilat dan merobek besar pakaian di bagian
dadanya! Dalam dia terkesiap kaget dan kecut itu, Wiro lepaskan pukulan tangan
kosong. Tak sempat mengelak tahu-tahu Sokananta telah merasakan tubuhnya kaku
tegang tak bisa bergerak lagi!
“Sudah cukup aku melihat
pertunjukanmu!” kata satu suara di samping Wiro.
“Sekarang kau hadapi Si Jubah
Hitam.” Sekali mengusap mukanya maka semua orangpun gegerlah. Muka yang tadi
cantik menawan hati itu kini berubah menjadi muka tengkorak yang membuat bulu
kuduk menggerinding! Didahului oleh satu lengkingan dahsyat, Si Jubah Hitam
pukulkan tangan kanannya ke depan. Gelombang angin keras melanda Pendekar 212.
Wiro bersuit nyaring dan berkelebat dengan cepat tapi dari samping Si Jubah
Hitam susul dengan pukulan tangan kiri! Pendekar 212 terkurung di antara dua
angin pukulan sekaligus!
“Sialan!” maki Wiro. Dengan
serta merta pendekar ini angkat kedua tangannya dan dorongkan ke muka dalam
jurus pukulan yang bernama Benteng Topan Melanda Samudera! Dua pukulan dahsyat
yang mengandung tenaga dalam hebat luar biasa saling bergulat tindih menindih!
Semua orang yang menyaksikan adu kekuatan tenaga dalam ini menahan nafas dengan
tegang. Jarang sekali pertempuran yang begini hebat mereka saksikan! Si Jubah
Hitam kernyitkan kening tengkoraknya. Di kening Wiro sebaliknya kelihatan
butiran-butiran keringat. Braak! Lantai kayu jati yang diinjak oleh Pendekar
212 hancur roboh!
“Celaka!” keluh Pendekar 212.
Ternyata tenaga dalam lawan tidak berada di bawahnya, malah satu dua tingkat
berada di atasnya! Dengan bersuit nyaring Wiro melompat mundur sejauh dua
tombak lalu jungkir balik sampai tiga kali berturut-turut dan jatuhkan diri di
lantai dan seterusnya berguling cepat! Dengan demikian baru dia berhasil
menolak dan melebur serangan tenaga dalam Si Jubah Hitam yang sangat dahsyat
itu!
“Gila betul!” maki Wiro dalam
hati. Kalau dihadapi terus manusia bermuka tengkorak ini meski belum tentu dia
bisa dikalahkan dengan mudah tapi bisa berabe! Maka dengan cepat Wiro melompat
menyambar tubuh Permani! Tapi celaka, begitu tubuh sang dara berada di atas
bahu kirinya, enam orang telah mengurungnya. Mereka adalah tokoh-tokoh silat
yang menjadi tamu dan bersahabat baik dengan kedua Ketua Perguruan yang kini
berada dalam keadaan ditotok tak berdaya! Dengan demikian manusia yang
mengeroyok Wiro berjumlah tujuh ditambah dengan Si Jubah Hitam! Si Jubah Hitam
tertawa panjang.
“Enam manusia tak tahu diri!
Kalian mundur semua! Nyawa pemuda itu hak milikku!”
“Perempuan muka tengkorak!”
jawab seorang di antara yang enam sambil melintangkan senjatanya yaitu sebuah
ruyung perak.
“Urusanmu, urusanmu! Kami juga
punya kewajiban untuk membunuh manusia yang hendak menculik anak gadis sahabat
kami!”
“Di hadapan Iblis Tengkorak
kalian berani jual tampang petantang petenteng! Pergilah semua!” Si Jubah Hitam
yang mengaku bergelar Iblis Tengkorak dorongkan kedua tangannya ke muka!
Gelombang angin yang dahsyat menyambar. Laksana daun-daun kering keenam tokoh
silat itu terpelanting ke luar panggung! Dua orang muntah darah. Empat lainnya
melingkar pingsan di tanah! Sewaktu orang-orang itu bertengkar mulut dan
sewaktu Iblis Tengkorak menggempur keenam tokoh silat, maka kesempatan ini
dipergunakan oleh Wiro untuk berlalu dengan cepat. Tapi lebih cepat lagi,
tahu-tahu Si Jubah Hitam Iblis Tengkorak sudah berada di depannya! Dan
sekaligus lancarkan sejurus serangan ganas! Wiro berkelit gesit dan selundupkan
satu tendangan ke perut lawan! Tapi dengan sigap Iblis Tengkorak hantamkan
tangan kanannya ke bawah. Karena tenaga dalam lawan lebih tinggi, Wiro terpaksa
tarik pulang tendangannya dan sebagai gantinya kirimkan serangan Kunyuk
Melempar Buah.
“Apakah tak ada ilmu pukulanmu
yang lebih berguna?!” ejek Iblis Tengkorak. Dan sekali dia kebutkan lengan
jubah hitamnya maka buyarlah serangan Wiro Sableng yang berkekuatan dua per
tiga tenaga dalamnya itu!
“Hebat sekali iblis betina
ini!” rutuk Wiro. Tubuh Permani diturunkannya, kemudian diiringi oleh satu
bentakan nyaring dia menyerbu ke muka. Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang!
Dua gelombang angin pukulan melanda Iblis Tengkorak, masing-masing pukulan
Orang Gila Mengebut Lalat dan pukulan Angin Es. Angin besar menderu-deru,
mengibarkan jubah hitam Iblis Tengkorak. Sedang udara mendadak sontak menjadi
dingin luar biasa. Semua orang menggigil bergemeletukan geraham mereka! Tapi
Iblis Tengkorak ganda tertawa. Dua tangan memukul ke muka. Dua larik sinar
hitam menggebu! Wiro meraung! Tubuhnya mental sampai empat tombak, pakaiannya
robek hampir di setiap bagian sedang dari hidung dan sela bibirnya kelihatan
darah ke luar! Tak ayal lagi Wiro segera telan dua butir pil. Matanya beringas
galak. Dan sewaktu Iblis Tengkorak datang mendekat dengan tertawa, Pendekar 212
segera sambut dengan pukulan Sinar Matahari.
“Aha! Pukulan Sinar Matahari!”
seru Iblis Tengkorak.
“Inilah yang kutunggu!” Tangan
kanannya bergerak membuat lingkaran, kemudian laksana kilat dihantamkan ke
muka! Terdengar suara laksana guntur! Satu gelombang angin hitam bergerak
berputar bergulung-gulung lalu menghantam ke muka laksana topan prahara! Sinar
putih perak pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212 tiada berdaya
dan terbuntal dalam gelungan-gelungan angin hitam pukulan lawan untuk kemudian
melesat kembali menyerang dirinya sendiri, sekaligus bersama serangan angin
pukulan lawan! Itulah pukulan Raja Angin Mengamuk yang telah dilepaskan oleh Iblis
Tengkorak!
“Tobat.” keluh Pendekar 212!
Tangan kanannya bergerak sebat! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata
berkiblat dan, … Buum! Satu letusan yang luar biasa kerasnya terdengar! Puncak
Gunung Merapi bergetar! Suara letusan yang dipantulkan kembali oleh dasar kawah
tak kalah hebatnya sehingga semua orang di situ merasakan dunia laksana mau
kiamat! Iblis Tengkorak terkejut besar. Jantungnya mendenyut sakit sedang kedua
lututnya agak tertekuk! Ketika dia memandang ke depan dilihatnya pemuda itu berdiri
dengan tubuh bergetar, muka pucat pasi dan sepasang mata merah sedang di tangan
kanannya tergenggam sebuah kapak bermata dua, yang gagangnya terbuat dari
gading dan berbentuk kepala naganagaan! Terkesiaplah Iblis Tengkorak melihat
kehebatan senjata lawan! Kapak Maut Naga Geni 212 nyatanya bukan senjata kosong
belaka! Pukulan Raja Angin Mengamuk yang dilepaskan tadi adalah pukulan paling
hebat dan ganas yang dimilikinya! Selama sepuluh tahun memiliki ilmu pukulan
itu tak satu lawan gagahpun yang sanggup menghadapinya! Tapi kini seorang lawan
berusia muda sekali dengan Kapak Naga Geni 212 berhasil memusnahkan pukulannya
itu! Kedua mata Pendekar 212 terbuka perlahan. Satu seringai maut tersungging
di bibirnya. Parasnya yang selama ini macam paras anak-anak dan tolol kini
berubah total menggidikkan! Sinar matanya laksana menembus tembok baja!
“Iblis Tengkorak!” desis Wiro
Sableng.
“Kalau hari ini aku tak
sanggup memisahkan kepala dan badanmu, biarlah aku mengundurkan diri dari dunia
persilatan selama-lamanya!” Sebenarnya pemuda ini sudah terluka di dalam. Tapi
begitu Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya satu aliran sejuk keluar dari
gagang kapak dan memberi kekuatan baru padanya meskipun luka di dalam yang
dideritanya tidak bisa dikatakan sembuh! Perempuan muka tengkorak tertawa
dingin.
“Keluarkan semua ilmu
simpananmu. Kalau kau punya sepuluh senjata cabut sekaligus agar tidak mati
penasaran! Sekali Iblis Tengkorak inginkan nyawa seseorang pasti tak bisa
lepas. Tak perduli apakah kau punya tiga kepala enam tangan!”
“Manusia sombong! Kalaupun aku
mampus di tanganmu tapi kejahatan tak akan sanggup menumbangkan kebenaran!”
“Jangan mengigau di siang
bolong! Hari ini gelar Pendekar Kapak Maut Geni 212 akan kuhapus dari dunia
persilatan!” Iblis Tengkorak menggembor macam kerbau marah. Tubuhnya lenyap dan
tahu-tahu dua belas serangan telah menyerbu Wiro Sableng! Yang diserang tak
tinggal diam. Begitu Kapak Naga Geni 212 berkiblat maka suara menderu laksana
suara ribuan tawon merangsang telinga! Sedang dari mulut sang pendekar
melengking suara siutan nyaring yang tak menentu dan menusuk gendang-gendang
telinga! Kejut Iblis Tengkorak bukan alang kepalang. Putaran angin kapak tak
sanggup diterobos oleh pukulan-pukulan yang dilancarkannya. Sebaliknya angin
kapak itu memerihkan mata serta kulitnya. Dan ditambah pula oleh suara mengaung
serta siulan yang tiada hentihentinya menusuk liang telinganya, membuat
gerakangerakannya kacau balau! Dengan penasaran dan kalap, dalam jarak sedekat
itu Iblis Tengkorak lepaskan pukulan Raja Angin Mengamuk. Tapi cepat-cepat dia
tarik pulang tangan kanannya karena jurus putaran kapak yang bernama Pecut
Sakti Menabas Tugu yang dilancarkan oleh Pendekar 212 hampir saja membuat
tangan kanannya terbabat putus! Semua orang yang menyaksikan tak dapat lagi
melihat wujud tubuh kedua manusia yang bertempur itu. Menyaksikan lama-lama
mata mereka menjadi sakit dan kepala masing-masing menjadi pusing! Telah dua
kali Iblis Tengkorak tukar ilmu silatnya namun tetap saja dia kena didesak!
Tubuhnya telah mandi keringat dingin. Tiba-tiba dengan licik manusia muka
tengkorak ini menyelundup ke belakang tubuh Pendekar 212 dan dari belakang ini
lancarkan satu serangan maut yang ganas! Tapi Wiro sudah lebih dahulu rasakan
datangnya angin serangan yang dingin di punggungnya. Dengan lancarkan jurus Di
Balik Gunung Memukul Halilintar Wiro balikkan badan! Iblis Tengkorak tak
mengira lawannya akan mengetahui posisinya dan bisa menyerang secepat itu.
Dengan gugup dia mengelak. Wiro susul dengan jurus Membuka Jendela Memanah
Rembulan yang tak asing lagi. Tangan kirinya membabat ke pinggang lawan. Jubah
hitam masih bisa berkelit tapi serangan yang lebih ganas tak dapat
dihindarkannya yaitu serangan kapak yang laksana anak panah melesat menyambar
ke arah batang lehernya! Craas! Darah memancur. Tubuh Iblis Tengkorak roboh ke
lantai panggung. Kepalanya menggelinding mengerikan! Semua orang menjadi
gempar! Dan ketika mereka memandang lagi ke atas panggung, Wiro Sableng sudah
tak ada. Bahkan kemudian mereka menyadari bahwa Permani pun tak ada lagi di
hadapan podium! Untuk kedua kalinya semua orang menjadi gempar!
13
INIKAH Goanya?” tanya Wiro
seraya melompat turun dari punggung kuda. Dalam perjalanan melarikan diri
bersama Permani mereka berhasil mendapatkan dua ekor kuda hitam milik anak-anak
murid Perguruan Garuda Sakti. Permani anggukkan kepala lalu turun pula dari
kudanya. Sebuah batu yang sangat besar menyumpal mulut goa. Wiro Sableng
kerahkan tenaga dalam. Setelah bekerja keras beberapa lamanya baru batu besar
itu bisa disingkirkan. Didahului oleh Permani keduanya masuk ke dalam.Ternyata
goa itu cuma delapan tombak dalamnya.
“Kanda Panuluh!” Tiba-tiba
mengumandang pekik Permani. Dara ini laksana diburu sctan lari ke depan dan
meraung keras. Menangis sambil tiada hentinya menyebut nama tadi! Wiro Sableng
berdiri termangu. Seorang pemuda yang berada dalam keadaan menyedihkan
tersandar ke dinding goa. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi yang
dipakukan ke dinding kuat sekali. Dia hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur
tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah yang dalam bekas cambukan. Mukanya
babak belur. Bibir pecah, pipi lecet, sedang kedua mata bengkak menggembung.
Pada bawah mata dan hidung kelihatan noda-noda darah yang telah membeku! Dan
Permani menangis memeluki tubuh pemuda itu. Wiro menggigit bibir. Dia maklum
kalau pemuda itu sudah tiada bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro berteriak,
“Jangan!” Dan secepat kilat
melompat ke muka menangkap tubuh Permani.
“Bunuh diri tak ada gunanya!”
seru Wiro. Menyadari bahwa pemuda kekasihnya telah mati maka tadi Permani
hendak benturkan kepalanya ke dinding goa. Untung Wiro masih sempat
menghalanginya.
“Tenanglah Permani,” bisik
Wiro coba menghibur.
“Tidak! Lepaskan aku Wiro!
Lepaskan!” teriak sang dara keras dan meronta-ronta laksana orang gila!
“Jangan mengambil jalan
sesat!”
“Tak perlu aku hidup lebih
lama! Orang yang kukasihi telah tiada!” Lengking Permani.
“Lepaskan! Biar aku bunuh diri
Wiro! Lepaskan!” Karena Permani adalah seorang gadis yang mendapat didikan ilmu
silat dari ayahnya maka dengan susah payah baru Wiro berhasil menotok tubuhnya
hingga dia lemas dan disandarkan ke dinding. Suara tangisnya menyayat hati.
Wiro melepaskan dengan paksa rantai-rantai yang mengikat tangan serta kaki
Panuluh lalu membaringkan pemuda itu di lantai goa. Permani tutupkan kedua
matanya, tak tahan melihat keadaan kekasihnya itu.
“Apakah ayahmu yang melakukan
kekejaman ini?” tanya Wiro.
“Sokananta! Dia dan
orang-orangnyalah yang melakukan!”
“Bangsat itu akan dapat
ganjaran dariku kelak!” desis Wiro Sableng. Dia memandang ke luar goa.
“Masih ada waktu untuk
menguburkan jenazahnya petang ini sebelum senja datang. Apakah kau bisa menahan
hati? Kalau tidak, aku tak bisa melepaskan totokanmu…” Permani tak menjawab.
Suara tangisnya memenuhi seluruh goa. Wiro Sableng memanggul mayat Panuluh dan
membawanya ke luar goa. Satu jam kemudian ketika dia masuk, Permani masih juga
menangis meskipun kedua matanya yang seperti bintang timur itu kini telah
menjadi bengkak. Wiro duduk bersandar di hadapannya, tak berkata apa-apa. Kalau
sudah letih tentu dia akan hentikan sendiri tangisnya, pikir Wiro. Senja telah
turun dan malampun tiba. Di luar angin malam yang dingin merambas masuk ke
dalam goa. Wiro merasakan perutnya yang sudah lapar menjadi tambah perih oleh
hembusan angin dingin itu. Bila tangis Permani sudah mereda maka Wiro berkata,
“Aku akan cari makanan buat
kita. Kau tunggulah di sini! Berteriak keras-keras kalau ada apa-apa!” Kemudian
Wiro berdiri dan melangkah. Belum lagi dia mencapai mulut goa mendadak di luar
sana, dalam kegelapan malam didengarnya suara semak belukar bergesekan dan
suara langkah-langkah kaki yang banyak sekali. Sesaat kemudian kelihatanlah
beberapa sosok manusia bergerak ke arah goa. Wiro yang maklum akan datangnya bahaya
segera menyongsong ke luar goa. Jika terjadi pertempuran satu lawan banyak di
dalam goa dia bisa kepepet! Yang datang berjumlah lima belas orang. Orang
pertama dikenali Wiro adalah bukan lain dari Sokananta, kemudian Bogananta,
menyusul Manik Tunggul. Yang lainlainnya adalah anak-anak murid Perguruan
Merapi dan Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal pedang! Ketika Wiro
Sableng memandang ke ujung kanan, samarsamar di kegelapan malam dilihatnya
orang yang keenam belas! Orang ini tak dikenal dan tak dilihat sebelumnya waktu
di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk luar biasa seperli bola api, lucunya
celana panjang dan bajunya sangat kecil sekali, hampir-hampir tak dapat
menutupi tubuhnya yang macam kerbau buntak itu. Manusia berkepala botak ini
memegang seuntai tasbih di tangan kirinya dan mulutnya senantiasa komat-kamit
tak bisa diam! Tiba-tiba Manik Tunggul melangkah besar-besar ke hadapan Wiro
dan membentak nyaring,
“Mana anakku?!” Wiro
sunggingkan senyum sinis lalu menunjuk pada kuburan baru yang tanahnya masih
merah.
“Tanyakanlah pada makam baru
itu!” Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-lainnya.
“Bangsat rendah! Anakku kau
bunuh?!” Manik Tunggul menggeram dan sepuluh kuku-kuku tangannya menyambar ke
muka tapi dielakkan dengan gesit oleh Wiro.
“Mari kita satai beramai-ramai
jahanam ini!” teriak Bogananta seraya kiblatkan pedang dan kirimkan satu
tusukan ke leher Wiro. Sokananta dan dua belas orang lainnya segera menyerbu!
Empat belas batang pedang berserabutan dan sepuluh jari berkuku panjang
mencakar dengan ganas! Satu-satunya orang yang tak ikut menyerang ialah si
gemuk pendek yang memegang tasbih. Dia memperhatikan saja sambil mulutnya terus
berkomatkamit!
“Tahan!” teriak Wiro sambil
melompat mundur ke pintu goa. Tapi yang menyerangnya terus memburu!
“Sialan! Kalau kalian tak mau
hentikan serangan ini jangan menyesal!” Bogananta dan yang lain-lainnya tak
ambil perduli. Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Wuut!
Sinar putih menyilaukan menderu, suara laksana ribuan tawon menggerung dan
empat anak buah Perguruan Merapi menjerit roboh mandi darah. Yang lain-lainnya
tersurut mundur sampai lima langkah! Mereka menjadi kecut dan bimbang untuk
menyerbu kembali!
“Manik Tunggul!” kata Wiro
dengan suara keras sehingga semua orang mendengar.
“Anakmu masih hidup. Tapi
kehancuran hati yang dideritanya membuat nasibnya lebih buruk daripada
seseorang yang telah mendahuluinya!”
“Kalau masih hidup di mana dia
sekarang?” tanya Sokananta lantang.
“Durjana cacingan tak usah
buka mulut! Aku tidak bicara pada kau!” tukas Wiro. Kelamlah paras Sokananta
ditelan kemarahan!
“Lalu ini kuburan siapa?!”
tanya Manik Tunggul.
“Jangan pura-pura tidak tahu,
Manik Tunggul! Masa kau lupa pada seorang pemuda bernama Panuluh, yang ditawan
dan disiksa setengah mati oleh durjana cacingan itu lalu disekap di goa ini
sampai akhirnya menemui kematian dalam cara yang mengerikan?!” Kagetlah Manik
Tunggul. Dia berpaling pada Sokananta. Tapi saat itu Sokananta sudah membentak
Wiro kembali,
“Lekas katakan di mana calon
istriku!” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Kekasihnya kau tawan, kau
siksa sampai mati! Apakah kau masih punya muka untuk mengawini gadis itu?!”
Rahang Sokananta kelihatan terkatup rapat-rapat. Manik Tunggul masih memandang
pada Sokananta, lalu bertanya,
“Calon menantuku, apakah yang
diucapkan bedebah ini betul?!” Sokananta tertawa.
“Namanya saja manusia bedebah.
Masa bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia melarikan Permani di depan
hidung kita apakah bangsat ini masih bisa dipercaya?! Dia hendak mengelabuhi
kita dan mengadu domba kita satu sama lain!” Wiro menggerendeng.
“Keparat, dosamu sudah lewat
takaran! Lekas kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki dari sini! Kalau tidak kau
bakal menjadi manusia pertama yang bakal kubelah kepalanya sesudah empat krocomu
itu!”
“Bangsat rendah! Jangan kira
kali ini kau bisa lolos dari liang kubur yang telah kau gali sendiri!”
Sokananta palingkan kepala ke arah laki-laki gemuk yang memegang tasbih.
“Tasbih Kumala, kau tunggu
apalagi?!” Manusia gemuk pendek kepala botak menyeringai. Mulutnya dalam
menyeringai itu masih terus juga berkomat-kamit! Sekali dia bergerak, tubuhnya
sudah berada di samping Sokananta.
“Inikah tampang manusianya
yang kau minta aku untuk membereskannya, Soka?” tanya Tasbih Kumala dengan mata
menyelidik dari atas ke bawah. Sokananta mengangguk. Tasbih Kumala tertawa
gelak-gelak. Hebat sekali suara tertawanya, laksana merobek langit di malam
hari itu! Tasbih Kumala melirik pada senjata yang di tangan Wiro lalu
membentak,
“Pemuda bau pupuk! Betul kau
orangnya yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!”
“Sobat,” sahut Wiro,
“melihat kepada gelarmu
pastilah kau seorang tokoh silat yang ternama. Aku hormati kau. Tapi harap
jangan ikut campur urusan orang! Karena kau tak kuundang untuk datang ke sini,
sebaiknya segera angkat kaki!”
“Bapak moyangmu!” bentak
Tasbih Kumala, dia melangkah ke muka.
“Tunggu dulu!” seru Manik
Tunggul.
“Sebelum kita mengeremus budak
keparat ini, aku harus tahu dulu beberapa hal!”
“Ah, kau hanya menambah
panjang umurnya beberapa detik saja, Manik Tunggul!” kata Bogananta.
“Sokananta, betul kau yang
menangkap dan menyiksa Panuluh, lalu menyekapnya sampai mati di dalam goa
ini?!” Sokananta jadi beringasan!
“Kenapa antara kita musti
berprasangka yang bukan-bukan?!” Wiro menengahi,
“Manik Tunggul, kau juga ikut
bertanggung jawab atas kematian Panuluh! Kau yang memaksa anak gadismu untuk
kawin dengan jahanam cacingan ini! Kau gila nama besar! Kau pengecut kelas satu
yang mau menjual anak sendiri karena ditekan oleh Ketua Perguruan Merapi…”
“Tutup mulutmu!” teriak Manik
Tunggul marah. Tiba-tiba Sokananta berteriak beri komando. Maka Bogananta,
Tasbih Kumala dan anak-anak murid Perguruan Merapi segera menyerbu. Manik
Tunggul tetap berdiri dengan bimbang. Dua orang anak buahnya karena melihat
Ketua mereka berdiam diri, tidak berani masuk ke dalam pertempuran! Mendadak
dari dalam goa terdengar seruan perempuan,
“Wiro! Wiro! Kaukah yang
bertempur itu? Wiro…!” Mengenali bahwa itu adalah suara anaknya yang ternyata
masih hidup, legalah hati Manik Tunggul dan pikiran jernih menyeruak di dalam
kepalanya kini. Tiba-tiba dia melompat ke muka dan berteriak,
“Sokananta bajingan! Kaulah
yang jadi biang racun! Kau harus mampus di tanganku!” Sepuluh kuku-kuku jari
dengan ganas menyambar Sokananta! Karena tak diduga akan diserang sehebat itu
dan secara tiba-tiba oleh calon mertuanya sendiri maka Sokananta yang
mengeroyok Wiro Sableng tak punya kesempatan untuk mengelak!
14
SEKEJAP lagi sepuluh kuku jari
Manik Tunggul akan mengeremus hancur muka Sokananta, tiba-tiba, Wuut! Sebuah
pedang menyambar dahsyat ke arah kedua lengan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu!
“Manik Tunggul manusia ular
kepala dua! Akulah lawanmu!” Ketika berpaling ke kanan ternyata yang
menyampokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah di kepala Manik
Tunggul!
“Bogananta keparat! Kau sama
saja dengan anakmu!” Maka kedua orang itupun bertempurlah satu lawan satu
dengan hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya lebih rendah dan lawan
bersenjatakan pedang pula maka lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun kena
didesak! Di lain pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan Tasbih Kumala
serta tujuh orang lainnya berkelebat cepat, bertahan dengan hebat dan
sekali-sekali lancarkan serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan
dua orang anak murid Perguruan Merapi, namun keadaannya tak bisa dikatakan di
atas angin. Sokananta dan yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih Kumala-lah
yang tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat, satu gelombang
angin yang laksana gunung beratnya menerpa Pendekar 212! Dapat dibayangkan
bagaimana jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda oleh tasbih sakti itu! Dua
jeritan terdengar. Dua anak murid Manik Tunggul yang ikut mengeroyok Bogananta
mandi darah dilanda pedang.
Pada jurus keenam tadi dalam
pertempuran satu lawan satu, Manik Tunggul telah didesak hebat oleh Bogananta.
Kedua anak buahnya turun membantu dalam jurus kesembilan mereka kena dihantam
Bogananta. Dan kini dalam jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul didesak hebat!
Pada saat Wiro Sableng berhasil merobohkan lagi dua orang pengeroyoknya, maka
pada saat itu pula terdengar jeritan Manik Tunggul! Tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang dengan kedua tangan memegangi dada yang robek besar dibabat ujung
pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar di tanah, detik itu pula
nyawanya lepas!
“Jahanam!” teriak Pendekar
212. Dari mulutnya terdengar suara bentakan menggeledek. Tubuhnya melesat enam
tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212 berkiblat memancarkan sinar putih dan
menebar suara bergaung.
“Ayah, awas!” teriak
Sokananta. Bogananta memang sudah melihat datangnya sambaran senjata lawan.
Dengan cepat dia angsurkan pedang mustikanya ke depan untuk menangkis! Trang!
Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan Bogananta patah dan mental. Di
kejap itu pula terdengar lolongannya macam kerbau disembelih! Batang lehernya
hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke tanah! Wuut! Satu sambaran
angin mendera ke arah punggung Pendekar 212. Wiro melompat ke muka dan balikkan
badan, sekaligus kiblatkan kapak. Yang menyerangnya ternyata Tasbih Kumala!
“Manusia-manusia keparat!”
kertak Wiro.
“Satu nyawa Manik Tunggul
harus dibayar dengan nyawa kalian semua!” Dari mulut Pendekar 212 kemudian
terdengarlah kumandang suara siulan yang menggidikkan bulu roma! Jurus-jurus
silatnya dengan serta merta berubah total. Tiga pekikan terdengar, menyusul
kemudian dua pekikan lagi! Lima korban terhampar di tanah! Kecutlah nyali
Tasbih Kumala dan lebih-lebih Sokananta. Hanya mereka berdua kini yang masih
hidup! Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek Tasbih Kumala
keluarkan seruan kesakitan. Lengan kanannya yang memegang tasbih terbabat
buntung. Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak Naga Geni 212 berbalik
dan, cras! Terpisahlah kepala dan badan Tasbih Kumala! Lumerlah nyali
Sokananta! Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh dan ambil langkah
seribu!
“Jahanam cacingan! Kau mau
minggat ke mana?! Tempatmu toh di neraka!” Wiro gerakkan tangan kirinya. Siap
untuk lepaskan pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya. Sebagai gantinya dia
lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh! Tak ampun lagi tubuh Sokananta
yang lari kencang itu mendadak sontak menjadi kaku tegang! Permani meratap
memeluki mayat ayahnya. Wiro telah melepaskan totokan gadis itu. Kegelapan
malam, angin dingin yang mencucuki tulang-tulang sungsum, tebaran mayat di
mana-mana serta suara tangis Permani merupakan hal-hal yang tidak enak bagi
Wiro Sableng. Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro kemudian berkata,
“Tak ada gunanya tangis itu,
Permani. Tak ada gunanya membuang-buang air mata lebih banyak! Kejadian begini
sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang Kuasa. Masuklah ke dalam goa…”
Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka kedua matanya. Setindak
dia hendak melangkah ke mulut goa, pandangannya membentur Sokananta yang tegak
kaku akibat totokan Wiro. Maka menggemuruhlah amarah Permani. Dengan segera dia
mencabut sebilah keris yang tersisip di pinggang ayahnya dan berlari ke arah
Sokananta seraya berteriak,
“Bangsat! Kaulah yang jadi
biang racun segala-galanya!”
“Permani!” seru Sokananta
dengan keras tapi gemetar.
“Ampunilah selembar nyawaku
ini.”
“Ini ampun untukmu!” teriak
Permani garang dan keris bereluk tujuh di tangan kanannya dihunjamkannya
keraskeras ke dada pemuda itu. Sekejap lagi ujung keris akan menembus dada
Sokananta, sebuah tangan yang kuat mencekal lengan Permani!
“Lepaskan tanganku!” teriak si
gadis kalap. Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu silat serta memiliki
tenaga dalam yang cukup ampuh agak sukar juga bagi Wiro menahan gadis itu.
“Dengar Permani! Kematian
dengan tusukan keris seperti ini terlalu enak baginya!” kata Wiro.
“Bangsat ini musti diberi
ganjaran yang setimpal…!” Gelora amarah Permani menyurut. Dua bola matanya
memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia kemudian maklum apa yang dikatakan
Wiro adalah benar. Dilemparkannya keris di tangan kanan. Lalu dijambaknya
rambut Sokananta dan diseretnya ke dalam goa. Dengan rantairantai besi yang
dulu pernah mengikat Panuluh, Permani membelenggu kedua tangan dan kaki
Sokananta.
“Permani, kau mau bikin
apa…?!” tanya Sokananta. Keringat dingin membasahi sekujur badannya. Gadis itu
tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu masuk lagi di tangannya ada seutas
akar gantung sepanjang satu setengah tombak. Permani putar-putarkan akar
gantung itu di atas kepalanya.
“Permani…” Suara seruan
Sokananta putus dilanda bunyi akar gantung yang mendera dadanya. Pakaiannya
yang bagus robek, kulit dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan kali di
dalam goa itu terdengar suara cambukan-cambukan yang dahsyat! Sokananta telah
lama pingsan. Parasnya hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang darah.
Pakaiannya robek-robek, sekujur kulit badannya pecahpecah bermandi keringat dan
darah! Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di depan mulut goa
itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi. Kuburan Manik Tunggul yang berdampingan
dengan kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu diletakkan dua buah
batu besar dan pada batu itu dengan dua ujung jari-jari tangannya Wiro telah
menggurat nama kedua orang itu.
“Kau akan kembali ke kota?”
tanya Wiro Sableng yang berdiri di samping Permani dan tengah memandangi dua
kuburan bertanah merah itu. Si gadis gelengkan kepalanya.
“Memang tak ada gunanya ke
Paritsala. Lebih baik terus langsung pulang ke kota kediamanmu…”
“Tidak, aku tak akan kembali
pulang.” Wiro kernyitkan kening.
“Lalu…?”
“Aku akan tinggal di sini.
Akan bertapa di goa…” Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia berkata,
“Ibumu akan susah bila kau tak
kembali…”
“Setelah ayah meninggal, aku
cuma sebatang kara di dunia ini…”
“Jadi ibumu juga sudah
meninggal?” Permani mengangguk.
“Kau tak punya kerabat atau
saudara?”
“Tidak…”
“Tapi hendak bertapa dalam
umur semudamu ini betulbetul belum masanya, Permani. Kau menyia-nyiakan masa
mudamu dan juga masa depanmu!”
“Masa muda dan masa depanku
tak ada lagi sejak orang yang kucintai masuk di bawah tumpukan tanah merah
itu…” sahut Permani dan butir-butir air mata berjatuhan melewati kelopak kedua
matanya. Wiro Sableng menghela nafas. Sungguh sayang dara secantik ini
memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi bagaimana dia bisa melarang? Diam-diam
diperhatikannya paras Permani dari samping dan ketika gadis itu memutar kepala
ke arahnya, pandangan mereka saling beradu untuk beberapa lamanya.
“Dunianya Panuluh berakhir
sampai di tempat ini, Wiro,” bisik Permani.
“Aku akan tinggal di sini
sampai akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku pun akan berakhir pula di sini,
di hadapan kuburnya…” Wiro Sableng merasa terharu sekali. Betapa agungnya
nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda ini.
“Di samping bertapa, aku akan
memperdalam ilmu silat yang pernah diwariskan ayah…”
“Itu sudah semestinya…” kata
Wiro perlahan. Hatinya tetap menyayangkan keputusan gadis itu untuk tinggal di
goa itu dan bertapa sekalipun sambil memperdalam ilmu silatnya.
“Dunia ini penuh dengan
orang-orang jahat. Setiap kejahatan kadangkala dibarengi dengan ilmu yang
tinggitinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui nasib buruk…”
Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu tundukkan kepalanya dan untuk
beberapa lamanya suasana diliputi kesunyian.
“Aku akan mencuci tangan di
anak sungai tak jauh dari sini. Sebentar aku kembali…” kata Wiro.
15
KETIKA berjalan kembali ke goa
sehabis membersihkan tangan dan beberapa bagian tubuhnya Wiro tersentak kaget.
Telinganya yang tajam mendengar suara ribut-ribut seperti suara orang berkelahi
yang diselingi suara tertawa gelak-gelak! Tanpa membuang waktu dia berlari
cepat. Begitu sampai di depan goa, terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini!
Dilihatnya Permani tengah bertempur melawan seorang laki-laki berjubah kuning
yang tangannya cuma satu. Sebenarnya tak bisa dikatakan pertempuran. Lebih
tepat kalau dikatakan bahwa Si Jubah Kuning bertangan buntung itu tengah
mempermain-mainkan Permani serta kurang ajar dan sambil tertawa-tawa. Setiap
kali dia bergerak tangan kanannya meraba ke bagian-bagian tubuh Permani yang
terlarang hingga gadis ini mengamuk penuh amarah. Tapi semua serangannya luput!
Tak jauh dari tempat terjadinya perkelahian tegak berdiri orang kedua, juga
berjubah kuning dan cuma punya satu mata alias picak! Dia menyaksikan
perkelahian itu dengan gelak tawa gembira.
“Ayo Sumplung! Robek saja
pakaiannyal Biar mataku yang cuma satu ini bisa lihat kebagusan tubuhnya! Ah…!
Sudah lama mataku tak melihat tubuh telanjang! Ha… ha… ha!” Di samping si mata
picak ini, tersandar ke sebatang pohon, kelihatan sebuah lukisan perempuan telanjang.
Lukisan itu sudah agak kotor dan kayu pigura bagian bawahnya ada bekas
sambungan! Seperti kawannya, diapun memelihara berewok. Kalau tadi Wiro sudah
demikian terkejutnya melihat pertempuran antara Permani dan si tangan buntung
maka melihat lukisan telanjang itu puluhan kali dia lebih terkejut! Tak bisa
tidak kedua manusia berjubah kuning ini adalah Sepasang Elmaut Kuning yang
telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan perempuan telanjang itu!
Ditambah dengan menyaksikan apa yang diperbuat si tangan buntung terhadap
Permani maka menggemuruhlah amarah Wiro Sableng.
“Iblis-iblis kesasar!
Dicari-cari tidak ketemu! Sekarang tahu-tahu kalian muncul di depan hidungku!”
Serentak dengan itu Wiro Sableng segera melompat ke hadapan si tangan buntung!
Kedua manusia berjubah kuning itu memang bukan lain dari Sepasang Elmaut Kuning
adanya. Bagaimana mereka bisa sampai ke tempat itu? Seperti telah diceritakan
sebelumnya, mereka diam di sebuah goa yang terletak di lembah berbatu-batu.
Karena sebegitu jauh mereka belum juga bisa membongkar rahasia yang tersembunyi
di dalam lukisan perempuan telanjang maka keduanya akhirnya memutuskan untuk
pergi ke kampung tempat kediaman calon murid Si Pelukis Aneh yaitu Wira
Prakarsa. Mereka menduga anak itu pasti mengetahui rahasia tersebut dan
kemudian memaksanya untuk memberi keterangan! Di samping itu, diam lamalama di
lembah batu sudah terasa tidak aman bagi Sepasang Elmaut Kuning. Anak-anak
murid Perguruan Seberang Kidul dan Si Katai Bisu telah mengetahui tempat
persembunyian mereka tersebut. Meski orang-orang itu telah berhasil mereka
kirim ke akhirat namun bukan tak mustahil banyak lagi tokoh-tokoh silat akan
mendatangi mereka untuk menuntut balas ataupun mencuri lukisan yang ada di
tangan mereka. Maka keduanyapun berangkatlah meninggalkan lembah batu. Dalam
perjalanan mereka melewati tempat di mana Permani berada dan yang saat itu
tengah berdiri di depan makam Panuluh dan ayahnya. Melihat gadis cantik di
tengah daerah liar begitu rupa, tentu saja Sepasang Elmaut Kuning jadi
tertarik. Nafsu bejat merangsang keduanya dan Elmaut Kuning Kuping Sumplung
‘turun tangan’ lebih dulu hingga akhirnya terjadilah pertempuran! Sepasang
Elmaut Kuning bukan kepalang terkejut mereka sewaktu mendengar bentak memaki
Wiro Sableng. Lebih-lebih Kuping Sumplung yang saat itu tengah menjamahi tubuh
Permani sambil tertawa mengekeh! Dia dengan cepat menyurut mundur sewaktu
merasa satu angin mendorongnya dengan hebat hingga kalau saja dia tidak
lekas-lekas kerahkan tenaga dalamnya pastilah akan dibuat mencelat mental!
“Pemuda gondrong hina dina!”
bentak Kuping Sumplung.
“Siapa kau?!”
“Kau dan kambratmu yang
bermata satu itu pastilah Sepasang Elmaut Kuning!”
“Hem… matamu cukup tajam untuk
mengenali kami. Lekas terangkan siapa kau dan apakah mau mencari mampus sengaja
membuat kericuhan di sini?!” Wiro tertawa mengejek.
“Mataku bukan cuma cukup tajam
mengenali tampang-tampang kalian, tapi juga mengetahui bahwa kalianlah
bangsat-bangsatnya yang telah membunuh Si Pelukis Aneh lalu melarikan lukisan
perempuan telanjang itu! Dan kini kau yang berkuping sumplung bertangan buntung
berani bikin kurang ajar terhadap kawanku!”
“Ho… ho, jadi kau adalah
kawannya si cantik ini?! Kalau begitu biar kau kubikin mampus lebih dulu agar
kami berdua tak banyak rintangan untuk menikmati tubuhnya nanti!” Elmaut Kuning
Kuping Sumplung tutup ucapannya dengan serangan tangan kanan yang hebat dan
berkekuatan sepertiga tenaga dalamnya. Satu kali pukul dia berharap akan dapat
membuat pemuda itu menemui ajalnya, sekurang-kurangnya luka parah dan cacat
seumur hidup! Tapi bukan main kejut Kuping Sumplung ketika melihat bagaimana
pemuda itu bukan saja berhasil mengelakkannya tapi juga ganti membalas dengan
satu serangan yang ganas! Elmaut Kuning Kuping Sumplung melompat ke samping.
Tangan kanannya kirimkan jotosan angin keras sedang kaki kanan serentak dengan
itu menendang ke pinggang. Inilah jurus yang dinamakan Dua Palu Sakti Melanda
Mega. Angin serangannya saja hebatnya bukan olah-olah! Pendekar 212 Wiro
Sableng melompat satu setengah tombak ke udara. Tendangan maut lawan lewat,
sebaliknya dengan tangan kirinya Wiro sengaja memapasi lengan lawan. Elmaut
Kuning Kuping Sumplung kertakkan rahang! Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke
tangan kanan! Sebagai seorang tokoh silat yang ditakuti di delapan penjuru
angin, Kuping Sumplung merasa bahwa tenaga dalamnya jauh lebih tinggi dari
lawan. Dia sengaja mengambil keputusan untuk bentrokan lengan dengan lengan dan
memastikan lengan lawannya akan patah! Di lain pihak memang bentrokan inilah yang
dikehendaki Wiro Sableng! Sekejap kemudian lengan kedua orang yang bertempur
itupun beradu! Wiro Sableng mengerenyit. Lengannya tergetar sakit. Kulitnya
keriputan dengan serta merta. Sebaliknya dari mulut Elmaut Kuning Kuping
Sumplung terdengar suara pekik setinggi langit. Dia melompat dua tombak ke
belakang. Lengannya yang beradu kelihatan terkulai bergoyang-goyang! Ternyata
tulang lengannya telah patah! Untung daging lengan itu hanya sebagian saja yang
hancur, kalau tidak pasti di saat itu juga lengan kanan Kuping Sumplung akan
putus dua! Namun demikian keadaan Kuping Sumplung adalah parah sekali! Tak
mungkin baginya untuk meneruskan pertempuran! Bahkan mungkin lengannya itu tak
bisa dipergunakan lagi untuk selama-lamanya! Dengan menggigit bibir menahan
rasa sakit, Kuping Sumplung totok beberapa urat di pangkal bahunya. Rasa
sakitpun hilang. Melihat kambratnya dibikin demikian rupa marahlah Elmaut
Kuning Mata Picak! Berewoknya meranggas kaku karena luapan amarah itu! Di
samping marah dia juga terkejut karena tidak menyangka bahwa pemuda bertampang
tolol itu berkepandaian sedemikian tingginya! Dengan langkah-langkah besar Mata
Picak maju ke hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng!
“Budak anjing hina dina!”
bentaknya,
“Aku tak begitu senang
membunuh manusia yang aku tidak tahu siapa adanya! Lekas terangkan namamu!”
Wiro tertawa bergelak dan bertolak pinggang.
“Bicaramu keren sekali, Mata
Picak,” sahut Wiro. Dia melirik pada Elmaut Kuning Kuping Sumplung yang duduk
menjelepok di tanah sambil berusaha mengobati lengannya yang patah.
“Namaku kau tak perlu tahu.
Tapi apakah kau kenal dengan tiga buah angka ini?!” Habis berkata begitu Wiro
pukulkan telapak tangan kanannya ke arah dada Mata Picak. Selarik angin
menyambar panas!
“Kurang ajar!” maki Mata Picak
seraya menyingkir ke samping. Dia terkejut ketika mendengar suara jeritan di
belakangnya. Sewaktu berpaling dilihatnya Kuping Sumplung yang menjelepok di
tanah terjerongkang ke belakang, menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi! Dan
di keningnya yang saat itu menjadi hitam jelas kelihatan tiga buah angka putih
212! Tergetarlah hati Elmaut Kuning Mata Picak! Sejak hampir satu tahun
belakangan ini dia telah mendengar tentang munculnya seorang pendekar yang
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Belasan tokoh silat golongan hitam
menemui ajal di tangannya! Bahkan banyak pula partai-partai silat yang hancur
diobrak-abrik Pendekar 212! Pendekar itu sudah merupakan momok paling ditakuti
oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Dan kini tiada dinyana dia sendiri berhadap-hadapan
dengan Pendekar 212 itu! Lebih tidak dinyana lagi ialah bahwa Pendekar 212 itu
adalah seorang pemuda belia bertampang tolol! Dan telah merampas jiwa kawannya,
di depan mata kepalanya sendiri! Mata Picak yang berotak cerdik dan tahu bahwa
pemuda itu bukan lawan enteng serta mengkhawatirkan pula akan lukisan perempuan
telanjang, sambil tertawa dan berbatuk-batuk berkata,
“Ah… ah… dengan seorang gagah!
Nama besarmu sudah sejak lama kudengar, Pendekar 212!” Lalu dengan rangkapkan
tangan di muka dada dia meneruskan,
“Sebenarnya antara kita tak
ada permusuhan, tak ada silang sengketa bahkan di hari ini baru bertemu muka.
Gerangan apakah yang membuatmu sampai demikian tega merampas nyawa sahabatku?!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Kalau tak ada hujan masakan
ada geledek!” kata Wiro.
“Kambratmu itu telah berani
berlaku kurang ajar terhadap sahabatku…”
“Hem…,” Mata Picak menggumam
dan tarik nafas panjang.
“Sahabatku itu memang ceriwis
dan tak boleh lihat perempuan cantik! Tapi kurasa dia sudah menebus kekurangajarannya
itu dengan nyawanya sendiri? Sekarang antara kita tak ada apa-apa lagi. Aku
akan pergi dan di lain hari kuharap bisa bertemu dengan kau lagi!”
“Mana bisa kau pergi
seenaknya!” Terkejutlah Mata Picak mendengar ucapan Wiro.
“Kau telah membunuh Si Pelukis
Aneh dan mencuri lukisan yang tersandar di pohon itu! Untuk itu kau patut
menerima hukuman!” Paras Mata Picak berubah membesi.
“Agaknya kau punya sangkut
paut dan hubungan tertentu dengan Si Pelukis Aneh…”
“Ada hubungan atau tidak, kau
tak usah ambil perduli. Yang penting kau musti serahkan lukisan itu kepadaku!
Sedang sebagai hukuman karena telah membunuh Si Pelukis Aneh, kau harus cungkil
biji matamu yang tinggal satu itu!” Elmaut Kuning Mata Picak tertawa
terbahak-bahak.
“Aku sudah relakan kematian
sobatku. Sekarang kau minta barang yang bukan milikmu. Menyuruh aku mencungkil
mataku sendiri! Sungguh keterlaluan! Nama besarmu terpaksa kulenyapkan dari
muka bumi hari ini juga!” Begitu selesai bicara Mata Picak menggembor dan
menerjang ke muka. Dalam sekejap saja kedua orang ini sudah terlibat dalam satu
pertempuran dahsyat. Gerakan Mata Picak hebat sekali, tubuhnya lenyap. Hanya
bayangan sinar kuning jubahnya saja yang kelihatan menelikung mengurung tubuh
Pendekar 212! Di lain pihak begitu diserang lawan Wiro segera maklum bahwa Mata
Picak ilmu silat dan kesaktiannya lebih tinggi dari Kuping Sumplung. Karenanya
dengan berhati-hati Wiro melayani lawannya ini. Dalam tempo yang singkat
sepuluh jurus sudah berlalu! Elmaut Kuning Mata Picak membentak nyaring dan
tukar permainan silatnya dengan jurus-jurus yang disebut Elmaut Menggila. Untuk
lima jurus lamanya Wiro Sableng bertahan mati-matian. Lima jurus kemudian
Pendekar 212 mulai terdesak! Sambil keluarkan suara bersiul Wiro percepat
gerakannya tapi dia terkejut ketika di sekelilingnya terdengar suara, wutt…
wutt… wutt… wutt! Selarik sinar hijau melingkarinya dan mengeluarkan angin
dingin yang menyembilu sekujur tubuh Pendekar 212! Wiro tak tahu senjata apa
yang di tangan lawan, karena gerakan yang dibuat Mata Picak sangat cepat luar
biasa! Dalam pada itu detik demi detik kekuatan tubuhnya semakin mengendur
sedang setiap serangannya senantiasa terbendung oleh lingkaran sinar hijau!
Breet! Wiro merasa dadanya laksana dipalu! Dia melompat mundur. Parasnya
berubah. Pakaian putih di bagian dadanya robek besar. Belum sempat dia berbuat
sesuatu apa, tiba-tiba Mata Picak sudah menyerangnya lagi. Meski sekilas tapi
Wiro berhasil melihat senjata-senjata di tangan lawannya. Senjata itu ternyata
adalah sebuah kebutan yang terbuat dari bulu-bulu halus berwarna hijau! Wuuut!
Kebutan itu menderu lagi dengan hebatnya. Dua tiga kali Wiro lepaskan pukulan
yang mengandung tenaga dalam hebat tapi senjata sakti di tangan lawan
benar-benar mematikan dan membuyarkan pukulan-pukulan tangguhnya itu. Wiro
mulai memaki-maki dalam hati. Suara siulan mengumandang aneh dari sela
bibirnya! Tangan kanan menyelinap datar kian kemari. Tiba-tiba jarijari tangan
itu telah berubah menjadi putih dan kukukukunya laksana kilauan perak mendidih!
“Mata Picak ayo tangkis
pukulan Sinar Matahari-ku ini!” teriak Wiro Sableng.
Mendengar nama pukulan itu,
Elmaut Kuning Mata Picak lipat gandakan tenaga dalamnya dan mendahului
menyerang. Tapi di saat itu pula Wiro sudah turunkan tangan kanannya! Wuss!
Mata Picak terpekik! Kebutan di tangannya mental dan hancur bertaburan sedang
tangan kanannya hangus hitam laksana terbakar! Buru-buru manusia ini alirkan
tenaga dalamnya ke tangan yang terluka, telan sebutir pil dan atur jalan darah!
Untuk menolak racun pukulan dia kemudian menotok urat besar di bahunya!
Diam-diam Wiro memuji kehebatan daya tahan manusia ini. Seseorang yang
tersambar pukulan Sinar Matahari biasanya tak ada ampun lagi, pasti akan
menggeletak mati!
“Anjing hina dina! Bersiaplah
untuk mampus!” teriak Mata Picak. Mulutnya berkomat-kamit, kedua tangan
diangkat ke atas dan memancarkan sinar kekuningkuningan. Melihat ini Wiro
segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Lalu Elmaut Kuning Mata Picak pukulkan
kedua tangannya ke muka. Terdengar suara menderu laksana topan prahara. Dua
gelombang sinar kuning melesat. Puluhan Paku Emas Beracun bertaburan menyambar
ke arah tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! Kapak Naga Geni 212 berkiblat membuat
gerakan setengah lingkaran! Sinar putih menyilaukan menggebu ke muka memapasi
dua gelombang sinar kuning yang melesatkan puluhan paku-paku emas beracun.
Laksana daun kering dihembus angin puting beliung demikianlah bermentalannya
senjata rahasia sakti Elmaut Kuning Mata Picak itu! Mata Picak tersirat kaget.
Mukanya pucat laksana mayat! Selama sepuluh tahun ini tak satu kekuatan
lawanpun yang sanggup menumbangkan pukulan Paku Emas Beracunnya itu demikian
hebatnya! Apalagi serangan itu tadi dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!
Melihat ini dan memaklumi bahwa naga-naganya dia akan mencari penyakit jika
meneruskan pertempuran maka tak ayal lagi Mata Picak segera melompat mundur,
menyambar lukisan perempuan telanjang dan larikan diri dengan cepat!
“Hai! Jalan ke neraka bukan ke
situ Mata Picak!” seru Wiro Sableng. Dia mengejar dengan sebat. Enam langkah di
belakang lawan Wiro buat gerakan Burung Walet Menembus Awan. Tubuhnya melesat
di udara dan ketika turun tahu-tahu sudah menghadang larinya Mata Picak!
“Keparat! Mampuslah!” hardik
Mata Picak dan lepaskan pukulan Paku Emas Beracun dengan tangan kirinya! Tapi
sekali ini dia terlambat! Belum lagi paku-paku itu berlesatan, Kapak Naga Geni
212 sudah membabat dan, cras! Putuslah lengan kiri Mata Picak! Manusia ini
meraung kesakitan. Tubuhnya terasa panas. Dari buntungan tangannya mengalir
hawa aneh yang menggidikkan bulu kuduknya. Pasti racun Kapak Naga Geni 212
telah mulai menggerayangi tubuhnya! Dengan kalap Mata Picak hantamkan lukisan
perempuan telanjang ke kepala Wiro Sableng. Wiro menangkis. Braak! Kayu lukisan
itu hancur berantakan. Bagian bawah dari lukisan robek sepanjang setengah
jengkal! Mata Picak makin penasaran dan kirimkan satu tendangan kilat ke bawah
perut lawan! Kapak Naga Geni menderu turun. Untuk kedua kalinya terdengar suara
cras! Untuk kedua kalinya pula terdengar raungan Mata Picak. Betisnya telah
terbabat putus. Tak ampun lagi tubuhnya tergelimpang ke tanah. Beberapa saat
lamanya dia menggelepar-gelepar macam ikan meregang nyawa. Kemudian tubuhnya
tak bergerak lagi tanda rohnya melayang sudah!
Wiro Sableng usap-usap
lengannya yang dihantam pigura lukisan. Lengan itu lecet dan bengkak, tapi
tidak mengkhawatirkan. Diambilnya lukisan yang terhampar di tanah dan kembali
ke depan goa.
Permani tak kelihatan di situ.
Tentu di dalam goa, pikir Wiro. Dia masuk ke dalam. Tapi sang dara juga tak
kelihatan. Diperhatikannya Sokananta yang terbelenggu di dinding. Sekujur
tubuhnya bergelimang darah. Mukanya hancur. Ketika didekati dan diperhatikan
oleh Wiro, ternyata manusia itu sudah tak bernafas lagi! Pembalasan yang
setimpal telah didapatnya!
Wiro keluar dari goa dan
berseru memanggil Permani. Tak ada jawaban. Dia memandang kian kemari. Pada
saat itulah dilihatnya sederet tulisan di atas tanah. Wiro terkejut dan
membacanya:
“Permani berjodoh untuk jadi
muridku, pengganti Anggini. Sampai jumpa, Dewa Tuak.”
Membaca tulisan di atas tanah
itu, legalah hati Wiro Sableng. Dia bersyukur Dewa Tuak melakukan hal itu.
Bukan saja Permani kelak bakal mendapat pelajaran ilmu silat dan ilmu kesaktian
yang tinggi, tapi yang lebih penting bagi Wiro ialah bahwa gadis itu tak jadi
meneruskan niatnya untuk hidup sebagai pertapa!
Wiro mendongak ke langit.
Matahari telah tinggi, hampir mencapai titik kulminasinya. Wiro kemudian
memperhatikan lukisan di tangan kirinya. Kayu piguranya telah hancur bagian
bawah. Wiro berpikir, apakah perlu dia memperbaiki kayu pigura yang hancur itu
dan menjahit bagian lukisan yang robek, kemudian baru membawanya ke tempat
kediaman Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis Aneh itu? Dia menimbang-nimbang.
Lukisan itu selama dua bulan belakangan ini telah diperebutkan oleh belasan
tokoh silat dan beberapa buah partai serta perguruan. Membawanya secara
terang-terangan pastilah akan mencari kesulitan karena lukisan diincar oleh
hampir semua tokoh-tokoh silat, terutama mereka dari golongan hitam! Pendekar
212 garuk-garuk kepala.
Akhirnya Wiro Sableng mendapat
akal. Dibukanya keempat sisi kayu pigura lukisan itu satu demi satu. Dengan
menggulung lukisan itu dan menyimpannya di balik pakaian pasti akan aman dalam
perjalanan. Ketika kayu pigura sudah dilepaskan, ketika Wiro hendak menggulung
lukisan itu, jari-jari tangannya merasakan kain lukisan itu bergeser-geser.
Diperhatikannya dengan teliti. Ternyata di bawah kain lukisan perempuan
telanjang itu, terdapat lagi sebuah kain lain yang putih bersih. Tentunya ini
sebagai alas saja pikir Wiro. Tapi tak sengaja tiba-tiba kain putih di bagian
bawah itu menjulai ke bawah dan tersingkap.
Terkesiaplah Wiro Sableng
sewaktu melihat bagian pada kain yang disangkanya cuma sebagai alas itu
ternyata terdapat tulisan-tulisan banyak sekali dan juga gambargambar orang
bermain silat! Dan ketika diteliti ternyata semua tulisan dan gambar-gambar itu
adalah sebuah ilmu silat aneh yang mengandung jurus-jurus luar biasa hebatnya!
Wiro geleng-gelengkan kepala.
Rupanya inilah rahasia besar yang disembunyikan Si Pelukis Aneh dalam lukisan
perempuan telanjang itu. Pantas saja Si Pelukis Aneh tak mau menjualnya tempo
hari pada Adipati Pamekasan meskipun sudah ditawar duaratus ringgit. Sungguh
cerdik sekali orang tua itu menyembunyikan ilmu silat yang hendak diwariskannya
pada calon muridnya! Wiro meneliti lagi pelajaran silat yang tertulis di kain
putih itu. Si Pelukis Aneh menamakan ilmu silatnya itu Ilmu Silat Selusin Jurus
Aneh. Sesuai dengan namanya, maka seluruh pelajaran berjumlah dua belas jurus
tapi bisa dipecah-pecah sampai puluhan anak jurus! Wiro harus mengakui
kehebatan ilmu silat yang ditulis oleh Si Pelukis Aneh itu. Tak dapat tidak,
siapa yang mempelajarinya pasti akan menjadi seorang tokoh besar yang dikagumi
dalam dunia persilatan! Sebagai seorang pendekar berhati polos jujur, Wiro tak
mau mencuri mempelajari ilmu silat itu. Perlahan-lahan digulungnya kedua kain
itu sekaligus. Sesaat kemudian diapun sudah berlalu dari situ.
TAMAT