-------------------------------
----------------------------
041 Malaikat Maut Berambut Salju
1
Gubuk di tengah rimba
belantara itu tenggelam dalam kesunyian dan kegelapan malam. Satu pertanda
tidak ada orang atau penghuni di dalamnya. Seekor burung hantu mengepakkan
sayapnya di cabang sebuah pohon lalu mengeluarkan suara aneh menggidikkan bagi
siapa saja yang mendengarnya. Pada saat itulah lapat-lapat di kejauhan
terdengar suara langkah-langkah kaki kuda. Agaknya binatang ini tidak berlari
kencang melainkan berjalan perlahan dalam kegelapan malam.
Binatang itu sampai di depan
gubuk. Penunggangnya ternyata seorang lelaki dan seorang perempuan. Yang lelaki
turun lebih dahulu lalu membantu yang perempuan. Perempuan ini tampak
menggendong sesuatu yang ternyata adalah seorang bayi terbungkus dalam kain
tebal.
“Kau masuklah lebih dulu. Aku
akan menyembunyikan kuda ……” berkata yang lelaki.
Suaranya hampir berbisik.
Setelah istri dan anak dalam gendongan masuk ke dalam gubuk, lelaki itu
cepat-cepat menuntun kudanya, membawanya ke satu tempat berpohon dan bersemak
belukar rapat.
Kuda itu ditambatkannya pada
sebatang pohon. Lalu dia kembali ke gubuk. Baru saja orang ini sampai di depan
gubuk, belum sempat melangkah masuk tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat.
Dilain kejap sosok bayangan
ini telah berdiri di hadapannya. Ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kurus
tapi bungkuk hingga bentuk tubuhnya hampir menyerupai huruf L terbalik.
Hembusan napas si tua bungkuk ini menyambar keras dan memerihkan mata. Orang
tua ini membuka mulut. Ucapannya didahului suara bergemeletukkan seperti
barisan giginya atas dan bawah saling bergesekan.
“Mana anak itu!” tiba-tiba si
bungkuk membentak.
Bentakan membuat lelaki tadi
ketakutan dan bersurut mundur beberapa langkah. Mukanya tampak pucat.
“Mana anak itu!” kembali si
bungkuk menghardik.
“Dua kali sudah aku bertanya!
Kalau sampai tiga kali kau tidak menjawab, putus nyawamu Jinggosuwu!”
“An….anak…..anak mana
maksudmu. Kau ini siapa orang tua ….?”
“Siapa aku kau tak layak
bertanya! Jangan berpura-pura! Yang aku tanya adalah anakmu! Bayi delapan bulan
yang kau beri nama Pandu itu!”
“Pan…. Pandu….?” Orang tua
bungkuk tertawa mengekeh. Lewat mulutnya yang terbuka lebar tampak gigi-giginya
besar-besar dan mencuat panjang.
“Jangan kira aku tidak tahu
apa yang kau lakukan bersama istrimu! Kalian meninggalkan desa Talangwaru dua
hari lalu! Melarikan diri dan menyembunyikan diri di rimba belantara ini!”
“Aku…..aku memang
menyembunyikan diri di hutan ini. Tapi….tapi istri dan anakku tidak ikut!”
jawab lelaki bernama Jinggosuwu.
“Hem…..begitu?” si bungkuk
tersenyum.
“Sekarang di mana anak dan
istrimu itu?”
“Pandu dan ibunya pergi ke
rumah orang tuanya di desa Puputan…..”
“Bagus! Kau tahu apa akibatnya
ucapan dusta itu?!”
“Aku ….aku tidak berdusta. Aku
yang mengantarkan istri dan anakku ke Puputan. Lalu baru menuju kemari ….”
Bukkk!
Tubuh Jinggosuwu terpental
tiga tombak. Dari mulutnya keluar jerit kesakitan. Tapi tidak hanya jerit
kesakitan. Dari mulut itu juga menyemburkan busah bercampur darah. Jinggosuwu
merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Sakit dan susah bernafas. Di
dalam gubuk, istri Jinggosuwu menggeletar sekujur tubuhnya karena ketakutan.
Bayinya di peluk erat-erat. Dia mendengar jelas suara pukulan.
Lalu suara jeritan suaminya.
Lalu kembali terdengar suara membentak dan mengancam.
“Sekali lagi kuberi kesempatan
padamu Jinggosuwu! Dimana anakmu…..?”
“Orang tua…… aku sudah bilang
padamu. Apa perlunya kau mencari anakku? Mencari bayi usia delapan bulan itu?
Apa urusan dan maksudmu sebenarnya….?”
Praak!
Tidak terdengar suara jawaban
keluar dari mulut si orang tua. Yang terdengar adalah suara hantaman yang
membuat rengkah batok kepala Jinggosuwu. Kali ini tanpa jeritan, sosok tubuhnya
yang tadi berusaha bangkit terbanting ke tanah, tak berkutik lagi. Nyawanya
lepas saat itu juga! Orang tua bertubuh bungkuk meludah ke tanah.
“Manusia tolol!” katanya lalu
memandang berkeliling. Waktu dia sampai di tempat itu tadi memang Jinggosuwu
dilihatnya muncul seorang diri. Tanpa kuda, tanpa istri dan anaknya. Apa benar
kedua orang itu tidak diajaknya bersama ke gubuk persembunyian di dalam hutan
itu?
“Aku tidak percaya!” si
bungkuk menghentak dan bantingkan kaki kanannya. Dia memandang ke gubuk di
samping kanan. Gelap. Pintu kayunya tertutup rapat.
“Sebelum angkat kaki dari
tempat ini aku harus memeriksa gubuk itu!” Lalu orang tua itu melangkah menuju
pintu gubuk.
Belum sempat dia mendorong
daun pintu, mendadak ada suara berdesing dan sambaran angin di belakangnya.
Secepat kilat orang tua ini jatuhkan diri, berlutut di depan pintu. Sebatang
pisau hitam bergagang putih melesat di atas kepalanya dan menancap di daun
pintu!
“Manusia pisau terbang
keparat! Unjukkan dirimu! Jangan hanya berani membokong!” bentak si bungkuk
marah, lalu putar tubuh dan melompat bangun. Sejarak sepuluh langakh dari
hadapannya, orang tua ini lihat seorang nenek berambut oanjang tergerai tegak
bertolak pinggang. Bajunya yang berwarna hitam penuh dengan deretan pisaupisau
kecil hitam bergagang putih.
“Pendekar Bungkuk! Jangan
terlalu cepat naik darah! Apakah kau tidak menyadari dunia ini terlalu sempit
buat kita berdua jika kau punya jalan pikiran bahwa seorang bayi calon pendekar
agung tidak mungkin dibagi dua?!”
“Perempuan sundal! Masih
berani kau muncul di hadapanku!” Orang tua yang dipanggil dengan gelaran
Pendekar Bungkuk keluarkan makian keras.
“Eh ….eh….eh….! Mulut kotormu
itu memberikan restu padaku untuk membunuhmu saat ini juga!”
“Ilmumu tidak setinggi gunung
tidak sedalam lautan! Perempuan tua bangkanenek keriput! Kau boleh menyandang
gelar Pisau Maut Tanpa Bayangan! Kau akan mampus tidak berkubur!” Nenek
berambut panjang tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu tertawa cekikikan.
“Kalau aku mati, memang tak
bakal minta kau yang mengubur. Tubuh patah bungkuk sepertimu itu mana bisa
menggali lubang untukku…..!” Si nenek kembali tertawa cekikikan. Di dalam gubuk
istri Jinggosuwu memeluk bayinya erat-erat. Ketakutan mencengkam ibu muda ini.
Dia hanya dapat mendengar bicara dua orang di luar sana. Namun dia tahu betul
bahaya apa yang mengancam anak lelaki dalam gendongannya itu. Bersama suaminya
dia sengaja melarikan diri ke tempat itu. Ternyata bahaya besar terus
menguntit.
“Kasihan anakku …… Pandu, apa sebenarnya
yang ada dalam dirimu hingga begitu banyak manusiamanusia aneh menginginkan
dirimu….” Begitu kata hati si ibu muda. Dia tidak tahu kalau suaminya telah
mati. Di luar gubuk, dalam kegelapan malam Pendekar Bungkuk keluarkan suara
berkereketan dari dalam mulutnya lalu mendengus.
“Pelajaran masa lau rupanya
tidak membuat kau jera! Sungguh tolol! Apakah cacat panjang di pipi kirimu
tidak memberi peringatan padamu….?!” Ucapan Pendekar Bungkuk membuat si nenek
menyeringai.
Tangan kirinya bergerak mengusap
pipi kirinya di mana terdapat cacat luka dalam memanjang dari mata sampai ke
dagu melewati pipi. Dua tahun silam dua tokoh persilatan ini pernah bentrokan
lalu terlibat dalam perkelahian selama sembilan puluh jurus. Si nenek kalah
dengan mendapat cidera pada pipinya. Pendekar Bungkuk sendiri mengalami
penderitaan sakit dada selama 40 hari akibat satu jotosan si nenek sempat
menggebuk dadanya. Sejak perkelahian itu kedua orang ini sama-sama mendalami
ilmu silat dan kesaktian masing-masing. Tidak dinyana malam ini mereka bertemu
dalam rimba belantara. Ternyata keduanya memliki maksud yang sama!
“Pendekar Bungkuk, justru
mengingat pelajaran masa lalu itulah aku sengaja menghadangmu di sini! Malam
ini aku yang bakal ganti memberi pelajaran. Dan tentunya berikut bunga tanda
terima kasihku. Hik…hik…hik! Aku berjanji kau akan mati dengan tenang. Bukankah
kematian lebih baik bagimu dari pada hidup menderita selamanya. Apakah anggota
rahasiamu sudah mempu menjalankan tugasnya….? Hik…hik….hik. aku kasihan padamu
Pendekar Bungkuk. Tapi malaikat maut jauh lebih kasihan. Karena itu dia datang
menjemputmu malam ini….” Pendekar Bungkuk memang pernah mendengar sejak dua
tahun belakangan ini bagaimana si nenek yang bergelar Pisau Maut Tanpa Bayangan
itu telah sangat maju ilmu kepandaiannya.
“Perempuan jelek besar mulut.
Jika kau mau melupakan anak itu dan pergi dari sini, aku bersedia mengampuni
selembar nyawa busukmu….. Ayo pergilah dari sini!” Nenek berambut panjang
tergerai tertawa mengekeh.
“Tampaknya kau merubah jalan
pikiranmu Pendekar Bungkuk! Kau takut padaku….? Hik….hik….hik?!”
“Tua Bangka keparat! Siapa
takut padamu!” teriak Pendekar Bungkuk.
Tubuhnya yang bungkuk secara
aneh menekuk ke bawah hingga kepalanya hampir menyentuh tanah. Tubuh itu
kemudian berjumpalitan dan berguling laksana sebuah roda-roda, menyambar ke
arah si nenek.
Inilah jurus serangan aneh
bernama “gelinding kematian”. Jurus inilah yang dulu berhasil mengalahkan si
nenek dengan membuat cacat wajahnya. Tahu keganasan seangan ini Pisau Maut
Tanpa Bayangan cepat melompat ke kiri dan dari sini gerakkan tangan kiri
kanannya ke tubuhnya dimana lusinan pisau hitam bergagang putih tersisip di
pakaiannya. Namun gerakan ini terpaksa dibatalkan karena tubuh lawan yang
berguling membuat gerakan berputar dan tahu-tahu tangn Pendekar Bungkuk sebelah
kiri menyembur ke wajah si nenek! Wuut! Secara wajar sambaran tangan itu sulit
menemui sasarannya karena masih terpisah cukup jauh.
Namun karena bersamaan dengan
itu tubuh yang tadi bergulung tiba-tiba seperti terpental dan tegak kembali,
maka jarak yang tadi jauh mendadak sontak hanya tinggal setengahnya saja! Si
nenek berseru kaget ketika tangan lawan tahu-tahu sudah ada di depan matanya!
Dalam keterkejutan peempuan tua ini tidak kehilangan akal. Kaki kirinya
digebrakkan ke tanah. Tubunya miring ke belakang. Sambaran tangan lawan yang
dapat merobek mukanya lewat hanya sujung jari. Bersamaan dengan itu kaki
kanannya melesat ke depan.
Kini Pendekar Bungkuklah yang
tersentak kaget! Bahaya maut mengancam karena tendangan kaki kanan si nenek
mencari sasaran di selangkangan Pendekar Bungkuk! Kalau si kakek mampu
mengelakkan serangan itu maka tendangan lawan yang tidak menemui sasarannya
akan meluncur menghantam dadanya. Ini bisa terjadi karena bentuk tubuhnya yang
bungkuk. Dan kali ini, jika sampai dadanya kena dihantam lagi untuk kedua
kalinya, mungkin diaakan cacat seumur hidup!
“Perempuan Iblis!” rutuk
Pendekar Bungkuk. Dia kerahkan tenaga dalamnya sepenuhnya pada kedua tangannya.
Begitu tendangan lawan hampir
sampai ke bawah perut, dengan cepat Pendekar Bungkuk tangkap pergelangan kaki
si nenek. Dia berhasil melakukan, berhasil menyelamatkan dirinya dari kematian
tetapi tendangan yang sangat keras itu membuat tulang telapak tangan kirinya
remuk! Tubuhnya mental beberpapa langkah. Sebelum sempat mengimbangi diri,
lawan di hadapannya telah menggerakkan tangan ke tubuh lalu wutt….wutt……
Enam pisau hitam bergaganng
putih melesat ke arah Pendekar Bungkuk!
“Putus nyawamu Pendekar
Bungkuk!” ujar si nenek lalu tertawa mengekeh.
Dalam keadaan jatuh seperti
itu Pendekar Bungkuk hantamkan dua tangannya ke atas. Tapi tangan kirinya yang
cidera tidak dapat lagi melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga
dalam. Karena ketika tenaga dalam menjalar ke tangan kiri itu, si kakek
merasakan telapaknya seperti disengat bara panas. Dia menjerit kesakitan tapi masih
terus memukul dengan tangan kanan, lalu cepat berguling ke kiri. Tiga pisau
terbang berhasil dipukul mental. Dua lainnya sempat dielakkan. Hanya pisau ke
enam yang tidak mampu dihantam mental ataupun dikelit. Senjata ini menancap di
mata kiri Pendekar Bungkuk dengan mengeluarkan suara menggidikkan!
Pendekar Bungkuk melolong
kesakitan. Nenek berambut panjang tertawa gelak-gelak memandangi wajah Pendekar
Bungkuk yang kini tampak berlumuran darah. Orang ini bangkit
terbungkuk-bungkuk. Wajahnya benar-benar mengerikan. Bukan saja karena darah
yang terus mengucur, tapi juga karena pisau yang masih menancap di mata
kirinya!
“Iblis…..! Perempuan Iblis!”
suara Pendekar Bungkuk bergeletar oleh hawa amarah dan penderitaan rasa sakit.
“Kau tunggulah pembalasanku kelak….!”
Setelah mengucapkan kata-kata itu Pendekar Bungkuk balikkan tubuh, tinggalkan
tempat itu dengan langkah setengah lari seradak seruduk.
“Ganas sekali nenek itu….”
satu suara terdengar berbisik halus di atas sebatang pohon besar.
“Saatnya kita turun sekarang
adikku. Sebelum kedahuluan…..” menjawab kawan bicaranya yang juga berada di
atas pohon.
“Tapi bukankah belum ada
tanda-tanda bayi itu berada di dalam gubuk?”
“Itulah sebabnya kita harus
turun, menghalangi si nenek ganas dan sekaligus menyelidik isi gubuk!”
“Kalau begitu katamu, mari!”
Ternyata di atas pohon dalam rimba belantara gelap itu bersembunyi dua sosok
tubuh. Keduanya merupakan sepasang muda-mudi yang mengenakan pakaian putih
ringkas, memiliki gerakan gesit yang setiap bergerak hampir tidak mengeluarkan
suara. Mereka turun ke tanah pada saat Pisau Maut Tanpa Bayangan hendak
melangkah ke pintu gubuk. Dia segera maklum meskipun dua orang di hadapannya
itu masih muda-muda namun jelas mereka merupakan orang-orang persilatan yang
tidak memiliki kepandaian rendah.
Si pemuda menjawab dengan
cepat “Kami murid-murid perguruan silat Teratai Putih dari gunung Lawu! Kakek
guru yang bernama Jati Laksono dan mendapat gelar kehormatan Tumenggung Wiro
Sakti dari Kerajaan mengutus kami untuk menjemput seorang bayi lelaki bernama
Pandu!”
“Ah….mereka juga ternyata
mempunyai ujuan yang sama! Dua cacing ingusan ini mungkin tidak perlu ditakuti.
Tapi Tumenggung Wiro Sakti dari gunung Lawu itu harus diperhitungkan
baikbaik…..” membatin si nenek. Otaknya yang cerdik cepat diputar.
Maka diapun berkata “Sungguh
aneh…. Sepasang muda-mudi melakukan perjalanan jauh-jauh dimalam buta begini
mengatakan mencari seorang bayi! Seorang bayi di dalam rimba belantara?
Hik…hik…hik! Bukankah lebih baik waktu kalian dihabiskan saja untuk saling
bercumbu rayu….?”
“Manusia bermulut kotor!” Yang
membentak adalah sang dara. Mukanya tampak merah dalam gelap.
“Kami berdua adalah kakak
adik! Sekalipun kami tidak bersaudara darah, apa yang kau katakan tadi tidak
bakalan kami lakukan! Murid-murid perguruan silat Teratai Putih menjunjung
tinggi nama perguruan dan kehormatan diri!”
“Hemmmm….begitu?” ujar si
nenek pula.
“Bagus, aku suka pada
murid-murid yang taat dn berbakti pada perguruan serta gurunya. Tapi terus
terang kukatakan adalah tolol kalau kalian mau saja disuruh mencari seoarang
bayi dalam rimba belantara ini! Paling untung kau hanya akan menemukan anak
harimau, paling sial kalian hanya mendapatkan anak kodok alias kecebong!
Hik….hik….hik…..!”
“Kami sudah menyelidiki. Anak
yang kami cari pasti berada di tempat ini sebelum matahari terbit. Itu gubuk
yang bakal jadi tempat persembunyiannya!”
“Hai, tidak sangka mereka tahu
banyak tentang bayi itu….” kata si nenek dalam hati.
“Kalau begitu…..” ujar si
nenek.
“Kalian kembali saja besok
pagi. Malam-malam begini menyelidiki tentu sulit bagi kalian. Besok biarlah aku
ikut membantu….”
“Tidak, kami tidak akan
meninggalkan tempat ini!” jawab si pemuda.
“Dan bukankah kemunculanmu di
sini juga mencari anak yang sama?” sang dara langusng menceploskan ucapannya
terang-terangan.
“Apa urusanku disini tidak
perlu kalian ketahui atau tanyak. Hanya saja perlu kuberi ingat, siapapun
kalian adanya aku tidak suka kalian berdua ada di tempat ini. Silkahkan
pergi…..”
“Kaulah yang harus pergi! Kau
telah melakukan pembunuhan keji terhadap ayah anak itu! Kau juga yang
mencelakai Pendekar Bungkuk dengan lemparan pisaumu!”
“Hei….jadi kalian berdua sudah
sejak tadi mengintip di tempat ini!” si nenek unjukkan suara dan mimik tidak
senang.
“Nah….nah! Jika kalian sudah
menyadari betapa nyawa manusia tidak ada artinya bagiku, mengapa tidak
lekas-lekas tinggalkan tempat ini?”
“Kami baru mau pergi setelah
menyelidiki lebih dulu ke dalam gubuk itu!” berkata si pemuda. Sikap dan
caranya bicara lebih sabar pada adiknya.
“…..ooooo…..oooo! Gubuk itu di
bawah pengawasan dan kekuasaanku! Kalian berdua tidak punya hak untuk
menyelidiki atau memeriksa! Lekaslah pergi. Sayang kalau terjadi apa-apa dengan
kalian yang masih muda-muda ini…..”
“Jika kau melarang, kami
terpaksa bertindak! Gubuk itu bukan milikmu! Kami tahu betul!” Mendengar ucapan
si pemuda, sang nenek jadi marah.
Sambil berkacak pinggang dia
berkata “Jika kalian berani bergerak masuk dan memeriksa gubuk, kalian akan
jadi bangkai menemani Jinggasuwu!”
“Adikku, aku akan menghalangi
nenek ini jika dia berani mencegahmu!” Maka dara berpakaian putih ringkas segea
melangkah menuju pintu gubuk.
Pisau Maut Tanpa Bayangan
sekali berkelebat telah menghadang jalan sang dara. Tapi tak klah cepatnya,
sekali berkelebat pula maka sang pemuda sudah tegak di hadapan si nenek.
Sementara itu gadis adiknya terus melangkah ke pintu gubuk. Melihat hal ini
nenek berambut panjang benar-benar merasa ditantang. Kedua tangannya kiri kanan
membagi pukulan. Satu ditujukan ke arah si pemuda, lainnya dihantamkan ke si
pemudi. Dua rangkum angin dahsyat menderu. Murid-murid perguruan silat Teratai
Putih dari gunung Lawu itu berseru keras dan berkelebat kelitkan serangan.
Perkelahianpun tak dapat
dihindari lagi, cepat dan sebat. Lima jurus berlalu. Meskipun dirinya telah
mengecap adam garam rimba persilatan, memiliki pengalaman luas serta menyandang
nama besar namun dugaan si nenek bahwa dia bakal dapat menggebuk para
pengeroyoknya dalam waktu singkat tidak dapat dilaksanakannya. Ternyata dua
cucu Tumenggung Wiro Sakti dari gunung Lawu itu memiliki tingkat kepandaian
yang mengejutkan si nenek. Memang kenyataan sebenarnya Jalma dan Jalmi demikian
nama sepasang kakak beradik itu merupakan murid-murid di tingkat paling tinggi
dalam perguruan. Selain menguasai ilmu silat luar, mereka juga telah digembleng
untuk memiliki ilmu silat dalam berupa tenaga dalam dan kesaktian. Si nenek
katupkan rahang rapat-rapat ketika menyadari dirinya telah menjadi
bulan-bulanan serangan berbahaya, membuatnya tidak mampu untuk membalas
serangan. Didahului oleh tteriakan keras, perempuan tua ini robah permainan
silatnya. Tubuhnya berkelebat sengat cepat hingga sesuai dengan julukannya,
Jalma dan Jalmi seperti berkelahi menghadapi bayangan. Setiap memukul atau
menendang, mereka hanya menghantam tempat kosong. Kini keadaan jadi berbalik.
Dua muda-mudi itu mulai terdesak.
“Adikku, mari kita keluarkan
jurus ke tiga belas. Gabung dengan jurus tujuh belas!” berbisik Jalma.
“Kau mainkan jurus tiga belas
lebih dulu. Aku jurus tujuh belas. Lalu kita selang seling biar tua bangka ini
bingung!” menyahuti Jalmi.
“Kau cerdik! Mari kita serbu!”
Maka kedua muda-mudi itu kembali menyerbu.
Jurus tiga belas dan jurus
tujuh belas dari ilmu silat perguruan Teratai Putih adalah jurus-jurus yang
saling bertolak belakang. Jika orang diserang dengan jurus tiga belas, bila dia
berhasil menghindar maka dia akan diserbu dengan jurus tujuh belas yang
merupakan lawan dari jurus tiga belas. Akibatnya lawan menjadi bingung karena
setiap gerakan menghindar atau mengelak yang dilakukannya akan menemui jalan
buntu. Dua jurus mendapat serbuan gerakan-gerakan silat yang aneh ini, si nenek
langsung terdesak hebat. Sepasang tangan lawan mulai berdesir di depan dada dan
wajahnya. Jurus berikutnya satu gebukan mendarat di pinggangnya hingga si nenek
menggerang kesakitan. Gerakannya dipercepat. Sosok tubuhnya kini tidak lagi
hanya merupakan bayangan, tapi hanya berupa desiran angin yang menyambar kian
kemari. Setelah saling gebrak dua jurus, murid-murid perguruan Teratai Putih
melihat lawan secara teratur bergerak mundur menjauh. Jalma maklum apa artinya
ini. Dia cepat memberi ingat adiknya.
“Awas, dia pasti merencanakan
untuk mulai melepaskan pisau-pisau terbangnya, Jalmi. Lekas merangkak maju. Jangan
berikan jarak melempar padanya!” Jalma dan Jalmi melompat menyergap.
Tapi si nenek lebih cepat. Dua
tangannya bergerak. Enam pisau kemudian melesat dalam gelapnya malam, hampir
tidak kelihatan. Hanya desingannya saja yang terdengar. Tiga menyambar ke arah
Jalma, tiga lagi melesat ke jurusan adiknya. Dua anak murid Teratai Putih ini
tidak sanggup berkelit dan terlambat untuk menangkis.
“Celaka!” keluh Jalma. Lalu
didenganya adiknya menjerit ketika pisau terdepan menancap di bahunya. Gadis
ini terjajar ke samping. Justru ini menyelamatkannya dari dua pisau yang
seharusnya menyambar ke arah dada dan bahu kanannya.
Khawatir akan keselamatan
adiknya Jalma memutar tubuh, tidak sadar lagi bahwa pisau terbang saat itu
menderu ke arah tenggorokan, dada dan pelipis kirinya! Saat itulah tiba-tiba
dari kegelapan melayang patahan ujung ranting berdaun lebat. Ranting ini
menyapu deras di depan dada dan kepala Jalma, melindungi si pemuda dari
hantaman maut tiga bilah pisau dan jatuh di tempat gelap. Bersama dengan itu
Jalma mendengar ada suara halus mengiang di kedua liang telinganya.
“Anak-anak Teratai Putih
tinggalkan tempat ini. Nenek itu bukan tandingan kalian. Beritahu pada kakek
gurumu Tumenggung Wiro Sakti, anak bernama Pandu itu tidak berjodoh dengan
dirinya….” Jalma yang tengah menolong adiknya terkejut mendengar suara itu. Dia
berbisik pada adiknya
“Ada orang pandai memberi
peringatan….”
“Ya, aku juga mendengar.
Bahuku sakit sekali. Jalma tolong aku. Cabut pisau di bahuku….” Jalma totok
urat-urat di sekitar bahu adiknya lalu baru mencabut pisau yang menancap hingga
tak ada darah mancur keluar.
Sesaat kakak adik ini
memandang penuh amarah pada nenek berambut panjang di hadapannya. Lalu tanpa
berkata apa-apa keduanya memutar tubuh tinggalkan tempat itu diiringi gelak
tawa si nenek.
Masih untung kalian pergi
masih membawa nyawa masing-masing. Anak-anak muda tolol…..!” Meski hati mereka
panas mendengar ejekan itu tapi Jalma dan Jalmi tidak bisa berbuat apa-apa.
Sambil menuntun adiknya, Jalma
berkata “Orang pandai itu bukan saja memberi peringatan, tapi dia juga telah
menyelamatkanku. Aku merasa pasti dialah yang melempar patahan ranting,
menangkis tiga pisau hitam yang dilemparkan nenek keparat itu….”
“Nasib kita memang sial…..”
jawab Jalmi hampir tanpa ada penyesalan.
“Ini satu pengalaman berharga
bagi kita. Aku hanya bertanya-tanya siapa orang pandai yang telah menolong kita
itu…..” Begitu dua anak murid perguruan Teratai Putih itu lenyap dalam
kegelapan malam, Pisau Maut Tanpa Bayangan hentikan tawanya. Dia mendingak ke
atas. Meski tahu ada seseorang bersembunyi di sekitar tempat itu namun dia
tidak dapat memastikan di sebelah mana orang itu berada.
Maka nenek inipun berseru
“Berani ikut campur urusan orang jangan bertindak pengecut tidak mau unjukkan
tampang!” Si nenek mengira bakal ada suara keras yang menjawab atau berkelebat
munculnya orang yang tadi melemparkan patahan ranting. Namun justru yang datang
adalah suara mengiang halus di kedua telinganya.
“Nenek pandai bergelar Pisau
Maut Tanpa Bayangan. Sadarilah kenyataan bahwa anak yang kau cari tidak
berjodoh dengan dirimu. Sebaiknya ku lekas meninggalkan tempat ini. Aku……”
Suara ngiangan halus lenyap mendadak.
Di atas pohon sangat tinggi,
hampir di sebelah pucuknya, terdengar suara perlahan “Astaga……apa yang
terjadi!” Di atas atap gubuk terdengar suara hiruk pikuk ketika atap yang
terbuat dari rumbai itu bobol. Sesosok tubuh entah dari mana datangnya
tahu-tahu telah menjebol atap itu dan menerobos masuk. Sesaat kemudian
terdengar suara jeritan perempuan di dalam gubuk, disusul oleh tangis bayi.
Pisau Maut Tanpa Bayangan kaget bukan main. Secepat kilat dia menendang pintu
gubuk hingga berantakan lalu melompat masuk. Tapi perempuan tua itu terlambat.
Saat itu sosok tubuh yang tadi menerobos masuk telah melompat kembali ke atas
atap, siap untuk melarikan diri. Di tangan kirinya dia mendukung bayi lelaki
yang terus menangis sedeang di lantai gubuk terbujur tubuh ibu si bayi dalam
keadaan tak sadar……
“Penculik bayi! Tinggalkan
anak itu kalau tidak mau mampus!” teriak Pisau Maut Tanpa Bayangan.
Dia melompat ke atas atap
sambil lepaskan tiga pisau terbang.
Plak….plak…..plak….! Luar
biasa sekali.
Orang tengah melompat ke atas
atap sambil mendukung bayi hanya lambaikan lengan pakaian hitamnya yang lebar tiga
kali beruturut-turut dan tiga pisau hitam bergagang putih itupun runtuh ke
bawah! Meskipun hatinya tercekat melihat kehebatan orang naun si nenek yang
inginkan bayi itu teruskan lompatannya dan mengejar.
Sampai di atas atap dia masih
sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke balik sebatang pohon besar. Si
nenek kembali hamburkan pisau lalu laksana terbang melompat ke arah pohon.
Gerakan perempuan tua ini memang hebat sekali. Saat itu juga dia berhasil
menghadang larinya orang yang membawa bayi. Begitu melihat orang itu, Pisau
Maut Tanpa Bayangan jadi terkesiap dan berdesah.
“Dewi Kerudung Hitam……”
Orang yang membawa bayi itu
ternyata seorang perempuan yang wajahnya ditutup dengan sehelai kain hitam
tipis mulai dari hidung ke bawah. Rambutnya digelung, dihias dengan sebuah
tusuk kundai perak. Dari keseluruhan wajahnya hanya kening dan sepasang matanya
yang bersinar saja kelihaan. Perempuan ini mengenakan pakaian ringkas hitam
dengan ujung lengan yang sangat lebar.
“Setelah tahu siapa aku, apakah
kau masih berani menghalangi?!” perempuan bercadar menegur.
Suaranya halus tapi tegurannya
itu jelas mengandung ancaman. Si nenek batuk-batuk beberapa kali.
“Aku menghormati nama besarmu
Dewi. Hanya saja bai dalam dukunganmu itu sudah ditakdirkan menjadi milikku.
Akan kujadikan murid….”
Perempuan berkerudung yang
dipanggil dengan sebutan Dewi tertawa perlahan.
“Kalau aku boleh bertanya,
sapa yang menakdirkan bahwa anak ini milikmu…..?”
“Guratan tangan ini….” sahut
si nenek. Lalu dia melangkah mendekat dan angsurkan tangan kirinya dengan
telapak tangan dikembangkan.
“Kau bisa melihat sendiri.
Bukankah kau juga seorang peramal ahli….?”
“Tarik tanganmu kembali. Aku
jijik melihat tanganmu!” sang Dewi membentak.
Kembali si nenek batuk-batuk.
“Jika kau berkata begitu
baiklah. Hanya saja…..” Tiba-tiba tangan kiri si nenek menyambar ke arah bayi
dalam bungkusan kain tebal yang saat itu masih terus menangis.
Dewi Kerudung Hitam hanya
menggeser kakinya sedikit dan itu sudah cukup untuk menyelamatkan bayi dalam
dukungannya dari rampasan si nenek.
“Apapun yang kau lakukan, kau
tak bakal mendapatkan anan ini. Pergilah!”
Perempuan berkerudung
dorongkan tangan kanannya. Si nenek merasa seperti ada batu besar menekan. Dia
kerahkan tenaga dalam. Ketika dia berhasil membuyarkan tekanan, sang Dewi sudah
lenyap dari hadapannya. Namun dia masih sempat melihat kemana larinya orang
itu. Maka diapun mengejar dan kecepatannya bergerak lagi-lagi membuat dia
berhasil mengejar dan menghadang!
“Hem….rupanya kau benar-benar ingin
melihat aku marah Pisau Maut!” Dewi Kerudung Hitam tampak jengkel.
“Sebelum kau serahkan bayi itu
padaku, kemanapun kau pergi pasti akan kukejar dan kuikuti!” jawab Pisau Maut
Tanpa Bayangan.
“Tua bangka keras kepala! Akan
kulihat apakah kepalamu benar-benar keras!” Habis berkata begitu Dewi Kerudung
Hitam kibaskan ujung lengan baju hitam tangan kanannya.
Wutt!
Angin deras dan tajam menderu
ke arah kepala si nenek.
Dengan cepat Pisau Maut Tanpa
Bayangan merunduk. Sambil merunduk kedua tangannya bergerak. Enam pisau hitam
berkelebat dalam jarak yang sangat pendek itu. Bukan saja berbahaya bagi sang
Dewi. Tapi juga mengancam keselamatan bayi dalam dukungannya!
Mulut sang Dewi yang
terlindung di balik cadar hitam menggembung lalu meniup keras.
Bersamaan dengan itu kembali
kibasan lengan baju yang tadi ditujukan ke arah kepala kini dihantamkan ke
bawah, ke arah datangnya serbuan enam pisau maut!
Tiga pisau meluncur berbalik
dan menancap amblas ke tanah. Tiga lagi mental, dua diantaranya tampak menjadi
bengkok sebelum menghantam pohon dan jatuh!
Melihat kejadian ini nyali si
nenek menjadi lumer. Jika dia nekad melanjutkan perkelahian pasti dia akan
celaka. Untuk menutupi rasa malu atas kekalahannya itu si nenek berkata
“Saat ini aku sengaja mengalah,
tapi lain kali jika aku melihat tampangmu lagi, jangan harap aku akan memberi
pengampunan padamu!”
Dewi Kerudung Hitam tertawa
dingin.
“Kau boleh pergi.Tapi aku
tetap akan menguji kekerasan kepalamu!”
Lalu cepat sekali perempuan
ini gerakkan tangan kanannya.
Wutt!
Pisau Maut Tanpa Bayangan
cepat berkelebat. Sekali ini dia tak mampu mengelak. Dari mulutnya terdengar
pekik kesakitan sekaligus terkejut.
Mukanya pucat pasi. Keningnya
terasa sakit. Ketika dipegang terasa ada darah mengucur. Daging dan tulang
keningnya telah bocor seperti dicoblos paku! Tanpa menunggu lebih lama
perempuan tua yang sudah habis nyali ini segera putar tubuh dan melarikan diri
dari tempat itu.
Dewi Kerudung Hitam tertawa
mengekeh.
“Ternyata batok kepalamu sama
lunaknya dengan nyalimu. Ha…ha…ha…!”
Lalu sang Dewi bagi perhatian
pada bayi dalam gendongannya yang masih terus menangis.
Disibakkannya sedikit kain
tebal yang menutup wajah si bayi. Kelihatan pipinya yang merah dan wajahnya
yang mungil lucu.
“Anak manis, cep…cepp…cepp!
Jangan menangis. Kau aman berada dalam dukunganku. Akan kubawa kau terbang
menuju bukit Merak….”
Perempuan itu rapikan kain
yang enutupi si bayi. Dia mengayun-ayun tubuh anak itu beberapa kali tapi bayi
itu terus saja menangis.
Akhirnya Dewi memutuskan untuk
segera pergi dari situ. Baru saja dia bergerak dua langkah mendadak terdengar
suara mengaum yang sangat dahsyat. Dari dalam gelap muncul dua titik biru
menyala!
Dua titik biru itu semakin
dekat semakin tampaklah satu sosok tubuh seekor harimau yang luar biasa
besarnya. Mulutnya menganga memperlihatkan gigi dan taringnya yang besar.
Ekornya mengibas-ngibaskan tiada henti. Bulunya yang sangat tebal berwarna
hitam berbelang kuning!
Menghadapi manusia
bagaimanapun hebatnya bukan suatu hal yang menakutkan bagi Dewi Kerudung Hitam.
Tapi berhadapan dengan seekor binatang buas seperti ini baru menjadi kecut. Dia
mundur dua langkah sambil berkata
“Aku tidak menganggumu, jangan
mengganggu aku…..”
Binatang itu keluarkan suara
mengaum sebgai jawaban. Dewi Kerudung Hitam merasakan tanah yang dipijaknya
bergetar. Karena tidak mungkin meneruskan langkahnya ke depan, perempuan ini
berbalik ke kanan. Saat itulah dia melihat ada seseorang berdiri di samping
kanan itu.
Yang tegak dalam kegelapan itu
adalah seorang lelaki kurus tinggi berjubah putih dalam, mengenakan penutup
kepala seperti sorban. Di bawah sorban menjulai sampai ke punggung rambutnya
yang panjang berwarna seputih kapas! Di tangan kirinya orang tua ini memegang
seuntai tasbih kayu dan mulutnya tiada henti melafatkan zikir.
“Hem….. Jadi kau rupanya yang
membawa harimau besar ini, orang tua!” Sang Dewi menegur.
“Mengapa kau dan makhluk
binatang peliharaanmu ini berusaha menghadang maksudku untuk meninggalkan
tempat ini?”
“Aku tidak menghadang siapapun.
Aku tahu kau orang baik-baik, sahabat kaum jelata, penolong mereka yang
tertindas. Kita orang-orang satu golongan. Dan kebetulan sama-sama punya satu
tujuan….” Begitu orang tua bersorban menjawab lalu kembali dia berzikir.
“Satu tujuan? Tujuan apa
maksudmu?” tanya Dewi Kerudung Hitam.
“Bayi dalam dukunganmu itu…..”
jawab si tinggi kurus berjubah putih.
“Petunjuk Tuhan dalam tiga
kali mimpi membawaku kepadanya….”
Dewi Kerudung Hitam tatap
wajah orang tua di hadapannya itu sesaat lalu berkata
“Mendengar logat bicaramu
jelas kau bukan orang sini. Siapa kau sebenarnya dan datang dari mana?” Dengan
bertanya begitu sang Dewi berusaha mengalihkan pembicaraan. Hatinya tidak enak
ketika mengetahui orang tua berjubah dan bersorban putih itu berbicara soal
anak dalam dukungannya.
"Aku memang bukan orang
Jawa. Aku datang dari jauh. Dari seberang. Dari sebuah pulau bernama Swarna
Dwipa yang juga dikenal dengan nama pulau Andalas. Tiga bulan lebih aku
menempuh perjalanan menurut petunjuk mimpi. Menurut kepercayaan orang sini itu
adalah wangsit. Menurutku sendiri mimpi itu adalah petunjuk Tuhan. Akhirnya,
setelah tiga bulan aku sampai di sini…..”
Dewi Kerudung Hitam
mengangguk-angguk lalu dia mengingatkan dangan berkata
“Kau belum memberi tahu namamu
orang tua…..”
“Di tanah kelahiranku ada yang
memberikan nama dan memberikan gelar. Ketekbanamo, gadang bagala…..”
“Eh, apa itu. Ketek siapa
maksudmu?”
Orang tua itu tersenyum
mendengar pertanyaan Dewi Kerudung Hitam.
“Ketek bukan berarti ketiak,”
katanya.
“Ketek dalam bahasa
kelahiranku artinya kecil.
Maksud ucapanku tadi, seorang
anak lelaki pada waktu kecil diberi bernama. Setelah besar diberi gelar. Begitu
juga diriku. Sewaktu aku kecil orang tuaku memberiku nama Syahrudin Mustakim.
Setelah besar aku dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Alam Sati.”
“Ah, kiranya aku berhadapan
dengan seorang Datuk! “ ujar Dewi Kerudung Hitam.
“Sungguh satu kehormatan bisa
bertemu denganmu. Hanya saja mohon dimaafkan aku tidak punya waktu
berbincang-bincang lebih lama denganmu. Mudah-mudahan di lain waktu kita bisa
berjumpa lagi. Aku minta diri….”
“Mengapa terburu-buru Dewi?
Justru pertemuan ini sangat penting bagiku!” kata Datuk Perpatih Alam Sati
pula. Kedua matanya melirik sekilas pada anak dalam dukungan Dewi Kerudung
Hitam, membuat perempuan ini tambah tak enak. Sang Dewi diam-diam sudah
menimbang-nimbang dan mengukur sampai dimana tingkat kepandaian dan kesaktian
orang tua berjubah putih ini. Jika dia tidak sanggup muncul dengan membawa
seekor harimau besar peliharaan, sudah dapat dipastikan orang ini lebih tinggi
ilmunya dari Pisau Maut Tanpa Bayangan.
“Maafkan, aku harus pergi
sekarang!” berkata Dewi Kerudung Hitam. Dia bergerak ke kiri. Tapi tahu-tahu
orang tua berjubah dan bersorban putih situ sudah ada di hadapannya hingga
langkahnya tertahan.
“Jika kau memaksa pergi,
akupun tidak memaksa menahan. Hanya kuharapkan kau sudi menyerahkan bayi itu
padaku…..” Dewi Kerudng Hitam menyeringai. Kedua pelipisnya tampak menggembung
tanda perempuan ini mulai dirasuk hawa amarah.
“Aku datang lebih dulu darimu,
aku lebih dulu mendapatkan orok ini. Mengapa kau enak saja meminta….?”
“Aku meminta dengan segala
hormat dan segala kerendahan hati….”
“Maafkan aku. Apapun alasanmu
aku tetap akan membawa anak ini!”
“Percayalah, anak itu tidak
berjodoh denganmu, Dewi.”
“Siapa bilang!” sentak Dewi
Kerudung Hitam. Lalu kembali dia berkelebat. Kali ini ke sebelah kanan. Namun
lagi-lagi orang tua tinggi kurus itu lebih cepat seperti menghadang gerakannya.
Dari dua kali dihadang seperti itu saja, Dewi Kerudung Hitam sudah maklum
bagaimana hebatnya orang tua di hadapannya itu. Namun bukan berarti dia merasa
jerih.
“Orang tua! Jika kau
terus-terusan menghadangku, jangan salahkan kalau aku melepaskan tangan keras!”
Dewi Kerudung Hitam membentak dan mengancam. Orang tua berjubah putih tertawa.
Lalu berkata “Coba kau lihat
sekali lagi sebelum pergi. Yang kau gendong itu bukan bayi tapi seekor anak
harimau….!”
“Setan! Jangan coba menipuku!”
tukas Dewi Kerudung Hitam.
“aku tidak menipu. Silahkan
kau lihat sendiri! Yang kau bawa adalah anak harimau. Anak harimau. Anak
harimau…..Anak harimau….!” Jengkel, marah tapi juga ragu-ragu, Dewi Kerudung
Hitam singkapkan kain tebal penutup bayi dalam dukungannya.
Ketika kain tersibak,
menjeritlah perempuan ini. Kepala seekor anak harimau mengeliat, mulutnya
terbuka lebar dan sepesang matanya yang biru memancarkan sinar sperti menusuk.
Binatang ini menggereng menakutkan! Tanpa pikir panjang Dewi Kerudung Hitam
lemparkan benda yang berada dalam dukungannya itu. Lalu bersurut mundur dengan
muka hampir tak berdarah. Saat itulah si jubah putih bergerak. Ketika Dewi
Kerudung Hitam memandang ke depan, orang tua itu tak ada lagi di hadapannya.
Memandang berkeliling harimau besar bermata biru yang tadi menghadang di
depannya lenyap. Dan lebih dari itu, bayi dalam dukungannya yang tiba-tiba
entah bagaimana berubah menjadi seekor anak harimau juga ikut lenyap. Padahal
bayi atau apapun adanya setelah dilemparkan pasti jatuh ke tanah!
“Dewi Kerudung Hitam, terima kasih
atas kebaikanmu memberikan bayi ini…..!” Tiba-tiba terdengar suara orang tua
berjubah putih tadi. Kaget sekali Dewi Kerudung Hitam memandang ke arah pohon
besar sepuluh langkah di sebelah kanannya. Di situ tampak Dauk Perpatih Alam
Sati duduk di atas punggung harimau besar, tidak beda seperti menunggang seekor
kuda. Dalam dukungan tangan kirinya tampak bayi dalam kain tebal yang
dilemparkan sang Dewi.
“Bangsat penipu! Kau
memperdayaiku dengan ilmu sihir celaka! Mampuslah!” teriak Dewi Kerudung Hitam.
Dia hantamkan kedua tangannya ke depan.
Dua larik angin tajam menderu
dahsyat ke arah kepala dan perut Datuk Perpatih Alam Sati. Pukulan sakti
seperti inilah yang tadi membuat kepala Pisau Maut Tanpa Bayangan sampai
berlobang dan mengucurkan darah. Kini sang Dewi melepaskan dua pukulan
sekaligus. Datuk Perpatih Alam Sati tepuk pinggul harimau besar tunggangannya.
Binatang ini mengaum dahsyat lalu melompat ke depan. Sang Datuk goyangkan
kepalanya. Rambut putih panjangnya bergerak seperti menabas. Sinar putih aneh
berkiblat. Dua larik pukulan Dewi Keudung Hitam buyar!
“Edan!” maki sang Dewi marah.
Dia lepaskan lagi satu pukulan.
Selarik sinar berwarna hitam
mencua dari ujung lengan pakaiannya yang lebar. Datuk Perpatih Alam Sati tampak
tenang saja di atas punggung harimaunya. Sinar hitam menghantam bagian paha
kaki kiri belakang harimau besar. Dewi Kerudung Hitam sengaja menghantam
binatang itu agar sang Datuk tidak bisa melarikan diri lebih jauh. Tapi apa
yang disaksikannya membuat perempuan ini terkejut. Jika sebuah batu besar
terkena hajaran sinar hitam itu pastilah akan hancur dan hangus. Tapi begitu
sinar melabrak kaki si harimau, sinar itu seperti tidak mampu menembus
kelebatan bulu-bulu binatang itu, terpental kembali dan bertabur menjadi
beberapa bagian yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi! Harimau
besar dan Datuk Perpatih Alam Sati lenyap di balik deretan pohon-pohon, hilang
ditelan kegelapan malam. Dewi Kerudugn Hitam mengejar. Namun dia hanya menemui
kegelapan malam. Perempuan ini pukul-pukul jidat dan banting-banting kaki
karena kesalnya. Puncak Merapi diselimuti udara dingin abadi. Hal ini saja
sudah cukup membuat tidak ada manusia yang berkeinginan untuk naik ke puncak,
belum lagi sulitnya untuk mendaki. Namun hari itu justru nampak satu bayangan
putih berkelebat cepat laksana terbang. Sesaat dia muncul di sebelah timur, di
lain saat dia sudah berada di sebelah barat punack gunung. Orang ini bertubuh
tinggi kurus, mengenakan jubah dan sorban putih. Rambutnya yang menjulai panjang
di bawah sorban putih seperti kapas; Dari ciri-cirinya jelas si orang tua ini
adalah Datuk Perpatih Alam Sati, seorang tokoh silat dan agama yang diam di
puncak gunung Merapi di pulau Andalas.
Di puncak gunung sang Datuk
berhenti sesaat, mendongak ke langit tinggi dimana sang surya bersinar terang,
tapi sama sekali tidak terasa panas teriknya. Setiap hembusan nafas sang Datuk
menimbulkan uap tebal di udara yang sangat dingin itu. Di udara sangat dingin
begitu wajahnya tampak keringatan! Pertanda bahwa tubuhnya memiliki kemampuan
untuk menolak hawa dingin yang darang dari luar! Datuk Perpatih pejamkan
matanya. Tangan kanan memegang tasbih, perlahan-lahan mulutnya meluncurkan
ucapan
“Terima kasih Tuhan. Kau telah
mengabulkan semua permintaanku. Hari ini adalah hari terakhir anak itu berada
di sini. Delapan belas tahun lebih dia bersamaku. Dengan keridohanMu, apa yang
aku inginkan tercapai. Kalaupun aku mati maka kematianku bakal tenteram….”
Datuk Perpatih usap wajahnya.
Masukkan tasbih ke dalam saku
jubah, lalu berbalik, melangkah ke sebuah gundukan batu yang berwarna putih
karena tertutup cairan putih tipis beku. Salju! Sampai di hadapan gundukan batu
Datuk Perpatih acungkan jari yang diluruskan itu kemudian ditusukkannya ke
pertengahan gundukan batu. Terdengar suara mendesis yang disusul dengan kepulan
asap, pertanda hawa dingin beradu dengan hawa panas. Perlahan-lahan salju tipis
pada gundukan batu meleleh cair, kemudian tampaklah sebuah lobang. Makin banyak
salju yang meleleh semakin besar lobang yang tampak. Ternyata lobang itu adalah
mulut sebuah goa yang cukup besar, berukuran tinggi, lebar dan panjang sekitar
dua tombak.
Di dalam goa tampak duduk
seorang pemuda berkulit coklat. Karena hanya mengenakan sehelai cawat jelas
kelihatan badannya yang penuh otot. Pemuda ini duduk bersila dengan mata
terpejam. Di tangan kanannya ada seuntai tasbih. Bibirnya tampak bergerak terus
menerus tanda dia melafatkan sesuatu. Selain terasa aneh melihat si pemuda yang
mampu berthan tersekap dalam goa yang sangat dingin itu dengan hanya mengenakan
sehelai cawat, juga ada keanehan lain. Di bagian atas goa dimana pemuda itu
duduk bersila menetes cairan salju yang setiap tetesannya jatuh tepat di atas
kepala pemuda itu. Sulit diduga entah berapa lama dalam setahun dia duduk bersila
seperti itu. Yang jelas rambutnya yang panjang menjela punggung tampak basah
dan berwarna seputih salju. Untuk beberapa lamanya Datuk Perpati Alam Sati
menatap pemuda dalam goa sambil tersenyum dan angguk-anggukkan kepala.
“Pandu, hentikan apa yang kau
lakukan. Lakukan solat Zuhur lalu temui aku di puncak sebelah selatan…” Pemuda
yang ada dalam goa perlahan-lahan buka kedua matanya.
Baru saja kedua matanya
terbuka Datuk Perpati Alam Sati keluarkan seperangkat pakaian putih yang masih
baru dari balik jubahnya lalu menyerahkannya pada si pemuda.
“Kenakan pakaian ini….. Pergi
sembahyang. Selesai sembahyang cepat temui aku di puncak selatan!”
“Akan saya lakukan ayah,”
menyahuti si pemuda. Dia mendatangi pakaian putih yang diletakkan Datuk
Perpatih di atas pangkuannya lalu bertanya
“Pakaian putih dan baru ini,
apa artinya ayah….?” Sang Datuk sesaat tampak seperti tercekat oleh pertanyaan
itu. Lalu dia coba tersenyum dan berkata
“Pergilah bersembahyang. Apa
yang jadi pertanyaan dalam hatimu akan terjawab jika kau sudah menemuiku di
puncak selatan nanti…..!” Lalu tanpa berkata apa-apa lagi Datuk Perpatih
tinggalkan tempat ini. Orang tua ini berjalan menuju puncak gunung sebelah
selatan. Kelihatannya dia seperti melangkah biasa saja. Tapi dalam beberapa kejapan
mata dia sudah lenyap dikejauhan. Di bagian selatan puncak gunung Merapi
terdapat sebuah bangunan kayu yang atapnya terbuat dari ijuk tebal berbentuk
tanduk kerbau. Bangunan tanpa dinding ini berlantai batu gunung berwarna hitam
dan sangat bersih. Datuk Perpaih Alam Sati masuk ke bawah atap lalu menghadap
kiblat dan mulai bersembahyang Zuhur. Sesaat setelah dia mengucapkan salam
pemuda itu dilihatnya sudah duduk di bawah atap bangunan.
“Duduk lebih dekat di
hadapanku Pandu….” Memanggil Datuk Perpatih. Beringsut-ingsut pemuda bernama
Pandu itu mendekati sang Datuk yang dipanggilnya dengan sebutan ayah.
“Pandu, sekarang kau dengarkan
baik-baik apa yang akan kututurkan. Menurut perhitunganku kau berada di puncak
Merpati ini bersamaku sekitar delapan belas tahun. Usiamu mendekati sembilan
belas tahun. Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa selama itu aku telah mengajarkan
padamu ilmu baca tulis, ilmu agama dan tentunya tidak terlupa ilmu silat luar
dan dalam. Hari ini aku dan kau berhasil merampungkan satu ilmu baru yang
menurut hematku tak ada duanya dalam rimba dunia persilatan baik di pulau
Andalas ini maupun di kawasan dunia persilatan lainnya. Rambutmu yang putih dan
panjang itu, di situlah letak kehebatan ilmu yang kau miliki. Rambut itu bisa
menjadi tameng pelindung dirimu, dapat pula menjadi senjata tanpa tandingan
yang akan merobohkan lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Karena semua ilmu itu
kau dapat dari keredohan Tuhan, maka wajib kau pergunakan untuk dan di jalan
Tuhan pula. Tadi kau bertanya soal pakaian putih baru yang kini kau kenakan.
Apa artinya. Bukan begitu pertanyaanmu tadi….?”
“Betul ayah,” jawab Pandu.
Sang Datuk tersenyum. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu dan ini
dirasakan oleh Pandu.
“Pakaian baru itu satu
pertanda bahwa hari ini kau akan mulai satu perjalanan jauh. Meninggalkan
puncak gunung Merpati untuk satu tujuan yang hanya kau sendiri yang bakal
memilih, entah ke utara, entah ke timur, barat atau selatan….”
“Maksud ayah kita sama-sama
meninggalkan puncak Merapi ini……?” Datuk Perpatih menggeleng, membuat wajah
Pandu berubah.
“Hari ini hari perpisahan bagi
kita berdua. Kalau umur panjang satu ketika pasti kita bisa bertemu. Aku
melepas keergianmu dengan perasaan bahagia karena ilmu yang kuciptakan berhasil
aku wariskan padamu….”
“Tak mungkin saya meninggalkan
ayah sendiri di dini…..” kata Pandu pula.
“Aku dilahirkan di sini dan
aku meninggal menghadap Tuhanku di sini. Tak usah kau pikirkan badan tua ini.
Yang harus kau pikirkan adalah langkahmu selanjutnya. Dunia luas terkembang di
depan mata dan di hadapan kakimu…” Untuk beberapa lamanya Pandu tidak dapat
berkata apa-apa. Dia menyadari kenyataan ini. Dalam usia menanjak dewasa
seperti saat itu memang tak mungkin dia menetap terus di puncak Merapi, tinggal
bersama ayahnya.
“Satu hal yang harus kau ingat
baik-baik Pandu yaitu jika kau sudah menapakkan kaki di dunia luas nanti, dunia
ini tidak berbeda dengan panggung sandiwara. Ada seribu kebaikan, tapi ad juga
sejuta kejahatan. Ada seratus orang yang baik namun juga ada seribu yang busuk.
Sesuatu yang kau lihat bagus belum tentu baik. Sesuatu yang baik mungkin kau
rasakan tidak bagus. Karena itu kau harus menanamkan rasa berhati-hati dalam
setiap melangkah dan bertindak, bahkan juga dalam setiap membuka mulut mengatakan
sesuatu. Akhirnya dapat kukatakan bahwa ilmu yang paling tinggi di dunia ini
adalah kebenaran. Namun setan punya seratus tangan untuk memutar kebenaran
menjadi kejahatan dan kejahatan seolah-olah menjadi kebenaran. Karenanya jangan
ikutkan bujukan setan. Pagari hatimu dan pikiranmu dengan ajaran-ajaran agama
yang telah kau terima dariku. Pagari tubuhmu dari lawan-lawan yang setiap saat
bisa muncul mencelakaimu. Tapi jangan terlalu percaya pada seorang kawan. Nah,
jika tak ada lagi yang bakal kau tanya, kau boleh pergi sekarang juga Pandu….”
“Tentu saja ada yang akan saya
katakan ayah. Sebenarnya sudah berapa kali saya tanyakan padamu. Namun tidak
pernah terjawab. Mudah-mudahan hari ini ayah bisa memberitahunya….”
“Aku sudah maklum apa
pertanyaanmu itu,” memotong Datuk Perpatih Alam Sati.
“Kau ingin tahu dimana ibumu
bukan?” Pandu mengangguk. Datuk Perpatih pegang bahu Pandu lalu berkata
“Aku memang sudah merencana.
Sekalipun tidak bakal kau tanya, hari ini kurasa sudah saatnya kuberitahu
padamu. Pandu, sebenarnya aku ini bukan ayahmu….” Sang Datuk merasakan tubuh
pemuda yang dipegangnya itu bergetar keras.
“Lalu……saya tidak mengerti
ayah…. Dan tampaknya kau seperti tidak bergurau…”
“Aku memang tidak bergurau
Pandu. Aku tidak tahu siapa nama ibumu. Ayahmu bernama Jinggosuwu. Kedua orang
tuamu berasal dari desa Talangwaru. Suatu desa subur di Jawa Tengah, sangat
jauh dari sini. Aku tidak tahu banyaktentang ibumu. Kecuali bahwa kau punya
seorang kakak perempuan yang satu tahun lebih tua darimu. Siapa nama kakakmu
aku tidak tahu…”
“Lalu bagaimana saya bisa
sampai berada di sini……?” tanya Pandu tidak mengerti.
“Sudah saatnya pula aku
ceritakan riwayat aku mendapatkanmu Pandu. Waktu itu, delapan belas tahun yang
silam, tersiar kabar dalam rimba persilatan tentang seorang bayi bernama Pandu
yang memiliki ruas dan bentuk tubuh yang luar biasa sempurnanya. Para tokoh
silat keluar dari sarang masing-masing untuk bisa mendapatkan anak itu yaitu
kau adanya, guna dijadikan murid. Banyak korban berjatuhan. Aku ternyata paling
beruntung karena akulah yang mendapatkanmu….”
“Apakah ayah kandungku dari
dunia persilatan juga….?” Datuk Perpatih menggeleng.
“Ayahmu tewas di tangan
seorang tokoh silat ketika terjadi perebutan dirimu…..” Lalu Datuk Perpatih
Alam Sati menceritakan apa yang terjadi pada malam delapan belas tahun lalu di
dalam rimba belantara sebagaimana yang telah dituturkan sebelumnya.
“Manusia bernama Pendekar
Bungkuk itu, orang yang membunuh ayah kandungku, apakah dia masih hidup….?”
Tanya Pandu begitu Datuk Perpatih mengakhiri penuturannya. Sang Datuk tidak
langsung menjawab pertanyaan muridnya yang sudah menganggapnya sebagai ayah
itu.
Dia berkata “Dalam agama kita
dilarang keras untuk hidup membawa dendam, apalagi membalas dendam. Kau sudah
cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri. Walau aku tidak menganjurkan
kau untuk mencari Pendekar Bungkuk nemun seperti kukatakan, kau layak mengambil
keputusan. Karena jangan tanyakan dimana tempat kediaman orang itu…” Habis
berkata begitu Datuk Perpatih tepuk-tepuk punggung muridnya.
“Walau aku bukan ayahmu
sungguhan, tapi aku tetap menganggapmu sebagai anak dan sekaligus murid.”
“Saya tidak berubah. Akan
tetap menganggapmu Datuk sebagai ayah kandungku….” Kata Pandu pula dengan mata
berkaca-kaca.
“Jangan menangis Pandu. Air
mata adalah kelemahan orang perempuan!” berkata Datuk Perpatih Alam Sati. Tapi
kedua matanya sendiri saat itu kelihatan juga berkaca-kaca. Diluar kedai
makanan di pinggir jalan berdebu terdengar riuh suara anak-anak tiada
putusputusnya meneriakkan
“Orang gila rambut
putih…..orang gila rambut putih! Gila …..hai orang gila…..!” Beberapa orang
tengah makan siang di kedai itu tentu saja sama mengangkat kepala.
Salah seorang diantaranya,
seorang pemuda berambut gondrong bermulut celemongan menyibakkan kain lebar
penutup bagian depan kedai, memandang ke tepi jalan. Di situ dilihatnya seorang
pemuda melangkah diikuti oleh hampir selusin anak-anak yang berteriak-teriak.
Dari keadaan dan potongan pemuda itu sama sekali tidak ada kelainan, apalagi
kalau sampai dikatakan gila. Pakaiannya putih, wajahnya tampan agak berdebu.
Hanya saja memang dia memiliki rambut berwarna putih panjang menjulai sampai ke
punggung. Rambut ini bukan saja sangat putih tetapi juga tampak seperti
setengah basah setengah kering.
“Dasar anak-anak, orang tidak
gila tidak apa diteriaki gila….” Pemuda rambut gondrong dalam kedai
menggerendeng sendiri. Sebaliknya pemuda berambut putih terus saja melangkah
tidak memperdulikan teriakan dan ejekaan anak-anak itu, seperti tidak mendengar
apa yang diteriakkan.
“Anak-anak nakal!” si rambut
gondrong dalam kedai membentak.
“Pergi sana! Mengapa
mengganggu orang baik-baik!”
“Orang gila! Orang gila rambut
putih….”
“Kalau kalian tidak pergi
kujejali sambal mulut kalian!” teriak si rambut gondrong dalam kedai. Lalu dia
bergerak bangkit.
Tangan kirinya menyambar cobek
berisi sambal yang tengah disantapnya. Melihat hal ini anak-anak yang sejak
tadi mengikuti si rambut panjang putih sambil berteriak-teriak jadi ketakutan.
Mereka mundur, lalu lari berserabutan sewaktu si gondrong berteriak seolah-olah
hendak mengejar mereka. Setelah anak-anak itu lenyap di kelokan jalan, pemuda
berambut putih panjang menoleh pada si gondrong yang masih tegak di depan
kedai. Mulutnya tersenyum tapi sepasang matanya menatap lekat-lekat. Dan si
gondrong di depan kedai merasakan tatapan mata itu begitu aneh, tidak berkedip
dan seperti memancarkan satu sinar. Saat itu juga dia merasa tubuhnya seperti
diselimuti angin dan hawa yang sejuk. Dia balas tersenyum.
“Saudara, anak-anak
dimana-mana sama saja. Suka mengganggu orang. Dari debu yang melekat di pakaian
dan wajahmu, jelas kau habis berjalan jauh….” Si gondrong di muka kedai
menegur.
“Terima kasih kau telah
mengusir anak-anak itu.” menyahut si rambut putih panjang.
“Biarlah aku meneruskan
perjalanan…”
“hai, berjalan jauh di bawah
panas terik matahari kau pasti haus dan lapar. Mari masuk ke dalam kedai untuk
makan dan minum…”
“Ah…. Terus terang aku memang
haus dan lapar. Tapi aku tak punya uang untuk membeli minuman apalagi
makanan….” Si gondrong di muka kedai tertawa lebar dan garuk-garuk kepalanya.
“Aku juga tidak punya banyak
uang. Tapi kalau untuk membayar sepiring nasi dan segelas teh untukmu kau tak
usah khawatir….. Mari masuk!”
“Ah, kau baik sekali!” Sesaat
si rambut putih panjang agak ragu-ragu. Tapi akhirnya masuk juga ke dalam kedai
setelah pemuda yang mengajaknya melambaikan tangan. Begitu masuk dan duduk di
dalam kedai, beberapa orang yang tengah bersantap langsung berdiri. Wajah
mereka menunjukkan rasa takut. Orang gila yang diteriaki anak-anak tadi
ternyata kini masuk ke dalam kedai, beegitu mereka berpendapat. Tanpa
menghabiskan makan, orangorang itu mengeluarkan uang lalu pergi cepat-cepat.
Pemilik kedai menjadi tidak enak.
Dia memandang agak jengkel
pada si rambut putih panjang. Jika orang gila ini lama-lama berada dalam
kedainya pasti tak ada pengunjung yang bakal masuk untuk membeli makanan. Untuk
menegur secara keras dan kasar pemilik kedai ini seorang lelaki gemuk bermata
juling agak takut. Dia khawatir kalau “orang gila” itu mengamuk dalam kedainya.
Maka dengan agak takut-takut
dia bertanya “Orang muda, apakah kau punya uang untuk membayar harga makanan?”
Karena matanya yang juling, meski dia bertanya pada pemuda yang barusan masuk
tapi kedua matanya mengarah pada pemuda rambut gondrong yang telah lebih dulu
berada dalam kedai dan masih belum menghabiskan makannya.
Si gondrong tampak agak
jengkel, lalu menjawab “Eh, aku sudah setengah makan, mengapa baru sekarang
menegur? Kau kira….”
“Harap maafkan anak muda, aku
bertanya pada pemuda ini, bukan padamu…..” buru-buru pemilik kedai berkata.
“Ah!” si rambut gondrong
garuk-garuk kepalanya.
“Matamu yang uling menipuku!
Soal pemuda ini punya uang atau tidak kau tak usah khawatir. Aku temannya dan
aku yang akan membayar apa yang dimakan dan diminumnya. Kau hidangkan saja
sepiring nasi dan lauk pauknya!” Mendengar ucapan itu pemilik kedai tak berkata
apa-apa lagi lalu mulai menghidangkan makanan.
“Terima kasih. Kau baik
sekali….” Berkata si rambut putih panjang pada si gondrong di sebelahnya. Yang
diajak bicara hanya tertawa lalu meneruskan makannya yang tadi tertunda.
“Namaku Pandu, kau siapa
saudara….?” Yang ditanya telan nasinya, tegak minumannya lalu menjawab.
“Aku Wiro Sableng….”
“Wiro Sableng…. Maksudmu….eh
Sableng itu nama belakangmu…?”
“iyya. Nama aneh ya?
Seharusnya aku yang diteriaki gila oleh anak-anak tadi. Bukannya kau…."
Kedua pemuda itu sama tertawa
gelak-gelak.
“Kita baru kenal, tapi kau
begitu akrab!”
Wiro Sableng seka mulutnya.
“Aku suka berteman dengan
siapa saja. Cuma terus terang baru kali ini aku memiliki seorang sahabat
berambut putih seperti kapas. Sangat panjang seperti rambut perempuan. Tetapi
kenapa seperti basah? Kau pasti tidak kehujanan di tengah jalan karena
pakaianmu tidak basah. Mungkin kau habis mandi di sungai dan tidak sempa
mengeringkan rambutmu yang panjang….”
Pandu hanya tertawa. Sementara
itu pemilik kedai datang membawakan makanan. Kedua pemuda itu lalu sama-sama
menyantap hidangan masing-masing.
Selesai makan, sambil menyeka
keringatnya Wiro memandang pada Pandu dan berkata “Tadi sebelum kau datang
kedai ini terasa panas. Setelah kau masuk mengapa tiba-tiba kedai ini berubah
sejuk….?”
Air muka pemuda bernama Pandu
yang adalah murid dan anak angkat Datuk Perpatih Alam Sati dari puncak gunung
Merapi di Pulau Andalas tampak berubah. Tapi pemuda ini cepat menguasai diri.
Sambil tersenyum dia menjawab
“Tadi terlalu banyak orang dalam kedai sempit ini. Tentu saja udara jadi panas.
Kini hanya tinggal kita berdua. Dan angin bertiup dari luar. Tentu saja udara
jadi sejuk….”
Wiro tertawa lebar.
“Kenapa kau tertawa?”
“Sobat baruku. Aku tak bisa
ditipu. Hawa sejuk ini memancar dari tubuh dan rambutmu yang putih basah itu!”
Terkejutlah Pandu.
“Aku…..eh! Matamu tajam sekali
sahabat. Rupanya aku berhadapan dengan seorang pandai dari dunia persilatan!”
Wiro geleng-geleng kepala. Dia
memutar pembicaraan.
“Logat bicaramu menandakan kau
bukan orang sini. Logat bicaramu seperti hanya dipunyai oleh orang-orang dari
pilau Andalas. Kau berasal dari sana….?”
“Kau betul….”
“Mengadakan perjalanan sejauh
itu, tentu ada urusan penting….”
“Kau tengah menyelidikiku
saudara?” tanya Pandu tapi dengan tersenyum.
“Sama sekali tidak. Jangan kau
tersinggung.” Dari balik pakaiannya Wiro lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan
hitam lebar. Sapu tangan itu dilipatnya memanjang lalu diberikannya pada Pandu.
“Ikat kening dan kepalamu
sebelah belakang dengan kain itu….”
“Untuk apa….?” Tanya Pandu.
“Tidak untuk apa-apa. Hanya…..agar
kau jangan kelihatan seperti perempuan….Ha…ha…ha…!”
Pandu ikut tertawa mendengar
kata-kata Wiro itu. Lalu dia bertanya.
“kau penduduk disini?” Wiro
menggeleng.
“Sudah kuduga. Kau pasti
pengembara sepertiku. Bedanya melihat kulitmu yang kecoklatan kau pasti sudah
malang melintang selama bertahun-tahun ke berbagai penjuru. Sedangkan aku baru
mulai belajar mengembara….”
“Kemana tujuanmu sebenarnya
sahabat?”
“Sebuah desa bernama
Talangsewu. Menurut keterangan terletak di tenggara, di kaki gunung Sumbing.
Kau tahu desa itu?”
Wiro menggeleng.
“kalau gunung Sumbing, hanya
sehari perjalanan dari sini. Aku punya tujuan ke jurusan itu. Jika kau tak
keberatan, karana kita sama searah, bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan
sama-sama?”
Pandu tak menjawab. Setelah
diam sesaat dia malah bertanya
“Kau pernah mendengar seorang
tokoh silat golongan hitam bernama Pendekar Bungkuk….?”
Wiro garuk-garuk kepalanya
lalu mengangguk.
“Kau tahu dimana tempat
kediamannya?”
“Eh, rupanya kau mencari
manusia satu itu?”
“Betul”
“Pasti ada silang sengketa
antara kalian!”
“Dia membunuh ayahku,” jawab
Pandu.
Keterangan Pandu itu
mengingatkan Wiro pada ayahnya sendiri yang juga tewas dibunuh orang. Lama dia
terdiam. Agaknya jalan nasib pemuda yang barusan dikenalnya ini ada persamaan
dengan dirinya.
“Menurut kabar yang pernah
kudengar, sekitar lima tahun dia lenyap dari dunia persilatan. Ketika muncul
dia menjadi momok nomor datu di timur. Ada yang mengatakan dia jadi tangan
kanan seorang pangeran yang hendak memberontak. Pangeran itu sendiri berhasil
ditangkap tapi terbunuh ketika berusaha melarikan diri. Pendekar Bungkuk sempat
kabur.Ada satu keluar biasaan pada manusia itu. Aku sendiri belum pernah
bertemu atau melihatnya. Tapi kata orang, salah satu matanya ditancapi pisau
kecil berhulu putih. Kabarnya pisau itu ditancapkan salah seorang musuhnya.
Kabarnya lagi Pendekar Bungkuk bersumpah, sebelum dia berhasil membunuh lawan
yang mencelakainya itu, pisau di matanya tak akan dicabutnya!”
“Keteranganmu cocok dengan
keterangan guruku!” ujar Pandu pula.
“Kalau begitu siapa gurumu?”
tanya Wiro. Pandu sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dia menjawab dengan
cerdik
“Kuberitahukanpun kau tidak
bakal mengenalnya….”
“Apakah kau ke Talangsewu
mencari pembunuh ayahmu itu?” Kau tak bakal menemukan Pendekar Bungkuk di
sana.”
“Talangsewu tempat kediaman
ibuku! Aku akan mencarinya disana. Mudah-mudahan Tuhan mempertemukan kami….”
“Aku ikut mendoaakan.”
“Terima kasih. Wiro, aku
menerima usulmu. Kita melanjutkan perjalanan bersama-sama….”
“Memang itu yang kuharapkan
agar kita bisa bertukar pengalaman….”
“Melihat gerak gerikmu serta
ucapan-ucapanmu kau m,endalami seluk beluk agama. Nah, aku ini pemuda kurang
ajar! Jadi ada baiknya kalau aku belajarilmu agama padamu. Ha….ha….ha….! Pandu
duduk termenung di tepi kali. Di sebelahnya duduk Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Setelah mengetahui ibumu
tidak lagi tinggal di Talangsewu, apa yang akan kau lakukan Pandu?” bertanya
Wiro. Meski hati dan pikirannya saat itu kacau, murid Datuk Perpatih Alam Sati
itu menjawab, suaranya perlahan.
“Akan kuarungi pulau Jawa ini.
Akan kucari manusia bernama Pendekar Bungkuk itu. Arwah ayahku mungkin tidak
pernah tentram sebelum aku melakukan pembalasan!” Pandu diam sesaat.
Lalu dia berpaling pada Wiro
“Sahabat, berhari-hari kita mengadakan perjalanan bersamasama. Aku sangat
berterima kasih pada kebaikanmu. Hanya saja, mulai saat ini aku berasa adalah
lebih baik aku meneruskan perjalanan seorang diri. Aku tak mau menyusahkan
seorang kawan sebaikmu…” Wiro garuk kepalanya lalu menjawab “Aku tidak akan
memaksa ikut bersamamu. Mudahmudahan kau menemui orang yang kau cari. Juga aku
berdoa agar kau dapat bertemu dan bersatu kembali dengan ibu serta kakak
perempuanmu. Kita berpisah di sini sahabat. Jika umur panjang pasti kita dapat
bertemu lagi….” Pandu berdiri, memegang bahu Wiro, melafatkan kata-kata dalam
bahasa Arab yang tidak dimengerti murid Sinto Gendeng itu. Ketika Pandu
mengucapkan kata “Assalaamualaikum” Wiro menjawab sambil tertawa geli “Waalaiku
salam….”
“Kenapa kau tertawa Wiro?”
bertanya Pandu.
“Seingatku, seumur hidup baru
sekali ini aku mengucapkan salam seperti tadi. Soalnya aku bukan orang santri
sepertimu!” Wiro mengangkat tangannya ke kening lalu dua sahabat itupun
berpisah. Pandu meneruskan perjalanan menuju ke timur. Tepat katika matahari
terbenam memasuki sebuah kampung. Ada keanehan dilihatnya. Meski saat itu hari
masih terang dan malam belum lagi datang tapi seluruh pintu dan jendela rumah
penduduk berada dalam keadaan tertutup. Namun mata dan perasaan Pandu yang
tajam membuat dia mengetahui bahwa dari balik celah jendela atau mengintip
gerak geriknya. Pemuda itu terus melangkah. Dia sama sekali tidak berniat
menginap di kampung itu. Pada saat dia hendak melintas sebuah jembatan bambu
yang melintang di atas kali kecil, tiba-tiba dari balik rerumpunan pohon bambu
berkelebat hampir selusin orang sambil menghunus berbagai macam senjata. Ada
yang membawa pentungan besi berujung runcing seperti tombak, ada uang mencekal
golok atau kelewang, banyak pula yang menggenggam keris. Di saat yang sama di
seberang jembatan kecil muncul tiga sosok tubuh berpakaian hiram. Gerakan
ketiga orang ini gesit sekali dana sebelum dua belas orang yang tadi keluar
dari balik pohon bambu mencapai dapan jembatan, tiga orang di sebelah sana
telah lebih dahulu melesat melintas jembatan dan menghadang rombongan orang
yang lebih banyak. Pandu tidak dapat melihat wajah dua belas lelaki yang
membelakanginya namun dia dapat melihat jelas tampang tiga orang berpakaian hitam
di seberang sana. Rata-rata mereka memiliki rambut gondrong awut-awutan. Wajah
mereka tidak satupun yang semenggan dan rata-rata membersitkan kekejaman. Salah
seorang dari ketiganya, yang berada paling depan, usap-usap dagunya yang penuh
dirambasi jenggot liar dan satu tangan lainnya berkacak pinggang.
“Jadi benar-benar kalian
berani menghadang kami! Manusia-manusia tolol! Lebih sayang harta dari nyawa!”
Dari rombungan yang dua belas orang terdengar suara jawaban.
“Harta kami sudah habis kalian
kuras! Memang kini hanya nyawa yang kami punya! Tapi kami tidak takut mati!
Sudah saatnya kalian harus ditumpas!” Lelaki berpakaian hitam yang tegak
bertolak pinggang tertawa gelak-gelak. Dia berpaling pada kedua kawannya lalu
berkata
“Kalian dengar ucapan anjing
buduk tolol ini!”
“Dia yang akan kubunuh pertama
sekali!”
“Kalau begitu kau bunuhlah dia
Jombang!” Lelaki bernama Jombang langsung melompat ke depan. Dengan
mengandalkan tangan kosong dia menghantamkan tinjunya ke kepala sasarannya.
Tapi serangannya disambut dengan tebasan golok.
“Heyyaa….!” Jombang putar
kedua kakinya. Tubuhnya miring ke kiri. Sambaran golok lewat, serentak dengan
itu tinju kanannya meluncur ke depan! Buukk! Orang yang memegang golok
terpental beberapa langkah. Tubuhnya terlipat. Kepalanya yang terhuyung ke
depan langsung disambut dengan tendangan oleh Jombang. Praak! Korban pertama
jatuh, meregang nyawa denagn kening rengkah. Sebelas kawannya berteriak marah
lalu serempak menyerbu. Sebelas macam senjata berserabutan ke arah tubuh Jombang.
Orang ini ganda tertawa. Sekali dia berkelebat dua sosok tubuh terpelanting,
dua bilah senjata tajam terpental lepas. Melihat Jombang mulai mengamuk, dua
kawannya jadi ikut terangsang. Maka tiga lelaki berpakaian hitam itu
seolah-olah tiga ekor harimau yang mempermainkan kucing-kucing tidak berdaya!
Ini hanya bisa terjadi karena ketiganya memang memiliki ilmu silat yang tinggi.
Satu demi satu korban jatuh susul menyusul. Ada yang langsung menemui ajal,
banyak yang cidera parah! Jerit maut, erang kesakitan bergabung jadi satu di
saat malam mulai turun itu! Ketika hanya tinggal empat orang saja lagi yang
masih sanggup menghadapi amukan tiga manusia berpakaian serba hitam itu, Pandu
murid Datuk Perpatih Alam Sati dari puncak Merapi melompat menghadang seraya
berseru
“Tahan!” Tiga orang berpakaian
hitam langsung terdorong. Sesaat ketiganya setengah tertegun namun mata
masing-masing membeliak besar dan tampang menunjukkan kemarahan. Mereka melihat
seorang pemuda berambut putih panjang sampai ke bahu berdiri di hadapan mereka
sementara empat orang yang berada di belakang Pandu tampak terheran-heran
melihat munculnya seorang penolong yang tidak dikenal.
“Monyet berambut putih dari
mana yang berani mencampuri urusan orang!”
“Hemm…. Dia pasti salah
seorang dari penduduk kampung yang ikut berkomplot melawan kita!”
“Kalau begitu mari kita siangi
tubuhnya!” Tiga lelaki berpakaian hitam sama-sama menyerang sembil berteriak
garang. Namun untuk kedua kalinya mereka terpental beberapa langkah. Ketika
yang dua hendak menyerang lagi, kawannya yang bernama Dardiri cepat memberi
isyarat. Lalu dia maju ke hadapan Pandu.
“Monyet berambut putih! Siapa
kau sebenarnya?!”
“Katakan dulu siapa kalian
bertiga adanya! Mengapa menurunkan tangan jahat terhadap orangorang kampung yang
tidak berdaya?!”
“Hooo….! Jadi monyet ini belum
tahu siapa kita adanya!” ujar Dardiri sambil usap-usap dadanya yang berbulu dan
tidak tertutup pakaian.
“Jembel tolol sepertimu tidak
layak menanyai kami! Kalau masih penasaran biar roh busukmu saja nenti yang
gentayangan bertanya-tanya!” Habis berkata begitu Dardiri lalu kirimkan satu
jotosan ke dada si pemuda. Pandu gerakkan kepalanya sedikit. Wuutt! Rambut
putih yang panjang berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Dardiri yang barusan
melancarkan pukulan terjirat pada pergelangannya! Orang ini menjerit bukan saja
karena terkejut tapi juga disebabkan rambut itu tidak bedanya seperti jiratan
kawat!
“Kurang ajar berani
mempermainkan!” teriak Jomabang. Dia memungut sebatang golok yang tergeletak di
tanah lalu membabat ke arah rambut putih Pandu. Pemuda ini gerakkan kepalanya
sedikit. Craasss! Dardiri menjerit setinggi langit begitu golok yang
dihantamkan kawannya sendiri membabat putus tangan kanannya! Melihat kejadian
ini Jombang dan kawannya yang satu lagi jadi tersentak kaget. Kini baru mereka
menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi. Rasa
sadar ini membuat keduanya menjadi ketakutan setengah mati. Tanpa pikir panjang
mereka balikkan tubuh, siap melarikan diri dengan meninggalkan Dardiri yang
terduduk di tanah sambil tiada hentinya berteriak kesakitan sementara darah
terus memancur dari tangannya yang buntung! Saat itu mendadak udara terasa
dingin luar biasa. Jombang dan kawannya merasakan sekujur tubuh mereka menjadi
kaku saking dinginnya. Sepasang kaki mereka tidak sanggp digerakkan seolah-olah
telah berubah menjadi kayu. Dari mulut mereka terdengar suara berkereketan
akibat rasa dingin luar biasa. Anehnya, empat orang penduduk kampung yang
berada di belakang Pandu tidak merasakan udara dingin itu. Inilah kehebatan
ilmu “tenung salju” yang dilepaskan oleh Pandu untuk membuat Jombang dan
kawannya tidak dapat melarikan diri! Begitu melihat dua orang itu tidak
berdaya, empat penduduk kampung langsung menyerbu. Sebelum Pandu sempat mencegah,
golok dan pentungan besi sudah berkebat. Jombang dan kawannya langusng roboh
mandi darah. Dardiri sudah sejak tadi meregang nyawa kehabisan darah!
“Kalian bertindak kejam!
Mengapa itu kalian lakukan?!” bertanya Pandu
“Mereka jauh lebih kejam dari
kami. Apa yang kami lakukan adalah untuk membalas dendam!” menyahut salah
seorang dari empat penduduk kampung.
“Mereka pantas mampus seperti
ini!” Anak muda, kau saksikan sendiri kawan-kawan kami yang bergeletakan di
tempat ini!”
“itu baru sebagian saja!”
menambahkan yang lain.
“Sebelumnya mereka sudah
berulang kali mendatangi kampung kami, juga kampung-kampung di sekitar sini.
Merampok, membunuh dan menculik anak gadis atau istri penduduk!”
“Siapa ketiga manusia ini
sebenarnya? Perampok-perampok biadab?!” tanya Pandu pula.
“Lebih dari itu! Mereka adalah
anak buah iblis jahanam bergelar Pendekar Bongkok!” Mendengar orang menyebut
nama itu Pandu tersentak kaget.
“Lekas terangkan dimana aku
bisa menemui Pendekar Bongkok!”
“Heh!” Empat penduduk kampung
bersurut ketakutan.
“Apakah kau….kau sahabat
Pendekar Bongkok?” salah seorang bertanya gagap dan ketakutan.
“Aku justru mencarinya untuk
membunuhnya!” jawab Pandu. Bukit Tapal Kuda sesuai namanya berbentuk seperti
ladam kuda, membujur setengah lingkaran dari timur ke barat. Bukit ini jarang
didatangi manusia karena selain gersang juga hanya ditimbuni oleh batu-batu
besar berwarna kecoklatan. Di bagian tangah bukit yaitu bagian yang melekuk
anehnya justru terdapat empat buah bangunan kayu. Tiga agak kecil sedang yang
besar terletak di sebelah tengah. Ketika murid Datuk Perpatih Alam Sati sampai
ke Bukit Tapal Kuda hari masih gelap. Udara dingin menyelimuti tampat itu.
Didalam kegelapan malam menjelang pagi itu Pandu melihat sebuah bangunan aneh
di samping rumah kayu besar. Bangunan ini baratap ijuk. Bentuk bangunan di
bawah atap tidak beda seperti sebuah kerangkeng besar. Tak ada pelita yang
menyala hingga Pandu tidak dapat melihat apa yang berada dalam bengunan. Hanya
sepasang telinganya sayup-sayup mendengar suara orang mengerang lalu suara
seseorang menangis. Sewaktu hari mulai terang-terang tanah, empat bangunan kayu
masih diselimuti kesunyian. Namun dia segera dapat melihat apa yang ada dalam
bangunan berbentuk kerangkeng. Bukan saja membuat ini jadi tercekat tetapi
sekaligus bergetar sekujur tubuhnya dilanda amarah. Jadi benar apa yang
dikatakan penduduk kampung yang ditolongnya itu! Di dalam kerangkeng tampak
terbaring sosok tubuh perempuan muda yang rata-rata tidak terbungkus pakaian
dengan sempurna. Salah seorang diantaranya duduk di sudut kerangkeng sambil
menangis. Kedua matanya tampak bengkak tanda perempuan ini tentu sudah sejak
lama menangis tiada henti. Kain yang melekat di tubuhnya hanya dapat menutupi
auratnya sebatas pinggang ke bawah.
Di sudut kerangkeng yang lain
menggeletak seorang pemuda dalam keadaan sekarat mengerikan. Tubuhnya tanpa
pakaian sama sekali. Erangan pemuda inilah yang didengar Pandu sejak malam
tadi. Pandu beringsut dari balik pohon besar dimana dia berlindung. Tiba-tiba
pintu bangunan kayu di sebelah kiri terbuka. Seorang lelaki berbadan tinggi
besar, hanya mengenakan sehelai celana panjang hitam melangkah ke luar
terhuyung-huyung. Di tangan kanannya tampak sebuah kendi kecil. Setiap kali dia
berhenti melangkah dia mendekatkan bibir kendi ke mulutnya lalu meneguk minuman
keras yang ada dalam kendi itu. Kemudian dia melangkah kembali, menuju
kerangkeng besar. Di depan pintu kerangkeng orang ini campakkan kendi yang
telah kosong. Matanya memandang menjelajah ke dalam kerangkeng. Lalu dia
mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk kunci. Dengan benda ini dia membuka
pintu kerangkeng yang diikat dengan rantai besi dan dihubungkan dengan sebuah
kura-kura besi. Pintu kerangkeng terbuka. Si tinggi masuk ke dalam. Sesaat dia
tegak di hadapan pemuda yang mengerang sekarat.
“Huh! Belum mampus juga
keparat ini!” Dia menyeka mulutnya, komat kamit sebentar lalu kembali
menyambung ucapannya tadi, “Hiduppun kau tidak bakalan. Biar kubantu lebih
cepat menghadap malaikat maut! Matilah manusia yang berani manggagahi perempuan
milik pimpinan!” orang itu tendangkan kaki kanannya ke kepala si pemuda.
Terdengar suara gebukan
mengerikan. Suara erangan lenyap. Pemuda itu mati sudah dengan kepala pecah. Si
pembunuh lalu tertawa mengekeh. Puas tertawa dia melangkah mendekati perempuan
muda yang duduk menangis sementara enam orang perempuan lain yang ada di dalam
kerangkeng saat itu sudah tersentak sama-sama mendekam ke sudut kiri
kerangkeng. Diantara semua perempuan yang ada dalam kerangkeng memang yang
menangislah yang paling cantik dan bagus bentuk tubuhnya. Lelaki bercelana
panjang hitam begitu sampai di hadapan perempuan muda ini langsung tanggalkan
celananya. Perempuan yang menangis kini menjerit. Dia melompat bangkit
ketakutan tetapi orang di hadapannya langsung merangkul dan merebahkan tubuhnya
ke atas lantai kerangkeng yang tertutup jerami.
“Manusia biadab! Begini
rupanya kerjaan kalian setiap hari! Merampok, menculik dan memperkosa!” Pandu
merutuk dalam hati. Dua kali lompatan saja dia sudah berada dalam kerangkeng
besar. Lalaki yang hendak menggagahi perempuan muda itu tiba-tiba merasakan
tubuhnya menggigil kedinginan. Gigi-giginya sampai bergemeletukan.
“Gila!” makinya.
“Mengapa udara tiba-tiba jadi
dingin begini rupa!” Dia memandang berkeliling dan pandangannya membentur sosok
tubuh Pandu!
“Bangsat! Siapa kau!” dia
menghardik.
“Aku malaikat maut yang kau
sebut-sebut tadi!” sahut si pemuda. Tangan kanannya memukul ke depan.
Yang dipukul coba tangkis tapi
langsung menjerit ketika bentrokan lengan itu membuat tangan kanannya patah!
“Haram jadah! Kowe minta
mampus!” teriak si tangan patah. Dengan tangan kirinya dia berusaha mencekik
Pandu. Namun murid Dauk Perpatih telah lebih dulu menghantam selangkangan orang
ini dengan tendangan kaki kiri. Untuk kedua kalinya orang itu menjerit. Tubhnya
terpental ke sudut kerangkeng dimana enam orang perempuan saling berdekapan
ketakutan. Mereka tentu saja sama-sama menjerit ketika tubuh yang telanjang
dengan selangkangan hancur itu jatuh di tengahtengah mereka! Suara jeritan
hiruk pikuk itu membuat para penghuni empat bangunan kayu terbangun dari tidur
masing-masing. Ternyata mereka semuanya adalah orang laki-laki yang berpakaian
serba hitam. Mereka berhamburan keluar dari bangunan dan langsung lari ke arah
kerangkeng! Semuanya berjumlah hampir dua lusin. Sesaat mereka tertegun melihat
pemuda berpakaian serba putih dan berambut panjang putih yang tidak dikenal
itu.
“Bangsat dari mana yang berani
menyelinap masuk ke markas Pendekar Bungkuk!” salah seorang dari mereka
membentak.
“Ah, ternyata aku tidak datang
ke tempat yang tidak salah! Jadi ini rupanya sarang Pendekar Bungkuk! Mana tua
bangka keparat itu!”
“Haram jadah! Berani memaki
pimpinan kami!”
“Dia pasti telah membunuh
Ggaimo!” seorang lain berteriak. Gaimo adalah nama lelaki yang tadi hendak
memperkosa.
“Kalau begitu mari kita
cincang dia sampai lumat!” Terdengar suara senjata tajam dicabut dari
sarungnya. Banyak sekali. Ternyata dua lusin orang rata-rata membawa sebilah
golok! Namun mereka berdiri dengan tubuh seperti menggigil. Udara pada
peralihan malam memasuki pagi itu terasa dingin luar biasa! Inilah kehebatan
murid Datuk Perpatih Alam Sati. Tubuhnya dapat menebar hawa sakti yang
diserapnya selama delapan belas tahun di puncak gunung Merapi!
“Kalian semua dengar
baikbaik!” Pandu berseru.
“Aku kemari bukan untuk
mencari kalian tapi mencari pemimpin kalian! Lekas suruh Pendekar Bungkuk
keluar!” Beberapa orang tertawa mengejek.
“Lagakmu hebat amat rambut
putih!”
“Siapa kau sebenarnya?!”
“Ada keperluan apa mencari
pemimpin kami?!” Aku Pandu dari pulau Andalas! Pemimpin kalian membunuh ayahku
delapan belas tahun lalu. Aku datang untuk menagih hutang nyawa itu!”
“Ah! Bapakmu mampus di tangan
pemimpin kami rupanya! Dan kau juga minta mampus….” Baru saja orang itu berkata
begitu, kepala Pandu tampak bergerak.
Rambutnya yang putih panjang
menderu. Terdengar jeritan lelaki yang tadi bicara. Dia tampak
terbungkuk-bungkuk sambil pegangi mulutnya yang mengucurkan darah! Mulut itu
laksana dipotong pisau, robek dari pipi kiri sampai pipi kanan! Dan tiba-tiba
tangan kirinya telah mencekik tenggorokan lelaki yang berada dekat pintu
kerangkeng.
“Agamaku melarang manusia
membunuh sesama manusia! Tapi manusia-manusia semacam kalina tidak masuk hitungan!”
Kraak! Terdengar suara tulang leher patah. Lidah mencelat, mata melotot. Ketika
Pandu melepaskan cekikannya, tubuh tak bernafas itu langsung roboh ke lantai
kerangkeng.
“Masih tidak ada yang mau
memberi tahu?!”
Empat belas orang yang ada di
tempat itu tiba-tiba sama balikkan tubuh lalu menghambur lari. Namun dua
diantara mereka sempat dicekal oleh Pandu. Tangan keduanya dilipat ke belakang
lalu disentakkan keras-keras hingga mereka menjerit kesakitan setengah mati.
“Jika kalian mau memberi
keterangan, kalian akan selamat….” Pandu sentakkan lagi cekalannya hingga untuk
kedua kalinya kedua orang itu terpekik kesakitan. Pemuda ini tidak hanya sampai
disitu. Tangan orang yang di sebelah kanan dipuntirnya kuat-kuat hingga tanggal
persendian bahunya.
“Kau boleh pergi!” kata Pandu
lalu mendorong orang itu kuat-kuat ke depan.
Yang didorong terbanting dan
terguling di tanah. Masih menjerit-jerit kesakitan dia melarikan diri mencari
selamat. Tinggal kini yang seorang. Yang satu ini benar-benar sudah meleleh
nyalinya. Mukanya sepucat kertas. Sebelum Pandu melakukan sesuatu dia sudah
buru-buru membuka mulut.
“Ampun, jangan siksa! Jangan
bunuh diriku! Aku akan katakan dimana pemimpin kami Pendekar Bungkuk berada!”
Sebelum meninggalkan sarang Pendekar Bungkuk Pandu memeriksa seluruh bangunan
kayu yang ada di kaki bukit Tapal Kuda. Apa yang dilihat pemuda ini sungguh
luar biasa menusuk mata dan perasaan. Di setiap bangunan ditemuinya banyak
perempuan-perempuan muda. Wajah mereka Pucat. Mungkin karena ketakutan tetapi
mungkin juga karena terlalu lama disekap dalam bangunan itu.
Di rumah kayu paling besar,
dalam sebuah kamar yang sangat bagus, Pandu menemui seorang gadis paling tinggi
berusia enam belas tahun menggeletak di atas ranjang. Tangan dan kakinya
terikat ke tiang ranjang. Gadis ini berada dalam keadaan pingsan dan auratnya
sama sekali tidak tertutup barang selembar benangpun! Dimana-mana dalam kamar
itu bertaburan barang-barang berharga seperti perhiasan terbuat dari perak dan
banyak pula yang dari emas serta bertahtakan batu-batu permata. Pandu tendangi
barang-barang yang ada di lantai lalu melangkah menghampiri ranjang. Secarik
kain jendela ditariknya lalu menutupkannya ke tubuh si gadis di atas ranjang.
Satu demi satu kemudian ikatan pada kaki dan tangan gadis itu dilepaskannya.
Saat itu diluar kamar banyak orang-orang perempuan bergerombol. Salah seorang
diantara mereka langsung menerobos masuk dan memeluk tubuh si gadis seraya
menangis
“Adikku…. Adikku….” Dia
menyangka gadis itu sudah mati.
Pandu pegang bahunya seraya
berkata “Tak usah khawatir. Dia hanya pingsan. Saat itu juga gadis itu siuman
dan membuka kedua matanya. Karena risih berada dalam kamar yang dipenuhi
perempuan dan rata-rata tidak berpakaian sebagaimana wajarnya pemuda ini segera
meninggalkan kamar itu.
“Siapa orang yang menolong
adikku itu….?” bertanya perempuan yang tadi menangis disela isaknya. Tentu saja
tidak ada yang bisa menjawab.
Namun salah seorang berkata
“Dia pasti malaikat yang dikirimkan Gusti Allah untuk menolong kita…” Ucapan
itu serta merta tersebar dan semua perempuan yang berada disitu benar-benar
percaya bahwa Pandu adalah Malaikat!. Di halaman rumah besar Pandu mengumpulkan
semua perempuan setelah lebih dulu menyuruh mereka mencari pakaian atau apa
saja utnuk dapat menutupi tubuh masing-masing.
“Hari ini kalian semua bebas
dari cengkeraman Pendekar Bungkuk dan anak buahnya!” Pandu berkata dengan suara
lantang.
“Semua harta yang ada di
tempat ini boleh kalian ambil dan bagi-bagi. Setelah itu kalian boleh kembali
ke kampung atau ke desa masing-masing!” Tak ada yang menjawab. Tak ada yang
bersuara. Semua perempuan itu seperti tidak percaya akan apa yang mereka
dengar. Selama berbulan-bulan mereka telah disekap, dijadikan budak nafsu oleh
Pendekar Bungkuk dan komplotannya. Seharusnya mereka bergembira menerima
kenyataan itu. Bahkan merasa seperti tidak memilki lagi harga diri dan masa
depan. Mereka masih tertegun setelah Pandu meninggalkan tempat itu dan
tersentak kaget ketika satu bentakan keras merobek kesunyian di awal pagi itu.
“Kurang ajar! Apa yang terjadi
di sini!”
“Celaka! Anak angkat Pendekar
Bungkuk datang….!” Seseorang berseru. Dan kelompok perempuan-perempuan muda
yang berjumlah sekitar dua puluh enam orang itu serta merta bubar. Banyak yang
segera melarikan diri.
“Siapa yang berani lari akan
kubunuh!” teriak orang yang barusan datang. Dia adalah seorang pemuda bertubuh
tegap, bermuka buruk dan memelihara cambang bawuk yang meliar menutupi seantero
wajahnya. Di lehernya tergantung sebuah kalung berupa tulang tangan kanan
manusia sungguhan! Seperti yang diucapkan tadi pemuda ini memang adalah anak
angkat Pendekar Bungkuk. Bernama Jaroantunda. Kekejamannya melebihi Pendekar
Bungkuk dan kebiadabannya terhadap perempuan melebihi ayah angkatnya.
“Hemm…. Jadi tak ada yang mau
membuka mulut memberi jawaban eh….” Jaroantunda usa-usap janggut liarnya.
Matanya memandang berkeliling. Bukan saja memperhatikan perempuan-perempuan
muda yang tegak ketakutan itu, tapi sekaligus menyaksikan belasan mayat yang
tergelimpang di halaman bangunan.
“Kau!” tiba-tiba Jaroantunda
berteriak seraya menunjuk pada seorang perempuan yang tegak di depannya.
Perempuan itu menggigil ketakutan.
“Maju ke hadapanku!” Meski
takut perempuan itu melangkah juga ke hadapan Jaroantunda. Begitu sampai di
depannya si pemuda langsung meremas keras-keras dadanya sebelah kiri hingga
perempuan itu menjerit kesakitan.
“Jika kau tidak mau mengatakan
apa yang terjadi akan kusaya-sayat payudaramu! Juga yang lain-lainnya!”
“ka…kami tidak mengetahui apa
yang terjadi. Waktu itu masih pagi dan kami semua masih di dalam. Kami….kami
hanya menemui seorang malaikat….”
“Malaikat?!” teriak
Jaroantunda dengan mata membeliak.
“Jangan bicara ngacok padaku!”
Dan plaak! Jaroantunda tampar muka orang hingga perempuan itu melintir dan
jatuh kesakitan. Ketika dia hendak menjambak rambut perempuan yang jatuh,
sebuah benda melesat di udara dan menghantam sambungan sikunya. Pemuda itu
terpekik. Ketika diperiksa sambungan siku tangan kanannya ternyata sudah lepas
dan tangannya kini terkulai-kulai. Selagi pemuda itu menanggung rasa sakit yang
bukan alang kepalang terdengar suara tertawa mengejek.
“Kenapa tanganmu monyet
berewok? Kasihan, kau tentu tak dapat lagi meremas payudara”
“Setan alas!” maki
Jaroantunda. Memandang ke depan dia melihat seorang pemuda tak dikenal.
Berpakaian putih, berambut gondrong, tegak sambil menyeringai.
“Siapa kau?! Pasti kau yang
melemparku tadi!”
“Aku sahabat malaikat yang
pagi buta tadi mengamuk di markasmu ini! Dan memang aku yang barusan melemparmu!
Bukankah tidak pantas menganiaya perempuan lemah…?!”
“Biar kubeset mulut besar
kurang ajarmu!” teriak Jaroantunda marah sekali. Dengan tangan kirinya
dihunusnya sebilah pedang pendek dari balik punggungnya. Karena dia memang
seorang kidal maka begitu pedang dikiblatkan, bertaburlah serangan ganas berupa
babatan dari kiri ke kanan disusul dengan tusukan ke arah perut! Orang yang
diserang mundur sambil terus cengar cengir, membuat Jaroantunda semakin marah
sementara perempuan-perempuan yang sebelumnya ketakutan dengan munculnya anak
angkat Pendekar Bungkuk itun kini menjadi lega. Namun dapatkah pemuda gondrong
tak dikenal yang sikapnya seperti bermain-main ini mampu menghadapi Jaroantunda
yang dikenal memiliki ilmu pedang tingkat tinggi yang ganas?
“Lihat pedang!” tiba-tiba si
gondrong berseru. Begitu seruan berakhir tangannya menyusup di bawah sambaran
pedang, dilain kejap pasti dia berhasil merampas atau memukul pedang di tangan
lawannya. Tapi Jaroantunda memang memiliki kepandaian mengagumkan. Hanya dengan
memutar pergelangan tangan kirinya, pedang dalam genggamannya membalik deras
dari kanan ke kiri. Si gondrong terkesiap kaget, keluarkan seruan tertahan dan
melompat mundur. Breet….! Walaupun sudah melompat tetap saja ujung pedang
sempat menyambar robek dada pakaian putihnya. Dan bukan itu saja, ada bagian
kulit dadanya yang ikut tersayat! Si gondrong kertakkan rahang, hampir tak
percaya kalau lawan yang dalam keadaan cidera itu sanggup melukainya!
“Edan!” maki si gondrong lalu
cepat usap dadanya yang baret dengan tangan kiri. Jaroantunda tertawa bergelak.
“Sebentar lagi ususmu akan
membusai!” katanya sambil putar-putar pedang pendeknya. Lalu dia membuat
gerakan aneh. Seperti hendak membalik pergi namun tahu-tahu kembali berbalik.
Sambil meloncat pedangnya membabat dari atas ke bawah. Jika serangan ini
berhasil pastilah tubuh pemuda gondrong itu akan terbelah dua. Hanya saja
sekali ini si gondrong tidak lagi bisa diperlakukan seenaknya. Sambil bersuit
nyaring pemuda ini berkelebat ke kiri, lalu ke kanan, ke kiri lagi dan kembali
ke kanan. Jaroantunda penuh nafsu memburu dengan pedangnya. Tapi setiap
sambaran, tebasan ataupun tusukan yang dilakukannya hanya mengenai tempat
kosong. Sementara itu setiap satu gerakan menyerang dibuatnya setiap itu pula
dirasakannya ada orang yang menjambret robek pakaiannya. Mula-mula bajunya,
lalu celananya. Pada akhirnya anak angkat Pendekar Bungkuk ini hanya mengenakan
celana kolor saja. Itupun sudah robek-robek pula hingga auratnya yang terlarang
tersingkap. Meski menyadari keadaan dirinya yang hampir telanjang namun
Jaroantunda tidak menghentikan serangannya. Amarahnya semakin menjadi-jadi,
apalagi didengarnya orang-orang perempuan yang ada di situ mulai
berteriakteriak mengejek dan mencaci makinya.
“Telanjangi terus!”
“Potong anunya!”
“Pateni saja cepat-cepat!”
Semakin mendidih amarah Jaroantunda, semakin ganas serangan pedangnya. Namun
itu tak berlangsung lama. Napasnya mulai menyengal. Tangan kirinya mulai terasa
kaku dan pegangannya pada gagang pedang menjadi licin oleh keringat sementara
tangan kanannya yang cidera parah bertambah-tambah sakitnya.
Ketika satu tendangan melanda
pinggulnya, pemuda ini langsung roboh. Saat itulah orang-orang perempuan yang
pernah disiksa dan diperkosanya datang menyerbu. Mereka memukuli tubuh anak
angkat Pendekar Bungkuk itu dengan tangan kosong, dengan batu, dengan kayu atau
benda apa saja yang bisa mereka dapat. Pemuda gondrong yang tadi menjadi lawan
Jaroantunda hanya bisa menyaksikan sambil garuk-garuk kepala. Akhirnya dia
berseru
“Sudah! Sudah! Manusia itu
sudah mampus….! Teriakan itu membuat perempuan-perempuan yang seperti kesetanan
karena dendam tersadar lalu campakkan benda yang mereka pakai untuk memukul.
“Saudara berambut gondrong,
siapa kau ini dan bagaimana bisa muncul di tempat ini….?” Salah seorang dari
perempuan-perempuan yang ada di situ bertanya. Yang ditanya menatapi
wajah-wajah pucat dan tubuh-tubuh yang rata-rata tidak tertutup sewajarnya itu.
Kalau saja bukan di tempat itu, pemandangan asyik seperti itu tentu tak akan
ditemui seumur hidupnya.
“Siapa aku tidak penting.
Kalau kalian kecewa, sebut saja aku kawan lelaki berambut putih yang kalian
anggap malaikat itu……”
“Tapi kau bukan malaikat!” Si
gondrong tertawa geli.
“Tentu saja aku bukan
malaikat! Mana ada malaikat gondrong dan jelek sepertiku ini!” Habis berkata
begitu pemuda ini yang bukan lain adalah Wiro Sableng adanya lantas membalikkan
diri.
Di belakang terdengar
perempuan-perempuan itu tertawa mendengar ucapannya tadi. Wiro berlari ke
jurusan timur. Sebetulnya dia sampai di tempat itu sesaat setelah Pandu
mendapat jawaban dari anak buah Pendekar Bungkuk, memberitahu dimana
pemimpinnya berada. Karena wiro cukup kenal dengan daerah yang dikatakan maka
dia dapat mengambil jalan memintas yang kelak membuatnya sampai lebih dulu dari
Pandu. Telaga itu terletak di kawasan lembah yang sangat sunyi. Saking
sunyinya, riak air telaga yang tertiup angin sedikit saja dapat terdengar
jelas.
Pohon-pohon tinggi dengan
dedaunan beraneka warna membuat air telaga seperti berwana-warni. Di tengah
telaga tampak sebuah pondok bambu terapung-apung dalam kesunyian. Pintu dan
jendelanya tertutup. Tak ada jembatan atau perahu penyebrang di sekitar situ.
Lalu bagaimana penghuni telaga pergi dan datang ke pondok bambu? Di sebelah
telaga, pada cabang sebatang pohon, mendekam sesosok tubuh. Kerimbunan daun
pohon membuat sulit bagi siapa saja untuk dapat melihat orang itu dari jurusan
manapun juga. Sosok tubuh ini seperti tengah duduk berjuntai. Tapi sebenarnya
potongan tubuhnya yang seperti huruf L terbalik itulah yang membuat dia
kelihatan seolah-olah duduk berjuntai. Orang di atas pohon ini bukan lain
adalah Pendekar Bungkuk, yang sejak beberapa belas tahun silam bukan saja
mendalami ilmu silat dan kesaktiannya, tetapi juga telah membentuk sebuah
gerombolan ganas, merampok, membunuh dan menculik dengan markas di bukit Tapal
Kuda.
Saat itu Pendekar Bungkuk
tengaah memata-matai rumah kayu di tengah telaga yang diketahuinya adalah
tempat kediaman nenek sakti berjuluk Pisau Maut Tanpa Bayangan, musuh besar
dengan siapa dia mendekam dendam besar sejak delapan belas tahun silam. Wajah
tua Pendekar Bungkuk tampak sangat seram karena adanya sebelah pisau hitam
bergagang putih menancap di mata kirinya. Pisau inilah yang ditancapkan Pisau Maut
Tanpa Bayangan delapan belas tahun silam sewaktu terjadi perkelahian ketika
mereka memperebutkan Pandu yang waktu itu masih seorang bayi berusia beberapa
bulan. Pisau di mata kiri Pendekar Bungkuk kini diselimuti karat mulai dari
bagiannya yang tajam sampai ke gagang.
“Sialan! Dua hari lebih aku
mengunggu di sini, bangsat tua itu masih belum muncul! Kalau sampai siang nanti
dia tidak kembali, akan kubakar saja rumahnya itu!” Begitu Pendekar Bungkuk
mengomel dan mengancam. Tiba-tiba dari arah bawah pohon dia mendengar suara
menggeresek. Pendekar Bungkuk cepat meneliti dengan matanya yang tinggal satu.
Di bawah pohon, di antara semak belukar dan tanaman-tanaman pendek dilihatnya
seseorang berpakaian serba hitam, melangkah mengendapendap menuju telaga. Pendekar
Bungkuk segera mengenali orang itu, bukan lain adalah salah seorang anak
buahnya. Rahangnya menggembung tanda marah. Sekali dia menggenjotkan kaki,
tubuhnya melayang ke bawah.
“Bangsat! Apa yang kau lakukan
di sini?!” bentak Pendekar Bungkuk membuat yang dibentak kaget setengah mati.
Tapi begitu mengetahui siapa yang membentak orang ini segera jatuhkan diri dan
berkata
“Pemimpin….. Celaka…..”
“Keparat! Apa yang celaka!”
Pendekar Bungkuk jambak rambut anak buahnya.
“Markas kita….. Markas kita
diserbu malaikat berambut putih….”
“Haram jadah! Apa yang kau
ucapkan ini!” Plak! Plak! Dua tamparan dilayangkan Pendekar Bungkuk ke muka
anak buahnya.
“Bicara yang jelas. Katakan
mengapa kau datang menyusulku kemari! Apa yang terjadi di markas kita?!”
Sambil pegangi mukanya yang
masih sangat sakit akibat tamparan, si anak buah menceritakan apa yang terjadi
di markas di bukit Tapal Kuda tiga hari lalu.
“Belasan kawan-kawan menemui
kematian! Yang lainnya melarikan diri entah kemana. Yang datang itu jelas bukan
manusia. Saya mendengar sendiri orang-orang perempuan yang dibebaskan
menyebutnya sebagai malaikat. Tubuh dan rambutnya mengeluarkan hawa sedingin
salju!”
“Manusia tolol!” kata Pendekar
Bungkuk hampir berteriak saking marahnya.
“Mana ada malaikat turun ke
bumi masa ini! Kau lekas kembali ke markas. Aku segera datang setelah urusanku
di sini selesai! Pergi!”
Tanpa berani menolak anak buah
Pendekar Bungkuk mengiyakan perintah pemimpinnya lalu tinggalkan tempat itu.
Tapi dia tidak pernah kembali ke Bukti Tapal Kuda.
Pendekar Bungkuk kembali naik
ke atas pohon. Ketika matahari mulai menggelincir ke arah barat, habislah
kesabaran orang ini. Dikumpulkannya daun-daun kering lalu membuntalnya
membentuk sebuah bola sebesar buah kelapa. Dinyalakannya api dan dibakarnya
bola daun itu.
Begitu api membakar bola daun,
bola itu dilemparkannya ke arah telaga, tepat jatuh di atas atap pondok bambu.
Dalam waktu singkat atap itu segera dikobari api. Akhirnya bangunan bambu di
tengah telaga itu lenyap, berubah menjadi reruntuhan hitam yang perlahan-lahan
tenggelam ke dalam telaga.
“Mampuslah!” ujar Pendekar
Bungkuk sambil usap-usap tangannya satu sama lain tanda puas.
Tiba-tiba dari balik kerapatan
pepohonan di sebelah selatan telaga muncul seorang berpakaian serba biru sambil
memegang lengan seorang perempuan separuh baya. Si baju biru ternyata adalah
seorang gadis berwajah jelita sedang yang dipegangnya adalah ibunya sendiri.
Begitu mereka sampai di tepi telaga, keduanya sama terkejut ketika menyaksikan
pondok di tengah telaga kini telah berubah menjadi reruntuhan hitam yang masih
mengepulkan asap.
“Ranti anakku, apa yang
terjadi!” sang ibu berseru.
“Ada yang membakar pondok
guru….” Jawab sang dara.
“Ibu tunggu di sini, biar saya
menyelidik!”
Dara berbaju biru itu mendekati
sebatang pohon kecil. Tangan kanannya bergerak. Kraak!.
Batang pohon sebesar paha itu
patah. Patahan pohon dilemparkannya ke tepi telaga lalu dia melompat ke atas
batang patah dengan hanya kaki kanannya saja yang menginjak batang sementara
kaki kirinya dicelupkan ke dalam air lalu digoyangkan seperti orang mendayung
perahu! Batang kayu meluncur cepat ke tengah telaga!
Di atas pohon Pendekar Bungkuk
sempat leletkan lidah. Bukan saja karena kagum melihat kehebatan ilmu
meringankan tubuh si baju biru itu, melainkan juga karena kecantikan wajahnya.
Nafsu bejatnya langsung membakar darah. Sambil menduga-duga siapa adanya gadis
itu, Pendekar Bungkuk turun dari atas pohon, tepat di saat mana sang dara juga
kembali ke tepi telaga menemui ibunya.
“Tak ada tanda-tanda guru
berada di sana. Agaknya beliau memang belum kembali. Siapa yang sejahat itu
membakar tempat kediaman beliau?!”
“Apa yang kita akan lakukan
sekarang?” bertanya si ibu.
“Kita tidak memiliki rumah
tinggal lagi….”
“Itulah yang tengah saya pikirkan,
bu,” jawab si gadis.
“Kita harus waspada. Ingat
pesan gurumu Ranti. Musuh besar yang pernah diceritakannya itu bisa muncul
setiap saat di tempat ini…..”
Baru saja ibu si gadis berkata
begitu, semak belukar di samping kanan mereka tersibak, menyusul terdengar
suara tawa mengekeh. Lalu muncullah tubuh bungkuk seperti kursi terbalik. Bukan
saja kemunculan yang mendadak itu yang membuat ibu serta anak terkejut, tapi
potongan tubuh Pendekar Bungkuk di tambah pisau yang menancap di mata kirinya
membuat Ranti bersama ibunya tersurut dan tercekat ngeri.
“Pendekar Bungkuk…..” desis
Ranti. Meski belum pernah bertemu tapi dari ciri-ciri manusia itu si gadis
segera dapat menerka siapa adanya orang tua di hadapan mereka.
“Hah! Kau tahu diriku!” si
bungkuk berkata datar dan diam-diam sembunyikan keterkejutannya.
“Pasti ada seseorang yang
telah menceritakan diriku padamu! Katakan siapa orangnya!”
“Jangan beritahu!” berbisik
ibu Ranti. Tapi sang dara merasa tidak ada yang perlu disembunyikan. Maka dia
lalu menjawab
“Guruku yang memberi tahu
ciri-cirimu. Dan beliau adalah nenek sakti berjuluk Pisau Maut Tanpa Bayangan!”
Mendengar jawaban itu Pendekar Bungkuk mendengus.
“Aku memang mencari perempuan
sundal itu. Ternyata tidak datang di tempat yang salah! Lekas katakan dimana
gurumu!”
“Babi tua! Mulutmu kotor
amat!” memaki Ranti. Dia jadi marah karena si bungkuk menyebut nama gurunya
dengan kotor.
“Apa perlumu mencari guruku?!”
“Delapan belas tahun yang lalu
dia melakukan kesalahan besar! Menghinaku dengan menancapkan pisau celaka ini
ke mataku! Hari ini aku datang untuk menagih hutang piutang lama itu!” Ranti
tertawa mengejek.
“Kalau delapan belas tahun
lalu saja kau sudah dipecundangi dan diberi hadiah pisau di mata kirimu,
betul-betul tolol saat ini kau berani unjukkan tampang dan mencari furu! Atau
mungkin kau sudah memiliki bekal tambahan ilmu? Jangan-jangan kau bakal dapat
tambahan satu pisau lagi di mata kananmu!” Pendekar Bungkuk langsung merah
mengelam mukanya mendengar ucapan sang dara.
“Mulutmu sama besar dan
legekmu sama sombongnya dengan nenek keparat itu!”
“Tua bangka bungkuk jelek!
Jika kau terus-terusan bicara kotor, kurobek mulut perotmu!” Pendekar Bungkuk
menyeringai. Semakin marah si gadis dia merasakan semakin berkobar nafsu
kejinya untuk dapat memperkosa.
“Aku memang bungkuk dan
jelek,” katanya.
“Tapi aku pandai bercumbu
rayu. Sekali kau meladeniku, seumur hidup kau akan membuntutiku seperti kerbau
dicucuk hidung! Ha…ha…ha…” Habis berkata begitu Pendekar Bungkuk tanggalkan
bajunya. Kelihatan tuubhnya yang kurus kerempeng. Tulang dada, tulang bahu dan
tulang-tulang iganya bertonjolan. Ketika orang uta ini siap menanggalkan
pakaiannya, ibu si gadis memeberi ingat
“Anakku, lebih baik kita
tinggalkan tampat ini. Iblis itu bermaksud keji terhadapmu!” Tapi Ranti justru
menolak pergi. Sebelum Pendekar Bungkuk meloloskan celananya gadis itu telah
menyerbu dengan melemparkan tiga pisau terbang. Kalau gurunya menyisipkan
pisau-pisaunya di pakaian sebelah luar maka Ranti menyimpan senjatanya di balik
pakaian. Tiga pisau melesat deras. Satu menjurus ke leher, satu ke dada dan
lainnya ke perut. Semula Pendekar Bungkuk menganggap sepele serangan itu. Tapi
melihat daya lesat pisau yang luar biasa disertai suara derunya yang angker,
mau tak mau dia harus selamatkan diri dan batalkan menanggalkan celana. Sejak
dikalahkan Pisau Maut Tanpa Bayangan dulu, selama delapan belas tahun Pendekar
Bungkuk telah mengkhususkan diri mempelajari seluk beluk dan kelemahan pisau
terbang. Karenanya saat itu tidak heran kalau tiga serangan pisau yang ganas
dapat dimusnahkannya. Dengan memiringkan tubuhnya ke kiri, pisau yang mengarah
leher lewat di sampingnya. Dua pisau lainnya dihantam dengan pukulan tangan
kosong hingga mental dan jatuh ke dalam telaga!
“Anak gadis….Kalau ilmu baru
sejengkal jangan berani kurang ajar pada Pendekar Bungkuk! Lebih baik kita main
kurang ajaran di atas ranjang! Ha…ha…ha….!”
“Manusia dajal! Jangan ganggu
anakku! Pergi dari sini!” Mata kanan Pendekar Bungkuk melirik sesaat. Dia
menyeringai.
“Perempuan, melihat pada
usiamu, tubuhmu pasti sudah mulai alot. Tapi melihat wajahmu yang lumayan aku
bersedia membagi kesenangan padamu setelah berpuas-puas dengan anakmu!”
“Iblis laknat!” teriak Ranti.
Kedua tangannya bergerak. Enam pisau menderu. Erangannya itu disusul pula
dengan pukulan tangan kosong mengandung hawa tenaga dalam dahsyat.
“Bagus!” Pendekar Bungkuk
memuji. Tubuhnya melsat ke atas. Ranti menjadi penasaran ketika melihat
setengah lusin pisaunya hanya menembus udara kosong. Maka dia lipat gandakan
pukulan tangan kosong. Namun gadis ini terpekik ketika dari atas lawan balas
dengan dua pukulan tangan kosong pula. Tubuh si gadis bergetar. Ada hawa panas
yang menyelubunginya. Dia coba bertahan. Tapi kedua kakinya goyah. Akhirnya
gadis ini rubuh terguling. Dalam keadaan terguling itu Pendekar Bungkuk yang
melayang turun langsung menindih dan merangkul tubuh si gadis. Keduanya
bergulingan lagi lalu jatuh ke dalam telaga. Pada saat bergulingan dengan cepat
Pendekar Bungkuk pergunakan kesempatan untuk menotok tubuh Ranti. Meskipun
totokannya kurang tepat tapi sudah cukup membuat tangan dan kaki gadis iotu
menjadi kaku! Dalam keadaan tak berdaya seperti itu, Ranti diseret ke tepi
telaga. Di sini Pendekar Bungkuk yang sudah dilamun nafsu bejat, terlebih
melihat pakaian biru si gadis yang basah membuat liku-liku tubuhnya jadi
menonjol, merobek baju Ranti lalu siap menarik celana sang dara. Saat itulah
ibunya berlari mendatangi dan berusaha menendang punggung Pendekar Bungkuk.
Tapi dengan tanpa berpaling Pendekar Bungkuk tangkap kaki yang menendang lalu
mendorong keras-keras. Perempuan itu terpental dan terguling-guling, merintih
kesakitan tak kuasa bangkit.
“Ha…ha…..! Gadis cantik!
Tubuhmu sebelah atas sungguh bagus! Akan kulihat bagian yng lain!” ujar Pendekar
Bungkuk sambil tertawa bejat. Kedua tangannya lalu menarik kaki celana biru si
gadis. Celana itu merosot dengan cepat ke bawah. Namun sebelum merosot lebih
jauh satu bayangan putih berkelebat disusul oleh menyambarnya satu gelombang
angin deras sekali, membuat Pendekar Bungkuk terbanting ke kanan sedang Ranti
terguling jauh ke kiri. Hantaman angin ini bukan saja menyelamatkan Ranti dari
malu besar tapi sekaligus membuyarkan totokan yang menguasai dirinya. Begitu
bebas Ranti segera menghampiri menolong ibunya. Penuh marah Pendekar Bungkuk
,elompat bangun dan memaki.
“Siapa yang minta mampus
berani mengganggu kesenanganku!” Lalu dilihatnya seorang pemuda berambut
gondrong yang tidak dikenalnya, tegak bertolak pinggang sambil menyeringai
seenaknya! Tua bangka bau comberan! Apa tidak tahu kalau sebentar lagi Malaikat
Maut Berambut Salju akan datang menjemput nyawa busukmu?!” Pemuda berambut
gondrong membentak.
“Anjing kurap! Kau yang akan
kubunuh lebih dulu! Katakan siapa kau?!” teriak Pendekar Bungkuk marah sekali.
“Kalau kau ingin bicara
denganku, berpakaianlah yang benar! Auratmu sebelah bawah jauh lebih buruk dari
tampangmu!” Sadar kalau saat itu celananya sudah merosot ke bawah, Pendekar
Bungkuk cepat tarik celananya dan ikatkan tali celana kuat-kuat.
“Nah, itu baru bagus….”
“Memang bagus! Sekarang
bersiaplah untuk menerima mampus!” Pendekar Bungkuk jatuhkan diri, berguling di
tanah lalu lancarkan serangan aneh. Inilah jurus “gelinding maut” yang selama
bertahuntahun diperdalamnya. Pemuda yang diserang yakni bukan lain adalah Wiro
Sableng, cepat melompat untuk menghindar. Tapi hebatnya tubuh orang tua yang
bungkuk itu tiba-tiba ikut melesat ke atas mengikuti arah lompatan Wiro dan
begitu melayang tangan dan kakinya bergerak aneh. Wiro merasakan ada empat alur
angin melabrak tubuhnya dari empat jurusan. Mendadak sontak bandannya terasa
ngilu dan panas. Pendekar ini segera mempertahankan diri dengan lepaskan
pukulan “tameng sakti menerpa hujan”. Kini Pendekar Bungkuk yang jadi kaget.
Empat alur angin sakti serangannya seperti menerjang tembok baja yang tak
mungkin ditembus. Ketika dia lipat gandakan tenaga dalamnya dadanya mendenyut
sakit. Sebelum angin serangannya bergerak membalik ke arah dirinya sendiri,
dengan cepat orang tua ini susupkan diri ke bawah lalu menghantam lagi ke atas!
Wiro berseru keras dan terpaksa jungkir balik di udara untuk dapat mengelakkan
serangan yang datang dari bawah itu. Kedua kakinya masih terasa ngilu ketika
menjejak telaga!
“Anakku, siapa pemuda
berpakaian putih berambut gondrong itu……?” Ibu Ranti berbisik pada anaknya.
“Sayapun tidak kenal. Lagaknya
aneh kalau tidak mau dikatakan konyol……”
“Ibu khawatir dia pun tidak
sanggup menghadapi iblis tua itu. Kita bisacelaka semua…….”
“Jangan kawatir ibu,” jawab
Ranti coba meyakinkan ibunya walau hatinya juga agak kawatir. Di sebelah sana,
di kalangan perkelahian, jengkel dua kali serangannya menemui kegagalan,
Pendekar Bungkuk keluarkan suara menggembor. Kedua tangannya diangkat ke dekat
kepala. Dana tangan itu tampak menjadi ungu serta mengepulkan asap. Ranti dan
ibunya tercekat. Pendekar 212 tegak dan memandang tak berkesip. Diam-diam dia
segera menyiapkan pukulan “sinar matahari” di tangan kanan hingga tangan itu
sampai sebatas siku jadi tampak si putih perak berkilauan. Lagi-lagi hal ini
membuat Pendekar Bungkuk tertegun. Tapi hanya sesaat. Dia yakni yakin, ilmu
apapun yang dimiliki pemuda itu tak bakal sanggup menahan pukulan sakti yang
digodoknya selama delapan belas tahun dan diberi nama “jalur ungu kematian!” Perlahan-lahan
kedua tangan Pendekar Bungkuk naik ke atas. Wiro mengikuti dengan menggerakkan
tangan kanannya. Ketika si orang tua siap menghantam tiba-tiba satu bayangan
melesat. Satu sosok tubuh perempuan tua dengan pakaian penuh disisipi
pisau-pisau kecil bergagang putih tegak di hadapan kiri Pendekar Bungkuk.
Rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas dan wajahnya ada cacat luka
memanjang.
“Pisau Maut Tanpa Bayangan!”
berseru Pendekar Bungkuk tanpa menurunkan kedua tangannya. Matanya yang hanya
satu seperti menyala. Wajahnya membesi tegang.
“Akhirya kau muncul juga!
Ingat penghinaanmu delapan belas tahun lalu?! Hari ini kau harus membayarnya
dengan nyawa busukmu!” Nenek Pisau Maut Tanpa Bayangan tertawa pendek.
Pandangannya tidak lepas dari kedua tangan Pendekar Bungkuk.
“Anjing tua ini rupanya telah
memiliki kepandaian baru yang berbahaya!” membatin si nenek. Lalu dia berkata
“Pendekar Bungkuk! Pelajaranku tempo hari rupanya tidak cukup membuatmu
bertobat! Malah membentuk komplotan rampok ganas. Merampas harta penduduk,
membunuh dan merampok! Dan saat ini kau berani muncul dengan omongan besar!
Tidak sadar kalau tubuh sudah bau tanah….!”
“Akupun tadi sudah bilang
padanya bahwa sebentar lagi Malaikat Maut Berambut Salju akan muncul mengambil
nyawa busuknya. Nah….nah, sekarang mungkin dia baru percaya!” yang menyeletuk
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekilas Pisau Maut Tanpa Bayangan melirik
pada pemuda yang tak dikenalnya itu. Pendekar Bungkuk pergunakan kelengahan si
nenek untuk menghantam. Kedua tangannya dipukulkan.
“Guru! Awas!” terdengar Ranti
berseru memperingatkan. Dua jalur sinar ungu yang sangat menusuk mata menderu
dahsyat. Di sebelah bawah kedua sinar ini mengepul asap berbau busuk. Jelas
pukulan sakti itu mengandung racun sangat jahat!
“Semua tutup jalan
pernafasan!” teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dari tempatnya berdiri berkiblat
sinar putih. Udara di tempat itu serentak menjadi panas luar biasa. Lalu
terdengarlah suara ledakan dahsyat dua kali berturut-turut! Dua jalur sinar
ungu dan satu jalur sinar perak pukulan “sinar matahari” amblas buyar dengan
meninggalkan dua lobang besar di tepi telaga! Semua orang terbatuk-batuk. Si
nenek tampak pucat wajahnya. Pendekar Bungkuk usap-usap dadanya yang mendenyut
sakit sedang Ranti dan ibunya saling berpelukan. Asap dan pasir membumbung ke
udara. Ketika asap dan bubungan pasir lenyap, tampaklah sesosok tubuh
berpakaian serba putih, mengenakan ikat kepala sapu tangan hitam pemberian
Wiro. Di bawah ikat kepala, lebih panjang dari rambut si nenek Pisau Maut Tanpa
Bayangan. Saat itu pula semua orang di situ merasakan ada hawa dingin sejuk.
Asap ungu yang mengandung racun langsung sirna! Kecuali Wiro, yang lain-lain
tidak mengenali siapa adanya pemuda ini. Sambil memandang tak berkesip ke arah
Pendekar Bungkuk pemuda ini berkata
“Delapan belas tahun lalu, kau
membunuh seorang lelaki bernama Jinggsuwu di sebuah rimba belantara! Ingat….?!”
“Setan! Tentu saja aku ingat!”
jawab Pendekar Bungkuk masih sambil mengusapi dadanya yang terasa sakit.
“Apa sangkut pautmu dengan
peristiwa itu?!”
“Aku adalah anak orang yang
kau bunuh itu….!” Berkata sampai disitu terdengar jeritan ibu Ranti
“Pandu…….anakku!” Si pemuda
berambut pituh merasakan tubuhnya bergetar. Matanya hanya melirik cepat ke arah
perempuan yang berteriak. Hatinya ingin langsung menghambur menjatuhkan diri
dalam pelukan ibu kandungnya. Tapi hal itu tidak dapat dilakukannya sebelum dia
menyelesaikan urusan dengan Pendekar Bungkuk. Kalau Wiro hanya bisa tegak
tertegun melihat hal yang tidak disangka-sangka itu maka Pisau Maut Tanpa
Bayangan hanya bisa berkomat-kamit memuji kebesaran Tuhan. Delapan belas tahun
lalu dia ingin mendapatkan anak itu. Kini dia muncul sebagai seorang pemuda dan
agaknya membekal ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mana mungkin dia berani
datang untuk membuat perhitungan dengan si bungkuk. Walau urusannya sendiri
dengan Pendekar Bungkuk belum selesai namun si nenek merasa lebih rela kalau
pemuda yang ayahnya dibunuh itu menyelesaikan urusannya lebih dulu dengan iblis
bungkuk itu. Walau hatinya sangat terkejut namun Pendekar Bungkuk menjawab
dingin
“Hem…..jadi kau orok yang
diperebutkan dulu itu! Lantas apa maumu sekarang?!”
“Hutang nyawa harus dibayar
dengan nyawa! Itu aturan hidup dunia persilatan!”
“Ah! Rupanya kau sekarang sudah
jadi kerak dunia persilatan!”
“Pendekar Bungkuk!” seru Wiro.
“Dialah Malaikat Maut Berambut
Salju yang akan mengambil nyawamu. Aku sudah bilang tadi-tadi!” Pendekar
Bungkuk tidak perdulikan ucapan Wiro.
“Jika kau benar Malaikat Maut,
aku terpaksa mengirimmu kembali ke akhirat!” ujar Pendekar Bungkuk pula.
“Pandu, Dia sudah siap untuk
mampus! Tunggu apalagi!” seru Wiro. Pendekar Bungkuk mengangguk-angguk dengan
sikap penuh mengejek.
“Sebelum kau ku bunuh agar
dapat menyusul ayahmu, katakan siapa orang yang telah mengambilmu jadi murid!”
“Namanya Datuk Perpatih Alam
Sati dari puncak Merapi di pulau Andalas!” jawab Pandu.
“Ah! Nama yang tidak dikenal!
Gelar yang tak pernah didengar! Majulah kalau kau memang ingin mampus cepat!”
kata Pendekar Bungkuk pula.
“Justru aku memberi kesempatan
padamu! Perlihatkan bagaimana dulu cara kau membunuh ayahku!” jawab Pandu tanpa
bergerak dari tempatnya tegak.
“Kalau itu maumu kau akan
melihat dan menerima kematian yang sama!” teriak Pendekar Bungkuk marah. Tangan
kanannya dikepalkan. Tangan kanan itu serta merta berubah menjadi ungu dan
berasap. Didahului satu gemboran keras Pendekar Bungkuk menerjang ke depan.
Pandu gerakkan kepalanya. Udara luar biasa dingin membungkus tempat itu.
Gerakan Pendekar Bungkuk menyerang seperti tertahan. Rambut putih yang tergerai
di belakang punggung tiba-tiba berpilin dan membabat ke depan, menghantam ke
arah Pendekar Bungkuk.
“Mampus!” teriak Pendekar
Bungkuk teruskan serangannya. Terdengar suara ces….ces….ces….ces….sess….cessss
lima kali berturut-turut. Terdengar pekik Pendekar Bungkuk. Lima jalur sinar
pukulan saktinya musnah. Lima jari tangannya serta merta menjadi kaku
terbungkus hawa dingin luar biasa! Bagaimanapun dia mengerahkan hawa panas
dalam aliran darahnya tetap saja dia tidak mampu menggerakkan lagi jari-jari
tanan kanannya. Rasa dingin itu perlahan-lahan merambas ke atas, membuat
lengannya kini ikut kaku. Lalu bahunya. Ketika hawa dingin itu menjalar ke
leher, Pendekar Bungkuk jadi kelabakan. Dia berusaha melakukan totokan di
bagian tubuh yang penting. Hawa dingin berkurang sedikit tapi masih terasa
menjalar seperti berusaha menerobos totokan!
“Pemuda keparat! Jangan kira
kau sudah menang!” Dari balik pakaiannya orang tua ini keluarkan sebuah senjata
aneh berupa tombak pendek yang ujungnya bercabang tiga. Matanya berkilat-kilat.
Senjat di tangannya itu merupakan senjata baru yang menghabiskan waktu lima
belas tahun utnuk membuatnya. Beberapa tokoh persilatan telah menemui ajalnya
oleh senjata itu. Kini dia merasa yakin pemuda di hadapannya itupun tak akan
sanggup menghadapi senjata saktinya. Kembali Pendekar Bungkuk menggembor. Lalu
melesat sambil kiblatkan senjatanya. Terdengar suara bergaung. Tubuh Pandu
serta merta dihujani serangan. Tiga jurus berlalu pemuda itu tampak terdesak
hebat. Semua orang menahan nafas ketika salah satu mata senjata sempat merobek
pakaiannya di bagian perut. Pendekar Bungkuk menyerbu terus sementara hawa
dingin dirasakannya semakin menjadi-jadi membuat tulang-tulangnya terasa ngilu
sampai ke sumsum. Memasuki jurus ke enam Pandu mulai mainkan rambut putihnya.
Maka berubahlah rambut ini seolah-olah menjadi sebilah pedang yang dapat
membabat, menusuk dan membacok. Arus serangan Pendekar Bungkuk terbendung
mengendur dan kini dia yang balik terdesak.
“Celaka! Ilmu apa yang
dimiliki keparat ini!” keluh Pendekar Bungkuk. Gerakannya bertahan semakin
kacau. Lututnya yang diserang hawa dingin terasa bertambah kaku hingga
gerakannya untuk mengelak menjadi lamban. Dan pada puncaknya ketika rambut
putih panjang itu membabat ke arah tangannya yang memegang senjata, orang tua
ini terlambat selamatkan diri. Craasss! Lengan itu laksana diteba benda tajam.
Putus dan menyemburkan arah. Senjata yang dipegangnya bersama kutungan tangan
mental jatuh ke dalam telaga. Pendekar Bungkuk melolong setinggi langit.
Tubuhnya bertambah bungkuk. Saat itulah Pandu melompat dari depan. Tangan
kanannya menderu ke arah batok kepala Pendekar Bungkuk Praak! Tepat seperti
yang terjadi delapan belas tahun lalu ketika Pendekar Bungkuk memukul pecah
kepala Jinggosuwu. Tubuhnya terkapar. Nyawanya lepas!
“Pandu anakku!” Sang ibu yang
sejak tadi tidak dapat menahan diri Ranti mengikuti dari belakang. Pandu
jatuhkan diri ke tanah, berlutut sambil memeluki ibunya. Sang ibu menangis
keras. Lalu ingat pada anak gadisnya.
“Pandu, ini kakakmu Ranti.
Ranti……pemuda ini adalah adikmu…..” Langsung saja ibu dan kedua kakak beradik
itu saling berangkulan dan bertangisan disaksikan oleh si nenek Pisau Maut
Tanpa Bayangan dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Penuh haru Pisau Maut Tanpa
Bayangan hampiri ketiga orang itu. Sambil pegangi kepala Ranti, nenek ini
berkata
“Jadi ini orok yang dulu
diperebutkan orang itu! Tuhan Maha Besar. Aku gembira sekali bisa berkumpul
kembali. Aku pernah menceritakan bahwa Pendekar Bungkuk adalah musuh besarku.
Tapi tak pernah menceritakan bahwa adalah dia juga yang menjadi pembunuh ayah
kalian…..” Ibu Ranti usap wajahnya lalu berkata
“Pandu, anakku berikan
sungkemmu pada nenek sakti ini. Dialah yang selama delapan belas tahun memelihara
kami dan mengambil kakakmu menjadi muridnya….” Mendengar itu Pandu segera
membalikkan diri dan menjura hormat sambil pegangi betis Pisau Maut Tanpa
Bayangan. Si nenek tampak berkaca-kaca kedua matanya. Ketika Pisau Maut Tanpa
Bayangan melangkah menghampiri tiga anak itu, Pendekar 212 Wiro Sableng
melangkah ke tepi telaga dan duduk di sini sambil memandangi air telaga. Bukan
saja dia sangat terharu menyaksikan keadaan sahabatnya Pandu dan kakak seta
ibunya itu, namun apa yang dilihatnya itu membuat jiwanya terpukul karena ingat
akan nasib dirinya sendiri. Bagaimanapun sedihnya kisah perjalanan mereka namun
mereka masih bisa berkumpul. Jauh berbeda dengan nasib dirinya. Ayahnya dibuunh
orang. Ibunya kemudian menemui kematian. Seumur hidup dia tidak pernah bertemu
dan mengenali orang tuanya. Wiro tidak tahu entah berapa lama dia termenung di
tepi telaga itu sampai satu tangan yang halus memegangi bahunya.
“Sahabatku, mengapa kau
memisahkan diri dan termenung di tempat ini….” Wiro berpaling. Yang memegang
bahu dan bicara padanya adalah gadis itu. Ranti kakak Pandu. Si gadis lalu
memegang lengannya, menariknya agar berdiri. Wiro usap-usapkan mukanya lalu
berusaha tersenyum. Sambil bergandengan tangan dua sahabat baru itu melangkah
ke arah Pisau Maut Tanpa Bayangan, Pandu serta ibunya yang tegak menunggu.
TAMAT