-------------------------------
----------------------------
016 Hancurnya Istana Darah
1
DEBUR OMBAK memecah di pantai
dan memukul lamping batu-batu karang terdengar abadi di udara pagi yang segar
cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai tampaklah berdiri sebuah
bangunan besar dikelilingi tembok tinggi sepuluh tombak. Baik-bangunan maupun
temboknya seluruhnya berwarna merah.
Di daerah pantai seperti itu
biasanya hampir tak pernah ditumbuhi pohon-pohon lain selain pohon kelapa.
Namun adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang mengelilingi bangunan
besar tadi tumbuh berkeliling dua puluh satu pohon beringir raksasa. Bila angin
bertiup dari laut, daun-daun pohon beringin bergemerisik keras, akarakar
gantungnya bergoyang-goyang deras. Semua ini menimbulkan suasana yang
menyeramkan. Di samping itu, setiap angin bertiup maka menebarlah bau busuk dan
anyir dari jurusan bangunan berwarna merah itu.
Bila seseorang mendekati
tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah dia akan terkejut dan
berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan lekas-lekas mengambil
langkah seribu. Betapakan tidak! Warna merah pada atap, tembok dan setiap sudut
bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi darah! Lapisan darah
inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan serta mengerikan, menebar
di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya!
Matahari pagi mulai naik. Air
laut kelihatan berkilau-kilau. Darah merah di tembok dan di bangunan besar di
tepi pantai berkilat-kiiat sedang bau busuk amis semaki menjadi-jadi. Kira-kira
sepenanakan nasi berlalu, dari arah timur, berpapasan dengan tiupan angin laut,
terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda. Tak selang berapa lama di sebuah
liku-liku jalan kecil yang terletak di antara bukit-bukit karang tinggi dan
runcing tampaklah dua penunggang kuda memacu binatang tunggangan masing masing
ke jurusan tembok bangunan merah.Baik bulu kuda maupun pakaian kedua
penunggangnya, keseluruhannya berwarna merah basah agak bermninyak-minyak.
Sengaja dibasahi … dengan darah.
Mereka mengenakan topi berkuncir
seperti tarbus, yang juga dibacahi dengan darah. Dan di bawah topitopi itu
paras masing-masing teramat mengerikan untuk dipandang karena telah dipupuri
dengan darah yang telah membeku!
Salah seorang dari kedua
penunggang kuda itu membawa sesosok tubuh berpakaian hitam yang dimelintangkan
di punqqung kuda dalam keadaan pingsan dan siapa pula orang yang menggeletak
tak berdaya berpakaian hitam ini!
Kuda-kuda merah lewat di
antara dua pohon beringin raksasa dan akhirnya sampai di hadapan sebuah pintu
besar di tembok bangunan. Pada bagian atas pintu merah ini terdapat tiga
deretan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang manusia yang telah dicat
merah dan berbunyi. "Pintu Gerbang Darah"
Salah seorang dari penunggang
kuda yang berhenti di hadapan pintu gerbang mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi lalu dari mulutnya terdengar situ pekik aneh yang disusul dengan
suara lantang, "Atas nama Raja Darah, bukalah pintu gerbang!"
Untuk beberapa lamanya suara
pekik serta seruan marwsia itu masih mengiang-ngiang di udara pantai yang
mengandung garam tanda bahwa orang itu telah mengeluarkan suara dengan disertai
tenaga dalam yang tinggi.
Sesaat kemudian dari belakang
"Tembok Darah" demikian nama tembok merah yang mengelilingi bangunan
besar itu terdengar suara pekik balasan dan disusul oleh satu pertanyaan yang
membentak keras, "Siapa yang datang!"
"Hulubalang Keempat dan
Kelima!"
"Kalian habis dari
mana?"
"Menjalankan tugas
Raja!"
Tak lama kemudian terdengar
suara berkereketan. Pintu Gerbang Darah terbuka. Bersamaan dengan itu dari
bagian bawah pintu menjorok keluar sebuah jambatan kayu besi yang juga penuh
dengan darah dan bertuliskan "Jembatan Darah."
Ternyata antara Pintu Gerbang
Darah dan bangunan besar di seberangnya dipisahkan oleh sebuah parit selebar
lima belas tombak dan dalamnya lebih dari sepuluh tombak. Parit ini dibuat
sedemikian rupa mengelilingi bangunan besar, dialiri dengan air yang telah
menjadi merah karena bercampur darah dan di dalamnya berenanglah ratusan ular
berbisa dari berbagai jenis yang panjangnya mulai dari satu jengkal sampai lima
meter! Semua orang di situ mengenal parit itu dengan sebutan "Parit
Kematian."
Kedua orang yang mengaku
Hulubalang tadi melewati Jembatan Darah dengan cepat dan sampai di tangga
bangunan besar. Di belakang mereka Jembatan Darah masuk kembali ke tempatnya
sedang Pintu Gerbang Darah menutup dengan sendirinya.
Dengan memanggul tubuh manusia
berpakaian hitam itu, Hulubalang Keempat diikuti Hulubalang Kelima menaiki anak
tangga bangunan besar yang pada sebelah atasnya terdapat tulisan, "ISTANA
DARAH." Huruf-huruf tulisan inipun dibuat dari tulang belulang manusia
yang diberi warna merah dengan darah!
Setelah melewati beberapa
ruangan, kedua Hulubalang sampai di satu ruangan besar yang pada bagian tengahnya
terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna merah dan busuk. Di tengah-tengah
kolam berdirilah sebuah patung raksesi dalam keadaan telanjang bulat dan dari
bagian di antara kedua pangkal pahanya senantiasa memancur cairan warna merah.
Di depan sana terdapat sebuah
gordeng besar yang basah oleh darah. Tetesan-tetesan darah jelas kelihatan
berjatuhan ke lantai ruangan. Ruangan itu bukan saja busuk luar biasa hawanya
tetapi juga pengap membuat seseorang yang tak biasa akan sesak bernafas. Namun
anehnya kedua Hulubalang Darah itu tenang-tenang saja seolah-olah udara macam
begitu tidak mengganggu jalan pernafasan mereka barang sedikitpun. Di hadapan
"Tirai Darah" mereka berdiri dengan sikap keren, lalu membuka topi
masing-masing dan menjura.
"Paduka Yang Mulia Raja
Darah," kata Hulubalang Keempat. "Kami berdua Hulubalang Keempat dan
Kelima, datang menghadap guna melaporkan hasil tugas yang telah dibebankan
kepada kami!" Sunyi sesaat.
Lalu dari ruangan di belakang
Tirai Darah terdengar satu suara laki-laki yang parau sember dan perlahan namun
hebatnya suara yang parau serta perlahan ini sanggup membuat dinding-dinding
ruangan berwarna merah jadi bergetar. Tirai Darah bergoyang-goyang sedang
cairan merah di dalam Kolam Darah tampak bergelombang-gelombang. Nyatalah bahwa
siapapun adanya manusia di belakang Tirai Darah itu memiliki tenaga dalam yang
luar biasa hebatnya!
"Beri tahu hasil tugas
kalian!" tiba-tiba terdengar satu suara.
Mendengar ini Hulubalang Darah
Keempat membuka mulut memberi jawaban.
"Kami berdua telah
berhasil menangkap hidup-hidup tokoh silat gotongan hitam daerah timur yang
bergelar Sepuluh Jari Maut! Sekarang dia berada dalam keadaan pingsan dan
ditotok!"
"Bagus!" memuji
orang di balik Tirai Darah lalu terdengar suara kekehannya. "Jebloskan dia
dalam tahanan. Gantung kaki ke atas kepala ke bawah dan nyalakan api di bawah
batok kepalanya! Biar dia tahu rasa!" Ucapan itu ditutup dengan suara
tertawa mengekeh seperti tadi lalu menyusul caci maki kutuk serapah aneh.
"Keparat… sialan! Laknat …. haram jadah! Terkutuk … ! Mampuslah semua!
Semua…!"
Ucapan kotor itu masih terus
terdengar sampai kira-kira sepeminuman teh. Bila kutuk serapah itu berhenti
maka Hulubalang Darah Kelima cepat-cepat membuka mulut.
"Perintah Paduka Yang
Mulia segera kami laksanakan!"
Setelah menjura hormat, kedua
Hulubalang tadi beserta tawanannya segera meninggalkan tempat tersebut!
***
2
HULUBALANG Darah Keempat dan
Kelima memasuki sebuah lorong menurun. Di kiri kanan lorong ini banyak sekali
cabang cabang lorong yang kesemuanya diterangi dehgan lampu minyak. Dimana-mana
kelihatan warna merah darah dan di sini udara jauh lebih pengap dan lebih busuk
dari ruangan ruangan lain dalam Istana Darah.
Mereka sampai di hadapan
sebuah pintu merah terbuat dari besi dan dijaga oleh dua orang Hulubalang Darah
yang memiliki tampang seram bengis. Betapapun bengis gelaknya kedua pengawal
pintu besi itu, namun melihat siapa yang datang keduanya segera memberi hormat.
"Atas nama Raja Darah
harap kalian buka pintu Penjara Darah!" kata Hutubalang Kelima.
Kedua Hulubalang pengawal
meneliti orang berbaju hitam yang dipangqil Hulubalang Keempat. Salah salah
seorang dari mereka bertanya.
"Siapa dia?"
"Sepuluh Jari Maut,"
jawab Hulubalang Keempat dan pengawal yang bertanya ladi lalu memperhatikan
sepuluh jari orang yang dipanggul. Kesepuluh jari itu berkuku panjang dan
berwarna hitam legam. Sementara itu pengawal yang satu lagi dari dalam sabuknya
mengeluarkan seuntai anak anak kunci. Dengan salah satu anak kunci dibukanya
pintu besi lalu masuk lebih dulu sedang Hulubalang Keempat dan Kelima menyusul
mengikutinya.
"Dia adalah tahanan yang
keempat sampai." kata pengawal penjara sambil berjalan. Ruangan yang
mereka lewati merupakan sebuah gang selebar tiga tombak dari batu karang atos yang
dicat dengan darah. Pada dinding kiri kanan terdapat deretan pintu-pintu besi
merah. Deretan-deretan pintu sebelah kiri diberi berangka ganjil sedang deretan
sebelah kanan berangka genap. Inilah ruangan Penjara Darah yang terletak di
bawah tanah dan memiliki enam puluh buah kamar tahanan.
Di depan pintu yang
bertuliskan angka 24 pengawal itu berhenti dan mengeluarkan untaian anak kunci
lalu membuka pintu besi. Begitu pintu terbuka dari dalam ruangan menyambarlah
hawa dingin lembab yaag busuk luar biasa. Lantai dan dinding serta
langit-langit ruangan tahanan merah oleh darah, sebagian masih merupakan cairan
sebagian lagi telah kering membeku.
"Nyalakan lampu!"
perintah Hulubalang Darah Kelima.
Pengawal segera menyalakan
lampu minyak dan kamar tahanan itu kini menjadi cukup terang. Pada dinding
sebelah kiri terdapat sebuah rak batu. Di atas rak ini terletak berbagai macam
benda penyiksa. Pada langit-langit ruangan tampak sebuah kerekan lengkap dengan
tali kawat yang besarnya dua kali ibu jari. Dengan tali kawat ini sepasang kaki
tawanan diikat erat-erat lalu tubuhnya dikerek hingga kini jadi tergantung kaki
ke atas kepala ke bawah.
Dari rak batu Hulubalang
Kelima mengambil sebuah benda berbentuk pendupaan besi yang berisi
potongan-potongan benda hitam sebentuk batu bara. Ketika disulut dengan api
benda hitam ini langsung terbakar menyala.
"Kita tunggu sampai dia
siuman," berkata Hulubalang Darah Keempat.
Tak berapa lama kemudian
tawanan yang bergelar Sepuluh Jari Maut itu kelihatan membuka sepasang matanya
perlahan-lahan. Mata itu terbuka semakin lebar sewaktu keterkejutan menguasai
dirinya. Sepuluh Jari Maut melihat dunia ini terbalik. Kepalanya seperti mau
karena jalan darahnya menyungsang sedang di sekelilingnya tampak tiga orang
berpakaian serba merah bertampang bengis. Rongga hidungnya sementara itu
disambar oleh bau busuk luar biasa.
"Di mana aku …?"
desis Sepuluh Jari Maut. Dicobanya menggerakkan anggota-anggota tubuhnya tapi
tak bisa. Sekujuar tubuhnya kaku tegang, sedikitpun tak dapat digerarkkan.
Sadarlah Sepuluh Jari Maut bahwa dirinya berada di bawah pengaruh totokan.
Dicobanya mengalirkan tenaga dalam untuk memusnahkan totokan tersebut namun
sia-sisa. Totokan yang menguasai dirinya bukan totokan sembarangan. Sepuluh
Jari Maut memandang ke atas dilihatnya sebuah roda kerekan besi yang tergantung
di langitlangit ruangan, diganduli kawat besar. Ujung kawat itulah yang telah
mengikat kedua kakinya dan sakitnya bukan main. Dia memandang kembali pada tiga
manusia berpakaian merah basah dan bau itu. Akhirnya dia ingat. Sebelumnya dia
telah bertempur dengan dua di antara tiga manusia tersebut. Dalam jurus kedua
puluh tiga dia terpaksa harus menerima satu jotosan keras dari lawan yang tepat
mengenai pelipisnya. Selagi dia berdiri nanar dengan pandanyan berbinar-binar,
musuhnya yang lain telah menotoknya hingga dia tidak berdaya. Lalu kepalanya
dipukul hingga akhirnya dalam keadaan tertotok begitu rupa dia jatuh pirgsan.
Nyatalah bahwa kedua musuh tak dikenalnya itu telah membawanya ke tempat
tersebut dan menawannya.
Dendam dan marah memuncak
dalam diri Sepuluh Jari Maut. Rahang-rahangnya menonjol bergemeletukan.
"Tempat celaka apa ini
namanya….?!" Sentak Sepuluh Jeri Maut.
Hulubalang Darah Kelima dan
Keempat datang mendekat. Di tampang masing-masing menyungging seringai bengis.
"Celaka bagimu, bukan
bagi kami!" ujar Hulubalang Darah Kelima.
"Jahanam! Kalian mau
bikin apa terhadapku? Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan kalian!"
Plaak!
Satu hantaman tamparan yang
keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Maut. Untuk beberapa lamanya dia
terbuai-buai dan berputar-putar sedang pemandangannya mulai gelap.
"Tak tahu diri. Sudah
hampir mampus masih berani bicara memaki!" sentak Hulubalang Darah
Keempat.
"Puaah!" Sepuluh
Jari Maut meludahi muka Hulubalang Darah Keempat. "Beraninya terhadap
musuh yang tidak berdaya!"
"Setan alas!" teriak
Hulubalang Darah Keempat. Tinju kiri kanannya menghujani muka tokah silat
berbaju hitam itu. Darah mengucur dari hidung, mulut dan matanya. "Seret
pendupaan itu kemari!"
Hulubalang pengawal menyeret
pendupaan yang dikobari api lalu melekkannya tepat di bawah kepala Sepuluh Jari
Maut.
"Tadi kau bertanya di
mana kau berada," ujar Hulubalang Darah Kelima, ”Ketahuilah bahwa saat ini
kau telah dijebloskan ke dalam neraka dunia bernama Penjara Darah!"
Sepuluh Jari Maut kertakkan
rahang. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menahan panasnya kobaran api yang
menjilat-jilat di bawah kepalanya. Hanya seketika saja dia dapat menahan rasa
sakit. Sesaat kemudian dari mulutnya mulai keluar raungan kesakitan yang
menggidikkan. Di lain pihak tiga orang Hulubalang yang ada di situ tertawa
gelak-gelak.
"Manusia-manusia
bejat!" teriak Sepuluh Jari Maut. "Jika aku mati di tangan kalian,
kelak aku akan menjelma menjadi setan dan mencekik kalian semua!"
"Kalau begitu biar
kupercepat niatmu untuk jadi setan itu!" kata Hulubalang Darah Keempat.
Lalu kawat kerekan diulurkannya ke bawah hingga kepala tawanan itu semakin
dekat dengan kobaran api dalam pendupaan besi. Rambutnya yang menjulai mulai terbakar
dan menebar bau sangit di ruangan itu. Dari mulut Sepuluh Jari Maut tiada
hentinya terdengar jeritan yang mengerikan hingga suaranya menjadi parau. Saat
itu dirasakannya kulit kepala dan tulang tengkoraknya seperti meleleh! Kemudian
nafas laki-laki ini mulai megap-megap. Darah yang keluar dari hidung, mulut,
mata dan telinganya menetes-netes di atas api dalam pendupaan besi, menimbulkan
suara "cees" yang tiada hentinya.
"Sudah tiba seatnya
memanggil tukang-tukang darah itu," kata Hulubalang Darah Keempat pada
kawannya Hulubalang Darah Kelima.
Hulubalang Darah Kelima
mengangguk lalu melangkah ke pintu. Pada sanding pintu sebelah atas terdapat
sebuah tombol merah. Tombol ini selalu terdapat dalam setiap kamar tahanan yang
sekaligus merangkap ruang penyiksaan.
Tak lama setelah Hulubalang
Darah Kelima menekan tombol itu maka masuklah dua laki-laki yang membawa
ember-ember besar, masing-masing mengenakan jubah merah. Salah seorang dari
mereka, yang barusan mengeluarkan sebuah pisau kecil tajam berpaling pada
Hulubalang Darah Keempat dan Kelima.
"Laksanakan tugas kalian
cepat!" Kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu bersama Hulubalang Darah
Kelima dia meninggalkan ruangan tersebut.
Yang tinggal di dalam ruangan
tahanan itu kini adalah Hulubalang pengawal dan kedua laki-laki berjubah merah.
Ember diletakkan di lantai. Orang berjubah di sisi kiri keluarkan segulung pipa
karat warna merah. Dia menggoyangkan kepalanya pada kawannya yang memegang
pisau. Si pemegang pisau ini segera mendekati Sepuluh Jari Maut, lalu craass …!
Dengan pisau kecil itu diputusnya urat nadi di leher Sepuluh Jari Maut. Darah
menyembur. Pipa karet cepat dihubungkan dengan nadi yang putus. Darah dari
tubuh Sepuluh Jari Maut mengalir melewati pipa karet terus masuk ke ember
sedang Sepuluh Jari Maut sendiri saat itu megap-megap dan akhirnya meregang
nyawa dengan cara mengenaskan.
3
LAKSANA anak-anak panah yang
lepas dari busurnya, dua ekor kuda coklat itu berlari kencang membawa
penunggangnya masing-masing. Penunggang kuda yang pertama adalah seorang pemuda
berusia dua puluh tahunan, berpakaian biru sedang kawannya seorang dara
berkulit hitam manis dan mengenakan pakaian ringkas kuning muda.
"Bisakah kita sampai
sebelum malam ke tempat guru?" bertanya sang dara tanpa memalingkan
kepalanya.
"Kurasa bisa. Tapi
agaknya kita bakal mendapat kesiangan di tengah jalan, adikku," menjawab
si pemuda.
"Halangan apa
maksudmu?"
"Lihatlah ke langit …
"
Gadis itu mendongak ke atas.
Seat itu baru disadarinya bahwa iangit di atas sana telah gelap oleh gumpalan-gumpaian
awan hitam. Kemendungan meliputi hampir seluruh tempat.
"Kalau hanya hujan itu
tidak menjadi halangan bukan?" ujar sang dara.
"Memang bukan halangan.
Tapi jalan yang bakal kita tempuh, yang mendaki dan berbatu licin berlumut,
serta diapit oleh jurang-jurang terjal … Itulah halangan yang
kumaksudkan."
"Mudah-mudahan saja hujan
tidak turun dalam waktu cepat," kata si gadis lalu menyentakkan tali
kekang kudanya. Binatang itu mendongakc ke depan dan mempercepat larinya.
Pohon-pohon yang dilalui laksana terbang ke belakang.
Kira-kira sepenanakan nasi
berlalu ternyata hujan belum juga turun walau angin bertiup keras menderuderu.
Sewaktu si gadis mendongak lagi ke atas dilihatnya gumpalan-gumpalan awan hitam
mulai pupus sekelompok demi sekelompok. Udara yang tadi mendung kini berangsur
cerah.
"Nah, apa kataku! Kita
beruntung. Hujan tak jadi turun," kata gadis itu pula.
Si pemuda hanya tersenyum
mendengar ucapan adik seperguruannya itu, lalu berkata, "Kalau begitu kita
memang bisa sampai sebelum malam turun. Berarti kau bakal bertemu dengan orang
yang kau kasihi lebih cepat. Bukankah itu yang kau inginkan?"
Sang dara cemberut. Kedua
pipinya kelihatan menjadi merah. Pemuda yang berkuda disampingnya tersenyum.
Namun laksana direnggutkan setan demikianlah pupusnya senyuman si pemuda
sewaktu di hadapan mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan merah dan dua sosok
tubuh manusia aneh sesaat kemudian sudah berdiri menghadang di tengah jalan.
Kedua saudara seperguruan itu
sama-sama terkejut bukan main dan serta merta menghentikan kuda masing-masing.
Bau busuk menyambar dari tubuh para penghadang yang mengenakan pakaian merah
basah sedang wajah masing-masing ditutupi oleh cairan yang setengah membeku.
Salah seorang penghadang bertolak pinggang dan maju mendekati.
"Supaya tidak banyak
susah, lekas kalian serahkan diri dan jangan melawan!" katanya.
"Kalian siapa dan punya
maksud apa?" bertanya pemuda baju biru dengan nada tinggi dan sikap gagah.
"Kami adalah
Hulubalany-Hulubalang Istana Darah!" jaweb orang yang bertolak pinggang.
"Istana Darah?!"
mengulang si pemuda dengan terkejut.
Kedua Hulubalang Darah tertawa
mengekeh. "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas turut perintah?"
"Turut perintahmu? Siapa
yang sudi. Lekas minggir. Kami mau meneruskan perjalanan!" membentak gadis
berbaju kuning.
"Ohoo … galaknya!"
jawab Hulubalang Darah yang menghadang dengan bertolak pinggang.
"Kami tidak punya waktu
banyak untuk bicara segala pepesan kosong. Beri jalan. Kalau tidak kalian akan
menyesal!" Kini pemuda baju biru berikan perlingatan.
"Pemuda sombong tekebur!
Kau tak akan kuberi hidup lebih lama!" Hulubalang Darah yang tegak di
sebelah kanan menerjang ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Tak ayal si pemuda segera
cabut pedang di pinggangnya. Sinar putih mencuat memapas serangan Hulubalang
Darah. Tapi percuma. Di lain kejap terdengar jerit pemuda baju biru itu.
Tubuhnya mencelat mental dari atas punggung kuda yang ditungganginya, sedang
pedangnya ikut terlepas mental.
"Manusia rendah!
Matilah!"
Satu bentakan datang dari
samping yang disusul dangan sembaran pedang ke arah batang leher Hulubalang
Darah. Yang diserang cukup dibikin kaget namun tidak menjadi gugup. Di Istana
Darah dia adalah Hulubaiang Darah Ketujuh yang mempunyai kepandaian tidak
rendah. Sekali berkelit dia berhasil mengelakkan sambaran pedang, kemudian
dengan satu gerakan kilat dia berhasil memukul mental pedang di tangan lawan.
Si gadis mengeluh kesakitan sambil pegangi lengannya yang menjadi merah
bengkak. Hulubalang Darah Ketujuh menyeringai mengejek.
"Gadis manis sepertimu
ini tidak seharusnya berlaku begitu galak terhadapku. Nah sekarang kalian mau
menyerah baik-baik atau bagaimana?"
"Baik, aku akan
menyerah," jawab si gadis, "tapi…" digerakkannya tangannya.
"Tapi apa?" tanya
Hulubalang Darah Ketujuh.
"Makan dulu jarumku
ini!" seru sang dara baju kuning dan sesaat kemudian begitu dia gerakkan
tangan kanan puluhan jarum berwarna kuning melesat tanpa suara ke arah dua
belas jalan darah di tubuh Hulubalang Darah Ketujuh!
"Gadis binal!"
hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Dikebutkannya lengan pakaiannya. Puluhan
jarum yang menyerang serja merta mental dilanda angin dahsyat yang keluar dari
ujung lengan pakaian itu!
Melihat gelagat yang tidak
menguntungkan ini, pemuda baju biru berseru. "Mia! Larilah! Lari lekas!
Biar aku yang menghadapi begundal-begundal jahat ini." Dari pertempuran
yang baru berjalan beberapa gebrakan itu si pemuda sudah menyadari bahwa walau
bagaimanapun tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi kedua lawan yang
memiliki kepandaian begitu tinggi. Karenanya demi keselamatan adik
seperguruannya dia bersedia korbankan nyawa.
"Tidak kangmas! Mati
bersama di tempat ini adalah lebih baik daripada lari!" jawab Miani yang
membuat kakak seperguruannya menjadi kaget. Gadis ini rupanya juga sudah
menyadari nasib apa yang bakal dihadangnya namun sedikitpun tidak merasa
gentar. Dengan sepasang tangan kosong terpentang Miani maju ke hadapan
Hulubalang Darah Ketujuh,
Yang ditantang ganda tertawa
dan berpaling pada temannya. "Hulubalang Sebelas, kau bereskan pemuda itu.
Aku akan tangkap hidup-hidup perawan galak ini dan membawanya ke Istana!"
Hulubalang Darah Kesebelas
maju ke hadapan pemuda baju biru. Pemuda ini berada dalam keadaan terluka parah
di sebelah dalam akibat jotosan Hulubalang Ketujuh tadi. Namun demikian dengan
sisa kekuatan yang ada dan penuh keberanian si pemuda melangkah ke hadapan
Hulubalang Kesebelas. Tangan kirinya tiba-tiba melepaskan dua puluh jarum biru
sedang tangan kanan diayunkan ke batok kepala lawan. Serangan ini disertai
dengan satu loncatan cepat sehingga Hulubalang Kesebelas tidak berani bertindak
sembrono.
Dengan berkelit ke samping dan
seraya melepaskan satu pukulan tangan kosong ke udara, seranganserangan jarum
biru berhasil dilewatkan oleh Hulubalang Darah Kesebelas. Untuk menghadapi
serangan lawan yang kedua yaitu jotosan keras pada batok kepalanya, Hulubalang
Darah Kesebelas memukulkan tangannya ke atas dengan mengandalkan setengah
bagian tenaga dalamnya.
Dalam keadaan terluka begitu
rupa bentrokan lengan adalah sangat berbahaya bagi pemuda baju biru. Walaupun
tenaga dalamnya lebih tinggi sekalipun belum tentu keselamatan dirinya akan
terjamin. Karenanya begitu lawan memukulkan lengannya ke atas, pemuda baju biru
menjejak tanah dan melompat satu tombak. Bersamaan dengan itu kaki kanannya
menderu ke dada lawan!
Hulubalang Darah Kesebelas
tidak menyangka kalau bakal mendapat serangan hebat begitu rupa. Saat itu dia
tengah memusatkan perhatian dan sebagian tenaga dalamnya untuk melakukan bentrokan
lengan. Tubuhnya telah mendongak ke atas dan dalam kedudukan seperti itu cukup
sulit untuk menyelamatkan dadanya dari tendangan si pemuda. Namun adalah
percuma dia menjabat kedudukan Hulubalang di Istana Darah kalau serangan begitu
saja dia tidak sanggup menghadapinya.
Dengan berteriak keras dahsyat
Hulubalang Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya hanya merupakan bayangan merah
dan sebelum pemuda baju biru dapat memastikan di sebelah mana lawannya berada,
tahutahu satu pukulan menghantam dadanya, tepat di bekas jotosan Hulubalang
Ketujuh sebelumnya. Tak ampun lagi pemuda itu muntah darah dan tersungkur ke
tanah!
"Kangmas Widura!"
pekik Miani.
"Mia! Lari! Selamatkan
dirimu!" seru pemuda baju biru yang bernama Widura sementara nafasnya
mulai megap-megap.
Bukannya lari sebaliknya Miani
malah menubruk kakak seperguruannya. Namun sebelum dia sempat berbuat suatu
apa, satu totokan telah bersarang di punggungnya membuat gadis ini melosoh tak
berkutik lagi. Hanya mulutnya saja yang masih bisa mengeluarkan suara memaki
dan mengutuki kedua manusia berbaju merah itu.
Hulubalang Darah Ketujuh
membungkuk merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di bahu kiri. Dia berpaling
pada kawannya dan menggoyangkan kepala. "Lekas selesaikan
pekerjaanmu."
Dari balik pakaiannya
Hulubalang Darah Kesebeias mengeluarkan sebuah kantong karet yang pada salah
satu ujungnya terdapat pipa sepanjang tiga jengkal. Setelah mengeluarkan pula
sebilah pisau kecil yang amat tajam dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari
maka diapun melangkah mendekati tubuh Widura yang saat itu tidak berkutik dan
menggeletak di tanah tengah meregang nyawa.
Hulubalang Darah Kesebelas
membungkuk. Tangannya yang memegang pisau bergerak ke pangkal leher Widura.
"Manusia biadab! Laknat
terkutuk! Apa yang kau lakukan itu?!" teriak Miani sewaktu menyaksikan
bagaimana Hulubalang Darah Kesebelas memutus urat nadi di leher Widura dengan
pisau kecil lalu menghubungkan ujung pipa karet dengan urat nadi yang menyemburkan
darah. Sesaat kemudian kantong karet itu kelihatan mulai menggembung tanda
darah korban telah mengalir masuk. Hulubalang Darah Ketujuh menepuk-nepuk
pinggul Miani sambil tertawa gelak-gelak.
"Gadis molek. Kau tenang
sajalah. Bagusnya berhenti berteriak agar suaramu yang merdu tidak menjadi
parau!"
"Kalian manusia-manusia
terkutuk! Lebih kejam dan lebih buas dari binatang!" teriak Miani lalu
berulang kali diludahinya muka Hulubalang Darah Ketujuh.
"Sialan! Kalau kau bukan
gadis manis sudah tadi-tadi kuremas hancur mulutmu!" hardik Hulubalang
Darah Ketujuh marah. Ditdriknya pakaian kuning si gadis dan disekanya mukanya
yang penuh ludah.
"Seharusnya kau merasa
gembira dan bangga karena darah kawanmu itu mendapat kehormatan untuk dipakai
sebagai cat istana Darah!"
Tiga perempat kantong karet
telah penuh dengan darah Widura. Ketika tak ada lagi darah yang mengalir masuk
ke dalam kantong itu Hulubalang Darah Kesebelas mencabut pipa lalu membuhulnya.
Dia berdiri dan memanggul kantong berisi darah itu.
"Atas semua hasil ini
kita pasti mendapat pahala besar dari Raja," kata Hulubalang Darah
Kesebelas dengan tertawa lebar.
"Yang jelas,"
menyahuti Hulubalang Darah Ketujuh. "Gadis manis ini akan dihadiahkan
padaku. Dia menelentang di tempat tidurku sebelum keputusan Raja datang untuk
mencabut nyawanya!"
Merinding bulu roma Miani
mendengar ucapan ;tu. Dia berteriak keras. "Lepaskan aku! Jangan bawa ke
Istana Darah! Kalian jahanam! Lepaskan aku!"
Hulubalang Darah Ketujuh cuma
tersenyum. Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu lalu bersama kawannya
meninggalkan tempat itu dengan cepat.
***
4
PAGI ITU udara sejuk nyaman
dan cerah. Sekelompok awan berarak dihembus angin melewati puncak gunung Raung.
Dari kawah gunung berapi itu mengepul asap putih kelabu yang kemudian menjadi
satu dengan awan yang bergerak. Di salah satu lereng gunung itu terdapatlah
sebuah pertapaan. Pertapaan ini merupakan sebuah goa yang bagian dalamnya
dipakai sebagai tempat kediaman. Saat itu di mulut goa, di atas sebuah batu
besar berwarna hitam legam dan berbentuk setengah lingkaran, duduklah seorang
Brahmana berselempang kain putih. Kedua tangannya diletakkan di atas paha
sedang sepasang matanya terpejam.
Nyatalah Brahmana ini tengah
mengheningkan ciptarasa atau tengah bersemedi. Rambutnya yang putih menyeka
bahu melambai-lambai ditiup angin pagi. Semakin naik matahari, semakin khusus
Brahmana ini bersemedi.
Di lain bagian dari lereng
gunung, di bawah sebuah air terjun kecil kelihatan seorang pemuda bertubuh
tinggi langsing dan hanya mengenakan sehelai cawat tengah berkelebat kian
kemari. Di tangan kanannya ada sepotong bambu hijau yang digerakkan demikian
rupa ke berbagai jurusan hingga menimbulkan suasana menderu-deru. Demikian
cepatnya gerakan itu hingga bentuk bambu itu hanya merupakan sambaran sinar
hijau belaka.
Sambil melompat gesit di atas
batu-batu air yang licin berlumut pemuda itu bergerak mendekati air terjun.
Bambu hijau di tangan kanannya disabatkan sejarak setengah tombak dari air
terjun dan brass! Air terjun muncrat jauh lalu baru mengalir lagi seperti
sebelumnya! Beberapa kaii hal ini dilakukan si pemuda dan hatinya baru merasa
puas.
Kemudian dia berdiri di atas
ujung sebuah batu licin hanya mengandalkan sebelah kaki kiri yang dijingkatkan.
Bambu hijau disabatkan pulang balik beberapa kali memapas air terjun. Ketika
ditelitinya bambu itu, tak setetespun air melekat di situ. Si pemuda tersenyum
gembira. Bukan saja bambu tidak basah tetapi daya dorong tenaga raksasa air
terjun tak sanggup menggoyahkan kakinya yang berpijak di batu licin!
"Kepandaianku telah maju
pesat!" kata pemuda ini dalam hati.
Dia hendak mencoba kembali.
Namun saat itu tiba-tiba di telinganya mengiang nasehat gurunya.
"Ketinggian ilmu itu
tidak ada batasnya. Karenanya seseorang tak boleh berlaku lekas puas, apalagi
sombong." Pemuda bercawat itu kemudian melompat-lompat lagi di atas
bebatuan dan tangannya tiada henti memainkan bambu hijau itu dalam
gerakan-gerakan ilmu pedang yang mengagumkan. Kira-kira sepeminuman teh
berlatih dia hentikan semua gerakannya dan duduk berjuntai di cabang sebuah
pohon. Dia berlaku demikian bukan karena letih tapi karena saat itu satu
pemikiran muncul di kepalanya.
"Heran, seharusnya mereka
sudah tiba di pertapaan selambat-lambatnya siang kemarin. Kenapa sampai pagi
ini masih belum muncul?"
Selagi dia berpikir-pikir
seperti itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara memanggil laksana ditiupkan
oleh angin dan bergema di sekitar tempat itu, apapun adanya yang bicara
nyatalah dia memiliki sejenis ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh yang hebat
sekali.
"Panji kemarilah!"
Seraya melompat enteng dari
cabang pohon pemuda bercawat itu membuka mulutnya dan berseru menjawab.
"Saya datang Eyang!"
Laksana seekor burung terbang
Panji Kenanga berlari melompati lereng berbatu-batu dan akhirnya sampai di satu
jalan kecil yang menuju ke pertapaan.
Begitu sampai di hadapan
Brahmana tua si pemuda menjura hormat lalu duduk bersila dan bertanya.
"Ada apa Eyang memanggil
saya?"
"Kau habis berlatih …
?"
"Betul sekali
Eyang."
"Bagaimana, apakahada
kemajuan kau rasakan?"
"Berkat petunjuk Eyang
mudah-mudahan ada," jawab Panji Kenanga. La!u dia berdiam diri menunggu
penjelasan dari gurunya mengapa dia dipanggil.
"Aku barusan selesai
bersemedi, muridku," kata Brahmana tua tersebut. "Dalam semediku aku
mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi atas diri Widura dan Miani. Kalau
tidak mustahil sampai saat ini mereka masih belum sampai di sini."
itu memang ada terpikir oleh
saya, Eyang," jawab Panji Kenanga. "Karenanya mohon petunjuk Eyang
lebih lanjut."
"Mereka berdua masih
hijau dalam rimba persilatan, Untuk sekedar mencari pengalaman mereka ku lepas
selama satu bulan. Dan nyatanya kini telah lebih waktu tersebut dan mereka
belum juga kembali. Cobalah kau turun gunung dan menyelidiki keadaan
sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi apa-apa dengan mereka."
"Perintah Eyang akan saya
laksanakan," kata Panji Kenanga. "Izinkan saya bersalin pakaian
dulu."
Pemuda ini hendak berdiri tapi
tak jadi karena gurunya dilihatnya menggerakkan tangan memberi isyarat.
"Satu hal penting kau
ketahui, Panji," kata sang Brahmana. "Dalam dunia persilatan kini
tengah mengamuk satu angkara murka. Angkara murka itu didalangi oleh
manusia-rnanusia berkepandaian tinggi yang menyebut dirinya Hulubalang Istana
Darah. Mereka berjumlah banyak namun tidak diketahui siapa yang memimpin
mereka."
"Kejahatan apakah yang
telah mereka lakukan Eyang?"
"Menculik dan membunuh
setiap manusia berilmu."
"Alasan mereka berbuat
begitu?" tanya Panji Kenanga lebih jauh.
"Sebegitu jauh belum
diketahui. Namun dari apa yang kudengar setiap korban yang mereka bunuh tidak
berdarah lagi dalam tubuhnya. Aku kawatir kalau-kalau kedua saudaramu telah
menjadi korban manusiamanusia penghisap darah itu."
"Saya akan selidiki Eyang
dan tak kembali sebelum menemukan keduanya. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu
apa dengan mereka."
Sang guru mengangguk.
Panji Kenanga berdiri dan
meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali sudah berpakaian
rapi.
"Bawalah Angin Salju dan juga
kau boleh bawa tenjata ini," kata si Brahmana seraya mengeluarkan sebilah
pedang bergagang gading.
Terkejutlah Panji Kenanga don
buru-buru berlutut, "Eyang, apakah Eyang mempercayakan saya membawa pedang
Gajah Biru ini?" tanya Panji Kenanga sewaktu melihat gurunya mengangsurkan
pedang mustika itu.
"Kalau tidak percaya
masakan kuserahkan," jawab sang guru kepada muridnya. "Pergunakan
sebaikbaiknya, terutama dalam keadaan dirimu diancam bahaya."
"Terima kasih atas
kepercayaanmu Eyang."
Dengan membungkukkan tubuh
Panji kenanga menerima senjata tersebut lalu memasukkannya ke balik punggung
pakaiannya.
"Sekarang saya minta
diri, Eyang dan mohon doa restumu," kata Panji Kenanga. Dia menjura sampai
tiga kali lalu membalikkan tubuh. Seat itu dihadapannya telah berdiri seekor
kuda putih tinggi den tegap. Karena larinya yang cepat laksana angin den
bulunya yang mulus putih laksana salju, oleh Brahmana binatang ini diberi nama
Angin Salju. Panji Kenanga melompat ke punggung Angin Salju. Sebelum berlalu
binatang yang jinak dan cerdik ini enggoyangkan kepalanya beberapa kali pada
sang Brahmana, lalu meringkik tiga kali seolah-olah mengucapkan selamat tinggal
mohoi diri.
***
Hujan lebat mendera bumi
sewaktu Panji Kenanga bersama angin Salju berada setengah hari perjalanan dari
kaki gunung Raung.
"Kita harus mencari
tempat berteduh sobatku." kata si pemuda pada kuda tunggangannya.
Angin Salju bukanlah seekor
kuda biasa. Binatang ini tajam penca inderanya dan cerdik serta memahami
apa-apa kata dan maksud majikannya. Dengan cepat dia memutar tubuh dan laksana
anak panah melesat menuju segerombolan pohon-pohon yang berdaun sangat lebat.
Demikian lebatnya dedaunan pohon-pohon ini hingga tak setetespun air hujan
dapat menembus tanah di bawahnya.
"Matamu tajam den cepat
mencari tempat berteduh yang baik," kata Panji Kenanga saraya mengelus
tengkuk Angin Salju.
Binatang itu
menggerak-gerakkan kedua daun telinganya tanda gembira atas pujian itu.
Sementara itu hujan turun semakin lebat. Di antara deru air hujan yang laksana
dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji Kenanga mendengar suara
berdering-dering tiada hentinya. Dia memandang berkeliling. Tak seorang pun
manusia yang kelihatan. Tak sesuatu benda hiduppun yang tampak. Tapi anehnya
suara berdering-dering itu terdengar semakin keras.
"Apakah ada iblis atau
setan yang menghuni tempat ini dan hendak menakut-nakutiku?" pikir Panji
Kenanya dalam hati. Lalu turun dari kudanya.
Sebagai orang yang menguasai
ilmu silat tingkat tinggi serta kesaktian dengan sendirinya Panji Kenanga
memiliki pendengaran tajam. Namun sekali ini dia terpaksa berjalan hilir mudik
seketika, baru dapat mengetahui sumber datangnya suara berdering-dering itu.
Dan sewaktu sampai di tempat tersebut melengaklah Panji Kenanga.
Di bawah sebatang pohon
berdaun lebat, duduk bersandar seorang lelaki berkepala botak bercelana tipis
dan kurus hingga tulang-tulangnya kelihatan jelas bertonjolan. Setiap saat
orang berkepala botak ini menggerak-gerakkan kedua tangannya melemparkan
sepuluh mata uang emas ke udara, lalu menyambutnya kembali, melemparkannya lagi
dan menyambutnya kembali, demikian terus menerus tiada henti. Untuk sesaat
lamanya Panji Kenanga menjadi takjub. Sepuluh mata uang emas bukan satu jumlah
yang sedikit. Hanya hartawan kaya raya yang punya uang sebegitu. Kemudian
sepuluh mata itu dilemparkan ke udara dan bertebar demikian rupa bukan suatu
hal yang mudah untuk ditangkap kembali kesepuluhsepuluhnya dengan kedua tangan
tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini dilakukan berulang-ulang oleh si
botak itu dengan sikap acuh tak acuh!
"Siapakah si botak
ini?" pikir Panji Kenanga. Pemuda ini melangkah lebih dekat. Astaga!
Terkejutlah Panji Kenanga. Betapakan tidak. Ternyata si botak bercelana
komprang ini buta kedua matanya! Bagaimana dia memiliki kepandaian melempar dan
menyambut sepuluh mata uang seperti itu? Benar-benar aneh. Panji Kenanga
melangkah lebih dekat
***
5
"BAPAK, siapakah
kau?" tanya Panji Kenanga menegur.
Si botak tak menjawab.
Menggerakkan kepalanyapun tidak. Malah terus asyik melempar-lemparkan sepuluh
mata uang emas itu ke udara. Panji Kenanga mengulang kembali pertanyaannya. Si
botak tetap tak menjawab. Terus saja asyik bermain-main dengan mata uang
emasnya. Memikir mungkin manusia tak dikenal ini tuli maka dia kemudian menegur
lebih keras.
Aneh. Si botak tiba-tiba
tertawa mengekeh:
"Hup!" seru si botak
tiba-tiba. Sepuluh uang emas dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Seperti
daundaun kering yang dihembus angin uang-uang emas itu melayang turun
perlahan-lahan, kemudian satu demi satu jatuh menempel di atas kepala botak si
orang aneh, tersusun rapi. Hampir saja Panji Kenanga berseru kagum melihat hal
ini. Seorang yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa pasti tak bakal
sanggup melakukan hal itu. Bahkan dia meragu apakah gurunya bisa berbuat
begitu. Si botak yang kini "bertopikan" uang emas kembali tertawa
mengekeh. Tawanya tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya dari mulutnya kini terdengar
suara nyanyian aneh:
Sejak lahir menderita buta
Sekeliling serba gelap gulita
Banyak berjalan banyak
didengar
Datang bertanya seorang
sahabat
Sungguh sayang belum bisa
kujawab
Dan sehabis menyanyi ini,
orang itu kembali tertawa mengekeh sedang sepuluh keping uang emas masih terus
menempel di kepalanya yang botak!
"Kalau kau tak mau
menerangkan nama tak menjadi apa. Aku tak bakal mengganggu lebih lama,"
kata Panji Kenanga. Lalu pemuda ini memutar tubuh meskipun hatinya penuh
diliputi rasa ingin tahu siapa gerangan adanya si botak aneh bermata buta ini.
"Hai! Tunggu dulu!"
si botak tiba-tiba berseru. "Sebelum pergi kau dengarlah satu lagi
nyanyianku."
Panji Kenanga hentikan
langkah.
Si buta goyangkan kepala
botaknya. Sepuluh keping uang emas yang ada di atas kepalanya melayang ke atas,
disambutnya lalu dilemparkannya kembali seperti tadi sehingga mengeluarkan
suara berdering. Dan suara berdering ini dengan teratur menimpali suara
nyanyian yang dibawakannya.
Seorang muda datang menunggang
Angin Salju
Bertanya tapi tak terjawab
Entah ke mana gerangan menuju
Tapi apakah sudi mendengar
nasihat?
Berjalan terus ke utara
Akan ditemui kejahatan
berdarah
Pembalasan memang sudah wajar
Tapi terlalu banyak musuh
harus dihajar
Kalau ditemui keadaan yang
mengharukan
Jangan sampai nafsu dendam
memperdayakan
Pembalasan harus memakai akal
pikiran
Agar selamat nyawa di badan.
Sepuluh keping uang emas
dilemparkan tinggi-tinggi ke udara lalu seperti tadi melayang turun
perlahanlahan laksana ditarik oleh suatu kekuatan gaib yang tak kelihatan,
mata-mata uang tersebut mendarat satu demi satu di kepala botak si orang tua.
Di lain pihak Panji Kenanga heran dan kaget bukan main. Bagaimana manusia botak
buta tak dikenal ini tahu kalau dia menunggang Angin Salju. Apa arti kalau
ditemui keadaan yang mengharukan? Mengapa dia disuruh berjalan ke arah utara?
Setelah meragu sejenak Panji akhirnya bertanya. "Bapak yang pandai,
bagaimana kau tahu nama kudaku dan sesungguhnya apa maksudmu dengan nyanyian
tadi?"
Si botak mata buta menguap
lebar-lebar. Disandarkannya pungung dan kepalanya ke batang pohan di
belakangnya lalu tidur dengan mendengkur. Bagaimanapun Panji Kenanga berseru
keras memanggil, tetap saja dia terus ngorok.
Panji Kenanga geleng-gelengkan
kepala. "Manusia aneh," katanya dalam hati.
Karena saat itu hujan telah
berhenti, setelah memikirkan makna nyanyian si botak tadi maka akhirnya Panji
Kenanga naik ke punggung kudanya, langsung menuju ke utara. Setelah merancah
jalan yang becek akibat air hujan, Panji Kenanga menemui sebuah lereng pendek
berbatu-batu. Di seberang lereng tersebut, diantara pepohonan yang bertumbuhan
di sana sini dilihatnya sebuah jalan kecil berliku-liku. Apa yang menarik
perhatian pemuda ini adalah kekeringan yang menyelimuti daerah di seberang
lereng berbatu-batu itu. Rupanya hujan tidak turun di daerah itu.
Panji Kenanga menyentakkan
tali kekang. Angin Salju kembali menggerakkan keempat kakinya. Tak lama
kemudian kedua makhluk itu telah menempuh jalan kecil vang sebelumnya terlihat
dari atas lereng. Ada kira kira setengah peminuman teh melintasi jalan itu
tiba-tiba Angin Salju tanpa diperintahkan menghentikan larinya, mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi lalu meringkik dahsyat!
"Kalau bukannya ada
bahaya atau sesuatu yang luar biasa di depan sana, tentu binatang ini tak akan
meringkik begini rupa," membatin Panji Kenanga, Dia melompat dari punggung
Angin Salju. Diusapnya tengkuk binatang ini beberapa kali seraya berkata,
"Tenang sobatku, tenang …" Si pemuda kemudian melangkah mengikuti
Angin Salju yang telah lebih dulu bergerak ke depan.
Belum lagi dua puluh langkah
berjalan, Panji Kenanga mulai melihat bekas-bekas perkelahian di jalan sempit
itu. Semak belukar banyak yang rambas sedang di tanah ada noda-noda hitam
membeku. Pemuda ini melangkah terus. Tepat pada langkah yang keempat puluh,
kedua kakinya laksana di pantek ke tanah. Mukanya berubah. Untuk seketika dia
tidak dapat bergerak seperti patung.
"Widura!" serunya
sesaat kemudian lalu menghambur ke muka.
Di tepi jalan tergelimpang
sesosok tubuh berpakaian biru. Muka dan bagian tubuhnya yang tidak tertutup
pakaian kelihatan pucat sekali laksana kain kafan. Di sampingnya, diatas tanah
tampak noda-noda hitam. Ini adalah darah yang telah membeku. Dan sosok tubuh
itu adalah Widura yang telah jadi mayat. Panji Kenanga berlutut di samping
jenazah adik seperguruannya. Tubuhnya bergetar. Rahangnya terkatup rapat-rapat
menahan geram. Dia duduk di tanah memangku kepala Widura yang pucat tiada
berdarah. Saat itulah dilihatnya urat nadi yang putus di bagian leher! Ini
adaiah aneh. Luka yang terlihat di leher itu jelas bukan luka bukan luka akibat
perkelahian. Lalu paras dan sekujur tubuh yang pucat pasi seperti tidak
berdarah itu, apakah yang menyebabkannya?
Panji Kenanga lantas ingat
pada keterangan gurunya. Yaitu bahwa dunia persilatan tengah dilanda malapetaka
yang disebabkan oleh orang dari Istana Darah. Bukan mustahil manusia-manusia
terkutuk itulah yang telah membunuh Widura. Tetapi tubuh yang seolah-olah
kempes tanpa berdarah? Apakah mungkin disedot? Geraham Panji Kenanga
bergemeletakan. Dia teringat Miani. Bagaimana dan di mana gadis itu sekarang?
Panji Kenanya memandang
berkeliling dengan hati perih. Hatinya bergetar ketika pandangannya membentur
gurat garet di tanah yang merupakan tulisan yang hampir pupus oleh udara.
Tulisan itu tidak begitu jelas namun sedikit demi sedikit, dengan susah payah berhasil
juga disambung-sambung oleh si pemuda dan ternyata berbunyi.
Kalau terjadi apa-apa dengan
diriku,
yang menyebabkannya adalah
manusiamanusia
terkutuk dari Istana Darah.
Mereka juga bertanggung jawab
atas keselamatan jiwa dan
kehormatan Miani.
Widura
Panji Kenanga kerenyitkan
kening. Dia berpikir. Bagaimana Widura bisa meninggalkan pesan begitu? Dan
kapan dibuatnya? Atau mungkin dia sudah menduga ada bahaya terlebih dahulu
hingga siang-siang telah membuat tulisan begitu rupa? Tentu saja semua pertanyaan
itu tak bisa dijawab oleh Panji Kenanga. Dia hanya bisa menduga-duga.
Sebenarnya bagaimana dan kapankah Widura membuat tulisan di tanah yang berupa
pesan itu?
Pada waktu dia pertama kali
dihajar oleh Hulubalang Darah Ketujuh sehingga mental dari atas kuda dan
terguling di tanah, Widura yang berotak cerdik segera memaklumi bahwa
lawan-lawannya bukanlah orang sembarangan. Apalagi sesudah diketahuinya bahwa
manusia berpakaian serba merah itu adalah Hulubalanghulubalang Istana Darah
yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi dan bukan tandingannya. Yakin kalau
dirinya tak bisa lolos dari bahaya maut sedang untuk menyerah atau lari dia tak
mau melakukannya, di samping itu menyadari pula bahwa kedua hulubalang Darah
itu pasti akan menangkap Miani hidup-hidup, maka selagi tertelungkup di tanah
dengan cepat diguratnya tulisan yang merupakan pesan itu dengan ujung jarinya
yang dialiri tenaga dalam.
Apa yang dikerjakan oleh
Widura sama sekali tidak terlihat oleh Hulubalang Darah Ketujuh karena saat itu
Hulubalang Darah Ketujuh tengah sibuk menghadapi serangan pedang Miani.
"Tepat seperti apa yang
diduga oleh guru," kata Panji Kenanga dalam hati. "Walau bagaimanapun
aku tak akan berpangku tangan. Sekalipun menyabung nyawa ke lautan api, hutang
nyawa ini harus kubalaskan. Apalagi Miani pasti berada di tangan
keparat-keparat durjana itu!"
Panji Kenanga berdiri.
Didukungnya jenazah adik seperguruannya dan diletakkannya di bawah satu pohon
yang rindang. Di bagian lain dari pohon dengan sebisa-bisanya dia mulai menggali
sebuah lobang. Lalu jenazah Widura dikuburkannya ke dalam lobang itu. Setelah
ditimbun dengan tanah, makam itu ditutupnya dengan batu-batu agar tidak dikorek
oleh binatang buas.
Setelah merenung sejenak di
hadapan makam adik seperguruannya itu, Panji Kenanga lalu melangkah ke tempat
Angin Salju tegak menunggu. Saat itu juga dia memutuskan untuk mencari di mana
letak Istana Darah. Namun mendadak dia ingat kembali pada si botak bermata buta
yang sebelumnya telah ditemuinya. "Manusia itu aneh," kata Panji
dalam hati. "Dia sama sekali tidak mau mernberi tahu siapa dirinya. Bukan
mustahil dia adalah salah seorang bergundal Istana Darah. Aku harus meyakinkan
dulu siapa dia sebenarnya." Berpikir sampai di situ Panji lantas memutar
kudanya.
Ketika dia kembali ke tempat
dimana sebelumnya dia bertemu dengan orang aneh berkepala botak itu,
didapatinya manusia ini masih duduk di bawah pohon dan tidur mendengkur.
Kepingan sepuluh uang emas masih bertempelan rapi di kepalanya.
"Bapak banguniah!"
kata Panji dengan suara keras. Dia berseru sampai beberapa kali tapi orang itu
masih saja terus tidur lelap. Panji jadi penasaran. Tapi apa yang harus
dilakukannya? Jika nyata-nyata dia tahu si botak ini benar-benar kaki tangan
Istana Darah tentu dia tak perlu repot-repot pakai membangunkan segala,
langsung menghajarnya. Namun karena dia belum punya bukti-bukti maka dia tak
mau kesalahan turun tangan. Akhirnya dengan mengkal Panji Kenanga duduk di
bawah sebatang pohon yang berhadap-hadapan dengan si botak. Ketika matahari sudah
jauh condong ke barat si botak masih juga belum bangun. Bahkan ketika matahari
masuk ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat dan hari mulai gelap, si botak
masih saja terus ngorok.
"Tak mungkin kutunggu
lebih lama!" kata Panji Kenanga. "Dia harus dibangunkan dengan tangan
atau dengan kaki!"
Si Pemuda melangkah mendekati
si botak yang mendengkur di bawah pohon. Tangannya diulurkan untuk menepuk bahu
orang itu. Namun sebelum tangannya menyentuh tubuh si botak satu bentakan
menggeledek di seantero tempat itu.
"Ini dia bangsatnya yang
kucari-cari!"
Bentakan itu disusul dengan
berkelebatnya satu bayangan tubuh manusia. Panji Kenanga kaget bukan main dan
cepat berpaling.
***
6
DI HADAPAN Panji Kenanga saat
itu berdiri seorang lelaki berbadan gemuk seperti bola. Rambut dan wajahnya
dicat dengan cairan berwarna biru. Kedua tangannya sebatas sikut juga berwaena
biru. Manusia ini memandang buas pada si botak yang saat itu masih asyik
tertidur pulas. Lalu dia memalingkan kepala pada Panji Kenanga. Dari mulutnya
terdengar suara macam harimau menggereng.
"Kau tentu kambratnya Si
Botak Mata Buta ini!" damprat orang bermuka biru seraya melangkah
mendekati Panji Kenanga dengan kedua tangan terpentang.
"Aku tidak ada sangkut
paut apa-apa dengan dia. Kenalpun tidak. Kau sendiri siapa?" bertanya
Panji Kenanga.
Si gendut tidak perdulikan
pertanyaan Panji malah menjawa. "Puah, kebenaran ucapanmu akan kuselidiki
kemudian. Jika ternyata kau masih punya hubungan dengan bangsat gundul itu,
kelak kau juga bakal menerima bagian. Sekarang minggirlah!"
Panji Kenanga melihat orang
berbadan gemuk bermuka biru itu mengangkat kedua tangannya setinggi kepala.
Sesaat kemudian lengannya yang berwarna biru itu tampak mengeluarkan sinar biru
gelap menggidikkan.
"Minggir!" teriak si
muka biru keras menggeledek dan marah karena si pemuda masih menghalang di
depannya.
"Eh, kau mau bikin
apa?" bertanya Panji.
"Tidak usah tanya! Lihat
saja nasib yang bakal diterima si Botak. Dan kelak kau pun menerima
bagianmu!"
Panji Kenanga tidak mau bergeser
dari tempatnya malah berkacak pinggang. "Menyerang lawan yang sedang tidur
adalah tindakan pengecut!" katanya. "Kalau mau buat perhitungan
bangunkan dia lebih dulu!"
"Anak setan! Kalau begitu
biarlah kau mampus bersama-sama dia kejap ini juga!"
Selesai berkata begitu si muka
biru memukulkan kedua tangannya. Satu ke arah kepala si botak yang masih tidur
lelap, satunya lagi ke arah Panji Kenanga.
Dua sinar biru menderu
dahsyat. Mengeluarkan hawa teramat panas. Meskipun saat itu Panji Kenanga masih
merasa si Botak Mata Buta adalah kaki tangan Istana Darah, namun melihat orang
diserang dengan cara pengecut begitu rupa adalah bertentangan dengan jiwa
kesatrianya. Pemuda ini berseru nyaring lalu berkelebat cepat ke arah pohon di
mana Si Botak Mata Buta berada. Maksudnya hendak menyelamatkan orang ini. Namun
dia hanya menemui tempat kosong karena lebih cepat dari gerakannya, hampir
tidak kelihatan, si botak itu telah berkelebat lenyap dari pohon dimana dia
tidur!
Sinar pukulan melesat di atas
punggung Panji Kenanga. Pemuda ini jatuhkan diri lalu bergulingan di tanah. Di
belakangnya terdengar suara braak! Pohan besar tempat si botak tadi tidur patah
dan tumbang dengan mengeluarkan suara gaduh akibat dihantam pukulan si gendut
bermuka biru. Hebatnya lagi baik batang pohon yang masih menancap di tanah
maupun yang terlepas tumbang keseluruhannya kini kelihatan berwarna biru!
Nyatalah manusia bermuka biru
itu betul-betul menginginkan kematian Panji Kenanga dan Si Botak Mata Buta.
Karena begitu menyerang pertama kali dia sudah lancarkan pukulan maut yang
mengandung racun mematikan!
Ketika Panji Kenanga berdiri
kembali, pemuda ini melihat Si Botak Mata Buta telah berada di bawah pohon yang
lain, duduk bersandar dan mengorok persis seperti sebelumnya. Bahkan sepuluh
uang emaspun masih tetap ada di kepalanya yang botak! Di lain pihak si gendut
muka biru menjadi gemas bukan main melihat kedua orang itu berhasil mengelakkan
pukulan saktinya yang bernama "kelabang biru". Lebih-lebih Si Botak
Mata Buta dianggapnya sengaja telah mempermainkannya.
"Kupecahkan kepala
kalian!" teriak si muka biru garang lalu kembali menyerbu dengan dua
kepalan diayunkan. Yang satu menyerang Si Botak Mats Buta, yang lainnya
menghantam ke arah dada Panji Kenanga.
Murid Brahmana dari gunung
Raung itu menggeser kakinya kesamping, menepis lengan lawan dengan lengan
kirinya. Sewaktu masing-masing lengan saling beradu, Panji Kenanga mengigit
bibir karena merasakan lengannya pedas bukan main. Di lain pihak si muka biru
tak kurang kagetnya karena ternyata tenaga dorong lengan lawan sanggup menepis
demikian rupa hingga bukan saja serangannya terhadap si pemuda gagal, tapi
serangan yang ditujukan pada Si Botak Mats Buta pun meleset akibat tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang hampir sejauh dua langkah!
Semua itu membuat amarah si
gendut ini semakin memuncak. Tiga perempat tenaga dalamnya kini disalurkan ke
tangan kanan. Lengan kanannya kembali memancarkan sinar biru. Kali ini lebih
biru dan gelap dari yang tadi. Panji Kenanga maklum kalau lawan kini siap-siap
akan melancarkan pukulan saktinya disertai tenaga dalam yang jauh lebih besar
dari sebelumnya. Maka diapun tidak menunggu lebih lama dan segera menyalurkan
tiga perempat tenaga dalamnya ke tangan kanan. Begitu lawan melancarkan pukulan
"kelabang biru" yang mengandung racun mematikan itu, Panji Kenanga
segera menyambut dengan satu pukulan yang tak kalah hebatnya, yang menebar
selarik sinar putih ke abu-abuan.
Dua pukulan sakti saling
bentrokan. Karena masing-masing dialiri tenaga dalam yang tinggi maka pertemua
dua tenaga tersebut menimbulkan suara seperti letusan. Pohon-pohon bergoyang,
tanah bergetar. Sepasang kaki si muka biru melesak sampai tiga senti ke tanah
sedang kedua kaki Panji Kenanga masuk ke dalam tanah hampir setengah jengkal!
Dari sini nyatalah meski
masing-masing pihak sama-sama mengandalkan tenaga dalam sebanyak tiga perempat
bagian namun tingkat atau mutu kekuatan tenaga dalam yang dimiliki si muka biru
lebih sempurna dari yang dikuasai Panji Kenanga. Hai ini adalah wajar karena Panji
Kenanga masih terlalu muda, kurang pengalaman dan masih banyak harus berlatih
sementara lawannya sudah belasan tahun malang melintang di dunia persilatan dan
terus menerus melatih diri.
Panji Kenanga yang memaklumi
sepenuhnya hal itu bukannya menjadi takut malah sebaliknya sudah siap-siap
untuk maju kembali dengan segala keberanian yang ada meskipun saat itu dadanya
terasa berdeenyut-denyut.
Si gendut muka biru diam-diam
dalam hatinya terheran-heran. Pukulan sakti yang tadi dilepaskan pemuda itu beberapa
tahun lewat pernah disaksikannya namun dia tak ingat lagi siapa yang memiliki
ilmu pukulan tersebut. Disamping itu dia jugs tidak menyangka kalau tingkat
tenaga dalam lawan akan sanggup mengimbangi tenaga dalamnya yang sudah tinggi
itu.
Manusia ini tak sempat untuk
berpikir panjangpanjang karena saat itu si pemuda dilihatnya sudah menerjang ke
hadapannya. Maka terjadilah perkelahian tangan kosong yang seru. Si muka biru
senantiasa berusaha mengadakan bentrokan lengan. Sebaliknya Panji Kenanga yangg
maklum kehebatan sepasang lengan lawan dengan cerdik selalu menghindarkan
terjadinya bentrokan. Dia bergerak gesit kian kemari melancarkan
serangan-serangan kilat yang selalu berubah-ubah sehingga membuat si muka biru
kebingungan.
Memang dalam hal meringankan
tubuh dan kegesitan, si muka biru yang gemuk seperti bola itu agak sulit
menandingi lawannya yang masih muda. Selama bertahun-tahun Panji Kenanga telah
dididik dan melatih diri melompat-lompat di ujung batu-batu sungai yang runcing
dan licin berlumut. Dan kini di tanah datar dengan sendirinya bukan satu hal
yang sukar baginya untuk bergerak lebih cepat dan gesit. Sambil terus bertempur
si muka biru senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan ilmu silat lawannya.
Lambat laun dia mulai dapat menduga-duga. Untuk meyakinkan dugaannya ini maka
diapun membentak.
"Anak setan! Ada sangkut
paut apa kau dengan si tua bangka Lokapala dari gunung Raung?!"
Panji Kenanga kaget. Namun
cepat-cepat menyahuti, "Selesaikan dulu pertempuran ini, baru nanti
bertanya jawab sambil minum-minum kopi!"
"Setan alas!" maki
si muka biru geram sekali. Dia berteriak nyaring dan tubuhnya berkelebat lebih
cepat tapi jaraknya sengaja diperjauh dari lawan hingga dia dapat melancarkan
pukulan-pukulan "kelabang biru" dengan leluasa.
Menghadapi ilmu pukulan lawan
yang ampuh ini membuat serangan Panji Kenanga mengendur dan beberapa jurus
kemudian pemuda ini terpaksa berada di bawah angin. Si muka biru melipat
gandakan kecepatan gerakannya, begitu juga tenaga dalamnya sehingga Panji
Kenanga semakin terdesak. Meskipun Panji telah mengeluarkan pula
pukulan-pukulan saktinya seperti yang bernama "mega putih"
namun tidak ada gunanya.
Dirinya tambah lama tambah kepepet. Dan pemuda ini mulai berpikir-pikir untuk
mengeluarkan pedang Gajah Biru yang diberikan gurunya. Tapi karena lawan ma’sih
bertempur dengan tangan kosong, hatinya merasa bimbang untuk mengeluarkan
senjata tersebut. Dalam pada itu keadaannya semakin kritis juga.
"Muka biru! Keluarkan
senjatamu!" seru Panji Kenanga memancing agar lawan mengeluarkan senjata
dan dengan demikian dia tidak akan merasa sungkan untuk mencabut pedangnya. Si
muka biro tertawa mengejek.
"Untuk melenyapkan bocah
setan macammu ini kenapa pakai senjata segala? Lihat ini jurus
kematianmu!"
Ucapan itu ditutup oleh si
muka biru dengan satu kelebatan tubuh yang luar biasa cepatnya. Tubuhnya lenyap
dan tahu-tahu sudah berada di atas lawannya sambil mengayunkan tiriju yung
laksana palu godam ke kepala Panji Kenanga, Pemuda ini menunduk seraya
menghantamkan pukulan "mega putih" ke perut lawan. Tapi dia
terpedaya.
Begitu Panji Kenanga bergerak
memukul, si muka biru bergeser cepat ke samping. Pukulan "mega putih"
mengenai tempat kosong. Di kejap yang sama si muka biru menyorongkan satu
tendangan kilat ke bawah ketiak kanan Panji Kenanga.
Dalam keadaan tubuh masih
terdorong ke muka karena dalam kuda-kuda memukul, Panji Kenanga sulit sekali
untuk mengelakkan serangan berbahaya itu. Masih diusahakannya untuk mencegah
hantaman kaki lawan dengan coba menekuk sikut memukul tulang kering si muka
biru. Tetapi itupun terlambat karena saat itu ujung kaki kanan lawan sudah
menyelinap di bawah lengannya!
"Celaka!" keluh
Panji Kenanga dalam hati.
***
7
DI SAAT itu, tiba-tiba
terdengar suara bergelak. Satu gelombang angin yang amat deras menderu, membuat
kedua orang yang tengah berkelahi terpelanting sejauh setengah tombak!
"Tapak Biru! Kau memang
terlalu banyak mencari urusan dengan orang lain!"
Panji Kenanga dan si muka biru
yang ternyata bernama Tapak Biru sama-sama memalingkan kepala ke arah datangnya
suara. Yang bicara ternyata adalah Si Botak Mata Buta yang saat itu telah
bangun dari tidurnya tapi masih duduk di bawah pohon sambil mengucak-ucak
sepasang matanya yang tidak melihat.
"Botak buta sialan!
Memang kalau tidak kubunuh kau sekarang tidak tenteram rasa hatiku! Ini
mampuslah!" Tapak Biru lalu memukulkan tangan kirinya ke arah pohon. Untuk
kesekian kalinya pukulan kelabang biru berkelebat di situ.
"Mentang-mentang memiliki
pukulan baru yang diandalkan sikapmu sombong selangit," ejek Si Botak Mata
Buta. "Cuhh!" dia meludah ke tanah dan mengangkat tangan kirinya.
Satu gelombang dingin bersiuran keluar dari telapak tangan orang ini dan
sekaligus memusnahkan serangan yang amat diandalkan Tapak Biru! Tapak Biru
sampai menyurut beberapa langkah melihat bagaimana ilmu pukulannya dibikin
musnah semudah itu.
"Sialan! Tidak kusangka
bangsat buta ini sudah maju kesaktiannya begitu jauh!" maki Tapak Biru
dalam hati. Lalu dia berteriak, "Botak! Berdirilah. Mari kita bertempur
sampai seribu jurus!"
"Baik orang gendut,"
jawab Si Botak Mata Buto seraya berdiri dengan sikap acuh tak acuh dan sambil
tepuk-tepuk pantat celana komprangnya.
Justru di saat itu Tapak Biru
sudah menerjang menyerangnya dengan satu tendangan kilat. Si Botak tertawa.
"Kelicikanmu masih seperti dulu saja, gendut!" Lalu dia cepat-cepat
menyingkir dan akibatnya tendangan Tapak Biru mengenai batang pohon di
sampingnya hingga patah dan tumbang dan menjadi biru akibat racun kelabang
biru.
Penasaran Tapak Biru
membalikkan tubuhnya dan kembali lepaskan pukulan kelabang biru ke depan. Di
belakangnya terdengar gelak tertawa mengejek.
"Kau toh tidak buta
sepertiku, Tapak Biru. Kenapa menyerang tempat kosong?"
Secepat kilat Tapak Biru
memutar tubuh dan sekali lagi lepaskan pukulan saktinya. Namun lagi-lagi dia
mendengar suara tawa dari arah belakang. Si Botak Mata Buta ternyata telah
mempermainkannya. Sebenarnya si buta ini tidak berada di belakangnya. Namun
karena dia memiliki semacam ilmu memindahkan suara maka suaranya terdengar
seperti datang dari belakang, padahal dia berada di tempat lain tak jauh dari
situ!
Menyaksikan bagaimana si buta
mempermainkan Tapak Biru mau tak mau Panji Kenanga merasa kagum sekali.
"Botak mata buta mengapa
kau hanya berani berkelahi dengan cara pengecut begitu?!" damprat Tapak
Biru marah sekali. Rahanqnya bertonjolan dan dari balik pakaiannya dia
mengeluarkan sebuah benda bulat sepanjang dua jengkal. Ternyata adalah sebuah
seruling yang terbuat dari perak. Sementara itu keadaan di tempat itu telah
berubaah menjadi gelap. Apalagi di situ penuh ditumbuhi pohon-pohon berdaun
rapat sekali.
"Cara berkelahi bagaimana
yang kau inginkan Tapak Biru?" bertanya si buta.
"Mari kita
berhadap-hadapan mengadu kekuatan batin!"
"Oh, begitu? Mengadu
kekuatan batin berarti tidak mempergunakan senjata bukan heh?!"
Terkejutlah Tapak Biru sedang
Panji Kenanga melengak terpaku di tempatnya. Keduanya tak habis pikir.
Bagaimana orang buta ini mengetahui kalau lawannya mengeluarkan dan memegang
senjata? Meskipun buta namun saat itu tidaklah terlalu sulit bagi Si Botak Mata
Buta untuk mengetahui bahwa Tapak Biru telah mengeluarkan senjata. Sinar
terakhir matahari yang merambas dari barat telah menimpa seruling yang terbuat
dari perak. Sinarnya memantul dan memijar ke muka si botak. Sekalipun buta tapi
pijaran sinar itu masih dapat dirasakan oleh urat-urat syarap di belakang
matanya. Cuma tentu saja dia tidak jelas senjata apa yang ada di tangan lawan
saat itu.
Tanpa perdulikan ejekan lawan
Tapak Biru mementang kedua kakinya, mengalirkari tenaga dalam ke perut dan
mendekatkan ujung seruling ke bibirnya. Terdengar suara seruling mengalun.
Mula-mula perlahan lalu makin keras dan makin merdu. Si botak bergerak-gerak
sepasang matanya yang buta. Baik dia maupun Panji Kenanga sama-sama tercekat
dengan alunan suara seruling itu. Namun tanpa disadari oleh Panji Kenanga,
lambat laun kepalanya menjadi pusing dan berat sedang pemandangannya mulai
berbinar-binar. Lututnya goyah dan tubuhnya perlahan-lahan jatuh duduk di
tanah!
Sebaliknya Si Botak Mata Buta
masih juga berdiri tak bergerak di tempatnya. Keningnya mengerenyit. Ada
kelainan dirasakannya pada denyutan nadinya serta aliran darahnya. Namun di
mulutnya tersungging satu senyuman. Setelah menutup jalan pendengarannya diapun
membuka mulut,
"Tapak Biru, sejak kapan
kau memiliki suling itu? Pasti itu senjata curian heh? Bagusnya kau mengamen
masuk kampung keluar kampung, pasti kau bakal mengantongi banyak uang!"
Tapak Biru tidak perdulikan
ejekan lawannya. Tiupan serulingnya semakin keras dan tambah merdu.
"Ah, nyanyianmu dari itu
ke itu juga Tapak Biru. Bosan telingaku mendengarnya!" kata Si Botak Mata
Buta. Lalu diputarnya tangannya di udara tujuh kali berturut-turut. Pada akhir
putaran tangan yang ketujuh maka terdengarlah suara menderu seperti suara angin
punting beliung. Mula-mula perlahan, makin lamamakin keras hingga menelan suara
tiupan seruling Tapak Biru.
Betapapun Tapak Biru
memperkeras tiupan serulingnya tetap saja tak terdengar dalam bisingnya suara
angin yang diciptakan Si Botak Mata Buta. Malah kini kelihatan si muka biru
tubuhnya bergetar dan pakaian serta rambutnya melambai-lambai sedang Panji
Kenanga yang tadi terduduk di tanah, begitu suara seruling lenyap baru dia
kembali sadar diri dan cepat bangkit. Namun begitu berdiri angin punting
beliung itu membuatnya terhuyung-huyung.
Pemuda ini mengerahkan tenaga
dalamnya. Tetap saja tubuhnya bergetar dan lututnya sampat goyah. Cepat-cepat
dia mendekati sebuah pohon dan bersandar di situ. Putus asa dan jengkel Tapak
Biru hentikan tiupan seruling peraknya.
"Bangsat botak ini
terlalu lihay bagiku. Di lain hari saja kelak aku bakal menyelesaikan urusan
dengan dia," gerutu Tapak Biru dalam hati.
"Hai gendut pendek!
Kenapa kau berhenti main suling?" tanya Si Botak Mata Buta.
"Sayang aku tak punya
waktu banyak untuk melayanimu," sahut Tapak Biru berdalih. "Hari ini
masih kuberi kesempatan padamu untuk bernafas beberapa lama lagi. Kelak walau
bagaimana nyawa anjingmu akan kutagih untuk melunasi hutang jiwa kematian adikku!"
Si botak tertawa gelak-gelak.
Patut diketahui sampai saat itu sepuluh keping uang emas masih menempel di atas
batok kepalanya yang plontos.
"Kau memang pandai
bersilat lidah. Tak apalah. Kau boleh pergi. Tapi berikan dulu, suling curianmu
itu padaku!"
"Jangan temahak jadi
manusia!" damprat Tapak Biru. "Suling ini akan kuberikan padamu jika
kau sudah kubunuh. Sebagai temanmu dalam liang kubur!"
Si botak usap-usap dagunya dan
berkata, "Kalau begitu kau boleh pilih Tapak Biru. Tinggalkan suling itu
atau tinggalkan nyawamu!"
"Botak, jangan melantur!
Hari sudah mau malam. Tak banyak waktu untuk mendengarkan celotehanmu!"
"Selesai berkata begitu
Tapak Biru cepat-cepat memutar tubuh hendak berlalu. Di belakangnya terdengar
si botak berseru.
"Suling atau nyawamu,
gendut!"
Di kejap itu juga si botak
sudah berada di hadapan Tapak Biru, menghadang larinya. Tapak Biru berkelebat
ke jurusan lain. Namun lebih cepat dari itu si botak sudah menghadang pula di
depannya. Sekali lagi dia melesat ke samping, sekali lagi pula si botak muncul
menghadang di hadapannya. Dihalangi begitu rupa Tapak Biru jadi marah sekali
tapi juga bingung melihat kehebatan lawan. Dia menerjang dengan menghujamkan
suling perak ke arah kening lawan. Yang diserang begitu merasakan datangnya
angin serangan ke arah kepalanya, cepat menunduk lalu menggerakkan kedua
tangannya serentak. Yang kiri memukul dada Tapak Biru sedang yang kanan
menyantakkan seruling perak.
Tapak Biru terpekik kesakitan.
Disamping itu dia juas terkejut karena suling perak di tangan kanannya tiada
lagi sedang di depannya Si Botak Mata Buta tertawa gelak-gelak.
"Masih inginkan suling
ini! Ambillah!" kata si botak seraya bolang-balingkan suling perak yang
kini berada dalam genggamannya.
Tapak Biru mendengus dan
membantingkan kaki ke tanah lalu meninggalkan tempat itu diantar suara tertawa
mengekeh si botak. Selagi Panji Kenanga menyaksikan hal itu dengan menahan tawa
tiba-tiba si botak berkelebat dan tahu-tahu Panji Kenanga merasakan satu
pukulan keras menghantam belakang kepalanya. Tak ampun lagi murid Brahmana
Lokapala dari gunung Raung ini roboh dan pingsan!
***
8
KETIKA Panji Kenanga sadarkan
diri didapatinya hari telah malam. Keadaan sekitarnya gelap gulita. Tiupan
angin dingin sekali menusuk tulang-tulangnya. Di kejauhan sesekali terdenger
suara burung hantu mambuat auasana serasa mengerikan. Perlahan-lahan pemuda ini
berdiri. Dirabanya bagian belakang kepalanya yang terasa mendenyut sakit. Dia
terkejut sewaktu satu bayangan putih besar bergerak di sampingnya. Ketika dia
berpaling tarnyata adalah kuda kesayangannya Angin Salju. Panji tersenyum dan
menarik nafas lega. Dijentikkannya tangannya memberi tanda. Binatang itu datang
mendekat.
Panji Kenanga langsung naik ke
punggung Angin Salju. Sambil mengusap leher kuda ini dia berkata, "Bawa
aku keluar dari tempat celaka ini, sobat."
Seakan mengerti akan maksud
tuannya Angin Salju melompat dan lari meninggalkan tempat itu. Tak lama
kemudian binatang ini sudah menempuh sebuah jalan kecil yang menuju ke sebuah
bukit. Dalam kencangnya lari Angin Salju, Panji Kananga merasakan sesuatu
menggandul di leher serta memukul-mukul dadanya. Sebenamya hal itu terasa sejak
tadi namun karena pemuda ini hanya memikirkan peristiwa yang barusan dialami
maka hal itu tak terperhatikan olehnya.
Panji Kenanga menunduk
memperhatikan dadanya. Terkejutlah pemuda ini. Tangan kanannya menyentak tali
kekang kuda hingga Angin Salju dengan serta merta hentikan larinya. Pada
sehelai benang yang terkalung dilehernya menggandul sebuah benda putih panjang
yang bukan lain adalah seruling perak yang telah dirampas Si Botak Mata Buta
dari tangan Tapak Biru.
"Bagaimana benda ini bisa
tergantung pada leherku?" tanya Panji Kenanga pada diri sendiri.
Digerakkannya tangannya.
Sekali renggut putuslah benang penggantung seruling. Panji menimang-nimang
benda itu beberapa lama dan berpikir-pikir. Tak dapat disangsikan lagi tentu Si
Botak Mate Buta yang punya kerja. Mula-mula orang aneh itu memukul kepalanya
hingga pingsan. Dalam keadaan pingaan lalu dia menggantungkan seruling perak di
lehernya.
"Tapi mengapa hal itu
dilakukannya?" muncul lagi pertanyaan baru dalam hati si pemuda. Dan
pertanyaan ini tak kunjung dapat dijawabnya.
Panji memandang ke langit.
Bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip. Bulan sabit muncul di balik
sekelompok awan. Si pemuda meneliti suling perak di tangan kanannya itu. Pada
waktu itulah dilihatnya segulung kertas pada ujung sebelah bawah. Segera
gulungan kertas ini dicabutnya. Ketika dibuka di dalamnya ternyata ada beberapa
baris tulisan yang berbunyi.:
Pembalasan harus dilakukan
Tapi akal pikiran harus
diutamakan
Kutitipkan Suling Perak padamu
Bertemu pemiliknya harap
serahkan.
Walaupun di bawah tulisan itu
tidak tertera tanda atau nama pembuat surat namun Panji Kenanga sudah bisa menduga
bahwa surat itu dibuat oleh orang botak yang lihay itu. Dua kali orang itu
memberi nasihat agar mempergunakan akal pikiran bila dia hendak melakukan
pembalasan. Pertama dalam nyanyian pada pertemuan waktu hujan lebat dan kedua
dalam surat tersebut "Kalau begitu besar kemungkinan dugaanku
meleset," kata Panji dalam hati. "Agaknya dia bukan kaki tangan atau
bergundal Istana Darah." Kembali Panji menimang-nimang suiing perak itu.
Siapakah gerangan pemilik sebenarnya benda itu? Mengapa justru Si Botak Mata
Buta menitinpkannya padanya? Akhirnya Panji menyelipkan suling tersebut di
balik pinggang pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan tanpa memperdulikan lagi
kemana Angin Salju membawanya. Tak selang berapa lama di kejauhant kelihatan
kelap-kelip nyala api.
"Sobatku, larilah ke arah
nyala api itu. Di sana pasti ada sebuah desa atau kampung. Kita bisa istirahat
di sana malam ini," bisik Panji Kenanga.
Angin Salju mengeluarkan suara
reperti melenguh tanda dia mengerti betul apa yang dimaksudkan tuannya. Dan
binatang ini lebih mempercepat larinya.
***
Kampung Warnasari sebenarnya
tak tepat lagi disebut sebagai kampung karena jumlah rumah yang ada di situ
banyak sekali. Di samping itu terdapat pula tiga buah jalan besar serta
jalan-jalan kecil. Lebih tepat kiranya bilamana Warnasari dikatakan sebagai
sebuah kota kecil. Malam itu Warnasari diliputi kesunyian. Namun kesunyian
sekali ini jauh berbeda denqan kesunyian seperti biasanya. Kesunyian kali ini
adalah kesunyian yang dipaksakan oleh keadaan. Dan keadaan itu dibuat oleh
sekelompok orang-orang yang saat itu berada di kedai paling besar di Warnasari.
Dalam kedai itu suasana
biasanya ramai. Suara orang-orang yang asyik mengobrol sesekali dipecahkan oleh
gelak tawa berderai. Tiga orang laki-laki berpakaian serba hitam dan bertampang
bengis duduk di tengah kedai. Mereka inilah yang membuat suasana tidak seperti
biasanya lagi. Tak ada yang berani bicara keras apalagi tertawa.
Di atas meja di hadapan mereka
terhidang segala macam makanan yang enak-enak serta minuman yang lezat-lezat.
Demikian banyaknya makanan dan minuman itu hingga dua buah meja terpaksa
digabung menjadi satu.
Pemilik kedai seorang
laki-laki tua bemama Ki Sepuh Bawean, berdiri di sudut kedai dengan muka
seputih kertas, lutut gemetar. Tiga orang pelayan berdiri disampingnya. Seperti
pemilik kedai para pelayan inipun berada dalam ketakutan yang amat sangat.
Sebelumnya kedai itu dipenuhi oleh selusin tamu. Namun begitu tiga manusia ini
masuk, para tamu yang ada di situ cepat-cepat membayar makanan dan minuman
masing-masing lalu keluar dari kedai. Bahkan ada di antara mereka yang belum
sempat mencicipi makanan ataupun minuman namun karena kawatir cepat-cepat saja
berlalu.
Tiga tamu berpakaian serba
hitam melahap makanan di atas meja laksana singa-singa buas yang telah
berhari-hari tidak makan. Di pintu belakang kedai tiga orang berseragam hitam
lagi tampak berdiri sedang di pintu depan lima orang dengan pakaian yang sama
tampak berjaga-jaga sambil bertolak pinggang dan menghisap rokok.
"Hai Bawean!" sentak
salah seorang dari tiga laki-laki yang tengah makan dalam kedai. "Bawa ke
sini satu kendi tuak baru untukku!"
Dengan tergopoh-gopoh pemilik
kedai meninggalkan tempatnya kemudian muncul kembali membawa sebuah kendi
berisi tuak. Minuman ini di letakkannya dengan sangat hati-hati di atas meja
lalu kembali ke tempatnya semula di sudut kedai menunggu perintah selanjutnya.
"Lama juga anak-anak
pergi memanggil kepala kampung itu," kata salah seorang yang duduk melahap
makanan. Namanya Ronggokarapan. Dia adalah kepala dari semua orang yang
berpakaian serba hitam itu. Pimpinan gerombolan rampok yang paling ditakuti di
daarah sekitar hulu Kali Bedadung. Dua orang yang ikut makan bersamanya adalah
orang-orang kepercayaannya alias tangan kanannya yang masing-masing bernama
Randuwongso dan Taliwongso. Keduanya kakak beradik.
Dulunya Randuwongso dan
Taliwongso merupakan pimpinan rampok yang malang melintang sepanjang Kali
Bedadung. Dalam masa yang sama di daratan Ronggokarapan bersama beberapa anak
buahnya melakukan kejahatan yang serupa. Pada suatu kali terjadilah pertemuan
yang tidak disangka-sangka antara duao kelompok penjahat itu. Pertempuran tak
dapat dihindarkan. Namun Ronggokarapan memiliki ilmu silat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan dua bersaudara itu. Taliwongso dan Randuwongso berhasil
dikalahkannya dan sejak itu Ronggokarapan menjadi pimpinan dari gabungan dua
kelompok penjahat itu. Meskipun dua bersaudara Wongso itu pada dasarnya menanam
dendam kesumat terhadap Ronggokarapan namun mereka menyadari adalah mencari
mati jika mereka berani melakukan sesuatu selagi ilmu kepandaian mereka jauh di
bawah Ronggokarapan.
Di kejauhan terdengar derap
kaki kuda.
"Itu pasti
anak-anak," kata Randuwongso.
Ronggokarapan menyeringai.
"Kali ini kepala kampung itu
harus dihajar habis-habisan. Biar dia tahu rasa!" kata pamimpin rampok itu
lalu memandang ke pintu. Saat itu di luar kedai suara rentak kaki kuda
terdengar semakin dekat. Lima anak buah rampok yang tegak di ambang pintu
memandang ke ujung jalan.
Tak selang berapa lama dari
tikungan di ujung jalan muncullah seekor kuda putih berikut penunggangnya.
Mendekati kedai itu si penunggang memperlambat lari kudanya. Di depan kedai
dilihatnya hampir seluruh kuda tertambat sedang di ambang pintu lima orang
berpakaian serba hitam dan rata-rata bertampang buas tegak berjejer membuat
hatinya kurang enak dan curiga.
Si penunggang kuda yang bukan
lain adalah Panji Kenanga berpikir sejenak. Lalu menghentikan Angin Salju di
depan kedai dan melompat turun. Perutnya sangat lapar dan memang dia musti
berhenti di situ karena malam buta begini di mana pula akan mencari kedai lain
yang masih buka. Dia tengah melangkah ke pintu kedai ketika salah seorang dari
lima manusia yang tegak menghadang di pintu masuk menegurnya. "Orang muda,
putar langkahmu. Tak satu orangpun boleh masuk ke dalam!"
Panji Kenanga berpaling don
memandang muka orang itu.
"Memangnya ads apa?"
tanya si pemuda.
"Tak usah banyak
bacot!" sentak kawan rampok yang satu lagi. "Masih untung kau disuruh
pergi baikbaik. Kalau cuma roh busukmu yang disuruh minggat sedang tubuh
anjingmu tinggal di sini, baru kau tahu rasa!"
"Oh, kalau begitu itu
lain ceritanya sobat," Mata Panji Kenanga seraya tersenyum. Dia sudah
maklum kini dengan manusia-manusia macam apa sebenarnya dia sedang berhadapan.
Acuh tak acuh dia meneruskan langkahnya menuju pintu kedai.
"Kurang ajar! Dikiranya
kita ini siapa!"
Rampok yang membentak melompat
ke hadapan Panji Kenanga seraya bacokkan goloknya ke kepala pemuda ini. Si
pemuda cepat manyingkir. Golok yang menderu menembus udara kosong terus
menghantam dinding kedai!
***
9
"HAI! Ada apa ribut-ribut
di luar sana?!" terdengar bentakan Ronggokarapan dari dalam kedai. Kedua
pembantunya segera berdiri dan melangkah ke pintu.
"Ada apa disini?!" tanya
Randuwongso.
"Pemuda kurang ajar ini
hendak memaksa masuk ke dalam kedai!” jawab salah seorang perampok.
"Bah, kukira ada apa.
Hanya seekor monyet kesasar kalian ribut-ribut macam orang keblinger!"
kata Taliwongso lalu kembali masuk ke dalam. Sementara itu sambil bertolak
pinggang Randuwongso menatap si pemuda asing dan bertanya dengan kasar.
"Pemuda hina dina, kau
siapa?!"
"Namaku Panji Kenanga.
Aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh masuk ke dalam kedai. Toh kedai ini
bukan punya nenek moyangnya!"
"Hem…" Randuwdngso
tersenyum buruk lalu berkata, "Kau tidak mengerti. Jadi mau kubikin
mengerti?"
Dia berpaling pada lima orang
anak buahnya yang ada di halaman kedai. "Hajar monyet alas ini sampai dia
mengerti!"
Serempak dengan itu kelima orang
perampok tersebut menerjang menyerang Panji Kenanga. Namun gerakan mereka
terhenti karena saat itu dari dalam kedai terdengar seruan Ronggokarapan.
"Randu! Biarkan monyet
alas kesasar itu masuk! Aku mau lihat tampangnya!"
Melihat orang-orang disitu tak
jadi turunkan tangan jahat mengeroyoknya karena ada yang berteriak dari dalam.
Panji Kenanga segera dapat menduga. Siapapun adanya orang yang barusan berseru
dia pastilah pemimpin dari keseluruhan manusia-manusia jahat yang ada di tempat
itu.
Panji Kenanga tersenyum pada
orang-orang yang ada di sekelilingnya dan berkata, "Nah, apa kataku. Kedai
ini bukan milik nenek moyang kalian, kan? Buktinya pemimpin kalian sendiri yang
mengundangku masuk!" Habis berkata begitu dengan lenggang kangkung Panji
Kenanga melangkah masuk ke dalam kedai. Satu hal yang tak terduga terjadi
sewaktu pemuda ini baru saja masuk dua langkah ke dalam kedai. Sebuah benda
melayang pesat ke arah kepalanya!
Saking cepatnya benda itu
melesat Panji Kenanga tak sempat mengenali benda apa adanya namun dengan
cekatan dia menundukkan kepala dan berhasil mengelakkan hantaman benda
tersebut. Seseat kemudian di belakangnya terdengar suara benda tadi pecah
berantakan. Pemuda ini melirik. Ternyata sebuah gelas besar yang telah
dilemparkan ke kepalanya. Yang melempar adalah lelaki yang duduk mengangkat
kaki di belakang meja makan di tengah kedai, bermata merah buas, bercambang
bawuk dan berbibir tebal. Dialah Ronggokarapan.
"Bagus, sanggup juga kau
mengelak ya?" kata si kepala rampok sambil menyeringai. "Sekarang
coba elakkan yang ini!" Kedua tangannya yang bertelapak tebal dan
berjari-jari besar digebrakkan ke atas meja. Hebatnya, lima buah piring berisi
makanan dan tiga buah gelas di atas meja itu laksana anak panah lepas dari
busurnya, melesat ke arah delapan bagian tubuh Panji Kenanga!
Kaget murid Brahmana Lokapala
itu bukan main. Tidak disangkanya pemimpin rampok tergebut memiliki kepandaian
begitu hebat. Dengan gesit Panji Kenanga cabut suling perak dari balik
pinggangnya. Lalu terdengar suara trang-trang-trang sampai delapan kali
berturut-turut. Lima buah piring dan tiga gelas berhamburan pecah ke lantai.
Kini Ronggokarapan yang ganti
terkejut.
"Sobat mata merah! Ini
kukembalikan seranganmu!" seru Panji Kenanga tiba-tiba. Si pemuda hantamkan
kaki kanannya ke lantai kedai. Puluhan pecahan piring dan gelas yang ada di
lantai, laksana daun kering dihembus angin, menderu menyambar ke arah pemimpin
rampok Kali Bedadung itu!
Saking kagetnya melihat
kejadian yang sebelumnya tak pernah disaksikannya itu Ronggokarapan sampai
keluarkan seruan tertahan. Namun dia tahu kalau bahaya mengancam. Kedua
tangannya turun dengan cepat ke bawah dan di lain kejap dia telah mengangkat
meja makan besar itu ke atas untuk melindungi tubuhnya. Puluhan beling pecahan
gelas dan piring menancap pada papan meja. Belasan lainnya bertebaran lewat di
sampingnya. Dapat dibayangkan bagaimana kalau puluhan pecahan kaca itu menancap
di kepala dan tubuh Ronggokarapan!
"Orang muda, terima kasih
atas serangan balasanmu!" kata si kepala rampok keren. "Kau menang.
Dan terimalah hadiah kemenanganmu ini!" terdengar suara Ronggokarapan
tertawa dari balik meja. Di lain ketika tiba-tiba meja yang besar yang terbuat
dari kayu jati dan beratnya tidak kurang dari tujuh puluh kati itu
dilemparkannya ke arah Panji Kenanga. Meja itu menderu dahsyat laksana dihantam
topan. Panji Kenanga tampak tak bergerak di tempatnya. Tiga jengkal lagi meja
besar itu akan melabraknya, pemuda ini angkat kedua tangannya menangkap dua
dari empat kaki meja. Lalu dengan gerakan seperti seorang main akrobat meja
yang berat itu diletakkannya baik-baik ke lantai tanpa menimbulkan suara
sedikitpun!
Semua mata memandang hampir
tak berkedip pada pemuda itu. Keadaan dalam kedai jadi sunyi senyap. Di ujung
kiri pemilik kedai berdiri dengan tubuh menggigil. Apa yang disaksikannya tadi
sungguh membuatnya kagum luar biasa tetapi sekaligus juga membuatnya ketakutan.
Kalau dua orang berilmu tinggi baku hantam dalam kedainya, pastilah segala
perabotan yang ada di situ akan porak poranda. Bahkan bukan mustahil kedainya
akan amblas roboh!
Di luar, terdengar derap kaki
kuda. Tak lama kemudian tiga orang berpakaian hitam masuk ke dalam kedai
menggiring seorang lelaki tua berambut putih, berpipi cekung dan melangkah
terbungkuk-bungkuk. Ronggokarapan tidak acuhkan orang-orang yang masuk ini. Dia
memandang tak berkedip pada Panji Kenanga. Otaknya jalan.
"Ilmunya tinggi,"
membatin Ronggokarapan. "Kalau tenaganya dapat kupergunakan, seumur hidup
aku bakal enak ongkang-ongkang kaki …"
Kepala rampok itu tersenyum.
"Sobat muda!" katanya seraya lembaikan tangan kiri. "Antara kita
tak ada saling sengketa apa-apa. Lupakan cara berkenalanku yang agak kasar
tadi!" Dia lalu berpaling pada pemilik kedai dan memerintah, "Bawean,
siapkan makanan dan minuman yang paling lezat dan hidangkan pada pemuda ini.
Cepat!"
Tanpa banyak bicara, dengan
ketakutan Ki Sepuh Bawean segera lakukan apa yang diperintahkan Rondokarpan.
"Sobatku, kau duduklah
tenang-tenang di kursi sana, nanti kita bicara lagi," kata si kepala
rampok.
Sementara itu Randuwongso
datang melapor. "Pemimpin, anak-anak sudah membawa kepala kampung
kemari."
Ronggokarapan berpaling. Dia
memandang pada lelaki tua berambut putih yang berdiri dengan muka pucat pasi
don gemetaran di hadapannya.
"Lawang Kuning!"
kata Ronggokarapan menyebut nama Kepala kampung Warnasari itu. "Ingat apa
yang kuperintahkan tempo hari?!"
Kepala kampung itu mengangguk
berulang-ulang. "Jawab! Dengan mulut!" hardik Taliwongso dan
tangannya bergerak menjambak rambut orang tua itu hingga dia merintih
kesakitan.
"Ak . . . aku ingat
Ronggo," Lawang Kuning akhirnya membuka mulut sambil mengerenyit kesakitan
karena rambutnya masih dijambak keras oleh Taliwongso.
"Bagus. Kalau ingat
mengapa tidak kau laksanakan!"
"Sulit Ronggo. Sulit!
Orang kampung mana ada yang punya uang dan perhiasan. Kami di sini miskin
semua…"
"Sulit atau tidak aku
tidak perduli! Miskin atau kaya aku tidak mau tahu!" damprat
Ronggokarapan.
Randuwongso ikut menghardik.
"Dulu kowe bilang bersedia melaksanakan. Mengumpulkan semua harta benda
perhiasan orang-orang di sini. Sekarang banyak dalihmu tua bangka!"
Penduduk di sini rata-rata
punya sawah ladang. Ternak!" yang bicara kini adalah Taliwongso.
"Rumah mereka bagus-bagus. Mustahil tidak punya uang dan perhiasan."
Ronggokarapan geleng-geleng
kepala dan tepuk-tepuk pipi kempot Lawang Kuning. "Kalau tidak ingat
persahabatan kita dulu, aku sudah pisahkan kepala dan badanmu, Lawang…"
"Justru kalau masih
menganggap aku sahabat nengapa kau lakukan tindakan jahat terhadapku? Dan
terhadap penduduk Warnasari yang tidak berdosa, tak punya apa-apa!" Lawang
Kuning memberanikan diri menyahuti.
Kepala rampok itu tertawa
gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Dan plak! Satu tamparan mendarat
di muka kepala kampung tua itu. Lawang Kuning jatuh terjelapak di lantai.
Pemandangannya berkunang-kunang. Pipinya sakit bukan main. Dia merasakan darah
mengalir di sela bibirnya yang pecah.
"Hajar dia sampai
konyol!" perintah Ronggokarapan pada anak-anak buahnya. Lalu dia duduk ke
sebuah kursi.
Yang pertama sekali turun
tangan adalah Randuwongso. Kaki kanannya menendang punggung kepala kampung yang
masih terduduk nanar di lantai.
Bukk!
Tendangan mendarat di punggung
Lawang Kuning. Orang tua ini menjerit mengenaskan. Tubuhnya mencelat menghantam
dinding kedai sebelah kamar lalu tergelimpang ke lantai. Dari mulutnya
terdengar suara erangan. Lalu diam. Entah pingsan entah mati.
Sesosok tubuh melompat ke
hadapan Randuwongso.
"Bangsat! Kau mau
apa?!" sentak Randuwongso ketika melihat ternyata Panji Kenanga yang
rnenghadangnya.
"Mau mematahkan kakimu
yang tadi dipakai menendang!" jawab Panji Kenanqa geram.
"Sobat, jangan jadi orang
tolol," berseru Ronggokarapan. "Aku sudah punya rencana bagus
untukmu. Biarkan saja tua bangka itu konyol. Tidak sekarang lusapun dia akan
mampus juga!"
Panji Kenanga menyeringai.
"Kalaupun orang tua ini mati, maka harus ada yang mengantarkannya ke
akheratl" Lalu secepat kilat Panji Kenanga kirim kan satu jotosan ke dada
Randuwongso. Yang diserang terkejut tak menyangka. Masih untung dia tidak ayal
dan sempat mengelak. Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi di dalam kedal itu.
Semula Ronggokarapan hendak
membentak menyuruh hentikan perkelahian itu. Namun selintas pikiran muncul dalam
benaknya. Dengan adanya perkelahian itu dia akan dapat melihat sampai di mana
kehebatan pemuda asing yang menurut rencananya hendak dijadikan tangan kanannya
itu. Baru berkelahi lima jurus Randuwongso sudah terdesak. Ini membuat perampok
tersebut penasaran sekali. Selama ini belum ada orang lain yang dengan tangan
kosong sanggup mendesaknya begitu rupa kecuali pemimpinnya.
Didahului satu bentakan garang
Randuwongso berkelebat gesit mengirimkan serangan-serangan berantai selama tiga
jurus berturut-turut. Tampaknya Randuwongso menjadi nekat. Panji Kenanga
berlaku hati-hati. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat tinggi pemuda ini berkelebat kian kemari sehingga tak satupun
serangan lawan mengenai tubuhnya. Di lain pihak setiap ada kesempatan Panji
Kenanga tidak lupa untuk melancarkan serangan ba!asan yang cukup membuat Randu
menjadi repot.
Setelah berlalu beberapa jurus
Panji mulai melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. Pada satu kesempatan
yang paling baik murid Brahmana Lokapala itu keluarkan jurus yang disebut
"sekuntum bunga menebar harum." Kedua tangannya membuat gerakan
berputar, terpentang ke samping laksana kitiran. Randuwongso merundukkan kepala
melihat serangan aneh itu lalu susupkan satu jotosan ke bagian bawah tubuh
lawan yang lowong.
Namun rampok ini kalah cepat.
Tepi telapak tangan kiri Panji Kenanga mendarat lebih dulu di kuduknya, membuat
Randuwongso tersaruk ke muka hampir jatuh terjerembab di lantai kedai!
Randuwongso menggeram sakit. Tengkuknya kelihatan gembung merah. Ketika dia
berdiri kembali tampak miring. Sepasang bola matanya seperti bernyala-nyala.
Kedua tinjunya terkepal.
"Bangsat! Kalau aku tidak
dapat memuntir betang lehermu, biar aku berhenti jadi orang!"
Randuwongso sudah siap untuk
menerjang Panji Kenanga. Namun saat itu dari arah pintu terdengar suara tawa
bergelak. Suara tawa ini membuat semua orang seperti disirap, tertegun di
tempat masing-masing.
"Yang sudah mampus kalau
bisa ingin hidup kembali! Kenapa yang masih hidup kepingin berhenti jadi
orang?! Kalau tidak sinting pasti sedeng!"
***
10
KETIKA semua orang memandang
ke pintu, mereka melihat seorang pemuda berambut gondrong memasuki kedai dengan
langkah seenaknya dan sambil cengar-cengir. Hebatnya lagi, di bahu kirinya dia
memanggul sesosok tubuh perempuan muda berpakaian merah yang robek-robek di
beberapa tempat hingga menyembulkan kulitnya yang putih mulus.
Si pemuda melangkah ke sebuah
meja di sudut ruangan. Diturunkannya tubuh perempuan yang dipanggulnya lalu
didudukkannya di atas kursi. Semua orang jadi terkesiap ketika menyaksikan
wajah perempuan muda itu. Cantik sekali! Tapi sepasang matanya terpejam,
bibirnya berwarna biru. Sedang tidur, pingsan atau tertotokkah dia, demikian
setiap orang menduga-duga.
Pemuda itu memandang
berkeliling. Meskipun ketika akan masuk tadi dia mengumbar tawa dan ucapan
lantang namun setelah sampai di dalam dia seperti acuh tak acuh saja dengan
segala apa yang terjadi di situ. Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu
menghentikan pandangannya pada orang tua bermuka pucat di seberang sana.
"Bapak, kau pemilik kedai
ini?" tanya si pemuda.
Ki Sepuh Bawean mengangguk.
Agak takut-takut.
"Aku perlu kain untuk
menutup tubuh gadis ini. Di samping itu perutku juga keroncongan …"
Ki Sepuh Bawean memandang
pemuda itu seketika. Dalam hatinya dia berpikir apakah manusia yang satu ini
orang benar atau bangsa sedang brengsek pula yang bakal menambah huru-hara di
kedainya. Kemudian dia memandang pula pada gadis berbaju merah yang duduk
terpejam. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Salah satu robekannya demikian
besar hingga pangkal payu daranya yang sebelah kiri kelihatan tarsembul dengan
jelas.
"Pak tua, lekaslah. Aku
tak punya waktu banyak makan angin di kedaimu ini. Pertolonganmu pasti tak akan
kulupakan."
Ki Sepuh Bawean hendak
beranjak dari tempatnya. Namun Ronggokarsrpan memberi isyarat dengan larnbaian
tangan agar pemilik kedai itu tetap di tempat semula.
Sambil rnenimang-nimang sebuah
paha ayam goreng Ronggokarapan bertanya, "Orang asing, kau siapa?"
"Maaf aku datang ke mari
bukan untuk berbincang-bincang," jawab si pamuda lalu duduk di samping
gadis baju merah yang pingsan. Tentu taja semua orang jadi terkesiap mendengar
jawaban pemuda tak dikenal itu. Ronggokarapan sendiri kelihatan marah tampangnya
dan duduk ternganga.
"Tambah lagi satu orang
edan di kedai ini!" Taliwongso membuka mulut.
Si pemuda tak ambil perduli
ucapan itu. Dia berpaling pada pemilik kedai, dan berkata lagi, "Pak,
tolong berikan apa yang kuminta."
Ki Sepuh Bawean jadi serba
salah dan tak tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia memenuhi permintaan pemuda
itu maka dia bakal mendapat hajaran dari Ronggokarapan dan anak anak huahnya.
Sebaliknya jika dia tidak menolong, hati kecilnya merasa kasihan terhadap tamu
muda tersebut yang kelihatannya memang letih, apalagi menyaksikan keadaan
garlis yang duduk di kursi. Akhirnya pemilik kedai itu cuma bisa angkat bahu.
Pemuda rambut gondrong itu
berdiri.
"Aku tak salahkan engkau
kalau takut pada manusia itu," katanya sambil menunding dengan ibu jari
tangan kiri ke arah Ronggokarapan. "Jangankan engkau, gorilapun pasti akan
kabur melihatnya!"
Selama hidupnya baru kali itu
Ronggokarapan dihina orang demikian rupa, apalagi di depan orang banyak dan di
muka hidung anak buahnya rendiri!
Tangan kanannya menggebrak
meja hingga kayu meja pecah-pecah. Dia berdiri dengan tangan kiri diletakkan di
pinggang.
"Monyet gondrong! Berani
menghina Ronggokarapan berarti berani menghadapi kematian!"
Si pemuda menyeringai.
"Sudahlah, tak sedap bicara denganmu. Dari jauh saja bau mulutmu membuat
hidungku seperti mau tanggal!"
"Bangsat rendah!"
teriak kepala rampok itu. "Mampuslah!" Ronggokaraprrn menggembor.
Tangan kanannya bergetar tanda ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ.
Tiba-tiba dia menghantam ke depan kirimkan satu pukulan tangan kosong. Selarik
angin keras menyambar ke arah dada si pemuda. Meja dan kursi berpelantingan
saking hebatnya. Bahkan beberarapa orang anak buah Rongglokarapan cepat
menyingkir takut terserempet angin pukulan itu.
Yang diserang rupanya juga
bukan manusia sembarangan walau masih muda dan tampangnya kelihatan tolol.
Dengan satu gerakan kilat dia melompat seraya menyambar tubuh gadis yang
didudukkannya di kursi. Baru saja dia berkelebat dari tempat itu, kursi kosong
itu hancur berantakan kena hantaman pukulan tangan kosong Ronggokarapan.
Dinding papan di belakangnya ikut pecah-pecah. Dapat dibayangkan bagaimana
kalau pukulan ganas tadi mengenai tubuh si gadis yang berada dalam keadaan
tidak sadar diri itu!
Baik Ronggokarapan maupun si
pemuda tampaknya sama-sama terkejut. Si pemuda tidak menyangka kalau kepala
rampok itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi dan benar-benar inginkan
nyawanya. Sebaliknya gembong rampok Kali Bedadung itupun tidak mengira kalau si
pemuda bakal sanggup mengelakkan serangannya itu bahkan sekaligus mampu
menyelamatkan gadis di atas kursi!
Diam-diam Ronggokarapan
menyeluh. Mengapa hari ini dia sampai menemui dua orang pemuda yang
berkepandaian demikian tinggi. Urusan dengan pemuda pertama tadi belum selesai.
Kini muncul satu lagi. Apakah kedua orang ini punya hubungan satu sama lain?
Tanpa mengacuhkan kepala
rampok itu, sambil memanggul tubuh gadis yang tak sadarkan diri, pemuda
berambut gondrong bergerak cepat menuju bagian belakang kedai.
"Hai! Kau mau kabur ke
mana?!" bentak Ronggokarapan mengejar.
Di bagian belakang kedai si
pemuda menemukan sehelai kain panjang tergantung. Benda ini segera disambarnya
dan dipergunakan untuk menutupi tubuh gadis yang dipanggulnya. Kemudian dengan
cepat dia mengumpulkan nasi serta lauk yang dapat ditemuinya di tempat itu,
membungkusnya dengan daun dan keluar.
Namun di hadapannya
Ronggokarapan dan tiga anak buahnya telah menghadang. Dalam keadaan seperti itu
si pemuda masih saja bersikap luar biasa. Tanpa rnengacuhkan orang-orang yang
ada di depannya dia berkata pada Ki Sepuh Bawean. "Terserah kau mau bilang
aku pencuri. Perutku betul-betul lapar dan aku tak punya uang untuk membeli
nasi serta lauk yang barusan kubungkus ini. Kain panjang inipun kupinjam dulu.
Atas kebaikanmu aku ucapkan terima kasih. Budi baikmu pasti akan kuingat."
"Bangsat! Lagak bicaramu
seperti pemain sandiwara keliling!" Yang membentak adalah Rongaokarapan.
Lalu tanpa banyak menunggu
lagi dia tusukkan dua jari tangannya ke mata si pemuda. "Sebelum kubunuh
biar kubikin cacat dulu kau!"
"Terima kasih untuk
seranganmu. Ini kuberi dulu hadiah menarik!" menyahuti si pemuda.
Tahu-tahu kaki kanannya sudah menderu ke perut lawan.
Bagaimanapun juga serangan
kaki jauh lebih panjang dari serangan tangan. Akibatnya tendangan kaki itu akan
lebih dulu mencapai sasaran dari pada serangan tangan. Hal ini diketahui benar
oleh Ronggokarapan. Dengan gemas dia mendengus dan cepat mengelak ke samping
kiri. Dari sini dia langsung susul serangannya yang tadi batal dengan satu
jotosan ke arah pelipis kanan pemuda berambut gondrong.
Kali ini si pemuda tidak punya
kesempatan untuk mengelak karena kalau itu dilakukannya dia kawatir pukulan
lawan akan mengenai salah satu bagian tubuh gadis yang berada di panggulannya.
Maka terjadilah satu tontonan yang menarik. Pemuda rambut gondrong lemparkan
bungkusan nasi yang dipegangnya ke udara lalu dengan lengan kanan dia menangkis
pukulan Ronggokarapan. Si kepala rampok lipat gandakan tenaga dalamnya. Dia
yakin sekali tangannya beradu dengan lengan si pemuda maka pemuda itu akan
terjengkang dengan tangan patah!
Sedetik kemudian dua lengan
mereka saling beradu dengan mengeluarkan suara keras. Disusul oleh keluhan
kesakitan keluar dari mulut Ranggokarapan. Ketika dia meneliti ternyata lengan
kanannya berwarna merah dan bengkak sedang tubuhnya sendiri akibat bentrokan
itu terpental sampai empat langkah! Selagi lawan berdiri terkesima dan
kesakitan pemuda rambut gondrong telah menangkap kembali bungkusan nasi yang
tadi dilemparkannya ke udara!
"Keroyok dia! Cincang
sampai lumat!" teriak Ronggokarapan tiba-tiba.
Mendengar perintah itu delapan
anak buah Ronggo termasuk dua bersaudara Wongso menyerbu. Ada yang mengandalkan
tangan kosong tapi kebanyakan merasa lebih aman dengan senjata di tangan.
"Sialan betul, lama-lama
di sini aku bisa berabe! " si pemuda yang menjadi buian-bulanan serangan
mengomel dalam hati. Dia berteriak keras dan kelihatan tubuhnya mencelat ke atas
hampir menyundul langitlangit kedai. Di lain kejap selagi lawan terkejut bahkan
ada yang bingung si pemuda lancarkan tendangantendangan pada kepala atau dada
lawan-lawannya yang berada di bawah.
Randuwongso muntah darah
akibat kena tendangan tepat di dada kirinya, langsung roboh dan tergelimpang
tak sadarkan diri di lantai. Seorang lagi anak buah Ronggokarapan mencelat
sambil menjerit. Hidungnya melesak menghambur darah, bibirnya pecah dan giginya
amblas akibat terkena hantaman tumit si pemuda!
"Bunuh! Pateni!"
teriak Taliwongao yang jadi beringas karane melihat saudaranya roboh tak
berkutik dan disangkanya sudah mati. Golok besarnya menderu membabat pinggul
lawen sementara dua orang anggota rampok lain kirimkan tusukan dari kiri kanan.
Si pemuda berkelebat ke arah pintu. Dua tusukan dapat dielakkannya, sambaran
golok Talliwongso menggores bajunya. Ini membuat dia jadi penasaran dan sebelum
lawan memburu dia pindahkan bungkusan nasi ke tangan kiri.
"Setan alas! Kowe mau
lari ke mana?!" teriak Taliwongso dan mengejar ke pintu karana menyarngka
lawan hendak lari.
"Rampok bau! Siapa bilang
aku mau kabur. Silakan hadiahku ini!" teriak si pemuda lalu putar tangan
kanannya dan menderulah rangkuman angin
***
11
KEDAI Kayu yang tak seberapa
besar itu laksana dilanda angin punting beliung. Benda-benda berpelantingan.
Enam anggota rampok terhuyung-huyung lalu jatuh satu demi satu. Taliwongso
masih sanggup bertahan dari hempasan angin dan dengan golok besar di tangan
kembali menyerang lawan. Si pemuda pukulkan tangan kanannya ke arah Taliwongso.
Kali ini Taliwongo terjajar ke belakang lalu jatuh terjengkang di antara
anggota-anggota rampok lainnya. Ronggokarapan kelihatan berkerut keningnya. Dia
kerahkan seluruh tenaga yang ada agar jangan sampai ikut terseret oleh
gelombang angin yang menggebu-gebu itu. Tubuhnya bergetar. Pakaiannya
berkibar-kibar. Kumis dan cambang bawuknya berjingkrak!
Di sudut lain Panji Kenanga
tegak dengan rangkapkan kedua tangan di depan dada. Diam-diam murid Brahmana
Lokapala ini juga kerahkan tenaga dalamnya agar jangan sampai kena tersapu
sambaran angin yang keluar dari tangan si gondrong. "Siapa adanya pemuda
gagah ini!" tanya Panji Kenanga dalam hati. Jika saja dia tidak memiliki
ilmu yang tinggi pasti sudah sejak tadi terseret oleh gelombang angin.
Ronggokarapan yang juga memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi kerahkan
kekuatannya namun tak urung lututnya masih terasa goyah. Dia mengambil
keputusan untuk menyerbu saja dari pada menderita malu karena jatuh dilanda
angin serangan lawan. Maka didahului satu bentakan keras kepala rampok Kali
Bedadung ini menerjang ke depan. Tangan kanannya dihantamkan ke arah lawan.
Selarik sinar hitam berkiblat
ganas ke jurusan pemuda yang memanggul gadis. Setengah depa lagi sinar ha am
ini akan menghantam mati si pemuda, tiba-tiba dia balas menghantam dengan
tangan kanan, menyongsong datangnya sinar pukulan lawan. Serangkum angin yang
padat dan berbuntal-buntal bulat menderu. Dan punahlah sinar hitam
Ronggokarapan dengan mengeluarkan suara mendesis.
Melihat pukulan "wesi
hitam" yang amat diandalkannya dibikin musnah oleh lawan begitu mudah,
Ronggokarapan menjadi kecut dan lumer nyalinya. Apelagi saat itu ketika
memandang berkeliling dilihatnya anak-anak buahnya masih pada berjelapakan di lantai
tiada daya sedang di ujung sana musuhnya yang lain yakni Panji Kenanga tegak
memandang mengejek ke arahnya.
Tengah kepala rampok ini
berpikir-pikir untuk ambil langkah, seribu mendadak dirasakannya dadanya amat
sakit lalu satu bayangan berkelebat. Ronggo merunduk. Tapi terlambat. Satu
tamparan mendarat di keningnya, laki laki ini melintir lalu jatuh duduk di
lantai dengan pandangan berkunang-kunang.
"Selamat tinggal
Ronggokarapan. Lain kali kita bertemu lagi!" Terdengar seruan pemuda
rambut gondrong dan di lain kejap dia sudah lenyap lewat pintu kedai bersama
gadis di atas panggulnya.
"Hebat sekali pemuda
itu," kata Panji Kenanga dalam hati. "Bahkan agaknya dia belum
mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena sikapnya berkelahi tadi seperti
main-main saja." Lalu murid Lokapala ini berpaling pada Ranggokarapan yang
masih menjelapak di lantal kedai. Dan kagetlah Panji Kenanga ketika menyaksikan
bagaimana di kulit kening kepala rampok itu kelihatan tertera tiga buah angka
yaitu : 212.
"Dua satu dua …,"
desis Panji Kenanga sambil leletkan lidah. "Kalau begitu … Jadi rupanya
dialah yang dijuluki Pendekar 212. Pantas … Guru pernah menerangkan tentang
dia. Sekarang melihat bagaimana hebatnya dia benar-benar aku merasa masih jauh
ketinggalan!"
Sementara itu Ronggokarapan
dengan terhuyung-huyung mencoba berdiri diikuti oleh anakanak buahnya kecuali
Randuwongso yang masih menggeletak pingsan dan seorang lagi yang tadi sempat
ditendang remuk mukanya. Kepala rampok itu meneguk sisa-sisa tuak yang masih
ada dalam salah satu kendi sekedar untuk melegakan perasaan kecut serta sakit
pada kepalanya. Kendi tuak kemudian dibantingnya hingga pecah di lantai lalu
kembali sifat ganasnya keluar.
"Lawang Kuning!"
bentak Ronggokarapan. "Kemari cepat!"
Kepala kampung Warnasari yang masih
ketakutan di sudut kedai tersentak kaget dan terbungkuk bungkuk melangkah
menghampiri kepala rampok itu Begitu kepala kampung itu sampai di hadapannya
tangan Rongpokarapan segera hendak melayang menamparnya, namun gerakannya
dihentikan oleh seruan tiba-tiba dari salah seorang anak buahnya!
"Pemimpin!
Keningmu!"
Kepala rampok itu berpaling
tak mengerti.
"Keningmu!" kini
Taliwongso yang bicara sambil tepuk keningnya sendiri.
Ronggokarapan usap keningnya
lalu memperhatikan tangannya. Hanya keringat yang dilihatnya menempel di situ.
Tak ada kotoran apa-apa seperti yang disangkanya. Taliwongso melangkah
mendekati dan dengan suara bergetar dia berkata,
"Ada tiga angka aneh
tertera di keningmu."
"Hah, apa …?!" dan
Ronggokarapan kembali memegang keningnya. Mengusapnya berulang kali. Namun
deretan angka 212 itu tetap saja tak mau hapus.
"Kau jangan main-main
Wongso! Angka keparat apa yang ada di keningku hah?!" Ronggokarapan marah
karena mengira dipermainkan.
"Demi setan aku tidak
main-main. Di keningmu benat-benar ada angka dua-satu dan dua. Kalau tak
percaya tanyakan pada anak-anak!"
Kepala rampok itu berpaling
pada anak-anak buahnya. Dan kesemua mereka sama melongo ketika menyaksikan
bahwa di kening pimpinan mereka saat itu memang terlihat guratan angka 212.
Ronggokarapan mengambil piring dan mengisinya dengan air putih. Lalu dia
berkaca pada air di atas piring itu. Dinginlah tengkuk pernimpin rampok ini
ketika melihat bayangan wajahnya sendiri dengan tiga buah angka hitam pada
keningnya. Dia seperti mau kencing. Selama malang melintang menjadi orang jahat
ada beberapa tokoh golongan putih yang paling ditakutinya dan diusahakannya
agar jangan sampai bertemu. Salah satu diantara mereka adalah yang berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dan hari ini tiada di sangka dia telah
berhadapan bahkan berkelahi dengan pendekar tersebut. Serta meninggalkan angka
pengenalnya yang angker!
Kepala rampok Kali Bedadung
itu kerahkan tenaga dalamnya dan coba menghapus tulisan di keningnya. Namun
sia-sia saja.
"Sekalipun kulit kepalamu
dikelupas, angka-angka itu tak bakal hilang!" Yang bicara ini adalah Panji
Kenanga.
Ronggokarapan berpaling. Kini
amarahnya ditumpahkannya pada pemuda yang satu ini.
"Pemuda keparat! Sudah
saatnya kau musti mampus!"
Begitu membentak begitu dia
menyerang dengan lepaskan pukulan "wesi hitam" yang mengeluarkan
sinar hitam dan deru ganas. Meskipun pukulan saktinya itu tadi tidak mampu
menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng namun Ranggokarapan beranggapan Panji
Kenanga tidak sedigdaya Wiro Sableng dan pasti konyol dilanda pukulannya itu.
Namun tidak semudah itu
merobohkan Panji Kenanga. Meski dia masih muda dan belum banyak pengalaman
tetapi Brahmana Lokapala dari gunung Raung telah menggemblengnya cukup hebat.
Ketika melihat kepala rampok itu lepaskan pukulan maut Panji Kenanga cepat
menghindarkan diri ke samping dan dari tempat kedudukannya yang baru pemuda ini
membalas dengan satu tendangan kilat ke arah tulang-tulang iga lawan.
"Kurang ajar!" maki
Ronggokarapan penasaran bukan main karena bukan saja serangannya mengenai
tempat kosong tapi juga tidak menyangka kalau lawan bakal kirimkan seranqan
balasan secepat itu. Dengan sedikit repot dia meliukkan badan ke kiri dan di
lain kejap selarik sinar putih memapas ke arah kaki Panji Kenanga.
Murid Lokapala itu kaget dan
cepat-cepat menarik pulang tendangannya. Ternyata Ronggokarapan telah cabut
golok besarnya dan membabatkan senjata itu ke kaki kanan si pemuda. Ilmu golok
kepala rampok ini memang hebat hingga Panji Kenanga harus bertindak hati-hati.
Meski dia tahu dengan kegesitan dalam ilmu meringankan tubuh senjata lawan tak
bakal mencelakainya, namun Panji tak mau main-main lebih lama dengan penjahat
ini. Segera dia keluarkan seruling perak dari balik pakaiannya dan pergunakan
benda ini untuk menghadapi senjata lawan. Gerakan-gerakannya yang gesit,
sambaran dan tusukan-tusukan suling perak yang gencar membuat serangan
Ronggokarapan jadi terbendung. Setiap saat dia harus berlaku awas waspada.
Beberapa kali pakaiannya hampir terkait ujung suling perak.
Beberapa jurus berlalu cepat.
Permainan golok Ronggokarapan mulai mengendor bahkan kacau. Setiap jurus
dirinya diburu bahaya. Akhirnya ketika dia merasa tak mampu melayani pemuda itu
lebih lama maka dia berteriak beri perintah agar samua anak buahnya ikut bantu
mengeroyok. Kecuali anggota rampok yang mukanya melesak kena tendang Wiro
Sableng, tujuh orang lainnya ditambah Randuwongso yang telah siuman dari
pingsannya kini mengurung Panji Kenanga lalu dengan senjata di tangan menyerang
pemuda itu. Panji maklum dikeroyok demikian rupa kalau hanya mengandalkan
seruling pendek akan terlalu besar bahayanya baginya. Dia tak mau berlaku
takabur. Laksana seekor kucing hutan pemuda ini berkelebat ke kiri. Satu
jeritan terdengar. Tubuhnya mencelat, goloknya mental ke udara dan secepat
kilat disambar oleh Panji Kenanga. Dengan golok di tangan kanan dan seruling
perak dipindah ke tangan kiri, murid Brahmana Lokapala ini mainkan jurus-jurus
ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah dikuasainya.
Dalam satu gebrakari saja
pemuda itu berhasil merobohkan seorang pengeroyok dan membabat putus tangan
kiri seorang lainnya. Namun demikian dia terpaksa melepaskan golok di tangan
kanannya sewaktu empat golok lawan secara serentak bentrokan dengan senjatanya.
Tiga dari empat golok itu adalah yang masing-masing dipegang oleh
Ronggokarapan, Taliwongso, dan Randuwongso.
"Jangan tunggu lebih
lama. Cincang keparat itu sampai lumat!" teriak Ronggokarapan.
Serempak dengan itu lima golok
berkelebat menyerbu Panji Kenanga. Tiba-tiba selarik sinar biru menderu dan
trang … trang … trang! Tiga pengeroyok terpekik seraya melompat keluar dari
kalangan pertempuran dalam keadaan terluka parah. Satu diantararrya adalah
Taliwongso. Pembantu kepercayaan Ronggokarapan ini berdiri membungkuk sambil
pegangi perutnya yang bobol dihantam pedang "Gajah Biru"
yang kini berada di tangan
Panji Kenanga.
Taliwongso tak berumur lama.
Dia roboh ke lantai. Menggetiat beberapa kali lalu tak bergerak lagi untuk
selama-lamanya. Dua rampok lainnya mengalami nasib sama. Mati di situ juga
dimakan pedang mustika pemberian Brahmana Lokapala. Randuwongso seperti orang
kemasukan setan ketika menyaksikan kematian saudaranya. Didahului satu pukulan
tangan kosong dia kirimkan bacokan ke arah kepala Panji Kenanga. Namun dengan
pedang Gajah Biru di tangan pemuda itu kini sulit untuk dihadapi. Sekali Panji
mengiblatkan senjata mustikanya mentallah golok besar di tangan Randuwongso
bersama-sama sebagian telapak tanganya!
Dengan menjerit kesakitan dan
memegangi tangannya yang kini buntung mengucurkan darah, Randuwongso melompat
keluar dari kalangan perkelahian. Sisa-sisa rampok yang mengeroyok dan sejak
tadi sesungguhnya sudah meleleh nyalinya sama-sama melompat keluar dari
kalangan menjauhi Panji Kenanga. Dengan demikian kini hanya Ronggokarapan
seorang diri yang bertempur melawan Panji Kenanga. Dan inipun tidak lama.
Sesudah golok besarnya dibabat putus oleh pedang Gajah Biru kepala rampok ini
lari ke pintu dan memberi abaaba pada anak buahnya untuk melarikan diri. Yang
masih sanggup kabur tentu saja tidak sia-siakan kesempatan ini. Mereka tak
perduli lagi akan kawan-kawan mereka yang tertinggal di dalam kedai dan
melolong minta tolong. Sebelum Ronggokarapan dan anak-anak buahnya yang kabur
lenyap Panji Kenanga masih sempat berteriak.
"Kalau kalian berani lagi
datang ke desa ini jangan harap bakal dapat ampunan dariku!"
***
12
DENGAN mengandalkan ilmu lari
tingkat tinggi yang sudah mencapai kesempurnaannya, Pendekar 212 Wiro Sableng
lari laksana angin. Hampir-hampir sulit untuk melihat kapan kedua kakinya
menjejak tanah. Dia cuma punya waktu 3 jam untuk harus mencapai tujuannya.
Dalam gelap dan dinginnya malam dia lari terus seperti tidak memperdulikan
apapun. Di bahu kirinya sampai saat itu dia masih memanggul sosok tubuh gadis
baju merah yang berada dalam keadaan pingsan. Siapakah gerangan adanya gadis
cantik ini? Kenapa berada dalam keadaan begitu rupa dan lebih lanjut kemanakah
sebenarnya Wiro Sableng saat itu membawanya?
Untuk menjawab pertanyaan di
atas kita kembali pada suatu tempat kira-kira setengah hari perjalanan jauhnya
di tenggara desa Warnasari. Saat itu sekitar dua jam setelah matahari
tenggelam.
Sejak setengah bulan yang lalu
Pendekar 212 Wiro Sableng telah mendengar terjadinya penculikanpenculikan serta
pembunuhan yang dilakukan secara kejam oleh manusia-manusia iblis yang menyebut
dirinya Hulubalang-hulubalang Darah. Sesuai dengan tujuan hidup serta maksud
petualangannya di dunia persilatan yaitu membela kaum tertindas, mempertahankan
kebenaran serta menegakkan keadilan dan di lain pihak membasmi setiap manusia
jahat penimbul malapetaka, maka Pendekar 212 segera melakukan penyelidikan.
Pertama sekali dia harus mengetahui di mana letaknya Istana Darah itu. Tekadnya
sudah bulat.
Istana Darah serta siapapun
begundal-begundal yang ada di dalamnya musti dimusnahkan. Jika tidak dunia
persilatan akan mengalami malapetaka besar!
Dalam perjalanan inilah,
setelah menyeberangi sebuah sungai dan menyusuri hutan kecil di tepi sawah yang
terletak 25 kilometer di tenggara Warnasari, Wiro mendengar derap kaki kuda di
belakangnya. Segera dia menghindar ke tepi jalan. Satu perasaan mendorongnya
untuk menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon sebelum derap kaki-kaki
kuda itu datang lebih dekat.
Tak lama kemudian lewatlah
seekor kuda coklat berbelang putih, ditunggangi oleh seorang dara berpakaian
merah. Untuk beberapa ketika pendekar kita dibikin terpesona oleh kecantikan
paras gadis yang tak dikenal itu. Namun mata Wiro yang tajam melihat bahwa di
belakang kecantikan wajah si gadis terdapat bayangan rasa cemas yang amat
sangat. Siapakah gerangan dara berbaju merah yang menunggangi kuda secepat itu?
Kecemasan apa pula yang mencekam dirinya?
Saat Wiro berpaling
cepat-cepat ke jurusan kiri karena di ujung jalan terdengar derap kaki kuda.
Sepasang bola mata Pendekar 212 menyorotkan sinar aneh ketika melihat kuda dan
penunggang yang muncul dari ujung jalan itu. Kuda itu berwarna merah,
penunggangnya juga mengenakan pakaian serba merah. Di bawah topinya yang berbentuk
tarbus merah kelihatan wajahnya yang seperti dicat merah menyeramkan. Bau amat
busuk menebar waktu penunggang kuda ini melewati pohon di belakang mana Wiro
Sableng mengendap.
"Pasti ini adalah salah
seorang Hulubalang Istana Darah," kata Wiro dalam hati, "tampaknya
dia mengejar gadis tadi." Tidak menunggu lebih lama Wiro keluar dari balik
pohon dan dengan mempergunakan ilmu larinya segera mengejar dari belakang. Di
satu pendakian jarak antara gadis berkuda coklat dan pengejarnya hanya tinggal
beberapa tombak saja. Si muka merah berteriak memerintah agar orang yang
dikejar berhenti. Sebagai jawaban si gadis melambaikan tangan kanannya ke
belakang. Terdengar suara desingan halus. Kira-kira dua lusin senjata rahasia
melesat ke arah si muka merah.
"Kurang ajar!" desis
si muka merah seraya lambaikan ujung lengan pakaiannya. Serangkum angin menderu
dan berpelantinglah senjata-senjata rahasia yang menyerangnya. Di lain kejap
manusia itu memukulkan tangan kanannya. Di lain kejap Wiro Sableng melihat
bagaimana kuda coklat putih yang ditunggangi sang dara roboh di puncak
pendakian dan terguling-guling ke bawah. Gadis berbaju merah berhasil
selamatkan diri dengan jalan melompat.
"Manusia puntung
neraka!" bentak sang dara begitu pengejarnya sampai di hadapannya.
"Kau kira aku takut padamu?" Lalu dari balik bajunya dia keluarkan
segulung cambuk.
Si muka merah tertawa
mengekeh.
"Kalau kau tidak keras
kepala kau bakal mendapat tempat yang bagus di Istana Darah bersamaku! Kecuali
kalau memang sengaja mencari celaka!"
"Manusia terkutuk! Kaulah
yang bakal celaka!" hardik sang dara. Lalu terdengar suara laksana petir
menyambar ketika dia hantamkan cambuknya ke arah batang leher si muka merah.
"Gadis tolol! Adatmu
tidak beda dengan kau punya guru! Kalau hari ini aku belum dapat membuat
perhitungan dengan si keparat tua itu, biar kau yang jadi muridnya harus
menerima celaka lebih dulu!"
Sekali si muka merah itu
gerakkan tangannya maka dia berhasil menyentak lepas cambuk yang saat itu
menyambar batang lehernya! Gadis baju merah terkejut bukan main. Gerakan
pukulan cambuk yang tadi dilepaskannya adalah satu serangan kilat yang selama
ini selalu mengenai sasarannya. Tapi sekali ini bukan saja gagal malah
senjatanya kena dirampas lawan! Hati sang dara menjadi cemas bukan main. Sementara
itu si muka merah sudah melompat turun dari kudanya. Si gadis dengan nekad
kirimkan serangan kedua berupa pukulan tangan kosong. Namun sebelum dia sempat
bergerak dilihatnya segulung asap biru keluar dari mulut si muka merah dan
menghembus ke arahnya.
"Akh … "
Hanya itu suara yang bisa
dikeluarkan si gadis lalu tubuhnya melosoh dan terhantar ke tanah.
Dikeluarkannya seluruh kekuatannya yang ada, berusaha agar jangan jatuh
pingsan. Sementara itu pemandangannya menjadi gelap, wajahnya mulai pucat dan
bibirnya bergetar, mulai berubah warna rnenjadi kebiru-biruan. Pakaiannya
robek-robek ketika tersentuh asap biru aneh tadi. Si muka merah tertawa
gelakgelak.
"Gadis! Umurmu hanya
tinggal lima jam! Menjelang kematianmu kau bakal merasakan siksaan luar biasa.
Urat-urat dan saluran darah dalam tubuhmu laksana digigit oleh ratusan semut
rangrang.
Ha…ha…ha…!"
Suara gelak tawa si muka merah
serta merta terhenti ketika di belakangnya terdengar satu bentakan.
"Manusia terkutuk!
Kejahatanmu lebih terkutuk dari iblis!"
"Heh! Setan dari mana
magrib-magrib begini berani mendampratku?" ujar si muka merah seraya
memalingkan kepala. Diam-diam dia merasa terkejut karena adalah aneh baginya
kalau ada seorang berada di tempat itu tanpa dia sempat mengetahui lebih dulu.
"Kau apakan gadis
itu?!"
Si muka merah mengerenyit dan
memandang tajam-tajam pada seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih
yang tegak delapan langkah di hadapannya. Karena hari sudah agak gelap dia
tidak dapat melihat jelas wajah si pemuda namun dia yakin belum pernah mengenal
pemuda ini sebelumnya. Siapakah sebenarnya manusia berpakaian serba merah dan
yang mukanya dicat merah ini.
Dari ciri-cirinya sudah dapat
dipastikan bahwa dia adalah salah seorang Hulubalang Istana Darah dan yang satu
ini merupakan Hulubalang Darah Kesatu. Hulubalang Darah Ketujuh saja sudah kita
saksikan kehebatan ilmunya, apalagi Hulubalang Darah Kesatu ini. Nyatanya
meskipun gadis berbaju merah tadi adalah murid seorang sakti mandraguna namun
dengan mudah Hulubalang Darah Kesatu merobohkannya. Di lain pihak siapa pula
adanya pemuda berambut gondrong yang tegak di depan Hulubalang Darah Kesatu
saat itu? Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Bedebah! Majulah ke
tempat lebih terang agar aku dapat memastikan apakah kau manusia atau
benarbenar setan kesasar!” Hulubalang Kesatu membentak.
"Kau apakan gadis
itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
Hulubalang Darah Kesatu
kertakkan rahang. "Dirimu punya sangkut paut dengan dia?" Pendekar
212 menyeringai.
"Yang aku tahu…,"
kata si gondrong dari Gunung Gede ini, "ialah bahwa aku punya sangkut paut
dengan kejahatan laknatmu!"
Habis berkata begitu Wiro
Sableng menerjang ke muka serta melepaskan pukulan "kunyuk melempar
buah."
Hulubalang Darah Kesatu tak
menyana kalau lawan semuda itu bakal memiliki pukulan meyakinkan begitu rupa.
Kontan dia keluarkan pekik garang dan tubuhnya lenyap dari pandangan.
"Keparat! Mau lari ke
mana bangsat merah ini!" maki Wiro dalam hati dan tiba-tiba saja dia
dikejutkan oleh berkelebatnya lima jari tangan berkuku-kuku panjang. Hampir
saja Pendekar 212 mendapat celaka dalam gebrakan pertama itu kalau dia tidak
lekas-lekas membuang diri ke samping. Karena hari sudah mulai gelap Wiro tak
sempat melihat bahwa lawannya memiliki sepuluh jari tangan berwarna merah yang
ditumbuhi kuku-kuku panjang macam cakar garuda!
Bukan main marahnya Hulubalang
Darah Kesatu ketika melihat bagaimana serangannya yang bernama "lima cakar
sakti meremas bumi" dapat dielakkan oleh lawannya yang disangkanya hanya
seorang manusia tolol mau mencari mati.
"Manusia edan! Kau
benar-benar terlalu berani mgncari mati! Terlalu gegabah mencari urusan
denganku! Atau kau belum tahu siapa aku?!" Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa mengejek.
"Manusia muka merah! Aku
cukup kenal siapa kau! Dan perlu kau ketahui sejak lama aku punya niat membasmi
Hulubalang-hulubalang keparat macammu dan memusnahkan Istana Darah. Kau adalah
korbanku yang pertama!"
Mendengar ucapan itu
Hulubalang Darah Kesatu tertawa bekakakan. Sambil menepuk dada dia berkata,
"Dalam Istana Darah, 24 tokoh-tokoh sakti dan terkenal sudah menemui
kematiannya. Hari ini seorang bocah bau air tetek mimpi hendak menghancurkan
Istana Darah. Sungguh aneh dunia ini. Ha… ha ha … !"
"Mimpi atau bukan kau
terimalah pukulanku ini!" teriak Wiro lantang. Begitu tangan kanannya
digerakkan menderulah angin dahsyat laksana topan prahara mengamuk. Pohon-pohon
di sekitar situ berderak patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara riuh.
Gadis baju merah yang
terhampar di tanah terguling ke dekat pematang sawah. Itulah pukulan
"benteng topan melanda samudera" yang telah dilepaskan Wiro Sableng
dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.
Sebagai tokoh berkepandaian
tertinggi di antara Hulubalang-hulubalang Istana Darah, Hulubalang Darah Kesatu
kaget bukan main menyaksikan pukulan pemuda tadi. Sepasang lututnya terasa
bergetar dan sebelum tubuhnya ikut tersapu oleh pukulan lawan cepat-cepat dia
mengerahkan tenaga dalamnya ke kaki hingga walau bagaimanapun hebatnya serangan
Wiro namun kedua kaki-nya laksana gunung karang menancap dalam tanah, tak
sanggup digetarkan sedikitpun!
"Ha … ha .., apa sudah
seluruh tenaga dalammu kau keluarkan?" ejek Hulubalang Darah Kesatu. Dia
sama sekali tidak menduga kalau Wiro baru kerahkan setengah bagian saja dari
kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya. Murid Sinto Gendeng ini jadi penasaran.
Didahului satu suitan melengking memecah langit di malam gelap itu, Wiro lipat
gandakan tenaga dalamnya. Hulubalang Darah Kesatu menjadi kaget ketika
dirasakannya bagaimana kedua kakinya mendadak menjadi gontai dan tubuhnya
perlahan-lahan bergetar terhuyung-huyung.
Hulubalang Darah keluarkan
bentakan menggeledek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar
merah yang bukan lain merupakan semburan api panas luar biasa, menderu melabrak
ke arah Wiro Sableng. Pendekar 212 tidak berlaku ayal. Kedua tangannya segera
pula dipukulkan ke depan. Maka terdengarlah suara berdentum. Bumi laksana
digulung lindu. Pohon-pohon bertumbangan. Hulubalang Darah Kesatu terguling-guling
di tanah. Dia mencoba bangun dengan cepat tapi sempoyongan dan jatuh lagi.
Dadanya sebelah dalam mendenyut sakit. Cepat-cepat dia duduk bersila dan
pejamkan mata "mengatur jalan darah serta nafas dan mengalirkan tenaga
dalam dari pusar ke dada.
***
13
SEWAKTU bentrokan dua pukulan
sakti itu terjadi, Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tanah yang dipijaknya
laksana digoncang gempa. Kedua kakinya melesak sampai lima senti. Lututnya
goyah dan dalam keadaan tubuh terhuyung-huyung akhirnya dia jatuh duduk di
tanah. Meskipun semburan dua gelombang api lawan sanggup dimusnahkannya namun
sekujur kulit tubuhnya terasa perih oleh hawa panas luar biasa pukulan lawan.
Seperti Hulubalang Darah
Kesatu, pendekar kita inipun cepat-cepat duduk bersila untuk mengatur jalan
nafas dan darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian-bagian tubuh
terpenting. Begitu keadaannya pulih kembali Hulubalang Darah Kesatu cepat
melompat dan berdiri bertolak pinggang. Sepasang matanya berapi-api memandang
tak berkedip pada Pendekar 212. Wiro sendiri saat itu sudah berdiri pula dan
menunggu dengan penuh waspada.
"Rambut gondrong!"
tegur Hulubalang Darah Kesatu sambil bertolak pinggang. "Kulihat kau
barusan melepaskan pukulan benteng topan melanda samudra! Apa hubunganmu dengan
Sinto Gendeng dari Gunung Gede?!"
Wiro Sableng diam-diam
terkejut melihat lawan mengenali ilmu pukulan serta nama gurunya. Tapi dia
tenang-tenang saja dan tidak memperlihatkan rasa terkejutnya itu. Tak dapat
tidak si muka merah ini pasti orang tokoh silat terkenal dan berusia lanjut.
Memang sebenarnya Hulubalang Darah Kesatu sudah berusia harnpir 80 tahun. Namun
karena mukanya dicat dengan darah yang telah membeku maka keriput-keriput
ketuaannya tidak kelihatan. Demikian pula rambutnya yang seharusnya berwarna
putih macam saiju selain tertutup tarbus juga telah dicelup dengan darah.
Puluhan tahun silam Hulubalang
Darah Kesatu dikenal dengan nama Waranawikualit dan merupakan tokoh silat kelas
satu yang disegani di kawasan Jawa Barat. Namun karena sikapnya yang culas dan
suka berkhianat terhadap kawan sendiri, tokoh-tokoh silat golongan putih boleh
dikatakan rata-rata membencinya. Akibat tidak diterimanya dirinya oleh kaum
putih, maka makin lama Waranawikualit semakih jauh tersesat ke dalam dunia
hitam dan akhirnya melalui liku-liku pasang surut dunia persilatan dia sampai
di Jawa Timur dan memegang jabatan Hulubalang Darah Kesatu di Istana Darah yang
menjadi sumber malapetaka sejak akhir-akhir ini.
Wiro Sableng tertawa bergumam.
"Kau kenal ilmu pukulanku
tadi, muka merah? Bagus … bagus sekali! Dan lebih bagus lagi kalau kau kenal
nama guruku. Tapi apa kau sudah kenal jalan ke neraka …?"
Paras Hulubalang Darah menjadi
tambah marsh mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Wiro Sableng tertawa
gelak-gelak. "Bilang saja terus terang bahwa kau belum tahu jalan ke
neraka. Tuan besarmu ini pasti akan menunjukkan padamu!"
"Bedebah!" bentak
Hulubalang Darah Kesatu merah bukan main diejek begitu rupa. Sepuluh jari
tangannya yang berkuku panjang dipentang. Didahului oleh gelegar lengekingan
yang keluar dari tenggorokannya, manusia ini menjentikkan ke sepuluh jari
tangannya dan sepuluh jalur asap yang saling bersilangan menderu.
Silangan-silangan itu semakin banyak karena jalur asap merah itu cepat sekali
memecah menjadi puluhan hingga dalam tempo sekejap saja jalur-jalur asap merah
itu tak bedanya seperti sebuah jaring yang menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng!
"Ilmu setan apa pula
ini!" kata Wiro dalam hati lalu lepaskan satu pukulan ke arah jaring asap
merah. Hebatnya jaring asap merah itu bukannya punah melainkan pecah dan
semakin melebar serta semakin cepat menyambar ke arah Wiro. Pemuda kita
keluarkan siulan nyaring. Melompat ke belakang sejauh satu tombak dan dari
tempat kedudukan yang baru melepaskan satu pukulan tangan kosong yakni pukulan
"kunyuk melempar buah". Namun pukulan inipun percuma saja karena
semakin membuat tambah banyaknya jalurjalur asao merah yang berarti semakin
melebar pula dan siap menelan Wiro Sableng. Hulubalang Darah Kesatu tambahkan
kekuatan tenaga dalamnya. Dengan mengeluarkan suara menderu asap merah bergerak
tambah cepat dan kini hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi.
Wiro cepat angkat kedua
telapak tangannya dan memompa tenaga dalam. Di antara deru serangan asap merah,
terdengar pula deru dua gelombang angin menyapu ke depan. Pukulan "dinding
angin berhembus tindih menindih" yang dilepaskan Pendekar 212 untuk sesaat
berhasil membendung serangan yang aneh berbahaya itu. Namun ketika Hulubalang
Darah melipat gandakan tenaga dalamnya maka runtuhlah benteng pertahanan lawan
dan secepat kilat jaring asap merah menyambar tubuhnya sebelah kiri! Pemuda ini
terpukul dan terhuyung sementara dari kanan ujung jaring dengan cepat datang
pula menyambar. Tentu saja Wiro tak mau mendapat hantaman kedua kali. Karena
hentaman pada tubuh sebelah kiri telah membuat bagian tubuh di sebelah situ
menjadi kaku tak bisa digerakkan!
Didahului oleh siulan nyaring
Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah jaring. Sinar putih menyilaukan
berkelebat. Di belakang sana Hulubalarg Darah Kesatu terdengar keluarkan seruan
tertahan. Pukulan "sinar matahari" yang dikeluarkan Wiro bukan saja
menghancurleburkan jaring maut yang amat diandalkannya, tapi hampir saja
menghantam lengannya jika dia tidak buru-buru menghindar.
Wiro kirimkan pukulan tangan
kiri sebagai susulan namun saat itu Hulubalang Darah telah lenyap dari
tempatnya, lenyap bersamaan dengan musnahrrya jaring asap aneh tadi.
Wiro kertakkan rahang tanda
geram. Dia kemudian ingat pada gadis baju merah yang tadi tergulingguling
akibat angin pukulan. Cepat-cepat dia menuju pematang sawah. Namun untuk sesaat
langkahnya terhenti karena saat itu dilihatnya dua sosok benda hitam terhampar
di tengah jalan. Ketika diteliti ternyata adalah dua ekor kuda. Yang pertama
kuda coklat belang putih milik si gadis. Satunya berwarna merah milik
Hulubalang Darah. Ternyata sebelum kabur Hulubalang Darah sempat membunuh kedua
binatang yang tak berdosa itu.
Wiro dapatkan gadis baju merah
terhantar di tepi pematang sawah. Sekelompok akar pohon mengganjal tubuhnya
hingga tak sampai kecemplung ke dalam lumpur sawah. Wiro mendukung tubuhnya dan
menyandarkan pada sebatang pohon. Kedua mata si nadis terpejam. Bibirnya yang
membiru sedikit terbuka. Mukanya pucat pasi. Pakaiannya robek-robek.
Wiro menarik nafas sesak.
Dipegangnya kedua lengan si gadis. Dia maklum kalau dalam tubuh gadis itu
mengendap racun jahat luar biasa yang bakal menamatkan riwayatnya jika tidak
lekas rnendapatkan pertolongan.
Aliran tenaga dalam Wiro
menghangati tubuh dara itu. Namun kemudian dirasakan oleh si pemuda itu
bagaimana racun yang mengendap dalam tubuh si gadis memusnahkan hawa hangat itu
dan walau bagaimanapun dicoba untuk mengimbanginya tetap saja gagal. Wiro ingat
pada Kapak Maut Naga Geni 212 yang tidak mempan segala macam racun. Cepat
dikeluarkannya senjata itu dan hulunya yang berbentuk kepala naga serta terbuat
dari gading digenggamkannya ke tangan dara berbaju merah. Hawa panas mengalir
ke segenap bagian tubuh sang dara, namun tak lama kemudian kembali sirna.
"Racun jahat luar
biasa!" kata Wiro dan menjacli bingung bagaimana caranya menyelamatkan
jiwa gadis ini.
Tiba-tiba didengarnya si gadis
menggerang. Di antara erangan itu keluar ucapan terpatah-patah. "Guru … mu
… muridmu mohon maaf dan direlakan. Mung… mungkin kita … kita tak bisa bertemu
la … lagi…"
Wiro ingat pada beberapa butir
obat yang dibawanya. Cepat-cepat benda ini dikeluarkannya dan dimasukkannya ke
dalam mulut si gadis. Gadis baju merah terkejut dan hendak menyemburkan obat
itu.
"Jangan buang.
Telan…!" kata Wiro. "Mungkin obatku itu bisa menolong… " Si
gadis coba membuka kedua matanya. Tetapi tak mampu.
"Telanlah cepat. Siapa
tahu bisa menolong."
Dengan obat masih dalam mulut
si dara bertanya, "Kau … kau siapa yang hendak menolongku …?"
"Jangan habiskan waktu
dengan segala pertanyaan tak berguna. Telan obat itu cepat."
Sang dara agak meragu sesaat
lalu gelengkan kepalanya. "Percuma…" desisnya.
"Percuma atau tidak telan
dulu," ujar Wiro.
Akhirnya si gadis menelan obat
itu. Sesaat kemudian dia berkata lagi. "Tak ada guna … percuma saja. Ra…
racun yang mengindap di tu … buhku adalah racun waja biru. Hanya dua orang yang
bisa menyelamatkanku. Tapi… tak mungkin… "
"Siapa kedua orang
itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
"Waranawikualit …,"
bisik si gadis.
"Siapa dan di mana
tempatnya?"
"Orangnya manusia muka
merah yang tadi menyemburkan racun itu padaku …"
Wiro gigit bibir. Tentu saja
manusia terkutuk itu tak bakal mau memberi pertolongan. "Yang satunya
lagi?" tanya Wiro kemudian.
"Gu… ruku sendiri… "
"Di mana beliau
sekarang?"
Sang dara tarik nafas sesak.
"Tak mungkin …," katanya perlahan.
"Apa yang tak mungkin
…?"
"Tak mungkin kau bisa
menolongku … "
"Kenapa tidak
mungkin?" tanya Wiro tak sabaran.
"Tempatnya jauh dari
sini. Sebelum sampai aku sudah mati di … tengah … jalan … "
"Kita harus mencoba.
Katakan di mana tempat gurumu," Wiro mendesak.
"Danau Jembangan,"
menerangkan si gadis. Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba mulutnya membuka lebar.
Sikapnya seperti orang mau muntah. Tapi yang keluar, dari mulutnya adalah satu
teriakan yang mengerikan. Tubuhnya kemudian miring ke kanan dan hampir roboh ke
tanah jika tidak lekas dipegang oleh Wiro. Pemuda ini terkejut. Menyangka si
gadis sudah menemui ajal. Tapi ketika diperiksa ternyata cuma pingsan.
Danau Jembangan memang jauh
dari situ. Orang biasa dengan menunggang kuda setengah hari baru akan sampai ke
situ. Namun Wiro tidak kawatir. Dengan mengandalkan ilmu lari "seribu
kaki" dia yakin bisa sampai ke sana paling lama dalam tempo empat jam.
Karenanya tanpa membuang waktu lagi murid Sinto Gendeng ini segera memanggul
tubuh si gadis dan meninggalkan tempat itu menuju ke utara. Dalam perjalanan
menuju Danau Jembangan itulah Wiro melewati kampung Warnasari. Dengan perut
kosong dan tubuh letih dia memutuskan untuk mampir ke kedai Ki Sepuh Bawean
yang justru pada saat itu tengah didatangi oleh gerombolan Ronggokarapan hingga
terjadi pertempuran yang membawa korban jiwa.
***
14
DANAU Jembangan terletak di
satu dataran randah yang dikelilingi oleh hutan bakau. Di bagian timur danau
ada sebuah rakit dari rotan-rotan besar. Di atas rakit ini berdiri sebuah
bangunan ‘ tinggi macam menara yang keseluruhannya juga terbuat dari rotan.
Dengan tubuh basah mandi keringat serta nafas memburu Wiro Sableng datang
berlari dari jurusan barat. Pada saat itu di atasnya terdengar suara pekik
aneh. Ketika dia mendongak dilihatnya seekor burung elang merah bertengger di
ujung ranting sebatang pohon. Sepasang matanya yang hijau menyorot tajam ke
arah Wiro dan berkilai-kilai ditimpa sorotan sinar matahari yang baru terbit.
"Aneh," kata Wiro
dalam hati. "Sejak dinihari tadi burung itu terbang mengikutiku."
Tiba-tiba elang itu kembali
memekik keras menyakitkan telinga. "Hebat sekali suara pekiknya,"
kata Wiro pula. Lalu tanpa memperdulikan lagi binatang itu dia segera lari ke
jurusan timur danau. Di atasnya kembali elang merah terbang mengikuti dan
terus-terusan mengeluarkan suara pekikan bising. "Binatang celaka ini
mengganggu saja," kata Wiro mulai kesal. Sambil itu digerakkannya
tangannya ke atus untuk memukul namun sesuatu mendadak meluncur menyambar kedua
kakinya, membuatnya terkejut dan cepat melompat. Ketika diteliti ternyata
serumpun akar bakau hampir saja menyerandungnya.
Ini adalah satu keanehan. Semula
Wiro menyangka yang meluncur ke arah kakinya itu tadi adalah ular namun
nyatanya akar bakau. Dapatkah tanaman yang tidak memiliki daya gerak itu
meluncur aneh demikian rupa? Sementera itu di atas kepalanya elang merah masih
terus terbang berputar-putar sambil tiada hentinya berkuik-kuik. Lagi
kebingungan begitu tiba-tiba satu sambaran angin menerpanya dari belakang.
Wiro cepat melompat
menghindarkan diri. Untuk kedua kalinya pula pendekar ini dibuat terkejut
karena sambaran angin keras tadi ternyata disebabkan oleh batang-batang pohon
bakau yang secara aneh berjatuhan ke tanah.
"Kalau tidak ada yang
mengendalikan mustahil pohon-pohon ini bisa bergerak," pikir Wiro. Dia
memandang berkeliling namun tak seorangpun kelihatan. Akhirnya dengan jalan
kaki biasa Wiro lanjutkan perjalanannya menuju bangunan rotan di tepi timur
danau. Sejarak dua puluh langkah dari bangunan itu tiba-tiba di sekelilingnya
terdengar suara menderu. Pohonpohon bakau yang berjajaran di tempat itu
bergerak seperti tangan-tangan gurita, menggelung ke arah tubuh Wiro Sableng!
"Kurang ajar! Apa-apaan
ini?!" seru Wiro lalu dengan cepat menghantamkan tangan kanannya melepas
pukulan "benteng topan melanda samudera". Serta merta tanaman yang
hendak menjirat tubuhnya mental pecah-pecah. "Gila!" maki Wiro sambil
garuk-garuk kepalanya.
Semakin dekat ke bangunan di
tepi danau samekin waspada dia. Tapi nyatanya sampai jarak lima langkah dari
bangunan rotan itu tidak terjadi apa-apa. Dengan cepat ditelitinya keadaan.
Satu-satunya jalan masuk adalah sebuah pintu yang terletak di sebelah
atas bangunan. Jarak pintu
dengan tepi danau hanya tujuh tornbak. Ini bukan satu hal yang sulit bagi Wiro
untuk melompat masuk ke situ sekalipun dengan memanggul tubuh gadis yang
pingsan di bahu kirinya. Namun ketika dia hendak melompat sejenak hatinya
menjadi bimbang. Mungkinkah dia telah datang ke tempat yang salah. Mungkin
danau di hadapannya ini bukan Danau Jembangan. Lalu apa artinya semua
rintangan-rintangan aneh yang barusan dialaminya?
Setelah menetapkan hati,
dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, laksana seekor burung Wiro
Sableng melompat ke udara den melayang ms nuju pintu di puncak bangunan rotan.
Namun sebelum dia mencapai pintu tersebut, dari samping berketebat satu
bayangan merah yang langsung menyambar ke arah lehernya!
Dalam terkejut yang amat
sangat Wiro Sableng masih sempat memiringkan tubuh namun daya lesatnya ke atas
sudah agak berkurang hingga mau tak mau pendekar ini terpaksa melompat ke
sampirg dan mempergunakan sebuah cabang pohon untuk menjejakkan kaki lalu
melesatkan tubuhnya kembali ke udara. Rasa penasaran mendapat serangan yang
aneh itu membuat Wiro marah bukan main. Lebih-lebih ketika diketahuinya bahwa
yang menyerang temyata adalah elang marah yang rupanya masih terus mengikutinya.
Dan saat itu dari arah atas
dilihatnya binatang itu menukik tajam. Jari-jarinya yang berkuku pinjang tajam
terpentang lebar sedang paruh lurus siap untuk mengirimkan satu patukan keras!
"Binatang celaka ini
kalau tidak dilenyapkan bisa bikin aku susah," kata Wiro geram lalu
memukulkan tangannya ke atas, melancarkan pukulan "kunyuk melempar
buah."
Namun untuk kesekian kalinya
pendekar kita ini melengak. Dengan satu gerakan cekatan elang merah itu
berkelit mengelakkan pukulan, lalu dengan kecepatan luar biasa berbalik kembali
menyambar ke arah perut Wiro!
"Kurang ajar! Jangan
harap kali ini kau bisa selamat!" kata Wiro dan bersiap lepaskan satu
pukulan lagi. Tiba-tiba dari puncak bangunan berbentuk menara yang terbuat dari
rotan terdengar seruan nyaring.
"Sultan! Hentikan
seranganmu. Dan kau pemuda asing masuklah kemari!"
Elang merah yang hendak
menyerang Wiro keluarkan suara menguik keras lalu berbalik cepat dan hinggap di
puncak menara bangunan. Terheran-heran Wino melesat masuk ke pintu. Ruangan di
puncak rnenara rotan itu tidak seberapa besar dan kalau saja dia tidak
lekas-lekas menahan daya dorongan tubuhnya hampir saja dia menabrak seorang
lelaki tua yang terbaring di atas sebuah tempat tidur rendah terbuat dari
rotan.
"Pemuda asing, kau siapakah!
Apa kedatanganmu kemari membawa maksud baik atau buruk? Dari sambaran angin
yang tak seimbang yang keluar dari gerakanmu waktu masuk ke sini, kau tentu
membawa sesuatu di bahu kirimu!"
Saking terkejutnya Wiro
Sableng sampai berdiri dengan mulut menganga. Betapakan tidak karena dilihatnya
orang tua yang barusan bicara itu buta kedua belah matanya! Dan bukan itu saja,
orang tua yang berambut putih bermata buta ini, buntung kedua kakinya sebatas
lutut sedang kedua tangannya terbelenggu oleh rantai besar berwarna biru. Dalam
keadaan begitu rupa bagaimana dia bisa berada di bangunan yang tinggi itu!
"Orang tua, sebelumnya
aku ingin tanya dulu. Apakah danau di luar sana adalah Danau Jembangan?"
Wiro bertanya untuk mendapatkan kepastian.
"Betul!" jawab si
orang tua pendek. Lalu sambungnya. "Cepat terangkan siapa kau. Apa yang
kau bawa dan apa maksudmu kemari. Jika membawa niat buruk sebaiknya lekas-lekas
angkat kaki dari sini!"
"Namaku Wiro. Aku …
"
"Tunggu dulu!" orang
tua buta itu cepat memotong. "Apakah kau bukannya si Sableng yang bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
Wiro terkesima.
"Kira-kira begitulah …," katanya menyahuti.
Tiba-tiba orang tua itu
berseru girang dan sekali bergerak tahu-tahu dia sudah duduk di atas
pembaringan rotan.
"Lekas tolong aku!
Keluarkan Kapak Naga Genimu dan potonglah rantai yang membelenggu kedua
tanganku ini. Bertahun-tahun aku menunggu kedatanganmu. Kini aku bebas! Bebas!
Karena hanya kapak saktimu itu yang sanggup memotong putus belenggu celaka
ini!"
Wiro berdiri bingung dan si
orang tua kembali menyuruhnya agar segera mengeluarkan Kapak Naga Geni 212.
Dengan hati sedikit meragu karena kawatir orang tua itu akan menipunya,
akhirnya Wiro keluarkan senjatanya dari balik pakaian. Sinar putih menerangi
ruangan rotan itu. Dengan air muka berseri-seri si orang tua mengulurkan kedua
tangannya yang terbelenggu.
"Potonglah cepat!"
katanya.
Wiro maju mendekat.
Dalam keadaan lebih dekat
begitu si orang tua dapat merasakan hembusan nafas gadis berbaju merah yang
pingsan di bahu kiri Wiro.
"Hai!" seru orang
tua itu. "Kau memanggul seseorang di bahu kirimu. Siapa dia!"
"Aku sendiri tak tahu
namanya. Tapi dia mengaku muridmu… "
Si orang tua kerenyitkan
kening.
"Apakah dia seorang dara
berpakaian serta merah?" tanya si orang tua.
"Apa yang telah terjadi
atas dirinya?"
Maka dengan cepat Wiro
menuturkan bagaimana dia bertemu pertama kali dengan sang dara dan apa yang
kemudian terjadi atas dirinya.
"Racun waja biru!"
desis orang tua tersebut. "Racun waja biru! Kurang ajar si Waranawikualit!
Rupanya dia sudah menjadi kaki tangan raja Rangrang Srenggi. Memang sudah sejak
lama aku mendengar kedurjanaan mereka!" Rahang orang tua itu nampak
menggembung tanda dia marah luar biasa.
"Siapa Rangrang
Srenggi?" tanya Wiro pula.
"Sudah. Jangan banyak
tanya dulu. Lekas putuskan belenggu besi ini. Yang panting muridku harus
diselamatkan jiwanya!"
Wiro baringkan gadis yang
sejak tadi dipanggulnya di atas pembaringan di samping si orang tua. Lalu
mengayunkan Kapak Naga Geni 212. Sekali tebas saja dengan mengeluarkan suara
berkerontang maka putuslah rantai besi beser berwarna biru yang sebelumnya
mengikat sepasang lengan orang tua itu.
Sambil tertawa gelak-gelak
orang tua itu acungkan kedua tangannya ke atas dan berkata, "Aku bebas! Aku
bebas kini! Rangrang Srenggi, kau bakal menerima pembalasanku …!"
Ucapannya itu terputus ketika
dia ingat pada muridnya. Dia beringsut ke tempat muridnya terbaring. Dengan
jari-jari tangannya disentuhnya bibir gadis itu.
"Racun jahat .., racun
jahat," desisnya. "Kau tunggu pembalasanku Rangrang Srenggi! Awas kau
Waranawikualit!"
Orang tua itu membungkuk dan
meraba-raba ke bawah tempat tidur. Dari bawah tempat tidur rotan diambilnya
sebuah botol yang amat kecil. Ditimangnya botol itu sebentar lalu tertawa
gelak-gelak.
"Untung … untung
dajal-dajal bernama Waranawikalit dan Rangrang Srenggi itu tidak mengetahui
tempat penyimpanan obat ini. Untung!"
Orang tua ini kemudian
membungkuk dan menempelkan bibirnya ke bibir muridnya. Setelah mengerahkan
tenaga dalamnya lalu dia menyedot. Sesaat berselang mulutnya penuh dengan ludah
berbusa biru. Ludah itu dimuntahkannya lalu kembali dia menyedot bibir
muridnya. Demikian sampai tiga kali berulang-ulang. Setelah itu dari dalam
botol kecil diambilnya tiga butir obat berwarna biru: Setelah menotok bagian
leher dan perut muridnya beberapa kali baru obat itu dimasukkannya ke dalam
mulut sang murid. Wiro kemudian melihat bagaimana orang tua itu duduk bersila
sambil mendekapkan tangan di depan dada. Sesaat berselang dari ubun-ubunnya
keluar asap putih, bergulung-gulung yang terus membungkus sekujur tubuh
muridnya yang terbaring di atas tempat tidur.
Tiba-tiba orang tua itu
membentak keras. Bangunan rotan bergoyang keras. Bersamaan dengan itu dia
memukulkan kedua tangannya ke atas dan berseru,
"Racun jahat!
Pergilah!"
Gulungan asap putih yang
membungkus tubuh muridnya berubah menjadi biru. Begitu seruan lenyap maka asap
biru itupun sirna.
"Bangun, muridku! Bangun!
Sadarlah Lestari!"
Wiro melihat bagaimana gadis
yang tadi pingsan membuka matanya perlahan-lahan. Parasnya yang pucat kini
kelihatan mulai berdarah kembali bahkan bibirnya yang sebelumnya biru kini
kelihatan mulai segar kemerahan. Keseluruhan wajahnya jauh lebih cantik dari
selagi dia pingsan. Mau tak mau pemuda kita jadi meneguk air liur.
"Bangunlah Lestari.
Sadarlah … !"
Lestari demikian nama gadis
itu bangun dan duduk di hadapan gurunya. Sesaat dia memandang berkeliling
dengan pandangan wajah menyatakan keheranan.
"Pikiranmu masih belum
jernih. Pejamkan matamu, Lestari…"
Si gadis mengikuti ucapan
gurunya. Setelah selang beberapa saat sang guru menyuruh buka matanya kembali.
Dan bersamaan dengan itu Lestari bertanya,
"Eyang; bagaimana … murid
bisa berada di sini dengan selamat? Semestinya… bukankah murid telah mati? Atau
… "
Si orang tua tertawa
gelak-gelak.
"Soal hidup atau mati ada
di tangan Tuhan, muridku… "
"Tapi murid benar-benar
tak mengerti eyang…"
"Tanyakan pada pemuda di
depanmu … " berkata sang guru.
Lestari berpaling. Untuk
sesaat sepasang matanya yang bening beradu pandang dengan mata pendekar 212
Wiro Sableng.
"Kau kenal padanya?"
tanya si orang tua.
Lestari menggeleng.
"Tapi kalau tak salah
sebelumnya … murid pernah bertemu dengan dia."
Kembali sang guru tertawa dan
berkata, "Kalau sudah jodoh memang ada-ada saja jalan dan cara Tuhan
mempertemukan kalian … "
"Apa … apa?!" seru
Wiro kaget sedang Lestari berubah merah wajahnya dan memandang ternganga pada
gurunya.
Kembali orang tua berkaki
buntung tertawa gelak-gelak.
"Aku sudah ketelepasan
bicara," katanya sambil menampar-nampar mulutnya sendiri. "Tapi
kalian mempunyai nasib yang sama sejak kecil. Si Sinto Gendeng pasti senang
kalau mengetahui pertemuanmu dengan muridku ini, Wiro… "
"Kau kenal dengan
guruku,?" tanya Wiro.
"Lebih dari kenal."
Wiro menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. Diam-diam dia melirik Lestari dilihatnya menundukkan kepala dan
parasnya memerah.
"Sudahlah …," si
orang tua berkata. "Soal itu bisa dibicarakan nanti. Kalau sudah jodoh
masa ke mana. Sekarang Lestari tuturkan padaku bagaimana kau bisa ketemu dengan
bergundal Istana Darah barpangkat Hulubalang Kesatu dan bernama Waranawikualit
itu!"
Maka Lestari menuturkan
riwayatnya lengkap sampai dia bertemu dengan Wiro Sableng. Si orang tua yang
sampai saat itu masih belum diketahui Wiro siapa namanya nampak manggut-manggut
berulang kali. Wajahnya serius.
"Memang sudah saatnya
kita harus turun tangan. Kita bertiga saja dan dibantu Sultan sudah cukup.
Lestari dan kau Wiro, mari kita atur rencana pemusnahan Istana Darah."
"Memang niat itu sudah
sejak lama terkandung dalam hatiku. Tapi kalau boleh bertanya, kau ini siapakah
orang tua?" tanya Wiro pula.
"Apakah namaku perlu
sekali bagimu?"
"Lebih dari perlu. Karena
kalau kau tahu riwayatku dan kenal Eyang Sinto Gendeng, adalah kurang enak
rasanya jika aku sendiri tidak kenal padamu …" Orang tua itu tersenyum.
"Namaku sebenarnya sudah
hampir musnah ditelan zaman dan dilupakan waktu. Namaku buruk sekali yaitu
Karewang. Dan aku adalah saudara angkat gurumu."
Mendengar itu kontak Wiro
Sableng menjura dalam dan hormat sedang orang tua yang mengaku bernama Karewang
tertawa lagi gelak-gelak.
"Tapi mengapa guru tak
pernah menerangkan padaku tentangmu?"
"Gurumu itu memang
sedeng," sahut Karewang seenaknya. Lalu diisyaratkannya agar Wiro duduk di
hadapannya. Sebelum mengatur rencana penyerbuan ke Istana Darah Karewang
menyuruh pemuda itu menelan tiga butir obat biru dalam botol. Dengan menelan
obat itu Wiro akan kebal terhadap racun "waja biru" yang teramat jahat
itu. Kemudian ketiga orang itupun berunding.
Sampai saat itu Wiro tidak
mengetahui bahwa Karewang adalah tokoh silat klas satu yang memegang gelar Si
Pemusnah Iblis yang semasa mudanya pernah menjagoi dunia persilatan di tanah
Jawa selama dua puluh tahun sebelum diambil alih Eyang Sinto Gendeng. Dalam
masa pengunduran diri dari pasang surut dunia persilatan, suatu ketika Karewang
didatangi Waranawikualit yang datang untuk membalaskan sakit hati dendam
kesumat di masa silam. Waranawikualit datang tidak sendirian melainkan membawa
seorang tokoh aneh berotak miring yang ternyata amat lihay. Tokoh inilah yang
membuat cacat kedua kaki Karewang, kemudian membelenggunya dengan rantai biru.
Dan manusia itu bukan lain adalah RNangrang Srenggi yang kini menobatkan diri
sebagai Raja Istana Darah!
***
15
KUDA PUTIH bernama Angin Salju
itu lari dengan amat cepat, meninggalkan kepulan debu di belakangnya. Pemuda
yang duduk di atas punggungnya bukan lain Panji Kenanga, murid Brahmana
Lokapala dari gunung Raung. Tak selang berapa lama kemudian lapat-lapat di
kejauhan pemuda ini mulai mendengar suara deburan ombak. Itulah satu pertanda
bahwa dia telah mendekati tempat yang ditujunya.
Di satu tempat Panji Kenanga
turun dari kudanya dan sambil membimbing binatang itu dia meneruskan perjalanan
dengan jalan kaki. Sikapnya selalu waspada. Mata dibuka lebar-lebar dan awas,
telinga dipasang tajam-tajam. Bukan mustahil sebelum dia sampai ke tempat
tujuan, kedatangannya telah diketahui hingga dia mungkin bakal jadi korban
pembokongan.
Dia sampai di satu jalan kecil
berliku-liku yang diapit oleh puing-puing batu karang. Angin mengandung garam
menampar-nampar mukanya. Dia memutuskan untuk tidak menempuh jalan kecil itu
tetapi mengambil jalan lain di sela-sela batu karang. Akhirnya dia sampai di
salah satu puing karang datar. Dari sini dia melayangkan pandangan jauh ke
muka.
Di hadapannya terbentang
pantai dan laut lepas. Kira-kira lima ratus tombak dari tepi pantai sebelah
timur, dikelilingi oleh dua puluh satu pohon beringin raksasa berdirilah satu
bangunan besar yang keseluruhannya berwarna merah. Bila angin bertiup maka dari
arah bangunan itu menghamburlah bau busuk yang amat sangat, laksana mau
meruntuhkan bulu hidung. Mau tak mau Panji Kenanga terpaksa menutup hidungnya.
"Pasti itulah yang
disebut Istana Darah," kata pemuda itu dalam hoti. "Sumber segala
macam malapetaka."
Dengan menggertakkan rahang
karena ingat akan kematian adik seperguruannya yaitu Widura serta lenyapnya
Miani yang diduganya berada di Istana Darah, Panji Kenanga balikkan tubuh.
Ditepuknya pinggul kuda tunggangannya dan berkata, "Angin Salju kau
tunggulah di sini. Bila sampai matahari terbenam nanti aku tidak kembali, kau
pulanglah ke gunung Raung, ke tempat guru."
Sebagai jawaban bihatang itu
menggerak-gerakkan daun telinga serta ekornya seolah-olah mengerti maksud
ucapan tuannya. Setelah merangkul leher Angin Salju, Panji Kenanga dengan
gerakan gesit melompat ke puing batu karang di bawahnya, demikian terus menerus
dilakukannya. Melompat dari satu batu karang ke lain batu karang hingga
akhirnya dia sampai di bawah salah satu pohon beringin raksasa yang
mengelilingi bangunan. Berada di tempat itu bau busuk bukan alang kepalang. Mau
tak mau bulu tengkuk pemuda ini agak merinding sewaktu mengetahui bahwa warna merah
yang menjadi cat tembok serta dinding seluruh bangunan itu adalah darah!
"Agaknya aku harus
melompati tembok itu untuk dapat masuk ke dalam … " membathin Panji
Kenanga.
Dia bersiap-siap. Pada saat
itulah dia dikejutkan oleh satu suara di belakangnya.
"Panji Kenanga, kau
datang terlambat."
Murid Brahmana Lokapala itu
berpaling. Astaga.
Ternyata yang berkata adalah
seorang tua bertubuh kurus, bercelana komprang, berkepala botak dan bermata
buta. Dan dia bukan lain adalah si orang aneh yang pernah ditemui Panji Kenanga
sebelumnya, yang dipanggil sebagai Si Botak Mata Buta.
"Apa maksudmu orang
tua." tanya Panji Kenanga.
Tampaknya kali ini orang tua
itu tidak main-main atau bicara seenaknya seperti dulu. Wajahnya serius.
Dan dia berkata, "Adik
seperguruanmu telah mereka bunuh!"
"Aku sudah tahu kematian
Widura."
"Bukan Widura saja.
Mianipun mengalami nasib yang sama…"
"Hah?!" laksana
diambar petir Panji Kenanpa mendengar keterangan itu. "Kau tahu dari
mana?" kedua tangannya dikepalkan saking geram.
Si Botak Mata Buta menghela
nafaa "Sekali seorang masuk ke dalam Istana Darah, jangan harap umurnya
lebih dari dua jam."
"Kurang ajar! Dajal-dajal
Istana Darah, tunggu pembalamnku!" seru Panji Kenange. Segera dia hendak
melangkah ke arah tembok merah tapi satu tangan memegang bahunya dengan cepat.
Betapapun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan pegangan itu tatap saja tidak
berhasil. Ternyata yang memegang bahunya adalah si Botak Mata Buta.
"Jangan bertindak ceroboh
orang muda. Pergunakan otakmu kalau hendak balas dendam! Lain dari itu kudengar
ada beberapa orang yang menuju kemari. Coba kau memandang ke jurusan
barat."
Panji Kenanga memandang ke
jurusan yang dikatakan. Apa yang diucapkan Si Botak Mata Buta memang benar. Dua
orang dilihatnya berlari amat cepat ke jurusan mereka. Satu lelaki berpakaian
serba putih berambut gondrong dan satunya lagi seorang perempuan berpakaian
merah. Yang lelaki kelihatan mendukung seorang tua yang ternyata buntung kedua
kakinya.
"Apa yang kau lihat
Panji?" tanya Si Rotak Mata Buta.
Baru saja selesai pertanyaan
itu diucapkan orang-orang yang datang tahu-tahu sudah sampai dan berhenti
sepuluh langkah di hadapan mereka, di bawah pohon beringin yang besar. Panji
Kenanga menceritakan ciri-ciri orang-orang yang dilihatnya itu.
"Aku mendengar sesuatu
terbang di udara. Pasti burung …," kata Si Botak Mata Buta.
"Memang betul ucapanmu
orang tua. Seekor burung elang terbang berputar-putar di atas kepala orangorang
yang baru datang itu."
Si Botak Mata Buta kerenyitkan
kening.
"Apakah burung elang itu
berbulu merah?"
"Benar."
"Dan orang tua yang
didukung oleh pemuda berambut gondrong itu bermata buta…?" Panji meneliti
sebentar lalu membenarkan.
Si Botak Mata Buta memukul
keningnya dan pada wajahnya terlukis senyum lebar. Maka dia terdengar berseru,
"Karewang! Memang justru pertemuan inilah yang kuharapkan!"
Karewang alias Si Pemusnah
Iblis yang saat itu masih didukung oleh Wiro Sableng memutar kepala dan
mengeluarkan seruan tertahan.
"Nanggala!" serunya
menyebut nama asli Si Botak Mata Buta. "Bermimpikah aku bertemu dengan kau
di sini ini?" lalu katanya pada Wiro. "Bawa aku ke hadapan sahabat
lamaku itu."
Begitu saling berdekatan kedua
orang tua yang sama-sama buta itu saling berangkulan.
"Dua puluh tahun
Karewang! Dua puluh tahun aku tak bertemu kau. Dan nyatanya kau masih buta-buta
juga!"
Kedua orang itu lantas tertawa
gelak-gelak sementara Panji Kenanga, Wiro Sableng dan Lestari hanya berdiri
terlongong-longong.
"Heh, kita ini macam
orang edan saja," berkata Karewang. "Sampai-sampai lupa berada di
mana dan lupa apa maksud kedatangan kita kemari!"
"Apa maksudmu datang ke
sini sobat? Agaknya udara busuk di tepi pantai ini menarik hatimu!"
Karewang tertawa rawan. Lalu
dituturkannya bencana yang menimpa dua orang muridnya dan rencana untuk
menghancurkan Istana Darah.
"Kau sendiri, angin apa
pula yang membawamu ke mari?" balik bertanya Karewang.
"Kita bernasib dan punya
maksud sama, sobatku," jawab Nanggala atau Si Botak Mata Buta. Setelah
memperkenalkan Panji Kenanga pada orang-orang itu maka dituturkannya kejadian
yang menimpa dua orang saudara seperguruan Panji Kenanga.
Karewang mengusap-usap
dagunya.
"Kejahatan dajal-dajal di
dalam Istana Darah itu sudah lewat dari takaran. Sudah waktunya harus
dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Sobatku Karewang, aku
mendapat keterangan dari Panji Kenanga bahwa ada seorang pemuda gondrong
bersamamu. Siapakah dia … ?"
Karewang hendak menjawab tapi
Wiro menyikut rusuknya dan pemuda ini mendahului menjawab, "Aku yang muda
ini kebetulan datang bertandang ke tempat Si Pemusnah Iblis."
Panji Kenanga yang sebelumnya
sudah bertemu dengan Wiro segera membuka mulut. "Dialah yang telah
melabrak gerombolan Ronggokarapan di kampung Warnasari. Juga dialah yang
menyelamatkan anak murid Si Pemusnah Iblis dan ternyata usahanya
berhasil."
Wiro cuma bisa senyum-senyum
saja mendengar ucapan itu. "Semuanya serba kebetulan saja sobat,"
katanya merendah.
"Dan dia adalah Wiro
Sableng Pendekar 212," menambahkan Panji Kenanga.
Sepasang mata buta Nanggala membuka
lebar-lebar.
"Pendekar 212?"
ulangnya. "Sudah sejak lama aku mendengar nama itu. Sudah sejak lama aku
mendengar kehebatanmu, Wiro … "
"Saya bukan apa-apa
terutama jika dibandingkan dengan kalian orang-orang gagah yang ada di
sini."
"Tidak selamanya yang tua
lebih hebat dan lihay dari yang muda," kata Si Botak Mata Buta pula.
"Kita yang tua ini tokh kelak bakal digantikan oleh yang muda-muda
macammu. Sebenarnya jika tidak terpaksa betul kami yang tua-tua dan pikun ini
merasa amat malu masih mengurusi segala macam urusan dunia." Si Botak Mata
Buta diam sejenak. "Astaga!" katanya kemudian, "aku sampai lupa
pada muridmu Karewang. Sayang … sayang mataku buta hingga tidak dapat melihat
kecantikannya."
Orang tua berkepala botak
berbadan kurus ini tertawa gelak-gelak sedang Lestari menjadi merah parasnya.
"Hai, hampir aku lupa." Membuka mulut lagi Si Botak Mata Buta.
"Panji aku ada menitipkan sebuah benda padamu tempo hari. Serahkanlah pada
Lestari karena benda itu adalah miliknya."
Panji Kenanga ingat akan
seruling perak yang ada di balik pakaiannya. Cepat-cepat benda ini
dikeluarkannya lalu diserahkannya pada Lestari. Baik Lestari maupun Karewang
merasa heran bagaimana senjata mustika itu berada pada Panji Kenanga. Sebelum
mereka bertanya Nanggala membuka mulut memberi keterangan.
"Kalau aku tidak salah
suling itu berhasil diambil oleh Tapak Biru sewaktu terjadi kerusuhan di puncak
Dieng. Dengan senjata milik Lestari itu dia malang melintang lebih berani
berbuat kejahatan hingga akhimya aku berhasil merampasnya dan menyerahkannya
pada Panji Kenanga dengan pesan agar bila bertemu pada pemiliknya dia harus
menyerahkan suling perak terebut. Tidak disangka kalau hari ini kita saling
bertemu hingga suling itu bisa dikembalikan pada pemiliknya. Bukankah itu suatu
pertanda …?"
"Pertanda apa gerangan
maksudmu, sobatku!" tanya Karewang.
"Pertanda bahwa ada jalan
yang mempertemukan muridmu dengan murid Brahmana Lokapala ini! Lebih jelas
kalau kukatakan pertemuan yang membawa jodoh?"
Karewang tertegun sejenak.
Wiro melirik pada Lestari justru pada saat si gadis melirik pula pada Wiro
hingga pandangan mereka saling bertemu dan membuat si gadis cepat-cepat
menunduk dengan paras merah. Dalam pada itu Panji Kenanga mencuri pandang pula
dan memang sesungguhnya sejak pertemuan ini, bahkan sejak mula pertama dia
melihat Lestari di kedai di kampung Warnasari, hatinya mengakui bahwa Lestari
seorang gadis yang amat menarik. Namun karena orang yang dicintainya adalah
Miani, maka apapun daya tarik Lestari tidak menjadi persoalan baginya.
"Sobatku Nanggala,"
kata Karewang setelah lebih dulu mendengarkan suara tertawa. "Urusan jodoh
biarlah kita bicarakan belakangan. Kurasa kurang pantas dilakukan saat ini dan
juga kurang tepat kalau kita berani menyebut-nyebut urusan itu tanpa setahu
Brahmana Lokapala. Bukankah begitu Panji Kenanga?"
"Betul … betul sekali
orang tua," sahut Panji Kenanga.
"Nah, sekarang mari kita
bicarakan penyerbuan ke.dalam istana dajal itu," kata Nanggala.
"Masuk ke dalam terlalu
besar bahayanya. Ini bukan karena aku takut, tapi Rangrang Srenggi keparat itu
memang betul-betul cerdik dan licik. Kita mesti hati-hati. Panji, coba kau naik
ke pohon beringin itu dan selidiki keadaan di belakang Tembok Darah."
Mendengar ucapan Karewang,
Panji Kenanga dengan satu gerakan enteng segera melompat ke atas pohon
beringin. Namun baru saja dia menginjakkan kakinya di salah satu cabang
tiba-tiba laksana tangantangan setan, puluhan akar gantung pohon beringin itu
bergerak melibat seluruh tubuhnya. Bagaimanapun diusahakannya untuk melepaskan
diri tetap siasia belaka. Semua orang terkejut melihat kejadian ini.
"Benar-benar licik dan cerdik si Rangrang Srenggi itu," kata Nanggala
seraya hendak melompat ke atas untuk memberi pertolongan. Inilah kehebatannya.
Meski buta tapi dapat merasakan apa yang telah menimpa Panji Kenanga.
"Biar burungku yang turun
tangan, Nanggala. Mengapa kau mesti susahkan diri." Berkata begitu
Karewang mendongak ke udara dan berseru, "Sultan lepaskan pemuda
itu!"
Elang merah yang sejak tadi
berputar-putar di atas kepala mereka menguik keras lalu terbang ke arah pohon
beringin. Dengan paruhnya yang tajam laksana gunting baja, dalam waktu singkat
binatang ini berhasil memutus seluruh akar-akar yang melilit tubuh Panji
Kenanga.
"Terima kasih," kata
Panji Kenanga lalu dengan cepat turun. Meski dirinya terlibat tidak berdaya
tadi namun sepasang matanya masih bisa meneliti keadaan di belakang Tembok
Darah. Tak seorangpun yang kelihatan. Seluruh bangunan berbda dalam keadaan
sepi. Demikian Panji Kenanga menerangkan. Tapi baru saja dia selesai berikan
keterangan, dari arah Istana Darah menggema suara keras.
"Siapapun yang berada di
luar, bersiaplah untuk mampus!"
"Itu suara Rangrang
Srenggi!" kata Karewang. Lalu pada Wiro dia berbisik, "Lekas lakukan
apa yang kita telah atur!"
Wiro segera menurunkan orang
tua itu dan mendudukkannya di satu puing karang datar. Dari balik pakaiannya
yang menggembung dikeluarkannya sebuah benda hitam berbentuk bola sebesar dua
kepalan tangan. Dia lalu lari ke arah Pintu Gerbang Darah.
"Kau mau bikin apa,
Karewang?" tanya Nanggala.
"Lihat saja! Aku akan
paksa dajal-dajal itu keluar dari sarangnya. Jika kita menyerbu ke dalam
mungkin terlalu berbahaya dan … "
Karewang alias Si Pemusnah
Iblis tak meneruskan ucapannya karena saat itu dari belakang Tembok Darah
laksana hujan menyembur ratusan benda ke arah mereka. Ternyata benda-benda itu
adalah paku-paku berwarna biru yang merupakan senjata rahasia yang telah
dicelup dengan racun "waja biru".
"Ini pasti perbuatannya
si Waranakualit!" kertak Karewang. Tangan kanannya dipukulkan ke depan.
Satu gelombang angin dahsyat menderu memukul runtuh serangan paku tersebut.
Tapi hebatnya begitu sampai di tanah senjata-senjata rahasia ini kembali
memantul mengirimkan serangan.
16
"HEM … ada kemajuan
rupanya si Waranawikualit itu!" kata Karewang seraya gerakkan tangan
kanannya.
Dari telapak tangan kanan
orang tua itu menderu angin yang berputar-putar, menikung beberapa kali,
menyapu paku-paku biru hingga keseluruhannya berkelompok menjadi satu. Dalam
pada itu Panji Kenanga yang sudah tidak sabar mencabut pedang "Gajah
Biru"-nya. Sekali tangannya bergerak, satu sinar biru berkelebat
menyilaukan dan runtuhlah ratusan jarum yang tergabung jadi satu itu dalam
keadaan terpotong dua!
"Pedang bagus … pedang
bagus!" kata Nanggala memuji sambil tertawa senang.
Dalam pada itu Wiro telah
berada dua puluh langkah dari hadapan Pintu Gerbang Darah. Mendadak dari
lubang-lubang rahasia yang tak kelihatan di bagian bawah Tembok Darah
bermunculanlah enam kepala merah bertopi tarbus merah yarg ujungnya berkuncir.
Mereka ternyata adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah. Dalam waktu singkat
mereka telah mengurung Wiro Sableng. Mereka adalah Hulubalang Darah Kelima
Belas sampai Keduapuluh. Wiro tak punya kesempatan lagi untuk mendekati pintu
gerbang lebih dekat maka serta merta bola hitam di tangan kanannya dilemparkan.
Terdengar satu ledakan dahsyat. Bumi laksana dilanda lindu. Lidah api
menjulang. Sebagian dari atap Istana Darah mental beterbangan ke udara, beberapa
tiang besar runtuh bersama-sama dinding Istana.
"Kurang ajar!"
teriak Hulubalang Darah Kesembilan Belas. "Dia telah merusak Istana! Mari
kita bunuh bangsat itu!"
Maka ke enam Hulubalang Darah
serempak memukulkan tangan kanan mereka. Enam sinar merah yang bukan kepalang
panasnya menyambar ke arah Wiro Sableng. Yang diserang maklum kalau
lawan-lawannya adalah rata-rata berkepandaian tinggi. Karenanya dengan tangan
kiri kanan Wiro lepaskan pukulan "benteng topang melanda samudera."
Begitu pukulan lawan buyar Wiro menyelinapkan satu jotosan dan satu tendangan.
Tak ampun lagi Hulubalang
Darah Kejutuhbelas dan Keduapuluh mencelat roboh. Yang pertama segera meregang
nyawa karena perutnya bobol kena tendangan sedang yang kedua muntah darah lebih
dulu baru lepas jiwanya. Itulah korban-korban pertama dari Istana Darah!
Melihat kedua temannya menemui
kematian begitu rupa, Hulubalang-hulubalang lainnya berteriak marah lalu
mengeluarkan senjata masing-masing dan kembali menyerbu ke arah Wiro. Namun
saat itu serangan mereka tertahan oleh satu sambaran sinar biru yang
menyilaukan yang membuat mereka serempak berseru kaget. Dalam pada itu
terdengar teriakan.
"Wiro biar aku menahan
mereka!"
Ternyata saat itu dengan
pedang Gajah Biru di tangan Panji Kenanga telah menyerbu ke tempat pertempuran.
Hulubalang Darah Kedelapanbelas dan Kesembilanbelas dengan penasaran melompat
ke muka seraya menyapukan senjata masing-masing. Namun begitu pedang Gajah Biru
menyambar dua kali berturut turut, keduanya kontan menjerit dan menggeletak
mandi darah. Yang satu tertembus dadanya, yang lain terbacok parah pangkal
lehernya!
Diam-diam Wiro kagum melihat
kehebatan pemuda itu. Karena yakin bahwa Panji Kenanga bakal dapat
menyelesaikan dua lawan yang masih hidup maka tanpa ragu-ragu ditinggalkannya
tempat itu. Dia lari ke samping kanan Tembok Darah dan dari sini melemparkan
bola hitam kedua. Untuk kedua kalinya terdengar suara menggelegar. Bagian
samping kanan Istana Darah runtuh, kerusakan hebat terjadi. Hulubalang Darah
Keduabelas dan Keempat belas yang kebetulan ada di bagian situ dan tidak keburu
menyingkir, menjadi korban.
Ketika sekali lagi Wiro
melemparkan bola hitam ke sampirig kiri Istana Darah boleh dikatakan Istana
Darah telah hampir sama rata dengan tanah. Beberapa Hulubalang Darah menemui
ajalnya. Wiro kembali ke tempatnya sementara Panji Kenanga telah berhasil
membunuh dua Hulubalang yang tadi dihadapinya. Orang-orang itu menunggu. Sampai
sepeminuman teh tak ada seorangpun yang muncul dari belakang tembok.
"Apa mereka sudah pada
mampus semua …?" tanya Nanggala. "Atau bersembunyi?"
"Kita tunggu saja.
Pentolan-pentolan dajal itu pasti keluar sebentar lagi …" kata Karewang.
Dan betul saja. Didahului oleh
suara berkerekatan maka terbukalah Pintu Gerbang Darah dan laksana bobolnya
sebuah bendungan mencurahlah cairan merah hingga seantero tempat kini digenangi
oleh cairan tersebut sampai sebatas betis Di samping cairan itu busuknya bukan
main juga di dalamnya kelihatan bergerak-gerak ratusan ular berbisa!
Semua orang cepat menyingkir
ke atas puing karang data di atas mana Karewang alias Si Pemusnah Iblis duduk.
Panji Kenanga membungkuk dan
membabatkan pedang Gajah Biru berulang-ulang sehingga puluhan ular yang berani
datang mendekat segera terpotongpotong dan menemui kematiannya. Wiro Sableng
lebih hebat lagi. Dicabutnya Kapak Naga Geni serta batu hitam 212. Setiap kali
batu dan Kapok diadukannya satu sama lain maka menderulah lidah api. Cairan
darah muncrat dan menggelegak panas. Ular-ular yang ada di dalamnya laksana direbus
dan hanya dalam tempo kurang dari sepeminuman teh seluruh binatang itu telah
musnah menemui ajal!
Karewang tertawa mengekeh.
"Bagus Wiro, bagus. Kalau
tak salah pendengaran telingaku, dari Pintu Gerbang Darah tengah keluar
serombongan orang. Coba kalian perhatikan!"
Memang betul!
Empat belas orang berpakaian
serba merah melangkah keluar dari Pintu Gerbang Darah, berjalan memecah
genangan darah busuk dengan seenaknya lalu berhenti kira-kira lima belas
langkah di hadapan rombongan Karewang.
Mereka adalah
Hulubalang-hulubalang Istana Darah yang dipimpin oleh jago nomor satu yang
menduduki jabatan sebagai Hulubalang Darah Kesatu dan asli bernama
Waranawikualit. Di belakang rombongan Hulubalang ini menyusul 40 Hulubalang
pengawal. Meski ilmu kepandaian mereka tidak seberapa tinggi namun jumlah
mereka yang begitu banyak mau tak mau musti diperhitungkan oleh pihak lawan.
"Mereka berjumlah lebih
dari lima puluh Eyang …" bisik Lestari pada gurunya dan diam-diam segera
keluarkan suling peraknya.
"Tak perlu ditakutkan,"
sahut Karewang perlahan. "Bila mereka berani datang lebih dekat pasti
konyol…"
"Di antara mereka tak
kelihatan si Rangrang Srenggi," kembali Lestari berbisik.
"’Hai kenapa raja kalian
tidak muncul?! Apa takut mampus?!" Karewang tiba-tiba berteriak sementara
orang-orang dari Istana Darah mulai berpencair, mengurung mereka.
"’Untuk menghajar
manusia-manusia pikun macam kamu perlu apa Raja kami mesti mengotorkan diri
turun tangan!" Yang menjawab adalah Hulubalang Darah Kesatu.
Karewang yang mengenal suara
itu kembali membuka mulut. "Hem, nyalimu sungguh besar Waranawikualit.
Tapi sayang usiamu tak bakal lama. Apalagi setelah aku tahu apa yang kau
lakukan terhadap dua muridku!"
Waranawikualit atau Hulubaiarg
Darah Kesatu mengeluarkan dengus mengejek.
”’Kalau saja kau ingat nasib
celaka yang menimpa dirimu dulu, pasti kau telah miring otak masih
beraniberanian datang kemari!" kata Hulubalang Darah Kesatu pula.
Sementara itu dengan ilmu
menyusupkan suara Karewang berkata pada Nanggala, "Kau hadapi dia sobatku.
Walau bagaimanapun lawan besar yang harus kuhadapi adalah Rangrang
Srenggi."
"Tak usah kawatir. Kau
duduk di sini tenang-tenang. Aku dan lain-lainnya akan menunjukkan jalan ke
liang kubur pada mereka!"
"Bagus. Tapi kalau tidak
turun tangan sama sekali kurang enak rasanya," kata Karewang pula. Maka
diapun berseru, "Waranawikualit bedebah! Jika betul nyalimu amat besar
majulah! Bawa semua orangorangmu sekalian! Hari ini aku akan memberi pelajaran
terakhir padamu sebelum kau jadi makanan cacingcacing liang kubur!"
"Mulutmu terlalu
besar!" teriak Waranawikualit marah. Dia memberi isyarat pada anak-anak
buahnya.
Beberapa Hulubalang maju
sedang Hulubalang Pengawal memperketat lingkaran kurungan. Tinggal sepuluh
langkah dari hadapannya tiba-tiba laksana kilat Karewang yang bergelar Si
Pemusnah Iblis itu tertawa mengekeh dan tangan kanannya melemparkan sebuah bola
hitam.
"Lekas menyingkir!"
teriak Hulubalang Darah Kesatu begitu melihat bola peledak melayang di udara.
Tangan kanannya dihantamkan ke
atas. Maksudnya hendak memukul hancur senjata maut itu sebelum meledak diantara
orang-orangnya. Tapi dari angin suara gerakannya, Karewang cukup tahu apa yang
dilakukan lawan. Segera ia mengirimkan satu pukulan tangan kanan ke arah dada
lawannya dan memaksa Hulubalang Darah Kesatu melompat ke samping.
Tangkisannya luput dan sesaat
kemudian bola hitam yang dilemparkan Karewang meledak di tengahtengah
orang-orangnya. Terdengar suara berpekikan. Sembilan belas Hulubalang Pengawal
roboh ke dalam genangan darah. Darah mereka bercampur baur dengan darah busuk
itu. Lima Hulubalang Darah terjungkal dan ikut jadi korban! Dengan demikian
yang tinggal kini cuma 9 orang Hulubalang Darah dan 21 orang Hulubalang
Pengawal!
Bukan alang kepalang marahnya
Hulubalang Darah Kesatu melihat korban-korban yang berjatuhan di pihaknya.
"Kalau tidak kupecahkan
kepalamu detik ini juga biar aku berhenti jadi manusia!" teriak
Waranawikualit lalu sambil melompat dia kirimkan dua pukulan hebat sekaligus!
Dua larik sinar merah menyambar
dari pukulannya itu ke arah dada dan kepala Karewang. Karewang membentak,
"Ilmu iblis musnahlah!" Kedua tangannya diangkat. Selarik sinar
pelangi berkiblat dan serangan Waranawikualit benar-benar musnah buyar!
Tapi saat itu dari samping
terdengar seruan, "Waranawikualit akulah lawahmu!"
Satu sinar kuning menyambar.
Hulubalang Darah Kesatu
membalik gesit dan membentak beringas ketika melihat siapa yang menyerangnya.
"Anjing botak mata buta! Kau yang ingin konyol berani datang kemari!"
Kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang bergerak dalam serangan "Sepuluh
cakar sakti meremas bumi" yang amat hebat karena mengandalkan lebih dari
tiga perempat tenaga dalamnya.
Si Botak Mata Buta yang bukan
sembarang orang dengan gerakan mengagumkan berhasil mengelakkan serangan itu.
Akibatnya sepuluh jari tangan Waranawikualit melabrak batu karang di sampingnya
dan batu karang itu hancur lebur!
Bayangkan kalau sepuluh jari
tangan berhasil mengermus kepala botak Si Botak Mata Buta. Untuk beberapa
lamanya semua orang tertegun di tempat masing-masing menyaksikan jalannya
pertempuran tingkat tinggi itu. Perkelahian berjalan terus. Ketika kelihatan
Waranawikualit atau Hulubalang Darah Kesatu mulai terdesak,
Hulubalang-Hulubalang Darah lainnya dan juga Hulubalang Pengawal segera
menyerbu ke tengah gelanggang pertempuran untuk mengeroyok Si Botak Mata Buta!
Melihat hal ini maka Wiro
Sableng, Panji Kenanga dan Lestari tidak tinggal diam. Karena lawan datang
mengeroyok dengan mempergunakan berbagai macam senjata maka ketiganyapun
menyerbu dengan senjata di tangan. Di atas genangan cairan darah busuk itu
berkecamuklah pertempuran hebat. Wiro mengamuk dengan Kapak Naga Geni 212 yang
mengeluarkan sinar putih menyilaukan serta suara menggaung seperti ratusan
tawon menggila. Panji Kenanga berkelebat gesit kian kemari dengan pedang Gajah
Birunya yang terlihat hanya merupakan kelebatan-kelebatan sinar biru
menderu-deru. Di lain pihak laksana seorang puteri dari kayangan yang sedang
marah, Lestari berubah merupakan bayangan merah yang berkelebat gesit kian
kemari sambil pergunakah suling peraknya untuk memukul dan menotok kepala atau
dada lawan!
Meskipun orang-orang dari
Istana Darah rata-rata berkepandaian tinggi namun tiga lawan yang mereka
hadapi, terutama Pendekar 212 Wiro Sableng bukanlah lawan-lawan kelas rendah
yang bisa mereka lakukan dengan sekehendak hati. Dalam tempo singkat korban
demi korban telah berjatuhan dan bergeletakan dalam genangan darah busuk.
Muncratan-muncratan cairan busuk itu mengotori pula pakaian mereka yang
bertempur.
Tiga kali peminuman teh
berlalu dan saat itu kelihatanlah bahwa hanya Hulubalang Darah Kesatu sajalah
yang tinggal sendirian berhadapan dengan Si Botak Mata Buta. Keadaan itupun
agaknya tidak bakal berjalan lama karena saat itu tangan kanan Hulubalang Darah
Kesatu telah disentak putus oleh lawannya hingga dia kini hilang keseimbangan
badan dan bercampur macam orang celeng!
Si Botak Mata Buta sendiri
bertempur seperti orang main-main dan sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba mulut Hulubalang
Darah Kesatu menggembung. Sesaat kemudian menyemburlah asap biru pekat ke muka
Si Botak Mata Buta. Orang tua ini sudah maklum kehebatan racun "waja
biru" cepat menutup jalan nafasnya dan menyembur pula ke depan! Dari
mulutnya menggebu hawa kuning, membuat Hulubalang Darah Kesatu terbatuk-batuk
dan ketika tubuhnya terlipat ke depan, sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta
dengan cepat mencengkeram lehernya. Hulubalang Darah Kesatu megap-megap
kehabisan nafas, meronta dan melejang-lejang.
"Kreek …!"
Sepuluh jari tangan Si Botak
Mata Buta tenggelam ke dalam leher Hulubalang Darah Kesatu dan hancurlah tulang
leher itu. Nyawa Hulubalang Darah Kesatu melayang ke akhirat!
"Pertempuran hebat!
Pertempuran hebat!" teriak Karewang berulang-ulang. "Tapi dimanakah
lawanku? Mengapa si Rangrang Srenggi masih belum muncul?!"
"Mari kita periksa ke
dalam runtuhan Istananya!" mengusulkan Panji Kenanga.
Karewang berpikir sejenak.
Akhirnya menyetujui dan meminta Wiro Sableng untuk mendukungnya kembali. Kelima
orang itu dengan merancah genangan darah busuk, melangkahi mayat-mayat yang
bergelimpangan, dengan hati-hati bergerak menuju reruntuhan Istana Darah. Di
mana-mana terdapat sisa-sisa korban api dan dari setiap jurusan menyambar bau
busuk yang memengapkan jalan pernafasan.
"Aneh, di manakah si gila
Rangrang Srenggi itu?" ujar Si Botak Mata Buta.
Di ujung sana, dekat sisa
reruntuhan dinding tembok sebelah dalam bekas Istana Darah, Pendekar 212 Wiro
Sableng tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ketika dia menjenguk ke balik reruntuhan
tembok, depan sebuah kolam yang kini dipenuhi puingpuing reruntuhan serta
pecahan patung Rakseksi telanjang, di atas sebuah kursi goyang besar yang
terbuat dari kayu jati bercat merah, duduklah seorang laki-laki katai
berpakaian merah, berambut gondrong awut-awutan berwarna merah dan bermuka
bercelomot darah! Baik kening, maupun hidung serta mulut orang katai ini amat
rata sekali hingga sepintas lalu mukanya licin tak ubahnya seperti sebuah bola!
Kursi yang didudukinya terlalu besar bagi tubuhnya yang kecil itu. Bahkan kedua
kakinya tidak sampai menjejak lantai! Tapi di atas kursi goyang itu dia duduk
bergoyang-goyang seenaknya. Di tangan kiri kanannya terdapat sebuah seloki
cairan merah. Dalam duduk sendirian seenaknya itu dia tertawa-tawa macam orang
kurang ingatan. Wiro memberi isyarat pada yang lain-lainnya untuk mendekat.
Ketika semua orang sudah berkumpul di dekatnya tiba-tiba si katai di atas kursi
goyang menghamburkan tawa gelak berderai hingga kedua matarrya basah oleh air
mata!
"Selamat datang tuan-tuan
… Selamat datang di Istanaku yang telah hancur ini …!" kata orang katai
itu pula.
Tapi tiba-tiba mukanya berubah
warna dan dari mulutnya keluar makian. "Keparat … sialan! Laknat …!
Haram jadah! Terkutuk!
Mampuslah semua! Mampusl Semuaaa …!"
Mengenali suara yang mengutuk
menyerapah itu Karewang segera membuka mulut.
"Paduka Yang Mulia Raja
Gila, setelah istanamu hancur, setelah begundal-brgundalmu konyol, apakah kau
masih menganggap dirimu masih sebagai raja?"
"Kalau asalku raja tetap
raja. Hari ini aku telah menjadi raja akhirat untuk mengirim kau dan yang
lainlainnya ke akhirat!" Selesai berkata begitu manusia yang menganggap
dirinya sebagai raja itu tertawa gelakgelak.
"Rangrang Srenggi. Otakmu
yang miring rupanya sudah tidak bisa dibikin lempang! Hari ini kau harus
mempertanggungjawabkan segala kejahatan yang telah kau perbuat!"
Rangrang Srenggi mendengus.
Digoyang-goyangkannya badannya di atas kursi goyang lalu sambil mengacungkan
dua buah seloki yang dipegangnya dia berkata,
"Sebelum kita meneruskan
pembicaraan mari kujamu kau dengan arak darah ini! Datanglah ke hadapanku. Eh…
apakah kedua kakimu yang kubikin buntung tempo hari sudah disambung dengan kaki
palsut!"
Paras Karewang merah padam
namun dia ganda tertawa mendengar ucapan itu dan menjawab, "Justru aku
datang kemari untuk minta tolong dibuatkan sepasang kaki palsu." Karewang
lantas balas tertawa.
Rangrang Srenggi memencongkan
mulutnya.
"Aku akan buatkan
cuma-cuma untukmu. Namun terlebih dulu teguklah arak darah ini!" Habis berkata
begitu Rangrang Srenggi membuka tangan kanannya dan seloki arak di tangan kanan
itu melayang perlahanlahan ke arah Karewang.
"Wiro dudukkan aku di
runtuhan tembok agar aku bisa menyambuti suguhan tuan rumah!" kata
Karewang. Maka Wiropun mendudukkan orang tua itu di atas runtuhan tembok.
Sementara itu seloki yang
berisi arak darah melayang menuju ke tempat Karewang. Kira-kira satu meter lagi
dari hadapannya. Karewang menguiurkan tangan seperti hendak menyambuti. Tapi
dari tangan kanannya justru keluar selarik angin yang membuat seloki tertahan
di udara. Dan bukan sampai di situ saja. Malah kini seloki itu kelihatan
mundur. Betapapun Rangrang Srenggi mengerahkan tenaga dalamnya tetap saja dia
tak sanggup mendorong seloki tersebut ke arah lawannya!
***
17
"HA…HA…HA…! Rupanya
seloki itu malu-malu datang ke hadapanku! Biarlah bagianku itu kau ambil
saja!" kata Karewang seraya mendorongkan tangan kanannya lebih keras.
Dengan muka merah karena malu
Rangrang Srenggi menyambut seloki arak itu. Sadarlah dia bahwa tenaga dalam
lawan jauh lebih tinggi darinya. Perlahan-lahan dengan tenang dia meneguk habis
darah busuk yang ada dalam seloki satu demi satu. Lalu seenaknya kedua seloki
kosong itu dilemparkannya hingga pecah bertaburan. Dia kemudian tertawa bekakakan
lalu kembali memaki kata-kata kotor. Tiba-tiba dia memejamkan kedua matanya.
Dalam memejamkan mata itu dia kemudian mengajukan pertanyaan.
"Karewang, sudah siapkah
kau untuk pergi ke akhirat!"
"Sudah sejak dari
dulu-dulu, Srenggi," sahut Karewang.
"Bagus!"
Bersamaan dengan ucapan
"bagus" itu Rangrang Srenggi menendangkan kaki kanannya yang kecil.
Sesiur angin yang amat dingin
meluncur ke arah Karewang. Yang diserang menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu
tubuh itu melesat setengah tombak ke atas. Serangan lawan lewat di bawahnya,
menghantam runtuhan tembok di mana tadi Karewang duduk hingga hancur lebur.
Karena temtok itu kini sudah jadi sama rata dengar tanah orang menyangka
Karewang akan jatuh terbanting ke tanah. Tapi hebatnya orang tua berkaki buntung
ini dengan senyum-senyum melayang turun dan duduk bersila di tanah tanpa
menimbulkan sedikit suarapun!
"Kini giliranku,
Srenggi!" seru Karewang.
Kedua tangannya ditepukkan ke
depan. Kursi goyang yang diduduki Rangrang Srenggi hancur berantakan. Tapi si
katai itu sendiri sudah melompat ke lain tempat dan di lain kejap laksana topan
prahara menyerbu ke arah Karewang.
Orang tua bermata buta dan
berkaki buntung itu tetap duduk dengan tenang di tempatnya. Telinganya dipasang
benar-benar untuk mengetahui serangan apa dan dari mana datangnya. Tiba-tiba
dia mengangkat kedua tangannya, menangkis! Empat lengan mereka saling beradu!
Rangrang Srenggi terpekik. Tubuhnya terbanting ke tanah sedang Karewang yang
hilang keseimbangannya jatuh terguling-guling tapi cepat bangun dan duduk
bersila kembali!
Si katai Rangrang Srenggi
dengan amarah meluap mencabut sebilah pedang tipis berwarna merah darah dan
melompat ke hadapan Karewang.
"Licik!" teriak
Lestari seraya melompat dan menyerang Rangrang Srenggi dengan suling peraknya.
"Guruku tidak pakai
senjata, mengapa kau menyerang dengan pedang!"
"Bocah jelita. Kau
minggirlah!" bentak Rangrang Srenggi. Pedangnya dibabatkan. Angin yang
menderu keluar dari senjata itu hebat sekali hingga Lestari yang terkena
terpaannya terjajar enam langkah ke belakang!
"Biarkan saja Lestari!
Biarkan dia menyerang dengan pedang!" terdengar suara Karewang, "Dia
tolol kalau menganggap gurumu yang pikun ini adalah Karewang beberapa tahun
lalu, buta dan buntung!"
Lalu orang tua ini dengan sikap
acuh tak acuh menyilangkan kedua tangan di muka dada sedang sepasang matanya
yang buta terpejam. Sesaat kemudian dari ubun-ubunnya tampak keluar asap warna
ungu. Asap ini dengan cepat menutupi sekujur tubuhnya. Sesaat Rangrang Srenggi
tertegun. Namun kemudian dia teruskan serangan pedangnya. Senjata ini bergaung
mencari sasaran di arah leher Karewang. Tapi aneh! Begitu pedang membentur
lapisan asap ungu, maka senjata itu terpental kembali laksana menghantam satu
dinding yang luar biasa atosnya. Rangrang Srenggi jadi penasaran. Dia
mengumpulkan seluruh tenaga dan menghujani tubuh lawan dengan bacokan terus
menerus. Namun bagaimanapun dicobanya untuk membacok, menusuk, membabat, tetap
saja pedangnya tidak mampu menerobos lapisan asap ungu yang aneh itu!
"Gila! Gila … gila!"
teriak Rangrang Srenggi kalap.
Tiba-tiba cepat sekali
Karewang mengulurkan tangan kanannya. Dan entah dalam gerakan bagaimana
tahu-tahu dia sudah berhasil merampas pedang merah di tangan Rangrang Srenggi.
Selagi lawan berada dalam keadaan tertegun kaget, senjata itu sudah menyambar
datar di bawah pinggangnya dan cras! Putuslah tubuh Rangrarig Srenggi sebatas
pinggul!
Darah menyembur dari dua
bagian tubuh yang terpotong itu. Rangrang Srenggi berteriak-teriak, memaki dan
mengutuk menyerapah. Namun detik demi detik suaranya semakin kecil melemah.
Pada saat tubuhnya tak berkutik lagi suaranyapun lenyap dan nyawanya lepas!
"Seorang iblis telah
musnah! Bukankah pantas aku diberi gelar Si Pemusnah Iblis?!" Karewang
lalu tertawa gelak-gelak.
T A M A T