-------------------------------
----------------------------
034 Munculnya Sinto Gendeng
BAB 1
Malam rimba belantara luar
biasa lebat dan sunyinya itu Sri Baginda duduk di atas batangan pohon yang
sengaja ditebang untuk dijadikan tempat duduk. Di sebelahnya duduk Patih
Kerajaan.
Permaisuri tegak bersandar ke tiang
bangunan yang baru saja selesai dibuat secara darurat.
Bangunan itu tanpa dinding
sama sekali. Atapnya dari cabang-cabang pepohonan yang dirapatkan dan ditutup
dengan berbagai dedaunan. Enam orang pengawal berbadan tegap dengan senjata
terhunus mengelilingi tempat itu. Seorang lelaki separuh baya berpakaian
ringkas dengan sebilah keris terselip di pinggang melangkah mundar-mandir.
Sepasang matanya membersitkan pandangan tajam. Agak ke sebelah belakang
bangunan yang tak lebih dari sebuah gubuk itu, duduk di atas tikar daun seorang
perempuan muda berparas jelita berkulit kuning langsat. Perempuan ini adalah
salah seorang selir Sri Baginda.
Tak ada yang membuka mulut.
Kesunyian rimba belantara hanya dirasuki oleh langkah-langkah lelaki berpakaian
ringkas yang mundar-mandir itu.
“Patih Aryo Culo!” Sri Baginda
akhirnya memecah kesunyian yang mencekam tidak enak itu.
“Apakah tempat ini cukup aman
bagi kita?”
Lelaki berpakaian ringkas
berhenti melangkah. Dia menatap Sri Baginda lalu berpaling pada Patih Aryo Culo
yang duduk di sebelah kiri Sri Baginda.
“Untuk satu dua hari saya rasa
cukup aman Sri Baginda. Saya sudah memerintahkan seorang kepercayaan untuk
menyiapkan tempat baru di sebuah lereng bukit. Paling lambat dua hari lagi dia
pasti muncul dan kita bisa segera berangkat”.
“Bagaimana dengan binatang
buas?” tanya Sri Baginda pula.
Patih Aryo Culo menoleh pada
lelaki berpakaian ringkas. Dan orang ini segera berkata: ”Saya sudah menebar
garam penolak ular dan segala macam binatang berbisa. Di hutan ini tak ada
harimau atau binatang buas lainnya”.
Meskipun mendapat jawaban
demikian namun wajah Sri Baginda masih tetap tampak muram kawatir. Ada hal lain
yang tengah dipikirkannya. Patih Aryo Culo seperti dapat meraba, segera membuka
mulut.
“Para Pangeran dan Puteri
telah diselamatkan di sebuah tempat rahasia. Kaum pemberontak tak bakal
menemukan mereka. Sesuai dengan rencana tujuh hari di muka mereka akan
bergabung dengan kita di tempat baru di lereng bukit, bersama-sama dengan dua
orang selir Baginda lainnya. Satu hal yang saya mohon dimaafkan. Keponakan Sri
Baginda Raden Jingga tidak berhasil ditemukan.
Dimana dia berada ketika
pemberontak menyerbu Kotaraja tidak diketahui”.
Sri Baginda mengusap-usap
rambutnya yang panjang sebahu dan keseluruhannya telah berambut putih.
“Aku tidak mengawatirkan Raden
Jingga. Tidak mengawatirkan siapa-siapa. Bahkan dirikupun tidak…” berucap Sri
Baginda. “Yang aku risaukan adalah masa depan Kerajaan. Jika kaum pemberontak
yang kini bercokol di Kotaraja tidak dapat ditumpas dengan cepat, malapetaka
besar akan melanda seluruh negeri…”
Patih Aryo Culo tertunduk
muram. Kemudian dia mengangkat kepala memandang pada lelaki berpakaian ringkas
seolah-olah mencari jawaban dan jalan keluar dari masalah besar yang sedang
mereka dihadapi. Namun orang inipun tak bisa membuka mulut.
Sementara itu, tak berapa jauh
dari gubuk di tengah rimba belantara itu, di atas sebatang cabang pohon besar
tinggi dengan dedaunan yang rimbun lebat duduk sepasang kakek nenek aneh.
Agaknya kehadiran kedua orang
ini sama sekali tidak diketahui oleh Sri Baginda dan yang lain-lainnya.
Bukan saja karena kakek dan
nenek itu terlindung di balik kerapatan dedaunan tetapi juga karena mereka sama
sekali tidak mengeluarkan suara. Jelas mulut mereka tampak bergerak-gerak tanda
keduanya tengah bercakap-cakap. Tapi tidak sepotong katapun yang terdengar.
Keduanya bicara tanpa mengeluarkan suara.
Si nenek bertubuh tinggi
kerempeng, memiliki kulit sangat hitam, kulit hanya merupakan pembalut tulang.
Pipi dan rongga matanya cekung hingga tampangnya sangat angker walaupun dia
bicara sambil tersenyum-senyum. Rambutnya yang jarang berwarna putih, dihias
dengan lima buah tusuk kundai perak berbentuk aneh. Luar biasanya lima tusuk
kundai ini tidak diselipkan di antara rambutnya yang jarang, tapi langsung
disisipkan ke kulit kepalanya! Seperti rambutnya, sepasang alisnya pun berwarna
putih. Setiap tertawa kelihatan mulutnya yang ompong. Pakaiannya dekil tak
karuan. Lelaki tua yang duduk berjuntai di cabang pohon di sebelah si nenek
mengenakan pakaian dan ikat kepala putih bersih apik. Meski wajah tuanya penuh
keriputan namun masih kelihatan klimis dan memancarkan raut muka pertanda bahwa
dia seorang pandai. Di tangan kirinya ada seuntai tasbih.
Sambil bercakap-cakap tiada hentinya
dia berzikir dalam hati.
Nenek tua cibirkan bibirnya,
kepalanya dimiringkan sedikit dan pandangannya menukik ke arah gubuk di bawah
sana.
“Ki Rana Wulung…Apakah lelaki
gendut bermuka berminyak yang duduk itu yang namanya Sri Baginda alias Raja…?”
Kakek di samping si nenek
anggukkan kepala.
Si nenek menahan tawa
cekikikan.
“Eh, kenapa kau tertawa
Sinto…?” Bertanya si kakek.
“Kukira seorang Raja itu
tinggi besar, berbadan kekar penuh otot dan punya tampang dengan segala wibawa.
Tahu-tahu…begitu saja potongan seorang Raja. Gendut berlemak dari perut sampai
ke leher. Bermuka berminyak. Pendek dan jelek pula! Hik…hik…hik…”
“Sinto, jangan merendahkan
orang seperti itu. Bagaimanapun kekurangannya dia adalah Raja Kerajaan. Rajaku
dan Rajamu juga. Mengapa harus ditertawakan? Apalagi saat ini dia bersama
rombongan dalam pelarian. Terpaksa mengungsi ketika pemberontak berhasil
merebut Kotaraja dan menyerbu masuk Keraton. Terus terang aku kasihan
melihatnya…”
“Kalau aku tidak,” sahut si
nenek. “Raja buruk seperti itu mengapa harus dikasihani…!”
“Mulutmu dari dulu selalu usil
dan ceplas-ceplos. Kapan kau akan berubah Sinto?”
”Mulut mulutku sendiri.
Mengapa musti ada orang yang melarang? Ah sudahlah…Siapa perempuan separuh baya
berwajah dan bersikap agung yang tegak bersandar ke tiang gubuk itu…?
Hemm… Aku tahu. Itu pasti
permaisurinya!” Si nenek yang dipanggil dengan nama Sinto itu menjawab sendiri
pertanyaannya. “Lalu kau tahu siapa perempuan muda cantik jelita yang duduk di
tikar daun….?”
“Selir Sri Baginda…” sahut si
kakek.
Kembali si nenek menahan tawa
cekikikan.
“Apa sih yang kau tertawakan?”
lelaki tua bernama Ki Rana Wulung bertanya agak jengkel.
Si nenek geleng-geleng kepala.
“Rajamu itu hebat juga Rana! Mengungsi selamatkan diri tapi masih sempat
membawa selir. Hik… hik… hik’
“Tak pantas mengejek dan
mentertawai Raja terus-terusan Sinto…”
”Siapa yang mengejek dan
menertawai! Sekarang terangkan siapa lelaki berhidung besar yang duduk di
samping Sri Baginda!”
“Itu Raden Aryo Culo, Patih
Kerajaan…”
“Dan lelaki muda yang sejak
tadi kulihat melangkah mundar-mandir seperti orang kepingin berak itu…?”
“Kalau aku tidak salah dia
adalah Raden Turonggo Wesi. Seorang Perwira Tinggi tangan kanan Kepala
Balatentara Kerajaan…”
“Jadi untuk menemui orang-orang
inilah kau membawaku kemari…? Menyesal aku datang ke sini Rana Wulung!” Si
nenek mengomel.
“Kalau tidak pakai mengomel,
memaki dan mengejek namanya bukan nenek aneh Sinto Gendeng!” Ujar Ki Rana
Wulung pula. “Bukankah sudah kuterangkan, menjelang hebatnya gempuran kaum
pemberontak Sri Baginda mengirimkan seorang utusan menemuiku untuk meminta
bantuan menyelamatkan Kotaraja terutama Istana. Hanya sayang aku terlambat.
Keraton keburu diduduki oleh pemberontak…”.
“Setahuku di istana banyak
bercokol orang-orang pandai dari dunia persilatan. Mengapa Sri Baginda tidak
minta tolong mereka lebih dulu?”
“Ada sebabnya Sinto. Sri
Baginda tidak dapat lagi membedakan mana kawan mana lawan.
Mana orang sendiri mana kaki
tangan pemberontak. Buktinya kini tak seorang tokoh silatpun mendampinginya”.
“Kalau begitu memang kasihan
juga nasib Rajamu itu!”
“Rajaku dan Rajamu juga,
Sinto….”
“Hemm…terserahmulah. Tapi
bagaimana ini! Aku kepingin kencing…! “ si nenek berkata tiba tiba.
“Manusia gendeng…!”
“Membaliklah kau!” si nenek
memerintah.
“Eh, apa yang hendak kau
lakukan?” Ki Rana Wulung bertanya dengan melotot.
Si nenek balas pelototkan
mata.
“Aku bilang aku mau kencing!
Dan jangan berani mengintip orang perempuan kencing!”
“Gila! Pergi turun ke tanah kalau
mau kencing!”
“Kau yang gila! Mengapa musti
repot-repot pakai turun segala kalau aku bisa kencing dari sini!
Nah sekarang cepat berpaling!”
Dari pada bertengkar terus si
kakek akhirnya palingkan kepala memandang ke jurusan lain.
Didengarnya si nenek
menyingsingkan kain bututnya. Lalu terdengar suara berdesir disusul suara air
bergemericik. Dalam hatinya si kakek menyumpah habis-habisan.
“Aku sudah selesai! Jangan sok
alim berpaling terus!” terdengar suara si nenek.
“Gendeng… dari dulu sampai sekarang
kelakuanmu tidak pernah berubah! Konyol! Pantas kau dipanggil orang Sinto
Gendeng!”
Di bawah sana, lelaki
berpakaian ringkas dengan keris terselip di pinggang mendongakkan kepala dan
memandang berkeliling. Sepasang matanya tak berkesip.
“Ada apa Turonggo?” Bertanya
Sri Baginda sementara enam pengawal bersikap waspada.
“Saya mendengar suara
gemericik air. Padahal tak ada hujan, tak ada mata air di sekitar sini.
Saya akan menyelidik…!”
“Mungkin desau angin dan
gemerisik dedaunan yang kau dengar. Aku tidak mendengar apaapa…”
kata Sri Baginda pula.
Turonggo Wesi berpaling pada
Patih Aryo Culo seolah minta pendapat. Sang patih anggukkan kepala seraya
berkata: “Sebaiknya coba kau selidiki, tapi cepat kembali…”
Turonggo Wesi memberi isyarat
pada dua orang pengawal. Ketiganya bergerak ke jurusan darimana tadi terdengar
suara air bergemericik. Tak selang berapa lama Perwira Tinggi ini
muncul kembali. Di tangan
kanannya dia membawa patahan ranting berdaun lebar.
“Apa yang kau temukan
Turonggo?” Tanya Sri Baginda pula.
“Tidak seorangpun terlihat.
Tapi daun ini basah secara aneh!” kata Turonggo mengacungkan ranting berdaun.
Patih Aryo Culo bangkit dari
duduknya. Hidungnya membaui sesuatu. Matanya menatap daun lekat-lekat lalu
berkata. “Air di atas daun itu bukan air biasa. Berbau pesing. Seperti air
kencing manusia. Aneh…”
Sri Baginda yang tidak begitu
tertarik menghela napas dalam dan berkata: “Mungkin itu air kencing tupai hutan
atau binatang lainnya. Sudahlah, campakkan daun celaka itu. Aku ingin agar kita
meninggalkan tempat ini sekarang juga!”
“Mohon maaf Sri Baginda” Patih
Aryo Culo menyahut cepat. “Seperti saya jelaskan tadi, kita harus menunggu
kedatangan orang kepercayaan yang mengatur tempat persembunyian di lereng bukit
rahasia. Saat ini rimba belantara ini tempat paling aman. Di luaran pasti
mata-mata kaum pemberontak berkeliaran. Belum lagi tokoh-tokoh silat penjilat
dan kaki tangannya. Sekali kita terlihat sulit untuk dapat menghadapi kekuatan
mereka…”
Kata-kata Patih Aryo Culo itu
membuat Sri Baginda kepalkan kedua tangannya karena jengkel.
Dia memandang ke arah
kuda-kuda yang tegak berderet-deret ditambatkan ke pohon-pohon sekitar situ.
Ingin dia melompat ke atas
salah seekor kuda itu dan menghambur pergi. “Ah, mengapa buruk sekali nasibku
ini…” Akhirnya Sri Baginda hanya bisa mengeluh dalam hati.
Di atas pohon Sinto Gendeng
mencolek Ki Rana Wulung lalu menunjuk ke bawah. “Patih berhidung besar itu
tajam juga penciumannya. Dapat membedakan mana air biasa mana air
kencing.
Hik… hik… hik. Untung tak
sampai dipegangnya kencingku itu. Kalau terpegang tiga hari tak akan hilang
baunya. Hik… hik… hik…”
“Kelakuanmu memang macam-macam
saja Sinto. Jika kau tidak berhenti tertawa…”
”Hai! Berhenti marah-marah!
Tutup mulutmu!” bisik Sinto Gendeng. “Telingaku menangkap gerakan-gerakan di
sekitar gubuk!”
Baru saja si nenek selesai
dengan kata-katanya itu tiba-tiba terdengar suara suitan di arah timur hutan.
Suitan ini disambut oleh suitan lain dari sebelah barat. Delapan ekor kuda yang
tertambat mendadak gelisah. Tiga di antaranya meulai meringkik.
“Ada orang datang!” bisik Ki
Rana Wulung.
“Bukan hanya satu orang. Tapi
satu rombongan!” Balas Sinto Gendeng. “Agaknya mereka sudah mengurung tempat
ini…”
“Pasti para pemberontak!” Ki
Rana Wulung putar-putar tasbihnya.
“Mereka mencari mampus berani
mengejar Sri Baginda sampai ke mari…!” kertak si nenek.
Tangan kanannya bergerak
meraba lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya.
BAB 2
Patih Aryo Culo cepat
menghunus golok besar di pinggang. Empat pengawal bertebar dalam posisi
melindungi Sri Baginda. Dua lainnya mengapit permaisuri dan selir.
Raja tampak tegang namun
sempat mengeluarkan kata-kata: “Aku berharap yang datang bukan pemberontak.
Tapi seorang kawan lama yang memang sudah kutunggu…”
“Sri Baginda, saya akan
menyongsong siapapun adanya yang datang. Dengan demikian kalau terjadi apa-apa
Sri Baginda masih berkesempatan untuk mengambil tindakan penyelamatan!” yang
bicara adalah Raden Turonggo Wesi. Tangan kanan sudah mencabut keris dan sekali
berkelebat dia lenyap di balik kerimbunan semak belukar.
Ringkik kuda yang tertambat
semakin riuh. Permaisuri dan selir Sri Baginda saling berpeluk tegang. Raja
sendiri tegak dengan lutut bergetar. Tangan kanannya menggenggam erat–erat.
Keris Kiyai
Panca Sona, senjata mustika
lambang tertinggi Kerajaan.
Di kejauhan terdengar suara
bentakan-bentakan disusul suara senjata tajam beradu lalu pekik kesakitan dan
suara tubuh-tubuh jatuh bergelimpangan. Raden Turonggo Wesi rupanya sudah
mengamuk menghadapi pendatang. Jelas sudah bagi Sri Baginda yang datang bukan
kawan yang ditunggu, tapi musuh besar yang mengejar sampai ke rimba belantara
itu!
Dua rerumpunan semak belukar
di sebelah kanan gubuk terkuak lebar. Dua kuda hitam besar muncul beserta penunggangnya.
Seorang pemuda bertopi tinggi berpakaian bagus, seorang lelaki tinggi kurus
bertelanjang dada, mengenakan celana hitam dan memiliki muka aneh berwarna
hijau!
“Raden Jingga!” seru Sri
Baginda ketika mengenali pemuda berpakaian bagus yang bukan lain adalah
keponakannya sendiri. “Syukur kau muncul dalam keadaan selamat. Apa yang
terjadi di sekitar sini?”
Pemuda yang ditegur hanya
sunggingkan seringai. Dia berpaling pada si muka hijau lalu berkata: “Kau
bicaralah…”
Baik Sri Baginda maupun Patih
Aryo Culo serta yang lain-lainnya serta merta merasa tidak enak. Sudah jelas
dan sejak dulu diketahui lelaki bermuka hijau bernama Bergola Ijo itu adalah
salah seorang pentolan pemberontak. Bagaimana kini tahu-tahu Raden Jingga
muncul bersamanya?
“Kalian semua tahu siapa aku!”
si muka hijau angkat bicara. Suaranya lantang membahana tanda dia bicara dengan
pengerahan tenaga dalam. “Sekali aku bicara harus terlaksana. Tak ada kata
mufakat! Tak bisa ditawar-tawar! Tempat ini sudah dikurung! Tak ada jalan keluar!
Tak ada tempat lolos! Siapa yang nekad melawan akan mampus percuma! Yang ingin
umur panjang lekas menyerah dan berlutut!”
“Bergola Ijo bangsat
pemberontak!” bentak Patih Aryo Culo. “Kurobek mulutmu! Kau yang harus turun
dari kuda dan berlutut minta ampun pada Sri Baginda!”
Bergola Ijo tertawa bergelak.
“Aryo Culo! Kau rupanya masih
buta terhadap kenyataan! Lihat sekelilingmu!”
Aryo Culo dan Sri Baginda
serta yang lain-lainnya segera memandang berkeliling. Berubah paras orang-orang
ini. Dua orang pengawal tergelimpang dengan dada ditembus tombak. Satu lagi
merintih meregang nyawa. Di sebelah kiri Perwira Tinggi Turonggo Wesi tampak
kaku tak bergerak jelas kena totokan. Ada luka pada lengan kirinya. Di
belakangnya tegak seorang kakek berambut merah!
“Suto Abang!” seru Sri Baginda
ketika mengenali siapa adanya kakek berambut merah itu. “Tidak disangka kaupun
ikut membantu pemberontak!”
“Mereka bukan pemberontak Sri
Baginda! Mereka adalah orang-orang yang selama ini sakit hati, tertindas dalam
kekuasaanmu!”
“Omongan busuk! Kalian memang
pemberontak yang rakus kekuasaan! Culas pengkhianat!
Dan kau tentu rakus harta dan
uang imbalan!” teriak Aryo culo.
“Aryo Culo… Aryo Culo…” ujar
Suto Abang. “Tubuhmu sudah bau tanah, bicaramu masih saja besar.”
“Raden Jingga!” Sri Baginda
membentak. “Apa arti semua ini! Lekas katakan di pihak mana kau sebenarnya
berada?!”
Raden Jingga usap-usap tengkuk
kuda tunggangannya.
“Apakah itu perlu ditanyakan
lagi?” sahutnya. “Ayahku mati diracun! Bukankah kau yang melakukannya karena
kau takut singgasana akan jatuh ke tangannya ketika kau sakit-sakitan enam
bulan lalu…?”
“Dusta besar! Fitnah keji!”
teriak Sri Baginda. “Ayahmu mati diracun ibumu sendiri! Karena perempuan dajal
itu ketahuan melacurkan diri dengan seorang perwira muda!”
“Cerita karangan keji!” bentak
Raden Jingga. “Hari ini tamat riwayatmu sebagai Raja!
Serahkan Kiyai Panca Sona itu
padaku!”
Rahang Sri Baginda mengembung.
Gerahamnya bergemeletakan. Darahnya mendidih.
Breet !
Raja mencabut keris Kiyai Panca
Sona. Senjata sakti berlapis emas itu memancarkan sinar kuning dari liku
eluknya yang tujuh.
“Anak keparat! Jadi kau
rupanya di belakang semua kerusuhan ini! Kau inginkan senjata lambang kerajaan
ini? Turun dari kudamu! Ambil sendiri!”
Raden Jingga bergerak hendak
turun dari kudanya.
Tapi Bergola Ijo cepat
memegang bahunya.
“Tetap di tempatmu, Raden.
Biar aku yang mengambil keris itu!” Sekali menggenjot tubuh Bergola Ijo sudah
melayang turun dari atas kuda dan tegak di depan gubuk di hadapan Sri
Baginda.
Melihat hal ini Patih Aryo
Culo cepat bergerak dan mengambil tempat di depan Raja.
“Aryo Culo manusia lancang1”
bentak Bergola Ijo. “Lekas menyingkir! Aku tidak ada urusan dengan manusia
hidung besar macammu!”
“Manusia laknat!” balas
membentak Aryo Culo. “Atas nama Raja, nyawamu kuampuni asalkan berlutut
serahkan diri!”
Bergola Ijo tertawa
gelak-gelak.
“Aku mau lihat! Siapa yang
pantas berlutut!” Habis berkata begitu Bergola Ijo angkat tangan kanannya,
telapak membuka ke arah Aryo Culo. Ketika perlahan-lahan tangan itu diturunkan
ke bawah, Patih Kerajaan merasakan seperti ada batu besar yang menekan kedua
bahunya, demikian berat dan keras hingga punggungnya bergetar dan kedua
lututnya mulai tertekuk.
Kejut Patih Kerajaan ini bukan
kepalang. Cepat dia kerahkan kekuatan untuk hadapi tenaga luar biasa dari
lawan. Wajahnya agak keringatan. Tangan kirinya didorongkan ke depan sementara
tangan kanan yang tadi telah melolos golok melintang di depan dada. Ketika dia
mengembos ke depan sambil keluarkan suara menghardik, sesiur angin keluar dari
telapak tangan kirinya menghantam ke arah Bergola Ijo.
Pentolan pemberontak itu
merasakan tangan kanannya bergetar keras. Dia berusaha bertahan sesaat. Tapi
ketika sadar kalau tenaga lawan lebih besar maka sambil berteriak keras dia
melompat ke samping dan lepaskan pukulan tangan kosong dengan tangan kanan.
Patih Aryo Culo tetap bertahan dengan tangan kiri.
Des . . . !
Dua angin pukulan beradu.
Bergola ijo terhuyung-huyung
hampir roboh tapi cepat sekali imbangi tubuh dan menendang dengan kakinya di
saat Aryo Culo terjajar ke belakang akibat bentrokan tenaga dalam tadi.
Melihat lawan memiliki
kemampuan tinggi seperti itu maka tanpa sungkan lagi Patih Kerajaan itu putar
golok besarnya.
Wutt!
“Pengecut!” teriak Raden
Jingga. “Mengapa tidak melayani tangan kosong dengan tangan kosong?!”
“Cacing pemberontak! Sebentar
lagi kepalamu akan kutebas dengan golok ini!” teriak Aryo Culo lalu putar
senjatanya lebih sebat hingga saat itu juga Bergola Ijo terkurung rapat. Tapi
pentolan pemberontak ini penuh percaya diri tetap tenang. Tubuhnya yang tinggi
langsing bergerak gesit kian kemari. Tiga jurus berlalu sangat cepat tanpa
Patih Aryo Culo dapat melukai lawannya, bahkan mendesak pun tidak. Bergola Ijo
seperti mempermainkannya. Dia berputar-putar beberapa kali membuat Aryo Culo
sibuk sendiri di tengah kalangan. Kdang-kadang dia melompat ke jurusanjurusan
tak terduga hingga sang patih terpaksa berbalik kian kemari. Memasuki jurus ke
dua belas napas Aryo Culo mulai memburu. Patih berusia lebih dari enam puluh
tahun ini mulai kendur seranganserangannya.
Karenanya dia mulai lepaskan
pukulan-pukulan sakti. Golok hanya dipergunakan untuk membacok atau menikam
bilamana perlu.
“Manusia seperti ini dijadikan
patih kerajaan! Sungguh memalukan!” mengejek Bergola Ijo.
“Dia hanya pantas jadi penari
ludruk!” menimpali Raden Jingga.
Panas bukan main hati Aryo
Culo. Wajahnya tampak merah sekali. Merasa dipermalukan maka dengan keluarkan
suara menggereng sang patih melompat menjauhi lawan sejarak dua tombak.
Golok ditancapkan ke tanah.
Kedua telapak tangan didekapkan satu sama lain. Wajahnya membesi dan dari
mulutnya terdengar seperti suara orang menjampai.
“Bergola! Awas!”
memperingatkan Raden Jingga. “Dia hendak keluarkan ilmu Barong Iblis!”
Bergola Ijo menyeringai. “Aku
memang sudah lama mendengar ilmu mainan anak-anak itu.
Biar hari ini aku
menjajalnya!”
D bawah atap gubuk Sri Baginda
diam-diam merasa sangat kawatir. Kalau Patih Aryo Culo sampai mengeluarkan ilmu
simpanannya itu, berarti dia sudah sampai pada puncak
kepandaiannya.
Dan jika ilmu itu tidak
berhasil menghancurkan lawan berarti keselamatannya sendiri dan juga Kiyai
Panca Sona dalam bahaya besar! Hampir saja sang raja menempuh jalan nekad
hendak menikam diri dengan keris itu. Namun demikian disadarinya bahwa bunuh
diri sama saja dengan menyerahkan Keris Kiayi Panca Sona pada lawan secara
enak. Kalaupun dia harus mati bertempur dalam mempertahankan senjata lambang
kerajaan itu, maka itu adalah jalan yang harus ditempuhnya.
Di atas pohon Sinto Gendeng
tampak geleng-geleng kepala dan berkata: “Ilmu apa yang hendak dipakai patih
itu, Rana?”
“Akupun belum pernah melihat.
Hanya pernah mendengar. Satu ilmu kesaktian yang dapat menghancurkan segala
ilmu kasar dan ilmu halus termasuk segala macam setan. Kabarnya ilmu itu
berasal dari Bali. Itu sebabnya disebut Barong Iblis. Nah, nah . . kau lihat ke
bawah sana. Lihat . . . . .”
Pada saat itu sosok tubuh
Patih Aryo Culo tampak berubah menjadi sangat besar dan tinggi, hampir menyondak
cabang pohon di atanya. Rambutnya ikut berubah jadi panjang menjela.
Yang menyeramkan adalah
perubahan pada wajahnya. Wajah itu kini berubah seperti wajah seorang raksasa.
Bermata besar merah, bermulut
tebal lengkap dengan gigi-gigi besar dan caling lancip. Ditambah pula dengan
cambang bawuk. Lalu sepasang tangan menjadi panjang menggapai-gapai di udara
seperti hendak mencakar daun-daun pepohonan. Tiba-tiba makhluk ini menggereng
seperti suara kerbau melenguh. Sepasang tangannya mendadak meluncur ke bawah,
menelikung ke arah Bergola Ijo.
Saat itu Bergola Ijo tengah
terkesiap melihat kehebatan menyeramkan yang terjadi di depannya.
Walaupun dia tidak merasa
jerih tetapi karena tidak luput dari sikap lengah maka meskipun dia sanggup
melompat menghindari cengkeraman sepasang tangan, tak urung kulit dadanya
sempat terkena sambaran. Dagingnya melepuh dan tulang dadanya terasa
dipanggang! Bergola Ijo berteriak, sakit dan marah. Ketika barong iblis
menyerangnya kembali, pentolan pemberontak ini langsung menghantam dengan
tangan kiri kanan. Dua alur angin pukulan menderu deras. Barong iblis
menggereng, tergontaigontai sesaat tapi menyerbu kembali!
“Arahkan seranganmu pada
tenggorokannya Bergola! Incar tenggorokannya!” teriak Raden Jingga.
Mendengar teriakan Raden
Jingga itu Aryo Culo yang telah berubah menjadi barong jejadian menggereng
marah. Laksana kilat tangan kirinya yang panjang seperti sebuah pentungan besi
membabat deras ke arah Raden Jingga. Masih untung pemuda ini sempat melihat
datangnya serangan maut itu dan langsung jatuhkan diri ke tanah, bergulingan
lalu berlindung di balik sebatang pohon.
Praak!
Hantaman tangan kosong barong
melabrak leher dan kepala kuda tunggangan Raden Jingga.
Binatang ini hanya keluarkan
ringkikan pendek lalu roboh tergelimpang dengan kepala hancur dan leher patah.
Raden Jingga pucat pasi menyaksikan kejadian itu.
Ketika barong iblis berusaha
membunuh Raden Jingga, Bergola Ijo pergunakan kesempatan untuk menyambar golok
besar milik Aryo Culo yang tadi ditancapkannya di tanah. Secepat kilat senjata
itu dilemparkannya ke arah tenggorokan barong iblis. Barong menggereng. Angkat
tangan kanan untuk menangkap golok tapi luput. Senjata itu terus meluncur deras
ke lehernya.
“Hai! Apakah hendak kau
biarkan Patihmu itu mampus ditambus goloknya sendiri?!” Sinto Gendeng menepuk
bahu Ki Rana Wulung.
Yang ditegur keluarkan suara
bergumam. Lalu tangan kirinya yang memegang tasbih bergerak.
Tasbih kayu jati itu menyambar
laksana sebuah piringan, mengeluarkan suara berdesing, langsung menggulung
ujung runcing golok yang hampir menambus batang leher barong. Golok terseret ke
samping lalu jatuh ke tanah. Tasbih kayu mental ke udara, melayang ke arah Sri
Baginda dan cepat disambut dengan tangan kiri. Memperhatikan tasbih itu pars
Sri Baginda serta merta berubah penuh harapan.
“Sahabatku! Jika kau sudah ada
di sini mengapa tidak unjukkan diri?! Banyak urusan yang harus diselesaikan!
Banyak pengkhianat yang harus ditumpas! Aku membutuhkan bantuanmu!”
Mendengar seruan Raja, di atas
pohon Ki Rana Wulung tak mau menunggu lebih lama.
Memang sudah saatnya dia harus
turun ke tanah.
“Sinto, kau ikut turun atau
bagaimana?” tanya si kakek sebelum berkelebat.
“Aku lebih suka menonton di
sini!” jawab si nenek.
“Perempuan konyol!” mengomel
Ki Rana Wulung. Lalu tanpa tunggu lebih lama orang tua ini melayang turun dan
tegak tepat di samping kanan Sri Baginda.
BAB 3
“Pengacau kesiangan!”
Yang memaki adalah Bergola Ijo
sementara sosok tubuh patih Aryo Culo telah kembali ke bentuk aslinya. Dia menjura
dalam pada Ki Rana Wulung dan benar-benar bersyukur atas
munculnya tokoh silat kawakan
ini.
Meskipun memaki namun
diam-diam Bergola Ijo merasa tidak enak dengan kemunculan Ki Rana Wulung. Dia
tahu betul tingkat kepandaian jago tua ini. Walau ilmunya segudang tapi
kepandaian Ki Rana Wulung tidak berada di bawahnya. Masih untung saat itu Suto
Abang berada di tempat itu.
Kalaupun Ki Rana Wulung memang
hebat, dikeroyok berdua masakan tidak akan kalah.
Demikian Bergola Ijo mambatin.
Maka diapun maju dua langkah seraya bertolak pinggang.
“Rana Wulung! Jika kau tidak
lekas menyingkir dari sini jangan salahkan kalau aku dan kawanku Suto Abang
akan menjatuhkan tangan keras padamu!”
Rana Wulung tidak segera
menjawab. Kakek ini ambil tasbih kayunya dari tangan Sri Baginda,
lalu sambil putar-putar tasbih
di tangan kiri dia menoleh pada Bergola Ijo.
“Lima tahun lalu kau pernah
kugebuk waktu menjadi kepala rampok di hutan Jatianom! Kini malah menjadi
pentolan pemberontak! Kapan kau mau sadar . . . ?”
“Dulu memang aku yang menerima
pelajaran!” sahut Bergola Ijo dengan muka merah karena rahasia kekalahannya di
masa lalu ditelanjangi di depan orang banyak. “Tapi hari ini aku yang akan
memberi pelajaran padamu!”
“Terima kasih . . . terima
kasih. Rezekiku besar nian hari ini. Tidak sangka bakal mendapat pelajaran
berguna!” Ki Rana Wulung sunggingkan senyum. Dia memberi isyarat pada Sri
Baginda dan Patih Aryo Culo
agar menjauh sekaligus melindungi dua orang perempuan di dalam gubuk yang sejak
tadi mati ketakutan.
“Nah, coba perlihatkan
pelajaran macam apa yang hendak diberikan seorang pemberontak pada orang tua
buruk sepertiku ini!”
“Pelajaran dariku cuma satu
Rana Wulung! Yaitu bagaimana mengajarmu melangkah ke liang kubur!” jawab
Bergola Ijo pula. Wajahnya yang berwarna hijau tampak tambah hijau dan
mengelam.
Satu pertanda bagi Ki Rana
Wulung bahwa lawan telah mengerahkan tenaga dalamnya yang hebat!
Betul saja. Ketika Bergola Ijo
menghantam lepaskan satu pukulan, angin deras yang menebar hawa panas merangkak
ganas ke arah Ki Rana Wulung. Kakek ini sebatkan tasbih kayu di tangan kirinya.
Wutt!
Byaar!
Tasbih di tangan kiri Ki Rana
Wulung putus berantakan.
Sebaliknya di depan sana
Bergola Ijo tampak terjajar empat langkah sambil pegangi dada.
Wajahnya mengerenyit tanda dia
menahan rasa sakit. Jelas orang ini mengalami luka di dalam walaupun tidak
parah.
“Bergola Ijo! Mana pelajaran
yang kau janjikan itu?” bertanya Ki Rana Wulung dengan nada mengejek. Hatinya
mangkel juga karena tasbih kesayangannya, walaupun bukan tasbih mustika telah
rusak berantakan.
Terdengar suara bergemeletakan
dari rahang Bergola Ijo. Didahului teriakan garang Bergola Ijo menyergap ke
depan. Menyerbu dengan satu jotosan dan satu sapuan kaki.
Ki Rana Wulung bersuit keras.
Melompat setengah tombak. Dari atas tumitnya langsung dihunjamkan ke batok
kepala lawan. Bergola Ijo miringkan tubuh ke samping mengikuti arah
tendangan lalu secepat kilat
kedua tangannya bergerak untuk menangkap pergelangan kaki si kakek.
Tapi dia kecele karena
tiba-tiba sekali kaki yang menendang ditarik ke belakang dan kini ganti kaki
lainnya membabat ke depan!
Kreak!
Tiga tulang iga Bergola Ijo
remuk melesak. Lelaki ini menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar jauh,
mengerang sesaat di antara semak belukar namun berusaha bangkit kembali
walaupun dalam keadaan
terhuyung-huyung.
Ketika Bergola Ijo hendak
menyerbu kembali, dari samping mendahului kakek berambut merah Suto Abang.
“Sobatku, kau beristirahat
dulu. Biar aku yang mewakilimu memberi pelajaran pada tua bangka tak berguna
ini!”
Suto Abang melengkah mendekati
Ki Rana Wulung dan berhenti sejarak lima langkah.
“Tua bangka buruk! Kowe hanya
punya satu pilihan. Mati atau bergabung dengan kami!”
“Aku memilih mati!” jawab Ki
Rana Wulung tandas.
“Begitu . . . ?” ujar Suto
Abang sambil usap-usap rambutnya yang panjang dan berwarna merah.
“Katakan cara mati bagaimana
yang kau mau Rana Wulung?”
“Mati sambil mengorek
jantungmu!” jawab si kakek lalu tertawa gelak-gelak.
Panaslah darah Suto Abang. Sambil
berteriak keras dia menerjang. Kedua tangannya kirimkan pukulan ganas. Rana
Wulung sudah lama mendengar kehebatan Suto Abang. Tapi bertemu langsung,
apalagi saling bentrok baru kali itu terjadi. Tidak mengherankan kalau kakek
ini kurang mengetahui di mana letak kehebatan atau apa yang menjadi andalan
lawan. Sewaktu dia siap menyongsong datangnya dua pukulan dengan menangkis
karena sekaligus ingin mengetahui tingkat tenaga dalam lawan, tibatiba lawan
turunkan kedua tangannya. Serentak dengan itu kepalanya membuat gerakan aneh
dan wut!
Ki Rana Wulung berseru kaget.
Masih untung orang tua ini
berlaku awas di samping memasang mata dan bertindak gesit. Dia cepat melompat
ke belakang ketika melihat bagaimana rambut panjang di kepala Suto Abang
laksana sebilah pedang merah, menyambar ke arah dadanya. Meskipun selamat namun
tak urung breet!
Dada pakaian kakek itu robek
besar dihantam sambaran ujung rambut yang laksana setajam dan seruncing ujung
pedang!
Paras Ki Rana Wulung sesaat
menjadi pucat.
Patih Aryo Culo, Sri Baginda
keluarkan seruan tertahan. Di atas pohon si nenek bernama Sinto Gendeng
mengomel habis-habisan: “Rana Wulung tolol goblok! Hampir mampus dia oleh
ketololannya sendiri!”
Melihat lawan tertegun dengan
muka pucat, Suto Abang berkacak pinggang sambil tertawa bergelak.
“Setengah jurus saja nyawamu
hampir modar! Untung kau tidak bergabung dengan kami!
Ternyata kau tua bangka
rongsokan tidak berguna!”
“Manusia sombong! Aku belum
kalah, mulutmu sudah selangit! Apa kau lupa kalau aku bakal mengorek
jantungmu?!”
“Mengorek tahi hidungku pun
kau tak mampu! Hendak mengorek jantungku pula! Ha . . . ha . . . ha . . . ha .
. . !” Suto Abang kembali mengumbar tawa keras dan panjang. Tiba-tiba tawanya
lenyap seperti direnggut setan. Dan tahu-tahu tubuhnya ikut lenyap. Di lain
kejap Ki Rana Wulung merasakan ada angin yang menyambarnya dari samping kiri.
Kakek ini cepat berkelit sambil susupkan satu jotosan jarak jauh mengandung
tenaga dalam tinggi.
Suto Abang berkelit lalu
membalik dengan satu tendangan berputar yang hebat sekali. Kaki kanannya
mencelat ke arah rahang kiri Ki Rana Wulung. Gerakan si kakek untuk mengelak
tampaknya begitu lamban hingga dapat dipastikan tendangan lawan akan membuat
rahangnya rengkah.
Namun sebenarnya si kakek
sengaja membuat gerakan lambat guna memancing agar lawan meneruskan
serangannya. Begitu kaki Suto Abang hanya tinggal seujung jari saja dari
rahangnya, tiba-tiba tangan kiri Ki Rana Wulung melesat ke atas. Lima jarinya
terkembang tapi ujung-ujungnya membengkok.
Inilah jurus serangan yang
bernama “Cakar Garuda Menyambar Langit”!
“Bagus! Ternyata kau tidak
goblok lagi Rana Wulung!” kata Sinto Gendeng di atas pohon ketika melihat
gerakan yang dibuat sahabatnya itu.
Sesaaat kemudian terdengar
suara breet! Didahului keluhan tinggi keluar dari mulut Suto Abang. Orang tua
berambut merah ini jatuhkan diri dan bergulingan menjauhi Rana Wulung.
Kaki celananya sebelah kanan
hampir putus terkena sambaran jari-jari lawan. Lebih dari itu tiga guratan luka
tampak pada daging betisnya. Darah mengucur!
Kini untuk pertama kalinya
suara tawa Ki Rana Wulung menggema dalam rimba belantara itu.
“Keparat!” kertak Suto Abang.
“Akan kubantai tubuhnya dari kepala sampai ke kaki!” Si
rambut merah ini melompat
bangun. Saat itu baru disadarinya kalau kawannya yaitu Bergola Ijo tegak
tersandar ke sebatang pohon di sebelahnya dan didengarnya mengeluarkan bisikan.
“Suto, kakek muka klimis itu bisa membuat urusan kita jadi berabe! Kenapa tidak
langsung membunuh Raja dan merampas Keris Kiyai Panca Sona?!”
Ucapan kawannya itu masuk di
akal Suto Abang. Tapi dendam kesumat telah membakar dirinya. Balas bisikan dia
menjawab.
“Ki Rana Wulung itu tetap
harus kubunuh! Kau saja yang mencari kesempatan! Aku akan menghantam lawanku
habis-habisan. Selagi semua orang memusatkan perhatian pada
perkelahian kami kau cari
kesempatan untuk membunuh Sri Baginda!”
“Baik kalau begitu maumu!”
sahut Bergola Ijo.
Di atas pohon Sinto Gendeng
tampak mengomel. “Apa yang saling dibisikkan dua monyet pemberontak itu heh?!”
“Suto Abang!” terdengar suara
Rana Wulung berseru. “Apa kau masih punya nyali meneruskan perkelahian ini?
Atau lebih baik berlutut minta ampun dan serahkan diri bersama koncomu itu!”
Suto Abang meludah ke tanah.
“Kacung keraton! Jangan
mengira sudah menang lantas mengharapkan imbalan hadiah dari raja yang sudah
kehilangan singgasananya itu! Kalian berdua akan mampus susul-menyusul!”
Ki Rana Wulung balas meludah
ke tanah. Bukan satu kali, api dua kali!
“Sayang . . . . Kasihan!”
katanya sambil geleng-geleng kepala. “Malaikat pengampunan sebetulnya sudah
siap menyambut kedatanganmu. Tapi kau lebih suka mendatangi melaika
maut!”
“Ini malaikat maut untukmu!”
teriak Suto Abang.
Wut!
Rambutnya menyambar. Menyusul
dengan itu tubuhnya menggebrak ke depan. Ki Rana Wulung sambut dengan satu
pukulan tangan kosong jarak pendek. Maksudnya hendak
menghadang baru balas
menggebrak. Tapi hadangannya tembus. Mau tak mau kakek ini terpaksa mengelak.
Dari samping dia coba memapaki
lawan. Maka perkelahian seru berlangsung jurus demi jurus.
Selagi perkelahian menghebat
dan semua orang tercekat tegang, Bergola Ijo yang menderita patah tulang
perlahan-lahan bergerak meninggalkan pohon besar dimana dia tegak bersandar.
Matanya mengerling pada golok
milik Patih Aryo Culo yang masih tergeletak di tanah. Dari jarak empat langkah
secepat kilat dia jatuhkan
diri mengambil golok, membuat satu kali gulingan lalu lemparkan senjata itu ke
arah Sri Baginda yang tegak di depan permaisuri.
Selir yang kebetulan melihat
datangnya sambaran golok maut itu terpekik. Sri Baginda sendiri tersentak kaget
dan baru menyadari bahaya yang mengancamnya ketika sudah terlambat! Patih Aryo
Culo berada dalam jarak terlalu jauh untuk dapat menolong. Perwira Tinggi
Turonggo Wesi masih terduduk di tanah dalam keadaan luka dan tertotok. Tiga
prajurit pengawal apalagi, sama sekali tidak kuasa melakukan sesuatu.
“Sri Baginda!” Permaisuri
menjerit karena melihat tak ada harapan lagi. Sementara Raja sendiri tampaknya
hanya tinggal pasrah menunggu golok menambus lambungnya!
Ki Rana Wulung si kakek yang
tengah bertempur mati-matian menghadang serangan Suto Abang sempat tercekat.
Akhirnya satu jotosan lawan berhasil melabrak dada kirinya hingga
kakek ini terpental dan jatuh
sambil semburkan darah segar!
Di saat itulah dari atas pohon
besar terdengar suara menderu. Satu buntalan angin laksana gelondongan sebuah
batu besar menyambar menukik. Tubuh Sri Baginada seperti dihantam
topan.
Mencelat dua tombak sedang
golok yang tadi hampir merenggut nyawanya mental ke kiri. Sri Baginda selamat
dari bahaya maut. Tetapi justru sang selir yang tadi tegak di samping
permaisuri terancam malapetaka. Golok yang mental ternyata mengarah bagian
tengahnya ke batang leher perempuan muda jelita itu. Tidak beda laksana satu tebasan
ganas yang siap membabat batang lehernya yang putih jenjang.
Sri Baginda berseru tegang.
Tapi tak bisa berbuat apa karena masih terkapar di tanah. Yang lain-lainnya pun
tidak mungkin bisa berbuat apa. Jeritan ngeri permaisuri dan selir itu
menegakkan bulu roma.
Batang golok datang menyambar
tidak tertahan lagi.
Kalau tadi Sri Baginda
terselamatkan oleh satu kekuatan angin dahsyat yang datang menyambar secara
aneh dari atas pohon dan tentu saja sudah dapat dipastikan dilakukan oleh nenek
sakti dari puncak Gunung Gede, maka kali ini sang selir yang terancam bahaya
mau juga lolos dari kematian secara tidak terduga.
Di saat batang golok siap
membabat batang lehernya, tiba-tiba terdengar suara mengaung seperti ada ribuan
tawon terbang mendesing. Di saat yang sama terdengar pula suara seperti suitan
nyaring disertai berkiblatnya sinar putih menyilaukan, melayang laksana
sambaran petir, menghantam golok hingga patah tiga dan jatuh ke tanah
berantakan! Begitu golok runtuh sinar putih kembali membalik, berkiblat cepat
dan menyambar ke arah Bergola Ijo. Terdengar jeritan manusia bermuka hijau ini.
Tubuhnya roboh ke tanah. Sinar putih menyilaukan melesat lenyap ke balik
serumpunan semak belukar. Suara desingan tawon dan suitan nyaring ikut lenyap!
BAB 4
Apa yang terjadi itu
berlangsung sangat cepat. Ki Rana Wulung tampak masih terduduk di tanah,
mencoba bangkit. Pakaian putihnya penuh noda darah yang menyembur keluar dari
mulutnya akibat tonjokan Suto
Abang tadi. Sri Baginda sendiri bangkit terhuyung-huyung dari jatuhnya dengan
wajah pucat keringatan dingin. Sang selir dan permaisuri untuk kesekian kalinya
saling berpelukan ketakuan. Suto Abang tampak tegak pejamkan mata sesaat
seperti tengah mengatur jalan darah dan pernapasan. Hantaman angin dahsyat yang
tadi menyelamatkan Raja baginya ternyata mempengaruhi tata susunan tubuhnya
termasuk jalan darah dan pernapasan. Hatinya diam-diam merasa terguncang.
Dia yakin sekali, walau belum
sempat melihat, seorang sakti telah ikut berada di tempat itu.
Ketika Suto Abang buka kembali
kedua matanya, pandangannya terpentang ke arah sosok tubuh kawannya yaitu
Bergola Ijo. Kawannya ini tergeletak tak bergerak di tanah. Mukanya yang hijau
tampak mengerikan. Hampir terbelah dua! Siapa yang telah membunuh Bergola Ijo
seganas itu?!
Di saat itu dari atas pohon
besar yang berdaun sangat lebat melayang turun sesosok tubuh kurus tinggi
berkulit hitam yang pakaiannya menebar bau apek dan pesing! Begitu tegak di
tanah semua orang segera menyaksikan manusia itu adalah seorang nenek bermuka
cekung tinggal kulit pembalut tulang. Berambut putih dengan lima tusuk kundai
perak menancap di batok kepalanya!
Si nenek yang bukan lain
adalah Sinto Gendeng seperti tidak mengacuhkan semua orang yang ada di situ.
Temasuk Sri Baginda yang barusan ditolongnya dari bahaya maut. Bahkan dia juga
tidak mengacuhkan keadaan kawannya Ki Rana Wulung yang berada dalam keadaan
terluka di dalam.
Dengan muka menunjukkan
kemarahan si nenek membentak.
“Anak sableng! Mengapa kau
berani muncul di sini? Lekas datang ke hadapanku?!”
Semua orang yang ada di situ
walaupun masih berada dalam keadaan tegang tapi terheran-heran melihat perilaku
si nenek. Siapa yang dibentaknya? Siapa yang dimaksudnya dengan anak sableng?
Dan anak itu sendiri mana dia
tidak muncul?
Menunggu sesaat dan si anak
memang tidak muncul membuat Sinto Gendeng marah sekali. Dia memandang
berkeliling lantas berkata: “Kalian semua tetap di sini. Biar aku menyelesaikan
urusan kecil dengan muridku. Dan kowe!” Sinto Gendeng menunjuk tepat-tepat ke arah
Suto Abang.
“Jangan kowe berani kabur!
Berani bertindak berani bertanggung jawab. Berani berontak berani menerima
hukuman!”
Habis berkata begitu si nenek
berkelebat ke balik semak belukar. Sampai di sini dia tegak terperangah lalu
terdengar lagi omelannya.
“Anak sambal itu tadi ada di
sini! Hai! Wiro kau berani mempermainkanku dan sembunyi?!”
Tiba-tiba dari atas pohon
besar dimana si nenek dan Ki Rana Wulung mendekam sebelumnya terdengar jawaban.
“Eyang! Aku ada di sini
menunggu kemarahanmu! Aku ada di atas cabang tempat tadi kau duduk!”
“Setan alas! Turun kemari!”
bentak Sinto Gendeng.
“Aku malu Eyang! Jangan marahi
aku di depan orang banyak. Apalagi ada dua orang cantik di bawah sana! Kalau
mau harap marah di atas pohon ini saja!”
Si nenek hentakkan kakinya ke
tanah. Sesaat kemudian tubuhnya yang kerempeng melesat ke atas dan lenyap dari
pemandangan semua orang yang ada di tempat itu.
Sri Baginda leletkan lidah
sementara Suto Abang semakin terguncang hatinya. Sambil membantu Ki Rana Wulung
berdiri Raja bertanya pada sahabatnya itu.
“Siapa sebenarnya nenek aneh
itu? Dia muncul secara tiba-tiba, mengomel pada seseorang yang tidak kelihatan
secara tidak karuan. Tapi bukankah dia yang tadi menolongku dari bahaya maut .
. .?”
“Betul Sri Baginda. Walau dia
sahabatku dan kami datang bersama ke tempat ini, tapi tanpa izinnya saya tidak
berani memberitahu siapa dia. Harus dimaafkan . . .”
Sri Baginda mengangguk tanda
mengerti. Dia maklum memang banyak sifat orang-orang dunia persilatan yang
aneh-aneh. Ketika Rana Wulung berdiri ditopang oleh Sri Baginda dengan
tangannya, mendadak terdengar suara seruan Patih Aryo Culo.
“Astaga! Suto Abang melarikan
diri!”
Semua orang kaget. Ternyata
lelaki berambut merah pentolan pemberontak itu memang tak ada lagi di tempat
itu.
“Mana Raden Jingga?!” Sri
Baginda ikut berteriak ketika menyadari keponakannya itupun tak ada lagi di
situ.
“Pasti diapun sudah kabur!”
Aryo Culo kepalkan tangan. Lalu patih tua ini melangkah menghampiri Turonggo
Wesi. Ditolongnya melepaskan totokan di tubuh Perwira Tinggi itu.
“Kau tidak
apa-apa Turonggo . . .?”
“Hanya terluka sedikit. Suto
Abang menotokku ketika aku menyerang Raden Jingga…
“menerangkan Turonggo Wesi.
“Untung kau hanya ditotok dan
terluka sedikit. Padahal nyawa manusia bagi manusia iblis itu sama murahnya
dengan daun bekas pembungkus makanan!”
Di atas pohon Sinto Gendeng
dapatkan muridnya duduk bersila di ujung cabang, memandang senyum-senyum
padanya sambil garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
“Masih berani kau tertawa
padaku! Katakan kenapa kau muncul di sini? Bukankah kau kusuruh berada di
Kotaraja untuk memata-matai gerakan para tokoh pemberontak?!”
“Betul sekali Eyang . . .”
“Sialan! Kalau betul mengapa
kau datang ke mari? Ayo jawab . . !”
“Anu Eyang. Aku . . . “
“Anu! Anumu! Bicara yang
cepat!”
“Ada keanehan gerakan kaum
pemberontak setelah mereka menguasai Keraton!”
“Maksudmu?!”
“Yang tinggal di Keraton saat
ini hanya perajurit-perajurit kelas rendah. Tak satu perwira pemberontak pun
kelihatan. Juga sama sekali tidak tampak mata hidung seorang tokoh silatpun.
Padahal setelah Suto Abang dan
Bergola Ijo mengejar rombongan Sri Baginda ke mari seharusnya paling tidak ada
empat orang tokoh silat kaki tangan pemberontak di sana . . . “
“Ini memang cerita aneh. Tapi
apakah kau sudah menyelidik? Dimana inti pasukan kaum pemberontak berada?”
bertanya si nenek.
“Inti pasukan memang saya
lihat di sebelah selatan Kotaraja. Di hutan kecil dekat kaki bukit Trenggalek.
Di situpun saya tidak melihat adanya para perwira. Apalagi tokoh-tokoh silat .
. .”
Sinto Gendeng ketok-ketok
jidatnya. Matanya melotot. Tengah berpikir keras dia rupanya.
“Tipu muslihat! Tipu
muslihat!” katana kemudian.
“Tipu muslihat bagaimana
Eyang?” tanya si murid dan garuk-garuk kepalanya makin keras.
“Keadaan seperti itu sengaja
diatur. Keraton dan Kotaraja seolah-olah tidak dikuasai sungguhsungguh.
Tapi jika sisa-sisa pasukan
Sri Baginda masuk, para pemberontak akan mengepung dan menghancurkan. Para
tokoh silat pasti muncul ikut menyerbu. Mereka pasti menunggu
kemunculan Sri Baginda. Begitu
raja gemuk jelek itu muncul akan mereka ringkus hidup-hidup lalu digantung!”
“Mungkin juga dibakar seperti
kambing panggang!” menyahuti sang murid.
Si nenek menyeringai sesaat.
“Nek, aku membaui sesuatu . .
.”
“Eh, apa itu Wiro?”
“Apakah kau barusan kencing .
. .?”
“Eh, mengapa kau berani
bertanya urusan itu?”
“Aku mencium bau pesing pada
kainmu . . .”
“Anak sambal!” bentak Sinto
Gendeng. “Berani kau bicara seperti itu pada gurumu?”
“Dan aku yakin kau belum cebok
nek!”
Si nenek ulurkan tangannya
untuk menampar muka muridnya. Tapi Wiro Sableng cepat membuat gerakan aneh.
Tubuhnya bergeser di atas cabang yang diduduki, menjauhi si nenek
hingga tamparan sang guru
hanya mengenai tempat kosong.
“Sabar nek! Kau masih saja
seperti dulu, cepat marah dan cepat turun tangan! Maksudku justru untuk
mengingatkan agar saja kau menjaga kebersihan. Kalau menjaga kecantikan kau
pasti sudah kelewatan umur. Tidak lagi seperti dua perempuan di bawah sana. Nah
kalau sudah tua kau agak rapi dan bersih sedikit bukan mustahil masih ada kakek
butut yang kecantol hatinya padamu! Hik . . hik!
Tapi kalau kau bau pesing
begini? Huah! Boro-boro mau, mendekatpun mereka tidak ingin!”
“Murid celaka!”
Tubuh Sinto Gendeng melesat di
atas cabang. Agar tidak kena pukulan, jambakan atau tempelengan, Wiro Sableng
terpaksa melompat ke cabang di sebelah sana. Dari sini dengan
masih tertawa-tawa dia
berkata.
“Maafkan aku nek! Aku tidak
bermaksud menjelek-jelekimu. Aku tetap hormat padamu. Tapi aku juga ingin agar
orang lain menghormat dan tidak menganggapmu enteng!”
“Sialan! Aku tidak butuh
penghormatan dari orang lain. Dari seorang Rajapun tidak! Sekarang cepat kau
tinggalkan tempat ini! Kembali ke Kotaraja dan lakukan terus penyelidikan di
sana.
Ingat, tidak satu tokoh
pemberontakpun harus dibiarkan hidup! Sekali mengikis kebejatan harus tumpas
sampai ke akar-akarnya!”
“Apakah kau akan menyusul ke
Kotaraja Eyang?”
“Aku mau ke sana atau tidak
itu urusanku. Kau tidak perlu menanyakan! Pergi sana!”
“Tunggu dulu Eyang. Aku merasa
pertimbanganmu mengenai gerak-gerik kaum pemberontak
tadi belum tentu benar
semuanya . . . .”
“Anak sambal sok pintar1 Apa
maksudmu?”
“Mungkin memang pemberontak
menyusun jebakan untuk pasukan Sri Baginda lalu juga mengenai maksud menjebak
dan meringkus Sri Baginda. Tapi lenyapnya para tokoh silat dari Kotaraja bukan
mustahil mereka tengah menyelinap menyelidik mencari tahu dimana rombongan Sri
Baginda berada. Bukan mustahil pula mereka tengah menuju ke mari, menyusul
Raden Jingga, Suto Abang dan si muka hijau yang barusan kubelah kepalanya
dengan Kapak Naga Geni 212 pemberianmu!”
Mendengar kata-kata muridnya
itu, Sinto Gendeng berubah parasnya.
“Astaga! Ternyata otakmu jalan
juga. Tidak sableng seluruhnya!” ujar si nenek pula. “Aku setuju pendapatmu!
Kau tetap harus berangkat ke Kotaraja sekarang. Aku akan menghajar keponakan
murtad dan si rambut merah itu . . .”
“Tak perlu lagi Eyang . . .”
jawab Wiro Sableng.
“Tak perlu bagaimana maksudmu
anak sambal?!”
“Kedua orang itu sudah kabur!
Biar aku yang mencarinya di Kotaraja!?”
Si nenek kerenyitkan kening.
Dia sibakkan daun-daun lebat dan meneliti ke bawah. Suto Abang dan Raden Jingga
memang tak ada lagi di bawah sana!
BAB 5
Begitu turun ke tanah kembali
Sinto Gendeng segera menemui Ki Rana Wulung yang tengah dipapah Patih Aryo
Culo. Terlebih dulu nenek ini membantu memberi pengobatan pada Rana Wulung.
Lalu disampaikannya apa yang
menjadi buah pikiran muridnya pada kedua orang itu. Merasa bahwa kemungkinan
terancam bahaya besar jika berada lebih lama di tempat itu maka Patih Aryo Culo
dan Ki Rana Wulung lalu menemui Sri Baginda. Ketiganya berunding cepat dan
akhirnya diambil keputusan bahwa saat itu juga rombongan harus meninggalkan
hutan belantara itu, berangkat menuju lereng bukit di mana telah diatur
pertemuan dengan para pangeran dan puteri Kerajaan.
Semula Sinto Gendeng bermaksud
memisahkan diri di tempat itu namun atas permintaan Raja dan paksaan Rana
Wulung akhirnya nenek inipun ikut bersama rombongan menuju utara di mana bukit
rahasia terletak.
Bukit rahasia itu terletak di
sebelah barat Kali Serang, tidak seberapa jauh dari desa kecil Wonosegoro.
Jalan menuju ke sana sangat sulit, curam dan berbatu-batu. Tapi lewat sebuah
jalan memintas yang hanya diketahui oleh Patih Aryo Culo maka dalam waktu dua
hari dua malam akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Sesuai perjanjian lima
hari di muka baru rombongan para pangeran dan puteri Kerajaan akan bergabung di
situ. Karenanya ketika rombongan Sri Baginda tiba di bukit, para pangeran dan
puteri belum sampai di tempat itu.
Di puncak bukit yang hampir
tidak pernah didatangi manusia terdapat sebuah bangunan tua berbentuk candi.
Sebagian dindingnya banyak yang telah rontok dimakan usia. Tiga puluh tahun
silam Aryo Culo menemukan candi di puncak bukit itu ketika dia masih gemar
berburu. Tiga perajurit pengawal yang masih ada bersama rombongan, di bawah
pimpinan Turonggo Wesi segera membuat atap tambahan dari cabang-cabang pohon.
“Sampai satu tahunpun kita
bisa bertahan di sini Sri Baginda,” kata Patih Aryo Culo. “Di dalam hutan di
lereng bukit sebelah selatan banyak pohon buah-buahan. Sebuah mata air terdapat
tak jauh dari sini. Jika ingin nasi dan lauk pauk kita bisa mendapatkannya dari
desa di kaki bukit . . .”
“Sebaiknya kita jangan terlalu
sering menampakkan diri di luaran. Berbahaya . . .” kata Sri baginda yang
selalu waswas.
Setelah cukup lama
beristirahat di tempat itu, Ki Rana Wulung dan Sinto Gendeng, ditemani oleh
Patih Aryo Culo menghadap Sri Baginda.
“Sri Baginda . . .” kata Rana
Wulung, “Karena Sri Baginda sudah aman berada di bukit rahasia ini, perkenankan
saya dan kawan saya ini minta diri. Sesuai rencana saya akan ke Kotaraja guna
membasmi pentolan-pentolan pemberontak di sana”.
Raja terdiam sesaat. Lalu
menganggukkan kepala dan berkata, “Sebetulnya aku ingin kalian berdua lebih
lama di sini. Tapi tugas dan bantuanmu di Kotaraja memang sangat dibutuhkan.
Hanya ada satu pesanku Rana
Wulung. Dalam tindakan penumpasan nanti, jangan sampai jatuh banyak korban di
kalangan perajurit pemberontak. Mereka sebenarnya hanya kena hasut para
pimpinan mereka dengan janji muluk-muluk. Karena itu pusatkan gerakanmu dengan
hanya membekuk dan menyingkirkan para tokoh silat, para pentolan pemberontak termasuk
para perwira yang berkhianat!”
“Saya mengerti dan akan
memperhatikan hal itu Sri Baginda. Kami berdua minta diri sekarang . . .”
“Tunggu dulu,” kata Raja
seraya berdiri. “Jasamu dan jasa kawanmu nenek sakti tak bernama ini dalam
menyelamatkanku di rimba belantara dua hari lalu sungguh sangat besar artinya.
Bukan saja bagi diriku pribadi
dan permaisuri, tetapi juga bagi Kerajaan. Untuk itu aku akan menghadiahkan
sesuatu pada kalian berdua . . .”
“Sri Baginda, kita bersahabat
sejak lama. Tugas Kerajaan adalah tugas kami juga! Kami melakukan semua atas
dasar tanggung jawab dan rasa bakti pada Sri Baginda dan Kerajaan.
Sama sekali tidak mengaharap
imbalan jasa apalagi hadiah. Kami adalah dua tua bangka buruk yang tidak
megharapkan apa-apa sejujurnya. Bukankah begitu sahabatku . . .?” ujar Rana
Wulung seraya berpaling pada Sinto Gendeng. Si nenek anggukkan kepala lalu
tertawa cekikikan.
“Terserah kalian mau berkata
apa. Apa yang aku hadiahkan ini adalah milikku sendiri. Bukan milik Kerajaan.
Jadi kalian berdua tak perlu kawatir . . .” Dari dalam sebuah ikat pinggang
kulit, Sri Baginda mengeluarkan sebuah gulungan kain kecil berwarna putih yang
sudah agak lusuh.
Ketika dikembangkan kain itu
ternyata hanya selebar telapak tangan. Di situ tergambar sebuah puncak gunung,
sungai berkeluk, tanda silang dan matahari.
Dengan suara lebih perlahan,
seraya menyodorkan peta kain itu pada Rana Wulung, Sri Baginda berkata: “Ini
adalah peta rahasia telaga emas. Peta ini tidak akan cukup jelas jika tidak
kuterangkan letak telaga itu. Lihat gambar puncak gunung ini. Ini adalah gunung
. . . . .” Sampai di situ Sri Baginda lebih memperlahankan lagi suaranya. Hanya
sayang Sri Baginda tidak menyadari bahwa telinganya yang sudah tidak normal
lagi menyangka bahwa dia sudah bicara sangat perlahan.
Padahal kata-katanya cukup
jelas di seantero candi jika semua orang memasang telinga.
Sesaat setelah meninggalkan
hutan belantara tempat Sri Baginda dan rombongan mengungsi, Pendekar 212 Wiro
Sableng merasa bimbang dalam meneruskan perjalanan menuju Kotaraja.
Hatinya menaruh was-was atas
beberapa hal yang dilihatnya sewaktu melakukan pengintaian sebelum dia terlibat
turun tangan menyelamatkan selir Sri Baginda dari golok yag dilemparkan Bergola
Ijo.
Rasa was-was sang pendekar
disebabkan oleh tindak tanduk salah seorang anggota rombongan yang
mencurigakan. Dan ini diketahuinya secara tidak sengaja.
Ketika Bergola Ijo, Raden
Jingga dan Suto Abang mengepung tempat persembunyian Raja dalam hutan,
bertepatan dengan itu Wiro Sableng sampai pula di tempat tersebut, tepat pada
saat Perwira Turonggo Wesi dengan keris terhunus menyongsong kedatangan Suto
Abang yang menyelinap dari jurusan kanan.
Begitu berhadapan dengan Suto
Abang, kedua orang ini lengsung saling memberikan isyarat.
Turonggo Wesi kemudian
keluarkan suara bentakan-bentakan. Dua orang itu tampak seperti berkelahi
betulan. Namun tiga jurus di muka keduanya saling tersenyum. Suto Abang
menggoreskan luka di lengan Turonggo Wesi yang sengaja diulurkan, lalu Perwira
itu ditotoknya di bagian punggung.
Dalam keadaan tak berdaya
seperti kena ringkus, Turonggo Wesi dibawa ke tempat rombongan Raja berada.
Wiro mengetok-ngetok kepalanya
sendiri seperti menyesali diri. “Mengapa hal itu terlupa kukatakan pada guru!
Ah, kalau sampai terjadi apa-apa atas diri Raja dan rombongan dosaku dan
salahku besar sekali. Sekarang bagaimana ini? Apakah aku harus terus ke
Kotaraja atau kembali ke tempat persembunyian Sri Baginda . . .?”
Setelah mempertimbangkan
dalam-dalam, Wiro Sableng menganggap keselamatan Sri Baginda dan anggota
rombongan lainnya termasuk gurunya sendiri adalah jauh lebih penting. Maka
pemuda ini akhirnya memutuskan menunda perjalanan ke Kotaraja dan kembali ke
rimba belantara. Tetapi ketika sampai di tempat tiu, gubuk kayu dan sekitarnya
berada dalam keadaan kosong. Yang tinggal hanya mayat Bergola Ijo, mayat tia
orang perajurit dan bekas patahan golok milik Patih Aryo Culo!
Pendekar 212 duduk di atas
potongan batang pohon yang dijadikan kursi. Menggaruk-garuk kepala sambil berpikir-pikir.
Jelas Raja dan rombongannya telah meninggalkan hutan itu. Tapi menuju kemana?
Dan selama Turonggo Wesi ikut bersama rombongan, selama itu pula keselamatan
Sri Baginda berada di bawah ancaman maut!
“Celaka! Kemana aku harus
menyusul!” Wiro menggerendengi ketololannya sendiri. Tiba-tiba telingaya
mendengar suara bergemerisik. Untuk menjaga segala kemungkinan, pendekar ini
cepat melompat keluar dari dalam gubuk lalu melompat ke atas pohon di mana dia
dan gurunya berada sebelum berpisah.
Tiga orang berperawakan tinggi
dengan gerakan gesit muncul dari balik kerapatan pepohonan dan berkelebat di
depan gubuk.
“Kosong!” kata orang yang
berkumis melintang sambil memandang berkeliling dan berkacak pinggang. Sepasang
tangannya mulai dari ujung jari sampai sebatas siku berwarna hitam kelam.
“Memang kosong tapi banyak
mayat bergelimpangan di sini. Astaga! Lihat satui di antaranya kawan Begola
Ijo!”
Yang bicara adalah seorang
kakek berambut biru, bermata biru dan berpakaian serba biru.
Diikuti si kumis melintang dia
melompat ke hadapan mayat Bergola Ijo. Keduanya kerenyitkan kening tanda
bergidik ngeri melihat kepala yang hampir terbelah itu.
“Pasti di sini terjadi
pertempuran seru sebelumnya!” kata si serba biru.
Sementara itu orang ketiga,
seorang nenek berpakaian merah bermata juling dengan pupur dan gincu tebal
menghias mukanya hingga tak ubahnya seperti wajah topeng tetap tegak di
tempatnya sambil bertopang
pada sebuah tongkat yang ujungnya bercagak. Yang anehnya, pada belahan cagak
tampak mendekam seekor bintang yang ternyata adalah seekor kelabang berwarna
merah!
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang?” bertanya si kumis melintang. Nama gelarnya adalah Si Tangan Besi.
“Ya apa yang harus kita
lakukan sekarang?” menimpali kakek berambut biru. Sesuai dengan keadaannya dia
diberi julukan Malaikat Serba Biru.
Si nenek berpakaian merah
tetap tak bergerak di tempatnya. Dia mendongak ke atas membuat Pendekar 21 Wiro
Sableng yang berada di atas pohon jadi menhan nafas, kawatir kalau nenek itu
mengetahui dia mendekam di atas pohon. Tapi ketika si nenek turunkan kepala
pemuda ini menjadi agak lega. Dia tahu betul siapa adanya kakek berpakaian
serba biru serta si kumis melintang.
Tapi dia tidak tahu siapa
adanya nenek bertongkat yang ada kelabang merahnya itu!
“Pasti ada sesuatu yang
membuat Raja dan rombongan meninggalkan tempat ini dengan tibatiba.
Seperti tidak sesuai rencana”.
Berkata nenek bertongkat. “Bergola Ijo kemari bersama Raden Jingga dan Suto
Abang. Tapi mana yang dua itu? Apa menguntit rombongan Sri Baginda, kembali ke
Kotaraja atau sudah pada mampus pula . . .?!”
Tak ada yang berikan jawaban.
Si nenek membuka mulutnya
kembali. “Kalian ingat cerita Raden Jingga tentang tempat rahasia di puncak
bukit dekat desa Wonosegoro?”
“Mungkin mereka mengungsi ke
sana Kelabang Merah!” berkata malaikat Serba Biru.
Kelabang Merah! Wiro kaget
sekali mendengar ketika gelar si nenek disebut. Ternyata dia adalah seorang
tokoh silat golongan hitam yang selama ini menjadi momok dunia persilatan di
timur!
Dan kini perempuan iblis ini
bergabung dengan kaum pemberontak!
“Itulah yang aku pikirkan!”
kata Kelabang Merah pula. “Jika ada yang tahu jalan kita harus mengejar sampai
ke sana!”
“Aku tahu!” sahut Si Tangan
Besi. “Hanya saja kita butuh waktu lima hari untuk sampai ke sana . . .”
“Tidak perlu cemas! Rombongan
Raja pasti belum lama meninggalkan tempat ini! Kita pasti dapat mengejar mereka
pada hari yang kelima!”
“Kita berangkat sekarang!” si
nenek Kelabang Nerah ketukkan tongkat bercagaknya ke tanah.
Cepat sekali tiga orang itu
berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Tinggal kini Pendekar 212 Wiro Sableng
duduk mendekam sendirian di atas cabang pohon. Jelas dengan datangnya tiga
orang tokoh kawakan itu ke tempat persembunyian rahasia Sri Baginda akan merupakan
tambahan malapetaka bagi Raja dan rombongan. Tak ada jalan lain bagi Wiro. Dia
harus menguntit ketiga orang tersebut. Terlalu besar untuk melakukan bentrokan
terbuka dengan ketiganya. Matanya yang tajam jelas melihat bahwa dari tiga
tokoh silat pentolan pemberontak itu, si nenek bertongkat adalah yang paling
berbahaya. Berarti dua kawannya itu yang harus dipreteli lebih dahulu.
BAB 6
Tiga orang itu duduk
mengelilingi perapian. Nenek Kelabang Merah seperti sengaja memisahkan diri,
duduk berselubung sehelai kain berwarna hitam. Hanya mukanya yang berbedak dan
bergincu tebal saja yang tersembul hingga membersitkan bayangan menyeramkan.
Sepasang matanya yang juling terpejam. Tapi tidak dapat dipastikan apa nenek
ini tidur sambil duduk.
Si Tangan Besi dan Malaikat
Serba Biru duduk berdekatan. Keduanya saling bercakap-cakap.
Malam itu adalah malam kedua
mereka dalam perjalanan menuju bukit rahasia persembunyian Sri Baginda.
Sambil menggosok-gosok kedua
telapak tangannya sekedar untuk tambah menghangatkan diri Si Tangan Besi
berkata: “Ketika Raja melarikan diri, beberapa mata-mata kita melihat tidak
seorang tokoh silat pun menyertai. Dia hanya ditemani Patih Aryo Culo dan
beberapa orang perajurit kepercayaan. Jika itu betul adalah heran! Mengapa
orang kita Turonggo Wesi yang ikut bersama rombongan itu tidak segera saja
membunuh Sri Baginda?!”
“Pasti ada sebabnya. Paling
tidak dia punya perhitungan lain. Misalnya, juga diketahui para pangeran
termasuk putera mahkota dan para puteri tidak ada dalam rombongan. Agaknya
pihak istana terbagi paling tidak dalam dua rombongan. Siapa tahu Turonggo Wesi
menunggu sampai rombonganrombongan itu saling bertemu hingga dia dapat
menghabisi mereka semua!”
“Menurutmu apakah Patih Aryo
Culo dapat menjadi biang kerok penghalang Turonggo Wesi bertindak?”
“Ah, kalau cuma patih tua itu,
apa yang perlu dicemaskan . .” kata Malaikat Serba Biru. “Dia memang memiliki
beberapa ilmu simpanan. Tapi tenaga dalam dan tenaga luarnya sudah
keropos.
Mudah saja bagi Turonggo Wesi
untuk menghabisi Raja dan seluruh rombongan. Atau mungkin Raden Jingga ikut
mengatur siasat . . . .”
“Boleh jadi” sahut Si Tangan
Besi pula. Lalu tiba-tiba orang ini angkat kepalanya. Cuping hidungnya
mengembang.
“Ada apa . . .?” tanya
Malaikat Serba Biru.
“Cobalah kau menghirup
dalam-dalam udara malam. Aku membaui sesuatu yang lezat!”
Malaikat Serba Biru angkat
kepalanya dan menghirup nafas dalam. “Kau betul!” katanya sesaat kemudian.
“Siapa yang malam-malam begini membuat perutku jadi lapar! Kalau tidak dibaginya
daging panggang itu akan kupatahklan lehernya!” kakek ini memandang berkeliling
dengan matanya yang biru lalu berdiri.
“Eh, kau mau kemana?” tanya Si
Tangan Besi.
“Kemana lagi? Mencari sumber
daging panggang itu! Jika kau tidak mau ikut, jangan menyesal kehabisan!”
Perlahan-lahan Si Tangan Besi
akhirnya bangkit pula.
Ketika keduanya hendak
melangkah, si nenek Kelabang Merah tampak gerakkan kepalanya.
“Kalian berdua hanya sibuk
mengurusi perut sendiri-sendiri dan melupakan aku kawan seperjalanan!”
“Kalau begitu mari ikut kami
Kelabang Merah!” Kata Malaikat Serba Biru.
Si nenek gelengkan kepala.
“Aku tetap di sini
berjaga-jaga. Kalian bedua pergilah. Tapi ingat, jangan lupa membawakan aku
sepotong daging panggang!”
”Beres! Kau tak usah kawatir!”
jawab Si Tangan Besi.
Bersama Malaikat Serba Biru,
lelaki tinggi besar berkumis melintang itu tinggalkan perapian dan menghilang
di balik kegelapan.
Sumber baunya daging panggang
yang harum itu ternyata datang dari sebuah pedataran berumput liar, dekat daerah
berbatu-batu. Di situ tampak duduk mencangkung seorang pemuda berambut kusut
kumai, mengenakan ikat kepala putih. Sebagian dari ikat kepala itu menutupi
mata kirinya. Di hadapannya ada suara api jerangan. Yang pertama menjerang
sebuah kaleng berisi air yang mengepulkan asap harum. Harumnya kopi! Yang kedua
ialah api yang memanggang dua ekor burung besar. Bau daging burung yang sedap
inilah yang membuncah sampai tercium oleh Malaikat Serba Biru dan Si Tangan
Besi.
“Bocah berambut berantakan!”
menegur Malaikat Seba Biru sambil leletkan lidah berulang kali sementara Si
Tangan Besi tampak naik turun tenggorokannya dan hidungnya kembang kempis.
“Pandai sekali kau membuat
perut kami keroncongan! Besar nian dua ekor burung yang kau panggang!
Pasti tak akan habis olehmu
sendiri!”
Si pemuda mengangkat kepalanya
menatap wajah Malaikat Serba Biru lalu menyeringai.
“Seumur hidup baru sekali ini
aku melihat manusia berambut dan bermata biru! Hik . . hik! Aku memang tidak
sendirian di sini, mata biru!”
“Eh!” Malaikat Serba Biru
melengak. Berpaling pada Si Tangan Besi lalu memandang berkeliling. “Kami lihat
kau tidak ditemani siapa-siapa!”
“Aku bertiga!”
“Dengan siapa?” tanya Malaikat
Serba Biru.
“Aku!” jawab si pemuda sambil
menunjuk dengan tangan kiri ke dadanya sendiri sementara tangan kanan membalik
burung yang dipanggang. “Kau yang bermata biru! Dan kawanmu yang berkumis
melintang itu! Ha . . ha . . . ha . .!”
“Ha . . ha . . . ha . .!”
“Ha . . ha . . . ha . .!”
Malaikat Serba Biru dan Si
Tangan Besi sama-sama ikut tertawa. “Sobatku muda! Kau ternyata lucu, pandai
membanyol!”
“Aku memang bekas pemain
dagelan!” jawab si pemuda. “Nah . . . nah! Dagingku sudah matang. Disantap
hangat-hangat pasti enak! Tapi perut kosong tak boleh langsung diisi
makanan!
Harus dibasahi dulu dengan
kopi hangat!”
Lalu tanpa menawarkan pada dua
orang tamunya, pemuda itu mengambil dua helai daun besar dan dengan melindungi
kedua tangannya dengan dua daun itu, dia mengangkat kaleng berisi kopi hangat.
Lalu berpura-pura meneguk kopi dalam kaleng. Matanya tampak terpejam-pejam dan
lidahnya dijulur-julurkan. Hal ini membuat Malaikat Serba Biru dan Si Tangan
Besi jadi menelan ludah.
“Boleh kuminta daging
burungmu?” Si Tangan Besi bertanya tapi langsung ulurkan tangan hendak mengambil.
“Eit . . .Boleh boleh saja!
Tapi tunggu dulu kumis melintang! Cicipi dulu kopi hangatku ini.
Rasanya seperti kopi di
sorga!”
“Lagakmu seperti sudah pernah
ke sorga saja! Tapi baik, aku memang haus!” kata Si Tangan Besi. Lalu mengambil
kaleng kopi dan meneguk isinya. Kaleng kemudian diserahkan pada Malaikat Serba
Biru yang sudah menunggu tidak sabaran.
“Kopimu memang enak!” memuji
Si Tangan Besi sambil seka bibirnya dengan belakang tangannya yang hitam. “Nah,
sekarang apa kami boleh minta daging burung panggang ini?!”
“Tentu saja!” jawab si pemuda
berambut gondrong acak-acakan. “Kalian boleh ambil yang besar. Bagi berdua. Aku
cukup yang kecilan saja!”
Maka Si Tangan Besi dan
Malaikat Serba Biru mengambil burung panggang yang besar, membagi dua dan
melahapnya.
“Kau anak muda. Siapa namamu .
. ?” Malaikat Serba Biru bertanya sambil mengunyah daging panggang.
“Namaku Tekukur . . . “
“Tekukur?” Mangulang si kakek.
“Nama aneh! Itu kan nama burung!”
“Memang itulah namaku! Orang
sekampung yang memberikan karena aku pandai menirukan suara burung tekukur.
Kalian dengarlah . . “ Lalu pemuda itu runcingkan mulutnya. Sesaat kemudian
dari mulutnya terdengar suara persis suara burung tekukur.
Si Tangan Besi dan Malaikat
Serba Birtu tertawa gelak-gelak. “Luar biasa. Sama benar dengan suara burung
sungguhan!”
“Tapi malam-malam begini,
mengapa kau berada dalam hutan, Tekukur?” bertanya Si Tangan Besi.
“Pekerjaanku menangkap burung
tekukur. Siang hari di hutan ini banyak sekali tekukur. Tapi aku sedang sial.
Tak seekorpun kali ini dapat kutangkap. Untuk mengisi perut terpaksa aku
menangkap apa saja dan memangganggnya. Besok pagi aku akan melanjutkan mencari
burung itu. Di Kotaraja harganya bisa mahal!”
“Kenapa matamu kau tutup
sebelah?” bertanya si kakek berambut biru.
“Oh, mata satu ini sakit!”
jawab si pemuda. Lalu disingkapkannya kain kepala yang menutupi mata kirinya.
Bersamaan dengan itu kelopak matanya dibeliakkannya dengan jari-jari tangan
hingga kelopak itu tampak terbuka lebar dan merah! “Mataku merah, bukan . . .
?”
“Ya, merah sekali!” sahut Si
Tangan Besi percaya saja tanpa menyadari kalau kelopak mata semua orang memang
berwarna merah, apalagi jika dibeliakkan begitu rupa.
“Ah, benar-benar enak daging
panggangmu!” kata Si Tangan Besi sambil menancapkan tulang burung ke tanah.
“Kalau kalian ke Kotaraja,
carilah aku! Kalian bisa menemuiku di pasar burung”.
“Tentu . . . tentu kami akan
mencarimu! Kami tidak akan melupakan kebaikanmu malam ini!
Astaga! Aku lupa!” kata Si
Tangan Besi tiba-tiba.
“Apa?” bertanya Malaikat Serba
Biru.
“Bukankah nenek itu memesan
gara kita membawakan daging panggang untuknya?”
“Kau benar! Tapi daging kita
sudah habis!” sahut Malaikat Serba Biru. Matanya memandang pada daging burung
yang dipegang Tekukur dan baru dimakan setengahnya.
“Ah . . . kau pasti hendak
mengatakan agar aku membagi daging ini. Untuk kawanmu.
Nenek nenek ya . . .?”
“Jika kau tidak keberatan,
anak muda . . “
“Ambillah!” Tekukur berikan
daging panggang itu pada si kakek yang langsung membungkusnya dengan sehelai
daun.
“Perut kami sudah kenyang!
Kami minta diri sekarang!” kata Malaikat Serba Biru. Lalu berdiri, diikuti oleh
Si Tangan Besi.
“Jangan lupa mencariku di
pasar burung!” Kata si pemuda lagi.
“Tentu . . . tentu!” jawab dua
orang itu hampir bersamaan. Mereka lalu lenyap di dalam kegelapan malam. Pemuda
berambut kusut masai menyeringai penuh arti. Kopi di dalam kaleng diguyurkannya
ke atas perapian. Api padam. Tempat itu serta merta diselimuti gelap gulita.
Kembali ke tempat perkemahan mereka,
kedua orang itu dapatkan si nenek masih berkelumun kain seperti tadi. Tapi kali
ini matanya terbuka lebar. Sebelum mulutnya bergerak bertanya Malaikat Serba
Biru lemparkan daging panggang dalam bungkusan daun ke pangkuan si nenek.
“Sesuai pesanmu! Silahkan
menyantap daging panggang itu!”
Si nenek turunkan kain
hitamnya. Buka bungkusan daun lalu tanpa banyak bicara, dengan mata juling yang
berkilat-kilat potongan daging burung panggang itu segera disantapnya. Selagi
dia asyik menyantap didengarnya Si Tangan Besi bicara pada Malaikat Serba Biru
bahwa perutnya agak mulas dan hendak membuang hajat besar.
“Kau terlalu rakus menyantap
daging panggang tadi! Tidak salah kini pingin berak!” kata Malaikat Serba Biru
sambil tertawa mengekeh.
Memang enak daging burung
panggang ini . . .” kata Kelabang Merah sambil seka-seka mulutnya yang gincunya
kini tampak berlepotan, mencelemong sampai ke pipi. “Siapa nama
anak muda itu katamu . . . ?”
“Tekukur!”
“Nama aneh!” ujar si nenek.
Dia memandang berkeliling. “Eh, mana Si Tangan Besi tadi?
Lama benar dia membuang
hajat!”
“Mungkin sulit mencari air
untuk cebok. Ha . . ha . . ha!” Malaikat Serba Biru tertawa mengekeh. “Itulah
kalau terlalu rakus! Biar kita tunggu saja . . “
Beberapa waktu berlalu. Nenek
Kelabang Merah kembali memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang
juling.
“Masih belum muncul juga dia!
Coba kau selidiki . . .”
“Ah! Si Tangan Besi itu
ada-ada saja. Aku sudah siap untuk tidur. Biar kucari. Tapi omong omong
perutkupun terasa tak enak . . “
“Puah!” si nenek mengomel.
“Kalian berdua sama saja!”
Lama menunggu si nenek mulai
gelisah. Si Tangan Besi tidak muncul. Malaikat Serba Biru yang disuruh
mencaripun ikut-ikutan menghilang!
“Manusia-manusia brengsek!”
Kelabang Merah ambil tongkat bercagaknya. Tubuhnya yang kurus tinggi, masih
berkelumun kain hitam melangkah ke jurusan lenyapnya Malaikat Serba Biru.
Malam gelap sekali. Si nenek
hampir tak dapat melihat apa-apa. Jengkel dan sambil mengomel dia kembali ke
perapian dan mengambil sebatang kayu berapi. Dengan api kayu sebagai penerangan
dia kembali memeriksa ke arah lenyapnya Malaikat Serba Biru tadi. Beberapa
belas langkah melewati serumpunan semak belukar, si nenek merasakan kaki
kirinya menginjak sesuatu yang hangat ditanah.
Dia hentikan langkah dan
turunkan kayu api ke bawah. Jelas kini apa yang dipijaknya. Kotoran manusia!
“Bangsat haram jadah!” maki
Kelabang Merah.”Pasti kotoran Si Tangan Besi! Mana manusia celaka itu
sekarang?!” Si nenek hentakkan kaki kirinya berkali-kali. Kayu api
ditinggikannya kembali.
Dia memandang berkeliling.
Maju ke kiri beberapa langkah. Membelok ke kanan beberapa langkah lagi.
Menyibakkan serumpun keladi hutan dengan tangan kiri. Saat itulah kedua matanya
yang juling jadi terpentang!
BAB 7
Tepat di bawah rerumpunan
pohon keladi hutan berdaun lebar terbujur sosok tubuh Si Tangan Besi. Sepasang
tangannya yang hitam penuh luka-luka bahkan lengan kirinya hampir putus.
“Aneh! Setahuku tak satu
senjata tajampun mampu melukai kedua tangannya! Senjata sakti macam apa yang
dapat menciderainya . . .?” membatin Kelabang Merah. Tapi yang membuat mata si
nenek itu terpentang bukan lengan-lengan yang luka melainkan kepala Si Tangan
Besi. Kepala itu hampir terbelah dua. Otak dan darah berhamburan mengerikan dan
menjijikkan!
“Kematiannya seperti kematian
yang dialami Bergola Ijo! Pasti pembunuhnya orang yang sama! Keparat haram
jadah! Siapa pelakunya!”
Melihat keadaan mayat Si
Tangan Besi agaknya sebelum kepalanya dihantam terlebih dulu telah terjadi
perkelahian antara dia dengan si pembunuh. Luka-luka di kedua tangannya
pastilah karena dia berusaha menangkis senjata lawan. Tapi mengapa sama sekali
dia tidak mengeluarkan suara?
Sama sekali tidak ada bentakan
atau jeritan?
Kelabang Merah mendekatkan
kayu berapi ke sekitar leher Si Tangan Besi. Apa yang diduganya tidak meleset.
Salah satu urat besar di leher Si Tangan Besi, yakni urat jalan suara
tampak
berwarna merah tanda leher itu
sebelumnya telah kena ditotok! Ini juga berarti si pembunuh tidak membokong,
tapi memberi kesempatan bagi Si Tangan Besi untuk melawan walaupun jalan
suaranya lebih dulu ditotok!
Kelabang Merah memandang
berkeliling. Gelap.
“Bangsat pembunuh! Perlihatkan
tampangmu! Jangan sembunyi dalam kegelapan!” Si nenek tak dapat lagi menahan kemarahannya
langsung berteriak. Suara teriakannya menggema dahsyat dan mengerikan. Tetapi
tak ada jawaban.
“Manusia pengecut!” teriak
Kelabang Merah lagi. Tongkat bercagak di tangan kirinya diputar putar.
Angin deras menderu disusul
oleh suara berderakan. Tiga cabang pohon patah. Semak belukar berserabutan.
“Bangsat! Kaluar kau dari
tempat persembunyianmu!” berteriak lagi si nenek. Gelap dan sunyi.
Namun mendadak lapat-lapat
terdengar suara berkereketan seperti ada sesuatu benda berat berayunayun.
“Iblis!” bentak Kelabang
Merah. Nenek ini berkelebat ke arah datangnya suara tadi. Tapi dia kecele. Dia
tidak menemui siapa-siapa.
“Keparat!” memaki lagi nenek
bermata juling ini. “Eh . . ! Mendadak nafasnya seperti tertahan.
Ada sesuatu yang
menetes-netes, sejenis cairan kental hangat, jatuh tepat di pipi kirinya.
Bersamaan dengan itu tercium
bau busuk. Bau busuk kotoran manusia! Kelabang Merah mendongak ke atas sambil
tinggikan kayu api di tangan kirinya!
“Kurang ajar haram jadah!”
Rutukan itu keluar dari mulut si nenek lalu melompat satu langkah ke belakang.
Di atas sana, bergoyang-goyang
pada sebuah cabang pohon, tampak tergantung sosok tubuh Malaikat Serba Biru.
Sepasang matanya yang biru membeliak mengerikan. Lidahnya terjulur!
Seutas akar hutan menjirat
lehernya. Dari celana birunya yang merosot ke bawah menetes kotoran!
Tetesan kotoran inilah yang
jatuh tepat di pipi si nenek tadi!
Setelah puas memaki, si nenek
tiba-tiba mendekam diam!
Kematian dua kawannya yang
berekepandaian tinggi yang boleh dikatakan hanya dalam beberapa kejap saja
tiba-tiba membuatnya tercekat. Ada rasa dingin kini menggerayangi
tengkuknya.
Selagi diam mendekam seperti
itu mendadak terdengar suara tertawa bekakaan. Nenek ini sampai terlompat
saking kagetnya.
“Nenek jelek bermata juling!
Kalau kau tidak bertobat dan meninggalkan jalan sesat sebagai pentolan
pemberontak. Nasibmu akan lebih buruk dari dua kawanmu itu! Ha . . ha . . ha .
. !”
“Setan atau iblis! Tunjukkan
tampangmu1” teriak Kelabang Merah. Tongkat kayu bercagak di tangan kirinya
dipukulkan ke atas, yakni ke arah pohon besar dari mana tadi muncul suara dan
tawa bergelak.
Sinar merah laksana pancuran
api melesat. Kelabang merah yang sejak tadi melingkar di pertengahan cagak
tongkat ikut melesat dan memancarkan sinar lebih terang hingga bentuk
binatang itu terlihat jelas.
Braak!
Sebuah cabang pohon putus dan
roboh ketika kelabang menghantamnya. Bagian-bagian yang terpapas langsung
tampak hangus! Kelabang terus melesat ke arah datangnya suara tertawa tadi,
menerobos dedauanan lalu menghantam udara kosong di atas pohon. Terdengar suara
suitan lalu suara tawa mengejek. Lalu sepi.
“Anakku! Bangsat itu sudah
kabur! Kembali ke tempatmu!” si nenk berseru.
Terjadilah hal yang hebat dan
aneh. Kelabang yang tadi melesat membalik dan menukik.
Sekejap kemudian binatang ini
telah melingkar kembali di cagak tongkat! Tinggal kini nenek Kelabang Merah
tegak sendirian dalam gelap karena api di ujung kayu telah padam. Sendirian
berteman dua sosok mayat yang menemui kematian dengan cara mengerikan. Lama
perempuan tua ini tegak termangu. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Hendak
mengurus dua mayat itu tak ingin dilakukannya. Hendak melanjutkan pengejaran
rombongan Sri Baginda ke bukit Wonosegoro, dia tidak tahu jalan. Akhirnya dia
memutuskan untuk kembali ke Kotaraja guna menemui Raden Jingga.
Turonggo Wesi memberi isyarat
pada selir Sri Baginda, lalu menyelinap ke balik tembok candi.
Saat itu baru saja memasuki
malam. Di langit tampak bulan sabit tersapu awan. Keadaan di candi diselimuti
kegelapan yang temaram karena Patih Aryo Culo tidak memperkenankan memasang
pelita atau membuat api ungun.
Sri Baginda berbaring bersama
permaisuri dalam sebuah ruangan candi. Tiga perajurit mengawal berpencaran.
Ketika selir muda dan jelita itu sampai di dekatnya, Perwira Tinggi itu
cepat berbisik.
“Besok rombongan para pangeran
dan para puteri akan sampai di sini. Akan lebih banyak pengawal. Akan lebih
banyak orang. Racun itu harus kau minumkan malam ini juga Rumini.
Secepat Raja tewas kau ambil
Kiyai Panca Sona dan lari ke jurusan timur. Di situ aku menunggu bersama dua
ekor kuda. Malam ini juga Rumini! Harus!”
“Aku sudah mengusahakannya
sejak malam tadi Turonggo. Tapi permaisuri tidak pernah lepas dari Sri Baginda
. . .” menjawab selir bernama Rumini.
“Bukankah malam ini giliranmu
melayani Raja?”
“Dalam keadaan biasa memang
seperti itu. Tapi di saat seperti ini Sri Baginda tidak akan mengikuti aturan.
Aku lebih suka kau saja yang menikamnya!”
“Jangan bodoh. Jika ditikam
pasti Raja akan mengeluarkan suara kesakitan. Jika hal itu terjadi berarti
celaka bagiku! Bagimu juga . . . Racun lebih ampuh dan tepat dalam keadaan
seperti ini . ..”
“Kalau begitu, akan kuusahakan
malam ini juga, Turonggo!”
“Bagus. Hati-hati dan jangan
lupa! Begitu Raja tewas, ambil Kiyai Panca Sona lalu lari ke timur. Mengerti?”
“Aku mengerti Turonggo. Doakan
agar aku berhasil!”
“Kau pasti berhasil. Kau
kukenal sangat berani. Karena itu aku mau mengambilmu jadi istri kelak . . . “
“Sebetulnya aku rindu akan
dekap dan ciumanmu Turonggo . . . “
“Sama. Aku juga . . .”
“Kalau begitu bisa kita
menyingkir sebentar dari sini . . .?”
Turonggo tahu adalah pekerjaan
gila jika dia memenuhi ajakan Rumini saat itu. Tapi entah mengapa birahinya
tiba-tiba saja menggelegak.
“Sebaiknya beritahu dulu Sri
Baginda bahwa kau hendak membasuh muka di mata air. Menjaga agar tak ada yang
curiga . . .”
“Kita kan hanya sebentar. Tak
usah memberitahu segala . . .” jawab Rumini.
Turonggo memandang
berkeliling. Lalu ditariknya tangan selir Sri Baginda itu. Keduanya lenyap ke
balik semk belukar lebat.
Ternyata yang dikatakan
sebentar oleh perempuan muda itu menjadi berkepanjangan. Keduanya terbuai oleh
nafsu dan sempat melakukan hubungan badan tanpa mengetahui kalau sepasang mata
mengintip dari kegelapan.
“Rapikan pakaianmu cepat!”
bisik Turonggo agak kawatir. “Jangan lupa malam ini Rumini.
Raja harus tewas malam ini
juga! Minumkan racun itu padanya . . .“
Rumini mengangguk. Sebelum
berpisah keduanya berpagutan dulu. Di pintu candi Patih Aryo Culo memandang
penuh selidik ketika Rumini muncul dari kegelapan. Sebelum ditegur
perempuan ini cepat berkata
bahwa dia barusan dari mata air. Lalu dia mempersibuk diri menjerang air untuk
minum Sri Baginda, yaitu air panas campur jahe dan gula aren, di saat itulah
Rumini mempergunakan kesempatan untuk menabur sejenis racun ke dalam minuman
kesukaan Sri Baginda.
Masuk ke dalam ruangan, Rumini
dapatkan permaisuri telah tertidur nyenyak sementara Sri Baginda duduk
bersandar ke dinding candi.
“Dari mana saja kau Rumini . .
.” Sri Baginda menegur.
“Maafkan saya Baginda. Saya ke
mata air, lalu menjerang dan menyiapkan minuman untuk Baginda. Biasa . . . air
jahe kesukaan Baginda . . .”
“Malam ini aku tak seberapa
haus. Kau saja yang menghabiskan minuman itu Rumini . . .”
Sang selir merasakan
tengkuknya sedingin es. Parasnya berubah. Untung saja gelap hingga Raja tidak
melihat perubahan itu. Dalam hatinya perempuan muda ini bertanya apakah Sri
Baginda tahu kalau dirinya hendak diracuni?!
“Air jahe dan gula aren bukan
hanya sekedar pelepas haus Baginda. Tapi juga obat yang selalu Baginda minum
tiap malam. Saya tak ingin besok Baginda masuk angin lalu sakit. Jika Baginda
sakit dalam keadan seperti ini, siapa lagi yang menjadi panutan”
“Ah . . . kau selir yang baik.
Sangat memperhatikan diriku. Itu sebabnya kau yang paling pertama kuajak
mengungsi. Mendekatlah kemari . . .”
Rumini beringsut menghampiri
Sri Baginda lalu menyodorkan cangkir tanah.
“Letakkan dulu minuman itu.
Kemari lebih dekat. Sejak dalam pelarian ini aku seperti melupakan kecantikan
dan keindahan tubuhmu . . . “
Sri Baginda lalu merangkul dan
mengusap dada selirnya itu. “Eh, tubuhmu keringatan Rumini . . ?”
“Apakah Sri Baginda perlu
heran? Bukankah saya selalu keringatan dan jantung berdegup keras setiap kali
Baginda berada di dekat saya? Saya bahagia dalam rangsangan”.
“Layani aku malam ini Rumini .
. . “
“Saya milik Baginda dan akan
melayani Baginda sampai mati karena itu memang tugas saya . .“
Selir itu melirik pada
permaisuri yang tertidur nyenyak. Lalu sambungnya: “Tapi saya juga tak ingin
Baginda sakit. Sebaiknya minum dulu air jahe ini selagi masih panas . . . “
Rumini mengambil kembali
cangkir tanah yang tadi diletakkannya lalu mendekatkan bibir cangkir ke bibir
Raja. Sri Baginda menyeringai. Selagi dua tangannya menggeluti dada selirnya,
Sri Baginda buka bibirnya siap meneguk air jahe beracun!
BAB 8
Sesaat lagi minuman beracun
yang sangat mematikan itu akan direguk oleh Sri Baginda tibatiba sebuah batu
sebesar ujung ibu jari melesat dalam kegelapan.
Tring . . . byaar!
Cangkir tanah dalam pegangan
Rumini pecah berantakan. Air jahe hangat tumpah membasahi pangkuan Sri Baginda.
Selir itu terpekik. Sri Baginda sendiri keluarkan seruan tertahan.
Permaisuri tersentak bangun
dan duduk.
“A . . . . apa yang terjadi .
. .?” bertanya Permaisuri.
Raja tak menjawab tapi cepat
turun dari pembaringan kayu seraya menggenggam Keris Kiyai Panca Sona. Patih
Aryo Culo saat itu tampak berkelebat dan muncul di ruangan ketiduran.
“Ada apa Sri Baginda? Saya
mendengar selir menjerit dan Baginda berseru!”
“Seseorang melemparkan
sesuatu, memecahkan cangkir tanah berisi air jahe yang hendak kuminum!”
menerangkan Raja. Sepasang matanya memandang berkeliling, berusaha menembus
kegelapan yang temaram. Aryo Culo juga melakukan hal yang sama. Saat itulah
suara seseorang dari sudut ruangan.
“Mohon maafmu Sri Baginda.
Sayalah yang tadi sengaja melempar dan memecahkan cangkir minuman itu!”
Raja dan Patih sama berpaling
ke sudut ruangan yang gelap. Samar-samar tampak sesosok tubuh berpakaian putih
tegak di situ bersidakap lengan di depan dada.
“Penyelusup kurang ajar! Kau
pasti kaki tangan pemberontak!” bentak patih Aryo Culo. Dia melangkah mendekati
orang itu. Tapi orang yang didatangi cepat mengangkat tangannya. Patih tua itu
merasakan seperti ada angin yang menyambar dan gerakan tubuh serta kakinya
serta merta tertahan.
“Sabar, Patih! Minuman dalam
cangkir tanah itu mengandung racun pembunuh! Kalau sampai terminum oleh Sri
Baginda dalam beberapa saat pasti akan tewas!”
Paras Sri Baginda dan Patih
Aryo Culo berubah total. Perubahan wajah juga terjadi atas diri selir Rumini
namun tak satu orangpun yang memperhatikan.
“Minuman itu mengandung racun
katamu . . .?” Sri Baginda bertanya dengan mata melotot, penuh rasa tidak
percaya.
Yang ditanya anggukkan kepala
sambil menyeringai.
“Kau pasti berdusta!” Raja
membentak marah.
“Siapa kau sebenarnya!” Patih
Aryo Culo ikut membentak. Lalu dia berpaling pada Rumini dan berkata: “Mana
Turonggo Wesi. Lekas panggil dia kemari . . .!”
“Tunggu dulu! Perempuan muda
itu biar saja tetap di sini. Tak usah mengkawatirkan Turonggo Wesi. Dia telah
saya ringkus dan berada dalam keadaan tertotok tak berapa jauh dari sini. Dia
bersama selir itu adalah sepasang musuh dalam selimut. Mereka yang mengatur
rencana pembunuhan atas diri Sri Baginda dengan jalan memasukkan racun dalam
air jahe . . . !”
“Bohong! Dusta! Kita tidak
kenal orang ini! Dia pasti kaki tangan pemberontak!” Selir Rumini berteriak.
Orang berpakaian putih tersenyum.
Dia melangkah memungut sepotong pecahan cangkir tanah yang masih ada sisa
minumannya.
“Baginda, untuk membuktikan
bahwa minuman ini benar-benar beracun atau tidak, harap Baginda memerintahkan
selir ini meminum sisa air jahe ini . . . .”
Pucatlah paras Rumini.
Si baju putih tertawa perlahan
lalu melangkah keluar dari kegelapan. Tampak wajahnya yang masih muda, selalu
tersenyum dan rambutnya gondrong.
“Dia pasti tak mau meneguk
sisa minuman itu! Karena sama saja dengan bunuh diri!” berkata si pemuda. “Satu
lagi untuk membenarkan apa yang saya katakan, perintahkan tiga orang perajurit
ke arah timur. Di situ akan ditemui Turonggo Wesi dalam keadaan tertotok. Bawa
dia kemari.
Baginda bisa menanyainya!”
Sri Baginda dan Patih Aryo
Culo sesaat saling pandang. Masih antara percaya dan tidak.
Akhirnya Permaisuri membuka
mulut, memerintahkan tiga orang perajurit yang ada di situ untuk pergi ke timur
mencari Turonggo Wesi. Sampai di situ Rumini tak dapat menahan rasa takutnya
lagi.
Selir jelita ini melompat ke
kiri untuk menghambur kabur. Tapi mudah saja bagi Patih Aryo Culo untuk
mencekal lengannya. Selir ini menjerit-jerit, jatuhkan diri di hadapan Sri
Baginda.
Tak berapa lama kemudian tiga
perajurit muncul menggotong tubuh Turonggo Wesi yang berada dalam keadaan
tertotok. Raja dan Patih segera menanyai Perwira Tinggi kepercayaannya ini.
Menyadari tak mungkin utnuk
berkilah apalagi meloloskan diri akhirnya Turonggo Wesi membuka mulut membuka
rahasia.
“Saya menyesali semua ini Sri
Baginda. Saya dan Rumini mohon ampunmu. Kami berdua adalah orangnya Pangeran
Jingga. Kami memang ditugaskan untuk membunuh Sri Baginda dan merampas Kiyai
Panca Sona . . “ Kata Turonggo Wesi. Rumini menangis sambil terus berlutut.
Rahang Sri Baginda tampak
menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Dia mengambil pecahan cangkir tanah
yang berisi sisa minuman beracun dari tangan pemuda berpakaian putih
lalu berkata.
“Kalian berdua adalah
orang-orang kesayangan dan kepercayaanku! Tapi kalian telah berserikat untuk
membunuhku secara keji. Sulit bagiku untuk memberi pengampunan! Kalian telah
memilih jalan salah, berarti harus siap menghadapi segala akibat dan
hukumannya! Kalian berdua kupersilahkan membagi sisa minuman ini. Minumlah!”
“Baginda . . .!” pekik Rumini.
Turonggo Wesi tertegun pucat.
“Minum kataku!”
Perwira Tinggi itu hanya bisa
membeliak ketika pecahan cangkir disusupkan ke mulutnya.
Sadar tak ada jalan
pengampunan bagi dirinya. Turonggo Wesi akhirnya teguk setengah dari sisa
minuman beracun. Melihat hal ini Rumini melompat, merebut cangkir tanah dari
tangan Sri Baginda lalu mereguk habis minuman yang masih ada.
Hanya beberapa saat ketika
setelah meneguk minuman beracun itu, Rumini dan Turonggo Wesi nampak terhuyung
limbung. Keduanya menjerit. Rumini pegangi dadanya. Turonggo langsung roboh.
Rumini masih menjerit sekali
lagi lalu ikut roboh saling tumpang tindih dengan Turonggo Wesi.
Ada darah mengucur keluar dari
mulut, hidung dan telinga. Keduanya mati dengan mata mendelik.
Sri Baginda menarik nafas
panjang. Patih Aryo Culo memberi isyarat pada tiga perajurit. Mayat Turongggo
Wesi dan Rumini digotong keluar dari candi.
Sri Baginda melangkah
mendekati si baju putih berambut gondrong. Menyadari bahwa orang ini memang
telah menyelamatkan dirinya dan berada di pihaknya Raja memegang bahunya seraya
bertanya.
“Anak muda, kau menyelamatkan
diriku. Berarti menyelamatkan Kerajaan. Siapa kau sebenarnya . . .?”
“Maaf, saya tak dapat
mengatakan siapa saya Sri Baginda”.
“Namamu juga tak akan kau
beritahukan?” tanya Raja lagi.
“Nama saya Tekukur . . .”
jawab pemuda itu.
Sri Baginda terdiam sesaat.
Lalu tersenyum dan tiba-tiba meledak tawanya. “Dunia ini memang penuh
orang-orang pandai bersifat aneh. Salah satu di antaranya adalah kau anak muda.
Aku tahu itu nama palsu yang kau sebutkan tadi. Tapi aku tidak akan memaksamu
untuk memberi tahu namamu sebenarnya . . .”
Si pemuda balas tersenyum
sambil garuk-garuk kepalanya.
“Hutang nyawa dan jasamu
terhadap Kerajaan besar sekali. Katakan imbalan apa yang kau inginkan dariku .
. .”
Yang ditanya tampak
menyeringai sambil lagi-lagi garuk kepala. “Saya tidak ingin minta apa apa . .
. “
“Nah . . .nah, ini lagi satu
keanehan orang-orang dunia persilatan. Eh, anak muda, apakah kau sudah
beristri?”
Tekukur menggeleng.
“Kalau begitu, kau boleh
memilih salah seorang dari puteriku. Mereka akan muncul di sini besok. Ada
sembilan semuanya. Dan aku tidak sombong anak muda, semua anak gadisku cantik
cantik . . “
Si pemuda tertawa lebar.
“Sri Baginda, terima kasih
atas semua tawaran baikmu. Saya tetap tidak berani meminta atau menerima
apa-apa. Hanya saya ingin bertanya, sebelumnya ada sepasang kakek nenek ikut
bersama rombongan Sri Baginda ke tempat ini . . . “
“Tunggu dulu,” Patih Aryo Culo
menyelak. “Bagaimana kau tahu kalau kami berada di tempat paling rahasia ini?”.
Tekukur lalu menceritakan
pertemuannya dengan rombongan nenek Kelabang Merah. Bahwa dia juga sempat
mendengarkan ucapan Si Tangan Besi yang mengetahui dan menyebut letak tempat
rahasia.
“Hemm . . . jadi tiga tokoh
silat itu ternyata ikut bergabung dengan Pengeran Jingga”. Patih Aryo Culo
tampak agak risau.
“Si Tangan Besi dan Malaikat
Serba Biru tidak perlu dipikirkan lagi. Keduanya sudah menghadap setan akhirat
. . “
“Maksudmu?” tanya sang Patih
tidak mengerti.
Sebagai jawaban pemuda mengaku
bernama Tekukur itu acungkan jempol kirinya ke atas lalu dibalikkan ke bawah.
Patih dan Raja serta merta mengetahui apa maksud gerakan tangan si pemuda.
“Satu hal ingin kutanyakan.
Bagaimana kau tahu kalau minuman dalam cangkir tanah itu beracun. Juga
bagaimana kau tahu bahwa Turonggo Wesi dan selirku itu berserikat hendak
meracuniku?’ bertanya Sri
Baginda.
“Hanya satu kebetulan saja,
Sri Baginda” sahut Tekukur. Lalu dia menerangkan pengintaiannya atas diri kedua
orang itu yang bermesraan di balik semak belukar serta berbisik-bisik mengenai
rencana pembunuhan.
Untuk kesekian kalinya Raja
menghela nafas panjang. “Mereka memang pantas mati . .” desis Sri Baginda.
“Mengenai pertanyaanmu tadi anak muda. Memang sepasang kakek nenek itu mengawal
kami sampai ke sini. Namun kemudian mereka pergi dan aku tidak tahu. Entah ke
Kotaraja entah kemana . . .”
“Kalau begitu izinkan saya
mohon diri untuk segera berangkat ke Kotaraja”.
“Aku lebih suka kau membantu
kami di sini,” ujar Patih Aryo Culo.
“Saya ingin sekali melakukan
hal itu. Hanya saja saya harus mematuhi pesan guru. Saya ditugaskan ke
Kotaraja. Lagi pula untuk sementara tak ada yang perlu dikawatirkan di tempat
ini”.
Sri Baginda dan Patih Aryo
Culo agak kecewa.
“Siapa gurumu, anak muda?”
tanya Sri Baginda pula. “Kakek bernama Ki Rana Wulung sahabatku itu?”
Tekukur menggeleng.
“Kalau begitu nenek kurus
bermuka cekung itu . . .?”
Tak ada jawaban. Memandang ke
depan orang-orang yang ada di situ terkesiap kaget. Pemuda berambut gondrong
bernama Tekukur tadi tak ada lagi di dalam candi. Seperti lenyap amblas ditelan
bumi yang gelap!
BAB 9
Di pagi yang masih diselimuti
angin dingin dan berembun itu Kotaraja dilanda kegemparan.
Boleh dikatakan hampir seluruh
penduduk menghambur keluar dari rumah masing-masing dan bergegas menuju
alun-alun yang telah penuh sesak dijejali manusia. Sementara itu dari berbagai
arah terdengar suara kentongan dipukul tiada henti. Semua orang yang ada di
alun-alun memusatkan pandangan pada sebuah gerobak besar yang ditarik oleh
seekor kuda hitam dan berhenti di tengah alunalun.
Ada keanehan pada kuda penarik
gerobak itu. Binatang ini sama sekali tidak bergerak sedikitpun seolah-olah
telah berubah menjadi patung. Namun keanehan itu tidak terpikirkan oleh penduduk
karena mereka lebih memusatkan perhatian pada hal mengerikan yang terlihat di
atas gerobak.
Lima sosok mayat menggeletak
dalam gerobak. Walaupun saling tumpang tindih dan dalam keadaan rusak serta
menebar bau busuk, namun tidak sulit bagi penduduk untuk mengenali siapa
mereka.
Mayat pertama adalah seorang
yang memiliki sepasang lengan berwarna hitam, berbadan kekar.
Mukanya yang berkumis
melintang terbelah ngeri. Darah membeku membuat wajah itu tambah menyeramkan.
Orang ini bukan lain adalah salah seorang tokoh silat pentolan pemberontak yang
dikenal dengan julukan Si Tangan Besi.
Sosok mayat kedua dikenal
sebagai Perwira Tinggi Kerajaan bernama Turonggo Wesi. Ada darah menggumpal di
kedua telinga, lobang hidung dan sela mulutnya.
Mayat ketiga ini yang membuat
semua orang tercekat – adalah mayat perempuan muda yang dikenal sebagai selir
kesayangan Sri Baginda bernama Rumini. Kematiannya sama dengan Turonggo Wesi.
Ada darah beku di telinga, hidung dan mulut.
Yang ke empat adalah mayat
lelaki bermuka hijau yang serta merta dikenali sebagai Bergola Ijo. Dia
mengalami kematian dengan keadaan sama seperti Si Tangan Besi. Terbelah
kepalanya!
Mayat terakhir, mayat seorang
kakek berpakaian serba biru, dan berambut juga biru. Matanya yang berwarna biru
mendelik mengerikan, lidahnya terjulur kaku dan di lehernya masih menjirat akar
gantung yang liat dan keras. Inilah Malaikat Serba Biru!
Rakyat tahu betul kalau
Bergola Ijo, Si Tangan Besi dan Malaikat Serba Biru adalah tokoh tokoh silat
yang membantu pemberontakan hingga Raja dan keluarganya terpaksa meninggalkan
Kotaraja, mengungsi ke suatu tempat yang tidak diketahui. Tetapi Turonggo Wesi
dan selir bernama Rumini itu, mengapa keduanya ikut menjadi mayat dan ditumpuk
jadi satu dalam gerobak?
Apakah mereka juga kaki tangan
pemberontak di bawah pimpinan Pangeran Jingga?
Meskipun lima mayat itu
menebar bau busuk bukan alang kepalang, tetapi sambil menekap hidung penduduk
berdesakan untuk membaca serangkaian tulisan yang tertera pada dua helai kertas
dan ditempel pada sisi gerobak kiri kanan.
Pada kertas yang ditempelkan
di sisi gerobak sebelah kiri terbaca tulisan berbunyi:
UNTUK KAUM PEMBERONTAK
Kalian tidak akan menang dalam
melawan kebenaran, kekuasaan syah dari Raja dan menjadi peringatan agar kalian
menyerah dan kembali berbakti pada Kerajaan.
Kertas yang menempel di sisi
kanan gerobak dibubuhi tulisan berbunyi :
PESAN UNTUK RAKYAT
Raja dan Permaisuri serta
Patih Kerajaan berada dalam keadaan selamat, mereka akan segera datang untuk
menyelamatkan rakyat yang setia dan Kerajaan dari cengkeraman
kaum pemberontak. Diharapkan
agar semuanya bersatu menghancurkan pemberontak dan kaki tangannya yang sesat.
Rakyat pasti menang karena berada di jalan yang benar
dan mendapat lindungan serta
kekuatan dari Tuhan!
Selagi orang banyak di
alaun-alun diselimuti kengeraian dan juga tanda tanya siapa yang telah
melakukan semua itu, siapa yang membawa gerobak berisi mayat dan siapa pula
yang membuat tulisan di atas dua helai kertas itu, mendadak serombongan pasukan
berjumlah hampir tiga ratus orang muncul dan langsung mengepung alun-alun.
“Pasukan pemberontak muncul .
. .!” seru penduduk.
Orang banyak di tengah
alun-alun segera menyingkir. Menghindar dengan rasa gelisah tetapi bukannya
takut karena apa yang mereka saksikan dan apa yang mereka barusan baca telah
menimbulkan semangat keberanian untuk ikut bertindak membela Kerajaan. Semua
orang menyingkir ke pinggir alun-alun dan menunggu apa yang akan terjadi.
Beberapa penunggang kuda
nampak memacu kuda masing-masing menuju pertengahan alunalun di mana gerobak
berisi lima mayat berhenti.
Penunggang kuda pertama adalah
Pangeran Jingga, keponakan Sri Baginda yang menjadi pimpinan tertinggi kaum
pemberontak.
Orang kedua di sebelahnya,
seorang kakek berambut merah ternyata adalah tokoh silat yang dikenal dengan
nama Suto Abang. Yang ketiga seorang lelaki berpakaian Perwiran Tinggi yang
dikenali oleh penduduk bukan lain adalah Raden Aryo Braja, Kepala Balatentara
Kerajaan. Ah!
Ternyata orang yang dikabarkan
lenyap ini sudah menjadi salah seorang tokoh pemberontak pula!
Tiga penunggang kuda itu
tertegun di hadapan gerobak dan berusaha menutup jalan nafas masing-masing dari
bau busuk lima mayat dalam gerobak.
Pangeran Jingga diam-diam
merasa kecut. Apalagi setelah sempat membaca tulisan di sisi kiri gerobak.
Raden Aryo Braja berusaha menutupi kegelisahannya sambil mengusap-usap dagu.
Sedang Suto Abang satu-satunya
yang tampak tenang.
“Ini pekerjaan hebat tapi tak
perlu ditakutkan!” berkata Suto Abang. “Lihat kuda penarik gerobak. Binatang
itu seperti kaku. Jelas seseorang telah menotoknya sebelum ditinggalkan di
tengah alun-alun ini . . . .”
“Yang aku tidak mengerti . . .
.” kata Pangeran Jingga. “Kotaraja penuh dengan mata-mata, orang-orang kita.
Bagaimana gerobak berisi lima mayat itu bisa masuk ke dalam kota dan sampai di
sini? Orang-orang kita telah bertindak lengah!”
Raden Aryo Braja tak dapat
berkata apa-apa karena sebenarnya tanggung jawab pengamanan kota berada di
tangannya. Mungkin karena malu, mungkin juga karena marah Kepala Balatentara
yang memberontak ini turun dari kudanya, lalu merobek kertas besar yang
menempel di sisi gerobak sebelah kiri. Ketika dia hendak merobek pula kertas
besar yang menempel di sisi gerobak sebelah kanan, tiba tiba sebuah tangan
menyelusup keluar dari bawah gerobak. Dua jari terpentang lurus menusuk.
Aryo Braja terkejut dan cepat
hindarkan diri. Tapi dua jari itu melesat cepat sekali. Tubuh Kepala
Balatentara ini terjengkang begitu totokan dahsyat melanda dada kirinya. Tubuhnya
terguling di tanah dan dia tak
kuasa bergerak ataupun membuka mulut.
Suto Abang lebih dahulu
melihat kejadian itu dari pada Pangeran Jingga sementara ratusan rakyat dan
perajuirt pemberontak yang berada di pinggiran alun-alun hanya bisa menyaksikan
dari jauh dengan terheran-heran.
“Raden Aryo! Apa yang
terjadi!” seru Suto Abang seraya melompat turun dari kuda.
Saat itu pula dari bawah
gerobak besar sesosok tubuh berpakaian putih menjatuhkan diri, bergulingan di
tanah lalu melompat bangun dan melesat tegak di bagian depan gerobak besar
sambil berkacak pinggang dan sunggingkan seringai mengejek.
“Raden Aryo Braja! Peranmu
sebagai pentolan pemberontak sudah tamat hari ini! Bersiaplah untuk menerima
hukuman dari Raja!” Pemuda di atas gerobak berseru.
“Bedebah jahanam! Kau berani
mati!” satu bentakan datang dari samping. Bersamaan dengan itu terdengar suara
wuuut! Dan sinar merah berkiblat laksana tabasan pedang, menyambar ke arah
sepasang kaki pemuda berpakaian putih!
Yang membentak sambil menyerang
itu bukan lain adalah Suto Abang. Senjata andalannya yakni rambutnya yang
panjang dan berwarna merah menyambar ganas. Pemuda yang diserang bersuit keras,
membuat lompatan setengah tombak, sambil melayang turun dia hantamkan tangan
kanannya ke arah Suto Abang.
Kakek rambut merah ini
tersentak kaget ketika merasakan datangnya sambaran angin yang melanda laksana
gulungan batu besar. Serangan angin seperti inilah yang tempo hari
membuatnya terjungkal sewaktu
terjadi pertempuran dalam rimba belantara tempat Sri Baginda bersembunyi.
Secepat kilat Suto Abang
menyingkir. Angin pukulan menghantam tanah di sampingnya. Tanah alun alun
muncrat ke atas dan di situ tampak sebuah lobang sedalam setengah jengkal.
Meskipun hatinya jadi tergetar melihat dan mengalami kejadian ini, namun Suto
Abang tidak mau memperlihatkan rasa jerih. Setelah umbar suara tertawa dia
menatap tak berkesip dan bertanya: “Orang muda berani mencari mampus! Siapa
kau?!”
“Namaku Tekukur! Aku datang
untuk membasmi manusia semacammu. Juga seperti kau!” Si pemuda tudingkan
telunjuk tangan kirinya ke arah Pangeran Jingga yang masih duduk terkesiap di
atas kuda.
“Mulutmu sombong! Lagakmu
congkak! Jadi kau kaki tangan Raja yang melarikan diri itu!
Bersiaplah untuk mampus!”
“Kakek tolol! Apa matamu buta
tidak melihat lima pengkhianat yang bergeletakan dalam gerobak?”
“Apa kau yang membunuh
mereka?!”
Si pemuda menyeringai lebar.
“Aku tidak akan menjawab ya atau tidak, tapi kau bisa tanya sendiri nanti pada
mereka jika kau memang ingin menyusul mereka!”
Marahlah Suto Abang. Didahului
bentakan garang tubuhnya melesat ke depan. Dua tangannya membuat gerakan
mendorong. Tapi hebatnya, setengah jalan tahu-tahu kedua tangan itu menyentak
ke depan dan seperti bertambah panjang, mencengkeram ke arah leher pemuda
berambut gondrong bernama Tekukur.
Yang diserang balas membentak
tak kalah galak. Sebelumnya dia telah melihat Suto Abang berkelahi karenanya
sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat kehebatan kakek ini. Tanpa ragu
ragu si pemuda angkat kedua tangannya ke atas. Perutnya mengempis. Tenaga
dalamnya menjalar ke lengan. Lalu di menggebrak ke depan menyongsong serangan
lawan yang hendak mencengkeram lehernya.
Melihat lawan begitu nekad
memapaki serangannya Suto Abang menjadi bimbang. Jika lawan tidak memiliki
kekuatan di atasnya tidak nanti pemuda itu berani berlaku seperti itu.
Menyadari hal ini dan tidak berani untuk melakukan bentrokan sepasang lengan
Suto Abang tarik pulang kedua tangannya. Bersamaan dengan itu dia tekuk
sepasang lutut. Begitu tubuhnya turun, kepalanya segera disentakkan. Rambutnya
yang panjang berkelebat seperti batang pedang, menyambar ke perut si pemuda.
Breet!
Pakaian putih si pemuda robek
besar di bagian perut. Pemuda itu melompat kaget dan cepat usap perutnya yang
terasa panas.
Suto Abang tertawa mengejek.
“Ilmu baru sejengkal berani
jual lagak di hadapanku! Apakah kau sudah siap menerima kematian?!”
“Kakek jelek! Malaikat maut
gentayangan bukan mencariku, tapi mencarimu!’
“Budak keparat! Mampuslah!”
Suto Abang menghantam dengan
kedua tangannya. Kali ini dia benar-benar lepaskan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam dan kesaktian. Dua larik angin menderu deras, menebar
hawa dingin.
“Ha . . ha . . .! Tua bangka
jelek! Rupanya kau senang bermain-main dalam hawa dingin! Coba kulihat apakah
kau betul-betul tahan terhadap udara dingin! Seru Tekukur. Lalu pemuda berambut
gondrong itu angkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Telapak tangan
terkembang ke depan dan diputar-putar perlahan-lahan.
Melihat sikap lawan yang
sangat empuk untuk diserang itu, Suto Abang lipat gandakan kekuatan
serangannya. Namun mendadak kedua tangannya menggeletar. Dari arah depan
menghambur hawa sangat dingin,
bergabung dengan hawa pukulan yang dilepaskannya sehingga dia merasakan sepasang
tangannya seperti diselimuti es dan kaku! Kakek ini mulai merasakan tubuhnya
ikut menggeletar dan kedinginan setengah mati! Dia menjerit keras. Melompat dua
tombak ke atas hingga keluar dari lingkaran hawa dingin. Tapi kakek ini keliru
kalau menyangka dirinya telah selamat dari serangan atau ilmu pukulan “Angin
Es” yang dilepaskan si pemuda. Karena begitu kedua kakinya yang tadi melompat
kembali menginjak tanah, hawa dingin itu kembali datang menyambar, kali ini
lebih dahsyat lagi! Agaknya di sinilah kehebatan pukulan “Angin Es”. Selama
lawan masih menginjak bumi, hawa dingin yang menjalar dari atas lewat udara dan
dari bawah lewat tanah akan terus mengejarnya.
Jika lawan tidak memiliki
kekuatan yang dapat menghancurkan hawa dingin itu maka kematian tak dapat
dihindari. Dan inilah yang akan terjadi atas diri Suto Abang!
Tubuh kakek itu mulai
keluarkan kepulan asap berwarna putih. Setiap dia menghembuskan nafas, tampak
seperti ada uap dingin membersit keluar. Rahangnya menggembung bergemeletak.
Lututnya bergetar keras.
Dadanya seperti ditusuk dan pernafasannya sesak. Rambutnya yang merah seperti
basah diguyur air. Mukanya mengerenyit. Dari mulutnya kemudian terdengar suara
jeritan. Di saat kematian hendak merenggut nyawa Suto Abang, dari selatan
alun-alun tiba-tiba melesat sinar merah. Hawa dingin yang mengungkung tempat
itu serta merta musnah. Kini udara berubah panas.
Si pemuda tersentak kaget dan
turunkan kedua tangannya. Dari samping mendadak seseorang datang menyerbu
dengan bacokan golok besar. Memaki jengkel si pemuda cepat berkelit selamatkan
diri. Yang menyerang ternyata adalah Pangeran Jingga!
“Hemm . . . Kau pasti Pangeran
Jingga! Keponakan yang tidak tahu diuntung! Inginkan kekuasaan paman sendiri!
Manusia sesat seperti kau layak dihukum!”
Si pemuda lalu menyergap.
Pangeran Jingga sambut serangan lawan dengan pukulan kosong di tangan kiri dan
tusukan golok di tangan kanan. Tapi di jurus itu juga terdengar jeritan sangan
pangeran.
Satu tendangan melabrak tangan
kanannya. Tiga jari tangannya remuk. Goloknya mental!
“Pangeran Jingga, mundurlah!
Manusia itu bukan lawanmu!” Satu suara terdengar dari samping kanan. Tubuh
Pengran Jingga terdorong menjauhi pemuda lawannya. Berpaling ke kiri pemuda
bernama Tekukur dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang nenek berwajah
aneh bermata juling!
BAB 10
Nenek ini mengenakan pakaian
merah. Mukanya yang keriputan tertutup oleh bedak dan gincu sangat tebal hingga
wajah tua itu menyerupai sebuah topeng. Sepasang matanya yang juling tidak bisa
diam, bergerak-gerak kian kemari. Di tangan kanannya dia memegang sebuah
tongkat kayu.
Salah satu ujungnya menekan ke
tanah, satunya lagi berbentuk cagak. Di pertengahan cagak melingkar seekor
kelabang berwarna merah.
“Anak muda berambut gondrong!
Jelas kau adalah kaki tangan suruhan Raja yang kehilangan singgasananya itu!
Siapa namamu . . .?!”
“Kalau kuberi tahu namaku,
lantas apa yang akan kau lakukan?” si pemuda balas bertanya.
Sungguh aneh sikap kedua orang
ini. Dalam suasana tegang berbau darah dan maut itu keduanya bercakap-cakap
seperti dua kawan yang bercengkerama.
“Mungkin . . . siapa tahu aku
mengenalmu sebelumnya atau mungkin ada sangkut paut dengan para sahabat. Lantas
mungkin aku akan mempertimbangkan pengampunan bagimu . . . .”
“Ah . . . itu rupanya!” sahut
si pemuda .”Tadinya aku menyagka kau akan mengambilku sebagai kekasihmu . . .”
Pemuda itu tersenyum lebar.
Si nenek nampak merah. Matanya
yang juling membersitkan sinar aneh. Tapi mulutnya tiba tiba tersenyum.
“Mengapa kau menyangka begitu anak muda?”
“Karena kulihat kau masih
memiliki jiwa muda. Buktinya kau berdandan sangat menyolok.
Bedakmu tebal benar. Bibirmu
diberi warna merah berselemotan . . . .”
Si nenek ketuk-ketukkan
tongkatnya ke tanah lalu tertawa mengekeh. Si pemuda terkejut ketika mersakan
ketukan tongkat si nenek membuat tanah yang dipijaknya bergetar keras!
“Mulutmu agak kurang ajar anak
muda! Tapi aku suka kau bicara polos-polosan. Kau belum menyebutkan namamu . .
. .”
“Namaku Tekukur. Kau pasti
tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi aku tahu siapa kau. Kau pernah
menyantap kiriman burung panggangku, suatu malam beberapa waktu yang lalu.
Si Tangan Besi yang
membawakannya untukmu . . . .”
“Ah! Jadi kau si tukang
panggang burung itu! Berarti kau juga yang membelah kepala Si Tangan Besi. Lalu
menggantung sahabatku Malaikat Serba Biru! Sayang . . . sayang . . .sayang . .
.”
“Kau sayang padaku nek . . .?”
tanya si pemuda.
“Bangsat rendah haram jadah!
Siapa bilang aku sayang padamu!’
“Tadi kau bilang begitu . . .”
“Aku mengatakan sayang bahwa
kau harus mati muda di tanganku!” bentak si nenek yang dikenal dengan julukan
Kelabang Merah.
“Ah . . . kalau begitu akupun
jadi merasa sayang. Sayang . . . sayang . . .” Si pemuda berkata sambil
geleng-geleng kepala.
“Sayang apa maksudmu?!” Kini
si nenek ganti bertanya.
“Tadinya sebetulnya. Hik . . .
hik . . .”
“Sebetulnya apa?!” bentak si
nenek.
“Sebetulnya aku hampir
terlanjur jatuh cinta padamu. Soalnya wajah dengan dandanan medok begini rupa
sulit dicari duanya . . . Hik . . Hik . . hik!”
Wajah si nenek merah seperti
saga. Jelas pemuda itu bukan menyukainya tapi terang-terangan menghinanya.
“Pemuda edan! Sudah mau mampus
masih berani bergurau!” Nenek Kelabang Merah gerakkan tangan kanannya ke arah
roda kereta. Tongkat bercagak berputar beberapa kali. Terdengar suara berderak
dan empat jari-jari kayu roda kereta patah berantakan terputar ujung tongkat
yang bercagak sedang kelabang merah yang melingkar di situ tetap bergelung tak
bergerak!
“Sesaat lagi lehermu akan
patah seperti kayu-kayu itu!” Kelabang Merah menyeringai lalu melangkah
mendekati si pemuda. Dari jarak tiga langkah tiba-tiba tongkatnya melesat ke
depan, mengarah batang leher Tekukur. Mendapat serangan ini si pemuda cepat
mengelak dan membalas.
Maka terjadilah perkelahian
hebat.
Tongkat bercagak si nenek
berulang kali menusuk sambil berputar, berusaha mematahkan lengan, leher,
ataupun tulang kaki si pemuda. Meskipun semua serangan ganas itu dapat
dielakkan Tekukur namun tampak
pemuda ini dibikin kewalahan hingga akhirnya dia memutuskan balas menggebrak
dengan lepaskan pukulan-pukulan sakti untuk menghantam lawan. Tetapi luar
biasanya, seperti mengetahui maksud lawan, si nenek kirimkan serangan yang
membuat si pemuda tidak berkesempatan untuk menggerakkan tangan ataupun
kakinya. Setiap dia hendak memukul, tongkat bercagak tahu-tahu sudah
menghampiri pergelangan tangannya siap untuk menusuk dan mematahkan lengan.
Setiap dia hendak menendang, tahu-tahu tongkat lawan sudah sampai di depan
tulang keringnya! Menyadari hal ini si pemuda terpaksa mengatur jarak agar
tidak terlalu dekat tetapi dengan cerdik si nenek datang memburu mendekati
hingga lagi-lagi dia tak mampu untuk memukul.
“Nenek gila!” maki si pemuda.
Dia melompat setinggi dua tombak. Si nenek cepat sekali ikut melesat ke atas.
Tapi sekali ini dia kecele karena gerakan pemuda tadi ternyata hanya tipuan
belaka.
Begitu tubuh si nenek melesat
ke atas, si pemuda jungkir balik di udara, melesat ke kanan. Pada saat jaraknya
terpisah cukup jauh maka secepat kilat dia lepaskan pukulan sakti dengan tangan
kanan.
Terdengar suara angin deras
seperti topan menderu. Debu dan tanah di alun-alun beterbangan.
Tubuh si nenek tampak
bergoyang-goyang. Melihat lawan tidak roboh oleh pukulan saktinya yang bernama
“Benteng Topan Melanda Samudera” si pemuda lipat gandakan kekuatan tenaga
dalamnya.
Tapi si nenek hanya tampak
bergoyang-goyang malah tertawa tinggi.
“Kau boleh kuras seluruh
tenaga dalammu anak muda! Lihat ini!”
Nenek Kelabang Merah keluarkan
pekik keras. Lalu tusukkan tongkat kayunya ke depan. Satu sinar merah panjang
melesat. Sinar merah inilah yang memusnahkan pukulan “Angin Es” yang tadi
dilepaskan si pemuda.
Tekukur tersentak kaget ketika
dapatkan angin pukulan sakti yang diperkirakannya akan dapat merobohkan lawan
tahu-tahu kena ditembus sinar merah yang keluar dari tongkat bercagak.
Sinar itu kini malah menyambar
ke arah tubuhnya!
Si pemuda kertakkan rahang.
Matanya tak berkesip. Tangan kanan diangkat dan mulut terkatup rapat. Begitu
tangannya berubah menjadi putih perak, pemuda ini segera menghantam ke depan.
Sinar putih menyilaukan
berkiblat menghantam larikan sinar merah. Terdengar suara seperti petir
menggelegar. Sinar merah dan putih buyar. Si pemuda terpental tujuh langkah
sedang si nenek tegak dengan tubuh tergontai-gontai dan lutut menekuk. Dari
mulutnya terdengar suara tawa mengekeh.
“Pukulan Sinar Matahari!” ujar
si nenek. Ternyata dia mengenali pukulan yang barusan dilepaskan oleh pemuda
bernama Tekukur itu. “Jadi kau adalah murid tunggal nenek edan dari
puncak Gunung Gede itu! Gurumu
memang punya sengketa lama denganku. Tidak dapat membunuh tua bangka keparat
itu, membunuh muridnya pun cukup membuatku puas!”
Habis berkata begitu nenek
Kelabang Mearah melompat ke depan sementara Tekukur masih tergeletak di tanah,
belum sempat bangkit akibat kena hantaman bentrokan dua pukulan sakti.
Melihat serangan lawan datang
dengan ganas yaitu tusukan tongkat bercagak ke arah lehernya, Tekukur jatuhkan
dirinya sama rata dengan tanah, berguling ke kanan sambil lepaskan pukulan
“Tameng Sakti Menerpa Hujan”. Pukulan ini selain untuk melindungi diri,
sekaligus berupa serangan balasan.
Tetapi alangkah kagetnya si
pemuda ketika dengan hanya memutarkan ujung tongkat bercagak dan mendorong
dengan tangan kirinya, si nenek membuat buyar pukulan si pemuda!
Terdengar bentakan Kelabang
Merah. Tongkatnya ditusukkan ke jurusan lawan. Untuk ke sekian kalinya sinar
merah menderu panjang. Tapi kali ini kelabang merah yang sejak tadi
bergelung di pertengahan cagak
ikut melesat. Sebelumnya pemuda itu telah menyaksikan kedahsyatan binatang
beracun itu yang sanggup menerobos cabang pohon dan menghanguskannya. Tanpa
pikr panjang dia gerakkan tangan ke pinggang untuk menghunus senjata saktinya.
Tapi gerakannya tertahan karena si nenek berusaha menjerat lengannya dengan
tongkat bercagak!
“Nayawamu! Aku minta nyawa
busukmu anak muda!” teriak si nenek gembira karena sudah dapat memastikan
kelabang merahnya akan menghantam tembus batok kepala dan sekaligus tongkatnya
akan mematah remuk lengan si pemuda!”
BAB 11
Tak ada kesempatan untuk
mengirimkan pukulan balasan. Taka ada kemungkinan untuk mengelak menyelamatkan
diri dari dua serangan ganas itu. Si pemuda seperti putus asa hanya
menatap pada kelabang merah
yang melesat ke arah kepalanya.
“Akhirnya mampus juga diri
buruk ini!” katanya membatin.
Di saat maut menjelang begitu
rupa, dari arah timur alun-alun terdengar pekik keras seperti membelah langit.
Lima orang perajurit dan empat orang lainnya terpental dan jatuh
bergelimpangan di tanah.
Bersamaan dengan itu ada cahaya putih menyambar ke arah nenek Kelabang Merah.
Di lain kejap pemuda bernama Tekukur merasakan tubuhnya dibetot keras hingga
mencelat ke udara dan berputar-putar seperti kitiran. Ada seseorang yang
memegang lengannya. Perlahan-lahan tubuhnya turun ke tanah kembali. Wajahnya
pucat. Tidak menyangka bakal selamat dari kematian, pemuda ini berusaha berdiri
walaupun sempoyongan dan menoleh ke kiri. Saat itulah dia mendengar suara
bentakan.
“Dasar sableng! Menghadapi si
tukang dandan itu saja kowe tidak mampu! Jika aku tidak lekas muncul sudah
bolong batok kepalamu ditembus kelabang jahanam itu!”
“Eyang!” si pemuda berseru
gembira ketika melihat siapa yang bediri di hadapannya. Seorang nenek kurus
tinggi berkulit hitam dan lima buah tusuk kundai perak menancap di batok
kepalanya.
“Eyang . . . Eyang! Menyingkir
kau ke sana. Kau memalukan aku saja Wiro!”
Pemuda bernama Tekukur
garuk-garuk kepalanya.
“Setan tua itu hebat sekali
Eyang! Tak pernah aku menghadapi musuh seperti dia!” menjawab Tekukur alias
Wiro Sableng.
Ketika sinar putih menderu
dari timur dan kelabang merahnya hanya menghantam angin sedang tongkatnya juga
tak mampu mematahkan lengan lawan, kaget Kelabang Merah bukan alang kepalang.
Jelas sinar pukulan tadi
adalah sama dengan pukulan yang dilepaskan oleh si pemuda sebelumnya yaitu
pukulan “Sinar Matahari”, tetapi yang menyambar kali ini tidak menyebar lebar
melainkan hanya berupa selarik sinar sebesar jari kelingking yang menyambar
seperti petir dan luar biasa panasnya hingga dia terpaksa menyingkir selamatkan
diri!
Kelabang merah yang hanya
mengahntam tempat kosong berputar di udara lalu melesat kembali ke ujung
tongkat bercagak. Sepasang mata juling nenek Kelabang Merah tampak
berkilat-kilat.
“Tujuh tahun dicari-cari!
Akhirnya kau muncul sendiri Sinto Gendeng!” Nenek Kelabang Merah menegur dengan
pandangan wajah membesi.
Nenek kurus hitam di
hadapannya menyeringai buruk.
“Dulu kowe jadi momok nomor
satu! Kini muncul mencari harta dan jabatan dengan merangkul kaum pemberontak!
Padahal sudah bau tanah, masih saja berbuat keonaran di muka bumi!”
“Tua bangka bau pesing!
Mengurus badan saja kau tidak mampu, hendak mengurus diriku pula!” maki nenek
Kelabang Merah.
“Hik . . . hik . . . hik!”
Sinto Gendeng ganti tertawa mendengar makian yang pedas dan mengejek serta
menghinakan itu. “Penciumanmu ternyata masih cukup tajam Kelabang Merah
hingga mampu mencium kainku
yang bau pesing. Hanya sayang otakmu tidak setajam penciumanmu.
Otakmu
tumpul dan kelakuanmu bejat!
Kesalahanmu kali ini sangat besar tua bangka gila dandan! Kau bersekutu dengan
kaum pemberontak untuk menggulingkan Raja!”
“Kalau kau sudah mengetahui
hal itu apakah kau punya kemampuan menghukumku? Hik . . . hik . . . hik?”
“Hik . . . hik . . . hik!
Sinto Gendeng balas tertawa. “Aku datang bukan untuk menghukummu saja Kelabang
Merah. Tapi juga untuk menyuruhmu mencucikan kainku yang bau pesing ini!”
“Tua bangka gila! Kau akan
mampus dalam kegilaanmu!” teriak Kelabang Merah. Tongkat bercagak di tangan
kanannya ditusukkan ke arah leher Sinto Gendeng. Maka dua nenek sakti itupun
sudah memulai pertempuran. Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng
menyadari bahwa jika dua tokoh silat tingkat tinggi dengan kesaktian dan
tingkat tenaga dalam yang sudah sampai ke puncaknya seperti mereka itu saling
berhadapan, tidak dapat tidak salah satu di antara keduanya akan menemui
kematian! Nenek Kelabang Merah itu luar biasa sekali. Sanggupkah gurunya
menghadapinya?
Melihat lawan sudah mulai
menyerang, Sinto Gendeng tak tinggal diam. Mulutnya seperti meniup ke depan dan
bersamaan dengan itu tangannya sebelah kanan mendorong. Sinar putih panjang
mencuat dan saling bertemu dengan sinar merah yang dilepaskan Kelabang Merah.
Laksana dua ekor ular dua sinar itu bergelung satu sama lain sementara dua
nenek tampak tegak tak bergerak. Jelas keduanya masih terus mengerahkan tenaga
dalam masing-masing.
Buntalan sinar merah dan putih
tiba-tiba meledak dan bertebar buyar di udara. Sinto Gendeng tampak
tergontai-gontai. Sebaliknya Kelabang Merah tegak terbungkuk sambil pegangi
dada dengan tangan kiri.
“Tua bangka tukang dandan, kau
masih ingin meneruskan perkelahian ini . . .?” Sinto Gendeng menegur.
Nenek Kelabang Merah kertakkan
geraham. Dia maklum kalau tingkat tenaga dalam dan kesaktian lawan berada
hampir dua tingkat di atasnya. Dari hal itu saja dia sudah menyadari
tidak akan menang melawan
Sinto Gendeng. Tetapi untuk menyerah kalah tentu saja dia tidak mau. Maka dia
pun berkata.
“Aku menantangmu berkelahi seratus
jurus. Dengan senjata atau tangan kosong! Tapi sama sekali tidak mempergunakan
tenaga dalam. Hanya mengandalkan ilmu silat luar dan tenaga kasar! Apa kau
punya nyali Sinto Gendeng?”
Sinto Gendeng tertawa
perlahan. “Kau memang cerdik Kelabang Merah! Jangankan seratus jurus, seribu
juruspun akan kulayani!”
“Bagus! Terima jurus pertama!”
seru Kelabang Merah. Lalu dia melompat sambil menggeprak dengan tongkat
bercagaknya.
Sinto Gendeng yang tahu betul
siapa adanya lawannya itu tak mau berlaku ayal. Dengan tangan kanan dia cabut
salah satu dari lima tusuk kundai yang menancap di kulit kepalanya. Lalu dengan
benda ini sebagai senjata dia melayani tongkat lawan. Sesuai perjanjian tidak
satu orangpun di antara dua nenek sakti itu yang mengerahkan tenaga dalam.
Perkelahian benar-benar hanya mengandalkan kelihayan silat luar.
Dua nenek berkelebat gesit
kian kemari. Dua senjata saling bentrokan dengan mengeluarkan suara aneh.
Kelabang merah yang bergelung di tongkat bercagak tidak bergerak seperti
menempel menjadi satu dengan
kayu tongkat.
Lima jurus berlalu sangat
cepat. Lalu lima jurus lagi. Kelabang Merah kertakkan rahang dan mempercepat
serangannya. Dengan senjata berupa tongkat yang lebih panjang dan lebih leluasa
digerakkan kian kemari ternyata dia tidak sanggup menerobos pertahanan Sinto
Gendeng yang hanya mengandalkan sebuah tusuk kundai dari perak dengan panjang
tidak lebih dari satu jengkal.
“Belum sampai dua puluh jurus
seranganmu sudah mengendur!” mengejek Sinto Gendeng.
“Apakah sudah habis semua ilmu
simpananmu? Hik . . . hik . . .”
“Jangan takabur tua bangka
edan! Sebentar lagi kepalamu akan kugebuk pecah dengan tongkatku ini!”
“Hik . . hik . . hik. Aku
tidak takabur. Soalnya kalau kau sampai kalah berarti kau benar-benar harus
mencuci kainku yang bau pesing ini!”
“Iblis tua! Lihat tongkat!”
teriak Kelabang Merah. Tongkat bercagak di tangan kanannya menderu
berputar-putar. Sinto Gendeng seperti melihat sebuah terowongan aneh yang
hendak melahap tubuhnya. Maka nenek ini cepat pentang tusuk kundai peraknya,
menusuk beberapa kali, sengaja mengarah pada bagian tepi terowongan karena
disitulah sebenarnya ujung tongkat lawan berada.
Tring . . . tring . . . tring
. . .!
Tusuk kundai dan tongkat kayu
saling beradu beberapa kali. Nenek Kelabang Merah merasakan tangannya bergetar
dan seperti kesemutan. Sebaliknya Sinto Gendeng merasa seolah-olah tusuk kundai
dan lengan kanannya hendak dilahap oleh putaran senjata lawan. Jika hal ini
dibiarkan dia pasti akan menemui kesulitan. Dengan berlaku cerdik Sinto Gendeng
pergunakan tangan kiri untuk mengacaukan gerakan tongkat lawan. Dan ternyata
dia berhasil. Nenek Kelabang Merah mulai kebingungan.
Setiap kali dia memutar
tongkat, gerakannya tertahan oleh serempetan tusuk kundai. Bila dia mengelakkan
terjadinya benturan, tangan kiri lawan datang menggeprak batang tongkat dari
samping. Terlebih ketika Sinto Gendeng mulai merubah gerakan silatnya. Tubuhnya
sebentar-sebentar mencelat ke udara seperti bola karet yang membal. Serangan
tusuk kundainya kini bukan saja diarahkan ke ujung tongkat, tetapi berulang
kali secara tidak terduga menyambar ke arah muka atau kepala Kelabang Merah dan
satu kali sempat menyerempet bahunya hingga pakaian merahnya robek besar.
Sebagian dadanya tersingkap lebar. Sinto Gendeng tertawa cekikikan. “Wajahmu
tertutup dandanan mencorong seperti gadis muda.
Tapi melihat dadamu ternyata
rata dan peot keriput! Hik . . . hik . . hik!”
Panas dan marahnya nenek
Kelabang Merah bukan main. Dia berteriak keras. “Lihat tongkat!”
teriaknya. Bersamaan dengan
itu tongkat bercagak ditusukkannya ke depan. Tetapi ada sinar merah yang
menyambar tanda tusukan itu disertai dengan kekuatan tenaga dalam. Dan bukan
itu saja.
Bersamaan dengan melesatnya
sinar merah, kelabang merah yang sejak tadi bergelung di pertengahan cagak
tiba-tiba melesat ke arah batok kepala Sinto Gendeng!
“Curang!” teriak Sinto Gendeng
marah.
Tusuk kundai di tangan
kanannya dilemparkan ke arah lawan. Serentak dengan itu dia jatuhkan diri ke
tanah. Kelabang merah berdesing satu jari di pelipis kanannya. Terdengar ada
yang memekik.
Kelabang merah yang tadi
menghantam tempat kosong membalik dan kembali menyerang Sinto Gendeng. Nenek
ini lepaskan pukulan “Sinar Matahari”! Tapi sungguh luar biasa! Pukulan sakti
yang panas itu tidak membawa akibat apa-apa pada kelabang merah. Binatang ini
menerobos di antara kilauan sinar putih perak, terus melesat ke arah kepala
Sinto Gendeng! Si nenek melompat jauhjauh ke belakang. Kelabang terus memburu.
Sinto Gendeng katupkan mulutnya rapat-rapat. Sepasang matanya
memandang nyalang tak berkesip
pada kelabang merah yang menderu ke arahnya. Tiba-tiba ada sinar biru mencuat
keluar dari kedua mata nenek sakti itu. Begitu dua larik sinar biru membentur
kelabang merah terdengar pekik nenek Kelabang Merah.
“Anakku . . . . Anakku . . .
!”
Kelabang merah tampak
mengambang di udara seperti mengumpulkan kekuatan untuk menahan serangan dua
sinar biru. Namun binatang ini tak sanggup bertahan lama. Satu persatu bagian
tubuhnya rontok bertanggalan. Bersamaan dengan itu sinar merah panas yang
menyertainya menjadi redup.
“Anakku . . . . Anakku . . .
!” masih terdengar suara nenek Kelabang Merah tapi suaranya mulai tersendat
antara terdengar dan tiada.
Keseluruhan tubuh kelabang
merah hancur berantakan.
Kematian nenek Kelabang Merah
mendatangkan kegemparan di kalangan ratusan perajurit pemberontak. Apalagi
mereka tadi melihat Kepala Balatentara Aryo Braja sudah lebih dulu jatuh dalam
keadaaan tak berdaya. Rakyat mulai berteriak-teriak dan bergerak ke arah
ratusan perajurit itu.
Satu persatu perajurit
pemberontak membuang senjata mereka lalu menusukkan diri di tanah tanda
menyerah. Pekik rakyat semakin gegap gempita. Sebagian dari mereka menyerbu ke
tengah alunalun, mengurung Pangeran Jingga yang berusaha hendak melarikan diri.
Gebukan, tendangan bahkan tusukan-tusukan senjata tak dapat dihindarkan lagi.
Pangeran pemberontak itu menemui ajalnya dalam keadaan mengerikan.
Sinto Gendeng cabut tusuk
kundai yang menancap di dada kiri nenek Kelabang Merah lalu memberi isyarat
pada muridnya.
“Eyang . . . Kemarahan rakyat
itu harus dicegah. Kita . . .”
“Anak sableng! Tolol!” hardik
Sinto Gendeng. “Jangan campuri urusan rakyat! Kerajaan ini adalah Kerajaan
rakyat. Kekuasaan dan hukum tertinggi berada ada di tangan rakyat. Mari ikut
aku tinggalkan tempat ini!”
Guru dan murid lalu berkelebat
pergi.
Rakyat banyak kini
berteriak-teriak menghampiri Aryo Braja.
Di sebuah sungai kecil ketika
sang guru memperlambat larinya, Wiro Sableng berkata: “Eyang, rupanya benar
ucapan orang. Bahwa tidak ada guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada
muridnya!”
Sinto Gendeng hentikan
larinya, berpaling pada sang murid dengan wajah merah dan membentak: “Apa
maksudmu anak sableng?”
“Tadi kulihat Eyang
mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik sinar biru melesat keluar dari mata dan
merontokkan tubuh kelabang sakti . . .!”
“Hemm . . begitu?” si nenek
bergumam. “Ucapan orang itu mungkin benar. Tapi aku mau tanya. Berapa usiamu
sekarang anak sableng . . .?”
“Dua . . . dua puluh satu
Eyang!”
“Betul! Itu berarti kau harus
menunggu empat puluh sembilan tahun lagi untuk dapat menguasai ilmu itu!”
Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Mengapa begitu Eyang?”
“Selama sepasang matamu masih
terpikat pada keindahan dunia, selama kedua matamu masih suka melihat wajah perempuan
cantik dan tubuh yang bagus mulus, selama kau masih suka melihat aurat
perempuan yang terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau tak bakal
dapat menguasai ilmu itu!”
Mendengar ucapan sang guru
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi tertegun diam. Sambil garukgaruk kepala dia
membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang guru ternyata sudah lenyap
dari hadapannya.
“Ah . . . nenek-nenek itu
mungkin benar. Aku masih suka melihat wajah cantik, melihat dada kencang dan
paha putih. Ha . . . ha . . . ha . . .Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu! Ha
. .ha . . .!”
TAMAT