-------------------------------
----------------------------
027 Khianat Seorang Pendekar
1
KEDAI MINUMAN itu penuh dengan
para pengunjung yang ingin menikmati bandrek, pisang rebus dan kacang goreng.
Sehabis hujan memang sedap sekali duduk menikmati bandrek hangat sambil
mengobrol dan menghisap rokok, (bandrek" minuman manis bercampur jahe,
biasanya diminum hangat-hangat).
Tetamu yang ada dalam kedai
itu rata-rata bertampang sangar dan kebanyakan membekal golok. Pertanda bahwa
mereka adalah orang-orang kasar.
Seorang pemuda muncul di pintu
kedai. Pakaiannya basah kuyup. Dia memakai ikat kepala putih dan rambutnya yang
gondrong basah acak-acakan.
"Saya mencari Memed
Gendut. Apakah orangnya ada di sini?" pemuda itu bertanya.
Orang-orang yang ada di dalam
kedai itu berpaling ke pintu. Sesaat mereka memandang si pemuda lalu meneruskan
obrolan mereka, menghisap rokok atau meneguk bandrek. Tak ada yang
menjawab.Semua seperti tak acuh. Seolah-olah pemuda itu tak ada disana.
Orang yang bertanya
garuk-garuk kepalanya. Terdengar suaranya perlahan, tetapi cukup je!as terdengar
oleh semua pengunjung kedai ketika dia berkata,"Aku yakin tidak semua
orang yang ada di sini bisu. Tapi mengapa tak ada yang menjawab?"
Seorang berdestar hitam
berpipi cekung membuka mulut dari belakang meja di mana dia sibuk melayani
tetamu. Dia adalah pemilik kedai.
"Orang yang kau cari tak
ada di sini "
"Saya mendapat keterangan
orang itu selalu nongkrong di kedai ini setiap malam," berkata si pemuda.
Dia masih saja tegak di pintu, tampaknya segan masuk ke dalam kedai yang sudah
sesak oleh tamu itu,"Memang benar, tapi malam ini dia belum muncul.
Mungkin sebentar lagi,"
kata orang kedai lalu
menyarankan: "Tunggu saja di sini sambil minum-minum…."
Pemuda itu memandang
berkeliling dan menjawab: "Biar saya menunggu di luar saja …."
"Terserah padamu. Tak ada
yang melarang dimanapun kau mau menunggu."
Pemuda tadi balikkan tubuh dan
pergi tegak di bawah cucuran atap kedai.
Udara malam sehabis hujan
sangat dingin. Tapi pemuda ini seperti tidak merasakan. Dia tetap tegak di
tempatnya mematung dan menunggu sampai akhirnya dari dalam kedai keluar dua
orang tamu. Yang satu tinggi kekar berkumis melintang. Satunya lagi agak pendek
berkereta gundul, juga bermisai lebat. Masing-masing membawa golok di pinggang.
"Anak muda rambut
gondrong. Kau orang asing di sini. Ada apa mencari Memed Gendut?" salah
seorang yang barusan keluar dari kedai ajukan pertanyaan.
"Keperluan kecil:
Biasa-biasa saja" jawab sipemuda.
"Hemm… Apa yang kecil dan
apa yang biasa-biasa?" bertanya lelaki botak.
Matanya liar memandangi si
pemuda dari atas sampai ke bawah.
"Saya hanya ingin bicara
dengan Memed Gendut. Tidak dengan lain orang."
"Jangan begitu. Kami
berdua adalah kawan-kawan orang yang kau cari. Jika kau ada keperluan kami bisa
membantu." Kata si tinggi kekar.
Pemuda itu berpikir sejenak.
Akhirnya menjawab.
"Terima kasih. Biar saya
menunggu Memed Gendut saja"Sikapmu tidak mempercayai kami berdua
huh?!" kata si pendek botak dan.dia melangkah mundar-mandir di depan
pemuda itu. Tangan kanannya bersitekan pada hulu golok.
Si pemuda garuk-garuk
kepalanya. "Apa gunanya saya tidak percaya pada kalian. Tapi apa untungnya
kalau mempercayai kalian!"
Si tinggi besar ulurkan
tangannya dan tepuk-tepuk bahu pemuda itu.
"Jangan bicara seperti
itu anak muda. Orang hendak menolongmu kenapa bicara tidak enak begitu …?"
"Eh. aku tadi bilaa
terima kasih. Dan tak mau ditolong karena ingin menunggu Memed Gendut. Tapi
kalian seperti memaksa!’,’ Pemuda berambut gondrong yang bertampang seperti
tolol itu kini keluarkan suara keras dan kasar
karena jengkel.
Si tinggi besar menyeringai
dan kedipkan mata pada kawannya yang berkepala botak, lalu berkata pada pemuda
di hadapannya.
"Memed Gendut terkenal
sebagai pedagang kuda di daerah ini. Jika ada orang asing mencarinya, pasti
urusan jual beli kuda. Bukan begitu?"
Si pemuda tak menjawab.
Si botak kini ikut memegang
bahu pemuda itu seraya berkata: "Jika kau memang ingin membeli kuda,
serahkan saja uangmu pada kami. Tunggu di sini.
Dalam waktu singkat kami akan
kembali membawakan seekor kuda paling bagus untukmu…. Nah serahkanlah"
"Serahkan apa?!"
"Uang pembeli kuda!"
"Apa kalian juga pedagang
kuda?"
Si tinggi menjawab: "Tadi
sudah kami katakan. Kami ingin menolongmu.
Ternyata betul kau ingin
membeli kuda! Memed Gendut memang pedagang kuda terkenal. Tapi harga kudanya
mahal.Kuda milik kami tak kalah bagus, malah jauh lebih murah. Tun jukkan
berapa uang yang kau punya?"
"Sudahlah. Biarkan aku
sendirian di sini. Lebih baik kalian masuk lagi ke dalam meneruskan
minum.."
"Hemm " si tinggi
besar usap-usap dagunya. "Kalau begitu kau harus bayar uang wara-wiri pada
kami!"
"Eh, bayar apa? Apa itu
uang wara-wiri?" tanya si pemuda heran.
"Sebagai ganti rugi
karena kedatanganmu mengganggu makan-minum kami!"
jawab si pendek botak seraya
puntir kumis tebalnya.
Pemuda gondrong melongo la!u
tertawa gelak-gelak.
"Sialan! Kenapa
tertawa!" bentak si tinggi"Kalian ini berdua mengemis atau hendak
memeras?!" tukas pemuda itu.
‘Terserah kau mau menyebut
apa! Bagusnya lekas kau serahkan semua uang yang kau miliki!" bentak si
botak.
"Nah, nah! Tadi hanya
minta uang wara-wiri! Kini inginkan semua uangku!
Benar-benar wong edan!"
Sret!
Sretl
Dua bilah golok telanjang
tahu-tahu sudah melintang di batang leher pemuda itu. Orang lain mungkin sudah
pingsan atau terkancing ketakutan dikalungi dua buah golok seperti itu. Tapi
anehnya si pemuda malah menyeringai dan
keluarkan siulan.
"Kalau begini namanya
bukan pengemis atau pemerasan, tapi perampokan!" katanya
"Tepat sekali! Ini memang
perampokan! Lekas serahkan semua uangmu I" Si botak ulurkan tangan kirinya
untuk menggeledah pinggang dan saku pakaian si pemuda. Tapi tiba-tiba pemuda
itu hantamkan sikunya ke lambung si botak hingga orang ini terjungkal. Di saat
yang bersamaan kawannya si tinggi merasakan satu tendangan menghantam tempurung
lututnya hingga hancur dan terjengkang jatuh sambil berteriak kesakitan.
Plak!
Plak!
Satu tamparan amat keras
melayang ke muka kedua orang itu. Bibir mereka pecah. Keduanya tergelimpang
pingsan di bawah cucuran atap.
Suara pukulan dan tendangan
serta pekik dan tamparan membuat semua tamu dalam kedai terkejut lalu berlarian
ke luar untuk melihat apa yang terjadi.
Di luar mereka dapatkan dua
kawan mereka tergelimpang pingsan di tanah yang becek sementara pemuda asing
yang tadi mencari Memed Gendut tegak tenang tenang bersidakap lengan,,
seolah-olah tak ada terjadi apa-apa di tempat itu.
Seorang menyeruak dari
kerumunan para pengunjung kedai dan bertanya:
"Ada apa di sini?! Anak
muda. Kau yang mencelakai kedua orang ini?"
"Bukan aku. Mereka minta
celaka sendiri!" jawab si pemuda. Lama-lama dia merasa muak melihat sikap
orang-orang itu. "Aku mencari Memed Gendut!
Mereka hendak merampok! Wong
edan!"
"Jangan menuduh
sembarangan! Mereka adalah orang baik-baik!" Yang bicara adalah pemilik
kedai.
"Begitu? Apa kau dapat
menerangkan mengapa orang baik-baik mencabut golok dan memaksa aku menyerahkan
uang?!"
"Kau mengarang
cerita!" Seseorang berkata setengah berteriak.
Lalu beberapa orang membuat
gerakan sama. Mencabut golok di pinggang masing-masing. Termasuk si pemilik
kedai.
"Hemm…. kalau begitu
kalian semua ternyata kawanan rampok!" ujar si pemuda. "Rupanya sudah
cukup lama kalian berkomplot di daerah ini tanpa pernah mendapat hajaran! Hari
ini biar tuan besarmu memberikan, sedikit pelajaran! Majulah ramai-ramai!"
"Pemuda Sombong!"
"Minta mampus!"
Enam orang merangsak maju
dengan senjata di tangan. Si pemuda sama sekali tidak takut. Sikapnya berdiri
acuh tak acuh- Ketika dua dari enam pengeroyok menyerbu maju, pemuda berambut
gondrong keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke atas. Tangan dan
kakinya menghantam kian ke mari. Maka terdengarlah jerit pekik di tempat itu.
Tiga orang langsung terhampar di tanah, merintih kesakitan sambil pelangi dada,
kepala atau perut.
Dua lainnya tersandar di
dinding kedai. Yang satu yang paling parah menyangsang di antara semak belukar
di seberang jalan!
Melihat kejadian ini, yang
lain-lain melangkah mundur menjauhi si pemuda.
Rasa kagum tertutup oleh rasa
takut. Ketika pemilik kedai buang senjatanya ke tanah dan masuk ke dalam kedai,
yang lainnya pun mengikuti. Tapi ada pula yang segera meninggalkan tempat itu
dan lenyap dalam kegelapan malam.
Si pemuda tiba-tiba merasakan
punggungnya di tepuk orang. Cepat dia berpaling dan dapatkan seorang lelaki
kecil sangat kurus tegak di hadapannya.
Orang ini memberi isyarat
seraya berkata: "Lekas ikuti aku!"
"Kau siapa?" tanya
si pemuda curiga.
Orang itu tak menjawab, malah
langsung berlari pergi. Meskipun merasa tidak enak tapi akhirnya pemuda itu
mengejar juga orang tadi.
Jauh di pinggiran desa, dekat
pesawahan orang itu perlambat larinya lalu berhenti dan menunggu si pemuda.
”Katakan apa maksudmu menyuruh
aku mengikuti?!" tanya si pemuda.
"Bukankah kau mencari
Memed Gendut? Akulah orangnya!"
"Kurang ajar! Jangan
berani bergurau "
"Aku tidak bergurau!
Memang akulah Memed Gendut. Pedagang kuda yang kau cari!"
"Menurutku yang namanya
Memed Gendut itu pasti manusianya gemuk besar. Tidak kurus kering cacingan
sepertimu ini!"
Orang itu tertawa. "Kau
hanya mengenal namaku. Belum pernah bertemu.
Bukan kau seorang yang menduga
salah. Orang-orang memberi nama itu padaku justru sebagai kebalikan dari
keadaan tubuhku yang seperti jerangkong ini!"
‘Begitu? Tapi aku masih belum
percaya padamu. Bukankah tadi kulihat kau ada di dalam kedai ketika aku pertama
kaii datang dan bertanya?"
"Betul..”
"Lalu kenapa kau tidak
menjawab?"
“Aku tidak berani."
"Mengapa tidak
berani?"
"Kedai dan daerah sini
dikuasai oleh gerombolan rampok dan pemeras pimpinan Kumbang Plered. Orangnya,
itu yang tinggi besar dan berkumis yang mula-mula mendatangimu bersama si
botak. Pemilik kedai adalah salah seorang anak buahnya. Oan aku sejak lama jadi
bulan-bulanan pemerasan mereka. Jika ada yang hendak membeli kuda, mereka
langsung turun tangan menetapkan harga. Padaku kemudian hanya diberikan
sejumlah uang yang sangat kecil. Aku sudah lama ingin meninggalkan daerah ini,
tapi mereka mengancam anak dan istriku!" Memed Gendut yang ternyata hanya
seorang lelaki separuh baya bertubuh kurus kering diam sesaat. Lalu .dia
bertanya:
"Kau mencariku apakah
hendak membeli kuda ….?"
Pemuda rambut gondrong
mengangguk. "Tapi aku kawatir uangku tak cukup.
Apakah bisa kalau menyewa
saja?"
Memed Gendut tertawa.
"Sewa menyewa tak pernah kulakukan. Itu urusan bikin repot saja. Melihat
kau telah melakukan sesuatu yang hebat malam ini, aku bertanya, berapa uang
yang kau miliki?"
Pemuda itu mengeluarkan sebuah
kantong kecil dan menyerahkannya pada si pedagang kuda. Memed Gendut memeriksa
lalu memasukkan kantong itu ke dalam saku pakaiannya.
"Uangmu tak cukup untuk
membeli sepotong kudapun. Tapi tak apa. Kau orang asing. Dari sini kemana
tujuanmu?" tanya Memed Gendut.
"Lumajang."
"Lumajang? Berarti kau
akan melewati lautan pasir Tengger. Dengan berkuda terus menerus paling tidak
kau membutuhkan waktu satu hari satu malam. Dan tak mungkin kau hanya memiliki
seekor kuda. Paling tidak harus ada seekor kuda cadangan. Kalau hanya membawa
seekor kuda, dan terjadi apa-apa dengan binatang itu, kau akan menemui ajal
dilautan pasir. Lebih baik kau mengambil jalan lain. Tapi itu berarti lebih
dari sepuluh hari baru sampai di Lumajang."
"Itulah yang tak aku
ingini. Aku harus cepat-cepat sampai di sana." Si pemuda tampak bingung
dan garuk-garuk kepalanya berulang kali. "Uangku katamu tidak cukup ….
Bagaimana ini?"
"Sudahlah, aku akan
menolongmu. Boleh aku tahu namamu?"
"Panggil aku Wiro,"
jawab pemuda gondrong.
"Aku akan berikan dua
ekor kuda padamu. Jika kemudian hari kau mau membayar kekurangannya terserah
saja. Tapi aku tak begitu mengharapkan …"
"Terima kasih. Kau orang
baik. Tapi dari tadi kita hanya bicara saja di pinggir sawah di malam buta dan
gelap begini. Aku belum melihat kuda-kudamu ..,."
"Rumahku di timur sawah
ini. Kita berangkat sekarang saja."
Kedua orang itu menyeberangi
sawah menuju ke arah timur. Selewatnya pesawahan, dalam kegelapan malam di
kejauhan tampak sederetan rumah.
Salah satu di antaranya
memiliki halaman luas yang diberi berpagar kayu tinggi.
Lebih dari selusin kuda kelihatan
di balik pagar itu. Inilah rumah Memed Gendut. Ketika sampai di ujung pagar,
pedagang kuda ini hentikan langkah. Dia memandang ke arah rumah. Dalam
kegelapan tampak sosok-sosok tubuh mendekam di sekitar bangunan.
"Hatiku tak enak. Ada
bebecapa orang di sekitar rumah. Aku curiga. Janganjangan .. .." kata
Memed Gendut.
"Aku juga sudah melihat
dari tadi," kata Wiro.
"Tenang saja. Jika
orang-orang itu bermaksud jahat akan kugebuk seperti tadi aku menggebuk Kumbang
Plered dan anak buahnya."
"Yang aku kawatirkan anak
istriku di dalam rumah” ujar Memed Gendut.
Kedua orang itu memasuki pintu
halaman.
"Berhenti di sana!"
satu bentakan menggema keras di dalam kegelapan malam yang dingin.
"Astaga! Itu suara
Kumbang Plered!" bisik Memed Gendut. "Bagaimana dia tahu-tahu sudah
berada di sini?!"
2
DELAPAN ORANG bergerak dari
arah bangunan rumah. Semua menghunus senjata di tangan. Golok dan kelewang. Di
sebelah depan memimpin seorang bertubuh tinggi besar. Ternyata dia memang
Kumbang Plered, kepala gerombolan rampok dan pemeras.
"Memed Gendut!"
teriak suara Kumbang Plered. Salah satu kakinya yang luka parah tampak di ikat
dan diganjal dengan beberapa potong kayu. "Tidak disangka kau telah
berkomplot dengan seorang pemuda asing dan berani melawan kami!"
"Aku tidak berkomplot
dengan siapa-siapa Kumbang!" kata Memed Gendut.
"Masih berani kau
berdusta! Apa yang terjadi di kedai tadi cukup membuktikan tuduhanku! Dan
sekarang terbukti lagi kau muncul di sini bersama kawanmu itu! Bagus! Bagus
sekali perbuatanmu Memed. Dan kau harus bayar dengan mahal semua itu!"
"Selama ini aku selalu
mengikuti kehendakmu Kumbang. Sekarang kulihat kau tidak beritikad baik
terhadapku . ..?"
"Bukan hanya padamu
Memed! Tapi juga terhadap kawanmu! Dengar baikbaik.
Di dalam rumah dua orang anak
buahku siap menggorok leher istri dan tiga anakmu!"
"Ya Tuhan!" pekik
Memed Gendut. "Jangan kau celakai anak istriku!"
"Jika kau ingin mereka
selamat ikuti kata dan perintahku!" kata Kumbang Plered.
"Apa yang kau inginkan
Kumbang….?’ suara Memed Gendut bergetar sementara Wiro tegak tak bergerak
memperhatikan keadaan di sekitarnya.
"Pertama kawanmu itu
harus menyerahkan seluruh uang yang dimilikinya"Ini ambillah!" ujar
Memed Gendut seraya melemparkan kantong uang yang tadi diterimanya dari Wiro.
Kumbang Plered cepat menangkap
kantong uang itu. "Kedua, semua kuda yang ada di tempat ini mulai detik
ini menjadi milikku . .."
"Mati aku! Kumbang! Kau
tahu mata pencaharianku adalah berjual beli kuda.
Keuntungannya tidak seberapa.
Kalau kau merampas semua kudaku bagaimana aku menghidupi anak istriku …
.!" teriak Memed Gendut dengan suara setengah meratap.
"Kalau begitu kau tak
ingin anak istrimu selamat! Apakah perlu kuperintahkan agar mereka segera
digorok saat ini?!"
"Jangan …! Jangan lakukan
itu Kumbang! Kau boleh ambil semua kuda itu.
Lalu pergi dari sini!"
Kumbang Plered menyeringai.
"Bagus! Rupanya kau
betul-betul mencintai anak istrimu. Hal ketiga!Kawanmu itu akan kami tangkap
hidup-hidup. Jika dia berani melawan, anak istrimu tetap akan jadi
korban!"
Memed Gendut berpaling pada
Wiro. Si pemuda tampak berubah parasnya.
Dia tidak menyangka akan
terjadi hal seperti ini.
"Ada apa kau ingin
menangkapku?!" tanya Wiro.
"Pertama karena apa yang
telah kau lakukan terhadap kami di kedai bandrek tadi! Kedua kami mengetahui
kau mengandung maksud buruk pergi ke Lumajang. Jadi kau pantas ditangkap dan
diserahkan pada Adipati Kebo Penggiring!"
"Keparat setan
alas!" Wiro memaki dalam hati. "Apakah bergundal sial ini benar-benar
mengetahui tujuanku ke Lumajang?!" Kepada Kumbang Plered Wiro tak ingin
menunjukkan keterkejutannya. Malah dia berkata mengejek: "Rupanya
pelajaran yang kuberikan di kedai minuman itu masih belum cukup. Kau ingin
kakimu satu lagi diikat dan diganjal kayu?!"
Kumbang Plered meludah ke
tanah. Saat itu bibirnya masih mengeluarkan darah akibat tamparan keras Wiro.
"Pemuda gembel buruk!
Jangan berlagak jagoan di hadapanku.Kau kenal dua temanku ini.. ..?"
Kumbang Plered menunjuk pada dua lelaki berpakaian merah di sampingnya.
Wiro ingat betul. Dua orang
ini tidak ada dalam kedai bandrek ketika dia datang ke sana. Rupanya Kumbang
Plered sengaja datang ke situ membawa mereka untuk dimintakan bantuan. Berarti
keduanya memiliki kepandaian yang
diandalkan.
"Siapa dua ekor kunyuk
itu mana perduliku!" menyahuti Wiro.
Kumbang Plered tertawa
mengekeh. Sedang dua orang berpakaian merah tampak berubah garang tampang
mereka karena dicaci sebagai kunyuk oleh Wiro.
"Kawan-kawan, kalian
dengar sendiri. Mulutnya terlalu lancang. Menurut hematku kalau tak dapat
ditangkap hidup-hidup mayatnya pun cukup berharga.
Bagaimana pendapat
kalian?!"
Salah satu dari dua orang
berpakaian merah itu menjawab: "Kami lebih suka mematahkan batang
lehernya!" Lalu dia memberi isyarat pada kawan di sebelahnya. Lima orang
anak buah Kumbang Plered segera menyebar, mengurung. Memed Gendut menjauhkan
diri ke sudut halaman. Dua lelaki berpakaian merah tampaknya hanya mengandalkan
sepasang tangan kosong, bergerak mendekati Wiro. Siapakah kedua orang
berpakaian serba merah ini?
Yang berjanggut macam kambing
bernama Kuto Simpul. Kawannya yang bermata jereng bernama Reso Bondo. Sekitar
setahun lalu kedua orang ini ikut menjadi pimpinan dari satu kelompok rampok
hutan Roban yang ganas.
Keduanya kemudian memisahkan diri
lalu meneruskan kehidupan sesat dengan berkeliaran sebagai manusia-manusia
bayaran. Kalau dulu mereka malang melintang dalam rimba belantara maka kini
keduanya berkeliaran di Kadipaten-Kadipaten bahkan tak jarang muncul di
Kotaraja. Mereka akan melakukan apa saja — mulai dari membunuh dengan meracun
sampai menjagal batang leher korban — asalkan mendapat bayaran. Karenanya tidak
heran kalau kedua orang ini banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh golongan
sesat tapi juga pejabat-pejabat kerajaan.
Kumbang Plered termasuk salah
seorang yang rapat hubungannya dengan kedua orang ini. Karena kebetulan mereka
berada di daerah itu, setelah dihajar oleh Wiro, Kumbang Plered memerintahkan
anak buahnya menemui Kuto dan Reso. Bersama-sama mereka mendatangi rumah Memed
Gendut. Dugaan mereka bahwa pedagang kuda dan pemuda itu akan muncul bersama di
sana ternyata tidak meleset.
Melihat dua orang itu maju
tanpa keluarkan senjata, Wiro segera maklum kalau mereka tidak boleh dianggap
remeh. Namun dasar sikapnya yang suka menggoda dan mencemooh orang, pemuda ini
enak saja kembali mengejek.
"Ayo dua ekor kunyuk
majulah. Kalian membela bangsa perampok dan pemeras berarti kalian sama saja
isi perutnya!"
Kuto Simpul dan Reso Bondo
marah bukan main. Seumur hidup baru kali itu keduanya menerima penghinaan
demikian rupa. Didahului dengan bentakanbentakan garang, keduanya berkelebat
menyerang. Suara serangan mereka mengeluarkan angin deras tanda keduanya memiliki
tenaga luar dan tenaga dalam yang tinggi.
Untuk menjajaki sampai di mana
kekuatan lawan, Wiro sengaja menyongsong dengan kedua lengan terpentang,
berusaha mengadu tangan. Tapi dua orang lawan berlaku cerdik. Mereka
menghindari terjadinya bentrokan pukulan, sebaliknya serentak menyebar ke kiri
dan kanan lalu menghantam dengan pukulan tangan kosong.
Wutt!
Wutt!
Dua angin pukulan menerpa
dengan deras. Wiro melompat ke belakang.
Kedua tangannya diangkat ke
atas. Masing-masing telapak melambai menyapunyapu.
Terdengar suara menderu. Kuto
dan Raso tersentak kaget ketika dapatkan angin pukulan mereka bukan saja
menjadi buyar, tetapi membalik ke arah mereka sendiri!
Kedua orang itu cepat jatuhkan
diri. Begitu menjejak tanah mereka gulingkan diri sambil kaki kirimkan
tendangan. Kuto menendang ke arah kaki kanan Wiro sedang Reso Bondo menghantam
ke arah dada. Mau tak mau Wiro terpaksa cari selamat dengan jalan melompat ke
atas. Dari atas pemuda ini kembali kebutkan kedua tangannya. Tapi lawan sudah
berguling lagi menjauh. Sambil bangkit Kuto Simpul berbisik pada kawannya.
"Reso, pemuda ini bukan
cacing tanah sembarangan. Hati-hatilah"Kau betul," sahut Reso Bondo.
"Sebaiknya kita keluarkan empat jurus perampok mabok sekarang juga!"
Kuto Simpul mengangguk tanda
setuju.
Dari mulut kedua orang itu
tiba-tiba keluar suara tawa berkakakan terus menerus. Sambil tertawa keduanya
bergerak berputar-putar mengelilingi Wiro.
Tangan dan kaki mereka ikut
bergerak tiada putus-putusnya, memukul dan menendang, membuat Wiro terjepit di
tengah-tengah dan siap jadi bulanbulanan serangan.
"Jurus rampok
mabok!" seru Kumbang Plered dalam hati dan terkejut.
"Baru beberapa gebrakan
mereka sudah mengeluarkan jurus hebat itu.
Apakah pemuda keparat itu
benar-benar luar biasa?"
"Hai! Kalian benar-benar
seperti kunyuk mabok durian?’!" Wiro berteriak. "Menjauhilah! Badan
kalian menebar bau busuk"
Buk!
Baru saja pemuda itu mengejek
demikian, satu pukulan menghantam dadanya sebelah kiri.
"Kena!" seru Kuto
Simpul giring walaupun mulutnya tampak meringis karena tangannya yang tadi
berhasil menghantam dada lawan terasa sakit. Selain menahan sakit Kuto juga
menutupi rasa herannya. Pukulan kerasnya tadi jangankan membuat lawan
terjungkal, cidera pun tidak. Maka diapun memberi isyarat pada Reso Bondo untuk
melipat gandakan arus serangan dan menambah cepat gerakan memainkan jurus-jurus
perampok mabok yang kini tinggal tiga jurus.
Memed Gendut yang melihat si
pemuda terdesak malah kena pukul menjadi semakin ketakutan. Dia lari kearah
rumah untuk menemui anak istrinya. Tapi dua orang anak buah Kumbang Plered
cepat menghadangnya dan menekankan ujung golok ke perut pedagang kuda itu.
"Lepaskan anak istriku!
Jangan kalian sakiti mereka!" teriak Memed Gendut Tubuhnya terkulai lemas
dan jatuh duduk di tanah.
Sementara-itu Kuto Simpul dan
Reso Bondo sudah mulai menyerbu Wiro sambil terus berteriak-teriak. Empat jurus
perampok mabok sebenarnya merupakan ilmu silat yang bukan sembarangan. Terbukti
dengan mengandalkan ilmu silat itu Kuto dan Reso telah membuat diri mereka
ditakuti di mana-mana.
Namun malam itu keduanya
berhadapan dengan seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh berada di atas
mereka. Meskipun telah melipat gandakan kecepatan serangan, tapi sampai jurus
ke empat selesai, keduanya tidak berkesempatan untuk mendapatkan pukulan
ataupun tandangan ke tubuh Wiro.
"Hai! Kenapa kalian
berhenti barteriak-teriak?!" Wiro bertanya mengejek.
"Rupanya sudah sembuh
dari kerasukan setan?!"
"Keparat! V gertak Reso
Bondo. Tubuhnya berkelebat. Lima jari tangan kanannya diluruskan dan menusuk
deras ke tenggorokan Wiro. Kawannya tak tinggal diam, kirimkan tendangan ke
bawah perut si pemuda.
"Hemm… Kali ini rasakan
bagianmu!" kata Kumbang Plered yang merasa yakin serangan mendadak dan
cepat dari kedua orang berpakaian merah itu pasti akan menghantam tubuh si
pemuda. Namun alangkah terkejutnya ketika melihat apa yang kemudian terjadi.
Wiro miringkan tubuhnya ke
belakang. Tusukan lima jari tangan Reso Bondo hanya menembus udara kosong. Di
saat yang sama pemuda itu lepaskan tendangan kaki kanan, membabat kaki Kuto
Simpul yang menderu ke arah selangkangannya. Sebelum tubuhnya jatuh punggung di
tanah, Wiro masih sempat mencekal pergelangan tangan Reso Bondo lalu
menyentakkan selebat tenaga!
Gerakan yang dibuat Wiro bukan
saja sangat sulit tapi sungguh luar biasa.
Tubuh Reso Bendo laksana
dilabrak topan, menderu jungkir balik di udara dan terhempas keras di tanah
tanpa dia bisa membuat gerakan mengimbangi diri atau mampu berusaha jatuh di
atas kedua kaki Mata jereng manusia ini membeliak dan dari mulutnya .terdengar
suara gerung kesakitan. Kening dan hidungnya lecet berdarah disungkur tanah!
Dibandingkan dengan kawannya
yakni Kuto Simpel si janggut kambing, Reso Bondo masih mending. Kalau dia cuma
lecet kening dan hidung maka Kuto Simpul terdengar menjerit ketika tulang
kering kaki kanannya remuk dihantam tendangan Wiro. Tubuhnya terjengkang dan
dia tak kuasa berdiri lagi.
"Keparat!" maki Reso
Bondo seraya berdiri terhuyung-huyung. Dia berpaling pada Kumbang Plered dan
berteriak: "Kumbang! Perintahkan orang-orangmu di dalam rumah membunuh
perempuan dan anak-anak itu!"
"Jangan!" terdengar
jeritan Memed Gendut. "Jangan ganggu anak istriku!"
Reso Bondo melompat dan
menjambak rambut pedagang kuda itu. Dia memandang ke jurusan Wiro dan
berteriak: "Kau dengar ratap orang ini? Jika kau tidak mau menyerah
perempuan dan anak-anak di dalam rumah akan kusuruh bunuh!"
"Sialan! Bangsat ini
benar-benar nekad!" maki Wiro dalam hati. "Kalau kau berani melukai
perempuan dan anak-anaknya itu aku bersumpah untuk membunuhmu lebih dulu!"
gertak Wiro.
"Bagusi Akan kita lihat!
Siapa yang bakal mampus duluan!" ujar Reso Bondo mendengus. "Seret
perampuan dan dua anak itu keluar rumah!"
Kumbang Plered melangkah
terpincang-pincang. Walaupun dia berjalan dalam keadaan satu kaki cidera dan
dengan bantuan tongkat kayu, tapi gerakannya masih cukup cepat. Dia masuk ke
dalam rumah. Sesaat kemudian muncul lagi diikuti dua orang anak buahnya. Yang
paling depan menyeret seorang perempuan yang tengah hamil besar. Di sebelah
belakang menyusul lelaki kedua sambil mencekal leher pakaian dua orang anak
lelaki kecil berusia dua dan tiga tahun. Kedua anak ini menangis menjerit-jerit
Kumbang Plered cabut golok besarnya dan letakkan ujung senjata itu di atas
perut istri pedagang kuda sementara Reso Bondo angkat kedua tangannya ke atas,
siap mengemplang kepala dua orang anak Memed lenduti"Baiklah! Aku
menyerah!" kata Wiro sementara Memed Gendut meratap menyembah-nyembah di
hadapan Reso Bondo agar kedua anak dan istrinya jangan dilukaj, apalagi sampai
dibunuh. "Kalian mau tangkap aku silahkant" ujar Wiro.
Kuto Simpul yang masih
terkapar di tanah segera berteriak pada anak-anak buah Kumbang Plered.
"Lekas kalian tangkap dan
ikat pemuda gondrong itu!"
Tiga orang anak buah Kumbang
Plered cepat maju mendekati Wiro. Salah seorang di antaranya membawa segulung
tali. Wiro ulurkan tangan. Lelaki yang membawa tali segera bertindak untuk
mengikat. Dua kawannya mencekal leher dan pinggang Wiro.
"Bagus … bagus! Ini yang
aku mau!" kata Wiro dalam hati. Begitu tiga orang itu benar-benar sudah
sangat dekat dengan dia, tangannya yang diulurkan dan baru saja dilingkari
tali, meluncur ke depan dan ke samping, merampas golok yang tersisip di
pinggang dua dari tiga anak buah Kumbang Plered. Gerakan pemuda ini demikian
cepatnya. Tiga anak buah rampok dan pemeras itu menjerit keras ketika dua
batang golok di tengah kiri kanan Wiro berkelebat.
Orang yang hendak mengikatkan
tali terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi dadanya yang berlumuran darah
disambar golok. Kawannya di sebelah kiri jatuh tersungkur sambil meraung dan
pegangi lengan kirinya yang putus.
Sementara lelaki ke tiga
menjerit keras sambil pegangi mukanya yang robek mulai dari dagu sampai pipi
kanan.
Selagi Kuto Simpul, Reso Bondo
dan Kumbang Plered serta yang lain-lainnya terkesiap kaget melihat apa yang
terjadi, dua golok di tangan Wiro telah melesat di udara. ‘Satu menancap di
pertengahan dada Reso Bondo. Lelaki bermata jereng ini keluarkan jerit keras,
tubuhnya sesaat terhuyung lalu tersungkur jatuh menelungkup, membuat golok yang
menancap di dadanya menembus lebih dalam hingga tersembul di punggungnya.
Nyawanya tak tertolong lagi.
Kumbang Plered yang
menyaksikan kematian Reso Bondo dengan mata melotot sama sekali tidak menyadari
kalau golok kedua yang dilemparkan Wiro menderu ke arahnya. Dia baru tersentak
kaget sewaktu senjata itu menderu dan menancap di lambungnya. Tongkat kayu
lepas dari tangannya. Kepala rampok dan pemeras ini menjerit dua kali lalu
roboh. Sesaat tubuhnya tampak berkelojotan setelah itu tak bergerak lagi.
Dua orang anak buah Kumbang
Plered yang tadi menyeret dan mencekal anak istri Memed Gendut putus nyali.
Serta merta mereka lepaskan perempuan dan dua anaknya itu lalu ambil langkah
seribu. Beberapa orang kawan-kawannya yang juga ikut leleh keberanian mereka
segara menghambur melarikan diri.
Memed Gendut segera merangkul
istri dan kedua anaknya.
Wiro melangkah mendekati mayat
Kumbang Plered. Dari balik pakaian orang ini dia keluarkan kantong berisi uang
miliknya yang dirampas dan melemparkan benda itu ke dekat Memed Gendut. Lalu
Wiro melangkah menghampiri Kuto Simpul yang saat itu merangkang di tanah tengah
berusaha melarikan diri dalam keadaan kaki patah.
"Janggut kambing! Kau mau
lari ke mana!" Wiro membentak dan lelaki berpakaiarr merah ini rasakan
telapak kaki si pemuda menempel di keningnya.
Tubuhnya menggigil saking
ketakutan.
"Ampuni selembar
jiwaku!" pintanya meratap.
Wiro menyeringai. "Lekas
kau terangkan mengapa kau bersama konco koncomu yang sudah mampus itu ingin
menangkap aku. Tadi kalian menyebut-nyebut nama Adipati Lumajang. Ada sangkut
paut apa kalian dengan Kebo Penggiring?!"
"Aku …. kami " Kuto
Simpul tampak seperti hendak berkelit.
Wiro inja kakinya yang patah
hingga lelaki berjanggut kambing ini melolong setinggi langit.
"Rupanya satu kaki belum
cukupi Apa ingin kupatahkan lagi kakimu satu lagi….?!" sentak Wiro.
"Jangan … Ampun! Aku akan
bicara…"
"Bagus! Apa yang kau
ketahui. Awas kalian berani dusta!"
"Tiga hari lalu seorang
utusan Kebo Penggiring datang menemui Kumbang Plered. Keduanya kemudian menemui
kami, maksudku aku dan Reso Bondo.
Utusan itu memberi sejumlah
uang dan perhiasan dengan perintah agar kami menangkapmu hidup atau
mati…."
Wiro usap-usap dagunya lalu
garuk-garuk rambutnya yang gondrong basah.
"Kenapa Adipati Lumajang
menginginkan diriku?" tanya Wiro.
"Demi Tuhan! Kalau itu
kau tanyakan akupun tidak tahu!" jawab Reso Bondo lalu mengerang lagi
kesakitan.
"Baik kalau begitu.
Sekarang mana uang dan perhiasan yang kau terima dari utusan Adipati Lumajang
itu…?"
"Aku tidak
membawanya…"
Wiro menyeringai. "Jangan
berani berdusta. Beriken uang dan perhiasan itu padaku! Atau kupatahkan kakimu
satu lagi!"
"Ampun! Jangan Ini
ambillah!" Dari dalam saku baju merahnya Kuto Simpul keluarkan sehelai
selampai putih yang dipakai membungkus uang dari perhiasan. Benda itu
diserahkannya pada si pemuda.
Wiro menimang-nimangnya sesaat
lalu berkata: "Kau boleh p«rgi janggut kambing. Tapi ingat! Jika kau berani
mengganggu pedagang kuda itu dan keluarganya, dadamu akan kutembus dengan golok
seperti yang terjadi dengan kawanmu! Kau dengar janggut kambing?’"
"Aku … aku dengar …"
jawab Kuto Simpul. Lalu dengan susah payah dia merangkang, mencoba tegak
tertatih-tatih, melangkah terpincang-pincang meninggalkan tempat itu.
‘Anak muda! Tidak kusangka,
kau bukan pemuda biasa rupanya. Aku dan istriku serta anak-anak mengucapkan
tarima kasih "
"Huss!" Lskas
berdiri!" sentak Wiro ketika diliatnya Memed Gendut membawa anak istrinya
dan berlutut di hadapannya. "Aku bukan dewa atau Tuhan yang pantas kau
sembah-sembah Dengar, aku akan pergi sekarang. Aku butuh kudamu. Pilihkan aku
baik-baik . . ."
“Kau boleh ambil semua kuda
kuda itu!" kata Memed Gendut seraya berdiri.
Wiro tersenyum dan gelengkan
kepala. Seperti katamu tadi aku hanya perlu dua ekor kuda …"
Memed Gendut segera memilih
dua akor kuda yang besar dan tegap sementara istrinya disuruh mengambil kantong
kulit berisi air. Dua ekor kuda dan kantong air itu kemudian diserahkan pada
Wiro.
Sesaat setelah naik ke atas
kuda Wiro memandang pada pedagang kuda itu lalu berkata: "Sebaiknya kau
menukar namamu. Nama Memed Gendut tidak cocok dengan keadaan dirimu. Dan
mungkin nama itu yang selalu membawa sial bagimu …"
"Lalu apa nama yang
pantas bagiku?" tanya si pedagang kuda.
"Memed Kerempeng!"
jawab Wiro. Ditepuknya pinggul kuda yang ditungganginya. Binatang ini
menghambur ke depan. Kuda yang terikat di sebelah belakang lari mengikut.
Memed Gendut dan anak isttinya
tegak memperhatikan kepergian pemuda itu yang akhirnya lenyap di kegelapan
malam,"Dia mungkin betul Mulai saat ini kuganti namaku jadi Memed
Kerempeng!”,
kata si pedagang kuda pula.
"Benar pak membenarkan
istrinya. "Nama itu kurasa lebih cocok untukmu. .. Bukan saja untuk
membuang sial, tapi sekaligus guna mengingatkan kita pada budi besar pemuda itu
… ."
3
TERIKNYA sinar matahari
laksana membakar pedataran pasir yang seperti tak berujung itu. Kuda yang
ditunggangi Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat berlari sekencang yang
dikehendaki. Bukan saja panasnya udara membuat binatang itu menjadi lebih cepat
letih, tetapi lapisan pasir seolah-olah mencengkeram kaki-kaki binatang itu.
Keringat dan ludah membuih di sudut mulutnya. Di sebelah belakang kuda cadangan
berlari mengikuti kuda induk dalam keadaan hampir tak berbeda.
Wiro mengambil kantong kulit
yang berisi air dan tinggal setengahnya.
Meskipun rasa haus membakar
dada dan tenggorokannya tapi pemuda ini tak mau meneguk air itu banyak-banyak.
Sulit baginya untuk menduga sampai barapa lama dia akan mengarungi pedataran
pasir di tenggara Pegunungan Tengger itu. Kalau persediaan air habis sedang
tujuan masih jauh, bisa-bisa dia mati kehausan di perjalanan. Wiro menyeka
mulutnya dengan belakang telapak tangan. Tangan yang masi basah iyu
diusapkannya ke mulut kuda Sejauh mata memantang hanya pedataran pasir yang
terlihat. Murid Sinto Gendeng ini mengarahkan kudanya lurus-lurus ke tenggara.
Kulitnya terasa perih oleh sengatan matahari. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat.Kalau
saja bukan untuk memenuhi pemintaan tolong seorang sahabatnya, tidak nanti dia
mau mengadakan perjalanan yang menyengsarakan itu. Selain itu Wiro juga sadar,
keselamatan dan kehormatan diri seorang gadis jerita harus dibelanya.
Terbayang kembali pertemuannya
dengan orang tua itu sekitar dua minggu lalu di bukit Tumbalsari.
Hari itu Wiro melintasi bukit
tersebut dan seperti kebiasaannya sambil bersiul-siul membawakan lagu tak
menentu. Mendadak terdengar suara membentak Demikian kerasnya hingga bukit itu
membahana di liang telinga si pemuda berdenyut.
"Keparat setan alas!
Siapa yang bersiul-siul membuat berisik belantara mengganggu ketentraman
orang!"
Wiro terkesiap kaget, hentikan
langkah dan memandang ke atas pohon besar sebelah kanan dari arah mana tadi
datangnya suara bentakan itu. Namun tak seorang pun tampak di atas sana. Wiro
tegak berdiam diri sesaat. Kemudian kembali dia mengukirkan siulan. Pendek saja
tapi keras karena disertai pengerahan tenaga dalam. Suara siulan itu bergema beberapa
lamanya di atas bukit namun sirna tertindih oleh bentakan: "Edan! Sombong
amat tidak perdulikan peringatan orang! Anak muda tak tahu diri kau
mengandalkan apa?!"
Wiro jadi jengkel dan balas
membentak.
"Bukit dan rimba
oeiantara ini bukan milikmu. Disini diam berbagai binatang, mendekam segala
setan gentayangan. Mengapa kau mengambil sikap sebagai pemilik tunggal? Jika
tak ingin terganggu mengapa berada di sini? Bicara besar tapi tak berani
unjukkan tampak!"
Terdengar suara gelak mengekeh
yang membuat liang telinga murid Sinto Gendeng terngiang-ngiang; Suara tawa itu
demikian dekatnya dan keras, namun tetap saja Wiro tak dapat mengetahui di mana
manusia yang tertawa itu berada!
"Jika kau mau melihat
tampangku, mari naik ke atas sini!"
Wiro mendongak ke atas. Saat
itulah tiba-tiba terdengar suara mendesir halus.
Wiro cepat mengambil sikap
waspada karena menyangka ada senjata rahasia yang menyerangnya. Tapi tak
kelihatan apa-apa. Tahu-tahu sebentuk benang putih yang sangat halus, berkilau
kilau oleh sentuhan sinar matahari yang menembus di sela-sela daun pepohonan,
meluncur cepat ke arahnya. Sebelum dia bisa berbuat apa-apa benang putih itu
telah menjirat lehernya. Tidak terlalu kencang namun cukup membuat nafasnya
menyengal.
"Setan alas!" maki
Wiro Sableng. Secepat kilat dia pergunakan tangan kanannya menjepit benang itu.
Tapi astaga! ternyata dia tidak mampu memutus benang yang begitu alot itu. Wiro
coba mengingat-ingat pada masa beberapa tahun yang silam. Dia seperti pernah
melihat benang halus itu sebelumnya.
Waktu itu si pemilik benang
melibat pinggangnya. Namun dengan mudah diputusnya. Apa mungkin benang dan
pemiliknya saat ini bukan orang yang dulu?
Selagi pemuda itu
berpikir-pikir tiba-tiba dia merasakan satu sentakan keras.
Lehernya yang tergulung benang
halus tertarik kuat dan tubuhnya terangkat laksana terbang ke atas sebatang
pohon tinggi yang berada dua tombak di hadapannya. Wiro merasakan batang
lehernya seperti digorok oleh benang halus itu. Secepat kilat dia gerakkan
tangan kanannya ke pinggang. Sesaat kemudian berkiblatlah sinar putih
menyilaukan disertai suara menderu seperti suara ribuan tawon mendengung.
Crass!
Benang halus putih yang
menjirat lehernya putus. Terlepas dari ikatan benang aneh itu sebenarnya Wiro
kini bisa jatuhkan diri kembali ke tanah. Tapi sebaliknya pemuda ini malah
terus melesatkan diri ke atas pohon, jungkir balik dua kali berturut-turut, dalam
kejap dia sudah menyelinap dan tegak di salah satu cabang pohon. Hal ini
dilakukannya karena dia sudah merasa yakin, orang orang yang tadi menjiratnya
sembunyi di pohon itu, di balik kerapatan daundaun.
"Ha … ha .. .ha! Rupanya
si nenek peot Sinto Gendeng itu benar-benar telah mewariskan Kapak Maut Naga
Geni 212 pada muridnya!"
Kata-kata yang disertai tawa
itu membuat Wiro Sableng terkesiap kaget.
Ternyata orang mengenali kapak
yang masih tergenggam di tangan kanannya.
Lebih dari itu malah juga
mengetahui siapa gurunya! Tanpa pikir panjang Wiro babatkan senjata mustika itu
ke depan.
Kraak … kraak!
Byuuuur !
Dua cabang besar terbabat
putus. Ranting-ranting pohon berikut daundaunnya remuk den berguguran ke bawah.
Setengah dahan pohon itu kini tampak gundul! Dan di salah satu cabang kecil
kini tampak duduk seorang kakek berjanggut putih, berpakaian selempang kain
putih, tertawa mengekeh, memandang pada Wiro sambil kedip-kedipkan mata
kirinya.
Pendekar 21? Wiro Sableng
cepat putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghantam. Yang hendak diserang
tetap duduk tenang-tenang. Mendadak Wiro tahan gerakannya.
"Aih! Benar si tua bangka
dulu itu!" seru Wiro dalam hati. Perlahan-lahan dia turunkan tangan
kanannya lalu simpan senjatanya di balik pinggang.
"Dewa Tuak!" seru
Wiro kemudian Orang tua itu kembali tertawa panjang. Janggutnya yang putih
berkibarkibar di tiup angin. Sambil mengelus janggutnya dia berkata: "Enam
tahun aku mematangkan benang suteraku. Ternyata tak mampu menahan tebasan
kapakmu! Percuma saja menghabiskan waktu. Tapi aku senang kau masih mengenali
tua renta ini. Apa kabarmu anak muda….?" Orang tua itu yang berjuluk Dewa
Tuak — merupakan tokoh silat terkemuka di delapan penjuru angin. Usianya jauh
lebih tua dari Eyang Sinto Gendang, Di pangkuannya ada sebuah tabung bambu
besar. Sebuah tabung yang sama tergantung di belakang punggungnya. Si orang tua
angkat bumbung bambu yang dipangkuannya, mendekatkan ujungnya ke mulut. Lalu:
gluk. .gluk … gluk .. . Dia meneguk tuak harum yang ada dalam bumbung bambu itu
sampai berlelahan ke pipi dan dagunya.
"Aku baik-baik saja Dewa
Tuak. Bagaimana dengan dirimu bertanya Wiro.
Dewa Tuak turunkan bumbung
bambunya. Sambil geleng-geleng kepala dan unjukkan wajah sedih orang tua ini
berkata: "Aku sedang sial! Seseorang telah mengkhianati diriku. Eh, kau
masih ingat pada murid perempuanku bernama Anggini? Yang tempo hari ingin ku
jodohkan padamu. Tapi kau terlalu sombong dan menampiknya…"
"Maafkan aku Dewa Tuak.
Aku sama sekali tidak sombong. Hanya saja untuk urusan jodoh saat itu aku belum
bisa memikirkan . .."
"Lalu sekarang apakah kau
sudah memikirkan?" tanya Dewa Tuak.
"Masih belum " sahut
Wiro,
"Tapi kau tidak melupakan
muridku itu, bukan?
"Tentu saja tidak …"
"Bagus! Hanya saja dia
ditimpa malapetaka saat ini. Dan itulah sebabnya aku sengaja mencegatmu disini
“
"Apa yang telah terjadi
dan mengapa kau mencegatku di sini, orang tua?"
bertanya Wiro Sableng. Dia
kini duduk di atas cabang di bawah cabang kecil yang diduduki Dewa Tuak.
"Beberapa tahun sebelum
aku mengambil Anggini jadi murid, aku pernah mempunyai seorang murid lain.
Seorang pemuda bernama Penging. Ternyata kemudian kuketahui bahwa pemuda itu
bukan seorang manusia baik. Hatinya sangat culas. Selain itu dia banyak
berhubungan dan bergaul dengan orangorang jahat. Setelah kuberi nasihat
beberapa kali dia selalu mengabaikan, akhirnya aku mengambil keputusan, tidak
lagi menganggap nya sebagai murid.
Dia kusuruh meninggalkan
pertapaan dan kembali ke kampungnya. Kuketahui kemudian Penging tidak kembali
ke kampung, tapi bertualang bersama manusia-manusia jahat. Membuat keonaran di
mana-mana, membunuh dan merampok. Aku menyesal telah mengambilnya jadi murid,
apalagi mengingat hampir seluruh ilmu silatku sudah kuturunkan padanya.
Tiga bulan lalu tiba-tiba dia
muncul di pertapaanku, berlutut dan menangis.
padaku diakuinya semua
kesesatan, kejahatan dan segala dosa perbuatannya.
Dia mengatakan telah insaf dan
tobat. Ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin mengabdikan diri lagi menjadi
muridku, bahkan katanya ingin jadi pertapa…"
"Lalu, apa kau menerima
permintaannya itu. Dewa Tuak?" tanya Wiro.
Si kakek menggeleng.
"Sekali aku tidak percaya pada seseorang, apapun janjinya tak akan lagi
mau kudengar. Dia kusuruh pergi. Saat itu hari sudah malam. Karena kasihan aku
hanya memperbolehkannya menginap dan besok pagi-pagi harus sudah meninggalkan
pertapaan. Pagi hari ketika aku bangun Penging telah lenyap. Bersama lenyapnya
orang itu, lenyap pula sebuah buku milikku yang sangat berharga. Jelas manusia
keparat itu telah mencurinya.
Rupanya itulah sebenarnya
kedok kedatangannya"Kalau aku boleh bertanya, buku apakah yang dicuri
bekas muridmu itu?"
"Sebuah buku tipis
terdiri dari tiga halaman. Buku ini berusia lebih dari seratus tahun. Lebih tua
dari umurku dan merupakan warisan guruku.
Halaman pertama berisi
pelajaran ilmu silat kuna yang merupakan inti sari dari ilmu silat yang
kumiliki dan yang kuajarkan pada murid-muridku. Siapa yang menguasai ilmu itu
dia akan menjadi seorang luar biasa. Jika digunakan untuk kesesatan, sulit
menumpasnya.
Halaman kedua berisi
dasar-dasar penghimpunan dan pengerahan tenaga dalam. Ini juga merupakan ilmu
yang berbahaya jika dipakai untuk kejahatan.
Lalu halaman terakhir berisi
sejumlah ilmu pengobatan ampuh berdasarkan penusukan urat-urat syaraf dan
darah. Sebenarnya buku itu akan kuwariskan pada muridku Anggini. Tapi kini
segala sesuatunya sudah kapiran. Bangsat itu keburu mencurinya!"
"Muridmu yang bernama
Anggini itu sendiri sekarang berada di mana….?" tanya Wiro.
"Itulah yang menjadi
pikiranku pula," sahut Dewa Tuak seraya usap-usap janggut putihnya.
"Tiga hari setelah Penging mencuri kitab itu, Anggini muncul.
Langsung saja padanya
kuberikan tugas untuk mengejar Penging.
Dibandingkan dengan lelaki itu
tingkat kepandaian Anggini memang lebih tinggi.
Namun yang membuatku kawatir
ialah sampai sebegitu jauh tak ada kabar dari Anggini. Malah kemudian dari
seorang sahabat kuketahui bahwa sebenarnya Penging telah menjadi orang besar
sejak dua tahun lalu. Entah bagaimana
ceritanya dia kini menjadi
Adipati Lumajang dan namanya diganti menjadi Kebo Penggiring. Dalam
pengejarannya Anggini sampai ke Lumajang. Namun di sana dia justru kena
ditangkap oleh orang-orang Kebo Penggiring. Kabarnya jika dalam batas waktu
yang ditentukan gadis itu tidak mau menuruti kehendak Kebo Penggiring untuk
mengawininya, Anggini akan dirusak kehormatannya lalu digantung dengan tuduhan
hendak memberontak pada Kerajaan …."
"Gila betul!" ujar
Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Lebih dari gila!"
menukas Dewa Tuak.
"Sudah begitu kejadiannya
mengapa kau tidak langsung turun tangan?" bertanya Wiro.
"Itulah memang tadinya
yang aku rencanakan. Namun, ada beberapa pertimbangan. Di usia yang sudah dekat
liang kubur ini, aku tak ingin lagi mencari keributan: Aku ingin hidup tenteram
tanpa melakukan kekerasan apalagi sampai mengalirkan darah. Semua itu akan
menjadi sebab musabab dendam kesumat. Kudengar Kebo Penggiring dekat dengan
Keraton. Berarti aku akan berhadapan dengan tokoh-tokoh tertentu yang
sebenarnya kuketahui adalah sahabatku …"
"Kalau begitu kau minta
saja pertolongan mereka."
"Tidak semudah itu.
Manusia-manusia yang hidup di kota besar mengukur sesuatu tindakan dengan nilai
untung rugi. Tak perduli apakah yang minta bantuan seorang sahabat atau bukan.
Urusan macam begini belum apa-apa akan membuatku jengkel dan marah. Mauku semua
manusia macam begitu layak dipercepat menghadap malaikat maut. Tapi ini berarti
akan muncul musibah besar "
"Lalu apa rencanamu Dewa
Tuak?"
"Aku mendapat petunjuk
dari seorang tua yang biasa dikenal dengan panggilan Si Segala Tahu. Kau kenal
padanya….?"
"Kenal sekali!"
jawab Wiro. "Aku beberapa kali mendapat petunjuknya."
"Nah, dialah yang memberi
tahu kalau saat ini kau berada di daerah ini. Dia pula yang menasihatiku agar
aku menerimamu, menuturkan apa kesulitanku lalu meminta agar kau
menolongku"Ah ….!" Wiro garuk-garuk kepala.
Dewa Tuak menatap paras pemuda
itu sesaat lalu berkata; "Jika kau tak mau memandangku dan keberatan
menolongku, kau harus sudi memandang Si Segala Tahu.
Wiro terdiam.
"Aku menunggu jawabmu,
anak muda."
"Apa yang harus
kulakukan?" tanya Wiro akhirnya.
"Pergi ke Lumajang.
Selamatkan Anggini. Dapatkan kitab yang dicuri. Hanya itu "
"Hanya itu "
mengulang Wiro dalam hati. Tetapi dia yakin bahwa persoalan yang bakal
dihadapinya bukan hanya itu. Bukankah Dewa Tuak tadi telah menerangkan bahwa
sebagai Adipati, Kebo Penggiring memiliki kawan-kawan yang dekat dengan
Keraton, yang berarti adalah orang-orang berkepandaian tinggi dan sekaligus
memiliki kekuasaan?!
"Aku tahu kau mampu
melakukannya Wiro. Jika aku tahu kau tak mampu, aku tak akan meminta bantuanmu
. . . Dan kalau kau memang ingin menolong, makin cepat kau berangkat ke
Lumajang, makin baik . . . ."
"Kalau seorang tua dan
sahabat sepertimu berkata begitu, apa lagi yang harus kulakukan selain membantu
"
"Terima kasih anak muda
…" kata Dewa Tuak dan kali ini-sambil tersenyum.
"Ini kau ambillah bumbung
yang satu ini!" Kakek itu lalu mengambil bumbung tuak yang tergantung di
punggungnya lalu melemparkan benda itu kepada Wiro.
"Terima kasih, aku tak
ingin jadi mabuk!" kata Wiro. Namun tabung bambu berisi tuak itu sudah
melayang ke arahnya. Ketika dia terpaksa menangkapnya, memandang ke atas Dewa
Tuak sudah tak ada lagi di atas cabang pohon.
Pendekar 212 kembali
garuk-garuk kepala. Akhirnya didekatkannya juga ujung bambu ke bibirnya lalu
meneguk tuak kayangan yang rasanya memang manis sedap menghangatkan.
*******************
Wiro meneguk lagi air dalam
kantong kulit yang dibawanya. Memandang ke depan dia masih belum melihat
apa-apa. Seolah-olah pedataran pasir di tenggara Pegunungan Tengger itu tidak
berujung.
"Perjalanan gila!"
maki murid Sinto Gendeng dalam hati. "Kalau tidak memandang kakek tua
peminum tuak itu, dan jika tidak menimbang keselamatan muridnya tak bakal aku
melakukan ini!" Wiro meneguk sekali lagi air dalam kantong. Ketika untuk
ke sekian kalinya dia memandang ke depan, samar-samar di kejauhan dilihatnya
sebuah titik kecil, seperti terletak tepat di atas katulistiwa. Semakin dekat
dia ke arah titik itu, semakin besar tampaknya dan dalam jarak kurang dari lima
puluh tombak Wiro mengetahui benda yang tadi terlihat berupa titik ternyata
adalah sesosok tubuh manusia yang menggeletak menelantang di atas pasir.
Orang ini masih muda, berpakaian
dan berikat kepala putih-putih. Tubuhnya tinggi dan kekar. Namun saat itu tubuh
yang kekar itu tampak tak berdaya.
Kedua matanya terpicing. Wajah
dan tubuhnya hampir berselimut pasir sedang bibirnya kelihatan kering.
"Ini bukan setan
pedataran pasir!" kata Wiro membatin. "Tapi mengapa manusia ini
berada di sini seperti ini? Masih hidup atau sudah mati?" Wiro turun dari
kudanya. Dia memegang lengan pemuda yang terbujur di pasir itu.
Terasa panas. Juga terasa
denyutan nadi, tanda masih hidup. "Sobat tak dikenal, bangunlah! Apa kau
mau berkubur di tempat ini?!" Wiro menegur dengan suara keras. Tubuh di
atas pasir tidak bergerak,Wiro ambil kantong airnya lalu sedikit demi sedikit
tuangkan air ke atas bibir yang kering. Sesaat kemudian bibir itu tampak
bergerak. Wiro tuangkan lebih banyak air. Dengan tangan kirinya dia menyeka
pasir yang menutupi wajah si pemuda. Ternyata pemuda itu berwajah tampan.
Sesaat kemudian mata yang terpejam membuka perlahan-lahan.
"Apakah kau malaikat maut
yang datang menjemputku ….?" Keluar suara parau dan sangat perlahan dari
mulut pemuda itu.
Kalau di tempat lain Wiro
mungkin akan tertawa bergelak mendengar katakata itu. Dia tuangkan lebih banyak
air lalu mendudukkan si pemuda di tanah dan menahan punggungnya dengan lutut
agar tidak rebah.
"Aku bukan malaikat maut.
Justeru aku ingin bertanya mengapa kau enakenakan tidur di gurun pasir
ini….!"
Mata si pemuda membuka lebar.
Mulutnya menyeringai. "Sialan!" ujarnya.
"Siapa yang enak-enakan
tidur. Terlambat kau muncul di sini aku sudah jadi mayat kering "
"Aku membawa kuda
cadangan. Apakah kau bisa berdiri lalu ku bantu naik ke punggung binatang itu
…."
"Aku harus melakukan apa
yang kau katakan. Tapi beri lagi aku minum … ."
Setelah minum, dengan ditolong
oleh Wiro pemuda itu berdiri. Sesaat pemandangannya berkunang-kunang, tubuhnya
seperti hendak terbanting. Wiro cepat memegang bahunya.
"Manusia-manusia keparat.
. .!"
"Eh, siapa yang kau maki
sobat?" tanya Wiro.
"Orang-orang itu. Mereka
membokongku. Merampas dua senjata mustika milikku. Melarikan dan meninggalkan
aku di pedataran pasir ini !
"Siapa mereka .. ;?"
"Aku tidak kenal. Mungkin
bangsa perampok. Mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Sobat, kau telah
menolongku. Aku berterima kasih. Kau hendak menuju ke manakah …?"
"Lumajang," sahut
Wiro.
"Kalau begitu kita pergi
sama-sama. Manusia-manusia keparat itu pasti juga menuju ke sana."
"Namaku Wiro Sableng. Kau
siapa?" tanya Pendekar 212.
"Namamu aneh. Apakah kau
benar-benar sableng hingga orang tuamu memberikan nama begitu …?
”Namaku Mahesa Kelud."
Wiro tersenyum. "Senjata
apa yang mereka rampas darimu?" tanyanya kemudian.
"Sebilah Pedang Sakti dan
sebilah Keris Ular Emas ”
"Hemmrn.. Nasibmu memang
malang. Mudah- mudahan saja kau menemukan para pencuri itu …"
"Bukan hanya
menemukannya. Tapi juga membunuh mereka semua!" jawab Mahesa Kelud dengan
tangan terkepal, lalu naik ke atas kuda cadangan yang dibawa Wiro. (Siapa
adanya Mahesa Kelud dapat pembaca ikuti dalam serial Mahesa Kelud Pedang Sakti
Keris Ular Emas)
4
KEDAI Itu berbentuk pendopo
terbuka dan cukup besar. Karena merupakan satu-satunya rumah makan di daerah
tenggara maka sepanjang siang tampak selalu ramai. Apalagi terletak di
Gucialit, sebuah kota kecil pusat persimpangan beberapa jalan di selatan
Tengger.
Matahari pagi baru saja naik
ketika kedua orang muda itu sampai di kedai dan langsung masuk. Tubuh
serta-pakaian mereka yang kotor penuh debu membuat pemilik kedai segera
menyongsong, bukan untuk melayani tapi untuk ajukan pertanyaan.
"Dua pemuda asing, apakah
kalian punya uang untuk makan dan minum di kedaiku ini. . . .’"
Wiro terkesiap tapi juga
mendongkol marah. Dia memang sama sekali tidak punya uang lagi karna sudah
diberikan pada Memed Gendut untuk pembeli kuda. Sebaliknya Mahesa Kelud yang
setengah mati keletihan dan kelaparan belalakkan mata dan membentak:
"Jangankan makanan atau
minuman, kepalamu akan kubeli! Jangan banyak tanyai Hidangkan makanan dan teh
hangat!"
"Uangmu dulu, orang
muda!" kata pemilik kedai sambil ulurkan tangan.
Wiro tak dapat menahan
kesalnya. Dia berbisik pada Mahesa Kelud; "Kau punya uang . . . Lekas
berikan padaku Mahesa Kelud yang hendak menampar pemilik kedai itu batalkan
niatnya.
Dengan rasa tidak mengerti dia
berikan dua keping uang pada Wiro. Begitu menerima uang itu Wiro secepat kilat
sumpalkan ke dalam mulut pemilik kedai.
"Ini uangnya. Kau
makanlah!"
Tercekik dan megap-megap
pemilik kedai itu masuk ke dalam sementara Wiro dan Mahesa Kelud duduk di
bangku panjang. Seorang pelayan datang membawa makanan dengan sikap ketakutan.
Dua pemuda ini segera menyantap dengan cepat. Selagi menggerogot sepotong ikan
goreng, Mahesa Kelud layangkan pandangannya berkeliling. Tiba-tiba saja pemuda
ini bantingkan ikan goreng itu ke meja.
"Sobat, ada apa? Kau
ketulangan . . . Ikannya tidak enak?" tanya Wiro.
Mahesa menggoyangkan kepalanya
ke arah sudut kedai di mana tampak duduk tiga orang lelaki berpakaian bagus
yang baru saja selesai makan dan kini tengah menghangatkan diri dengan
secangkir kopi. Di bagian lain masih terdapat kira-kira setengah lusin tamu.
Tiga orang tamu berpakaian bagus itu duduk membelakang dan agak jauh hingga
tidak melihat kedatangan Mahesa dan Wiro, juga tidak mengetahui pertengkaran
dengan pemilik kedai tadi"Siapa mereka . . .?" tanya Wiro.
"Tiga dari lima bangsat
perampok yang menghadangku di pedataran pasir …"
jawab Manesa Kelud seraya
berdiri.
"Cara mereka berpakaian
seperti hartawan, bukan seperti rampok …."
"Hartawan atau rampok
yang pasti mereka akan rasakan tanganku saat ini juga!"
Habis berkata begitu Mahesa
Kelud ambil sebuah kursi di samping kanannya.
Kursi ini kemudian
dilemparkannya ke arah tiga orang yang duduk membelakang.
Kursi masih melayang setengah
jalan tapi tiga orang berpakaian bagus yang duduk membelakang serentak sudah
mencelat dari tempat masing-masing, pertanda bahwa mereka memiliki naluri
kewaspadaan yang tinggi. Kursi yang dilemparkan menghantam tiang kedai dan
hancur berantakan. Tiga orang itu cepat membalik. Jelas rasa terkejut membayang
di wajah mereka ketika melihat Mahesa Kelud melangkah mendekati. Terkejut
karena menyangka pemuda itu pasti sudah menemui kematian di panggang sinar
matahari di pedataran pasir.
Para pengunjung kedai yang
lain saat itu telah berdiri dan menyingkir menjauh, menyaksikan apa yang bakal
terjadi selanjutnya. Sementara Wiro Sableng setelah memperhatikan sesaat,
seperti tak acuh apa yang terjadi melanjutkan makannya dengan lahap.
Lelaki berpakaian bagus di
sebelah tengah usap usap dagunya. Dia melirik pada kedua temannya lalu kembali
memandang ke arah Mahesa yang kini tegak empat langkah di hadapannya dan
kawan-kawan.
Mahesa menuding tepat-tepat ke
arah ketiga orang itu dengan telunjuk kiri.
"Sebelum pembebasan
kulakukan lekas kalian kembalikan pedang serta keris milikku yang kalian
rampas. Juga kuda putihku!. Tiga orang di hadapan Mahesa sama-sama menyeringai.
"Pemuda kesasar,
pagi-pagi begini kau sudah bicara ngacok tak karuan.
Kenal pun tidak. Tampang
burukmu baru kami lihat saat ini. Dan kau bicara tentang segala macam pedang
serta keris! Gila!” Yang bicara adalah lelaki di sebelah tengah.
"Hemm . .. Kau dan
teman-teman pandai bersandiwara! Bagus! Teruskansandiwara kalian sampai keliang
kubur!"
Mahesa berkelebat ke depan.
Tangan dan kakinya menebar serangan. Pemuda ini memiliki kepandaian silat dan
tingkat tenaga dalam yang bukan sembarangan: Gurunya Embah Jagatnata alias Simo
Gembong pernah menggegerkan dunia persilatan di tanah Jawa.
Di samping, itu dia mendapat
tambahan kepandaian dari seorang tokoh yang dikenal dengan nama Karang Sewu.
Ditambah pula ilmu silat langka yang didapatnya dari seorang tokoh luar biasa
bernama Suara Tanpa Rupa. Tidak mengherankan kalau serangan yang dilancarkan
Mahesa mendatangkan suara angin deras.
Tiga lawan yang mendapat
serangan berpencar. Gerakan mereka bukan saja cepat sekali tetapi juga enteng.
Ternyata tiga manusia inipun memiliki kepandaian tak rendah. Kalau tidak tak
mungkin mereka dan dua kawan lainnya sanggup membokong Mahesa di pedataran
pasir. Ketiga orang ini sebenarnya bukanlah bangsa perampok. Mereka merupakan
tokoh-tokoh silat dari Kotaraja yang sengaja melakukan perjalanan atas
permintaan seseorang di Lumajang.
Melihat serangan pertamanya
menemui kegagalan, Mahesa Kelud kertakkan rahangnya. Sambil menendang meja
makan dia balikkan tubuh dan kini berkelebat menghantam ke arah lawan di ujung
kiri.
Sambil mengunyah nasi dalam
mulutnya Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala melihat perkelahian itu.
Diam-diam dia kagum melihat gerakan menyerang Mahesa tadi. Namun tiga lawannya
ternyata memiliki kepandaian tidak rendah, membuat bisa-bisa pemuda itu
menemukan nasib jelek.
Mahesa menghantam dengan
jotosan mengandung aji "Karang Sewu" atau pukulan batu karang yang
sanggup menghancurkan benda keras bagaimanapun. Lawan yang diserang tampaknya
sudah mencium keganasan pukulan itu. Sambil melompat ke belakang dia bersuit
keras. Suitan ini seolaholah isyarat bagi kedua kawannya karena saat itu juga
dua orang lainnya datang menyerbu dari kiri kanan. Masih mengandalkan pukulan
batu karang di kedua tangannya.Mahesa Kelud menjotos ke kiri dan ke kanan,
sambut serangan dua lawan. Seperti kawannya tadi, dua orang ini melompat ke
belakang seraya keluarkan suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu orang yang
berada di sebelah depan menghantam ke depan dengan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam penuh!
Mahesa sengaja sambut pukulan
lawan dengan maju menyongsong sambil melintangkan tangan kiri, membabat lengan
orang.
"Jangan!" teriak
salah seorang ketika melihat kawannya yang memukul itu sengaja mengadu kekuatan
dengan saling bentrokkan lengan. Tapi terlambat.
Kraaaakk!
Tulang lengan orang di depan
Mahesa Kelud bukan saja patah tetapi juga hancur hingga bagian sebelah buawah
terkuntai-kuntai mengerikan. Jeritan setinggi langit keluar dari mulutnya.
Tubuhnya jatuh duduk di lantai kedai.
Dengan tangan kirinya dia
cepat-cepat menotok urat besar di pangkal bahu hingga kebal rasa. Untuk
beberapa saat lamanya dia hanya bisa menjelepok begitu rupa.
"Pukulan karang
sewu!" seru lelaki di samping kanan Mahesa, yang membuat murid Emban
Jagatnata ini terkejut karena tak menyangka kalau orang mengenali ilmu
pukulannya. Wajah dua orang lawan tampak berubah. Setelah saling lemparkan
pandangan yang mengandung isyarat keduanya gerakkan tangan ke balik pakaian.
Sesaat kemudian mereka telah mengeluarkan senjata.
Yang di sebelah kanannya
memegang sebilah clurit besar hampir berbentuk arit Kawannya mencekal sebatang
tongkat terbuat dari kuningan yang memancarkan sinar redup tapi angker.
Sebelumnya orang-orang itu
bersama dua kawannya yang lain yang saat itu tak kelihatan di tempat itu telah
berhasil membokong Mahesa di pedataran pasir Tengger. Hal itu sudah cukup
membuktikan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi.. Kini dengan senjata di
tangan tentunya dua lawan tersebut lebih banyak berbahaya. Tetapi Mahesa Kelud
percaya diri dan tidak gentar menghadapi. Bila dua lawan itu maju menyerbu dia
siap menyambut dengan jurus kematian.
Namun di saat itu justru
terdengar suara membentak.
"Orang-orang tak tahu
diri! Pengecut tengik! Su- dah main keroyok sekarang pakai senjata pula! Tangan
kosong harus dihadapi dengan tangan kosong!
Itu namanya pendekar
sejati!"
Dua orang lawan Mahesa Kelud
tidak sempat menyelidik siapa yang membentak itu. Dua buah piring tiba-tiba
melesat ke arah mereka. Sebelum keduanya sempat berkelit, lengan masing-masing
sudah dihantam piringpiring itu. Piring pecah, makanan yang masih ada di
atasnya berhambur mengotori pakaian dan muka kedua orang itu. Keduanya mengeluh
tinggi dan karena tak tahan menanggung sakit terpaksa lepaskan senjata
masing-masing sementara mereka dapatkan lengan mereka berlumuran darah akibat
hantaman piring.
Mahesa Kelud melirik ke arah
meja di mana Wiro Sableng duduk. "Sableng!"
katanya sambil menyeringai.
"Jurus piring terbangmu boleh juga! Tapi kita kehilangan dus piring nasi
dan lauknya!"
"Tak usah kawati r!
Kunyuk-kunyuk itu yang akan membayar!" sahut Wiro.
"Makan tanpa minum tentu
tak sedap! Nah silahkan meneguk air .. ." Habis berkata begitu Pendekar
212 Wiro Sableng lemparkan dua cangkir berisi air ke arah dua pengeroyok.
Meskipun mereka sempat mengelak selamatkan kepala tapi air dalam cangkir besar
itu telah lebih dulu mengguyur kepala keduanya.
Marah besar karena merasa
dipermainkan, orang di sebelah kanan menerjang dengan satu tendarfgan ke arah
perut Mahesa sementara kawannya berkelebat cepat memungut clurit besar dan
tongkat kuningan. Namun dia hanya sempat mengambil tongkat kuningan karena
sebelum dia berhasil memegang hulu clurit, Wiro Sableng sudah melompat ke
hadapannya kirimkan tandangan ke arah pentatnya
Wutt
Tongkat kuningan memapas deras
kaki yang datang menendang. Namun hanya menghantam tempat kosong karena di saat
yang bersamaan Wiro melesat ke atas sambil hunjamkan tumit kirinya ke arah bahu
kanan lawan.
Kraak!
Tulang bahu itu patah. Tongkat
kuningan lepas dan pemiliknya jatuh di lantai kedai, berguling-guling sambil
berteriak kesakitan, lalu tergelimpang dekat sebuah jambangan tanah liat.
Melihat kejadian ini kawannya
yang menghadapi Mahesa Kelud jadi terkesiap.
Sebelumnya dia memang telah
mempreteli Mahesa secara mudah. Tapi itu dilakukan bersama dua orang kawannya
yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Kini tanpa dua kawan itu dan setelah
menyaksikan dua kawannya yang ada di situ cidera berat, nyalinya menjadi lumer.
Tanpa pikir panjang dia menghambur ke luar kedai.
"Ho .. .ho! Cacing tanah
pengecut! Kau mau lari ke mana!" teriak Mahesa Kelud mengejar. Tapi dua
buah senjata rahasia berbentuk lempengan besi hitam menyambutnya. Mahesa
menghantam dengan pu- kulan tangan kosong. Dua senjata rahasia mental dan
menancap di atas loteng kedai. Ketika hendak mengejar kembali, orang yang lari
telah lenyap. Di kejauhan terdengar suara kuda dipacu.
Mahesa Kelud kepalkan tangan
kanan. Dia melangkah mendekati orang yang patah tulang bahunya. Sementara Wiro
menyeret kawannya yang patah tangan lalu melemparkannya ke dekat si patah bahu.
Orang lain yang ada di kedai itu, termasuk pemilik dan para pelayan tak ada
satupun yang berani bergerak.
Mahesa Kelud injak tulang bahu
yang patah hingga orang itu menjerit kesakitan.
"Sakit ?!" tanya
Mahesa Kelud mengejek.
"Sakit… Sakit
sekaliiiii" jawab orang itu.
"Bagus! Aku akan
mengajukan beberapa pertanyaan! Jika kau tidak mau menjawab dengan benar, tulang
bahumu satu lagi akan aku hancurkan!"
"Jangan! Jangan lakukan
itu. Katakan apa yang ingin kau ketahui. .. ." ratap orang itu ketakutan.
"Pertama di mana sepasang
senjata mustika milikku serta kuda putihku kalian sembunyi kan?!" tanya
Mahesa.
"Kami…. kami tidak
menyembunyikan. Dua orang kawan kami membawa kuda putih itu. Juga keris dan
pedang merah"Di mana mereka sekarang?"
"Turut penjelasan
keduanya mereka pergi ke Lumajang," menerangkan si hancur bahu.
"Lumajang! Di mana aku
harus mencari mereka di sana?" tanya Mahesa lagi.
"Keduanya pasti ke
Kadipaten. Menemui Adipati Kebo Penggiring …."
"Apakah kalian berlima
orang-orang Adipati itu?" Wiro yang ajukan pertanyaan.
"Bukan . . . kami bukan
orang-orangnya. Kami hanya sahabat yang diminta tolong.
‘Dimintai tolong apa? Apa
Adipati yang menyuruh kalian menghadang dan merampokku di pedataran pasir
Tengger "
"Hal itu aku tidak jelas”
"Jangan berdusta!"
ancam Mahesa Kelud lalu kaki kanannya menginjak bahu yang patah hingga orang
itu menjerit setengah mati.
"Aku tidak berdusta
…" teriaknya.
Lelaki yang patah tandan
berusaha meyakinkan.
"Tamanku itu tidak
berdusta. Seseorang datang pada kami membawa uang dan memberi pekerjaan. Kami
harus menghadang dan membunuh seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian
putih-putih yang akan melintas pedataran Tengger menuju Lumajang. Kami berlima
menemui kau. Ternyata bukan kau orang yang dimaksudkan. Tapi karena melihat kau
membawa kuda bagus serta membakar senjata sakti maka kami membokongmu lalu
meninggalkan di pedataran pasir Mahesa melirik ke Whh Wiro Sableng yang berdiri
sambi! garuk-garuk kepala.
"Berarti sebenarnya
akulah yang kalian tuju .. ." kata murid Sinto Gendeng itu.
"Benar.. .’.Mungkin
sekali. Ciri-ciri kalian hampir sama…" jawab si patah lengan.
"Kenapa kalian
diperintahkan membunuhku?"tanya Wiro.
"Itu kami tak tahu.
Utusan itu tidak menjelaskan apa-apa."
"Juga tidak menjelaskan
siapa yangg menyuruhnya..”
Yang ditanya tak menjawab.
Wiro angkat kaki kanannya lalu
dihantamkan kebawah.
Kraak!
"Jangan … .! Jangan
hancurkan kakiku ….!"jerit orang itu.
"Terserah padamu. Hancur
kaki atau bicara …"
"Aku … aku akan bicara
…." katanya.
"Buka mulutmu!"
Terus terang, aku tak tahu
siapa di belakang utusan itu. Namun aku menduga, dia diutus oleh Adipati Kebo
Penggiring. Hanya itu yang aku ketahui.
Hanya itu "
Wiro berpaling pada Mahesa
Kelud. "Bagaimana pendapatmu?" tanyanya.
"Aku harus mengejar
pencuri kuda dan senjata itu …." sahut Mahesa Kelud.
"Kalau begitu kita
berangkat sekarang juga!" ujar Wiro Sableng. Lalu dia membungkuk dan
menggeledah kedua orang itu.
"Apa yang kau cari?"
tanya Mahesa Kelud..
‘Sepasang senjata milikmu!
Ternyata mereka memang tidak menyembunyikannya. Orang-orang seperti mereka
tidak boleh dipercaya begitu.saja. Segala ucapannya harus diselidik "
5
WIRO SABLENG dan Mahesa Kelud
memacu kuda masing-masing melewati daerah berbukit-bukit batu. Ini merupakan
ujung dari pedataran pasir Tengger setelah mereka melewati Gucialit. Sehabis
bebukitan batu itu kota tujuan mereka yakni Lumajang hanya tinggal setengah
hari perjalanan. Menjelang malam mereka berharap sudah sampai di sana dan
melakukan apa yang harus mereka kerjakan. Mahesa Kelud harus mendapatkan
kambali kuda putih serta sepasang senjata mustikanya. Sedang Pendekar 212 Wiro
Sableng sesuai dengan janjinya harus melaksanakan tugas yang dibebankan Dewa
Tuak kepadanya yaitu mendapatkan kembali kitab milik kakek itu yang dicuri sang
murid. Lalu tugas berikutnya ialah menyelamatkan Anggini — Murid Dewa Tuak yang
dulu pernah hendak dijodohkan dengannya — dari tangan Kebo Penggiring.
Di puncak sebuah bukit batu
dua pendekar itu berhenti sejenak untuk beristirahat. Kebetulan di situ
terdapat sebuah mata air. Mereka minum sepuasnya. Begitu juga kuda tunggangan
masing-masing. Setelah mendapat kesegaran baru mereka melanjutkan perjalanan.
Jalan menurun yang ditempuh diapit di kiri kanan oleh iamping batu setinggi
hampir dua puluh tombak.
Derap kaki-kaki kuda menggema
di samping bukit batu itu.
"Aku tiba-tiba saja
merasa tidak enak …." Murid Sinto Gandeng berseru pada Mahesa Kelud. Dia
memandang berkeliling lalu memperhatikan jauh-jauh ke depan.
Mahesa Kelud ikut meneliti
keadaan di sekitarnya lalu berkata: "Tak ada yang harus dikawatirkan.
Musuh-musuh berada jauh di Kadipaten!" Dari Wiro murid Embah Jagatnata
alias Simo Gembong itu telah mendengar penuturan mengapa Wiro harus pergi ke
Lumajang.
"Turut beberapa
penjelasan yang kudengar, daerah bukit batu ini sering dipakai para perampok
untuk menghadang mangsanya!" kata Wiro lagi.
"Aku telah mengalami
kejadian pahit di pedataran pasir Tenggara. Tapi sekali ini,jika ada perampok
yang berani muncul, mereka hanya minta mampus!"
menyahuti Mahesa Kelud.
Baru saja Mahesa Kelud berkata
begitu tiba-tiba Wiro melihat gerakan mencurigakan di puncak bukit samping
kiri. Hal yang sama juga tampak pada puncak bukit batu sebelah kanan.
"Lihat!" saru Wiro.
Mendongak ke atas Mahesa Kelud
melihat ada tiga buah batu besar di puncak bukit sebelah kanan lalu tiga lagi
di sebelah kiri. Enam buah batu itu bergerak ke tubir atas bukit lalu
menggelinding ke bawah dengari suara gemuruh mengerikan.
"Lekas berlindung!"
teriak Mahesa Kelud.
Dua pendekar itu menggebrak
kuda masing-masing. Begitu kedua kuda itu menghambur lari, Mahesa Kelud dan
Wiro melompat dari punggung kuda, selamatkan diri dengan berlindung di bawah
lakukan bukit batu pada sisi kiri kanan.
Enam buah batu besar
menghempas dahsyat. Dua ekor kuda terperangkap di celah bukit. Terdengar
ringkikan kedua binatang itu di antara gemuruh batubatu yang jatuh. Lalu sunyi.
Debu dan pasir sesaat beterbangan ke udara menutupi pemandangan. Begitu debu
dan pasir luruh ke tanah dan keadaan terang kembali Wiro dan Mahesa Kelud
menyaksikan pemandangan yang mengenaskan. Dua ekor kuda itu tergelimpang mati
di bawah himpitan enam batu besar"Bangsat rendah!" sumpah Mahesa
Kelud marah sekali. Kedua tangannya di silangkan di muka dada Mulutnya bergetar
melapatkan aji kesaktian sedang tubuhnya menggelegar menghimpun tenaga dalam.
Didahului bentakan keras Mahesa Kelud kemudian hantamkan tangan kanannya ke
atas. Kilatan api merah dan panas menderu. Tubir bukit batu setinggi tombak di
atas kiri sana tampak berpijar lalu hancur berantakan. Pecahan batu dan
bongkahan tanah beterbangan. Namun siapapun adanya orang orang di atas sana
agaknya tak satupun yang cidera. Rupanya mereka telah lebih dulu meninggalkan
tempat itu sebelum pukulan "ilmu api" yang dilepaskan murid Emban
Jagatnata menghancurkan sebagian tubir batu.
Kagum melihat kehebatan
kawannya, Pendekar 212 Wiro Sableng tak mau kalah. Tangan kanannya sampai
sebatas siku mendadak berubah menjadi putih perak. Ketika pendekar ini
menghantam ke tubir bukit batu sebelah kanan, berkiblatlah sinar putih
menyilaukan disertai deru angin panas yang dahsyat.
Puncak bukit batu di atas sana
menggelegar runtuh.
"Pukulan sinar
matahari!" seru Mahesa Kelud kaget dan kagum ketika menyaksikan pukulan
itu. Dia sudah lama mendengar namun baru sekali ini menyaksikan sendiri. Kini
Mahesa Kelud sadar siapa sebenarnya kawannya yang selalu dipanggilnya dengan
sebutan Sableng ini!
Seperti pukulan sakti yang
dilepaskan Mahesa Kelud tadi, hantaman pukulan sinar matahari yang dilepaskan
Wiro pun tidak mengenai siapa-siapa di atas sana.
"Keparat-keparat itu
pasti sudah melarikan diri!"ujar Mahesa Kelud jengkel.
Dia ingin sekali mengejar,tapi
tanpa kuda hal itu tak mungkin dilakukan.
"Mereka pasti orang-orang
Adipati Kebo Penggiring!" kata Mahesa Kelud seraya tepuk-tepuk pakaiannya
yang penuh oleh debu. Dia memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu
berkata: "Tak ada jalan lain. Kita harus melanjutkan perjalanan dengan
jalan kaki!"
"Aku akan berikan
pembalasan berikut bunganya pada mereka!" kata Mahesa Kelud pula sambil
kepalkan tinju.
***************
EMPAT orang penunggang kuda
tampak bersiap-siap di halaman samping gedung Kadipaten Lumajang. Salah seorang
di antara mereka yang mengenakan pakaian kebesaran Adipati bukan lain adalah
Adipati Kebo Penggiring. Di sebelahnya berturut-turut adalah dua lelaki
berpakaian bagus, berusia agak lanjut tapi memiliki tubuh sangat kekar. Salah
seorang menunggang kuda putih.
Yang seorang lagi kakek
berpakaian biru yang ada parut bekas luka pada mukanya sebelah kiri mulai dari
dagu sampai ke dekat mata.
"Kalian pasti Tunggul
Soka dan Gajah Bledeg akan sampai malam ini dari Kotaraja?" Adipati Kebo
Penggiring bertanya.
Tiga orang di sampingnya sama
mengangguk. Si cacat muka yang bernama Ronggo Kemitir membuka mulut: "Tak
usah kawatir. Mereka pasti datang untuk menjemput senjata-senjata mustika itu.
Sekaligus membantu kita menghadapi pendekar suruhan Dewa Tuak itu "
Kebo Penggiring merasa kurang
enak karena dianggap seperti takut. Dia cepat berkata: "Soal pemuda
gandeng itu tak usah dikawatirkan. Hanya saja aku dengar kini dia bergabung
dengan seorang pendekar muda lainnya. Ini gara-gara dua sahabatku ini kesalahan
turun tangan di pedataran Tengger.
Betul begitu ?"
Dua telaki bertubuh kekar
berpakaian bagus terdengar batuk-batuk. Salah seorang dari mereka yakni yang
menunggang kuda putih hasil rampasan milik Mahesa Kelud menjawab: "Dengan
siapa pun pendekar gendeng itu bergabung tak perlu ditakutkan. Kekuatan kita
berempat di sini cukup dapat diandalkan, apalagi ketambahan Tunggul Soka dan
Gajah Bledeg. Jika pemuda itu punya kepandaian tinggi, mana mungkin kami
berhasil merampas kuda dan senjatasenjata miliknya "
"Tapi menurut kawanmu
yang berhasil melarikan diri dari Gucialit, dua pendekar itu telah membikin
cacat seumur hidup dua kawan kalian. Itu sebabnya aku mengusir kawanmu yang satu
itu. Karena kuanggap tidak mampu menjalankan tugas!"
"Kepandaian mereka
bertiga memang jauh di bawah kami, Adipati. Tidak heran kalau mereka kena
dipreteli. Lihat saja nanti. Jika dua pendekar itu muncul di sini, kami akan
memberi pelajaran paling bagus padanya. Adipati tinggal minta bagian tubuhnya
yang mana. Kepala, atau hati atau jantung …"
Adipati Kebo Penggiring
berdiam diri saja mendengar kata-kata orang bernama Tambak Ijo itu. Di saat
yang sama dari halaman belakang muncul seorang diiringi oleh dua pengawal yang
menghunus tombak. Orang yang digiring dua pengawal itu ternyata adalah seorang
gadis berparas cantik, berpakaian ungu.
Kedua tangannya terikat di
sebelah depan, setiap langkah yang dibuatnya tampak menyebabkan tubuhnya
sebelah atas erhuyung-huyung.
"Ronggo Kemitir,"
kata Adipati Kebo Penggiring pada kakek bermuka cacat.
"Sebelum berangkat, coba
periksa dulu totokan di tubuhnya. Aku tak ingin kita mendapat kesulitan dalam
perjalanan, walau cuma dekat saja "
Kakek berpakaian biru melompat
turun dari atas kudanya. Sesaat dia meraba-raba punggung gadis berpakaian ungu
lalu berpaling pada Kebo Pengigiring sambil anggukkan kepala. "Totokanku
masih berjalan baik. Kedua tangan tetap lumpuh, jalan suara masih normal,
sepanjang kaki masih bisa berjalan tapi terbatas"Bagus! Kalau begitu
naikkan dia ke atas kudaku. Dudukkan di sebelah depan!" ujar Adipati
Lumajang.
"Siapa sudi duduk
bersamamu! Keparat!" Tiba-tiba gadis baju ungu itu memaki.
"Gadis binal! Jaga
mulutmu!" mendamprat Tambak Ijo sementara Kebo Penggiring cuma
menyeringai.
Dengan satu gerakan enteng dan
sangat cepat, Ronggo Kemitir menangkap pinggang gadis berbaju ungui lalu
mengangkat dan mendudukkannya di atas kuda di sebelah depan sang Adipati. Hal
ini membuat sang dara tambah marah dan memaki tiada henti. Namun dia tak bisa
berbuat lain karena tubuhnya dikuasai satu totokan amat lihay.
"Penging murid
murtad!" si gadis membentak menyebut nama asli Kebo Penggiring. "Guru
akan datang dan membeset tubuhmu sampai lumat!"
Kebo Penggiring tertawa tawar.
"Jika tua bangka buruk itu ingin menyelamatkanmu tentu dia sudah datang
dulu-dulu! Buktinya sampai hari ini dia tidak unjukkan muka! Gurumu hanya
pandai mabuk-mabuk meneguk tuak!"
"Murid pengkhianat!
Pencuri laknat!" teriak si gadis.
Kebo Penggiring memberi
isyarat. Diikuti oleh Ronggo Kemitir, Tambak Ijo dan lelaki kekar satu lagi
yang bernama Lah Bludak, mereka segera meninggalkan halaman Kadipaten.
Saat itu malam telah turun.
Udara yang sejak sore mendung membuat malam tambah memekat gelap. Rombongan itu
bergerak ke arah timur, menuju pusat Kadipaten yakni sebuah alun-alun. Karena
letaknya tidak jauh dari gedung Kadipaten maka sebentar saja mereka sampai di
situ. Di tengah alun-alun, dalam kegelapan malam tampak berdiri sebuah panggung
setinggi satu tombak.
Di atas panggung kayu itu
dibangun dua buah tonggak besar berikut palangnya di sebelah atas, lengkap
dengan tali besar. Keseluruhannya membentuk sebuah tiang gantungan yang
mengerikan. Di bawah panggung tampak duduk berjongkok sesosok tubuh. Di
hadapannya ada sebuah pendupaan menyala yang asapnya menebar bau menyan!
"Anggini, kau lihat tiang
gantungan itu?" Kebo Penggiring bertanya pada gadis yang duduk diatas kuda
di sebelah depannya.
"Mataku tidak buta!"
sahut dara berbaju ungu yang ternyata adalah Anggini, murid Dewa Tuak yang
ditawan oleh Kebo Penggiring.
"Bagus, matamu tidak
buta. Kuharap hatimu juga tidak terus-menerus membatu. Apa kau tidak takut
melihat tiang gantungan itu?" tanya sang Adipati lagi.
"Takut . . . ?!" sang
dara menyeringai. "Mengapa harus takut! Digantung saat ini pun aku tidak
takut! Tak perlu menunggu sampai besok pagi!"
"Kau memang gadis
pemberani. Itu yang membuat aku kagum padamu,"
kata Kebo Penggiring
terus-terang. "Tetapi mengapa begitu sulit bagimu menerima permintaanku …
?"
Anggini kembali menyeringai
sinis. "Setelah kau uri kitab guru, setelah kau perlakukan aku seperti
ini, setelah kau menjadi seorang pengkhianat bejat, kau masih punya muka
meminta aku jadi istrimu? Puah!" Dara itu meludah ke tanah.
"Aku sudah bilang, buku
ku akan kukembalikan pada guru, sehari setelah kita melangsungkan perkawinan”
Kembali Anggini meludah.
"Penging, kau sudah terlanjur menyakiti hati guru!
Kau bahkan sudah mengotori
tanganmu dengan memperlakukan aku seperti ini "
"Tujuanku justru adalah
untuk membahagiakan dirimu. Terus-terang banyak gadis yang ingin kuperistrikan.
Semua bangga menjadi istri seorang Adipati.
Tapi kau menolak "
"Segala setan pelayangan
mungkin bangga jadi istrimu Penging! Tapi aku tidak! Justru aku akan mencincang
sekujur tubuhmu pada kesempatan pertama!"
Ronggo Kemitir si kakek
bermuka cacat geleng geleng kepala. "Gadis ini sulit untuk diberi
pengertian Adipati " katanya.
Kebo Penggiring masih berusaha
mencari harapan. "Masakan kau lebih suka digantung daripada jadi istriku?
Padahal bukankah aku adalah kakak seperguruanmu sendiri… ?"
"Pada hari pertama kau
mengkhianati guru, orang tua itu sudah tidak menganggap kau muridnya lagi. Apa
masih pantas aku menganggapmu sebagai kakak seperguruan? Tidak malu!"
"Kalau begitu kau
benar-benar menginginkan mati Anggini. Ingin digantung dengan cap sebagai
pemberontak "
"Kau boleh membunuh aku
dengan dalih apapun. Tapi kebenaran tak akan pernah bisa dikalahkan oleh
angkara murka. Kau mengkhianati guru sendiri.
Mencelakai saudara seperguruan
lalu sekaligus menjilat pada Kerajaan. Kau ternyata memang manusia busuk luar
biasa Penging!"
Paras Kebo Penggiring tampak
merah mendengar kata-kata itu. Diikuti oleh yang lain-lainnya dia membawa
kudanya menuju panggung penggantungan.
Setelah berada dekat ke tempat
itu Anggini segera melihat bahwa manusia yang duduk di bawah panggung dan
menghadapi pendupaan yang menebarkan bau menyan itu ternyata adalah seorang
nenek bermuka angker berpakaian serba hitam. Dia terdengar seperti melaporkan
mantera-mantera. Melihat kedatangan rombongan Adipati, nenek ini hentikan
membaca mantera, ulurkan kedua tangan ke muka memberi hormat.
"Nenek Juminah "
tegur Adipati Kebo Penggiring. "Menurut penglihatanmu apakah se- mua persiapan
berjalan lancar….?"
"Tentu saja Adipati . . .
tentu saja!" jawab si enek. Suaranya kecil dan dia bicara seperti orang
tercekik. "Tetapi apakah sang calon tetap memilih mati ketimbang dijadikan
istri….?"
Sang Adipati termangu sesaat
baru menjawab:
"Agaknya jalan pikirannya
tak bisa dirobah. Mungkin kau hendak mengatakan sesuatu sebelum kami
meninggalkan tempat ini….. ?"
Nenek itu tegak dari
jongkoknya. Ternyata tubuhnya pendek dan bongkok.
Matanya yang cekung memandang
lekat lekat pada Anggini, membuat gadis ini jadi tergetar juga hatinya. Lalu
terdengar kata-kata si nenek.
"Dulu aku punya seorang
anak gadis. Wajahnya jelek sekali. Apalagi dibandingkan denganmu nak. Tapi dia
begitu bangga ketika satu hari perajurit Kadipaten mengambilnya jadi istri.
Adalah aneh kalau kau yang begini cantik jelita lebih suka mati digantung
daripada dijadikan istri oleh Adipati Kebo Penggiring. Adipati bukan satu
pangkat yang rendah dan calon suamimu berwajah tampan gagah, apalagi masih
kakak seperguruanmu. Apakah kau tidak hendak merubah jalan pikiranmu yang
keliru itu nak …. "
"Nenek sialan I"
maki Anggini dalam hati. Lalu dengan suara keras dia berkata: "Jika
menurutmu pangkat Adipati merupakan pangkat yang tinggi dan tampang manusia ini
tampang gagah, mengapa tidak kau saja yang minta dijadikan istri?!"
Si nenek terkesiap latu
gelengkan kepala sementara Kebo Penggiring tersentak dan bergetar menahan
amarah.
"Gadis bodoh . . gadis
bodoh" kata si nenek berulang kali "Aku tak bisa menolongmu. Sayang .
. . sayang sekali Nenek itu kembali berjongkok dan menyebarkan kemenyan di atas
pendupaan.
"Nenek Juminah, kau telah
menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Gadis ini memang bodoh. Memilih mati
tercemar daripada menerima permintaanku "
Adipati Kebo Penggiring membalikkan
kudanya dan tinggalkan tempat itu diikuti tiga orang lainnya.
"Kau tahu apa yang bakal
terjadi atas dirimu sebelum kau digantung besok pagi Anggini?" tanya Kebo
Penggiring.
Murid Dewa Tuak tidak
menjawab.
Kebo Penggiring membuka
mulutnya kembali.
”Aku akan memberi kesempatan
sampai tengah malam nanti padamu. Jika kau tetap pada keputusanmu, maka
kehormatanmu akan kurampas. Tubuhmu kemudian akan kuserahkan pada tiga orang
dibelakangku, mungkin juga pada dua tokoh yang akan datang dari Kotaraja. Besok
pagi kau akan diseret ke tiang gantungan. Kepalamu kemudian akan dipesiangi
lalu dikirim pada gurumu Dewa Tuak!"
Anggini tak menjawab. Mulutnya
tetap terkancing. Kedua matanya dipejamkan tetapi sekujur tubuhnya menggelegak
oleh hawa amarah.
Ketika rombongan sampai di
tepi alun-alun, Tambak Ijo terdengar berseru:
"Awasi Ada orang
datang!"
Dari arah jalan di sebelah
barat terdengar derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian dua penunggang kuda
nampak muncul dari tikungan jalan yang gelap. Keduanya segera mendatangi
rombongan Adipati Kebo Penggiring. Semua orang bersiap menjaga segala
kemungkinan. Ternyata yang datang adalah dua orang yang memang sedang
ditunggu-tunggu.
"Selamat datang di
Kadipaten. Kangmas Tunggu! Soka dan kangmas Gajah Bledeg, kalian berdua memang
kami tunggu-tunggu . . . . " menyambut Kabo Penggiring.
Yang datang ternyata adalah
dua tokoh dari Kotaraja. Mereka muncul di situ sesuai dengan permintaan sang
Adipati untuk dimintai bantuan dan sekaligus menyerahkan dua buah senjata
mustika hasil rampasan. Selanjutnya senjata-senjata itu akan diteruskan ke
Keraton sebagai persembahan.
Dua oranti yang barusan datang
tertawa lebar. Gajah Bledeg yang bertubuh tinggi ramping dan mengenakan
blangkon coklat dengan hiasan bintang besi kuning di sebelah depannya sesaat
menatap paras gadis, yang duduk di atas kuda di sebelah depan sang Adipati.
Dia lalu bertanya:
"Inikah gadis pemberontak yang besok bakal menjalani hukuman
gantung’" Ketika melihat Kebo Penggiring mengangguk dia menggelenkkarn
kepala berulang kali. "Sayang sekali tubuh begini bagus dan wajah begini
jelita harus dikubur menjadi umpan cacing tanah ….. Aku yang tua ini tak
keberatan ditemani barang sejam dua jam…… "
Semua orang tertawa bargelak
mendengar ucapan Gajah Bledeg itu. Diantara tawa itu terdengar suara Kebo
Penggiring. "Kangmas Gajah Bledeg, kau tak perlu kawatir. Malam ini kau
akan mendapat bagian khusus”
"Begitu . . . ?"
ujar Gajah Bledeg seraya basahkan bibir dengan ujung lidah dan tenggorokan
turun naik. Dia berpaling pada kawannya Tunggul Soka. "Ah, ternyata
jauh-jauh datang kamari tidak sia-sia "
Tunggul Soka tersenyum dan
palingkan kepala pada Kebo Penqgiring lalu hartanya: "Adipati apakah kami
dapat segera menerima dua senjata pusaka pedang sakti dan keris ular emas itu. ….
‘"
"Tentu saja Kangmas
Tunggul. Sampean tak usah kawatir. Dua senjata itu kusimpan baik-baik
diKadipaten. Segera akan kusarankan pada kalian besok selesai upacara
penggantungan gembong pemberontak betina ini!"
"Hemm begitu …,.?"
gumam Tunggul Soka. Sebenarnya dia ingin cepat-cepat membawa dua senjata itu
kembali ke Kota raja.
"Disamping. itu kami
memerlukan bantuan kangmas berdua untuk menghadapi para pengacau yang nanti
akan segera muncul di Lumajang,"
berkata Ronggo Kemitir.
"Para pengacau ?" ujar
Gajah Bledeg sambil kerenyitkan kening.
"Besarkah jumlah mereka.
Terdiri dari beberapa rombongan pasukan dan siapa pemimpin mereka?"
bertanya Tunggul Soka.
"Ah, mereka hanya terdiri
dari dua orang. Dua pemuda ingusan" sahut Kebo Penggiring.
Mendengar hal itu Tunggul Soka
dan Gajah Bledeg tertawa gelak-gelak.
"Kalau cuma dua pemudi
ingusan biarlah aku menyediakan dua helai saputangan untuk menyeka ingus
mereka!" kata Gajah Biedag pula dan kembali pecah suara tawa bergelak
ditempat itu".
Namun diam diam ada
kekhawatiran lain dalam hati Kebo Penggiring. Bukan mustahil bekas gurunya Dewa
Tuak muncul dan ikut turun tangan.
6
SI NENEK Juminah yang duduk
terkantuk-kantuk di bawah panggung penggantungan tersentak kaget dan buka mata
cekungnya lebar-lebar. Saat itu malam sangat gelap dan udara dingin sekali. Di
hadapannya tegak dua sosok tubuh berpakaian putih-putih.
"Kalian siapa?!" si
nenek membentak galak dan melompat tegak. Wiro Sableng dan Mahesa Kelud sesaat
saling pandang lalu Wiro menjawab: "Kami dua setan dari neraka. Siap
menjemput korban penggantungan! Tapi kami belum kenai siapa kau, apa kerjamu
malam buta di tempat ini dan apa benar di sini hendak digantung gadis jelita
gembong pemherontak?!"
Kembali si nenek terkesiap
kaget mendengar ucapan pemuda berambut gondrong yang mengaku setan dari neraka
itu!
Tak kalah gertak si nenek
menjawab: "Aku dukun Juminah! Penjaga tempat penggantungan Ini!" Si
nenek masukkan sepotong kemenyan ke dalam pedupaan. Bau kemenyan menyebar
tajam. "Gadis pemberontak itu memang hendak digantung di sini, besok
pagi-pagi! Apa kalian juga bangsa pemberontak yang minta digantung?!"
"Katakan di mana gadis
pemberontak itu sekarang?!" tanya Wiro.
"Hehl Di Kadipaten
tentunya! Kalian tampaknya tidak bermaksud baik.
Jangan-jangan kalian sengaja
mencari penyakit. Lekas berlalu dari sini"
Mahesa Kelud melirik pada Wiro
dan berkata:
"Si keriput ini galak
sekali. Biar kuberi pelajaran …. "
"Jangan. Aku punya
rencana lain " kata Wiro. Lalu cepat dia menyambar pendupaan yang berisi
bara menyala. Di salah satu sudut kolong panggung dilihatnya kaleng kecil
berisi sisa minyak yang sebelumnya dipakai untuk menyalakan pendupaan. Minyak
itu diguyurkannya ke lantai panggung lalu pada tiang-tiang sebelah atas dan
bawah. Ketika bara ditebar di atas lantai yang basah oleh: minyak, api pun
segera berkobar.
"Kalian minta mati!"
teriak nenek Juminah. Tubuhnya yang bongkok melesat ke depan. Sepuluh jari
tangannya yang kotor hitam dan berkuku panjang menyambar ke dada dan wajah Wiro
Sableng. Tapi gerakannya mendadak tertahan karena pinggangnya ditangkap Mahesa
Kelud. Pemuda ini siap pura-pura melemparkannya ke dalam kobaran api hingga
nenak Juminah menjerit ketakutan. Mahesa Kelud lagi lemparkan perempuan tua itu
ke tanah seraya berkata: "Pergi temui Adipati Kebo Penggiring! Katakah
kami dua setan dari neraka siap untuk mengambil nyawanya!"
"Gila! Kalian berdua
mesti manusia-manusia gila!" teriak si nenek.
Wiro tarik kain panjang yang
dikenakan si nenek hingga melorot sampai ke pinggul!
"Hai! Kau hendak
menelanjangiku! Gilai Benar-benar gila" teriak si nenek seraya cepat
menarik lepas kainnya dari pegangan Wiro lalu tanpa tunggu lebih lama lari
lintang pukang dari tempat itu. Ternyata meskipun sudah tua dan bertubuh
bungkuk larinya kencang juga.
Ketika Adipati Kebo Penggiring
dan yang lain lainnya menerima laporan si nenek di Kadipaten, malam sudah
menjelang pertengahannya.
"Mereka sudah muncul
" desis Adipati Lumajang itu dan memandang berkeliling. "Kita harus
bergerak cepat. Menyongsong mereka ke alun-alun sebelum keduanya sampai di
sini"Jangan kawatir! Kami akan membereskannya! berkata Ronggo Kemitir
seraya memberi isyarat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak. Sebaliknya dua orang
terakhir ini menoleh ke arah Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Paham akan maksud
pandangan itu Gajah Bledeg segera membuka mulut.
"Kami berdua tetap
tinggal di sini. Menjaga keselamatan Adipati, mengawasi tawanan. Sekaligus
mengawal dua senjata mustika yang akan dipersembahkan pada Sri Baginda di
Kotaraja!"
Mendengar kata-kata itu Ronggo
Kemitir dan dua orang lainnya tak bisa berbuat lain. Ketiganya keluar dari
gedung Kadipaten pergi ke tempat dimana kuda mereka ditambatkan.
"Aku bukan menuduh yang
tidak-tidak, tapi tindak-tanduk dua benggolan Keraton tadi mendatangkan
kecurigaan . . .. " berkata Ronggo Kemitir, si kakek bermuka cacat pada
Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Kedua orang yang diajak bicara
mengiyakan dengan suara perlahan karena takut terdengar oleh Tunggul Soka dan
Gajah Bledeg. Tak lama setelah ketiga orang itu lenyap dari kejauhan Gajah
Bledeg tegak dari kursi besar yang didudukinya, sesaat melangkah mundar-mandir
di hadapan Adipati Lumajang, kemudian terdengar suaranya berkata.
"Rongga Kemitir dan dua
kawannya itu pasti mampu menghadapi dan menghajar dua pemuda yang datang
menyerbu. Jadi tak perlu aku dan Tunggul Soka berada lebih lama di sini "
Tentu saja Kebo Penggiring
terkejut mendengar ucapan itu.
"Maksud kangmas?"
tanyanya.
"Maksud kami," yang
menjawab adalah Tunggul Soka, "cepat saja kau serahkan dua senjata mustika
itu dan kamr segera kembali ke Kotaraja . . . . "
"Ah, bukan begitu
perjanjian kita semula," kata Kebo Penggiring mulai tampak kesal.
"Kangmas berdua datang ke sini memang untuk menjemput dua senjata sakti
itu. Tetapi sekaligus juga menyelesaikan masalahnya sampai tuntas.
Maksudku sampai pemuda pemilik
dua senjata mustika itu menemui ajal di depan mata hidungku. Baru aku bisa
tenteram. Kini yang datang bukan dia seorang, malah membawa kawan yang tingkat
kepandaiannya ternyata tidak rendah!"
"Kekawatiranmu terlalu
dibesar-besarkan dimas Kebo Penggiring!" kata Gajah Bledeg
pula."Terus terang kami tak punya waktu berlama-lama di Kadipaten
ini"
"Jadi kangmas tidak
menginginkan kesempatan bersenang-senang dengan gadis itu sebelum tubuhnya yang
bagus digantung besok pagi …. ?" tanya Kebo Penggiring. Dia sengaja
berkata begitu untuk membujuk.
"Tentu, tentu saja aku
sangat mengingininya dimas. Tidak banyak kulihat gadis secantik dan semulus
tawanan itu. Hanya saja tugas Kerajaan saat ini lebih penting dari tubuh molek
itu. Nah lekas kau ambillah kedua senjata itu.. "
Kebo Penggiring mengomel
habis-habisan dalam hati. Namun dia tak bisa berbuat lain. Seraya berdiri dari
kursinya dia berkata: "Jika begitu keinginan kangmas berdua baiklah.
Silahkan menunggu sebentar."
Adipati itu melangkah masuk ke
ruangan dalam. Begitu masuk ke dalam secepat kilat dia menghilang ke sebuah
ruangan rahasia di mana Pedang Sakti dan Keris Ular Mas milik Mahesa Kelud yang
diterimanya dari Tambak Ijo disembunyikannya. Kedua senjata ini disisipkannya
ke pinggang lalu bergegas meninggalkan ruangan rahasia itu. Dari sini Kebo
Penggiring memasuki sebuah lorong kecil menurun dan sampai di sebuah kamar
terbuat dari batu. Di sinilah Anggini disekap. Sang dara masih berada dalam
keadaan tertotok duduk tak bergerak di sudut kamar. Dia sudah pasrah menerima
nasib. Dinodai dan digantung. Namun gadis ini jadi heran ketika tiba-tiba saja
Kebo Penggiring memanggul tubuhnya dan membawanya keluar dari kamar tahanan
lewat sebuah jalan rahasia yang membawanya ke bagian belakang halaman gedung
Kadipaten yang gelap.
"Kau mau bawa aku ke
mana?!" tanya Anggini.
"Jangan banyak
tanya!" desis Kebo Penggiring lalu cepat dia totok urat besar di leher si
gadis hingga Anggini tak mampu lagi keluarkan suara. Di bagian belakang gedung
Kadipaten tertambat dua ekor kuda besar. Kedua binatang itu tampaknya memang
sengaja disiapkan di situ. Rupanya Kebo Penggiring cukup cerdik dan panjang
akal memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Cepat dia melompat ke atas
punggung salah seekor kuda lalu membedal binatang itu dalam kegelapan malam
sambil memangku tubuh Anggini di sebelah depan.
Meskipun Kebo Penggiring
berhasil mengelabui Tunggul Soka dan Gajah Bledeg, tapi tanpa disadarinya dua
sosok tubuh berpakaian putih mengejarnya dalam kegelapan. Di pinggiran sebuah
hutan kecil di sebelah tenggara Lumajang, dua pengejar ini berhasil menyusulnya
lewat jalan pintas. Salah seorang dari mereka menarik kaki belakang kuda yang
ditungganginya Hingga tubuhnya mencelat jatuh bersama-sama tubuh Anggini.
Sekali lagi Kebo Penggiring
menunjukkan kecerdikannya. Begitu jatuh secepat kilat dia mendekap tubuh gadis
itu. Memandang ke depan dia melihat dua pemuda itu siap untuk menyerangnya.
Kebo Penggiring cabut Keris Ular Emas dari sarungnya. Sinar kuning membersit
terang di tempat gelap itu.
Ujung keris ditempelkannya ke
leher Anggini lalu dia membentak lemparkan ancaman.
"Tetap di tempat kalian
masing-masing! Sedikit saja kalian bergerak keris ini akan menamatkan riwayat
gadis ini!"
Wiro dan Mahesa Kelud
tercekat. Sesaat tak tahu mau berbuat apa selain tegak tak bergerak.
Perlahan-lahan dia kemudian
memanggul tubuh Anggini lalu menaikkan tubuh gadis itu ke atas kuda kembali.
Ujung keris kini ditujukannya ke pinggang si gadis. Melihat ini Wiro segera
bergerak untuk menghantam tapi Mahesa Kelud cepat mencegah dengan berteriak:
"Jangan! Keris itu beracun!"
Wiro terpaksa batalkan
niatnya. Jika senjata itu beracun, meskipun hanya tergores berarti nyawa
Anggini tak mungkin diselamatkan.
"Kau! Mendekat
kemari!" tiba-tiba Kebo Penggiring membentak dari atas kuda.
Mahesa Kelud yang dibentak mau
tak mau —demi keselamatan gadis yang berada dibawah ancaman Kebo
Penggiring—terpaksa melangkah maju. Begitu mendekat Adipati itu hantamkan
tendangan kaki kanan ke dada sipemuda.
Tubuh Mahesa Kelud melintir
lalu terlempar roboh ke tanah, tergelimpang tak berkutik lagi.
"Kini giliranmu gondrong!
Kemari!" bentak Kebo Penggiring. Tapi ketika dia berpaling ke kiri, dia
dapatkan sosok tubuh Wiro Sableng tak ada lagi ditempat itu. "Aku tahu kau
sembunyi di sekitar sini, pemuda keparat! Jika kau berani membokong silahkan!
Kau bisa membunuhku, tapi gadis ini tak akan selamat dari kematian!" habis
berkata begitu Kebo Penggiring segera menggebrak kuda tunggangannya. Sebentar
saja dia sudah lenyap dalam kegelapan.
Anggini yang berada di sebelah
depan berusaha memutar matanya, memandang berkeliling. Tapi malam sangat gelap
dan kuda itu sudah menghambur jauh.
Benarkah pemuda itu yang
dilihatnya tadi?"Pendekar 212 Wiro Sableng?
"Mungkinkah guru meminta
bantuannya . . . ?"berbisik hati sang dara. Lalu dia terkenang pada saat
pertemuan pertama kali beberapa tahun lalu dengan Wiro. Hanya saja dia tak bisa
mengenang lebih lama karena keadaan dirinya saat itu masih berada dalam ancaman
bahaya besar.
Wiro Sableng melompat keluar
dari tempat persembunyiannya di balik pohon besar. Hatinya jengkel sekali
karena tak punya kesempatan untuk menghantam Kebo Penggiring yang ternyata
berlaku sangat cerdik itu. Dia hanya sempat sekilas melihatwajah Anggini. Tak
cukup jelas untuk melihat kecantikannya sebelum gadis itu menghilang dilarikan
sang Adipati.
Cepat Wiro dekati tubuh Mahesa
Kelud yang terhampar di tanah. Ketika dia hendak menyentuh punggung pemuda itu,
tubuh Mahesa Kelud mendadak membalik dengan tangan kanan siap menghantamkan
pukulan"karang sewu"!
"Sialan! Kukira kau
pingsan benaran!" ujar Wiro.
"Untung aku membentengi
badan dengan aji karang sewu. Kalau tidak tendangan tadi sudah menghancurkan
jantungku!" kata Mahesa Kelud seraya berdiri. "Aku yakin keparat itu
terluka kaki kanannya. Aku mendengar suara keluhan pendek dari mulutnya. Mana
dia .. ?!"
"Kaburi"
"Harus kita kejar sebelum
lari jauh!" kata Mahesa pula. Kedua pendekar itu segera berkelebat ke arah
lenyapnya Kebo Penggiring. Setelah tari jauh sepeminuman teh Wiro berbisik pada
Mahesa Kelud.
"Ada serombongan kunyuk
yang mengejar kita di sebelah belakang "
"Betul," sahut
Mahesa Kelud. "Tapi jelas mereka bukan hendak mengejar.
Mereka menguntit. Semuanya
berkuda. Tiga orang pada jalur hutan sebelah kanan, dua lagi di sisi sebelah
kiri"Bagaimana pendapatmu? Apakah kita perlu menghantam mereka?!"
tanya Mahesa. "
"Sebaiknya jangan. Jika
timbul bentrokan, Kebo Penggiring sudah kabur makin jauh.Kau tak akan sempat
menyelamatkan si gadis dan aku tak akan dapat mengambil dua senjata mustika
itu!"
"Kau betul!" ujar
Wiro. "Mari percepat lari kita!"
7
ADIPATI KEBO PENGGIRING tahu
batul seluk-beluk jalan yang ditempuhnya. Karena itulah meskipun malam gelap
dia dapat memacu kudanya dan meninggalkan siapapun mereka yang berusaha
mengejar. Selewatnya sebuah pedataran lalang Kebo Penggiring memasuki daerah
bebukitan kecil dan sampai di sebuah lembah. Dalam dinginnya malam dan
kegelapan dia dapat melihat rumah bambu yang menjadi tujuannya, terletak ditepi
sebuah telaga kecil. Hanya saja saat itu sang Adipati melihat ada satu
keanehan.
Di atas atap bangunan bambu
tampak sebuah lampu minyak diberi berpagar kertas tipis warna merah hingga
angin tak dapat memadamkan nyala api lampu. Sebuah lampion!
"Apa maksud Eyang
memasang lampion di atas atap " membatin Kebo Penggiring. Kudanya menderap
kencang menuju rumah kecil itu dan dalam beberapa saat saja sudah sampai di
sana. Pintu depan rumah tampak terbuka.
"Eyang, saya datang
….." kata Kebo Penggiring dengan suara dikeraskan.
Dari dalam bangunan yang gelap
terdengar suara batuk-batuk lalu orang menjawab: "Bagus …. Masuklah. Malam
buta begini kau muncul tentu ada sesuatu yang penting!"
Kabo Penggiring turun dari kudanya
iaiu menggendong Anggini dan masuk ke dalam bangunan yang gelap. Meskipun gelap
namun dia dapat melihat sosok tubuh sang guru yang duduk di sudut kanan,
berjubah hitam, lengkap dengan topi kain hitam berbentuk kepala poncong.
"Eyang Poncong Item
" sang guru ternyata bernama aneh, "apakah kau ada baik-baik saja?”
"Tentu . . . tentu”
"Suara Eyang terdengar
lain dan sering-sering batuk …. "
"Ya . . Tua bangka
sepertiku ini memang mudah masuk angin. Sudah tiga hari aku batuk. Itu sebabnya
suaraku lain "
Kebo Penggiring coba menembus
kegelapan malam dalam bangunan bambu yang gelap pekat itu. Dia jelas merasakan
satu kelainan. Tapi tidak dapat memastikan opa yang terasa lain itu. Otaknya
bekerja keras tapidia tak dapat memecahkan teka-teki yang ada dalam dirinya
sendiri itu.
"Sosok tubuh siap yang
kau gotong masuk itu, muridku?"’ Eyang Poncong Item bertanya dari sudut
gelap.
"Adik seperguruanku Eyang
"Hemm . . . bukankah dia
yang kabarnya menjadi gembong pemberontak terhadap Kerajaan? Kau menangkapnya
atau bagaimana? Apakah dia sakit?"
Kebo Penggiring tak segera
menjawab. Seingatnya dia tak pernah menceritakan pada gurunya mengenai Anggini.
Rasa tak enak kini menyamaki hati Kebo Penggiring.
Sang guru agaknya mencium
keheranan muridnya maka dia cepat batukbatuk dan berkata: "Kau tak usah
heran, muridku. Walau kau tak pernah bercerita tapi aku punya seribu telinga
untuk menyirap kabar apa yang terjadi diluaran. Kau datang di malam buta
seperti terburu-buru. Apakah ada setan yang mengejarmu?"
"Memang ada yang mengejar
saya Eyang. Tapi mereka tertinggal jauh dan tak mungkin dapat mengejar sampai
di sini. Hanya saja "
"Hanya saja apa Kebo
Penggiring . …”
"Hemmm " Tiba-tiba
sang Adipati ingat. Eyang Poncong Item tak suka bergelap-gelap dalam rumah bambunya
itu. Lalu lampu minyak di atas atap!
Astaga. "Lampion di atas
atap Eyang!" suara Kebo Penggiring menyentak keras,"Ada apa dengan
lampion itu?"
"Lampu itu bisa menjadi
petunjuk para pengejar! Saya harus mematikannya!"
Eyang Poncong Item tertawa.
"Kau memiliki rasa takut
tak beralasan . .. "
"Eyang, suara tawamu
aneh!" tukas Kebo Peng-giring. Lalu dia bergerak mencari-cari sesuatu.
"Apa yang kau cari?"
"Lampu. Saya tahu ada
lampu dalam rumah ini. Dan Eyang biasa menghidupkannya "
"Lupakan lampu itu Kebo
Penggiring. Mendekatlah padaku. Ada sesuatu yang akan kukatakan
padamu"Katakan saja Eyang," jawab Adipati Lumajang itu tanpa
beringsut dari duduknya.
"Soal kitab yang kau
dapat dari gurumu Desa Tuak itu … . Yang tempo hari kau berikan padaku "
"Ada apa dengan kitab itu
Eyang?"
"Kitab itu lenyap dicuri
orang!"
"Astaga!" Kebo
Penggiring terkejut. "Bagaimana mungkin ada yang sanggup mencurinya dari
tangan Eyang!" ujar sang Adipati hampir tak percaya.
"Itulah sebabnya kau
kusuruh mendekat. Ada sesuatu yang hendak kuperlihatkan padamu!"
"Mau tak mau Kebo
Penggiring bergerak juga mendekati sang guru. Ketika jarak mereka tinggal
terpisah dua langkah, tiba-tiba Eyang Pencong Item gerakkan tangan kanannya.
Wutt
Satu jotosan menghantam dada
Kebo Penggiring. Adipati ini terjengkang sambil menjerit. Menjerit karena sakit
dan juga kaget luar biasa. Di lain kejap dia sudah berdiri sambil memandang tak
berkedip.
"Keparat! Kau bukan Eyang
Poncong Item!" bentak Kebo Penggiring kemudian.
Orang di depannya, yang juga
telah berdiri keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Murid pengkhianat! Kau
licik tapi ternyata tak cukup cerdik!" Sang" Eyang"
usap mukanya dan lemparkan
topi hitam berbentuk poncong di kepalanya lalu tanggalkan jubah hitam yang
melekat di tubuhnya.
"Dewa Tuak!" saru
Kebo Penggiring k«tika akhirnya dia mengenali dalam gelap siapa adanya orang
tua di depannya. Bukan gurunya yang bernama Eyang Poncong Item itu, tetapi guru
pertamanya yang telah dikhianatinya yakni Dewa Tuak. Lalu di mana Eyang Poncong
Item? Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam rumah bambu ini?
Selagi Kebon Penggiring
terkesima begitu rupa Dewa Tuak umbar suara tawa lalu menjangkau sebuah benda
bulat panjang dari balik bahunya.
Gluk … gluk . .. gluk
Byuuur……!
Orang tua itu menyemburkan
sesuatu dari mulutnya. Di dalam gelap menebar harumnya bau tuak. Kebo
Penggiring berseru tegang, jatuhkan diri ke lantai bambu lalu melompat ke kiri
menerobos dinding.
"Murid murtad! Kau mau
lari ke mana … ?" bentak Dewa Tuak. Dia melompat ke pintu. Sampai di luar
kembali mengajar dengan semburan tuak.
Kebo Penggiring tahu betul
Kedahsyatan semburan tuak itu. Setelah menghindar selamatkan diri dia lepaskan
pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi dua kali
berturut-turut. Kekuatan pukulan itu membuat Dewa Tuak terkejut. Buru-buru si
kakek melompat ke atas dan dari atas semburkan lagi tuaknya. Kali ini dengan
kekuatan tenaga dalam penuh. Melihat datangnya semburan tuak disertai deru
laksana badai mengamuk. Kebo Penggiring segera maklum kalau bekas gurunya itu
tidak main-main dan menginginkan kematiannyal Adipati ini gerakkan tangan
kanannya ke pinggang. Di lain kejap sinar merah berkiblat.
Terdengar suara berdering.
Semburan tuak laksana menghantam dinding bambu lalu luruh ke tanah. Belum habis
kaget Dewa Tuak tiba-tiba sinar merah menyambar ke arah dadanya. Kakek ini
cepat melompat mundur. Tak urung janggutnya kena dipapas sebagian. Pucatlah
wajah Dewa Tuak sementara Kebo Penggiring tertawa tergelak sambil melintangkan
Pedang Sakti yang memancarkan sinar merah di depan dada.
Sepasang mata Dowa Tuak tak
berkesip memandangi senjata itu"Dari mana kau dapatkan pedang mustika
itu?"Si kakek bertanya.
"Kau tanyakan saja nanti
pada iblis di liang kubur! ‘ jawab Kebo Penggiring seenaknya. Lalu dia
menyerbu. Serangan-serangannya ganas sekali Meskipun dia tidak menguasai
jurus-jurus ilmu pedang Dewa yang menjadi dasar utama pasangan senjata mustika
itu, namun karena senjata tersebut memang merupakan senjata sakti luar biasa,
dimainkan dalam jurus apa pun tetap merupakan senjata ampuh dan berbahaya.
Dalam waktu singkat Dewa Tuak telah terkurung rapat. Hanya kegesitannya saja
yang membuatnya sanggup bertahan sampai lebih dari sepuluh jurus. Memasuki
jurus ke empat belas, satu bacokan deras yang sangat sulit dielakkannya,
memaksa Dewa Tuak pergunakan bumbung bambu minuman kesayangannya untuk menjadi
perisai diri. Tak ampun tabung itu terkutung dua namun si kakek sendiri
berhasil selamakan tubuhnya. Sesaat Dewa Tuak tegak tertegun sambil urut-urut
dadanya. Agaknya sebelumnya orang tua ini telah mengalami cidera di bagian dada
itu.
"Tua bangka buruk!
Sebelum tubuhmu kucincang lekas katakan di mana guruku Eyang Poncong
Item!" Kebo Penggiring membentak.
Dewa Tuak tertawa mengekeh.
"Dia sedang berenang
betsenang-senang di telaga!" jawabnya.
"Maksudmu?!" bentak
Kebo Penggiring. Sekilas dia melirik ke arah telaga. Dia tak dapat melihat
apa-apa. Meskipun malam mulai merayap menuju dinihari namun keadaan masih pekat
gelap.
"Aku meminta baik-baik
kitab curian yang kau berikan padanya. Tapi dia lebih suka memilih .berenang di
telaga. Hanya sayang dia berenang tidak membawa nafas lagi…. Ha .. .ha..
.hal"
"Jadi?!"
"Gurumu sudah lama jadi
bangkai.
Dada Kebo Penggiring seperti
mau meledak. Pedang sakti disabatkannya ke depan. Sinar merah berkiblat. Dia
melompat untuk menyerbu kakek itu kembali. Namun gerakannya tertahan ketika dia
melihat ada beberapa sosok tubuh berdiri dalam kegelapan. Kebo Penggiring
segera mengenali orang-orang itu. Mereka adalah Ronggo Kemitir, Tambak Ijo, Lah
Bludak, dan Tunggul Soka.
"Ah, urusan ini bisa jadi
kapiran!" keluh Kebo Penggiring dalam hati. Dia mencari-cari tapi.tak
melihat Gajah Bledeg. Ketika dia berpaling ke arah bangunan bambu dilihatnya
orang itu tegak di sana dan memanggul tubuh Anggini di bahu kirinya!
"Kangmas Gajah Bledeg!
Apa yang hendak kau lakukan dengan gadis itu?!"
teriak Kebo Penggiring
bertanya.
"Kebo Penggiring,"
sahut Gajah Bledeg. "Sebaiknya kau selesaikan saja urusanmu dengan gurumu.
Soal gadis ini tak usah dipikirkan!"
"Kalau kau berani
melakukan hal yang tidak-tidak terhadapnya akan kubunuh kau!" mengancam
Kebo Penggiring.
Gajah Bledeg tertawa bergelak.
"Sebelumnya kau hendak
mencelakai gadis ini! Hendak menodai dan menggantungnya! "Sekarang mengapa
kau ingin membelanya?!" tanya Gajah Bledeg jelas dengan maksud mengejek.
Kebo Penggiring geram bukan
main. Sesaat dia memutar otak. Lalu berkata dengan suara bergetar:
"Kangmas Gajah Bledeg, jika
kau tidak melepaskan gadis itu, terpaksa aku menyerangmu!"
Kembali benggolan kerajaan itu
tertawa dan menjawab menantang: "Siapa takut padamu Kebo Penggiring! Kelak
aku akan membuat laporan ke Istana Bahwa kau berani mengangkat senjata terhadap
orang Keraton. Bahwa kau ternyata juga seorang gembong pemberontak!"
Mendengar kata-kata Gajah
Bledag itu. Kebo Penggiring tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia segera
menyerbu. Tapi setengah jalan Dewa Tuak menghadangnya sambil tertawa ha-ha
hi-hi meskipun sambil mengurut dadanya yang sakit.
"Murid khianat! Pelajaran
yang kuterima darimu belum selesai. Mari kita main-main lagi beberapa jurus
sampai ada yang mampus di antara kita!"
Kebo Penggiring merasa heran
melihat tindakan bekas gurunya ini.
Seharusnya Dewa Tuak berusaha
menyelamatkan muridnya Anggini. Tapi malah justru menghadangnya.
"Tua bangka geblek!"
makinya. "Rupanya kau memang sudah bosan hidup"
Kebo Penggiring melompat
menerjang. Dewa
Tuak tegak tenang-tenang saja.
Sesaat kemudian terdengar suaranya berseru.
"Pendekar 2121 Sudah
saatnya kau keluar dari persembunyianmu. Kau datang ke mari bukan untuk
menonton tapi menolongku! Lekas selesaikan urusan dengan manusia jelek bernama
Gajah Bledeg itu "
8
WIRO SABLENG yang memang sejak
tadi mendekam di balik semak belukar bersama Mahesa Kelud menunggu kesempatan
baik, mendengar teriakan Dewa Tuak itu segera melesat keluar, ke arah Gajah
Bledeg.
Melihat hal ini Tunggul Soka
tak tinggal diam. Dia memberi isyarat pada Ronggo Kemitir agar membantu Gajah
Bledeg lalu pada Tambak Ijo dan Lah Bludak dia membisikkan agar segera
mengikutinya menyerbu Kebo Penggiring.
Pedang merah di tangan Adipati
itu dan juga sebilah keris mustika yang pasti terselip di pinggangnya harus
segera dirampas.
"Hemm … Jadi ini kacung
suruhan Dewa Tuak yang diutus untuk membebaskan gadis molek ini? Apa betul
namamu Sableng, cung?"
Kata-kata itu diucapkan Gajah
Bledeg pada Wiro Sableng ketika pendekar ini melangkah mendekatinya. Diejek
demikian rupa Wiro Sableng keluarkan siulan tinggi.
"Tuan besar bernama Gajah
Bledeg, turut penglihatanku kau tak pantas memakai nama Gajah. Tampangmu jauh
lebih jelek dari gajah!"
Marahlah Gajah Bledeg
mendengar ejekan itu. Masih memanggul Anggini di bahu kirinya dia hantamkan
satu pukulan ke kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gandeng rundukkan kepala
sedikit sambil melintangkan lengan kiri menangkis.
Dua lengan beradu keras.
Terkejutlah tokoh dari Istana itu. Lengannya seperti mengemplang tiang besi.
Menyadari kalau si pemuda memiliki kepandaian tinggi, Gajah Bledeg cepat
turunkan tubuh Anggini dan menggolekkan gadis ini di langkan rumah bambu. Lalu
secepat kilat dia menyerbu Wiro Sableng. Kedua telapak tangannya terkembang.
Serangan-serangannya kali ini bukan berupa jotosan, tetapi seperti orang menampar.
Dan setiap tamparan yang dilepaskannya mengeluarkan suara dahsyat seperti
geledek atau petir menyambar. Membuat semua orang tergetar hatinya dan sakit
telinganya. Tidak percuma dia mendapat nama Bledeg yang berarti geledek itu!
Wiro Sableng sendiri kaget
bukan main. Seumur hidup baru sekali ini dia menghadapi lawan yang memiliki
ilmu pukulan seperti itu. Selain menimbulkan suara menggetarkan, kedua telapak
tangan Gajah Bledeg dirasakannya mengeluarkan hawa panas.
Braak!
Salah satu tamparan Gajah Bledeg
nyasar menghantam sebatang pohon dadap. Bekas tamparan itu langsung berwarna
hitam. Sesaat kemudian terdengar suara berkereketan. Pohon besar itu patah,
lalu tumbang perlahanlahan.
Kuduk Pendekar 212 jadi
mengkirik dingin. Kalau mau selamat tak ada jalan lain. Dia juga harus
keluarkan ilmu simpanannya. Apalagi saat itu dilihatnya si muka cacat Ronggo
Kemitir sudah berada di samping Gajah Bledeg, siap mengeroyoknya. Ketika kedua
orang itu menyerbunya, murid Sinto Gandeng ini sambut dengan pukulan bentang
topan melanda samudera.
Kalau Ronggo Kemitir keluarkan
pekik kaget dan dapatkan tubuhnya terpental jauh lalu jatuh tergelimpang di
tanah, maka Gajah Bledeg keluarkan seruan tertahan. Dia kerahkan tenaga dalam,
berusaha melawan tindihan pukulan sakti lawan yang laksana dinding karang
menghimpitnya. Tubuhnya mengapung namun hanya sesaat. Ketika Wiro dorongkan
telapak tangan kanannya tak ampun tokoh silat Keraton ini terhempas ke
belakang, berguling di tanah. Meski kemudian dia cepat berdiri namun dadanya
terasa sakit dan kedua lututnya bergetar. Wiro Sableng sendiri kucurkan
keringat di keningnya tanda tenaga dalam perlawanan Gajah Bledeg sungguh luar
biasa.
Di lain bagian Mahesa Kelud
telah pula melompat keluar dari balik semak belukar di mana sebelumnya dia
bersembunyi bersama Wiro Sableng. Pendekar ini merasa kawatir melihat begitu
banyak orang yang menyerang Kebo Penggiring. Dewa Tuak menyerang Adipati itu
jelas untuk menghukum muridnya yang khianat. Sebaliknya kesempatan ini dapat
dipergunakan oleh Tunggul Soka untuk merampas senjata-senjata mustika miliknya
yang dirampok dan kini berada di tangan Kebo Penggiring. Dalam pada itu Mahesa
melihat pula dua lelaki tinggi besar berpakaian bagus yakni Tambak’ Ijo dan Lah
Bludak, yang merupakan dua dari lima orang yang telah merampoknya di pedataran
Tengger. Menimbang sampai ke situ maka Mahesa Kelud segera berteriak.
"Dewa Tuakl Kau terluka
di dalam! Mengapa tidak selamatkan saja murid perempuanmu itu? Biarkan aku
menggasak segerombolan badut ini!"
Dewa Tuak hendak memaki marah
mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu.
Namun disadarinya bahwa saat
itu dia memang dalam keadaan terluka di dalam yakni akibat pukulan Eyang
Poncong Item, guru Kebo Penggiring. Dalam perkelahian yang terjadi pada sore
hari yang sama Dewa Tuak berhasil menamatkan riwayat lawannya dan membuang
mayat Poncong Item ke dalam telaga. Ketika mayat itu digeledah dia telah
menemukan kitab miliknya yang dicuri muridnya itu. Kemungkinan besar Poncong
Item yang telah menghasut Kebo Penggiring untuk mencuri kitab tersebut kemudian
menyerahkannya padanya. Ternyata Poncong Item seorang kakek sakti mandraguna
yang tak mudah dikalahkan. Setelah berkelahi puluhan jurus baru Dewa Tuak
berhasil mengalahkannya. Itupun dia harus menerima satu pukulan telak di
dadanya.
Kini menyadari kebenaran
maksud baik ucapan Mahesa Kelud, Dewa Tuak cepat menghampiri tubuh Anggini yang
terbaring di langkan rumah bambu.
Sang murid ternyata tak kurang
suatu apa selain di totok pada beberapa bagian urat pentingnya hingga tak bisa
bersuara, tak dapat menggerakkan kedua tangan dan tak bisa mempergunakan kedua
kakinya. Dengan cekatan Dewa
Tuak melepaskan totokan itu
satu persatu. Begitu dirinya lepas dari totokan yang melumpuhkan Anggini
memeluk si kakek seraya mengucapkan terima kasih. Lalu tanpa dapat dicegah
gadis ini menyerbu ke tengah kalangan pertempuran. Di tangannya terdapat
sehelai selendang berwarna ungu yang pada ujungnya tertera guratan hitam angka
212. Selendang ini merupakan senjata yang diandalkan sang dara. Bagaimana angka
212 tergurat di ujung selendang itu ada kisahnya tersendiri. (Baca serial Wiro
Sableng Maut Bernyanyi Di Pajajaran).
Ketambahan lagi seorang lawan
yakni Anggini, membuat Kebo Penggiring semakin terjepit. Mahesa Kelud berkelahi
sambil keluarkan jurus-jurus Ilmu Pedang Dewa Delapan Penjuru Angin. Sepasang
tangan dan dua kakinya siap dengan aji karang sewu yang dapat menghancurkan apa
saja bila kena dihantamnya. Selendang ungu di tangan Anggini menderu kian ke
mari laksana seekor ulat, membelit dan mematuk tiada henti. Tunggul Soka serta
Tambak Ijo dan Lah Bludak meskipun mengandalkan tangan kosong, ketiganya
melancarkan serangan-serangan berbahaya. Terutama hantaman tangan dan kaki
Tunggul Soka, sungguh ganas dan mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
Namun pedang merah sakti di
tangan Kebo Penggiring merupakan senjata ampuh luar biasa yang dapat membendung
semua serangan yang datang.
Karenanya meskipun telah
terkurung rapat tetap saja para pengeroyok tidak mampu menjatuhkan Adipati itu,
apalagi merampas pedang. Satu kali Tunggul Soka berlaku nekad. Setelah
menggebrak dengan pukulan dan tendangan berantai dia menyusup dari bawah,
bergerak cepat. Satu tangan menghantam pergalangan Kebo Penggiring, tangan
lainnya membetot hulu pedang. Tapi hampir saja pentolan istana ini celaka.
Tidak terduga pedang merah itu menyambar ganas kebawah.
Bret!
Bahu pakaian Tunggul Soka
robek besar dimakan ujung pedang. Secuil dagingnya terkelupas. Darah mengucur.
Orang ini cepat melompat mundur.
Wajahnya tampak pucat. Sebagai
tokoh silat istana Tunggul Soka memiliki kepandaian silat dan tingkat tenaga
dalam yang tinggi. Dibandingkan dengan dirinya maka kepandaian Kebo Penggiring
masih berada di bawah. Bagaimana Adipati yang dikeroyok begitu banyak lawan
masih mampu bertahan dia membuat kejutan.
Tak ada alasan lain kecuali
pedang merah di tangan kanannya benar-benar senjata luar biasa. Maka semakin
berkobarlah hasrat Tunggul Soka untuk memiliki senjata tersebut.
Tunggul Soka usap luka di
bahunya. Darah berhenti mengucur. Ketika dia menyerbu kembali dari samping kiri
dilihatnya sesosok tubuh melesat dari kegelapan, langsung melabrak kalangan
pertempuran. Tunggul Soka tidak kenali siapa adanya orang ini. Sebaliknya
begitu Kebo Penggiring melihat wajah penyerang baru itu, hatinya mau tak mau
jadi bergetar. Orang ini bukan lain pemuda yang telah ditendangnya dan
disangkanya telah menemui ajal, paling tidak terluka parah. Kenyataannya dia
kini malah muncul ikut menyerbu, padahal rasa sakit akibat menendang, masih
terasa di kaki kanannya.
Lain pula halnya dengan Tambak
Ijo dan Lah Bludak, yang sebelumnya bersama tiga kawannya telah menggagahi
Mahesa Kelud di pedataran pasir Tengger, kini mereka berkelahi dengan perasaan
was-was tidak enak. Cepat atau lambat pemuda itu pasti akan membalaskan
dendamnya. Karena mereka berlima sebenarnya yang menjadi pangkal sebab semua
kejadian ini.
Selintas pikiran licik muncul
di benak Tambak Ijo. Maka orang tinggi kekar ini pun berteriak:
"Kangmas Tunggul Soka,
Adipati Kebo Penggiring, Lah Bludak I Mari lupakan dulu persoalan di antara
kita! Kita harus menghajar lebih dulu dua muda mudi sesat ini!
"Kau betul dimas Tambak!
Mari berebut pahala memusnahkan anjing-anjing pemberontak!" Berteriak
Tunggul Soka.
"Keparat!" maki
Mahesa Kelud ketika dia menyadari bahwa yang dimaksud Tunggul Soka dengan
anjing-anjing pemberontak bukan lain adalah dirinya sendiri dan Anggini murid
Dewa Tuak. Maka Mahesa Kelud pun mendekati si gadis dan berbisik: "Saudari
kau hati-hatilah. Kita bakal dikeroyok. Berkelahi saling punggung
donganku!"
Anggini yang juga mengerti
kalau keadaan kini berubah, cepat melakukan apa yang dikatakan Mahesa lalu
putar selendang ungunya lebih sehat.
Bagi Mhesa Kelud yang paling
penting adalah memperhatikan tindak-tanduk gerakan Kebo Penggiring. Adipati ini
merupakan musuh paling berbahaya di antara empat pengeroyok karena pedang sakti
berada di tangannya. Sebaliknya dua titik lemah di pibak lawan adalah Tambak
Ijo dan Lah Bludak. Maka kembali dia berbisik pada Anggini.
"Hati-hati dengan pedang
merah. Arahkan seranganmu lebih banyak pada dua lawan berpakaian bagus!"
"Aku mngerti!" sahut
sang dara. Kekuatan tenaga dalamnya kini dibagi dua.
Pertama disalurkan keselendang
ungu yang jadi senjatanya. Sebagian lagi ke lengan kiri. Pukulan dan tendangan
berkecamuk silih berganti. Sinar ungu selendang Anggini menderu berkelebat di
udara. Di antara semua itu pedang merah mengiblatkan sinar dan suara mendengung
menggidikkan.
Mahesa Kelud kertakkan rahang.
Setelah bertahan habis-habisan dengan jurus-jurus ilmu pedang dewa pendekar ini
akhirnya merasakan bahwa kedudukannya jurus demi jurus semakin tertekan. Maka
diapun mulai siapkan pukulan sakti mandraguna yakni pukulan ilmu atau inti api.
Namun pemuda ini serta merta menyadari dalam kecamuk perkelahian yang menggila
seperti itu tak mungkin baginya mengeluarkan ilmu kesaktian itu. Untuk
melakukan pukulan inti api dia harus memejamkan mata membaca mantera. Jika itu
dilakukan sama saja dengan membiarkan lawan membantai tubuhnyal Untuk sementara
dia terpaksa menjaga diri dengan aji karang sewu sambil menunggu kesempatan
untuk mengeluarkan senjata rahasia yakni pasir terbang berwarna merahi Kita
ikuti kembali perkelahian di bagian lain yakni antara Pendekar 212 Wiro Sableng
yang dikeroyok oleh Gajah Bledeg dan Ronggo Kemitir.
Setelah mengatur jalan nafas
dan darah masing-masing, Gajah Bledeg serta Ronggo Kemitir kembali menyerbu
murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu.
Kalau Gajah Bledeg kini
kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya maka Ronggo Kemitir tampak membekal
sebilah, pedang berbentuk aneh. Senjata ini berbentuk lurus, memiliki ketajaman
pada kedua sisinya, lalu ujungnya yang seharusnya lancip ternyata bercagak dua.
Apa pun senjata yang di tangan Renggo Kemitir Wiro Sableng tidak merasa takut.
Pusat perhatiannya adalah sepasang tangan Gajah Bledeg yang terus menerus
mengeluarkan suara menggelegar, menebar hawa panas. Pendekar 212 bentengi diri
dengan beberapa pukulan sakti. Dia berhasil membuat Ronggo Kemitir menjadi
jeri’ dari dipaksa menjaga jarak. Sebaliknya Gajah Bledeg berlaku lebih cerdik.
Setiap selesai melancarkan satu serangan, tubuhnya berkelebat cepat berpindah
tempat lalu kembali menyerang dari arah belakang. Dan ketika lawan membalik
untuk balas menghantam dia sudah bergerak ke jurusan lain.
Setelah saling hantam selama
lebih dari sepuluh jurus Wiro mengambil keputusan Ronggo Kemitir harus
dibereskan lebih dulu. Maka Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari ke
arah Gajeh Bledeg. Lawan satu ini terkejut melihat sambaran sinar putih perak
menyilaukan datang membabatnya disertai deru dan hawa panas luar biasa. Ketika
dia jungkir balik selamatkan diri, di lain kejap Wiro sudah melesat ke kiri,
kirimkan pukulan telak ke sisi kanan Ronggo Kemitir yang saat itu juga ikut
terkesiap melihat kedahsyatan pukulan sinar matahari.
Kraak
Empat tulang iga Ronggo
Kemitir patah. Orang ini menjerit keras. Tubuhnya sebelah dalam seperti ditusuk
empat bilah pisau. Nafasnya mendadak menyengat. Tubuhnya terhuyung ke belakang
lalu jatuh duduk, tersandar ke semak belukar dan tak mampu berdiri lagi.
Wiro Sableng berpaling ke arah
Gajah Bledeg.
"Gajah jelek. Sekarang
tinggal kau dan aku. Jika kau ingin kembali hiduphidup ke Kotaraja, cepat
tinggalkan tempat ini. Tapi kalau kau memilih mampus bersiaplah untuk menghadap
setan akhirat!"
Meskipun hatinya tergetar
melihat apa yang di- alami Ronggo Kemitir namun ucapan Pendekar 212 Wiro
Sableng itu membakar amarahnya. Didahului bentakan keras dia tepukkan kedua
telapak tangannya satu sama lain.
Terdengar suara seperti
geledek menggelegar. Tanah bergetar. Pendengaran sakit seperti ditusuk. Angin
panas menderu menyambar tubuh Wiro Sableng.
Murid nenek sakti dari gunung
Gede ini tak tinggal diam. Begitu angin pukulan lawan menyambar ke arahnya,
kembali dia lepaskan pukulan sinar matahari. Sekali ini dengan pengerahan lebih
tiga perempat tenaga dalam.
Terjadilah hal yang membuat
semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesima kaget, gempar lalu
bergidik ngeri.
Pukulan geledek yang
diiepalkan Gajah Bledeg saling hantam di udara dengan pukulan sinar matahari.
Satu letupan dahsyat menggelegar. Cabang cabang pohon, ranting-ranting dan
dedaunan rambas hancur berentakan dan hangus hitam. Di sebelah bawah tanah
terbongkar dan beterbangan. Bangunan bambu bekas kediaman Poncong Item roboh.
Air telaga bergerlombang. Tak ada satu orang pun yang sanggup menahan diri dari
kejatuhan, termasuk Wiro sendiri.
Semua orang-orang itu
terhuyung lalu jatuh duduk di tanah seperti dilamun gempa keras. Ketika mereka
memandang ke jurusan Ronggo Kemitir berada, pentolan Istana itu tampak terkapar
beberapa tombak di kejatuhan. Pakaiannya tak kelihatan lagi. Tubuhnya hanya
tinggal tulang belulang hangus menghitami Selagi semua orang terduduk terkesiap
dan berusaha menenangkan kejut serta kengerian yang menguasai diri
masing-masing. Tunggul Soka pergunakan kesempatan. Dengan satu gerakan kilat
dia berkelebat kearah Kebo Penggiring.
Sekali sentak saja dia
berhasil merampas Pedang Dewa merah dari tangan Adipati Lumajang itu.
"Bangsat pencuri!"
teriak Kebon Penggiring marah dan hendak mengejar.
"Jangan tolol!"
balas berteriak Tunggul Soka.
"Apa kau tidak melihat
kedudukan kita sekarang terjepit? Kau masih memiliki sebilah senjata sakti.
Keluarkan benda itu lalu mari kita bergabung menghadapi musuh musuh!"
Sebenarnya Tunggul Soka memang ingin memiliki senjata itu namun pada kesempatan
yang tepat dengan licik dia dapat menutupi maksud buruknya itu. Dan Kebo
Penggiring pun termakan pula oleh kata-kata Tunggul Soka tadi. Dia tampak mengeluarkan
Keris Ular Emas dari balik pinggangnya.
Sinar kekuningan memancar di
udara malam menjelang dinihari yang masih gelap itu.
Mahesa Kelud tersentak kaget.
Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Jelas tambah sulit bagi pihaknya untuk
menghadapi empat lawan yang nekad itu, terutama mereka yang memegang senjata
mustika milik Mahesa yakni Tunggul Soka dan Kebo Penggiring.
"Anggini, kau
mundurlah!" seru Dewa Tuak yang mengawatirkan keselamatan muridnya. Dia
lalu melompat ke samping Mahesa Kelud.
"Tidak bisa guru!" terdengar
sahutan sang dara.
"Bagaimanapun aku harus
menghajar manusia khianat itu. Mengingat rencana kejinya terhadapku, aku pantas
memecahkan kepalanya!"
Kebo Penggiring tertawa
mengekeh. "Jika kau memang ingin kutiduri majulah ….!"
"Manusia keji!" pekik
Anggini. Selendangnya dikebutkan. Sinar ungu berkelebat disertai deru angin
deras menyambar kepala sang Adipati. Yang diserang tusukkan keris emas di
tangan kanannya ke atas.
Bret!
Ujung selendang ungu robek.
Anggini kembeli terpekik. Saat itu Dewa Tuak dan Mahesa Kelud tak tinggal diam.
Keduanya menyerbu. Di lain pihak Tunggul Soka dan Tambak Ijo serta Lah Bludak
sudah pula bergerak, menyongsong datangnya serangan.
Di saat perkelahian kembali
hendak berkecamuk itu, tiba terdengar suara menggaung seperti ada ribuan tawon
menyerbu tempat itu. Bersamaan dengan itu sinar putih perak tampak berputar di
udara lalu membeset ke arah Kebo Penggiring.
Percaya akan keampuhan Keris
Ular Emas di tangannya sang Adipati tusukkan senjatanya ke depan. Namun dia salah
perhitungan. Sinar putih perak tadi membabat ke bawah menghindari bentrokan
lalu menelikung ke pinggang.
Kebo Penggiring terkejut.
Cepat melompat mundur. Tapi terlambat. Dia merasakan lambungnya dingin. Rasa
dingin itu hanya sekejap, berganti dengan rasa panas. Dia memandang ke bawah
lalu menjerit melihat darah menyembur disusul usus yang membusai dari perutnya
yang robek besar. Memandang ke depan dia melihat pemuda berambut gondrong itu
tegak menyeringai dengan senjata aneh di tangani"Kapak Maut Naga Geni
212!" seru Tunggul Soka. Kini setelah dia tahu pasti siapa adanya pemuda
itu nyalinya pun meleleh. Dia sudah menguasai pedang sakti, mengapa harus
menyulitkan diri meneruskan perkelahian? Tanpa pikir panjang lagi tokoh silat
Istana ini segera balikkan diri ambil langkah seribu.
Namun sebelum tubuhnya lenyap
di kegelapan Wiro arahkan Kapak Naga Geni 212 ke arahnya lalu tekan alat
rahasia di hulu senjata yang berbentuk kepala naga. Terdengar suara berdesir
halus ketika selusin jarum putih melesat dari mulut kepala naga, menyerang ke
arah Tunggul Soka. Mendengar datangnya senjata rahasia ini Tunggul Soka cepat
putar pedang merah di belakang punggung. Terdengar suara berdentringan disertai
memerciknya bunga-bunga api. Selusin jarum patah dan luruh ke tanah. Wiro
memaki panjang pendek.
Dia siap melompat untuk
mengejar. Namun di sebelahnya seseorang telah berkelebat lebih dulu seraya
melepas senjata rahasia pula berupa pasir berwarna merah. Ratusan pasir itu
menderu dalam kegelapan malam, sulit dilihat dan
hampir tak mengeluarkan suara.
Tunggul Soka tersentak kaget
ketika punggungnya terasa perih. Sadar kalau ada senjata rahasia lain
menghantam tubuhnya, tokoh silat Istana ini cepat jatuhkan diri seraya putar
pedang merah di belakang punggung. Namun terlambat. Puluhan pasir-pasir merah
menembus kulitnya, menyusup ke dalam daging, larut dalam aliran darah. Tunggul
Soka bergulingan di tanah lalu mencoba lari. Dia hanya sanggup lari sejauh tiga
tombak lalu tersungkur sambil mengerang. Sekujur tubuhnya terasa perih seperti
ditusuki ribuan jarum. Rasa nyeri itu disertai pula oleh hawa panas bukan alang
kepalang. Darah mengucur dari hidung, mata dan telinganya. Dari mulutnya
terdengar suara seperti mengorok. Dadanya naik ke atas lalu terhempas ke bawah
bersamaan dengan lepasnya nafasnya.
Mahesa Kelud cepat menyambar
Pedang Dewa yang masih berada dalam panggangan Tunggul Soka. Kembali ke tempat
pertempuran semula Mahesa dapatkan Kebo Penggiring sudah menggeletak di tanah.
Usus membusai dan kepala pecah. Selagi sang Adipati meregang nyawa. Anggini
yang tidak dapat menahan dendam kesumatnya hantamkan selendang ungunya ke
kepala Adipati itu. Akibatnya sang Adipati yang nyawanya memang sudah tak
tertolong lagi menemui ajal dengan kepala pecah perut jebol!
Ketika Mahesa Kelud mengambil
Keris Ular Emas dari tangan mayat Kebo Penggiring dan menggeledah pakaiannya
untuk menemukan sarung Pedang Dewa serta sarung Keris Ular Emas, Tambak Ijo dan
Lah Bludak yang sudah lama mencari kesempatan segara menyelusup di balik
pepohonan dalam kegelapan. Namun keduanya tersentak kaget ketika terdengar
bentakan: "Kalian berdua mau lari ke mana?!" Dan tahu-tahu Mahesa
Kelud sudah menghadang didepan mereka.
Tambak Ijo jatuhkan diri ke
tanah. Lah Bludak mengikuti apa yang dilakukan kawannya. Keduanya meratap minta
diampuni.
"Setan tak bermalul"
bentak Mahesa. "Apa yang telah kalian lakukan terhadapku cukup layak
membuat aku membunuh kalian detik ini juga"
"Jangan Raden… ampuni
selembar nyawa kami. Kami hanya orang-orang suruhan belaka …." ratap
Tambak Ijo.
"Begitu…? Baiklah.
Nyawamu berdua aku ampuni. Tapi jangan harap kalian bisa hidup senang di
kemudian hari!" Habis berkata begitu Mahesa tendang selangkangan kedua
orang itu hingga anggota rahasia masing-masing hancur. Keduanya terpelanting pingsan.
Saat itu hari mulai
terang-terang tanah. Dewa Tuak tegak dengan tubuh gontai. Dia memandang
berkeliling.
"Beginilah hidup dan
kehidupan…" katanya perlahan. "Kejahatan, kekejaman, dendam dan darah
selalu muncul setiap saat ada yang ingin berbuat kebajikan dan kebaikan: Mahesa
Kelud, apakah kau sudah mendapatkan kedua senjata mustikamu kembali?"
"Sudah kek. Aku sangat
berterima kasih. Kalau tak ada kau dan muridmu serta kawanku si Sableng itu
niscaya aku akan kehilangan dua senjata itu selama-lamanya …."
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa
Tuak batuk-batuk. Tenggorokannya terasa kering karena sudah beberapa lama tak
meneguk tuak.
"Kalian dua pemuda tentu
ingin melanjutkan perjalanan. Namun aku ada satu pertanyaan untukmu Pendekar
212 "
"Apakah itu Dewa
Tuak?" tanya Wiro Sableng. Mendadak saja dia jadi gelisah.
"Utusan jodoh tempo hari.
Apakah kau sudah memikirkan …?!"
Para Wiro Sableng berubah.
Pendekar ini jadi salah tingkah. Di samping Dewa Tuak, Anggini tampak tundukkan
wajahnya yang menjadi sangat merah. Mahesa Kelud tertawa geli dan
kedip-kedipkan matanya pada Wiro.
"Jika kau memang tak
berkenan pada muridku, terpaksa aku mencarikan jodoh yang lain …."
terdengar suara Dewa Tuak.
Wiro Sableng angkat kepalanya,
berpaling pada Mahesa Kelud. Murid Embah Jagatnata ini mendadak saja jadi pucat
mukanya. Kini Wiro yang tertawa mengekeh.
"Kek, kau benari
Sahabatku ini jauh lebih cocok untuk muridmu yang jelita itu!" kata Wiro.
"Hai! Urusan apa
ini?!" seru Mahesa Kelud. Tapi saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng sudah
berkelebat lenyap. Ketika Mahesa Kelud hendak ikut-ikutan pergi Dewa Tuak cepat
memegang lengannya.
"Soal jodoh kita manusia
memang kadang-kadang tak bisa mengaturnya. Tapi apa salahnya kau kuajak mampir
melihat-lihat tempat kediamanku"Maaf kek, aku masih ada keperluan
lain…" kata Mahesa Kelud coba menampik tapi matanya melirik memperhatikan
Anggini sejenak.
Dewa Tuak tertawa panjang.
Tangan kanannya menarik lengan Mahesa Kelud. Tangan kiri memegang lengan
Anggini.
"Kek, tunggu…. Aku harus mencari
kuda putihku …." ujar Mahesa pula.
"Binatang itu, mengapa
harus dikhawatirkan!" kata Dewa Tuak. Lalu kakek ini keluarkan suitan
panjang. Dari balik pepohonan tampak kepala seekor kuda putih. Ternyata
binatang itu memang Panah Putih, kuda milik Mahesa yang pernah dirampas Tambal
Ijo dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang itu melangkah pergi, binatang ini
mengikuti dari belakang. Sementara itu hari semakin terang tanda pagi segera
menjelang.
TAMAT