-------------------------------
----------------------------
040 Setan Dari Luar Jagat
1
DUA PENUNGGANG kuda itu
berhenti di kaki bukit Wadaslintang yang merupakan bukit berbatu-batu hampir
tanpa pepohonan. Suasana tampak gersang pada saat matahari hendak tenggelam
itu. Kaki bukit dicekam kesunyian. Sesekali terdengar suara tiupan angin di
kejauhan, bergaung di sela bebatuan.
Pendekar 212 Wiro Sableng
mengangkat kepala memandang ke arah puncak bukit batu. Sinar sang surya yang
hendak tenggelam membuat bukit batu itu seperti dibungkus warnA merah
kekuningan. Batubatu bukit tampak seperti tumpukan emas. Satu pemandangan yang
cukup indah sebenarnya.
Tetapi diam-diam murid Eyang
Sinto Gendeng dari Gunung Gede merasakan adanya keangkeran tersembunyi di bukit
Wadaslintang itu.
"Anak muda, aku hanya
mengantarmu sampai di sini." Yang berkata adalah kakek
berpakaian hitam memakai
caping bambu. Pada wajahnya sebelah kiri ada cacat bekas luka yang sangat besar
dan tak sedap untuk dipandang.
"Kenapa tidak terus
sampai ke puncak bukit sana?" Tanya Wiro tanpa mengalihkan pandangan kedua
matanya dari puncak bukit Wadaslintang. Si kakek menggeleng.
"Bukankah kita sudah
berjanji?" ujar si kakek yang bernama Poniran. "Kuantar kau sejauh
ini sampai kemari tanpa upah tanpa imbalan. Semua demi ikut membantu
menghancurkan angkara murka.
Kali ini walaupun kau bayar
seribu ringgit emas atau emas sebesar kepala, tak nanti aku akan mau menapakkan
kaki ke atas bukit itu. Kau lihat cacat di pipi kiriku ini? Bekas hantaman
makhluk jahanam itu!"
Wiro anggukan kepala.
"Setan Dari Luar jagat, itu nama mahluk yang kau maksudkan itu, kek?"
Yang ditanya anggukkan kepala
dan wajahnya yang cacat membersitkan rasa takut.
"Setan Dari Luar
Jagat," mengulang Wiro seraya garuk-garuk kepala. "Nama hebat.
Tapi apa betul ada mahluk
begitu? Setan yang datang dari luar jagat. Jagat yang mana kek?"
"Sulit bagiku untuk
menerangkan padamu. Kau telah berani datang kemari. Bahkan hendak naik ke
puncak bukit ini. Kau akan menemui makhluk itu, anak muda. Jangan lupa
ciri-cirinya. Dan aku berdoa agar kau kembali dengan selamat. Paling tidak
dalam keadaan tubuh masih utuh!"
"Jadi kau tak akan
menungguiku di kaki bukit ini?" tanya Wiro pula.
Kakek Poniran menggeleng.
"Eh apa maksudmu
menggeleng seperti itu?"
"Wiro, sebetulnya aku
kasihan padamu. Terus terang aku tak yakin kau akan kembali ke kaki bukit ini.
Lalu buat apa aku menunggu mayat yang tidak bakal datang?"
Wiro pencongkan mulut dan
garuk-garuk kepalanya mendengar kata-kata si kakek.
"Kalau begitu kau boleh
pergi sekarang," kata Wiro pula lalu turun dari kudanya dan menyerahkan
tali kekang pada kakek Poniran.
"Aku tetap berdoa untuk
keselamatanmu!"
Wiro tersenyum. Sesaat setelah
kakek dan dua ekor kuda itu lenyap dari pemandangannya, Pendekar 212 balikkan
tubuh, dengan gerakan enteng, setengah berlari dia melanjutkan perjalanan
menuju puncak bukit Wadaslintang. Sambil berlari sesekali Wiro menggenggam hulu
Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya.
Setiap dia menyentuh senjata
mustika pemberian gurunya itu dia merasakan ada kekuatan dan ketenangan dalam
dirinya. Dengan tangkas dia berlari terus, namun semakin tinggi
jauh ke atas bukit semakin
perlahan larinya karena dia harus berhatihati.
Batu-batu padas itu bukan saja
membentuk lereng terjal tapi juga licin berlumut.
Ketika baru mencapai
pertengahan ketinggian bukit sang surya telah lama tenggelam dan bukit
Wadaslintang kini diselimuti kegelapan. Udarapun berubah menjadi sangat dingin.
Sepasang kaki Pendekar 212 Wiro Sableng mendadak berhenti melangkah ketika
tiba-tiba entah dari bagian bukit sebelah mana datangnya, terdengar suara
lolongan aneh. Seperti lolongan srigala hutan, tetapi juga mirip-mirip lolongan
manusia! Seumur hidupnya belum pernah Wiro mendengar suara lolongan seperti
itu. Tengkuknya terasa dingin dan tubuhnya bergidik.
"Gila! Apa yang
harus kutakutkan!" Wiro
memaki dirinya sendiri. Maka dia kembali melanjutkan perjalanan. Mendaki dan
mendaki terus dalam gelapnya malam dan dinginnya udara. Sambil melangkah tangan
kirinya terus menggenggam hulu kapak Naga Geni 212. Sebenarnya dia memang telah
lama mendengar kedahsyatan makhluk berjuluk "Setan Dari Luar Jagat"
itu, juga mendengar kejahatan serta kekejian yang dilakukannya dalam dunia
persilatan sejak tiga bulan terakhir ini. Namun jiwa dan sifat seorang pendekar,
tak akan percaya sebelum melihat kenyataan dengan mata kepala sendiri.
Baru mendaki sejauh dua puluh
tombak, dalam kegelapan mendadak Wiro dongakkan kepala. Hidungnya mencium bau
busuk menyambar.
Wiro hentikan langkahnya.
"Bau kemenyan . . ."
bibir sang pendekar bergetar. "Siapa malam-malam begini di tempat seperti
ini membakar kemenyan? Jangan-jangan … Gila! Mana ada setan membakar
kemenyan!"
Wiro merenung sejenak. Bau
kemenyan semakin sangar menyambar hidungnya.
Dia berpikir dan
menimbang-nimbang. "Apakah akan melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit
atau mencari sumber bau kemenyan itu. Pendekar ini memutuskan untuk mencari dan
mendatangi sumber yang menghambur bau kemenyan. Karenanya dia bergerak ke arah
kanan dari jurusan mana bau itu datang dengan keras.
Selang beberapa lama, di
kejauhan Wiro melihat ada nyala api kecil sekali, seperti titik-titik kecil.
Wiro mempercepat langkahnya menghampiri nyala api itu. Beberapa kali kakinya
tersandung atau terpeleset di batu licin, membuatnya hampir jauh.
Ketika dia akhirnya mencapai
nyala api itu, pendekar kita jadi tercekat. Nyala api ternyata adalah bara
menyala yang terletak dalam sebuah pendupaan tanah. Di dalam pendupaan itu juga
terdapat sepotong besar kemenyan. Benda inilah yang dalam keadaan terbakar menebar
bau
harum santar dan menggidikkan.
Wiro maju satu langkah
mendekati pendupaan. Kedua kakinya mendadak seperti dipantek ketika tiba-tiba
sekali kembali terdengar suara lolongan aneh tadi. Dekat sekali. Tapi memandang
berkeliling pemuda ini tidak melihat manusia atau binatang, atau mahluk apapun!
Ketika kedua matanya memandang
ke arah pendupaan, astaga! Baru saat itu dilihatnya apa yang bertebaran malang
melintang di atas bebatuan di sekitar pendupaan. Tulang belulang aneh
berwarna hitarn seperti arang.
Semula sulit bagi Wiro untuk menduga tulang belulang apa adanya itu. Namun
begitu matanya membentur beberapa batok tengkorak kepala manusia serta
sederetan tulangtulang iga dan selangkangan, jelas sudah semua itu adalah
tulang belulang dan
potonganpotongan tengkorak
manusia! Hanya saja … mengapa berwarna hitam seperti hangus terbakar?
Wiro kembali memandang
berkeliling. Mulutnya terkancing sebaliknya kedua matanya dibuka lebar-lebar.
Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa kecuali kegelapan. Setelah berpikir
sejenak akhirnya dia
memberanikan diri berteriak.
"Ki sanak yang membakar
kemenyan silahkan muncul! Aku ingin berkenalan!"
Teriakan pemuda itu bergema
dalam kegelapan malam lalu lenyap. Berbarengan dengan lenyapnya gema seruan, di
kejauhan tiba-tiba terdengar suara tolongan seperti tadi, hanya kini disusul
dengan suara tawa di antara deru angin yang ikut muncul. Lalu ada suara
bergemeletakan seperti ada
benda jatuh menggelinding. Wiro berpaling ke kiri. Di lamping batu yang terjal
sebuah benda bulat menggelinding bergemeletakan, bergulir ke arah pendupaan dan
terhenti di antara tumpukan tulang belulang.
Benda itu ternyata sebuah
tengkorak kepala manusia berwarna hitam. Dari salah satu rongga mata tengkorak
menyembul keluar seekor ular hitam bermata merah. Binatang sepanjang
tiga jengkal ini
menggeliat-geliatkan lehernya beberapa kali lalu meluncur lenyap dalam
kegelapan.
Wiro hela nafas dalam. Walau
hatinya memaki namun diam-diam dia harus mengakui kalau saat itu ketegangan
menyelimut dirinya. Perlahan-lahan Pendekar 212 putar tubuhnya, lalu tinggalkan
tempat itu, kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit batu
Wadaslintang.
Kalau tadi dari kaki bukit,
sebelum matahari terbenam bukit batu itu tampak tidak begitu tinggi,
tetapi setelah berjalan cukup
lama dia masih belum mampu mencapai puncaknya. Di satu tempat Wiro bersandar ke
dinding batu, berhenti untuk mengusap keringat yang membasahi mukanya padahal
udara di bukit itu dingin sekali. Saat dia mengusap keringat di mukanya itulah
dia
melihat tiga tombak
dibawahnya, terpisah oleh ketinggian bebatuan yang berbeda, ada nyala api.
Persis seperti nyala api yang dilihatnya sebelumnya.
"Aneh! Tadi aku melewati
tempat itu sebelum sampai ke mari. Mengapa mataku tidak melihat nyala api itu.
..?" Wiro membatin.
Dia menengadah dan menghirup
udara dalam-dalam. Sama sekali tidak tercium bau kemenyan. Wiro memandang lagi
ke bawah sana. Memperhatikan lebih teliti. Ternyata tiga langkah di depan api
yang menyala ada satu sosok tubuh duduk mencangkung dalarn hitamnya kegelapan.
Meski dia tidak dapat melihat jelas siapa adanya sosok tubuh itu namun Wiro
yakin yang duduk itu adalah manusia, bukan setan bukan binatang, bukan pula
mahluk halus! Maka diapun berseru.
"Hai! Siapa di bawah
sana?!"
Orang yang duduk mencangkung
tidak menjawab hanya angkat kepalanya.
Astaga! Wiro tercekat. Dia
memang tidak dapat melihat jelas wajah orang itu, tapi dia menyaksikan adanya
kilatan cahaya merah membersit dari sepasang matanya, seperti sambaran nyala
bara api!
"Hai! Kenapa tidak
menjawab?!" Wiro berseru lagi.
Karena masih tidak mendapat
jawaban maka Wiro melangkah menuruni batu cadas hingga akhirnya sampai di
hadapan orangyang duduk mencangkung di depan sebuah pendupaan tanpa kemenyan.
Wiro perhatikan orang ini lekat-lekat. Seorang kakek bermuka cekung panjang,
berkulit coklat gelap dan memiliki rambut panjang berwarna kelabu. Tak ada
keistimewaan
pada orang tua berpakaian
serba hitam ini kecuali sepasang matanya yang sangat angker, berwarna merah
yang dalam gelap tidak ubah seperti bara menyala.
"Kakek," Wiro
menegur. Suaranya dan juga sikapnya menyatakan penghormatan.
Bagaimanapun juga pendekar
berpengalaman ini sudah maklum kalau siapapun adanya orang tua di hadapannya
itu pastilah dia bukan orang biasa. Semula dia menyangka orang ini adalah Setan
Dari Luar Jagat yang tengah dicarinya. Tapi dari ciri-ciri yang dilihatnya
ternyata jelas
bukan.
"Kek, apa yang kau
kerjakan malam-malam di tempat ini?" Wiro menyambung tegurannya.
Yang ditanya menatap si pemuda
sesaat lalu geleng-geleng kepala kemudian menunduk.
"Kau tinggal di sekitar
sini? Penghuni atau penguasa bukit batu Wadaslintang ini?" Yang ditanya
kembali menggeleng.
"Aneh, dia menggeleng
terus," ujar Wiro dalam hati, mulai merasa jengkel. "Kek, kau yang
memiliki pendupaan itu dan menyalakan baranya?"
Orang tua berambut kelabu
tampak membersitkan bayangan seperti marah pada wajahnya. Kedua matanya yang
merah seperti berkilau. Tapi kemudian dia lagi-lagi gelengkan kepala.
"Jangan-jangan si tua
bangka ini tuli! Tapi biar kutanya sekali lagi." Lalu: "Kek, kau tuli
atau bagaimana?"
Untuk kedua kalinya Wiro
melihat si kakek unjukkan air muka marah. Tapi sesaat kemudian dia kembali
menggelengkan kepala. Wiro jadi garuk-garuk kepala.
"Kau yang membuat pendupaan
dan membakar kemenyan dibawah sana?"
Gelengan kepala si kakek kuat
dan lama sekali. Wajahnya yang cekung tampak mengelam tanda dia juga sangat
marah.
Wiro usap-usap dagu lalu
berkata: "Jangan-jangan kau orangnya atau kaki tangannya mahluk bernama
Setan Dari Luar Jagat itu!"
Si kakek hentakkan kaki
kanannya ke batu. Hebat! Bukan saja tidak gampang menghentakkan kaki dalam
keadaan jongkok seperti itu, tapi hentakan kaki itu juga membuat Wiro merasakan
adanya getaran pada lamping bukit batu di mana dia berada.
"Jadi kau bukan penghuni
tempat ini! Sama-sama pendatang sepertiku?" Sekarang untuk pertama kalinya
si kakek angguk-anggukkan kepala.
"Lalu apa maksud
kedatangan ke tempat ini?" Wiro bertanya.
Si orang tua tudingkan
telunjuk tangan kirinya ke arah Wiro.
"Lho … Kau tak mau
menjawab pertanyaanku. Malah balik bertanya begitu? Kenapa sih kau tak mau
bicara menjawab pertanyaan orang?"
Kakek berambut kelabu itu
tiba-tiba buka mulutnya lebar-lebar. Wiro memperhatikan. Mulut ompong sama
sekali tak bergigi lagi. Tapi bukan hanya ompong. Orang tua ini juga tidak
memiliki lidah! Kalau ada sangat pendek dan tersembunyi di ujung
kerongkongannya!
"Ah, kasihan! Itu rupanya
dia tak bisa bicara…" ujar Wiro dalam hati. Lalu dia melangkah
lebih mendekati orang tua itu
dan ikut jongkok di depannya.
"Kek . . ." kata
Wiro hendak mengucapkan sesuatu tapi terputus ketika tiba-tiba sekali di
kejauhan terdengar suara lolongan menggidikkan.
Begitu suara lolongan lenyap
menyusul terdengar deru angin sangat deras. Datangnya dari puncak bukit
Wadaslintang yang gelap gulita. Bagian bukit di mana Wiro dan orang tua itu
duduk mencangkung seperti dilanda topan. Bukit batu bergetar keras. Si kakek
dan Wiro tampak
terhuyung-huyung. Pendupaan di
atas batu mencelat mental.
Deru angin semakin kencang dan
dahsyat. Wiro sadar dia tak akan dapat bertahan dan segera akan disapu hantaman
angin itu. Di depannya si kakek tampak membuka mulut berulang kali, seperti
mengatakan sesuatu tapi tanpa ada suara yang keluar.
"Jatuhkan dirimu
kek!" seru Wiro sebelum tubuhnya disapu angin. Dia menjatuhkan diri,
menelungkuk sama rata dengan batu padas.
Terdengar suara menggemuruh
ketika satu gelombang angin menyapu mengerikan di tempat itu. Wiro cengkeramkan
kedua tangannya ke batu, bertahan agar jangan tersapu. Untung dia sudah
menjatuhkan diri seperti itu.
"Gila! Ini lebih dahsyat
dari pukulan angin topan melanda samudera!" membatin sang pendekar
membandingkan dahsyatnya tiupan angin yang melanda dengan pukulan sakti warisan
Eyang Sinto Gendeng.
Di kejauhan kembali terdengar
suara lolongan aneh. Hembusan angin dahsyat mendadak lenyap. Wiro palingkan
kepala ke kiri. Lalu memandang berkeliling, mencari-cari, tapi kakek rambut
kelabu tadi tak ada lagi di situ.
"Jangan-jangan dia
dilabrak angin dan mental ke bawah!" pikir Wiro. Dia coba mengawasi lereng
bukit batu di bawahnya dan memasang telinga. Tak satupun yang tampak dalam
gelap itu, juga tak
sepotong suarapun yang mampu
didengarnya.
***
2
RUMAH TUA di tikungan sungai
itu seperti hendak roboh dimakan usia. Di luar kegelapan mencengkam. Sesekali
terdengar desau angin di sela-sela dedaunan pohon yang bertumbuhan di sepanjang
sungai dan di sekitar rumah. Sesekali terdengar riak air sungai ketika beberapa
ekor ikan menyembul di permukaan air lalu menyelam cepat ke dasar sungai.
Di dalam rumah tua yang
berlantai kayu dan penuh debu, tiga orang tampak duduk di sudut kanan dekat
pintu. Sebuah pelita sangat kecil menyala di tengah-tengah mereka, begitu
kecilnya hingga bukan saja tidak dapat menerangi seantero ruangan rumah, tapi
juga nyaris tak mampu menerangi wajah-wajah tiga orang tadi. Dua di antara
mereka adalah dua orang tua berambut putih. Satunya lagi seorang pemuda
berwajah tampan dan berkulit halus seperti perempuan.
"Hanya kita bertiga yang
datang. Malam telah larut. Apakah kita akan menunggu dua
teman lainnya?" Yang
bicara adalah orang tua yang duduk dekat pintu, berpakaian putih menyerupai
pakaian seorang resi.
"Terus terang, aku tak
bisa berada lama-lama di tempat ini," membuka mulut kakek berpakaian ungu.
"Kalau begitu, sementara
menunggu datangnya dua sahabat, bagaimana kalau kita mulai saja
berunding!" Mengusulkan pemuda berpakaian biru.
Dua orang tua menyatakan
persetujuannya. Maka si baju putih mengangsur duduknya agak ke muka dan
pembicaraan di rumah tua itupun dimulai.
"Kita sudah sama
mengetahui bahwa mahluk penimbul bala bernama Setan Dari Luar Jagat itu
bermarkas di puncak bukit Wadaslintang di daerah selatan. Tiga orang tokoh
daerah selatan pernah nlenyatroni bukit angker itu. Tapi mereka tak pernah
kembali lagi. Menurut kabar
terakhir, diperoleh kepastian
bahwa ketiganya telah tewas di tangan mahluk jahat itu. Berarti sembilan korban
tokoh persilatan telah menjadi korban keganasan Setan Dari Luar Jagat. Ditambah
korban lainnya seorang Adipati.
Diketahui pula bahwa tiga
orang gadis di kaki bukit lenyap tanpa diketahui ke mana perginya. Mahluk itu
begitu dahsyat sehingga sebegitu jauh tak ada orang-orang dari rimba
persilatan mampu
menyingkirkannya."
"Ageng Kumbara, harap
maaf, aku potong ucapanmu," angkat bicara orang tua berpakaian ungu.
"Turut yang aku dengar mahluk itu memiliki daya kebal yang luar biasa.
Kebal senjata tajam, kebal senjata mustika dan kebal pukulan sakti. Tapi
sebagai orang-orang persilatan kite sama tahu, setiap ilmu itu pasti ada
pantangannya, pasti ada penangkalnya, pasti ada kelemahannya. Aku telah meminta
bantuan seorang sahabat untuk coba mencari tahu di mana kelemahan Setan Dari
Luar Jagat itu dan menyuruhnya mencari kakek sakti berjuluk Si Segala Tahu.
Tapi satu bulan telah lewat, tak ada kabar berita."
"Perkenankan saya
bicara," kata pemuda berpakaian biru. Namanya Pergola Bumi.
"Seorang pertapa yang
menjadi Abdi Dalem di Keraton Surokerto pernah bermimpi dan mendapat petunjuk
bahwa mahluk bernama Setan Dari Luar Jagat itu hanya mampu dibunuh dengan benda
yang juga berasal dari luar jagat. Nah, benda apa itu tak seorangpun yang
tahu."
Sesaat tiga orang itu terdiam
seperti merenung.
"Sahabatku Sindu Brama,
kalau aku tak salah kau pernah mengemukakan hal yang sama padaku empat minggu
yang lalu."
Orang tua berpakaian ungu usap
mukanya lalu mengangguk. "Betul sekali Ageng Kumbara. Begitu petunjuk yang
kudapat, tetapi benda apa yang dimaksudkan tak dapat diketahui jawabnya lebih
lanjut. Benda apa saja yang dimaksud dengan benda dari luar jagat. Apakah air
hujan, atau sinar matahari, atau cahaya rembulan dapat dianggap sebagai benda
dari
luar jagat dan mampu
menewaskan mahluk itu? Kita perlu petunjuk…."
Sindu Brama sesaat perhatikan
wajah Jan sikap Ageng Kumbara lalu berkata: "Ageng, kulihat kau seperti
memikirkan sesuatu. Dan wajahnya menunjukkan kegelisahan
"Terus terang aku memang
gelisah. Ada yang aku kawatirkan . . . ."
"Kalau kami boleh tahu
….?" bertanya Pergola Bumi.
"Sekitar awal bulan lalu,
para tokoh di barat pernah mengadakan pertemuan.
Maksud pertemuan sama dengan
yang kita adakan saat ini. Yaitu untuk mengakhiri petualangan jahat Setan Dari
Luar Jagat. Kalau aku tak salah menyirap kabar dalam pertemuan itu diputuskan
untuk mengirimkan murid tunggal nenek sakti bernama Sinto Gendeng dari puncak
Gunung Gede ke puncak Wadaslintang guna membunuh Setan Dari Luar Jagat itu.
Nah, tanpa
mengetahui lebih dulu apa
kelemahan mahluk itu, bukankah kepergian murid si nenek sakti sama saja dengan
mengantar nyawa? Lalu kudengar kabar bahwa pendekar sakti itu telah berangkat
menuju puncak Wadaslintang sekitar satu minggu lalu. Saat ini berarti kira-kira
dia
sudah berada di tempat itu.
Kalau dia sampai tewas percuma
di tangan Setan Dari Luar Jagat, bukankah berarti kita akan kehilangan seorang
tokoh muda yang menyandang nama besar dalam dunia persilatan?"
"Lalu, apa yang harus
kita lakukan sekarang … ?" bertanya Sindu Brama.
"Saya ada usul.
Mudah-mudahan kalian orang tua mau menyetujui," menyahuti Pergola Bumi.
"Kemukakan usulmu,
pendekar muda," ujar Sindu Brama. "Kami yang tua akan mendengar dan
akan menyokong kalau usulmu memang bisa dilaksanakan . . . ."
"Saya akan menemui Abdi
Dalem Keraton Surokerto yang saya ceritakan tadi. Lalu memintanya untuk
melakukan hening cipta rasa kembali guna mendapatkan petunjuk lebih lanjut.
Benda luar jagat apa sebenarnya yang dapat menewaskan Setan Dari Luar Jagat.
Kalau disetujui, saya akan berangkat ke Kotaraja malam ini juga."
"Usulmu masuk akal. Caranya
bisa dilaksanakan. Aku menyetujui. Bagaimana denganmu Sindu Brama?"
bertanya Ageng Kumbara.
"Aku setuju juga. Lalu
!"
Belum selesai Sindu Brama
menyelesaikan ucapannya di luar tiba-tiba terdengar seruan.
"Para sahabat, aku sudah
menemukan benda yang kalian bicarakan itu. Setan Dari Luar Jagat akan dapat
kita tamatkan riwayatnya!"
Sesaat kemudian pintu
terpentang lebar dan sesosok tubuh masuk ke dalam, kurus tinggi tapi bungkuk.
"Datuk Bungkuk!"
Tiga orang yang duduk di lantai sama berseru.
"Kami memang sedang
menunggu-nunggumu. Rupanya kau muncul membawa berita besar!" berkata Sindu
Brama. "Ayo duduk dan lekas katakan apa yang kau temukan!"
Orang yang dipanggil dengan
sebutan Datuk Bungkuk menyeringai sesat. Dia ternyata seorang tua berkumis dan
berjanggut lebat memiliki sepasang mata yang satu sangat besar dan satu
lagi sangat kecil, seperti
tertutup. Tubuhnya tidak bisa berdiri lurus, selalu menekuk bungkuk. Setelah
menutup pintu lebih dulu sang Datuk lalu mengambil tempat duduk di lantai di
samping Sindu Brama.
Nafasnya tampak mengengah,
dadanya turun naik.
"Izinkan aku mengatur
nafas dulu," berkata sang Datuk lalu berulang kali menarik nafas dalam.
"Aku berlari seperti dikejar hantu agar dapat sampai ke tempat ini lebih
cepat. Aku kawatir kalian sudah pergi …."
Setelah nafasnya tidak
menyengal lagi dan debaran pada dadanya menyurut Datuk Bungkuk baru membuka
mulut.
"Satu minggu lalu ketika
diadakan perayaan Maulud di Parangtritis, secara tak sengaja aku bertemu
seorang Biksu Budha yang ikut menyaksikan perayaan. Ternyata Biksu ini bukan
hanya tahu soal agama, bukan
hanya suka menghadiri berbagai perayaan keagamaan atau kepercayaan lain, tapi
juga seorang yang arif akan apa yang selama ini terjadi dalam rimba persilatan
. . . ."
"Ah, penuturanmu sungguh
menarik. Teruskanlah Datuk . . ." kata Ageng Kumbara tak sabar ketika
Datuk Bungkuk sesaat menghentikan ceritanya untuk mengusap keringat di
wajahnya.
"Kalian tahu apa yang
secara tak kuduga kemudian diberikan Biksu itu padaku …?"
Datuk Bungkuk lanjutkan
penuturannya. "Sebuah benda! Menurut sang Biksu dengan mempergunakan benda
itu maka musnahlah segala kekuatan dan kekebalan Setan Dari Luar Jagat. Dengan
mudah dia bisa dibunuh!"
Datuk Bungkuk memandang
berkeliling, dan melihat wajah ketiga sahabatnya itu menunjukkan rasa kagum.
"Apakah kau me mbawa
benda itu saat ini Datuk?" bertanya Pergola Bumi.
"Sudah barang tentu!
Sudah barang tentu!" sahut sang Datuk penuh bangga.
"Bolehkah kami
melihatnya?" tanya Ageng Kumbara dan Sindu Brama hampir berbarengan.
"Tentu! Aku akan
perlihatkan padamu! Jangan kawatir! Benda ini milik
kita bersama. Milik barisan
kebenaran untuk menghancurkan kejahatan!"
jawab Datuk Bungkuk pula. Lalu
dia gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana membelit sebuah ikat pinggang
besar terbuat dari kulit. Pada bagian kanan ikat pinggang itu ada sebuah
kantong besar. Diikuti sorot pandang tiga orang tokoh silat sahabatnya Datuk
Bungkuk membuka penutup kantong. Penutup terbuka. Sebuah benda dikeluarkan dari
dalam kantong
ikat pinggang. Namun sebelum
keseluruhan tangan Datuk Bungkuk keluar dari dalam kantong tiba-tiba menghentak
suara lolongan aneh dari arah atap bangunan. Bersamaan dengan itu terdengar
deru angin sangat dahsyat. Pelita di dalam rumah padam bahkan mental. Rumah tua
itu berderak-derak seperti hendak runtuh. Di saat itu pula atap rumah bobol.
Sesosok tubuh hitam berkelebat masuk dalam gelap. Sulit untuk dilihat atau
diduga siapa adanya. Apalagi keempat orang yang ada di dalam rumah tengah
diselimuti rasa kejut dan kaget bukan kepalang.
Selagi ketegangan mengguncang
rumah dan semua orang yang ada di dalamnya diam tercekat mendadak terdengar
jeritan Datuk Bungkuk, keras dan menggidikkan. Lalu sosok tubuh yang tadi masuk
kembali berkelebat, meleset ke atas dan lenyap menerobos lewat atap yang jebol!
"Sindu Brama, Pergola
Bumi, Datuk Bungkuk! Kalian di mana?" berseru Ageng Kumbara di dalam gelap
ketika deru angin perlahan-lahan mereda dan di kejauhan terdengar lagi suara
lolongan mengerikan itu lalu lenyap.
"Saya di sini,"
jawab Pergola Bumi dengan cepat dari sudut kanan.
"Aku di sebelah kirimu,
Ageng!" menyahut Sindu Brama dengan suara tertahan tanda masih belum lepas
dari rasa kejut.
Tapi tak ada sama sekali
jawaban dari Datuk Bungkuk.
"Datuk Bungkuk …. ?"
memanggil Ageng Kumbara.
Tetap tak ada jawaban.
"Terangi ruangan ini!
Nyalakan api!" seru Ageng Kumbara tegang. Ketika api dinyalakan tampaklah
Datuk Bungkuk menggeletak di lantai. Muka dan sekujur tubuhnya tampak hangus
seperti arang. Tangan kanannya sebatas bahu lenyap alias tanggal dari
persendian.
"Gusti Allah!" desis
Sindu Brama dengan suara bergetar. "Siapa melakukan kekejian ini?!"
"Saya, kita semua tadi
hanya melihat ada seseorang menerobos atap, masuk ke dalam. Hanya terlihat dua
titik merah aneh. Lalu jeritan Datuk Bungkuk …!" Yang bicara pemuda
bernama Pergola Bumi.
"Ada yang melihat benda
yang dikeluakan dan digenggam Datuk Bungkuk dari dalam kantong ikat
pinggangnya?"
"Saya tidak melihat. .
." menerangkan Pergola Bumi.
"Aku cuma melihat
sekelebatan. Sebuah benda hitam, berbentuk agak gepeng. Tak jelas benda
apa!" berkata Ageng Kumbara.
Sindu Kumbara melangkah
mendekati mayat Datuk Bungkuk, berlutut memeriksa kantong pada ikat pinggang
sang Datuk. Ternyata kantong kulit itu kosong!
***
3
BUKIT WADASLINTANG sekitar dua
belas bulan sebelumnya. Sudah hampir empat puluh hari hujan tak pernah turun.
Kegersangan menyelimuti daerah selatan. Pepohonan di bebukitan mulai meranggas
kering. Siang hari panasnya bukan alang kepalang. Tetapi pada malam hari udara
dingin seperti hendak membeku aliran darah. Suatu malam di puncak bukit
Wadaslintang. Untuk kesekian kalinya malam itu adalah malam Jum’at Kliwon sejak
seorang lelaki tak dikenal
menginjakkan kakinya di puncak
bukit lalu bersila di atas sebuah batu besar, memulai suatu tapa yang dia
sendiri tidak tahu kapan akan berakhirnva.
Pada malam Kliwon yang
pertama, yaitu tiga hari setelah orang ini memulai tapanya, satu suara gaib
menggema di Hang telinganya.
"Anak manusia bernama
Kondang Panahan, aku penghuni dan penguasa bukit Wadaslintang ini. Tiga hari
lalu aku telah menyaksikan kedatanganmu, duduk di atas batu dan mulai bertapa.
Apa maksud tujuanmu melakukan tapa ini?"
Lelaki yang bertapa dengan
mata terpejam tampak bergetar sekujur tubuhnya. Wajahnya berubah pucat tapi
kedua matanya tidak dibuka, tetap terpejam.
"Eyang terima kasih kau
telah memperhatikan dan mau menemui diriku. Aku Kondang Panahan tidak mempunyai
maksud lain dari bertapa di sini, kecuali menginginkan mendapatkan satu ilmu
kesaktian luar biasa. Ilmu
kesaktian yang lampun tidak memilikinya . . . ."
Terdengar suara tertawa dari
mahluk yang tidak berwujud.
"Manusia selalu ingin
mencari kesaktian. Dan kau menginginkan kesaktian luar biasa. Yang tak dimiliki
orang lain. Ilmu kesaktian apa misalnya …. ?"
"Misalnya ilmu mempan
diri. Tak ada senjata atau kesaktian lain yang sanggup mencideraiku . ."
"Setelah kau dapatkan
ilmu kesaktian itu, apa yang akan kau lakukan?"
"Banyak eyang."
"Misalnya?"
"Membunuh musuh-musuhku,
mencari harta kekayaan, menghancurkan siapa saja yang berani menantangku.
Tujuan akhir adalah menguasai rimba persilatan. Menjadi tokoh nomor satu
…."
"Kau tahu kalau apa yang
kau sebutkan itu adalah jalan sesat … ?"
"Aku tahu betul Eyang.
Justru itu yang aku inginkan. Dunia ini penuh dengan manusia-manusia yang
katanya menempuh jalan benar, hidup untuk kebaikan. Tapi semuanya kuketahui
ternyata munafik. Lain kata lain perbuatan. Lain ucapan lain tindakan. Mereka
termasuk orang-orang yang akan kubasmi Eyang . . . ."
"Kalau begitu silahkan
kau meneruskan tapamu. Asal saja kau mau menanggung segala akibat dan tanggung
jawabnya."
"Jadi Eyang mengijinkan
aku meneruskan tapa?"
"Ya … dan mengabulkan apa
yang jadi permintaanmu!"
"Terima kasih Eyang.
Kapan saya akan mendapatkan ilmu itu?"
"Seratus hari dari
sekarang. Setelah kau menguasai ilmu itu, pada siang hari ujud tubuhmu tetap
seperti manusia apa adanya. Tapi begitu matahari tenggelam, kau akan berubah
ujud. Tubuhmu akan berubah menjadi sosok yang menakutkan. Kau akan menjadi
setan! Begitu matahari terbit
maka kau akan kembali pada
bentuk aslimu. Saya akan menjadi setan Eyang …" Kondang Panahan bertanya
dengan nada menunjukkan kebimbangan.
"Kau akan menjadi setan.
Betul!"
"Eyang, yang saya
inginkan tetap sebagai manusia biasa tapi memiliki kemampuan luar biasa. Saya
tidak ingin jadi setan …." Terdengar suara tertawa sang Eyang.
"Anak manusia, kau harus
tahu, setiap manusia yang mau melakukan jalan sesat maka sesungguhnya dia sudah
menjadi setan, hidup sebagai setan dan akan mati sebagai setan …."
"Kalau begitu . . .
."
"Jangan kau berani
mengelak! Jangan mencari dalih! Jangan coba menghindar dan jangan coba
membatalkan maksudmu semula! Kau sudah berani datang ke tempatku dan harus
berani menerima segala akibatnya!
Jika kau membangkang maka kau
akan mampus menderita mulai detik ini juga. Sebutkan pilihanmu!"
"Aku . . . Eyang . . .
Biar aku memilih yang pertama, meneruskan bertapa.
"Bagus! Tanggalkan
seluruh pakaian luarmu!" Kondang Panahan membuka baju dan celana
panjangnya. Kini dia hanya mengenakan sehelai celana berbentuk cawat.
"Anak manusia kau dengar
baik-baik. Seratus hari dimuka aku akan datang lagi ke tempat ini. Tepatnya
pada malam Jum’at Kliwon. Kalau sesuatu terjadi padamu sebelum malam aku
datang, jangan berani meninggalkan tempat ini. Kau dengar itu anak
manusia?"
"Aku dengar Eyang dan aku
akan mematuhinya," jawab Kondang Panahan.
"Satu lagi yang harus kau
patuhi. Selama masa bertapa kau tidak diperkenankan makan dan minum…."
"Berarti selama seratus
hari . . ."
"Betul, kau tak boleh
makan atau minum selama seratus hari. Mungkin lebih. Jika kau melanggar
pantangan itu akibatnya akan kau rasakan sendiri . . ."
"Seratus hari. Aku bisa
mati Eyang …."
"Kalau umurmu memang
pendek sudah pasti kau akan mati! Mati atau hidup kau tetap akan jadi setan . .
. ."
"Eyang…’
"Sudah! Tutup mulutmu!
Waktuku bukan hanya untuk mengurusmu!" Bersamaan dengan lenyap ucapan sang
Eyang, Kondang Panahan merasakan ada sepasang tangan menekan bahunya kiri
kanan. Tubuhnya terasa seperti dipakukan pada batu yang didudukinya. Bahunya
seperti dibebani batu yang sangat berat dan dia tak mampu bergerak.
***
Malam itu hujan turun
rintik-rintik. Puncak bukit Wadaslintang diselimuti kabut serta udara dingin bukan
kepalang. Hari itu adalah hari ke seratus perjanjian Kondang Panahan dengan
sang Eyang yang tak berwujud, hanya memperdengarkan suara secara gaib. Seperti
seratus hari
sebelumnya begitulah keadaan
tubuh Kondang Panahan tetap tak bergerak dari duduk bersila di atas batu.
Pipinya tampak cekung, kumis, cambang bawuk dan janggutnya meranggas liar.
Sepasang matanya yang terpejam juga tampak cekung. Kulitnya hitam legam. Bobot
tubuhnya susut jauh, sangat kurus seperti tinggal kulit pembalut tulang saja.
Malam semakin larut, semakin
sunyi dan semakin dingin. Di langit di arah utara tiba-tiba tampak satu titik
terang, bergerak cepat, membentuk ekor panjang dan meluncur ke jurusan timur di
mana bukit Wadaslintang terletak.
Makin lama benda terang
berbentuk titik itu menjadi makin besar, ekornya makin panjang dan tambah dekat
ke bukit. Inilah bintang berekor atau lintang ngalih yang menimbulkan cahaya
terang saking panasnya.
Pada jarak lima ribu tombak di
udara Kondang Panahan mulai merasakan kontak aneh dalam tubuhnya. Kontak antara
jiwa raganya dengan lintang ngalih di udara.
Semakin dekat bintang itu
mendatangi, semakin keras goncangan di tubuh Kondang dan ada hawa panas seperti
memanggangnya. Tubuhnya yang kurus mengucurkan keringat deras.
Pada jarak empat ribu tombak
mulai terdengar deru luncuran bintang berekor itu dan semakin keras pula
getaran di tubuh Kondang Panahan, semakin panas hawa aneh membakar dirinya!
Tiga ribu tombak … dua ribu
tombak … seribu tombak … lima ratus tombak … tiga ratus, seratus
…. sepuluh .., satu tombak!
Sinar terang merah dan hawa panas luar biasa menyungkup puncak bukit
Wadaslintang. Terdengar suara berdentum disusul pekikan dahsyat keluar dari
mulut Kondang Panahan, ketika sinar terang panas itu dengan inti sebuah benda
sebesar tetampah berwarna hitam menghantam tubuhnya!
Wuss! Menyusul terdengar suara
seperti benda hancur!
Tubuh Kondang Panahan berubah
jadi sehitam arang dan mengepulkan asap kelabu. Bukan itu saja, tubuhnya
tenggelam melesak ke dalam batu yang sejak seratus hari lalu didudukinya
sebagai tempat bertapa. Batu itu tak beda seperti lumpur sawah yang menelan
sosok tubuh Kondang Panahan sampai ke ubun-ubun! Megap-megap lelaki ini
menggapai-gapai berusaha
mengeluarkan diri. Saat itulah
terdengar suara tertawa panjang.
Sepasang mata Kondang Panahan
terbuka lebar. Dia memandang berkeliling.
"Eyang … Kau datang . .
." ujar Kondang Panahan.
"Ya … memang aku telah
datang anak manusia. Ayo terus, merayaplah keluar."
Dengan susah payah akhirnya
Kondang Panahan mampu keluar dari "lumpur" batu yang
menenggelamkannya. Tapi begitu tubuhnya keluar terjadi satu keanehan yang
mengerikan. Wujud lelaki itu tidak wujud manusia lagi.
"Anak manusia … Mulai
detik ini kau telah berubah menjadi setan. Setan Dari Luar Jagat! Itu namamu
kini! Lihat kedua tanganmu. Lihat kedua kakimu. Sekujur tubuhmu sampai ke muka.
Kau telah berubah . . . ."
Mendengar ucapan gaib itu
Kondang Panahan terkejut. Dia ulurkan kedua lengannya. Astaga, sepasang lengan
itu kini penuh dengan bulu-bulu kasar aneh, hampir menyerupai bulu landak!
Kaki, perut dan dadanya juga ditumbuhi bulu serupa. Ketika kedua tangannya
diusapkan ke wajahnya, ternyata wajahnyapun telah tertutup bulu yang sama.
Kondang Panahan
merasakan tengkuknya
merinding.
Suara gaib terdengar kembali
mengumbar tawa. "Kau bisa melihat wajahmu sendiri saat ini. Selain
tertutup bulu iblis mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, sepasang matamu
kini berwarna merah seperti nyala bara api. Kau menyimpan kekuatan dahsyat yang
bisa menghancurkan di kedua matamu itu. Sekujur tubuhmu tidak mempan senjata
atau pukulan sakti apapun karena terlindung oleh bulu iblis. Apa yang kau pinta
telah terkabul!"
"Terima kasih Eyang …
terima kasih . . ." kata Kondang Panahan pula seraya jatuhkan diri berlutut.
Sang Eyang tertawa. "Tak
perlu berterima kasih padaku. Ilmu yang kau miliki berasal dari luar jagat.
Bersumber pada bintang berekor, pada lintang ngalih yang jatuh tepat menimpa
dirimu pada Jum’at Kliwon ini.
Malam hari kau berubah menjadi
setan. Begitu matahari terbit kau akan kembali menjadi manusia biasa di mana
kau tidak memiliki ilmu atau kekebalan apapun. Tak seorang dapat mengalahkanmu,
apalagi membunuhmu jika kau sudah menjadi Setan Dari Luar Jagat. Karena itu
kuanjurkan kau hanya gentayangan di malam hari dan bersembunyi di siang hari …
Sebelum
aku pergi aku akan katakan
satu kelemahan dalam dirimu. Kau akan menemui kematian bilamana bersentuhan
dengan benda dari luar jagat …."
"Kalau boleh aku tahu
Eyang, benda apakah itu?" bertanya Kondang Panahan.
"Pecahan bintang ngalih
atau bintang berekor yang tadi menimpa tubuhmu. Bintang itu adalah semacam batu
hitam atos luar biasa. Ketika menghantam tubuhmu, batu itu hancur berantakan.
Hawa panasnya membuat seantero pepohonan di bukit ini menjadi mwti hangus.
Kalau kau
perhatikan besok, seluruh
bukit telah berubah menjadi bukit batu cadas berwarna hitam. Nah, kalau ada di
antara pecahan lintang ngalih tadi bersentuhan dengan tubuhmu, tak ampun lagi
kau akan menemui kematian detik itu juga . . . ."
"Eyang . . ." suara
Kondang Pandahan terdengar tercekat. "Tadi Eyang menerangkan bintang
berekor itu pecah ketika mengenai tubuhku. Pecahan itu tentu bertaburan di
sekitar tempat
ini. Bagaimana aku dapat
mengetahui mana yang pecahan bintang dan mana yang bukan …"
"Pecahan bintang berekor
itu tidak berada di sekitar tempat ini. Juga tidak di lereng atau di kaki
bukit. Daya pental yang luar biasa membuat pecahan-pecahan batu berhamburan
jauh tinggi ke
udara. Mungkin jatuh di
tempat-tempat puluhan ribu tombak dari sini . . . ."
Mendengar keterangan sang
Eyang, legalah hati Kondang Panahan. "Bagaimana aku harus membalas semua
jasa Eyang …. ?"
"Aku tak pernah merasa
berjasa. Karenanya tidak perlu ucapan terima kasih apalagi balas jasa. Kau
meminta jalan hidupmu sendiri, kau yang akan memikul segala tanggung
jawab!" Pesanku, jangan lupa membakar kemenyan setiap malam Jum’at
Kliwon."
"Aku mengerti sekarang
Eyang. Satu permohonanku, apakah aku boleh menjadikan bukit Wadaslintang ini
sebagai tempat kediamanku …?"
"Kau boleh tinggal di
sini sampai maut datang menjemput!" jawab suara gaib sang Eyang. "Apa
kau ada pertanyaan lainnya …. ?"
"Apakah aku dapat bertemu
lagi dengan Eyang?"
"Tidak."
"Jadi tak mungkin bagiku
untuk melihat Eyang dalam bentuk nyata?" tanya Kondang Panahan lagi.
"Tidak"
"Apakah Eyang dulu pernah
hidup seperti manusia biasa di dunia ini?"
"Aku pergi
sekarang!" kata suara gaib tanpa mau menjawab pertanyaan terakhir Kondang
Panahan.
Lama setelah Eyang gaib itu
meninggalkannya, Kondang Panahan masih terduduk di atas batu. Dia seperti
bingung. Apa yang akan dilakukannya sekarang. Turun dari puncak bukit dalam
keadaan tubuh seperti itu?
Di ulurkankannya kedua
tangannya yang penuh bulu kasar. Hanya bagian telapak yang tidak ditumbuhi
bulu.
"Benarkah kini aku
menjadi seorang sakti luar biasa?" membatin Kondang Panahan.
Diusapnya batu besar yang
terletak pada lamping bukit di se belah kirinya. Tinju kirinya dikepalkan. Lalu
dipukulkan ke batu. Perlahan saja karena hatinya setengah diliputi kebimbangan.
Apa yang kemudian terjadi membuat Kondang Panahan terkejut dan hampir tidak
dapat percaya. Batu hitam besar itu hancur berantakan!
Perlahan-lahan lelaki itu
bangkit berdiri. Untuk pertama kalinya dia merasakan tenggorokannya kering kerontang.
Haus sekali. Tapi dia juga lapar sekali. Aku harus mencari air. Mencari
makanan. Aku harus turun bukit saat ini juga "
***
BATURADEN merupakan desa
paling dekat dengan bukit Wadaslintang, terletak di kaki sebelah timur. Selagi
masih menuruni bukit, Kondang Panahan telah meliha satu dua pelita yang masih
menyala di desa itu. Maka dia memutuskan menuju ke situ. Penduduk desa kecil
tidak seberapa banyak namun rata-rata berpenghasilan tinggi. Setiap penduduk
boleh dikatakan memiliki kebun luas, sawah berpetak-petak ditambah
tambak-tambak ikan. Karena terkenal dengan kemakmurannya ini maka Baturaden
menjadi sasaran penjarahan orangorang jahat. Mulai dari maling sampai
perampokan. Untuk melindungi desa dan penduduknya, Kepala Desa mengatur
perondaan pada malam hari. Terkadang dia sendiri ikut pergi berjaga-jaga.
Kondang Panahan memasuki desa
dari arah barat.
Desa diselimuti kesunyian.
Tapi dari beberapa rumah masih tampak pelita menyala. Dia melewati rumah demi
rumah. Sengaja mencari rumah yang paling besar untuk jadi sasaran. Di hadapan
sebuah rumah kayu besar berpekarangan luas telaki, ini hentikan langkah.
Sebagian dari pekarangan rumah itu merupakan tambak ikan. Ketika Kondang
memasuki halaman dan melangkah ke tepi tombak, jelas dia melihat ikan-ikan
besar di dalam tambak.
Tenggorokannya langsung
bergerak-gerak. Tanpa menunggu lebih lama dia langsung mencebur memasuki
tambak. Dengan mudah dia menangkapi ikan-ikan mas besar-besar itu. Langsung
memakannya!
Sebagai manusia biasa Kondang
Panahan tak akan mau memakan ikan mentah-mentah. Tetapi karena dirinya telah
berubah menjadi setan maka enak saja ikan besar-besar itu ditenggaknya.
Selagi asyik menyantap ikan,
tahu-tahu muncul dua orang berkerudung sarung. Salah seorang di antaranya
langsung berteriak.
"Bangsat pencuri ikan!
Jangan harap kau bisa lari kali ini! Lekas keluar dari dalam tambak!"
Kondang Panahan balikkan tubuh.
Dua orang yang datang, yang
adalah dua peronda desa yang bertugas malam itu tersentak kaget, langsung
mundur dengan tubuh menggigil. Tadinya mereka menyangka menangkap basah seorang
pencuri ikan, tetapi ternyata bertemu dengan setan yang tubuhnya penuh bulu dan
sepasang mata menyala seperti api! Tidak pikir panjang lagi keduanya lari
berhamburan. Satu
ke kiri satu ke kanan. Yang ke
kiri langsung menuju rumah pemilik tambak, kawannya lintang pukang menuju rumah
Kepala Desa.
"Kau tidak mabok atau
bangun dari mimpi Kendil?" tanya Kepala Desa Baturaden begitu mendapat
laporan petugas ronda.
"Sama sekali tidak! Saya
dan Gonto menyaksikan sendiri. Mahluk itu bukan manusia tapi setan. Sekujur
tubuh dan wajahnya tertutup bulu-bulu kasar seperti bulu landak. Sepasang
matanya mencelet merah mengerikan!
Dan ikan-ikan di tambak milik
Waliman enak saja dilahapnya mentah-mentah. Manusia mana ada yang makan ikan
mentah Pak Kepala Desa?!"
"Aku sudah setengah abad
lebih tinggal di Baturaden dan dua puluh tahun jadi Kepala Desa, tak pernah
mendengar ada setan di desa ini. Kalau maling dan pencuri memang banyak.
Akhir-akhir ini malah ada perampokan segala. Tapi kalau setan seperti yang kau
katakan itu Kendil … Sungguh tak dapat kupercaya!"
Meskipun tidak dapat
mempercayai keterangan petugas ronda itu, namun Kepala Desa mengambil kain
sarungnya juga dan menyambar sebilah kelewang. Keduanya berlari menuju
rumah kediaman Waliman.
Ketika sampai di sana Kepala
desa dan Kendil menyaksikan satu pemandangan yang luar biasa dan mengerikan.
Di pinggir tambak menggeletak
Gonto. Sudah jadi mayat tanpa kepala karena hanya tinggal hancuran
menggidikkan. Di bagian lain, di depan langkah rumah tampak Waliman si pemilik
tambak tengah menyerang sesosok tubuh seram penuh bulu dengan sebilah golok. Senjata
ini terdengar berdetak-detak menghantami mahluk menyeramkan itu tapi tak satu
bacokan, tusukan atau
babatanpun yang sanggup melukainya hingga akhirnya Waliman kehabisan tenaga dan
jatuh terkulai ketakutan setengah mati. Ketika mahluk itu membungkuk hendak
mematahkan batang leher Waliman, Kepala Desa walaupun dengan tubuh gemetar
cepat berteriak.
"Tahan! Kau ini manusia
atau setan! Jika manusia lekas menyerah! Jika setan harap segera meninggalkan
tempat ini. Jangan mengganggu dan membunuhi penduduk desa tak bersalah!"
Si mahluk menyeramkan balikkan
tubuh dan melompat ke hadapan Kepala Desa. Sang Kepala Desa merasakan
jantungnya seperti copot. Tangan yang tadi menggenggam kelewang dengan kuat,
kini terkulai ke bawah. Sementara itu Kendil petugas ronda yang menemaninya
telah melarikan diri ketakutan.
"Kau juga minta
mampus!" ujar mahluk mengerikan yaitu Kondang Panahan yang berubah wujud
menjadi Setan Dari Luar Jagat.
"Tunggu! Jangan bunuh aku
,.." teriak Kepala Desa seraya melompat mundur.
"Siapa kau sebenarnya?
Manusia atau mahluk jejadian?!"
"Aku Setan Dari Luar
Jagat. Kulihat kau datang membawa kelewang! Ingin membunuhku hah …. ?"
"De … dengar. Aku Kepala
Desa Baturaden. Kau … kau dilaporkan mencuri
ikan. Jika kau sudah
mendapatkannya silahkan pergi. Jangan ganggu kami!"
"Aku tidak mengganggu
siapa-siapa. Aku hanya lapar dan butuh makanan.
Tapi dua orang di sini
mengeroyokku dengan golok. Satu sudah kubunuh
hancur kepalanya.
Satu lagi hampir kuhantam
kalau kau tidak
berteriak tadi . . ." Aku
belum mau pergi karena perutku masih belum
kenyang. Seratus hari aku
tidak pernah makan apa-apa."
"Jangan ambil ikanku
…" teriak Waliman si pemilik tambak ikan.
"Kalau begitu biar aku
ambil nyawamu!" Setan Dari Luar Jagat menjadi marah.
Sekali lompat saja dia sudah
mencengkram batang leher Waliman. Kraak!
Terdengar jelas suara patahnya
tulang leher Waliman. Tubuh tanpa nyawa
itu dilemparkan Setan Dari
Luar Jagat ke dalam tambak lalu dia
berpaling menghadapi Kepala
Desa. Saat itu sang Kepala Desa sudah putus
nyalinya. Sambil lemparkan
golok dia memutar tubuh dan ambil langkah
seribu!
Sejak kejadian mengerikan
malam itu di seluruh daerah
selatan tersiar berita dari
mulut ke mulut tentang munculnya mahluk
menyeramkan bernama Setan Dari
Luar Jagat. Kejahatan yang dilakukannya
kemudian ternyata bukan saja
ringan tangan membunuhi orang-orang tak
berdosa. tapi banyak pula para
jago dari dunia persilatan menjadi
korbannya.
***
4
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
mencapai puncak bukit
lewat tengah malam. Tubuhnya
terasa letih tetapi semangatnya untuk
menyelamatkan dunia persilatan
tetap tinggi. Udara dingin tidak menjadi
persoalan baginya namun begitu
dia mencapai puncak ada satu perasaan
aneh menyelimutinya.
Seolah-olah ada yang mengikuti gerak-geriknya.
Tapi setiap dia memandang
berkeliling tak seorangpun dilihatnya.
Bintang-bintang di langit
tidak dapat menerangi puncak bukit dengan
cahayanya yang jauh. Wiro
duduk dalam kelam di atas sebuah batu besar.
Saat itulah dia mendengar
suara. Suara nafas. Suara nafas yang tak
mungkin suara nafas manusia
karena demikian keras tarikan dan
hembusannya. Kembali pemuda
ini memandang berkeliling. Tetap saja tidak
tidak melihat siapa-siapa.
Penciumannya menangkap bau
sesuatu.
Antara anyir dan busuk,
padahal sebelumnya tidak tercium bau apa-apa di
situ. Lalu telinganya
menangkap sesuatu bergeresek di lamping batu di
belakangnya. Sesuatu meluncur
perlahan ke arah tengkuknya. Ular, pikir
Wiro. Murid Sinto Gendeng ini
cepat balikkan diri. Justru saat itu
sesuatu mendorong dadanya.
Perlahan saja tapi membuat sang pendekar
terlempar enam tombak,
terguling ke bagian bukit di bawah sana!
Sambil berusaha bangkit Wiro
Sableng memandang ke depan. Lututnya
bergetar, dadanya bergoncang,
darah tersirap dan tengkuknya merinding.
Belum pernah dia melihat
mahluk sedahsyat ini. Inikah Setan Dari Luar
Jagat?
Mahluk itu maju satu langkah.
Gerakan kakinya yang menapak
batu jelas menimbulkan
getaran. Tubuhnya yang hampir setinggi dua meter
itu tertutup bulubulu kasar
dan menebar bau busuk anyir. Bulu-bulu
serupa juga menutupi wajahnya
hingga hampir tak kelihatan mana hidung
mana mulut. Yang menyembul
hanya sepasang mata berwarna merah, menyorot
mengerikan. Pandangan mata itu
seolah memiliki satu kekuatan luar
biasa, membuat Pendekar 212
serasa dihimpit benda sangat berat. Setelah
mengerahkan tenaga dalam untuk
menolak kekuatan aneh yang menguasai
dirinya akhirnya Wiro berdiri
langsung memasang kuda-kuda.
"Kau … kau Setan Dari
Luar Jagat?!" Wiro bertanya. Suaranya keras tapi jelas agak gagap.
Mahluk yang ditanya keluarkan
suara menggereng lalu cuh! Dia meludah!
Kembali tersirap darah
Pendekar 212. Meskipun tempat itu gelap namun
dia masih sempat melihat
bagaimana ludah mahluk yang jatuh di batu
padas membuat batu itu menjadi
berlubang! Melihat kenyataan ini Wiro
segera siapkan pukulan benteng
topan melanda samudera di tangan kiri
dan pukulan sinar matahari di
tangan kanan. Sepasang mata si mahluk
tampak mengerenyit ketika
melihat tangan kanan pemuda di hadapannya
berubah keputihan seperti
perak sampai ke siku.
"Anak manusia! Kau
datang membawa maksud
jahat!" Si mahluk keluarkan bentakan garang.
Sambaran angin yang keluar
dari lubang hidungnya membuat kedua mata
Wiro terasa perih. Hal ini
membuat murid Eyang Sinto Gendeng dari
puncak gunung Gede ini jadi
harus lebih berhati-hati. Hembusan nafas,
ludah dan bahkan tadi dia
telah merasakan dorongan tangan yang
membuatnya terpental dari
mahluk ini sungguh sangat berbahaya.
"Aku datang bukan membawa
kejahatan! Justru untuk memusnahkan kejahatan!" balas membentak Pendekar 212.
Setan Dari Luar Jagat tertawa
panjang. Begitu tawanya berhenti dari
mulutnya keluar suara lolongan
seperti lolongan srigala hutan.
"Ah, jadi lolongan yang
kudengar sebelumnya adalah lolongan mahluk ini …" membatin Wiro.
"Kejahatan mana yang
hendak kau musnahkan, anak manusia!"
"Kalau kau benar yang
dipanggil Setan Dari Luar Jagat maka kaulah kejahatan itu!" jawab Wiro
tanpa tedeng aling-aling.
"Lagakmu sombong sekali!
Apakah kau punya segudang ilmu yang sanggup pembuatku bertekuk lutut?!"
"Ilmuku adalah kebenaran.
Dan kebenaran itu adalah kekuatan Tuhan!"
"Kau menyebut-nyebut name
Tuhan. Aku mau lihat kemampuan Tuhanmu di
puncak bukit Wadaslintang
ini!" Setan Dari Luar Jagat melompat ke
sebuah batu besar dan disitu
sambil bertolak pinggang dia berkata: "Aku
lihat kau sudah menyiapkan
pukulan sakti di tangan kiri kanan. Apalagi
yang kau tunggu. Ayo cepat
menyerangku!"
Karena ditantang begitu rupa
maka Wiro segera gerakkan tangan kanan, menghantam dengan pukulan sinar
matahari!
Wuss!
Sinar putih menyilaukan
berkiblat. Hawa panas luar biasa menghampar
menyambar ke arah Setan Dari
Luar Jagat. Terdengar suara ledakan keras.
Batu hitam besar di mana
mahluk menyeramkan itu berdiri hancur
berantakan. Hancurannya
mencelat ke udara dan ke pelbagai penjuru. Tapi
Setan Dari Luar Jagat sendiri
tidak kelihatan lagi dari tempat itu!
"Edan!" maki Wiro
melihat gerakan mahluk yang luar biasa cepatnya itu.
Selagi dia mencaricari kemana
perginya Setan Dari Luar Jagat mendadak
di belakangnya ada sambaran
bau anyir dan hembusan nafas tajam.
Pendekar 212 Wiro Sableng
cepat membalik. Setan Dari Luar Jagat
tahu-tahu sudah berada di
hadapannya, lemparan seringai menggidikkan
sementara cahaya di kedua
matanya yang merah tampak membersit ganas.
"Kalau kau masih punya
ilmu simpanan lain, jangan malu-malu
mengeluarkannya. Belasan tokoh
silat tak berguna menemui ajal di
tanganku! Kau yang paling
muda. Karena itu aku memberikan kesempatan
lebih banyak padamu!"
"Aku mengaku kehebatanmu.
Tapi coba kau
hadapi yang satu ini!"
sahut Wiro penasaran. Dia kerahkan seluruh
tenaga dalamnya ke tangan
kanan. Mulutnya terkatup rapat-rapat. "Lihat
serangan!" seru Pendekar
212 seraya hantamkan tangan kanannya ke depan.
Begitu tangan dan siku
membentuk garis lurus, lima jari yang tadi
terkepal serentak dibukakan.
Serangkum angin bergulung membentuk
buntalan. Laksana batu raksasa
menyambar ke arah Setan Dari Luar Jagat.
Sesaat tubuh itu tampak
tergontaigontai.
"Ilmu mainan
anak-anak!"
mengejek Setan Dari Luar Jagat
membuat Wiro Sableng merutuk setengah
mati padahal sekujur tubuhnya
telah mandi keringat karena mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalam.
Dia dorongkan tangan kanannya sekali
lagi sambil hentakkan kaki
kanan. Bukit batu itu bergetar. Tubuh Setan
Dari Luar Jagat semakin keras
bergoyang. Tapi ketika dia menipu ke
depan, musnahlah serangan
"kunyuk melempar buah" yang tadi dilepaskan
Wiro. Sebaliknya kini dia
merasakan angin pukulannya seperti berbalik
menghantam ke arahnya. Murid
Sinto Gendeng membentak keras, melompat ke
atas untuk menghindari
hantaman angin pukulannya sendiri. Dari atas dia
lepaskan pukulan "dewa
topan menggusur gunung" yakni ilmu pukulan sakti
yang didapatnya dari Tua Gila.
Puncak bukit Wadaslintang
seperti
dilanda badai. Setan dari luar
jagat angkat kedua tangannya untuk
mengimbangi diri, namun tak
urung tubuhnya jatuh terhenyak di atas
batu. Begitu melihat lawan
jatuh Wiro lepaskan lagi pukulan "sinar
matahari".
Wuss!
Kali ini Setan Dari Luar Jagat
tak dapat menghindar seperti ketika pertama kali Wiro menggempur dengan pukulan
yang sama.
Pukulan sakti yang luar biasa
panasnya itu mendarat di tubuh Setan Dari
Luar Jagat. Mahluk itu
terpental ke dinding batu di belakangnya.
"Tamat riwayatmu
sekarang!" ujar Wiro.
Tapi pendekar itu kecele.
Perlahan-lahan sambil
keluarkan suara menggereng Setan Dari Luar Jagat
bangkit berdiri. Ternyata
tubuhnya tak kurang suatu apa! Pendekar 212
sempat melotot saking tidak
percayanya. Bertahun-tahun malang melintang
dalam dunia persilatan
diatelah menghadapi berbagai musuh tangguh.
Memang ada yang sanggup
menahan pukulan "sinar matahari"nya tapi tak
urung lawan pasti menglami
cidera. Kali ini ternyata Setan Dari Luar
Jagat tidak luka sedikitpun,
bahkan tak selembar bulu di tubuhnya
hangus atau rontok!
"Mahluk dajal ini
benar-benar kebal luar biasa! Di mana letak kelemahannya?! Aku harus
mengetahui. Kalau tidak bisa celaka!"
"Masih ada simpanan
ilmumu yang lain, anak manusia?!" Setan Dari Luar
Jagat ajukan pertanyaan sambil
bertolak pinggang. Sesaat Wiro terdiam,
marah dan penasaran. Apakah dia
harus cabut Kapak Naga Geni 212 saat
itu?
Melihat lawan hanya terdiam
dalam bingung, Setan Dari Luar
Jagat turunkan kedua
tangannya. Pandangan sepasang matanya tampak
menyorot.
"Sekarang giliranku, anak
manusia! Batok kepala dan jantungmu akan kubor dengan sinar iblis dari luar
jagat!"
Sepasang mata Setan Dari Luar
Jagat membuat gerakan aneh. Satu
mengerenyit ke atas, satunya
bergerak ke bawah. Dari tenggorokannya
terdengar suara menggereng.
Sesaat kemudian dua sinar merah, laksana
lidah api, melesat berputar-putar
seperti bor, menyambar ke kepala dan
ke jantung Pendekar 212 Wiro
Sableng! Benar-benar luar biasa!
Wiro
cepat hantamkan kedua
tangannya ke depan untuk menghadang dan
memusnahkan serangan lawan.
Tapi dua lidah api itu sama sekali tidak
bergeming apalagi musnah!
Dengan kertakkan rahang Wiro
lepaskan
pukulan sakti bernama
"tameng sakti menerpa hujan" ini adalah puku!an
yang merupakan pertahanan diri
yang sangat ampuh. Selama ini sulit bagi
lawan untuk menembus benteng
pertahanan ini. Namun alangkah kagetnya
murid Sinto Gendeng ketika dua
lidah api yang keluar dari sepasang mata
Setan Dari Luar Jagat dengan
mudah menembus pertahanannya, laksana
semudah dua tongkat ditusukkan
ke dalam air!
Wiro berseru tegang
dan jatuhkan diri ke kiri lalu
bergulingan di batu. Di belakangnya dua
larik sinar bilis terdengar
menggeru ketika menerobos batu hitam. Dua
buah lobang besar yang
mengepulkan asap terlihat jelas di batu itu.
Wiro merasakan tengkuknya
dingin dan merinding. Mukanya pucat pasi.
Sambil melompat bangun dia
cabut Kapak Maut Naga Geni 212.
"Ha … ha
. . . . Ternyata kau punya
senjata!" berseru Setan Dari Luar Jagat
sambil perhatikan mata kapak
yang mengeluarkan sinar berkilauan dalam
gelapnya malam.
"Ayo serang! Serang ….
Pilih bagian tubuhku yang lembek!" menantang Setan Dari Luar Jagat.
"Bagian tubuh yang
lembek!" ujar Wiro dalam hati. "Matamu .., kedua
matamu bagian yang paling
lembek!" Maka didahului oleh bentakan keras
murid Sinto Gendeng menerjang.
Kapak Naga Geni 212 berkiblat,
mengeluarkan suara seperti
seribu tawon mengamuk dan sinar putih perak
menyilaukan. Salah satu mata
kapak menyambar ganas ke arah kedua mata
Setan Dari Luar Jagat!
"Serangan tak
berguna!" ejek Setan Dari Luar
Jagat. Tangan kirinya bergerak
cepat sekali. Wiro berteriak kesakitan
ketika tahu-tahu siku kanannya
laksana dihantam palu dan Kapak Naga
Geni 212 ditarik lepas tanpa
dia mampu mernpertahankan! Dia berusaha
mencengkeram leher mahluk itu
dengan tangan kiri. Namun satu dorongan
membuat tubuhnya terpental
menghantam batu. Punggungnya serasa remuk.
Sebelum dia sempat bangun
Setan Dari Luar Jagat sudah melangkah
mendekatinya. Kapak Naga Geni
212 berada di tangan kirinya,
dibolang-baling demikian rupa
seperti mainan.
"Anak manusia!
Senjatamu sendiri yang akan
merampas nyawamu! Bersiaplah untuk mampus!"
berkata Setan Dari Luar Jagat
lalu tertawa galakgalak.
Wiro berusaha bangkit. Tapi
sekujur tubuhnya terasa sakit dan seperti lumpuh.
"Tamat riwayatku! Ah
nasib . . . " Pendekar ini seperti sudah pasrah
menghadapi kematian. Namun dia
ingat, masih ada satu ilmu yang belum
dikeluarkannya. Dalam keadaan
maut mencengkam begitu rupa kedua
tangannya yang terkulai di
atas batu diulurkan ke depan, telapak
membuka dan digoyang-goyangkan
semampu yang bisa dilakukannya. Mulutnya
merapal. Udara dingin di
puncak bukit Wadaslintang itu mendadak berubah
dingin sepuluh kali lipat!
"Uh . . . " Setan
Dari Luar Jagat yang
sudah terbiasa dengan udara
dingin tak urung keluarkan suara menggeru
dan bergeletaran sekujur
tubuhnya.
"Beku … kaku!" ujar
Wiro
berulang kali. Namun mahluk
itu tidak menjadi beku ataupun kaku.
Walaupun udara dingin membuat
sekujur tubuhnya ngilu seperti dicucuki
jarum, dia melangkah terus
sambil tetap bolang-balingkan Kapak Naga
Geni 212 di tangan kiri.
Penasaran Wiro lipat gandakan
sisa tenaga
yang ada. Kedua telapak tangan
dihantamkan ke arah kaki lawan. Setan
Dari Luar Jagat menggerung.
Kedua kakinya seperti tenggelam ke dalam
lumpur saiju. Tubuhnya menjadi
limbung.
"Anak manusia kurang
ajar! Mampus dan pergilah!"
Mulut Setan Dari Luar Jagat
menggembung lalu dia meniup ke depan. Angin
laksana topan prahara melanda
tubuh Wiro Sableng. Dalam keadaan habis
daya begitu rupa pendekar ini
tak bisa pertahankan diri lagi. Tubuhnya
mencelat bersama
pecahanpecahan batu, terguling jauh ke bawah bukit. Di
satu tempat dia berhasil
menggapai sebuah batu berbentuk lancip. Wiro
pegangi batu itu kuat-kuat.
Ketika tiupan angin mereda baru dia
melepaskan pegangan, tubuhnya
langsung roboh. Pendekar ini cepat
bangun. Sekujur tubuhnya sakit
bukan kepalang. Tulang-tulangnya seperti
remuk.
Pelipis kirinya luka besar dan
mengucurkan darah. Cepat dia
pergunakan kain putih pengikat
kepala untuk menutupi luka ini.
Mengikuti amarah yang membakar
dadanya maulah dia naik kembali ke
puncak bukit untuk melawan
Setan Dari Luar Jagat meskipun dia harus
mati percuma! Dan ternyata
pendekar ini terhasut dalam kemarahannya.
Perlahan-lahan dia melangkah
menaiki bukit. Saat itulah dia mendengar
seseorang mendatangi seraya
berkata.
"Lari … larilah. Kau tak
akan
menang melawan iblis itu.
Larilah! Bawa aku bersamamu! Kita harus
menyelamatkan diri! Suara itu
adalah suara perempuan!
***
5
"SIAPA DISITU …?"
tanya Wiro heran dan sambil
menahan sakit. Mana dia
menyangka ada perempuan yang bakal muncul di
bukit maut itu. Sesaat
kemudian seorang dara berpakaian serba kuning,
berambut kusut masai tapi
memiliki wajah cantik selangit berdiri di
hadapan Wiro. "Kau ini
setan atau apa?"
"Apakah kau melihat aku
seperti setan?!" sang dara tampak merah wajahnya karena marah. Wiro gelengkan
kepala.
"Mungkin kau anak buahnya
Setan Dari Luar Jagat atau!"
"Kita tidak punya waktu
lama. Mari tinggalkan tempat ini sebelum mahluk jahanam itu muncul di
sini!"
"Tidak! Aku harus naik ke
puncak bukit kembali. Jahanam itu merampas senjata mustika warisan
guruku!"
"Jangan tolol! Jika dia
sanggup merampas apakah berarti kau sanggup
mengambilnya kembali?
Jangan-jangan malah nyawamu nanti yang dirampas.
Mari!"
Wiro menggigit bibir dan
garuk-garuk kepala. "Sekujur tubuhku seperti hancur. Aku tak sanggup
berjalan . . . ."
"Kau bisa merayap. Atau
berguling atau merangkak. Yang penting tinggalkan tempat celaka ini . . .
."
"Kau pergi sajalah. Biar
aku di sini. Matipun aku pasrah!"
"Benar-benar manusia
tolol! Sudah, mari kubantu memapahmu!"
"Tidak. Sebelum aku tahu
siapa dirimu …"
"Nanti saja aku terangkan
.." Lalu dara berbaju kuning itu cekal lengan
Pendekar 212. Wiro terkejut.
Ternyata gadis tak dikenal ini memiliki
tenaga luar biasa. Ketika
dipapah dia merasa bukan seperti dibantu
berjalan tapi laksana diajak
melayang. Tidak terasa kedua kakinya yang
sakit, juga sekujur tubuhnya
memiliki kekuatan untuk ikut berlari.
Ketika matahari terbit di
timur, kedua orang itu mencapai kaki bukit Wadaslintang.
Sang dara lepaskan pegangannya
pada tubuh Wiro. Kontan si pemuda terjerembab jatuh tak sadarkan diri.
"Untung hari sudah siang
dan sudah sampai di kaki bukit…" Perempuan
muda itu menghela nafas
panjang. Dia memandang berkeliling untuk
mencari pohon dengan daun-daun
lebar yang penuh embun guna dipoleskan
ke mulut Pendekar 212. Ketika
dia hendak melangkah ke jurusan kiri di
mana terdapat serumpun keladi
hutan berdaun lebar mendadak terdengar
bentakan.
"Dara berbaju kuning!
Jangan lari! Kau telah membunuh sahabat kami!"
Tiga sosok tubuh berkelebat
dan langsung mengurung perempuan cantik
berpakaian kuning. Yang
dikurung hentikan langkah, memandang
berkeliling dengan sikap
tenang.
"Aku tak mengenal kalian
bertiga. Mengapa tahu-tahu menuduh aku membunuh orang ini?!" si baju
kuning bertanya.
"Kenal atau tidak itu bukan
persoalan. Pembunuhan kami saksikan sendiri.
Pendekar itu langsung roboh
begitu kau lepaskan."
"Enak betul menuduh!
Kapan kalian melihat aku membunuhnya! Pemuda ini
pingsan setelah bertempur
dengan Setan Dari Luar Jagat di puncak!"
"Lalu bagaimana kau bisa
bersamanya tanpa kurang suatu apa?"
"Aku menemuinya di lereng
bukit waktu terguling jatuh. Aku sendiri tengah melarikan diri dari mahluk
iblis itu."
"Hem … baik! Kami akan
memeriksa dulu keadaan pendekar itu. Pergola bumi coba kau periksa keadaannya!"
Lelaki bernama Pergola Bumi
yakni pemuda berwajah tampan melangkah tapi cepat dihalangi oleh si baju
kuning.
"Aku tidak mengizinkanmu
memeriksa orang itu. Aku tidak tahu kau dan
kawankawanmu siapa adanya.
Jangan-jangan bukannya hendak memeriksa,
tapi justru mau
membunuhnya!"
Marahlah kakek berpakaian ungu
yang
tegak dibawah pohon. Dia bukan
lain adalah Sindu Brama. Di sebelah
kanannya berdiri Ageng
Kumbara, kakek berpakaian seperti resi. Seperti
dituturkan sebelumnya ketiga
orang ini beberapa waktu lalu mengadakan
pertemuan rahasia di sebuah
rumah tua di tikungan sungai. Setelah
kematian Datuk Bungkuk secara
misterius malam itu, ketiganya lalu
menuju bukit Wadaslintang.
Maksudnya adalah untuk
mencegat Pendekar
212 Wiro Sableng agar tidak
meneruskan perjalanan ke puncak bukit.
Ternyata mereka datang
terlambat. Murid Sinto Gendeng itu mereka temui
di kaki bukit bersama-sama
seorang perempuan muda cantik jelita dan
mereka sangka berada dalam
keadaan mati.
"Perempuan muda! Kami
bertiga adalah orang-orang persilatan dari golongan putih.
Pendekar 212 Wiro Sableng
adalah sahabat kami!" Yang bicara adalah Sindu Brama. Terkejutlah
perempuan berbaju kuning.
"Jadi …. Pemuda ini
adalah Pendekar 212 dari gunung Gede … ?! Ah, sungguh malang nasibnya!"
"Jangan berpura-pura
kaget! Siapa kau sebenarnya!" bertanya Ageng Kumbara.
"Mungkin sekali kau
adalah kaki tangannya Setan Dari Luar Jagat …" berkata Pergola Bumi.
Si baju kuning memandang
membeliak. "Keji sekali tuduhanmu. Aku Sakuntili, murid Empu Bagananta
dari puncak Lawu!"
Tiga orang yang ada di tempat
itu saling pandang dan sama-sama terkejut.
"Aneh," kata Sindu
Brama, "Kalau kau betulan muridnya Empu Bagananta,
mengapa berada di tempat ini
dan tahu-tahu bersama Pendekar 212.
Padahal kami tahu sekali
sahabat kami itu mengadakan perjalanan seorang
diri!"
"Tiga minggu lalu aku
diculik mahluk iblis itu! Untung aku belum sempat diapaapakannya.
Dua orang gadis telah jadi
korban di atas bukit sana. Dirusak
kehormatan mereka lalu
dibunuh. Malam ini giliranku yang bakal jadi
korban. Tapi aku sempat
melarikan diri ketika pemuda itu berkelahi
melawan Setan Dari Luar
Jagat!"
"Bagaimana kami bisa
mempercayai kata-katamu . . ." ujar Ageng Kumbara pula sambil usap-usap
dagunya.
"Aku tidak menyuruhmu
harus percaya! Kau yang meminta keterangan.
Setelah diberi malah bicara
bertele! Aku muak melihat manusia-manusia
macam kalian.
Bukannyamenolong malah menuduh
yang bukan-bukan dan bersikap terlalu mau tahu!"
"Kalau kami telah
bertindak keliru, mohon dimaafkan …" kata Pergola
Bumi, dia hendak melangkah
kembali mendekati Wiro Sableng, tapi si
jelita bernama Sakuntili lebih
cepat lagi menyambar tubuh Pendekar 212
langsung mendukungnya di bahu
kiri.
"Hai! Hendak kau bawa ke
mana sahabat kami?!" berseru Sindu Brama.
"Aku yang pertama menolongnya.
Aku yang akan melanjutkan pertolongan sampai dia sembuh! Jangan berani
menghalangi!"
"Lebih baik kau turunkan
pemuda itu Sakuntili. Kami lebih berhak dari
padamu dalam soal tolong
menolong!" ujar Ageng Kumbara pula.
"Jika kau yang tua hendak
memaksa, aku yang muda tak akan mundur!"
Pergola Bumi sebenarnya hendak
mengatakan sesuatu guna menghindari
pertengkaran. Tetapi orang tua
bernama Ageng Kumbara telah terlanjur
merasa ditantang. Dia melompat
ke hadapan Sakuntili sambil lancarkan
serangan ke arah perut. Sambil
mendukung Wiro dibahunya Sakuntili
berkelit ke kiri dan tiba-tiba
sekali kaki kanannya melesat ke arah
pinggang lawan. Ageng Kumbara
menanti dengan tenang. Begtu kaki
Sakuntili hampir mengenai
pinggangnya, kakek ini angkat lutut kanan,
sambil membungkuk dia kirimkan
jotosan terobosan ke dada Sakuntili!
Melihat lawan mengangkat lutut
untuk melindungi tubuh terpaksa
Sakuntili tarik pulang
tendangannya dan sekaligus pergunakan lengan
kiri untuk menangkis pukulan
si kakek. Dua tangan saling bentrokkan.
Sakuntili terjajar dua
langkah. Ageng Kumbara tak bergeming dari
tempatnya berdiri tapi ada
tanda merah kebiruan pada lengannya yang
tadi beradu dengan lengan
lawan!
Ageng Kumbara merasa sangat
malu.
Meskipun semua yang
menyaksikan tahu bahwa tenaga dalam si kakek
sedikit lebih tinggi dari
Sakuntili, namun ternyata perempuan muda itu
mempunyai kekuatan tersendiri
yang tak dapat dibuat main. Maka si kakek
kembali menyerbu dengan
gerakan-gerakan kilat dan ganas membuat
Sakuntili jurus demi jurus jadi
terdesak. Namun walau berhasil mendesak
demikian rupa sampai saat itu
si kakek masih belum mampu menyentuh
tubuh lawan.
"Lihat serangan!"
tiba-tiba Ageng Kumbara berteriak
keras. Tubuhnya lenyap dari
pemandangan Sakuntili dan tahu-tahu
jotosannya menderu dari
samping, mengarah bahu.
Jika dia harus
mengelakkan serangan itu
Sakuntili harus memutar tubuh. Akibatnya tubuh
Wiro yang ada di bahunya akan
ikut berputar dan jotosan lawan akan
menghantam tengkuk atau
mungkin juga batok kepala pemuda itu. Guna
menghindarkan kemungkinan yang
tak diingini itu terpaksa Sakuntili
melipat kedua lututnya. Begitu
tubuhnya merunduk, perempuan ini
lepaskan satu pukulan tangan
kosong.
Wuss…!
Satu gelombang
angin luar biasa derasnya
menderu menghantam tubuh Ageng Kumbara. Kakek
ini berseru kaget, cepat
menghindarkan diri dengan jalan melompat.
Namun tak urung pinggangnya
kebawah masih kena tersapu tiupan angin.
Tak ampun lagi kakek ini
terpental jungkir balik dan jatuh bergedebuk
di tanah!
Sakuntili sesaat terkesiap
karena tak menyangka pukulan
yang dilepaskannya sanggup
membuat lawan terpental dan roboh demikian
rupa.
"Aneh … bagaimana bisa
mental sejauh itu!" membatin
Sakuntili. Namun dia tak mau
berada lebih lama di tempat itu. Secepat
kilat dia memutar tubuh dan
tinggalkan kaki bukit sementara Sindu Brama
dan Pergola Bumi melompat
mendatangi Ageng Kumbara.
Sambil
mendukung tubuh Wiro di bahu
kanannya, Sakuntili berlari menuju ke
timur. Matahari pagi mulai
naik. Udara pagi yang sejuk berganti menjadi
hawa panas.
Di satu tempat yang mendaki,
perempuan muda itu
merasakan hembusan nafas
menggelitik rambut-rambut halus di tengkuknya.
Lalu dia mendengar suara
seperti orang tertawa. Dekat sekali!
Sakuntili hentikan larinya.
Memandang berkeliling. Tak ada siapa-siapa
di tempat itu. Tapi jelas dia
mendengar suara orang tertawa. Dan
tiba-tiba suara tawa itu
meledak disamping kepalanya!
"Kau!" teriak
Sakuntili seraya lemparkan
tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng ke tanah.
Matanya mendelik memandang ke
arah Wiro yang begitu dilemparkan
langsung melompat jungkir
balik dan melayang turun dengan kedua kaki
tegak di tanah!
"Pemuda kurang ajar! Jadi
selama ini kau hanya menipuku! Kau tidak pingsan benaran…"
Pendekar 212 Wito Sableng
tertawa cekikikan.
"Aku lebih suka didukung
dan dibawa lari olehmu daripada ditolong tiga orang tadi …"
"Jadi … ! Kau juga tahu,
melihat apa yang tadi terjadi!"
Wiro mengangguk. Sakuntili
banting-banting kaki.
"Tunggu, jangan marah
dulu," ujar Wiro coba menyabari. "Sewaktu jatuh
dari puncak bukit batu, aku
memang babak belur. Begitu juga sewaktu kau
papah menuju kaki bukit. Namun
sambil berlari aku berusaha mengatur
jalan darah dan pernafasan,
membentengi bagian-bagian tubuh yang
terluka dengan aliran tenaga
dalam. Ketika sampai di kaki bukit
sebenarnya aku sudah cukup
kuat untuk berjalan bahkan berlari. Hanya
saja saat itu aku sengaja
berpura-pura pingsan!"
"Gila! Kenapa kau berlaku
begitu?!"
"Karena siapa yang tidak
suka didukung dara secantikmu. Ha … ha … ha …. !"
"Pemuda kurang ajar!
Kelakuanmu jahat sekali!"
"Tunggu dulu,
penjelasanku belum selesai Sakuntili. Ehm, betul itu
namamu? Kepura-puraanku jadi
kacau-balau ketika tiba-tiba muncul tiga
orang itu. Tapi ternyata kau
tidak meninggalkanku atau menyerahkanku
pada mereka begitu saja. Maka
aku terus saja pura-pura pingsan. Waktu
kakek rambut putih berpakaian
putih itu menyerangmu penghabisan kali,
pada saat kau melepaskan
pukulan tangan kosong, diam-diam aku juga
lepaskan pukulan tangan kosong
ke arahnya …. !"
"Benar-benar gila! Pantas
kakek itu mencelat seperti tunggang-langgang seperti itu! Keterlaluan
kau!"
Wiro masih terus tertawa.
"Maafkan. Aku memang suka mengganggu orang.
Jika aku mengganggu orang
berarti aku senang padanya. Termasuk dirimu.
Aku juga ingin menyampaikan
terima kasih atas pertolonganmu . . Aku tak
akan melupakannya. Jika Tuhan
mengizinkan tentu aku akan membalas semua
budi baikmu itu."
Sakuntili tak berkata apa-apa.
Mulutnya terkatup rapat. Hatinya masih jengkel karena merasa dipermainkan
pemuda itu.
"Sebetulnya kemana tadi
kau hendak membawaku?" Wiro mengalihkan pembicaraan.
"Ke tempat guru di puncak
Lawu …."
"Aduh jauhnya. Mengingat
kau telah menolongku, aku tidak keberatan
pergi bersamamu ke sana. Hanya
saja, ada pekerjaan besar yang harus aku
selesaikan . . . ."
"Maksudmu melenyapkan
Setan Dari Luar Jagat?"
"Apa lagi!"
Sakuntili gelengkan kepala.
"Tidak mudah
menyingkirkan mahluk itu. Selama tiga minggu berada dalam
kekuasaannya, aku menyaksikan
sendiri beberapa orang pandai persilatan
menemui ajal. Tubuh mereka
berubah menjadi mayat mengerikan, hangus
seperti potongan kayu yang
terbakar!"
"Kalau begitu harus
dicari jalan bagaimana dapat mengalahkan mahluk itu . . . ."
"Justru aku ingin ke Lawu
untuk meminta petunjuk guru. Sekaligus
memberi tahu bahwa aku
berhasil menyelamatkan diri dari tangan Setan
Dari Luar Jagat . . . ."
"Kalau soal petunjuk, aku
punya seorang sahabat. Tempatnya cukup jauh dari sini. Kau menyesal jika tidak
berkenalan dengannya!"
"Maksudmu kau akan
membawa serta aku ke tempat sahabatmu itu?"
"Jika kau suka . .
." ujar Wiro seraya kedipkan mata dan garuk-garuk
kepala. "Sekali ini aku
tidak minta didukung walau kepala ini
nyut-nyutan akibat luka besar
di pelipis…"
Untuk pertama kalinya
Wiro melihat Sakuntili
tersenyum. Bagi si pemuda itu sudah cukup
menjadi pertanda bahwa sang
dara bersedia ikut bersamanya. Tanpa banyak
cerita lagi Wiro pegang lengan
Sakuntili. Keduanya tinggalkan tempat
itu.
***
6
PERGOLA BUMI, Sindu Brama dan
Ageng Kumbara tegak
menunggu di taman sebelah
timur Keraton. Tak lama kemudian seorang
lelaki berbelangkon hitam
datang menemui mereka guna menanyakan
keperluan ketiga tamu itu.
"Kami ingin menjumpai
Abdi Dalem bernama Kuntoro Inggih . . ." menerangkan Pergola Bumi.
"Kuntoro Inggih saat ini
tidak bertugas. Dia mendapat libur satu hari. Harap mencarinya
dirumahnya."
Atas permintaan Pergola Bumi
orang ini kemudian menjelaskan di mana
rumah kediaman Kuntoro Inggil.
Yakni sebuah kampung kecil di tenggara
Kotaraja.
Tidak sulit mencari tempat
kediaman Kuntoro Inggil. Orang ini dikenal tinggal sendirian di sebuah rumah
kecil.
Pergola Bumi mengetuk pintu
depan. Tak ada jawaban. Diketuk sekali lagi. Tetap tak ada yang membuka pintu.
"Mungkin dia tidak di
rumah," kata Sindu Brama.
"Aku mendapat firasat
tidak enak. Pintu itu tidak dikunci!" Dengan
tangan kirinya Ageng Kum bara
mendorong daun pintu. Nyatanya daun pintu
memang terbuka dengan mudah.
Orang tua itu memberi isyarat padakedua
temannya untuk mengikut masuk
ke dalam. Ketiganya hanya satu dua
langkah melewati pintu. Di
ruangan tengah, yang hanya ada satu meja dan
satu kursi, sesosok tubuh
tampak duduk terjengkang di kursi. Sekujur
tubuh orang ini hangus hitam.
Bahkan kursi yang didudukinya ikut
menjadi arang.
"Kuntoro Inggil …?"
tanya Sindu Brama sambil berpaling pada Pergola Bumi.
"Tak dapat saya kenali.
Mukanya hitam begini rupa. Tapi tunggu dulu …"
Pemuda itu meneliti jari manis
tangan kiri mayat. Disitu dilihatnya
sebentuk cincin yang sudah
leleh dan hitam.
"Memang dia. Saya masih
mengenali cincinnya . . ." kata Pergola Bumi dengan suara tercekat.
"Kita kehilangan jejak .
. ." Sindu Brama menarik nafas dalam.
"Diharapkan dia yang
bakal memberi tahu tentang benda luar jagat yang
dapat membunuh mahluk iblis
itu. Nyatanya dia sudah dibunuh.
Kematiannya persis sama dengan
kematian Datuk Bungkuk. Berarti
pembunuhnya orang yang
sama!"
"Setan Dari Luar
Jagat!" ujar Ageng Kumbara pula.
***
PONDOK kayu itu tak banyak
perubahan sejak Wiro
pertama kali dulu pernah
datang ke situ. Reyot seperti mau roboh, atap
bolong-bolong dan dinding
penuh lubang.
"Mari . . ." kata
Wiro sambil menarik lengan Sakuntili.
"Jauh-jauh berjalan
ternyata kau hanya membawaku ke gubuk buruk itu. Perlu apa kita ke sana?!"
bertanya sang dara.
"Kau lihat saja
nanti!" jawab Wiro. "Jangan-jangan kau hendak menipuku!"
"Menipu bagaimana?!"
"Hendak melakukan sesuatu
. . . ."
Wiro tertawa lebar.
"Kalau aku ingin bersenang-senang dengan dirimu
mengapa kubawa ke pondok jelek
begini. Banyak tempat yang bagus di
kelilingi pemandangan indah.
Asal kau mau saja!"
Merah Sakuntili
oleh kata-kata itu. Akhirnya
dia diam saja dan menurut mengikuti Wiro
menuju pintu pondok. Empat
langkah lagi akan Enencapai pondok kayu di
tengah rimba belantara itu,
tiba-tiba terdengar suara berkereketan.
Pintu pondok terbuka. Sesosok
tubuh melesat keluar.
"Kakek Lor
Gambir Seta!" seru Wiro.
Tapi orang itu ternyata bukan orang yang
dimaksudkannya. Bukan seorang
kakek, melainkan seorang pemuda
berpakaian bagus serba putih
dan berwajah tampan. Tanpa bilang ba atau
bu, pemuda itu langsung
menyerang Wiro. Gerakannya laksana kilat dan
pukulannya mengeluarkan angin
deras.
Melihat gerakan lawan serta
merasakan angin pukulan, Wiro
maklum kalau si pemuda menyerang hanya
mengandalkan tenaga luar atau
tenaga kasar.
"Anak muda! Kau mabok
atau kemasukan setan?! Tak ada
ujung pangkal mengapa menyerangku?!"
seru Wiro. Dia angkat tangan
kirinya menangkis. Gerakannya sengaja
dibuat perlahan agar bisa
bentrokan dengan lawan! Dan memang hal itu
yang terjadi. Buk! Dua lengan
saling beradu.
Murid Eyang Sinto
Gendeng merasakan seperti
dihantam batangan besi. Mukanya mengerenyit
menahan sakit. Lengannya
tampak merah kebiruan dan membengkak!
Sebaliknya pemuda di
hadapannya sunggingkan senyum. Hantaman lengan
Wiro dirasakannya seperti
kejatuhan segulung kapas! Tidak merasa sakit
sama sekali dan tidak menimbulkan
bekas pada lengannya!
"Orang
gagah yang datang dari jauh,
membawa kawan seorang dara jelita memikat
mata! Aku Aji Perdana tidak
mabuk dan tidak kemasukan setan! Hanya
perlu berjagajaga! Kalian
berdua sampai kemari bukan karena kesasar.
Tapi memang sengaja datang.
Membawa maksud jahat atau maksud baik?!"
"Eh . . . ." Wiro
menuding dengan tangan kiri sedang tangan kanan
garuk-garuk kepala. "Kau
bicara seperti seorang pemain sandiwara di
atas panggung! Sikapmu keren,
tapi diam-diam matamu memandang kawanku
dengan penuh perhatian. Kau
terpikat padanya … ?"
Merahlah paras
pemuda bernama Aji Perdana
itu. Hal yang sama terjadi pula pada
Sakuntili. Bedanya dalam hati
gadis ini memaki habis-habisan.
"Katakan apa maksud
kalian datang ke tempat ini?" Aji Perdana akhirnya ajukan pertanyaan
kembali.
"Kami mencari seorang
kakek sahabatku. Namanya Lor Gambir Seta. Aku
tahu betul, pondok kayu itu
jalan menuju ke tempat kediamannya."
Berubah paras Aji Perdana
mendengar ucapan itu. "Orang gagah, tidak
sembarang orang mengetahui
keadaan pondok ini. Kau mencari Lor Gambir
Seta?" "Betul
sekali!"
"Kakek itu tidak ada di
sini. Dia pergi sejak dua minggu lalu!"
"Kalau begitu aku ingin
bertemu langsung dengan orang tua paling gemuk dan paling malas di dunia!"
"Eh! Siapa
maksudmu?!" tanya Aji Perdana kaget.
"Siapa lagi kalau bukan
Si Raja Penidur!"
Kedua mata Aji Perdana melotot
memandangi Wiro dan Sakuntili. "Dengar,
sebaiknya kalian berdua lekas
pergi dari sini. Tidak siapapun bisa
menemui Raja Penidur tanpa
izin guruku!"
"Siapa gurumu?!"
tanya Sakuntili yang bicara untuk pertama kalinya.
"Kakek bernama Lor Gambir
Seta itu …" jawab Aji Perdana.
"Nah … nah … nah! Aku
ingat sekarang. Kita pernah bertemu beberapa waktu lalu…"
"Tadi-tadipun aku sudah
mengenali tampangmu, orang gagah!"
"Kalau begitu mengapa
tidak memberi izin agar kami dapat menemui Si Raja Penidur?"
"Itu tidak dapat
dijadikan alasan untuk memberi izin. Selama guru tidak
ada, selama itu pula tidak ada
yang boleh masuk ke tempat kediaman Raja
Penidur".
"Kami membawa urusan
sangat penting!" berkata Sakuntili.
"Benar! Ini menyangkut
kelangsungan atau kehancuran dunia persilatan!" menambahkan Wiro.
"Itupun aku sudah tahu
"Anak sok tahu! Apa sih
yang kau ketahui?!" ujar Wiro jadi jengkel.
Sebenarnya dia sudah kesal
sejak tadi-tadi yaitu ketika tangannya
dibuat cidera akibat serangan
pemuda bernama Aji Perdana itu.
"Apa yang kau ketahui
sama dengan apa yang aku ketahui!"
"Ah, kau hanya menjual
lagak di hadapan gadis kawanku ini. Padahal kau
sebenarnya tidak tahu apa-apa!"
kata Wiro pula memancing.
Pancingannya ternyata mengena.
Diejek seperti itu Aji Perdana
sunggingkan senyum lebar dan
berkata: "Bukankah kalian datang untuk
minta petunjuk? Karena dunia
persilatan dilanda bahaya besar, berasal
dari mahluk bejat berjuluk
Setan Dari Luar Jagat. Begitu kan … ?!"
"Tidak begitu kan!"
sahut Wiro kembali mengejek.
"Habis!" Aji Perdana
tampak agak heran.
"Aku datang menemui Raja
Penidur untuk menanyakan apakah dia merestui kalau dirimu kujodohkan dengan
gadis kawanku ini!"
"Wiro!" Sakuntili
berteriak keras karena terkejut dan juga marah
mendengar kata kata murid
Sinto Gendeng itu. Sementara Aji Perdana
sendiri tertegun ternganga.
"Aku tidak punya waktu berolok-olok!"
bentak Aji Perdana.
"Siapa bilang aku
berolok-olok. Katakan saja kalau kau tidak suka pada gadis ini!
Jangan menipu diri sendiri
anak muda. Matamu sejak tadi selalu mengerling padanya!"
"Manusia brengsek!"
murid Lor Gambir Seta menjadi marah. Dia menyergap ke depan seraya memukul
dengan tangan kanan.
Sekali ini Wiro memang sudah
bersiap-siap. Begitu tinju lawan melesat,
kedua tangannya berkelebat ke
depan menangkap tinju itu lalu meremasnya
kuat-kuat. Waktu meremas Wiro
kerahkan sedikit tenaga dalamnya.
Akibatnya, Aji Perdana yang
hanya mengandalkan tenaga luar mengeluh
kesakitan. Untuk lepaskan
rernasan lawan pemuda ini ayunkan kaki
kanannya ke arah selangkangan
Wiro. Mur;d Sinto Gendeng lepaskan
pegangannya dan cepat melompat
ke belakang. Di depannya Aji Perdana
kepretkepretkan tangan
kanannya. Jari-jari tangannya tampak bengkak
kemerahan!
"Curang!" bentak Aji
Perdana sementara Wiro tertawa
lebar. "Kalau kau memang
memiliki tenaga dalam hebat mari mengadu
kekuatan tenaga dalam!"
"Dengan satu
perjanjian!" sahut Wiro. "Jika
kau menang kami berdua akan
meninggalkan tempat ini. Tapi jika kau
kalah, kau harus mengantarkan
kami pada Si Raja Penidur! Bagaimana?!"
Walaupun tadi dia sudah
mengatakan tak akan memperbotehkan Wiro menemui
Si Raja Penidur tanpa izin
gurunya, namun terpancing oleh tantarlgan
orang, Aji Perdana menyetujui
perjanjian itu.
"Sekarang katakan
bagaimana maumu!" kata Aji Perdana pula.
"Lha! Sampean yang
menantang silahkan sampean yang mengatur acara!"
sahut Wiro sambil rangkapkan
kedua tangan di depan dada, berpaling
sesaat pada Sakuntili dan kedipkan
mata kirinya.
Panas hati Aji
Perdana bukan kepalang. Dia
memandang berkeliling. Matanya
mencari-cari. Mendadak
selembar daun jauh dari atas pohon dan melayang
ke bawah.
Aji Perdana angkat tangan
kirinya. Daun yang melayang
tampak tertahan dan seperti
tergantung di udara, sama sekali tak
bergerak lagi.
"Lihat daun!" seru
Aji Perdana. "Aku akan mendorong
ke jurusanmu dan kau mendorong
ke jurusanku! Jika daun itu mendekati
tubuhmu sampai sejarak satu
langkah berarti kau kalah. Begitu juga
sebaliknya. Jika terdorong ke
arahku sejarak satu langkah, aku yang
kalah. Setuju?!"
"Setuju! Tapi dengan satu
syarat!" sahut murid Sinto Gendeng tetap tenang dan sumggingkan senyum.
"Apa?!"
"Daun itu tidak boleh
berlobang, rusak atau robek, apalagi hancur!"
Terkejut Aji Perdana mendengar
ucapan Wiro itu. Bagaimana mungkin
menghantam daun dengan tenaga
dalam tinggi tanpa membuat daun menjadi
cacat!
Pemuda ini sadar kalau dia
telah terjebak. Tapi karena tak
mungkin membantah atau menolak
maka diapun anggukkan kepala, angkat
kedua tangannya dengan telapak
membuka ke arah daun yang mengambang di
udara. Kedua matanya menatap
daun tak berkesip, mulutnya terkancing
rapat.
Dari perutnya mengalir hawa
panas. Daun yang mengambang di udara bergerak cepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Pendekar 212 menunggu sesaat.
Ketika daun mendekati dan tinggal tiga
langkah darinya,
perlahan-lahan Wiro angkat pula kedua tangannya. Daun
yang tadi bergerak kini
kelihatan tertahan. Aji Perdana menggembor
tanda dia mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang ada. Daun kembali
terdorong ke jurusan Wiro.
Tinggal dua langkah dari tubuhnya, daun
tampak berhenti lagi. Lalu
secara perlahan-lahan membalik dan terdorong
ke arah Aji Perdana. Pemuda
ini katupkan rahangnya kencang-kencang.
Matanya tak berkesip. Butiran-butiran
keringat memercik di wajahnya.
Pemusatan inderanya terganggu
dan terancam buyar ketika di depannya
terdengar Wiro keluarkan suara
tertawa.
"Curang!’ teriak Aji
Perdana.
"Apa yang kau
dorong-dorong sahabatku?!"
Wiro menegur sambil terus tertawa.
"Daun itu tak ada lagi di depanmu!"
Aji Perdana memandang ke depan
dengan mata dibesarkan. Astaga! Apa yang
dikatakan Wiro memang benar,
daun itu tak ada lagi di depannya. Kemana
perginya?!
"Daun yang kau cari
menempel di mata kakimu sebelah kiri!" memberi tahu Wiro.
Aji Perdana memandang ke
bawah. Untuk kedua kalinya dia terkejut. Daun
yang dikatakan memang tampak
menempel di mata kakinya sebelah kiri.
Ketika dia membungkuk untuk
mengambil daun itu dengan penuh penasaran
dan juga diam-diam merasa sangat
malu, mendadak daun itu bergerak ke
atas, menyusup ke dalam kaki
ca!ana kiri si pemuda, terus meluncur ke
atas dan berhenti di antara
kedua pahanya. Di sini daun itu
bergerak-gerak aneh seperti
menggelitik hingga si pemuda meraung-raung
kegelian yang amat sangat.
Lalu sssrrrrr …. Celananya basah! Di
hadapannya Wiro tertawa
gelak-gelak. Sakuntili tak dapat pula menahan
tawanya. Dia cekikikan sambil
menutupi mulut dengan tangan.
Merah wajah Aji Perdana
seperti kepiting rebus.
"Kau kalah sahabatku.
Sesuai perjanjian kau haus mengantarkan kami menemui Si Raja Penidur."
kata Wiro pula.
"Aku mengaku kalah tapi
aku tak akan mengantarkan kalian menemui kakek guru..!" sahut Aji Perdana.
"Hemm … Jadi Si Raja
Penidur itu kakek gurumu? Eh, mengapa kau mengingkari perjanjian? Tak mau
membawa kami menemuinya?"
"Karena kau berlaku
curang!"
"He! Curang bagaimana …
?!" Yang bertanya adalah Sakuntili karena dia
tidak suka melihat pemuda yang
tidak menepati janjinya itu.
"Kawanmu itu mengeluarkan
suara tertawa pada saat mengadu tenaga dalam. Pemusatan pikiranku jadi
terganggu!"
"Eh, apakah ada
perjanjian bahwa waktu mengadu tenaga dalam aku tidak boleh tertawa, atau
bicara atau kentut … ?!"
"Kalian berdua silahkan
pergi dari sini!"
"Kalau kau tidak mau
mengantar, kami terpaksa mencari jalan sendiri!"
Wiro jadi habis sabar. Lalu
memberi isyarat pada Sakuntili. Keduanya
melangkah menuju pintu gubuk
kayu.
"Jika kalian berani
memasuki pondok itu, aku terpaksa membunuh kalian berdua!" Aji Perdana
mengancam.
Wiro dan Sakuntili hentikan
langkah.
"Sahabat, ada apa
sebenarnya dengan dirimu?!" tanya Wiro.
"Kalian tidak boleh masuk
ke dalam gubuk itu! Apa tidak mendengar dan tidak mengerti? " bentak Aji
Perdana.
"Kalau begitu katamu,
baiklah …" ujar Wiro seraya kedipkan matanya pada
Sakuntili. Selagi dara ini
menduga-duga apa yang hendak dilakukan
pemuda itu tibatiba Wiro
berseru: "Kau silahkan masuk duluan Aji
Perdana!"
Serentak dengan itu Wiro
dorongkan tangan kanannya. Angin
sehebat badai menderu, menerpa
tubuh Aji Perdana. Pondok reyot di
belakang sana bergoyanggoyang,
pintunya terpentang membuka. Aji Perdana
kerahkan seluruh tenaga untuk
bertahan, tapi sia-sia saja. Terjadilah
satu keanehan. Meskipun
bergoyang keras namun gubuk tua lapuk dan reyot
seperti mau roboh itu sama
sekali tidak mengalami kerusakan dilanda
angin pukulan "topan
melanda samudera" yang dilepaskan Pendekar 212
Wito Sableng.
Sebaliknya Aji Perdana yang
mati-matian mengerahkan
tenaga dalam dan seluruh
kepandaiannya untuk mempertahankan diri
akhirnya diseret sambaran
angin dan mencelat masuk ke dalam gubuk lewat
pintu yang terpentang lebar!
Begitu Aji Perdana terpental
ke dalam
gubuk, Wiro dan Sakuntili
cepat menyerbu masuk. Namun sebelum mencapai
pintu, dari dalam gubuk
tiba-tiba meluncur lidah api. Sakuntili yang
lebih dahulu melihat hal ini
serta merta berteriak memperingatkan Wiro.
"Ah, pemuda itu memang
berniat jahat!" ujar Wiro dalam hati. Setelah
jatuhkan diri bertiarap di
tanah bersama Sakuntili murid Sinto Gendeng
ini balas menghantam dengan
pukulan sinar matahari. Lidah api dan sinar
putih menyilaukan, sama-sama
panas dan dahsyat saling tabrakan di
udara, mengeluarkan suara
menggelegar. Pada saat itu pula terdengar
suara menegur keras, seperti
guntur menindas kerasnya suara gelegar
bentrokan dua pukulan sakti.
"Aji Perdana! Jangan
memberi malu! Tidak menghormati tetamu seperti itu!"
***
7
BERSAMAAN DENGAN suara menegur
keras tadi
berhembus satu gelombang angin
yang sangat sejuk. Lidah api meredup dan
padam. Sinar perak berkilau
pukulan sakti yang dilepaskan Wiro buyar.
Dua kekuatan dahsyat yang tadi
saling bentrokan lenyap, berganti dengan
udara yanq terasa sejuk!
Di hadapan Wiro berdiri
seorang kakek yang
mata kirinya picak. Begitu
melihat orang ini Wiro buru-buru menjura
hormat dan menyapa:
"Kakek Lor Gambir Seta!"
Kakek mata picak
anggukkan kepalanya sedikit
lalu melangkah ke arah gubuk. Saat itu Aji
Perdana tampak keluar dari
pintu sambil pegangi dada sementara dari
sela bibirnya tampak mengucur
darah. Si kakek cepat-cepat mendatangi
Aji Perdana, mengurut dada
pemuda itu lalu bertanya: "Apa yang terjadi
di sini, muridku?"
"Dua orang itu memaksa
menemui kakek guru. Aku sudah melarang . . . ."
Kakek bernama Lor Gambir Seta
berpaling pada Wiro dan Sakuntili.
"Muridku memang sangat
patuh dalam menjalankan perintah. Harap maafkan
atas semua yang terjadi.
Sebelum pergi aku menitip pesan padanya agar
tidak mengizinkan siapapun
masuk ke tempat kediaman guruku. Ini untuk
menghindari agar benda
penyelamat dunia persilatan itu tidak jatuh ke
tangan orang lain. Aku tidak
mengira kau akan muncul ke mari Pendekar
212. Aku meninggalkan tempat
kediaman dua minggu lalu justru untuk
mencarimu. Mari ikuti aku
masuk ke dalam. Aji, kau jalan duluan . . .
." Aji Perdana diikuti
Lor Gambir Seta, Wiro lalu Sakuntili memasuki
gubuk reyot.
Keadaan dalam gubuk itu pengap
sekali. Tak ada jendela
dan pintu tertutup. Abu
menebal di setiap sudut, laba-laba bersarang
hampir di segala penjuru.
Sakuntili mulai tersengal dan seperti hendak
bersin. Lor Gambir Seta
melangkah ke salah satu sudut gubuk. Karena
sebelumnya sudah pernah berada
di situ dan telah menyaksikan apa yang
dilakukan si kakek, maka Wiro
maklum apa yang akan terjadi. Lor Gambir
Seta menekan sebuah tiang
bambu. Sakuntili tercengang heran ketika
tiba-tiba lantai kayu yang
lapuk terbuka ke samping dan kini kelihatan
sebuah tangga batu menurun.
Aji Perdana menuruni tangga itu, memasuki
sebuah gang batu yang amat
panjang. Yang lain-lain mengikuti di
belakangnya.
Rombongan sampai di hadapan
sebuah dinding batu
berwarna putih yang merupakan
pintu di ujung gang. Di sini kakek mata
picak menekan salah satu
bagian dinding, pintu batu putih lalu terbuka.
Di balik pintu batu ini
membujur sebuah lorong yang diterangi pelita
kecil-kecil. Di ujung lorong
terdapat sebuah pintu lagi.
Kali ini berwarna merah.
Dengan menekan salah satu bagian rahasia Lor Gambir Seta membuka pintu batu
itu.
Sakuntili tercengang-cengang
ketika melihat ruangan di belakang pintu
adalah sebuah ruangan sangat
luas yang lantai, dinding dan
langit-langitnya tertutup
hamparan permadani. Di sebelah kanan ruangan
ada sebuah jendela besar. Di
belakang jendela tampak terbentang rimba
belantara yang tak pernah
dijejaki manusia, lengkap dengan sebuah air
terjun tinggi.
Di atas sebuah kursi malas
besar yang terletak di
tengah ruangan terbujur
sesosok tubuh manusia yang gemuk luar biasa.
Tubuh gemuk besar ini anehnya
mengenakan sehelai pakaian yang jelas
tampak kekecilan. Sebatang
pipa tak berapi terselip di sela bibir si
gemuk. Yang keluar dari
mulutnya bukan kepulan asap pipa, tapi suara
dengkur yang menggemuruh.
Kedua matanya terpejam. Jelas si gemuk ini
tengah tertidur nyenyak.
"Apa ini orangnya yang
bernama Si Raja
Penidur …?" Sekuntili
berbisik. Wiro anggukkan kepala. Hatinya cemas.
Dia tahu betul kalau sudah
tidur, Si Raja Penidur yang merupakan tokoh
nomor satu di dunia persilatan
ini akan tidur sampai berbulanbulan.
Kata orang yang tahu,
sekalipun ada petir menyambar di sampingnya, dia
tak akan bangun. Kalaupun
terbangun paling-paling hanya bukakan
sepasang matanya yang sipit
sedikit lalu mendengkur kembali. Lalu apa
yang bisa dilakukan si tukang
ngorok ini? Dulu sewaktu dunia persilatan
dilanda malapetaka besar
akibat keganasan seorang sakti jahat bernama
Siluman Teluk Gonggo, Si Raja
Penidur berhasil ditemui dalam keadaan
bangun. Kini? Wiro garuk-garuk
kepala. Kakek mata picak mendehem
beberapa kali.
"Pendekar 212, aku
melihat bayangan rasa cemas di
wajahmu. Aku mengerti apa yang
kau cemaskan. Tapi percayalah,
sebenarnya tak ada yang perlu
dicemaskan. Guruku si Raja Penidur telah
mengatur segala-galanya."
"Dalam keadaan gurumu
tidur seperti ini,
apa yang bisa kau lakukan kek.
Juga apa yang bisa dilakukan oleh gurumu
…?" bertanya Wiro.
"Jangan kawatir Pendekar
212, dengar dulu keteranganku," sahut Lor Gambir Seta.
Lalu dia menjelaskan.
"Suatu malam sekitar empat bulan yang lalu, Si
Raja Penidur bermimpi. Ada
tiga hal muncul dalam mimpinya itu. Pertama
muncul wajah sesosok mahluk
yang menyeramkan. Mukanya tertutup
bulu-bulu kasar. Sepasang
matanya merah. Turut apa yang kemudian
terjadi dalam dunia
persilatan, mahluk yang terlihat dalam mimpi
tersebut banyak kesamaannya
dengan mahluk yang kini gentayangan di
malam hari dan clikenal dengan
nama Setan Dari Luar Jagat. Hal kedua
yang muncul dalam mimpi guruku
ialah sesosok wajah lagi yakni wajahmu .
. . ."
"Wajahku?" ujar Wiro
tercengang lalu garukgaruk kepala.
"Betul. Itu satu pertanda
bahwa antara kau dan Setan Dari Luar Jagat akan mengalami adanya satu hubungan
. . . ."
"Eh, maksudnya aku dan
mahluk itu berkomplot melakukan kejahatan atau . . ."
"Tidak begitu!"
memotong Lor Gambir Seta. "Guru tidak mengatakan
begitu. Beliau mengartikan
bahwa kelak akan ada kontra antaramu dengan
Setan Dari Luar Jagat."
Wiro masih tidak mengerti.
Maka dia bertanya: "Apa hal ketiga yang muncul dalam mimpi beliau?’
"Sebuah batu hitam tipis,
berukuran selebar telapak tangan. Menurut
petunjuk dalam mimpi batu itu
adalah salah sebuah benda yang datang
dari angkasa luar. Kemungkinan
besar merupakan pecahan dari bintang
berekor atau lintang ngalih.
Hanya dengan benda itulah Setan Dari Luar
Jagat dapat dilumpuhkan bahkan
dibunuh!"
"Ah, di mana pula bisa
didapat batu dari luar jagat itu!" ujar Wiro sambil menggaruk kepala.
Kakek mata picak sebaliknya
sunggingkan senyum. "Jika tidak ada
petunjuk sampai kiamatpun tak
ada yang bakal dapat menemukan benda itu.
Tapi guruku berhasil mendapat
petunjuk …."
"Dan memerintahkan aku
untuk mencarinya?" menyelak Wiro.
Lor Gambir Seta menggeleng.
"Batu itu telah kami temukan. Tenggelam di
dasar sungai, tepat dibawah
air terjun sana …" Si kakek menunjuk ke
arah air terjun di dalam rimba
belantara.
"Kalau begitu kita bisa
segera membuat perhitungan dengan mahluk iblis itu!
Sebelum dia membunuh dan
menebar kejahatan lebih banyak!" Yang bicara adalah Sekuntili.
"Gadis cantik, siaapakah
kau sebenarnya? Kau belum memperkenalkan diri
padaku…" bertanya Lor
Gambir Seta setelah perhatikan paras Sakuntili
sejurus.
"Saya Sakuntili. Murid
Empu Bagananta dari gunung Lawu . . . ."
"Ah … ah … Sepuluh tahun
lalu ketika aku bertemu dengan Empu Baganat di
Lawu, memang kulihat ada
seorang gadis kecil tengah mendalami ilmu
silat. Tentu gadis yang
kulihat itu adalah engkau…."
Sakuntili menjura dalam-dalam
dan berkata: "Saya jadi ingat sekarang kakek."
"Setelah batu itu
ditemukan, apa yang akan kau lakukan kek?" Wiro ajukan pertanyaan.
"Batu itu akan kuserahkan
padamu Pendekar 212. Lalu kewajibanmu adalah
mendatangi markasnya Setan
Dari Luar Jagat dan membunuhnya dengan batu
itu. Sedikit saja tubuhnya
tersentuh batu, tamatlah riwayatnya."
"Jika memang begitu
petunjuk dalam mimpi dan begitu perintah Si Raja
Penidur, aku siap melakukan
tugas …." jawab Wiro bersemangat. "Hanya
saja aku belum melihat
bendanya …."
Lor Gambir Seta memberi
isyarat
pada Wiro agar mengikutinva.
Ternvata kakek mata picak itu melangkah
mendekati Si Raja Penidur yang
tidur terbadai diatas kursi malas besar.
"Bantu aku mengangkat
tangan kanan guruku. Batu itu ada di kempitan ketiak kanannya!"
"Ala …" Wiro
keluarkan seruan. Hampir terceplos ucapannya tapi
cepat-cepat dia menutup mulut.
Dilihatnya Lor Gambir Seta mulai
mengangkat tangan kanan Si
Raja Penidur yang memang bukan olah-olah
besar dan beratnya. Ternyata
kakek ini kepayahan melakukannya seorang
diri. Wiro mendekat dan
merrbantu. "Gila! Tangan si gendut ini memang
berat sekali!" katanya
dalam hati. Setelah kedua orang itu samasama
kerahkan tenaga dalam baru
tangan itu bisa terangkat. Tampaklah ketiak
Si Raja Penidur yang basah
oleh keringat dan bulu-bulu ditambah daki!
Di ketiak itulah justru tampak
sebuah batu hitam pipih. Batu dari luar
jagat!
Ketika Lor Gambir Seta ulurkan
tangan kanan untuk mengambil
batu, tiba-tiba Si Raja
Penidur bergerak. Salah satu matanya tampak
membuka sedikit.
"Eh … eh … Ada apa di
sini. Kulihat banyak orang
mengelilingku. Eh … juga ada
gadis cantik jelita. Ah … aku mengantuk
sekali. Kepingin tidur . .
." Si Raja Penidur menguap lebar-lebar.
Matanya yang tadi terbuka kini
menutup kembali.
Lalu terdengar
kembali suara dengkurnya
seperti tadi! Tokoh norror satu dalam dunia
persilatan ini kembali tidur
pulas! Lor Gambir Seta memberi isyarat
pada Wiro.
Kedua orang itu kembali
mengangkat tangan kanan Si Raja Penidur sampai ketiaknya tersingkap.
"Kau yang mengambil batu
itu Wiro. Cepat lakukan!" berkata Lor Gambir Seta.
Sesaat Wiro merasa bimbang.
Bukan bimbang apa-apa. Tapi hati kecilnya
merasa jijik. Batu hitam itu
basah oleh keringat Si Raja Penidur yang
penuh daki. Dan ketiak itu
sendiri menebar bau yang merontokkan bulu
hidung!
"Ayo cepat!" teriak
Lor Gambir Seta.
"Demi dunia
persilatan. . . ."
membatin Wiro. Tapi juga memaki dalam hati. Lalu dia
ulurkan tangan kiri mengambil
batu hitam di atas ketiak. Tangannya
terasa basah, perutnya terasa
menjadi mual. Tangan Si Raja Penidur
diturunkan kembali.
"Simpan batu itu
baik-baik. Saat ini juga kau harus berangkat ke bukit Wadaslintang …"
Mengikuti perintah si kakek
Wiro segera simpan batu hitam itu di balik
pakaiannya. Saat itulah Aji
Perdana mendekati Lor Gambir Seta dan
berkata: "Guru,
seharusnya batu hitam itu kau serahkan padaku. Sebagai
murid, aku lebih layak
melakukan tugas membunuh Setan Dari Luar Jagat
dari pada dia!"
Lor Gambir Seta terdiam sesaat
sementara Wiro dan Sakuntili saling berpandangan. Si kakek tersenyum dan pegang
pundak muridnya.
"Aji, aku sangat
menghargai baktimu sebagai murid. Tapi apa yang aku
lakukan adalah sesuai dengan
petunjuk yang didapat guruku, dan juga
sesuai dengan
perintahnya."
Kata-kata yang setengah
menjelaskan dan
setengah membujuk dari sang
guru ternyata tidak dapat diterima oleh Aji
Perdana. Dengan muka asam
pemuda ini membungkuk dan berkata: "Izinkan
aku meninggalkan ruangan. Ada
pekerjaan lain yang harus aku selesaikan
…." Habis berkata begitu
Aji Perdana lantas tinggalkan tempat itu tanpa
menoleh pada Wiro ataupun
Sakuntili.
Lor Gambir Seta tampak tidak
enak. Agar kakek itu tidak
merasa malu Wiro cepatcepat berkata: "Kek,
batu dan pesan telah kuterima.
Kami berdua mohon diri kecuali jika ada
petunjuk lain!"
"Makin cepat kalian pergi
makin baik …" menjawab Lor Gambir Seta.
"Mohon disampaikan salam
kami pada Raja Penidur."
Lor Gambir Seta mengangguk
mendengar ucapan Sakuntili. Sambil tersenyum
dia berkata: "Guru sempat
melihatmu tadi walaupun cuma sehentar. Di
lain hari jika kau ada
kesempatan silahkan datang lagi ke mari. Aku
mempunyai firasat sebenarnya
banyak hal yang ingin dikatakan beliau
padamu . . . ."
"Terima kasih,
mudah-mudahan saya bisa datang lagi
ke mari," jawab Sakuntili
pula. Lalu bersama-sama Wiro sang dara
tinggalkan ruangan itu. Lor
Gambir Seta mengantarkan sampai di pintu
batu berwarna putih.
Ketika Wiro keluar dari dalam
gubuk reyot dan
baru beberapa puluh langkah
berada di dalam hutan, mendadak tampak
seseorang berpakaian putih
berdiri di depan mereka. Jelas orang ini
sengaja menunggu keduanya di
tempat itu. Dan orangnya bukan lain adalah
Aji Perdana, murid kakek mata
picak Lor Gambir Seta.
"Hendak apa pula pemuda
brengsek ini menunggu kita di sini …" berbisik Sakuntili.
"Tenang saja, biar aku
yang menegur," balas berbisik Wiro. Begitu
sampai di hadapan Aji Perdana
Wiro berhenti lalu siap untuk menegur.
Tapi Aji Perdana membuka mulut
lebih dahulu.
"Aku ingin bicara!"
katanya. Suaranya agak meradang.
"Ah, jika kau sengaja
mencegat kami di sini dan mengatakan ingin
bicara, pasti ada sesuatu yang
penting!" kata Wiro pula sambil
menyeringai. "Hanya
sayang kami tidak ada waktu. Celanamu masih basah
oleh air kencing. Masih bau
pesing. Sebaiknya kau pergi cebok dulu,
ganti celana baru bicara
dengan kami!"
"Ya …ya! Aku tak tahan
mencium bau pesingmu!" menimpali Sakuntili.
Paras Aji Perdana menjadi
merah padam. Amarahnya yang tak terkendalikan
membuat pemuda ini langsung
hantamkan tinju kanannya. Yang diarahnya
adalah muka Wiro. Kali ini
Pendekar 212 tidak mau memberi hati lagi.
Dengan tangan kiri
ditangkisnya pukulan Aji Perdana hingga pemuda ini
terangkat lima jengkal ke
atas. Di saat yang sama Wiro tusukkan dua
jari tangan kanannya ke perut
si pemuda. Detik itu juga Aji Perdana
menjadi kaku tegang tak bisa
bergerak. Tetapi perutnya terasa sakit
memilin-milin seperti hendak
buang air besar. Dari mulutnya keluar
suara seperti orang kepedasan.
Mukanya dan sekujur tubuhnya keringatan.
Persis seperti orang yang
berusaha menahan berak!
Wiro tertawa
lebar. Sambil tepuk-tepuk bahu
Aji Perdana dia berkata: "Kalau kau
memang mau berak, keluarkan
saja. Jangan ditahan-tahan. Ha … ha … ha
…!" Lalu Wiro berpaling
pada Sakuntili yang juga tertawa geli. Wiro
tarik lengan gadis ini.
Keduanya tinggalkan tempat itu
sambil terus tertawa-tawa.
***
8
BUKIT BATU Wadaslintang tampak
angker di bawah
siraman terik sinar matahari.
"Sebelum kita naik ke puncak, kurasa aku
harus menyerahkan separuh dari
batu hitam ini padamu Sakuntili,"
berkata Pendekar 212.
"Terlalu besar bahayanya jika tidak dipagari
dengan benda dari luar jagat
ini."
Wiro keluarkan batu hitam pipih
dari balik pakaiannya. Batu
itu diletakkannya di atas sebuah batu
besar. Dia kerahkan tenaga
dalam ke tangan kanan lalu memukul dengan
pinggiran tangan. Batu
terbelah dua, hampir sama besar satu dengan
lainnya. Setelah masing-masing
berbekal sepotong batu, keduanya segera
mendaki ke atas bukit.
Ada sedikit perasaan tegang
dalam diri Wiro.
Tegang kalau-kalau batu hitam
itu ternyata tidak mempunyai kekuatan
apa-apa dalam menghadapi Setan
Dari Luar Jagat yang telah disaksikannya
sendiri kedahsyatannya. Sebaliknya
Sakuntili mendaki bukit dengan satu
tekad yakni untuk dapat
membalas dendam. Walaupun ketika diculik Setan
Dari Luar Jagat belum sempat
melakukan sesuatu terhadap dirinya, tetapi
seorang adik seperguruannya
tewas di tangan mahluk dahsyat itu ketika
berusaha menolongnya.
"Ada satu keanehan pada
mahluk durjana itu . . ." berkata Sakuntili. "Dia tak pernah terlihat
pada siang hari . . ."
"Mungkin siang hari
dipergunakannya untuk tidur atau bersamadi. Malam
baru gentayangan mencari
korban. Siang atau malam, sekali berada di
tempat ini kita harus waspada
…" sahut Wiro pula.
Menjelang rembang
petang kedua muda mudi itu
berhasil mencapai dua pertiga dari
ketinggian bukit. Saat itulah
keduanya tiba-tiba mendengar suara tiupan
seruling yang luar biasa. Tiupan
seruling ini terasa mencucuk dan
menyakitkan liang telinga.
Wiro hentikan langkah dan pasang telinga
tajam-tajam.
"Mari . . ." katanya
pada Sakuntili. Lalu setengah berlari mendaki ke puncak bukit.
Semakin ke atas semakin keras
suara tiupan seruling dan semakin sakit
telinga kedua orang itu. Di
balik sebuah batu besar Wiro berhenti dan
memandang ke arah, bawah.
Hanya beberapa belas tombak dibawah sana
nampak duduk seorang lelaki
separuh baya berpakaian putih. Dialah yang
meniup suling. Dan yang dijadikannya
suling bukan lain adalah Kapak
Maut Naga Geni 212 milik Wiro!
"Aneh!" kata Wiro.
"Seruling
berbentuk kapak itu adalah
milikku! Dirampas oleh Setan Dari Luar
Jagat. Mengapa kini berada di
tangan orang itu! Kau kenal padanya atau
pernah melihatnya sebelumnya
Sakuntili?"
Sang dara yang ditanya
gelengkan kepala.
"Aku harus merampas
senjata mustika itu kembali!" kata Wiro. Lalu
keluar dari balik batu besar
dan siap untuk mendatangi lelaki
berpakaian putih yang duduk
meniup Kapak Naga Geni 212. Namun gerakan
pendekar ini tertahan ketika
tiba-tiba dari balik batu yang lain
melompat keluar seorang kakek
bermuka panjang cekung, berambut panjang
berwarna kelabu. Pakaiannya
hitam-hitam. Sepasang matanya menyala merah.
Wiro dan Sakuntili cepat-cepat
berlindung kembali di balik batu.
"Aku pernah menemui orang
tua aneh itu suatu malam di bukit ini. Dia tidak bisa bicara. Lidahnya puntung!
Kau kenal padanya …?"
"Tidak, melihatpun baru
sekali ini. Tapi melihat bagaimana matanya
membersitkan sinar merah
seperti nyala bara besar dugaan dia punya
hubungan tertentu dengan Setan
Dari Luar Jagat! Kita keluar atau
mendekam di sini saja?"
"Biar sembunyi dulu di
sini. Kita lihat saja apa ‘ yang terjadi," jawab Wiro.
Begitu melompat dari balik
batu, kakek berambut kelabu itu langsung
mendekat lelaki di atas batu.
Mukanya jelas menunjukkan kemarahan.
Tangan kanannya menuding terus
menerus dan dari mulutnya terdengar
suara: "Haa … hu . . .
ha. . . . huu!"
Orang di atas batu tampak
terkejut, cepat berdiri lalu
melompat turun dari batu. Si kakek
mengejarnya, terus
menunding-nunding dan keluarkan suara ha-hu ha-hu!
"Tua bangka gila!"
terdengar orang yang memegang Kapak Naga Geni 212 memaki.
"Sudah berapa kali
kuperingatkan agar tidak datang-datang lagi ke mari!"
"Ha … hu … ha … hu!"
"Kau mencari celaka
paman!"
"Ha . . . hu … ha …
hu!"
"Tinggalkan tempat ini.
Jangan mencoba yang bukan-bukan. Ilmu yang kau dapat tak akan mempan
terhadapku!"
"Ha … hu … ha … hu!"
Orang tua itu tiba-tiba
lancarkan pukulan ke arah kepala lelaki berpakaian putih.
Yang diserang merunduk, lalu
melompat mundur. Tampaknya dia sengaja tak mau melawan.
"Ha … hu … !"
"Pergi dari sini!"
hardik lelaki yang memegang Kapak Naga Geni 212.
"Ha … hu….ha … hu!"
Si kakek kembali menyerang dan kali ini pukulannya
berhasil bersarang di perut
orang yang jadi sasarannya hingga orang ini
jatuh terduduk dah tampak
mengerenyit kesakitan. "Ha … hu … ha … hu!"
si kakek belum puas rupanya.
Selagi orang yang jatuh berusaha bangkit,
kaki kanannya sudah menderu
kirimkan tendangan.
Lelaki berpakaian
putih sama sekali tidak punya
kesempatan untuk mengelak. Tibatiba orang
ini yang dalam keadaan
terjepit-angkat tangan kanannya yang memegang
Kapak Naga Geni 212. Suara
mengaung seperti suara ratusan tawon
mengamuk terdengar merobek udara
ketika senjata mustika itu dibabatkan
ke atas.
"Jangan!" teriak
Wiro berseru dari balik batu tanpa sadar. Tapi terlambat!
Kapak Naga Geni 212 menderu.
Kakek berpakaian hitam meraung setinggi
langit ketika kaki kanannya
terbabat putus. Potongan kakinya mencelat
jauh sedang tubuhnya langsung
roboh. Orang tua malang ini
menggeliat-geliat beberapa
kali, setelah itu tak berkutik lagi.
Tubuhnya tampak seperti
hangus!
Wiro melompat dari balik batu.
Sakuntili mengikuti. Lelaki
yang memegang Kapak Naga Geni 212 membalik
dan jelas dia tampak terkejut
ketika melihat Wiro tegak di depannya.
"Dari mana kau
mendapatkan senjata itu?!" Wiro langsung ajukan pertanyaan.
Meskipun jelas wajah lelaki di
hadapannya menunjukkan rasa takut, tapi ada kilatan cahaya aneh pada kedua mata
orang ini.
"Orang bertanya lekas
menjawab!" membentak Sakuntili.
"Aku … aku tidak tahu
kapak ini berasal dari mana . . . ."
"Jangan dusta!"
hardik Wiro.
"Senjata … senjata ini
kutemukan tergeletak di satu tempat. Aku … aku
tidak tahu kalau ini senjata.
Semula hanya menyangka seruling berbentuk
aneh. Dan ternyata memang bisa
ditiup. Suaranya keras sekali . . . ."
"Senjata itu adalah
milikku. Dirampas mahluk Siluman beberapa waktu lalu.
Serahkan padaku…"
"Tapi!"
Wiro berkelebat. Sekali
tangannya menyambar Kapak Naga Geni 212 sudah
berada di tangannya. Dengan
cepat Wiro meneliti keadaan senjata warisan
Eyang Sinto Gendeng ini.
Hatinya lega. Ternyata senjata mustika itu tak
kurang suatu apa. Cepatcepat
disimpannya di balik pakaian.
"Sekarang katakan siapa
kau adanya!"
"Aku … aku penduduk desa
di kaki bukit. Tadi pagi datang kemari dan menemukan seruling itu di salah satu
lereng bukit batu …"
"Apa yang kau kerjakan di
bukit ini? Apa kau tidak tahu kalau tempat ini angker?" Orang itu
menggeleng.
"Kau belum menjawab apa
yang kau kerjakan datang ke mari . . ."
"Aku petani musiman.
Kalau musim kering seperti saat ini aku lebih suka
mencari binatang buruan dari
pada bercocok tanam. Ketika berada di
lereng bukit sebelah sana …
aku mel ihat ada sesuatu yang berkilau.
Ketika aku naik ke sini,
kutemui benda yang berkilau itu. Ternyata
seruling tadi . . . ."
"Siapa namamu … ?"
bertanya Sakuntili.
Yang ditanya menatap sesaat
sebelum menjawab. Baik Wiro maupun
Sakuntili lagi lagi melihat
ada kilatan cahaya aneh pada mata orang itu.
"Namaku Konang Panahan .
. ."
"Apa sangkut pautmu
dengan kakek yang barusan kau bunuh itu?" tanya Wiro pula.
"Aku … aku tidak
bermaksud membunuhnya. Ternyata seruling itu ganas sekali …"
"Kakek itu muncul dan
marah-marah padamu, lalu menyerangmu. Tentu ada silang sengketa di antara
katian!"
"Dia … dia pamanku.
Seorang guru silat di desa. Lalu mendapat satu ilmu aneh.
Kedua matanya menjadi merah
bersinar dan kekuatannya luar biasa. Tapi
ilmu itu minta imbalan.
Lidahnya harus dipotong "Sekarang apa yang akan
kau lakukan di tempat
ini?"
"Aku … aku tidak
tahu!"
"Orang tolol!" maki
Wiro. "Panggul mayat pamanmu dan tinggalkan tempat ini!"
"Aku . . , aku akan
melakukannya . . ." jawab Kondang Panahan.
Lagi-lagi ada kilatan sinar
aneh di kedua matanya ketika dia melihat
untuk terakhir kali pada Wiro
dan Sakuntili sebelum meninggalkan tempat
itu sambil memanggul mayat
kakek berambut kelabu.
"Aku tidak percaya pada
manusia satu itu …" kata Sakuntili.
"Dia berdusta!"
sahut Wiro pula. Lalu memandang berkeliling. "Malam
masih cukup lama. Kita harus
mencari tempat yang baik untuk menunggu.
"Sebelumnya aku sudah
mengetahui salah satu bagian dari bukit ini, ketika diculik. Sebaiknya kita
menunggu di sana . . . ."
"Ketika kau diculik . .
." ujar Wiro sambil memegang lengan Sakuntili,
"Setan Dari Luar Jagat
yang membawamu ke tempat itu. Kalau kita
mendekam di sana, sama saja
memasukkan diri sendiri ke dalam perangkap
maut. Kita cari tempat yang
lain sahabatku yang cantik tapi pendek akal
…!"
"Kau betul,"
menyahuti Sakuntili. "Itu untungnya bersahabat
dengan pendekar yang panjang
akal. Tapi sekaligus juga panjang tangan …"
"Eh, maksudmu?!"
tanya Wiro.
"Kuperhatikan tanganmu
tak bisa diam. Kalau tidak memegang pundakku, kau menyentuh lenganku . . .
."
"Ah … ah .. ah! Rupaya
kau ingin aku menyentuh bagian tubuhmu yang lain!"
"Pendekar gendeng! Kita
bakal menghadapi bahaya besar! Dan kau masih saja bicara melantur di tempat
angker ini!"
***
9
MENUNGGU tenggelam matahari
dan datangnya malam
terasa lama sekali. Ketika
akhirnya langit di sebelah timur tampak
kuning kemerah-merahan tanda
sang surya sudah menggelincir memasuki
ufuk tenggelamnya, Sakuntili
tampak agak tegang.
"Kau keluarkan keringat
dingin …" kata Wiro memperhatikan sang dara.
"Terus terang aku merasa
cemas
"Eh, apa yang kau
cemaskan?" tanya Wiro.
"Bagaimana kalau ternyata
batu hitam itu tidak mempan menghadapi kesaktian Setan Dari Luar Jagat?"
Kata-kata Sakuntili itu sesaat
membuat Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi tak enak.
"Si Raja Penidur tidak mungkin
akan menipu kita," kata Wiro perlahan.
"Dia memang tidak akan
menipu siapapun.
Tapi bagaimana kalau mimpinya
itu yang menipu dirinya …?"
"Berarti kita akan
celaka. Akan menemui ajal di tangan mahluk itu malam ini!" kata Wiro pula.
Dia berkata sambil tersenyum
tapi diam-diam hati kecilnya terasa tidak
enak oleh ucapannya sendiri
itu. Untuk beberapa lamanya kedua orang ini
berdiam diri. Mereka baru
tersentak kaget ketika di kejauhan tiba-tiba
terdengar suara lolongan
panjang.
Lolongan seperti campuran
raungan manusia dan lolongan serigala hutan. Saat itu hari telah gelap. Malam
telah datang!
Wiro kenal betul suara
lolongan itu. Dadanya berdebar keras. Tengkuknya terasa dingin. Hal yang sama
juga dialami Sakuntili.
"Jangan tenggelam dalam
ketakutan!" akhirnya Wiro berkata. dia
memandang berkeliling lalu
berkata lagi. "Mari keluar dari tempat ini.
Ikuti aku. Dengar, melangkah
sambil menunduk, jangan bergerak lebih
tinggi dari gugusan batu-batu
bukit. Kalau perlu merayap. Terutama di
tempat-tempat terbuka
"Kurasa kita berlindung
saja di satu tempat.
Bergerak dalam gelapnya malam
membuat kita lebih mudah terlihat oleh
mahluk itu. Lalu dia akan
mudah sekali membokong atau menyerang kita
dengan tiba-tiba!"
"Kau bertindak
cerdik," memuji Wiro. Dia
menunjuk ke arah deretan
batu-batu bukit yang besar di sebelah kanan,
sejarak sepuluh tombak dari
tempat di mana mereka berada saat itu.
Beringsut-ingsut keduanya
bergerak menuju deretan batu-batu besar.
Setengah jalan, lima tombak
sebelum mencapai gugusan batu-batu besar
itu, Wiro berbisik. "Aku
mencium batu sesuatu. Anyir busuk …"
"Aku kenal betul bau itu.
Bau tubuh Setan Dari Luar Jagat …" balas berbisik Sakuntili.
"Lekas merayap dan
menyelinap ke balik de- i retan batu-batu besar . . ." ujar Wiro.
Keduanya merayap cepat menuju
deretan batu. Mendadak lolongan dahsyat
merobek udara di ternpat itu.
Sakuntili menggigit bibir menahan pekik.
Seperti yang dilakukan Wiro
gadis ini jatuhkan diri sama rata dengan
batu bebukitan.
"Wiro …. lihat di ujung
sebelah kanan . . ." bisikan Sakuntili bergetar.
Wiro putar kepalanya sedikit.
Matanya bergerak ke arah yang
ditunjukkan. Nafasnya serta
merta tertahan. Mahluk itu! Setan Dari Luar
Jagat tampak tegak di sebelah
kanan, hanya terpisah belasan tombak dari
tempat dia dan Sakuntili
mendekam. Sosok tubuh Setan Dari Luar Jagat
tampak lebih besar dari
sebelumnya. Kepalanya berpaling kian ke mari.
Sinar matanyayangmerah
membersit mengerikan dan tiupan nafasnya yang
busuk terasa menyambar di
depan hidung!
"Dua anak manusia! Jangan
coba bersembunyi! Aku tahu
kalian berada di sekitar sini!" tiba-tiba
Setan Dari Luar Jagat
berteriak. Suaranya membahana di seantero bukit
batu. Lalu tampak tangan
kanannya bergerak, menghantam ke arah deretan
batu-batu besar ke mana
sebelumnya Wiro dan Sakuntili bermaksud
berlindung. Terdengar suara
seperti meledak-ledak. Deretan bebatuan itu
hancur berantakan!
"Bangsat! Jangan coba
menipuku!" Setan Dari Luar
Jagat marah karena ternyata di
balik reruntuhan batu dia tidak
menemukan kedua orang yang
dicarinya.
Wiro diam-diam siapkan
pukulan sinar matahari di
tangan kanan. Seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya dikerahkannya ke
tangan itu. Kilau tangannya yang
terselubung oleh sinar pukulan
sakti menarik perhatian Setan Dari Luar
Jagat. Mahluk ini menggereng.
Saat itulah Wiro menghantam. Sinar putih
menyilaukan menderu dalam
gelapnya malam, menghantam dada Setan Dari
Luar Jagat dengan tepat.
Mahluk itu sesaat tergontai-gontai.
"Gila!
Memang tidak mempan!
Benar-benar tidak mempan!" ujar Wiro sewaktu
melihat Setan Dari Luar Jagat
usap-usap dadanya yang penuh bulu-bulu
kasar seperti bulu landak.
Kilatan pada kedua matanya tampak berkilau
terang. Didahului oleh suara
menggembor mahluk ini meniup keras-keras.
Bukit batu itu laksana dilanda
badai. Wiro terpelanting dua tombak ke
kiri, Sakuntili tercampak ke
kanan. Sebelum dara ini sempat berdiri,
Setan Dari Luar Jagat membuat
lompatan kilat dan tahu-tahu sudah berada
di samping Sakuntili!
"Kau berani melarikan
diri dariku! Jugas
bernai bergabung dengan pemuda
itu! Kali ini jangan harap bisa lolos
anak manusia! Kau akan jadi
budak pemuas nafsu semalam suntuk sebelum
kepalamu kupisahkan dengan
badan!"
Setan Dari Luar Jagak ulurkan
kedua tangannya. Ternyata
tangan itu panjang sekali. Satu kali bergerak
saja Setan Dari Luar Jagat
telah berhasil meraih dan menangkap pinggang
Sakuntili. Gadis ini terpekik.
"Sakuntili! Hantamkan
batu hitam itu!" teriak Wiro.
Sebenarnya sejak tadi Setan
Dari Luar Jagat berada di dekatnya,
Sakuntili telah berusaha untuk
mengeluarkan batu hitam pemberian Wiro.
Celakanya batu itu tak ada
lagi di balik pinggangnya. Ternyata terjatuh
sewaktu tadi tubuhnya
terpental oleh tiupan Setan Dari Luar Jagat!
Buk … ! Buk .. .! Buk …. !
Pukulan Sakuntili yang
mengandung tenaga dalam tinggi berulang kali
menghantam dada dan dagu Setan
Dari Luar Jagat. Mahluk ini hanya ganda
tertawa.
"Buciak pemuas nafsu!
Budak pemuas nafsu …!" ujar Setan
Dari Luar Jagat berulang kali
sambil tertawa gelak-gelak. Saat itu dia
tidak lagi memperdulikan Wiro
karena dia tahu apapun yang akan
dilakukan oleh pemuda itu tak
bakal membuatnya cidera.
Namun Setan Dari Luar Jagat
jadi palingkan kepala ketika didengarnya teriakan Wiro.
"Mahluk iblis Setan Dari
Luar Jagat! Lihat ini! Lihat apa yang ada di tanganku!"
Wajah berbulu Setan Dari Luar
Jagat mengerenyit. Sepasang matanya
bersinar lebih terang, namun
tiba-tiba meredup. Ada suara menggereng
dari tenggorokannya. Dia
mundur satu langkah ketika Wiro datang
mendekat sambil acungkan
tangan kanan yang memegang potongan batu hitam
pemberian Lor Gambir Seta
murid Si Raja Penidur.
"Jahanam … Pergi kau!
Pergi . . ." Setan Dari Luar Jagat meniup ke arah Wiro.
Angin sedahsyat badai kembali
menderu di puncak bukit itu. Tetapi
begitu menyentuh batu,
tiba-tiba angin ini membalik kembali, menghantam
ke arah Setan Dari Luar Jagat.
Mahluk ini berteriak keras. Masih
mencekal tubuh Sakuntili
dengan tangan kanannya, Setan Dari Luar Jagat
melompat ke sebuah batu besar.
Dari sini dia lepaskan satu
pukulan
yang membuat batu-batu besar
di tempat itu hancur berantakan, tapi
seolah-olah terlindung oleh
satu kekuatan yang tidak kelihatan, Wiro
sama sekali tidak mendapat
cidera, hanya tegak tergontai-gontai
beberapa saat. Sementara itu
di depan sana kembali Setan Dari Luar
Jagat berteriak seperti
kesakitan sewaktu sebagian dari angin
pukulannya berbalik menghantam
dirinya sendiri!
Sadar kalau mahluk menyeramkan
itu ketakutan melihat potongan batu yang ada di tanyah kanannya, Wiro merangsak
maju.
"Kalau kau berani
mendekat, kubunuh gadis ini! Kubunuh!" teriak Setan Dari Luar Jagat.
Wiro bukannya mundur atau
berhenti, malah melompat mendekat. "Keparat! Rasakan kematian ini!"
Setan Dari Luar Jagat
cengkeram leher Sakuntili dengan tangan kirinya. Sepasang mata sang dara
terbellak, lidahnya terjulur.
Wiro lemparkan batu hitam di
tangan kanannya dengan mengerahkan tenaga
dalam. Batu itu melesat di
udara, mengeluarkan suara berdesing,
menebar, hawa dingin yang
aneh. Tapi lebih aneh lagi, batu yang tadinya
hitam itu, ketika melayang di
udara tampak menjadi marah laksana
terbakar dan pada bagian
ekornya terbentuk cahaya terang seperti lidah
api.
Setan Dari Luar Jagat
keluarkan suara melolong dahsyat.
"Lintang ngalih … Lintang
ngalih!" jeritnya ketakutan. Tangannya yang
tadi siap untuk menghancur
remukkan leher Sakuntili diangkat
tinggi-tinggi guna menutupi
kedua matanya. Mahluk ini seperti ketakutan
setengah mati. Sementara tubuh
Sakuntili terjatuh ke batu, Setan Dari
Luar Jagat kembali keluarkan
suara lolongan. Dia hendak melompat
menghindari sambaran batu hitam
bercahaya nyala api yang datang
menyambar ke arahnya. Tapi
kedua kakinya terasa berat. Sepasang
tangannya yang ditutupkan ke
wajahnya juga tak bisa digerakkan lagi
seolah-olah menempel ke
wajahnya. Setan Dari Luar Jagat melolong sekali
lagi. Sekali ini lolongannya
terhenti di tengah jalan ketika batu hitam
yang dilemparkan Wiro
menghantam lehernya dan menancap amblas ke dalam
tenggorokannya!
Sosok tubuh tinggi besar Setan
Dari Luar Jagat
roboh bergedebuk ke atas batu,
menggelepar-gelepar beberapa kali lalu
diam tak berkutik. Dari tubuh
itu kemudian menebar bau busuk sekali
lalu ada kepulan asap
membubung ke udara. Ketika kepulan asap lenyap,
sosok tubuh Setan Dari Luar
Jagat ikut lenyap. Di bekas tempatnya
roboh, tampak tergelimpang
sesosok tubuh lelaki berpakaian putih dalam
keadaan menelungkup.
Sesaat Wiro tidak perhatikan
sosok tubuh itu
karena dia mementingkan
menolong Sakuntili lebih dulu. Ketika dia sadar
apa yang terjadi maka
cepatcepat dia mendekati sosok tubuh yang
terbujur.
"Aku seperti pernah melihat
orang ini sebetumnya…."
"Wiro, bukankah di . . .
."
Wiro pergunakan ujung kakinya
untuk membalikkan tubuh yang menelungkup.
Begitu sosok tubuh ini
tertelentang Wiro dan Sakuntili sama-sama
terkejut.
"Kondang Panahan . .
." desis Wiro.
"Dia rupanya . . .!"
ujar Sakuntili.
Tiba-tiba tubuh lelaki separuh
baya bernama Kondang Panahan itu melesat
satu setengah tombak ke udara.
Dari mulutnya terdengar suara lolongan
panjang. Ketika jatuh kembali
ke atas batu bukit, tubuh yang tadi tidak
cidera apa-apa tahutahu kini
berubah hitam, penuh luka-luka mengerikan
mulai dari muka sampai ke
kaki. Bau sangat busuk kembali menebar di
tempat itu. Sakuntili seperti
mau muntah dan cepatcepat menutup hidung.
Wiro meludah berulang kali.
"Sebelum muncul setan
yang lain, mari tinggalkan tempat celaka ini!" kata Wiro.
Keduanya membalikkan tubuh.
Ketika melangkah, kaki Sakuntili menendang
sesuatu. Sewaktu diperhatikan
ternyata potongan batu hitam yang
terjatuh. Cepat-cepat
Sakuntili memungutnya.
"Batu itu tak ada gunanya
lagi. Buat apa diambil …. ?" berkata Pendekar 212.
"Saat ini memang tak ada
gunanya lagi. Tapi siapa tahu di kemudian
hari. Paling tidak sebagai
kenang-kenangan pertemuan dan pengalaman
kita bersama."
Wiro manggut-manggut.
Tiba-tiba dia hentikan langkah
dan berkata: "Bagaimana
kalau batu yang kau simpan itu hanya membuat
mahluk-mahluk seram dari luar
angkasa berdatangan dan mengikuti kemana
kau pergi?!"
"lh!" Sakuntili
terpekik, dan lepaskan batu yang
dipegangnya. Wiro cepat sambut
batu yang jatuh lalu cepat sekali
tangannya menjatuhkan batu itu
ke balik dada pakaian Sakuntili hingga
batu kemudian tertahan dan
terselip di belahan payudaranya. Tentu saja
sang dara menjerit-jerit tak
karuan.
"Nah, apa kataku! Belum
lagi
kita meninggalkan bukit ini
sudah ada mahluk dari luar jagat yang
menggerayangimu! Lihat tangan
mahluk menyelinap"
Tangan kanan Wiro
meluncur enak saja ke balik
dada pakaian sang dara. Meskipun maksudnya
untuk mengambil batu hitam
yang tadi diselipkannya di belahan dada
Sakuntili, tapi mau tak mau
tangan yang jahil itu tentu saja menyentuh
bagian tubuh dara yang kencang
dan mulus itu!
"Manusia jahil! Aku
bersumpah agar kau benar-benar jadi setan dari luar jagat!"
teriak Sakuntili, lalu memukul
dada Pendekar 212 Wiro Sableng dan lari menuruni bukit batu.
"Aku tahu, kau memang
senang jika aku benar-benar jadi setan! Kau minta digentayangi. Betulkan …. ?
Ha … ha… ha … ha!"
"Setan … ! Setan . . .
Setaaannnn… !" teriak Sakuntili.
TAMAT