-------------------------------
----------------------------
008 Dewi Siluman Bukit Tunggul
1
Wiro Sableng menghentikan
jalannya di tikungan itu. Matanya memandang ke muka memperhatikan beberapa buah
gerobak besar ditumpangi oleh perempuan-perempuan dan anakanak.
Gerobak-gerobak itu juga penuh
dengan muatan berbagai macam perabotan rumah tangga.
Belasan orang laki-laki
kelihatan berjalan kaki dan membawa buntalan barang-barang. Jelaslah bahwa
semua mereka itu tengah melakukan pindah besar-besaran.
“Saudara, hendak pergi ke
manakah rombonganmu ini?” bertanya Wiro sewaktu seorang anggota rombongan
melangkah ke jurusannya.
Orang itu memandang sebentar
kepadanya dengan pandangan curiga. Demikian juga anggota rombongan yang lain.
“Kami terpaksa meninggalkan
kampung, pindah ke tempat lain yang jauh dari daerah ini….”
“Kenapa pindah?”
Seorang laki-laki tua yang
mengemudikan gerobak, menghentikan gerobak itu dan menjawab pertanyaan Wiro
Sableng.
“Kampung kami dilanda
malapetaka!”
“Malapetaka apakah?”
“Kepala kampung dan lima orang
pembantunya serta istrinya digantung. Beberapa orang gadis diculik! Beberapa
penduduk dibunuh….”
“Siapa yang melakukannya?”
tanya Wiro Sableng.
“Siapa lagi kalau bukan kaki
tangannya Dewi Siluman,” menyahuti laki-laki pengemudi kereta.
Mulut Pendekar 212 tertutup
rapat-rapat. Rahangnya bertonjolan lagi-lagi dia dihadapkan pada kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orangnya Dewi Siluman.
“Kalau kami tidak meninggalkan
kampung, kami semua akan dibunuh!”
Anggota rombongan yang pertama
tadi bertanya. “Kau sendiri mau kemanakah, Saudara…?”
“Maksudku ke arah sana. Ke
kampung kalian…?”
“Sebaiknya batalkan saja
niatmu,” menasehati orang itu. “Orang-orangnya Dewi Siluman pasti akan datang
lagi ke kampung kami. Jika kau ditemui mereka di sana, tiada harapan bagimu
untuk hidup lebih lama!”
“Terima kasih atas nasihatmu,
Saudara!” jawab Wiro. “Tapi aku tetap musti menuju kesana….”
“Kau mencari mati, orang
muda!” kata pengemudi gerobak. Dilecutnya punggung lembu yang menarik gerobak
itu kemudian diberinya aba-aba. Rombongan itu pun bergerak kembali.
Wiro Sableng mengikuti
rombongan itu dengan pandangannya sampai akhirnya mereka lenyap di kejauhan.
Hatinya kasihan sekali melihat orang-orang itu, terutama laki-laki tua dan
perempuan-perempuan tua serta anak-anak. Kemudian dibalikkannya badannya dan
dengan cepat berlalu dari situ.
Kira-kira dua kali sepeminum
teh, Wiro Sableng menemui sebuah kampung yang berada dalam keadaan porak
poranda. Pastilah ini kampung rombongan yang ditemuinya di tengah jalan tadi.
Beberapa buah rumah hancur.
Dua di antaranya musnah dimakan api. Empat orang laki-laki terkapar di hadapan
sebuah rumah bagus sedang di langkan rumah Pendekar 212 menyaksikan enam orang
tergantung berayun-ayun tiada nyawa lagi. Yang pertama adalah kepala kampung,
kemudian isterinya. Selebihnya adalah pembantu-pembantu kepala kampung. Di
beberapa langkan rumah lainnya, Wiro menemukan pula beberapa orang yang
mengalami nasib sama seperti kepala kampung, digantung sampai mati.
Pendekar 212 menyandarkan
punggungnya ke sebatang pohon dan membatin. Kesalahan apakah yang telah dibuat
penduduk kampung ini sebelumnya sampai mereka dibunuh sedemikian kejamnya?
Anak-anak dan perempuan-perempuan tanpa perikemanusiaan sama sekali?!
Wiro ingat pada ucapan anggota
rombongan tadi. Orang-orangnya Dewi Siluman pasti akan kembali ke kampung itu.
Wiro memutuskan untuk menunggu. Jika manusia-manusia jahat itu muncul, dia akan
buat perhitungan dengan mereka dan sekaligus mencari keterangan di mana letak
Bukit Tunggul. Manusia macam Dewi Siluman tidak layak dibiarkan hidup lebih
lama. Maka Wiro pun melompat ke sebuah cabang pohon yang tinggi, duduk di situ
dan memulai penungguannya.
Sampai matahari condong ke
barat tak seorang pun yang muncul. Dengan hati kesal murid Eyang Sinto Gendeng
dari Gunung Gede itu turun dari atas pohon dan mengelilingi kampung.
Bukan main geramnya. Wiro
sewaktu di salah satu dinding rumah penduduk ditemuinya barisanbarisan tulisan
seperti yang dilihatnya sebelumnya di kampung yang terdahulu.
Delapan penjuru angin adalah
daerah kami
Siapa menantang mesti
diterjang
Dunia persilatan boleh geger
Tokoh-tokoh persilatan boleh
turun tangan
Kalau mau mempercepat
kematian.
Dan juga di bawah
barian-bansan kalimat itu tertera lukisan tengkorak kecil. Geram sekali Wiro
Sableng pergunakan kaki kirinya untuk menendang dinding rumah itu. Dinding
rumah hancur berantakan. Ditinggalkannya tempat itu. Hatinya bimbang dan meragu
apakah orang-orangnya Dewi Siluman benar-benar akan kembali ke kampung itu.
Tiba-tiba Wiro tersirap kaget. Di belakang rumah sebelah kirinya terdengar
suara seseorang bicara.
“Heran, kenapa Dewi Siluman
berbuat kekejaman yang tiada artinya ini?”
Sebagai jawaban terdengar
suara helaan napas yang disusul dengan ucapan. “Manusia punya seribu macam cara
untuk cari nama di dunia persilatan!”
Ternyata ada dua orang di
samping rumah sana. Yang mengherankan Wiro ialah mengapa dia sama sekali tidak
mendengar sedikit pun kedatangan kedua manusia itu? Penuh rasa ingin tahu Wiro
menyelinap ke bagian rumah yang lain dan melompat ke sebatang pohon berdaun
rindang.
Dari sini jelas sekali dia
dapat memandang ke halaman samping rumah tadi. Dua sosok tubuh manusia
dilihatnya berdiri di sana. Dan untuk kedua kalinya Pendekar 212 dibuat
terkejut. Salah seorang dari dua manusia itu bukan lain dari nenek-nenek sakti
yang pernah baku hantam sekitar dua bulan yang lewat dengan dia di Kotaraja.
Nenek-nenek sakti yang dikenal dengan gelar Si Telinga Arit Sakti.
Gerangan apakah yang membuat
manusia ini berada pula di Pulau Madura? Dan siapakah manusia yang berdiri di
sampingnya saat itu? Manusia ini juga seorang perempuan tua renta, bermuka
keriput. Salah satu matanya hanya merupakan rongga hitam yang mengerikan.
Kepalanya tidak sedikit pun ditumbuhi rambut. Dia mengenakan jubah putih yang
pada bagian dadanya tergambar dua buah arit saling bersilangan! Melihat kepada
umur serta ciri-ciri manusia ini Wiro menduga mungkin sekali dia adalah guru Si
Telinga Arit Sakti. Sekurang-kurangnya kakak seperguruannya. Dan apakah
kemunculan mereka berdua di Pulau Madura ada sangkut pautnya dengan pertempuran
di Kotaraja dulu itu? Sangkut paut urusan dendam yang hendak dibalaskan?
Atau mungkin untuk satu urusan
lainnya?
Wiro terus memperhatikan dari
atas pohon berdaun lebat itu. Dilihatnya Si Telinga Arit Sakti memandang
berkeliling.
“Tak ada tanda-tandanya
bangsat yang kita kejar itu berada di sini….” Perempuan tua berjubah putih buka
suara.
Si Telinga Arit Sakti
memandang lagi berkeliling lalu menyahuti. “Tapi rombongan yang kita papasi di
tengah jalan itu mengatakan bahwa dia memang menuju ke sini. Mungkin dia sudah
berlalu ke tempat lain. Kita harus mengejarnya dengan cepat.”
“Kau hanya bikin aku repot
saja Telinga Arit Sakti. Kalau tidak gara-garamu tentu sekarang ramuan obat
yang kukerjakan itu sudah selesai!”
Telinga Arit Sakti perlihatkan
wajah yang tidak senang. “Kalau pemuda sialan itu tidak keliwat sakti
mandraguna, pastilah aku tak akan mengemis minta tolong padamu. Guru!”
Nyatalah kini bagi Wiro
Sableng bahwa perempuan tua berjubah putih itu adalah guru Si Telinga Arit
Sakti! Dan nyata pula bahwa kemunculan mereka di Pulau Madura saat itu adalah
dalam mencari dirinya sendiri. Rupanya kekalahan di Kotaraja tempo hari sangat
menggeramkan hati Si Telinga Arit Sakti hingga manusia itu mengadu kepada gurunya.
Guru dan murid kemudian sama-sama mencarinya!
“Dalam berpikir-pikir apakah
dia saat itu segera turun atau tetap saja diam di atas pohon maka Wiro
mendengar perempuan berjubah putih berkata. “Kita teruskan pengejaran ke timur!
Kurasa orang yang kita cari
masih belum berapa jauh!”
Telinga Arit Sakti mengangguk.
Maka keduanya pun berkelebat hendak meninggalkan tempat itu. Tapi pada detik
yang sama dari jurusan barat satu bayangan hitam laksana anak panah lepas dari
busurnya datang memapas ke arah mereka. Pendatang baru ini berseru nyaring.
Suaranya menggetarkan delapan penjuru angin.
“Dua perempuan tua! Harap
tetap di tempat kalian!”
Guru dan murid hentikan
tindakan mereka dan berpaling ke arah barat. “Bedebah! Siapa yang berani main
perintah seenak cecongornya huh?!” dengus guru Si Telinga Arit Sakti dengan
penuh kegusaran.
Dalam sekejap itu pula Si
pendatang baru sudah sampai di hadapan mereka. Melihat siapa adanya manusia ini
maka sirnalah kemarahan guru Si Telinga Arit Sakti. Malah dia menjura hormat
dan lontarkan senyum.
“Ah, kiranya Sepuluh Jari
Kematian! Tiada sangka akan bertemu di Pulau Madura ini!”
Manusia yang baru datang
adalah seorang laki-laki berjubah hitam, berambut panjang sampai ke punggung.
Sepuluh jari tangannya berwarna hitam legam. Dia berbatuk-batuk dan berkata.
“Setahuku Sepasang Arit Hitam tengah sibuk membuat sejenis ramuan obat sakti di
pertapaannya. Tapi kini bersama muridnya berada di sini. Urusan apakah yang
telah membawa kalian ke sini…?”
Sepasang Arit Hitam rangkapkan
tangan di muka dada. “Urusan biasa saja. Kami tengah mencari seekor anjing
kecil yang telah membuat sedikit keonaran di kalangan kami….”
Sepuluh Jari Kematian
manggut-manggut beberapa kali.
“Kalau aku boleh tahu,
siapakah yang kau maksudkan dengan seekor anjing kecil itu?”
“Ah… cuma seorang pemuda
sinting geblek bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212…!” jawab Sepasang
Arit Hitam.
Di atas pohon Wiro Sableng
memaki dalam hati. Dengan gusar dan memperhatikan terus dan mendengarkan
percakapan orang-orang itu.
Pada waktu mendengar nama Wiro
Sableng dan gelar Pendekar 212 tadi terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. “Kalau
begitu kita mencari bangsat yang sama!” serunya.
Wiro terkejut. Dia coba
menduga siapa adanya manusia berjuluk Sepuluh Jari Kematian yang juga tengah
mencari dirinya itu.
“Betul-betul tidak diduga kita
punya urusan yang sama di tempat yang sama!” ujar Sepuluh Jari Kematian.
“Bangsat bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212 itu telah membunuh muridku
si Wirapati yang berjuluk Pendekar Pemetik Bunga beberapa bulan yang lewat! Aku
terpaksa turun gunung untuk cari itu manusia. Belakangan sekali aku mendapat
keterangan bahwa bangsat itu berada di ujung Jawa Timur, tengah dalam
perjalanan ke Madura ini!”
Sepasang Arit Sakti Hitam hela
nafas panjang. “Pertemuan memang aneh dan sukar diduga!
Karena kita sama satu tujuan
satu haluan tentu kau tak keberatan kalau meneruskan pencarian atas bangsat itu
secara bersama-sama….”
“Tentu saja tidak keberatan!”
sahut Sepuluh Jari Kematian dengan tertawa lebar. Laki-laki berjubah hitam ini
layangkan pandangannya berkeliling. “Di samping mencari pemuda keparat bernama
Wiro Sableng itu, aku juga mendapat undangan dari Dewi Siluman di Bukit
Tunggul. Bila ada kesempatan kurasa tak ada salahnya kalau kalian ikut
berkunjung ke tempatnya.”
“Itu bisa dipikirkan nanti,”
menyahuti Si Telinga Arit Sakti. “Yang penting kita harus mencari si Wiro
Sableng itu dan mematahkan batang lehernya lebih dahulu!”
Sepuluh Jari Kematian tertawa
mengekeh. “Kau betul!” katanya.
Wiro Sableng memperhatikan
kepergian ketiga orang itu. Kehadirannya di Pulau Madura itu kini bukan saja
untuk berhadapan dengan Dewi Siluman dan orang-orangnya, tapi juga untuk
berhadapan dengan tiga musuh sakti. Kalau Si Telinga Arit Sakti, ilmu silat dan
ilmu kesaktiannya sudah demikian tinggi, tentu gurunya Si Sepasang Arit Hitam
lebih hebat lagi dari itu. Dan ditambah pula dengan Guru Pendekar Terkutuk
Pemetik Bunga yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian itu. Benar-benar mereka
merupakan lawan-lawan tangguh yang tak bisa dianggap enteng sama sekali.
(Mengenai kehebatan dan kejahatan Pendekar Pemetik Bunga baca serial Wiro
Sableng “Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga”). Diam-diam Pendekar 212 merenung.
Mungkin kehadirannya di Pulau Madura adalah benar-benar untuk mencari
kematiannya sendiri.
*
* *
2
Wiro Sableng memperhatikan
kesibukan-kesibukan dalam warung itu dengan sikap acuh tak acuh. Teh manisnya
baru satu kali diteguknya.
“Orang muda lekaslah habiskan
minumanmu. Warung ini akan segera ditutup….”
Wiro heran mendengar ucapan
orang tua pemilik warung. “Siang-siang begini sudah ditutup?” tanyanya.
“Kau tak tahu apa-apa orang
muda. Habiskan saja teh itu, bayar cepat dan berlalu….”
“Ada apakah sebenarnya?”
Pemilik warung tampak agak
gusar. Dia menunjuk ke luar warung. “Kau lihat penduduk yang berbondong-bondong
itu?”
Wiro Sableng palingkan kepala
ke luar warung. Di tengah jalan dilihatnya serombongan penduduk berjalan cepat
menuju ke selatan membawa berbagai macam barang rumah tangga dan binatang-binatang
peliharaan seperti kambing-kambing dan beberapa ekor sapi.
“Memangnya kenapa mereka
itu…?” bertanya lagi Wiro.
“Mereka mengungsi! Aku pun
hendak menyertai rombongan mereka. Daerah sini sudah tidak aman! Malam kemarin
seorang gadis telah diculik. Dua orang ditemui mati.”
“Siapa yang melakukannya?”
tanya Wiro.
Pemilik warung itu hendak
menjawab tapi tak jadi. Di wajahnya nyata sekali kelihatan rasa ketakutan.
“Habiskan saja minumanmu. Aku tak bisa menunggu lebih lama,” katanya pada Wiro.
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya beberapa kali lalu meneguk teh manisnya sampai habis. Dari saku
pakaiannya dikeluarkannya sebuah mata uang perak. Ditimang-timangnya sebentar
uang itu lalu diletakkannya di atas meja di hadapan pemilik warung. Sewaktu
pemilik warung mengambil uang itu, Wiro memegang tangannya dan berkata. “Dengar
orang tua. Kau tak usah kembalikan uangku asal saja kau bisa kasih keterangan
di mana letaknya Bukit Tunggul tempat bersarangnya Dewi Siluman….”
Si orang tua tersentak kaget.
Parasnya yang keriputan serta merta menjadi pucat pasi.
Matanya membelalak memandang
Wiro.
“Justru karena dialah penduduk
kampung ini terpaksa pindah mengungsi. Kini kau malah mencari penyakit
bertanyakan tempat kediamannya. Apa kau sudah bosan hidup orang muda…?!”
Wiro Sableng tertawa.
“Mana ada orang yang bosan
hidup,” sahutnya “Toh tidak ada salahnya kalau kau kasih sedikit keterangan di
mana letak Bukit Tunggul itu….”
Si orang tua gelengkan kepala.
“Aku masih ingin hidup! Sekali aku membuka mulut kasih keterangan seluruh
keluargaku akan mampus! Mungkin juga semua penduduk kampung ini!”
Pemilik warung itu segera
mengambil uang di atas meja dan memberikan kembalinya pada Wiro. Lalu katanya.
“Nah, sekarang berlalulah.”
Wiro geleng-gelengkan kepala.
Dia keluar dari warung itu. Agaknya seluruh Pulau Madura sudah digerayangi oleh
rasa takut terhadap Dewi Siluman dan orang-orangnya. Tak ada satu kampung pun
yang ditemuinya berada dalam keadaan tenang tenteram. Di setiap kampung mesti
saja ada korban-korban yang jatuh akibat kejahatan yang dilakukan oleh
orang-orangnya Dewi Siluman. Dan bukan itu saja, di setiap kampung
orang-orangnya Dewi Siluman selalu menculik gadis-gadis. Entah dibawa ke mana
dan entah apa, yang menimpa diri gadis-gadis itu tak bisa diduga oleh Wiro.
Dia mendongak ke langit. Sang
surya tengah bersinar seterik-teriknya. Dengan mempergunakan ilmu lari
cepatnya, Wiro tinggalkan kampung itu. Di satu jalan kecil yang lurus pendekar
ini memperlambat larinya. Di ujung sana dilihatnya seseorang duduk menjelepok
di tengah jalan. Ketika dia sampai di hadapan orang itu ternyata manusia ini
adalah seorang nenek tua bermuka cekung keriput. Dia duduk seenaknya di tengah
jalan yang kecil itu. Di tangan kanannya ada sebatang ranting kering. Dia
mengenakan jubah putih yang kotor. Dia begitu asyik mengguratgurat tanah dengan
ujung ranting kering di tangannya itu.
Wiro tak dapat menduga siapa
adanya nenek-nenek ini. Baginya adalah satu hal yang aneh seorang nenek-nenek
berada di tengah jalan dan duduk menggurat-gurat tanah seperti dilihatnya saat
itu. Karena jalan itu kecil, tak mungkin Wiro Sableng untuk lewat begitu saja
tanpa membentur tubuh sang nenek. Dia bisa melompat di atas kepala si nenek
tapi tentu saja ini satu kekurangajaran.
Maka Pendekar 212 pun
menegurlah dengan hormat.
“Nenek harap maafkan aku
mengganggumu. Sudilah memberikan sedikit jalan bagiku.”
Si nenek anehnya terus saja
asyik menggurat-gurat tanah dengan ranting kering di tangan kanannya.
Seakan-akan tiada didengarnya teguran Wiro tadi.
Mungkin nenek-nenek ini tuli,
pikir Wiro. Tapi adalah mustahil kalau dia tidak melihat Wiro yang berdiri
sedekat itu di sampingnya.
Wiro menegur lagi dengan suara
lebih dikeraskan.
“Nenek, harap suka memberi
sedikit jalan untukku lewat.”
Si nenek tiba-tiba angkat
kepalanya. Sepasang matanya memandang Wiro dari rambut sampai kaki, penuh
meneliti dan penuh gusar. Kemudian kembali dia tundukkan kepala dan
menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting.
Wiro memaki dalam hati. Kalau
si nenek ini tidak sinting pastilah dia seorang aneh atau seorang yang sengaja
cari sengketa, pikir Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Nenek, aku mau lewat. Kuharap
kau tak keberatan memberi jalan….”
“Setan alas!” Si nenek
tiba-tiba mendamprat keras dan lantang. Wiro terkejut dan usap dadanya. “Kapan
aku kawin sama kakekmu kau panggil aku nenek!”
Wiro perhatikan tampang si
nenek yang menjadi sangat galak. Dan Pendekar dari Gunung Gede ini tak kuasa
menahan rasa gelinya sewaktu mendengar ucapan perempuan tua itu. Dia tertawa
gelak-gelak sampai mukanya merah.
“Setan alas! Siapa yang suruh
kau ketawa huh?!” Si nenek membentak lagi dengan suaranya yang keras.
Wiro hentikan tawanya.
“Siapa yang suruh!” sentak
perempuan berjubah putih itu lagi.
“Memang tak ada yang suruh,
Nek… eh… aku musti panggil apa terhadap kau…?” Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya.
“Kentut betul! Kalau tak ada
yang suruh kenapa musti ketawa?!”
“Apakah seseorang itu baru
tertawa kalau disuruh?” bertanya Pendekar 212.
“Sudah! Jangan banyak tanya!
Kentutmu sebakul! Jawab kenapa kau ketawa?! Kau menertawai aku ya?! Ayo jawab!”
“Aku tidak menertawaimu Nek…
eh… aku tertawa karena ucapanmu yang lucu tadi.”
“Betul-betul setan alas! Kau
anggap aku ini badut yang mau melucu di hadapanmu? Makan rantingku ini!”
Habis berkata begitu si nenek
hantamkan ranting kering di tangannya!
“Wutt!”
Pendekar 212 tersentak kaget
dan buru-buru menghindar ke belakang. Sambaran ranting yang di tangan si nenek
mengeluarkan angin dingin dan keras. Nyatanya bahwa si nenek bukan perempuan
sembarangan, tapi seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan ini
berarti bahwa dia adalah seorang tokoh silat berkepandaian hebat.
Karena serangannya tidak
mengenai sasaran, si nenek menjadi gusar sekali. Dia melompat dan ranting
kering di tangannya menderu pulang balik tiada hentinya, membungkus tubuh Wiro
Sableng dalam serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Pendekar 212 bersiul nyaring.
“Ah, nyatanya kau bukan nenek
sembarang nenek!” seru Wiro sambil gerakkan tubuhnya dengan cepat untuk
menghindar dari serangan ganas si nenek.
Mendengar ucapan itu si nenek
jadi tambah buas. Serangannya tambah ganas. Meski senjatanya cuma sebuah
ranting kering namun karena ranting itu mengandung aliran tenaga dalam maka
bahayanya tiada beda dengan bahaya sebuah senjata tajam seperti golok atau
sebilah pedang.
“Nenek!” seru Wiro Sableng.
“Antara kita tak ada silang sengketa, mengapa kau menyerang aku sejahat ini?!”
“Kalau kau tak lekas berlutut
dan minta ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat!” teriak si nenek jubah putih.
Serangan ranting keringnya semakin menggila. Dalam waktu lima jurus saja
Pendekar 212 sudah terdesak hebat.
Sampai jurus yang kesembilan
Wiro Sableng masih juga berkelebat dalam posisi bertahan, sama sekali tidak
balas menyerang. Inilah yang menyebabkan dia saat demi saat semakin terdesak
dan kepepet. Ruang gerak Pendekar 212 makin lama makin ciut. Ranting kering di
tangan si nenek laksana ratusan buah banyaknya dan menyerangnya dari puluhan
jurus.
Hampir tiada terasa lagi, saat
itu mereka sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam jurus ini Wiro
benar-benar dibikin mati kutu. Dia tak sanggup bertahan lebih lama. Dengan satu
bentakan nyaring Pendekar 212 segera pergunakan kedua tangannya untuk mulai
balas menyerang. Tapi justru pada jurus itu pula ranting kering di tangan si
nenek membuat satu serangan yang sukar dikelit.
“Breet!”
Robeklah pakaian Pendekar 212.
Dadanya tergores luka. Rasa sakit dan perih serta merta menjalari sekujur
tubuhnya. Dan tubuh itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah ranting kering di
tangan si nenek bukan ranting kering biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang
mengandung racun luar biasa. Cepat-cepat Wiro ke luar dari kalangan pertempuran
dan kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa panjang.
“Jangan harap kau bisa hidup
lebih dari satu jam, pemuda keparat! Rantingku ini mengandung racun yang jahat
sekali!”
Wiro tetap tenang. Dia tidak
yakin racun ranting si nenek akan menamatkan riwayatnya.
Sewaktu digembleng di puncak
Gunung Gede, tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang Sinto Gendeng, kekuatan
yang membuat dia kebal terhadap segala racun yang bagaimanapun jahatnya.
Apalagi saat itu dia sudah
kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa lagi.
“Selamat tinggal orang muda!
Nasibmu ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah saat kematianmu di depan
mata!”
Habis berkata begini si nenek
segera putar tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
“Manusia keriput! Tunggu dulu!
Aku tak sudi kau pergi sebelum menerima sedikit pembalasan hormat dariku!”
teriak Wiro Sableng. Sekali dia melesat maka tahu-tahu tubuhnya sudah berada
dihadapan si nenek, menghalangi lari perempuan tua itu. Tentu saja kejut si
nenek bukan tanggung-tanggung. Matanya melotot membeliak.
“Nyalimu keliwat besar!”
teriaknya. “Apakah mau mampus saat ini juga bedebah?!”
Wiro bersiul nyaring.
“Soal nyawa jangan diributkan
perempuan keriput! Terima pukulanku ini!”
Wiro Sableng hantamkan tinju
kanannya ke depan. Di saat itu pula si nenek sapukan rantingnya ke muka. Maka
tak ampun lagi tinju dan rantingpun beradulah.
Wiro kerenyitkan kening
menahan sakit. Kulit tangannya kelihatan lecet sedang ranting di tangan si
nenek mental dan patah berantakan. Si nenek beringas sekali melihat ranting
keringnya dimusnahkan lawan. Dia melompat ke muka dengan sepuluh jari tangan
terpantang.
“Cengkeraman Garuda Sakti”
seru Pendekar 212 begitu dia mengenali jurus serangan lawan.
Sekali tubuh kena dicengkeram
pastilah daging dan tulang-tulangnya akan hancur remuk. Cepatcepat Wiro
menyurut mundur dan buat satu liukkan, kemudian hantamkan tangan kanan ke
depan, melepaskan “Pukulan Kunyuk Melempar Buah” yang disertai hampir setengah
bagian tenaga dalamnya.
Si nenek melengking penasaran
sewaktu serangannya tertahan oleh satu gelombang angin yang laksana satu gumpalan
batu keras. Dengan kalap dia menyeruak dari samping dan begitu pukulan Pendekar
212 lewat dengan serta merta dia lepaskan dua jotosan dan dua tendangan jarak
jauh. Empat serangan ini hebatnya bukan main. Debu dan pasir jalanan menderu.
Empat angin pukulan si nenek
laksana air bah merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng ini
terpaksa melompat beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke bagian yang aman
Wiro lepaskan “Pukulan Angin Puyuh”.
Empat angin pukulan si nenek
dan satu gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling bentrok menimbulkan suara
letusan nyaring, menggetarkan tanah tempat berpijak. Si nenek terpelanting
sampai enam langkah sedang kedua kaki Wiro Sableng tenggelam ke tanah sampai
sedalam tiga senti.
Bukan main geramnya si nenek.
Ternyata si pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah sebagaimana yang
disangkanya. Dalam luapan amarah, nenek keriput ini segera cabut batang
belimbing di tepi jalan. Dengan mempergunakan pohon itu sebagai senjata dia
segera menyerang Wiro Sableng.
“Hebat!” seru Wiro sambil
berkelit cepat. Pohon belimbing yang di babatkan si nenek menderu menghantam
pohon lain di belakangnya, membuat pohon ini tumbang bergemuruh. Dapat
dibayangkan bagaimana kalau batang pohon belimbing itu melanda tubuh Wiro
Sableng.
Laksana memegang sebuah sapu
lidi, demikianlah si nenek pergunakan pohon belimbing itu untuk menyapu dan
membabat lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan garuk-garuk kepala.
Belum pernah ia menghadapi
lawan yang demikian kalapnya seperti si nenek ini sehingga mau mencabut
sebatang pohon dan menyerang dengan pergunakan pohon itu sebagai senjata. Di
samping kagum, Wiro juga
kepingin tahu siapa sesungguhnya manusia ini.
“Nenek, sesuai dengan
peradatan dunia persilatan harap kau terangkan siapa nama atau gelarmu!” seru
Wiro.
“Bakul kentut! Kau bisa tanya
nanti pada cacing-cacing di liang kubur!” Dan si nenek babatkan lagi pohon
belimbing di tangannya.
“Buset!”
Wiro berkelebat cepat.
Si nenek penuh penasaran
memandang berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan bumi.
“Setan alas kau lari ke mana
hati?!” teriak nenek-nenek itu.
Di belakangnya terdengar suara
tertawa.
“Nenek-nenek kurasa matamu
belum begitu kabur hingga tak tahu kalau aku berada di sini!”
Begitu putar tubuh begitu si
nenek hantamkan batang belimbing ke pohon di belakangnya.
Kraak!
Pohon di tepi jalan patah dan
tumbang. Wiro Sableng yang tadi memang melompat dan berdiri di salah satu
cabang pohon itu, berkelebat ke pohon lain dan berdiri di salah satu cabangnya
sambil tertawa-tawa mengejek.
“Setan alas! Apa kau kira aku
tidak sanggup mengejarmu ke atas sana?!” teriak seraya lemparkan pohon
belimbing ke tepi jalan kemudian melompat sebat ke cabang pohon di mana Wiro
berdiri.
Tapi kemengkalannya jadi
bertambah-tambah karena begitu ia menginjak cabang pohon, Wiro Sableng sudah
lenyap dari cabang itu. Dan bila dia memandang ke bawah maka dilihatnya si
pemuda berdiri bertolak pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke arahnya.
Si nenek sampai melengking
nyaring saking gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan berteriak. “Pemuda
keparat! Terima ini!”
Selusin senjata rahasia yang
berbentuk paku hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam bentuk lingkaran. Wiro
pukulkan tangan kanannya ke atas. Enam paku mental jauh sedang enam lainnya
amblas ke dalam tanah. Di saat itu pula si nenek sudah turun ke tanah kembali
dan kirimkan serangan berantai ke arah Wiro.
“Nenek! Ilmumu memang tinggi.
Tapi aku tak begitu suka bertempur dengan orang lain tanpa alasan! Apalagi
kalau tidak tahu asal usul dan namanya!”
“Pemuda sialan, jangan jual
kentut! Kau tak akan kulepaskan hidup-hidup!” hardik si nenek.
Kembali dia kirimkan selusin
paku hitam dan susul dengan serangan berantai.
Pendekar 212 angkat kedua
tangannya. Saat itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus lebih. Wiro
kini tak mau main-main lagi. Begitu kedua tangannya dipukulkan ke muka maka
gelombang angin yang laksana topan menderu. Inilah “Pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera” yang kedahsyatannya bukan saja membuat selusin paku hitam itu
mental tapi juga membuat si nenek terguling di tanah sampai enam tombak.
Belum lagi sempat bangun Wiro
memburu tak kasih ampun. Dua tangannya melesat ke pangkal leher si nenek, siap
untuk menotok. Tapi lebih cepat dari itu si nenek keluarkan sebuah benda
berbentuk bola berwarna hitam. Bola hitam ini dilemparkan ke arah Wiro. Satu
letusan terdengar. Dalam kejap itu pula asap hitam tebal menggebu menutup
pemandangan, Wiro Sableng tak dapat melihat apa-apa dan cepat-cepat melompat ke
samping. Tapi dia masih juga terkurung oleh asap hitam yang gelap itu. Dia
melompat sekali lagi, dua kali lagi dan barulah bisa keluar dari kurungan asap
hitam yang membutakan pemandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika
asap hitam itu sirna dengan perlahan maka si nenek sudah lenyap dari tempat
itu. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 karena di seberangnya kini berdiri
tiga manusia lain.
*
* *
3
Ketiga manusia itu bukan lain
Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Ketiganya
memandang dengan mata ganas menyorot yang membayangkan maut.
“Ini dia bangsatnya!” Si
Telinga Arit Sakti buka suara.
“Apa yang dikerjakannya di
sini! Bermain-main asap?!” Sepuluh Jari Kematian menimpali.
Wiro masih diam dan menyapu
tampang ketiga orang itu dengan pandangan seenaknya.
“Pendekar 212!” lengking Si
Telinga Arit Sakti. “Ketahuilah hari ini adalah hari kematianmu!”
Wiro Sableng senyum lalu
keluarkan suara tertawa bergelak.
“Telinga Arit Sakti,” kata
Pendekar 212 pula. “Bacotmu besar amat! Mentang-mentang berada sama-sama
gurumu!”
“Kalau tahu aku gurunya
mengapa tidak lekas berlutut dan bunuh diri?!” sentak Sepasang Arit Hitam.
Wiro tertawa lagi gelak-gelak.
“Orang gila pun disuruh bunuh diri tidak bakal mau!”
“Dan kau lebih dari gila!”
damprat Sepasang Arit Hitam.
Sepuluh Jari Kematian
lambaikan tangannya dan berkata. “Kau tak usah bicara panjang lebar
kawan-kawan. Mari kita berebut cepat memisahkan kepala dan badannya!”
“Ah… ah… ah!” Wiro rangkapkan
tangan di muka dada. “Kalau tak salah penglihatanku bukankah kau yang berjuluk
Sepuluh Jari Kematian, gurunya Si Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang mampus
tempo hari di tanganku?!”
“Pemandanganmu memang tajam,
pemuda gendeng! Muridku mati di tanganmu. Hari ini aku datang meminta jiwamu!”
Wiro geleng-gelengkan kepala.
Katanya. “Akhir ini banyak
sekali manusia-manusia yang begitu inginkan jiwaku, sebutsebut segala urusan
jiwa…. seakan-akan jiwanya sendiri adalah jiwa yang bersih polos!”
“Jangan pidato!” bentak
Sepasang Arit Hitam.
“Siapa bilang aku pidato!”
sahut Wiro ketus. “Aku cuma bicara biasa!” Kemudian Pendekar 212 berpaling pada
Sepuluh Jari Kematian. “Dengar Sepuluh Jari Kematian,” katanya. “Muridmu
seorang manusia bernafsu besar
doyan perempuan kelas satu! Bagaimana kalau hari ini kuberikan seorang perempuan
cantik padamu, apakah kau bersedia melupakan urusan kita?!”
Merahlah paras Sepuluh Jari
Kematian. Darah di kepala mendidih mendengar ejekan itu.
Dia maju satu langkah. “Kau
memang tak layak hidup lebih lama!” bentaknya. Kelima jari-jari tangan kanannya
dijentikkan ke muka. Lima sinar hitam yang menggidikkan melesat mengeluarkan
suara menggaung. Inilah Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dahsyat. Satu jentikkan
saja ganasnya bukan main, apalagi sekaligus lima jentikan. Dan dilancarkan oleh
tokoh penciptanya sendiri yang
berilmu tinggi.
Dengan cepat Pendekar 212
melompat ke udara. Empat larikan sinar hitam berhasil dihindarkannya, tapi
sinar yang kelima tak sanggup dielakkan. Sinar ini menyapu kaki kiri Pendekar
212.
Wuss!
Kaki kiri itu dengan serta
merta menjadi hitam. Wiro Sableng terguling di tanah, merintih kesakitan. Meski
tubuhnya kebal segala macam racun namun dia masih khawatir. Begitu jatuh dengan
cepat Wiro totok jalan darah dan urat-urat di siku kaki kirinya. Dengan
terpincang-pincang Pendekar 212 bangkit berdiri. Di saat itu Si Telinga Arit
Sakti dan Sepasang Arit Hitam memburu dengan senjata di tangan sedang Sepuluh
Jari Kematian melompat sebat menjambak rambut gondrong Wiro Sableng siap untuk
memuntir kepala pendekar itu.
Dengan berteriak nyaring Wiro
gerakkan tangan kanan untuk cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Si Telinga
Arit Sakti yang tahu gelagat segera tendang tangan kanan Wiro Sableng.
Kraak!
Patahlah lengan Pendekar 212.
Tubuhnya terhempas ke tanah. Tiga buah arit masing-masing dua di tangan
sepasang Arit Hitam dan satu di tangan si Telinga Arit Sakti menderu siap untuk
membuat tubuh Wiro Sableng menjadi terkutung empat sedang jambakan Sepuluh Jari
Kematian akan menanggalkan kepalanya dari badan.
Wiro Sableng hendak lepaskan
Pukulan Sinar Matahari. Tapi sudah terlambat, sudah tak ada kesempatan lagi.
“Tamatlah riwayatku!” keluh
pendekar ini. Dipejamkannya kedua matanya menanti saat kematian itu.
Hanya beberapa detik lagi
tubuh sang pendekar akan terkutung empat dibabat tiga buah arit sakti, hanya
beberapa detik lagi kepalanya akan tanggal dipuntir, maka terdengarlah teriak
lantang menggeledek.
“Setiap nyawa manusia di Pulau
Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak merampas jiwa pemuda
itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!”
Terkejutlah Si Telinga Arit
Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian.
Empat sosok tubuh berkelebat.
Perlahan-lahan Wiro Sableng
buka kedua matanya yang tadi dipejamkan! Dan hampir tak dapat dipercaya
pemandangan matanya sendiri saat itu. Betapa tidak. Empat pendatang baru ini
adalah gadis-gadis cantik berpakaian biru. Leher mereka digantungi tengkorak
manusia yang besarnya sekepalan tangan. Meski tampang mereka cantik-cantik tapi
membayangkan kebengisan.
Dugaan Wiro Sableng pastilah
mereka ini orang-orangnya Dewi Siluman dari Bukit Tunggul.
*
* *
Sehabis melemparkan bola yang
meletuskan asap hitam dan tebal itu si nenek keriput cepat berguling dan lari
meninggalkan jalan kecil. Dimasukinya rimba belantara kemudian menyeruak di
antara semak belukar lebat. Dari luar semak belukar ini tiada beda dengan
semak-semak yang lebat di sekitar tempat itu. Tapi siapa nyana kalau begitu
semak belukar diseruak maka muncullah sebuah lobang besar setinggi manusia. Si
nenek menyelusup memasuki lobang itu dan terus berlari. Meski penerangan dalam
lobang itu tidak begitu terang namun karena sudah terlalu sering melewatinya si
nenek sudah sangat hafal liku-likunya maka dia lari dengan sebat tanpa kurangi
kecepatannya.
Dalam waktu yang singkat dia sudah
sampai di ujung lobang yang merupakan terowongan bawah tanah itu. Dia muncul di
satu lamping bukit. Dari sini lari cepat ke bawah, masuk lagi ke sebuah
terowongan rahasia dan akhirnya sampai di satu terowongan batu pualam. Sebelum
memasuki sebuah ruangan besar si nenek gerakkan kedua tangannya ke muka.
Sehelai selaput topeng yang amat tipis ditanggalkannya dari parasnya. Kini
kelihatanlah wajahnya yang asli. Dan nyatanya dia adalah seorang gadis jelita
berkulit hitam manis, berhidung mancung dan berbibir tipis mungil.
Gadis ini kemudian tanggalkan
jubah putihnya. Di balik jubah putih si gadis kulit hitam manis ini ternyata
mengenakan pakaian ringkas biru. Gadis ini kemudian berlari ke tengah ruangan
besar. Salah satu tumitnya menekan ubin yang bergambar bunga mawar merah.
Maka pada saat itu menggemalah
suara bertanya dalam ruangan itu. Entah dari mana datangnya.
“Siapa yang mau masuk?!”
“Aku, Nariti hendak menghadap
Dewi!” menjawab si gadis hitam manis.
“Silahkan masuk.”
Sebuah pintu besar yang tadinya
hanya merupakan sebuah dinding ruangan belaka terbuka.
Nariti cepat memasuki pintu
itu. Ruangan di mana dia berada adalah sebuah ruangan yang jauh lebih besar
dari yang pertama tadi. Seluruh lantai ditutupi permadani. Di samping kanan
terdapat sebuah taman. Di tengah taman dihiasi dengan kolam berair biru.
Beberapa gadis cantik asyik mandi-mandi dalam kolam itu, bersimbur-simburan air
dan bergurau sesama mereka. Beberapa lainnya duduk di tepi kolam memperhatikan.
Semuanya mengenakan pakaian ringkas biru.
“Hai, itu si Nariti dari mana
baru kelihatan!” seru seorang gadis baju biru.
“Nariti dari mana kau!”
berseru yang lain.
Nariti hanya melambaikan
tangan lalu cepat-cepat menaiki sebuah tangga yang juga beralaskan permadani.
Di bagian atas terdapat tiga buah pintu yang dijaga oleh tiga orang gadis
berpakaian biru.
“Kemani, aku mau bertemu
dengan Dewi,” berkata Nariti pada salah seorang gadis-gadis itu.
“Ada keperluan apakah?!”
“Tak usah tanya. Katakan di
mana Dewi saat ini, cepat! Ini penting sekali!”
Melihat keseriusan pada wajah
Nariti maka Kemani segera menjawab. “Dewi berada di anjungan ketiga.”
Mendengar itu maka Nariti
segera memasuki pintu di samping kanannya. Pintu ini membawanya ke sebuah
lorong yang kemudian menghubunginya dengan sebuah pintu biru yang tertutup. Di
belakang pintu itu didengarnya suara petikan-petikan kecapi yang merdu.
Nariti mengetuk daun pintu
tiga kali berturut-turut lalu dua kali lagi. Suara kecapi di ruang dalam
berhenti.
“Siapa?!” terdengar suara
perempuan bertanya dari dalam. Suaranya halus tapi penuh wibawa dan ketegasan.
“Dewi, aku Nariti membawa
laporan penting untukmu!”
“Masuklah!”
Nariti mendorong daun pintu
lalu masuk dengan cepat. Kamar yang dimasukinya selain bagus juga sangat luas.
Lantai tertutup permadani biru yang tebal dan lembut. Tubuh serasa di
awang-awang kalau menginjak kelembutan permadani itu. Di tengah ruangan
terletak sebuah tempat tidur besar berseprai sutera putih. Di atas tempat tidur
ini berbaringlah bermalas-malasan seorang perempuan muda. Umurnya paling banyak
dua puluh tiga tahun. Dia berpakaian sutra biru yang bagus dan menjela ke
permadani. Parasnya cantik sekali. Tapi dibalik kecantikan yang mengagumkan itu
nyata kelihatan bayangan kekejaman. Matanya yang berkilat menyoroti Nariti
dengan teliti. Kemudian dia berpaling pada gadis tujuh belas tahun yang duduk
di permadani, yang tadi memainkan kecapi menghiburnya. Gadis ini juga berparas
jelita dan berkulit kuning langsat Perempuan di atas pembaringan yang bukan
lain dari Dewi Siluman adanya anggukkan kepala. Maka gadis pemain kecapi yang
mengerti isyarat ini segera mengambil kecapinya dari pangkuan dan meninggalkan
tempat itu lewat sebuah pintu di samping kanan.
“Katakan berita apa yang kau
bawa, Nariti,” ujar Dewi Siluman.
Nariti menjura dulu tiga kali
baru menjawab.
“Ada beberapa pendatang baru
di Pulau kita ini dewi. Semuanya dari Pulau Jawa….”
“Hemmm….” Dewi Siluman
menggumam dan petik serenceng buah anggur lalu memasukkan buah itu satu demi
satu ke dalam mulutnya.
“Teruskan keteranganmu!”
“Yang pertama ialah Sepuluh
Jari Kematian….”
“Itu aku sudah tahu. Sepuluh
Jari Kematian sobat lama yang sengaja kuundang kemari.
Siapa yang lain-lainnya?!”
“Yang lain-lainnya ialah dua
orang nenek-nenek yaitu Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit
Sakti….”
“Heh… perlu apa murid dan guru
itu berada di Pulau ini?” Dewi Siluman memandang lewat jendela dari mana dia
dapat melihat sebagian dari taman dan kolam yang tadi dilewati Nariti. Lalu
tanyanya sambil mengunyah buah anggur dalam mulutnya. “Apa masih ada pendatang
yang lain?”
“Ada Dewi. Seorang pemuda
sakti….”
Sepasang alis mata yang hitam
dan bagus dari Dewi Siluman naik ke atas.
“Gerak-geriknya yang
mencurigakan membuat aku menguntitnya selama dua hari. Ternyata dia tengah
mencari keterangan di mana letak tempat kita ini….”
“Begitu? Menurutmu apakah dia
membawa maksud baik atau jahat?!” tanya Dewi Siluman.
“Pasti maksud jahat Dewi….”
“Kalau begitu dia mencari
jalan ke akhirat!” kata Dewi Siluman pula sambil lemparkan tangkai anggur ke
luar jendela. “Tapi terangkan dulu segala sesuatunya tentang dia….”
“Hampir di setiap tempat dia
menanyakan pada penduduk di mana letak Bukit Tunggul, di mana letak sarang
kita….”
“Kurang ajar. Istanaku disebut
sarang!” maki Dewi Siluman. “Teruskan Nariti!”
“Tapi penduduk tak satu pun
mau beri keterangan. Meski demikian karena jelas pemuda ini sangat berbahaya
bagi kita maka dengan menyamar kunantikan dia di jalan kecil di tepi hutan.
Sengaja aku duduk di tengah
jalan menghalanginya untuk mencari sengketa. Kemudian terjadi pertempuran
antara kami. Tapi nyatanya dia sakti sekali dan bukan tandinganku. Aku hampir
saja dimakan totokannya kalau tidak lekas melemparkan bola asap hitam!”
Dewi Siluman merenung sejenak.
Nariti adalah pembantunya yang memiliki ilmu tinggi.
Kalau Nariti tiada sanggup
melawan pemuda itu pastilah si pemuda memiliki ilmu yang hebat.
“Siapa nama pemuda itu?”
bertanya Dewi Siluman.
“Tak berhasil kuketahui Dewi.”
“Nariti, bawa tiga orang
kawanmu. Cari pemuda itu dan tamatkan riwayatnya sebelum dia bikin susah pihak
kita!”
“Perintahmu aku jalankan
Dewi,” sahut Nariti. Dia menjura tiga kali lalu melangkah ke pintu.
“Tunggu dulu Nariti!” berseru
Dewi Siluman. Nariti hentikan langkah dan balikkan badan.
“Ya Dewi…?”
“Apakah pemuda sakti itu
berparas gagah?” tanya Dewi Siluman.
Nariti memandang ke jendela
lalu tundukkan kepala. Kalau dia memberikan jawaban bahwa pemuda itu memang
berparas gagah dia khawatir sang Dewi akan punya persangkaan yang bukan bukan
padanya. Karenanya Nariti tak berikan jawaban.
Dewi Siluman tertawa merdu
laksana taburan mutiara yang jatuh berderai di atas lantai pualam. Dari
kebisuan anak buahnya itu dia segera maklum bahwa si pemuda yang mendatangi
Pulau Madura adalah seorang berparas cakap.
“Kalau begitu tangkap saja dia
hidup-hidup, Nariti.” kata Dewi Siluman pula. “Jika parasnya betul-betul gagah
dia akan menjadi budakku. Tapi kalau tampangnya buruk dia akan mati percuma!”
Nariti mengangguk. Dia menjura
lagi tiga kali lalu tinggalkan kamar itu. Dewi Siluman memandang ke luar
jendela memperhatikan anak buahnya bersimbur-simburan air di tengah kolam.
Di sudut bibirnya mengelumit
sekuntum senyum aneh. Gadis jelita ini kemudian bertepuk tiga kali.
Inani gadis yang tadi
memainkan kecapi menghibur Dewi Siluman masuk kembali ke dalam kamar itu.
“Mainkan satu lagu yang bagus
untukku, Inani.”
“Lagu bagus tentang apa,
Dewi?” tanya Inani.
“Apakah tentang lautan yang
indah diwaktu matahari terbenam atau tentang bunga-bunga yang tengah mekar, atau
tentang kebahagiaan hidup di swarga loka? Atau pula tentang pemandangan gunung
yang tinggi hijau, atau tentang binatang-binatang yang bagus lucu…?”
Dewi Siluman gelengkan kepala.
“Bukan… bukan tentang laut
atau bunga-bunga atau binatang-binatang, Inani. Bukan tentang semua yang kau
sebutkan itu. Tapi tentang cinta….” kata Dewi Siluman pula.
Terkejutlah Inani mendengar
jawaban Dewinya itu. Selama ini sang Dewi sangat membenci segala sesuatu yang
berbau cinta kasih. Dewi Siluman selalu marah dan mendamprat bila dia memainkan
lagu-lagu cinta, sekalipun dia memetik kecapi itu seorang diri dalam kamarnya!
Dan kini adalah aneh kalau sang Dewi minta dimainkan sebuah lagu cinta. Apakah
telah berubah jalan pikiran dan lubuk hati sang Dewi. Ada sesuatu yang telah
terjadi dengan Dewinya itu?
Untuk lebih memastikan maka
bertanyalah Inani. “Lagu cinta yang bagaimana Dewi?
Apakah cinta kasih seorang ibu
terhadap anaknya? Atau cinta kasih Tuhan kepada hamba-hambaNya…?!”
“Jangan sebut-sebut Tuhan!”
sentak Dewi Siluman. “Yang ada di dunia ialah kekuatan!
Siapa yang kuat dia akan
berkuasa dan bisa berbuat sekehendak hatinya! Jadi Tuhan di dunia ini!”
Meski di dalam hatinya Inani
membantah ucapan sang Dewi, tapi karena takut dia tak berani nyatakan
pendapatnya itu.
“Kalau begitu mungkin Dewi
ingin dengarkan lagu cinta antara seorang pemuda dengan seorang gadis?” tanya
Inani pula.
“Ya, lagu itulah yang
kuinginkan.” jawab Dewi Siluman.
Maka dengan jari-jari
tangannya yang bagus runcing itu Inani mulai memetik kecapinya menyanyikan
sebuah lagu cinta.
*
* *
4
Petikan kecapi yang membawakan
lagu cinta itu menggema ke luar kamar, sampai ke kolam dan taman dimana
anak-anak buah Dewi Siluman tengah mandi-mandi dan duduk-duduk beristirahat.
Semua mereka saling berpandangan lalu memutar kepala ke arah jendela di
anjungan ketiga yang tingginya empat puluh tombak lebih.
“Aneh, sejak kapankah Dewi
kita menyenangi lagu cinta-cintaan?” tanya salah seorang dari mereka.
Tak ada yang memberikan
jawaban. Semua mata diarahkan ke jendela anjungan. Semua telinga mendengarkan.
Suara kecapi yang merdu itu memasuki liang-liang telinga para gadis, laksana
air gunung yang sejuk terus mengalir ke hatinya. Betapa indahnya sesuatu yang
dipengaruhi oleh cinta. Betapa indahnya bercinta. Cinta kasih antara laki-laki
dan pemudi. Dan mereka semua adalah gadis-gadis yang selama ini tidak mengenal
apa artinya cinta. Di dalam Istana Dewi Siluman yang terletak di bawah Bukit
Tunggul, itu hidup mereka hanyalah antara sesama gadis, sesama perempuan. Dan
kini mendengar lagu cinta kasih itu, hati mereka laksana berontak, darah mereka
menjadi panas. Walau bagaimanapun mereka adalah manusia-manusia biasa,
gadis-gadis yang membutuhkan cinta kasih sayang seorang pemuda. Gadis-gadis
yang selama ini hidup di alam suasana tertekan, dipaksakan untuk tidak mengenal
cinta. Tapi kali itu melalui petikan kecapi yang dimainkan oleh Inani tanpa
disadari, Dewi Siluman secara tak langsung telah memberikan kenyataan pada
anak-anak buahnya bahwa sesungguhnya di dunia ini memang ada cinta kasih antara
laki-laki dan perempuan. Melalui petikan kecapi itu Dewi Siluman membuat
anak-anak buahnya menjadi sadar bahwa mereka semua adalah makhluk-makhluk
hidup, manusia-manusia, gadis-gadis yang membutuhkan kasih seorang laki-laki,
membutuhkan peluk dekap dan ciuman mesra seorang pemuda.
Lagu itu belum lagi sampai ke
ujungnya. Tiba-tiba saja petikan kecapi berhenti dan gadisgadis yang di kolam
serta di taman melihat tubuh Dewi Siluman muncul di ambang jendela.
“Kalian mendengarkan apakah?!”
bentak Dewi Siluman marah. Suaranya menggetarkan seluruh Istana. “Semua masuk
ke kamar masing-masing! Jangan kalian berani memikirkan kehidupan dunia yang
bukan-bukan! Siapa yang tak dengar perintah akan menerima hukuman berat!”
Penuh ketakutan maka
gadis-gadis itu segera tinggalkan kolam dan taman.
Sementara itu Nariti dan tiga
orang kawannya dengan cepat meninggalkan Istana Dewi Siluman. Mereka mengambil
jalan memotong yaitu melewati lorong-lorong di bawah bukit dan lamping gunung.
Ketika Inani dan tiga kawan-kawannya itu sampai ke jalan kecil di tempat mana
dia tadi bertempur dengan Pendekar 212 Wiro Sableng maka pada saat itu mereka
melihat bagaimana pemuda itu terhampar di tanah. Tiga manusia berebut cepat
untuk mengirimnya ke akhirat. Yang dua membacokkan senjata berbentuk arit
sedang yang ketiga hendak memuntir dan menanggalkan kepala pemuda itu dari
tubuhnya.
Dengan serta merta Nariti
berteriak.
“Setiap nyawa manusia di Pulau
Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak merampas jiwa pemuda
itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!”
Terkejutlah Si Telinga Arit
Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Pada saat itu empat
bayangan biru melompat ke hadapan mereka. Keempatnya ternyata gadis-gadis
berparas cantik.
Wiro sendiri yang tadi
pejamkan mata menunggu detik kematiannya, kali ini membuka kedua matanya itu
dan menjadi heran melihat kemunculan empat gadis itu. Merekalah orangorangnya
Dewi Siluman? Gadis-gadis cantik begini macam? Sungguh tak dapat dipercaya. Gadis
gadis begitu jelita bisa membuat kejahatan main bunuh di mana-mana. Membunuh
manusia manusia tak berdosa termasuk anak-anak dan orang-orang tua tak berdaya.
Sepuluh Jari Kematian lepaskan
kepala Wiro Sableng yang barusan hendak dipuntirnya itu.
Sepasang Arit Hitam dan Si
Telinga Arit Sakti batalkan bacokan arit mereka.
Dengan kertakkan rahang penuh
geram Sepuluh Jari Kematian membentak.
“Gadis-gadis baju biru! Kalian
siapakah yang berani lancang ikut campur urusan orang lain?!”
Nariti mendengus.
“Orang tua jelek! Jangan jual
omong besar di hadapanku! Serahkan pemuda rambut gondrong itu dan kalian
bertiga ikut kami!”
Sepuluh Jari Kematian tertawa
dingin. “Gadis jelita, meski kau seorang bidadari dari kahyangan, jangan kira
aku yang tua ini berbelas kasihan untuk tidak merusak kecantikanmu itu!”
“Jangan banyak bacot!” bentak
Nariti.
Marahlah Sepuluh Jari
Kematian. Tangan kanannya diangkat ke atas.
“Kau mau keluarkan Ilmu Jari
Penghancur Sukma? Silahkan teruskan!” mengejek Nariti.
Terkejutlah Sepuluh Jari
Kematian melihat si gadis mengetahui ilmu kesaktian yang hendak dilepaskannya.
“Gadis, sebaiknya lekas
beritahu siapa kalian. Kalau tidak kau berempat akan mampus percuma!”
Keempat gadis itu tertawa
bergelak.
Nariti buka mulut. “Dasar
orang tua pikun! Masih tak tahu siapa kami! Delapan penjuru angin dunia
persilatan mulai beberapa waktu yang lalu adalah di bawah kekuasaan Dewi
Siluman!”
“Oh, jadi kalian adalah
orang-orangnya Dewi Siluman?” tanya Sepasang Arit Hitam.
“Sudah tahu kenapa berlagak
pikun?!” sentak salah seorang kawan Nariti.
Sepuluh Jari Kematian
batuk-batuk.
“Untung kalian lekas beritahu
siapa kalian,” katanya. “Kalau tidak hampir saja aku salah turun tangan!”
Nariti sunggingkan senyum
mengejek.
“Setelah tahu siapa kami apakah
kalian bertiga tidak mau turut apa yang kami katakan…?”
Sepuluh Jari Kematian
batuk-batuk lagi. “Sebetulnya kami masih belum jelas apakah yang kalian mau….”
ujarnya.
Nariti menjawab. “Pemuda yang
melingkar di tanah itu serahkan pada kami dan kalian bertiga ikut ke Istana
Dewi Siluman!”
Sepuluh Jari Kematian hela
nafas panjang. “Tak mungkin!” katanya.
“Bakul kentut! Apa yang tidak
mungkin!” bentak Nariti.
Mendengar makian bakul kentut
itu Wiro Sableng terkejut. Dia ingat akan pertempurannya dengan si nenek muka
keriput sebelumnya. Si nenek telah memakinya dengan ucapan itu. Apakah si nenek
bukannya gadis jelita ini, pikir Wiro. Sementara itu dia menunggu kesempatan
yang sebaik baiknya untuk melakukan sesuatu yang dirasakannya paling baik.
“Tak mungkin!” mengulang
Sepuluh Jari Kematian. “Pemuda bangsat ini punya hutang jiwa terhadapku! Dia
telah membunuh muridku!”
“Di samping itu,” menimpali Si
Telinga Arit Sakti. “Antara aku dan dia terdapat dendam kesumat yang belum
terselesaikan!” .
“Perduli dengan hutang nyawa!
Persetan dengan segala dendam kesumat! Apakah di Pulau Madura ini ada bangsa
kwaci yang berani menantang perintah Dewi Siluman dari Istana Bukit Tunggul?!”
Marahlah Sepasang Arit Hitam
karena dirinya dicap “bangsa kwaci” itu. Dia mendengus dan buka suara. “Kau
terlalu pongah mengumbar mulut seenaknya, mencap aku dan dua kawanku
manusia-manusia bangsa kwaci! Kau kira dunia persilatan ini kau dan Dewimu
itukah yang menguasainya?! Apa kau yang masih pitit hijau ini masih belum
pernah mendengar nama gelarku, Sepasang Arit Hitam? Belum pernah tahu gelar
muridku, Si Telinga Arit Sakti?! Juga memandang rendah pada Sepuluh Jari
Kematian yang merupakan tokoh ternama dirimba persilatan?!”
Nariti tertawa panjang.
“Gelar kalian memang
hebat-hebat, menyeramkan! Tapi bagi kami orang-orangnya Dewi Siluman itu bukan
apa-apa! Katakan saja apakah kau bertiga bersedia ikut atau mati di tempat ini
sekarang juga?!”
Sepasang Arit Hitam
renggangkan kedua kaki. Matanya yang cuma satu menyorot marah.
Namun dengan ilmu menyusupkan
suara Sepuluh Jari Kematian segera memberi kisikan. “Jangan teruskan niatmu,
Sepasang Arit Hitam. Gadis-gadis ini rata-rata berkepandaian tinggi. Meskipun
kau sanggup kalahkan mereka tapi kita tak bakal bisa ke luar dari pulau ini dengan
selamat!”
“Kalau kau mau dicap manusia
kwaci mentah, biarlah! Jangan perduli aku!” bentak Sepasang Arit Hitam. Dia
berpaling pada Nariti. “Apakah kau akan maju sendirian atau sekali berempat?!”
“Hem… jadi ini contoh
manusianya yang minta cepat-cepat mampus?!” menyahuti Nariti.
“Tikus tua renta bermata picak
mau jual tampang di sarang macan?!” Nariti dan ketiga kawannya tertawa
gelak-gelak.
Sepasang Arit Hitam berkobar
amarahnya. Dia maju dengan cepat. Tapi muridnya Si Telinga Arit Sakti
mendahului.
“Guru, biar aku yang kasih
pelajaran pada gadis ingusan bermulut besar ini!” kata Telinga Arit Sakti.
“Bereskan dia dalam tiga
jurus!” perintah Sepasang Arit Hitam.
Si Telinga Arit Sakti
keluarkan senjatanya yaitu sebilah arit. Semua orang yang ada di situ boleh
dikatakan telah melupakan Wiro Sableng. Pada saat Si Telinga Arit Sakti
menyerbu ke depan dengan satu sambaran dahsyat ke arah leher Nariti maka
Pendekar 212 Wiro Sableng melompat dari tanah seraya berseru. “Kalian
bertempurlah sampai mampus! Lain kesempatan kita bertemu lagi!”
“Kawan-kawan! Kejar pemuda
itu!” teriak Nariti sambil mengelakkan serangan Telinga Arit Sakti. Tiga
kawannya melompat ke muka, tapi Wiro Sableng sudah lenyap.
Kemarahan Nariti tertumpah
bulat-bulat pada Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam.
Berserulah dia. “Kawan-kawan,
tangkap hidup-hidup perempuan tua mata picak itu!”
Ketiga gadis yang tadi
melompat mengejar Wiro berbalik dan kini mengurung Sepasang Arit Hitam.
“Bagus, kalian majulah sekali
bertiga biar cepat kumusnahkan!” teriak Sepasang Arit Hitam.
Serentak dengan itu dia
keluarkan sepasang arit hitam yang memancarkan warna menggidikkan.
Di lain pihak tiga orang anak
buah Dewi Siluman keluarkan tiga buah jala berbentuk aneh.
Jala ini besarnya hanya segumpalan
tangan, terbuat dari sutera halus berwarna biru. Ketiganya memencar mengurung
Sepasang Arit Hitam.
Didahului dengan pekik yang
dahsyat Sepasang Arit Hitam menyerbu dan bagaikan enam serangan arit kepada
tiga orang lawannya. Warna hitam dari kedua senjatanya menderu mengerikan.
Memaklumi dua buah arit di
tangan lawan adalah senjata-senjata mustika sakti, tiga orang anak buah Dewi
Siluman tiada berani membuat jurus adu kekuatan. Mereka menyurut beberapa
langkah ke belakang, begitu sepasang arit lewat maka ketiganya menyerbu ke
muka. Secepat kilat tebarkan jala sutera biru.
Sepasang Arit Hitam sewaktu
melihat tiga tebaran warna biru menyungkupi bagian atas tubuhnya dengan cepat
merunduk dan sepasang senjatanya kini menderu ke arah lengan-lengan tiga orang
anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Tapi serangannya yang kedua ini
kembali mengenai tempat kosong karena dengan sebat tiga gadis baju biru tarik
lengan serta jalanya untuk kemudian menyerang lagi dengan tebaran jala ke arah
pinggang dan kaki Sepasang Arit Hitam.
Naiklah amarah Sepasang Arit
Hitam. Tiga gadis anak buah Dewi Siluman itu ternyata tidak mudah baginya untuk
merubuhkan. Dia melompat ke udara setinggi empat tombak dan babatkan arit di
tangan kanan ke arah tiga buah jala sedang arit di tangan kiri disapukan dengan
ganas pada kepala ketiga gadis yang mengeroyoknya.
Tiga gadis melengking keras.
Tubuh mereka lenyap dan tahu-tahu Sepasang Arit Hitam merasakan bagaimana salah
satu dari jala sutera lawan telah menjirat arit di tangan kanannya.
Betapapun dia coba untuk
menariknya dengan sekuat tenaga namun tak berhasil. Dia terpaksa serahkan arit
yang satu itu kepada lawan untuk menyelamatkan lengannya dari sambaran dua jala
sutera lainnya.
Ketiga gadis tertawa mengejek.
Seorang di antara mereka
berkata. “Inikah nenek-nenek sakti tokoh dunia persilatan terkenal yang
bergelar Sepasang Arit Hitam itu? Huah! Nyatanya tak lebih dari bangsa kurcaci
saja!”
Bola mata kiri Sepasang Arit
Hitam kelihatan seperti berapi-api sedang mata kanannya yang berlobang besar
tampak tambah cekung menggidikkan.
Perempuan tua ini pindahkan
arit yang di tangan kirinya ke tangan kanan.
“Gadis-gadis keparat! Kenalkah
kalian akan jurus lain?!”
Tiga orang anak buah Dewi
Siluman sunggingkan senyum mengejek. Tapi karena ingin tahu mereka menunggu dan
memperhatikan. Sepasang Arit Hitam berdiri dengan kaki merenggang.
Tangan kiri diangkat
tinggi-tinggi agak ke belakang kepala sedang arit di tangan kanan diacungkan
lurus-lurus ke muka. Kelihatannya acungan arit itu merupakan bulan-bulanan
serangan yang empuk, namun jika seorang coba menyerang maka secepat kilat
tangan kiri akan memukul ke muka, arit berkiblat dan kaki kiri menendang. Jika
tiga serangan ini masih gagal maka dengan menjejakkan kaki kanan ke bumi,
Sepasang Arit Hitam akan sanggup lancarkan serangan susulan yang lebih ganas
dari yang pertama tadi.
Karena memang tidak mengenali
jurus apa yang bakal dikeluarkan si nenek, namun melihat sikap dan tampang si
nenek yang demikian menggidikkan, tiga gadis itu diam-diam memaklumi bahwa
lawan mereka hendak mengeluarkan satu jurus serangan yang dahsyat. Karenanya
ketiga gadis ini bersiap siaga. Bagi pihak mereka sendiri jika lawan mereka itu
salah-salah langkah dalam lancarkan serangan akan segera pula menjadi mangsa mereka.
Sementara itu pertempuran
antara Nariti dan Si Telinga Arit Sakti berjalan sangat seru.
Telinga Arit Sakti kirimkan
jurus-jurus yang mematikan. Aritnya yang putih mengeluarkan sinar
bergulung-gulung melanda ke arah Nariti. Namun Nariti sendiri bukanlah seorang
lawan jenis murahan. Tubuhnya hampir lenyap dari pemandangan, cuma bayangan
warna biru pakaiannya saja yang kelihatan berkelebat kian kemari.
Mendadak sontak terdengar
pekik menggidikkan keluar dari mulut Nariti.
Belum habis pekik itu menyusul
lengkingan Si Telinga Arit Sakti. Senjatanya kelihatan mental ke udara. Satu
tangan menyambar senjata itu. Dan sekejap kemudian arit putih itu menderu
laksana kilat ke arah batang leher pemiliknya sendiri.
“Tahan!” teriak Sepuluh Jari
Kematian yang menyaksikan bagaimana Si Telinga Arit Sakti tiada sanggup
mengelakkan serangan maut itu.
Tapi mana Nariti mau ambil
perduli teriakan tokoh silat itu. Arit di tangannya terus menderu dan “Cras!”
Putuslah leher Telinga Arit Sakti. Tubuh dan kepala terpisah. Darah menyembur
mengerikan.
Sepasang Arit Hitam pelototkan
mata kirinya besar-besar sewaktu di hadapannya menggelinding kepala muridnya
sendiri. Dari tenggorokannya keluar suara mengaum macam harimau lapar dan
sekejap kemudian tubuhnya pun berkelebat ke muka, lancarkan satu jurus
serangan yang sejak tadi
disiapkannya yaitu jurus “Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut”.
Jurus ini memang bukan
olah-olah dahsyat dan ganasnya. Arit di tangan kanan menderu berputar-putar
macam kepala seekor naga. Tangan kiri memukul ke depan laksana kepala naga
mematuk sedang kaki kiri menyapu laksana ekor naga mematil. Debu dan pasir
jalanan beterbangan, daun-daun pohon bergetar dan banyak yang gugur karena
untuk lancarkan jurus hebat itu Sepasang Arit Hitam kerahkan seluruh bagian
tenaga dalamnya.
Tiga anak buah Dewi Siluman
dari Bukit Tunggul tidak tinggal diam. Masing-masing mereka berteriak nyaring
dan tangan kiri dipukulkan ke depan. Tiga larik sinar biru kelihatan dengan
ganas memapas jurus “Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut” dari Sepasang Arit
Sakti itu.
“Tobat! Tobat!” seru Sepuluh
Jari Kematian seraya pukul-pukul keningnya sendiri. “Demi setan hentikan
pertempuran ini! Kalau tidak kalian sama saja dengan bunuh diri!”
“Bakul kentut!” semprot
Nariti. “Kau tak usah jual bacot! Jangan campuri urusan yang tak ada sangkut
pautnya dengan dirimu!”
Rahang-rahang Sepuluh Jari
Kematian kelihatan menonjol. Kedua tangannya mengepal.
“Gadis….” desisnya, “Kalau
tidak memandang muka Dewimu, aku tak akan terima ucapanmu itu!”
Nariti tertawa dingin dan
mengejek. “Kalau kau punya nyali, silahkan masuk ke dalam kalangan
pertempuran!” kata gadis itu seraya goyangkan kepalanya ke arah pertempuran
yang berlangsung.
Sepuluh Jari Kematian hendak
buka mulut namun di saat itu terdengar pekikan salah seorang dari tiga gadis
pengeroyok sepasang Arit Hitam. Tubuh gadis ini mental dan lengannya sebelah
kanan patah di makan tendangan kaki kiri sepasang Arit Hitam. Meski dapat
mencelakakan salah seorang pengeroyoknya namun nenek-nenek sakti ini tiada
sanggup mengelitkan libatan jala sutera biru salah seorang lawan lainnya pada
kaki kirinya yang tadi menendang. Dalam dia bergulat untuk membebaskan kaki
kiri itu, jala kedua menderu melibat bagian tubuhnya mulai dari dada sampai ke
kepala. Betapapun tokoh silat ini bergulat untuk membebaskan diri namun sia-sia
belaka.
Jala yang terbuat dari sutera
halus biru itu mempunyai kekuatan yang hebat sekali. Sepasang Arit Hitam
menggerung, jatuhkan diri ke tanah dan berguling dalam masih berusaha
membebaskan diri.
Gulingan tubuhnya terhenti
sewaktu Nariti injakkan kaki kanannya di perut tokoh silat tua itu.
“Tak satu kekuatan pun yang
sanggup melepaskan jiratan jala itu!” kata Nariti dengan nada bengis. Sekali
kakinya menendang maka pingsanlah Sepasang Arit Hitam.
“Kau keterlaluan!” teriak
Sepuluh Jari Kematian marah sekali.
Nariti tertawa dingin dan
menjawab. “Terhadapmu aku bisa berlaku lebih keterlaluan lagi, kakek-kakek
bakul kentut!”
“Tutup mulutmu setan alas!”
damprat Sepuluh Jari Kematian.
Nariti mengekeh. Meski
wajahnya jelita, tapi mimiknya waktu mengekeh itu menyeramkan sekali.
“Orang tua bakul kentut
sialan! Kalau saja Dewi kami tidak memerintahkan membawamu hidup-hidup ke
istananya niscaya tubuhmu sudah jadi bangkai saat ini!”
“Penghinaan dan kesombonganmu
sudah lewat batas, gadis hijau! Di lain hari kelak kau akan rasakan akibatnya!”
Nariti tertawa gelak-gelak.
Tubuh Sepasang Arit Hitam dipanggulnya di bahu kiri kemudian katanya pada
Sepuluh Jari Kematian. “Ikuti kami! Sekali kau berbuat yang tidak kuinginkan,
kau akan menyesal sampai ke liang kubur!”
Meski kemarahan tidak tertahan
lagi oleh tokoh silat yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan itu,
namun mau tak mau, karena mengingat hubungan baiknya selama ini dengan Dewi
Siluman dan kedatangannya ke Pulau Madura itu justru atas undangan Sang Dewi
maka akhirnya Sepuluh Jari Kematian mengikuti juga keempat gadis itu dari
belakang.
*
* *
5
Wiro Sableng si Pendekar 212
dari Gunung Gede duduk bersandar ke batang pohon yang dikelilingi oleh semak
belukar. Rimba belantara dimana dia berada sunyi senyap, berudara lembab dan
teduh dari teriknya sinar matahari. Rasa sakit pada tangan kanannya yang patah
kini agak berkurang. Dengan susah payah dia telah mengobati sendiri tangan yang
patah itu dan menopangnya dengan sebuah ranting kemudian dibubuhi dengan param
yang dibuatnya dari akarakar pohon dan sejenis daun lalu dibungkusnya dengan
sapu tangan. Cara mengobati seperti itu dipelajarinya dari gurunya Eyang Sinto
Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede.
Dalam waktu tiga hari bisa
diharapkan lengan yang patah itu akan sembuh dan tulangnya bertaut kembali.
Sambil duduk terperangah di
bawah pohon besar dalam rimba belantara itu Wiro memandangi kaki kirinya yang
hitam disambar pukulan Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dilepaskan oleh Sepuluh
Jari Kematian. Meski dia tahu bahwa racun pukulan tersebut tidak akan
membahayakan dirinya karena tubuhnya kebal segala macam racun, namun yang
mengherankan sang pendekar ialah karena sampai saat itu dia masih belum sanggup
untuk melenyapkan warna hitam pada kulit kakinya itu. Dia telah menelan dua
buah pil yang paling manjur khasiatnya juga berkali-kali telah mengerahkan
tenaga ke telapak tangan kiri untuk mengusap kaki yang hitam itu, tapi hasilnya
sia-sia belaka.
“Gila!” maki Wiro. Kalau warna
hitam itu tak bisa dilenyapkan pasti dia akan cacat seumur hidup. Pendekar ini
memaki lagi. Hatinya geram sekali terhadap Sepuluh Jari Kematian. Selama turun
gunung, puluhan musuh telah dihadapinya, berbagai ilmu silat kelas tinggi dan
kesaktiankesaktian luar biasa telah dijumpainya. Namun belum pernah dia
menerima nasib sial seperti di hari itu. Kakinya hitam sedang lengannya patah.
Disamping geram terhadap Sepuluh Jari Kematian, Pendekar 212 juga geram pada Si
Telinga Arit Sakti. Perempuan tua itulah yang telah menendang lengan kanannya
sehingga patah. Untuk kedua manusia itu Wiro Sableng bertekad akan membalaskan
sakit hatinya. Wiro tidak tahu kalau sepergiannya tadi Si Telinga Arit Sakti
telah tewas di tangan anak buah Dewi Siluman. Kemudian Wiro teringat pada empat
orang gadis jelita berpakaian biru-biru itu. Betulkah mereka orang-orangnya
Dewi Siluman? Orang-orangnya Dewi Siluman yang telah berbuat kejahatan dan
kekejaman tiada tara, membunuh manusia-manusia tidak berdosa, memusnahkan
kampung-kampung? Betulkah gadis-gadis cantik jelita itu yang melakukannya?
Sungguh tak masuk di akal bahwa gadis-gadis semacam itu akan sanggup melakukan
kejahatan tanpa perikemanusiaan demikian rupa. Hal ini membuat makin besarnya
tekad Wiro Sableng untuk cepat-cepat mencari dan menemui Dewi Siluman itu. Jika
anak-anak buahnya demikian kejam dan jahat, tentu Dewi Siluman sendiri jauh dan
jauh lebih kejam. Tapi untuk mencari sarangnya Dewi Siluman dan membasmi
kejahatannya Wiro musti menunggu sekurangkurangnya tiga hari yaitu sampai
tangannya yang patah sembuh.
Dalam dia berpikir-pikir itu
mendadak sontak dari atas pohon memancur air putih kekuningkuningan yang tidak
enak baunya. Air itu jatuh tepat membasahi kepala Pendekar 212. Disaat itu pula
di atas pohon terdengar suara tertawa cekikikkan yang menggetarkan seluruh
rimba belantara.
Suara cekikikkan itu tiada
ubahnya laksana ringkikkan kuda di malam buta ketika melihat setan di
hadapannya!
“Bedebah!” maki Pendekar 212
seraya meloncat dan memandang ke atas pohon.
Sekelebatan dilihatnya satu
bayangan putih!
Belum sempat Wiro
memperhatikan siapa adanya bayangan putih itu, bahkan belum sempat dia meneliti
paras makhluk itu, si bayangan putih lenyap laksana gaib. Wiro kemudian
merasakan sekilas angin di mukanya. Pendekar ini pukulkan tangan kirinya ke
depan. Tapi dia cuma memukul tempat kosong, sesudah itu dia tertegun sendirian
dengan penuh rasa heran dan juga sedikit ngeri.
Tak dapat diyakininya siapa
adanya sosok bayangan putih tadi. Apakah manusia atau setan atau dedemit
penghuni rimba belantara itu. Gerakannya luar biasa cepat dan sebatnya. Begitu
cepat hingga Wiro tak dapat meneliti siapa adanya bayangan putih itu. Dan
cekikikkannya yang seperti kuda meringkik itu.
Kuncuran air yang tadi jatuh
di atas kepalanya kini turun ke kening. Wiro menyeka kening yang basah itu
dengan belakang telapak tangan. Dia memaki tiada henti. Diperhatikannya telapak
tangan yang ditempeli air itu. Hidungnya menghirup bau yang tidak enak.
Penasaran sekali Wiro dekatkan belakang telapak tangannya ke lobang hidung.
Pendekar ini kernyitkan kening. Kemudian terdengarlah makiannya.
“Keparat sialan! Aku
dikencingi!”
Wiro meludah ke tanah. Caci
maki ke luar menyerapah dari mulutnya. Dengan beberapa helai daun disekanya
kening dan telapak tandannya.
“Manusia apa dedemit!
Perlihatkan dirimu’“ teriak Wiro. Rasa ngerinya tadi kini berubah menjadi
kemarahan. Seumur hidupnya baru kali itu dia dikencingi manusia. Mungkin di
dunia ini, cuma dia sendiri manusia yang dikencingi manusia. Tapi apa betul
makhluk yang mengencinginya itu seorang manusia? Bukannya setan atau dedemit?
“Keparat yang mengencingiku!
Perlihatkan dirimu!” teriak Wiro gemas.
Suaranya bergema dalam rimba
belantara itu.
Tiba-tiba terdengar dari
samping kanan suara tertawa mengikik macam tadi. Dengan serta merta Pendekar
212 memburu ke arah itu. Sekilas masih sempat dilihatnya satu sosok bayangan
putih samar-samar karena bayangan itu bergerak luar biasa cepatnya. Tanpa pikir
panjang Wiro Sableng gerakkan tangan kirinya lepaskan pukulan “Kunyuk Melempar
Buah”.
Semak belukar berpelantingan,
sebuah pohon patah dilanda pukulan itu. Tapi si bayangan putih sudah lenyap
dari pemandangan.
“Sialan betul!” gerutu Wiro.
Dia melompat ke arah lenyapnya bayangan itu lalu melesat ke sebuah pohon besar
yang tinggi dari mana dia bisa melihat dengan jelas seantero rimba belantara.
Namun si bayangan putih tetap
tiada kelihatan seakan-akan sirna ditelan bumi.
Dengan kertakkan geraham Wiro
Sableng turun dari pohon itu. Mungkin sekali si bayangan putih tadi adalah Dewi
Siluman. Tapi mengapa sang Dewi sengaja mempermainkan sedang dia telah mengutus
empat orang anak buahnya untuk menangkapnya.
“Gila!” gerendeng Pendekar
212. Belum pernah dia berhadapan dengan peristiwa begini rupa. Kemudian bila
hidungnya sudah tak sanggup lagi menghirup bau pesing kencing yang membasahi
kepalanya pendekar ini segera tinggalkan tempat itu untuk mencari kali atau
telaga guna mencuci kepalanya. Sewaktu dia melewati pohon besar tempat dia
duduk tadi tanpa sengaja kedua matanya memperhatikan batang pohon itu. Bukan
main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu menyaksikan serentetan tulisan putih pada
batang pohon besar itu.
“Ini lebih gila lagi!” kata
Wiro. Dia melompat ke hadapan pohon dan meneliti apa yang tertulis di situ.
Perbuatan tangan manusia bukan
suatu yang abadi.
Manusia berilmu berpikir
pendek berotak dangkal.
Punya senjata dilupakan.
Bukan untuk menebang kayu atau
menebas kaki.
Hanya tujuh warna pelangi yang
abadi.
Wiro tak dapat memastikan
dengan apa tulisan putih itu dibuat. Cuma dia yakin bahwa yang menulisnya
pastilah si bayangan putih tadi. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di
hadapan pohon itu merenung dan memikirkan apa arti serta tujuan rentetan tulisan
itu. Namun tiada sanggup otaknya memecahkan. Perbuatan tangan manusia bukan
suatu yang abadi. Wiro tahu akan kebenaran tulisan tersebut. Lalu: Manusia
berilmu berpikir pendek berotak dangkal. Siapakah manusia yang dimaksudkan
dalam rentetan tulisan yang kedua ini? Apakah tulisan itu ditujukan kepadanya?
Punya senjata dilupakan. Hati Pendekar 212 tercekat sedikit. Di balik
pakaiannya tersembunyi Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah senjata ini yang
dimaksudkan oleh penggurat tulisan pada batang pohon itu? Senjata itu selalu
ada di tubuhnya dan tak pernah dilupakannya.
Wiro membaca rentetan tulisan
yang keempat: Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki.
Tentu saja adalah keterlaluan
kalau Kapak Maut Naga Geni 212 dipakai untuk menebang kayu.
Tapi untuk menebas kaki lawan,
sudah beberapa kali dilakukan Wiro dalam pertempuranpertempurannya.
Kaki siapakah yang dimaksudkan
oleh tulisan itu?!
Wiro menepekur dan putar otak.
Pandangannya membentur kaki kirinya. Tersentaklah pendekar ini. Mungkin kakiku
yang hitam ini yang dimaksud, pikirnya. Lalu diperhatikannya rentetan tulisan
yang terakhir. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Hanya tujuh warna pelangi…
Wiro garuk-garuk kepalanya.
Karena kepalanya yang basah oleh air kencing itu belum dibersihkan maka dengan
sendirinya kembali tangannya menjadi basah dan bau karena menggaruk itu. Dan
Wiro menyerapah lagi.
Hanya tujuh warna pelangi yang
abadi. Wiro mengulang. Berarti selain warna pelangi, tak ada warna yang abadi.
Sekali lagi Wiro memandang ke kaki kirinya berwarna hitam, dan warna hitam itu
bukan warna pelangi, jadi tidak abadi. Berarti bisa sirna bisa dilenyapkan.
Tapi bagaimana caranya?!
Untuk kesekian kalinya Wiro
membaca lagi rentetan demi rentetan tulisan di kulit pohon.
Tiba-tiba dipukulnya keningnya
sendiri.
“Memang aku yang geblek!”
katanya. Lalu cepat-cepat dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212.
Ditimang-timangnya senjata itu beberapa lama. Dan Wiro menggerutu pula. Apa
yang akan dilakukannya dengan senjata itu? Bukan untuk menebang kayu atau menebas
kaki. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Kini Wiro jadi bingung kembali.
Buncah otaknya. Hampir sepeminum teh lamanya dia memutar otak memecahkan
kalimat demi kalimat di batang pohon itu. Apa kini yang harus dilakukannya?
Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di bawah pohon itu. Kapak Naga Geni 212
diletakkannya di atas pangkuan paha kiri. Pada saat senjata itu menyentuh
pahanya maka detik itu pula dirasakannya satu hawa dingin menjalar dari mata
kapak ke dalam kakinya. Senjata mustika itu memberikan reaksi terhadap
ketidakwajaran pada kaki sang pendekar.
“Tolol! Betul-betul aku
tolol!” Wiro memaki dirinya sendiri. Diambilnya kapak itu kembali dan
ditempelkannya pada kaki kiri yang berwana hitam. Hawa dingin semakin santer
dan detik demi detik Wiro Sableng menyaksikan bagaimana kulit kakinya yang
hitam kini berangsur-angsur kembali kewarna seperti biasanya.
Ketika keseluruhan warna hitam
itu lenyap, Pendekar 212 berseru gembira dan melompat dari duduknya. Lupa dia
pada kegeraman hatinya karena dikencingi tadi. Wiro memandang berkeliling dan
berteriak. “Bayangan putih! Siapa pun kau adanya, aku haturkan terima kasih
atas petunjukmu!”
Begitu suara Wiro lenyap maka
terdengarlah suara cekikikkan macam ringkikkan kuda.
Suara itu dekat sekali di
samping kanannya. Sang pendekar berpaling. Dia melompat dengan cepat sewaktu
melihat kelebatan bayangan putih di balik semak belukar. Dia kecewa karena
ketika sampai di rerumpunan semak-semak itu si bayangan sudah lenyap lagi.
Wiro geleng-gelengkan kepala.
Betul-betul luar biasa gerakan makhluk itu. Ilmu apakah yang dimiliki si
bayangan putih? Wiro tahu, seseorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh yang
bagaimana pun tingginya seseorang yang memiliki ilmu lain yang bagaimana
cepatnya, tak akan mungkin akan bisa berkelebat dan lenyap secepat itu. Cuma
setan dan bangsa jin yang sanggup berbuat seperti itu.
Meski agak kecewa tak dapat
mengejar si bayangan putih namun Wiro gembira juga karena warna hitam pada kaki
kirinya telah lenyap. Dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya
kembali. Betul-betul dia telah berbuat tolol, berpikir pendek berotak dangkal,
melupakan senjata itu. Padahal sewaktu di puncak Gunung Gede gurunya pernah
menerangkan bahwa kapak sakti itu bukan saja bisa dipergunakan sebagai senjata
hebat, tapi juga bisa mengobati dan menyedot segala macam racun jahat yang
mengindap di tubuh manusia baik bagian luar maupun bagian dalam.
Wiro angsurkan kaki kirinya ke
depan untuk memperhatikan kaki itu kembali. Disaat itulah matanya melihat lagi
serentetan tulisan. Kali ini di tanah di hadapannya.
Kalau mau tahu tingginya
langit dalamnya lautan.
Pada purnama empat belas hari
Datanglah ke Goa Belerang.
“Pastilah Si bayangan putih
itu yang menulisnya,” kata Wiro dalam hati. Nyatnya dunia ini bukan saja penuh
dengan kekejaman dan kejahatan, tapi juga penuh keanehan.
*
* *
6
Suara petikan kecapi terhenti
sewaktu pintu kamar diketuk dari luar.
“Masuk!” kata Dewi Siluman.
Kepalanya dipalingkan ke pintu yang terbuka. Nariti masuk.
Gadis ini menjura tiga kali di
hadapan sang Dewi. Inani gadis pemetik kecapi berdiri dan meninggalkan kamar
itu.
“Kau berhasil?” tanya Dewi
Siluman begitu dia tinggalkan berdua dengan Nariti.
“Aku dan kawan-kawan mohon
ampunmu, Dewi,” berkata Nariti.
“Hah?! Jadi kalian tak berhasil
menangkap pemuda itu?” Dewi Siluman bangkit dari pelaminannya. Matanya
membeliak besar dan memandang lekat-lekat pada Nariti.
“Sebenarnya kami akan berhasil
Dewi. Tapi….”
“Tapi apa?!” sentak Dewi
Siluman.
“Manusia-manusia itu
mengacaukan tugas kami hingga si pemuda lolos!”
“Manusia-manusia siapa
maksudmu?!” bertanya Dewi Siluman sambil sandarkan punggung ke bantal besar di
belakangnya.
“Sepasang Arit Hitam dan
muridnya Si Telinga Arit Sakti serta Sepuluh Jari Kematian,”
jawab Nariti. Lalu dia memberi
penuturan atas apa yang telah terjadi. “Si Telinga Arit Sakti yang berani
menantang kekuasaanmu, telah kami penggal batang lehernya! Sepasang Arit Hitam
kami tawan hidup-hidup dan Sepuluh Jari Kematian ikut bersama kami. Mereka
berdua kini berada di ruang merah.”
“Sepasang Arit Hitam pindahkan
ke ruang gelap. Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih!”
“Baik Dewi,” Nariti hendak
menjura siap untuk tinggalkan kamar itu.
“Tunggu dulu!”
Suara Dewi Siluman keras dan
lantang menggetarkan hati Nariti. Dia membalik dengan kecut.
“Ternyata apa yang menjadi
tugas utamamu tidak kau laksanakan dengan baik! Kau musti terima hukuman!”
Pucatlah paras Nariti.
“Tapi Dewi, aku sudah jelaskan
semua pada kau. Tiga manusia itu mengacaukan tugasku dan kawan-kawan. Bahkan….”
“Aku tidak perduli!” potong
Dewi Siluman. Dia bertepuk satu kali. Lima gadis berbaju biru masuk ke kamar
itu melalui sebuah pintu rahasia. Kelimanya menjura.
“Siap menunggu perintahmu,
Dewi.” kata gadis baju biru paling depan. Nariti memandang kepada mereka ini
dan tahu bahwa mereka adalah anak-anak buah Dewi Siluman yang diberi jabatan
sebagai petugas penghukum.
“Seret dia ke ruang hitam!
Sekap satu hari satu malam!”
“Perintah segera dilaksanakan
Dewi!” Lima gadis itu kemudian melangkah cepat ke hadapan Nariti. Menggigillah
tubuh Nariti. Ruangan hitam adalah ruangan hukuman yang paling ditakuti oleh
seluruh penghuni Istana Dewi Siluman. Ruangan ini khusus disediakan untuk
mereka yang membuat kesalahan atau melalaikan tugas. Ruangan hitam merupakan
sebuah ruangan sempit dan gelap luar biasa, tangan di depan mata pun tidak
kelihatan. Seseorang yang dijebloskan di sana akan merasakan hawa panas ke luar
dari empat dinding sempit di sekelilingnya sedang dari langitlangit dan lantai
ruangan mendera hawa dingin luar biasa. Hawa panas membuat tubuh hangus melepuh
sedang hawa dingin membuat kaki dan muka kaku tegang.
Nariti pernah menyaksikan
keadaan seorang kawannya yang keluar dari ruang penyiksaan itu. Tubuhnya hitam
legam, kakinya tak sanggup berdiri sedang parasnya rusak. Selama satu minggu
dia diserang demam panas dingin, keadaannya antara hidup dan mati, mengigau
siang malam tiada henti. Dua bulan kemudian baru penderitaan akibat hukuman itu
lenyap dan parasnya berangsur-angsur baik kembali sedang kulit tubuhnya yang
hitam berangsur-angsur mengelupas dan kembali kebentuk-nya semula. Betapa
mengerikannya. Dan kini dia Nariti sendiri yang akan dijebloskan ke dalam
ruangan hitam itu.
Beberapa pasang tangan
memegang lengannya.
“Dewi….” suara Nariti seperti
tercekik dan sendat.
“Seret dia lekas!” bentak Dewi
Siluman.
Maka kelima petugas itu segera
membawa Nariti. Meskipun rasa takut memuncak menyelubungi dirinya namun Nariti
tak bisa berbuat apa-apa. Melawan berarti akan lebih celaka lagi. Di dalam hati
Nariti berkobar kebencian dan dendam kesumat terhadap Wiro Sableng. Garagara
Pendekar 212 itulah dia sampai mendapat hukuman.
Di dalam kamarnya Dewi Siluman
memanggil Inani kembali. Kali ini tidak menyuruh gadis itu memainkan kecapi.
“Inani, kau bersama beberapa
orang kawan segera pindahkan Sepasang Arit Hitam ke ruang gelap dan Sepuluh
Jari Kematian bawa ke ruang putih.”
“Perintah segera kujalankan
Dewi.” kata Inani. Gadis jelita ini menjura.
Sebelum Inani berlalu, Dewi
Siluman memberi perintah lagi yaitu agar menyuruh Kemani menghadap.
Bila Kemani datang maka Dewi
Siluman memberi keterangan singkat tentang pemuda yang dimaksudkan Nariti lalu
memerintahkan agar Kemani bersama beberapa orang kawannya mencari si pemuda
sampai dapat.
“Sebelum kau berhasil
menangkap hidup-hidup pemuda itu dan membawanya ke hadapanku, jangan harap kau
dan kawan-kawanmu diperbolehkan menginjak Istana ini kembali!”
Meski hati tergetar kecut
namun Kemani mengangguk menjura.
Sementara itu di satu ruangan
yang disebut ruangan putih….
Sepuluh Jari Kematian duduk di
sebuah kursi di kepala meja. Dia memandang seputar ruangan yang keseluruhan
lantai, langit-langit dan dinding serta isinya berwarna putih bersih. Lima
orang gadis jelita telah membawanya ke dalam ruangan itu dan meninggalkannya
seorang diri.
Kawannya yaitu Sepasang Arit
Hitam entah dibawa ke mana oleh orang-orangnya Dewi Siluman.
Sambil terus memandang
seantero ruangan, tokoh silat itu berpikir-pikir hal apa pula yang bakal
ditemuinya di tempat itu? Meski kehadirannya di Pulau Madura adalah atas
undangan Dewi Siluman, namun sesudah peristiwa pertempuran di jalan kecil tadi,
bukan tidak mustahil dia akan menemui nasib buruk pula. Dicobanya mempertenang
hati dan menunggu.
Telinga Sepuluh Jari Kematian
yang terlatih dan tajam mendengar suara benda bergeser.
Tiba-tiba dinding di
hadapannya membuka ke samping dan kelihatanlah tiga manusia berpakaian biru
melangkah memasuki ruangan itu. Mereka bukan lain dari Dewi Siluman dan dua
pengiringnya.
Langkah yang dibuat sang Dewi
tetap berwibawa. Kepala mendongak ke atas dan air muka yang jelita itu
membayangkan pula sifat kekerasan kalau tak mau dikatakan kekejaman.
Sepuluh Jari Kematian berdiri
dari kursinya dan menjura dalam.
“Aku merasa bersyukur dapat
memenuhi undanganmu, Dewi Siluman. Ini merupakan satu kehormatan besar darimu.”
Dewi Siluman naikkan hidung ke
atas lalu menjawab. “Cuma sayang, sikap hormatku itu dibalas dengan perbuatan
sembrono hingga seorang yang hendak kutangkap berhasil meloloskan diri!”
Muka Sepuluh Jari Kematian
kelihatan merah. Dia berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata.
“Bukan maksudku untuk
bertindak semborono. Anak-anak buahmu terlalu bersikap keras dan ikuti kemauan
sendiri.”
Dewi Siluman tertawa.
“Adakah cara yang lebih baik
dari kekerasan dan mengikuti kemauan sendiri bagi seseorang yang hendak
menguasai dunia persilatan? Bagi seseorang yang hendak memegang kendali delapan
penjuru angin?!”
Terkejutlah Sepuluh Jari
Kematian. Jadi betul rupanya dugaan-dugaan bahwa Dewi Siluman bermaksud hendak
menguasai dunia persilatan dengan caranya sendiri yaitu menurut kehendak
hatinya, berbuat kejam dan membunuh manusia-manusia tiada berdosa hingga
namanya menjadi angker di kalangan rimba persilatan.
“Tentu saja kekerasan dan
keteguhan hati sangat diperlukan Dewi!” berkata Sepuluh Jari Kematian. “Apalagi
bagi seorang yang punya maksud hendak merajai dunia persilatan.”
“Bagus kalau kau berpendapat
demikian. Sekarang terangkan mengapa kau dan kawan kawan tidak mau menyerahkan
pemuda itu sebagaimana yang diperintah oleh anak-anak buahku?!”
Sepuluh Jari Kematian hela
nafas dalam.
“Anak-anak buahmu keliwat
kesusu, Dewi….”
“Hemm, begitu?! Lantas itu
sebabnya kau bertindak ceroboh dan tidak memandang sebelah mata padaku?!”
“Tidak begitu. Dewi,” sahut
Sepuluh Jari Kematian. “Pada saat itu aku dan kawan-kawan tengah menempur
habis-habisan pemuda itu. Kami sama-sama punya dendam kesumat terhadapnya.
Dia membunuh muridku… “
“Aku sudah tahu semua!” potong
Dewi Siluman. “Kau tak usah cari dalih! Sebenarnya aku punya rencana tertentu
denganmu, tapi sesudah peristiwa itu terpaksa kubatalkan….”
“Harap Dewi tidak berpikir
yang bukan-bukan terhadapku. Sampai saat ini aku masih merupakan sahabat baikmu
seperti dimasa-masa lalu….”
“Justru karena mengingat
hubungan baik masa lalu aku tak sampai menjatuhkan hukuman terhadapmu. Dalam
waktu yang singkat kau akan meninggal.”
Seloki emas berisi tuak masih
juga mengapung di hadapan Sepuluh Jari Kematian yang mukanya sudah menjadi
merah karena jengah.
Tiba-tiba Dewi Siluman
keluarkan tertawa mengekeh dan disaat itu pula seloki tuak bergerak perlahan ke
muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat ini segera memegangnya. Ketika
jari-jari tangannya menyentuh seloki itu, tuak di dalam seloki tumpah membasahi
jari-jari tangan dan alas meja. Benar-benar ketinggian tenaga dalam sang Dewi
tak sanggup dijajaki oleh Sepuluh Jari Kematian.
“Dalam waktu singkat pula kau
harus angkat kaki dari Pulau Madura ini. Tapi sebelum pergi aku masih mau
berbuat baik, menjamumu mencicipi tuak harum!”
Dewi Siluman berpaling pada
gadis baju biru di samping kanannya. Gadis ini bertepuk dua kali. Dinding di
belakang Dewi Siluman membuka. Seorang pelayan perempuan masuk membawa sebuah
baki. Di atas baki ini terletak sebuah poci dan dua buah seloki besar yang juga
terbuat dari emas. Tuak di dalam poci yang sangat harum segera dituang ke dalam
kedua gelas itu. Selesai menjalankan pekerjaannya si pelayan segera berlalu.
Dewi Siluman memegang salah
sebuah seloki emas itu dan mengacungkannya ke hadapan Sepuluh Jari Kematian
yang duduk di kepala meja di seberangnya.
“Silahkan menikmatinya,” kata
Dewi Siluman pula. Dan habis berkata begitu seloki emas itu dilepaskannya.
Anehnya seloki itu tidak jatuh ke atas meja melainkan perlahan-lahan terbang ke
arah Sepuluh Jari Kematian. Nyatalah bahwa sang Dewi memiliki tenaga dalam yang
luar biasa hebatnya.
Sepuluh Jari Kematian tak
berani menyambuti seloki berisi tuak itu secara biasa. Setelah kerahkan
setengah bagian dari tenaga dalamnya ke lengan kanan sampai ke ujung-ujung
jari, baru dia berani ulurkan tangan kanan untuk menyambuti seloki berisi tuak
itu. Tapi sewaktu ujung-ujung jari Sepuluh Jari Kematian hampir menyentuh
seloki tersebut, anehnya benda ini menjauh sehingga dia tak dapat memegangnya.
Diam-diam Sepuluh Jari Kematian berjingkat sedikit dari kursi yang didudukinya.
Sekali lagi dia hampir menyentuh seloki tuak itu, sang seloki menjauh kembali.
Nyatalah bahwa dengan kekuatan
tenaga dalamnya Dewi Siluman telah “mempermainkan” benda itu.
Penuh penasaran Sepuluh Jari
Kematian lipat gandakan tenaga dalamnya. Pertempuran tenaga dalam terjadi
secara diam-diam. Dewi Siluman kelihatan duduk di kursinya dengan tenang dan
sambil senyum-senyum. Sebaliknya Sepuluh Jari Kematian sudah keluarkan
butir-butir keringat dingin di keningnya. Tenaga dalam tokoh silat utama ini
yang sudah mencapai puncak tertinggi dan sempurna ternyata tak sanggup melayani
kehebatan tenaga dalam yang luar biasa tingginya.
“Silahkan diminum tuak harum
itu. Sepuluh Jari Kematian!” kata Dewi Siluman masih senyum dan sambil
menangkau seloki tuak yang terletak di meja di hadapannya.
Sepuluh Jari Kematian menyeka
dulu mukanya yang keringatan baru menempelkan tepi seloki ke bibirnya. Begitu
seloki itu berada di bawah hidungnya, di antara keharuman bau tuak di dalam
seloki dia mencium bau lain yang aneh. Hati tokoh silat ini bercuriga dan
sepasang matanya memandang ke ujung meja dimana saat itu Dewi Siluman tengah
mengangkat seloki tuak perlahanlahan ke bibirnya. Sepasang mata mereka berperang
pandang.
Sepuluh Jari Kematian turunkan
seloki yang dipegangnya.
“Ada apa, Sepuluh Jari
Kematian?” tanya Dewi Siluman. Nada suaranya berubah lain.
“Dewi, aku tak dapat menerima
kehormatanmu untuk minum bersama.Sebenarnya aku ada urusan lain yang sangat
penting. Aku minta diri, harap dimaafkan.”
Tapi sebelum Sepuluh Jari
Kematian berdiri, Dewi Siluman telah tegak lebih cepat. Kedua bola matanya
membesar dan menyorot.
“Sepuluh Jari Kematian!”
sentaknya. “Kau anggap aku ini siapakah?! Ini adalah satu penghinaan besar
bagiku.”
“Tak ada maksudku untuk
menghina demikian, Dewi….”
“Kenapa tuak itu tidak kau
minum? Pasti kau mempunyai pikiran yang bukan-bukan terhadapku!”
Mulut Sepuluh Jari kematian
terkunci rapat-rapat. Hatinya tergetar melihat pandangan yang mengerikan dari
sang Dewi.
“Dewi Siluman, kuharap kau
tidak melupakan hubungan baik kita sebagai dua sahabat sejak dulu,” berkata
pada akhirnya tokoh kawakan itu.
“Justru karena mengingat
hubungan baik kitalah aku mengundangmu ke sini! Dan kini kau menaruh prasangka
yang bukan-bukan terhadapku. Menghinaku! Apa kau kira tuak harum itu beracun
hingga kau tidak bernyali meminumnya? Jawab!”
Sepuluh Jari Kematian
gelengkan kepala perlahan-lahan.
“Kalau tuak itu beracun, aku
akan mati duluan!” ujar Dewi Siluman. Habis berkata begini, gadis jelita ini
teguk tuak dalam seloki sampai habis. Seloki emas dibantingkannya ke atas meja.
Dia berteriak dengan suara
keras marah. “Apakah kau lihat aku mati saat ini karena minum tuak itu?!”
Sepuluh Jari Kematian telan
ludahnya. Perlahan-lahan seloki yang dipegangnya ditempelkannya ke bibirnya
kembali. Tiga kati teguk saja lenyaplah semua tuak di dalam seloki ke dalam
perutnya.
Dewi Siluman duduk kembali ke
kursinya. Dia memandang dengan tersenyum aneh pada Sepuluh Jari Kematian.
“Apakah tuak itu beracun?”
Sepuluh Jari Kematian
gelengkan kepala.
“Atau kau merasa ada kelainan
di dirimu saat ini?”
Sepuluh Jari Kematian kembali
gelengkan kepala meski saat itu sesungguhnya memang dia merasakan ada satu
kelainan yang tak dimengertinya.
Dewi Siluman tertawa mengekeh.
Suara tertawa mengekeh yang sesungguhnya tak pantas kalau keluar dari seorang
gadis jelita macam dia. Dan suara kekehan ini bernada yang mencurigakan bagi
Sepuluh Jari Kematian. Hatinya mulai dirayapi kepastian bahwa Dewi Siluman
telah memasukkan racun jahat ke dalam minuman itu. Tapi yang mengherankannya
Dewi Siluman sendiri juga telah minum tuak itu, malah lebih dulu dari dia.
Dewi Siluman berpaling pada
pengiring di samping kanannya dan berkata. “Tambahkan tuak untuk tamu kita
itu.”
“Terima kasih Dewi. Kurasa
satu seloki sudah cukup,” jawab Sepuluh Jari Kematian. Saat itu semakin terasa
adanya kelainan dalam tubuhnya.
“Sepuluh Jari Kematian,”
berkata sang Dewi dengan nada mengandung ancaman.
“Pernahkah kau bercita-cita
untuk merajai dunia persilatan?”
Sepuluh Jari Kematian
memandang sebentar paras jelita di hadapannya. Setelah merenung beberapa ketika
lamanya lalu anggukkan kepala dan menjawab. “Memang pernah Dewi. Tapi itu bukan
satu hal yang mudah. Di dunia ini penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti luar
biasa. Kalau sekarang aku belum dapat merajai dunia persilatan, tapi delapan
penjuru angin telah mengetahui siapa diriku. Dan itu merupakan hal lumayan.”
“Tepat sekali ucapanmu bahwa untuk
merajai dunia persilatan bukan satu hal yang mudah.
Tapi jika tahu caranya pasti
dalam waktu yang singkat cita-cita itu bisa dilaksanakan!”
Sepuluh Jari Kematian
berpikir-pikir, kira-kira apakah tujuan Dewi Siluman mengajaknya bicara
demikian. Dia juga memikirkan apa sebenarnya yang menjadi alasan gadis sakti
itu tempo hari mengundangnya untuk datang ke Pulau Madura. Dalam dia
berpikir-pikir itu Dewi Siluman berkata pula.
“Kau tentunya punya cara
sendiri. Aku juga punya cara sendiri. Dan aku yakin caraku itu akan lebih
berhasil dari padamu.”
Sang Dewi tertawa mengekeh.
“Ketahuilah Sepuluh Jari
Kematian, mulai hari ini kau kuambil sebagai pembantuku dalam melaksanakan
cita-cita untuk merajai dunia persilatan….”
Sepuluh Jari Kematian
kernyitkan kening.
“Pembantu macam manakah
maksudmu, Dewi?” tanya tokoh silat ini.
“Kau harus tunduk padaku dan
turut perintah!”
Berubahlah paras Sepuluh Jari
Kematian. Dia seorang tokoh silat terkenal dan ditakuti di ujung timur Pulau
Jawa kini disuruh tunduk dan ikut perintah. Benar-benar satu penghinaan besar
yang menusuk hati dan tiada memandang muka serta nama besarnya. Kalau saja
bukan berhadapan dengan Dewi Siluman, pastilah saat itu tokoh silat ini sudah
melabrak gadis itu.
“Mungkin ini satu hal yang
tidak enak bagimu,” berkata lagi Dewi Siluman. “Tapi ini sudah menjadi
takdirmu, Sepuluh Jari Kematian! Kau musti tetap di sini bersama orang-orangku
dan menjalankan segala apa yang kuperintahkan! Kau dengar…?!”
Sepuluh Jari Kematian
menggeram dalam hatinya.
“Terima kasih atas
kepercayaanmu serta hormatmu padaku. Dewi Siluman. Namun kuharap kau bisa
maklum. Manusia macamku ini tidak suka terikat, ingin hidup bebas dan malang
melintang di delapan penjuru angin dunia persilatan. Kuharap kau tak usah gusar
kalau aku terpaksa menolak permintaanmu itu. Apalagi aku orang buruk yang sudah
tua renta ini. Tak ada guna dan untungnya mengambilku jadi pembantu….”
Dewi Siluman tertawa.
“Kau pandai sekali merendahkan
diri,” katanya. “Namun rupanya tak ada jalan lain bagimu.
Kau harus tetap di sini, dan
jadi pembantuku. Tenagamu sangat kuperlukan!”
“Mohon maaf Dewi. Aku tak bisa
menerimanya….”
Bola-bola mata Dewi Siluman
menyorot.
“Kuharap kau tahu di mana kau
berada saat ini, Sepuluh Jari Kematian!”
Ucapan ini benar-benar
menandakan ancaman bagi Sepuluh Jari Kematian. Dan dia mulai berpikir-pikir
bahwa dalam waktu yang singkat akan terjadi perselisihan serta bentrokan antara
dia dan Dewi Siluman. Melihat kenyataan tadi bahwa Dewi Siluman memiliki tenaga
dalam yang luar biasa tingginya, Sepuluh Jari Kematian maklum bahwa bertempur
dengan gadis itu sukar baginya untuk menang, apalagi dia saat itu berada pula
di sarangnya sang Dewi, di mana terdapat belasan orang-orangnya Dewi Siluman
yang berkepandaian tinggi yang kehebatan mereka telah disaksikannya sendiri
tadi.
“Kalau kau suka Dewi, aku
bersedia carikan tokoh silat lain untukmu….”
“Aku bisa mencarinya sendiri!”
sahut Dewi Siluman pula. “Yang kuperlukan sekarang adalah kau!”
“Menyesal Dewi, aku….”
Kalimat Sepuluh Jari Kematian
itu dipotong oleh ucapan keras Dewi Siluman seraya menggebrak meja.
“Jadi kau berani membangkang
terhadapku?!”
Sepuluh Jari Kematian coba
tertawa. Jawabnya. “Sampai saat ini aku masih tetap mengingat hubungan baik
kita. Sebelum aku minta diri, aku ucapkan terima kasih atas jamuanmu ini. Di
samping itu kuharap pula kau suka membebaskan kawanku Sepasang Arit Hitam yang
telah ditawan oleh orang:-orangmu.”
Sepuluh Jari Kematian berdiri
dari kursinya.
“Kau tetap berkeras kepala
untuk menolak kemauanku?!
“Aku sama sekali tidak
menolak, tapi belum bisa. Di lain hari mungkin baru aku bisa memenuhi
keinginanmu….”
Berubahlah paras Dewi Siluman.
Perlahan-lahan dia berdiri dari kursinya. Mukanya mengelam Senyumnya lebih
tepat kalau dikatakan seringai bengis.
“Baik Sepuluh Jari Kematian,
kau boleh pergi. Bahkan Sepasang Arit Hitam boleh kau bawa serta. Tapi….” Dewi
Siluman tak meneruskan kata-katanya. Dia memandang tepat-tepat pada tokoh silat
tua di hadapannya itu lalu pecahlah suara tertawanya di ruangan putih itu.
Sepuluh Jari Kematian merasa tak enak. Kemudian cepat-cepat dia membalik dan
menuju ke pintu. Sebelum pintu itu sempat dibukanya, di belakangnya didengarnya
suara Dewi Siluman.
“Sebelum kau pergi masih ada
satu hal yang rasanya perlu kuberitahukan, Sepuluh Jari Kematian!”
Sambil memegang daun pintu,
Sepuluh Jari Kematian palingkan kepala.
“Nyawamu cuma tinggal cuma
satu minggu saja Sepuluh Jari Kematian!” Dan Dewi Siluman tertawa lagi
panjang-panjang seperti tadi.
“Apa maksudmu?!” tanya Sepuluh
Jari Kematian dengan muka membesi.
“Apakah kau tuli kalau
kukatakan bahwa nyawamu tinggal cuma satu minggu lagi?! Lewat satu minggu
ususmu akan hancur, perutmu akan meloek dan seluruh isi perutmu akan berbusaian
akibat racun yang telah kau teguk bersama tuak tadi!”
Terkejutlah Sepuluh Jari
Kematian.
“Tapi kau sendiri juga telah
meminumnya” buka suara tokoh silat itu.
Dewi Siluman tertawa lagi.
“Aku memang telah meminumnya. Tapi aku tak akan mampus macam kau! Dalam seloki
itu, pelayanku telah memasukkan sejenis bubuk yang mematikan racun yang ada di
dalam tuak!”
Maka marahlah Sepuluh Jari
Kematian.
“Perempuan laknat!” teriaknya
menggeledek. “Sebelum aku mampus, kau akan kubikin minggat ke neraka lebih
dulu!”
Dewi Siluman tertawa
mengumandang.
“Tua bangka tak tahu diri! Kau
andalkan apakah berani melawan kekuasaan Dewi Siluman?!” bentak Dewi Siluman.
“Aku andalkan ini perempuan
iblis!” sahut Sepuluh Jari Kematian. Dan serentak dengan itu lima jari-jari
tangan kanannya dijentikkan ke muka.
*
* *
7
Begitu lima jari menjentik
maka lima larik sinar hitam yang menggidikkan menderu dengan amat panasnya ke
arah lima bagian tubuh Dewi Siluman.
Yang diserang keluarkan suara
mendengus yang disusul dengan bentakan nyaring. “Tua bangka edan! Apakah tidak
tahu tingginya gunung dalamnya lautan?!”
Tubuh Dewi Siluman kelihatan
bergerak. Gerakan yang dibuatnya ini cepat luar biasa, benar-benar laksana
siluman berkelebat. Detik itu pula tubuhnya lenyap dari hadapan Sepuluh Jari
Kematian. Lima larik sinar hitam yang menyerangnya menderu menghantam dinding
ruangan.
Ruangan itu bergoncang seperti
dilanda lindu. Dinding yang putih di sebelah sana kelihatan hitam hangus dan
mengeluarkan kepulan asap.
Dua orang pengiring Dewi
Siluman yang ada di ruangan itu berseru nyaring dan berkelebat cepat.
“Dewi!” teriak salah seorang
dari mereka. “Bangsat tua hina dina ini biar kami yang bereskan!”
“Kalian tetap di tempat!”
perintah Dewi Siluman. Tubuhnya melesat laksana kilat dan tahutahu dua jari
tangan kanannya menotok ke urat besar di pangkal leher sebelah kiri Sepuluh
Jari Kematian. Demikian cepatnya totokan ini sehingga tokoh silat tua itu tak
sempat menangkis atau pun menghindar selamatkan lehernya. Satu-satunya jalan
ialah mengalirkan dengan cepat seluruh tenaga dalamnya ke bagian pangkal leher
itu untuk menolak totokan. Namun karena tenaga dalam Sepuluh Jari Kematian
berada jauh di bawah Dewi Siluman, maka ketika totokan itu mendarat di pangkal
lehernya, dengan serta merta sekujur tubuhnya menjadi kaku tegang tak bisa lagi
digerakkan. Tapi mulut Sepuluh Jari Kematian masih bisa bersuara. Maka
memakilah tokoh silat kawakan ini.
“Gadis keparat! Lekas bebaskan
totokan ini! Kalau tidak kau akan menyesal seumur hidup!”
Dewi Siluman tertawa mengekeh.
“Tikus tua! Sudah tak ada daya
masih bisa besarkan mulut! Kau minta dilepaskan totokan?
Baik! Tapi rasakan dulu ini!”
Tangan kanan Dewi Siluman
bergerak.
“Plaaak!”
Tamparan yang keras mendarat
di pipi Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat itu meraung kesakitan. Dua buah
giginya tanggal dan melompat dari mulutnya. Bibirnya pecah berdarah.
Pemandangannya gelap. Sesaat
kemudian tubuhnya limbung dan tergelimpang ke lantai.
Dewi Siluman menyeringai. Dia
berpaling pada kedua orang anak buahnya dan memerintah.
“Seret babi tua ini ke Ruang
Penyiksaan!”
Dua gadis baju biru segera
bergerak untuk laksanakan tugas sang Dewi. Namun belum lagi keduanya menyentuh
tubuh Sepuluh Jari kematian tiba-tiba pintu Ruangan Putih terpentang lebar dan
dua manusia aneh menerobos ke dalam.
Terkejutlah Dewi Siluman dan
kedua anak buahnya.
Begitu sang Dewi kenali dua
manusia aneh ini dia segera membentak. “Tiga Aneh Gila!
Bagaimana kalian bisa sampai
ke sini?! Apakah sudah bosan hidup?!”
Kedua manusia itu saling
pandang satu sama lain lalu tertawa gelak-gelak sambil melompat lompat seperti
anak kecil.
“Manusia-manusia gila
keblinger! Nama besarmu memang pernah kudengar! Setahuku kalian berjumlah tiga
orang? Mana kambratmu yang satu lagi, biar aku sekaligus dengan lekas mengirim
kalian menghadap penunggu neraka!”
Dua manusia aneh itu
jingkrat-jingkratan lagi dan tertawa gelak-gelak hingga mata mereka menjadi
berair. Yang satu tiba-tiba hentikan tertawanya dan menepuk bahu kawannya, lalu
berkata.
“Baju Gombrong! Diamlah! Apa
kau tidak dengar si jelita itu tanyakan kawan kita yang satu lagi?!”
“Ah… ah… ah!” kata manusia
aneh yang dipanggilkan Baju Gombrong itu, “Biar aku panggilkan dia. Dewi
Siluman, kau tunggulah sebentar, kambratku yang kau tanyakan itu ada membawa
oleh-oleh untukmu!”
Habis berkata begitu Baju
Gombrong keluarkan suara bersiul. Maka dari pintu yang terpentang lebar itu
masuklah seorang aneh yang berpakaian cabik-cabik. Yang mengejutkan Dewi
Siluman serta anak-anak buahnya ialah ketika menyaksikan bagaimana pada bahunya
manusia ini membawa dua orang anak buahnya yang saat itu tidak bernyawa lagi
karena leher mereka terkulai patah akibat dipelintir kepalanya.
Manusia aneh yang ketiga ini
tertawa gelak-gelak sewaktu melihat Dewi Siluman.
“Dewi Siluman, rupanya kau
begitu tak sabar tanyakan aku! Ini aku datang dan bawa oleh oleh buatmu!”
Serentak dengan itu manusia ini gerakkan tubuhnya dengan perlahan dan tahu-tahu
dua orang anak buah Dewi Siluman yang berada di bahunya berpelantingan ke kiri
kanan, menghantam dinding dan mental kembali, jatuh tepat di hadapan Dewi
Siluman.
Jelas terdengar suara
geraham-geraham Dewi Siluman bergemelatukan karena amarah yang amat sangat.
“Dewi Cantik!” kata Baju
Rombeng, “Menyesal sekali kami terpaksa lepaskan tangan jahat pada dua orang
anak buahmu. Kami tengah keluyuran di kaki bukit sana, tahu-tahu mereka
menyerang. Kawan-kawan, bukankah begitu ceritanya?!”
Ketiga manusia aneh itu
kemudian tertawa gelak-gelak ramai sekali dan tak lupa mereka dalam tertawa itu
melonjak-lonjak seperti tadi.
“Dua anak buahmu itu inginkan
nyawa kami! Padahal mereka cukup pantas untuk jadi….” Si Baju Rombeng tak
teruskan ucapannya karena saat itu kembali dia tertawa lagi.
“Dan sewaktu kami sampai di
sini, nyatanya kejahatanmu tiada beda dengan kami….” Si Baju Rombeng memandang
pada sosok tubuh Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak pingsan, lalu
geleng-gelengkan kepala. “Tamparan yang hebat,” katanya.
Dua orang anak buah Dewi
Siluman yang ada di ruangan itu mula-mula terkesiap saksikan dua kawan mereka
yang dilemparkan tanpa nyawa, tapi kini tak dapat lagi menahan kemarahan mereka
dan melompat ke muka.
“Dewi! Izinkan kami merampas
nyawa anjing-anjing buruk ini!”
“Tangkap mereka hidup-hidup!
Sebelum mampus mereka musti disiksa dulu!” teriak Dewi Siluman.
Maka dua orang gadis baju biru
itu segera menyerbu ke muka. Tiga manusia yang diserang anehnya melihat
serangan ini malah tertawa gelak-gelak dan jingkrat-jingkratan. Dan lebih aneh
lagi begitu mereka gerakkan tangan kiri mereka maka tegang kakulah kedua anak buah
Dewi Siluman itu. Ternyata ketiganya telah lepaskan totokan jarak jauh yang
lihai luar biasa. Dan ini membuat sang Dewi terkejut bukan main. Melihat
kelihaian ketiga manusia ini Dewi Siluman tidak mau bertindak sembrono. Jika
dua orang anak buahnya sanggup ditamatkan riwayat mereka dan dua orang lagi
dibuat tak berdaya di muka hidungnya maka tiga manusia itu sudah tentu
mengandalkan ilmu yang tinggi sekali.
Siapakah ketiga manusia itu?
Orang yang masuk pertama ke
dalam Ruangan Putih itu ialah seorang yang bermata besar juling berbadan katai.
Bajunya sangat besar hingga kegombrangan di badannya yang pendek kecil itu.
Karena pakaiannya yang gombrong inilah maka di duia persilatan dia dikenal
dengan julukan Baju Gombrong.
Yang kedua juga bertubuh kecil
pendek. Kepalanya botak penuh kudis yang baunya busuk.
Pakaiannya penuh
tambalan-tambalan. Karena itulah di dunia persilatan dia dikenal dengan gelar
Baju Tambalan.
Manusia aneh ketiga yang masuk
paling akhir dengan membawa mayat dua orang anak buah Dewi Siluman juga
berbadan katai. Rambutnya yang hitam berkilat diikat kuncir ke atas. Karena
seumur hidupnya dia selalu mengenakan pakaian robek-robek dan cabik tak karuan
maka di rimba persilatan dia dikenal dengan julukan Baju Rombeng.
Sejak lima tahun yang lalu
ketiga manusia ini telah bergabung dalam satu kelompok. Karena kesemua mereka
mempunyai penyakit kurang ingatan alias gila maka kelompok mereka itu dinamakan
Tiga Aneh Gila. Meski mereka gila namun hati mereka polos jujur dan suka
berbuat baik di mana-mana. Ketiganya pernah melabrak beberapa tokoh-tokoh silat
golongan hitam.
Dengan sendirinya dimusuhi
oleh golongan hitam. Beberapa tokoh silat dan satu perguruan silat golongan
hitam pernah coba membuat perhitungan dengan mereka. Namun Tiga Aneh Gila menyapu
lawan-lawan mereka itu.
Satu bulan yang lewat dalam
petualangan mereka ketiganya telah mendengar tentang keganasan Dewi Siluman di
Pulau Madura. Sebagai tiga tokoh silat yang tak suka melihat kejahatan dan
kekejaman maka Tiga Aneh Gila segera berangkat ke Pulau Madura. Dalam
mencari-cari di mana letak sarangnya Dewi Siluman, dua orang anak buah Dewi
Siluman memergoki mereka.
Tiga Aneh Gila mulanya menegur
dengan baik-baik dan menanya di mana letak tempat Dewi Siluman pada kedua gadis
itu. Anak-anak buah Dewi Siluman tentu saja merasa curiga. Tanpa banyak cerita
keduanya segera menyerang Tiga Aneh Gila dengan jurus-jurus yang mematikan.
Ketiga manusia aneh itu jadi
penasaran sekali. Setelah bertempur delapan jurus maka dua orang anak buah Dewi
Siluman berhasil mereka tangkap hidup-hidup. Namun salah seorang dari mereka
yaitu Baju Rombeng merasa kasihan dan atas perintahnya kedua gadis itu
dilepaskan kembali. Tapi apa lacur, begitu dilepas segera dua orang anak buah
Dewi Siluman ini menyerang lagi dengan lebih ganas. Maka Tiga Aneh Gila kali
ini tak memberi hati lagi. Dalam empat jurus saja maka kedua orang anak buah
Dewi Siluman terpaksa pasrahkan jiwa kepada mereka.
Dengan muka membesi menahan
kegeraman. Dewi Siluman memandang ketiga manusia katai di depannya lalu buka
mulut. Ucapannya setengah mendesis. “Dengan datang kemari dan pembunuhan atas
kedua orang anak buahku, berarti kalian telah menentukan kematian sendiri Tiga
Aneh Gila!”
Tiga Aneh Gila kembali tertawa
gelak-gelak. Tidak lupa pula mereka berloncat-loncatan.
“Namun demikian,” melanjutkan
Dewi Siluman. “Masih ada keampunan bagi kalian jika kalian bersedia menjadi
pembantu-pembantuku dan ikut segala perintah!”
“Ah!” menyahuti Baju
Gombrong.”Kedatangan kami ke sini justru untuk meminta kau menjadi pembantu
kami bertiga!” Dan Baju Gombrong bersama dua kawannya kemudian tertawa kembali.
Dengan menekan kemarahannya
Dewi Siluman bertanya. “Apa maksud kalian sebenarnya?!”
“Masakan kau tidak tahu,”
jawab Baju Rombeng. “Kau cocok sekali untuk menjadi utusan kami ke neraka!”
“Dan sekalian tolong
menyampaikan salam kami bertiga pada setan-setan neraka!”
menimpali Baju Tambalan. Tiga
Aneh Gila lalu tertawa lagi.
Dewi Siluman menggerendeng.
“Kalian bertiga memang pantas untuk jadi puntung neraka!”
Serentak dengan itu Dewi
Siluman bersuit nyaring. Maka empat buah dinding membuka dan sepuluh gadis
berbaju biru membanjiri Ruangan Putih itu.
“Tangkap tiga orang gila
kesasar ini?” perintah Dewi Siluman.
Maka kesepuluh gadis baju biru
itu segera keluarkan jala sutera mereka kemudian dengan serentak menyerbu Tiga
Aneh Gila. Sepuluh jala mengembang mengurung mereka. Tiga Aneh Gila hentikan
tertawa mereka dan ganti dengan suara berteriak-teriak tak karuan memekakkan
telinga sedang tubuh mereka berlompatan kian kemari. Lompatan-lompatan ini
kelihatannya juga tidak karuan, acak-acakan. Tapi anehnya gerakan mereka
menimbulkan angin yang luar biasa dahsyatnya.
Demikian dahsyatnya sehingga
tebaran jala sutera biru sepuluh anak buah Dewi Siluman laksana terbendung.
Kesepuluh gadis itu amat terkejut. Selama ini tak pernah mereka mengeroyok
sepuluh seorang atau beberapa orang lawan. Selama ini tak satu kehebatan pun
yang dapat melepaskan diri dari jala-jala sutera mereka. Tapi sekali ini
benar-benar mereka dibikin bingung oleh jurus-jurus aneh yang acak-acakan yang
dikeluarkan tiga orang manusia katai itu. Lima jurus berlalu, sepuluh anak buah
Dewi Siluman malah kini kena didesak Tiga Aneh Gila.
Melihat ini Dewi Siluman
segera berseru.
“Bentuk Barisan Seratus
Siluman Keluar Dari Sarangnya!”
Mendengar seruan sang Dewi,
sepuluh gadis baju biru itu undurkan diri ke tepi kalangan.
Kemudian dengan tiba-tiba
sekali kesepuluhnya menyerbu ke muka. Masing-masing keluarkan suara berteriak
mengerikan. Jala sutera biru kini digulung dan dibuat sebagai senjata
penggebuk.
Serangan mereka ini
benar-benar tak ubahnya seperti seratus siluman ke luar dari sarangnya. Dalam
waktu yang sangat singkat kesepuluh gadis baju biru sudah mengurung Tiga Aneh
Gila dengan rapat dan dalam satu jurus di muka mereka mendesak ketiga manusia
katai itu dengan hebat.
Tiga Aneh Gila yang melihat
bahaya besar ini tidak tinggal diam. Mereka berkelebat cepat dan rubah
permainan silat mereka. Dari mulut mereka tidak pula henti-hentinya terdengar suara
teriakan yang sekali-sekali diselingi oleh tertawa haha-hihi sehingga Ruangan
Putih itu menjadi hiruk pikuk dan laksana dilanda lindu.
Lima jurus berlalu. Seorang
anak buah Dewi Siluman menjerit dan mental ke luar kalangan pertempuran, rubuh
muntah darah. Kemudian menyusul lagi korban yang kedua. Marahlah Dewi Siluman
melihat hal ini.
“Anak-anak, kalian semua
mundurlah!” seru Dewi Siluman.
Maka delapan gadis baju biru
segera turut perintah dan keluar dari kalangan pertempuran.
Tiga Aneh Gila tertawa
gelak-gelak dan jingkrat-jingkratan.
“Kadal-kadal betina beginikah
yang hendak merajai dunia persilatan?!” ejek Baju Gombrong yang bermata juling.
“Bagusnya biangnya saja yang
maju!” menimpali Baju Tambalan seraya garuk-garuk kepalanya yang gatal penuh
kudis busuk.
Dewi Siluman kertakkan
geraham. Dia berpaling pada delapan muridnya yang masih hidup.
“Kurung yang rapat!
Setan-setan buruk ini tidak boleh satu pun yang lepas!”
Tiga Aneh Gila tertawa
berkakakkan.
“Siluman berteriak setan!”
ujar Baju Rombeng. “Aku jadi ingat pada pencuri yang berteriak maling!”
“Cukup!” bentak Dewi Siluman
menggeledek. Air mukanya yang jelita benar-benar menunjukkan kebengisan dan
kekejaman yang mengerikan kini. “Kalian boleh keluarkan seluruh ilmu simpanan!
Tapi dalam tiga jurus kalian akan kutangkap hidup-hidup!”
“Kecap!” teriak Baju Tambalan
dan bersama dua kawannya dia tertawa kembali gelak-gelak.
Dewi Siluman loloskan kalung
tengkorak kecil dari lehernya dan memegang benda itu di tangan kanan.
“Kalian lihat tengkorak ini?!”
“Kami masih belum buta!” jawab
Baju Rombeng
“Tentu saja! Kalian memang
belum buta! Tapi apa kalian tahu bahwa jika kalian sudah mampus,
tengkorak-tengkorak kalian akan dimasukkan ke dalam dapur penggodok, dibikin
kecil ciut macam begini untuk jadi kalung anak-anak buahku?!”
“Ah, hebat sekali!” seru Baju
Gombrong. “Tapi apakah kau juga tahu kalau kau mampus daging tubuhmu akan kami
suruh gerogoti oleh anak-anak buahmu sendiri agar kau dan mereka benar-benar
jadi siluman?!”
Tiga Aneh Gila tertawa
membahak.
Dewi Siluman tak dapat menahan
diri lagi. Tangan kirinya menyelinap ke balik jubah untuk mengeluarkan sebuah
jala biru yang terbuat dari sutera yang sangat halus laksana jaring laba-laba.
Sambil putar-putar kalung
bermata tengkorak di tangan kanannya Dewi Siluman maju mendekati Tiga Aneh
Gila. Tiga Aneh Gila sambil terus tertawa-tawa, secara acuh tak acuh melangkah
berpencar dan diam-diam sudah mengurung sang Dewi dari tiga jurusan.
*
* *
8
Dewi Siluman perhatikan posisi
ketiga lawannya sementara kalung tengkorak di tangannya menderu-deru berputar
dan keluarkan angin yang mengibar-ngibarkan pakaian Tiga Aneh Gila.
Tiba-tiba dari mulut sang Dewi
keluar suara seperti orang menangis.
“Eh… eh… eh!” ujar Baju
Rombeng. “Siluman ini disamping teriak-teriak dan membentak rupanya pandai pula
menangis!” Tiga Aneh Gila kemudian tertawa memingkal.
Namun kali ini tawa mereka
terhenti dengan tiba-tiba.
Tengkorak yang berputar
mendadak sontak menebarkan asap biru yang tebal sekali menutupi pemandangan
Tiga Aneh Gila.
“Kawan-kawan cepat
mundur!”teriak Baju Rombeng.
Dalam buta pemandangan itu
ketiganya berlompatan ke belakang. Namun disaat itu pula jala sutera halus di
tangan kiri Dewi Siluman menebar berputar laksana kitiran.
“Celaka!” seru Baju Tambalan.
Dirasakannya sesuatu benda melibat pinggangnya kemudian sepasang lengan dan
kakinya. Pastilah itu jala sutera Dewi Siluman. Dalam gelapnya kepulan asap
biru Baju Tambalan coba lepaskan diri tapi tak berhasil sedang kemudian dia
mendengar susul menyusul seruan kedua kawannya.
Dewi Siluman kini memutar
kalung tengkoraknya pada arah yang berlawanan dari tadi.
Asap putih mendesis dari mulut
tengkorak kecil itu dan dalam sekejap saja lenyaplah asap biru yang gelap.
Ruangan Putih kembali berada dalam keadaan terang benderang. Dan saat itu
kelihatanlah bagaimana Tiga Aneh Gila berdiri di tengah ruangan dengan sekujur
badan terjirat jala biru, tak sanggup lepaskan diri.
Dewi Siluman tertawa mengekeh.
Kalung tengkoraknya digantungkannya kembali ke leher.
“Nyatanya Tiga Aneh Gila hanya
tokoh-tokoh silat picisan belaka!” ejek Dewi Siluman.
“Sekarang kalian akan tahu
siapa Dewi Siluman! Anak-anak seret tiga puntung neraka ini dan Sepuluh Jari
Kematian ke Ruang Penyiksaan! Sebelum mereka merasakan siksaan neraka ada
baiknya lebih dulu harus dijebloskan ke dalam siksaan dunia!”
Maka Tiga Aneh Gila dan
Sepuluh Jari Kematian segera diseret dari Ruangan Putih dimasukkan ke dalam
Ruang Penyiksaan Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Kemani bersama tiga
orang kawannya dalam mencari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Mereka keluar dari terowongan
di sebelah selatan Bukit Tunggul. Setengah harian menyelidik keempatnya masih
belum berhasil mendapatkan jejak orang yang mereka cari.
“Sebaiknya kita memencar!”
kata Kemani memberi usul pada ketiga kawannya. “Dengan memencar kita bisa
bergerak lebih luas. Jika salah satu dari kita berhasil melihat manusia itu
segera lepaskan tanda ke udara!”
Tiga gadis baju biru lainnya
menyetujui.
“Jika sampai senja kita tak
berhasil menemuinya, kita harus kembali ke tempat ini untuk berkumpul dan
menentukan langkah selanjutnya.”
Maka keempat anak buah Dewi
Siluman itu pun memencarlah. Hari pertama itu, sesenjasenja hari keempatnya tak
berhasil menemui orang yang mereka cari. Keempatnya berkumpul di tempat yang
telah ditentukan dan membuat kemah di situ. Paginya mereka meneruskan lagi
pencaharian. Meskipun Madura cuma sebuah pulau namun penuh dengan rimba
belantara serta bukit-bukit dan pegunungan-pegunungan liar yang jarang ditempuh
manusia. Inilah yang menyukarkan bagi keempat anak buah Dewi Siluman itu untuk
mencari Wiro Sableng. Dan pada hari yang kedua itu mereka masih belum berhasil.
Keempatnya berkumpul di satu lamping gunung kapur. Kemana pun mereka memandang
hanya warna putih yang mereka lihat. Menjelang senja seorang dari mereka
melihat kelap-kelip nyala api di sebelah utara.
“Mungkin dia,” desis Kemani.
Setelah berunding singkat, keempatnya segera tinggalkan lamping gunung kapur.
Empat kali sepeminuman teh mereka sampai ke tempat nyala api itu.
Ternyata yang mereka lihat itu
ialah nyala api unggun. Tak jauh dari api unggung ini terletak satu buntalan.
Pastilah di tempat itu ada yang berkemah. Tapi tak satu orang pun yang
kelihatan. Kemani dan kawan-kawan menunggu sampai dua kali sepeminuman teh.
Tetap tak ada satu orang pun yang muncul. Keempatnya berunding lagi lalu dengan
penuh waspada melangkah untuk mendekat dan memeriksa isi buntalan di dekat api
unggun.
Baru saja keempatnya bergerak
sejauh tiga langkah entah dari mana datangnya berkelebatlah satu bayangan
putih. Demikian cepatnya sehingga keempat anak buah Dewi Siluman tak dapat
memastikan bayangan apakah itu. Dan tahu-tahu mereka merasakan satu totokan
pada pangkal leher mereka yang membuat diri mereka kaku tegang tak bisa
bergerak, tak bisa buka suara.
Sekali lagi bayangan putih itu
berkelebat dan sesaput angin aneh menyambar mata mereka.
Keempatnya mendadak sontak
merasa berat kelopak mata masing-masing. Kantuk aneh tak tertahankan lagi
sehingga dalam keadaan tubuh tertotok itu keempatnya kemudian pejamkan mata
tertidur nyenyak.
Suara tertawa aneh menyeramkan
macam ringkikkan kuda, menggeletar di seantero tempat.
Satu bayangan putih berkelebat
lagi dan sekaligus memboyong keempat gadis berbaju biru itu.
*
* *
Dewi Siluman berdiri di
belakang jendela di anjungan ketiga. Dipandangnya kolam dan taman bagus di
bawah sana. Tapi pikirannya tidak tertuju pada apa yang dilihatnya melainkan
pada empat orang anak buahnya yang telah dikirimnya untuk mencari dan menangkap
pemuda yang tak berhasil ditawan oleh Nariti dan kawan-kawannya, sampai-sampai
Nariti sendiri dihukum dan disiksa di Ruang Hitam. Dan kini sudah memasuki hari
yang kelima, empat orang anak buahnya itu masih belum muncul. Mungkin keempatnya
belum berhasil mencari si pemuda. Tapi mungkin juga keempatnya telah menjadi
korban. Mengingat ini Dewi Siluman menjadi sedikit khawatir. Tiba-tiba pintu di
belakangnya diketuk.
“Masuk!” ujar Dewi Siluman.
Pintu terbuka. Seorang gadis
berkulit putih yang rambutnya disanggul ke atas menjura tiga kali di hadapan
Sang Dewi.
“Ada keperluan apa kau
menghadap, Sarinten?”
Gadis yang bernama Sarinten
menjawab. “Ketika aku meronda tak berapa jauh dari daerah kapur, aku menemui
tusuk kundai ini, Dewi.” Sarinten mengacungkan tangan kirinya yang menggenggam
sebuah tusuk kundai dari perak. Lalu katanya meneruskan. “Benda ini kutemukan
di satu tempat di mana ada bekas-bekas perapian. Dan Dewi, aku yakin betul ini
adalah kusuk kundainya Kemani….”
Sepasang mata Dewi Siluman
kelihatan mengecil.
“Aku khawatir Kemani dan
kawan-kawan menemui hal-hal yang tak kita ingini,” ujar Sarinten lagi.
“Apakah ada tanda-tanda bekas
perkelahian?” tanya Dewi Siluman.
“Tak bisa kupastikan Dewi.”
Dewi Siluman merenung sejenak.
Kemudian.
“Baik Sarinten, kau boleh
tinggalkan kamar ini. Aku akan memikirkan apa yang bakal dilakukan!”
Sarinten menjura tiga kali
lalu meninggalkan anjungan itu. Dewi Siluman kembali putar badan dan memandang
ke luar jendela. Ketika melihat tusuk kundai yang diacungkan oleh Sarinten
tadi, sebenarnya Dewi Siluman merasa pasti bahwa telah terjadi apa-apa dengan
Kemani dan kawan-kawannya. Dan kalau memang pemuda yang tengah dicari-cari itu
yang punya pekerjaan, yakinlah Dewi Siluman bahwa si pemuda sungguh-sungguh
berilmu tinggi. Nariti adalah anak buahnya yang berilmu tinggi sedang Kemani
dua tingkat lebih tinggi dari Nariti dan tetap tugas yang mereka laksanakan
tidak membawa hasil bahkan semakin menimbulkan kekhawatiran. Yang membuat Dewi
Siluman tambah penasaran ialah karena sampai sebegitu jauh dia masih belum tahu
siapa adanya pemuda itu. Siapa namanya, siapa juluk atau gelarannya. Tiba-tiba
dia ingat pada Sepuluh Jari Kernatian yang telah dijebloskan ke dalam Ruang
Penyiksaan. Mungkin dia tahu siapa pemuda itu.
Dewi Siluman tepukkan
tangannya dua kali.
Pintu terbuka, seorang gadis
baju biru masuk. Selagi gadis ini menjura maka sang Dewi sudah buka mulutnya.
“Apakah Sepuluh Jari Kematian
masih hidup?!”
“Akan aku periksa Dewi.
Kemarin dia masih bernafas satu-satu….”
“Jika dia masih hidup, lekas
bawa ke Ruangan Putih. Aku menunggu di sana!”
“Baik Dewi,” dan gadis ini
menjura lagi lalu keluar dengan cepat. Dia adalah anak buah Dewi Siluman yang
bertugas di Ruang Penyiksaan.
Begitu gadis itu berlalu, Dewi
Siluman segera tinggalkan kamar di anjungan ketiga itu.
Tak lama menunggu maka sebuah
kerangkeng dari besi yang beroda didorong memasuki Ruangan Putih. Di dalamnya
menggeletak Sepuluh Jari Kematian. Keadaannya seperti sudah mati dan mengerikan
sekali. Dia tak mengenakan jubah hitam lagi tapi hanya bercawat kecil. Sekujur
badannya penuh bengkak-bengkak hijau merah yang mengandung nanah. Di antara
bengkakbengkak itu banyak yang telah pecah mengeluarkan nanah campur darah yang
baunya busuk laksana merurutkan bulu hidung. Rambutnya yang panjang
acak-acakan. Mukanya hampir tak bisa lagi dikenali karena penuh dengan
bengkak-bengkak menggembung berselomotan nanah dan darah.
Kedua matanya kini hanya
merupakan rongga-rongga besar yang menggidikkan. Penyiksaan yang dialami tokoh
silat ini benar-benar luar biasa. Di dalam Ruang Penyiksaan dia mula-mula
digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Satu hari berlalu maka dia dibawa ke
Ruangan Putih dan dihadapkan pada Dewi Siluman. Tapi sewaktu Sepuluh Jari Kematian
tetap tidak mau tunduk pada kemauan sang Dewi untuk masuk menjadi pengikutnya
maka dia dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan, digantung lagi kaki ke atas
ke bawah. Dua hari kemudian darah mulai menggusur dari mata, telinga serta
hidung dan.mulutnya sedang kepalanya saat demi saat makin gembung seperti
balon.
Hari berikutnya Dewi Siluman
membebaskannya dan ditanyai apakah bersedia merubah pikirannya dan masuk ke
pihak Dewi Siluman. Tapi jawabannya Sepuluh Jari Kematian adalah caci maki
bahkan tokoh silat itu telah meludahi muka Dewi Siluman. Kemarahan Dewi Siluman
tiada terkirakan. Sepuluh Jari Kematian dijebloskan kembali ke Ruang Penyiksaan
dan dimasukkan ke sebuah ruangan kaca tertutup. Ke dalam ruangan kaca ini
dimasukkan puluhan binatang-binatang berbisa. Sepuluh Jari Kematian tak bisa
berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya diikat dengan benang sutera halus yang aneh
dan kuat luar biasa sedang kekuatannya lumpuh karena ditotok. Dalam tempo satu
hari saja maka habislah bengkak-bengkak sekujur tubuhnya disengat oleh puluhan
binatang berbisa. Kedua belah matanya membusuk dan digerogoti sehingga hanya
tinggal merupakan dua buah lobang yang mengerikan. Kalau saja Sepuluh Jari
Kematian tidak memiliki kekuatan yang luar biasa, pastilah nyawanya sudah lepas
karena siksaan yang sangat hebat itu.
Namun sampai saat itu,
meskipun tak ada harapan untuk hidup, Sepuluh Jari Kematian masih bisa
bernafas, sekalipun nafas itu tak lebih dari nafas-nafas terakhir yang akan
mengantarkannya kepada titik kematian.
Dewi Siluman tutup indra
penciumannya sewaktu bau busuk keluar dari tubuh Sepuluh Jari Kematian merambas
hidungnya. Diperhatikannya tubuh tokoh silat itu seketika. Ternyata masih
bernafas.
“Sepuluh Jari Kematian!” seru
Dewi Siluman.
Tubuh yang menggeletak di
dalam kerangkeng besi itu tiada bergerak.
“Sepuluh Jari Kematian!” seru
Dewi Siluman lebih keras. Tetap tak ada reaksi apa-apa.
Dewi Siluman berpaling kepada
Sarinten yang tadi mendorong kerangkeng beroda itu.
“Semprot dia dengan air biru!”
Sarinten tinggalkan Ruangan
Putih. Ketika dia masuk kembali maka di tangan kanannya ada sebuah tabung kaca
berbentuk kendi yang berisi sejenis cairan berwarna biru. Sarinten mendekati
kerangkeng besi. Bagian atas dari tabung kaca itu ditekannya dengan ujung jari telunjuk.
Terdengar suara mendesis. Dari sebuah lubang pada badan tabung menyemprotlah
air biru ke sekujur tubuh Sepuluh Jari Kematian yang menggeletak di dalam
kerangkeng. Bau busuk dengan serta merta lenyap. Lewat sepeminum teh,
terjadilah hal yang aneh. Dari mulut Sepuluh Jari Kematian terdengar suara
erangan. Kemudian tubuhnya kelihatan bergerak perlahan. Semprotan air biru tadi
nyatanya bukan saja telah melepaskan Sepuluh Jari Kematian dari totokan sejak
beberapa hari yang lalu, tapi sekaligus juga memberikan satu kekuatan aneh
kepadanya. Namun karena sekujur tubuhnya menderita luar biasa maka tetap saja
dari mulutnya keluar suara erangan kesakitan.
“Sepuluh Jari Kematian!” seru
Dewi Siluman.
Erangan tokoh silat itu
terhenti seketika, kepalanya bergerak. Agaknya dia tengah meneliti suara siapa
yang memanggilnya.
“Sepuluh Jari Kematian, kau
dengar aku bicara?!”
“Uh… uuuuu… uuh…. gadis iblis.
Baiknya kau bunuh saja aku saat ini!” Rupanya Sepuluh Jari Kematian sudah
mengetahui siapa yang bicara dengan dia.
“Dengar, nyawamu akan
kuselamatkan jika….”
“Iblis laknat, kau bunuh aku
cepat! Biar aku jadi setan dan mencekikmu…!”
Dewi Siluman tahan amarahnya
yang mulai meluap.
“Kau tak akan mati Sepuluh
Jari Kematian. Aku datang justru untuk selamatkan jiwamu….”
Sepuluh Jari Kematian
mendengus. Dia coba untuk bangun dan duduk, tapi tak berhasil.
“Apakah kau juga bisa
kembalikan dua mataku yang kini buta ini, gadis siluman laknat?!” sentak
Sepuluh Jari Kematian.
“Jika kau tak mau dengar
ucapanku terpaksa kau kukirim kembali ke Ruang Penyiksaan!”
“Aku tidak takut! Aku ingin
lekas mampus biar cepat jadi setan dan memuntir batang lehermu!” tukas Sepuluh
Jari Kematian.
Penasaran sekali Dewi Siluman
memerintah pada Sarinten. “Ambil besi menyala!”
Sarinten tinggalkan Ruangan
Putih dan kembali lagi dengan sepotong besi besar yang ujungnya merah menyala
karena dibakar dengan api. Dewi Siluman mengambil besi itu, ujungnya kemudian
didekatkan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat golongan hitam ini tampak
menyeringai kesakitan akibat panasnya besi yang terbakar itu.
“Sepuluh Jari Kematian, jangan
jadi orang tolol! Bagaimanapun keadaanmu sekarang, kau tetap akan bisa selamat
dan hidup terus. Lekas katakan siapa adanya pemuda yang tempo hari melarikan
diri sewaktu anak-anak buahku mendatangi kau! Siapa namanya, gelar dan asal
dari mana! Cepat!”
Sepuluh Jari Kematian
kelihatan tercenung. Tiba-tiba dari mulutnya mengumandang rendah suara tertawa
mengekeh. “Kalau aku sudah mampus dan jadi setan, baru aku kasih tahu padamu!”
jawab laki-laki itu.
Ujung besi yang merah terbakar
didekatkan kembali ke muka Sepuluh Jari Kematian.
Kembali manusia ini kernyitkan
muka karena hawa yang panas.
“Lekas terangkan!” sentak Dewi
Siluman. Dia sudah tidak sabar sekali.
Sepuluh Jari Kematian hentikan
kekehannya. “Gadis iblis, yang perlu kukatakan pada kau… ialah… kau bakal tak
sanggup menghadapi pemuda itu! Ilmu silatnya lebih tinggi… dan… dan
kesaktiannya lebih hebat dari kau! Kau akan mampus di tangannya…. Kau… akan….”
Ucapan Sepuluh Jari Kematian
cuma sampai di situ. Dari mulutnya kini keluar lolongan yang mengerikan karena
saat itu Dewi Siluman menusukkan ujung besi yang merah menyala ke pipi
kanannya. Bukan saja pipi itu terpanggang hangus tapi juga menjadi bolong
besar.
“Masukkan manusia tak berguna
ini ke Ruang Penyiksaan kembali!” perintah Dewi Siluman.
Maka Sarinten kemudian
mendorong kerangkeng besi setelah menerima besi merah menyala dari tangan sang
Dewi.
*
* *
9
Tinggal sendirian di kamar
pada anjungan ke tiga itu Dewi Siluman kembali memikirkan tentang keempat orang
anak buahnya. Mungkin sekali mereka telah menjadi korban si pemuda sakti yang
sampai saat itu tiada diketahuinya siapa adanya. Keesokan harinya tiada kabar
tentang Kemani maka Dewi Siluman segera memanggil anak buahnya yang bernama
Laruni. Laruni adalah anak buah Dewi Siluman yang paling tinggi ilmunya. Tiga
perempat bagian ilmu silat Dewi Siluman sudah dikuasainya dengan sempurna.
Waktu Laruni datang menghadap,
Dewi Siluman menunggunya bersama Sarinten, Inani dan seorang gadis lainnya
bernama Wakania.
Dewi Siluman tidak
membuang-buang waktu, segera dia berkata. “Laruni, aku percayakan satu tugas
kepadamu yang harus kau laksanakan dengan baik. Kau tentu sudah tahu bahwa
empat kawanmu di bawah pimpinan Kemani telah kuperintahkan untuk mencari
seorang pemuda berkepandaian tinggi. Pemuda itu kini malang-melintang di pulau
kita dan merupakan bahaya besar bagi kita serta setiap rencana kita. Keempat
kawanmu itu tidak kembali sampai hari ini. Aku khawatir bahwa mereka menemui
hal-hal yang tak diingini. Kuharap kau bisa menyelidiki apa yang telah terjadi
dengan mereka dan paling penting ialah mencari serta menangkap hidup-hidup
pemuda itu, membawanya kemari.”
“Tugasmu siap kulaksanakan
Dewi.” kata Laruni menyahuti. “Apakah aku akan pergi seorang diri?!”
“Seorang diri aku percaya kau
akan mampu melaksanakan tugasmu,” jawab Dewi Siluman.
“Namun kurasa akan lebih baik
jika kawan-kawanmu yang tiga orang ini ikut bersamamu.” Dewi Siluman kemudian
palingkan kepala pada Inani. Setelah menatap gadis jelita berkulit kuning
langsat itu sejurus maka berkatalah dia.
“Inani, kau pergi bersama
Laruni dan bawa kecapimu.”
Bukan saja Inani, tapi
Sarinten, Laruni dan Wakania menjadi heran mendengar ucapan sang Dewi. Adakah
seorang yang hendak ditugaskan mencari musuh lawan hebat disuruh membawa
kecapi? Sungguh tak dapat dimengerti mengapa sang Dewi menyuruh demikian.
“Kalian mungkin heran,” ujar
Dewi Siluman sambil pandangi paras keempat anak buahnya.
“Tapi justru suara petikan
kecapi di rimba belantara yang sunyi atau di lamping gunung atau di tepi jurang
yang curam, akan menarik perhatian setiap telinga manusia yang kebetulan
mendengarnya!
Dengan kerahkan tenaga dalammu
maka suara kecapi itu akan menggema jauh. Ini akan mengundang datangnya pemuda
yang tengah kalian cari. Dan kalian akan mudah menangkapnya!”
Diam-diam keempat orang gadis
itu memuji kecerdasan Dewi mereka. Setelah mengatur persiapan untuk perjalanan
maka berangkatlah Laruni dan kawan-kawannya. Di kaki sebuah bukit, mereka
mengatur rencana dan berpencaran. Laruni ke utara, Sarinten ke selatan, Wakania
ke timur dan Inani ke barat.
Wiro Sableng, si Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 berdiri di muka gua batu, memandang ke arah pedataran
liar di bawahnya. Sinar matahari yang baru naik di ufuk timur membuat
pemandangan lebih bagus dan indah. Anak sungai yang membujur di sebelah
tenggara kelihatan berkilau-kilau disaputi sinar matahari itu. Batu-batu cadas
hitam bergemerlap. Wiro menarik nafas dalam, menghirup udara pagi yang segar.
Diperhatikannya lengan kanannya. Dia gembira sekali karena lengan yang tempo
hari patah itu kini sudah sembuh. Berarti hari itu adalah hari dimana dia
kembali memulai menyelidiki di mana letaknya sarang Dewi Siluman. Sebenarnya
pendekar ini ingin lebih dahulu mencari Goa Belerang, yaitu goa yang
diterangkan secara misterius dalam tulisan manusia aneh yang telah mengencingi
kepalanya dulu itu. Namun karena waktu yang disebutkan dalam tulisan itu ialah
bulan purnama empat belas hari maka dia musti menunggu, kirakira empat lima
hari di muka. Wiro tak suka menunggu, untuk menghabiskan waktunya dia
memutuskan mulai menyelidiki tentang Dewi Siluman.
Demikianlah, setelah menikmati
pemandangan indah serta puas menghirup udara pagi yang segar maka Pendekar 212
ini segera tinggalkan gua. Suara siulannya menggema dikeheningan pagi
membawakan lagu tak menentu, membuat takut binatang-binatang kecil membuat
burung-burung terkejut dan menghentikan kicau lalu terbang ketakutan.
Di antara suara siulannya yang
tak menentu itu mendadak lapat-lapat Wiro Sableng menangkap suara sesuatu di
kejauhan. Pendekar ini hentikan langkah serta siulannya. Suara di kejauhan itu
adalah suara bunyi-bunyian. Tak dapat dipastikan suara bunyi-bunyian apa.
Dipertajamnya telinganya, tapi
karena suara bunyi-bunyian itu jauh sekali tetap saja sukar dikenalinya. Penuh
rasa ingin tahu maka Wiro Sableng kemudian langkahkan kakinya ke arah datangnya
suara tersebut. Lewat sepeminum teh suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi
agaknya masih jauh. Maka dari melangkah biasa, Wiro Sableng mulai berlari
dengan cepat. Lewat lagi sepeminum teh, suara bunyi-bunyian itu tambah jelas
tapi sumbernya masih jauh. Rasa aneh menjalari diri Pendekar 212. Jangan-jangan
pendengarannya telah menipu diri sendiri. Atau mungkin suara bunyi-bunyian itu
adalah suara setan atau bangsa dedemit penghuni rimba belantara?!
Kalau tidak mengapa setelah
demikian lamanya sumber suara tersebut masih belum berhasil dicapainya?!
Ketika lewat lagi satu kali
peminum teh maka barulah Wiro Sableng mengenali suara bunyibunyian itu. Suara
petikan kecapi. Dia tak tahu lagu apa yang dibawakan, tapi suaranya demikian
merdu dan menyayat hati. Mungkin itu lagu seorang gadis yang ditinggal kekasih,
pikir sang Pendekar 212! Mendekati sumber bebunyian itu Wiro bertindak
hati-hati. Rasa aneh yang menggerayangi tubuhnya menjadi satu peringatan
baginya. Jarak antara dia pertama kali mendengar suara itu tadi jauh sekali,
berkilo-kilo meter. Suara kecapi biasa tak akan mungkin bisa terdengar sampai
demikian jauhnya. Kemudian siapa pulakah .yang memetik kecapi itu?
Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun Wiro menyeruak semak belukar lebat. Dilewatinya segerombolan
pohon-pohon yang tumbuh dengan rapat. Kemudian di sebelah depan dilihatnya
sinar terang dari matahari yang menyeruak di antara kerapatan pohon-pohon dan
semak belukar.
Ternyata di bagian muka sana
itu adalah ujung dari sebuah lembah subur yang ditumbuhi rumput hijau.
Pemandangan dari tempat ketinggian itu indah sekali karena di bawah lembah
kelihatan sebuah telaga. Namun Pendekar 212 sama sekali tidak tertarik dan
perhatikan keindahan pemandangan itu. Dia bergerak ke samping kiri dari mana
suara kecapi terdengar santer sekali. Dia masih belum melihat manusia dan
kecapi itu. Mungkin terlindung di balik semak-semak rapat di dekat pohon
beringin besar. Maka Wiro dengan langkah cepat tanpa suara menuju ke balik
pohon beringin. Matanya memandang tajam menembus di antara celah-celah semak
belukar.
Dan terkejutlah Pendekar 212
Wiro Sableng.
Betapa tidak. Apa yang
disaksikannya hampir tak bisa dipercayanya. Di balik semak belukar itu
terhampar sebuah batu hitam besar laksana pelaminan, menghadap di lembah subur.
Dan di atas batu besar hitam itu duduklah seorang dara jelita sekali, berbaju
biru. Rambutnya diriap lepas, bergerai di bahu dan di punggungnya sampai ke
pinggang. Sinar matahari membuat rambut yang hitam itu berkilauan. Di pangkuan
sang dara terletak sebuah kecapi yang kayunya bagus diukir-ukir.
Jari-jari si gadis menari-nari
dengan lincahnya di atas sinar-sinar kecapi itu. Dan dia memainkannya tanpa
matanya memandang pada kecapi itu tapi memperhatikan keindahan lembah di
bawahnya.
Betapa ahlinya dia memainkan
kecapi itu dan betapa indahnya lagu yang dibawakannya. Untuk beberapa lamanya Pendekar
212 dibikin terpesona, bukan saja oleh kepandaiannya dan keindahan permainan
kecapi si dara baju biru, tapi juga oleh kejelitaan parasnya. Beberapa lama
kemudian barulah Wiro Sableng menyadari bahwa cara si gadis memainkan kecapi
itu bukanlah cara biasa seperti yang dimainkan oleh orang. Buktinya petikan
kecapinya itu telah terdengar oleh Wiro Sableng di tempat yang sangat jauh.
Pastilah si gadis baju biru memetiknya dengan disertai aliran tenaga dalam yang
hebat pada jari-jari tangannya. Dan pastilah bahwa gadis jelita ini bukan gadis
sembarangan.
Ketika si gadis baju biru
menggeser badannya sedikit maka saat itulah Wiro dapat melihat kalung tengkorak
kecil yang tergantung di lehernya. Terkesiaplah pendekar ini. Baju biru, kalung
tengkorak kecil, itulah ciri-ciri dandanannya anak buah Dewi Siluman dari Bukit
Tunggul. Karena memaklumi bahwa si gadis meskipun masih belia tapi berilmu
tinggi dan memiliki tenaga dalam sempurna maka Wiro Sableng tak mau bertindak
sembrono. Dia menunggu sampai beberapa lama, tapi si gadis agaknya masih belum
mau menghentikan petikan kecapinya. Akhirnya pendekar kita putuskan untuk
keluar dari balik pohon beringin tanpa menunggu sampai si baju biru itu
menyudahi permainan kecapinya. Sambil mendehem maka Wiro Sableng munculkan
diri.
Meskipun dia memainkan kecapi
adalah sengaja untuk mengundang datangnya orang yang tengah dicari, namun suara
deheman tadi membuat Inani gadis yang memainkan kecapi itu jadi terkejut juga.
Belum dia berpaling, didengarnya suara laki-laki berkata.
“Petikan kecapimu sedap sekali
saudari. Lagunya pun indah!”
Inani hentikan permainannya
dan putar kepala dengan cepat. Di hadapannya kini berdiri seorang pemuda
berambut gondrong bertampang gagah. Pakaiannya putih-putih dan tubuhnya tegap
kekar. Meskipun sudah dewasa namun pandangan matanya seperti mata anak-anak,
membayangkan kepolosan dan kejujuran hati.
Meski terkesiap beradu
pandangan dengan Pendekar 212, namun begitu ingat tugasnya, maka membentaklah
Inani.
“Siapa kau?”
Wiro Sableng sunggingkan
senyum. “Ah kenapa kau hentikan permainan kecapimu, Saudari?
Rupanya aku mengganggumu saja.
Harap maafkan. Aku….”
“Jangan banyak bicara! Lekas
terangkan siapa kau!”
“Tadinya tengah menggembalakan
kerbau di sebelah timur lembah ini. Kemudian kudengar suara petikan kecapimu
lalu datang ke sini….”
“Jadi kau gembala huh?”
“Betul!” sahut Wiro.
“Jangan dusta! Kau pasti
pemuda yang tempo hari larikan diri ketika mau ditangkap!”
Habis membentak begitu maka
Inani segera gerakkan tangan kanannya ke balik pakaian.
Sebuah benda terbentuk bola
hendak di lemparkannya ke udara. Bola ini adalah tanda yang harus dilepaskannya
ke udara, untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya bahwa dia telah berhasil
menemukan orang yang mereka cari. Di udara bola itu akan pecah dan memancarkan
warna merah hingga mudah dilihat. Tapi sebelum tangannya sempat melemparkan
bola itu, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah tangkap pergelangan tangan kanan
Inani. Keduanya saling tarik menarik dan saling pandang menyorot. Betapa pun si
gadis kerahkan tenaganya tetap saja dia tak sanggup lepaskan pegangan Wiro.
“Lepaskan tanganku!” teriak
Inani. Rasa aneh menjalari dirinya. Seumur hidup itulah pertama kali seorang
laki-laki menyentuh kulit tubuhnya.
“Aku akan lepaskan,” kata Wiro
sambil tersenyum “Tapi benda ini harus kau berikan dulu padaku.”
“Kurang ajar. Lepaskan
tanganku!” sentak Inani.
Wiro gelengkan kepala.
“Berikan dulu benda ini, saudari baru kulepaskan.” katanya.
Dengan mengkal Inani lepaskan
bola itu yang segera diambil dengan tangan kiri Wiro Sableng. Kemudian baru
dilepaskannya lengan si gadis. Tengah Wiro meneliti benda berbentuk bola itu
tiba-tiba Inani berdiri dan lemparkan kecapinya ke arah si pemuda.
Cepat-cepat Wiro Sableng
berkelit. Kecapi lewat menderu di atas kepalanya. Ketika benda itu hampir
menghantam pohon beringin dan pasti akan hancur, Wiro cepat melompat dan
menangkap kecapi itu. Lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia berkata.
“Saudari, gerakanmu melemparkan benda ini hebat sekali. Tapi sungguh sayang
kalau kecapi yang bagus ini hancur berantakan!”
Perlahan-lahan Wiro Sableng
letakkan kecapi di kaki pohon beringin. Baru saja itu dilakukannya maka si
gadis sudah menerjang menyerangnya. Kalau tidak lekas si pemuda menyingkir
pastilah sebuah tendangan akan mendarat di perutnya.
“Eh, saudari. Apa-apaan ini!
Tak ada hujan tak ada angin, tak ada pasal tak ada lantaran, kenapa kau
menyerang aku?!”
Sebagai jawaban Inani
keluarkan jala sutera biru. Benda ini segera diputar menderu di atas kepalanya.
Didahului dengan lengkingan keras, Inani lancarkan pukulan tangan kiri dan
kirimkan satu tendangan. Angin serangan ini demikian hebatnya membuat pakaian
dan rambut Pendekar 212 sampai berkibaran, sementara dia mengelakkan dua
serangan ini, maka jala biru berkelebat dan menebar ke arah kepalanya. Wiro
cepat tundukkan kepala tapi jala sutera biru terus memapas hendak melibat
pinggangnya. Sekali lagi Wiro mengelak dan sekali lagi pula jala itu, menyusup
laksana kilat ke arah kedua kakinya.
“Hebat!” seru Wiro memuji
seraya melompat dua tombak.
Penasaran sekali Inani kembali
memburu dengan gempuran serangan yang lebih hebat tapi walau bagaimanapun
Pendekar 212 bukanlah semudah yang diduganya untuk dirubuhkan. Sedang sampai
saat itu Wiro sama sekali mengambil sikap mengelak, tak sekalipun balas
menyerang.
“Kenapa mengelak terus, tak
berani menyerang?!” bentak Inani penuh penasaran. Dia berharap-harap salah
seorang kawannya muncul di situ agar bisa membekuk si pemuda.
“Hentikan seranganmu, saudari.
Kita toh tidak punya permusuhan. Mari bicara dulu baikbaik.”
“Kalau kau mau bicara,
bicaralah nanti di hadapan Dewi Siluman!”
“Oh, jadi kau anak buahnya
Dewi Siluman? Kau tahu saudari. Dewimu itu kawan baikku!”
Karena merasa dipermainkan
dengan ucapan itu maka Inani menyerang lagi dengan lebih ganas. Dia keluarkan
jurus-jurus yang mengandung tipu berbahaya. Tiada terasa, dua puluh jurus telah
berlalu. Jika Wiro mengadakan perlawanan pastilah tidak semudah dan sebanyak
itu jurus yang bisa dilewati Inani.
“Saudari! Jika kau tak mau hentikan
seranganmu terpaksa aku turunkan tangan kasar!”
memperingatkan Wiro.
“Kalau kau memang punya
kepandaian silahkan balas seranganku! Kukira kau bukan pemuda banci yang cuma
pandai berkelit dan mengelak saja!”
Wiro panas sekali dikatakan
pemuda banci.
“Harap kau jangan menyesal,
saudari!” katanya seraya pasang kuda-kuda.
Pukulan tangan kosong yang
menimbulkan angin keras melanda ke arah Wiro. Di saat yang sama jala sutera
menderu dari atas ke bawah dalam satu gerakan yang luar bisa cepatnya.
“Gadis cantik!” seru Wiro.
“Lihat baik-baik. Ini jurus Menepuk Gunung Memukul Bukit.
Pegang kuat-kuat jalamu, kalau
tidak akan kurampas!” Habis berkata begitu Wiro hantamkan dengan perlahan
telapak tangan kirinya ke muka sedang tangan kanan membuat gerakan cepat ke
samping sesuai dengan sambaran jala. Tubuhnya sedikit menekuk.
“Pemuda sombong!” maki Inani.
“Kau akan terima nasib sial di dalam jalaku!” Dan si gadis lipat gandakan
tenaga dalamnya.
Tiba-tiba dia terkesiap karena
pukulan tangan kosongnya dipapasi oleh satu sambaran angin deras yang ke luar
dari telapak tangan kiri lawan. Belum lagi habis rasa terkesiap ini sekejap
kemudian dirasakannya jala sutera birunya yang tadi telah menebar kini menciut
lagi ujungnya.
Ketika kejapan berikutnya
berlalu. Inani merasakan tangannya yang memegang jala laksana dipelintir dan
tahu-tahu jala sutera itu terlepas dari tangannya, kena dirampas oleh Wiro
Sableng.
Pendekar 212 tertawa dan
main-mainkan jala sutera biru yang berhasil dirampasnya.
“Apakah kau masih belum mau
menghentikan pertempuran dan bicara dulu baik-baik?” tanya Wiro pula.
Sebagai jawaban malah Inani
loloskan kalung tengkorak dari lehernya. Kemudian dengan sebat menyerang ke
arah sang pendekar. Di antara suara menderu kerasnya sambaran kalung tengkorak
maka terdengar pula suara mendesis. Dari mata dan hidung tengkorak kecil itu
mengebut asap biru yang tebal gelap dan menebarkan bau aneh menusuk hidung.
Pendekar 212 terkejut bukan main. Dia masih mempermainkan jala sutera sewaktu
asap biru yang sangat pekat itu telah membungkus dirinya.
*
* *
10
Pendekar 212 Wiro Sableng
segera maklum bahwa asap biru pekat yang membungkus diri dan membuat matanya
tak bisa melihat apapun adalah sangat berbahaya dan mengandung obat jahat yang
bisa melemahkan tubuh. Dengan cepat pendekar ini tutup jalan nafas lalu
melompat ke samping. Tapi anehnya lompatan itu tidak membuat dia keluar dari
kurungan asap. Di sekelilingnya masih gelap gulita.
Wiro Sableng pusatkan tenaga
dalamnya pada kedua kaki. Dengan membentak nyaring pendekar ini membuat gerakan
yang dinamakan: Gunung Meletus Batu Melesat ke Luar Kawah.
Gerakan ini membuat tubuhnya
mencelat laksana anak panah lepas dari busurnya.
Di lain pihak Inani begitu
melihat lawannya terbungkus asap biru segera pergunakan tangan kiri untuk
mengambil segulung benang yang sangat halus, sehalus jaring laba-laba. Sekali
menyentakkan maka gulungan benang yang terbuat dari sutera itu menerobos asap
biru gelap laksana seekor ular. Inani gembira sekali sewaktu benang suteranya
dirasakannya melibat sasarannya di dalam asap gelap itu. Setelah yakin
betul-betul bahwa Wiro Sableng tidak berdaya lagi dilibat benang sakti tersebut
maka Inani semprotkan asap putih dari mulut kalung tengkorak.
Sekejapan kemudian maka
sirnalah asap biru gelap dan suasana menjadi terang benderang kini.
Dan betapa terkejutnya gadis
jelita berbaju biru ini. Yang dilibat oleh benang suteranya bukanlah tubuh
lawannya, melainkan pohon beringin besar yang terletak kita-kira sepuluh
langkah di hadapannya.
Inani memandang berkeliling
dengan cepat. Di belakangnya Wiro Sableng tertawa gelakgelak.
“Sejak kapan ada manusia yang
bermusuhan dengan pohon beringin?!” ejek Wiro.
Penuh geram Inani gulung
dengan cepat benang suteranya. Dengan kalung tengkorak di tangan kembali dia
menyerang Wiro Sableng. Sang pendekar sendiri menyambut kedatangan si gadis
dengan putaran jala biru.
“Sekali-sekali kau musti
merasakan juga bagaimana kalau jala ini melibat dirimu sendiri!” ujar Wiro.
Inani tidak percaya bahwa si
pemuda akan sanggup gunakan jala itu karena untuk memakainya mempunyai cara
tersendiri yang hanya anak-anak buah Dewi Siluman yang mengetahuinya.
Karenanya tanpa ada keraguan
sedikit pun Inani sama sekali tidak batalkan serangannya.
Kalung tengkorak yang
kekuatannya lebih keras dari bola baja itu menyambar ganas siap untuk
menghancurkan kepala lawannya. Tapi betapa terkejutnya gadis ini sewaktu
dikejap yang sama jala sutera biru di tangan lawan membuka dan menebar
menyungkupi tangan kanan terus kepala dan tubuhnya.
Wiro Sableng adalah seorang
yang. bermata tajam. Sewaktu Inani mengeluarkan jala biru itu dia merasa sangat
tertarik dan memperhatikan dengan seksama bagaimana si gadis memainkan senjata
tersebut. Sehingga pada saat jala itu berada di tangannya, dengan mudah dia bisa
pula mempergunakannya.
Inani coba berontak dan
lepaskan diri dari sekapan jala. Tapi sudah terlambat. Seluruh jala telah
membungkus tubuhnya sampai ke lutut. Membuat dia tak bisa lepaskan diri lagi.
Wiro tertawa gelak-gelak dan
berdiri tolak pinggang.
“Lepaskan jala ini!” teriak
Inani.
“Enak betul,” sahut Wiro.
“Kalau kulepaskan pasti kau akan serang diriku lagi!” Dan Pendekar 212 lalu
melangkah ke hadapan Inani.
“Kau mau bikin apa?! Pergi!”
“Eh, aku cuma mau lihat
parasmu apa tidak boleh!”
“Pergi!” teriak Inani.
Wiro Sableng menyengir. Dia
melangkah lagi dan jarak mereka cuma terpisah dua jengkal saja. Inani dapat
merasakan hembusan nafas pemuda itu di parasnya yang jelita. Sepasang mata
mereka untuk kesekian kalinya beradu pandang.
“Pergi!”
“Saudari, kau betul-betul
inginkan aku pergi? Baik! Tapi biar kutotok dirimu dulu!” Wiro lantas totok
tubuh Inani sehingga si gadis kini berdiri mematung. “Aku akan pergi dan kau
akan sendirian di sini untuk selama-lamanya. Kalau tidak ada binatang liar buas
yang menggerogoti dirimu, kau akan mati kelaparan di sini!” Lalu Pendekar 212
balikkan badan berpura-pura hendak pergi.
Apa yang dikatakan Wiro terasa
benar dan mengerikan bagi Inani. Ketika dilihatnya pemuda itu berlalu dia cepat
berseru. “Saudara, tunggu dulu!”
Wiro jual mahal dan terus
melangkah.
“Saudara, kembalilah!” seru
Inani lagi.
Wiro berpaling, “Ada apa?”
Dengan rasa jengah dan paras
merah Inani berkata. “Kembalilah dulu!”
“Lucu! Tadi kau bentak aku
agar pergi! Sekarang malah menyuruh kembali!”
“Lepaskan jala ini. Juga
totokanku!”
“Tidak bisa.” jawab Wiro
seraya menggeleng.
Marahlah Inani.
“Kalau kawan-kawanku datang
kau pasti akan mereka bekuk!”
Wiro tertawa sinis. “Kau bisa
berteriak memanggil mereka,” katanya.
Inani buka mulut betul-betul
hendak berteriak. Tapi entah mengapa hal ini kemudian tak jadi dilakukannya.
Malah dia berkata. “Jangan kira dengan kehebatan yang kau miliki kau bisa
menghadapi Dewi Siluman! Tak satu ketinggian ilmu silat, tak satu kesaktian,
pun yang sanggup mengalahkan Dewi Siluman!”
“Hemm begitu…?” Wiro
garuk-garuk rambutnya.
“Aku tidak mengerti, apakah
Dewi Siluman itu benar-benar seorang manusia atau seorang siluman? Apakah
parasnya secantik Dewi ataukah mengerikan seperti Siluman?!”
“Pemuda kurang ajar! Jangan
kau berani lancang mulut menghina Dewi kami!” bentak Inani.
“Eh, siapa yang menghina? Aku
cuma tanya?!”
“Lekas lepaskan kau mau
berjanji memetik kecapi memainkan sebuah lagu untukku!”
Inani memaki-maki dalam hati.
Rahang-rahangnya bertonjolan. Wiro Sableng dudukkan dirinya di atas batu besar.
Sambil memandang ke lembah di hadapannya pendekar ini berkata.
“Dunia sungguh aneh. Siapa
yang akan menyangka kalau gadis-gadis berparas cantik sanggup melakukan
kejahatan luar biasa? Membunuh manusia-manusia tiada berdosa, bahkan anak-anak
dan orang tua renta?”
Inani memandang tajam-tajam
pada Pendekar 212.
“Aku tak pernah membunuh
manusia! Jangan main tuduh sembarangan!”
Wiro palingkan kepala dan
memandang dengan tersenyum pada si gadis. “Kau toh anak buahnya Dewi Siluman,
biang penebar kematian dan kejahatan di Pulau Madura ini? Yang kabarnya, mau
menguasai dunia persilatan di delapan penjuru angin?!”
“Tapi tidak semua anak buah
Dewi Siluman yang jadi pembunuh!”
“Lantas kau jadi apa?” tanya
Wiro Sableng. “Jadi tukang rias atau tukang kipasnya?!”
“Sudah! Tutup mulutmu dan
lekas lepaskan jala serta totokanku ini!”
“Bersekutu dengan orang-orang
jahat, menjadi anak buah orang jahat tiada beda dengan berbuat kejahatan itu
sendiri! Masa muda yang begini indah, yang cuma sekali saja dalam kehidupan,
dipakai untuk mengabdi pada kejahatan! Sungguh sayang. Kebahagiaan dunia tiada
dapat, dan kelak di akhirat akan menerima siksaan….”
“Aku tak perlu nasihatmu!”
“Dengar saudari. Aku akan
bebaskan kau kalau kau berjanji mau menunjukkan dimana sarangnya Dewimu itu.”
“Kau paksa pun aku tidak akan
beritahu,” jawab Inani. “Sekalipun kau sampai ke sana, kau Cuma akan mengantar
nyawa!”
Wiro tersenyum. “Kau tak akan
bisa hidup dalam cara begini terus-terusan saudari. Satu hari kebenaran akan
datang menumpas. Kebenaran kadangkala tidak memandang bulu. Siapa yang
berserikat dengan kejahatan pasti akan ditumpas, termasuk kau! Apakah gunanya
hidup begitu rupa?
Hidup percuma mati tiada
harga? Padahal dunia ini begini indah dan semua keindahan itu untuk kita
semua…?”
Tergetar hati Inani mendengar
ucapan Pendekar 212. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Inilah kali pertama dia
bertemu dengan seorang pemuda dan ini pula pertama kali dia mendengar ucapan
demikian rupa. Walau bagaimanapun Inani adalah seorang perempuan yang
berperasaan halus dan lekas tersentuh lubuk hatinya. Namun demikian kehidupan
di tengah-tengah anak buah Dewi Siluman telah sangat meresap dan mempengaruhi
dirinya sehingga sesaat kemudian kembali gadis ini membentak agar dirinya
dilepaskan.
Pendekar 212 geleng-gelengkan
kepala.
“Sayang.” katanya. Dibukanya
jala yang melibat tubuh Inani. Digulungnya jala sutera itu dan diletakkannya di
atas bahu si gadis. “Kau akan kubebaskan, kau bisa pergi dengan aman.
Jangan kira kau kubebaskan
karena takut pada Dewimu itu. Aku kasihan padamu….”
“Aku tak minta dikasihani.”
“Kuharap kau masih mau
berpikir!” ujar Wiro.
Kemudian dilepaskannya totokan
di tubuh Inani.
“Di lain hari kita akan
bertemu lagi saudari. Saat itu mungkin dalam suasana yang lain.
Jangan menyesal jika nanti aku
turun tangan jahat terhadapmu. Selagi masih ada kesempatan, tinggalkanlah pulau
ini. Kau bisa memulai hidup baru yang jauh lebih baik….”
Inani tak berkata apa-apa. Dia
berkelebat meninggalkan tempat itu.
“Saudari tunggu dulu!” seru
Wiro. “Kecapimu ketinggalan!”
Si gadis baru ingat akan
kecapi itu. Dia berbalik dan cepat-cepat menyambar benda itu.
Sewaktu dia hendak berlalu
kembali tiga sosok tubuh berkelebat dari arah timur.
Terdengar satu seruan nyaring.
“Inani! Perjanjian apakah yang kau buat Sehingga kau hendak meninggalkan musuh
besar kita begitu saja?!”
Inani terkejut sekali. Juga
Wiro Sableng.
Dan sedetik kemudian tiga
sosok tubuh itu sudah berada di hadapan mereka!
*
* *
11
Ketiga pendatang baru ini
bukan lain daripada Sarinten, Wakania dan Laruni. Yang berseru tadi ialah
Laruni. Ketiganya segera mengurung Pendekar 212. Tanpa melepaskan pandangannya
yang menyorot pada Wiro Sableng Laruni bertanya pada Inani.
“Inani! Kenapa kau hendak
tinggalkan manusia ini begitu saja?! Apa kau lupa tugas kita?!”
“Ilmunya tinggi sekali
Laruni.” jawab Inani. “Aku tak sanggup menghadapinya.”
“Tapi kau bisa lepaskan tanda
agar kami datang!” ujar Sarinten.
“Sudah kulakukan. Dia berhasil
merampas bola pemberi tanda itu!”
“Lantas kau kenapa tidak
berteriak….?” tanya Laruni.
“Mulutku disekapnya.” jawab
Inani berdusta.
“Lalu dia biarkan kau pergi
seenaknya? Sungguh lucu!” kata Wakania menyindir.
“Kau tetap di tempat Inani!
Kau harus pertanggung jawabkan kesalahanmu di hadapan Dewi!” bentak Laruni.
Kecutlah hati Inani.
Sementara itu Laruni, Sarinten
dan Wakania loloskan kalung tengkorak masing-masing dan juga keluarkan jala
sutera biru. Wiro hela nafas dan geleng-gelengkan kepala. Ketiga gadis itu
cantik-cantik, meskipun menurut pandangannya Inani adalah lebih cantik dari
kesemuanya. Dan gadis-gadis cantik beginilah yang jadi anak buah Dewi Siluman.
Yang harus dihadapinya. Sungguh mereka menyia-nyiakan kecantikan mereka.
“Pemuda, apakah kau sudi
menyerah secara baik-baik atau terpaksa kami turun tangan?!”
Wiro Sableng keluarkan siulan
mendengar ucapan Laruni itu. “Benar-benar aneh! Benar benar aneh!” kata
Pendekar 212 pula. “Gadis-gadis begini cantik menjadi anak buah Dewi Siluman
biang racun kejahatan kelas satu!”
“Pemuda bermulut lancang
ceriwis! Kau memilih cara kasar rupanya!” Laruni memekik.
Diikuti oleh Sarinten dan
Wakania maka ketiganya pun berkelebat. Tiga kalung tengkorak menyambar dari
tiga jurusan. Tiga kepulan asap biru menderu mengerikan dan tiga buah jala
sakti menebar sebat dari kiri kanan dan sebelah belakang.
Wiro Sableng yang sudah tahu
kehebatan kalung tengkorak serta jala sutera biru tidak ayal lagi segera
keluarkan jurus: Menepuk Gunung Memukul Bukit yang disusul dengan lompatan:
Gunung Meletus Batu Melesat
Keluar Kawah.
Tiga gadis anak buah Dewi
Siluman terkejut dan penasaran bukan main sewaktu mereka menebarkan jala biru
dan ternyata mereka tiada berhasil meringkus si pemuda. Mereka menyadari dan
menyaksikan sendiri sekarang bahwa lawan mereka memang bukan manusia
sembarangan.
Laruni berikan isyarat kedipan
mata kiri. Serentak dengan itu bersama Sarinten dan Wakania segera membentuk
satu barisan aneh dan bertiga mereka lancarkan serangan yang bukan olah-olah
dahsyatnya. Angin serangan membuat daun-daun berguguran, semak belukar
beterbangan sedang akar gantung pohon beringin bergoyang-goyang kian ke mari.
Wiro berteriak nyaring dan
berkelebat cepat. Tapi gerakan-gerakan lawan, jurus-jurus silat yang dimainkan
sangat aneh baginya, sukar untuk diduga dan diikuti sehingga dalam waktu lima
jurus saja Pendekar 212 mulai terdesak hebat. Untungnya Wiro memiliki ilmu
meringankan tubuh yang lebih tinggi dari ketiga lawan itu sehingga sampai lima
jurus lagi dia masih bisa bertahan dengan gigih. Di antara ketiga lawannya Wiro
mulai memaklumi bahwa Laruni adalah yang paling tinggi ilmunya. Di samping itu
Wiro tahu pula bahwa ketiga lawannya itu tidak benar-benar bermaksud mencelakai
dirinya tapi cuma berniat meringkus hidup-hidup. Karenanya, meskipun kemudian
dia kembali terdesak hebat. Wiro Sableng tak mau balas menyerang dan menurunkan
tangan jahat. Dia sengaja mengambil sikap mengelak terus-terusan. Sementara itu
Inani berdiri mematung di tempatnya, tak tentu apa yang dibuat selain cuma
menyaksikan jalannya pertempuran yang seru itu. Dan diam-diam melihat si pemuda
terdesak, hati gadis ini menjadi khawatir.
Melihat gelagat Wiro tak akan
sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus lagi jika dia terus terusan mengambil
sikap tidak mau balas menyerang itu.
Dan apa yang diduga Inani
menjadi kenyataan.
Di jurus sembilan belas, dalam
satu gebrakan yang luar biasa hebatnya Wiro Sableng dipaksa berkelit cepat
untuk menghindarkan serangan Sarinten dan Wakania. Pada waktu gebrakan ini
terjadi Wiro Sableng masih sempat memperhatikan posisi Laruni yang tengah
berdiri dengan komat-kamit, entah membaca mantera apa. Karena merasa posisi
Laruni tidak berbahaya maka Wiro Sableng tidak begitu ambil perhatian
terhadapnya. Begitu serangan Sarinten dan Wakania lewat, Wiro segera pasang
kuda-kuda baru karena di saat itu dilihatnya kedua penyerangannya tadi membalik
dengan cepat. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212 sewaktu dari belakang terasa
sambaran angin yang luar biasa dahsyatnya. Dia tak melihat kelebatan tubuh
Laruni dan tahu-tahu anak buah terpandai dari Dewi Siluman ini sudah berada di
belakangnya, lancarkan satu jotosan tangan kiri.
“Buk!”
Pendekar 212 mencelat limbung
ke muka tak sanggup imbangi diri dan terguling di tanah.
Tulang punggungnya serasa
hancur. Belum sempat dia bangun maka tiga jala sutera biru telah menebar ke
arah tiga bagian tubuhnya yaitu kepala sampai ke bahu, pinggang dan kedua kaki.
“Celaka!” keluh Pendekar 212.
Dia tahu bahwa dia tak punya kesempatan lagi untuk selamatkan diri.
Satu-satunya jalan ialah lepaskan pukulan Sinar Matahari untuk menghancurkan
jala. Guna mencabut Kapak Naga Geni 212 mungkin tidak keburu. Namun belum lagi
Wiro sempat pukulkan kedua tangannya yang mulai menjadi putih memerak itu, jala
lawan yang pertama turun ke bawah dan melibat ke seluruhan tangannya. Betapapun
dia kerahkan tenaga dalam dan menyentakkan lengan-lengannya tetap tiada gunanya
sementara jala kedua telah menyungkup kepalanya. Dan dalam sedetik lagi akan
menyusul jala ketiga.
“Sialan… sialan!” maki Wiro.
Dia cuma terima nasib diringkus hidup-hidup kini.
Jala kedua telah menyungkup
kepalanya sampai ke bahu. Jala ketiga datang menyambar kaki. Tapi sebelum hal
ini terjadi mendadak Wiro Sableng merasakan sambaran angin yang luar biasa
derasnya. Matanya yang tertutup jala sutera biru samar-samar melihat kelebatan
satu sosok bayangan putih. Dalam detik itu pula Pendekar 212 mendengar suara
keluhan ketiga penyerangnya, disusul oleh keluhan Inani. Dia sendiri kemudian
merasakan tubuhnya terseret beberapa tombak, terangkat ke atas dan ketika
tiba-tiba tiga buah jala yang melibat tubuhnya putus maka tubuhnya terbanting
ke tanah dengan keras, jatuh melintang di akar pohon beringin.
Perlahan-lahan Wiro Sableng
merangkak bangun. Bekas pukulan pada punggungnya sakit sekali tapi tidak
dirasakannya karena waktu itu dia dikesiapkan oleh rasa terkejut yang amat
sangat.
Sewaktu dia memandang
berkeliling dengan cepat tak seorang anak buah Dewi Siluman pun yang
dilihatnya. Kemana mereka? Apa yang telah terjadi?! Satu-satunya benda yang
dilihat Wiro ialah kecapi kepunyaan Inani.
Dalam dia coba memandang
berkeliling sekali lagi dengan rasa penuh tak percaya tiba-tiba matanya
membentur tulisan putih di batang pohon beringin. Pendekar ini coba berdiri,
tapi tubuhnya terhuyung-huyung, punggungnya yang bekas dihantam jotosan Laruni
kumat sakitnya, rasa sakit ini menusuk ke bagian dada. Dan sebelum dia sanggup
bergerak satu langkah, lututnya menekuk, dia serasa mau batuk tapi sewaktu
mulutnya dibuka darahlah yang menyembur dari tenggorokannya. Wiro mengeluh,
sebelum dia jatuh pingsan Pendekar 212 ini masih sanggup dan sempat mengambil
sebutir pil dari balik pakaiannya lalu menelannya dengan cepat.
Wiro Sableng tak tahu berapa
lama dia tergeletak pingsan di tempat itu. Ketika dia siuman matahari telah
condong ke barat. Punggung masih terasa sakit tapi kekuatannya tidak sedikit
pun berkurang. Ini adalah berkat pil yang masih sempat ditelannya tadi sebelum
pingsan.
Wiro bangun, duduk bersila,
meramkan mata, atur jalan nafas serta aliran darah dan kerahkan tenaga dalam ke
bagian tubuh yang masih terasa sakit. Lima menit kemudian Pendekar ini melompat
dari duduknya, tubuhnya terasa segar bugar. Begitu dia teringat pada tulisan di
batang pohon beringin Wiro segera melangkah ke hadapan pohon itu. Di batang
pohon besar yang angker ini tergurat tulisan.
Segala rencana tidak akan
sampai,
Sebelum tahu tingginya langit
dalamnya lautan.
Bulan purnama empat belas hari
di Goa Belerang,
Seribu rencana akan sampai.
“Pasti manusia yang
mengencingiku dulu!” kata Wiro Sableng pada dirinya sendiri. Dia tak habis
mengerti, heran dan geleng-gelengkan kepala. Manusia itu gerakannya luar biasa
cepatnya sehingga hanya bayangan putih pakaiannya saja yang kelihatan. Dalam
satu kelebatan tadi dia telah berhasil melarikan empat anak buah Dewi Siluman
dan juga dalam kecepatan yang sukar diukur, manusia itu masih sempat menggurat
tulisan di batang pohon beringin. Tak sanggup Wiro mengukur kehebatan manusia
itu. Jika dia betul-betul manusia, tentulah ilmunya jauh lebih tinggi dari
gurunya sendiri yaitu Eyang Sinto Gendeng di Puncak Gunung Gede.
Wiro mengamati lagi tulisan di
batang pohon beringin itu. Jika dihubungkannya rangkaian tulisan ini dengan
tulisan yang lalu nyatalah mengandung satu keterangan dan satu nasihat, yang
bagi Wiro kira-kira berarti dia harus datang ke Goa Belerang pada bulan purnama
empat belas hari guna mengetahui segala maksudnya tak akan kesampaian.
“Siapa sebenarnya manusia
itu?” pikir Wiro. “Mengapa dia membawa lari anak-anak buah Dewi Siluman,
mengencingi kepalaku dan menuliskan keterangan serta nasihat itu…?”
Dalam pikiran yang tak kunjung
mengerti dan juga didorong oleh rasa ingin tahu akhirnya Wiro memutuskan untuk
mencari Goa Belerang lebih dahulu, baru kemudian mencari dimana letaknya Bukit
Tunggul tempat kediaman Dewi Siluman.
Sampai senja hari, telah
puluhan kilo daerah diselidiki Wiro Sableng. Dua buah goa ditemuinya tapi
keduanya bukanlah Goa Belerang karena kedua goa itu kosong tiada berpenghuni.
Keesokan harinya, satu hari
suntuk lagi dia menjelajahi berbagai daerah, sampai lagi senja datang, usahanya
tiada berhasil. Pagi yang kedua dari penyelidikannya, dia sampai ke sebuah
sungai berair kehitaman tanda sungai itu dalam sekali. Arus air sungai cepat
bukan main. Setangkai ranting kering yang jatuh, dihanyutkan arus dan
menghilang di kejauhan dalam waktu yang singkat. Wiro mengikuti sungai itu ke
arah hilir.
Perjalanannya terhenti sewaktu
sungai itu sampai di sebuah air terjun yang sangat dalam.
Air sungai yang memancur dan
jatuh menimpa batu-batu besar di sebelah bawah menimbulkan suara yang
menggidikkan. Tempat itu dan daerah sekitarnya berudara redup dan angker,
tampaknya jarang didatangi manusia.
Lebih dari sepeminum teh Wiro
berada di tempat itu. Sebelum pergi dia bermaksud mencuci mukanya yang lengket
oleh debu dan keringatan lalu membasahi tenggorokannya. Dengan kedua belah
telapak tangannya Wiro menciduk air sungai lalu membasahi mukanya. Sesuatu bau
yang agak lain menusuk hidung sang pendekar sewaktu air sungai itu membasahi
mukanya.
Wiro berpikir-pikir. Rasanya
dia pernah mencium bau yang seperti itu sebelumnya.
Diciduknya kembali air sungai
itu lalu didekatkannya ke hidungnya. Mendadak hatinya menciut.
Air sungai itu berbau
belerang. Wiro tahu betul bau belerang karena dia pernah beberapa kali berada
di sekitar kawah gunung yang mengepulkan asap belerang. Dan ketika bau belerang
itu dihubungkannya dengan Goa Belerang maka berdebarlah hati Pendekar 212. Dia
memandang berkeliling dengan penuh teliti. Tak ada satu bagian pun dari tempat
sekitar situ yang lepas dari penelitiannya, namun sampai sebegitu jauh tak ada
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa di situ terdapat sebuah goa. Tapi air sungai
yang berbau belerang?! Untuk kesekian kalinya Wiro kembali meneliti dengan
pandangan mata yang tajam. Tetap tak ada tanda-tanda adanya goa.
Wiro memaki-maki dalam
hatinya. Diperhatikannya batu-batu besar yang jauh di bawahnya.
Diperhatikannya air terjun
yang jatuh menimpa batu-batu itu, membalik kembali ke atas sampai beberapa
tombak laksana asap atau kabut tipis. Tapi. Wiro terkejut. Matanya memandang
lekat lekat kepada batu-batu yang jatuh ditimpa air terjun. Apa yang dilihatnya
bukan cuma air yang muncrat kembali ke atas laksana asap atau kabut, tapi di balik
air yang membalik ke atas itu benar benar Wiro melihat samar-samar namun pasti
adanya kepulan asap. Mulanya Wiro merasa agak bimbang mana mungkin di dasar
yang penuh dengan air terdapat asap karena setiap asap pastilah bersumber pada
hawa panas atau api.
Wiro gosok kedua matanya. Yang
mengepul di antara muncratan air itu memang benar benar asap. Dan ketika
diperhatikannya lebih seksama lagi, ketika dia berpindah tempat dan memandang
ke bagian bawah air terjun dari jurusan lain, tersentaklah Wiro karena di
belakang air terjun itu tampak sebuah goa. Dari mulut goa ini jelas kelihatan
gelung-gelung kepulan asap. Tanpa menunggu lebih lama Wiro melompat ke sebuah
batu. Dari sini dengan andalkan ilmu meringankan tubuhnya melompat lagi ke batu
yang lain, yang terletak di sebelah bawah. Untuk menuju ke dasar air terjun
bukan pekerjaan mudah. Kurang-kurang pandai kaki akan terpeleset dan tubuh akan
terhempas ke bawah sejauh puluhan tombak, disambut oleh batu-batu besar keras.
Meskipun berkepandaian tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sempurna untuk sampai ke dasar air terjun Wiro membutuhkan waktu hampir tiga
kali sepeminum teh.
Akhirnya pendekar ini sampai
juga ke dasar air terjun. Dia berdiri di hadapan air terjun, bergerak ke bagian
samping dengan sangat hati-hati. Sekali tubuhnya terserempet atau tersambar air
terjun, tak perduli bagaimanapun tinggi ilmunya, pasti tubuhnya akan terhempas
dan hancur ditimpa air terjun yang ribuan kilo beratnya itu.
*
* *
12
Pendekar 212 sampai di hadapan
mulut goa. Asap putih menampar-nampar wajahnya dan bau belerang yang santer
menusuk hidung, memerihkan mata. Setelah meneliti seperlunya maka tanpa
ragu-ragu Wiro melangkah masuk. Ternyata semakin ke dalam goa itu semakin
menanjak sedang bau belerang makin keras dan asap semakin banyak.
Kedua mata Wiro menjadi perih,
nafasnya sesak dan dia mulai batuk-batuk. Pemuda ini tutup indera penciumannya,
kerahkan tenaga dalam pada kedua matanya dan melangkah terus. Kirakira seratus
langkah berlalu kepulan asap putih yang berbau belerang bertambah tebal menutup
pemandangan. Meski dia sudah tutup indra penciumannya tetap saja hidungnya
membaui hawa belerang itu sedang tenaga dalamnya tiada mampu menolak sambaran
asap yang memerihkan mata.
Dengan kuatkan diri Wiro maju
terus. Nafasnya tersengal, pemandangannya gelap tertutup asap tebal. Untuk
kembali sudah kepalang tanggung. Suara batuk-batuknya menggema di sepanjang
goa, membuat bulu kuduknya sendiri berdiri.
Pada langkah yang ketiga ratus
duapuluh, Pendekar 212 merasa kekuatannya mulai lumer, kakinya tak sanggup lagi
melangkah. Wiro jatuhkan diri dan terus memasuki goa itu dengan merangkak.
Sebutir pil untuk menolak keracunan dan menjaga agar tidak pingsan dikeluarkan
dan ditelannya. Dua ratus langkah di muka maka perlahan-lahan asap belerang itu
mulai menipis hingga akhirnya lenyap sama sekali dan di hadapan Wiro kelihatan
sebuah tangga batu pualam yang putih bersih dan berkilat.
Setelah menelan lagi sebutir
pil, mengatur jalan nafas dan darah memeriksa aliran tenaga dalam dan membuang
hawa jahat asap belerang yang meresap di paru-parunya maka Wiro Sableng berdiri
lalu melangkah menaiki tangga batu pualam. Bagian atas tangga berhubungan
dengan sebuah pintu dan pintu ini berhubungan lagi dengan sebuah ruangan empat
persegi. Di dalam ruangan ini kelihatan delapan gadis berbaju biru yang bukan
lain adalah anak-anak buah Dewi Siluman. Di antaranya empat orang yang
sebelumnya telah baku hantam dengan Wiro di tepi lembah. Kedelapan gadis ini
duduk bersila dengan mata meram di hadapan seorang berpakaian selempang putih
yang duduk membelakang ini panjangnya sampai ke bahu, Wiro belum dapat
memastikan apakah dia seorang perempuan atau bukan.
Tanpa menoleh ke pintu
tiba-tiba manusia berambut putih panjang itu membentak dan lambaikan tangan
kanannya lewat bahu.
“Pemuda tidak tahu diri!
Disuruh datang bulan purnama empat belas hari berani unjuk tampang hari ini!”
Wiro terkejut sekali. Dan
sewaktu dia menyadari bahwa lambaian tangan si rambut putih panjang itu
menyambarkan angin yang sangat deras, maka segala sesuatunya telah kasip.
Mendadak sontak detik itu juga Wiro merasakan tubuhnya menjadi kaku laksana
patung batu. Dia berseru, tapi mulutnya terkunci tak bisa keluarkan suara.
Karena otaknya masih tetap bisa berjalan Wiro memaklumi bahwa dirinya telah
ditotok secara lihai luar biasa hingga tak bisa bicara dan bergerak.
Yang membuat Pendekar 212
menjadi penasaran sekali ialah karena sesudah menotok dirinya, si rambut
panjang kemudian keluarkan suara seperti lebah membuat sarang, rupanya dia
tengah membaca mantera tapi tiada jelas entah mantera apa yang dilafatkannya.
Di samping itu Wiro merasa aneh pula melihat kedelapan gadis baju biru itu
duduk bersila meramkan mata tiada bergerak. Apakah mereka semuanya juga kena
ditotok dan apa yang tengah dilakukan si rambut putih panjang itu terhadap
mereka? Wiro saat itu merasakan dirinya seperti seekor lalat yang sesudah
dipukul dibiarkan tak perduli begitu saja!
Tiba-tiba si rambut putih
angkat kedua tangannya. Suara lafat manteranya semakin keras.
Kedua tangan kemudian turun
lagi untuk mengangkat sebuah panci tanah besar yang berisi air putih dan
kembang tujuh rupa. Aneh sekali air yang di dalam baskom itu kemudian memancur
delapan dan setiap pancuran jatuh ke atas kepala masing-masing gadis baju biru.
Wiro terlongong-longong saking
kagumnya. Kehebatan tenaga dalam manusia rambut putih itu benar-benar luar
biasa. Seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat sempurna bisa saja
membuat air di dalam panci tanah itu muncrat ke atas, tetapi untuk membaginya
dalam delapan pancuran itu bukan satu hal yang mudah, tidak sembarang manusia
bisa melakukannya. Eyang Sinto Gendeng sendiri mungkin belum tentu dapat.
Begitu air dalam panci tanah
habis, si rambut putih turunkan panci itu. Kembali terdengar suara lafat
manteranya yang seperti lebah bersarang itu. Kemudian sunyi sebentar lalu
menyusul suaranya berkata dan ternyata adalah suara seorang laki-laki.
“Delapan gadis, kalian telah
minum obatku, kalian telah kusiram dengan air kembang. Kini otak kalian telah
bersih, hati kalian telah putih. Kalian telah bisa memulai hidup baru yang
lurus dan baik. Sekarang kubukakan mata kalian kembali yang telah terpicing
selama beberapa hari ini.”
Si rambut panjang putih
sapukan tangan kirinya dari samping kanan ke samping kiri. Aneh sekali maka
kedelapan gadis itu yang tadi pejamkan mata kini membuka mata masing-masing
satu demi satu, tak ubahnya seperti barusan bangun tidur. Jelas mereka terkejut
sewaktu melihat tubuh Wiro Sableng yang berdiri mematung di ambang pintu. Namun
terhadap si rambut putih mereka tiada berani bertanya dan sama tundukkan
kepala. Tundukkan kepala ini membuat Wiro tak mengerti. Apa hubungan kedelapan
gadis itu dengan si rambut putih. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan
mereka sehingga gadis-gadis yang galak dan kejam itu kini kelihatannya seperti
gadis-gadis pingitan yang paling patuh?!
“Dengar Kiai….” jawab delapan
gadis bersamaan.
“Kiai!” desis Wiro Sableng
dalam hati. Laki-laki berambut putih itu dipanggil dengan sebutan “Kiai” Dan
Wiro heran padahal kedelapan gadis itu tadi meramkan mata seperti orang tidur,
mengapa mereka menjawab bahwa mereka telah mendengar segala ucapan sang kiai?
“Sekarang kalian kuperkenankan
meninggalkan tempat ini. Pergilah dan jangan kembali lagi. Dunia baru yang
indah suci menyambut kalian. Menurut penglihatanku, hidup kalian semua akan
menemui keberuntungan. Nah sekarang pergilah dan kuharap kalian tidak usah
mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tinggalkan Pulau Madura, jangan kembali lagi
untuk selama-lamanya!”
Delapan gadis itu saling
pandang satu sama lain lalu serentak mereka berdiri. Setelah menjura berulang
kali di hadapan laki-laki berambut putih panjang, mengucapkan terima kasih dan
berpamitan maka semuanya melangkah ke pintu dengan menundukkan kepala. Setiap
mereka melirik ke samping sewaktu mereka melewati Pendekar 212 yang berdiri
mematung di ambang pintu itu.
Setelah kedelapan gadis itu
berlalu, laki laki berambut putih untuk pertama kalinya balikkan badan dan
berdiri. Ternyata dia adalah seorang tua renta yang bermuka licin klimis.
Menurut Wiro umurnya lebih tua dari Eyang Sinto Gendeng.
Langkah orang tua yang masih
berbadan tegap ini begitu enteng sewaktu dia maju ke hadapan Wiro.
“Pemuda tolol!” desis sang
kiai. “Belum saatmu untuk datang ke mari! Apa kau lupa bulan purnama empat
belas hari?! Tolol! Kau akan kaku tegang di ambang pintu ini selama tiga hari
tiga malam! Rasakan sendiri!”
Wiro menggerutu dalam hati.
Orang tua di hadapannya berkelebat dan sukar sekali untuk dapat dilihat dengan
jelas tahu-tahu tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Wiro Sableng.
“Benar-benar luar biasa
gerakannya,” kata Wiro dalam hati. Tapi bila dia ingat bahwa dia musti berdiri
di situ dalam keadaan kaku tegang selama tiga hari tiga malam, maka kembali
pendekar ini menggerutu habis-habisan.
Setelah berjam-jam berdiri di
tempat itu Wiro yakin bahwa di luar goa hari telah malam.
Seumur hidupnya baru kali
inilah dia ditotok orang. Meski totokan itu tidak membuat dia terluka di dalam
tapi mematung demikian rupa selama tiga hari tiga malam sungguh merupakan
siksaan bagi Wiro Sableng. Hatinya kembali memaki-maki sewaktu perutnya mulai
mengeluarkan suara bergereokkan tanda minta diisi.
“Diamlah perut sialan!” rutuk
Wiro. “Selama tiga hari tiga malam kau tak akan mendapat isi!”
Mendadak, baru saja dia habis
memaki demikian sesosok bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu Inani berada di
hadapan Wiro Sableng. Sang Pendekar memandang tak berkedip pada gadis jelita
berkulit kuning langsat ini, dan berpikir-pikir mengapa pula gadis ini muncul
di dalam goa kembali, padahal dia sudah disuruh pergi oleh laki-laki tua tadi
dan tidak diizinkan kembali lagi?
“Saudara, aku akan tolong
lepaskan totokanmu,” kata Inani pula setelah mereka berperang pandang beberapa
ketika lamanya.
“Bagus!” ujar Wiro dalam hati.
Dia gembira. Inani maju satu tindak. Tangan kanannya dengan cepat bergerak
untuk membebaskan totokan di tubuh Wiro Sableng.
Tapi apa lacur. Sebelum hal
itu sempat dilakukan Inani tiba-tiba di ruangan itu mengumandang suara tertawa
macam ringkikkan kuda dan tahu-tahu laki-laki tua berambut putih sudah berada
di hadapan mereka.
“Bagus betul perbuatanmu
Inani!”
Inani berubah pucat parasnya.
Kepalanya ditundukkan tak berani memandang si orang tua.
“Apa kau lupa ucapanku bahwa
kau musti pergi meninggalkan Pulau Madura ini dan tidak boleh kembali kemari?
Jawab!”
“Mohon maaf Kiai. Aku….”
“Kau juga tolol!” sentak sang
kiai. “Apa perlu kau kembali datang kemari?! Apa perlu kau tolong pemuda ini?!
Jawab!”
“Maaf Kiai….”
“Apa dia kekasihmu?!”
Merah paras Inani. Kepalanya
semakin ditundukkan.
“Apa dia gendakmu?!”
Tambah merah paras gadis
berbaju biru itu.
“Jawab! Kenapa kau mau
membebaskan itu.”
“Aku… aku merasa berhutang
budi padanya, Kiai.” sahut Inani.
“Hutang budi macam mana? Apa
dia pernah menolongmu?”
Inani menggigit bibirnya. Dia
kembali ke situ karena merasa kasihan melihat Wiro Sableng ditotok. Tapi apa
yang menyebabkan dia kasihan pada pemuda itu dia sendiri tak bisa mengerti. Dia
kembali ke Goa Belerang seperti ada yang mendorong-dorongnya.
“Gadis tolol! Kau musti terima
hukuman seperti pemuda tolol ini!”
Laki-laki tua itu lambaikan
tangan kirinya. Mendadak sontak maka kaku teganglah tubuh Inani. Dia berdiri
mematung tepat berhadap-hadapan dan dekat sekali di muka Pendekar 212. Si orang
tua sendiri begitu menotok tubuh Inani berkelebat pula lenyap dari ruangan itu.
*
* *
13
Wiro Sableng dan Inani tak
tahu sudah berapa lama atau sudah berapa hari mereka berada di dalam Goa
Belerang itu. Yang mereka rasakan ialah bahwa mereka seperti sudah
bertahun-tahun tersekap di situ, tak bisa bicara, tak bisa gerakkan badan.
Selama puluhan jam mereka berdiri berpandang-pandangan sehingga dalam hati
masing-masing timbul perasaan-perasaan aneh. Meski mereka tidak bisa membuka mulut
untuk bersuara dan bicara tapi pandangan mata mereka satu sama lain sudah lebih
daripada ucapan yang bagaimanapun panjangnya. Sinar mata mereka sudah lebih
daripada pengutaraan perasaan yang bagaimanapun mendalamnya. Berpandangan dan
berpandangan hanya itulah yang bisa dilakukan kedua orang itu. Dan ini adalah
satu-satunya hiburan bagi mereka selama puluhan jam berada di situ.
Kedua orang itu tiba-tiba
kernyitkan mata. Lapat-lapat terdengar suara tertawa meringkik.
Dan sesaat kemudian sosok
tubuh laki-laki tua yang dipanggilkan kiai itu sudah muncul di ruangan
tersebut. Dia masih tertawa meringkik macam kuda begitu untuk beberapa lama
sambil pandangi paras kedua orang di hadapannya. Kemudian ketika suara
tertawanya berhenti mulutnya bertanya.
“Apa kalian sudah puas tegak
berpandang-pandangan?”
Inani menjadi merah mukanya
sedang Wiro memaki dalam hati. Apakah waktu yang tiga hari itu sudah berlalu?
Apakah sekarang malam bulan purnama empat belas hari? Apakah sekarang saatnya
si orang tua membebaskan totokan di tubuhnya dan di tubuh gadis yang bernama
Inani itu?
Inani dan Wiro memperhatikan
si orang tua duduk di tengah ruangan, di atas sebuah bantalan berumbai-umbai
yang dikeluarkannya dari balik kain selempang putihnya. Setelah memandangi
paras kedua orang itu beberapa lama baru si orang tua lambaikan tangannya kiri
kanan.
Dua larik angin tipis
menyambar ke tubuh Inani dan Wiro Sableng. Dengan serta merta lenyaplah totokan
yang telah membuat kedua orang ini tak berdaya selama puluhan jam. Seorang tua
tertawa mengekeh dan manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali.
Meski selama ini Wiro di dalam
hati tiada hentinya memaki serta menggerutui si orang tua, namun begitu
totokannya lepas dan menyadari bahwa manusia berambut putih yang duduk di
hadapannya itu bukan manusia sembarangan maka Pendekar 212 menjura memberi
hormat.
“Orang tua, dunia ini banyak
dengan tokoh-tokoh aneh sakti luar biasa yang aku manusia tolol ini tidak tahu
siapa-siapa mereka adanya. Kuharap kau sudi memberitahu siapa kau, orang tua.”
Si orang tua mengusap
rambutnya yang panjang putih beberapa kali. Setelah batuk-batuk jumawa maka
menjawablah dia.
“Namaku kau tak usah tahu,
orang muda. Sebaliknya aku banyak tahu tentang dirimu!”
Terkejutlah Wiro. Ditelitinya
paras orang tua itu lalu sekilas mengerling pada Inani.
Si orang tua tertawa mengekeh
kembali.
“Aku berasal dari Bangkalan.”
Diusapnya lagi rambutnya baru meneruskan. “Sembilan puluh tahun hidup di dunia
ini sudah terlalu cukup lama. Sembilan puluh tahun sudah cukup untuk menyaksikan
berbagai hal dalam dunia, menyaksikan kejahatan dan kebaikan, menyaksikan
kebaikan yang selalu ditentang oleh kejahatan. Pertentangan antara kebaikan dan
kejahatan di jagat ini tak akan pernah habis-habisnya karena memang begitulah
sifatnya alam yang dijadikan Tuhan, segala sesuatunya mempunyai lawan-lawannya,
mempunyai pasang-pasangannya masing-masing.
Karena aku dan kau adalah
manusia-manusia dari golongan putih, maka adalah tugas kita untuk membasmi
golongan hitam. Membasmi golongan hitam tentu saja bukan hal yang mudah. Aku
sendiri sebenarnya telah tertipu dalam hidupku sehingga tidak bisa berbuat
banyak untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini….”
Kiai Bangkalan memandang jauh
ke depan seperti tengah merenung masa lampaunya sedang nada suaranya tadi jelas
sekali mengandung satu penjelasan yang mendalam.
“Kalian duduklah, jangan
berdiri saja,” ujar Kiai Bangkalan.
Setelah Wiro Sableng dan Inani
duduk di hadapan orang tua itu maka Kiai Bangkalan meneruskan bicaranya.
“Delapan penjuru angin dunia
persilatan kini dibikin gempar oleh kejahatan yang bersumber di Pulau Madura
ini. Sumber kejahatan itu bukan lain daripada Dewi Siluman dan anak-anak
buahnya. Beberapa perguruan dan sebuah partai persilatan telah dihancurkan oleh
mereka. Belasan tokoh-tokoh silat golongan putih serta beberapa lainnya yang
hebat-hebat dari golongan hitam mereka bunuh. Yang tertangkap hidup-hidup
mereka siksa secara buas. Ringkas kata siapa saja pihak yang tidak mau tunduk
dan masuk dalam golongannya akan ditumpas musnah oleh Dewi Siluman. Dan aku
yang sudah tua ini hanya bisa makan hati, tak mungkin turun tangan menumpas
sumber kejahatan yang ada di puIauku ini….” Lagi-lagi nada suara Kiai Bangkalan
membayangkan penjelasan.
Penuh rasa ingin tahu dan
tidak mengerti maka Wiro Sableng beranikan diri bertanya.
“Mengapa tidak mungkin, Kiai
Bangkalan. Mengapa tidak bisa? Menurut penglihatanku ilmumu tinggi luar biasa.
Bagimu tentu mudah saja untuk menumpas Dewi Siluman dan gerombolannya.”
Kiai Bangkalan tertawa tawar.
“Banyak orang yang menduga
sepertimu itu,” katanya. “Tapi di jagat yang luas ini ilmu manusia manakah yang
benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin tinggi ilmu seseorang
semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tinggi
yang tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia mempunyai
titik batas. Bila dia coba untuk melampaui titik batas itu di luar
kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Dan itu kemudian akan
mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan muncul di mana-mana
akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang telah
ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan walau bagaimanapun kuatnya kejahatan
itu, di satu hari dia akan kena ditumpas juga. Aku yang sudah tua menyesalkan
hidup badanku yang rongsokan ini karena di saat mau mampus begini tidak bisa
berbuat banyak menumpas kejahatan Tapi aku masih bergembira sedikit. Sebelum
ajal datang aku telah bertemu dengan kau, orang muda! Menurut penglihatanku, kau
satu-satunya manusia saat ini yang sanggup menumpas kejahatan Dewi Siluman!
Ingat kejahatannnya, bukan
orangnya!”
“Kiai Bangkalan, aku yang muda
tolol ini bisa apakah?” kata Wiro Sableng pula. “Terus terang aku tak mengerti
mengapa kau mengatakan tak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan.
Bukankah ilmumu tinggi sekali.
Dewi Siluman tentu akan mudah kau tumpas.”
Kiai Bangkalan hela nafas dan
geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku hanya memiliki dua macam
ilmu, orang muda. Dua macam ilmu itu saja tak sanggup untuk menumpas kejahatan
Dewi Siluman. Di samping itu seperti aku terangkan tadi, sebenarnya aku yang
sudah tua ini telah kena tertipu….” Setelah menghela nafas dalam sekali lagi
baru Kiai Bangkalan meneruskan. “Dua macam ilmu yang kumiliki ialah kecepatan
bergerak dan ilmu pengobatan. Mana mungkin dua macam ilmu itu bisa diandalkan
untuk menghadapi Dewi Siluman yang sakti luar biasa?!”
“Tapi kau juga memiliki ilmu
totokan yang teramat lihai!” ujar Wiro.
Kiai Bangkalan tertawa.
“Setiap ilmu totokan dasarnya adalah sama, sama seperti yang dimiliki oleh kau
dan Inani. Cuma karena aku memiliki ilmu kecepatan bergerak maka orang tidak
bisa menduga dan tak sempat berkelit ketika aku menotok tubuhnya. Itu telah kau
saksikan dan rasakan sendiri!”
“Kalau kau bisa bergerak luar
biasa cepatnya, tentu kau bisa menotok Dewi Siluman kemudian menjatuhkan
hukuman yang setimpal terhadapnya,” kata-kata Wiro Sableng pula.
“Betul, tapi justru hal itulah
yang tak bisa kulakukan,” sahut Kiai Bangkalan.
“Kenapa tidak bisa?”
“Aku telah tertipu. Ah…
biarlah aku terangkan pada kalian agar jelas. Tubuh tua rongsokan ini tak guna
lagi menyimpan segala rahasia hidupnya!”
Kiai Bangkalan merenung
sejenak baru membuka mulut kembali. “Sesungguhnya guru dari Dewi Siluman adalah
adik seperguruanku sendiri. Namanya Lara Permani. Dari guru, aku menuntut dua
macam ilmu yang kusebutkan tadi yaitu ilmu pengobatan dan ilmu gerakan cepat.
Sebaliknya sebagai murid yang
dikasihi oleh guru, Lara Permani diwariskan banyak ilmu yang hebat-hebat. Di
antaranya Ilmu Jala Sutera Sakti, Ilmu Racun Biru dan yang paling hebat Ilmu
Seribu Siluman Mengamuk. Sebegitu jauh tak ada satu ilmu di dunia ini pun yang
sanggup mengalahkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu. Tapi walau bagaimanapun
setiap ilmu di dunia ini tak ada yang maha sempurna, selalu saja ada
kelemahannya, demikian juga dengan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk….”
“Apakah kelemahannya, Kiai?”
tanya Wiro.
“Itu tidak bisa kuberitahu.
Aku telah bersumpah!”
Inani dan Wiro kernyitkan
kening keheranan. Sebelum salah seorang dari mereka bertanya maka Kiai
Bangkalan sudah berkata. “Antara aku dan Lara Permani karena demikian eratnya
hubungan kami, kami saling mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara Permani
sewaktu turun ke dunia persilatan telah tergoda oleh segala macam urusan
duniawi sehingga dia menempuh jalan salah. Aku yang mencintainya dengan amat
sangat tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melarangnya agar meninggalkan segala
urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana aku menjadi tolol dan suatu hari di hadapannya
aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku tak akan ikut campur, tak akan turun
tangan terhadap segala perbuatannya, juga terhadap segala perbuatan muridnya
bila kelak dia mempunyai murid! Sekarang Lara Permani sudah mati. Dan Dewi
Siluman itu adalah muridnya!
Aku tak bisa berbuat apa
secara langsung terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku terikat sumpah!”
Wiro dan Inani termangu
sejurus.
Wiro kemudian berkata. “Lara
Permani kini sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat terhadapnya batal, tak
berlaku lagi!”
Kiai Bangkalan
geleng-gelengkan kepala. “Sumpah seorang manusia terhadap manusia sekaligus
terikat pada Tuhan. Meskipun salah seorang dari mereka sudah mati, tapi yang
masih hidup tetap terikat pada Tuhan yang telah menyaksikan sumpahnya itu!”
“Kalau begitu kejahatan Dewi
Siluman tak akan bisa dibasmi,” kata Wiro.
“Kaulah yang akan
membasminya!” jawab Kiai Bangkalan.
“Tapi ilmuku sangat dangkal
sekali Kiai. Kalau kau bisa memberikan sedikit petunjuk….” Kiai Bangkalan
tersenyum.
“Di Goa Belerang ini telah
kujanjikan padamu untuk datang mengetahui tingginya gunung dalamnya lautan.
Meski aku terikat sumpah dan tak bisa turun tangan secara langsung, namun ada
cara lain bagiku untuk berbuat kebaikan. Jika cara ini dianggap melanggar
sumpah, biarlah badan yang tua renta ini rela menerima hukumannya!”
Dari balik pakaiannya Kiai
Bangkalan mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu disodorkannya ke
hadapan Wiro Sableng seraya berkata. “Dengan inilah kau bakal bisa menumpas
kejahatan Dewi Siluman.”
Wiro menerima kertas itu dan
menelitinya. Di atas kertas putih ini ternyata ada dua bait tulisan yang
berbunyi.
Ilmu Seribu Siluman Mengamuk
teramat sakti.
Hanya suara yang sanggup
mengalahkannya.
“Kiai, aku tak mengerti maksud
tulisan ini. Mohon petunjukmu….”
Kiai Bangkalan hela nafas dan
gelengkan kepala. “Tak mungkin orang muda. Aku terikat dengan sumpah. Aku tak
bisa menerangkan langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk kepadamu. Kau
harus pecahkan sendiri rahasia yang ada di dalam dua bait tulisan itu…. Kuharap
kau tak bertanya lebih jauh.”
Wiro membaca lagi dua bait
tulisan itu lalu memasukkan kertas tersebut ke balik pakaiannya.
Kiai Bangkalan berpaling pada
Inani. Dia tersenyum dan berkata. “Meski tempo hari aku marah sekali melihat
kau datang kemari tapi sebenarnya diam-diam aku merasa gembira karena kau bisa
membantuku untuk melaksanakan cita-cita baikku. Kau ingat bagaimana aku telah
membersihkan otakmu serta kawan-kawanmu dengan sejenis obat?” “Ingat Kiai.”
Kiai Bangkalan keluarkan
sebuah botol berisi cairan hitam. “Aku telah meramu lagi sejenis obat baru,”
katanya dan meletakkan botol kecil itu di hadapannya. “Kau harus ikut bersama
Wiro ke Bukit Tunggul dan menolong kawan-kawanmu yang sudah dikotori otaknya
oleh Dewi Siluman.
Bagaimana caranya terserah
padamu, yang penting kau harus dapat meminumkan setetes obat ini ke dalam mulut
kawan-kawanmu sehingga mereka kembali menjadi bersih otaknya dan kembali ke
jalan yang benar! Aku tak mengizinkan kau membunuh seorang pun dari mereka!
Semua kawankawanku tersesat karena tidak sadar!”
“Tapi mana mungkin aku
sanggup, Kiai? Setiap kawan-kawanku sakti semua dan jumlah mereka banyak!” kata
Inani.
“Kau tak usah khawatir. Aku
akan turunkan ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau dengan mudah bisa menotok
mereka lalu memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut mereka!”
Inani gembira sekali.
Buru-buru dia menjura dan mengucapkan terima kasih. Kiai Bangkalan memandang
pada Wiro. “Orang muda, kuharap kau jangan kecewa karena saat ini aku tidak memberikan
ilmu apa-apa padamu. Tapi di lain hari, bila tugasmu sudah selesai di Bukit
Tunggul kuharap kau suka datang kemari untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan
dariku.”
Gembiralah Wiro Sableng dan
buru-buru dia menjura serta mengucapkan terima kasih.
“Sebelum kalian pergi,” kata
Kiai Bangkalan pula. “Ada satu hal yang harus kalian ingat, terutama kau orang
muda karena kaulah yang bakal berhadapan dengan Dewi Siluman. Musti disadari
bahwa sesungguhnya kejahatan yang dibuat oleh manusia itu adalah karena
dipengaruhi oleh suasana sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan duniawi di
sekelilingnya. Pada dasarnya semua, manusia adalah baik. Karena itu kuharap kau
jangan menurunkan tangan maut terhadap Dewi Siluman.”
“Tapi Kiai, perempuan itu
telah membuat kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan manusia tak berdosa
telah dibunuhnya!” kata Wiro pula.
“Betul. Itu memang betul.
Namun demikian soal nyawa manusia bukanlah urusan kita.
Nyawa orang lain bukan milik
kita. Soal nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan kita manusia sekali-kali tidak
diperbolehkan membunuh, kecuali dalam perang atau pertempuran di mana kita
benar-benar sudah terdesak. Karena itu usahakanlah dulu untuk menyadari Dewi
Siluman dari segala kejahatannya, bersihkanlah otaknya dengan obat ini!” Lalu
Kiai Bangkalan mengeluarkan sebutir pil hitam dan diberikan kepada Wiro. “Bila
nanti ternyata usahamu gagal, baru kau boleh menurunkan tangan maut. Itupun
bila kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi! Nah sekarang pergilah!”
“Terima kasih atas segala
petunjukmu Kiai,” kata Wiro Sableng sambil menjura dalam.
Inani juga melakukan hal yang
sama. Sewaktu mereka mengangkat kepala kembali ternyata Kiai Bangkalan telah
lenyap. Bukan main terkejutnya mereka. Benar-benar luar biasa cepatnya gerakan
orang tua itu. Wiro geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Inani berdiri dengan
paras berubah.
“Ada apa?” tanya Wiro.
“Waktu aku menjura tadi,
kurasa ada yang menepuk bahu kananku dengan keras. Sekarang tubuhku terasa
ringan sekali macam kapas!”
Wiro Sableng kerenyitkan
kening. Tiba-tiba dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan bahwa dia hendak
menurunkan ilmu kecepatan gerak pada gadis itu.
“Mungkin itulah cara dia
menepati janjinya!” kata Wiro. “Coba kau berkelebat!”
Inani tekankan kedua kakinya
ke lantai. Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap dari pandangan mata Wiro
Sableng, sedetik kemudian muncul lagi di hadapannya.
“Saudara! Aku benar-benar tak
mengerti bagaimana gerakanku bisa sehebat ini!” seru Inani gembira.
Wiro Sableng geleng-gelengkan
kepala “Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan menurunkan ilmunya
kepadamu,” kata Wiro pula. “Kau beruntung Inani, eh, bukankah namamu Inani…?”
Si gadis anggukkan kepalanya
malu-malu. “Kau sendiri siapa?”
“Panggil aku Wiro,” jawab
Pendekar 212.
“Bagaimana kalau kita
berangkat ke Bukit Tunggul sekarang?” tanya Inani.
“Memang lebih cepat lebih
baik. Tapi untuk membuat urusan dengan Dewi Siluman kita tunggu sampai besok
pagi. Nah, ayolah!”
Kedua orang itu pun dengan
segera meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam itu bulan purnama bersinar
terang namun dengan susah payah baru akhirnya Inani dan Wiro bisa keluar dari
dasar air terjun.
14
Di ufuk timur fajar kelihatan
sudah menyingsing. Sebentar lagi sang surya penerang jagat akan memunculkan
diri, merenggutkan malam menggantikannya dengan pagi hari yang kemudian disusul
oleh kedatangan siang. Dua titik putih dan biru kelihatan remang-remang
bergerak sangat cepat dari arah tenggara. Ternyata dua titik ini adalah sosok
tubuh Inani dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tengah malam tadi mereka berkemah di
tepi rimba belantara dan menjelang pagi baru meneruskan perjalanan ke Bukit
Tunggul. Satu keuntungan bagi Wiro karena dia bersama Inani sehingga tak usah
bersusah payah mencari di mana letaknya Bukit Tunggul. Tepat pada saat matahari
munculkan diri di ufuk timur maka kedua orang itu sudah berada di kaki bukit
sebelah timur. Sementara keduanya mencari mulut terowongan yang akan membawa
mereka ke Istana Dewi Siluman, tiga sosok bayangan biru muncul menghadang mereka.
“Hai Inani! Kau rupanya!” seru
salah seorang dan ketiga gadis baju biru yang bukan lain dari anak-anak buah
Dewi Siluman yang habis melakukan perondaan.
“Hai!” seru Inani sambil
lambaikan tangan kanan. Dan saat itu juga ketiga gadis baju biru itu merasakan
tubuh mereka kaku tegang tak sanggup lagi bergerak maupun bicara.
“Hebat sekali totokanmu,
Inani!” kata Wiro memuji dengan tersenyum.
Inani cepat-cepat keluarkan
botol obat hitam lalu dimasukkannya cairan itu masing-masing setetes ke dalam
mulut ketiga gadis itu, kemudian bersama Wiro dia segera tinggalkan tempat itu
Sementara itu di sebuah kamar yang bagus luar biasa di anjungan pertama, Dewi
Siluman masih berbaring bermalas-malasan di atas pembaringan yang hangat
lembut. Hari telah siang tapi malas sekali dia turun dari tempat tidur. Dia
tahu bahwa anak-anak buahnya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan
mandi pagi, di kolam dan mereka baru akan muncul jika dia sudah memanggil.
Dewi Siluman memperhatikan
tubuh dan parasnya di kaca dalam kamar itu. Kemudian dia teringat pada Inani.
Jika gadis itu tidak sedang menunaikan tugas, pagi-pagi seperti itu biasanya
dia telah memetik kecapi memberikan hiburan. Dewi Siluman menghitung-hitung
hari. Kekhawatiran untuk kesekian kalinya menyamaki hatinya. Kepergian Inani
bersama Sarinten, Wakani dan Laruni sampai pagi itu tiada kabar beritanya.
Apakah telah terjadi pula hal-hal yang tak diinginkan dengan mereka? Tapi
kekhawatirannya itu agak berkurang sedikit kalau dia ingat bahwa Laruni adalah
anak buahnya yang paling tinggi kepandaiannya.
Akhirnya Dewi Siluman juga
berbaring berlama-lama. Dia bangun dan duduk sebentar di tepi tempat tidur,
memandang ke kaca, lalu sambil melangkah ke kaca besar itu ditanggalkannya
pakaian tidurnya yang terbuat dari sutera biru halus berbunga-bunga hitam.
Tanpa selembar benang pun menutupi badannya sang Dewi berdiri di muka kaca.
Betapa indah potongan tubuhnya, betapa halus mulus kulitnya. Tapi betapa
rindunya seluruh tubuh itu akan sentuhan tangan seorang laki-laki.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk
orang.
Dewi Siluman memperhatikan
kaca dari mana sekaligus dia dapat melihat pintu kamar itu.
Siapa pula yang mengganggunya,
pikir sang Dewi. Mungkin Laruni atau seorang anak buahnya yang datang membawa
kabar tentang Laruni dan kawan-kawannya. Maka Dewi Siluman mengenakan pakaian
tidurnya kembali dan berkata. “Masuk!”
Pintu kamar terbuka.
Dan kagetlah Dewi Siluman.
Yang masuk bukanlah Laruni, bukan pula salah seorang anak buahnya, melainkan
seorang pemuda berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan berparas gagah.
Walau bagaimana pun kejam dan
jahatnya hati seorang perempuan, namun dalam hal-hal tertentu dia tak dapat
menyembunyikan gerak refleks keperempuannya. Dewi Siluman segera rapatkan
pakaian tidurnya yang tipis lalu membentak marah, meski tidak seratus persen
marah.
“Orang muda? Siapa kau yang
berani berlaku lancang masuk ke kamarku?!”
Pemuda itu sunggingkan seulas
senyum.
“Apakah aku berhadapan dengan
Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul?” tanyanya.
“Betul! Lekas terangkan siapa
kau! Bagaimana kau bisa masuk ke Istanaku ini?!”
“Kalau aku tidak salah,
bukankah Dewi selama ini mencari-cariku…?”
Berdebarlah hati Dewi Siluman.
“Jadi kau adalah pemuda yang
tempo hari melarikan diri sewaktu mau ditangkap?!”
“Betul sekali Dewi. Barangkali
kau bisa menerangkan salah apa yang kubuat sampai diriku hendak ditawan oleh
orang-orangmu?”
Dewi Siluman tertawa. Sungguh
merdu suara tertawanya laksana taburan mutiara yang berderai di lantai batu
pualam.
“Sebelum kujawab pertanyaanmu
harap terangkan dulu apa yang telah kau lakukan terhadap delapan orang anak
buahku hingga mereka tidak kembali sampai saat ini. Lalu bagaimana kau bisa
masuk ke tempat ini!”
“Soal delapan anak buahmu itu
mana aku tahu. Bagaimana aku sampai ke sini, biasa saja.
Kau mencari-cariku berarti aku
sama saja diundang datang ke mari. Malah anak buahmu mengantar dan menunjukkan
kamarmu ini.”
Kembali Dewi Siluman tertawa
merdu.
“Orang gagah, kuharap kau tahu
di mana berada dan dengan siapa kau bicara….”
Pemuda berambut gondrong yang
bukan lain dari Pendekar 212 adanya angguk-anggukkan kepala. “Nama besarmu
sudah lama kudengar, Dewi. Namun sayang kebesaran namamu itu bukan karena
pekerjaan baik, tapi akibat kejahatan luar biasa yang tiada taranya!”
Dewi Siluman naikkan
hidungnya.
“Apakah maksud kedatanganmu ke
Pulau Madura ini sengaja mencari dan menantangku?!”
“Kau bisa katakan demikian….”
Dewi Siluman tertawa panjang.
“Kau andalkan apakah maka
berani membuat rencana dernikian?”
Wiro menjawab dengan balas
tertawa.
Di atas sebuah meja di dalam
kamar itu terletak sebuah patung perempuan menjunjung kendi yang terbuat dari
emas. Beratnya kira-kira tiga kilogram. Dewi Siluman menunjuk pada patung itu
dan berkata. “Kau lihat patung emas itu, orang muda?! Jika kau sanggup
melakukan seperti yang akan kuperbuat baru kau pantas bermulut besar di
hadapanku!”
Habis berkata begitu Dewi
Siluman gerakkan tangan kanannya ke atas, telapak tangan menghadap ke patung
emas di atas meja. Perlahan-lahan patung di atas meja bergerak, lalu laksana
ada sebuah tangan yang tiada kelihatan mengangkatnya, patung yang beratnya tiga
kilo itu naik ke atas, melayang mendekati tangan Dewi Siluman, berhenti tegak
di ujung jari tengah Dewi Siluman, lalu melayang lagi kembali ke tempatnya di
atas meja.
Dengan senyum di bibir Dewi
Siluman berpaling pada Wiro Sableng. “Bagaimana?
Sanggupkah kau melakukannya?
Jika tidak sebaiknya kau lekas-lekas berlutut minta ampun kepadaku! Kau tidak
terlalu buruk untuk jadi hamba sahayaku!”
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. Dewi Siluman tertawa melihat tingkah pemuda ini.
Diam-diam memang Wiro Sableng
mengagumi sekali kehebatan tenaga dalam Dewi Siluman. Meski demikian mana
Pendekar 212 mau diremehkan begitu saja.
“Memang meniru seperti yang
kau lakukan itu aku tidak bisa Dewi Siluman. Tapi coba kau lihat. Kau kurang
teliti hingga patung itu kembali ke tempatnya dalam keadaan terbalik!”
Dewi Siluman palingkan kepala
dengan rasa tak percaya. Ketika matanya membentur patung di atas meja,
terkejutlah sang Dewi. Patung perempuan menjunjung kendi memang berdiri di atas
meja tapi dengan kaki ke atas dan kepala serta kendi di sebelah bawah.
Dewi Siluman putar kepalanya
kembali pada Wiro Sableng. Sedikitpun dia tidak melihat pemuda itu gerakkan
tangannya. Tapi bagaimana patung itu bisa terbalik demikian. Tiba-tiba sang
Dewi keluarkan tertawanya yang merdu.
“Tenaga dalammu boleh juga
orang muda! Ilmumu cukup tinggi! Aku ada usul bagus untukmu!” Dewi Siluman
melangkah ke tempat tidur. Dalam pakaian yang tipis itu Wiro dapat melihat
jelas sekali sekujur tubuh Dewi Siluman. Sang Dewi kemudian duduk di tepi
tempat tidur.
“Aku yakin kau akan menyetujui
usulku ini. Tapi harap kau terangkan namamu lebih dulu.”
“Apakah namaku itu perlu betul
bagimu?” tanya Wiro.
“Tentu!” jawab Dewi Siluman
seraya matanya memandang penuh gairah ke paras Wiro. Di mulutnya bermain seulas
senyum. Dan dia menambahkan. “Seorang gagah dan berilmu sepertimu ini musti
diketahui dulu namanya!”
Wiro tersenyum. “Manusia
dilahirkan tidak bernama,” katanya. “Karenanya tak perlu kuterangkan siapa
namaku. Kau boleh panggil aku semaumu. Sekarang coba kau terangkan usul bagus
yang kau katakan itu!”
“Orang muda, kau terlalu jual
mahal namamu! Tapi tak apa, aku senang pada laki-laki yang berhati keras,
betul-betul bernyali jantan! Dengar orang muda, walau kau tidak mau beri tahu
nama, namun aku maklum bahwa kau memiliki ilmu yang cukup diandalkan. Setiap
orang berilmu tinggi mempunyai cita-cita besar. Bagaimana kalau kita
berdampingan satu sama lain dalam menguasai dunia persilatan?!”
Wiro merenung macam orang tua
lalu manggut-manggut. “Usulmu memang bagus…,”
katanya. Paras Dewi Siluman
kelihatan gembira. “Tapi,” sambung Wiro pula yang membuat Dewi Siluman kembali
berubah parasnya. “Aku datang ke sini bukan untuk menerima segala macam usul
atau membuat segala macam perjanjian….”
Paras Dewi Siluman menegang.
“Lalu?” sentaknya seraya berdiri dari tempat tidur.
Wiro menatap paras jelita itu
beberapa lamanya. Pandangan ini membuat sang Dewi bergetar hatinya.
“Segala sesuatu di dunia ini
musti ada akhirnya,” Wiro Sableng membuka pembicaraan kembali. “Diakhiri atau
berakhir sendirinya. Demikian pula dengan kejahatan….”
Dewi Siluman hendak membentak
memotong ucapan Wiro Sableng. Tapi di bawah sorotan mata si pemuda mulutnya tak
kuasa dibukanya. Dia tegak tak bergerak di tempatnya.
“Setiap tokoh silat adalah
wajar kalau mempunyai cita-cita untuk menguasai dunia persilatan. Namun caranya
juga musti cara wajar. Bukan dengan kejahatan tanpa peri kemanusiaan.
Bukan dengan jalan membunuh
anak-anak atau perempuan-perempuan atau manusia-manusia tak berdaya dan tak
berdosa. Bukan dengan menipu tokoh-tokoh silat, mengundang mereka ke mari lalu
menjebloskannya di Ruang Penyiksaan….”
Dewi Siluman terkejut amat sangat.
Dari mana si pemuda tahu akan hal itu? Tapi untuk bertanya lagi-lagi mulutnya
takluk membisu di bawah pandangan mata Pendekar 212.
“Bukan pula dengan menculik
gadis-gadis cantik lalu, meracunnya dengan obat kesetanan!
Hendak menguasai dunia persilatan
dengan cara seperti itu bukan saja tak akan berhasil, tapi akan membawa
pelakunya pada satu kehancuran yang mengerikan, Kehancuran itulah suatu akhir.
Hancur sendiri atau
dihancurkan. Dan kurasa kau tak mau menemui kehancuran atau dihancurkan, Dewi Siluman.
Bukankah begitu…?”
Tenggorokan Dewi Siluman turun
naik. Tiba-tiba meledaklah kemarahannya. “Orang muda!
Bicaramu keliwat pandai!
Apakah kau juga pandai menerima pukulanku ini?!”
Laksana kilat Dewi Siluman
hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro. Satu larik sinar biru yang amat panas
menderu. Di seberang sana Pendekar 212 berkelebat dan “brak!” Dinding kamar di
belakangnya hancur lebur, runtuh merupakan satu lobang besar kini.
“Kau menghancurkan dirimu
sendiri, Dewi Siluman,” desis Wiro Sableng disertai lontaran senyum. “Tidak
sukar untuk kembali ke jalan yang baik. Di jalan yang baik itu kau akan melihat
satu jalan lurus yang wajar untuk menguasai dunia persilatan ini!”
Dewi Siluman melotot besar
sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil mengelakkan diri dari serangan “Angin
Biru”nya tadi.
“Orang muda, pintu masih
terbuka bagimu untuk menguasai dunia persilatan ini bersamaku menurut caraku!”
“Menyesal sekali, Dewi….”
“Kau yang akan menyesal jika
kau menolaknya!” tukas Dewi Siluman. “Meski ilmumu setinggi langit tapi tak
satu manusia pun yang bisa menghancurkanku!”
“Bukan orang lain yang akan
menghancurkanmu, tapi kau sendiri,” sahut Pendekar 212.
Dewi Siluman tertawa aneh. Dia
kembali duduk di tepi tempat tidur.
“Jangan kelewat memandang
sebelah mata terhadap Dewi Siluman, orang muda. Kalau aku tidak melihat bahwa
kau bakal mempunyai peruntungan baik bersamaku, siang-siang aku sudah hancurkan
kepalamu!” Dewi Siluman tertawa lagi lalu rebahkan dirinya perlahan-lahan di
atas tempat tidur. Pakaian tidurnya tersibak dan menjulai ke lantai yang
ditutupi permadani tebal. Mata Pendekar 212 mengecil, sejenak hatinya digelorai
oleh darah muda.
“Orang gagah, kemarilah!”
panggil Dewi Siluman. Suaranya berubah merdu tidak membentak lagi.
Wiro tetap berdiri di
tempatnya.
“Kemarilah….” Dewi Siluman
lambaikan tangannya.
Pendekar 212 melangkah. Dia
berhenti satu tombak dari samping tempat tidur. Gelora darah mudanya semakin
menyentak-nyentak.
Dewi Siluman menopang dagunya
dengan telapak tangan kanan, memandang gairah pada si pemuda lalu berkata.
“Seluruh isi Istana ini akan menjadi milikmu, orang muda. Dunia persilatan akan
berada di tanganmu. Dan kita hidup berdua di sini. Bukankah indah sekali…?”
Dewi Siluman menggerak-gerakkan kakinya.
“Kedengarannya memang begitu,”
sahut Wiro. “Tapi akan lebih indah lagi bila kau mau menelan pil ini….”
Dewi Siluman kerenyitkan
kening sipitkan mata dan memandang pada sebuah benda kecil hitam di tangan Wiro
Sableng.
“Pil apa itu?” tanya Dewi
Siluman acuh tak acuh.
“Pada dasarnya manusia itu
semuanya berhati dan berpikir baik. Tapi kekotoran duniawi meracuni hati dan
pikirannya. Obat ini akan sanggup membersihkan kembali racun hati dan racun
pikiran yang jahat itu, Dewi Siluman!”
Dewi Siluman tertawa berderai.
“Maksudmu kau mau mengobati
diriku, orang muda?”
Wiro anggukkan kepala.
Dewi Siluman tertawa lagi
panjang-panjang.
“Hanya orang sakit yang minum
obat. Aku tidak sakit.”
“Kau memang sakit Dewi
Siluman, sudah sejak lama,” kata Wiro pula.
Dewi siluman luruskan kedua
kakinya yang mulus bagus.
“Aku akan telan pil itu,” kata
Dewi Siluman. “Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Berbaringlah di sampingku.”
Bergelegar dada Pendekar 212.
Darah muda di tubuhnya laksana hempasan ombak yang memukul batu karang di
pantai curam.
“Kau perlu istirahat, orang
gagah. Kau perlu tidur,” kata Dewi Siluman penuh genit.
Kegenitan yang mengandung
racun.
“Soal tidur soal gampang
Dewi,” kata Wiro dengan menahan kobaran darah mudanya.
“Kebaikan adalah yang paling
dulu musti dikerjakan. Kuharap kau bersedia menelan obat ini….”
Dewi Siluman tersenyum.
“Aku ingin sekali menghiburmu,
tapi sayang, gadis pemetik kecapi itu tak ada di sini….”
“Inani maksudmu? Aku telah
bertemu dengan dia.”
Kagetlah Dewi Siluman.
“Dan bukan dia sendiri. Dewi,
tapi juga tujuh orang lainnya….”
“Kau apakan mereka?”
“Mereka gadis-gadis cantik
yang kini menjadi kawan-kawanku. Otaknya telah dicuci!”
“Kau yang melakukannya?!”
“Kiai Bangkalan!”
Membersilah paras Dewi
Siluman. Dadanya menggemuruh. Tapi gelora amarah ini kemudian mengendur
sedikit. Dia duduk di tepi tempat tidur kembali.
“Aku tak perduli dengan
mereka. Aku bisa melupakan mereka, juga kakek-kakek keparat, bernama Kiai
Bangkalan itu. Tapi kau musti menjadi milikku, orang muda, musti!” Dan habis berkata
begitu Dewi Siluman buka pakaian tidurnya lalu dalam keadaan tanpa pakaian
selembar benang pun dia melangkah ke hadapan Wiro Sableng.
Mulut Pendekar 212
komat-kamit. Digaruknya kepalanya. Dia bergerak ke samping sewaktu Dewi Siluman
melompatinya.
“Orang muda, apakah aku tak
boleh memelukmu? Apakah aku tak boleh menyentuh tubuhku pada tubuhmu…?”
“Boleh saja tapi sekarang
bukan saatnya.”
“Justru sekarang inilah
saatnya” dan Dewi Siluman menerjang ke muka hendak meraih tubuh Wiro Sableng.
Sekali lagi Wiro berkelit.
“Kau keterlaluan orang muda!
Apakah aku harus mengemis terhadapmu?! Peluk aku orang muda. Cium parasku,
bibirku, dadaku… semuanya….”
“Buset!” ujar Wiro Sableng
dalam hati sementara Dewi Siluman melangkah mendekatinya.
“Dengar Dewi, aku akan cium
kau mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Tapi telan pil ini….” Wiro
acungkan tangan kanannya, Tiba-tiba Dewi Siluman berseru nyaring. Tubuhnya
berkelebat laksana kilat. Pendekar 212 terkejut hebat sewaktu lengannya dipukul
oleh Dewi Siluman hingga pil hitam yang dipegangnya mental ke udara? Sebelum
dia bisa berbuat suatu apa, pil itu sudah berada dalam genggaman Dewi Siluman.
Sekali tangan itu meremas maka hancurlah pil pembersih otak dan hati itu.
“Sekarang tidak ada lagi
segala macam obat terkutuk! Yang ada kau dan aku! Mari orang muda… mari…!”
Pendekar 212 mulai beringasan
dan penasaran.
“Aku telah datang membawa
kebaikan untukmu Dewi Siluman! Tapi kejahatan di dalam dirimu memang sudah
sedalam lautan setinggi langit! Aku tunggu kau di taman Istana!”
“Kau mencari mati orang
muda?!”
“Dan kau mencari mampus!”
“Bedebah!” maki Dewi Siluman.
Dia tepukkan tangannya tiga kali berturut-turut dan memandang berkeliling
dengan heran.
“Aha… kau memanggil anak-anak
buahmu Dewi Siluman? Mereka tak akan muncul!
Semuanya telah dicekok dengan
obat pembersih otak!”
Kaget Dewi Siluman bukan main.
“Manusia tolol! Diberi
kesenangan malah minta mati percuma! Aku akan siksa kau di Ruang Penyiksaan!
Aku akan rebus tubuhmu!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ruang Penyiksaan hanya
tinggal nama saja lagi!” sahutnya. “Tiga tokoh silat yang masih hidup sudah
kubebaskan dan ruangan itu hanya merupakan puing-puing hancur, satu pertanda
bagi kehancuranmu sendiri! Aku tunggu kau di taman! Jika otakmu masih diracuni
oleh kejahatan, taman itu akan menjadi kuburmu! Dan jangan coba-coba larikan
diri Dewi. Setiap jalan rahasia sudah dijaga!”
“Setan alas! Mampuslah!”
teriak Dewi Siluman. Kedua tangannya dipukulkan ke muka.
“Wuss!”
Dua sinar biru menderu ganas.
Tapi Wiro Sableng sudah tendang pintu dan keluar dari kamar itu.
*
* *
15
Suasana di taman Istana yang
indah itu kini diselimuti kesunyian yang menggidikkan.
Pendekar 212 Wiro Sableng
duduk di atas batu rata, di hadapan sebuah arca. Di setiap sudut taman berdiri
berkelompok-kelompok gadis-gadis berbaju biru. Mereka adalah bekas anak buah
Dewi Siluman yang telah “dibersihkan” otaknya oleh Inani dengan obat yang
diberikan Kiai Bangkalan.
Kalung tengkorak yang biasanya
tergantung di leher mereka kini tak kelihatan lagi.
Kesunyian itu dipecahkan oleh
suara siulan yang keluar dari mulut Pendekar 212. Inani geleng-gelengkan
kepala. Di saat yang penuh ketegangan itu Wiro masih bisa bersiul seperti
seorang yang tengah menunggu saat gembira. Dia melangkah mendekati arca di mana
Wiro duduk.
“Apakah kau sudah berhasil
memecahkan rahasia kelemahan Dewi Siluman dalam dua bait tulisan yang diberikan
Kiai Bangkalan?” tanya Inani.
Wiro gelengkan kepala. Dia
terus juga bersiul-siul.
“Kau belum tahu rahasia kelemahannya!
Dan kau telah berani menantangnya di sini!” ujar Inani dengan paras tegang.
“Semuanya telah kasip Inani.
Ini adalah saat penentuan. Kalau tidak dia, aku yang. bakal meregang nyawa.
Mudah-mudahan saja itu perempuan bisa menyadari kejahatannya sebelum datang ke
sini dan bertobat!”
“Jangan harapkan hal itu
Wiro!” desis Inani.
“Kau bersiaplah Inani. Sesuai
dengan rencana kau baru turun tangan dalam jurus ketiga….
Jika aku gagal, semua
kawan-kawanmu harus menyerbu!”
Inani mengangguk. Dia hendak
mengatakan sesuatu tapi mulutnya mendadak sontak terkancing. Matanya memandang
ke arah tangga batu pualam yang menghubungi langkan Istana di hadapan taman
dengan anjungan pertama. Sepasang kaki yang bagus kelihatan melangkah menuruni
anak tangga demi anak tangga. Orang yang melangkah ini sampai ke langkan dan
dia bukan lain dari Dewi Siluman.
Dewi Siluman telah berganti
pakaian. Pakaian biru ringkas yang dikenakannya dihiasi dengan manik-manik
bergemerlapan. Sikapnya melangkah begitu agung dan penuh wibawa.
Hidungnya naik ke atas dan
Dewi Siluman hentikan langkahnya di tepi kolam.
Wiro Sableng hentikan suara
siulannya.
Kedua manusia ini beradu
pandang sesaat lalu Dewi Siluman memandang berkeliling, menyapu para anak
buahnya satu demi satu. Kemudian sang Dewi menengadah ke langit. Dan dari
mulutnya keluarlah suara.
Langit pagi begini cerah,
Sang surya bersinar terang
Udara segera melapangkan dada,
Tapi sungguh berubah,
Semua apa yang kupandang.
Dewi Siluman turunkan
kepalanya lalu kembali memandangi anak buahnya satu demi satu.
“Anak-anakku,” katanya dengan
suara lantang. “Aku perintahkan kalian untuk menangkap manusia yang duduk di
depan arca itu!”
Tapi tak satu orang pun yang
bergerak dari tempatnya.
Paras Dewi Siluman kini
berubah.
“Apa semua kalian sudah tuli
atau mulutku yang tak bisa bersuara lagi…?!” Dewi Siluman memerintah lagi
dengan suara menggeledek. Tapi tetap saja tak ada yang bergerak.
“Apa yang telah terjadi dengan
kalian?!” teriak Dewi Siluman. Suaranya bergetar dahsyat.
“Mana kalung tengkorak
kalian?!”
“Dewi, mulai saat ini kami di
sini bukan lagi anak-anak buahmu!” Yang bicara adalah Inani.
Dewi Siluman palingkan
kepalanya.
“Kau yang bicara Inani?
Alangkah bagusnya! Hebat!” Rahang Dewi Siluman menggembung.
Mukanya bermimik bengis. “Jadi
semua kalian di sini bukan lagi anak buahku?!” Dewi Siluman tertawa panjang.
“Semua kalian akan menerima
hukuman! Dan kau Inani! Kau yang bakal kupancung pertama kali!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
perlahan-lahan berdiri dan bergerak sejauh tiga langkah.
Kembali antara pendekar ini
dan Dewi Siluman terjadi bentrokan pandangan.
“Dewi Siluman, apakah kau
masih betum melihat jalan kebaikan? Apakah hatimu begitu kotor keras laksana
gumpalan batu karang? Apakah pikiranmu begitu tumpul…?!”
Dewi Siluman mendengus.
“Delapan penjuru angin dunia
persilatan negeri menyebut dan mendengar namaku! Apa aku musti takut terhadap
manusia macammu?!”
Wiro Sableng tertawa pelahan.
Dewi Siluman berdiri berkacak
pinggang tapi diam-diam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya pada telapak
tangan kiri kanan. Tiba-tiba, didahului oleh lengkingan dahsyat laksana mau
membelah langit, Dewi Siluman membungkuk dan pukulkan kedua tangannya sekaligus
ke muka.
Tanah yang dipinjaknya melesak
lima senti.
Wiro yang sejak tadi juga
telah siap waspada tidak terkejut melihat datangnya dua gelombang angin biru
yang sangat panas menyerang ke arahnya. Pendekar ini sama sekali tidak mengelak
dari tempatnya berdiri malah balas memukulkan kedua tangannya ke muka lepaskan
dua pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Sekaligus dia hendak menjajaki
sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawannya. Dan terkejutlah Pendekar 212.
Begitu terdengar suara
menggelegar akibat beradunya pukulan yang bertenaga dalam dahsyat itu maka
tubuh Wiro Sableng terhuyung keras ke belakang. Dia hampir saja jatuh duduk di
tanah kalau tidak lekas mengimbangi diri. Di hadapannya Dewi Siluman keluarkan
suara tertawa panjang. Ternyata tenaga dalam Pendekar 212 lebih rendah dari
Dewi Siluman. Diam-diam pemuda berambut gondrong ini tergetar hatinya tapi dia
tidak takut.
“Kalau kehebatanmu cuma
sebegitu, tak sukar bagiku untuk meringkusmu, pemuda tolol!”
kata Dewi Siluman. Dan segera
dia loloskan kalung tengkorak di lehernya sedang tangan kiri keluarkan segulung
benang sutera halus berwarna biru.
“Jurus kedua ini adalah jurus
terakhirmu!” kata Dewi Siluman.
Dengan ilmu menyusupkan suara,
Inani peringatkan Wiro Sableng. “Cepat keluarkan senjatamu. Kau tak bakal kuat
menghadapinya dengan tangan kosong! Benang sutera itu lihai sekali!”
Di saat Wiro merasa ragu-ragu
untuk keluarkan senjata maka Dewi Siluman melangkah sambil acungkan kalung
tengkorak.
“Kau lihat tengkorak ini?
Nasib tengkorak kepalamu tidak lebih baik dari ini! Tengkorakmu cukup bagus
untuk diramu sampai kecil dan dijadikan kalung!”
Lalu dengan sebuah jurus
bernama “Petir Menyambar Naga Berenang” Dewi Siluman menyerbu. Kalung tengkorak
di tangan kanannya laksana bola baja menyambar ganas ke kepala Wiro sedang
benang sutera biru di tangan kirinya melesat ke muka untuk melihat bagian tubuh
Pendekar 212 yang menjadi sasaran.
“Wiro! Keluarkan senjatamu
cepat!” teriak Inani.
Tapi Wiro menyambut serangan
lawan dengan Pukulan Sinar Matahari.
Kalung tengkorak di tangan
Dewi Siluman hancur lebur. Suaranya laksana letusan meriam sewaktu dihajar
Pukulan Sinar Matahari Pendekar 212 tapi di lain pihak sang pendekar sendiri
dibikin kaget karena pada detik itu benang sutera biru lawan telah melibat pergelangan
tangan kanannya sampai ke ujung-ujung jari. Wiro coba menyentakkan tapi tiada
guna, libatan benang sutra semakin ketat. Pendekar 212 lepaskan Pukulan Sinar
Matahari ke arah Dewi Siluman, kali ini dengan tangan kiri, tapi sebelum
kesampaian sang Dewi sudah hantam lengan kiri itu dengan lengan kanannya.
Masing-masing merasa sakit namun Wiro lebih menderita sedang libatan benang di
tangan kanannya belum terlepas.
Inani tak menunggu lebih lama.
Segera gadis ini berkelebat dan laksana kilat lepaskan totokan jarak jauh yang
lihai ke arah Dewi Siluman.
Dewi Siluman yang tengah
hendak melibat sekujur tubuh Wiro dengan benang suteranya ternyata betul-betul
luar biasa. Dia masih sempat merasakan datangnya bahaya yang mengancam.
Padahal kecepatan gerakan Inani
tadi tidak seorang pun yang melihatnya.
Sang Dewi rundukkan tubuh
untuk hindarkan sambaran angin yang dirasakannya menyerang ke urat lehernya.
Tapi anehnya sambaran angin itu mengikuti gerakannya. Mau tak mau Dewi Siluman
terpaksa lepaskan gulungan benang dan pergunakan tangan kirinya untuk menangkis
angin serangan lawan.
Bukan saja angin totokan Inani
buyar berantakan, tapi pukulan Dewi Siluman terus melanda tubuhnya. Karena
tenaga dalam Inani jauh lebih rendah tak ampun lagi gadis ini mencelat sampai
delapan tombak, terguling di tanah, masuk ke dalam kolam. Inani kelihatan
seperti hendak berenang tapi tubuhnya kemudian tenggelam sedang air kolam
tampak merah oleh darah yang muntah dari mulutnya.
Melihat ini Laruni segera
melompat, ceburkan diri keadaan kolam lalu menyeret Inani keluar. Tubuh Inani
dibaringkannya di satu tempat yang aman dan diberi pertolongan sedapatdapatnya.
Sebenarnya Dewi Siluman merasa
terkejut akan kehebatan angin pukulan aneh yang tadi dilepaskan Inani. Namun
kini terdengar suara tertawanya mengekeh.
“Itu contoh pertama buat
manusia-manusia murtad yang berkhianat terhadap Dewi Siluman!” berkata sang
Dewi dengan seringai bengis. Dia lalu cepat-cepat palingkan kepala ke arah Wiro
Sableng. Kegusarannya tiada tara sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil
melepaskan benang sutra yang melibat sebagian tangan kanannya.
“Benangmu ini cukup lihai
Dewi. Aku mau lihat apakah kau sendiri sanggup menghadapinya!” kata Wiro.
Dewi Siluman ganda mendengus.
Dia mundur beberapa langkah lalu berlutut di atas rumput.
Mata dipejamkan sedangkan
kedua tangan bersidekap di muka dada.
“Saudara!” seru Laruni
terkejut. “Hati-hati! Dia hendak keluarkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk!”
Pendekar 212 yang memang sudah
diberi tahu kehebatan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu segera lesatkan benang
sutera biru di tangannya. Laksana seekor ular, benang itu meluncur ke arah Dewi
Siluman, tapi anehnya satu tombak dari hadapan sang Dewi, benang itu tak mau
lagi meluncur, melainkan membelok-belok kian ke mari menjauhi sasarannya.
“Sialan!” maki Pendekar 212.
Gulungan benang di tangannya dilemparkan ke kolam.
Sementara itu dari ubun-ubun
Dewi Siluman Wiro melihat asap hitam mengempul bergulungscan gulung. Waktu dia
memandang berkeliling, tak seorang gadis baju biru pun dilihatnya. Pasti mereka
telah sembunyikan diri karena takut akan ilmu sang Dewi.
Sepasang mata Pendekar 212
tidak berkesip dan memandang ke arah Dewi Siluman penuh waspada. Kepulan asap
semakin tebal. Seluruh tubuh Wiro Sableng sudah tergetar oleh aliran tenaga
dalam kedua kaki merenggang. Hatinya tegang sekali menunggu detik demi detik.
Tiba-tiba dari mulut Dewi
Siluman terdengar suara seperti orang menangis. Dan suara seperti tangisan ini
kemudian berganti dengan lengking-lengking jeritan yang merobek langit
mengerikan. Kepulan asap sudah menebar di mana-mana. Dewi Siluman ganti suara
lengkingannya dengan teriakan macam lolongan serigala lapar. Anehnya,
gumpalan-gumpalan asap kini kelihatan memecah cepat dalam ratusan gumpalan
kecil yang kemudian mengembang tambah besar… tambah besar. Ketika Wiro
memperhatikan gumpalan-gumpalan asap hitam ini terkejutlah dia. Setiap gumpalan
telah berubah menjadi sosok-sosok tubuh makluk-makhluk yang mengerikan.
Tubuhnya
hanya sebatas dada ke atas dan
lima kali tubuh manusia besarnya. Makhluk-makhluk aneh ini bermuka sangat
mengerikan, rambutnya awut-awutan, mata merah besar, lidah menjulur lebar
keluar sedang taring dan gigi-giginya menjorok besar-besar.
Dewi Siluman menjerit.
Ratusan makhluk jadi-jadian
itu balas menjerit dan masing-masing angkat tangan mereka.
Ternyata masing-masing
mempunyai enam pasang tangan. Dan setiap tangan berkuku hitam.
“Bunuh manusia itu!” teriak
Dewi Siluman. Matanya masih meram, tangan masih mendekap dada dan tubuhnya
masih berlutut di rumput.
Ratusan makhluk siluman
menjerit dahsyat dan menyerbu berserabutan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Tak ayal lagi-Pendekar 212 segera cabut Kapak Naga Geni 212. Dari mulutnya
keluar bentakan keras dan sekali kapak diputar terus melanda ke arah makhluk-makhluk
siluman yang datang menyerbu. Belasan makhluk yang tersambar Kapak Naga Geni
212 menjerit, darah muncrat dari tubuh masing-masing. Tapi anehnya
makhluk-makhluk ini tidak musnah malah dari setiap tetes muncratan darah
berubah menjadi makhluk siluman baru sehingga dalam sekejap saja jumlahnya
telah bertambah ratusan bahkan mungkin sudah ribuan kini.
Sewaktu makhluk-makhluk itu
dengan ganasnya menyerang kembali Wiro Sableng tak berani menghantam dengan
Kapak Naga Geni. Tubuhnya berkelebat dan lenyap. Untuk beberapa lamanya dengan
gesit dia berhasil mengelakkah setiap serangan yang dilancarkan oleh ratusan
makhluk siluman itu. Dari samping, dari atas dan dari bawah tiada kunjung
hentinya datang serangan. Sampai berapa lamakah Pendekar 212 sanggup
pertahankan diri? Sementara itu dalam keadaan yang mulai terjepit itu Wiro
masih juga belum berhasil memecahkan rahasia kelemahan ilmu seribu siluman
mengamuk yang tersembunyi di balik dua rangka kalimat: Ilmu Seribu Siluman
mengamuk teramat sakti. Hanya suara yang sanggup mengalahkannya!
Telinga Pendekar 212 mulai
sakit oleh kedahsyatan luar biasa jeritan-jeritan ratusan makhluk siluman yang
datang menyerangnya. Meski dia sudah tutup indera pendengarannya tetap saja
suara jerit lengking yang mengerikan itu masuk menerobos liang-liang telinga
dan pada jurus pertempuran kedua belas kedua telinga Pendekar 212 mulai
keluarkan darah.
“Mampuslah aku!” keluh Wiro
dalam hati.
Baru saja dia mengeluh
demikian, satu sambaran tangan lawan tak bisa dielakkannya.
“Breet!”
Robeklah pakaian Wiro Sableng.
Dadanya tergurat luka disambar kuku dari makhluk siluman dan tubuhnya dengan
serta merta menjadi panas. Wiro cepat telan sebutir pil lalu melompat enam
tombak dan tekan gagang Kapak Naga Geni 212 di bagian leher kepala naga-nagaan.
Ratusan jarum hitam menderu ke arah makhluk-makhluk siluman. Tapi laksana
seseorang menepuk air hujan, makhluk-makhluk itu sekali kebutkan enam pasang
tangan maka mentallah semua senjata rahasia yang dilepaskan Wiro.
Pendekar 212 sambil melayang
turun kirimkan pukulan Benteng Topan melanda Samudera sedang kapak diputar
dengan gerakan Orang Gila Mengebut Lalat! Dua gelombang angin yang dahsyat luar
biasa melanda tubuh makhluk-makhluk siluman. Tapi tak ada gunanya serangan itu
karena makhluk-makhluk ini seperti tiada merasakan apa-apa malah dengan cepat
menyerbu tambah dekat. Sewaktu Wiro dalam keadaan yang sudah kepepet lepaskan
pukulan sinar matahari dengan tangan kiri, makhluk-makhluk siluman itu meniup
ke muka dan menjerit-jerit lebih dahsyat.
Pukulan sinar matahari
membalik menyerang Pendekar 212 sendiri. Wiro menjerit keras.
Untuk melompat kembali ke atas
tidak mungkin. Terpaksa dia buang diri ke samping dan bertabrakan dengan salah
satu makhluk siluman. Untung saja Wiro masih sanggup jatuhkan diri dan
berguling di tanah, kalau tidak pasti tubuhnya akan dihantam empat pasang
tangan makhluk siluman. Ketika dia berdiri kembali, empat makhluk siluman
menerjang ke arahnya. Tak ada jalan lain daripada hantamkan Kapak Naga Geni 212
ke muka. Empat makhluk meraung keras dan mandi darah. Muncratkan darah hanya
menambah banyaknya jumlah makhluk siluman itu saja. Sedang empat makhluk yang
tadi disambar kapak kembali menyerbu dengan lebih buas. Pendekar 212 bersiul
nyaring lalu lancarkan satu tendangan pada makhluk yang terdekat. Makhluk ini
mental tiga tombak yang lainnya, disusul puluhan kawan-kawannya berhamburan ke
muka. Di saaat itu Wiro Sableng terkurung di tepi kolam. Darah dari kedua liang
telinganya telah membasahi pipi.
Pakaiannya robek-robek sedang
kulit tubuhnya berselomotan darah bekas cakaran makhluk makhluk siluman.
Satu-satunya tempat untuk
selamatkan diri ialah patung perempuan telanjang yang terdapat di tengah kolam.
Tanpa menunggu lebih lama Wiro melompat ke atas kepala patung itu. Ketika
puluhan makhluk siluman melayang ke arahnya maka Pendekar 212 segera keluarkan
batu api dari balik pakaian. Begitu makhluk-makhluk itu. menyerbu, Wiro adu
batu api dengan mata kapak. Satu gelombang angin menggebu ke arah
makhluk-makhluk siluman. Gerakan puluhan siluman itu terhenti sejenak. Api
menyambar tubuh mereka tapi sedikitpun tak membawa akibat apa-apa, malah
bersama puluhan kawan-kawannya makhluk-makhluk yang kena disambar api ini cepat
teruskan serbuan mereka.
Wiro Sableng lompat dari atas
patung, melesat ke bagian lain dari kolam. Boleh dikatakan seluruh taman telah
dipenuhi oleh makhluk-makhluk siluman. Sebentar saja Wiro berdiri di tepi kolam
itu maka puluhan makhluk kembali menyerbunya, memaksa dia berkelebat cepat kian
kemari untuk hindarkan diri “Tamatlah riwayatku!” keluh Wiro Sableng sewaktu
satu tangan makhluk siluman menghantam punggungnya dengan keras, membuat dia
berguling di rumput dan bangun dengan megap-megap, bergerak lagi dengan cepat
untuk hindarkan serangan makhluk-makhluk siluman yang kembali datang menyerbu.
Pendekar 212 merasa tiada
perlu lagi dia memegang Kapak Naga Geni 212 karena tidak bisa digunakan. Segera
dia selipkan batu hitam ke balik pakaian dan hendak simpan Kapak Naga Geni 212.
Tapi dia ingat bahwa masih ada satu kehebatan Kapak itu yang belum
dikeluarkannya. Dengan hati meragu apakah kehebatan terakhir ini akan sanggup
selamatkan dirinya Pendekar 212 balikkan senjata itu dan tempelkan mulut kepala
naga-nagaan ke bibirnya. Maka terdengarlah suara tiupan seruling. Mula-mula
perlahan, kemudian melengking keras, tinggi dan tajam, bergema ke setiap
penjuru.
Ratusan makhluk siluman tampak
tertegun. Suara jeritan-jeritan mereka mulai pelahan dan semakin tinggi nyaring
suara seruling, jeritan-jeritan makhluk itu semakin berkurang dan akhirnya
lenyap sama sekali. Wiro kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tiupan seruling
laksana deru ribuan tawon. Makhluk-makhluk siluman kelihatan bingung dan
mundur, lalu menjerit dan berteriak-teriak aneh. Sekelompok demi sekelompok tubuh
mereka kembali menjadi kepulan asap hitam untuk kemudian sirna tiada bekas.
Ketika keseluruhan makhluk
siluman itu lenyap menjadi asap dan asap lenyap pula dari pemandangan maka
kelihatan Dewi Siluman di tengah taman. Mukanya pucat pasi, dari telinga, hidung,
mata serta mulut keluar darah kental. Sekujur badannya tergetar hebat.
Sewaktu Pendekar 212 tiup
suling Kapak Naga Geni. Dewi Siluman tersentak kaget.
Bagaimanapun dia kerahkan
tenaga dalam dan tutup pendengarannya namun suara seruling tak berhasil
ditolaknya, terus menyeruak ke dalam liang telinga, mengacaukan jalan
pikirannya serta menyentak-nyentak pembuluh darah, membuat aliran darahnya
tidak teratur lagi.
Dewi Siluman coba bertahan
dengan sekuat tenaga dan kesaktian yang dimilikinya, tapi kini dia telah ketemu
batunya. Tiupan seruling Pendekar 212 yang sangat dahsyat telah membongkar
kelemahan ilmu siluman yang dimilikinya. Bukan saja ilmu siluman itu musnah
berantakan tapi juga tiupan seruling terus membungkus dirinya tiada sanggup ditolak
lagi.
Sambil terus tiup senjatanya
Wiro Sableng memaki dalam hati. Sungguh tolol sekali dia.
Kiai Bangkalan telah
menuliskan dua kalimat yang bisa membongkar rahasia kehebatan ilmu Dewi Siluman
tapi dia tak berhasil memecahkannya. Masih untung dalam keadaan sangat terjepit
dia tiup senjata itu, padahal itu pun tadi dilakukannya dengan hati bimbang
karena khawatir akan sia-sia.
Tubuh Dewi Siluman makin
lemah. Darah keluar semakin banyak. Kini di bawah tiupan seruling itu tampak
tubuhnya terhuyung kian kemari dan kira-kira setengah peminuman teh kemudian
tubuh itu tak sanggup lagi bertahan. Dewi Siluman meraung. Raungan yang keluar
disertai muntahan darah berbuku-buku. Tubuhnya rebah menelungkup ke tanah,
masih bergerak gerak beberapa ketika kemudian diam untuk selama-lamanya.
Pendekar 212 masukkan Kapak
Maut Naga Geni ke balik pakaiannya lalu bersila dan meramkan mata. Luka di
bagian luar serta dalam tubuhnya cukup parah. Sepeminuman teh baru Pendekar ini
buka kedua matanya lalu telan sebutir pil dan berdiri. Gadis-gadis berbaju biru
dilihatnya bermunculan kembali di sudut-sudut taman.
Wiro melangkah ke tempat di
mana Inani duduk tersandar. Dia sudah sadar dari pingsannya dan memandang
kepada pemuda itu sewaktu Wiro me langkah ke hadapannya.
Wiro tersenyum dan berlutut di
hadapan gadis ini. Inani membalas senyumnya. Matanya yang tadi sayu kini
kelihatan bersinar.
“Kau hebat Wiro….”
“Aku manusia tolol geblek!”
sahut Wiro Sableng.
“Sudah hampir mau kojor baru
bisa pecahkan rahasia yang diberikan Kiai Bangkalan. Itu pun secara tak
sengaja!”
Inani tersenyum.
Wiro memegang tangan gadis
ini. “Kau tak apa?”
Gadis itu menggeleng.
“Terima kasih atas
pertolonganmu”, bisik Wiro. Dia memandang berkeliling lalu kembali berpaling
pada gadis itu dan berkata. “Sudah saatnya kita meninggalkan tempat ini,
Inani!”
Inani mengangguk. Dibantu oleh
Wiro gadis ini berdiri. Mereka saling pandang sejenak, sama-sama mengulas
senyum dan mulai melangkah ke arah langkan istana Dewi Siluman di mana
kawan-kawan Inani menunggu. Di langit sang surya bersinar cerah. Satu kejahatan
telah musnah tapi Pendekar 212 WiroSableng tahu bahwa masih banyak lagi
manusia-manusia jahat yang musti ditumpas.
TAMAT