Bab 6 - Bulan Lak-Gwe
˜Mengapa sampai sekarang dia
belum muncul?! terdengar Hek-te-ong orang pertama dari Thian-te Sam-kauwcu yang
bertubuh tinggi besar, bertanya. Suaranya besar seperti tambur dan kulitnya
yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi.
˜Ha, ha, ha, agaknya Bu Pun Su
sudah hilang nyalinya dan takut kepada kita...!! kata Pek-in-ong orang ke dua
yang tinggi kurus seperti cecak kering dan mukanya seperti tengkorak. Suaranya
tinggi dan nyaring menusuk telinga.
Mendengar ejekan ini, semua
orang ketawa dan bergemalah suara ketawa mereka sampai di permukaan air sungai
Yalu Cangpo.
Tiba-tiba suara ketawa mereka
itu terhenti. Mereka terkejut mendengar suara ketawa lain yang parau dan keras,
yang keluar dari permukaan air sungai!
Cheng-hai-ong, orang ke tiga
dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh kurus bongkok dan bermata sipit
menggerakkan tangan. Sebatang hui-to (golok terbang) meluncur ke arah permukaan
air. Air itu bergelombang dan hui-to itu tenggelam, tidak ada tanda sesuatu.
Kalau betul di permukaan air tadi ada sesuatu, jelas bahwa hui-to itu tidak
mengenai sesuatu.
˜Bedebah, berani main gila
dengan Cheng-hai-ong!! seru kakek kurus bongkok ini sambil berbangkit dari
tempat duduknya. Ia hendak melompat dan terjun ke dalam air karena orang ke
tiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini memang seorang ahli dalam air, maka
julukannya juga Cheng-hai-ong yang berarti Raja Laut Hijau!
Akan tetapi, ia membatalkan
niatnya karena tiba-tiba dari dalam hutan muncul seorang kakek berusia empat puluh
tahun lebih bertubuh sedang berpakaian sederhana.
˜Thian-te Sam-kauwcu, aku
sudah datang tak perlu gelisah!!
Semua orang memandangnya. Bu
Pun Su berjalan lambat-lambat naik ke tempat terbuka itu, tongkat kecil di
tangan kiri, dipukul-pukulkan di atas tanah ketika ia berjalan. Ia tidak
kelihatan membawa senjata, hanya di pinggangnya terselip sebatang suling bulat.
Setelah tiba di depan Thian-te Sam-kauwcu, kurang lebih sepuluh tombak jaraknya
ia berhenti dan berdiri tegak.
Thian-te Sam-kauwcu sudah lama
mendengar nama Bu Pun Su yang menggemparkan dunia kang-ouw dan yang diakui oleh
semua tokoh kang-ouw sebagai jagoan nomor satu, akan tetapi baru kali ini
mereka bertemu muka dengan pendekat sakti itu.
˜Ha ha, ha, ha!! Hek-te-ong
tertawa bergelak sambil memegangi perutnya, menahan kegelian hatinya. Ia tidak
hanya geli, akan tetapi juga sengaja mentertawakan orang yang baru datang untuk
menguji perasaan Bu Pun Su.
˜Inikah yang bernama Bu Pun
Su? Lucu sekali! Agaknya sudah tidak ada lagi orang gagah di Tiong-goan
sehingga bocah macam ini menjadi jago nomor satu. Ha, ha, ha!!
˜Siluman hitam, sombong sekali
mulutmu!! terdengar bentakan nyaring seorang wanita dan nampak bayangan
berkelebat cepat tahu-tahu Bu Sui Ceng telah berdiri di dekat Bu Pun Su,
cambuknya bergoyang-goyang di tangan kanannya.
Thian-te Sam-kauwcu
tercengang. Gerakan wanita yang baru datang ini benar-benar hebat, membuktikan
bahwa gin-kang dari wanita ini sudah sampai di tingkat tinggi sekali. Tentu
saja mereka tidak tahu bahwa Bu Pun Su memang sengaja tidak memperlihatkan
kepandaian, berbeda dengan Bu Sui Ceng yang wataknya keras.
Di belakang Sui Ceng, menyusul
datang The Kun Beng yang diikuti oleh Kiang Liat. Melihat Sui Ceng, Bu Pun Su
memandang dengan muka tak berubah, akan tetapi wajahnya berseri ketika ia
melihat Kun Beng datang bersama Sui Ceng.
˜Bagus, kalian datang, ini
tanda bahwa kiamat telah tiba bagi Thian-te Sam-kauwcu,! kata Bu Pun Su kepada
Sui Ceng dan Kun Beng.
Belum habis gema suara Bu Pun
Su ini, berturut-turut muncul Swi Kiat Sian-su dan Pok Pok Sianjin, diikuti
oleh Han Le! Sui Ceng tidak mau membuang banyak waktu. Ia melangkah maju
menghampiri tempat duduk Thian-te Sam-kauwcu. Di depan tiga orang Ketua Mo-kauw
ini, di atas tanah, terbentang sehelai kain dan di atas kain berwarna hitam itu
terletak sebuah kitab dan sebatang pedang. Sekali melihat saja, Sui Ceng sudah
dapat menduga dan ia berkata nyaring,
˜Inikah kitab Siauw-lim-pai
dan pedang Kun-lun-pai yang dicuri oleh kaum siluman?! Kembali ia melangkah
maju.
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa yang lambat dan perlahan, akan tetapi menyeramkan. Yang tertawa adalah
Cheng-hai-ong. Tangannya bergerak dan belasan benda warna hijau menyambar ke
arah kitab dan pedang. Ketika Sui Ceng melihat, ternyata bahwa sekeliling kain
tempat kitab dan pedang itu telah terkurung oleh anak-anak panah berwarna hijau
yang menancap di atas tanah, begitu rapi seperti ditancapkan dan diatur dengan
tangan. Dengan adanya anak-anak panah itu, maka kitab dan pedang itu terkurung
rapat!
Demonstrasi kepandaian ini
tidak aneh kalau orang tahu bagaimana cara mempergunakannya. Biasanya, anak
panah hanya diluncurkan dengan bantuan busur, akan tetapi melepaskan belasan
batang anak panah sekaligus hanya dengan lontaran tangan dan dapat mengenai
sasaran demikian tepatnya, jarang sekali ada orang dapat menirunya. Selain
membutuhkan latihan, juga membutuhkan lwee-kang yang amat tinggi.
˜Hah, pertunjukan kanak-kanak
macam itu siapa sih yang hargai?! kata Sui Ceng. Cambuknya bergerak. Terdengar
suara, ˜Tar! Tar!! beberapa kali dari sembilan ujung cambuknya dan tanpa
mengenai kitab dan pedang, anak-anak panah yang tertancap di sekeliling kain
hitam itu lenyap beterbangan ke kanan kiri!
˜Heh-heh-heh, terima kasih
atas pertunjukan ini. Kau tentu murid Kiu-bwe Coa-li!! kata Cheng-hai-ong
dengan senyum mengejek, sungguhpun di dalam hatinya ia merasa kagum sekali.
Pada saat itu, terdengar suara
orang datang ke tempat itu dan ketika semua orang memandang, ternyata datang
pula dua rombongan orang, masing-masing rombongan terdiri dari sepuluh orang.
Rombongan pertama adalah rombongan hwesio dari Siauw-lim-pai yang dikepalai
oleh dua orang hwesio tua bertubuh gemuk. Rombongan ke dua adalah rombongan
tosu dari Kun-lun-pai yang dikepalai oleh seorang tosu tua yang kurus dan
tinggi.
Pada saat semua orang
memandang kepada rombongan ini, dari pihak Mo-kauw meloncat keluar seorang
wanita setengah tua yang cantik. Wanita ini adalah Wi Wi Toanio yang memegang
sebuah tusuk konde perak, dipegang di tangan kanan dan diangkat tinggi-tinggi.
Dia melompat ke depan dan
memandang ke arah rombongan Bu Pun Su, matanya mencari-cari dan ia berseru
heran,
˜Di mana dia...?!
Tak seorang tahu apa yang
dimaksudkan oleh Wi Wi Toanio, akan tetapi pada saat itu, Bun Sui Ceng dan yang
lain-lain juga merasa heran karena tanpa mereka ketahui, Bu Pun Su telah
menghilang dari situ. Tak seorang pun tahu ke mana perginya pendekar sakti ini!
Para pembaca cerita Pendekar
Sakti tentu maklum mengapa Bu Pun Su melenyapkan diri. Pendekar sakti ini tadi
melihat Wi Wi Toanio berada di antara rombongan Mo-kauw, maka melihat wanita
itu muncul sambil mencabut tusuk konde, ia lekas-lekas melarikan diri dengan
cepatnya. Sebagaimana diketahui dalam cerita Pendekar Sakti, Bu Pun Su pernah
terlibat dalam urusan asmara dengan Wi Wi Toanio dan pernah bersumpah di depan
wanita ular berbahaya ini bahwa ia akan selalu menuruti kehendak Wi Wi Toanio.
Adapun tusuk konde itu adalah
hadiahnya kepada Wi Wi Toanio dan di depan tusuk konde itulah ia bersumpah!
Oleh karena itu, apabila Wi Wi Toanio mengeluarkan benda ini di depannya,
apapun juga yang terjadi, Bu Pun Su selalu akan tunduk dan menyerah, sesuai
dengan sumpahnya yang tak mungkin ia langgar sendiri.
Di antara semua orang yang
berada di situ, yang tahu sebab perginya Bu Pun Su, hanyalah Han Le seorang.
Kepada sute ini saja Bu Pun Su membuka rahasianya, menceritakan dengan terus
terang akan kebodohannya sehingga ia dahulu di waktu mudanya masuk kedalam
perangkap Wi Wi Toanio. Oleh karena itu, kini Han Le tampil ke muka, mewakili
Bu Pun Su dan berkata kepada Thian-te Sam-kauwcu,
˜Thian-te Sam-kauwcu, kiranya
kalian sudah tahu betul apa maksud kedatangan kami, terutama sekali mengapa
rombongan saudara dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai datang ke sini. Tak perlu
bicara panjang lebar, adalah milik kedua partai itu yang kalian curi secara
tidak tahu malu. Kini kalian menghendaki kami datang, sebenarnya apakah
kehendak kalian?!
Hek-te-ong berdiri dari batu
karang yang didudukinya tadi. Wajahnya yang hitam itu menyeringai lebar, sama
sekali tidak memandang mata kepada Han Le.
˜Ha, ha, ha, entah ke mana
perginya Bu Pun Su, akan tetapi kiranya dia takut kepada kami. Kami tak perlu
pula bicara panjang lebar, tak perlu menyembunyikan maksud kami. Memang kitab
Siauw-lim-pai dan po-kiam (pedang pusaka) Kun-lun-pai telah kami bawa ke sini,
karena tanpa mengambil dua benda ini, kiranya kalian takkan mau menerima
undangan kami. Ketahuilah, sudah lama kami mendengar betapa golongan kalian
memandang rendah kepada kami kaum Mo-kauw, banyak penghinaan telah kami alami.
Akan tetapi sekarang tiba waktunya kami untuk memperlihatkan, siapa sebetulnya
yang lebih kuat. Kitab dan pedang dapat kami ambil tanpa kalian mengetahui, ini
saja sudah membuktikan bahwa kami kaum Mo-kauw tidak boleh dipandang rendah.
Sekarang, terus terang saja kami menuntut agar kalian suka berjanji bahwa
selanjutnya pihak kalian tidak boleh mengganggu kami dan mengakui kami sebagai
sebuah partai persilatan terbesar di dunia kang-ouw. Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai adalah partai-partai terbesar maka kedua partai itulah yang kami
tuntut supaya sekarang mengakui kami sebagai pimpinan partai terbesar!!
Han Le tersenyum mengejek,
˜Hek-te-ong, kau bicara sombong sekali. Belum pernah orang-orang gagah di dunia
kang-ouw mengganggu siapapun juga, kecuali mereka yang jahat dan sesat. Kalau
Mo-kauw merasa terganggu, itu tandanya bahwa sepak terjang anggauta Mo-kauw
memang tidak patut. Bagaimana kau menghendaki kami berjanji tidak akan
mengganggu? Lebih baik kalian yang berjanji selanjutnya akan memperbaiki sepak
terjang, tentu kami takkan sudi mengganggu.!
˜Betul, betul sekali!! kata
hwesio tua dari Siauw-lim-pai.
˜Memang tepat, Kun-lun-pai
hanya membasmi orang-orang jahat tidak peduli dari golongan apa,! kata tosu tua
dari Kun-lun-pai.
Pek-in-ong yang tinggi kurus
seperti tengkorak melompat maju dan ketawa dengan suaranya yang tinggi menusuk
telinga. ˜Aha, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merasa diri sebagai orang-orang
bersih di dunia ini dan memandang orang lain sebagai orang-orang jahat. Apakah
tidak ada anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang jahat?!
˜Kalaupun ada, kami selalu
menangkap dan menghukumnya,! kata hwesio Siauw-lim-pai dengan suaranya yang
keras.
˜Bagus! Bicaralah seperti kau
sendiri yang menjagoi di dunia! Hendak kulihat apakah kau sanggup mengambil
kembali kitabmu!! kata Pek-in-ong menantang. Memang di antara Thian-te
Sam-kauwcu, orang ke dua ini paling berangasan.
Hwesio Siauw-lim-pai yang gemuk
itu melangkah maju dan mengebutkan lengan bajunya.
˜Omitohud, datang-datang
ditantang oleh tuan rumah. Siapakah Sicu? Apa kedudukanmu dalam Mo-kauw?
Pinceng Kok Beng Hosiang dari Siauw-lim-pai ingin belajar kenal.!
˜Aku adalah Pek-in-ong, ketua
nomor, dua dari Mo-kauw. Tak perlu banyak aturan, kitab Siauw-lim-pai sudah
terletak di depan kita.
Kalau kau memang
berkepandaian, cobalah kau ambil kembali.!
Kok Beng Hwesio adalah tokoh
ke tiga dari Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Ketua Siauw-lim-pai, yakni Hok
Bin Taisu. Dengan tenang ia melangkah maju dan membungkuk, tangan kanannya
menyambar ke arah kitab yang terletak di atas kain hitam itu. Biarpun ia
membungkuk mengambil kitab, namun sesungguhnya ini adalah gerakan dari
Siauw-lim-pai yang disebut Tit-ci-thian-te (Jari Menuding ke Tanah), suatu
sikap bhesi yang amat kuat, siap-sedia menghadapi serangan lawan.
Secepat kilat, Pek-in-ong
melangkah maju dan sekali ia menggerakkan tangan yang kanan menepuk ke arah
ubun-ubun kepala hwesio gundul itu, sedangkan tangan kiri menyambar ke arah
pundak dengan totokan yang lihai.
˜Bagus!! seru Kok Beng
Hosiang. Hwesio ini membatalkan niatnya mengambil kitab dan cepat merubah
kedudukan tubuh, dua tangan diayun menangkis.
˜Plak!! Dua pasang lengan yang
penuh dialiri tenaga lwee-kang bertumbukan. Pek-in-ong tidak bergeming, akan
tetapi Kok Beng Hosiang mundur dua tindak! Dari sini saja sudah dapat
dibuktikan bahwa tenaga lwee-kang dari tokoh ke dua kaum Mo-kauw itu jauh lebih
tinggi.
Pihak Siauw-lim-pai terkejut sekali.
Kok Beng Hosiang juga kaget dan cepat ia meloloskan senjatanya yang tadi
dililitkan pada perutnya yang gendut, yakni sebuah rantai baja.
˜Omitohud, kau kuat sekali.
Terpaksa pinceng minta bantuan pian untuk merampas kembali kitab pusaka!!
Rantai itu dipukulkan ke tanah dekat kitab dan aneh! Kitab itu mencelat ke
atas. Selagi Kong Beng Hosiang hendak menyambar kitab dengan tangan kiri,
Pek-in-ong sudah mendahuluinya, menyambar kitab dengan tangan kanan,
melemparkannya kembali ke atas kain dan cepat kedua tangannya bergerak
menyerang ke arah iga dan lutut!
Kok Beng Hosiang cepat
melangkah mundur dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi rantainya menyambar dengan
serangan hebat yang disebut Sin-coa-wi-jauw (Ular Sakti Melilit Pinggang).
Rantainya menyerang dengan kuat, membabat pinggang lawan. Pek-in-ong yang masih
bertangan kosong itu tidak mengelak sama sekali, membiarkan rantai itu mengenai
pinggang dan sekejap kemudian pinggangnya telah terpukul dan terlibat rantai!
Akan tetapi alangkah kagetnya Kok Beng Hosiang ketika merasa betapa rantainya
mengenai benda yang amat lunak sehingga, tenaga sabetannya tertelan habis,
kemudian tiba-tiba ia melihat sepasang lengan yang menyerang cepat sekali ke
arah ulu hatinya, disusul oleh tendangan ke arah anggauta rahasia!
˜Ayaa...!! Kok Beng Hosiang
terpaksa melepaskan rantainya dan melompat jauh ke belakang, karena hanya jalan
inilah yang dapat membebaskan ia dari maut.
˜Ha, ha, ha, hanya demikian
saja kepandaian tokoh Siauw-lim-pai? Ha, ha, ha!! Sambil berkata demikian,
Pek-inong mempergunakan jari-jari tangannya yang kurus panjang untuk mematahkan
rantai itu menjadi berkeping-keping, seperti orang mematahkan sebatang hio
saja!
Han Le dan yang lain-lain
terkejut sekali. Bukan main kehebatan lwee-kang dari Pek-in-ong. Kun Beng
sendiri harus mengakui bahwa kepandaian Pek-in-ong tidak berada di sebelah
bawah kepandaiannya sendiri!
Bok Beng Hosiang, suheng dari
Kok Beng Hosiang melompat maju dengan toya kuningan di tangannya. Ia marah
sekali dan membentak,
˜Pek-in-ong, kau terlalu
menghina Siauw-lim-pai! Biar pinceng mencoba untuk merampas kembali kitab
pusaka!!
Pek-in-ong tertawa, ˜Hwesio
gundul, nanti dulu. Jangan bergerak sembarangan, harus diadakan perjanjian
dulu. Kau siapakah? Apakah kau memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada
Kok Beng Hosiang?!
Bukan main gemasnya hati Bok
Beng Hosiang. ˜Orang sombong, dengarlah, Pinceng adalah Bok Beng Hosiang,
barusan suteku telah kau kalahkan, biar sekarang pinceng yang mencoba
kelihaianmu.!
˜Nanti dulu, harus dengan perjanjian.
Kalau aku kalah, kau boleh mengambil kitabmu yang butut, akan tetapi kalau kau
kalah, kau sebagai wakil Siauw-lim-pai harus bertekuk lutut dan mengakui kami
sebagai orang-orang yang lebih berkuasa dan mengakui Mo-kauw sebagai partai
yang lebih tinggi dan kuat- daripada Siauw-lim-pai. Bagaimana?!
Muka Bok Beng Hwesio sebentar
merah sebentar pucat. ˜Keparat, kami orang-orang Siauw-lim-pai tidak takut mati
untuk membela kebenaran dan membasmi siluman-siluman seperti kau! Biarpun mati,
pinceng takkan sudi bertekuk lutut dan selamanya Siauw-lim-pai takkan mengakui
Mo-kauw yang sesat sebagai partai besar. Terimalah senjataku!! Sambil berkata
demikian, Bok Beng Hosiang langsung menyerang dengan toyanya.
Harus diketahui bahwa Bok Beng
Hosiang adalah murid pertama dari Hok Bin Taisu, kepandaiannya jauh lebih
tinggi daripada sutenya, dan senjata yang ia pergunakan adalah sebuah toya.
Semua orang tahu bahwa ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat kuat dan lihai, maka
pengharapan semua orang diletakkan kepada tokoh ini.
Melihat sambaran toya yang
amat kuat dan dahsyat, Pek-in-ong tidak berani menangkis, melainkan melompat
mundur sambil memuji,
˜Eh, eh, ada isinya juga si
gundul ini!! Di lain saat ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yakni
sepasang roda. Tak lama kemudian terdengar suara keras ketika toya itu
berkali-kali beradu dengan dua roda yang dipegang di kedua tangan. Tenaga
lwee-kang mereka tidak jauh selisihnya, akan tetapi sepasang roda itu
benar-benar amat lihai. Tidak saja dapat dipergunakan untuk menangkis dan
memukul, akan tetapi juga beberapa kali roda-roda itu dilepas, berputar-putar
dan meluncur ke arah tubuh lawan, lalu disambar kembali. Maka sebentar saja Bok
Beng Hosiang telah terkurung oleh sepasang roda itu yang berputar-putar, kadang-kadang
menyerang langsung dari tangan Pek-in-ong, kadang-kadang terlepas dan
menyambar-nyambar dengan dahsyat dari atas!
Bok Beng Hosiang hanya dapat
bertahan dua puluh jurus. Kepalanya telah menjadi pening dan pada suatu saat,
serangan berantai dari Pek-in-ong tidak dapat dihindarkannya dan pundaknya
terpukul oleh roda.
˜Krek!! Bok Beng Hosiang
mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat ditarik oleh Kok Beng Hosiang dan
diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur!
˜Ha, ha, ha, Siauw-lim-pai tidak
patut menyimpan kitab pusaka!! Pek-in-ong mentertawakan sambil menyimpan
sepasang rodanya.
Han Le, Sui Ceng, Kun Beng,
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka
sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan Kun-lun-pai telah melompat maju.
˜Siancai, siancai! Thian-te
Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka dipergunakan
untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang untuk
mengambil kembali pedang!! Sambil berkata demikian, tosu tua ini melangkah
tenang mengambil pedang. Baru saja tangannya diulur, terdengar suara mendesing
dan tiga batang anak panah hijau menyambar ke arah tangannya! Cin Giok Sianjin
berlaku tenang, cepat tangannya mengibas dan tiga batang anak panah itu terpental
kembali ke arah penyerangnya, yakni Cheng-hai-ong orang ke tiga dari Thian-te
Sam-kauwcu!
˜Ha, ha, ha, ini baru namanya
orang pandai!! Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju menghadapi Cin Giok
Sianjin yang terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lunpai.
Ia melihat orang kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di
depannya sambil memegang sebatang rantai yang ujungnya ada tengkoraknya!
Cin Giok Sianjin adalah tokoh
kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian Siansu, Ketua
Kun-lun-pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia kang-ouw dan sudah
puluhan kali bertemu dengan lawan tangguh, akan tetapi baru kali ini ia melihat
senjata sehebat dan seperti itu. Mana ada orang bersenjata rantai yang ujungnya
dipasangi tengkorak? Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan mengeluarkan
sebatang pedang. Kun-lun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya dan dengan tenang
ia berdiri tegak, melintangkan pedang di depan dada dengan jurus pertahanan
Locia-pai-hud (Locia Menyembah Buddha)
˜Tosu bau, mari kita main-main
sebentar!! kata Cheng-hai-ong dan secepat kilat menyambar, tengkorak di ujung
rantainya bergerak ke arah kepala Cin Giok Sianjin. Tosu ini cepat mengelak dan
pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada lawan. Cheng-hai-ong miringkan
tubuh dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang agak ke
kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat hebatnya
serangan ini, maka ia tidak berani mengelak, dan cepat menangkis dengan pedangnya.
˜Plak!! Tengkorak itu terpukul
miring, akan tetapi tidak pecah, sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu merasa
tangannya tergetar.
˜Lihai sekali...! katanya dan
sebentar kemudian pedangnya berubah menjadi segulung sinar putih,
menyambar-nyambar laksana seekor naga mengurung lawan. Ia telah mengeluarkan
kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat yang lihai. Bukan main cepatnya
gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lwee-kang.
Namun, Cheng-hai-ong masih
tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu silatnya yang aneh
sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang menyerang, kadang-kadang
kedua kakinya menendang-nendang, tangan kirinya mencengkeram, sikunya
berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan lututnya sering diangkat
menghantam perut dan tempat berbahaya.
Swi Kiat Siansu berkata lirih.
˜Hm, ilmu silat barat dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol. Benar-benar lihai
sekali.!
Juga yang lain-lain merasa
kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu
itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok Sianjin, karena setelah
bertempur tiga puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu mulai terdesak.
Tiba-tiba Cheng-hai-ong
berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung dan melompat
mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan dari jidatnya nampak merah, temyata
kulit jidatnya telah terluka! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang melihat betapa
tadi dari mulut tengkorak itu menyambar keluar tiga batang jarum hijau ke arah
muka Cin Glok Sianjin. Biarpun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja
jidatnya tergores oleh sebatang jarum hijau sehingga mengeluarkan darah!
Cheng-hai-ong tertawa bergelak
dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk mempergunakan obat
penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa gatal pada lukanya
bahwa jarum hijau itu mengandung racun. Baiknya Kun-lun-pai terkenal dengan
obat-obatnya anti racun, maka ia masih dapat menyelamatkan nyawanya, sungguhpun
tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia perlu bersamadhi untuk mengerahkan
lwee-kang dan mengusir pengaruh racun dengan hawa mumi di dalam tubuhnya.
Han Le marah sekali.
Pemimpin-pemimpin rombongan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah dikalahkan dan
diam-diam ia merasa menyesal sekali mengapa tokoh-tokoh pertama dari
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak mau keluar sendiri. Agaknya kedua partai
besar itu terlalu memandang rendah kepada pihak Mo-kauw, maka Ketua
Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru Keng Thian Siansu
tidak mau datang sendiri. Kalau dua kakek itu datang, tentu akan lain
keadaannya, sungguhpun belum tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu
yang benar-benar lihai itu.
˜Thian-te Sam-kauwcu! Kalian
benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang
terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab dan pedang,
bahkan sekarang kalian dengan sombong telah melakukan hinaan-hinaan,! kata Han
Le.
˜Ha, ha, ha, yang kalah merasa
terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan kepandaian kami memang
jauh lebih tinggi daripada kepandaian kalian?! kata Hek-te-ong sambil ketawa
bergelak diikuti oleh anak buahnya.
˜Hek-te-ong, alangkah
sombongmu!! bentak Han Le marah sekali. ˜Dahulu yang menjadi lima tokoh besar
dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai dan para Locianpwe Kiu-bwe
Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-losian Siangkoan Hai dan Hek I
Hui-mo. Biarpun mereka ini merupakan tokoh-tokoh dari delapan penjuru, namun
mereka masih tidak sesombong kau dan kawan-kawanmu, tidak pernah mau menghina
partai lain, apalagi melakukan pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul
orang jahat, para locianpwe itu turun tangan membasminya!!
˜Ha, ha, ha, kau pengemis bau
murid Ang-bin Sin-kai. Apa kaukira dapat menakut-nakuti kami dengan nama-nama
lima tokoh besar yang sudah mampus itu? Andaikata mereka masih hidup, kamipun
ingin sekali menjajal kepandaian mereka, apalagi sekarang mereka sudah mampus.
Apa yang perlu kami takutkan?!
˜Bangsat bermulut besar. Murid
Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng mewakili mendiang guruku untuk
membasmi Mo-kauw!! bentak Bun Sui Ceng sambil bersiap-siap dengan cambuknya.
˜Pinto Swi Kiat Siansu
mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang jahat!! kata
Swi Kiat Siansu dengan tenang dan sama sekali tidak memandang mata kepada
Thian-te Sam-kauwcu.
˜Siancai, siancai, biarpun
mendiang Suhu Hek I Hui-mo menjalani jalan hitam, namun kiranya beliau akan
turun tangan kalau menghadapi siluman-siluman sombong seperti kalian! Biarlah
pinto Pok Pok Sianjin mewakilinya.! kata pula Pok Pok Sianjin sambil mengerling
tajam.
˜Sayang Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu tidak ada wakilnya,! kata Kun Beng tersenyum mengejek. ˜Karena Suhu
Pak-losian Siangkoan Hai telah diwakili oleh Suheng, biarlah aku The Kun Beng
mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah perkasa!!
˜Bagus sekali! Jadi lima tokoh
besar itu kini telah diwakili oleh murid-muridnya. Kami memang ingin sekali
mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak maju lebih dulu?! kata
Hek-te-ong memandang rendah.
˜Biarlah aku memperlihatkan
kebodohanku,! kata Han Le yang cepat maju sambil mencabut pedangnya.
Sebelum Hek-te-ong menghadapinya,
di pihak Mo-kauw muncul seorang kakek kate dengan telinga lebar, pakaiannya
serba hitam.
Dia ini adalah Hek Mo-ko yang
berkata kepada Hek-te-ong.
˜Twa-suhu, biarlah teecu
menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasai kelihaian Hun-khai-kiam-hoat
dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!! Setelah gurunya mengangguk, Hek Mo-ko
lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh, yakni sebatang pedang bengkok
dan seuntai tasbeh, ˜Han Le pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam
pertandingan satu lawan satu yang menentukan. Hayo kaukeluarkan segala
kepandaianmu akan Aku lihat.!
Han Le mendongkol sekali. Ia
sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar
sungguhpun ia tahu bahwa ia menghadapi lawan tangguh dan harus berlaku
hati-hati sekali.
˜Majulah, Hek Mo-ko,! katanya
sambil melintangkan pedang.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh
Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang aneh bentuknya itu membuat gerakan
melingkar, disusul oleh tasbehnya yang meluncur ke arah lambung Han Le. Maklum
akan bahayanya serangan orang kate ini Han Le tidak berani berlaku lambat.
Pedangnya bergerak cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari
Hun-khai-kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan serangan lawan,
bahkan dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan
tusukan maut. Ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah
hebat, apalagi ditambah dengan pelajaran yang didapat dari lukisan-lukisan ilmu
silat dari Im-yang Bu-tek-cin-keng di dalam guha di Pulau Pek-hio-to, maka
bukan main lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko
memuji dan tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sutenya
hampir saja celaka.
Namun, bagi Han Le juga tidak
mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu silat Iblis Hitam yang
kecil ini masih lebih lihai daripada Pek Mo-ko, juga tenaga lwee-kangnya amat
tinggi, masih lebih kuat daripada tenaga lwee-kang Han Le. Setelah pertempuran
berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Mo-ko merubah gerakannya.
Kini ia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lwee-kang
sepenuhnya sehingga tiap kali pedang di tangan Han Le terbentur dengan pedang
bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini terpental dan telapak
lengannya panas!
Di antara para tokoh itu,
hanya Swi Kiat Siansu seorang yang tahu bahwa dalam perubahan ini terjadi
kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Swi Kiat Siansu sudah banyak
pengalamannya di dunia kang-ouw, terutama sekali di daerah barat di mana banyak
diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir). Tadi secara kebetulan ia melihat Hek-te-ong
memandang tajam ke arah Hek Mo-ko dengan mulut bergerak-gerak. Sungguhpun tidak
terdengar sedikit pun suara dari mulutnya, namun Swi Kiat Siansu maklum apa yang
telah terjadi.
˜Hek-te-ong, kau curang!!
serunya marah. ˜Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!!
˜Siapa membantu?! Hek-te-ong
mengejek. ˜Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!!
Semua orang juga heran
mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi sesungguhnya memang
Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan
dengan tenaga lwee-kang melalui pengerahan khi-kangnya. Suara ini biarpun
perlahan, namun langsung bergema di telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar oleh
orang lain. Hek-te-ong yang berpemandangan luas dan tajam, tahu bahwa tanpa
merubah siasat, sukar bagi Hek Mo-ko untuk mencari kemenangan, maka diam-diam
ia membisikkan siasat kepada Hek Mo-ko untuk mempergunakan tenaga lwee-kang
sepenuhnya dalam pertempuran itu.
Benar saja, setelah Hek Mo-ko
merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biarpun ia berada di pihak
menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan serangan balasan yang
langsung merugikannya.
Tiba-tiba ia mendengar suara
bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik suara itu, yakni
suara suhengnya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di dekatnya dan
berbisik di dekat telinganya,
˜Sute, jangan adu senjata.
Pergunakan gin-kang dan serang dia dengan Bu-eng-kiam-sut!!
Han Le girang sekali. Ia
maklum akan kelihaian suhengnya, dan ia tahu bahwa biarpun tadi menghilang,
ternyata Bu Pun Su berada di dekat situ dan sekarang berusaha menolongnya.
Cepat ia berseru keras dan pedangnya berubah gerakannya. Kini pedang berkelebat
menyambar ke sana sini. Bayangan Han Le lenyap terbungkus gulungan sinar
pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng-kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa
Bayangan) ini!
Ia berhasil, Hek Mo-ko
mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa kali Hek
Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun tak pernah
senjatanya yang digerakkan dengan tenaga lwee-kang sepenuhnya itu dapat
menyentuh senjata maupun tubuh lawannya. Tiba-tiba dengan gerakan cepat, Han Le
berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan pedangnya. Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika ia merasa pedangnya terpental dan hanya dapat merobek celana
dan sedikit daging berikut kulit paha lawan!
˜Aduh!! teriak Hek Mo-ko yang
cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah pedang Han Le.
˜Cring...!! Pedang terlepas
dari tangan Han Le dan telapak tangan nya pecah-pecah kulitnya. Keduanya
melompat mundur. Hek Mo-ko terluka pahanya. Han Le terluka telapak tangannya.
Setelah memungut pedangnya, Han Le berkata,
˜Hek Mo-ko, kau lihai sekali.!
Hek Mo-ko menyeringai, ia
mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biarpun ia dapat membuat
pedang lawan tertangkis, namun ia sendiri menderita luka di paha, sehingga
kalau dibandingkan, kerugiannya lebih besar.
˜Kau patut menjadi murid
Ang-bin Sin-kai,! katanya perlahan.
Pek Mo-ko melompat ke depan
dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya terluka, maka
dengan lantang ia berkata,
˜Siapa lagi yang hendak
gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merampas kembali kitab dan
pedang? Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!! Ia berdiri tegak di
dekat kitab dan pedang, sikapnya menantang sekali.
Pok Pok Sianjin marah sekali
melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke depan dan menghadapi
Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan.
˜Pek Mo-ko, ucapanmu itu
menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam sumur. Akulah
orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek I Hui-mo yang akan menghadapimu. Majulah
menerima kematian!!
Pek Mo-ko gentar melihat Pok
Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek I Hui-mo masih ada hubungan
dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik seperguruan Hek I Hui-mo.
Akap tetapi, karena sekarang ia telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu, dan
ketiga orang gurunya yang lihai masih berada di situ, ia tidak mau
memperlihatkan takutnya, ia sebaliknya tertawa bergelak,
˜Ha, ha, Pok Pok Sianjin,
alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau dahulunya kutu buku,
mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas? Kalau gurumu masih hidup, tentu
kau akan dicaci-maki!!
Pok Pok Sianjin marah sekali
mendengar ini. Memang sebetulnya ia mempunyai pendirian lain dengan mendiang
gurunya. Hek I Hui-mo terkenal sebagai seorang liar kejam dan mengandalkan
kepandaian sendiri, yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat untuk
kepentingan dan keuntungan sendiri. Andaikata gurunya masih hidup dan berada di
situ, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun Su. Sekarang mendengar
makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan tongkatnya.
Ilmu tongkat dari Pok Pok
Sianjin adalah warisan dari tokoh besar Hek I Hui-mo yang kepandaiannya
setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Maka dapat dibayangkan
betapa hebatnya tongkat hitam yang dimainkannya itu. Pek Mo-ko cepat menangkis
dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian tasbehnya terlepas
dan putus!
Dengan kaget Pek Mo-ko
melompat ke samping dan membalas dengan serangan kilat, mempergunakan pedang
bengkoknya dan sekali menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir
terlepas dari pegangan. Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah
dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah lihai sehingga ia main mundur saja. Pada
suatu saat yang tepat, tongkat di tangan Pok Pok Sianjin berhasil menyodok dada
Pek Mo-ko yang terjengkang dan roboh sambil muntahkan darah. Baiknya tenaga
lwee-kangnya sudah matang sehingga ia dapat memelihara, dan menjaga isi dada.
Ia muntahkan darah bukan karena terluka, melainkan karena telalu keras
mengerahkan hawa menjaga dada. Namun ia tak mungkin dapat melawan terus dan Hek
Mo-ko menyeretnya ke pinggir.
Pok Pok Sianjin menghampiri
pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi tiba-tiba dari samping ada
angin menyambar, Pok Pok Sianjin terkejut sekali dan cepat melompat mundur.
Sebatang pedang hampir saja menabas putus lengannya, demikian cepatnya gerakan
pedang yang menyerangnya itu. Ketika ia menengok, ia melihat seorang kakek tua
sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot.
˜Kiam Ki Sianjin, kembali kau
berada di antara orang-orang jahat!! Pok Pok Sianjin memaki. ˜Memang, ular
belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa.!
˜Ha, ha, ha, bocah kemarin
sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak sombong di
depanku, kau masih kanak-kanak bau ingus ketika aku sudah menjagoi dunia
kangouw. Tidak tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini tidak ada
orang-orang yang dapat menandingi Thian-te Sam-kauwcu? Mengapa kau masih
membutakan mata? Lebih baik kalian cepat mengakui bahwa Thian-te Sam-kauwcu
memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai.!
˜Ngaco-belo! Kau memang ular
kepala dua, kaukira aku takut kepadamu?! Pok Pok Sianjin tak mau membuang
banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya.
Dengan tertawa mengejek, Kiam
Ki Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangannya. Segera keduanya
bertempur seru. Bagi para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa
Kiam Ki Sianjin adalah tokoh besar yang lihai, bahkan ia pernah bekerja sama
dengan Hek I Hui-mo. Sekarang melihat murid Hek I Hui-mo berada di pihak Bu Pun
Su, selain heran ia juga marah sekali. Apalagi ketika ia melihat betapa dengan
mudah Pok Pok Sianjin mengalahkan Pek Mo-ko, ia tak dapat menahan kemarahan nya
dan muncul ke depan tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena
memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, tidak jauh selisihnya dengan tingkat
kepandaian tiga ketua itu.
Betapapun lihainya Pok Pok
Sianjin, menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin ia repot juga. Murid Hek I Hui-mo
ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan ia hanya terpaksa saja
menjadi murid tokoh besar Hek I Hui-mo (baca Pendekar Sakti). Maka setelah ia
mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biarpun kepandaiannya
sudah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur. Kini yang dihadapinya adalah
seorang ahli silat tinggi yang boleh dibilang pekerjaannya sehari-hari hanya
bersilat dan bertempur, maka dalam jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin
berhasil melukai pundaknya. Terpaksa Pok Pok Sianjin melompat ke belakang, ditertawai
oleh Kiam Ki Sianjin.
Kun Beng marah sekali dan
sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok Sianjin, tombaknya
terus digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini tertawa terkekeh-kekeh
dan menggerakkan pedangnya menangkis sehingga sekejap kemudian mereka telah
bertanding mati-matian.
Melihat bahwa sute itu pun
agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai, Swi Kiat berseru
keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini memasuki kalangan
pertandingan dengan senjatanya yang ampuh di tangan, yakni sepasang kipas,
senjata istimewa dari mendiang gurunya!
˜Perlahan dulu, tukang dapur!!
Hek Mo-ko membentak dan bersama Pek Mo-ko, ia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua
saudara iblis hitam putih ini telah mengambil senjata cadangan dan biarpun
mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat gerakan
mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu
saja amat berbahaya setelah maju bersama.
Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya,
tidak mau tinggal diam melihat dua orang kawannya didesak. Ia melompat maju dan
tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum ia dapat membantu,
terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita
menyambut tongkat dengan sepasang pedang. Temyata bahwa Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu telah turun tangan! Pek Hoa
Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya
daripada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok
Sianjin telah terdesak hebat, terkurung oleh sepasang pedang dan keselamatannya
terancam sekali!
Sui Ceng menjadi bingung. Ia
menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan murid-murid
Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah terdesak. Tak disangkanya
bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-te Sam-kauwcu sendiri
yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya takkan dapat keluar
dari tempat itu dengan selamat.
˜Maju...! Serbu dan rampas
kitab dan pedang!! hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lin-pai dan
Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai
serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing.
Hek-te-ong tertawa bergelak.
˜Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan hidup seorang juga! Kalau kita
dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!!
Pihak Mo-kauw bersorak-sorai
dan terjadilah perang tanding yang hebat dan mati-matian. Sui Ceng tidak mau
pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguhpun hatinya amat mendongkol.
˜Benar-benarkah Kwan Cu
berubah menjadi seorang pengecut yang tak tahu malu?! pikirnya. Namun ia tidak
mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi, ˜Tar! Tar!
Tar!! dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan
bergulingan untuk menghadapi maut!
Sui Ceng hendak mengamuk
terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su
berbisik dekat telinganya, ˜Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kau
robohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kau lihat wanita yang berbaju biru memegang
pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah
kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar
kita!!
Sui Ceng memandang ke sana ke
mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah menjadi marah sekali ketika
mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai Seng, maka sekali ia
melompat, ia telah berhadapan dengan An Kai Seng. Tanpa banyak cakap, ia lalu
menyerang.
˜Jahanam An, mampuslah kau!!
Cambuknya menyambar hebat, mengeluarkan bunyi yang keras sekali. An Kai Seng
yang diserang secara mendadak, kaget bukan main. Ia bukan seorang lemah dan
cepat pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini, Sui Ceng
mempergunakan semua ujung cambuknya yang berjumlah sembilan. Pedang An Kai Seng
dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja dua ujung cambuk
menotok jalan darahnya satu di leher dan satu lagi di ubun-ubun! An Kai Seng menjerit
ngeri dan roboh tak bemapas lagi.
˜Perempuan jahat, kau berani
mencelakai suamiku!! Wi Wi Toanio- menjerit dan mengirim tikaman dengan pedang.
Namun tentu saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng,
murid Kiu-bwe Coa-li yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh
pingsan terkena sabetan cambuk pada pinggangnya
Gemas mengingat bahwa
perempuan ini adalah isteri musuh besamya, yakni An Kai Seng keturunan An Lu
San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayun cambuk hendak memberi pukulan
maut. Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang ke belakang dan di depannya
berdirilah Hek-te-ong dengan senjatanya yang aneh di tangan, yakni sebuah
penggada kepala beruang! Sambaran senjata ini saja sudah dapat membuat Sui Ceng
terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari ketua Mo-kauw
ini.
Akan tetapi Sui Ceng memang
tak pemah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana sembilan ekor ular
dan ia menyerang Hek-te-ong dengan pengerahan tenaga seluruhnya. Diam-diam
Hek-te-ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini, akan tetapi
karena memang ia telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi
daripada tingkat kepandaian Kiam Ki Sianjin, ia dapat menghadapi Bu Sui Ceng
dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang aneh itu dengan amat kuat
dan pasti mulai mendesak Sui Ceng.
Sementara itu, Kiang Liat yang
tadinya tidak berdaya karena ia maklum akan rendahnya tingkat kepandaiannya
menghadapi para tokoh besar itu, setelah melihat dua pihak berperang tanding
tanpa memilih jago, segera mencabut pedangnya dan menyerbu. Ia paling benci
melihat Pek Hoa Pouwsat yang pemah mengganggunya. Apalagi kalau ia teringat
akan kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti siluman ini pemah berjanji
untuk menengok anaknya, kekhawatirannya amat besar. Kini melihat Pek Hoa
Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu terjun ke dalam
pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk membantu Pok Pok
Sianjin.
˜Eh, bocah she Kiang, kau masih
belum mampus?! Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat mengejek dan pedangnya
kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat. Kalau tidak ada Pok Pok Sianjin,
tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh. Setelah Kiang Liat
membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak lagi, karena biarpun
Kiang Liat masih kalah jauh tingkat kepandaiannya, namun kiam-hoat dari orang
muda ini tak boleh dibilang lemah.
Pek Hoa Pouwsat gemas sekali.
Dicabutnya sehelai saputangan dari saku bajunya. Melihat saputangan merah ini,
Kiang Liat terkejut sekali.
˜Locianpwe, awas saputangan
beracun itu...!! katanya. Akan tetapi terlambat, sambil tertawa kecil Pek Hoa
Pouwsat mengebutkan saputangannya.
Pada saat yang amat berbahaya
itu, terdengar suara orang, ˜Perempuan keji!! dan tiba-tiba saputangan merah
itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain saat, terdengar
suara ˜tak!! dan patahlah pedang di tangan kiri perempuan itu! Pek Hoa Pouwsat
menjadi pucat dan ia melompat jauh ke belakang, mulutnya memaki-maki,
˜Bu Pun Su, lain kali aku
bunuh kau...!
Memang Bu Pun Su yang turun
tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi Toanio, terbang
semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu mempergunakan tusuk
konde untuk mempengaruhinya, ia takkan berdaya. Maka cepat-cepat Bu Pun Su
pergi dan mengintai dengan hati gelisah. Melihat betapa pihaknya menderita
kekalahan, ia lalu mengirim suara untuk membantu Han Le, kemudian ia mengirim
suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang Kai Seng dan Wi Wi Toanio.
Setelah dilihatnya bahwa Wi Wi
Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su lalu menerjang maju.
Pertama-tama ia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin yang hampir saja
menjadi korban saputangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat. Setelah itu, ia
lalu cepat menolong yang lain. Pedang dan golok orang-orang Mo-kauw
beterbangan, orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa melihat siapa yang
merampas senjata dan merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu Pun Su
Pendekar Sakti.
˜Tahan semua senjata! Thian-te
Sam-kauwcu, kalau kalian memang laki-laki, jangan main keroyokan. Aku Bu Pun Su
lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara laki-laki!!
Mendengar ini dan melihat
betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Het te-ong lalu memberi aba-aba untuk
menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi kembali. Mereka yang
terluka, baik dari pihak Mo-kauw maupun dari anak-anak buah Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai, ditolong oleh kawan-kawannya dan ditarik ke belakang untuk
diobati.
˜Bu Pun Su, kenapa kau baru
muncul?! Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su.
Pendekar itu tersenyum,
mengejapkan mata kepadanya. ˜Sekarang tiba saatnya aku menghadapi mereka.
Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui Ceng,! kata Bu Pun Su yang cepat
melangkah maju menghadapi Thian-te Sam-kauwcu yang berdiri tegak dengan muka
merah.
˜Bu Pun Su, kau telah berani
merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus bertanggung jawab
atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya semua orang gagah akan
insyaf dan mengakui kami sebagai sahabat dan pemimpin,! kata Hek-te-ong.
˜Hek-te-ong, tenang dulu! Kau
dan dua orang sutemu dari Barat mengacau di Tiong-goan. Kawan-kawan Mo-kauw
yang bodoh dapat kalian tipu sehingga mereka mudah saja kalian jadikan boneka,
termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin. Tidak itu saja bahkan kalian telah
mengganggu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, mencuri kitab dan pedang. Kemudian
kalian berusaha pula untuk merobohkan semua tokoh persilatan. Sekarang aku sudah
datang, dan akulah yang bertanggung jawab.!
˜Apa kehendakmu?! tanya
Hek-teong.
˜Tidak banyak, hanya dua
macam. Pertama kau hanya mengembalikan kitab kepada Siauw-lim-pai dan pedang
kepada Kun-lun-pai, disertai pernyataan maaf atas kekurang-ajaranmu. Kedua, kau
dan dua orang sutemu harus segera pergi dari Tiong-goan, kembali ke barat
tempat asalmu. Kalau kau hendak menjagoi, di Tibet tempatmu, bukan di sini.!
˜Ha-ha-ha, kau sombong sekali.
Apa kaukira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau tipu dengan suara
suling?!
Bu Pun Su tersenyum dan
mencabut suling yang terselip di pinggangnya. ˜Suling ini memang biasa untuk
menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan tetapi adakalanya
dapat dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau. Hek-te-ong, daripada kita
semua berkelahi seperti orang-orang biadab, marilah kita bertaruh. Kalian boleh
mengajukan siapa saja untuk menghadapiku mengadu kepandaian. Kalau aku kalah,
aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan berbuat apa. Akan tetapi kala
jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat kaki dari sini dan selama hidup
jangan menginjak lagi bumi di daerah ini!!
˜Manusia sombong, apa sih
kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke neraka!! Yang berkata
demikian adalah Pek-in-ong tokoh ke dua dari Mo-kauw yang tinggi kurus seperti
tengkorak. Dengan senjatanya sepasang roda yang lihai sekali, Pek-in-ong
langsung menyerang Bu Pun Su. Rodanya berputaran di tangan yang mengeluarkan
suara angin mengiung.
Bagus, aku pemah mengenal patungmu,
akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,! kata Bu Pun Su yang dengan amat
sederhana dan mudah mengelak dari serangan orang.
Pek-in-ong mendesak terus dan
sepasang rodanya menyambar-nyambar mencari lowongan, siap untuk mencabut nyawa
Bu Pun Su. Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian
luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang beruntung mewarisi ilmu
kepandaian dari kitab sakti Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan pendekar ini telah
memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat. Oleh
karena itu, dengan mudah saja ia dapat melihat setiap gerakan roda lawan, tahu
ke mana senjata lawan akan menyerangnya, maka mudah saja baginya untuk
menghindarkan diri.
Selain ini, di dalam tubuhnya
mengalir sin-kang (hawa sakti) yang terjadi dari hawa murni di dalam Sin-kang
di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apalagi setelah selama ini ia bertapa
tekun bersamadhi mengatur pernapasan dan mencurahkan seluruh jiwanya kepada
kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka ia memiliki kekuatan lahir batin yang
menakjubkan.
Biarpun senjatanya hanya
sebatang suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar dipercaya. Setiap
kali roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan suling, roda itu
terpental kembali dan beberapa kali roda itu akan menghantam kepada Pek-in-ong
sendiri.
Para tokoh yang berada di
situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguhpun mereka sudah
tahu akan kelihaian Bu Pun Su, namun kembali mereka terheran-heran dan kagum
sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang suling bambu dapat
mempermainkan Pek-in-ong seperti seekor kucing mempermainkan tikus? Padahal,
semua orang tahu bahwa Pek-in-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi!
Pek-in-ong sendiri
terheran-heran. Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan roda-rodanya dengan gerak
tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia lakukan untuk menyerang
lawan aneh ini. Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh
kepandaiannya. Akan tetapi sia-sia belaka, bahkan ketika ia menyerang dengan
hebatnya, melontarkan sepasang rodanya yang susul menyusul menimpa kepala Bu
Pun Su, pendekar ini mengangkat sulingnya. Tepat sekali suling itu masuk ke
dalam roda, diputar-putamya suling itu sehingga rodanya ikut berputar lalu roda
itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-in-ong!
Pek-in-ong terkejut, cepat
mengulur tangan menyambut rodanya sendiri. Akan tetapi ia terjengkang karena
tidak kuat menahan lontaran yang penuh tenaga dahsyat itu. Roda kedua
menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi Pendekar Sakti ini mengibaskan
tangannya dan... roda itu cepat meluncur ke bawah, menghantam kaki Pek-in-ong
yang terjengkang.
˜Plak!! Kaki kanan Pek-in-ong
terkena pukulan rodanya sendiri.
˜Aduh... aduh...!! Semua orang
hampir tak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-in-ong berloncat-loncatan
dengan kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan
main sakitnya. Setelah berloncat-loncatan beberapa kali meringis-ringis,
Pek-inong roboh pingsan!
Hek-te-ong mengeluarkan suara
gerengan seperti seekor beruang marah. Matanya menjadi merah seperti
mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu hijau dan hitam
ke arah Bu Pun Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya mengeluarkan bubuk
beracun.
˜Semua mundur jauh-jauh!!
teriaknya kepada kawan-kawannya. Bun Sui Ceng dan yang lain-lain cepat melompat
ke belakang, menyambar tubuh-tubuh kawan-kawan yang kurang gesit. Han Le
menyeret Kiang Liat karena orang muda ini berlaku lambat. Akan tetapi ada
beberapa orang anak buah Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tidak keburu lari dan
mereka tiba-tiba terbatuk-batuk dan roboh dengan muka menjadi hitam, napas
mereka sudah putus!
˜Keji sekali kau, Hek-te-ong!!
seru Bu Pun Su marah, dan ia lalu menggerakkan kedua lengan, melakukan pukulan
Pek-in-hoat-sut yang mengeluarkan uap putih dan segera semua bubuk berwama itu
terusir kembali menghantam ke arah rombongan Hek-te-ong sehingga orang-orang
Mo-kauw itu menjadi kocar-kacir!
˜Bu Pun Su mampuslah kau!!
teriak Hek-te-ong dan senjatanya menyambar laksana kilat. Menghadapi senjata
penggada kepala beruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia
menyelipkan sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang pedang yang
berkilauan cahayanya. Inilah pedang pusaka Liong-coan-kiam, pedang pusaka yang
ia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!
Sambaran senjata di tangan
Hek-te-ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan sekejap kemudian dua
orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran ini. Bu Pun Su
pernah mengamuk ketika ia dahulu di waktu muda menghadapi Kam Ki Sianjin dan
kawan-kawannya, akan tetapi selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi
tandingan yang benar-benar tangguh. Kepandaian Hek-te-ong masih mengatasi
kepandaian Ang-bin Sin-kai bahkan masih lebih ganas dan berbahaya daripada
kepandaian Kiu-bwe Coan-li dan yang lain-lain!
Namun, Bu Pun Su sekarang jauh
bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan nama Lu Kwan Cu. Sekarang
kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak kesempurnaan, ilmu silat Im-yang
Bu-tek Cin-keng sudah mendarah daging kepadanya. Gerakan-gerakannya sudah
otomatis dan hawa sin-kang di tubuhnya tanpa diatur lagi sudah melindungi
seluruh anggauta tubuh. Bahkan dalam menghadapi Hek-te-ong, pendekar sakti ini
masih mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari Ketua Mo-kauw ini.
Seratus jurus lebih mereka
bertempur. Tiba-tiba Hek-te-ong berseru keras dan sekali ia menepuk dadanya,
dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga batang jarum merah
ke arah tubuh Bu Pun Su. Serangan gelap ini ia barengi dengan pukulan
penggadanya, disusul dengan cengkeraman tangan kiri dan yang terakhir sekali,
dua kakinya melakukan tendangan berantai!
Manusia biasa saja mana mampu
membebaskan diri dari serangan ganas yang bertubi-tubi dari yang semuanya dapat
merampas nyawa ini? Namun Bu Pun Su bukan manusia biasa, melainkan seorang
manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya, sudah amat tinggi ilmunya dan
memiliki kesaktian yang tiada keduanya. la maklum bahwa jarum-jarum merah itu
berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah jarum-jarum itu dengan tenaga
khi-kang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu runtuh, kemudian tangan kirinya
menangkis cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya direndahkan sedikit sehingga
tendangan berantai mengenai dada dan perutnya. Akan tetapi, pedangnya cepat
sekali membabat senjata lawan.
Dalam satu detik itu terjadi
hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-te-ong tepat menendang perut
dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak bergeming, sebaliknya tubuh
Hek-te-ong terpental ke belakang. Penggada itu terkena babatan pedang, putus
bagian leher kepala beruang dan kepala beruang itu sendiri meluncur ke bawah
amat cepatnya dan.... terdengar suara keras kepala beruang itu mengenai kepala
Pek-in-ong yang masih menggeletak pingsan. Kepala Pek-in-ong pecah bersama
kepala beruang itu.