Bab 3 - Putih Dan Hitam
Han Le menjura kepada
suhengnya dan berkata girang, “Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Suheng.
Dan demi Thian Yang Maha Kuasa, aku pun hendak mencoba sedapat mungkin untuk
meniru perbuatanmu yang mulia ini. Tadi suheng bilang hendak menyampaikan
sesuatu yang amat penting, apakah gerangan urusan itu?”
Karena sudah lupa lagi akan
hal-hal dahulu mengenai diri Lu Kwan Cu, Bu Pun Su kembali pula kegembiraannya.
“Sute, aku perlu sekali
bantuanmu, juga bantuan semua orang yang masih berbangsa dan berkebudayaan.”
“Eh, apakah yang terjadi,
Suheng?” tanya Han Le terkejut, karena kata-kata suhengnya ini terdengar
menyeramkan.
Bu Pun Su mengajak sutenya
duduk di dekat pantai Sungai Huang-ho di mana tumbuh sebatang pohon besar yang
akarnya bergantungan dan bermain-main di permukaan air sungai. Tempat itu amat
indahnya dan setiap orang, apalagi para pemancing ikan, pasti akan suka sekali
duduk di situ.
“Sute, di dunia kang-ouw telah
terjadi hal yang hebat dan amat membahayakan kedudukan orang-orang kang-ouw
yang termasuk golongan putih. Apalagi bagi mereka yang menganut sesuatu
kepercayaan atau agama.”
“Mengapa, Suheng? Bukankah
golongan Mo-kauw (Agama Sesat) pada hakekatnya tidak begitu kuat dan selalu
dapat dikendalikan oleh golongan Beng-kauw (Agama Asli), sedangkan golongan
Beng-kauw biarpun agama dan kepercayaannya berlainan dan banyak sekali macamnya
namun dapat menjaga kerukunan dan menghormati kepercayaan masing-masing?”
“Betul kata-katamu itu, akan
tetapi hal itu adalah keadaan pada beberapa tahun yang lalu. Memang jarang ada
orang kang-ouw yang mengetahui kejadian ini, karena hal itu mereka sembunyikan
dan menjaga penuh rahasia agar jangan sampai bocor.”
“Eh, apa sih sebetulnya yang
terjadi, Suheng? Aku menjadi tertarik dan ingin sekali lekas mendengar
penjelasanmu.”
Bu Pun Su 1alu menceritakan
apa yang telah ia ketahui. Di dalam dunia kang-ouw terbagi menjadi dua golongan
yang biasa disebut golongan putih dan hitam. Golongan putih adalah para
pendekar atau mereka yang memiliki kegagahan dan yang sepak terjangnya selalu
bersih, sebaliknya golongan hitam adalah mereka yang selalu disebut pengikut
hek-to (jalan hitam) atau lebih tepat lagi orang-orang yang mempunyai pekerjaan
jahat seperti perampok-perampok, bajak-bajak, maling, copet dan lain-lain.
Antara kedua golongan itu telah dapat diselesaikan dengan kemenangan pihak
golongan putih. Untuk dapat mengendalikan golongan hitam ini banyak tokoh besar
dunia kang-ouw yang sengaja menjadi perampok atau maling, yakni menjadi ketuanya
dan selalu mengawasi sepak terjang anak buahnya sehingga mereka itu tidak
menyeleweng, yakni dengan lain kata, tidak merampok atau mengganggu orang-orang
yang dianggap tak patut diganggu. Bagi orang-orang gagah di waktu itu, merampok
harta orang kaya yang pelit, membunuh mati orang yang berwatak jahat dan kejam,
dianggap sebagai perbuatan yang bersih dan mulia juga. Pendeknya golongan
penjahat pun terpecah dua, yakni jahat yang dilakukan demi memberantas
kejahatan, dan jahat karena memang pada hakekatnya jahat dan keji.
GOLONGAN-GOLONGAN ini hanya
kecil saja, atau boleh disebut golongan perorangan yang meliputi tokoh-tokoh
yang hidup menyendiri. Akan tetapi ada pula golongan-golongan besar seperti
perkumpulan-perkumpulan, terutama sekali perkumpulan agama dan partai-partai
besar persilatan yang tidak lepas dari agama dan kepercayaan, dan justeru
golongan-golongan besar ini yang menjadi induk dari golongan-golongan kecil.
Dan di dalam golongan-golongan besar ini terdapat perpecahan pula!
Perpecahan ini tadinya meluas
sehingga antara partai dengan lain partai terjadi bentrokan dan permusuhan
hebat, hanya karena kepercayaan atau agama mereka berlainan. Akan tetapi,
ratusan yang lalu, ketika muncul tokoh-tokoh besar seperti Tiat Mouw Couwsu dan
lain-lain tokoh dari See-thian (Dunia Barat), bentrokan-bentrokan ini dapat
diselesaikan dengan jalan rukun, sungguhpun kepercayaan mereka, bahkan ajaran
limu silat mereka berlainan. Dan oleh tokoh-tokoh besar itu diletakkan garis
yang memisahkan antara golongan yang disebut penganut Beng-kauw dan mereka yang
menganut Mo-kauw.
Golongan Beng-kauw atau agama
aseli ini tentu saja mempunyai anggauta yang paling banyak. Semua partai
persilatan, seperti Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai,
Hoa-san-pai dan lain-lain menyebut diri sebagai golongan Beng-kauw. Hal ini
tentu saja dapat dimengerti karena siapakah yang mau menyebut diri bukan
penganut “agama aseli”? Golongan ini terdiri dari partai-partai besar yang
menganut Agama Buddha, penganut ajaran Locu atau To-kauw, penganut ajaran Khong
Hu Cu, penganut Kwan Im Pouwsat, dan lain-lain.
Siapakah gerangan yang
termasuk agama Mo-kauw? Sebetulnya tidak ada golongan yang mau mengaku sebagai
penganut Agama Sesat, akan tetapi golongan-golongan yang tidak beragama atau orang~orang
kasar, atau juga mereka yang pernah melakukan pelanggaran dan dianggap jahat,
mereka inilah yang disebut golongan Beng-kauw, sebagai golongan Kaum Sesat!
Mereka ini sebagian besar merupakan kelompok orang yang menyembunyikan diri,
yang bersakit hati dan karena mereka didesak ke sudut oleh mereka yang
menganggap diri bersih, mereka ini dengan sengaja lalu berlaku keaneh-anehan,
sengaja mereka membentuk sekumpulan tokoh-tokoh yang lihai ilmu silatnya,
memisahkan diri dan tidak mau peduli lagi dengan urusan agama. Mereka melakukan
apa saja yang mereka suka, dan hidup berkeliaran tidak tentu tempatnya akan
tetapi mereka tidak pernah mendengar atau mencari perkara dengan golongan
Beng-kauw, karena maklum bahwa golongan ini mempunyai banyak orang pandai. Akan
tetapi, jangan kira bahwa golongan Mo-kauw ini sedikit jumlahnya anggautanya.
Mereka makin lama makin banyak, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang
putus asa, sakit hati, dan orang-orang yang berwatak aneh.
Beberapa tahun yang lalu,
muncullah tiga orang aneh dari See-thian (Dunia Barat) yang sebentar saja sudah
dapat merebut kekuasaan di golongan Mo-kauw. Tiga orang ini memiliki kepandaian
yang amat tinggi, tidak saja kepandaian limu silat mereka tinggi sekali juga
mereka adalah ahli-ahli hoatsut (ilmu sihir) yang aneh. Dalam beberapa bulan
saja mereka dapat mengangkat diri di dalam golongan Mo-kauw sehingga semua
orang penganut agama sesat ini menganggap mereka bertiga sebagai ketua atau
pemimpin.
Tiga orang aneh ini tahu akan
keadaan orang-orang kang-ouw di golongan Mo-kauw yang amat terdesak dan
dianggap orang-orang jahat oleh orang-orang kang-ouw umumnya, maka
mempergunakan rasa dendam dan sakit hati ini, mereka sebentar saja dapat
membentuk sebuah perserikatan yang amat kuat. Hal ini terjadi tanpa banyak
ribut, karena memang penghidupan para penganut Mo-kauw ini tersembunyi, tidak
diketahui oleh masing-masing kang-ouw.
Kalau sampai di situ saja
persoalannya, kiranya tidak akan ada perubahan dan tidak akan menggegerkan,
akan tapi ternyata bahwa tiga orang aneh ini mempunyai niat dan cita-cita yang
lebih besar. Mereka ingin menguasai seluruh dunia kang-ouw ingin menaklukkan
partai-partai besar dan ingin mengangkat diri menjadi ketua perkumpulan yang
paling berpengaruh di Tiongkok! Setelah orang-orang Mo-kauw ini berada di bawah
pimpinan mereka, terjadilah hal-hal yang aneh di dunia kang-ouw. Kitab
pelajaran limu silat yang amat dipuja-puja oleh partai Siauw-lim-pai, yakni
kitab peninggalan dari Tat Mouw Couwsu, pada suatu hari telah lenyap tanpa
meninggalkan bekas!
Selagi Siauw-lim-pai, geger
dan semua tokoh Siauw-lim-pai berusaha mencari kitab yang hilang ini, tiba-tiba
puncak Kun-lun-pai juga geger karena hilangnya pedang pusaka Pek-kong-kam yang
ditaruh di ruangan suci kelenteng partai besar itu!
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai
adalah partai-partai besar yang sudah berpuluh tahun terkenal sebagai partai
persilatan yang berpengaruh dan mempunyai banyak orang pandai. Oleh karena itu,
kehilangan dua benda pusaka ini tentu saja membuat mereka menjadi amat
penasaran dan juga malu. Mereka menjaga rapat peristiwa ini agar jangan sampai
tersiar di luaran, dan di samping itu mereka mengerahkan orang-orang pandai
untuk mencari benda pusaka yang lenyap itu.
Akan tetapi, betapapun rapat
mereka menjaga rahasia, berita itu tetap bocor juga dan sebentar saja seluruh
kang-ouw mendengar bahwa kitab peninggalan Tiat Mouw Couwsu dari Sauw-lim-pai
dan pedang pusaka Pek-liong-kiam dari Kun-lun-pai telah dicuri orang dan ini
merupakan hal yang menggegerkan pula, karena biasanya tidak seorang pun
anggauta Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai yang berani membocorkan hal yang
dirahasiakan. Maka timbullah dugaan bahwa hal ini memang sengaja dibocorkan
oleh orang atau orang-orang yang melakukan pencurian itu. Akan tetapi apa
kehendak mereka?
Tokoh besar di dunia
persilatan, yang baru belasan tahun muncul namun namanya sudah dijunjung tinggi
dan disegani dengan penuh kekaguman dan hormat oleh semua ketua partai besar,
yakni Bu Pun Su mendengar pula akan hal ini dan ia cepat menyelidiki. Dengan
kepandaiannya akhirnya Bu Pun Su menaruh hati curiga kepada golongan Mo-kauw.
Bahkan ia mendengar pula akan adanya tiga orang aneh di golongan Mo-kauw ini
yang kabarnya memiliki kepandaian luar biasa tingginya.
“Demikianlah, Sute,” kata Bu
Pun Su kepada Han Le setelah menuturkan itu semua. “Kiranya tidak akan meleset
terlalu jauh dugaanku bahwa tiga orang aneh itu mempunyai hubungan dengan dua
pencurinya ini. Siapa lagi kalau bukan mereka yang berani dan begitu gegabah
mencuri dua barang pusaka keramat yang dipuja-puja oleh Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai? Dan aku mendengar kabar pula, bahwa Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, itu
tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi dan bertabiat ganas, telah diambil
murid oleh tiga orang itu. Kalau Hek Pek Mo-ko dua saudara yang berkepandaian
begitu tinggi masih menjadi murid mereka, dapat diduga bahwa kepandaian mereka
memang betul-betul tinggi. Selain ini, aku masih mendengar kabar lagi bahwa
kecuali Hek Pek Mo-ko, mereka bertiga masih mempunyai seorang murid perempuan
yang jauh lebih jahat, bahkan lebih pandai daripada Hek Pek Mo-ko. Kalau pihak
Mo-kauw mempunyai begitu banyak orang-orang pandai, sedangkan sepak terjang
mereka selalu disembunyikan, aku merasa kuatir sekali.”
“Suheng, urusan itu sebetulnya
tidak amat besar, akan tetapi mengapa tadi Suheng menyebut-nyebut tentang
kebangsaan dan kebudayaan? Apa hubungannya kehilangan kitab dari Siauw-lim-pai
dan pedang dari Kun-lun-pai itu dengan kebangsaan dan kebudayaan?”
Bu Pun Su menarik napas
panjang, “Belum kuceritakan semua keterangan yang dapat kukumpulkan, Sute. Aku
mendengar berita yang tentu saja masih belum dapat dipercaya betul, bahwa tiga
orang yang kini telah menguasai golongan Mo-kauw itu, bercita-cita untuk
menaklukkan semua orang kang-ouw di negeri ini. Mereka adalah orang-orang dari
barat, dan mereka berhasil menaklukkan semua orang kang-ouw, dan hal ini bukan
tidak mungkin melihat kelihaian mereka yang kudengar memang luar biasa sekali
tentu saja urusan ini dekat sekali hubungannya dengan kebangsaan dan kebudayaan
kita. Tidak ingatkah kau betapa orang orang asing selalu mengilar dan ingin
mencaplok negara kita? Kalau sampai orang-orang kang-ouw berada di bawah
kekuasaan tiga orang ini sehingga dapat mereka perintah dan pergunakan, apa
sukarnya merampas negara kita? Dan kalau sampai kepandaian mereka itu dapat
disebar dan menggantikan ilmu silat dari bangsa kita sendiri bukankah berarti
kebudayaan kita akan terpengaruh oleh kebudayaan asing pula? Ini bukan soal
kecil, Sute, karenanya aku sengaja mencarimu agar kau suka membantuku, demikian
pula kita harus mendatangi semua ketua partai persilatan itu untuk bersama-sama
menghadapi mereka itu.”
“Siapakah sebetulnya mereka
itu, Suheng? Dan orang-orang macam apakah mereka itu.”
“Aku sendiri belum pernah
bertemu dengan mereka akan tetapi aku sudah rnendapat keterangan serba terbatas
tentang mereka. Kabarnya mereka itu adalah saudara-saudara segolongan. Yang
pertama bernama atau berjuluk Hek-te-ong (Raja Tanah Hitam), yang kedua
berjuluk Pek-in-ong (Raja Awan Putih) dan yang ketiga berjuluk Cheng-hai-ong
(Raja Laut Hijau). Mereka datang dari barat dan begitu datang mereka merobohkan
semua tokoh Mo-kauw sehingga para tokoh Mo-kauw itu takluk dan mengangkat
mereka menjadi pemimpin dan menyebut mereka Thian-te Sam-kauwcu (Tiga Ketua
Agama Bumi dan Langit). Selain itu, rnereka mengajar agama baru yang berpusat
pada penyembahan dan pemujaan terhadap Bumi, Langit dan Laut. Selanjutnya aku
tidak mendengar jelas dan karenanya aku ingin menyelidikinya sendiri.”
“Sekarang apa yang hendak
kaulakukan Suheng?”
“Aku hendak mengajak engkau
untuk membantuku membubarkan sarang murid dari Thian-te Sam-kauwcu.”
“Sarang dari muridnya? Di
sini?”
“Ya, di lembah Huang-ho
sebelah selatan itu. Kira-kira lima puluh li dari sini. Thian-te Sam-kauwcu
menyebar anak buahnya untuk mendirikan cabang di mana-mana untuk membujuk dan
mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw. Dengan secara kebetulan sekali
aku mendengar bahwa muridnya, Hek Pek Mo-ko, bersarang di daerah ini. Aku tidak
tahu sampaidi mana kelihaian mereka, namun mendengar akan kehebatan kepandaian
Thian-te Sam-kauwcu, aku tidak mau berlaku sembrono dan lebih menguntungkan
kalau kau ikut serta.”
Han Le merasa agak terheran.
Ia percaya akan kepandaian suhengnya yang sepuluh kali lipat lebih tinggi
daripada kepandaiannya, mengapa suhengnya mengajaknya?
“Suheng, bukankah kau mengajak
aku untuk menjadi saksi agar sepak terjangmu terhadap mereka itu tidak akan
disalah-tafsirkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw?”
Bu Pun Su tersenyum. “Kau
makin cerdik, Sute. Memang demikianlah. Kita tahu bahwa sejak dulu Hek Pek
Mo-ko biarpun menjadi tokoh Mo-kauw yang amat terkenal, namun belum pernah dua
orang itu mengganggu kita orang-orang kang-ouw, bahkan mereka dapat disebut
sebagai tokoh-tokoh Mo-kauw yang selalu menjauhkan diri dan menjaga agar jangan
sampai timbul bentrokan antara mereka dengan Beng-kauw. Akan tetapi sekarang
aku hendak menyelidiki dan kalau perlu membasmi sarang mereka, maka amat baik
kalau kau ikut menyaksikannya.”
Berangkatlah dua orang sakti
ini menuju ke tempat yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su. Tempat yang dimaksudkan
itu adalah sebuah dusun di tepi Sungai Huang-ho, yang dikelilingi oleh
hutan-hutan kecil dan kelihatannya menyeramkan. Begitu kedua orang ini tiba di
luar dusun mereka berjalan biasa saja. Berturut-turut, beberapa orang dusun,
ada yang berpakaian seperti petani ada pula seperti nelayan, bertemu dengan
mereka. Setiap orang dusun ini melayangkan pandang mata dan mereka ini
kelihatan bercuriga. Bahkan ada beberapa orang nelayan yang masih muda dan
kelihatannya kuat-kuat diam-diam mengikuti Han Le dan Bu Pun Su. Tentu saja dua
orang sakti ini mengetahui hal itu, akan tetapi mereka berpura-pura tidak
melihat dan berjalan dengan biasa dan tenang.
Sebuah kelenteng besar yang
berada di dusun itu sungguh tidak sesuai dengan rumah-rumah penduduk yang kecil
lagi miskin. Kelenteng ini agaknya belum lama diperbarui dan anehnya, yang
kelihatan membersihkan kelenteng itu bukanlah hwesio-hwesio seperti pada
kelenteng-kelenteng lain, melainkan orang-orang dusun, laki-laki perempuan yang
bekerja di halaman depan, di kanan kiri dan di dalam kelenteng itu!
Mereka ini ketika melihat Bu
Pun Su dan Han Le memasuki pekarangan kelenteng, segera melarikan diri ke dalam
kelenteng seperti orang ketakutan. Bu Pun Su tersenyum dan berbisik kepada Han
Le, “Lihat, Sute, betapa besar pengaruh dan kekuasaan mereka. Agaknya rakyat
dusun juga terkena tipu daya mereka dan sudah mulai memeluk agama baru itu.”
Han Le memandang ke dalam
kelenteng. Dari pintu yang terbuka, kelihatan tiga buah arca sebesar manusia,
merupakan tiga orang laki-laki tua yang pakaiannya seperti hwesio-hwesio dari
Tibet, bertubuh tinggi besar dan angker. Yang tengah benar-benar amat tinggi
besar seperti raksasa, yang berdiri di kiri agak kurus sehingga mukanya seperti
tengkorak, sedangkan yang berdiri di kanan punggungnya bongkok dan matanya
sipit sekali seperti meram.
“Itulah agaknya patung-patung
Thian-te Sam-kauwcu yang dipuja-puja semua pengikutnya,” kata Bu Pun Su pula
kepada Han Le.
Dari pintu dalam muncullah dua
orang dan Han Le hampir tertawa geli ketika ia melihat dua orang itu. Yang
seorang bertubuh pendek dan kate sama sekali, telinganya besar seperti telinga
gajah, pakaiannya serba hitam. Adapun orang ke dua bertubuh tinggi besar,
telinganya kecil seperti telinga tikus, sedangkan pakaiannya serba putih. Usia
mereka kurang lebih empat puluh tahun dan dari mata mereka, Han Le dapat
menduga bahwa mereka adalah ahli-ahli lwee-keh yang memiliki kepandaian tinggi.
Juga, melihat pakaian mereka biarpun ia belum pernah bertemu dengan dua orang
ini, Han Le dapat menduga bahwa mereka tentulah Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko yang bertubuh kecil
pendek itu tertawa bergelak melihat dua orang pendekar itu.
“Ha, ha, ha, selamat datang,
Bu Pun Su dan Han Le, Ji-wi Tai-hiap! Sungguh kami mendapat kehormatan besar
sekali dengan kunjungan Ji-wi ini, dan ketiga orang guru besar kami tentu akan
berterima kasih sekali!”
Bu Pun Su dan Han Le tertegun.
Bagaimana dengan sekali pandang saja iblis hitam kate itu dapat mengenal
mereka? Padahal selamanya mereka belum pernah bertemu muka dengan sepasang
iblis hitam putih ini dan keadaan Bu Pun Su maupun Han Le tidak sedemikian aneh
seperti Hek Mo-ko sehingga mudah dikenal orang.
Berbeda dengan Hek Mo-ko yang
suka tertawa dan mukanya lucu, Pek Mo-ko selalu bersungut-sungut dan wajahnya
murung.
“Kalian ini orang-orang
Beng-kauw ada urusan apakah mengunjungi kami yang kalian anggap sebagai
orang-orang busuk dari Mo-kauw?” tanyanya sambil memandang tajam dengan
sepasang matanya yang sipit.
Bu Pun Su tidak biasa
memutar-mutar omongan dan ia selalu bicara dan bertindak secara langsung.
Sambil tersenyum ia berkata terus terang,
“Hek Pek Mo-ko, baru kali ini
kita kebetulan saling bertemu dan keadaan kalian ternyata tetap dan sesuai
sekali dengan nama kalian yang terkenal jahat dan aneh. Ketahuilah, aku dan
suteku ini datang ke sini karena kami mendengar tentang adanya tiga orang
See-thian yang kini mencengkeram Mo-kauw, tiga orang See-thian yang sombong dan
bercita-cita menaklukkan dunia kang-ouw kita. Aku mendengar pula tentang
hilangnya kitab rahasia dari Siauw-lim-pai dan pedang pusaka dari Kun-lun-pai,
dan aku mendengar pula bahwa banyak tokoh Mo-kauw yang tadinya biarpun berbeda
paham dengan Beng-kauw namun tetap menjaga kegagahan, sekarang bersaing dan
berebut untuk menikah dengan gadis-gadis muda, yang tentu saja dipaksanya! Dan
aku mendengar pula bahwa kalian iblis-iblis tua ini pun telah menikah.”
Pek Mo-ko mengeluarkan suara
gerengan dari tenggorokannya akan tetapi Hek Mo-ko tertawa geli. Suara
ketawanya mula-mula rendah dan perlahan, akan tetapi makin lama makin meninggi
dan nyaring sehingga menyakitkan telinga. Mendengar ini saja Han Le maklum
bahwa lwee-kangnya dari Hek Mo-ko ini amat tinggi sehingga dia sendiri belum
tentu dapat menandinginya.
“Bu Pun Su, baru kali ini aku
mendengar kau menaruh perhatian kepada nasib golongan Mo-kauw! Ada apakah kau
mencampuri urusan dunia orang golongan kami? Memang guru besar kami telah
datang, sengaja dari barat mereka datang untuk memberi bimbingan kepada kami
dan untuk menjaga agar kami tidak selalu dihina dan dipandang rendah oleh
golongan lain. Apakah kau iri hati? Ha, ha, ha, agaknya kau benar-benar iri
hati, apalagi tentang pernikahan-pernikahan kami dengan gadis-gadis muda yang
cantik manis, karena kau sendiri sampai tua tidak laku, ha, ha, ha!”
“Ngaco!” Han Le membentak
marah. “Bagaimana jawabanmu tentang hilangnya kitab rahasia Siauw-lim-pai dan
pedang pusaka Kun-lun-pai?”
Hek Mo-ko memandang kepada Han
Le dan tersenyum sindir. “Hilangnya kitab dan pedang, ada hubungan apakah
dengan kami? Kau dan suhengmu ini terkenal sebagai orang-orang sakti, masa
untuk mencari benda-benda yang hilang harus bertanya kepada kami? Carilah
sendiri kalau memang pandai.”
“Baiklah, Hek Pek Mo-ko, aku
akan mencari ke dalam kelenteng ini!” kata Bu Pun Su.
“Jangan kau berani menginjak
kotor tempat suci kami...!” kata Pek Mo-ko marah dan ia bergerak untuk
menghalangi. Akan tetapi ia melongo karena gerakan Bu Pun Su luar biasa
cepatnya sehingga sebelum Pek Mo-ko tiba di depan pintu untuk menghadang, Bu
Pun Su sudah berkelebat masuk ke dalam kelenteng!
Pek Mo-ko hendak mengejar ke
dalam, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh Hek Mo-ko. “Sute, tak
perlu dikejar, biarkanlah dia melihat-lihat tempat kita!”
Tadinya Han Le sudah
bersiap-siap untuk bertempur, akan tetapi melihat mereka tidak jadi mengganggu
Bu Pun Su, ia pun diam saja, berdiri tenang sambil tersenyum.
Dengan cepat sekali Bu Pun Su
memasuki kelenteng. Tiga orang yang agaknya menjadi pelayan atau pembantu Hek
Pek Mo-ko, orang-orang lelaki yang berpakaian seperti pendeta dan gerakannya
cepat dan kuat, maju menubruknya. Akan tetapi mereka berseru kaget sekali dan
bulu tengkuk mereka berdiri ketika tiba-tiba mereka bertiga itu terjengkang ke
belakang sebelum tangan mereka menyentuh pakaian Bu Pun Su, seakan-akan ada
tenaga aneh keluar dari pendekar sakti ini yang mendorong mereka ke belakang!
Bu Pun Su tidak pedulikan mereka, terus ia menyelidiki keadaan di dalam
kelenteng dengan mata yang awas dan tajam. Setiap kamar diselidikinya, akan
tetapi ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kalau kitab dan pedang itu
disembunyikan di dalam kelenteng, kiranya takkan terlepas dari pandang mata
pendekar ini.
Di dalam dua kamar, ia melihat
dua orang wanita cantik yang masih muda dan bermuka pucat. Mereka ini tidak
menjerit melihat dia datang, hanya memandang dengan mata terbelalak.
“Apakah kau isteri Hek Mo-ko?”
tanyanya kepada wanita di dalam kamar pertama.
Wanita itu menggeleng
kepalanya, “Aku isteri Pek Mo-ko, kau siapakah berani berlancang memasuki
kamarku?” Kemudian wanita ini tertawa menyeringai sehingga muka yang tadinya
cantik ini berubah seperti muka iblis. Bu Pun Su berdebar kaget. Ternyata
isteri Pek Mo-ko ini agak miring otaknya! Ia tidak bertanya lebih lanjut dan
ketika ia bertemu dengan wanita ke dua di kamar lain ia bertanya pula,
“Hm, kau agaknya isteri Hek Mo
ko.”
“Benar,” jawab wanita itu,
“Kau siapakah dan bagaimana suamiku mengijinkan kau masuk ke sini?”
Bu Pun Su sebetulnya segan
untuk bicara dengan isteri orang lain, akan tetapi melihat wanita ini masih
amat muda dan cantik, sedangkan Hek Mo-ko demikian buruk rupa dan setengah tua,
ia tak dapat menahan hatinya untuk tidak bertanya.
“Apakah Hek Mo-ko telah
menculik dan memaksamu menjadi isterinya?”
Untuk sejenak wanita itu diam
saja, kemudian ia berdiri dan berkata marah, “Kau ini manusia dari manakah
begini kurang ajar? Aku menikah dengan suamiku secara baik-baik dan sah, ada
sangkut-paut apakah dengan kau maka kau bertanya-tanya?”
Bu Pun Su merasa seperti
ditampar pipinya. Mukanya menjadi merah sekali. Inilah tak disangka-sangkanya
sama sekali dan baru sekarang ia melihat atau dapat menduga bahwa isteri Hek
Mo-ko ini sedang mengandung.
“Maaf, maaf...” katanya
perlahan dan ia lalu keluar lagi dari kamar itu. Setelah puas menyelidiki di
dalam kelenteng dan tidak mendapatkan sesuatu, ia lalu keluar lagi. Setibanya
di ruang luar, ia berdiri menghadapi tiga patung yang sebesar manusia itu.
Buatan patung ini demikian halus sehingga menyerupai manusia benar-benar. la
memandang kepada wajah patung yang mewakili Thian-te Sam-kauwcu itu untuk
memperhatikan mereka. Benar-benar mereka ini kelihatan angker dan dari sikap
mereka ia dapat menduga bahwa tiga orang ini bukanlah orang sembarangan.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Siapa tahu kalau-kalau dua benda yang dicuri
dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai itu disembunyikan di dalam patung-patung
ini?
Ia melangkah maju dan meraba
pundak patung Pek-in-ong yang berdiri di kiri, yakni patung yang tinggi kurus
mukanya seperti tengkorak. Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari mulut
patung itu menyambar keluar sinar hitam yang menyerang ke arah leher dan muka
Bu Pun Su! Pendekar ini bukan sembarangan ahli silat, melainkan seorang sakti
yang mewarisi ilmu silat dan ilmu-ilmu aneh dari IM-YANG-BU-TEK-CINKENG.
Seorang ahli silat tinggi lainnya belum tentu dapat menghindarkan serangan
tiba-tiba dari mulut patung itu, akan tetapi Bu Pun Su dengan amat tenang miringkan
kepalanya sehingga sinar hitam itu menyambar lewat. Ia mencium bau yang amat
amis, maka diam-diam ia bergidik. Tahulah Bu Pun Su bahwa yang menyambar lewat
tadi adalah segenggam jarum-jarum halus berwarna hitam yang mengandung bisa
yang amat jahat.
Bu Pun Su tersenyum. Ia maklum
bahwa dua patung yang lain tentu mengandung alat rahasia pula, akan tetapi dia
bukan Bu Pun Su kalau merasa gentar. Orang lain mungkin akan merasa khawatir
dan tidak berani mengganggu dua patung yang lain, akan tetapi Bu Pun Su bahkan
tertarik dan ingin tahu sekali bagaimana cara dua patung yang lain akan
menyerangnya! Ia mau coba-coba dan ini pun tidak aneh, karena orang seperti Bu
Pun Su ini memang sudah biasa menantang dan bermain-main dengan maut! Ia
menghampiri patung di kanan, yakni patung dari Ceng-hai-ong yang bertubuh kurus
bongkok dan matanya sipit itu. Dengan tenang Bu Pun Su menepuk pundak patung
itu dan secepat kilat kedua tangan patung itu bergerak, dengan kukunya yang
panjang patung itu mencengkeram ke depan, kedua tangan menyambar dari kanan
kiri!
“Aha, kau ahli gulat kiranya!”
Bu Pun Su mengejek sambil bergerak melangkahkan kaki mundur, mengelak dari
cengkeraman itu. Akan tetapi, tiba-tiba dari jari-jari tangan itu menyambar
keluar benda ciri berwarna hijau yang baunya harum! Bu Pun Su kali ini tidak
mengelak, melainkan menggerakkan ujung lengan baju sebelah kiri darimana keluar
tenaga Pek-in-hoat-sut yang mengepulkan uap putih, sehingga benda cair itu
terpercik kembali dan membasahi muka patung.
“Hm, kiranya semua ahli racun
yang berbahaya,” pikir Bu Pun Su. Ia pikir bahwa patung di tengah, yang amat
menyeramkan dan tinggi besar itu, tentulah yang paling lihai. Namun ia tidak
gentar, bahkan gembira dan sambil tersenyum ia melangkah menghampiri patung
ini.
“Coba perlihatkan
kelihaianmu!” katanya sambil menepuk dada patung tinggi besar ini. Patung ini
besar dan tinggi sekali sehingga Bu Pun Su hanya sampai di leher tingginya.
Begitu tangan kanan Bu Pun Su
menepuk dada patung, terdengar suara keras dan dada patung itu tiba-tiba
terbuka, dari mana keluar menyambar uap hitam yang menyerang ke depan. Ini
masih disusul dengan bergeraknya kaki kanan patung yang melakukan tendangan
kilat ke depan, kemudian dari mata, hidung, telinga dan mulut patung itu
menyambar keluar asap hitam sedangkan kedua tangan memukul pula ke depan.
Inilah serangan sekaligus yang amat luar biasa dan berbahaya sehingga Bu Pun Su
sendiri menjadi terkejut. Pendekar sakti ini tidak berani menangkis, melainkan
melompat mundur cepat sekali sambil menggoyang-goyang kepalanya.
“Kau jahat sekali... jahat
sekali...” Setelah berkata demikian, ia lalu melompat keluar dari kelenteng. Ia
sudah puas karena ketika tangannya menepuk patung-patung tadi, ia telah
mengerahkan lwee-kangnya sehingga kalau di situ tersembunyi benda keras seperti
pedang mustika, tentu terdengar bunyi pedang itu. Namun tadi ia hanya mendengar
suara mendengung tanda bahwa di dalam patung itu hanya terisi hawa, maka ia
telah mengerahkan tenaga dan merusak patung itu dengan diam-diam. Ia benci
melihat tiga patung itu, bukan benci kepada orang karena macamnya, akan tetapi
benci kalau mengingat betapa tiga orang dari barat ini telah menguasai Mo-kauw
dan menyebar pelajaran atau agama baru yang sesat. Di mana ada pendeta-pendeta
suci yang menganjurkan pemeluk-pemeluk agamanya memuja dan menyembah mereka
sendiri?
Setibanya di luar kelenteng,
Bu Pun Su disambut oleh Pek Mo-ko dengan muka merah. “Bu Pun Su kau telah
menghina kami, kau telah mengotori kelenteng kami yang suci. Biarpun namamu sudah
terkenal di seluruh kolong langit, jangan kira bahwa aku Pek Mo-ko takut
melawanmu!”
“Habis, kau mau apa?” tanya Bu
Pun Su, “Seperti sudah kukatakan tadi, aku datang mencari kitab dan pedang dari
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang hilang dan terus terang saja aku mencurigai
Thian-te Sam-kauwcu. Akan tetapi sayang aku tidak dapat menemukannya di dalam
kelenteng ini.”
Hek Mo-ko terdengar tertawa
mengejek. “Kau memang gatal tangan dan suka mencampuri urusan orang lain. Bu
Pun Su, setelah kau datang dan mengacau kelenteng kami, sebagai tuan rumah
terpaksa kami harus membela diri dari hinaan ini. Kedatanganmu mengacau
kelenteng ini berarti sebuah tantangan, kalau kami tidak melayani bukankah kami
akan ditertawai orang? Nah, bersiaplah, kita boleh main-main sebentar.”
Sambil berkata demikian, Hek
Mo-ko dan Pek Mo-ko masing-masing mengeluarkan senjata mereka. Dua orang Iblis
Hitam Putih ini lihai dan senjata mereka juga bukan senjata sembarangan. Di
tangan kanan mereka memegang sebatang pedang yang ujungnya bercabang. Pedang
ini bukan saja amat ampuh dan kuat karena terbuat dari bahan yang baik akan
tetapi juga ujungnya yang bercabang itu dapat dipergunakan untuk mengait dan
merampas serta merusak senjata lawan. Akan tetapi, betapapun lihainya pedang di
tangan kanan, masih lebih lihai lagi senjata aneh yang berada di tangan kiri
mereka. Senjata ini berupa seuntai tasbeh dari logam hitam. Tasbeh ini dapat
dimainkan begitu saja, akan tetapi dapat pula dilepas sambungannya sehingga
merupakan sebuah pian atau senjata rantai yang hebat. Masih dapat dipergunakan
dalam lain cara, yakni batu-batu tasbeh itu dapat diloloskan keluar dari
untaiannya dan dipergunakan sebagai senjata yang berbahaya!
Melihat sikap Hek Pek Mo-ko
yang menantang ini, Han Le mendahului suhengnya. Ia melompat ke depan
menghadapi mereka sambil mencabut pedangnya yang jarang keluar dari sarung itu.
“Hek Pek Mo-ko, kalian berdua
dan kami pun berdua. Biarlah kita mencoba kepandaian masing-masing, seorang
daripadamu boleh melawan aku dan yang seorang lagi nanti menghadapi Suheng Bu
Pun Su.”
“Hek Pek Mo-ko dua saudara tak
pernah berpisah,” kata Hek Mo-ko, “Kami sudah bersumpah hidup bersama mati
berdua, dalam pertempuran kami selalu maju bersama.”
“Itu tidak adil!” kata Han Le.
Dia tidak gentar menghadapi seorang di antara mereka akan tetapi kalau
dikeroyok dua, selain berat juga tidak adil.
“Suheng, biarlah kali ini aku
menghadapi dia sendiri!” kata Pek Mo-ko yang berwatak berangasan dan baru saja
ia berkata demikian tasbeh di tangan kirinya sudah bergerak menyambar kepala
Han Le.
“Bagus!” seru pengemis sakti
ini dan cepat ia mengelak sambil menggerakkan pedangnya yang menusuk ke arah
ulu hati lawannya.
Akan tetapi Pek Mo-ko ternyata
memiliki gerakan yang gesit sekali. Tusukan pedang ini ia tangkis dengan
pedangnya yang berujung aneh itu. Cabang ujung pedangnya menempel dan diputar
demikian rupa untuk mengait badan pedang Han Le dan hendak mematahkannya. Akan
tetapi Han Le bukanlah murid Ang-bin Sin-kai kalau ia tidak bisa menghindarkan
diri dari serangan lawan ini. Dengan gerakan Sian-jin-khai-in (Dewa Membuka
Awan) ia melakukan gerakan “membuka” dari ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat ajaran
Ang-bin Sin-kai, dan pedangnya yang terkait itu secara aneh telah membuka
serangan lawan sehingga Pek Mo-ko bukannya dapat merampas atau mematahkan
pedang lawan, bahkan telapak tangannya merasa panas sekali sehingga ia
cepat-cepat menarik pulang pedangnya. Sebagai gantinya, kembali tasbeh
menyambar ke lambung Han Le.
Han Le terkejut sekali. Tidak
disangkanya bahwa lawan ini dapat bergerak secepat itu, cepat melakukan
serangan lanjutan begitu serangan pertama ditangkis. Ia lalu memutar pedangnya
dan mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk menghadapi lawan yang amat
lihai ini. Di lain pihak, Pek Mo-ko diam-diam harus mengakui kelihaian
kiam-hoat lawannya. Tidak saja lihai, akan tetapi juga aneh sekali dan
mempunyai gerakan yang otomatis setiap kali menghadapi desakannya. Ia tentu
saja tidak tahu bahwa selain telah mewarisi Hun-khai-kiam-hoat dan ilmu-ilmu
silat tinggi dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai, juga Han Le telah mempelajari
dengan tekunnya lukisan-lukisan di Pulau Pek-le-tho sehingga biarpun hanya
kulitnya, ia telah sedikit-sedikit mempelajari ilmu-ilmu yang lihai dari
Im-yang-bu-tek-cin-keng! Pelajaran ini membuat gerakan Han Le menjadi otomatis
dan matanya amat tajam dapat mengikuti semua arah tujuan serangan lawan.
Pek Mo-ko menggereng keras dan
kedua senjatanya yang aneh itu diputar cepat, bertubi-tubi dan berganti-ganti
melakukan serangan maut. Namun, dengan pedangnya, Han Le dapat membendung
gelombang gerakan serangan ini sehingga sampai lima puluh jurus lebih mereka
bertempur, tidak ada yang terdesak. Kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya,
namun tingkat mereka boleh dibilang seimbang sehingga pertempuran itu
benar-benar merupakan pertempuran yang amat seru. Saking penasaran menghadapi
lawan yang amat tangguh ini, Pek Mo-ko melepaskan sambungan tasbehnya sehingga
tasbeh ini sekarang bukan merupakan lingkaran, melainkan menjadi sebatang pian
yang lemas dan panjang. Pek Mo-ko dan suhengnya sudah melakukan ratusan
pertempuran dan mereka jarang sekali dikalahkan orang. Di sebelah barat atau
selatan dari Tibet, mereka berdua merupakan sepasang iblis yang ditakuti dan
disegani, bahkan golongan-golongan partai persilatan besar di barat seperti
Go-bi-pai dan Kun-lun-pai, semua mengakui kelihaian Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi
sekarang menghadapi Han Le, Pek Mo-ko tidak berdaya, bahkan tidak dapat
mendesak, sungguhpun ia tak dapat dikatakan kalah oleh pengemis sakti itu.
Saking marahnya, dalam jurus
ke tujuh puluh, Pek Mo-ko berseru keras dan secepat kilat pedangnya membacok
dari kanan ke kiri. Ketika Han Le mengelak, pedang ini cepat sekali membalik
dan menyambar ke leher. Inilah gerakan yang tidak terduga-duga, apalagi ketika
tasbeh yang sudah menjadi pian itu menyambar ke lambung!
Han Le maklum bahwa tidak
mungkin ia menghindarkan diri dari dua serangan yang dilakukan sekaligus ini,
maka ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang amat lihai dan keberaniannya yang
luar biasa. Pedang yang menyambar lehernya ditangkisnya dengan pedangnya
sendiri, sambil mengerahkan tenaga, “menempel” sehingga dua pedang itu begitu
bertemu lalu tak dapat terpisah kembali, seakan-akan besi berani dengan besi!
Adapun tasbeh yang menyambar ke lambung kirinya, cepat ditangkis dengan tangan
kiri, lalu ia mengerahkan tenaga membetot.
Kini keadaan dua orang itu
benar-benar aneh. Keduanya tidak bergerak, seperti patung dalam kuda-kuda yang
amat kuat. Tangan kanan yang memegang pedang saling mendorong akan tetapi
tangan kiri yang memegang tasbeh saling membetot. Pertarungan kini beralih
kepada pertarungan tenaga lwee-kang, akan tetapi bukan pertandingan lwee-kang
yang biasa, karena tenaga di seluruh tubuh disalurkan menjadi dua bagian, atau
terpecah menjadi dua. Sebagian disalurkan ke tangan kanan yang mendorong,
sebagian pula disalurkan ke tangan kiri yang menarik! Hal ini tak dapat
dilakukan oleh sembarang ahli silat yang belum tinggi tenaga lwee-kangnya.
Sampai beberapa puluh detik
mereka tidak bergerak, dan nyata sekali bahwa masing-masing mengerahkan seluruh
tenaga lwee-kangnya untuk mencapai kemenangan. Sekarang sudah tidak ada jalan
untuk mundur lagi, karena siapa yang mundur lebih dulu, banyak bahaya akan
menderita luka hebat! Tidak ada jalan lain lagi kecuali mengerahkan tenaga dan
mendesak lawan dengan lwee-kang. Pertandingan ini berubah menjadi perjuangan
mati hidup! Dari kepala dua orang jago ini sudah mengepul uap putih, tanda
bahwa mereka telah mengerahkan tenaga yang terakhir!
Tiba-tiba Hek Mo-ko tertawa
bergelak, “Sute, mengapa kau sekarang begini lemah?” katanya dan dengan ringan
dan cepat sekali ia telah melompat di belakang Pek Mo-ko sambil menepuk-nepuk
punggungnya seakan-akan orang yang mencela dan menegur. Akan tetapi Han Le
terkejut bukan main ketika pada saat Hek Mo-ko menepuk punggung sutenya, ia
merasa tubuhnya bergetar dan kuda-kudanya tergempur!
“Hek Mo-ko, tidak malukah
engkau?” tiba-tiba Bu Pun Su menegur. Pendekar sakti ini berdiri di belakang
Han Le sejauh satu tombak lebih. Dia tidak menghampiri sutenya untuk membantu,
menggerakkan kedua tangan ke arah sutenya itu seperti orang mendorong, dan dari
kedua tengannya keluar uap putih. Inilah ilmu Pek-in-hoat-sut yang tiada
taranya di dunia!
Hek Mo-ko yang masih menempelkan
tangan di punggung sutenya tiba-tiba terdorong oleh tenaga yang hebat, yang
keluar dari sepasang tangan Han Le, sebaliknya Han Le merasa betapa punggungnya
kemasukan hawa hangat yang menyegarkan semangat dan tubuh sehingga ia
mengerahkan tenaganya lagi.
Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko hendak
mempertahankan diri, namun tenaga bantuan dari Bu Pun Su benar-benar hebat
sehingga mereka berteriak keras dan tubuh mereka terlempar ke belakang
berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih sampai dua tombak lebih! Pedang dan
tasbeh di tangan Pek Mo-ko tadi terlepas dari tangan dan jatuh di tanah,
menimpa batu menimbulkan suara berkerontangan!
Baiknya Bu Pun Su tidak
berniat mencelakai dua orang iblis ini sehingga mereka tidak terluka hebat,
hanya Hek Mo-ko yang terkena langsung pembalikan tenaga Pek Mo-ko sehingga
wajahnya pucat dan mulutnya menyemburkan darah. Akan tetapi, setelah mengatur
napas ia pulih kembali. Sambil memandang dengan terheran-heran, Hek Mo-ko
menghadapi Bu Pun Su dengan melompat berdiri.
“Bu Pun Su, benar-benar kau
lihai. Aku dan suteku terima kalah,” katanya sambil menjura.
Akan tetapi Bu Pun Su tidak
mempedulikannya, hanya berpaling kepada Han Le. “Sute, kita tidak mempunyai
urusan lagi di sini, mari kita pergi.”
Pada saat kedua orang sakti
itu hendak pergi, tiba-tiba dari atas genteng kelenteng melayang turun bayangan
tubuh yang ramping dan tercium bau yang harum. Tahu-tahu seorang wanita berdiri
menghadang Bu Pun Su dan Han Le.
Dua orang sakti ini berdiri
bengong, tertegun dan takjub, bukan karena kecantikan luar biasa dari gadis
itu, melainkan melihat cara gadis itu melompat turun dari genteng seakan-akan
melayang atau terbang! Inilah menandakan bahwa gin-kang dari gadis ini telah
mencapai puncak kesempurnaan. Bahkan Bu Pun Su yang menjadi ahli waris dari
Im-yang-bu-tek-cin-keng dan memiliki gin-kang yang jauh melebihi kebanyakan
ahli silat tinggi, menjadi terheran-heran.
Orang yang melayang turun itu
adalah seorang gadis cantik sekali, pakaiannya mewah dan indah, rambutnya yang
panjang dan hitam disanggul dalam cara yang amat menarik, kulit mukanya putih
kemerahan, nampak halus dan segar, sepasang matanya bagaikan bintang di langit
cerah, bibirnya tersenyum-senyum manis sekali. Pendeknya, selama hidupnya, baik
Han Le maupun Bu Pun Su sendiri, belum pernah melihat seorang gadis secantik
ini. Melihat muka dan potongan badannya, orang akan menaksir bahwa gadis ini
paling banyak berusia dua puluh tahun, akan tetapi orang itu akan terkejut dan
tidak mau percaya kalau diberi tahu bahwa gadis ini adalah seorang wanita yang
usianya sudah tiga puluh tahun lebih! Inilah dia murid terpandai dan terkasih
dari Thian-te Sam kauwcu, yang disebut Bi Sian-li (Bidadari Cantik) Pek Hoa
Pouwsat!
Tadinya Han Le dan Bu Pun Su
sendiri tidak dapat menduga siapa adanya gadis ini, akan tetapi ketika Bu Pun
Su melihat setangkai bunga yang bentuknya indah dan aneh, berwarna putih
seperti salju menghias rambut yang digelung indah itu, tiba-tiba ia teringat.
Akan tetapi ia masih ragu-ragu dan kemudian bertanya,
“Apakah kami berhadapan dengan
Pek Hoa Pouwsat?”
Gadis itu tersenyum lebar.
Bibirnya merah bergerak-gerak dan terlihatlah deretan gigi yang bersih dan
berkilau seperti mutiara.
“Bu Pun Su benar-benar bermata
tajam sekali, sayang kau terlalu ganas dan gatal tangan sehingga kau berani
merusak tiga patung dari guru-guruku. Untuk kedosaan ini kau harus menerima
hukuman! Hek Pek Sute, mari kita gempur dia ini yang telah merusak patung
Sam-wi Suhu!” Sambil berkata demikian, kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu
ia telah memegang sepasang siang-kiam (sepasang pedang), kemudian tanpa banyak
cakap lagi ia lalu menggerakkan kedua pedang itu yang meluncur dan menyerang
leher dan dada Bu Pun Su!
Hek Pek Mo-ko sudah gentar
menghadapi Bu Pun Su dan mereka telah maklum pula akan kelihaian pendekar sakti
ini, akan tetapi ketika mereka mendengar bahwa Bu Pun Su telah merusak patung
tiga orang suhu dan pemimpin mereka, Hek Pek Mo-ko menjadi marah sekali.
Apalagi sekarang mereka dibantu oleh Pek Hoa Pouwsat, hati mereka menjadi tabah
dan semangat besar. Sambil mengeluarkan suara mengancam, sepasang iblis hitam
putih ini lalu menyerbu dan mengeroyok Bu Pun Su.
Melihat suhengnya dikeroyok,
Han Le tentu saja tidak mau tinggal diam. Ia mencabut pedangnya, namun
tiba-tiba Bu Pun Su berkata,
“Simpan kembali pedangmu,
Sute. Perempuan ini lihai sekali, kau takkar menang. Biarkan aku menghadapi
mereka bertiga, hitung-hitung mengukur kepandaian Thian-te Sam-kauwcu!”
Han Le percaya akan kata-kata
suhengnya, karena ia memang melihat betapa sepasang pedang dari Pek Hoa Pouwsat
itu amat lihai, sepasang pedang ini bergerak terus susul-menyusul dalam
serangannya, merupakan serangan berantai yang tiada habisnya. Akan tetapi ia
lebih percaya akan kesaktian Bu Pun Su maka ia melompat ke pinggir dan berdiri
menonton pertempuran itu dengan hati tenang.
Pertempuran itu berjalan seru
sekali, jauh lebih ramai daripada pertempuran antara Pek Mo-ko dan Han Le tadi.
Akan tetapi pertandingan ini sebetulnya berat sebelah. Tidak saja Bu Pun Su
dikeroyok tiga, juga ketiga orang lawannya mempergunakan senjata pasangan
sehingga bertiga mempergunakan enam buah senjata, sedangkan Bu Pun Su sendiri
bertangan kosong!
Akan tetapi di sinilah
terlihat kelihaian Pendekar sakti ini! Tiga orang pengeroyoknya adalah
tokoh-tokoh dari tingkat tinggi, boleh dibilang duduk dalam tingkatan ke satu
dalam deretan tokoh-tokoh persilatan di masa itu, akan tetapi ia masih mampu
menghadapi mereka dengan mengandalkan sepasang tangan berikut ujung lengan baju
saja! Di sini pula terlihat kehebatan dari pelajaran Im-yang-bu-tek-cin-keng,
dan terbukti bahwa ilmu silat Pek-in-hoat-sut yang diciptakan oleh Bu Pun Su
benar-benar luar biasa. Menghadapi keroyokan tiga orang lawannya, tidak hanya
sepasang lengannya yang mengeluarkan uap putih bahkan seluruh tubuhnya diliputi
uap putih yang mengandung tenaga mujijat. Patut sekali ilmu silat ini disebut
Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), karena pengaruhnya seperti ilmu sihir
saja. Setiap serangan senjata yang digerakkan oleh lawan dengan pengerahan
tenaga lwee-kang tinggi, begitu terbentur oleh sambaran uap putih itu,
terpental membalik kepada penyerangnya sendiri. Ini masih belum hebat, yang
membuat Pe Hoa Pouwsat kadang-kadang berseru kaget adalah ketika Bu Pun Su
membalasnya dengan serangan yang sama seperti gerakannya sendiri!
Bagaimana Bu Pun Su bisa
meniru limu silatnya? Ilmu silat pedang dari Pe Hoa Pouwsat adalah asli dari
barat, bukan ilmu silat Tiongkok. Sungguhpun sumbernya memang ada hubungan,
bahkan boleh dibilang sama, namun perkembangannya sudah demikian berbeda
sehingga jauh bedanya kalau dipandang begitu saja. Semenjak kecilnya Pek Hoa
Pouwsat hidup di Nepal, bahkan belajar ilmu silat di sana pula, dari Thian-te
Sam-kauwcu, akan tetapi bagaimanakah sekarang Bu Pun Su dapat menyerangnya
dengan ilmu silat yang gerakannya serupa? Ia tidak tahu bahwa inilah kehebatan
ilmu silat dari Im-yang-bu-tek-cin-keng. Di dalam ilmu silat yang dipelajarkan
oleh kitab rahasia ini, terdapat pelajaran dari pokok gerakan semua ilmu silat
dan semua gerakan kaki tangan, sehingga belum tiba, serangan lawan, dari
gerakan pundak dan pangkal paha saja Bu Pun Su sudah tahu apa yang akan
dilakukan oleh lawan dalam penyerangannya. Ini ditambah oleh ketajaman mata dan
kecerdikan ingatannya sehingga sekali lihat saja ia sudah dapat pula menangkap
inti sari setiap serangan dan dapat melakukan serangan semacam itu pula dengan
sama hebatnya, kalau tidak boleh dibilang lebih sempurna lagi!
Di lain pihak Bu Pun Su memuji
ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Ilmu pedang ini dalam
kelihaiannya tidak kalah oleh Hun-khai-kiam-hoat ciptaan Ang-bin Sin-kai, dan
dia tadi tidak membohong ketika menyatakan bahwa Han Le takkan dapat menang
dari gadis ini. Juga yang membikin gadis itu sukar dilawan adalah gin-kangnya yang
luar biasa seakan-akan gadis ini benar-benar seorang bidadari yang dapat
terbang. Setelah bertempur beberapa puluh jurus dan memperhatikan gerakan Pek
Hoa Pouwsat, barulah Bu Pun Su tahu mengapa gadis itu dapat bergerak sedemikian
ringan dan cepatnya, setiap gerakan yang cepat didahului oleh terbukanya
pangkal lengan dan matanya yang tajam dapat melihat bahwa di punggung gadis
ini, tersembunyi di balik pakaian, terdapat semacam alat yang terisi angin.
Agaknya semacam alat penggerak yang mengandung tenaga yang kerjanya seperti
sepasang sayap. Memang harus diakui bahwa gin-kang dari gadis itu lebih tinggi
daripada Han Le, akan tetapi tanpa bantuan alat tidak mungkin gadis itu dapat
bergerak seperti terbang!
Dalam menghadapi tiga orang
pengeroyoknya, Bu Pun Su memang hanya bermaksud menguji kepandaian mereka saja,
sama sekali tidak bermaksud melukai atau membunuh mereka. Biarpun tidak mudah
baginya akan tetapi kalau dia mau ia mampu merobohkan tiga orang lawannya ini.
Biarpun demikian, tangkisan-tangkisan dari tenaga Pek-in-hoat-sut telah membuat
Hek Pek Mo-ko menjadi pucat mukanya. Ini adalah akibat dari benturan tenaga
Pek-in-hoat-sut yang membuat setiap serangan tenaga lwee-kang mental kembali
dan menghantam penyerangnya sendiri. Tidak demikian dengan Pek Hoa Pouwsat.
Gadis ini maklum bahwa dalam hal lwee-kang ia tidak mampu menandingi Bu Pun Su,
maka serangannya ia andalkan kepada kegesitan tubuhnya dan tiap tusukan atau
sabetan pedangnya hanya dilakukan tenaga lemas sehingga ia tidak terserang oleh
tenaganya sendiri yang membalik. Dipandang dari sudut ini saja sudah dapat
diketahui bahwa gadis ini jauh lebih cerdik daripada Hek Pek Mo-ko, dan juga Bu
Pun Su mendapat kenyataan bahwa biarpun dalam hal tenaga lwee-kang, kedua iblis
itu lebih kuat daripada Pek Hoa Pouwsat, namun kepandaian gadis ini masih lebih
tinggi.
Setelah menyerang sampai enam
puluh jurus lebih, tahulah Pek Hoa Pouwsat bahwa ia dan dua orang kawannya
takkan mungkin menangkan Bu Pun Su. Ia telah berkali-kali mengeluarkan
hoat-sutnya, berkemak-kemik dan berkali-kali menyebar hawa beracun yang berbau
harum sekali. Lain orang apabila terkena serangan ini pasti akan menjadi lemas
dan jatuh pingsan, namun berkat hawa Pek-in-hoat-sut, semua serangan ilmu hitam
ini buyar tidak ada pengaruhnya terhadap Bu Pun Su!
“Ombak pasang! Buka layar dan
mendarati!” tiba-tiba Pek Hoa Pouwsat berseru. Inilah bahasa rahasia dari
perkumpulan mereka dan tiba-tiba gadis ini membanting sesuatu antara dia dan Bu
Pun Su. Pendekar sakti ini sudah dapat menduga, maka cepat-cepat ia melompat
mundur. Terdengar ledakan keras asap hitam memenuhi tempat itu, membuat
pandangan mata menjadi gelap. Setelah asap hitam membuyar, tidak kelihatan lagi
bayangan Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko! Sebagai gantinya, di sekeliling
tempat itu, penduduk dusun itu telah mengurung Bu Pun Su dan Han Le. Mereka ini
membawa senjata dan memandang dengan sikap mengancam!
“Sute, kau pergilah ke
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, beritahukan agar mereka dan semua partai
persilatan golongan Beng-kauw berhati-hati terhadap Thian-te Sam-kauwcu. Kurasa
mereka mengandung maksud kurang baik. Biar aku mencari kitab dan pedang yang
hilang!” Sehabis berkata demikian, sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari
situ. Semua petani yang sudah dipengaruhi oleh agama baru itu, menjadi
terheran-heran, akan tetapi kini mereka mengurung dan mendekati Han Le dengan
sikap mengancam, seakan-akan hendak mengeroyoknya. Han Le tertawa pahit,
kemudian sekali melompat, ia pun lenyap melalui atas kepala para pengurungnya
sehingga kembali para penduduk dusun itu melongo dan saling pandang!
Bu Pun Su menyelinap ke dalam
kelenteng hendak mencari Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko untuk dipaksa
mengaku di mana adanya kitab dan pedang, atau di mana adanya Thian-te
Sam-kauwcu, akan tetapi setelah tiba di dalam kelenteng, ia tidak melihat lagi
bayangan mereka, bahkan dua orang isteri Hek Pek Mo-ko sudah tenyap pula.
***
Kita kembali ke dusun Sui-chun
yang sungguhpun hanya sebuah dusun namun besar menyerupai kota yang cukup
ramai. Di rumah keluarga Song pada malam hari itu amat sunyi. Song Lo-kai, atau
sekarang lebih terkenal dengan sebutan Song-lo-wangwe karena ia memang kaya
raya, sudah tidur pulas. Para pelayan juga sudah tidak kelihatan lagi. Akan
tetapi kalau orang mau menengok ke dalam taman bunga yang luas di belakang
gedung itu, ia akan melihat bahwa di dalam kebun itu masih ada beberapa orang
bercakap-cakap. Mereka ini bukan lain adalah Song Bi-Li, Ceng Si pelayannya,
dan seorang pemuda yang tampan. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Sun, siucai
miskin yang mencinta Bi Li. Atas bantuan Ceng Si pelayan dari nona itu, Cia Sun
pada malam hari ini berhasil memasuki taman.
Tadinya Song Bi Li terkejut,
marah dan amat khawatir melihat pemuda itu lancang memasuki tamannya, akan
tetapi Cia Sun segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu!
“Song-siocia, kau benar-benar
berhati kejam. Ambillah sebatang pedang dan bunuhlah saja Cia Sun yang miskin
dan malang ini. Untuk apa hidup lebih lama lagi di dunia ini?” Demikian Siucai
tampan itu menangis.
Song Bi Li yang masih hijau
itu tentu saja dapat dikelabuhi dan merasa amat terharu.
“Cia-siucai, mengapa kau
begini berduka? Jangan begitu dan kau pergilah, kalau Kong-kong tahu bahwa kau
masuk ke sini, kau tentu akan mendapat kesukaran.”
“Lebih baik diketahui oleh
Kong-kongmu agar aku dibunuh! Song-siocia, kau benar-benar kejam sekali.
Bagaimana kau dapat menerima pinangan orang lain? Kalau kau menjadi isteri
orang lain, bagaimana dengan aku, Cia Sun yang bodoh dan miskin?”
Song Bi Li menjadi merah
mukanya. Ia bingung dan bibirnya gemetar, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Akhirnya Ceng Si yang mewakili nonanya bicara,
“Cia-kongcu, sudahlah jangan
kau terlalu berduka. Nona terpaksa menerima kehendak kong-kongnya, karena dalam
pernikahan, apakah daya seorang gadis terhadap kehendak orang tua? Adapun
tentang kau, Kongcu, Siocia tentu saja takkan melupakan begitu saja. Bahkan
Siocia sudah berjanji kepadaku untuk memberi bekal padamu agar kau melanjutkan
pelajaranmu di kota raja, agar kelak kau bisa meniadi seorang berpangkat.”
Cia Sun menangis lagi.
“Bagaimanakah seorang miskin seperti aku ini dapat melanjutkan pelajaran di
kota raja? Tidak saja biaya perjalanan ke sana amat besar, juga penghidupan di
kota raja amat mahal. Apakah kau ingin aku menjadi seorang pengemis kelaparan
di sana?”
“Bukan begitu, Cia-sicu,” kata
Bi Li, “Biarpun aku tidak terlalu kaya, akan tetapi kiranya aku akan dapat
membantumu. Aku sudah merencanakan hal ini dengan Ceng Si, dan inilah sedikit
uang untuk bekal di perjalanan, kalau kiranya tidak mencukupi, kelak dengan
perantaraan Ceng Si, aku akan dapat membantumu lagi.” Sambil berkata demikian,
Bi Li rnemberi tanda dengan matanya kepada Ceng Si. Pelayan ini lalu
mengeluarkan sekantung uang emas yang memang disediakan oleh nonanya,
memberikan itu kepada Cia Sun.
Pemuda itu menerimanya lalu
berpura-pura marah dan berduka. Ia melemparkan kantung uang itu ke atas lalu
menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Apa artinya uang bagiku? Apa
artinya kalau aku bisa melanjutkan pelajaran sehingga menerima pangkat tinggi
sekalipun? Apa artinya hidup tanpa kau di sampingku, Song-siocia? Cinta kasihku
tidak semurah ini, tidak akan terbeli oleh harta dunia, takkan dapat ditukar
dengan emas segunung Thai-san!”
“Cia-siucai, harap kau dapat
berpikir lebih panjang dan jangan membikin susah padaku,” kata Bi Li. “Memang
sudah menjadi kehendak Thian bahwa di dunia ini kita tidak berjodoh. Harap kau
suka menaruh kasihan kepadaku. Terimalah uang itu dan kelak akan kutambah
sewaktu-waktu kau memerlukannya.”
Pada saat itu kelihatan sinar
lampu di kamar Kakek Song yang tadinya padam gelap.
“Nah, Loya agaknya bangun...”
kata Ceng Si ketakutan.
“Cia-siucai, lekas pergi,
Kong-kong bangun...” kata Bi Li.
Ceng Si mengambil kantung uang
itu dan menarik tangan Cia Sun menuju ke pintu taman. Pemuda ini cepat-cepat
membawa kantung uang itu dan keluar dari taman.
“Ceng Si, jangan lupa bujuk
dia memberikan mainan indah, hiasan rambut berupa kupu-kupu dan bunga cilan
yang ia terima dari calon suaminya itu,” katanya perlahan ketika mereka hendak
berpisah.
Ceng Si mengangguk. “Asal kau
jangan lupa kelak mengawiniku,” jawabnya. Kemudian pemuda itu menyelinap di
dalam gelap, sedangkan Ceng Si kembali ke dalam taman.
Akan tetapi, baru saja
beberapa langkah Cia Sun berjalan dengan hati girang sambil membawa sekantung
uang emas itu, tiba-tiba menyambar bayangan yang amat ringan. Cia Sun terkejut
sekali ketika melihat bayangan orang menyambar turun di depannya dan tercium
bau yang amat harum olehnya. Saking kagetnya hampir saja ia berteriak, akan
tetapi begitu bayangan itu mengulur tangan dan jari-jari yang halus menyentuh
lehernya, pemuda ini tidak dapat mengeluarkan apa-apa. Jalan darah Ah-tai-hiat
di lehernya telah ditotok! Maka ia hanya dapat memandang dengan mata
terbelalak.
“Hm, kau hendak mempermainkan
seorang gadis kaya? Bagus sekali, orang macam kau harus dicokel kedua matanya!”
terdengar bentakan yang halus merdu, “Kau rebah dulu di sini, hendak kulihat
gadis macam apa dia yang hendak kaupermainkan itu.” Kembali jari-jari halus
bergerak menotok pundak dan robohlah Cia Sun, roboh dengan tubuh lemas tak
dapat bergerak, karena kini jalan darah Thian-hu-hiat yang ditotok secara
istimewa sekali. Cia Sun tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan ini, karena
keadaan amat gelap. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah seorang wanita yang
memiliki suara merdu, serta berbau harum sekali.
Wanita ini bukan lain adalah
Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia telah dikalahkan oleh Bu Pun
Su dan berhasil melarikan diri sambil melepas semacam alat peledak yang
menimbulkan asap hitam tebal. Akan tetapi, setelah melarikan diri beberapa hari
kemudian ia merasa seperti selalu dikejar-kejar atau diikuti oleh Bu Pun Su!
Sungguhpun ia tidak pernah melihat pendekar sakti ini mengikutinya, namun
penasarannya selalu tidak enak dan demikianiah, malam hari itu ia terus
melanjutkan perjalanannya sampai di dusun Sui-chun. Melihat rumah gedung Song
Lo-kai, ia tertarik dan ingin mencuri masuk dan beristirahat di situ, secara
kebetulan ia melihat pertemuan antara Song Bi Li dan Cia Sun dan kemudian ia
membikin pemuda itu tidak berdaya.
Pek Hoa Pouwsat atau lebih
singkat disebut Pek Hoa karena memang demikianlah nama asalnya, melompat ringan
dan tiba kembali di dalam taman bunga. Keadaan di situ hanya remang-remang
belaka maka ia tidak dapat melihat jelas bagaimana wajah Bi Li, Ceng Si dan
juga Cia Sun. Kini setelah Cia Sun pergi Bi Li berani menyuruh pelayannya
menyalakan lampu taman sehingga keadaan di situ terang.
Melihat wajah Bi Li, Pek Hoa
amat kagum. Tak terasa ia berseru, “Ayaa, tidak tahunya gadis ini cantik jelita
sekali...”
Suaranya terdengar oleh Bi Li
dan Ceng Si sehingga dua orang gadis itu terkejut sekali. Selagi mereka bingung
dan terheran-heran, muncullah Pek Hoa dari balik batang pohon, muncul bagaikan
seorang peri, cantik jelita dan menyiar kan bau harum melebihi bunga-bunga di
taman.
Ceng Si buru-buru berlutut.
“Ampunkan hamba, Pouwsat yang baik...” ratapnya.
Pek Hoa tersenyum lalu
berkata, “Memang, orang yang mengandung dosa di hatinya paling mudah ketakutan
dan paling mudah minta ampun kepada Kwan Im Pouwsat!”
Tadinya Bi Li tertegun dan ia
pun amat kagum melihat seorang wanita yang demikian cantiknya. Kini melihat
sikap Ceng Si dan mendengar kata-kata Pek Hoa, timbul dugaannya bahwa memang
yang datang ini tentulah Dewi Welas Asih Kwan Im Pouwsat yang sering muncul di
dalam dongeng kuno. Maka ia pun lalu melanjutkan diri berlutut di depan Pek
Hoa.
“Hamba mohon berkah dari Kwan
Im Pouwsat yang mulia,” kata gadis ini perlahan.
Pek Hoa melangkah maju dan
mengangkat bangun gadis itu. “Song-siocia, bangunlah. Aku memang seorang dewi,
akan tetapi bukan Kwan-Im Powsat, melainkan Pek Hoa Pouwsat. Kau cantik sekali,
Nona. Siapakah namamu?”
Bi Li mengangkat muka dan
memandang dengan terheran. Mengapa sikap seorang dewi kahyangan seperti ini?
Begini biasa seperti sikap seorang gadis biasa? Akan tetapi alangkah cantik jelitanya,
alangkah harum baunya.