Bab 4 - Pernikahan
˜Nama hamba Song Bi Li, dan
tentang kecantikan... biarpun hamba mendapat berkah Kwan Im Pouwsat, namun
kalau dibandingkan dengan Paduka, hamba tidak ada artinya....!
Bukan main girangnya hati Pek
Hoa Pouwsat. Gadis ini memang semenjak usia belasan tahun, amat gila untuk
menjadi cantik dan selalu ia merasa khawatir kalau kecantikannya sampai
berkurang atau hilang. Oleh karena ini, dengan kepandaiannya, ia berhasil
menemukan cara pengobatan untuk merawat kecantikannya, bahkan untuk membuat ia
kelihatan selalu muda belia. Oleh karena inilah maka biarpun usianya sudah tiga
puluhan, ia masih kelihatan seperti seorang gadis muda yang demikian ayu, tentu
saja ia merasa amat terpuji dan bangga.
Dengan hati bangga dan girang
ia menggandeng tangan Bi Li, kemudian ia bergerak cepat dan tahu-tahu Ceng Si
telah kena ditotok sehingga menjadi kaku seperti patung. Akan tetapi dalam
pandangan mata Bi Li, ia hanya melihat Pek Hoa menunjuk dengan jarinya ke arah
Ceng Si yang masih berlutut dan pelayannya itu lalu menjadi kaku!
˜Jangan bergerak dan berlutut
di situ sampai kami selesai bercakap-cakap!! kata Pek Hoa.
Peristiwa ini membuat Bi Li
makin percaya bahwa ia sedang bercakap-cakap dengan seorang dewi tulen! Ia
menurut saja ketika Pek Hoa mengajaknya duduk di atas bangku-bangku yang
dipasang di dekat kolam ikan emas, di bawah penerangan lampu minyak yang
berwarna merah.
˜Bi Li, biarlah selanjutnya
aku menyebut namamu saja, dan kau boleh menyebutku cici,! kata Pek Hoa.
Bi Li terkejut. Bagaimana ia
boleh menyebut cici (kakak) kepada seorang bidadari?
˜Akan tetapi...!
˜Jangan membantah. Ini
perintahku, mengerti? Aku lebih tua daripadamu.! Bi Li menjadi berani mendengar
ini. ˜Akan tetapi, sesungguhnya kau kelihatan lebih muda dariku, maka lebih
pantas kalau aku menyebut moi-moi.!
Pek Hoa memandang tajam sambil
tersenyum girang sekali. ˜Adikku! Betul-betulkah kata-katamu ini?!
˜Bagaimana aku berani
membohong? Begini cantik jelita, seperti bunga baru mekar, paling banyak usiamu
tujuh belas tahun dan aku sudah delapan belas!! jawab Bi Li.
Pek Hoa tertawa geli, akan
tetapi girang sekali hatinya. Dipuja oleh laki-laki, baginya tidak aneh dan
dianggapnya bahwa semua laki-laki hanya tukang membohong untuk membujuk dan
mengambil hati, akan tetapi dipuji oleh seorang gadis yang begini cantik ini
lain lagi.
˜Tidak, Li-moi aku lebih tua.
Usiaku sudah... sembilan belas tahun. Li-moi, sebetulnya kedatanganku ini
hendak memberi berkah dan pertolongan kepadamu dengan Siucai she Cia itu, akan
tetapi aku lebih suka mendengar dari mulutmu sendiri. Sebenarnya, apakah yang
terjadi antara kau dan dia?!
Bi Li terkejut, akan tetapi
ketika ia teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang bidadari, ia tidak merasa
aneh, bahkan tidak malu-malu untuk membuat pengakuan.
˜Aku sudah lama kenal dengan
Cia-siucai, Cici Pek Hoa. Dan dia itu... dia menyatakan cinta kepadaku.!
˜Apa kau tidak cinta
kepadanya?!
Bi Li termenung dan ragu-ragu.
˜Entahlah, Cici, kau lebih tahu tentunya. Aku tidak mengerti tentang cinta
ini.!
˜Teruskan, lalu bagaimana?!
˜Kemudian, atas kehendak
Kong-kong, aku harus menikah dengan seorang she Kiang dari kota Sian-koan,
seorang pemuda gagah, perkasa yang pernah menolong nyawa Kong-kong.!
˜Dan kau tidak suka
kepadanya?!
Kembali Bi Li termenung
bingung. ˜Ini pun aku tidak bisa memastikan, Cici. Kelihatannya dia gagah dan
baik budi, juga... tampan, bahkan lebih tampan daripada Cia-siucai. Karena aku
tidak mungkin menolak kehendak Kong-kong, tadi Cia-siucai datang, menyatakan
kehancuran hatinya dan hendak nekat membunuh diri. Baiknya aku dan pelayanku
Ceng Si dapat membujuknya agar dia melanjutkan sekolah di kota raja dan akulah
yang akan membiayainya sampai tercapai maksudnya. Calon suamiku itu orang yang
amat kaya, sedangkan Kong-kong juga bukan orang miskin, maka kiraku jalan
inilah yang terbaik, yakni untuk menghibur hatinya.!
Pek Hoa mengangguk-angguk.
˜Kau anak baik, dan kau amat cantik jelita. Kau layak hidup bahagia dan
mendapatkan seorang suami yang baik dan tampan. Kau bilang tadi calon suamimu
lebih cakap daripada Cia-siucai?!
Merah muka Bi Li, akan tetapi
dia mengangguk. ˜Bukan aku saja yang menganggap demikian, Cici, juga pelayanku
Ceng Si menganggap demikian pula.!
˜Dan kau bilang gagah perkasa?
Apakah dia itu pandai ilmu silat?!
˜Tentunya pandai. Kong-kong
pernah bilang kepadaku bahwa dia adalah murid dari seorang sakti dan aneh yang
bernama Han Le yang menjadi murid dari seorang sakti yang dipuja-puja
Kong-kong, yakni mendiang Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi aku sendiri tidak kenal
siapa adanya orang sakti yang bernama Han Le itu.!
Kalau Pek Hoa tidak tinggi
ilmunya. dan dapat mengerahkan lwee-kang dan menyalurkan darah ke mukanya,
tentu Bi Li akan melihat perubahan air mukanya ketika ia mendengar nama Han Le
ini.
˜Jadi calon suamimu itu she
Kiang dan tinggal di kota Sian-koan?! tanya pula.
Bi Li mengangguk, Pek Hoa
berdiri, memandang wajah Bi Li sekali lagi lalu berkata, ˜Adikku yang manis
kelak kalau kau sudah punya anak, mungkin kita bertemu lagi karena aku ingin
sekali melihat wajah anakmu.!
Bi Li hendak menjawab, akan
tetapi tiba-tiba dengan sekali menggerakkan kaki, Pek Hoa sudah melompat di
depan Ceng Si, membebaskan totokannya kepada tubuh pelayan ini dan sekali
berkelebat ia lenyap dari pandangan mata!
Ceng Si menjatuhkan diri
berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya seperti ayam makan padi, sambil
mengeluh panjang pendek, ˜Pouwsat yang mulia, ampunkan hamba... jangan mencabut
nyawa hamba...!
Bi Li juga menjatuhkan diri
berlutut mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada bidadari yang
mengaku kakak kepadanya itu. Kemudian terpaksa ia menyeret Ceng Si berdiri
karena pelayan yang ketakutan ini masih saja berlutut sambil sesambatan.
Kita ikuti perjalanan Pek Hoa.
Setelah melompat keluar dari taman bunga keluarga Song, ia menghampiri Cia Sun.
Sekali tepuk saja ia sudah membikin pemuda ini sadar kembali. Sebelum Cia Sun
sempat membuka mulut, tahu-tahu ia merasa tubuhnya terapung tinggi dan ternyata
ia telah dikempit dan dibawa lari oleh Pek Hoa. Setibanya di tempat terang,
yakni sudut jalan yang diterangi oleh lampu, Pek Hoa menurunkan pemuda itu,
memandangi wajah dan tubuhnya. Agaknya ia puas dan senyumnya manis sekali.
Di lain pihak, Cia Sun menjadi
bengong, terpesona ia oleh kecantikan gadis ini dan bau harum yang luar biasa
mendebarkan jantungnya.
˜Hm... kau tampan juga...!
terdengar gadis itu berkata sambil meraba-raba pipinya.
Dari takut dan kaget, Cia Sun
menjadi girang. Tak disangkanya bahwa orang yang disangkanya setan dan yang
sudah mengganggunya itu adalah seorang gadis muda yang demikian cantik
jelitanya bahkan jauh lebih cantik daripada Ceng Si, juga lebih cantik menarik
daripada Bi Li yang pendiam dan malu-malu. Gadis ini sebaliknya kelihatan
˜berani! sekali, berani memuji ketampanannya, bahkan berani membelai-belai pipinya.
˜Aduh, Nona. Bukankah kau
bidadari dari kahyangan yang turun dari bulan purnama? Apakah hendak mencabut
nyawa hamba...?! katanya setengah bergurau.
Melihat pandangan mata Cia
Sun, pandangan mata yang penuh arti, sekonyong-konyong Pek Hoa menjadi jemu.
Wanita ini semenjak usia belasan tahun sudah sering kali bertukar kekasih,
hidupnya demikian busuk dan kotor, dan terkenal sebagai seorang wanita yang
cabul. Hubungannya dengan banyak sekali orang laki-laki membuat ia menjadi jemu
apabila melihat sikap laki-laki yang kurang ajar dan melihat laki-laki binal
dan ceriwis, ia menjadi bosan dan mual. Kalau sekiranya Cia Sun bersikap
takut-takut atau malu-malu, atau marah-marah melihatnya, mungkin Pek Hoa akan
jatuh hati kepada pemuda yang tampan ini. Pek Hoa tidak membutuhkan laki-laki
yang ceriwis, karena ia telah bosan dengan sikap seperti ini. Ia membutuhkan
laki-laki yang alim, laki-laki yang tidak mudah tergoda oleh kecantikannya.
Maka dengan sebal hati ia melemparkan tubuh Cia Sun ke pinggir jalan, merampas
kantung uang pemberian Bi Li tadi, lalu pergi dengan cepat meninggalkan pemuda
itu yang terlampau kaget dan takut untuk dapat mengeluarkan suara!
Baru saja bayangan Pek Hoa
berkelebat pergi, di belakangnya kira-kira sepuluh tombak jauhnya, berkelebat
bayangan lain yang tidak kalah gesitnya, yang mengikuti perjalanan gadis itu
secara diam-diam tanpa diketahui oleh yang diikutinya.
***
Kiang Liat merasa berbahagia
sekali. Tak pernah disangka-sangkanya bahwa nasibnya demikian baik dan
menyenangkan. Tidak saja ia beruntung bertemu dengan pengemis sakti Han Le dan
menjadi muridnya selama satu tahun mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi
sehingga kepandaiannya yang sudah lihai itu menjadi makin maju, juga terutama
sekali ia bertemu dengan Song Lo-kai dan diambil cucu mantu. Yang membuat ia
benar-benar merasa bahagia adalah ketika ia bertemu dengan Song Bi Li. Siapa
pernah mengira bahwa cucu seorang kakek bekas pengemis demikian cantik
jelitanya? Tidak hanya cantik, juga sikapnya demikian halus lemah-lembut,
menimbulkan kasih sayang dan begitu bertemu muka, Kiang Liat terus saja jatuh
cinta!
Ia telah mempersiapkan segala
keperluan untuk menghadapi pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa hari
lagi. Ia telah mengatur rumahnya yang selama ini hanya ia tinggali bersama
inang pengasuhnya, telah mengatur semua persiapan agar isterinya kelak suka dan
kerasan tinggal di rumahnya ini. Kemudian ia menyuruh inang pengasuhnya dan
beberapa orang pembantu dari kotanya untuk berangkat lebih dulu ke Sui-chun, ke
rumah keluarga Song untuk membuat segala persiapan. Ia sendiri sibuk
membagi-bagikan undangan kepada sahabat-sahabat baiknya agar mereka suka datang
dan mengantarnya ke Sui-chun untuk menambah kegembiraan.
Persiapan terakhir telah
dilakukan dan Kiang Liat merasa gembira sekali. Besok pagi-pagi ia akan
berangkat ke Sui-chun, bersama beberapa belas orang kawan-kawan baik yang akan
menjadi pengiringnya. Sehari itu ia telah pergi jauh ke luar kota, mengunjungi
kawan-kawannya yang paling jauh rumahnya. Ia merasa agak lelah ketika sore hari
itu ia pulang, melompat turun dari kudanya yang indah, menuntun kuda itu dan
menghampiri pintu depan. Karena di rumahnya telah kosong tidak ada orang lain,
maka rumah itu pintunya selalu ditutup.
Semua pelayan telah dikirim ke
Sui-chun agar setelah pernikahan dilangsungkan dapat mengiringkan sepasang
pengantin itu pulang ke Sian-koan. Oleh karena itu, selama beberapa hari ini,
Kiang Liat tinggal seorang diri di rumahnya. Akan tetapi, kesepian ini takkan
lama lagi, hanya tinggal semalam lagi dan besok pagi-pagi ia akan berangkat ke
rumah calon isterinya! Berpikir sampai di sini, terutama membayangkan wajah Bi
Li yang cantik manis, Kiang Liat menjadi berseri wajahnya. Sambil
tersenyum-senyum ia membuka pintu.
Ia tidak tahu bahwa semenjak
tadi, sepasang mata yang bening dan indah selalu mengintainya dan mata ini
bersinar-sinar ketika melihat potongan tubuh pemuda yang amat ganteng ini,
tubuh yang tegap dan gagah, wajah yang tampan dengan kulit muka putih bersih,
sepasang alis yang hitam tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang
lebar dan bersinar-sinar penuh semangat. Memang Kiang Liat seorang pemuda yang
amat gagah dan tampan.
Setelah meninggalkan kudanya
di depan pintu, Kiang Liat masuk ke dalam rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Ia hendak mandi, berganti pakaian, kemudian keluar lagi. Memang tidak enak
duduk seorang diri di dalam rumah tanpa kawan, apalagi menghadapi peristiwa
yang demikian hebat, yakni pernikahannya dengan Nona Song Bi Li! Ia hendak
pergi ke beberapa orang sahabat baiknya, mengajak mereka datang ke sini lalu
memesan makan minuman dari rumah makan.
Akan tetapi, ia masih belum
tahu bahwa pada saat itu, sepasang mata bening dan jeli terus mengintainya!
Mata yang memandangnya penuh kekaguman, penuh nafsu, dan kadang-kadang penuh
kebencian!
Kiang Liat melangkah tegap ke
arah kamarnya, mendorong daun pintu kamar tidurnya, melangkah masuk dan....
˜Siapa kau.?! tanyanya
terkejut sekali dan terheran-heran. Di atas pembaringannya duduk seorang gadis
yang berpakaian indah, seorang gadis sebaya dengan Bi Li yang cantik sekali,
yang duduk menggoyang-goyangkan kedua kaki kecil yang tergantung dari
pembaringan sambil miringkan kepala memandang kepadanya dan bibirnya
tersenyum-senyum manis sekali! Tadinya untuk sesaat Kiang Liat mengira bahwa
inilah yang disebut orang siluman wanita, yang sering muncul dalam
dongeng-dongeng, kalau tidak demikian, bagaimanakah seorang dara juita seperti
itu tahu-tahu dapat memasuki kamar tidur seorang pemuda dan duduk di atas
pembaringan dengan kakinya ongkang-ongkang dan senyum manis menantang? Akan
tetapi, ketika melihat gagang siang-kiam tersembul dari balik punggung gadis
itu Kiang Liat berpikir lain. Tentu seorang gadis kang-ouw dan kedatangannya
tentu mempunyai maksud tertentu, entah baik entah buruk, akan tetapi lebih
condong kepada maksud yang tidak baik.
˜Kau siapakah, Nona? Dan
apakah kehendakmu memasuki kamarku?! tanyanya lagi, kini, suaranya tidak
sekeras tadi karena pemuda ini cepat dapat menekan perasaannya. Ia tak dapat menyembunyikan
kekagumannya melihat gadis yang demikian cantiknya dan pandang mata kagum ini
menyenangkan hati gadis itu yang memperlebar senyumnya.
˜Jawab dulu, senangkah kau
melihat aku di kamar tidurmu?! gadis ini bertanya, suaranya merdu merayu dan
pandang matanya mencuri hati dengan kerling tajam menyambar.
Kiang Liat mengerutkan
keningnya. ˜Bagaimana aku bisa menyatakan senang atau tidak kalau aku belum
tahu siapa adanya kau ini dan apa keperluanmu datang ke sini?!
Gadis manis itu tertawa kecil.
˜Kau betul juga, sekarang jawablah pertanyaan yang lebih mudah. Cukup cantikkah
aku dalam pandanganmu?!
Kini merahlah wajah Kiang
Liat. Hatinya berdebar. Selama hidupnya belum pernah ia melihat gadis secantik
ini, kecuali Bi Li, dan gadis yang berani seperti ini. Akan tetapi, sikap genit
dan kecabul-cabulan ini tidak menyenangkan hatinya. Kiang Liat bukan sebangsa
pemuda pemogoran yang mudah menjadi gila melihat wajah cantik!
˜Nona, omongan apakah ini? Aku
bukan orang yang biasa menilai kecantikan orang lain! Sekarang katakan siapa
kau dan apa perlumu masuk ke kamarku?! Biarpun jawaban ini ketus dan
membayangkan kemarahan hati, namun aneh sekali, gadis ini tidak marah, bahkan
sebaliknya ia kelihatan gembira sekali.
˜Ha, kau gagah ganteng, tampan
dan baik sekali, tidak seperti segala macam hidung belang yang menjemukan!!
gadis itu berseru, kemudian ia sekali menggerakkan tubuh telah melompat turun,
gerakannya ringan sekali sehingga mengejutkan hati Kiang Liat.
˜Kiang Liat, aku tahu siapa
kau. Kau adalah murid dari Han Le si pengemis hina itu, bukan? Dan kau akan
menikah dengan Nona Song Bi Li yang cantik jelita, bukan?!
King Liat kembali terkejut dan
mengerutkan kening.
˜Benar semua dugaanmu itu,
sungguhpun aku tidak mengerti bagaimana kau bisa ketahui semua itu. Akan
tetapi, siapakah kau, Nona?!
˜Orang-orang di dunia barat
biasa menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, akan tetapi bagimu, kau boleh
memanggil aku Pek Hoa saja, atau Hoa-moi, bukankah itu lebih enak dan manis
terdengarnya?!
Kiang Liat belum pernah
mendengar nama ini, akan tetapi sikap Pek Hoa yang makin binal dan genit ini,
benar-benar menyebalkan hatinya. Ia tidak dapat menyangkal bahwa gadis ini amat
cantik, lagi menyiarkan bau yang amat harum memenuhi kamarnya, akan tetapi
kegenitan gadis ini melenyapkan kekagumannya. Alangkah jauh bedanya dengan Bi
Li calon isterinya! Biarpun dalam kecantikan, agaknya Bi Li sendiri pun tidak
akan menang dari gadis luar biasa ini yang memiliki kecantikan seperti
bidadari.
˜Jangan kau mengacau tidak
karuan!! Kiang Liat membentak marah. ˜Aku tidak kenal kau siapa dan tidak
peduli tentang semua panggilan itu. Lekas katakan, apa maksudmu datang ke
kamarku?! Pemuda ini sekarang menjadi curiga dan juga amat marah.
Watak Pek Hoa memang aneh.
Kalau sekiranya Kiang Liat bersikap lemah seperti yang diperlihatkan oleh
pemuda Cia Sun, kalau saja Kiang Liat terpesona oleh kecantikannya,
memuji-mujinya dan mencoba untuk bersikap kurang ajar, mungkin sekali Pek Hoa
akan menjadi sebal dan mungkin akan segera turun tangan membunuhnya, karena dia
adalah murid Han Le yang amat dibenci oleh Pek Hoa. Di dunia ini hanya dua
orang yang dibenci oleh Pek Hoa, yakni Bu Pun Su, dan Han Le, terutama sekali
Bu Pu Su.
Akan tetapi, oleh karena sikap
Kian Liat keras dan sama sekali tidak tunduk oleh kecantikannya, hati Pek Hoa
menjadi runtuh! Baru sekarang gadis ini bertemu dengan seorang pemuda yang
begini tampan dan gagah, yang tidak bertekuk lutut menghadapi kecantikannya.
Inilah pemuda yang diidam-idamkannya, pemuda yang dicari-carinya! Maka,
menghadap bentakan yang penuh kemarahan dari Kiang Liat, ia menjadi makin
tertarik dan makin gembira.
˜Kiang Liat, kau menjadi makin
gagah kalau marah-marah. Kau mau tahu mengapa aku datang ke kamar tidurmu?
Karena aku tiba di rumah ini tidak melihat seorang pun manusia, maka aku
memilih kamar tidur ini untuk mengaso.!
˜Apa maksudmu mengunjungi
aku?! tanya Kiang Liat gemas melihat sikap genit dan mendengar jawaban melantur
itu.
˜Kau adalah murid pengemis tua
bangka Han Le dan dia itu musuhku maka tentu saja aku datang untuk mengambil
nyawamu. Akan tetapi, melihat mukamu, aku menjadi kasihan sekali dan aku akan
mengampuni dan tidak mengganggumu, sebaliknya aku ingin sekali membikin kau
bahagia. Permusuhan antara kita akan hilang kalau saja kau mau membatalkan
pernikahanmu dengan Song Bi Li dan sebagai gantinya, kau mengambil aku sebagai
isterimu...!
˜Tutup mulutmu yang kotor!!
Kiang Liat marah sekali dan mencabut pedangnya. ˜Kau ini perempuan jalang
berani sekali bermain gila di sini...?! Kian Liat benar-benar marah sehingga ia
mendamprat gadis itu.
˜Kiang Liat, butakah matamu?
Buka matamu baik-baik dan lihatlah, apakah aku tidak lebih muda dan jauh lebih
cantik daripada Bi Li. Selain lebih cantik, aku lebih gagah, lebih kaya! Kalau
kau menjadi suamiku, apa yang kurang bagimu? Ingin senang? Aku cukup cantik dan
aku tahu bagaimana untuk menyenangkan hatimu. Kau ingin hidup mewah? Kekayaanku
jauh lebih besar daripada kekayaanmu atau kekayaan Bi Li. Atau kau menghadapi
musuh-musuh besar? Tak usah khawatir, kalau aku Pek Hoa menjadi isterimu, tanpa
aku turun tangan semua musuh-musuhmu akan melarikan diri tunggang-langgang!!
˜Jangan ngoceh lagi! Lekas kau
minggat dari sini, aku tidak sudi melihat mukamu atau mendengar suaramu!
Pergi...!!!
Pek Hoa mulai marah. Pipinya
yang halus dan putih itu kini menjadi merah. Ia tidak suka melihat laki-laki
lemah yang mudah jatuh oleh kecantikan, akan tetapi ia pun tidak suka melihat
laki-laki yang memandang rendah kecantikannya. Apalagi hinaan yang keluar dari
mulut Kiang Liat sudah melampaui batas. Kalau menuruti kemarahannya, ingin ia
sekali turun tangan merampas nyawa pemuda ini, akan tetapi kalau ia memandang
muka yang tampan dan gagah itu, hatinya tidak tega. Bagaimanapun juga, ia harus
mendapatkan laki-laki ini sebagai suaminya atau sebagai kekasihnya. Sukar
mencari seorang pemuda seperti Kiang Liat ini.
˜Kalau aku tidak mau pergi,
kau mau apa sih?! tanyanya sambil tersenyum mengejek.
˜Aku akan memaksamu dengan
pedangku!! Kiang Liat membentak.
˜Aha, kau mau main-main
senjata dengan nonamu? Mari-mari, anak manis, mari keluar, kita boleh main-main
sedikit!! Sambil berkata demikian, Pek Hoa melambaikan tangannya dan sekali
berkelebat ia telah menerobos keluar dari jendela.
Diam-diam Kiang Liat terkejut
sekali melihat gin-kang yang luar biasa ini, akan tetapi ia bukan seorang
penakut. Cepat iapun melompat keluar melalui jendela, mengejar wanita aneh itu.
Ternyata Pek Hoa telah
menantinya di luar rumah, di pekarangan yang lebar dan diterangi oleh lampu
minyak yang tergantung di bawah genteng. Gadis ini memandang ringan sekali
kepada Kian Liat. Karena pikirnya kepandaian Han Le saja ia tidak takut dan
masih sanggup menangkan, apalagi kepandaian muridnya! Ia tidak tahu bahwa Kiang
Liat hanya satu tahun menjadi murid Han Le, dan bahwa sebelum menjadi murid Han
Le pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tinggi juga.
Melihat Pek Hoa telah berdiri
dengan lagak menantang, bertolak pinggang tanpa mengeluarkan senjata, Kiang Lia
membentak, ˜Perempuan rendah, keluarkan senjatamu kalau kau hendak mencoba
kelihaianku!!
˜Mengapa harus mengeluarkan
senjata? Apa kau kira dapat mengalahkan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat biarpun aku
hanya bertangan kosong? Orang muda, maju dan seranglah, tak usah ragu-ragu,
jangan takut kalau kulit tubuhku akan lecet terkena pedangmu yang tumpul!!
Kiang Liat marah sekali.
˜Lihat pedang!! teriaknya dan ia mulai menyerang. Mula-mula, pemuda ini tidak
menyerang sungguh-sungguh, karena betapapun gemasnya melihat gadis genit dan
cabul ini, ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis ini dengan
gurunya, dan ia tidak tega serta merasa malu untuk melukai seorang gadis muda
yang melawannya dengan bertangan kosong saja. Akan tetapi, segera ia menjadi
terheran-heran dan kaget. Tak disangkanya bahwa gadis itu ternyata luar biasa
dan selain gerakannya cepat sekali, juga ilmu silatnya amat lihai. Baru
beberapa gebrakan saja, hampir pedangnya kena dirampas oleh gerakan
mencengkeram dari Pek Hoa!
Setelah melihat kelihaian
lawannya, Kiang Liat tidak beriaku sungkan-sungkan lagi. Cepat ia menggerakkan
pedangnya dan kini ia bersilat dengan ilmu pedang keluarga Kiang yang kini
sudah diperkuat dan diperbaiki setelah ia belajar setahu lamanya pada Han Le.
Pek Hoa makin kagum melihat
Kian Liat. Tak disangkanya bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar hebat, tidak
kalah jauh oleh Han Le. Bahkan kalau dilihat-lihat, ilmu pedang yang dimainkan
oleh pemuda ini sama sekali bukan ilmu pedang Han Le, ilmu pedang yang di
mainkan Kiang Liat amat indah gerakan-gerakannya. Tentu saja seorang pemuda
yang demikian ganteng dan tampan mainkan ilmu pedang yang indah ini, kelihatan
seperti seorang penari ulung tengah menari, amat menarik hati dan indah
dilihat. Makin sayanglah Pek Hoa kepada kepada pemuda ini, dan ia tahu bahwa kalau
ia menghadapi dengan tangan kosong saja, akan sangat berbahaya baginya.
Timbul kegembiraan hati Pek
Hoa untuk menguji terus sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Ia
mencabut sepasang pedangnya.
˜Kau lihai sekali, orang muda.
Akan tetapi coba kau tahan siang-kiamku!! Setelah berkata demikian ia memutar
sepasang pedangnya dengan cepat, melakukan serangan balasan yang sesungguhnya
bukan serangan benar-benar hanya untuk menguji saja.
Kiang Liat kaget. Ilmu pedang
yang dimainkan oleh gadis itu juga hebat, apalagi lawannya menggunakan sepasang
pedang yang tentu saja lebih cepat menyerangnya daripada sebatang pedang.
Pemuda ini diam-diam mengeluh
dan merasa malu kepada diri sendiri. Masa ia, yang telah terkenal sebagai
Jeng-ciang-sian (Dewa Bertangan Seribu), kemudian sudah mendapat gemblengan
selama setahun oleh pengemis sakti Han Le, hanya dalam tenaga lwee-kang, ia
tidak kalah, akan tetapi ia kalah jauh dalam kecepatan gerakan, dan dalam hal
ilmu silat, agaknya gadis ini mempunyai kepandaian yang luar biasa sekali.
Namun Kiang Liat tidak mau menyerah kalah, biarpun ia seakan-akan dikurung oleh
laksaan ujung pedang lawan ia masih mempertahankan diri, memutar pedangnya
sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh tembok baja yang
kokoh kuat.
Berkali-kali Pek Hoa memuji
dan mulutnya mengoceh terus, ˜Kau gagah, ilmu pedangmu lihai... kau patut
menjad suamiku...!
Kata-kata seperti ini
memperbesar api kemarahan Kiang Liat sehingga kini ia bertanding dengan nekat,
tak takut mati. Ini membuat Pek Hoa kewalahan. Memang ilmu pedang dari pemuda
ini sudah tinggi, sukar baginya untuk merobohkan, apalagi menawan. Sekarang
ditambah oleh kenekatan pemuda itu, maka Pek Hoa lalu mengeluarkan
saputangannya yang berwarna merah, mengeluarkan seruan nyaring dan ketika
saputangan itu dikebutkan, tiba-tiba Kiang Liat mencium bau harum yang amat
keras dan tak lama kemudian ia terhuyung-huyung dan roboh tak sadarkan diri
dengan pedang masih di tangannya!
Pek Hoa tertawa girang. Ia
membungkuk, merampas pedang, mengelus-elus pipi pemuda itu, tertawa lagi lalu
menotok jalan darah dipundak Kiang Liat untuk menjaga kalau pemuda itu siuman
kembali. Biarpun siuman kembali, setelah ditotok, Kiang Liat takkan berdaya,
tubuhnya sudah lemas dan ia takkan dapat memberontak lagi. Sambil kadang-kadang
membelai rambut dan muka pemuda itu, Pek Hoa tertawa-tawa dan memanggul tubuh
Kiang Liat dengan mudahnya, lalu berlarilah ia menghilang di dalam gelap malam
yang mulai menyelimuti alam.
Akan tetapi, baru saja
beberapa li ia lari, setelah ia keluar dari kota Sian-koan dan tiba di tempat
sunyi, tiba-tiba Pek Hoa merasa pundaknya yang kanan ditowel orang. Ia
memanggul tubuh Kiang Liat di pundak kirinya, maka merasa towelan ini,
mula-mula ia tidak bercuriga dan berlari terus.
Sekonyong-konyong, pundaknya
ditowel lagi dan terdengar suara perlahan, ˜Siluman cabul, kau masih tidak mau
melepaskan Kiang Liat?!
Pek Hoa terkejut, melompat ke
depan sejauh empat tombak lebih lalu membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bulan
purnama, ia melihat seorang laki-laki setengah tua yang pada saat itu ia
harapkan berada di neraka. Satu-satunya orang yang tak ingin ia melihatnya pada
saat seperti itu, yakni bukan lain adalah Bu Pun Su Si Pendekar Sakti!
Karena tahu menghadapi lawan
yang amat berat, yang biarpun dikeroyok dengan kedua sutenya masih saja ia
kalah, Pek Hoa tidak mempunyai nafsu untuk melawan Bu Pun Su. Ia melepaskan
tubuh Kiang Liat yang dipanggulnya itu ke atas tanah, mencabut pedang Kiang
Liat yang dirampasnya. Niatnya hendak sekali bacok menewaskan pemuda ini,
karena kalau ada Bu Pun Su di situ, tak mungkin kehendaknya menjadikan pemuda
itu sebagai permainannya. Setelah maksud ini digagalkan oleh Bu Pun Su, tidak
ada jalan lain baginya kecuali membunuh Kiang Liat, sehingga dengan demikian,
ia dapat melakukan sedikit pembalasan atas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su dan
Han Le.
Akan tetapi, baru saja ia
mencabut pedang rampasan itu, tiba-tiba pedang itu terlepas dari tangannya yang
menjadi kaku. Ia mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, akan tetapi
alangkah kagetnya ketika ia merasa bahwa tidak hanya tangan kanan, bahkan
setengah bagian tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh! Terdengar olehnya suara
ketawa yang tenang dari Bu Pun Su. Pek Hoa melompat mundur sambil menjerit.
Tahulah ia sekarang. Tadi ia telah kena ditowel dua kali pundak kanannya oleh
Bu Pun Su dan ternyata bahwa towelan itu merupakan totokan yang amat lihai,
yang baru terasa pengaruhnya setelah ia menggerakkan tangan dan mengerahkan
tenaga.
Sambil berdiri, Pek Hoa cepat
mengerahkan lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan itu, namun tidak
berhasil. Terpaksa gadis ini menekan hawa kemarahan yang naik ke dadanya, lalu
bersila di atas tanah. Selagi ia berusaha membebaskan diri dari pengaruh
tiam-hoat yang dilakukan secara lihai oleh Bu Pun Su, pendekar sakti ini
menghampiri Kiang Liat. Dua kali tepukan ke pundak dan punggung membuat pemuda
itu terbebas, dan Kiang Liat cepat berlutut di hadapan paman gurunya.
˜Kiang Liat, aku bangga
melihatmu. Kau memang patut menjadi murid Han Le. Sekarang lekas-lekas kau
pulang dan langsungkan pernikahanmu. Kelak aku akan datang memberi hadiah dua
tiga pukulan kepadamu.!
Kiang Liat girang sekali,
setelah menghaturkan terima kasih, ia mengambil pedangnya dan pergi dari situ.
Ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Pek Hoa, karena sesungguhnya, betapapun
marahnya terhadap gadis itu, ia tidak tega melihat kalau-kalau Bu Pun Su akan
membunuh Pek Hoa.
Akan tetapi, Bu Pun Su
bukanlah seorang yang mudah saja membunuh orang. Ia melangkah maju, tersenyum
melihat gadis itu masih berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan.
˜Pek Hoa, totokan itu takkan
dapat dibebaskan kalau tidak dengan suling ini,! katanya sambil mencabut keluar
sebatan suling bambu yang sudah tua. Tadi ia memang menotok pundak gadis itu
dengan sulingnya, karena Bu Pun Su merasa segan untuk melakukan hal ini dengan
tangannya. Ketika ujung sulingnya menyentuh jalan darah di pundak Pek Hoa
seketika gadis ini pulih kembali keadaannya. Dengan berang ia melompat berdiri
memandang kepada Bu Pun Su seperti seekor harimau betina hendak menubruk
mangsanya, lalu berkata,
˜Bu Pun Su, aku benci sekali
kepadamu!!
˜Bagus!! kata Bu Pun Su
tersenyum ˜Seribu kali lebih aman kau benci daripada kau cinta. Kecantikan dan
kasih sayangmu jauh lebih berbahaya dari watak buruk dan kebencianmu, Pek Hoa.!
Setelah berkata dernikian, Bu Pun Su termenung, teringat ia akan semua
pengalamannya di waktu muda, betapa dia menjadi korban dari kecantikan dan
kasih sayang palsu dari seorang wanita yang cantik dan jahat seperti Pek Hoa
ini.
Pek Hoa membanting-banting
kakinya saking gemas. ˜Jadi selama ini kau selalu mengintaiku? Sungguh tak tahu
malu! Kalau memang kau gagah berani, mengapa tidak melawan guru-guruku? Mengapa
kau menghina seorang perempuan?! Pek Hoa hampir menangis. Ingin ia mencabut
siang-kiamnya atau mempergunakan senjata rahasia atau senjata berbisa, namun ia
cukup maklum bahwa semua ini takkan ada gunanya terhadap Bu Pun Su.
˜Memang aku hendak mencari
guru-gurumu, itu Thian-te Sam-kauwcu yang ternama,! jawab lagi pendekar sakti
itu.
˜Jadi kau mengikuti aku untuk
mengetahui di mana adanya guru-guruku?!
˜Bukan hanya demikian, akan
tetapi yang penting untuk melihat tingkah-lakumu, untuk menjaga agar kau jangan
sampai mengganggu orang-orang seperti yang tadi kau lakukan. Tentang
guru-gurumu, agaknya mereka itu takut kepadaku maka tidak berani muncul.!
Kata-kata ini sengaja
diucapkan oleh Bu Pun Su untuk membakar hati gadis itu. Maksudnya berhasil
karena Pek Hoa memandangnya dengan marah.
˜Bu Pu Sun, kau sombong! Kau
menggunakan kepandaian untuk menghinaku, seorang perempuan lemah! Awas kau,
akan datang saatnya aku membalas semua ini, membalas kepadamu dan kepada Han
Le! Akan tiba saatnya aku menghancurkan kau dan semua orang yang ada hubungannya
denganmu! Kalau kau memang berani, datanglah di lembah Sungai Yalu-cangpo,
tepat di mana sungai suci itu berbalik ke barat. Disanalah kau akan kami tunggu
dan kalau kau tidak berani datang, ternyata Bu Pun Su hanya seorang pengecut
besar yang berani dan berlagak di tempat dan kandang sendiri saja!! Sehabis
mengeluarkan kata-kata ini, Pek Hoa lalu melompat dan menghilang di dalam
gelap.
Bu Pun Su tidak mengejar. Ia
percaya bahwa keterangan itu tidak bohong. Memang ia pernah mendengar bahwa
tempat tinggal tiga orang aneh dari barat itu adalah di sekitar barat Gunung
Heng-tuan-san dan sebagai seorang perantau besar ia pernah mengunjungi daerah
ini. Ia tahu bahwa daerah ini dekat sekali dengan daerah-daerah asing seperti
Nepal, Bhutan dan India, maka sudah sepatutnya kalau tiga orang itu mendirikan
tempat pusat di sana.
***
Upacara pernikahan antara
Kiang Liat dan Song Bi Li dilangsungkan dengan meriah. Banyak sekali tamu yang
datang memberi selamat, dan di antaranya bahkan terdapat Han Le Si Pengemis Sakti.
Oleh karena Cap-si Kai-pangcu,
empat belas orang ketua perkumpulan pengemis yang lihai juga hadir, maka para
tamu tentu saja terheran-heran melihat begitu banyak orang-orang tua berpakaian
pengemis, akan tetapi mendapat penghormatan terbesar dari pihak tuan rumah!
Tentu saja mereka yang terheran-heran ini adalah orang-orang biasa, karena
orang-orang kang-ouw yang hadir di situ tentu saja mengenal tokoh-tokoh besar
ini.
Siapakah yang tidak mengenal
It-gan Sin-kai pengemis tinggi kurus yang bermata satu itu, yang pernah
membikin geger istana karena mencuri masuk ke dalam dapur istana untuk
menikmati hidangan-hidangan raja. Siapa pula tidak mengenal Pat-jiu Siauw-kai
pengemis kate berperut gendut seperti orang cacingan itu, yang kini duduk
menghadapi meja sambil minum arak begitu saja dari guci yang besarnya hampir
sama dengan tubuhnya? Masih banyak sekali tokoh-tokoh besar, seperti Tiat-tho
Mo-kai dan terlalu banyak untuk disebutkan di sini.
Pendeknya, empat belas orang
pemimpin pengemis yang disebut Cap-si Kai-pangcu, hadir semua. Juga masih ada
belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah kenal dengan Kiang Liat, hadir di
situ. Mereka semua ini, termasuk Cap-si Kai-pangcu, menghormati Han Le yang
merupakan tokoh tertinggi di tempat itu.
Setelah upacara pernikahan
selesai, Han Le mendengar dari muridnya tentang Bu Pun Su, maka ia lalu
meninggalkan tempat itu untuk mencari suhengnya. Han Le sudah menyelesaikan
tugasnya, sudah memberi tahu kepada tokoh-tokoh pimpinan partai besar untuk
berhati-hati dan siap siaga menghadapi pengaruh-pengaruh asing dari barat.
Semenjak saat pertemuan kedua
mempelai, Bi Li yakin bahwa ia benar-benar telah mendapatkan seorang suami yang
baik. Dan dugaannya ini ternyata tepat, karena memang Kiang Liat amat
mencintanya. Tidak mengherankan apabila suami isteri ini hidup penuh kerukunan,
saling mencinta dan amat sedap dipandang mata betapa sepasang suami isteri yang
keduanya sama tampan ini setiap hari berjalan-jalan di taman bunga sambil
tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata bermadu.
Karena Kiang Liat sudah tidak
ada ayah bundanya, maka Kakek Song, dibantu pula oleh Bi Li membujuknya agar
jangan buru-buru sepasang suami isteri itu pindah ke Sian-koan. Kiang Liat
tidak keberatan, karena baginya tidak ada perbedaannya. Hidupnya sekarang hanya
untuk isterinya seorang, di mana saja ia tinggal asalkan bersama isterinya, ia
sudah puas dan bahagia.
Juga ia tidak keberatan ketika
isterinya menyatakan kesayangannya kepada Ceng Si dan hendak menjadikan gadis
ini pelayannya dan juga kawannya bercakap-cakap apabila Kiang Liat sedang
keluar rumah. Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat tidak suka kepada gadis pelayan
ini. Sikap gadis ini mengingatkan ia kepada Pek Hoa, wanita siluman itu.
Senyuman dan lirikan mata Ceng Si yang juga manis sekali itu, apabila ditujukan
kepadanya, bukan lagi merupakan senyum dan kerling sopan dari seorang pelayan
wanita terhadap majikannya, melainkan senyum dan kerling seorang wanita muda
yang berusaha memancing hati seorang pria!
Di bagian depan telah dituturkan
betapa lihai dan licin adanya pelayan muda ini, Ceng Si telah melihat keadaan
Kiang Liat, tentu saja memilih majikannya ini daripada Cia Sun. Ia pikir lebih
baik memikat hati majikannya ini yang terang-terangan sudah menjadi suami nona
majikannya. Kalau ia bisa menarik hati Kiang Liat dan menjadi kekasih atau bini
mudanya, hidupnya terjamin dan ia akan menjadi seorang nyonya ke dua yang
terhormat. Dengan kecantikannya yang lumayan ia berdaya upaya untuk menarik
hati Kiang Liat.
Akan tetapi alangkah kecewa
dan mendongkolnya hati gadis pelayan ini ketika pada suatu hari, dalam
pertemuan empat mata dengan Kiang Liat di ruang belakang, majikannya ini
membentaknya perlahan,
˜Ceng Si, jangan kau main
gila! Aku tidak suka kau tersenyum dan memandang kepadaku seperti itu. Nyonyamu
akan menjadi salah mengerti dan akan marah kepadamu. Jangan kau berani ulangi
lagi, mengerti?!
Tentu saja Ceng Si merasa
seakan-akan mukanya ditampar. Sambil menangis ia berlari masuk ke dalam
kamarnya, di mana ia membanting diri di atas pembaringan dan mengangis
terisak-isak. Hatinya perih sekali, apalagi kalau ia teringat bahwa impiannya
buyar seperti asap tertiup angin. Ternyata suami nonanya itu bukan laki-laki
biasa, bukan laki-laki mata keranjang seperti kebanyakan laki-laki di masa itu.
Akan tetapi Ceng Si tidak
kehilangan akal. Ia mulai membujuk Bi Li, bahkan akhirnya berani mengancam
dengan menyindir bahwa kalau Bi Li tidak mau membantunya, ia akan membuka
rahasia tentang hubungan nonanya ini dengan Cia Sun dahulu sebelum menikah!
Akhirnya, Bi Li menjumpai suaminya dan ketika mereka bercakap-cakap gembira, Bi
Li berkata perlahan,
˜Suamiku, kelak kalau kau
mempunyai niat untuk mengambil seorang isteri ke dua, aku baru merasa rela dan
senang hati kalau kau mengambil Ceng Si sebagai bini mudamu.!
Kiang Liat terkejut sekali dan
ia membelalakkan matanya. ˜Eh, apa, apa yang kau ucapkan ini? Bagaimana kau
bisa bicara seperti ini, isteriku? Bagaimana kau bisa bicara tentang aku
mengambil bini muda?!
Bi Li memeluk suaminya dan terseyum.
˜Mengapa begitu saja kau kaget? Bukankah sudah menjadi kebiasaan umum di
kalangan bangsawan dan hartawan untuk mengambil bini muda sampai tiga empat
orang? Tentu saja aku lebih bersukur kalau kau tidak melakukan ini, akan tetapi
kalau terpaksa... ambillah Ceng Si, pelayanku yang setia itu.!
˜Omongan apa ini? Aku takkan
menikah lagi dengan siapapun juga! Aku cinta kepadamu dan kau seorang bagiku
sudah cukup. Mengapa mesti menurut kebiasaan gila itu? Apalagi harus mengambil
Ceng Si? Ah...! Tidak, seribu kali tidak!! kata-katanya ini diucapkan
keras-keras dan mereka tidak tahu bahwa Ceng Si mendengarkan di luar jendela.
Gadis ini menjadi pucat mendengar ucapan keras dari Kiang Liat dan untuk kedua
kalinya, ia menangis di kamarnya.
Setelah yakin bahwa usahanya
mendekati Kiang Liat tidak berhasil dan harapannya untuk menjadi isteri ke dua
dari Kiang Liat sudah tidak mungkin lagi, Ceng Si mengambil jalan ke dua. Kini
ia mengalihkan perhatiannya kepada Cia Sun dan mulailah ia mengadakan hubungan
dengan siucai itu. Mulailah ia memeras Bi Li untuk memberi uang dan perhiasan
kepada Cia Sun melalui dia. Bahkan ia berani menyampaikan pesan Cia Sun, minta
perhiasan rambut kupu-kupu dan bunga cilan yang amat indahnya itu.
Bi Li tidak berani menolak.
Nyonya muda ini maklum bahwa ia telah berada dalam kekuasaan Ceng Si dan Cia
Sun. Sekali saja ia menolak permintaan mereka dan mereka menyampaikan
rahasianya kepada suaminya, akan celakalah dia! Bi Li terlalu mencinta suaminya
dan baru sekarang terbuka matanya bahwa dahulu dia tertipu. Bahwa Cia Sun
mencintanya karena dia cantik dan terutama sekali karena dia kaya. Dan ia pun
kini tahu pula bahwa antara Cia Sun dan Ceng Si terdapat perhubungan yang
kotor. Baru terbuka matanya betapa rendah dan jahatnya siasat dua orang itu
terhadapnya, dan dia menyesal. Pernikahannya dengan Kiang Liat membuat Bi Li
merasa berbahagia sekali, akan tetapi ia menjadi gelisah kalau teringat akan
ancaman-ancaman dari Ceng Si dan Cia Sun.
Ia tahu bahwa nasibnya
terletak di dalam genggaman tangan Ceng Si, pelayan ini telah berhasil
mendapatkan surat yang dahulu ia tulis untuk Cia Sun, dan dengan surat inilah
Ceng Si selalu mengancamnya apabila minta sesuatu.
Bi Li tidak berani membuka
semua rahasia ini kepada suaminya. Kalau saja ia berani melakukan hal ini,
kiranya semua akan beres dan takkan timbul urusan besar. Ia belum dapat
menyelami jiwa yang gagah dari suaminya, tidak mengenal akan watak orang-orang
gagah di dunia kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan dan menghargai
kejujuran. Bi Li merasa ngeri untuk menceritakan tentang urusannya dan
kesulitannya itu kepada suaminya. Ia takut kalau-kalau disangka yang
bukan-bukan, disangka berlaku tidak senonoh di waktu dahulu. Padahal, kalau ia
bercerita terus terang, Kiang Liat akan dapat mempertimbangkannya dengan
bijaksana. Sayang seribu sayang bahwa Bi Li tidak berani membuka rahasia,
bahkan menutupinya dengan penuh rasa khawatir, dan ia memberikan apa saja yang
dikehendaki oleh Ceng Si dan Cia Sun sehingga banyak uang dan perhiasan mengalir
keluar!
Keadaan ini berlangsung terus
tanpa diketahui oleh Kiang Liat dan beberapa bulan kemudian Kiang Liat mengajak
isterinya pindah ke Sian-koan. Tadinya Kiang Liat segan mengajak Ceng Si, akan
tetapi atas desakan Bi Li, terpaksa Ceng Si ikut juga, menjadi pelayan pribadi
Bi Li.
Setahun kemudian, Bi Li
melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami isteri itu merasa
girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im Giok. Mula-mula Bi Li
memang khawatir kalau suaminya kecewa, karena pada masa itu, para ayah ingin
melihat anaknya lahir laki-laki. Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang
lain. Ia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat
berterima kasih. Cinta kasihnya terhadap suaminya makin menebal. Hidup nyonya
muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si
dan Cia Sun.
Cia Sun telah mendapatkan
banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, berubah menjadi seorang
pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya,
dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka. Setelah Bi Li dan
suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar di
dalam sebuah hotel itu. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap
hari hanya berpesiar! Perhubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada
halangan.
Pada suatu hari, ketika Bi Li
dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li berkata dengan nada
penuh keheranan,
˜Suamiku, Im Giok mempunyai
muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa.!
Kiang Liat terkejut bukan
main. ˜Apa katamu? Pek Hoa siapa...?!
Bi Li juga terkejut, merasa
bahwa ia telah kelepasan bicara, maka dengan muka kemerahan ia berkata,
˜Enci Pek Hoa adalah seorang
dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau mentertawakan aku dan mengira aku
tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka selama ini aku
tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau-kalau kau akan mentertawakan aku.!
˜Coba ceritakan, isteriku. Aku
takkan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan bagaimana kau bisa bertemu dengan
dia?! tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar gelisah.
Bi Li lalu menceritakan
tentang pertemuannya dengan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat yang dipuji-pujinya
sebagai seorang dewi yang amat cantik jelita. Kiang Liat mendengarkan penuturan
isterinya itu dengan mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak sekali. Tahu
lah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa dapat datang mencarinya ke Sian-koan
setelah mendengar dari Bi Li bahwa dia adalah murid dari Han Le!
˜Pek Hoa-cici baik sekali,
suamiku. Dia bilang bahwa kelak dia akan datang menjenguk kalau aku sudah
mempunyai anak...!
Makin gelisah hati Kiang Liat.
Akan tetapi dia diam saja, tidak berani ia menerangkan kepada isterinya yang
lemah itu bahwa sebenarnya orang yang dikira dewi oleh isterinya itu bukan lain
adalah seorang iblis wanita yang amat jahat!
Semenjak mendengar penuturan
isterinya itu, Kiang Liat selalu bersikap waspada. Tiap malam ia diam-diam
melakukan penjagaan, takut kalau-kalau iblis wanita itu datang mengganggunya.
Oleh karena kewaspadaannya inilah maka ia mulai melihat sesuatu yang amat
mencurigakan di waktu malam. Kadang-kadang ia mendengar suara kaki kuda yang
datang dari jauh kemudian berhenti di belakang rumahnya, agak di luar pagar
kebun bunga kecil yang berada di belakang rumah. Kadang-kadang pula ia
mendengar suara orang bercakap-cakap di tengah malam menjelang pagi!
Hatinya mulai curiga dan pada
malam hari itu, ketika mendengar suara kuda berhenti di belakang, ia diam-diam
turun dari pembaringan lalu berjalan keluar melalui pintu belakang. Waktu itu
telah menjelang fajar dan ia membuka pintu perlahan-lahan, mengintai keluar.
Ia melihat sesosok bayangan
keluar dari pintu samping, berlari-lari ke arah taman bunga. Kemudian, bayangan
ini bertemu dengan bayangan lain yang memasuki pintu pagar yang agaknya sudah
dibuka dari dalam. Hati Kiang Liat berdebar gelisah. Melihat gerak-gerik dua
orang itu, mereka adalah orang-orang biasa dan sama sekali tidak seperti
gerakan orang yang pandai ilmu silat, apalagi kalau yang datang Pek Hoa tentu
tidak demikian caranya.
Ketika ia menyelinap dan
bersembunyi di balik batang pohon kembang, Kiang Liat merasa mendongkol bukan
main karena ia mengenal bahwa bayangan yang keluar dari pintu samping itu
adalah Ceng Si. Pelayan wanita yang muda, genit dan cantik ini telah mengadakan
pertemuan dengan seorang laki-laki muda yang datang menunggang kuda!
˜Hm, benar-benar sial!!
pikirnya. ˜tidak tahunya pelayan kita ini adalah seorang yang tidak tahu malu
sekali. Mengadakan pertemuan dengan laki-laki di tengah malam, mencemarkan nama
kehormatan keluargaku! Dia harus diusir pergi!
Dua orang itu bicara
bisik-bisik dengan mesra sekali sehingga Kiang Liat malu untuk muncul. Ia
menanti sampai Ceng Si yang kelihatan memberikan sesuatu kepada laki-laki itu
kembali ke dalam rumah, kemudian ia mendengar laki-laki itu menunggang kudanya
kembali yang dibalapkan cepat-cepat pergi dari situ.
Kiang Liat menjadi bingung.
Haruskah hal ini ia beritahukan kepada Bi Li? Isterinya kelihatan begitu cinta
dan sayang kepada Ceng Si dan kalau saat ini ia beritahukan, apakah tidak akan
membikin isterinya berduka?
Kemudian ia teringat akan
sesuatu. Ada hal yang amat mengherankan hatinya, yakni persediaan uangnya cepat
sekali berkurang bahkan isterinya yang ia tahu mempunyai banyak uang, cepat
sekali kehabisan uang. Apakah Ceng Si tidak melakukan pencurian? Tadi ia
melihat gadis pelayan itu memberi sesuatu kepada kekasihnya, apakah itu bukan
uang atau benda berharga?
Berpikir sampai di sini, kembali
Kiang Liat tertegun. Ia sudah lama tidak melihat isterinya memakai perhiasan!
Bahkan perhiasan berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang dulu ia berikan kepada
Bi Li sebagai emas kawin, tak pernah menghias rambut isterinya itu? Ia memang
seorang laki-laki yang tidak begitu peduli tentang segala macam perhiasan, maka
hal ini terlewat begitu saja dari perhatiannya. Memang pernah secara
iseng-iseng ia bertanya kepada isterinya mengapa tidak pernah memakai
perhiasan, akan tetapi isterinya menjawab,
˜Untuk apakah semua perhiasan
itu? Aku sudah menikah dengan kau, bahkan sekarang sudah menjadi ibu, tak perlu
lagi kiranya bersolek.!
Jawaban ini menyenangkan
hatinya, karena Kiang Liat sendiri suka akan kesederhanaan, maka ia tidak
bertanya lebih lanjut. Sekarang melihat peristiwa yang terjadi di taman bunga
timbul berbagai dugaan di dalam hatinya. Tak salah lagi, mungkin sekali Ceng Si
melakukan pencurian. Siapa tahu kalau isterinya kehilangan semua perhiasan itu,
akan tetapi tidak berani bilang karena takut. Isterinya begitu lemah dan begitu
sayang kepada Ceng Si.
Kiang Liat tidak dapat tidur.
Pada keesokan hatinya, ia bangun dengan kepala pusing. Pagi-pagi sekali Ceng Si
sudah datang membawa segala keperluan isterinya, bahkan dengan amat rajin dan
telaten pelayan ini mengurus Im Giok dengan penuh kasih sayang. Isterinya juga
kelihatan begitu berterima kasih kepada Ceng Si sehingga ia tidak tega untuk
menimbulkan urusan itu.
˜Lebih baik kutangkap jahanam
itu!! pikir Kiang Liat dengan gemas. Benar, itulah jalan satu-satunya agar
tidak menyinggung perasaan isterinya. Ia harus menangkap laki-laki yang sering
kali datang menemui Ceng Si, kemudian memaksanya mengaku!
Beberapa hari kemudian, pada
suatu pagi, Cia Sun mengaburkan kudanya dengan cepat. Seperti biasa, malam tadi
ia mengadakan pertemuan dengan Ceng Si di taman bunga dan setelah meninggalkan
tempat pertemuan rahasia itu, ia membawa sekantung uang dan beberapa potong
benda berharga. Sambil membalapkan kudanya, Cia Sun tersenyum-senyum gembira.
Betapa ia takkan merasa girang? Ceng Si telah menjadi kekasihnya, dan dengan
bantuan kekasihnya ini, ia dapat menggerogoti kekayaan keluarga Kiang. Song Bi
Li atau Nyonya Kiang yang sudah berada di dalam cengkeramannya itu tidak
berdaya dan terpaksa menuruti segala permintaannya.
˜Ceng Si memang manis dan
cerdik,! pikir Cia Sun sambil memperlambat larinya kuda karena ia telah tiba di
luar kota dan merasa aman. ˜Surat Bi Li padaku masih ada disimpannya dan dengan
surat itu, ia dapat menakut-nakuti Bi Li. Sekali saja surat itu diperlihatkan
kepada suaminya, tentu ia akan celaka.!
Biarpun sudah banyak uang yang
diperasnya dari Bi Li, namun tetap saja Cia Sun merupakan seorang miskin. Semua
uang itu dihabiskan di atas meja perjudian, dipakai poya-poya dengan sahabat-sahabatnya
dan pendeknya, Cia Sun hidup sebagai pemuda kaya-raya yang royal dan mata
keranjang.
Tentu saja Ceng Si tidak tahu
akan hal ini dan sama sekali tidak pernah menduga. Pelayan yang cantik ini
mabuk oleh janji-janji Cia Sun yang menuturkan bahwa semua uang dan barang itu
disimpannya baik-baik untuk dipergunakan sebagai modal dan bekal hidup kelak
apabila mereka telah hidup sebagai suami isteri!
Selagi Cia Sun enak-enak
mencongklang kudanya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda
yang dilarikan cepat sekali. Cia Sun tidak menyangka buruk dan mengira bahwa
ada orang berkuda hendak lewat mendahuluinya, maka ia minggirkan kuda
tunggangannya. Benar saja, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya
menyusul, akan tetapi, tiba-tiba orang itu setelah berada di depan Cia Sun,
menghentikan kuda sambil menarik kendali sehingga kudanya berputar dan
menghadapi kuda Cia Sun.
Melihat orang muda gagah yang
menunggang kuda itu, seketika wajah Cia Sun menjadi pucat dan dadanya berdebar
keras. Biarpun belum berkenalan namun diam-diam ia sering kali melihat dan
memperhatikan suami Bi Li dan orang yang kini mencegatnya bukan lain adalah
Kiang Liat, suami Bi Li! Akan tetapi, sastrawan muda ini dapat menenangkan hati
dan memaksa diri tersenyum.
˜Tuan siapakah dan ada
keperluan apa dengan siauwte?! tanya Cia Sun dengan suara ramah-tamah, sikap
seorang terpelajar yang sopan-santun.
Akan tetapi Kiang Liat tidak
tertipu oleh sikap ini. Telah beberapa kali Kiang Liat mengintai di dalam taman
dan tahulah ia bahwa pemuda itu diam-diam telah mengadakan hubungan rahasia
dengan Ceng Si dan gadis pelayan itu memberi barang-barang berharga kepadanya.
Tentu saja Kiang Liat merasa marah dan curiga. Dari mana Ceng Si bisa
mendapatkan barang-barang berharga dan uang?
˜Bangsat kecil, tak perlu kau
berpura-pura dan bermanis mulut. Aku sudah melihat dan tahu akan semua
perbuatanmu di dalam taman rumahku. Ayo sekarang kau mengaku, siapa namamu dan
mengapa kau berani mampus memasuki taman mengadakan pertemuan dengan pelayan
kami!! Kiang Liat melompat turun dari kudanya dan memandang kepada Cia Sun
dengan sinar mata mengandung ancaman, sedangkan pecut kudanya dipegang
erat-erat di tangan kanan.
Dapat dibayangkan betapa kaget
hati Cia Sun mendengar ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa suami Bi Li ini
sudah melihatnya mengadakan pertemuan dengan Ceng Si. Sampai di manakah
pengetahuan orang she Kiang ini? Tanpa disadarinya, saking gelisah dan
kagetnya, Cia Sun mengerling ke arah kantung uang yang berada di atas punggung
kuda.
˜Ya, itu pun kau terima dari
Ceng Si! Hendak kulihat, apakah isinya!! kata pula Kiang Liat sambil melangkah
maju.
Tentu saja Cia Sun tidak
menghendaki hal ini terjadi. Ia tahu bahwa barang-barang dan uang yang kini
dibawanya adalah milik hartawan muda ini yang diterima oleh Ceng Si dari Bi Li.
Maka ia lalu mengambil sikap seakan-akan ia marah besar.
˜Manusia kurang ajar! Apakah
kau hendak merampok?! bentaknya sambil mencambuk kudanya. ˜Aku tidak kenal
padamu dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Pergi!!
Akan tetapi Kiang Liat mana
mau melepaskannya? Sekali mengulur lengan, Kiang Liat sudah menangkap
pergelangan tangan Cia Sun dan sebelum sastrawan bermoral bejat ini tahu apa
yang terjadi, ia telah diseret turun dari atas kuda!
˜Keparat busuk, kau tidak
lekas-lekas mau mengaku?! bentak Kiang Liat yang sudah menjadi marah melihat
sikap orang itu.
Cia Sun yang terbanting dari
atas kuda merasa pantatnya sakit sekali. Sambil meringis ia merayap bangun. Ia
maklum bahwa pengakuan berarti mencari celaka, maka ia memberanikan diri,
mengangkat dada dan berkata,
˜Kau ini orang gila atau orang
mabuk? Kalau kau hendak merampok, carilah saudagar-saudagar yang kaya, jangan
mengganggu seorang siucai yang miskin seperti aku!!
Makin mendongkol hati Kiang
Liat. Melihat sikap pemuda sastrawan ini, terang sekali baginya bahwa ia
menghadapi seorang yang curang dan palsu.
˜Jahanam, jangan kau
berpura-pura lagi. Sudah beberapa kali aku melihat kau mengadakan pertemuan
dengan pelayan kami di taman. Kau tidak mau lekas-lekas mengaku? Atau menanti
sampai aku turun tangan memukulmu?!
˜Mengaku apa? Aku tidak pernah
melakukan hal yang kau sebutkan tadi. Aku tidak bersalah apa-apa...!
Kiang Liat marah sekali. Kaki
kirinya bergerak menendang dan tersungkurlah Cia Sun. Baiknya Kiang Liat masih
belum tahu akan semua perbuatan Cia Sun yang disangkanya hanya seorang pemuda
yang main gila dengan gadis pelayannya saja. Maka tendangannya itu perlahan
saja dan hanya cukup membikin Cia Sun roboh tanpa menderita luka berat. Akan tetapi
cukup membikin Cia Sun merintih-rintih karena pahanya yang tertendang terasa
sakit bukan main. Beberapa kali ia mencoba untuk bangun, akan tetapi tak dapat
sehingga akhirnya ia menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil memandang
kepada Kiang Liat dengan muka pucat.
˜Hayo lekas mengaku! Jangan
menanti sampai aku naik darah dan memukul kepalamu sampai hancur!!
Cia Sun mulai ketakutan.
Tempat itu sunyi dan masih pagi sekali, dan melihat sepak terjang Kiang Liat,
ia maklum bahwa ia takkan mungkin dapat melawan. Apalagi, memang ia telah
mendengar bahwa hartawan muda she Kiang ini adalah seorang ahli silat yang amat
tinggi kepandaiannya.
˜Ampunkah hamba Wangwe...!
katanya dan tiba-tiba sastrawan muda ini berlutut! Kiang Liat memandang dengan
hati merasa sebal sekali. Benar-benar ia menghadapi seorang pemuda yang
mempunyai martabat rendah sekali.
˜Jangan banyak aksi, lekas
mengaku!! bentaknya.
˜Hamba akan mengaku terus
terang. Sesungguhnya, telah lama hamba berkenalan dengan Nona Ceng Si. Hubungan
hamba dengan dia sudah berjalan beberapa tahun, semenjak dia belum pindah ke
Siang-koan. Hamba tidak melakukan sesuatu yang jahat, dan hubungan hamba dengan
Ceng Si berdasarkan suka sama suka... harap Wangwe sudi memberi maaf.!
˜Kau selalu menerima bungkusan
dan kantung dari Ceng Si, apakah isinya?!
Cia Sun menyembunyikan rasa
takutnya. ˜Hanya... hanya makanan dan masakan, Wangwe. Ceng Si seringkali
memberi makanan kepada hamba...!
˜Bohong!! bentak Kiang Liat
dan dua kali ia menggerakkan tangan, kantung yang masih di atas sela kuda Cia
Sun telah diambilnya. Ia membuka kantung itu dan berjatuhanlah isinya ke atas
tanah. Uang emas, perak yang jumlahnya tidak sedikit.
˜Makanan kau bilang? Hayo
bilang, dari mana kau mendapatkan ini semua?!