-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 06-10
Setelah suara suling itu makin
terdengar jelas karena sudah dekat, tiba-tiba Hong Beng menahan langkah kakinya
dan berkata, “Ahh, orang yang tidak tahu diri itu datang lagi rupanya!”
Lili tidak sempat bertanya
karena kakaknya menggandeng tangannya dan diajak berlari cepat menuju ke puncak
dari mana terdengar suara suling yang makin nyaring menusuk telinga itu.
Ketika mereka tiba di tempat
itu, Lili memandang ke depan dengan penuh keheranan. Di atas tanah yang rata
nampak dua orang sedang bergerak cepat dan aneh.
Yang satu adalah seorang kakek
berambut serta berjenggot putih yang bergerak-gerak sambil meniup suling,
sedangkan yang seorang lagi adalah seorang setengah tua yang bergerak
menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menyambar kelinci.
Dengan kedua tangan Lili
menutup telinganya karena suara suling yang amat nyaring itu benar-benar
membuat telinganya terasa sakit. Ada pun Kam Seng yang datang sambil
terengah-engah kelelahan, memandang pula dengan terheran-heran dan melongo,
akan tetapi Hong Beng berdiri diam dan matanya memandang tajam ke arah dua
orang yang sedang bertempur itu.
Kakek tua itu bukan lain
adalah Pok Pok Sianjin sendiri. Memang kelihatannya sangat aneh. Sungguh pun
kakek itu meniup suling dengan enaknya dan lagu yang tertiup dari sulingnya
terdengar merdu, akan tetapi suara suling itu sangat nyaring dan seakan-akan
mengandung tenaga gaib yang mengeluarkan hawa pukulan.
Buktinya, sungguh pun orang
yang meloncat-loncat menyerang itu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk
memukul atau menendang, akan tetapi dia selalu terpental kembali sebelum dapat
menyentuh tubuh Pok Pok Sianjin. Hawa yang keluar dari tiupan suling itu
mengandung tenaga lweekang dan khikang yang membuatnya tertangkis dan terdorong
oleh tenaga yang tidak kelihatan!
“Orang itu adalah seorang jago
silat yang mahir ilmu silat Pek-eng Kun-hoat (Ilmu Silat Garuda Putih). Telah
beberapa kali ia datang minta berpibu (mengadu ilmu silat) dengan Suhu, akan
tetapi Suhu tidak mau meladeninya. Ternyata sekarang dia datang kembali,
benar-benar orang tak tahu diri!”
Baru saja Hong Beng berkata
demikian, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuh orang
yang menyerang Pok Pok Sianjin itu terlempar ke belakang, jatuh bergulingan. Akan
tetapi dia cepat melompat bangun kembali dan memandang ke arah orang yang
tertawa tadi. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Mo-kai Nyo Tiang Le yang
entah kapan sudah berada di tempat itu pula! Tentu saja Lili merasa heran
karena tadi supek-nya tertinggal di belakang, mengapa sekarang telah
mendahuluinya berada di tempat itu?
Orang yang terguling tadi
setelah memandang kepada Mo-kai Nyo Tiang Le, lalu menjura dan berkata, “Mo-kai
(Pengemis Setan), aku telah menerima pengajaran darimu, lain kali pasti bertemu
pula!” Setelah berkata demikian, dia lalu melompat jauh dan menghilang di bawah
gunung!
Nyo Tiang Le bergelak-gelak
dan Pok Pok Sianjin lalu menyimpan kembali sulingnya.
“Mo-kai, kau masih saja
bertangan jail, pukulanmu Soan-hong-jiu (Pukulan Kitiran Angin) telah membuat
dia menjadi gentar dan pergi dengan hati mendendam kepadamu!”
Tadi Nyo Tiang Le memang sudah
melancarkan dorongan dari jauh, dan hanya dengan angin pukulannya saja telah
berhasil mendorong orang tadi hingga roboh, sungguh dapat dibayangkan betapa
hebatnya kepandaian Pengemis Setan ini! Ia tersenyum dan berkata sambil
menghela napas,
“Pok Pok Sianjin, kenapa kau
suka melayani segala macam orang seperti dia? Bukankah dia adalah sute dari Ban
Sai Cinjin? Aku pernah melihat orang tadi, karena itu aku berani mendorongnya
agar dia jangan mengganggu kau orang tua lebih lanjut.”
Pok Pok Sianjin
mengangguk-angguk, “Memang, dia adalah adik seperguruan Ban Sai Cinjin dan
namanya Lu Tong Kui. Ia menjagoi di Lok-yang dan telah beberapa hari ini ia
merengek-rengek dan mendesak untuk mengadakan pibu. Tentu saja aku menolaknya,
akan tetapi ia mendesak terus dan menyatakan bahwa jauh-jauh dari Lok-yang ia
datang untuk menguji kepandaianku. Aku tidak tega maka terpaksa melayaninya
bermain-main sebentar.”
Nyo Tiang Le kembali tertawa,
kini makin keras. “Ha-ha-ha, kau orang tua benar-benar keterlaluan! Kau bilang
tidak tega akan tetapi kau telah mainkan Seng-im-khikang. Kalau aku tidak
buru-buru mendorongnya roboh dengan Soan-hong-jiu, apakah dia tidak akan
menderita luka-luka hebat di dalam tubuhnya akibat kena serangan hawa dari
sulingmu? Ha-ha-ha!”
Pok Pok Sianjin juga tertawa.
“Apa kau kira aku sekejam itu? Aku baru mempergunakan Seng-im Khikang setelah
yakin bahwa dia cukup kuat untuk menghadapi itu! Ehh, Setan Tua, kau baik
sekali. Telah lama aku merasa rindu padamu, apakah kau datang hendak
menantangku main catur?”
Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa
bergelak. “Asal bertaruh minum arak baik, siapa takut akan kepandaian caturmu?”
Pada saat itu, Hong Beng
menarik lengan tangan adiknya dan diajak berlutut di hadapan Pok Pok Sianjin.
“Suhu, ini adalah adik teecu yang bernama Lili!”
Pok Pok Sianjin memandang
kepada Lili, mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berkata, “Seperti
ibunya... seperti ibunya...!”
Sementara itu, Nyo Tiang Le
memandang kepada Hong Beng dan berkata, “Inikah putera Pendekar Bodoh? Pantas
sekali! Jadi kau orang tua sudah menerima kehormatan untuk mendidik putera
Pendekar Bodoh? Satu kehormatan besar dan kau beruntung sekali Pok Pok
Sianjin!”
Mendengar ini, Hong Beng cepat
membantah, “Bukan Suhu yang mendapat kehormatan besar dan keberuntungan,
Locianpwe, akan tetapi adalah teecu yang mendapat karunia besar!”
Nyo Tiang Le mengangkat
alisnya dengan heran dan kemudian tertawa dengan senang. “Anak ini pandai
membawa diri seperti ayahnya!”
Pengemis Setan itu menuturkan
kepada Pok Pok Sianjin tentang pertemuannya dengan sute-nya Lo Sian dan
menceritakan pula pengalaman Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti. “Kini sute-ku
sedang menuju ke timur untuk memberi kabar kepada Pendekar Bodoh. Sementara
itu, aku akan menanti di sini dan melatih anak ini, sambil menanti datangnya
orang tuanya yang tentu akan menjemputnya.”
Bukan main girangnya hati Hong
Beng mendengar bahwa adiknya akan tinggal di sana untuk beberapa lama dan ayah
ibunya akan datang pula ke sana. Ketika Nyo Tiang Le menceritakan pula mengenai
riwayat Kam Seng, Pok Pok Sianjin merasa kasihan juga. “Biar pun bakatnya
kurang, namun ia cocok menjadi murid Sute-ku,” kata Nyo Tiang Le.
Kemudian dua orang tua itu
lalu masuk ke dalam pondok dan bermain catur, sedangkan Hong Beng bersama Lili
dan Kam Seng lalu bermain-main di sekitar puncak Beng-san itu. Kam Seng merasa
kagum dan tunduk kepada Hong Beng yang selain berkepandaian tinggi juga amat
ramah kepadanya.
Sejak hari itu juga, Lili
tinggal di puncak Beng-san dan mendapat latihan ilmu silat dari Nyo Tiang Le.
Dasar otaknya terang dan dia memang sudah memiliki dasar kepandaian yang
diajarkan oleh ayah ibunya semenjak dia masih kecil, maka sebentar saja dia
telah mendapat kemajuan yang amat cepat.
Juga Kam Seng mulai menerima
latihan-latihan atas petunjuk Lili dan Hong Beng, karena Nyo Tiang Le hanya
memberi petunjuk-petunjuk teorinya saja sehingga anak yatim piatu itu berlatih
di bawah pengawasan Hong Beng dan Lili!
Hong Beng sendiri dengan amat
tekun dan rajinnya mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, terutama sekali
ilmu silat tongkat yang sudah menjadi keahlian Pok Pok Sianjin dan sudah
menjunjung tinggi namanya sebagai ahli silat kelas satu dan tokoh terbesar dari
dunia persilatan sebelah barat!
Oleh karena mendapat didikan
ilmu silat dari seorang ahli, dan pula karena kini tinggal bersama kakaknya,
Lili sampai lupa bahwa ayah ibunya yang ditunggu-tunggu ternyata belum juga
datang, biar pun dia telah berada di atas puncak Beng-san sampai berbulan
lamanya!
Kenapa sampai demikian lama
Cin Hai dan Lin Lin tidak menyusul anaknya di Beng-san, padahal sebagaimana
telah diceritakan di bagian depan, pasangan suami isteri pendekar ini dalam
perjalanannya kembali dari Kansu, hendak mampir dulu dan menengok putera mereka
di puncak bukit itu?
Sesungguhnya, Pendekar Bodoh
dan isterinya sudah menemui peristiwa yang hebat dan yang membuat mereka belum
juga tiba di Beng-san…..
********************
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin telah mendapat keterangan dari orang-orang
Turki kawan-kawan mendiang Yousuf, bahwa menurut dugaan mereka, tidak salah
lagi pembunuh Yousuf dan penculik Lili adalah seorang peranakan Tionghoa Turki
yang bernama Bouw Hun Ti. Maka mereka lalu kembali ke timur, mengambil jalan
sebelah utara di sepanjang tapal batas Propinsi Kansu dengan Mongolia Dalam.
Mereka mengambil keputusan untuk sekalian mampir di Beng-san dan menengok
putera mereka yang berlatih silat di bawah pimpinan Pok Pok Sianjin.
Puncak Beng-san terletak di
Pegunungan Lu-liang-san yang panjang, maka bila mereka mengambil jalan di
utara, mereka akan melewati Lu-liang-san.
Pada suatu hari mereka tiba di
sebuah kota yang bernama Po-kwan, dan kota ini berada di tapal batas Mongolia
Dalam, di lembah Sungai Huang-ho yang saat itu belum begitu besar airnya. Kota
Po-kwan cukup ramai dan suami isteri ini di samping melihat-lihat kota yang
belum pernah dikunjunginya ini, juga mereka bertanya-tanya kalau-kalau ada Bouw
Hun Ti di daerah itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun melihat orang she Bouw
yang dicari-carinya itu.
Karena itu dua hari kemudian,
Cin Hai dan Lin Lin keluar dari kota Po-kwan dan hendak melanjutkan perjalanan
menuju ke Pegunungan Lu-liang-san melalui Sungai Huang-ho. Tetapi, baru saja
mereka keluar dari kota Po-kwan, mereka bertemu dengan orang-orang yang tak
pernah mereka sangka-sangka akan bertemu di situ.
Mereka sedang berjalan keluar
dari kota untuk menuju ke sungai yang berada di sebelah timur kota, dan
mendadak dari sebuah tikungan mereka melihat seorang laki-laki berusia empat
puluhan tahun berjalan cepat sekali di depan mereka. Lin Lin memandang tajam,
karena dari belakang dia serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi baru saja
dia hendak bertanya kepada suaminya, Cin Hai telah mendahuluinya dan berseru
girang,
“Lie-suheng…!”
Laki-laki itu terkejut
mendengar seruan ini, lantas segera menghentikan tindakan kakinya dan cepat
membalikkan tubuh. Wajahnya nampak tua dan muram sekali, sungguh pun ia masih
kelihatan tampan dan gagah. Kumisnya sudah mulai putih tak terurus sedangkan
jenggotnya juga panjang tak terpelihara. Pakaiannya tidak karuan, bahkan ada
beberapa bagian yang sudah robek-robek didiamkannya saja.
Akan tetapi ketika melihat Cin
Hai dan Lin Lin, untuk sekejap matanya bersinar-sinar, dan Cin Hai beserta
isterinya yang cepat berlari menghampiri orang itu hanya melihat betapa
kegembiraan itu berlangsung sebentar saja. Orang itu segera menundukkan muka
dan menjadi muram kembali, seakan-akan merasakan kesedihan yang luar biasa
besarnya.
“Sie-sute, kaukah ini? Dari
manakah kau dan Sumoi, kau juga baik-baik saja, bukan?” Suaranya rata dan tidak
berirama, tanda bahwa dia sedang menderita kesedihan besar sekali.
Cin Hai segera memegang tangan
orang itu setelah memberi hormat. “Lie-suheng, kau kenapakah?”
“Lie-suheng, agaknya kau amat
bersedih. Dimanakah Enci Im Giok?” tanya pula Lin Lin.
Orang itu memandang kepada
mereka ganti berganti, kemudian tiba-tiba dari sepasang matanya keluarlah air
mata yang lalu membanjir turun membasahi kedua pipinya. Bukan main kagetnya Cin
Hai dan Lin Lin melihat keadaan orang itu. Cin Hai segera menariknya dan
mengajaknya duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan segera mendesak kepada
orang itu untuk menceritakan apakah sebenarnya yang menyusahkan hatinya.
Siapakah orang ini? Para
pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa orang
ini bukan lain adalah Lie Kong Sian, murid mendiang Bu Pun Su, guru Cin Hai dan
Lin Lin. Karena ada hubungan perguruan ini, maka Lie Kong Sian masih terhitung
suheng (kakak seperguruan) dari Cin Hai dan Lin Lin.
Dalam cerita Pendekar Bodoh
dikisahkan bahwa Lie Kong Sian ini telah berjodoh dengan seorang pendekar wanita
baju merah yang amat lihai dan yang bernama Kiang Im Giok atau lebih terkenal
lagi dengan nama julukannya, Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Lie Kong Sian
tinggal bersama isterinya di sebuah pulau, yaitu Pulau Pek-lek-to yang terletak
di dekat pantai laut Tiongkok sebelah timur.
Sejak Lie Kong Sian bersama
isterinya mengunjungi Cin Hai dan Lin Lin untuk datang menyaksikan upacara
pernikahan kedua adik seperguruannya itu, hingga kini baru sekali mereka saling
bertemu. Hal itu terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu baru saja
setahun mereka saling berpisah. Akan tetapi semenjak itu, mereka tak pernah
saling bertemu kembali. Bahkan ketika Cin Hai dan Lin Lin mengunjungi Pulau
Pek-le-to pada lima tahun yang lalu sambil mengajak kedua anak mereka, pulau
itu ternyata kosong dan tidak diketahui ke mana perginya Lie Kong Sian dan
isterinya.
Supaya lebih jelas bagi para
pembaca yang belum membaca buku Pendekar Bodoh, baiknya diterangkan kembali
bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan boleh
disamakan dengan kecantikan seorang bidadari dari kahyangan. Dalam usia tiga
puluh tahun lebih, yaitu pada saat ia menikah dengan Lie Kong Sian, ia masih
nampak cantik jelita dan muda bagaii seorang dara berusia tujuh belas tahun
saja.
Hal ini bukan saja memang pada
dasarnya dia cantik jelita, akan tetapi sebagian besar adalah karena pengaruh
semacam telur mukjijat, yakni telur Pek-tiauw (Rajawali Putih). Nona Baju Merah
ini sangat sayang akan kecantikannya dan untuk menjaga ini dia tidak segan-segan
untuk mencari telur burung rajawali putih yang amat sukar didapatkannya. Karena
khasiat telur inilah, maka ia selalu nampak cantik dan muda selalu.
Kecantikannya ini ditambah
lagi dengan keahliannya bermain silat yang luar biasa, yaitu ilmu sliat yang
disebut juga Ilmu Silat Tarian Bidadari, sehingga kalau ia sudah mainkan ilmu
pedangnya dengan ilmu silat ini, maka ia benar-benar merupakan seorang bidadari
yang sedang menari dengan indahnya!
Tidak heran bahwa banyak
sekali hati pemuda-pemuda runtuh karena kecantikannya ini, bahkan Cin Hai
sendiri pernah tergila-gila kepada Ang I Niocu. Akan tetapi Ang I Niocu
mempunyai watak yang amat keras dan angkuh. Semua pinangan pemuda-pemuda yang
gagah dan tampan itu ditolaknya belaka, bahkan pemuda-pemuda itu diejeknya
sehingga banyak yang patah hati.
Pada akhirnya ia bertemu
dengan Lie Kong Sian yang menjatuhkan hatinya karena budi kebaikan pemuda ini
dan pula karena pemuda ini memiliki ilmu silat tinggi yang sanggup
mengalahkannya. Akhirnya mereka menikah dan hidup penuh kebahagiaan di atas
Pulau Pek-lek-to yang merupakan sorga bagi mereka. Pulau ini sangat subur dan
juga indah sekali pemandangannya.
Dua tahun setelah mereka
menikah, Ang I Niocu mengandung. Semenjak mengandung, pendekar wanita ini merasa
tubuhnya tidak enak sekali dan sifatnya yang keras itu kini timbul kembali,
bahkan semakin menghebat. Sering kali dia marah-marah besar kepada suaminya
hanya karena urusan kecil saja.
Akan tetapi Lie Kong Sian yang
amat mencinta isterinya dan sangat sabar itu, mampu menghiburnya dan selalu
mengalah dalam segala hal. Akhirnya terlahirlah seorang bayi laki-laki dan
keduanya merasa amat berbahagia kembali. Bersama dengan kelahiran itu lenyaplah
semua sifat pemarah, akan tetapi tubuh pendekar wanita itu masih saja sering
kali merasa tidak enak sekali dan kepalanya pening.
Perubahan besar nampak terjadi
pada dirinya, biar pun terjadinya secara sangat lambat dan perlahan. Akan
tetapi tiga tahun kemudian, perubahan ini sudah menjadi sedemikian hebatnya.
Rambut Ang I Niocu yang tadinya hitam dan panjang berombak itu lambat laun
menjadi putih dan penuh uban! Kulit mukanya yang tadinya halus dan
kemerah-merahan itu lambat laun menjadi keriputan dan menghitam!
Kini melihat kecantikannya
melenyap dengan perlahan akan tetapi tentu, seperti penyakit yang memakan habis
kecantikannya itu sekerat demi sekerat, bukan main penderitaan batin yang
dirasakannya sehingga hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali ia melihat
wajahnya pada bayangannya di dalam air, ia menangis tersedu-sedu dengan hati
hancur.
Lie Kong Sian berdaya upaya
menghiburnya, juga mengobatinya, akan tetapi semuanya percuma belaka.
“Isteriku…,” katanya menghibur
pada saat isterinya menangis tersedu-sedu sambil terus menarik-narik rambutnya
yang telah menjadi putih hingga banyak yang terlepas dari kulit kepalanya,
“betapa pun juga, dan apa pun yang akan terjadi dengan kau, aku akan tetap
mencintamu dengan tulus ikhlas dan suci. Jangan kau bersedih, isteriku...”
Akan tetapi kata-kata ini
bahkan makin menghancurkan hati Ang I Niocu. Dengan suara terputus-putus dia
berkata, “Ahh... bagaimanakah ini...? Mengapa Thian mengutuk diriku begini
hebat...? Aku baru berusia hampir empat puluh, mengapa rambutku sudah putih
semua, kulitku menjadi rusak seperti ini? Mana kecantikanku yang dulu...? Ah,
aku malu, aku malu...!” Ia lalu menangis dengan amat sedihnya.
“Im Giok, jangan kau berkata
demikian. Kecantikan hanyalah keindahan lahir belaka dan kau tahu bahwa cintaku
kepadamu bukan hanya berdasarkan kecantikanmu.” Akan tetapi segala macam
hiburan tak dapat memuaskan hati Ang I Niocu.
Ia dan suaminya maklum bahwa
kecantikannya yang dipengaruhi oleh obat telur rajawali putih itu memang
mempunyai batas dan syarat yang amat berat. Syarat itu ialah apa bila seorang
yang menjadi cantik karena telur itu melahirkan seorang anak, maka kecantikan
itu tidak saja akan lenyap, bahkan usianya akan bertambah dengan cepat dan
berlipat ganda, sehingga dalam usia empat puluh tahun, ia menjadi seorang yang
usianya hampir delapan puluh tahun!
Akhirnya, setelah tersiksa
oleh kesedihan sendiri sampai hampir gila, pada suatu pagi Lie Kong Sian
mendapatkan isterinya sudah minggat dari pulau itu mempergunakan sebuah sampan
dan membawa serta anaknya!
‘Suamiku yang baik,’ demikian
bunyi surat yang ditinggalkan oleh Ang I Niocu untuk Lie Kong Siang ‘ampunilah
dosaku yang amat besar kepadamu. Aku tidak kuat lagi menahan derita sehebat
ini, maka lebih baik aku keluar dari kehidupanmu, agar aku tidak menyeret kau
yang berbudi ke dalam jurang kehinaan. Biarlah aku pergi mengasingkan diri.
Anak kita kubawa dan sisa hidupku akan kugunakan untuk mendidik dan menurunkan
ilmu silat kepadanya agar dia menjadi seorang yang berbudi dan gagah. Selamat
tinggal suamiku! Kalau aku sudah mati, anak kita tentu akan mencari ayahnya
untuk berbakti!’
Bukan main terkejutnya hati
Lie Kong Sian membaca surat peninggalan isterinya yang tercinta itu. Dia cepat
menyusul dan mengejar, akan tetapi karena air tak meninggalkan jejak isterinya,
dia lalu mengejar ke lain jurusan, akan tetapi tetap tak dapat menemukan isteri
dan anaknya. Ketika itu anaknya baru berusia tiga tahun lebih.
Hancurlah kehidupan Lie Kong
Sian. Dunia terasa kosong dan hidup terasa merupakan penderitaan dalam neraka.
Ia kemudian merantau dan mencari-cari jejak isterinya hingga bertahun-tahun.
Kalau dulu ia merupakan
seorang yang amat tampan dan biar pun sederhana akan tetapi selalu berpakaian
pantas, sekarang dia telah berubah sama sekali. Dia menjadi seorang pendiam,
bahkan kadang kala bagaikan orang gila. Demikianlah keadaan Lie Kong Sian yang
secara kebetulan berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin.
Tadinya Lie Kong Sian merasa
segan untuk menceritakan penderitaannya ini, tapi karena di dunia ini tidak ada
orang lain yang lebih pantas mendengar tentang penderitaannya itu kecuali Cin
Hai, ia lalu menceritakan semua itu sambil bercucuran air mata.
Cin Hai dan Lin Lin merasa
terharu sekali mendengar hal ini. Dengan air mata berlinang Cin Hai menegur
suheng-nya, “Suheng, ada terjadi hal seperti itu, mengapa Suheng tidak
cepat-cepat datang ke Shaning dan memberi tahu kepada kami supaya kami dapat
ikut mencari ke mana perginya Ang I Niocu?”
Di dalam lubuk hatinya, Cin
Hai merasa amat sayang dan mencinta Ang I Niocu, walau pun cintanya itu sudah
berubah menjadi cinta seorang adik kepada kakaknya, atau lebih dari itu hampir
seperti cinta seorang anak kepada ibunya.
Lin Lin merasa lebih terharu
lagi. Dia sangat mencinta Ang I Niocu yang dahulu pernah membelanya tanpa
mempedulikan keselamatan jiwa sendiri. Maka kini mendengar mala petaka yang
menimpa diri Ang I Niocu, dia kemudian menangis terisak-isak tanpa dapat
mengeluarkan kata-kata sedikit pun!
Setelah puas menangis dan
menumpahkan rasa sedih di dalam dada di tempat mereka bertemu itu, Lie Kong
Sian lalu bertanya mengapa kedua suami isteri itu bisa berada di tempat itu.
Cin Hai lalu menuturkan
tentang penculikan atas diri Lili puteri mereka dan pembunuhan yang dilakukan
oleh Bouw Hun Ti kepada Yousuf.
Mendengar ini, bukan main
marahnya Lie Kong Sian dan sambil menghela napas berat ia berkata, “Ah, mengapa
selalu orang-orang yang tak berdosa menerima siksaan hidup? Kenapa bahkan
orang-orang yang selalu menjunjung kebaikan dan keadilan yang harus menderita
banyak susah?”
“Suheng, biarlah aku dan
isteriku membantu usahamu mencari tempat persembunyian Niocu dan anakmu, dan
aku akan membujuknya agar suka kembali kepadamu.”
Lie Kong Sian menghela napas.
“Agaknya sulit sekali. Selain ia pandai menyembunyikan diri, juga hatinya amat
keras dan sekali dia sudah mengambil keputusan, sukarlah untuk mengubahnya.
Akan tetapi, biarlah kita mengambil jalan masing-masing, Sute. Kau boleh
membantuku mencari isteriku, dan kau percayalah, apa bila sampai aku bertemu
dengan orang she Bouw itu, pasti akan kubalaskan sakit hati Yo-pekhu dan
kurampas kembali puterimu.”
Cin Hai yang maklum akan adat
dan sifat Ang I Niocu yang keras, diam-diam merasa bahwa apa bila dia yang
membujuk, agaknya masih ada harapan, akan tetapi terhadap Lie Kong Sian dia
diam saja.
Mereka lalu berpisah dan suami
isteri itu memandang Lie Kong Sian yang berjalan pergi dengan muka tertunduk
itu. Bukan main terharu hati mereka dan Lin Lin menggunakan sapu tangan untuk
menahan isaknya ketika dia melihat suheng-nya itu berjalan bagaikan mayat
hidup, lemah tak bertenaga dan limbung.
“Kasihan sekali Suheng...,”
kata Cin Hai sambil menghapus air mata yang berlinang pada pelupuk matanya.
Karena Cin Hai pernah
mengadakan perjalanan di daerah utara bersama Ang I Niocu, yaitu pada waktu
terjadi perebutan Pulau Emas antara kerajaan pihak Turki dan pihak Mongol, maka
Cin Hai mendapat dugaan bahwa Ang I Niocu tentu menyembunyikan diri di
Pegunungan Im-san atau Gobi-san di utara.
Oleh karena itu, ia menunda
maksudnya menuju ke Beng-san menengok puterinya dan sebaliknya dia bersama
isterinya segera membelok ke utara dan mencari Ang I Niocu di daerah Mongol!
Inilah sebabnya maka sampai berbulan-bulan ia dan isterinya belum juga tiba di
Beng-san di mana Lili dengan aman sudah belajar silat di bawah asuhan Mo-kai
Nyo Tiang Le si Pengemis Setan yang lihai…..
********************
Lo Sian Sin-kai atau Si
Pengemis Sakti dengan cepat melakukan perjalanan seorang diri menuju ke Shaning
di Propinsi An-hui untuk mencari Cin Hai dan mengabarkan tentang Lili yang kini
berada di puncak Gunung Beng-san. Seperti biasanya tiap kali mengadakan
perantauan, Pengemis Sakti ini tiada hentinya mengulurkan tangan memberi
pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas hingga namanya makin
terkenal sebagai seorang pendekar budiman.
Setelah tiba di Shaning,
dengan amat mudahnya ia mendapatkan rumah Ciri Hai. Siapa orangnya di Shaning
yang tidak mengenal nama Pendekar Bodoh? Akan tetapi, alangkah kecewa dan
kagetnya pada saat melihat bahwa rumah dari Pendekar Bodoh itu tertutup, bahkan
masih ada kain putih tergantung di depan pintu, tanda bahwa rumah itu belum
lama ini menderita kematian seorang keluarga dekat.
Lo Sian segera mencari
keterangan kepada orang-orang di situ dan bukan main marah serta kecewanya
ketika mendengar bahwa ayah angkat Nyonya Sie sudah terbunuh oleh seorang
peranakan Turki, dan bahwa di samping melakukan pembunuhan yang kejam, penjahat
itu pun menculik puteri dari Pendekar Bodoh.
Sampai lama Lo Sian tertegun
mendengar ini. Tak disangkanya bahwa orang brewok yang menculik Lili bahkan
telah membunuh pula ayah angkat dari ibu anak itu!
“Bangsat besar Bouw Hun Ti,”
bisiknya gemas sambil mengertakkan gigi, “benar-benar kau mencari mampus berani
memusuhi keluarga Pendekar Bodoh!”
Lo Sian lalu bertanya kepada
orang yang memberi keterangan kepadanya ke mana perginya Pendekar Bodoh dan
isterinya. Ketika mendapat jawaban bahwa kedua suami isteri pendekar itu pergi
mengejar dan mencari si penculik dan pembunuh, Lo Sian lalu cepat-cepat
meninggalkan kota Shaning setelah memberi sesampul surat pada tetangga dekat
rumah Cin Hal itu dengan pesanan bahwa apa bila pendekar besar itu pulang, agar
supaya suratnya itu diberikan kepadanya.
Dalam surat itu ia menulis
bahwa Lili telah tertolong dan kini berada di puncak Beng-san bersama Mo-kai
Nyo Tiang Le yang hendak mengunjungi Pok Pok Sianjin. Kemudian dia lalu pergi
keluar dari kota dan menuju ke Bukit Beng-san untuk memberi laporan kepada
suheng-nya, dan juga untuk melanjutkan melatih dua orang muridnya, yaitu Lili
dan Kam Seng.
Tentu saja ia tidak berani
lagi menganggap Lili sebagai muridnya, karena setelah kedua orang tua anak itu
menjemput dan membawanya pulang, sudah tentu jauh lebih baik bila Lili mendapat
pelajaran dari ayah ibunya sendiri yang mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi
dari padanya.
Pada suatu hari, dalam
perjalanannya menuju ke Beng-san, dia tiba di kota Li-coan dan ketika dia lewat
di depan sebuah rumah makan, bau arak yang sangat sedap menarik hatinya dan
menimbulkan seleranya yang amat kuat akan arak wangi. Dia lalu masuk ke dalam
rumah makan itu dan memesan seguci arak yang paling baik. Pada pelayan yang
memandangnya dengan mata curiga, ia lalu memperlihatkan sepotong uang emas yang
kiranya cukup untuk membayar harga lima guci arak!
Pelayan itu memandang dengan
mata terbelalak dan sambil pergi untuk mengambilkan arak pesanan Lo Sian, ia
menggerutu, “Sungguh aneh sekali dunia ini! Aku yang bekerja keras siang malam
tanpa kenal lelah, belum pernah mempunyai sekeping emas murni! Akan tetapi,
hari ini aku melihat seorang setengah gila mempunyai banyak uang emas dan
seorang pengemis berbaju tambalan memperlihatkan sepotong emas besar! Aneh,
aneh... dunia memang tidak adil!”
Lo Sian tersenyum seorang
diri. Biar pun pelayan itu bicara dengan perlahan akan tetapi telinga Lo Sian
yang tajam dapat mendengar ucapan ini dan diam-diam ia membenarkan keluh kesah
pelayan itu.
Memang kalau dipikir-pikir
sungguh mengherankan. Orang-orang yang bekerja, semakin berat pekerjaannya,
makin kecillah penghasilannya. Lihat saja para pembesar tinggi yang kerjanya
hanyalah naik turun kereta, naik turun kursi kebesaran, di mana-mana menjual
lagak, membentak-bentak rakyat dan cukup memberi cap kebesarannya saja,
hidupnya mewah dan penghasilannya berlebihan sungguh pun penghasilannya itu didapat
dengan jalan yang tidak halal!
Pada waktu pelayan itu datang
mengantar arak yang dipesannya, tiba-tiba saja terdengar suara dari sudut ruang
rumah makan itu yang membentak si pelayan.
“Hai, kau boleh menggerutu
seorang diri, akan tetapi, jangan kau bawa-bawa aku pula! Aku mempunyai banyak
emas bukan dengan jalan mencuri atau pun merampok, karena itu tutuplah
mulutmu!”
Lo Sian terkejut. Orang itu
duduknya cukup jauh dari tempat pelayan tadi menggerutu, maka kalau orang dapat
mendengar gerutuan si pelayan, dapat diduga bahwa orang itu memiliki
pendengaran yang luar biasa tajamnya! Ia menengok dan memperhatikan orang itu.
Ternyata bahwa orang itu
bertubuh tegap, berwajah gagah sekali dan sepasang matanya berpengaruh, membuat
orang tak berani bertemu pandang terlalu lama dengan dia. Akan tetapi,
keadaannya memang patut disebut kurang beres ingatan sebab selain pakaiannya
tidak karuan macamnya, juga orang itu membiarkan rambut kepalanya bergantungan
di depan matanya. Kumis dan jenggotnya juga menjungat ke sana kemari tanpa
terpelihara sedikit pun juga dan wajahnya muram dan gelap.
Orang ini juga telah memesan
arak wangi serta meminumnya tidak melalui cawan seperti orang biasa, melainkan
menenggaknya langsung dari mulut guci yang besar! Bahkan di atas mejanya telah
ada sebuah guci yang kosong sedangkan guci ke dua telah diminum setengahnya.
Sekali pandang saja, tahulah
Lo Sian bahwa orang itu tentu seorang yang pandai, akan tetapi ia belum pernah
melihat orang ini sungguh pun pengalaman Lo Sian cukup banyak di dunia
kang-ouw. Ia tidak tahu apakah orang ini termasuk golongan pendekar perantau
seperti dia sendiri ataukah dia termasuk tokoh dari golongan hek-to (golongan
hitam dan penjahat), maka ia tidak berani sembarangan menegur dan berkenalan.
Melihat pula sikap yang keras
dan pemarah dari orang itu dan wajahnya yang muram, Lo Sian mengira bahwa orang
itu tentulah seorang tokoh liok-lim (jagoan rimba hijau) yang ganas dan kejam.
Maka sesudah menghabiskan araknya, dia lalu membayar dan hendak keluar dari rumah
makan itu.
Akan tetapi, baru saja ia
berdiri dan hendak keluar, tiba-tiba ia menjadi pucat karena dari luar masuk
dua orang yang bukan lain adalah Bouw Hun Ti serta seorang setengah tua yang
memakai ikat kepala lebar! Sebaliknya, pada saat Bouw Hun Ti melihat Lo Sian,
ia tertawa bergelak dan berkata kepada kawannya itu,
“Ha-ha-ha-ha, Susiok.
Lihatlah, dicari ke ujung langit tak bersua, jika tidak dicari si anjing she Lo
menyerahkan diri!”
Sementara itu, Lo Sian maklum
bahwa orang she Bouw tentu takkan melepaskannya dan terpaksa dia harus melawan
mati-matian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berkata,
“Bouw Hun Ti, kau manusia
kejam dan hina-dina! Baru sekarang aku tahu bahwa selain menculik puteri
Pendekar Bodoh secara amat pengecut, kau pun telah membunuh Yousuf dengan kejam
dan tak kenal malu!”
“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis
jembel! Bagaimana orang macam kau dapat mengatakan bahwa aku pengecut dan tidak
kenal malu? Coba terangkan, apa sebabnya kau berani berkata demikian.”
“Hemm, kau melakukan kekejaman
itu pada waktu Pendekar Bodoh dan isterinya tidak berada di rumah! Apakah itu
boleh disebut kelakuan seorang yang gagah? Kau memang pengecut!”
Merahlah wajah Bouw Hun Ti dan
dengan amat marah ia membentak,
“Manusia jembel yang akan
mampus! Kau telah merampas anak perempuan itu dengan cara yang lebih pengecut
lagi. Tempo hari kalau kau tidak mengandalkan bantuan Mo-kai Nyo Tiang Le
suheng-mu yang gila itu, kau telah mampus di tanganku! Nah, bersedialah untuk
mampus!”
Sambil berkata demikian, Bouw Hun
Ti mencabut goloknya dan bagaikan seekor harimau kelaparan dia menyerang dengan
hebat sambil menendang meja yang menghadang di depannya sehingga meja itu
terbang dan menimpa meja-meja lain.
Lo Sian berlaku waspada dan
cepat menangkis, sehingga sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sambil
menendang meja bangku untuk mencari ruang luas. Kali ini Lo Sian berlaku
hati-hati sekali. Ia tahu bahwa kepandaian orang she Bouw ini lebih tinggi dari
pada kepandaiannya sendiri dan bahwa akhirnya dia takkan dapat menang apa bila
pertempuran itu dilanjutkan.
Apa lagi menurut
pendengarannya tadi, Bouw Hun Ti menyebut susiok (paman guru) kepada orang yang
berikat kepala lebar itu, maka dapat dibayangkan pula betapa tinggi kepandaian
orang itu. Jalan keluar sudah tidak ada, maka tiada lain jalan bagi Lo Sian
melainkan melawan mati-matian dan tak akan menyerah kalah begitu saja.
“He, pengemis jembel!”
tiba-tiba orang yang disebut susiok oleh Bouw Hun Ti itu berkata. “Katakan saja
di mana adanya anak yang kau culik itu. Bouw Hun Ti, biar dia memberi
pengakuan, baru kita ampunkan jiwa anjingnya!”
Akan tetapi, sebagai seorang
gagah, tentu saja Lo Sian tidak sudi bersikap lemah. Lebih baik mati dari pada
menyerah dan membuat pengakuan yang berarti merendahkan nama kehormatan
sendiri, demikianlah pendirian tiap orang gagah.
“Keparat!” serunya sambil
menangkis serangan golok Bouw Hun Ti yang menyambar cepat. “Apa bila hendak
mengeroyok, majulah saja. Aku Sin-kai Lo Sian bukanlah orang yang takut mati!”
“Bedebah!” kawan Bouw Hun Ti
itu berseru marah, “Hun Ti, jangan memberi hati kepada manusia rendah ini!”
Sambil berkata demikian, ia pun melangkah maju hendak mengirim serangan dengan
tangan kosong.
Akan tetapi, pada saat itu,
dari ujung ruangan itu menyambar sebatang tali sutera hitam yang meluncur
bagaikan seekor ular hidup dan tahu-tahu golok Bouw Hun Ti kena dilibat oleh
tali itu. Pada saat tali itu dibetot keras, Bouw Hun Ti berteriak kaget karena
tenaga betotan tali itu luar biasa sekali kuatnya sehingga terpaksa ia
melepaskan goloknya!
Pada saat itu, susiok dari
Bouw Hun Ti yang bukan lain adalah Lu Tong Kui atau sute Ban Sai Cinjin yang
pernah menyerbu ke Beng-san untuk mencoba kepandaian Pok Pok Sianjin kemudian
dikalahkan oleh Nyo Tiang Le, sudah melepaskan pukulan ke arah Lo Sian. Sungguh
pun pukulan itu dilakukan dari tempat yang jauhnya lebih dari setombak, akan
tetapi Lo Sian sampai terhuyung ke belakang, terdorong oleh sambaran angin yang
luar biasa kuatnya! Lo Sian terkejut sekali dan cepat mengerahkan tenaga pada
kedua kakinya untuk menahan keseimbangan tubuhnya.
Melihat betapa golok Bouw Hun
Ti dapat terlepas dengan amat mudah oleh tali sutera yang kecil, Lu Tong Kui
menjadi terkejut dan juga marah. Ia cepat-cepat menengok dan ternyata yang
melepas tali sutera itu adalah seorang yang pakaiannya tidak karuan dan yang
kini telah berdiri dengan mata memancarkan cahaya berapi. Ada pun Lo Sian yang
melihat penolongnya, juga menjadi terkejut dan girang pula karena yang
menolongnya itu adalah orang yang disangka gila tadi!
“Bouw Hun Ti!” terdengar orang
itu berkata, suaranya tenang akan tetapi seperti juga pandang matanya, suara
itu sangat berpengaruh, “kebetulan sekali kita bertemu di sini. Memang aku
sedang mencari-cari kau dan hendak membunuhmu!”
Setelah berkata demikian,
kembali ia menggerakkan tangan kanannya dan sutera hitam yang panjang itu
meluncur bagaikan cambuk dan mengirim serangan totokan hebat ke arah jalan
darah di leher Bouw Hun Ti. Orang she Bouw ini cepat mengelak, akan tetapi
bagaikan bermata dan hidup, ujung sutera hitam itu meluncur dan mengejar dan
masih saja mengancam jalan darahnya.
Bouw Hun Ti menjadi pucat,
terpaksa menangkis dengan tangannya dan ia pun berteriak kaget ketika merasa
betapa tangannya seakan-akan beradu dengan mata pedang yang taiam. Ia cepat
menarik kembali tangannya dan sutera hitam itu meluncur terus ke arah lehernya!
Pada saat yang amat berbahaya
bagi Bouw Hun Ti itu, Lu Tong Kui tidak tinggal diam. Ia berseru keras dan
sambil mencabut pedangnya ia lalu melompat dan membabat ke arah sutera hitam
itu.
Sutera hitam itu bergerak
mengelak dan tidak sampai terbabat oleh pedangnya, namun Bouw Hun Ti terbebas
dari bahaya maut. Sesungguhnya kalau sampai sutera hitam itu menotok jalan
darah pada lehernya, maka lehernya akan pecah dan ia akan binasa pada saat itu
juga!
“Eh, sahabat, siapakah kau?
Mengapa kau memusuhi Bouw Hun Ti?” tanya Lo Tong Kui sambil melintangkan
pedangnya pada dada.
Orang itu tersenyum mengejek.
“Lu Tong Kui, kau tentu tidak mengenalku, akan tetapi aku tahu bahwa kau dan
murid keponakanmu ini adalah orang-orang jahat yang patut sekali dikirim ke
neraka!”
“Bangsat!” Lu Tong Kui memaki
marah. “Apa kau kira aku takut kepadamu?”
“Majulah,” orang itu berkata
dengan suara yang masih tenang, “sesudah kau berhadapan dengan Lie Kong Sian,
tak perlu menjual banyak lagak lagi!”
Mendengar nama ini, tidak saja
Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti yang merasa kaget, akan tetapi Lo Sian juga
tertegun dan memandang dengan penuh perhatian dan kagum. Akan tetapi ia merasa
ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, pendekar yang bernama Lie Kong Sian
dan yang menjadi suami dari pendekar wanita Ang I Niocu yang sangat terkenal,
kabarnya berwajah tampan dan gagah. Mengapa orang ini seperti orang gila dan
berwajah muram?
Nama Ang I Niocu sudah amat
terkenal dan tak seorang pun di kalangan kang-ouw yang belum mendengar namanya
sungguh pun jarang yang pernah bertemu dengan pendekar wanita itu. Kalau Ang I
Niocu yang tersohor gagah perkasa itu kabarnya masih kalah oleh suaminya yang
bernama Lie Kong Sian, maka tentu saja nama ini menggetarkan hati Lu Tong Kui
dan Bouw Hun Ti!
Apa lagi Bouw Hun Ti, oleh
karena sebagai suheng dari Pendekar Bodoh yang sudah diganggunya, dibunuh
mertuanya dan diculik puterinya, tentu saja Lie Kong Sian takkan memberi ampun
kepadanya! Lo Sian menjadi girang sekali.
“Hemm, kaukah yang bernama Lie
Kong Sian, pendekar dari Pulau Pek-le-to itu? Tidak kusangka bahwa orangnya
ternyata hanya sebegini saja!” Lu Tong Kui mengejek untuk memperbesar semangat
sendiri, kemudian tanpa menanti jawaban ia menyerang dengan pedangnya.
Lie Kong Sian cepat-cepat
mengelak sambil mencabut keluar pedangnya pula. Pedang ini bersinar gemilang
dan sangat tajam, karena ini adalah pedang Cian-hong-kiam yang dahulu dia
terima dari isterinya sebagai tanda perjodohan ketika belum menikah. Dengan
gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya, Lie Kong Sian membalas dengan
serangan hebat sehingga Lu Tong Kui harus mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian supaya jangan sampai dirobohkan dengan mudah.
Bouw Hun Ti yang melihat
susiok-nya terdesak, lalu mengambil kembali goloknya yang tadi terlepas dari
pegangan, lalu membantu susiok-nya itu mengeroyok Lie Kong Sian.
Lo Sian tentu saja tidak mau
mendiamkan hal ini, maka dia pun bergerak maju sambil berseru, “Bangsat
pengecut, jangan main keroyokan!”
Akan tetapi Lie Kong Sian lalu
berkata kepadanya, “Sahabat, jangan kau turut campur! Biarkan aku sendiri
memberi hajaran kepada penculik rendah ini. Yang diculik adalah keponakanku,
maka aku yang berhak menghajar!”
Mendengar suara ini, Lo Sian
melangkah mundur lagi karena ia tidak mau menyinggung perasaan pendekar gagah
itu. Pula, dia melihat betapa Lie Kong Sian biar pun dikeroyok dua, tapi masih
dapat mendesak dua lawannya, dan maklum pula bahwa kepandaiannya sendiri masih
kurang kuat sehingga bantuannya malah hanya merupakan gangguan saja bagi
pergerakan Lie Kong Sian.
Memang ilmu pedang dari Lie
Kong Sian bukan main hebatnya. Pendekar ini adalah murid dari mendiang Han Le
Sianjin yang menjadi sute dari Bu Pun Su, maka tentu saja ilmu kepandaiannya
sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Biar pun Lu Tong Kui dan Bouw
Hun Ti juga bukan sembarang orang dan kepandaian mereka sudah termasuk tinggi
dan lihai, namun menghadapi Lie Kong Sian, mereka tidak banyak berdaya dan
setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, maklumlah mereka bahwa kalau
dilanjutkan mereka tentu akan roboh di tangan pendekar besar dari Pulau
Pek-le-to ini.....
Lu Tong Kui adalah seorang
yang licik dan juga pandai melihat gelagat. Dari pada roboh di tangan Lie Kong
Sian, lebih baik melarikan diri saja, pikirnya. Ia tak usah merasa malu
melakukan hal ini, karena kalah dalam pertandingan melawan seorang gagah
perkasa seperti Lie Kong Sian, bukanlah merupakan hal yang amat memalukan.
“Mari kita pergi!” katanya
dengan cepat sambil menyerang hebat ke arah kedua kaki Lie Kong Sian.
Bouw Hun Ti memang sudah
mengeluarkan keringat dingin karena takut dan gelisahnya. Kini mendengar ucapan
susiok-nya yang dibarengi dengan serangan hebat sehingga Lie Kong Sian tidak
dapat menekannya, ia lalu melompat dari rumah makan.
“Bouw Hun Ti, jangan lari
sebelum lehermu kupatahkan!” Lie Kong Sian berseru sambil menyampok pedang Lu
Tong Kui dan tubuhnya lantas berkelebat keluar mengejar Bouw Hun Ti.
Karena gerak Lie Kong Sian
gesit sekali dan ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi, maka dengan dua
kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul dan mengirim bacokan dengan
pedangnya dari belakang. Bouw Hun Ti bukanlah orang lemah dan mendengar suara
angin pedang dari belakang, dia cepat membalikkan tubuh dan menangkis pedang
itu dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya.
“Trangg…!”
Goloknya beradu dengan pedang
sedemikian kerasnya hingga telapak tangannya serasa akan pecah kulitnya. Pada
saat ia melihat, ternyata bahwa goloknya telah terbabat putus menjadi dua oleh
pedang lawannya! Dan pada saat itu pula pedang Lie Kong Sian telah menyambar
dengan cepatnya menusuk dadanya.
Dengan sangat terkejut Bouw
Hun Ti melempar tubuhnya ke belakang, akan tetapi ujung pedang itu masih
menyerempet pundaknya lantas melukai kulit pundak sehingga pecah dan darah
membasahi pakaiannya! Ia terhuyung-huyung ke belakang dan tanpa tertahan lagi
tubuhnya jatuh terjengkang!
Untung baginya, pada saat Lie
Kong Sian hendak menambahkan dengan tusukan maut, datang Lu Tong Kui yang
menyerang Lie Kong Sian dari belakang sehingga pendekar Pulau Pek-le-to itu
terpaksa membalikkan tubuh untuk menghadapi Lu Tong Kui.
Bouw Hun Ti merangkak bangun
dan ketika melihat musuh tangguh itu telah ditahan oleh susiok-nya, ia lalu
melarikan diri secepatnya pergi dari tempat itu!
“Bouw Huii Ti, bangsat rendah,
jangan lari!” seru Lie Kong Sian yang hendak mengejar kembali, akan tetapi Lu
Tong Kui menyerangnya sedemikian rupa sehingga dia tak dapat melanjutkan
niatnya mengejar musuh itu.
“Orang she Lu, jangan kau
terlalu mendesak!” kata Lie Kong Sian. “Aku tidak mempunyai permusuhan denganmu
dan tidak berniat membunuhmu. Yang hendak kubikin mampus hanya bangsat rendah
Bouw Hun Ti itu. Minggirlah!”
Akan tetapi Lu Tong Kui tidak
menurut, bahkan mendesak makin hebat.
“Kalau begitu, agaknya kau pun
telah bosan hidup!” teriak Lie Kong Sian marah.
Pedangnya segera diputar cepat
sekali. Gerakannya berubah dan sekarang pedangnya merupakan seekor naga yang
ganas sekali, menyambar-nyambar tak mengenal ampun. Beberapa belas jurus Lu
Tong Kui masih sanggup mempertahankan diri, namun akhirnya dia berteriak ngeri
dan roboh tak bernyawa pula karena dadanya sudah tertembus oleh pedang di tangan
Lie Kong Sian!
Pendekar dari Pulau Pek-le-to
ini untuk sesaat lamanya berdiri kesima dan merasa agak menyesal sudah membunuh
orang ini yang sesungguhnya di luar kehendaknya semula. Kemudian ia teringat
kepada Bouw Hun Ti, lalu mengejar secepatnya ke arah orang she Bouw itu tadi
melarikan diri.
Lo Sian yang mengejar sampai
di situ merasa kagum sekali dan berseru, “Lie Kong Sian Taihiap...! Tunggu
dulu! Lili sudah berada di tangan yang aman sentosa!”
Akan tetapi Lie Kong Sian
telah pergi jauh dan Lo Sian tidak dapat menyusul kecepatan lari pendekar itu
sehingga Si Pengemis Sakti ini hanya menggeleng-geleng kepala dan kemudian
pergi dari situ, tidak mengalami kesibukan karena terjadinya pembunuhan ini.
“Bouw Hun Ti telah berada di
tempat ini dengan susiok-nya, maka tentu ia melarikan diri menuju ke tempat
tinggal gurunya yang tak jauh dari sini,” pikir Lo Sian dan ia lalu berlari
cepat menuju ke dusun Tong-si-bun, tempat tinggal Ban Sai Cinjin.
Hari telah sore ketika ia tiba
di dusun itu dan melihat betapa rumah Ban Sai Cinjin sunyi saja. Dia lalu
menuju ke hutan di mana dia bersama Lili menolong Thio Kam Seng anak yatim
piatu itu dari siksaan seorang hwesio kecil yang mendiami kuil megah dari Ban
Sai Cinjin.
Dugaannya memang tepat sekali.
Pada waktu dia tiba di dekat kuil itu, dia menyaksikan pertempuran yang hebat
sekali sedang berlangsung antara Lie Kong Sian dan Ban Sai Cinjin sendiri!
Seperti juga dulu, kembali ia mengintai dari balik tetumbuhan yang rindang,
menonton pertempuran luar biasa dahsyatnya itu.
Hwesio kecil yang kejam dulu
itu berdiri tidak jauh dari tempat pertempuran, sedangkan di dekatnya berdiri
pula Bouw Hun Ti yang bertolak pinggang. Tidak jauh dari tempat itu berdiri
pula seorang yang melihat dari keadaan pakaiannya, adalah seorang dusun yang
kebetulan lewat di situ dan telah menonton pertempuran dengan mata terbelalak
penuh kegelisahan dan ketakutan. Orang dusun ini rupanya masih muda.
Lie Kong Sian memang sudah
mendapatkan jejak musuhnya dan mengejar terus sampai ke tempat itu. Dia masih
melihat berkelebatnya bayangan Bouw Hun Ti memasuki kuil yang amat mentereng di
dalam hutan itu. Lie Kong Sian ragu-ragu untuk masuk ke dalam kuil, karena ia
adalah seorang yang menghargai peraturan dan kesopanan. Tak berani ia secara
sembarangan memasuki kuil tanpa ijin kepala hwesio yang menguasai kelenteng.
Maka ia lalu berseru keras,
“Bouw Hun Ti manusia jahat!
Janganlah kau mengotori kelenteng suci dengan telapak kakimu yang hitam!
Keluarlah untuk menerima kematian secara laki-laki!”
Beberapa kali Lie Kong Sian
berteriak-teriak dari luar kuil dan tidak lama kemudian, dari dalam kuil itu
keluar seorang gemuk pendek yang sudah tua akan tetapi wajahnya masih
kemerah-merahan tanda bahwa ia sehat sekali. Pakaiannya amat mengherankan
karena mewahnya dan rambutnya yang sudah putih itu disisir rapi dan dikuncir ke
belakang.
Di luar pakaiannya yang
terbuat dari pada sutera halus dan mahal itu, dia mengenakan sebuah baju luar
terbuat dari pada bulu yang sangat halus dan mahal. Sepatunya juga baru serta
mengkilat dan pada tangan kanannya dia memegang sebatang huncwe (pipa tembakau)
yang panjang. Kepala huncwe itu masih mengepulkan asap tembakau yang berbau
harum, tanda bahwa tembakau yang diisapnya adalah tembakau yang mahal.
Lie Kong Sian berdiri tertegun.
Dia belum pernah bertemu dengan orang ini, dan melihat potongan tubuhnya dan
huncwe yang luar biasa itu, ia menduga bahwa orang ini tentulah Si Huncwe Maut
yang terkenal pula dengan sebutan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi kenapa Ban Sai
Cinjin yang disohorkan sebagai seorang pemeluk kebatinan malah terlihat begini
pesolek? Maka Lie Kong Sian merasa ragu-ragu dan hanya memandang dengan mata
menyinarkan cahaya tajam.
Sebaliknya, kakek yang
sebenarnya memang Ban Sai Cinjin dengan tenang keluar dari kuil diikuti oleh
seorang hwesio kecil berkepala gundul dan bermata liar, lalu dia menjura kepada
Lie Kong Sian dan berkata,
“Selamat datang di kuilku ini,
Pek-le-to Taihiap (Pendekar Besar dari Pulau Pek-le-to)! Sungguh satu
kehormatan besar sekali mendapat kunjungan seorang gagah seperti kau. Hanya
anehnya, sepanjang pendengaranku, Lie Kong Sian adalah pendekar besar yang
penyabar dan tenang, akan tetapi kenapa sekarang ia mengunjungi sebuah kuil
dengan pedang di tangan dan iblis maut membayang pada mukanya?”
Ucapan ini sungguh pun cukup
pantas dan merendah, akan tetapi mengandung ejekan, terutama sekali tekanan
kata-katanya.
Lie Kong Sian juga menjura
sebagai balasan penghormatan, lalu bertanya, “Kalau tidak salah dugaanku,
Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) tentulah yang disebut Ban Sai Cinjin si Huncwe
Maut. Betulkah dugaanku ini?”
Ban Sai Cinjin tertawa dengan
suara ketawanya yang aneh.
“He-he, he-he, he-he,
he-he-he, ha-ha-ha!”
Akan tetapi dia tidak berkata
sesuatu apa pun, hanya dengan amat tenangnya kemudian mengetuk-ngetuk keluar
abu tembakau dari kepala pipanya, lantas dengan masih tenang seakan-akan sedang
menikmati waktu senggang seorang diri, dia lalu membuka kantong tembakau yang
tergantung pada pipa itu, mengeluarkan tembakau berwarna hitam yang dijemputnya
dengan ibu jari, menutup kantong itu kembali dan menggantungkannya lagi pada
pipanya. Dengan mata meram-melek ia menggelintir-gelintir tembakau itu di ibu
jari dan telunjuk tangan kiri, lalu dimasukkannya ke dalam mulut huncwe tempat
tembakau.
Setelah itu, baru ia memandang
kepada Lie Kong Sian yang menjadi gemas juga melihat sikap yang angkuh dan
memandang rendah ini.
“Kau menduga dengan tepat. Aku
telah kenal dengan mendiang gurumu, Han Le Sianjin! Lie Kong Sian, apakah
keperluanmu maka datang mengunjungi kuilku dengan pedang di tangan?”
Lie Kong Sian adalah seorang
pendekar yang jujur, tabah dan tak suka menyembunyikan perbuatannya sendiri. Ia
tahu bahwa Lu Tong Kui yang terbunuh olehnya tadi adalah sute dari Ban Sai
Cinjin, maka tak perlu kiranya ia menyembunyikan permusuhannya dengan Bouw Hun
Ti dan pembunuhannya terhadap Lu Tong Kui tadi
Maka ia berkata, “Ban Sai
Cinjin, ketahuilah bahwa aku sedang mengejar muridmu Bouw Hun Ti dan tadi
kulihat ia bersembunyi di tempat ini.”
“Hemm, memang ada muridku Bouw
Hun Ti di ruangan dalam, akan tetapi mengapakah kau mengejar-ngeiarnya dengan
pedang di tangan?”
“Muridmu telah melakukan
perbuatan yang jahat! Dia tidak saja membunuh Yousuf yang menjadi ayah angkat
Nyonya Sie Cin Hai, akan tetapi juga ia telah menculik puteri dari Pendekar
Bodoh itu. Kau tahu bahwa aku adalah Suheng dari Pendekar Bodoh, maka mendengar
kekejaman ini tentu saja aku tidak bisa tinggal diam dan berusaha membalas
dendam. Oleh karena itu, perlu pula kau ketahui untuk kau pertimbangkan, bahwa
ketika aku mengejar muridmu tadi, sute-mu Lu Tong Kui ikut menghalangiku. Sudah
kukatakan bahwa aku tidak memusuhinya, akan tetapi ia terus mendesak dan
menyerang sehingga akhirnya ia tewas di ujung pedangku!”
Hampir meledak rasa dada Ban
Sai Cinjin mendengar hal ini, akan tetapi perasaannya ini sama sekali tak
nampak pada wajahnya yang masih saja tersenyum-senyum mengejek. Akan tetapi,
jari-jari tangannya yang masih memasuk-masukkan tembakau pada kepala pipa itu
gemetar sedikit tanda bahwa dadanya bergelora karena marah.
“Hemm, hemm, jadi kau juga
sudah membunuh Sute-ku? Lie Kong Sian! Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu
untuk berbuat sesukamu terhadap murid dan Sute-ku. Kau berlaku sebagai hakim
sendiri untuk menghukum mereka. Apakah engkau sama sekali sudah tak memandang
mukaku lagi?”
“Ban Sai Cinjin, harap kau
orang tua suka mempertimbangkan secara baik-baik dan juga menggunakan cengli
(aturan). Muridmu itu sudah melakukan pembunuhan terhadap diri Yousuf dan
menculik pula puteri Sute-ku, berarti bahwa dia sengaja memusuhi Pendekar
Bodoh. Ada pun sute-mu Lu Tong Kui itu, dia mencari kematiannya sendiri karena
dialah yang mendesakku dan menghalang-halangiku mengejar muridmu yang jahat.”
“Enak saja kau bicara!”
tiba-tiba Ban Sai Cinjin tidak dapat menahan sabarnya lagi dan matanya
bersinar-sinar, dadanya berombak, akan tetapi ia masih sempat menyalakan api
untuk membakar tembakau di kepala pipanya. “Bouw Hun Ti membunuh Yousuf adalah
urusannya sendiri. Mereka sama-sama dari Turki dan urusan antara mereka tidak
ada hubungannya dengan kita! Ada pun mengenai penculikan puteri Pendekar Bodoh,
belum tentu kalau muridku bermaksud buruk. Buktinya, manakah anak yang
diculiknya itu? Kau hanya menuduh secara membuta saja. Sekarang tak perlu kau
banyak cakap lagi, paling perlu kau harus membayar hutangmu dan membalas
kematian Sute-ku!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menyedot pipanya dan
terciumlah bau asap yang sangat keras memusingkan kepala.
“Bagus!” Lie Kong Sian berseru
marah. “Kau pun hendak membela yang jahat? Majulah, jangan kira aku takut
kepadamu!”
Lie Kong Sian yang sedang
menderita kesedihan hati karena perginya isteri dan anaknya itu memang adatnya
berubah menjadi keras dan mudah marah. Keberaniannya semakin bertambah-tambah
karena ia tidak takut mati lagi setelah hidupnya mengalami kegagalan dan
kepahitan.
“Manusia sombong! Gurumu
sendiri belum tentu berani untuk bersikap sesombong ini di hadapanku. Nah, kau
mampuslah!”
Setelah berkata demikian, Ban
Sai Cinjin lalu menyemburkan asap hitam dari mulutnya. Semburan ini bukanlah
semburan biasa saja, akan tetapi yang dilakukan dengan tenaga khikang
sepenuhnya sehingga asap hitam itu menyambar cepat ke arah muka Lie Kong Sian!
Pendekar ini mengelak cepat karena tahu akan lihainya asap ini.
“Iblis tua, kau tidak malu
menggunakan kecurangan?!” Lie Kong Sian membentak marah dan menyerang dengan
pedangnya.
Akan tetapi ketika Ban Sai
Cinjin menangkis dengan huncwe-nya, diam-diam dia merasa terkejut sekali karena
ternyata bahwa tenaga lweekang dari orang tua pendek itu bukan main hebatnya
dan masih lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri!
Maka bertempurlah dua orang
berilmu itu dengan hebatnya. Pedang di tangan Lie Kong Sian bergerak cepat dan
sebentar saja tubuhnya telah lenyap di dalam gulungan cahaya pedangnya sendiri,
sedangkan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin benar-benar luar biasa. Saking
cepatnya gerakan huncwe itu, maka yang terlihat hanyalah sinar kehitaman yang
tebal dan kuat, merupakan benteng baja yang diliputi asap hitam bagaikan kabut,
yaitu asap yang keluar dari tembakaunya yang beracun!
Sesudah pertempuran berjalan
seru, barulah kelihatan Bouw Hun Ti keluar dari tempat sembunyinya dan dengan
bertolak pinggang dia lalu menonton pertempuran itu bersama pendeta cilik gundul
yang dahulu hendak membedah perut Thio Kam Seng.
Kebetulan sekali pada saat itu
di tempat itu terdapat seorang penduduk kampung muda yang datang mencari kayu
kering. Ketika ia mendengar suara senjata beradu, ia tertarik dan datang pula
ke depan kelenteng. Sekarang dia berdiri dengan mulut melongo, ketika
menyaksikan pertempuran yang luar biasa dan yang selama hidupnya belum pernah
dia saksikan itu. Ia tidak bisa melihat orang yang sedang bertempur, hanya
melihat gulungan sinar putih keemasan dari pedang Lie Kong Sian serta gulungan
sinar hitam dari huncwe Ban Sai Cinjin!
Dan pada saat pertempuran
telah berjalan lima puluh jurus lebih, datanglah Lo Sian yang mengintai dari
balik gerombolan pohon. Biar pun Lo Sian bukan seorang biasa dan telah memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi menyaksikan pertempuran ini, ia menjadi tertegun
dan kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan
yang demikian seru dan hebatnya.
Lo Sian selama ini mengagumi
kepandaian suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le yang telah mewarisi semua kepandaian
mendiang suhu-nya. Akan tetapi ketika melihat gerakan dua orang yang sedang
bertempur ini, dia merasa ragu-ragu apakah kepandaian suheng-nya itu dapat
menandingi kepandaian Ban Sai Cinjin.
Sebetulnya, dalam hal gerakan
ilmu silat, Lie Kong Sian tak usah merasa kalah terhadap Ban Sai Cinjin. Kalau
saja kakek pesolek itu mempergunakan ilmu silat biasa, agaknya tak mungkin ia
akan dapat melawan Lie Kong Sian sampai sekian lamanya.
Akan tetapi, Ban Sai Cinjin
bukan seorang ahli silat biasa. Di samping ilmu silat dia telah mempelajari
ilmu hoat-sut (sihir) dari bangsa Mongol dan di dalam gerakan huncwe-nya banyak
terdapat gerakan-gerakan aneh yang mempengaruhi pandangan mata lawan.
Sering kali huncwe itu membuat
gerakan rahasia sehingga tiba-tiba saja Lie Kong Sian merasa matanya kabur dan
pikirannya bingung. Hanya berkat lweekang-nya yang sudah tinggi dan permainan
pedangnya yang memang sudah mendekati kesempurnaan sajalah yang masih
menyelamatkan nyawanya karena lawannya tak dapat mudah membobolkan pertahanan
pedangnya.
Selain ini, juga dalam tenaga
dalam Lie Kong Sian harus mengaku kalah. Tenaga dalam yang dimiliki oleh Ban
Sai Cinjin bukanlah tenaga biasa, akan tetapi tenaga yang sudah diperkuat pula
dengan ilmu hitam dan mantera.
Sebaliknya, Ban Sai Cinjin
merasa kagum dan diam-diam juga merasa sangat penasaran sekali. Ia adalah
seorang yang belum pernah merasa dikalahkan orang, dan huncwe-nya sudah dikenal
oleh seluruh orang gagah di kalangan kang-ouw sebagai senjata yang tak terlawan
sehingga ia dijuluki Huncwe Maut. Akan tetapi, menghadapi seorang jago muda
saja sampai puluhan jurus belum juga ia dapat merobohkannya! Jangankan
merobohkan, bahkan mendesak saja dia pun tidak mampu. Maka, dengan penuh
kemarahan Ban Sai Cinjin membentak,
“Siauw-koai, Lo-koai, semua
tunduk padaku! Lie Kong Sian, ayahmu, kakekmu, gurumu, semua tunduk kepadaku.
Kau juga takut kepadaku!”
Ini adalah ucapan yang
mengandung mantera dan merupakan sihir yang luar biasa, oleh karena mendadak
Lie Kong Sian merasa berdebar-debar dan dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin
nampak sangat menakutkan dan mengerikan hati!
Kalau orang lain yang
menghadapi pengaruh ilmu hitam ini, tentu akan lemaslah seluruh tubuhnya
sehingga akan mudah sekali dirobohkan. Akan tetapi Lie Kong Sian bukanlah orang
sembarangan, tetapi telah bertahun-tahun dia tinggal menyepi seorang diri di
pulau kosong di tengah laut. Telah bertahun-tahun pula dia melakukan tapa dan
semedhi untuk memperkuat batin dan membersihkan pikiran. Banyak sekali
godaan-godaan setan yang dialaminya pada waktu ia menyepi di atas pulau itu,
dan semua rintangan dan godaan itu telah dapat dihadapinya dengan baik.
Sekarang, mendapat serangan
luar biasa dari Ban Sai Cinjin dengan ilmu hitamnya, biar pun hatinya berdebar
serta rasa takut dan ngeri meliputi hatinya, akan tetapi dia dapat memperteguh
imannya dan permainan pedangnya tidak menjadi kacau.
“Lie Kong Sian, lihat! Api
neraka membakarmu!” teriak lagi Ban Sai Cinjin sambil tiba-tiba menepuk pipa tembakaunya
dengan tangan kiri sehingga api tembakau lantas memancar keluar dari kepala
pipanya itu, menyambar ke arah Lie Kong Sian.
Pengaruh ilmu sihir membuat
api itu nampak besar bukan main dan menyambar ke arah kepalanya. Akan tetapi
Lie Kong Sian masih dapat berlaku gesit dan tidak terpengaruh oleh teriakan
yang mengandung hawa hitam itu. Dia cepat mengelak ke kiri dan sungguh pun dia
merasa terkejut sekali, namun dia masih sanggup menyelamatkan diri dari pada
serangan api tembakau beracun itu.
Tak terduga sama sekali
olehnya, bahwa diam-diam Bouw Hun Ti yang berwatak curang dan palsu itu,
melakukan kecurangan yang sangat memalukan. Pada waktu Bouw Hun Ti melihat
suhu-nya sangat sukar mengalahkan Lie Kong Sian, orang ini lalu mengeluarkan
gendewanya yang kecil akan tetapi kuat sekali. Melihat bentuknya, gendewa ini
berbeda dengan gendewa yang biasa digunakan orang Tiongkok, karena sesungguhnya
gendewa ini adalah gendewa model Turki.
Sambil memegang gendewa dengan
tangan kiri dan tiga batang anak panah pendek di tangan kanan, Bouw Hun Ti
segera bersiap-siap mencari kesempatan untuk membokong musuhnya yang sedang
bertanding melawan gurunya itu. Kesempatan itu tiba ketika Lie Kong Sian
diserang oleh api dari kepala huncwe Ban Sai Cinjin.
Bouw Hun Ti melihat betapa Lie
Kong Sian mengelak ke kiri dengan muka menunjukkan kekagetan, maka ia cepat
menggerakkan kedua tangannya dan…
“Serrr…! Serrr…! Serrr…!”
Tiga batang anak panahnya yang
pendek kecil dan warnanya hitam itu meluncur cepat sekali ke arah Lie Kong
Sian. Tiga batang senjata itu menyerang ke arah leher, ulu hati, dan bawah
pusar!
Bukan main kagetnya hati Lie
Kong Sian melihat serangan yang tiba-tiba datangnya dan tak tersangka-sangka
ini!
“Bangsat curang!” serunya
marah dan berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak cepat ke kanan dengan
miringan tubuhnya.
Memang kecepatan gerakannya
dapat menolong dirinya dari ancaman tiga batang anak panah beracun itu, akan
tetapi gerakannya ini disambut dengan serangan maut oleh Ban Sai Cinjin yang
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh Lie Kong Sian miring dan
dalam posisi yang amat lemah, huncwe-nya menyambar dan...
“Takkk!” huncwe itu dengan
tepat sekali sudah mengetuk kepala Lie Kong Sian di bagian ubun-ubunnya.
Lie Kong Sian menjerit ngeri,
tubuhnya terhuyung-huyung, terputar-putar dan pedangnya terlepas dari tangan.
Kemudian sesudah berputar beberapa kali, tubuh Lie Kong Sian terjungkal dan
roboh tertelungkup tak bergerrak lag! Ubun-ubunnya sudah pecah terkena pukulan
huncwe yang hebat itu dan nyawanya melayang pada waktu itu juga! Lie Kong Sian,
suami Ang I Niocu, pendekar besar dari Pulau Pek-le-to, kini sudah tewas dalam
keadaan yang amat mengecewakan!
Lo Sian yang mengintai dari
balik pohon, mengerutkan kening dan meramkan matanya dengan hati perih dan
ngeri. Tanpa terasa pula dua titik air mata melompat keluar dari sepasang
matanya, turun di atas pipinya. Apakah dayanya? Kepandaiannya masih tidak cukup
kuat untuk menghadapi Bouw Hun Ti, apa lagi jika menghadapi gurunya, Ban Sai
Cinjin yang amat tangguh dan kejam itu.
Sementara itu, Ban Sai Cinjin
juga tercengang melihat kecurangan muridnya. Ia menegur perlahan,
“Hun Ti, kenapa kau lancang
membantuku? Kau sudah merendahkan derajatku dengan bantuan tadi dan hatiku
tidak merasa puas sungguh pun aku telah menang dan berhasil merobohkan Lie Kong
Sian. Biar pun kau tidak membantu, akhirnya Lie Kong Sian pasti akan roboh juga
di tanganku. Mengapa kau membantu dengan jalan curang?”
“Teecu tidak tahan lebih lama
lagi melihat orang yang telah membunuh Susiok ini!” jawab Bouw Hun Ti, dan Ban
Sai Cinjin terhibur juga mendengar ini.
Tiba-tiba dia melihat pemuda
kampung itu dan membentak, “Siapa dia itu?”
“Entah, teecu juga tidak
mengenalnya,” jawab Bouw Hun Ti.
“Dia adalah seorang kampung
yang mencari kayu, Suhu,” kata hwesio cilik yang ternyata murid merangkap
pelayan dari Ban Sai Cinjin.
“Celaka, dia sudah melihat
perbuatanku terhadap Lie Kong Sian tadi, dan apa bila hal ini sampai diketahui
orang luar, aku akan mendapat malu!” kata Ban Sai Cinjin.
Tiba-tiba tubuhnya melompat
dan tahu-tahu dia telah berada di hadapan orang kampung muda yang masih berdiri
terbelalak ngeri melihat pembunuhan tadi. Kini ia menjadi makin ketakutan
ketika melihat Ban Sai Cinjin telah berada di depannya dan sebelum ia dapat
melarikan diri, Ban Sai Cinjin menyemburkan asap hitam ke arah mukanya.
Orang itu mendekap muka dengan
tangannya, terbatuk-batuk beberapa kali seakan-akan tak dapat bernapas,
kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh telentang tak bernapas
lagi. Mukanya menjadi hitam karena racun yang disemburkan melalui asap tembakau
itu! Dengan amat kejamnya, untuk menolong kehormatan dan namanya agar jangan
sampai ada lain orang tahu akan kecurangannya terhadapi Lie Kong Sian tadi, Ban
Sai Cinjin telah membunuh pemuda kampung itu begitu saja!
“Ha-ha-ha!” Bouw Hun Ti
tertawa girang. “Suhu telah membuat penyelesaian yang amat cepat dan tepat!”
“Sudahlah, kau kubur dua mayat
itu agar jangan sampai ada orang melihatnya,” kata Ban Sai Cinjin.
“Suhu, mengapa menyia-nyiakan
kesempatan baik ini?” tiba-tiba hwesio cilik itu berkata kepada gurunya.
“Jantung kedua orang ini masih segar dan mudah sekali diambil!”
Ban Sai Cinjin tertawa dan
berkata kepada Bouw Hun Ti, “Lihatlah, Sute-mu benar-benar ingin mempelajari
ilmu kebal itu dengan sempurna!”
Bouw Hun Ti hanya tersenyum
menyeringai. Dia maklum bahwa suhu-nya mempunyai ilmu kekebalan yang dapat
diturunkan kepada muridnya dengan jalan makan obat yang dicampur dengan tiga
buah jantung manusia!
“Jantung orang kampung ini
tidak bersih, tadi sudah terkena racun, karena itu tidak dapat digunakan,” kata
Ban Sai Cinjin. “Kalau jantung dia itu,” dia menunjuk ke arah tubuh Lie Kong
Sian yang masih menelungkup di atas tanah, “masih baik, akan tetapi, dia
seorang pendekar besar, aku tak sampai hati untuk membelek dada mengambil
jantungnya.”
“Biarlah murid sendiri yang
melakukan hal itu, Suhu,” kata hwesio cilik itu dengan suara memohon, “setelah
itu barulah teecu akan menguburkannya baik-baik.”
“Sesukamulah!” akhirnya Ban
Sai Cinjin berkata sambil tersenyum, dan masuklah dia ke dalam kuilnya.
“Sute, biar aku yang mengubur
orang kampung ini. Setelah kau selesai dengan yang itu, kau harus
menguburkannya sendiri baik-baik.”
Hwesio cilik itu mengangguk
kepada suheng-nya, lalu dia menghampiri mayat Lie Kong Sian dan diangkatnya
menuju ke belakang kuil. Sedangkan Bouw Hun Ti lalu mengubur mayat pemuda
kampung itu secara sembarangan saja di tempat yang agak jauh dari kuil, seperti
orang mengubur bangkai anjing saja.
Hari sudah mulai gelap dan
suasana malam itu bertambah seram dengan terjadinya dua pembunuhan itu. Di
dalam kamar dekat dapur, hwesio kecil telah menelanjangi mayat Lie Kong Sian
dan juga sudah menyediakan sebilah pisau tajam dan sebuah mangkok putih tempat
jantung yang hendak diambilnya dari dalam dada Lie Kong Sian.
Kemudian, hwesio cilik ini
mempergunakan pisaunya untuk memotong sedikit rambut dari kepala Lie Kong Sian
dan mengikatkan rambut itu pada sebatang sumpit gading yang telah disediakan.
Ia meletakkan sumpit itu di atas mangkok putih tadi, lalu ia menyalakan tiga
batang hio. Kemudian ia bersembahyang di depan mayat itu dan berkata,
“Arwah orang she Lie! Aku, Hok
Ti Hwesio, dengan sungguh hati mengundangmu untuk mengajukan beberapa
pertanyaan!”
Dia lalu membawa hio bernyala
itu dan berjalan mengitari mayat Lie Kong Sian tiga kali, kemudian dia
menancapkan ketiga batang hio itu ke dalam mulut mayat Lie Kong Sian. Sesudah
itu, dia mengambil sumpit yang telah diikat ujungnya oleh rambut Lie Kong Sian tadi,
diputar-putarkan di atas hio agar terkena asap hio sambil mulutnya
berkemak-kemik membaca mantera. Lalu dia menaruh sumpit itu di atas mangkok
lagi dan berkata,
“Arwah orang she Lie! Kalau
kau sudah masuk ke dalam sumpit ini, berputarlah!”
Sungguh aneh sekali dan
sukarlah untuk diselidiki mengapa dapat terjadi demikian, akan tetapi benar
saja sumpit di atas mangkok itu lalu terputar-putar bagaikan digerakkan oleh
tangan yang tidak kelihatan!
Hwesio cilik yang bernama Hok
Ti Hwesio itu tersenyum girang.
“Arwah orang she Lie!
Perkenankanlah aku meminjam jantung dari tubuhmu yang sudah tidak ada gunanya
lagi untuk campuran obat membuat kebal tubuhku. Kalau kau setuju, berputarlah
satu kali, kalau tidak setuju, berputarlah tiga kali!”
Hwesio itu dengan penuh gairah
memandang ke arah mangkok dan sumpit. Dan sumpit itu mulai bergerak memutar
satu kali, lalu diam, akan tetapi lalu memutar sekali lagi dan sekali lagi baru
diam tak bergerak! Ternyata bahwa kalau memang benar yang menjawab itu adalah
arwah Lie Kong Sian, maka arwah pendekar itu tidak menyetujui jantung dari
tubuhnya diambil oleh hwesio cilik ini!
Hok Ti Hwesio mengerutkan
kening dan wajahnya menjadi muram. Ia segera mencabut tiga batang hio itu
dengan kasar dari mulut mayat Lie Kong Sian, lalu mengangkat hio itu tinggi di
atas kepalanya sambil berkata,
“Arwah orang she Lie!
Ketahuilah bahwa aku, Hok Ti Hwesio, akan merawat kemudian mengubur jenazahmu
baik-baik! Dengan demikian, aku sudah melepas budi kepadamu, maka apakah kau
tidak mau membalas budi itu untuk bekal naik ke sorga? Nah, sekali lagi
kuminta, arwah orang she Lie, berikanlah jantungmu dengan rela!” Sesudah
berkata demikian, ia lalu menancapkan kembali hio itu ke dalam mulut mayat itu.
Ia menghampiri sumpit di atas mangkok dan berkata lagi,
“Nah, sekarang jawablah!
Berikan jantung tubuhmu padaku, setuju atau tidak?” Kembali sumpit itu
berputar-putar dan masih tetap... tiga kali!
Hok Ti Hwesio
membanting-banting kakinya dengan gemas sekali. Dia mengambil pisau tajam dari
atas meja dan menghampiri mayat Lie Kong Sian yang bertelanjang bulat dan
telentang di atas meja panjang.
“Baik, kau tidak setuju? Aku
tetap akan mengarnbil jantung tubuhmu, hendak kulihat kau bisa berbuat apa!
Sudah mampus kau masih saja jahat dan memusuhi kami, orang she Lie!”
Dengan muka kejam hwesio cilik
ini lalu mengangkat tangannya hendak menusuk dada mayat Lie Kong Sian, akan
tetapi pada saat itu, tiba-tiba meniup angin besar dari jendela dan api lilin
menjadi padam! Hok Ti Hwesio terkejut bukan main dan menoleh ke jendela.
Wajahnya menjadi pucat sekali karena ia melihat sebuah kepala tersembul di
jendela dan karena sekarang penerangan lilin telah padam, maka kepala itu
nampak hitam dan besar mengerikan!
Hok Ti Hwesio biar pun masih
kecil, akan tetapi karena telah menerima latihan ilmu-ilmu hitam, tidak merasa
takut terhadap segala setan dan iblis. Akan tetapi oleh karena tadi ia hendak
memaksa membedah dada mayat itu biar pun arwah si mayat tak menyetujuinya,
tentu saja kini menyangka bahwa itu adalah setan penasaran dari Lie Kong Sian
yang datang mengganggu! Ia melemparkan pisaunya ke bawah dan berlari
berteriak-teriak.
“Tolong... setan... tolong,
Suhu... ada setan…!”
Kepala yang tersembul di
jendela itu ternyata memiliki tubuh dan kini tubuhnya bergerak melompat ke
dalam kamar, lalu memondong mayat Lie Kong Sian dan cepat dibawa lagi keluar!
Bayangan yang disangka setan ini ternyata adalah Lo Sian!
Sebagaimana diketahui,
Pengemis Sakti ini mengintai dan menyaksikan betapa Lie Kong Sian terbunuh dan
betapa orang muda kampung yang tanpa disengaja menyaksikan pula pembunuhan itu,
tadi telah dibunuh secara kejam oleh Ban Sai Cinjin. Lalu ia mendengar tentang
permintaan Hok Ti Hwesio yang hendak mengambil jantung dari mayat Lie Kong
Sian.
Lo Sian tidak berani bergerak
di hadapan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Akan ketika melihat hwesio cilik itu
membawa mayat Lie Kong Sian ke belakang, ia lalu mengikuti dan mengintai dari
jendela. Sesungguhnya, perbuatan Lo Sian juga yang memutarkan sumpit gading
tadi, dengan mengerahkan khikang dan meniup dari jendela, dan dia pula yang
meniup padam api lilin!
Ketika mendengar teriakan Hok
Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti cepat-cepat memburu dan mereka masih
melihat bayangan Lo Sian membawa lari mayat Lie Kong Sian. Mereka cepat
mengejar, akan tetapi Lo Sian telah menghilang di dalam kegelapan, sebentar
saja Lo Sian telah dapat meninggalkan kedua orang pengejarnya.
“Celaka, bangsat Lo Sian telah
mengetahui peristiwa itu, bahkan dia telah membawa lari mayat Lie Kong Sian.
Hal ini pasti akan berekor panjang sekali,” Ban Sai Cinjin berkata sambil
menghela napas.
“Biarlah, apakah Suhu takut
menghadapi kawan-kawannya?” kata Bouw Hun Ti. “Kalau Pendekar Bodoh dan yang
lain-lain datang, kita gempur mereka!”
“Takut sih tidak, akan tetapi
aku merasa segan untuk bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Hidupku biasanya
senang dan aman, kini pasti akan menemui gangguan dan semua ini gara-gara kau,
Hun Ti! Karena itu, kau harus memperdalam kepandaianmu. Aku sendiri sudah malas
untuk mengajar dan jalan satu-satunya bagimu adalah pergi ke tempat pertapaan
Supek-mu.”
“Wi Kong Siansu di
Hek-kwi-san?” Bouw Hun Ti bertanya sambil membelalakkan kedua matanya.
Ban Sai Cinjin mengangguk.
“Ya, selain supek-mu itu siapa lagi yang dapat memperkuat kedudukan kita dan
dapat memberi pendidikan ilmu silat lebih jauh kepadamu?”
“Akan tetapi, bukankah Suhu
pernah menceritakan bahwa Supek telah mencuci tangan dan mengasingkan diri di
puncak Hek-kwi-san, tidak mau turut mencampuri urusan dunia lagi?”
“Benar, akan, tetapi aku sudah
tahu akan tabiat Supek-mu itu. Dia amat sayang kepada mendiang Lu Tong Kui yang
meski pun menjadi Sute, akan tetapi masih iparnya sendiri. Ketahuilah
rahasianya dulu, bahwa Enci dari Lu Tong Kui pernah mengadakan hubungan dengan
Supek-mu itu! Nah, apa bila kau membawa suratku, lantas menceritakan tentang
tewasnya Lu Tong Kui, tentu dia akan turun gunung dan memperkuat kedudukan
kita.”
“Akan tetapi, Suhu. Pembunuh
Lu Tong Kui adalah Lie Kong Sian sedangkan Lie Kong Sian telah terbalas oleh
Suhu.”
“Bodoh! Jangan kau beritahukan
bahwa pembunuh susiok-mu itu adalah Lie Kong Sian. Beritahukan saja bahwa
pembunuhnya adalah Pendekar Bodoh serta kawan-kawannya, dan bahwa matinya
akibat dikeroyok hingga tidak saja Suheng akan mendendam kepada Pendekar Bodoh,
akan tetapi juga kepada yang lainnya. Pendeknya, kalau Suheng dapat dibujuk
turun gunung dan tinggal di sini bersama kita, jangankan baru Pendekar Bodoh,
andai kata Bu Pun Su bangkit lagi dari kuburan, kita tak usah takut menghadapinya!”
Bouw Hun Ti merasa girang
sekali. “Dan bagaimana dengan Lo Sian yang membawa lari mayat Lie Kong Sian
itu, Suhu?”
“Serahkan dia kepadaku. Aku
yang akan mencari dan menghajarnya. Kau berangkatlah besok pagi-pagi ke
Hek-kwi-san jangan ditunda-tunda lagi dan aku akan membuat surat untuk Suheng.”
Demikianlah pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Bouw Hun Ti berangkat ke tempat pertapaan Wi Kong
Siansu, suheng dari Ban Sai Cinjin dengan membawa sepucuk surat dari suhu-nya
itu. Pendeta tua yang disebut Wi Kong Siansu dan yang menjadi suheng dari Ban
Sai Cinjin ini adalah seorang pertapa yang sakti.
Dulu pada waktu mudanya dia
terkenal sebagai seorang yang malang melintang di dunia kang-ouw dan belum
pernah menderita kekalahan di dalam setiap pertempuran. Bahkan orang-orang
ternama dan yang termasuk tokoh-tokoh terbesar di dunia persilatan seperti Bu
Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang terkenal
sebagai empat tokoh terbesar dari empat penjuru, merasa segan untuk bentrok
dengan Wi Kong Siansu.
Bukan karena empat tokoh besar
ini merasa jeri dari takut, akan tetapi oleh karena Wi Kong Siansu terkenal
memiliki kepandaian silat yang amat ganas dan dahsyat sehingga setiap kali dia
bertanding ilmu kepandaian dengan seorang lawan, lawan itu tentu akan tewas di
dalam tangannya! Bagi Wi Kong Siansu, hanya ada dua keputusan dalam tiap
pertandingan, yaitu menang atau kalah dan mati! Oleh karena inilah, maka ia
mendapat julukan Toat-beng Lo-mo atau Iblis Tua Pencabut Nyawa!
Ada pun Ban Sai Cinjin lalu
mengadakan perjalanan pula untuk mencari dan menyusul Lo Sian yang telah
mengetahui rahasianya. Sebetulnya Ban Sai Cinjin tidak takut orang mengetahui
bahwa ia telah membunuh Lie Kong Sian, kalau saja pembunuhan ltu terjadi dalam
sebuah pertempuran yang adil. Yang membuatnya merasa kuatir apa bila sampai
diketahui orang adalah bahwa kekalahan Lie Kong Sian sebenarnya karena
kecurangan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti!
Ban Sai Cinjin adalah seorang
tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan memiliki banyak sahabat hampir di seluruh
daerah. Karena itu dengan mudah dia dapat menyusul dan mengetahui di mana
adanya Lo Sian yang juga banyak dikenal orang…..
********************
Kita mengikuti perjalanan Lo
Sian yang membawa lari jenazah Lie Kong Sian. Sesudah dapat melepaskan diri
dari pengejaran Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti, Lo Sian segera masuk ke dalam
hutan pohon pek yang bersambung dengan hutan di mana terdapat kelenteng tempat
tinggal Ban Sai Cinjin.
Dia memilih tempat yang baik, yaitu
sebuah bukit kecil di tengah hutan yang amat baik hongsui-nya (kedudukan
tanahnya). Kemudian dengan penuh khidmat dia lalu mengubur jenazah pendekar
besar Lie Kong Sian.
Sampai lama Lo Sian bersila,
di depan gundukan tanah itu untuk mengheningkan cipta. Di dalam hatinya dia
menyatakan terima kasihnya kepada mendiang Lie Kong Sian, dan juga menyatakan
penyesalannya bahwa karena membela dia, pendekar besar itu sampai menemui maut
di tangan Ban Sai Cinjin. Kemudian Lo Sian lalu menanam satu pohon kembang
mawar hutan di depan gundukan tanah itu untuk menjadi tanda.
Sesudah itu, Pengemis Sakti
ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Beng-san untuk menyusul suheng-nya
yang membawa Lili beserta Kam Seng ke puncak bukit itu. Sama sekali dia tidak
pernah mengira bahwa bahaya besar sedang mengancam dan mengejar dirinya.
Siapakah yang menyangka bahwa
Ban Sai Cinjin hendak menyusul dan mencarinya? Ia hanya mencuri mayat Lie Kong
Sian dan hal ini bukanlah hal yang terlalu penting bagi Ban Sai Cinjin. Lo Sian
tidak tahu bahwa Ban Sai Cinjin mengejarnya karena ia dianggap satu-satunya
orang yang sudah mengetahui akan rahasia pembunuhan curang atas diri Lie Kong
Sian.
Beberapa hari kemudian, baru
saja Lo Sian keluar dari dusun, tiba-tiba saja di depannya berkelebat bayangan
orang dan tahu-tahu Ban Sai Cinjin telah berdiri di depannya sambil
tersenyum-senyum dengan huncwe mautnya mengebulkan asap hitam! Ternyata bahwa
kakek pesolek yang amat lihai ini telah dapat menyusulnya.
“Ha-ha-ha, pengemis jembel!”
kata Ban Sai Cinjin. “Apa kau kira kau dapat melarikan diri begitu saja dariku
setelah kau mencuri tubuh yang dibutuhkan oleh muridku?”
“Ban Sai Cinjin,” Lo Sian
berkata dengan gelisah, “aku tidak mengganggu muridmu dan tentang jenazah Lie
Kong Sian itu, memang aku yang telah mengambilnya untuk dikubur sepatutnya. Dia
adalah seorang pendekar besar dan sudah sepatutnya kalau jenazahnya dikebumikan
dengan baik. Apakah perbuatanku itu kau anggap salah?”
“Hemm, Lo Sian, kau pandai
memutar lidah! Kau sudah berkali-kali mengganggu Bouw Hun Ti mencampuri
urusannya. Sekarang kau pun membawa pergi mayat Lie Kong Sian. Dimanakah mayat
itu sekarang?”
“Sudah dikubur dengan baik,”
jawab Lo Sian.
“Bagus, dan jantungnya tentu
sudah rusak. Kalau begitu, kau gantilah dengan jantungmu sendiri. Hayo pengemis
jembel, lekas kau serahkan jantungmu kepadaku, baru aku mau memberi ampun!”
Lo Sian tahu bahwa kakek ini
sengaja mencari perkara. Bagaimana orang dapat hidup kalau jantungnya diambil?
Ia lalu mencabut pedangnya dan berkata keras, “Kau inginkan jantung? Inilah
dia!” Sambil berkata demikian, Lo Sian lalu menyerang dengan sebuah tusukan
pedangnya yang dilakukan dengan nekad dan cepat, karena ia maklum bahwa ilmu
kepandaian Ban Sai Cinjin jauh berada di atas tingkatnya.
Si Huncwe Maut tertawa geli.
Huncwe di tangannya kemudian bergerak didahului oleh semburan asap hitam dari
mulutnya ke arah muka Lo Sian. Pengemis Sakti tahu akan berbahayanya asap ini,
maka ia cepat melompat ke kiri dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari
serangan lawan. Akan tetapi tiba-tiba saja pedangnya berhenti berputar karena
telah tertempel oleh huncwe pada tangan Ban Sai Cinjin dan tidak dapat
digerakkan lagi.
“Lepas!” Ban Sai Cinjin
membentak sambil ia memutarkan huncwe-nya sedemikian rupa sehingga pedang di
tangan Lo Sian ikut terputar, kemudian dengan tenaga tiba-tiba dia membetot
hingga terlepaslah pedang itu dari tangan Lo Sian tanpa dapat dicegah lagi.
Huncwe-nya segera meluncur dengan sebuah totokan hebat sehingga robohlah Lo
Sian tanpa dapat berdaya lagi karena jalan darahnya sudah kena tertotok oleh
huncwe yang lihai itu.
Ban Sai Cinjin mengempit tubuh
Lo Sian yang menjadi lemas itu dan membawanya lari secepat terbang kembali ke
kelentengnya! Setelah tiba di kelenteng yang mewah itu, dia melemparkan tubuh
Lo Sian ke atas lantai, lalu mengambil semangkok obat yang biru kehitaman
warnanya.
“Minum ini!” katanya dan
hwesio kecil muridnya itu memandang sambil menyeringai.
Biar pun Lo Sian telah lemas
dan tidak bertenaga lagi, namun hatinya masih cukup tabah dan keras, maka dia
diam saja. Meski pun mangkok itu telah ditempelkan pada bibirnya, namun ia
tidak mau meneguk obat itu.
“Ehh, pengemis jembel!” Hok Ti
Hwesio si hwesio kecil itu mengeiek. “Kau kelaparan dan kehausan, minuman
seenak ini mengapa tidak mau minum?” Sambil berkata demikian, hwesio kecil ini
menampar mulut Lo Sian yang tidak dapat mengelak atau mengerahkan tenaga.
“Plakk!” maka bibir Lo Sian
pecah dan mengeluarkan darah.
“Buka mulut anjing ini!” kata
Ban Sai Cinjin kepada muridnya.
Hok Ti Hwesio yang memang
semenjak kecil mendapat pendidikan kekejaman itu sambil tertawa-tawa kemudian
menggunakan kedua tangannya membuka mulut Lo Sian dengan paksa, lalu mengganjal
mulut itu dengan kakinya yang bersepatu kotor sehingga mulut Lo Sian kini
ternganga diganjal sepatu dari hwesio cilik itu.
Ban Sai Cinjin lalu menuangkan
obat mangkok itu ke dalam mulut Lo Sian. Si Pengemis Sakti mencoba untuk
menutup kerongkongannya, akan tetapi Hok Ti Hwesio, si hwesio kecil yang kejam
dan penuh akal itu lalu memencet hidung Lo Sian dengan kedua jari tangannya.
Lo Sian terengah-engah dan
terpaksa harus bernapas dari mulut dan masuklah obat itu ke dalam perutnya!
Obat itu terasa amat getir dan masam dan setelah masuk ke dalam perut terasa
amat dingin sehingga dia menggigil. Lo Sian berpikir bahwa obat itu tentulah
racun dan ia tentu akan mati, maka sambil meramkan mata ia menanti datangnya
maut. Tak lama kemudian pikirannya menjadi lemah dan sudah tak dapat digunakan
lagi, lalu ia menjadi pingsan tak sadarkan dirinya!
Sesudah dia membuka mata
kembali, ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan seorang diri. Tidak
nampak lain orang di sana dan pikiran Lo Sian masih tidak karuan. Segala benda
di depannya nampak berputar-putar dan sebentar kemudian dia berteriak-teriak,
“Pemakan jantung...! Tolong...
pemakan jantung...!”
Kemudian, dengan beringas dia
pun melompat bangun dan berlari terhuyung-huyung tak karuan seperti orang
mabok. Terdengar dia berteriak-teriak, sebentar menangis bagaikan orang ketakutan
setengah mati, kemudian dia tertawa dengan geli seakan-akan melihat sesuatu
yang amat lucu. Ternyata Lo Sian telah menjadi gila!
Obat yang dipaksakan memasuki
perutnya itu adalah semacam obat mukjijat yang dapat merampas ingatannya dan
membuat dia menjadi gila! Alangkah kejamnya Ban Sai Cinjin dan muridnya Hok Ti
Hwesio.
Ban Sai Cinjin merasa tidak
ada gunanya membunuh Lo Sian, maka timbul pikiran yang amat keji dan juga
cerdik. Ia membiarkan Lo Sian hidup, akan tetapi memberinya minum racun yang
membuatnya menjadi gila sehingga tak mungkin lagi Lo Sian bisa membuka rahasia
pembunuhan atas diri Lie Kong Sian!
Jangankan mengingat akan hal
itu semua, bahkan terhadap diri sendiri pun Lo Sian tak ingat lagi. Dia tidak
tahu lagi siapa adanya dirinya sendiri, dan tidak ingat pula segala kejadian
yang sudah lalu, yang terbayang di depan matanya hanyalah jantung manusia yang
dimakan orang!
Memang, kasihan sekali nasib
Lo Sian yang jatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis! Ia merantau tak
tentu arah tujuan sebagai seorang gila…..
********************
Pegunungan Ho-lan-san
memanjang dan menjadi tapal batas antara Mongolia dengan daratan Tiongkok
Propinsi Kansu. Walau pun pegunungan ini di kanan kirinya, terutama sekali di
bagian utara, merupakan padang pasir yang sangat luas, namun pegunungan ini
cukup kaya akan hutan-hutan dan pepohonan. Hal ini adalah berkat mengalirnya
Sungai Kuning, yang membuat lembah di sepanjang alirannya menjadi subur.
Oleh karena itu, tak heran apa
bila di tempat yang jauh dari dunia ramai ini telah banyak orang datang dan
desa-desa yang cukup ramai terdapat di sepanjang sungai besar itu. Dengan
adanya Sungai Huang-ho yang tidak pernah mengering ini, lapangan pencarian
nafkah hidup bagi mereka tidak kurang.
Selain bercocok tanam di
lembah yang subur, para penduduk dapat pula bekerja sebagai nelayan, sebab air
sungai mengandung cukup banyak ikan. Selain ini, mereka dapat pula mengambil
hasil hutan terutama kayu-kayu yang keras dan baik untuk pembangunan.
Pekerjaan ini makin lama
semakin ramai dan bahkan ada beberapa orang yang cukup memiliki modal lalu
mendirikan perusahaan kayu bangunan. Banyak tukang kayu disebar ke hutan-hutan
untuk menebang pohon yang baik kayunya, kemudian kayu yang sudah menjadi
balok-balok besar itu lalu ditumpuk di pinggir sungai, siap dikirim ke mana
saja datangnya pesanan. Untuk mengangkut kayu-kayu balok itu, air Sungai
Huang-ho selalu siap melakukannya tanpa menuntut bayaran sepotong uang pun!
Pada suatu hari, tiga orang
lelaki yang berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat,
berjalan mendaki sebuah puncak di Pegunungan Ho-lan-san. Mereka ini membawa
alat-alat penebang kayu, yaitu tambang besar yang digulung dan digantung pada
pinggang, sebuah golok dan sebuah kapak besar yang berat dan tajam.
Ketika mereka sampai di luar
sebuah hutan yang kecil akan tetapi liar dan gelap, mereka berhenti mengaso dan
duduk di atas rumput. Sambil bercakap-cakap mereka memandang ke arah hutan yang
angker itu. Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang dari hutan itu, membuat
bagian tanah di gunung ini nampak paling tinggi menonjol.
“Sute, aku masih saja merasa
sangsi untuk memasuki hutan ini,” terdengar orang yang tertua berkata.
“Bukankah Suhu sudah berpesan agar kita lebih baik jangan mengganggu hutan ini?
Suhu sendiri katanya mengambil jalan memutar kalau melakukan perjalanan lewat
di sini. Menurut Suhu, bukan karena dia takut, akan tetapi sungkan menghadapi
permusuhan dengan sepasang setan itu.”
“Ah, Twa-suheng,” kata yang
termuda, “mengapa kita harus percaya akan segala tahyul bodoh dari orang-orang
dusun? Mereka itu hanya menyiarkan kabar bohong yang belum pernah mereka
buktikan sendiri. Siapakah orangnya yang pernah melihat sepasang iblis itu? Aku
tidak percaya. Kalau Suhu lain lagi, karena Suhu adalah seorang pendeta yang
menghormati kepercayaan orang lain. Kita adalah orang-orang muda yang datang
dari kota dan memiliki kepandaian, kenapa kita harus takut terhadap segala
tahyul bohong?”
Orang ke dua menyambung.
“Ucapan Sute memang ada benarnya, akan tetapi melihat keadaan hutan yang
demikian liar dan angker, timbul juga perasaan tidak enak di dalam hatiku.
Dunia ini memang aneh dan banyak hal-hal yang belum kita mengerti. Bagaimana
kalau kabar itu ternyata tidak bohong? Bagaimana kalau benar-benar muncul setan
di tengah hari dan menyerang kita?”
“Mengapa takut?” berkata pula
yang termuda. “Percuma saja kita mempelajari ilmu silat sampai beberapa tahun
lamanya, dan percuma pula kita menjadi murid Pek I Hosiang yang namanya telah
terkenal di dunia kang-ouw! Lagi pula, kita bukan bermaksud buruk. Kita
memasuki hutan hanya untuk menebang pohon dan mencari kayu besi yang amat
dibutuhkan. Kui-loya (Tuan Kui) berani membayar kita tiga kali lebih banyak
dari pada kayu-kayu biasa.”
Tiga orang yang nampak kuat
dan gagah ini adalah tiga orang di antara begitu banyak penebang pohon yang
banyak bekerja di daerah ini. Mereka adalah murid-murid dari Pek I Hosiang,
seorang hwesio yang menjadi ketua dari sebuah kelenteng di dalam dusun tempat
tinggal mereka.
Hwesio ini memang
berkepandaian tinggi dan ia mempunyai banyak sekali murid. Boleh dibilang,
lebih tiga puluh orang penebang kayu yang muda-muda dan kuat-kuat menjadi
muridnya! Para penebang pohon ini kemudian menjual kayu yang mereka tebang
kepada perusahaan-perusahaan kayu yang banyak didirikan orang di tempat itu dan
di antaranya yang terbesar adalah perusahaan kayu milik orang she Kui yang
berasal dari kota besar di daerah timur.
Telah menjadi semacam dongeng
yang selama bertahun-tahun amat dipercaya oleh para penduduk di daerah
Pegunungan Ho-lan-san, bahwa daerah puncak yang penuh dengan pohon-pohon
tinggi, jurang-jurang dalam dan goa-goa yang angker itu menjadi tempat tinggal
sepasang siluman atau iblis yang amat jahat. Sebenarnya, belum pernah terjadi
pembunuhan atau penganiayaan terhadap manusia yang dilakukan oleh sepasang
iblis itu, akan tetapi karena perasaan takut mereka, maka orang-orang lalu
bercerita bahwa iblis-iblis yang menjadi penghuni hutan itu amat jahat dan
mengerikan!
Hanya satu kali terjadi
peristiwa yang membuktikan bahwa di hutan itu memang terdapat makhluk yang
sakti, sungguh pun orang tak dapat membuktikan dengan nyata bahwa makhluk itu
adalah iblis atau siluman. Terjadinya peristiwa itu telah dua tahun lebih,
yaitu ketika serombongan piauwsu mengantar seorang hartawan bersama keluarganya
yang melakukan perjalanan. Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan,
tiba-tiba, entah dari mana datangnya, terdengar suara bergema di empat penjuru
dan suara ini berkata tegas,
“Lekas keluar dari hutan ini!”
Para piauwsu yang mengawal
rombongan ini merupakan orang-orang gagah yang sudah banyak pengalaman. Mereka
tidak gentar menghadapi perampok-perampok dan bahkan jarang ada perampok berani
mengganggu mereka. Akan tetapi, peristiwa ini baru sekali mereka alami, yaitu
adanya suara yang melarang mereka melalui sebuah hutan. Kepala rombongan itu
lalu menjura ke empat penjuru dan menjawab,
“Mohon maaf sebesarnya dari
Tai-ong kalau kami berani berlaku kurang ajar dan melalui wilayah Tai-ong (Raja
Besar, sebutan untuk kepala rampok) tanpa mendapat ijin terlebih dulu. Kami
bersedia membayar uang sewa jalan apa bila Tai-ong kehendaki, akan tetapi harap
Tai-ong perkenankan kami melalui jalan ini”
Untuk beberapa lama tak
terdengar suara sesuatu, akan tetapi mendadak terdengar lagi suara yang
berlainan dengan suara pertama. Jika suara pertama yang mengusir mereka keluar
dari hutan tadi terdengar halus dan nyaring seperti suara wanita, kini
terdengar suara yang juga halus dan nyaring akan tetapi lebih besar seperti
suara seorang pemuda.
“Jangan banyak cakap! Kami tak
butuh segala uang sewa jalan! Pergilah lekas dari hutan ini!”
Para piauwsu yang jumlahnya
tujuh orang itu menjadi amat penasaran. Mereka mencabut senjata masing-masing
dan memandang ke sekeliling dengan sikap menantang.
“Kalau kami tidak mau pergi
dan tetap hendak melanjutkan perjalanan kami melalui hutan ini, kau mau
apakah?” tanya kepala piauwsu itu dengan marah.
Kini yang menjawab adalah
suara pertama yang masih terdengar halus akan tetapi amat berpengaruh.
“Terpaksa kami akan
menggunakan kekerasan! Kami memberi waktu sampai ada ayam hutan berkokok,
itulah tanda bahwa kami akan bergerak apa bila kalian belum keluar dari sini!”
Seorang di antara para piauwsu
itu yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia secara diam-diam mengeluarkan
beberapa batang senjata piauw, dan tiba-tiba ia menyambitkan tiga batang piauw
ke arah daun-daun pohon besar dari mana suara tadi datang.
Akan tetapi hanya terdengar
berkereseknya daun terbabat senjata-senjata piauw itu, dan selain itu tidak
nampak tanda-tanda bahwa di pohon itu terdapat manusianya! Yang lebih
mengherankan, ketiga batang piauw tadi tidak turun lagi ke bawah, seakan-akan
lenyap ditelan oleh daun-daun yang lebat itu.
Para piauwsu itu saling
pandang dengan heran, sedangkan keluarga hartawan itu duduk berkumpul di dekat
kereta dengan muka pucat.
“Tidakkah lebih baik bila kita
mengambil jalan memutar saja?” tanya hartawan itu kepada kepala piauwsu. Akan
tetapi yang ditanya menggeleng kepala.
“Wan-gwe (sebutan hartawan)
tidak tahu. Hal ini adalah soal kehormatan bagi piauwsu-piauwsu seperti kami.
Apa bila kami mengalah begitu saja terhadap segala penggertak, bagaimana kami
dapat menjadi piauwsu?”
Mereka menanti dengan hati
penuh ketegangan dan tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mendengar suara yang
mereka nanti-nanti, yakni kokok seekor ayam hutan dari jauh.
“Waktunya sudah habis, kalian
harus pergi!” tiba-tiba seru suara tadi.
Dan entah dari mana datangnya,
bagaikan meluncur dari atas awang nampak dua sosok bayangan berkelebat cepat
menubruk tujuh orang piauwsu tadi. Para piauwsu itu terkejut sekali dan cepat
memutar senjata untuk menyerang dua sosok bayangan itu, akan tetapi alangkah
terkejut hati mereka ketika bayangan itu lalu bergerak dengan amat cepatnya,
merupakan sinar putih dan merah dan tahu-tahu semua senjata di tangan para
piauwsu itu terlempar jauh!
Sebelum ketujuh orang piauwsu
itu sempat memandang, tahu-tahu mereka merasa sakit sekali pada pundak mereka.
Terdengar jerit mereka susul-menyusul lantas tubuh mereka roboh tak dapat
bangun kembali karena mereka telah terkena tiam-hoat (ilmu totok) yang lihai.
Setelah itu, hanya nampak bayangan dua sosok tubuh berpakaian merah dan putih
berkelebat lenyap di balik serumpun alang-alang!
“Itulah hukuman bagi tujuh
orang piauwsu sombong!” tiba-tiba saja terdengar suara yang halus itu dari atas
pohon. “Naikkan tujuh tikus itu ke atas kereta dan kembalilah kalian keluar
dari hutan ini!”
Dengan perasaan ketakutan
setengah mati, rombongan itu lalu menolong para piauwsu, menaikkan dan menumpuk
tubuh mereka yang lemas itu ke atas kereta lalu rombongan itu membalap keluar
dari hutan!
Maka tersiarlah berita ini
sehingga nama kedua iblis penghuni hutan sangat terkenal dan sejak saat itu,
tidak ada seorang pun berani melangkahkan kaki memasuki hutan. Siapa orangnya
yang tak akan merasa takut dan ngeri mendengar betapa tujuh orang piauwsu
ternama dibikin tak berdaya oleh sepasang siluman yang lihai itu?
Berita tentang sepasang iblis
itu tentu saja tidak begitu dipercaya oleh para pendatang baru dari kota-kota
besar, terutama sekali oleh orang-orang yang memiliki kepandaian ilmu silat.
Betapa pun juga, karena tahu pula bahwa di dunia ini banyak terjadi hal yang
aneh dan banyak sekali terdapat orang-orang pandai, mereka tak berani mencoba
untuk melanggar pantangan penduduk dan tidak mau memasuki hutan itu.
Bahkan Pek I Hosiang, seorang
tokoh kang-ouw yang sudah ulung dan berkepandaian tinggi, juga menasehatkan
murid-muridnya yang banyak jumlahnya agar supaya jangan mengganggu hutan itu.
“Siapa tahu,” kata hwesio itu
kepada muridnya yang membantah, “kalau-kalau di tempat itu ternyata terdapat
seorang pertapa yang sedang mengasingkan diri dan pertapaannya tidak mau
diganggu.”
Akan tetapi, seperti telah
dituturkan di depan, tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat itu duduk di
luar hutan, merundingkan mengenai kehendak mereka menebang kayu besi yang
terdapat di hutan itu. Ketiga orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang
terhitung pandai, dan sungguh pun tadinya yang tertua di antara rnereka masih
merasa ragu-ragu untuk memasuki hutan itu, namun berkat desakan kedua orang
sute-nya (adik seperguruannya), akhirnya mereka masuk juga ke dalam hutan itu!
“Bagaimana pun juga, Sute,
kita harus selalu berhati-hati dan lebih baik bekerja secara diam-diam, jangan
banyak berisik,” berkata orang tertua di antara ketiga orang penebang pohon
itu. Kedua sute-nya menurut, karena memang keadaan hutan yang masih liar dan
tak pernah dimasuki orang itu sangat menyeramkan.
Ketika mereka bertiga berjalan
lambat sambil melihat ke kanan kiri untuk mencari pohon besi yang hendak mereka
tebang, tiba-tiba orang tertua itu melihat sesuatu dan ia cepat memegang tangan
kedua sute-nya kemudian ditariknya mereka untuk bersembunyi di belakang
sebatang pohon yang besar.
“Lihat, apakah itu?” katanya
kepada kedua orang sute-nya yang memandang heran.
Dua orang kawannya memandang
ke arah yang ditunjuknya dan mereka masih sempat melihat bayangan putih
berkelebat cepat sekali.
“Orangkah dia?” seorang
berbisik.
“Entahlah, akan tetapi
gerakannya sungguh cepat!” memuji orang termuda yang hatinya paling tabah.
“Mari kita mendekat, dia masuk ke dalam goa itu!”
Kedua orang kawannya merasa
ragu-ragu, akan tetapi karena tak melihat bayangan tadi muncul kembali,
sedangkan sute mereka dengan beraninya telah keluar dari balik pohon dan menuju
ke tempat bayangan tadi menghilang, mereka juga mengikuti sute mereka.
Benar saja, di tempat yang
meninggi terdapat sebuah goa yang lebar. Goa ini amat gelap sehingga tidak
kelihatan apakah goa itu merupakan terowongan atau bukan.
Tiba-tiba terdengar bentakan
dari dalam goa, “He! Kalian mau apa datang ke sini? Hayo cepat pergi!”
Berbareng dengan ucapan itu, terlihat berkelebat bayangan putih keluar dari goa
yang gelap itu dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda yang
luar biasa eloknya!
Muka pemuda ini berkulit halus
dan putih, dan matanya sangat tajam berpengaruh. Garis mulutnya yang kuat
membayangkan kehendak yang teguh dan kemauan yang membaja. Tubuhnya sedang
dengan pinggang langsing, pakaiannya sederhana tapi rapi, berwarna putih
seperti pakaian seorang pelajar. Dia mengenakan mantel panjang yang putih pula,
dan di antara semua pakaian yang menutup tubuhnya, hanya leher baju yang menurun
terus ke pinggang dan kopyahnya saja yang berwarna biru. Juga sepatunya warna
hitam. Memang janggal sekali melihat seorang penghuni goa yang berpakaian
sedemikian putih bersih.
Melihat pemuda ini hanyalah
seorang manusia biasa, bukan seorang iblis, ketiga orang penebang pohon itu pun
segera bernapas lega.
“Kami adalah penebang-penebang
kayu dan sekarang hendak mencari pohon besi yang banyak tumbuh di hutan ini,”
jawab penebang tertua.
Pemuda itu menggerakkan tangan
kanannya, digoyang beberapa kali kemudian berkata, “jangan kalian melakukan hal
itu. Lebih baik lekas kalian pergi dari sini!”
Penebang kayu yang termuda
melangkah maju dan berkata marah,
“Orang muda, dengan alasan
apakah kau melarang kami melakukan penebangan pohon besi di hutan ini? Dan hak
apakah yang kau andalkan untuk mengusir kami?”
“Alasannya, kalau kau
melakukan penebangan pohon, berarti kau melanggar laranganku dan ini berbahaya
sekali bagi keselamatanmu. Ada pun tentang hak, aku menggunakan hak sebagai
seorang yang lebih dulu datang di tempat ini dari pada kalian bertiga!”
Marahlah penebang muda itu.
“Kau anak kecil sombong amat! Kalau kami bertiga tetap melanjutkan kehendak
kami, kau mau apakah? Apakah kau ini siluman yang menguasai hutan ini seperti
yang dikabarkan orang?”
“Tutup mulut dan pergilah!”
seru pemuda itu dan biar pun sikapnya masih setenang tadi, namun sepasang
alisnya yang indah bentuknya itu mulai bergerak-gerak.
Akan tetapi, biar pun sinar
mata pemuda ini tajam dan berpengaruh, akan tetapi ia hanya merupakan seorang
pemuda yang halus dan tidak nampak berbahaya. Tentu saja ketiga orang penebang
kayu yang bertubuh kuat dan mempunyai kepandaian silat itu tidak takut
menghadapinya. Mereka bertiga lalu mengeluarkan senjata mereka yang
menyeramkan, yaitu tangan kanan memegang golok lebar yang tajam sedangkan
tangan kiri memegang sebatang kapak yang tidak kalah hebatnya.
“Ha-ha-ha-ha, anak muda!
Betapa pun galaknya mulutmu, kami tidak takut. Kami hendak menebang pohon
dengan kapak dan golok ini, kau mau apa? Ha-ha-ha!”
Akan tetapi baru saja penebang
pohon itu menutup mulutnya, pemuda itu sudah lenyap. Tubuhnya berkelebat
merupakan bayangan putih dan penebang pohon yang termuda ini memekik keras
ketika merasa betapa kapak dan goloknya bagaikan bisa terbang sendiri meninggalkan
kedua tangannya tanpa bisa dicegah pula! Ternyata bahwa dengan sekali gerakan
saja, pemuda baju putih itu sudah berhasil merampas kapak dan goloknya yang
kini dilempar di atas tanah!
Dua orang penebang yang lain
menjadi marah dan terkejut sekali. Sambil berseru marah, mereka lalu maju
menyerang dan pada saat itu, dua batang golok dan dua batang kapak telah
menyambar ganas menuju ke tubuh pemuda baju putih itu!
Namun kembali mereka dibikin
bengong oleh pemuda aneh itu. Agaknya tubuh pemuda itu tak bergerak sama
sekali, buktinya kedua kakinya tidak berpindah tempat. Hanya dua lengan
tangannya saja bergerak cepat serta tubuhnya bergoyang-goyang menghindari
sambaran keempat senjata itu dan...
“Aduh...! Aduh...!”
Dua orang itu merasa kedua lengan
mereka mendadak menjadi lemas dan sakit sekali, oleh karena entah dengan
gerakan bagaimana, jari-jari tangan pemuda itu sudah berhasil menotok
pergelangan tangan kedua orang penebang pohon itu! Kembali senjata-senjata
mereka terpaksa harus mereka lepaskan sehingga jatuh bertumpuk di atas tanah!
Sudah tentu saja mereka
bertiga hampir tak dapat percaya akan kejadian yang baru saja mereka alami itu.
Bagaimana mereka yang memegang senjata dan memiliki kepandaian tinggi, sekarang
dipaksa melepaskan senjata dengan cara yang demikian mudahnya oleh pemuda ini?
Ilmu silat apakah yang tadi dipergunakan oleh pemuda baju putih itu untuk
menghadapi mereka? Mereka hanya memandang dan berdiri bagai patung. Silumankah
pemuda ini, demikian mereka berpikir dan memandang dengan hati merasa seram.
“Pergilah...! Pergilah...!”
pemuda itu dengan acuh tak acuh berkata sambil menggerakkan tangan kanan
seperti mengusir lalat yang mengganggunya!
Tiba-tiba terdengar suara dari
dalam goa. “Siong-ji..., lempar saja tikus-tikus itu ke dalam jurang! Untuk apa
melayani mereka?”
Pemuda baju putih itu menengok
ke arah goa dan menjawab, “Mereka hanya tiga orang penebang pohon yang tak
berarti, Ibu!”
“Mereka telah lancang, berani
mendekati tempat kita!” suara dari dalam goa itu semakin nyaring.
Tiba-tiba ketiga orang
penebang pohon itu melihat berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali
cepatnya. Belum sempat mata mereka melihat dengan jelas, tiba-tiba mereka telah
roboh pingsan!
Ketika tiga orang penebang
pohon itu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di luar
hutan yang menyeramkan itu! Sambil mengeluh mereka meraba-raba pundak mereka
yang masih terasa sakit dan linu, bekas tertotok secara luar biasa sekali oleh
bayangan merah tadi.
“Ah, Sute. Jika kau tadi
mendengar omonganku, tak akan kita mengalami kesengsaraan ini!” kata yang
tertua sambil bangun dengan tubuh masih lemas.
Penebang termuda tak dapat
menjawab karena pengalaman tadi masih membuat hatinya berdebar-debar.
“Mereka itukah siluman-siluman
yang ditakuti orang?” tanyanya perlahan.
“Mungkin! Mana ada orang
semuda itu sudah sedemikian lihainya? Hanya siluman saja yang dapat merampas
senjata kita secara demikian aneh,” kata orang ke dua.
“Dan bayangan merah tadi...
apakah dia itu? Dia pandai bicara, akan tetapi gerakannya demikian hebat! Hebat
dan mengerikan!” kata yang tertua sambil bergidik karena teringat akan serangan
bayangan merah tadi. “Sungguh berbahaya sekali!”
“Betapa pun juga, aku masih
penasaran, Suheng!” kata yang termuda. “Tidak mungkin pemuda tadi seorang
siluman. Memang kepandaiannya hebat luar biasa, akan tetapi dia seorang manusia
biasa saja, bukan setan. Apakah pekerjaan mereka berdua di tempat itu?
Jangan-jangan mereka adalah orang-orang jahat yang menyembunyikan diri.”
“Habis kau mau apa, Sute?
Terhadap orang-orang lihai seperti mereka itu, lebih baik kita menjauhkan
diri,” kata yang tertua.
“Celaka, kapak dan golok kita
tertinggal di depan goa!” mengeluh orang ke dua.
“Kita harus melaporkan hal ini
kepada Suhu!”
Demikianlah, sambil tiada
hentinya membicarakan peristiwa aneh itu, ketiga penebang pohon ini lalu
kembali ke dusun tempat tinggal mereka. Karena mereka menceritakan pengalaman
mereka kepada kawan-kawan di dusun, maka sebentar saja gegerlah dusun itu dan
semua orang membicarakan sepasang ‘siluman’ di hutan itu yang disebutnya
‘Pek-ang Siang-mo’ (Sepasang Iblis Putih Merah).
Pek I Hosiang mendengarkan
penuturan ketiga orang muridnya dengan penuh perhatian dan hatinya merasa amat
tertarik. Akan tetapi ia tidak menyatakan perhatiannya, bahkan ia lalu menegur
ketiga orang muridnya itu.
“Kalian bertiga memang telah
berlaku lancang. Mana ada siluman di dunia ini? Seperti yang kuduga, mereka
adalah orang-orang pandai yang tengah bertapa. Mungkin pemuda itu murid si pertapa
yang kalian lihat sebagai bayang-bayang merah. Lain kali janganlah kalian
berlaku lancang. Hutan di sekitar pegunungan ini sangat banyak, mengapa justru
mencari di tempat yang terlarang itu?”
Sungguh pun mulutnya
menyatakan demikian, namun di dalam hatinya Pek I Hosiang merasa tertarik dan
ingin sekali menyaksikan sepasang siluman itu dengan mata kepala sendiri.
Sebagai seorang hwesio, ia tidak menghendaki permusuhan, akan tetapi sebagai
seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tentu saja dia sangat tertarik
mendengar tentang kelihaian ilmu silat orang lain. Ia ingin sekali melihat
siapakah gerangan orang pandai yang menyembunyikan diri di tempat itu.
Diam-diam ia lalu mengambil keputusan untuk pergi sendiri menemui dua orang
aneh itu.
Di dalam hutan yang dianggap
oleh penduduk sebagai tempat tinggal Pek-ang Siang-mo itu, terdapat sebuah
lapangan terbuka dekat sebatang anak sungai yang bening airnya. Pemandangan di
situ sungguh indah.
Pada suatu pagi, di kala
burung-burung hutan berkicau dan bersuka cita menyambut datangnya sang
matahari, di atas lapangan itu nampak sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti
bayangan putih yang gerakannya cepat sekali. Ada kalanya gerakan sinar pedang
itu mengendur dan tampaklah bayangan putih itu sebagai tubuh seorang pemuda
berbaju putih yang sedang mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat indahnya.
Di waktu permainan ilmu pedangnya mengendur, ia seakan-akan sedang menari saja.
Tidak saja ilmu pedangnya yang
aneh, bahkan pedang di tangan pemuda baju putih itu lebih aneh lagi. Disebut
pedang seperti bukan pedang, akan tetapi cara memegang dan memainkannya sama
dengan pedang! Senjata ini selain aneh juga indah akan tetapi juga mengerikan.
Ukurannya besar dan panjangnya
tak berbeda dengan pedang biasa, akan tetapi senjata ini tidak tajam juga tidak
runcing sehingga lebih tepat apa bila disebut bentuknya seperti tongkat pendek.
Akan tetapi, senjata ini berbentuk ukiran sin-liong (naga sakti) membelit
tiang. Ukirannya indah sekali dan agaknya terbuat dari pada logam yang sangat
keras berkilauan dan berwarna putih sedangkan tubuh naga yang melibatnya
berwarna kuning. Pemuda itu memegang naga itu pada ekornya sehingga kepala naga
merupakan ujung senjata itu. Dari mulut naga kecil itu keluar lidah merah yang
panjang dan mengerikan.
Setelah bermain silat dengan
gerakan lambat dan indah, tiba-tiba ia memutar senjatanya makin lama semakin
cepat dan kembali tubuhnya lenyap terbungkus oleh gulungan sinar senjatanya
yang dahsyat.
“Cukup, Siong-ji (Anak Siong),
kau mengasolah!” terdengar suara nyaring dari seorang wanita yang berdiri tak
jauh dari situ sambil memandang permainan pemuda itu dengan penuh perhatian.
Wanita itu mengenakan pakaian
serba merah. Walau pun potongan pakaiannya itu amat sederhana, namun terbuat
dari kain sutera dan amat bersih. Kalau orang melihatnya dari belakang atau
dari samping, orang akan mengira bahwa ia adalah seorang wanita muda, karena
bentuk tubuhnya yang langsing itu masih tampak kuat dan penuh, kulit tangannya
halus dan putih.
Akan tetapi kalau orang
berhadapan muka dengannya, dia akan terkejut melihat bahwa wanita ini nampak
sudah tua sekali. Rambutnya hampir putih semua, kulit mukanya juga berkeriput,
sungguh pun matanya masih bening dan bersinar amat tajam, bahkan giginya masih
bagus dan rata seperti gigi wanita muda yang cantik!
Masih jelas nampak bahwa dia
dulu adalah seorang wanita yang amat cantiknya dengan bentuk muka yang bagus.
Kerut-merut pada jidatnya membayangkan penderitaan batin yang hebat, dan
mulutnya yang masih berbentuk manis sekali itu ditarik mengeras dan tak pernah
nampak tersenyum.
Pembaca tentu telah dapat
menduga siapa adanya wanita ini. Dia bukan lain adalah Ang I Niocu Kiang Im
Giok, pendekar wanita yang di waktu mudanya telah menggemparkan dunia
persilatan karena kegagahannya. Tak ada seorang pun ahli silat di dunia
kang-ouw yang tidak mengenal atau tidak mendengar namanya yang besar. Ia amat
terkenal, baik karena kepandaiannya mau pun karena kecantikannya yang luar
biasa.
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, Ang I Niocu adalah seorang wanita yang amat memperhatikan serta
menyayangi kecantikannya sehingga untuk menjaga kecantikannya dari usia tua, ia
tidak segan-segan untuk mencari obat kecantikan berupa telur Pek-tiauw
(rajawali putih) dan sudah banyak makan telur yang dapat memelihara
kecantikannya ini. Di waktu ia berusia tiga puluh tahun lebih ia masih nampak
cantik jelita bagaikan seorang gadis berusia tujuh belas tahun.
Akan tetapi segala sesuatu di
dunia ini tidak ada yang kekal. Bahkan keadaan yang ditimbulkan karena
kekuasaan alam yang sewajarnya pun masih tidak kekal adanya, apa lagi keadaan
yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tidak wajar.
Khasiat telur Pek-tiauw itu
walau pun luar biasa sekali, namun ada pantangannya, yaitu wanita yang sudah
makan obat ini, apa bila mempunyai putera, akan musnalah khasiat obat itu,
bahkan akibatnya mengejutkan sekali. Ang I Niocu setelah melahirkan seorang
putera, tidak saja kecantikan dan kemudaannya lenyap, bahkan ia nampak amat tua
dua kali lipat seperti seorang wanita berusia delapan puluh tahun!
Pada bagian depan telah
diceritakan bahwa karena batinnya menderita disebabkan oleh keriput di wajahnya
dan uban di kepalanya yang membuatnya nampak tua sekali, secara diam-diam Ang I
Niocu lalu meninggalkan suaminya, Lie Kong Sian, dan pergi merantau membawa
putera tunggalnya. Pendekar wanita ini merantau sampai jauh, dan semenjak
meninggalkan pulau tempat tinggalnya, dia selalu memilih jalan yang sunyi
supaya tidak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya.
Akhirnya dia memilih
Pegunungan Ho-lan-san sebagai tempat tinggalnya di mana dia lalu mendidik
puteranya, Lie Siong, dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan. Tempat
tinggalnya hanya di dalam sebuah goa yang besar dan amat dalam. Akan tetapi di
dalam hidup penuh kesederhanaan ini, ia selalu memperhatikan keperluan putranya
yang amat dicintainya.
Segala keperluan Lie Siong,
makanan lezat serta pakaian indah sampai barang-barang permainan apa saja, dia
adakan dan tanpa segan-segan pada malam hari Ang I Niocu mendatangi kota-kota
besar untuk mencari barang-barang itu.
Dengan amat rajin, Ang I Niocu
menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lie Siong. Ia mengajarkan ilmu silat
pedangnya yang luar biasa, yakni Sianli Utauw (Tari Bidadari), Ngo-lian-hoan
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Teratai), ilmu pukulan yang disebut Pek-in Hoat-sut
(Ilmu Sihir Awan Putih), dan juga Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak)!
Lie Siong ternyata mempunyai otak yang cerdik dan bakat yang baik sekali
sehingga dia dapat mempelajari semua ilmu itu dengan cepat dan baik sekali.
Akan tetapi, oleh karena ia
hanya hidup bersama dengan ibunya yang menderita dan tak pernah bergembira,
maka dia pun menjadi seorang pemuda yang sangat pendiam, keras hati, dan
angkuh. Ang I Niocu merasa demikian bangga kepada puteranya ini sehingga ketika
puteranya baru berusia empat belas tahun, ia sengaja mencarikan sebuah senjata
istimewa untuk Lie Song.
Ang I Niocu mendengar tentang
seorang kepala rampok di Kun-lun-san yang mempunyai sebatang senjata yang
disebut Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti). Tanpa peduli akan jauhnya tempat
itu dan kesukaran yang dihadapinya, Ang I Niocu mendatangi tiga kepala rampok
itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya ia pun berhasil mengalahkan si kepala
rampok dan merampas senjatanya!
Demikianlah, dengan
Sin-liong-kiam di tangannya Lie Siong semakin gagah seakan-akan seekor harimau
muda yang tumbuh sayap. Beberapa kali anak muda ini bertanya kepada ibunya
tentang ayahnya, dan Ang I Niocu juga tidak menyembunyikan sesuatu.
Ia menceritakan kepada Lie
Siong tentang ayahnya, yaitu Lie Kong Sian, dan mengapa dahulu mereka
meninggalkan Pulau Pek-le-to. Juga Ang I Niocu menceritakan mengenai
pendekar-pendekar silat yang menjadi kawan-kawannya seperti Pendekar Bodoh Sie
Cin Hai dan isterinya Kwee Lin, sepasang suami isteri murid Bu Pun Su yang amat
pandai. Ia menceritakan pula tentang Kwee An dan Ma Hoa, sepasang suami isteri
pendekar yang juga memiliki ilmu silat tinggi yang menjadi sahabat baiknya.
“Kelak kalau kau bertemu
dengan mereka, kau akan dapat menarik banyak pelajaran dari empat orang
pendekar ini, Siong-ji,” Ang I Niocu sering kali berkata.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa
hati puteranya itu lebih tinggi dan lebih angkuh dari pada hatinya sendiri
ketika masih muda. Mendengar ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh dan yang
lain-lain, hati Lie Siong tidak menjadi tunduk, bahkan dia merasa penasaran dan
ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian mereka itu!
Telah beberapa kali Lie Siong
minta pada ibunya untuk turun gunung, akan tetapi ibunya selalu mencegahnya.
“Kepandaianmu masih belum cukup sempurna, Siongji. Di dunia ini banyak sekali
terdapat orang jahat, dan kalau kau tidak memiliki kepandaian yang tinggi, kau
akan mudah terganggu oleh orang-orang yang jahat dan pandai.”
Demikianlah, pada pagi hari
itu, seperti biasanya Lie Siong berlatih ilmu silat pedang di bawah pengawasan
ibunya. Kali ini Ang I Niocu merasa sangat puas karena ternyata bahwa gerakan
ilmu pedang puteranya sudah sempurna, tak ada kesalahan sedikit pun. Diam-diam
dia maklum bahwa sekarang kepandaian puteranya sudah mencapai tingkat yang
tidak lebih rendah dari pada kepandaiannya sendiri! Dia telah mewariskan
seluruh kepandaiannya kepada putera tercinta ini.
“Siong-ji,” Ang I Niocu
berkata sambil duduk di dekat puteranya dan memandang dengan mata penuh kasih
sayang, “sekarang aku berani menyatakan bahwa kepandaianmu telah sampai di
tingkat yang cukup tinggi. Aku dapat meninggalkan dunia ini dengan hati lega
karena kepandaianmu ini sudah cukup untuk digunakan sebagai penjaga diri.”
Berseri wajah Lie Siong
mendengar ini. Biasanya, sehabis berlatih, ibunya selalu masih mencelanya.
“Kalau begitu, sudah tiba
waktunya bagiku untuk turun gunung, Ibu?”
Ang I Niocu menggelengkan
kepala. “Berat bagiku untuk berpisah darimu, Anakku. Kalau kau pergi,
bagaimanakah dengan aku?”
“Kenapa, Ibu? Mengapa Ibu
tidak ikut turun gunung? Marilah kita turun dari tempat yang sunyi ini. Apakah
selama hidup Ibu tidak mau bertemu dengan manusia?”
Tiba-tiba kerut di jidat Ang I
Niocu makin mendalam. “Tengoklah aku, Siong-ji. Lihatlah mukaku ini baik-baik!
Alangkah akan malu hatiku dan hatimu apa bila orang lain melihat mukaku yang
buruk ini!” Ia lalu menarik napas panjang berulang-ulang.
Lie Siong juga mengerutkan
keningnya dan memandang wajah ibunya. “Aneh sekali, Ibu. Aku merasa heran
karena kau selalu menyebut hal ini. Menurut pandanganku, wajahmu sangat cantik
dan aku bangga melihat wajahmu, Ibu. Mengapa kau selalu menganggap wajahmu
buruk? Aku sudah sering kali melihat wanita-wanita di dusun bawah gunung dan
tak ada seorang di antara mereka memiliki mata sebening mata Ibu, bentuk muka
secantik muka Ibu! Ibu sama sekali tidak buruk, hanya nampak tua, itu betul.
Akan tetapi, apakah hal ini perlu dibuat malu? Apakah yang tidak akan pernah
menjadi tua di dunia ini? Benda-benda yang paling keras dan kuat, akhirnya akan
menjadi tua pula!”
Ang I Niocu memegang tangan
puteranya. “Ah, Siong-ji, kalau saja kau dapat melihat wajah ibumu pada waktu
masih muda dulu! Ah, dibandingkan dengan sekarang, bedanya seperti bumi dengan
langit!”
“Aku tak peduli, Ibu. Bagiku,
bagaimana pun juga perubahan yang terjadi pada wajahmu, kau tetap ibuku. Tua
atau muda, cantik atau buruk, seorang Ibu tetap menjadi wanita termulia di
dunia ini! Marilah kita turun gunung, Ibu, dan aku bersumpah, siapa saja yang
berani mencela wajah Ibu, yang berani menghina atau membikin malu kepadamu,
akan kupecahkan kepalanya!”
Dengan terharu Ang I Niocu
memeluk puteranya. “Aku girang mendengar ucapanmu ini, Siong-ji. Kau tidak
perlu khawatir, kurasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang begitu berani
menghina Ang I Niocu! Seandainya ada, tak perlu kau mengeluarkan peluh, aku
sendiri masih cukup kuat untuk meremukkan kepalanya!”
“Kalau begitu, kau mau turun
gunung, Ibu?”
Kembali kening Ang I Niocu
berkerut lagi. “Nanti dulu, Siong-ji... aku masih ragu-ragu... wajahku ini...”
Lie Siong bangun berdiri dan
membanting-banting kaki. “Lagi-lagi Ibu berbicara tentang wajah...!”
“Ahhh, kau tidak tahu, Anakku.
Dulu, Ang I Niocu adalah secantik-cantiknya orang, akan tetapi sekarang,
seburuk-buruknya wanita! Bagaimana aku dapat menghadapi mereka?”
“Mereka siapa, Ibu?”
“Ayahmu, Pendekar Bodoh, Lin
Lin, Kwee An, Ma Hoa...”
“Sudahlah, sudahlah! Aku bosan
mendengar nama mereka kau sebut-sebut terus!” kata Lie Siong sambil
mempergunakan kedua tangan untuk menutup telinganya!
Pada saat itu, Ang I Niocu
yang tadinya masih duduk di atas tanah, melompat bangun dan memegang lengan
anaknya. Ia mendengar sesuatu dan sebelum ia dan puteranya dapat bergerak,
tiba-tiba berkelebat bayangan orang dengan gesitnya dan tahu-tahu di depan
mereka sudah berdiri seorang hwesio gundul yang berpakaian putih dan berusia
kurang lebih enam puluh tahun.
Hwesio ini bermuka lebar,
bermata tenang berpengaruh dan mulutnya selalu tersenyum sabar. Dia adalah Pek
I Hosiang yang sengaja datang mencari ke dalam hutan ini karena hendak
menyaksikan sendiri bagaimana macamnya ‘Sepasang Iblis’ yang ditakuti semua
orang itu.
Dia telah dapat menemukan goa
tempat tinggal sepasang iblis itu dan melihat golok dan kapak milik ketiga
orang muridnya berserakan di depan goa. Melihat goa itu kosong dan sunyi, Pek I
Hosiang lalu mencari ke tempat lain dan akhirnya dia mendengar suara dua orang
bercakap-cakap maka cepat menghampiri mereka.
Pek I Hosiang cepat membungkuk
dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.
“Omitohud! Harap dimaafkan apa
bila pinceng mengganggu Ji-wi, dan telah datang tanpa diundang. Jika pinceng
tidak salah duga, Ji-wi tentulah sepasang pendekar yang sedang mengasingkan
diri di dalam hutan ini, dan yang telah disohorkan oleh semua orang di sekitar
pegunungan ini.”
Tiba-tiba Ang I Niocu
melangkah maju menghadapi hwesio itu, kemudian membentak, “Pergilah...! Kau
hwesio tak tahu adat, pergilah dari sini!”
Pek I Hosiang terkejut melihat
wanita tua yang amat galak ini, akan tetapi dengan sabar ia tersenyum dan
kembali memberi hormat.
“Maaf, maaf! Sudah pinceng
akui tadi bahwa pinceng telah berlaku lancang, akan tetapi pinceng memang
sengaja datang hendak berkenalan dengan Ji-wi yang lihai. Pinceng mendengar
tentang keadaan Ji-wi dari tiga orang murid pinceng yang beberapa hari yang
lalu telah berlaku kurang ajar dan menerima hukuman. Pinceng bernama Pek I
Hoasiang dan menjadi ketua dari kelenteng di bawah gunung. Pinceng kini sengaja
datang untuk memintakan maaf bagi tiga orang murid pinceng. Bolehkah kiranya
pinceng mengetahui, Ji-wi siapakah?”
“Sudahlah, sudahlah!” Ang I
Niocu lalu membanting-banting kakinya dengan gemas dan hilang sabar. “Kami
tidak ingin mengetahui namamu dan tidak ingin pula mengenalkan nama kami. Kau
pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku dan menjatuhkan tangan
kepadamu!”
Akan tetapi Pek I Hosiang
masih tetap tenang dan sabar.
“Toanio (Nyonya Besar), harap
suka berlaku sabar, karena sesungguhnya pinceng tidak bermaksud buruk. Sudah
bertahun-tahun pinceng mendengar tentang adanya sepasang siluman di hutan ini,
namun pinceng tidak percaya dan menduga bahwa yang dianggap siluman tentulah
dua orang sakti yang bertapa di sini.”
“Cukup...! Pergi...!” Ang I
Niocu membentak lagi.
“Omitohud! Banyak sudah
pinceng berjumpa orang-orang pandai, akan tetapi tidak ada yang seaneh Ji-wi
ini...”
“Kau mencari penyakit!” Sambil
membentak marah, Ang I Niocu segera maju menyerang dengan sebuah pukulan dari
Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Pukulan ini luar biasa hebatnya, karena dari kedua
lengan tangannya mengebul uap putih!
“Omitohud!” Kembali Pek I
Hosiang menyebut nama Buddha dan cepat bagaikan kilat dia mengelak sambil
menangkis dengan tangan kanannya.
Ketika dua lengan tangan
beradu, Pek I Hosiang berseru kaget dan terhuyung-huyung mundur tiga langkah,
sedangkan Ang I Niocu juga merasa betapa tenaga pukulannya terbentur pada
tenaga yang amat kuat. Ia merasa heran sekali karena jarang ada orang yang bisa
menahan pukulan Pek-in Hoat-sut! Ia pun maklum bahwa hwesio ini bukanlah orang
sembarangan.
Sebaliknya, melihat pukulan
ini, Pek I Hosiang memandang dengan mata terbelalak.
“Bukankah... pukulan tadi
adalah sebuah gerakan dari Pek-in Hoat-sut?” katanya sambil memandang dengan
mata terbelalak.
Kembali Ang I Niocu tertegun.
“Kau sudah mengetahui kelihaian pukulanku, tidak lekas minggat dari sini?!” Ia
maju lagi, siap menyerang kembali.
“Ahh... kalau begitu...,
Toanio ini tentulah Ang I Niocu!”
Bukan main terkejut dan
marahnya hati Ang I Niocu mendengar bahwa hwesio tua ini telah mengenalnya.
Selama ini dia berusaha untuk menjauhi manusia supaya tidak ada orang melihat
bahwa Ang I Niocu yang cantik jelita kini telah berubah menjadi seorang nenek
tua buruk.
“Bangsat gundul! Dengan
menyebut nama itu, berarti kau harus mampus!” teriaknya dan kembali dia
memukul.
Akan tetapi Pek I Hosiang
dapat mengelak dengan cepat sambil berkata, “Tentu Ang I Niocu! Siapa lagi
wanita berbaju merah yang cantik jelita dan dapat mainkan Ilmu Silat Pek-in
Hoat-sut selain Ang I Niocu?”
Ucapan ini semakin membakar
hati Ang I Niocu. Sesungguhnya, dalam pandangan mata Pek I Hosiang, ia masih
nampak cantik jelita, sungguh pun sudah amat tua, akan tetapi ia mengira bahwa
hwesio itu sengaja menghina dan mengejeknya dengan menyebutkan cantik jelita
tadi.
Ketika ia hendak menyerang
kembali, tiba-tiba Lie Siong berkata, “Ibu, berikanlah hwesio ini kepadaku!”
Ang I Niocu tiba-tiba teringat
akan puteranya dan dia lalu timbul pikiran untuk mencoba kepandaian puteranya
itu. Hwesio ini cukup tangguh, dan tepatlah apa bila dipergunakan sebagai ujian
bagi puteranya.
“Baik, kau majulah dan
hancurkan kepala orang yang sudah berani menghina ibumu ini,” katanya sambil
melompat mundur.
Di dalam hatinya, Lie Siong
tidak setuju dengan pendapat ibunya. Dia sama sekali tidak menganggap hwesio
tua ini menghina ibunya, akan tetapi ia tidak berkata satu kata pun. Memang dia
sengaja hendak mencoba kepandaian hwesio ini, sekalian untuk mencegah ibunya
turun tangan, karena pemuda ini dapat menduga bahwa kalau ibunya yang maju,
hwesio ini pasti akan tewas!
Demikianlah, tanpa menanti
hwesio itu mengeluarkan kata-kata, Lie Siong lalu melompat maju dan
menyerangnya dengan pukulan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw. Hwesio itu kagum
sekali melihat gerakan yang indah ini dan timbul kegembiraan hatinya untuk
mencoba kepandaian ‘siluman’ ini.
Pek I Hosiang adalah seorang
hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia adalah murid tunggal dari Biauw
Leng Hosiang, tokoh kang-ouw yang sangat terkenal. Bagi pembaca yang sudah
membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Biauw Leng Hosiang
adalah sute (adik seperguruan) dari Biauw Suthai, tokouw (pendeta wanita) yang
lihai dan yang menjadi guru pertama dari Lin Lin atau Nyonya Cin Hai si
Pendekar Bodoh! Oleh karena itu tentu saja ilmu silatnya amat tinggi. Tidak
seperti gurunya yang tersesat, Pek I Hosiang ternyata menjadi seorang hwesio
yang suci dan beribadat.
Pek I Hosiang sudah sering
mendengar nama Ang I Niocu dan mendengar pula bahwa ilmu silat Pendekar Wanita
Baju Merah itu amat tinggi. Ia tahu pula bahwa Ang I Niocu mendapat latihan
dari Bu Pun Su dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi seperti Pek-in Hoat-sut,
Kong-ciak Sin-na dan lain-lain. Karena itu ketika ia melihat pemuda itu
bersilat demikian indahnya, dia dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu silat
yang disebut Sian-li Utauw!
Meski pun gerakan pemuda itu
lemah lembut dan ilmu silatnya lebih patut disebut tarian yang indah, namun dia
maklum akan kelihaian tarian ini dan tidak berani memandang ringan. Beberapa
kali dia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga pemuda ini, akan tetapi ia
terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya tergetar tiap kali bertemu
dengan lengan pemuda itu! Ia menjadi kagum sekali.
“Pantas...!” serunya sambil
mengelak dari sebuah pukulan. “Pantas sekali kau menjadi putera Ang I Niocu
yang lihai!”
Selama hidup Pek I Hosiang
belum pernah menghadapi tandingan semuda dan selihai ini, maka saking
gembiranya, dia lalu mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang toya pendek
yang tadi diselipkan pada ikat pinggangnya.
“Anak muda, mari kita
coba-coba mengadu senjata!” katanya.
Lie Siong mewarisi watak
ibunya yang keras dan tinggi hati, maka mendapat tantangan ini, dia tidak
mempedulikan lawannya dan terus saja menyerang dengan tangan kosong! Dia lalu
mengeluarkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, yaitu semacam ilmu silat yang banyak
menggunakan cengkeraman dan memang tepat sekali dipergunakan untuk menghadapi
lawan bersenjata dengan tangan kosong.....
Pek I Hosiang terkejut bukan
main dan biar pun mulutnya tetap tersenyum dan sepasang matanya memandang
kagum, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa penasaran dan tak senang.
Alangkah sombongnya anak muda ini, pikirnya. Karena itu, dia segera memutar
kedua toyanya dengan cepat sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya bermain
toya.
Perlu diketahui oleh para
pembaca yang belum membaca kisah Pendekar Bodoh bahwa tingkat ilmu silat Biauw
Leng Hosiang tidak di bawah tingkat Ang I Niocu, maka karena Pek I Hosiang juga
sudah mewarisi sebagian besar dari ilmu silat gurunya itu, maka tentu saja Lie
Siong tidak dapat bertahan lama menghadapinya dengan tangan kosong.
Kedua toya pendek di tangan
Pek I Hosiang bergerak laksana sepasang ular besar yang menyerang dengan
berlenggak-lenggok, sehingga semua usaha Lie Siong dengan Ilmu Silat Kong-ciak
Sin-na untuk merampas senjata ini tidak pernah berhasil. Bahkan lambat akan
tetapi pasti, Pek I Hosiang mulai mendesak pemuda itu!
Melihat betapa pemuda itu
masih saja tak mau mengeluarkan senjatanya, Pek I Hosiang lalu memainkan gerak
tipu Hing-san Chian-kun (Menyerampang Bersih Ribuan Tentara). Kedua toyanya
menyambar-nyambar dari kanan kiri mengeluarkan gulungan sinar putih yang
mendatangkan angin menderu.
Lie Siong diam-diam terkejut
juga melihat kehebatan lawan ini, maka dia terpaksa cepat menggerakkan dua
kakinya dan menghindarkan desakan lawan dengan langkah Tui-po Lian-hoan
(Gerakan Kaki Mundur Berantai) sambil memukul-mukulkan kedua tangannya
menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menolak datangnya dua
toya yang berbahaya itu.
Namun, gerakan kedua toya di
tangan Pek I Hosiang amat cepatnya dan juga tidak lurus seperti senjata
lainnya, tetapi menyerang secara berlenggak-lenggok tak tentu dari mana arahnya
sehingga sukarlah untuk ditangkis, sungguh pun dengan tenaga Pek-in Hoat-sut
yang lihai. Karena itu, terpaksa Lie Siong mengenjot kedua kakinya, dan sambil
berseru keras dia melompat dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Melompat ke
Atas) kemudian disusul dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Iblis
Berjungkir Balik) maka tubuhnya lalu berjumpalitan di udara dan dengan jalan ini
ia terhindar dari serangan lawan. Ketika dia melompat turun kembali, pada
tangannya sudah nampak pedang Sin-liong-kiam yang berbentuk naga itu!
Bukan main kagumnya Pek I
Hosiang melihat Sin-liong-kiam yang hebat itu!
“Bagus, jangan berlaku sheji
(sungkan), anak muda yang gagah, kau majulah dengan pedangmu itu!”
Mereka bertempur lagi dan kali
ini pertempuran itu betul-betul hebat dan ramai sekali. Lie Siong memutar
pedangnya yang aneh itu dengan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sedangkan
Pek I Hosiang memainkan Ilmu Toya Hek-cia-kun-hwat yang juga luar biasa cepat
dan kuatnya.
Akan tetapi, akhirnya hwesio
tua itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu pedang lawan yang muda namun
lihai itu. Dengan gerakan tipu Lian-hwa Gai-ho (Bunga Teratai Membuka Daun),
Lie Siong menyerang dengan hebat sekali menusuk pusar lawannya.
Pek I Hosiang sangat terkejut
menyaksikan hebatnya serangan ini. Sungguh pun pedang lawannya itu tidak
runcing, akan tetapi bahayanya tidak kalah oleh pedang biasa yang runcing, karena
kepala naga itu mempunyai tanduk yang runcing dan dapat digunakan untuk menotok
jalan darah atau melukai tubuh. Dia cepat-cepat menangkis dengan toya di tangan
kanannya sambil mengayun toya di tangan kiri mengemplang lawan.
Inilah gerakan ilmu toya yang
disebut Menerima Kembang Memberi Buah dari Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat yang
lihai. Memang Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat ini mengutamakan gerakan pembalasan
yang amat cepat. Tiap kali toya kanan atau kiri menangkis, maka toya kedua
pasti membarengi serangan lawan itu untuk mengirim serangan balasan yang tak
kalah hebatnya!
Akan tetapi, Lie Siong sudah
tahu akan sifat ilmu toya ini, karena itu pada waktu dia tadi menyerang dengan
gerakan Lian-hwa Gai-ho, dia telah siap sedia dengan tangan kirinya. Melihat
toya di tangan kiri lawan menyambar ke arah kepalanya, dia cepat mengulurkan
tangan dan menggunakan cengkeraman Kong-ciak Sin-na mencoba merampas toya itu!
Tentu saja Pek I Hosiang tidak
mau membiarkan toyanya dirampas, maka ia cepat-cepat mengubah gerakan toya kiri
ini ke samping supaya tidak sampai dirampas. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan
merampas dari pemuda itu hanyalah gerakan pancingan belaka untuk mengalihkan
perhatian Pek I Hosiang, karena sebenarnya yang hendak merampas senjata lawan
adalah tangan kanannya yang memegang pedang.
Ketika lawannya memperhatikan
gerakan tangan kiri, maka ketika pedang itu ditangkis oleh toya kanan, Lie
Siong menggetarkan tangan kanannya dan lidah merah dari pedang naga itu dengan
cepat lalu membelit toya lawan dan sekali ia berseru keras dan menarik, toya
kanan dari Pek I Hosiang telah terbetot dan terlepas!
Pek I Hosiang kaget sekali,
cepat menggunakan gerakan Naga Hitam Keluar dari Awan, melompat ke belakang
untuk menghindarkan diri dari serangan lawannya. Akan tetapi sebetulnya tak
perlu ia menggunakan gerakan ini, karena Lie Siong tidak menyerangnya, juga
tidak mengejarnya.
Sambil melihat sebatang
toyanya tergantung pada lidah pedang naga itu, Pek I Hosiang menghela napas dan
tersenyum pahit.
“Omitohud! Kau anak muda
betul-betul mengagumkan! Pinceng Pek I Hosiang mengaku kalah!” Ia menjura
kepada Lie Siong.
Pemuda itu tidak menjawab,
hanya menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba toya yang tadi terbelit oleh
lidah pedang naganya, kini terlepas lantas meluncur ke arah pemiliknya dengan
kecepatan laksana anak panah yang terlepas dari busurnya! Pek I Hosiang cepat
mengulur tangan dan menangkap toyanya yang hendak menembus dadanya itu.
Akan tetapi, Ang I Niocu tidak
puas dengan kemenangan puteranya yang tidak melukai lawannya itu.
“Hwesio busuk, lekas kau pergi
dari sini dan tinggalkan toyamu!” katanya dan secepat kilat dia sudah mencabut
pedang Liong-cu-kiam yang bercahaya menyilaukan itu. “Tidak seorang pun yang
datang bersenjata boleh pulang membawa senjatanya!”
Ia lalu menerjang dengan
cepat, menyerang dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga hingga pedangnya
berkelebat dan berubah menjadi segulung sinar indah. Pek I Hosiang terkejut dan
cepat mengangkat kedua toyanya untuk menangkis.
“Traang...! Traaaang...!”
Saat dua kali pedang
Liong-cu-kiam bertemu dengan sepasang toya itu, ternyata dengan amat mudahnya
toya-toya itu terbabat putus!
Ang I Niocu melompat mundur
kembali, masukkan pedang ke dalam sarung pedangnya dan berkata singkat,
“Pergilah!”
Pek I Hosiang menjadi pucat
dan ia masih menahan perihnya hati karena hinaan ini. Ia tersenyum sabar dan
menjura.
“Terima kasih atas petunjuk
dari Ang I Niocu dan puteramu!” hwesio ini lalu melompat dan turun gunung
dengan tindakan kaki cepat sekali.
Sesudah bayangan hwesio itu
tidak nampak lagi, Lie Siong lalu berkata kepada ibunya, “Ibu, Liong-cu-kiam
itu hebat sekali. Kalau pedang Sin-liong-kiam beradu dengan pedang
Liong-cu-kiam, bukankah senjataku akan terbabat putus pula?”
“Siong-ji, apa kau kira ibumu
akan mencarikan pedang sembarangan saja untukmu tanpa diuji terlebih dulu?
Cabutlah pedangmu itu!”
Lie Siong meloloskan
Sin-liong-kiam, ada pun Ang I Niocu juga mencabut Liong-cu-kiam. “Nah, mari
kita berlatih, sekalian untuk membuktikan apakah pedangmu akan rusak kalau akan
bertemu dengan pedangku!”
Anak dan ibu itu lalu bermain
pedang, serang menyerang dengan hebatnya, bahkan lebih hebat dari pada
pertempuran melawan hwesio tadi! Beginilah cara Ang I Niocu melatih anaknya!
Dulu, sebelum Lie Siong memiliki kepandaian tinggi, setiap kali berlatih dengan
ibunya, pemuda ini tentu mengalami kesakitan dan selalu dirobohkan oleh ibunya!
Pernah ia mengalami ditotok
sampai pingsan, dipukul sampai matang biru, bahkan ketika berlatih senjata
tajam, pernah pundaknya tergores pedang sampai mengeluarkan darah! Hal ini
memang disengaja oleh Ang I Niocu untuk melatih ketabahan kepada puteranya.
Sekarang mereka berlatih dengan pedang-pedang mustika, hal yang baru kali ini
mereka lakukan. Liong-cu-kiam dan Sin-liong-kiam berkali-kali bertemu sehingga
terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berpijar, akan tetapi kedua pedang
itu ternyata tidak rusak!
Seratus jurus lebih mereka
bermain pedang dan yang nampak hanyalah bayang-bayang putih dan merah yang
diselimuti oleh gulungan cahaya pedang Liong-cu-kiam yang putih seperti perak
dan sinar pedang Sin-liong-kiam yang kekuning-kuningan seperti emas!
“Sudah cukup...!”
Keduanya berhenti dan
menyimpan pedang masing-masing. Hati Lie Siong merasa puas sekali dan diam-diam
Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang dan bangga
terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah olehnya!
“Siong-ji, sekarang telah
banyak orang yang tahu akan tempat tinggal kita, malah hwesio gundul tadi sudah
mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tidak perlu lagi kita lebih lama tinggal
di tempat ini!”
Lie Siong menatap wajah
ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali tidak
membayang pada wajahnya yang elok.
“Jadi, kita turun gunung?”
tanyanya penuh harapan.
Betapa pun keras hatinya
sehingga dia sering kali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong adalah
seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi kalau
ibunya belum memberi persetujuannya.
Akan tetapi ibunya menggeleng
kepala. “Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama kau ingin merantau,
bukan? Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi dan carilah pengalaman
di dunia kang-ouw!”
“Akan tetapi, bagaimana dengan
kau, Ibu...? Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di tempat ini...”
Ibunya lantas mencabut pedang
Liong-cu-kiam yang ampuh tadi. “Aku sudah mempunyai kawan. Liong-cu-kiam ini
adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang memberi kenang-kenangan
kepadaku.” Sambil berkata demikian, dia mengusap-usap pedang itu dengan
tangannya, penuh kasih sayang.
“Ibu, dari manakah kau
memperoleh Liong-cu-kiam itu?”
Ibunya menghela napas panjang
dan teringatlah dia akan segala pengalaman bersama Pendekar Bodoh ketika
mendapatkan pedang itu.
“Sesungguhnya, Susiok-couw Bu
Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang lagi, yang lebih
panjang, dan yang sekarang berada di dalam tangan Pendekar Bodoh.”
“Ah, aku ingin sekali
menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couw-mu itu, Ibu.”
“Anak bodoh, jangan
sembarangan bicara! Susiok-couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling tinggi
ilmu kepandaiannya. Tiada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya, dan
sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang, walau pun
ibumu juga pernah mendapat latihan darinya.”
“Hemm, aku pun sejak dulu
ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang sering kali Ibu puji-puji.”
“Pergilah dan kau tentu akan
berjumpa dengan mereka yang pandai itu. Pergilah dan berlakulah hati-hati,
jangan membikin malu nama ibumu.”
Sesudah berkata demikian, Ang
I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam goa lalu mengumpulkan pakaian
puteranya. Dia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian warna kuning dengan
leher baju merah. Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong selalu diberi pakaian
warna putih atau kuning oleh ibunya sehingga lama kelamaan pemuda itu hanya
suka mengenakan pakaian putih atau kuning saja.
“Nah, kau pergilah, Anakku.
Kau sudah tahu di mana tempat tinggal sahabat-sahabatku, carilah mereka dan
jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau telah tahu siapa adanya tokoh-tokoh
kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu, karena itu
berhati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau Pek-le-to
lagi, karena ayahmu tentu mencari-cari kita. Kasihan ayahmu itu, kau carilah
dia dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia. Berangkatlah, doaku
besertamu selamanya.”
“Selamat tinggal, Ibu. Dan...
Ibu hendak ke manakah? Bilakah aku bisa bertemu dengan Ibu lagi?”
“Tak perlu kau bingungkan soal
ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada di sini atau di tempat lain, akan tetapi
jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak.”
Berat hati Lie Siong ketika
hendak meninggalkan tempat itu. Dia telah melangkah keluar dari goa, akan
tetapi tiba-tiba dia kembali lagi dan memeluk ibunya.
“Ibu, berjanjilah bahwa kita
pasti akan bertemu lagi.”
Ang I Niocu merasa terharu dan
dia lalu tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun meninggalkan bibirnya. Ia
lalu mendekap kepala puteranya dan mencium jidat puteranya yang tercinta itu.
“Jangan gelisah, Siong-ji.
Apakah kau kira aku senang hati berpisah dengan kau untuk selamanya?
Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku.”
Maka berangkatlah Lie Siong
dengan membawa sebungkus pakaian yang diikatkan pada punggungnya, ada pun
pedangnya, Sin-liong-kiam, atas kehendak ibunya disembunyikan di balik
mantelnya yang panjang.
Ketika dia telah keluar dari
hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, dia mendengar suara riuh
rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua puluh orang lebih sedang
naik menuju ke hutan itu. Mereka adalah penebang-penebang pohon yang bersenjata
lengkap, mengiringi enam orang yang bukan lain adalah para pengusaha kayu.
Mereka ini merasa penasaran
ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu dengan sepasang
‘siluman’ itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih orang-orang yang
dianggap paling kuat dan gagah di antaranya sebagian besar adalah murid dari
Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak menyerbu dan
menangkap siluman-siluman itu!
Lie Siong tertarik hatinya
melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka itu berhenti dan
bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Pada saat Lie Siong
sampai di dekat tempat itu, ternyata dia melihat empat orang yang bertubuh kuat
sedang mendemonstrasikan tenaga mereka.
Keempat orang ini adalah
murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai. Tadi ketika mereka berjalan naik,
mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu dan timbul hati ngeri
dan takut di antara sebagian besar para penebang pohon. Oleh karena itu, untuk
membakar semangat kawan-kawannya, empat orang yang terkuat itu kemudian
memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat sekali!
Sebatang pohon yang besarnya
tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat batangnya dengan
seutas tambang yang besar dan sangat kuat, kemudian empat orang itu lalu
mengerahkan tenaga menarik tambang itu. Urat-urat menonjol pada dada dan tangan
mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka sengaja sudah
menanggalkan baju agar tidak robek.
Memang kehebatan tenaga mereka
sulit dipercaya. Empat ekor kerbau saja belum tentu akan dapat menarik pohon itu
sehingga tumbang, akan tetapi pada saat empat orang ini mengerahkan tenaga,
segera terdengar suara keras sekali dan pohon itu roboh berikut akar-akarnya!
Karena semua orang sedang
menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian, maka tak ada seorang pun di
antara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri di antara mereka, yang
menonton demonstrasi itu.
Berbareng dengan robohnya
pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang tidak kagum
menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu? Empat orang itu
memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan tetapi
tiba-tiba seorang di antara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie Siong.
Ia merasa heran karena tidak
mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika
dia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak turut bersorak memuji.
Memang tak seorang pun di antara mereka mengenal Lie Siong, sebab tiga orang
penebang pohon yang pernah dia robohkan itu tidak berani ikut serta bersama
rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan menegur,
“Eh, Sobat! Kau ini siapakah
dan mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menghargai kepandaian kami?
Ketahuilah bahwa hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami berempatlah maka
sepasang siluman Pek-ang Siang-mo itu akan ditumpas!”
Semua orang kini memandang
kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal pemuda ini dan
tidak tahu pula kapan pemuda ini datang di situ.
Lie Siong merasa mendongkol
sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali saat mendengar betapa mereka
hendak membasmi sepasang iblis yang dia dapat menduga tentu dimaksudkan ibunya
dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tak berubah sedikit pun juga, ia
berkata acuh tak acuh,
“Apa sih anehnya tenaga kalian
berempat? Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke dalam hutan di atas ini.”
“Eh, ehh, mengapa kau berkata
demikian?” tanya Si Jenggot Pendek.
“Karena tenagamu yang hanya
dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya. Kalau kalian pergunakan
untuk menarik lawan, biar pun hanya satu kakinya saja, kalian tidak akan mampu
merobohkannya!”
Bukan main marahnya empat
orang jagoan itu dan semua orang juga ikut memandang dengan heran dan marah.
“Orang muda, kau tahanlah
lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul aku akan
menghancurkan kepalamu!” kata salah seorang di antara empat jagoan itu yang
bertubuh besar pendek.
“Siapa bicara sembarangan?
Kalianlah yang bermata buta dan sombong.”
“Kau bicara sungguh-sungguh?”
Si Jenggot Pendek berkata sambil tersenyum menghina. “Kalau begitu, kau berani
membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau merasa pasti bahwa
kami tidak akan dapat merobohkanmu?”
Semua orang tertawa mengejek
mendengar ini. Enam orang pengusaha itu lalu berdiri sekelompok kemudian
berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran melihat keberanian pemuda
tampan ini.
Akan tetapi Lie Siong masih
bersikap tenang dan dingin. “Mengapa tidak berani? Kalau kau dapat menarik
sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian patut
naik ke hutan itu.”
“Bagus!” seru Si Jenggot
Pendek. “Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari tubuhmu, jangan
kau persalahkan kami, anak muda yang manis!”
Terdengar suara orang-orang
tertawa disusul dengan ejekan, “Bila kakinya sudah copot, bagaimana dia bisa
mengeluarkan kata-kata lagi?”
Kembali terdengar semua orang
tertawa geli sungguh pun mereka memandang semakin tertarik dan dengan penuh
perhatian. Semua orang lalu menduga-duga siapa gerangan pemuda yang mencari
penyakit ini. Apakah dia berotak miring?
“Boleh, aku berjanji,” jawab
Lie Siong yang ingin mempermainkan orang-orang sombong itu, “sebaliknya kalian
semua harus berjanji bahwa apa bila kalian tak dapat merobohkan sebelah kakiku
maka selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan menebang pohon di hutan
itu!”
“Jadi!!” seru Si Jenggot
Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena ucapan pemuda
ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu!
Semua orang lalu mundur dan
membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para pengusaha berdiri
sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok lain yang
tersendiri, tidak berani mendekati para ‘thauwke’ (majikan) itu. Empat orang
kuat itu lalu mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek memegang
ujung tambang dan menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai,
“Kau sudah siap?”
Lie Siong menurunkan buntalan
pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian dia kembali ke
tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat kaki kirinya ke
depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya demikian enak dan
seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang tertawa mengejek.
Kalau orang yang mempunyai
kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang teguh, mengerahkan
tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa pemuda ini berdiri
seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan purnama? Sungguh lucu dan
menggelikan. Jangan kata hendak ditarik dengan tambang oleh empat orang yang
bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar bertiup saja, agaknya pemuda
itu akan rubuh.
Tentu saja mereka itu tidak
tahu bahwa Lie Siong diam-diam sudah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh yang
disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan cara berdiri itu adalah
bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sian-li Utauw (Ilmu Silat Bidadari), yaitu
disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar!
“Aku sudah siap!” Lie Siong
berkata dengan suara dingin saja seakan-akan tidak sedang menghadapi urusan
penting.
Sambil tertawa haha-hihi, Si
Jenggot Pendek lalu membelitkan ujung tambang pada kaki kanan Lie Siong tepat
pada tulang keringnya, di atas pergelangan kaki, agak di bawah betisnya.
Kemudian setelah memeriksa bahwa ikatan tali pada kaki itu cukup kuat takkan
terlepas bila ditarik, ia lalu mendekati kawan-kawannya dan sambil
tersenyum-senyum ia berkata perlahan,
“Kita menggunakan tenaga
tiba-tiba menariknya agar dia jatuh terjengkang!”
Tiga orang itu tersenyum gembira
kemudian menganggukkan kepalanya. Mereka segera berdiri berbaris dan memegang
tambang itu.
Semua orang memandang dengan
napas tertahan, karena betapa pun mereka merasa lucu dan penasaran kepada
pemuda yang mereka anggap berotak miring ini. Melihat wajah yang elok dan kulit
yang halus itu mereka merasa kasihan juga.
Sedikitnya kaki yang tidak
seberapa besarnya itu pasti akan patah akibat tarikan empat orang kuat ini,
pikir mereka. Bahkan salah seorang pengusaha yang berpakaian kuning dan yang
masih muda berwajah tampan, lalu menghampiri Lie Siong dan berkata,
“Hian-te, kenapa kau melakukan
hal yang bodoh ini? Kau mintalah maaf kepada mereka dan aku yang tanggung bahwa
perkara ini akan dibikin habis sampai di sini saja.”
Lie Siong paling tidak suka apa
bila ada orang menaruh hati kasihan kepadanya, maka sambil mengerling tajam ke
arah orang itu, dia pun berkata, “Jangan ikut campur, dan mundurlah!” Tentu
saja semua orang semakin merasa tak senang melihat sikap ini, dan orang baju
kuning itu pun mundur dengan muka kemerahan.
“Aku sudah siap, hayo tariklah
sekuatmu!” kata Lie Siong sekali lagi.
Orang berjenggot pendek itu
lalu memberi aba-aba, “Tarik...!!”
Empat orang itu langsung
mengerahkan seluruh tenaga membetot tambang itu sehingga urat-urat pada lengan
dan dada mereka mengembung. Semua orang memandang dan terbayang sudah di mata
mereka betapa pemuda elok ini akan jatuh tunggang-langgang dengan kaki patah.
Akan tetapi... sungguh aneh, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu!
Pemuda elok itu masih berdiri
seperti tadi, kaki kiri diangkat ke depan dan kedua tangan ditaruh di belakang.
Sedikit pun ia tidak berkedip seakan-akan sama sekali tidak merasa akan tarikan
dan sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri!
“Aduh...! Sungguh aneh!”
terdengar suara penonton.
“Tak masuk di akal!”
“Tak mungkin...!”
“Ajaib sekali...!”
Jika semua orang yang menonton
menjadi terheran-heran, empat orang jagoan itu lebih terkejut lagi. Tambang itu
sudah tertarik sehingga menegang, bahkan terdengar bergerit saking kuatnya
mereka menarik, akan tetapi mereka merasa seolah-olah sedang menarik sebuah
gunung saja!
Untuk sesaat mereka saling
pandang, kemudian dengan amat penasaran mereka segera menarik lagi. Kini
tarikan mereka tidak teratur lagi, suara mereka ‘ah-ah, uh-uh’ sambil
mengerahkan tenaga sekuatnya, sehingga mereka terhuyung ke sana terdorong ke
mari, namun tetap saja kaki yang dilibat tambang dan ditarik itu sama sekali
tidak bergeming sedikit pun!
Kini tak seorang pun penonton
dapat mengeluarkan suara, bahkan bernapas pun mereka hampir lupa! Keempat orang
jagoan itu sambil membetot, memandang kepada pemuda itu dengan mulut ternganga
saking herannya, akan tetapi mereka tidak berhenti menarik. Mustahil tidak
dapat merobohkannya, pikir mereka dan kembali mereka mengerahkan tenaga
seadanya untuk membetot kaki yang hanya kecil saja itu!
Peluh sebesar kacang telah
menitik turun dari jidat mereka, dan napas mereka pun mulai terengah-engah
setelah beberapa lama mereka menarik dengan tenaga sepenuhnya.
Lie Siong merasa bahwa sudah
cukup ia memperlihatkan tenaganya, karena itu dia lalu membentak keras.
“Tidak lekas-lekas lepaskan
tambang?” Sambil berkata demikian, tanpa menurunkan kaki kirinya, kaki kanannya
melakukan gerakan mengisar dan... tak dapat ditahan pula, empat orang jagoan
itu lalu terdorong ke depan, dan karena mereka masih belum melepaskan tambang
itu, mereka jatuh saling timpa!
Yang paling sial adalah Si
Jenggot Pendek karena ia tertindih oleh dua orang kawannya dan karena jatuhnya
dengan hidung di depan, maka ketika merangkak bangun kembali, hidungnya yang
tadinya mancung telah menjadi pesek dan berdarah!
Kini ramailah orang-orang itu
memuji dan menyatakan keheranan mereka. Bagaimana mungkin terjadi hal yang aneh
ini? Walau pun sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka masih belum
dapat percaya bahwa seorang pemuda yang lemah-lembut dan berkulit halus itu
dapat memiliki tenaga yang demikian besarnya. Siapakah pemuda lihai ini? Mereka
saling bertanya tanpa berani menanyakan sendiri kepada pemuda itu.
Pada saat itu nampak dua orang
berlari dari bawah lereng. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar
bersama seorang hwesio. Ketika laki-laki tinggi besar itu tiba di situ dan
melihat Lie Siong, ia lalu cepat berseru kepada semua orang,
“Dia adalah iblis putih!”
Orang ini adalah seorang di
antara penebang pohon yang dulu pernah dirobohkan oleh Lie Siong, dan mendengar
seruan ini, semua orang menjadi pucat mukanya, ada yang menggigil dan bahkan
ada yang cepat mengangkat kaki lari dari situ! Akan tetapi, ketika mereka
melihat hwesio yang datang bersama penebang tadi, semua orang lalu menjadi
tabah kembali dan mengikuti hwesio itu menghampiri Lie Siong. Hwesio itu bukan
lain adalah Pek I Hosiang sendiri.
Melihat bahwa yang menimbulkan
keributan itu adalah Lie Siong, Pek I Hosiang segera merangkapkan kedua tangan
di depan dada sambil memberi hormat.
“Omitohud, tak tahunya
Siauw-enghiong (Orang Muda Gagah) yang datang di sini! Harap suka maafkan
murid-murid pinceng yang bodoh dan tidak tahu aturan, Siauw-enghiong.
Sesungguhnya ketika pinceng mendengar bahwa mereka ini hendak menyerbu ke dalam
hutan, segera pinceng menyusul ke sini untuk mencegah mereka.”
Melihat Lie Siong hanya
berdiri tanpa menjawab, hwesio itu lantas memandang kepada semua orang dan
berkata,
“Cuwi sekalian, harap
mendengarkan kata-kata pinceng. Mulai sekarang janganlah ada seorang pun berani
mengganggu hutan di atas itu! Ketahuilah bahwa di situ tinggal dua orang
pendekar sakti yang mengasingkan diri! Pegunungan ini mempunyai banyak sekali
hutan-hutan besar, mengapa harus mengganggu hutan kecil? Kalau kalian sayang
diri, jangan sekali-kali berani memasuki hutan itu lagi. Ang I Niocu dan
puteranya bukanlah siluman, akan tetapi pendekar-pendekar besar yang
berkepandaian tinggi dan tidak mau diganggu!”
Semua orang terkejut mendengar
ini, karena tak pernah mereka sangka bahwa hwesio ini pun telah kenal kepada
dua orang yang tadinya dianggap siluman itu, terutama sekali para murid yang
pernah mendengar nama Ang I Niocu yang tersohor! Mereka cepat memandang kepada
pemuda yang diperkenalkan sebagai putera Ang I Nicou itu, tetapi alangkah heran
dan kagetnya semua orang ketika melihat bahwa di situ tidak nampak lagi
bayangan pemuda tadi! Pemuda tadi telah lenyap bersama buntalan pakaiannya
tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali Pek I Hosiang. Hwesio ini lalu
berkata,
“Dia sudah pergi!” Dia
menghela napas. “Masih baik bahwa pemuda itu sendiri yang datang di sini, tidak
bersama ibunya. Kalau kalian berani mengganggu ibunya, tak dapat kubayangkan
kengerian yang menjadi akibatnya!”
Semenjak saat itu, semua orang
memandang hutan itu sebagai tempat keramat dan tak seorang pun berani naik ke
situ. Nama Ang I Niocu makin terkenal, dan juga puteranya menjadi buah bibir
semua orang yang tinggal di sekitar Pegunungan Ho-lan-san…..
********************
Pada suatu hari, ketika Lie
Siong tiba di sebuah jalan yang sunyi, dia melihat dua orang laki-laki sedang
bertengkar. Tadinya dia tidak hendak mempedulikan kedua orang yang bercekcok
itu, akan tetapi karena ia mendengar suara yang seorang amat aneh dan kaku
seperti orang asing, ia tertarik juga dan segera menghampiri mereka sambil
bersembunyi di balik pohon besar.
Laki-laki yang bicaranya
terdengar kaku itu adalah seorang setengah tua yang berkumis dan berjenggot
panjang, nampaknya gagah sekali dan matanya bersinar tajam. Ada pun orang yang
bercekcok dengan dia adalah seorang muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka
kasar dengan mulut selalu menyeringai sombong.
“Gui-kongcu (Tuan Muda Gui),
sudah berkali-kali aku menegur dan menasehatimu agar kau jangan menggoda anakku
lagi, akan tetapi agaknya kau sengaja bahkan menghina puteriku. Aku biasanya
amat sabar, akan tetapi jangan kira bahwa kesabaranku ini tanda bahwa aku takut
kepadamu!”
Laki-laki muda itu tertawa
bergelak dengan sikap menghina sekali.
“Paman Manako, kau orang tua
mengapa tidak memaklumi hati orang-orang muda? Aku mencinta Lilani, kenapa aku
menghina? Aku pernah melamar anakmu itu, mengapa pula kau berani menampik
pinanganku? Ingat, Paman Manako, kau datang sebagai seorang perantau, dan kalau
tidak ada aku dan ayahku, tidak mungkin kau dapat tinggal di daerah ini!”
“Kurang ajar!” bentak lelaki
berkumis yang bernama Manako itu. “Gui-kongcu, kau sudah mengucapkan kata-kata
menghina terhadap seorang laki-laki Haimi. Kalau aku tak ingat bahwa kau masih
kanak-kanak dan tidak ingat bahwa ayahmu sudah menolongku, untuk ucapanmu itu
saja aku dapat membunuhmu! Memilih mantu tidak dapat dipaksa. Anakku Lilani tak
suka kepadamu, bagaimana aku harus menerima pinanganmu? Sungguh amat tidak tahu
malu bagi seorang pemuda yang sudah ditolak pinangannya, tetapi masih saja
mendesak dengan cara yang kurang ajar sekali!”
“Manako!” pemuda itu membentak
marah, kini tanpa menggunakan sebutan paman lagi. “Lupakah kau sedang bicara
dengan siapa?” Pemuda ini kemudian mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.
Orang tua berjenggot itu
tersenyum dan dengan tenang ia pun lalu mencabut pedangnya pula. “Tentu saja
aku tidak lupa. Aku berhadapan dan bicara dengan Gui-kongcu, putera dari Kepala
Daerah Ki-ciang. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa aku Manako bukan seorang
penjilat. Tidak peduli siapa saja kalau berani menghinaku, akan kulawan!”
“Orang Haimi yang sombong,
rasakan tajamnya pedangku!” teriak pemuda tinggi besar itu dan segera dia
menyerang dengan sebuah tusukan hebat.
Gerak tipunya ini ialah yang
disebut Han-ya Pok-cui (Burung Gagak Menyambar Kelinci), sebuah gerakan tipuan
dari Ilmu Pedang Tat-mo Kiam-hoat, yakni ilmu pedang ciptaan pendekar besar Tat
Mo Couwsu. Akan tetapi, dengan tenang orang Haimi itu menangkis dengan
pedangnya sehingga Pemuda she Gui itu terkejut sekali karena ternyata bahwa
tenaga lawannya amat besar, membuat pedangnya terpental ke belakang!
Ia berseru keras dan segera
menyerang lagi dengan gerak tipu Hui-eng Bok-thou (Elang Terbang Menyambar
Kelinci). Kedua kakinya melompat ke atas dan pedangnya ganas menyambar. Akan
tetapi Manako, orang Haimi itu dengan amat gesitnya lalu mengubah kedudukan
kakinya, melangkah dengan kaki kanan ke belakang, lalu memutar tubuhnya dengan
gerak tipu Monyet Sakti Memasuki Goa. Dengan gerakan ini dia segera berhasil
menghindarkan diri dari serangan lawan, kemudian ia membalas menyerang dengan
tak kurang hebatnya.
Sebentar saja ternyata bahwa
ilmu pedang orang Haimi ini jauh lebih unggul dari pada ilmu pedang lawannya.
Maka, cepat dia mendesak serta mengurung pemuda itu dengan pedangnya yang
menyambar-nyambar!
Lie Siong yang mengintai dari
balik pohon maklum bahwa orang tua itu tak berniat buruk, karena kalau ia mau,
dengan mudah saja ia pasti akan dapat merobohkan pemuda itu. Akan tetapi pemuda
itu ternyata tak tahu diri dan ia tidak tahu bahwa orang tua itu telah berlaku
murah hati dan mengalah. Kalau ia tahu diri, tentu ia tidak akan melawan terus.
Sebaliknya, ia malah memaki-maki dan menyerang dengan membuta tuli.
“Kau benar-benar tak tahu
diri!” teriak Manako.
Lalu, sebuah serangan dengan
pedang diputar dibarengi gerakan menggetarkan pedang, membuat pedang pemuda itu
terkurung dan tertempel, kemudian orang tua itu membetot sambil membentak,
“Lepas senjata!” maka pedang
pemuda itu pun terlempar dan terlepas dari pegangan!
Pada saat itu, tujuh orang
yang berpakaian seperti perwira kerajaan lari mendatangi dan mereka segera mencabut
senjata golok dan pedang.
“Orang Haimi yang sudah bosan
hidup!” teriak seorang di antara para perwira itu. “Kau berlaku kurang ajar
terhadap Gui-kongcu?”
“Bukan aku yang mulai lebih
dulu!” jawab Manako dengan berani, akan tetapi tujuh orang perwira itu segera
mengurung dan menyerangnya.
Manako melawan sekuatnya, akan
tetapi tujuh orang perwira itu kepandaiannya rata-rata lebih tinggi dari pada
kepandaian pemuda she Gui tadi sehingga sebentar saja Manako terdesak hebat dan
menjadi sibuk sekali.
Pada saat orang tua itu berada
dalam keadaan yang amat berbahaya, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan putih
dari belakang pohon. Lie Siong yang menyaksikan keroyokan yang berat sebelah
itu tidak mau tinggal diam dan dia sudah melompat keluar, langsung mengamuk dan
mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.
Tubuhnya bergerak cepat
bagaikan halilintar menyambar, maka ke mana saja tubuhnya berkelebat, seorang
perwira lalu menjerit, pedang atau goloknya terampas dan tubuhnya menerima
pukulan atau tendangan yang cukup membuatnya mencium tanah tanpa dapat bangun
kembali!
Pemuda she Gui yang melihat
kehebatan lawan baru ini, dengan cerdik lalu diam-diam segera melarikan diri
dari situ. Tujuh orang perwira itu dalam waktu pendek saja sudah dirobohkan
oleh Lie Siong yang tidak menggunakan senjata sehingga orang tua Haimi itu
telah memandang dengan bengong.
Manako cepat menghampiri Lie
Siong, memberi hormat dan berkata kagum, “Kau hebat sekali, anak muda.
Kehebatanmu mengingatkan aku akan Sie Taihiap!”
“Siapakah Sie Taihiap itu?”
tanya Lie Siong.
“Sie Taihiap ialah Sie Cin Hai
atau Pendekar Bodoh! Seperti kau inilah sepak terjangnya kalau menghadapi
orang-orang jahat.”
Lie Siong tadi membantu Manako
tanpa mengandung maksud sesuatu, hanya terdorong oleh hatinya yang tak senang
melihat keroyokan yang tidak adil. Kini mendengar betapa orang tua itu
memuji-muji nama Pendekar Bodoh, dia menjadi sebal sekali. Telah sering kali
ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh hingga nama Pendekar Bodoh ini seakan-akan
merupakan lidi yang ditusuk-tusukkan ke dalam telinganya, sekarang ketika
mendengar lagi ada orang memujinya, langsung membuat ia merasa tidak puas.
“Sudahlah, aku tak kenal
segala Pendekar Bodoh. Kau pergilah sebelum orang-orang ini sempat mengeroyokmu
lagi!”
Manako memandang heran kepada
pemuda yang bersikap dingin ini, akan tetapi ia lalu teringat bahwa tadi dia
telah melawan perwira-perwira, bahkan bertempur dengan putera Kepala Daerah.
Maka, dengan cepat dia lalu memberi hormat lagi dan berlari pergi dari situ.
Akan tetapi, baru saja dia
membelok di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba dia telah dicegat oleh belasan
orang perwira yang tadi mengantarkan pemuda she Gui! Ternyata bahwa Gui-kongcu
setelah berlari cepat lalu memanggil lebih banyak perwira untuk mengeroyok
pemuda yang lihai dan Manako.
“Penggal leher orang Haimi
jahat ini!” Gui-kongcu berseru marah.
Sebentar saja Manako sudah
dikeroyok oleh belasan orang perwira itu. Perwira-perwira yang datang ini
tingkatnya lebih tinggi dari pada tujuh orang perwira yang tadi, bahkan di
antara mereka terdapat seorang panglima tamu dari kota raja yang kegagahannya
amat terkenal. Panglima muda ini bernama Kam Liong dan orang ini bukan lain
adalah anak dari Panglima Besar Kam Hong Sin yang sangat tersohor karena
kegagahannya (baca Pendekar Bodoh).
Tentu saja Manako bukan
tandingan para perwira ini. Panglima muda yang mempunyai kepandaian tinggi itu
sama sekali tidak mau turun tangan karena ia merasa rendah untuk mengeroyok
seorang Haimi! Akan tetapi, perwira-perwira yang lainnya sudah cukup kuat untuk
merobohkan Manako sehingga hanya dalam waktu sebentar saja orang Haimi ini
roboh dengan beberapa luka parah pada tubuhnya.
Lie Siong yang hendak
meninggalkan tempat itu tiba-tiba mendengar bentakan-bentakan para perwira yang
mengeroyok Manako. Oleh karena pertempuran itu terjadi di belakang tikungan dan
tidak kelihatan dari tempatnya, maka dia cepat berlari menghampiri tempat itu.
Alangkah marah dan terkejutnya ketika dia melihat betapa Manako telah roboh
mandi darah, dikeroyok oleh belasan orang perwira.
“Pengecut hina dina!” Lie
Siong berseru sambil mencabut keluar Sin-liong-kiam dari balik jubahnya.
Sekali dia berkelebat,
tubuhnya sudah menjadi bayangan putih yang cepat gerakannya laksana seekor
burung garuda. Seperti juga tadi ketika menghadapi tujuh orang perwira, kini
begitu dia menggerakkan pedangnya, maka golok serta pedang perwira beterbangan
kemudian terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dibarengi jatuhnya tubuh
mereka bertumpang tindih.
Bukan main kagetnya Panglima
Muda Kam Liong ketika menyaksikan kelihaian pemuda baju putih ini. Terpaksa dia
harus bertindak, kalau tidak, mungkin belasan orang perwira itu akan roboh
semua! Ia lantas mencabut keluar pedangnya yang mengeluarkan cahaya berkilauan,
kemudian sekali mengenjot tubuh, ia telah melayang dan menyambut pedang Lie
Siong yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.
“Trang...!” Sepasang pedang
itu bertemu, menimbulkan bunga api berpancaran.
“Tahan dulu!” seru Kam Liong.
Lie Siong yang merasa
tercengang menyaksikan ada pedang yang mampu menyambut Sin-liong-kiam-nya,
segera menahan senjata dan memandang dengan sinar mata tajam.
Kedua laki-laki muda yang sama
tampan dan sama gagahnya ini saling pandang dengan penuh perhatian. Lie Siong
melihat seorang pemuda yang mengenakan pakaian sebagai seorang panglima,
pakaiannya gagah dan mentereng sekali, wajahnya membayangkan kegagahan.
Sedangkan Kam Liong tercengang pada saat melihat bahwa orang yang lihai sekali
kepandaiannya itu ternyata hanyalah seorang pemuda berkulit muka halus dengan
sikap lemah lembut!
“Saudara yang gagah, kau
siapakah dan mengapa kau membela seorang pemberontak bangsa Haimi?”
“Aku tidak tahu apa yang kau
maksudkan dengan pemberontak, dan juga aku tak peduli apa yang menjadi
persoalannya, akan tetapi yang sudah jelas bahwa orang tua ini kalian keroyok
secara tidak tahu malu sekali. Pengecut-pengecut macam kalian ini tidak dapat
kuberi ampun!”
Marahlah Kam Liong mendengar
ucapan ini yang dianggapnya sombong bukan main dan kurang ajar. “Orang
sombong!” teriaknya sambil menggerakkan pedang di tangan. “Kau terlalu
mengandalkan kepandaian sendiri. Tidak tahukah bahwa kau berhadapan dengan
Panglima Muda she Kam dari kota raja?”
Mendengar disebutnya she Kam
ini, Lie Siong lalu memandang dengan penuh perhatian. Ibunya pernah menuturkan
kepadanya tentang panglima kosen bernama Kam Hong Sin.
“Ada hubungan apakah kau
dengan Panglima Kam Hong Sin?” tanyanya tiba-tiba.
“Dia adalah ayahku, bagaimana
kau dapat mengetahui namanya? Siapa kau sebetulnya dan siapa pula guru atau
orang tuamu!”
Akan tetapi Lie Siong tidak
menjawab pertanyaan ini, bahkan dia melangkah maju dan berkata, “Bagus! Kalau
begitu biarlah kita menguji kepandaian masing-masing dan tidak perlu banyak
mengobrol lagi!”
Dia lalu memutar pedangnya
yang aneh bentuknya itu. Kam Liong yang maklum akan kelihaian lawan, tidak mau
berlaku lambat dan cepat sekali dia menangkis lalu membalas dengan serangannya
yang tak kalah hebatnya.
Kam Liong adalah putera
tunggal dari Panglima Kam Hong Sin yang tinggi ilmu silatnya. Pemuda ini
mengikuti jejak ayahnya dan kini telah menduduki pangkat yang tinggi dalam
ketentaraan di kota raja, telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya. Dia
sangat lihai, terutama dalam ilmu pedang yang berasal dari ilmu pedang Partai
Kun-lun-pai.
Gerakan pedangnya cukup cepat
serta kuat, apa lagi ditambah pula dengan pedangnya yang bukan pedang
sembarangan, melainkan sebuah pedang mustika hadiah dari kaisar, tentu saja dia
jarang menemukan tandingan dalam ilmu pedang.
Akan tetapi, setelah dia
bertempur menghadapi Lie Siong, ia menjadi terkejut sekali oleh karena ilmu
silat pemuda elok ini benar-benar hebat dan lihai sekali. Pedang aneh yang
berbentuk naga itu di samping sangat keras sehingga tidak menjadi rusak oleh
pedang mustikanya, juga amat berbahaya.
Pedang itu bila menyabet tidak
akan melukai kulit, akan tetapi akan meremukkan tulang dan otot, sedangkan
tanduk pedang naga itu dapat dipergunakan untuk menusuk bagian tubuh yang
berbahaya. Yang lebih istimewa lagi adalah lidah pedang naga yang panjang itu,
karena lidah ini dapat berputar-putar melakukan sambaran-sambaran tersendiri
dan menotok jalan darah. Bahkan telah beberapa kali lidah merah ini mencoba
untuk melibat pedang di tangannya untuk dirampasnya!
Kam Liong teringat akan
beberapa nama pendekar besar yang pernah dia dengar dari ayahnya. Menurut
ayahnya, ilmu pedangnya atau ilmu silatnya harus digunakan dengan amat
hati-hati apa bila menghadapi mereka atau murid dan keturunan mereka.
“Apakah kau putera Sie-taihiap
Si Pendekar Bodoh?” Ia bertanya sambil menangkis satu tusukan ke arah lehernya.
“Aku tidak kenal Pendekar
Bodohl” jawab Lie Siong dengan hati mangkel karena lagi-lagi ia mendengar nama
pendekar ini disebut-sebut orang!
Ia segera menyerang lebih
hebat lagi dan mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-sut. Pedangnya berputar
demikian hebatnya seolah-olah telah berubah menjadi lima putaran sehingga
kelihatan bagaikan lima bunga teratai dan sesuai sekali dengan namanya, yaitu
Ngo-lian-hoan Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Bunga Teratai).
Kam Liong terkejut melihat
ilmu pedang ini dan terpaksa dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk
menjaga diri, dan untuk sementara dia mencurahkan perhatiannya terhadap
pertahanannya sehingga tak sempat bertanya lagi. Akan tetapi, setelah ia amat
terdesak, ia segera menggunakan gerak tipu Pek-hong Koan-jit (Bianglala Putih
Menutup Matahari). Pedang mustikanya berputar cepat sekali hingga merupakan
payung penutup tubuhnya yang amat rapat dan kuat.
“Jika begitu, tentulah putera
Kwee An Locianpwe!” kata Kam Liong lagi, menduga-duga. Oleh karena apa bila
bukan putera Pendekar Bodoh, hanya putera atau murid Kwee An Locianpwe saja
yang memiliki kepandalan sedemikian hebatnya, demikian ia berpikir.
“Jangan mengobrol! Aku tak
kenal orang she Kwee itu!” jawab Lie Siong dengan marah.
Dia pun merasa penasaran
sekali karena sudah bertempur lima puluh jurus lebih, namun belum juga dapat
mengalahkan panglima muda yang lihai ini. Dia lalu berseru keras dan dengan
pedang di tangan kanan mainkan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga
Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakan oleh ibunya sendiri untuk
menyesuaikan pedang yang dipergunakannya, sambil ia menggunakan tangan kirinya
untuk menyerang dengan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang membuat tangan kirinya
lantas mengeluarkan uap putih.....
Pek-in Hoat-sut sudah terkenal
sekali kelihaiannya, dan kepandaian ini adalah warisan dari Guru Besar Bu Pun
Su. Tidak saja pukulannya yang amat lihai, bahkan uap putih itu saja bila
menyambar lawan bisa mematahkan tenaga lweekang dan bisa mendatangkan luka di
dalam tubuh.
Akan tetapi ilmu pedang itu
pun luar biasa hebatnya. Pada saat Ang I Niocu menciptakan ilmu pedang ini
untuk puteranya, ilmu pedang ini disesuaikan dengan bentuk Pedang Naga Sakti
itu, sehingga di dalam gerakannya ini terdapat totokan-totokan jalan darah, dan
juga lidah pedang naga yang panjang itu digunakan dengan ilmu melempar tali
yang merupakan kepandaian tunggal dari Lie Kong Sian!
Bukan main terkejutnya hati
Kam Liong pada saat menyaksikan serangan lawannya yang hebat ini. Dia terkejut
dan cepat mengelak dari serangan pukulan Pek-in Hoat-sut, akan tetapi lidah
pedang naga itu telah berhasil membelit pedangnya sehingga saat Lie Siong
mengerahkan tenaga, pedang itu telah terbetot terlepas dari pegangan Kam Liong!
Kam Liong kaget sekali dan
berteriak keras sambil melempar tubuhnya ke belakang, lalu membuat gerakan
melompat berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Inilah gerakan Naga Sakti
Menembus Awan yang sangat indah sehingga diam-diam Lie Siong kagum juga melihat
gerakan lawannya.
“Pergi...! Pergi kalian dari
sini!” bentaknya sambil menggerakkan tangan kanan sehingga pedang Kam Liong
yang terampas tadi tahu-tahu sudah terlepas dan meluncur ke arah dada
pemiliknya!
Kam Liong tidak keburu
menyambut dan terpaksa cepat menjatuhkan tubuhnya sehingga pedangnya itu
meluncur terus lalu menancap pada dada seorang perwira yang berdiri di
belakangnya! Perwira itu menjerit dan tewas dengan dada tertembus pedang!
“Kau... kau tentu putera Ang I
Niocu!” seru Kam Liong masih dalam dugaannya, sambil mencabut pedangnya dan
memandang kagum. Mendengar ini, Lie Siong terkejut sekali dan juga marah.
“Apakah kau ingin mampus?”
bentaknya sambil menggerakkan tubuh menerjang.
Akan tetapi Kam Liong yang sudah
tahu akan kelihaian pemuda elok ini tidak lagi berani melawan dan cepat
melarikan diri! Lie Siong hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba saja dia
mendengar keluhan orang Haimi yang menggeletak mandi darah itu, oleh karena itu
dia menunda niatnya hendak mengejar dan menghampiri orang tua yang terluka
tadi.
Ketika ia berlutut, ternyata
orang tua itu keadaannya payah sekali. Tubuhnya penuh luka dan darah telah
keluar cukup banyak sehingga napasnya tinggal satu-satu.
“Orang muda...,” katanya
terengah-engah, “engkau gagah sekali... tak ubahnya Pendekar Bodoh sendiri...
kau pun tentu berbudi... seperti Pendekar Bodoh pula... kau tolonglah puteriku…
Lilani... ia tentu mendapat susah dari putera kepala daerah she Gui itu! Lekas,
tolonglah... dia yatim piatu... tolong anakku...!”
Melihat keadaan orang tua itu
sudah tak ada harapan lagi, Lie Siong lalu bertanya,
“Di mana dia...? Di mana
anakmu itu?”
“Di... di rumahku, di ujung
barat kota Tatung, tak jauh dari sini... kau cepat tolonglah dia... hanya
kaulah orang satu-satunya yang menjadi harapanku...” tiba-tiba saja orang tua
itu menarik napas panjang dan ternyata napas itu adalah tarikan yang terakhir!
Lie Siong cepat bangun berdiri
dan membentak kepada perwira yang terluka dan yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya.
“Kau harus rawat jenazahnya baik-baik, kalau tidak, awas! Lain kali aku datang
mengambil kepalamu!”
Perwira itu mengangguk-angguk
dengan muka pucat. “Baik, baik... Hohan!”
Lie Siong kemudian melompat
pergi dan berlari cepat sekali menuju ke kota Tatung yang berada di sebelah
selatan hutan itu.
Setibanya di kota itu, Lie
Siong lalu menuju ke ujung barat dan dengan mudah saja dia mencari keterangan
tentang rumah tempat tinggal seorang bangsa Haimi yang bernama Manako. Ketika
ia menanyakan kepada seorang tetangga orang Haimi itu, karena rumah yang
dicarinya ini ternyata dalam keadaan tertutup, tetangga itu memandangnya dengan
ragu-ragu dan muka takut.
“Kongcu, kau mencari Manako,
apakah kau masih keluarganya?”
“Bukan, aku hanya sahabatnya.
Aku mau bertemu dengan Nona Lilani, puterinya.”
Muka orang yang nampak
ketakutan itu menjadi makin pucat. Ia memberi isyarat dengan jari tangannya
ditaruh ke depan mulut lalu berkata perlahan,
“Ssstt, Kongcu, janganlah kau
bicara terlalu keras tentang gadis itu. Lebih baik lekas kau pergilah dari sini
dan jangan katakan kepada siapa pun juga bahwa kau sudah mengenal Nona itu...!
Aku kasihan kepadamu karena kau adalah orang Han, bukan bangsa Haimi.”
Lie Siong memandang tajam dan
sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah memegang tengkuk orang itu dengan
keras sehingga orang yang dipegangnya menjadi terkejut dan ketakutan. Tangan
yang mencekik tengkuknya seakan-akan sepasang jepitan baja yang kuat sekali.
“Hayo, lekas katakan, apa yang
telah terjadi dengan Lilani, dan di mana dia berada!”
“Am... ampun, Hohan...! Gadis
itu baru tadi telah dibawa pergi oleh sepasukan prajurit, ditangkap oleh
Gui-siauwya!”
“Kau maksudkan Gui-siauwya
putera Kepala Daerah?”
“Benar, Hohan.”
“Di mana rumah Kepala Daerah
itu?”
Orang itu cepat-cepat menunjuk
ke arah timur dan berkata, “Di tengah kota ini, bangunan yang tertinggi dan
terbesar.”
Lie Siong melepaskan
pegangannya dan sekali dia berkelebat, maka lenyaplah tubuhnya dari depan orang
yang menjadi bengong dan bergemetaran seluruh tubuhnya itu.
Sangat mudah untuk mencari
gedung besar Kepala Daerah she Gui di kota itu, karena gedungnya besar dan
tinggi, berada di tengah-tengah kota. Tanpa banyak peraturan lagi, Lie Siong
lalu memasuki pintu gerbang dan ketika empat orang penjaga pintu menegur dan
menghampirinya, dengan beberapa kali menggerakkan kaki tangannya, empat orang
penjaga itu lalu terlempar ke kanan kiri. Ia terus masuk ke dalam didahului
oleh seorang penjaga yang bergegas lari masuk untuk memberi laporan tentang kedatangan
seorang pengamuk muda yang lihai sekali.
Dengan diiringkan oleh
serombongan penjaga, Gui-taijin sendiri keluar dari ruang dalam bersama Kam
Liong, panglima muda yang menjadi tamunya.
Begitu melihat pembesar ini,
Lie Siong melompat dan menangkap lengannya.
“Hayo lepaskan Lilani, kalau
tidak kepalamu akan kuhancurkan!” katanya dengan bengis.
Pembesar Gui yang sudah
setengah tua itu memandang dengan heran dan gelisah, lalu bentaknya marah,
“Siapakah kau dan apa maksudmu?!”
Juga Kam Siong lalu maju dan
menjura ke arah Lie Siong.
“Taihiap, harap kau bersabar
dahulu, ada urusan dapat diurus dan ada persoalan dapat dirundingkan.
Sesungguhnya kami tidak mengerti akan maksud kedatanganmu ini, dan siapakah
adanya Lilani?”
Lie Siong mengerling tajam dan
dengan heran ia melihat bahwa wajah panglima muda itu tidak membayangkan
kebohongan. Akan tetapi ia lalu berkata dengan penuh sindiran.
“Bagus! Kalian telah membunuh
orang Haimi itu dan merampas puterinya, dan sekarang masih berpura-pura tidak
tahu?”
“Siapa yang membunuh orang dan
siapa yang merampas puterinya?” Gui Taijin berseru marah. “Jangan menuduh
sembarangan saja!”
Kam Liong yang berdiri di
samping dengan muka merah kemudian berkata kepadanya, “Sesungguhnya memang ada
pembunuhan atas diri orang Haimi itu. Akan tetapi menurut keterangan puteramu,
orang Halmi itu adalah seorang pemberontak, oleh karena itulah maka ketika aku
dimintai bantuan, aku segera membantu puteramu. Akan tetapi tentang perampasan
gadis itu, aku sama sekali tidak tahu!”
Sesungguhnya, Gui Taijin ini
tak tahu sama sekali tentang urusan puteranya, dan segala peristiwa yang
terjadi tadi adalah di luar kehendak dan pengetahuannya. Puteranya telah
bertindak seorang diri untuk melampiaskan nafsu jahatnya dan menggunakan
kedudukan dirinya sebagai putera Kepala Daerah.
“Apakah artinya semua ini?”
Gui Taijin membentak marah kepada para penjaga yang kini berdiri dengan
ketakutan. “Di mana adanya Gui Kongcu? Benarkah dia sudah merampas anak gadis
orang?”
Salah seorang penjaga dengan
ketakutan lantas memberi hormat dan melapor, “Kongcu telah membawa gadis itu ke
rumah peristirahatan Taijin di dekat sungai.”
“Keparat...!” seru Gui Taijin,
akan tetapi pada saat itu, Lie Siong sudah melompat maju dan dengan mudah dia
sudah menangkap penjaga yang bicara tadi, mengempitnya dan membawanya lompat
keluar dari situ.
“Kau harus tunjukkan kepadaku
di mana adanya tempat itu!” katanya.
Biar pun dia sedang marah
kepada puteranya, kini melihat betapa pemuda yang lihai itu hendak mengejar ke
sana, Gui Taijin merasa berkhawatir juga. Dia segera mengerahkan
prajurit-prajuritnya dan dengan cepat melakukan pengejaran pula, didampingi
oleh Kam Liong yang diam-diam merasa benci kepada putera Kepala Daerah itu.
Prajurit yang dikempit dan
dibawa berlari oleh Lie Siong itu merasa seakan-akan dibawa terbang oleh seekor
burung besar, maka dengan muka pucat dia lalu menunjukkan jalan yang menuju ke
sebuah dusun di pinggir Sungai Yung-ting. Di tempat ini, Kepala Daerah Gui
memang mempunyai sebuah gedung indah di mana dia dan keluarganya menghibur diri
di musim panas.
Setelah tiba di tempat yang
dicari, Lie Siong lalu melempar tubuh penjaga itu ke samping jalan di mana
penjaga itu rebah dengan tubuh menggigil tanpa berani bangun. Kemudian pemuda
perkasa itu lalu cepat melompat ke atas tembok tinggi yang mengelilingi gedung
itu.
Beberapa orang penjaga
melihatnya dan berteriak-teriak sambil mengejar. Akan tetapi Lie Siong tidak
mempedulikan mereka dan terus saja melompat masuk dan menyerbu ke dalam. Ia
bertemu dengan beberapa orang penjaga yang berlari keluar mendengar akibat
teriakan kawan-kawannya, akan tetapi bagaikan orang membabat rumput saja, Lie
Siong merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan kakinya.
Ketika dia telah merobohkan
para penjaga, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan wanita, maka cepat ia
mengejar ke dalam dari mana jeritan itu terdengar. Ternyata bahwa jeritan itu
terdengar dari ruangan belakang, di mana bangunan didirikan di atas air. Memang
gedung yang indah ini bagian belakangnya berada di atas air Sungai Yung-ting,
sehingga kalau orang duduk di belakang, ia akan menikmati pemandangan yang
indah sekali.
Lie Siong terus berlari ke
arah belakang. Dua orang penjaga yang menghadang di jalan kembali dirobohkannya
dengan sekali pukul. Sekali lagi ia mendengar jeritan wanita dan kali ini
terdengar keras sekali dari balik sebuah pintu.
Dengan marah Lie Siong lalu
menendang daun pintu itu dan alangkah marahnya ketika ia melihat seorang
pemuda, yaitu pemuda yang tadi bertempur dengan orang Haimi itu, sedang
menarik-narik tangan seorang gadis muda yang meronta-ronta, menjerit-jerit, dan
memaki-maki!
Muka laki-laki jahanam yang
tadinya menyeringai seakan-akan merasa gembira melihat perlawanan gadis itu,
tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat ketika dia mendengar pintu kamar itu
mengeluarkan bunyi keras dan melihat daun pintu itu roboh. Lebih kagetlah dia
ketika melihat munculnya Lie Siong, pemuda gagah perkasa yang telah menghajar
para perwira pembantunya siang tadi dengan hebatnya.
Betapa pun juga, melihat Lie
Siong melangkah menghampirinya dengan mata bersinar marah, Gui Kongcu masih
ingat akan pedangnya yang diletakkan di atas pembaringan. Ia menyambar
pedangnya dan menyambut kedatangan Lie Siong dengan sebuah bacokan hebat. Akan
tetapi tanpa berkejap sedikit pun, Lie Siong lalu mengangkat tangannya dan
dengan gerak tipu Tangan Kapak Membacok Cabang ia kemudian menangkis sambaran
pedang itu dengan babatan tangannya dari samping ke arah pinggir pedang.
“Krakk!”
Pedang itu menjadi patah
ketika terkena sambaran tangan Lie Siong yang dimiringkan. Pukulan ini hebat
sekali dan tidak sembarangan ahli silat berani mempergunakan untuk menangkis
pedang. Biar bagaimana pun juga tangan terbuat dari pada kulit dan daging
pembungkus tulang, tentu saja tak mungkin dipergunakan untuk diadu dengan
tajamnya pedang.
Akan tetapi gerakan Tangan
Kapak Membacok Cabang ini mengandalkan kecepatan dan ketangkasan, disertai
tenaga lweekang yang sangat kuat. Penggunaannya bukan untuk menyambut datangnya
pedang yang tajam, akan tetapi digerakkan dari pinggir dengan memukul pedang
itu dari samping pada mukanya dengan mempergunakan tangan yang dimiringkan.
Tentu saja kalau gerakan ini kurang cepat atau kurang tepat, maka banyak
bahayanya tangan akan bertemu dengan mata pedang dan akan terluka!
“Bangsat hina dina!” Lie Siong
membentak marah dan sekali ia majukan tangan kiri, ia telah mencekik batang
leher pemuda cabul itu. “Pergilah!” serunya.
Dan tubuh Gui Kongcu yang
dilempar itu melayang laju keluar dari jendela kamar dan langsung meluncur ke
dalam sungai yang sangat dalam itu, kemudian terdengar suara…
“Byurrr…!” tanda bahwa air
telah menyambutnya dan setelah itu sunyi.
Gadis itu memandangnya dengan
sepasang matanya yang lebar.
“Siapakah kau...?” Dengan
jujur gadis ini tidak menyembunyikan kekaguman yang keluar dari suara dan
pandangan matanya.
Lie Song balas memandang. Ia
melihat seorang gadis yang berusia paling banyak enam belas tahun, berwajah
cantik jelita, kecantikan yang sangat aneh dan berbeda dengan kecantikan wanita
biasa. Mungkin karena matanya yang lebar sekali itu atau rambut dan manik
matanya yang hitam, atau mungkin suaranya yang bernada lain dari pada suara
gadis biasa.
“Apakah kau yang bernama
Lilani?” tanya Lie Siong yang lebih heran dari pada tertarik melihat kecantikan
ini.
Gadis ini mengangguk. “Dan kau
siapakah?”
“Aku datang menolongmu untuk
memenuhi pesanan ayahmu.”
Tiba-tiba saja gadis itu
memegang lengan Siong kemudian bertanya dengan muka pucat, “Bagaimana dengan
Ayah? Di mana dia...?”
Benar-benar gadis yang amat
aneh, pikir Lie Siong dengan hati tidak enak sebab merasa betapa telapak tangan
gadis itu dengan halus sudah memegang lengannya. Di mana ada seorang gadis yang
belum dikenalnya memegang lengan seorang pemuda begitu saja?
Ia menarik lengannya dan
menggeleng kepala, lalu berkata singkat, “Kita pergi dulu dari tempat ini!”
Karena maklum bahwa gadis ini
tidak memiliki kepandaian tinggi, dia segera memegang tangan Lilani dan
menariknya keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamar
ternyata bahwa gedung itu telah penuh dengan perwira yang menghadang jalan
keluarnya.
Para perwira dan penjaga
dengan senjata tajam di tangan telah menyerbu masuk untuk menolong putera
Kepala Daerah. Ketika melihat pemuda baju putih itu bejalan sambil menggandeng
tangan Lilani, mereka berseru keras dan menyerang.
Bagi Lie Siong, tidak sukarlah
menghadapi mereka itu dan mencari jalan keluar melalui jalan darah, akan tetapi
ia lalu teringat akan gadis itu. Kedatangannya bukanlah dengan maksud untuk
mengamuk dan mencari permusuhan dengan para perwira itu, akan tetapi khusus
untuk menolong Lilani. Melihat para perwira itu menyerbu, Lie Siong kemudian
membalikkan tubuh dan menarik tangan Lilani memasuki kamar itu kembali.
“Celaka, mereka mengejar kita!”
kata Lilani akan tetapi gadis ini tidak nampak takut. “Kau pergilah, jangan
sampai kau menjadi korban karena menolongku. Aku sanggup melawan mereka dan
sebelum aku mati, pasti aku akan dapat membunuh seorang dua orang!”
“Bodoh!” kata Lie Siong.
Dia cepat bertindak ke arah
jendela, lalu menjenguk keluar. Kamar ini berada di bagian terbelakang, maka di
luar jendela itu kosong dan di bawah jendela adalah air Sungai Yung-ting yang
nampak kebiruan. Tidak mungkin membawa gadis itu melompat keluar, karena tubuh
mereka tentu akan terjatuh ke dalam air dan dia tidak pandai berenang.
Sementara itu, suara kaki para
pengejar telah semakin dekat sehingga Lie Siong merasa bingung juga. Kemudian
ia mendapat akal. Pedang Sin-liong-kiam dicabut dan tubuhnya tiba-tiba telah
melayang naik sambil memutar pedang itu pada langit-langit di atas kamar.
Terdengar suara keras dan
langit-langit itu berlubang besar, sedangkan potongan kayu jatuh berhamburan di
dalam kamar itu. Lie Siong melompat turun kembali dan cepat dia menyambar tubuh
gadis itu tanpa banyak cakap lagi.
Ketika itu, para pengejar
sudah tiba di depan kamar. Lie Siong menggunakan tangan kiri mengempit pinggang
Lilani yang ramping, lalu menyambar daun pintu yang sudah roboh ketika
ditendangnya tadi. Daun pintu yang berat itu dia lemparkan ke arah para
penyerbu sehingga tiga orang terdepan menjadi terjengkang tertimpa oleh daun
pintu itu.
Kawan-kawannya di belakang
mereka tertimpa pula, sehingga mereka menjadi tumpang tindih dan untuk sesaat
lamanya tak dapat melanjutkan pengejaran. Lie Siong pun cepat melompat naik
sambil mengempit Lilani.
Ketika para pengejar sampai di
dalam kamar, ternyata bahwa dua orang muda itu sudah lenyap! Tidak lama
kemudian Kam Liong dan Gui Taijin datang pula, akan tetapi mereka tak dapat
menemukan Lie Siong mau pun Lilani. Sedangkan Gui Kongcu pun tak nampak
bayangannya!
Sesungguhnya, dengan
kepandaiannya yang sangat tinggi, Kam Liong tentu saja dapat mengejar Lie Siong
yang melarikan diri dari atas genteng. Akan tetapi panglima muda ini tidak mau
melakukannya.
Pertama ia memang segan
bermusuhan dengan Lie Siong yang gagah perkasa dan lihai itu. Kedua kalinya dia
tidak suka akan kebiasaan Gui Kongcu dan tidak mau membantu perbuatan jahat.
Dia tahu bahwa pendekar muda
baju putih itu tentu mengambil jalan genteng, maka dia hanya memberitahukan ini
kepada para perwira yang segera melompat dan mengejar ke atas genteng. Namun
gerakan mereka tidak secepat Lie Siong.
Pada saat melihat para
pengejarnya kacau-balau akibat serangannya dengan daun pintu tadi, Lie Siong
lalu melompat ke atas langit-langit yang telah berlubang. Dengan mudah dia
menghancurkan genteng dari bawah, lalu keluar dari lubang di genteng itu.
Setelah berada di atas genteng, cepat dia melarikan diri, berlompatan bagaikan
seekor garuda putih terbang sehingga Lilani terpaksa meramkan mata saking
ngerinya melihat tubuhnya melayang-layang di atas genteng yang begitu tinggi.
Lie Siong membawa Lilani ke
tepi sungai dan melihat perahu-perahu kecil para nelayan ditambatkan di pinggir
sungai, dia cepat melompat ke sebuah perahu kecil yang terbaik, memutuskan
talinya dan segera mendayung perahu itu ke tengah sungai.
“Hai...!” Pemilik perahu itu
berteriak. “Hendak kau bawa kemana perahuku itu?”
Sementara itu, Lilani yang
sudah berada di dalam perahu itu berkata, “Tidak baik mencuri perahu orang,
siapa tahu kalau-kalau nelayan miskin itu akan kehilangan sumber nafkah bagi
keluarganya kalau perahu ini kita bawa pergi.”
Lie Siong memandang kepada
gadis itu dengan heran dan juga kagum. Ia tak menjawab, akan tetapi merogoh
buntalannya dan mengeluarkan sepotong emas murni. Pada waktu berangkat dia
mendapat bekal tiga puluh potong lebih emas murni seperti ini dari ibunya.
“Ini cukup?” tanyanya sambil
memperlihatkan emas itu kepada Lilani.
Gadis ini memandang dengan
mata terbelalak. Dia tahu akan nilai emas dan sepotong emas di tangan Lie Siong
ini kalau dijual dapat digunakan untuk membeli sedikitnya tiga atau empat buah
perahu kecil seperti ini.
“Terlalu banyak,” jawabnya,
“sepertiga juga sudah cukup.”
Akan tetapi setelah mendengar
jawaban ini, tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengayun tangannya dan
melemparkan potongan emas itu ke arah orang yang berteriak-teriak tadi.
“Perahumu kubeli, inilah
uangnya!” seru Lie Siong.
Ketika orang itu memungut
potongan emas yang jatuh tepat di depannya, tentu saja dia menjadi girang
sekali. Karena itu berlari-larilah dia pulang sambil berjingkrak-jingkrak dan
menari-nari karena merasa mendapat keuntungan yang besar sekali.
Lie Siong membiarkan perahunya
dihanyutkan oleh aliran air yang deras dan dia hanya mempergunakan dayung untuk
mengemudikan jalannya perahu. Sejak mereka duduk di dalam perahu, yaitu pada
siang hari tadi, sampai sekarang sudah hampir senja, mereka tak pernah bicara
sepatah kata pun!
Lilani hanya duduk sambil
menundukkan kepala, kadang-kadang memandang ke pinggir sungai dan hanya
sewaktu-waktu saja mengerling kepadanya. Gadis itu nampak susah, bingung dan
juga malu-malu.
Akhirnya dia tidak dapat
menahan lagi. Berada dekat seseorang yang sama sekali tidak pernah bicara,
tidak menengok kepadanya, dan tidak mempedulikannya, jauh lebih sunyi rasanya
dari pada kalau dia berada seorang diri tanpa kawan!
“Kita mau ke mana?” tanyanya
sambil mengerling tajam ke arah pemuda yang angkuh dan tinggi hati itu.
“Ke mana saja air ini membawa
perahu yang kita tumpangi,” Lie Siong menjawab tanpa memandang.
“Ke mana akan dibawanya?”
“Entahlah!”
Lilani menarik napas panjang.
Aneh dan sukar benar pemuda ini. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi
seorang pemuda seperti ini. Hampir setiap laki-laki yang pernah ditemuinya,
baik pemuda mau pun sudah tua, selalu akan memandangnya dengan mata bergairah,
tersenyum-senyum dan segera mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda atau memuji.
Akan tetapi pemuda ini...
menengok pun tidak, bahkan diam saja bagai patung! Sungguh hampir tak dapat
dipercaya bahwa wajah pemuda yang seelok dan setampan itu ternyata didamping
oleh watak yang demikian angkuh dan aneh.
“Kau telah menolongku dari
bahaya maut...”
“Hal sekecil itu tak perlu
dibicarakan,” Lie Siong memotong.
Lilani berpaling dan menggigit
bibir. Alangkah sukarnya menghadapi orang ini, pikirnya.
“Bolehkah aku mengetahui
namamu?”
“Aku she Lie dan namaku
Siong.”
Lilani menarik napas lega.
Sedikitnya pemuda ini tidak merahasiakan namanya. Akan tetapi ia masih merasa
penasaran karena dalam menjawab pertanyaannya, pemuda itu sama sekali belum mau
menengoknya, bahkan duduknya pun membelakanginya!
“Di manakah ayahku? Di mana
dia?” tanya Lilani.
Tiba-tiba pemuda itu menarik
napas panjang, lalu mendayung perahunya ke pinggir. Dia menghentikan perahunya
di tempat yang dangkal, lalu memutar tubuhnya, menghadapi gadis itu.
Ternyata bahwa Lie Siong bukan
karena keangkuhannya semata maka dia tidak mau menengok gadis itu, akan tetapi
sebagian besar karena rasa terharu mengingat akan nasib gadis ini. Sebelum
tewas orang tua berbangsa Haimi itu mengatakan bahwa Lilani sudah menjadi yatim
piatu, maka itu berarti bahwa ibu gadis ini telah meninggal dunia pula.
Melihat sikap pemuda itu,
wajah Lilani menjadi pucat kemudian mengulang pertanyaan lagi. “Katakanlah, di
mana dia?”
“Ayahmu telah tewas.”
Gadis itu tidak kelihatan
terkejut, juga tidak menangis menjerit-jerit. Ia hanya meramkan kedua matanya
dengan kening berkerut. Akan tetapi, keadaannya ini lebih mengharukan hati Lie
Siong yang mungkin tak akan demikian terharu kalau melihat gadis itu menangis
tersedu-sedu.
Lama mereka duduk berhadapan
dalam keadaan demikian. Lilani duduk seperti patung, adapun Lie Siong duduk memandangnya
dengan penuh keharuan hati, akan tetapi tidak diperlihatkannya.
“Sudah kuduga...” Akhirnya
Lilani dapat juga mengeluarkan kata-kata seperti berbisik.
Ketika ia membuka kembali
matanya, selaput matanya menjadi merah, tanda bahwa dia telah mengerahkan
seluruh tenaga untuk menahan membanjirnya air mata. Betapa pun juga masih
terlihat beberapa titik air mata yang mengalir perlahan menuruni pipinya yang
pucat.
“Tentu oleh anak buah keparat
she Gui itu, bukan?”
Kata-kata ini merupakan
pertanyaan dan tuntutan kepada Lie Siong untuk menceritakan semua peristiwa
yang terjadi, maka ia pun lalu menceritakannya tentang pertempurannya membantu
Manako dan betapa orang tua itu terbunuh oleh keroyokan para perwira.
Mendengar penuturan ini, gadis
itu memandang ke arah awan yang bergerak perlahan di angkasa, mengepal kedua
tangannya yang kecil, menggigit bibirnya dan membiarkan air matanya mengalir
turun bagaikan sumber air kecil, lalu, berkata,
“Bangsaku dimusnahkan! Ibuku
terbunuh, sekarang ayahku terbunuh pula! Terkutuklah manusia-manusia berjiwa
iblis itu...!”
Mendengar ucapan ini, Lie
Siong merasa tertarik dan lalu ia minta gadis itu menuturkan riwayatnya. Dia
mulai merasa kagum melihat ketabahan hati gadis cantik ini, yang dapat menahan
perasaannya sehingga tak menangis menjerit-jerit seperti gadis-gadis lain yang
tertimpa bencana sehebat itu.
“Benar-benarkah kau ingin
mengetahui riwayat seorang yang rendah dan bodoh seperti aku, Taihiap?” tanya
Lilani sambil memandang melalui air matanya ketika ia mendengar permintaan Lie
Siong.
“Tentu saja. Setelah ayahmu
minta kepadaku untuk menolongmu, sudah sepatutnya aku mengetahui keadaanmu
supaya nanti aku dapat menetapkan apa yang selanjutnya harus kulakukan dengan
kau.”
Lilani menghela napas,
menghapus air matanya dengan ujung baju, kemudian dia mulai menuturkan
riwayatnya dengan singkat.
Lilani adalah puteri tunggal
dari Manako, kepala suku bangsa Haimi yang terdiri tiga ratus orang suku bangsa
Haimi yang hidup berkelompok dan selalu berpindah-pindah. Manako adalah suami
dari Meilani dan suami-isteri ini hidup dengan rukun dan saling mencintai,
memimpin bangsanya dengan penuh keadilan dan ketenteraman.
Manako dan Meilani pernah
tertolong oleh Pendekar Bodoh. Bahkan sebelum menikah dengan Manako, antara
Meilani dan Kwee An pernah terjadi hal yang amat lucu sehingga Kwee An hampir
dipaksa menikah dengan Meilani yang cantik jelita akan tetapi bergigi hitam
itu!
Sesudah mereka berkenalan
dengan pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa ini, maka banyak kemajuan yang
diperoleh Meilani dan Manako, sehingga pada saat mereka memperoleh seorang
puteri, yaitu Lilani, gigi anak ini tidak dihitamkan seperti yang telah menjadi
kebiasaan suku bangsa Haimi. Manako dan Meilani melatih ilmu silat kepada
puteri mereka itu dan mereka semua hidup penuh kebahagiaan.
Akan tetapi, pada waktu Lilani
berusia empat belas tahun, mala petaka besar menimpa keluarga suku bangsa Haimi
itu. Kelompok mereka terdesak oleh bangsa Mongol yang hendak menawan mereka
untuk dijadikan pekerja paksa sehingga setelah mengadakan perlawanan sengit dan
kehilangan beberapa puluh jiwa, mereka pun terpaksa melarikan diri ke selatan,
keluar dari tapal batas Mongolia,.
Pada waktu itu, golongan yang
lemah dan kecil tentu selalu tertindas dan terinjak oleh yang besar. Sesudah
mereka melalui tapal batas, mereka tidak menemui kebahagiaan, bahkan sepasukan
tentara kerajaan yang menjaga tapal batas itu, kemudian menyerbu mereka,
membunuh yang laki-laki sambil menculik yang wanita!
Pertempuran hebat terjadi.
Manako dan Meilani melakukan perlawanan sekuat tenaga, bahkan Meilani yang
pernah menerima petunjuk-petunjuk ilmu silat dari Ma Hoa isteri Kwee An dan
dari Lin Lin isteri Pendekar Bodoh, lalu mengamuk bagaikan seekor naga betina.
Juga Lilani yang baru berusia empat belas tahun itu ikut pula memainkan pedang,
membantu ibu dan ayahnya.
Akan tetapi kekuatan musuh
terlampau besar dan akhirnya terpaksa Manako membawa Lilani melarikan diri
dengan hati hancur setelah melihat Meilani roboh tak bernyawa lagi di bawah tusukan
banyak pedang musuh! Kelompok suku bangsa Haimi hancur dan lari cerai berai.
Banyak yang tewas atau tertawan, dan ada pula yang mampu melarikan diri secara
berpencaran.
Manako berhasil melarikan diri
bersama puterinya, kemudian selama dua tahun lebih dia merantau bersama Lilani,
pindah dari satu kota ke lain kota. Akhirnya sampailah dia di kota Tatung dan
tinggal di situ bersama puterinya.
Dia tidak khawatir akan biaya
hidupnya sehari-hari, karena ketika melarikan diri, ia masih menyimpan berbagai
barang dari emas, bahkan ia pun mempunyai sebatang golok yang seluruhnya
terbuat dari pada emas. Juga keamanannya terjamin, karena pada masa itu, hanya
suku-suku bangsa kecil yang berkelompok saja yang mendapatkan gangguan dan
dicurigai. Akan tetapi kalau hanya satu dua orang saja takkan mendapat gangguan
dari siapa pun juga, asalkan taat akan peraturan-peraturan kota setempat.
Manako dan Lilani hidup berdua
dengan hati menderita kesedihan, dan selalu mereka teringat akan keadaan suku
bangsanya yang sudah musnah, dan terutama sekali teringat akan Meilani yang
gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan?
Lilani menjadi dewasa dan
semakin cantik jelita seperti mendiang ibunya. Sudah biasa dikatakan orang
bahwa kecantikan dan kepandaian merupakan karunia dan berkah dari Thian Yang
Maha Kuasa. Akan tetapi bagi Manako dan Lilani, ternyata bahwa kecantikan
Lilani bukan merupakan berkah bahkan merupakan sebab bencana besar!
Ketika menyaksikan keindahan
bentuk tubuh dan kemanisan wajah Lilani gadis Haimi itu, putera kepala daerah
she Gui menjadi tergerak hatinya. Dia lalu mengajukan pinangan kepada Manako
untuk minta gadis itu sebagai selirnya.
Manako adalah bekas kepala
suku bangsa, dan betapa pun juga, dia boleh disebut raja kecil. Tentu saja dia
mempunyai keangkuhan dan mendengar pinangan ini, dia merasa terhina sekali.
Mana ia sudi memberikan puterinya yang tunggal untuk dijadikan selir oleh
putera seorang Kepala Daerah?
Demikianlah, ia lalu menolak
pinangan itu yang berakhir mala petaka besar baginya. Gui Kongcu merasa sakit
hati dan sebagaimana telah dituturkan di atas, akhirnya pemuda bangsawan
jahanam ini lalu melakukan kekerasan, membunuh Manako serta menculik Lilani!
Sesudah menuturkan riwayatnya,
sambil menghela napas Lilani lalu berkata, “Dulu ibuku pernah menceritakan
kepadaku bahwa di antara orang-orang bangsa Han terdapat pula pendekar-pendekar
seperti Kwee An Enghiong dan Pendekar Bodoh, akan tetapi setelah menderita
akibat kejahatan bangsamu yang menjadi perwira-perwira kaisar kukira bahwa
sekarang tidak ada lagi pendekar-pendekar seperti itu! Ternyata sekarang, aku
bertemu dengan engkau yang berbudi dan gagah perkasa. Ahhh, Lie Taihiap, dengan
jalan bagai manakah aku dapat membalas budimu yang besar ini?”
Lie Siong merasa kasihan
sekali mendengar riwayat gadis ini.
“Apakah kau tidak mempunyai
keluarga lain?”
Gadis itu menggeleng kepalanya
dengan sedih.
“Tidak mempunyai
sahabat-sahabat yang boleh kau tumpangi?”
Kembali Lilani menggelengkan
kepalanya yang cantik sambil termenung. Lie Siong tidak dapat berkata-kata
lagi, hanya duduk diam dengan hati bingung. Apakah yang harus dia lakukan?
Bagaimana ia dapat menolong gadis ini selanjutnya? Ia sendiri adalah seorang
perantau, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
“Dan... ke manakah tujuanmu?
Kau hendak pergi ke manakah?” Lie Siong lalu bertanya perlahan.
Lilani yang sejak tadi dapat
menahan kesedihan hatinya, ketika mendengar pertanyaan ini, hanya dapat
memandang dengan sinar mata amat mengharukan, lalu dia menangis tersedu-sedu!
Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan air mata mengalir
keluar dari celah-celah jari tangannya sedangkan tubuhnya terisak-isak.
Lie Siong menjadi bingung,
tidak tahu harus berbuat bagaimana. Selama hidupnya, baru kali ini ia merasa
bingung dan menghadapi perkara yang luar biasa sukarnya.
“Lilani, ayahmu berpesan
kepadaku untuk menolongmu dari tangan jahanam she Gui itu. Aku sudah
melakukannya dan setelah kau kini bebas dan selamat, aku tidak tahu harus
berbuat apa selanjutnya. Ketahuilah, bahwa aku sendiri tidak mempunyai tempat
tinggal, merantau seorang diri, juga tidak mempunyai tujuan tertentu...”
Tiba-tiba Lilani menghentikan
tangisnya, kemudian ia mengangkat mukanya memandang pemuda itu. Sebelum bicara,
beberapa kali dia menelan ludah karena tenggorokannya terasa seakan-akan
terganjal sesuatu.
“Lie Taihiap, aku maklum akan
maksudmu. Tak perlu kau menyusahkan keadaanku dan janganlah aku menjadi
penghalang dari kebebasanmu. Aku tahu bahwa dengan adanya aku, kau tidak merasa
senang, tidak dapat bergerak bebas. Pertama karena aku seorang gadis, kedua
karena aku lemah. Janganlah kau menjadi bingung, Taihiap, juga jangan kau
memikirkan aku lagi. Pergilah kau melanjutkan perjalananmu, biar aku seorang
diri di perahu ini sampai... sampai... entah ke mana saja perahu dan air sungai
ini membawa diriku!”
Lie Siong lalu berdiri dan
merogoh buntalannya, lalu mengeluarkan sepuluh potong emas murni. Ia memberikan
benda berharga ini kepada Lilani dan berkata, “Kau cukup maklum akan keadaanku
dan ini sedikit bekal untuk biaya perjalananmu.”
Dengan air mata masih menitik
turun, Lilani memandang tangan yang mengangsurkan potongan-potongan emas itu.
Ia menggelengkan kepala dan berkata tegas. “Taihiap, kau telah menolongku dan
untuk itu saja aku telah merasa amat berat serta tidak tahu harus membalas
budimu dengan cara bagaimana. Oleh karena itulah maka aku tidak berani
memberatkan kau lagi, apa lagi menerima pemberianmu ini. Ahh, tidak, aku tidak
dapat menerima emas ini. Hidupku takkan lama lagi... untuk apakah benda
itu...?”
Tertegun hati Lie Siong
mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pun tak mau banyak cakap, memasukkan emas
itu ke dalam buntalan kembali lalu ia melompat ke darat.
“Kalau begitu, selamat
berpisah!” katanya lalu melompat pergi.
Lilani duduk di perahu dan
memandang bayangan pemuda itu dengan lemas. Ia merasa seolah-olah semangatnya
telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya. Merasa betapa seluruh perasaannya
telah terbawa pergi oleh pemuda yang gagah perkasa, tampan dan juga aneh serta
amat pendiam itu.
Ia maklum bahwa hatinya telah
terampas oleh kegagahan Lie Siong dan jantungnya telah tertembus oleh sinar
mata pemuda itu. Ia juga maklum bahwa tanpa adanya pemuda itu didekatnya,
hidupnya tidak ada artinya lagi. Bangsanya sudah musnah, ayah bundanya juga
telah tewas.
Tadinya ia mempunyai cita-cita
untuk membangun suku bangsanya, untuk menggantikan kedudukan ayahnya kemudian
bersama bangsanya, berjuang memperbaiki nasib. Akan tetapi kini semua itu
lenyap, lenyap bersama bayangan Lie Siong. Dengan Lie Siong di sampingnya, ia
merasa pasti dan yakin bahwa cita-citanya itu akan terlaksana.
Tanpa tertahan lagi dia lalu
menjatuhkan mukanya di atas kedua telapak tangannya dan menangis dengan hati
terasa disayat-sayat. Dalam kesedihannya yang sangat hebat ini, terbayanglah
wajah ibunya yang cantik jelita dan teringatlah dia betapa ibunya pernah
menuturkan kepadanya mengenai perhubungan ibunya dengan seorang pendekar besar
bernama Kwee An yang sekarang bertempat tinggal di Tiang-an. Ibunya, Meilani,
pernah menuturkan kepadanya betapa ibunya itu pun pernah jatuh hati kepada
pendekar itu.
Ahh, mengapa dia harus putus
asa? Sahabat-sahabat baik ibunya masih banyak. Kalau saja dia dapat mencari
Kwee An dan Ma Hoa, atau Pendekar Bodoh dan Lin Lin, tentu mereka akan mau
menolong, menolong puteri tunggal Meilani!
Akan tetapi teringat akan
kejahatan putera kepala daerah she Gui itu, hatinya menjadi gentar lagi. Banyak
sekali manusia-manusia jahat semacam pemuda she Gui itu di dunia ini! Ah,
alangkah jauh bedanya dengan Lie Siong pemuda yang sopan santun dan gagah
perkasa itu. Pemuda yang sedikit pun tak mau mengganggunya, jangankan
mengganggu dirinya, bahkan menengok pun tidak. Agaknya dia bukan seorang gadis
cantik! Mungkin di dalam pandangan Lie Siong, dia hanyalah seorang perempuan
yang buruk rupa dan menjemukan!
Mengingat akan hal ini,
kembali hatinya terasa bagai disayat-sayat sehingga air matanya mengucur makin
deras. Tiba-tiba saja ia mendengar suara yang halus datang di sebelah belakangnya.
“Lilani, sudahlah, jangan kau
terlalu berduka.”
Seketika itu juga air matanya
yang mengucur berhenti mengalir seakan-akan sumbernya tertutup rapat, kedua
matanya dibuka lebar-lebar dan dia cepat memutar lehernya untuk menengok.
Ternyata bahwa Lie Siong telah berdiri di darat sambil bertolak pinggang!
“Lie Taihiap…!” Dalam seruan
ini terkandung kegirangan yang luar biasa sekali.
“Aku merasa tidak enak hati
meninggalkan kau dalam keadaan begini.” kata pemuda itu sambil mengerutkan
kening seakan-akan tak puas akan kelemahannya sendiri. “Apa bila sampai terjadi
sesuatu dengan kau, maka akan sia-sialah usahaku membebaskan kau dari
cengkeraman orang jahat, dan berarti aku telah melanggar janji kepada ayahmu.”
“Taihiap... Thian Yang Agung
telah mengirimmu kembali padaku...” Lilani berkata dengan bisikan terharu.
“Akan tetapi aku masih tidak
tahu harus membawa kau ke mana, Lilani. Sekarang kau carilah tujuan tertentu
supaya aku dapat mengantarkan kau ke tempat yang aman, baru kemudian aku akan
melanjutkan perantauanku.”
“Taihiap, aku sudah mendapat
pikiran pada saat kau pergi tadi. Aku teringat akan Kwee Lo-enghiong dan
Pendekar Bodoh. Kalau saja kau sudi mengantarkan aku sampai ke tempat tinggal
mereka, aku akan mendapat perlindungan yang sentosa. Budimu tak akan kulupakan
selama hidupku, Taihiap.”
“Sudahlah, jangan bicarakan
tentang budi,” kata Lie Siong yang segera masuk ke dalam perahu itu. “Aku
pernah mendengar bahwa Kwee Lo-enghiong tinggal di kota Tiang-an. Baiknya kita
mengambil jalan sungai ini sampai ke kota raja, kemudian kita menuju ke
Tiang-an dengan jalan darat.”
Saking girang hatinya, Lilani
tak menjawab, hanya mengangguk-angguk sambil menatap pemuda itu dengan mata
berseri. Lenyaplah segala kesedihannya, segala keraguannya. Dengan pemuda ini
di sampingnya, dunia seakan-akan menjadi lebih lebar dan terang, air Sungai
Yang-ting pun seolah-olah merupakan sutera kehijauan yang dibentangkan di
depannya, bunyi riak air berdendang merdu dan ia mendengar hatinya
bernyanyi-nyanyi gembira!
Lie Siong tidak banyak bicara,
hanya mendayung perahu itu dengan cepat ke tengah dan lajulah perahu itu
terbawa aliran air sungai, ditambah dengan tenaga dayung dari tangan Lie Siong
yang kuat…..
********************