Pendekar Remaja Jilid 06-10

Setelah suara suling itu makin terdengar jelas karena sudah dekat, tiba-tiba Hong Beng menahan langkah kakinya dan berkata, “Ahh, orang yang tidak tahu diri itu datang lagi rupanya!”
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Pendekar Remaja Jilid 06-10

Setelah suara suling itu makin terdengar jelas karena sudah dekat, tiba-tiba Hong Beng menahan langkah kakinya dan berkata, “Ahh, orang yang tidak tahu diri itu datang lagi rupanya!”

Lili tidak sempat bertanya karena kakaknya menggandeng tangannya dan diajak berlari cepat menuju ke puncak dari mana terdengar suara suling yang makin nyaring menusuk telinga itu.

Ketika mereka tiba di tempat itu, Lili memandang ke depan dengan penuh keheranan. Di atas tanah yang rata nampak dua orang sedang bergerak cepat dan aneh.

Yang satu adalah seorang kakek berambut serta berjenggot putih yang bergerak-gerak sambil meniup suling, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang setengah tua yang bergerak menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menyambar kelinci.

Dengan kedua tangan Lili menutup telinganya karena suara suling yang amat nyaring itu benar-benar membuat telinganya terasa sakit. Ada pun Kam Seng yang datang sambil terengah-engah kelelahan, memandang pula dengan terheran-heran dan melongo, akan tetapi Hong Beng berdiri diam dan matanya memandang tajam ke arah dua orang yang sedang bertempur itu.

Kakek tua itu bukan lain adalah Pok Pok Sianjin sendiri. Memang kelihatannya sangat aneh. Sungguh pun kakek itu meniup suling dengan enaknya dan lagu yang tertiup dari sulingnya terdengar merdu, akan tetapi suara suling itu sangat nyaring dan seakan-akan mengandung tenaga gaib yang mengeluarkan hawa pukulan.

Buktinya, sungguh pun orang yang meloncat-loncat menyerang itu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk memukul atau menendang, akan tetapi dia selalu terpental kembali sebelum dapat menyentuh tubuh Pok Pok Sianjin. Hawa yang keluar dari tiupan suling itu mengandung tenaga lweekang dan khikang yang membuatnya tertangkis dan terdorong oleh tenaga yang tidak kelihatan!

“Orang itu adalah seorang jago silat yang mahir ilmu silat Pek-eng Kun-hoat (Ilmu Silat Garuda Putih). Telah beberapa kali ia datang minta berpibu (mengadu ilmu silat) dengan Suhu, akan tetapi Suhu tidak mau meladeninya. Ternyata sekarang dia datang kembali, benar-benar orang tak tahu diri!”

Baru saja Hong Beng berkata demikian, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuh orang yang menyerang Pok Pok Sianjin itu terlempar ke belakang, jatuh bergulingan. Akan tetapi dia cepat melompat bangun kembali dan memandang ke arah orang yang tertawa tadi. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Mo-kai Nyo Tiang Le yang entah kapan sudah berada di tempat itu pula! Tentu saja Lili merasa heran karena tadi supek-nya tertinggal di belakang, mengapa sekarang telah mendahuluinya berada di tempat itu?

Orang yang terguling tadi setelah memandang kepada Mo-kai Nyo Tiang Le, lalu menjura dan berkata, “Mo-kai (Pengemis Setan), aku telah menerima pengajaran darimu, lain kali pasti bertemu pula!” Setelah berkata demikian, dia lalu melompat jauh dan menghilang di bawah gunung!

Nyo Tiang Le bergelak-gelak dan Pok Pok Sianjin lalu menyimpan kembali sulingnya.

“Mo-kai, kau masih saja bertangan jail, pukulanmu Soan-hong-jiu (Pukulan Kitiran Angin) telah membuat dia menjadi gentar dan pergi dengan hati mendendam kepadamu!”

Tadi Nyo Tiang Le memang sudah melancarkan dorongan dari jauh, dan hanya dengan angin pukulannya saja telah berhasil mendorong orang tadi hingga roboh, sungguh dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian Pengemis Setan ini! Ia tersenyum dan berkata sambil menghela napas,

“Pok Pok Sianjin, kenapa kau suka melayani segala macam orang seperti dia? Bukankah dia adalah sute dari Ban Sai Cinjin? Aku pernah melihat orang tadi, karena itu aku berani mendorongnya agar dia jangan mengganggu kau orang tua lebih lanjut.”

Pok Pok Sianjin mengangguk-angguk, “Memang, dia adalah adik seperguruan Ban Sai Cinjin dan namanya Lu Tong Kui. Ia menjagoi di Lok-yang dan telah beberapa hari ini ia merengek-rengek dan mendesak untuk mengadakan pibu. Tentu saja aku menolaknya, akan tetapi ia mendesak terus dan menyatakan bahwa jauh-jauh dari Lok-yang ia datang untuk menguji kepandaianku. Aku tidak tega maka terpaksa melayaninya bermain-main sebentar.”

Nyo Tiang Le kembali tertawa, kini makin keras. “Ha-ha-ha, kau orang tua benar-benar keterlaluan! Kau bilang tidak tega akan tetapi kau telah mainkan Seng-im-khikang. Kalau aku tidak buru-buru mendorongnya roboh dengan Soan-hong-jiu, apakah dia tidak akan menderita luka-luka hebat di dalam tubuhnya akibat kena serangan hawa dari sulingmu? Ha-ha-ha!”

Pok Pok Sianjin juga tertawa. “Apa kau kira aku sekejam itu? Aku baru mempergunakan Seng-im Khikang setelah yakin bahwa dia cukup kuat untuk menghadapi itu! Ehh, Setan Tua, kau baik sekali. Telah lama aku merasa rindu padamu, apakah kau datang hendak menantangku main catur?”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. “Asal bertaruh minum arak baik, siapa takut akan kepandaian caturmu?”

Pada saat itu, Hong Beng menarik lengan tangan adiknya dan diajak berlutut di hadapan Pok Pok Sianjin. “Suhu, ini adalah adik teecu yang bernama Lili!”

Pok Pok Sianjin memandang kepada Lili, mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berkata, “Seperti ibunya... seperti ibunya...!”

Sementara itu, Nyo Tiang Le memandang kepada Hong Beng dan berkata, “Inikah putera Pendekar Bodoh? Pantas sekali! Jadi kau orang tua sudah menerima kehormatan untuk mendidik putera Pendekar Bodoh? Satu kehormatan besar dan kau beruntung sekali Pok Pok Sianjin!”

Mendengar ini, Hong Beng cepat membantah, “Bukan Suhu yang mendapat kehormatan besar dan keberuntungan, Locianpwe, akan tetapi adalah teecu yang mendapat karunia besar!”

Nyo Tiang Le mengangkat alisnya dengan heran dan kemudian tertawa dengan senang. “Anak ini pandai membawa diri seperti ayahnya!”

Pengemis Setan itu menuturkan kepada Pok Pok Sianjin tentang pertemuannya dengan sute-nya Lo Sian dan menceritakan pula pengalaman Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti. “Kini sute-ku sedang menuju ke timur untuk memberi kabar kepada Pendekar Bodoh. Sementara itu, aku akan menanti di sini dan melatih anak ini, sambil menanti datangnya orang tuanya yang tentu akan menjemputnya.”

Bukan main girangnya hati Hong Beng mendengar bahwa adiknya akan tinggal di sana untuk beberapa lama dan ayah ibunya akan datang pula ke sana. Ketika Nyo Tiang Le menceritakan pula mengenai riwayat Kam Seng, Pok Pok Sianjin merasa kasihan juga. “Biar pun bakatnya kurang, namun ia cocok menjadi murid Sute-ku,” kata Nyo Tiang Le.

Kemudian dua orang tua itu lalu masuk ke dalam pondok dan bermain catur, sedangkan Hong Beng bersama Lili dan Kam Seng lalu bermain-main di sekitar puncak Beng-san itu. Kam Seng merasa kagum dan tunduk kepada Hong Beng yang selain berkepandaian tinggi juga amat ramah kepadanya.

Sejak hari itu juga, Lili tinggal di puncak Beng-san dan mendapat latihan ilmu silat dari Nyo Tiang Le. Dasar otaknya terang dan dia memang sudah memiliki dasar kepandaian yang diajarkan oleh ayah ibunya semenjak dia masih kecil, maka sebentar saja dia telah mendapat kemajuan yang amat cepat.

Juga Kam Seng mulai menerima latihan-latihan atas petunjuk Lili dan Hong Beng, karena Nyo Tiang Le hanya memberi petunjuk-petunjuk teorinya saja sehingga anak yatim piatu itu berlatih di bawah pengawasan Hong Beng dan Lili!

Hong Beng sendiri dengan amat tekun dan rajinnya mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, terutama sekali ilmu silat tongkat yang sudah menjadi keahlian Pok Pok Sianjin dan sudah menjunjung tinggi namanya sebagai ahli silat kelas satu dan tokoh terbesar dari dunia persilatan sebelah barat!

Oleh karena mendapat didikan ilmu silat dari seorang ahli, dan pula karena kini tinggal bersama kakaknya, Lili sampai lupa bahwa ayah ibunya yang ditunggu-tunggu ternyata belum juga datang, biar pun dia telah berada di atas puncak Beng-san sampai berbulan lamanya!

Kenapa sampai demikian lama Cin Hai dan Lin Lin tidak menyusul anaknya di Beng-san, padahal sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, pasangan suami isteri pendekar ini dalam perjalanannya kembali dari Kansu, hendak mampir dulu dan menengok putera mereka di puncak bukit itu?

Sesungguhnya, Pendekar Bodoh dan isterinya sudah menemui peristiwa yang hebat dan yang membuat mereka belum juga tiba di Beng-san…..

********************

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin telah mendapat keterangan dari orang-orang Turki kawan-kawan mendiang Yousuf, bahwa menurut dugaan mereka, tidak salah lagi pembunuh Yousuf dan penculik Lili adalah seorang peranakan Tionghoa Turki yang bernama Bouw Hun Ti. Maka mereka lalu kembali ke timur, mengambil jalan sebelah utara di sepanjang tapal batas Propinsi Kansu dengan Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan untuk sekalian mampir di Beng-san dan menengok putera mereka yang berlatih silat di bawah pimpinan Pok Pok Sianjin.

Puncak Beng-san terletak di Pegunungan Lu-liang-san yang panjang, maka bila mereka mengambil jalan di utara, mereka akan melewati Lu-liang-san.

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kota yang bernama Po-kwan, dan kota ini berada di tapal batas Mongolia Dalam, di lembah Sungai Huang-ho yang saat itu belum begitu besar airnya. Kota Po-kwan cukup ramai dan suami isteri ini di samping melihat-lihat kota yang belum pernah dikunjunginya ini, juga mereka bertanya-tanya kalau-kalau ada Bouw Hun Ti di daerah itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun melihat orang she Bouw yang dicari-carinya itu.

Karena itu dua hari kemudian, Cin Hai dan Lin Lin keluar dari kota Po-kwan dan hendak melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san melalui Sungai Huang-ho. Tetapi, baru saja mereka keluar dari kota Po-kwan, mereka bertemu dengan orang-orang yang tak pernah mereka sangka-sangka akan bertemu di situ.

Mereka sedang berjalan keluar dari kota untuk menuju ke sungai yang berada di sebelah timur kota, dan mendadak dari sebuah tikungan mereka melihat seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun berjalan cepat sekali di depan mereka. Lin Lin memandang tajam, karena dari belakang dia serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi baru saja dia hendak bertanya kepada suaminya, Cin Hai telah mendahuluinya dan berseru girang,

“Lie-suheng…!”

Laki-laki itu terkejut mendengar seruan ini, lantas segera menghentikan tindakan kakinya dan cepat membalikkan tubuh. Wajahnya nampak tua dan muram sekali, sungguh pun ia masih kelihatan tampan dan gagah. Kumisnya sudah mulai putih tak terurus sedangkan jenggotnya juga panjang tak terpelihara. Pakaiannya tidak karuan, bahkan ada beberapa bagian yang sudah robek-robek didiamkannya saja.

Akan tetapi ketika melihat Cin Hai dan Lin Lin, untuk sekejap matanya bersinar-sinar, dan Cin Hai beserta isterinya yang cepat berlari menghampiri orang itu hanya melihat betapa kegembiraan itu berlangsung sebentar saja. Orang itu segera menundukkan muka dan menjadi muram kembali, seakan-akan merasakan kesedihan yang luar biasa besarnya.

“Sie-sute, kaukah ini? Dari manakah kau dan Sumoi, kau juga baik-baik saja, bukan?” Suaranya rata dan tidak berirama, tanda bahwa dia sedang menderita kesedihan besar sekali.

Cin Hai segera memegang tangan orang itu setelah memberi hormat. “Lie-suheng, kau kenapakah?”

“Lie-suheng, agaknya kau amat bersedih. Dimanakah Enci Im Giok?” tanya pula Lin Lin.

Orang itu memandang kepada mereka ganti berganti, kemudian tiba-tiba dari sepasang matanya keluarlah air mata yang lalu membanjir turun membasahi kedua pipinya. Bukan main kagetnya Cin Hai dan Lin Lin melihat keadaan orang itu. Cin Hai segera menariknya dan mengajaknya duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan segera mendesak kepada orang itu untuk menceritakan apakah sebenarnya yang menyusahkan hatinya.

Siapakah orang ini? Para pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa orang ini bukan lain adalah Lie Kong Sian, murid mendiang Bu Pun Su, guru Cin Hai dan Lin Lin. Karena ada hubungan perguruan ini, maka Lie Kong Sian masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dari Cin Hai dan Lin Lin.

Dalam cerita Pendekar Bodoh dikisahkan bahwa Lie Kong Sian ini telah berjodoh dengan seorang pendekar wanita baju merah yang amat lihai dan yang bernama Kiang Im Giok atau lebih terkenal lagi dengan nama julukannya, Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Lie Kong Sian tinggal bersama isterinya di sebuah pulau, yaitu Pulau Pek-lek-to yang terletak di dekat pantai laut Tiongkok sebelah timur.

Sejak Lie Kong Sian bersama isterinya mengunjungi Cin Hai dan Lin Lin untuk datang menyaksikan upacara pernikahan kedua adik seperguruannya itu, hingga kini baru sekali mereka saling bertemu. Hal itu terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu baru saja setahun mereka saling berpisah. Akan tetapi semenjak itu, mereka tak pernah saling bertemu kembali. Bahkan ketika Cin Hai dan Lin Lin mengunjungi Pulau Pek-le-to pada lima tahun yang lalu sambil mengajak kedua anak mereka, pulau itu ternyata kosong dan tidak diketahui ke mana perginya Lie Kong Sian dan isterinya.

Supaya lebih jelas bagi para pembaca yang belum membaca buku Pendekar Bodoh, baiknya diterangkan kembali bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan boleh disamakan dengan kecantikan seorang bidadari dari kahyangan. Dalam usia tiga puluh tahun lebih, yaitu pada saat ia menikah dengan Lie Kong Sian, ia masih nampak cantik jelita dan muda bagaii seorang dara berusia tujuh belas tahun saja.

Hal ini bukan saja memang pada dasarnya dia cantik jelita, akan tetapi sebagian besar adalah karena pengaruh semacam telur mukjijat, yakni telur Pek-tiauw (Rajawali Putih). Nona Baju Merah ini sangat sayang akan kecantikannya dan untuk menjaga ini dia tidak segan-segan untuk mencari telur burung rajawali putih yang amat sukar didapatkannya. Karena khasiat telur inilah, maka ia selalu nampak cantik dan muda selalu.

Kecantikannya ini ditambah lagi dengan keahliannya bermain silat yang luar biasa, yaitu ilmu sliat yang disebut juga Ilmu Silat Tarian Bidadari, sehingga kalau ia sudah mainkan ilmu pedangnya dengan ilmu silat ini, maka ia benar-benar merupakan seorang bidadari yang sedang menari dengan indahnya!

Tidak heran bahwa banyak sekali hati pemuda-pemuda runtuh karena kecantikannya ini, bahkan Cin Hai sendiri pernah tergila-gila kepada Ang I Niocu. Akan tetapi Ang I Niocu mempunyai watak yang amat keras dan angkuh. Semua pinangan pemuda-pemuda yang gagah dan tampan itu ditolaknya belaka, bahkan pemuda-pemuda itu diejeknya sehingga banyak yang patah hati.

Pada akhirnya ia bertemu dengan Lie Kong Sian yang menjatuhkan hatinya karena budi kebaikan pemuda ini dan pula karena pemuda ini memiliki ilmu silat tinggi yang sanggup mengalahkannya. Akhirnya mereka menikah dan hidup penuh kebahagiaan di atas Pulau Pek-lek-to yang merupakan sorga bagi mereka. Pulau ini sangat subur dan juga indah sekali pemandangannya.

Dua tahun setelah mereka menikah, Ang I Niocu mengandung. Semenjak mengandung, pendekar wanita ini merasa tubuhnya tidak enak sekali dan sifatnya yang keras itu kini timbul kembali, bahkan semakin menghebat. Sering kali dia marah-marah besar kepada suaminya hanya karena urusan kecil saja.

Akan tetapi Lie Kong Sian yang amat mencinta isterinya dan sangat sabar itu, mampu menghiburnya dan selalu mengalah dalam segala hal. Akhirnya terlahirlah seorang bayi laki-laki dan keduanya merasa amat berbahagia kembali. Bersama dengan kelahiran itu lenyaplah semua sifat pemarah, akan tetapi tubuh pendekar wanita itu masih saja sering kali merasa tidak enak sekali dan kepalanya pening.

Perubahan besar nampak terjadi pada dirinya, biar pun terjadinya secara sangat lambat dan perlahan. Akan tetapi tiga tahun kemudian, perubahan ini sudah menjadi sedemikian hebatnya. Rambut Ang I Niocu yang tadinya hitam dan panjang berombak itu lambat laun menjadi putih dan penuh uban! Kulit mukanya yang tadinya halus dan kemerah-merahan itu lambat laun menjadi keriputan dan menghitam!

Kini melihat kecantikannya melenyap dengan perlahan akan tetapi tentu, seperti penyakit yang memakan habis kecantikannya itu sekerat demi sekerat, bukan main penderitaan batin yang dirasakannya sehingga hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali ia melihat wajahnya pada bayangannya di dalam air, ia menangis tersedu-sedu dengan hati hancur.

Lie Kong Sian berdaya upaya menghiburnya, juga mengobatinya, akan tetapi semuanya percuma belaka.

“Isteriku…,” katanya menghibur pada saat isterinya menangis tersedu-sedu sambil terus menarik-narik rambutnya yang telah menjadi putih hingga banyak yang terlepas dari kulit kepalanya, “betapa pun juga, dan apa pun yang akan terjadi dengan kau, aku akan tetap mencintamu dengan tulus ikhlas dan suci. Jangan kau bersedih, isteriku...”

Akan tetapi kata-kata ini bahkan makin menghancurkan hati Ang I Niocu. Dengan suara terputus-putus dia berkata, “Ahh... bagaimanakah ini...? Mengapa Thian mengutuk diriku begini hebat...? Aku baru berusia hampir empat puluh, mengapa rambutku sudah putih semua, kulitku menjadi rusak seperti ini? Mana kecantikanku yang dulu...? Ah, aku malu, aku malu...!” Ia lalu menangis dengan amat sedihnya.

“Im Giok, jangan kau berkata demikian. Kecantikan hanyalah keindahan lahir belaka dan kau tahu bahwa cintaku kepadamu bukan hanya berdasarkan kecantikanmu.” Akan tetapi segala macam hiburan tak dapat memuaskan hati Ang I Niocu.

Ia dan suaminya maklum bahwa kecantikannya yang dipengaruhi oleh obat telur rajawali putih itu memang mempunyai batas dan syarat yang amat berat. Syarat itu ialah apa bila seorang yang menjadi cantik karena telur itu melahirkan seorang anak, maka kecantikan itu tidak saja akan lenyap, bahkan usianya akan bertambah dengan cepat dan berlipat ganda, sehingga dalam usia empat puluh tahun, ia menjadi seorang yang usianya hampir delapan puluh tahun!

Akhirnya, setelah tersiksa oleh kesedihan sendiri sampai hampir gila, pada suatu pagi Lie Kong Sian mendapatkan isterinya sudah minggat dari pulau itu mempergunakan sebuah sampan dan membawa serta anaknya!

‘Suamiku yang baik,’ demikian bunyi surat yang ditinggalkan oleh Ang I Niocu untuk Lie Kong Siang ‘ampunilah dosaku yang amat besar kepadamu. Aku tidak kuat lagi menahan derita sehebat ini, maka lebih baik aku keluar dari kehidupanmu, agar aku tidak menyeret kau yang berbudi ke dalam jurang kehinaan. Biarlah aku pergi mengasingkan diri. Anak kita kubawa dan sisa hidupku akan kugunakan untuk mendidik dan menurunkan ilmu silat kepadanya agar dia menjadi seorang yang berbudi dan gagah. Selamat tinggal suamiku! Kalau aku sudah mati, anak kita tentu akan mencari ayahnya untuk berbakti!’

Bukan main terkejutnya hati Lie Kong Sian membaca surat peninggalan isterinya yang tercinta itu. Dia cepat menyusul dan mengejar, akan tetapi karena air tak meninggalkan jejak isterinya, dia lalu mengejar ke lain jurusan, akan tetapi tetap tak dapat menemukan isteri dan anaknya. Ketika itu anaknya baru berusia tiga tahun lebih.

Hancurlah kehidupan Lie Kong Sian. Dunia terasa kosong dan hidup terasa merupakan penderitaan dalam neraka. Ia kemudian merantau dan mencari-cari jejak isterinya hingga bertahun-tahun.

Kalau dulu ia merupakan seorang yang amat tampan dan biar pun sederhana akan tetapi selalu berpakaian pantas, sekarang dia telah berubah sama sekali. Dia menjadi seorang pendiam, bahkan kadang kala bagaikan orang gila. Demikianlah keadaan Lie Kong Sian yang secara kebetulan berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin.

Tadinya Lie Kong Sian merasa segan untuk menceritakan penderitaannya ini, tapi karena di dunia ini tidak ada orang lain yang lebih pantas mendengar tentang penderitaannya itu kecuali Cin Hai, ia lalu menceritakan semua itu sambil bercucuran air mata.

Cin Hai dan Lin Lin merasa terharu sekali mendengar hal ini. Dengan air mata berlinang Cin Hai menegur suheng-nya, “Suheng, ada terjadi hal seperti itu, mengapa Suheng tidak cepat-cepat datang ke Shaning dan memberi tahu kepada kami supaya kami dapat ikut mencari ke mana perginya Ang I Niocu?”

Di dalam lubuk hatinya, Cin Hai merasa amat sayang dan mencinta Ang I Niocu, walau pun cintanya itu sudah berubah menjadi cinta seorang adik kepada kakaknya, atau lebih dari itu hampir seperti cinta seorang anak kepada ibunya.

Lin Lin merasa lebih terharu lagi. Dia sangat mencinta Ang I Niocu yang dahulu pernah membelanya tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri. Maka kini mendengar mala petaka yang menimpa diri Ang I Niocu, dia kemudian menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun!

Setelah puas menangis dan menumpahkan rasa sedih di dalam dada di tempat mereka bertemu itu, Lie Kong Sian lalu bertanya mengapa kedua suami isteri itu bisa berada di tempat itu.

Cin Hai lalu menuturkan tentang penculikan atas diri Lili puteri mereka dan pembunuhan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti kepada Yousuf.

Mendengar ini, bukan main marahnya Lie Kong Sian dan sambil menghela napas berat ia berkata, “Ah, mengapa selalu orang-orang yang tak berdosa menerima siksaan hidup? Kenapa bahkan orang-orang yang selalu menjunjung kebaikan dan keadilan yang harus menderita banyak susah?”

“Suheng, biarlah aku dan isteriku membantu usahamu mencari tempat persembunyian Niocu dan anakmu, dan aku akan membujuknya agar suka kembali kepadamu.”

Lie Kong Sian menghela napas. “Agaknya sulit sekali. Selain ia pandai menyembunyikan diri, juga hatinya amat keras dan sekali dia sudah mengambil keputusan, sukarlah untuk mengubahnya. Akan tetapi, biarlah kita mengambil jalan masing-masing, Sute. Kau boleh membantuku mencari isteriku, dan kau percayalah, apa bila sampai aku bertemu dengan orang she Bouw itu, pasti akan kubalaskan sakit hati Yo-pekhu dan kurampas kembali puterimu.”

Cin Hai yang maklum akan adat dan sifat Ang I Niocu yang keras, diam-diam merasa bahwa apa bila dia yang membujuk, agaknya masih ada harapan, akan tetapi terhadap Lie Kong Sian dia diam saja.

Mereka lalu berpisah dan suami isteri itu memandang Lie Kong Sian yang berjalan pergi dengan muka tertunduk itu. Bukan main terharu hati mereka dan Lin Lin menggunakan sapu tangan untuk menahan isaknya ketika dia melihat suheng-nya itu berjalan bagaikan mayat hidup, lemah tak bertenaga dan limbung.

“Kasihan sekali Suheng...,” kata Cin Hai sambil menghapus air mata yang berlinang pada pelupuk matanya.

Karena Cin Hai pernah mengadakan perjalanan di daerah utara bersama Ang I Niocu, yaitu pada waktu terjadi perebutan Pulau Emas antara kerajaan pihak Turki dan pihak Mongol, maka Cin Hai mendapat dugaan bahwa Ang I Niocu tentu menyembunyikan diri di Pegunungan Im-san atau Gobi-san di utara.

Oleh karena itu, ia menunda maksudnya menuju ke Beng-san menengok puterinya dan sebaliknya dia bersama isterinya segera membelok ke utara dan mencari Ang I Niocu di daerah Mongol! Inilah sebabnya maka sampai berbulan-bulan ia dan isterinya belum juga tiba di Beng-san di mana Lili dengan aman sudah belajar silat di bawah asuhan Mo-kai Nyo Tiang Le si Pengemis Setan yang lihai…..

********************

Lo Sian Sin-kai atau Si Pengemis Sakti dengan cepat melakukan perjalanan seorang diri menuju ke Shaning di Propinsi An-hui untuk mencari Cin Hai dan mengabarkan tentang Lili yang kini berada di puncak Gunung Beng-san. Seperti biasanya tiap kali mengadakan perantauan, Pengemis Sakti ini tiada hentinya mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas hingga namanya makin terkenal sebagai seorang pendekar budiman.

Setelah tiba di Shaning, dengan amat mudahnya ia mendapatkan rumah Ciri Hai. Siapa orangnya di Shaning yang tidak mengenal nama Pendekar Bodoh? Akan tetapi, alangkah kecewa dan kagetnya pada saat melihat bahwa rumah dari Pendekar Bodoh itu tertutup, bahkan masih ada kain putih tergantung di depan pintu, tanda bahwa rumah itu belum lama ini menderita kematian seorang keluarga dekat.

Lo Sian segera mencari keterangan kepada orang-orang di situ dan bukan main marah serta kecewanya ketika mendengar bahwa ayah angkat Nyonya Sie sudah terbunuh oleh seorang peranakan Turki, dan bahwa di samping melakukan pembunuhan yang kejam, penjahat itu pun menculik puteri dari Pendekar Bodoh.

Sampai lama Lo Sian tertegun mendengar ini. Tak disangkanya bahwa orang brewok yang menculik Lili bahkan telah membunuh pula ayah angkat dari ibu anak itu!

“Bangsat besar Bouw Hun Ti,” bisiknya gemas sambil mengertakkan gigi, “benar-benar kau mencari mampus berani memusuhi keluarga Pendekar Bodoh!”

Lo Sian lalu bertanya kepada orang yang memberi keterangan kepadanya ke mana perginya Pendekar Bodoh dan isterinya. Ketika mendapat jawaban bahwa kedua suami isteri pendekar itu pergi mengejar dan mencari si penculik dan pembunuh, Lo Sian lalu cepat-cepat meninggalkan kota Shaning setelah memberi sesampul surat pada tetangga dekat rumah Cin Hal itu dengan pesanan bahwa apa bila pendekar besar itu pulang, agar supaya suratnya itu diberikan kepadanya.

Dalam surat itu ia menulis bahwa Lili telah tertolong dan kini berada di puncak Beng-san bersama Mo-kai Nyo Tiang Le yang hendak mengunjungi Pok Pok Sianjin. Kemudian dia lalu pergi keluar dari kota dan menuju ke Bukit Beng-san untuk memberi laporan kepada suheng-nya, dan juga untuk melanjutkan melatih dua orang muridnya, yaitu Lili dan Kam Seng.

Tentu saja ia tidak berani lagi menganggap Lili sebagai muridnya, karena setelah kedua orang tua anak itu menjemput dan membawanya pulang, sudah tentu jauh lebih baik bila Lili mendapat pelajaran dari ayah ibunya sendiri yang mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya.

Pada suatu hari, dalam perjalanannya menuju ke Beng-san, dia tiba di kota Li-coan dan ketika dia lewat di depan sebuah rumah makan, bau arak yang sangat sedap menarik hatinya dan menimbulkan seleranya yang amat kuat akan arak wangi. Dia lalu masuk ke dalam rumah makan itu dan memesan seguci arak yang paling baik. Pada pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, ia lalu memperlihatkan sepotong uang emas yang kiranya cukup untuk membayar harga lima guci arak!

Pelayan itu memandang dengan mata terbelalak dan sambil pergi untuk mengambilkan arak pesanan Lo Sian, ia menggerutu, “Sungguh aneh sekali dunia ini! Aku yang bekerja keras siang malam tanpa kenal lelah, belum pernah mempunyai sekeping emas murni! Akan tetapi, hari ini aku melihat seorang setengah gila mempunyai banyak uang emas dan seorang pengemis berbaju tambalan memperlihatkan sepotong emas besar! Aneh, aneh... dunia memang tidak adil!”

Lo Sian tersenyum seorang diri. Biar pun pelayan itu bicara dengan perlahan akan tetapi telinga Lo Sian yang tajam dapat mendengar ucapan ini dan diam-diam ia membenarkan keluh kesah pelayan itu.

Memang kalau dipikir-pikir sungguh mengherankan. Orang-orang yang bekerja, semakin berat pekerjaannya, makin kecillah penghasilannya. Lihat saja para pembesar tinggi yang kerjanya hanyalah naik turun kereta, naik turun kursi kebesaran, di mana-mana menjual lagak, membentak-bentak rakyat dan cukup memberi cap kebesarannya saja, hidupnya mewah dan penghasilannya berlebihan sungguh pun penghasilannya itu didapat dengan jalan yang tidak halal!

Pada waktu pelayan itu datang mengantar arak yang dipesannya, tiba-tiba saja terdengar suara dari sudut ruang rumah makan itu yang membentak si pelayan.

“Hai, kau boleh menggerutu seorang diri, akan tetapi, jangan kau bawa-bawa aku pula! Aku mempunyai banyak emas bukan dengan jalan mencuri atau pun merampok, karena itu tutuplah mulutmu!”

Lo Sian terkejut. Orang itu duduknya cukup jauh dari tempat pelayan tadi menggerutu, maka kalau orang dapat mendengar gerutuan si pelayan, dapat diduga bahwa orang itu memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya! Ia menengok dan memperhatikan orang itu.

Ternyata bahwa orang itu bertubuh tegap, berwajah gagah sekali dan sepasang matanya berpengaruh, membuat orang tak berani bertemu pandang terlalu lama dengan dia. Akan tetapi, keadaannya memang patut disebut kurang beres ingatan sebab selain pakaiannya tidak karuan macamnya, juga orang itu membiarkan rambut kepalanya bergantungan di depan matanya. Kumis dan jenggotnya juga menjungat ke sana kemari tanpa terpelihara sedikit pun juga dan wajahnya muram dan gelap.

Orang ini juga telah memesan arak wangi serta meminumnya tidak melalui cawan seperti orang biasa, melainkan menenggaknya langsung dari mulut guci yang besar! Bahkan di atas mejanya telah ada sebuah guci yang kosong sedangkan guci ke dua telah diminum setengahnya.

Sekali pandang saja, tahulah Lo Sian bahwa orang itu tentu seorang yang pandai, akan tetapi ia belum pernah melihat orang ini sungguh pun pengalaman Lo Sian cukup banyak di dunia kang-ouw. Ia tidak tahu apakah orang ini termasuk golongan pendekar perantau seperti dia sendiri ataukah dia termasuk tokoh dari golongan hek-to (golongan hitam dan penjahat), maka ia tidak berani sembarangan menegur dan berkenalan.

Melihat pula sikap yang keras dan pemarah dari orang itu dan wajahnya yang muram, Lo Sian mengira bahwa orang itu tentulah seorang tokoh liok-lim (jagoan rimba hijau) yang ganas dan kejam. Maka sesudah menghabiskan araknya, dia lalu membayar dan hendak keluar dari rumah makan itu.

Akan tetapi, baru saja ia berdiri dan hendak keluar, tiba-tiba ia menjadi pucat karena dari luar masuk dua orang yang bukan lain adalah Bouw Hun Ti serta seorang setengah tua yang memakai ikat kepala lebar! Sebaliknya, pada saat Bouw Hun Ti melihat Lo Sian, ia tertawa bergelak dan berkata kepada kawannya itu,

“Ha-ha-ha-ha, Susiok. Lihatlah, dicari ke ujung langit tak bersua, jika tidak dicari si anjing she Lo menyerahkan diri!”

Sementara itu, Lo Sian maklum bahwa orang she Bouw tentu takkan melepaskannya dan terpaksa dia harus melawan mati-matian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berkata,

“Bouw Hun Ti, kau manusia kejam dan hina-dina! Baru sekarang aku tahu bahwa selain menculik puteri Pendekar Bodoh secara amat pengecut, kau pun telah membunuh Yousuf dengan kejam dan tak kenal malu!”

“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel! Bagaimana orang macam kau dapat mengatakan bahwa aku pengecut dan tidak kenal malu? Coba terangkan, apa sebabnya kau berani berkata demikian.”

“Hemm, kau melakukan kekejaman itu pada waktu Pendekar Bodoh dan isterinya tidak berada di rumah! Apakah itu boleh disebut kelakuan seorang yang gagah? Kau memang pengecut!”

Merahlah wajah Bouw Hun Ti dan dengan amat marah ia membentak,

“Manusia jembel yang akan mampus! Kau telah merampas anak perempuan itu dengan cara yang lebih pengecut lagi. Tempo hari kalau kau tidak mengandalkan bantuan Mo-kai Nyo Tiang Le suheng-mu yang gila itu, kau telah mampus di tanganku! Nah, bersedialah untuk mampus!”

Sambil berkata demikian, Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan bagaikan seekor harimau kelaparan dia menyerang dengan hebat sambil menendang meja yang menghadang di depannya sehingga meja itu terbang dan menimpa meja-meja lain.

Lo Sian berlaku waspada dan cepat menangkis, sehingga sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sambil menendang meja bangku untuk mencari ruang luas. Kali ini Lo Sian berlaku hati-hati sekali. Ia tahu bahwa kepandaian orang she Bouw ini lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri dan bahwa akhirnya dia takkan dapat menang apa bila pertempuran itu dilanjutkan.

Apa lagi menurut pendengarannya tadi, Bouw Hun Ti menyebut susiok (paman guru) kepada orang yang berikat kepala lebar itu, maka dapat dibayangkan pula betapa tinggi kepandaian orang itu. Jalan keluar sudah tidak ada, maka tiada lain jalan bagi Lo Sian melainkan melawan mati-matian dan tak akan menyerah kalah begitu saja.

“He, pengemis jembel!” tiba-tiba orang yang disebut susiok oleh Bouw Hun Ti itu berkata. “Katakan saja di mana adanya anak yang kau culik itu. Bouw Hun Ti, biar dia memberi pengakuan, baru kita ampunkan jiwa anjingnya!”

Akan tetapi, sebagai seorang gagah, tentu saja Lo Sian tidak sudi bersikap lemah. Lebih baik mati dari pada menyerah dan membuat pengakuan yang berarti merendahkan nama kehormatan sendiri, demikianlah pendirian tiap orang gagah.

“Keparat!” serunya sambil menangkis serangan golok Bouw Hun Ti yang menyambar cepat. “Apa bila hendak mengeroyok, majulah saja. Aku Sin-kai Lo Sian bukanlah orang yang takut mati!”

“Bedebah!” kawan Bouw Hun Ti itu berseru marah, “Hun Ti, jangan memberi hati kepada manusia rendah ini!” Sambil berkata demikian, ia pun melangkah maju hendak mengirim serangan dengan tangan kosong.

Akan tetapi, pada saat itu, dari ujung ruangan itu menyambar sebatang tali sutera hitam yang meluncur bagaikan seekor ular hidup dan tahu-tahu golok Bouw Hun Ti kena dilibat oleh tali itu. Pada saat tali itu dibetot keras, Bouw Hun Ti berteriak kaget karena tenaga betotan tali itu luar biasa sekali kuatnya sehingga terpaksa ia melepaskan goloknya!

Pada saat itu, susiok dari Bouw Hun Ti yang bukan lain adalah Lu Tong Kui atau sute Ban Sai Cinjin yang pernah menyerbu ke Beng-san untuk mencoba kepandaian Pok Pok Sianjin kemudian dikalahkan oleh Nyo Tiang Le, sudah melepaskan pukulan ke arah Lo Sian. Sungguh pun pukulan itu dilakukan dari tempat yang jauhnya lebih dari setombak, akan tetapi Lo Sian sampai terhuyung ke belakang, terdorong oleh sambaran angin yang luar biasa kuatnya! Lo Sian terkejut sekali dan cepat mengerahkan tenaga pada kedua kakinya untuk menahan keseimbangan tubuhnya.

Melihat betapa golok Bouw Hun Ti dapat terlepas dengan amat mudah oleh tali sutera yang kecil, Lu Tong Kui menjadi terkejut dan juga marah. Ia cepat-cepat menengok dan ternyata yang melepas tali sutera itu adalah seorang yang pakaiannya tidak karuan dan yang kini telah berdiri dengan mata memancarkan cahaya berapi. Ada pun Lo Sian yang melihat penolongnya, juga menjadi terkejut dan girang pula karena yang menolongnya itu adalah orang yang disangka gila tadi!

“Bouw Hun Ti!” terdengar orang itu berkata, suaranya tenang akan tetapi seperti juga pandang matanya, suara itu sangat berpengaruh, “kebetulan sekali kita bertemu di sini. Memang aku sedang mencari-cari kau dan hendak membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan tangan kanannya dan sutera hitam yang panjang itu meluncur bagaikan cambuk dan mengirim serangan totokan hebat ke arah jalan darah di leher Bouw Hun Ti. Orang she Bouw ini cepat mengelak, akan tetapi bagaikan bermata dan hidup, ujung sutera hitam itu meluncur dan mengejar dan masih saja mengancam jalan darahnya.

Bouw Hun Ti menjadi pucat, terpaksa menangkis dengan tangannya dan ia pun berteriak kaget ketika merasa betapa tangannya seakan-akan beradu dengan mata pedang yang taiam. Ia cepat menarik kembali tangannya dan sutera hitam itu meluncur terus ke arah lehernya!

Pada saat yang amat berbahaya bagi Bouw Hun Ti itu, Lu Tong Kui tidak tinggal diam. Ia berseru keras dan sambil mencabut pedangnya ia lalu melompat dan membabat ke arah sutera hitam itu.

Sutera hitam itu bergerak mengelak dan tidak sampai terbabat oleh pedangnya, namun Bouw Hun Ti terbebas dari bahaya maut. Sesungguhnya kalau sampai sutera hitam itu menotok jalan darah pada lehernya, maka lehernya akan pecah dan ia akan binasa pada saat itu juga!

“Eh, sahabat, siapakah kau? Mengapa kau memusuhi Bouw Hun Ti?” tanya Lo Tong Kui sambil melintangkan pedangnya pada dada.

Orang itu tersenyum mengejek. “Lu Tong Kui, kau tentu tidak mengenalku, akan tetapi aku tahu bahwa kau dan murid keponakanmu ini adalah orang-orang jahat yang patut sekali dikirim ke neraka!”

“Bangsat!” Lu Tong Kui memaki marah. “Apa kau kira aku takut kepadamu?”

“Majulah,” orang itu berkata dengan suara yang masih tenang, “sesudah kau berhadapan dengan Lie Kong Sian, tak perlu menjual banyak lagak lagi!”

Mendengar nama ini, tidak saja Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti yang merasa kaget, akan tetapi Lo Sian juga tertegun dan memandang dengan penuh perhatian dan kagum. Akan tetapi ia merasa ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, pendekar yang bernama Lie Kong Sian dan yang menjadi suami dari pendekar wanita Ang I Niocu yang sangat terkenal, kabarnya berwajah tampan dan gagah. Mengapa orang ini seperti orang gila dan berwajah muram?

Nama Ang I Niocu sudah amat terkenal dan tak seorang pun di kalangan kang-ouw yang belum mendengar namanya sungguh pun jarang yang pernah bertemu dengan pendekar wanita itu. Kalau Ang I Niocu yang tersohor gagah perkasa itu kabarnya masih kalah oleh suaminya yang bernama Lie Kong Sian, maka tentu saja nama ini menggetarkan hati Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti!

Apa lagi Bouw Hun Ti, oleh karena sebagai suheng dari Pendekar Bodoh yang sudah diganggunya, dibunuh mertuanya dan diculik puterinya, tentu saja Lie Kong Sian takkan memberi ampun kepadanya! Lo Sian menjadi girang sekali.

“Hemm, kaukah yang bernama Lie Kong Sian, pendekar dari Pulau Pek-le-to itu? Tidak kusangka bahwa orangnya ternyata hanya sebegini saja!” Lu Tong Kui mengejek untuk memperbesar semangat sendiri, kemudian tanpa menanti jawaban ia menyerang dengan pedangnya.

Lie Kong Sian cepat-cepat mengelak sambil mencabut keluar pedangnya pula. Pedang ini bersinar gemilang dan sangat tajam, karena ini adalah pedang Cian-hong-kiam yang dahulu dia terima dari isterinya sebagai tanda perjodohan ketika belum menikah. Dengan gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya, Lie Kong Sian membalas dengan serangan hebat sehingga Lu Tong Kui harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian supaya jangan sampai dirobohkan dengan mudah.

Bouw Hun Ti yang melihat susiok-nya terdesak, lalu mengambil kembali goloknya yang tadi terlepas dari pegangan, lalu membantu susiok-nya itu mengeroyok Lie Kong Sian.

Lo Sian tentu saja tidak mau mendiamkan hal ini, maka dia pun bergerak maju sambil berseru, “Bangsat pengecut, jangan main keroyokan!”

Akan tetapi Lie Kong Sian lalu berkata kepadanya, “Sahabat, jangan kau turut campur! Biarkan aku sendiri memberi hajaran kepada penculik rendah ini. Yang diculik adalah keponakanku, maka aku yang berhak menghajar!”

Mendengar suara ini, Lo Sian melangkah mundur lagi karena ia tidak mau menyinggung perasaan pendekar gagah itu. Pula, dia melihat betapa Lie Kong Sian biar pun dikeroyok dua, tapi masih dapat mendesak dua lawannya, dan maklum pula bahwa kepandaiannya sendiri masih kurang kuat sehingga bantuannya malah hanya merupakan gangguan saja bagi pergerakan Lie Kong Sian.

Memang ilmu pedang dari Lie Kong Sian bukan main hebatnya. Pendekar ini adalah murid dari mendiang Han Le Sianjin yang menjadi sute dari Bu Pun Su, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Biar pun Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti juga bukan sembarang orang dan kepandaian mereka sudah termasuk tinggi dan lihai, namun menghadapi Lie Kong Sian, mereka tidak banyak berdaya dan setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, maklumlah mereka bahwa kalau dilanjutkan mereka tentu akan roboh di tangan pendekar besar dari Pulau Pek-le-to ini.....

Lu Tong Kui adalah seorang yang licik dan juga pandai melihat gelagat. Dari pada roboh di tangan Lie Kong Sian, lebih baik melarikan diri saja, pikirnya. Ia tak usah merasa malu melakukan hal ini, karena kalah dalam pertandingan melawan seorang gagah perkasa seperti Lie Kong Sian, bukanlah merupakan hal yang amat memalukan.

“Mari kita pergi!” katanya dengan cepat sambil menyerang hebat ke arah kedua kaki Lie Kong Sian.

Bouw Hun Ti memang sudah mengeluarkan keringat dingin karena takut dan gelisahnya. Kini mendengar ucapan susiok-nya yang dibarengi dengan serangan hebat sehingga Lie Kong Sian tidak dapat menekannya, ia lalu melompat dari rumah makan.

“Bouw Hun Ti, jangan lari sebelum lehermu kupatahkan!” Lie Kong Sian berseru sambil menyampok pedang Lu Tong Kui dan tubuhnya lantas berkelebat keluar mengejar Bouw Hun Ti.

Karena gerak Lie Kong Sian gesit sekali dan ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi, maka dengan dua kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul dan mengirim bacokan dengan pedangnya dari belakang. Bouw Hun Ti bukanlah orang lemah dan mendengar suara angin pedang dari belakang, dia cepat membalikkan tubuh dan menangkis pedang itu dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya.

“Trangg…!”

Goloknya beradu dengan pedang sedemikian kerasnya hingga telapak tangannya serasa akan pecah kulitnya. Pada saat ia melihat, ternyata bahwa goloknya telah terbabat putus menjadi dua oleh pedang lawannya! Dan pada saat itu pula pedang Lie Kong Sian telah menyambar dengan cepatnya menusuk dadanya.

Dengan sangat terkejut Bouw Hun Ti melempar tubuhnya ke belakang, akan tetapi ujung pedang itu masih menyerempet pundaknya lantas melukai kulit pundak sehingga pecah dan darah membasahi pakaiannya! Ia terhuyung-huyung ke belakang dan tanpa tertahan lagi tubuhnya jatuh terjengkang!

Untung baginya, pada saat Lie Kong Sian hendak menambahkan dengan tusukan maut, datang Lu Tong Kui yang menyerang Lie Kong Sian dari belakang sehingga pendekar Pulau Pek-le-to itu terpaksa membalikkan tubuh untuk menghadapi Lu Tong Kui.

Bouw Hun Ti merangkak bangun dan ketika melihat musuh tangguh itu telah ditahan oleh susiok-nya, ia lalu melarikan diri secepatnya pergi dari tempat itu!

“Bouw Huii Ti, bangsat rendah, jangan lari!” seru Lie Kong Sian yang hendak mengejar kembali, akan tetapi Lu Tong Kui menyerangnya sedemikian rupa sehingga dia tak dapat melanjutkan niatnya mengejar musuh itu.

“Orang she Lu, jangan kau terlalu mendesak!” kata Lie Kong Sian. “Aku tidak mempunyai permusuhan denganmu dan tidak berniat membunuhmu. Yang hendak kubikin mampus hanya bangsat rendah Bouw Hun Ti itu. Minggirlah!”

Akan tetapi Lu Tong Kui tidak menurut, bahkan mendesak makin hebat.

“Kalau begitu, agaknya kau pun telah bosan hidup!” teriak Lie Kong Sian marah.

Pedangnya segera diputar cepat sekali. Gerakannya berubah dan sekarang pedangnya merupakan seekor naga yang ganas sekali, menyambar-nyambar tak mengenal ampun. Beberapa belas jurus Lu Tong Kui masih sanggup mempertahankan diri, namun akhirnya dia berteriak ngeri dan roboh tak bernyawa pula karena dadanya sudah tertembus oleh pedang di tangan Lie Kong Sian!

Pendekar dari Pulau Pek-le-to ini untuk sesaat lamanya berdiri kesima dan merasa agak menyesal sudah membunuh orang ini yang sesungguhnya di luar kehendaknya semula. Kemudian ia teringat kepada Bouw Hun Ti, lalu mengejar secepatnya ke arah orang she Bouw itu tadi melarikan diri.

Lo Sian yang mengejar sampai di situ merasa kagum sekali dan berseru, “Lie Kong Sian Taihiap...! Tunggu dulu! Lili sudah berada di tangan yang aman sentosa!”

Akan tetapi Lie Kong Sian telah pergi jauh dan Lo Sian tidak dapat menyusul kecepatan lari pendekar itu sehingga Si Pengemis Sakti ini hanya menggeleng-geleng kepala dan kemudian pergi dari situ, tidak mengalami kesibukan karena terjadinya pembunuhan ini.

“Bouw Hun Ti telah berada di tempat ini dengan susiok-nya, maka tentu ia melarikan diri menuju ke tempat tinggal gurunya yang tak jauh dari sini,” pikir Lo Sian dan ia lalu berlari cepat menuju ke dusun Tong-si-bun, tempat tinggal Ban Sai Cinjin.

Hari telah sore ketika ia tiba di dusun itu dan melihat betapa rumah Ban Sai Cinjin sunyi saja. Dia lalu menuju ke hutan di mana dia bersama Lili menolong Thio Kam Seng anak yatim piatu itu dari siksaan seorang hwesio kecil yang mendiami kuil megah dari Ban Sai Cinjin.

Dugaannya memang tepat sekali. Pada waktu dia tiba di dekat kuil itu, dia menyaksikan pertempuran yang hebat sekali sedang berlangsung antara Lie Kong Sian dan Ban Sai Cinjin sendiri! Seperti juga dulu, kembali ia mengintai dari balik tetumbuhan yang rindang, menonton pertempuran luar biasa dahsyatnya itu.

Hwesio kecil yang kejam dulu itu berdiri tidak jauh dari tempat pertempuran, sedangkan di dekatnya berdiri pula Bouw Hun Ti yang bertolak pinggang. Tidak jauh dari tempat itu berdiri pula seorang yang melihat dari keadaan pakaiannya, adalah seorang dusun yang kebetulan lewat di situ dan telah menonton pertempuran dengan mata terbelalak penuh kegelisahan dan ketakutan. Orang dusun ini rupanya masih muda.

Lie Kong Sian memang sudah mendapatkan jejak musuhnya dan mengejar terus sampai ke tempat itu. Dia masih melihat berkelebatnya bayangan Bouw Hun Ti memasuki kuil yang amat mentereng di dalam hutan itu. Lie Kong Sian ragu-ragu untuk masuk ke dalam kuil, karena ia adalah seorang yang menghargai peraturan dan kesopanan. Tak berani ia secara sembarangan memasuki kuil tanpa ijin kepala hwesio yang menguasai kelenteng. Maka ia lalu berseru keras,

“Bouw Hun Ti manusia jahat! Janganlah kau mengotori kelenteng suci dengan telapak kakimu yang hitam! Keluarlah untuk menerima kematian secara laki-laki!”

Beberapa kali Lie Kong Sian berteriak-teriak dari luar kuil dan tidak lama kemudian, dari dalam kuil itu keluar seorang gemuk pendek yang sudah tua akan tetapi wajahnya masih kemerah-merahan tanda bahwa ia sehat sekali. Pakaiannya amat mengherankan karena mewahnya dan rambutnya yang sudah putih itu disisir rapi dan dikuncir ke belakang.

Di luar pakaiannya yang terbuat dari pada sutera halus dan mahal itu, dia mengenakan sebuah baju luar terbuat dari pada bulu yang sangat halus dan mahal. Sepatunya juga baru serta mengkilat dan pada tangan kanannya dia memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjang. Kepala huncwe itu masih mengepulkan asap tembakau yang berbau harum, tanda bahwa tembakau yang diisapnya adalah tembakau yang mahal.

Lie Kong Sian berdiri tertegun. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini, dan melihat potongan tubuhnya dan huncwe yang luar biasa itu, ia menduga bahwa orang ini tentulah Si Huncwe Maut yang terkenal pula dengan sebutan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi kenapa Ban Sai Cinjin yang disohorkan sebagai seorang pemeluk kebatinan malah terlihat begini pesolek? Maka Lie Kong Sian merasa ragu-ragu dan hanya memandang dengan mata menyinarkan cahaya tajam.

Sebaliknya, kakek yang sebenarnya memang Ban Sai Cinjin dengan tenang keluar dari kuil diikuti oleh seorang hwesio kecil berkepala gundul dan bermata liar, lalu dia menjura kepada Lie Kong Sian dan berkata,

“Selamat datang di kuilku ini, Pek-le-to Taihiap (Pendekar Besar dari Pulau Pek-le-to)! Sungguh satu kehormatan besar sekali mendapat kunjungan seorang gagah seperti kau. Hanya anehnya, sepanjang pendengaranku, Lie Kong Sian adalah pendekar besar yang penyabar dan tenang, akan tetapi kenapa sekarang ia mengunjungi sebuah kuil dengan pedang di tangan dan iblis maut membayang pada mukanya?”

Ucapan ini sungguh pun cukup pantas dan merendah, akan tetapi mengandung ejekan, terutama sekali tekanan kata-katanya.

Lie Kong Sian juga menjura sebagai balasan penghormatan, lalu bertanya, “Kalau tidak salah dugaanku, Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) tentulah yang disebut Ban Sai Cinjin si Huncwe Maut. Betulkah dugaanku ini?”

Ban Sai Cinjin tertawa dengan suara ketawanya yang aneh.

“He-he, he-he, he-he, he-he-he, ha-ha-ha!”

Akan tetapi dia tidak berkata sesuatu apa pun, hanya dengan amat tenangnya kemudian mengetuk-ngetuk keluar abu tembakau dari kepala pipanya, lantas dengan masih tenang seakan-akan sedang menikmati waktu senggang seorang diri, dia lalu membuka kantong tembakau yang tergantung pada pipa itu, mengeluarkan tembakau berwarna hitam yang dijemputnya dengan ibu jari, menutup kantong itu kembali dan menggantungkannya lagi pada pipanya. Dengan mata meram-melek ia menggelintir-gelintir tembakau itu di ibu jari dan telunjuk tangan kiri, lalu dimasukkannya ke dalam mulut huncwe tempat tembakau.

Setelah itu, baru ia memandang kepada Lie Kong Sian yang menjadi gemas juga melihat sikap yang angkuh dan memandang rendah ini.

“Kau menduga dengan tepat. Aku telah kenal dengan mendiang gurumu, Han Le Sianjin! Lie Kong Sian, apakah keperluanmu maka datang mengunjungi kuilku dengan pedang di tangan?”

Lie Kong Sian adalah seorang pendekar yang jujur, tabah dan tak suka menyembunyikan perbuatannya sendiri. Ia tahu bahwa Lu Tong Kui yang terbunuh olehnya tadi adalah sute dari Ban Sai Cinjin, maka tak perlu kiranya ia menyembunyikan permusuhannya dengan Bouw Hun Ti dan pembunuhannya terhadap Lu Tong Kui tadi

Maka ia berkata, “Ban Sai Cinjin, ketahuilah bahwa aku sedang mengejar muridmu Bouw Hun Ti dan tadi kulihat ia bersembunyi di tempat ini.”

“Hemm, memang ada muridku Bouw Hun Ti di ruangan dalam, akan tetapi mengapakah kau mengejar-ngeiarnya dengan pedang di tangan?”

“Muridmu telah melakukan perbuatan yang jahat! Dia tidak saja membunuh Yousuf yang menjadi ayah angkat Nyonya Sie Cin Hai, akan tetapi juga ia telah menculik puteri dari Pendekar Bodoh itu. Kau tahu bahwa aku adalah Suheng dari Pendekar Bodoh, maka mendengar kekejaman ini tentu saja aku tidak bisa tinggal diam dan berusaha membalas dendam. Oleh karena itu, perlu pula kau ketahui untuk kau pertimbangkan, bahwa ketika aku mengejar muridmu tadi, sute-mu Lu Tong Kui ikut menghalangiku. Sudah kukatakan bahwa aku tidak memusuhinya, akan tetapi ia terus mendesak dan menyerang sehingga akhirnya ia tewas di ujung pedangku!”

Hampir meledak rasa dada Ban Sai Cinjin mendengar hal ini, akan tetapi perasaannya ini sama sekali tak nampak pada wajahnya yang masih saja tersenyum-senyum mengejek. Akan tetapi, jari-jari tangannya yang masih memasuk-masukkan tembakau pada kepala pipa itu gemetar sedikit tanda bahwa dadanya bergelora karena marah.

“Hemm, hemm, jadi kau juga sudah membunuh Sute-ku? Lie Kong Sian! Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk berbuat sesukamu terhadap murid dan Sute-ku. Kau berlaku sebagai hakim sendiri untuk menghukum mereka. Apakah engkau sama sekali sudah tak memandang mukaku lagi?”

“Ban Sai Cinjin, harap kau orang tua suka mempertimbangkan secara baik-baik dan juga menggunakan cengli (aturan). Muridmu itu sudah melakukan pembunuhan terhadap diri Yousuf dan menculik pula puteri Sute-ku, berarti bahwa dia sengaja memusuhi Pendekar Bodoh. Ada pun sute-mu Lu Tong Kui itu, dia mencari kematiannya sendiri karena dialah yang mendesakku dan menghalang-halangiku mengejar muridmu yang jahat.”

“Enak saja kau bicara!” tiba-tiba Ban Sai Cinjin tidak dapat menahan sabarnya lagi dan matanya bersinar-sinar, dadanya berombak, akan tetapi ia masih sempat menyalakan api untuk membakar tembakau di kepala pipanya. “Bouw Hun Ti membunuh Yousuf adalah urusannya sendiri. Mereka sama-sama dari Turki dan urusan antara mereka tidak ada hubungannya dengan kita! Ada pun mengenai penculikan puteri Pendekar Bodoh, belum tentu kalau muridku bermaksud buruk. Buktinya, manakah anak yang diculiknya itu? Kau hanya menuduh secara membuta saja. Sekarang tak perlu kau banyak cakap lagi, paling perlu kau harus membayar hutangmu dan membalas kematian Sute-ku!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menyedot pipanya dan terciumlah bau asap yang sangat keras memusingkan kepala.

“Bagus!” Lie Kong Sian berseru marah. “Kau pun hendak membela yang jahat? Majulah, jangan kira aku takut kepadamu!”

Lie Kong Sian yang sedang menderita kesedihan hati karena perginya isteri dan anaknya itu memang adatnya berubah menjadi keras dan mudah marah. Keberaniannya semakin bertambah-tambah karena ia tidak takut mati lagi setelah hidupnya mengalami kegagalan dan kepahitan.

“Manusia sombong! Gurumu sendiri belum tentu berani untuk bersikap sesombong ini di hadapanku. Nah, kau mampuslah!”

Setelah berkata demikian, Ban Sai Cinjin lalu menyemburkan asap hitam dari mulutnya. Semburan ini bukanlah semburan biasa saja, akan tetapi yang dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya sehingga asap hitam itu menyambar cepat ke arah muka Lie Kong Sian! Pendekar ini mengelak cepat karena tahu akan lihainya asap ini.

“Iblis tua, kau tidak malu menggunakan kecurangan?!” Lie Kong Sian membentak marah dan menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi ketika Ban Sai Cinjin menangkis dengan huncwe-nya, diam-diam dia merasa terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lweekang dari orang tua pendek itu bukan main hebatnya dan masih lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri!

Maka bertempurlah dua orang berilmu itu dengan hebatnya. Pedang di tangan Lie Kong Sian bergerak cepat dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap di dalam gulungan cahaya pedangnya sendiri, sedangkan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin benar-benar luar biasa. Saking cepatnya gerakan huncwe itu, maka yang terlihat hanyalah sinar kehitaman yang tebal dan kuat, merupakan benteng baja yang diliputi asap hitam bagaikan kabut, yaitu asap yang keluar dari tembakaunya yang beracun!

Sesudah pertempuran berjalan seru, barulah kelihatan Bouw Hun Ti keluar dari tempat sembunyinya dan dengan bertolak pinggang dia lalu menonton pertempuran itu bersama pendeta cilik gundul yang dahulu hendak membedah perut Thio Kam Seng.

Kebetulan sekali pada saat itu di tempat itu terdapat seorang penduduk kampung muda yang datang mencari kayu kering. Ketika ia mendengar suara senjata beradu, ia tertarik dan datang pula ke depan kelenteng. Sekarang dia berdiri dengan mulut melongo, ketika menyaksikan pertempuran yang luar biasa dan yang selama hidupnya belum pernah dia saksikan itu. Ia tidak bisa melihat orang yang sedang bertempur, hanya melihat gulungan sinar putih keemasan dari pedang Lie Kong Sian serta gulungan sinar hitam dari huncwe Ban Sai Cinjin!

Dan pada saat pertempuran telah berjalan lima puluh jurus lebih, datanglah Lo Sian yang mengintai dari balik gerombolan pohon. Biar pun Lo Sian bukan seorang biasa dan telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi menyaksikan pertempuran ini, ia menjadi tertegun dan kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian seru dan hebatnya.

Lo Sian selama ini mengagumi kepandaian suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le yang telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu-nya. Akan tetapi ketika melihat gerakan dua orang yang sedang bertempur ini, dia merasa ragu-ragu apakah kepandaian suheng-nya itu dapat menandingi kepandaian Ban Sai Cinjin.

Sebetulnya, dalam hal gerakan ilmu silat, Lie Kong Sian tak usah merasa kalah terhadap Ban Sai Cinjin. Kalau saja kakek pesolek itu mempergunakan ilmu silat biasa, agaknya tak mungkin ia akan dapat melawan Lie Kong Sian sampai sekian lamanya.

Akan tetapi, Ban Sai Cinjin bukan seorang ahli silat biasa. Di samping ilmu silat dia telah mempelajari ilmu hoat-sut (sihir) dari bangsa Mongol dan di dalam gerakan huncwe-nya banyak terdapat gerakan-gerakan aneh yang mempengaruhi pandangan mata lawan.

Sering kali huncwe itu membuat gerakan rahasia sehingga tiba-tiba saja Lie Kong Sian merasa matanya kabur dan pikirannya bingung. Hanya berkat lweekang-nya yang sudah tinggi dan permainan pedangnya yang memang sudah mendekati kesempurnaan sajalah yang masih menyelamatkan nyawanya karena lawannya tak dapat mudah membobolkan pertahanan pedangnya.

Selain ini, juga dalam tenaga dalam Lie Kong Sian harus mengaku kalah. Tenaga dalam yang dimiliki oleh Ban Sai Cinjin bukanlah tenaga biasa, akan tetapi tenaga yang sudah diperkuat pula dengan ilmu hitam dan mantera.

Sebaliknya, Ban Sai Cinjin merasa kagum dan diam-diam juga merasa sangat penasaran sekali. Ia adalah seorang yang belum pernah merasa dikalahkan orang, dan huncwe-nya sudah dikenal oleh seluruh orang gagah di kalangan kang-ouw sebagai senjata yang tak terlawan sehingga ia dijuluki Huncwe Maut. Akan tetapi, menghadapi seorang jago muda saja sampai puluhan jurus belum juga ia dapat merobohkannya! Jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja dia pun tidak mampu. Maka, dengan penuh kemarahan Ban Sai Cinjin membentak,

“Siauw-koai, Lo-koai, semua tunduk padaku! Lie Kong Sian, ayahmu, kakekmu, gurumu, semua tunduk kepadaku. Kau juga takut kepadaku!”

Ini adalah ucapan yang mengandung mantera dan merupakan sihir yang luar biasa, oleh karena mendadak Lie Kong Sian merasa berdebar-debar dan dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin nampak sangat menakutkan dan mengerikan hati!

Kalau orang lain yang menghadapi pengaruh ilmu hitam ini, tentu akan lemaslah seluruh tubuhnya sehingga akan mudah sekali dirobohkan. Akan tetapi Lie Kong Sian bukanlah orang sembarangan, tetapi telah bertahun-tahun dia tinggal menyepi seorang diri di pulau kosong di tengah laut. Telah bertahun-tahun pula dia melakukan tapa dan semedhi untuk memperkuat batin dan membersihkan pikiran. Banyak sekali godaan-godaan setan yang dialaminya pada waktu ia menyepi di atas pulau itu, dan semua rintangan dan godaan itu telah dapat dihadapinya dengan baik.

Sekarang, mendapat serangan luar biasa dari Ban Sai Cinjin dengan ilmu hitamnya, biar pun hatinya berdebar serta rasa takut dan ngeri meliputi hatinya, akan tetapi dia dapat memperteguh imannya dan permainan pedangnya tidak menjadi kacau.

“Lie Kong Sian, lihat! Api neraka membakarmu!” teriak lagi Ban Sai Cinjin sambil tiba-tiba menepuk pipa tembakaunya dengan tangan kiri sehingga api tembakau lantas memancar keluar dari kepala pipanya itu, menyambar ke arah Lie Kong Sian.

Pengaruh ilmu sihir membuat api itu nampak besar bukan main dan menyambar ke arah kepalanya. Akan tetapi Lie Kong Sian masih dapat berlaku gesit dan tidak terpengaruh oleh teriakan yang mengandung hawa hitam itu. Dia cepat mengelak ke kiri dan sungguh pun dia merasa terkejut sekali, namun dia masih sanggup menyelamatkan diri dari pada serangan api tembakau beracun itu.

Tak terduga sama sekali olehnya, bahwa diam-diam Bouw Hun Ti yang berwatak curang dan palsu itu, melakukan kecurangan yang sangat memalukan. Pada waktu Bouw Hun Ti melihat suhu-nya sangat sukar mengalahkan Lie Kong Sian, orang ini lalu mengeluarkan gendewanya yang kecil akan tetapi kuat sekali. Melihat bentuknya, gendewa ini berbeda dengan gendewa yang biasa digunakan orang Tiongkok, karena sesungguhnya gendewa ini adalah gendewa model Turki.

Sambil memegang gendewa dengan tangan kiri dan tiga batang anak panah pendek di tangan kanan, Bouw Hun Ti segera bersiap-siap mencari kesempatan untuk membokong musuhnya yang sedang bertanding melawan gurunya itu. Kesempatan itu tiba ketika Lie Kong Sian diserang oleh api dari kepala huncwe Ban Sai Cinjin.

Bouw Hun Ti melihat betapa Lie Kong Sian mengelak ke kiri dengan muka menunjukkan kekagetan, maka ia cepat menggerakkan kedua tangannya dan…

“Serrr…! Serrr…! Serrr…!”

Tiga batang anak panahnya yang pendek kecil dan warnanya hitam itu meluncur cepat sekali ke arah Lie Kong Sian. Tiga batang senjata itu menyerang ke arah leher, ulu hati, dan bawah pusar!

Bukan main kagetnya hati Lie Kong Sian melihat serangan yang tiba-tiba datangnya dan tak tersangka-sangka ini!

“Bangsat curang!” serunya marah dan berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak cepat ke kanan dengan miringan tubuhnya.

Memang kecepatan gerakannya dapat menolong dirinya dari ancaman tiga batang anak panah beracun itu, akan tetapi gerakannya ini disambut dengan serangan maut oleh Ban Sai Cinjin yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh Lie Kong Sian miring dan dalam posisi yang amat lemah, huncwe-nya menyambar dan...

“Takkk!” huncwe itu dengan tepat sekali sudah mengetuk kepala Lie Kong Sian di bagian ubun-ubunnya.

Lie Kong Sian menjerit ngeri, tubuhnya terhuyung-huyung, terputar-putar dan pedangnya terlepas dari tangan. Kemudian sesudah berputar beberapa kali, tubuh Lie Kong Sian terjungkal dan roboh tertelungkup tak bergerrak lag! Ubun-ubunnya sudah pecah terkena pukulan huncwe yang hebat itu dan nyawanya melayang pada waktu itu juga! Lie Kong Sian, suami Ang I Niocu, pendekar besar dari Pulau Pek-le-to, kini sudah tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan!

Lo Sian yang mengintai dari balik pohon, mengerutkan kening dan meramkan matanya dengan hati perih dan ngeri. Tanpa terasa pula dua titik air mata melompat keluar dari sepasang matanya, turun di atas pipinya. Apakah dayanya? Kepandaiannya masih tidak cukup kuat untuk menghadapi Bouw Hun Ti, apa lagi jika menghadapi gurunya, Ban Sai Cinjin yang amat tangguh dan kejam itu.

Sementara itu, Ban Sai Cinjin juga tercengang melihat kecurangan muridnya. Ia menegur perlahan,

“Hun Ti, kenapa kau lancang membantuku? Kau sudah merendahkan derajatku dengan bantuan tadi dan hatiku tidak merasa puas sungguh pun aku telah menang dan berhasil merobohkan Lie Kong Sian. Biar pun kau tidak membantu, akhirnya Lie Kong Sian pasti akan roboh juga di tanganku. Mengapa kau membantu dengan jalan curang?”

“Teecu tidak tahan lebih lama lagi melihat orang yang telah membunuh Susiok ini!” jawab Bouw Hun Ti, dan Ban Sai Cinjin terhibur juga mendengar ini.

Tiba-tiba dia melihat pemuda kampung itu dan membentak, “Siapa dia itu?”

“Entah, teecu juga tidak mengenalnya,” jawab Bouw Hun Ti.

“Dia adalah seorang kampung yang mencari kayu, Suhu,” kata hwesio cilik yang ternyata murid merangkap pelayan dari Ban Sai Cinjin.

“Celaka, dia sudah melihat perbuatanku terhadap Lie Kong Sian tadi, dan apa bila hal ini sampai diketahui orang luar, aku akan mendapat malu!” kata Ban Sai Cinjin.

Tiba-tiba tubuhnya melompat dan tahu-tahu dia telah berada di hadapan orang kampung muda yang masih berdiri terbelalak ngeri melihat pembunuhan tadi. Kini ia menjadi makin ketakutan ketika melihat Ban Sai Cinjin telah berada di depannya dan sebelum ia dapat melarikan diri, Ban Sai Cinjin menyemburkan asap hitam ke arah mukanya.

Orang itu mendekap muka dengan tangannya, terbatuk-batuk beberapa kali seakan-akan tak dapat bernapas, kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh telentang tak bernapas lagi. Mukanya menjadi hitam karena racun yang disemburkan melalui asap tembakau itu! Dengan amat kejamnya, untuk menolong kehormatan dan namanya agar jangan sampai ada lain orang tahu akan kecurangannya terhadapi Lie Kong Sian tadi, Ban Sai Cinjin telah membunuh pemuda kampung itu begitu saja!

“Ha-ha-ha!” Bouw Hun Ti tertawa girang. “Suhu telah membuat penyelesaian yang amat cepat dan tepat!”

“Sudahlah, kau kubur dua mayat itu agar jangan sampai ada orang melihatnya,” kata Ban Sai Cinjin.

“Suhu, mengapa menyia-nyiakan kesempatan baik ini?” tiba-tiba hwesio cilik itu berkata kepada gurunya. “Jantung kedua orang ini masih segar dan mudah sekali diambil!”

Ban Sai Cinjin tertawa dan berkata kepada Bouw Hun Ti, “Lihatlah, Sute-mu benar-benar ingin mempelajari ilmu kebal itu dengan sempurna!”

Bouw Hun Ti hanya tersenyum menyeringai. Dia maklum bahwa suhu-nya mempunyai ilmu kekebalan yang dapat diturunkan kepada muridnya dengan jalan makan obat yang dicampur dengan tiga buah jantung manusia!

“Jantung orang kampung ini tidak bersih, tadi sudah terkena racun, karena itu tidak dapat digunakan,” kata Ban Sai Cinjin. “Kalau jantung dia itu,” dia menunjuk ke arah tubuh Lie Kong Sian yang masih menelungkup di atas tanah, “masih baik, akan tetapi, dia seorang pendekar besar, aku tak sampai hati untuk membelek dada mengambil jantungnya.”

“Biarlah murid sendiri yang melakukan hal itu, Suhu,” kata hwesio cilik itu dengan suara memohon, “setelah itu barulah teecu akan menguburkannya baik-baik.”

“Sesukamulah!” akhirnya Ban Sai Cinjin berkata sambil tersenyum, dan masuklah dia ke dalam kuilnya.

“Sute, biar aku yang mengubur orang kampung ini. Setelah kau selesai dengan yang itu, kau harus menguburkannya sendiri baik-baik.”

Hwesio cilik itu mengangguk kepada suheng-nya, lalu dia menghampiri mayat Lie Kong Sian dan diangkatnya menuju ke belakang kuil. Sedangkan Bouw Hun Ti lalu mengubur mayat pemuda kampung itu secara sembarangan saja di tempat yang agak jauh dari kuil, seperti orang mengubur bangkai anjing saja.

Hari sudah mulai gelap dan suasana malam itu bertambah seram dengan terjadinya dua pembunuhan itu. Di dalam kamar dekat dapur, hwesio kecil telah menelanjangi mayat Lie Kong Sian dan juga sudah menyediakan sebilah pisau tajam dan sebuah mangkok putih tempat jantung yang hendak diambilnya dari dalam dada Lie Kong Sian.

Kemudian, hwesio cilik ini mempergunakan pisaunya untuk memotong sedikit rambut dari kepala Lie Kong Sian dan mengikatkan rambut itu pada sebatang sumpit gading yang telah disediakan. Ia meletakkan sumpit itu di atas mangkok putih tadi, lalu ia menyalakan tiga batang hio. Kemudian ia bersembahyang di depan mayat itu dan berkata,

“Arwah orang she Lie! Aku, Hok Ti Hwesio, dengan sungguh hati mengundangmu untuk mengajukan beberapa pertanyaan!”

Dia lalu membawa hio bernyala itu dan berjalan mengitari mayat Lie Kong Sian tiga kali, kemudian dia menancapkan ketiga batang hio itu ke dalam mulut mayat Lie Kong Sian. Sesudah itu, dia mengambil sumpit yang telah diikat ujungnya oleh rambut Lie Kong Sian tadi, diputar-putarkan di atas hio agar terkena asap hio sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Lalu dia menaruh sumpit itu di atas mangkok lagi dan berkata,

“Arwah orang she Lie! Kalau kau sudah masuk ke dalam sumpit ini, berputarlah!”

Sungguh aneh sekali dan sukarlah untuk diselidiki mengapa dapat terjadi demikian, akan tetapi benar saja sumpit di atas mangkok itu lalu terputar-putar bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!

Hwesio cilik yang bernama Hok Ti Hwesio itu tersenyum girang.

“Arwah orang she Lie! Perkenankanlah aku meminjam jantung dari tubuhmu yang sudah tidak ada gunanya lagi untuk campuran obat membuat kebal tubuhku. Kalau kau setuju, berputarlah satu kali, kalau tidak setuju, berputarlah tiga kali!”

Hwesio itu dengan penuh gairah memandang ke arah mangkok dan sumpit. Dan sumpit itu mulai bergerak memutar satu kali, lalu diam, akan tetapi lalu memutar sekali lagi dan sekali lagi baru diam tak bergerak! Ternyata bahwa kalau memang benar yang menjawab itu adalah arwah Lie Kong Sian, maka arwah pendekar itu tidak menyetujui jantung dari tubuhnya diambil oleh hwesio cilik ini!

Hok Ti Hwesio mengerutkan kening dan wajahnya menjadi muram. Ia segera mencabut tiga batang hio itu dengan kasar dari mulut mayat Lie Kong Sian, lalu mengangkat hio itu tinggi di atas kepalanya sambil berkata,

“Arwah orang she Lie! Ketahuilah bahwa aku, Hok Ti Hwesio, akan merawat kemudian mengubur jenazahmu baik-baik! Dengan demikian, aku sudah melepas budi kepadamu, maka apakah kau tidak mau membalas budi itu untuk bekal naik ke sorga? Nah, sekali lagi kuminta, arwah orang she Lie, berikanlah jantungmu dengan rela!” Sesudah berkata demikian, ia lalu menancapkan kembali hio itu ke dalam mulut mayat itu. Ia menghampiri sumpit di atas mangkok dan berkata lagi,

“Nah, sekarang jawablah! Berikan jantung tubuhmu padaku, setuju atau tidak?” Kembali sumpit itu berputar-putar dan masih tetap... tiga kali!

Hok Ti Hwesio membanting-banting kakinya dengan gemas sekali. Dia mengambil pisau tajam dari atas meja dan menghampiri mayat Lie Kong Sian yang bertelanjang bulat dan telentang di atas meja panjang.

“Baik, kau tidak setuju? Aku tetap akan mengarnbil jantung tubuhmu, hendak kulihat kau bisa berbuat apa! Sudah mampus kau masih saja jahat dan memusuhi kami, orang she Lie!”

Dengan muka kejam hwesio cilik ini lalu mengangkat tangannya hendak menusuk dada mayat Lie Kong Sian, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba meniup angin besar dari jendela dan api lilin menjadi padam! Hok Ti Hwesio terkejut bukan main dan menoleh ke jendela. Wajahnya menjadi pucat sekali karena ia melihat sebuah kepala tersembul di jendela dan karena sekarang penerangan lilin telah padam, maka kepala itu nampak hitam dan besar mengerikan!

Hok Ti Hwesio biar pun masih kecil, akan tetapi karena telah menerima latihan ilmu-ilmu hitam, tidak merasa takut terhadap segala setan dan iblis. Akan tetapi oleh karena tadi ia hendak memaksa membedah dada mayat itu biar pun arwah si mayat tak menyetujuinya, tentu saja kini menyangka bahwa itu adalah setan penasaran dari Lie Kong Sian yang datang mengganggu! Ia melemparkan pisaunya ke bawah dan berlari berteriak-teriak.

“Tolong... setan... tolong, Suhu... ada setan…!”

Kepala yang tersembul di jendela itu ternyata memiliki tubuh dan kini tubuhnya bergerak melompat ke dalam kamar, lalu memondong mayat Lie Kong Sian dan cepat dibawa lagi keluar! Bayangan yang disangka setan ini ternyata adalah Lo Sian!

Sebagaimana diketahui, Pengemis Sakti ini mengintai dan menyaksikan betapa Lie Kong Sian terbunuh dan betapa orang muda kampung yang tanpa disengaja menyaksikan pula pembunuhan itu, tadi telah dibunuh secara kejam oleh Ban Sai Cinjin. Lalu ia mendengar tentang permintaan Hok Ti Hwesio yang hendak mengambil jantung dari mayat Lie Kong Sian.

Lo Sian tidak berani bergerak di hadapan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Akan ketika melihat hwesio cilik itu membawa mayat Lie Kong Sian ke belakang, ia lalu mengikuti dan mengintai dari jendela. Sesungguhnya, perbuatan Lo Sian juga yang memutarkan sumpit gading tadi, dengan mengerahkan khikang dan meniup dari jendela, dan dia pula yang meniup padam api lilin!

Ketika mendengar teriakan Hok Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti cepat-cepat memburu dan mereka masih melihat bayangan Lo Sian membawa lari mayat Lie Kong Sian. Mereka cepat mengejar, akan tetapi Lo Sian telah menghilang di dalam kegelapan, sebentar saja Lo Sian telah dapat meninggalkan kedua orang pengejarnya.

“Celaka, bangsat Lo Sian telah mengetahui peristiwa itu, bahkan dia telah membawa lari mayat Lie Kong Sian. Hal ini pasti akan berekor panjang sekali,” Ban Sai Cinjin berkata sambil menghela napas.

“Biarlah, apakah Suhu takut menghadapi kawan-kawannya?” kata Bouw Hun Ti. “Kalau Pendekar Bodoh dan yang lain-lain datang, kita gempur mereka!”

“Takut sih tidak, akan tetapi aku merasa segan untuk bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Hidupku biasanya senang dan aman, kini pasti akan menemui gangguan dan semua ini gara-gara kau, Hun Ti! Karena itu, kau harus memperdalam kepandaianmu. Aku sendiri sudah malas untuk mengajar dan jalan satu-satunya bagimu adalah pergi ke tempat pertapaan Supek-mu.”

“Wi Kong Siansu di Hek-kwi-san?” Bouw Hun Ti bertanya sambil membelalakkan kedua matanya.

Ban Sai Cinjin mengangguk. “Ya, selain supek-mu itu siapa lagi yang dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat memberi pendidikan ilmu silat lebih jauh kepadamu?”

“Akan tetapi, bukankah Suhu pernah menceritakan bahwa Supek telah mencuci tangan dan mengasingkan diri di puncak Hek-kwi-san, tidak mau turut mencampuri urusan dunia lagi?”

“Benar, akan, tetapi aku sudah tahu akan tabiat Supek-mu itu. Dia amat sayang kepada mendiang Lu Tong Kui yang meski pun menjadi Sute, akan tetapi masih iparnya sendiri. Ketahuilah rahasianya dulu, bahwa Enci dari Lu Tong Kui pernah mengadakan hubungan dengan Supek-mu itu! Nah, apa bila kau membawa suratku, lantas menceritakan tentang tewasnya Lu Tong Kui, tentu dia akan turun gunung dan memperkuat kedudukan kita.”

“Akan tetapi, Suhu. Pembunuh Lu Tong Kui adalah Lie Kong Sian sedangkan Lie Kong Sian telah terbalas oleh Suhu.”

“Bodoh! Jangan kau beritahukan bahwa pembunuh susiok-mu itu adalah Lie Kong Sian. Beritahukan saja bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Bodoh serta kawan-kawannya, dan bahwa matinya akibat dikeroyok hingga tidak saja Suheng akan mendendam kepada Pendekar Bodoh, akan tetapi juga kepada yang lainnya. Pendeknya, kalau Suheng dapat dibujuk turun gunung dan tinggal di sini bersama kita, jangankan baru Pendekar Bodoh, andai kata Bu Pun Su bangkit lagi dari kuburan, kita tak usah takut menghadapinya!”

Bouw Hun Ti merasa girang sekali. “Dan bagaimana dengan Lo Sian yang membawa lari mayat Lie Kong Sian itu, Suhu?”

“Serahkan dia kepadaku. Aku yang akan mencari dan menghajarnya. Kau berangkatlah besok pagi-pagi ke Hek-kwi-san jangan ditunda-tunda lagi dan aku akan membuat surat untuk Suheng.”

Demikianlah pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bouw Hun Ti berangkat ke tempat pertapaan Wi Kong Siansu, suheng dari Ban Sai Cinjin dengan membawa sepucuk surat dari suhu-nya itu. Pendeta tua yang disebut Wi Kong Siansu dan yang menjadi suheng dari Ban Sai Cinjin ini adalah seorang pertapa yang sakti.

Dulu pada waktu mudanya dia terkenal sebagai seorang yang malang melintang di dunia kang-ouw dan belum pernah menderita kekalahan di dalam setiap pertempuran. Bahkan orang-orang ternama dan yang termasuk tokoh-tokoh terbesar di dunia persilatan seperti Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang terkenal sebagai empat tokoh terbesar dari empat penjuru, merasa segan untuk bentrok dengan Wi Kong Siansu.

Bukan karena empat tokoh besar ini merasa jeri dari takut, akan tetapi oleh karena Wi Kong Siansu terkenal memiliki kepandaian silat yang amat ganas dan dahsyat sehingga setiap kali dia bertanding ilmu kepandaian dengan seorang lawan, lawan itu tentu akan tewas di dalam tangannya! Bagi Wi Kong Siansu, hanya ada dua keputusan dalam tiap pertandingan, yaitu menang atau kalah dan mati! Oleh karena inilah, maka ia mendapat julukan Toat-beng Lo-mo atau Iblis Tua Pencabut Nyawa!

Ada pun Ban Sai Cinjin lalu mengadakan perjalanan pula untuk mencari dan menyusul Lo Sian yang telah mengetahui rahasianya. Sebetulnya Ban Sai Cinjin tidak takut orang mengetahui bahwa ia telah membunuh Lie Kong Sian, kalau saja pembunuhan ltu terjadi dalam sebuah pertempuran yang adil. Yang membuatnya merasa kuatir apa bila sampai diketahui orang adalah bahwa kekalahan Lie Kong Sian sebenarnya karena kecurangan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti!

Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan memiliki banyak sahabat hampir di seluruh daerah. Karena itu dengan mudah dia dapat menyusul dan mengetahui di mana adanya Lo Sian yang juga banyak dikenal orang…..

********************

Kita mengikuti perjalanan Lo Sian yang membawa lari jenazah Lie Kong Sian. Sesudah dapat melepaskan diri dari pengejaran Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti, Lo Sian segera masuk ke dalam hutan pohon pek yang bersambung dengan hutan di mana terdapat kelenteng tempat tinggal Ban Sai Cinjin.

Dia memilih tempat yang baik, yaitu sebuah bukit kecil di tengah hutan yang amat baik hongsui-nya (kedudukan tanahnya). Kemudian dengan penuh khidmat dia lalu mengubur jenazah pendekar besar Lie Kong Sian.

Sampai lama Lo Sian bersila, di depan gundukan tanah itu untuk mengheningkan cipta. Di dalam hatinya dia menyatakan terima kasihnya kepada mendiang Lie Kong Sian, dan juga menyatakan penyesalannya bahwa karena membela dia, pendekar besar itu sampai menemui maut di tangan Ban Sai Cinjin. Kemudian Lo Sian lalu menanam satu pohon kembang mawar hutan di depan gundukan tanah itu untuk menjadi tanda.

Sesudah itu, Pengemis Sakti ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Beng-san untuk menyusul suheng-nya yang membawa Lili beserta Kam Seng ke puncak bukit itu. Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa bahaya besar sedang mengancam dan mengejar dirinya.

Siapakah yang menyangka bahwa Ban Sai Cinjin hendak menyusul dan mencarinya? Ia hanya mencuri mayat Lie Kong Sian dan hal ini bukanlah hal yang terlalu penting bagi Ban Sai Cinjin. Lo Sian tidak tahu bahwa Ban Sai Cinjin mengejarnya karena ia dianggap satu-satunya orang yang sudah mengetahui akan rahasia pembunuhan curang atas diri Lie Kong Sian.

Beberapa hari kemudian, baru saja Lo Sian keluar dari dusun, tiba-tiba saja di depannya berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Ban Sai Cinjin telah berdiri di depannya sambil tersenyum-senyum dengan huncwe mautnya mengebulkan asap hitam! Ternyata bahwa kakek pesolek yang amat lihai ini telah dapat menyusulnya.

“Ha-ha-ha, pengemis jembel!” kata Ban Sai Cinjin. “Apa kau kira kau dapat melarikan diri begitu saja dariku setelah kau mencuri tubuh yang dibutuhkan oleh muridku?”

“Ban Sai Cinjin,” Lo Sian berkata dengan gelisah, “aku tidak mengganggu muridmu dan tentang jenazah Lie Kong Sian itu, memang aku yang telah mengambilnya untuk dikubur sepatutnya. Dia adalah seorang pendekar besar dan sudah sepatutnya kalau jenazahnya dikebumikan dengan baik. Apakah perbuatanku itu kau anggap salah?”

“Hemm, Lo Sian, kau pandai memutar lidah! Kau sudah berkali-kali mengganggu Bouw Hun Ti mencampuri urusannya. Sekarang kau pun membawa pergi mayat Lie Kong Sian. Dimanakah mayat itu sekarang?”

“Sudah dikubur dengan baik,” jawab Lo Sian.

“Bagus, dan jantungnya tentu sudah rusak. Kalau begitu, kau gantilah dengan jantungmu sendiri. Hayo pengemis jembel, lekas kau serahkan jantungmu kepadaku, baru aku mau memberi ampun!”

Lo Sian tahu bahwa kakek ini sengaja mencari perkara. Bagaimana orang dapat hidup kalau jantungnya diambil? Ia lalu mencabut pedangnya dan berkata keras, “Kau inginkan jantung? Inilah dia!” Sambil berkata demikian, Lo Sian lalu menyerang dengan sebuah tusukan pedangnya yang dilakukan dengan nekad dan cepat, karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin jauh berada di atas tingkatnya.

Si Huncwe Maut tertawa geli. Huncwe di tangannya kemudian bergerak didahului oleh semburan asap hitam dari mulutnya ke arah muka Lo Sian. Pengemis Sakti tahu akan berbahayanya asap ini, maka ia cepat melompat ke kiri dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan lawan. Akan tetapi tiba-tiba saja pedangnya berhenti berputar karena telah tertempel oleh huncwe pada tangan Ban Sai Cinjin dan tidak dapat digerakkan lagi.

“Lepas!” Ban Sai Cinjin membentak sambil ia memutarkan huncwe-nya sedemikian rupa sehingga pedang di tangan Lo Sian ikut terputar, kemudian dengan tenaga tiba-tiba dia membetot hingga terlepaslah pedang itu dari tangan Lo Sian tanpa dapat dicegah lagi. Huncwe-nya segera meluncur dengan sebuah totokan hebat sehingga robohlah Lo Sian tanpa dapat berdaya lagi karena jalan darahnya sudah kena tertotok oleh huncwe yang lihai itu.

Ban Sai Cinjin mengempit tubuh Lo Sian yang menjadi lemas itu dan membawanya lari secepat terbang kembali ke kelentengnya! Setelah tiba di kelenteng yang mewah itu, dia melemparkan tubuh Lo Sian ke atas lantai, lalu mengambil semangkok obat yang biru kehitaman warnanya.

“Minum ini!” katanya dan hwesio kecil muridnya itu memandang sambil menyeringai.

Biar pun Lo Sian telah lemas dan tidak bertenaga lagi, namun hatinya masih cukup tabah dan keras, maka dia diam saja. Meski pun mangkok itu telah ditempelkan pada bibirnya, namun ia tidak mau meneguk obat itu.

“Ehh, pengemis jembel!” Hok Ti Hwesio si hwesio kecil itu mengeiek. “Kau kelaparan dan kehausan, minuman seenak ini mengapa tidak mau minum?” Sambil berkata demikian, hwesio kecil ini menampar mulut Lo Sian yang tidak dapat mengelak atau mengerahkan tenaga.

“Plakk!” maka bibir Lo Sian pecah dan mengeluarkan darah.

“Buka mulut anjing ini!” kata Ban Sai Cinjin kepada muridnya.

Hok Ti Hwesio yang memang semenjak kecil mendapat pendidikan kekejaman itu sambil tertawa-tawa kemudian menggunakan kedua tangannya membuka mulut Lo Sian dengan paksa, lalu mengganjal mulut itu dengan kakinya yang bersepatu kotor sehingga mulut Lo Sian kini ternganga diganjal sepatu dari hwesio cilik itu.

Ban Sai Cinjin lalu menuangkan obat mangkok itu ke dalam mulut Lo Sian. Si Pengemis Sakti mencoba untuk menutup kerongkongannya, akan tetapi Hok Ti Hwesio, si hwesio kecil yang kejam dan penuh akal itu lalu memencet hidung Lo Sian dengan kedua jari tangannya.

Lo Sian terengah-engah dan terpaksa harus bernapas dari mulut dan masuklah obat itu ke dalam perutnya! Obat itu terasa amat getir dan masam dan setelah masuk ke dalam perut terasa amat dingin sehingga dia menggigil. Lo Sian berpikir bahwa obat itu tentulah racun dan ia tentu akan mati, maka sambil meramkan mata ia menanti datangnya maut. Tak lama kemudian pikirannya menjadi lemah dan sudah tak dapat digunakan lagi, lalu ia menjadi pingsan tak sadarkan dirinya!

Sesudah dia membuka mata kembali, ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan seorang diri. Tidak nampak lain orang di sana dan pikiran Lo Sian masih tidak karuan. Segala benda di depannya nampak berputar-putar dan sebentar kemudian dia berteriak-teriak,

“Pemakan jantung...! Tolong... pemakan jantung...!”

Kemudian, dengan beringas dia pun melompat bangun dan berlari terhuyung-huyung tak karuan seperti orang mabok. Terdengar dia berteriak-teriak, sebentar menangis bagaikan orang ketakutan setengah mati, kemudian dia tertawa dengan geli seakan-akan melihat sesuatu yang amat lucu. Ternyata Lo Sian telah menjadi gila!

Obat yang dipaksakan memasuki perutnya itu adalah semacam obat mukjijat yang dapat merampas ingatannya dan membuat dia menjadi gila! Alangkah kejamnya Ban Sai Cinjin dan muridnya Hok Ti Hwesio.

Ban Sai Cinjin merasa tidak ada gunanya membunuh Lo Sian, maka timbul pikiran yang amat keji dan juga cerdik. Ia membiarkan Lo Sian hidup, akan tetapi memberinya minum racun yang membuatnya menjadi gila sehingga tak mungkin lagi Lo Sian bisa membuka rahasia pembunuhan atas diri Lie Kong Sian!

Jangankan mengingat akan hal itu semua, bahkan terhadap diri sendiri pun Lo Sian tak ingat lagi. Dia tidak tahu lagi siapa adanya dirinya sendiri, dan tidak ingat pula segala kejadian yang sudah lalu, yang terbayang di depan matanya hanyalah jantung manusia yang dimakan orang!

Memang, kasihan sekali nasib Lo Sian yang jatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis! Ia merantau tak tentu arah tujuan sebagai seorang gila…..

********************
Pegunungan Ho-lan-san memanjang dan menjadi tapal batas antara Mongolia dengan daratan Tiongkok Propinsi Kansu. Walau pun pegunungan ini di kanan kirinya, terutama sekali di bagian utara, merupakan padang pasir yang sangat luas, namun pegunungan ini cukup kaya akan hutan-hutan dan pepohonan. Hal ini adalah berkat mengalirnya Sungai Kuning, yang membuat lembah di sepanjang alirannya menjadi subur.

Oleh karena itu, tak heran apa bila di tempat yang jauh dari dunia ramai ini telah banyak orang datang dan desa-desa yang cukup ramai terdapat di sepanjang sungai besar itu. Dengan adanya Sungai Huang-ho yang tidak pernah mengering ini, lapangan pencarian nafkah hidup bagi mereka tidak kurang.

Selain bercocok tanam di lembah yang subur, para penduduk dapat pula bekerja sebagai nelayan, sebab air sungai mengandung cukup banyak ikan. Selain ini, mereka dapat pula mengambil hasil hutan terutama kayu-kayu yang keras dan baik untuk pembangunan.

Pekerjaan ini makin lama semakin ramai dan bahkan ada beberapa orang yang cukup memiliki modal lalu mendirikan perusahaan kayu bangunan. Banyak tukang kayu disebar ke hutan-hutan untuk menebang pohon yang baik kayunya, kemudian kayu yang sudah menjadi balok-balok besar itu lalu ditumpuk di pinggir sungai, siap dikirim ke mana saja datangnya pesanan. Untuk mengangkut kayu-kayu balok itu, air Sungai Huang-ho selalu siap melakukannya tanpa menuntut bayaran sepotong uang pun!

Pada suatu hari, tiga orang lelaki yang berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat, berjalan mendaki sebuah puncak di Pegunungan Ho-lan-san. Mereka ini membawa alat-alat penebang kayu, yaitu tambang besar yang digulung dan digantung pada pinggang, sebuah golok dan sebuah kapak besar yang berat dan tajam.

Ketika mereka sampai di luar sebuah hutan yang kecil akan tetapi liar dan gelap, mereka berhenti mengaso dan duduk di atas rumput. Sambil bercakap-cakap mereka memandang ke arah hutan yang angker itu. Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang dari hutan itu, membuat bagian tanah di gunung ini nampak paling tinggi menonjol.

“Sute, aku masih saja merasa sangsi untuk memasuki hutan ini,” terdengar orang yang tertua berkata. “Bukankah Suhu sudah berpesan agar kita lebih baik jangan mengganggu hutan ini? Suhu sendiri katanya mengambil jalan memutar kalau melakukan perjalanan lewat di sini. Menurut Suhu, bukan karena dia takut, akan tetapi sungkan menghadapi permusuhan dengan sepasang setan itu.”

“Ah, Twa-suheng,” kata yang termuda, “mengapa kita harus percaya akan segala tahyul bodoh dari orang-orang dusun? Mereka itu hanya menyiarkan kabar bohong yang belum pernah mereka buktikan sendiri. Siapakah orangnya yang pernah melihat sepasang iblis itu? Aku tidak percaya. Kalau Suhu lain lagi, karena Suhu adalah seorang pendeta yang menghormati kepercayaan orang lain. Kita adalah orang-orang muda yang datang dari kota dan memiliki kepandaian, kenapa kita harus takut terhadap segala tahyul bohong?”

Orang ke dua menyambung. “Ucapan Sute memang ada benarnya, akan tetapi melihat keadaan hutan yang demikian liar dan angker, timbul juga perasaan tidak enak di dalam hatiku. Dunia ini memang aneh dan banyak hal-hal yang belum kita mengerti. Bagaimana kalau kabar itu ternyata tidak bohong? Bagaimana kalau benar-benar muncul setan di tengah hari dan menyerang kita?”

“Mengapa takut?” berkata pula yang termuda. “Percuma saja kita mempelajari ilmu silat sampai beberapa tahun lamanya, dan percuma pula kita menjadi murid Pek I Hosiang yang namanya telah terkenal di dunia kang-ouw! Lagi pula, kita bukan bermaksud buruk. Kita memasuki hutan hanya untuk menebang pohon dan mencari kayu besi yang amat dibutuhkan. Kui-loya (Tuan Kui) berani membayar kita tiga kali lebih banyak dari pada kayu-kayu biasa.”

Tiga orang yang nampak kuat dan gagah ini adalah tiga orang di antara begitu banyak penebang pohon yang banyak bekerja di daerah ini. Mereka adalah murid-murid dari Pek I Hosiang, seorang hwesio yang menjadi ketua dari sebuah kelenteng di dalam dusun tempat tinggal mereka.

Hwesio ini memang berkepandaian tinggi dan ia mempunyai banyak sekali murid. Boleh dibilang, lebih tiga puluh orang penebang kayu yang muda-muda dan kuat-kuat menjadi muridnya! Para penebang pohon ini kemudian menjual kayu yang mereka tebang kepada perusahaan-perusahaan kayu yang banyak didirikan orang di tempat itu dan di antaranya yang terbesar adalah perusahaan kayu milik orang she Kui yang berasal dari kota besar di daerah timur.

Telah menjadi semacam dongeng yang selama bertahun-tahun amat dipercaya oleh para penduduk di daerah Pegunungan Ho-lan-san, bahwa daerah puncak yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, jurang-jurang dalam dan goa-goa yang angker itu menjadi tempat tinggal sepasang siluman atau iblis yang amat jahat. Sebenarnya, belum pernah terjadi pembunuhan atau penganiayaan terhadap manusia yang dilakukan oleh sepasang iblis itu, akan tetapi karena perasaan takut mereka, maka orang-orang lalu bercerita bahwa iblis-iblis yang menjadi penghuni hutan itu amat jahat dan mengerikan!

Hanya satu kali terjadi peristiwa yang membuktikan bahwa di hutan itu memang terdapat makhluk yang sakti, sungguh pun orang tak dapat membuktikan dengan nyata bahwa makhluk itu adalah iblis atau siluman. Terjadinya peristiwa itu telah dua tahun lebih, yaitu ketika serombongan piauwsu mengantar seorang hartawan bersama keluarganya yang melakukan perjalanan. Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, tiba-tiba, entah dari mana datangnya, terdengar suara bergema di empat penjuru dan suara ini berkata tegas,

“Lekas keluar dari hutan ini!”

Para piauwsu yang mengawal rombongan ini merupakan orang-orang gagah yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak gentar menghadapi perampok-perampok dan bahkan jarang ada perampok berani mengganggu mereka. Akan tetapi, peristiwa ini baru sekali mereka alami, yaitu adanya suara yang melarang mereka melalui sebuah hutan. Kepala rombongan itu lalu menjura ke empat penjuru dan menjawab,

“Mohon maaf sebesarnya dari Tai-ong kalau kami berani berlaku kurang ajar dan melalui wilayah Tai-ong (Raja Besar, sebutan untuk kepala rampok) tanpa mendapat ijin terlebih dulu. Kami bersedia membayar uang sewa jalan apa bila Tai-ong kehendaki, akan tetapi harap Tai-ong perkenankan kami melalui jalan ini”

Untuk beberapa lama tak terdengar suara sesuatu, akan tetapi mendadak terdengar lagi suara yang berlainan dengan suara pertama. Jika suara pertama yang mengusir mereka keluar dari hutan tadi terdengar halus dan nyaring seperti suara wanita, kini terdengar suara yang juga halus dan nyaring akan tetapi lebih besar seperti suara seorang pemuda.

“Jangan banyak cakap! Kami tak butuh segala uang sewa jalan! Pergilah lekas dari hutan ini!”

Para piauwsu yang jumlahnya tujuh orang itu menjadi amat penasaran. Mereka mencabut senjata masing-masing dan memandang ke sekeliling dengan sikap menantang.

“Kalau kami tidak mau pergi dan tetap hendak melanjutkan perjalanan kami melalui hutan ini, kau mau apakah?” tanya kepala piauwsu itu dengan marah.

Kini yang menjawab adalah suara pertama yang masih terdengar halus akan tetapi amat berpengaruh.

“Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan! Kami memberi waktu sampai ada ayam hutan berkokok, itulah tanda bahwa kami akan bergerak apa bila kalian belum keluar dari sini!”

Seorang di antara para piauwsu itu yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia secara diam-diam mengeluarkan beberapa batang senjata piauw, dan tiba-tiba ia menyambitkan tiga batang piauw ke arah daun-daun pohon besar dari mana suara tadi datang.

Akan tetapi hanya terdengar berkereseknya daun terbabat senjata-senjata piauw itu, dan selain itu tidak nampak tanda-tanda bahwa di pohon itu terdapat manusianya! Yang lebih mengherankan, ketiga batang piauw tadi tidak turun lagi ke bawah, seakan-akan lenyap ditelan oleh daun-daun yang lebat itu.

Para piauwsu itu saling pandang dengan heran, sedangkan keluarga hartawan itu duduk berkumpul di dekat kereta dengan muka pucat.

“Tidakkah lebih baik bila kita mengambil jalan memutar saja?” tanya hartawan itu kepada kepala piauwsu. Akan tetapi yang ditanya menggeleng kepala.

“Wan-gwe (sebutan hartawan) tidak tahu. Hal ini adalah soal kehormatan bagi piauwsu-piauwsu seperti kami. Apa bila kami mengalah begitu saja terhadap segala penggertak, bagaimana kami dapat menjadi piauwsu?”

Mereka menanti dengan hati penuh ketegangan dan tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mendengar suara yang mereka nanti-nanti, yakni kokok seekor ayam hutan dari jauh.

“Waktunya sudah habis, kalian harus pergi!” tiba-tiba seru suara tadi.

Dan entah dari mana datangnya, bagaikan meluncur dari atas awang nampak dua sosok bayangan berkelebat cepat menubruk tujuh orang piauwsu tadi. Para piauwsu itu terkejut sekali dan cepat memutar senjata untuk menyerang dua sosok bayangan itu, akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika bayangan itu lalu bergerak dengan amat cepatnya, merupakan sinar putih dan merah dan tahu-tahu semua senjata di tangan para piauwsu itu terlempar jauh!

Sebelum ketujuh orang piauwsu itu sempat memandang, tahu-tahu mereka merasa sakit sekali pada pundak mereka. Terdengar jerit mereka susul-menyusul lantas tubuh mereka roboh tak dapat bangun kembali karena mereka telah terkena tiam-hoat (ilmu totok) yang lihai. Setelah itu, hanya nampak bayangan dua sosok tubuh berpakaian merah dan putih berkelebat lenyap di balik serumpun alang-alang!

“Itulah hukuman bagi tujuh orang piauwsu sombong!” tiba-tiba saja terdengar suara yang halus itu dari atas pohon. “Naikkan tujuh tikus itu ke atas kereta dan kembalilah kalian keluar dari hutan ini!”

Dengan perasaan ketakutan setengah mati, rombongan itu lalu menolong para piauwsu, menaikkan dan menumpuk tubuh mereka yang lemas itu ke atas kereta lalu rombongan itu membalap keluar dari hutan!

Maka tersiarlah berita ini sehingga nama kedua iblis penghuni hutan sangat terkenal dan sejak saat itu, tidak ada seorang pun berani melangkahkan kaki memasuki hutan. Siapa orangnya yang tak akan merasa takut dan ngeri mendengar betapa tujuh orang piauwsu ternama dibikin tak berdaya oleh sepasang siluman yang lihai itu?

Berita tentang sepasang iblis itu tentu saja tidak begitu dipercaya oleh para pendatang baru dari kota-kota besar, terutama sekali oleh orang-orang yang memiliki kepandaian ilmu silat. Betapa pun juga, karena tahu pula bahwa di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh dan banyak sekali terdapat orang-orang pandai, mereka tak berani mencoba untuk melanggar pantangan penduduk dan tidak mau memasuki hutan itu.

Bahkan Pek I Hosiang, seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung dan berkepandaian tinggi, juga menasehatkan murid-muridnya yang banyak jumlahnya agar supaya jangan mengganggu hutan itu.

“Siapa tahu,” kata hwesio itu kepada muridnya yang membantah, “kalau-kalau di tempat itu ternyata terdapat seorang pertapa yang sedang mengasingkan diri dan pertapaannya tidak mau diganggu.”

Akan tetapi, seperti telah dituturkan di depan, tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat itu duduk di luar hutan, merundingkan mengenai kehendak mereka menebang kayu besi yang terdapat di hutan itu. Ketiga orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang terhitung pandai, dan sungguh pun tadinya yang tertua di antara rnereka masih merasa ragu-ragu untuk memasuki hutan itu, namun berkat desakan kedua orang sute-nya (adik seperguruannya), akhirnya mereka masuk juga ke dalam hutan itu!

“Bagaimana pun juga, Sute, kita harus selalu berhati-hati dan lebih baik bekerja secara diam-diam, jangan banyak berisik,” berkata orang tertua di antara ketiga orang penebang pohon itu. Kedua sute-nya menurut, karena memang keadaan hutan yang masih liar dan tak pernah dimasuki orang itu sangat menyeramkan.

Ketika mereka bertiga berjalan lambat sambil melihat ke kanan kiri untuk mencari pohon besi yang hendak mereka tebang, tiba-tiba orang tertua itu melihat sesuatu dan ia cepat memegang tangan kedua sute-nya kemudian ditariknya mereka untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon yang besar.

“Lihat, apakah itu?” katanya kepada kedua orang sute-nya yang memandang heran.

Dua orang kawannya memandang ke arah yang ditunjuknya dan mereka masih sempat melihat bayangan putih berkelebat cepat sekali.

“Orangkah dia?” seorang berbisik.

“Entahlah, akan tetapi gerakannya sungguh cepat!” memuji orang termuda yang hatinya paling tabah. “Mari kita mendekat, dia masuk ke dalam goa itu!”

Kedua orang kawannya merasa ragu-ragu, akan tetapi karena tak melihat bayangan tadi muncul kembali, sedangkan sute mereka dengan beraninya telah keluar dari balik pohon dan menuju ke tempat bayangan tadi menghilang, mereka juga mengikuti sute mereka.

Benar saja, di tempat yang meninggi terdapat sebuah goa yang lebar. Goa ini amat gelap sehingga tidak kelihatan apakah goa itu merupakan terowongan atau bukan.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam goa, “He! Kalian mau apa datang ke sini? Hayo cepat pergi!” Berbareng dengan ucapan itu, terlihat berkelebat bayangan putih keluar dari goa yang gelap itu dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda yang luar biasa eloknya!

Muka pemuda ini berkulit halus dan putih, dan matanya sangat tajam berpengaruh. Garis mulutnya yang kuat membayangkan kehendak yang teguh dan kemauan yang membaja. Tubuhnya sedang dengan pinggang langsing, pakaiannya sederhana tapi rapi, berwarna putih seperti pakaian seorang pelajar. Dia mengenakan mantel panjang yang putih pula, dan di antara semua pakaian yang menutup tubuhnya, hanya leher baju yang menurun terus ke pinggang dan kopyahnya saja yang berwarna biru. Juga sepatunya warna hitam. Memang janggal sekali melihat seorang penghuni goa yang berpakaian sedemikian putih bersih.

Melihat pemuda ini hanyalah seorang manusia biasa, bukan seorang iblis, ketiga orang penebang pohon itu pun segera bernapas lega.

“Kami adalah penebang-penebang kayu dan sekarang hendak mencari pohon besi yang banyak tumbuh di hutan ini,” jawab penebang tertua.

Pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, digoyang beberapa kali kemudian berkata, “jangan kalian melakukan hal itu. Lebih baik lekas kalian pergi dari sini!”

Penebang kayu yang termuda melangkah maju dan berkata marah,

“Orang muda, dengan alasan apakah kau melarang kami melakukan penebangan pohon besi di hutan ini? Dan hak apakah yang kau andalkan untuk mengusir kami?”

“Alasannya, kalau kau melakukan penebangan pohon, berarti kau melanggar laranganku dan ini berbahaya sekali bagi keselamatanmu. Ada pun tentang hak, aku menggunakan hak sebagai seorang yang lebih dulu datang di tempat ini dari pada kalian bertiga!”

Marahlah penebang muda itu. “Kau anak kecil sombong amat! Kalau kami bertiga tetap melanjutkan kehendak kami, kau mau apakah? Apakah kau ini siluman yang menguasai hutan ini seperti yang dikabarkan orang?”

“Tutup mulut dan pergilah!” seru pemuda itu dan biar pun sikapnya masih setenang tadi, namun sepasang alisnya yang indah bentuknya itu mulai bergerak-gerak.

Akan tetapi, biar pun sinar mata pemuda ini tajam dan berpengaruh, akan tetapi ia hanya merupakan seorang pemuda yang halus dan tidak nampak berbahaya. Tentu saja ketiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat dan mempunyai kepandaian silat itu tidak takut menghadapinya. Mereka bertiga lalu mengeluarkan senjata mereka yang menyeramkan, yaitu tangan kanan memegang golok lebar yang tajam sedangkan tangan kiri memegang sebatang kapak yang tidak kalah hebatnya.

“Ha-ha-ha-ha, anak muda! Betapa pun galaknya mulutmu, kami tidak takut. Kami hendak menebang pohon dengan kapak dan golok ini, kau mau apa? Ha-ha-ha!”

Akan tetapi baru saja penebang pohon itu menutup mulutnya, pemuda itu sudah lenyap. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan putih dan penebang pohon yang termuda ini memekik keras ketika merasa betapa kapak dan goloknya bagaikan bisa terbang sendiri meninggalkan kedua tangannya tanpa bisa dicegah pula! Ternyata bahwa dengan sekali gerakan saja, pemuda baju putih itu sudah berhasil merampas kapak dan goloknya yang kini dilempar di atas tanah!

Dua orang penebang yang lain menjadi marah dan terkejut sekali. Sambil berseru marah, mereka lalu maju menyerang dan pada saat itu, dua batang golok dan dua batang kapak telah menyambar ganas menuju ke tubuh pemuda baju putih itu!

Namun kembali mereka dibikin bengong oleh pemuda aneh itu. Agaknya tubuh pemuda itu tak bergerak sama sekali, buktinya kedua kakinya tidak berpindah tempat. Hanya dua lengan tangannya saja bergerak cepat serta tubuhnya bergoyang-goyang menghindari sambaran keempat senjata itu dan...

“Aduh...! Aduh...!”

Dua orang itu merasa kedua lengan mereka mendadak menjadi lemas dan sakit sekali, oleh karena entah dengan gerakan bagaimana, jari-jari tangan pemuda itu sudah berhasil menotok pergelangan tangan kedua orang penebang pohon itu! Kembali senjata-senjata mereka terpaksa harus mereka lepaskan sehingga jatuh bertumpuk di atas tanah!

Sudah tentu saja mereka bertiga hampir tak dapat percaya akan kejadian yang baru saja mereka alami itu. Bagaimana mereka yang memegang senjata dan memiliki kepandaian tinggi, sekarang dipaksa melepaskan senjata dengan cara yang demikian mudahnya oleh pemuda ini? Ilmu silat apakah yang tadi dipergunakan oleh pemuda baju putih itu untuk menghadapi mereka? Mereka hanya memandang dan berdiri bagai patung. Silumankah pemuda ini, demikian mereka berpikir dan memandang dengan hati merasa seram.

“Pergilah...! Pergilah...!” pemuda itu dengan acuh tak acuh berkata sambil menggerakkan tangan kanan seperti mengusir lalat yang mengganggunya!

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam goa. “Siong-ji..., lempar saja tikus-tikus itu ke dalam jurang! Untuk apa melayani mereka?”

Pemuda baju putih itu menengok ke arah goa dan menjawab, “Mereka hanya tiga orang penebang pohon yang tak berarti, Ibu!”

“Mereka telah lancang, berani mendekati tempat kita!” suara dari dalam goa itu semakin nyaring.

Tiba-tiba ketiga orang penebang pohon itu melihat berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali cepatnya. Belum sempat mata mereka melihat dengan jelas, tiba-tiba mereka telah roboh pingsan!

Ketika tiga orang penebang pohon itu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di luar hutan yang menyeramkan itu! Sambil mengeluh mereka meraba-raba pundak mereka yang masih terasa sakit dan linu, bekas tertotok secara luar biasa sekali oleh bayangan merah tadi.

“Ah, Sute. Jika kau tadi mendengar omonganku, tak akan kita mengalami kesengsaraan ini!” kata yang tertua sambil bangun dengan tubuh masih lemas.

Penebang termuda tak dapat menjawab karena pengalaman tadi masih membuat hatinya berdebar-debar.

“Mereka itukah siluman-siluman yang ditakuti orang?” tanyanya perlahan.

“Mungkin! Mana ada orang semuda itu sudah sedemikian lihainya? Hanya siluman saja yang dapat merampas senjata kita secara demikian aneh,” kata orang ke dua.

“Dan bayangan merah tadi... apakah dia itu? Dia pandai bicara, akan tetapi gerakannya demikian hebat! Hebat dan mengerikan!” kata yang tertua sambil bergidik karena teringat akan serangan bayangan merah tadi. “Sungguh berbahaya sekali!”

“Betapa pun juga, aku masih penasaran, Suheng!” kata yang termuda. “Tidak mungkin pemuda tadi seorang siluman. Memang kepandaiannya hebat luar biasa, akan tetapi dia seorang manusia biasa saja, bukan setan. Apakah pekerjaan mereka berdua di tempat itu? Jangan-jangan mereka adalah orang-orang jahat yang menyembunyikan diri.”

“Habis kau mau apa, Sute? Terhadap orang-orang lihai seperti mereka itu, lebih baik kita menjauhkan diri,” kata yang tertua.

“Celaka, kapak dan golok kita tertinggal di depan goa!” mengeluh orang ke dua.

“Kita harus melaporkan hal ini kepada Suhu!”

Demikianlah, sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa aneh itu, ketiga penebang pohon ini lalu kembali ke dusun tempat tinggal mereka. Karena mereka menceritakan pengalaman mereka kepada kawan-kawan di dusun, maka sebentar saja gegerlah dusun itu dan semua orang membicarakan sepasang ‘siluman’ di hutan itu yang disebutnya ‘Pek-ang Siang-mo’ (Sepasang Iblis Putih Merah).

Pek I Hosiang mendengarkan penuturan ketiga orang muridnya dengan penuh perhatian dan hatinya merasa amat tertarik. Akan tetapi ia tidak menyatakan perhatiannya, bahkan ia lalu menegur ketiga orang muridnya itu.

“Kalian bertiga memang telah berlaku lancang. Mana ada siluman di dunia ini? Seperti yang kuduga, mereka adalah orang-orang pandai yang tengah bertapa. Mungkin pemuda itu murid si pertapa yang kalian lihat sebagai bayang-bayang merah. Lain kali janganlah kalian berlaku lancang. Hutan di sekitar pegunungan ini sangat banyak, mengapa justru mencari di tempat yang terlarang itu?”

Sungguh pun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya Pek I Hosiang merasa tertarik dan ingin sekali menyaksikan sepasang siluman itu dengan mata kepala sendiri. Sebagai seorang hwesio, ia tidak menghendaki permusuhan, akan tetapi sebagai seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tentu saja dia sangat tertarik mendengar tentang kelihaian ilmu silat orang lain. Ia ingin sekali melihat siapakah gerangan orang pandai yang menyembunyikan diri di tempat itu. Diam-diam ia lalu mengambil keputusan untuk pergi sendiri menemui dua orang aneh itu.

Di dalam hutan yang dianggap oleh penduduk sebagai tempat tinggal Pek-ang Siang-mo itu, terdapat sebuah lapangan terbuka dekat sebatang anak sungai yang bening airnya. Pemandangan di situ sungguh indah.

Pada suatu pagi, di kala burung-burung hutan berkicau dan bersuka cita menyambut datangnya sang matahari, di atas lapangan itu nampak sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti bayangan putih yang gerakannya cepat sekali. Ada kalanya gerakan sinar pedang itu mengendur dan tampaklah bayangan putih itu sebagai tubuh seorang pemuda berbaju putih yang sedang mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat indahnya. Di waktu permainan ilmu pedangnya mengendur, ia seakan-akan sedang menari saja.

Tidak saja ilmu pedangnya yang aneh, bahkan pedang di tangan pemuda baju putih itu lebih aneh lagi. Disebut pedang seperti bukan pedang, akan tetapi cara memegang dan memainkannya sama dengan pedang! Senjata ini selain aneh juga indah akan tetapi juga mengerikan.

Ukurannya besar dan panjangnya tak berbeda dengan pedang biasa, akan tetapi senjata ini tidak tajam juga tidak runcing sehingga lebih tepat apa bila disebut bentuknya seperti tongkat pendek. Akan tetapi, senjata ini berbentuk ukiran sin-liong (naga sakti) membelit tiang. Ukirannya indah sekali dan agaknya terbuat dari pada logam yang sangat keras berkilauan dan berwarna putih sedangkan tubuh naga yang melibatnya berwarna kuning. Pemuda itu memegang naga itu pada ekornya sehingga kepala naga merupakan ujung senjata itu. Dari mulut naga kecil itu keluar lidah merah yang panjang dan mengerikan.

Setelah bermain silat dengan gerakan lambat dan indah, tiba-tiba ia memutar senjatanya makin lama semakin cepat dan kembali tubuhnya lenyap terbungkus oleh gulungan sinar senjatanya yang dahsyat.

“Cukup, Siong-ji (Anak Siong), kau mengasolah!” terdengar suara nyaring dari seorang wanita yang berdiri tak jauh dari situ sambil memandang permainan pemuda itu dengan penuh perhatian.

Wanita itu mengenakan pakaian serba merah. Walau pun potongan pakaiannya itu amat sederhana, namun terbuat dari kain sutera dan amat bersih. Kalau orang melihatnya dari belakang atau dari samping, orang akan mengira bahwa ia adalah seorang wanita muda, karena bentuk tubuhnya yang langsing itu masih tampak kuat dan penuh, kulit tangannya halus dan putih.

Akan tetapi kalau orang berhadapan muka dengannya, dia akan terkejut melihat bahwa wanita ini nampak sudah tua sekali. Rambutnya hampir putih semua, kulit mukanya juga berkeriput, sungguh pun matanya masih bening dan bersinar amat tajam, bahkan giginya masih bagus dan rata seperti gigi wanita muda yang cantik!

Masih jelas nampak bahwa dia dulu adalah seorang wanita yang amat cantiknya dengan bentuk muka yang bagus. Kerut-merut pada jidatnya membayangkan penderitaan batin yang hebat, dan mulutnya yang masih berbentuk manis sekali itu ditarik mengeras dan tak pernah nampak tersenyum.

Pembaca tentu telah dapat menduga siapa adanya wanita ini. Dia bukan lain adalah Ang I Niocu Kiang Im Giok, pendekar wanita yang di waktu mudanya telah menggemparkan dunia persilatan karena kegagahannya. Tak ada seorang pun ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mengenal atau tidak mendengar namanya yang besar. Ia amat terkenal, baik karena kepandaiannya mau pun karena kecantikannya yang luar biasa.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu adalah seorang wanita yang amat memperhatikan serta menyayangi kecantikannya sehingga untuk menjaga kecantikannya dari usia tua, ia tidak segan-segan untuk mencari obat kecantikan berupa telur Pek-tiauw (rajawali putih) dan sudah banyak makan telur yang dapat memelihara kecantikannya ini. Di waktu ia berusia tiga puluh tahun lebih ia masih nampak cantik jelita bagaikan seorang gadis berusia tujuh belas tahun.

Akan tetapi segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Bahkan keadaan yang ditimbulkan karena kekuasaan alam yang sewajarnya pun masih tidak kekal adanya, apa lagi keadaan yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tidak wajar.

Khasiat telur Pek-tiauw itu walau pun luar biasa sekali, namun ada pantangannya, yaitu wanita yang sudah makan obat ini, apa bila mempunyai putera, akan musnalah khasiat obat itu, bahkan akibatnya mengejutkan sekali. Ang I Niocu setelah melahirkan seorang putera, tidak saja kecantikan dan kemudaannya lenyap, bahkan ia nampak amat tua dua kali lipat seperti seorang wanita berusia delapan puluh tahun!

Pada bagian depan telah diceritakan bahwa karena batinnya menderita disebabkan oleh keriput di wajahnya dan uban di kepalanya yang membuatnya nampak tua sekali, secara diam-diam Ang I Niocu lalu meninggalkan suaminya, Lie Kong Sian, dan pergi merantau membawa putera tunggalnya. Pendekar wanita ini merantau sampai jauh, dan semenjak meninggalkan pulau tempat tinggalnya, dia selalu memilih jalan yang sunyi supaya tidak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya.

Akhirnya dia memilih Pegunungan Ho-lan-san sebagai tempat tinggalnya di mana dia lalu mendidik puteranya, Lie Siong, dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan. Tempat tinggalnya hanya di dalam sebuah goa yang besar dan amat dalam. Akan tetapi di dalam hidup penuh kesederhanaan ini, ia selalu memperhatikan keperluan putranya yang amat dicintainya.

Segala keperluan Lie Siong, makanan lezat serta pakaian indah sampai barang-barang permainan apa saja, dia adakan dan tanpa segan-segan pada malam hari Ang I Niocu mendatangi kota-kota besar untuk mencari barang-barang itu.

Dengan amat rajin, Ang I Niocu menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lie Siong. Ia mengajarkan ilmu silat pedangnya yang luar biasa, yakni Sianli Utauw (Tari Bidadari), Ngo-lian-hoan Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Teratai), ilmu pukulan yang disebut Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), dan juga Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak)! Lie Siong ternyata mempunyai otak yang cerdik dan bakat yang baik sekali sehingga dia dapat mempelajari semua ilmu itu dengan cepat dan baik sekali.

Akan tetapi, oleh karena ia hanya hidup bersama dengan ibunya yang menderita dan tak pernah bergembira, maka dia pun menjadi seorang pemuda yang sangat pendiam, keras hati, dan angkuh. Ang I Niocu merasa demikian bangga kepada puteranya ini sehingga ketika puteranya baru berusia empat belas tahun, ia sengaja mencarikan sebuah senjata istimewa untuk Lie Song.

Ang I Niocu mendengar tentang seorang kepala rampok di Kun-lun-san yang mempunyai sebatang senjata yang disebut Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti). Tanpa peduli akan jauhnya tempat itu dan kesukaran yang dihadapinya, Ang I Niocu mendatangi tiga kepala rampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya ia pun berhasil mengalahkan si kepala rampok dan merampas senjatanya!

Demikianlah, dengan Sin-liong-kiam di tangannya Lie Siong semakin gagah seakan-akan seekor harimau muda yang tumbuh sayap. Beberapa kali anak muda ini bertanya kepada ibunya tentang ayahnya, dan Ang I Niocu juga tidak menyembunyikan sesuatu.

Ia menceritakan kepada Lie Siong tentang ayahnya, yaitu Lie Kong Sian, dan mengapa dahulu mereka meninggalkan Pulau Pek-le-to. Juga Ang I Niocu menceritakan mengenai pendekar-pendekar silat yang menjadi kawan-kawannya seperti Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya Kwee Lin, sepasang suami isteri murid Bu Pun Su yang amat pandai. Ia menceritakan pula tentang Kwee An dan Ma Hoa, sepasang suami isteri pendekar yang juga memiliki ilmu silat tinggi yang menjadi sahabat baiknya.

“Kelak kalau kau bertemu dengan mereka, kau akan dapat menarik banyak pelajaran dari empat orang pendekar ini, Siong-ji,” Ang I Niocu sering kali berkata.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa hati puteranya itu lebih tinggi dan lebih angkuh dari pada hatinya sendiri ketika masih muda. Mendengar ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh dan yang lain-lain, hati Lie Siong tidak menjadi tunduk, bahkan dia merasa penasaran dan ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian mereka itu!

Telah beberapa kali Lie Siong minta pada ibunya untuk turun gunung, akan tetapi ibunya selalu mencegahnya. “Kepandaianmu masih belum cukup sempurna, Siongji. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang jahat, dan kalau kau tidak memiliki kepandaian yang tinggi, kau akan mudah terganggu oleh orang-orang yang jahat dan pandai.”

Demikianlah, pada pagi hari itu, seperti biasanya Lie Siong berlatih ilmu silat pedang di bawah pengawasan ibunya. Kali ini Ang I Niocu merasa sangat puas karena ternyata bahwa gerakan ilmu pedang puteranya sudah sempurna, tak ada kesalahan sedikit pun. Diam-diam dia maklum bahwa sekarang kepandaian puteranya sudah mencapai tingkat yang tidak lebih rendah dari pada kepandaiannya sendiri! Dia telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada putera tercinta ini.

“Siong-ji,” Ang I Niocu berkata sambil duduk di dekat puteranya dan memandang dengan mata penuh kasih sayang, “sekarang aku berani menyatakan bahwa kepandaianmu telah sampai di tingkat yang cukup tinggi. Aku dapat meninggalkan dunia ini dengan hati lega karena kepandaianmu ini sudah cukup untuk digunakan sebagai penjaga diri.”

Berseri wajah Lie Siong mendengar ini. Biasanya, sehabis berlatih, ibunya selalu masih mencelanya.

“Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagiku untuk turun gunung, Ibu?”

Ang I Niocu menggelengkan kepala. “Berat bagiku untuk berpisah darimu, Anakku. Kalau kau pergi, bagaimanakah dengan aku?”

“Kenapa, Ibu? Mengapa Ibu tidak ikut turun gunung? Marilah kita turun dari tempat yang sunyi ini. Apakah selama hidup Ibu tidak mau bertemu dengan manusia?”

Tiba-tiba kerut di jidat Ang I Niocu makin mendalam. “Tengoklah aku, Siong-ji. Lihatlah mukaku ini baik-baik! Alangkah akan malu hatiku dan hatimu apa bila orang lain melihat mukaku yang buruk ini!” Ia lalu menarik napas panjang berulang-ulang.

Lie Siong juga mengerutkan keningnya dan memandang wajah ibunya. “Aneh sekali, Ibu. Aku merasa heran karena kau selalu menyebut hal ini. Menurut pandanganku, wajahmu sangat cantik dan aku bangga melihat wajahmu, Ibu. Mengapa kau selalu menganggap wajahmu buruk? Aku sudah sering kali melihat wanita-wanita di dusun bawah gunung dan tak ada seorang di antara mereka memiliki mata sebening mata Ibu, bentuk muka secantik muka Ibu! Ibu sama sekali tidak buruk, hanya nampak tua, itu betul. Akan tetapi, apakah hal ini perlu dibuat malu? Apakah yang tidak akan pernah menjadi tua di dunia ini? Benda-benda yang paling keras dan kuat, akhirnya akan menjadi tua pula!”

Ang I Niocu memegang tangan puteranya. “Ah, Siong-ji, kalau saja kau dapat melihat wajah ibumu pada waktu masih muda dulu! Ah, dibandingkan dengan sekarang, bedanya seperti bumi dengan langit!”

“Aku tak peduli, Ibu. Bagiku, bagaimana pun juga perubahan yang terjadi pada wajahmu, kau tetap ibuku. Tua atau muda, cantik atau buruk, seorang Ibu tetap menjadi wanita termulia di dunia ini! Marilah kita turun gunung, Ibu, dan aku bersumpah, siapa saja yang berani mencela wajah Ibu, yang berani menghina atau membikin malu kepadamu, akan kupecahkan kepalanya!”

Dengan terharu Ang I Niocu memeluk puteranya. “Aku girang mendengar ucapanmu ini, Siong-ji. Kau tidak perlu khawatir, kurasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang begitu berani menghina Ang I Niocu! Seandainya ada, tak perlu kau mengeluarkan peluh, aku sendiri masih cukup kuat untuk meremukkan kepalanya!”

“Kalau begitu, kau mau turun gunung, Ibu?”

Kembali kening Ang I Niocu berkerut lagi. “Nanti dulu, Siong-ji... aku masih ragu-ragu... wajahku ini...”

Lie Siong bangun berdiri dan membanting-banting kaki. “Lagi-lagi Ibu berbicara tentang wajah...!”

“Ahhh, kau tidak tahu, Anakku. Dulu, Ang I Niocu adalah secantik-cantiknya orang, akan tetapi sekarang, seburuk-buruknya wanita! Bagaimana aku dapat menghadapi mereka?”

“Mereka siapa, Ibu?”

“Ayahmu, Pendekar Bodoh, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa...”

“Sudahlah, sudahlah! Aku bosan mendengar nama mereka kau sebut-sebut terus!” kata Lie Siong sambil mempergunakan kedua tangan untuk menutup telinganya!

Pada saat itu, Ang I Niocu yang tadinya masih duduk di atas tanah, melompat bangun dan memegang lengan anaknya. Ia mendengar sesuatu dan sebelum ia dan puteranya dapat bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dengan gesitnya dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang hwesio gundul yang berpakaian putih dan berusia kurang lebih enam puluh tahun.

Hwesio ini bermuka lebar, bermata tenang berpengaruh dan mulutnya selalu tersenyum sabar. Dia adalah Pek I Hosiang yang sengaja datang mencari ke dalam hutan ini karena hendak menyaksikan sendiri bagaimana macamnya ‘Sepasang Iblis’ yang ditakuti semua orang itu.

Dia telah dapat menemukan goa tempat tinggal sepasang iblis itu dan melihat golok dan kapak milik ketiga orang muridnya berserakan di depan goa. Melihat goa itu kosong dan sunyi, Pek I Hosiang lalu mencari ke tempat lain dan akhirnya dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap maka cepat menghampiri mereka.

Pek I Hosiang cepat membungkuk dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

“Omitohud! Harap dimaafkan apa bila pinceng mengganggu Ji-wi, dan telah datang tanpa diundang. Jika pinceng tidak salah duga, Ji-wi tentulah sepasang pendekar yang sedang mengasingkan diri di dalam hutan ini, dan yang telah disohorkan oleh semua orang di sekitar pegunungan ini.”

Tiba-tiba Ang I Niocu melangkah maju menghadapi hwesio itu, kemudian membentak, “Pergilah...! Kau hwesio tak tahu adat, pergilah dari sini!”

Pek I Hosiang terkejut melihat wanita tua yang amat galak ini, akan tetapi dengan sabar ia tersenyum dan kembali memberi hormat.

“Maaf, maaf! Sudah pinceng akui tadi bahwa pinceng telah berlaku lancang, akan tetapi pinceng memang sengaja datang hendak berkenalan dengan Ji-wi yang lihai. Pinceng mendengar tentang keadaan Ji-wi dari tiga orang murid pinceng yang beberapa hari yang lalu telah berlaku kurang ajar dan menerima hukuman. Pinceng bernama Pek I Hoasiang dan menjadi ketua dari kelenteng di bawah gunung. Pinceng kini sengaja datang untuk memintakan maaf bagi tiga orang murid pinceng. Bolehkah kiranya pinceng mengetahui, Ji-wi siapakah?”

“Sudahlah, sudahlah!” Ang I Niocu lalu membanting-banting kakinya dengan gemas dan hilang sabar. “Kami tidak ingin mengetahui namamu dan tidak ingin pula mengenalkan nama kami. Kau pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku dan menjatuhkan tangan kepadamu!”

Akan tetapi Pek I Hosiang masih tetap tenang dan sabar.

“Toanio (Nyonya Besar), harap suka berlaku sabar, karena sesungguhnya pinceng tidak bermaksud buruk. Sudah bertahun-tahun pinceng mendengar tentang adanya sepasang siluman di hutan ini, namun pinceng tidak percaya dan menduga bahwa yang dianggap siluman tentulah dua orang sakti yang bertapa di sini.”

“Cukup...! Pergi...!” Ang I Niocu membentak lagi.

“Omitohud! Banyak sudah pinceng berjumpa orang-orang pandai, akan tetapi tidak ada yang seaneh Ji-wi ini...”

“Kau mencari penyakit!” Sambil membentak marah, Ang I Niocu segera maju menyerang dengan sebuah pukulan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Pukulan ini luar biasa hebatnya, karena dari kedua lengan tangannya mengebul uap putih!

“Omitohud!” Kembali Pek I Hosiang menyebut nama Buddha dan cepat bagaikan kilat dia mengelak sambil menangkis dengan tangan kanannya.

Ketika dua lengan tangan beradu, Pek I Hosiang berseru kaget dan terhuyung-huyung mundur tiga langkah, sedangkan Ang I Niocu juga merasa betapa tenaga pukulannya terbentur pada tenaga yang amat kuat. Ia merasa heran sekali karena jarang ada orang yang bisa menahan pukulan Pek-in Hoat-sut! Ia pun maklum bahwa hwesio ini bukanlah orang sembarangan.

Sebaliknya, melihat pukulan ini, Pek I Hosiang memandang dengan mata terbelalak.

“Bukankah... pukulan tadi adalah sebuah gerakan dari Pek-in Hoat-sut?” katanya sambil memandang dengan mata terbelalak.

Kembali Ang I Niocu tertegun. “Kau sudah mengetahui kelihaian pukulanku, tidak lekas minggat dari sini?!” Ia maju lagi, siap menyerang kembali.

“Ahh... kalau begitu..., Toanio ini tentulah Ang I Niocu!”

Bukan main terkejut dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar bahwa hwesio tua ini telah mengenalnya. Selama ini dia berusaha untuk menjauhi manusia supaya tidak ada orang melihat bahwa Ang I Niocu yang cantik jelita kini telah berubah menjadi seorang nenek tua buruk.

“Bangsat gundul! Dengan menyebut nama itu, berarti kau harus mampus!” teriaknya dan kembali dia memukul.

Akan tetapi Pek I Hosiang dapat mengelak dengan cepat sambil berkata, “Tentu Ang I Niocu! Siapa lagi wanita berbaju merah yang cantik jelita dan dapat mainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut selain Ang I Niocu?”

Ucapan ini semakin membakar hati Ang I Niocu. Sesungguhnya, dalam pandangan mata Pek I Hosiang, ia masih nampak cantik jelita, sungguh pun sudah amat tua, akan tetapi ia mengira bahwa hwesio itu sengaja menghina dan mengejeknya dengan menyebutkan cantik jelita tadi.

Ketika ia hendak menyerang kembali, tiba-tiba Lie Siong berkata, “Ibu, berikanlah hwesio ini kepadaku!”

Ang I Niocu tiba-tiba teringat akan puteranya dan dia lalu timbul pikiran untuk mencoba kepandaian puteranya itu. Hwesio ini cukup tangguh, dan tepatlah apa bila dipergunakan sebagai ujian bagi puteranya.

“Baik, kau majulah dan hancurkan kepala orang yang sudah berani menghina ibumu ini,” katanya sambil melompat mundur.

Di dalam hatinya, Lie Siong tidak setuju dengan pendapat ibunya. Dia sama sekali tidak menganggap hwesio tua ini menghina ibunya, akan tetapi ia tidak berkata satu kata pun. Memang dia sengaja hendak mencoba kepandaian hwesio ini, sekalian untuk mencegah ibunya turun tangan, karena pemuda ini dapat menduga bahwa kalau ibunya yang maju, hwesio ini pasti akan tewas!

Demikianlah, tanpa menanti hwesio itu mengeluarkan kata-kata, Lie Siong lalu melompat maju dan menyerangnya dengan pukulan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw. Hwesio itu kagum sekali melihat gerakan yang indah ini dan timbul kegembiraan hatinya untuk mencoba kepandaian ‘siluman’ ini.

Pek I Hosiang adalah seorang hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia adalah murid tunggal dari Biauw Leng Hosiang, tokoh kang-ouw yang sangat terkenal. Bagi pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Biauw Leng Hosiang adalah sute (adik seperguruan) dari Biauw Suthai, tokouw (pendeta wanita) yang lihai dan yang menjadi guru pertama dari Lin Lin atau Nyonya Cin Hai si Pendekar Bodoh! Oleh karena itu tentu saja ilmu silatnya amat tinggi. Tidak seperti gurunya yang tersesat, Pek I Hosiang ternyata menjadi seorang hwesio yang suci dan beribadat.

Pek I Hosiang sudah sering mendengar nama Ang I Niocu dan mendengar pula bahwa ilmu silat Pendekar Wanita Baju Merah itu amat tinggi. Ia tahu pula bahwa Ang I Niocu mendapat latihan dari Bu Pun Su dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi seperti Pek-in Hoat-sut, Kong-ciak Sin-na dan lain-lain. Karena itu ketika ia melihat pemuda itu bersilat demikian indahnya, dia dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu silat yang disebut Sian-li Utauw!

Meski pun gerakan pemuda itu lemah lembut dan ilmu silatnya lebih patut disebut tarian yang indah, namun dia maklum akan kelihaian tarian ini dan tidak berani memandang ringan. Beberapa kali dia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga pemuda ini, akan tetapi ia terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya tergetar tiap kali bertemu dengan lengan pemuda itu! Ia menjadi kagum sekali.

“Pantas...!” serunya sambil mengelak dari sebuah pukulan. “Pantas sekali kau menjadi putera Ang I Niocu yang lihai!”

Selama hidup Pek I Hosiang belum pernah menghadapi tandingan semuda dan selihai ini, maka saking gembiranya, dia lalu mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang toya pendek yang tadi diselipkan pada ikat pinggangnya.

“Anak muda, mari kita coba-coba mengadu senjata!” katanya.

Lie Siong mewarisi watak ibunya yang keras dan tinggi hati, maka mendapat tantangan ini, dia tidak mempedulikan lawannya dan terus saja menyerang dengan tangan kosong! Dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, yaitu semacam ilmu silat yang banyak menggunakan cengkeraman dan memang tepat sekali dipergunakan untuk menghadapi lawan bersenjata dengan tangan kosong.....

Pek I Hosiang terkejut bukan main dan biar pun mulutnya tetap tersenyum dan sepasang matanya memandang kagum, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa penasaran dan tak senang. Alangkah sombongnya anak muda ini, pikirnya. Karena itu, dia segera memutar kedua toyanya dengan cepat sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya bermain toya.

Perlu diketahui oleh para pembaca yang belum membaca kisah Pendekar Bodoh bahwa tingkat ilmu silat Biauw Leng Hosiang tidak di bawah tingkat Ang I Niocu, maka karena Pek I Hosiang juga sudah mewarisi sebagian besar dari ilmu silat gurunya itu, maka tentu saja Lie Siong tidak dapat bertahan lama menghadapinya dengan tangan kosong.

Kedua toya pendek di tangan Pek I Hosiang bergerak laksana sepasang ular besar yang menyerang dengan berlenggak-lenggok, sehingga semua usaha Lie Siong dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk merampas senjata ini tidak pernah berhasil. Bahkan lambat akan tetapi pasti, Pek I Hosiang mulai mendesak pemuda itu!

Melihat betapa pemuda itu masih saja tak mau mengeluarkan senjatanya, Pek I Hosiang lalu memainkan gerak tipu Hing-san Chian-kun (Menyerampang Bersih Ribuan Tentara). Kedua toyanya menyambar-nyambar dari kanan kiri mengeluarkan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin menderu.

Lie Siong diam-diam terkejut juga melihat kehebatan lawan ini, maka dia terpaksa cepat menggerakkan dua kakinya dan menghindarkan desakan lawan dengan langkah Tui-po Lian-hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai) sambil memukul-mukulkan kedua tangannya menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menolak datangnya dua toya yang berbahaya itu.

Namun, gerakan kedua toya di tangan Pek I Hosiang amat cepatnya dan juga tidak lurus seperti senjata lainnya, tetapi menyerang secara berlenggak-lenggok tak tentu dari mana arahnya sehingga sukarlah untuk ditangkis, sungguh pun dengan tenaga Pek-in Hoat-sut yang lihai. Karena itu, terpaksa Lie Siong mengenjot kedua kakinya, dan sambil berseru keras dia melompat dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Melompat ke Atas) kemudian disusul dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Iblis Berjungkir Balik) maka tubuhnya lalu berjumpalitan di udara dan dengan jalan ini ia terhindar dari serangan lawan. Ketika dia melompat turun kembali, pada tangannya sudah nampak pedang Sin-liong-kiam yang berbentuk naga itu!

Bukan main kagumnya Pek I Hosiang melihat Sin-liong-kiam yang hebat itu!

“Bagus, jangan berlaku sheji (sungkan), anak muda yang gagah, kau majulah dengan pedangmu itu!”

Mereka bertempur lagi dan kali ini pertempuran itu betul-betul hebat dan ramai sekali. Lie Siong memutar pedangnya yang aneh itu dengan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sedangkan Pek I Hosiang memainkan Ilmu Toya Hek-cia-kun-hwat yang juga luar biasa cepat dan kuatnya.

Akan tetapi, akhirnya hwesio tua itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu pedang lawan yang muda namun lihai itu. Dengan gerakan tipu Lian-hwa Gai-ho (Bunga Teratai Membuka Daun), Lie Siong menyerang dengan hebat sekali menusuk pusar lawannya.

Pek I Hosiang sangat terkejut menyaksikan hebatnya serangan ini. Sungguh pun pedang lawannya itu tidak runcing, akan tetapi bahayanya tidak kalah oleh pedang biasa yang runcing, karena kepala naga itu mempunyai tanduk yang runcing dan dapat digunakan untuk menotok jalan darah atau melukai tubuh. Dia cepat-cepat menangkis dengan toya di tangan kanannya sambil mengayun toya di tangan kiri mengemplang lawan.

Inilah gerakan ilmu toya yang disebut Menerima Kembang Memberi Buah dari Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat yang lihai. Memang Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat ini mengutamakan gerakan pembalasan yang amat cepat. Tiap kali toya kanan atau kiri menangkis, maka toya kedua pasti membarengi serangan lawan itu untuk mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya!

Akan tetapi, Lie Siong sudah tahu akan sifat ilmu toya ini, karena itu pada waktu dia tadi menyerang dengan gerakan Lian-hwa Gai-ho, dia telah siap sedia dengan tangan kirinya. Melihat toya di tangan kiri lawan menyambar ke arah kepalanya, dia cepat mengulurkan tangan dan menggunakan cengkeraman Kong-ciak Sin-na mencoba merampas toya itu!

Tentu saja Pek I Hosiang tidak mau membiarkan toyanya dirampas, maka ia cepat-cepat mengubah gerakan toya kiri ini ke samping supaya tidak sampai dirampas. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan merampas dari pemuda itu hanyalah gerakan pancingan belaka untuk mengalihkan perhatian Pek I Hosiang, karena sebenarnya yang hendak merampas senjata lawan adalah tangan kanannya yang memegang pedang.

Ketika lawannya memperhatikan gerakan tangan kiri, maka ketika pedang itu ditangkis oleh toya kanan, Lie Siong menggetarkan tangan kanannya dan lidah merah dari pedang naga itu dengan cepat lalu membelit toya lawan dan sekali ia berseru keras dan menarik, toya kanan dari Pek I Hosiang telah terbetot dan terlepas!

Pek I Hosiang kaget sekali, cepat menggunakan gerakan Naga Hitam Keluar dari Awan, melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan lawannya. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia menggunakan gerakan ini, karena Lie Siong tidak menyerangnya, juga tidak mengejarnya.

Sambil melihat sebatang toyanya tergantung pada lidah pedang naga itu, Pek I Hosiang menghela napas dan tersenyum pahit.

“Omitohud! Kau anak muda betul-betul mengagumkan! Pinceng Pek I Hosiang mengaku kalah!” Ia menjura kepada Lie Siong.

Pemuda itu tidak menjawab, hanya menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba toya yang tadi terbelit oleh lidah pedang naganya, kini terlepas lantas meluncur ke arah pemiliknya dengan kecepatan laksana anak panah yang terlepas dari busurnya! Pek I Hosiang cepat mengulur tangan dan menangkap toyanya yang hendak menembus dadanya itu.

Akan tetapi, Ang I Niocu tidak puas dengan kemenangan puteranya yang tidak melukai lawannya itu.

“Hwesio busuk, lekas kau pergi dari sini dan tinggalkan toyamu!” katanya dan secepat kilat dia sudah mencabut pedang Liong-cu-kiam yang bercahaya menyilaukan itu. “Tidak seorang pun yang datang bersenjata boleh pulang membawa senjatanya!”

Ia lalu menerjang dengan cepat, menyerang dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga hingga pedangnya berkelebat dan berubah menjadi segulung sinar indah. Pek I Hosiang terkejut dan cepat mengangkat kedua toyanya untuk menangkis.

“Traang...! Traaaang...!”

Saat dua kali pedang Liong-cu-kiam bertemu dengan sepasang toya itu, ternyata dengan amat mudahnya toya-toya itu terbabat putus!

Ang I Niocu melompat mundur kembali, masukkan pedang ke dalam sarung pedangnya dan berkata singkat, “Pergilah!”

Pek I Hosiang menjadi pucat dan ia masih menahan perihnya hati karena hinaan ini. Ia tersenyum sabar dan menjura.

“Terima kasih atas petunjuk dari Ang I Niocu dan puteramu!” hwesio ini lalu melompat dan turun gunung dengan tindakan kaki cepat sekali.

Sesudah bayangan hwesio itu tidak nampak lagi, Lie Siong lalu berkata kepada ibunya, “Ibu, Liong-cu-kiam itu hebat sekali. Kalau pedang Sin-liong-kiam beradu dengan pedang Liong-cu-kiam, bukankah senjataku akan terbabat putus pula?”

“Siong-ji, apa kau kira ibumu akan mencarikan pedang sembarangan saja untukmu tanpa diuji terlebih dulu? Cabutlah pedangmu itu!”

Lie Siong meloloskan Sin-liong-kiam, ada pun Ang I Niocu juga mencabut Liong-cu-kiam. “Nah, mari kita berlatih, sekalian untuk membuktikan apakah pedangmu akan rusak kalau akan bertemu dengan pedangku!”

Anak dan ibu itu lalu bermain pedang, serang menyerang dengan hebatnya, bahkan lebih hebat dari pada pertempuran melawan hwesio tadi! Beginilah cara Ang I Niocu melatih anaknya! Dulu, sebelum Lie Siong memiliki kepandaian tinggi, setiap kali berlatih dengan ibunya, pemuda ini tentu mengalami kesakitan dan selalu dirobohkan oleh ibunya!

Pernah ia mengalami ditotok sampai pingsan, dipukul sampai matang biru, bahkan ketika berlatih senjata tajam, pernah pundaknya tergores pedang sampai mengeluarkan darah! Hal ini memang disengaja oleh Ang I Niocu untuk melatih ketabahan kepada puteranya. Sekarang mereka berlatih dengan pedang-pedang mustika, hal yang baru kali ini mereka lakukan. Liong-cu-kiam dan Sin-liong-kiam berkali-kali bertemu sehingga terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berpijar, akan tetapi kedua pedang itu ternyata tidak rusak!

Seratus jurus lebih mereka bermain pedang dan yang nampak hanyalah bayang-bayang putih dan merah yang diselimuti oleh gulungan cahaya pedang Liong-cu-kiam yang putih seperti perak dan sinar pedang Sin-liong-kiam yang kekuning-kuningan seperti emas!

“Sudah cukup...!”

Keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing. Hati Lie Siong merasa puas sekali dan diam-diam Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang dan bangga terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah olehnya!

“Siong-ji, sekarang telah banyak orang yang tahu akan tempat tinggal kita, malah hwesio gundul tadi sudah mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tidak perlu lagi kita lebih lama tinggal di tempat ini!”

Lie Siong menatap wajah ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali tidak membayang pada wajahnya yang elok.

“Jadi, kita turun gunung?” tanyanya penuh harapan.

Betapa pun keras hatinya sehingga dia sering kali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong adalah seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi kalau ibunya belum memberi persetujuannya.

Akan tetapi ibunya menggeleng kepala. “Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama kau ingin merantau, bukan? Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi dan carilah pengalaman di dunia kang-ouw!”

“Akan tetapi, bagaimana dengan kau, Ibu...? Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di tempat ini...”

Ibunya lantas mencabut pedang Liong-cu-kiam yang ampuh tadi. “Aku sudah mempunyai kawan. Liong-cu-kiam ini adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang memberi kenang-kenangan kepadaku.” Sambil berkata demikian, dia mengusap-usap pedang itu dengan tangannya, penuh kasih sayang.

“Ibu, dari manakah kau memperoleh Liong-cu-kiam itu?”

Ibunya menghela napas panjang dan teringatlah dia akan segala pengalaman bersama Pendekar Bodoh ketika mendapatkan pedang itu.

“Sesungguhnya, Susiok-couw Bu Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang lagi, yang lebih panjang, dan yang sekarang berada di dalam tangan Pendekar Bodoh.”

“Ah, aku ingin sekali menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couw-mu itu, Ibu.”

“Anak bodoh, jangan sembarangan bicara! Susiok-couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Tiada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya, dan sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang, walau pun ibumu juga pernah mendapat latihan darinya.”

“Hemm, aku pun sejak dulu ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang sering kali Ibu puji-puji.”

“Pergilah dan kau tentu akan berjumpa dengan mereka yang pandai itu. Pergilah dan berlakulah hati-hati, jangan membikin malu nama ibumu.”

Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam goa lalu mengumpulkan pakaian puteranya. Dia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian warna kuning dengan leher baju merah. Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong selalu diberi pakaian warna putih atau kuning oleh ibunya sehingga lama kelamaan pemuda itu hanya suka mengenakan pakaian putih atau kuning saja.

“Nah, kau pergilah, Anakku. Kau sudah tahu di mana tempat tinggal sahabat-sahabatku, carilah mereka dan jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau telah tahu siapa adanya tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu, karena itu berhati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau Pek-le-to lagi, karena ayahmu tentu mencari-cari kita. Kasihan ayahmu itu, kau carilah dia dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia. Berangkatlah, doaku besertamu selamanya.”

“Selamat tinggal, Ibu. Dan... Ibu hendak ke manakah? Bilakah aku bisa bertemu dengan Ibu lagi?”

“Tak perlu kau bingungkan soal ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada di sini atau di tempat lain, akan tetapi jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak.”

Berat hati Lie Siong ketika hendak meninggalkan tempat itu. Dia telah melangkah keluar dari goa, akan tetapi tiba-tiba dia kembali lagi dan memeluk ibunya.

“Ibu, berjanjilah bahwa kita pasti akan bertemu lagi.”

Ang I Niocu merasa terharu dan dia lalu tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun meninggalkan bibirnya. Ia lalu mendekap kepala puteranya dan mencium jidat puteranya yang tercinta itu.

“Jangan gelisah, Siong-ji. Apakah kau kira aku senang hati berpisah dengan kau untuk selamanya? Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku.”

Maka berangkatlah Lie Siong dengan membawa sebungkus pakaian yang diikatkan pada punggungnya, ada pun pedangnya, Sin-liong-kiam, atas kehendak ibunya disembunyikan di balik mantelnya yang panjang.

Ketika dia telah keluar dari hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, dia mendengar suara riuh rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua puluh orang lebih sedang naik menuju ke hutan itu. Mereka adalah penebang-penebang pohon yang bersenjata lengkap, mengiringi enam orang yang bukan lain adalah para pengusaha kayu.

Mereka ini merasa penasaran ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu dengan sepasang ‘siluman’ itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih orang-orang yang dianggap paling kuat dan gagah di antaranya sebagian besar adalah murid dari Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak menyerbu dan menangkap siluman-siluman itu!

Lie Siong tertarik hatinya melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka itu berhenti dan bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Pada saat Lie Siong sampai di dekat tempat itu, ternyata dia melihat empat orang yang bertubuh kuat sedang mendemonstrasikan tenaga mereka.

Keempat orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai. Tadi ketika mereka berjalan naik, mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu dan timbul hati ngeri dan takut di antara sebagian besar para penebang pohon. Oleh karena itu, untuk membakar semangat kawan-kawannya, empat orang yang terkuat itu kemudian memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat sekali!

Sebatang pohon yang besarnya tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat batangnya dengan seutas tambang yang besar dan sangat kuat, kemudian empat orang itu lalu mengerahkan tenaga menarik tambang itu. Urat-urat menonjol pada dada dan tangan mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka sengaja sudah menanggalkan baju agar tidak robek.

Memang kehebatan tenaga mereka sulit dipercaya. Empat ekor kerbau saja belum tentu akan dapat menarik pohon itu sehingga tumbang, akan tetapi pada saat empat orang ini mengerahkan tenaga, segera terdengar suara keras sekali dan pohon itu roboh berikut akar-akarnya!

Karena semua orang sedang menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian, maka tak ada seorang pun di antara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri di antara mereka, yang menonton demonstrasi itu.

Berbareng dengan robohnya pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang tidak kagum menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu? Empat orang itu memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan tetapi tiba-tiba seorang di antara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie Siong.

Ia merasa heran karena tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika dia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak turut bersorak memuji. Memang tak seorang pun di antara mereka mengenal Lie Siong, sebab tiga orang penebang pohon yang pernah dia robohkan itu tidak berani ikut serta bersama rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan menegur,

“Eh, Sobat! Kau ini siapakah dan mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menghargai kepandaian kami? Ketahuilah bahwa hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami berempatlah maka sepasang siluman Pek-ang Siang-mo itu akan ditumpas!”

Semua orang kini memandang kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal pemuda ini dan tidak tahu pula kapan pemuda ini datang di situ.

Lie Siong merasa mendongkol sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali saat mendengar betapa mereka hendak membasmi sepasang iblis yang dia dapat menduga tentu dimaksudkan ibunya dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tak berubah sedikit pun juga, ia berkata acuh tak acuh,

“Apa sih anehnya tenaga kalian berempat? Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke dalam hutan di atas ini.”

“Eh, ehh, mengapa kau berkata demikian?” tanya Si Jenggot Pendek.

“Karena tenagamu yang hanya dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya. Kalau kalian pergunakan untuk menarik lawan, biar pun hanya satu kakinya saja, kalian tidak akan mampu merobohkannya!”

Bukan main marahnya empat orang jagoan itu dan semua orang juga ikut memandang dengan heran dan marah.

“Orang muda, kau tahanlah lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul aku akan menghancurkan kepalamu!” kata salah seorang di antara empat jagoan itu yang bertubuh besar pendek.

“Siapa bicara sembarangan? Kalianlah yang bermata buta dan sombong.”

“Kau bicara sungguh-sungguh?” Si Jenggot Pendek berkata sambil tersenyum menghina. “Kalau begitu, kau berani membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau merasa pasti bahwa kami tidak akan dapat merobohkanmu?”

Semua orang tertawa mengejek mendengar ini. Enam orang pengusaha itu lalu berdiri sekelompok kemudian berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran melihat keberanian pemuda tampan ini.

Akan tetapi Lie Siong masih bersikap tenang dan dingin. “Mengapa tidak berani? Kalau kau dapat menarik sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian patut naik ke hutan itu.”

“Bagus!” seru Si Jenggot Pendek. “Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari tubuhmu, jangan kau persalahkan kami, anak muda yang manis!”

Terdengar suara orang-orang tertawa disusul dengan ejekan, “Bila kakinya sudah copot, bagaimana dia bisa mengeluarkan kata-kata lagi?”

Kembali terdengar semua orang tertawa geli sungguh pun mereka memandang semakin tertarik dan dengan penuh perhatian. Semua orang lalu menduga-duga siapa gerangan pemuda yang mencari penyakit ini. Apakah dia berotak miring?

“Boleh, aku berjanji,” jawab Lie Siong yang ingin mempermainkan orang-orang sombong itu, “sebaliknya kalian semua harus berjanji bahwa apa bila kalian tak dapat merobohkan sebelah kakiku maka selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan menebang pohon di hutan itu!”

“Jadi!!” seru Si Jenggot Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena ucapan pemuda ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu!

Semua orang lalu mundur dan membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para pengusaha berdiri sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok lain yang tersendiri, tidak berani mendekati para ‘thauwke’ (majikan) itu. Empat orang kuat itu lalu mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek memegang ujung tambang dan menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai,

“Kau sudah siap?”

Lie Siong menurunkan buntalan pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian dia kembali ke tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat kaki kirinya ke depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya demikian enak dan seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang tertawa mengejek.

Kalau orang yang mempunyai kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang teguh, mengerahkan tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa pemuda ini berdiri seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan purnama? Sungguh lucu dan menggelikan. Jangan kata hendak ditarik dengan tambang oleh empat orang yang bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar bertiup saja, agaknya pemuda itu akan rubuh.

Tentu saja mereka itu tidak tahu bahwa Lie Siong diam-diam sudah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan cara berdiri itu adalah bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sian-li Utauw (Ilmu Silat Bidadari), yaitu disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar!

“Aku sudah siap!” Lie Siong berkata dengan suara dingin saja seakan-akan tidak sedang menghadapi urusan penting.

Sambil tertawa haha-hihi, Si Jenggot Pendek lalu membelitkan ujung tambang pada kaki kanan Lie Siong tepat pada tulang keringnya, di atas pergelangan kaki, agak di bawah betisnya. Kemudian setelah memeriksa bahwa ikatan tali pada kaki itu cukup kuat takkan terlepas bila ditarik, ia lalu mendekati kawan-kawannya dan sambil tersenyum-senyum ia berkata perlahan,

“Kita menggunakan tenaga tiba-tiba menariknya agar dia jatuh terjengkang!”

Tiga orang itu tersenyum gembira kemudian menganggukkan kepalanya. Mereka segera berdiri berbaris dan memegang tambang itu.

Semua orang memandang dengan napas tertahan, karena betapa pun mereka merasa lucu dan penasaran kepada pemuda yang mereka anggap berotak miring ini. Melihat wajah yang elok dan kulit yang halus itu mereka merasa kasihan juga.

Sedikitnya kaki yang tidak seberapa besarnya itu pasti akan patah akibat tarikan empat orang kuat ini, pikir mereka. Bahkan salah seorang pengusaha yang berpakaian kuning dan yang masih muda berwajah tampan, lalu menghampiri Lie Siong dan berkata,

“Hian-te, kenapa kau melakukan hal yang bodoh ini? Kau mintalah maaf kepada mereka dan aku yang tanggung bahwa perkara ini akan dibikin habis sampai di sini saja.”

Lie Siong paling tidak suka apa bila ada orang menaruh hati kasihan kepadanya, maka sambil mengerling tajam ke arah orang itu, dia pun berkata, “Jangan ikut campur, dan mundurlah!” Tentu saja semua orang semakin merasa tak senang melihat sikap ini, dan orang baju kuning itu pun mundur dengan muka kemerahan.

“Aku sudah siap, hayo tariklah sekuatmu!” kata Lie Siong sekali lagi.

Orang berjenggot pendek itu lalu memberi aba-aba, “Tarik...!!”

Empat orang itu langsung mengerahkan seluruh tenaga membetot tambang itu sehingga urat-urat pada lengan dan dada mereka mengembung. Semua orang memandang dan terbayang sudah di mata mereka betapa pemuda elok ini akan jatuh tunggang-langgang dengan kaki patah. Akan tetapi... sungguh aneh, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu!

Pemuda elok itu masih berdiri seperti tadi, kaki kiri diangkat ke depan dan kedua tangan ditaruh di belakang. Sedikit pun ia tidak berkedip seakan-akan sama sekali tidak merasa akan tarikan dan sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri!

“Aduh...! Sungguh aneh!” terdengar suara penonton.

“Tak masuk di akal!”

“Tak mungkin...!”

“Ajaib sekali...!”

Jika semua orang yang menonton menjadi terheran-heran, empat orang jagoan itu lebih terkejut lagi. Tambang itu sudah tertarik sehingga menegang, bahkan terdengar bergerit saking kuatnya mereka menarik, akan tetapi mereka merasa seolah-olah sedang menarik sebuah gunung saja!

Untuk sesaat mereka saling pandang, kemudian dengan amat penasaran mereka segera menarik lagi. Kini tarikan mereka tidak teratur lagi, suara mereka ‘ah-ah, uh-uh’ sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, sehingga mereka terhuyung ke sana terdorong ke mari, namun tetap saja kaki yang dilibat tambang dan ditarik itu sama sekali tidak bergeming sedikit pun!

Kini tak seorang pun penonton dapat mengeluarkan suara, bahkan bernapas pun mereka hampir lupa! Keempat orang jagoan itu sambil membetot, memandang kepada pemuda itu dengan mulut ternganga saking herannya, akan tetapi mereka tidak berhenti menarik. Mustahil tidak dapat merobohkannya, pikir mereka dan kembali mereka mengerahkan tenaga seadanya untuk membetot kaki yang hanya kecil saja itu!

Peluh sebesar kacang telah menitik turun dari jidat mereka, dan napas mereka pun mulai terengah-engah setelah beberapa lama mereka menarik dengan tenaga sepenuhnya.

Lie Siong merasa bahwa sudah cukup ia memperlihatkan tenaganya, karena itu dia lalu membentak keras.

“Tidak lekas-lekas lepaskan tambang?” Sambil berkata demikian, tanpa menurunkan kaki kirinya, kaki kanannya melakukan gerakan mengisar dan... tak dapat ditahan pula, empat orang jagoan itu lalu terdorong ke depan, dan karena mereka masih belum melepaskan tambang itu, mereka jatuh saling timpa!

Yang paling sial adalah Si Jenggot Pendek karena ia tertindih oleh dua orang kawannya dan karena jatuhnya dengan hidung di depan, maka ketika merangkak bangun kembali, hidungnya yang tadinya mancung telah menjadi pesek dan berdarah!

Kini ramailah orang-orang itu memuji dan menyatakan keheranan mereka. Bagaimana mungkin terjadi hal yang aneh ini? Walau pun sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka masih belum dapat percaya bahwa seorang pemuda yang lemah-lembut dan berkulit halus itu dapat memiliki tenaga yang demikian besarnya. Siapakah pemuda lihai ini? Mereka saling bertanya tanpa berani menanyakan sendiri kepada pemuda itu.

Pada saat itu nampak dua orang berlari dari bawah lereng. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang hwesio. Ketika laki-laki tinggi besar itu tiba di situ dan melihat Lie Siong, ia lalu cepat berseru kepada semua orang,

“Dia adalah iblis putih!”

Orang ini adalah seorang di antara penebang pohon yang dulu pernah dirobohkan oleh Lie Siong, dan mendengar seruan ini, semua orang menjadi pucat mukanya, ada yang menggigil dan bahkan ada yang cepat mengangkat kaki lari dari situ! Akan tetapi, ketika mereka melihat hwesio yang datang bersama penebang tadi, semua orang lalu menjadi tabah kembali dan mengikuti hwesio itu menghampiri Lie Siong. Hwesio itu bukan lain adalah Pek I Hosiang sendiri.

Melihat bahwa yang menimbulkan keributan itu adalah Lie Siong, Pek I Hosiang segera merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil memberi hormat.

“Omitohud, tak tahunya Siauw-enghiong (Orang Muda Gagah) yang datang di sini! Harap suka maafkan murid-murid pinceng yang bodoh dan tidak tahu aturan, Siauw-enghiong. Sesungguhnya ketika pinceng mendengar bahwa mereka ini hendak menyerbu ke dalam hutan, segera pinceng menyusul ke sini untuk mencegah mereka.”

Melihat Lie Siong hanya berdiri tanpa menjawab, hwesio itu lantas memandang kepada semua orang dan berkata,

“Cuwi sekalian, harap mendengarkan kata-kata pinceng. Mulai sekarang janganlah ada seorang pun berani mengganggu hutan di atas itu! Ketahuilah bahwa di situ tinggal dua orang pendekar sakti yang mengasingkan diri! Pegunungan ini mempunyai banyak sekali hutan-hutan besar, mengapa harus mengganggu hutan kecil? Kalau kalian sayang diri, jangan sekali-kali berani memasuki hutan itu lagi. Ang I Niocu dan puteranya bukanlah siluman, akan tetapi pendekar-pendekar besar yang berkepandaian tinggi dan tidak mau diganggu!”

Semua orang terkejut mendengar ini, karena tak pernah mereka sangka bahwa hwesio ini pun telah kenal kepada dua orang yang tadinya dianggap siluman itu, terutama sekali para murid yang pernah mendengar nama Ang I Niocu yang tersohor! Mereka cepat memandang kepada pemuda yang diperkenalkan sebagai putera Ang I Nicou itu, tetapi alangkah heran dan kagetnya semua orang ketika melihat bahwa di situ tidak nampak lagi bayangan pemuda tadi! Pemuda tadi telah lenyap bersama buntalan pakaiannya tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali Pek I Hosiang. Hwesio ini lalu berkata,

“Dia sudah pergi!” Dia menghela napas. “Masih baik bahwa pemuda itu sendiri yang datang di sini, tidak bersama ibunya. Kalau kalian berani mengganggu ibunya, tak dapat kubayangkan kengerian yang menjadi akibatnya!”

Semenjak saat itu, semua orang memandang hutan itu sebagai tempat keramat dan tak seorang pun berani naik ke situ. Nama Ang I Niocu makin terkenal, dan juga puteranya menjadi buah bibir semua orang yang tinggal di sekitar Pegunungan Ho-lan-san…..

********************

Pada suatu hari, ketika Lie Siong tiba di sebuah jalan yang sunyi, dia melihat dua orang laki-laki sedang bertengkar. Tadinya dia tidak hendak mempedulikan kedua orang yang bercekcok itu, akan tetapi karena ia mendengar suara yang seorang amat aneh dan kaku seperti orang asing, ia tertarik juga dan segera menghampiri mereka sambil bersembunyi di balik pohon besar.

Laki-laki yang bicaranya terdengar kaku itu adalah seorang setengah tua yang berkumis dan berjenggot panjang, nampaknya gagah sekali dan matanya bersinar tajam. Ada pun orang yang bercekcok dengan dia adalah seorang muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka kasar dengan mulut selalu menyeringai sombong.

“Gui-kongcu (Tuan Muda Gui), sudah berkali-kali aku menegur dan menasehatimu agar kau jangan menggoda anakku lagi, akan tetapi agaknya kau sengaja bahkan menghina puteriku. Aku biasanya amat sabar, akan tetapi jangan kira bahwa kesabaranku ini tanda bahwa aku takut kepadamu!”

Laki-laki muda itu tertawa bergelak dengan sikap menghina sekali.

“Paman Manako, kau orang tua mengapa tidak memaklumi hati orang-orang muda? Aku mencinta Lilani, kenapa aku menghina? Aku pernah melamar anakmu itu, mengapa pula kau berani menampik pinanganku? Ingat, Paman Manako, kau datang sebagai seorang perantau, dan kalau tidak ada aku dan ayahku, tidak mungkin kau dapat tinggal di daerah ini!”

“Kurang ajar!” bentak lelaki berkumis yang bernama Manako itu. “Gui-kongcu, kau sudah mengucapkan kata-kata menghina terhadap seorang laki-laki Haimi. Kalau aku tak ingat bahwa kau masih kanak-kanak dan tidak ingat bahwa ayahmu sudah menolongku, untuk ucapanmu itu saja aku dapat membunuhmu! Memilih mantu tidak dapat dipaksa. Anakku Lilani tak suka kepadamu, bagaimana aku harus menerima pinanganmu? Sungguh amat tidak tahu malu bagi seorang pemuda yang sudah ditolak pinangannya, tetapi masih saja mendesak dengan cara yang kurang ajar sekali!”

“Manako!” pemuda itu membentak marah, kini tanpa menggunakan sebutan paman lagi. “Lupakah kau sedang bicara dengan siapa?” Pemuda ini kemudian mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

Orang tua berjenggot itu tersenyum dan dengan tenang ia pun lalu mencabut pedangnya pula. “Tentu saja aku tidak lupa. Aku berhadapan dan bicara dengan Gui-kongcu, putera dari Kepala Daerah Ki-ciang. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa aku Manako bukan seorang penjilat. Tidak peduli siapa saja kalau berani menghinaku, akan kulawan!”

“Orang Haimi yang sombong, rasakan tajamnya pedangku!” teriak pemuda tinggi besar itu dan segera dia menyerang dengan sebuah tusukan hebat.

Gerak tipunya ini ialah yang disebut Han-ya Pok-cui (Burung Gagak Menyambar Kelinci), sebuah gerakan tipuan dari Ilmu Pedang Tat-mo Kiam-hoat, yakni ilmu pedang ciptaan pendekar besar Tat Mo Couwsu. Akan tetapi, dengan tenang orang Haimi itu menangkis dengan pedangnya sehingga Pemuda she Gui itu terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lawannya amat besar, membuat pedangnya terpental ke belakang!

Ia berseru keras dan segera menyerang lagi dengan gerak tipu Hui-eng Bok-thou (Elang Terbang Menyambar Kelinci). Kedua kakinya melompat ke atas dan pedangnya ganas menyambar. Akan tetapi Manako, orang Haimi itu dengan amat gesitnya lalu mengubah kedudukan kakinya, melangkah dengan kaki kanan ke belakang, lalu memutar tubuhnya dengan gerak tipu Monyet Sakti Memasuki Goa. Dengan gerakan ini dia segera berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan, kemudian ia membalas menyerang dengan tak kurang hebatnya.

Sebentar saja ternyata bahwa ilmu pedang orang Haimi ini jauh lebih unggul dari pada ilmu pedang lawannya. Maka, cepat dia mendesak serta mengurung pemuda itu dengan pedangnya yang menyambar-nyambar!

Lie Siong yang mengintai dari balik pohon maklum bahwa orang tua itu tak berniat buruk, karena kalau ia mau, dengan mudah saja ia pasti akan dapat merobohkan pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu ternyata tak tahu diri dan ia tidak tahu bahwa orang tua itu telah berlaku murah hati dan mengalah. Kalau ia tahu diri, tentu ia tidak akan melawan terus. Sebaliknya, ia malah memaki-maki dan menyerang dengan membuta tuli.

“Kau benar-benar tak tahu diri!” teriak Manako.

Lalu, sebuah serangan dengan pedang diputar dibarengi gerakan menggetarkan pedang, membuat pedang pemuda itu terkurung dan tertempel, kemudian orang tua itu membetot sambil membentak,

“Lepas senjata!” maka pedang pemuda itu pun terlempar dan terlepas dari pegangan!

Pada saat itu, tujuh orang yang berpakaian seperti perwira kerajaan lari mendatangi dan mereka segera mencabut senjata golok dan pedang.

“Orang Haimi yang sudah bosan hidup!” teriak seorang di antara para perwira itu. “Kau berlaku kurang ajar terhadap Gui-kongcu?”

“Bukan aku yang mulai lebih dulu!” jawab Manako dengan berani, akan tetapi tujuh orang perwira itu segera mengurung dan menyerangnya.

Manako melawan sekuatnya, akan tetapi tujuh orang perwira itu kepandaiannya rata-rata lebih tinggi dari pada kepandaian pemuda she Gui tadi sehingga sebentar saja Manako terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.

Pada saat orang tua itu berada dalam keadaan yang amat berbahaya, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan putih dari belakang pohon. Lie Siong yang menyaksikan keroyokan yang berat sebelah itu tidak mau tinggal diam dan dia sudah melompat keluar, langsung mengamuk dan mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.

Tubuhnya bergerak cepat bagaikan halilintar menyambar, maka ke mana saja tubuhnya berkelebat, seorang perwira lalu menjerit, pedang atau goloknya terampas dan tubuhnya menerima pukulan atau tendangan yang cukup membuatnya mencium tanah tanpa dapat bangun kembali!

Pemuda she Gui yang melihat kehebatan lawan baru ini, dengan cerdik lalu diam-diam segera melarikan diri dari situ. Tujuh orang perwira itu dalam waktu pendek saja sudah dirobohkan oleh Lie Siong yang tidak menggunakan senjata sehingga orang tua Haimi itu telah memandang dengan bengong.

Manako cepat menghampiri Lie Siong, memberi hormat dan berkata kagum, “Kau hebat sekali, anak muda. Kehebatanmu mengingatkan aku akan Sie Taihiap!”

“Siapakah Sie Taihiap itu?” tanya Lie Siong.

“Sie Taihiap ialah Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh! Seperti kau inilah sepak terjangnya kalau menghadapi orang-orang jahat.”

Lie Siong tadi membantu Manako tanpa mengandung maksud sesuatu, hanya terdorong oleh hatinya yang tak senang melihat keroyokan yang tidak adil. Kini mendengar betapa orang tua itu memuji-muji nama Pendekar Bodoh, dia menjadi sebal sekali. Telah sering kali ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh hingga nama Pendekar Bodoh ini seakan-akan merupakan lidi yang ditusuk-tusukkan ke dalam telinganya, sekarang ketika mendengar lagi ada orang memujinya, langsung membuat ia merasa tidak puas.

“Sudahlah, aku tak kenal segala Pendekar Bodoh. Kau pergilah sebelum orang-orang ini sempat mengeroyokmu lagi!”

Manako memandang heran kepada pemuda yang bersikap dingin ini, akan tetapi ia lalu teringat bahwa tadi dia telah melawan perwira-perwira, bahkan bertempur dengan putera Kepala Daerah. Maka, dengan cepat dia lalu memberi hormat lagi dan berlari pergi dari situ.

Akan tetapi, baru saja dia membelok di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba dia telah dicegat oleh belasan orang perwira yang tadi mengantarkan pemuda she Gui! Ternyata bahwa Gui-kongcu setelah berlari cepat lalu memanggil lebih banyak perwira untuk mengeroyok pemuda yang lihai dan Manako.

“Penggal leher orang Haimi jahat ini!” Gui-kongcu berseru marah.

Sebentar saja Manako sudah dikeroyok oleh belasan orang perwira itu. Perwira-perwira yang datang ini tingkatnya lebih tinggi dari pada tujuh orang perwira yang tadi, bahkan di antara mereka terdapat seorang panglima tamu dari kota raja yang kegagahannya amat terkenal. Panglima muda ini bernama Kam Liong dan orang ini bukan lain adalah anak dari Panglima Besar Kam Hong Sin yang sangat tersohor karena kegagahannya (baca Pendekar Bodoh).

Tentu saja Manako bukan tandingan para perwira ini. Panglima muda yang mempunyai kepandaian tinggi itu sama sekali tidak mau turun tangan karena ia merasa rendah untuk mengeroyok seorang Haimi! Akan tetapi, perwira-perwira yang lainnya sudah cukup kuat untuk merobohkan Manako sehingga hanya dalam waktu sebentar saja orang Haimi ini roboh dengan beberapa luka parah pada tubuhnya.

Lie Siong yang hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba mendengar bentakan-bentakan para perwira yang mengeroyok Manako. Oleh karena pertempuran itu terjadi di belakang tikungan dan tidak kelihatan dari tempatnya, maka dia cepat berlari menghampiri tempat itu. Alangkah marah dan terkejutnya ketika dia melihat betapa Manako telah roboh mandi darah, dikeroyok oleh belasan orang perwira.

“Pengecut hina dina!” Lie Siong berseru sambil mencabut keluar Sin-liong-kiam dari balik jubahnya.

Sekali dia berkelebat, tubuhnya sudah menjadi bayangan putih yang cepat gerakannya laksana seekor burung garuda. Seperti juga tadi ketika menghadapi tujuh orang perwira, kini begitu dia menggerakkan pedangnya, maka golok serta pedang perwira beterbangan kemudian terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dibarengi jatuhnya tubuh mereka bertumpang tindih.

Bukan main kagetnya Panglima Muda Kam Liong ketika menyaksikan kelihaian pemuda baju putih ini. Terpaksa dia harus bertindak, kalau tidak, mungkin belasan orang perwira itu akan roboh semua! Ia lantas mencabut keluar pedangnya yang mengeluarkan cahaya berkilauan, kemudian sekali mengenjot tubuh, ia telah melayang dan menyambut pedang Lie Siong yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.

“Trang...!” Sepasang pedang itu bertemu, menimbulkan bunga api berpancaran.

“Tahan dulu!” seru Kam Liong.

Lie Siong yang merasa tercengang menyaksikan ada pedang yang mampu menyambut Sin-liong-kiam-nya, segera menahan senjata dan memandang dengan sinar mata tajam.

Kedua laki-laki muda yang sama tampan dan sama gagahnya ini saling pandang dengan penuh perhatian. Lie Siong melihat seorang pemuda yang mengenakan pakaian sebagai seorang panglima, pakaiannya gagah dan mentereng sekali, wajahnya membayangkan kegagahan. Sedangkan Kam Liong tercengang pada saat melihat bahwa orang yang lihai sekali kepandaiannya itu ternyata hanyalah seorang pemuda berkulit muka halus dengan sikap lemah lembut!

“Saudara yang gagah, kau siapakah dan mengapa kau membela seorang pemberontak bangsa Haimi?”

“Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan pemberontak, dan juga aku tak peduli apa yang menjadi persoalannya, akan tetapi yang sudah jelas bahwa orang tua ini kalian keroyok secara tidak tahu malu sekali. Pengecut-pengecut macam kalian ini tidak dapat kuberi ampun!”

Marahlah Kam Liong mendengar ucapan ini yang dianggapnya sombong bukan main dan kurang ajar. “Orang sombong!” teriaknya sambil menggerakkan pedang di tangan. “Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Tidak tahukah bahwa kau berhadapan dengan Panglima Muda she Kam dari kota raja?”

Mendengar disebutnya she Kam ini, Lie Siong lalu memandang dengan penuh perhatian. Ibunya pernah menuturkan kepadanya tentang panglima kosen bernama Kam Hong Sin.

“Ada hubungan apakah kau dengan Panglima Kam Hong Sin?” tanyanya tiba-tiba.

“Dia adalah ayahku, bagaimana kau dapat mengetahui namanya? Siapa kau sebetulnya dan siapa pula guru atau orang tuamu!”

Akan tetapi Lie Siong tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan dia melangkah maju dan berkata, “Bagus! Kalau begitu biarlah kita menguji kepandaian masing-masing dan tidak perlu banyak mengobrol lagi!”

Dia lalu memutar pedangnya yang aneh bentuknya itu. Kam Liong yang maklum akan kelihaian lawan, tidak mau berlaku lambat dan cepat sekali dia menangkis lalu membalas dengan serangannya yang tak kalah hebatnya.

Kam Liong adalah putera tunggal dari Panglima Kam Hong Sin yang tinggi ilmu silatnya. Pemuda ini mengikuti jejak ayahnya dan kini telah menduduki pangkat yang tinggi dalam ketentaraan di kota raja, telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya. Dia sangat lihai, terutama dalam ilmu pedang yang berasal dari ilmu pedang Partai Kun-lun-pai.

Gerakan pedangnya cukup cepat serta kuat, apa lagi ditambah pula dengan pedangnya yang bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pedang mustika hadiah dari kaisar, tentu saja dia jarang menemukan tandingan dalam ilmu pedang.

Akan tetapi, setelah dia bertempur menghadapi Lie Siong, ia menjadi terkejut sekali oleh karena ilmu silat pemuda elok ini benar-benar hebat dan lihai sekali. Pedang aneh yang berbentuk naga itu di samping sangat keras sehingga tidak menjadi rusak oleh pedang mustikanya, juga amat berbahaya.

Pedang itu bila menyabet tidak akan melukai kulit, akan tetapi akan meremukkan tulang dan otot, sedangkan tanduk pedang naga itu dapat dipergunakan untuk menusuk bagian tubuh yang berbahaya. Yang lebih istimewa lagi adalah lidah pedang naga yang panjang itu, karena lidah ini dapat berputar-putar melakukan sambaran-sambaran tersendiri dan menotok jalan darah. Bahkan telah beberapa kali lidah merah ini mencoba untuk melibat pedang di tangannya untuk dirampasnya!

Kam Liong teringat akan beberapa nama pendekar besar yang pernah dia dengar dari ayahnya. Menurut ayahnya, ilmu pedangnya atau ilmu silatnya harus digunakan dengan amat hati-hati apa bila menghadapi mereka atau murid dan keturunan mereka.

“Apakah kau putera Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh?” Ia bertanya sambil menangkis satu tusukan ke arah lehernya.

“Aku tidak kenal Pendekar Bodohl” jawab Lie Siong dengan hati mangkel karena lagi-lagi ia mendengar nama pendekar ini disebut-sebut orang!

Ia segera menyerang lebih hebat lagi dan mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-sut. Pedangnya berputar demikian hebatnya seolah-olah telah berubah menjadi lima putaran sehingga kelihatan bagaikan lima bunga teratai dan sesuai sekali dengan namanya, yaitu Ngo-lian-hoan Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Bunga Teratai).

Kam Liong terkejut melihat ilmu pedang ini dan terpaksa dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri, dan untuk sementara dia mencurahkan perhatiannya terhadap pertahanannya sehingga tak sempat bertanya lagi. Akan tetapi, setelah ia amat terdesak, ia segera menggunakan gerak tipu Pek-hong Koan-jit (Bianglala Putih Menutup Matahari). Pedang mustikanya berputar cepat sekali hingga merupakan payung penutup tubuhnya yang amat rapat dan kuat.

“Jika begitu, tentulah putera Kwee An Locianpwe!” kata Kam Liong lagi, menduga-duga. Oleh karena apa bila bukan putera Pendekar Bodoh, hanya putera atau murid Kwee An Locianpwe saja yang memiliki kepandalan sedemikian hebatnya, demikian ia berpikir.

“Jangan mengobrol! Aku tak kenal orang she Kwee itu!” jawab Lie Siong dengan marah.

Dia pun merasa penasaran sekali karena sudah bertempur lima puluh jurus lebih, namun belum juga dapat mengalahkan panglima muda yang lihai ini. Dia lalu berseru keras dan dengan pedang di tangan kanan mainkan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakan oleh ibunya sendiri untuk menyesuaikan pedang yang dipergunakannya, sambil ia menggunakan tangan kirinya untuk menyerang dengan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang membuat tangan kirinya lantas mengeluarkan uap putih.....

Pek-in Hoat-sut sudah terkenal sekali kelihaiannya, dan kepandaian ini adalah warisan dari Guru Besar Bu Pun Su. Tidak saja pukulannya yang amat lihai, bahkan uap putih itu saja bila menyambar lawan bisa mematahkan tenaga lweekang dan bisa mendatangkan luka di dalam tubuh.

Akan tetapi ilmu pedang itu pun luar biasa hebatnya. Pada saat Ang I Niocu menciptakan ilmu pedang ini untuk puteranya, ilmu pedang ini disesuaikan dengan bentuk Pedang Naga Sakti itu, sehingga di dalam gerakannya ini terdapat totokan-totokan jalan darah, dan juga lidah pedang naga yang panjang itu digunakan dengan ilmu melempar tali yang merupakan kepandaian tunggal dari Lie Kong Sian!

Bukan main terkejutnya hati Kam Liong pada saat menyaksikan serangan lawannya yang hebat ini. Dia terkejut dan cepat mengelak dari serangan pukulan Pek-in Hoat-sut, akan tetapi lidah pedang naga itu telah berhasil membelit pedangnya sehingga saat Lie Siong mengerahkan tenaga, pedang itu telah terbetot terlepas dari pegangan Kam Liong!

Kam Liong kaget sekali dan berteriak keras sambil melempar tubuhnya ke belakang, lalu membuat gerakan melompat berjungkir balik beberapa kali ke belakang. Inilah gerakan Naga Sakti Menembus Awan yang sangat indah sehingga diam-diam Lie Siong kagum juga melihat gerakan lawannya.

“Pergi...! Pergi kalian dari sini!” bentaknya sambil menggerakkan tangan kanan sehingga pedang Kam Liong yang terampas tadi tahu-tahu sudah terlepas dan meluncur ke arah dada pemiliknya!

Kam Liong tidak keburu menyambut dan terpaksa cepat menjatuhkan tubuhnya sehingga pedangnya itu meluncur terus lalu menancap pada dada seorang perwira yang berdiri di belakangnya! Perwira itu menjerit dan tewas dengan dada tertembus pedang!

“Kau... kau tentu putera Ang I Niocu!” seru Kam Liong masih dalam dugaannya, sambil mencabut pedangnya dan memandang kagum. Mendengar ini, Lie Siong terkejut sekali dan juga marah.

“Apakah kau ingin mampus?” bentaknya sambil menggerakkan tubuh menerjang.

Akan tetapi Kam Liong yang sudah tahu akan kelihaian pemuda elok ini tidak lagi berani melawan dan cepat melarikan diri! Lie Siong hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba saja dia mendengar keluhan orang Haimi yang menggeletak mandi darah itu, oleh karena itu dia menunda niatnya hendak mengejar dan menghampiri orang tua yang terluka tadi.

Ketika ia berlutut, ternyata orang tua itu keadaannya payah sekali. Tubuhnya penuh luka dan darah telah keluar cukup banyak sehingga napasnya tinggal satu-satu.

“Orang muda...,” katanya terengah-engah, “engkau gagah sekali... tak ubahnya Pendekar Bodoh sendiri... kau pun tentu berbudi... seperti Pendekar Bodoh pula... kau tolonglah puteriku… Lilani... ia tentu mendapat susah dari putera kepala daerah she Gui itu! Lekas, tolonglah... dia yatim piatu... tolong anakku...!”

Melihat keadaan orang tua itu sudah tak ada harapan lagi, Lie Siong lalu bertanya,

“Di mana dia...? Di mana anakmu itu?”

“Di... di rumahku, di ujung barat kota Tatung, tak jauh dari sini... kau cepat tolonglah dia... hanya kaulah orang satu-satunya yang menjadi harapanku...” tiba-tiba saja orang tua itu menarik napas panjang dan ternyata napas itu adalah tarikan yang terakhir!

Lie Siong cepat bangun berdiri dan membentak kepada perwira yang terluka dan yang ditinggalkan oleh kawan-kawannya. “Kau harus rawat jenazahnya baik-baik, kalau tidak, awas! Lain kali aku datang mengambil kepalamu!”

Perwira itu mengangguk-angguk dengan muka pucat. “Baik, baik... Hohan!”

Lie Siong kemudian melompat pergi dan berlari cepat sekali menuju ke kota Tatung yang berada di sebelah selatan hutan itu.

Setibanya di kota itu, Lie Siong lalu menuju ke ujung barat dan dengan mudah saja dia mencari keterangan tentang rumah tempat tinggal seorang bangsa Haimi yang bernama Manako. Ketika ia menanyakan kepada seorang tetangga orang Haimi itu, karena rumah yang dicarinya ini ternyata dalam keadaan tertutup, tetangga itu memandangnya dengan ragu-ragu dan muka takut.

“Kongcu, kau mencari Manako, apakah kau masih keluarganya?”

“Bukan, aku hanya sahabatnya. Aku mau bertemu dengan Nona Lilani, puterinya.”

Muka orang yang nampak ketakutan itu menjadi makin pucat. Ia memberi isyarat dengan jari tangannya ditaruh ke depan mulut lalu berkata perlahan,

“Ssstt, Kongcu, janganlah kau bicara terlalu keras tentang gadis itu. Lebih baik lekas kau pergilah dari sini dan jangan katakan kepada siapa pun juga bahwa kau sudah mengenal Nona itu...! Aku kasihan kepadamu karena kau adalah orang Han, bukan bangsa Haimi.”

Lie Siong memandang tajam dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah memegang tengkuk orang itu dengan keras sehingga orang yang dipegangnya menjadi terkejut dan ketakutan. Tangan yang mencekik tengkuknya seakan-akan sepasang jepitan baja yang kuat sekali.

“Hayo, lekas katakan, apa yang telah terjadi dengan Lilani, dan di mana dia berada!”

“Am... ampun, Hohan...! Gadis itu baru tadi telah dibawa pergi oleh sepasukan prajurit, ditangkap oleh Gui-siauwya!”

“Kau maksudkan Gui-siauwya putera Kepala Daerah?”

“Benar, Hohan.”

“Di mana rumah Kepala Daerah itu?”

Orang itu cepat-cepat menunjuk ke arah timur dan berkata, “Di tengah kota ini, bangunan yang tertinggi dan terbesar.”

Lie Siong melepaskan pegangannya dan sekali dia berkelebat, maka lenyaplah tubuhnya dari depan orang yang menjadi bengong dan bergemetaran seluruh tubuhnya itu.

Sangat mudah untuk mencari gedung besar Kepala Daerah she Gui di kota itu, karena gedungnya besar dan tinggi, berada di tengah-tengah kota. Tanpa banyak peraturan lagi, Lie Siong lalu memasuki pintu gerbang dan ketika empat orang penjaga pintu menegur dan menghampirinya, dengan beberapa kali menggerakkan kaki tangannya, empat orang penjaga itu lalu terlempar ke kanan kiri. Ia terus masuk ke dalam didahului oleh seorang penjaga yang bergegas lari masuk untuk memberi laporan tentang kedatangan seorang pengamuk muda yang lihai sekali.

Dengan diiringkan oleh serombongan penjaga, Gui-taijin sendiri keluar dari ruang dalam bersama Kam Liong, panglima muda yang menjadi tamunya.

Begitu melihat pembesar ini, Lie Siong melompat dan menangkap lengannya.

“Hayo lepaskan Lilani, kalau tidak kepalamu akan kuhancurkan!” katanya dengan bengis.

Pembesar Gui yang sudah setengah tua itu memandang dengan heran dan gelisah, lalu bentaknya marah, “Siapakah kau dan apa maksudmu?!”

Juga Kam Siong lalu maju dan menjura ke arah Lie Siong.

“Taihiap, harap kau bersabar dahulu, ada urusan dapat diurus dan ada persoalan dapat dirundingkan. Sesungguhnya kami tidak mengerti akan maksud kedatanganmu ini, dan siapakah adanya Lilani?”

Lie Siong mengerling tajam dan dengan heran ia melihat bahwa wajah panglima muda itu tidak membayangkan kebohongan. Akan tetapi ia lalu berkata dengan penuh sindiran.

“Bagus! Kalian telah membunuh orang Haimi itu dan merampas puterinya, dan sekarang masih berpura-pura tidak tahu?”

“Siapa yang membunuh orang dan siapa yang merampas puterinya?” Gui Taijin berseru marah. “Jangan menuduh sembarangan saja!”

Kam Liong yang berdiri di samping dengan muka merah kemudian berkata kepadanya, “Sesungguhnya memang ada pembunuhan atas diri orang Haimi itu. Akan tetapi menurut keterangan puteramu, orang Halmi itu adalah seorang pemberontak, oleh karena itulah maka ketika aku dimintai bantuan, aku segera membantu puteramu. Akan tetapi tentang perampasan gadis itu, aku sama sekali tidak tahu!”

Sesungguhnya, Gui Taijin ini tak tahu sama sekali tentang urusan puteranya, dan segala peristiwa yang terjadi tadi adalah di luar kehendak dan pengetahuannya. Puteranya telah bertindak seorang diri untuk melampiaskan nafsu jahatnya dan menggunakan kedudukan dirinya sebagai putera Kepala Daerah.

“Apakah artinya semua ini?” Gui Taijin membentak marah kepada para penjaga yang kini berdiri dengan ketakutan. “Di mana adanya Gui Kongcu? Benarkah dia sudah merampas anak gadis orang?”

Salah seorang penjaga dengan ketakutan lantas memberi hormat dan melapor, “Kongcu telah membawa gadis itu ke rumah peristirahatan Taijin di dekat sungai.”

“Keparat...!” seru Gui Taijin, akan tetapi pada saat itu, Lie Siong sudah melompat maju dan dengan mudah dia sudah menangkap penjaga yang bicara tadi, mengempitnya dan membawanya lompat keluar dari situ.

“Kau harus tunjukkan kepadaku di mana adanya tempat itu!” katanya.

Biar pun dia sedang marah kepada puteranya, kini melihat betapa pemuda yang lihai itu hendak mengejar ke sana, Gui Taijin merasa berkhawatir juga. Dia segera mengerahkan prajurit-prajuritnya dan dengan cepat melakukan pengejaran pula, didampingi oleh Kam Liong yang diam-diam merasa benci kepada putera Kepala Daerah itu.

Prajurit yang dikempit dan dibawa berlari oleh Lie Siong itu merasa seakan-akan dibawa terbang oleh seekor burung besar, maka dengan muka pucat dia lalu menunjukkan jalan yang menuju ke sebuah dusun di pinggir Sungai Yung-ting. Di tempat ini, Kepala Daerah Gui memang mempunyai sebuah gedung indah di mana dia dan keluarganya menghibur diri di musim panas.

Setelah tiba di tempat yang dicari, Lie Siong lalu melempar tubuh penjaga itu ke samping jalan di mana penjaga itu rebah dengan tubuh menggigil tanpa berani bangun. Kemudian pemuda perkasa itu lalu cepat melompat ke atas tembok tinggi yang mengelilingi gedung itu.

Beberapa orang penjaga melihatnya dan berteriak-teriak sambil mengejar. Akan tetapi Lie Siong tidak mempedulikan mereka dan terus saja melompat masuk dan menyerbu ke dalam. Ia bertemu dengan beberapa orang penjaga yang berlari keluar mendengar akibat teriakan kawan-kawannya, akan tetapi bagaikan orang membabat rumput saja, Lie Siong merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan kakinya.

Ketika dia telah merobohkan para penjaga, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan wanita, maka cepat ia mengejar ke dalam dari mana jeritan itu terdengar. Ternyata bahwa jeritan itu terdengar dari ruangan belakang, di mana bangunan didirikan di atas air. Memang gedung yang indah ini bagian belakangnya berada di atas air Sungai Yung-ting, sehingga kalau orang duduk di belakang, ia akan menikmati pemandangan yang indah sekali.

Lie Siong terus berlari ke arah belakang. Dua orang penjaga yang menghadang di jalan kembali dirobohkannya dengan sekali pukul. Sekali lagi ia mendengar jeritan wanita dan kali ini terdengar keras sekali dari balik sebuah pintu.

Dengan marah Lie Siong lalu menendang daun pintu itu dan alangkah marahnya ketika ia melihat seorang pemuda, yaitu pemuda yang tadi bertempur dengan orang Haimi itu, sedang menarik-narik tangan seorang gadis muda yang meronta-ronta, menjerit-jerit, dan memaki-maki!

Muka laki-laki jahanam yang tadinya menyeringai seakan-akan merasa gembira melihat perlawanan gadis itu, tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat ketika dia mendengar pintu kamar itu mengeluarkan bunyi keras dan melihat daun pintu itu roboh. Lebih kagetlah dia ketika melihat munculnya Lie Siong, pemuda gagah perkasa yang telah menghajar para perwira pembantunya siang tadi dengan hebatnya.

Betapa pun juga, melihat Lie Siong melangkah menghampirinya dengan mata bersinar marah, Gui Kongcu masih ingat akan pedangnya yang diletakkan di atas pembaringan. Ia menyambar pedangnya dan menyambut kedatangan Lie Siong dengan sebuah bacokan hebat. Akan tetapi tanpa berkejap sedikit pun, Lie Siong lalu mengangkat tangannya dan dengan gerak tipu Tangan Kapak Membacok Cabang ia kemudian menangkis sambaran pedang itu dengan babatan tangannya dari samping ke arah pinggir pedang.

“Krakk!”

Pedang itu menjadi patah ketika terkena sambaran tangan Lie Siong yang dimiringkan. Pukulan ini hebat sekali dan tidak sembarangan ahli silat berani mempergunakan untuk menangkis pedang. Biar bagaimana pun juga tangan terbuat dari pada kulit dan daging pembungkus tulang, tentu saja tak mungkin dipergunakan untuk diadu dengan tajamnya pedang.

Akan tetapi gerakan Tangan Kapak Membacok Cabang ini mengandalkan kecepatan dan ketangkasan, disertai tenaga lweekang yang sangat kuat. Penggunaannya bukan untuk menyambut datangnya pedang yang tajam, akan tetapi digerakkan dari pinggir dengan memukul pedang itu dari samping pada mukanya dengan mempergunakan tangan yang dimiringkan. Tentu saja kalau gerakan ini kurang cepat atau kurang tepat, maka banyak bahayanya tangan akan bertemu dengan mata pedang dan akan terluka!

“Bangsat hina dina!” Lie Siong membentak marah dan sekali ia majukan tangan kiri, ia telah mencekik batang leher pemuda cabul itu. “Pergilah!” serunya.

Dan tubuh Gui Kongcu yang dilempar itu melayang laju keluar dari jendela kamar dan langsung meluncur ke dalam sungai yang sangat dalam itu, kemudian terdengar suara…

“Byurrr…!” tanda bahwa air telah menyambutnya dan setelah itu sunyi.

Gadis itu memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar.

“Siapakah kau...?” Dengan jujur gadis ini tidak menyembunyikan kekaguman yang keluar dari suara dan pandangan matanya.

Lie Song balas memandang. Ia melihat seorang gadis yang berusia paling banyak enam belas tahun, berwajah cantik jelita, kecantikan yang sangat aneh dan berbeda dengan kecantikan wanita biasa. Mungkin karena matanya yang lebar sekali itu atau rambut dan manik matanya yang hitam, atau mungkin suaranya yang bernada lain dari pada suara gadis biasa.

“Apakah kau yang bernama Lilani?” tanya Lie Siong yang lebih heran dari pada tertarik melihat kecantikan ini.

Gadis ini mengangguk. “Dan kau siapakah?”

“Aku datang menolongmu untuk memenuhi pesanan ayahmu.”

Tiba-tiba saja gadis itu memegang lengan Siong kemudian bertanya dengan muka pucat, “Bagaimana dengan Ayah? Di mana dia...?”

Benar-benar gadis yang amat aneh, pikir Lie Siong dengan hati tidak enak sebab merasa betapa telapak tangan gadis itu dengan halus sudah memegang lengannya. Di mana ada seorang gadis yang belum dikenalnya memegang lengan seorang pemuda begitu saja?

Ia menarik lengannya dan menggeleng kepala, lalu berkata singkat, “Kita pergi dulu dari tempat ini!”

Karena maklum bahwa gadis ini tidak memiliki kepandaian tinggi, dia segera memegang tangan Lilani dan menariknya keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamar ternyata bahwa gedung itu telah penuh dengan perwira yang menghadang jalan keluarnya.

Para perwira dan penjaga dengan senjata tajam di tangan telah menyerbu masuk untuk menolong putera Kepala Daerah. Ketika melihat pemuda baju putih itu bejalan sambil menggandeng tangan Lilani, mereka berseru keras dan menyerang.

Bagi Lie Siong, tidak sukarlah menghadapi mereka itu dan mencari jalan keluar melalui jalan darah, akan tetapi ia lalu teringat akan gadis itu. Kedatangannya bukanlah dengan maksud untuk mengamuk dan mencari permusuhan dengan para perwira itu, akan tetapi khusus untuk menolong Lilani. Melihat para perwira itu menyerbu, Lie Siong kemudian membalikkan tubuh dan menarik tangan Lilani memasuki kamar itu kembali.

“Celaka, mereka mengejar kita!” kata Lilani akan tetapi gadis ini tidak nampak takut. “Kau pergilah, jangan sampai kau menjadi korban karena menolongku. Aku sanggup melawan mereka dan sebelum aku mati, pasti aku akan dapat membunuh seorang dua orang!”

“Bodoh!” kata Lie Siong.

Dia cepat bertindak ke arah jendela, lalu menjenguk keluar. Kamar ini berada di bagian terbelakang, maka di luar jendela itu kosong dan di bawah jendela adalah air Sungai Yung-ting yang nampak kebiruan. Tidak mungkin membawa gadis itu melompat keluar, karena tubuh mereka tentu akan terjatuh ke dalam air dan dia tidak pandai berenang.

Sementara itu, suara kaki para pengejar telah semakin dekat sehingga Lie Siong merasa bingung juga. Kemudian ia mendapat akal. Pedang Sin-liong-kiam dicabut dan tubuhnya tiba-tiba telah melayang naik sambil memutar pedang itu pada langit-langit di atas kamar.

Terdengar suara keras dan langit-langit itu berlubang besar, sedangkan potongan kayu jatuh berhamburan di dalam kamar itu. Lie Siong melompat turun kembali dan cepat dia menyambar tubuh gadis itu tanpa banyak cakap lagi.

Ketika itu, para pengejar sudah tiba di depan kamar. Lie Siong menggunakan tangan kiri mengempit pinggang Lilani yang ramping, lalu menyambar daun pintu yang sudah roboh ketika ditendangnya tadi. Daun pintu yang berat itu dia lemparkan ke arah para penyerbu sehingga tiga orang terdepan menjadi terjengkang tertimpa oleh daun pintu itu.

Kawan-kawannya di belakang mereka tertimpa pula, sehingga mereka menjadi tumpang tindih dan untuk sesaat lamanya tak dapat melanjutkan pengejaran. Lie Siong pun cepat melompat naik sambil mengempit Lilani.

Ketika para pengejar sampai di dalam kamar, ternyata bahwa dua orang muda itu sudah lenyap! Tidak lama kemudian Kam Liong dan Gui Taijin datang pula, akan tetapi mereka tak dapat menemukan Lie Siong mau pun Lilani. Sedangkan Gui Kongcu pun tak nampak bayangannya!

Sesungguhnya, dengan kepandaiannya yang sangat tinggi, Kam Liong tentu saja dapat mengejar Lie Siong yang melarikan diri dari atas genteng. Akan tetapi panglima muda ini tidak mau melakukannya.

Pertama ia memang segan bermusuhan dengan Lie Siong yang gagah perkasa dan lihai itu. Kedua kalinya dia tidak suka akan kebiasaan Gui Kongcu dan tidak mau membantu perbuatan jahat.

Dia tahu bahwa pendekar muda baju putih itu tentu mengambil jalan genteng, maka dia hanya memberitahukan ini kepada para perwira yang segera melompat dan mengejar ke atas genteng. Namun gerakan mereka tidak secepat Lie Siong.

Pada saat melihat para pengejarnya kacau-balau akibat serangannya dengan daun pintu tadi, Lie Siong lalu melompat ke atas langit-langit yang telah berlubang. Dengan mudah dia menghancurkan genteng dari bawah, lalu keluar dari lubang di genteng itu. Setelah berada di atas genteng, cepat dia melarikan diri, berlompatan bagaikan seekor garuda putih terbang sehingga Lilani terpaksa meramkan mata saking ngerinya melihat tubuhnya melayang-layang di atas genteng yang begitu tinggi.

Lie Siong membawa Lilani ke tepi sungai dan melihat perahu-perahu kecil para nelayan ditambatkan di pinggir sungai, dia cepat melompat ke sebuah perahu kecil yang terbaik, memutuskan talinya dan segera mendayung perahu itu ke tengah sungai.

“Hai...!” Pemilik perahu itu berteriak. “Hendak kau bawa kemana perahuku itu?”

Sementara itu, Lilani yang sudah berada di dalam perahu itu berkata, “Tidak baik mencuri perahu orang, siapa tahu kalau-kalau nelayan miskin itu akan kehilangan sumber nafkah bagi keluarganya kalau perahu ini kita bawa pergi.”

Lie Siong memandang kepada gadis itu dengan heran dan juga kagum. Ia tak menjawab, akan tetapi merogoh buntalannya dan mengeluarkan sepotong emas murni. Pada waktu berangkat dia mendapat bekal tiga puluh potong lebih emas murni seperti ini dari ibunya.

“Ini cukup?” tanyanya sambil memperlihatkan emas itu kepada Lilani.

Gadis ini memandang dengan mata terbelalak. Dia tahu akan nilai emas dan sepotong emas di tangan Lie Siong ini kalau dijual dapat digunakan untuk membeli sedikitnya tiga atau empat buah perahu kecil seperti ini.

“Terlalu banyak,” jawabnya, “sepertiga juga sudah cukup.”

Akan tetapi setelah mendengar jawaban ini, tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengayun tangannya dan melemparkan potongan emas itu ke arah orang yang berteriak-teriak tadi.

“Perahumu kubeli, inilah uangnya!” seru Lie Siong.

Ketika orang itu memungut potongan emas yang jatuh tepat di depannya, tentu saja dia menjadi girang sekali. Karena itu berlari-larilah dia pulang sambil berjingkrak-jingkrak dan menari-nari karena merasa mendapat keuntungan yang besar sekali.

Lie Siong membiarkan perahunya dihanyutkan oleh aliran air yang deras dan dia hanya mempergunakan dayung untuk mengemudikan jalannya perahu. Sejak mereka duduk di dalam perahu, yaitu pada siang hari tadi, sampai sekarang sudah hampir senja, mereka tak pernah bicara sepatah kata pun!

Lilani hanya duduk sambil menundukkan kepala, kadang-kadang memandang ke pinggir sungai dan hanya sewaktu-waktu saja mengerling kepadanya. Gadis itu nampak susah, bingung dan juga malu-malu.

Akhirnya dia tidak dapat menahan lagi. Berada dekat seseorang yang sama sekali tidak pernah bicara, tidak menengok kepadanya, dan tidak mempedulikannya, jauh lebih sunyi rasanya dari pada kalau dia berada seorang diri tanpa kawan!

“Kita mau ke mana?” tanyanya sambil mengerling tajam ke arah pemuda yang angkuh dan tinggi hati itu.

“Ke mana saja air ini membawa perahu yang kita tumpangi,” Lie Siong menjawab tanpa memandang.

“Ke mana akan dibawanya?”

“Entahlah!”

Lilani menarik napas panjang. Aneh dan sukar benar pemuda ini. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi seorang pemuda seperti ini. Hampir setiap laki-laki yang pernah ditemuinya, baik pemuda mau pun sudah tua, selalu akan memandangnya dengan mata bergairah, tersenyum-senyum dan segera mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda atau memuji.

Akan tetapi pemuda ini... menengok pun tidak, bahkan diam saja bagai patung! Sungguh hampir tak dapat dipercaya bahwa wajah pemuda yang seelok dan setampan itu ternyata didamping oleh watak yang demikian angkuh dan aneh.

“Kau telah menolongku dari bahaya maut...”

“Hal sekecil itu tak perlu dibicarakan,” Lie Siong memotong.

Lilani berpaling dan menggigit bibir. Alangkah sukarnya menghadapi orang ini, pikirnya.

“Bolehkah aku mengetahui namamu?”

“Aku she Lie dan namaku Siong.”

Lilani menarik napas lega. Sedikitnya pemuda ini tidak merahasiakan namanya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran karena dalam menjawab pertanyaannya, pemuda itu sama sekali belum mau menengoknya, bahkan duduknya pun membelakanginya!

“Di manakah ayahku? Di mana dia?” tanya Lilani.

Tiba-tiba pemuda itu menarik napas panjang, lalu mendayung perahunya ke pinggir. Dia menghentikan perahunya di tempat yang dangkal, lalu memutar tubuhnya, menghadapi gadis itu.

Ternyata bahwa Lie Siong bukan karena keangkuhannya semata maka dia tidak mau menengok gadis itu, akan tetapi sebagian besar karena rasa terharu mengingat akan nasib gadis ini. Sebelum tewas orang tua berbangsa Haimi itu mengatakan bahwa Lilani sudah menjadi yatim piatu, maka itu berarti bahwa ibu gadis ini telah meninggal dunia pula.

Melihat sikap pemuda itu, wajah Lilani menjadi pucat kemudian mengulang pertanyaan lagi. “Katakanlah, di mana dia?”

“Ayahmu telah tewas.”

Gadis itu tidak kelihatan terkejut, juga tidak menangis menjerit-jerit. Ia hanya meramkan kedua matanya dengan kening berkerut. Akan tetapi, keadaannya ini lebih mengharukan hati Lie Siong yang mungkin tak akan demikian terharu kalau melihat gadis itu menangis tersedu-sedu.

Lama mereka duduk berhadapan dalam keadaan demikian. Lilani duduk seperti patung, adapun Lie Siong duduk memandangnya dengan penuh keharuan hati, akan tetapi tidak diperlihatkannya.

“Sudah kuduga...” Akhirnya Lilani dapat juga mengeluarkan kata-kata seperti berbisik.

Ketika ia membuka kembali matanya, selaput matanya menjadi merah, tanda bahwa dia telah mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan membanjirnya air mata. Betapa pun juga masih terlihat beberapa titik air mata yang mengalir perlahan menuruni pipinya yang pucat.

“Tentu oleh anak buah keparat she Gui itu, bukan?”

Kata-kata ini merupakan pertanyaan dan tuntutan kepada Lie Siong untuk menceritakan semua peristiwa yang terjadi, maka ia pun lalu menceritakannya tentang pertempurannya membantu Manako dan betapa orang tua itu terbunuh oleh keroyokan para perwira.

Mendengar penuturan ini, gadis itu memandang ke arah awan yang bergerak perlahan di angkasa, mengepal kedua tangannya yang kecil, menggigit bibirnya dan membiarkan air matanya mengalir turun bagaikan sumber air kecil, lalu, berkata,

“Bangsaku dimusnahkan! Ibuku terbunuh, sekarang ayahku terbunuh pula! Terkutuklah manusia-manusia berjiwa iblis itu...!”

Mendengar ucapan ini, Lie Siong merasa tertarik dan lalu ia minta gadis itu menuturkan riwayatnya. Dia mulai merasa kagum melihat ketabahan hati gadis cantik ini, yang dapat menahan perasaannya sehingga tak menangis menjerit-jerit seperti gadis-gadis lain yang tertimpa bencana sehebat itu.

“Benar-benarkah kau ingin mengetahui riwayat seorang yang rendah dan bodoh seperti aku, Taihiap?” tanya Lilani sambil memandang melalui air matanya ketika ia mendengar permintaan Lie Siong.

“Tentu saja. Setelah ayahmu minta kepadaku untuk menolongmu, sudah sepatutnya aku mengetahui keadaanmu supaya nanti aku dapat menetapkan apa yang selanjutnya harus kulakukan dengan kau.”

Lilani menghela napas, menghapus air matanya dengan ujung baju, kemudian dia mulai menuturkan riwayatnya dengan singkat.

Lilani adalah puteri tunggal dari Manako, kepala suku bangsa Haimi yang terdiri tiga ratus orang suku bangsa Haimi yang hidup berkelompok dan selalu berpindah-pindah. Manako adalah suami dari Meilani dan suami-isteri ini hidup dengan rukun dan saling mencintai, memimpin bangsanya dengan penuh keadilan dan ketenteraman.

Manako dan Meilani pernah tertolong oleh Pendekar Bodoh. Bahkan sebelum menikah dengan Manako, antara Meilani dan Kwee An pernah terjadi hal yang amat lucu sehingga Kwee An hampir dipaksa menikah dengan Meilani yang cantik jelita akan tetapi bergigi hitam itu!

Sesudah mereka berkenalan dengan pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa ini, maka banyak kemajuan yang diperoleh Meilani dan Manako, sehingga pada saat mereka memperoleh seorang puteri, yaitu Lilani, gigi anak ini tidak dihitamkan seperti yang telah menjadi kebiasaan suku bangsa Haimi. Manako dan Meilani melatih ilmu silat kepada puteri mereka itu dan mereka semua hidup penuh kebahagiaan.

Akan tetapi, pada waktu Lilani berusia empat belas tahun, mala petaka besar menimpa keluarga suku bangsa Haimi itu. Kelompok mereka terdesak oleh bangsa Mongol yang hendak menawan mereka untuk dijadikan pekerja paksa sehingga setelah mengadakan perlawanan sengit dan kehilangan beberapa puluh jiwa, mereka pun terpaksa melarikan diri ke selatan, keluar dari tapal batas Mongolia,.

Pada waktu itu, golongan yang lemah dan kecil tentu selalu tertindas dan terinjak oleh yang besar. Sesudah mereka melalui tapal batas, mereka tidak menemui kebahagiaan, bahkan sepasukan tentara kerajaan yang menjaga tapal batas itu, kemudian menyerbu mereka, membunuh yang laki-laki sambil menculik yang wanita!

Pertempuran hebat terjadi. Manako dan Meilani melakukan perlawanan sekuat tenaga, bahkan Meilani yang pernah menerima petunjuk-petunjuk ilmu silat dari Ma Hoa isteri Kwee An dan dari Lin Lin isteri Pendekar Bodoh, lalu mengamuk bagaikan seekor naga betina. Juga Lilani yang baru berusia empat belas tahun itu ikut pula memainkan pedang, membantu ibu dan ayahnya.

Akan tetapi kekuatan musuh terlampau besar dan akhirnya terpaksa Manako membawa Lilani melarikan diri dengan hati hancur setelah melihat Meilani roboh tak bernyawa lagi di bawah tusukan banyak pedang musuh! Kelompok suku bangsa Haimi hancur dan lari cerai berai. Banyak yang tewas atau tertawan, dan ada pula yang mampu melarikan diri secara berpencaran.

Manako berhasil melarikan diri bersama puterinya, kemudian selama dua tahun lebih dia merantau bersama Lilani, pindah dari satu kota ke lain kota. Akhirnya sampailah dia di kota Tatung dan tinggal di situ bersama puterinya.

Dia tidak khawatir akan biaya hidupnya sehari-hari, karena ketika melarikan diri, ia masih menyimpan berbagai barang dari emas, bahkan ia pun mempunyai sebatang golok yang seluruhnya terbuat dari pada emas. Juga keamanannya terjamin, karena pada masa itu, hanya suku-suku bangsa kecil yang berkelompok saja yang mendapatkan gangguan dan dicurigai. Akan tetapi kalau hanya satu dua orang saja takkan mendapat gangguan dari siapa pun juga, asalkan taat akan peraturan-peraturan kota setempat.

Manako dan Lilani hidup berdua dengan hati menderita kesedihan, dan selalu mereka teringat akan keadaan suku bangsanya yang sudah musnah, dan terutama sekali teringat akan Meilani yang gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan?

Lilani menjadi dewasa dan semakin cantik jelita seperti mendiang ibunya. Sudah biasa dikatakan orang bahwa kecantikan dan kepandaian merupakan karunia dan berkah dari Thian Yang Maha Kuasa. Akan tetapi bagi Manako dan Lilani, ternyata bahwa kecantikan Lilani bukan merupakan berkah bahkan merupakan sebab bencana besar!

Ketika menyaksikan keindahan bentuk tubuh dan kemanisan wajah Lilani gadis Haimi itu, putera kepala daerah she Gui menjadi tergerak hatinya. Dia lalu mengajukan pinangan kepada Manako untuk minta gadis itu sebagai selirnya.

Manako adalah bekas kepala suku bangsa, dan betapa pun juga, dia boleh disebut raja kecil. Tentu saja dia mempunyai keangkuhan dan mendengar pinangan ini, dia merasa terhina sekali. Mana ia sudi memberikan puterinya yang tunggal untuk dijadikan selir oleh putera seorang Kepala Daerah?

Demikianlah, ia lalu menolak pinangan itu yang berakhir mala petaka besar baginya. Gui Kongcu merasa sakit hati dan sebagaimana telah dituturkan di atas, akhirnya pemuda bangsawan jahanam ini lalu melakukan kekerasan, membunuh Manako serta menculik Lilani!

Sesudah menuturkan riwayatnya, sambil menghela napas Lilani lalu berkata, “Dulu ibuku pernah menceritakan kepadaku bahwa di antara orang-orang bangsa Han terdapat pula pendekar-pendekar seperti Kwee An Enghiong dan Pendekar Bodoh, akan tetapi setelah menderita akibat kejahatan bangsamu yang menjadi perwira-perwira kaisar kukira bahwa sekarang tidak ada lagi pendekar-pendekar seperti itu! Ternyata sekarang, aku bertemu dengan engkau yang berbudi dan gagah perkasa. Ahhh, Lie Taihiap, dengan jalan bagai manakah aku dapat membalas budimu yang besar ini?”

Lie Siong merasa kasihan sekali mendengar riwayat gadis ini.

“Apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?”

Gadis itu menggeleng kepalanya dengan sedih.

“Tidak mempunyai sahabat-sahabat yang boleh kau tumpangi?”

Kembali Lilani menggelengkan kepalanya yang cantik sambil termenung. Lie Siong tidak dapat berkata-kata lagi, hanya duduk diam dengan hati bingung. Apakah yang harus dia lakukan? Bagaimana ia dapat menolong gadis ini selanjutnya? Ia sendiri adalah seorang perantau, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.

“Dan... ke manakah tujuanmu? Kau hendak pergi ke manakah?” Lie Siong lalu bertanya perlahan.

Lilani yang sejak tadi dapat menahan kesedihan hatinya, ketika mendengar pertanyaan ini, hanya dapat memandang dengan sinar mata amat mengharukan, lalu dia menangis tersedu-sedu! Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan air mata mengalir keluar dari celah-celah jari tangannya sedangkan tubuhnya terisak-isak.

Lie Siong menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Selama hidupnya, baru kali ini ia merasa bingung dan menghadapi perkara yang luar biasa sukarnya.

“Lilani, ayahmu berpesan kepadaku untuk menolongmu dari tangan jahanam she Gui itu. Aku sudah melakukannya dan setelah kau kini bebas dan selamat, aku tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Ketahuilah, bahwa aku sendiri tidak mempunyai tempat tinggal, merantau seorang diri, juga tidak mempunyai tujuan tertentu...”

Tiba-tiba Lilani menghentikan tangisnya, kemudian ia mengangkat mukanya memandang pemuda itu. Sebelum bicara, beberapa kali dia menelan ludah karena tenggorokannya terasa seakan-akan terganjal sesuatu.

“Lie Taihiap, aku maklum akan maksudmu. Tak perlu kau menyusahkan keadaanku dan janganlah aku menjadi penghalang dari kebebasanmu. Aku tahu bahwa dengan adanya aku, kau tidak merasa senang, tidak dapat bergerak bebas. Pertama karena aku seorang gadis, kedua karena aku lemah. Janganlah kau menjadi bingung, Taihiap, juga jangan kau memikirkan aku lagi. Pergilah kau melanjutkan perjalananmu, biar aku seorang diri di perahu ini sampai... sampai... entah ke mana saja perahu dan air sungai ini membawa diriku!”

Lie Siong lalu berdiri dan merogoh buntalannya, lalu mengeluarkan sepuluh potong emas murni. Ia memberikan benda berharga ini kepada Lilani dan berkata, “Kau cukup maklum akan keadaanku dan ini sedikit bekal untuk biaya perjalananmu.”

Dengan air mata masih menitik turun, Lilani memandang tangan yang mengangsurkan potongan-potongan emas itu. Ia menggelengkan kepala dan berkata tegas. “Taihiap, kau telah menolongku dan untuk itu saja aku telah merasa amat berat serta tidak tahu harus membalas budimu dengan cara bagaimana. Oleh karena itulah maka aku tidak berani memberatkan kau lagi, apa lagi menerima pemberianmu ini. Ahh, tidak, aku tidak dapat menerima emas ini. Hidupku takkan lama lagi... untuk apakah benda itu...?”

Tertegun hati Lie Siong mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pun tak mau banyak cakap, memasukkan emas itu ke dalam buntalan kembali lalu ia melompat ke darat.

“Kalau begitu, selamat berpisah!” katanya lalu melompat pergi.

Lilani duduk di perahu dan memandang bayangan pemuda itu dengan lemas. Ia merasa seolah-olah semangatnya telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya. Merasa betapa seluruh perasaannya telah terbawa pergi oleh pemuda yang gagah perkasa, tampan dan juga aneh serta amat pendiam itu.

Ia maklum bahwa hatinya telah terampas oleh kegagahan Lie Siong dan jantungnya telah tertembus oleh sinar mata pemuda itu. Ia juga maklum bahwa tanpa adanya pemuda itu didekatnya, hidupnya tidak ada artinya lagi. Bangsanya sudah musnah, ayah bundanya juga telah tewas.

Tadinya ia mempunyai cita-cita untuk membangun suku bangsanya, untuk menggantikan kedudukan ayahnya kemudian bersama bangsanya, berjuang memperbaiki nasib. Akan tetapi kini semua itu lenyap, lenyap bersama bayangan Lie Siong. Dengan Lie Siong di sampingnya, ia merasa pasti dan yakin bahwa cita-citanya itu akan terlaksana.

Tanpa tertahan lagi dia lalu menjatuhkan mukanya di atas kedua telapak tangannya dan menangis dengan hati terasa disayat-sayat. Dalam kesedihannya yang sangat hebat ini, terbayanglah wajah ibunya yang cantik jelita dan teringatlah dia betapa ibunya pernah menuturkan kepadanya mengenai perhubungan ibunya dengan seorang pendekar besar bernama Kwee An yang sekarang bertempat tinggal di Tiang-an. Ibunya, Meilani, pernah menuturkan kepadanya betapa ibunya itu pun pernah jatuh hati kepada pendekar itu.

Ahh, mengapa dia harus putus asa? Sahabat-sahabat baik ibunya masih banyak. Kalau saja dia dapat mencari Kwee An dan Ma Hoa, atau Pendekar Bodoh dan Lin Lin, tentu mereka akan mau menolong, menolong puteri tunggal Meilani!

Akan tetapi teringat akan kejahatan putera kepala daerah she Gui itu, hatinya menjadi gentar lagi. Banyak sekali manusia-manusia jahat semacam pemuda she Gui itu di dunia ini! Ah, alangkah jauh bedanya dengan Lie Siong pemuda yang sopan santun dan gagah perkasa itu. Pemuda yang sedikit pun tak mau mengganggunya, jangankan mengganggu dirinya, bahkan menengok pun tidak. Agaknya dia bukan seorang gadis cantik! Mungkin di dalam pandangan Lie Siong, dia hanyalah seorang perempuan yang buruk rupa dan menjemukan!

Mengingat akan hal ini, kembali hatinya terasa bagai disayat-sayat sehingga air matanya mengucur makin deras. Tiba-tiba saja ia mendengar suara yang halus datang di sebelah belakangnya.

“Lilani, sudahlah, jangan kau terlalu berduka.”

Seketika itu juga air matanya yang mengucur berhenti mengalir seakan-akan sumbernya tertutup rapat, kedua matanya dibuka lebar-lebar dan dia cepat memutar lehernya untuk menengok. Ternyata bahwa Lie Siong telah berdiri di darat sambil bertolak pinggang!

“Lie Taihiap…!” Dalam seruan ini terkandung kegirangan yang luar biasa sekali.

“Aku merasa tidak enak hati meninggalkan kau dalam keadaan begini.” kata pemuda itu sambil mengerutkan kening seakan-akan tak puas akan kelemahannya sendiri. “Apa bila sampai terjadi sesuatu dengan kau, maka akan sia-sialah usahaku membebaskan kau dari cengkeraman orang jahat, dan berarti aku telah melanggar janji kepada ayahmu.”

“Taihiap... Thian Yang Agung telah mengirimmu kembali padaku...” Lilani berkata dengan bisikan terharu.

“Akan tetapi aku masih tidak tahu harus membawa kau ke mana, Lilani. Sekarang kau carilah tujuan tertentu supaya aku dapat mengantarkan kau ke tempat yang aman, baru kemudian aku akan melanjutkan perantauanku.”

“Taihiap, aku sudah mendapat pikiran pada saat kau pergi tadi. Aku teringat akan Kwee Lo-enghiong dan Pendekar Bodoh. Kalau saja kau sudi mengantarkan aku sampai ke tempat tinggal mereka, aku akan mendapat perlindungan yang sentosa. Budimu tak akan kulupakan selama hidupku, Taihiap.”

“Sudahlah, jangan bicarakan tentang budi,” kata Lie Siong yang segera masuk ke dalam perahu itu. “Aku pernah mendengar bahwa Kwee Lo-enghiong tinggal di kota Tiang-an. Baiknya kita mengambil jalan sungai ini sampai ke kota raja, kemudian kita menuju ke Tiang-an dengan jalan darat.”

Saking girang hatinya, Lilani tak menjawab, hanya mengangguk-angguk sambil menatap pemuda itu dengan mata berseri. Lenyaplah segala kesedihannya, segala keraguannya. Dengan pemuda ini di sampingnya, dunia seakan-akan menjadi lebih lebar dan terang, air Sungai Yang-ting pun seolah-olah merupakan sutera kehijauan yang dibentangkan di depannya, bunyi riak air berdendang merdu dan ia mendengar hatinya bernyanyi-nyanyi gembira!

Lie Siong tidak banyak bicara, hanya mendayung perahu itu dengan cepat ke tengah dan lajulah perahu itu terbawa aliran air sungai, ditambah dengan tenaga dayung dari tangan Lie Siong yang kuat…..

********************

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar