-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 16-20
Memang sudah terlalu lama kita
meninggalkan Goat Lan dan sepatutnya kita menengok keadaannya semenjak ia
diambil murid Yok-ong Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Sebagaimana telah dituturkan
di bagian depan, Goat Lan dibawa oleh kedua suhu-nya ke Bukit Liong-ki-san,
yaitu sebuah bukit yang puncaknya tampak di sebelah selatan kota Tiang-an.
Dengan amat tekun dan rajinnya Goat Lan melatih diri di bawah bimbingan Sin
Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Selama delapan tahun ia
berlatih silat, juga ia mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-ong Sin Kong
Tianglo. Kedua orang kakek ini merasa sangat gembira melihat ketekunan dan
kemajuan murid tunggal mereka dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang paling
tinggi.
Goat Lan tidak merasa kesepian
oleh karena hampir sebulan sekali, ayah ibunya tentu datang menengoknya, bahkan
dia menerima pula latihan ilmu silat dari ayah bundanya. Sebaliknya kedua orang
suhu-nya pada waktu menganggur selalu bermain catur dan dua orang kakek itu
biar pun sudah sering kali mendapat petunjuk dari Goat Lan, tetap saja masih
amat bodoh dalam hal permainan catur! Agaknya memang betul kata orang-orang
dulu bahwa otak orang tua sudah menjadi keras dan tumpul!
Tidak saja Kwee An dan Ma Hoa
sering kali berkunjung ke puncak Liong-ki-san, bahkan beberapa kali Pendekar
Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, yaitu Lin Lin, membawa Lili naik ke gunung itu
untuk mengunjungi. Oleh karena itulah, hubungan antara Lili dan Goat Lan
menjadi erat.
Delapan tahun kemudian, Sin
Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu yang sudah merasa bahwa kepandaian yang mereka
ajarkan kepada Goat Lan sudah cukup, kedua orang kakek yang kini telah berusia
amat tua itu lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing, yaitu di daerah
utara.
Goat Lan kembali ke Tiang-an,
melanjutkan pelajaran ilmu silatnya dari ayah bundanya sehingga dia kini
menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Kalau dibuat
perbandingan, gadis muda ini mempunyai lebih banyak ilmu silat yang
tinggi-tinggi dari pada ibu atau ayahnya, maka tentu saja Kwee An dan Ma Hoa
menjadi amat bangga akan puteri tunggalnya ini.
Dua tahun lamanya Goat Lan
mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, juga Ilmu Silat Bambu Runcing dari
ibunya. Seperti ibunya, ia dapat mainkan Ilmu Silat Bambu Runcing ciptaan Hok
Peng Taisu dengan amat baik dan bahkan berkat didikan Im-yang Giok-cu ia
memiliki lweekang yang amat hebat serta ginkang yang dilatihnya dari Sin Kong
Tianglo membuat gerakannya laksana seekor burung walet.
Pada suatu hari, datanglah
Im-yang Giok-cu yang membawa berita amat menyedihkan hati Goat Lan dan orang
tuanya. Ternyata bahwa Sin Kong Tianglo yang sudah amat tua itu meninggal dunia
di daerah utara.
“Sin Kong Tianglo meninggalkan
sebuah pesanan untukmu, Goat Lan,” berkata Im-yang Giok-cu setelah kesedihan
Goat Lan agak mereda. “Pada waktu ini, putera Kaisar yang menjadi Putera
Mahkota, menderita sakit hebat sekali. Menurut Sin Kong Tianglo, obat
satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit pangeran itu hanyalah
To-hio-giok-ko (Daun Golok Buah Mutiara) yang terdapat di daerah bersalju
sebelah utara tapal batas. Dan karena mencari obat itulah maka ia menemui
kematiannya! Tubuhnya yang amat tua itu tidak kuat menahan dingin dan karena
serangan hawa dingin dan kelelahan, dia tewas di sana!”
“Mengapa dia bersusah payah
mencarikan obat untuk Putera Mahkota?” tanya Ma Hoa dengan heran. Pertanyaan
ini agaknya terkandung dalam pikiran Kwee An dan Goat Lan pula karena mereka
juga segera memandang kepada Im-yang Giok-cu untuk mendengar bagaimana jawaban
kakek itu.
Im-yang Giok-cu menurunkan
guci araknya dan sebelum menjawab dia meneguk dahulu araknya.
“Memang Raja Obat itu orangnya
aneh sekali. Seperti juga aku tua bangka tiada guna, ia tidak menaruh perhatian
tentang keadaan Kaisar dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli
pengobatan dia memiliki satu kelemahan, yaitu selalu ingin menyembuhkan
penyakit yang paling aneh. Selain dari pada itu, memang harus diakui bahwa di
antara para pangeran, maka Putera Mahkota boleh disebut seorang pemuda yang
paling baik, mempunyai sifat-sifat baik dan agaknya kalau dia menjadi Kaisar
kelak, dia akan menjadi seorang Raja yang bijaksana. Karena itulah, maka banyak
sekali ahli pengobatan yang mencoba untuk menyembuhkannya, hanya untuk mencegah
supaya jangan sampai ada pangeran lain yang menggantikannya menjadi Putera
Mahkota kalau dia meninggal.”
“Dan apakah pesan mendiang
Suhu untukku?” tanya Goat Lan kepada suhu-nya yang kedua ini.
“Dia mengharuskan engkau untuk
pergi ke utara mencari obat itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota!”
jawab Im-yang Giok-cu sambil meneguk araknya lagi.
Goat Lan menerima berita ini
dengan tenang saja, akan tetapi kedua orang tuanya saling pandang dengan muka
berubah. Mereka telah maklum akan berbahayanya perjalanan ke daerah utara yang
selain dingin juga banyak terdapat orang-orang buas dan jahat.
“Mengapa harus Goat Lan yang
pergi mencari obat itu?” tanya Kwee An.
Dan Ma Hoa menyambung dengan
suara penasaran, “Apakah tidak bisa orang lain yang mencarikannya?”
Im-yang Giok-cu tertawa
bergelak. “Tentu saja aku maklum dengan kekhawatiran kalian berdua. Siapa
orangnya yang akan membiarkan Goat Lan pergi seorang diri ke tempat jauh itu?
Akan tetapi Sin Kong Tianglo memang orang aneh!” Dia mengangguk-angguk lalu
menyambung, “Aneh dan gila!”
Bagi Goat Lan, tidak aneh
kalau Im-yang Giok-cu memaki gila kepada Sin Kong Tianglo, karena memang dua
orang suhu-nya ini sudah biasa saling memaki!
“Dan susahnya, ini adalah
pesannya, pesan orang yang hendak menghembuskan napas terakhir. Pesan seorang
yang sudah meninggal harus dilaksanakan dan dipenuhi, kalau tidak, ahh... aku
orang tua takkan dapat hidup tenang dan tenteram lagi. Arwah Sin Kong Tianglo
tentu akan menjadi setan dan mengejar-ngejarku ke mana-mana. Pesannya ialah Giok
Lan seorang, tak boleh orang lain, harus melanjutkan usahanya untuk mencari
obat To-hio-giok-ko itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota.”
“Akan tetapi,” Ma Hoa terus
membantah, “kenapa mendiang Sin Kong Locianpwe begitu mengkhawatirkan kesehatan
Putera Mahkota dan tidak mempedulikan bahaya yang bisa menimpa diri anakku?
Apakah ini adil namanya? Atau, apakah dia tidak sayang kepada muridnya?”
Im-yang Giok-cu tertawa
bergelak. “Belum kuceritakan yang lebih aneh lagi. Sebenarnya Sin Kong Tiangto
sendiri tidak berapa peduli apakah Putera Mahkota akan mati atau pun hidup,
akan tetapi sampai pada saat terakhir, orang tua yang berkepala batu itu selalu
hendak mempertahankan namanya! Ia memang angkuh dan menjaga namanya sebagai
Yok-ong (Raja Obat)! Ketahuilah, secara kebetulan Yok-ong Sin Kong Tianglo tiba
di kota raja dan dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw ahli pengobatan yang
terkenal dari seluruh daerah. Tentu saja, tukang obat bertemu ahli obat, mereka
bicara asyik tentang hal pengobatan dan akhirnya mereka itu berdebat ramai
sekali. Semua tukang obat yang berada di kota raja menyatakan bahwa di dunia
ini tak ada obat lagi untuk penyakit yang diderita oleh Putera Mahkota. Akan
tetapi Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan bahwa ada obatnya! Dia dibantah oleh
banyak orang dan akhirnya semua orang minta buktinya. Kakek gila itu menantang
dan menyatakan kesanggupannya, bahwa ia akan memperoleh obat itu dan
menyembuhkan Putera Mahkota dengan taruhan bahwa kalau ia tidak bisa, ia tidak
mau memakai gelar Yok-ong (Raja Obat) lagi! Nah, celakanya, ketika dia sedang
mencari obat itu, dia terserang hawa dingin dan meninggal dunia. Masih baik
bahwa dia bertemu denganku dan aku sudah menawarkan tenagaku untuk melanjutkan
usahanya mencari obat itu, akan tetapi ia tidak mau menerima tawaranku,
katanya, harus muridku yang akan mencari obat dan menyembuhkan penyakit Putera
Mahkota. Biarlah muridku sendiri yang menolong namaku dari hinaan orang, dan
biar muridku yang membuktikan bahwa julukan Yok-ong bukanlah sia-sia belaka!”
Kwee An, Ma Hoa, dan Goat Lan
mendengarkan penuturan ini dengan bengong. Tanpa diberitahu, mereka bertiga
maklum bahwa hal ini menyangkut nama baik dan kehormatan Sin Kong Tianglo.
“Nah, sekarang kalian tahu
mengapa dia menghendaki Goat Lan seorang yang mencari obat itu? Kakek gila itu
takut kalau-kalau para ahli obat di dunia kang-ouw akan mencela,
mentertawainya, dan menghina julukannya sebagai Yok-ong! Dan aku tahu, kalau
terjadi hal demikian, maka nyawa Yok-ong itu tentu akan berkeliaran lalu yang
dijadikan sasaran terutama sekali adalah aku, karena akulah yang berjanji
padanya untuk menyampaikan hal ini kepada Goat Lan dan membujuknya agar supaya
suka berbakti kepadanya.”
“Baik, Suhu, teecu akan pergi
melanjutkan usaha Suhu Sin Kong Tianglo!” tiba-tiba Goat Lan berkata dengan
suara tetap.
Im-yang Giok-cu tertawa
bergelak lalu menenggak araknya lagi.
“Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!”
katanya dengan mata dikedip-kedipkan girang. “Bila tidak demikian jawabanmu,
kau tentu bukan murid Yok-ong dan aku!” Im-yang Giok-cu lalu menuangkan semua
sisa araknya ke dalam perut lalu berkata lagi dengan wajah berseri,
“Goat Lan, Sin Kong Tianglo
telah berkata kepadaku bahwa bila kau mampu melanjutkan usahanya serta
mengangkat namanya sebagai Yok-ong, aku boleh memberikan barang warisannya
ini!” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan segi empat yang tipis kepada
muridnya.
Goat Lan menerimanya dan
dengan hati-hati ia membuka bungkusan kain kuning itu dan ternyata bahwa di
dalamnya terdapat sebuah kitab yang sudah usang dan kuning.
“Kitab obat dari Suhu!” Goat
Lan berseru dengan mata terbelalak.
Pernah Yok-ong Sin Kong
Tianglo menyatakan padanya bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai
dan orang-orang jahat yang amat menginginkan kitab itu, akan tetapi suhu-nya
itu selalu menjaganya dengan baik-baik.
“Kitab ini sangat berharga,”
kata suhu-nya dahulu, “maka jangan harap orang lain dapat mengambilnya dari
aku. Aku lebih menghargai kitab ini dari pada nyawaku sendiri! Dan kelak kalau
aku mati kitab ini akan kubawa serta. Karena kalau sampai terjatuh ke dalam
tangan orang jahat, maka kitab ini akan mendatangkan mala petaka hebat kepada
dunia, walau pun di dalam tangan orang baik-baik benda ini akan merupakan
penolong manusia yang amat besar jasanya.”
Dengan bengong Goat Lan
memegang kitab itu dan Im-yang Giok-cu berkata lagi, “Aku merasa berat sekali
membawa-bawa kitab ini selama melakukan perjalanan ke sini, oleh karena aku pun
maklum akan keinginan orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab ini. Di waktu
kitab ini berada di tangan Sin Kong Tianglo, tidak ada yang berani mencoba
untuk merampasnya, akan tetapi sesudah orang tua itu meninggal dunia, tentu
mereka akan berusaha mendapatkan kitab ini. Oleh karena itu hati-hatilah kau
menjaga kitab ini, muridku. Dan satu hal lagi, apa bila kau hendak mencari obat
Tohio-giok-ko, hanya satu tempat yang terdapat daun dan buah itu yaitu pada
sepanjang lembah Sungai Sungari di sebelah selatan kota Hailun. Nah, aku telah
memenuhi semua tugasku. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, Im-yang
Giok-cu lalu pergi dengan cepat tanpa dapat ditahan lagi.
Kwee An dan Ma Hoa kemudian
saling pandang dengan mata masih mengandung penuh kekhawatiran. Akhirnya Ma Hoa
memegang tangan Goat Lan dan berkata,
“Goat Lan, memang sudah seharusnya
kau menjaga nama baik suhu-mu. Akan tetapi, kami tidak tega untuk melepasmu
pergi seorang diri begitu saja. Kita akan pergi bertiga.”
“Benar kata-kata ibumu, Goat
Lan, tempat itu amat jauh. Aku sendiri bersama Pendekar Bodoh pernah melakukan
perjalanan ke sana dan memang tempat itu amat berbahaya.”
“Akan tetapi, Suhu Sin Kong
Tianglo telah memesan agar supaya aku pergi sendiri, kalau sampai terdengar
oleh orang kang-ouw bahwa sebagai murid Sin Kong Tianglo aku telah mengandalkan
kepandaian Ayah dan lbu untuk mendapatkan obat itu, bukankah nama Suhu akan
ditertawakan orang?”
“Peduli apakah kalau mereka
mentertawakan di belakang punggung kita?” kata Ma Hoa. “Coba suruh mereka
tertawa di depan mukaku, tentu tertawanya itu akan menjadi tawa terakhir dalam
hidupnya!”
“Akan tetapi aku ingin pergi
seorang diri, Ibu. Apa bila Ayah dan Ibu turut membantuku, maka aku akan merasa
seolah-olah aku telah menyalahi pesan terakhir dari pada Suhu. Hanya kitab
ini...” Ia memandang kepada kitab itu dengan penuh khidmat, “aku tak berani
membawa-bawanya pergi merantau. Lebih baik ditinggal di sini saja dalam
perlindungan Ayah dan Ibu.”
“Goat Lan, jangan kau berkata
demikian,” ayahnya menegur. “Kalau kau pergi merantau seorang diri, kau tentu
akan membikin ibumu selalu merasa gelisah dan berkhawatir. Apa kau senang
melihat ibumu selalu dirundung kegelisahan memikirkan keadaanmu?”
Goat Lan menengok pada ibunya
yang juga sedang memandangnya. Melihat sinar mata ibunya yang penuh kasih
sayang dan wajah yang cantik itu kini menjadi murung, Goat Lan lalu tersenyum
dan memeluk ibunya.
“Ahh, Ayah! Kau jangan
merendahkan Ibu! Ibu kan bukan anak kecil lagi dan Ibu sudah menaruh
kepercayaan sepenuhnya padaku. Bukankah begitu, Ibu? Semenjak kecil, Ayah dan
Ibu sudah mendidik dan memberi pelajaran ilmu silat dan kepandaian untuk
menjaga diri padaku. Bahkan delapan tahun lamanya dua orang suhu-ku telah
menggemblengku untuk meyakinkan ilmu silat tinggi, kemudian Ayah dan Ibu
memberi tambahan lagi ilmu kepandaian yang kupelajari dengan rajin. Selama
bertahun-tahun itu aku selalu tekun, rajin dan dengan susah payah belajar ilmu
silat. Apa bila sekarang melakukan perjalanan sebegitu saja aku harus mundur
dan takut, apa perlunya selama ini aku mempelajari ilmu silat? Bukankah hal itu
hanya akan merendahkan nama kedua orang suhu-ku, bahkan akan mendatangkan rasa
malu kepada Ayah dan Ibu? Aku sudah mempelajari ilmu silat, jika sekarang tidak
dipergunakan, habis apakah kepandaian itu harus kukeram di dalam kamar,
menyulam, membaca buku, mempelajari tulisan-tulisan indah dan sajak, sehingga
kepandaian silat itu akan membusuk dan kemudian terlupa olehku?”
Selama puteri mereka ini
berbicara, Kwee An dan Ma Hoa bertukar pandang dan mata mereka bersinar
gembira. Girang hati mereka mendengar semangat yang gagah ini dan lenyaplah
keraguan mereka. Tanpa mereka lihat perubahannya, ternyata Goat Lan kini telah
menjadi dewasa. Hanya orang yang sudah dewasa saja dapat memiliki pendirian
seperti itu.
Sesudah memberi
nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk yang sangat perlu diketahui seorang
perantau, akhirnya keduanya menyetujui keberangkatan Goat Lan
“Hanya satu hal yang harus kau
janjikan,” kata Ma Hoa, “yaitu kau tidak boleh pergi lebih lama dari enam
bulan.”
“Baik, Ibu, aku berjanji.
Menurut perhitungan Ayah, perjalanan ke situ pulang pergi hanya makan waktu dua
bulan, maka waktu enam bulan sudah cukup bagiku.”
“Bukan karena aku ingin
memberi batas waktu yang terlalu sempit dan mengikat, anakku, hanya kau harus
ingat bahwa usiamu telah masuk sembilan belas tahun dan perjanjian kita
terhadap keluarga Sie sudah dekat waktunya.”
Tiba-tiba saja wajah Goat Lan
menjadi merah sekali. Dia memang tahu bahwa dia telah dipertunangkan dengan Sie
Hong Beng, kakak dari Lili, putera dari Pendekar Bodoh yang tidak diketahui
bagaimana rupanya. Ia hanya satu kali bertemu dengan Sie Hong Beng, yaitu
ketika ia masih berusia lima tahun! Semenjak itu, belum pernah ia bertemu lagi
dan ia sudah lupa akan rupa pemuda yang kini menjadi caIon suaminya itu.
Memang, jika ia ingat bahwa
pemuda itu adalah kakak Lili yang cantik manis dan putera dari Pendekar Bodoh
yang amat terkenal sebagai suami isteri pendekar yang gagah dan dikasih sayangi
oleh ayah ibunya, dia boleh merasa puas akan ikatan jodoh ini. Namun betapa pun
juga, sungguh pun mulutnya tidak pernah berkata sesuatu, akan tetapi ada
perasaan kurang enak dalam lubuk hati. Ia belum melihat bagaimana keadaan
pemuda tunangannya itu, bagaimana macam orangnya dan bagaimana pula
kepandaiannya.
Goat Lan berangkat ke utara
sambil membawa pesan dan nasehat kedua orang tuanya. Ia masih ingat betapa ayah
ibunya beberapa kali berpesan kepadanya bahwa apa bila ia bertemu dengan
seorang yang bernama Bouw Hun Ti, ia diperbolehkan menyerang dan membinasakan
orang itu tanpa perlu ragu-ragu lagi.
“Dia adalah pembunuh Paman
Yousuf dan dulu telah menculik Lili, maka berarti bahwa dia adalah musuh besar
kita pula. Menurut penuturan Pendekar Bodoh, penjahat yang bernama Bouw Hun Ti
itu kepandaiannya tak perlu ditakutkan, akan tetapi kau berhati-hatilah Goat
Lan, karena dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin yang terkenal amat jahat dan
curang.”
Bagaikan seekor burung
terlepas dari kurungan, Goat Lan melakukan perjalanan dengan amat gembira. Baru
kali ini ia melakukan perantauan dan melakukan segala sesuatu atas keputusan
sendiri. Selama ini selalu ada orang-orang yang menjaganya, suhu-suhu-nya, ayah
ibunya, dan baru sekarang ia merasa betapa besar kegunaan segala pelajaran ilmu
silat yang dipelajarinya selama bertahun-tahun itu.
Dia tidak membekal senjata
lain kecuali sepasang bambu runcingnya, dan karena ayah bundanya juga maklum
akan kemampuannya menjaga diri dengan tangan kosong atau dengan bambu runcing
itu, maka mereka melepaskan dengan hati aman.
Tepat seperti yang sudah
diperhitungkan oleh Kwee An, kurang lebih sebulan kemudian sesudah melakukan
perjalanan cepat dan lancar, Goat Lan tiba di lembah sungai Sungari di
perbatasan Boancu. Dia lalu berjalan di sepanjang sungai itu dan ketika dia
sampai di sebelah selatan kota Hailun, ternyata bahwa lembah itu tertutup oleh
hutan yang sangat liar dan gelap.
Hari sudah menjadi senja
ketika dia tiba di sebuah dusun di luar hutan. Melihat ke arah hutan yang
sangat gelap sehingga membuat tempat itu nampak hampir hitam, Goat Lan terpaksa
menunda perjalanannya. Dia merasa lapar setelah melakukan perjalanan sehari
lamanya, akan tetapi walau pun asap gurih dan sedap yang keluar dari sebuah
rumah makan kecil membuat hidungnya berkembang kempis dan perutnya
menggeliat-geliat, ia dapat menahan seleranya dan lebih dulu mencari tempat
penginapan.
Namun ia kecewa karena
ternyata bahwa di dusun itu tidak terdapat rumah penginapan. Satu-satunya rumah
penginapan kecil yang masih ada papan namanya, sudah ditutup. Heranlah Goat Lan
melihat keadaan ini dan dia bertanya kepada seorang kakek petani yang
memandangnya dari pintu rumahnya.
“Lopek, aku adalah seorang
pelancong yang membutuhkan tempat penginapan. Di mana kiranya terdapat rumah
penginapan di dusun ini?”
Kakek itu memandang kepadanya
dengan penuh perhatian dan sepasang matanya yang keriput dan sipit itu
membayangkan kecurigaan besar, tapi melihat bahwa yang bertanya kepadanya
adalah seorang gadis muda cantik dan halus tutur sapanya, kecurigaannya berubah
menjadi keheranan besar.
“Nona, mendengar bicaramu, kau
tentulah datang dari selatan. Mengapa kau tersasar sampai sejauh ini? Kau lihat
sendiri, di dusun ini hanya sebagian saja dari penduduknya adalah orang-orang
Han, sebagian besar adalah penduduk dari suku bangsa lain. Kau hendak pergi ke
manakah?”
Memang benar, sejak tadi agak
sukar bagi Goat Lan untuk bertanya keterangan sesuatu, karena di mana-mana dia
melihat orang-orang yang amat berlainan dengan orang-orang Han, baik bentuk
muka mau pun keadaan pakaiannya. Sungguh pun jawaban kakek ini tidak pada
tempatnya, yaitu menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, akan tetapi Goat Lan
tetap bersabar dan tersenyum ramah.
“Tidak salah dugaanmu, Lopek.
Aku memang datang dari selatan dan seperti yang telah kukatakan tadi, aku
adalah seorang pelancong.”
“Sebagai seorang pelancong,
kau benar-benar sudah memilih tempat yang aneh. Hawa begini dingin, tidak ada
pemandangan indah di sini, banyak penyakit merajalela.”
Ia memandang pada pakaian Goat
Lan yang tidak tebal dan kepada wajah serta tangan gadis itu yang telanjang
tidak tertutup sesuatu, dan makin heranlah hatinya. Bagaimana mungkin seorang
gadis cantik jelita dan muda seperti ini mampu menahan dingin yang menggoroti
kulit?
Pada waktu itu, bulan kedua
baru tiba dan keadaan sedang dingin-dinginnya. Bagi kakek itu sendiri biar pun
telah puluhan tahun ia tinggal di daerah dingin ini, namun tetap saja pada
waktu seperti itu, tanpa perlindungan pakaian dari kulit domba, ia takkan tahan
dan dan kulit tubuhnya akan pecah-pecah.
“Nona, selanjutnya kau hendak
ke manakah?” tanyanya kemudian.
“Aku ingin bermalam di dusun
ini untuk satu malam saja dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan
ke sana!” Goat Lan menudingkan telunjuknya ke arah hutan yang kini sudah
menjadi hitam karena diselimuti oleh malam yang mulai mendatang.
Tiba-tiba kakek itu nampak
gugup dan pucat.
“Jangan, Nona...! Jangan kau
pergi ke sana. Dengarlah kata-kata orang tua seperti aku. Hidupku tidak akan
lama lagi dan aku ingin mencegah seorang muda seperti engkau dari kesengsaraan,
jangan kau memasuki tempat itu kalau kau sayang kepada nyawamu!”
Goat Lan sangat terkejut, akan
tetapi hatinya yang tabah membuat ia tetap tenang. Ia memandang kepada kakek
itu dengan tajam dan ketika kakek itu balas memandang dan sinar mata mereka
bertemu, kakek itu menjadi makin pucat dan dia melangkah mundur dua langkah.
“Kau… matamu sama benar dengan
matanya… kau...”
“Ehh, ada apakah Lopek? Aku
seorang manusia biasa, seorang pelancong yang sedang membutuhkan tempat
penginapan untuk beristirahat malam ini. Jangan kau bicara yang aneh-aneh
Lopek. Dapatkah kau menolongku dan memberitahukan di mana aku dapat bermalam?
Kalau tidak mau, tidak apalah, aku bisa mencari keterangan dan minta tolong
kepada orang lain.”
Ucapan ini agaknya menyadarkan
kakek itu kembali.
“Kau... kau bukan orang
jahat?”
Goat Lan merasa dongkol, akan
tetapi terpaksa dia tersenyum juga. Melihat pandangan mata dan wajah kakek itu,
ia maklum bahwa sikap yang aneh ini timbul dari rasa takut yang hebat dari
orang tua ini.
“Tiada gunanya aku menjawab
pertanyaanmu ini, Lopek. Siapakah orangnya di dunia ini yang suka mengaku bahwa
ia adalah orang jahat? Tentu saja seperti orang lain di dunia ini, aku akan
menjawab bahwa aku bukan orang jahat, akan tetapi meski pun kau dapat mendengar
jawaban mulutku, bagaimana kau akan dapat mengetahui keadaanku yang
sebenarnya?”
Jawaban ini benar-benar
membuat kakek itu tercengang.
“Nona, kau masih amat muda
akan tetapi sudah dapat bicara seperti itu. Terang bahwa kau bukan orang jahat.
Mari, silakan masuk, akan kuceritakan kenapa aku mencegahmu memasuki tempat
berbahaya itu.”
Akan tetapi Goat Lan
menggelengkan kepalanya. “Aku datang untuk mencari tempat penginapan Lopek,
bukan untuk mendengar cerita tentang tempat berbahaya.”
Dia mengangguk dan hendak
pergi meninggalkan kakek itu. Akan tetapi orang tua itu melangkah maju dan
berkata,
“Nona, apa bila aku sudah
mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku menawarkan tempat ini
untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi tinggal di rumah yang
buruk dan kecil ini. Dan aku berani menawarkan rumahku, oleh karena aku maklum
bahwa di dalam dusun ini kau tak akan dapat menemukan rumah penginapan. Nah,
sudikah kau?”
Melihat sikap yang
sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang jujur, Goat Lan
terpaksa melangkah masuk dan sambil tersenyum dia menyatakan terima kasihnya.
Di luar dugaannya semula, walau pun rumah itu dari luar nampak amat buruk dan
di dalamnya juga sangat sederhana, namun benar-benar bersih dan menyenangkan.
Sebuah lampu terletak menyala
di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang sering kali bertemu
dengan kain pembersih. Di kanan kiri meja itu terdapat dua buah bangku kayu
yang sederhana pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak dua buah pintu
kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili (tirai pintu) yang berwarna kuning
dan cukup bersih sungguh pun sudah ada beberapa tambalan di sana sini.
Kakek itu mempersilakan Goat
Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu dia sendiri mengeluarkan sebotol
arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di sudut.
“Aku orang miskin, Nona,
seperti sebagian besar orang yang tinggal di sini.”
“Kau maksudkan, seperti
sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan. “Kemiskinan bukanlah
hal yang menyusahkan hati, Lopek.”
Kembali kakek itu tercengang
dan wajahnya berseri. “Mendengar ucapanmu, hampir aku percaya bahwa kau adalah
seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana. Akan tetapi tidak mungkin
seorang gadis petani mempunyai wajah seperti kau dan pakaianmu pula. Ahhh, kau
tentulah seorang gadis bangsawan yang kaya raya.” Sebelum Goat Lan membantah
kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja, lalu cepat berkata lagi. “Kau
tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku masak bubur untukmu.”
Goat Lan cepat mencegah dan
segera dia mengeluarkan sepotong uang perak. “Jangan repot-repot, Lopek. Memang
aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan tetapi kalau kau suka,
tolonglah belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang ini.”
Kakek itu memandang ke arah
uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian dia mengambil uang itu
dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu bertindak keluar.
“Lopek, jangan lupa, beli
untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan berseru kepada
kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Goat Lan yang sudah banyak
menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku hati-hati, setelah
kakek itu keluar, cepat dia mengadakan pemeriksaan di dalam rumah itu.
Disingkapnya tirai pintu kamar dan dilongoknya ke dalam.
Kamar tidur biasa saja dan
amat sederhana. Demikian pula kamar tidur ke dua. Rumah ini benar-benar kosong,
tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal dari dua orang, melihat
adanya dua buah kamar tidur itu.
Ia lalu membuka tutup botol
arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah yang sudah dicampur
dengan air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tidak dapat diragukan lagi bahwa
kakek itu adalah seorang petani miskin yang sederhana dan jujur. Kalau memang
di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada tempat yang lebih aman dan
baik dari pada rumah Pak Tani ini.
Goat Lan menurunkan buntalan
pakaian dari pundaknya dan meletakkan buntalan itu di atas meja, kemudian ia
duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh, pikirnya, mengapa
ia begitu takut kepada hutan itu?
Tak lama kemudian kakek itu
datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua lalu makan bersama
bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan bersama kakek di dalam
rumah sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada ayah bundanya! Sesudah
selesai makan, barulah Goat Lan bertanya mengapa kakek itu tadi melarangnya
memasuki hutan liar itu.
Sebelum menjawab, kakek itu
mengusap perutnya dan berkata, “Ah, alangkah nikmatnya makan masakan mahal itu.
Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap itu.”
Goat Lan tersenyum dan hatinya
gembira karena sedikit uangnya dapat mendatangkan kenikmatan kepada kakek yang
ramah tamah ini. “Kalau setiap hari kau masak masakan seperti ini, akan
lenyaplah kelezatannya, Lopek.”
“Kau benar!” kakek itu berseru
gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang sudah bosan
dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari dihadapinya hingga dia
tidak doyan lagi semua makanan-makanan lezat dan mahal yang dihadapinya dan
ingin ia menjadi seorang petani yang dapat makan hidangan sederhana dengan
lahapnya. Dia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan hidangannya yang
miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang dihadap raja. Ha-ha-ha!”
Goat Lan mengangguk.
“Demikianlah jika nafsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek. Selalu bosan
akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang tidak
dimilikinya.”
“Kau pintar sekali! Ha-ha-ha,
kau sungguh mengagumkan, Nona.”
“Lopek, kau belum menjawab
pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada hutan itu dan
mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”
Tiba-tiba lenyaplah
kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali lalu
menceritakan dengan suara perlahan.
“Hutan itu memang semenjak
dahulu sangat liar. Selain banyak terdapat binatang buas, terutama sekali
ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu muncul seorang
siluman yang sangat mengerikan! Dahulu di dalam hutan itu terdapat satu
gerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai asrama, akan tetapi
begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi tahu-tahu para perampok yang
jumlahnya tiga puluh orang lebih itu telah menggeletak di luar hutan dalam
keadaan luka-luka hebat dan bertumpuk-tumpuk! Dan menurut cerita mereka,
katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman wanita yang
mengerikan! Semenjak saat itulah tidak ada perampok lagi yang mengganggu
sekitar daerah ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani
memasuki hutan yang mengerikan itu.”
Goat Lan merasa amat tertarik
mendengar cerita ini. “Benar-benar tak pernah ada orang yang berani memasuki
hutan itu, Lopek?” dia bertanya.
Orang tua itu mengerutkan
keningnya.
“Semenjak saat itu memang tak
pernah ada manusia yang lewat di sini dan terus menuju ke hutan. Kukatakan
manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu hanya iblis-iblis dan
siluman-siluman, bukan manusia biasa seperti yang kulihat kemarin.” Kakek itu
nampak takut-takut dan merasa ngeri ketika ia memandang ke arah pintu depan
yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.
“Apa maksudmu, Lopek? Apakah
ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan itu?” ketika mengajukan
pertanyaan ini, biar pun Goat Lan seorang dara perkasa yang tak kenal takut,
namun kini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang!
“Betul, memang mereka bukan
manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik, “Aku melihat ada
empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan tetapi luar biasa
anehnya. Baru cara mereka berjalan saja sudah aneh, begitu cepatnya seperti
terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan tidak menginjak bumi seperti biasa
iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan bentuk tubuh
mereka juga sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang pendek berkepala
besar. Huh, sungguh menyeramkan!”
“Berapa orangkah semuanya,
Lopek?”
“Ada empat! Yang seorang
seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ahh, aku masih menggigil
ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta agar kau
membatalkan niatmu memasuki hutan itu, Nona. Apa bila kau hendak melakukan
perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki hutan yang penuh siluman dan
binatang buas itu.”
Goat Lan tersenyum.
“Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu ini, aku pun merasa takut dan ngeri.
Akan tetapi, tentang memasuki hutan, aku tak akan mundur. Besok pagi-pagi aku
tetap akan melanjutkan perjalananku memasuki hutan itu, dan apa bila seperti
yang kau katakan tadi…”
“Apa yang hendak kau lakukan?
Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang melayang? Nona, jangan
kau mencari penyakit!”
Goat Lan tersenyum lagi.
“Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salamku kepada mereka, Lopek.”
Kakek itu melengak dan
memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak. “Nona, jangan kau
main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat roboh
luka-luka tak berdaya menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu. Apa
lagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan itu terdapat sekian banyak
siluman!”
Goat Lan tidak menyembunyikan
senyumannya. “Lopek, jangan kau khawatir. Sebetulnya aku pernah mempelajari
ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan mengalahkan
siluman-siluman!”
Tiba-tiba gadis itu memandang
ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika melihat gadis itu
sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar seruan gadis itu
dari luar pintu. “Siluman dari mana berani mengintai rumah orang?”
Terdengar suara angin di luar
pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, dia melihat dua bayangan orang
berkelebat seperti sedang bertempur! Tidak lama kemudian terdengar seruan
seorang laki-laki yang suaranya parau,
”Aduhh...!”
Dan terlihat olehnya betapa
bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan! Ketika kakek
itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia melihat bayangan
ke dua, melompat ke hadapannya dan ternyata bahwa bayangan ini adalah bayangan
gadis yang tadi duduk berhadapan dengan dia.
“Jangan takut, Lopek. Siluman
tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan dibawanya masuk ke
dalam pondok.
Kedua mata kakek itu hampir
keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan dengan mata
terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis cantik jelita dan
jenaka seperti ini benar-benar sanggup mengusir pergi seorang siluman jahat!
Kemudian di dalam benaknya yang sudah banyak dipengaruhi cerita tahyul itu
timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan seorang
manusia biasa. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan
berkata,
“Niang-niang (sebutan untuk
bidadari atau dewi), mohon maaf sebesarnya bahwa hamba tadi sudah berani
berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi mengampunkan
dosa hamba tadi...”
Hampir saja Goat Lan tertawa
bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini. Ia merasa geli
sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya bangun dan
berdiri kembali.
“Lopek, apakah kau mengajak
aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan Lopek, dan marilah
kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari esok.”
Dia kemudian memasuki sebuah
di antara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka
pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas panjang saking
heran dan kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar ke dua.
Akan tetapi bagaimana dia
dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi yang gagah
perkasa itu, dan diam-diam dia merasa girang sekali bahwa dia telah mendapat
kehormatan besar menjadi tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi. Dia akan
menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan dia akan menjadikan peristiwa
ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.
Akan tetapi, bukan main
kagetnya ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia mendengar suara.
“Lopek, selamat tinggal dan terima kasih!”
Ketika ia melompat bangun dan
keluar dari kamarnya, ternyata tamunya yang cantik dan aneh itu sudah pergi dan
tidak berada di dalam kamar lagi. Di atas mejanya terdapat tiga potong uang
perak yang cukup besar!
Kembali kakek itu menjatuhkan
diri berlutut dan mulutnya berkemak-kemik seperti laku seorang dukun meminta
berkah dari Penghuni Langit!
Goat Lan memang meninggalkan
rumah itu secara diam-diam dan di waktu hari masih pagi sekali, karena ia
merasa tidak enak melihat sikap kakek yang berlebih-lebihan dan yang amat
tahyul itu.
Malam tadi, dia sudah merasa
heran sekali ketika melihat benar-benar ada orang yang mengintai rumah kakek
itu. Lebih-lebih herannya ketika ia menyerbu keluar, ia disambut oleh seorang
laki-laki setengah tua yang berkepandaian tinggi!
Begitu keluar pintu karena
melihat berkelebatnya bayangan yang mengintai, dia segera mengulur tangan
hendak menangkap pundak orang itu dengan gerakan dari Gin-na-hwat (ilmu silat
yang mempergunakan tangkapan dan cengkeraman). Akan tetapi ketika lelaki itu
menangkis, Goat Lan merasa betapa tangkisan itu berat dan kuat sekali
mengandung tenaga lweekang yang tak boleh dibuat gegabah!
Ia maklum bahwa ‘siluman’ ini
adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia lalu
mengeluarkan Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat dan menyerang hebat. Sampai beberapa
belas jurus orang itu dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya sebuah
totokan jari tangan Goat Lan pada pundaknya membuat dia berseru kesakitan dan
cepat melarikan diri ke arah hutan!
Hal inilah yang membuat Goat
Lan mendapat kesimpulan bahwa di dalam hutan itu tentu terdapat orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Dia masih belum dapat menetapkan
apakah orang-orang itu termasuk golongan orang jahat atau orang gagah yang
menyembunyikan diri dari dunia ramai.
Orang yang malam tadi
bertempur dengan dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga
totokannya tak membuatnya roboh, hanya berseru kesakitan akan tetapi masih
dapat melarikan diri. Kalau saja ia tidak mempunyai keperluan untuk mencari
obat To-hio-giok-ko yang berada di lembah sungai dalam hutan itu, tentu dia
juga tidak mau memasuki hutan dan mencari penyakit atau perkara dengan
orang-orang yang dianggap siluman oleh kakek itu.
Dengan waspada dan hati-hati
sekali Goat Lan berjalan memasuki hutan itu, lalu mencari sungai yang mengalir
di hutan. Hutan ini sungguh liar dan penuh dengan pohon-pohon besar, penuh pula
dengan semak-semak belukar yang tampaknya belum pernah dijamah oleh tangan
manusia.
Pada waktu dia sampai di
pinggir sungai yang ditumbuhi rumput-rumput hijau, tiba-tiba ia mendengar suara
gerakan di antara semak-semak. Dia cepat memandang sambil segera menghentikan
langkah kakinya, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Ah, tentu seekor binatang yang
lari bersembunyi, pikirnya. Dengan tenang dan tabah dia melanjutkan
perjalanannya di sepanjang Sungai Sungari yang lebar dan jernih airnya, terus
menuju ke utara. Matanya mencari-cari ke kanan kiri, melihat rumput-rumput yang
tumbuh di situ.
Beberapa kali ia seperti
mendengar suara tindakan orang yang mengikutinya, akan tetapi setiap kali dia
menengok, dia tidak melihat bayangan seorang pun. Diam-diam ia merasa ngeri
juga. Benarkah dongeng kakek itu bahwa di dalam hutan ini terdapat banyak setan
dan siluman?
Ia seperti mendengar tindakan
kaki orang yang ringan sekali dan kalau memang yang berjalan itu seorang
manusia, ia tentu akan dapat melihatnya. Sampai tiga kali ia merasa seperti
mendengar orang berjalan, akan tetapi betapa pun cepatnya dia menengok ke
belakang, ia tak pernah melihat sesuatu, kecuali daun-daun pohon yang bergerak
tertiup angin atau seekor burung yang terbang sambil mengeluarkan seruan kaget.
Ahh, peduli apa dengan siluman
mau pun orang? Asal saja dia tidak menggangguku, pikirnya. Dia lalu melanjutkan
usahanya mencari daun dan buah obat itu. Akan tetapi sampai matahari naik
tinggi, belum juga dia mendapatkan Daun Golok Buah Mutiara.
Banyak terdapat bermacam-macam
pohon di tempat itu, akan tetapi tiada yang berdaun seperti golok dan berbuah
seperti mutiara. Goat Lan adalah seorang gadis muda yang lincah dan jenaka,
maka ia mulai merasa tipis harapannya. Ia kurang sabar dan akhirnya ia pun
duduk beristirahat di bawah pohon sambil makan buah yang dipetiknya di tengah
perjalanan itu.
Tiba-tiba ia melempar buah
yang dimakannya dan melompat berdiri. Ia mendengar suara orang bicara dan tak
lama kemudian, di tempat itu muncullah empat orang laki-laki yang berlompatan
keluar dari balik pohon-pohon besar. Melihat mereka ini, jantung Goat Lan
langsung berdebar dan merasa bulu tengkuknya meremang. Betul-betulkah ada
siluman muncul di siang hari?
Tiga di antara empat orang
yang muncul ini benar-benar tidak pantas disebut manusia, ada pun orang ke
empat potongan tubuhnya seperti yang sudah bertempur dengan dia malam tadi!
Orang ke empat ini adalah seorang setengah tua yang bertubuh kekar dan
berjenggot lebat. Dia tersenyum menyeringai dan berkata kepada tiga orang
kawannya yang seperti siluman,
“Sam-wi-enghiong (Tuan Bertiga
Yang Gagah), inilah Nona yang gagah dan jelita itu!”
Tak salah lagi, orang inilah
yang telah bertempur dengan dia malam hari tadi, pikir Goat Lan dan mendengar
orang itu bercakap-cakap dengan bahasa manusia kepada tiga orang yang seperti
siluman, legalah hatinya. Apa pun juga yang akan terjadi, dia tidak merasa
gentar menghadapi sesama manusia! Dia mulai menaruh perhatian kepada tiga orang
aneh itu.
Memang, tiga orang ini
benar-benar mempunyai bentuk yang lucu dan aneh. Mereka ini bukan lain adalah
Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun). Yang tertua bernama
Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Dunia) dan sungguh pun ini
bukan sebuah nama, namun oleh orang ini diaku sebagai nama julukannya!
Thian-he Te-it Siansu ini
adalah seorang yang tubuhnya seperti seorang kanak-kanak, akan tetapi kepalanya
botak dan jenggotnya sudah putih semua. Mukanya jelas muka seorang kakek yang
sudah tinggi usianya. Kedua kakinya kecil seperti kaki kanak-kanak pula, begitu
pula tangannya. Orang kate ini memegang sebatang payung yang ujungnya tumpul
dan setiap ranting payungnya terbuat dari logam keras yang berujung runcing.
Orang ke dua adalah seorang
pendek gemuk sekali yang bermuka lebar dan mulut serta kedua matanya
besar-besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’.
Orang ini selalu tersenyum lebar dan ia berjalan sambil menyeret sebuah rantai
panjang dan besar. Inilah orang kedua dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang bernama
Lak Mou Couwsu.
Ada pun orang ke tiga
berpotongan tubuh seperti suling, tinggi kurus dengan kepala kecil tertutup
kopyah kecil pula. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri sementara
jenggotnya hitam seperti jenggot kambing modelnya. Dia memegang sebatang
tongkat dan namanya adalah Bouw Ki.
Melihat keadaan mereka,
agaknya tidak pantas sama sekali bahwa mereka ini adalah Hailun Thai-lek
Sam-kui yang sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan membuat para orang
gagah gentar mendengar nama mereka!
Orang ke empat, yaitu orang
setengah tua yang tadi malam bertempur dengan Goat Lan, sebenarnya adalah Bouw
Hun Ti! Memang, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti
pergi ke utara untuk membujuk dan minta bantuan Hailun Thai-lek Sam-kui untuk
memperkuat kedudukannya menghadapi para musuhnya, yaitu Pendekar Bodoh dan
kawan-kawannya.
Ketika Bouw Hun Ti dan
kawan-kawannya tiba di dusun itu, dan sebagaimana biasa ketiga orang iblis itu
tidak suka bermalam di tempat ramai, akan tetapi memilih hutan belukar, Bouw
Hun Ti lalu berjalan-jalan dan dia melihat Goat Lan!
Bouw Hun Ti selain jahat dan
kejam, juga mempunyai kelemahan terhadap wajah elok. Maka begitu melihat Goat
Lan yang cantik jelita seperti bidadari, ia pun menjadi tertarik. Malam hari
itu dia mendatangi gubuk kakek yang menjadi tuan rumah Goat Lan, akan tetapi
tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu ternyata bukanlah makanan empuk,
bahkan ia terkena totokan yang amat lihai! Tentu saja Bouw Hun Ti menjadi
terkejut dan curiga.
Siapakah gadis muda yang lihai
sekali ini? Dan apakah perlunya seorang gadis pendekar bangsa Han sampai di
tempat itu? Ia lalu menceritakan keadaan gadis itu kepada tiga orang kawannya
yang juga amat tertarik hatinya.....
Seorang di antara ketiga iblis
itu, yaitu Lak Mou Couwsu, adalah seorang yang sangat malas dan paling doyan
tidur. Sampai matahari naik tinggi, belum juga dia bangun dan masih mendengkur
di bawah pohon di dalam hutan itu.
Bouw Hun Ti sudah kehabisan
kesabarannya, karena dia ingin sekali mencari gadis yang lihai malam tadi. Akan
tetapi ketika dia hendak membangunkan Lak Mou Couwsu, hampir saja dia menjadi
korban kaki kakek aneh ini.
Begitu dia memegang lengan Lak
Mou Couwsu dengan maksud hendak rnenggugahnya, tiba-tiba saja kaki kanan orang
tua aneh itu bergerak cepat sekali menendang ke arah dadanya! Baiknya pada
waktu itu tangannya sudah disambar oleh Thian-he Ta-it Siansu yang segera
membetotnya ke belakang sehingga tendangan itu tidak mengenai sasaran. Bouw Hun
Ti terkejut sekali dan ketika dia memandang ke arah orang yang masih tidur
mendengkur, dia mendapat kenyataan bahwa kakek gemuk itu masih tidur nyenyak!
“Bouw-enghiong, jangan kau
bertindak sembarangan!” Kakek kate botak itu menegurnya. “Sungguh pun dia ini
amat pemalas dan doyan tidur, akan tetapi sekali-kali tidak boleh dibangunkan,
karena sebelum tidur dia tentu telah memasang dan membuat semua urat di
tubuhnya bersiaga. Siapa saja yang menyentuhnya, otomatis tentu akan
diserangnya, biar pun dia masih dalam keadaan tidur!”
Bouw Hun Ti menjulurkan
lidahnya. Selama hidup baru kali ini dia mendengar keanehan dan kelihaian
seperti itu. Oleh karena itu, ia menahan kesabarannya dan menanti sampai
matahari naik tinggi barulah orang tua itu sadar dari pulasnya. Mereka lalu
berangkat dan di tengah jalan bertemulah mereka dengan Goat Lan!
Tiga iblis tua itu memandang
kepada Goat Lan sambil tertawa-tawa dan Hailun Thai-lek Sam-kui bertanya, “Nona
muda, kau siapakah dan siapa pula Suhu-mu sehingga kau mampu mengalahkan dia?”
Ia menunjuk kepada Bouw Hun Ti.
Goat Lan menjura dan berkata
dengan suara halus, “Orang tua, burung-burung di udara bertemu di angkasa tak
pernah saling bertanya dan mengurus persoalan yang tidak ada sangkut pautnya
dengan dirinya. Kita orang-orang perantau sebaiknya dapat mencontoh
burung-burung itu.”
Memang Goat Lan tak ingin
orang mengetahui keadaannya dan tak menghendaki orang mengetahui akan maksudnya
mencari obat untuk putera kaisar. Siapa tahu orang ini juga termasuk mereka
yang hendak menghalangi usaha mendiang suhu-nya.
Mendengar jawaban ini,
Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan dia lalu memandang kepada
kawan-kawannya yang juga tertawa geli. Hanya Bouw Hun Ti seorang diri yang
memandang kepada Goat Lan dengan pandang mata menyatakan kekagumannya dan juga
penasaran. Setelah melihat Goat Lan di siang hari, ia makin tertarik akan
kecantikan nona ini dan makin penasaranlah hatinya mengapa ia sampai kalah oleh
seorang nona yang demikian muda.
“Ha-ha-ha, Nona yang baik!”
kata Thian-he Te-it Siansu, “kau tidak saja berkepandaian lumayan akan tetapi
juga mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang cukup. Hutan yang seliar ini
berani kau masuki. Sungguh pun aku orang tua tidak dapat menyangkal kebenaran
ucapanmu, akan tetapi ketahuilah bahwa baru bisa bertemu dengan kami tiga
orang-orang tua saja sudah merupakan hal yang langka dan luar biasa bagimu.
Kami adalah Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang tua dari Hailun yang bodoh! Dan
sahabat baik kami ini,” ia menudingkan telunjuknya ke arah Bouw Hun Ti, “adalah
seorang yang cukup ternama juga. Namanya Bouw Hun Ti dan kepandaiannya cukup
lihai! Nah, setelah kami memperkenalkan nama, masihkah kau menganggap bahwa kau
terlampau tinggi untuk memperkenalkan diri kepada kami?”
Goat Lan terkejut sekali
mendengar nama ketiga orang tua ini karena dia pun pernah mendengar dari dua
orang suhu-nya bahwa Hailun Thai-lek Sam-kui adalah tokoh-tokoh persitatan yang
pandai dan ditakuti orang. Akan tetapi, mendengar nama Bouw Hun Ti membuat dia
lebih tercengang lagi dan kemarahan membuat mukanya menjadi merah padam. Inikah
si jahat yahg pernah menculik Lili dan membunuh Yousuf?
“Sam-wi Locianpwe,” katanya
kepada kakek kate itu sambil menjura memberi hormat, “sesungguhnya merupakan
kehormatan besar bagi teecu (murid) yang muda dan bodoh telah dapat bertemu
muka dengan Sam-wi Locianpwe. Teecu bernama Kwee Goat Lan.”
Terbuka lebar mata ketiga
orang kakek itu. “Ha, ternyata kau sudah pernah mendengar nama kami? Bagus,
kalau begitu, tentu kau murid seorang pandai.”
Akan tetapi Goat Lan tidak
mempedulikan ucapan ini, sebaliknya dia cepat memandang dengan penuh kebencian
kepada Bouw Hun Ti dan berkata,
“Orang she Bouw, apa bila aku
tahu bahwa siluman yang malam tadi mengintai rumah kakek petani adalah jahanam
yang bernama Bouw Hun Ti, tentu aku tidak akan mau melepaskanmu secara begitu
saja! Bouw Hun Ti, bersiaplah kau untuk menebus semua dosa-dosamu dan mampus di
tanganku!” Sambil berkata demikian, Goat Lan mencabut keluar sepasang bambu
runcingnya dan siap hendak menyerang Bouw Hun Ti.
“Ehh, Nona manis, sudah
miringkah otakmu? Mengapa kau tiba-tiba menjadi marah dan begitu membenciku?”
Bouw Hun Ti lebih merasa heran dari pada marah mendengar makian itu karena
sesungguhnya ucapan gadis ini tidak pernah disangkanya.
“Dahulu kau pernah menculik
Lili puteri Pendekar Bodoh, juga secara kejam kau sudah membunuh Kakek Yousuf!
Kalau sekarang aku memberitahumu bahwa aku adalah puteri dari Kwee An, apakah
otakmu yang tumpul masih juga tidak tahu mengapa aku hendak membunuhmu?” Sambil
berkata demikian secepat kilat tubuhnya berkelebat maju dan ia mengirim
serangan maut ke arah tubuh Bouw Hun Ti.
Orang she Bouw ini menjadi
terkejut sekali ketika dia mendengar bahwa nona ini adalah puteri dari Kwee An
dan lebih-lebih kagetnya saat ia melihat serangan yang menimbulkan angin dingin
mengerikan itu. Ia cepat melompat mundur ke belakang, akan tetapi kedua ujung
bambu runcing di tangan Goat Lan tidak mau melepaskannya dan terus mengejar
hebat.
Terpaksa Bouw Hun Ti mencabut
keluar goloknya, kemudian dia melakukan perlawanan sekuatnya. Akan tetapi,
begitu goloknya bertemu dengan bambu runcing gadis itu, dia merasa tangannya
tergetar dan secara aneh sepasang bambu runcing itu menggunting goloknya dan
diputar sedemikian rupa sehingga goloknya kena dirampas!
Bouw Hun Ti berteriak kaget
dan cepat dia melompat ke belakang tiga orang kakek yang memandang kagum.
“Sam-wi Lo-enghiong! Dia ini
adalah keponakan Pendekar Bodoh dan seorang di antara musuh-musuhmu yang
sombong itu!”
Thian-he Te-it Siansu melompat
ke depan sambil menggerakkan payungnya. Senjata istimewa ini mengeluarkan angin
sambaran yang kuat sekali sehingga Goat Lan cepat miringkan tubuh dan
menyabetkan bambu runcingnya. Ia maklum bahwa kakek ini tinggi sekali ilmu
silatnya, maka ia lalu berkata,
“Locianpwe, harap kau orang
tua tidak mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Ha-ha-ha, Nona yang gagah
perkasa! Kami bertiga sengaja datang turun gunung karena dimintai bantuan oleh
sahabat Bouw Hun Ti. Kulihat kau memainkan Ilmu Silat Bambu Runcing dari Hok
Peng Taisu, sungguh mengagumkan! Biarlah kita main-main sebentar dan berilah
kesempatan kepadaku untuk merasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng
Taisu!”
Sambil berkata begitu,
payungnya segera meluncur ke depan dan ternyata bahwa ujung payung yang tumpul
itu digunakan untuk menotok jalan darah lawan! Gerakannya cepat serta
mengandung tenaga besar, sedangkan setiap kali payung itu ditarik kembali, maka
cabang-cabangnya berkembang merupakan perisai (tameng) yang kuat untuk menjaga
diri!
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan
Tertua), jangan borong sendiri, biarkan siauwte (Adik) merasai kelihaian Nona
ini!” seru Lak Mou Couwcu yang segera memutar rantai bajanya.
Memang ketiga orang kakek ini
paling suka bertempur. Di dalam dunia persilatan tingkat tinggi, hanya ada dua
rombongan orang aneh yang paling doyan bertempur. Rombongan pertama adalah Hek
Pek Mo-ko (Dua Saudara Setan Hitam dan Putih) yang amat ditakuti orang karena
tiap kali kedua orang saudara ini turun tangan dalam pertempuran, pasti mereka
membunuh orang. Keduanya merupakan manusia buas yang haus darah.
Berkelahi dan membunuh orang
merupakan ‘hobby’ (kesukaan) mereka, tanpa peduli siapakah orang yang
dibunuhnya itu dan apa alasannya! Pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu
masih ingat bahwa Hek Mo-ko menjadi guru dari Kwee An dan betapa kedua orang
Iblis Hitam dan Putih ini kemudian tewas karena bertempur sendiri.
Rombongan ke dua yang paling
doyan berkelahi adalah Hailun Thai-lek Sam-kui ini. Juga bagi mereka ini,
pertempuran merupakan kebiasaan dan kesukaan, sungguh pun sifat mereka berbeda
dengan Hek Pek Mo-ko. Ketiga orang kakek ini senang berkelahi dan mencoba
kepandaian orang lain, hanya untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai
kepandaian yang lebih unggul! Mereka tidak biasa membunuh lawan yang sudah
mereka kalahkan, cukup asal mempermainkan mereka saja dan memaksa supaya
lawan-lawan mereka itu mengaku kalah!
Dalam setiap pertempuran,
ketiganya selalu maju bersama-sama, bukan dengan maksud mengeroyok karena sifat
mereka curang, melainkan tiada seorang pun di antara mereka yang mau mengalah
dan yang mau tinggal diam sebab ketiganya haus akan kemenangan dan ingin
mempunyai saham dalam kemenangan itu!
Demikianlah, pada waktu
Thian-he Te-it Siansu menyerang Goat Lan, Lam Mou Couwsu si kakek gemuk bertopi
pendeta Buddha itu lalu maju pula ikut menyerang, dan Si Tinggi Kurus pun lalu
melompat maju sambil memutar tongkatnya!
Tentu saja Goat Lan merasa
mendongkol sekali melihat betapa Hailun Thai-lek Sam-kui yang terkenal memiliki
kepandaian tinggi itu mengeroyoknya. Hal ini ia anggap amat tidak tahu malu dan
curang. Lenyaplah semua penghormatannya terhadap ketiga orang kakek ini.
“Bagus, tidak tahunya kalian
hanyalah tua-tua bangka tidak tahu malu!” teriaknya sambil memutar sepasang
bambu runcingnya dengan cepat sekali sehingga sepasang senjata ini berubah
menjadi dua sinar kuning yang bergulung-gulung!
Melihat betapa tiga orang
kakek sakti itu mengeroyok Goat Lan, Bouw Hun Ti diam-diam tersenyum girang.
Dari serangan tadi, dia telah maklum akan kelihaian gadis puteri Kwee An ini,
maka kalau tidak dilenyapkan sekarang, mau tunggu kapan lagi? Ia lalu melompat
maju dengan golok di tangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan
goloknya terlempar lagi dari pegangan!
Jika tadi sepasang bambu
runcing di tangan Goat Lan telah melemparkan goloknya yang diambilnya kembali,
kini goloknya terlempar lebih jauh lagi. Dia menjadi sangat terkejut karena
tahu bahwa yang tadi menangkis goloknya dan membuat senjatanya terlempar itu
adalah rantai baja di tangan Lak Mou Couwsu!
“Minggirlah dan jangan
mengganggu kami bila kami sedang bermain-main dengan Nona ini!” Lak Mou Couwsu
berkata. “Gangguanmu itu sama artinya dengan penghinaan!”
Bukan main heran dan kagetnya
hati Bouw Hun Ti menyaksikan watak yang aneh ini. Terpaksa dia mengambil
kembali goloknya dan berdiri menonton saja, sama sekali tidak berani coba-coba
lagi untuk membantu.
Sementara itu, Goat Lan merasa
amat gelisah ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat ketiga orang kakek ini
benar-benar tinggi dan lihai. Kalau saja mereka maju seorang demi seorang,
agaknya dia masih akan sanggup melawannya. Akan tetapi dikeroyok tiga oleh tiga
orang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, sebentar saja dia sudah
terdesak dan sinar senjatanya makin mengecil, tanda bahwa gerakannya amat
terkurung dan tidak leluasa.
Ia hanya mengandalkan kegesitan
tubuhnya saja untuk mengelak dan menangkis setiap serangan yang datang. Yang
membuat dia terheran dan mendongkol adalah kenyataan bahwa tiga orang kakek ini
tidak bermaksud mencelakakannya. Tiap kali senjata mereka sudah mendekat
tubuhnya, maka senjata itu tiba-tiba ditarik kembali dan terdengar suara
kakek-kakek itu tertawa mengejek! Goat Lan merasa dirinya dipermainkan, maka
dia lalu menahan napas mengumpulkan semangat untuk mengadakan perlawanan yang
hebat.
Tiba-tiba dengan seruan keras,
ujung rantai baja di tangan Lak Mau Couwsu menangkap dan membelit kedua bambu
runcingnya dan pada saat itu pula dari kiri menyambarlah ujung payung milik
Thian-he Te-it Siansu hendak menotok nadi tangannya, ditambah lagi dengan
totokan dari kanan oleh ujung tongkat Bouw Ki si tinggi kurus yang mengarah
nadi tangan kanannya!
Untuk menyelamatkan kedua
tangannya, maka terpaksa Goat Lan melepaskan sepasang bambu runcingnya.
Terdengar gelak terbahak dari ketiga orang kakek itu,
“Aduh, sungguh lihai Ilmu
Silat Bambu Kuning dari Hok Peng Taisu!” kata Si Kakek Kate.
“Hayo, lekas mengakulah bahwa
kau kalah terhadap kami!” seru Lak Mou Couwsu sambil melemparkan sepasang bambu
runcing itu ke atas tanah.
“Akuilah bahwa kami Hailun
Thailek Sam-kui lebih menang dan lebih lihai dari pada Hok Peng Taisu yang
terkenal!” juga Bouw Ki mendesak.
Akan tetapi, Goat Lan adalah
puteri dari suami isteri pendekar besar gagah berani, juga murid dari guru-guru
besar yang sakti. Mana dia mau mengaku kalah begitu saja? Sambil menggertak gigi,
dia lalu mainkan serangan dari Ilmu Silat Im-yang Sin-na, yaitu ilmu silat dari
suhu-nya Ciu-sin-mo Im-yang Giok-cu tokoh Kun-lun-san yang terkenal itu!
Thian-he Te-it Siansu
cepat-cepat menyambut serangan ini dengan gembira, dan setelah bertempur sepuluh
jurus, ia berkata dengan gembira,
“Aduh! Bukankah ini Im-yang
Sin-na dari Kun-lun-pai? He, Nona kau tentunya murid dari Im-yang Ciok-cu, tosu
pemabukan itu, bukan?”
“Memang Im-yang Giok-cu adalah
Suhu-ku!” jawab Goat Lan dan dia lalu memperhebat serangannya.
“Bagus!” Lak Mou Couwsu dan
Bouw Ki berseru keras. “Hari ini benar-benar kita sangat beruntung! Setelah
mencoba kepandaian dari Hok Peng Taisu dan berhasil mengalahkan dia, sekarang
kita mendapat kesempatan untuk mengalahkan Im-yang Giok-cu sute-nya! Ha-ha-ha!”
Mereka kemudian maju menyerbu lagi dan kembali Goat Lan yang bertangan kosong
dikeroyok tiga oleh Thai-lek Sam-kui yang bersenjata aneh!
Memang guru Goat Lan yang
bernama Im-yang Giok-cu adalah sute (adik seperguruan) dari Hok Peng Taisu.
Ilmu Silat Im-yang Sin-na yang dimainkan oleh Goat Lan adalah ilmu silat yang
memang khusus dipergunakan untuk menghadapi lawan yang bersenjata.
Kalau saja yang mengeroyok
Goat Lan adalah orang lain yang tingkat kepandaiannya seperti Bouw Hun Ti saja,
besar kemungkinan dia akan dapat merampas senjata-senjata para pengeroyoknya.
Akan tetapi, yang ia hadapi sekarang adalah Thai-lek Sam-kui, tiga tokoh
persilatan yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya, maka biar pun senjata-senjata
mereka hanya senjata aneh yang sederhana saja, namun sukarlah baginya untuk
dapat merampas senjata mereka! Kembali ia terkurung dan terdesak hebat!
Pada suatu saat, dengan sangat
tepatnya, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu telah menotok pundak
kanan Goat Lan di bagian jalan darah Kim-seng-hiat! Kalau orang lain yang
tertotok, betapa pun lihainya, tentu tubuh atas bagian kanan akan menjadi kaku
dan tak berdaya lagi.
Akan tetapi tidak percuma Goat
Lan menjadi murid tersayang Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, tokoh yang
sangat terkenal karena kepandaiannya dalam hal pengobatan. Dari suhu-nya ini,
Goat Lan telah banyak mempelajari ilmu kepandaian untuk mengobati segala macam
luka dan penderitaan tubuh, juga tentang totokan berbagai pukulan yang
berbahaya.
Begitu merasa pundaknya kaku
akibat totokan yang lihai itu, tiba-tiba tubuhnya melompat ke atas mengandalkan
tenaga kedua kaki, berjungkir balik di udara sambil mengeluarkan seruan keras
dari dalam dada, “Hu! Hu! Hu!”
Kemudian setelah tubuhnya tiba
di atas tanah, ia sengaja menjatuhkan tubuhnya dengan pundak kanan di bawah,
lalu bergulingan beberapa kali. Dan ketika ia melompat kembali, ternyata bahwa
totokan pada jalan darah Kim-seng-hiat di pundak kanannya itu sudah sembuh
kembali!
Melihat perbuatan gadis ini,
tiga orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak. Thian-he Te-it
Siansu kemudian maju selangkah dan berkata dengan suara menyatakan
keheranannya.
“Hai! Bukankah yang kau
perlihatkan tadi adalah Ilmu Menolak Tiam Hwat dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?”
“Dia adalah Suhu-ku juga!”
jawab Goat Lan dengan singkat dan marah karena dia masih merasa mendongkol
sekali.
“Hebat!” kakek kate itu
memuji. “Kau menjadi orang muda yang benar-benar beruntung. Mewarisi kepandaian
Hok Peng Taisu, Im-yang Giok-cu, dan Sin Kong Tianglo! Nona, kalau kau tidak
memberi tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, hal itu masih tidak apa.
Akan tetapi setelah kami tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, kami
takkan dapat melepaskan kau sebelum kau menyerahkan Thian-te Ban-yo Pit-kip
(Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit)! Bukankah sesudah meninggal
dunia gurumu itu lalu meninggalkan kitab obatnya kepadamu?”
Goat Lan terkejut sekali.
Benar seperti telah dikatakan oleh gurunya, Im-yang Giok-cu, bahwa banyak
sekali orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab rahasia yang amat berharga
itu. Dan kini tiga orang iblis tua ini telah dapat menduganya, celaka!
Mengingat akan kelihaian ketiga orang tua ini, tanpa banyak cakap lagi Goat Lan
lantas melompat pergi sambil mengerahkan tenaga dan kepandaiannya melarikan
diri!
“He, Nona! Kau tidak boleh
pergi sebelum menyerahkan kitab itu kepada kami.!” Ketiga orang kakek itu
mengejarnya dengan gerakan mereka yang juga amat cepatnya.
Goat Lan telah mempunyai
ginkang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk dapat berlari
secepat kijang melompat. Sebentar saja dia telah berlari jauh meninggalkan
hutan itu dan ketika ia tiba di lembah sungai yang bercadas dan penuh batu
karang, para pengejarnya baru dapat menyusulnya!
“Nona, kau harus mengalah
terhadap kami orang-orang tua!” berseru Lam Mou Couwsu yang segera menggerakkan
rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan bagaikan seekor ular
menyerang!
Goat Lan menggunakan
ginkang-nya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek, “Kalian ini tua
bangka-tua bangka yang betul-betul jahat dan curang! Tak malukah kalian
mengeroyok seorang gadis muda yang bertangan kosong?”
Pada waktu itu, ujung payung
di tangan Thian-he Te-it Siansu sudah menyerang dengan totokan pada
pinggangnya, akan tetapi biar pun tubuh Goat Lan masih berada di udara, gadis
ini mampu menggerakkan kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh sehingga
totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, begitu tubuhnya turun di
atas tanah, ia telah dikurung kembali secara rapat dan hebat oleh
desakan-desakan tiga orang kakek lihai itu.
Goat Lan berada dalam keadaan
amat terdesak dan berbahaya sekali. Namun, tiba-tiba terdengar seruan orang
yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa sakit. Seruan ini
dibarengi dengan berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan kuat sekali
gerakannya. Sinar pedang berkilau saat orang yang berpakaian merah ini
menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali.
“Trang! Trang! Trang!”
Suara ini lantas disusul
dengan seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat betapa ujung
senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap lagi ketiga
orang kakek aneh ini lalu melompat pergi dan melarikan diri dari situ!
Ketika Goat Lan memandang,
ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua sekali. Wanita ini
berpakaian serba merah, tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya
berkilauan dan yang telah dimasukkannya kembali ke sarung pedangnya. Rambut
wanita ini sudah putih semua, kulit mukanya penuh keriput menyatakan bahwa
usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam dan bening
sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis yang elok!
“Siapakah kau yang begitu
bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan sungguh pun
suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali. Pandang matanya
seakan-akan hendak menembus jantung Goat Lan.
Gadis ini cepat menjura dengan
penuh hormat, lalu ia menjawab, “Terima kasih banyak, kalau tidak ada kau orang
tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku. Aku bernama Kwee Goat Lan,
puteri dari Kwee An di Tiang-an.”
Nenek itu memandang tajam.
“Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada keperluan apakah?”
Entah kenapa, terhadap nenek
ini Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Biar pun sikap nenek ini sangat galak,
akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang menimbulkan penghormatan dan
kepercayaannya. Agaknya sepasang mata yang bening itulah!
“Sesungguhnya, aku sedang
menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal dunia, untuk
mencari obat ‘to-hio-giok-ko’ yang katanya hanya bisa tumbuh di sekitar lembah
sungai ini. Tak tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknya aku mendapat gangguan
dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu. Baiknya kau orang tua yang sangat gagah
perkasa datang menolongku.”
“Bodoh!” Nenek itu mencela.
“Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiam-ku (pedang mustikaku) saja
yang menolongmu. Apa bila mereka tidak lari, belum tentu aku sanggup
mengalahkan mereka! Kau katakan tadi hendak mencari to-hio-giok-ko? Untuk
apakah?”
“Untuk mengobati penyakit yang
diderita oleh putera Kaisar.” Dengan terus terang Goat Lan lalu menceritakan
pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan wajah tidak sabar.
“Bodoh! Ini benar-benar bodoh!
Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa orang? Gila dan ganjil
sekali.”
“Mohon tanya, siapakah
sebenarnya Suthai ini?” Goat Lan menyebut ‘suthai’ karena dia mengira bahwa
wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.
Untuk beberapa saat nenek itu
tidak menjawab. Kemudian ia menggerakkan tangan dan menjawab. “Tidak usah kau
pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko, marilah kau ikut padaku!”
Goat Lan menjadi girang sekali
dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau mengaku siapa namanya.
Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan daun itu, supaya dia
dapat menyelesaikan tugasnya dan dapat segera pulang. Nenek itu membawanya ke
utara dan kira-kira dua li jauhnya dari situ, mereka memasuki sebuah hutan
kecil yang gelap. Senja kala telah menghilang, terganti malam penuh bintang
yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar hutan itu.
“Untung kau bertemu dengan
aku, kalau tidak, apa bila kau mencari obat itu di siang hari, sampai selama
hidupmu pun kau tidak akan berhasil.”
Goat Lan tidak mengerti apa
maksud ucapan ini, akan tetapi diam-diam dia terus berpikir, siapakah gerangan
wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek petani itu? Wanita
inikah yang telah mengalahkan tiga puluh orang perampok?
Mereka kemudian pergi ke dekat
sungai dan tiba-tiba saja wanita tua itu berkata sambil menudingkan telunjuknya
ke arah sebatang pohon yang besar.
“Kau lihatlah, bukankah buah
itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang disebut giok-ko (buah
mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka disebut to-hio (daun
golok). Nah, kau ambillah buah dan daun itu.”
Bukan main girangnya hati Goat
Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang terendah, kemudian mengayun
tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Tadinya ia merasa heran sekali
melihat buah yang besarnya hanya sekepalan tangan itu nampak berkilauan dari
bawah, seakan-akan yang bergantungan pada pohon itu bukanlah buah, melainkan
batu-batu giok! Akan tetapi setelah dekat, tahulah ia mengapa buah-buah itu
berkilau.
Ternyata bahwa buah-buah itu
mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat bening sehingga
ketika tertimpa cahaya bintang kemudian berkilau di dalam gelap! Daun-daunnya
berwarna hijau, bentuknya seperti golok-golok kecil dan ujungnya runcing.
Cepat dia memetik lima butir
buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu dia masukkan ke
dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu ia melompat
turun di depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.
Goat Lan menjura di depan
nenek itu. “Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku, tidak saja kau telah
membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga telah menolongku
memperoleh obat ini. Hanya sayangnya, Suthai belum juga memberitahukan nama
sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku harus selalu mengingat budi ini.”
Mendengar ucapan yang sopan
santun dan ramah ini, wajah nenek yang tadinya muram dan galak itu lalu
melembut dan senyum membayang di bibirnya.
“Anak baik, kau tadi mengaku
bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang sudah lama kukenal
namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau menolongmu? Di mana
pun juga berada, keturunan orang baik-baik tentu akan mendapat bantuan orang
lain. Soal aku dan namaku, tak perlu diingat lagi, anakku. Sekarang lebih baik
kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam hutan ini, tidak mungkin kau
dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi boleh kau melanjutkan
perjalanan.”
Setelah berkata demikian,
nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa menengok lagi,
seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan mengikuti dia.
Suaranya tadi biar pun amat ramah, akan tetapi mengandung pengaruh yang besar.
Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti nenek itu.
Mereka sampai di depan sebuah
goa di antara batu-batu karang yang tinggi dan dengan tangannya nenek itu
mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu ketika memasuki goa
yang dari luar nampak besar dan hitam, karena ternyata bahwa di dalam goa itu
terdapat sebuah lampu yang bernyala terang dan keadaan kamar itu amat bersih.
Di tempat itu hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat dari pada kayu, maka
Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.
“Jangan kau duduk di situ, itu
adalah tempatku bersemedhi. Kau pakailah pembaringan dan tidurlah!” kata nenek
tadi.
Tentu saja Goat Lan merasa sungkan
sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa merampas tempat tidur nyonya
rumah yang hanya satu-satunya itu?
“Tidak, Suthai, biarlah aku
yang muda mengaso sambil duduk di sini saja. Suthai tidurlah di pembaringan
itu.”
“Anak bandel! Mana ada aturan
yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau tidurlah di situ dan kalau
membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah lagi!”
Goat Lan menjadi terkejut dan
walau pun dia merasa sangat mendongkol menyaksikan kekasaran orang, akan tetapi
ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu duduk di atas pembaringan
itu, merasa sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.
“Kau tidurlah!” kembali nenek
itu memerintah lagi sambil menduduki batu dalam keadaan bersila seperti orang
bersemedhi.
Goat Lan memang sudah merasa
lelah sekali sehabis bertempur melawan ketiga orang kakek yang lihai itu, maka
dia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.
“Kau bilang tadi bahwa kau
adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal mereka?”
tiba-tiba nenek itu bertanya.
Goat Lan tercengang mendengar
pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, dia belum pernah menyebutkan nama
ibunya. Akan tetapi dia menjawab juga.
“Betul, Suthai, aku adalah
puteri tunggal mereka. Apakah Suthai kenal dengan ayah dan ibuku?”
Akan tetapi nenek itu hanya
berkata singkat. “Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”
Karena nenek itu nampak sudah
memeramkan sepasang matanya, Goat Lan tidak berani mengganggunya lagi. Dengan
heran dia terus menduga-duga siapakah gerakan nenek yang aneh dan yang agaknya
telah mengenal ayah-bundanya ini, hingga akhirnya ia tidur nyenyak.
Menjelang fajar, pada waktu
sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis tertahan. Ia menjadi
heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka mata dan mengerling ke
arah nenek itu.
Ternyata bahwa nenek itu tidak
duduk bersemedhi lagi seperti yang dilihatnya sebelum ia tidur, akan tetapi
sekarang nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup mukanya dan tubuhnya
bergoyang-goyang menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja Goat Lan merasa
terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak berani bergerak dan hanya memandang
nenek itu melalui bulu matanya.
Tiba-tiba nenek itu bangkit
dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih rebah telentang dengan
mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu menatap wajah Goat Lan, lalu
berisik perlahan,
“Kau puteri tunggal Ma Hoa...
alangkah cantik dan gagah, ahhh, sayang Siong-ji tidak berada di sini...”
Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan mencium
jidat Goat Lan yang berkulit halus dan putih.
Ketika nenek itu menciumnya,
Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Cilan dan setelah nenek itu
melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat Lan membuka sedikit
matanya. Di dalam keadaan yang suram itu, ia melihat tubuh nenek itu yang masih
langsing dan penuh, rambutnya terlepas dan panjang sekali, sedikit pun tidak
nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan hitam dan berombak.
Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan keriputnya, hanya
kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang cantik sekali!
Bagaikan mendapat cahaya
penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam pikiran Goat Lan.
Tanpa disadarinya, ia berseru keras,
“Ang I Niocu...!”
Nenek itu nampak terkejut dan
melompat mundur laksana diserang oleh seekor ular dari bawah. Terdengar dia
mengeluarkan seruan tertahan yang aneh sekali, setengah tertawa setengah
menangis, kemudian tubuhnya bergerak dan hanya sekali berkelebat, dia telah
melompat keluar!
“Ang I Niocu... tunggu...!”
Goat Lan berteriak sambil melompat dan mengejar keluar.
Akan tetapi ketika dia tiba di
luar goa, ternyata bayangan nenek itu tidak nampak lagi! Goat Lan menarik napas
panjang berkali-kali dengan hati kecewa. Dia tentu Ang I Niocu, pikirnya dengan
hati berdebar tegang.
Ia telah mendengar dari ibunya
tentang pendekar wanita yang hebat ini. Tadinya ia sama sekali tidak pernah
mengira bahwa nenek yang keriputan dan berambut putih itu adalah Ang I Niocu,
karena menurut cerita ibunya, Ang I Niocu merupakan seorang wanita yang
tercantik di dunia ini. Akan tetapi, ketika kegelapan menyembunyikan uban dan
keriput nenek itu, Goat Lan melihat bayangan seorang wanita yang benar-benar cantik,
gagah dan mengeluarkan keharuman seperti bunga Cilan, maka timbullah dugaannya
bahwa nenek itu tentu Ang I Niocu.
Setelah merasa yakin bahwa
nenek itu tidak mau bertemu dengan dia lagi, dan karena obat yang dicarinya
telah didapatnya, Goat Lan lalu keluar dari hutan itu dan kembali ke selatan.
Selain membawa obat itu ke kota raja, dia hendak pulang dulu untuk mengambil
kitab obat yang ditinggalkan suhu-nya, oleh karena kitab itu penting sekali
baginya untuk menjadi petunjuk mengobati penyakit putera Kaisar. Dan di dalam
perjalanannya pulang inilah ia lewat dusun Tong-sin-bun.
Dia telah melakukan perjalanan
cepat sekali sehingga tanpa diketahuinya dia telah dapat meninggalkan Bouw Hun
Ti beserta Thai-lek Sam-kui yang melakukan perjalanan sambil melancong.
Kebetulan sekali di Tong-sin-bun ini dia melihat Ban Sai Cinjin dan sesudah
mengadakan penyelidikan, dia mendengar tentang keadaan orang tua yang mewah
itu.
Mendengar tentang kakek yang
pernah didengar namanya yang amat terkenal ini, Goat Lan lalu menunda
perjalanannya dan mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan kelenteng di
dalam hutan. Ia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Ban Sai Cinjin yang
berjuluk Huncwe Maut adalah suhu dari Bouw Hun Ti.
Demikianlah, sebagaimana telah
dituturkan pada bagian depan, malam hari itu Goat Lan dapat menolong nyawa
putera Pangeran Ong Tek dan Tan Kauwsu, bahkan bersama Lili yang telah
dibebaskan oleh Kam Seng, dia lalu mengadu kepandaian melawan Wi Kong Siansu
yang lihai.
Lili merasa kagum dan tertarik
mendengar penuturan Goat Lan, terutama sekali tentang pertemuan Goat Lan dengan
Ang I Niocu.
“Dan sekarang, kau hendak ke
kota raja atau pulang dahulu, Goat Lan?” tanya Lili sambil memandang wajah
calon iparnya yang cantik manis.
“Aku harus pulang lebih dulu ke
Tiang-an, membuat persiapan mengobati penyakit yang diderita oleh putera
Kaisar.”
“Bagus, kalau begitu, marilah
kita pergi bersama, karena aku pun hendak mengunjungi orang tuamu.”
Berangkatlah dua orang dara
remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu, langsung menuju ke Tiang-an…..
********************
Untuk menghormat dan
menyenangkan hati Hailun Thai-lek Sam-kui, Ban Sai Cinjin lalu mengadakan pesta
di gedungnya di dusun Tong-sin-bun. Dalam pesta ini ia mengundang
kawan-kawannya yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dan para pembesar serta
para hartawan. Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio disuruh mengundang beberapa orang
gagah dari kota-kota yang berdekatan.
Banyak orang-orang yang
berkepandaian tinggi menghadiri pesta itu, akan tetapi semua termasuk satu
golongan dengan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, di antara para tamu ini yang patut
dikemukakan hanya seorang dari Shantung yang kebetulan lewat di dusun itu.
Orang ini bernama Lok Cit Sian
dan ia adalah seorang ahli silat dari cabang Thai-kek-pai yang tersesat hingga
tidak diakui lagi sebagai anak murid Thai-kek-pai. Lok Cit Sian yang bertubuh
tinggi kurus seperti pohon bambu ini meski usianya telah mendekati lima puluh
tahun, namun dia terkenal sebagai seorang bandot tua yang menjemukan. Kesukaannya
inilah agaknya yang membuat dia bersahabat baik dengan Ban Sai Cinjin, cocok
seperti yang dikatakan orang bahwa dua orang dapat menjadi sahabat karib apa
bila kesukaan mereka sama.
Pesta berlangsung meriah
sekali dan pengaruh arak telah mulai tampak pada para tamu. Suara ketawa
bergelak makin lama makin riuh dan percakapan yang terdengar, makin lama makin
bebas dan tidak dibatasi oleh kesopanan lagi.
Di meja besar yang berada di
tengah ruangan pesta, duduklah Ban Sai Cinjing, Wi Kong Siansu, ketiga Hailun
Thai-lek Sam-kui dan Lok Cit Sian. Meja-meja lain dalam ruangan itu sampai ke
ruangan luar juga dipenuhi tamu. Semuanya ada belasan meja banyaknya. Meja-meja
di ruangan luar diduduki oleh tamu-tamu yang muda, sebagian besar adalah
orang-orang muda yang kurang ajar dan tidak sopan, orang-orang muda yang
pandainya hanya berjudi, mengganggu wanita dan berkelahi mengandalkan kekayaan
orang tua.
Ketika para pemuda itu
bersenda gurau membicarakan tentang wanita-wanita, tiba-tiba semua mata
memandang ke arah selatan dari mana datang seorang gadis remaja yang amat
menarik hati.
Gadis itu masih amat muda,
bertubuh ramping menggiurkan dengan pakaian yang amat sederhana. Akan tetapi
kesederhanaan pakaiannya yang mencetak tubuhnya ini bahkan menonjolkan
keindahan bentuk tubuhnya yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar itu.
Wajahnya yang cantik manis tidak dibedaki, akan tetapi kecantikannya yang wajar
itu benar-benar mengagumkan dan menggairahkan hati tiap orang laki-laki.
Tentu saja, melihat datangnya
gadis ini, para pemuda itu bagai kucing-kucing kelaparan melihat tikus gemuk.
Semua mata memandang dengan dipentang lebar seolah-olah bola matanya hendak
lompat keluar dari pelupuk mata, bibir mereka tersenyum menyeringai dan mereka
sibuk membereskan rambut atau pakaian yang kusut. Banyak yang menelan ludah
pada waktu menyaksikan betapa gadis elok itu melenggang dengan pinggang yang
lemas, sehingga cocok sekali perumpamaan kuno bahwa pinggang dan tubuh gadis
itu demikian lemas dan gayanya demikian indah seperti pohon yang-liu tertiup
angin!
Tidak heran apa bila semua
pemuda mata keranjang itu tertarik hatinya melihat gadis ini. Gadis ini bukan
lain adalah Lilani, dara suku bangsa Haimi yang cantik. Sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan, Lilani setelah tertolong oleh Lie Siong, lalu
diantar oleh pemuda itu menuju ke Tiang-an. Kini mereka melanjutkan perjalanan
dengan jalan kaki dan meninggalkan perahu di tepi sungai.
Sebagai seorang gadis Haimi
yang berwatak jujur, dengan terang-terangan Lilani selalu menyatakan dalam
segala sikap serta perbuatannya bahwa gadis ini mencinta pemuda penolongnya
itu. Akan tetapi, Lie Siong selalu bersikap dingin, biar pun di dalam hatinya
kadang kala timbul gelora karena sikap dan kecantikan gadis ini amat menarik
hatinya.
Tiap kali mereka bermalam di
rumah penginapan, Lilani selalu berkeras ingin bermalam di dalam satu kamar.
Tentu saja Lie Siong merasa tidak enak hati sekali, akan tetapi dia menjadi
terharu juga ketika mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar jujur dan
berhati putih bersih. Setiap kali mereka tinggal sekamar dalam sebuah hotel,
gadis itu tanpa banyak cakap lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang
hanya sebuah, tidur di pinggir dan miringkan tubuh membelakangi Lie Siong lalu
tidur pulas!
Terpaksa Lie Siong tidak
mengajukan keberatan lagi, bahkan ia merasa malu kepada diri sendiri karena
tadinya dia menyangka bahwa Lilani adalah gadis yang berpikiran kotor. Yang
lebih mengharukan hatinya adalah saat dia melihat gadis itu tidur dalam
kedinginan lalu selimut yang hanya satu-satunya itu dia selimutkan di atas
tubuh gadis itu akan tetapi pada keesokan harinya ketika dia bangun dari
tidurnya, ternyata bahwa selimut itu telah pindah tempat dan telah diselimutkan
oleh Lilani di atas tubuhnya!
Pernah Lilani mengatakan bahwa
kini ia tidak ingin tinggal bersama Kwee-lo-enghiong di Tiang-an.
“Mengapa?” Lie Siong bertanya
terheran. “bukankah kau sendiri yang minta supaya aku mengantarmu ke Tiang-an?”
“Tadinya memang hanya
Kwee-lo-enghiong satu-satunya orang yang dapat kuharapkan, akan tetapi sekarang
aku lebih senang tidak berumah dan selamanya merantau bersama denganmu, Lie
Taihiap.”
Ucapan yang sejujurnya ini
menusuk perasaan Lie Siong dan membuka matanya bahwa gadis Haimi ini
benar-benar mencinta padanya. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berlaku
seolah-olah ia tidak mengerti akan pengutaraan rasa hati gadis itu.
Pada hari itu, mereka tiba di
dusun Tong-sin-bun dan menyewa sebuah kamar di hotel. Seperti biasa, pelayan
mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, akan tetapi hal ini tidak
mempengaruhi perasaan Lie Siong karena telah sering kali mereka dianggap suami
isteri oleh pelayan hotel. Dan selalu Lilani menyambut anggapan ini dengan
wajah berseri dan mulut tersenyum manis.
“Taihiap, marilah kita
berjalan-jalan melihat keadaan dusun ini yang sangat ramai,” Lilani mengajak
Lie Siong ketika mereka telah duduk mengaso.
“Kau pergilah kalau ingin
berjalan-jalan, Lilani. Aku sedang malas dan biar aku menanti kau di sini,”
jawab Lie Siong.
Biar pun hatinya kecewa,
Lilani pergi juga seorang diri, dengan maksud hendak mencari sesuatu yang enak
dan dibelinya untuk Lie Siong! Demikianlah, tanpa disengaja ia lewat rumah
gedung Ban Sai Cinjin dan kini, dengan hati mendongkol ia melihat betapa mata beberapa
orang muda yang sedang makan minum di ruangan depan itu memandangnya dengan
kurang ajar sekali.
“Aduh, Nona manis, hendak
pergi ke manakah?” seorang di antara mereka menegur sambil tersenyum-senyum.
Lilani tidak mempedulikannya
dan hendak berjalan terus. Akan tetapi orang ke dua lalu menghadang di depannya
dan berkata,
“Wahai dewi kahyangan, marilah
kau makan minum dengan kami. Bukan begitu kawan-kawan?”
“Akur! Nona ini harus makan
minum, menemani kita bergembira,” teriak yang lain.
Sambil tertawa-tawa, pemuda
itu lalu mengulur tangan hendak menangkap dan menarik lengan Lilani. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika gadis itu mengelak dan mengirim tamparan ke
arah pipinya.
“Plokk!”
Pemuda itu menjerit kesakitan
dan terhuyung mundur. Kawan-kawannya menjadi marah dan hendak menangkap Lilani,
akan tetapi menghadapi kawanan pemuda liar ini Lilani cukup lihai. Beberapa
kali tangannya bergerak dan empat orang pemuda roboh sambil mengaduh-aduh
kesakitan.
Ban Sai Cinjin yang duduk
makan minum di ruang dalam, mendengar suara ribut-ribut ini, lalu ia berdiri
dan bertindak keluar, diikuti oleh Liok Cit Sian. Ada pun Wi Kong Siansu dan
ketiga Thailek Sam-kui yang sedang bertanding mengadu kekuatan minum arak, tak
mempedulikannya dan terus saja duduk minum dengan gembira.
Ban Sai Cinjin menjadi kaget
dan marah sekali melihat seorang gadis muda yang cantik menghajar beberapa
orang tamunya. Akan tetapi ketika Lok Cit Sian melihat gadis itu, matanya yang
juling berseri-seri dan dia berbisik, “Ban Sai Cinjin sahabat baik, jangan
mencelakai burung molek ini, serahkan dia untukku.”
Ban Sai Cinjin tersenyum dan
dia lalu bertanya kepada para tamunya apakah yang telah terjadi.
“Kami dengan baik-baik
menawarkan dia makan minum, akan tetapi Nona ini sebaliknya lalu mengamuk dan
memukul!” Pemuda yang kena ditampar tadi mengadu.
“Hem, hem, galak benar,” kata
Ban Sai Cinjin. Dengan mulut menyeringai, ia mengambil tempat masakan, lalu
menggunakan sebatang sumpit ia mencokel sepotong daging yang panas mengebul
sambil berkata,
“Nona manis, akulah tuan
rumahnya dan karena kau sudah datang, silakan kau makan daging ini!”
Biar pun gerakannya mencokel
daging dengan sumpit itu perlahan saja, namun daging itu bagaikan disambitkan
lalu meluncur dan menyambar ke arah muka Lilani! Gadis itu terkejut sekali
ketika merasa betapa sambaran daging itu mendatangkan angin kuat. Hal ini sama
sekali tak pernah disangkanya sehingga kalau ia tidak cepat menarik tubuhnya ke
belakang, tentu daging panas itu akan mengenai mulutnya!
“Tua bangka kurang ajar!”
bentaknya dan semua orang merasa heran mendengar betapa suara gadis ini lain
dengan orang Han biasa.
Akan tetapi pada saat itu,
sumpit di tangan Ban Sai Cinjin sudah berkali-kali mencokel lagi dan tiga
potong daging menyambar ke arah Lilani. Gadis ini berusaha mengelak dan memang
benar ia dapat menghindarkan diri dari sambaran daging pertama dan kedua, akan
tetapi sambaran daging ke tiga tak dapat dielakkannya lagi.....
Dengan tepat sekali daging ini
mengenai jalan darahnya di dekat iga kiri dan seketika itu juga Lilani merasa
seluruh tubuhnya kesemutan dan dua tangannya tak dapat digerakkan lagi! Dia
terkejut sekali dan lebih-lebih terkejutnya pada saat orang tinggi kurus yang
tadi berdiri di belakang Ban Sai Cinjin sambil tertawa-tawa, kini melangkah
maju dan begitu orang tinggi kurus ini mengulur tangan, dia telah kena dipeluk
dan dipondongnya.
“Ha-ha-ha, burung muraiku yang
manis. Mari masuk dalam sangkar emas bersamaku!”
Dengan mata terbelalak
bagaikan seekor kelinci yang tertangkap oleh serigala, Lilani pun segera
memaklumi keadaannya yang sangat berbahaya ini. Dia tak dapat menggerakkan
kedua tangannya, akan tetapi dia masih dapat mengeluarkan suara.
Ketika dulu dia masih hidup
bersama suku bangsanya dan hidup di hutan belukar, ia dan kawan-kawannya
memiliki semacam seruan tanda bahaya yang maksudnya untuk minta tolong kepada
kawan-kawan. Kini dalam keadaan bahaya dan hatinya takut sekali, maka otomatis
dia segera mengeluarkan pekik yang amat nyaring bunyinya.
Pekik ini terdengar seperti
siulan panjang yang nyaring bergema, dan terdengar seperti bunyi seekor burung
hutan. Semua orang terkejut mendengar bunyi yang aneh ini, akan tetapi Lok Cit
Sian sambil tertawa berkata,
“Ha-ha-ha, burungku yang indah
benar-benar pandai bersiul!”
Letak rumah penginapan yang
ditinggali oleh Lie Siong tidak jauh dari gedung Ban Sai Cinjin. Pada waktu
itu, ia sedang duduk memikirkan Lilani dengan pikiran bingung. Harus diakuinya,
bahwa setelah melakukan perjalanan bersama Lilani selama sebulan lebih, dia
telah merasa biasa dan gembira berada dekat gadis ini. Sikap gadis ini yang
ramah dan mencintanya, berkesan dalam-dalam di hatinya sehingga kini timbul
keraguan di dalam hatinya apakah dia akan merasa senang apa bila Lilani dia
tinggalkan di rumah Kwee An. Apakah dia akan dapat merasa gembira lagi setelah
berpisah dari gadis itu?
Tiba-tiba saja dia mendengar
siulan panjang dan nyaring. Ia terkejut karena ketika masih melakukan
perjalanan dengan perahu, pada suatu malam di tengah hutan, pernah Lilani mengeluarkan
siulan seperti itu. Oleh karena perahu mereka berada di dalam hutan dan banyak
terdengar suara binatang di waktu malam, saking girangnya Lilani mengeluarkan
siulan itu sehingga mengejutkan hati Lie Siong.
Dan kini terdengar siulan
seperti itu lagi! Ia teringat bahwa siulan itu berarti minta tolong, demikian
Lilani dulu menerangkan siulan itu kepadanya. Tanpa membuang banyak waktu lagi,
Lie Siong menyambar pedangnya yang segera diikatkan di pinggang, kemudian dia
berlari menuju ke arah datangnya siulan tadi.
Alangkah marahnya ketika dia
tiba di depan gedung yang sedang berpesta itu, ia melihat Lilani sedang
dipondong oleh seorang kurus tinggi dan diiringi dengan gelak tertawa para tamu
yang berada di situ. Dalam kemarahan yang berkobar memuncak, Lie Siong lantas
melompat dan menerjang Si Tinggi Kurus itu dengan gerakan yang disebut Raja
Kera Merampas Mustika. Tangan kanannya menyerang dengan tusukan kedua jari
tangan ke mata Si Tinggi Kurus, sedang tangan kirinya menyambar ke arah tubuh
Lilani!
Tak seorang pun menduga
datangnya pemuda ini, maka tentu saja Lok Cit Sian menjadi terkejut sekali. Dia
sedang bergembira karena telah berhasil mendapatkan seorang dara yang demikian
cantiknya, maka akibat nafsu yang memeningkan kepalanya, hampir saja dia tidak
dapat menghindarkan matanya dari tusukan dua buah jari tangan Lie Siong.
Baiknya Lok Cit Sian telah
memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka dia masih dapat merasakan
datangnya bahaya. Cepat dia menjatuhkan diri ke belakang dan ia dapat mengelak
dari serangan Lie Siong. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah pemuda itu
merenggut tubuh Lilani dari pondongannya.
Dengan gerakan cepat, Lie
Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan Ban
Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan dibawaya melompat ke
pekarangan depan.
Barulah terjadi keributan
setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak terduga ini.
Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah bukan main. Murid murtad dari
Thai-kek-pai ini lalu mencabut pedangnya dan dengan mengeluarkan gerengan
bagaikan seekor harimau terluka, dia segera menyerbu ke depan dan menyerang Lie
Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang istimewa.
Pedang Lok Cit Sian
berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.
“Traang...!”
Dua pedang bertemu, maka
berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata bukanlah pedang
sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut ketika merasa
betapa pedangnya telah menempel pada pedang lawan yang aneh itu, dan pada saat
ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan yang berbentuk naga itu telah
berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya.
Dia mencoba untuk menarik
pedangnya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lie Siong melakukan pukulan dengan
Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya. Lok Cit Sian adalah seorang ahli
silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pukulan tangan kiri yang mengeluarkan
uap putih, dia maklum akan kelihaian pukulan ini, maka dia mengerahkan tenaga
lweekang-nya, membuka tangan kirinya untuk menyambut pukulan lawan.
“Aduh...!” Lok Cit Sian
mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih menempel pada
pedang Lie Siong!
Tiba-tiba Lie Siong merasa ada
sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat membalikkan tubuh
sambil menangkis dengan pedangnya ke belakang.
“Traaang...!”
Lie Siong merasa terkejut
sekali saat merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar, sedangkan
pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih menempel dan terlibat oleh lidah
pedangnya kini telah mencelat jauh. Ternyata bahwa yang menyerangnya tadi
adalah seorang kakek gemuk yang berpakaian mewah. Kakek ini telah menyerangnya
dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat, dan melihat betapa tenaga serangan
itu sanggup menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong bahwa ia menghadapi
seorang pandai.
“Bangsat muda, apakah kau buta
maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek itu berkata sambil
melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.
Akan tetapi, Lie Siong sama
sekali tidak gentar menghadapi huncwe-nya itu dan dengan cepat dapat menangkis
lantas membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.
Sementara itu setelah
dibebaskan oleh Lie Siong, Lilani lalu menyerang pemuda yang tadi
mengganggunya. Ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, orang yang tadi
ditamparnya tahu-tahu kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan
ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga tubuh lawannya berada di
belakangnya, gadis itu lalu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan
sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu
terlempar ke udara!
Pemuda itu menjerit-jerit
ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia jatuh di atas
genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani turun dan
sambil berkaok-kaok minta tolong, ia memegang wuwungan dengan tubuh menggigil
dan muka pucat.
Sementara itu ketika Lilani
melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang tengah mainkan
senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa banyak orang
mulai mencabut senjata dan agaknya hendak mengeroyok Lie Siong, lalu berseru,
“Taihiap, mari kita pergi dari
sini. Aku takut!”
Lie Siong tidak kenal akan
arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang itu, biar pun harus
ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh dipandang ringan, ia
pantang mundur. Akan tetapi, begitu mendengar suara Lilani yang menyatakan rasa
takutnya, teringatlah ia bahwa biar pun ia dapat menjaga diri sendiri, namun
apa bila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani, belum tentu ia dapat
melindungi gadis itu.
Maka dengan gerakan yang cepat
dan indah, dia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak tipu Naga Sakti
Bermain-main Dengan Kilat. Pedangnya yang berbentuk naga itu bergerak ke depan,
tanduk naga menotok jalan darah maut di leher Ban Sai Cinjin, lidah naga yang
panjang menyambar ke arah mata dan tangan kiri Lie Siong bergerak pula
melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut.
Ban Sai Cinjin tidak mengenal
ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula pedangnya itu, akan
tetapi melihat pukulan Pek-in Hoat-sut ini, dia segera teringat akan kepandaian
Lili dan Goat Lan. Ia terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang sambil
berseru,
“Bangsat rendah, ternyata kau
adalah keturunan Pendekar Bodoh!”
Akan tetapi Lie Siong sudah
melompat ke dekat Lilani dan menyambar pinggang gadis itu yang ramping lalu
berlari pergi sambil berseru, “Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal Pendekar
Bodoh!”
Dia memang merasa mendongkol
karena ke mana juga dia pergi, dia selalu mendengar nama Pendekar Bodoh disebut
orang, sungguh pun kali ini agaknya disebut oleh orang yang memusuhi Pendekar
Bodoh.
Ban Sai Cinjin dan Lok Cit
Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Wi Kong Siansu yang
baru saja keluar. “Tak perlu dikejar lawan yang sudah melarikan diri. Pula,
kali ini kawan-kawanmu berada di pihak yang salah, Sute.”
Ban Sai Cinjin merah mukanya
dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu kembali ke ruangan dalam. Pesta
dilanjutkan biar pun suasananya tidak semeriah tadi…..
********************
Lie Siong berlari terus
memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan mengajak Lilani
keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tetap berada di hotel,
maka bahaya besar akan mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan di luar goa, ia
berhenti dan bertanya kepada Lilani.
“Lilani, bagaimanakah
terjadinya keributan itu?”
Lilani segera menceritakan
betapa dia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie Siong mendengarkan
dengan muka merah sebab hatinya tiba-tiba menjadi panas sekali. Sambil
mengertak gigi, ia berkata,
“Kau tunggulah di sini. Aku
hendak kembali ke sana dan sebelum dapat menghancurkan kepala Si Tinggi Kurus
yang menghinamu, aku belum merasa puas.”
Mendadak Lilani menjadi pucat
ketakutan. “Jangan, Taihiap, jangan kau pergi ke sana. Mereka itu orang-orang
jahat yang lihai sekali.”
“Aku tidak penakut seperti
kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar mereka!” Dia
hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan memegang
tangannya.
“Taihiap, jangan... jangan kau
pergi ke sana...,” suaranya menggigil sehingga Lie Siong menjadi
terheran-heran. “Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri, aku takut
kalau-kalau kau akan mendapat celaka. Tidak tahukah kau betapa tadi pun aku
sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak dikeroyok? Kakek gemuk itu
lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang yang lihai
dan jahat.”
“Aku tidak takut! Untuk
membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”
“Jangan, Taihiap. Kau tidak
takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup lebih lama lagi kalau
kau sampai menderita celaka di sana?” Gadis itu lalu menangis dan memeluk kedua
kaki Lie Siong.
Sungguh mengherankan, melihat
keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya berdebar aneh!
“Jangan takut, Lilani. Aku
takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka di tanganku!”
Sesudah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani, dan segera
melompat pergi.
Hari telah menjadi gelap
ketika bayangan Lie Siong berkelebatan cepat di atas genteng gedung Ban Sai
Cinjin di mana siang hari tadi diadakan pesta untuk menghormati Hailun Thai-lek
Sam-kui. Keadaan di dalam gedung itu tidak seramai tadi, karena Ban Sai Cinjin,
ketiga kakek Thai-lek Sam-kui, Wi Kong Siansu, dan juga Lok Cit Siang telah
pergi dan mengunjungi kuil di dalam hutan.
Orang-orang tua yang lihai ini
melanjutkan percakapan di dalam kuil ini supaya tidak terganggu oleh
orang-orang muda yang masih melanjutkan pesta di gedung itu. Hanya Kam Seng dan
Hok Ti Hwesio yang mewakili tuan rumah dan menjamu para tamu yang kini terdiri
dari orang-orang muda. Pesta itu kini dimeriahkan oleh beberapa orang wanita
penyanyi dan para tamu menjadi makin mabuk.
Tentu saja Lie Siong tidak
tahu bahwa kakek-kakek yang lihai itu tidak berada di tempat itu, dan ia pun
tidak peduli. Pemuda putera Ang I Niocu ini memang memiliki ketabahan hati
seperti ibunya dan juga memiliki kecerdikan dan pandangan luas seperti ayahnya.
Ia maklum bahwa seorang diri
menghadapi begitu banyak lawan, terutama sekali adanya para orang tua yang
pandai itu, merupakan hal yang bodoh sehingga sama saja dengan membunuh diri.
Oleh karena itu, dia segera menuju ke ruang belakang yang sunyi dan mencari
akal. Satu-satunya jalan untuk dapat menghajar mereka, pikirnya, adalah dengan
cara membuat mereka cerai-berai dan memecah-mecah perhatian mereka.
Gerakan tubuh Lie Siong
demikian hati-hati dan ginkang-nya memang sudah sempurna seperti ibunya, maka
anak buah dan kaki tangan Ban Sai Cinjin yang berpesta pora di dalam gedung
tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Bahkan Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng
yang sudah memiliki ilmu silat tinggi juga tidak mengetahuinya.
Hal ini bukan menandakan bahwa
kepandaian kedua orang murid Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu ini masih
rendah, melainkan oleh karena keadaan di dalam gedung itu amat ramainya
sehingga tentu saja mereka tidak memperhatikan keadaan di luar mau pun di atas
gedung. Dan pula, siapakah orangnya yang berani mengganggu rumah gedung Ban Sai
Cinjin?
Tiba-tiba, nampak api bernyala
hebat di bagian belakang gedung, disusul pula oleh nyala api di sebelah kanan
dan kiri gedung. Dalam waktu yang susul menyusul, gedung itu sudah kebakaran di
tiga tempat, yaitu di belakang, kanan dan kiri! Barulah orang-orang yang
berpesta pora menjadi geger.
“Kebakaran...! Kebakaran...!”
Orang-orang mulai berteriak-teriak dan semua orang berlari serabutan ke sana ke
mari.
Hok Ti Hwesio dan Song Kam
Seng mengepalai orang-orang itu untuk memadamkan api yang membakar
bagian-bagian gedung itu. Orang-orang sibuk bekerja keras karena api yang
membakar gedung itu besar juga dan terjadi di tiga tempat.
Di dalam keributan itu,
sesosok bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, bagaikan seekor burung
garuda, menyambar turun dari genteng dan begitu tubuhnya menyambar, menjeritlah
beberapa orang muda yang roboh dengan mandi darah! Ternyata bahwa Lie Siong
yang merasa marah dan sakit hati karena Lilani diganggu, kini mulai menurunkan
tangan maut sebagai pembalasan dendam!
Dengan pedang di tangannya,
pemuda ini meyerbu orang-orang yang nampak di dalam gedung. Ke mana saja
tubuhnya berkelebat, pasti ada seorang korban yang roboh oleh pedangnya atau
oleh serangan tangan kiri dan kakinya. Beberapa orang mengeroyoknya dengan
senjata di tangan, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, pengeroyok yang
jumlahnya empat orang ini kesemuanya roboh tak dapat bangun pula!
Sepak terjang Lie Siong
benar-benar mengerikan. Ia keras hati dan membenci kejahatan melebihi ibunya
dahulu. Di dalam anggapannya, semua orang yang berada di gedung itu adalah
penjahat-penjahat belaka yang harus dibasmi dari muka bumi. Maka sebentar saja,
selagi api masih belum dapat dipadamkan, belasan orang telah ia robohkan!
Hok Ti Hwesio dan Kam Seng
masih sibuk dalam usaha mereka memadamkan api ketika ada seorang pemuda datang
kepada mereka dengan wajah pucat dan berkata gagap, “Celaka, ada musuh
mengamuk... banyak kawan dibunuh...”
Mendengar ucapan itu, marahlah
kedua orang ini. Mereka tadi memang sudah merasa curiga dan menduga bahwa
kebakaran ini pasti ditimbulkan oleh musuh jahat. Sambil berteriak marah, Hok
Ti Hwesio mendahului Kam Seng dan melompat ke tengah gedung.
Dia melihat seorang pemuda
sedang mengamuk dengan pedangnya dan ketika melihat bahwa pemuda itu adalah
orang yang siang tadi telah mengacau, dia pun menjadi marah sekali. Dicabutnya
pisau terbangnya dan berserulah Hok Ti Hwesio,
“Keparat keji rasakan tajamnya
senjataku!” Ia menggerakkan tangannya dan pisaunya itu melayang dengan cepatnya
sambil mengeluarkan suara mengaung keras.
Melihat benda bersinar
menyambar ke arah lehernya, Lie Siong cepat-cepat mengelak. Akan tetapi segera
menyusul dua pisau terbang lagi yang meluncur cepat. Sekali ini Lie Siong
menggerakkan pedangnya dan…
“Traaang…! Traaang…!” dua buah
pisau itu dapat ditangkis.
Lie Siong merasa kagum juga
ketika merasa betapa telapak tangannya kesemutan tanda bahwa pisau itu
dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi kekagumannya berubah
kekagetan pada waktu pisau pertama yang tadi dapat dielakkan itu menyambar
kembali dari belakangnya! Ia cepat-cepat melompat ke samping dan segera
menubruk ke depan ketika pisau itu lewat.
Dengan pedangnya yang aneh dia
lalu menyerang Hok Ti Hwesio yang sementara itu telah siap dengan pisau di
kedua tangannya! Pada saat Hok Ti Hwesio didesak oleh Lie Siong, datanglah Kam
Seng yang telah mencabut pedangnya. Tidak lama kemudian Lie Siong telah dikeroyok
dua oleh Hok Ti Hwesio dan Kam Seng.
Lie Siong mendapat kenyataan
bahwa kepandaian dua orang pengeroyoknya ini hebat dan kuat sekali, akan tetapi
tentu saja putera Ang I Niocu ini tidak menjadi gentar sama sekali. Dia lalu
bersilat dan memutar pedangnya dengan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut.
Tubuhnya yang semenjak kecil
telah dilatih dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) menjadi lemas.
Ada pun gerak geriknya selain indah juga cepat sekali. Maklum bahwa ia
menghadapi dua orang lawan tangguh, Lie Siong lalu menggerakkan tangan kirinya
dan mengebullah uap putih dari lengan kirinya ketika dia bersilat dengan Ilmu
Silat Pek-in Hoat-sut yang hebat.
Melihat Pek-in Hoat-sut, bukan
main kagetnya Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lagi-lagi seorang muda dari rombongan
Pendekar Bodoh, pikir mereka. Telah dua kali mereka bertemu dengan orang-orang
muda dari rombongan Pendekar Bodoh yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut,
yaitu Lili puteri Pendekar Bodoh sendiri, dan sekarang pemuda ini yang memegang
sebatang pedang luar biasa anehnya! Dan keduanya ternyata memiliki ilmu silat
yang luar biasa tingginya!
Dengan penuh semangat Hok Ti
Hwesio dan Kam Seng kemudian menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaian
mereka sehingga Lie Siong belum dapat merobohkan mereka. Kepandaian kedua orang
itu sesungguhnya sudah tinggi dan apa bila Lie Siong tidak memiliki ilmu pedang
yang hebat dan ginkang yang tinggi, agaknya sulitlah baginya untuk dapat
mempertahankan desakan mereka.
Lebih-lebih kaget hati Lie
Siong pada waktu ia berhasil menendang perut Hok Ti Hwesio, oleh karena
tendangan yang kekuatannya sedikitnya seribu kati itu, dan yang pasti akan
membinasakan seorang ahli silat lainnya ini, hanya mampu membuat tubuh hwesio
muda itu terpental sampai dua tombak jauhnya, jatuh menggelundung lalu melompat
berdiri lagi tanpa terluka sedikit pun! Bahkan hwesio itu marah sekali lalu
menyerang dengan luar biasa hebatnya.
Tentu saja Lie Siong tidak
tahu bahwa Hok Ti Hwesio memiliki ilmu kekebalan yang amat hebat, maka dia menjadi
penasaran sekali. Ia membulatkan tekad untuk membinasakan dua orang yang
dianggapnya amat berbahaya ini.
Penjahat-penjahat dengan
kepandaian yang tinggi harus dibinasakan, kalau tidak, tentu akan mendatangkan
kekacauan dan kejahatan di antara sesama hidup. Maka dia segera memutar
pedangnya lebih cepat lagi. Yang mengagumkan hatinya adalah ilmu pedang Kam
Seng, karena walau pun gerakannya lemah-lembut namun Kam Seng selalu dapat
menjaga diri dengan baik dan bahkan melakukan serangan balasan yang tidak kalah
berbahayanya.
Diam-diam Lie Siong merasa
heran melihat Kam Seng, karena bagaimanakah seorang pemuda yang berwajah tampan
dan bersih, bersikap lemah-lembut dan sinar matanya sama sekali tidak nampak
seperti seorang penjahat, dapat bersatu dengan orang-orang jahat? Juga, di
dalam pertempuran ini, agaknya pemuda itu tak berniat sungguh-sungguh untuk
mengadu jiwa, hanya hendak menguji kepandaian saja, berbeda dengan Hok Ti
Hwesio yang menyerang membuta tuli.
Betapa pun juga, ilmu
kepandaian Lie Siong masih menang setingkat bila dibandingkan dengan kedua
orang pengeroyoknya, maka pada suatu saat yang tepat, lidah pedang naga di
tangan Lie Siong yang panjang itu berhasil menotok Kam Seng hingga pemuda itu
terhuyung mundur dengan wajah pucat sekali. Baiknya dia masih dapat mengerahkan
ginkang-nya dan menutup jalan darahnya, sehingga ia tidak terluka hebat, hanya
untuk beberapa lama sebelah tangannya, yaitu tangan kiri menjadi kaku tak dapat
digerakkan lagi.
Lie Siong mendesak hebat
kepada Hok Ti Hwesio. Ia ingin sekali menjatuhkan serangan maut, akan tetapi
Hok Ti Hwesio lalu bersuit keras sebagai tanda kepada kawan-kawan untuk maju
mengeroyok. Sekarang api sudah dapat dipadamkan dan semua orang telah berkumpul
di sana. Melihat betapa Kam Seng sudah dikalahkan serta Hok Ti Hwesio memberi
tanda, maka lebih dari dua puluh orang serentak maju mengeroyok.
Lie Siong makin gembira
melihat datangnya keroyokan dan pedangnya berkelebat makin ganas, merobohkan
beberapa orang lagi dalam satu gerakan saja! Hebat sepak terjang pemuda ini
sehingga gentar juga hati Hok Ti Hwesio melihatnya.
“Lekas, panggil Suhu dan
Supek!” teriaknya kepada para kawannya.
Lie Siong terkejut dan
teringatlah dia pada kakek gemuk yang siang tadi telah bertempur dengan dia.
Kalau kakek itu dan orang-orang lain yang siang tadi kepandaiannya sudah
dibuktikannya datang pula mengeroyok, maka akan berbahayalah keadaannya.
Dia pun teringat pula kepada
Lilani yang ditinggalkan di tengah hutan. Alangkah gelisah gadis itu
ditinggalkan seorang diri di dalam hutan yang gelap itu. Dia sudah membakar
rumah dan merobohkan belasan orang, maka sedikitnya kemarahannya sudah mereda.
Telah cukup pembalasan yang ia lakukan untuk Lilani. Penghinaan yang dilakukan
orang kepada Lilani sudah terbalas lebih dari pantas dan cukup. Pula, ia pun
telah mulai lelah sesudah bertempur menghadapi keroyokan itu.
Dengan gerakan Naga Sakti
Memutar Tubuh, Lie Siong mengayunkan pedangnya serta memutarnya sedemikian rupa
sehingga yang nampak hanya segulung sinar pedang yang menyilaukan saja,
kemudian pada saat para pengeroyoknya mundur menyelamatkan diri, dia cepat
melompat ke atas genteng!
“Bangsat hina dina, jangan
lari!” seru Hok Ti Hwesio dan terbanglah dua batang pisau yang disambitkannya.
Lie Siong memutar pedangnya
dan berhasil menangkis dua batang pisau itu, akan tetapi baru saja ia terhindar
dari serangan senjata gelap ini, tiba-tiba terdengar angin menderu dan lima
batang benda hitam yang bundar menyerang lima jalan darah pada tubuhnya.
Lie Siong terkejut sekali dan
cepat ia melompat tinggi sambil berjungkir balik, dan tidak lupa untuk memutar
pedangnya melindungi diri. Untung dia bergerak cepat, kalau tidak, tentu ia
akan terkena sengan senjata rahasia yang lihai ini! Ia cepat melompat jauh dan
menghilang di dalam gelap, diam-diam kagum melihat senjata rahasianya yang
ternyata adalah thi-tho-ci dan dilepas oleh Kam Seng!
Dengan marah sekali Hok Ti
Hwesio hendak mengejar, akan tetapi Kam Seng berkata, “Percuma saja dikejar,
penjahat itu memiliki kepandaian yang lebih lihai dari kita!”
Ia menghela napas dan masih
merasa terpesona oleh gerakan Lie Siong yang dengan mudahnya dapat
menghindarkan diri dari serangannya tadi. Dia telah menyempurnakan pelajaran
melepas senjata rahasia thi-tho-ci dan mendapat petunjuk dari suhu-nya, akan
tetapi ternyata bahwa pemuda aneh tadi dapat mengelak dengan mudah dan
indahnya.
Dengan hati amat kecewa Kam
Seng mendapat kenyataan bahwa rombongan Pendekar Bodoh, orang-orang muda yang
sudah memperlihatkan diri, ternyata adalah orang-orang gagah yang berkepandaian
jauh lebih tinggi dari padanya. Apa lagi yang tua-tua seperti Pendekar Bodoh,
isterinya, Kwee An dan isterinya, dan yang lain-lain! Aku harus minta kepada
suhu untuk menurunkan pelajaran ilmu silat Mongol supaya mampu menandingi mereka,
pikirnya dengan hati tetap.
Sementara itu, Lie Siong
berhasil melarikan diri dengan hati puas. Dia sudah melakukan pembalasan yang
cukup berhasil dan telah menebus penghinaan terhadap Lilani. Tiada seorang pun
di dunia ini boleh menghina Lilani, gadis yang amat dikasihani itu.
Hutan di mana ia meninggalkan
Lilani amat gelap sehingga Lie Siong terpaksa melakukan perjalanan lambat.
Ketika tiba di tempat di mana tadi dia meninggalkan Lilani, ternyata bahwa
tempat itu sunyi dan tidak nampak bayangan orang. Ia merasa heran sekali.
Ia ingat benar bahwa tadi ia
meninggalkan Lilani di situ, di bawah pohon besar itu, akan tetapi mengapa
sekarang tidak nampak gadis itu di tempat itu? Ke manakah perginya? Mendadak
Lie Siong merasa hatinya berdebar penuh kecemasan. Jangan-jangan Lilani telah
mendapat bencana ketika ditinggalkan, pikirnya dengan hati gelisah tidak
karuan.
Apakah Lilani telah diterkam
binatang buas? Apakah ditawan oleh orang jahat? Menggigil sepasang kaki Lie
Siong ketika dia memikirkan hal ini. Dia sendiri merasa heran karena belum
pernah selama hidupnya dia menderita perasaan takut dan gelisah seperti ini.
Kalau ia sendiri yang berada di dalam bahaya, ia takkan merasa takut sedikit
pun akan tetapi memikirkan Lilani berada dalam bahaya, ia menjadi gemetar
seluruh tubuhnya!
“Siapa?!” tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring dan Lilani muncul dari balik semak-semak sambil tangannya
memegang pedang!
Lie Siong tidak dapat melihat
nyata, akan tetapi suara itu dikenalnya baik-baik. Hampir ia bersorak saking
girangnya melihat gadis itu ternyata masih berada di situ dalam keadaan baik.
“Lilani... aku yang datang!”
katanya dan kembali ia terheran mendengar suaranya sendiri yang agak gemetar.
Terdengar isak tertahan dan
Lilani lalu melempar pedangnya ke bawah, kemudian berlari dan menubruk Lie
Siong sambil menangis!
“Taihiap... ahhh, Taihiap...”
Gadis ini tadinya merasa amat
ketakutan dan kuatir pemuda yang dicintanya itu terbinasa dan tidak akan
kembali lagi. Kini, melihat Lie Siong datang, kegirangan yang memuncak membuat
dia tak dapat menahan membanjirnya air matanya. Ia memeluk leher pemuda itu,
menciumnya dengan hati gembira dan penuh cinta kasih, sambil mulutnya berbisik
tiada hentinya, “Taihiap... Taihiap...”
Baru kali ini Lie Siong
merasakan getaran hati yang luar biasa. Ketika merasa betapa air mata yang
hangat dari gadis itu membasahi mukanya yang diciumi, merasa betapa dua lengan
tangan Lilani memeluknya dengan erat dan bisikan-bisikan mesra yang menyayat
hatiya, kekerasan hati pemuda ini hancur luluh!
Ia memegang kepala Lilani yang
bergerak-gerak menciuminya, mendekap gadis itu, pada dadanya dan ia lalu
membenamkan mukanya pada rambut gadis itu yang berbau harum.
“Lilani...” suaranya hampir
tidak terdengar karena tertutup oleh getaran perasaan hatinya, “jangan...
jangan menangis, Lilani...”
“Taihiap...” Lilani tersedu
saking girangnya.
Belum pernah pemuda yang
dipujanya ini memperlihatkan perasaan seperti ini dan kini dengan girang,
perasaan wanitanya dapat menangkap bahwa pemuda ini pun ternyata menaruh hati
kasih kepadanya. “Taihiap, pedang itu… kalau bukan kau yang datang, tentu
pedang itu akan menembus dadaku...”
“Lilani...!” Lie Siong
mendekap makin erat.
“Benar, Taihiap, aku sudah
bersumpah takkan mau hidup lagi bila kau sampai mendapat celaka dan terbinasa.”
Demikianlah, pertemuan yang
amat mesra ini menandakan bertemunya dua hati muda di dalam hutan yang gelap
itu akan tetapi yang bagi mereka kini nampak terang. Hawa yang dingin menusuk
tulang terasa hangat menyegarkan, dan suara binatang-binatang buas dan burung
hantu terdengar bagaikan musik yang amat indah merayu kalbu.
Pertemuan dua hati dan dua
jiwa yang sudah lama merana, rindu akan kasih seseorang. Bintang-bintang yang
ribuan banyaknya dianggapnya menjadi saksi atas pertemuan ini, dan
bayang-bayang pohon merupakan selimut yang amat hangat. Bintang-bintang saling
berkedip memberi tanda mata dan tersenyum-senyum maklum…..
********************
Di antara para pendekar remaja
yang kita ikuti perjalanan dan pengalamannya hanya Sie Hong Beng, putera
Pendekar Bodoh yang sulung, yang belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Baiklah
kita jangan meninggalkannya terlebih lama lagi dan mari kita mengikuti
perjalanan pendekar remaja putera Pendekar Bodoh ini.
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, Sie Hong Beng diantar oleh ayahandanya untuk belajar ilmu silat
tinggi dari Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari di Beng-san. Selama sepuluh
tahun, Hong Beng mendapat gemblengan ilmu silat tinggi, memperdalam ilmu
lweekang dan ilmu tongkat yang luar biasa sekali.
Ilmu tongkat ini disebut
Ngo-heng Tung-hwat dan masih ada semacam lagi yang disebut Pat-kwa Tung-hwat.
Untuk mainkan dua macam ilmu tongkat ini saja, dibutuhkan waktu selama lima
tahun oleh Hong Beng untuk dapat mempelajarinya dengan sempurna. Yang istimewa
pada ilmu tongkat ciptaan Pok Pok Sianjin ini adalah bahwa untuk mainkan ilmu
tongkat ini, tidak diperlukan tongkat yang khusus. Sebatang ranting pohon yang
terkecil, sampai batang pohon muda yang besar, dapat pula dipergunakan sebagai
senjata yang istimewa lihainya.
Sesudah menurunkan seluruh
kepandaiannya kepada Hong Beng, Pok Pok Sianjin lalu menyembunyikan diri di
dalam goa di puncak Gunung Beng-san dan menyuruh muridnya turun gunung
melakukan perjalanan merantau sarnbil mempergunakan seluruh pelajaran itu dalam
praktek,
Pada waktu Hong Beng menuruni
gunung di mana untuk sepuluh tahun dia berdiam dan mempelajari ilmu silat
dengan tekunnya, dia telah menjadi seorang pemuda yang gagah sekali. Tubuhnya
tinggi tegap, mukanya lebar dan tampan, berkulit halus. Wajah dan tubuhnya sama
benar dengan ayahnya di waktu muda, demikian pula wataknya pendiam dan sabar,
bahkan berpakaian sederhana seperti ayahnya pula.
Akan tetapi, kalau ayahnya,
yaitu Pendekar Bodoh, di waktu mudanya sering kali suka merendahkan diri dan
dalam kepandaian silat suka mengalah dan berpura-pura bodoh sehingga dijuluki
Pendekar Bodoh, adalah Hong Beng mempunyai watak tidak mau kalah dalam hal
kepandaian silat. Watak ini agaknya ia warisi dari ibunya, karena pada waktu mudanya,
Lin Lin juga memiliki watak demikian. Bahkan pada waktu kecilnya, Hong Beng dan
adiknya, Hong Li atau Lili yang memiliki pendirian sama, sering membicarakan
nama julukan ayah mereka.
“Sungguh menggemaskan, ayah
yang berkepandaian setinggi langit tidak ada lawannya, mengapa disebut Pendekar
Bodoh?” kata Lili sambil merengut.
“Memang aku pun merasa
penasaran sekali,” jawab Hong Beng. “Menurut patut, ayah harus dijuluki
Pendekar Sakti, bukan Pendekar Bodoh.”
Akan tetapi, kalau keduanya
mengajukan rasa penasaran ini kepada ayah mereka, Sie Cin Hai hanya
terbahak-bahak saja dan menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Anak-anak bodoh, manakah yang
lebih baik, gentong arak disangka penuh akan tetapi kosong melompong ataukah
gentong arak yang dianggap kosong akan tetapi penuh isi?”
“Tentu saja lebih baik yang
disangka kosong akan tetapi penuh isi!” Lili yang berotak terang menjawab
dengan kontan.
“Nah,” jawab ayahnya masih
sambil tertawa, “demikian pula soal nama julukan. Lebih baik disangka bodoh
akan tetapi tidak bodoh dari pada dianggap pinter akan tetapi goblok!”
Betapa pun juga, setelah
menjadi dewasa, Hong Beng masih saja tak mau merendahkan diri dan berpura-pura
bodoh seperti ayahnya. Ia adalah seorang pemuda yang maklum akan kepandaian
sendiri, dan hasratnya besar sekali untuk menguji ilmu kepandaiannya dengan
kepandaian orang lain.
Bila orang melihat Hong Beng
turun gunung dengan pakaian yang demikian sederhana, berwarna biru dengan
rambut atas diikat pita kecil, warna sepatunya hitam tanpa kaos, orang tidak
akan mengira bahwa dia adalah putera Pendekar Bodoh dan murid Pok Pok Sianjin
yang sakti.
Pemuda ini tidak membawa
senjata apa-apa, bertangan kosong dan meski pun tubuhya tinggi tegap, namun
kulit mukanya putih dan halus. Pakaiannya seperti seorang petani sederhana,
akan tetapi sikap dan gerak gayanya yang lemah lembut membuat ia pantas
dianggap orang seperti seorang pemuda terpelajar yang lemah. Tapi, jika orang
melihat betapa dia menuruni gunung yang penuh batu karang dan jurang dengan
tindakan kaki yang cepat bukan main, seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah,
orang akan menjadi bengong terheran-heran.
Dari Gunung Beng-san, pemuda
ini menuju ke timur, melakukan perjalanan seenaknya, karena dia pun tidak
tergesa-gesa. Pada suatu hari, dia tiba di kota Ta-liong di lembah Sungai
Kuning dan amat heranlah ia melihat betapa kota yang besar dan ramai itu penuh
dengan pengemis dan jembel! Yang amat mengherankan hatinya adalah betapa para
pengemis itu, sebagian besar memegang sebatang tongkat berwarna hitam dan biar
pun mereka menjalankan pekerjaan mengemis, akan tetapi gerakan tubuh mereka
bagi mata Hong Beng yang awas, menunjukkan bahwa mereka itu pandai ilmu silat!
Memang sesungguhnya kota
Ta-liong adalah kota pusat dari perkumpulan pengemis dari Hek-tung Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang sangat tersohor serta mempunyai
cabang dan anggota sampai di kota raja! Hek-tung Kai-pang adalah sebuah
perkumpulan pengemis yang sudah puluhan tahun umurnya sehingga telah mengalami
pergantian pimpinan sampai beberapa kali.
Tiap tiga tahun sekali, di
kota Ta-liong tentu diadakan pertemuan antara para pemimpin-pemimpin cabang
untuk mengangkat seorang pemimpin baru. Kebetulan sekali ketika Hong Beng tiba
di kota itu, para pemimpin cabang datang berkumpul untuk mengadakan pemilihan
ketua baru, maka kota itu penuh dengan pengemis bertongkat hitam.
Pada waktu itu Hek-tung
Kai-pang dipimpin oleh lima orang ketua karena ketika diadakan pemilihan pada
tiga tahun yang lalu pilihan jatuh kepada lima saudara yang menjadi anak murid
dari Hek-tung Kai-ong (Raja Pengemis Bertongkat Hitam) pendiri dari perkumpulan
itu. Baru sekarang anak murid Hek-tung Kai-ong dipilih menjadi ketua.
Beberapa tahun sudah
perkumpulan itu dipimpin oleh lain orang oleh karena anak murid Hek-tung
Kai-pang sendiri tiada yang mampu mengalahkan pemimpin dari luar itu. Lima
saudara yang menjadi murid Hek-tung Kai-ong sendiri ini lalu melatih diri dan
akhirnya berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Hek-tung Kai-ong hingga
akhirnya mereka berhasil merebut kedudukan ketua. Untuk menjaga perpecahan di
antara mereka, serta untuk memperkuat kedudukan dan menjaga nama Hek-tung
Kai-ong pendiri perkumpulan itu, mereka berlima bermufakat untuk memegang
pimpinan bersama-sama.
Dengan demikian, maka calon
pemimpin baru apa bila hendak menggantikan mereka, harus dapat mengalahkan
mereka berlima! Maka, sampai tiga kali pimpinan, jadi tiga kali tiga tahun,
Ngo-heng-te (Lima Saudara) dengan Hek-tung-hoat-nya (Ilmu Tongkat Hitam) ini
selalu menjadi pimpinan dan tak terkalahkan!
Seperti biasa, para pengemis
telah berkumpul di sebuah tempat terbuka di sebelah utara kota, di mana
terdapat padang rumput dan beberapa batang pohon besar. Mereka masih menanti di
bawah pohon-pohon, ada yang sedang duduk melenggut, ada yang berbaring
mendengkur, ada yang membuka bungkusan dan makan hasil mengemis, dan sebagian
besar duduk bercakap-cakap mengobrol ke barat ke timur sehingga keadaan menjadi
sangat ramai sekali.
Kurang lebih ada empat puluh
orang pengemis berkumpul di tempat itu, dan semuanya merupakan
pengemis-pengemis tua yang menjadi pimpinan berbagai cabang Hek-tung Kai-pang.
Lima orang ketua mereka belum datang, maka mereka masih saja menanti.
Menurut desas-desus mereka
kelima orang pangcu (ketua) itu akan datang dari kota raja di mana mereka
tinggal. Biar pun ketua itu tinggal di kota raja, akan tetapi mereka tidak
berani mengadakan pertemuan di sana, oleh karena tentu saja mereka akan diusir
dan diserbu oleh para perwira kerajaan yang tidak memperbolehkan orang-orang
kotor ini merusak pemandangan indah di kota raja!
Tiba-tiba semua pengemis itu
dikejutkan oleh datangnya seorang pengemis lain yang aneh keadaannya. Pengemis
ini belum tua benar, kurang lebih baru berusia empat puluh tahun, berwajah
tampan dan pucat, sedangkan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang
tidak beres ingatannya. Ia tertawa-tawa dan meringis sambil memutar-mutar manik
matanya secara mengerikan. Tangannya memegang sebatang tongkat bambu dan
pakaiannya tidak karuan, demikian pula rambutnya. Bahkan di pinggir mulutnya
nampak tanah lumpur, seakan-akan dia habis makan tanah lumpur.
“Anjing-anjing berkeliaran di
mana-mana, ha-ha! Anjing-anjing berkeliaran di mana-mana!” kata pengemis
bertongkat bambu itu sambil menudingkan tongkatnya kepada pengemis-pengemis
lain yang memandangnya heran.
Tak ada seorang pun di antara
para pengemis ini mengenal orang yang baru datang dan pandang mata marah mulai
nampak pada para pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang itu. Siapakah yang begitu
kurang ajar berani datang ke tempat itu dan mengganggu mereka?
“He, orang gila!” Seorang
pengemis, yang pendek gemuk lalu memaki. “Apakah matamu buta? Apakah nyawa
anjingmu minta diantar oleh tongkat hitam?”
Pengemis aneh ini sebenarnya
Sin-kai Lo Sian. Pengemis sakti yang telah menjadi gila. Sebagaimana sudah kita
ketahui, Lo Sian telah ditangkap oleh Ban Sai Cinjin sepuluh tahun yang lalu,
dipaksa minum obat beracun sehingga menjadi gila. Selama itu, Lo Sian
berkeliaran di mana-mana dan karena keadaannya telah berubah sedemikian rupa
dan menjadi gila, tidak seorang pun dapat mengenalnya pula sehingga dahulu
suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le, tak berhasil mencarinya. Di dalam
perantauannya dalam keadaan tidak sadar dan tidak ingat sesuatu, Lo Sian
kebetulan tiba di kota Ta-liong dan melihat banyaknya pengemis berkumpul di
situ, ia menjadi tertarik dan datang pula ke tempat itu.
Mendengar teguran Si Pendek
Gemuk tadi, Lo Sian hanya tertawa haha-hehe, dan dia menggunakan tongkatnya
untuk mencokel tanah di depan kakinya. Begitu tongkatnya digerakkan, tanah itu
tercokel terbang ke arah perut Si Pengemis Gendut. Pengemis gendut itu terkejut
sekali, cepat dia mengelak akan tetapi sambaran tanah lumpur ke dua telah tiba
dan tepat sekali mengenai mulutnya.
“Plak!” Pengemis gendut itu gelagapan
dan sebagian besar lumpur itu telah memasuki mulutnya!
“Bangsat kurang ajar” teriak
pengemis lain dan semua pengemis yang tidak tidur sudah berdiri mengepal
tongkat hitamnya. “Butakah matamu bahwa kau berhadapan dengan rombongan
pengurus Hek-tung Kai-pang? Ayo lekas mengaku siapakah kau dan kenapa kau
datang memusuhi kami?”
Kalau otaknya tidak gila,
tentu Lo Sian tahu siapa sebetulnya mereka ini, karena ia pun telah mendengar
nama Hek-tung Kai-pang, bahkan dahulu dia menjadi kawan baik dari Hek-tung
Kai-ong pencipta perkumpulan itu. Tetapi dalam keadaan seperti itu, jangankan
mengenal orang lain, dirinya sendiri pun dia tidak kenal lagi. Maka mendengar
makian pengemis yang bertubuh jangkung kurus ini, dia lalu menggerakkan tongkat
bambunya mencokel tanah lagi dan beterbanganlah tanah lumpur ke arah para
pengemis yang telah berkumpul itu!
“Kurang ajar, kau benar-benar
ingin mampus di bawah gebukan tongkat kami!”
Maka menyerbulah sekalian
pengemis itu dengan tongkat hitam terangkat, mengeroyok Lo Sian. Semua pengurus
cabang Hek-tung Kai-pang telah mempelajari Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat, akan
tetapi tingkat mereka apa bila dibandingkan dengan Ngo-heng-te dan
Hek-tung-hoat-nya itu masih amat jauh.
Hek-tung-hoat adalah ilmu
tongkat yang luar biasa sukarnya, dan amat dirahasiakan cara mempelajarinya.
Inilah pula sebabnya mengapa kelima saudara itu dahulu masih belum menguasai
sepenuhnya ilmu tongkat ini. Setelah mereka mendapatkan kitab pelajaran yang
disembunyikan oleh Hek-tung Kai-ong, barulah mereka dapat memperdalam ilmu
tongkat itu.
Ada pun Lo Sian, biar pun
ingatannya telah lenyap dan dia telah menjadi seorang gila, namun ilmu silatnya
masih belum lenyap. Ilmu silatnya yang berasal dari Thian-san-pai amat tinggi
dan termasuk golongan atas, maka tentu saja apa bila dibandingkan dengan para
pengemis itu, ia masih menang jauh.
Akan tetapi, sungguh pun sudah
kehilangan pikirannya, Lo Sian masih belum kehilangan wataknya yang baik dan
penuh welas asih, maka dia tidak ingin membunuh sekalian pengemis yang
mengeroyoknya, ditambah lagi dengan jumlah pengeroyoknya yang amat banyak, maka
sebentar saja ia dikepung oleh puluhan orang pengemis dan berkali-kali ia
menerima gebukan tongkat hitam!
Pertempuran itu benar-benar
ramai dan lucu. Lo Sian sambil tertawa-tawa tidak karuan, mempermainkan para
pengeroyoknya, membuat para pengemis itu terjungkal dan roboh karena dikait
kakinya. Mereka jatuh tidak terluka, bangun lagi dan biar pun hujan tongkat
hitam itu mengenai tubuh Lo Sian sehingga pakaiannya hancur dan kulitnya ada
yang pecah, namun seperti tidak terasa oleh pengemis sakti yang mempunyai
kekebalan dan lweekang yang tinggi itu.
Pada saat itu, datanglah Hong
Beng yang kebetulan tiba di kota itu. Pemuda ini memiliki jiwa yang gagah dan
adil. Dari jauh dia telah melihat dan mendengar ribut-ribut itu dan ketika dia
menghampiri tempat pertempuran ia melihat seorang pengemis dikeroyok oleh
puluhan pengemis tongkat hitam. Tadinya dia mengira bahwa para pengemis itu
tentulah berebut makanan, akan tetapi ketika menyaksikan cara Lo Sian main
silat, dia terkejut karena mengenal ilmu silat yang tinggi dari Thian-san-pai.
“Curang!” seru pemuda ini
dengan marah. “Puluhan orang mengeroyok seorang, sungguh tidak tahu malu!”
Hong Beng lalu menyerbu ke
depan. Seorang pengemis tongkat hitam menyambutnya dengan tusukan tongkat pada
lambungnya, akan tetapi dengan amat mudah, Hong Beng mengeluarkan tangannya dan
sekali membetot, tongkat hitam itu berpindah tangan. Kaki kirinya bergerak
menendang dan terlemparlah tubuh pengemis itu sampai tiga tombak lebih dan
jatuh sambil berkaok-kaok kesakitan.....
Para pengemis menjadi marah
dan beberapa orang maju menyerbu Hong Beng. Akan tetapi, mana mereka dapat
menandingi Hong Beng yang berkepandaian tinggi? Memang keahlian pemuda ini adalah
permainan tongkat, dan sekarang tangannya telah memegang sebatang tongkat yang
baik, maka tentu saja ia merupakan seekor naga yang dikeroyok oleh beberapa
banyak tikus! Sekali ia menggerakkan tongkatnya, langsung terdengar jerit
kesakitan dan tubuh empat orang pengemis terlempar tak dapat bangun lagi karena
tangan atau kaki mereka patah-patah!
Tiba-tiba terjadi suatu
keanehan. Lo Sian yang sedang dikeroyok dan menghadapi para pengeroyoknya
sambil tertawa-tawa gembira, menjadi marah sekali ketika melihat sepak terjang
Hong Beng.
“Kau berani melukai
kawan-kawanku?!” teriaknya dan tongkat bambunya dengan cepat sekali menyambar
ke arah leher Hong Beng!
Pemuda ini lebih merasa heran
dari pada terkejut. Mengapa ada orang yang membalas pertolongan dengan serangan
demikian berbahaya? Akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tongkatnya
menangkis dan terkejutlah dia pada saat merasa betapa tenaga pengemis gila ini
benar-benar tidak rendah. Ia lalu mainkan tongkatnya dan sekarang ia berkelahi
dengan hati-hati sekali. Barusan pengemis tongkat bambu ini menyebut para
pengeroyoknya sebagai kawan-kawan, apakah dengan demikian bukan berarti bahwa
ia telah mencampuri urusan dalam orang-orang golongan lain?
“Orang tua, tahan dulu. Aku
tidak bermaksud jahat!” kata Hong Beng.
Akan tetapi Lo Sian tetap
menyerangnya kalang kabut sambil mengeluarkan ilmu tongkat dari Thian-san-pai
yang paling lihai. Sekarang para pengemis memindahkan kemarahan mereka kepada
Hong Beng dan sambil berteriak-teriak mereka lalu maju membantu Lo Sian,
mengeroyok Hong Beng. Kini pemuda inilah yang dikeroyok!
Melihat betapa Lo Sian tidak
memperdulikannya, dan betapa para pengemis itu serentak mengeroyoknya dengan
nekad, Hong Beng merasa mendongkol juga. Akan tetapi ia kini tidak mau melukai
pengeroyoknya, cukup mendorong mereka roboh tumpang-tindih saja.
Pada waktu dia mengerahkan
kepandaiannya, tongkat bambu di tangan Lo Sian dapat dipukulnya sehingga remuk
dan dia berhasil mendorong Lo Sian sehingga terjungkal dan bergulingan beberapa
kali tanpa melukainya. Tiba-tiba Lo Sian menjerit-jerit seperti orang
ketakutan.
“Aduh...! Pemakan jantung...!
Pemakan jantung...!” Sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan, larilah Lo
Sian dengan amat cepatnya bagaikan orang dikejar setan!
Mendengar dan melihat kejadian
ini, para pengemis tongkat hitam menjadi bengong dan memandang ke arah bayangan
Lo Sian, untuk sementara lupa kepada Hong Beng yang dikeroyoknya! Pemuda ini
pun menjadi terheran-heran dan dia pun segera membuang tongkat rampasannya lalu
melompat pergi mengejar bayangan Lo Sian yang berlari-lari sambil
menjerit-jerit!
Sesudah keluar dari kota
Ta-liong, Hong Beng akhirnya dapat menyusul Lo Sian yang masih berlari-lari.
Pemuda ini mendahuluinya, lalu membalikkan tubuh dan menghadang di tengah jalan
sambil berkata,
“Perlahan dulu, Lopek!” Ia
mengangkat tangan memberi isyarat agar supaya orang tua itu berhenti. “Siapakah
kau dan apakah artinya sikapmu yang aneh ini?”
Lo Sian memandang Hong Beng
dengan tajam, kemudian tiba-tiba pengemis ini tertawa. “Ha-ha-ha! Kau manusia
berhati kejam! Kau hendak membunuhku? Bunuhlah! Kau kira aku takut mati?
Ha-ha-ha!”
Sambil berkata demikian, Lo
Sian lalu menggerakkan tangannya dan menyerang dengan gerak tipu Kumbang Jantan
Menyambar Bunga. Akan tetapi dengan kedua tangan yang digerakkan cepat sekali
Hong Beng berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Lo Sian.
“Orang tua, mengapa kau
mengamuk dan kenapa pula kau berlari-lari seperti ketakutan? Ada apakah?
Cobalah kau mengaku terus terang, siapa kau dan percayalah bahwa aku yang muda
akan berusaha untuk membantumu dan menolongmu dari kesukaran!”
“Siapa aku? Tidak tahu! Tidak
tahu!” Lo Sian meronta-ronta, lalu sambil membelalakkan matanya, ia
berteriak-teriak lagi, “Pemakan jantung! Pemakan jantung! Hi-hi..., pemakan
jantung.” Ketika Hong Beng melepaskannya, ia berlari lagi ke dalam hutan di
dekat situ.
Hong Beng merasa terharu
sekali. Ternyata olehnya bahwa kakek itu benar-benar gila. Tanpa disadarinya,
kedua kakinya bergerak mengejar ke dalam hutan, akan tetapi oleh karena
sekarang Lo Sian tak mengeluarkan teriakan-teriakan lagi, agak sukarlah baginya
untuk dapat menyusul pengemis yang telah berlari ke dalam hutan belukar itu.
Tiba-tiba ia mendengar
teriakan-teriakan di sebelah belakang dan ketika ia menengok, ia melihat betapa
puluhan pengemis tongkat hitam tadi pun kini telah mengejarnya! Dengan
mendongkol sekali karena hatinya masih merasa sangat iba kepada pengemis gila
tadi, Hong Beng lalu menghadapi para pengemis itu dan mendahului memaki,
“Orang-orang berhati kejam dan
jahat! Kalian ini sudah tahu bahwa pengemis tadi adalah seorang yang tidak
waras pikirannya, kenapa masih saja kalian mengeroyoknya. Apakah itu dapat
disebut perbuatan yang pantas?”
Seorang di antara para
pengemis itu, yang bongkok tubuhnya dan yang mewakili kawan-kawannya bicara,
memberi hormat dan berkata,
“Orang muda yang gagah! Kau
tidak tahu bahwa si gila tadi yang mulai lebih dulu dan mengganggu kami. Kami
sekali-kali bukan orang-orang yang berhati jahat dan bersikap pengecut, karena
ketahuilah bahwa kami adalah anggota-anggota terpilih dari Hek-tung Kai-pang!”
Hong Beng pernah mendengar
nama perkumpulan pengemis ini dari suhu-nya yang memuji perkumpulan ini sebagai
perkumpulan yang berhaluan patriotik dan memusuhi para perampok dan pengacau.
Pengemis-pengemis Hek-tung Kai-pang selalu merasa dirinya menjadi pelindung
dari rakyat kecil yang miskin. Akan tetapi oleh karena Hong Beng tidak
mempunyai urusan dengan perkumpulan ini, ia segera bertanya,
“Kalau begitu, ada maksud apakah
kalian mengejarku?”
“Sayang sekali bahwa pada
waktu kelima Pangcu (Ketua) kami tiba, kau telah pergi dan kini para Pangcu
kami yang merasa amat tertarik mendengar kepandaianmu memainkan tongkat,
mengundang padamu untuk mengunjungi perkumpulan kami dan mengajakmu berpibu
(mengadu kepandaian).”
Berserilah wajah Hong Beng
mendengar tantangan ini. Memang, setiap kali mendengar orang pandai, hatinya
ingin sekali mencobanya, apa lagi kalau dia yang ditantang! Akan tetapi, dia
masih tertarik dengan Lo Sian pengemis gila tadi dan hendak mencari serta
menyelidikinya lebih dulu, maka dia lalu berkata,
“Baiklah, katakan pada
Pangcu-pangcumu bahwa aku Sie Hong Beng menerima baik undangan mereka. Besok
pagi-pagi aku akan datang mengunjungi tempat di mana kalian tadi berkumpul.”
Para pengemis itu tertegun
ketika mendengar pemuda itu menerima tantangan kelima pangcu mereka, dan sikap
mereka berubah menghormat sekali. Si Bongkok tadi menjura dan berkata,
“Orang muda yang gagah! Kami
percaya bahwa seorang gagah seperti kau tentu takkan melanggar janji. Hanya
harap kau berhati-hati menghadapi Hek-tung-hoat dari lima orang pangcu kami!”
Dia lalu mengajak kawan-kawannya mengundurkan diri. Ada pun Hong Beng lalu
melanjutkan perjalanannya mencari pengemis gila tadi.
Pada saat itu pula, di dalam
hutan itu terdapat dua orang lainnya yang juga melakukan perjalanan sambil
bersenda gurau. Mereka ini adalah Lili dan Goat Lan yang melakukan perjalanan
menuju ke Tiang-an. Kedua orang gadis gagah ini pun mendengar teriakan-teriakan
para pengemis tadi dan cepat mereka menuju ke tempat itu. Akan tetapi para
pengemis itu telah pergi meninggalkan Hong Beng dan ketika Lili melihat Hong
Beng, dia cepat-cepat menarik tangan Goat Lan dan bersembunyi di balik semak
belukar.
“Ssstt, Goat Lan, jangan
sampai terlihat oleh orang itu!” bisiknya perlahan.
Melihat sikap Lili, Goat Lan
menjadi terheran dan tertarik sekali. Ia tidak mengenal siapa gerangan pemuda
yang gagah dan tampan itu. Tentu saja Lili segera mengenal muka kakaknya, akan
tetapi Goat Lan belum pernah bertemu muka lagi dengan Hong Beng semenjak mereka
masih kecil.
“Ada apakah, Lili? Mengapa kau
agaknya takut kepada pemuda itu? Siapakah dia?”
“Eh, ehh, agaknya kau tertarik
padanya, Goat Lan!” Lili menegur sambil merengut. “Ingat, kau adalah tunangan
kakakku.”
“Ihh, dasar kau anak gila!”
Goat Lan mencubit lengan Lili, karena tahu bahwa Lili hanya menggodanya saja.
“Pantasnya yang tertarik adalah engkau yang belum bertunangan!”
“Mana bisa aku tertarik
kepadanya? Dia... dia telah menghinaku Goat Lan, dan sekarang aku minta
kepadamu agar sukalah kau membalaskan penghinaan itu!”
Goat Lan terkejut.
“Menghinamu? Dia...? Mengapa diam saja? Hayo kita menyerbunya dan memberi
hajaran kepada orang kurang ajar itu! Penghinaan apakah yang telah dia lakukan
kepadamu?”
“Terus terang saja aku pernah
bertemu dengan dia dan melihat bahwa dia mempunyai kepandaian tinggi, aku
kemudian mengajaknya pibu, akan tetapi aku... aku kalah dan ditertawakan
olehnya! Aku... aku takut dan malu melihatnya, Goat Lan, maka kalau kau mau
membelaku, kau keluarlah dan kau jatuhkanlah dia! Akan tetapi jangan kau
katakan tentang aku karena aku merasa malu. Biarlah aku bersembunyi saja
melihat betapa kau mengalahkan dan merobohkannya! Atau... barang kali kau tidak
berani dan tidak mau membelaku?”
“Siapa tidak berani? Kaulihat
saja. Mari kita kejar dia!”
Demikianlah, kedua orang dara
jelita ini menyusup semak-semak belukar mengejar Hong Beng yang berjalan sambil
memandang ke sana ke mari, mencari jejak Lo Sian.
Tiba-tiba, pemuda ini terkejut
sekali ketika melihat seorang gadis cantik melompat keluar dari balik
semak-semak dan memakinya, “Pemuda sombong dan kurang ajar, kau berani sekali
menghina adikku? Bersiaplah untuk menerima beberapa pukulan balasan dariku!”
Sambil berkata demikian, langsung saja Goat Lan menyerang Hong Beng dengan ilmu
silatnya Im-yang Kun-hoat yang lihai!
Hong Beng tercengang melihat
kehebatan serangan ini dan tanpa berani berlaku lamban ia cepat mengelak.
“Ehh, ehh, apakah dunia ini
sudah terbalik? Mengapa kau datang-datang menyerangku?” tanyanya
terheran-heran, dan juga kagum sekali melihat betapa elok dan cantik manis
gadis yang menyerangnya ini.
“Tutup mulut dan bersiaplah
kalau kau memang seorang laki-laki yang gagah!” Goat Lan membentak dan
menyerang lagi lebih hebat!
Melihat serangan ini,
maklumlah Hong Beng bahwa kini dia berhadapan dengan seorang gadis pendekar
yang pandai sekali, maka cepat dia lalu mengelak lagi. Goat Lan melihat gerakan
pemuda itu dan diam-diam juga terkejut karena pemuda ini benar-benar memiliki
ginkang yang sempurna. Dia menyerang terus bertubi-tubi, akan tetapi Hong Beng
selalu mengelak dan menangkis. Benturan lengan mereka menyatakan kepada
keduanya bahwa tenaga lweekang pihak lawan benar-benar tak boleh dibuat gegabah.
“Nanti dulu, Nona, kau
siapakah dan mengapa pula engkau menyerangku tanpa alasan? Apakah salahku?”
“Tak usah bertanya! Jika kau
memang mempunyai kepandaian, jangan menyombongkan itu di hadapan adikku, akan
tetapi lawanlah aku! Ataukah, kau tidak berani karena kau berhati pengecut?”
Ucapan ini betul-betul
mengenai hati Hong Beng dan menyentuh perasaan dan wataknya yang tidak mau
kalah.
“Bagus, gadis sombong dan
galak. Hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu!”
Hong Beng lalu membalas dengan
serangannya dan demikianlah, kedua orang muda itu bertempur dengan seru sekali.
Mereka saling serang, saling desak, akan tetapi keduanya memang sama-sama gesit
dan lihai.
Ilmu silat Hong Beng yang
berdasarkan pada Pat-kwa Kun-hoat dan Ngo-heng Cio-hwat benar-benar luar biasa,
akan tetapi Goat Lan adalah murid orang-orang sakti pula. Untuk menghadapi Hong
Beng yang ternyata tangguh bukan main itu, dia segera mengeluarkan Im-yang
Sin-na, pelajaran yang diwarisinya dari Im-yang Giok-cu.
Tubuh kedua orang muda ini
sampai lenyap menjadi dua bayangan yang berkelebatan ke sana ke mari dan
kadang-kadang bergulung-gulung menjadi satu. Hong Beng merasa penasaran sekali
karena jangankan mengalahkan gadis ini, mendesak pun ia tidak dapat! Ia
mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, dan berkat tenaga lweekang-nya
yang lebih kuat sedikit dari pada Goat Lan, ia berhasil mendesak nona itu.
Akan tetapi, harus diakui
bahwa dalam urusan ginkang, nona itu masih menang darinya, sehingga betapa pun
Hong Beng mendesak, dia tidak mampu menyentuh nona itu yang gesit laksana
burung walet. Pertempuran dilanjutkan dengan hebat, seratus jurus lebih telah
lewat sehingga keduanya makin penasaran dan juga kagum.
Goat Lan benar-benar menjadi
marah sekali. Masa dia tidak dapat mengalahkan pemuda dusun ini? Sebagaimana
diketahui, Goat Lan telah mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu melalui ibunya,
maka dia lalu mengeluarkan ilmu silat yang diterimanya dari ketiga guru besar
itu untuk menghadapi Hong Beng.
Belum pernah Goat Lan begitu bersungguh-sungguh
mengerahkan semua kepandaiannya sehingga pada jidatnya telah keluar beberapa
titik peluh. Juga Hong Beng merasa pusing karena gerakan gadis itu cepat
sekali.
Pada suatu saat, ketika Goat
Lan telah terdesak sampai di bawah sebatang pohon, Hong Beng mengeluarkan
serangan dengan gerak tipu Dewa Hutan Membelah Kayu. Dengan tangan kanan dibuka
jarinya dia menubruk, lantas menyerang dengan tangan kanan itu, membuat gerakan
kapak membelah kayu ke arah pundak Giok Lan, sedangkan tangan kirinya juga
sudah bersiap untuk menyusul dengan serangan menotok dari bawah kiri. Ia
mengembangkan tangan kirinya agar supaya gadis itu tak mengira akan gerakan
susulan ini.
Akan tetapi, Goat Lan telah
mendapat gemblengan yang hebat dari para gurunya. Ketika melihat serangan ini,
dia hanya melangkahkan kaki kiri ke belakang, lalu membalikkan kedudukan
tubuhnya sambil menekuk kaki kirinya itu yang kini berada di depan. Karena
tubuhnya menjadi doyong, maka serangan Hong Beng itu kini tidak mengenai
sasaran dan dengan cerdik sekali Goat Lan bersikap seolah-olah ia tidak
memperhatikan tangan kiri Hong Beng yang siap menotok. Akan tetapi diam-diam
gadis ini yang maklum bahwa ia telah membuka kesempatan bagi lawan untuk
menyerang dan menotok punggungnya, telah mengerahkan ilmu khikang dan
mengumpulkan napas memasang Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa dan Melindungi
Jalan Darah).
Benar saja, Hong Beng tidak
mau melewatkan kesempatan itu dan dengan girang tangan kirinya lalu menotok
jalan darah di punggung lawannya. Akan tetapi oleh karena ia tidak ingin
melukai lawannya, dia hanya melakukan totokan perlahan saja yang cukup untuk
membuat tubuh lawannya menjadi lemas.
Akan tetapi, alangkah
terkejutnya ketika ia merasa betapa jari tangannya mengenai kulit dan daging
yang lunak sekali seakan-akan tidak berurat sama sekali! Ia maklum bahwa dia
sudah kena dipancing dan bahwa lawannya telah menutup jalan darahnya, maka dia
cepat hendak melompat mundur. Terlambat! Tangan kiri Goat Lan sudah ‘masuk’
dari bawah lengan kanannya dan berhasil pula menotok iga di bawah pangkal
lengannya.
“Dukk!”
Hong Beng masih keburu
mengerahkan lweekang sehingga bagian tubuh yang tertotok menjadi sekeras batu!
Namun tenaga totokan Goat Lan itu masih membuatnya terhuyung mundur tiga
langkah!
“Bagus sekali! Kau sungguh
lihai sekali, Nona. Aku yang bodoh mengaku kalah karena ginkang-mu yang luar
biasa. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aku kalah dalam hal kepandaian
seluruhnya. Apa bila kau merasa masih sanggup menghadapiku, marilah kita
menggunakan senjata!” Biar pun ia mengaku kalah akan tetapi Hong Beng masih
belum puas dan menantang untuk bertempur mempergunakan senjata.
Diam-diam Goat Lan terheran.
Pemuda ini cukup simpatik, karena sungguh pun tadi tak dapat dikatakan pemuda
ini kalah, akan tetapi dengan jujur pemuda ini berani mengakui kekalahannya
yang sedikit dan kurang berarti itu, bahkan sekarang berani secara sopan
menantang untuk melanjutkan pertempuran dengan senjata! Mengapakah pemuda yang
sopan santun dan halus budi bahasanya ini oleh Lili disebut kurang ajar? Namun
ia tentu saja tidak mau menyerah kalah dalam hal ketabahannya, maka dia lalu
tersenyum dan menjawab,
“Siapa takut kepada senjatamu?
Keluarkanlah!”
Dengan rasa heran Goat Lan
melihat pemuda itu mengambil sebatang ranting kayu yang tergeletak di atas
tanah. Ranting ini hanya sebesar ibu jari kaki dan panjangnya paling banyak
selengan orang.
Melihat senjata lawannya itu,
Goat Lan diam-diam terkejut, karena hanya orang dengan kepandaian tinggi saja
yang menggunakan senjata seringan itu. Makin sederhana senjata orang, maka
makin berbahaya dan lihailah ilmu kepandaiannya, demikian ayah bundanya pernah
berkata.
Dia menjadi malu untuk
mengeluarkan sepasang bambu kuningnya, maka dia pun lalu mencari dua batang
ranting yang sama besarnya dengan ranting di tangan Hong Beng, lalu sebelum
lawan menyerangnya, tanpa berkata sesuatu dia segera mengirim serangan hebat
dengan ranting di tangan kiri.
Tadi saat melihat Goat Lan
mengambil dua batang ranting pula seperti yang dipungutnya, Hong Beng
benar-benar terheran sampai dia membelalakkan matanya. Tadinya disangka bahwa
gadis ini tentu akan bersenjatakan pedang atau senjata tajam lainnya.
Akan tetapi ia tidak diberi
kesempatan untuk berheran-heran sampai lama sebab laksana seekor ular, ranting
di tangan nona itu telah menyerangnya dengan gerakan yang sangat luar biasa!
Dia cepat-cepat menggerakkan rantingnya untuk menempel ranting lawan dan
merampasnya, akan tetapi belum juga rantingnya dapat menangkis, ranting lawan
sudah ditarik kembali dan kini ranting di tangan kanan gadis itu menotok ke
arah lehernya!
“Hebat!” seru Hong Beng memuji
ilmu silat yang luar biasa ini. Berbeda dengan dia yang memegang ranting di
tengah-tengah, gadis itu memegang rantingnya pada ujungnya dan menggunakan sepasang
ranting itu untuk menotok.
Setelah Hong Beng melayani
Goat Lan sampai tiga puluh jurus lebih, makin lama makin terheranlah dia. Ilmu
silat gadis ini benar-benar luar biasa sekali dan sungguh pun ilmu tongkatnya
yang dua macam itu, yakni Pat-kwa Tung-hwat serta Ngo-heng Tung-hwat merupakan
raja ilmu tongkat yang jarang bandingnya di muka bumi ini, namun ternyata bahwa
menghadapi ilmu silat gadis ini ia tidak dapat banyak berdaya dan hanya mampu
mengimbanginya saja, tanpa dapat mendesak meski tidak pula sampai terdesak!
Saking herannya, Hong Beng lalu melompat mundur sampai dua tombak lebih dan
berkata,
“Tahan, Nona! Aku harus
mengetahui terlebih dahulu siapakah lawanku yang mempunyai kepandaian
sedemikian hebatnya! Aku Sie Hong Beng selama hidupku belum pernah mengganggu
orang, terlebih lagi orang seperti kau! Kenapakah kau memusuhiku sampai
sedemikian rupa?”
Seketika itu juga lenyaplah
kemarahan dari wajah Goat Lan dan gadis ini berdiri bengong seperti patung!
Mendengar disebutnya nama itu, untuk sesaat wajahnya menjadi pucat, kemudian
menjadi kemerah-merahan dan tanpa terasa lagi kedua ranting di tangannya
terlepas dan jatuh ke atas tanah. Seakan-akan lemaslah kedua lengannya dan
hatinya berdetak tidak karuan.
“Kau... kau... bernama Sie
Hong Beng...?” katanya perlahan seperti berbisik.
“Ya, aku bernama Sie Hong
Beng, yaitu kalau tidak ada dua Sie Hong Beng di dunia ini. Dan kau siapakah?
Siapa pula adikmu yang katamu tadi pernah kuhina itu?”
Goat Lan tidak mampu menjawab,
hanya mukanya saja sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba terdengar suara
ketawa tidak jauh dari sana dan ketika Hong Beng menengok ternyata yang sedang
tertawa itu adalah Lili adiknya! Gadis nakal ini tertawa-tawa sambil
menyembunyikan tubuhnya di balik sebatang pohon besar sekali.
“Hi-hi, Enci Goat Lan!” Kini
tiba-tiba ia menyebut ‘enci’. “Bagaimana kepandaian pemuda itu? Boleh juga,
bukan? Apa kau sekarang sudah mulai melupakan kakakku dan tertarik oleh pemuda
ini?”
“Hemm, diakah adikmu dan
kau... kau bernama Goat Lan, Kwee Goat Lan?!”
Kini muka Hong Beng yang
menjadi kemerah-merahan, karena ternyata bahwa gadis ini adalah tunangannya
sendiri yang belum pernah dijumpainya selama ini! Dengan gemas Hong Beng lantas
melemparkan rantingnya dan hampir berbareng dengan gerakan Goat Lan, dia lalu
mengejar Lili yang sembunyi di balik pohon besar itu!
“Awas kutempeleng kepalamu
yang penuh akal jail itu!” seru Hong Beng.
“Lili, anak nakal! Kujewer
telingamu!” Goat Lan juga berkata sambil mengejar dengan cepat pula.
Hong Beng mengejar dari
sebelah kiri dari pohon dan Goat Lan mengejar dari sebelah kanan pohon yang
besar itu. Hampir saja kedua orang muda ini bertumbukan di belakang pohon satu
sama lain, karena ternyata bahwa Lili yang nakal itu tidak ada pula di tempat
itu.
Saking gugupnya, hampir saja
tangan Hong Beng menangkap Goat Lan yang dikiranya Lili dan dengan mulut
tersenyum malu-malu serta mata tidak berani memandang, Goat Lan berdiri di
depannya. Hong Beng tercengang dan terpesona. Alangkah cantik, gagah, dan
manisnya tunangannya ini.
Terdengar lagi suara ketawa
dari atas dan ketika keduanya menengok ke atas, ternyata bahwa Lili sekarang
telah duduk di atas cabang pohon besar itu!
“Turunlah kau, Lili! Bagus
betul perbuatanmu, sesudah berpisah bertahun-tahun, masih saja kau berani
mempermainkan kakakmu sendiri!” kata Hong Beng gemas.
“Aku tidak mau sebelum kau
berjanji tak akan menempeleng kepalaku!” kata Lili dengan sikap manja.
“Hemm, seperti anak kecil saja
kau, Lili! Biarlah, kali ini kau kuampunkan. Turunlah!”
“Tidak, Beng-ko, kalau aku
turun, aku takut kepada Enci Lan!”
“Memang aku akan mencubit
bibirmu!” kata Goat Lan gemas dengan muka yang masih berubah merah karena
jengah.
“Nah, Engko Hong Beng. Kau
dengar sendiri bagaimana galaknya calon nyonyamu! Jika kau tidak berjanji akan
membalas Enci Lan dan mencubit bibirnya kalau ia menyerangku, aku tidak mau
turun dan tidak mengaku sebagai adikmu!”
Digoda seperti itu, baik Hong
Beng mau pun Goat Lan menjadi gemas dan malu-malu, akan tetapi tentu saja mudah
diketahui bahwa di dalam dada mereka merasa bahagia sekali.
“Sudahlah, Lili, kau turunlah,
tentu saja... Nona Kwee tidak akan marah kepadamu.”
“Aihh, aihh! Mengapa pakai
nona-nonaan segala? Engko Hong Beng, kau benar-benar bocengli (tidak tahu
aturan, tidak berbudi), mengapa menyebut calon Soso (Kakak Ipar) dengan sebutan
yang bersifat sungkan-sungkan? Kau harus menyebutnya Moi-moi!”
Muka kedua orang muda itu
semakin merah mendengar godaan ini dan pada saat itu, Lili melompat turun. Goat
Lan segera mengulurkan kedua tangannya kepada Lili, tapi bukan untuk mencubit
bibir atau menjewer telinga, melainkan untuk memeluknya.
“Lili, aku minta dengan
sangat, kasihanilah aku dan jangan kau menggoda lagi. Sudah lebih dari cukup
kau menggodaku!” bisiknya.
“Engko Hong Beng,” kata Lili
dan ia memandang kepada kakaknya dengan bangga, “aku girang sekali menyaksikan
kepandaianmu yang amat hebat! Tidak percuma kau menjadi kakakku dan menjadi
calon suami Enci Goat Lan yang cantik jelita!”
“Lili!!” seru Goat Lan.
“Lili...!” bentak Hong Beng
hampir berbareng. “Jangan kau menggoda saja!”
Lili yang jenaka itu kemudian
menjura kepada mereka berdua. “Maaf, maaf! Aku hanya main-main saja. Engko Han
Beng, mengapa kau bisa berada di tempat ini dan apakah hubunganmu dengan
orang-orang pengemis yang mengerikan tadi?”
Dengan singkat Hong Beng lalu
menceritakan perjalanan serta pengalamannya. Ketika mendengar tentang Lo Sian,
Lili berubah air mukanya.
“Beng-ko, coba kau ceritakan
bagaimana wajah orang gila itu!”
Dengan heran Hong Beng lalu
menuturkan tentang wajah Lo Sian dan mendengar ini, Lili berseru,
“Suhu...!”
Baik Hong Beng mau pun Giok
Lan menjadi amat terkejut dan heran mendengar seruan ini. Mereka memandang
kepada Lili dengan mata mengandung penuh pertanyaan.
“Tentu dia Suhu! Siapa lagi?”
Lili lalu menuturkan tentang Lo Sian, pengemis sakti yang dulu sudah
menolongnya dari tangan Bouw Hun Ti dan yang kemudian bahkan menjadi suhu-nya.
“Aku pun hendak mencarinya.
Kalau begitu hayo kita kejar dia!”
Tiga orang muda itu lalu melanjutkan
perjalanan mengejar Lo Sian yang melarikan diri. Berkat ilmu ginkang mereka
yang sudah sempurna, dalam waktu sebentar saja mereka sudah dapat menyusul Lo
Sian yang masih berlari-lari dan berteriak-teriak,
“Pemakan jantung...! Pemakan
jantung...!”
“Suhu...!” Lili berseru
memanggil dengan hati terharu sekali.
Gadis itu mendahului kedua
orang kawannya dan melompat ke hadapan Lo Sian. Wajah Lo Sian yang beringas itu
menghadapi Lili dan sepasang matanya yang liar memandang dengan tajam. Dengan
hati ngeri Lili melihat betapa mata itu sudah menjadi merah dan amat
mengerikan.
Untuk sesaat Lo Sian berdiri
bagaikan patung, dan dengan perlahan ia berkata, “Kau...? Aku sudah pernah
melihatmu... kau...?”
“Suhu, teecu adalah Lili, Sie
Hong Li muridmu! Suhu, mengapa Suhu menjadi begini...?” Tak terasa lagi air
mata mengalir turun dari sepasang mata Lili yang bagus itu.
Lo Sian tidak dapat mengingat
siapa adanya Lili, akan tetapi perasaannya membisikkan kepadanya bahwa gadis
ini adalah seorang yang baik kepadanya, maka dia tidak mau menyerang dan
kemarahan serta ketakutannya lenyap. Akan tetapi pada saat itu pula ia melihat
Goat Lan dan Hong Beng yang sudah datang dan memandangnya dengan mata
berkasihan.
Tiba-tiba orang gila ini
menjadi liar lagi dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung! Pemakan jantung!”
Lalu ia maju menubruk dan menyerang Hong Beng dan Goat Lan.
Melihat keadaan orang itu,
Goat Lan cepat turun tangan dan berhasil menotok dada Lo Sian. Pengemis gila
ini roboh dengan tubuh lemas tak berdaya lagi.
“Aku harus merobohkannya
supaya dapat memeriksanya!” Goat Lan berkata singkat dan tanpa menanti pendapat
kawan-kawannya dia segera berjongkok dan memeriksa nadi Lo Sian.
“Keadaan jantungnya baik,”
kata Goat Lan sambil memeriksa dada dan detik urat nadi.
Hong Beng memandang dengan
kagum kepada tunangannya itu. Ia sendiri sedikit-sedikit sudah pernah
mempelajari ilmu pengobatan dari ibunya yang belajar dari ayahnya pula, akan
tetapi tentu saja kepandaiannya ini tidak ada artinya apa bila dibandingkan
dengan tunangannya yang menjadi murid Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat.
“Paru-parunya agak lemah,”
terdengar Goat Lan berkata pula.
Tanpa berkata sesuatu gadis
ini lalu mengeluarkan bambu kuningnya, dan menggunakan ujung bambu yang runcing
untuk mengerat lengan Lo Sian. Beberapa titik darah keluar dari luka kecil itu.
Goat Lan menggunakan jari tangannya untuk mengambil darah ini yang segera
diperiksanya dan darah itu ia tempelkan pada ujung lidahnya! Tak lama kemudian
ia meludahkan darah itu dan berkata,
“Darahnya mengandung bisa yang
amat aneh!” Ia lalu berpaling kepada Lili dan berkata, “Menurut perhitunganku,
bila kakek ini dulunya tidak gila seperti yang kau katakan, tentu dia pernah
terkena racun hebat, sehingga racun itu mengotorkan darahnya dan merusak
ingatannya. Lili, kalau di dunia ini ada orang yang dapat menolongnya, maka
orang itu bukan lain adalah Thian Kek Hwesio yang tinggal di kuil Siauw-lim-si
di Kiciu, tidak jauh dari sini.”
“Siapakah dia dan apakah dia
mau menolongku mengobati Suhu ini?” tanya Lili penuh gairah.
“Kalau aku yang minta, mungkin
dia takkan menolak. Dia adalah sahabat baik mendiang Suhu dan dia terkenal
sebagai ahli penyakit gila, dan ahli pula mengobati orang terkena racun. Aku
pernah diajak oleh Suhu mengunjungi Thian Kek Hwesio. Kita dapat langsung
menuju ke sana.”
“Sayang sekali aku tidak dapat
ikut. Baiklah, aku akan menyusul setelah urusanku pibu dengan ketua-ketua dari
Hek-tung Kai-pang beres.” kata Hong Beng. “Tidak patut kalau aku melanggar
janji, bukan perbuatan yang patut dibanggakan apa bila seorang gagah melanggar
janjinya.”
Goat Lan mengerutkan kening.
Gadis ini pernah mendengar nama Hek-tung Kai-pang dan mendengar pula bahwa
kelima orang kepala dari perkumpulan pengemis ini adalah orang-orang lihai yang
telah mewarisi ilmu tongkat Hek-tung-hoat yang lihai.
Menurut ibunya, ilmu tongkat
Hek-tung-hoat masih satu cabang dan bahkan berasal dari Ilmu Tongkat Bambu
Runcing ciptaan Hok Peng Taisu karena Hek-tung Kai-ong pencipta Ilmu Tongkat
Hitam itu pernah mendapat petunjuk-petunjuk dari Hok Peng Taisu. Maka teringat
betapa tunangannya akan menghadapi lima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu,
hatinya menjadi gelisah sekali.
“Lima ketua dari Hek-tung
Kai-pang itu amat lihai ilmu tongkatnya,” kata Goat Lan tanpa berani memandang
kepada Hong Beng.
“Aku tidak takut..., Moi-moi,”
kata Hong Beng sambil mengerling ke arah Lili. Akan tetapi, Lili tidak
mempunyai nafsu untuk menggoda orang ketika ia melihat keadaan Lo Sian dan ia
mendengarkan dengan kesungguhan hati dan penuh perhatian.
“Aku percaya, Koko (Kanda),
akan tetapi... karena mereka itu bukan orang-orang jahat, maka tidak baik kalau
sampai terjadi bentrok yang menimbulkan permusuhan. Kalau saja Adik Lili mau
ikut dengan kau... dan biarlah aku yang mengantarkan Lo-enghiong (Orang Tua
Gagah) ini kepada Thian Kek Hwesio...”
“Kurasa tidak perlu, Moi-moi
(Dinda). Kalau Lili ikut dengan aku, jangan-jangan aku akan dianggap takut dan
dicap pengecut!”
Tiba-tiba Lili bangun dan
berkata, “Biarlah aku yang mengantarkan Suhu ke Kiciu. Kiciu tak berapa jauh
dari sini dan pula, perjalanan ini tidak berbahaya sama sekali. Enci Lan, kau
pergilah bersama Beng-ko, dan seperti yang kau katakan tadi, lebih baik kita
jangan menanam bibit permusuhan dengan Hek-tung Kai-pang. Hatiku juga tidak
akan merasa tenteram jika Beng-ko pergi seorang diri saja ke sana. Nah, Enci
Lan, coba kau buatkan surat untuk Thian Kek Hwesio agar dia dapat dan mau
menolong Suhu.”
Goat Lan segera mempergunakan
bambu runcingnya untuk mengambil kulit pohon yang lebar, kemudian dengan ujung
bambunya ia menuliskan beberapa kata-kata di atas ‘surat’ istimewa ini. Melihat
betapa Goat Lan setuju dengan usul Lili, Hong Beng tidak berani membantah lagi,
karena siapakah orangnya yang tak akan merasa gembira dan bahagia melakukan
perjalanan bersama dengan tunangannya, apa lagi bila tunangan itu secantik dan
segagah Goat Lan?
Demikianlah, dengan membawa
‘surat’ dari Goat Lan, Lili hendak memulihkan keadaan suhu-nya dan ternyata Lo
Sian menurut saja kepada Lili ketika Lili mengajaknya pergi! Hong Beng dan Goat
Lan lalu kembali, menuju ke kota Ta-liong untuk memenuhi janji kepada Hek-tung
Kai-pang pada keesokan harinya…..
********************
Thian Kek Hwesio adalah
seorang pendeta Buddha yang bertubuh gemuk dan berwajah tenang dan riang.
Hwesio ini telah banyak merantau dan sudah beberapa kali ia melawat ke negeri
barat untuk memperdalam pengetahuannya tentang Agama Buddha. Di dalam
perantauannya ke barat inilah dia mendapatkan ilmu pengobatan yang luar biasa.
Memang semenjak mudanya, Thian
Kek Hwesio paling senang mempelajari ilmu ini dan ketika ia berada di negeri
barat, ia bertemu dengan seorang ahli pengobatan, khususnya untuk mengobati
orang-orang yang terganggu pikirannya dan orang-orang yang menjadi korban racun-racun
jahat. Dia mempelajari ilmu jiwa yang sangat dalam sampai puluhan tahun lamanya
sehingga ketika ia kembali ke tanah airnya, ia telah menjadi seorang ahli
berilmu tinggi.
Akhirnya ia menghentikan
perantauannya dan tinggal di dalam kuil Siauw-lim-si di Kiciu. Sambil
memperkembangkan Agama Buddha yang dianutnya, ia pun selalu mengulurkan tangan
untuk mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Tidak jarang, apa bila
terjangkit wabah penyakit di suatu tempat, tidak peduli tempat itu letaknya
amat jauh, Thian Kek Hwesio pasti akan mendatanginya kemudian mengulurkan
tangan menolong orang-orang yang menjadi korban. Oleh karena ini, namanya
menjadi sangat terkenal sekali.
Walau pun Thian Kek Hwesio
bukan seorang ahli dalam hal ilmu silat, namun namanya tetap dihormati dan
disegani oleh para tokoh kang-ouw. Banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan
yang menjadi sahabatnya, di antaranya adalah Sin Kong Tianglo yang memiliki
kepandaian tinggi tentang ilmu pengobatan.
Lili mengajak Lo Sian menuju
ke Kiciu untuk mendatangi hwesio suci ini guna meminta pertolongannya mengobati
Lo Sian. Di dalam perjalanan Lo Sian diam saja tak banyak berkata-kata, akan
tetapi nampak lebih tenang setelah berada dekat Lili.
Beberapa kali gadis itu
mencoba untuk mengingatkan bekas gurunya ini, akan tetapi Lo Sian tetap tidak
dapat mengingat sesuatu, tidak dapat mengenal Lili dan tidak ingat akan namanya
sendiri. Akan tetapi, dia tidak nampak gelisah, tidak berteriak-teriak lagi dan
sering kali dia memandang kepada Lili dengan penuh kepercayaan dan dengan muka
menyatakan ketenangan hatinya.
Meski pun Lo Sian sudah
menjadi gila, namun ilmu lari cepatnya masih belum lenyap dan karenanya Lili
dapat mengajaknya berlari cepat sehingga sebentar saja mereka sudah berada di
dekat kota Kiciu. Ketika mereka berlari sampai di sebuah tempat yang sunyi,
tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang berkejar-kejaran.
Yang dikejar adalah seorang
pemuda, ada pun yang mengejarnya seorang gadis cantik. Lili merasa heran sekali
melihat gadis itu yang sambil mengejar, menangis dan berseru memanggil,
“Taihiap... jangan tinggalkan
aku! Taihiap... tunggulah dan bawa aku bersamamu...!”
Pemuda itu lalu menoleh dan
berkata dengan suara sedih, “Lilani, jangan kau dekati aku lagi...! Aku seorang
yang jahat dan rendah budi! Jangan kau dekati lagi, Lilani...!”
“Taihiap, kalau kau tetap
hendak meninggalkanku, aku akan membunuh diri! Aku tidak sanggup berpisah
darimu lagi...”
Kedua orang itu adalah Lie
Siong dan Lilani. Setelah pada malam hari itu di dalam hutan, akibat dorongan
hati terharu, keduanya lalu saling menumpahkan perasaan hati dan lupa akan
keadaan di sekelilingnya. Maka, pada esok harinya, bersama munculnya matahari,
muncul pula pertimbangan dan kesadaran di hati Lie Siong.
Pemuda ini menjadi sangat
terkejut dan menyesal sekali mengingat akan perbuatannya sendiri dan dia merasa
sangat malu. Bagaimanakah dia, seorang pemuda yang memiliki kepandaian dan yang
sering kali dapat nasehat-nasehat dari ibunya, telah menjadi mata gelap dan
runtuh hatinya terhadap kecantikan dan cumbu rayu dari seorang gadis cantik
seperti Lilani?
Ia menyesal sekali, akan
tetapi ketika ia memandang wajah Lilani, gadis itu nampak lebih cantik dan
berseri wajahnya. Sepasang mata gadis itu memandangnya dengan penuh cinta kasih
sehingga Lie Siong menjadi gelisah sekali. Apakah yang sudah dia lakukan
terhadap seorang gadis berhati tulus dan bersih seperti Lilani? Ah, dia
berdosa, demikian pikirnya.
“Lilani...” katanya dengan
suara perlahan, “aku... aku sudah berdosa kepadamu... aku... aku tak dapat lagi
memandang mukamu.”
Akan tetapi Lilani menubruk
dan merangkulnya. “Taihiap, mengapa kau berkata begitu? Aku, Lilani, bersumpah
tak akan mencinta lain orang kecuali engkau. Engkaulah pujaanku dan hanya
kepadamulah Lilani menyerahkan jiwa raganya...”
Makin perihlah perasaan hati
Lie Siong mendengar ucapan dan melihat sikap gadis ini. Ia maklum dan percaya
sepenuhnya bahwa Lilani benar-benar sangat mencintanya, akan tetapi dia...?
Dapatkah dia selamanya harus berada di sisi Lilani? Dapatkah dia menjadi suami
dari gadis ini...? Makin dipikirkan, makin gelisah dan menyesallah hati pemuda
itu. Dia melanjutkan perjalanan dengan wajah muram dan Lilani mengikutinya
dengan cemas dan tak mengerti.
Akan tetapi, dengan penuh
kesetiaan dan kesabaran, gadis itu melayani Lie Siong dan mengikutinya ke mana
saja pemuda itu pergi tanpa mau mengganggunya dan tidak pula bertanya mengapa
Lie Siong berhal seperti itu.
Akhirnya mereka sampai di
tempat itu dan dengan terus terang Lie Siong menyatakan bahwa dia tidak ingin
melakukan perjalanan selamanya bersama Lilani.
“Lilani, dari sini ke Tiang-an
tidak jauh lagi. Aku... aku tidak dapat mengantarkan kau terus ke Tiang-an.
Mengapa kau tidak pergi saja seorang diri?”
Lilani menjadi pucat. “Taihiap,
mengapakah kau berkata demikian? Aku... aku tidak ingin ke Tiang-an, tidak
ingin ke mana pun juga kecuali ke tempat engkau berada. Aku tidak mau
meninggalkan kau, Taihiap, aku ingin terus berada di sampingmu, ke mana pun
juga kau pergi.”
Berkerutlah kening Lie Siong
mendengar ucapan ini. “Tidak, tidak, Lilani! Aku sudah satu kali melakukan
pelanggaran, melakukan perbuatan yang takkan dapat kulupakan selama hidupku.
Aku tidak akan mau mengulanginya lagi. Akan tetapi... kalau kau terus berada di
dekatku... aku... aku tidak dapat menanggung bahwa kegilaan tidak akan
membutakan mataku lagi...”
“Kenapa pelanggaran? Mengapa
hal ini kau anggap kegilaan? Taihiap, tidak percayakah kau bahwa aku
mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku? Aku tidak mengharapkan apa pun asal
dapat selalu berada di dekatmu...”
“Tidak, tidak! Tidak mungkin,
Lilani!” Dan larilah Lie Siong meninggalkan gadis itu! Lilani mengejar sambil
berteriak-teriak memilukan dan mereka berkejaran terus sampai terlihat oleh
Lili dan Lo Sian.
Lili berdiri terheran-heran
mendengar dan melihat keadaan dua orang yang berkejaran itu. Akan tetapi
berbeda dengan Lo Sian. Orang tua ini masih belum kehilangan watak pendekarnya,
dan kini melihat dua orang muda berkejaran, sungguh pun yang mengejar adalah yang
wanita, namun karena Lilani menangis memilukan, dengan mudah saja dia dapat
menduga bahwa di dalam hal itu yang bersalah tentulah laki-laki yang dikejar
itu! Tubuhnya bergerak dan berkelebat cepat menghadang di depan Lie Siong!
“Orang jahat! Kau sudah berani
mengganggu seorang gadis dan kemudian melarikan diri?”
Ucapan yang dikeluarkan tanpa
disengaja ini telah mengenai tepat sekali pada perasaan hati Lie Siong. Ia
menjadi pucat dan memandang pada orang yang menegurnya. Apakah jembel
mengerikan ini telah mengetahui rahasianya pula? Apakah melihat perbuatannya di
dalam hutan pada malam hari yang telah menghikmatnya kemarin?
“Jangan kau mencampuri
urusanku!” seru Lie Siong dan cepat dia hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi
Lo Sian cepat-cepat menggerakkan tangannya yang diulurkan hendak mencengkeram
pundak Lie Siong.
Melihat gerakan yang
mendatangkan angin ini, terkejutlah Lie Siong maka ia pun cepat mengelak.
Sambil miringkan tubuh ke kiri, pemuda ini cepat membalas dengan sebuah totokan
ke arah pinggang kanan Lo Sian yang dapat menangkis pula. Akan tetapi ketika
kakek ini menangkis, tubuhnya langsung terpental ke belakang dan
terhuyung-huyung, tanda bahwa dia kalah tenaga!
“Orang kurang ajar! Kau berani
mengganggu Suhu?” tiba-tiba saja nampak berkelebat bayangan merah dan angin
yang dingin menyerang Lie Siong dari samping kanan.
Pemuda ini cepat melompat ke
belakang dan terheranlah dia ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah
seorang gadis yang cantik jelita. Serangan gadis ini jauh lebih lihai dan hebat
dari pada serangan jembel tadi! Bagaimana mungkin seorang murid memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari pada suhu-nya?
Akan tetapi Lili tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk banyak memusingkan hal ini. Gadis ini pun merasa
kaget dan penasaran ketika ternyata serangannya tadi dapat dielakkan dengan
begitu mudahnya! Tadi dia telah menyerang dengan gerak tipu Pai-bun Twi-san
(Mendorong Pintu Menolak Bukit) dengan maksud mendorong pemuda itu agar
terguling, akan tetapi siapa kira bahwa dengan amat mudahnya pemuda itu telah
dapat melompat dengan tepat dan mudah. Sekarang dia maju menyerang lagi dengan
hebat, mengambil keputusan untuk merobohkan pemuda yang telah berani melawan
suhu-nya tadi!
Lo Sian berdiri bertolak
pinggang sambil tertawa-tawa menyaksikan pertempuran hebat itu. Sebaliknya, Lie
Siong merasa terkejut bukan main karena ternyata bahwa gerakan gadis yang
menyerangnya itu benar-benar luar biasa sekali! Cepat bagai seekor burung walet
dan tiap pukulan yang menyerangnya mendatangkan angin yang kuat sekali.
Diam-diam Lie Siong merasa
gembira sekali karena memang demikianlah sifatnya, suka menghadapi lawan yang
tangguh. Dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang dipelajarinya
dari ibunya. Tentu saja oleh karena Lie Siong menerima pelajaran langsung dari
Ang I Niocu, ilmu silatnya ini sempurna dan matang betul.
Kini giliran Lili yang
diam-diam merasa tertegun. Dari mana pemuda lawannya ini dapat bersilat dengan
ilmu silat itu demikian bagusnya? Ia pun lalu merubah gerakannya dan dengan
cepat dia bersilat dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw, sama dengan ilmu silat Lie
Siong!
Pemuda ini makin kaget dan
ketika ia mempercepat gerakannya, ternyata bahwa dalam hal Ilmu Silat Sian-li
Utauw, ia masih menang setingkat dan berhasil mendesak Lili! Gadis ini
menggigit bibir dan menjadi marah, ia berseru keras dan kini ia mengeluarkan
Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Kedua lengan tangannya yang berkulit halus itu
mengebulkan uap putih yang menyambar-nyambar ke arah Lie Siong.
Pemuda ini hampir berseru
keras saking herannya dan cepat pula ia juga mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in
Hoat-sut! Akan tetapi keadaannya sekarang berubah karena ternyata bahwa Lili
lebih mahir bersilat dengan ilmu silat ini! Hal ini pun tak mengherankan,
karena memang dalam hal ilmu ciptaan Bu Pun Su ini, kepandaian Pendekar Bodoh
masih lebih lihai dari pada Ang I Niocu.
Sementara itu, Lo Sian yang
gila hanya tertawa-tawa saja melihat pertempuran ini, ada pun Lilani yang sudah
dapat mengejar sampai di sana, langsung memandang dengan terheran-heran melihat
betapa dua orang itu bertempur seakan-akan sedang menari-nari saja! Gerakan
keduanya demikian sama dan cocok, lemah lembut dan lemas, teramat indah
dipandang mata.
“Tahan dulu!” seru Lie Siong
yang makin lama makin terheran melihat betapa ilmu silat ini banyak sekali
persamaannya dengan kepandaiannya sendiri. “Siapakah kau, Nona?”
Lili menjawab dengan mencabut
pedangnya Liong-coan-kiam, lalu mencibirkan bibirnya sambil menjawab ketus,
“Laki-laki mata keranjang dan kurang ajar! Apakah telah menjadi kebiasaanmu
menanyakan nama setiap orang wanita yang kau jumpai?”
Tentu saja Lie Siong menjadi
marah dan mendongkol sekali. Ia merasa tersindir hingga telinganya menjadi
merah. Memang hatinya sedang merasa rusuh karena perbuatannya terhadap Lilani,
sekarang ia dicap oleh gadis ini sebagai seorang mata keranjang! Tanpa berkata
sesuatu, ia pun lalu mencabut Sin-liong-kiam dan menghadapi gadis itu dengan
mata memandang tajam.
Akan tetapi, sebelum mereka
bertempur mempergunakan senjata, Lilani telah melangkah maju, menghadapi Lili
dengan muka merah dan mata bersinar.
“Jangan kau mengeluarkan
kata-kata kotor kepada Taihiap! Dia adalah seorang pendekar gagah perkasa, sama
sekali bukan mata keranjang dan kurang ajar! Jangan sekali-kali kau berani
memaki padanya!”
Sikap Lilani amat galak,
seperti seekor ayam biang membela anaknya.....
Melihat sikap gadis ini, Lili
tersenyum menyindir, lalu memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang kembali
dan berkata, “Sudahlah, jangan kau kuatir, aku tak akan melukai atau membunuh
kekasihmu! Hanya ada satu hal yang sangat mengecewakan hatiku, kau adalah
seorang gadis yang cantik jelita mengapa begitu tidak tahu malu mengejar-ngejar
seorang pemuda? Hah, sungguh menyebalkan!” Sambil berkata demikian, Lili kemudian
memegang tangan Lo Sian dan berkata,
“Suhu, mari kita pergi! Jangan
melayani orang-orang ini!”
Lo Sian tertawa haha-hihi dan
sebelum ikut berlari pergi bersama Lili, ia menengok pada Lie Siong dan
berkata, “Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada seorang gadis
cantik! Ha-ha-ha!”
Ketika kedua orang itu sudah
pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih berdiri termenung
dengan pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam di hatinya. Tidak
saja ia terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan tetapi juga
kata-kata Lo Sian tadi bagaikan mengiris jantungnya.
Dia baru sadar dari lamunannya
ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara menggetar, “Taihiap,
jangan kau tinggalkan Lilani!”
Lie Siong menghela napas
berulang dan ketika dia memandang kepada Lilani, timbullah rasa iba yang besar.
“Lilani, aku telah melakukan
dosa besar terhadapmu...”
“Bukan kau, Taihiap, akan
tetapi kita berdua. Namun bagiku perbuatan kita itu bukanlah dosa…”
Memang sebetulnya hubungan
antara pria dan wanita di luar perkawinan yang dirayakan, bagi Lilani bukan
merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang amat sederhana
keadaan hidupnya itu tidak menitik beratkan pada upacara, akan tetapi lebih
percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati. Upacara dapat dilakukan kemudian,
karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak pernah ada atau jarang
sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari janjinya.”
Lie Siong dapat menduga akan
hal ini, karena itu dengan hati perih dia berkata, “Lilani, ketahuilah bahwa
sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi... aku tidak
mencintamu dan tidak mungkin menjadi suamimu!”
Ucapan ini bagaikan sebuah
pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akan tetapi gadis ini mempertahankan
sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia lalu berkata,
“Bagaimana seorang perempuan
rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta kasihmu, Taihiap? Aku
sudah akan merasa bangga dan bahagia apa bila selama hidup aku dapat menjadi
pelayanmu. Aku tak dapat hidup jauh darimu, dan aku tak mau ikut lain orang
kecuali kalau dapat bertemu dan mengumpulkan suku bangsaku kembali!”
Berat sekali hati Lie Siong
mendengar ini. “Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau kepada suku
bangsamu.”
“Taihiap,” mendadak saja gadis
itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang seperti bintang
pagi itu, “kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat mengerti. Akan tetapi...
bukankah kau jatuh cinta kepada... gadis tadi?”
Lie Siong meloncat mundur
bagai kakinya disengat ular. “Apa maksudmu...? Dari mana kau mempunyai pikiran
seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami telah bertempur.
Mengapa kau menyangka demikian?”
Lilani tersenyum sedih. “Orang
bertempur bukan seperti yang kau lakukan tadi, Taihiap. Tadi kau dengan gadis
itu bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira! Alangkah indahnya tarian
itu dan terus terang saja, kau memang cocok sekali dengan dia. Tadi aku merasa
seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi sedang menari!”
Hampir saja Lie Siong tertawa
bergelak-gelak saking geli hatinya, sungguh pun hatinya tergerak pula oleh
ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.
“Lilani, kau sungguh lucu!
Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan ilmu silat
tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya. Ilmu silat itu disebut
ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) dan aku pun masih heran memikirkan
bagaimana gadis tadi sanggup memainkannya. Padahal ilmu silat itu adalah
ciptaan dari ibuku sendiri!”
Dengan hati masih ingin sekali
tahu siapa adanya gadis yang pandai memainkan Sian-li Utauw itu, Lie Siong
melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil keputusan untuk
mengikuti jejak Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis aneh itu. Ada
hubungan apakah antara gadis itu dengan ibunya? Kenapa pula gadis itu pandai
memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lebih hebat dari pada kepandaiannya
sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh?
Berkali-kali Lilani berkata
dengan penuh perasaan, “Taihiap, aku mempunyai perasaan bahwa kau mencinta
gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat kalian berdua
bersilat seperti menari itu, ahhh, alangkah cocoknya!”
Diam-diam Lie Siong merasa
heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan cinta kasihnya dan
sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap cemburu sedikit pun
juga! Benar-benar gadis yang berhati putih bersih, bersikap sederhana dan harus
dikasihani.
“Tidak, Lilani. Aku memang
akan mencarinya untuk menantangnya bertempur lagi. Aku belum puas apa bila
belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa persangkaanmu itu
tidak benar!”
“Jangan, Taihiap. Dia
kelihatan galak dan lihai bukan main. Bagaimana kalau kau sampai terluka?
Ahhh...”
“Aku harus menghadapinya!”
kata Lie Siong berkeras. “Di samping aku hendak menguji kepandaiannya, juga
ingin tahu dari mana ia mencuri Sian-li Utauw dan Pek-in Hoatsut.”
********************
Sementara itu, Lili dan Lo
Sian sudah memasuki kota Kiciu dan dengan mudah mereka mencari kuil
Siauw-lim-si yang besar. Lili sudah tidak memikirkan lagi keadaan pemuda dan
gadis yang dijumpainya di jalan, sungguh pun di dalam perjalanan tadi ia tidak
habis merasa heran bagaimana Ilmu Silat Sian-li Utauw pemuda itu sedemikian
hebatnya dan betapa pemuda itu dapat juga mainkan Pek-in Hoat-sut.
Ia pun ingin sekali
melanjutkan pertempuran dengan pemuda itu, sebab ia masih merasa penasaran apa
bila belum dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Walau pun
wajah pemuda yang elok dan gagah itu mengganggunya, namun dia berhasil mengusir
bayangan itu dengan anggapan bahwa pemuda itu tidak ada harganya untuk diingat
lagi, karena tentu pemuda itu adalah seorang kurang ajar dan pengganggu anak
gadis!
Memikirkan halnya gadis cantik
yang mengejar pemuda itu sambil menangis, Lili menjadi gemas sekali. Gemas dan
benci terhadap pemuda itu, karena dia dapat menduga bahwa gadis itu tentulah
korban permainan pemuda mata keranjang itu!
Thian Kek Hwesio menyambut
kedatangan Lili dengan ramah tamah. Sesudah menerima ‘surat’ dari Goat Lan,
pendeta gemuk itu tertawa gembira dan berkata kepada Lili,
“Nona, tentu saja aku suka
berusaha menolongmu. Apa lagi kalau ada surat dari Kwee Lihiap yang kukenal
baik. Tidak tahu siapakah Nona dan siapa pula orang tuamu?”
“Teecu (murid) adalah puteri
dari Sie Cin Hai,” jawab Lili.
Hwesio itu mengangkat alisnya
dan kedua matanya terbelalak girang.
“Ah, puteri Pendekar Bodoh?
Betul-betul merupakan kehormatan besar dan kebahagiaan bahwa aku masih
berkesempatan melihat keturunan Pendekar Bodoh. Masuklah Nona, dan siapakah
sahabat ini?” Dia menudingkan telunjuknya kepada Lo Sian yang berdiri bagaikan
patung.
“Dia adalah Sin-kai Lo Sian
yang kini berada dalam keadaan sakit, Losuhu. Kedatangan teecu adalah untuk
mohon pertolongan Losuhu agar suka memeriksa dan memberi obat kepadanya. Dahulu
ketika teecu masih kecil, teecu adalah murid dari Sin-kai Lo Sian dan entah
mengapa, setelah sekarang bertemu lagi, teecu mendapatkan Suhu berada dalam
keadaan seperti ini.”
Thian Kek Hwesio yang memiliki
sepasang mata bersinar sabar, tenang, halus dan juga berpengaruh itu, lalu
memandang kepada Lo Sian dengan tajam, kemudian dia maju dan menghampiri pengemis
gila itu.
“Sahabat, kau kenapakah?”
Akan tetapi, begitu melihat
hwesio gemuk itu menghampirinya, Lo Sian tiba-tiba langsung menyerangnya dengan
pukulan keras mengarah dadanya. Lili terkejut sekali dan untung bahwa dia
berlaku cepat. Ia melompat menangkis pukulan Lo Sian ini, lalu menangkap
lengannya.
“Suhu, jangan begitu, Losuhu
ini adalah Thian Kek Hwesio yang hendak menolongmu.”
Akan tetapi, Lo Sian tiba-tiba
justru memandang kepada Thian Kek Hwesio dengan mata mengandung ketakutan dan
dia berteriak-teriak, “Pemakan jantung...! Tolong, pemakan jantung...!”
Agaknya melihat hwesio gundul
ini, ia teringat kepada Hok Ti Hwesio dan melihat tubuh gemuk dari Thian Kek
Hwesio, agaknya teringat kepada tubuh Ban Sai Cinjin, maka dia berteriak-teriak
ketakutan.
“Nona, tolong bikin dia tak
berdaya lebih dulu, agar mudah pinceng (aku) memeriksanya,” kata Thian Kek
Hwesio dengan muka masih tenang saja.
Lili lalu mengulur tangannya
dan menotok pundak Lo Sian. Karena orang gila ini memang percaya penuh kepada
Lili, maka ketika ditotok, dia diam saja tidak melawan sehingga tubuhnya
menjadi lemas dan ia lalu dibaringkan di atas pembaringan.
Thian Kek Hwesio lalu
memeriksa seluruh tubuhnya, terutama sekali ia mempergunakan jari-jari
tangannya untuk memijit-mijit bagian kepala Lo Sian, lalu dia pun menggunakan
cara Goat Lan memeriksa, yaitu mengeluarkan sedikit darah dari tubuh orang gila
itu.
Lili mengikuti semua
pemeriksaan ini dengan penuh perhatian dan kecemasan. Akhirnya, hwesio itu
menggelengkan kepalanya dan berkata sungguh-sungguh,
“Hebat sekali! Dia telah
terkena racun jahat selama sepuluh tahun lebih sehingga seluruh darahnya sudah
menjadi kotor. Agaknya masih mungkin bagi pinceng menghilangkan kegilaannya,
karena hanya urat di kepalanya yang terganggu, akan tetapi sulit membuat ia
kembali teringat akan segala kejadian yang lalu.”
“Tolonglah, Losuhu. Tolonglah
sembuhkan penyakit gilanya, biarlah ia tidak bisa teringat sesuatu asalkan dia
tidak gila seperti sekarang ini. Mungkin lambat laun ia akan dapat
mengingat-ingat lagi.”
“Tentu saja pinceng akan
berusaha menolongnya, dan mudah-mudahan Thian (Tuhan) membantu pinceng.”
Hwesio gendut itu lalu
mengeluarkan beberapa puluh batang jarum yang berwarna putih dan ada pula yang
kuning. Itulah gin-ciam (jarum perak) dan kim-ciam (jarum emas), alat
pengobatan yang sudah amat terkenal di seluruh permukaan bumi Tiongkok.
“Nona Sie,” kata hwesio itu,
“coba tolong kau ikat kaki tangannya yang kuat, kemudian kau buka kembali jalan
darahnya, karena dalam keadaan terpengaruh tiam-hoat (ilmu totokan), tak
mungkin pinceng dapat menolongnya.”
Lili melakukan apa yang
diminta oleh Thian Kek Hwesio. Ia segera membuka bungkusan pakaiannya,
mengambil ikat pinggang dan mengikat kedua kaki dan tangan Lo Sian pada kaki pembaringan,
lalu ia menepuk pundak Lo Sian untuk membebaskan totokannya tadi.
Begitu terbebas, Lo Sian
segera meronta-ronta dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung! Pemakan jantung!
Tolong… tolong!”
Thian Kek Hwesio tersenyum dan
mulailah dia bekerja dengan jarum-jarumnya. Dengan gerakan yang tenang dan
tepat tanpa keraguan sedikit pun, ia mulai menusukkan jarum putih ke leher
belakang Lo Sian sementara Lili memegangi kepala pengemis gila itu. Tiga jarum
ditusukkan dan tiba-tiba lemahlah tubuh Lo Sian, suaranya makin mengecil dan
akhirnya dia jatuh pingsan atau pulas!
Delapan belas jarum sudah
ditusukkan oleh Thian Kek Hwesio. Tiga di belakang leher, tiga di pundak kanan,
tiga di pundak kiri dan sembilan jarum lain ditusukkan pada sekitar kepalanya!
Mau tidak mau Lili merasa ngeri juga melihat cara pengobatan yang selama
hidupnya belum pernah disaksikannya ini. Bagaimanakah orang bisa tetap hidup
setelah leher dan kepalanya ditusuk oleh sekian banyak jarum? Yang sangat luar
biasa adalah bahwa tidak ada setitik pun darah mengalir keluar dari jarum-jarum
yang ditusukkan itu.
“Biarlah dia mengaso dulu dan
sementara menanti, ceritakanlah pengalamanmu, Nona. Terutama sekali pinceng
ingin sekali mendengar tentang keadaan orang tuamu.”
Dengan jelas tapi singkat, Lili
menuturkan keadaan orang tuanya dan betapa ia bertemu dengan Lo Sian ketika dia
dulu diculik Bouw Hun Ti. Ketika dia telah selesai menuturkan pengalamannya dan
ketika hwesio tua itu mendengar nama Ban Sai Cinjin sebagai guru Bouw Hun Ti,
Thian Kek Hwesio mengerutkan keningnya.
“Hemm, disebutnya nama Ban Sai
Cinjin membuat pinceng merasa curiga, Nona Sie. Ketahuilah bahwa Sin-kai Lo
Sian ini terkena racun yang amat berbahaya yang sungguh pun tidak sampai
menewaskan nyawanya, tetapi membuat seluruh isi kepalanya menjadi kotor dan
pikirannya tidak dapat bekerja baik. Pinceng sekarang hanya dapat menolong dia
dari gangguan ketakutan sehingga ia tidak akan menjadi gila lagi. Agaknya,
ketika ia minum racun atau dipaksa minum racun, ia berada dalam keadaan yang
amat ketakutan atau ngeri. Entah apa yang terjadi dengan dia, akan tetapi nama
Ban Sai Cinjin membuat pinceng hampir berani menuduh, kakek mewah itu yang
menjadi biang keladi. Bagi Ban Sai Cinjin, segala macam kekejian di dunia ini
mungkin dilakukan olehnya!”
Pada saat itu terdengar Lo
Sian merintih perlahan. Lili cepat melompat untuk memegangi kepalanya, karena
bila kepalanya bergerak-gerak ia kuatir kalau-kalau jarum yang masih menancap
di lehernya itu akan melukainya. Thian Kek Hwesio juga menghampirinya dan
melihat sebentar ke arah muka Lo Sian, membuka pelupuk matanya yang masih
tertutup, lalu mengangguk puas.
“Syukurlah, baik hasilnya,”
hwesio itu berkata perlahan, lalu ia mencabuti jarum-jarum itu.
Lili melihat dengan hati ngeri
betapa jarum perak yang tadi menancap, sesudah dicabut ujungnya berwarna
kehitam-hitaman, sedangkan jarum emasnya berwarna kehijauan!
Thian Kek Hwesio lalu
memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Lo Sian dan memberi minum
secawan arak sehingga obat itu dapat memasuki perut pengemis itu. Sampai lama
terdengar Lo Sian mengeluh kesakitan, kemudian keluhannya berhenti dan jalan
napasnya nampak tenang. Peluh memenuhi mukanya dan akhirnya dia membuka
matanya.
“Di mana aku...?” tanyanya
seperti orang baru bangun tidur.
“Buka ikatannya,” kata Thian
Kek Hwesio kepada Lili yang segera membuka ikatan kaki tangan orang tua itu.
Lo Sian bangun dan duduk
dengan pandang mata yang bingung dan Lili dengan girang sekali mendapat
kenyataan bahwa pandang mata Lo Sian kini telah waras kembali, tidak liar
seperti tadi.
“Ehh, siapakah kalian dan di
manakah aku berada?” kembali Lo Sian bertanya sambil memandang kepada Thian Kek
Hwesio dan Lili berganti-ganti.
Lili lalu maju dan memegang
tangannya. “Suhu, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Sie Hong Li atau Lili, anak
Pendekar Bodoh! Aku muridmu, Suhu!”
Terbelalak mata Lo Sian
memandang kepada gadis jelita yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu.
“Lili...? Siapakah Lili? Dan siapa pula Pendekar Bodoh? Aku.. serasa aku pernah
mendengar nama-nama itu, akan tetapi sudah lupa sama sekali!”
“Suhu, kau telah minum racun
berbahaya dan berada dalam keadaan tidak sadar sampai sepuluh tahun. Inilah
penolongmu, yaitu Thian Kek Losuhu.”
Kini Lo Sian memandang kepada
hwesio itu yang masih tersenyum kepadanya. Biar pun Lo Sian masih tidak
mengerti apa yang dimaksudkan oleh Lili, namun mendengar bahwa hwesio gendut
itu sudah menolongnya, maka dia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan
hwesio itu.
“Omitohud!” Thian Kek Hwesio
menyebut nama Buddha sambil cepat-cepat mengangkat bangun Pengemis Sakti, itu.
“Tak percuma pinceng mengeluarkan tenaga membantumu, Sicu, ternyata kau adalah
seorang yang berpribudi tinggi. Akan tetapi, ketahuilah bahwa semua orang yang
baik hati tentu akan mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa, biar pun dia tidak
akan terlepas dari hukum karma. Marilah kita bicara di ruang depan, terlalu
sempit di kamar ini.”
Ketiga orang itu lalu berjalan
keluar dan ternyata bahwa pengobatan itu sama sekali tidak mempengaruhi keadaan
kesehatan Lo Sian. Dia kini tidak gila lagi, akan tetapi dia juga tidak ingat
akan kejadian di masa lampau.
Setelah mereka berada di ruang
depan, Thian Kek Hwesio lalu duduk di atas sebuah bangku dan Lo Sian berdiri di
depannya. Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian dahulu untuk membantu bekas
suhu-nya itu teringat kembali.
Akan tetapi betapa pun Lo Sian
mengerahkan pikirannya, ia tidak dapat mengingat-ingat lagi! Tiba-tiba matanya
terbelalak dan Lili merasa terkejut sekali, takut kalau-kalau bekas gurunya ini
kumat lagi penyakit gilanya. Akan tetapi Thian Kek Hwesio memberi isyarat
dengan tangannya agar supaya gadis itu tetap tenang.
Berkali-kali Lo Sian
memijit-mijit kepalanya seakan-akan hendak membantu semua urat syarafnya agar
bekerja kembali, dan tiba-tiba ia berkata keras, “Ah... yang teringat olehku
hanya Lie Kong Sian...! Lie Taihiap itu telah... mati! Benar, Lie Kong Siang
telah tewas... ahh, hanya itu yang teringat olehku. Lie Kong Sian telah tewas!”
Dan Sin-kai Lo Sian lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya
lalu ia menangis tersedu-sedu!
Lili hendak menghampirinya,
akan tetapi dicegah oleh Thian Kek Hwesio, maka gadis itu hanya bertanya,
“Suhu, kau maksudkan bahwa Lie-supek telah meninggal dunia?”
Suaranya terdengar gemetar, karena
gadis ini sering kali mendengar dari ayah-bundanya bahwa Lie Kong Sian adalah
suami dari Ang I Niocu dan bahwa pendekar besar she Lie itu adalah suheng dari
ayahnya.
Lo Sian mengangguk-angguk
sambil menahan tangis. “Benar, dia telah meninggal dunia. Lie Kong Sian yang
gagah perkasa, yang berbudi mulia, telah mati...!”
Pada saat itu pula terdengar
bentakan hebat dari atas dan nampak berkelebat bayangan orang yang maju
menerkam tubuh Lo Sian dari atas!
“Pengemis gila! Jangan kau
mengacau dengan omongan bohong! Ayahku tidak meninggal dunia!” Bayangan itu
ternyata adalah Lie Siong.
Dengan hati tak karuan rasa
karena kaget dan tidak percaya, pemuda ini yang semenjak tadi mengintai dari
atas genteng, kemudian menubruk hendak menangkap Lo Sian. Dia melompat dengan
gerakan yang disebut Harimau Menubruk Kambing dan langsung jari tangan kanannya
meluncur hendak menotok pundak Lo Sian.
“Suhu, awas serangan!” Lili
berseru kaget.
Baiknya Lo Sian masih belum
kehilangan kegesitannya. Dia cepat memutar tubuh sambil miringkan pundak,
menarik kaki kanan ke belakang dan dengan demikian ia terluput dari totokan
itu. Sebelum Lie Siong menyerangnya lebih lanjut, bayangan Lili telah
berkelebat dan berdiri menghadapi pemuda itu.
“Hem, kiranya kau!” seru gadis
itu sambil mencibirkan bibirnya ketika ia mengenal bahwa pemuda ini adalah
pemuda yang tadi bertempur dengan dia. “Kau datang mau apakah?”
“Suhu-mu yang gila ini sudah
berbicara tidak karuan dan dia telah menghina ayah ketika menyatakan bahwa ayah
telah mati! Ayah masih hidup di Pulau Pek-le-to dengan sehat, bagaimana dia
berani mengatakan bahwa ayah telah mati?”
“Siapa bilang bahwa ayahmu
mati, anak muda?” Lo Sian berkata dengan sabar. “Yang mati adalah Lie Kong
Sian, bukan ayahmu...”
“Orang gila! Lie Kong Sian adalah
ayahku!” sambil berkata demikian, Lie Siong kembali maju hendak menyerang Lo
Sian.
Sementara itu, Lili memandang
dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini adalah putera
Lie Kong Sian, yang berarti putera Ang I Niocu pula! Timbul kegembiraannya
tercampur kekecewaan. Ia gembira dapat bertemu dengan putera Ang I Niocu yang
sudah sering kali disebut-sebut oleh ayah bundanya, akan tetapi dia kecewa
karena tadi melihat pemuda itu mempermainkan seorang gadis cantik!
Juga di dalam hatinya
tiba-tiba timbul niat ingin menguji kepandaian putera Ang I Niocu ini. Maka
tanpa banyak cakap, ketika melihat betapa pemuda itu hendak menyerang Lo Sian,
Lili segera bergerak maju menangkis pukulan itu. Sepasang lengan tangan beradu
keras dan keduanya terhuyung mundur tiga langkah.
“Bagus, gadis liar!” Lie Siong
membentak. “Agaknya kau masih belum mau mengaku kalah.”
“Aku mengaku kalah? Terhadap
engkau? Hemm, bercerminlah dulu, manusia sombong. Kau mengaku putera pendekar
besar Lie Kong Sian? Siapa sudi percaya? Putera Ang I Niocu tak mungkin
sesombong engkau dan mata keranjang pula. Hah, tak tahu malu!”
Terbelalak mata Lie Siong
memandang kepada Lili. Bagaimana gadis ini seakan-akan mengenal keadaan
ayah-bundanya?
“Kau siapakah?” dia mengulang
lagi pertanyaannya yang diajukan siang tadi, akan tetapi kembali Lill mengejek
dengan bibirnya yang manis.
“Apa kau kira dengan mengaku
sebagai putera Ang I Niocu, kau akan dapat menipuku untuk memperkenalkan nama?
Hah, manusia rendah, biar kucoba dulu sampai di mana sih kepandaianmu!” Sesudah
berkata demikian, Lili kemudian mencabut keluar pedang Liong-coan-kiam yang
tajam.
“Bagus, gadis liar! Aku pun
ingin sekali menyaksikan sampai di mana kepandaianmu maka kau berani membuka
mulut besar!” Lie Siong juga mengeluarkan pedangnya yang aneh, yaitu
Sin-liong-kiam. Maka tanpa dapat dicegah lagi kedua orang muda ini lantas
melanjutkan pertempuran mereka yang siang tadi dilakukan dengan mati-matian!
Lili mempunyai Ilmu Pedang
Liong-cu Kiam-hoat yang luar biasa, yaitu ilmu pedang yang berdasarkan pada
Ilmu Pedang Daun Bambu ciptaan ayahnya, sebab itu tentu saja ilmu pedangnya ini
hebat bukan main. Begitu gadis ini menggerakkan pedangnya maka lantas
berkelebatlah bayangan merah dari pakaiannya, sedangkan pedangnya berubah
menjadi segulung sinar pedang yang putih menyilaukan mata!
Baik Lo Sian yang berdiri di
sudut ruangan yang luas itu, mau pun Thian Kek Hwesio yang masih tetap duduk di
bangku dengan sikap tenang, terpesona menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini.
Bahkan Thian Kek Hwesio biar pun tidak pandai ilmu silat akan tetapi yang sudah
banyak sekali menyaksikan kepandaian orang-orang berilmu tinggi, menjadi kagum
sekali hingga berkali-kali menyebut nama Buddha, “Omitohud! Alangkah hebatnya
ilmu pedang ini!”
Akan tetapi, ketika Lie Siong
juga menggerakkan tubuh dan pedangnya, maka silaulah mata mereka berdua
memandang. Tubuh Lie Siong berubah menjadi bayangan putih, sedangkan pedangnya
menjadi segulung sinar keemasan yang cukup hebat menyilaukan pandangan mata.
Begitu kedua sinar itu
bertemu, terdengarlah suara nyaring dari beradunya kedua pedang dan berpijarlah
bunga api yang indah sekali. Makin lama makin cepat kedua orang muda itu
menggerakkan senjata mereka sehingga gulungan pedang berwarna putih dan kuning
emas itu menjadi satu, bergulung-gulung saling membelit seolah-olah ada dua
ekor naga sakti yang sedang bertempur seru.
Api lilin di atas meja yang
terdapat di ruangan itu bergerak-gerak hampir padam karena tiupan angin senjata
mereka berdua. Saking gembiranya dapat menyaksikan permainan pedang ini, Thian
Kek Hwesio segera bangkit berdiri, mengambil tiga batang lilin lagi dan
memasangnya semua di atas meja. Di dalam penerangan tiga batang lilin tambahan
ini, nampak makin indahlah sinar pedang kedua orang muda keturunan orang-orang
pandai itu.
Diam-diam kedua orang muda itu
terkejut sekali. Baik Lili mau pun Lie Song amat kagum menyaksikan kehebatan
kepandaian lawan. Kini Lili diam-diam percaya bahwa pemuda ini tentulah putera
Ang I Niocu, oleh karena dia mengenal Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hwat dari
Ang I Niocu yang pernah diturunkan oleh ayahnya, bahkan ayahnya pun dulu pernah
memberi penjelasan kepadanya tentang ilmu pedang itu. Apa bila diadakan
perbandingan, memang ilmu pedang dari Lili masih menang lihai, akan tetapi
dalam hal ginkang dan tenaga lweekang, dia agaknya masih kalah latihan.
Sebaliknya, Lie Siong menjadi
makin kagum melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Benar-benar ilmu
pedang yang belum pernah disaksikannya selama hidupnya. Dulu ibunya pernah
memberitahukan kepadanya tentang ilmu pedang ciptaan Pendekar Bodoh yang amat
lihai dan agaknya inilah ilmu pedang itu!
Apakah gadis ini puteri
Pendekar Bodoh? Ia menduga-duga dengan hati berdebar-debar dan makin
tertariklah hatinya kepada gadis yang cantik jelita, manis, dan juga galak ini.
Ia diam-diam harus mengakui bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu
amat luar biasa perubahannya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi korban.
Akan tetapi, yang membuat
hatinya berdebar-debar aneh, adalah cara Lili mainkan ilmu pedangnya. Ia
setengah dapat menduga bahwa bila lawannya mau, tentu ia sudah dapat
dirobohkan! Akan tetapi tiap kali ujung pedang lawannya yang tajam itu telah
mendekati tubuhnya, tiba-tiba gerakan pedang diubah sedemikian rupa sehingga
tidak melukainya!
Ia menjadi marah, malu dan
penasaran sekali. Sambil mengertak giginya, Lie Siong yang berwatak keras dan
tak mau kalah ini lalu memutar pedangnya, mengirim totokan-totokan dengan lidah
pedang naga dan menusuk dengan tanduk pedang naganya. Dia berusaha untuk
membalas setiap serangan dengan pembalasan tak kalah lihainya.
Sudah tiga empat kali lawannya
‘mengampuni’ dirinya dengan merubah jalan pedangnya, maka dia pun ingin sekali
mendesak lawannya dan kemudian memberi kesempatan pula pada lawannya untuk
melepaskan diri dari ancaman pedangnya. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendesak
lawan yang mainkan ilmu pedang sehebat itu?
Ia tidak diberi kesempatan
sama sekali bahkan pedang Lili makin gencar mengurungnya sehingga gulungan
sinar kuning keemasan kini semakin mengecil, sebaliknya gulungan sinar pedang
yang putih makin membesar dan menghebat gerakannya.
Lebih hebat lagi ketika Lili
mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tahu-tahu tangan kiri gadis itu
mengeluarkan sebuah kipas yang kecil dan indah. Lie Siong tadinya merasa heran
dan menduga bahwa gadis itu hendak mempermainkannya dan menyombongkan diri
dengan melayaninya sambil mengebut-ngebut kipas. Tidak tahunya begitu kipas itu
mengebut, ia hampir berseru karena kaget dan heran.
Angin kipas itu menyambar
sehingga membuat lidah pedang naganya terbentur kembali, disusul dengan pukulan
kipas yang mempergunakan ujung gagangnya untuk menotok ke pundaknya. Lie Siong
benar-benar merasa terkejut.
Tak pernah diduganya bahwa gadis
lawannya itu demikian lihainya. Baru ilmu pedangnya saja sudah demikian hebat
dan sukar baginya untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang setelah gadis itu
menggunakan sebuah kipas pula yang juga luar biasa. Siapakah gadis ini?
Dengan pedang dan kipasnya,
Lili makin mengurung dan kini gadis ini menjadi bangga karena dapat mendesak
pemuda itu. Kelak ia akan menceritakan kepada ayah bundanya betapa ia telah
dapat mengalahkan putera dari Ang I Niocu! Dan tentu saja ia tidak mau melukai
pemuda itu karena kini ia merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah putera dari
Ang I Niocu. Ia hanya ingin mendesak kemudian memaksa pemuda itu untuk mengakui
keunggulannya.
Akan tetapi, Lili sama sekali
tidak tahu bahwa Lie Siong adalah seorang pemuda yang keras hati seperti ibunya
dan tidak nanti pemuda ini mau mengaku kalah begitu saja! Rasa penasaran dan
malu membuat Lie Siong menjadi marah dan nekad.
Ia pikir bahwa bila ia terlalu
mengarahkan perhatian dan kepandaiannya pada penjagaan diri terhadap desakan
gadis yang lihai itu, tentu ia takkan mampu membalas. Maka ia lalu memilih
jalan nekad. Biarlah aku dirobohkan dan tewas, pikirnya, asal saja aku mampu
membalasnya!
Sesudah berpikir demikian, dia
lalu mencari kesempatan baik. Pada saat itu, tiba-tiba Lili menyerang dengan
kedua senjata secara berbareng. Pedang Liong-coan-kiam meluncur cepat ke arah
tenggorokannya dan kipas itu kini tertutup, dipergunakan untuk menotok
lambungnya! Serangan berganda yang amat berbahaya dan agaknya sangat sukar
untuk ditangkis atau dielakkan lagi.
Akan tetapi, Lie Siong tidak
mau mempedulikan dua senjata lawannya yang mengancam dirinya ini, sebaliknya
dia lalu mempergunakan Sin-liong-kiam untuk menyapu kedua kaki Lili! Pikirnya,
kalau senjata-senjata lawannya diteruskan, tentu sedikitnya dia akan dapat
mematahkan sebuah kaki lawan!
Lili merasa terkejut sekali.
Tidak pernah disangkanya bahwa lawannya mengambil jalan nekad seperti itu! Dia
lalu berseru keras dan kedua kakinya melompat ke atas. Dengan sendirinya
kipasnya tidak mengenai sasaran dan pedangnya yang tak dapat ditariknya kembali
itu tidak mengenai leher lawan, akan tetapi hanya menyerempet pundak kanan Lie
Siong!
Lie Siong merasa betapa
pundaknya menjadi perih dan sakit sekali, juga melihat darah mengalir dari
pundaknya. Akan tetapi ia tidak mempedulikan hal ini dan saat pedangnya dapat
dielakkan oleh kaki Lili yang melompat ke atas, dia lalu menggerakkan pedang
itu sehingga lidah dari pedang naga itu dengan gerakan yang amat tak terduga
telah melibat sepatu kiri di kaki Lili!
Gadis itu terkejut dan hendak
menarik kakinya. Akan tetapi pada saat ia menggerakkan kaki kirinya, Lie Siong
telah membetot sehingga sepatu kiri itu terlepas dari kaki Lili dan masih
terlibat oleh lidah pedang naga itu!
“Bangsat! Kembalikan
sepatuku!” Lili berseru keras.
Akan tetapi Lie Siong yang
merasa sudah mampu membalas hinaan yang diterimanya dalam pertempuran itu,
yaitu hinaan yang berupa ‘pengampunan’ berkali-kali dari desakan pedang, segera
membawa sepatu itu dan melompat keluar dari situ.
Lili hendak mengejar, akan
tetapi tanpa sepatu, kaki kirinya terasa sakit sekali menginjak lantai yang
kasar. Pada saat itu, dari luar rumah kuil itu terdengar seruan Lie Siong,
“Kau harus membayar penghinaan
dan kesombonganmu dengan sepatumu! Tak mudah mendapatkan sepatu yang masih
dipakai dari puteri Pendekar Bodoh yang ternyata tolol dan bodoh melebihi
ayahnya dan sombong pula!”
Lili hampir menangis saking
jengkelnya dan melompat keluar.
“Kubunuh kau, bangsat rendah!”
makinya, akan tetapi begitu kakinya menginjak batu-batu tajam, ia mengeluh,
melompat kembali ke ruang itu, duduk di atas sebuah bangku dan... menangis!
Thian Kek Hwesio datang
menghampiri Lili dan menghiburnya, “Nona Sie, mengapa kau menangis? Bukankah
kau telah dapat mengusirnya?”
“Dia... manusia kurang ajar
itu... dia sudah membawa pergi sebuah sepatuku!” jawab Lili masih menangis.
Sesungguhnya, kejadian
perampasan sepatu tadi sangat cepatnya sehingga mata Thian Kek Hwesio yang
tidak terlatih itu sama sekali tidak melihatnya. Kini dia memandang ke arah
kaki kiri Lili dan dia berseru kaget,
“Omitohud...! Bagaimana ada
laki-laki yang begitu kurang ajar? Nona Sie, apakah betul ucapanmu tadi bahwa
dia adalah putera Ang I Niocu? Pinceng pernah mendengar nama Ang I Niocu yang
terkenal sekali.”
Akan tetapi Lili tidak dapat
menjawab, hanya melanjutkan tangisnya. Hatinya mangkel sekali dan ingin dia
dapat menusuk dada pemuda itu dengan pedangnya!
“Aku tidak tahu siapa Ang I
Niocu dan siapa pula pemuda itu, tetapi ilmu kepandaiannya memang hebat,”
tiba-tiba Lo Sian berkata. “Aku masih ingat kepada Lie Kong Sian dan agaknya
pemuda itu memang patut menjadi putera Lie Kong Sian. Ilmu sitatnya tinggi dan
tadi dia merampas sepatumu hanya untuk membalas penghinaan yang berkali-kali
kau lakukan kepadanya.”
Thian Kek Hwesio memandang
heran kepada pembicara ini, “Eh, Sicu, apa maksudmu? Mengapa kau menyatakan
bahwa Nona Sie telah menghinanya berkali-kali?”
Lo Sian yang telah waras
pikirannya dan memiliki pandangan yang lebih awas dari Thian Kek Hwesio berkata
tenang, “Lo-suhu, di dalam pertempuran tadi, Nona ini memang selalu menjadi
pendesak dan lebih lihai kepandaiannya. Akan tetapi Nona ini sengaja tak mau
melukai dan merobohkan lawan, malah selalu memberi ampun dan menarik kembali
serangannya pada saat pedangnya akan mengenai sasaran. Di dalam sebuah pibu,
tentu saja hal ini dianggap gerakan yang amat menghina dan merendahkan lawan.
Bagi orang gagah, lebih baik dirobohkan dari pada diberi ampun dan diberi
kesempatan melepaskan diri dari ancaman senjata!”
Merahlah wajah Lili sesudah
mendengar ucapan Lo Sian ini. Tidak disangkanya bahwa suhu-nya masih bermata
setajam itu dan dapat melihat semua gerakannya! Akan tetapi, hwesio gendut itu
menggeleng-geleng kepala dan menghela napas berkati-kali.
“Kalian orang-orang dunia
persilatan ini benar-benar aneh sekali! Untung pinceng tidak pernah mempelajari
ilmu silat, karena kalau pinceng dulu mempelajarinya, entah sudah berapa kali
pinceng harus berkelahi seperti binatang buas!”
Terpaksa Lili menerima
pemberian Thian Kek Hwesio, yaitu sepasang sepatu hwesio yang besar. Dia
memotong dan menjahit lagi sepatu itu, dikecilkan untuk dapat dipakai oleh
sepasang kakinya yang kecil mungil. Kemudian ia membujuk kepada Lo Sian untuk
ikut dengan dia ke rumah ayah-bundanya di Shaning.
“Aku tidak kenal siapa adanya
ayahmu yang bernama Pendekar Bodoh itu, akan tetapi oleh karena aku yakin bahwa
dahulu tentu aku pernah mengenalmu dan tahu bahwa kau adalah seorang yang
mulia, maka biarlah aku ikut dengan kau, Nona.”
“Suhu, mengapa kau menyebutku
nona saja? Sungguh tidak enak bagiku. Sebutlah saja namaku seperti dulu, yaitu
Lili!” kata Lili cemberut.
Lo Sian tersenyum. Air mukanya
mulai berseri dan bercahaya seakan-akan kehidupan baru memasuki tubuhnya. Ia
merasa gembira dapat melihat kejenakaan, kemanjaan, dan kegagahan nona ini,
maka ia lalu menjawab,
“Baiklah, Lili, walau pun aku
sama sekali tidak mengerti mengapa kau menyebutku Suhu, padahal kalau melihat
kepandaianmu, lebih patut akulah yang menjadi muridmu!”
Demikianlah, setelah menanti
sampai tiga hari akan tetapi tidak melihat kedatangan Hong Beng dan Goat Lan,
Lili menjadi hilang kesabaran dan ia mengajak Lo Sian menuju ke Shaning kembali
ke rumah orang tuanya.
Di sepanjang jalan tiada
hentinya Lili menuturkan hal-hal yang terjadi pada waktu dahulu kepada Lo Sian,
namun, Sin-kai Lo Sian mendengar semua ini sebagai hal yang baru sama sekali
dan ia tidak ingat apa-apa melainkan kematian Lie Kong Sian! Ini pun tak ia
ketahui sebab-sebabnya. Lupalah dia akan nama-nama seperti Ban Sai Cinjin, Hok
Ti Hwesio, Mo-kai Nyo Tiang Le dan yang lain-lain.
********************
Mengapa Hong Beng dan Goat Lan
yang sedang dinanti-nanti oleh Lili tidak juga datang menyusul ke kota Ki-ciu
seperti yang telah mereka janjikan? Mari kita ikuti pengalaman mereka.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, kedua orang muda ini menuju ke
kota Ta-liong untuk memenuhi undangan pibu yang diterima oleh Hong Beng dari
kelima ketua dari Hek-tung Kai-pang.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, Hong Beng bersama Goat Lan sudah menuju ke tempat terbuka di
mana kemarin harinya Hong Beng sudah menolong Lo Sian dari keroyokan para
anggota Hek-tung Kai-pang. Ternyata ketika mereka tiba di tempat itu, di sana
sudah berkumpul puluhan orang pengemis anggota Hek-tung Kai-pang dan semua
orang itu telah membuat lingkaran.
Di tengah-tengah lingkaran,
nampak sebuah meja butut dan beberapa buah bangku butut pula. Di belakang meja,
lima orang nampak menduduki lima buah bangku, duduk berjajar bagaikan arca
batu. Kelima orang ini bukan lain adalah lima orang ketua dari Hek-tung
Kai-pang yang sesungguhnya bukanlah saudara-saudara sekandung melainkan
saudara-saudara angkat yang telah bersumpah sehidup semati. Selain dari pada
ini, mereka juga merupakan saudara seperguruan, karena kelimanya adalah murid
dari Hek-tung Kai-ong, pencipta dari Hek-tung Kai-pang dan ilmu tongkat hitam
yang amat lihai.
Lima orang ketua ini
kesemuanya berpakaian tambal-tambalan dan usia mereka antara empat puluh sampal
lima puluh tahun. Setelah mengangkat saudara menjadi ketua dari Hek-tung
Kai-pang, mereka sudah memakai nama baru dengan she (nama keturunan) Hek pula
yaitu Hek Liong, Hek Houw, Hek Pa, Hek Kwi dan Hek Sai.
Semenjak lima saudara ini
menemukan buku pelajaran silat dari guru mereka yang telah meninggal dunia, dan
bersama-sama melatih lagi Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat dari kitab ini, kepandaian
mereka meningkat tinggi sekali dan tiap kali ada pemilihan pengurus baru tiada
seorang pun yang dapat mengalahkan mereka! Baru menghadapi seorang di antara
mereka saja sudah amat berat, apa lagi kalau menghadapi mereka berlima
sekaligus!
Bagaimana pun juga,
Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam ini mendapat nama baik di kalangan kang-ouw.
Juga Ngo-hek-pangcu (Lima Ketua Hek) ini tidak tercela namanya, karena selama
memegang pimpinan, mereka selalu berlaku adil dan juga melakukan
perbuatan-perbuatan gagah.
Akan tetapi, tentu saja
sebagai ketua-ketua dari perkumpulan seperti Hek-tung Kai-pang yang amat
terkenal, mereka juga mempunyai keangkuhan. Ketika mereka tiba di Ta-liong dari
kota raja dan mendengar bahwa anak buah mereka yaitu para kepala ranting dan
cabang yang sudah berkumpul di situ, telah dihajar oleh seorang pemuda yang
membela seorang pengemis golongan lain yang datang mengacau, mereka menjadi
penasaran sekali. Maka diutuslah anak buah mereka untuk menantang pibu kepada
pemuda itu.
Kini, pagi-pagi sekali
Ngo-hek-pangcu telah bersiap sedia menunggu kedatangan orang yang ditantangnya.
Melihat kedatangan dua orang muda, seorang pemuda tampan dan gagah bersama
seorang gadis cantik jelita, maka kelima orang pangcu ini merasa heran dan juga
secara diam-diam mereka merasa kagum. Inikah orangnya yang sudah dapat
mengocar-ngacirkan para pemimpin ranting? Hampir tak dapat dipercaya!
Namun, sebagai orang-orang
kang-ouw yang ulung, mereka tidak berani memperlihatkan sikap memandang rendah
dan segera mereka bangun berdiri ketika melihat Hong Beng dan Goat Lan
menghampiri mereka.
“Maafkan kami, sahabat muda
yang gagah. Kami sebagai pengemis-pengemis hina dina dan miskin tentu saja
tidak dapat menyambut kedatanganmu sebagai mana layaknya seorang tamu agung
dihormati,” kata Hek Liong, ketua yang paling tua di antara kelima orang itu.
Merahlah telinga Hong Beng
mendengar ucapan dan melihat sikap ini. Ia merasa betapa ‘tuan rumah’ ini
terlalu berlebih-lebihan merendahkan diri dan mengangkatnya sebagai tamu agung.
Akan tetapi Hong Beng memang berwatak sabar dan tenang, maka dia menjawab
sambil menjura pula.
“Akulah yang minta maaf,
Pangcu (Ketua)! Aku sebagai orang luar yang masih hijau dan bodoh, berani
datang mengganggu ketenanganmu. Memang serba sulitlah kedudukanku, Pangcu.
Tidak datang memenuhi panggilanmu, tentu akan mengecewakan hati Ngo-wi yang
gagah, sebaliknya memenuhi undangan, berarti mengganggu rapat ini!”
Mendengar ucapan yang panjang
lebar ini, serta melihat sikap pemuda yang tenang sekali itu, kelima ketua itu
diam-diam makin mengindahkan sikap Hong Beng. Pemuda dengan sikap seperti ini
tak boleh dipandang ringan, pikir mereka.
“Dan bolehkah kiranya kami
bertanya, dengan keperluan apakah Nona ini ikut datang ke sini?”
Goat Lan tersenyum dan dengan
jenaka sekali dia tersenyum kemudian menjura sambil menjawab, “Ngo-wi Pangcu
(Lima Tuan Ketua), aku hanyalah seorang perantau yang menjadi sahabat baik
orang muda ini. Ketika mendengar sahabat baikku ini mendapat undangan dari
perkumpulan Hek-tung Kai-pang, hatiku amat tertarik sekali. Aku bersama kedua
suhu-ku, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, sudah sering kali mengunjungi
orang-orang besar di dunia kang-ouw dan mengunjungi perkumpulan-perkumpulan
orang gagah di dunia ini yang banyak macamnya. Akan tetapi, sungguh aku belum
pernah bertemu dengan Perkumpulan Hek-tung Kai-pang yang sudah sangat tersohor
di empat penjuru ini!”
Goat Lan sengaja
memperkenalkan diri sebagai murid Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, karena
ia mengharapkan nama-nama kedua orang gurunya dapat melemahkan hati kelima
orang pangcu itu sehingga permusuhan dapat dicegah. Memang gadis yang cantik
ini tepat sekali perhitungannya, karena saat mendengar nama kedua orang tokoh
persilatan yang tinggi dan tersohor namanya ini, kelima orang pangcu itu lalu
berdiri dari tempat duduk mereka dan menjura ke arah Goat Lan.
“Ahh, sungguh mata kami
seperti buta saja, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata!
Silakan duduk, Lihiap (Pendekar Wanita), dan perkenalkan nama kami lima pangcu
dari Hektung Kai-pang.” Kelima orang raja pengemis itu lalu memperkenalkan nama
mereka seorang demi seorang.
Hong Beng juga memperkenalkan
nama demikian pula Goat Lan. Berbeda dengan Goat Lan, Hong Beng tidak mau
menceritakan siapa gurunya dan siapa pula orang tuanya. Ia ingin melihat
bagaimana sikap raja-raja pengemis itu.
Akan tetapi setelah
mempersilakan kedua orang tamunya itu mengambil tempat duduk, agaknya kelima
orang ketua Hek-tung Kai-pang itu tidak mempedulikan mereka lagi dan melayani
orang-orang yang mulai datang, dan di antara para pendatang baru itu, nampak
pula tiga orang pengemis yang membawa tongkat berbentuk ular. Mereka ini adalah
para ketua Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Ular) dari timur
yang besar juga besar pengaruhnya.
Selain tiga orang ketua
Coa-tung Kaipang ini, nampak juga seorang tosu tinggi kurus, dan seorang
laki-laki setengah tua yang rambutnya dikuncir panjang ke belakang dan memakai
topi bundar, sikapnya kasar dan berlagak. Tosu ini adalah seorang ahli silat
yang bernama Beng Beng Tojin, seorang tokoh Bu-tong-san yang suka merantau. Ada
pun orang bertopi bundar itu adalah seorang kasar yang terkenal sebagai ahli
gwakang (tenaga kasar) dan ahli tiam-hoat (menotok jalan darah). Namanya Cong
Tan dan dia memiliki julukan It-ci-sinkang (Si Jari Tangan Lihai).
Kelima saudara Hek yang
menjadi ketua Hek-tung Kai-pang itu menyambut kedatangan lima orang ini dengan
penuh penghormatan pula, akan tetapi mereka tidak dipersilakan duduk seperti
Hong Beng dan Goat Lan.
Hong Beng dan Goat Lan saling
pandang dan keduanya merasa heran mengapa tuan rumah tidak mempedulikan mereka
lagi, dan bagaimanakah dengan pibu yang diajukan oleh kelima orang ketua itu?
Bagi Hong Beng dan Goat Lan, memang mereka berharap supaya tidak terjadi salah
paham atau permusuhan, akan tetapi mereka pun, terutama Hong Beng tidak akan
merasa puas sebelum mencoba kepandaian kelima orang tokoh Hek-tung Kai-pang
yang terkenal itu.
Setelah menyambut tamu-tamu
yang baru datang, Hek Liong, saudara tertua dari kelima orang itu, lalu berkata
dengan suara keras kepada para pemimpin Hek-tung Kai-pang yang hadir di situ.
“Kawan-kawan sekalian!
Sebagaimana telah ditentukan kemarin, maka pemilihan ketua akan dilakukan hari
ini. Oleh karena hari ini sudah tiba waktunya bagi kami yang sudah memenuhi
tugas sebagai ketua, maka dengan ini kami menyatakan turun dari kedudukan ketua
untuk menghadapi pemilihan baru. Nah, silakan kawan-kawan yang mempunyai calon
untuk mengajukan calonnya!”
Setelah ketua mereka membuka
rapat istimewa itu, maka ramailah suara para anggota perkumpulan pengemis itu.
Ternyata bahwa kelima orang tamu yang datang itu, yaitu ketiga ketua Coa-tung
Kai-pang, Beng Beng Tojin, dan Cong Tan, datang atas kehendak mereka sendiri
dengan niat hendak mencoba merobohkan ketua lama untuk menduduki kedudukan
ketua baru dari Hek-tung Kai-pang. Semua yang hadir dengan suara bulat memilih
kelima saudara Hek sebagai ketua lagi.
“Kami memilih Ngo-hek-pangcu
agar tetap menjadi ketua kami!” seru suara para hadirin dengan serentak.
Mendengar seruan para anggota
Hektung Kai-pang ini, ketiga ketua Coa-tung Kai-pang itu segera berdiri dengan
senyum mengejek. Mereka ini adalah ketua tingkat dua dari Coa-tung Kai-pang,
dan usia mereka baru tiga puluh tahun lebih. Sikap mereka amat tinggi dan
memandang rendah sedangkan mulut mereka selalu tersenyum seolah-olah menghadapi
perkumpulan yang jauh lebih kecil dari pada perkumpulan mereka sendiri. Juga
pakaian tambal-tambalan yang mereka pakai jauh berbeda dengan pakaian para
pemimpin Hek-tung Kai-pang, karena biar pun pakaian mereka penuh tambalan,
namun baik pakaian dasar mau pun tambalannya amat bersih!
“Cu-wi sekalian,” kata yang
tertua di antara mereka, yaitu seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam,
“kami adalah anggota-anggota dewan pimpinan dari Coa-tung Kai-pang di timur
yang mewakili perkumpulan kami. Kedatangan kami ini membawa maksud yang amat mulia.
Menurut hasil perundingan dewan pengurus kami, maka sungguh tidak layak kalau
di negeri ini terdapat terlalu banyak perkumpulan seperti yang kita sekalian
dirikan. Mungkin Cu-wi sekalian juga pernah mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) dari Secuan bersama Lo-kai Hwe-koan (Rumah
Perkumpulan Pengemis Tua) dari Shantung, keduanya sudah bergabung dan melebur
perkumpulan mereka menjadi cabang dari perkumpulan kami Coa-tung Kai-pang yang
terbesar dan jaya! Oleh karena itu, maka kedatangan kami ini merupakan wakil
dari pada perkumpulan kami untuk minta Cu-wi sekalian menginsyafi hal ini dan
melebur perkumpulan Hek-tung Kai-pang menjadi cabang pula dari Coa-tung
Kai-pang kami!”
Ucapan ini menyatakan betapa
sombongnya Si Muka Hitam itu. Kalau dia dengan suara membujuk minta agar supaya
Perkumpulan Tongkat Hitam itu suka menggabungkan diri dengan Perkumpulan
Tongkat Ular, ini masih bisa diterima. Akan tetapi ia menggunakan ucapan agar
supaya Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam insyaf dan mau melebur diri menjadi
cabang Coa-tung Kai-pang! Sungguh-sungguh tak melihat muka para pemimpin
Hek-tung Kai-pang.....