Pendekar Remaja Jilid 16-20

Memang sudah terlalu lama kita meninggalkan Goat Lan dan sepatutnya kita menengok keadaannya semenjak ia diambil murid Yok-ong Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Pendekar Remaja Jilid 16-20

Memang sudah terlalu lama kita meninggalkan Goat Lan dan sepatutnya kita menengok keadaannya semenjak ia diambil murid Yok-ong Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Goat Lan dibawa oleh kedua suhu-nya ke Bukit Liong-ki-san, yaitu sebuah bukit yang puncaknya tampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dengan amat tekun dan rajinnya Goat Lan melatih diri di bawah bimbingan Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.

Selama delapan tahun ia berlatih silat, juga ia mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-ong Sin Kong Tianglo. Kedua orang kakek ini merasa sangat gembira melihat ketekunan dan kemajuan murid tunggal mereka dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang paling tinggi.

Goat Lan tidak merasa kesepian oleh karena hampir sebulan sekali, ayah ibunya tentu datang menengoknya, bahkan dia menerima pula latihan ilmu silat dari ayah bundanya. Sebaliknya kedua orang suhu-nya pada waktu menganggur selalu bermain catur dan dua orang kakek itu biar pun sudah sering kali mendapat petunjuk dari Goat Lan, tetap saja masih amat bodoh dalam hal permainan catur! Agaknya memang betul kata orang-orang dulu bahwa otak orang tua sudah menjadi keras dan tumpul!

Tidak saja Kwee An dan Ma Hoa sering kali berkunjung ke puncak Liong-ki-san, bahkan beberapa kali Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, yaitu Lin Lin, membawa Lili naik ke gunung itu untuk mengunjungi. Oleh karena itulah, hubungan antara Lili dan Goat Lan menjadi erat.

Delapan tahun kemudian, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu yang sudah merasa bahwa kepandaian yang mereka ajarkan kepada Goat Lan sudah cukup, kedua orang kakek yang kini telah berusia amat tua itu lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing, yaitu di daerah utara.

Goat Lan kembali ke Tiang-an, melanjutkan pelajaran ilmu silatnya dari ayah bundanya sehingga dia kini menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Kalau dibuat perbandingan, gadis muda ini mempunyai lebih banyak ilmu silat yang tinggi-tinggi dari pada ibu atau ayahnya, maka tentu saja Kwee An dan Ma Hoa menjadi amat bangga akan puteri tunggalnya ini.

Dua tahun lamanya Goat Lan mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, juga Ilmu Silat Bambu Runcing dari ibunya. Seperti ibunya, ia dapat mainkan Ilmu Silat Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu dengan amat baik dan bahkan berkat didikan Im-yang Giok-cu ia memiliki lweekang yang amat hebat serta ginkang yang dilatihnya dari Sin Kong Tianglo membuat gerakannya laksana seekor burung walet.

Pada suatu hari, datanglah Im-yang Giok-cu yang membawa berita amat menyedihkan hati Goat Lan dan orang tuanya. Ternyata bahwa Sin Kong Tianglo yang sudah amat tua itu meninggal dunia di daerah utara.

“Sin Kong Tianglo meninggalkan sebuah pesanan untukmu, Goat Lan,” berkata Im-yang Giok-cu setelah kesedihan Goat Lan agak mereda. “Pada waktu ini, putera Kaisar yang menjadi Putera Mahkota, menderita sakit hebat sekali. Menurut Sin Kong Tianglo, obat satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit pangeran itu hanyalah To-hio-giok-ko (Daun Golok Buah Mutiara) yang terdapat di daerah bersalju sebelah utara tapal batas. Dan karena mencari obat itulah maka ia menemui kematiannya! Tubuhnya yang amat tua itu tidak kuat menahan dingin dan karena serangan hawa dingin dan kelelahan, dia tewas di sana!”

“Mengapa dia bersusah payah mencarikan obat untuk Putera Mahkota?” tanya Ma Hoa dengan heran. Pertanyaan ini agaknya terkandung dalam pikiran Kwee An dan Goat Lan pula karena mereka juga segera memandang kepada Im-yang Giok-cu untuk mendengar bagaimana jawaban kakek itu.

Im-yang Giok-cu menurunkan guci araknya dan sebelum menjawab dia meneguk dahulu araknya.

“Memang Raja Obat itu orangnya aneh sekali. Seperti juga aku tua bangka tiada guna, ia tidak menaruh perhatian tentang keadaan Kaisar dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli pengobatan dia memiliki satu kelemahan, yaitu selalu ingin menyembuhkan penyakit yang paling aneh. Selain dari pada itu, memang harus diakui bahwa di antara para pangeran, maka Putera Mahkota boleh disebut seorang pemuda yang paling baik, mempunyai sifat-sifat baik dan agaknya kalau dia menjadi Kaisar kelak, dia akan menjadi seorang Raja yang bijaksana. Karena itulah, maka banyak sekali ahli pengobatan yang mencoba untuk menyembuhkannya, hanya untuk mencegah supaya jangan sampai ada pangeran lain yang menggantikannya menjadi Putera Mahkota kalau dia meninggal.”

“Dan apakah pesan mendiang Suhu untukku?” tanya Goat Lan kepada suhu-nya yang kedua ini.

“Dia mengharuskan engkau untuk pergi ke utara mencari obat itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota!” jawab Im-yang Giok-cu sambil meneguk araknya lagi.

Goat Lan menerima berita ini dengan tenang saja, akan tetapi kedua orang tuanya saling pandang dengan muka berubah. Mereka telah maklum akan berbahayanya perjalanan ke daerah utara yang selain dingin juga banyak terdapat orang-orang buas dan jahat.

“Mengapa harus Goat Lan yang pergi mencari obat itu?” tanya Kwee An.

Dan Ma Hoa menyambung dengan suara penasaran, “Apakah tidak bisa orang lain yang mencarikannya?”

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Tentu saja aku maklum dengan kekhawatiran kalian berdua. Siapa orangnya yang akan membiarkan Goat Lan pergi seorang diri ke tempat jauh itu? Akan tetapi Sin Kong Tianglo memang orang aneh!” Dia mengangguk-angguk lalu menyambung, “Aneh dan gila!”

Bagi Goat Lan, tidak aneh kalau Im-yang Giok-cu memaki gila kepada Sin Kong Tianglo, karena memang dua orang suhu-nya ini sudah biasa saling memaki!

“Dan susahnya, ini adalah pesannya, pesan orang yang hendak menghembuskan napas terakhir. Pesan seorang yang sudah meninggal harus dilaksanakan dan dipenuhi, kalau tidak, ahh... aku orang tua takkan dapat hidup tenang dan tenteram lagi. Arwah Sin Kong Tianglo tentu akan menjadi setan dan mengejar-ngejarku ke mana-mana. Pesannya ialah Giok Lan seorang, tak boleh orang lain, harus melanjutkan usahanya untuk mencari obat To-hio-giok-ko itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota.”

“Akan tetapi,” Ma Hoa terus membantah, “kenapa mendiang Sin Kong Locianpwe begitu mengkhawatirkan kesehatan Putera Mahkota dan tidak mempedulikan bahaya yang bisa menimpa diri anakku? Apakah ini adil namanya? Atau, apakah dia tidak sayang kepada muridnya?”

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Belum kuceritakan yang lebih aneh lagi. Sebenarnya Sin Kong Tiangto sendiri tidak berapa peduli apakah Putera Mahkota akan mati atau pun hidup, akan tetapi sampai pada saat terakhir, orang tua yang berkepala batu itu selalu hendak mempertahankan namanya! Ia memang angkuh dan menjaga namanya sebagai Yok-ong (Raja Obat)! Ketahuilah, secara kebetulan Yok-ong Sin Kong Tianglo tiba di kota raja dan dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw ahli pengobatan yang terkenal dari seluruh daerah. Tentu saja, tukang obat bertemu ahli obat, mereka bicara asyik tentang hal pengobatan dan akhirnya mereka itu berdebat ramai sekali. Semua tukang obat yang berada di kota raja menyatakan bahwa di dunia ini tak ada obat lagi untuk penyakit yang diderita oleh Putera Mahkota. Akan tetapi Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan bahwa ada obatnya! Dia dibantah oleh banyak orang dan akhirnya semua orang minta buktinya. Kakek gila itu menantang dan menyatakan kesanggupannya, bahwa ia akan memperoleh obat itu dan menyembuhkan Putera Mahkota dengan taruhan bahwa kalau ia tidak bisa, ia tidak mau memakai gelar Yok-ong (Raja Obat) lagi! Nah, celakanya, ketika dia sedang mencari obat itu, dia terserang hawa dingin dan meninggal dunia. Masih baik bahwa dia bertemu denganku dan aku sudah menawarkan tenagaku untuk melanjutkan usahanya mencari obat itu, akan tetapi ia tidak mau menerima tawaranku, katanya, harus muridku yang akan mencari obat dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota. Biarlah muridku sendiri yang menolong namaku dari hinaan orang, dan biar muridku yang membuktikan bahwa julukan Yok-ong bukanlah sia-sia belaka!”

Kwee An, Ma Hoa, dan Goat Lan mendengarkan penuturan ini dengan bengong. Tanpa diberitahu, mereka bertiga maklum bahwa hal ini menyangkut nama baik dan kehormatan Sin Kong Tianglo.

“Nah, sekarang kalian tahu mengapa dia menghendaki Goat Lan seorang yang mencari obat itu? Kakek gila itu takut kalau-kalau para ahli obat di dunia kang-ouw akan mencela, mentertawainya, dan menghina julukannya sebagai Yok-ong! Dan aku tahu, kalau terjadi hal demikian, maka nyawa Yok-ong itu tentu akan berkeliaran lalu yang dijadikan sasaran terutama sekali adalah aku, karena akulah yang berjanji padanya untuk menyampaikan hal ini kepada Goat Lan dan membujuknya agar supaya suka berbakti kepadanya.”

“Baik, Suhu, teecu akan pergi melanjutkan usaha Suhu Sin Kong Tianglo!” tiba-tiba Goat Lan berkata dengan suara tetap.

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak lalu menenggak araknya lagi.

“Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!” katanya dengan mata dikedip-kedipkan girang. “Bila tidak demikian jawabanmu, kau tentu bukan murid Yok-ong dan aku!” Im-yang Giok-cu lalu menuangkan semua sisa araknya ke dalam perut lalu berkata lagi dengan wajah berseri,

“Goat Lan, Sin Kong Tianglo telah berkata kepadaku bahwa bila kau mampu melanjutkan usahanya serta mengangkat namanya sebagai Yok-ong, aku boleh memberikan barang warisannya ini!” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan segi empat yang tipis kepada muridnya.

Goat Lan menerimanya dan dengan hati-hati ia membuka bungkusan kain kuning itu dan ternyata bahwa di dalamnya terdapat sebuah kitab yang sudah usang dan kuning.

“Kitab obat dari Suhu!” Goat Lan berseru dengan mata terbelalak.

Pernah Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan padanya bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai dan orang-orang jahat yang amat menginginkan kitab itu, akan tetapi suhu-nya itu selalu menjaganya dengan baik-baik.

“Kitab ini sangat berharga,” kata suhu-nya dahulu, “maka jangan harap orang lain dapat mengambilnya dari aku. Aku lebih menghargai kitab ini dari pada nyawaku sendiri! Dan kelak kalau aku mati kitab ini akan kubawa serta. Karena kalau sampai terjatuh ke dalam tangan orang jahat, maka kitab ini akan mendatangkan mala petaka hebat kepada dunia, walau pun di dalam tangan orang baik-baik benda ini akan merupakan penolong manusia yang amat besar jasanya.”

Dengan bengong Goat Lan memegang kitab itu dan Im-yang Giok-cu berkata lagi, “Aku merasa berat sekali membawa-bawa kitab ini selama melakukan perjalanan ke sini, oleh karena aku pun maklum akan keinginan orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab ini. Di waktu kitab ini berada di tangan Sin Kong Tianglo, tidak ada yang berani mencoba untuk merampasnya, akan tetapi sesudah orang tua itu meninggal dunia, tentu mereka akan berusaha mendapatkan kitab ini. Oleh karena itu hati-hatilah kau menjaga kitab ini, muridku. Dan satu hal lagi, apa bila kau hendak mencari obat Tohio-giok-ko, hanya satu tempat yang terdapat daun dan buah itu yaitu pada sepanjang lembah Sungai Sungari di sebelah selatan kota Hailun. Nah, aku telah memenuhi semua tugasku. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, Im-yang Giok-cu lalu pergi dengan cepat tanpa dapat ditahan lagi.

Kwee An dan Ma Hoa kemudian saling pandang dengan mata masih mengandung penuh kekhawatiran. Akhirnya Ma Hoa memegang tangan Goat Lan dan berkata,

“Goat Lan, memang sudah seharusnya kau menjaga nama baik suhu-mu. Akan tetapi, kami tidak tega untuk melepasmu pergi seorang diri begitu saja. Kita akan pergi bertiga.”

“Benar kata-kata ibumu, Goat Lan, tempat itu amat jauh. Aku sendiri bersama Pendekar Bodoh pernah melakukan perjalanan ke sana dan memang tempat itu amat berbahaya.”

“Akan tetapi, Suhu Sin Kong Tianglo telah memesan agar supaya aku pergi sendiri, kalau sampai terdengar oleh orang kang-ouw bahwa sebagai murid Sin Kong Tianglo aku telah mengandalkan kepandaian Ayah dan lbu untuk mendapatkan obat itu, bukankah nama Suhu akan ditertawakan orang?”

“Peduli apakah kalau mereka mentertawakan di belakang punggung kita?” kata Ma Hoa. “Coba suruh mereka tertawa di depan mukaku, tentu tertawanya itu akan menjadi tawa terakhir dalam hidupnya!”

“Akan tetapi aku ingin pergi seorang diri, Ibu. Apa bila Ayah dan Ibu turut membantuku, maka aku akan merasa seolah-olah aku telah menyalahi pesan terakhir dari pada Suhu. Hanya kitab ini...” Ia memandang kepada kitab itu dengan penuh khidmat, “aku tak berani membawa-bawanya pergi merantau. Lebih baik ditinggal di sini saja dalam perlindungan Ayah dan Ibu.”

“Goat Lan, jangan kau berkata demikian,” ayahnya menegur. “Kalau kau pergi merantau seorang diri, kau tentu akan membikin ibumu selalu merasa gelisah dan berkhawatir. Apa kau senang melihat ibumu selalu dirundung kegelisahan memikirkan keadaanmu?”

Goat Lan menengok pada ibunya yang juga sedang memandangnya. Melihat sinar mata ibunya yang penuh kasih sayang dan wajah yang cantik itu kini menjadi murung, Goat Lan lalu tersenyum dan memeluk ibunya.

“Ahh, Ayah! Kau jangan merendahkan Ibu! Ibu kan bukan anak kecil lagi dan Ibu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya padaku. Bukankah begitu, Ibu? Semenjak kecil, Ayah dan Ibu sudah mendidik dan memberi pelajaran ilmu silat dan kepandaian untuk menjaga diri padaku. Bahkan delapan tahun lamanya dua orang suhu-ku telah menggemblengku untuk meyakinkan ilmu silat tinggi, kemudian Ayah dan Ibu memberi tambahan lagi ilmu kepandaian yang kupelajari dengan rajin. Selama bertahun-tahun itu aku selalu tekun, rajin dan dengan susah payah belajar ilmu silat. Apa bila sekarang melakukan perjalanan sebegitu saja aku harus mundur dan takut, apa perlunya selama ini aku mempelajari ilmu silat? Bukankah hal itu hanya akan merendahkan nama kedua orang suhu-ku, bahkan akan mendatangkan rasa malu kepada Ayah dan Ibu? Aku sudah mempelajari ilmu silat, jika sekarang tidak dipergunakan, habis apakah kepandaian itu harus kukeram di dalam kamar, menyulam, membaca buku, mempelajari tulisan-tulisan indah dan sajak, sehingga kepandaian silat itu akan membusuk dan kemudian terlupa olehku?”

Selama puteri mereka ini berbicara, Kwee An dan Ma Hoa bertukar pandang dan mata mereka bersinar gembira. Girang hati mereka mendengar semangat yang gagah ini dan lenyaplah keraguan mereka. Tanpa mereka lihat perubahannya, ternyata Goat Lan kini telah menjadi dewasa. Hanya orang yang sudah dewasa saja dapat memiliki pendirian seperti itu.

Sesudah memberi nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk yang sangat perlu diketahui seorang perantau, akhirnya keduanya menyetujui keberangkatan Goat Lan

“Hanya satu hal yang harus kau janjikan,” kata Ma Hoa, “yaitu kau tidak boleh pergi lebih lama dari enam bulan.”

“Baik, Ibu, aku berjanji. Menurut perhitungan Ayah, perjalanan ke situ pulang pergi hanya makan waktu dua bulan, maka waktu enam bulan sudah cukup bagiku.”

“Bukan karena aku ingin memberi batas waktu yang terlalu sempit dan mengikat, anakku, hanya kau harus ingat bahwa usiamu telah masuk sembilan belas tahun dan perjanjian kita terhadap keluarga Sie sudah dekat waktunya.”

Tiba-tiba saja wajah Goat Lan menjadi merah sekali. Dia memang tahu bahwa dia telah dipertunangkan dengan Sie Hong Beng, kakak dari Lili, putera dari Pendekar Bodoh yang tidak diketahui bagaimana rupanya. Ia hanya satu kali bertemu dengan Sie Hong Beng, yaitu ketika ia masih berusia lima tahun! Semenjak itu, belum pernah ia bertemu lagi dan ia sudah lupa akan rupa pemuda yang kini menjadi caIon suaminya itu.

Memang, jika ia ingat bahwa pemuda itu adalah kakak Lili yang cantik manis dan putera dari Pendekar Bodoh yang amat terkenal sebagai suami isteri pendekar yang gagah dan dikasih sayangi oleh ayah ibunya, dia boleh merasa puas akan ikatan jodoh ini. Namun betapa pun juga, sungguh pun mulutnya tidak pernah berkata sesuatu, akan tetapi ada perasaan kurang enak dalam lubuk hati. Ia belum melihat bagaimana keadaan pemuda tunangannya itu, bagaimana macam orangnya dan bagaimana pula kepandaiannya.

Goat Lan berangkat ke utara sambil membawa pesan dan nasehat kedua orang tuanya. Ia masih ingat betapa ayah ibunya beberapa kali berpesan kepadanya bahwa apa bila ia bertemu dengan seorang yang bernama Bouw Hun Ti, ia diperbolehkan menyerang dan membinasakan orang itu tanpa perlu ragu-ragu lagi.

“Dia adalah pembunuh Paman Yousuf dan dulu telah menculik Lili, maka berarti bahwa dia adalah musuh besar kita pula. Menurut penuturan Pendekar Bodoh, penjahat yang bernama Bouw Hun Ti itu kepandaiannya tak perlu ditakutkan, akan tetapi kau berhati-hatilah Goat Lan, karena dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin yang terkenal amat jahat dan curang.”

Bagaikan seekor burung terlepas dari kurungan, Goat Lan melakukan perjalanan dengan amat gembira. Baru kali ini ia melakukan perantauan dan melakukan segala sesuatu atas keputusan sendiri. Selama ini selalu ada orang-orang yang menjaganya, suhu-suhu-nya, ayah ibunya, dan baru sekarang ia merasa betapa besar kegunaan segala pelajaran ilmu silat yang dipelajarinya selama bertahun-tahun itu.

Dia tidak membekal senjata lain kecuali sepasang bambu runcingnya, dan karena ayah bundanya juga maklum akan kemampuannya menjaga diri dengan tangan kosong atau dengan bambu runcing itu, maka mereka melepaskan dengan hati aman.

Tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh Kwee An, kurang lebih sebulan kemudian sesudah melakukan perjalanan cepat dan lancar, Goat Lan tiba di lembah sungai Sungari di perbatasan Boancu. Dia lalu berjalan di sepanjang sungai itu dan ketika dia sampai di sebelah selatan kota Hailun, ternyata bahwa lembah itu tertutup oleh hutan yang sangat liar dan gelap.

Hari sudah menjadi senja ketika dia tiba di sebuah dusun di luar hutan. Melihat ke arah hutan yang sangat gelap sehingga membuat tempat itu nampak hampir hitam, Goat Lan terpaksa menunda perjalanannya. Dia merasa lapar setelah melakukan perjalanan sehari lamanya, akan tetapi walau pun asap gurih dan sedap yang keluar dari sebuah rumah makan kecil membuat hidungnya berkembang kempis dan perutnya menggeliat-geliat, ia dapat menahan seleranya dan lebih dulu mencari tempat penginapan.

Namun ia kecewa karena ternyata bahwa di dusun itu tidak terdapat rumah penginapan. Satu-satunya rumah penginapan kecil yang masih ada papan namanya, sudah ditutup. Heranlah Goat Lan melihat keadaan ini dan dia bertanya kepada seorang kakek petani yang memandangnya dari pintu rumahnya.

“Lopek, aku adalah seorang pelancong yang membutuhkan tempat penginapan. Di mana kiranya terdapat rumah penginapan di dusun ini?”

Kakek itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan sepasang matanya yang keriput dan sipit itu membayangkan kecurigaan besar, tapi melihat bahwa yang bertanya kepadanya adalah seorang gadis muda cantik dan halus tutur sapanya, kecurigaannya berubah menjadi keheranan besar.

“Nona, mendengar bicaramu, kau tentulah datang dari selatan. Mengapa kau tersasar sampai sejauh ini? Kau lihat sendiri, di dusun ini hanya sebagian saja dari penduduknya adalah orang-orang Han, sebagian besar adalah penduduk dari suku bangsa lain. Kau hendak pergi ke manakah?”

Memang benar, sejak tadi agak sukar bagi Goat Lan untuk bertanya keterangan sesuatu, karena di mana-mana dia melihat orang-orang yang amat berlainan dengan orang-orang Han, baik bentuk muka mau pun keadaan pakaiannya. Sungguh pun jawaban kakek ini tidak pada tempatnya, yaitu menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, akan tetapi Goat Lan tetap bersabar dan tersenyum ramah.

“Tidak salah dugaanmu, Lopek. Aku memang datang dari selatan dan seperti yang telah kukatakan tadi, aku adalah seorang pelancong.”

“Sebagai seorang pelancong, kau benar-benar sudah memilih tempat yang aneh. Hawa begini dingin, tidak ada pemandangan indah di sini, banyak penyakit merajalela.”

Ia memandang pada pakaian Goat Lan yang tidak tebal dan kepada wajah serta tangan gadis itu yang telanjang tidak tertutup sesuatu, dan makin heranlah hatinya. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik jelita dan muda seperti ini mampu menahan dingin yang menggoroti kulit?

Pada waktu itu, bulan kedua baru tiba dan keadaan sedang dingin-dinginnya. Bagi kakek itu sendiri biar pun telah puluhan tahun ia tinggal di daerah dingin ini, namun tetap saja pada waktu seperti itu, tanpa perlindungan pakaian dari kulit domba, ia takkan tahan dan dan kulit tubuhnya akan pecah-pecah.

“Nona, selanjutnya kau hendak ke manakah?” tanyanya kemudian.

“Aku ingin bermalam di dusun ini untuk satu malam saja dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan ke sana!” Goat Lan menudingkan telunjuknya ke arah hutan yang kini sudah menjadi hitam karena diselimuti oleh malam yang mulai mendatang.

Tiba-tiba kakek itu nampak gugup dan pucat.

“Jangan, Nona...! Jangan kau pergi ke sana. Dengarlah kata-kata orang tua seperti aku. Hidupku tidak akan lama lagi dan aku ingin mencegah seorang muda seperti engkau dari kesengsaraan, jangan kau memasuki tempat itu kalau kau sayang kepada nyawamu!”

Goat Lan sangat terkejut, akan tetapi hatinya yang tabah membuat ia tetap tenang. Ia memandang kepada kakek itu dengan tajam dan ketika kakek itu balas memandang dan sinar mata mereka bertemu, kakek itu menjadi makin pucat dan dia melangkah mundur dua langkah.

“Kau… matamu sama benar dengan matanya… kau...”

“Ehh, ada apakah Lopek? Aku seorang manusia biasa, seorang pelancong yang sedang membutuhkan tempat penginapan untuk beristirahat malam ini. Jangan kau bicara yang aneh-aneh Lopek. Dapatkah kau menolongku dan memberitahukan di mana aku dapat bermalam? Kalau tidak mau, tidak apalah, aku bisa mencari keterangan dan minta tolong kepada orang lain.”

Ucapan ini agaknya menyadarkan kakek itu kembali.

“Kau... kau bukan orang jahat?”

Goat Lan merasa dongkol, akan tetapi terpaksa dia tersenyum juga. Melihat pandangan mata dan wajah kakek itu, ia maklum bahwa sikap yang aneh ini timbul dari rasa takut yang hebat dari orang tua ini.

“Tiada gunanya aku menjawab pertanyaanmu ini, Lopek. Siapakah orangnya di dunia ini yang suka mengaku bahwa ia adalah orang jahat? Tentu saja seperti orang lain di dunia ini, aku akan menjawab bahwa aku bukan orang jahat, akan tetapi meski pun kau dapat mendengar jawaban mulutku, bagaimana kau akan dapat mengetahui keadaanku yang sebenarnya?”

Jawaban ini benar-benar membuat kakek itu tercengang.

“Nona, kau masih amat muda akan tetapi sudah dapat bicara seperti itu. Terang bahwa kau bukan orang jahat. Mari, silakan masuk, akan kuceritakan kenapa aku mencegahmu memasuki tempat berbahaya itu.”

Akan tetapi Goat Lan menggelengkan kepalanya. “Aku datang untuk mencari tempat penginapan Lopek, bukan untuk mendengar cerita tentang tempat berbahaya.”

Dia mengangguk dan hendak pergi meninggalkan kakek itu. Akan tetapi orang tua itu melangkah maju dan berkata,

“Nona, apa bila aku sudah mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku menawarkan tempat ini untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi tinggal di rumah yang buruk dan kecil ini. Dan aku berani menawarkan rumahku, oleh karena aku maklum bahwa di dalam dusun ini kau tak akan dapat menemukan rumah penginapan. Nah, sudikah kau?”

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang jujur, Goat Lan terpaksa melangkah masuk dan sambil tersenyum dia menyatakan terima kasihnya. Di luar dugaannya semula, walau pun rumah itu dari luar nampak amat buruk dan di dalamnya juga sangat sederhana, namun benar-benar bersih dan menyenangkan.

Sebuah lampu terletak menyala di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang sering kali bertemu dengan kain pembersih. Di kanan kiri meja itu terdapat dua buah bangku kayu yang sederhana pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak dua buah pintu kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili (tirai pintu) yang berwarna kuning dan cukup bersih sungguh pun sudah ada beberapa tambalan di sana sini.

Kakek itu mempersilakan Goat Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu dia sendiri mengeluarkan sebotol arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di sudut.

“Aku orang miskin, Nona, seperti sebagian besar orang yang tinggal di sini.”

“Kau maksudkan, seperti sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan. “Kemiskinan bukanlah hal yang menyusahkan hati, Lopek.”

Kembali kakek itu tercengang dan wajahnya berseri. “Mendengar ucapanmu, hampir aku percaya bahwa kau adalah seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana. Akan tetapi tidak mungkin seorang gadis petani mempunyai wajah seperti kau dan pakaianmu pula. Ahhh, kau tentulah seorang gadis bangsawan yang kaya raya.” Sebelum Goat Lan membantah kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja, lalu cepat berkata lagi. “Kau tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku masak bubur untukmu.”

Goat Lan cepat mencegah dan segera dia mengeluarkan sepotong uang perak. “Jangan repot-repot, Lopek. Memang aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan tetapi kalau kau suka, tolonglah belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang ini.”

Kakek itu memandang ke arah uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian dia mengambil uang itu dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu bertindak keluar.

“Lopek, jangan lupa, beli untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan berseru kepada kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Goat Lan yang sudah banyak menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku hati-hati, setelah kakek itu keluar, cepat dia mengadakan pemeriksaan di dalam rumah itu. Disingkapnya tirai pintu kamar dan dilongoknya ke dalam.

Kamar tidur biasa saja dan amat sederhana. Demikian pula kamar tidur ke dua. Rumah ini benar-benar kosong, tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal dari dua orang, melihat adanya dua buah kamar tidur itu.

Ia lalu membuka tutup botol arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah yang sudah dicampur dengan air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tidak dapat diragukan lagi bahwa kakek itu adalah seorang petani miskin yang sederhana dan jujur. Kalau memang di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada tempat yang lebih aman dan baik dari pada rumah Pak Tani ini.

Goat Lan menurunkan buntalan pakaian dari pundaknya dan meletakkan buntalan itu di atas meja, kemudian ia duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh, pikirnya, mengapa ia begitu takut kepada hutan itu?

Tak lama kemudian kakek itu datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua lalu makan bersama bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan bersama kakek di dalam rumah sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada ayah bundanya! Sesudah selesai makan, barulah Goat Lan bertanya mengapa kakek itu tadi melarangnya memasuki hutan liar itu.

Sebelum menjawab, kakek itu mengusap perutnya dan berkata, “Ah, alangkah nikmatnya makan masakan mahal itu. Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap itu.”

Goat Lan tersenyum dan hatinya gembira karena sedikit uangnya dapat mendatangkan kenikmatan kepada kakek yang ramah tamah ini. “Kalau setiap hari kau masak masakan seperti ini, akan lenyaplah kelezatannya, Lopek.”

“Kau benar!” kakek itu berseru gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang sudah bosan dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari dihadapinya hingga dia tidak doyan lagi semua makanan-makanan lezat dan mahal yang dihadapinya dan ingin ia menjadi seorang petani yang dapat makan hidangan sederhana dengan lahapnya. Dia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan hidangannya yang miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang dihadap raja. Ha-ha-ha!”

Goat Lan mengangguk. “Demikianlah jika nafsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek. Selalu bosan akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang tidak dimilikinya.”

“Kau pintar sekali! Ha-ha-ha, kau sungguh mengagumkan, Nona.”

“Lopek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada hutan itu dan mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”

Tiba-tiba lenyaplah kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali lalu menceritakan dengan suara perlahan.

“Hutan itu memang semenjak dahulu sangat liar. Selain banyak terdapat binatang buas, terutama sekali ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu muncul seorang siluman yang sangat mengerikan! Dahulu di dalam hutan itu terdapat satu gerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai asrama, akan tetapi begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi tahu-tahu para perampok yang jumlahnya tiga puluh orang lebih itu telah menggeletak di luar hutan dalam keadaan luka-luka hebat dan bertumpuk-tumpuk! Dan menurut cerita mereka, katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman wanita yang mengerikan! Semenjak saat itulah tidak ada perampok lagi yang mengganggu sekitar daerah ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani memasuki hutan yang mengerikan itu.”

Goat Lan merasa amat tertarik mendengar cerita ini. “Benar-benar tak pernah ada orang yang berani memasuki hutan itu, Lopek?” dia bertanya.

Orang tua itu mengerutkan keningnya.

“Semenjak saat itu memang tak pernah ada manusia yang lewat di sini dan terus menuju ke hutan. Kukatakan manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu hanya iblis-iblis dan siluman-siluman, bukan manusia biasa seperti yang kulihat kemarin.” Kakek itu nampak takut-takut dan merasa ngeri ketika ia memandang ke arah pintu depan yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.

“Apa maksudmu, Lopek? Apakah ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan itu?” ketika mengajukan pertanyaan ini, biar pun Goat Lan seorang dara perkasa yang tak kenal takut, namun kini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang!

“Betul, memang mereka bukan manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik, “Aku melihat ada empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan tetapi luar biasa anehnya. Baru cara mereka berjalan saja sudah aneh, begitu cepatnya seperti terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan tidak menginjak bumi seperti biasa iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan bentuk tubuh mereka juga sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang pendek berkepala besar. Huh, sungguh menyeramkan!”

“Berapa orangkah semuanya, Lopek?”

“Ada empat! Yang seorang seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ahh, aku masih menggigil ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta agar kau membatalkan niatmu memasuki hutan itu, Nona. Apa bila kau hendak melakukan perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki hutan yang penuh siluman dan binatang buas itu.”

Goat Lan tersenyum. “Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu ini, aku pun merasa takut dan ngeri. Akan tetapi, tentang memasuki hutan, aku tak akan mundur. Besok pagi-pagi aku tetap akan melanjutkan perjalananku memasuki hutan itu, dan apa bila seperti yang kau katakan tadi…”

“Apa yang hendak kau lakukan? Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang melayang? Nona, jangan kau mencari penyakit!”

Goat Lan tersenyum lagi. “Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salamku kepada mereka, Lopek.”

Kakek itu melengak dan memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak. “Nona, jangan kau main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat roboh luka-luka tak berdaya menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu. Apa lagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan itu terdapat sekian banyak siluman!”

Goat Lan tidak menyembunyikan senyumannya. “Lopek, jangan kau khawatir. Sebetulnya aku pernah mempelajari ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan mengalahkan siluman-siluman!”

Tiba-tiba gadis itu memandang ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika melihat gadis itu sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar seruan gadis itu dari luar pintu. “Siluman dari mana berani mengintai rumah orang?”

Terdengar suara angin di luar pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, dia melihat dua bayangan orang berkelebat seperti sedang bertempur! Tidak lama kemudian terdengar seruan seorang laki-laki yang suaranya parau,

”Aduhh...!”

Dan terlihat olehnya betapa bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan! Ketika kakek itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia melihat bayangan ke dua, melompat ke hadapannya dan ternyata bahwa bayangan ini adalah bayangan gadis yang tadi duduk berhadapan dengan dia.

“Jangan takut, Lopek. Siluman tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan dibawanya masuk ke dalam pondok.

Kedua mata kakek itu hampir keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan dengan mata terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis cantik jelita dan jenaka seperti ini benar-benar sanggup mengusir pergi seorang siluman jahat! Kemudian di dalam benaknya yang sudah banyak dipengaruhi cerita tahyul itu timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan seorang manusia biasa. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan berkata,

“Niang-niang (sebutan untuk bidadari atau dewi), mohon maaf sebesarnya bahwa hamba tadi sudah berani berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi mengampunkan dosa hamba tadi...”

Hampir saja Goat Lan tertawa bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini. Ia merasa geli sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya bangun dan berdiri kembali.

“Lopek, apakah kau mengajak aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan Lopek, dan marilah kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari esok.”

Dia kemudian memasuki sebuah di antara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas panjang saking heran dan kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar ke dua.

Akan tetapi bagaimana dia dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi yang gagah perkasa itu, dan diam-diam dia merasa girang sekali bahwa dia telah mendapat kehormatan besar menjadi tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi. Dia akan menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan dia akan menjadikan peristiwa ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.

Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia mendengar suara. “Lopek, selamat tinggal dan terima kasih!”

Ketika ia melompat bangun dan keluar dari kamarnya, ternyata tamunya yang cantik dan aneh itu sudah pergi dan tidak berada di dalam kamar lagi. Di atas mejanya terdapat tiga potong uang perak yang cukup besar!

Kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan mulutnya berkemak-kemik seperti laku seorang dukun meminta berkah dari Penghuni Langit!

Goat Lan memang meninggalkan rumah itu secara diam-diam dan di waktu hari masih pagi sekali, karena ia merasa tidak enak melihat sikap kakek yang berlebih-lebihan dan yang amat tahyul itu.

Malam tadi, dia sudah merasa heran sekali ketika melihat benar-benar ada orang yang mengintai rumah kakek itu. Lebih-lebih herannya ketika ia menyerbu keluar, ia disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang berkepandaian tinggi!

Begitu keluar pintu karena melihat berkelebatnya bayangan yang mengintai, dia segera mengulur tangan hendak menangkap pundak orang itu dengan gerakan dari Gin-na-hwat (ilmu silat yang mempergunakan tangkapan dan cengkeraman). Akan tetapi ketika lelaki itu menangkis, Goat Lan merasa betapa tangkisan itu berat dan kuat sekali mengandung tenaga lweekang yang tak boleh dibuat gegabah!

Ia maklum bahwa ‘siluman’ ini adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat dan menyerang hebat. Sampai beberapa belas jurus orang itu dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya sebuah totokan jari tangan Goat Lan pada pundaknya membuat dia berseru kesakitan dan cepat melarikan diri ke arah hutan!

Hal inilah yang membuat Goat Lan mendapat kesimpulan bahwa di dalam hutan itu tentu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Dia masih belum dapat menetapkan apakah orang-orang itu termasuk golongan orang jahat atau orang gagah yang menyembunyikan diri dari dunia ramai.

Orang yang malam tadi bertempur dengan dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga totokannya tak membuatnya roboh, hanya berseru kesakitan akan tetapi masih dapat melarikan diri. Kalau saja ia tidak mempunyai keperluan untuk mencari obat To-hio-giok-ko yang berada di lembah sungai dalam hutan itu, tentu dia juga tidak mau memasuki hutan dan mencari penyakit atau perkara dengan orang-orang yang dianggap siluman oleh kakek itu.

Dengan waspada dan hati-hati sekali Goat Lan berjalan memasuki hutan itu, lalu mencari sungai yang mengalir di hutan. Hutan ini sungguh liar dan penuh dengan pohon-pohon besar, penuh pula dengan semak-semak belukar yang tampaknya belum pernah dijamah oleh tangan manusia.

Pada waktu dia sampai di pinggir sungai yang ditumbuhi rumput-rumput hijau, tiba-tiba ia mendengar suara gerakan di antara semak-semak. Dia cepat memandang sambil segera menghentikan langkah kakinya, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.

Ah, tentu seekor binatang yang lari bersembunyi, pikirnya. Dengan tenang dan tabah dia melanjutkan perjalanannya di sepanjang Sungai Sungari yang lebar dan jernih airnya, terus menuju ke utara. Matanya mencari-cari ke kanan kiri, melihat rumput-rumput yang tumbuh di situ.

Beberapa kali ia seperti mendengar suara tindakan orang yang mengikutinya, akan tetapi setiap kali dia menengok, dia tidak melihat bayangan seorang pun. Diam-diam ia merasa ngeri juga. Benarkah dongeng kakek itu bahwa di dalam hutan ini terdapat banyak setan dan siluman?

Ia seperti mendengar tindakan kaki orang yang ringan sekali dan kalau memang yang berjalan itu seorang manusia, ia tentu akan dapat melihatnya. Sampai tiga kali ia merasa seperti mendengar orang berjalan, akan tetapi betapa pun cepatnya dia menengok ke belakang, ia tak pernah melihat sesuatu, kecuali daun-daun pohon yang bergerak tertiup angin atau seekor burung yang terbang sambil mengeluarkan seruan kaget.

Ahh, peduli apa dengan siluman mau pun orang? Asal saja dia tidak menggangguku, pikirnya. Dia lalu melanjutkan usahanya mencari daun dan buah obat itu. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, belum juga dia mendapatkan Daun Golok Buah Mutiara.

Banyak terdapat bermacam-macam pohon di tempat itu, akan tetapi tiada yang berdaun seperti golok dan berbuah seperti mutiara. Goat Lan adalah seorang gadis muda yang lincah dan jenaka, maka ia mulai merasa tipis harapannya. Ia kurang sabar dan akhirnya ia pun duduk beristirahat di bawah pohon sambil makan buah yang dipetiknya di tengah perjalanan itu.

Tiba-tiba ia melempar buah yang dimakannya dan melompat berdiri. Ia mendengar suara orang bicara dan tak lama kemudian, di tempat itu muncullah empat orang laki-laki yang berlompatan keluar dari balik pohon-pohon besar. Melihat mereka ini, jantung Goat Lan langsung berdebar dan merasa bulu tengkuknya meremang. Betul-betulkah ada siluman muncul di siang hari?

Tiga di antara empat orang yang muncul ini benar-benar tidak pantas disebut manusia, ada pun orang ke empat potongan tubuhnya seperti yang sudah bertempur dengan dia malam tadi! Orang ke empat ini adalah seorang setengah tua yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Dia tersenyum menyeringai dan berkata kepada tiga orang kawannya yang seperti siluman,

“Sam-wi-enghiong (Tuan Bertiga Yang Gagah), inilah Nona yang gagah dan jelita itu!”

Tak salah lagi, orang inilah yang telah bertempur dengan dia malam hari tadi, pikir Goat Lan dan mendengar orang itu bercakap-cakap dengan bahasa manusia kepada tiga orang yang seperti siluman, legalah hatinya. Apa pun juga yang akan terjadi, dia tidak merasa gentar menghadapi sesama manusia! Dia mulai menaruh perhatian kepada tiga orang aneh itu.

Memang, tiga orang ini benar-benar mempunyai bentuk yang lucu dan aneh. Mereka ini bukan lain adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun). Yang tertua bernama Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Dunia) dan sungguh pun ini bukan sebuah nama, namun oleh orang ini diaku sebagai nama julukannya!

Thian-he Te-it Siansu ini adalah seorang yang tubuhnya seperti seorang kanak-kanak, akan tetapi kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Mukanya jelas muka seorang kakek yang sudah tinggi usianya. Kedua kakinya kecil seperti kaki kanak-kanak pula, begitu pula tangannya. Orang kate ini memegang sebatang payung yang ujungnya tumpul dan setiap ranting payungnya terbuat dari logam keras yang berujung runcing.

Orang ke dua adalah seorang pendek gemuk sekali yang bermuka lebar dan mulut serta kedua matanya besar-besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan ia berjalan sambil menyeret sebuah rantai panjang dan besar. Inilah orang kedua dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang bernama Lak Mou Couwsu.

Ada pun orang ke tiga berpotongan tubuh seperti suling, tinggi kurus dengan kepala kecil tertutup kopyah kecil pula. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri sementara jenggotnya hitam seperti jenggot kambing modelnya. Dia memegang sebatang tongkat dan namanya adalah Bouw Ki.

Melihat keadaan mereka, agaknya tidak pantas sama sekali bahwa mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui yang sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan membuat para orang gagah gentar mendengar nama mereka!

Orang ke empat, yaitu orang setengah tua yang tadi malam bertempur dengan Goat Lan, sebenarnya adalah Bouw Hun Ti! Memang, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti pergi ke utara untuk membujuk dan minta bantuan Hailun Thai-lek Sam-kui untuk memperkuat kedudukannya menghadapi para musuhnya, yaitu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya.

Ketika Bouw Hun Ti dan kawan-kawannya tiba di dusun itu, dan sebagaimana biasa ketiga orang iblis itu tidak suka bermalam di tempat ramai, akan tetapi memilih hutan belukar, Bouw Hun Ti lalu berjalan-jalan dan dia melihat Goat Lan!

Bouw Hun Ti selain jahat dan kejam, juga mempunyai kelemahan terhadap wajah elok. Maka begitu melihat Goat Lan yang cantik jelita seperti bidadari, ia pun menjadi tertarik. Malam hari itu dia mendatangi gubuk kakek yang menjadi tuan rumah Goat Lan, akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu ternyata bukanlah makanan empuk, bahkan ia terkena totokan yang amat lihai! Tentu saja Bouw Hun Ti menjadi terkejut dan curiga.

Siapakah gadis muda yang lihai sekali ini? Dan apakah perlunya seorang gadis pendekar bangsa Han sampai di tempat itu? Ia lalu menceritakan keadaan gadis itu kepada tiga orang kawannya yang juga amat tertarik hatinya.....

Seorang di antara ketiga iblis itu, yaitu Lak Mou Couwsu, adalah seorang yang sangat malas dan paling doyan tidur. Sampai matahari naik tinggi, belum juga dia bangun dan masih mendengkur di bawah pohon di dalam hutan itu.

Bouw Hun Ti sudah kehabisan kesabarannya, karena dia ingin sekali mencari gadis yang lihai malam tadi. Akan tetapi ketika dia hendak membangunkan Lak Mou Couwsu, hampir saja dia menjadi korban kaki kakek aneh ini.

Begitu dia memegang lengan Lak Mou Couwsu dengan maksud hendak rnenggugahnya, tiba-tiba saja kaki kanan orang tua aneh itu bergerak cepat sekali menendang ke arah dadanya! Baiknya pada waktu itu tangannya sudah disambar oleh Thian-he Ta-it Siansu yang segera membetotnya ke belakang sehingga tendangan itu tidak mengenai sasaran. Bouw Hun Ti terkejut sekali dan ketika dia memandang ke arah orang yang masih tidur mendengkur, dia mendapat kenyataan bahwa kakek gemuk itu masih tidur nyenyak!

“Bouw-enghiong, jangan kau bertindak sembarangan!” Kakek kate botak itu menegurnya. “Sungguh pun dia ini amat pemalas dan doyan tidur, akan tetapi sekali-kali tidak boleh dibangunkan, karena sebelum tidur dia tentu telah memasang dan membuat semua urat di tubuhnya bersiaga. Siapa saja yang menyentuhnya, otomatis tentu akan diserangnya, biar pun dia masih dalam keadaan tidur!”

Bouw Hun Ti menjulurkan lidahnya. Selama hidup baru kali ini dia mendengar keanehan dan kelihaian seperti itu. Oleh karena itu, ia menahan kesabarannya dan menanti sampai matahari naik tinggi barulah orang tua itu sadar dari pulasnya. Mereka lalu berangkat dan di tengah jalan bertemulah mereka dengan Goat Lan!

Tiga iblis tua itu memandang kepada Goat Lan sambil tertawa-tawa dan Hailun Thai-lek Sam-kui bertanya, “Nona muda, kau siapakah dan siapa pula Suhu-mu sehingga kau mampu mengalahkan dia?” Ia menunjuk kepada Bouw Hun Ti.

Goat Lan menjura dan berkata dengan suara halus, “Orang tua, burung-burung di udara bertemu di angkasa tak pernah saling bertanya dan mengurus persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Kita orang-orang perantau sebaiknya dapat mencontoh burung-burung itu.”

Memang Goat Lan tak ingin orang mengetahui keadaannya dan tak menghendaki orang mengetahui akan maksudnya mencari obat untuk putera kaisar. Siapa tahu orang ini juga termasuk mereka yang hendak menghalangi usaha mendiang suhu-nya.

Mendengar jawaban ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan dia lalu memandang kepada kawan-kawannya yang juga tertawa geli. Hanya Bouw Hun Ti seorang diri yang memandang kepada Goat Lan dengan pandang mata menyatakan kekagumannya dan juga penasaran. Setelah melihat Goat Lan di siang hari, ia makin tertarik akan kecantikan nona ini dan makin penasaranlah hatinya mengapa ia sampai kalah oleh seorang nona yang demikian muda.

“Ha-ha-ha, Nona yang baik!” kata Thian-he Te-it Siansu, “kau tidak saja berkepandaian lumayan akan tetapi juga mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang cukup. Hutan yang seliar ini berani kau masuki. Sungguh pun aku orang tua tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, akan tetapi ketahuilah bahwa baru bisa bertemu dengan kami tiga orang-orang tua saja sudah merupakan hal yang langka dan luar biasa bagimu. Kami adalah Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang tua dari Hailun yang bodoh! Dan sahabat baik kami ini,” ia menudingkan telunjuknya ke arah Bouw Hun Ti, “adalah seorang yang cukup ternama juga. Namanya Bouw Hun Ti dan kepandaiannya cukup lihai! Nah, setelah kami memperkenalkan nama, masihkah kau menganggap bahwa kau terlampau tinggi untuk memperkenalkan diri kepada kami?”

Goat Lan terkejut sekali mendengar nama ketiga orang tua ini karena dia pun pernah mendengar dari dua orang suhu-nya bahwa Hailun Thai-lek Sam-kui adalah tokoh-tokoh persitatan yang pandai dan ditakuti orang. Akan tetapi, mendengar nama Bouw Hun Ti membuat dia lebih tercengang lagi dan kemarahan membuat mukanya menjadi merah padam. Inikah si jahat yahg pernah menculik Lili dan membunuh Yousuf?

“Sam-wi Locianpwe,” katanya kepada kakek kate itu sambil menjura memberi hormat, “sesungguhnya merupakan kehormatan besar bagi teecu (murid) yang muda dan bodoh telah dapat bertemu muka dengan Sam-wi Locianpwe. Teecu bernama Kwee Goat Lan.”

Terbuka lebar mata ketiga orang kakek itu. “Ha, ternyata kau sudah pernah mendengar nama kami? Bagus, kalau begitu, tentu kau murid seorang pandai.”

Akan tetapi Goat Lan tidak mempedulikan ucapan ini, sebaliknya dia cepat memandang dengan penuh kebencian kepada Bouw Hun Ti dan berkata,

“Orang she Bouw, apa bila aku tahu bahwa siluman yang malam tadi mengintai rumah kakek petani adalah jahanam yang bernama Bouw Hun Ti, tentu aku tidak akan mau melepaskanmu secara begitu saja! Bouw Hun Ti, bersiaplah kau untuk menebus semua dosa-dosamu dan mampus di tanganku!” Sambil berkata demikian, Goat Lan mencabut keluar sepasang bambu runcingnya dan siap hendak menyerang Bouw Hun Ti.

“Ehh, Nona manis, sudah miringkah otakmu? Mengapa kau tiba-tiba menjadi marah dan begitu membenciku?” Bouw Hun Ti lebih merasa heran dari pada marah mendengar makian itu karena sesungguhnya ucapan gadis ini tidak pernah disangkanya.

“Dahulu kau pernah menculik Lili puteri Pendekar Bodoh, juga secara kejam kau sudah membunuh Kakek Yousuf! Kalau sekarang aku memberitahumu bahwa aku adalah puteri dari Kwee An, apakah otakmu yang tumpul masih juga tidak tahu mengapa aku hendak membunuhmu?” Sambil berkata demikian secepat kilat tubuhnya berkelebat maju dan ia mengirim serangan maut ke arah tubuh Bouw Hun Ti.

Orang she Bouw ini menjadi terkejut sekali ketika dia mendengar bahwa nona ini adalah puteri dari Kwee An dan lebih-lebih kagetnya saat ia melihat serangan yang menimbulkan angin dingin mengerikan itu. Ia cepat melompat mundur ke belakang, akan tetapi kedua ujung bambu runcing di tangan Goat Lan tidak mau melepaskannya dan terus mengejar hebat.

Terpaksa Bouw Hun Ti mencabut keluar goloknya, kemudian dia melakukan perlawanan sekuatnya. Akan tetapi, begitu goloknya bertemu dengan bambu runcing gadis itu, dia merasa tangannya tergetar dan secara aneh sepasang bambu runcing itu menggunting goloknya dan diputar sedemikian rupa sehingga goloknya kena dirampas!

Bouw Hun Ti berteriak kaget dan cepat dia melompat ke belakang tiga orang kakek yang memandang kagum.

“Sam-wi Lo-enghiong! Dia ini adalah keponakan Pendekar Bodoh dan seorang di antara musuh-musuhmu yang sombong itu!”

Thian-he Te-it Siansu melompat ke depan sambil menggerakkan payungnya. Senjata istimewa ini mengeluarkan angin sambaran yang kuat sekali sehingga Goat Lan cepat miringkan tubuh dan menyabetkan bambu runcingnya. Ia maklum bahwa kakek ini tinggi sekali ilmu silatnya, maka ia lalu berkata,

“Locianpwe, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan pribadi orang lain!”

“Ha-ha-ha, Nona yang gagah perkasa! Kami bertiga sengaja datang turun gunung karena dimintai bantuan oleh sahabat Bouw Hun Ti. Kulihat kau memainkan Ilmu Silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu, sungguh mengagumkan! Biarlah kita main-main sebentar dan berilah kesempatan kepadaku untuk merasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!”

Sambil berkata begitu, payungnya segera meluncur ke depan dan ternyata bahwa ujung payung yang tumpul itu digunakan untuk menotok jalan darah lawan! Gerakannya cepat serta mengandung tenaga besar, sedangkan setiap kali payung itu ditarik kembali, maka cabang-cabangnya berkembang merupakan perisai (tameng) yang kuat untuk menjaga diri!

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), jangan borong sendiri, biarkan siauwte (Adik) merasai kelihaian Nona ini!” seru Lak Mou Couwcu yang segera memutar rantai bajanya.

Memang ketiga orang kakek ini paling suka bertempur. Di dalam dunia persilatan tingkat tinggi, hanya ada dua rombongan orang aneh yang paling doyan bertempur. Rombongan pertama adalah Hek Pek Mo-ko (Dua Saudara Setan Hitam dan Putih) yang amat ditakuti orang karena tiap kali kedua orang saudara ini turun tangan dalam pertempuran, pasti mereka membunuh orang. Keduanya merupakan manusia buas yang haus darah.

Berkelahi dan membunuh orang merupakan ‘hobby’ (kesukaan) mereka, tanpa peduli siapakah orang yang dibunuhnya itu dan apa alasannya! Pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Hek Mo-ko menjadi guru dari Kwee An dan betapa kedua orang Iblis Hitam dan Putih ini kemudian tewas karena bertempur sendiri.

Rombongan ke dua yang paling doyan berkelahi adalah Hailun Thai-lek Sam-kui ini. Juga bagi mereka ini, pertempuran merupakan kebiasaan dan kesukaan, sungguh pun sifat mereka berbeda dengan Hek Pek Mo-ko. Ketiga orang kakek ini senang berkelahi dan mencoba kepandaian orang lain, hanya untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai kepandaian yang lebih unggul! Mereka tidak biasa membunuh lawan yang sudah mereka kalahkan, cukup asal mempermainkan mereka saja dan memaksa supaya lawan-lawan mereka itu mengaku kalah!

Dalam setiap pertempuran, ketiganya selalu maju bersama-sama, bukan dengan maksud mengeroyok karena sifat mereka curang, melainkan tiada seorang pun di antara mereka yang mau mengalah dan yang mau tinggal diam sebab ketiganya haus akan kemenangan dan ingin mempunyai saham dalam kemenangan itu!

Demikianlah, pada waktu Thian-he Te-it Siansu menyerang Goat Lan, Lam Mou Couwsu si kakek gemuk bertopi pendeta Buddha itu lalu maju pula ikut menyerang, dan Si Tinggi Kurus pun lalu melompat maju sambil memutar tongkatnya!

Tentu saja Goat Lan merasa mendongkol sekali melihat betapa Hailun Thai-lek Sam-kui yang terkenal memiliki kepandaian tinggi itu mengeroyoknya. Hal ini ia anggap amat tidak tahu malu dan curang. Lenyaplah semua penghormatannya terhadap ketiga orang kakek ini.

“Bagus, tidak tahunya kalian hanyalah tua-tua bangka tidak tahu malu!” teriaknya sambil memutar sepasang bambu runcingnya dengan cepat sekali sehingga sepasang senjata ini berubah menjadi dua sinar kuning yang bergulung-gulung!

Melihat betapa tiga orang kakek sakti itu mengeroyok Goat Lan, Bouw Hun Ti diam-diam tersenyum girang. Dari serangan tadi, dia telah maklum akan kelihaian gadis puteri Kwee An ini, maka kalau tidak dilenyapkan sekarang, mau tunggu kapan lagi? Ia lalu melompat maju dengan golok di tangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan goloknya terlempar lagi dari pegangan!

Jika tadi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan telah melemparkan goloknya yang diambilnya kembali, kini goloknya terlempar lebih jauh lagi. Dia menjadi sangat terkejut karena tahu bahwa yang tadi menangkis goloknya dan membuat senjatanya terlempar itu adalah rantai baja di tangan Lak Mou Couwsu!

“Minggirlah dan jangan mengganggu kami bila kami sedang bermain-main dengan Nona ini!” Lak Mou Couwsu berkata. “Gangguanmu itu sama artinya dengan penghinaan!”

Bukan main heran dan kagetnya hati Bouw Hun Ti menyaksikan watak yang aneh ini. Terpaksa dia mengambil kembali goloknya dan berdiri menonton saja, sama sekali tidak berani coba-coba lagi untuk membantu.

Sementara itu, Goat Lan merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat ketiga orang kakek ini benar-benar tinggi dan lihai. Kalau saja mereka maju seorang demi seorang, agaknya dia masih akan sanggup melawannya. Akan tetapi dikeroyok tiga oleh tiga orang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, sebentar saja dia sudah terdesak dan sinar senjatanya makin mengecil, tanda bahwa gerakannya amat terkurung dan tidak leluasa.

Ia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya saja untuk mengelak dan menangkis setiap serangan yang datang. Yang membuat dia terheran dan mendongkol adalah kenyataan bahwa tiga orang kakek ini tidak bermaksud mencelakakannya. Tiap kali senjata mereka sudah mendekat tubuhnya, maka senjata itu tiba-tiba ditarik kembali dan terdengar suara kakek-kakek itu tertawa mengejek! Goat Lan merasa dirinya dipermainkan, maka dia lalu menahan napas mengumpulkan semangat untuk mengadakan perlawanan yang hebat.

Tiba-tiba dengan seruan keras, ujung rantai baja di tangan Lak Mau Couwsu menangkap dan membelit kedua bambu runcingnya dan pada saat itu pula dari kiri menyambarlah ujung payung milik Thian-he Te-it Siansu hendak menotok nadi tangannya, ditambah lagi dengan totokan dari kanan oleh ujung tongkat Bouw Ki si tinggi kurus yang mengarah nadi tangan kanannya!

Untuk menyelamatkan kedua tangannya, maka terpaksa Goat Lan melepaskan sepasang bambu runcingnya. Terdengar gelak terbahak dari ketiga orang kakek itu,

“Aduh, sungguh lihai Ilmu Silat Bambu Kuning dari Hok Peng Taisu!” kata Si Kakek Kate.

“Hayo, lekas mengakulah bahwa kau kalah terhadap kami!” seru Lak Mou Couwsu sambil melemparkan sepasang bambu runcing itu ke atas tanah.

“Akuilah bahwa kami Hailun Thailek Sam-kui lebih menang dan lebih lihai dari pada Hok Peng Taisu yang terkenal!” juga Bouw Ki mendesak.

Akan tetapi, Goat Lan adalah puteri dari suami isteri pendekar besar gagah berani, juga murid dari guru-guru besar yang sakti. Mana dia mau mengaku kalah begitu saja? Sambil menggertak gigi, dia lalu mainkan serangan dari Ilmu Silat Im-yang Sin-na, yaitu ilmu silat dari suhu-nya Ciu-sin-mo Im-yang Giok-cu tokoh Kun-lun-san yang terkenal itu!

Thian-he Te-it Siansu cepat-cepat menyambut serangan ini dengan gembira, dan setelah bertempur sepuluh jurus, ia berkata dengan gembira,

“Aduh! Bukankah ini Im-yang Sin-na dari Kun-lun-pai? He, Nona kau tentunya murid dari Im-yang Ciok-cu, tosu pemabukan itu, bukan?”

“Memang Im-yang Giok-cu adalah Suhu-ku!” jawab Goat Lan dan dia lalu memperhebat serangannya.

“Bagus!” Lak Mou Couwsu dan Bouw Ki berseru keras. “Hari ini benar-benar kita sangat beruntung! Setelah mencoba kepandaian dari Hok Peng Taisu dan berhasil mengalahkan dia, sekarang kita mendapat kesempatan untuk mengalahkan Im-yang Giok-cu sute-nya! Ha-ha-ha!” Mereka kemudian maju menyerbu lagi dan kembali Goat Lan yang bertangan kosong dikeroyok tiga oleh Thai-lek Sam-kui yang bersenjata aneh!

Memang guru Goat Lan yang bernama Im-yang Giok-cu adalah sute (adik seperguruan) dari Hok Peng Taisu. Ilmu Silat Im-yang Sin-na yang dimainkan oleh Goat Lan adalah ilmu silat yang memang khusus dipergunakan untuk menghadapi lawan yang bersenjata.

Kalau saja yang mengeroyok Goat Lan adalah orang lain yang tingkat kepandaiannya seperti Bouw Hun Ti saja, besar kemungkinan dia akan dapat merampas senjata-senjata para pengeroyoknya. Akan tetapi, yang ia hadapi sekarang adalah Thai-lek Sam-kui, tiga tokoh persilatan yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya, maka biar pun senjata-senjata mereka hanya senjata aneh yang sederhana saja, namun sukarlah baginya untuk dapat merampas senjata mereka! Kembali ia terkurung dan terdesak hebat!

Pada suatu saat, dengan sangat tepatnya, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu telah menotok pundak kanan Goat Lan di bagian jalan darah Kim-seng-hiat! Kalau orang lain yang tertotok, betapa pun lihainya, tentu tubuh atas bagian kanan akan menjadi kaku dan tak berdaya lagi.

Akan tetapi tidak percuma Goat Lan menjadi murid tersayang Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, tokoh yang sangat terkenal karena kepandaiannya dalam hal pengobatan. Dari suhu-nya ini, Goat Lan telah banyak mempelajari ilmu kepandaian untuk mengobati segala macam luka dan penderitaan tubuh, juga tentang totokan berbagai pukulan yang berbahaya.

Begitu merasa pundaknya kaku akibat totokan yang lihai itu, tiba-tiba tubuhnya melompat ke atas mengandalkan tenaga kedua kaki, berjungkir balik di udara sambil mengeluarkan seruan keras dari dalam dada, “Hu! Hu! Hu!”

Kemudian setelah tubuhnya tiba di atas tanah, ia sengaja menjatuhkan tubuhnya dengan pundak kanan di bawah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan ketika ia melompat kembali, ternyata bahwa totokan pada jalan darah Kim-seng-hiat di pundak kanannya itu sudah sembuh kembali!

Melihat perbuatan gadis ini, tiga orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak. Thian-he Te-it Siansu kemudian maju selangkah dan berkata dengan suara menyatakan keheranannya.

“Hai! Bukankah yang kau perlihatkan tadi adalah Ilmu Menolak Tiam Hwat dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?”

“Dia adalah Suhu-ku juga!” jawab Goat Lan dengan singkat dan marah karena dia masih merasa mendongkol sekali.

“Hebat!” kakek kate itu memuji. “Kau menjadi orang muda yang benar-benar beruntung. Mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu, Im-yang Giok-cu, dan Sin Kong Tianglo! Nona, kalau kau tidak memberi tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi setelah kami tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, kami takkan dapat melepaskan kau sebelum kau menyerahkan Thian-te Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit)! Bukankah sesudah meninggal dunia gurumu itu lalu meninggalkan kitab obatnya kepadamu?”

Goat Lan terkejut sekali. Benar seperti telah dikatakan oleh gurunya, Im-yang Giok-cu, bahwa banyak sekali orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab rahasia yang amat berharga itu. Dan kini tiga orang iblis tua ini telah dapat menduganya, celaka! Mengingat akan kelihaian ketiga orang tua ini, tanpa banyak cakap lagi Goat Lan lantas melompat pergi sambil mengerahkan tenaga dan kepandaiannya melarikan diri!

“He, Nona! Kau tidak boleh pergi sebelum menyerahkan kitab itu kepada kami.!” Ketiga orang kakek itu mengejarnya dengan gerakan mereka yang juga amat cepatnya.

Goat Lan telah mempunyai ginkang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk dapat berlari secepat kijang melompat. Sebentar saja dia telah berlari jauh meninggalkan hutan itu dan ketika ia tiba di lembah sungai yang bercadas dan penuh batu karang, para pengejarnya baru dapat menyusulnya!

“Nona, kau harus mengalah terhadap kami orang-orang tua!” berseru Lam Mou Couwsu yang segera menggerakkan rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan bagaikan seekor ular menyerang!

Goat Lan menggunakan ginkang-nya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek, “Kalian ini tua bangka-tua bangka yang betul-betul jahat dan curang! Tak malukah kalian mengeroyok seorang gadis muda yang bertangan kosong?”

Pada waktu itu, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu sudah menyerang dengan totokan pada pinggangnya, akan tetapi biar pun tubuh Goat Lan masih berada di udara, gadis ini mampu menggerakkan kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh sehingga totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, begitu tubuhnya turun di atas tanah, ia telah dikurung kembali secara rapat dan hebat oleh desakan-desakan tiga orang kakek lihai itu.

Goat Lan berada dalam keadaan amat terdesak dan berbahaya sekali. Namun, tiba-tiba terdengar seruan orang yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa sakit. Seruan ini dibarengi dengan berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan kuat sekali gerakannya. Sinar pedang berkilau saat orang yang berpakaian merah ini menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali.

“Trang! Trang! Trang!”

Suara ini lantas disusul dengan seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat betapa ujung senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap lagi ketiga orang kakek aneh ini lalu melompat pergi dan melarikan diri dari situ!

Ketika Goat Lan memandang, ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua sekali. Wanita ini berpakaian serba merah, tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya berkilauan dan yang telah dimasukkannya kembali ke sarung pedangnya. Rambut wanita ini sudah putih semua, kulit mukanya penuh keriput menyatakan bahwa usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam dan bening sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis yang elok!

“Siapakah kau yang begitu bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan sungguh pun suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali. Pandang matanya seakan-akan hendak menembus jantung Goat Lan.

Gadis ini cepat menjura dengan penuh hormat, lalu ia menjawab, “Terima kasih banyak, kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku. Aku bernama Kwee Goat Lan, puteri dari Kwee An di Tiang-an.”

Nenek itu memandang tajam. “Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada keperluan apakah?”

Entah kenapa, terhadap nenek ini Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Biar pun sikap nenek ini sangat galak, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang menimbulkan penghormatan dan kepercayaannya. Agaknya sepasang mata yang bening itulah!

“Sesungguhnya, aku sedang menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal dunia, untuk mencari obat ‘to-hio-giok-ko’ yang katanya hanya bisa tumbuh di sekitar lembah sungai ini. Tak tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknya aku mendapat gangguan dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu. Baiknya kau orang tua yang sangat gagah perkasa datang menolongku.”

“Bodoh!” Nenek itu mencela. “Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiam-ku (pedang mustikaku) saja yang menolongmu. Apa bila mereka tidak lari, belum tentu aku sanggup mengalahkan mereka! Kau katakan tadi hendak mencari to-hio-giok-ko? Untuk apakah?”

“Untuk mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.” Dengan terus terang Goat Lan lalu menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan wajah tidak sabar.

“Bodoh! Ini benar-benar bodoh! Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa orang? Gila dan ganjil sekali.”

“Mohon tanya, siapakah sebenarnya Suthai ini?” Goat Lan menyebut ‘suthai’ karena dia mengira bahwa wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.

Untuk beberapa saat nenek itu tidak menjawab. Kemudian ia menggerakkan tangan dan menjawab. “Tidak usah kau pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko, marilah kau ikut padaku!”

Goat Lan menjadi girang sekali dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau mengaku siapa namanya. Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan daun itu, supaya dia dapat menyelesaikan tugasnya dan dapat segera pulang. Nenek itu membawanya ke utara dan kira-kira dua li jauhnya dari situ, mereka memasuki sebuah hutan kecil yang gelap. Senja kala telah menghilang, terganti malam penuh bintang yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar hutan itu.

“Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, apa bila kau mencari obat itu di siang hari, sampai selama hidupmu pun kau tidak akan berhasil.”

Goat Lan tidak mengerti apa maksud ucapan ini, akan tetapi diam-diam dia terus berpikir, siapakah gerangan wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek petani itu? Wanita inikah yang telah mengalahkan tiga puluh orang perampok?

Mereka kemudian pergi ke dekat sungai dan tiba-tiba saja wanita tua itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang besar.

“Kau lihatlah, bukankah buah itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang disebut giok-ko (buah mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka disebut to-hio (daun golok). Nah, kau ambillah buah dan daun itu.”

Bukan main girangnya hati Goat Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang terendah, kemudian mengayun tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Tadinya ia merasa heran sekali melihat buah yang besarnya hanya sekepalan tangan itu nampak berkilauan dari bawah, seakan-akan yang bergantungan pada pohon itu bukanlah buah, melainkan batu-batu giok! Akan tetapi setelah dekat, tahulah ia mengapa buah-buah itu berkilau.

Ternyata bahwa buah-buah itu mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat bening sehingga ketika tertimpa cahaya bintang kemudian berkilau di dalam gelap! Daun-daunnya berwarna hijau, bentuknya seperti golok-golok kecil dan ujungnya runcing.

Cepat dia memetik lima butir buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu dia masukkan ke dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu ia melompat turun di depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.

Goat Lan menjura di depan nenek itu. “Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku, tidak saja kau telah membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga telah menolongku memperoleh obat ini. Hanya sayangnya, Suthai belum juga memberitahukan nama sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku harus selalu mengingat budi ini.”

Mendengar ucapan yang sopan santun dan ramah ini, wajah nenek yang tadinya muram dan galak itu lalu melembut dan senyum membayang di bibirnya.

“Anak baik, kau tadi mengaku bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang sudah lama kukenal namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau menolongmu? Di mana pun juga berada, keturunan orang baik-baik tentu akan mendapat bantuan orang lain. Soal aku dan namaku, tak perlu diingat lagi, anakku. Sekarang lebih baik kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam hutan ini, tidak mungkin kau dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi boleh kau melanjutkan perjalanan.”

Setelah berkata demikian, nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa menengok lagi, seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan mengikuti dia. Suaranya tadi biar pun amat ramah, akan tetapi mengandung pengaruh yang besar. Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti nenek itu.

Mereka sampai di depan sebuah goa di antara batu-batu karang yang tinggi dan dengan tangannya nenek itu mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu ketika memasuki goa yang dari luar nampak besar dan hitam, karena ternyata bahwa di dalam goa itu terdapat sebuah lampu yang bernyala terang dan keadaan kamar itu amat bersih. Di tempat itu hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat dari pada kayu, maka Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

“Jangan kau duduk di situ, itu adalah tempatku bersemedhi. Kau pakailah pembaringan dan tidurlah!” kata nenek tadi.

Tentu saja Goat Lan merasa sungkan sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa merampas tempat tidur nyonya rumah yang hanya satu-satunya itu?

“Tidak, Suthai, biarlah aku yang muda mengaso sambil duduk di sini saja. Suthai tidurlah di pembaringan itu.”

“Anak bandel! Mana ada aturan yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau tidurlah di situ dan kalau membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah lagi!”

Goat Lan menjadi terkejut dan walau pun dia merasa sangat mendongkol menyaksikan kekasaran orang, akan tetapi ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu duduk di atas pembaringan itu, merasa sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.

“Kau tidurlah!” kembali nenek itu memerintah lagi sambil menduduki batu dalam keadaan bersila seperti orang bersemedhi.

Goat Lan memang sudah merasa lelah sekali sehabis bertempur melawan ketiga orang kakek yang lihai itu, maka dia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.

“Kau bilang tadi bahwa kau adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal mereka?” tiba-tiba nenek itu bertanya.

Goat Lan tercengang mendengar pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, dia belum pernah menyebutkan nama ibunya. Akan tetapi dia menjawab juga.

“Betul, Suthai, aku adalah puteri tunggal mereka. Apakah Suthai kenal dengan ayah dan ibuku?”

Akan tetapi nenek itu hanya berkata singkat. “Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”

Karena nenek itu nampak sudah memeramkan sepasang matanya, Goat Lan tidak berani mengganggunya lagi. Dengan heran dia terus menduga-duga siapakah gerakan nenek yang aneh dan yang agaknya telah mengenal ayah-bundanya ini, hingga akhirnya ia tidur nyenyak.

Menjelang fajar, pada waktu sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis tertahan. Ia menjadi heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka mata dan mengerling ke arah nenek itu.

Ternyata bahwa nenek itu tidak duduk bersemedhi lagi seperti yang dilihatnya sebelum ia tidur, akan tetapi sekarang nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja Goat Lan merasa terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak berani bergerak dan hanya memandang nenek itu melalui bulu matanya.

Tiba-tiba nenek itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih rebah telentang dengan mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu menatap wajah Goat Lan, lalu berisik perlahan,

“Kau puteri tunggal Ma Hoa... alangkah cantik dan gagah, ahhh, sayang Siong-ji tidak berada di sini...” Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan mencium jidat Goat Lan yang berkulit halus dan putih.

Ketika nenek itu menciumnya, Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Cilan dan setelah nenek itu melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat Lan membuka sedikit matanya. Di dalam keadaan yang suram itu, ia melihat tubuh nenek itu yang masih langsing dan penuh, rambutnya terlepas dan panjang sekali, sedikit pun tidak nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan hitam dan berombak. Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan keriputnya, hanya kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang cantik sekali!

Bagaikan mendapat cahaya penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam pikiran Goat Lan. Tanpa disadarinya, ia berseru keras,

“Ang I Niocu...!”

Nenek itu nampak terkejut dan melompat mundur laksana diserang oleh seekor ular dari bawah. Terdengar dia mengeluarkan seruan tertahan yang aneh sekali, setengah tertawa setengah menangis, kemudian tubuhnya bergerak dan hanya sekali berkelebat, dia telah melompat keluar!

“Ang I Niocu... tunggu...!” Goat Lan berteriak sambil melompat dan mengejar keluar.

Akan tetapi ketika dia tiba di luar goa, ternyata bayangan nenek itu tidak nampak lagi! Goat Lan menarik napas panjang berkali-kali dengan hati kecewa. Dia tentu Ang I Niocu, pikirnya dengan hati berdebar tegang.

Ia telah mendengar dari ibunya tentang pendekar wanita yang hebat ini. Tadinya ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa nenek yang keriputan dan berambut putih itu adalah Ang I Niocu, karena menurut cerita ibunya, Ang I Niocu merupakan seorang wanita yang tercantik di dunia ini. Akan tetapi, ketika kegelapan menyembunyikan uban dan keriput nenek itu, Goat Lan melihat bayangan seorang wanita yang benar-benar cantik, gagah dan mengeluarkan keharuman seperti bunga Cilan, maka timbullah dugaannya bahwa nenek itu tentu Ang I Niocu.

Setelah merasa yakin bahwa nenek itu tidak mau bertemu dengan dia lagi, dan karena obat yang dicarinya telah didapatnya, Goat Lan lalu keluar dari hutan itu dan kembali ke selatan. Selain membawa obat itu ke kota raja, dia hendak pulang dulu untuk mengambil kitab obat yang ditinggalkan suhu-nya, oleh karena kitab itu penting sekali baginya untuk menjadi petunjuk mengobati penyakit putera Kaisar. Dan di dalam perjalanannya pulang inilah ia lewat dusun Tong-sin-bun.

Dia telah melakukan perjalanan cepat sekali sehingga tanpa diketahuinya dia telah dapat meninggalkan Bouw Hun Ti beserta Thai-lek Sam-kui yang melakukan perjalanan sambil melancong. Kebetulan sekali di Tong-sin-bun ini dia melihat Ban Sai Cinjin dan sesudah mengadakan penyelidikan, dia mendengar tentang keadaan orang tua yang mewah itu.

Mendengar tentang kakek yang pernah didengar namanya yang amat terkenal ini, Goat Lan lalu menunda perjalanannya dan mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan kelenteng di dalam hutan. Ia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Ban Sai Cinjin yang berjuluk Huncwe Maut adalah suhu dari Bouw Hun Ti.

Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, malam hari itu Goat Lan dapat menolong nyawa putera Pangeran Ong Tek dan Tan Kauwsu, bahkan bersama Lili yang telah dibebaskan oleh Kam Seng, dia lalu mengadu kepandaian melawan Wi Kong Siansu yang lihai.

Lili merasa kagum dan tertarik mendengar penuturan Goat Lan, terutama sekali tentang pertemuan Goat Lan dengan Ang I Niocu.

“Dan sekarang, kau hendak ke kota raja atau pulang dahulu, Goat Lan?” tanya Lili sambil memandang wajah calon iparnya yang cantik manis.

“Aku harus pulang lebih dulu ke Tiang-an, membuat persiapan mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.”

“Bagus, kalau begitu, marilah kita pergi bersama, karena aku pun hendak mengunjungi orang tuamu.”

Berangkatlah dua orang dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu, langsung menuju ke Tiang-an…..

********************

Untuk menghormat dan menyenangkan hati Hailun Thai-lek Sam-kui, Ban Sai Cinjin lalu mengadakan pesta di gedungnya di dusun Tong-sin-bun. Dalam pesta ini ia mengundang kawan-kawannya yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dan para pembesar serta para hartawan. Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio disuruh mengundang beberapa orang gagah dari kota-kota yang berdekatan.

Banyak orang-orang yang berkepandaian tinggi menghadiri pesta itu, akan tetapi semua termasuk satu golongan dengan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, di antara para tamu ini yang patut dikemukakan hanya seorang dari Shantung yang kebetulan lewat di dusun itu.

Orang ini bernama Lok Cit Sian dan ia adalah seorang ahli silat dari cabang Thai-kek-pai yang tersesat hingga tidak diakui lagi sebagai anak murid Thai-kek-pai. Lok Cit Sian yang bertubuh tinggi kurus seperti pohon bambu ini meski usianya telah mendekati lima puluh tahun, namun dia terkenal sebagai seorang bandot tua yang menjemukan. Kesukaannya inilah agaknya yang membuat dia bersahabat baik dengan Ban Sai Cinjin, cocok seperti yang dikatakan orang bahwa dua orang dapat menjadi sahabat karib apa bila kesukaan mereka sama.

Pesta berlangsung meriah sekali dan pengaruh arak telah mulai tampak pada para tamu. Suara ketawa bergelak makin lama makin riuh dan percakapan yang terdengar, makin lama makin bebas dan tidak dibatasi oleh kesopanan lagi.

Di meja besar yang berada di tengah ruangan pesta, duduklah Ban Sai Cinjing, Wi Kong Siansu, ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui dan Lok Cit Sian. Meja-meja lain dalam ruangan itu sampai ke ruangan luar juga dipenuhi tamu. Semuanya ada belasan meja banyaknya. Meja-meja di ruangan luar diduduki oleh tamu-tamu yang muda, sebagian besar adalah orang-orang muda yang kurang ajar dan tidak sopan, orang-orang muda yang pandainya hanya berjudi, mengganggu wanita dan berkelahi mengandalkan kekayaan orang tua.

Ketika para pemuda itu bersenda gurau membicarakan tentang wanita-wanita, tiba-tiba semua mata memandang ke arah selatan dari mana datang seorang gadis remaja yang amat menarik hati.

Gadis itu masih amat muda, bertubuh ramping menggiurkan dengan pakaian yang amat sederhana. Akan tetapi kesederhanaan pakaiannya yang mencetak tubuhnya ini bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar itu. Wajahnya yang cantik manis tidak dibedaki, akan tetapi kecantikannya yang wajar itu benar-benar mengagumkan dan menggairahkan hati tiap orang laki-laki.

Tentu saja, melihat datangnya gadis ini, para pemuda itu bagai kucing-kucing kelaparan melihat tikus gemuk. Semua mata memandang dengan dipentang lebar seolah-olah bola matanya hendak lompat keluar dari pelupuk mata, bibir mereka tersenyum menyeringai dan mereka sibuk membereskan rambut atau pakaian yang kusut. Banyak yang menelan ludah pada waktu menyaksikan betapa gadis elok itu melenggang dengan pinggang yang lemas, sehingga cocok sekali perumpamaan kuno bahwa pinggang dan tubuh gadis itu demikian lemas dan gayanya demikian indah seperti pohon yang-liu tertiup angin!

Tidak heran apa bila semua pemuda mata keranjang itu tertarik hatinya melihat gadis ini. Gadis ini bukan lain adalah Lilani, dara suku bangsa Haimi yang cantik. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lilani setelah tertolong oleh Lie Siong, lalu diantar oleh pemuda itu menuju ke Tiang-an. Kini mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki dan meninggalkan perahu di tepi sungai.

Sebagai seorang gadis Haimi yang berwatak jujur, dengan terang-terangan Lilani selalu menyatakan dalam segala sikap serta perbuatannya bahwa gadis ini mencinta pemuda penolongnya itu. Akan tetapi, Lie Siong selalu bersikap dingin, biar pun di dalam hatinya kadang kala timbul gelora karena sikap dan kecantikan gadis ini amat menarik hatinya.

Tiap kali mereka bermalam di rumah penginapan, Lilani selalu berkeras ingin bermalam di dalam satu kamar. Tentu saja Lie Siong merasa tidak enak hati sekali, akan tetapi dia menjadi terharu juga ketika mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar jujur dan berhati putih bersih. Setiap kali mereka tinggal sekamar dalam sebuah hotel, gadis itu tanpa banyak cakap lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang hanya sebuah, tidur di pinggir dan miringkan tubuh membelakangi Lie Siong lalu tidur pulas!

Terpaksa Lie Siong tidak mengajukan keberatan lagi, bahkan ia merasa malu kepada diri sendiri karena tadinya dia menyangka bahwa Lilani adalah gadis yang berpikiran kotor. Yang lebih mengharukan hatinya adalah saat dia melihat gadis itu tidur dalam kedinginan lalu selimut yang hanya satu-satunya itu dia selimutkan di atas tubuh gadis itu akan tetapi pada keesokan harinya ketika dia bangun dari tidurnya, ternyata bahwa selimut itu telah pindah tempat dan telah diselimutkan oleh Lilani di atas tubuhnya!

Pernah Lilani mengatakan bahwa kini ia tidak ingin tinggal bersama Kwee-lo-enghiong di Tiang-an.

“Mengapa?” Lie Siong bertanya terheran. “bukankah kau sendiri yang minta supaya aku mengantarmu ke Tiang-an?”

“Tadinya memang hanya Kwee-lo-enghiong satu-satunya orang yang dapat kuharapkan, akan tetapi sekarang aku lebih senang tidak berumah dan selamanya merantau bersama denganmu, Lie Taihiap.”

Ucapan yang sejujurnya ini menusuk perasaan Lie Siong dan membuka matanya bahwa gadis Haimi ini benar-benar mencinta padanya. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berlaku seolah-olah ia tidak mengerti akan pengutaraan rasa hati gadis itu.

Pada hari itu, mereka tiba di dusun Tong-sin-bun dan menyewa sebuah kamar di hotel. Seperti biasa, pelayan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi perasaan Lie Siong karena telah sering kali mereka dianggap suami isteri oleh pelayan hotel. Dan selalu Lilani menyambut anggapan ini dengan wajah berseri dan mulut tersenyum manis.

“Taihiap, marilah kita berjalan-jalan melihat keadaan dusun ini yang sangat ramai,” Lilani mengajak Lie Siong ketika mereka telah duduk mengaso.

“Kau pergilah kalau ingin berjalan-jalan, Lilani. Aku sedang malas dan biar aku menanti kau di sini,” jawab Lie Siong.

Biar pun hatinya kecewa, Lilani pergi juga seorang diri, dengan maksud hendak mencari sesuatu yang enak dan dibelinya untuk Lie Siong! Demikianlah, tanpa disengaja ia lewat rumah gedung Ban Sai Cinjin dan kini, dengan hati mendongkol ia melihat betapa mata beberapa orang muda yang sedang makan minum di ruangan depan itu memandangnya dengan kurang ajar sekali.

“Aduh, Nona manis, hendak pergi ke manakah?” seorang di antara mereka menegur sambil tersenyum-senyum.

Lilani tidak mempedulikannya dan hendak berjalan terus. Akan tetapi orang ke dua lalu menghadang di depannya dan berkata,

“Wahai dewi kahyangan, marilah kau makan minum dengan kami. Bukan begitu kawan-kawan?”

“Akur! Nona ini harus makan minum, menemani kita bergembira,” teriak yang lain.

Sambil tertawa-tawa, pemuda itu lalu mengulur tangan hendak menangkap dan menarik lengan Lilani. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika gadis itu mengelak dan mengirim tamparan ke arah pipinya.

“Plokk!”

Pemuda itu menjerit kesakitan dan terhuyung mundur. Kawan-kawannya menjadi marah dan hendak menangkap Lilani, akan tetapi menghadapi kawanan pemuda liar ini Lilani cukup lihai. Beberapa kali tangannya bergerak dan empat orang pemuda roboh sambil mengaduh-aduh kesakitan.

Ban Sai Cinjin yang duduk makan minum di ruang dalam, mendengar suara ribut-ribut ini, lalu ia berdiri dan bertindak keluar, diikuti oleh Liok Cit Sian. Ada pun Wi Kong Siansu dan ketiga Thailek Sam-kui yang sedang bertanding mengadu kekuatan minum arak, tak mempedulikannya dan terus saja duduk minum dengan gembira.

Ban Sai Cinjin menjadi kaget dan marah sekali melihat seorang gadis muda yang cantik menghajar beberapa orang tamunya. Akan tetapi ketika Lok Cit Sian melihat gadis itu, matanya yang juling berseri-seri dan dia berbisik, “Ban Sai Cinjin sahabat baik, jangan mencelakai burung molek ini, serahkan dia untukku.”

Ban Sai Cinjin tersenyum dan dia lalu bertanya kepada para tamunya apakah yang telah terjadi.

“Kami dengan baik-baik menawarkan dia makan minum, akan tetapi Nona ini sebaliknya lalu mengamuk dan memukul!” Pemuda yang kena ditampar tadi mengadu.

“Hem, hem, galak benar,” kata Ban Sai Cinjin. Dengan mulut menyeringai, ia mengambil tempat masakan, lalu menggunakan sebatang sumpit ia mencokel sepotong daging yang panas mengebul sambil berkata,

“Nona manis, akulah tuan rumahnya dan karena kau sudah datang, silakan kau makan daging ini!”

Biar pun gerakannya mencokel daging dengan sumpit itu perlahan saja, namun daging itu bagaikan disambitkan lalu meluncur dan menyambar ke arah muka Lilani! Gadis itu terkejut sekali ketika merasa betapa sambaran daging itu mendatangkan angin kuat. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya sehingga kalau ia tidak cepat menarik tubuhnya ke belakang, tentu daging panas itu akan mengenai mulutnya!

“Tua bangka kurang ajar!” bentaknya dan semua orang merasa heran mendengar betapa suara gadis ini lain dengan orang Han biasa.

Akan tetapi pada saat itu, sumpit di tangan Ban Sai Cinjin sudah berkali-kali mencokel lagi dan tiga potong daging menyambar ke arah Lilani. Gadis ini berusaha mengelak dan memang benar ia dapat menghindarkan diri dari sambaran daging pertama dan kedua, akan tetapi sambaran daging ke tiga tak dapat dielakkannya lagi.....

Dengan tepat sekali daging ini mengenai jalan darahnya di dekat iga kiri dan seketika itu juga Lilani merasa seluruh tubuhnya kesemutan dan dua tangannya tak dapat digerakkan lagi! Dia terkejut sekali dan lebih-lebih terkejutnya pada saat orang tinggi kurus yang tadi berdiri di belakang Ban Sai Cinjin sambil tertawa-tawa, kini melangkah maju dan begitu orang tinggi kurus ini mengulur tangan, dia telah kena dipeluk dan dipondongnya.

“Ha-ha-ha, burung muraiku yang manis. Mari masuk dalam sangkar emas bersamaku!”

Dengan mata terbelalak bagaikan seekor kelinci yang tertangkap oleh serigala, Lilani pun segera memaklumi keadaannya yang sangat berbahaya ini. Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, akan tetapi dia masih dapat mengeluarkan suara.

Ketika dulu dia masih hidup bersama suku bangsanya dan hidup di hutan belukar, ia dan kawan-kawannya memiliki semacam seruan tanda bahaya yang maksudnya untuk minta tolong kepada kawan-kawan. Kini dalam keadaan bahaya dan hatinya takut sekali, maka otomatis dia segera mengeluarkan pekik yang amat nyaring bunyinya.

Pekik ini terdengar seperti siulan panjang yang nyaring bergema, dan terdengar seperti bunyi seekor burung hutan. Semua orang terkejut mendengar bunyi yang aneh ini, akan tetapi Lok Cit Sian sambil tertawa berkata,

“Ha-ha-ha, burungku yang indah benar-benar pandai bersiul!”

Letak rumah penginapan yang ditinggali oleh Lie Siong tidak jauh dari gedung Ban Sai Cinjin. Pada waktu itu, ia sedang duduk memikirkan Lilani dengan pikiran bingung. Harus diakuinya, bahwa setelah melakukan perjalanan bersama Lilani selama sebulan lebih, dia telah merasa biasa dan gembira berada dekat gadis ini. Sikap gadis ini yang ramah dan mencintanya, berkesan dalam-dalam di hatinya sehingga kini timbul keraguan di dalam hatinya apakah dia akan merasa senang apa bila Lilani dia tinggalkan di rumah Kwee An. Apakah dia akan dapat merasa gembira lagi setelah berpisah dari gadis itu?

Tiba-tiba saja dia mendengar siulan panjang dan nyaring. Ia terkejut karena ketika masih melakukan perjalanan dengan perahu, pada suatu malam di tengah hutan, pernah Lilani mengeluarkan siulan seperti itu. Oleh karena perahu mereka berada di dalam hutan dan banyak terdengar suara binatang di waktu malam, saking girangnya Lilani mengeluarkan siulan itu sehingga mengejutkan hati Lie Siong.

Dan kini terdengar siulan seperti itu lagi! Ia teringat bahwa siulan itu berarti minta tolong, demikian Lilani dulu menerangkan siulan itu kepadanya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Lie Siong menyambar pedangnya yang segera diikatkan di pinggang, kemudian dia berlari menuju ke arah datangnya siulan tadi.

Alangkah marahnya ketika dia tiba di depan gedung yang sedang berpesta itu, ia melihat Lilani sedang dipondong oleh seorang kurus tinggi dan diiringi dengan gelak tertawa para tamu yang berada di situ. Dalam kemarahan yang berkobar memuncak, Lie Siong lantas melompat dan menerjang Si Tinggi Kurus itu dengan gerakan yang disebut Raja Kera Merampas Mustika. Tangan kanannya menyerang dengan tusukan kedua jari tangan ke mata Si Tinggi Kurus, sedang tangan kirinya menyambar ke arah tubuh Lilani!

Tak seorang pun menduga datangnya pemuda ini, maka tentu saja Lok Cit Sian menjadi terkejut sekali. Dia sedang bergembira karena telah berhasil mendapatkan seorang dara yang demikian cantiknya, maka akibat nafsu yang memeningkan kepalanya, hampir saja dia tidak dapat menghindarkan matanya dari tusukan dua buah jari tangan Lie Siong.

Baiknya Lok Cit Sian telah memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka dia masih dapat merasakan datangnya bahaya. Cepat dia menjatuhkan diri ke belakang dan ia dapat mengelak dari serangan Lie Siong. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah pemuda itu merenggut tubuh Lilani dari pondongannya.

Dengan gerakan cepat, Lie Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan Ban Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan dibawaya melompat ke pekarangan depan.

Barulah terjadi keributan setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak terduga ini. Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah bukan main. Murid murtad dari Thai-kek-pai ini lalu mencabut pedangnya dan dengan mengeluarkan gerengan bagaikan seekor harimau terluka, dia segera menyerbu ke depan dan menyerang Lie Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang istimewa.

Pedang Lok Cit Sian berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.

“Traang...!”

Dua pedang bertemu, maka berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata bukanlah pedang sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut ketika merasa betapa pedangnya telah menempel pada pedang lawan yang aneh itu, dan pada saat ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan yang berbentuk naga itu telah berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya.

Dia mencoba untuk menarik pedangnya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lie Siong melakukan pukulan dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya. Lok Cit Sian adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih, dia maklum akan kelihaian pukulan ini, maka dia mengerahkan tenaga lweekang-nya, membuka tangan kirinya untuk menyambut pukulan lawan.

“Aduh...!” Lok Cit Sian mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih menempel pada pedang Lie Siong!

Tiba-tiba Lie Siong merasa ada sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat membalikkan tubuh sambil menangkis dengan pedangnya ke belakang.

“Traaang...!”

Lie Siong merasa terkejut sekali saat merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar, sedangkan pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih menempel dan terlibat oleh lidah pedangnya kini telah mencelat jauh. Ternyata bahwa yang menyerangnya tadi adalah seorang kakek gemuk yang berpakaian mewah. Kakek ini telah menyerangnya dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat, dan melihat betapa tenaga serangan itu sanggup menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong bahwa ia menghadapi seorang pandai.

“Bangsat muda, apakah kau buta maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek itu berkata sambil melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.

Akan tetapi, Lie Siong sama sekali tidak gentar menghadapi huncwe-nya itu dan dengan cepat dapat menangkis lantas membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.

Sementara itu setelah dibebaskan oleh Lie Siong, Lilani lalu menyerang pemuda yang tadi mengganggunya. Ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, orang yang tadi ditamparnya tahu-tahu kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga tubuh lawannya berada di belakangnya, gadis itu lalu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu terlempar ke udara!

Pemuda itu menjerit-jerit ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia jatuh di atas genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani turun dan sambil berkaok-kaok minta tolong, ia memegang wuwungan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

Sementara itu ketika Lilani melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang tengah mainkan senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa banyak orang mulai mencabut senjata dan agaknya hendak mengeroyok Lie Siong, lalu berseru,

“Taihiap, mari kita pergi dari sini. Aku takut!”

Lie Siong tidak kenal akan arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang itu, biar pun harus ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh dipandang ringan, ia pantang mundur. Akan tetapi, begitu mendengar suara Lilani yang menyatakan rasa takutnya, teringatlah ia bahwa biar pun ia dapat menjaga diri sendiri, namun apa bila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani, belum tentu ia dapat melindungi gadis itu.

Maka dengan gerakan yang cepat dan indah, dia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak tipu Naga Sakti Bermain-main Dengan Kilat. Pedangnya yang berbentuk naga itu bergerak ke depan, tanduk naga menotok jalan darah maut di leher Ban Sai Cinjin, lidah naga yang panjang menyambar ke arah mata dan tangan kiri Lie Siong bergerak pula melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut.

Ban Sai Cinjin tidak mengenal ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula pedangnya itu, akan tetapi melihat pukulan Pek-in Hoat-sut ini, dia segera teringat akan kepandaian Lili dan Goat Lan. Ia terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang sambil berseru,

“Bangsat rendah, ternyata kau adalah keturunan Pendekar Bodoh!”

Akan tetapi Lie Siong sudah melompat ke dekat Lilani dan menyambar pinggang gadis itu yang ramping lalu berlari pergi sambil berseru, “Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal Pendekar Bodoh!”

Dia memang merasa mendongkol karena ke mana juga dia pergi, dia selalu mendengar nama Pendekar Bodoh disebut orang, sungguh pun kali ini agaknya disebut oleh orang yang memusuhi Pendekar Bodoh.

Ban Sai Cinjin dan Lok Cit Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Wi Kong Siansu yang baru saja keluar. “Tak perlu dikejar lawan yang sudah melarikan diri. Pula, kali ini kawan-kawanmu berada di pihak yang salah, Sute.”

Ban Sai Cinjin merah mukanya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu kembali ke ruangan dalam. Pesta dilanjutkan biar pun suasananya tidak semeriah tadi…..

********************

Lie Siong berlari terus memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan mengajak Lilani keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tetap berada di hotel, maka bahaya besar akan mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan di luar goa, ia berhenti dan bertanya kepada Lilani.

“Lilani, bagaimanakah terjadinya keributan itu?”

Lilani segera menceritakan betapa dia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie Siong mendengarkan dengan muka merah sebab hatinya tiba-tiba menjadi panas sekali. Sambil mengertak gigi, ia berkata,

“Kau tunggulah di sini. Aku hendak kembali ke sana dan sebelum dapat menghancurkan kepala Si Tinggi Kurus yang menghinamu, aku belum merasa puas.”

Mendadak Lilani menjadi pucat ketakutan. “Jangan, Taihiap, jangan kau pergi ke sana. Mereka itu orang-orang jahat yang lihai sekali.”

“Aku tidak penakut seperti kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar mereka!” Dia hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan memegang tangannya.

“Taihiap, jangan... jangan kau pergi ke sana...,” suaranya menggigil sehingga Lie Siong menjadi terheran-heran. “Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri, aku takut kalau-kalau kau akan mendapat celaka. Tidak tahukah kau betapa tadi pun aku sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak dikeroyok? Kakek gemuk itu lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang yang lihai dan jahat.”

“Aku tidak takut! Untuk membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”

“Jangan, Taihiap. Kau tidak takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup lebih lama lagi kalau kau sampai menderita celaka di sana?” Gadis itu lalu menangis dan memeluk kedua kaki Lie Siong.

Sungguh mengherankan, melihat keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya berdebar aneh!

“Jangan takut, Lilani. Aku takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka di tanganku!” Sesudah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani, dan segera melompat pergi.

Hari telah menjadi gelap ketika bayangan Lie Siong berkelebatan cepat di atas genteng gedung Ban Sai Cinjin di mana siang hari tadi diadakan pesta untuk menghormati Hailun Thai-lek Sam-kui. Keadaan di dalam gedung itu tidak seramai tadi, karena Ban Sai Cinjin, ketiga kakek Thai-lek Sam-kui, Wi Kong Siansu, dan juga Lok Cit Siang telah pergi dan mengunjungi kuil di dalam hutan.

Orang-orang tua yang lihai ini melanjutkan percakapan di dalam kuil ini supaya tidak terganggu oleh orang-orang muda yang masih melanjutkan pesta di gedung itu. Hanya Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang mewakili tuan rumah dan menjamu para tamu yang kini terdiri dari orang-orang muda. Pesta itu kini dimeriahkan oleh beberapa orang wanita penyanyi dan para tamu menjadi makin mabuk.

Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa kakek-kakek yang lihai itu tidak berada di tempat itu, dan ia pun tidak peduli. Pemuda putera Ang I Niocu ini memang memiliki ketabahan hati seperti ibunya dan juga memiliki kecerdikan dan pandangan luas seperti ayahnya.

Ia maklum bahwa seorang diri menghadapi begitu banyak lawan, terutama sekali adanya para orang tua yang pandai itu, merupakan hal yang bodoh sehingga sama saja dengan membunuh diri. Oleh karena itu, dia segera menuju ke ruang belakang yang sunyi dan mencari akal. Satu-satunya jalan untuk dapat menghajar mereka, pikirnya, adalah dengan cara membuat mereka cerai-berai dan memecah-mecah perhatian mereka.

Gerakan tubuh Lie Siong demikian hati-hati dan ginkang-nya memang sudah sempurna seperti ibunya, maka anak buah dan kaki tangan Ban Sai Cinjin yang berpesta pora di dalam gedung tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Bahkan Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng yang sudah memiliki ilmu silat tinggi juga tidak mengetahuinya.

Hal ini bukan menandakan bahwa kepandaian kedua orang murid Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu ini masih rendah, melainkan oleh karena keadaan di dalam gedung itu amat ramainya sehingga tentu saja mereka tidak memperhatikan keadaan di luar mau pun di atas gedung. Dan pula, siapakah orangnya yang berani mengganggu rumah gedung Ban Sai Cinjin?

Tiba-tiba, nampak api bernyala hebat di bagian belakang gedung, disusul pula oleh nyala api di sebelah kanan dan kiri gedung. Dalam waktu yang susul menyusul, gedung itu sudah kebakaran di tiga tempat, yaitu di belakang, kanan dan kiri! Barulah orang-orang yang berpesta pora menjadi geger.

“Kebakaran...! Kebakaran...!” Orang-orang mulai berteriak-teriak dan semua orang berlari serabutan ke sana ke mari.

Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng mengepalai orang-orang itu untuk memadamkan api yang membakar bagian-bagian gedung itu. Orang-orang sibuk bekerja keras karena api yang membakar gedung itu besar juga dan terjadi di tiga tempat.

Di dalam keributan itu, sesosok bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, bagaikan seekor burung garuda, menyambar turun dari genteng dan begitu tubuhnya menyambar, menjeritlah beberapa orang muda yang roboh dengan mandi darah! Ternyata bahwa Lie Siong yang merasa marah dan sakit hati karena Lilani diganggu, kini mulai menurunkan tangan maut sebagai pembalasan dendam!

Dengan pedang di tangannya, pemuda ini meyerbu orang-orang yang nampak di dalam gedung. Ke mana saja tubuhnya berkelebat, pasti ada seorang korban yang roboh oleh pedangnya atau oleh serangan tangan kiri dan kakinya. Beberapa orang mengeroyoknya dengan senjata di tangan, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, pengeroyok yang jumlahnya empat orang ini kesemuanya roboh tak dapat bangun pula!

Sepak terjang Lie Siong benar-benar mengerikan. Ia keras hati dan membenci kejahatan melebihi ibunya dahulu. Di dalam anggapannya, semua orang yang berada di gedung itu adalah penjahat-penjahat belaka yang harus dibasmi dari muka bumi. Maka sebentar saja, selagi api masih belum dapat dipadamkan, belasan orang telah ia robohkan!

Hok Ti Hwesio dan Kam Seng masih sibuk dalam usaha mereka memadamkan api ketika ada seorang pemuda datang kepada mereka dengan wajah pucat dan berkata gagap, “Celaka, ada musuh mengamuk... banyak kawan dibunuh...”

Mendengar ucapan itu, marahlah kedua orang ini. Mereka tadi memang sudah merasa curiga dan menduga bahwa kebakaran ini pasti ditimbulkan oleh musuh jahat. Sambil berteriak marah, Hok Ti Hwesio mendahului Kam Seng dan melompat ke tengah gedung.

Dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk dengan pedangnya dan ketika melihat bahwa pemuda itu adalah orang yang siang tadi telah mengacau, dia pun menjadi marah sekali. Dicabutnya pisau terbangnya dan berserulah Hok Ti Hwesio,

“Keparat keji rasakan tajamnya senjataku!” Ia menggerakkan tangannya dan pisaunya itu melayang dengan cepatnya sambil mengeluarkan suara mengaung keras.

Melihat benda bersinar menyambar ke arah lehernya, Lie Siong cepat-cepat mengelak. Akan tetapi segera menyusul dua pisau terbang lagi yang meluncur cepat. Sekali ini Lie Siong menggerakkan pedangnya dan…

“Traaang…! Traaang…!” dua buah pisau itu dapat ditangkis.

Lie Siong merasa kagum juga ketika merasa betapa telapak tangannya kesemutan tanda bahwa pisau itu dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi kekagumannya berubah kekagetan pada waktu pisau pertama yang tadi dapat dielakkan itu menyambar kembali dari belakangnya! Ia cepat-cepat melompat ke samping dan segera menubruk ke depan ketika pisau itu lewat.

Dengan pedangnya yang aneh dia lalu menyerang Hok Ti Hwesio yang sementara itu telah siap dengan pisau di kedua tangannya! Pada saat Hok Ti Hwesio didesak oleh Lie Siong, datanglah Kam Seng yang telah mencabut pedangnya. Tidak lama kemudian Lie Siong telah dikeroyok dua oleh Hok Ti Hwesio dan Kam Seng.

Lie Siong mendapat kenyataan bahwa kepandaian dua orang pengeroyoknya ini hebat dan kuat sekali, akan tetapi tentu saja putera Ang I Niocu ini tidak menjadi gentar sama sekali. Dia lalu bersilat dan memutar pedangnya dengan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut.

Tubuhnya yang semenjak kecil telah dilatih dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) menjadi lemas. Ada pun gerak geriknya selain indah juga cepat sekali. Maklum bahwa ia menghadapi dua orang lawan tangguh, Lie Siong lalu menggerakkan tangan kirinya dan mengebullah uap putih dari lengan kirinya ketika dia bersilat dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang hebat.

Melihat Pek-in Hoat-sut, bukan main kagetnya Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lagi-lagi seorang muda dari rombongan Pendekar Bodoh, pikir mereka. Telah dua kali mereka bertemu dengan orang-orang muda dari rombongan Pendekar Bodoh yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, yaitu Lili puteri Pendekar Bodoh sendiri, dan sekarang pemuda ini yang memegang sebatang pedang luar biasa anehnya! Dan keduanya ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya!

Dengan penuh semangat Hok Ti Hwesio dan Kam Seng kemudian menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaian mereka sehingga Lie Siong belum dapat merobohkan mereka. Kepandaian kedua orang itu sesungguhnya sudah tinggi dan apa bila Lie Siong tidak memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang tinggi, agaknya sulitlah baginya untuk dapat mempertahankan desakan mereka.

Lebih-lebih kaget hati Lie Siong pada waktu ia berhasil menendang perut Hok Ti Hwesio, oleh karena tendangan yang kekuatannya sedikitnya seribu kati itu, dan yang pasti akan membinasakan seorang ahli silat lainnya ini, hanya mampu membuat tubuh hwesio muda itu terpental sampai dua tombak jauhnya, jatuh menggelundung lalu melompat berdiri lagi tanpa terluka sedikit pun! Bahkan hwesio itu marah sekali lalu menyerang dengan luar biasa hebatnya.

Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio memiliki ilmu kekebalan yang amat hebat, maka dia menjadi penasaran sekali. Ia membulatkan tekad untuk membinasakan dua orang yang dianggapnya amat berbahaya ini.

Penjahat-penjahat dengan kepandaian yang tinggi harus dibinasakan, kalau tidak, tentu akan mendatangkan kekacauan dan kejahatan di antara sesama hidup. Maka dia segera memutar pedangnya lebih cepat lagi. Yang mengagumkan hatinya adalah ilmu pedang Kam Seng, karena walau pun gerakannya lemah-lembut namun Kam Seng selalu dapat menjaga diri dengan baik dan bahkan melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.

Diam-diam Lie Siong merasa heran melihat Kam Seng, karena bagaimanakah seorang pemuda yang berwajah tampan dan bersih, bersikap lemah-lembut dan sinar matanya sama sekali tidak nampak seperti seorang penjahat, dapat bersatu dengan orang-orang jahat? Juga, di dalam pertempuran ini, agaknya pemuda itu tak berniat sungguh-sungguh untuk mengadu jiwa, hanya hendak menguji kepandaian saja, berbeda dengan Hok Ti Hwesio yang menyerang membuta tuli.

Betapa pun juga, ilmu kepandaian Lie Siong masih menang setingkat bila dibandingkan dengan kedua orang pengeroyoknya, maka pada suatu saat yang tepat, lidah pedang naga di tangan Lie Siong yang panjang itu berhasil menotok Kam Seng hingga pemuda itu terhuyung mundur dengan wajah pucat sekali. Baiknya dia masih dapat mengerahkan ginkang-nya dan menutup jalan darahnya, sehingga ia tidak terluka hebat, hanya untuk beberapa lama sebelah tangannya, yaitu tangan kiri menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi.

Lie Siong mendesak hebat kepada Hok Ti Hwesio. Ia ingin sekali menjatuhkan serangan maut, akan tetapi Hok Ti Hwesio lalu bersuit keras sebagai tanda kepada kawan-kawan untuk maju mengeroyok. Sekarang api sudah dapat dipadamkan dan semua orang telah berkumpul di sana. Melihat betapa Kam Seng sudah dikalahkan serta Hok Ti Hwesio memberi tanda, maka lebih dari dua puluh orang serentak maju mengeroyok.

Lie Siong makin gembira melihat datangnya keroyokan dan pedangnya berkelebat makin ganas, merobohkan beberapa orang lagi dalam satu gerakan saja! Hebat sepak terjang pemuda ini sehingga gentar juga hati Hok Ti Hwesio melihatnya.

“Lekas, panggil Suhu dan Supek!” teriaknya kepada para kawannya.

Lie Siong terkejut dan teringatlah dia pada kakek gemuk yang siang tadi telah bertempur dengan dia. Kalau kakek itu dan orang-orang lain yang siang tadi kepandaiannya sudah dibuktikannya datang pula mengeroyok, maka akan berbahayalah keadaannya.

Dia pun teringat pula kepada Lilani yang ditinggalkan di tengah hutan. Alangkah gelisah gadis itu ditinggalkan seorang diri di dalam hutan yang gelap itu. Dia sudah membakar rumah dan merobohkan belasan orang, maka sedikitnya kemarahannya sudah mereda. Telah cukup pembalasan yang ia lakukan untuk Lilani. Penghinaan yang dilakukan orang kepada Lilani sudah terbalas lebih dari pantas dan cukup. Pula, ia pun telah mulai lelah sesudah bertempur menghadapi keroyokan itu.

Dengan gerakan Naga Sakti Memutar Tubuh, Lie Siong mengayunkan pedangnya serta memutarnya sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya segulung sinar pedang yang menyilaukan saja, kemudian pada saat para pengeroyoknya mundur menyelamatkan diri, dia cepat melompat ke atas genteng!

“Bangsat hina dina, jangan lari!” seru Hok Ti Hwesio dan terbanglah dua batang pisau yang disambitkannya.

Lie Siong memutar pedangnya dan berhasil menangkis dua batang pisau itu, akan tetapi baru saja ia terhindar dari serangan senjata gelap ini, tiba-tiba terdengar angin menderu dan lima batang benda hitam yang bundar menyerang lima jalan darah pada tubuhnya.

Lie Siong terkejut sekali dan cepat ia melompat tinggi sambil berjungkir balik, dan tidak lupa untuk memutar pedangnya melindungi diri. Untung dia bergerak cepat, kalau tidak, tentu ia akan terkena sengan senjata rahasia yang lihai ini! Ia cepat melompat jauh dan menghilang di dalam gelap, diam-diam kagum melihat senjata rahasianya yang ternyata adalah thi-tho-ci dan dilepas oleh Kam Seng!

Dengan marah sekali Hok Ti Hwesio hendak mengejar, akan tetapi Kam Seng berkata, “Percuma saja dikejar, penjahat itu memiliki kepandaian yang lebih lihai dari kita!”

Ia menghela napas dan masih merasa terpesona oleh gerakan Lie Siong yang dengan mudahnya dapat menghindarkan diri dari serangannya tadi. Dia telah menyempurnakan pelajaran melepas senjata rahasia thi-tho-ci dan mendapat petunjuk dari suhu-nya, akan tetapi ternyata bahwa pemuda aneh tadi dapat mengelak dengan mudah dan indahnya.

Dengan hati amat kecewa Kam Seng mendapat kenyataan bahwa rombongan Pendekar Bodoh, orang-orang muda yang sudah memperlihatkan diri, ternyata adalah orang-orang gagah yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Apa lagi yang tua-tua seperti Pendekar Bodoh, isterinya, Kwee An dan isterinya, dan yang lain-lain! Aku harus minta kepada suhu untuk menurunkan pelajaran ilmu silat Mongol supaya mampu menandingi mereka, pikirnya dengan hati tetap.

Sementara itu, Lie Siong berhasil melarikan diri dengan hati puas. Dia sudah melakukan pembalasan yang cukup berhasil dan telah menebus penghinaan terhadap Lilani. Tiada seorang pun di dunia ini boleh menghina Lilani, gadis yang amat dikasihani itu.

Hutan di mana ia meninggalkan Lilani amat gelap sehingga Lie Siong terpaksa melakukan perjalanan lambat. Ketika tiba di tempat di mana tadi dia meninggalkan Lilani, ternyata bahwa tempat itu sunyi dan tidak nampak bayangan orang. Ia merasa heran sekali.

Ia ingat benar bahwa tadi ia meninggalkan Lilani di situ, di bawah pohon besar itu, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak gadis itu di tempat itu? Ke manakah perginya? Mendadak Lie Siong merasa hatinya berdebar penuh kecemasan. Jangan-jangan Lilani telah mendapat bencana ketika ditinggalkan, pikirnya dengan hati gelisah tidak karuan.

Apakah Lilani telah diterkam binatang buas? Apakah ditawan oleh orang jahat? Menggigil sepasang kaki Lie Siong ketika dia memikirkan hal ini. Dia sendiri merasa heran karena belum pernah selama hidupnya dia menderita perasaan takut dan gelisah seperti ini. Kalau ia sendiri yang berada di dalam bahaya, ia takkan merasa takut sedikit pun akan tetapi memikirkan Lilani berada dalam bahaya, ia menjadi gemetar seluruh tubuhnya!

“Siapa?!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lilani muncul dari balik semak-semak sambil tangannya memegang pedang!

Lie Siong tidak dapat melihat nyata, akan tetapi suara itu dikenalnya baik-baik. Hampir ia bersorak saking girangnya melihat gadis itu ternyata masih berada di situ dalam keadaan baik.

“Lilani... aku yang datang!” katanya dan kembali ia terheran mendengar suaranya sendiri yang agak gemetar.

Terdengar isak tertahan dan Lilani lalu melempar pedangnya ke bawah, kemudian berlari dan menubruk Lie Siong sambil menangis!

“Taihiap... ahhh, Taihiap...”

Gadis ini tadinya merasa amat ketakutan dan kuatir pemuda yang dicintanya itu terbinasa dan tidak akan kembali lagi. Kini, melihat Lie Siong datang, kegirangan yang memuncak membuat dia tak dapat menahan membanjirnya air matanya. Ia memeluk leher pemuda itu, menciumnya dengan hati gembira dan penuh cinta kasih, sambil mulutnya berbisik tiada hentinya, “Taihiap... Taihiap...”

Baru kali ini Lie Siong merasakan getaran hati yang luar biasa. Ketika merasa betapa air mata yang hangat dari gadis itu membasahi mukanya yang diciumi, merasa betapa dua lengan tangan Lilani memeluknya dengan erat dan bisikan-bisikan mesra yang menyayat hatiya, kekerasan hati pemuda ini hancur luluh!

Ia memegang kepala Lilani yang bergerak-gerak menciuminya, mendekap gadis itu, pada dadanya dan ia lalu membenamkan mukanya pada rambut gadis itu yang berbau harum.

“Lilani...” suaranya hampir tidak terdengar karena tertutup oleh getaran perasaan hatinya, “jangan... jangan menangis, Lilani...”

“Taihiap...” Lilani tersedu saking girangnya.

Belum pernah pemuda yang dipujanya ini memperlihatkan perasaan seperti ini dan kini dengan girang, perasaan wanitanya dapat menangkap bahwa pemuda ini pun ternyata menaruh hati kasih kepadanya. “Taihiap, pedang itu… kalau bukan kau yang datang, tentu pedang itu akan menembus dadaku...”

“Lilani...!” Lie Siong mendekap makin erat.

“Benar, Taihiap, aku sudah bersumpah takkan mau hidup lagi bila kau sampai mendapat celaka dan terbinasa.”

Demikianlah, pertemuan yang amat mesra ini menandakan bertemunya dua hati muda di dalam hutan yang gelap itu akan tetapi yang bagi mereka kini nampak terang. Hawa yang dingin menusuk tulang terasa hangat menyegarkan, dan suara binatang-binatang buas dan burung hantu terdengar bagaikan musik yang amat indah merayu kalbu.

Pertemuan dua hati dan dua jiwa yang sudah lama merana, rindu akan kasih seseorang. Bintang-bintang yang ribuan banyaknya dianggapnya menjadi saksi atas pertemuan ini, dan bayang-bayang pohon merupakan selimut yang amat hangat. Bintang-bintang saling berkedip memberi tanda mata dan tersenyum-senyum maklum…..

********************

Di antara para pendekar remaja yang kita ikuti perjalanan dan pengalamannya hanya Sie Hong Beng, putera Pendekar Bodoh yang sulung, yang belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Baiklah kita jangan meninggalkannya terlebih lama lagi dan mari kita mengikuti perjalanan pendekar remaja putera Pendekar Bodoh ini.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sie Hong Beng diantar oleh ayahandanya untuk belajar ilmu silat tinggi dari Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari di Beng-san. Selama sepuluh tahun, Hong Beng mendapat gemblengan ilmu silat tinggi, memperdalam ilmu lweekang dan ilmu tongkat yang luar biasa sekali.

Ilmu tongkat ini disebut Ngo-heng Tung-hwat dan masih ada semacam lagi yang disebut Pat-kwa Tung-hwat. Untuk mainkan dua macam ilmu tongkat ini saja, dibutuhkan waktu selama lima tahun oleh Hong Beng untuk dapat mempelajarinya dengan sempurna. Yang istimewa pada ilmu tongkat ciptaan Pok Pok Sianjin ini adalah bahwa untuk mainkan ilmu tongkat ini, tidak diperlukan tongkat yang khusus. Sebatang ranting pohon yang terkecil, sampai batang pohon muda yang besar, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang istimewa lihainya.

Sesudah menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Hong Beng, Pok Pok Sianjin lalu menyembunyikan diri di dalam goa di puncak Gunung Beng-san dan menyuruh muridnya turun gunung melakukan perjalanan merantau sarnbil mempergunakan seluruh pelajaran itu dalam praktek,

Pada waktu Hong Beng menuruni gunung di mana untuk sepuluh tahun dia berdiam dan mempelajari ilmu silat dengan tekunnya, dia telah menjadi seorang pemuda yang gagah sekali. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya lebar dan tampan, berkulit halus. Wajah dan tubuhnya sama benar dengan ayahnya di waktu muda, demikian pula wataknya pendiam dan sabar, bahkan berpakaian sederhana seperti ayahnya pula.

Akan tetapi, kalau ayahnya, yaitu Pendekar Bodoh, di waktu mudanya sering kali suka merendahkan diri dan dalam kepandaian silat suka mengalah dan berpura-pura bodoh sehingga dijuluki Pendekar Bodoh, adalah Hong Beng mempunyai watak tidak mau kalah dalam hal kepandaian silat. Watak ini agaknya ia warisi dari ibunya, karena pada waktu mudanya, Lin Lin juga memiliki watak demikian. Bahkan pada waktu kecilnya, Hong Beng dan adiknya, Hong Li atau Lili yang memiliki pendirian sama, sering membicarakan nama julukan ayah mereka.

“Sungguh menggemaskan, ayah yang berkepandaian setinggi langit tidak ada lawannya, mengapa disebut Pendekar Bodoh?” kata Lili sambil merengut.

“Memang aku pun merasa penasaran sekali,” jawab Hong Beng. “Menurut patut, ayah harus dijuluki Pendekar Sakti, bukan Pendekar Bodoh.”

Akan tetapi, kalau keduanya mengajukan rasa penasaran ini kepada ayah mereka, Sie Cin Hai hanya terbahak-bahak saja dan menjawab dengan sebuah pertanyaan.

“Anak-anak bodoh, manakah yang lebih baik, gentong arak disangka penuh akan tetapi kosong melompong ataukah gentong arak yang dianggap kosong akan tetapi penuh isi?”

“Tentu saja lebih baik yang disangka kosong akan tetapi penuh isi!” Lili yang berotak terang menjawab dengan kontan.

“Nah,” jawab ayahnya masih sambil tertawa, “demikian pula soal nama julukan. Lebih baik disangka bodoh akan tetapi tidak bodoh dari pada dianggap pinter akan tetapi goblok!”

Betapa pun juga, setelah menjadi dewasa, Hong Beng masih saja tak mau merendahkan diri dan berpura-pura bodoh seperti ayahnya. Ia adalah seorang pemuda yang maklum akan kepandaian sendiri, dan hasratnya besar sekali untuk menguji ilmu kepandaiannya dengan kepandaian orang lain.

Bila orang melihat Hong Beng turun gunung dengan pakaian yang demikian sederhana, berwarna biru dengan rambut atas diikat pita kecil, warna sepatunya hitam tanpa kaos, orang tidak akan mengira bahwa dia adalah putera Pendekar Bodoh dan murid Pok Pok Sianjin yang sakti.

Pemuda ini tidak membawa senjata apa-apa, bertangan kosong dan meski pun tubuhya tinggi tegap, namun kulit mukanya putih dan halus. Pakaiannya seperti seorang petani sederhana, akan tetapi sikap dan gerak gayanya yang lemah lembut membuat ia pantas dianggap orang seperti seorang pemuda terpelajar yang lemah. Tapi, jika orang melihat betapa dia menuruni gunung yang penuh batu karang dan jurang dengan tindakan kaki yang cepat bukan main, seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah, orang akan menjadi bengong terheran-heran.

Dari Gunung Beng-san, pemuda ini menuju ke timur, melakukan perjalanan seenaknya, karena dia pun tidak tergesa-gesa. Pada suatu hari, dia tiba di kota Ta-liong di lembah Sungai Kuning dan amat heranlah ia melihat betapa kota yang besar dan ramai itu penuh dengan pengemis dan jembel! Yang amat mengherankan hatinya adalah betapa para pengemis itu, sebagian besar memegang sebatang tongkat berwarna hitam dan biar pun mereka menjalankan pekerjaan mengemis, akan tetapi gerakan tubuh mereka bagi mata Hong Beng yang awas, menunjukkan bahwa mereka itu pandai ilmu silat!

Memang sesungguhnya kota Ta-liong adalah kota pusat dari perkumpulan pengemis dari Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang sangat tersohor serta mempunyai cabang dan anggota sampai di kota raja! Hek-tung Kai-pang adalah sebuah perkumpulan pengemis yang sudah puluhan tahun umurnya sehingga telah mengalami pergantian pimpinan sampai beberapa kali.

Tiap tiga tahun sekali, di kota Ta-liong tentu diadakan pertemuan antara para pemimpin-pemimpin cabang untuk mengangkat seorang pemimpin baru. Kebetulan sekali ketika Hong Beng tiba di kota itu, para pemimpin cabang datang berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru, maka kota itu penuh dengan pengemis bertongkat hitam.

Pada waktu itu Hek-tung Kai-pang dipimpin oleh lima orang ketua karena ketika diadakan pemilihan pada tiga tahun yang lalu pilihan jatuh kepada lima saudara yang menjadi anak murid dari Hek-tung Kai-ong (Raja Pengemis Bertongkat Hitam) pendiri dari perkumpulan itu. Baru sekarang anak murid Hek-tung Kai-ong dipilih menjadi ketua.

Beberapa tahun sudah perkumpulan itu dipimpin oleh lain orang oleh karena anak murid Hek-tung Kai-pang sendiri tiada yang mampu mengalahkan pemimpin dari luar itu. Lima saudara yang menjadi murid Hek-tung Kai-ong sendiri ini lalu melatih diri dan akhirnya berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Hek-tung Kai-ong hingga akhirnya mereka berhasil merebut kedudukan ketua. Untuk menjaga perpecahan di antara mereka, serta untuk memperkuat kedudukan dan menjaga nama Hek-tung Kai-ong pendiri perkumpulan itu, mereka berlima bermufakat untuk memegang pimpinan bersama-sama.

Dengan demikian, maka calon pemimpin baru apa bila hendak menggantikan mereka, harus dapat mengalahkan mereka berlima! Maka, sampai tiga kali pimpinan, jadi tiga kali tiga tahun, Ngo-heng-te (Lima Saudara) dengan Hek-tung-hoat-nya (Ilmu Tongkat Hitam) ini selalu menjadi pimpinan dan tak terkalahkan!

Seperti biasa, para pengemis telah berkumpul di sebuah tempat terbuka di sebelah utara kota, di mana terdapat padang rumput dan beberapa batang pohon besar. Mereka masih menanti di bawah pohon-pohon, ada yang sedang duduk melenggut, ada yang berbaring mendengkur, ada yang membuka bungkusan dan makan hasil mengemis, dan sebagian besar duduk bercakap-cakap mengobrol ke barat ke timur sehingga keadaan menjadi sangat ramai sekali.

Kurang lebih ada empat puluh orang pengemis berkumpul di tempat itu, dan semuanya merupakan pengemis-pengemis tua yang menjadi pimpinan berbagai cabang Hek-tung Kai-pang. Lima orang ketua mereka belum datang, maka mereka masih saja menanti.

Menurut desas-desus mereka kelima orang pangcu (ketua) itu akan datang dari kota raja di mana mereka tinggal. Biar pun ketua itu tinggal di kota raja, akan tetapi mereka tidak berani mengadakan pertemuan di sana, oleh karena tentu saja mereka akan diusir dan diserbu oleh para perwira kerajaan yang tidak memperbolehkan orang-orang kotor ini merusak pemandangan indah di kota raja!

Tiba-tiba semua pengemis itu dikejutkan oleh datangnya seorang pengemis lain yang aneh keadaannya. Pengemis ini belum tua benar, kurang lebih baru berusia empat puluh tahun, berwajah tampan dan pucat, sedangkan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang tidak beres ingatannya. Ia tertawa-tawa dan meringis sambil memutar-mutar manik matanya secara mengerikan. Tangannya memegang sebatang tongkat bambu dan pakaiannya tidak karuan, demikian pula rambutnya. Bahkan di pinggir mulutnya nampak tanah lumpur, seakan-akan dia habis makan tanah lumpur.

“Anjing-anjing berkeliaran di mana-mana, ha-ha! Anjing-anjing berkeliaran di mana-mana!” kata pengemis bertongkat bambu itu sambil menudingkan tongkatnya kepada pengemis-pengemis lain yang memandangnya heran.

Tak ada seorang pun di antara para pengemis ini mengenal orang yang baru datang dan pandang mata marah mulai nampak pada para pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang itu. Siapakah yang begitu kurang ajar berani datang ke tempat itu dan mengganggu mereka?

“He, orang gila!” Seorang pengemis, yang pendek gemuk lalu memaki. “Apakah matamu buta? Apakah nyawa anjingmu minta diantar oleh tongkat hitam?”

Pengemis aneh ini sebenarnya Sin-kai Lo Sian. Pengemis sakti yang telah menjadi gila. Sebagaimana sudah kita ketahui, Lo Sian telah ditangkap oleh Ban Sai Cinjin sepuluh tahun yang lalu, dipaksa minum obat beracun sehingga menjadi gila. Selama itu, Lo Sian berkeliaran di mana-mana dan karena keadaannya telah berubah sedemikian rupa dan menjadi gila, tidak seorang pun dapat mengenalnya pula sehingga dahulu suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le, tak berhasil mencarinya. Di dalam perantauannya dalam keadaan tidak sadar dan tidak ingat sesuatu, Lo Sian kebetulan tiba di kota Ta-liong dan melihat banyaknya pengemis berkumpul di situ, ia menjadi tertarik dan datang pula ke tempat itu.

Mendengar teguran Si Pendek Gemuk tadi, Lo Sian hanya tertawa haha-hehe, dan dia menggunakan tongkatnya untuk mencokel tanah di depan kakinya. Begitu tongkatnya digerakkan, tanah itu tercokel terbang ke arah perut Si Pengemis Gendut. Pengemis gendut itu terkejut sekali, cepat dia mengelak akan tetapi sambaran tanah lumpur ke dua telah tiba dan tepat sekali mengenai mulutnya.

“Plak!” Pengemis gendut itu gelagapan dan sebagian besar lumpur itu telah memasuki mulutnya!

“Bangsat kurang ajar” teriak pengemis lain dan semua pengemis yang tidak tidur sudah berdiri mengepal tongkat hitamnya. “Butakah matamu bahwa kau berhadapan dengan rombongan pengurus Hek-tung Kai-pang? Ayo lekas mengaku siapakah kau dan kenapa kau datang memusuhi kami?”

Kalau otaknya tidak gila, tentu Lo Sian tahu siapa sebetulnya mereka ini, karena ia pun telah mendengar nama Hek-tung Kai-pang, bahkan dahulu dia menjadi kawan baik dari Hek-tung Kai-ong pencipta perkumpulan itu. Tetapi dalam keadaan seperti itu, jangankan mengenal orang lain, dirinya sendiri pun dia tidak kenal lagi. Maka mendengar makian pengemis yang bertubuh jangkung kurus ini, dia lalu menggerakkan tongkat bambunya mencokel tanah lagi dan beterbanganlah tanah lumpur ke arah para pengemis yang telah berkumpul itu!

“Kurang ajar, kau benar-benar ingin mampus di bawah gebukan tongkat kami!”

Maka menyerbulah sekalian pengemis itu dengan tongkat hitam terangkat, mengeroyok Lo Sian. Semua pengurus cabang Hek-tung Kai-pang telah mempelajari Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat, akan tetapi tingkat mereka apa bila dibandingkan dengan Ngo-heng-te dan Hek-tung-hoat-nya itu masih amat jauh.

Hek-tung-hoat adalah ilmu tongkat yang luar biasa sukarnya, dan amat dirahasiakan cara mempelajarinya. Inilah pula sebabnya mengapa kelima saudara itu dahulu masih belum menguasai sepenuhnya ilmu tongkat ini. Setelah mereka mendapatkan kitab pelajaran yang disembunyikan oleh Hek-tung Kai-ong, barulah mereka dapat memperdalam ilmu tongkat itu.

Ada pun Lo Sian, biar pun ingatannya telah lenyap dan dia telah menjadi seorang gila, namun ilmu silatnya masih belum lenyap. Ilmu silatnya yang berasal dari Thian-san-pai amat tinggi dan termasuk golongan atas, maka tentu saja apa bila dibandingkan dengan para pengemis itu, ia masih menang jauh.

Akan tetapi, sungguh pun sudah kehilangan pikirannya, Lo Sian masih belum kehilangan wataknya yang baik dan penuh welas asih, maka dia tidak ingin membunuh sekalian pengemis yang mengeroyoknya, ditambah lagi dengan jumlah pengeroyoknya yang amat banyak, maka sebentar saja ia dikepung oleh puluhan orang pengemis dan berkali-kali ia menerima gebukan tongkat hitam!

Pertempuran itu benar-benar ramai dan lucu. Lo Sian sambil tertawa-tawa tidak karuan, mempermainkan para pengeroyoknya, membuat para pengemis itu terjungkal dan roboh karena dikait kakinya. Mereka jatuh tidak terluka, bangun lagi dan biar pun hujan tongkat hitam itu mengenai tubuh Lo Sian sehingga pakaiannya hancur dan kulitnya ada yang pecah, namun seperti tidak terasa oleh pengemis sakti yang mempunyai kekebalan dan lweekang yang tinggi itu.

Pada saat itu, datanglah Hong Beng yang kebetulan tiba di kota itu. Pemuda ini memiliki jiwa yang gagah dan adil. Dari jauh dia telah melihat dan mendengar ribut-ribut itu dan ketika dia menghampiri tempat pertempuran ia melihat seorang pengemis dikeroyok oleh puluhan pengemis tongkat hitam. Tadinya dia mengira bahwa para pengemis itu tentulah berebut makanan, akan tetapi ketika menyaksikan cara Lo Sian main silat, dia terkejut karena mengenal ilmu silat yang tinggi dari Thian-san-pai.

“Curang!” seru pemuda ini dengan marah. “Puluhan orang mengeroyok seorang, sungguh tidak tahu malu!”

Hong Beng lalu menyerbu ke depan. Seorang pengemis tongkat hitam menyambutnya dengan tusukan tongkat pada lambungnya, akan tetapi dengan amat mudah, Hong Beng mengeluarkan tangannya dan sekali membetot, tongkat hitam itu berpindah tangan. Kaki kirinya bergerak menendang dan terlemparlah tubuh pengemis itu sampai tiga tombak lebih dan jatuh sambil berkaok-kaok kesakitan.....

Para pengemis menjadi marah dan beberapa orang maju menyerbu Hong Beng. Akan tetapi, mana mereka dapat menandingi Hong Beng yang berkepandaian tinggi? Memang keahlian pemuda ini adalah permainan tongkat, dan sekarang tangannya telah memegang sebatang tongkat yang baik, maka tentu saja ia merupakan seekor naga yang dikeroyok oleh beberapa banyak tikus! Sekali ia menggerakkan tongkatnya, langsung terdengar jerit kesakitan dan tubuh empat orang pengemis terlempar tak dapat bangun lagi karena tangan atau kaki mereka patah-patah!

Tiba-tiba terjadi suatu keanehan. Lo Sian yang sedang dikeroyok dan menghadapi para pengeroyoknya sambil tertawa-tawa gembira, menjadi marah sekali ketika melihat sepak terjang Hong Beng.

“Kau berani melukai kawan-kawanku?!” teriaknya dan tongkat bambunya dengan cepat sekali menyambar ke arah leher Hong Beng!

Pemuda ini lebih merasa heran dari pada terkejut. Mengapa ada orang yang membalas pertolongan dengan serangan demikian berbahaya? Akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tongkatnya menangkis dan terkejutlah dia pada saat merasa betapa tenaga pengemis gila ini benar-benar tidak rendah. Ia lalu mainkan tongkatnya dan sekarang ia berkelahi dengan hati-hati sekali. Barusan pengemis tongkat bambu ini menyebut para pengeroyoknya sebagai kawan-kawan, apakah dengan demikian bukan berarti bahwa ia telah mencampuri urusan dalam orang-orang golongan lain?

“Orang tua, tahan dulu. Aku tidak bermaksud jahat!” kata Hong Beng.

Akan tetapi Lo Sian tetap menyerangnya kalang kabut sambil mengeluarkan ilmu tongkat dari Thian-san-pai yang paling lihai. Sekarang para pengemis memindahkan kemarahan mereka kepada Hong Beng dan sambil berteriak-teriak mereka lalu maju membantu Lo Sian, mengeroyok Hong Beng. Kini pemuda inilah yang dikeroyok!

Melihat betapa Lo Sian tidak memperdulikannya, dan betapa para pengemis itu serentak mengeroyoknya dengan nekad, Hong Beng merasa mendongkol juga. Akan tetapi ia kini tidak mau melukai pengeroyoknya, cukup mendorong mereka roboh tumpang-tindih saja.

Pada waktu dia mengerahkan kepandaiannya, tongkat bambu di tangan Lo Sian dapat dipukulnya sehingga remuk dan dia berhasil mendorong Lo Sian sehingga terjungkal dan bergulingan beberapa kali tanpa melukainya. Tiba-tiba Lo Sian menjerit-jerit seperti orang ketakutan.

“Aduh...! Pemakan jantung...! Pemakan jantung...!” Sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan, larilah Lo Sian dengan amat cepatnya bagaikan orang dikejar setan!

Mendengar dan melihat kejadian ini, para pengemis tongkat hitam menjadi bengong dan memandang ke arah bayangan Lo Sian, untuk sementara lupa kepada Hong Beng yang dikeroyoknya! Pemuda ini pun menjadi terheran-heran dan dia pun segera membuang tongkat rampasannya lalu melompat pergi mengejar bayangan Lo Sian yang berlari-lari sambil menjerit-jerit!

Sesudah keluar dari kota Ta-liong, Hong Beng akhirnya dapat menyusul Lo Sian yang masih berlari-lari. Pemuda ini mendahuluinya, lalu membalikkan tubuh dan menghadang di tengah jalan sambil berkata,

“Perlahan dulu, Lopek!” Ia mengangkat tangan memberi isyarat agar supaya orang tua itu berhenti. “Siapakah kau dan apakah artinya sikapmu yang aneh ini?”

Lo Sian memandang Hong Beng dengan tajam, kemudian tiba-tiba pengemis ini tertawa. “Ha-ha-ha! Kau manusia berhati kejam! Kau hendak membunuhku? Bunuhlah! Kau kira aku takut mati? Ha-ha-ha!”

Sambil berkata demikian, Lo Sian lalu menggerakkan tangannya dan menyerang dengan gerak tipu Kumbang Jantan Menyambar Bunga. Akan tetapi dengan kedua tangan yang digerakkan cepat sekali Hong Beng berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Lo Sian.

“Orang tua, mengapa kau mengamuk dan kenapa pula kau berlari-lari seperti ketakutan? Ada apakah? Cobalah kau mengaku terus terang, siapa kau dan percayalah bahwa aku yang muda akan berusaha untuk membantumu dan menolongmu dari kesukaran!”

“Siapa aku? Tidak tahu! Tidak tahu!” Lo Sian meronta-ronta, lalu sambil membelalakkan matanya, ia berteriak-teriak lagi, “Pemakan jantung! Pemakan jantung! Hi-hi..., pemakan jantung.” Ketika Hong Beng melepaskannya, ia berlari lagi ke dalam hutan di dekat situ.

Hong Beng merasa terharu sekali. Ternyata olehnya bahwa kakek itu benar-benar gila. Tanpa disadarinya, kedua kakinya bergerak mengejar ke dalam hutan, akan tetapi oleh karena sekarang Lo Sian tak mengeluarkan teriakan-teriakan lagi, agak sukarlah baginya untuk dapat menyusul pengemis yang telah berlari ke dalam hutan belukar itu.

Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan di sebelah belakang dan ketika ia menengok, ia melihat betapa puluhan pengemis tongkat hitam tadi pun kini telah mengejarnya! Dengan mendongkol sekali karena hatinya masih merasa sangat iba kepada pengemis gila tadi, Hong Beng lalu menghadapi para pengemis itu dan mendahului memaki,

“Orang-orang berhati kejam dan jahat! Kalian ini sudah tahu bahwa pengemis tadi adalah seorang yang tidak waras pikirannya, kenapa masih saja kalian mengeroyoknya. Apakah itu dapat disebut perbuatan yang pantas?”

Seorang di antara para pengemis itu, yang bongkok tubuhnya dan yang mewakili kawan-kawannya bicara, memberi hormat dan berkata,

“Orang muda yang gagah! Kau tidak tahu bahwa si gila tadi yang mulai lebih dulu dan mengganggu kami. Kami sekali-kali bukan orang-orang yang berhati jahat dan bersikap pengecut, karena ketahuilah bahwa kami adalah anggota-anggota terpilih dari Hek-tung Kai-pang!”

Hong Beng pernah mendengar nama perkumpulan pengemis ini dari suhu-nya yang memuji perkumpulan ini sebagai perkumpulan yang berhaluan patriotik dan memusuhi para perampok dan pengacau. Pengemis-pengemis Hek-tung Kai-pang selalu merasa dirinya menjadi pelindung dari rakyat kecil yang miskin. Akan tetapi oleh karena Hong Beng tidak mempunyai urusan dengan perkumpulan ini, ia segera bertanya,

“Kalau begitu, ada maksud apakah kalian mengejarku?”

“Sayang sekali bahwa pada waktu kelima Pangcu (Ketua) kami tiba, kau telah pergi dan kini para Pangcu kami yang merasa amat tertarik mendengar kepandaianmu memainkan tongkat, mengundang padamu untuk mengunjungi perkumpulan kami dan mengajakmu berpibu (mengadu kepandaian).”

Berserilah wajah Hong Beng mendengar tantangan ini. Memang, setiap kali mendengar orang pandai, hatinya ingin sekali mencobanya, apa lagi kalau dia yang ditantang! Akan tetapi, dia masih tertarik dengan Lo Sian pengemis gila tadi dan hendak mencari serta menyelidikinya lebih dulu, maka dia lalu berkata,

“Baiklah, katakan pada Pangcu-pangcumu bahwa aku Sie Hong Beng menerima baik undangan mereka. Besok pagi-pagi aku akan datang mengunjungi tempat di mana kalian tadi berkumpul.”

Para pengemis itu tertegun ketika mendengar pemuda itu menerima tantangan kelima pangcu mereka, dan sikap mereka berubah menghormat sekali. Si Bongkok tadi menjura dan berkata,

“Orang muda yang gagah! Kami percaya bahwa seorang gagah seperti kau tentu takkan melanggar janji. Hanya harap kau berhati-hati menghadapi Hek-tung-hoat dari lima orang pangcu kami!” Dia lalu mengajak kawan-kawannya mengundurkan diri. Ada pun Hong Beng lalu melanjutkan perjalanannya mencari pengemis gila tadi.

Pada saat itu pula, di dalam hutan itu terdapat dua orang lainnya yang juga melakukan perjalanan sambil bersenda gurau. Mereka ini adalah Lili dan Goat Lan yang melakukan perjalanan menuju ke Tiang-an. Kedua orang gadis gagah ini pun mendengar teriakan-teriakan para pengemis tadi dan cepat mereka menuju ke tempat itu. Akan tetapi para pengemis itu telah pergi meninggalkan Hong Beng dan ketika Lili melihat Hong Beng, dia cepat-cepat menarik tangan Goat Lan dan bersembunyi di balik semak belukar.

“Ssstt, Goat Lan, jangan sampai terlihat oleh orang itu!” bisiknya perlahan.

Melihat sikap Lili, Goat Lan menjadi terheran dan tertarik sekali. Ia tidak mengenal siapa gerangan pemuda yang gagah dan tampan itu. Tentu saja Lili segera mengenal muka kakaknya, akan tetapi Goat Lan belum pernah bertemu muka lagi dengan Hong Beng semenjak mereka masih kecil.

“Ada apakah, Lili? Mengapa kau agaknya takut kepada pemuda itu? Siapakah dia?”

“Eh, ehh, agaknya kau tertarik padanya, Goat Lan!” Lili menegur sambil merengut. “Ingat, kau adalah tunangan kakakku.”

“Ihh, dasar kau anak gila!” Goat Lan mencubit lengan Lili, karena tahu bahwa Lili hanya menggodanya saja. “Pantasnya yang tertarik adalah engkau yang belum bertunangan!”

“Mana bisa aku tertarik kepadanya? Dia... dia telah menghinaku Goat Lan, dan sekarang aku minta kepadamu agar sukalah kau membalaskan penghinaan itu!”

Goat Lan terkejut. “Menghinamu? Dia...? Mengapa diam saja? Hayo kita menyerbunya dan memberi hajaran kepada orang kurang ajar itu! Penghinaan apakah yang telah dia lakukan kepadamu?”

“Terus terang saja aku pernah bertemu dengan dia dan melihat bahwa dia mempunyai kepandaian tinggi, aku kemudian mengajaknya pibu, akan tetapi aku... aku kalah dan ditertawakan olehnya! Aku... aku takut dan malu melihatnya, Goat Lan, maka kalau kau mau membelaku, kau keluarlah dan kau jatuhkanlah dia! Akan tetapi jangan kau katakan tentang aku karena aku merasa malu. Biarlah aku bersembunyi saja melihat betapa kau mengalahkan dan merobohkannya! Atau... barang kali kau tidak berani dan tidak mau membelaku?”

“Siapa tidak berani? Kaulihat saja. Mari kita kejar dia!”

Demikianlah, kedua orang dara jelita ini menyusup semak-semak belukar mengejar Hong Beng yang berjalan sambil memandang ke sana ke mari, mencari jejak Lo Sian.

Tiba-tiba, pemuda ini terkejut sekali ketika melihat seorang gadis cantik melompat keluar dari balik semak-semak dan memakinya, “Pemuda sombong dan kurang ajar, kau berani sekali menghina adikku? Bersiaplah untuk menerima beberapa pukulan balasan dariku!” Sambil berkata demikian, langsung saja Goat Lan menyerang Hong Beng dengan ilmu silatnya Im-yang Kun-hoat yang lihai!

Hong Beng tercengang melihat kehebatan serangan ini dan tanpa berani berlaku lamban ia cepat mengelak.

“Ehh, ehh, apakah dunia ini sudah terbalik? Mengapa kau datang-datang menyerangku?” tanyanya terheran-heran, dan juga kagum sekali melihat betapa elok dan cantik manis gadis yang menyerangnya ini.

“Tutup mulut dan bersiaplah kalau kau memang seorang laki-laki yang gagah!” Goat Lan membentak dan menyerang lagi lebih hebat!

Melihat serangan ini, maklumlah Hong Beng bahwa kini dia berhadapan dengan seorang gadis pendekar yang pandai sekali, maka cepat dia lalu mengelak lagi. Goat Lan melihat gerakan pemuda itu dan diam-diam juga terkejut karena pemuda ini benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Dia menyerang terus bertubi-tubi, akan tetapi Hong Beng selalu mengelak dan menangkis. Benturan lengan mereka menyatakan kepada keduanya bahwa tenaga lweekang pihak lawan benar-benar tak boleh dibuat gegabah.

“Nanti dulu, Nona, kau siapakah dan mengapa pula engkau menyerangku tanpa alasan? Apakah salahku?”

“Tak usah bertanya! Jika kau memang mempunyai kepandaian, jangan menyombongkan itu di hadapan adikku, akan tetapi lawanlah aku! Ataukah, kau tidak berani karena kau berhati pengecut?”

Ucapan ini betul-betul mengenai hati Hong Beng dan menyentuh perasaan dan wataknya yang tidak mau kalah.

“Bagus, gadis sombong dan galak. Hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu!”

Hong Beng lalu membalas dengan serangannya dan demikianlah, kedua orang muda itu bertempur dengan seru sekali. Mereka saling serang, saling desak, akan tetapi keduanya memang sama-sama gesit dan lihai.

Ilmu silat Hong Beng yang berdasarkan pada Pat-kwa Kun-hoat dan Ngo-heng Cio-hwat benar-benar luar biasa, akan tetapi Goat Lan adalah murid orang-orang sakti pula. Untuk menghadapi Hong Beng yang ternyata tangguh bukan main itu, dia segera mengeluarkan Im-yang Sin-na, pelajaran yang diwarisinya dari Im-yang Giok-cu.

Tubuh kedua orang muda ini sampai lenyap menjadi dua bayangan yang berkelebatan ke sana ke mari dan kadang-kadang bergulung-gulung menjadi satu. Hong Beng merasa penasaran sekali karena jangankan mengalahkan gadis ini, mendesak pun ia tidak dapat! Ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, dan berkat tenaga lweekang-nya yang lebih kuat sedikit dari pada Goat Lan, ia berhasil mendesak nona itu.

Akan tetapi, harus diakui bahwa dalam urusan ginkang, nona itu masih menang darinya, sehingga betapa pun Hong Beng mendesak, dia tidak mampu menyentuh nona itu yang gesit laksana burung walet. Pertempuran dilanjutkan dengan hebat, seratus jurus lebih telah lewat sehingga keduanya makin penasaran dan juga kagum.

Goat Lan benar-benar menjadi marah sekali. Masa dia tidak dapat mengalahkan pemuda dusun ini? Sebagaimana diketahui, Goat Lan telah mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu melalui ibunya, maka dia lalu mengeluarkan ilmu silat yang diterimanya dari ketiga guru besar itu untuk menghadapi Hong Beng.

Belum pernah Goat Lan begitu bersungguh-sungguh mengerahkan semua kepandaiannya sehingga pada jidatnya telah keluar beberapa titik peluh. Juga Hong Beng merasa pusing karena gerakan gadis itu cepat sekali.

Pada suatu saat, ketika Goat Lan telah terdesak sampai di bawah sebatang pohon, Hong Beng mengeluarkan serangan dengan gerak tipu Dewa Hutan Membelah Kayu. Dengan tangan kanan dibuka jarinya dia menubruk, lantas menyerang dengan tangan kanan itu, membuat gerakan kapak membelah kayu ke arah pundak Giok Lan, sedangkan tangan kirinya juga sudah bersiap untuk menyusul dengan serangan menotok dari bawah kiri. Ia mengembangkan tangan kirinya agar supaya gadis itu tak mengira akan gerakan susulan ini.

Akan tetapi, Goat Lan telah mendapat gemblengan yang hebat dari para gurunya. Ketika melihat serangan ini, dia hanya melangkahkan kaki kiri ke belakang, lalu membalikkan kedudukan tubuhnya sambil menekuk kaki kirinya itu yang kini berada di depan. Karena tubuhnya menjadi doyong, maka serangan Hong Beng itu kini tidak mengenai sasaran dan dengan cerdik sekali Goat Lan bersikap seolah-olah ia tidak memperhatikan tangan kiri Hong Beng yang siap menotok. Akan tetapi diam-diam gadis ini yang maklum bahwa ia telah membuka kesempatan bagi lawan untuk menyerang dan menotok punggungnya, telah mengerahkan ilmu khikang dan mengumpulkan napas memasang Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa dan Melindungi Jalan Darah).

Benar saja, Hong Beng tidak mau melewatkan kesempatan itu dan dengan girang tangan kirinya lalu menotok jalan darah di punggung lawannya. Akan tetapi oleh karena ia tidak ingin melukai lawannya, dia hanya melakukan totokan perlahan saja yang cukup untuk membuat tubuh lawannya menjadi lemas.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa jari tangannya mengenai kulit dan daging yang lunak sekali seakan-akan tidak berurat sama sekali! Ia maklum bahwa dia sudah kena dipancing dan bahwa lawannya telah menutup jalan darahnya, maka dia cepat hendak melompat mundur. Terlambat! Tangan kiri Goat Lan sudah ‘masuk’ dari bawah lengan kanannya dan berhasil pula menotok iga di bawah pangkal lengannya.

“Dukk!”

Hong Beng masih keburu mengerahkan lweekang sehingga bagian tubuh yang tertotok menjadi sekeras batu! Namun tenaga totokan Goat Lan itu masih membuatnya terhuyung mundur tiga langkah!

“Bagus sekali! Kau sungguh lihai sekali, Nona. Aku yang bodoh mengaku kalah karena ginkang-mu yang luar biasa. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aku kalah dalam hal kepandaian seluruhnya. Apa bila kau merasa masih sanggup menghadapiku, marilah kita menggunakan senjata!” Biar pun ia mengaku kalah akan tetapi Hong Beng masih belum puas dan menantang untuk bertempur mempergunakan senjata.

Diam-diam Goat Lan terheran. Pemuda ini cukup simpatik, karena sungguh pun tadi tak dapat dikatakan pemuda ini kalah, akan tetapi dengan jujur pemuda ini berani mengakui kekalahannya yang sedikit dan kurang berarti itu, bahkan sekarang berani secara sopan menantang untuk melanjutkan pertempuran dengan senjata! Mengapakah pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini oleh Lili disebut kurang ajar? Namun ia tentu saja tidak mau menyerah kalah dalam hal ketabahannya, maka dia lalu tersenyum dan menjawab,

“Siapa takut kepada senjatamu? Keluarkanlah!”

Dengan rasa heran Goat Lan melihat pemuda itu mengambil sebatang ranting kayu yang tergeletak di atas tanah. Ranting ini hanya sebesar ibu jari kaki dan panjangnya paling banyak selengan orang.

Melihat senjata lawannya itu, Goat Lan diam-diam terkejut, karena hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang menggunakan senjata seringan itu. Makin sederhana senjata orang, maka makin berbahaya dan lihailah ilmu kepandaiannya, demikian ayah bundanya pernah berkata.

Dia menjadi malu untuk mengeluarkan sepasang bambu kuningnya, maka dia pun lalu mencari dua batang ranting yang sama besarnya dengan ranting di tangan Hong Beng, lalu sebelum lawan menyerangnya, tanpa berkata sesuatu dia segera mengirim serangan hebat dengan ranting di tangan kiri.

Tadi saat melihat Goat Lan mengambil dua batang ranting pula seperti yang dipungutnya, Hong Beng benar-benar terheran sampai dia membelalakkan matanya. Tadinya disangka bahwa gadis ini tentu akan bersenjatakan pedang atau senjata tajam lainnya.

Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran sampai lama sebab laksana seekor ular, ranting di tangan nona itu telah menyerangnya dengan gerakan yang sangat luar biasa! Dia cepat-cepat menggerakkan rantingnya untuk menempel ranting lawan dan merampasnya, akan tetapi belum juga rantingnya dapat menangkis, ranting lawan sudah ditarik kembali dan kini ranting di tangan kanan gadis itu menotok ke arah lehernya!

“Hebat!” seru Hong Beng memuji ilmu silat yang luar biasa ini. Berbeda dengan dia yang memegang ranting di tengah-tengah, gadis itu memegang rantingnya pada ujungnya dan menggunakan sepasang ranting itu untuk menotok.

Setelah Hong Beng melayani Goat Lan sampai tiga puluh jurus lebih, makin lama makin terheranlah dia. Ilmu silat gadis ini benar-benar luar biasa sekali dan sungguh pun ilmu tongkatnya yang dua macam itu, yakni Pat-kwa Tung-hwat serta Ngo-heng Tung-hwat merupakan raja ilmu tongkat yang jarang bandingnya di muka bumi ini, namun ternyata bahwa menghadapi ilmu silat gadis ini ia tidak dapat banyak berdaya dan hanya mampu mengimbanginya saja, tanpa dapat mendesak meski tidak pula sampai terdesak! Saking herannya, Hong Beng lalu melompat mundur sampai dua tombak lebih dan berkata,

“Tahan, Nona! Aku harus mengetahui terlebih dahulu siapakah lawanku yang mempunyai kepandaian sedemikian hebatnya! Aku Sie Hong Beng selama hidupku belum pernah mengganggu orang, terlebih lagi orang seperti kau! Kenapakah kau memusuhiku sampai sedemikian rupa?”

Seketika itu juga lenyaplah kemarahan dari wajah Goat Lan dan gadis ini berdiri bengong seperti patung! Mendengar disebutnya nama itu, untuk sesaat wajahnya menjadi pucat, kemudian menjadi kemerah-merahan dan tanpa terasa lagi kedua ranting di tangannya terlepas dan jatuh ke atas tanah. Seakan-akan lemaslah kedua lengannya dan hatinya berdetak tidak karuan.

“Kau... kau... bernama Sie Hong Beng...?” katanya perlahan seperti berbisik.

“Ya, aku bernama Sie Hong Beng, yaitu kalau tidak ada dua Sie Hong Beng di dunia ini. Dan kau siapakah? Siapa pula adikmu yang katamu tadi pernah kuhina itu?”

Goat Lan tidak mampu menjawab, hanya mukanya saja sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba terdengar suara ketawa tidak jauh dari sana dan ketika Hong Beng menengok ternyata yang sedang tertawa itu adalah Lili adiknya! Gadis nakal ini tertawa-tawa sambil menyembunyikan tubuhnya di balik sebatang pohon besar sekali.

“Hi-hi, Enci Goat Lan!” Kini tiba-tiba ia menyebut ‘enci’. “Bagaimana kepandaian pemuda itu? Boleh juga, bukan? Apa kau sekarang sudah mulai melupakan kakakku dan tertarik oleh pemuda ini?”

“Hemm, diakah adikmu dan kau... kau bernama Goat Lan, Kwee Goat Lan?!”

Kini muka Hong Beng yang menjadi kemerah-merahan, karena ternyata bahwa gadis ini adalah tunangannya sendiri yang belum pernah dijumpainya selama ini! Dengan gemas Hong Beng lantas melemparkan rantingnya dan hampir berbareng dengan gerakan Goat Lan, dia lalu mengejar Lili yang sembunyi di balik pohon besar itu!

“Awas kutempeleng kepalamu yang penuh akal jail itu!” seru Hong Beng.

“Lili, anak nakal! Kujewer telingamu!” Goat Lan juga berkata sambil mengejar dengan cepat pula.

Hong Beng mengejar dari sebelah kiri dari pohon dan Goat Lan mengejar dari sebelah kanan pohon yang besar itu. Hampir saja kedua orang muda ini bertumbukan di belakang pohon satu sama lain, karena ternyata bahwa Lili yang nakal itu tidak ada pula di tempat itu.

Saking gugupnya, hampir saja tangan Hong Beng menangkap Goat Lan yang dikiranya Lili dan dengan mulut tersenyum malu-malu serta mata tidak berani memandang, Goat Lan berdiri di depannya. Hong Beng tercengang dan terpesona. Alangkah cantik, gagah, dan manisnya tunangannya ini.

Terdengar lagi suara ketawa dari atas dan ketika keduanya menengok ke atas, ternyata bahwa Lili sekarang telah duduk di atas cabang pohon besar itu!

“Turunlah kau, Lili! Bagus betul perbuatanmu, sesudah berpisah bertahun-tahun, masih saja kau berani mempermainkan kakakmu sendiri!” kata Hong Beng gemas.

“Aku tidak mau sebelum kau berjanji tak akan menempeleng kepalaku!” kata Lili dengan sikap manja.

“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Lili! Biarlah, kali ini kau kuampunkan. Turunlah!”

“Tidak, Beng-ko, kalau aku turun, aku takut kepada Enci Lan!”

“Memang aku akan mencubit bibirmu!” kata Goat Lan gemas dengan muka yang masih berubah merah karena jengah.

“Nah, Engko Hong Beng. Kau dengar sendiri bagaimana galaknya calon nyonyamu! Jika kau tidak berjanji akan membalas Enci Lan dan mencubit bibirnya kalau ia menyerangku, aku tidak mau turun dan tidak mengaku sebagai adikmu!”

Digoda seperti itu, baik Hong Beng mau pun Goat Lan menjadi gemas dan malu-malu, akan tetapi tentu saja mudah diketahui bahwa di dalam dada mereka merasa bahagia sekali.

“Sudahlah, Lili, kau turunlah, tentu saja... Nona Kwee tidak akan marah kepadamu.”

“Aihh, aihh! Mengapa pakai nona-nonaan segala? Engko Hong Beng, kau benar-benar bocengli (tidak tahu aturan, tidak berbudi), mengapa menyebut calon Soso (Kakak Ipar) dengan sebutan yang bersifat sungkan-sungkan? Kau harus menyebutnya Moi-moi!”

Muka kedua orang muda itu semakin merah mendengar godaan ini dan pada saat itu, Lili melompat turun. Goat Lan segera mengulurkan kedua tangannya kepada Lili, tapi bukan untuk mencubit bibir atau menjewer telinga, melainkan untuk memeluknya.

“Lili, aku minta dengan sangat, kasihanilah aku dan jangan kau menggoda lagi. Sudah lebih dari cukup kau menggodaku!” bisiknya.

“Engko Hong Beng,” kata Lili dan ia memandang kepada kakaknya dengan bangga, “aku girang sekali menyaksikan kepandaianmu yang amat hebat! Tidak percuma kau menjadi kakakku dan menjadi calon suami Enci Goat Lan yang cantik jelita!”

“Lili!!” seru Goat Lan.

“Lili...!” bentak Hong Beng hampir berbareng. “Jangan kau menggoda saja!”

Lili yang jenaka itu kemudian menjura kepada mereka berdua. “Maaf, maaf! Aku hanya main-main saja. Engko Han Beng, mengapa kau bisa berada di tempat ini dan apakah hubunganmu dengan orang-orang pengemis yang mengerikan tadi?”

Dengan singkat Hong Beng lalu menceritakan perjalanan serta pengalamannya. Ketika mendengar tentang Lo Sian, Lili berubah air mukanya.

“Beng-ko, coba kau ceritakan bagaimana wajah orang gila itu!”

Dengan heran Hong Beng lalu menuturkan tentang wajah Lo Sian dan mendengar ini, Lili berseru,

“Suhu...!”

Baik Hong Beng mau pun Giok Lan menjadi amat terkejut dan heran mendengar seruan ini. Mereka memandang kepada Lili dengan mata mengandung penuh pertanyaan.

“Tentu dia Suhu! Siapa lagi?” Lili lalu menuturkan tentang Lo Sian, pengemis sakti yang dulu sudah menolongnya dari tangan Bouw Hun Ti dan yang kemudian bahkan menjadi suhu-nya.

“Aku pun hendak mencarinya. Kalau begitu hayo kita kejar dia!”

Tiga orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan mengejar Lo Sian yang melarikan diri. Berkat ilmu ginkang mereka yang sudah sempurna, dalam waktu sebentar saja mereka sudah dapat menyusul Lo Sian yang masih berlari-lari dan berteriak-teriak,

“Pemakan jantung...! Pemakan jantung...!”

“Suhu...!” Lili berseru memanggil dengan hati terharu sekali.

Gadis itu mendahului kedua orang kawannya dan melompat ke hadapan Lo Sian. Wajah Lo Sian yang beringas itu menghadapi Lili dan sepasang matanya yang liar memandang dengan tajam. Dengan hati ngeri Lili melihat betapa mata itu sudah menjadi merah dan amat mengerikan.

Untuk sesaat Lo Sian berdiri bagaikan patung, dan dengan perlahan ia berkata, “Kau...? Aku sudah pernah melihatmu... kau...?”

“Suhu, teecu adalah Lili, Sie Hong Li muridmu! Suhu, mengapa Suhu menjadi begini...?” Tak terasa lagi air mata mengalir turun dari sepasang mata Lili yang bagus itu.

Lo Sian tidak dapat mengingat siapa adanya Lili, akan tetapi perasaannya membisikkan kepadanya bahwa gadis ini adalah seorang yang baik kepadanya, maka dia tidak mau menyerang dan kemarahan serta ketakutannya lenyap. Akan tetapi pada saat itu pula ia melihat Goat Lan dan Hong Beng yang sudah datang dan memandangnya dengan mata berkasihan.

Tiba-tiba orang gila ini menjadi liar lagi dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung! Pemakan jantung!” Lalu ia maju menubruk dan menyerang Hong Beng dan Goat Lan.

Melihat keadaan orang itu, Goat Lan cepat turun tangan dan berhasil menotok dada Lo Sian. Pengemis gila ini roboh dengan tubuh lemas tak berdaya lagi.

“Aku harus merobohkannya supaya dapat memeriksanya!” Goat Lan berkata singkat dan tanpa menanti pendapat kawan-kawannya dia segera berjongkok dan memeriksa nadi Lo Sian.

“Keadaan jantungnya baik,” kata Goat Lan sambil memeriksa dada dan detik urat nadi.

Hong Beng memandang dengan kagum kepada tunangannya itu. Ia sendiri sedikit-sedikit sudah pernah mempelajari ilmu pengobatan dari ibunya yang belajar dari ayahnya pula, akan tetapi tentu saja kepandaiannya ini tidak ada artinya apa bila dibandingkan dengan tunangannya yang menjadi murid Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat.

“Paru-parunya agak lemah,” terdengar Goat Lan berkata pula.

Tanpa berkata sesuatu gadis ini lalu mengeluarkan bambu kuningnya, dan menggunakan ujung bambu yang runcing untuk mengerat lengan Lo Sian. Beberapa titik darah keluar dari luka kecil itu. Goat Lan menggunakan jari tangannya untuk mengambil darah ini yang segera diperiksanya dan darah itu ia tempelkan pada ujung lidahnya! Tak lama kemudian ia meludahkan darah itu dan berkata,

“Darahnya mengandung bisa yang amat aneh!” Ia lalu berpaling kepada Lili dan berkata, “Menurut perhitunganku, bila kakek ini dulunya tidak gila seperti yang kau katakan, tentu dia pernah terkena racun hebat, sehingga racun itu mengotorkan darahnya dan merusak ingatannya. Lili, kalau di dunia ini ada orang yang dapat menolongnya, maka orang itu bukan lain adalah Thian Kek Hwesio yang tinggal di kuil Siauw-lim-si di Kiciu, tidak jauh dari sini.”

“Siapakah dia dan apakah dia mau menolongku mengobati Suhu ini?” tanya Lili penuh gairah.

“Kalau aku yang minta, mungkin dia takkan menolak. Dia adalah sahabat baik mendiang Suhu dan dia terkenal sebagai ahli penyakit gila, dan ahli pula mengobati orang terkena racun. Aku pernah diajak oleh Suhu mengunjungi Thian Kek Hwesio. Kita dapat langsung menuju ke sana.”

“Sayang sekali aku tidak dapat ikut. Baiklah, aku akan menyusul setelah urusanku pibu dengan ketua-ketua dari Hek-tung Kai-pang beres.” kata Hong Beng. “Tidak patut kalau aku melanggar janji, bukan perbuatan yang patut dibanggakan apa bila seorang gagah melanggar janjinya.”

Goat Lan mengerutkan kening. Gadis ini pernah mendengar nama Hek-tung Kai-pang dan mendengar pula bahwa kelima orang kepala dari perkumpulan pengemis ini adalah orang-orang lihai yang telah mewarisi ilmu tongkat Hek-tung-hoat yang lihai.

Menurut ibunya, ilmu tongkat Hek-tung-hoat masih satu cabang dan bahkan berasal dari Ilmu Tongkat Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu karena Hek-tung Kai-ong pencipta Ilmu Tongkat Hitam itu pernah mendapat petunjuk-petunjuk dari Hok Peng Taisu. Maka teringat betapa tunangannya akan menghadapi lima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu, hatinya menjadi gelisah sekali.

“Lima ketua dari Hek-tung Kai-pang itu amat lihai ilmu tongkatnya,” kata Goat Lan tanpa berani memandang kepada Hong Beng.

“Aku tidak takut..., Moi-moi,” kata Hong Beng sambil mengerling ke arah Lili. Akan tetapi, Lili tidak mempunyai nafsu untuk menggoda orang ketika ia melihat keadaan Lo Sian dan ia mendengarkan dengan kesungguhan hati dan penuh perhatian.

“Aku percaya, Koko (Kanda), akan tetapi... karena mereka itu bukan orang-orang jahat, maka tidak baik kalau sampai terjadi bentrok yang menimbulkan permusuhan. Kalau saja Adik Lili mau ikut dengan kau... dan biarlah aku yang mengantarkan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) ini kepada Thian Kek Hwesio...”

“Kurasa tidak perlu, Moi-moi (Dinda). Kalau Lili ikut dengan aku, jangan-jangan aku akan dianggap takut dan dicap pengecut!”

Tiba-tiba Lili bangun dan berkata, “Biarlah aku yang mengantarkan Suhu ke Kiciu. Kiciu tak berapa jauh dari sini dan pula, perjalanan ini tidak berbahaya sama sekali. Enci Lan, kau pergilah bersama Beng-ko, dan seperti yang kau katakan tadi, lebih baik kita jangan menanam bibit permusuhan dengan Hek-tung Kai-pang. Hatiku juga tidak akan merasa tenteram jika Beng-ko pergi seorang diri saja ke sana. Nah, Enci Lan, coba kau buatkan surat untuk Thian Kek Hwesio agar dia dapat dan mau menolong Suhu.”

Goat Lan segera mempergunakan bambu runcingnya untuk mengambil kulit pohon yang lebar, kemudian dengan ujung bambunya ia menuliskan beberapa kata-kata di atas ‘surat’ istimewa ini. Melihat betapa Goat Lan setuju dengan usul Lili, Hong Beng tidak berani membantah lagi, karena siapakah orangnya yang tak akan merasa gembira dan bahagia melakukan perjalanan bersama dengan tunangannya, apa lagi bila tunangan itu secantik dan segagah Goat Lan?

Demikianlah, dengan membawa ‘surat’ dari Goat Lan, Lili hendak memulihkan keadaan suhu-nya dan ternyata Lo Sian menurut saja kepada Lili ketika Lili mengajaknya pergi! Hong Beng dan Goat Lan lalu kembali, menuju ke kota Ta-liong untuk memenuhi janji kepada Hek-tung Kai-pang pada keesokan harinya…..

********************

Thian Kek Hwesio adalah seorang pendeta Buddha yang bertubuh gemuk dan berwajah tenang dan riang. Hwesio ini telah banyak merantau dan sudah beberapa kali ia melawat ke negeri barat untuk memperdalam pengetahuannya tentang Agama Buddha. Di dalam perantauannya ke barat inilah dia mendapatkan ilmu pengobatan yang luar biasa.

Memang semenjak mudanya, Thian Kek Hwesio paling senang mempelajari ilmu ini dan ketika ia berada di negeri barat, ia bertemu dengan seorang ahli pengobatan, khususnya untuk mengobati orang-orang yang terganggu pikirannya dan orang-orang yang menjadi korban racun-racun jahat. Dia mempelajari ilmu jiwa yang sangat dalam sampai puluhan tahun lamanya sehingga ketika ia kembali ke tanah airnya, ia telah menjadi seorang ahli berilmu tinggi.

Akhirnya ia menghentikan perantauannya dan tinggal di dalam kuil Siauw-lim-si di Kiciu. Sambil memperkembangkan Agama Buddha yang dianutnya, ia pun selalu mengulurkan tangan untuk mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.

Tidak jarang, apa bila terjangkit wabah penyakit di suatu tempat, tidak peduli tempat itu letaknya amat jauh, Thian Kek Hwesio pasti akan mendatanginya kemudian mengulurkan tangan menolong orang-orang yang menjadi korban. Oleh karena ini, namanya menjadi sangat terkenal sekali.

Walau pun Thian Kek Hwesio bukan seorang ahli dalam hal ilmu silat, namun namanya tetap dihormati dan disegani oleh para tokoh kang-ouw. Banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang menjadi sahabatnya, di antaranya adalah Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi tentang ilmu pengobatan.

Lili mengajak Lo Sian menuju ke Kiciu untuk mendatangi hwesio suci ini guna meminta pertolongannya mengobati Lo Sian. Di dalam perjalanan Lo Sian diam saja tak banyak berkata-kata, akan tetapi nampak lebih tenang setelah berada dekat Lili.

Beberapa kali gadis itu mencoba untuk mengingatkan bekas gurunya ini, akan tetapi Lo Sian tetap tidak dapat mengingat sesuatu, tidak dapat mengenal Lili dan tidak ingat akan namanya sendiri. Akan tetapi, dia tidak nampak gelisah, tidak berteriak-teriak lagi dan sering kali dia memandang kepada Lili dengan penuh kepercayaan dan dengan muka menyatakan ketenangan hatinya.

Meski pun Lo Sian sudah menjadi gila, namun ilmu lari cepatnya masih belum lenyap dan karenanya Lili dapat mengajaknya berlari cepat sehingga sebentar saja mereka sudah berada di dekat kota Kiciu. Ketika mereka berlari sampai di sebuah tempat yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang berkejar-kejaran.

Yang dikejar adalah seorang pemuda, ada pun yang mengejarnya seorang gadis cantik. Lili merasa heran sekali melihat gadis itu yang sambil mengejar, menangis dan berseru memanggil,

“Taihiap... jangan tinggalkan aku! Taihiap... tunggulah dan bawa aku bersamamu...!”

Pemuda itu lalu menoleh dan berkata dengan suara sedih, “Lilani, jangan kau dekati aku lagi...! Aku seorang yang jahat dan rendah budi! Jangan kau dekati lagi, Lilani...!”

“Taihiap, kalau kau tetap hendak meninggalkanku, aku akan membunuh diri! Aku tidak sanggup berpisah darimu lagi...”

Kedua orang itu adalah Lie Siong dan Lilani. Setelah pada malam hari itu di dalam hutan, akibat dorongan hati terharu, keduanya lalu saling menumpahkan perasaan hati dan lupa akan keadaan di sekelilingnya. Maka, pada esok harinya, bersama munculnya matahari, muncul pula pertimbangan dan kesadaran di hati Lie Siong.

Pemuda ini menjadi sangat terkejut dan menyesal sekali mengingat akan perbuatannya sendiri dan dia merasa sangat malu. Bagaimanakah dia, seorang pemuda yang memiliki kepandaian dan yang sering kali dapat nasehat-nasehat dari ibunya, telah menjadi mata gelap dan runtuh hatinya terhadap kecantikan dan cumbu rayu dari seorang gadis cantik seperti Lilani?

Ia menyesal sekali, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lilani, gadis itu nampak lebih cantik dan berseri wajahnya. Sepasang mata gadis itu memandangnya dengan penuh cinta kasih sehingga Lie Siong menjadi gelisah sekali. Apakah yang sudah dia lakukan terhadap seorang gadis berhati tulus dan bersih seperti Lilani? Ah, dia berdosa, demikian pikirnya.

“Lilani...” katanya dengan suara perlahan, “aku... aku sudah berdosa kepadamu... aku... aku tak dapat lagi memandang mukamu.”

Akan tetapi Lilani menubruk dan merangkulnya. “Taihiap, mengapa kau berkata begitu? Aku, Lilani, bersumpah tak akan mencinta lain orang kecuali engkau. Engkaulah pujaanku dan hanya kepadamulah Lilani menyerahkan jiwa raganya...”

Makin perihlah perasaan hati Lie Siong mendengar ucapan dan melihat sikap gadis ini. Ia maklum dan percaya sepenuhnya bahwa Lilani benar-benar sangat mencintanya, akan tetapi dia...? Dapatkah dia selamanya harus berada di sisi Lilani? Dapatkah dia menjadi suami dari gadis ini...? Makin dipikirkan, makin gelisah dan menyesallah hati pemuda itu. Dia melanjutkan perjalanan dengan wajah muram dan Lilani mengikutinya dengan cemas dan tak mengerti.

Akan tetapi, dengan penuh kesetiaan dan kesabaran, gadis itu melayani Lie Siong dan mengikutinya ke mana saja pemuda itu pergi tanpa mau mengganggunya dan tidak pula bertanya mengapa Lie Siong berhal seperti itu.

Akhirnya mereka sampai di tempat itu dan dengan terus terang Lie Siong menyatakan bahwa dia tidak ingin melakukan perjalanan selamanya bersama Lilani.

“Lilani, dari sini ke Tiang-an tidak jauh lagi. Aku... aku tidak dapat mengantarkan kau terus ke Tiang-an. Mengapa kau tidak pergi saja seorang diri?”

Lilani menjadi pucat. “Taihiap, mengapakah kau berkata demikian? Aku... aku tidak ingin ke Tiang-an, tidak ingin ke mana pun juga kecuali ke tempat engkau berada. Aku tidak mau meninggalkan kau, Taihiap, aku ingin terus berada di sampingmu, ke mana pun juga kau pergi.”

Berkerutlah kening Lie Siong mendengar ucapan ini. “Tidak, tidak, Lilani! Aku sudah satu kali melakukan pelanggaran, melakukan perbuatan yang takkan dapat kulupakan selama hidupku. Aku tidak akan mau mengulanginya lagi. Akan tetapi... kalau kau terus berada di dekatku... aku... aku tidak dapat menanggung bahwa kegilaan tidak akan membutakan mataku lagi...”

“Kenapa pelanggaran? Mengapa hal ini kau anggap kegilaan? Taihiap, tidak percayakah kau bahwa aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku? Aku tidak mengharapkan apa pun asal dapat selalu berada di dekatmu...”

“Tidak, tidak! Tidak mungkin, Lilani!” Dan larilah Lie Siong meninggalkan gadis itu! Lilani mengejar sambil berteriak-teriak memilukan dan mereka berkejaran terus sampai terlihat oleh Lili dan Lo Sian.

Lili berdiri terheran-heran mendengar dan melihat keadaan dua orang yang berkejaran itu. Akan tetapi berbeda dengan Lo Sian. Orang tua ini masih belum kehilangan watak pendekarnya, dan kini melihat dua orang muda berkejaran, sungguh pun yang mengejar adalah yang wanita, namun karena Lilani menangis memilukan, dengan mudah saja dia dapat menduga bahwa di dalam hal itu yang bersalah tentulah laki-laki yang dikejar itu! Tubuhnya bergerak dan berkelebat cepat menghadang di depan Lie Siong!

“Orang jahat! Kau sudah berani mengganggu seorang gadis dan kemudian melarikan diri?”

Ucapan yang dikeluarkan tanpa disengaja ini telah mengenai tepat sekali pada perasaan hati Lie Siong. Ia menjadi pucat dan memandang pada orang yang menegurnya. Apakah jembel mengerikan ini telah mengetahui rahasianya pula? Apakah melihat perbuatannya di dalam hutan pada malam hari yang telah menghikmatnya kemarin?

“Jangan kau mencampuri urusanku!” seru Lie Siong dan cepat dia hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi Lo Sian cepat-cepat menggerakkan tangannya yang diulurkan hendak mencengkeram pundak Lie Siong.

Melihat gerakan yang mendatangkan angin ini, terkejutlah Lie Siong maka ia pun cepat mengelak. Sambil miringkan tubuh ke kiri, pemuda ini cepat membalas dengan sebuah totokan ke arah pinggang kanan Lo Sian yang dapat menangkis pula. Akan tetapi ketika kakek ini menangkis, tubuhnya langsung terpental ke belakang dan terhuyung-huyung, tanda bahwa dia kalah tenaga!

“Orang kurang ajar! Kau berani mengganggu Suhu?” tiba-tiba saja nampak berkelebat bayangan merah dan angin yang dingin menyerang Lie Siong dari samping kanan.

Pemuda ini cepat melompat ke belakang dan terheranlah dia ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis yang cantik jelita. Serangan gadis ini jauh lebih lihai dan hebat dari pada serangan jembel tadi! Bagaimana mungkin seorang murid memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada suhu-nya?

Akan tetapi Lili tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak memusingkan hal ini. Gadis ini pun merasa kaget dan penasaran ketika ternyata serangannya tadi dapat dielakkan dengan begitu mudahnya! Tadi dia telah menyerang dengan gerak tipu Pai-bun Twi-san (Mendorong Pintu Menolak Bukit) dengan maksud mendorong pemuda itu agar terguling, akan tetapi siapa kira bahwa dengan amat mudahnya pemuda itu telah dapat melompat dengan tepat dan mudah. Sekarang dia maju menyerang lagi dengan hebat, mengambil keputusan untuk merobohkan pemuda yang telah berani melawan suhu-nya tadi!

Lo Sian berdiri bertolak pinggang sambil tertawa-tawa menyaksikan pertempuran hebat itu. Sebaliknya, Lie Siong merasa terkejut bukan main karena ternyata bahwa gerakan gadis yang menyerangnya itu benar-benar luar biasa sekali! Cepat bagai seekor burung walet dan tiap pukulan yang menyerangnya mendatangkan angin yang kuat sekali.

Diam-diam Lie Siong merasa gembira sekali karena memang demikianlah sifatnya, suka menghadapi lawan yang tangguh. Dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari ibunya. Tentu saja oleh karena Lie Siong menerima pelajaran langsung dari Ang I Niocu, ilmu silatnya ini sempurna dan matang betul.

Kini giliran Lili yang diam-diam merasa tertegun. Dari mana pemuda lawannya ini dapat bersilat dengan ilmu silat itu demikian bagusnya? Ia pun lalu merubah gerakannya dan dengan cepat dia bersilat dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw, sama dengan ilmu silat Lie Siong!

Pemuda ini makin kaget dan ketika ia mempercepat gerakannya, ternyata bahwa dalam hal Ilmu Silat Sian-li Utauw, ia masih menang setingkat dan berhasil mendesak Lili! Gadis ini menggigit bibir dan menjadi marah, ia berseru keras dan kini ia mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Kedua lengan tangannya yang berkulit halus itu mengebulkan uap putih yang menyambar-nyambar ke arah Lie Siong.

Pemuda ini hampir berseru keras saking herannya dan cepat pula ia juga mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Akan tetapi keadaannya sekarang berubah karena ternyata bahwa Lili lebih mahir bersilat dengan ilmu silat ini! Hal ini pun tak mengherankan, karena memang dalam hal ilmu ciptaan Bu Pun Su ini, kepandaian Pendekar Bodoh masih lebih lihai dari pada Ang I Niocu.

Sementara itu, Lo Sian yang gila hanya tertawa-tawa saja melihat pertempuran ini, ada pun Lilani yang sudah dapat mengejar sampai di sana, langsung memandang dengan terheran-heran melihat betapa dua orang itu bertempur seakan-akan sedang menari-nari saja! Gerakan keduanya demikian sama dan cocok, lemah lembut dan lemas, teramat indah dipandang mata.

“Tahan dulu!” seru Lie Siong yang makin lama makin terheran melihat betapa ilmu silat ini banyak sekali persamaannya dengan kepandaiannya sendiri. “Siapakah kau, Nona?”

Lili menjawab dengan mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, lalu mencibirkan bibirnya sambil menjawab ketus, “Laki-laki mata keranjang dan kurang ajar! Apakah telah menjadi kebiasaanmu menanyakan nama setiap orang wanita yang kau jumpai?”

Tentu saja Lie Siong menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa tersindir hingga telinganya menjadi merah. Memang hatinya sedang merasa rusuh karena perbuatannya terhadap Lilani, sekarang ia dicap oleh gadis ini sebagai seorang mata keranjang! Tanpa berkata sesuatu, ia pun lalu mencabut Sin-liong-kiam dan menghadapi gadis itu dengan mata memandang tajam.

Akan tetapi, sebelum mereka bertempur mempergunakan senjata, Lilani telah melangkah maju, menghadapi Lili dengan muka merah dan mata bersinar.

“Jangan kau mengeluarkan kata-kata kotor kepada Taihiap! Dia adalah seorang pendekar gagah perkasa, sama sekali bukan mata keranjang dan kurang ajar! Jangan sekali-kali kau berani memaki padanya!”

Sikap Lilani amat galak, seperti seekor ayam biang membela anaknya.....

Melihat sikap gadis ini, Lili tersenyum menyindir, lalu memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang kembali dan berkata, “Sudahlah, jangan kau kuatir, aku tak akan melukai atau membunuh kekasihmu! Hanya ada satu hal yang sangat mengecewakan hatiku, kau adalah seorang gadis yang cantik jelita mengapa begitu tidak tahu malu mengejar-ngejar seorang pemuda? Hah, sungguh menyebalkan!” Sambil berkata demikian, Lili kemudian memegang tangan Lo Sian dan berkata,

“Suhu, mari kita pergi! Jangan melayani orang-orang ini!”

Lo Sian tertawa haha-hihi dan sebelum ikut berlari pergi bersama Lili, ia menengok pada Lie Siong dan berkata, “Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada seorang gadis cantik! Ha-ha-ha!”

Ketika kedua orang itu sudah pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih berdiri termenung dengan pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam di hatinya. Tidak saja ia terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan tetapi juga kata-kata Lo Sian tadi bagaikan mengiris jantungnya.

Dia baru sadar dari lamunannya ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara menggetar, “Taihiap, jangan kau tinggalkan Lilani!”

Lie Siong menghela napas berulang dan ketika dia memandang kepada Lilani, timbullah rasa iba yang besar.

“Lilani, aku telah melakukan dosa besar terhadapmu...”

“Bukan kau, Taihiap, akan tetapi kita berdua. Namun bagiku perbuatan kita itu bukanlah dosa…”

Memang sebetulnya hubungan antara pria dan wanita di luar perkawinan yang dirayakan, bagi Lilani bukan merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang amat sederhana keadaan hidupnya itu tidak menitik beratkan pada upacara, akan tetapi lebih percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati. Upacara dapat dilakukan kemudian, karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak pernah ada atau jarang sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari janjinya.”

Lie Siong dapat menduga akan hal ini, karena itu dengan hati perih dia berkata, “Lilani, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi... aku tidak mencintamu dan tidak mungkin menjadi suamimu!”

Ucapan ini bagaikan sebuah pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akan tetapi gadis ini mempertahankan sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia lalu berkata,

“Bagaimana seorang perempuan rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta kasihmu, Taihiap? Aku sudah akan merasa bangga dan bahagia apa bila selama hidup aku dapat menjadi pelayanmu. Aku tak dapat hidup jauh darimu, dan aku tak mau ikut lain orang kecuali kalau dapat bertemu dan mengumpulkan suku bangsaku kembali!”

Berat sekali hati Lie Siong mendengar ini. “Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau kepada suku bangsamu.”

“Taihiap,” mendadak saja gadis itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu, “kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat mengerti. Akan tetapi... bukankah kau jatuh cinta kepada... gadis tadi?”

Lie Siong meloncat mundur bagai kakinya disengat ular. “Apa maksudmu...? Dari mana kau mempunyai pikiran seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami telah bertempur. Mengapa kau menyangka demikian?”

Lilani tersenyum sedih. “Orang bertempur bukan seperti yang kau lakukan tadi, Taihiap. Tadi kau dengan gadis itu bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira! Alangkah indahnya tarian itu dan terus terang saja, kau memang cocok sekali dengan dia. Tadi aku merasa seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi sedang menari!”

Hampir saja Lie Siong tertawa bergelak-gelak saking geli hatinya, sungguh pun hatinya tergerak pula oleh ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.

“Lilani, kau sungguh lucu! Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan ilmu silat tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya. Ilmu silat itu disebut ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) dan aku pun masih heran memikirkan bagaimana gadis tadi sanggup memainkannya. Padahal ilmu silat itu adalah ciptaan dari ibuku sendiri!”

Dengan hati masih ingin sekali tahu siapa adanya gadis yang pandai memainkan Sian-li Utauw itu, Lie Siong melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikuti jejak Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis aneh itu. Ada hubungan apakah antara gadis itu dengan ibunya? Kenapa pula gadis itu pandai memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lebih hebat dari pada kepandaiannya sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh?

Berkali-kali Lilani berkata dengan penuh perasaan, “Taihiap, aku mempunyai perasaan bahwa kau mencinta gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat kalian berdua bersilat seperti menari itu, ahhh, alangkah cocoknya!”

Diam-diam Lie Siong merasa heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan cinta kasihnya dan sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap cemburu sedikit pun juga! Benar-benar gadis yang berhati putih bersih, bersikap sederhana dan harus dikasihani.

“Tidak, Lilani. Aku memang akan mencarinya untuk menantangnya bertempur lagi. Aku belum puas apa bila belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa persangkaanmu itu tidak benar!”

“Jangan, Taihiap. Dia kelihatan galak dan lihai bukan main. Bagaimana kalau kau sampai terluka? Ahhh...”

“Aku harus menghadapinya!” kata Lie Siong berkeras. “Di samping aku hendak menguji kepandaiannya, juga ingin tahu dari mana ia mencuri Sian-li Utauw dan Pek-in Hoatsut.”

********************

Sementara itu, Lili dan Lo Sian sudah memasuki kota Kiciu dan dengan mudah mereka mencari kuil Siauw-lim-si yang besar. Lili sudah tidak memikirkan lagi keadaan pemuda dan gadis yang dijumpainya di jalan, sungguh pun di dalam perjalanan tadi ia tidak habis merasa heran bagaimana Ilmu Silat Sian-li Utauw pemuda itu sedemikian hebatnya dan betapa pemuda itu dapat juga mainkan Pek-in Hoat-sut.

Ia pun ingin sekali melanjutkan pertempuran dengan pemuda itu, sebab ia masih merasa penasaran apa bila belum dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Walau pun wajah pemuda yang elok dan gagah itu mengganggunya, namun dia berhasil mengusir bayangan itu dengan anggapan bahwa pemuda itu tidak ada harganya untuk diingat lagi, karena tentu pemuda itu adalah seorang kurang ajar dan pengganggu anak gadis!

Memikirkan halnya gadis cantik yang mengejar pemuda itu sambil menangis, Lili menjadi gemas sekali. Gemas dan benci terhadap pemuda itu, karena dia dapat menduga bahwa gadis itu tentulah korban permainan pemuda mata keranjang itu!

Thian Kek Hwesio menyambut kedatangan Lili dengan ramah tamah. Sesudah menerima ‘surat’ dari Goat Lan, pendeta gemuk itu tertawa gembira dan berkata kepada Lili,

“Nona, tentu saja aku suka berusaha menolongmu. Apa lagi kalau ada surat dari Kwee Lihiap yang kukenal baik. Tidak tahu siapakah Nona dan siapa pula orang tuamu?”

“Teecu (murid) adalah puteri dari Sie Cin Hai,” jawab Lili.

Hwesio itu mengangkat alisnya dan kedua matanya terbelalak girang.

“Ah, puteri Pendekar Bodoh? Betul-betul merupakan kehormatan besar dan kebahagiaan bahwa aku masih berkesempatan melihat keturunan Pendekar Bodoh. Masuklah Nona, dan siapakah sahabat ini?” Dia menudingkan telunjuknya kepada Lo Sian yang berdiri bagaikan patung.

“Dia adalah Sin-kai Lo Sian yang kini berada dalam keadaan sakit, Losuhu. Kedatangan teecu adalah untuk mohon pertolongan Losuhu agar suka memeriksa dan memberi obat kepadanya. Dahulu ketika teecu masih kecil, teecu adalah murid dari Sin-kai Lo Sian dan entah mengapa, setelah sekarang bertemu lagi, teecu mendapatkan Suhu berada dalam keadaan seperti ini.”

Thian Kek Hwesio yang memiliki sepasang mata bersinar sabar, tenang, halus dan juga berpengaruh itu, lalu memandang kepada Lo Sian dengan tajam, kemudian dia maju dan menghampiri pengemis gila itu.

“Sahabat, kau kenapakah?”

Akan tetapi, begitu melihat hwesio gemuk itu menghampirinya, Lo Sian tiba-tiba langsung menyerangnya dengan pukulan keras mengarah dadanya. Lili terkejut sekali dan untung bahwa dia berlaku cepat. Ia melompat menangkis pukulan Lo Sian ini, lalu menangkap lengannya.

“Suhu, jangan begitu, Losuhu ini adalah Thian Kek Hwesio yang hendak menolongmu.”

Akan tetapi, Lo Sian tiba-tiba justru memandang kepada Thian Kek Hwesio dengan mata mengandung ketakutan dan dia berteriak-teriak, “Pemakan jantung...! Tolong, pemakan jantung...!”

Agaknya melihat hwesio gundul ini, ia teringat kepada Hok Ti Hwesio dan melihat tubuh gemuk dari Thian Kek Hwesio, agaknya teringat kepada tubuh Ban Sai Cinjin, maka dia berteriak-teriak ketakutan.

“Nona, tolong bikin dia tak berdaya lebih dulu, agar mudah pinceng (aku) memeriksanya,” kata Thian Kek Hwesio dengan muka masih tenang saja.

Lili lalu mengulur tangannya dan menotok pundak Lo Sian. Karena orang gila ini memang percaya penuh kepada Lili, maka ketika ditotok, dia diam saja tidak melawan sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia lalu dibaringkan di atas pembaringan.

Thian Kek Hwesio lalu memeriksa seluruh tubuhnya, terutama sekali ia mempergunakan jari-jari tangannya untuk memijit-mijit bagian kepala Lo Sian, lalu dia pun menggunakan cara Goat Lan memeriksa, yaitu mengeluarkan sedikit darah dari tubuh orang gila itu.

Lili mengikuti semua pemeriksaan ini dengan penuh perhatian dan kecemasan. Akhirnya, hwesio itu menggelengkan kepalanya dan berkata sungguh-sungguh,

“Hebat sekali! Dia telah terkena racun jahat selama sepuluh tahun lebih sehingga seluruh darahnya sudah menjadi kotor. Agaknya masih mungkin bagi pinceng menghilangkan kegilaannya, karena hanya urat di kepalanya yang terganggu, akan tetapi sulit membuat ia kembali teringat akan segala kejadian yang lalu.”

“Tolonglah, Losuhu. Tolonglah sembuhkan penyakit gilanya, biarlah ia tidak bisa teringat sesuatu asalkan dia tidak gila seperti sekarang ini. Mungkin lambat laun ia akan dapat mengingat-ingat lagi.”

“Tentu saja pinceng akan berusaha menolongnya, dan mudah-mudahan Thian (Tuhan) membantu pinceng.”

Hwesio gendut itu lalu mengeluarkan beberapa puluh batang jarum yang berwarna putih dan ada pula yang kuning. Itulah gin-ciam (jarum perak) dan kim-ciam (jarum emas), alat pengobatan yang sudah amat terkenal di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

“Nona Sie,” kata hwesio itu, “coba tolong kau ikat kaki tangannya yang kuat, kemudian kau buka kembali jalan darahnya, karena dalam keadaan terpengaruh tiam-hoat (ilmu totokan), tak mungkin pinceng dapat menolongnya.”

Lili melakukan apa yang diminta oleh Thian Kek Hwesio. Ia segera membuka bungkusan pakaiannya, mengambil ikat pinggang dan mengikat kedua kaki dan tangan Lo Sian pada kaki pembaringan, lalu ia menepuk pundak Lo Sian untuk membebaskan totokannya tadi.

Begitu terbebas, Lo Sian segera meronta-ronta dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung! Pemakan jantung! Tolong… tolong!”

Thian Kek Hwesio tersenyum dan mulailah dia bekerja dengan jarum-jarumnya. Dengan gerakan yang tenang dan tepat tanpa keraguan sedikit pun, ia mulai menusukkan jarum putih ke leher belakang Lo Sian sementara Lili memegangi kepala pengemis gila itu. Tiga jarum ditusukkan dan tiba-tiba lemahlah tubuh Lo Sian, suaranya makin mengecil dan akhirnya dia jatuh pingsan atau pulas!

Delapan belas jarum sudah ditusukkan oleh Thian Kek Hwesio. Tiga di belakang leher, tiga di pundak kanan, tiga di pundak kiri dan sembilan jarum lain ditusukkan pada sekitar kepalanya! Mau tidak mau Lili merasa ngeri juga melihat cara pengobatan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya ini. Bagaimanakah orang bisa tetap hidup setelah leher dan kepalanya ditusuk oleh sekian banyak jarum? Yang sangat luar biasa adalah bahwa tidak ada setitik pun darah mengalir keluar dari jarum-jarum yang ditusukkan itu.

“Biarlah dia mengaso dulu dan sementara menanti, ceritakanlah pengalamanmu, Nona. Terutama sekali pinceng ingin sekali mendengar tentang keadaan orang tuamu.”

Dengan jelas tapi singkat, Lili menuturkan keadaan orang tuanya dan betapa ia bertemu dengan Lo Sian ketika dia dulu diculik Bouw Hun Ti. Ketika dia telah selesai menuturkan pengalamannya dan ketika hwesio tua itu mendengar nama Ban Sai Cinjin sebagai guru Bouw Hun Ti, Thian Kek Hwesio mengerutkan keningnya.

“Hemm, disebutnya nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng merasa curiga, Nona Sie. Ketahuilah bahwa Sin-kai Lo Sian ini terkena racun yang amat berbahaya yang sungguh pun tidak sampai menewaskan nyawanya, tetapi membuat seluruh isi kepalanya menjadi kotor dan pikirannya tidak dapat bekerja baik. Pinceng sekarang hanya dapat menolong dia dari gangguan ketakutan sehingga ia tidak akan menjadi gila lagi. Agaknya, ketika ia minum racun atau dipaksa minum racun, ia berada dalam keadaan yang amat ketakutan atau ngeri. Entah apa yang terjadi dengan dia, akan tetapi nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng hampir berani menuduh, kakek mewah itu yang menjadi biang keladi. Bagi Ban Sai Cinjin, segala macam kekejian di dunia ini mungkin dilakukan olehnya!”

Pada saat itu terdengar Lo Sian merintih perlahan. Lili cepat melompat untuk memegangi kepalanya, karena bila kepalanya bergerak-gerak ia kuatir kalau-kalau jarum yang masih menancap di lehernya itu akan melukainya. Thian Kek Hwesio juga menghampirinya dan melihat sebentar ke arah muka Lo Sian, membuka pelupuk matanya yang masih tertutup, lalu mengangguk puas.

“Syukurlah, baik hasilnya,” hwesio itu berkata perlahan, lalu ia mencabuti jarum-jarum itu.

Lili melihat dengan hati ngeri betapa jarum perak yang tadi menancap, sesudah dicabut ujungnya berwarna kehitam-hitaman, sedangkan jarum emasnya berwarna kehijauan!

Thian Kek Hwesio lalu memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Lo Sian dan memberi minum secawan arak sehingga obat itu dapat memasuki perut pengemis itu. Sampai lama terdengar Lo Sian mengeluh kesakitan, kemudian keluhannya berhenti dan jalan napasnya nampak tenang. Peluh memenuhi mukanya dan akhirnya dia membuka matanya.

“Di mana aku...?” tanyanya seperti orang baru bangun tidur.

“Buka ikatannya,” kata Thian Kek Hwesio kepada Lili yang segera membuka ikatan kaki tangan orang tua itu.

Lo Sian bangun dan duduk dengan pandang mata yang bingung dan Lili dengan girang sekali mendapat kenyataan bahwa pandang mata Lo Sian kini telah waras kembali, tidak liar seperti tadi.

“Ehh, siapakah kalian dan di manakah aku berada?” kembali Lo Sian bertanya sambil memandang kepada Thian Kek Hwesio dan Lili berganti-ganti.

Lili lalu maju dan memegang tangannya. “Suhu, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Sie Hong Li atau Lili, anak Pendekar Bodoh! Aku muridmu, Suhu!”

Terbelalak mata Lo Sian memandang kepada gadis jelita yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu. “Lili...? Siapakah Lili? Dan siapa pula Pendekar Bodoh? Aku.. serasa aku pernah mendengar nama-nama itu, akan tetapi sudah lupa sama sekali!”

“Suhu, kau telah minum racun berbahaya dan berada dalam keadaan tidak sadar sampai sepuluh tahun. Inilah penolongmu, yaitu Thian Kek Losuhu.”

Kini Lo Sian memandang kepada hwesio itu yang masih tersenyum kepadanya. Biar pun Lo Sian masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Lili, namun mendengar bahwa hwesio gendut itu sudah menolongnya, maka dia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.

“Omitohud!” Thian Kek Hwesio menyebut nama Buddha sambil cepat-cepat mengangkat bangun Pengemis Sakti, itu. “Tak percuma pinceng mengeluarkan tenaga membantumu, Sicu, ternyata kau adalah seorang yang berpribudi tinggi. Akan tetapi, ketahuilah bahwa semua orang yang baik hati tentu akan mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa, biar pun dia tidak akan terlepas dari hukum karma. Marilah kita bicara di ruang depan, terlalu sempit di kamar ini.”

Ketiga orang itu lalu berjalan keluar dan ternyata bahwa pengobatan itu sama sekali tidak mempengaruhi keadaan kesehatan Lo Sian. Dia kini tidak gila lagi, akan tetapi dia juga tidak ingat akan kejadian di masa lampau.

Setelah mereka berada di ruang depan, Thian Kek Hwesio lalu duduk di atas sebuah bangku dan Lo Sian berdiri di depannya. Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian dahulu untuk membantu bekas suhu-nya itu teringat kembali.

Akan tetapi betapa pun Lo Sian mengerahkan pikirannya, ia tidak dapat mengingat-ingat lagi! Tiba-tiba matanya terbelalak dan Lili merasa terkejut sekali, takut kalau-kalau bekas gurunya ini kumat lagi penyakit gilanya. Akan tetapi Thian Kek Hwesio memberi isyarat dengan tangannya agar supaya gadis itu tetap tenang.

Berkali-kali Lo Sian memijit-mijit kepalanya seakan-akan hendak membantu semua urat syarafnya agar bekerja kembali, dan tiba-tiba ia berkata keras, “Ah... yang teringat olehku hanya Lie Kong Sian...! Lie Taihiap itu telah... mati! Benar, Lie Kong Siang telah tewas... ahh, hanya itu yang teringat olehku. Lie Kong Sian telah tewas!” Dan Sin-kai Lo Sian lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya lalu ia menangis tersedu-sedu!

Lili hendak menghampirinya, akan tetapi dicegah oleh Thian Kek Hwesio, maka gadis itu hanya bertanya, “Suhu, kau maksudkan bahwa Lie-supek telah meninggal dunia?”

Suaranya terdengar gemetar, karena gadis ini sering kali mendengar dari ayah-bundanya bahwa Lie Kong Sian adalah suami dari Ang I Niocu dan bahwa pendekar besar she Lie itu adalah suheng dari ayahnya.

Lo Sian mengangguk-angguk sambil menahan tangis. “Benar, dia telah meninggal dunia. Lie Kong Sian yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, telah mati...!”

Pada saat itu pula terdengar bentakan hebat dari atas dan nampak berkelebat bayangan orang yang maju menerkam tubuh Lo Sian dari atas!

“Pengemis gila! Jangan kau mengacau dengan omongan bohong! Ayahku tidak meninggal dunia!” Bayangan itu ternyata adalah Lie Siong.

Dengan hati tak karuan rasa karena kaget dan tidak percaya, pemuda ini yang semenjak tadi mengintai dari atas genteng, kemudian menubruk hendak menangkap Lo Sian. Dia melompat dengan gerakan yang disebut Harimau Menubruk Kambing dan langsung jari tangan kanannya meluncur hendak menotok pundak Lo Sian.

“Suhu, awas serangan!” Lili berseru kaget.

Baiknya Lo Sian masih belum kehilangan kegesitannya. Dia cepat memutar tubuh sambil miringkan pundak, menarik kaki kanan ke belakang dan dengan demikian ia terluput dari totokan itu. Sebelum Lie Siong menyerangnya lebih lanjut, bayangan Lili telah berkelebat dan berdiri menghadapi pemuda itu.

“Hem, kiranya kau!” seru gadis itu sambil mencibirkan bibirnya ketika ia mengenal bahwa pemuda ini adalah pemuda yang tadi bertempur dengan dia. “Kau datang mau apakah?”

“Suhu-mu yang gila ini sudah berbicara tidak karuan dan dia telah menghina ayah ketika menyatakan bahwa ayah telah mati! Ayah masih hidup di Pulau Pek-le-to dengan sehat, bagaimana dia berani mengatakan bahwa ayah telah mati?”

“Siapa bilang bahwa ayahmu mati, anak muda?” Lo Sian berkata dengan sabar. “Yang mati adalah Lie Kong Sian, bukan ayahmu...”

“Orang gila! Lie Kong Sian adalah ayahku!” sambil berkata demikian, Lie Siong kembali maju hendak menyerang Lo Sian.

Sementara itu, Lili memandang dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini adalah putera Lie Kong Sian, yang berarti putera Ang I Niocu pula! Timbul kegembiraannya tercampur kekecewaan. Ia gembira dapat bertemu dengan putera Ang I Niocu yang sudah sering kali disebut-sebut oleh ayah bundanya, akan tetapi dia kecewa karena tadi melihat pemuda itu mempermainkan seorang gadis cantik!

Juga di dalam hatinya tiba-tiba timbul niat ingin menguji kepandaian putera Ang I Niocu ini. Maka tanpa banyak cakap, ketika melihat betapa pemuda itu hendak menyerang Lo Sian, Lili segera bergerak maju menangkis pukulan itu. Sepasang lengan tangan beradu keras dan keduanya terhuyung mundur tiga langkah.

“Bagus, gadis liar!” Lie Siong membentak. “Agaknya kau masih belum mau mengaku kalah.”

“Aku mengaku kalah? Terhadap engkau? Hemm, bercerminlah dulu, manusia sombong. Kau mengaku putera pendekar besar Lie Kong Sian? Siapa sudi percaya? Putera Ang I Niocu tak mungkin sesombong engkau dan mata keranjang pula. Hah, tak tahu malu!”

Terbelalak mata Lie Siong memandang kepada Lili. Bagaimana gadis ini seakan-akan mengenal keadaan ayah-bundanya?

“Kau siapakah?” dia mengulang lagi pertanyaannya yang diajukan siang tadi, akan tetapi kembali Lill mengejek dengan bibirnya yang manis.

“Apa kau kira dengan mengaku sebagai putera Ang I Niocu, kau akan dapat menipuku untuk memperkenalkan nama? Hah, manusia rendah, biar kucoba dulu sampai di mana sih kepandaianmu!” Sesudah berkata demikian, Lili kemudian mencabut keluar pedang Liong-coan-kiam yang tajam.

“Bagus, gadis liar! Aku pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kepandaianmu maka kau berani membuka mulut besar!” Lie Siong juga mengeluarkan pedangnya yang aneh, yaitu Sin-liong-kiam. Maka tanpa dapat dicegah lagi kedua orang muda ini lantas melanjutkan pertempuran mereka yang siang tadi dilakukan dengan mati-matian!

Lili mempunyai Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-hoat yang luar biasa, yaitu ilmu pedang yang berdasarkan pada Ilmu Pedang Daun Bambu ciptaan ayahnya, sebab itu tentu saja ilmu pedangnya ini hebat bukan main. Begitu gadis ini menggerakkan pedangnya maka lantas berkelebatlah bayangan merah dari pakaiannya, sedangkan pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang putih menyilaukan mata!

Baik Lo Sian yang berdiri di sudut ruangan yang luas itu, mau pun Thian Kek Hwesio yang masih tetap duduk di bangku dengan sikap tenang, terpesona menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Bahkan Thian Kek Hwesio biar pun tidak pandai ilmu silat akan tetapi yang sudah banyak sekali menyaksikan kepandaian orang-orang berilmu tinggi, menjadi kagum sekali hingga berkali-kali menyebut nama Buddha, “Omitohud! Alangkah hebatnya ilmu pedang ini!”

Akan tetapi, ketika Lie Siong juga menggerakkan tubuh dan pedangnya, maka silaulah mata mereka berdua memandang. Tubuh Lie Siong berubah menjadi bayangan putih, sedangkan pedangnya menjadi segulung sinar keemasan yang cukup hebat menyilaukan pandangan mata.

Begitu kedua sinar itu bertemu, terdengarlah suara nyaring dari beradunya kedua pedang dan berpijarlah bunga api yang indah sekali. Makin lama makin cepat kedua orang muda itu menggerakkan senjata mereka sehingga gulungan pedang berwarna putih dan kuning emas itu menjadi satu, bergulung-gulung saling membelit seolah-olah ada dua ekor naga sakti yang sedang bertempur seru.

Api lilin di atas meja yang terdapat di ruangan itu bergerak-gerak hampir padam karena tiupan angin senjata mereka berdua. Saking gembiranya dapat menyaksikan permainan pedang ini, Thian Kek Hwesio segera bangkit berdiri, mengambil tiga batang lilin lagi dan memasangnya semua di atas meja. Di dalam penerangan tiga batang lilin tambahan ini, nampak makin indahlah sinar pedang kedua orang muda keturunan orang-orang pandai itu.

Diam-diam kedua orang muda itu terkejut sekali. Baik Lili mau pun Lie Song amat kagum menyaksikan kehebatan kepandaian lawan. Kini Lili diam-diam percaya bahwa pemuda ini tentulah putera Ang I Niocu, oleh karena dia mengenal Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hwat dari Ang I Niocu yang pernah diturunkan oleh ayahnya, bahkan ayahnya pun dulu pernah memberi penjelasan kepadanya tentang ilmu pedang itu. Apa bila diadakan perbandingan, memang ilmu pedang dari Lili masih menang lihai, akan tetapi dalam hal ginkang dan tenaga lweekang, dia agaknya masih kalah latihan.

Sebaliknya, Lie Siong menjadi makin kagum melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Benar-benar ilmu pedang yang belum pernah disaksikannya selama hidupnya. Dulu ibunya pernah memberitahukan kepadanya tentang ilmu pedang ciptaan Pendekar Bodoh yang amat lihai dan agaknya inilah ilmu pedang itu!

Apakah gadis ini puteri Pendekar Bodoh? Ia menduga-duga dengan hati berdebar-debar dan makin tertariklah hatinya kepada gadis yang cantik jelita, manis, dan juga galak ini. Ia diam-diam harus mengakui bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu amat luar biasa perubahannya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi korban.

Akan tetapi, yang membuat hatinya berdebar-debar aneh, adalah cara Lili mainkan ilmu pedangnya. Ia setengah dapat menduga bahwa bila lawannya mau, tentu ia sudah dapat dirobohkan! Akan tetapi tiap kali ujung pedang lawannya yang tajam itu telah mendekati tubuhnya, tiba-tiba gerakan pedang diubah sedemikian rupa sehingga tidak melukainya!

Ia menjadi marah, malu dan penasaran sekali. Sambil mengertak giginya, Lie Siong yang berwatak keras dan tak mau kalah ini lalu memutar pedangnya, mengirim totokan-totokan dengan lidah pedang naga dan menusuk dengan tanduk pedang naganya. Dia berusaha untuk membalas setiap serangan dengan pembalasan tak kalah lihainya.

Sudah tiga empat kali lawannya ‘mengampuni’ dirinya dengan merubah jalan pedangnya, maka dia pun ingin sekali mendesak lawannya dan kemudian memberi kesempatan pula pada lawannya untuk melepaskan diri dari ancaman pedangnya. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendesak lawan yang mainkan ilmu pedang sehebat itu?

Ia tidak diberi kesempatan sama sekali bahkan pedang Lili makin gencar mengurungnya sehingga gulungan sinar kuning keemasan kini semakin mengecil, sebaliknya gulungan sinar pedang yang putih makin membesar dan menghebat gerakannya.

Lebih hebat lagi ketika Lili mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tahu-tahu tangan kiri gadis itu mengeluarkan sebuah kipas yang kecil dan indah. Lie Siong tadinya merasa heran dan menduga bahwa gadis itu hendak mempermainkannya dan menyombongkan diri dengan melayaninya sambil mengebut-ngebut kipas. Tidak tahunya begitu kipas itu mengebut, ia hampir berseru karena kaget dan heran.

Angin kipas itu menyambar sehingga membuat lidah pedang naganya terbentur kembali, disusul dengan pukulan kipas yang mempergunakan ujung gagangnya untuk menotok ke pundaknya. Lie Siong benar-benar merasa terkejut.

Tak pernah diduganya bahwa gadis lawannya itu demikian lihainya. Baru ilmu pedangnya saja sudah demikian hebat dan sukar baginya untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang setelah gadis itu menggunakan sebuah kipas pula yang juga luar biasa. Siapakah gadis ini?

Dengan pedang dan kipasnya, Lili makin mengurung dan kini gadis ini menjadi bangga karena dapat mendesak pemuda itu. Kelak ia akan menceritakan kepada ayah bundanya betapa ia telah dapat mengalahkan putera dari Ang I Niocu! Dan tentu saja ia tidak mau melukai pemuda itu karena kini ia merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah putera dari Ang I Niocu. Ia hanya ingin mendesak kemudian memaksa pemuda itu untuk mengakui keunggulannya.

Akan tetapi, Lili sama sekali tidak tahu bahwa Lie Siong adalah seorang pemuda yang keras hati seperti ibunya dan tidak nanti pemuda ini mau mengaku kalah begitu saja! Rasa penasaran dan malu membuat Lie Siong menjadi marah dan nekad.

Ia pikir bahwa bila ia terlalu mengarahkan perhatian dan kepandaiannya pada penjagaan diri terhadap desakan gadis yang lihai itu, tentu ia takkan mampu membalas. Maka ia lalu memilih jalan nekad. Biarlah aku dirobohkan dan tewas, pikirnya, asal saja aku mampu membalasnya!

Sesudah berpikir demikian, dia lalu mencari kesempatan baik. Pada saat itu, tiba-tiba Lili menyerang dengan kedua senjata secara berbareng. Pedang Liong-coan-kiam meluncur cepat ke arah tenggorokannya dan kipas itu kini tertutup, dipergunakan untuk menotok lambungnya! Serangan berganda yang amat berbahaya dan agaknya sangat sukar untuk ditangkis atau dielakkan lagi.

Akan tetapi, Lie Siong tidak mau mempedulikan dua senjata lawannya yang mengancam dirinya ini, sebaliknya dia lalu mempergunakan Sin-liong-kiam untuk menyapu kedua kaki Lili! Pikirnya, kalau senjata-senjata lawannya diteruskan, tentu sedikitnya dia akan dapat mematahkan sebuah kaki lawan!

Lili merasa terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa lawannya mengambil jalan nekad seperti itu! Dia lalu berseru keras dan kedua kakinya melompat ke atas. Dengan sendirinya kipasnya tidak mengenai sasaran dan pedangnya yang tak dapat ditariknya kembali itu tidak mengenai leher lawan, akan tetapi hanya menyerempet pundak kanan Lie Siong!

Lie Siong merasa betapa pundaknya menjadi perih dan sakit sekali, juga melihat darah mengalir dari pundaknya. Akan tetapi ia tidak mempedulikan hal ini dan saat pedangnya dapat dielakkan oleh kaki Lili yang melompat ke atas, dia lalu menggerakkan pedang itu sehingga lidah dari pedang naga itu dengan gerakan yang amat tak terduga telah melibat sepatu kiri di kaki Lili!

Gadis itu terkejut dan hendak menarik kakinya. Akan tetapi pada saat ia menggerakkan kaki kirinya, Lie Siong telah membetot sehingga sepatu kiri itu terlepas dari kaki Lili dan masih terlibat oleh lidah pedang naga itu!

“Bangsat! Kembalikan sepatuku!” Lili berseru keras.

Akan tetapi Lie Siong yang merasa sudah mampu membalas hinaan yang diterimanya dalam pertempuran itu, yaitu hinaan yang berupa ‘pengampunan’ berkali-kali dari desakan pedang, segera membawa sepatu itu dan melompat keluar dari situ.

Lili hendak mengejar, akan tetapi tanpa sepatu, kaki kirinya terasa sakit sekali menginjak lantai yang kasar. Pada saat itu, dari luar rumah kuil itu terdengar seruan Lie Siong,

“Kau harus membayar penghinaan dan kesombonganmu dengan sepatumu! Tak mudah mendapatkan sepatu yang masih dipakai dari puteri Pendekar Bodoh yang ternyata tolol dan bodoh melebihi ayahnya dan sombong pula!”

Lili hampir menangis saking jengkelnya dan melompat keluar.

“Kubunuh kau, bangsat rendah!” makinya, akan tetapi begitu kakinya menginjak batu-batu tajam, ia mengeluh, melompat kembali ke ruang itu, duduk di atas sebuah bangku dan... menangis!

Thian Kek Hwesio datang menghampiri Lili dan menghiburnya, “Nona Sie, mengapa kau menangis? Bukankah kau telah dapat mengusirnya?”

“Dia... manusia kurang ajar itu... dia sudah membawa pergi sebuah sepatuku!” jawab Lili masih menangis.

Sesungguhnya, kejadian perampasan sepatu tadi sangat cepatnya sehingga mata Thian Kek Hwesio yang tidak terlatih itu sama sekali tidak melihatnya. Kini dia memandang ke arah kaki kiri Lili dan dia berseru kaget,

“Omitohud...! Bagaimana ada laki-laki yang begitu kurang ajar? Nona Sie, apakah betul ucapanmu tadi bahwa dia adalah putera Ang I Niocu? Pinceng pernah mendengar nama Ang I Niocu yang terkenal sekali.”

Akan tetapi Lili tidak dapat menjawab, hanya melanjutkan tangisnya. Hatinya mangkel sekali dan ingin dia dapat menusuk dada pemuda itu dengan pedangnya!

“Aku tidak tahu siapa Ang I Niocu dan siapa pula pemuda itu, tetapi ilmu kepandaiannya memang hebat,” tiba-tiba Lo Sian berkata. “Aku masih ingat kepada Lie Kong Sian dan agaknya pemuda itu memang patut menjadi putera Lie Kong Sian. Ilmu sitatnya tinggi dan tadi dia merampas sepatumu hanya untuk membalas penghinaan yang berkali-kali kau lakukan kepadanya.”

Thian Kek Hwesio memandang heran kepada pembicara ini, “Eh, Sicu, apa maksudmu? Mengapa kau menyatakan bahwa Nona Sie telah menghinanya berkali-kali?”

Lo Sian yang telah waras pikirannya dan memiliki pandangan yang lebih awas dari Thian Kek Hwesio berkata tenang, “Lo-suhu, di dalam pertempuran tadi, Nona ini memang selalu menjadi pendesak dan lebih lihai kepandaiannya. Akan tetapi Nona ini sengaja tak mau melukai dan merobohkan lawan, malah selalu memberi ampun dan menarik kembali serangannya pada saat pedangnya akan mengenai sasaran. Di dalam sebuah pibu, tentu saja hal ini dianggap gerakan yang amat menghina dan merendahkan lawan. Bagi orang gagah, lebih baik dirobohkan dari pada diberi ampun dan diberi kesempatan melepaskan diri dari ancaman senjata!”

Merahlah wajah Lili sesudah mendengar ucapan Lo Sian ini. Tidak disangkanya bahwa suhu-nya masih bermata setajam itu dan dapat melihat semua gerakannya! Akan tetapi, hwesio gendut itu menggeleng-geleng kepala dan menghela napas berkati-kali.

“Kalian orang-orang dunia persilatan ini benar-benar aneh sekali! Untung pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat, karena kalau pinceng dulu mempelajarinya, entah sudah berapa kali pinceng harus berkelahi seperti binatang buas!”

Terpaksa Lili menerima pemberian Thian Kek Hwesio, yaitu sepasang sepatu hwesio yang besar. Dia memotong dan menjahit lagi sepatu itu, dikecilkan untuk dapat dipakai oleh sepasang kakinya yang kecil mungil. Kemudian ia membujuk kepada Lo Sian untuk ikut dengan dia ke rumah ayah-bundanya di Shaning.

“Aku tidak kenal siapa adanya ayahmu yang bernama Pendekar Bodoh itu, akan tetapi oleh karena aku yakin bahwa dahulu tentu aku pernah mengenalmu dan tahu bahwa kau adalah seorang yang mulia, maka biarlah aku ikut dengan kau, Nona.”

“Suhu, mengapa kau menyebutku nona saja? Sungguh tidak enak bagiku. Sebutlah saja namaku seperti dulu, yaitu Lili!” kata Lili cemberut.

Lo Sian tersenyum. Air mukanya mulai berseri dan bercahaya seakan-akan kehidupan baru memasuki tubuhnya. Ia merasa gembira dapat melihat kejenakaan, kemanjaan, dan kegagahan nona ini, maka ia lalu menjawab,

“Baiklah, Lili, walau pun aku sama sekali tidak mengerti mengapa kau menyebutku Suhu, padahal kalau melihat kepandaianmu, lebih patut akulah yang menjadi muridmu!”

Demikianlah, setelah menanti sampai tiga hari akan tetapi tidak melihat kedatangan Hong Beng dan Goat Lan, Lili menjadi hilang kesabaran dan ia mengajak Lo Sian menuju ke Shaning kembali ke rumah orang tuanya.

Di sepanjang jalan tiada hentinya Lili menuturkan hal-hal yang terjadi pada waktu dahulu kepada Lo Sian, namun, Sin-kai Lo Sian mendengar semua ini sebagai hal yang baru sama sekali dan ia tidak ingat apa-apa melainkan kematian Lie Kong Sian! Ini pun tak ia ketahui sebab-sebabnya. Lupalah dia akan nama-nama seperti Ban Sai Cinjin, Hok Ti Hwesio, Mo-kai Nyo Tiang Le dan yang lain-lain.

********************

Mengapa Hong Beng dan Goat Lan yang sedang dinanti-nanti oleh Lili tidak juga datang menyusul ke kota Ki-ciu seperti yang telah mereka janjikan? Mari kita ikuti pengalaman mereka. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, kedua orang muda ini menuju ke kota Ta-liong untuk memenuhi undangan pibu yang diterima oleh Hong Beng dari kelima ketua dari Hek-tung Kai-pang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hong Beng bersama Goat Lan sudah menuju ke tempat terbuka di mana kemarin harinya Hong Beng sudah menolong Lo Sian dari keroyokan para anggota Hek-tung Kai-pang. Ternyata ketika mereka tiba di tempat itu, di sana sudah berkumpul puluhan orang pengemis anggota Hek-tung Kai-pang dan semua orang itu telah membuat lingkaran.

Di tengah-tengah lingkaran, nampak sebuah meja butut dan beberapa buah bangku butut pula. Di belakang meja, lima orang nampak menduduki lima buah bangku, duduk berjajar bagaikan arca batu. Kelima orang ini bukan lain adalah lima orang ketua dari Hek-tung Kai-pang yang sesungguhnya bukanlah saudara-saudara sekandung melainkan saudara-saudara angkat yang telah bersumpah sehidup semati. Selain dari pada ini, mereka juga merupakan saudara seperguruan, karena kelimanya adalah murid dari Hek-tung Kai-ong, pencipta dari Hek-tung Kai-pang dan ilmu tongkat hitam yang amat lihai.

Lima orang ketua ini kesemuanya berpakaian tambal-tambalan dan usia mereka antara empat puluh sampal lima puluh tahun. Setelah mengangkat saudara menjadi ketua dari Hek-tung Kai-pang, mereka sudah memakai nama baru dengan she (nama keturunan) Hek pula yaitu Hek Liong, Hek Houw, Hek Pa, Hek Kwi dan Hek Sai.

Semenjak lima saudara ini menemukan buku pelajaran silat dari guru mereka yang telah meninggal dunia, dan bersama-sama melatih lagi Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat dari kitab ini, kepandaian mereka meningkat tinggi sekali dan tiap kali ada pemilihan pengurus baru tiada seorang pun yang dapat mengalahkan mereka! Baru menghadapi seorang di antara mereka saja sudah amat berat, apa lagi kalau menghadapi mereka berlima sekaligus!

Bagaimana pun juga, Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam ini mendapat nama baik di kalangan kang-ouw. Juga Ngo-hek-pangcu (Lima Ketua Hek) ini tidak tercela namanya, karena selama memegang pimpinan, mereka selalu berlaku adil dan juga melakukan perbuatan-perbuatan gagah.

Akan tetapi, tentu saja sebagai ketua-ketua dari perkumpulan seperti Hek-tung Kai-pang yang amat terkenal, mereka juga mempunyai keangkuhan. Ketika mereka tiba di Ta-liong dari kota raja dan mendengar bahwa anak buah mereka yaitu para kepala ranting dan cabang yang sudah berkumpul di situ, telah dihajar oleh seorang pemuda yang membela seorang pengemis golongan lain yang datang mengacau, mereka menjadi penasaran sekali. Maka diutuslah anak buah mereka untuk menantang pibu kepada pemuda itu.

Kini, pagi-pagi sekali Ngo-hek-pangcu telah bersiap sedia menunggu kedatangan orang yang ditantangnya. Melihat kedatangan dua orang muda, seorang pemuda tampan dan gagah bersama seorang gadis cantik jelita, maka kelima orang pangcu ini merasa heran dan juga secara diam-diam mereka merasa kagum. Inikah orangnya yang sudah dapat mengocar-ngacirkan para pemimpin ranting? Hampir tak dapat dipercaya!

Namun, sebagai orang-orang kang-ouw yang ulung, mereka tidak berani memperlihatkan sikap memandang rendah dan segera mereka bangun berdiri ketika melihat Hong Beng dan Goat Lan menghampiri mereka.

“Maafkan kami, sahabat muda yang gagah. Kami sebagai pengemis-pengemis hina dina dan miskin tentu saja tidak dapat menyambut kedatanganmu sebagai mana layaknya seorang tamu agung dihormati,” kata Hek Liong, ketua yang paling tua di antara kelima orang itu.

Merahlah telinga Hong Beng mendengar ucapan dan melihat sikap ini. Ia merasa betapa ‘tuan rumah’ ini terlalu berlebih-lebihan merendahkan diri dan mengangkatnya sebagai tamu agung. Akan tetapi Hong Beng memang berwatak sabar dan tenang, maka dia menjawab sambil menjura pula.

“Akulah yang minta maaf, Pangcu (Ketua)! Aku sebagai orang luar yang masih hijau dan bodoh, berani datang mengganggu ketenanganmu. Memang serba sulitlah kedudukanku, Pangcu. Tidak datang memenuhi panggilanmu, tentu akan mengecewakan hati Ngo-wi yang gagah, sebaliknya memenuhi undangan, berarti mengganggu rapat ini!”

Mendengar ucapan yang panjang lebar ini, serta melihat sikap pemuda yang tenang sekali itu, kelima ketua itu diam-diam makin mengindahkan sikap Hong Beng. Pemuda dengan sikap seperti ini tak boleh dipandang ringan, pikir mereka.

“Dan bolehkah kiranya kami bertanya, dengan keperluan apakah Nona ini ikut datang ke sini?”

Goat Lan tersenyum dan dengan jenaka sekali dia tersenyum kemudian menjura sambil menjawab, “Ngo-wi Pangcu (Lima Tuan Ketua), aku hanyalah seorang perantau yang menjadi sahabat baik orang muda ini. Ketika mendengar sahabat baikku ini mendapat undangan dari perkumpulan Hek-tung Kai-pang, hatiku amat tertarik sekali. Aku bersama kedua suhu-ku, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, sudah sering kali mengunjungi orang-orang besar di dunia kang-ouw dan mengunjungi perkumpulan-perkumpulan orang gagah di dunia ini yang banyak macamnya. Akan tetapi, sungguh aku belum pernah bertemu dengan Perkumpulan Hek-tung Kai-pang yang sudah sangat tersohor di empat penjuru ini!”

Goat Lan sengaja memperkenalkan diri sebagai murid Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, karena ia mengharapkan nama-nama kedua orang gurunya dapat melemahkan hati kelima orang pangcu itu sehingga permusuhan dapat dicegah. Memang gadis yang cantik ini tepat sekali perhitungannya, karena saat mendengar nama kedua orang tokoh persilatan yang tinggi dan tersohor namanya ini, kelima orang pangcu itu lalu berdiri dari tempat duduk mereka dan menjura ke arah Goat Lan.

“Ahh, sungguh mata kami seperti buta saja, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Silakan duduk, Lihiap (Pendekar Wanita), dan perkenalkan nama kami lima pangcu dari Hektung Kai-pang.” Kelima orang raja pengemis itu lalu memperkenalkan nama mereka seorang demi seorang.

Hong Beng juga memperkenalkan nama demikian pula Goat Lan. Berbeda dengan Goat Lan, Hong Beng tidak mau menceritakan siapa gurunya dan siapa pula orang tuanya. Ia ingin melihat bagaimana sikap raja-raja pengemis itu.

Akan tetapi setelah mempersilakan kedua orang tamunya itu mengambil tempat duduk, agaknya kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu tidak mempedulikan mereka lagi dan melayani orang-orang yang mulai datang, dan di antara para pendatang baru itu, nampak pula tiga orang pengemis yang membawa tongkat berbentuk ular. Mereka ini adalah para ketua Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Ular) dari timur yang besar juga besar pengaruhnya.

Selain tiga orang ketua Coa-tung Kaipang ini, nampak juga seorang tosu tinggi kurus, dan seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya dikuncir panjang ke belakang dan memakai topi bundar, sikapnya kasar dan berlagak. Tosu ini adalah seorang ahli silat yang bernama Beng Beng Tojin, seorang tokoh Bu-tong-san yang suka merantau. Ada pun orang bertopi bundar itu adalah seorang kasar yang terkenal sebagai ahli gwakang (tenaga kasar) dan ahli tiam-hoat (menotok jalan darah). Namanya Cong Tan dan dia memiliki julukan It-ci-sinkang (Si Jari Tangan Lihai).

Kelima saudara Hek yang menjadi ketua Hek-tung Kai-pang itu menyambut kedatangan lima orang ini dengan penuh penghormatan pula, akan tetapi mereka tidak dipersilakan duduk seperti Hong Beng dan Goat Lan.

Hong Beng dan Goat Lan saling pandang dan keduanya merasa heran mengapa tuan rumah tidak mempedulikan mereka lagi, dan bagaimanakah dengan pibu yang diajukan oleh kelima orang ketua itu? Bagi Hong Beng dan Goat Lan, memang mereka berharap supaya tidak terjadi salah paham atau permusuhan, akan tetapi mereka pun, terutama Hong Beng tidak akan merasa puas sebelum mencoba kepandaian kelima orang tokoh Hek-tung Kai-pang yang terkenal itu.

Setelah menyambut tamu-tamu yang baru datang, Hek Liong, saudara tertua dari kelima orang itu, lalu berkata dengan suara keras kepada para pemimpin Hek-tung Kai-pang yang hadir di situ.

“Kawan-kawan sekalian! Sebagaimana telah ditentukan kemarin, maka pemilihan ketua akan dilakukan hari ini. Oleh karena hari ini sudah tiba waktunya bagi kami yang sudah memenuhi tugas sebagai ketua, maka dengan ini kami menyatakan turun dari kedudukan ketua untuk menghadapi pemilihan baru. Nah, silakan kawan-kawan yang mempunyai calon untuk mengajukan calonnya!”

Setelah ketua mereka membuka rapat istimewa itu, maka ramailah suara para anggota perkumpulan pengemis itu. Ternyata bahwa kelima orang tamu yang datang itu, yaitu ketiga ketua Coa-tung Kai-pang, Beng Beng Tojin, dan Cong Tan, datang atas kehendak mereka sendiri dengan niat hendak mencoba merobohkan ketua lama untuk menduduki kedudukan ketua baru dari Hek-tung Kai-pang. Semua yang hadir dengan suara bulat memilih kelima saudara Hek sebagai ketua lagi.

“Kami memilih Ngo-hek-pangcu agar tetap menjadi ketua kami!” seru suara para hadirin dengan serentak.

Mendengar seruan para anggota Hektung Kai-pang ini, ketiga ketua Coa-tung Kai-pang itu segera berdiri dengan senyum mengejek. Mereka ini adalah ketua tingkat dua dari Coa-tung Kai-pang, dan usia mereka baru tiga puluh tahun lebih. Sikap mereka amat tinggi dan memandang rendah sedangkan mulut mereka selalu tersenyum seolah-olah menghadapi perkumpulan yang jauh lebih kecil dari pada perkumpulan mereka sendiri. Juga pakaian tambal-tambalan yang mereka pakai jauh berbeda dengan pakaian para pemimpin Hek-tung Kai-pang, karena biar pun pakaian mereka penuh tambalan, namun baik pakaian dasar mau pun tambalannya amat bersih!

“Cu-wi sekalian,” kata yang tertua di antara mereka, yaitu seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, “kami adalah anggota-anggota dewan pimpinan dari Coa-tung Kai-pang di timur yang mewakili perkumpulan kami. Kedatangan kami ini membawa maksud yang amat mulia. Menurut hasil perundingan dewan pengurus kami, maka sungguh tidak layak kalau di negeri ini terdapat terlalu banyak perkumpulan seperti yang kita sekalian dirikan. Mungkin Cu-wi sekalian juga pernah mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) dari Secuan bersama Lo-kai Hwe-koan (Rumah Perkumpulan Pengemis Tua) dari Shantung, keduanya sudah bergabung dan melebur perkumpulan mereka menjadi cabang dari perkumpulan kami Coa-tung Kai-pang yang terbesar dan jaya! Oleh karena itu, maka kedatangan kami ini merupakan wakil dari pada perkumpulan kami untuk minta Cu-wi sekalian menginsyafi hal ini dan melebur perkumpulan Hek-tung Kai-pang menjadi cabang pula dari Coa-tung Kai-pang kami!”

Ucapan ini menyatakan betapa sombongnya Si Muka Hitam itu. Kalau dia dengan suara membujuk minta agar supaya Perkumpulan Tongkat Hitam itu suka menggabungkan diri dengan Perkumpulan Tongkat Ular, ini masih bisa diterima. Akan tetapi ia menggunakan ucapan agar supaya Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam insyaf dan mau melebur diri menjadi cabang Coa-tung Kai-pang! Sungguh-sungguh tak melihat muka para pemimpin Hek-tung Kai-pang.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar