Pendekar Sakti Jilid 01-05
Sungai Huang-ho atau Sungai
Kuning yang amat terkenal di Tiongkok itu menumpahkan airnya di laut Pohai yang
termasuk di Propinsi Shan-tung sebelah utara. Berpuluh-puluh bahkan
beratus-ratus kerajaan boleh ganti-berganti, jutaan manusia mati dan hidup
lagi, namun Sungai Kuning tetap mengalirkan airnya ke dalam laut.
Ketika itu, Kerajaan Tang yang
semenjak abad ke tujuh hidup subur dan makmur, dalam permulaan abad ke delapan
mulai mengalami perubahan besar. Korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh para
pembesar dan pegawai negeri dari yang terendah sampai yang paling tinggi
kedudukannya, membuat negara menjadi lemah, rakyat menjadi sengsara, dan
kekacauan timbul di mana-mana.
Juga bangsa-bangsa lain,
seperti bangsa Tibet yang tadinya sudah menjadi sahabat baik sejak Sron-can
Gam-po, kepala suku bangsa Tibet, menikah dengan Puteri Wan Ceng, kini mulai
kelihatan mengambil sikap kurang baik. Suku bangsa Tibet yang menjadi kuat
sekali itu, sering kali menunjukkan sikap bermusuhan dan menghina kepada bala
tentara Tang yang menjaga di tapal batas utara. Juga suku bangsa Nam-cow
memperlihatkan sikap tidak bersahabat.
Semua ini bisa timbul karena
Kerajaan Tang nampak kacau di sebelah dalam. Kekuatan pasukan menjadi rusak,
penuh oleh kutu busuk yang berupa panglima-panglima tukang korup besar-besaran.
Dalam keadaan seperti itulah cerita ini terjadi...
********************
Sunyi sekali di pinggir Laut
Po-hai di mana air Sungai Kuning itu tumpah, karena di situ memang merupakan
tempat yang liar dan tidak didiami orang. Siapakah berani mendiami lembah
Sungai Kuning di dekat laut? Sama halnya dengan hidup di dekat mulut seekor
naga yang liar, yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan mencaplok orang yang
berada di dekatnya. Tiap kali datang musim hujan, lembah yang nampak
kehijau-hijauan dan amat subur itu berubah menjadi lautan ganas!
Akan tetapi, pada waktu itu
musim hujan sudah lama lewat. Lembah Sungai Kuning itu merupakan tanah yang
subur serta penuh dengan rumput-rumput hijau. Pemandangan indah sekali, dan
suara air laut bergelombang memukuli batu-batu karang di pinggir laut,
merupakan dendang yang tak kunjung habis.
Walau pun di tempat itu belum
pernah ada manusia yang datang, akan tetapi pada saat itu tampak sesosok
bayangan orang berdiri tegak di atas puncak bukit batu karang yang menghitam.
Orang ini sudah tua, pakaiannya penuh tambalan seperti pakaian pengemis,
rambutnya panjang tidak terpelihara, tubuhnya tinggi kurus akan tetapi melihat
wajahnya, nampak agung dan berpengaruh laksana wajah seorang kaisar saja!
Usianya sebetulnya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi dia sudah tampak
tua karena tidak merawat dirinya.
Kakek ini berdiri tegak sambil
kadang-kadang memandang ke arah gelombang laut yang membuas, kadang-kadang
melihat air Sungai Kuning yang menggabungkan diri dengan saudara tuanya, yaitu
air laut. Ia mengembangkan kedua lengan tangannya yang kurus, lalu terdengar
dia bicara seorang diri.
“Air Huang-ho berasal dari
hujan, dan hujan berasal dari laut. Lihat, mendung bergulung-gulung dari atas
laut, bukankah ini namanya kembali ke asal? Alam begini besar, kuasa, dan adil,
mana dapat dibandingkan dengan kekuasaan kaisar? Alam bersifat memberi, selalu
memberi, tidak seperti kaisar yang selalu minta! Ah, alangkah bodohnya adik Pin,
mana aku mau mengikuti jejaknya? Hari ini dia diangkat menjadi menteri, lalu
bercanda dengan kedudukan dan kemewahan, mana dia bisa tahu kebahagiaan sejati?
Biarlah aku bercanda dengan kekayaan alam!”
Setelah berkata demikian,
kakek ini lalu berlenggang-lenggang turun dari gunung karang itu. Bukit batu
karang besar itu licin sekali karena selalu tersiram air laut, juga ujungnya
runcing-runcing dan tajam, ditambah lagi dengan bentuknya yang amat terjal.
Akan tetapi betul-betul mengherankan sekali, kakek itu dapat berjalan turun
dari batu itu seolah-olah batu itu datar saja. Ia tidak kelihatan menggunakan
keseimbangan tubuh, hanya berjalan biasa saja tanpa melihat batu karang yang
diinjaknya.
Yang lebih hebat lagi, sambil
berjalan turun, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi! Suaranya keras
sekali, mengimbangi suara gelombang air laut yang membentur karang, sehingga
kalau didengar-dengar, suara air laut itu seolah-olah menimbulkan irama musik
mengiringi nyanyian kakek itu. Dengan suara makin lama makin keras seakan-akan
dia tidak mau kalah oleh suara ombak yang makin menderu, dia bernyanyi
berulang-ulang.
Kalau kau menarik gendewa,
sampai sepenuh-penuh
lengkungnya,
kau akan menyesal mengapa tak
kau hentikan pada waktunya.
Kalau kau mengasah pedangmu
seruncing-runcingnya,
ujung pedang itu takkan dapat
bertahan lama.
Kalau emas permata memenuhi
rumahmu,
kau akan repot dan bingung
untuk menjaga semua itu.
Menyombongkan harta dan
mengagulkan kedudukan,
berarti menyebar benih
keruntuhan.
Mengasolah setelah tugas
selesai,
sesuai dengan jalan Thian-to
(Hukum Alam)!
Kata-kata yang keluar dari
mulut kakek itu sesungguhnya bukan nyanyian sembarangan saja, melainkan
kata-kata bersajak dari pujangga atau ada kalanya disebut Nabi Besar Lo-cu!
Kakek itu kini sudah tiba di atas tanah berpasir, kemudian dia berjalan menuju
ke laut!
Apa yang hendak diperbuatnya?
Sungguh aneh! Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan
bertolak pinggang menghadapi laut. Ia berdiri di sebelah batu karang itu,
menantikan datangnya gelombang ombak yang sebesar bukit!
Pada waktu itu angin bertiup
keras dan ombak yang datang benar-benar dahsyat serta mengerikan. Ombak ini
makin dekat dengan pantai menjadi makin bergelombang, sikap ombak ini
benar-benar merupakan ancaman maut. Akan tetapi, di antara suara ombak menderu,
terdengar suara kakek itu tertawa bergelak-gelak.
Ombak datang dengan luar biasa
hebatnya, membawa tenaga yang ribuan kati beratnya, menghantam batu karang dan
juga kakek yang berdiri itu, menimbulkan suara hiruk-pikuk menggelegar yang
terdengar sampai belasan li jauhnya.
Akan tetapi, di antara suara
menggelegar ini, masih terdengar suara ketawa dari kakek aneh tadi. Ketika
ombak datang, dia mementang kedua lengannya lalu mendorong ke depan, tubuhnya
tidak tegak lagi, melainkan agak membungkuk ke depan.
Ombak memecah pada batu karang
dan lenyap menjadi air yang mengalir kembali ke tengah laut. Batu karang tadi
bergoyang-goyang terpukul ombak, dan setelah ombak lenyap, batu itu masih
berdiri tegak, memperlambangkan kekuatan yang luar biasa. Dan kakek tadi? Masih
nampak berdiri, agak terengah-engah, akan tetapi masih ketawa-tawa senang!
“Ha-ha-ha, kakek batu karang,
bukankah sang ombak tadi mempergunakan ilmu pukulan Tin-san-ciang (Pukulan
Menggetarkan Gunung)? Ha-ha-ha, pukulan itu terhadap kau dan aku sama saja
dengan pukulan seorang bocah saja!” Sesudah berkata-kata kepada batu dia
berseru, “Kakek ombak, hayo kau datanglah, pergunakan segala tenagamu, hendak
kulihat apakah kau mampu menggulingkan kakek batu karang!”
Ombak datang memukul dan pergi
lagi, namun batu karang dan kakek itu tetap berdiri teguh. Benar-benar seperti
kata-katanya tadi, kakek ini sedang bercanda dengan ombak dan batu karang,
sedang bercanda dengan alam!
Setelah menahan pukulan ombak
sampai lima kali, angin mulai mereda dan ombak yang datang hanya ombak-ombak
kecil saja. Kakek itu menjadi bosan dan ketika dia hendak mendarat, mendadak
dari atas batu karang itu melompat turun sesosok bayangan orang dengan
gesitnya. Tahu-tahu di hadapannya berdiri sambil tertawa seorang hwesio gundul
yang tubuhnya seperti bola karet, bulat segala-galanya,. Kemudian dia
membungkuk, lalu mendorong batu karang itu.
Benar-benar hebat sekali. Batu
karang yang tadi tertimpa gelombang berkali-kali bahkan yang entah sudah berapa
ribu kali terdorong ombak tanpa bergeming, hanya bergoyang-goyang sedikit saja,
kini terkena dorongan hwesio bulat ini, menjadi miring dan akhirnya roboh!
Hwesio itu terengah-engah
sedikit, lalu menghadapi kakek tadi sambil tertawa-tawa.
“He-heh-heh, Ang-bin Sin-kai
(Pengemis Sakti Muka Merah), biar pun kakek ombak amat kuat, namun dia tidak
mempunyai akal budi seperti kita. Mana bisa dia mendorong roboh batu karang
ini?”
Kakek pengemis itu pun tertawa
sambil memandang ke langit. “Di tempat ini berjumpa dengan Jeng-kin-jiu (Tangan
Seribu Kati), sungguh amat menggembirakan. Ada sahabat datang dari tempat jauh,
bukankah itu amat menggirangkan hati?” Kalimat terakhir ini pun adalah
ujar-ujar kuno yang diucapkan Nabi Khong Cu. “Ehh, Kak Thong Taisu, jauh-jauh
kau datang dari selatan ke sini, apakah hanya untuk merobohkan batu karang
ini?”
“Pengemis bangkotan!
Merobohkan batu karang benda mati ini, apanya sih yang aneh? Apa bila kakek
ombak yang mampu mendorong roboh kakek batu karang, barulah boleh dibuat kagum.
Sebaliknya kalau pinceng mampu mendorong roboh pengemis bangkotan, batu karang
hidup, itu baru namanya cukup berharga!”
Kakek yang dipanggil Ang-bin
Sin-kai atau Pengemis Sakti Muka Merah itu tertawa lebar. “Kepala gundul, jadi
kau ingin mencoba kepandaianku! Itukah maksud kunjunganmu?”
“Ayam jago dari selatan
bertemu ayam jago dari timur, mengapa banyak berkeruyuk lagi? Masih tanya-tanya
maksud kedatangan?” setelah berkata demikian, hwesio gundul yang bertubuh
bundar itu lalu menubruk maju dengan kedua tangan dipentang seperti hendak
menubruk dan menangkap seekor katak.
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa
meski pun kelihatannya serangan ini seperti main-main, akan tetapi hebatnya
bukan main. Ketika dia mengelak sambil melompat ke kiri, pasir di belakangnya
yang terkena angin terkaman ini berhamburan ke atas dan batu karang di
belakangnya bergoyang-goyang!
“Lihai sekali kau punya ilmu
pukulan Yu-coan Swe-jiu (Pukulan Menembus Air)!” berkata Ang-bin Sin-kai sambil
membalas serangan lawannya dengan tak kalah hebatnya.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu
adalah seorang tokoh yang terbesar namanya di wilayah selatan. Di kalangan
ahli-ahli silat dan perantau yang gagah perkasa, Si Tangan Seribu Kati ini
dianggap sebagai jago tua yang paling lihai dan disegani. Orang-orang takut dan
segan kepadanya karena selain ilmu silatnya lihai sekali, juga tabiatnya aneh
dan sukar dilayani.
Oleh sebab itu, Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu ini hidupnya seolah-olah terasing. Ia tinggal di sebuah pulau
kosong yang kecil di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tidak ada seorang
pun manusia yang berani mendatangi pulau ini. Orang-orang hanya bisa melihat
hwesio gemuk ini bila ia menyeberang dan mengadakan perantauan di daratan
Tiongkok.
Ilmu kepandaiannya amat
tinggi, dan dia terkenal sebagai seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang sudah
memiliki kepandaian sempurna sekali sehingga tenaganya sukar untuk diukur
bagaimana besarnya. Oleh karena tenaga gwakang-nya inilah maka dia disebut
Jeng-kin-jiu.
Dan sebaliknya, kakek pengemis
yang tinggi kurus itu pun bukanlah orang sembarangan. Namanya tidak ada orang
mengetahui, bahkan Kak Thong Taisu sendiri tidak tahu siapa nama asli dari
pengemis tua bangka ini. Dan hanya tokoh-tokoh besar seperti Kak Thong Taisu
saja yang tahu bahwa kakek pengemis ini berdarah bangsawan!
Dia jarang memperlihatkan
kepandaiannya dan bila berada di tempat ramai, orang hanya menganggapnya
sebagai seorang pengemis biasa saja. Tentu saja tidak ada orang yang mengetahui
bahwa walau pun dia disebut pengemis dan keadaannya seperti pengemis, akan
tetapi selama hidupnya belum pernah mengemis!
Nama julukan Ang-bin Sin-kai
atau Pengemis Sakti Muka Merah didapatnya karena kulit mukanya memang selalu
kemerah-merahan seperti kulit seorang bayi yang sangat sehat. Berbeda dengan
Jeng-kin-jiu yang tadi sudah mendemonstrasikan tenaga gwakang-nya yang hebat
ketika mendorong roboh batu karang, Ang-bin Sin-kai ini adalah seorang ahli
lweekang yang juga telah mendemonstrasikan tenaganya saat dia menyambut
serangan gelombang ombak tadi.
Dengan demikian, pertempuran
yang terjadi di dekat laut ini adalah pertempuran antara seorang ahli gwakang
dengan seorang ahli lweekang! Bagi orang-orang yang tingkat ilmu silatnya masih
rendah, memang dengan mudah akan mengatakan bahwa pertempuran antara ahli
gwakang dengan ahli lweekang tentu akan dimenangkan oleh ahli lweekang itu.
Namun, hal ini tidak demikian kalau si ahli gwakang sudah memiliki kepandaian
yang sempurna. Pada hakekatnya, sumber atau dasar kepandaian mereka adalah sama,
tapi Jeng-kin-jiu lebih mengandalkan tenaga kasar, ada pun Ang-bin Sin-kai
mengandalkan tenaga lemas.
Bukan main hebatnya
pertempuran itu. Keduanya berlompat-lompatan, saling serang dan saling
mengelak. Kadang-kadang saling tangkis sehingga keduanya terhuyung-huyung.
Beberapa kali mereka melompat dengan menggunakan ginkang yang sudah sempurna
sehingga seakan-akan mereka merupakan dua ekor burung raksasa yang saling
terkam.
Bahkan pernah Ang-bin Sin-kai
terlempar masuk ke laut dan terpaksa berenang minggir lagi. Pada lain saat si
teromok gundul itu terlempar menabrak batu karang, akan tetapi kiranya bukan
kepalanya yang pecah, melainkan batu karang itu yang hancur pinggirnya!
Ketika mereka bertempur tadi,
matahari masih berada di atas kepala mereka, akan tetapi kini matahari telah
lenyap dibalik gunung sehingga cuaca telah menjadi remang-remang. Namun
pertempuran masih dilanjutkan dengan ramainya dan ternyata keadaan mereka
benar-benar berimbang.
Dari pertempuran yang semula
mengandalkan kecepatan gerak kaki tangan, keduanya sampai bertempur dengan
lambat sekali, seperti sedang berlatih silat, namun sebenarnya
serangan-serangan yang lambat ini mengandung tenaga yang sanggup mengirim nyawa
salah seorang ke hadapan Giam-lo-ong (Malaikat Maut) kalau sampai terkena
pukulan!
Berhubung dengan datangnya
sang malam, angin mulai menyerang lagi. Suara gemuruh dibarengi getaran-getaran
pada tanah pesisir itu menandakan bahwa gelombang ombak membesar menghantami
batu-batu karang di pantai.
Kedua orang kakek yang aneh
itu masih saja melanjutkan pertandingan mereka. Makin lama mereka merasa makin
gembira karena setelah berpisah bertahun-tahun, sekarang ternyata kepandaian
masing-masing menjadi makin maju dan hebat. Oleh karena air laut telah pasang,
mereka kini terpaksa pindah dan melanjutkan pertempuran di tempat yang agak
tinggi.
Angin mengamuk, langit
tertutup mendung tebal sekali sehingga keadaan menjadi gelap gulita. Hanya
orang berkepandaian tinggi sekali mampu melanjutkan pertempuran dalam keadaan
seperti itu. Mereka sudah tak dapat melihat lawan masing-masing, karena tidak
mungkin lagi dapat melihat semua yang di depan. Tangan sendiri pun tidak
tampak, apa lagi orang lain. Akan tetapi dengan alat pendengaran mereka yang
terlatih baik, mereka dapat mendengarkan sambaran angin pukulan lawan!
Menjelang tengah malam,
keduanya sudah amat lelah. Beberapa kali mereka telah dapat saling pukul, akan
tetapi pukulan-pukulan itu tidak terlalu keras bagi tubuh mereka yang sudah
kebal sehingga keduanya masih mampu terus bertahan. Akhirnya usia lanjut yang
menang, tubuh mereka menjadi makin lemas dan lelah.
Pada saat mereka sedang
mengadu tenaga dan kedua tangan saling tempel dan saling mendorong lawan supaya
jatuh ke dalam laut dari batu karang yang tinggi, tiba-tiba batu karang itu
terpukul ombak yang maha kuat sehingga miring! Keduanya cepat melompat turun
karena khawatir terbawa jatuh dan tergencet batu karang. Sesudah tiba di bawah,
kembali mereka berhadapan!
Tiba-tiba saja di dalam gelap
itu nampak cahaya hijau menjulang tinggi dari tengah laut. Kembali nampak
cahaya kehijauan melayang ke atas dan sesudah sampai di atas lalu padam.
“Ahh, itulah tanda kapal dalam
bahaya!” seru Ang-bin Sin-kai.
“Benar! Kau perhatikan,
bukankah di tengah laut itu nampak lampu merah sebentar ada sebentar hilang?”
ujar Jeng-kin-jiu.
Keduanya memperhatikan dan
benar saja. Sebentar-sebentar, bila ombak yang setinggi gunung sudah turun,
nampak lampu merah berkelip-kelip jauh sekali dan berkali-kali api hijau itu
melayang ke atas.
“Nasib mereka sudah pasti!”
kata Ang-bin Sin-kai perlahan.
“Ikan-ikan hiu akan berpesta
pora setelah badai mereda. Dalam badai seperti ini, bagai mana mereka dapat
meloloskan diri?” kata hwesio itu.
“Kita pun tidak berdaya
menolong mereka,” kata kakek pengemis.
“Benar, sungguh sayang.
Melihat sesama manusia dipermainkan oleh maut namun tidak dapat turun tangan
menolong, alangkah menyedihkan!” si hwesio berkata dan suaranya benar-benar
terdengar sedih.
Mendengar suara ini, si kakek
pengemis juga menjadi sedih. Keduanya kini duduk di atas batu karang yang
tinggi dan sambil duduk berdampingan. Dua orang yag tadi bertempur mati-matian
itu memandang ke tengah laut. Kadang-kadang mereka berseru girang kalau melihat
api merah itu, akan tetapi berdebar-debar gelisah apa bila api itu tidak
kelihatan lagi.
“Mereka masih ada!” seru
hwesio itu kegirangan bila mana melihat sinar hijau melayang ke atas.
"Moga-moga mereka
selamat!" si pengemis berdoa.
Sampai setengah malam badai
mengamuk dan dua orang kakek aneh itu masih saja duduk di situ, melepas lelah
akan tetapi dengan hati tidak karuan rasanya melihat betapa ada sebuah perahu
besar diombang-ambingkan oleh gelombang dan menjadi permainan badai.
Menjelang fajar, badai mereda
dan ombak menghilang. Aneh sekali kalau dilihat, akan tetapi air laut yg
tadinya mengganas bagaikan semua penghuni laut melakukan perang besar itu, kini
menjadi tenang dan diam, bening bagaikan kaca hijau yang besar sekali.
Bahkan matahari yang timbul
dari permukaan laut dan yang bayangannya tercermin di dalam air, nampak diam
tak bergerak sedikit pun juga, tanda bahwa air itu benar-benar diam tak
bergerak! Seakan-akan raksasa besar itu kini tertidur melepaskan lelah setelah
setengah malam lamanya memperlihatkan kehebatan tenaga mereka yang dahsyat.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu
dan Ang-bin Sin-kai masih duduk bersanding sambil mata mereka tidak pernah
berkejap memandang ke tengah laut. Keduanya nampak lesu dan muram seperti orang
menyedihkan sesuatu. Hal ini tidak aneh, karena semenjak badai mereda lampu merah
itu tidak kelihatan lagi!
“Kita seperti
pengkhianat-pengkhianat yang melihat bangsanya terbunuh tanpa sanggup
menolong,” kakek pengemis itu berkata lambat.
“Apa daya kita bila menghadapi
kekuasaan alam?” Jeng-kin-jiu menghiburnya. “Giam-lo sudah merenggut nyawa
orang-orang itu, siapa yang dapat menghalangi pekerjaannya? Dari pada kita
menyedihkan sesuatu yang sudah lalu, kenapa kita tidak melanjutkan pibu kita?”
Pengemis itu tersadar, lalu
menoleh kepada hwesio itu sambil tersenyum. “Kau benar, di antara kita belum
ada yang kalah atau menang. Mari!”
Ia lalu meloncat turun dari
batu karang, diikuti pula oleh hwesio gemuk itu dengan wajah gembira dan
sebentar kemudian kedua musuh gerotan ini sudah berhadapan lagi sambil memasang
kuda-kuda!
Tiba-tiba saja dua orang itu
mendengar sesuatu dan mereka saling pandang, kemudian keduanya tetawa
bergelak-gelak. Bunyi yang mereka dengar tadi adalah suara isi perut
masing-masing yang tak dapat ditahan lagi telah berkeruyuk saking laparnya. Isi
perut pengemis itu mengeluarkan suara yang nyaring dan tinggi, sedangkan isi
perut hwesio itu berkeruyuk dengan suara rendah. Perkelahian malam tadi
benar-benar sudah membuat mereka menjadi lapar sekali.
“Gundul busuk, apakah tidak
baik kalau kita menyuruh mereka ini tutup mulut lebih dulu dan menyumbat mulut
mereka dengan makanan-makanan?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Akur! Memang menjemukan
sekali kalau mereka terus berkeruyuk dan merengek seperti perempuan-perempuan
cengeng,” jawab hwesio itu.
“Ehh, hwesio murtad! Bagaimana
kau si kepala gundul ini dapat bicara tentang urusan perempuan? Apakah di
luarnya kau bersujud kepada Buddha dan menyucikan diri akan tetapi hatimu
selalu mengenang perempuan cantik?” tanya pengemis itu sambil matanya mencorong
memandang penuh kecurigaan.
Jeng-kin-jiu hanya tertawa.
“Di tempat seperti ini, dari manakah kita bisa mendapatkan makanan?”
Si pengemis tua tersenyum dan
menunjuk ke arah laut. “Ada samudera luas di depan mata kita, takut apakah?
Perutmu yang gendut itu kukira takkan dapat menghabiskan isi laut.”
Setelah berkata demikian,
kakek pengemis itu lalu terjun ke dalam laut dan berenang ke tengah untuk
menangkap ikan.
“He, kantong nasi gundul,
apakah kali ini kau masih tetap hendak ciakjai (pantang makan daging) dan
membiarkan perut gendutmu kosong dipenuhi angin busuk?” pengemis itu masih
sempat berteriak.
Hwesio itu tertawa bergelak,
“Siapa sudi mulutnya pantang makan daging dan selalu dijejali sayuran akan
tetapi hati dan pikirannya mengenangkan ekor ikan lee yang lezat?” sesudah berkata
demikian, hwesio ini pun kemudian terjun ke air dan berlomba dengan pengemis
itu untuk mencari ikan yang sebesar-besarnya.
Setelah hwesio gundul itu yang
mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak di atas daratan dasar laut, akhirnya
dia dapat menangkap seekor ikan yang gemuk seperti dia. Ikan itu meronta-ronta.
Biar pun kalau di darat Jeng-kin-jiu adalah seorang ahli gwakang yang tenaganya
tak kalah oleh seekor gajah, namun di dalam air ia tidak dapat melawan ikan
ini. Hampir saja ikan itu terlepas lagi apa bila dia tidak dapat cepat menusuk
kepala ikan itu dengan kedua jari tangannya sehingga pecahlah kepala ikan itu!
Setelah Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu mumbul ke permukaan air, dia bisa melihat Ang-bin Sin-kai juga sedang
berenang dari tengah. Juga pengemis itu memondong sesuatu yang dari jauh
kelihatannya seperti ikan. Akan tetapi, sesudah mereka keduanya mendarat di
pantai, hwesio itu dengan mata terbelalak memandang ke arah ‘ikan’ yang di
pondong oleh pengemis itu.
“Omitohud!” hwesio itu menyebut
nama Buddha. “Benar-benarkah kau sudah berhasil menangkap seekor ikan duyung?”
“Tutup mulutmu, Gundul! Lebih
baik lekas kau tolong anak ini. Jika aku tidak tahu bahwa kau mengerti ilmu
pengobatan, buat apa aku membawanya ke pantai?” Pengemis itu lalu meletakkan
tubuh anak kecil yang dipondongnya tadi di atas pasir.
Anak itu pingsan dan mukanya
biru, perutnya gembung penuh dengan air asin. Kepala anak itu gundul dan
melihat pakaiannya, dia tentunya anak dari keluarga cukup. Hanya pakaian ini
sekarang compang-camping dan sepatunya tinggal sebelah kiri saja! Usianya
kurang lebih lima tahun.
“Omitohud! Akhirnya bisa juga
kita menolong seorang di antara para penumpang perahu yang tenggelam itu,” kata
hwesio gemuk sambil berjongkok memeriksa anak tadi.
Ia suka sekali melihat anak
ini karena anak ini memiliki wajah yang tampan dan ketika dia memeriksa tubuh
anak itu, dengan girang sekali dia mendapat kenyataan bahwa anak itu mempunyai
tulang-tulang yang baik sekali, tulang seorang calon ahli silat yang pandai!
Yang terutama sekali membuat hwesio ini merasa senang adalah kepala anak ini
yang gundul pelontos dan licin seperti kepalanya sendiri!
“Anak baik... anak baik...”
Berkali-kali hwesio itu berkata sambil mengelus-elus kepala yang gundul licin
itu.
Si pengemis menjadi dongkol
sekali melihat ini.
“Kau hendak mengobatinya atau
hendak mengelus-elus kepalanya?” tanyanya marah.
Mendadak hwesio itu berdoa dan
dia mengucapkan sebuah syair dari pelajaran Buddha Gautama,
Tidak ada perbedaan antara
Nirwana dan Sengsara
Tidak ada perbedaan antara
Sengsara dan Nirwana
“Banyak mulut tidak bekerja
merupakan watak seorang siauw-jin (orang rendah). Banyak kerja tutup mulut
barulah seorang kuncu (orang budiman)!” Pengemis itu berteriak marah.
Akhirnya Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu mulai mengobati anak itu. Ia memegang dua kaki anak itu dalam
tangan kiri, menjungkir-balikkan anak itu dengan kaki di atas dan kepala di
bawah, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk perut anak itu yang gembung penuh
air.
“Buang air itu, untuk apa
memenuhi perut?” katanya.
Seketika itu juga air laut
mengalir keluar dari mulut anak itu sehingga perutnya menjadi kempis kembali.
Lalu ia meletakkan anak itu di atas tanah, telentang dan menggerak-gerakkan
kedua tangan anak itu sehingga dada itu terangkat beberapa kali. Akan tetapi
tetap saja anak itu tidak dapat bernapas lagi. Si hwesio menjadi gemas.
“Anak bandel, bandel dan
tolol!” makinya.
Akan tetapi biar pun dia
memaki demikian, namun dia lalu mendekatkan mulutnya pada bibir anak itu, lalu
menempelkan mulutnya yang besar memenuhi bibir kecil anak tadi dan meniup serta
menyedot beberapa kali!
Si pengemis tua hanya
memandang saja. Diam-diam dia merasa sangat iri hati terhadap kepandaian hwesio
gemuk ini, oleh karena dia sendiri sama sekali tidak mengerti tentang cara-cara
penyembuhan.
Tak lama kemudian, terdengar
anak itu mengeluh dan pernapasannya berjalan kembali. Hanya sebentar dia
mengeluh sambil menggeliat-geliat, lalu setelah membuka matanya, anak itu
melompat berdiri.
Dua orang kakek itu diam-diam
memandang kagum. Anak ini benar-benar memiliki tulang yang baik dan juga daya
tahan luar biasa sehingga baru saja terhindar dari bahaya maut, sekarang telah
bergerak dengan tangkas pula.
“Anak baik, siapa kau?”
pengemis tua itu bertanya.
“Bagaimana dengan nasib
penumpang-penumpang lain?” hwesio itu pun bertanya.
Untuk sejenak anak itu
memandang bingung. Biar pun dia telah mengingat-ingat, namun dia benar-benar
telah kehilangan ingatannya.
“Siapa aku? Di mana aku?
Ahh... aku tidak tahu. Siapakah lopek dan losuhu ini?”
Anak ini mempunyai suara yg
nyaring dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam sekali. Ang-bin Sin-kai dan
Jeng-kin-jiu Ka Thong Taisu saling pandang, lantas mereka berdua tertawa besar.
“Aku dipanggil Ang-Bin
Sin-kai,” pengemis itu memperkenalkan diri.
“Dan pinceng adalah Kak Thong
Taisu,” menyambung hwesio gemuk.
“Mengapa aku berada di sini?”
anak itu bertanya.
“Kalau tidak ada Hai-liong-ong
(Raja Naga Laut) ngamuk, mana bisa kau ditelan ombak? Dan kalau tidak ada kami
dua orang tua bangkotan, mana bisa kau berada di sini?” kata kakek pengemis itu
yang memang sudah biasa mempergunakan kata-kata yang sukar dimengerti.
Akan tetapi ternyata anak itu
cerdik sekali. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu sambil
berkata, “Aku sungguh tidak mengerti mengapa aku tenggelam di laut, akan tetapi
atas pertolongan Ji-wi losuhu, aku benar-benar merasa berterima kasih sekali.
Semoga Kwan Im Pouwsat memberkahi Ji-wi yang mulia.” Dia lalu berlutut sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali.
Dua orang kakek itu saling
pandang dengan mata terbuka lebar-lebar. Mereka merasa girang sekali melihat
sikap anak ini.
“Eh, anak baik, agaknya orang
tuamu pemuja Kwan Im Pouwsat. Bagus sekali!” Kata Kak Thong Taisu. “Siapakah
orang tuamu dan siapa pula namamu? Dari mana kau datang?”
Anak itu menggeleng-gelengkan
kepala dengan muka sedih. “Aku tidak tahu siapa orang tuaku, siapa pula namaku
aku sudah lupa lagi. Dari mana aku datang? Entahlah, yang terang dari laut,
karena bukankah Ji-wi mengeluarkan aku dari laut?” dia menudingkan jarinya yang
kecil itu ke arah laut.
Kembali dua orang kakek itu
saling pandang.
“Hemmm, dia sudah kehilangan
ingatannya karena mengalami hal yang amat dahsyat di tengah laut. Kasihan!”
kata Kak Thong Taisu.
“Anak, kalau begitu, aku
hendak memberi nama kepadamu, maukah kau?”
Anak itu mengangguk. Ang-bin
sin-kai menjadi girang sekali.
“Kalau begitu, mulai sekarang
kau she (bernama keturunan) Lu!”
Terdengar Kak Thong Taisu
tertawa bergelak-gelak. Suara ketawanya ini nyaring sekali sehingga anak itu
terkejut. Ia merasa telinganya sakit sekali mendengar suara ketawa ini, maka
cepat-cepat dia menutup telinganya dengan kedua tangannya.
“Mengapa kau tertawa, setan
gundul?” Ang-bin Sin-kai membentak marah.
“Ha-ha-ha, kau jembel tua
bangka ini biar pun di luarnya seperti jembel, ternyata masih belum sanggup
melupakan asal keturunan bangsawanmu! Biarlah anak ini kau beri she. Bagiku,
apakah artinya nama keturunan? Merepotkan saja! Anak baik, kau sekarang she Lu
seperti she pengemis tua bangka ini. Akan tetapi namamu adalah aku yang akan
memilihkan. Kau sekarang memakai nama Kwan Cu.”
“Lu Kwan Cu…” anak itu berkata
perlahan seperti kepada diri sendiri. Tadi saat melihat hwesio itu berhenti
tertawa, dia sudah menurunkan tangan yang dipakai untuk menutupi telinganya.
“Ya, Lu Kwan Cu, nama baik,
bukan?” si pengemis berkata girang. “Dan mulai sekarang kau menjadi muridku!”
“Eh, eh, ehh, Ang-bin Sin-kai,
kau melantur apa lagi? Siapa bilang dia menjadi muridmu? Dia adalah muridku,
tahu?”
“Tidak, hwesio gundul terlalu
banyak makan! Dia adalah muridku. Lu Kwan Cu adalah murid Ang-bin Sin-kai!”
“Gila! Dia muridku!”
“Aku yang datang menolongnya
dari gelombang laut!”
“Dan aku yang mengalirkan
kembali nyawa ke dalam tubuhnya!”
Kedua orang kakek ini kembali
saling berhadapan dengan mata mencereng, siap untuk memperebutkan anak itu.
Keduanya bersitegang dan akhirnya tanpa dapat dicegah lagi keduanya lalu
bertanding pula! Mereka mengeluarkan ilmu pukulan yang paling dahsyat sehingga
pasir berhamburan terkena angin pukulan mereka.
Bahkan ketika anak yang kini
bernama Lu Kwan Cu itu terdorong oleh angin pukulan, anak itu lantas
terguling-guling bagaikan sehelai daun tertiup angin keras. Tentu saja dia
menjadi terkejut sekali dan anak ini lalu mencari tempat perlindungan di
belakang sebuah batu karang besar. Ia mengintai dan menonton pertempuran itu
dengan kedua matanya yang lebar dan tajam itu terbuka lebar-lebar.
Kini pertempuran yang terjadi
jauh lebih hebat dari pada malam tadi, karena kalau malam tadi mereka bertempur
hanya mengandalkan pendengarannya, sekarang mereka dapat mengerahkan seluruh
kepandaian dan ketajaman mata mereka. Rasa lapar terlupa dan adanya hanya nafsu
untuk menang!
Tiba-tiba terdengar suara yang
nyaring dari anak itu,
“Aneh, aneh! Aku kesunyian
mencari kawan. Dua orang ini di tempat yang begini sunyi saling bertemu dan
mendapat kawan, mengapa bahkan saling pukul seperti kerbau gila? Ahh, celaka,
tentu mereka berdua ini miring otaknya!”
Mendengar omongan ini, biar
pun sedang berkelahi, dua orang kakek itu saling pandang sambil membelalakkan
mata. Akan tetapi mereka kembali melanjutkan perkelahian itu.
Ketika anak kecil tadi melihat
betapa dua orang kakek itu masih saja berkelahi, agaknya dia menjadi bosan.
Diam-diam dia lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Jeng-kin-jiu dan Ang-bin
Sin-kai tentu saja tahu akan hal ini. Akan tetapi mereka sedang mengerahkan
seluruh kepandaian untuk merobohkan lawan yang amat tangguh, hingga mereka
kurang memperhatikan anak yang pergi itu.
Setelah matahari naik tingi,
kelelahan dan rasa lapar membuat keduanya menjadi lemas dan dengan sendirinya
perkelahian itu berhenti pula! Mereka duduk di atas pasir dengan napas
terengah-engah sambil saling pandang.
“Kau tua bangka gundul sungguh
hebat kepandaianmu!” Ang-bin Sin-kai berkata memuji.
“Dan kau pengemis kurus kering
ternyata lebih hebat dari pada dulu. Kalau saja pinceng berhasil mendapatkan
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tentu kau takkan dapat bertahan begitu lama,”
kata Keng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menarik napas panjang.
“Im-yang Bu-tek Cin-keng tidak
akan terjatuh ke tanganmu, gundul. Kitab itu pasti akan menjadi milikku. Kau
lihat saja!”
“Hemm, belum tentu. Semua
tergantung atas keputusan Thian. Siapa yang terpilih untuk menjadi ahli silat
nomor satu di dunia, barulah akan berhasil mendapatkan kitab rahasia itu.”
“Baik-baik, mari kita berlomba
mendapatkan kitab itu. Sekarang lebih baik kita menunda pertempuran kita sampai
salah seorang berhasil mendapatkan kitab, baru bertempur lagi. Bagaimana
pikiranmu?”
“Baik, Ang-bin Sin-kai. Memang
perutku sudah lapar sekali. Ehh, di mana Lu Kwan Cu?” Hwesio itu bertanya
sambil memandang ke kanan kiri.
“Biar saja, dia sudah pergi.
Karena kita tidak dapat disebut mana yang kalah, mana yang menang, siapa yang
akan menjadi gurunya? Biarlah, biar dia sendiri yang menentukan siapa yang
hendak dijadikan guru. Antara guru dan murid harus ada jodoh, bukan?”
Hwesio itu mengangguk,
kemudian keduanya memanggang ikan yang mereka tangkap dari laut, lalu makan
bersama. Kalau dilihat memang aneh dan menggelikan sekali. Dua orang kakek tua
bangka ini, karena sedikit urusan saja telah saling gempur mati-matian. Mereka
sudah bertempur sampai berjam-jam sampai kehabisan tenaga dan sungguh pun
mereka tak menderita luka-luka parah, akan tetapi setidaknya tentu ada
kulit-kulit pecah dan biru-biru. Sekarang mereka duduk makan-makan berdua
seperti dua orang kawan baik yang sedang berpelesir di pinggir laut!
Sehabis makan, Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu berkata, “Ang-bin Sin-kai, pinceng hendak pergi sekarang. Dua
orang sahabat sudah saling bertemu dan sudah mengalami banyak kesenangan.
Setiap pertemuan tentu berakhir, maka kenapa menyusahkan perpisahan? Hanya satu
hal pinceng hendak berpesan. Dalam hal diri Lu Kwan Cu, di antara kita siapa
yang berhak mendapatkannya lebih dulu, berhak mengajar lebih dulu selama lima
tahun. Sesudah itu harus mengoperkannya kepada orang lain, jangan mau
dimonopoli sendiri saja.”
Pengemis itu mengangguk, “Kecuali
kalau orang lain itu mampu merebutnya bukan?”
“Tentu saja! Anak itu
bertulang baik, dia pantas diperebutkan.” Setelah berkata demikian Kak Thong
Taisu lalu melompat dan amat mengagumkan ginkang dari hwesio gendut ini. Walau
pun tubuhnya bagaikan bola gendutnya, sehingga kalau berjalan nampak seperti
menggelundung, akan tetapi dalam sekali berkelebat saja, tubuhnya sudah lenyap
dari hadapan Ang-bin Sin-kai!
Kakek pengemis ini seperti
kawan atau juga boleh disebut lawannya, kemudian berdiri di pinggir pantai dan
memandang ke laut seperti orang melamun. Bibirnya bergerak-gerak perlahan dan
terdengar dia berbisik,
“Im-yang Bu-tek Cin-keng,
kitab rahasia yang dirindukan oleh semua tokoh kang-ouw, dan Lu Kwan Cu, anak
kecil aneh itu pula....ah, aku seakan-akan melihat pertalian antara keduanya
ini!” Sampai berjam-jam kakek ini terus berdiri di pinggir laut bagaikan
patung, pikirannya terbawa ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya.
Kakek pengemis yang aneh,
hwesio gendut yang ganjil, anak kecil yang penuh rahasia, kemudian kitab yang
disebut-sebut itu pun kitab yang aneh pula. Semuanya ini terjadi di pantai laut
Po-hai yang penuh rahasia alam.
Memang di dunia ini banyak
sekali terjadi hal-hal yang aneh, aneh bagi pandangan mata manusia. Siapakah berani
bilang bahwa alam tak berkuasa? Siapa pula dapat mengikuti sifat dari pada To?
Kekuasaan Thian nampak di mana-mana…..
********************
“Lu Kwan Cu, nama yang baik!
Aku suka nama ini. Aku Lu Kwan Cu, ya, aku bernama Lu Kwan Cu, siapa lagi kalau
bukan ini namaku?” berkali-kali kata-kata ini keluar dari mulut anak kecil yang
berjalan seorang diri di jalan raya yang sunyi dan lebar.
Ia sudah kehilangan
ingatannya, tidak ingat sama sekali tentang apa yang sudah terjadi padanya. Ia
tidak ingat lagi akan orang tuanya yang lenyap bersama dengan kapal di mana
tadinya dia berada. Semua telah lenyap ditelan ombak samudera, dan kalau anak
ini merupakan orang satu-satunya yang selamat, lalu dia kehilangan ingatannya,
siapa lagi orangnya di dunia ini yang dapat menceritakan siapa adanya anak ini
dan siapa pula orang tuanya?
Oleh karena tidak mungkin
menyelidiki siapa adanya keluarga anak ini, maka biarlah kita mulai sekarang
menganggap saja bahwa dia bernama Lu Kwan Cu, anak kecil berusia lima tahun
yang seolah-olah sudah dilemparkan oleh ombak laut Po-hai ke dalam dunia,
seorang diri tak berteman, hanya berkawan perutnya yang memiliki nafsu makan
besar sekali dan baju compang-camping yang kantongnya kosong sama sekali!
Oleh karena desakan perutnya,
maka tak lama kemudian anak ini kelihatan mengemis di sana-sini untuk dapat
mencari makan bagi perutnya yang bernafsu besar! Kwan Cu memang tidak seperti
anak-anak lain. Sikapnya, wataknya, dan cara dia mengemis pun menjadi bukti
bahwa dia adalah seorang yang aneh.
Pengemis-pengemis kecil
lainnya apa bila mengemis tentu akan merengek-rengek, dan menceritakan
kesusahan mereka untuk menarik belas kasihan dari pada pendengarnya. Biasanya
anak-anak seperti ini amat rendah diri, meski dimaki, dipukul, hanya menerima
dengan tangis saja. Berbeda jauh dengan Kwan Cu. Dia tidak pernah merengek,
tidak pernah mengeluh, agaknya anak ini memang tidak mengenal keluh-kesah.
Pada suatu hari, dalam
perantauannya yang tanpa tujuan itu, tibalah dia di kota Lung-to di tepi Sungai
Kuning. Memang Kwan Cu setelah meninggalkan laut, lalu mengikuti jalan
sepanjang sungai besar dan tak pernah jauh meninggalkan Suangai Huang-ho.
Ia memasuki kota Lung-to dalam
keadaan letih dan lapar. Ia telah melakukan perjalanan sehari semalam lamanya.
Daerah ini memang kurang penduduknya dan dari satu kota ke kota yang lain amat
jauh jaraknya.
Semenjak kemarin, Kwan Cu
belum makan apa-apa, dan selama sehari semalam itu dia terus-menerus berjalan
kaki. Tidak ada sesuatu yang bisa dimakannya dalam perjalanan melalui
hutan-hutan itu, kecuali air yang memenuhi perutnya. Akan tetapi Kwan Cu tidak
berani minum banyak-banyak karena hal ini mengingatkan dia akan air laut. Anak
ini mempunyai perasaan takut terhadap air laut yang bergelombang besar.
Dengan langkah tersaruk-saruk
Kwan Cu memasuki pintu gerabang kota Lung-to. Kota ini besar dan ramai, banyak
terdapat toko-toko dan restoran besar. Maka sebentar saja Kwan Cu dapat
menerima sisa makanan dari sebuah restoran.
Biar pun perutnya sudah lapar
sekali, namun Kwan Cu tidak nampak tergesa-gesa ketika dia membawa makanan itu
ke bawah sebatang pohon besar di pinggir jalan. Kemudian dia makan sisa makanan
yang dia dapatkan dari pelayan restoran. Cara makannya juga tidak tergesa-gesa,
bahkan dengan teliti dia memilih makanan itu.
Dia sama sekali tidak tahu
bahwa semenjak dia memasuki kota, dia telah diawasi oleh seorang gemuk yang
berwajah menakutkan sekali dan yang gerakan-gerakannya seperti seekor kucing
ringannya.
“Daging baik, tulang
murni...,” beberapa kali orang tinggi besar itu berbisik dan nampak puas
sekali.
Tingkah laku orang tinggi
besar ini benar-benar amat megherankan dan mencurigakan. Biar pun tubuhnya
besar, namun dia bergerak cepat dan gesit sekali. Anehnya, tiap kali bertemu
dengan orang, dia lalu menyelinap dan bersembunyi, dan karena dia memang
memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, tak ada orang yang melihat dia
mengikuti Kwan Cu.
Orang ini tubuhnya besar dan
nampak kuat, mukanya bundar dengan mulut lebar seperti mulut barongsai.
Jenggotnya pendek dan kaku bagaikan jarum, sudah putih sebagian. Yang menyolok
adalah pakaiannya, karena bajunya berwarna merah darah sedangkan celananya
berwarna biru! Melihat sesuatu mengganjal di dalam punggung bajunya, dapat
diduga bahwa orang ini membawa sebuah senjata tajam.
Pada masa itu banyak timbul
kekacauan, karna itu soal membawa-bawa senjata tajam bukanlah pemandangan baru.
Bukan hanya ahli-ahli silat yang membawa-bawa senjata pedang atau golok, bahkan
orang-orang yang tak mengerti ilmu silat pun sebagian besar membawa senjata
pelindung diri.
Ketika Kwan Cu tengah makan,
orang tinggi besar itu datang mendekati dengan muka menyeringai. Kwan Cu
mengangkat mukanya memandang. Wajah orang itu sama sekali tidak membuat dia
takut, bahkan anak kecil ini lalu mengerutkan kening.
Ia telah memilih tempat di
bawah pohon di mana tidak ada orang dan sunyi. Dari situ terlihat orang-orang
mondar-mandir di jalan raya, akan tetapi tak seorang pun menaruh perhatian pada
anak kecil jembel yang sedang makan di bawah pohon. Mengapa orang ini datang
dan memandangnya dengan muka menyeringai?
“Orang tua, apakah kau lapar?”
tanya Kwan Cu menunda makannya
Orang itu melengak, lalu
tertawa. “Aku memang lapar sekali!” Nampak sikap orang itu benar-benar seperti
kelaparan dan mengilar.
Kwan Cu melihat makanan yang
masih ada sisanya dan terpegang di tangan kirinya dalam sebuah mangkok butut.
Sebetulnya dia belum kenyang betul, akan tetapi perutnya sudah tidak perih lagi
seperti tadi. Tiba-tiba dia angsurkan mangkoknya kepada kakek itu dan berkata,
“Nah kau ambil dan makanlah
ini!”
Kembali orang itu tertegun.
Diam-diam dia merasa geli melihat sikap anak kecil ini.
“Kau tidak tahu siapa aku,”
pikirnya, “maka kau berani menghina.”
Sebetulnya siapakah kakek yang
berwajah menyeramkan ini? Kalau orang-orang yang berjalan di jalan raya itu
tahu siapa dia, tentu akan terjadi geger. Telah beberapa hari ini timbul
kegemparan di kota Lung-to karena beberapa orang anak kecil lenyap terculik
orang.
Telah payah orang-orang pergi
menyelidik, akan tetapi percuma saja karena penculik itu dalam melakukan
pekerjaannya tak meninggalkan jejak sama sekali. Orang-orang hanya menyangka
bahwa penculik itu tentu menculik anak-anak dengan maksud untuk menjual
anak-anak itu sebagai budak belian sebab yang dipilih selalu merupakan
anak-anak yang manis dan sehat.
Bila saja orang-orang tahu
bahwa penculik anak-anak itu ialah Tauw-cai-houw, seorang setengah gila yang
banyak melakukan perbuatan ganas dan sangat menyeramkan, tentu orang-orang akan
menjadi gempar!
Tauw-cai-houw (Harimau Menagih
Hutang) adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang mempunyai kebiasaan aneh
dan mengerikan sekali. Ia menangkap anak-anak kecil bukan sekali-kali untuk
dijual belikan, melainkan untuk di... makan!
Dan kini Tauw-cai-houw berada
di kota Lung-to dan telah menculik beberapa orang anak kecil. Lebih dari itu,
pada hari itu Touw-cai-houw bahkan sedang mendekati Kwan Cu dan ditawari sisa
makanan oleh anak ini!
“Anak manis, kau makanlah biar
kenyang,” kata Tauw-cai-houw dengan kedua matanya berputar-putar. Memang muka
yang bundar dari orang ini mirip dengan muka harimau. “Kalau kau masih kurang,
bilang saja, aku akan menyediakan untukmu.”
Kemudian, kakek ini melihat
mangkok di tangan Kwan Cu yang butut serta isinya yang terdiri dari makanan
sisa. Tangannya cepat menyambar dan tahu-tahu mangkok itu telah dirampasnya dan
dibanting hancur. Kwan Cu memandang heran dan juga marah, akan tetapi
Tauw-cai-houw berkata,
“Tunggulah sebentar. Makanan
seperti itu tak seharusnya kau makan. Tunggu sebentar, aku akan mencarikan
makanan yang baik untukmu.”
Ia lalu melangkah lebar ke
arah restoran dan tak lama kemudian, betul saja dia kembali dengan
langkah-langkah lebar menghampiri Kwan Cu sambil membawa dua mangkok penuh
terisi makanan-makanan yang hangat mengebul!
Ketika dua mangkok masakan itu
diletakkan di hadapannya, Kwan Cu menjadi mengilar sekali. Bau makanan yang
amat sedap itu telah membuat perutnya yang belum kenyang tiba-tiba menjadi
lapar lagi. Kalau menurutkan nafsunya, ingin dia segera menyikat dua mangkok
masakan itu.
Akan tetapi anak ini memang
aneh.....
Ia bahkan menggerakkan
kepalanya menoleh kepada Tauw-cai-houw, lalu berkata,
“Orang tua, aku tidak bisa
makan masakan ini.”
Untuk ketiga kalinya
Tauw-cai-houw melengak. “He?! Mengapa?”
“Kita tidak saling mengenal,
juga tidak ada hubungan sesuatu di antara kita. Kenapa kau datang-datang
menghadiahkan dua mangkok masakan? Tentu ada udang di balik batu. Apakah
sebenarnya kehendakmu?”
Kini Tauw-cai-hauw benar-benar
tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan seorang anak kecil yang seaneh ini.
Kata-kata itu tidak patut keluar dari mulut seorang anak-anak, pantasnya
diucapkan oleh seorang dewasa yang sudah banyak pengalaman hidup!
“Anak, siapa namamu? Kau
benar-benar cerdik, suka hatiku melihatmu.”
“Aku Lu Kwan Cu, dan siapakah
kau, Lopek? Dan apa pula sebabnya kau datang-datang berlaku manis kepadaku? Aku
tidak mempunyai sesuatu sebagai penukar dua mangkok masakan yang mahal ini.”
Tauw-cai-houw tertawa bergelak
sehingga beberapa orang yang lewat di dekat tempat itu berhenti lalu memandang.
Akan tetapi begitu Tauw-cai-houw itu memelototkan matanya, orang-orang itu
merasa takut dan buru-buru pergi lagi.
“Anak bodoh, mengapa
ribut-ribut mengenai penukaran? Aku pun mengambil masakan-masakan itu tanpa
bayar!”
“Apa? Kau merampas dengan
kekerasan?” tanya Kwan Cu dengan mata terbelalak.
“Tidak bisa disebut perampasan
karena pemiliknya tidak tahu makanannya kuambil.”
“Kalau begitu kau mencuri!”
dengan kata-kata ini, Kwan Cu lalu mendorong dua mangkok masakan itu sehingga
terguling dan semua masakan yang masih mengebul panas itu lalu tumpah di atas
tanah yang kotor. “Aku tidak sudi makan barang curian dan kau pencuri tua ini
lekas pergi dan jangan mengganggu aku lagi!”
Dari perasaan heran, kakek itu
kini menjadi marah. “Tolol, disuruh makan biar gemuk dan sehat, kau banyak
membantah. Kau kira dapat membantah di depan Tauw-cai-houw?”
Sesudah berkata begitu,
tangannya menyambar dan tahu-tahu Kwan Cu telah ditangkap lehernya seperti harimau
menangkap kelinci. Lalu orang tinggi besar yang mengerikan ini melangkah lebar,
membawa Kwan Cu yang tak dapat berkutik lagi.
Orang-orang yang melihat ini
menjadi ribut. Ketika mereka mengejar dan melihat betapa kakek bermuka harimau
itu berlari cepat sekali, mereka berteriak-teriak,
“Ahh, tentu dia penculik
anak-anak itu! Kejar!”
“Tangkap penculik anak-anak!”
“Bunuh dia!”
Teriakan-teriakan
susul-menyusul dan para pengejar makin banyak. Akan tetapi kakek itu
benar-benar lihai karena dalam sekejap mata saja dia sudah hilang dari
pandangan mata orang banyak, tidak tahu ke mana menghilangnya.
Sebentar saja, gegerlah
seluruh kota Lung-to dan semua orang membicarakan tentang penculik itu. Banyak
pula orang yang memberi bumbu sehingga tidak lama kemudian, orang menggambarkan
penculik itu sebagai seorang siluman yang bermuka singa dan yang mengerikan
sekali!
Para penjaga keamanan kota
menjadi sibuk karena mereka berusaha untuk mencari dan menangkap penculik yang
telah beberapa hari mengacau kota itu. Akan tetapi tetap saja tidak ada seorang
pun tahu ke mana perginya si penculik.
Pada saat orang-orang sedang
kebingungan dan geger, muncullah seorang wanita yang amat cantik dan juga
bersikap gagah sekali. Wanita ini masih muda, usianya takkan lebih dari dua
puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna putih, tetapi kesederhanaan
pakaiannya ini yang menambah kecantikan wajah dan potongan tubuhnya yang
langsing serta padat itu makin nampak nyata.
Di pinggangnya tergantung
sebatang pedang yang gagangnya beronce benang-benang sutera merah. Rambutnya
yang panjang terurai ke belakang itu diikat dengan pengikat rambut dari sutera
merah pula. Pinggiran bajunya yang putih bersih itu berwarna biru, menambah
kepantasan. Siapakah wanita ini?
Melihat dari sikapnya, tak
dapat diragukan lagi bahwa ia tentulah seorang wanita perkasa yang pandai ilmu
silat. Dugaan ini tidak salah karena sesungguhnya dia dalah pendekar wanita
yang terkenal dengan sebutan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Sebenarnya nama
sebutan ini lebih berdasarkan kecantikannya dan baju putihnya dari pada
kegagahannya.
Namanya Thio Loan Eng, dan
semenjak dewasa memang sudah banyak merantau dan melakukan perbuatan-perbuatan
besar sehingga dapat mengangkat tinggi nama sendiri. Ilmu pedangnya sangat
terkenal di kalangan kang-ouw, karena Loan Eng adalah putreri dari Thio Keng
In, tokoh terkenal dari barat yang mempunyai ilmu pedang turunan dari keluarga
Thio. Menurut kepercayaan orang, ilmu pedang keluarga Thio ini masih warisan
dari ilmu pedang Thio Hui, tokoh besar dari jaman Sam Kok!
Ketika itu Loan Eng sedang
berada di Lung-to. Dia mendengar suara ribut-ribut ini dan keluar dari kamar di
hotelnya. Dengan cepat ia mendengar tentang penculikan seorang anak kecil oleh
seorang saikong yang bermuka harimau, maka cepat pendekar wanita ini lalu
mengadakan penyelidikan…..
********************
Sambil tertawa-tawa,
Tauw-cai-houw membawa Kwan Cu ke dalam sebuah hutan yang sangat liar di sebelah
selatan kota Lung-to, terpisah kurang lebih lima belas li. Di tengah hutan ini
memang menjadi tempat persembunyiannya selama dia melakukan
penculikan-penculikan terhadap anak-anak kecil di kota Lung-to.
Setelah tiba di tempat
tinggalnya, yaitu sebuah lapangan yang dikelilingi oleh pepohonan besar, dia
melemparkan Kwan Cu ke atas tanah. Anak ini terguling, akan tetapi segera
melompat berdiri lagi dengan mata terbelalak. Kini dia benar-benar merasa seram
ketika melihat betapa di atas tanah berserakan tulang-tulang manusia dan
tengkorak-tengkorak. Kalau melihat ukuran tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak
itu, dapat di duga bahwa itu adalah tengkorak dan tulang anak-anak kecil
seperti dia!
Tauw-cai-houw lalu mengambil
sebuah kantong yang tadinya dia gantungkan di cabang pohon. Dia membuka kantong
itu dan mengeluarkan sebutir buah yang kulitnya bersisik seperti kulit ular.
“Kau makanlah ini!” katanya
kepada Kwan Cu sambil mengangsurkan buah itu.
Akan tetapi Kwan Cu tidak mau
menerimanya, hanya menggelengkan kepala. Sinar mata anak ini sama sekali tidak
memperlihatkan rasa takut terhadap saikong yang setengah gila itu.
“Hayo makanlah!” kembali
Tauw-cai-houw membentak, akan tetapi dengan bandel sekali Kwan Cu menggelengkan
kepala.
Tauw-cai-houw menjadi marah.
Dipegangnya leher Kwan Cu dan sekali tekan saja mulut anak itu terbuka. Buah
ular itu diremasnya dalam tangan kanan dan dijejalkan ke dalam mulut Kwan Cu!
Rasanya asam dan pahit, akan tetapi karena dijejalkan terus, terpaksa Kwan Cu
menelannya!
Sungguh aneh, meski pun
rasanya asam dan pahit, setelah memasuki perutnya, terasa perutnya hangat dan
enak sekali! Dia tidak tahu bahwa buah ular itu adalah semacam buah yang langka
dan merupakan obat yang sangat mukjijat khasiatnya terhadap aliran darah.
Selain pembersih darah, juga dapat menguatkan tubuhnya.
Ternyata Tauw-cai-houw memaksa
anak itu makan buah obat ini supaya tubuh anak ini menjadi kuat sehingga
daging, darah, serta sumsumnya akan merupakan hidangan yang amat baik untuknya!
Setelah Kwan Cu menelan obat
itu, Tauw-cai-houw tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, selama bertahun-tahun ini belum
pernah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau! Sekali ini aku pasti akan
berhasil. Kau adalah seorang anak sin-tong (anak ajaib), jantung dan otakmu
pasti akan menghasilkan semua usahaku selama ini. Ahhh, kau mengingatkan betapa
semua anak-anak ini hanyalah sebangsa boan-tong (anak nakal) belaka. Hemm,
sungguh menyebalkan!”
Kwan Cu tidak mengerti maksud
kata-kata ini, hanya sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu
memandang tajam.
“Kenapa matamu mendelik terus
padaku?” Tauw-cai-houw membentak marah. “Tenang saja, matamu yang tajam itu
tidak akan memasuki perutku, hanya akan membikin muak saja!”
Setelah berkata demikian,
saikong ini kemudian menyalakan api unggun yang besar dan memasang pemanggang
dari kayu seperti yang biasanya digunakan untuk memanggang binatang buruan.
Kwan Cu masih juga belum
mengerti, hanya memandang segala tingkah laku orang tua yang aneh itu.
Diam-diam dia membuat perbandingan, mana yang lebih aneh, kakek ini ataukan dua
orang kakek yang saling hantam di tepi laut itu.
“Di dunia ini sungguh banyak
sekali orang-orang aneh. Dia ini tentu juga miring otaknya!” katanya dan karena
kata-kata ini tanpa disengaja diucapkan keras-keras, maka didengar oleh
Tauw-cai-houw.
“Apa katamu? Kau berani memaki
aku gila?”
“Kalau kau tidak gila, mengapa
kau menangkapku dan membawaku ke sini? Kemudian kau juga memaksaku makan buah
yang pahit dan tidak enak, perbuatan ini kalau tidak dilakukan oleh seorang
gila, habis oleh siapa lagi!” Kwan Cu membantah berani.
“Benar, benar! Kau adalah
sin-tong (anak ajaib), jika tidak demikian tak nanti kau berani mengeluarkan
ucapan-ucapan seperti itu! Ha-ha-ha, ingin kudengar apa lagi yang akan kau
katakan sesudah kau kupanggang di atas api itu!” dia menuding ke arah api
unggun yang sudah menyala besar.
“Celaka, memang kau
benar-benar gila!” Kwan Cu menarik napas panjang.
Sambil tertawa dengan suaranya
yang serak, Tauw-cai-houw lalu menubruk dan dalam sekejap mata saja kedua
tangan Kwan Cu telah ditelikung ke belakang dan diikat dengan tambang kulit
pohon. Ia seperti seekor babi kecil yang sudah diikat keempat kakinya dan
hendak dipanggang hidup-hidup. Kemudian, lebihan tambang pengikat tangan Kwan
Cu yang masih panjang itu, oleh kakek itu diikatkan di atas cabang pohon, tepat
di atas api yang bernyala-nyala!
Bila anak lain yang dipanggang
seperti itu, tentu akan menjerit-jerit, akan tetapi Kwan Cu lain lagi wataknya.
Anak ini benar-benar berhati baja dan walau pun dia sudah mulai merasakan hawa
panas menyambarnya dari bawah, dia tetap menggigit bibir tidak mau menangis
atau berteriak.
“Benar-benar sin-tong!
Sin-tong!”
Melihat hal ini Tauw-cai-houw
menjadi makin girang. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat dan memaki-maki
api di bawah tubuh Kwan Cu yang mengeluarkan suara…
“Ces, ces!” lalu padam!
Apa yang terjadi? Tadi sehabis
dijejali buah ular yang masam dan pahit, Kwan Cu ingin sekali membuang air
kecil. Akan tetapi karena dia tak sempat dan telah diikat tangannya, tentu saja
dia tidak dapat membuang air kecil. Kini setelah digantung di atas, rasa panas
membuat dia tak dapat menahan lagi, dan kencinglah dia begitu saja. Sungguh
kebetulan sekali, air kencing yang banyak itu menimpa api unggun sehingga
memadamkan api itu karena kayu bakarnya menjadi basah semua!
Kwan Cu berotak cerdik. Kini
dia dapat menduga bahwa kakek gila di bawah ini adalah seorang pemakan daging
anak-anak! Diam-diam dia bergidik juga, akan tetapi dia tidak takut! Agaknya
sesudah terlepas dari bahaya maut di tengah samudera, perasaan takut anak ini
memang telah lenyap.
“Lopek, apakah kau tidak
mendengar suara tengkorak-tengkorak itu bicara?” tanya Kwan Cu kepada
Tauw-cai-houw yang sedang mengumpulkan kembali kayu bakar yang kering sambil
mengomel panjang pendek.
Mendengar ini, Tauw-cai-houw
menjadi terkejut sekali.
“Bohong! Bocah nakal, mana ada
tengkorak bicara? Tutup mulutmu, kau sudah kenyang, akan tetapi aku sudah lapar
sekali!”
“Siapa yang membohong? Aku
mendengar dengan jelas tengkorak-tengkorak di bawah itu berkata-kata.”
Kini Tauw-cai-houw menghentikan
pekerjaannya dan dia memandang ke atas di mana Kwan Cu tergantung dengan muka
di bawah.
Kwan Cu mengeluarkan suara
mengejek. “Mana kau dapat mendengarnya? Aku adalah seorang anak sin-tong (anak
ajaib), ingatkah kau?”
Wajah Saikong itu berubah,
sedikit pucat. “Apa kata mereka?” tanyanya, suaranya tidak begitu keras seperti
tadi.
“Turunkanlah dulu aku dari
sini, nanti kuceritakan apa yang kudengar tentang mereka,“ kata Kwan Cu.
Memang otak Tauw-cai-houw tak
begitu beres, maka mendengar ini, dia lalu cepat-cepat menurunkan Kwan Cu.
“Lepaskan dulu ikatan
tanganku. Ikatanmu kuat sekali sehingga kau membikin tanganku sakit,” kata pula
anak ini, suaranya tetap tenang seperti tidak terjadi sesuatu yang hebat dan
yang mengancam nyawanya.
Mendengar ini Tauw-cai-houw
ragu-ragu, akan tetapi dia lalu menggerutu, “Dibuka juga apa kau kira bisa
pergi lari?” dia lalu membuka ikatan kedua tangan Kwan Cu.
Anak ini menggosok-gosok kedua
pergelangan tangannya yang terasa sakit dan kulitnya kelihatan matang biru.
“Hayo lekas ceritakan, apa
yang kau dengar dari tengkorak-tengkorak itu?”
Kwan Cu melirik ke kanan kiri
dan diam-diam dia merasa seram melihat rangka manusia ini. Selama hidupnya
belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, oleh karena itu diam-diam dia
merasa betapa kepalanya yang gundul itu menjadi dingin sekali.
Tanpa disengaja dia meraba
kepalanya. Dan setelah meraba, dia mengeluarkan seruan tertahan. Ternyata bahwa
kepalanya kini menjadi pelontos dan licin sekali, semua rambut yang tadinya
masih ada sedikit-sedikit telah lenyap sama sekali, menjadi licin!
Melihat air muka anak itu
terkejut dan terheran-heran, Tauw-cai-houw tertawa bergelak. “Rambutmu, baik
yang di kepala mau pun yang di tubuh, telah rontok semua oleh daya coa-ko (buah
ular) tadi. Apa kau kira aku doyan makan daging berbulu dan berambut?”
Kwan Cu mendongkol sekali.
Jadi buah yang pahit tadi gunanya untuk membikin rambut dan bulu-bulunya rontok
sehingga dia bagaikan seekor ayam yang dicabut bulu-bulunya sebelum dimasak?
Terlalu sekali!
“Nah, hayo ceritakan,
tengkorak-tengkorak itu berkata apa?” Tauw-cai-houw berkata tak sabar lagi.
“Mereka saling bercaka-cakap
membicarakan kau,” Kwan Cu mulai memberi keterangan. “Katanya bahwa hari ini
adalah hari kematianmu, karena sebagai seorang anak sin-tong, dagingku panas
dan sumsumku beracun, sehingga begitu kau memakan aku, kau pasti akan mampus!”
Sekarang Tauw-cai-houw
betul-betul menjadi pucat dan tanpa terasa lagi dia melangkah mundur sampai
tiga tindak. Dia memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak, dan diam saja
pada saat melihat anak itu berjalan pergi sambil berkata, “Karena itu demi
keselamatanmu sendiri, jangan kau makan aku!”
Kwan Cu berjalan pergi dan dia
tidak berani menengok lagi. Hatinya berdebar karena dia tidak mendengar orang
itu mengejar. Benar-benarkah dia dapat mengakalinya demikian mudah?
Akan tetapi, tiba-tiba dia
mendengar angin menyambar dan tahu-tahu dia telah ditangkap lagi! Seperti tadi,
dua tangannya telah diikat kembali dan Tauw-cai-houw berkata dengan suara
mengancam,
“Sin-tong, betapa pun juga,
tetap saja kau akan kupanggang! Kau kira aku akan begitu bodoh? Aku akan
mengambil sekerat dagingmu dan sedikit sumsummu, lalu kuberikan kepada harimau
lebih dulu! Kalau harimau yang makan dagingmu dan sumsummu tidak mati, kenapa
aku harus jeri makan kau?” Sambil tertawa terbahak-bahak Tauw-cai-houw membawa
kembali Kwan Cu ke tempat tadi.
Kali ini Kwan Cu betul-betul
putus harapan. Akan tetapi, anak ini tetap tak mau menangis atau menjerit minta
tolong. Ia menghadapi dengan mata terbuka, bahkan matanya makin besar
cahayanya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan
putih, dibarengi bentakan nyaring.
“Siluman jahat, lepaskan anak
itu!” Bentakan ini dibarengi menyambarnya pedang yang bercahaya ke arah dada
saikong itu.
Tauw-cai-houw kaget sekali
karena gerakan serangan pedang ini bukan main cepatnya. Ia pun terpaksa
melepaskan tubuh Kwan Cu yang jatuh membelakang.
Kwan Cu merasa jidatnya sakit
terbentur batu, akan tetapi anak ini tidak mengeluh dan cepat-cepat miringkan kepala
untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata olehnya bahwa yang menyerang penculik
itu adalah seorang wanita baju putih yang cantik sekali.
Ketika penyerang yang bukan
lain adalah Thio Loan Eng ini menemukan jejak penculik yang membawa lari anak
kecil, dia kemudian menyusul terus sampai ke dalam hutan dan kebetulan sekali
dia melihat Tauw-cai-houw hendak memegang seorang anak kecil. Dia terkejut
sekali ketika mengenal saikong ini, juga berbareng marah sekali, maka langsung
ia lalu menyerangnya dengan tusukan Sin-liong Jut-tong (Naga Sakti Keluar Goa).
Tauw-cai-houw adalah seorang
yang tinggi ilmu silatnya, maka biar pun diserang dengan tiba-tiba secara hebat
ini, masih dapat dia melepaskan Kwan Cu. Kemudian sekali saja tangannya
bergerak, dia telah mencabut sebatang golok yang amat besar dan tajam.
“Bangsat kecil, siapa kau
berani sekali menyerangku?!” bentak Tauw-cai-houw sambil memalangkan goloknya
di depan dada dengan sikap mengancam.
Loan Eng berdiri tegak sambil
menudingkan pedangnya kepada Tauw-cai-houw.
“Siluman keji! Telah lama
nonamu mendengar tentang kejahatanmu dan kebetulan sekali kita bertemu di sini.
Inilah tandanya bahwa riwayat Tauw-cai-houw akan segera tamat. Orang jahat, kau
telah kehilangan anakmu sendiri, mengapa kau sekarang berlaku kejam terhadap
anak-anak orang lain? Apakah kau sudah tidak memiliki perasaan lagi sehingga
kau membuat anak-anak menjadi seperti ini?” Dengan tangan kiri Loan Eng
menunjuk ke arah tengkorak-tengkorak yang menggeletak di kanan kiri Kwan Cu.
Sejak tadi Tauw-cai-houw
berdiri bengong dan takjub. Belum pernah dia melihat seorang wanita yang dalam
pandangan matanya sedemikian cantik jelitanya, yang mengingatkan dia kepada
istrinya dulu! Kemudian mendengarkan ucapan Loan Eng dia seperti tersadar dan
untuk beberapa lama dia tak dapat berkata-kata!
“Tauw-cai-houw, bersedialah
untuk mampus!” Loan Eng membentak ketika melihat orang itu hanya berdiri
memandangnya dengan mata terbelalak kagum.
Dengan seruan ini, wanita
perkasa itu kembali menyerang dengan pedangnya dan kali ini dia menggerakkan
pedangnya secara lihai bukan main. Inilah ilmu pedang keturunan dari
keluarganya dan meski pun Tauw-cai-houw amat lihai, namun dia segera menjadi
repot sekali menghadapi serangan pedang ini.
“Nona, tahan, Nona... aku tak
dapat melawanmu...”
Loan Eng membelalakkan matanya
yang bagus. Dia merasa sangat heran mendengar suara lawannya dan ketika ia
memandang, ternyata bahwa saikong yang bertubuh besar dan bermuka seperti
harimau itu telah menangis tersedu-sedu!
“Nona, jangan serang aku...
apa bila kau kehendaki aku akan melepaskan anak ini, aku akan melakukan apa
saja yang kau kehendaki, akan tetapi... jangan kau tinggalkan aku selamanya...”
Loan Eng sudah mendengar
tentang Tauw-cai-houw, dan sudah mendengar pula tentang riwayat orang aneh ini,
juga tahu bahwa orang ini otaknya miring. Akan tetapi mendengar kata-kata
permintaan itu, mau tidak mau ia merasa jengah dan merahlah mukanya.
“Keparat!” serunya marah.
Pedangnya membacok lagi dengan
gerak tipu Batu Karang Menimpa Jurang. Bacokan ini hebat sekali dan demikian
cepatnya sehingga tak mungkin bisa dielakkan pula. Terpaksa Tauw-cai-houw
menangkis dengan goloknya.
“Traaang...!” Bunga-bunga api
berpijar dan Loan Eng merasa tangannya tergetar hebat.
“Nona, jangan serang aku… jangan
tinggalkan aku…” berkali-kali Tauw-cai-houw berkata dengan suara penuh
permohonan.
Akan tetapi Loan Eng menjadi
makin penasaran dan sangat marah. Ia menyerang terus bertubi-tubi dan lawannya
hanya menangkis atau mengelak cepat, sama sekali tidak mau membalas, hanya
minta-minta dengan suara pilu.
Sesungguhnya, Loan Eng sendiri
merasa bahwa kepandaian saikong ini masih lebih lihai dari padanya. Kalau
Tauw-cai-houw membalas, tentu wanita perkasa ini akan terdesak. Akan tetapi,
saikong itu tak mau membalas sedikit pun juga dan betapa pun lihainya, ilmu
pedang yang dimainkan oleh Loan Eng merupakan ilmu pedang yang amat baik dan
juga kepandaian Loan Eng sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Maka
bagaimana dia dapat mempertahankan diri terus tanpa membalas?
Sesudah melakukan perlawanan
selama lima puluh jurus lebih, akhirnya sebuah bacokan pedang Loan Eng
menyerempet lengan kanannya sehingga ada segumpal daging dekat sikunya terbabat
pedang dan goloknya lepas dari pegangan.
“Aduh, nona... jangan lukai aku...”
Saikong itu berseru.
Akan tetapi Loan Eng mendesak
terus dan…
“Cep! Cep!” dua kali ujung
pedangnya berhasil menusuk pundak dan paha lawannya.
Tauw-cai-houw mengaduh-aduh
dan terhuyung-huyung mundur. “Nona... Nona… jangan lukai aku...” Dia masih terus
berseru dan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil memandang kepada Loan Eng
dengan sinar mata mengasih.
Diam-diam Loan Eng merasa
kasihan juga terhadap orang ini. Akan tetapi mengingat semua
kejahatan-kejahatannya yang sudah melampaui batas prikemanusiaan, Loan Eng
menggigit bibirnya yang merah lalu melompat maju dengan sebuah tusukan hebat
sekali.
“Aduh, istriku... mengapa kau
berhati sekejam itu?” Tauw-cai-houw menjerit dan setelah memanggil-manggil
istrinya, tubuhnya berkelojotan.
Tak lama kemudian dia
menghembuskan nafas terakhir. Dadanya sudah tertembus oleh pedang Loan Eng yang
cepat membersihkan pedangnya dan sekali tebas saja dia telah memutuskan tali
yang mengikat kedua tangan Kwan Cu.
Loan Eng mengira bahwa anak
ini akan berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya, akan tetapi dia kecelik
besar. Kwan Cu bahkan berdiri tegak di depannya dengan sinar mata
bernyala-nyala, kemudian mencela, “Kau kejam sekali!”
Loan Eng benar-benar tertegun
.
“Apa? Aku kejam? Kalau aku
kejam, habis bagaimana kau menganggap dia itu?” Dengan pedangnya ia menunjuk ke
arah mayat Tauw-cai-houw.
“Dia? Dia jahat.” Jawab Kwan
Cu tanpa ragu-ragu lagi.
“Hemm, anak bodoh. Kalau aku
tidak berlaku seperti yang kau sebut kejam tadi, apa kau kira sekarang kau
masih dapat bernafas lagi? Mungkin kau sudah masuk dan berada di dalam perutnya
yang gendut itu.”
“Akan tetapi tidak perlu
dibunuh,” bantah Kwan Cu.
Mendengar kata-kata ini,
diam-diam Loan Eng menjadi heran. Ia tadi telah merasa heran kenapa anak ini
tidak pernah mengeluh atau menangis. Tadinya ia mengira bahwa anak ini tentu
ditotok jalan darah bagian Ah-hiat sehingga membuatnya menjadi gagu, akan
tetapi ternyata anak ini tidak apa-apa. Mengapa ada anak demikian bandel dan
kuat?
Jidat anak itu masih berdarah
bekas terbentur ketika jatuh tadi, akan tetapi sedikit pun tidak pernah
mengeluh. Dan sekarang, kata-kata itu lagi. Sungguh-sungguh tidak pantas keluar
dari mulut seorang anak kecil!
Dia merasa tidak seharusnya
berbantah dengan seorang anak berusia lima tahun, akan tetapi anak ini lain
lagi. Kata-katanya membuatnya merasa penasaran. Ia telah menolong nyawa anak
ini dan apa balasannya? Celaan! Sungguh membuat penasaran dan gemas.
“Bocah ingusan! Kau tahu apa?
Kau lihat rangka-rangka itu? Jika si jahat itu tak kubunuh, kau pun akan
menjadi rangka, dan bukan kau saja, masih banyak anak-anak kecil akan
ditangkapnya, kemudian dibunuhnya secara keji. Aku telah membunuh seorang jahat
dan melenyapkan bencana demi keselamatan banyak orang anak-anak seperti engkau.
Dan engkau menganggap aku kejam?”
Setelah mendengar pembelaan
ini, baru agaknya Kwan Cu mau mengerti. Dia kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya yang gundul sambil berkata, “Toanio, kau benar dan aku yang salah.
Terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi.”
Loan Eng mau tidak mau harus
tersenyum biar pun hatinya mendongkol sekali. Alangkah mahalnya ucapan ‘terima
kasih’ dari anak jembel ini. Akan tetapi diam-diam ia tertarik. Anak ini bukan
anak biasa, dan cara anak ini mengaku kesalahan sendiri, benar-benar
mengherankan dan mengagumkan hatinya.
“Anak, siapakah namamu?”
“Namaku Lu Kwan Cu.”
“Sebatang kara?”
Kwan Cu mengangguk sunyi.
“Tidak ada tempat tinggal?”
Kwan Cu menggeleng, juga tanpa
berkata sesuatu.
Loan Eng menggeleng-geleng
kepala dan menarik napas panjang. Alangkah banyaknya anak-anak terlantar
seperti Kwan Cu ini. Banyak sudah dia bertemu dengan anak-anak seperti ini,
sebatang kara, berkeliaran menjadi pengemis, dan tak jarang mati kelaparan.
Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan jembel kecil seperti Kwan Cu ini.
Juga wajah anak ini berbeda sekali dengan lain-lain jembel.
“Kwan Cu, maukah kau ikut
dengan aku?”
“Ke mana?”
“Ke mana saja aku membawamu
pergi.”
“Mengapa? Untuk apa?”
“Anak bodoh, apa kau lebih
suka berkeliaran seorang diri di dunia yang penuh kejahatan ini? Baru saja kau
mengalami peristiwa yang mengancam nyawamu, apakah kau tidak ingin ikut dengan
aku, menjadi muridku?”
“Menjadi muridmu, Toanio?
Belajar apa?”
“Benar-benar pepat pikiranmu.
Tentu saja belajar ilmu silat!”
“Untuk apa belar silat?”
“Bodoh! Kalau kau memiliki
kepandaian silat, apakah segala macam orang jahat seperti Tauw-cai-houw itu
dapat mengganggumu?”
“Tidak, Toanio,” Anak itu
menggelengkan kepalanya yang gundul. “Aku tidak suka belajar silat.”
“He? Kenapa?” Wanita cantik
itu bertanya heran.
“Aku tidak mau belajar menjadi
orang kejam.” Kwan Cu teringat akan dua orang aneh di pantai laut. “Ilmu silat
hanya dapat dipergunakan untuk memukul orang, bahkan untuk membunuh orang. Aku
tidak suka pukul orang, juga tidak suka bunuh orang!”
Mendengar filsafat kanak-kanak
ini, hati nyonya itu menjadi tertegun. Betul-betul anak ini luar biasa sekali.
Loan Eng bermata tajam dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia dapat pula
melihat bahwa anak ini bertulang baik sekali untuk belajar silat.
“Jika aku mendapat kesempatan
belajar, aku ingin belajar membaca dan menulis, bukan belajar menggerakkan
senjata tajam yang mengerikan,” jawab Kwan Cu dengan suara tetap.
“Hemm, kau kira aku hanya
dapat menggerakkan pedang saja? Aku pun pernah belajar ilmu surat.”
Kwan Cu sangat girang sekali.
“Kalau begitu aku mau menjadi muridmu, Toanio!”
Setelah berkata demikian,
serta merta anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Loan Eng yang
kembali melengak, kemudian ia tertawa. Ketika Kwan Cu memandang, anak ini heran
juga. Setelah tertawa nyonya ini tampak cantik sekali bagaikan matahari yang
bersinar terang, sedangkan tadinya ada bayangan kemuraman di wajah manis itu,
seakan-akan matahari yang tertutup mendung.
“Toanio, bolehkah teecu
(murid) mengetahui namamu yang mulia?”
“Aku disebut orang Pek-cilan,
namaku Thio Loan Eng.”
Kwan Cu mencatat nama ini di
dalam otaknya, kemudian setelah Loan Eng mengajaknya pergi, dia mengikuti
wanita perkasa ini tanpa banyak cakap lagi. Loan Eng merasa amat kasihan pada
Kwan Cu, maka ia ingin menolong anak ini.
“Kau ikut aku ke rumahku
didusun Tun-hang, di sana kau boleh belajar membaca dan menulis, akan tetapi
kau harus membantu pekerjaan di rumah,” katanya.
Kwan Cu mengangguk-angguk.
“Tentu saja, Toanio. Aku pun tidak suka bila menganggur saja.”
Diam-diam Loan Eng berpikir.
Anak ini bukan anak sembarangan, pikirnya. Sudah terang anak ini punya
keberanian luar biasa, juga keuletan menderita yang amat mengagumkan. Selain
itu, pandangan serta pikirannya mendalam dan luas, dan ucapan belakangan ini
membayangkan bahwa ia mempunyai keangkuhan pula.
“Di mana orang tuamu? Siapakah
mereka?” tanyanya sambil berjalan perlahan karena kalau ia menggunakan ilmu
berjalan cepat, tentu anak ini akan tertinggal jauh.
“Aku tidak tahu. Aku hanya
tahu bahwa namaku adalah Lu Kwan cu, yang lain-lain aku tidak tahu sama
sekali.”
Loan Eng makin merasa heran.
Sungguh kasihan, mungkin semenjak kecil sudah hidup merantau seorang diri,
pikirnya.
“Toanio, kenapa orang gila
tadi menyebut kau sebagai istrinya? Dan mengapa ada orang makan anak kecil?”
Kwan Cu bertanya.
Loan Eng lalu menceritakan
keadaan Tauw-cai-houw. Ia telah mendengar riwayat orang itu dari mendiang
ayahnya.
“Dia mempunyai riwayat yang
amat menyedihkan. Isterinya yang masih muda dan cantik telah lari dengan
laki-laki lain, meninggalkan seorang anak kecil. Kemudian dia merantau bagaikan
orang gila mencari-cari isterinya, menggendong anaknya yang masih kecil itu.
Pada waktu dia tiba di dalam sebuah hutan dan menurunkan anaknya dari
gendongan, anaknya itu diterkam harimau! Ketika itu ia tengah mencari
buah-buahan untuk anaknya, dan saat dia datang menolong ternyata sudah
terlambat. Anaknya telah menjadi mangsa harimau yang kelaparan. Ia lalu
mengamuk dan seperti orang gila dia membunuh seluruh harimau yang ada di dalam
hutan itu. Pukulan batin ini terlampau berat baginya sehingga selain benci
terhadap harimau, juga timbul iri hatinya setiap kali dia melihat anak kecil.
Akhirnya, kegilaannya memuncak dan dia membunuh serta makan daging setiap anak
kecil yang diculiknya. Kau masih beruntung hanya menderita luka pada jidatmu
setelah tertangkap olehnya, sedikit saja aku terlambat kau pun akan akan
menjadi mangsanya. Entah bagaimana, dia telah berubah seperti seekor harimau
dan menganggap diri sendiri sebagai harimau yang suka makan anak kecil. Karena
itu maka di kalangan kang-ouw dia dikenal sebagai Tauw-cai-houw atau Harimau
Menagih Hutang, yaitu hutang nyawa anaknya!”
“Aduh kasihan sekali. Kalau
begitu memang lebih baik dia mati,” kata Kwan Cu.
Akan tetapi, pada saat itu
Loan Eng memandang padanya. Pendekar wanita ini teringat akan luka di jidat
Kwan Cu dan kini ketika ia melirik ke arah jidat anak itu, ia menjadi heran
sekali. Jidat yang tadinya matang biru dan agak terluka di tengah-tengah benjol
itu, kini lukanya telah lenyap sama sekali.
“Coba aku melihat luka di
jidatmu!” katanya dan cepat ia memegang kepala anak itu.
Benar-benar mengherankan
sekali karena luka itu sekarang sama sekali tidak berbekas lagi. Kulit itu
halus saja dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas terluka. Sungguh tak
mungkin sekali! Menurut kebiasaan, luka dan benjol seperti itu tak akan lenyap
dalam waktu satu dua hari, akan tetapi baru beberapa jam saja luka pada jidat
anak ini sudah lenyap.
Melihat air muka nyonya
perkasa itu terheran-heran, Kwan Cu bertanya,
“Ada apakah yang aneh pada
jidatku, Toanio?”
“Kau tadi diberi makan apa
oleh Tauw-ci-houw?” tanya Loan Eng tanpa mempedulikan pertanyaan Kwan Cu.
“Sebelum dia memanggangku, dia
menjejalkan sebutir buah yang pahit dan masam ke dalam mulutku sehingga
terpaksa aku menelannya.”
“Buah yang kulitnya bersisik
seperti ular?”
Pada waktu Kwan Cu mengangguk
membenarkan, Loan Eng menjadi terkejut dan girang sekali sehingga dia memegang
kedua pundak Kwan Cu dengan keras. Anak itu lantas menyeringai kesakitan
sehingga Loan Eng cepat melepaskan pegangannya.
“Apanya yang hebat, Toanio?
Buah itu tidak enak sekali.”
“Kau tahu apa? Buah itu
khasiatnya hebat bukan main. Ratusan orang kang-ouw bahkan berani
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan buah yang hanya terdapat di puncak
Hoa-san dan yang pohonnya hanya berbuah setiap lima puluh tahun sekali ini! Kau
mau tahu kehebatannya?” Loan Eng mencabut pedangnya dan secepat kilat ia
menggoreskan ujung pedangnya pada lengan kiri Kwan Cu.
Anak itu terkejut, akan tetapi
biar pun merasa sakit dan perih, dia tidak mengeluh, hanya memandang pada Loan
Eng dengan perasaan heran. Kulit lengannya terbuka dan darah mengalir keluar.
Akan tetapi hanya sebentar saja, karena darah itu segera menutup kulit dan
cepat sekali mengering. Sebentar saja lenyaplah rasa sakit dan pada saat Loan
Eng menggosok-gosok darah kering itu, ternyata bahwa luka pada kulitnya telah
tertutup lagi, hanya ada bekas guratan yang halus sekali, hampir tidak
kelihatan!
“Kau lihat, hebat bukan?
Kecuali terputus uratmu, kulit dan dagingmu menjadi kebal dan biar pun dapat
terluka, kau akan segera sembuh kembali. Kalau kau sudah mempelajari lweekang,
bahkan kau tak akan dapat terluka oleh senjata tajam! Kau benar-benar amat
beruntung, Kwan Cu!”
Sebenarnya Kwan Cu masih
kurang mengerti. Akan tetapi melihat khasiat buah itu, dia mengeluarkan
lidahnya saking kagumnya.
“Semua ini berkat
pertolonganmu, Toanio. Kalau kau tidak datang menolong, apa artinya buah itu
bagiku?”
Besar juga hati Loan Eng.
Betapa pun juga, anak ini ternyata tahu akan terima kasih. “Baiknya
Tauw-cai-houw telah gila. Kalau dia sendiri yang makan buah itu, apakah aku
dapat menang dalam pertempuran melawan dia tadi?”
Walau pun mulutnya bilang
begitu, namun di dalam hatinya Loan Eng tahu bahwa kalau saja Tauw-ci-houw
tidak tertarik oleh kecantikannya dan teringat akan isterinya, ia takkan dapat
menang menghadapi orang gila itu yang kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya.
“Kwan Cu, berjalan seperti
ini, dalam sebulan belum tentu kita akan sampai di Tun-hang. Hayo kugendong
kau!”
Kwan Cu memandang ragu.
“Toanio, pakaianku kotor.”
“Habis mengapa?” Wanita
perkasa itu memandang sambil tersenyum.
“Pakaianmu begitu bersih, aku
takut akan mengotorkan pakaianmu saja.”
“Anak bodoh!” seru nyonya itu.
Sebelum Kwan Cu sempat
menjawab, ia telah dipondong. Sebentar kemudian Kwan Cu merasa kepalanya pening
karena nyonya itu berlari cepat sekali bagaikan seekor burung sedang terbang.
“Aduh cepatnya!” serunya
girang setelah dia menjadi biasa dengan kelajuan ini.
“Kau mau mempelajarinya?”
“Tentu saja, Toanio.
Kepandaian ini amat besar gunanya. Aku suka mempelajarinya.”
Loan Eng tetap berlari cepat
dan kembali nyonya perkasa ini tersenyum. Anak ini baik sekali, cocok untuk
menjadi kawan anakku, pikirnya.
“Bukankah tadi kau bilang
tidak suka belajar ilmu silat?”
“Ehh, apakah berlari cepat
termasuk ilmu silat, Toanio? Yang aku tidak suka adalah ilmu memukul dan membunuh
orang. Ilmu berlari cepat seperti ini tidak dapat melukai orang. Aku suka
mempelajarinya!”
Dengan berlari cepat sekali,
dalam beberapa hari saja Loan Eng sudah sampai di dusun Tun-hang, sebuah dusun
kecil di kaki gunung Fu-niu akan tetapi mempunyai daerah dan tanah yang subur
sekali. Kehidupan penduduk di situ hanya bercocok tanam, akan tetapi meski pun
hidupnya sangat sederhana, namun mereka cukup makan dan sehat, bahkan boleh
dibilang makmur.
Rumah keluarga Thio cukup
terkenal, karena selain rumah ini paling besar di antara semua rumah di
Tun-hang, juga siapakah yang tidak mengenal Bun-pangcu, mendiang suami Loan
Eng?
Dahulu Loan Eng tinggal di
situ dengan ayahnya dan kemudian setelah ia menikah dan ayahnya sudah meninggal
dunia, ia tinggal bersama dengan suaminya, seorang gagah perkasa bernama Bun
Liok Si, ketua dari Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang berpusat di kota
Cin-an.
Sin-to-pang terkenal sebagai
perkumpulan orang gagah, dan seperti dapat diduga dari nama perkumpulannya,
perkumpulan ini terkenal karena ilmu goloknya yang lihai. Tentu ilmu golok yang
amat hebat. Setelah Bun Liok Si menikah dengan Thio Loan Eng, nama perkumpulan
ini menjadi semakin terkenal karena Loan Eng merupakan seorang tokoh yang
diindahkan dari dunia kang-ouw.
Pernikahan itu amat berbahagia
dan Loan Eng beserta suaminya dikaruniai seorang putri yang mungil dan yang
diberi nama Bun Sui Ceng. Akan tetapi ketika Sui Ceng berusia tiga tahun,
terjadi peristiwa yang hebat sekali.
Untuk mengurus perkumpulannya
yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, Bun Liok Si sering kali pergi ke kota
Cin-an. Akhir-akhir ini makin sering Liok Si pergi ke Cin-an dan semakin lama
saja dia berada di kota itu meninggalkan anak isterinya. Loan Eng tidak
bercuriga, karena sebagai seorang isteri yang bijaksana, ia mencintai dan juga
percaya penuh kepada suaminya.
Akan tetapi, di antara
pembantu-pembantu suaminya, terdapat seorang pemuda yang diam-diam menaruh hati
cinta pada Loan Eng yang cantik jelita. Pada suatu hari, pemuda ini menjumpai
Loan Eng dan menceritakan bahwa kini Bun Liok Si mempunyai seorang kekasih di
kota Cin-an, dan bahwa kekasihnya itu telah dijadikan isteri kedua. Karena
itulah maka Bun Liok Si jarang sekali pulang ke dusun dan betah sekali tinggal
di Cin-an.
Thio Loan Eng adalah seorang
wanita yang berhati keras sekali, persis seperti mendiang ayahnya. Ia mencinta
dan percaya pada suaminya, akan tetapi kalau dipermainkan, dia menjadi seorang
iblis wanita!
Dengan marah sekali ia lalu
membawa pedangnya dan menyusul ke Cin-an. Benar saja, ia lalu mendapatkan
suaminya berada dalam rumah seorang nona cantik yang menjadi penyanyi terkenal
di kota itu. Meluaplah kemarahannya dan dia membunuh perempuan itu. Juga ia
menyerang suaminya kalang kabut dengan pedangnya.
Bun Liok Si merasa bersalah
dan minta ampun, akan tetapi Loan Eng tidak mau memberi ampun dan meyerang
terus. Kalau saja Bun Liok Si mau melawan dengan goloknya yang lihai, agaknya
isterinya tak akan menang. Akan tetapi pada waktu itu, Bun Liok Si yang sudah
merasa bersalah itu berlaku mengalah dan tidak mau membalas.
Ilmu pedang Loan Eng cepat dan
ganas sekali, maka akhirnya pedang di tangan nyonya muda yang marah besar ini
menembus dada suaminya sendiri! Di dalam saat terakhir Bun Liok Si masih
memaafkan isterinya dan berpesan supaya isterinya itu merawat Sui Ceng
baik-baik!
Sesudah melihat suaminya
menggeletak tak bernyawa di depan kakinya, barulah Loan Eng merasa menyesal
sekali. Ia lalu mendengar bahwa memang sudah lama suaminya itu dibujuk-bujuk
dan dirayu-rayu oleh nona penyanyi ini. Ketika ia menyelidiki, ternyata bahwa
nona penyanyi ini sudah bersekutu dengan pemuda yang melaporkan kepadanya
tentang ketidak setiaan suaminya!
Loan Eng menjadi sadar. Pada
hari itu juga ia mencari pemuda yang menjadi pembantu suaminya dan tanpa ampun
lagi ia membunuh pemuda ini!
Perkumpulan Sin-to-pang
menjadi gempar, tetapi tak ada seorang pun berani menentang Loan Eng atau
Pek-cilan yang ilmu pedangnya hebat itu. Bun Liok Si sangat dicinta oleh semua
anggotanya, maka para anak buah Sin-to-pang menaruh dendam pada Loan Eng,
sungguh pun mereka tidak berani menyatakan secara berterang. Loan Eng juga tak
mau peduli lagi akan perkumpulan mendiang suaminya, dan ia hidup berdua dengan
puterinya di rumah besar warisan orang tuanya sendiri di dusun Tun-hang.
Pada saat Loan Eng yang
memondong Kwan Cu tiba dipinggir dusun Tun-hang, tiba-tiba dia menghentikan
larinya ketika melihat tiga orang laki-laki yang kepalanya diikat sapu tangan
putih berdiri di pinggir jalan dan memandangnya dengan tajam.
“Mengapa kalian memandang saja
kepadaku?” tanya nyonya cantik ini dengan ketus.
Tiga orang itu berubah air
mukanya dan mereka cepat memberi hormat sambil menjura.
“Tidak, Thio-toanio, kami
tidak bermaksud apa-apa, hanya merasa heran melihat toanio menggendong seorang
anak laki-laki yang tidak kami kenal,” berkata seorang di antara mereka.
“Bukan urusanmu, jangan ambil
pusing! Ehh, siapakah sekarang yang menjadi pangcu (ketua) dari Sin-to-pang?”
tiba-tiba ia bertanya.
“Belum ada, Toanio, dan
kebetulan sekali Toanio bertanya tentang hal ini. Sesungguhnya kami bertiga
untuk sementara ini mengurus perkumpulan, sementara menunggu adanya seorang
ketua. Oleh karena kita sudah membicarakan perkumpulan, biarlah kami bertiga
mengulangi lagi permohonan kami pada Thio-toanio. Harap Toanio sudi mengingat
akan usaha dan jerih payah Bun-pangcu dan suka memimpin perkumpulan kami
yang...”
“Cukup! Aku sampai bosan
mendengarkannya. Berapa kali sudah kukatakan bahwa aku tak peduli lagi dengan
perkumpulan busuk itu? Perkumpulan yang hanya mengutamakan nafsu dan
pelanggaran susila?”
“Toanio terlalu tidak adil!”
Salah seorang di antara mereka berseru. “Hanya seorang yang melanggar, akan
tetapi Toanio mengutuk kami semua. Apa kematian Bun-pangcu masih belum cukup
merupakan tebusan dosa? Apakah...?”
Belum habis orang itu
berbicara, tangan Loan Eng menyambar dan terdengar orang itu berseru kesakitan,
lantas tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima langkah. Ternyata bahwa
tangan Loan Eng tadi sudah memukul pundaknya sehingga sambungan tulang
pundaknya terlepas!
Loan Eng lalu memandang dengan
mata penuh ancaman. “Semoga sedikit hajaran ini membikin kalian kapok dan tidak
akan mengganggu aku lagi!” Setelah berkata demikian, Loan Eng melompat pergi
dan sebentar saja nyonya yang keras hati ini telah masuk ke dalam dusun,
langsung menuju ke rumahnya.
Kwan Cu senang tinggal di
rumah keluarga Thio. Tidak saja Loan Eng sangat suka dan bersikap baik sekali
padanya, juga Bun Sui Ceng, putri dari Loan Eng ternyata adalah seorang anak
yang manis dan lincah.
Sui Ceng senang kepada Kwan Cu
karena anak ini jauh lebih cerdik dari padanya, dan dalam banyak hal selalu
Kwan Cu menjadi penasihatnya. Sui Ceng menganggap Kwan Cu sebagai kakaknya
sendiri dan demikian Kwan Cu merasa mendapatkan seorang adik yang manis.
Terhadap Loan Eng, Kwan Cu berlaku penuh hormat dan dia pun amat rajin membantu
pekerjaan rumah sehingga nyonya janda ini amat suka padanya.
Akan tetapi, apa bila semenjak
kecil Sui Ceng amat gemar belajar ilmu silat, sebaliknya Kwan Cu tidak pernah
mau belajar ilmu pukulan, dan lebih tekun mempelajari ilmu surat dan juga ilmu
ginkang! Sebentar saja Kwan Cu sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang
mengagumkan Loan Eng.
Benar sebagaimana dugaannya,
Kwan Cu amat baik bakatnya, bahkan dalam usia enam tahun anak ini sudah tahu
cara-cara melatih diri dalam hal siulian atau semedhi! Di luar kesadaran anak
itu sendiri, diam-diam Loan Eng melatih ginkang dan lweekang kepada Kwan Cu.
Dua tahun lewat tanpa terasa
dan usia Kwan Cu sudah tujuh tahun. Di dalam waktu dua tahun itu dia sudah
dapat mempelajari ilmu surat, dan kini dia sudah lancar serta pandai membaca
kitab-kitab tebal, bahkan dengan lancarnya dia sanggup membaca kitab-kitab
berat yang berisi ujar-ujar para nabi! Benar-benar dalam hal ini pun Loan Eng
merasa terkejut dan terheran sekali atas kecerdasan otak anak yang pendiam itu.
Keluarga Thio adalah keluarga
yang kaya, maka selain gedung yang besar itu, Loan Eng juga menerima warisan
berupa barang-barang berharga. Akan tetapi nyonya janda ini hidup secara
sederhana, hanya dibantu oleh dua orang pelayan yang sekalian bekerja sebagai
pengasuh Sui Ceng. Semenjak suaminya meninggal, nyonya ini sering kali pergi
merantau dan meninggalkan anaknya di dalam asuhan pelayan itu.
Pada suatu pagi Kwan Cu dan
Sui Ceng bermain-main di depan rumah. Thio Loan Eng sedang pergi ke kota,
membeli barang-barang keperluan yang tidak dapat dibeli di dusun mereka.
Sui Ceng sedang memamerkan
kepandaian silatnya kepada Kwan Cu. Anak perempuan yang berusia lima tahun ini
memang memiliki gerakan yang lincah dan gesit, karena itu Kwan Cu memandang
dengan hati gembira. Di dalam pandangan Kwan Cu, Sui Ceng bergerak-gerak
bagaikan orang menari-nari sehingga tak terasa pula dia bertepuk tangan memuji.
“Bagus, adik Ceng. Sayang
gerakanmu kurang cepat.”
“Apa? Kurang cepat? Kwan Cu,
kau tidak pernah belajar silat, lalu bagaimana kau berani lancang mengatakan
kurang cepat?” Sui Ceng bertanya penasaran.
“Memang aku tak pernah belajar
karena aku tidak suka dengan ilmu pukul orang, akan tetapi kalau aku melihat
ibumu mengajarmu, ternyata gerakan ibumu jauh lebih cepat dari padamu. Oleh
karena itu maka aku bilang gerakanmu kurang cepat.”
Sui Ceng tidak jadi marah.
Jika demikian halnya kata-kata tadi bukan merupakan celaan. “Mana bisa aku
dibandingkan dengan ibu? Tentu saja aku kalah cepat. Ibu adalah orang yang
paling cepat gerakannya di dunia ini.”
Kwan Cu diam saja. Akan tetapi
diam-diam dia berpikir bahwa jika dibandingkan dengan dua orang kakek yang dulu
dilihatnya di dekat pantai, ibu anak ini kalah jauh sekali.....
Kedua anak ini tidak tahu
bahwa semenjak tadi, tiga orang laki-laki berdiri agak jauh di luar rumah itu
dan memandang ke arah mereka. Tiga orang itu muncul tak lama setelah Loan Eng
pergi ke Cin-an dan mereka kini bicara kasak-kusuk, lalu dengan langkah lebar
mereka memasuki pekarangan gedung itu.
Kwan Cu memandang dan dia
melihat tiga orang yang telah dikenalnya dua tahun lalu. Mereka itu adalah
orang-orang yang pernah membujuk kepada Loan Eng untuk menjadi pangcu dari
Sin-to-pang, akan tetapi kemudian ditolak oleh Loan Eng, bahkan seorang di
antaranya telah dipukul jatuh. Diam-diam Kwan Cu berkhawatir dan tanpa terasa
lagi dia lalu berjalan menghadang di depan Sui Ceng.
“Toanio tidak ada di rumah,
harap Sam-wi datang lain kali saja,” kata Kwan Cu kepada mereka.
“Ha-ha-ha, kau bukankah budak
pengemis dulu itu? Aku sudah tahu kalau Toanio tidak ada, tak usah kau banyak
buka mulut!” Seorang di antara mereka membentak dan sekali lagi mengulur
tangan, dia telah memegang tangan Kwan Cu, lantas mendorong anak itu sehingga
roboh terguling.
“Kau manusia busuk!” Sui Ceng
dengan marah sekali memaki. “Kau berani menjatuhkan Kwan Cu? Kupukul kepalamu!”
Sambil berkata demikian Sui Ceng menyerang dengan kepalan tangannya yang kecil!
Akan tetapi, dengan mudah saja
orang itu menangkap tangan dan sekali tarik, Sui Ceng sudah berada dalam
gendongannya dan kedua tangan anak itu dipegang dalam sebuah tangan tanpa dapat
bergerak lagi.
“Lepaskan dia! Lepaskan adik
Ceng!”
Kini Kwan Cu sudah melompat
bangun, menerjang dalam usahanya hendak merampas kembali Sui Ceng.
Akan tetapi, kembali sebuah
dorongan membuat dia jatuh jungkir-balik. Sungguh heran tiga orang itu, karena
begitu di dorong jatuh, anak gundul itu segera melompat berdiri lagi dan
kembali mencoba untuk merampas Sui Ceng!
“Lepaskan adik Ceng!” serunya
berulang-ulang sambil dengan nekat dia mencoba untuk merebut anak itu.
Sui Ceng juga berseru-seru,
“Kwan Cu, tolonglah aku…!”
Sebuah tendangan mengenai kaki
Kwan Cu sehingga membuat anak itu terlempar jauh, lalu jatuh mengeluarkan suara
berdebuk. Akan tetapi, seperti tidak merasakan sesuatu, anak gundul itu telah
bangun kembali dan mengejar!
Orang tertua di antara ketiga
orang itu, yang berjenggot kasar, memukul kepala Kwan Cu. Anak ini tidak pernah
belajar silat, akan tetapi perasaannya memperingatkan bahwa kalau sampai
kepalanya sampai kena terpukul, mungkin dia akan binasa. Maka dia cepat
miringkan kepalanya dan sebaliknya yang terkena pukulan adalah pundaknya.
“Bukkk!”
Orang itu terkejut sekali
karena seperti memukul bantal kapuk saja, dan biar pun Kwan Cu kembali jatuh
berguling-guling bagaikan bola ditendang, namun dia segera melompat kembali dan
berteriak-teriak menuntut supaya Sui Ceng dilepaskan!
“Twako, kita tinggalkan anak
setan itu!” orang yang memondong Sui Ceng berkata sambil melompat pergi,
diikuti oleh dua orang kawannya.
“Lepaskan adik Ceng...!” Kwan
Cu mengejar.
Kembali tiga orang itu
terkejut bukan main karena melihat betapa anak gundul itu dapat berlari cepat!
Memang selama dua tahun ini, yang dengan tekun dipelajari oleh Kwan Cu selain
ilmu membaca dan menulis, adalah berlari cepat dan tanpa disadarinya dia
melatih ginkang dan lweekang! Oleh karena dia telah mempunyai tenaga lweekang,
dibantu daya luar biasa dari buah ular yang dahulu dia makan dengan terpaksa
oleh Tauw-cai-houw, maka semua tendangan, pukulan, dan dorongan itu biar pun
membuat dia jatuh bangun, namun tidak melukainya!
Tiga orang pemimpin
Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng berlari terus memasuki hutan dan ketika
mereka menengok, mereka tidak melihat Kwan Cu lagi. Mereka tertawa girang dan
melanjutkan perjalanan mereka menuju ke tengah hutan.
Tiga orang ini tidak mengira
bahwa diam-diam Kwan Cu mengikuti mereka. Tadi ketika dia mengejar, dia sendiri
merasa heran karena ternyata dalam hal berlari cepat, dia tidak kalah oleh
ketiga orang itu! Bahkan kalau dia mau, agaknya dia akan dapat berlari lebih
cepat lagi!
Kemudian, saat ketiga orang
itu memasuki hutan, Kwan Cu mendapat pikiran yang amat baik. Apa bila dia terus
menerus mengejar, seandainya dia dapat menyusul mereka, apa gunanya? Ia tidak
akan dapat menolong Sui Ceng, dan ini tidak berarti apa-apa.
Lebih baik dia mengejar dan
mengintai secara diam-diam supaya dia tahu ke mana Sui Ceng dibawa sehingga
kemudian dia dapat memberitahukan kepada Loan Eng, ibu dari anak itu. Cara ini
lebih tepat karena kalau sampai dia dapat membawa Loang Eng datang menyusul
mereka, apa sih sukarnya merebut kembali Sui Ceng?
Demikianlah, ketika tiga orang
itu sudah tiba di tempat persembunyian mereka, yakni di dalam sebuah rumah bambu
di tengah hutan itu, dan ketika Kwan Cu melihat Sui Ceng dibawa masuk ke sana,
anak itu cepat-cepat berlari keluar dari hutan, kembali ke dusun Tun-hang.
Tak seorang pun di dusun itu
tahu mengenai penculikan ini, dan keadaan di dalam dusun tetap aman seperti
biasa. Kwan Cu masuk ke dalam gedung dan ketika pelayan-pelayan bertanya di
mana adanya Sui Ceng, dengan tenang Kwan Cu menjawab,
“Adik Ceng dibawa lari oleh
tiga orang Sin-to-pang, tetapi harap kalian jangan ribut-ribut, kita menunggu
saja sampai Toanio pulang.”
Akan tetapi, dua orang wanita
pelayan itu tentu saja tidak mau diam dan mereka segera mewek-mewek dan
sesambatan memanggil-manggil Sui Ceng. Dengan sebal sekali lalu Kwan Cu keluar
dan duduk di halaman depan menanti kembalinya Loan Eng.
Siang hari itu juga Loan Eng
datang membawa bungkusan besar berisi barang-barang belanjaan dari kota. Segera
dua orang pelayan wanita itu berlari-lari dari dalam sambil menangis.
“Toanio... Toanio…” kata
mereka megap-megap menahan tangis.
“Diam kalian!” Kwan Cu
membentak marah sehingga dua orang pelayan itu terkejut.
“Kau... kau setan cilik!”
Pelayan itu memaki. “Nona majikan diculik orang, tetapi kau tidak bersusah
sedikit juga pun!”
Akan tetapi, pada saat
mendengar ini, Loan Eng seketika menjadi pucat dan memegang pundak Kwan Cu.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.
Biar pun mukanya pucat, wanita gagah ini masih bersuara tenang.
“Teecu sedang bermain-main
dengan adik Ceng di pekarangan depan ketika tiga orang pengurus Sin-to-pang
yang dahulu, dua tahun lalu, pernah menjumpai Toanio di jalan itu datang. Tanpa
banyak bicara lagi mereka langsung membawa pergi adik Ceng. Teecu mencoba untuk
merebut kembali, akan tetapi teecu dipukul jatuh bangun.”
“Bohong dia! Anak ini tidak
susah sedikit pun, mana dia berani mencoba menolong?” Pelayan yang seorang
berkata.
“Tutup mulutmu dan pergi ke
belakang!” Loan Eng membentak dan dua orang pelayan itu dengan ketakutan pergi
kebelakang sambil menyusut air mata.
“Lanjutkan ceritamu, Kwan Cu,”
kata Loan Eng.
“Ketiga orang itu membawa adik
Ceng keluar dusun dan teecu terus mengikuti mereka.”
“Bagus! Ke mana mereka membawa
Ceng-ji?”
Loan Eng percaya penuh atas
keterangan ini karena maklum bahwa anak ini mempunyai ginkang yang cukup tinggi
dan tanpa disadari oleh anak itu sendiri, dia sudah memberi pelajaran ilmu lari
cepat Chou-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput).
“Mereka membawa adik Ceng ke
dalam hutan di sebelah timur dusun. Di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah
gubug, di sanalah adik Ceng di bawa masuk, lalu teecu cepat berlari pulang
untuk memberi tahu kabar kepada Toanio.”
“Bagus, Kwan Cu. Mari kita
kejar mereka!” Sambil berkata demikian, nyonya ini segera memegang tangan Kwan
Cu dan berlarilah ia cepat sekali.
Baiknya Kwan Cu sudah
mempelajari ilmu ginkang sehingga sungguh pun masih juga ia terseret, namun dia
juga masih dapat menggunakan kedua kakinya untuk ditotolkan pada tanah dan
membantu tenaga tarikan itu sehingga mereka maju pesat sekali.
Pada saat melihat Loan Eng
berlari-lari cepat sambil menarik tangan Kwan Cu, beberapa penduduk dusun
menjadi terheran-heran, maka bertanyalah mereka kepada kedua orang pelayan yang
lalu bercerita sambil menangis tentang diculiknya Sui Ceng. Dalam sekejap mata
gemparlah dusun itu.
Ketika melihat bahwa Kwan Cu
dapat mengimbangi larinya dengan menotolkan kakinya pada tanah, diam-diam Loan
Eng menjadi kagum dan senang melihat kemajuan anak ini. Akan tetapi pada saat
itu dia sedang merasa gelisah dan marah karena terculiknya Sui Ceng, maka dia
tidak berkata sesuatu. Karena Loan Eng berlari cepat sekali, sebentar saja
mereka telah sampai di dalam hutan itu dan Kwan Cu lalu menunjuk ke arah gubug
yang berada di tengah hutan.
Ketika Loan Eng tiba di tempat
itu, dia terkejut sekali karena gubug itu sudah dijaga oleh sedikitnya lima
puluh orang yang semuanya diikat sapu tangan putih kepalanya. Ia tahu bahwa
mereka ini adalah anggota-anggota Sin-to-pang, karena memang sejak suaminya
tewas, semua orang itu mengikat kepalanya dengan kain putih tanda berkabung!
Akan tetapi Loan Eng tidak
merasa gentar dan segera maju menghampiri. Tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang
menculik Sui Ceng cepat berlari maju, menyambut dengan penuh penghormatan.
“Thio-toanio sudah datang
untuk menyambut Bun-siocia. Harap menerima penghormatan kami,” berkata orang
yang berjenggot kasar kepada Loan Eng sambil menjura.
Kemudian dia memberi aba-aba
dan ketika Loan Eng memandang, dia melihat puluhan orang anggota itu mencabut
golok yang dipalangkan di depan dada. Diam-diam nyonya janda ini terharu juga
karena ia tahu karena inilah penghormatan dari Sin-to-pang seperti yang biasa
dilakukan mereka kepada mendiang suaminya!
“Aku bukan apa-apa, bukan
pengurus bukan pula anggota Sin-to-pang, untuk apa segala penghormatan itu? Aku
datang mengambil kembali Ceng-ji dan hendak bertanya kenapa kalian berani mati
sekali menculiknya?”
“Toanio, kami sedang melakukan
upacara pengangkatan ketua. Bun-siocia telah menjadi pilihan kami untuk
menggantikan ayahnya sendiri, mengapa kami dianggap menculik?”
“Apa katamu?” Mata Loan Eng
terbelalak kaget. “Ceng-ji kalian angkat menjadi ketua?”
“Benar, Toanio. Di dalam dunia
ini selain Toanio dan Bun-siocia, tak ada lagi orang yang lebih berhak menjadi
ketua Sin-to-pang. Dan oleh karena Toanio menolak, maka pilihan kami jatuh pada
Bun-siocia.”
“Kalian gila! Lepaskan anakku
Ceng-ji apa bila kalian tidak ingin melihat aku mengamuk. Anak baru berusia
enam tahun bagaimana bisa menjadi ketua Sin-to-pang?”
“Tidak bisa dibawa sekarang,
Toanio. Kau sendiri pasti sudah tahu bahwa dalam upacara pengangkatan kepala
perkumpulan kami, tidak boleh diganggu. Ada pun mengenai usia, kami dapat cukup
bersabar untuk mendidik Bun-siocia dan sementara ini kami sanggup mewakilinya.”
“Kurang ajar!” Loan Eng
menggerak-gerakkan pedang dengan sikap mengancam sekali. “Kau mau membebaskan
dia atau tidak?”
“Toanio, kau lihat sendiri.
Bun-siocia sedang melakukan sembahyang untuk pengangkatan itu,” kata seoarang
di antara tiga orang pemimpin sin-to-pang itu.
Loan Eng memandang ke arah
rumah gubuk itu dan benar saja. Dia melihat beberapa orang hwesio tengah
melakukan upacara sembahyang untuk mengambil sumpah kepada Sui Ceng yang
diangkat menjadi ketua Sin-to-pang.
Loan Eng meloncat ke depan
pintu dan di sana dia melihat Sui Ceng sedang berlutut di depan meja sembahyang
di mana terpasang gambar mendiang suaminya, Bun Liok Si yang tewas dalam
tangannya sendiri! Loan Eng tertegun dan berdiri bagaikan patung. Sementara
itu, Sui Ceng sudah mendengar suara ibunya tadi, maka kini dia menengok. Ketika
melihat ibunya, dia berseru girang.
“Ibu, aku telah berada di
antara kawan-kawan ayah!” Sui Ceng menunjuk ke arah gambar ayahnya. ”Lihat, itu
dia ayah dan sekarang aku diangkat menjadi pengganti ayah!”
Hati Loan Eng tergetar. Memang
dia selalu membohongi anaknya itu tentang ayah anak itu. Dikatakan selalu bahwa
ayahnya telah pergi jauh sekali, naik perahu menyeberangi laut.
“Ceng-ji…” katanya perlahan
dan ia hendak menyerbu ke dalam gubuk, namun tiba-tiba tiga batang golok
menghadang di depannya.
“Toanio, puterimu sudah memilih
jalannya. Dia telah diambil sumpahnya maka sekarang dia telah menjadi
Bun-siauw-pangcu (ketua Bun cilik), dan harap kau jangan menggangu Pangcu
kami!”
“Bangsat, aku adalah ibunya!”
Loang Eng berseru sambil meloncat kembali ke halaman depan gubuk itu yang
lebar.
Loan Eng maklum kalau terjadi
pertempuran, ia akan dikeroyok oleh banyak orang. Maka ia harus mencari tempat
yang lebar dan luas agar pergerakannya lebih leluasa.
“Thio-toanio, mendiang
Bun-pangcu adalah ayahnya! Dan dia sekarang adalah Pangcu kami, tak seorang pun
boleh mengganggu!”
“Pengangkatan ketua secara
paksa. Ah, tak salah lagi orang-orang ini pasti sudah miring otaknya! Sungguh
banyak sekali orang gila di dalam dunia ini!” Tiba-tiba terdengar suara
nyaring.
Semua orang, termasuk juga
Loan Eng, lalu menengok ke arah suara itu. Ternyata yang bicara tadi adalah
Kwan Cu yang kini sudah nongkrong di bawah pohon dan sejak tadi memperhatikan
peristiwa yang terjadi di depan matanya.
Tiga orang pemimpin
Sin-to-pang itu memandang pada Kwan Cu dengan mata mendelik. Mereka sangat
mendongkol karena dimaki gila, juga dapat menduga bahwa Loan Eng dapat
menemukan tempat mereka tentu atas petunjuk bocah gundul itu. Akan tetapi pada
saat seperti itu mereka tidak sempat melayani bocah gundul itu.
“Huang-ho Sam-eng (Tiga
Pendekar Sungai Kuning), sekali lagi aku bertanya, apakah kalian tidak mau
membebaskan Sui Ceng dengan baik-baik sehingga aku tak perlu turun tangan?”
“Itu tidak mungkin, Toanio.
Dengan berbuat begitu, berarti kami melanggar sumpah setia kepada mendiang
Bun-pangcu!” jawab seorang di antara mereka.
Memang tiga orang pemimpin
yang dahulu menjadi pembantu-pembantu Bun Liok Si ini adalah tiga bersaudara
yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sam-eng dan mereka ini sudah semenjak
mudanya terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman.
“Kalau begitu kalian mencari
penyakit sendiri!” bentak Loan Eng.
“Kami siap sedia mengorbankan
nyawa untuk Sin-to-pang!”
Loan Eng tidak banyak cakap
lagi lalu langsung menggerakkan pedangnya menyerang. Tiga orang itu lalu
mengurungnya, merupakan segitiga dan menggerakkan golok mereka menangkis.
Pertempuran hebat terjadi dan mata Kwan Cu yang menonton pertempuran itu dari
bawah pohon menjadi silau melihat gerakan pedang dari Loan Eng.
Pedang nyonya ini bergerak
cepat, berkelebat ke sana kemari laksana kilat menyambar-nyambar. Sebentar saja
tiga orang pengeroyoknya menjadi terdesak hebat. Akan tetapi, benar seperti
kata-kata mereka tadi, mereka melawan secara nekat serta mati-matian, bertekad
akan melawan sampai titik darah terakhir dalam membela perkumpulan mereka.
Sebagai keturunan langsung
dari Bun Liok Si, pengangkatan Sui Ceng menjadi ketua perkumpulan sangat
diperlukan untuk menjaga perkumpulan yang sudah bertahun-tahun menduduki tempat
yang baik di dunia kang-ouw itu. Sejak Bun Liok Si tewas, semangat para anggota
menjadi lemah dan perkumpulan itu terancam keruntuhan.
Biar pun dia sendiri tidak
suka belajar ilmu silat yang dianggapnya sebagai sebagai ilmu memukul dan
membunuh orang, namun melihat cara Loan Eng menggerakkan pedang menghadapi
ketiga orang pengeroyoknya itu membikin Kwan Cu menjadi gembira dan kagum
sekali. Ia menonton dengan sepasang matanya bersinar-sinar, dan dengan penuh
perhatian dia melihat betapa sinar pedang nyonya itu mengurung tiga pengeroknya.
Benar-benar sangat
mengherankan hatinya. Sudah jelas bahwa nyonya itu dikurung dan dikeroyok oleh
tiga orang, akan tetapi kenapa sinar pedangnya bahkan dapat mengurung serta
mengancam tiga pengeroyoknya?
Memang ilmu pedang keluarga
Thio sangat hebat. Hal ini dapat dirasakan oleh Huang-ho Sam-eng, dan dengan
diam-diam mereka juga kagum sekali. Tidak aneh apa bila ketua mereka dulu tewas
dalam tangan nyonya ini.
Mereka bertiga sudah menerima
pelajaran ilmu golok langsung dari Bun Liok Si, dan di kalangan kang-ouw
kepandaian main golok dari tiga pendekar Sungai Huang-ho ini telah terkenal
sekali. Akan tetapi sekarang ketika menghadapi Loan Eng, mereka benar-benar
terdesak hebat dan tidak dapat menyerang karena mereka tidak sempat.
Pedang Loan Eng bergerak cepat
sekali. Tiap kali tertangkis oleh sebatang golok, maka pedang itu terpental dan
sekaligus membuat serangan lain ke arah pengeroyok yang lain lagi! Juga tubuh
nyonya cepat bagikan seekor burung walet menyambar-nyambar, sukar sekali diikuti
pergerakannya.
Sementara itu, Loan Eng yang
bernafsu keras untuk cepat-cepat menjatuhkan tiga orang lawannya dan segera
menolong puterinya, lalu berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya mencelat ke
atas. Kaki kanannya digerakkan secara tiba-tiba menendang ke arah golok dari
pengeroyok yang berada di depannya.
Terdengar suara nyaring sekali
ketika golok di tangan penyerang itu terpukul oleh ujung kaki sehingga
pemegangnya merasa kaget bukan main. Bukan sembarang orang berani menendang
sebatang golok yang terpegang kuat.
Selagi dia terkejut dan
memandang dengan mata terbelalak, Loan Eng sudah memutar pedangnya dan
menyerang dua orang yang lainnya. Mereka ini terkejut sekali dan cepat mengelak
mundur.
Kesempatan ini dipergunakan
oleh Loan Eng untuk menggerakkan pedangnya ke depan dengan kecepatan yang tak
dapat terduga lebih dahulu oleh lawan-lawannya. Terdengar jerit kesakitan,
lantas orang itu roboh dengan pundak terluka dan goloknya terlempar dari
pegangan.
“Toanio, jangan bunuh orang…!”
berkali-kali Kwan Cu berteriak. Teriakan ini ada baiknya karena merupakan
peringatan bagi Loan Eng yang sedang marah sekali.
Dengan sangat cepatnya,
kembali dia merobohkan dua orang lawannya dengan melukai paha dan lengan
mereka, kemudian bagai seekor burung garuda dia melompat ke dalam gubuk itu.
Beberapa anak buah Sin-to-pang yang menghadang di pintu, hanya dengan sekali
terjang telah dibuat kocar-kacir, jatuh tunggang langgang ke kanan kiri.
Betul-betul hebat sepak terjang nyonya yang sedang marah itu, laksana seekor harimau
betina yang anaknya diganggu.
“Ibu, jangan ganggu anak
buahku!” tiba-tiba Sui Ceng berseru nyaring.
Seruan Sui Ceng ini tidak saja
membuat Loan Eng melengak, juga membuat para anak buah Sin-to-pang tiba-tiba
menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut,
“Bun-siauw-pangcu!”
Loan Eng benar-benar tertegun
sekali. Teriakan tadi membuat ia teringat pada mendiang suaminya. Seakan-akan
suaminya yang berseru tadi melalui mulut anaknya! Segera naik sedu sedan dalam
kerongkongan nyonya itu dan tanpa banyak cakap lagi ia menyambar tubuh Sui Ceng
dan dibawanya lari keluar!
Ketika Loan Eng lewat di depan
Kwan Cu yang sudah berdiri di bawah pohon, ia berkata, “Kwan Cu, terpaksa aku
meninggalkan kau, anak baik! Aku hendak pergi bersama Sui Ceng. Kelak kalau kau
bertemu Sui Ceng, pesanku padamu, jagalah dia baik-baik dan bantu dia. Selamat
tinggal, Kwan Cu,” sambil berkata demikian, Loan Eng memeluk dan mencium jidat
Kwan Cu , lalu pergi cepat sekali sambil menggendong Sui Ceng!
Kwan Cu berdiri bagaikan
patung dan mulutnya berkemak kemik, “Aku akan menjaga adik Ceng! Akan kujaga
dia baik-baik...” Dan tak terasa pula anak gundul ini menangis dengan air mata
mengalir di kedua pipinya.
Anak ini merasa ditinggalkan
seorang diri, sekarang kembali sebatang kara, ditinggalkan kepada nasibnya
sendiri. Ia tidak berduka, hanya menangis saking merasa terharu saja. Belum
pernah dia dikasihi orang seperti nyonya janda tadi dan ciumannya pada jidatnya
menghangatkan hatinya. Seakan-akan dia kehilangan seorang ibu!
Dengan kedua kaki lemas anak
ini lalu beranjak pergi dari tempat itu. Tetapi baru saja berjalan beberapa
langkah tiba-tiba di depannya telah menghadang tiga orang pemimpin Sin-to-pang
yang terluka. Luka-luka mereka hanya luka-luka kulit saja dan sebentar saja
mereka telah dapat berdiri kembali. Kini kemarahan mereka tertimpa pada Kwan
Cu.
“Anak gundul, kalau bukan kau
yang menjadi biang keladi, tak mungkin Thio-toanio dapat merebut kembali
anaknya!” kata yang berjenggot kasar.
Ketika tangannya melayang,
sebuah tempilingan keras telah melayang ke arah Kwan Cu. Anak ini tentu saja
kalah gesit dan…
“Plakkk!” terdengar suara yang
keras sekali dan tubuh anak ini jatuh bergulingan.
Ia hanya merasa pening
sebentar, akan tetapi tidak merasa sakit, maka dengan cepat dia telah berdiri
lagi. Dia memandang kepada tiga orang itu dengan sepasang matanya yang besar
dan terbelalak lebar dengan sinar terang.
Pemukulnya menjadi heran
sekali. Mengapa anak ini demikian kuatnya sehingga mampu menahan pukulannya?
Orang ke dua lalu maju memukul ke arah dada Kwan Cu. Untuk kedua kalinya anak
ini jatuh bergulingan di atas tanah dan debu mengebul.
Akan tetapi kembali Kwan Cu
bangun lagi dan kelihatannya tidak sakit, sama sekali anak ini tidak mengeluh.
Memang dia merasa dadanya sesak karena terkena hawa pukulan, akan tetapi sebuah
tenaga yang tak kelihatan seakan-akan mendesak perasaan tak enak ini dari
sebelah dalam dan dalam sekejap mata saja rasa sesak itu lenyap lagi!
Sebelum Kwan Cu dapat berdiri
tegak, sebuah tendangan dari orang ketiga mengenai lambungnya. Sekarang tubuh
anak ini terlempar ke atas dan membentur batang pohon di bawah mana dia tadi
duduk. Dengan menerbitkan suara keras tubuhnya tertumbuk pada pohon, lalu jatuh
lagi bergulingan. Alangkah kaget dan herannya tiga pemimpin ini ketika melihat
Kwan Cu kembali bangkit seperti tak pernah terjadi sesuatu.
Sekarang mereka saling
pandang, juga anak buah Sin-to-pang yang sudah berkumpul di sana memandang
dengan muka heran. Seorang di antara pemimpin Sin-to-pang itu lalu mengambil
goloknya yang tadi terlempar ke atas tanah, kemudian dengan langkah lebar dia
mengejar Kwan Cu, lalu mengangkat golok membacok ke arah Kwan Cu!
“Sute, jangan!” seru yang
berjenggot kasar mencegah adiknya.
Akan tetapi terlambat, karena
golok itu sudah menyambar. Kwan Cu melihat sinar golok dan matanya menjadi
silau, maka dia mengangkat tangannya melindungi lehernya. Golok itu membacok
lengannya, di bawah siku.
Tetapi anehnya, pembacok itu
merasa seperti ada tenaga yang hebat menolak goloknya dan biar pun dia berhasil
melukai lengan anak itu, akan tetapi lengan anak itu tidak putus, bahkan
goloknya terpental dan terlepas dari pegangannya!
Benar-benar mengherankan
sekali hal ini, membuat tiga orang pemimpin itu benar-benar tak mengerti.
Melihat gerakan anak ini, jelas bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, buktinya
pada saat dipukul, ditendang, dan dibacok, anak itu tidak mengelak atau melawan
sama sekali.
Akan tetapi anehnya, semua
pukulan dan tendangan tidak melukainya. Malah lengannya kini terbabat golok
yang dibacokkan dengan keras, tapi mengapa lengan itu tidak putus, bahkan golok
itu yang terlempar? Ketika mereka memandang ternyata bahwa lengan itu
mengeluarkan darah banyak juga.
Hal ini sebetulnya tidak
terlalu aneh. Tubuh anak ini sudah memiliki tenaga mukjijat dari khasiat buah
ular yang dijejalkan ke dalam mulutnya oleh Tauw-cai-houw dan di samping tenaga
mukjijat ini. Tanpa disadarinya, Kwan Cu juga telah melatih diri dengan
lweekang yang diajarkan oleh Loan Eng. Anak ini tekun sekali melakukan siulian
(semedhi), karena itu diam-diam ia telah menampung tenaga lweekang di dalam
tubuhnya tanpa dia ketahui sendiri!
Luka pada lengannya terasa
perih sekali dan juga lengannya terasa ngilu dan lumpuh. Akan tetapi
benar-benar luar biasa daya tahan dari anak gundul ini. Ia hanya menggigit
bibirnya dan sama sekali tidak mengeluh.
Sambil mempergunakan tangan
kanan untuk mengusap-usap darah yang mengalir dari lengan kirinya, Kwan Cu
berkata, “Hmm, Sin-to-pang hanya bisa menculik anak kecil dan melukai anak-anak
pula. Apakah ini yang dahulu Bun-pangcu mengajarmu bertindak?”
Mendengar ucapan ini, wajah
tiga orang pemimpin Sin-to-pang ini menjadi pucat. Tanpa disengaja, Kwan Cu
telah mengingatkan kepada mereka tentang larangan-larangan yang diadakan oleh
mendiang Bun Liok Si, di antaranya bahwa semua anggota Sin-to-pang dilarang
keras mengganggu wanita, anak-anak, dan orang-orang lemah! Dan kemudian, wajah
mereka menjadi makin pucat, sedangkan matanya terbelalak lebar ketika melihat
pemandangan yang benar-benar sukar mereka percaya.
Terdengar seruan-seruan dari
para anggota Sin-to-pang.
“Aahhh…!”
“Aneh…!”
“Dia seorang anak sin-tong!”
Memang mengherankan. Beberapa
kali saja Kwan Cu mengusap luka di lengannya dan setelah darah yang mengering
di luar luka itu lenyap, ternyata kulit lengan itu telah halus lagi, tak nampak
sedikit pun tanda-tanda bekas luka! Melihat ini, tiga orang pemimpin itu cepat
menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua anak buah yang berjumlah lima
puluh orang!
“Sin-siauwhiap (pendekar sakti
cilik), mohon maaf dan mohon petunjuk yang berharga,” kata si jenggot kasar,
orang tertua dari Huang-ho Sam-eng.
Benar-benar amat menggelikan,
akan tetapi juga mengagumkan betapa Kwan Cu yang diperlakukan seperti ini,
dapat berkata dengan sikap bersungguh-sungguh dan tenang, seakan-akan dia
memang benar seorang bocah sakti.
“Cu-wi sekalian mengapa begitu
ribut-ribut? Nona Sui Ceng sudah bersumpah di depan arwah ayahnya bahwa dia
menerima menjadi ketua dari Sin-to-pang, akan tetapi karena dia masih sangat
kecil dan belum mempunyai kepandaian, mengapa dia tidak boleh ikut ibunya?
Cu-wi melihat sendiri betapa hebat kepandaian Thio-toanio. Jika Siauw-pangcu
(Ketua Cilik) belajar silat dari ibunya, bukankah kelak akan menjadi seorang
pangcu yang benar-benar baik? Dari pada Cu-wi meributkan halnya calon pangcu
itu, lebih baik Cu-wi menjaga supaya perkumpulan Cu-wi tetap berjalan baik dan
bersih sehingga kelak kalau Siauw-pangcu datang, Cu-wi takkan dipersalahkan
sebagai anggota-anggota yang sudah melanggar kewajiban! Nah, aku sudah bicara,
bolehkah sekarang aku pergi?”
Semua orang
mengangguk-anggukan kepala tanda setuju. Tidak mengherankan apa bila Kwan Cu
dapat berbicara seperti itu, karena selama dua tahun ini memang dia sangat
tekun membaca kitab-kitab kuno sehingga dia tahu akan peraturan-peraturan dan
filsafat-filsafat! Dasar dia mempunyai otak yang luar biasa, maka apa yang
dibaca itu dapat diingatnya dengan amat baik. Bahkan kalau banyak orang dewasa
tak dapat menangkap inti sari dari pada kitab-kitab kuno itu, Kwan Cu dengan
bakatnya yang luar biasa dapat menyelami arti-artinya!
Kata-kata Kwan Cu itu berkesan
dalam hati para anggota Sin-to-pang sehingga mereka ini melakukan kewajiban
sebagaimana mestinya sambil menanti-nanti datangnya Siauw-pangcu yang di bawa
lari oleh ibunya.
Ada pun Kwan Cu lalu
meninggalkan tempat itu, dan untuk kedua kalinya dia berjalan ke mana saja
kakinya membawa dirinya, tiada arah tujuan, tiada bekal selain pakaian yang
menempel pada tubuhnya…..
********************
Lu Pin, seorang sastrawan yang
amat pandai, juga terkenal sebagai seorang ahli pahat atau ahli ukir patung
yang luar biasa, berkat jasa-jasanya dalam urusan pemerintahan, telah diangkat
menjadi menteri oleh kaisar. Sesuai dengan bakatnya, ia dijadikan menteri urusan
kebudayaan, dan karena jasa Lu Pin inilah maka pada masa itu, kebudayaan di
Tiongkok dikembangkan serta dipupuk. Seni-seni ukir, seni lukis dan lain-lain
mendapat perhatian pemerintah.
Dilihat dari luar, nampaknya
penghidupan Menteri Lu Pin ini makmur dan senang. Akan tetapi kalau orang
melihat menteri itu duduk di dalam kamarnya seorang diri, orang itu akan
melihat betapa menteri yang pandai dan berwatak jujur dan adil ini sering kali
duduk termenung dan menghela nafas berulang-ulang.
Pada wajahnya yang bersinar
agung dan keningnya yang lebar itu terbayang kemuraman dan kedukaan hati yang
besar sehingga biar pun usianya baru empat puluh tahun lebih, namun dia nampak
lebih tua. Apakah yang menindih perasaan menteri yang memperoleh kedudukan
tinggi ini? Banyak sekali!
Menteri Lu Pin berasal dari
keluarga rakyat biasa saja, akan tetapi berkat kemauan besar dan keuletannya,
dia dapat melanjutkan pelajarannya sampai mendapat gelar siucai, dan bakatnya
yang memang luar biasa membuat dia menjadi seorang satrawan dan seniman yang
tinggi kepandaiannya. Akan tetapi pada waktu muda dia sudah banyak menderita,
bergaul dengan orang-orang senasib sependeritaan, yaitu seniman-seniman yang
hidup terlantar dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah.
Kini setelah menjadi menteri,
teringatlah dia akan nasib kawan-kawannya, nasib saudara saudaranya yang masih
amat sengsara. Oleh karena itu, maka sering kali dia termenung dan bersedih
hati.
Yang lebih-lebih membuat
hatinya sakit adalah keadaan kakaknya. Di dalam dunia ini dia hanya memiliki
kakaknya itu sebagai saudara satu-satunya, karena keluarga lain sudah tidak ada
lagi. Akan tetapi berbeda dengan dia, kakaknya ini menuntut penghidupan yang
jauh berlainan.
Kakaknya semenjak kecil biar
pun bersama dia mempelajari kesusastraan, namun bakat kakaknya bukan di sana
letaknya, melainkan dalam ilmu silat! Juga watak kakaknya ini berbeda jauh
dengan dia. Kalau Lu Pin bercita-cita tinggi untuk mencapai kedudukan dan
kemuliaan, adalah kakaknya itu tidak peduli akan semua ini. Bahkan akhir-akhir
ini dia mendengar kakaknya itu merantau bagaikan seorang pengemis jembel!
Inilah yang amat mengganggu hatinya, akan tetapi dia tidak berdaya.
Selain memiliki kepandaian
tinggi sekali dalam hal ilmu silat, kakaknya juga mempunyai watak yang aneh.
Sebelum Lu Pin diangkat menjadi menteri, pernah dia mencari dan bertemu dengan
kakaknya. Ketika kakak ini di bujuk-bujuknya untuk mencari kedudukan, baik
dalam hal pembesar sipil mau pun militer karena kakaknya mempunyai kepandaian
bun (silat), kakaknya bahkan menjadi marah dan memaki-makinya!
“Pin-te (adik Pin), apakah
matamu sudah buta? Kalau mata lahirmu buta, tidak mungkin mata batinmu buta
pula! Tidak dapatkah kau melihat betapa negara kita ini dipegang oleh
orang-orang yang tak patut disebut manusia pula? Tak dapatkah kau melihat
kaisar dan seluruh anggota pemerintahan hanyalah orang-orang yang mengutamakan
kesenangan belaka, yang melakukan korupsi besar-besaran dan menginjak-injak
rakyat sendiri? Apa kau mengajak aku membantu manusia-manusia macam begitu?
Cih, lebih baik aku mati saja!” demikian kakaknya ini mengakhiri kata-katanya
lalu pergi meninggalkannya.
Memang, sejak kecil kakaknya
yang bernama Lu Sin itu beradat keras, tinggi hati, dan kasar. Akan tetapi Lu
Pin maklum sedalam-dalamnya bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih mulia
batinnya dari pada kakaknya itu! Inilah hal pertama yang membuat Lu Pin merasa
menderita batinnya, walau pun sekarang dia sudah menjadi seorang menteri
berkedudukan tinggi dan dimuliakan orang senegerinya.
Masalah kedua yang menekan
batinnya adalah rumah tangganya. Menteri Lu Pin hanya mempunyai seorang anak
laki-laki dan puteranya ini pun sudah menikah pula dan telah menjabat sebagai
pembesar bagian sipil. Karena rumah Lu Pin besar sekali dan menteri ini tak mau
berpisah dari puteranya, dia minta agar supaya puteranya sekeluarga tinggal
bersama dia. Akan tetapi puteranya akhirnya pindah juga ke rumah lain karena
mantu perempuan selalu bercekcok dengan ibu mertua!
Inilah yang memberatkan hati
Menteri Lu Pin. Meski rumah gedung baru milik puteranya itu berada di kota raja
pula dan tidak jauh, namun melihat isterinya tidak akur dengan anak mantunya,
sungguh merupakan hal yang sangat mengecewakan. Dan karena isteri puteranya
adalah puteri dari seorang berpangkat pangeran, tentu saja dia makin merasa
tidak enak.
Lu Pin sangat sayang kepada
cucu laki-laki yang bernama Lu Thong. Anak ini tampan, bermata lebar, tidak
kalah bagusnya dengan putera-putera pangeran, selalu berpakaian mewah dan
sangat manja. Kadang-kadang, diam-diam Lu Pin mengakui bahwa cucunya berwatak
kurang baik, pemarah seperti ibunya dan pengecut seperti ayahnya, akan tetapi
karena dia hanya cucu satu-satunya, maka Lu Pin amat sayang kepadanya. Sering
kali menteri ini menyuruh datang cucunya itu, atau bahkan dia sendiri
memerlukan datang ke rumah puteranya untuk mengunjungi dan melihat Lu Thong.
Pada suatu hari, ketika
kebetulan sedang berada di rumah puteranya, Lu Pin mendengar Lu Thong menangis
dan rewel. Ia lalu bertanya dan mendapat jawaban dari puteranya bahwa anak itu
rewel sekali minta dipanggilkan guru silat yang pandai karena anak ini ingin
belajar ilmu silat!
Menteri Lu Pin menghela napas.
Sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang menangis, dia berkata, “Cucuku yang
tampan. Kenapa kau ingin mempelajari ilmu kepandaian yang kasar serta
mengerikan itu? Dari pada kau memegang golok atau pedang yang hanya akan
menimbulkan pertumpahan darah, hatiku akan merasa lebih girang dan tenteram apa
bila melihat kau menggerakkan alat tulis membuat syair yang baik atau lukisan
yang indah!”
“Tidak, Kongkong, aku ingin
belajar silat. Ketika bermain-main, jika berkelahi aku selalu kalah. Aku mau
menjadi pendekar, mau menjadi orang gagah yang ditakuti semua orang karena
kepandaianku, bukan karena harta dan kedudukan Ayah atau Kongkong!” anak itu
merengek-rengek dengan manja.
“Anak manja!” Ayahnya
membentak marah-marah. “Apakah kau hendak menjadi seorang petualang yang liar?”
kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil berkata, “Hemm, celaka betul.
Agaknya darah Pek-hu (Uwa) yang kotor, darah petualang yang memalukan mengalir
pula dalam darah anak ini!”
Tiba-tiba saja menteri Lu Pin
memandang puteranya dengan marah. “Tutup mulutmu dan jangan kau berani
mengeluarkan kata-kata kotor terhadap Sin-ko (Kakak Sin)!”
Lu Seng Hok, putera dari Lu
Pin itu, memandang kepadanya dan menghela napas. “Ayah memang aneh sekali.
Pek-hu Lu Sin sudah terang sekali mencemarkan nama keluarga Lu. Ia beberapa
kali mengacau, mengganggu pembesar-pembesar tinggi, bahkan pernah mengacau
dalam dapur istana menghabiskan makanan kaisar. Bukankah orang seperti itu
hanya membikin malu kepada kita saja? Celakanya, banyak orang-orang besar yang
mengetahui hubungan kita dengan dia.”
“Sudah, Hok-ji (Anak Kok),
jangan kita bicara lagi mengenai Pek-hu-mu itu. Betapa pun juga, dia adalah
seorang yang budiman, jauh lebih dari aku atau kau.”
Seng Hok tidak berani
membantah ayahnya, akan tetapi di dalam hatinya dia mengejek dan diam-diam dia
berkata di dalam hati, “Huhh, manusia macam itu! Jembel tua yang memalukan,
kerjanya hanya mengacau mengandalkan silatnya.” Kemudian, karena tidak berani
membantah ayahnya, dia menimpakan kemarahannya kepada anaknya, yang lalu
dimaki-maki lagi.
“Kau tak perlu membuka mulut
minta belajar silat lagi. Pendeknya, kau tidak boleh belajar silat!”
Akan tetapi kini perhatian Lu
Thong menjadi tertarik pada saat mendengar nama Lu Sin disebut-sebut.
“Kongkong, apakah kakek Lu Sin itu benar-benar lihai ilmu silatnya? Aku pernah
mendengar orang bilang bahwa seluruh bala tentara kerajaan tidak akan dapat
menangkap dan melawan dia.”
Menteri Lu Pin
mengangguk-angguk sambil memeluk cucunya yang terkasih.
“Cucuku, kakekmu Lu Sin itu
biar pun hidup sebagai petualang, namun dia seorang yang luar biasa sekali.
Kepandaian silatnya pada waktu ini sukar dicari tandingannya, dan dia dijuluki
Ang-bin Sin-kai. Memang, kalau orang memiliki kepandaian silat seperti dia itu,
barulah orang-orang tidak berani main-main terhadapnya, dan kalau saja adatnya
tidak begitu kukuh dan aneh, kalau saja dia menerima pangkat, tentu dengan
mudah dia akan diberi pangkat tinggi dalam bidang kemiliteran kaisar. Bahkan
kaisar pernah menawarkan kedudukan Koksu (Guru Negara) kepadanya. Sayang... dia
lebih senang merantau.”
“Menjadi pengemis kotor!” Lu
Seng Hok menambahkan. “Anak rewel, apa kau juga ingin mempunyai kepandaian
silat tinggi dan kemudian menjadi seorang pengemis jembel?”
Akan tetapi Lu Thong tampak
diam saja. Anak kecil ini biar pun manja dan rewel, namun harus diakui bahwa
dia memiliki pikiran yang sangat cerdik. Dia lalu memandang kepada ayahnya dan
berkata,
“Ayah, kalau kau berhasil
membujuk kakek Lu Sin untuk tinggal di sini dan mengajar ilmu silat kepadaku,
bukankah itu baik sekali? Selain dia tidak mengembara dan memalukan ayah, juga
aku bisa mendapat pimpinan dari seorang ahli.”
“Kau tidak akan belajar
silat!” kata Lu Seng Hok dengan kukuh.
“Ayah, bagaimana pun juga
kakek Lu Sin adalah keluarga kita. Dia masih tetap saja menggunakan nama
keturunan Lu! Kalau kita mempunyai orang tua yang berkepandaian tinggi itu,
apakah akan kata orang kalau aku sebagai keturunan Lu tunggal, tetapi sama
sekali tidak mengerti ilmu silat dan sangat lemah? Kongkong terkenal sebagai
ahli bu. Ini merupakan dwi tunggal yang baik sekali dan kalau aku dapat
mempelajari bun dan bu di bawah pimpinan dua orang tua ini bukankah aku akan
menjadi seorang bun-bu cwan-jai (ahli satra dan ahli silat)?”
Ketika ayah dan anak ini
bersitegang mempertahankan pendirian masing-masing, Lu Pin mendengarkan saja
dan mendengar ucapan Lu Thong dia menjadi girang sekali. Wajah orang tua ini
berseri-seri dan dia lalu bertepuk tangan.
“Bagus, bagus sekali! Lu
Thong, agaknya kaulah yang akan dapat mengharumkan nama keluarga Lu! Hok-ji,
ucapan puteramu itu betul sekali. Kini kita harus mencari Pek-hu-mu Lu Sin dan
kita membujuknya untuk melatih Lu Thong. Bagus sekali!”
Setelah berpikir-pikir,
akhirnya Seng Hok juga menyetujui kehendak ayahnya ini. Ia pikir bahwa tentu
saja amat baik kalau Lu Thong menjadi seorang ahli sastra merangkap ahli silat
pula. Ayah mana yang tidak akan suka melihat puteranya menjadi seorang bun-bu
cwan-jai?
Akan tetapi mencari Ang-bin
Sin-kai Lu Sin tidaklah semudah mencari orang lain. Nama Ang-bin Sin-kai memang
sudah amat terkenal, dari seorang pengemis yang paling jembel sampai kaisar
sendiri mengenal nama tokoh besar yang luar biasa ini. Akan tetapi di mana
adanya kakek aneh ini, tak seorang pun mengetahuinya!
Karena sekarang telah
menyetujui untuk memberi kesempatan kepada Lu Thong belajar ilmu silat, maka Lu
Seng Hok mulai mengundang guru silat untuk memberi pelajaran dasar kepada
puteranya. Akan tetapi, hati Lu Thong tidak demikian mudah dipuaskan. Segala
macam guru silat saja, dia tidak sudi mengangkat menjadi gurunya.
Anak ini paling suka memelihara
anjing dan di halaman depan gedung ayahnya penuh dengan anjing-anjing yang
galak, besar dan juga bagus. Ia selalu dimanja oleh ayahnya yang sengaja
membeli anjing-anjing besar dan bagus. Lu Thong memelihara lebih dari sepuluh
ekor anjing!
Ia pernah mendengar tentang
kakak kongkong-nya yang bernama Ang-bin Sin-kai Lu Sin itu, dan juga pernah
mendengar cerita bahwa kakeknya ini pernah memukul mati seekor harimau tanpa
menyentuh kulitnya! Oleh karena itu tiap kali ada guru silat yang diundang oleh
ayahnya datang hendak mengajarnya, dia minta pada guru silat ini untuk memukul
anjingnya tanpa menyentuh kulitnya!
Dan akibatnya, banyak sudah
guru silat yang tidak mampu merobohkan anjing itu tanpa menyentuh kulitnya,
sebaliknya ada beberapa orang di antara guru-guru silat itu yang menjadi korban
gigitan anjing galak! Oleh karena itu, sebegitu jauh Lu Thong masih juga belum
mempunyai guru yang pandai dalam ilmu silat dan dia masih belum mau belajar
silat. Ayahnya menjadi bingung dan juga bohwat (kehabisan akal) menghadapi
anaknya yang terus rewel minta supaya kakeknya, Ang-bin Sin-kai Lu Sin,
dipanggil datang!
Pada suatu hari, masih pagi
sekali, Lu Thong sudah bermain-main di pekarangan gedung ayahnya. Tiga ekor
anjing yang terbesar dan terbaik menemaninya di situ. Dia sedang mengajar
anjing-anjingnya melompat, mencari barang yang disembunyikan, dan lain-lain.
Tiba-tiba tiga ekor anjing ini
menggonggong keras dan berlari ke arah pintu. Dari pintu gerbang masuk seorang
pengemis tua yang pakaiannya sudah penuh tambal-tambalan, rambutnya
awut-awutan, dan kulit tubuhnya kotor serta ada penyakit gatal di sana-sini,
terutama sekali pada kakinya. Ketika dia datang memasuki pintu gerbang, banyak
lalat mengerubung dan mengikutinya.
Melihat pengemis ini, Lu Thong
segera memanggil anjing-anjingnya dan tiga ekor anjing yang sudah mengerti akan
perintah majikan mudanya ini lalu berlari mendekati Lu Thong. Anak ini
memandang tajam.
Ketika melihat sikap pengemis
itu berani sekali, tidak seperti pengemis biasa, diam-diam dia menaruh
perhatian dan dadanya berdebar. Inikah kakeknya, Ang-bin Sin-kai Lu Sin?
Mukanya tidak kemerah-merahan, pikirnya.
Menurut penuturan
kongkong-nya, juga melihat dari nama julukan ‘Ang-bin’ atau muka merah, tentu
kakek yang menjadi ahli silat itu bermuka merah. Bagaimana pun juga dia hendak
bersikap hati-hati dan agar jangan disangka kurang sopan, dia bertanya dengan
halus kepada pengemis tua itu.
“Kakek tua, kau masuk ke sini
ada keperluan apakah?”
Pengemis itu memandang.
Wajahnya nampak berseri-seri mendengar suara dan melihat sikap yang manis dari
Lu Thong ini.
“Ah, ah, benar! Pohon baik
berbuah manis. Kakeknya terpelajar cucunya pun tahu sopan santun. Bagus sekali!
Siauw-kongcu (Tuan Kecil), bukankah kau adalah putera dari Lu Seng Hok?”
Semakin bergairahlah hati Lu
Thong. Siapa lagi kalau bukan Ang-bin Sin-kai yang berani memanggil nama
ayahnya begitu saja? Maka dia lalu mengangguk.
Pengemis itu memandang lagi
penuh perhatian dan kini dia melihat ke arah pakaian Lu Thong serta hiasan
rambutnya. Ia menggelengkan kepala dan berkata lagi, “Betapa pun juga merak tak
mungkin beranak garuda! Sayang sekali, kemewahan kakeknya menurun padanya!”
Lu Thong adalah seorang anak
yang cerdik dan terpelajar. Ia tahu bahwa peribahasa yang menyatakan bahwa merak
tak dapat beranak garuda menyindirkan bahwa seorang pesolek anaknya pun pesolek
pula. Akan tetapi karena dia menduga bahwa pengemis ini adalah kakeknya yang
selama ini dicari-cari, yaitu Lu Sin, anak ini tidak menjadi marah, bahkan
berkata,
“Kakek yang baik, ayahku
sedang pergi ke kantornya. Siapakah kau dan ada keperluan apakah mencari ayah?”
“Siapa mencari ayahmu? Aku
datang hendak mengobrol dengan Lu Pin, kakekmu.”
Hampir Lu Thong berjingkrak
saking girangnya. Tidak bisa salah lagi, ini tentulah Ang-bin Sin-kai Lu Sin,
kakak dari kongkong-nya itu! Akan tetapi anak ini masih menahan gelora hatinya
dan bertanya lagi, pura-pura tidak tahu,
“Kongkong Lu Pin tidak tinggal
di sini, akan tetapi di gedung menteri di sebelah kanan istana! Kakek, siapakah
namamu?”
Kakek itu nampak amat kecewa.
”Hemm, aku sudah pergi ke sana, akan tetapi penjaga mengusirku. Kukira melalui
ayahmu aku akan lebih mudah bertemu Lu Pin. Namaku? Ah, aku sendiri sudah tidak
tahu lagi siapa namaku, Siauw-kongcu.”
Dengan mata bersinar-sinar Lu
Thong kemudian berkata, “Kakek yang baik, bukankah kau adalah Ang-bin Sin-kai
Lu Sin?”
Pengemis itu nampak sangat
terkejut. “Kau sudah mendengar nama itu? Hmm, Ang-bin Sin-kai barulah patut
disebut seekor garuda. Garuda sakti yang terbang di angkasa raya, bebas lepas
tidak terikat oleh sesuatu. Dia seorang yang patut dikagumi!”
Sehabis berkata demikian
pengemis itu merangkapkan kedua tangannya ke dada dan memberi hormat ke
atas.....
Lu Thong terheran-heran.
Pengemis ini terang sekali bukan orang sembarangan. Sikap dan kata-katanya
bahkan membayangkan bahwa pengemis ini adalah seorang terpelajar pula. Akan
tetapi, jawabannya tadi membikin dia ragu-ragu. Jika kakek ini adalah Ang-bin
Sin-kai, mungkinkah ia memuji-muji nama Ang-bin Sin-kai dan bahkan memberi
hormat? Adakah kakek sakti itu demikian sombongnya?
Tiba-tiba Lu Thong mendapat
sebuah pikiran yang bagus. Ia lantas bersuit keras sambil menunjuk ke arah
kakek itu, dan tiga ekor anjing serentak menyalak kemudian menubruk ke arah
pengemis tadi! Pengemis tua itu terkejut bukan main dan dengan mata terbelalak
ketakutan dia melangkah mundur.
“Siauw-kongcu, tahan
anjing-anjingmu! Suruh mereka mundur, lekas!”
Lu Thong tersenyum geli,
“Ang-bin Sin-kai, kau adalah kakekku sendiri, siapa yang mau menakut-nakutimu?
Kau bunuhlah anjing-anjing busuk itu, aku tidak akan menyesal. Aku sengaja
hendak melihat kelihaianmu, Kongkong!”
“Hushh... siapa bilang aku
Ang-bin Sin-kai? Aku bukan... bukan...!” akan tetapi dia segera roboh terguling
karena ditubruk oleh tiga ekor anjing yang galak-galak itu!
“Siauw-kongcu, aku adalah
sahabat Lu Pin. Bagaimana kau berani menghinaku? Panggil anjing-anjingmu,
lekas!”
Alangkah kecewanya hati Lu
Thong melihat keadaan itu. Dengan jelas sekali dia melihat betapa kakek ini
amat lemah. Jika tadinya dia merasa girang, sekarang dia amat merasa amat
kecewa dan marah.
“Jadi kau bukan Ang-bin
Sin-kai? Itu lebih baik lagi, biar anjing-anjingku mengantar kau keluar sebagai
hukuman atas kelancanganmu masuk ke sini tanpa ijin!” Dia lalu memberi aba-aba
kepada anjing-anjingnya untuk menyeret kakek itu keluar dari halaman.
Sungguh kasihan sekali kakek
pengemis itu. Dia hanya dapat menjaga lehernya dengan kedua tangan, karena
merasa takut kalau-kalau lehernya digigit anjing-anjing yang galak itu. Tiga
anjing itu menggigit lengannya, kakinya, bajunya dan mencoba untuk menyeret
keluar dari situ. Akan tetapi tubuh pengemis ini tinggi dan tentu saja dia
terlalu berat bagi tiga ekor anjing itu.
“Siauw-kongcu... kau kejam...
kau jahat! Lu Pin tak seperti ini... lepaskan aku!” pengemis ini
berteriak-teriak kesakitan dengan lengan dan kakinya telah berdarah.
Akan tetapi Lu Thong bahkan
tertawa bergelak melihat kejadian yang dianggapnya lucu ini.
“Ha-ha-ha-ha! Orang macam ini
kuanggap Ang-bin Sin-kai! Ha-ha-ha-ha! Merangkaklah... merangkaklah keluar!
Ha-ha-ha coba kau berlomba dengan anjing-anjing itu keluar!”
Karena tidak tahan lagi
digigit oleh anjing-anjing itu, pengemis tadi sambil mengeluh lalu
merangkak-rangkak keluar! Dia hendak berdiri, akan tetapi tiap kali berdiri dia
lalu roboh kembali karena terkaman anjing-anjing itu. Baiknya dia selalu
melindungi lehernya, sebab bila mana lehernya sampai kena digigit, pasti dia
akan tewas! Baru saja dia merangkak beberapa jauhnya, dia diterkam dan diseret
kembali oleh tiga ekor anjing itu.
Lu Thong tertawa
terkekeh-kekeh melihat permainan baru ini. Seakan-akan dia melihat seekor tikus
besar sekali sedang dipermainkan oleh tiga ekor kucing yang tidak hendak
membunuhnya lebih dulu sebelum puas bermain-main!
Keadaan pengemis itu makin
payah. Sekarang ia tidak minta dilepaskan, bahkan ia lalu melawan dan memukul,
menggigit serta menjewer anjing-anjing itu sambil memaki-maki, “Lu Pin kau
manusia durhaka! Tidak ingat kau betapa dahulu kau belajar syair dari aku!
Tidak ingat kau betapa dulu beberapa cawan arakku memasuki perutmu! Dan
sekarang cucumu berlaku begini? Ahhh...”
Akan tetapi Lu Thong tak mau
mempedulikan omongan yang dianggapnya hanya ocehan belaka dari seorang pengemis
yang ingin berpura-pura menjadi sahabat kongkong-nya. Kongkong-nya, menteri Lu
Pin, menteri yang mulia dan berkedudukan tinggi, belajar syair dari pengemis
ini? Bah, sungguh menggelikan dan menggemaskan!
“Kau menghina kongkong dan
memasuki rumah ini seperti maling. Kau patut dihukum!” katanya.
Pada saat itu, dari luar pintu
gerbang berlari masuk seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun, sebaya dengan
Lu Thong. Anak ini berpakaian seperti pengemis dan kepalanya gundul.
“Sungguh biadab! Kejam
sekali!” anak itu datang-datang berseru marah.
Anak itu kemudian memungut
batu-batu untuk disambitkan pada anjing-anjing itu.
“Bukk!” terdengar suara ketika
sambitannya mengenai tubuh anjing.
Anjing itu berkuik-kuik
kesakitan, lalu menjauhkan diri dari kakek pengemis. Sambitan itu cukup
bertenaga dan membuat anjing itu merasa kesakitan. Akan tetapi Lu Thong yang
telah melihat perbuatan ini menjadi marah sekali. Ia berseru beberapa kali dan
memberi aba-aba kepada ketiga ekor anjingnya sehingga binatang-binatang ini
kembali menyerbu kakek itu.
Anak jembel yang gundul itu
menjadi marah. Karena sambitannya tidak dapat menolong kakek pengemis, dia lalu
melompat ke arah Lu Thong dengan beberapa lompatan yang jauh sehingga Lu Thong
menjadi kaget sekali.
“Orang kejam, hayo kau panggil
anjing-anjingmu!” anak gundul itu membentak dan selain suaranya nyaring sekali,
juga dari sepasang matanya bersinar api, sikapnya amat kereng dan berpengaruh.
Lu Thong memang mempunyai
sifat pengecut. Melihat sikap anak gundul itu dan melihat lompatannya yang kuat
tadi dia telah menjadi takut. Kini melihat anak gudul itu berdiri di depannya
dengan sikap mengancam dan memerintah, hatinya menjadi gentar. Cepat dia
memanggil ketiga ekor anjingnya yang segera meninggalkan kakek jembel tadi,
berlarian menghampiri Lu Thong dengan ekor digerak-gerakkan ke kanan kiri.
Anak gundul itu lari
menghampiri pengemis tua yang sudah payah, lalu menolongnya.
“Kasihan sekali kau, orang
tua,” katanya menghibur sambil membantu kakek itu berdiri.
Kakek pengemis itu memandang
kepada anak gundul ini dengan mata terheran, penuh kekaguman.
“Siapa kau?” tanyanya sambil
meringis kesakitan karena kakinya yang penuh koreng itu kulitnya sudah banyak
yang pecah-pecah tergigit anjing-anjing yang galak tadi.
“Aku? Namaku Lu Kwan Cu.”
Mendadak jembel tua itu
merenggutkan tangan Kwan Cu yang memegangnya. “Jangan sentuh aku! Aku tidak
sudi ditolong oleh seorang she Lu lagi!” katanya
Kwan Cu tersenyum. “Orang tua,
tidak baik menilai pribadi orang dari she dan namanya! Bukankah peribahasa
dahulu kala menyatakan bahwa menilai pribudi seseorang lihatlah hati dan
perbuatannya, jangan melihat nama, pakaian, dan mulutnya?”
Mata kakek yang tadi memandang
penuh kebencian, kini tiba-tiba memandang dengan kagum dan terbelalak lebar.
“Ehh, anak siapakah kau? Murid siapa?”
Kwan Cu tersenyum. “Aku tidak
tahu siapa orang tuaku, dan aku bukan murid siapa pun.”
Kakek itu tersenyum, dan ini
mengherankan Kwan Cu. Bagaimana dengan tubuh penuh luka-luka itu orang ini
masih dapat tersenyum? Ia lalu membantu kakek itu berdiri dan kini pengemis tua
itu tidak lagi menolak bantuannya.
Bagaimana Kwan Cu tahu-tahu
datang ke tempat itu? Memang, anak ini telah melakukan perjalanan jauh sekali
sampai ke kota raja, tanpa ada tujuan yang tetap. Ketika dia tiba di pintu gerbang
kota raja, dan ketika matanya terbelalak kagum sekali dan terheran-heran
menyaksikan bangunan-bangunan yang demikian megah dan besarnya, tiba-tiba saja
dia mendengar suara terkekeh-kekeh yang sudah di kenalnya.
Ia cepat menengok dan
tampaklah olehnya seorang hwesio gundul yang tubuhnya bulat seperti bola
berdiri di bawah pintu gerbang itu sambil memandangnya. Hwesio ini sedang makan
makanan dari sebuah mangkok butut, yaitu mangkok yang biasanya dibawa oleh
seorang hwesio untuk minta makanan dari siapa saja yang dijumpainya saat dia
merasa lapar. Mangkok itu dipegang di tangan kiri, tangan kanannya menjumputi
makanan, ada pun di bawah lengan kanannya itu terjepit sebatang tongkat hwesio
yang panjang.
“Ehh, losuhu berada di sini?”
tanya Kwan Cu sambil buru-buru maju menjura.
“Ha-ha-ha, Kwan Cu, kau masih
ingat kepadaku?” kata hwesio itu yang bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu yang dulu dijumpainya di tepi laut, hwesio yang bertempur mati-matian
melawan Ang-bin Sin-kai karena memperebutkan dia!
Kak Thong Taisu kemudian
melemparkan mangkoknya yang butut sehingga makanan itu tumpah di atas tanah.
“Makanan busuk, diberi oleh seorang yang pelit!”
Kemudian ia memukulkan
tongkatnya ke mangkok itu, dan aneh sekali! Mangkok itu tidak menjadi hancur, bahkan
lalu mencelat ke atas yang segera diterima dengan tangannya, dan mangkok itu
kini telah menjadi bersih seperti dicuci saja.
“Hm, orang-orang kota raja ini
semuanya kaya-kaya dan pelit-pelit, menyebalkan sekali!”
“Losuhu, kalau teecu boleh
bertanya, Losuhu datang dari manakah dan hendak pergi ke mana?” tanya Kwan Cu
“Pinceng datang dari belakang
dan hendak menuju ke depan,” hwesio tua itu menjawab seperti orang berkelakar.
“Sekarang telah bertemu dengan kau, muridku, maka aku tidak khawatir lagi akan
kelaparan, karena sudah ada orang yang akan mencarikan makanan untukku!”
“Teecu bukan murid Losuhu,
tetapi tentu saja teecu mau mencarikan makanan untuk Losuhu, yaitu kalau Losuhu
merasa lapar.”
Kak Thong Taisu nampak amat
terkejut. “Apakah kau sudah bertemu Ang-bin Sin-kai dan sudah diambil murid
olehnya?”
Kwan Cu menggelengkan
kepalanya. ”Tidak, teecu tidak bertemu dengan Locianpwe itu. Akan tetapi
seandainya bertemu, teecu juga tidak akan menjadi muridnya.”
“Ha-ha-ha-ha, kepalamu yang
gundul itu keras juga kiranya!” Setelah berkata demikian, dengan tongkatnya Kak
Thong Taisu mengemplang kepala Kwan Cu.
“Plakk!” ujung tongkat itu
mengenai kepala yang gundul itu.
Akan tetapi biar pun ia merasa
sakit sekali dan kepalanya tiba-tiba menjadi benjol, Kwan Cu tidak menaruh hati
sakit atau pun marah. Dia hanya mengejapkan matanya tiga kali untuk menahan
sakit. Diam-diam dia malah merasa geli mendengar kata-kata hwesio ini.
Hwesio ini sendiri mempunyai
kepala yang gundul, bundar, besar, juga amat licin, akan tetapi masih memaki
dirinya sebagai kepala gundul! Sungguh cocok kata-kata kuno yang menyatakan
bahwa mencari keburukan orang lain sama mudahnya seperti kita mencari kerbau di
ladang, sebaliknya untuk mengetahui keburukan sendiri sama sulitnya dengan mencari
sebuah jarum di dalam tumpukan rumput kering!
“Bagaimana, apakah kau masih
tidak mau menjadi muridku?”
Kwan Cu menggeleng kepala dan
dia teringat akan pengalaman-pengalamannya selama ini. Dia menarik kesimpulan
bahwa hanya orang-orang ahli silat yang selalu menimbulkan keributan dan
kerusuhan, serang-menyerang atau bunuh-membunuh.
“Mengapa kau tidak mau menjadi
muridku? Hayo jawab dan beri penjelasan yang betul, bila tidak akan kuketok
kepalamu sampai pecah!” Hwesio gemuk itu nampak tidak sabar dan mendongkol
sekali. Orang-orang muda sedunia akan berebut menjadi muridnya, dan anak gundul
jembel ini, dia bahkan menampik!
“Mengapa?” Kwan Cu mengerutkan
kening, mengingat-ingat lalu berkata dengan suara tetap, “Karena teecu teringat
akan peribahasa kuno yang menyatakan bahwa, binatang menggunakan kekerasan
karena dia tidak berakal, maka seorang manusia lebih rendah dari pada binatang
apa bila dia melakukan kekerasan. Nah, oleh karena itu, teecu tidak suka
belajar ilmu silat, Losuhu. Teecu anggap peribahasa itu tepat sekali. Binatang
yang tidak berakal, mempergunakan kekerasan tanpa kesadaran, sebaliknya kalau
manusia melakukan kekerasan, dia sadar sepenuhnya kalau kelakuannya itu salah
dan jahat!”
Hwesio itu memandang kepadanya
dengan mata terbelalak lebar, lalu dia memandang ke atas sambil tertawa
bergelak-gelak. Suara ketawa ini keras dan hebat sekali sehingga Kwan Cu merasa
tanah yang diinjaknya sampai tergetar akibat gema suara tertawa itu.
Ada pun orang-orang yang lewat
di situ, menjadi kaget sekali, akan tetapi ketika mereka memandang dan mencoba
mendekati, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lantas memandang kepada mereka dengan
mata dipelototkan. Mereka menjadi sangat ketakutan dan pergi lagi cepat-cepat!
“Ha-ha-ha! Lucu, lucu, lucu!
Ehhh, Kwan Cu, kata-katamu itu membuat mataku melihat seekor lembu yang baru
lahir menyusui seekor lembu tua yang menjadi neneknya!”
“Mana, Losuhu?” tanya Kwan Cu
yang merasa heran. “Mana ada anak lembu yang baru terlahir dapat menyusui lembu
lain, neneknya pula?”
Hwesio itu menudingkan jarinya
kepada Kwan Cu. “Kaulah anak lembu itu! Kau hendak memberi pelajaran kepadaku
tentang filsafat, bukankah itu sama saja dengan seekor anak lembu hendak
menyusui neneknya? Ha-ha-ha, kau tahu satu tidak tahu lima, tahu lima tidak tahu
sepuluh! Kwan Cu, tidak ada sesuatu di permukaan bumi ini yang memiliki sifat
tunggal, semua tentu memiliki dua sifat yang bertentangan, dua sifat yang bagi
kita manusia biasa disebut menguntungkan dan merugikan! Apakah kau pernah
mendengar orang mengeluh karena hari sedang hujan yang lain mengeluh karena
tidak ada hujan? Pernahkah kau mendengar munculnya matahari disambut dengan
senyum oleh seorang akan tetapi sebaliknya disambut dengan muka cemberut oleh
orang lainnya? Semua hal mempunyai dua sifat, tergantung pada yang
menghadapinya. Kekerasan tak terkecuali, memiliki dua sifat menguntungkan dan
merugikan. Hee, anak gundul goblok, tahukah kau sekarang bahwa belum tentu
kekerasan itu salah dan jahat seperti anggapanmu tadi?”
Kwan Cu mendengarkan dengan penuh
perhatian. Ia tertarik sekali karena memang dia suka akan filsafat-filsafat
kebatinan. Dia sudah terlalu banyak membaca buku kuno dan semenjak belajar
membaca, otaknya sudah dijejali oleh segala macam filsafat ini.
“Benar-benarkah semua hal di
dunia ini mempunyai dua sifat baik dan buruk, Losuhu?”
Hwesio itu
mengangguk-anggukkan kepalanya yang bundar. “Tentu! Coba kau sebutkan sesuatu
sebagai contoh.”
Kwan Cu menengok ke sana ke
mari, dan tiba-tiba dia menunjukkan telunjuk ke arah tahi kuda yang bertumpuk
di pinggir jalan. “Apakah barang kotor itu juga memiliki sifat baik? Teecu
menganggapnya kotor dan hanya merugikan saja, mengotori jalan, menimbulkan bau
tak sedap dan menjijikkan kalau di pandang.”
“Anak bodoh, itu karena kau
memandangnya dari segi yang merugikan saja. Tahukah kau bahwa keluarnya benda
itu dari perut kuda mendatangkan dua macam keuntungan? Pertama, keuntungan bagi
si kuda sendiri karena kalau tidak bisa keluar perutnya akan kembung dan dia
akan mati! Kedua, tahi kuda itu kalau sudah meresap ke dalam tanah akan menjadi
pupuk yang amat baik dan menyuburkan tanah. Bukankah itu keuntungan-keuntungan
belaka dan termasuk sifat-sifat baik?”
Kwan Cu melengak dan terpaksa
dia tersenyum geli. Sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu bergerak
ke kanan kiri, menandakan bahwa otaknya yang cerdik tengah bekerja keras. Dia
mencari akal untuk mengalahkan hwesio gemuk ini dengan pendirian yang aneh itu.
“Losuhu, ada satu hal lagi.
Apakah kejahatan juga mempunyai sifat baik?”
Sekarang Kak Thong Taisu yang
melengak. Dia merasa seperti dadanya di todong oleh senjatanya sendiri. Senjata
makan tuan! Akan tetapi hwesio ini adalah seorang manusia yang sudah matang
luar dalam, tentu saja tidak mau kalah. Sambil menggerak-gerakkan kedua matanya
yang seperti kelereng itu, dia berkata,
“Tentu saja bocah tolol! Kalau
saja tidak ada kejahatan di dunia ini, mana mungkin ada kebaikan? Siapa mau
bicara kebaikan bila tidak ada kejahatan? Siapa bisa mengatakan baik kalau
tidak ada buruk dan mana di dunia ini ada orang berbudi kalau tidak ada orang
jahat? Kejahatan merupakan imbangan dari pada kebajikan seperti Im (positif)
menjadi imbangan dari pada Yang (negatif), kalau salah satu tidak ada mana
mungkin dunia bisa berputar dan matahari bisa terbit dan tenggelam?”
Filsafat ini terlalu berat
bagi otak Kwan Cu yang masih kecil, maka untuk beberapa lama dia bengong saja.
Sebaliknya setelah berkata
demikian Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, anak bodoh, anak tolol!”
“Losuhu,” Kwan Cu mendapatkan bahan
pula pada saat mendengar makian ini. “Apakah kebodohan juga mempunyai sifat
baik?’
“Tentu saja, jika tidak bodoh
dulu, mana bisa menjadi pintar? Tanpa adanya kebodohan, mana manusia mengenal
kepintaran?”
Dibalik seperti ini, Kwan Cu
mulai dapat menangkap dan dia tertawa bergelak, menimpali suara ketawa hwesio
gemuk itu sehingga dua orang ini tertawa-tawa, membikin semua orang yang lewat
di situ memandang terheran-heran.
”Orang-orang miring otaknya…”
demikian mereka berbisik.
“Kwan Cu, kau ini terlalu
sekali. Perutku menjadi lapar karena kau mengajakku bercakap-cakap saja. Hayo
cepat kau carikan makanan untukku. Makanan enak hanya terdapat di rumah-rumah
para bangsawan.”
Hwesio gemuk ini mengajak Kwan
Cu memasuki kota raja. Kak Thong Taisu menyuruh Kwan Cu berjalan lebih dulu dan
menyuruh anak ini minta makanan dari rumah gedung bangsawan. Kwan Cu menurut
dan kebetulan sekali dia memasuki halaman gedung dari pembesar Lu di mana dia
melihat Lu Thong sedang menyuruh tiga ekor anjing-anjingnya mengeroyok seorang
kakek pengemis itu sebagaimana telah di tuturkan di bagian depan dari cerita
ini.
“Lopek, marilah kita keluar
dari halaman orang kaya ini,” kata Kwan Cu sambil menolong pengemis tua yang
terluka oleh gigitan-gigitan anjing tadi.
Dengan susah payah pengemis
itu berdiri, dan merangkulkan lengan kirinya pada leher Kwan Cu. Kemudian
terseok-seok mereka keluar dari tempat itu.
Akan tetapi, setelah kini anak
gundul itu tidak berada di dekatnya lagi, Lu Thong timbul keberaniannya. Dia
berseru keras dan tiga ekor anjing itu kembali menyalak-nyalak dan menyerbu
Kwan Cu dan pengemis tua yang sedang berjalan terpincang-pincang hendak keluar!
Kwan Cu tidak berdaya karena
dia sedang menggandeng kakek itu keluar. Pengemis itu demikian lemah sehingga
kalau dia di lepaskan pegangannya, tentu orang tua itu akan roboh! Sebaliknya
pengemis tua itu tak mempedulikan sama sekali tiga ekor anjing yang
menggonggong-gonggong dan mengurungnya. Wajah pengemis tua ini menjadi terang
berseri dan dia bahkan bernyanyi dengan suara yang tinggi!
Alam hidup bukan untuk diri
pribadi,
karenanya dapat kekal abadi!
Tidak seperti Lu manusia hina
(siauw jin),
lupa akan asal usulnya!
Setelah hidup mewah dan kaya,
si miskin ia hina!
Mana dia akan dapat tahan
lama?
Nyanyian ini terus diulang-ulanginya
dan diam-diam Kwan Cu merasa kagum. Susunan kata-katanya amat indah dan dia
puji kakek ini yang dapat menghubungkan ujar-ujar Lo Cu dengan kata-kata lain
yang isinya menyinggung-nyinggung orang she Lu yang dia tidak tahu entah siapa!
Ia masih ingat bahwa bait pertama yaitu, ‘Alam hidup bukan untuk diri pribadi,
karenanya dapat kekal abadi’ merupakan ujar-ujar dari nabi Lo Cu mengenai
pelajaran To.
Tiga ekor anjing itu mengejar
terus. Pada saat mereka hendak menubruk dan menyerang dua orang yang keluar
itu, tiba-tiba dari atas menyambar turun tubuh dengan kepalanya yang gundul
kelimis.
Kak Thong Taisu telah berada
di situ, tertawa bergelak sambil berkata, “Nyanyian orang edan!”
Akan tetapi biar pun dia
tujukan ucapannya ini kepada kakek pengemis tadi, sebetulnya dia sama sekali
tidak memperhatikan kakek pengemis dan Kwan Cu.
“Cocok betul dia dengan bocah
tolol.”
Kemudian, ketika Kak Thong
Taisu melihat tiga anjing yang mengejar-ngejar pengemis itu dan Kwan Cu,
matanya berseri-seri.
“Ahh, anjing bagus, daging
gemuk!”
Sambil berkata demikian,
hwesio ini melangkah dua tindak sambil menggerakkan kedua tangannya dan
tahu-tahu dia sudah dapat menangkap tiga ekor anjing itu pada ekornya!
Benar-benar hebat tenaga Si Tangan Seribu Kati ini, karena dia memegang buntut
tiga ekor anjing itu hanya dengan tangan kiri dan sekali lagi tangan kanannya
mengayun…
“Prakk!” terdengar suara dan
pecahlah kepala tiga ekor anjing itu menghantam lantai!
Lu Thong memandang peristiwa
ini dengan mata terbuka lebar. Dia tidak marah melihat tiga ekor anjingnya
dibunuh orang, bahkan dia lalu menghampiri hwesio itu dan berkata, “Losuhu,
agaknya kau lebih hebat dari pada Ang-bin Sin-kai!”
Kak Thong Taisu membalikkan
tubuh, melempar mayat tiga ekor anjing tadi, kemudian memandang pada anak itu.
Ia menatap wajah Lu Thong dari kepala sampai ke kakinya, penuh perhatian dan
diam-diam dia mengakui bahwa anak ini pun memiliki tulang dan bakat yang baik
sekali, sungguh pun tidak sebaik Kwan Cu.
“Kau tahu apa tentang Ang-bin
Sin-kai?” tanyanya.
“Dia adalah kakak dari
kongkong-ku, kenapa aku tidak tahu? Dia lihai sekali, akan tetapi melihat
kepandaian losuhu, kau berani bertaruh bahwa Losuhu tentu lebih lihai!”
“Hemm, jadi kau cucu dari Lu
Pin?”
Lu Thong mendongkol sekali.
Sudah dua kali dalam satu hari ini orang menyebut nama kakeknya begitu saja.
Kakeknya Lu Pin adalah seorang menteri, bagaimana ada seorang pengemis tua dan
seorang hwesio menyebut namanya begitu saja. Akan tetapi kali ini Lu Thong
tidak mau memperlihatkan muka marah. Ia cerdik sekali dan dia ingin belajar
ilmu silat, maka dia lalu menjura dan berkata,
“Betul sekali, Losuhu. Teecu
yang rendah dan bodoh adalah cucu dari orang tua itu. Tapi sayang sekali… teecu
bernasib buruk .”
Hwesio ini mengangkat alis dan
memandang penuh perhatian, ”Apa katamu? Bernasib buruk sesudah kau mengenakan
pakaian demikian indahnya, tinggal di gedung demikian mewahnya?”
Mendengar ini, tiba-tiba Lu
Thong menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu dan merenggutkan
hiasan rambut serta pakaiannya sehingga sobek-sobek. “Buat apa semua kemewahan
ini, Losuhu? Teecu ingin sekali belajar ilmu silat yang tinggi.”
“Kau masih cucu Ang-bin
Sin-kai, apa susahnya untuk memenuhi keinginan itu?”
“Losuhu, inilah yang membuat
hati teecu selalu tidak senang. Ang-bin Sin-kai tidak mau mengajar silat kepada
teecu!”
Diam-diam Kak Thong Taisu
berpikir. Anak ini cukup cerdik dan berbakat baik, dia telah dikecewakan oleh
Kwan Cu yang tidak mau menjadi muridnya, sekarang ada anak ini yang ditolak
oleh Ang-bin Sin-kai! Mengapa dia tidak mau mengambilnya sebagai murid? Hendak
dia lihat bagaimana Ang-bin Sin-kai kelak apa bila melihat keturunannya belajar
ilmu silat dari padanya!
“Ehh, anak, siapa namamu?”
“Teecu bernama Lu Thong.”
Girang hati Kak Thong Taisu,
karena nama anak ini ada persamaan dengan namanya .
“Kalau aku mengajar silat
kepadamu bagaimana?”
Bukan main girangnya hati Lu
Thong. Serta merta dia lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan hwesio itu,
“Suhu, teecu akan belajar dengan giat!”
“Akan tetapi kau harus ikut
aku merantau, menjadi pelayanku, juga mengemis makanan untukku dan hanya boleh
makan sisa makananku. Sangggupkah?”
Tentu syarat-syarat ini amat
berat, bahkan terdengar sangat mengerikan di dalam telinga Lu Thong. Akan tetapi,
oleh karena anak ini memang cerdik, dia tidak mau menurutkan perasaannya.
”Teecu hanya akan tunduk
kepada semua perintah Suhu. Akan tetapi teecu mendengar suhu tadi memuji
anjing-anjing itu sebagai daging-daging gemuk, apakah Suhu suka bila teecu menyuruh
orang memasaknya?”
Berseri wajah Kak Thong Taisu.
“Tentu saja, aku sampai lupa! Sangat disayangkan kalau daging-daging gemuk itu
dibuang begitu saja.”
Pada saat itu, beberapa orang
muncul dari dalam dan mereka ini terkejut sekali ketika melihat Lu Thong
berlutut di depan seorang hwesio gemuk. Mereka adalah Lu Seng Hok dan istrinya
yang diikuti oleh beberapa pelayan. Tadi Lu Thong memang telah berbohong kepada
pengemis tua itu ketika dia mengatakan bahwa ayahnya tidak berada di rumah.
“Thong-ji, kau sedang apa di
situ? Siapakah hwesio ini?” Lu Seng Hok bertanya kepada anaknya dengan kening
di kerutkan.
“Ayah, dia ini adalah suhu-ku,
bernama...” Lu Thong menengok kepada Kak Thong Taisu karena dia memang belum
mengetahui nama suhu-nya.
“Kak Thong Taisu, berjuluk
Jeng-kin-jiu!” hwesio itu berkata sambil tertawa dan matanya memandang kepada
Seng Hok dengan sikap menggoda.
Hwesio ini memang adatnya aneh
sekali. Jika orang biasa, melihat sikap kurang senang dari tuan rumah, tentu
akan segera pergi. Akan tetapi dia sebaliknya. Dia malah sengaja mempermainkan
tuan rumah dan pada saat itu pun dia telah mengambil keputusan untuk tinggal di
gedung ini!
Ada pun Lu Seng Hok yang
mendengar nama yang amat terkenal ini, diam-diam merasa makin tak senang. Nama
Jeng-kin-jiu sudah amat terkenal sebagai orang yang berwatak aneh dan ditakuti
orang.
“Bukankah kau ingin berguru
kepada Ang-bin Sin-kai?” tanya Seng Hok karena dia tidak berani melarang begitu
saja atau mengusir hwesio ini.
“Ayah, Suhu jauh lebih lihai dari
pada Ang-bin Sin-kai. Lihat saja ketiga ekor anjing itu. Sekali tangkap dan
sekali banting, tiga ekor anjing itu sudah mampus! Suhu ingin makan daging
anjing, harap ayah menyuruh tukang masak segera memasaknya!”
Kak Thong Taisu tertawa
bergelak. “Tak disangka-sangka pinceng akan berada di antara keluarga Lu Pin.
Aha, bila saja Ang-bin Sin-kai melihat ini. Ha-ha-ha!” kemudian dengan langkah
lebar dia mengikuti muridnya dan tuan rumah memasuki gedung yang indah itu.
Demikianlah, mulai hari itu
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tinggal di rumah Lu Seng Hok, hidup senang, setiap
hari minta disediakan makanan yang paling enak. Ia juga mengajar ilmu silat
kepada Lu Thong dan semakin gembira melihat betapa anak ini benar-benar
berbakat baik.
Akan tetapi, orang seperti
hwesio ini mana betah tinggal terus-terusan di dalam rumah? Sering kali dia
pergi tanpa bilang terlebih dahulu dan datang pula tanpa memberi tahu.
Kadang-kadang mengajak muridnya, kadang-kadang sendiri dan semua orang,
termasuk Lu Thong yang sudah mengetahui watak luar biasa dari Kak Thong Taisu,
tidak berani menegur.
Pendeknya, Kak Thong Taisu ini
boleh berbuat apa saja yang ia suka di dalam rumah itu dan semenjak di situ ada
Kak Thong Taisu, menteri Lu Pin tidak mau datang ke rumah puteranya. Hal ini
untuk mencegah kejadian yang tidak enak oleh karena sikap hwesio ini memang
sangat kasar dan tidak mau menghormat sama sekali…..
********************
Kwan Cu berjalan bersama kakek
pengemis yang luka-luka dan di sepanjang jalan kakek pengemis itu masih
bernyanyi-nyanyi. Kwan Cu seorang anak yang cerdik, mendengar nyanyian yang
isinya memaki-maki dan mencela orang she Lu, dia tahu bahwa kakek ini tentu
dibikin sakit hati oleh she Lu.
“Lopek, apakah anak bangsawan
tadi she Lu?”
Kakek itu berhenti bernyanyi,
kemudian memandang padanya. Akan tetapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba kakek
itu meramkan matanya. Wajahnya semenjak tadi sudah pucat dan sekarang matanya
berkunang. Tubuhnya lemas dan dia lalu terkulai, pingsan dalam dekapan Kwan Cu.
Ternyata bahwa kakek ini telah kehilangan banyak darah dan karena semenjak tadi
dia menahan sakit dengan nyanyiannya, kini setelah ia berhenti bernyanyi, rasa
sakit itu datang menyerang dirinya bagaikan gelombang besar yang menelannya!
Kwan Cu cepat menarik tubuh
kakek ini dan karena anak itu diam-diam telah mempunyai tenaga besar, dengan
mudah dia mengangkat dan memondong tubuh yang kurus kering ini ke pinggir
jalan. Dia meletakkan tubuh pengemis tua itu di bawah pohon, lalu cepat pergi
ke sebuah kedai yang ramai.
Pelayan kedai itu baik hati.
Ketika Kwan Cu menceritakan keadaan pengemis tua yang sengsara, diberinya anak
ini semangkok bubur hangat dan sedikit sisa arak. Kwan Cu menghaturkan terima
kasih dan cepat kembali ke tempat dia meletakkan tubuh pengemis tua tadi.
Setelah dia menuangkan sedikit arak ke dalam mulut kakek itu, maka pengemis tua
ini siuman kembali dan dia menerima bubur yang disuapkan ke dalam mulutnya oleh
Kwan Cu.
“Anak, kau baik sekali. Baru
sekarang aku orang she Gui bertemu dengan seorang yang menaruh perhatian kepada
lain orang yang sengsara,” katanya. Dengan bantuan Kwan Cu, dia lalu duduk
bersandar kepada sebatang pohon.
Sementara itu, hari telah
menjadi panas dan hawa di bawah pohon besar itu sejuk benar.
“Kita mengaso di sini dulu,
ehh, siapa pula namamu tadi? Kau she Lu dan namamu?”
“Kwan Cu,” jawab anak gundul
itu sambil menahan perutnya yang terasa perih saking laparnya.
“Lu Kwan Cu, nama yang cukup
baik, sayang she-nya itu! Ehhh, anak, bagaimana kau sampai bisa mempunyai she
Lu?” kakek itu bertanya.
“Entahlah, Gui-lopek. Aku
sendiri tidak tahu kenapa namaku Lu Kwan Cu. Aku mendapat nama ini begitu saja,
dan kupikir, betapa pun buruknya nama ini masih lebih baik dari pada yang tidak
bernama sama sekali. Pula, apakah artinya nama? Waktu lahir manusia tidak
bernama, dan kalau sudah mati, namanya lenyap pula bersama tubuhnya ke dalam
tanah.”
Kakek itu membelalakkan
matanya. “Ah, benar-benar ajaib! Dari mana kau mendapatkan semua pengertian
itu? Kau murid siapa?”
“Bukan murid siapa-siapa,
Lopek, juga bukan anak siapa-siapa. Aku tahu semua itu dari buku-buku kuno.”
“Hm, lebih aneh lagi. Seorang
anak pengemis yang jembel dan miskin dapat membaca kitab...”
“Masih kalah aneh dengan
seorang kakek pengemis yang ternyata ahli sastra dan syair!” kata Kwan Cu.
Mereka saling pandang, lalu tertawa.
“Bagus, Kwan Cu. Kau tidak
tahu dengan siapa kau berhadapan! Ketahuilah olehmu, dahulu Menteri Lu Pin yang
mulia itu pernah belajar ilmu kesusastraan padaku! Pernah pula dia tinggal di
rumahku dan makan dari mangkokku. Aku adalah ahli sastra, ahli bahasa kuno dan
namaku Gui Tin. Gui-siucai bukanlah nama yang tak dikenal orang!”
“Sayang aku tidak mengenalnya,
Lopek,” kata Kwan Cu.
Untuk sesaat kakek ini nampak
kecewa dan marah akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang Kwan
Cu yang mengandung kejujuran, kakek ini lalu tertawa terbahak-bahak sampai
keluar air matanya!
“Aahh, memang lebih mudah
memaki orang dari pada memaki diri sendiri! Aku tidak lebih baik dari pada
manusia she Lu itu. Aku masih saja di kotori oleh kesombongan dan ingin namaku
dikenal oleh semua orang! Hanya kesombongan dan impian kosong belaka. Kau benar,
Kwan Cu. Nama Gui-siucai memang nama kosong belaka. Apa anehnya pada diri
seorang pengemis kelaparan yang dikeroyok anjing? Ha-ha-ha! Akan tetapi
pertemuan kita ini bukan kebetulan saja, tentu sudah diatur oleh Thian yang
maha adil! Kau cerdas dan suka dengan kesusastraan. Maukah kau mengoper
pengetahuan yang memberatkan jiwaku ini?”
Kwan Cu memang cerdik, akan
tetapi mendengar ucapan ini, dia masih ragu-ragu akan maksudnya. “Apa kau
maksudkan bahwa kau hendak mengajarkan semua pengetahuan sastramu, Lopek?”
Gui Tin mengangguk. “Apa
kataku! Kau memang cerdas dan hanya kaulah yang akan mewarisi pengetahuanku.”
Kwan Cu merasa girang sekali.
Memang dia paling senang akan kesusastraan, maka mendengar ini dia berlutut di
depan kakek pengemis tadi, menyatakan kesediaan untuk ‘mengoper’ semua
pengetahuan dari Gui-siucai.
Gui Tin puas sekali. Sambil
mengurut-urut kedua kakinya yang sakit-sakit, dia berkata, “Kwan Cu, setelah
sekarang kita menjadi guru dan murid, ada baiknya kalau kau berterus terang.
Siapakah sebetulnya orang tuamu dan kau datang dari mana?”
Mendengar pertanyaan ini Kwan
Cu menjawab sejujurnya, ”Lopek sesungguhnya aku tak berbohong ketika aku
berkata bahwa aku tak tahu siapa orang tuaku dan dari mana aku datang.
Seingatku tahu-tahu aku telah berada di pantai Laut Po-hai dan melihat Ang-bin
Sin-kai berkelahi dengan Kak Thong Taisu, karena mereka berdua memperebutkan
aku untuk menjadi muridnya! Akan tetapi aku tidak mau menjadi murid mereka.”
Mendengar ini, Gui Tin
membelakkan matanya. ”Aduh, aduh! Kalau tidak mendengar dari mulutnya sendiri,
siapa yang sudi percaya? Tidak mau menjadi murid Ang-bin Sin-kai? Benar-benar
aneh pernyataan ini. Akan tetapi sudahlah, kau memang seorang sin-tong (anak
ajaib) dan agaknya kau akan lebih berhasil dari pada aku. Kita anggap saja
bahwa kau memang sengaja diturunkan oleh Thian untuk menguras dan mengoper
semua apa yang pernah kupelajari. Sekarang, kau dengarlah riwayatku agar kau
tahu orang macam apa yang sekarang menjadi gurumu.”
Sampai matahari terbenam ke
kaki langit sebelah barat, pengemis itu bercerita mengenai riwayat hidupnya.
Dia memang seorang terpelajar yang sejak kecilnya hanya bergulung dengan
kitab-kitab saja. Selain ahli sastra dan telah lulus dalam ujian kota raja
sehingga berhak menyandang gelar siucai, Gui Tin ini juga tekun sekali
mempelajari kitab-kitab kuno sehingga dia berhasil memecahkan segala macam
tulisan-tulisan kuno yang tidak dapat di baca oleh para sastrawan lain!
Ketika dia masih muda, banyak
sekali kaum sastrawan datang padanya untuk menerima wejangan-wejangan atau
menghisap sedikit ilmu sehingga tidak ada orang yang tidak mengenal Gui Tin
yang disebut Gui-siucai. Akan tetapi, watak dari Gui Tin amat aneh.
Ia benci akan kedudukan dan
pangkat. Karena itu, ketika kaisar yang mendengar akan kepandaiannya
memanggilnya untuk diberi kedudukan tinggi, Gui Tin menolaknya secara keras!
Tentu saja kaisar merasa tersinggung dan terhina, lalu menitahkan pasukan untuk
menangkap Gui Tin!
Akan tetapi, para pembesar
yang merasa sangat kagum kepada sastrawan yang pandai ini, mencegah dan
mintakan ampunan kepada kaisar sehingga hukuman kepada Gui Tin diubah, dari
hukuman mati kepada hukuman buang! Ia dilarang tinggal di kota raja dan harus
keluar dari situ!
Gui Tin menjadi marah dan
penghinaan ini membuat perubahan hebat dalam hidupnya. Ia menjadi seperti gila
dan sambil berteriak-teriak memaki-maki kaisar, dia lalu keluar dari kota raja!
Sudah tentu saja perbuatannya
ini membikin marah orang banyak. Gui Tin tentu sudah terbunuh mati kalau saja dia
tidak ditolong oleh dua orang gagah yang menangkap dan membawanya pergi ke
utara. Dua orang gagah ini ternyata adalah putera-putera Kaisar Mongol!
Ketika itu, pemerintahan
Mongol memperluas kebudayaan mereka dengan mempelajari kitab-kitab dari
Tiongkok yang dapat mereka rampas dari perpustakaan Kaisar Han. Akan tetapi
karena banyak terdapat kitab-kitab yang kuno dan sulit sekali dibaca, maka
setelah melihat keadaan Gui Tin, dua orang putera kaisar yang ternyata perkasa
sekali itu lalu menolong Gui-siucai dan membawanya ke Mongol!
Kaisar mendengar tentang hal
ini. Gui Tin kemudian dianggap sebagai pengkhianat yang melarikan diri ke
daerah asing, maka seluruh keluarganya lalu ditangkap dan dihukum mati!
Sampai belasan tahun Gui Tin
tinggal di Mongolia, di mana dia bekerja menterjemahkan kitab-kitab kuno yang
sangat sukar dibaca. Dalan kesempatan ini Gui Tin memperdalam pengetahuannya
dengan mempelajari bahasa-bahasa daerah yang banyaknya puluhan macam. Juga dia
menemukan kitab-kitab kuno yang ternyata berisikan pelajaran penting sekali
mengenai ilmu perang, ilmu silat dan lain-lain. Akan tetapi sebagai seorang
ahli sastra, Gui Tin tidak suka mempelajari tentang ilmu silat.
Kembali Gui Tin menghadapi
bahaya hebat ketika Kaisar Mongol minta agar supaya dia menterjemahkan
kita-kitab ilmu perang serta ilmu silat. Tadinya Gui Tin memang mau mengerjakan
perintah itu, akan tetapi ketika dia mendengar bahwa bala tentara Mongol makin
maju dalam ilmu perangnya, dan bahkan kini mempunyai niat hendak menyerang ke selatan,
dia menjadi terkejut dan gelisah sekali.
Tidak, betapa pun juga, dia
tidak mau menjadi pengkhianat! Biar kaisar memperlakukan dirinya secara tidak
adil, betapa pun dia tidak suka kepada para pembesar-pembesar di negaranya
sendiri yang amat korup dan lalim, namun dia masih mencinta tanah airnya, masih
menjunjung tinggi negaranya sendiri!
Oleh karena itu, dia lalu
menghentikan segala penterjemahan kitab-kitab perang dan ilmu silat! Biar pun
demikian, telah banyak ilmu perang yang di terjemahkan dan telah banyak pula
ilmu silat yang tinggi-tinggi dia terjemahkan, sehingga sekarang banyak
tokoh-tokoh besar di kalangan bangsa Mongol memiliki ilmu silat yang luar
biasa!
Menghadapi pemogokan yang
dilakukan oleh Gui Tin dalam menterjemahkan ilmu silat dan ilmu perang, Kaisar
Mongol menjadi marah dan hampir saja Gui Tin dibunuh kalau tidak di halangi
oleh dua orang pangeran yang dahulu menolongnya. Sebaliknya, Gui Tin hanya
diusir dari Mongol! Untuk kedua kalinya satrawan ini diusir oleh kaisar dan
kini dia pergi dengan penuh perasaan jemu menghadapi manusia.
Beberapa tahun kemudian, orang
melihat seorang kakek pengemis yang kurus kering. Tidak seorang pun mengetahui
bahwa dia ini adalah Gui Tin atau Gui-siucai yang dahulu namanya begitu
dimuliakan orang, bahkan sangat dikagumi oleh kaisar dan juga kaisar Mongol!
Hancur hati Gui Tin ketika dia
mendengar betapa keluarganya sudah dimusnahkan dan semua dijatuhi hukuman mati.
Makin rusak batinnya, dan dia merantau ke sana ke mari seperti seorang edan.
Kemudian dia tiba di kota raja
dan teringat akan Lu Pin, seorang kawannya yang paling baik, atau boleh juga
dibilang seorang bekas muridnya yang paling dia sayang. Dia juga kagum melihat
bakat luar biasa dari Lu Pin dalam hal seni ukir, maka dia ingin sekali bertemu
dan mengunjungi rumah Lu Seng Hok saat mendengar bahwa Seng Hok adalah putera
dari Lu Pin.
Tidak tahunya, di halaman
gedung ini dia dihina dan hampir saja mati digigit anjing-anjing yang
dikerahkan oleh Lu Thong, cucu dari Lu Pin bekas sahabat baiknya itu! Tentu
saja hatinya menjadi sakit sekali dan makin bencilah dia kepada manusia, kepada
dunia dan kepada diri sendiri.
"Demikianlah Kwan Cu.
Kalau tidak bertemu dengan engkau, agaknya aku tidak melihat sesuatu lagi untuk
lebih lama tinggal di dunia ini. Dengan adanya kau, aku masih ingin hidup
beberapa tahun lagi untuk menumpahkan semua yang telah kupelajari
kepadamu."
Kwan Cu merasa terharu sekali,
dan semenjak saat itu dia memandang kepada gurunya ini dengan penuh
penghormatan, penuh kasih sayang dan dia merawat Gui Tin dengan penuh kesabaran
dan kesetiaan. Dia tidak ragu-ragu untuk mengemiskan makanan untuk gurunya ini,
atau menggendong tubuh gurunya yang lemah bila perjalanan jauh membuat kaki Gui
Tin pecah-pecah dan tulangnya sakit-sakit.
"Kwan Cu, aku heran
sekali melihat engkau. Bagaimana kau bisa berlari secepat ini dan tubuhmu
begitu kuat? Bukankah kau belum mempelajari ilmu silat?" tanya Gui Tin
ketika pada suatu hari Kwan Cu berlari cepat sambil menggendongnya.
"Belum pernah, Suhu.
Sebenarnya, aku hanya pernah mendapat petunjuk dari Pek-cilan Thio Loan Eng
tentang cara bersemedhi dan mengatur napas, juga tentang menyalurkan hawa dari
tian-tan ke seluruh tubuh untuk menguatkan urat-urat dan melancarkan jalan
darah. Entahlah, semenjak aku membiasakan diri siulian, aku merasa tubuhku kuat
dan ringan sekali pada waktu berlari."
"Hm, itulah pelajaran
pokok dari ginkang dan lweekang! Anak yang baik, aku sendiri pun telah banyak
menterjemahkan ilmu-ilmu itu, sayangnya dulu aku tidak menaruh perhatian sehingga
aku sudah lupa lagi dengan isinya dan tidak pernah mempelajari ilmu-ilmu silat
yang tinggi."
"Mengapa, Gui-lopek?
Bagiku mempelajari ilmu silat sama halnya dengan mendatangkan bencana terhadap
diri sendiri. Aku tidak suka belajar silat!"
"Ha-ha-ha-ha, kesukaan
kita sama dan pendapat kita sama pula. Sayangnya Kwan Cu, pendapat ini salah
sama sekali!"
Saking herannya Kwan Cu segera
berhenti berlari. Kemudian gurunya minta diturunkan dari gendongan. Mereka
berhenti dan duduk di pinggir jalan yang berumput.
"Mengapa begitu,
Suhu?"
Gui Tin menarik napas panjang.
"Memang kita kaum sastrawan memandang dunia dari segi keindahan. Kita
adalah pencinta damai dan suka akan ketentraman, sesuai dengan kehendak alam
yang suci. Akan tetapi kita lupa bahwa dalam keadaan negara kacau, justru ilmu
silat jauh lebih penting dan lebih cocok untuk dipergunakan bagi kebaikan
seluruh manusia! Kita lupa bahwa hidup ini memang perjuangan, ada pun
perjuangan itu tergantung dari keadaan. Bila mana negara sedang dalam keadaan
makmur dan damai, memang ilmu silat hanyalah mendatangkan kekacauan saja, dan
ilmu kesusastraan dan kesenianlah yang diperlukan untuk memperkembangkan
kebudayaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini..." Kembali Gui
Tin menarik napas panjang. "Apakah artinya kepandaian seorang ahli sastra?
Lihatlah saja Lu Pin itu biar pun dia seorang ahli sastra, namun dalam keadaan
kacau ini apa yang dapat ia perbuat? Melainkan kekacauan yang keluar dari
otaknya, buktinya cucunya sudah menjadi jahat karena selalu terbenam dan mabuk
akan kemewahan dan kemuliaan dunia!"
"Akan tetapi, Gui-lopek.
Bukankah ilmu silat itu adalah ilmu yang berdasarkan kekerasan, kasar, dan
termasuk kepandaian yang jahat saja? Coba saja dipikir, untuk apa ilmu silat
selain menggunakan pukulan untuk menghantam orang lain, mempergunakan tendangan
menyerang orang lain, mainkan senjata tajam untuk melukai dan membunuh?
Nabi-nabi seperti Khong Cu, Lo Cu dan yang lainnya, pernahkah mereka itu
menggunakan pedang untuk mengalahkan orang?"
"Memang benar, akan
tetapi mereka itu pun tidak dapat mendatangkan damai di dalam negeri. Pula,
kita sudah melupakan bahwa yang bersifat jahat itu bukanlah ilmu silatnya,
melainkan orang-orang yang mempunyai ilmu itu. Ilmu kepandaian apa saja, baik
bun (kesusastraan) mau pun bu (ilmu silat), tetap merupakan ilmu yang tidak
mempunyai sifat baik mau pun buruk. Baik atau buruknya tergantung dari orang
yang memilikinya! Segala apa yang sudah ada di dunia ini sudah ada, dan kekal
sifatnya, hanya yang tidak kekal saja yang dipengaruhi oleh baik mau pun buruk.
Seperti air tenang, baru bergerak kalau ada angin lalu atau sesuatu jatuh ke
dalamnya."
Kwan Cu berpikir. Ada
persamaan dalam ucapan gurunya ini dengan ucapan Kak Thong Taisu.....
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar
suara ketawa terbahak-bahak dan muncullah seorang bertubuh tinggi besar, entah
dari mana datangnya. Orang ini ternyata memiliki ginkang yang luar biasa sekali
dan tahu-tahu dia berkelebat berdiri di depan Gui Tin dan Kwan Cu.
Orang ini kulitnya putih,
tubuhnya tegap dan nampak kuat sekali. Yang paling aneh ialah pakaiannya,
karena pakaian yang menempel di tubuhnya berbeda dengan pakaian orang biasa.
Kepalanya tertutup oleh topi
kain yang di depannya terdapat bentuk seperti tanduk. Pada luar bajunya yang
berlengan panjang itu ditutupi dengan baju rompi lengan pendek yang indah
sekali. Di luar celananya yang panjang itu tertutup pula oleh baju rok sebatas
lutut.
Sungguh aneh sekali orang ini.
Mukanya sama saja dengan orang Han, hanya hidungnya yang agak panjang dan
bengkok ke bawah. Ia tidak berkumis namun memelihara jenggot model kambing.
Pada punggungnya tergantung sepasang siang-kek (tombak bercabang) yang runcing.
Gui Tin memandang tajam. Kakek
pengemis yang pengalamannya sudah banyak ini tahu dengan orang macam apa dia
berhadapan, maka segera dia bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak di
mengerti oleh Kwan Cu. Ternyata Gui Tin telah bicara dalam bahasa Tartar.
"Siapakah tuan dan
mengapa datang menjumpai kami?"
Mendengar pertanyaan ini, orang
Tartar itu tertawa lagi dan sekarang sepasang matanya bersinar-sinar girang.
"Tidak salah lagi!"
katanya dalam bahasa Han sehingga Kwan Cu dapat mengerti. "Kau tentu
Gui-siucai bukan? Bagus, bagus! Tadi aku merasa heran sekali dan bertanya-tanya
dalam hati apakah aku bertemu dengan dewa atau setan di tempat ini, ketika
mendengar kalian ini pengemis-pengemis tua dan muda bicara tentang
filsafat-filsafat yang demikian tingginya. Sekarang aku mengerti, kau tentu
Gui-siucai. Siapa lagi kalau bukan Gui Tin si ahli sastra?"
Gui Tin cepat bangkit dan
menjura seperti laku seorang yang tahu akan sopan santun. "Memang tidak
salah. Aku yang bodoh adalah Gui Tin, dan ini adalah muridku Kwan Cu. Tidak
tahu siapakah Tuan?"
Orang Tartar itu tersenyum dan
nampaklah giginya yang berbaris rapi dan putih sekali. Kalau saja hidungnya
tidak demikian bengkok, dia benar-benar tampan sekali, pikir Kwan Cu sambil
memandang heran. Ia menaksir usia orang ini antara tiga empat puluh tahun.
"Gui-siucai, baru melihat
sepintas saja kau sudah tahu bahwa aku adalah seorang Tartar, ini menandakan
ketajaman matamu dan bahwa kau memang sudah amat matang dalam pengalaman. Juga
bahasa Tartar yang kau ucapkan tadi, amat halus. Sungguh-sungguh aku sangat
kagum sekali. Ketahuilah, aku bernama An Lu Kui, adik dari perwira An Lu Shan
yang sudah banyak berjasa kepada negara."
Ketika itu nama An Lu Shan
sudah terkenal sekali, karena panglima ini memang sangat gagah perkasa dan
telah banyak membuat jasa dalam membasmi serangan kecil-kecilan dari musuh di
utara dan barat. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah jemu terhadap para
pembesar baik sipil mau pun militer, Gui Tin bersikap dingin saja.
"Ah, kiranya Tuan adalah
adik dari An-ciangkun yang ternama. Tidak tahu ada keperluan apakah Tuan menjumpai
aku, seorang jembel miskin?"
"Ah, Gui-siucai, engkau
terlalu merendahkan diri. Sebenarnya, aku sengaja datang untuk mengundangmu
supaya datang ke perbatasan utara atas perintah An-cingkun, terutama sekali
atas petunjuk dari Li Kong Hoat-ong yang menjadi penasihat dari
An-ciangkun."
Gui Tin berpikir sebentar dan
diam-diam dia terkejut. "Kau maksudkan Li Kong Hoat-ong bekas raja dari
suku bangsa Yu-yan? Apakah sekarang dia sudah menjadi penasihat dari
An-ciangkun?"
"Gui-siucai betul-betul
mengenal orang-orang besar. Memang tepat sekali apa yang kau duga itu."
Meski pun dia sendiri belum
pernah memangku jabatan, akan tetapi Gui Tin telah banyak menterjemahkan
buku-buku tentang ilmu perang. Maka, kini timbullah semacam dugaan yang
menggelisahkan hatinya.
Di bawah pimpinan Li Kong
Hoat-ong, bangsa Yu-yan telah banyak sekali mengacaukan negara Tiongkok, dan
setelah bangsa itu dikalahkan, sekarang Li Kong Hoat-ong menjadi penasihat dari
An Lu Shan. Benar bahwa An Lu Shan merupakan seorang perwira yang banyak
berjasa dan tenaganya terpakai sekali oleh pemerintah, akan tetapi tetap saja
An Lu Shan adalah seorang bangsa Tartar, siapa tahu isi hati dari orang itu?
"Tidak, tidak. Aku tidak
dapat pergi ke perbatasan utara. Aku sudah tua, tubuhku sudah lemah, tulang-tulangku
sudah rapuh, tak mungkin aku bisa melakukan perjalanan sejauh itu. Harap saja
tuan tidak mengganggu lagi." Sambil berkata demikian kemudian Gui Tin
menggandeng tangan Kwan Cu dan diajak pergi dari situ.
Akan tetapi baru saja mereka
berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan sekali
melompat, An Lu Kui telah berada di depan mereka. Orang Tartar ini mendorong
sebatang pohon besar yang mengeluarkan suara keras dan lantas tumbang,
melintang serta menghalang perjalanan Gui Tin dan Kwan Cu!
Kwan Cu meleletkan lidah
saking merasa kagum dan terheran. Bagaimana orang dapat mendorong roboh
sebatang pohon besar sedemikian mudahnya?
Sedangkan Gui Tin yang melihat
ini, lalu memandang tajam dan bertanya, “Hemm, kau berkepandaian tinggi! Pernah
apa kau dengan Li Kong Hoat-ong?”
An Lu Kui tersenyum. “Dia
adalah guruku, juga guru dari kakakku, An-ciangkun.”
Makin tercekat hati Gui Tin
mendengar ini. Lebih hebat lagi kalau raja Yu-yan itu menjadi guru dari An Lu
Shan! Mengapa kaisar tidak mengetahui akan hal ini?
“Jadi kau hendak menggunakan
kekerasan, tetap hendak membawaku ke utara?”
An Lu Kui menggeleng kepala
sambil tersenyum. “Tidak sama sekali, kami mengundang Gui-siucai dengan hormat.
Harap Gui-siucai sudi meluluskan permintaan kami.”
Setelah berkata demikian, An
Lu Kui bersuit keras dan tiba-tiba dari hutan kecil tak jauh dari situ
muncullah lima orang yang membawa delapan ekor kuda yang besar dan kuat!
Ternyata bahwa lima orang ini pun orang-orang Tartar pula.
“Gui-siucai, silakan naik
kuda, kau juga!” kata An Lu Kui kepada Kwan Cu.
Gui Tin hendak membantah, akan
tetapi Kwan Cu berkata, “Gui-lopek, tidak ada gunanya membantah. Biarlah kita
ikut pergi dan menyerahkan nasib kepada Tuhan.”
Mendengar ini, An Lu Kui
tertawa. “Anak baik, siapa namamu?”
“Aku Lu Kwan Cu, murid dari
Gui-lopek.”
Salah seorang kawan An Lu Kui
berkata, ”Ah, untuk apa kita membawa-bawa bocah ini? Tinggalkan saja!”
“Tidak!” Gui Tin membentak
marah. “Kalau Kwan Cu ditingggalkan, biar pun kalian akan membunuhku, aku tak
sudi pergi!”
Demikianlah, Gui Tin lalu naik
kuda dan Kwan Cu juga naik kuda itu di belakang gurunya, karena inilah kehendak
Gui Tin yang tidak mau berpisah dari muridnya yang tercinta. Kuda-kuda itu
kemudian dikeprak dan berlarilah binatang-binatang tunggangan yang kuat ini
menuju ke utara. Rombongan ini dipimpin sendiri oleh An Lu Kui yang di
perjalanan bersikap sangat ramah tamah terhadap Gui Tin.
Perjalanan dilakukan cepat
sekali. Mereka tidak pernah berhenti di satu kota atau dusun karena bekal
makanan mereka ternyata cukup banyak. Bahkan anehnya, selalu An Lu Kui memilih
jalan sunyi dan menghindari tempat-tempat ramai.
Mereka melewati Propinsi
Shan-si dan ketika telah melalui kota Ta-tung, pada suatu pagi mereka melewati
padang rumput yang sunyi. Di situ hanya nampak beberapa beberapa batang pohon
yang tumbuhnya berjauhan dan keadaan benar-benar sunyi.
An Lu Kui nampaknya
takut-takut melewati tempat ini dan beberapa kali dia menengok ke arah barat di
mana nampak pegunungan kecil.
“Hayo kita percepat kuda
karena sudah dekat!” katanya memberi perintah.
Kuda dilarikan semakin cepat.
Keadaan sunyi sekali, kecuali hanya suara kaki kuda yang berderap-derap dan
bergema di empat penjuru. Memang aneh sekali bagi Kwan Cu yang baru pertama
kali datang di tempat ini. Tempat itu terbuka dan hanya terkurung oleh
pohon-pohon yang tumbuh di sana-sini seperti raksasa berdiri megah, akan tetapi
suara kaki kuda itu bergema sehingga kalau didengar-dengar, seakan-akan ada
banyak sekali kuda berlari datang dari segenap penjuru.
Mendadak delapan ekor kuda
itu, terutama seekor yang membawa perbekalan dan tidak ditunggangi orang, hanya
dituntun oleh seorang anak buah An Lu Kui, mengangkat dua kaki depan sambil
meringkik ketika tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dua orang anak laki-laki
tahu-tahu telah melompat dari atas pohon dan kini berdiri menghadang di tengah
jalan!
Ketika itu, Kwan Cu yang duduk
sekuda dengan gurunya, menjalankan kudanya di dekat An Lu Kui. Melihat betapa
kuda yang di tungganginya dan kuda An Lu Kui menyeruduk maju dan pasti akan
menubruk dua orang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan dia itu, Kwan Cu
tak terasa pula menjerit, “Celaka…!”
Setelah berkata demikian, Kwan
Cu memondong gurunya dan mengerahkan tenaganya melompat dari atas kuda yang
sedang berlari cepat. Memang dia sudah memiliki ginkang di luar kesadarannya
sehingga tubuhnya dapat mencelat dari atas kuda. Akan tetapi oleh karena dia
tidak pernah melatih ilmu melompat, dia tidak tahu cara bagaimana harus mengatur
tubuhnya saat melayang itu sehingga ia jatuh dengan kacau bersama gurunya.
Namun Kwan Cu memang berhati
setia. Melihat bahwa dia dan gurunya jatuh ke tanah, dia lalu berguling dan
mengatur sedemikian rupa sehingga pada saat jatuh dia berada di bawah dan
gurunya menimpa dadanya! Kepala anak ini membentur tanah kering hingga debu
mengebul, akan tetapi gurunya selamat!
Ada pun An Lu Kui yang melihat
kudanya menubruk seorang di antara kedua orang anak laki-laki itu, membentak
marah, “Anak gila, apakah kau ingin mampus?!”
Akan tetapi, terjadilah hal
yang luar biasa sekali. Kuda yang tadi ditunggangi oleh Kwan Cu akan menubruk
anak yang lebih kecil, namun ketika kedua kaki depan kuda itu sudah terangkat
akan menimpa anak itu, dia lalu menggerakkan kedua tangannya, secepat kilat
menangkap kedua ujung kaki dan dengan sekali gentak saja kuda itu sudah
melompat ke atas melewati kepalanya sehingga dia selamat!
Anak ini tertawa-tawa geli,
sama sekali tak mempedulikan kuda tadi, tetapi menudingkan jari telunjuknya ke
arah Kwan Cu yang jatuh bergulingan. “Ha-ha-ha, Suheng, kau lihat! Bocah gundul
itu main komidi, lucu sekali!”
Ada pun An Lu Kui yang kudanya
menubruk anak ke dua yang lebih besar, tidak keburu mencegah sehingga kudanya
itu dengan kedua kakinya menendang ke arah dada anak tadi. Akan tetapi, dengan
cepat dan tenang, anak yang besar ini lalu menusuk lutut kaki depan kuda yang
sebelah kanan, yakni kaki yang berada di depan.
Kuda itu mengeluarkan ringkik
kesakitan dan tiba-tiba kedua kaki depannya tertekuk dan kuda itu jatuh
berlutut! Baiknya An Lu Kui adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka cepat
dia dapat melayang ke atas dan berpoksai (membuat salto) beberapa kali sehingga
dapat turun dengan selamat!
"Sute, kau lihat.
Bukankah kuda ini lebih lucu lagi? Datang-datang dia malah berlutut dan memberi
hormat kepadaku. Bagus, bagus!"
An Lu Kui adalah seorang yang
sudah lama merantau di dunia kang-ouw dan tahulah dia bahwa dua orang anak yang
usianya sekitar enam tujuh tahun ini tentulah murid-murid dari orang pandai.
Maka dia tidak berani berlaku sembarangan sungguh pun dia merasa mendongkol
sekali.
"Kalian ini bocah-bocah
kecil murid siapakah? Mengapa kalian menghadang perjalanan kami?"
Akan tetapi kedua orang anak
kecil itu tidak menjawab dan pada saat itu terdengar suara yang membuat
kuda-kuda menjadi terkejut dan gelisah. Itulah suara ketawa yang sangat
menyeramkan dan ketika An Lu Kui mendengar ini, mendadak dia menjadi pucat
sekali. Suara ketawa itu seperti suara harimau mengaum dan disusul dengan suara
ketawa ini lalu terdengarlah kata-kata yang jauh sekali namun cukup membuat
telinga merasa sakit saking nyaringnya.
"Heh-heh-heh! Swi Kiat
dan Kun Beng, kalian berada di manakah?"
Anak yang lebih kecil, yaitu
yang tadi melontarkan kuda tunggangan Kwan Cu ke atas kepalanya, segera
meruncingkan mulutnya dan keluarlah teriakan yang kecil akan tetapi cukup
nyaring, "Teecu berdua berada di sini, Suhu!"
Kembali An Lu Kui menjadi amat
terkejut sekali. Ternyata bahwa khikang dari pada anak kecil ini sudah demikian
hebatnya!
Baru saja gema suara jawaban
anak ini lenyap, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan mereka
berdiri seorang laki-laki berusia sedikitnya enam puluh tahun yang tubuhnya
membuat Kwan Cu hampir tertawa. Orang ini pendek dan kecil, sama sekali tidak
membayangkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang pandai.
Akan tetapi, ketika melihat
orang ini, serta merta An Lu Kui segera melangkah maju dan menjura dengan sikap
hormat sekali.
"Siauwte An Lu Kui mohon
maaf apa bila telah melanggar wilayah Pak-lo-sian Cianpwe," katanya.
Akan tetapi kakek itu tidak
menghiraukan sama sekali, sebaliknya lalu menoleh kepada Gui Tin dan terdengar
dia mengeluarkan suara ejekan dari hidungnnya, "Hemm, apakah si bangkotan
Li Kong Hoat-ong itu telah benar-benar mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng?"
Setelah berkata demikian
tiba-tiba dia menoleh kepada An Lu Kui dan pandang matanya yang tadinya
suram-muram itu mendadak menjadi tajam luar biasa sehingga An Lu Kui terkejut
sama sekali karena pandang mata itu seakan-akan menembusi dadanya!
An Lu Kui sesungguhnya tidak
mengerti tentang kitab itu, maka dengan terus terang dia berkata,
"Locianpwe (sebutan untuk orang tua yang tingkatnya jauh lebih tinggi),
siauwte sama sekali tidak tahu tentang kitab itu. Mendengar pun baru sekarang.
Sesungguhnya siauwte sudah diutus oleh suhu Li Kong Hoat-ong untuk mengundang
Gui-siucai karena suhu amat mengaguminya."
Pandangan mata kakek itu
benar-banar mengancam sekali. Keningnya yang keriputan itu menjadi makin nyata
garis-garis keriputnya.
"Ehh, kau hendak
mengandalkan nama An Lu Shan dan suhu-mu Li Kong Hoat-ong dan tidak mau
mengaku? Hayo bicara terus terang!"
"Sungguh, Locianpwe,
siauwte… siauwte tidak tahu…" An Lu Kui yang tadinya galak itu kini nampak
ketakutan.
Tiba-tiba tubuh kakek itu
bergerak dan tahu-tahu dia melompat ke dekat orang Tartar itu. Pada saat lain,
sebelum An Lu Kui sempat mengelak, kakek ini telah menangkap batang lehernya
dan sekali menggentak, tubuh orang Tartar ini terlempar ke atas, tinggi sekali!
Bagaikan sekarung beras tubuh
An Lu Kui terlempar dan dari atas jatuh pula ke bawah tanpa berdaya sedikit
pun. Ternyata tangkapan pada lehernya tadi sekaligus juga sudah merupakan
tekanan pada jalan darahnya yang membuat dia menjadi lumpuh!
Kebetulan sekali tubuh orang
Tartar itu menimpa Swi Kiat, murid terbesar dari kakek itu. Anak ini usianya
paling banyak delapan tahun, akan tetapi kepandaiannya sudah hebat. Dia
menerima tubuh orang Tartar itu dengan kedua tangannya, lalu sambil tertawa
lebar dia melemparkan tubuh itu kepada adik seperguruannya, yaitu yang bernama
Kun Beng.
Anak ini lebih muda dari Kwan
Cu, usianya paling banyak enam tahun, serta wajahnya tampan dan periang. Sambil
tertawa geli anak ini kemudian menggunakan tangan kanan menahan punggung An Lu
Kui yang terlempar ke arahnya. Kemudian, sekali tangan kiri anak ini menepuk
tubuh belakang orang Tartar itu, An Lu Kui mencelat lagi ke atas dan kini
melayang ke arah kakek tadi.
Kakek itu lalu menerimanya
dengan menotok pundak An Lu Kui yang jatuh berdebuk di depan kakinya. Akan
tetapi orang Tartar itu kini sudah terbebas dari totokan dan dapat bergerak. Ia
segera menjatuhkan diri berlutut dengan muka pucat sekali.
"Locianpwe, biar pun
siauwte dibunuh memang benar-benar siauwte tidak tahu tentang kitab itu,"
katanya dengan suara gemetar.
Kwan Cu paling tidak suka
kalau orang menggunakan kekerasan, apa lagi melihat kakek dan dua orang
muridnya itu mempermainkan An Lu Kui yang tidak berdaya sama sekali, timbulah
rasa penasaran dalam dadanya.
"Menggunakan kepandaian
untuk menghina orang, sungguh tak patut sekali. Menangkan orang lain hanya
memiliki tenaga besar, menangkan diri sendiri barulah betul-betul patut disebut
kuat!"
"Hushh, Kwan Cu…"
Gurunya mencegah dan memandang khawatir.
Kakek itu cepat menengok.
Ketika melihat Kwan Cu, nampak kekaguman membayang di dalam sinar matanya.
"Hemm, kau murid
Gui-siucai? Tidak patut, tidak patut!"
"Suhu, segala kutu buku
macam ini apa gunanya? Biarlah teecu menghajar sedikit adat padanya!"
berkata Kun Beng dengan marah, akan tetapi Swi Kiat mencegahnya.
"Kalau kau sudah katakan
dia kutu buku, untuk apa melawan segala kutu buku, Sute? Tulang-tulangnya
terlalu lemah, jangan-jangan dia akan mati dalam tanganmu!"
"Diamlah kalian berdua.
Kulihat ada apa-apanya dalam diri anak ini." Kakek ini kemudian berpaling
kepada An Lu Kui. "Biarlah, memandang ucapan anak ini aku percaya padamu.
Pergilah!"
Dengan tergesa-gesa dan juga
lega sekali, An Lu Kui lalu mengajak kawan-kawannya, juga Kwan Cu dan Gui Tin,
untuk pergi dari situ cepat-cepat.
Ketika mereka telah
membalapkan kuda dan pergi jauh sehingga kakek dan dua orang muridnya tidak
nampak lagi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu. Biar pun orangnya tidak
kelihatan, namun suaranya terdengar dekat sekali,
"Gui Tin, lain kali pada
waktunya, akulah yang benar-benar akan membutuhkan bantuan darimu. Selamat
jalan!"
Kwan Cu terheran-heran dan
sejak pertemuan tadi, berubahlah pandangannya terhadap ilmu silat. Sebenarnya
sejak Gui Tin bicara tentang ilmu silat dan kegunaannya, dia telah tertarik
sekali, akan tetapi tetap saja hasrat di dalam hatinya untuk belajar ilmu silat
masih amat lemah. Kini, menyaksikan kelihaian kedua orang anak kecil itu, dia
menjadi tertarik dan ingin sekali memiliki kepandaian seperti mereka! Inilah
sifat anak-anak yang betapa pun juga masih melekat di dalam hatinya.
"An-sianseng (Tuan An),
sebetulnya siapakah kakek yang luar biasa sekali itu?"
Diam-diam Kwan Cu lalu
membandingkan kakek tadi dengan dua orang luar biasa yang pernah dijumpainya,
yakni Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Bila melihat keadaan,
keanehan dan kelihaian mereka, agaknya ketiga orang itu mempunyai tingkat yang
sudah tinggi sekali.
Sebenarnya An Lu Kui sedang
marah, mendongkol dan penasaran sekali. Oleh seluruh barisan di bawah kakaknya,
dia dianggap sebagai seorang gagah yang disegani dan juga dihormati. Tidak
tahunya, di sini dia telah mengalami penghinaan dari seorang kakek dan dua
orang anak-anak. Akan tetapi, oleh karena menganggap Kwan Cu sudah berjasa di
hadapan kakek tadi, dia menjawab juga.
"Dia adalah seorang sakti
bernama Siangkoan Hai yang berjuluk Pak-lo-sian (Dewa Tua dari Utara). Untuk
daerah utara boleh dibilang dia menjadi tokoh terbesar. Biasanya biar pun orang
menduga bahwa dia berada di daerah utara, dia tidak pernah muncul kecuali
terjadi perkara-perkara besar dan biasanya dia tidak mau mencampuri segala
urusan dunia. Kita benar-benar sial sekali bertemu dengan dia."
Akan tetapi, Gui Tin berkata
perlahan kepada Kwan Cu, "Kita benar-benar beruntung bertemu dengan dia.
Aku pun baru kali ini melihat wajahnya, walau pun namanya sudah lama kudengar.
Kwan Cu, perhatikanlah, di dalam dunia persilatan, terdapat lima orang yang
paling terkenal. Mereka itu adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang merajai
daerah utara, ke dua adalah Ang-bin Sin-kai yang menjagoi di pantai timur, ke
tiga hwesio tibet bernama Hek-i Hui-mo (Iblis Terbang Jubah Hitam) yang menjadi
tokoh terbesar bagian barat. Ada pun orang ke empat dan ke lima merajai daerah
selatan, yakni yang seorang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang sudah kau kenal
dan orang ke dua adalah seorang wanita tua yang terkenal dengan julukan Kiu-bwe
Coa-li (Ular Betina Buntut Sembilan)! Menurut berita yang pernah kudengar,
mereka berlima ini kepandaiannya seimbang dan kini mereka sedang berusaha untuk
memperebutkan sebuah kitab ilmu perang dan ilmu silat yang disebut Im-yang
Bu-tek Cin-keng. Tadinya kuanggap hal ini hanya kabar angin belaka, akan tetapi
setelah sikap Dewa Tua Utara tadi, agaknya betul juga kabar itu."
"Gui-lopek, apakah
sesungguhnya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang diperebutkan oleh orang-orang
luar biasa itu? Dan apakah selain lima orang tokoh itu, di dunia ini tidak ada
orang-orang pandai ilmu silat yang lain lagi?"
Pada saat itu An Lu Kui
mendekatkan kudanya. Gui Tin memberi tanda dengan matanya agar Kwan Cu tak
banyak bicara lagi, kemudian kakek pengemis itu berkata seakan-akan menjawab
pertanyaan Kwan Cu,
"Kau tanyakan tentang
nama-nama tokoh besar? Ahh, menyebut yang lain-lain tidak ada artinya. Kalau
Pek-cilan Thio Loan Eng barulah seorang wanita pendekar berilmu tinggi!"
Mendengar ini, An Lu Kui
mengejek dan tersenyum. "Gui-siucai, kau orang bun mana tahu tentang
tokoh-tokoh besar dalam ilmu persilatan? Walau pun aku belum tentu dapat
menandingi kepandaian Pek-cilan, akan tetapi kalau dibandingkan dengan suhu Li
Kong Hoat-ong, bukankah itu sama saja dengan membandingkan sebuah bukit anakan
dengan Gunung Thai-san?"
Akhirnya perjalanan mereka
tiba di benteng penjagaan di mana An Lu Shan memimpin barisannya untuk menjaga
tapal batas utara. Benteng ini besar sekali, merupakan suatu perkampungan
tersendiri yang dikelilingi dusun-dusun yang penduduknya campur aduk, ada orang
Mongol, ada suku bangsa Uigur, Cou, dan lain-lain.
Ketika Gui Tin ditinggalkan di
ruangan tamu berdua dengan Kwan Cu, kakek ini berkata, "Kwan Cu, tentang
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tokoh-tokoh persilatan yang kau tanyakan itu,
nanti saja kalau kita sudah dapat meninggalkan tempat ini, kau kuberi tahu.
Sebetulnya, di dalam tangankulah rahasia untuk mendapatkan kitab kuno
itu!"
Kwan Cu amat terkejut. Akan
tetapi sebelum dia membuka mulut, Gui Tin memberi tanda dengan telunjuk di
depan mulut, dan dari dalam terdengar tindakan kaki mendatangi.
Setelah pintu terbuka,
ternyata yang masuk adalah An Lu Kui sendiri bersama dua orang lain. Seorang
adalah seorang berpakaian perwira yang bertubuh gagah, sedangkan yang lain
adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar, berusia kurang lebih lima puluh
tahun dan sikapnya agung sekali. Dia berjalan dengan tubuh tegak dan dada
terangkat, bagai sikap seorang raja besar. Inilah Li Kong Hoat-ong, bekas raja
bangsa Yu-yan yang kini menjadi guru dari An Lu Shan dan An Lu Kui!.
An Lu Shan, panglima yang sudah
banyak membuat jasa bagi negara itu, berlaku hormat kepada Gui Tin. Ia menjura
lalu berkata,
“Kami harap Gui-siucai tidak
mendapat banyak kaget dan mengalami banyak kesukaran karena undangan kami ini.
Telah lama kami mendengar nama besar Gui-siucai, dan biar pun selama ini
pemerintah tidak memperhatikanmu, akan tetapi karena aku pun seorang panglima
negara, maka biarlah kau anggap sekarang aku sedang mewakili pemerintah dan
menebus kelalaian pemerintah. Gui-siucai akan hidup kecukupan di tempat kami ini.”
Gui Tin adalah seorang
terpelajar tinggi yang telah banyak pengalaman dan mempunyai kecerdikan luar
biasa. Akan tetapi dia adalah seorang yang jujur dan tidak suka memutar
balikkan omongan. Sebab itu, mendengar ucapan yang dia tahu hanya merupakan
siasat untuk membela hatinya belaka ini, dia menjawab,
“An-ciangkun, aku dan muridku
sudah dibawa ke sini dengan paksa, lebih baik sekarang lekas katakan, pekerjaan
apakah yang harus kami lakukan? Kami ingin membereskan urusan ini secepatnya,
karena kami ibarat burung-burung yang terbang bebas di udara. Pernahkah kau
mendengar akan burung-burung yang merasa suka di kurung, biar dalam kurung emas
sekali pun?”
Kini Li Kong Hoat-ong yang
tertawa bergelak mendengar kata-kata sastrawan terpelajar tinggi itu. Pada saat
ketawa, Li kong Hoat-ong menutup mulutnya dengan tangan kanan, agaknya dia
hendak menjaga peraturan serta kesopanan dirinya, untuk memperlihatkan bahwa
dia adalah berbeda dari pada orang lain, bahwa ia memiliki keistimewaan khusus,
karena bukankah dia bekas raja?
“Gui-siucai, inilah yang
dibilang bahwa makin tinggi pengertian orang, semakin poloslah wataknya!” Bekas
raja bangsa Yu-yan ini lalu berpaling kepada An Lu Shan dan berkata, “Muridku,
terhadap seorang terpelajar tinggi seperti Gui-siucai ini, tak perlu kita
bicarakan yang lain lagi. Kau lebih baik menerangkan saja maksud kita.”
Merahlah wajah An Lu Shan
saking jengah dan malunya. Benar-benar seorang yang luar biasa sekali Gui Tin
ini, pikirnya. Pakaiannya seperti pengemis, akan tetapi sikapnya agung-agungan
seperti seorang pembesar tinggi saja! Akan tetapi oleh karena dia amat
membutuhkan tenaga bantuan Gui-siucai, An Lu Shan menahan sabar.
Komandan ini memberi perintah
agar semua penjaga pergi dari ruangan itu, lalu Gui Tin bersama muridnya diajak
masuk ke dalam sebuah kamar. Hanya lima orang yang berada di kamar itu, yakni
An Lu Shan, An Lu Kui, Li Kong Hoat-ong dan Gui Tin bersama Kwan Cu saja.
“Gui-siucai, sebelumnya harap
kau suka bersumpah bahwa kau takkan bercerita kepada lain orang tentang hal
yang akan kita bicarakan ini,” kata An Lu Shan.
Gui Tin tersenyum. “Aku tak
pernah bersumpah, dan tidak mau bersumpah. Kalau orang tidak percaya padaku,
mengapa aku dibawa ke sini? An-ciangkun, bicaralah. Aku Gui Tin bukanlah orang
yang biasa berpanjang mulut.”
“Gui-siucai, kami hanya minta
padamu untuk menterjemahkan sebuah kitab untuk kami. Kitab itu kitab kuno
sekali dan hanya kaulah orang yang akan dapat menterjemahkannya. Kami tidak
akan mau memeras tenaga orang secara sia-sia, maka kau boleh tetapkan sendiri
biayanya, asal kau suka mengerjakannya cepat-cepat, lebih cepat lebih baik.”
Gui Tin mengerling ke arah An
Lu Kui dan berkata perlahan. “Hm, agaknya benar dugaan kakek pendek kecil dulu
itu?”
Sesungguhnya, di dalam hatinya
Gui Tin terkejut sekali mendengar ucapan An Lu Shan tadi, akan tetapi secara
pandai sekali dia dapat menguasai debar jantungnya.
An Lu Kui menjawab, “Memang
betul Gui-siucai. Kitab itulah yang berada di tangan kami. Oleh karena itulah
kau tidak boleh membocorkan rahasia ini supaya jangan sampai ada orang jahat
datang merampasnya.”
Gui Tin mengangguk-angguk,
hatinya pun berdebar-debar. Sudah belasan tahun ia ingin sekali melihat kitab
ini, kitab yang diperebutkan oleh semua orang gagah di dunia, karena di dalam
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini selain terdapat ilmu-ilmu silat yang tinggi,
juga di situ terdapat ilmu perang, ilmu pengobatan, dan perbintangan!
“Akan kucoba menterjemahkan,
sungguh pun aku tidak berani memastikan apakah aku bisa melakukan hal itu.
Bolehkah aku melihat kitabnya sekarang juga?”
Li Kong Hoat-ong bertukar
pandang dengan An Lu Shan.
“Mari ikut dengan aku untuk
mengambilnya,” kata komandan ini.
Beramai-ramai mereka lalu
memasuki kamar komandan ini yang berada di tengah-tengah benteng. Kamar ini
terjaga kuat-kuat dan agaknya tidak akan mudah bagi siapa pun juga untuk
menyerbu masuk ke dalam kamar An Lu Shan.
Setelah berada di kamar, An Lu
Shan merapatkan daun pintu, bahkan menguncinya dari dalam. Kemudian dia
menghampiri pembaringannya dan sesudah dia menarik gantungan kelambu tiga kali,
terdengarlah suara keras kemudian pembaringan itu terangkat naik! Di bawahnya
terdapat lubang yang terbuka sendiri di lantai yang tadinya berada di kolong
pembaringan, dan di dalam lubang ini terdapat sebuah peti kecil.
An Lu Shan mengambil peti itu
dan berkata kepada Gui Tin sambil tersenyum, “Kitab yang banyak diinginkan oleh
banyak orang jahat, apa bila tidak disimpan baik-baik, tentu akan mudah
hilang.”
Gui Tin mengangguk-angguk.
Sambil memandang ke arah peti itu dengan penuh gairah, dia pun berkata memuji,
"An-ciangkun benar-benar teliti. Setan pun agaknya akan sukar mendapatkan
kitab itu di sini!"
An Lu Shan tertawa, kemudian
setelah menutup kembali pembaringan, dia menghampiri meja dan menaruh peti kecil
berwarna hitam itu ke atas meja. Ketika dia membukanya, nampak sebuah kitab
yang sudah tua sekali dan kertasnya berwarna kekuning-kuningan, terbungkus oleh
sutera putih yang bersih.
Debar jantung Gui Tin semakin
menghebat dan sastrawan ini bagaikan orang kelaparan melihat paha babi
panggang. Tak terasa pula dia maju mendekat.
An Lu Shan tertawa lagi, lalu
mengambil kitab itu. "Kau lihat sebentar, dan coba kenali kitab apa
ini!"
Gui Tin menerima bungkusan
sutera putih itu, lalu membukanya. Dia tidak cepat-cepat membuka kitab itu,
akan tetapi memandang sampulnya dahulu dengan penuh perhatian, lalu
menimbang-nimbang berat kitab itu di atas tangannya. Kemudian dia mencium kitab
itu dengan hidungnya yang dikembang-kempiskan.
Setelah itu dia memandang agak
ragu-ragu ke arah kitab itu. Dibacanya beberapa baris tulisan kuno yang tak
karuan bentuknya, dan menurut penglihatan Kwan Cu yang selalu berada di sisi
gurunya, itu bukanlah tulisan, melainkan gambaran-gambaran yang buruk sekali!
Mendadak Gui Tin tertawa geli.
"Ahh, orang telah main-main, An-ciangkun! Orang mau meniru, akan tetapi
alangkah bodohnya! Kertas ini biar pun sudah kuno namun tulisan-tulisan dan
gambar-gambarnya dilakukan dengan penggunaan tinta baru! Ini adalah kitab palsu
sama sekali!"
Untuk sesaat hening di dalam
kamar itu, kemudian terdengar Li Kong Hoat-ong memuji, "Gui-siucai
benar-benar bermata tajam. Sungguh mengagumkan sekali!"
An Lu Shan juga merasa kagum
maka dia lalu menjura kepada Gui Tin. "Gui siucai sekali melihat saja tahu
perbedaan, sungguh lihai. Sekarang aku percaya benar-benar bahwa kitab itu
tidak akan dapat diterjemahkan orang melainkan Gui-siucai seorang. Tunggulah,
aku akan mengambil aslinya!"
Setelah berkata demikian, An
Lu Shan lalu menekan sesuatu di tembok dan terbukalah dinding itu,
memperlihatkan satu pintu rahasia. Kali ini dia sendiri yang memasuki pintu
rahasia itu, bahkan guru dan adiknya sendiri tidak ikut masuk! Setelah dia
keluar kembali, dia sudah membawa keluar sebuah peti yang lebih kecil dari pada
peti yang palsu tadi. Juga peti ini berwarna hitam, akan tetapi kelihatannya
berat sekali. Ia menaruh peti ini di atas meja, kemudian menyimpan kembali
kitab dan peti palsu yang tadi.
An Lu Kui sendiri baru pertama
kali ini melihat kitab yang asli itu, karena yang pernah melihatnya hanya An Lu
Shan berdua Li Kong Hoat-ong. Oleh karena itu dengan suara memohon dia berkata
kepada kakaknya. "Shan-heng, bolehkah aku membukanya?"
Sambil berkata demikian, dia
segera mengulurkan tangan kanannya hendak membuka tutup peti. Akan tetapi cepat
sekali An Lu Shan menampar tangan adiknya dan berkata,
"Hati-hati! Jangan
sembarangan menjamah peti ini, Kui-te!" Lalu dia melanjutkan dalam bahasa
Tartar. "Peti ini telah dilaburi racun yang berbahaya sekali!" Tentu
saja Kwan Cu tidak mengerti, akan tetapi Gui Tin mengerti baik kata-kata ini.
An Lu Shan lalu meminta semua
orang untuk mundur, kemudian dengan tangan kirinya dia mengambil sebuah bantal
dari pembaringannya, dipegang di atas peti, antara dia dan peti itu sebagai
perisai. Kemudian dengan tangan kanannya dia membuka tutup peti.
“Ser! Ser! Ser!” terdengar
suara dan dari dalam peti itu dengan cepat dan tidak terduga sekali menyambar
tujuh batang anak panah kecil yang ujungnya kehitaman karena telah direndam
racun ular berbisa! Tujuh anak panah ini kesemuanya menancap pada bantal yang
dipegang oleh An Lu Shan.
An Lu Kui menjadi pucat. Kalau
dia yang membukanya, tentu akan celakalah dia! Tidak saja tangannya akan
terkena racun yang dipulaskan di luar peti, juga anak-anak panah itu tak
mungkin dielakkan oleh orang yang membuka peti, kalau tidak mengetahui lebih
dahulu!
"Lihai sekali kau,
An-ciangkun!" Gui Tin juga memuji sedangkan Kwan Cu meleletkan lidahnya
saking ngerinya.
An Lu Shan hanya tersenyum.
"Untuk menjaga tangan
jahil," katanya sambil mengeluarkan kitab itu.
Kitab yang ini lebih kecil
bentuknya, akan tetapi amat berat dan ternyata kertasnya amat tipis-tipis
sehingga isinya banyak sekali. Ketika Gui Tin membuka kitab itu dia tertegun.
Benar saja, inilah kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng sebagaimana yang pernah dibacanya dalam buku-buku
sejarah kuno. Inilah kitab yang semenjak ribuan tahun dipakai rebutan dan siapa
yang memegang kitab ini, kalau perorangan merupakan jago terlihai di muka bumi,
kalau negara menjadi negara yang kuat sekali.
Inilah dia kitab yang selama
ini diimpi-impikan oleh semua orang gagah, oleh tokoh-tokoh besar di dunia
kang-ouw, oleh negara-negara di seluruh dunia. Dan kini kitab ini berada di
tangan An Lu Shan, seorang komandan militer yang bersemangat dan gagah!
Gui Tin merasa betapa
tangannya tergetar. Berbahaya kalau sampai isi kitab ini diketahui oleh An Lu
Shan. Dan dia percaya bahwa yang mampu menterjemahkan kitab ini hanya dia
seorang! Kitab ini ditulis di jaman kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu.
Tiba-tiba Gui Tin teringat
sesuatu dan ia meraba-rabakan jari-jari tangannya di atas kitab itu. Hemm,
aneh, pikirnya! Pada masa itu, belum ada kertas!
Lalu dia mengerutkan keningnya
untuk mengingat-ingat kembali tentang apa yang sudah dibacanya mengenai kitab
rahasia ini. Kalau tidak salah ingat, kitab aslinya ditulis di atas sutera! Dan
dia membaca sudah beribu kali orang memalsukan kitab itu supaya aslinya tidak
mudah dicuri orang. Hm, apakah yang dipegangnya ini pun sebuah dari pada kitab
tiruan dan palsunya?
Melihat Gui Tin mengerutkan
kening dan diam seperti patung, An Lu Shan lalu berkata, “Gui-siucai, apa yang
kau pikirkan? Sanggupkah kau menterjemahkannya?” Semua mata memandang kepada
Gui Tin dengan sinar tajam mengancam.
Sastrawan ini maklum kalau dia
mengatakan dia tidak sanggup, dia tidak akan diampuni. Sebaliknya kalau dia
sampai menterjemahkan kitab ini, juga tidak ada harapan baginya untuk bisa
pergi dari tempat ini dalam keadaan hidup! Dia yang telah menterjemahkan, kelak
tentu akan dianggap berbahaya oleh An Lu Shan, dan tentu akan dibinasakan agar
jangan sampai membuka rahasia isi kitab itu kepada orang lain.
Sebelum menjawab, Gui Tin
mengelus-elus kepala Kwan Cu yang berdiri di dekatnya, lalu dia menatap wajah
An Lu Shan sambil berkata, “Biar pun kitab ini sukar sekali untuk
diterjemahkan, akan tetapi aku sanggup mengerjakan asalkan ciangkun dapat
bersabar menanti. Akan tetapi, hanya satu saja permintaanku sebagai biaya
penterjemahan, yaitu, kau lepaskan dan bebaskan muridku ini untuk pergi dari
sini dan jangan mengganggu padanya!”
“Tidak, Gui-lopek! Aku tidak
mau meninggalkan kau orang tua. Siapa yang akan merawat dirimu, juga siapa yang
akan menggosokkan bak untukmu, dan siapa pula yang akan kau suruh-suruh pada
waktu kau mengerjakan semua ini? Gui-lopek, jangan suruh aku pergi
meninggalkanmu!” tiba-tiba Kwan Cu berkata.
Sementara itu, An Lu Shan yang
cerdik sekali ketika melihat betapa Gui Tin amat sayang kepada muridnya,
timbullah sebuah pikiran yang amat cerdik.
“Gui-siucai, aku berjanji tak
akan mengganggu muridmu. Akan tetapi, dia baru kubiarkan pergi bila mana kau
sudah selesai menterjemahkan kitab ini. Ingat, semakin cepat kau
menterjemahkannya, semakin cepat pula aku melepaskan anak ini. Sementara itu,
siapa lagi yang akan melayanimu selain anak ini? Orang lain tidak boleh melihat
kitab ini. Kau tentu mengerti maksudku, bukan?”
Gui Tin mengerti baik sekali.
Siapa saja yang sudah melihat kitab ini harus mati, temasuk pula Kwan Cu! Maka
sastrawan ini menjadi gelisah dan berduka sekali, akan tetapi dia dapat
menindas perasaanya dan menyatakan kesanggupannya.
“Baik, akan kukerjakan mulai
hari ini juga. Akan tetapi aku tak mau diganggu dan biarkan aku dilayani oleh
muridku di dalam kamar tertutup.”
An Lu Shan mengangguk. “Baik,
Gui-Siucai. Kau akan bekerja di dalam kamarku ini dari pagi sampai petang.
Setiap pagi kau masuk ke sini dan sesudah petang kau keluar dari kamar ini,
meninggalkan terjemahan dan kitab aslinya.”
Demikianlah, mulai hari itu
juga Gui Tin mengerjakan terjemahan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dilayani
oleh Kwan Cu. Karena maklum dia dan muridnya diintai dari luar dan diawasi, Gui
Tin tidak berani bicara sembarangan terhadap Kwan Cu, dan dia melakukan
terjemahan itu selambat mungkin.
Isi kitab ini benar-benar
hebat. Di situ tertulis aturan-aturan dan cara-cara melatih tentara, membentuk
barisan, dan mengatur serangan secara lihai sekali. Selain itu, terdapat pula
latihan-latihan ilmu silat yang aneh-aneh, cara untuk semedhi dalam bentuk yang
paling istimewa, kemudian ada pula ilmu pukulan yang hebat-hebat sehingga baru
membaca sebentar saja Gui Tin sudah merasa pening kepala dan juga ngeri.
Diaa pikir bahwa kalau dia
menterjemahkan ilmu silat itu, apa bila sampai dipelajari oleh orang jahat,
maka kelak orang itu akan menjadi manusia berkepandaian iblis yang sukar
ditekan. Sebaliknya, bila dia menterjemahkan ilmu perang, tidak ada jahatnya.
Bukankah An Lu Shan seorang perwira dari kerajaan yang sudah terbukti membela
negara. Kalau perwira itu mendapatkan pelajaran ilmu perang ini, bukankah hal
ini baik sekali dan tidak merugikan rakyat mau pun tidak membahayakan negara?
Oleh karena inilah, maka Gui
Tin kemudian mulai dengan terjemahannya. Dia sengaja mendahulukan terjemahan
ilmu perang yang aneh-aneh dan lihai itu, yang dia lakukan sedikit demi
sedikit. Ada pun terhadap Kwan Cu, dia memiliki sebuah cita-cita yang baik
sekali.
Kitab ini adalah kitab tiruan
atau kitab palsu, ini Gui Tin yakin betul. Sayang dia sudah banyak lupa tentang
sejarah yang dulu pernah dibacanya mengenai kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan
tetapi kitab sejarah itu masih bertumpuk pada suatu tempat di mana dia
menyimpan kitab-kitab kunonya. Kalau kelak kitab aslinya bisa didapat, mungkin
dia telah tewas, dan muridnya inilah yang menjadi orang satu-satunya yang dapat
membacanya!.
Oleh karena itu, maka Gui Tin
lalu memberi pelajaran tentang bahasa tulisan kuno itu kepada Kwan Cu. Ia
mengajar sedikit demi sedikit, secara lisan, karena kalau tertulis, ia khawatir
akan terlihat oleh orang lain. Ia minta kepada Kwan Cu supaya mencatat dan
menghafal di dalam otaknya.
Anak ini memang cerdik sekali.
Apa yang sekali terdengar olehnya, seolah-olah langsung menempel pada otaknya
dan tidak mudah terlupa kembali. Oleh karena itu, semua yang dipelajarinya
dapat dihafalnya dengan mudah.
Pada keesokan harinya, setelah
melihat hasil terjemahan Gui Tin, bukan main girangnya hati An Lu Shan. Ia
membaca siasat-siasat kemiliteran yang rumit-rumit dan hebat-hebat, cara
mengatur barisan, mengatur penyerangan dan mengatur penjagaan.
Hebat! Inilah yang
dicari-cari, inilah yang diimpi-impikannya! Maka serentak mulailah dia
mempraktekkan semua siasat beserta tata peraturan melatih tentara yang
dibacanya dari terjemahan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
Tiga bulan terlewat cepat
sekali dan selama tiga bulan ini, Gui Tin baru menterjemahkan setengah dari
pada ilmu perang itu! Akan tetapi hasilnya bagi An Lu Shan bukan main besarnya!
Kini bala tentara yang dipegangnya merupakan barisan yang kuat dan memiliki
pendidikan militer yang lain dari pada yang lain! Semua ini berkat pelajaran
dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentu saja An Lu Shan merasa bangga dan puas
sekali.
Ada pun dalam waktu tiga bulan
itu, Kwan Cu dengan penuh ketekunan mencurahkan segenap tenaga, otak, dan
perhatian untuk menghafal dan mempelajari bahasa tulisan kuno yang dipergunakan
untuk menuliskan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu. Dan ketika tanpa sengaja
dia melirik ke arah kitab yang sedang diterjemahkan oleh gurunya, hampir dia
berseru girang karena dia dapat membacanya dengan mudah!
"Gui-lopek! Bukankah
baris paling atas bunyinya, ‘Barisan Kwan-im Pouwsat menyebar biji teratai’…?
"Sstttt!" Gui Tin
cepat menutup mulut Kwan Cu, lalu berkejap mata.
Kwan Cu cerdik. Dia tahu bahwa
sesungguhnya bukan karena terjemahan itu sukar bagi gurunya, melainkan karena
gurunya sengaja memperlambat terjemahan itu!
"Lopek, mengapa tidak
cepat-cepat menyelesaikan saja agar kita dapat segera pergi dari sini?"
Gui Tin menggelengkan kepala
dan menarik napas panjang. Sukar baginya untuk bicara karena dia tahu bahwa
selalu ada penjaga yang mengawasi mereka di luar kamar dan mendengarkan
percakapan mereka. Karena itu dia sengaja berkata keras-keras sambil memberi
kedipan mata kepada muridnya itu,
"Enak saja kau bicara!
Apa kau kira menterjemahkan kitab seperti ini sama mudahnya dengan makan
bakso?"
Demikianlah, dua orang guru
dan murid ini main sandiwara. Diam-diam Gui Tin menunjuk ke arah kitab bagian
pelajaran ilmu silat dan minta Kwan Cu membacanya.....