-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 21-25
Dengan wajah berubah merah,
Hek Pa, yaitu orang ketiga dari kelima Ketua Hek-tung Kai-pang, bangkit berdiri
dan menudingkan jari tangan kirinya kepada ketiga orang tamu itu sambil
berkata,
“Orang-orang Coa-tung Kai-pang
sombong amat! Siapakah yang tak mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dan Lo-kai
Hwe-koan menggabungkan diri karena kalian paksa dengan kekerasan? Dan siapa
pula yang tidak mendengar bahwa Coa-tung Kai-pang mempunyai banyak anggota yang
sering melakukan pelanggaran dan kejahatan, tidak patut sebagai perkumpulan
pengemis pendekar? Orang lain boleh kalian gertak, akan tetapi kami para
pengurus Hek-tung Kai-pang tak gentar menghadapi tongkat ularmu!”
Setelah mendengar ucapan
Sam-pangcu (Ketua ke Tiga), para pengemis tongkat hitam yang berjumlah empat
puluh orang lebih itu serentak berseru, ”Betul! Usirlah orang-orang Coa-tung
Kai-pang ini!” Dan dengan tongkat hitam diangkat tinggi-tinggi mereka serentak
maju mengurung!
Akan tetapi ketiga orang
pemimpin Coa-tung Kai-pang itu masih saja bersikap tenang, bahkan kini senyum
mereka melebar sombong.
“Hemm, begitukah kegagahan
Hek-tung Kai-pang? Hendak mengandalkan jumlah besar mengeroyok kami tiga orang?
Alangkah rendah dan pengecutnya!”
Mendengar ejekan ini, Hek
Liong lalu berdiri dan dengan gerak tangannya dia meminta kepada semua anak
buahnya untuk mundur. Sesudah keadaan menjadi reda, dia lalu menghadapi Si
Tinggi Besar itu sambil menantang,
“Dengarlah, kawan! Kami
seluruh anggota dan pengurus Hek-tung Kai-pang, tidak mau menerima usulmu
supaya menggabungkan perkumpulan kami dengan perkumpulanmu. Habis, kau mau
apa?”
“Hek-pangcu,” kata Si Muka
Hitam yang tinggi besar itu, “apakah kau lupa bahwa hari ini adalah hari
pemilihan pengurus baru perkumpulanmu? Aku mendengar bahwa siapa saja yang
dapat mengalahkan Hek-tung-hoat, maka dialah yang berhak menjadi pangcu dari
Hek-tung Kai-pang. Nah, kami bertiga juga hendak mencoba-coba kelihaian Ilmu
Tongkat Hek-tung-hoat!”
“Bagus!” Tiba-tiba Beng Beng
Tojin melangkah maju. “Inilah baru ucapan orang gagah. Untuk apa bertengkar
mulut seperti wanita? Aturan harus dijalankan dan dipegang teguh. Kedatangan
pinto juga ingin menguji kehebatan Hek-tung-hoat dan jika pinto beruntung,
pinto akan merasa senang menjadi pangcu!”
“Aku pun datang untuk mencoba
peruntungan menjadi ketua perkumpulan ini!” tiba-tiba It-ci-sinkang Cong Tan
menyela.
Diam-diam Hong Beng dan Goat
Lan saling pandang dengan perasaan geli dan heran. Bagaimanakah ada begitu
banyak orang yang memperebutkan kedudukan sebagai ketua perkumpulan para
pengemis? Apakah enaknya menjadi ketua pengemis?
Ada pun kelima orang ketua
Hek-tung Kai-pang ketika mendengar ucapan ini, lalu berdiri merupakan sebuah
barisan dan Hek Liong sebagai orang tertua berkata keras,
“Bagus sekali! Kalian semua
telah mendengar pilihan para pemimpin cabang bahwa kami berlima masih tetap
dikehendaki untuk memimpin Hek-tung Kai-pang. Nah, siapa yang menyatakan tidak
setuju boleh maju ke muka!”
Melihat sikap kelima orang
yang maju bersama ini, Beng Beng Tojin mengerutkan kening dan berkata lemah,
“Apa...? Kalian berlima maju berbareng?”
Juga It-ci-sinkang CongTan
memperlihatkan rasa gentarnya. “Ah, ini tidak adil!” katanya.
Hek Liong lalu tersenyum
mengejek, “Ketahuilah bahwa kami berlima merupakan saudara seperguruan yang
sudah bersumpah sehidup semati, senasib sependeritaan. Dan kalian tadi
mendengar sendiri bahwa yang diangkat menjadi pangcu adalah kami berlima, maka
andai kata seorang di antara kalian ada yang dapat mengalahkan aku masih ada
empat orang saudaraku yang harus dikalahkan pula. Oleh karena itu, kami
merupakan sebuah kelompok yang tak dapat dipisah-pisahkan. Terserah siapa yang
ingin merobohkan kami, boleh maju. Yang merasa takut tak usah mencari
penyakit!”
Ketiga orang pemimpin Coa-tung
Kai-pang itu tadinya memandang kepada Beng Beng Tojin dan Cong Tan dengan
senyum menghina, akan tetapi tiba-tiba Si Muka Hitam itu mendapat akal baik.
Ia dan kawan-kawannya hanya
tiga orang sedangkan pihak lawan ada lima orang, belum ditambah dengan para
pemimpin-pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang yang nampaknya berpihak kepada lima
orang ketua mereka. Mengapa dalam keadaan kalah tenaga ini dia tidak menarik
tangan kedua orang ini?
“Ji-wi Eng-hiong,” katanya
kepada tosu serta orang bertopi bundar itu, “Ji-wi jauh-jauh sudah datang ke
sini dan biar pun antara Ji-wi dengan kami bertiga tidak ada hubungan, namun
maksud kedatangan kita di sini adalah sama. Sekarang dengan secara licik tuan
rumah hendak maju berlima, kenapa kita tidak bergabung saja sehingga kita pun
menjadi lima orang? Bila kita menang, percayalah bahwa kami bertiga tidak akan
berlaku curang seperti tuan rumah dan kita kelak boleh menentukan siapa di
antara kita yang paling cakap untuk menjadi ketua!”
Tosu dan orang bertopi itu
saling pandang, kemudian mengangguk-anggukkan kepala. “Bagus, memang
demikianlah baru adil!”
Sementara itu, kelima orang
she Hek itu telah dapat mengerti kecerdikan pihak Coa-tung Kai-pang, namun
mereka tidak takut.
“Baiklah, lekas kalian
memperlihatkan kepandaian, banyak bicara tak ada guna!” Setelah berkata
demikian, secara otomatis ia beserta kawan-kawannya kemudian berpencar dan
membentuk sebuah barisan segi lima.
“Hayo serang!” kata Si Muka
Hitam, pemuka dari pemimpin Coa-tung Kai-pang sambil menggerakkan tongkat ularnya.
Beng Beng Tojin tertawa
bergelak, lantas mengeluarkan senjatanya yang istimewa yaitu sepasang sumpit
gading yang panjang dan berujung runcing, sedangkan It-ci-sinkang Cong Tan juga
mengeluarkan senjatanya yang berupa golok. Dengan berbareng, kelima orang tamu
ini menyerang pihak Hek-tung Kai-pang.
Indah sekali gerakan kelima
saudara Hek itu ketika mereka menyambut lawan-lawannya. Tubuh mereka bergerak
secara amat teratur dan begitu tongkat hitam mereka menangkis senjata lawan,
mereka lalu menggerakkan kaki dengan gerakan yang sama dan dengan teratur
sekali mereka lalu menyerang lawan di sebelah kiri masing-masing, bukan lawan
yang rnenyerang tadi!
“Moi-moi,” kata Hong Beng
perlahan kepada Goat Lan yang duduk di sebelah kanannya, “perhatikan baik-baik.
Lima saudara Hek itu menggunakan barisan yang teratur sekali.”
Goat Lan mengangguk sambil
memandang penuh perhatian. “Memang dugaanmu tepat, Koko. Mereka tidak mau
melayani lawan yang menyerang, sebaliknya menyerang orang di sebelah kiri
sehingga pihak lawan menjadi kacau dan perhatian mereka pecah. Lihat,
benar-benar mereka lihai dan sukar dilawan! Meski pun lima orang melawan lima,
namun pihak lawan selalu akan merasa terkurung dan terkeroyok!”
“Aku pernah mendengar dari
Suhu mengenai Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat, dan melihat pergerakan barisan
mereka, kalau tidak salah mereka itu mempergunakan barisan yang hampir sama
dengan Ngo-bun-tin.”
“Apakah ada persamaannya
dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Anasir)?” tanya Goat Lan sambil menonton
pertempuran yang kini berjalan seru itu.
“Tidak sama,” jawab Hong Beng.
“Ngo-bun-tin (Barisan Lima Pintu) memiliki lima pintu, yaitu Thian-bun (Pintu
Langit), Tee-bun (Pintu Bumi), Hai-bun (Pintu Laut), Hong-bun (Pintu Angin) dan
In-bun (Pintu Awan). Kedudukan mereka kuat sekali karena tiap kali seorang di
antara mereka diserang dan menangkis, maka kawan di sebelah kanan atau kirinya
lalu maju menyerang lawan yang menyerangnya itu, dengan demikian serangan lawan
dapat langsung diputuskan.”
Kedua orang muda itu lalu memperhatikan
jalannya pertempuran. Ternyata bahwa Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat memang hebat
sekali. Tongkat hitam di tangan kelima orang itu bergerak bagaikan lima ekor
naga hitam yang mengamuk dan setiap kali tongkat mereka beradu dengan senjata
lawan, tentu terjadi benturan yang amat keras dan jelas nampak bahwa tenaga
kelima ketua Hek-tung Kai-pang itu masih menang setingkat.
Kecuali apa bila yang
ditangkis itu adalah golok di tangan It-ci-sinkang Cong Tan, karena ternyata
bahwa Si Jari Lihai ini benar-benar kuat sekali tenaganya. Hampir saja karena
kurang hati-hati, tongkat di tangan Hek Sai saudara termuda dari lima ketua
itu, terlepas dari pegangan ketika ia menangkis golok Cong Tan!
“Ngo-hek-pangcu tentu akan
menang,” Goat Lan berkata setelah menonton pertempuran yang sudah berjalan dua
puluh jurus lebih itu.
“Memang, kepandaian pihak tamu
masih belum dapat menyamai kelihaian tuan rumah, akan tetapi kulihat Ilmu
Tongkat Coa-tung-hoat tidak kalah lihai dari pada Hek-tung-hoat, hanya saja
gerakan tiga orang itu masih kurang sempurna. Mereka itu hanya tokoh-tokoh
kedua saja, kalau ketua-ketua dari Coa-tung Kai-pang tentu akan hebat sekali
permainan tongkatnya,” kata Hong Beng.
Memang kedua orang muda ini
mempunyai pandangan yang amat tajam dan awas, hal ini mungkin disebabkan
kepandaian mereka masih jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian
mereka yang sedang bertempur. Tepat seperti yang mereka duga, kelima orang
ketua Hek-tung Kai-pang mulai mendesak lawan mereka dan yang pertama kali
terkena pukulan adalah It-ci-sinkang Cong Tan.
Pada satu saat yang amat
tepat, yaitu ketika goloknya menyambar ke arah leher Hek Kwi, orang ke empat
dari Ngo-pangcu ini segera menangkis dan menggunaan tongkat hitamnya untuk
menempel golok. Hal ini dapat terjadi oleh karena dalam tangkisan ini ia
menggunakan gerakan coan (memutar) sehingga Cong Tan merasa sukar untuk menarik
kembali goloknya.
Pada saat itu, bagaikan telah
diatur sebelumnya, tongkat hitam Hek Pa sudah meluncur dan menotok pundak Cong
Tan pada jalan darah Keng-hin-hiat! Cong Tan lalu memekik kesakitan dan merasa
betapa seluruh tubuhnya terlepas dari pegangan dan sekali Hek Kwi menendang,
tubuhnya terlempar keluar dari kalangan pertempuran dan tidak dapat bergerak
pula!
Tidak lama setelah Cong Tan
roboh, kembali Beng Beng Tojin menjadi korban di tangan Hek Liong, saudara yang
paling lihai ilmu tongkatnya. Pada saat Hek Liong menusukkan tongkatnya ke dada
tosu itu, Beng Beng Tojin kemudian menggerakkan sepasang sumpit gadingnya untuk
menjepit dan menggunting tongkat lawan. Jepitan sumpitnya ini sangat keras,
disertai tenaga lweekang yang hebat, akan tetapi ternyata bahwa ia masih kalah
tenaga.
Hek Liong membuat tongkat
dalam tangannya tergetar dan begitu tongkat tadi bergetar keras, maka jepitan
itu dengan sendirinya terlepas. Akan tetapi tongkat itu masih terus bergetar di
antara kedua sumpit itu sehingga Beng Beng Tosu tidak berani sembarangan
menarik sumpitnya karena takut kalau-kalau dia kalah cepat dan kalau-kalau
tongkat itu akan mendahuluinya dengan serangan hebat. Akan tetapi, pada saat
itu, Hek Houw yang sudah menduduki Tee-bun (Pintu Bumi) dengan cepat sudah
mengirim tusukan dengan tongkatnya ke arah lambungnya. Beng Beng Tojin
menjatuhkan diri ke belakang dan…
“Brettt!”
Jubahnya yang lebar itu
tertusuk oleh tongkat hingga robek lebar sekali, sedangkan kulit pahanya ikut
pula robek dan terluka! Masih untung baginya bahwa kedua saudara Hek ini tidak
bermaksud mencelakakannya dan tidak mengejarnya dengan serangan lain.
Tosu ini melompat ke belakang,
mengebut-ngebutkan bajunya dengan muka merah, lalu berkata, “Pinto mengaku
kalah!” Kemudian tubuhnya berkelebat cepat dan lenyap dari situ!
Kini tinggallah ketiga orang
pemimpin Coa-tung Kai-pang yang melakukan perlawanan hebat dan mati-matian. Memang
betul seperti yang dikatakan oleh Hong Beng tadi. Ilmu tongkat mereka
benar-benar lihai dan ganas sekali. Tongkat berbentuk ular pada tangan mereka
itu nampak seakan-akan hidup dan tongkat itu seperti ular asli yang bergerak
melenggak-lenggok dengan gerakan amat tak terduga-duga.
Namun, tadi dibantu oleh orang
lain yang cukup tinggi kepandaiannya, mereka masih tak sanggup mengalahkan
kelima ketua Hek-tung Kai-pang, apa lagi sekarang, mereka yang hanya bertiga
itu terkurung oleh kelima orang lawannya yang tangguh. Mereka terdesak hebat
dan terkurung rapat sehingga mereka hanya dapat memutar tongkat mereka untuk
mempertahankan diri tanpa diberi kesempatan membalas serangan.
Ketika Hong Beng dan Goat Lan
mengerling ke arah para anggota Hek-tung Kai-pang, pada wajah mereka terbayang
kegembiraan besar melihat kemenangan ketua mereka, akan tetapi tak seorang pun
yang menggetarkan suara mau pun gerakan. Wajah mereka tetap tegang dan siap
siaga seperti tadi sehingga diam-diam dua orang muda ini menjadi kagum. Hal ini
membuktikan pula bahwa Hek-tung Kai-pang memang benar merupakan perkumpulan
yang berdisiplin baik.
Tiga orang pemimpin Coa-tung
Kai-pang yang sudah sangat terdesak itu semakin lama semakin lemah gerakan
tongkat mereka. Memang harus dipuji keuletan mereka karena sampai sebegitu lama
belum juga kelima orang lawan mereka bisa merobohkan mereka. Pertahanan mereka
kuat sekali.
Tiba-tiba Si Muka Hitam
berseru keras, “Robohkan mereka!”
Dan komando ini diikuti oleh
gerakan mereka menuju ke arah para lawan dengan tongkat mereka dan tiba-tiba
saja dari kepala tongkat itu menyambar keluar senjata rahasia yang berwarna
hitam!
“Celaka, Koko!” seru Goat Lan
yang hendak melompat, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Hong Beng.
“Tenanglah, Moi-moi,” kata
pemuda itu. Karena sangat tegang, maka Hong Beng tanpa disadarinya pula telah
memegang lengan tunangannya sehingga ketika Goat Lan merasa betapa lengannya
dipegang dan tidak segera dilepaskan pula, tiba-tiba mukanya berubah merah
sekali!
“Koko, lepaskan,” bisiknya,
“tak malukah dilihat orang?”
Barulah Hong Beng sadar bahwa
semenjak tadi dia telah memegang lengan orang yang berkulit halus dan hangat
itu, maka dengan muka kemerahan dan mulut tersenyum malu dia cepat melepaskan
lengan tunangannya. Sepasang mata mereka bertemu untuk saat pendek, karena
keduanya segera kembali melihat ke tempat orang-orang bertempur.
Dari sikap kedua orang muda
tadi, ternyata bahwa watak Hong Beng lebih tenang dan ketenangannya ini membuat
pandangannya lebih awas dari pada Goat Lan. Goat Lan yang merasa tegang dan
kuatir, menyangka bahwa ketua-ketua Hek-tung Kai-pang akan terkena celaka, akan
tetapi Hong Beng yang melihat sikap Ngo-hek-pangcu itu maklum bahwa mereka
telah siap dan tidak akan mudah diserang dengan senjata rahasia begitu saja.
Memang betul, pada waktu
kelima orang ketua she Hek itu melihat benda-benda hitam menyambar, serentak
mereka segera mendekam ke bawah, lantas dengan gerakan yang berbareng bagaikan
telah diatur lebih dahulu, tongkat-tongkat mereka menyapu ke arah kaki ketiga
lawan itu.
Terdengar suara bak-buk dah
terjungkallah tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang itu! Tulang kaki mereka
sudah terpukul hebat dan walau pun tenaga lweekang mereka telah mencegah tulang
kaki itu remuk, akan tetapi pukulan itu cukup keras sehingga untuk beberapa
lama mereka takkan dapat bangun karena tulang kaki mereka terasa sakit dan linu
sekali. Senjata rahasia yang keluar dari tongkat mereka tadi adalah jarum-jarum
berbisa yang amat berbahaya!
Setelah dapat berdiri lagi,
ketiga orang itu lalu memungut tongkat ular yang tadi terlepas dari pegangan,
kemudian mereka berkata kepada tuan rumah, “Kami sudah menerima kalah, akan
tetapi harap kalian siap menghadapi pembalasan ketua-ketua kami!” Setelah demikian,
dengan terpincang-pincang ketiga orang itu lalu pergi dari situ.
Barulah terdengar sorak-sorai
dari para anggota Hek-tung Kai-pang karena kemenangan mutlak dari ketua-ketua
mereka ini. Akan tetapi Hek Liong kemudian mengangkat tangan memberi tanda
kepada mereka agar supaya diam.
“Kawan-kawan,” katanya dengan
wajah muram, “hari ini adalah hari yang sial bagi kita, tidak boleh kita
bersuka-ria karenanya. Ketahuilah bahwa baru tiga orang dari Coa-tung Kai-pang
tadi saja sudah demikian lihai, padahal mereka itu adalah orang-orang dari
tingkat kedua. Apa bila ketua mereka yang datang, belum tentu kami berlima akan
kuat menghadapinya. Sekarang akibat kekalahan mereka tadi, pihak Coa-tung
Kai-pang tentu tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu, kita harus
berjaga-jaga dan betapa pun juga dari pada harus tunduk kepada Coa-tung
Kai-pang yang jahat, lebih baik kita hancur lebur!”
“Setuju! Setuju!” terdengar
jawaban para pengemis yang bersemangat gagah itu.
Kemudian, Hek Liong berpaling
kepada Hong Beng dan dengan suara kereng ia berkata, “Orang muda, tadi kami tak
berani menantangmu oleh karena kami tadi untuk sementara meletakkan jabatan.
Setelah sekarang kami diangkat kembali, maka menjadi kewajiban kamilah untuk
menegurmu! Kau kemarin telah melukai orang-orang kami dan setelah kau melihat
kelihaian kami tadi, apakah kau tidak lekas-lekas minta maaf? Ketahuilah, bahwa
kami bukanlah orang-orang yang suka menaruh dendam, asal saja kau suka minta
maaf, kami akan memandang muka Lihiap murid Sin Kong Tianglo yang menjadi
sahabatmu ini untuk memaafkan kau dan melupakan segala peristiwa kemarin.”
Mendengar ucapan yang
mengandung sedikit kebanggaan atas kemenangan tadi, Hong Beng tersenyum. Akan
tetapi ia tidak menjawab, sebaliknya, ia menunjuk ke arah tubuh It-ci-sinkang
Cong Tan yang masih rebah di atas tanah tak bergerak.
“Ehh, Hek-pangcu, apakah kau
lupa orang itu? Apakah kau akan membiarkan dia mati di situ?”
Barulah Hek Liong beserta
adik-adiknya teringat akan Cong Tan yang tadi sudah terkena totokan, maka cepat
mereka menghampiri Cong Tan.
“Pergilah kau dari sini!” kata
Hek Liong sambil menepuk pundak orang itu.
Akan tetapi, alangkah kagetnya
ketika ia melihat betapa tubuh Cong Tan masih saja kaku tak dapat bergerak
dengan kedua mata melotot! Dia mengira bahwa tepukannya untuk membebaskan
totokannya sendiri tadi kurang tepat, maka dia lalu menepuk lagi, bahkan
mengurut urat pundak bekas lawan itu. Akan tetapi sia-sia belaka, tubuh Cong
Tan tetap kaku tak dapat bergerak.
Lima orang ketua Hek-tung
Kai-pang itu menjadi terheran-heran sekali dan seorang demi seorang mereka lalu
turun tangan untuk membebaskan Cong Tan dari pengaruh totokan. Namun percuma
saja, tak seorang pun di antara mereka dapat menolong.
“Celaka!” terdengar Hek Liong
berkata. “Yang tadi terkena totokan adalah jalan darahnya Keng-hin-hiat, kalau
tidak dapat dilepaskan ia akan mati dalam waktu setengah hari!”
Tiba-tiba terdengar angin
menyambar dan ketika lima orang itu menengok, ternyata Goat Lan telah melompat
ke tempat itu. Gadis ini amat tertarik melihat keadaan yang aneh itu, dan
sebagai seorang ahli pengobatan murid Sin Kong Tianglo, tentu saja ia amat
tertarik dan ingin menyaksikan dengan mata sendiri.
“Ngo-wi harap mundur dan
biarkan aku memeriksanya!” kata gadis ini dan kelima orang ketua Hek-tung
Kai-pang itu lalu melangkah mundur karena mereka maklum bahwa dara jelita ini
adalah seorang ahli pengobatan yang amat terkenal di dunia kang-ouw.
Goat Lan segera berjongkok dan
memeriksa keadaan tubuh Cong Tan yang masih kaku. Beberapa kali ia memijit
pundak yang tertotok itu dan akhirnya ia tersenyum, lalu berkata kepada para
ketua yang masih merubungnya dengan muka heran.
“Ngo-wi Pangcu, ketahuilah
bahwa orang ini sudah pernah meyakinkan Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa
Melindungi Jalan Darah), akan tetapi pelajaran yang dilatihnya itu belum
sempurna benar. Ia telah mempelajari ilmu itu di bagian penggunaan hawa tubuh
untuk membuyarkan totokan pada jalan darah. Maka pada waktu tadi tertotok
roboh, dia telah berusaha mengumpulkan hawa di tubuhnya untuk membuka totokan
itu, akan tetapi oleh karena ia belum paham betul, maka penggunaannya salah,
tidak diatur bersama dengan pernapasannya. Karena itu maka sekarang hawa itu
berkumpul di pundaknya, menutup jalan darahnya yang masih tertotok sehingga
ketika Ngo-wi mencoba melepaskannya, tentu saja terhalang oleh hawa tubuh yang
berkumpul ini!”
Sesudah berkata demikian, Goat
Lan lalu mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari perak dan dengan gerakan
cepat sekali dia menusukkan ujung tusuk konde yang runcing itu pada pundak Cong
Tan yang tertotok.
“Aduuuh...!”
It-ci-sinkang Cong Tan pulih
kembali. Orang ini lalu bangun berdiri, memandang kepada Goat Lan dengan mata
melotot lalu memaki,
“Perempuan kurang ajar! Kau
sudah melukai serta mempermainkan aku dalam keadaan aku tidak berdaya! Kau
harus menebus kekurang ajaranmu itu!” Sambil berkata demikian Cong Tan yang
galak segera menyerang Goat Lan dengan jari tangan terbuka, menotok dada gadis
itu! Goat Lan sempat melompat ke belakang sambil memandang heran.
Kelima orang ketua dari
Hek-tung Kai-pang itu menjadi marah dan mendongkol sekali. Ditolong orang tidak
berterima kasih, bahkan lalu menyerang penolongnya, aturan dari manakah ini?
Akan tetapi melihat gerakan mereka, Goat Lan tersenyum dan berkata, “Biarlah
Ngo-wi Pangcu, biar ia melepaskan kemarahannya kepadaku!”
Maka terpaksa kelima orang she
Hek itu lalu mundur, membiarkan Goat Lan menghadapi It-ci-sinkang Cong Tan yang
marah-marah. Memang Cong Tan tadi merasa mendongkol dan malu sekali karena dia
yang tadinya menyombongkan kepandaiannya dan hendak merebut kedudukan pangcu
dari Hek-tung Kai-pang, baru beberapa jurus saja telah kena tertotok seperti
arca bergelimpangan!
Dan pada saat Goat Lan
menolongnya, dia sebetulnya sama sekali tidak mengerti bahwa dirinya ditolong
dan dikiranya bahwa nona itu mempermainkannya dan sengaja melukai pundaknya,
maka ia pun menjadi semakin marah. Untuk melampiaskan kedongkolannya kepada
para ketua Hek-tung Kai-pang, ia tak berani karena merasa tidak dapat menang,
maka kini dia sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya dengan menyerang
gadis ini. Mustahil ia akan kalah menghadapi seorang gadis muda seperti ini!
“Rasakanlah pembalasan dari
It-ci-sinkang Cong Tan!” serunya sambil menyerbu Goat Lan yang berdiri dengan
tenang itu.
Cong Tan memang bertenaga
besar, ia ahli tenaga gwakang dan setiap hari melatih diri di rumahnya dengan
mengangkat dan mempermainkan batu-batu besar yang beratnya ratusan kati, juga
dia telah melatih jari-jari tangannya sehingga jari-jari tangan itu dapat
memukul hancur batu! Yang paling hebat adalah dua jari tangan kanan dan
kirinya, yaitu telunjuk dan jari tengah, karena dia bersilat dengan jari-jari
ini terbuka, digunakan untuk menotok jalan darah lawan!
Akan tetapi, segera ia
mendapat kenyataan bahwa bertempur melawan gadis cantik jelita yang
mengeluarkan aroma harum seperti kembang ini, sama halnya dengan bertempur
melawan bayangannya sendiri pada waktu terang bulan. Ke mana juga ia menubruk
dan menyerang, selalu yang tertangkap dan terpukul olehnya hanyalah angin
belaka!
Dia bagaikan seekor kerbau
gila yang menyerang kain merah yang diikatkan di depan tanduknya. Menubruk sana
menyerang sini, tapi selalu mengenai angin. Goat Lan sambil tersenyum-senyum
mempermainkan orang ini. Hitung-hitung latihan, pikirnya!
Tiga puluh jurus telah lewat
dengan cepat dan karena setiap pukulan yang dikeluarkan oleh Cong Tan disertai
tenaga gwakang yang besar, maka setelah menyerang tiga puluh jurus, tubuh orang
ini telah basah kuyup oleh peluhnya sendiri.
Hong Beng menonton pertempuran
itu dengan tersenyum simpul karena dia merasa geli melihat lagak Cong Tan, juga
diam-diam dia menggelengkan kepala melihat kejenakaan tunangannya yang
mempermainkan orang besar itu.
Ada pun kelima orang ketua she
Hek itu berdiri menonton sambil membelalakkan mata. Baru sekarang mereka
menyaksikan ginkang yang luar biasa lihainya. Hampir mereka tak dapat percaya
betapa dengan hanya mengandalkan keringanan tubuh nona itu dapat menghindarkan
seluruh penyerangan Cong Tan.
Tiba-tiba terdengar seruan
nyaring dari Goat Lan dan tubuhnya lenyap dari pandangan mata lawannya. Karuan
saja Cong Tan menjadi terkejut sekali. Terdengar suara tertawa di sebelah
belakang dan telinganya mendapat sentilan yang keras hingga terasa pedas sekali.
Cepat ia mengayun kedua tangan
ke belakang, memukul lawannya yang ternyata sudah berada di belakangnya itu.
Akan tetapi, hanya nampak bayangan berkelebat dan gadis itu tahu-tahu sudah
berada di belakangnya pula, kini mengirim tendangan perlahan ke arah
punggungnya sehingga dia merasa tulang punggungnya sakit sekali serasa hampir
patah-patah!
Demikianlah, dengan
mengeluarkan ginkang-nya yang paling tinggi, Goat Lan melompat-lompat dan
membuat lawannya berputar-putar mengejar angin! Akhirnya saking jengkel, pening
dan lelah, It-ci-sinkang Cong Tan Si Jari Lihai tak dapat mempertahankan
dirinya lagi. Bumi yang dipijaknya serasa berputar-putar, matanya melihat
ribuan bintang sedang menari-nari, dan akhirnya robohlah dia bagaikan orang
mabuk!
Setelah peningnya lenyap,
tanpa peduli dengan suara tawa yang riuh dari para pengemis Tongkat Hitam,
It-ci-sinkang Cong Tan lalu melompat dan berlari bagaikan seekor anjing terkena
pukulan.
Kini kelima orang ketua
Hek-tung Kai-pang itu kembali menghadapi Hong Beng, dan Hek Liong berkata,
“Bagaimana, orang muda?
Sebagaimana sudah kukatakan tadi sebelum ada gangguan dari si sombong itu, di
antara kami Hek-tung Kai-pang dan kau orang muda she Sie tidak ada permusuhan
sesuatu. Akan tetapi, kau telah menghina kami dan melukai beberapa orang
anggota kami, maka kami harap kau suka minta maaf supaya kami tidak terpaksa
melanjutkan pertikaian kecil yang tidak ada artinya ini.”
“Maaf, Pangcu,” Hong Beng
menjawab dengan tenang sekali. “Aku bersedia minta maaf andai kata kedatanganku
ini dianggap lancang dan ikut mencampuri urusan kalian. Akan tetapi untuk satu
hal itu, sukarlah bagiku untuk minta maaf. Ketahuilah Pangcu, kemarin ketika
aku datang ke tempat ini, aku melihat kawan-kawanmu telah mengeroyok seorang
pendekar budiman sehingga tentu saja aku tak dapat membiarkan begitu saja satu
orang dikeroyok demikian rupa oleh kawan-kawanmu. Dalam hal ini,
kawan-kawanmulah yang bersalah dan sudah sepatutnya bila kawan-kawanmu itu yang
minta maaf pada pendekar yang sedang menderita sakit itu!”
Hek Liong mengerutkan
keningnya, tanda bahwa ia tidak puas mendengar jawaban ini.
“Saudara Sie! Kami dapat
menerima ucapanmu tadi. Menurut penuturan kawan-kawan kami, orang gila kemarin
itu sudah mengacau dan menghina kawan-kawan kami, dan dia dikeroyok oleh karena
kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaian kawan-kawan kami. Kau sebagai
orang luar, sudah membantu sepihak tanpa melihat dulu sebab-sebab pertempuran.
Dan sekarang, karena kau telah datang ke sini dan untuk mempertahankan nama serta
kehormatan kami, kami ingin sekali menerima pelajaran darimu!”
Sambil tersenyum tenang Hong
Beng bangun berdiri dari tempat duduknya. Memang inilah maksud kedatangannya,
untuk mencoba kepandaian lima orang ketua itu. Memang mungkin dia dapat
mencegah pibu ini dengan memberi penjelasan dan memperkenalkan siapa adanya
pengemis yang dianggap gila itu. Akan tetapi ia bersabar dulu dan sebelum
memperkenalkan Lo Sian, ia hendak lebih dulu merasai bagaimana lihainya kelima
orang pangcu itu.
“Pangcu,” katanya dengan mulut
masih tersenyum, “kini aku sudah datang dan menurut kata-kata orang, perkenalan
akan menjadi lebih erat sesudah dua pihak mengadu tenaga dan mengukur
kepandaian masing-masing. Maka, sebelum kita melanjutkan percakapan ini,
marilah kita main-main sebentar!”
Lima orang ketua dari Hek-tung
Kai-pang itu lalu berdiri dan bersiap menanti di lapangan pertempuran yang
tadi. Semua pengemis segera mengurung lapangan itu dan memilih tempat duduk,
dengan wajah tegang akan tetapi dengan sinar mata gembira mereka siap menonton
pertandingan ilmu silat yang ramai!
Para ketua mereka tadi sudah
memperlihatkan kepandaian mereka, dan pemuda yang tampan itu sudah
menyaksikannya pula, tetapi sekarang pemuda itu berani menghadapi lima orang
ketua itu, mudah saja diduga oleh para pengemis yang kesemuanya memiliki ilmu
silat itu bahwa pemuda ini tentulah memiliki kepandaian tinggi!
Ada pun Goat Lan yang tadi pun
telah menyaksikan kepandaian dari kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu,
merasa ragu-ragu apakah Hong Beng akan mampu menandingi mereka. Biar pun gadis
ini tidak ragu-ragu lagi akan kelihaian tunangannya, akan tetapi menghadapi
lima orang ketua itu pun bukanlah hal yang ringan.
Betapa pun juga, lima orang
ketua itu telah merasa jeri kepadanya, dan kalau dia turut mencampuri urusan
ini, tentu akan berkurang kegagahan serta kejantanan Hong Beng dalam pandangan
mata mereka. Maka dia diam saja, duduk sambil tersenyum manis.
“Silakan, Ngo-wi Pangcu,
terserah pada Ngo-wi apakah hendak maju menyerang dengan tangan kosong ataukah
dengan senjata!” kata Hong Beng dengan sikapnya yang tenang.
“Kami adalah pihak tuan
rumah,” jawab Hek Liong, “dan kau adalah tamu kami. Sudah sepatutnya bila tuan
rumah melayani kehendak tamu. Silakan kau saja yang menentukan, Sie-enghiong,
kami hanya melayani saja.”
Hong Beng berpikir cepat.
Dalam hal pibu, orang tidak boleh berlaku sungkan-sungkan, apa lagi menghadapi
keroyokan lima orang seperti Ngo-hengte ketua Hek-tung Kai-pang ini. Kalau ia
menghadapi mereka mengandalkan tangan kosong, meski pun ia tidak takut dan
merasa yakin takkan kalah, namun selain agak sukar mengalahkan mereka, juga ia
tidak dapat memperlihatkan kelihaian ilmu tongkatnya.
Ia tahu bahwa kelima orang
ketua Hek-tung Kai-pang ini mengandalkan kehebatan ilmu tongkat mereka. Maka
jalan yang paling tepat untuk membuat mereka tunduk betul-betul adalah
mengalahkan Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat mereka dengan ilmu tongkat pula.
Hong Beng lalu membungkuk
untuk mengambil sebatang cabang kering yang besarnya selengan orang saja dan
panjangnya hanya dua kaki lebih, kemudian sambil menjura ia berkata,
“Siauwte sudah mendengar
mengenai kehebatan Hek-tung-hoat, dan karena kebetulan sekali siauwte pernah
mempelajari sedikit ilmu tongkat yang masih sangat rendah, maka siauwte akan
merasa gembira dan berterima kasih sekali apa bila dapat menambah pengetahuan
ilmu tongkat dan menerima sedikit pelajaran ilmu tongkat dari Ngo-wi untuk
membuka mata siauwte!”
Hek Liong dan kawan-kawannya
saling pandang dengan heran dan tersenyum. Mereka menganggap pemuda ini terlalu
lancang dan terlalu berani. Ia telah diberi kesempatan untuk memilih, kenapa
justru memilih hendak mengadu ilmu tongkat? Pemuda ini terang mencari penyakit,
pikir mereka. Hek Liong yang berpikiran adil, lalu berkata,
“Sie-enghiong, karena kau
hanya memegang sebuah tongkat kayu yang kecil dan lemah, kami merasa malu untuk
maju berbareng. Biarlah aku seorang saja yang mencoba dan main-main sebentar
dengan ilmu tongkat itu.”
Panas hati Hong Beng mendengar
ucapan ini. Terang sekali bahwa ia dipandang ringan sekali oleh ketua ini. Maka
sambil tersenyum ia berkata manis, akan tetapi mengandung tantangan,
“Pangcu, sudah kudengar tadi
bahwa untuk menghadapi ketua dari Hek-tung Kai-pang, orang harus menghadapi
kelimanya sekaligus. Oleh karena adanya ketentuan itu, mana siauwte berani
melanggarnya? Harap saja Ngo-wi tidak berlaku sungkan-sungkan dan persilakan
maju berbareng, karena bukankah siauwte dianggap sebagai tamu yang harus
dilayani oleh semua tuan rumah?”
“Hemm, jangan anggap kami
keterlaluan, orang muda, kau sendiri yang minta kami maju berbareng!” seru Hek
Liong dengan mendongkol.
Nyata sekali bahwa pemuda ini
tidak mau menerima kebaikannya. Kepandaian apakah yang diandalkan hingga anak
muda ini berani bersikap begini sombong? Ia lalu memberi tanda kepada empat
orang adiknya dan berbareng mereka mengeluarkan tongkat hitam mereka.
“Awas serangan!” seru Hek
Liong.
Bagaikan lima ekor ular hitam,
tongkat di tangan kelima orang ketua itu lalu menyambar ke arah tubuh Hong Beng
dari lima jurusan. Cepat dan kuat sekali gerakan serangan tongkat-tongkat itu
sehingga angin menyambar ke arah Hong Beng dari segala jurusan.
Akan tetapi, dengan memutar
cabangnya, sekaligus Hong Beng telah dapat menangkis sehingga tongkat-tongkat
hitam itu terpental kembali. Barulah kelima orang ketua yang tadinya memandang
rendah itu menjadi terkejut setengah mati. Mereka merasa betapa dari cabang
kecil di tangan pemuda itu yang membentur tongkat-tongkat hitam mereka, seorang
demi seorang merasa betapa telapak tangan mereka seperti digurat pisau tajam
rasanya!
Setelah dapat menduga bahwa
pemuda itu bukanlah orang sembarangan, Hek Liong lalu berseru keras dan ia
cepat memutar-mutar tongkat hitamnya sedemikian rupa sehingga lenyaplah tongkat
itu, berubah menjadi segulung sinar hitam yang amat mengerikan dan dahsyat
sekali datangnya. Juga keempat saudaranya tidak mau kalah, mengikuti gerakan
kakak mereka ini dan sebentar lagi nampaklah lima gulungan sinar hitam bagaikan
lima ekor naga sakti menyerang dan mengurung tubuh Hong Beng!
“Bagus, lihai sekali
Hek-tung-hoat!” terdengar pemuda itu berseru, dan belum juga habis ucapannya
itu, mendadak lenyaplah tubuhnya, terbungkus oleh sinar putih kehijauan dari
tongkat cabangnya yang diputar secara luar biasa sekali!
Semua pengemis anggota
Hek-tung Kai-pang menahan napas dan hampir tidak percaya kepada mata sendiri.
Kalau mereka sudah biasa melihat gerakan tongkat-tongkat hitam pangcu mereka,
kini mereka melihat gulungan sinar yang lebih hebat lagi. Lebih panjang, lebar
dan mendatangkan angin keras hingga semua pengemis yarig duduk di atas tanah
mengelilingi tempat adu kepandaian itu, merasa muka mereka tertiup oleh angin
yang dingin sekali!
Pakaian mereka berkibar-kibar
dan yang aneh sekali adalah hawa yang keluar dari sinar putih kehijauan itu
karena sebentar terasa dingin sekali dan sebentar pula terganti oleh hawa yang
panas! Inilah Ngo-heng Tung-hoat yang mengeluarkan hawa-hawa Im dan Yang, ilmu
tongkat warisan dari Pok Pok Sianjin yang dimainkan oleh Hong Beng dengan amat
hebatnya, oleh karena pemuda ini memang hendak menundukkan lima orang ketua
Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam yang tadinya memandang rendah kepadanya!
Apa bila tadi ketika merasakan
tangkisan tongkat ranting di tangan Hong Beng, kelima orang ketua itu merasa
terkejut, adalah sekarang mereka tidak saja menjadi kaget, akan tetapi merasa
amat terheran-heran! Seujung rambut pun mereka tidak pernah mengira bahwa
pemuda itu selihai ini dan tak pernah pula bermimpi bahwa di dunia ini ada ilmu
tongkat sehebat ini! Mereka berusaha untuk memperhebat gerakan tongkat mereka,
mengurung dan menyerbu bayangan Hong Beng dengan seluruh tenaga, akan tetapi
tiap kali tongkat mereka terbentur oleh sinar putih kehijauan itu, tongkat
mereka kembali dan memukul diri sendiri!
Sampai empat puluh jurus lebih
Hong Beng hanya mempertahankan dirinya saja dan tidak membalas sama sekali.
Akan tetapi, tetap saja lima orang lawannya tidak berdaya sama sekali dan tidak
pernah dapat menyentuhnya dengan senjata mereka.
Sesudah Hong Beng merasa puas
menunjukkan kehebatan Ngo-heng Tung-hoat, secara tiba-tiba dia lalu merubah
gerakan tongkatnya dan mulai memainkan Pat-kwa Tung-hoat. Maka lebih hebat
lagilah akibatnya! Karena pemuda itu bersilat dengan gerakan kaki atau kedudukan
sesuai dengan aturan pat-kwa (segi delapan), maka lima orang lawannya itu
seolah-olah menghadapi delapan orang pemuda! Bukan mereka berlima yang
mengurung, bahkan kini mereka merasa seperti terkurung oleh delapan orang!
Mereka kaget sekali dan
gerakan mereka menjadi kacau balau. Nampaknya lawan muda itu berada di depan
akan tetapi baru saja mau diserang, dari belakang telah menyambar angin cabang
dari pemuda itu, seakan-akan pemuda itu dapat memecah dirinya menjadi delapan
orang!
Sekarang para pengemis yang
menonton sudah melupakan peraturan saking kagumnya. Mereka bergerak dan memuji
dengan kata-kata keras, bahkan Goat Lan sendiri setelah menyaksikan ilmu
tongkat tunangannya, menjadi bengong! Ia merasa bangga sekali dan diam-diam dia
mengakui bahwa kalau tunangannya itu mau bermain sungguh-sungguh, sepasang
tombak bambu runcing sekali pun belum tentu akan dapat mengalahkannya!
“Sie-enghiong, bukalah mata
kami dengan seranganmu!” Hek Liong berkata keras sebab dia belum pernah melihat
serangan pemuda itu. Dia merasa amat penasaran dan hendak melihat bagaimana
hebatnya pemuda itu kalau menyerang.
“Maafkan, Pangcu!” terdengar
Hong Beng berseru.
Seruan ini lantas disusul oleh
teriakan kelima orang ketua itu dan terdengar suara keras. Tahu-tahu lima
batang tongkat hitam itu sudah terlepas dari pegangan masing-masing dan
melayang ke atas! Mereka cepat melompat mundur, dan melihat dengan melongo
betapa Hong Beng menggerakkan tongkatnya ke atas, diputar sedemikian rupa
sehingga ia dapat mengelilingi kelima batang tongkat hitam itu, ‘menangkap’
lima batang tongkat itu dengan putaran cabangnya sehingga tongkat-tongkat itu
terkumpul menjadi satu dan ketika ia mengeluarkan tangan kiri ke depan, lima
tongkat hitam itu telah berada dalam pegangannya. Sambil tersenyum dan menjura,
dia maju memberikan tongkat-tongkat itu kepada pemiliknya!
Untuk beberapa lama, kelima
orang ketua Hek-tung Kai-pang itu memandang pemuda ini dengan bengong, masih
belum dapat mempercayai pengalaman mereka sendiri. Akan tetapi, tiba-tiba Hek Liong
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu, diikuti oleh keempat orang
adiknya! Terdengar sorak-sorai para pengemis dan kelima orang ketua itu
memimpin orang-orangnya berseru ramai,
“Hidup pangcu (ketua) yang
baru! Hidup Sie-pangcu yang gagah!”
Bukan main kagetnya Hong Beng
mendengar kata-kata ini dan melihat betapa semua pengemis sudah berlutut
mengelilingi dirinya!
“Ehh, ehhh, apa-apaan ini?
Kuharap kalian tidak main-main dengan aku!” katanya gagap dengan muka berubah
merah, karena ia maklum bahwa ia telah dipilih dan diangkat oleh mereka menjadi
pangcu!
Akan tetapi Hek Liong yang
masih berlutut berkata dengan suara penuh permohonan, “Kami harap Taihiap tidak
menolak. Dengan setulusnya kami mengangkat Taihiap menjadi pangcu kami, karena
selain Taihiap seorang, tidak ada lagi orang di dunia ini yang patut menjadi
pemimpin kami! Harap Taihiap sudi memperkenalkan diri, siapakah sebenarnya
Taihiap ini dan murid orang sakti dari mana?”
Hong Beng menjadi serba salah.
Melihat ketulusan hati mereka, untuk menolak begitu saja dia tidak tega, akan
tetapi kalau dia menerima, bagaimana ia bisa menjadi pemimpin rombongan
pengemis? Dia lalu memandang ke arah tunangannya.
Dengan senyum lebar yang
menambah keayuan, tahu-tahu Goat Lan telah melompat ke dekat Hong Beng. Sambil
memandang kepada tunangannya, gadis ini kemudian berkata, “Mereka
bersungguh-sungguh, tidak baik kalau menolak maksud jujur dari perkumpulan
Hek-tung Kai-pang yang terkenal gagah dan budiman ini!”
Sorak-sorai gembira menyambut
ucapan gadis ini dan Hong Beng merasa seakan-akan tubuhnya terbenam makin dalam
lagi. Tiada harapan untuk keluar sesudah tunangannya sendiri bahkan menghendaki
dia menjadi pemimpin pengemis.
“Baiklah, baiklah, harap
kalian semua suka bangun berdiri dahulu. Hal pertama yang tak kusukai adalah
supaya aku jangan terlalu dipuji-puji dan disanjung-sanjung. Aku bukan seorang
raja, dan apa bila aku mau menerima jabatan ketua, ini hanya terpaksa karena
melihat kebaikan perkumpulan ini.”
Semua orang berdiri dengan
sikap hormat dan diam, menunggu ucapan ketua baru itu selanjutnya.
“Aku maklum bahwa kalian
tentulah mengharapkan bantuanku untuk menghadapi bahaya yang mungkin datang
dari pihak Coa-tung Kai-pang,” kata pemuda yang cerdik ini. “Dan aku menerima
pengangkatan ini hanya saja dengan beberapa macam syaratnya.”
“Silakan Pangcu menentukan
syarat-syarat itu, kami sekalian tentu saja bersedia untuk mematuhinya, karena
setiap syarat dan usul dari pangcu kami, merupakan perintah yang akan kami
jalankan dengan taruhan nyawa kami!”
Terharulah hati Hong Beng
mendengar kata-kata ini. Dia menghela napas panjang dan berkata, “Tentu kalian
harus mengetahui keadaanku. Biarlah aku berterus terang kepada kalian karena
kita adalah orang-orang sendiri, orang-orang sehaluan yang bertujuan ingin
memberantas dan membasmi kejahatan! Namaku Sie Hong Beng dan aku adalah putera
dari pendekar besar Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh!”
Semua pengemis, terutama
sekali Ngo-hengte, menahan napas dan bukan main terkejut serta girangnya hati
mereka. Kalau tadi mereka berlima masih merasa penasaran karena kalah
sedemikian mudahnya oleh pemuda ini, sekarang rasa penasaran itu lenyap sama
sekali. Pantas saja pemuda itu lihai bukan main karena tidak tahunya dia adalah
putera dari Pendekar Bodoh yang namanya telah menggemparkan kolong langit!
“Suhu-ku yang mengajar ilmu
tongkat adalah Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari barat!”
Kembali semua orang tertegun.
“Nona ini tadi telah memperkenalkan diri sebagai murid Sin Kong Tianglo dan
Im-yang Giok-cu, akan tetapi tentu kalian belum tahu bahwa dia sesungguhnya
adalah puteri dari pendekar besar Kwee An di Tiang-an. Dan perlu pula
kuberitahukan bahwa dia adalah... tunanganku!”
Merahlah wajah Goat Lan
mendengar keterangan ini. Ingin ia mencubit tunangannya itu yang dianggapnya
berlebihan telah memperkenalkan dirinya pula.....
“Nah, setelah kalian mengenal
keadaan kami berdua, maka sekarang akan kukemukakan syarat-syaratku. Biar pun
aku menerima jabatan ketua, akan tetapi tidak mungkin bagiku untuk selalu berada
di tempat perkumpulan kalian ini. Aku mengangkat kelima Saudara Hek sebagai
wakil. Segala sesuatu mengenai perkumpulan kuserahkan kepada mereka berlima
untuk mengurusnya. Dan aku pun tidak mau menurut kebiasaan kalian, tak mau
memakai pakaian sebagai pengemis. Akan tetapi aku telah menerima jabatan ini,
maka aku bersumpah hendak membela serta melindungi Hek-tung Kai-pang dan
bertanggung jawab apa bila ada sesuatu yang mengancam dan yang mengganggu
perkumpulan kita!”
Ramailah sorak-sorai para
pengemis mendengar kesanggupan ini. Inilah yang mereka harapkan. Dengan adanya
pemuda putera Pendekar Bodoh ini menjadi ketua mereka, maka mereka tidak takut
menghadapi penjahat yang bagaimana pun juga. Juga mereka kini tidak kuatir lagi
akan serbuan atau gangguan Coa-tung Kai-pang!
Kemudian Hek Liong berkata
kepada Hong Beng, “Pangcu, kami mempersilakan Pangcu bersama Lihiap untuk
datang ke tempat pertemuan kita yang kita sebut Istana Pengemis untuk merayakan
pengangkatan ini, juga untuk mengesahkannya!”
Beramai-ramai semua pengemis
itu lalu mengiringkan Hong Beng dan Goat Lan menuju ke sebuah hutan di sebelah
utara tempat itu. Hutan ini besar sekali dan ketika sampai di tengah hutan,
Hong Beng dan tunangannya melihat sebuah kuil kuno yang baru saja diperbaiki. Sungguh
pun dari luar nampak sangat miskin, akan tetapi huruf-huruf yang dipasang di
luar kuil amat gagah dan angker. Huruf-huruf itu berbunyi: Istana Pengemis HEK
TUNG KAI PANG.
Ketika kedua orang muda itu
diarak masuk, Hong Beng dan Goat Lan terkejut sekali karena di sebelah dalam
sungguh amat berbeda dengan keadaan di luar. Di situ sangat indah dan mewah.
Meja dan kursi serta perabot-perabot lain terdiri dari barang-barang pilihan
yang mahal, terukir indah dan serba baru! Benar-benar patut menjadi perabot dan
isi ruang sebuah istana kaisar!
Tahulah kini Hong Beng dan
Goat Lan mengapa banyak yang berhati serakah hendak menduduki jabatan ketua
dari perkumpulan pengemis ini. Tidak tahunya keadaan mereka begitu kaya raya.
Memang sesungguhnya para
pengemis itu yang hidupnya hanya bekerja mengemis dan juga menerima upah dari
pekerjaan kasar atau membantu orang menjaga keamanan, selalu mengumpulkan hasil
pekerjaan mereka kemudian menyerahkannya kepada pusat sehingga dapatlah
dibangun isi istana yang mewah ini. Di samping perabot-perabot yang indah itu,
ternyata banyak pula terdapat harta simpanan yang besar jumlahnya.
Setelah bercakap-cakap lebih
mendalam, tahulah kedua orang muda itu bahwa harta benda itu bukannya disimpan
begitu saja, akan tetapi digunakan untuk menolong rakyat miskin dengan jalan
menderma dan lain-lain. Maka semakin kagumlah mereka terhadap perkumpulan
pengemis ini dan semakin yakinlah hati Hong Beng bahwa menjadi ketua
perkumpulan macam ini sekali-kali bukanlah hal yang merendahkan namanya!
Ketika mereka duduk
bercakap-cakap, masuklah pengemis-pengemis yang masih muda, yaitu
anggota-anggota yang ditugaskan untuk mengeluarkan hidangan dan kembali Hong
Beng dan Goat Lan tercengang karena hidangan yang dikeluarkan merupakan
hidangan-hidangan yang mewah dan mahal, sedangkan araknya pun adalah arak
Hangciu yang lezat dan harum, bukan arak sembarang arak.
Pesta berjalan secara amat
meriah dan dua orang muda itu mendapat kenyataan bahwa pengemis-pengemis itu
makan hidangan mereka dengan cara yang amat beraturan dan sopan. Benar-benar
mengagumkan sekali!
Pada saat pesta berjalan
ramai, tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara bentakan parau dan keras,
“Hek-tung Kai-pang Pangcu, sambutlah kami!”
Belum lenyap gema suara itu,
orangnya sudah melayang masuk dan tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri
dua orang pengemis tua yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih
sekali dan mereka memegang tongkat ular! Ternyata mereka ini adalah dua orang
pengurus Coa-tung Kai-pang tingkat satu!
Coa-tung Kai-pang mempunyai
banyak sekali pengurus. Pengurus yang bertingkat satu saja ada tujuh orang, dan
mereka ini adalah murid dari seorang tosu tua yang menjabat kedudukan pemimpin
besar dan bernama Coa Ong Lojin.
Ada pun dua orang pengurus
tingkat satu yang datang ini bernama Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin. Mereka ini
mendapat laporan dari tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang telah roboh di
tangan Ngo-hengte dari Hek-tung Kai-pang pagi tadi. Dengan marah Kim Coa Jin
dan Bhok Coa Jin segera mendatangi istana pengemis di dalam hutan itu dengan
maksud untuk merobohkan lima orang ketuanya.
Dengan tindakan kaki berlagak
sekali kedua orang tua itu sambil menggerak-gerakkan tongkat ular di tangannya
menghampiri meja Hek Liong dan adik-adiknya yang duduk di sebelah kiri Hong
Beng dan Goat Lan. Kim Coa Jin tertawa bergelak di depan lima orang pengurus
Hek-tung Kai-pang itu lalu berkata,
“Pangcu-pangcu dari Hek-tung
Kai-pang benar-benar tak memandang mata kepada kami dari Coa-tung Kai-pang.
Mengadakan perjamuan minum arak sedemikiah ramainya sama sekali tidak
mengundang! Ha-ha-ha, benar-benar tidak memandang mata kepada orang
segolongan.”
Hek Liong maklum bahwa dua
orang tua ini memang datang hendak membuat ribut dan melihat sikap mereka yang
kasar ia tidak mau membiarkan pangcu-nya yang baru untuk menghadapinya. Karena
itu ia sendiri lalu berdiri bersama empat orang adiknya, menjura sebagai
penghormatan sambil berkata,
“Maaf, Ji-wi datang tanpa kami
ketahui sehingga tidak semenjak siang-siang mengatur penyambutan. Silakan duduk
dan minum arak kami yang murah!” Sambil berkata begini Hek Liong lalu
mengeluarkan dua buah cawan, kemudian mengisi sendiri cawan-cawan itu sampai
penuh dengan arak harum.
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Bhok Coa Jin
tertawa bergelak, lalu dengan gerakan cepat sekali dia mengulur tongkat ularnya
sambil berkata, ”Biarlah tongkatku mencoba dahulu bagamana rasanya arakmu!”
Sambil berkata demikian,
sekali tongkatnya bergerak ke depan, kedua cawan arak yang disuguhkan itu
terguling di atas meja dan araknya tumpah membasahi meja! Kemudian ujung
tongkatnya yang berkepala ular itu meluncur memasuki mulut guci, dari mulut
guci itu keluarlah uap hijau bergulung ke atas!
“Ha-ha-ha! Ternyata arakmu
cukup baik!” kata Bhok Coa Jin kepada lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang
itu. “Marilah kita minum arak dari guci yang sudah dicoba isinya oleh tongkatku
tadi!”
Tanpa diketahui oleh orang
lain, Goat Lan membisikkan sesuatu kepada Hong Beng sambil memberikan tiga buah
pil merah kepada tunangannya itu. Hong Beng lalu berdiri dan mendahului kelima
saudara Hek itu berkata kepada dua orang tamu yang aneh ini,
“Ji-wi Lo-kai (Dua Tuan
Pengemis Tua), melihat bentuk tongkatmu, aku dapat menduga bahwa kalian
tentulah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang! Pertunjukanmu tadi lucu
sekali dan kebetulan aku adalah seorang yang paling doyan arak beruap! Marilah
aku menemani kau berdua minum arak!”
Sambil berkata demikian, tanpa
menanti jawaban tamunya, Hong Beng mengambil guci arak tadi dan mengisikan arak
ke dalam cawan-cawan tamunya yang tadi terguling, juga dia mengisi cawannya
sendiri sampai penuh.
Semua orang melihat betapa
arak yang keluar dari guci itu telah berwarna hijau, padahal tadinya berwarna
kemerahan! Lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang menjadi pucat karena mereka
maklum bahwa arak itu telah dicampuri racun!
“Arak itu beracun!” seru Hek
Liong marah.
“Ha-ha-ha! Ternyata ketua dari
Hek tung Kai-pang berhati pengecut! Kalah oleh orang muda berhati tabah dan
gagah ini!” Kim Coa Jin berkata sambil tertawa bergelak-gelak. “Siapakah pemuda
ini yang menantang kami minum arak? Kami tidak sudi minum arak dengan segala
orang tak ternama!”
Makin marahlah Hek Liong
mendengar ucapan ini. “Bukalah matamu baik-baik karena kau sedang berhadapan
dengan pangcu kami yang baru!”
Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin
melengak dengan hati heran. Kini mereka memandang kepada Hong Beng dengan penuh
perhatian. Kemudian mereka menjura ke arah Hong Beng sebagai penghormatan yang
dibalas oleh Hong Beng dengan sepatutnya.
“Tidak tahu siapakah nama
Pangcu yang terhormat?” tanya Kim Coa Jin.
“Siauwte bernama Sie Hong Beng
dan secara kebetulan saja siauwte telah dipilih menjadi pangcu dari Hek-tung
Kai-pang yang mulia. Tidak tahu siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dua
orang penting dari Coa-tung Kai-pang datang ke sini?”
“Hemm, kami adalah
pengurus-pengurus Coa-tung Kai-pang, namaku Kim Coa Jin dan ini adalah adikku
Bhok Coa Jin. Kami tidak tahu bahwa Hek-tung Kai-pang telah berganti pengurus.
Bagus, bagus, kami harap saja biar pun kau masih muda, akan tetapi sudah
terbuka pikiranmu untuk menggabungkan perkumpulanmu yang kecil ini pada
Coa-tung Kai-pang yang besar sehingga tak perlu ada pertikaian lagi.”
“Ji-wi Lo-kai, hal itu tak
mungkin dilakukan. Setiap perkumpulan tentu mempunyai tujuan sendiri-sendiri,
dan biarlah kita melakukan tugas kita masing-masing tanpa harus saling
mengganggu, bukankah dengan demikian akan lebih baik lagi dan tidak ada
pertikaian? Aku akan memberi nasehat kepada semua anggota perkumpulan kami
supaya jangan mengganggu perkumpulanmu, dan sebaliknya aku juga mengharapkan
dari pihakmu ada kebijaksanaan seperti itu.”
Tiba-tiba Kim Coa Jin tertawa
bergelak dengan suara menghina dan memandang rendah sekali.
“Pangcu, kau ternyata masih
hijau seperti usiamu. Marilah kita minum arak hijau ini untuk menambah
pengalamanmu. Beranikah kau?”
“Mengapa aku tidak berani?”
kata Hong Beng yang sudah menelan tiga butir pil ang-tan pemberian tunangannya
tadi.
Ia percaya penuh akan
kelihaian tunangannya yang paham betul akan segala macam racun dan
pengobatannya, maka ketika tadi Goat Lan menyerahkan pil itu sambil berbisik
bahwa itulah pil penawar dan penolak racun hijau, ia segera menelannya dan
bertindak seperti yang dituturkan di atas.
Sekarang dia mengangkat cawan
araknya, diturut pula oleh kedua orang tamu itu yang memandangnya dengan mata
heran akan tetapi mulut tersenyum mengejek. Mereka lalu minum arak itu. Sekali
tenggak saja arak hijau itu lenyap dalam perut Hong Beng.
Sekarang barulah kedua orang
pengemis tua itu terheran-heran. Biasanya, racun hijau yang dimasukkan di dalam
arak itu amat keras. Jangankan menghabiskan secawan, baru minum beberapa tetes
saja cukup untuk membakar isi perut orang dan menewaskannya seketika itu juga.
Akan tetapi, pemuda yang
tampan dan tenang ini setelah minum secawan tidak kelihatan terpengaruh sama
sekali, seakan-akan arak itu tidak ada apa-apanya! Mereka menjadi penasaran dan
Kim Coa Jin sendiri kini memasukkan kepala tongkatnya ke dalam guci, menambah
racun itu dan menuangkan isi guci ke dalam tiga cawan yang sudah kosong,
memenuhinya kembali.
“Kau kuat minum secawan lagi,
Pangcu?” tanyanya menantang.
Hong Beng tersenyum. “Mengapa
tidak kuat? Marilah kita minum untuk kesejahteraan Hek-tung Kai-pang!”
Kembali mereka minum dan
sekali lagi Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin saling pandang dengan heran. Jangankan
menjadi mabuk atau roboh binasa, muka pemuda tampan itu merah pun tidak.
“Secawan lagi, Ji-wi Lokai?”
Kini Hong Beng yang menantang!
Dua orang pengemis tua itu
menjadi bingung. Obat penawar yang tadinya sudah mereka telan hanya cukup kuat
untuk menolak racun dua cawan arak, maka kalau harus minum secawan lagi,
mungkin mereka takkan kuat menahan dan akan roboh binasa dengan isi perut
terbakar!
“Cukup, cukuplah, Pangcu!”
berkata Kim Coa Jin sambil menggerakkan tongkat ularnya. “Sudah terbuka mata
kami bahwa biar pun masih muda, ternyata kau adalah seorang yang kuat minum.
Tidak tahu apakah ilmu tongkatmu sekuat kemampuan minummu!”
Pada saat itu pula Hek Liong
melangkah maju menghadap Hong Beng dan menyerahkan sebatang tongkat hitam
dengan sikap menghormat sekali. Tongkat ini baru saja ia ambil dari dalam
sebuah kamar dan ternyata bahwa tongkat ini luar biasa sekali. Memang warnanya
hitam seperti tongkat-tongkat yang dipegang oleh semua anggota Hek-tung
Kai-pang, akan tetapi tongkat ini mengeluarkan cahaya mengkilap dan ternyata
dapat digulung.
“Tongkat ini adalah
peninggalan sucouw kami Hek-tung Kai-ong. Sudah berpuluh tahun tidak ada orang
yang dapat mempergunakan tongkat lemas ini, maka sekarang kami serahkan kepada
Pangcu!”
Hong Beng menerima tongkat itu
dengan girang dan ketika ia memegang tongkat itu, ia merasa kagum dan juga
girang sekali. Ternyata bahwa senjata luar biasa ini terbuat dari logam yang
amat kuat dan merupakan sebatang tongkat pusaka yang ampuh sekali. Ia segera
turun dari tempat duduknya dan menghadapi kedua orang tamunya itu dengan sikap
tenang.
“Ji-wi Lo-kai, kami telah
cukup maklum bahwa kalian dari Coa-tung Kai-pang ingin sekali memperlebar
pengaruhmu, akan tetapi caramu ini benar-benar kurang sempurna. Apa kau kira
bahwa di kolong langit ini tidak ada orang-orang yang lebih pandai dari pada
pemimpin-pemimpin Coa-tung Kai-pang? Tanpa kusengaja, aku yang muda dan bodoh
telah terpilih menjadi pemimpin Hek-tung Kai-pang, betapa pun juga, aku akan
membela perkumpulan ini dengan tongkat yang sudah dipercayakan kepadaku. Nah,
silakan Ji-wi maju mencoba kekerasan tongkat ini!”
Kim Coa Jin biar pun merasa
amat kagum melihat betapa orang muda ini dapat minum racun dari tongkat ularnya
tanpa akibat sesuatu, tetap saja ia masih memandang rendah kepada Hong Beng.
Tidak mungkin pemuda ini mempunyai kepandaian silat yang dapat mengimbangi
kepandaiannya sendiri.
Dia dan Bhok Coa Jin adalah
dua orang di antara tujuh orang Pengemis Tongkat Ular tingkat satu. Kepandaian
mereka ini sudah sangat tinggi, oleh karena mereka merupakan murid-murid yang
menerima pelajaran langsung dari Coa Ong Lojin, datuk dari Coa-tung Kai-pang!
Mereka telah mewarisi delapan puluh bagian dari ilmu silat dan ilmu tongkat dan
telah bertahun-tahun mereka merantau di seluruh permukaan bumi Tiongkok.
Oleh karena memandang rendah
dan tak ingin disebut licik, Kim Coa Jin berkata kepada Bhok Coa Jin, “Sute,
harap kau berdiri di pinggir saja dan biar aku sendiri yang mencoba kekuatan
pangcu muda ini!” Ucapannya ini dikeluarkan dengan mulut tersenyum.
Bhok Coa Jin juga tersenyum,
lalu dia menancapkan tongkat ularnya di atas lantai dan duduk di atas tongkat
itu! Demonstrasi kekuatan lweekang ini saja sudah hebat sekali, karena lantai
itu amat keras namun dapat tertusuk oleh tongkat itu seakan-akan lantai itu
terdiri dari tanah lumpur belaka!
“Silakan, Suheng, aku hendak
menonton saja,” katanya.
“Nah, Sie-pangcu, marilah kita
mulai!” kata Kim Coa Jin menantang.
“Majulah Kim-lokai. Sebagai
tamu kau turun tangan lebih dulu,” jawab Hong Beng sambil memegang tongkat
hitamnya dengan cara sembarangan saja.
Ia memegang kepala tongkatnya
sehingga tongkat itu tergantung lurus ke bawah, seperti seorang kakek yang meminjam
tenaga tongkat untuk membantu menunjang tubuhnya yang sudah lemah. Bagi orang
yang tidak tahu, tentu mengira bahwa pemuda ini tidak pandai ilmu silat dan
bahwa caranya memasang kuda-kuda itu tidak ada artinya sama sekali.
Akan tetapi pada saat Kim Coa
Jin melihat cara Hong Beng memegang tongkat, hatinya tertegun. Itulah kuda-kuda
yang disebut Dewa Bumi Menangkap Ular, yakni semacam kuda-kuda yang tidak
sembarang orang berani menggunakannya untuk memulai sebuah pertempuran, karena
kuda-kuda seperti ini amat sukar dibuka dan dikembangkan.
“Awas serangan!” serunya dan
Kim Coa Jin cepat menyerang dengan hebat.
Dia sengaja menyerang dengan
gerakan yang paling hebat dan lihai, karena dia hendak merobohkan ketua
Hek-tung Kaipang ini dengan sekali gerakan saja! Tongkat ularnya dengan cepat
bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menusuk ke arah dada Hong Beng,
sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, melainkan meluncur pula di
belakang tongkatnya untuk mengirimkan pukulan susulan yang dilakukan dengan tenaga
lweekang sehingga angin pukulan ini saja sudah cukup untuk merobohkan lawan!
Akan tetapi Hong Beng dengan
gerakan Hek-hong Koan-goat (Bianglala Hitam Menutup Bulan) menggerakkan tongkat
hitamnya dengan putaran cepat sekali. Ketika tongkatnya bertemu dengan tongkat
ular lawannya, kedua tongkat itu menempel dan tongkat ular itu ikut pula
terputar karena pemuda yang lihai ini telah menggerakkan lweekang-nya untuk
‘menyedot’ dan menempel senjata lawan.
Karena kedua tongkat itu
terputar cepat di depan mereka, otomatis pukulan tangan kiri pengemis tua itu
tertolak kembali! Kim Coa Jin mengerahkan tenaganya untuk membetot kembali
tongkatnya dari tempelan tongkat hitam lawannya akan tetapi ternyata tongkat
itu seakan-akan telah berakar pada tongkat Hong Beng. Ia merasa penasaran
sekali dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya dia berseru keras sekali dan
tiba-tiba tubuhnya terjengkang ke belakang dan hampir saja dia jatuh ketika
secara mendadak Hong Beng melepaskan tempelannya!
Bukan main kagetnya hati Kim Coa
Jin merasakan kelihaian pangcu muda dari Hek-tung Kai-pang ini. Sambil
menggereng laksana seekor harimau terluka ia lalu menerjang maju, memutar-mutar
tongkatnya dengan hebat bagaikan angin puyuh dan kini benar-benar dia
mengeluarkan ilmu tongkatnya yang lihai, karena dia sudah maklum sepenuhnya
bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid orang pandai!
Akan tetapi Hong Beng tetap
saja berlaku tenang. Dengan puas dan gembira sekali dia mendapat kenyataan
bahwa tongkat hitam yang lemas pada tangannya itu benar-benar merupakan senjata
istimewa. Walau pun tongkat itu lemas, akan tetapi dapat menerima saluran
tenaga lweekang dengan baik sekali, sehingga tidak kalah ‘enaknya’ dipakai dari
pada sebatang ranting kecil!
Dia lalu memainkan Ngo-heng
Tung-hoat dan melayani lawannya dengan gerakan yang membuat lawannya menjadi
pening kepala. Ngo-heng Tung-hoat adalah semacam ilmu silat yang mengambil sari
dari lima anasir atau lima sifat, bisa sekuat baja, selemah air, sepanas api!
Juga gerakan tubuh Hong Beng yang lincah dan gesit membuat tubuhnya lenyap dari
pandangan mata, terbungkus oleh gulungan sinar tongkat yang menghitam!
Kim Coa Jin sebagai tokoh
tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, tentu saja memiliki ilmu silat yang sudah
sangat tinggi. Akan tetapi harus dia akui bahwa selama hidupnya, baru sekarang
dia bertemu dengan tandingan yang demikian tangguhnya.
Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat
bukanlah ilmu silat sembarang saja, tetapi memiliki sifat-sifat tersendiri yang
sangat kuat dan berbahaya. Gaya Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini amat ganas dan
kejam serta memiliki tipu-tipu yang licik dan berbahaya sekali karena ilmu ini
tercipta di antara jalan hitam, di antara orang-orang yang memiliki pikiran dan
tabiat yang kurang baik.
Tongkat yang berbentuk ular
itu saja mengandung bagian-bagian rahasia sehingga dapat mengeluarkan
senjata-senjata rahasia berupa jarum-jarum berbisa. Malah dari mulut ular itu,
apa bila dikehendaki oleh pemakainya, dapat mengeluarkan semacam uap berbisa
yang berbahaya sekali.
Hong Beng sengaja tidak mau
melukai Kim Coa Jin dan hanya mendesaknya dengan ilmu tongkat yang memang lebih
tinggi tingkatnya. Pemuda ini biar pun masih muda dan mempunyai darah panas
namun ia memang cerdik sekali, dan ia maklum bahwa kalau ia sampai melukai
orang ini, maka permusuhan antara kedua partai pengemis akan menjadi semakin
mendalam. Pihak Coa-tung Kai-pang tentu akan menjadi makin sakit hati dan
menaruh dendam hati yang maha berat. Dia ingin menghindarkan hal ini, maka ia
hanya mendesak lawannya dengan tongkat hitamnya, berusaha untuk mengalahkan Kim
Coa Jin dengan serangan-serangan yang tidak membahayakan jiwanya.
Bhok Coa Jin yang menonton
pertandingan itu menjadi marah serta penasaran sekali. Bhok Coa Jin mempunyai
watak yang lebih berangasan dan keras dari pada suheng-nya. Melihat betapa
suheng-nya tidak dapat menangkan pemuda itu bahkan terdesak hebat sekali,
tiba-tiba dia berseru keras dan membantu suheng-nya menyerang Hong Beng.
“Pengemis curang, perlahan
dulu!” Mendadak terdengar bentakan merdu dan tahu-tahu tongkat yang diputar
oleh Bhok Coa Jin itu telah terpental mundur karena tertangkis oleh sebatang
tongkat bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa.
Bhok Coa Jin terkejut dan
lebih-lebih kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu
adalah nona cantik yang tadi ia lihat duduk di dekat Hong Beng.
“Bocah kurang ajar!” seru
pengemis tua ini dengan marah. “Siapakah kau, berani sekali menghalangi Bhok
Coa Jin?”
“Hemm, agaknya kau terlalu
sombong dan menganggap diri sendiri paling hebat,” Goat Lan menyindir. “Kau mau
tahu siapa aku? Namaku Kwee Goat Lan dan kalau lain orang takut mendengar
namamu, aku bahkan merasa muak karena nama besarmu itu sama sekali tidak sesuai
dengan sifatmu yang pengecut!”
“Kurang ajar!” Bhok Coa Jin
memaki dan tongkatnya segera meluncur cepat mengarah tenggorokan nona itu.
Akan tetapi cepat sekali
sepasang tongkat bambu runcing di tangan gadis itu bergerak dan menjepit
tongkat ular Bhok Coa Jin sehingga tak dapat dicabut kembali. Betapa pun Bhok
Coa Jin membetot tongkatnya, tetap saja tongkatnya itu bagaikan terjepit oleh
dua potong besi yang kuat sekali. Barulah dia merasa amat terkejut dan heran.
Bagaimana gadis muda ini dapat memiliki tenaga yang demikian hebatnya?
Juga Goat Lan merasa gemas
sekali terhadap pengemis tua yang berangasan dan kasar ini. Dia sudah
menggerakkan sepasang bambu runcingnya yang lihai ketika Hong Beng berkata
mencegahnya,
“Lan-moi, jangan layani dia.
Biarkan saja dia mengeroyokku agar mereka tahu kelihaian Hek-tung Kai-pang!”
Walau pun hatinya mendongkol
dan tidak puas, Goat Lan maklum akan maksud ucapan tunangannya ini dan ia
melompat mundur. Dia tahu kalau ia turun tangan, maka hal ini akan mengurangi
keangkeran Hek-tung Kai-pang.
Sebaliknya, diam-diam Bhok Coa
Jin merasa lega melihat gadis yang lihai itu melompat mundur. Tak banyak cakap
lagi ia lalu menyerbu dan menyerang Hong Beng, membantu suheng-nya.
Jika sekiranya keadaan Hong
Beng berbahaya apa bila dikeroyok dua, tentu betapa pun juga Goat Lan akan
memaksa turun tangan. Akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi dua orang pengemis
Coa-tung Kai-pang itu, tunangannya takkan kalah sebab kepandaian Hong Beng
masih lebih tinggi tingkatnya. Dia lalu duduk kembali dan menonton dengan sikap
tenang. Sebaliknya, para anggota Hek-tung Kai-pang merasa kuatir juga melihat
betapa ketua mereka dikeroyok dua oleh lawan-lawan yang amat tangguh itu.
Menghadapi keroyokan dua orang
lawan yang tidak boleh dipandang ringan itu, Hong Beng memperlihatkan kehebatan
ilmu tongkatnya. Dia segera merubah gerakan tongkat hitamnya dan kini dia
mainkan Ilmu Tongkat Pat-kwa Tung-hoat yang gerakannya jauh lebih cepat dari
pada Ngo-heng Tung-hoat.
Sebentar saja, seperti halnya
lima saudara Hek pada waktu menghadapi pemuda ini, dua orang pengurus Coa-tung
Kai-pang ini merasa pening serta pandangan mata mereka menjadi kabur. Mereka
merasa heran dan juga penasaran sekali karena selama hidup mereka, belum pernah
mereka menyaksikan ilmu tongkat yang seperti itu. Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat pernah
mereka lihat, akan tetapi ilmu silat tongkat yang dimainkan oleh ketua baru
dari Hek-tung Kai-pang ini benar-benar tidak mereka kenal.
Sebaliknya, bagi Hong Beng
juga tak mudah untuk mengalahkan kedua lawannya tanpa menggunakan serangan
kilat yang sedikitnya akan melukai mereka. Maka terpaksa, biar pun dia tidak
ingin melukai kedua lawan ini, dia harus memperlihatkan kepandaiannya.
Sekali dia mengerahkan tenaga,
maka terdengar suara keras sekali dan dua batang tongkat ular itu patah di
tengah-tengah. Berbareng dengan patahnya kedua tongkat itu, dari dalam tongkat
menyembur keluar banyak sekali jarum hitam ke arah Hong Beng. Akan tetapi
pemuda ini dengan mudah saja lalu memukul semua sinar hitam itu dengan
tongkatnya dan sebagai pembalasan, dua kali tongkatnya bergerak ke bawah dan
kedua orang lawannya itu terjungkal tanpa dapat mengelak lagi!
Untung bahwa Hong Beng hanya
mempergunakan sedikit tenaga, karena kalau pemuda ini berlaku kejam, meski pun
kedua orang pengemis tua itu memiliki kekebalan, mereka tentu akan patah-patah
tulang kakinya. Kini mereka hanya merasa kedua kaki mereka sakit sekali dan
untuk beberapa lama mereka tidak mampu berdiri. Mereka hanya duduk memandang
dengan mata terbelalak, lebih merasa heran dari pada merasa marah.
“Kau... kau siapakah? Dan ilmu
sihir apakah yang sudah kau gunakan untuk merobohkan kami?” Akhirnya Kim Coa
Jin dapat juga berkata sambil merangkak mencoba bangun. Begitu pula Bhok Coa
Jin dengan muka meringis menahan sakit mencoba untuk bangun berdiri.
“Tadi sudah kukatakan bahwa
namaku Sie Hong Beng dan aku telah diangkat menjadi pangcu dari Hek-tung
Kai-pang!” jawab Hong Beng sederhana. “Kalian datang dan roboh bukan karena
kehendak kami, akan tetapi kalian sendiri yang mencari penyakit. Harap kalian
jangan persalahkan kami.”
Akan tetapi jawaban ini tidak
memuaskan hati mereka, dan Hek Liong yang juga merasa tidak puas mendengar
jawaban pangcu-nya, kemudian berdiri dan berkata dengan suara lantang,
“Bukalah matamu baik-baik,
kalian orang-orang Coa-tung Kai-pang! Pangcu kami adalah putera dari Pendekar
Bodoh dan murid dari Pok Pok Sianjin! Dan pendekar wanita yang kalian pandang
rendah ini, dia adalah tunangan pangcu kami yang gagah dan Lihiap adalah murid
dari Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu! Apakah keterangan ini masih belum
cukup?”
Pucatlah muka kedua orang
pengemis tua itu ketika mendengar nama-nama besar dari para pahlawan dan tokoh
dunia persilatan itu. Akhirnya Kim Coa Jin pun menarik napas panjang dan
berkata, “Dasar nasib kami yang sial, bertemu dengan keturunan Pendekar Bodoh!
Buah yang jatuh tidak akan menggelinding jauh dari pohonnya!” Setelah berkata
demikian, dengan terpincang-pincang Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin pergi
meninggalkan tempat itu.
“Tahan...!” seru Hong Beng dan
tubuhnya berkelebat mendahului kedua orang itu. Ia kini berdiri menghadapi
mereka sambil bertolak pinggang dan matanya memandang tajam penuh ancaman. “Apa
maksud kata-katamu tadi? Apa maksudmu berkata bahwa buah tidak akan jatuh
menggelinding jauh dari pohonnya?”
Kim Coa Jin tersenyum mengejek
“Watak anak takkan berbeda jauh dengan bapaknya. Suhu-ku pernah menceritakan
bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang selalu turut mencampuri urusan orang
lain, seorang yang selalu turun tangan dan bertindak dengan sewenang-wenang mengandalkan
kepandaiannya. Dan kau agaknya tidak berbeda jauh dengan ayahmu itu!”
“Siapakah suhu-mu?” tanya Hong
Beng.
“Suhu kami adalah pendiri dari
Coa-tung Kai-pang, yang bernama Coa Ong Lojin!”
Sambil berkata demikian Kim
Coa Jin memandang tajam karena mengharapkan pemuda itu akan menjadi terkejut
mendengar nama suhu-nya. Akan tetapi ternyata Hong Beng menerima keterangan ini
dengan dingin saja, sungguh pun dia pernah mendengar nama orang tua yang sakti
itu.
“Pernahkah suhu-mu bentrok
dengan ayahku?”
“Belum, belum pernah. Akan
tetapi Suhu sudah cukup banyak mendengar dari kawan-kawannya, dan Suhu ingin
sekali bertemu dengan ayahmu untuk melihat sampai di mana sih kepandaiannya
maka dia dan puteranya sesombong ini!”
Tiba-tiba muka Hong Beng
menjadi merah sekali, tanda bahwa ia marah.
“Jahanam berlidah busuk!”
makinya sehingga Goat Lan yang sudah berdiri di dekatnya menjadi terkejut,
karena tak disangkanya sama sekali bahwa tunangannya yang lemah lembut dan
sopan santun ini sekarang begitu marah sampai memaki orang. “Kau pandai benar
memutar balik duduknya perkara! Pantas saja kau menjadi pengurus Perkumpulan
Tongkat Ular sebab watakmu seperti ular, lidahmu berbisa. Kalian yang datang
mengacau di perkumpulan kami akan tetapi kalian yang menuduh kami suka
mencampuri urusan orang lain! Memang ayahku suka mencampuri urusan orang lain,
urusan orang jahat macam engkau yang suka mengganggu orang, dan hal seperti itu
tentu saja ayahku dan aku tak akan tinggal diam memeluk tangan!”
Hampir saja Hong Beng mengangkat
tangan menjatuhkan pukulan, kalau saja Goat Lan tidak menyentuh pundaknya
sambil memandang dengan senyum menghibur. Pemuda ini menjadi marah sekali
karena mendengar ayahnya dicela oleh dua orang jahat seperti Kim Coa Jin dan
Bhok Coa Jin.
Kedua orang pengemis dari
Coa-tung Kai-pang itu segera pergi dengan muka pucat dan tak berani menengok
lagi. Goat Lan lalu menghibur tunangannya dengan kata-kata yang halus,
“Sudahlah, Koko, untuk apa
mencurahkan kemarahan terhadap orang-orang macam itu? Mereka sudah dikalahkan
dan tentu mereka sudah merasa kapok.”
“Mudah-mudahan begitu,” jawab
Hong Beng. “Akan tetapi aku masih merasa amat kuatir kalau-kalau mereka akan
datang lagi bersama kawan-kawan mereka untuk mengganggu Hek-tung Kai-pang.”
“Kalau begitu, lebih baik kita
menanti dahulu sampai beberapa hari di sini, untuk menjaga keselamatan
perkumpulan. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk melindunginya dari serangan
orang-orang jahat. Biarlah mereka mendatangkan suhu mereka, aku pun sudah
pernah mendengar nama Coa Ong Lojin yang terkenal jahat. Betapa pun lihainya,
kita pasti akan dapat mengalahkannya.”
Demikianlah, dua orang muda
ini terpaksa menunda keberangkatan mereka dan berjaga di tempat itu bersama
para pengurus Hek-tung Kai-pang sampai sepekan lamanya. Dan ini pulalah
sebabnya maka mereka tidak cepat menyusul Lili dan Lo Sian yang pergi ke rumah
Thian Kek Hwesio sehingga setelah menanti tiga hari lamanya, Lili menjadi
hilang kesabaran dan mengajak bekas suhu-nya itu pergi ke Shaning, ke rumah
orang tuanya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.
********************
Betapa pun Lili berusaha untuk
membantu ingatan Lo Sian ia tetap gagal, karena Lo Sian benar-benar tidak ingat
apa-apa lagi.
“Suhu, kau bernama Lo Sian dan
berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti), cobalah ingat-ingat lagi, Suhu. Aku bernama
Sie Hong Li atau Lili yang dahulu pernah kau tolong dari tangan Bouw Hun Ti.
Dan tidak ingatkah kau kepada suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le?” Untuk kesekian
kalinya di dalam perjalanannya menuju ke Shaning, Lili berkata kepada bekas
suhu-nya.
Lo Sian hanya menggeleng
kepalanya dengan wajah sedih. “Sebenarnya, sudah hampir setiap malam aku
mencoba mengerahkan seluruh ingatanku, akan tetapi tiada gunanya. Ingatanku
akan hal-hal yang lampau bagaikan sebuah goa yang hitam pekat. Memang, namamu
dan juga namaku sendiri terdengar tidak asing bagi telingaku, akan tetapi aku
benar-benar sudah lupa. Baiklah, mulai sekarang aku bernama Lo Sian lagi dan
engkau bernama Lili, akan tetapi jangan kau suruh aku mengingat-ingat akan hal
yang lalu. Aku tidak sanggup, anak baik.”
Akan tetapi, jalan pikiran Lo
Sian masih biasa dan baik sekali. Pertimbangannya masih sempurna, mencerminkan
wataknya yang budiman dan gagah perkasa. Pada suatu hari, ketika mereka sedang
melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning mereka melihat sebuah makam yang
dibangun indah sekali di pinggir jalan. Besarnya makam itu seperti rumah orang,
merupakan bangunan gedung yang indah dan mahal. Lo Sian nampaknya amat tertarik
dan kagum. Dia berdiri di depan makam itu sambil memandang ke dalam seperti
seorang yang terpesona.
“Suhu, coba kau ingat-ingat,
makam siapakah ini?”
Seperti bicara kepada diri
sendiri, Lo Sian berkata perlahan, “Sudah pasti bukan makam Lie Kong Sian...
bukan, bukan makam Lie Kong Sian!”
Lili memandang dengan terharu.
“Suhu, benarkah Lie-supek telah meninggal dunia?”
Lo Sian mengangguk pasti.
“Memang dia sudah meninggal dunia dan agaknya aku akan bisa mengenali kalau
melihat makamnya. Akan tetapi entah di mana, entah bagaimana macamnya, hanya
aku merasa yakin akan mengenal makamnya. Dia sudah mati... tidak salah lagi...”
Pada saat bicara tentang
kematian Lie Kong Sian, Lo Sian nampaknya sedih sekali dan Lili lalu terbayang
kepada pemuda tampan yang telah merampas sepatunya sehingga tak terasa mukanya
telah berubah pula menjadi merah sekali.
“Sesungguhnya, makam siapakah
begini mewah dan mendapat penghormatan sebesar ini dari rakyat?” tanya Lo Sian
sambil membaca papan-papan pujian dan kain-kain berisi sajak yang bagus-bagus,
juga pada tempat hio (dupa) yang agaknya dibakari dupa setiap hari.
Lili menarik napas panjang.
Apa bila suhu-nya tidak mengenal makam ini, benar-benar ia sudah lupa segala.
Siapakah yang tidak mengenal makam Jenderal Ho, pahlawan besar yang gagah
perkasa dan yang telah mengorbankan nyawa untuk kejayaan negara dan bangsa?
“Suhu, masa kau tidak ingat
kepada makam Jenderal Ho ini?”
Lo Sian menggelengkan kepala.
“Tidak, sama sekali tidak ingat lagi. Siapakah Jenderal Ho yang kau sebutkan
tadi?”
“Jenderal Ho adalah seorang
pahlawan yang gagah perkasa. Dahulu ketika bala tentara Mongol menyerang
pedalaman Tiongkok dan hampir saja bisa membobolkan pertahanan, Jenderal Ho
inilah yang berhasil memukul musuh mundur sampai keluar dari Tembok Besar. Juga
ketika terjadi pemberontakan di selatan sehingga kedudukan Kaisar sudah
terjepit, kembali Jenderal Ho dan pasukannya yang berjasa besar dan berhasil
memukul hancur para pemberontak.”
“Dan bagaimana ia sampai
meninggal dunia?”
“Dia gugur dalam peperangan
ketika pasukan kerajaan menyerang ke timur. Biar pun dia telah terluka hebat di
dalam peperangan itu, namun dia masih sanggup untuk memimpin pasukannya dan
mengatur barisan sambil duduk di atas tandu dan dia menghembuskan napas
terakhir di atas tandu itu pula! Karena jasa-jasanya terhadap negara inilah
maka namanya terkenal di seluruh negeri sehingga semua rakyat tak ada yang
tidak mengenal namanya. Inilah makamnya. Suhu, apakah kita akan masuk dan
memberi penghormatan kepada makam Jenderal Ho yang besar? Di dalam terdapat
orang yang menyediakan dupa.”
Akan tetapi Lo Sian malah
menggelengkan kepalanya dengan keras dan berkata setelah menghela napas
panjang. “Tidak perlu, aku tidak suka melihat kepalsuan ini!”
Lili memandang suhu-nya dengan
dua mata terbelalak. “Apa maksudmu, Suhu? Palsu? Apanya yang palsu?”
“Penghormatan ini, makam ini,
semua adalah pemujaan dan pujian palsu belaka. Kau duduklah, Lili, dan biarlah
aku membuka pikiranmu yang masih hijau menghadapi segala kepalsuan dunia.”
Mereka lalu duduk di atas bangku batu yang banyak terdapat di depan makam besar
itu.
“Sebelum aku membentangkan
pendapat dan pandanganku, lebih dulu jawablah, apakah kau pernah melihat
makam-makam besar yang dihormati seperti ini untuk para prajurit-prajurit biasa
yang gugur dalam peperangan membela negara?”
Lili memandang bodoh kemudian
menggelengkan kepalanya. “Belum pernah Suhu, yang selalu dihormati adalah makam
orang-orang besar, jenderal-jenderal, panglima-panglima besar, dan
menteri-menteri.”
“Nah, itulah yang kukatakan
palsu! Jenderal Ho ini dihormati, dipuji-puji karena katanya ia berjasa
terhadap negara, bahwa dia sudah mengorbankan nyawanya demi kepentingan negara.
Bahkan orang-orang yang katanya besar, sungguh pun tak usah mengorbankan nyawa
dalam peperangan, tetap saja makamnya terus dipuji-puji, namanya dihormati dan
dicatat dalam sejarah sampai ribuan tahun! Apakah jasa prajurit kecil itu kalah
besarnya? Bukankah mereka itu pun mengorbankan nyawanya, bahkan maju di garis
pertempuran terdepan, gugur lebih dahulu dari pada para pemimpinnya yang hanya
mengatur siasat pertempuran dari belakang? Apakah mereka ini tidak jauh lebih
berani, lebih gagah, dan berjasa dari pada jenderal-jenderal itu? Namun,
bagaimana nasib mereka? Mana makam mereka? Dan bagaimana keadaan keluarga mereka
yang ditinggalkan? Tak seorang pun mengingat lagi kepada mereka! Nah, inilah
yang kukatakan tidak adil dan palsu! Orang hanya pandai mengingat yang
besar-besar selalu melupakan yang kecil. Padahal, tanpa yang kecil-kecil, yang
besar tidak ada artinya lagi. Apakah dayanya para pembesar tanpa rakyatnya?
Apakah artinya jenderal-jenderal tanpa prajurit-prajuritnya?”
Lili tertegun mendengar ucapan
suhu-nya ini, akan tetapi sebagai anak Pendekar Bodoh yang banyak mendengar
tentang filsafat, dia tidak mau menyerah begitu saja dan masih membantah, “Akan
tetapi Suhu, sebaliknya, apakah artinya prajurit-prajurit dalam barisan tanpa
pemimpin yang mengatur siasat peperangan? Apakah artinya rakyat tanpa adanya
pemimpin yang pandai?”
Lo Sian mengangguk-angguk.
“Hemm, ada isinya juga kata-katamu tadi. Memang kedua hal itu perlu sekali,
keduanya merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Betapa pun
juga, lebih penting anak buahnya dari pada kepalanya. Tanpa jenderal, tiap
pasukan prajurit masih merupakan kekuatan yang hebat. Tanpa pemimpin, rakyat
masih merupakan massa yang kuat! Sebaliknya, tanpa pasukan, jenderal hanya
seorang yang sama sekali tidak berdaya menghadapi lawan. Tanpa rakyat, pemimpin
hilang sifatnya sebagai pemimpin. Oleh karena kukatakan tadi bahwa keduanya
merupakan dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan, mengapa orang hanya
menghormati pemimpinnya saja tanpa mengingat anak buahnya?”
Mendengar ucapan suhu-nya yang
panjang lebar ini, diam-diam Lili merasa girang sekali, oleh karena dia kini
merasa yakin bahwa biar pun sudah kehilangan ingatannya dan lupa akan peristiwa
yang terjadi pada waktu yang lalu, ternyata suhu-nya ini masih memiliki pikiran
sehat dan pandangan yang mengagumkan.
Sesudah bicara panjang lebar
kepada Lili, Lo Sian lalu bangkit berdiri dan menghampiri tembok yang
mengelilingi makam itu. Ia mengerahkan lweekang-nya dan dengan jari-jari
telunjuknya ia lalu mencoret-coret tembok itu, menulis beberapa buah huruf yang
artinya seperti berikut,
Jenderal Ho menerima penghormatan
berkat pasukannya yang gagah perkasa. Siapa yang melihat makam ini harus
mengingat akan jasa dari setiap orang prajurit tak dikenal dalam pasukannya!
Biar pun dia menggurat-gurat
tembok yang keras itu hanya dengan jari telunjuknya saja, akan tetapi bagaikan
sepotong besi kuat, jari itu menggores tembok sampai dalam dan tulisan itu
tidak dapat dihapus lagi!
Ketika melihat kejadian ini,
orang-orang yang lewat di tempat itu lalu maju melihat dan mereka mengeluarkan
pujian melihat kekuatan jari telunjuk kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara amat
nyaring dan keras,
“Bagus, tulisan yang gagah
sekali!”
Ketika Lili dan Lo Sian
menengok, ternyata di antara penonton itu muncullah seorang pemuda berpakaian
sebagai seorang panglima. Orangnya masih muda, tubuhnya tegap dan mukanya
tampan dan gagah. Dengan matanya yang tajam bersinar menatap Lili dan Lo Sian,
orang ini menjura dengan penuh penghormatan kepada Lo Sian dan Lili.
Lili melihat dengan herannya
betapa semua orang yang melihat panglima muda ini, lalu mundur sambil
membungkuk-bungkuk, tanda bahwa panglima muda ini bukanlah orang sembarangan
dan mempunyai pengaruh yang besar. Dia merasa segan untuk membalas penghormatan
itu, akan tetapi melihat suhu-nya menjura dengan hormat, terpaksa ia pun
mengangkat kedua tangan memberi hormat pula.
“Siauwte adalah Kam Liong, dan
sebagai seorang panglima dari kerajaan, siauwte amat tertarik melihat tulisan
Lo-enghiong itu. Tidak tahu siapakah gerangan Lo-enghiong yang bersemangat
gagah dan berwatak jujur ini? Dan bolehkah kiranya siauwte mengetahui pula
siapakah Siocia ini, murid ataukah puterinya?”
Ucapan Kam Liong terdengar
jujur dan tegas, seperti biasa ucapan seorang prajurit, dan Lo Sian memandang
kepada pemuda ini dengan mata gembira. Ia bisa menduga bahwa pemuda ini
memiliki kegagahan dan kejujuran hati.
Sebagaimana para pembaca tentu
masih ingat, Kam Liong ini adalah putera tunggal dari panglima besar Kam Hong
Sin. Kam Liong pernah bertemu dan mengukur kepandaian dengan Lie Siong pada
waktu Lie Siong menolong Lilani dan Kam Liong menjadi tamu dari keluarga
bangsawan Gui.
“Terima kasih atas
keramahanmu, Kam-ciangkun,” kata Lo Sian ramah, “kami hanyalah orang-orang
biasa, namaku Lo Sian dan dia ini adalah muridku bernama Sie Hong Li, puteri
dari pendekar Bodoh.”
“Suhu...!” Lili menegur
suhu-nya sebab ia tak suka dirinya diperkenalkan kepada seorang pemuda asing.
Akan tetapi Lo Sian
berpemandangan lain. Memang tidak ada gunanya memperkenalkan diri kepada orang
yang berwatak buruk, akan tetapi dia melihat pemuda ini sungguh pun mempunyai
kedudukan tinggi, akan tetapi peramah dan sopan, maka tidak ada salahnya
memperkenalkan diri mereka.
Mendengar nama Lo Sian, wajah
Kam Liong tidak berubah, akan tetapi saat mendengar bahwa gadis cantik jelita
itu adalah puteri Pendekar Bodoh, sikapnya langsung berubah sama sekali. Ia
menjadi makin menghormat dan cepat menjura kepada mereka berdua.
“Ahhh, tidak tahunya siauwte
berhadapan dengan puteri dari Sie Taihiap yang terkenal! Kalau begitu, kita
bukanlah orang luar! Ayahku, Kam Hong Sin sudah kenal baik dengan ayahmu, Nona.
Bolehkah aku bertanya, di mana sekarang tempat tinggal ayahmu yang terhormat?”
Terpaksa Lili menjawab, “Ayah
kini tinggal di kota Shaning.”
“Siauwte harap Lo-enghiong dan
Nona sudilah mampir di kota raja, siauwte akan merasa gembira dan terhormat
sekali dapat menjadi tuan rumah.”
“Terima kasih, Kam-ciangkun.
Maafkan kami tidak dapat pergi ke kota raja, karena kami hendak melanjutkan
perjalanan menuju ke kota Shaning,” jawab Lo Sian.
“Ahh, sayang sekali siauwte
tidak dapat mengawal Ji-wi (Anda berdua) ke Shaning, akan tetapi biarlah lain
kali siauwte mengunjungi Sie Taihiap untuk menghaturkan hormat.”
Maka berpisahlah mereka, Kam
Liong kembali ke kota raja sedangkan Lili dan Lo Sian melanjutkan perjalanan ke
kota Shaning. Di tengah perjalanan, Lo Sian berkata kepada Lili,
“Pemuda itu gagah dan baik
sekali. Aku percaya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.”
“Ayahnya memang berkepandaian
tinggi, Suhu. Teecu pernah mendengar dari Ayah dan Ibu bahwa Kam Hong Sin
adalah seorang panglima yang mempunyai ilmu silat tinggi dan dulu pernah
bertemu dengan kedua orang tuaku.”
Gadis ini sambil berjalan
kemudian menuturkan secara singkat kepada suhu-nya tentang pengalaman orang
tuanya pada waktu muda, pada saat bertemu dengan ayah panglima muda itu.....
Tiba-tiba terdengar bunyi
derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali dari arah belakang. Ketika tiba di
dekat mereka, seorang perwira tua yang menunggang kuda itu kemudian melompat
turun dan bertanya,
“Apakah kau yang bernama Lo
Sian?”
Lo Sian dan Lili menjadi heran
sekali.
“Betul,” jawab Lo Sian. “Ada
keperluan apakah kau mencariku?”
Perwira itu menyerahkan
sepucuk surat yang tertutup kepadanya sambil melirik ke arah Lili. “Aku telah
menerima perintah dari Kam-ciangkun agar supaya menyerahkan surat ini kepada
seorang nona yang berjalan bersama dengan orang tua yang bernama Lo Sian.
Kurasa kaulah Nona itu.”
Lili tidak mau menerima surat
itu, dan Lo Sian yang menerimanya. Setelah memberikan surat itu, perwira ini
cepat-cepat melompat ke atas kudanya kembali dan tanpa memberi kesempatan kedua
orang itu bicara, dia sudah membalapkan kudanya kembali. Memang begitulah
perintah komandannya, hanya menyampaikan surat lalu segera meninggalkan mereka
lagi.
“Kurang ajar sekali panglima
muda itu!” kata Lili dengan muka merah. “Apa maksudnya memberi surat kepadaku?
Aku tidak sudi membacanya!”
“Jangan terburu nafsu, Lili.
Tidak baik menuduh orang kalau belum melihat buktinya. Kau bacalah dahulu surat
ini, baru kemudian kita dapat melihat orang macam apakah adanya panglima muda
she Kam itu,” kata Lo Sian.
Dengan mulut cemberut dan muka
merah Lili membuka sampul surat itu dengan kasar dan membaca surat yang singkat
itu.
Nona Sie,
Aku pernah bertemu dengan
kakakmu dan karena dia menewaskan putera bangsawan, Gui Kongcu, kini dia
menjadi buruan pemerintah. Aku sebagai panglima tentu saja harus melakukan
tugas ini, sungguh pun aku bersimpati kepada kakakmu itu. Suruh dia supaya
berhati-hati apa bila bertemu dengan perwira-perwira kerajaan.
Yang tetap menghormat orang
tuamu,
Kam Liong
Setelah membaca surat ini,
berubahlah wajah Lili dan dia menjadi termenung. Perbuatan apakah yang telah
dilakukan oleh kakaknya? Yang dimaksud oleh Kam Liong ini tentulah Hong Beng,
akan tetapi mengapa ketika bertemu, Hong Beng tidak bercerita sesuatu tentang
pembunuhan seorang bernama Gui Kongcu?
“Surat apakah itu, Lili?”
Pertanyaan Lo Sian ini menyadarkan Lili dari lamunannya.
Ia tak menjawab, hanya
menyerahkan surat kepada bekas suhu-nya. Lo Sian membaca surat itu dan kemudian
berkata,
“Aku tidak tahu siapa adanya
kakakmu, akan tetapi dari bunyi surat ini saja dapat diambil kesimpulan bahwa
pemuda she Kam itu memang benar orang baik hati.”
Akan tetapi Lili tidak
menjawab karena ia masih merasa heran. Apakah perwira muda itu tidak membohong?
“Teecu sendiri tidak tahu
apakah isi surat ini tidak bohong, Suhu. Akan tetapi biarlah, kakakku Hong Beng
mana takut menghadapi ancaman dari para perwira kerajaan? Mari kita melanjutkan
perjalanan kita, Shaning tidak jauh lagi.”
Dua hari kemudian pada senja
hari mereka tiba di kota Lianing, hanya beberapa puluh li lagi dari kota
Shaning. Di luar kota Lianing ini, di luar barisan hutan pada lereng bukit
terdapat banyak kuil-kuil kuno yang sudah kosong, karena sudah banyak yang
rusak.
Pada siang hari banyak
pelancong datang untuk melihat-lihat kuil kuno ini dan sekaligus mengagumi seni
ukir serta sajak-sajak kuno yang banyak ditulis pada tembok kuil. Akan, tetapi
pada malam harinya, tempat ini amat sunyi, karena selain gelap juga nampaknya
angker menakutkan.
Akan tetapi Lo Sian lebih
menyukai tempat seperti ini untuk bermalam dari pada hotel yang ramai. Maka,
malam hari itu mereka kemudian bermalam di kuil ini untuk menanti lewatnya
malam dan untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.
Pada saat mereka menuju ke
kuil itu di waktu hari telah mulai menggelap tiba-tiba di luar hutan itu
berkelebat bayangan orang. Lili yang merasa curiga melihat gerakan bayangan
yang cepat ini, segera mengejar. Akan, tetapi ketika dia tiba di luar hutan,
bayangan itu sudah lenyap.
“Hemm, bayangan itu dari
gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang berilmu tinggi. Malam hari ini
kita harus berlaku hati-hati, Lili,” kata Lo Sian.
Akan tetapi gadis yang tabah
sekali ini hanya tersenyum dan sama sekali tidak merasa takut, sungguh pun
gerakan orang tadi juga membuat dia kagum.
Mereka memilih kuil yang
bersih di mana terdapat sebuah kamar. Lili memakai kamar ini sebagai tempat
bermalam dan ia merebahkan diri di atas sebuah pembaringan batu yang kasar. Ada
pun Lo Sian memilih ruang belakang kuil itu.
Agaknya kekuatiran Lo Sian
tidak terbukti, oleh karena sampai tengah malam tak terjadi sesuatu. Akan
tetapi, pada saat Lili dan Lo Sian sudah hampir pulas, tiba-tiba terdengar
suara perlahan dari atas genteng dan tahu-tahu bayangan hitam yang gerakannya
ringan sekali melayang turun di ruangan belakang di mana Lo Sian membaringkan
tubuhnya. Pada waktu itu, bulan telah muncul dan ruangan itu yang tidak
tertutup genteng, nampak agak terang oleh cahaya bulan yang dingin.
Pendengaran Lo Sian masih
sangat tajam dan begitu dia mendengar suara ini, lenyaplah kantuknya dan ia
segera bangun dan duduk memandang tajam.
Untuk sesaat bayangan itu tak
bergerak, tapi terdengar sedu sedan di kerongkongannya dan tiba-tiba saja
bayangan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata
perlahan, “Suhuuu..., ampunkan teecu yang tidak kenal budi…”
Tentu saja Lo Sian menjadi
terkejut dan heran sekali. Ia berdiri bengong untuk beberapa lamanya, kemudian
baru ia dapat berkata gagap,
“Eh, eh, nanti dulu. Kau
siapakah dan mengapa menyebut Suhu kepadaku? Aku Lo Sian tidak mempunyai murid
lain kecuali Lili yang mengaku sebagai muridku!” Sambil berkata demikian, ia
melangkah maju dan memandang wajah orang itu dengan penuh perhatian.
Orang itu adalah seorang
pemuda yang berwajah tampan, akan tetapi benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi
siapa gerangan yang datang mengaku guru kepadanya itu.
“Sudah sepatutnya Suhu tidak
sudi mengaku murid kepada teecu,” pemuda itu berkata dengan suara sedih sekali,
“teecu telah Suhu tolong dan lepaskan dari bahaya maut, lalu menerima budi Suhu
yang sangat besar. Akan tetapi teecu...,” kembali terdengar sedu sedan di
kerongkongan pemuda itu.
“Sabar dulu, orang muda. Bukan
aku tak sudi mengakui kau sebagai muridku, akan tetapi sesungguhnya aku tidak
kenal siapa kau ini.”
“Suhu, teecu adalah Kam Seng,
anak yang dulu pernah Suhu tolong di sebuah kelenteng dan kemudian menjadi
murid Suhu. Lupakah Suhu kepada teecu yang bodoh?”
Akan tetapi tentu saja Lo Sian
yang sudah kehilangan ingatannya itu tidak mengenalnya. Tiba-tiba saja
terdengar bentakan keras dan tubuh Lili berkelebat masuk dengan pedang
Liong-coan-kiam di tangan.
“Bangsat rendah, kau berani
datang ke sini?” Secepat kilat pedangnya menusuk ke arah tubuh Kam Seng yang
masih berlutut tidak bergerak itu!
Untung pada saat itu juga Lo
Sian bergerak maju dan mencegah sehingga terpaksa Lili menahan tusukannya. Akan
tetapi sebetulnya cegahan Lo Sian itu kurang perlu, karena pada saat itu tubuh
Kam Seng sudah mencelat ke arah pintu dan menghilang di dalam gelap. Hanya
terdengar suaranya dari luar,
“Aku tidak dapat melawanmu,
Lili, tidak dapat membencimu! Betapa pun benciku kepada ayahmu, aku tak dapat
memusuhimu, kau tahu akan hal ini...”
“Bangsat rendah, jangan lari!”
Lili membentak marah dan dia pun cepat melompat keluar hendak mengejar.
Akan tetapi di luar tidak
terlihat bayangan Kam Seng lagi. Diam-diam Lili merasa sangat penasaran dan
juga heran mengapa kini ginkang dari pemuda itu jauh lebih hebat dari pada
dahulu. Ketika dia kembali ke ruangan itu, terpaksa dia menuturkan kepada Lo
Sian tentang Song Kam Seng, putera dari Song Kun yang dulu tewas di tangan
ayahnya. Dia menuturkan pula betapa dulu Kam Seng telah ditolong oleh Lo Sian.
Pengemis Sakti ini menarik napas panjang dan berkata,
“Sayangnya dia menaruh hati
dendam terhadap ayahmu, Lili. Melihat betapa pemuda itu masih ingat kepadamu
dan tidak mau melupakan budi, dia terhitung seorang yang masih memiliki
pribudi.”
Lili tidak menjawab, akan
tetapi kepalanya terasa panas sekali kalau dia teringat betapa pemuda itu dulu
pernah menciumnya! Betapa pun juga, agaknya dia tidak akan sampai hati membunuh
Kam Seng, kalau diingat bahwa pemuda itu pernah pula membebaskan dirinya dari
kematian dan hinaan di dalam kuil Ban Sai Cinjin.
Memang pemuda itu adalah Song
Kam Seng yang kini sudah menjadi murid Wi Kong Siansu. Semenjak kekalahannya
terhadap Lili dan juga terhadap Lie Siong, pemuda ini merasa prihatin sekali.
Dia lalu mengajukan permohonan
kepada suhu-nya untuk menurunkan ilmu silat yang lebih tinggi dan bertekun
mempelajari segala macam ilmu silat dari Wi Kong Siansu. Tidak heran apa bila
ia mendapat kemajuan yang amat pesatnya.
Pada saat itu ia sedang mengikuti
suhu-nya melakukan perantauan, dan biar pun ia tidak berkata sesuatu, namun ia
merasa berdebar ketika mendengar bahwa suhu-nya hendak pergi ke Shaning mencari
Pendekar Bodoh! Ketika sampai di kota Lianing dan suhu-nya mengadakan pertemuan
dengan kawan-kawan lama, dia lalu berjalan-jalan seorang diri dan melihat Lili
dengan gurunya dalam kota itu.
Tentu saja dia menjadi
terkejut sekali dan hatinya terharu ketika dia melihat kedua orang itu.
Teringatlah dia ketika dulu Lili masih kecil bersama Lo Sian pula untuk
menolongnya dari ancaman pisau Hok Ti Hwesio di kuil dalam rimba milik Ban Sai
Cinjin.
Diam-diam dia mengikuti mereka
dan menahan nafsu hatinya untuk menjumpai suhu-nya itu. Dia kuatir kalau-kalau
Lili akan menyerangnya, maka menanti sampai tengah malam barulah dia masuk ke
dalam kuil menjumpai suhu-nya. Tak tahunya suhu-nya telah lupa sama sekali
kepadanya dan hampir saja dia menjadi korban pedang Lili!
Pada keesokan harinya, Lili
mengajak suhu-nya melanjutkan perjalanan mereka. Mereka mampir dulu di kota
Lianing untuk makan pagi. Ketika mereka memasuki sebuah rumah makan, tiba-tiba
saja wajah gadis itu berubah dan tak terasa pula dia memegang tangan suhu-nya.
Lo Sian juga menengok dan dia
melihat pemuda yang malam tadi mendatangi kuil telah duduk menghadap meja
bersama tiga orang lainnya. Kam Seng duduk bersama Wi Kong Siansu dan dua orang
lain, dua orang setengah tua yang nampak gagah. Yang seorang berhadapan dengan
Wi Kong Siansu dan memakai sebuah topi, dan sikapnya nampak sombong sekali.
Orang ke dua bertubuh pendek serta bermuka buruk bagaikan seekor monyet.
Song Kam Seng juga terkejut
sekali ketika melihat Lili dan Lo Sian memasuki rumah makan itu. Untuk sesaat
matanya bertemu dengan mata Lili dan pemuda itu kemudian mengerutkan keningnya
dengan hati penuh kekuatiran. Ia kuatir sekali kalau-kalau gadis itu akan
bentrok dengan Wi Kong Siansu, karena dia pun maklum bahwa kepandaian Lili
masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian gurunya.
Akan tetapi Lili yang tabah
sekali tidak mempedulikan Wi Kong Siansu, bahkan dengan tenangnya lalu mencari
meja yang masih kosong. Meja satu-satunya yang kosong adalah meja yang berada
dekat meja Wi Kong Siansu itu. Akan tetapi, dengan langkah tenang dan gagah
Lili mengajak suhu-nya duduk menghadapi meja itu!
Wi Kong Siansu seolah-olah
tidak mengetahui kedatangan nona yang pernah merasakan kelihaian totokannya. Ia
sedang bercakap-cakap dengan orang yang bertopi. Nampaknya mereka sedang
berdebat tentang sesuatu.
Orang bertopi itu adalah
seorang jago silat dari Shantung, seorang ahli gwakang yang mempunyai tenaga
gajah. Namanya Can Po Gan, dan orang yang bertubuh kecil dan bermuka buruk itu
adalah adiknya bernama Can Po Tin.
Sungguh pun dia kecil dan
buruk, akan tetapi kelirulah kalau orang memandang rendah kepadanya, karena
ilmu kepandaiannya bahkan lebih lihai dari pada kakaknya. Apa pula Can Po Tin
terkenal mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa sehingga di
kalangan kang-ouw dia diberi nama poyokan Si Belut! Secara kebetulan sekali, di
kota ini mereka bertemu dengan Wi Kong Siansu yang telah mereka kenal dan mereka
kagumi, maka mereka lalu bercakap-cakap dengan asyiknya di restoran itu.
Biar pun matanya tidak
memandang ke arah meja di mana Wi Kong Siansu, Song Kam Seng, dan kedua orang
sudara Can itu bercakap-cakap, akan tetapi Lili tertarik juga akan percakapan
mereka dan mendengarkan sambil minum air teh yang tadi dipesannya dari pelayan.
Ketika Lo Sian memandang
kepadanya dengan mata bertanya, Lili segera mencelupkan telunjuknya ke dalam
cawan tehnya, dan menggunakan jari telunjuk yang basah itu untuk menulis
huruf-huruf di atas meja agar Lo Sian dapat membacanya. Ia menulis nama Wi Kong
Siansu.
Lo Sian terkejut membaca nama
ini karena telah beberapa kali Lili bercerita kepadanya mengenai tosu ini yang
sangat tinggi kepandaiannya dan yang diakui oleh Lili bahwa dia pernah roboh
oleh totokan tosu itu! Juga Lili pernah menceritakan bahwa Wi Kong Siansu ini
adalah suheng dari Ban Sai Cinjin yang terkenal jahat. Diam-diam Lo Sian juga
turut memperhatikan orang-orang itu dan mendengarkan percakapan mereka.
“Wi Kong Totiang tadi berkata
benar, Twako,” terdengar Si Kecil Buruk berkata kepada kakaknya yang mukanya
nampak tidak percaya. “Betapa pun besarnya tenaga gwakang, akan celakalah kalau
menghadapi seorang ahli lweekeh, karena tenaga kasar itu hanya akan terbuang
sia-sia.”
“Betapa pun juga sukar untuk
dapat dipercaya!” bantah Can Po Gan sambil memandang pada Wi Kong Siansu. “Aku
lebih percaya bahwa tingkat kepandaian seseoranglah yang menentukan kemenangan.
Tentu saja, kalau misalnya aku menghadapi Wi Kong Totiang yang tingkatnya lebih
tinggi dariku, aku pasti akan kalah, tidak peduli Wi Kong Totiang mempergunakan
gwakang mau pun lweekang. Akan tetapi kalau aku menghadapi orang setingkat,
biar pun dia ahli lweekeh, agaknya belum tentu aku akan kalah!”
Adiknya, Tan Po Tin tertawa
hingga Lili merasa bulu tengkuknya meremang mendengar suara ketawa yang tinggi
kecil seperti suara ketawa seorang perempuan itu. Orang yang suara bicaranya
demikian parau dan besar bagaimana bisa tertawa seperti itu?
“Twako, kau tidak tahu. Kalau
kau menghadapi orang yang ilmu kepandaian dan tenaga lweekang-nya seperti
Pendekar Bodoh, tenagamu yang besar takkan ada gunanya lagi.”
Marahlah Can Po Gan mendengar
ini.
“Hemm, ingin sekali aku
mencoba tenaga lweekang dari Pendekar Bodoh yang banyak didengung-dengungkan
orang itu! Hendak kulihat apakah tenaganya ada selaksa kati!”
Wi Kong Siansu tersenyum.
“Harapanmu akan terkabul, Can-sicu. Akan tetapi sebelum kau bertemu dengan dia,
lebih baik kau berhati-hati dan jangan terlampau mengandalkan tenagamu. Dengan
ilmu silat Hui-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Pukulan Harimau Terbang) agaknya kau
masih akan mampu menghadapinya, akan tetapi kalau kau mengandalkan tenagamu,
jelas kau sudah keliru. Ketahuilah bahwa di antara ahli-ahli lweekeh ada yang
menyatakan bahwa tenaga gwakang amat lemahnya sehingga tidak dapat menarik
putus sehelai rambut. Dan kata-kata ini memang ada betulnya!”
“Totiang, mengapa kau pun
memandang amat rendahnya kepada tenaga orang? Hendak kusaksikan sendiri
kebenaran kata-kata sombong ini.” Kini Can Po Gan yang berangasan menjadi marah
dan penasaran sekali.
“Kau ingin bukti? Nah, mari
kita buktikan supaya dapat menambah pengalaman dan kau bisa bertindak
hati-hati,” jawab Wi Kong Siansu yang segera mencabut sehelai rambut jenggotnya
yang panjang. Ia memegang rambut itu pada ujungnya dan berkata,
“Can-sicu, coba kau tarik
rambut ini dan kita sama-sama lihat apakah kau dapat menarik putus rambut ini!”
Can Po Gan tertawa keras dan
ia segera menjepit ujung rambut itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
“Awas, Totiang, sekali tarik
saja, akan putuslah rambut ini,” katanya dan ia mengerahkan tenaganya menarik.
Akan tetapi sungguh heran!
Ketika ditarik, rambut itu tidak menjadi putus, hanya mulur sedikit. Ia lalu
menambah tenaganya dan tahu-tahu rambut yang terjepit di antara kedua jarinya
itu terlepas, akan tetapi tidak putus!
Kembali terdengar suara ketawa
yang kecil aneh dari Can Po Tin.
“Ingat, Twako. Rambut itu
mempunyai tenaga lemas, apa lagi berada di dalam tangan Wi Kong Tosu! Mana kau
bisa memutuskannya?”
“Rambut itu terlalu licin!”
kata Can Po Gan penasaran. “Kalau tidak terlepas, tentu aku akan dapat
memutuskannya!”
“Boleh kau coba sekali lagi,
Can-sicu,” kata Wi Kong Siansu.
Kembali Can Po Gan memegang
ujung rambut itu dan mulai menariknya. Rambut itu menegang sehingga menjadi
makin kecil.
Lili yang tadi mendengar nama
ayahnya disebut-sebut, menjadi mendongkol sekali. Dia maklum bahwa Wi Kong
Siansu pasti telah melihatnya, karena mustahil seorang memiliki kepandaian
tinggi seperti tosu itu tidak melihatnya yang duduk demikian dekat.
Melihat betapa tosu itu tidak
pernah mempedulikannya, bahkan berani bercakap-cakap membicarakan ayahnya,
tanda bahwa pendeta itu tidak memandang mata kepadanya, membuat gadis ini marah
sekali. Dia tidak merasa takut sedikit pun juga, meski pun dia maklum akan
kelihaian Wi Kong Siansu.
Melihat pertapa itu bersama
orang bertopi itu kembali akan mendemonstrasikan tenaga lweekang dan gwakang,
Lili lantas mengambil sebuah uang mas dari saku bajunya dan memegang uang itu
di antara jari-jari tangan kirinya. Ia menanti dan melihat ke arah Wi Kong
Siansu yang masih saja mengadu tenaga melalui rambut itu dengan Can Po Gan.
Setelah dilihatnya bahwa rambut itu telah menjadi tegang dan kecil akan tetapi
tetap saja tidak dapat putus, tiba-tiba Lili lalu menggunakan jari tangannya
menyentil uang emas di tangannya itu.
“Tingg...!” Nyaring sekali
suara ini saat uang emas itu terkena sentilannya dan terlempar ke udara.
“Ahh...!” Wi Kong Siansu dan
Can Po Gan berseru kaget karena ketika terdengar suara yang nyaring itu, rambut
yang mereka tarik telah putus dengan tiba-tiba sekali.
Tadinya Can Po Gan mengira
bahwa dia sudah menang dalam pertandingan ini. Akan tetapi dia merasa heran
sekali ketika melihat Wi Kong Siansu dan adiknya, Can Po Tin, tidak memandang
kepadanya dengan kagum, sebaliknya menengok dan memandang ke arah meja di
sebelah kirinya dan anehnya, pandang mata Wi Kong Siansu nampak amat marah.
Dia pun segera menengok dan
baru kali ini Can Po Gan melihat wajah Lo Sian yang kebetulan juga sedang
memandang kepadanya.
“Sin-kai Lo Sian!” Can Po Gan
berseru ketika dia melihat dan mengenal kakek pengemis ini. Akan tetapi tentu
saja Lo Sian tidak mengenalnya dan mendengar namanya disebut, ia memandang
dengan tajam.
Sementara itu, Wi Kong Siansu
telah bangkit berdiri dan berkata kepada Lili,
“Hemm, puteri Pendekar Bodoh,
engkau sungguh lancang dan jail seperti ayahmu! Akan tetapi aku harus
menyatakan kagum atas ketabahan hatimu. Apakah kau masih belum mengaku kalah
terhadapku?”
Lili tetap duduk di bangkunya
saat dia menjawab dengan suara dingin, “Wi Kong Siansu, menang dan menang
merupakan dua macam hal yang jauh berlainan! Menang dengan mutlak adalah
kemenangan yang dicapai dengan cara jujur dan berterang. Tapi ada pula
kemenangan yang dicapai dengan kecurangan dan dengan jalan pengeroyokan. Dahulu
kemenanganmu terhadap aku adalah kemenangan yang kedua ini. Siapa mau mengaku
kalah terhadap kau? Seperti juga tadi, kau katakan rambut jenggotmu itu tak
dapat putus, bukankah dengan suara uang emasku saja sudah dapat terputus?
Apakah hal ini boleh dianggap kau telah kalah pula terhadapku?”
“Bocah bermulut lincah! Apakah
kau datang ini sengaja hendak memancing pertempuran dengan pinto?” Wi Kong Siansu
bertanya penasaran.
“Tidak ada yang memancing
pertempuran. Aku masuk ke dalam rumah makan umum untuk makan, apa salahnya dan
siapa berhak melarangku?”
“Akan tetapi, mengapa tadi kau
berlancang tangan memutuskan rambutku dengan suara uangmu?” Wi Kong Siansu
makin penasaran.
“Siapa pula menyuruh kalian
membawa-bawa nama ayahku dalam percakapan kalian?” balas Lili.
Tiba-tiba Wi Kong Siansu
tertawa bergelak. “Betul pandai! Aku mengaku kalah berdebat dengan engkau.
Bagus, tolong kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa kalau dia berani, aku
mengundangnya untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kelak pada musim semi
tahun depan di puncak Thian-san! Jika dia tidak datang, akan kuanggap bahwa
Pendekar Bodoh hanya namanya saja yang besar, akan tetapi nyalinya kecil!”
“Siapa takut kepadamu?” kata
Lili marah. “Jangan kata Ayah, aku sendiri pun tidak takut dan akan datang pada
waktu itu!”
Wi Kong Siansu duduk kembali,
tidak mau mempedulikan lagi kepada Lili. Akan tetapi, kedua saudara Can itu
memandang dengan hati penuh penasaran. Bagaimana seorang tokoh besar seperti Wi
Kong Siansu dapat bercakap-cakap dengan seorang gadis muda seakan-akan bicara
dengan orang yang sama tinggi kedudukannya dalam kepandaian silat?
Pula, Can Po Gan yang
mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, dan bahwa putusnya
rambut tadi adalah disebabkan oleh gadis itu yang membunyikan uang emas dengan
nyaringnya, dia menjadi amat penasaran. Ia memandang dengan senyum mengejek dan
berkata,
“Jadi inikah puteri Pendekar
Bodoh? Ehhh, Nona, kau duduk semeja dengan Sin-kai Lo Sian, apamukah dia?”
tanya Can Po Gan dengan kasar dan menyeringai.
“Dia adalah Suhu-ku, kau mau
apa tanya-tanya?” Lili yang memiliki hati tabah itu balas bertanya dengan
kasar.
Tidak saja kedua saudara Can
itu yang terheran, bahkan Wi Kong Siansu juga tertegun mendengar ucapan ini. Ia
juga pernah melihat Lo Sian dan sudah mendengar pula akan kepandaian Pengemis
Sakti ini, akan tetapi apa bila dibandingkan dengan kepandaian gadis puteri
Pendekar Bodoh itu, Si Pengemis Sakti akan kalah jauh!
Hanya Kam Seng seorang yang
menundukkan mukanya, diam-diam dia mengagumi Lili yang masih terus mengaku guru
kepada Lo Sian meski pun gadis itu kini telah memiliki kepandaian yang jauh
lebih tinggi dari pada Lo Sian!
Terdengar suara ketawa yang
menyeramkan dari Can Po Tin ketika dia mendengar ini. “Sin-kai Lo Sian,
benar-benarkah Nona ini muridmu? Dan muridmu sudah berani berlaku kurang ajar
terhadap Wi Kong Siansu, kau diamkan saja? Alangkah kurang ajar dan tak tahu
adat kau ini!”
Akan tetapi dengan tenang Lo
Sian menjawab dengan suaranya yang dalam, “Kalian ini siapakah? Aku tidak kenal
dengan Ji-wi (Tuan Berdua), akan tetapi mengapa Jiwi hendak menggangguku?”
Mendengar jawaban ini, kedua
saudara Can itu melengak. Akhirnya Can Po Gan yang berangasan itu lalu bangkit
berdiri dan dengan langkah lebar ia menghampiri Lo Sian.
“Pengemis jembel! Kau
pura-pura tidak mengenal kami? Dulu kami pernah mengampuni jiwa anjingmu dan
sekarang kau masih berani berlaku demikian kurang ajar dan tidak memandang
mata? Agaknya kau minta dihajar lagi!”
Sambil berkata demikian,
tangan kanan orang berangasan ini melayang dari atas dan memukul lengan tangan
Lo Sian yang diletakkan di atas meja. Lo Sian cepat menarik lengannya dan…
“Brakk!”
Kepalan tangan Can Po Gan yang
keras itu bagaikan palu baja menimpa meja sehingga tembus! Cawan air teh di
depan Lili melayang ke atas dengan cepat karena getaran meja itu sehingga kalau
tidak cepat-cepat Lili menangkapnya, tentu isinya akan tumpah. Gadis ini menjadi
marah sekali dan cepat dia berdiri, sementara itu Lo Sian sudah melompat ke
belakang untuk menghindarkan diri dari serangan selanjutnya.
“Buaya darat!” Lili memaki
sambil memandang dengan mata berapi. “Kepandaian macam itu saja kau pamerkan di
sini? Apakah kau tukang jual obat kuat?”
Can Po Gan memandang kepada
Lili dengan senyum mengejek menghias pada bibirnya yang tebal. “Apa kau tidak
takut melihat tanganku ini?” Ia mengacungkan kepalan tangan kanannya yang kini
menjadi kemerah-merahan.
Melihat cahaya merah yang
menjalar di sepanjang lengan tangan yang sangat besar itu, diam-diam Lili
terkejut dan mengetahui bahwa lengan tangan itu mempunyai kekuatan Ang-see-jiu
yang berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan ia lalu membuka telapak
tangannya, mengulurkan ke depan dan berkata,
“Siapa sih takut kepada lengan
tangan kasar berbulu macam itu? Gunanya paling banyak hanya untuk memukul meja
atau menakut-nakuti orang.”
“Bocah bermulut lancang!
Kepalamu pun akan tertembus terkena pukulanku,” kata Can Po Gan.
Lili tersenyum dingin.
“Begitukah? Coba kau tembuskan telapak tanganku ini, kalau dapat membuat aku
merasa sakit, aku mau berlutut di hadapan kakimu dan mengangkat kau sebagai
Sucouw (Kakek Guru)!”
“Kau menantang?!”
“Beranikah kau memukul tanganku?”
“Siapa takut? Awas,
kuhancurkan tanganmu yang kecil halus!” Setelah berkata demikian, Can Po Gan
langsung melakukan pukulan keras ke arah telapak tangan Lili yang sejak tadi
diperlihatkan kepadanya.
Tanpa dapat terlihat oleh
orang lain, karena gerakannya sangat cepat, tangan gadis itu lalu bergeser
sedikit dan jari telunjuknya menyentil dengan cepat dan keras ketika lengan
tangan lawannya itu meluncur lewat menyerempet telapak tangannya.
“Aduhh...!”
Can Po Gan menarik kembali
lengannya, akan tetapi ia tak dapat menggerakkan lengan tangan kirinya yang
kini telah menjadi kaku seperti sepotong kayu itu!
Ternyata ketika tadi dia
memukul, dari gerakan anginnya saja Lili sudah dapat mengelak sedikit tanpa
menggerakkan lengan, hanya menggerakkan pergelangan tangannya, lalu dia sudah
melakukan sentilan jari telunjuk untuk menotok jalan darah pada pergelangan
siku lawannya!
“Jangan kau main-main terhadap
gadis itu Sicu!” kata Wi Kong Siansu yang kini sudah melangkah maju.
Dengan beberapa kali urutan
serta tepukan, totokan itu dapat dibebaskan dari lengan tangan Can Po Gan. Akan
tetapi Can Po Gan dan Can Po Tin sudah menjadi marah sekali dan mereka lalu
mencabut golok masing-masing, siap maju menggempur Lili.
Akan tetapi, sambil
mengeluarkan seruan nyaring, tubuh Lili mencelat ke atas meja dan sekarang ia
telah berdiri di atas meja dengan tangan memegang sebatang pedang yang
berkilauan saking tajamnya, yakni pedang Liong-coan-kiam!
“Kalian mau mencari mampus?
Boleh, boleh, majulah!” tantangnya dengan sikap gagah sekali.
Melihat ini, kedua saudara Can
itu menjadi gentar juga. Sesungguhnya, kekalahan Can Po Gan tadi bukan karena
ilmu kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian Lili, akan tetapi terjadi
oleh karena kurang hati-hatinya dan kesembronoannya, juga karena tadinya dia
memandang rendah. Sekarang melihat ketabahan dan kekerasan gadis itu, apa lagi
mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh, setidaknya mereka
menjadi ragu-ragu. Wi Kong Siansu lalu maju pula dan mencegah mereka.
“Ji-wi Can-sicu, tak perlu
membikin ribut di sini. Kelak saja pada permulaan musim semi tahun depan, kita
mempunyai kesempatan banyak untuk mengadu tenaga dengan Nona ini.”
“Baiklah, kami akan menanti
datangnya saat itu dengan hati tidak sabar,” kata Can Po Gan sambil duduk
kembali dan menyimpan senjatanya.
Ada pun Lili pada saat melihat
sikap lawannya ini, juga tidak mau mendesak lebih lanjut, karena gadis ini
bukan tidak tahu bahwa kalau sampai terjadi pertempuran dan Wi Kong Siansu
turun tangan, sukar sekali bagi dia dan suhu-nya untuk mencapai kemenangan.
Lili melompat turun, menyimpan
pedangnya dan memberi ganti kerugian kepada pelayan restoran, kemudian ia
mengajak suhu-nya untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu, karena kini dia
menjadi perhatian semua orang yang tadi menyaksikan peristiwa itu.
“Jangan lupa sampaikan
undanganku kepada ayahmu!” Wi Kong Siansu masih berseru keras ketika Lili dan
Lo Sian sudah tiba di luar restoran.
Gadis itu tak menjawab karena
ia merasa mendongkol sekali. Terang-terangan ayahnya ditantang oleh tosu itu
dan dia merasa penasaran sekali tidak dapat menghadapi tosu itu sekarang juga!
Ketika tiba di Shaning dan
memasuki rumah keluarga Sie, Lo Sian disambut oleh Cin Hai dan Lin Lin dengan
penuh penghormatan. Kedua suami-isteri pendekar ini merasa amat berterima kasih
kepada Lo Sian dan mereka menyambutnya sebagai seorang penolong besar.
Sebaliknya Lo Sian merasa amat
canggung dan juga kagum, melihat sepasang suami isteri yang namanya sudah
terkenal di seluruh penjuru bumi Tiongkok, akan tetapi yang ternyata bersikap
ramah tamah dan sederhana, juga suami-isteri itu sangat tampan dan cantik.
Pada waktu mendengar penuturan
Lili mengenai keadaan Lo Sian, Cin Hai dan Lin Lin mengerutkan keningnya. Apa
lagi kelika mereka mendengar bahwa Lo Sian merasa pasti akan kematian Lie Kong
Sian, kedua orang ini menjadi amat berduka.
“Apakah kau tidak dapat
mengingat di mana dan bagaimana cara Lie-suheng menemui kematiannya?” tanya Cin
Hai.
Akan tetapi Lo Sian menggeleng
kepalanya. “Menyesal sekali, Taihiap. Ingatanku sudah lenyap sama sekali, dan
aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku bisa berhal seperti ini. Sudah kucoba
untuk mengerahkan seluruh ingatan, namun hasilnya nihil belaka. Hanya dapat
kurasakan dan agaknya sudah terukir dalam-dalam di hatiku bahwa Lie Kong Sian
Taihiap sudah tewas, entah dengan cara bagaimana dan di mana, tapi yang sudah
pasti menurut perasaan hatiku, tewas dalam cara yang amat mengerikan!”
“Suhu sudah lupa segala macam
peristiwa yang lalu, Ayah. Bahkan nama sendiri pun dia telah lupa. Akan tetapi
pada waktu aku menjumpai Suhu dalam keadaan lupa ingatan dan rusak pikiran,
Suhu berseru-seru ketakutan dan mengucapkan kata-kata 'pemakan jantung', entah
apa yang dimaksudkan.”
Mendengar kata-kata ini, wajah
Lo Sian berubah agak pucat dan dia menghela napas berkali-kali. “Ucapan ini
sudah sering kali membuatku tak dapat tidur. Aku sendiri merasa bahwa dalam
ucapan ini terkandung hal yang amat hebat, akan tetapi sayang sekali, aku tak
dapat mengingatnya lagi.”
Cin Hai dan Lin Lin merasa
sangat kasihan melihat keadaan penolong puterinya ini dan tahu bahwa orang ini
perlu beristirahat dan mendapatkan hiburan. Maka ia merasa girang sekali
mendengar keinginan Lili untuk menahan suhu-nya tinggal di situ.
Mereka menyatakan persetujuan
mereka, bahkan mereka setengah memaksa Lo Sian untuk tinggal di sana, sehingga
lenyaplah keraguan dan kesungkanan dari hati Lo Sian. Semenjak saat itu, dia
tinggal bersama Pendekar Bodoh dan menempati kamar bekas tempat tinggal Yousuf
yang masih dibiarkan kosong.
Ketika Cin Hai dan isterinya
mendengar penuturan Lili mengenai Wi Kong Siansu yang menantang mereka untuk
mengadu kepandaian di puncak Thian-san pada musim semi tahun depan, Cin Hai
hanya tersenyum saja dan berkata tenang,
“Wi Kong Siansu seperti anak
kecil saja. Betapa pun juga, undangan macam ini tak boleh tidak harus disambut
dengan gembira.”
Sebaliknya, Lin Lin berkata
dengan muka merah, “Pendeta sombong! Kalau memang dia merasa penasaran dan
hendak mencoba kepandaian, mengapa dia tidak terus datang saja sekarang? Siapa
yang takut menghadapinya?”
Mendengar percakapan
suami-isteri ini, Lo Sian menjadi kagum sekali. Sikap Pendekar Bodoh demikian
tenang dan tabah sebagaimana layaknya sikap seorang pendekar besar yang telah
luas sekali pengetahuannya. Dan sikap Lin Lin demikian gagahnya, sehingga
mengingatkan Lo Sian kepada watak Lili.
“Menurut pendapatku yang
bodoh, orang yang mengundang pibu dengan menyebutkan waktu dan tempat tertentu
harus dihadapi dengan hati-hati. Kalau Wi Kong Siansu telah menetapkan waktu
tahun depan dan mengambil tempat di puncak Thian-san, tentulah dia telah
merencanakan hal ini dengan semasak-masaknya dan takkan mengherankan apa bila
Taihiap kelak tak hanya akan bertemu dengan dia seorang saja, akan tetapi dengan
orang-orang lain yang lihai.”
Cin Hai mengangguk-angguk, ada
pun Lin Lin segera berkata dengan wajah berseri-seri, “Lo-twako, mendengar
bicaramu aku jadi teringat kepada mendiang ayah angkatku! Kau sama benar dengan
ayah, hati-hati dan jauh pandangan.”
Sebentar saja Lo Sian merasa
cocok dan suka sekali dengan sepasang pendekar besar itu yang menyebutnya twako
(kakak tertua), sedangkan Lili lalu menyebut dirinya twa-pek (uwa)…..
********************
Sesudah selama sepekan bersama
Goat Lan menjaga di Istana Pengemis untuk menanti kalau-kalau pihak Coa-tung
Kai-pang datang membikin pembalasan, dan ternyata tidak terjadi sesuatu, maka
Hong Beng kemudian minta diri dari kelima saudara Hek. Bersama dengan
tunangannya dia lalu berangkat menyusul Lili ke kota Kiciu, tempat tinggal
Thian Kek Hwesio, ahli pengobatan di kuil Siauw-lim-si itu.
Thian Kek Hwesio menerima
mereka dengan girang sebab memang sudah lama ia kenal dan mengagumi Goat Lan,
murid tersayang dari sahabat baiknya, Sin Kong Tianglo. Ia merasa makin gembira
ketika mendengar betapa Goat Lan sudah berhasil mendapatkan To-hio-giok-ko obat
satu-satunya untuk penyakit putera kaisar.
Pada waktu Goat Lan menyatakan
terus terang bahwa ia hendak ke Tiang-an dulu untuk mengambil kitab Thian-te
Ban-yo Pit-kip untuk mempelajari cara mempergunakan dua macam obat itu, Thian
Kek Hwesio segera berkata,
“Tidak usah, Nona. Tidak perlu
kau membuang waktu untuk mengambil jalan memutar. Penyakit putera kaisar sudah
payah sekali dan kalau kau tidak cepat-cepat pergi ke kota raja dan segera
mengobatinya, mungkin kau akan terlambat dan pengharapan mendiang sahabat
baikku akan sia-sia belaka.”
Terkejut Goat Lan ketika dia
mendengar ucapan ini. “Habis bagaimana baiknya, Losuhu? Aku tidak tahu apa
macamnya penyakit yang diderita oleh Pangeran Muda itu dan tidak tahu cara
bagaimana harus mempergunakan obat yang langka ini.”
“Jangan kuatir, pinceng pernah
mendengar keterangan dari sabahat baikku gurumu itu. Baiklah kubentangkan
sedikit agar supaya lebih jelas bagimu. Penyakit yang diderita oleh Pangeran
Mahkota ini adalah semacam penyakit di dalam usus besar. Menurut gurumu, usus
besar itu terluka hebat dan di sana terdapat bisul yang sudah pecah dan menjadi
semacam luka yang makin lama makin menghebat. Oleh karena itulah, maka Pangeran
Muda itu selalu mengeluarkan kotoran darah dan tubuhnya lemas, perutnya terasa
sakit. Bila mana kau sudah menghadap Hong-siang (Kaisar) dan Hong-houw
(Permaisuri) dan dibawa ke tempat si sakit, terlebih dahulu kau harus
memberinya sebuah Giok-ko (Buah Mutiara) untuk dimakan mentah-mentah. Khasiat
Giok-ko ini untuk membersihkan darah sehingga daya penolak luka di dalam itu
akan menjadi kuat. Kemudian, To-bio (Daun Golok) itu boleh kau rebus dengan air
sampai airnya tinggal satu bagian, lalu berikan untuk diminum. Daun ini sarinya
manjur sekali untuk mengeringkan lukanya. Setelah tiga hari berturut-turut kau
memberi obat To-hio-giok-ko kepada Pangeran, selanjutnya dapat kau lakukan
pengobatan dengan obat-obat penguat tubuh serta pembersih darah seperti biasa,
bahkan sangat baik kalau kau mempergunakan juga tiam-hoat (ilmu totok) untuk
melancarkan jalan darah!”
Setelah mendapat keterangan
demikian, Goat Lan lalu minta diri untuk segera menuju ke kota raja. Kepada
Hong Beng ia berkata setelah keluar dari kuil itu.
“Koko, kau dengar sendiri
bahwa aku harus segera ke kota raja untuk mengobati putera Kaisar, demi menjaga
dan menjunjung nama baik dan kehormatan mendiang Suhu Sin Kong Tianglo. Apakah
kau hendak menyusul Lili, ataukah...?”
Goat Lan tak dapat melanjutkan
kata-katanya karena sesungguhnya hatinya masih ingin sekali melakukan
perjalanan dengan tunangan yang gagah berani dan tampan ini. Tentu saja sebagai
seorang gadis yang sopan dan tinggi hati, ia tidak dapat menyatakan suara
hatinya.
Seperti halnya Goat Lan, meski
pun dia seorang laki-laki namun Hong Beng juga masih sungkan dan malu-malu. Dia
pun tak pandai menyatakan perasaan hati melalui bibirnya, maka dengan muka
merah ia menjawab,
“Lan-moi, sebetulnya aku pun
ingin sekali ke kota raja, dan... dan aku kuatir kalau-kalau para tokoh
kang-ouw yang merasa iri hati terhadap mendiang suhu-mu, akan datang lalu
mengganggu dan menghalangimu mengobati putera Kaisar.”
“Aku pun berpikir demikian,
Koko. Bukan tak mungkin sekarang sudah ada banyak yang mengincar
gerak-gerikku.”
“Biarlah aku mengawanimu
sampai selesai tugasmu ini, Moi-moi, tetapi... kalau kau tidak keberatan.”
“Mengapa keberatan?” Goat Lan
memandang kepada tunangannya yang kebetulan juga menatap wajahnya.
Dua pasang mata kembali bertemu
untuk kesekian kalinya dan keduanya menundukkan muka dengan wajah merah dan
bibir tersenyum. Pada saat seperti itu tak perlu kata-kata lagi. Mereka sudah
saling mendengar seribu satu ucapan yang keluar dari hati masing-masing.
“Hayo kita berangkat!”
Akhirnya Hong Beng memecahkan kesunyian yang menekan dan membuat mereka merasa
canggung. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke kota raja.
Memang kekuatiran kedua orang
muda ini betul-betul terjadi. Di dalam kota raja terdapat komplotan yang sudah
siap sedia menghalangi semua usaha mengobati Pangeran yang sedang rebah
menderita sakit yang amat berat. Mereka ini dikepalai oleh seorang selir kaisar
yang juga mempunyai putera dan yang mengharapkan agar puteranya kelak yang
menggantikan kedudukan kaisar apa bila pangeran itu meninggal dunia karena
sakitnya.
Selir kaisar inilah yang
mengharapkan kematian putera Kaisar. Ia telah mempercayakan pelaksanaan semua
urusan ini kepada seorang pembesar tinggi yang kini menjadi kepala pengawal
istana dan bernama Bu Kwan Ji, yang sesungguhnya sudah lama mempunyai hubungan
gelap dengan selir kaisar itu!
Bu Kwan Ji adalah seorang yang
pandai ilmu silat, termasuk perwira kelas satu di kota raja, dan mempunyai
banyak kawan sepaham terdiri dari para perwira bayangkari yang tinggi ilmu
silatnya. Para kawan-kawannya pun maklum akan keadaan Bu Kwan Ji yang dikasihi
oleh Kaisar dan selirnya, dan bahwa Bu Kwan Ji mempunyai banyak harapan bagus
di masa depan. Maka tentu saja mereka suka membantu supaya kelak ikut pula
merasakan kesenangan.
Rombongan pengkhianat ini lalu
minta bantuan pula dari tiga orang tabib yang paling terkenal di kota raja.
Mereka mengadakan hubungan dan Bu Kwan Ji menjanjikan upah besar dan pembagian
keuntungan apa bila kelak ia dapat menduduki kursi tinggi.
Memang harta benda dan pangkat
dapat memabukkan manusia dan dapat membutakan mata batin manusia. Tiga orang
tabib itu bukanlah orang sembarangan, bahkan ilmu silat dan ilmu pengobatan
mereka sudah amat terkenal di kalangan kang-ouw.
Yang seorang bernama Ang Lok
Cu, seorang pendeta dan pertapa yang terkenal dari Bukit Kun-lun-san. Orang ke
dua dan ke tiga adalah dua orang hwesio gundul, kakak beradik seperguruan yang
tinggi ilmu silat serta ilmu pengobatan mereka. Mereka ini bernama Cu Tong
Hwesio dan Cu Siang Hwesio.
Kedua orang hwesio ini dahulu
pernah belajar ilmu pengobatan dari Thian Kek Hwesio. Akan tetapi setelah dapat
menduga bahwa dua orang hwesio ini bukanlah orang-orang yang berhati teguh dan
suci, Thian Kek Hwesio menghentikan pelajaran mereka. Ada pun Ang Lok Cu adalah
murid dari seorang tosu perantau yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.
Tadinya, tiga orang pendeta
ini datang ke kota raja untuk mencoba kepandaian mereka mengobati putera
Kaisar, akan tetapi mereka tak berhasil. Kemudian mereka mendengar tentang
kesanggupan Sin Kong Tianglo, maka mereka lalu menjadi iri hati dan bersama
beberapa orang tokoh kang-ouw mereka menjumpai Sin Kong Tianglo dan
memperolok-olokannya dan memanaskan hati Sin Kong Tianglo hingga kakek sakti
ini pergi mencari obatnya dan akhirnya menjumpai kematian di daerah dingin itu.
Ketika Bu Kwan Ji mendengar
tentang kekecewaan dan iri hati dari tiga orang pendeta ini, maka dia lalu
datang menghubunginya dan kini ketiga orang pendeta ini menerima tugas untuk
mencegah pengobatan untuk putera Kaisar ini. Melalui selir Kaisar, Bu Kwan Ji
berhasil membuat Kaisar mengangkat ketiga orang pendeta itu menjadi tabib-tabib
penjaga putera Kaisar, dan mereka inilah yang berhak memeriksa obat-obat yang
akan diminumkan kepada yang sakit.
Dengan demikian, maka bukanlah
tugas yang ringan bagi Goat Lan untuk mengobati putera Kaisar itu, karena
menghadapi segerombolan serigala kejam tanpa diketahuinya lebih dulu di mana
serigala-serigala itu bersembunyi. Baiknya dia dan Hong Beng sudah dapat
menduga terlebih dulu bahwa tugasnya ini tentu akan mengalami halangan pihak
yang memusuhinya.
Halangan pertama dijumpai oleh
Goat Lan dan Hong Beng pada saat mereka telah tiba di kota raja dan hendak
menghadap Kaisar. Yang menerima adalah kepala bayangkari yang juga telah
menjadi kaki tangan Bu Kwan Ji, maka tidak mudah bagi kedua orang muda ini
untuk menghadap Hong-siang (Kaisar). Mereka lalu dibawa masuk ke dalam sebuah
kantor besar di mana duduk Bu Kwan Ji yang memeriksa mereka.
“Kalian ini dari manakah dan
dari siapakah kalian membawa obat untuk putera Kaisar?” tanya Bu Kwan Ji dengan
pandangan mata tajam.
Mendengar pertanyaan yang
kasar ini, Goat Lan mengerutkan keningnya. Akan tetapi Hong Beng yang tahu akan
kekerasan hati Goat Lan, mewakili tunangannya menjawab,
“Kami mewakili Yok-ong (Raja
Obat) Sin Kong Tianglo dan membawa obat penyembuh penyakit Pangeran. Harap saja
Ciangkun sudi membawa kami untuk menghadap kepada Hong-siang atau langsung
membawa kami kepada yang sakit agar supaya pengobatan tidak terlambat.”
“Mudah saja kau bicara hendak
mengobati Pangeran!” tiba-tiba Bu Kwan Ji membentak marah. “Aku telah bosan
mendengar ocehan segala macam tukang obat. Sudah ratusan ahli pengobatan yang
tua-tua dan berpengalaman tidak berhasil menyembuhkan Beliau, dan kalian ini
orang-orang muda berani sekali membawa obat palsu. Apakah kalian tidak
menyayangi jiwa sendiri? Awas, pengobatan yang tidak berhasil akan membuat
kalian ditangkap dan menerima hukuman berat!”
Goat Lan menjadi mendongkol
sekali dan cahaya berapi sudah muncul pada sepasang matanya. Ingin sekali ia
maju dan menampar mulut perwira ini, akan tetapi kembali Hong Beng yang
menyabarkannya karena pemuda ini telah berkata pula kepada Bu Kwan Ji,
“Maaf, Ciangkun. Kami datang
dengan maksud menolong. Dulu Yok-ong sudah berjanji hendak menyembuhkan
penyakit putera Kaisar, dan sekarang muridnya ini telah datang membawa obat
itu. Berilah kami kesempatan untuk menolong nyawa putera Kaisar yang sakit.”
“Hemm, benarkah kau murid dari
Yok-ong Sin Kong Tianglo?” tanya Bu Kwan Ji kepada Goat Lan. “Dan kau
benar-benar sudah mendapatkan obat yang manjur untuk mengobati penyakit putera
Kaisar?”
“Benar!” jawab Goat Lan
singkat.
“Kalau begitu, kau tinggalkan
obat itu kepadaku agar aku dapat memberi perintah kepada tabib-tabib istana
untuk meminumkan obat itu kepada Pangeran.”
“Tidak bisa demikian!” Goat
Lan berkata gemas. “Obat itu tidak boleh diminumkan oleh orang lain, harus aku
sendiri yang mengobatinya.”
“Kalau begitu, pergilah kalian
dari sini!” Bu Kwan Ji menggebrak meja.
Mendengar ucapan ini, Goat Lan
bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Bagus! Macam apakah perwira seperti kau
ini? Kau kira kami takut kepadamu? Kami datang hendak menolong putera Kaisar
dan kau sengaja mengusir kami? Kalau kami melaporkan hal ini kepada Hong-siang,
aku kuatir kau takkan dapat mempertahankan pangkatmu lagi!”
Bu Kwan Ji memandang tajam dan
melihat sikap kedua orang muda yang gagah ini, hatinya menjadi ragu-ragu.
“Pulanglah dan besok kalian boleh datang kembali. Aku harus melaporkan hal ini
kepada Kaisar lebih dulu. Aku hanya menjalankan tugas, karena siapa tahu jika
ada yang datang berpura-pura membawa obat akan tetapi sebenarnya hendak
meracuni Pangeran!”
Dengan mendongkol Goat Lan dan
Hong Beng terpaksa keluar dari situ, karena mereka mau tak mau harus
membenarkan pula ucapan ini.....
Memang Bu Kwan Ji orangnya
cerdik sekali. Melihat keadaan kedua orang muda itu dan mendengar bahwa nona
itu adalah murid Sin Kong Tianglo yang sakti, dia tidak berani berlaku
sembrono. Dia menyuruh kedua orang muda itu pulang lebih dulu untuk mencari
kesempatan mengatur siasat.
Pada saat Goat Lan dan Hong
Beng keluar dari situ, mereka melihat tiga orang perwira menyusul mereka dan
berjalan mengikuti mereka.
“Kalian mau apa?” Goat Lan
membentak marah.
“Oleh karena Ji-wi hendak
mengobati putera Kaisar, maka kami disuruh mengikuti Ji-wi dan mencari tahu di
mana Jiwi bermalam, agar mudah memanggil apa bila ada perintah dari Kaisar
untuk memanggil Ji-wi menghadap,” jawab seorang perwira itu.
Hong Beng dan Goat Lan tidak
dapat membantah dan sesudah mereka mendapat kamar dalam sebuah hotel, ketiga
orang perwira itu pergi meninggalkan mereka.
“Malam ini kita harus
berhati-hati sekali,” kata Hong Beng kepada Goat Lan. “Siapa tahu kalau-kalau
ada penjahat datang hendak mengganggu. Ayah sering kali bercerita tentang
penjahat-penjahat yang pandai di kota raja.”
Goat Lan mengangguk dan dia
masuk ke dalam kamarnya setelah makan malam. Hong Beng juga duduk di dalam
kamarnya, duduk bersila di atas ranjang, tidak mau tidur, dan hanya
beristirahat sambil bersemedhi.
Menjelang tengah malam, baik
Hong Beng mau pun Goat Lan yang duduk bersemedhi pula, dapat mendengar gerakan
kaki beberapa orang yang amat ringan dan halus di atas genteng hotel. Kedua
orang muda itu tersenyum dan dengan penuh perhatian keduanya memasang telinga
untuk mengikuti gerak-gerik orang di atas genteng itu. Mereka berdua sudah
memiliki pendengaran yang amat tajam, maka dengan mudahnya dapat menduga bahwa
yang datang adalah tiga orang yang ilmu ginkang-nya cukup tinggi.
Kedua orang muda itu tidak
bergerak, menanti sampai ketiga orang penjahat malam itu turun dari atas
genteng. Akan tetapi sungguh mengherankan karena mereka bertiga itu tidak
turun, hanya berjalan hilir mudik beberapa kali seperti orang-orang yang merasa
ragu-ragu.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi
genteng digeser, baik di atas kamar Hong Beng mau pun di atas kamar Goat Lan.
Kedua orang muda itu dengan urat saraf tegang lalu menanti datangnya senjata
rahasia, namun mereka tidak takut sama sekali. Hendak mereka lihat bagaimana
penjahat-penjahat itu akan bertindak terhadap mereka di dalam kamar yang gelap
itu.
Hong Beng sudah bersiap-siap
dengan hati-hati sekali. Ia mempunyai dua dugaan, yaitu penjahat itu akan
menyerang dengan senjata rahasia secara ngawur, atau mereka akan melompat turun
ke dalam kamarnya dari atas genteng. Dan tiba-tiba dari atas melayang turun
benda kecil, akan tetapi jauh dari tempat dia berdiri di sudut kamar.
Dia hampir tertawa melihat
ketololan penjahat itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benda itu jatuh di
lantai, karena segera nampak asap mengebul. Dia hendak melompat keluar melalui
jendela, akan tetapi tiba-tiba ia mencium bau yang amat wangi dan Hong Beng pun
roboh terguling dalam keadaan pingsan! Ternyata bahwa asap itu adalah asap yang
mengandung obat memabukkan yang luar biasa kerasnya.
Goat Lan mengalami peristiwa
yang sama. Sebuah benda juga jatuh di dalam kamarnya dan mengeluarkan asap.
Akan tetapi, sebagai murid Sin Kong Tianglo yang berjuluk Raja Obat atau Raja
Tabib, gadis ini selalu mengantongi penolak racun. Begitu dia melihat benda itu
mengeluarkan asap, dia telah menjadi curiga dan cepat dia memasukkan tiga butir
pil merah ke dalam mulutnya, sehingga ketika dia mencium bau wangi itu, dia
tidak jatuh pingsan, sungguh pun dia merasa agak pening juga.
“Bangsat curang!” dia memaki
dan cepat tubuhnya melayang ke atas melalui jendela kamarnya.
Ia melihat bayangan dua orang
hwesio di atas genteng, maka langsung ia menyerang dengan bambu runcingnya.
Kedua orang hwesio itu bukan lain adalah Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio.
Mereka ini datang bersama Ang Lok Cu setelah mendapat kabar dari Bu Kwan Ji
bahwa murid Sin Kong Tianglo telah datang membawa obat untuk putera Kaisar.
Mereka hendak mendahului kedua orang muda itu dengan cara mencuri obat yang
dibawanya.
Ang Lok Cu yang mempunyai
julukan Ngo-tok Lo-kai (Setan Tua Lima Racun) kemudian mengeluarkan asap
beracunnya yang sangat lihai untuk membuat kedua orang muda itu pingsan agar
memudahkan pekerjaan mereka. Sesudah mendengar Hong Beng roboh di dalam
kamarnya, Ang Lok Cu lalu melayang turun ke dalam kamar pemuda itu, ada pun
kedua hwesio kawannya itu masih menanti untuk mendengarkan suara robohnya gadis
di dalam kamar lain.
Akan tetapi alangkah
terkejutnya kedua orang hwesio jahat itu ketika mendengar suara angin dan
makian Goat Lan. Mereka lebih terkejut lagi pada saat melihat betapa dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya gadis cantik itu sudah menyerang mereka dengan
dua batang bambu runcing yang menotok ke arah dada mereka.
Cu Tong Hwesio dan Cu Siang
Hwesio cepat-cepat mengelak sambil mencabut pedang mereka, akan tetapi gerakan
Cu Siang Hwesio kurang cepat sehingga satu tendangan susulan dari Goat Lan
membuat dia menjerit kesakitan dan tubuhnya lantas terguling di atas genteng.
“Lihai sekali!” seru Cu Tong
Hwesio dan tanpa membuang waktu lagi, melihat gadis itu benar-benar hebat
sepak-terjangnya, segera hwesio ini menyambar tangan adiknya dan membawanya
melompat turun dari atas genteng dengan gerakan cepat sekali.
Goat Lan tidak mau mengejar
karena dia merasa kuatir akan keadaan tunangannya. Dia cepat melompat turun dan
sekali tendang saja jendela kamar Hong Beng terbuka. Asap yang wangi keluar
dari jendela itu.
Goat Lan masih dapat melihat
berkelebatnya sesosok tubuh manusia keluar dari kamar tunangannya melalui
lubang di atas genteng. Akan tetapi dia tidak mau mengejar, terus menghampiri
ke dalam kamar dan cepat mencari tunangannya.
Ternyata bahwa tosu yang memasuki
kamar Hong Beng itu sudah menyalakan lilin dan bahkan sudah sempat memeriksa
buntalan pakaian Hong Beng. Goat Lan yang melihat tubuh tunangannya menggeletak
di atas lantai, menjadi pucat.
Cepat dia mengangkat tubuh
tunangannya itu ke atas pembaringan dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia
memeriksa. Dia menarik napas lega ketika mendapat kenyataan bahwa tunangannya
itu tidak menderita sesuatu, hanya pingsan akibat asap yang memabukkan tadi.
Dengan pertolongan air teh yang tersedia di atas meja, dia dapat membikin Hong
Beng segera siuman dari pingsannya.
Hong Beng merasa malu sekali
karena telah menjadi korban penjahat, akan tetapi Goat Lan lalu mengeluarkan
beberapa butir pil dan memberikan itu kepada tunangannya.
“Aku yang kurang hati-hati,”
katanya menghibur, “harusnya aku memberi beberapa butir obat penolak ini
kepadamu untuk penjagaan. Yang datang tadi adalah orang-orang yang cukup
pandai, meski pun bukan merupakan lawan yang harus ditakuti.” Kemudian Goat Lan
menceritakan bahwa yang datang adalah dua orang hwesio dan seorang tosu.
“Aku tidak dapat melihat jelas
wajah mereka,” kata gadis gagah ini, “apa lagi yang sudah memasuki kamarmu.
Hanya kulihat ia adalah seorang yang berpakaian seperti tosu. Aku hanya
berhasil menendang roboh seorang hwesio, sayang bahwa mereka sudah dapat
melarikan diri. Gerakan mereka cukup cepat dan ringan sekali.”
“Sudah terang bahwa maksud
kedatangan mereka itu untuk mencuri dan mencari obat yang kau bawa,” kata Hong
Beng. “Agaknya mereka itu bukan kaki tangan perwira yang galak tadi.”
“Kukira juga bukan,” jawab
Goat Lan, mungkin sekali mereka adalah ahli-ahli obat yang iri hati pada
mendiang Suhu, dan hendak merampas obat agar supaya nama Suhu tetap tercemar.”
“Dugaanmu betul. Melihat asap
beracun tadi, tentulah mereka itu mempunyai kepandaian tentang obat-obatan.
Mungkin juga mereka hendak mencuri obat supaya mereka dapat mengobati putera
Kaisar dan merekalah yang akan berjasa.”
Demikianlah, kedua orang muda
itu bercakap-cakap dengan asyik. Tiba-tiba Goat Lan teringat bahwa sudah
terlalu lama dia berada di kamar Hong Beng, maka dengan wajah merah dia lalu
berdiri dan berkata,
“Koko, aku harus kembali ke
kamarku sendiri!”
Sebelum Hong Beng menjawab,
gadis itu melompat keluar dari jendela kamar itu, pergi meninggalkan Hong Beng
yang masih berdiri bengong saking kagumnya melihat wajah tunangannya yang
demikian manisnya tersinar oleh penerangan lilin! Ia menghela napas lalu
menutup kembali jendelanya, kemudian ia melompat naik ke atas pembaringan dan
rebah membayangkan wajah Goat Lan yang cantik manis!
Pada keesokan harinya, Goat
Lan dan Hong Beng sudah menghadap Bu Kwan Ji yang menerima mereka dengan muka
ramah sehingga kedua orang muda itu berlaku semakin hati-hati sekali. Sikap ini
bukan menyenangkan hati mereka, bahkan lantas menimbulkan kecurigaan di dalam
hati.
“Ji-wi telah diterima oleh
Hong-siang dan sekarang juga dipersilakan untuk menghadap,” katanya dengan
senyum manis dibuat-buat.
Dengan dikawal oleh Bu Kwan Ji
bersama dua belas orang perwira bayangkari yang gagah dan berpakaian indah,
sepasang orang muda itu memasuki istana yang luar biasa indahnya. Bagaikan dua
orang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar, Hong Beng, dan
Goat Lan memandang ke kanan kiri dan tiada habisnya memuji dan mengagumi perabot
yang memang luar biasa indahnya dan jarang dapat terlihat oleh umum.
Mereka diterima oleh Kaisar
dan Permaisuri sendiri! Bukan dalam persidangan umum, di mana sekalian hamba
sahaya dan bayangkari menghadap Kaisar, melainkan pertemuan tersendiri.
Mata Hong Beng dan Goat Lan
merasa silau oleh pakaian yang dipakai oleh Kaisar dan Permaisuri, karena itu
dari jauh mereka sudah menjatuhkan diri berlutut bersama semua perwira yang
mengawal mereka.
“Betulkah kalian datang
membawa obat untuk putera kami?” terdengar Kaisar bertanya.
Goat Lan tidak berani
menjawab. Dia merasa seakan-akan lehernya tersumbat, sehingga Hong Beng yang
mewakili.
“Benar, Paduka yang mulia.
Hamba berdua mewakili Yok-ong Sin Kong Tianglo, datang membawa obat dan hendak
mencoba mengobati putera Paduka, mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa akan
memberi berkah-Nya.”
“Hemm, kami telah mendengar
akan kesombongan Raja Obat itu! Kami juga telah bosan mendengar kesanggupan
ahli-ahli obat. Tahukah kalian bahwa sudah ada empat orang ahli obat kami
jatuhi hukuman mati karena mereka tidak dapat memenuhi kesanggupan mereka? Kami
memberitahukan hal ini karena sayang melihat kalian yang masih muda dan
rupawan. Sekarang tinggalkan sebuah obatmu untuk kami cobakan kepada putera
kami, mudah-mudahan ada hasilnya.”
“Mohon maaf sebanyaknya apa
bila hamba berani membantah,” tiba-tiba Goat Lan nekad berkata. “Menurut pesan
terakhir dari Suhu, haruslah hamba sendiri yang meminumkan obat itu kepada
putera Paduka.”
Berkerutlah kening Kaisar itu.
“Apa? Apakah kau tidak percaya kepadaku? Tidak percaya kepada ahli-ahli
pengobatan yang berada di dalam istana?”
“Bukan demikian, akan tetapi…”
“Cukup! Kau ini anak gadis
masih muda, sampai berapa tinggi kepandaian dan berapa banyak pengalamanmu.
Tabib-tabibku adalah orang-orang pandai yang berpengalaman. Tinggalkan obat itu
dan kalian harus tunggu di dalam kota raja, jangan sekali-kali keluar dari kota
raja sebelum ada hasil pengobatan itu!”
Bukan main gelisahnya hati
Goat Lan, akan tetapi dia tidak berani membantah. Suara Kaisar itu dan
keadaannya sungguh amat berpengaruh. Kemudian dengan kedua tangan menggigil dia
mengeluarkan sebutir buah Giok-ko.
“Hamba mentaati perintah,”
katanya kemudian. “Harap saja buah ini diberikan kepada putera Paduka yang
sakit untuk dimakan mentah-mentah.”
Kaisar memberi tanda dengan
tangannya dan Bu Kwan Ji maju untuk mewakili Kaisar menerima buah itu. Bukan
main mangkelnya hati Goat Lan. Mengapa Kaisar percaya kepada orang macam ini?
Akhirnya dia dan Hong Beng dipersilakan keluar dari istana.
Sesudah keluar dari istana
yang mewah dan megah itu, Goat Lan membanting-banting kakinya. “Kaisar bod...”
“Sssttt,” kata Hong Beng
mencegah.
“Kita lihat saja bagaimana
perkembangannya, Moi-moi. Marah saja tak akan ada artinya. Harus kau ingat
bahwa pengobatan dan segala jerih payahmu ini bukan khusus untuk menolong
Pangeran yang sedang sakit, melainkan untuk menjaga nama suhu-mu.”
Keduanya lalu berjalan
perlahan kembali ke hotel mereka. Mendadak terdengar seruan girang,
“Lihiap...!”
Mereka menengok dan melihat
seorang pemuda tanggung berusia kurang lebih empat belas tahun yang berwajah
tampan dan berpakaian indah sedang duduk di atas seekor kuda putih, diiringi
oleh empat orang pengawal berpakaian sebagai guru-guru silat.
“Kau...?” Goat Lan merasa
kenal dengan pemuda bangsawan ini.
Ketika pemuda tanggung itu
melompat turun, teringatlah ia bahwa dia adalah Ong Tek, putera Pangeran Ong
yang dulu menjadi murid Ban Sai Cinjin dan yang telah ditolongnya dari bahaya
maut ketika diserang oleh gurunya sendiri!
“Lihiap, kau hendak ke
manakah? Sungguh sangat menggirangkan hati dapat bertemu dengan penolongku yang
tidak pernah kulupakan di tempat ini!”
Dengan sikap masih
kekanak-kanakan Ong Tek lalu menghampiri Goat Lan dan menjura dengan hormatnya.
Cepat Goat Lan membalasnya, karena banyak orang yang melihat mereka dengan mata
heran. Siapakah yang tidak merasa heran melihat putera pangeran beramah-tamah
dengan seorang gadis biasa?
“Lihiap, marilah kau singgah
di rumah orang tuaku, mereka telah merasa rindu dan ingin sekali bertemu dengan
penolongku.”
Menghadapi keramahan anak ini,
Goat Lan tidak dapat menolak dan dia menganggukkan kepalanya. Ong Tek menjadi
girang sekali dan ketika dia melihat Hong Beng dia segera bertanya, “Lihiap,
siapakah Twako yang gagah ini?”
“Dia adalah... kawan baikku,
dan kedatanganku juga bersama dia.”
Ong Tek yang terpelajar itu
lalu menjura dan memberi hormat kepada Hong Beng yang membalasnya dengan
tersenyum. Dia suka juga melihat anak yang sopan dan peramah ini.
“Silakan naik kuda
pengawalku!” kata Ong Tek, yang menyuruh dua orang pengawalnya turun dari kuda.
Akan tetapi Goat Lan dan Hong
Beng tentu saja menolaknya dan menyatakan lebih baik berjalan kaki. Ong Tek tak
dapat memaksa dan dia pun lalu menyuruh para pengawalnya berangkat lebih dulu
sambil membawa kudanya, mengabarkan bahwa penolongnya akan datang ke rumahnya.
Dia sendiri lalu berjalan kaki bersama dua orang muda itu!
Rumah gedung Pangeran Ong
Tiang Houw, ayah Ong Tek, sangat besar dan megah. Pangeran ini cukup
berpengaruh, oleh karena dia masih terhitung keluarga dekat dengan Kaisar. Maka
ia amat disegani. Akan tetapi oleh karena dia amat setia kepada Kaisar dan tak
mau berbaik dengan para pembesar durna, maka diam-diam banyak pembesar yang
membencinya.
Ketika Goat Lan dan Hong Beng
tiba di gedung itu, mereka merasa amat malu-malu dan sungkan sebab ternyata
bahwa Pangeran Ong Tiang Houw beserta isterinya menyambut mereka sendiri sampai
di depan pintu, diiringi oleh banyak sekali pelayan dan pengawal!
Begitu berhadapan, ibu Ong Tek
lalu maju dan merangkul Goat Lan. Ia menatap wajah pendekar wanita itu dengan
kagum, lalu berkata, “Ahhh, melihat kau begini cantik dan lemah-lembut,
sukarlah bagiku untuk percaya cerita Tek-ji (Anak Tek) bahwa kau adalah seorang
pendekar wanita gagah perkasa yang telah menolong nyawa anakku.”
Dengan muka kemerah-merahan
Goat Lan lalu mengucapkan kata-kata merendah. Juga Pangeran Ong menyatakan
kegembiraan dan kekagumannya.
“Nona, siapakah sebenarnya
namamu? Putera kami sendiri masih tidak tahu siapa nama penolongnya.”
Dengan sikap hormat dan manis
Goat Lan segera memperkenalkan namanya dan juga nama Hong Beng. Ketika
mendengar bahwa Goat Lan adalah puteri Kwee An dan Hong Beng putera Pendekar
Bodoh, Pangeran Ong makin menghormat sikapnya. Kedua orang muda itu lalu diajak
masuk ke dalam di mana mereka diterima dengan jamuan makan yang mewah serta
percakapan yang amat ramah tamah dan meriah.
Pada saat mereka sedang makan
minum sambil bercakap-cakap, ditemani oleh beberapa orang pengawal kepala yang
duduk di meja lain, tiba-tiba seorang penjaga pintu datang menghadap Pangeran
Ong dengan wajah pucat.
“Taijin, di luar ada utusan
dari Hong-siang (Kaisar) yang minta agar Paduka dan tamu Paduka keluar.”
Pangeran Ong mengerutkan kening
mendengar ini. Tidak biasa Kaisar mengutus orang pada saat seperti ini, dan
sepanjang ingatannya, tidak ada urusan penting di istana. Tapi betapa pun juga,
dia lalu berdiri dari tempat duduknya dan Hong Beng yang mendengar ucapan
penjaga itu pun segera bangun berdiri mengikuti tuan rumah keluar dari ruangan
dalam.
Ada pun Goat Lan yang duduk
bercakap-cakap dengan Nyonya Ong, hanya memandang ke arah Hong Beng,
seakan-akan ia menyatakan sudah cukup diwakili oleh tunangannya itu untuk
melihat apakah yang terjadi di luar gedung.
Ketika Pangeran Ong dan Hong
Beng tiba di luar, ternyata yang datang adalah Perwira Bu Kwan Ji sendiri,
diikuti oleh lima orang perwira lain. Melihat Pangeran Ong, Bu Kwan Ji memberi
hormat karena kedudukan Pangeran ini jauh lebih tinggi dari pada kedudukan dia
sendiri yang hanya sebagai kepala pengawal raja.
“Mohon dimaafkan bila hamba
mengganggu Taijin. Hamba mendapat keterangan bahwa kedua orang muda yang
lancang berani memberi obat palsu kepada Pangeran yang sakit sedang berada di
gedung Taijin, maka hamba datang hendak menangkap mereka.” Dia memandang ke
arah Hong Beng yang berdiri dengan tenangnya.
Pangeran Ong memandang heran.
Memang sesungguhnya Hong Beng dan Goat Lan tidak menceritakan kepadanya tentang
hal pengobatan itu.
“Bu-ciangkun, apakah kau
mengimpi? Memang ada kedua orang tamuku di sini, akan tetapi mereka adalah
pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa. Inilah seorang di antaranya, ia
adalah putera dari Pendekar Bodoh, apakah ini yang kau maksudkan?”
Bu Kwan Ji tertegun mendengar
bahwa pemuda ini adalah putera Pendekar Bodoh, akan tetapi dia dapat menetapkan
hatinya dan berkata, “Betul, Taijin. Dia inilah dan seorang gadis telah berani
memberi obat palsu kepada Hong-siang dan setelah diberikan kepada Pangeran yang
sakit, ternyata obat itu membuat sakitnya lebih berat!”
Hong Beng melangkah maju,
“Ciangkun, apakah bicaramu itu boleh dipercaya?”
“Kenapa tidak? Hayo kau
menyerah untuk kami tangkap! Kau dan kawanmu telah berani mati mencoba meracuni
Pangeran!” Sambil berkata demikian, Bu Kwan Ji bergerak maju diikuti lima orang
kawannya. Akan tetapi Hong Beng sudah marah sekali.
“Maaf, Ong-taijin,” katanya
kepada Pangeran Ong, “terpaksa hamba akan melayani para perwira kasar ini.” Dia
lalu menantang kepada Bu Kwan Ji dengan suara keras. “Perwira she Bu, aku tidak
percaya akan semua ucapanmu itu! Jika memang benar kata-katamu, antarkanlah aku
dan kawanku ke tempat Pangeran yang sedang sakit berada, agar kami dapat
menyaksikan dengan mata kepala sendiri!”
“Hemm, penjahat muda. Apakah
kau hendak datang dan membunuh Pangeran dengan kedua tanganmu sendiri, setelah
obat racunmu tidak berhasil membunuhnya?”
Keadaan menjadi tegang dan
Pangeran Ong segera berlari masuk sambil berkata, “Baik kupanggil Nona Kwee!”
Sementara itu, dua orang pengawalnya berdiri menjaga di pintu, sedangkan Hong
Beng berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.
Tiba-tiba terdengar suara
bergelak dari sebelah belakang para perwira itu dan tahu-tahu seorang kakek tua
yang berpakaian mewah dan membawa sebatang huncwe panjang melangkah maju.
“Bu-ciangkun, pemuda ini
mengaku sebagai putera Pendekar Bodoh! Ha-ha-ha! Agaknya semua penjahat muda
suka menggunakan nama Pendekar Bodoh untuk menakut-nakuti orang. Akan tetapi
aku tidak takut! Biarlah aku menolong kalian menangkapnya!”
Orang tua itu bukan lain
adalah Ban Sai Cinjin! Walau pun Hong Beng belum pernah melihat sendiri kakek
ini, akan tetapi ia telah mendengar dari Goat Lan tentang kakek ini. Pada saat
Ban Sai Cinjin mengirim huncwe-nya ke arah Hong Beng, pemuda ini merasa betapa
ada angin yang keras menyambar ke arahnya.
Cepat ia mengelak dan kini ia
tidak merasa ragu-ragu lagi. Melihat kelihaian sambaran huncwe tadi, ia maklum
bahwa tentulah ini orangnya yang pernah bertempur dengan Lili dan Goat Lan.
“Apakah ini yang disebut
Huncwe Maut?” katanya mengejek. “Biar kulihat sampai dimana sih kepandaianmu
maka kau bisa sejahat itu!”
Ban Sai Cinjin merasa
penasaran sekali ketika sambaran huncwe-nya dapat dielakkan dengan secara mudah
sekali oleh pemuda itu. Tadinya ia masih memandang rendah dan sama sekali tidak
percaya bahwa pemuda ini pun putera Pendekar Bodoh, maka ia lalu maju menyerang
dengan cepatnya.
Akan tetapi, akhirnya ia
merasa ragu-ragu dan terkejut sekali karena gerakan pemuda itu benar-benar luar
biasa sekali. Dengan ilmu ginkang yang ringannya bagai seekor burung walet,
pemuda itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan huncwe-nya, malah
kini membalas dengan serangan pukulan tangan kosong yang luar biasa sekali.
Semakin besar rasa terkejutnya pada saat dia mengenal ilmu silat pemuda ini
sebagai Ilmu Silat Pat-kwa Ciang-hoat, yaitu satu-satunya ilmu silat di dunia
barat yang menjadi kepandaian seorang tokoh besar.
“Eh, dari mana kau mencuri
ilmu silat dari Pok Pok Sianjin?” bentaknya sambil mengayun huncwe-nya.
“Tua bangka rendah! Pok Pok
Sianjin adalah Suhu-ku, kau mau apa?” maki Hong Beng sambil mempercepat
gerakannya.
Pertempuran berjalan ramai
sekali dan sungguh pun Hong Beng menghadapinya dengan tangan kosong, akan tetapi
dalam beberapa belas jurus ini belum kelihatan pemuda itu terdesak, bahkan ia
menggunakan kegesitan dan keringanan tubuhnya untuk menyambar-nyambar dari atas
dan mengirim pukulan dan tendangan ke arah kepala lawannya!
Bukan main terkejut dan marahnya
Ban Sai Cinjin. Tadi ia telah menyombong di depan Bu Kwin Ji dan ketiga orang
tabib istana untuk menangkap dua orang muda yang hendak mencoba mengobati
Pangeran, akan tetapi sekarang baru menghadapi seorang di antara kedua orang
muda itu saja, ia tidak dapat menangkapnya, biar pun pemuda itu bertangan
kosong!
Ia berseru keras dan dengan
cepat ia menjemput tembakau hitam dari kantong tembakau yang tergantung pada
huncwe-nya, memasukkan tembakau itu pada kepala huncwe-nya yang masih berapi.
Tak lama kemudian mengepullah asap hitam dari huncwe-nya!
Akan tetapi pada saat itu,
berkelebat bayangan putih kemerahan dan tahu-tahu Goat Lan sudah melompat dari
dalam dan berdiri di depan kedua orang pengawal Pangeran Ong yang berdiri
menjaga di depan pintu masuk. Di belakangnya nampak Ong Tek berlari-lari
mengikutinya. Kini keduanya berdiri bengong memandang ke arah mereka yang
sedang bertempur.
Ong Tek memandang dengan hati
berdebar ngeri ketika mengenal bekas gurunya yang sedang menyerang Hong Beng,
ada pun Goat Lan juga merasa heran mengapa kakek ini tiba-tiba saja bisa muncul
di tempat itu. Akan tetapi ketika dia melihat huncwe yang telah mengepulkan
asap hitam, tak terasa pula ia mendekatkan telunjuknya ke mulut. Hatinya
gelisah dan ia memandang dengan hati kuatir sekali akan keselamatan
tunangannya.
“Hati-hati, Koko, asap
tembakaunya beracun! Biar aku menghadapi pesolek tua bangka ini!” Setelah
berkata demikian, dia mencabut sepasang bambu runcingnya dan melompat ke
kalangan pertempuran.
Bukan main kagetnya hati Ban
Sai Cinjin ketika ia melihat gadis yang pernah mengacau kuilnya dulu. Dia cepat
memutar huncwe-nya untuk menangkis bambu runcing yang telah dikenal
kelihaiannya itu.
Sungguh sial, pikirnya.
Keadaan pemuda itu saja sudah merupakan kesialan baginya, karena tadinya ia
tidak percaya bahwa pemuda ini benar-benar putera Pendekar Bodoh dan memiliki
ilmu silat sedemikian lihainya, bahkan ternyata masih murid Pok Pok Sianjin
pula! Dan sama sekali tidak pernah ia bermimpi bahwa gadis yang membawa obat
untuk Pangeran itu adalah Kwee Goat Lan yang lihai!
Menghadapi kedua orang muda
ini, dia tidak akan menang, pikirnya. Karena itu, setelah menyemburkan asap
hitam tembakaunya, dia lalu melompat mundur dan lari keluar dari tempat itu!
Goat Lan memutar sepasang bambu runcingnya untuk memukul buyar asap hitam yang
bergumpal-gumpal, sedangkan Hong Beng juga melompat mundur sambil menggerakkan
kedua tangannya supaya mendatangkan angin mengusir asap berbahaya tadi.
Pada saat keduanya memandang
ke depan, ternyata rombongan perwira tadi pun sudah lenyap dari sana! Pangeran
Ong Tiang Houw sudah keluar pula dan Pangeran ini marah sekali. Ia
membanting-banting kakinya dan berkata dengan gemas,
“Terlalu sekali si Bu Kwan Ji!
Aku harus memprotes hal ini di hadapan Kaisar! Perwira itu sudah sepatutnya
diganti dengan orang lain! Sungguh kurang ajar, di rumahku dia berani berlagak
seperti itu!”
Ada pun Goat Lan merasa marah
sekali dan juga mendongkol. “Telah susah payah Suhu mencarikan obat sampai
mengorbankan nyawa dan aku melanjutkan usahanya mencari obat itu, tidak tahu
hanya begini saja terima kasih orang! Koko, apa gunanya mengobati orang yang
tidak tahu terima kasih? Aku mau pulang saja ke Tiang-an!”
Walau pun telah dibujuk oleh
Pangeran Ong, Goat Lan tetap tidak mau tinggal lebih lama di gedung Pangeran
itu dan bersama Hong Beng lalu keluar dari situ. Akan tetapi Hong Beng berhasil
membujuk Goat Lan agar jangan meninggalkan kota raja dulu.
“Moi-moi, hatiku masih merasa
amat curiga terhadap Bu Kwan Ji itu! Siapa tahu kalau dia yang main gila dan
bukan Kaisar yang menyuruh menangkap kita? Dan siapa tahu pula kalau dia
bermain gila dan mengganti obat buah mutiara itu dengan lain buah?”
Terkejut Goat Lan memandang
kepada Hong Beng. “Mungkinkah ada orang berpangkat pengawal istana yang
menghendaki kematian Pangeran?”
“Siapa tahu?” Hong Beng
menggerakkan kedua pundaknya. “Menurut Ayah, di dunia ini banyak sekali terjadi
kejahatan-kejahatan yang amat mengerikan. Iblis telah berkuasa di banyak hati
manusia. Oleh karena itu, biarlah untuk sementara kita tinggal di hotel dan
menanti perkembangan selanjutnya. Kita tidak usah kuatir, meski pun ada Ban Sai
Cinjin yang membantu Bu Kwan Ji, kita tak perlu takut!”
Disebutnya nama ini membuat
Goat Lan mengerutkan keningnya. “Aku tidak takut pada Huncwe Maut itu, hanya
aku merasa heran sekali bagaimana kakek jahat itu bisa sampai ikut campur
tangan? Benar-benar aneh!”
Memang ucapan Goat Lan
beralasan. Mungkin para pembaca juga merasa heran seperti gadis cantik itu.
Bagaimanakah tahu-tahu Ban Sai Cinjin bisa muncul di kota raja dan ikut
membantu Bu Kwan Ji melakukan penangkapan?
Setelah rumahnya menderita
amukan Lie Siong yang membakar dan membunuh banyak anak buahnya, diam-diam Ban
Sai Cinjin menjadi terkejut dan mulai merasa khawatir. Ternyata bahwa keturunan
Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya memiliki kepandaian yang amat tinggi ilmu dan
juga amat ganasnya.
Memang betul bahwa dia telah
berhasil mengundang pembantu-pembantu yang tangguh seperti suheng-nya sendiri
Wi Kong Siansu yang ilmu kepandaiannya belum tentu kalah oleh Pendekar Bodoh,
juga dia sudah berhasil mengundang Thai-lek Sam-kui, Tiga Iblis Geledek dari
Hailun yang juga memiliki ilmu kepandaian yang bisa diandalkan dan hanya
sedikit di bawah tingkat Wi Kong Siansu.
Dia lalu mengadakan
perundingan dengan suheng-nya dan tiga orang Iblis Geledek itu, bagaimana cara
untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh dan keturunannya
serta kawan-kawannya.
“Mereka itu terlalu sombong
dan mengandalkan kepandaian mereka,” berkata Ban Sai Cinjin, “kalau kita tidak
mengambil tindakan, akan hancurlah nama kita! Seorang pemuda keturunan Pendekar
Bodoh berani sekali membunuhi orang-orangku, tamu-tamuku dan juga membakar
rumahku, benar-benar hebat sekali! Ilmu kepandaian Bu Pun Su ternyata telah
diwarisi oleh orang-orang muda yang ganas dan kejam!”
Memang mudahlah bagi mulut
untuk mengatakan kejam kepada lain orang, sama sekali tidak ingat akan
kekekejaman sendiri yang dianggapnya selalu benar!
“Bagaimana pikiranmu kalau aku
pergi mengunjungi Pendekar Bodoh untuk menegurnya dan sekalian menyampaikan
undangan untuk pibu di puncak Thian-san tahun depan? Wi Kong Siansu tiba-tiba
bertanya.
Tentu saja semua orang
menyatakan persetujuan. “Akan lebih baik lagi kalau begitu. Kita bisa mempersiapkan
diri, dan kalau Suheng bertemu dengan kawan-kawan sehaluan di tengah
perjalanan, boleh sekalian minta bantuan mereka.”
Hailun Thai-lek Sam-kui
tertawa bergelak-gelak dan saling pandang. “Masih tahun depan? Alangkah
lamanya, kami kira sekarang akan diadakan pibu! Ah, kalau begitu biarlah kami
bertiga melancong dulu menghibur hati, nanti musim semi tahun depan kami akan
datang di Thian-san!” kata Thian-he Te-it Siansu, kakek yang kate gemuk dan
selalu membawa payung itu.
Tiga orang ini termasuk
orang-orang aneh yang tak dapat dihalangi kehendaknya, maka Ban Sai Cinjin juga
tidak bisa mencegah keberangkatan mereka. Ia amat mengharapkan bantuan
orang-orang ini dan kalau mereka sudah berjanji akan datang membantu pada nanti
tahun depan di puncak Thian-san, tentu mereka tidak akan melanggar janji. Ia
lalu memberi bekal banyak uang emas dan barang-barang berharga, yang tentu saja
diterima oleh Hailun Thai-lek Sam-kui dengan gembira.
Demikianlah, Wi Kong Siansu
dan muridnya, Song Kam Seng, lalu berangkat menuju ke Shaning untuk mencari
Pendekar Bodoh dan di tengah perjalanan, yaitu di Lianing, dia bertemu dengan
Lili dan Lo Sian seperti sudah dituturkan di depan dan menyampaikan tantangan
pibunya melalui gadis puteri Pendekar Bodoh itu.
Setelah Thai-lek Sam-kui
pergi, Ban Sai Cinjin yang ditinggal seorang diri merasa tidak enak sekali.
Diam-diam dia lantas memikirkan nasibnya yang seakan-akan dikelilingi oleh
lawan-lawan muda yang amat tangguhnya.
Dia tidak merasa gentar, akan
tetapi sesunguhnya ada perkara yang lebih penting dan besar dari pada perkara
permusuhannya dengan golongan Pendekar Bodoh. Dari para sahabatnya di kota
raja, dia mendengar tentang keadaan yang sangat genting di dalam istana. Biar
pun dari luar tidak terdengar sesuatu dan rakyat hanya mengetahui bahwa
Pangeran Mahkota telah sakit keras sekali, akan tetapi sebetulnya di dalam
istana terjadi perebutan kekuasaan yang hebat!
Ban Sai Cinjin adalah seorang
yang mempunyai cita-cita besar. Dia sangat haus akan kedudukan tinggi dan
kemewahan hidup, dan keadaannya yang telah kaya raya itu masih belum memuaskan
nafsunya. Alangkah baiknya kalau dia bisa menjadi pembesar tinggi, menjadi
bangsawan yang dihormati oleh laksaan orang!
Telah lama ia menjadi sahabat
Ang Lok Cu, tosu yang berjuluk Ngo-tok Lo-koai dan yang kini tiba-tiba
kejatuhan bintang dan menjadi tabib istana berkat pertolongan Bu Kwan Ji. Ia
lalu menghubungi sahabatnya ini dan diperkenalkan kepada Bu Kwan Ji.
Perwira yang cerdik ini sangat
gembira dapat berkenalan dengan Ban Sai Cinjin, karena orang macam inilah yang
amat dibutuhkan untuk membantunya mencapai cita-cita. Biar pun ketiga orang
ahli obat itu merupakan tenaga-tenaga yang cakap, akan tetapi ilmu silat mereka
kurang tinggi.
Semenjak perkenalan itu, Ban
Sai Cinjin selalu mengadakan hubungan dengan Bu Kwan Ji dan semua kaki
tangannya, atau lebih tepat lagi, dengan kaki tangan selir Kaisar yang memiliki
cita-cita untuk mengangkat puteranya sendiri menjadi pengganti kaisar!
Persekutuan gelap dibentuk,
dan Ban Sai Cinjin sudah menyanggupi untuk menyiapkan pasukan yang kuat dari
Mongol apa bila sewaktu-waktu terjadi perang. Muridnya, Bouw Hun Ti yang masih
tinggal di rumah lalu melawat ke Mongol dan mengadakan hubungan dengan kepala
suku Mongol yang dikenalnya baik, yaitu Malangi Khan.
Kemudian Ban Sai Cinjin
teringat kepada bekas muridnya, yaitu Ong Tek. Dia merasa menyesal sekali
mengapa ia telah kehilangan Ong Tek, oleh karena ia tahu bahwa ayah Ong Tek,
yaitu Pangeran Ong Tiang Houw, adalah seorang pembesar yang amat besar
pengaruhnya di dalam istana. Dan sekarang ia justru telah menanam kebencian di
dalam hati Ong Tek yang tentu saja sudah menuturkan semua peristiwa yang
terjadi kepada ayahnya!
“Ong Tek merupakan bahaya
besar, Suhu,” kata Hok Ti Hwesio, murid satu-satunya yang amat dipercaya oleh
Ban Sai Cinjin. “Akan baik sekali kalau Suhu bisa mencari dan membunuhnya agar
ia tidak banyak membuka mulutnya memburukkan nama Suhu.”
Demikianlah, dengan hati kesal
setelah semua orang pergi, dia kemudian memesan Hok Ti Hwesio agar supaya
menjaga kuilnya, kemudian ia lalu berangkat ke kota raja, dengan tujuan utama
untuk mengadakan perundingan dengan Bu Kwan Ji tentang perkembangan cita-cita
mereka. Ada pun tujuan kedua ialah untuk mencari dan bila mungkin membunuh
bekas muridnya, yaitu Ong Tek!
Dan pada saat dia tiba di
gedung tempat kediaman Bu Kwan Ji itulah maka kebetulan sekali Bu Kwan Ji
sedang menghadapi urusan besar, yaitu datangnya dua orang muda yang mewakili
Sin Kong Tianglo membawa obat untuk Pangeran Mahkota yang sedang sakit! Dengan
lincahnya, Bu Kwan Ji berunding dengan selir Kaisar yang menyampaikan kepada
Kaisar tentang adanya dua orang muda yang mencurigakan dan yang katanya datang
membawa obat untuk Pangeran.
“Mereka itu masih muda, mana
mungkin memiliki kepandaian tinggi?” Kaisar dibujuk oleh selirnya. “Boleh
mencoba obat mereka, akan tetapi lebih baik mereka jangan dibolehkan mendekati
Pangeran, siapa tahu kalau mereka itu utusan para pemberontak yang secara
diam-diam hendak membunuh Pangeran?”
Bujukan itu termakan oleh
Kaisar dan sebagaimana dituturkan di bagian depan, Goat Lan dan Hong Beng tidak
diperbolehkan mendekati Pangeran, hanya buah Giok-ko saja yang diterima oleh
Kaisar. Mudah sekali diduga bahwa setelah obat itu diberikan kepada tiga orang tabib
istana untuk dicobakan kepada Pangeran yang sakit, obat itu sudah dibuang dan
diganti dengan obat lain yang tidak ada khasiatnya bahkan yang merusak
kesehatan Pangeran yang malang itu.
Kaisar menjadi marah dan
menyuruh Bu Kwan Ji pergi mencari serta memanggil kedua orang muda yang telah
membawa obat palsu!! Perwira she Bu ini karena merasa kuatir kalau-kalau kedua
orang muda itu melawan, kemudian mengajak Ban Sai Cinjin pergi mengunjungi
rumah gedung Pangeran Ong.
Sungguh hal yang kebetulan
sekali, pikir mereka, karena kedua orang muda itu ternyata kenal baik dengan
Pangeran Ong. Kesempatan bagus sekali untuk memfitnah keluarga Pangeran Ong!
Siasat licin dan akal busuk
dijalin oleh para pengkhianat itu, dan Hong Beng bersama Goat Lan merasa
kuatir, tidak tahu apakah yang akan terjadi selanjutnya. Mereka tidak tahu
bahwa musuh-musuh tersembunyi sedang mengatur siasat yang jahat bagi mereka dan
keluarga Pangeran Ong!
Bu Kwan Ji membawa Ban Sai
Cinjin menghadap Kaisar. Dengan pandai sekali dia lalu menuturkan bahwa dua
orang muda itu telah dilindungi oleh Pangeran Ong Tiang Houw, dan bahkan kedua
orang yang berkepandaian tinggi itu melawan ketika akan ditangkap.
“Baiknya ada Losuhu ini yang
menolong hamba, kalau tidak, hamba tentu akan binasa oleh mereka,” kata Bu Kwan
Ji menutup laporannya.
“Hamba sudah tahu bahwa mereka
itu adalah keturunan Pendekar Bodoh, seorang yang terkenal sebagai pemberontak
di masa pemerintahan ayah Paduka,” kata Ban Sai Cinjin kepada Kaisar. “Agaknya
Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya masih saja mempunyai keinginan untuk
memberontak dan bersekutu dengan para bangsawan yang memiliki hati khianat!”
Bukan main marahnya Kaisar
mendengar ucapan-ucapan yang menghasut ini.
“Bagaimana mungkin?” katanya
ragu-ragu. “Ong Tiang Houw adalah seorang pembesar yang setia, bahkan masih
terhitung keluarga istana! Agaknya tak mungkin ia memiliki hati khianat dan
mengadakan perhubungan dengan segala pemberontak dan penjahat.
“Hamba tidak berani menuduh,”
kata Bu Kwan Ji, “hanya akan lebih aman dan baik sekali apa bila Pangeran Ong
dipanggil untuk memberikan keterangan.”
“Baik, kau pergi dan panggil
dia datang, juga seluruh keluarganya!” bentak Kaisar. “Dan Losuhu ini, siapakah
namanya?”
“Hamba disebut orang Ban Sai
Cinjin, seorang hamba sahaya biasa saja yang bersedia mengorbankan tenaga dan
nyawa untuk negara.”
“Bagus, kau bantulah Bu Kwan
Ji, nanti akan kupikirkan kedudukan yang sesuai dengan jasamu!”
Bukan main girangnya hati Ban
Sai Cinjin mendengar ucapan Kaisar ini. Dia kemudian mengundurkan diri untuk
melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar. Untuk kali ini, Bu Kwan Ji
menerima surat kuasa yang berupa bendera lengki (bendera tanda pesuruh kaisar).
Dengan lengki di tangan, maka
mudah saja bagi Bu Kwan Ji membawa Pangeran Ong sekeluarganya, menggiring
mereka semua ke tahanan, sambil menanti perintah Kaisar untuk memeriksa mereka.
Suara tangis riuh-rendah memenuhi tempat tahanan, namun Pangeran Ong Tiang Houw
dengan tenang berkata,
“Tak usah menangis! Kita telah
difitnah orang, akan tetapi mengapa gelisah? Tunggulah sampai aku dapat bertemu
dengan Kaisar, tentu aku akan sanggup menyadarkan Kaisar yang agaknya dihasut
oleh mulut jahat!”
********************
Alangkah terkejutnya hati Hong
Beng dan Goat Lan pada saat mereka mendengar dari pelayan hotel bahwa keluarga
Pangeran Ong sudah ditangkap oleh perwira-perwira dari istana! Hal ini adalah
sebuah hal yang aneh dan mengejutkan orang, maka tentu saja berita ini tersiar
dengan cepatnya hingga pelayan itu pun mendengar lalu menyampaikan kepada semua
tamu hotel.
“Sungguh aneh, agaknya dunia
akan kiamat!” pelayan yang doyan cerita itu menutup penuturannya. “Pangeran Ong
adalah seorang yang sangat berpengaruh dan ditakuti, ia selalu dekat dengan
Hong-siang karena kabarnya ia merupakan saudara dari Hong-houw (Permaisuri).
Akan tetapi siapa yang tahu akan nasib orang? Ah, kasihan, Pangeran Ong
sekeluarga terkenal sangat dermawan dan budiman. Apa lagi puteranya, Ong Kongcu
yang suka sekali datang ke sini dan bercakap-cakap dengan semua orang. Dia
sangat peramah dan tidak sombong, naik kuda mengelilingi kota, bergaul dengan
semua orang, tidak seperti putera-putera bangsawan lain yang besar kepala
dan...”
Baru sampai di situ
kata-katanya, tiba-tiba saja dia menutup mulut dan wajahnya menjadi pucat.
Serombongan perwira berbaris menuju ke hotel itu dengan sikap amat galak dan
mengancam! Ributlah semua orang dan semua tamu langsung bersembunyi di kamar
masing-masing. Dengan kaki gemetar pelayan itu pun terpaksa menuju ke pintu
bersama pelayan-pelayan lain mengiringi pengurus hotel menyambut barisan itu.
“Pelayan itu terlampau lancang
mulut, tentu dia akan ditangkap!” terdengar seorang tamu berkata perlahan.
Akan tetapi Hong Beng dan Goat
Lan berpikir lain. Mereka saling pandang dan cepat masuk ke kamar
masing-masing. Sekejap kemudian mereka telah keluar pula dan sudah menggendong
semua barang-barang mereka, siap untuk meninggalkan tempat itu!
Benar saja dugaan mereka,
begitu mereka keluar dari kamar, pengurus hotel dan para pelayan yang agaknya
bercakap-cakap dengan para perwira, kemudian menudingkan jari mereka ke arah
Hong Beng dan Goat Lan. Tiba-tiba Bu Kwan Ji dan perwira-perwira kelas satu
dari istana maju menyerbu dan mengurung kedua orang muda itu!
Goat Lan memandang kepada
kedua orang hwesio yang seperti sudah dikenalnya itu, akan tetapi dia lupa lagi
di mana dia pernah bertemu dengan mereka. Dia tidak diberi kesempatan untuk
mengingat-ingat hal itu, karena mereka telah mengeroyok.
Kepandaian mereka ternyata
tidak boleh dipandang ringan. Ban Sai Cinjin sendiri sudah amat tangguh, juga
dua orang hwesio dan tosu itu merupakan tandingan-tandingan yang tidak boleh
dibuat main-main. Bu Kwan Ji dan tujuh orang perwira kelas satu dari istana
yang sudah menjadi kaki tangannya juga memiliki kepandaian yang cukup hebat,
maka Goat Lan dan Hong Beng cepat mencabut senjata mereka. Hong Beng
mengeluarkan tongkat hitamnya, yaitu tongkat tanda pangkat sebagai ketua
Hek-tung Kai-pang, ada pun Goat Lan lalu mencabut sepasang bambu runcingnya.
Tempat di mana mereka
bertempur itu sangat sempit, maka Hong Beng lalu berseru, “Hayo kita keluar!”
Goat Lan mengerti maksud
tunangannya, maka dia lalu menerjang pengeroyoknya dan merobohkan seorang
perwira. Demikian pula Hong Beng berhasil mengemplang kepala seorang perwira
dan bersama Goat Lan cepat melompat ke halaman hotel. Di sini tempatnya lebih
luas sehingga mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik.
Akan tetapi baru saja kaki
mereka menginjak halaman hotel, mendadak puluhan batang anak panah menyambar
dari luar. Cepat mereka menggerakkan senjata dan memutarnya melindungi tubuh.
Ketika mereka memandang, ternyata bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan
yang banyak sekali jumlahnya!
Jalan keluar tidak ada lagi
dan terpaksa Hong Beng dan Goat Lan lalu menghadapi lagi serbuan Ban Sai Cinjin
dan kawan-kawannya yang sudah mengejar pula sampai di situ. Hal ini
menguntungkan bagi kedua orang muda itu karena dengan adanya keroyokan para
perwira, maka pasukan pemanah itu tak berani menggunakan anak panah mereka lagi.
Pertempuran berjalan seru
sekali. Yang sangat mendesak adalah Ban Sai Cinjin. Kali ini karena banyak
kawannya, Ban Sai Cinjin bertempur dengan semangat besar sehingga huncwe-nya
benar-benar merupakan senjata maut bagi Hong Beng dan Goat Lan. Sekali saja
mereka terkena pukulan huncwe yang selalu ditujukan ke arah kepala mereka, akan
celakalah mereka.....
Pada waktu kedua orang muda
itu terpaksa hendak mempergunakan tangan besi dan membunuh para pengeroyoknya
untuk dapat mencari jalan keluar, mendadak terdengar sorak-sorai dan
lapat-lapat terdengar oleh Hong Beng dan Goat Lan.
“Bantu pangcu kita...!”
Keadaan pasukan yang tadinya
mengurung tempat itu, tiba-tiba saja menjadi heboh dan geger. Ternyata mereka
secara tiba-tiba telah diserang dari belakang oleh serombongan pengemis
bertongkat hitam!
Ternyata bahwa tadi ketika
Hong Beng melompat keluar dari dalam hotel dan dikeroyok oleh para perwira, ada
beberapa orang anggota Hek-tung Kai-pang berada di luar hotel itu. Melihat
betapa pemuda gagah itu bersenjatakan tongkat hitam yang mereka kenal sebagai
tongkat pusaka dari Hek-tung Kai-pang, maka tahulah mereka bahwa pemuda ini
tentulah pangcu yang baru seperti sudah mereka dengar dari para pemimpin cabang
mereka.
Atas bunyi siulan rahasia
mereka, dalam waktu sebentar saja datanglah berpuluh-puluh pengemis anggota
Hek-tung Kai-pang, bahkan pemimpin-pemimpin yang berkedudukan di kota raja
secara sembunyi-sembunyi juga muncul kemudian melakukan pengeroyokan terhadap
para tentara kerajaan yang mengurung itu!
Hong Beng merasa girang
sekali. Bersama Goat Lan ia lalu melompat jauh dan mencari jalan keluar dari
tempat di mana para pengemis tongkat hitam itu menyerbu. Sambil memutar tongkat
hitamnya dan merobohkan beberapa belas tentara yang mengeroyok, ia berseru,
“Aku pergi, lekas kalian
mencari jalan aman!” Setelah berkata demikian, ia dan Goat Lan melompat ke atas
genteng dan melenyapkan diri di balik wuwungan rumah-rumah yang tinggi.
Kawanan jembel yang setia itu
lalu juga ikut melarikan diri ke sana ke mari, memecah rombongan sehingga
sukarlah bagi barisan kerajaan untuk mengejar mereka. Juga tidak ada perintah
mengejar para pengemis itu, sebaliknya Bu Kwan Ji hanya berteriak-teriak
memerintahkan anak buahnya untuk mengejar dua orang muda tadi!
Akan tetapi kemanakah mereka
harus mengejar? Dua orang muda itu melompat ke atas genteng bagaikan dua ekor
burung walet saja, dan biar pun para perwira mengikuti Ban Sai Cinjin mengejar,
akan tetap mereka ini lantas tertinggal jauh oleh Ban Sai Cinjin yang
gerakannya cepat sekali.
Setelah mengejar agak jauh dan
mendapatkan dirinya hanya sendiri saja, Ban Sai Cinjin menjadi gentar. Kalau
hanya seorang diri, andai kata dia dapat menyusul, bagaimana dia akan mampu
menangkap kedua orang muda yang lihai itu? Terpaksa dia pun menunda kejarannya
dan membiarkan kedua orang muda itu melarikan diri dengan cepat.
“Tutup semua pintu gerbang!
Perkuat penjagaan! Jangan biarkan mereka lolos dari kota!” seru Bu Kwan Ji
dengan marah sekali. Di dalam kemarahannya terhadap Hong Beng dan Goat Lan,
perwira ini sampai lupa kepada para pengemis tongkat hitam yang tadi sudah
menolong kedua orang muda itu!
Hong Beng dan Goat Lan lari
terus sampai di ujung kota yang sunyi.
“Mari ikut aku!” gadis itu
mengajak tunangannya dengan suara tegas.
“Ke mana, Moi-moi?” tanya Hong
Beng.
“Ke istana, mencari Pangeran
Mahkota!”
Hong Beng mempunyai pikiran
yang cerdas dan mudah menangkap maksud kata-kata orang, maka dia diam saja dan
keduanya lalu berlari menuju ke istana yang megah itu. Untung bagi mereka bahwa
semua penjagaan dikerahkan untuk menjaga seluruh pintu gerbang dan merondai
dinding kota sebagaimana yang diperintahkan oleh Bu Kwan Ji, sehingga di dalam
kotanya sendiri hanya ada beberapa orang perwira saja melakukan penggeledahan
di sana-sini. Senja hari telah mendatang dan keadaan telah hampir gelap ketika
keduanya telah tiba di dekat dinding tinggi yang mengelilingi istana kaisar.
Tidak mudah bagi kedua orang
muda itu untuk dapat memasuki istana dan melalui dinding yang tinggi sekali
itu. Untuk masuk lewat depan tidak mungkin sekali dan masuk dengan jalan
melompati dinding yang begitu tinggi, juga sukar.
Mereka berjalan ke sana ke
mari mencari dinding yang agak rendah, akan tetapi sia-sia belaka. Ada beberapa
batang pohon yang cukup tinggi untuk menjadi jembatan, akan tetapi pohon-pohon
ini letaknya jauh dari dinding, sehingga melompat dari pohon ke atas dinding,
bahkan lebih sukar dari pada melompat dari atas tanah.
Mereka duduk di bawah dinding
dengan hati kecewa, keduanya tak mengeluarkan suara dan termenung memutar otak.
Tiba-tiba Hong Beng berkata girang,
“Ahh, aku mendapat akal,
Lan-moi! Kau tentu akan dapat masuk ke dalam dengan cara melompat ke atas
dinding.”
“Bagaimana aku dapat melompati
dinding setinggi itu, Koko?”
“Kau melompat lebih dulu dan
aku akan mendorongmu dari bawah! Dengan meminjam tenaga dan tanganku, bukankah
kau akan dapat melompat lagi ke atas?”
Untuk sesaat Goat Lan
memandang kepada tunangannya dengan sepasang matanya yang seperti mata burung
Hong itu, kemudian wajahnya berseri girang.
“Ahh, benar juga kata-katamu,
Koko. Mengapa aku tidak dapat berpikir sampai di situ?”
Tiba-tiba Hong Beng
mengerutkan keningnya. “Sayangnya, hanya kau saja yang dapat masuk ke dalam
istana untuk mencari Pangeran dan mengobatinya. Bagaimana hatiku bisa tenteram
apa bila membiarkan kau masuk seorang diri ke tempat berbahaya itu? Dengan
menanti kembalimu di luar dinding ini aku akan merasa seakan-akan berdiri di
atas besi panas!”
Kini Goat Lan yang berkata
dengan gembira, “Mengapa susah-susah? Pohon itu dapat menolongmu!”
Giliran Hong Beng yang
sekarang memandang kepada tunangannya dengan mata bodoh karena sungguh-sungguh
dia tidak mengerti apa maksud gadis itu.
“Pohon itu letaknya terlalu
jauh dari dinding, bagaimana pohon itu bisa menolongku?”
“Koko, apa kau tidak ingat
kepada cabangnya yang panjang?” seru gadis itu yang segera melompat ke arah
pohon besar dan kemudian ia melompat ke atas, memilih cabang yang panjang dan
kuat. Dengan sekali renggut saja maka patahlah cabang itu yang segera
dibersihkan daun-daunnya sehingga merupakan sebatang tongkat panjang.
“Nah, bila mana aku sudah
berhasil sampai di atas, kau lemparkan tongkat ini kepadaku. Kemudian kau
melompat dan kuterima dengan tongkat ini, bukankah beres?”
Girang sekali hati Hong Beng.
Ia menangkap tangan Goat Lan sambil memuji, “Moi-moi, kau benar-benar hebat!
Kau cerdik sekali dan... dan... cantik manis!”
“Hushh, bukan waktunya untuk
bersenda gurau, Koko!” kata Goat Lan merengut sambil mencubit lengan pemuda
itu, akan tetapi kedua matanya bersinar bangga dan kerlingnya menyambar hati
Hong Beng, menyuburkan cinta kasih yang sudah berakar di dalam hati pemuda itu.
“Nah, sekarang melompatlah,
Moi-moi. Melompatlah dengan lurus ke atas, dekat dinding, kemudian tarik kakimu
ke atas sehingga kalau aku sudah menyusul di bawahmu, kau dapat mengenjotkan
kakimu di atas tanganku!”
Goat Lan mengangguk maklum,
kemudian membereskan pakaiannya, mengikat erat tali pinggangnya dan juga
membereskan letak buntalan pakaian dan obat yang berada pada punggungnya.
“Siap, Koko!” kata gadis itu
sambil menghampiri dinding.
Hong Beng berdiri di
belakangnya dan ketika gadis itu melompat ke atas, dia pun cepat menyusul di
bawahnya! Keduanya mempergunakan gerak lompat Pek-liong Seng-thian (Naga Putih Naik
ke Langit).
Tubuh Goat Lan yang ringan itu
meluncur pesat ke atas dan ketika dia merasa bahwa tenaga luncurannya sudah
hampir habis, dia lalu menarik kedua kakinya ke atas. Tepat pada saat melayang
turun kembali, dia merasa betapa kedua tangan Hong Beng yang kuat telah
menyangga sepasang telapak kakinya.
Goat Lan diam-diam memuji
tunangannya ini karena dengan gerakan ini ternyata bahwa tenaga lompatan Hong
Beng masih menang sedikit kalau dibandingkan dengan tenaga loncatannya. Karena
kini sudah mendapat tempat untuk sepasang kakinya, Goat Lan lalu mengenjot lagi
ke atas dan tubuhnya melayang makin tinggi sehingga ia dapat mencapai dinding
itu.
Tangannya menyambar pinggiran
dinding dan sekali ia mengayun tubuh ke atas, ia telah berada di atas dinding yang
tinggi itu! Dia memandang ke sebelah dalam dan untung sekali bahwa mereka tiba
di dinding yang menutupi sebuah taman bunga yang sangat indahnya sehingga gadis
ini menjadi takjub melihat sedemikian banyaknya pohon-pohon bunga yang
menyerbakkan keharuman.
Sayang bahwa keadaan sudah
agak gelap hingga ia tidak dapat menikmati tata warna yang luar biasa dari
taman bunga itu. Saking kagumnya, Goat Lan sampai lupa kepada Hong Beng. Ia
terkejut ketika mendengar seruan Hong Beng, “Moi-moi, terimalah tongkat ini!”
Cepat dia memutar tubuhnya dan
menghadap keluar lagi. Dinding itu tebal sekali, lebar permukaan dinding yang
diinjaknya lebih dari dua kaki, sehingga ia boleh berdiri dengan enak dan tetap
di atas dinding itu.
Hong Beng melempar tongkat
panjang ke atas yang diterima oleh Goat Lan dengan mudahnya. Ketika gadis itu
duduk di atas tembok, tangan kiri merangkul tembok dan tangan kanan memegang
ujung tongkat yang diulurkan ke bawah maka ujung tongkat di bawah telah
mencapai tempat yang cukup rendah bagi Hong Beng untuk melompat dan
menangkapnya. Akan tetapi pemuda ini masih berkuatir kalau-kalau Goat Lan tidak
akan kuat menahan berat tubuhnya dengan tongkat itu, maka sebelum meloncat ia
berseru,
“Moi-moi, kalau nanti terlalu
berat bagimu, kau lepaskan saja tongkat itu, jangan sampai kau ikut jatuh ke
bawah!”
“Kau kira aku ini orang macam
apa?” bantah Goat Lan berpura-pura marah, akan tetapi suaranya terdengar
bersungguh-sungguh. “Kalau kau jatuh, aku pun ikut jatuh pula!”
“Eh, eh, jangan begitu,
Lan-moi. Kalau kau lepaskan tongkat itu, jatuhku tidak dari tempat terlalu
tinggi dan paling-paling aku hanya akan lecet-lecet saja. Akan tetapi kau...
dari tempat begitu tinggi!”
“Aku juga tak akan mati jatuh
dari tempat setinggi ini!”
Hong Beng menjadi bingung. Dia
ragu-ragu untuk melompat, karena dia maklum bahwa gadis itu betul-betul takkan
membiarkan ia jatuh sendiri! Tiba-tiba pemuda itu lalu berlari ke tempat di
mana terdapat pohon besar tadi.
Goat Lan memandang heran, akan
tetapi ia melihat pemuda itu telah melompat naik ke atas pohon dan menggunakan
pedangnya untuk membabat putus sebatang cabang yang panjang. Ketika Hong Beng
sudah tiba di tempat tadi, tahulah Goat Lan bahwa pemuda itu telah mengambil
dan membuat sebatang tongkat seperti tadi panjangnya, hanya saja kini tongkat
ini ujungnya ada kaitannya. Pemuda yang cerdik ini telah mengambil cabang yang
ada kaitannya dan kemudian ia berkata,
“Moi-moi, taruh saja tongkat
itu di atas dinding, dan kau pakailah tongkat yang ini!” Ia melontarkan tongkat
baru ini ke atas yang disambut dengan mudahnya oleh Goat Lan.
Gadis ini menjadi girang
sekali, karena tentu saja dengan tongkat ini, dia tak usah kuatir tunangannya
akan jatuh kembali karena dia tidak kuat menahan berat tubuhnya. Dia lalu
memasang kaitan tongkat itu pada dinding, dan memegang kaitan itu menjaga
jangan sampai kaitannya terlepas.
“Lompatlah, Koko!” teriaknya
ke bawah.
Hong Beng mengumpulkan tenaga
pada kakinya, kemudian mengenjot tubuhnya ke atas. Ketika tangannya dapat
mencapai ujung tongkat yang tergantung di bawah, ia menangkap tongkat itu dan
dengan cekatan sekali dia lalu naik ke atas, merayap melalui tongkat. Setelah
tiba di atas dinding, ia mengomel kepada tunangannya,
“Lan-moi, lain kali jangan kau
main nekad begitu. Kalau aku tidak mendapat akal ini, aku tak akan berani
melompat naik dan membiarkan kau jatuh ke bawah.”
Goat Lan tersenyum manis,
kemudian teringat akan tugasnya lagi.
“Mari kita turun ke dalam,”
katanya, “baiknya ada dua buah tongkat ini yang akan dapat membantu kita.”
Gadis yang berani itu lalu
melompat turun lebih dulu dengan tongkat yang dipegangnya merupakan pembantu
yang amat berguna. Sebelum tubuhnya tiba di tanah, ia lebih dulu menancapkan
tongkat itu sehingga dapat menahan tenaga luncurannya. Setelah tenaga luncuran
itu habis, dia baru melompat ke bawah dengan ringannya. Kedua kakinya tidak
mengeluarkan suara sedikit pun juga.
Hong Beng segera meniru
gerakan kekasihnya ini dan kini mereka berdua telah berada di dalam taman.
“Aduh indahnya kembang
ini...,” kata Goat Lan sambil menghampiri sekelompok bunga seruni kuning yang
amat indah. Gadis ini bagaikan seekor kupu-kupu. Dengan lincah dan gembira dia
berlari-larian dari satu ke lain bunga, riang gembira seperti anak-anak.
“Lan-moi, apakah kita masuk ke
sini hanya untuk bermain-main di taman bunga ini?” tanya Hong Beng menegur
tunangannya dengan pandang mata kagum karena sungguh cocok sekali bagi seorang
gadis cantik berada di taman indah penuh kembang.
“Koko, bunga ini cocok sekali
untukmu!” Goat Lan seakan-akan tidak mendengar ucapan Hong Beng.
Ia memetik setangkai bunga
seruni dan membawa bunga itu kepada Hong Beng. Dengan sikap yang menyayang ia
lalu memasukkan tangkai kembang itu ke lubang kancing pada dada Hong Beng.
Terharu juga hati pemuda ini
melihat kelembutan tunangannya. Ia meremas tangan Goat Lan, kemudian tanpa
berkata-kata dia lalu memetik pula setangkai seruni merah yang ditancapkannya
di atas rambut kekasihnya.
“Hayo kita mencari Pangeran,”
katanya kemudian.
Ucapan ini mengusir hikmat taman
bunga dan kasih sayang mesra. Keduanya segera berjalan dengan hati-hati sekali
sampai ke ujung taman bunga di mana terdapat sebuah pintu. Tiba-tiba mereka
mendengar suara orang bercakap-cakap di belakang pintu itu.
Ketika mereka mendengarkan
dengan penuh perhatian dan tahu bahwa yang bercakap cakap itu hanyalah dua
orang penjaga pintu belakang, cepat kedua orang muda perkasa ini lalu membuka
pintu dengan tiba-tiba. Dua orang penjaga yang memandang dengan celangap itu
tidak diberi kesempatan membuka suara. Begitu tangan Goat Lan dan Hong Beng
bergerak, keduanya telah kena ditotok sehingga menjadi kaku tak dapat bergerak
mau pun bersuara lagi.
Hong Beng mencabut tongkatnya.
Sesudah membebaskan salah seorang penjaga dari totokannya, dia menempelkan ujung
tongkat pada leher orang itu sambil berkata,
“Hayo katakan terus terang di
mana kamar Pangeran Mahkota!”
Penjaga itu biar pun tubuhnya
menggigil, mukanya pucat, dan bibirnya gemetar namun ia menggelengkan kepalanya
dan berkata, “Tidak, tidak! Kami telah banyak menerima budi Hong-siang
(Kaisar), dan Putera Mahkota amat budiman. Biar pun aku akan kau bunuh, aku
tidak akan mengkhianati Putera Mahkola! Kau tidak boleh membunuhnya!”
Tersenyum Hong Beng mendengar
ini. Dia suka dan kagum melihat kesetiaan penjaga pintu, pegawai rendah ini.
Tiba-tiba dia mendapat pikiran yang baik sekali.
“Dengar, sahabat. Kami berdua
datang sama sekali bukan membawa niat jahat. Kami datang hendak mengobati
Putera Mahkota, akan tetapi kami niat kami dihalang-halangi oleh Bu Kwan Ji si
jahanam. Maukah kau membantu kami menolong pangeranmu itu?”
Penjaga itu memandang kepada
Hong Beng dengan curiga. “Siapa tahu betul tidaknya bicaramu ini?” tanyanya.
Goat Lan turun tangan dan
berkata, “Dengarlah, Lopek (Uwa). Aku adalah murid dari Yok-ong (Raja Obat) Sin
Kong Tianglo dan aku benar-benar datang hendak menolong Pangeran Mahkota. Kau
percayalah dan tunjukkan kepadaku di mana tempat Pangeran itu.”
Melihat Goat Lan, maka
lenyaplah kecurigaan penjaga itu. Gadis secantik dan seramah ini dengan
sepasang mata yang indah dan halus itu tak mungkin jahat.
“Baiklah, aku akan membantumu.
Kalau aku salah duga dan ternyata kau datang hendak melakukan kejahatan,
biarlah kelak nyawaku akan menjadi setan yang selalu mengejar-ngejarmu! Pada
waktu ini, Pangeran Mahkota berada di ruangan belakang, tidak jauh dari sini.
Baiknya tiga orang tabib yang biasa selalu menjaganya kini tengah keluar,
kabarnya untuk menangkap pemberontak-pemeberontak! Yang menjaga hanyalah inang
pengasuh dan para pelayan saja. Mari kalian ikut padaku!”
Penjaga yang seorang lagi
tidak dibebaskan dari totokan, bahkan Hong Beng kemudian melepaskan ikat
pinggang orang itu dan mengikat kedua tangannya agar jangan sampai terlepas dan
menimbulkan ribut. Ketiganya lalu berjalan ke sebelah dalam dan tidak lama
kemudian mereka tiba di ruang yang dimaksudkan.
Di sana terdapat lima orang
pelayan wanita, dua orang pelayan banci (thai-kam) serta empat orang penjaga
yang kokoh kuat tubuhnya. Alangkah kaget semua orang ini ketika melihat penjaga
itu masuk bersama dua orang muda yang elok. Empat orang penjaga itu cepat
melompat menghampiri mereka dengan golok di tangan.
“Siapa kalian dan perlu apa
masuk tanpa dipanggil?” bentak seorang di antara mereka.
“Kami datang hendak mengobati
Pangeran!” kata Hong Beng.
“Tak seorang pun boleh
mengobati Pangeran di luar tahunya ketiga tabib istana! Kalian orang-orang
jahat harus ditangkap!”
Hong Beng dapat menduga bahwa
empat orang penjaga ini pun tentulah kaki tangan Bu Kwan Ji, maka ia memberi
tanda kepada Goat Lan. Pada saat tubuh kedua orang muda perkasa ini berkelebat
dan kedua tangannya bergerak, keempat orang penjaga itu roboh dengan tubuh
lemas tak berdaya lagi! Tentu saja dua orang thaikam dan kelima orang pelayan
wanita itu menjadi ketakutan dan berdiri dengan muka pucat dan tubuh gemetar.
“Kami datang bukan dengan niat
jahat,” kata Hong Beng. “Kami datang untuk mengobati Pangeran! Akan tetapi,
siapa saja yang berani menghalangi kami pasti akan kuhancurkan kepalanya!”
Sambil berkata demikian, Hong Beng lalu mencabut tongkatnya yang hitam
mengkilap sehingga mereka semua menjadi takut.
“Siapakah yang membuat
ribut-ribut itu?” tiba-tiba terdengar suara yang halus dan lemah.
Goat Lan cepat menengok ke
arah suara itu, maka terlihatlah pangeran Mahkota yang sedang berbaring di
tempat tidurnya yang indah. Pangeran ini masih muda sekali, paling banyak baru
empat belas tahun, tubuhnya amat kurus dan wajahnya pucat sekali.
Goat Lan melompat dan berlutut
di depan Pangeran yang sekarang sudah duduk di atas pembaringannya itu.
“Hamba Kwee Goat Lan, murid
dari Yok-ong Sin Kong Tianglo. Hamba datang hendak melanjutkan usaha mendiang
Suhu untuk mencoba mengobati Paduka.”
Pangeran kecil itu membuka
kedua matanya lebar-lebar. “Bukankah kau yang kemarin dinyatakan hendak
meracuniku? Obat apa yang kau kirim ke sini itu? Rasanya pahit dan masam!
Membuat perutku muak!”
Goat Lan bangkit berdiri.
“Paduka telah ditipu. Orang-orang jahat mengelilingi tempat ini. Yang diberikan
bukan obat dari hamba, akan tetapi sudah ditukar dengan obat lain yang jahat!”
Dia cepat mengeluarkan buah Giok-ko dan memperlihatkannya kepada Pangeran itu.
“Buah inilah yang kemarin hamba persembahkan kepada Hong-siang, apakah ini pula
yang Paduka makan?”
Pangeran itu menerima buah
yang berkilauan bagaikan mutiara itu dengan kagum dan heran. “Bukan, bukan ini,
akan tetapi buah hijau yang baunya tidak enak. Buah ini wangi sekali.”
“Nah, silakan Paduka makan
buah ini, dan demi Thian Yang Maha Adil, kalau Paduka percaya, penyakit Paduka
pasti akan lenyap!”
Pangeran itu memandang kepada
Goat Lan sampai lama, kemudian ia tersenyum lemah dan berkata, “Kau cantik dan
gagah, aku percaya kepadamu!” Dan ia lalu makan buah itu. Baru saja satu
gigitan, ia berseru girang, “Manis dan wangi sekali!” Sebentar saja habislah
buah itu semua.
“Kalau masih ada, aku ingin
makan lagi!” Sambil berkata demikian dengan tangan kanan, Pangeran itu menutup
mulut menahan kuapnya, karena ia tiba-tiba merasa mengantuk sekali.
“Sekarang harap Paduka suka
beristirahat, karena baru besok pagi Paduka boleh makan sebuah lagi,” kata Goat
Lan.
Akan tetapi Pangeran itu telah
merebahkan diri dan sebentar saja ia tertidur pulas terkena pengaruh Giok-ko
yang sangat manjur itu. Goat Lan segera menyuruh seorang pelayan menyediakan
perabot untuk memasak daun To-hio sebagaimana yang telah dipesankan oleh Thian
Kek Hwesio.
Pada saat Goat Lan sedang
sibuk memasak obat itu, tiba-tiba saja Hong Beng berseru terkejut, “Celaka,
Hong-siang bersama para pengiringnya sedang menuju ke sini!”
Memang sudah menjadi kebiasaan
Kaisar untuk menengok keadaan putera yang tercinta itu sebelum tidur. Seperti
biasa, malam hari itu Kaisar juga datang diantar oleh lima orang pengawal
pribadinya!
Hong Beng yang menjaga pintu
menjadi bingung, namun Goat Lan lalu berkata, “Koko, kurasa lebih baik lagi apa
bila Hong-siang berada di dalam kamar ini untuk menyaksikan bagaimana kita
menolong puteranya!”
Hong Beng memutar otak dan
cepat dia berkata kepada semua pelayan di situ, “Awas, semua orang tidak boleh
membikin ribut. Diam-diam saja seperti tak terjadi sesuatu apa pun sehingga
Hong-siang tidak akan kaget dan curiga. Kalian telah melihat sendiri bahwa kami
benar-benar hendak mengobati Pangeran, dan seperti kataku tadi, siapa saja yang
akan menghalangiku, akan kuhancurkan kepalanya!”
Pemuda itu lalu bersembunyi di
balik daun pintu, menanti masuknya Kaisar, sedangkan Goat Lan tetap memasak
obat tanpa mempedulikan keadaan di luar kamar.
Untung sekali bagi kedua orang
muda itu bahwa tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam kamar pangeran. Maka
ketika tiba di luar pintu, hanya Kaisar sendiri yang masuk ke dalam, sedangkan
lima bayangkari menjaga di luar pintu itu dengan golok di tangan! Kaisar masuk
dengan wajah muram karena ia memikirkan keadaan puteranya. Alangkah terkejutnya
ketika ia melihat seorang gadis yang tak dikenalnya sedang memasak obat.
“Siapa kau?” tanyanya.
Goat Lan menengok dan cepat
menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar. “Hamba akan menerima hukuman dari
kelancangan hamba masuk ke tempat ini, akan tetapi mohon diberi kesempatan
lebih dulu untuk menyembuhkan penyakit Putera Mahkota!”
Ketika melihat wajah gadis
ini, Kaisar menjadi makin terkejut.
“Bukankah kau yang mengaku
murid Yok-ong dan yang sudah mencoba untuk meracuni puteraku?”
Cepat Kaisar menengok untuk
memanggil penjaga dan bayangkari, akan tetapi ia makin pucat ketika melihat
bahwa pintu telah ditutup dan kini seorang pemuda yang dikenalnya sebagai kawan
gadis ini, kini telah berdiri dengan gagahnya di tengah pintu itu, menjaga
dengan tongkat di tangan. Ketika dia melirik ke kiri, di sudut rebah empat
orang penjaga pangeran dalam keadaan lemas tak berdaya.
“Hemm, jadi kalian berdua ini
benar-benar putera-putera Pendekar Bodoh yang hendak memberontak? Apakah
kehendak kalian sekarang? Mau membunuh puteraku atau aku? Kalian kira mudah
saja melakukan hal itu?”
Akan tetapi, walau pun masih
memegang tongkatnya, Hong Beng lalu menjatuhkan diri berlutut di tempat
penjagaannya.
“Ayah hamba, Pendekar Bodoh,
tidak pernah menjadi pemberontak, dan demikian pula hamba berdua. Sesungguhnya
hamba datang hanya hendak mengobati Putera Mahkota, bukan mengandung niat
jahat. Mohon Hong-siang sudi mempertimbangkan dan memberi ampun.”
“Buah obat yang kalian berikan
kemarin telah dimakan oleh puteraku, akan tetapi bahkan menambah penyakitnya.
Bukankah itu bukti yang nyata?”
“Maafkan hamba,” kata Goat
Lan. “Itulah sebabnya mengapa hamba berdua terpaksa mengambil jalan masuk
secara lancang ini. Buah dari hamba itu telah ditukar orang dan yang diberikan
kepada Pangeran adalah buah yang berbahaya. Baru tadi putera Paduka telah makan
sebutir buah dari hamba dan sekarang telah dapat tidur nyenyak.”
“Hamba berdua meminta waktu
sampai tiga hari, dan sebelum lewat tiga hari, terpaksa hamba berlaku kurang
ajar dan menahan Paduka di kamar ini! Hal ini terpaksa hamba lakukan untuk
mencegah gangguan dari tiga tabib durjana, pengkhianat Bu Kwan Ji, dan Huncwe
Maut Ban Sai Cinjin yang amat jahat dan berbahaya.” Hong Beng menyambung
kata-kata Goat Lan.
Kaisar memandang dari Goat Lan
ke Hong Beng berganti-ganti, kemudian ia tersenyum.
“Baiklah, kuberi waktu tiga
hari, akan tetapi bila mana di dalam waktu itu ternyata kalian membohong,
awaslah, jangan kau berani main-main dengan Kaisar!” Sesudah berkata demikian,
Kaisar lalu menghampiri puteranya yang sedang tidur nyenyak dengan napas
teratur dan tenang.
“Lucu... lucu... !” kata
Kaisar setelah menghampiri kembali Goat Lan dan Hong Beng, lalu duduk di atas
sebuah kursi gading. “Baru kali ini selama hidupku aku mengalami ditahan oleh
orang luar, orang biasa. Ha-ha-ha! Benar-benar menggembirakan dan mendebarkan
hati! Aku ingin sekali mengetahui bagaimana perkembangan selanjutnya dari
peristiwa aneh ini!”
Akan tetapi, karena hari sudah
malam dan Kaisar itu merasa mengantuk sekali, dia lalu pergi tidur di atas
sebuah pembaringan biasa yang berada di tempat itu, dilayani oleh lima orang
pelayan wanita itu dengan penuh penghormatan.
“Koko, aku sekarang teringat
bahwa hwesio-hwesio yang ikut Bu-ciangkun menyerbu kita di hotel, adalah hwesio
yang datang menyerang kita pada malam hari kemarin dulu!”
Hong Beng mengangguk-angguk.
“Sekarang mulai terang bagiku. Sudah jelas bahwa tabib-tabib istana yang
menjaga Pangeran ini telah sengaja menghalangi penyembuhan Pangeran, dan
agaknya hal ini ada hubungannya pula dengan Bu Kwan Ji. Mungkin tiga orang
tabib itu telah bersekongkol dengan perwira she Bu itu, dibantu pula oleh Ban
Sai Cinjin! Kita harus dapat meyakinkan Kaisar bahwa mereka itu adalah
sekomplotan orang jahat yang menghendaki nyawa Pangeran Mahkota, entah apa
sebabnya!”
“Jalan satu-satunya untuk
meyakinkan dan mendapatkan kepercayaan Kaisar hanyalah penyembuhan puteranya.”
“Mudah-mudahan saja obat yang
kau bawa itu berhasil!”
“Pasti berhasil!” kata-kata
ini diucapkan oleh Goat Lan dengan suara yang tetap penuh kepercayaan. “Obat
ini adalah petunjuk dari Suhu, bagaimana bisa salah?”
Malam hari itu, Pangeran
Mahkota terjaga dari tidurnya dan Goat Lan lalu memberinya minum obat Daun
Golok yang sudah dimasak. Karena merasa betapa tubuhnya sangat enak, Pangeran
itu percaya penuh kepada Goat Lan dan tanpa ragu-ragu lagi minum semangkok
masakan obat daun itu. Kemudian, gadis ini dengan kedua tangannya sendiri
memasakkan sedikit bubur untuk Pangeran itu dan memaksanya untuk mengisi perut
dengah bubur itu.
Sudah tiga hari Pangeran itu
tidak mau makan, akan tetapi sekarang, semangkok bubur masih belum memuaskan
seleranya hingga dia minta tambah. Akan tetapi dengan suara halus Goat Lan
mencegahnya, kemudian gadis ini sambil duduk di dekat pembaringan, lalu
menceritakan dongeng-dongeng kuno mengenai kegagahan sehingga pangeran itu
merasa tertarik sekali dan akhirnya dia melupakan rasa laparnya dan tertidur
kembali.
Pada keesokan harinya, Kaisar
bangun pagi-pagi sekali dan dia merasa sangat heran mengapa ia dapat tidur
demikian nyenyaknya! Biasanya, di dalam kamarnya sendiri yang bagus, di atas
pembaringan terhias emas dan permata, setiap malam pasti dua tiga kali dia
terjaga. Akan tetapi kali ini, tidur di tempat peristirahatan puteranya, hanya
di atas pembaringan biasa, bahkan sebagai seorang tawanan dari dua orang muda
aneh itu, ia dapat tidur pulas dan enak!
Ketika dia memandang, ternyata
bahwa Goat Lan sudah bangun pula. Gadis ini bersama Hong Beng bergiliran
menjaga pintu, akan tetapi mereka tidak tidur, hanya duduk bersila sambil
bersemedhi saja.
“Jadi aku belum boleh keluar
dari kamar ini?” Kaisar bertanya sambil tersenyum kepada Hong Beng yang masih
berdiri menghadang di pintu dengan tongkat di tangan.
“Terpaksa hamba akan menghalanginya,
demi keselamatan putera Paduka!” jawab Hong Beng dengan suara tetap.
Kaisar tersenyum. “Apakah kau
kira aku dapat bertahan tanpa makan sampai tiga hari? Bodoh! Minggirlah, biar
aku memberi perintah supaya membawa makanan dan air untuk kita mencuci muka!”
Suara Kaisar amat berpengaruh
dan karena ia percaya penuh kepada Kaisar ini, Hong Beng lalu melangkah ke
samping. Kaisar membuka daun pintu dan berkata kepada lima orang bayangkari
yang semalam suntuk menjaga di depan pintu tanpa berani pergi atau masuk!
“Jangan perbolehkan siapa pun
juga masuk ke kamar ini! Atur penjagaan kuat secara bergilir dan suruh pelayan
wanita menghidangkan makanan dan minuman. Juga air untuk mencuci muka. Laporkan
kepada Hong-houw (Permaisuri) bahwa selama tiga hari ini aku akan berada di
dalam kamar pangeran untuk menjaga dan menyaksikan sendiri Sang Pangeran
menerima pengobatan!” Sesudah berkata demikian, Kaisar lalu menutup pintu
kembali.
Lima orang bayangkari itu
saling pandang dengan bingung. Perintah dari Kaisar cukup jelas, hanya mereka
merasa bingung sebab siapakah yang sedang mengobati Pangeran? Mereka tidak
melihat ada orang masuk, sedangkan ketiga orang tabib istana pun belum masuk ke
kamar itu!
Akan tetapi, oleh karena sudah
jelas bunyi perintah Kaisar, mereka mengerjakan dengan seksama dan taat. Semua
perintah Kaisar dikerjakan dengan cepat sekali, dan sebentar saja di depan
kamar itu sudah terjaga oleh dua belas orang bayangkari pengawal pribadi
Kaisar. Kalau andai kata Permaisuri sendiri hendak memasuki kamar itu, tanpa
perkenan dan persetujuan Kaisar, para bayangkari itu tentu takkan mau memberi
jalan masuk!
Kaisar memiliki dua puluh
empat orang pengawal pribadi yang dipilih oleh Kaisar sendiri dan kesetiaan
mereka sudah dipercaya serta diuji benar-benar. Kepandaian mereka juga cukup
tinggi.
Hong Beng tetap menjaga di
belakang pintu yang tertutup itu sedangkan Goat Lan telah memberi makan sebuah
Giok-ko lagi kepada Pangeran yang kini nampak lebih segar dari pada kemarin.
Kaisar melihat sendiri betapa Goat Lan bersungguh-sungguh berusaha mengobati
puteranya, maka diam-diam Kaisar ini memperhatikan Goat Lan dan menjadi kagum
sekali.
Ketika dari luar terdengar
suara ketokan pintu oleh bayangkari yang melaporkan bahwa makanan dan minuman
telah dibawa datang oleh pelayan-pelayan wanita, Kaisar segera memerintahkan
pelayan-pelayan wanita yang banyaknya lima orang di dalam kamar itu untuk
mengambil hidangan-hidangan itu. Pelayan-pelayan baru yang datang membawa
makanan tidak diperkenankan masuk!
Sesudah hidangan disiapkan,
Kaisar mengajak Hong Beng dan Goat Lan untuk makan bersama! Suatu kehormatan
yang besar sekali dan belum pernah ada orang biasa diajak makan bersama oleh
Kaisar!
Akan tetapi Hong Beng yang
amat hati-hati dengan sopan dan halus memohon maaf dan menolaknya, karena dia
tidak mau meninggalkan pintu yang dijaganya itu. Dia maklum bahwa kalau dia
lalai sehingga Bu Kwan Ji dan kaki tangannya sampai dapat menyerbu masuk, akan
celakalah dia, Goat Lan, dan juga Pangeran Mahkota!
Sebaliknya, karena dia merasa
sangat lapar, Goat Lan tidak menolak ajakan Kaisar dan makanlah mereka bertiga,
yakni Kaisar, Pangeran dan Goat Lan. Kaisar dan Pangeran sungguh merasa gembira
sekali, oleh karena telah berbulan-bulan Pangeran tidak kuasa turun dari
pembaringan, akan tetapi sekarang bahkan dapat makan satu meja dengan ayahnya!
Dalam kesempatan ini, Kaisar
mengajukan banyak pertanyaan kepada Goat Lan tentang orang tuanya, tentang
guru-gurunya dan mengapa gadis ini dengan mati-matian hendak mengobati
Pangeran.
“Apakah karena kau merasa
menjadi rakyat hendak berbakti kepadaku yang menjadi rajamu?” tanya Kaisar
memandang tajam.
“Memang ada juga keinginan
hati hamba untuk berbakti, akan tetapi yang utama sekali karena hamba hendak
menjunjung serta melindungi nama baik mendiang suhu hamba, yakni Yok-ong Sin
Kong Tianglo!”
Dengan jujur gadis ini
kemudian menceritakan keadaannya, menceritakan pula tentang pengorbanan
suhu-nya yang sampai meninggal dunia dalam usahanya mencarikan obat guna
menyembuhkan Pangeran Mahkota. Pangeran yang kini telah berusia empat belas
tahun itu merasa terharu mendengar penuturan Goat Lan dan dengan berlinang air
mata ia lalu berkata,
“Nona, besar sekali budi
mendiang suhu-mu dan engkau. Kami tak akan melupakan budi pertolongan yang
besar ini.”
“Kau memang baik sekali, Nona
Kwee. Sudah sepatutnya kalau kau mendapat anugerah besar. Tunggu saja kalau
Pangeran sudah sembuh benar!”
“Hamba tidak mengharapkan
hadiah atau pun anugerah, sebab anugerah Paduka berupa kebijaksanaan dan
keadilan kepada rakyat jelata sudah merupakan anugerah terbesar yang dapat
Paduka berikan! Hanya hamba merasa kuatir sekali karena jelas bahwa ada
komplotan jahat yang tidak ingin melihat kesembuhan Pangeran Mahkota. Harap
Paduka suka berlaku hati-hati dan segera menangkap orang-orang seperti Bu Kwan
Ji dan ketiga orang tabib istana itu. Sudah terbukti bahwa ketika hamba memberi
buah Giok-ko yang Paduka teruskan kepada orang she Bu itu, ternyata setelah
sampai di tangan Pangeran telah ditukar dengan buah lain yang berbahaya!”
Kaisar mengangguk-angguk.
“Jangan kuatir, sesudah selesai pengobatan ini, pasti akan kulakukan tindakan
keras untuk menghukum dan menyiksa mereka supaya mengaku.”
Akan tetapi pada saat itu, di
luar terdengar ribut-ribut. Hong Beng yang sudah siap sedia, mendekati pintu
dan mendengarkan dari celah-celah daun pintu. Ternyata bahwa yang sedang ribut
mulut dengan para bayangkari itu adalah suara Bu Kwan Ji, ketiga orang tabib,
dan Ban Sai Cinjin.
“Apakah kalian sudah gila?
Tidak tahukah kalian siapa aku hingga kalian berani mampus sekali melarangku
untuk masuk ke dalam kamar Pangeran?!” Terdengar suara Bu Kwan Ji
membentak-bentak marah.
“Maafkan kami, Bu-ciangkun.
Tentu saja kami mengenal Ciangkun dengan sangat baik. Akan tetapi kami hanya
mentaati perintah dari Hong-siang, maka harap Ciangkun suka memaklumi.”
“Bagaimana bunyi perintah
Hong-siang?”
“Bahwa tidak seorang pun,
siapa pun juga orang itu, boleh masuk ke dalam kamar ini.”
Sunyi untuk sesaat, baru
kemudian terdengar suara Ngo-tok Lo-koai Ang Lok Cu, “Kami bertiga adalah
tabib-tabib istana yang bertugas menjaga Pangeran Mahkota yang tengah sakit.
Apakah kami juga tidak boleh masuk?”
“Sungguh menyesal sekali,
Totiang, kami tidak berani melanggar perintah dan larangan Hong-siang!” jawab
bayangkari yang setia itu.
“Mungkin Hong-siang tidak
maksudkan kami yang dilarang masuk,” terdengar Bu Kwan Ji membujuk lagi. “Coba
kau laporkan ke dalam kepada Hong-siang, bahwa Bu-ciangkun beserta tiga tabib
besar mohon menghadap untuk membuat laporan tentang pengejaran para
pemberontak!”
“Kami tak berani, Bu-ciangkun.
Sudah jelas sekali perintah Kaisar bahwa siapa pun juga tidak diperbolehkan
masuk ke kamar ini. Bahkan kami sendiri pun kalau tidak dipanggil, tidak berani
membuka pintu ini!”
Sunyi lagi sesaat lamanya.
“Apakah Hong-siang berada di
dalam?” tanya lagi Bu Kwan Ji.
“Betul, Ciangkun,” jawab
bayangkari.
“Siapa lagi selain Hong-siang
dan para pelayan berada di dalam? Apakah ada orang luar yang masuk?”
“Setahu kami tidak ada orang
luar, Ciangkun. Akan tetapi entahlah, sebab kali ini Kaisar berlaku amat ganjil
dan penuh rahasia.”
Pendengaran Hong Beng yang
tajam dapat menangkap suara bisik-bisik dan ia maklum bahwa Bu Kwan Ji tentunya
sedang berunding dengan ketiga orang tabib itu. Kemudian terdengarlah tindakan
kaki mereka menjauhi tempat itu. Hong Beng menarik napas lega, karena tidak
perlu dia mempergunakan senjatanya untuk mencegah mereka memasuki kamar itu.
Akan tetapi, kelegaan di dalam
dada Hong Beng itu tidak berlangsung lama. Menjelang tengah hari terdengar
suara-suara lagi di depan pintu, dan kini selain suara Bu Kwan Ji dan
kawan-kawannya, terdengar pula suara yang amat merdu dan halus.
Suara ini adalah suara selir
terkasih dari Kaisar yang bernama Song Tian Ci. Seperti sudah dituturkan di bagian
depan, Song Tian Ci yang amat dikasihi oleh Kaisar ini telah mempunyai seorang
putera dan dia telah dapat dibujuk oleh Bu Kwan Ji sehingga kedua orang durjana
ini mengadakan hubungan gelap di luar tahunya Kaisar. Keduanya telah mengadakan
komplotan gelap untuk membiarkan Pangeran Mahkota meninggal dunia karena
penyakitnya agar kelak putera dari Song Tian Ci dapat menggantikan kedudukan
raja.
Ketika Bu Kwan Ji mendengar
dari para bayangkari bahwa Kaisar melarang siapa pun juga memasuki kamar Putera
Mahkota, panglima ini lalu cepat mencari kekasihnya itu dan kini Song Tian Ci
sendiri yang maju ke depan untuk mempergunakan kekuasaannya memberi jalan
kepada Bu Kwan Ji dan tiga orang tabib yang menjadi kaki tangannya itu.
Akan tetapi sekali ini dia pun
tertegun melihat betapa para bayangkari tetap tidak mau memberi jalan
kepadanya! Betapa pun juga, terhadap Song Tian Ci, para bayangkari tak berani
berlaku keras karena mereka telah tahu pula akan kekuasaan dan pengaruh selir
ini yang tidak kalah oleh Permaisuri sendiri!
“Kalau kalian tidak mau
memberitahukan Kaisar mengenai kedatanganku, jangan kalian menyesal apa bila
besok kalian akan kehilangan kepala!” Selir ini berkata dengan marah sekali.
Akhirnya salah seorang
bayangkari tidak dapat menahan rasa gelisahnya, maka dia lalu membuka pintu itu
dan melangkah masuk. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat Hong Beng berdiri
dengan tongkat di tangan di belakang pintu itu! Begitu bayangkari itu masuk dan
melihat Kaisar sedang duduk di atas pembaringan Putera Mahkota, dia cepat-cepat
menjatuhkan diri berlutut.
“Mengapa kau masuk tanpa
dipanggil?!” Kaisar membentak marah. “Apakah kau sudah bosan hidup?!”
“Mohon beribu-ribu ampun atas
kelancangan hamba, Paduka. Di luar kamar telah datang Song-thai-thai yang memaksa
hamba memberitahukan kedatangan dan permohonannya untuk masuk menjumpai
Paduka.”
Mendengar bahwa selirnya yang
datang, lenyaplah kemarahan Kaisar. Ia memang amat mencinta selir ini yang
dianggapnya amat baik, maka dia berpikir lebih baik dikawani oleh selir itu
dalam keadaan yang amat menegangkan urat syarafnya menghadapi pengobatan
puteranya ini.
“Hemm, biarkan dia masuk ke
dalam,” katanya kemudian.
Bayangkari itu memberi hormat
sambil mengerling dengan kening berkerut ke arah Hong Beng yang berdiri menjaga
dengan tongkat di tangan, kemudian kepada Goat Lan yang sedang masak daun obat.
Setelah itu dia mengundurkan diri, keluar dari kamar itu untuk menyampaikan
perkenan Kaisar kepada Song Tian Ci.
Dengan girang dan bangga, Song
Tian Ci lalu mengajak Bu Kwan Ji, ketiga tabib yaitu Cu Tong Hwesio, Cu Siang
Hwesio, dan Ang Lok Cu untuk ikut masuk ke dalam kamar. Sekarang para
bayangkari tak berani melarang lagi, sungguh pun perintah Kaisar hanya
mengijinkan selirnya saja yang masuk.
Sebagai pembuka jalan, Song
Tian Ci masuk dengan jalan di sebelah depan. Kemudian di belakangnya menyusul
Bu Kwan Ji, ketiga orang tabib itu, dan Ban Sai Cinjin.
Ketika pintu terbuka, Hong
Beng melihat munculnya seorang wanita yang cantik sekali. Meski pun usia wanita
ini sudah tiga puluh tahun lebih, namun kecantikannya memang amat mengagumkan.
Ia dapat menduga bahwa wanita ini tentu selir Kaisar yang tadi oleh bayangkari
disebut Song-thai-thai, karena itu dia hanya menjura dan berdiri di samping,
memberi jalan.
Akan tetapi ketika dia melihat
Bu Kwan Ji hendak ikut masuk, cepat dia melangkah maju dan membentak, “Keluar
kau!”
Tongkatnya berkelebat dan
telah menodong di dada panglima itu sehingga Bu Kwan Ji menjadi terkejut dan
pucat, kemudian cepat melompat keluar kembali. Hong Beng cepat menutupkan
kembali daun pintu itu!
Begitu tiba di dalam kamar,
selir yang cantik itu berdiri dengan muka terbelalak.
“Siapa kau?” bentaknya kepada
Hong Beng, kemudian dia menghampiri Goat Lan sambil membentak, “Dan kau ini
perempuan dari mana dan apa yang kau lakukan di tempat ini?”
Sebelum Goat Lan dan Hong Beng
sempat menjawabnya, Kaisar telah maju menyambut selirnya sambil tertawa-tawa.
“Lihatlah, betapa manjurnya
obat yang dibawa oleh Nona ini! Lihat puteramu telah hampir sembuh!”
Kaisar itu lalu memegang
tangan selirnya dan dibawanya selir itu ke dekat pembaringan Pangeran yang
segera bangun dan memberi hormat dari pembaringannya kepada ibu tiri ini.
Sungguh pun di dalam hatinya
Song Tian Ci merasa tertikam dan marah sekali, namun selir yang cerdik ini
dapat tersenyum dengan wajah berseri. “Syukurlah, tidak percuma setiap malam
hamba bersembahyang sampai tengah malam, memohon kepada Thian Yang Maha Esa
untuk menolong dan menyembuhkan penyakit puteranda. Akan tetapi, siapakah dua orang
muda itu? Mengapa mereka berada di sini?”
“Memang lucu sekali!” kata
Kaisar sambil tertawa geli. “Lihat saja gadis muda yang cantik jelita itu.
Walau pun masih muda, dialah yang mengobati penyakit puteramu. Dia adalah Kwee
Goat Lan, murid dari mendiang Raja Obat Sin Kong Tianglo! Dan yang seorang lagi
itu, yang tak pernah melepaskan tongkatnya, dia adalah putera Pendekar
Bodoh...”
Pucatlah wajah Song Tian Ci
mendengar hal ini. “Putera Pendekar Bodoh? Bukankah dia dan ayahnya telah
menjadi pemberontak-pemberontak berbahaya?”
“Ha-ha-ha!” Kaisar malah
tertawa. “Memang ia adalah pemberontak! Lihat saja sikapnya. Dengan tongkat di
tangan dia sudah menahanku di dalam kamar ini, melarangku keluar! Ha-ha-ha,
alangkah lucunya. Aku, Kaisar yang berkuasa, ditahan di kamarku sendiri!”
Song Tian Ci semakin terkejut
dan cepat memandang ke sekeliling kamar dengan mata menyelidik. Dia melihat
lima orang pelayan wanita yang duduk menanti perintah dengan menundukkan muka
seakan-akan tidak ada peristiwa ganjil terjadi, demikian pula dua orang
thai-kam, dan empat orang penjaga yang berlutut di sudut tanpa berani bergerak!
Mudah saja dilihat bahwa meski pun di situ ada Kaisar, sesungguhnya yang
menguasai keadaan adalah Hong Beng, pemuda yang berdiri dengan gagahnya itu.....