-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 41 (Tamat)
Setelah hari menjadi senja,
barulah Lie Siong bangun dari tidurnya. Begitu bangun dia segera bertanya
kepada Hong Beng,
“Siapakah Ji-wi (Saudara
berdua) yang telah menolong siauwte yang bodoh?”
Hong Beng dan Goat Lan tersenyum.
“Saudara Lie Siong,” kata Hong Beng, “kami bukan orang-orang lain, aku adalah
Sie Hong Beng dan dia ini adalah Kwee Goat Lan.”
Lie Siong benar-benar
terkejut. Ketika dia bersama gurunya mengirim kembali Kwee Cin ke benteng
Alkata-san, dia tidak memperhatikan semua orang, maka dia tidak melihat mereka
ini.
“Ahh...” katanya dengan
tercengang, kemudian wajahnya yang tampan nampak gembira. Akan tetapi segera
dia menjadi pucat ketika teringat kepada Lili, maka dia lalu melompat berdiri.
“Celaka... kita harus cepat kejar mereka!”
“Saudara Lie Siong, tenanglah.
Walau pun lukamu sudah sembuh, akan tetapi lukamu masih lemah dan kegugupanmu
itu amat tidak bagi kesehatanmu,” kata Goat Lan sambil memandang tajam penuh
perhatian seperti layaknya seorang tabib memandang kepada pasiennya.
Mendengar omongan ini, Lie
Siong baru sadar. Dia pun sudah mendengar bahwa Kwee Goat Lan yang menjadi
tunangan Sie Hong Beng adalah seorang gadis ahli pengobatan, maka dia lalu
menjura memberi hormat sambil berkata,
“Siauwte memang seorang bodoh
dan kasar, sampai-sampai lupa untuk menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan Lihiap. Tanpa pertolonganmu, agaknya nyawaku sudah lenyap dalam
tangan Ban Sai Cinjin.”
“Lie Siong, jangan main
sandiwara! Namaku Goat Lan, panggil saja namaku karena Lili biasanya juga
memanggil namaku begitu saja!” Kegembiraan Goat Lan timbul kembali, akan tetapi
segera disusulnya kelakarnya ini dengan kata-kata sengit, “Di mana Ban Sai
Cinjin si keparat? Apakah dia pula yang melukai pahamu?”
Lie Siong senang sekali
melihat sikap Goat Lan ini, seorang gadis yang lincah dan yang mengingatkan dia
akan kejenakaan dan kegalakan Lili. Akan tetapi pada saat itu hatinya penuh
oleh kekuatiran terhadap nasib Lili, maka ia lalu berkata,
“Celaka sekali. Ban Sai Cinjin
dan kawan-kawannya yang amat lihai sudah menculik Lili! Ketika aku hendak
menolong, mereka mengeroyokku dan secara curang sekali Ban Sai Cinjin telah
melukaiku dengan panah beracun.”
Lie Siong lalu menuturkan
dengan singkat tentang peristiwa itu. Goat Lan dan Hong Beng menjadi marah
sekali.
“Ban Sai Cinjin manusia curang
dan pengecut!” terdengar Hong Beng menggeram. “Awas saja kepalamu, kakek
jahanam, akan kuhancurkan kepalamu kalau sampai kau berani mengganggu adikku.”
“Kau baru sehari semalam
meninggalkan mereka. Mereka itu tentu takkan lari jauh. Mari kita mengejar
mereka,” kata Goat Lan.
Maka berangkatlah tiga orang
muda yang perkasa ini menuju ke Thian-san sambil di jalan mencari keterangan
mengenai Ban Sai Cinjin dan rombongannya. Memang tidak salah, menurut petunjuk
dari penduduk kampung yang mereka lalui, Ban Sai Cinjin mengambil jalan ini dan
agaknya rombongan itu pun sedang menuju ke Thian-san pula.
Sayangnya bahwa Lie Siong
belum boleh menggunakan terlalu banyak tenaga sehingga pengejaran itu tidak
dapat dilakukan dengan cepat-cepat. Sedikitnya lima hari Lie Siong harus
memulihkan tenaganya kembali, kata Goat Lan dan pemuda itu tentu saja menurut
nasehat nona penolongnya…..
********************
Tiga orang muda itu
benar-benar gagah. Melihat mereka berjalan cepat mendaki gunung melompati
jurang, sungguh membuat orang merasa kagum sekali. Hong Beng nampak gagah
dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya tampan. Lie Siong berpakaian kuning,
pedang naganya menempel di punggungnya, tubuhnya lebih kecil dari pada Hong
Beng, akan tetapi ia tampan sekali. Ada pun Goat Lan benar-benar nampak cantik
jelita dan gagah. Sepasang bambu runcingnya tergantung di punggung seperti
pedang.
Sambil berlari cepat, mereka
saling menuturkan riwayat dan pengalaman masing-masing dan makin lama Lie Siong
semakin suka kepada sepasang orang muda ini. Ia diam-diam menyesal kenapa tidak
sejak kecil dia bersahabat dengan orang-orang ini, dan secara diam-diam ia
merasa girang bahwa dahulu ibunya adalah sahabat baik dari orang-orang tua Goat
Lan dan Hong Beng. Bahkan ada rasa bangga dalam hatinya karena mereka
membicarakan ibunya dengan kekaguman, apa lagi Goat Lan yang pernah ditolong
oleh ibunya.
Beberapa hari kemudian mereka
telah sampai jauh di barat dan tiba di daerah bergunung yang gundul tiada
pohon. Tiba-tiba mereka melihat bayangan seorang kakek melompat-lompat di atas
batu yang jika dilihat dari jauh orang itu seperti seekor garuda putih saja,
karena kedua ujung lengan bajunya yang lebar dan panjang itu berkibar di kanan
kirinya seperti sayap dan ujung baju di belakang terbawa angin seperti ekornya.
“Dia adalah Thai Eng Tosu
pembantu Ban Sai Cinjin!” tiba-tiba Lie Siong berseru.
Tahu-tahu dia telah
meninggalkan kedua orang kawannya dan mengejar ke atas dengan pedang
Sin-liong-kiam di tangan. Melihat gerakan dari Lie Siong yang demikian cepatnya
ini, Goat Lan dan Hong Beng terkejut dan kagum sekali. Memang selama ini Lie
Siong belum pernah memperlihatkan kepandaiannya.
“Tosu keparat, ke mana kau
hendak pergi?!” Lie Siong membentak sambil mengejar.
Memang tosu itu adalah Thai
Eng Tosu, orang tertua dari ketiga ketua Pek-eng-kauw. Mendengar seruan ini,
kakek ini berhenti dan menengok, kemudian dia tersenyum ketika mengenal pemuda
ini. “Jadi kau sudah sembuh? Baguslah, memang orang yang benar selalu
dilindungi oleh Thian.”
“Jangan berpura-pura alim,
siapa tidak tahu bahwa kau adalah kawan dari Ban Sai Cinjin yang jahat?” bentak
Lie Siong sambil memutar pedangnya.
“Anak muda, memang sudah
sepatutnya aku dimaki. Aku dan adik-adikku sudah terbujuk oleh Ban Sai Cinjin.
Akan tetapi semenjak dia merampas puteri Pendekar Bodoh itu, aku mencuci tangan
dan meninggalkan rombongannya. Hanya dua orang adikku yang masih ikut.” Ia
menarik napas panjang tanda bahwa hatinya kesal.
“Ke mana rombongan itu membawa
Lili?” Lie Siong bertanya dengan suara mengancam. “Katakanlah, baru aku akan
mengampuni jiwamu.”
“Kau kira aku demikian busuk
hati untuk mengkhianati mereka? Carilah sendiri!”
Lie Siong marah. “Bagus, kalau
begitu kau harus mampus!”
Thai Eng Tosu mengeluarkan
suling bambunya yang kecil. “Majulah, anak muda, mari kita main-main sebentar.
Apa bila betul-betul kau mampu mengalahkan sulingku ini, aku berjanji akan
memberi tahu dirimu ke mana mereka itu membawa puteri Pendekar Bodoh!”
Lie Siong sudah merasa gemas
sekali dan cepat menyerang dengan pedangnya. Tosu itu menangkis dan segera
mereka bertempur dengan serunya di atas tempat yang penuh batu karang itu.
Sementara itu, Goat Lan
beserta Hong Beng juga sudah mengejar sampai di tempat itu, akan tetapi melihat
betapa pedang Lie Siong bergerak hebat sekali, Hong Beng berkata, “Biarlah,
kita menonton dari dekat saja dan jangan dibantu bila Lie Siong tidak terdesak.
Dia keras hati, kalau kita bantu, jangan-jangan dia akan merasa tak senang.”
“Seperti Lili...,” kata Goat
Lan.
“Memang mereka cocok sekali
seperti kita...” kata Hong Beng.
Kerling mata Goat Lan
menyambar dan keduanya tersenyum bahagia.
Gerakan ilmu silat tosu itu
memang betul-betul lihai sekali dan makin lama ia bertempur, makin nampak nyata
bahwa ilmu silatnya itu mempunyai gerakan-gerakan seperti seekor burung garuda.
Akan tetapi kini ia menghadapi Lie Siong yang di samping berkepandaian tinggi
juga sedang marah dan sakit hati sekali sehingga pedang naganya bergerak cepat
bagaikan kilat menyambar-nyambar.
Pada jurus ke lima puluh,
setelah Lie Siong mulai mendesak lawannya, tiba-tiba pemuda itu menyambarkan
pedangnya dan membabat ke arah leher Thai Eng Tosu. Pendeta ini membungkuk dan
merendahkan tubuhnya sehingga sambaran pedang itu lewat di atas kepalanya. Akan
tetapi ia tahu bahwa lidah naga yang merah itu tidak tinggal diam dan tahu-tahu
sulingnya yang berada di tangan kanannya telah terlibat dan terbetot oleh lidah
naga itu. Sekali Lie Siong membentak sambil menendang, tosu itu terpaksa
mengelakkan diri dan otomatis sulingnya kena dirampas oleh Lie Siong!
“Sudahlah, sudahlah, memang
orang yang benar selalu menang!” tosu itu berkata sambil menghela napas ketika
melihat betapa sulingnya hancur dibanting oleh Lie Siong. “Baru tiga hari yang
lalu mereka meninggalkan tempat ini menuju ke Thian-san. Lekaslah kau menyusul
ke barat, anak muda yang gagah.”
Lie Siong segera memberi tanda
kepada Goat Lan dan Hong Beng dan mereka bertiga berlari cepat sekali meninggalkan
Thai Eng Tosu yang memandang dengan bengong. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan
berkata seorang diri, “Keturunan Bu Pun Su memang lihai... lihai sekali...”
Sepekan kemudian, sampailah
mereka di kota Hami dan setelah bertanya-tanya mereka dapat mendengar berita
tentang Ban Sai Cinjin dan rombongannya, bahkan mendengar pula cerita tentang
Lili yang amat menarik hati sekali.
Ternyata bahwa rombongan Ban
Sai Cinjin yang terdiri dari Lili, Wi Kong Siansu, Bouw Hun Ti, Hailun Thai-lek
Sam-kui dan kedua tosu dari Pek-eng-kauw, setelah tiba di kota Hami, lalu
mereka berhenti pada sebuah kuil di mana Ban Sai Cinjin sudah kenal baik dengan
pengurusnya.
Lili masih tetap dalam keadaan
tak berdaya dan biar pun gadis ini selalu berusaha untuk melepaskan diri, namun
tidak ada kesempatan sama sekali baginya. Gadis ini tidak putus harapan, maka
dia pun menjaga kesehatannya dengan baik, tidak pernah menolak untuk makan dan
minum, akan tetapi sama sekali tidak mau bicara dengan mereka.
Ban Sai Cinjin menderita kepusingan
pertama saat Thai Eng Tosu ‘mogok’ di pegunungan itu dan tidak mau melanjutkan
perjalanannya karena tidak setuju dengan ditawannya Lili. Kemudian ia menjadi
makin pusing karena nampaknya Kim Eng Tosu dan juga Bouw Ki, orang termuda dari
Hailun Thai-tek Sam-kui, sudah tergila-gila kepada Lili dan beberapa kali
mencoba mengganggunya.
Setelah sampai di kuil itu,
Bouw Hun Ti lalu mengajukan usulnya kepada Ban Sai Cinjin, yakniu agar supaya
Lili dikawinkan saja kepadanya dengan upacara yang sah! Ban Sai Cinjin melotot
dan hendak memakinya, akan tetapi dengan sungguh-sungguh Bouw Hun Ti berkata,
“Suhu, ada tiga hal penting
sekali yang mendorong teecu mengajukan usul ini. Pertama, biar pun teecu telah
berusia empat puluh lebih akan tetapi teecu masih belum menikah, dan seorang
isteri Nona Sie itu sudah cukup memenuhi syarat. Ke dua, kalau Nona Sie sudah
menjadi isteri teecu, kiranya Pendekar Bodoh beserta kawan-kawannya akan suka
menghabiskan perkara permusuhannya dengan kita, oleh karena adanya ikatan keluarga
dengan teecu, dan lagi pula kalau Nona Sie sudah menjadi isteri teecu tentu
akan suka mencegah orang tuanya mengganggu kita. Ke tiga, kita semua akan
terbebas pula dari gangguan-gangguan kawan-kawan sendiri yang tergila-gila
kepada Nona Sie!”
Mendengar ini Ban Sai Cinjin
mengangguk-angguk girang. Memang betul sekali alasan-alasan muridnya ini, maka
dia lalu minta pendapat dari semua orang. Seperti biasanya, Wi Kong Siansu
tidak peduli akan urusan yang dianggapnya remeh ini, ada pun Hailun Thai-lek Sam-kui
juga tidak berani mencegahnya. Demikian juga kedua orang tosu dari
Pek-eng-kauw.
“Kalau saja Nona Sie suka,
tentu tidak ada orang yang berkeberatan,” kata Bouw Ki, orang ke tiga dari
Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menyembunyikan kecewanya.
Ban Sai Cinjin tersenyum.
Untuk ini ia sudah pikirkan baik-baik. “Tentu saja ia akan suka. Cu-wi lihat
saja sendiri nanti.”
Dan pada keesokan harinya,
kuil itu dihias meriah dan penduduk yang mendengar kabar bahwa di situ akan
dilangsungkan pernikahan antara dua orang-orang pelancong, segera berduyun
datang menonton. Dan benar saja, tidak seperti biasanya, Lili kini menurut saja
pada saat dirias seperti pengantin dan dipertemukan dengan Bouw Hun Ti di depan
meja sembahyang!
Tentu saja Hailun Thai-lek
Sam-kui dan yang lain-lain merasa heran sekali. Sebenarnya tidak usah dibuat
heran, kalau orang sudah mengenal betul siapa adanya Ban Sai Cinjin. Seperti
juga pernah dia lakukan kepada Sin-kai Lo Siang, kini dia pun mempergunakan
pengaruh obat beracun yang dicampur di dalam makanan yang dimakan oleh Lili
malam tadi.
Hanya bedanya, kalau Sin-kai
Lo Sian dahulu menjadi gila dan terampas ingatannya, kini Lili hanya terampas
ingatannya dan lumpuh kemauannya saja. Dia seakan-akan menjadi seorang tanpa
semangat dan menurut saja apa yang orang perintahkan kepadanya!
Akan tetapi, selagi hwesio
penjaga kelenteng itu akan melakukan upacara sembahyang bagi sepasang
pengantin, tiba-tiba dari antara penonton muncul seorang kate kecil yang
bernyanyi sambil menenggak araknya, kemudian ia melangkah ke depan dan
mendorong hwesio itu sehingga terjungkal!
“Enak saja orang mengawinkan
anak orang tanpa bertanya kepada orang tuanya!” seru orang tua kate itu sambil
menggandeng tangan Lili. “Lebih baik dikawinkan dengan aku Si Tua Bangka!”
Bouw Hun Ti marah sekali. Akan
tetapi ketika ia memandang seperti juga Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain, dia
pun menjadi kaget sekali karena kakek kate ini bukan lain adalah Im-yang
Giok-cu! Kedua tokoh Pek-eng-kauw yang tidak kenal siapa adanya kakek kate ini,
menjadi marah melihat kekurang ajarannya, maka cepat sekali Sin Eng Tosu dan
Kim Eng Tosu menyerang dengan ujung lengan baju mereka.
“Enyahlah kau orang kate!”
Akan tetapi bukan main
hebatnya akibat dari hinaan dan serangan ini. Orang tidak tahu bagaimana kakek
itu bergerak namun tahu-tahu kedua orang tosu berpakaian putih itu sudah jatuh
tersungkur ke kolong meja dalam keadaan pingsan!
Bouw Hun Ti mencabut goloknya
dan sebelum Ban Sai Cinjin sempat mencegah, Bouw Hun Ti telah melakukan
serangan kilat yang hebat sekali ke arah kepala orang kate yang tertawa-tawa
itu! Im-yang Giok-cu mendengar sambaran angin dari belakang dan tanpa menengok
lagi lalu mengangkat guci araknya yang kehijauan itu.
“Traaaaang…!”
Golok yang dipegang oleh Bouw
Hun Ti lantas terpental dari pegangan saking kerasnya benturan kedua macam
benda ini. Dan sebelum Bouw Hun Ti sempat mengelak, tangan Im-yang Giok-cu
sudah ‘masuk’ ke dalam iganya. Bouw Hun Ti mengeluh panjang, lalu tubuhnya
terkulai ke atas lantai!
Orang-orang yang menonton
pengantin menjadi panik dan berserabutan melarikan diri sehingga tempat itu
sebentar saja menjadi sunyi, hanya tersisa Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu,
Hailun Thai-lek Sam-kui, Im-yang Giok-cu, beserta Lili saja yang masih berdiri,
karena dua orang tosu Pek-eng-kauw dan Bouw Hun Ti masih belum dapat bangun.
Ada pun hwesio yang tadi melakukan upacara sembahyang ternyata sudah lari
bersembunyi entah ke mana.
Ketika melihat orang kate yang
datang-datang mengamuk, Hailun Thai-lek Sam-kui yang doyan berkelahi segera
mencabut senjata mereka masing-masing. Akan tetapi Ban Sai Cinjin segera
memberi tanda dengan tangannya, mencegah kawan-kawannya itu turun tangan.
Mata Im-yang Giok-cu yang
lihai melihat gerakan mereka ini, karena itu setelah tertawa bergelak ia lalu
berkata menantang, “Ha-ha-ha, Sam-kui (Tiga Setan), mengapa tidak jadi mencabut
senjata? Kalau kalian hendak meramaikan pesta perkawinanku, marilah maju!”
Ban Sai Cinjin buru-buru maju
dan menjura di depan Im-yang Giok-cu. “Totiang, belum lama ini kita saling
bertemu dan tidak ada urusan sesuatu di antara kita. Tapi mengapa Totiang hari
ini menggagalkan pernikahan yang sah dan baik-baik?”
Im-yang Giok-cu menjemput
cawan arak di atas meja yang masih penuh, kemudian dia menenggaknya. Akan tetapi
dia lalu menyemburkan arak itu ke arah Ban Sai Cinjin yang walau pun sudah
cepat mengelak, masih saja ujung bajunya terkena arak dan baju itu menjadi
bolong-bolong! Ia kaget sekali dan pucatlah mukanya.
“Arak busuk, seperti
orangnya!” Im-yang Giok-cu memaki. “Ban Sai Cinjin, kejahatanmu sudah
bertumpuk-tumpuk. Kau kira aku tidak dapat melihat bahwa nona ini terpengaruh
oleh obatmu yang jahat? Hayo kau lekas memberi obat penawarnya, kalau tidak,
jangan bilang Im-yang Giok-cu keterlaluan kalau aku membunuh muridmu dan juga
kau dan kawan-kawanmu di tempat ini juga tanpa menanti sampai di puncak
Thian-san!”
Mendengar ucapan sombong ini,
dengan marah Wi Kong Siansu bangun berdiri. Akan tetapi Ban Sai Cinjin cepat
melangkah maju dan berkata dengan hormatnya,
“Totiang, ternyata matamu
tajam sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak mempunyai obat penawarnya! Biarlah
kau boleh mengamuk, belum tentu kami kalah, akan tetapi Nona ini selamanya akan
menjadi seorang boneka hidup!” Ban Sai Cinjin yang cerdik ini hendak menggunakan
keadaan Lili sebagai kunci mencapai kemenangan!
Im-yang Giok-cu menjadi
ragu-ragu, kemudian ia berkata, “Ban Sai Cinjin, buku Thian-te Ban-yo Pit-kip
berada bersamamu, bukalah lembarannya dan carilah di dalamnya, tentu ada obat
penawar untuk racunmu yang keji ini.”
Ban Sai Cinjin menjadi pucat
dan melangkah mundur dua tindak. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya. “Kitab
itu sudah terbakar...”
“Sudahlah, jangan seperti anak
kecil! Dahulu Sin Kong Tianglo pernah memperlihatkan kepadaku bahwa kitab itu
terbuat dari kertas yang tidak dapat terbakar karena sudah direndam dengan
obat. Jangan kau bermain gila di hadapanku. Sekarang begini sajalah, kau
kembalikan kitab itu kepadaku agar Nona ini dapat ditolong, dan aku melepaskan
muridmu dan takkan turun tangan, baik di sini mau pun di Thian-san. Nah,
bagaimana? Apakah kau memilih kekerasan?”
Setelah berpikir-pikir
sejenak, Ban Sai Cinjin akhirnya mengalah. Dikeluarkannya kitab Thian-te Ban-yo
Pit-kip yang memang disimpannya sebab dahulu yang terbakar adalah kitab
tiruannya saja. Bersama-sama mereka segera mencari obat penawar untuk Lili dan
ternyata obat itu mudah saja. Ban Sai Cinjin lalu menyediakan obat itu.
Setelah Lili disuruh
meminumnya yang dilakukan dengan taat, gadis itu lalu jatuh pulas. Setengah
hari Lili tidur, ditunggui oleh Im-yang Giok-cu dan semua orang tidak ada yang
berani turun tangan. Kemudian, menjelang senja Lili sadar dan ternyata dia
telah sembuh kembali!
Ia hendak mengamuk, akan
tetapi Im-yang Giok-cu mencegahnya dan memperkenalkan diri sebagai guru Goat
Lan. “Kau pergilah dan bawalah kitab ini, kembalikan kepada Goat Lan.”
Lili tidak membantah. Setelah
menghaturkan terima kasihnya ia kemudian melompat dan menghilang di dalam
gelap.
Tentu saja Ban Sai Cinjin
menjadi marah sekali ketika melihat Lili melarikan diri sambil membawa kitab
itu. Ia hendak mengejar, akan tetapi Im-yang Giok-cu menghadangnya,
“Kitab itu adalah milik
Yok-ong, harus dikembalikan kepada muridnya.”
“Im-yang Giok-cu, kau terlalu
sekali! Kau sudah berjanji takkan menggunakan kekerasan, akan tetapi tidak saja
kau menghina kami, bahkan kitab itu pun kau suruh bawa pergi.”
“Tenang, Ban Sai Cinjin. Tadi
aku hanya berjanji bahwa aku tidak akan menggunakan kekerasan dan tidak ikut
bertempur di sini mau pun di Thian-san. Aku tidak berjanji apa pun tentang
kitab itu, dan tentang gadis itu. Dia puteri Pendekar Bodoh, harus dihormati
dan ditolong.”
“Keparat!” seru Ban Sai Cinjin
dan dengan gemas dia kemudian memberi isyarat kawan-kawannya untuk mengeroyok.
Im-yang Giok-cu tertawa
bergelak-gelak, lalu cepat memutar guci araknya menghadapi keroyokan banyak
orang. Hebat sekali sepak terjang kakek kate ini, akan tetapi jumlah
pengeroyoknya terlalu banyak. Ia dikepung oleh orang-orang yang berkepandaian
tinggi, yaitu oleh Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, tiga kakek Hailun Thai-lek
Sam-kui, Sin Eng Tosu, Kim Eng Tosu dan juga Bouw Hun Ti!
Betapa pun lihainya Im-yang
Giok-cu, tentu saja ia tidak tahan menghadapi lawan yang tak seimbang ini.
Kepandaiannya hanya setingkat lebih tinggi dari pada Wi Kong Siansu, sedangkan
para pengeroyoknya, kecuali Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin, mempunyai
kepandaian setingkat dengan Wi Kong Siansu.
Beberapa kali kakek kate ini
telah menerima pukulan senjata lawan dan biar pun tidak mendatangkan luka
hebat, tetap saja semakin melemahkan tenaganya. Akhirnya, ujung payung yang
lihai dari Thian-te Te-it Siansu telah berhasil menotok iganya dengan telak dan
keras sehingga kakek kate ini terhuyung-huyung sambil tertawa bergelak.
Dia lalu melontarkan guci
araknya sedemikian kerasnya dan orang yang sial menerima hantaman guci arak ini
adalah Bouw Hun Ti sendiri! Guci arak itu melayang dengan kecepatan yang tidak
dapat dielakkan lagi dan dengan mengeluarkan suara keras, guci arak dan kepala
Bouw Hun Ti menjadi remuk dan orang jahat itu telah menghembuskan napas
terakhir sebelum tubuhnya roboh ke lantai! Ternyata bahwa maut telah meminjam
tangan Im-yang Giok-cu untuk membalaskan dendam orang-orang yang dibikin sakit
hati oleh Bouw Hun Ti.
Melihat muridnya binasa, Ban
Sai Cinjin memekik marah dan ia lalu melompat mendekati Im-yang Giok-cu yang
terluka hebat. Sekali huncwe-nya terayun, terdengar suara pletak, dan retaklah
kepala Im-yang Giok-cu yang membuat nyawanya melayang meninggalkan raganya.
Ban Sai Cinjin merasa menyesal
sekali. Tidak saja ia kehilangan Lili, bahkan juga sudah kehilangan kitab obat
itu. Hanya sedikit keuntungannya, di samping kerugian kehilangan murid, mereka
telah berhasil membunuh Im-yang Giok-cu, karena kalau kakek kate ini ikut membantu
Pendekar Bodoh, ia merupakan tenaga yang amat menguatirkan.
Ketika Goat Lan mendengar
berita tentang kematian Im-yang Giok-cu, ia menangis sedih sekali dan mengajak
Lie Siong serta Hong Beng untuk mengunjungi kuburan Im-yang Giok-cu di belakang
kelenteng. Jenazah kakek kate ini telah diurus oleh hwesio-hwesio dan
dimakamkan di belakang kelenteng, bersama dengan jenazah Bouw Hun Ti yang juga
dimakamkan di bagian lain di belakang kelenteng.
Goat Lan menangis dan
bersembahyang di hadapan kuburan gurunya, bersumpah untuk membalaskan dendam
kepada Ban Sai Cinjin beserta kawan-kawannya. Malam harinya mereka bertiga
bermalam di kelenteng itu dan alangkah girangnya hati mereka ketika Lili
tiba-tiba muncul dari dalam gelap!
Goat Lan menubruk dan memeluk
Lili, lalu beramai-ramai empat orang muda itu saling menuturkan pengalaman
mereka. Ternyata sesudah ditolong oleh Im-yang Giok-cu, Lili bersembunyi di
dalam sebuah hutan di dekat kota itu. Kemudian, pada keesokan harinya ia
mendengar tentang kematian Im-yang Giok-cu, maka menyesallah dia mengapa dia
tidak dapat membantu kakek penolongnya itu. Ia pikir bahwa masanya untuk
mengadu kepandaian di Thian-san sudah tiba, maka lebih baik ia menanti di situ
untuk mencari kawan-kawan guna menghadapi Ban Sai Cinjin yang benar-benar amat
curang dan lihai.
“Dan bagaimana kalian bertiga
bisa bersama-sama?” Lili bertanya sambil mengerling ke arah Lie Siong yang
semenjak tadi hanya diam saja, hanya kadang-kadang memandang kepada Lili dengan
hati bersyukur bahwa gadis yang dicintainya itu telah terhindar dari bahaya
hebat.
Pada waktu Lie Siong
menceritakan pengalamannya dan betapa ia terluka ketika hendak menolong Lili,
gadis ini melirik dan dengan cemberut dia lantas berkata, “Selama itu kau
melakukan perjalanan mengikuti dan tidak memperlihatkan diri? Mengapa begitu?”
Merahlah wajah Lie Siong dan
sambil menundukkan muka ia berkata, “Aku takut kalau ternyata kau... kau tidak
suka berjalan bersamaku.”
“Apa-apaan pula ini, Song-ko?”
tegur Lili dengan sepasang mata terbelalak. “Kau sendiri yang tidak mau
melakukan perjalanan bersamaku, dan tahu-tahu kau mengikutiku tanpa
memperlihatkan diri... aneh... aneh...!”
Lie Siong makin merah mukanya
dan terdengar Goat Lan tertawa geli. “Sekarang kita berempat sudah bertemu dan
berkumpul, maka yang sudah biarlah lalu, sekarang kita melakukan perjalanan
bersama menuju ke Thian-an. Dengan berempat kita akan lebih kuat menghadapi
mereka,” kata Hong Beng.
“Enci Lan,” kata Lili
tiba-tiba, “kitabmu masih kusimpan, takkan kuberikan sekarang. Nanti saja kalau
kau dan Beng-ko kawin, akan kuberikan sebagai... hadiah perkawinan!”
Timbul kembali kenakalan Lili,
karena itu Goat Lan juga menjadi gembira, terhibur dari kesedihan hatinya
mendengar tentang kematian gurunya. “Eh, katamu betul, Lili. Aku jadi teringat
akan Sin-kai Lo Sian yang berjumpa dengan kami di jalan. Katanya dia hendak
mengajukan pinangan kepada orang tuamu, meminang engkau untuk... untuk siapa,
ya?” Sambil berkata demikian, dengan penuh arti Goat Lan mengerling ke arah Lie
Siong.
Lili menjadi jengah dan merah
sekali mukanya. Ia mengulurkan tangan hendak mencubit Goat Lan, akan tetapi
Goat Lan cepat mengelak, dan Hong Beng lalu menyela,
“Sudahlah, kalian ini bersenda
gurau saja. Urusan itu sudah bukan rahasia lagi bagi kita semua, dan urusan itu
akan dapat terjadi dengan lancar tanpa ada halangan apa-apa lagi.”
Maka berangkatlah dua pasangan
muda yang gagah perkasa ini. Di sepanjang jalan, Lili dan Goat Lan bersenda
gurau sehingga Hong Beng dan Lie Siong turut menjadi gembira pula.
Empat orang pendekar remaja
ini menuju Thian-san di mana mereka hendak mengukur kepandaian dengan
tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Sedikit pun mereka tidak merasa gentar dan
takut sesudah mereka berkumpul menjadi satu. Dengan seorang yang dicinta di sebelahnya
siapakah yang akan merasa takut…..?
********************
Musim chun (semi) sudah tiba.
Puncak Thian-san nampak kehijauan dan pemandangan alamnya indah sekali. Di
puncak itu terdapat sebuah kuil besar yang kuno dengan ukiran-ukiran indah,
akan tetapi kuil ini tidak terurus oleh karena penghuninya telah berpuluh tahun
yang lalu mengosongkan tempat ini.
Dahulu, kuil ini adalah pusat
dari partai persilatan Thian-san-pai yang besar. Akan tetapi akhir-akhir ini
habislah orang yang tadinya masih suka mengurus kuil ini, karena semua anak
murid Thian-san-pai lebih suka berkelana di dunia bebas.
Akan tetapi pagi hari itu di
dalam kuil ini tidak sunyi seperti biasanya. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya
telah berada di tempat itu sedang berunding dengan kawan-kawannya. Betapa pun
juga, setelah Im-yang Giok-cu tewas, mereka tidak berapa takut menghadapi
Pendekar Bodoh. Mereka telah memperhitungkan bahwa untuk menghadapi teman-teman
Pendekar Bodoh, kepandaian mereka masih sanggup mengimbangi, ada pun Pendekar Bodoh
sendiri akan dilawan oleh Wi Kong Siansu.
Tiba-tiba dari luar kuil
terdengar suara nyaring yang menantang mereka, “Ban Sai Cinjin dan Wi Kong
Siansu! Kami sudah datang untuk memenuhi tantanganmu!”
Ban Sai Cinjin, Wi Kong
Siansu, Thian-te Te-it Siansu, Lak Mou Couwsu, Bouw Ki, dan Coa Ong Lojin serta
beberapa orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang sudah datang terlebih dulu di
tempat itu, keluar dari kuil itu dan ketika tiba di luar, dengan tercengang
mereka melihat empat orang muda yang bukan lain adalah Goat Lan, Lili, Lie
Siong dan Hong Beng!
Hati Ban Sai Cinjin berdebar.
Ia tidak melihat Pendekar Bodoh, orang yang paling ditakuti dan dibencinya,
maka untuk menetapkan hatinya dia bertanya, “Mana Pendekar Bodoh? Apakah dia
takut datang ke sini sehingga mewakilkannya kepada anak-anaknya?”
“Ban Sai Cinjin, jangan
membuka mulut sombong!” Lili berseru marah. “Orang macam kau tidak pantas untuk
dilawan oleh ayahku. Kami orang-orang muda sudah cukup untuk membuktikan bahwa
kepandaian kami tidak kalah olehmu.”
“Cu-wi-enghiong,” kata Hong
Beng yang lebih tenang dan sabar sambil menjura kepada pihak tuan rumah,
“kedatangan kami berempat mengandung dua maksud. Pertama untuk memenuhi
tantangan Wi Kong Siansu yang telah menantang ayah untuk datang berpibu di sini
pada waktu ini. Dan kedua kalinya, kami harus membalas dendam dan sakit hati
kepada Ban Sai Cinjin yang telah membunuh Lie Kong Sian supek, Ang I Niocu bibi
kami dan juga Im-yang Giok-cu suhu dari Nona Kwee. Nah, terserah kepada Wi Kong
Siansu hendak memulai pibu itu atau memberikan kesempatan kepada kami membunuh
Ban Sai Cinjin lebih dulu.”
Wi Kong Siansu tak dapat
menjawab dan hanya saling pandang dengan Ban Sai Cinjin. Dibandingkan dengan
yang lain, sebetulnya Wi Kong Siansu lebih gagah, karena dalam beberapa
pertempuran keroyokan sebelumnya, tosu ini sengaja tidak mau mengeluarkan
seluruh kepandaiannya, karena ia merasa malu untuk mendapatkan kemenangan
sambil mengeroyok. Kini melihat empat orang muda itu menantang, tentu saja dia
merasa malu pula untuk maju mengeroyok.
"Sute, apakah kau merasa
tidak kuat menghadapi seorang di antara mereka?” tanyanya kepada Ban Sai Cinjin
perlahan sekali.
Ban Sai Cinjin sudah mengenal
kehebatan empat orang muda itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah
memperdalam ilmu silatnya dan kalau bertempur satu lawan satu, agaknya sukar
sekali dipercaya kalau dia akan kalah. Lagi pula, tentu saja dia merasa malu
kalau menyatakan takut.
Maka dia kemudian melompat
maju dan berkata menantang. “Orang-orang muda yang sombong! Siapa sih takut
padamu? Majulah, mana saja, atau kalian hendak mengeroyok aku?” sambil berkata
demikian, dia mengisi huncwe baru yang berwarna hitam dengan tembakau hitamnya
yang terkenal, bahkan lalu mempersiapkan sepuluh batang panah tangan di saku
bajunya.
Kemudian terjadi hal yang
lucu. Empat orang muda itu saling berebut untuk menghadapi Ban Sai Cinjin!
“Dia membunuh guruku Im-yang
Giok-cu, akulah yang berhak untuk membalasnya!” kata Goat Lan.
“Tidak, Goat Lan. Dia telah
menewaskan ayah bundaku, akulah yang lebih berhak pula!” kata Lie Siong sambil
mengeluarkan pedangnya.
“Aku yang paling tua, biar aku
saja menghancurkan kepalanya!” kata Hong Beng.
“Tidak, tidak! Akulah yang
akan membunuh anjing tua ini, Enci Lan, kau mengalah sajalah kepadaku. Siong-ko,
biar aku yang membalaskan sakit hati orang tuamu dan Beng-ko, kau harus
mengalah terhadap adikmu!” kata Lili dan sekali menggerakkan dua kakinya, gadis
ini telah melompat menghadapi Ban Sai Cinjin!
“Lili, kau tidak boleh
bertangan kosong saja!” kata Hong Beng yang amat mengkuatirkan keselamatan
adiknya, karena ia maklum bahwa kelihaian Lili tergantung dari kipas dan
pedangnya.
“Lili, kau pakailah bambu
runcingku!” kata Goat Lan.
Ada pun Lie Siong segera
melompat mengejar dan menyerahkan pedangnya kepada Lili. “Kau pakailah ini,
Lili.”
Lili menatap dengan mesra dan
berterima kasih. “Tak usah, Siong-ko, jangan membikin kotor pedangmu, kedua
tanganku cukup untuk menghadapinya.”
Lie Siong melompat mundur
kembali dan diam-diam tiga orang muda itu merasa gelisah. Bagaimana Lili
demikian sembrono untuk menghadapi Ban Sai Cinjin yang lihai dengan bertangan
kosong saja?
Akan tetapi Ban Sai Cinjin
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Dia berseru keras dan segera
menyerang Lili dengan huncwe-nya. Gadis itu tersenyum mengejek dan begitu dia
mengeluarkan Ilmu Pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, tidak saja Ban Sai Cinjin
yang menjadi terkejut sekali, bahkan Lie Siong, Hong Beng, dan Goat Lan juga
memandang dengan mata terbelalak. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu pukulan
seperti itu dan seingat Hong Beng, ayahnya sendiri pun tidak pernah memberi
pelajaran ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Lili ini.
Namun hasilnya luar biasa
sekali. Dalam jurus-jurus pertama saja Ban Sai Cinjin sudah amat terdesak.
Huncwe-nya terbentur dengan tenaga pukulan yang lebih berbahaya dari pada
senjata tajam. Memang hebat sekali Hang-liong-cap-it-ciang ini dan kalau Lili
mau, setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih, dia dapat membinasakan
lawannya.
Akan tetapi, di samping
kegalakan dan kelincahannya, tabiat ayahnya menempel gadis ini. Ia pemurah dan
mudah memberi ampun. Ketika mendapat kesempatan, ia mengirim pukulan dengan
kedua tangan bahkan kaki kirinya juga mendupak ke arah dada lawan.
Terdengar bunyi keras dan
kembali untuk kedua kalinya huncwe maut dari Ban Sai Cinjin pecah terkena hawa
pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, dan walau pun kakek itu hendak menangkis,
tetap saja dadanya terkena pukulan hingga dia menjerit dan terlempar roboh
sambil memuntahkan darah segar! Walau pun Lili tidak membunuhnya, namun dia
telah menderita luka berat dan untuk sementara waktu takkan dapat bergerak!
Wi Kong Siansu melompat ke
depan hendak menantang, akan tetapi pada saat itu pula berkelebat bayangan
tujuh orang dan muncullah Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Ma Hoa, yang dikawani oleh
Kam Liong, Kam Wi, dan Tiong Kun Tojin!
“Kami datang atas perintah
Kaisar menangkap pengkhianat dan pemberontak Ban Sai Cinjin, Coa Ong Lojin dan
pengemis-pengemis Coa-tung Kai-pang!” seru Kam Wi sambil mengeluarkan lengki
(bendera titah raja). Melihat bendera ini, Wi Kong Siansu dan ketiga Hailun
Thai-lek Sam-kui lalu berlutut.
Coa Ong Lojin hendak melarikan
diri, akan tetapi sekali menggerakkan tangannya, Tiong Kun Tojin sudah berhasil
menangkapnya dan menotok punggungnya! Kam Wi tertawa bergelak, lalu berpaling
kepada Pendekar Bodoh sambil berkata,
“Urusan kami sudah beres,
beberapa hari lagi kami akan datang ke Shaning mengurus perjodohan!”
Ia lalu menyeret Coa Ong
Lojin, Ban Sai Cinjin dan beberapa orang pengemis Coa-tung Kai-pang, lalu
menjura dan meninggalkan tempat itu bersama Kam Liong dan Tiong Kun Tojin
sambil membawa tawanan-tawanan mereka.
Pendekar Bodoh tersenyum, lalu
menjura kepada Wi Kong Siansu. “Wi Kong Siansu, sekarang kau melihat sendiri
betapa jahatnya sute-mu itu. Ia sudah bersekongkol untuk membunuh putera Kaisar
dan bahkan ia membantu pula pergerakan orang-orang Mongol yang lalu. Nah,
karena kita berhadapan sebagai musuh hanya karena gara-gara Ban Sai Cinjin,
perlukah permusuhan ini dilanjutkan lagi?”
Wi Kong Siansu dan Hailun
Thai-lek Sam-kui saling pandang. Terang bahwa keadaan pihak mereka jauh kalah
kuat. Akan tetapi untuk menutup rasa malu, Wi Kong Siansu lalu berkata.
“Pendekar Bodoh, orang-orang seperti kita hanya punya satu macam kesukaan,
yaitu memperdalam pengertian ilmu silat. Kini setelah kita bertemu, mengapa
kita tidak main-main sebentar?”
Cin Hai menghela napas.
“Baiklah, orang tua. Kau boleh menyerangku tanpa kubalas, dan bila mana dalam
sepuluh jurus kau dapat membuatku menggerakkan kaki selangkah saja, aku mengaku
kalah padamu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu berdiri tegak dan
menundukkan kepalanya. Dia memegang sebatang suling dan meramkan matanya
seperti tidur!
“Pendekar Bodoh, agaknya kau
benar-benar sudah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Biarlah aku mencobanya!”
Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu segera mencabut Hek-kwi-kiam, lalu
berseru, “Lihat pedang!”
Dia membuka serangan dengan
sebuah tusukan ke arah dada Cin Hai. Namun Pendekar Bodoh tetap tidak membuka
matanya, hanya pada saat pedang itu sudah dekat dengan dadanya, dia baru
mengangkat sulingnya menangkis. Wi Kong Siansu merasa telapak tangannya
tergetar, lalu ia menerjang kembali sampai tiga kali, namun tetap saja sia-sia,
karena selalu suling di tangan Cin Hai dapat menangkis dengan tepat.
Saat Wi Kong Siansu hendak
menyerang untuk yang ketujuh kalinya tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan
tahu-tahu Lie Siong telah menangkis dengan Sin-liong-kiam.
“Wi Kong Siansu, sungguh tidak
tahu malu sekali kau menyerang seorang lawan yang tidak membalas, bahkan
melihatmu pun tidak. Kalau kau memang orang gagah, lawanlah pedangku!” Tanpa
menanti jawaban, Lie Siong lalu menyerang.
Wi Kong Siansu kaget sekali
melihat gerakan pedang pemuda ini benar-benar luar biasa sekali. Semua orang
lalu menonton karena pertempuran ini jauh lebih menarik dan ramai.
“Heran sekali...” Cin Hai yang
sudah membuka matanya berkata perlahan. “Dari mana ia memperoleh
gerakan-gerakan ini?”
Memang matanya yang tajam melihat
gerakan-gerakan ilmu pedang yang aneh dan lihai, yang membuat sinar pedang
hitam di tangan Wi Kong Siansu makin lama makin kecil.
“Siong-ji, tahan! Jangan
mendesak orang tua!” Cin Hai berseru dan sekali ia melompat, ia telah berada di
antara ke dua orang yang bertempur itu.
Wi Kong Siansu menyimpan
pedangnya dan menarik napas panjang kemudian berkata, “Hebat, memang hebat!
Keturunanmu memang hebat, Pendekar Bodoh. Pinto mengaku kalah.” Ia hendak pergi
setelah menjura.
Akan tetapi Lili lalu berkata
kepadanya, “Totiang, jangan kau salah sangka. Pembunuh muridmu, Song Kam Seng,
adalah Ban Sai Cinjin. Aku sendirilah yang sudah mengurus pemakamannya!”
Wi Kong Siansu amat terkejut
dan menoleh. Gadis itu dengan singkat lalu menceritakan peristiwa itu. Wi Kong
Siansu kembali menarik napas panjang lalu pergi dari situ dengan hati terpukul.
Dengan lega dan girang,
Pendekar Bodoh lalu mengajak semua orang kembali ke timur. Di sepanjang jalan
tiada hentinya saling menuturkan pengalaman masing-masing…..
********************
Rumah Pendekar Bodoh dihias
indah. Tidak heran karena pada hari itu dilangsungkan pernikahan dua orang anak
mereka, Hong Beng dengan Goat Lan dan Hong Li dengan Lie Siong!
Tamu-tamu sudah memenuhi
ruangan dan di antara mereka terdapat pula tokoh-tokoh persilatan baik kawan
mau pun bekas lawan seperti Hailun Thai-lek Sam-kui dan lainnya! Pasangan Hong
Beng dan Goat Lan diperkenalkan kepada tamu-tamu lebih dahulu dan sesudah
mendapat sambutan dan pemberian selamat, mereka lalu mengundurkan diri, diganti
oleh pasangan Lie Siong dan Hong Li.
Akan tetapi, ketika sepasang
pengantin ini sedang menerima penghormatan dan ucapan selamat dari para tamu,
tiba-tiba seorang tinggi besar bangkit berdiri dari bangkunya dan dengan suara
keras berkata, “Cu-wi, sekalian! Sebagai sama-sama orang kang-ouw, biarlah pada
saat ini aku menyampaikan perasaan tidak enak hatiku kepada sepasang pengantin
dan juga tuan rumah!”
Semua orang segera memandang
dan ternyata yang berbicara itu adalah Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai, paman dari
Panglima Kam Liong!
“Sebelum Nona Sie dipinang
orang lain, aku telah meminangnya lebih dulu untuk putera keponakanku, Kam
Liong. Biar pun belum resmi, pihak keluarga Sie sudah menyatakan cocok, bahkan
keponakanku sudah mengadakan perjalanan bersama dengan Nona Sie. Akan tetapi
siapa kira pada hari ini aku melihat Nona Sie menjadi isteri Lie Siong yang
sesungguhnya telah menjadi suami dari seorang gadis Haimi bernama Lilani!”
Terdengar teriakan nyaring.
Pengantin wanita, yaitu Lili, merenggut hiasan kepala yang menutupi mukanya dan
membanting hiasan itu hingga terdengar suara keras.
“Bangsat tua, apakah kau
sengaja datang untuk mengantarkan nyawa?” teriaknya dan ia hendak menyerang Kam
Wi yang telah tertawa bergelak-gelak.
Akan tetapi Lie Siong memegang
tangannya sambil berbisik, “Sudahlah, Li-moi, dia itu orang mabuk!”
Mendengar cegahan ini, Lili
makin gemas, merenggutkan tangannya dan berkata, “Orang lemah, lebih baik kau
kembali kepada Lilani!” Setelah berkata demikian, dengan isak di tenggorokan ia
lalu melompat keluar dari rumah dan melarikan diri!
Lie Siong menjadi bingung,
membanting topi pengantinnya lalu menyusul dan mengejar Lili yang berlari
seperti terbang cepatnya! Gegerlah keadaan di sana dan Kam Wi yang masih
tertawa-tawa itu ditarik tangannya oleh Tiong Kun Tojin yang cepat mintakan
maaf kepada Pendekar Bodoh untuk sute-nya yang kasar.
Lili berlari terus, dan ketika
ia tahu bahwa Lie Siong mengejarnya, ia berlari makin cepat. Berhari-hari
mereka kejar mengejar dan akhirnya Lili tiba di dekat sumur rahasia tempat
tinggal nenek aneh yang menjadi gurunya. Ia lalu terjun ke dalam sumur itu.
Lie Siong terkejut sekali,
akan tetapi pemuda ini pun ikut pula terjun ke dalam sumur. Di dalam kamar di
goa yang aneh itu, Lili dan Lie Siong melihat nenek yang gagu itu tengah duduk
bersila dan di pangkuannya terbaring kepala seorang kakek.
Alangkah terkejut hati Lie
Siong ketika melihat bahwa kakek itu adalah... gurunya yang mengajarnya bermain
gundu! Nenek itu keadaannya sudah sangat lemah, kurus kering dan pucat, ada pun
kakek itu ternyata telah menjadi mayat! Mendengar gerakan Lili dan Lie Siong,
nenek yang lihai itu membuka matanya.
“Suthai, kau kenapakah...?”
Lili bertanya sambil berlutut.
Nenek itu mencoret-coret di
atas tanah. Lili dan Lie Siong lalu membaca tulisan-tulisan itu yang ternyata
menceritakan riwayat nenek itu bersama kakek yang kini dipangkunya dan yang
telah mati. Ternyata keduanya memiliki riwayat yang ada hubungan dekat dengan
penghidupan Bu Pun Su, guru dari Pendekar Bodoh!
Setelah selesai menuturkan
riwayatnya dengan tulisan, nenek itu tak kuat lagi dan ketika kedua orang muda
itu memandang, ternyata bahwa nenek itupun telah menghembuskan napas
terakhirnya! Dengan penuh khidmat, Lie Siong dan Lili lalu meninggalkan goa
itu, menutupnya dengan batu besar, kemudian keluar dari sumur itu dan menimbuni
sumur itu dengan pepohonan sehingga tempat itu merupakan sebuah makam yang luar
biasa. Kemudian mereka berjalan sambil bergandengan tangan.
“Li-moi, aku tidak dapat berkata
apa-apa lagi. Tergantung dari keputusanmu sekarang, hanya inilah tanda bahwa
semenjak dahulu aku mencintamu.” Lie Siong mengeluarkan sepatu yang dulu
dirampasnya dari saku bajunya.
Lili menerima sepatu itu
dengan terharu. Setelah membaca riwayat nenek yang menjadi gurunya itu,
lenyaplah marah dan cemburunya terhadap Lie Siong.
“Hemm, kalian ini laki-laki di
seluruh dunia sama saja!” katanya cemberut akan tetapi kerling matanya
membesarkan hati Lie Siong. “Kalau Sucouw Bu Pun Su sendiri sampai terjerumus,
biarlah aku maafkan kau yang satu kali masuk dalam perangkap nafsu. Akan
tetapi, awas, jangan sampai terulang lagi!”
Lie Siong memegang tangan Lili
dengan penuh kasih sayang. “Tidak akan terulang lagi sampai aku mati, Li-moi.
Pula, harap kau ingat bahwa peristiwa antara aku dengan Lilani itu terjadi
sebelum aku berjumpa dengan kau! Sejak aku bertemu dengan kau... isteriku,
jangankan Lilani, biar ada bidadari dari kahyangan menggodaku, hatiku tetap
tidak akan tergoncang!”
Lili mencibirkan bibirnya sambil
merenggutkan tangannya. “Cih, mulut laki-laki memang manis, pandai membujuk
merayu. Siapa dapat percaya?”
Setelah berkata demikian dia
segera melarikan diri, dikejar oleh Lie Siong! Akan tetapi mereka kini
berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa dan juga mereka mengarahkan tujuan kembali
ke Shaning di mana menanti semua keluarga dengan hati gelisah…..
********************
Bagaimanakah riwayat nenek dan
kakek guru-guru yang aneh dari Lili dan Lie Siong itu? Mengapa riwayat mereka
sampai mengharukan hati Lili hingga membuat gadis ini dapat memaafkan kesalahan
Lie Siong yang sudah bertindak salah sebelum bertemu dengan dia?
Untuk mengetahui ini,
dipersilakan untuk membaca cerita PENDEKAR SAKTI (Bu Pun Su Lu Kwan Cu), di
mana akan muncul tokoh-tokoh besar seperti Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Swi Kiat
Siansu, Pok Pok Sianjin, di waktu tokoh-tokoh ini masih muda! Bacalah riwayat
Bu Pun Su di waktu kanak-kanak sampai menjadi seorang pendekar muda yang sakti
dan luar biasa…..
T A M A T