Pendekar Bodoh Jilid 46-49 (Tamat)
“Nelayan Cengeng, biar pun
matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya,” katanya.
Nelayan Cengeng memang cerdik
dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, dia lalu teringat akan cerita
gadis itu tentang suhu-nya yang baru, maka dia sengaja menyebut namanya.
Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil
mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek
aneh ini.
“Bagaimana dengan murid kita
itu?” tanya Hok Peng Taisu.
“Baik, baik, dan kuhaturkan
terima kasih kepadamu yang sudah memberi bimbingan pada dia. Kepandaian yang
kau berikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tidak mungkin dapat kuberikan
dalam sepuluh tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.
“Ahh, memang kau benar-benar
mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong
Hwat Lojin, sekarang mari kita bicara tentang hal penting. Ehh, siapakah anak
muda ini?”
“Dia adalah calon suami murid
kita.”
Hok Peng Taisu
mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An
mengenai harta itu tadi saja sudah membuat dia dapat menghargai sikap dan
kebersihan hati pemuda itu.
“Sekarang dengarlah kalian.
Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang
perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku ingin menggunakan kesempatan
selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka
itu!”
Nelayan Cengeng memandangnya
tajam, “Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?”
“Ha-ha-ha-ha! Kini kau
mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan
itu dengan jawaban yang kau berikan kepada pemuda ini tadi!”
Nelayan Cengeng
mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku setuju membantumu.”
Kakek botak itu lalu berkata,
“Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu
dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan
tugas membagi-bagikan harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin.
Bagaimana, sanggupkah kalian?”
Tentu saja Nelayan Cengeng dan
Kwee An langsung menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu
meminta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu
telah lenyap dari pandangan mata.
Nelayan Cengeng menarik napas
panjang lantas berkata, “Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak
ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki
tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”
Kwee An juga merasa kagum
melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah goa
itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat sekali laksana seekor
burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga sudah tertotok roboh
olehnya.
“Bukan main!” seru Kwee An
dengan kagum sekali.
Tadi dia melihat dengan baik
betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap
totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga
serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu
untuk melawan atau pun melihatnya!
Tidak lama kemudian, kembali
kakek botak itu keluar dari goa dan menuju ke tempat mereka dan sekarang dia
telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek
botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka
yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.
“Nah, kalian terimalah ini.
Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, di antara harta pusaka itu
terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang
pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku
hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak,
terserah padamu. Nah, aku pergi dulu!” Dan sebelum Kwee An mau pun Nelayan
Cengeng dapat membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!
Nelayan Cengeng dan Kwee An
lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua
pengalamannya. Saat mereka memeriksa harta pusaka itu, ternyata memang terdapat
banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, karena itu Nelayan Cengeng lalu
memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,
“Saudara Yo, bangsamulah yang
berhak menerima sebagian dari pada harta ini. Bawalah kembali ke Turki,
sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya.”
Yousuf menerima harta pusaka
itu sambil berlinang air mata. “Kedudukan Pangeran Tua yang kini menjadi Raja
amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda menggunakan kesempatan ini untuk
membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan
pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan
dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki.”
“Terserah kepadamu, Saudaraku.
Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”
Yousuf lalu menyuruh orang
membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian
harta pusaka itu.
Demikianlah pengalaman Nelayan
Cengeng dan Kwee An seperti yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.
“Kalau demikian, memang telah
ada persesuaian antara Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw,” kata Ang I
Niocu. “Kita harus menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu dengan
baik.”
“Harta ini harus cepat
dibagikan dan tidak boleh ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang
tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada
kita,” kata Kwee An. “Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa
menundanya lagi.”
“Akan tetapi, bagaimana dengan
Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menunggu sampai Lin Lin sembuh?”
Ma Hoa berkata ragu-ragu.
“Tak perlu,” jawab Ang I
Niocu. “Bukankah Susiok-couw sudah memberi perintah kepada mereka untuk
menyusul ke Goa Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan
kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur.”
“Biarlah aku yang menanti
mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,” Yousuf
menyatakan kesanggupannya.
Semua orang telah menyetujui
keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka,
yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, serta Kwee An lalu masing-masing
mendapat sekantung.
Setelah berpamit kepada Yousuf
serta kawan-kawannya, empat orang pendekar itu pergi meninggalkan Lan-couw yang
memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka menuju ke timur dan di
sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin.
Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang
diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang
miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah
mereka. Maka timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi
Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin
yang sedang menderita sengsara…..
********************
Setelah tinggal di dalam goa
batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin sudah pulih kembali
seperti sedia kala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di
otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama
sekali.
Hal ini dapat dia rasakan
karena kalau biasanya tiap hari dia sering merasakan kepalanya kadang-kadang
berdenyutan keras sekali hingga Cin Hai terpaksa memegang tangannya dan
mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat
jalan darah pada otaknya, sekarang denyutan kepala itu telah hilang sama
sekali! Bahkan ketekunannya berlatih dan semedhi membuat dia dan Cin Hai
mendapat kemajuan yang lumayan.
Sepasang teruna remaja itu
lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di hadapan ayah
angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata
merah, karena menahan runtuhnya air matanya,
“Lin Lin, anakku yang baik.
Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau sudah terbebas dari
keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhu-mu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat
dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang sudah menolongmu.”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut.
“Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?”
Yousuf menggelengkan
kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata, “Ayah, kau harus
ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah
lagi dengan kau.”
Yousuf tersenyum dan memandang
kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. “Anakku yang baik, alangkah
bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan sudah memberi
berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu
usiaku telah tua, aku masih dapat memperoleh seorang anak seperti engkau!
Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat
dengan engkau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan
suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar ucapan terakhir ini,
baik Lin Lin mau pun Cin Hai menjadi merah mukanya.
“Kalau begitu, marilah kau
ikut dengan kami ke timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan girang.
Kembali Yousuf menggelengkan
kepalanya. “Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dahulu
menyusul Suhu-mu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting.”
Kemudian orang Turki yang baik
hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu, dan juga menuturkan bahwa Ang I
Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi
harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.
“Sedangkan emas yang menjadi
hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan lebih dahulu ke negeriku supaya
dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh
Pangeran Muda.”
Karena dapat mempertimbangkan
bahwa hal itu memang sangat penting dan memang sudah menjadi kewajiban Yousuf
untuk bekerja demi kebaikan negara serta bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan
Cin Hai tak dapat membantah pula.
“Hanya kuminta, Ayah, agar
supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami
ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku.”
Sesudah melihat kekasihnya
sembuh, Cin Hai lalu menuturkan mengenai tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai
di tangan Hai Kong Hosiang. Mendengar ini, bukan main marah dan terkejutnya Lin
Lin, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung
itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.
Lin Lin bersembahyang di depan
kuburan guru dan suci-nya dan sambil menangis ia pun bersumpah,
“Suci dan Subo, aku bersumpah
bahwa sakit hati ini pasti akan kubalaskan dan bangsat gundul Hai Kong pasti
akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci.”
Setelah berdiam di makam subo
dan suci-nya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan
perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang
bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati
kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini sudah melukainya dan kalau tidak
tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!
Cin Hai maklum akan perasaan
hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut dia berkata, “Lin-moi, janganlah kau
berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang dulu telah
melepaskan hwesio itu dan tidak membinasakannya sehingga dia masih hidup dan
kini mendatangkan mala petaka pula.”
Lin Lin memandang kekasihnya
dan tersenyum manis menghibur.
“Koko yang baik, semua itu
bukan salahmu, sama sekali bukan!”
Melihat senyum manis kembali
telah menghias bibir gadis yang sangat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi
gembira sekali karena dia pun tahu bahwa kekasihnya telah melupakan
kesedihannya.
Mereka melanjutkan perjalanan
dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh
sepasang teruna remaja pada waktu melakukan perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya
ini, sering kali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat
kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini
dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan di dalam pandangan
mata Cin Hai, apa bila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih
menarik tariannya dari pada tarian Ang I Niocu sendiri!
Untuk membalas kebaikan Cin
Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya dia
bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang
merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.
Memang, bagi siapa saja yang
pernah mengalaminya, tentu akan mengaku bahwa tidak ada kegembiraan penuh
bahagia yang lebih nikmat dari pada berduaan dengan seorang tunangan yang
saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau namun tetap saling
menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan
berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan
oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati.
Tetapi, Lin Lin dan Cin Hai
adalah orang-orang muda yang sudah sama-sama mendapat gemblengan dan didikan
dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka telah menjadi kuat dan
batin mereka sudah bersih. Mereka telah menjadi majikan dari pada nafsu sendiri
dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya
orang-orang lemah iman yang malah dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang
menunggangi mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka
tiba di sebuah hutan yang besar, mereka melihat dua orang berlari-lari cepat
dengan wajah seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat. Dua orang itu
terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah sekali dan yang
memelihara kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya, matanya tajam
dan sikapnya agung. Sedangkan orang kedua adalah seorang gadis yang sangat
cantik jelita, bermata jeli dan bermuka manis bukan main, akan tetapi pada
waktu itu wajahnya kemerah-merahan dan matanya mengandung kedukaan besar,
“Mereka seperti orang
ketakutan, mari kita tolong!” kata Lin Lin dan Cin Hai mengangguk. Mereka lalu
menghadang di tengah jalan dan Cin Hai berseru,
“Ji-wi harap berhenti dulu!”
Kedua orang yang sedang
berlari itu menahan kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal mereka
berhenti, memandang kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.
“Mengapa ji-wi berlari-lari
seakan-akan ada yang mengejar ji-wi?” Lin Lin bertanya sambil memandang dengan
kagum dan hati suka kepada gadis manis tadi.
“Memang kami sedang
dikejar-kejar orang, akan tetapi urusan ini adalah urusan bangsa kami sendiri
dan sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi,” kata laki-laki tadi
dengan suara gagah, menandakan bahwa dia memiliki keangkuhan serta ketinggian
hati, tidak suka minta tolong kepada orang lain.
Cin Hai tersenyum. “Sahabat,
ketahuilah bahwa kami bukan bermaksud jahat tetapi kami hanya ingin menolong
kepadamu, yaitu apa bila kau berada dalam bahaya.”
“Memang aku dan anakku ini
sedang berada dalam keadaan bahaya. Akan tetapi bagi seorang kepala suku bangsa
Haimi seperti aku, tak pernah aku minta tolong kepada lain orang untuk memusuhi
bangsa sendiri!”
“Suku Haimi?” seru Cin Hai
yang teringat akan penuturan Kwee An ketika pemuda itu dulu menceritakan
pengalamannya. “Apakah kau bukan Sanoko yang gagah dan nona ini Nona Meilani?”
Kedua orang itu tercengang.
“Bagaimana kau dapat mengetahui nama kami?” Sonoko bertanya dengan muka heran.
Lin Lin yang juga sudah
mendengar penuturan itu dari Cin Hai, lalu berkata girang, “Nona Meilani, kau
tentu masih ingat kepada Kwee An, bukan?”
Mendengar nama ini
disebut-sebut, Meilani menundukkan kepala dengan muka merah. “Dia... dia adalah
suamiku...”
“Benar,” kata Lin Lin yang sudah
tahu pula akan ‘perkawinan’ itu. “Dan aku adalah bekas adik iparmu, karena Kwee
An itu adalah kakakku!”
Mendengar ucapan ini, Meilani
mengeluarkan isak tangis, lalu dia maju menubruk Lin Lin. Dua orang gadis itu
berpelukan dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang yang luar biasa
harumnya keluar dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.
Juga Sanoko menjadi girang
sekali. Ia cepat menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Maaf, maaf! Tidak tahunya
kami bertemu dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu siapakah nama enghiong
yang mulia?”
“Siauwte bernama Sie Cin Hai.”
“Apakah kau juga masih
keluarga Kwee An?” tanya Sanoko.
Cin Hai merasa ragu-ragu untuk
menjawab, akan tetapi Lin Lin mendahuluinya.
“Dia itu adalah tunanganku.”
Meilani yang sudah pandai
berbahasa Han, membelalakkan matanya yang sangat indah dan sambil tersenyum
manis hingga giginya yang hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia bertanya
kepada Lin Lin, “Apakah artinya tunangan?”
“Tunangan adalah... calon
suami.”
“Ahh...” Meilani kemudian
berlari menghampiri Cin Hai, memeluknya dan mencium kedua pipinya.
Tentu saja Cin Hai menjadi
kaget sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya menjadi merah
bagaikan udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi heran sekali,
akan tetapi sebagai seorang wanita, dia menjadi cemburu dan wajahnya berubah
pucat.
Sanoko agaknya tahu akan hal
ini, maka cepat-cepat ia berkata,
“Nona, kebiasaan suku bangsa
kami adalah bahwa setiap orang wanita berhak, bahkan diharuskan memberi selamat
kepada seorang mempelai laki-laki dengan cara seperti itu.”
Kini legalah hati Lin Lin,
karena dia tadi melihat betapa wajah Cin Hai menjadi kemerah-merahan dan dengan
belaian kasih sayang seperti itu dari seorang gadis yang secantik Meilani,
bukanlah hal yang boleh dianggap ringan bagi pertahanan hati Cin Hai. Dan apa
bila dia harus mendapat saingan dari seorang gadis seperti Meilani, akan
berbahayalah! Kecuali giginya yang hitam mengkilap, Meilani adalah gadis yang
jarang terdapat karena cantik jelitanya.
Meilani kembali menghampiri
Lin Lin dan memeluknya. “Siapakah namamu, Adikku yang baik?” tanyanya.
“Panggil saja Lin Lin
kepadaku,” jawab Lin Lin sambil tersenyum.
Diam-diam ia mengerling ke
arah Cin Hai dengan pandangan tajam. Adakah Cin Hai juga mencium bau kembang
yang harum dan sedap itu? Demikian pikirnya.
“Sanoko Lo-enghiong, karena
sudah kau ketahui bahwa kita adalah orang sendiri, maka ceritakanlah mengapa
kau bersama Nona Meilani berlari-lari dan siapa pula yang sedang mengejarmu?”
“Amat memalukan kalau
diceritakan,” kata orang tua itu sambil menarik napas panjang, “Semua ini
adalah gara-gara keponakanku sendiri. Lenyap sudah sifat-sifat ksatria yang
setia, gagah dan jujur, setelah dia merantau dan memiliki kepandaian dari...
orang-orang Han. Maafkan ucapanku ini, Sie-taihiap, aku tak bermaksud menghina
orang-orang Han.”
Cin Hai tersenyum dan
mengangguk. “Siauwte juga tidak akan membela bangsa sendiri kalau memang dia
benar-benar jahat dan terus terang saja, di antara bangsa Han juga banyak yang
jahat, sebagaimana terdapat pula pada bangsa lain. Teruskanlah ceritamu,
Lo-enghiong.”
Sanoko segera bercerita secara
singkat. Ternyata bahwa biar pun sudah menjadi ‘janda’ yaitu setelah ditinggal
pergi oleh Kwee An saat baru saja melangsungkan ‘pernikahannya’ dengan Meilani,
Meilani tetap menjadi pujaan para pemuda bangsa Haimi. Akan tetapi, agaknya
gadis itu telah mengalami penyakit patah hati sehingga ia menolak tiap pinangan
pemuda bangsanya. Menurut adat kebiasaan mereka, seorang janda yang telah
ditinggal oleh suaminya lebih dari seratus hari, maka dia berhak untuk menerima
pinangan laki-laki lain dan si suami itu apa bila telah kembali, tidak berhak
lagi terhadap bekas isterinya.
Meilani tinggal menjadi janda
kembang sampai berbulan-bulan, dan akhirnya ia jatuh hati juga pada seorang
pemuda yang baru saja kembali pulang dari perantauan, yaitu seorang pemuda
pemburu yang gagah berani bernama Manoko. Ketika Manoko mengajukan pinangan,
maka pinangan itu diterima.
Akan tetapi, pada saat itu
datanglah seorang pemuda keponakan Sanoko sendiri yang semenjak kecil telah
merantau ke daerah selatan dan telah mempelajari silat dari seorang guru bangsa
Han. Ketika pemuda yang bernama Saliban ini datang, maka semua orang
mengaguminya karena dia memang benar-benar pandai dan berilmu silat tinggi.
Semua jago-jago Haimi jatuh dalam tangannya.
Juga orang-orang Haimi banyak
yang membencinya, karena tenyata bahwa keponakan dari Sanoko itu beradat buruk,
jahat, dan sombong sekali. Dia bertingkah meniru lagak orang-orang Han, bahkan
dia tidak memelihara kumis dan cambang seperti orang Han, dan berbicara pun dia
selalu mempergunakan bahasa Han!
Semenjak datang dan kembali
tinggal bersama bangsa sendiri, telah sering kali Saliban mengganggu anak bini
orang, dan semenjak ia datang, ia menaruh hati kepada Meilani, saudara misannya
itu. Dia tidak mau atau memang dia tidak suka mengikat diri dengan sebuah
pernikahan dan niatnya hanya ingin menjadikan Meilani sebagai kekasihnya saja!
Tentu hal ini tidak dapat diterima oleh Meilani yang memang menaruh hati benci
kepada pemuda yang mempunyai lagak menjemukan itu.
Ketika pinangan Manako
diterima, Saliban menjadi marah sekali. Dia lalu menggunakan kepandaian dan
pengaruhnya untuk menghasut teman-temannya kemudian mengadakan pemberontakan.
Hal ini terjadi pada hari perkawinan Meilani dengan Manako.
Tiba-tiba saja Saliban
menyerang, sehingga terjadi pertempuran hebat di antara bangsa sendiri.
Pengikut-pengikut Sanoko tak ada yang kuat melawan Saliban sehingga banyak yang
menjadi korban, sedangkan Manoko sendiri terluka pada pundaknya dan melarikan
diri ke dalam hutan. Sanoko dan Meilani setelah mengadakan perlawanan hebat,
ternyata tak kuat menghadapi Saliban yang tangguh itu, maka mereka melarikan
diri, dikejar-kejar oleh Saliban dan kawan-kawannya yang bermaksud membunuh
Sanoko, mengangkat diri sendiri menjadi kepala suku dan memaksa Meilani menjadi
kekasihnya!
Bukan main marahnya hati Cin
Hai dan Lin Lin mendengar penuturan ini, dan pada saat Sanoko mengakhiri cerita-ceritanya,
tiba-tiba terdengar sorakan ramai dari depan.
“Itulah mereka telah datang,
biarlah aku dengan anakku mengadakan perlawanan sampai titik darah
penghabisan!” kata Sanoko sambil bangun berdiri dan memegang pedangnya dengan
sikap gagah. Juga Meilani telah mencabut pedangnya dan bersiap sedia.
“Duduklah, Lo-enghiong, dan
kau juga, Meilani. Biarkan aku yang menghadapi bangsat-bangsat itu!” kata Lin
Lin dengan gagahnya.
Meilani dan Sanoko ragu-ragu,
akan tetapi Cin Hai berkata, “Benar, Lo-enghiong, biarkan tunanganku itu
menghadapi Saliban. Kau dan Nona Meilani sudah lelah, kini mengasolah sambil
menonton!” Mendengar kata-kata itu, mundurlah kedua orang ini dan membiarkan
Lin Lin seorang diri menghadapi Saliban.
Benar saja, yang datang itu
adalah serombongan orang Haimi terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh
seorang pemuda Haimi yang berpakaian seperti orang Han dan yang lagaknya
sombong sekali. Melihat betapa orang-orang Haimi yang masih muda-muda itu
semuanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung dan menjungat ke atas,
tak dapat ditahan lagi Lin Lin tertawa geli, sedangkan Cin Hai tak terasa lagi
meraba-raba kulit bawah hidungnya yang masih halus dan belum ditumbuhi kumis
itu.
Saliban melihat betapa seorang
gadis Han yang cantik luar biasa dengan sikap gagah menghadang di jalan,
sedangkan Sanoko bersama Meilani hanya duduk di bawah pohon seakan-akan
dilindungi oleh gadis itu, menjadi terheran-heran dan melihat kecantikan Lin
Lin, timbullah sikap kurang ajarnya. Ia tersenyum dibuat-buat dan berkata,
“Nona cantik, apakah kau sudah
mendengar nama Saliban yang gagah perkasa sehingga sengaja kau datang
menyambutku untuk berkenalan?”
“Jadi inikah tikus yang
bernama Saliban? Eh, tikus, apa maksudmu mengejar Sanoko dan Meilani?” berkata
Lin Lin dengan suara mengejek.
“Lin-moi, dia itu bukan tikus!
Lihat saja dia tidak berkumis, mungkin kumisnya itu telah dia sembunyikan di
belakang menjadi ekor! Dia ini lebih cocok disebut monyet buduk!” kata pula Cin
Hai untuk mengejek orang itu.
Bukan main marahnya Saliban
mendengar ejekan-ejekan ini dan lenyaplah maksudnya hendak mengganggu Lin Lin,
berubah menjadi kebencian besar.
“Dari mana datangnya dua ekor
anjing kurang ajar ini?” dia membalas memaki dan sekali tangan kirinya
bergerak, sebatang piauw menyambar ke arah Cin Hai yang sedang duduk di bawah
pohon dan sekali lagi tangannya bergerak, maka sebatang piauw lain sudah pula
menyambar ke leher Lin Lin!
Dengan tenang Cin Hai memungut
ranting kayu yang terletak di dekatnya dan pada saat piauw itu menyambar ke
arahnya, dia menggerakkan ranting itu dan sekaligus piauw itu kena dipukul
sedemikian rupa sehingga piauw itu membuat gerakan membalik dan kini meluncur
kembali ke arah kaki Saliban!
Sementara itu, piauw yang
meluncur ke arah leher Lin Lin, disambut dengan sikap dingin oleh gadis itu.
Ketika piauw menyambar, dia lalu mengulur tangan dan berhasil menjepit piaiuw
itu di antara jari-jari tangannya, lalu melihat betapa piauw yang melayang ke
arah Cin Hai telah di’retour’ oleh pemuda itu, dia menanti sampai piauw itu
melayang ke kaki Saliban dan saat melihat Saliban meloncat naik untuk mengelak
dari sambaran piauwnya sendiri, Lin Lin tersenyum dan ia pun lalu menyambitkan
piauw yang ditangkapnya tadi ke arah kaki Saliban lagi yang justru hendak
turun. Terpaksa Saliban melompat lagi ke atas sehingga dia telah
berlompat-lompatan dua kali untuk menghindarkan diri dari sambaran piauwnya
sendiri!
“Ha-ha-ha! Lihat, benar-benar
ia monyet yang pandai menari-nari!” Cin Hai tertawa sambil menuding ke arah
Saliban, sedangkan Lin Lin juga tertawa mengejek.
Sanoko dan Meilani terpaksa
ikut tersenyum melihat kejenakaan dua orang muda yang ternyata dapat
mempermainkan Saliban. Diam-diam Meilani merasa kagum sekali melihat Lin Lin
yang mempunyai cara demikian indah untuk menerima sambitan piauw dari jarak
dekat dan mengembalikannya ke arah kaki lawan hanya untuk mempermainkannya.
Saliban makin marah, maka dia
lalu mencabut pedangnya sambil berseru,
“Bangsat-bangsat kurang ajar!
Kau mencampuri urusan suku bangsa lain?”
“Saliban, orang rendah! Jangan
kau membuka mulut besar! Kami berdua memang selalu mencampuri urusan semua
orang-orang biadab macam kau yang hendak mengandalkan kejahatan untuk
mencelakakan orang. Kau sungguh tidak tahu malu. Meilani tidak suka menjadi
permainanmu, mengapa kau hendak memaksa?”
“Meilani adalah adik misanku.
Dia telah menjadi janda dan memalukan sekali kalau dia menerima pinangan orang
lain! Itu berarti merendahkan nama keluarga kami! Kau berhak apakah mencampuri
urusan rumah tangga kami?”
“Dengarlah!” bentak Lin Lin
dengan marah. “Meilani adalah kakak iparku karena ia adalah janda dari kakakku
Kwee An. Kakakku dan aku pun sudah setuju kalau dia menikah lagi dengan orang
yang dipilihnya sendiri atas persetujuan Ayahnya, kau ini mempunyai hak apa
maka berani menghalanginya?”
“Bagus, kalau begitu biarlah
kalian kubinasakan semua!”
Sambil berkata demikian
Saliban lalu maju menubruk dan menyerang dengan pedangnya ke arah Lin Lin. Akan
tetapi Lin Lin dengan tenang sekali menghadapinya dengan tangan kosong.
“Adik Lin Lin, kau pergunakan
pedangku ini!” kata Meilani karena merasa kuatir melihat betapa gadis itu
menghadapi Saliban yang lihai dengan tangan kosong saja.
Akan tetapi Lin Lin menoleh
dan hanya tersenyum kepadanya sambil menjawab, “Untuk menghadapi seekor tikus…
ehh, monyet macam ini perlu apakah harus mempergunakan pedang? Tanganku cukup
untuk merobohkannya!”
Juga Cin Hai yang melihat
gerakan Saliban walau pun cukup lihai namun masih belum cukup berbahaya bagi
Lin Lin, berkata kepada Meilani, “Tenanglah, Nona. Lin-moi cukup kuat
menghadapinya dengan tangan kosong.”
Sementara itu, Saliban yang
merasa terhina sekali oleh ucapan Lin Lin, dengan nekat lalu menyerang sambil
mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi, sambil menari-nari
dan mempergunakan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang sudah dipelajarinya, Lin Lin
mempermainkan Saliban hingga Meilani memandang bengong. Bagaimana mungkin
menghadapi seorang tangguh seperti Saliban itu dengan menari-nari macam itu?
Kawan-kawan Saliban maju
mengeroyok Lin Lin, akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat dan
tahu-tahu beberapa buah senjata di tangan mereka melayang dan terpental ke
mana-mana. Ternyata Cin Hai yang begitu melihat gerakan mereka sudah mendahului
dan dengan sekali bergerak saja ia telah membuat pedang dan golok mereka
terlepas dari pegangan!
Orang-orang Haimi itu terkejut
sekali dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kembali tubuh Cin
Hai berkelebat dan bergerak, dan terdengar jerit kesakitan berkali-kali. Pada
waktu mereka semua meraba ke arah hidung mereka yang terasa sakit dan perih,
ternyata bahwa Cin Hai sudah mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mencabuti
kumis-kumis mereka itu seorang demi seorang!
Sambil melemparkan
rambut-rambut kumis itu ke udara sehingga beterbangan tertiup angin, Cin Hai
tertawa-tawa sehingga Meilani yang melihat hal ini tak kuasa lagi menahan geli
hatinya dan ikut tertawa terkekeh-kekeh. Sanoko yang melihat kehebatan gerakan
itu dengan kepala pening, juga tersenyum meski di dalam hatinya dia merasa
kasihan juga kepada anak buahnya yang memberontak itu karena bagi seorang
laki-laki Haimi, dicabut kumisnya sama dengan dicabut kepalanya dari leher!
“Kalian yang memberontak dan
mengikuti bangsat Saliban, tidak pantas berkumis lagi!” kata Cin Hai sambil
memandang kepada belasan orang yang sekarang telah kehilangan kumisnya itu.
Mereka menundukkan kepala sambil menutupi hidungnya yang berdarah itu, dan
merasa amat malu karena tanpa kumis bagi mereka hampir sama dengan berdiri
telanjang dihadapan orang lain!
“Kalau kalian sayang jiwa,
hayo berlutut minta ampun kepada kepala suku yang asli, yaitu Sanoko!” teriak
Cin Hai lagi.
Orang-orang itu telah merasai
kelihaian Cin Hai, dan kini mereka tidak berani membantah lagi, lalu berlutut
dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Sanoko yang berdiri sambil memandang
dengan kagum kepada Cin Hai. Sementara itu, Saliban telah merasa pening karena
dipermainkan oleh Lin Lin, dan pada waktu gadis itu sudah merasa cukup puas
mempermainkan Saliban, tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia mainkan
Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na yang lihai, ilmu silat yang diajarkan oleh Bu Pun
Su!
Saliban terkejut sekali ketika
tubuh gadis itu melompat tinggi dan menyambar-nyambar dari atas bagai seekor
burung besar menyerang marah. Ia menyabet dengan pedangnya, namun lebih dulu
sudah ditotok oleh Lin Lin dan sebelum dia tahu bagaimana hal itu bisa terjadi
tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan!
Saliban merasa amat terkejut
dan hendak melompat pergi. Akan tetap kaki Lin Lin telah mendahuluinya
menendang pundaknya dari atas hingga tak ampun lagi ia terguling roboh sambil
mengeluh kesakitan karena sambungan tulang pundaknya telah terlepas.
Melihat keponakannya yang
jahat itu sudah roboh, Sanoko lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin dan
memintakan ampun untuk jiwa Saliban, sehingga Cin Hai dan Lin Lin merasa kagum
akan kemurahan hati kepala Suku ini.
“Saliban,” kata Cin Hai kepada
pemuda Haimi itu, “dengarlah betapa pamanmu mintakan ampun untuk kau yang telah
memberontak dan berbuat jahat kepadanya. Tidak malukah kau? Orang seperti
engkau ini seharusnya dibinasakan, karena selain berbuat jahat, kau pun telah
merusak nama baik Suhu-mu yang tentu seorang Han adanya. Kau tidak lekas minta
ampun?”
Melihat kelihaian Lin Lin dan
Cin Hai, Saliban segera insyaf bahwa ilmu kepandaiannya sebetulnya masih amat
rendah dan ia merasa malu dan menyesal, maka sambil merayap ia berlutut minta
ampun kepada pamannya dan bersumpah bahwa dia takkan mengulang perbuatannya
lagi.
Pada saat itu, dari jauh
datang serombongan orang Haimi yang dipimpin oleh Manako. Pemuda ini walau pun
sudah terluka pundaknya, namun dengan nekat ia mengumpulkan kawan-kawan dan
menyusul untuk menyerbu Saliban serta menolong calon isteri dan mertuanya. Juga
Manako memaafkan Saliban, sedangkan Cin Hai dan Lin Lin diam-diam memuji
ketampanan serta kegagahan Manako, hanya mereka diam-diam menyayangkan bahwa
anak muda ini sebenarnya belum pantas memakai cambang yang demikian tebal dan panjangnya.
Setelah mereka bercakap-cakap
dan beramah tamah dengan orang-orang Haimi serta meninggalkan banyak nasehat
kepada Saliban, Cin Hai dan Lin Lin kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke
timur.
Pada saat mereka berdua tiba
di Pegunungan Lian-ko-san yang tidak jauh lagi dari Goa Tengkorak, hanya
tinggal satu hari perjalanan lagi, dan sedang berjalan melalui sebuah padang
rumput, tiba-tiba muncul tiga orang yang membuat mereka terkejut dan bersiap
sedia, karena tiga orang itu bukan lain ialah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan
Bo Lang Hwesio.
Tiga orang ini yang sudah
dikalahkan oleh Bu Pun Su, maklum bahwa anak-anak muda yang menjadi musuh
mereka itu masih berada di daerah barat, maka sengaja mereka menghadang di sana
untuk membalas dendam. Ketika Bu Pun Su lewat di situ, mereka bersembunyi saja
tidak berani keluar, akan tetapi setelah kini melihat kedatangan Cin Hai dan
Lin Lin, mereka lalu muncul dan menghadang di jalan dengan hati penuh dendam,
terutama sekali Bo Lang Hwesio yang hendak membalas dendam terhadap Lin Lin
atas kematian muridnya dahulu, yaitu Boan Sip yang menjadi gara gara semua
permusuhan.
Cin Hai berlaku tenang-tenang
saja, juga Lin Lin dengan tabah dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri
berdiri di sebelah kiri kekasihnya sambil memandang tajam kepada musuh-musuh
besar itu.
“Eh, kiranya Sam-wi Lo-suhu
yang berada di sini. Tidak tahu mempunyai maksud apakah maka menghadang
perjalanan kami?” kata Cin Hai dengan sikap hormat.
“Pendekar Bodoh! Telah
berkali-kali kau dengan kawan-kawanmu memusuhi dan menjadi penghalang kami,
bahkan Suhu-mu sendiri sudah menghina kepada kami. Kini kebetulan kita bertemu
di sini, masih hendak bertanya tentang maksud kami? Cabutlah senjatamu dan
biarlah saat ini akan menentukan siapa diantara kita yang lebih kuat!” kata
Thai Kek Losu kepada Cin Hai.
Aedangkan Bo Lang Hwesio
dengan mata memandang marah membentak kepada Lin Lin. “Dan kau tentu masih
ingat akan dosamu membinasakan muridku, maka sekarang aku hendak membalas
dendam. Hutang jiwa ya harus dibayar jiwa pula!” Sambil berkata demikian, Bo
Lang Hwesio mengeluarkan sepasang poan-koan-pit.
Lin Lin sudah mendengar
mengenai pertempuran tokoh-tokoh besar ini melawan Bu Pun Su, maka melihat
poan-koan-pit itu, ia menyindir,
“Bo Lang Hwesio, agaknya kau
telah mencuri sepasang poan-koan-pit baru, apakah yang dulu telah tak dapat
digunakan lagi?”
Marahlah Bo Lang Hwesio
mendengar ini, maka sambil menerjang maju dia membentak lagi, “Perempuan
rendah, bersedialah untuk mampus!”
Dengan tenang Lin Lin kemudian
mencabut keluar Han-le-kiam dari pinggangnya, segera menyampok poan-koan-pit
lawan yang menyerangnya, kemudian secepat kilat ia pun lalu balas menyerang
dengan hebat.
Sementara itu, Thai Kek Losu
sudah mengeluarkan senjatanya yang sangat hebat, yaitu tengkorak kecil yang
rantai pengikatnya kini telah diperbaikinya dan diganti, ada pun Sian Kek Losu
juga mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yakni sebatang gendewa. Juga
gendewanya yang dulu telah dipatahkan oleh Bu Pun Su itu kini telah digantinya
dengan sebatang gendewa yang baru, terbuat dari pada besi kuning.
Cin Hai maklum akan kelihaian
senjata-senjata lawannya, maka ia pun tidak mau berlaku sungkan lagi, segera
mencabut keluar sepasang pedangnya Liong-cu-kiam yang panjang dan pendek,
dipegang pada kedua tangannya. Kedua Pendeta Sakya Buddha itu terkejut melihat
sepasang pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu, maka mereka maklum bahwa
sepasang pedang itu tentu pedang-pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali.
Mereka lalu membentak dan mendahului menyerang dengan hebat.
Cin Hai memperlihatkan
kegesitannya dan melawan dengan tenang serta waspada. Dia melihat betapa
gerakan Thai Kek Losu jauh lebih gesit dari pada dulu, agaknya selama ini
pendeta itu sudah melatih diri, sedangkan gerakan Sian Kek Losu juga hebat
bukan main. Untung ia mempergunakan sepasang pedang Liong-cu-kiam yang tajam
sehingga kedua lawannya tidak berani menahan pedangnya dengan senjata mereka
sehingga serangan dua orang itu dapat dibalas dengan serangan-serangan kilat yang
cukup membuat kedua lawannya berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa murid
Bu Pun Su ini tidak boleh dibuat gegabah!
Sementara itu, pertempuran
antara Lin Lin dan Bo Lang Hwesio juga berjalan seru sekali. Ilmu Pedang
Han-le-kiam memang luar biasa dan sangat cepat, sedangkan kini Lin Lin telah
memperoleh kemajuan hebat dan bahkan telah melatih diri dengan limu Silat
Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na.
Akan tetapi menghadapi Bo Lang
Hwesio yang sudah jauh lebih berpengalaman dan ulet itu, dia mendapatkan lawan
yang amat kuat dan tangguh. Sepasang poan-koan-pit pada tangan Bo Lang Hwesio
menyambar-nyambar ke arah jalan darah yang berbahaya dan juga setiap kali
pedang Han-le-kiam kena disampok oleh poan-koan-pit, Lin Lin merasa betapa
telapak tangannya menggetar sebab ternyata tenaga hwesio itu masih lebih besar
sedangkan ilmu lweekang-nya pun lebih tinggi dari pada Lin Lin.
Maka gadis ini yang tahu akan
keadaan itu segera mempergunakan kelincahannya dan ginkang-nya untuk
menghindarkan diri dari desakan poan-koan-pit, sedangkan jurus-jurus berbahaya
yang ia keluarkan dari ilmu pedangnya membuat Bo Lang Hwesio diam-diam merasa
terkejut juga.
Alangkah beda tingkat ilmu
pedang gadis ini dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu ketika dia dengan
Ke Ce menyerbu ke atas bukit tempat tinggal Yousuf dan berhasil menjatuhkan
Kwee An dan Ma Hoa ke dalam jurang. Ketika dahulu itu, walau pun ilmu pedang
gadis ini sudah aneh dan luar biasa, akan tetapi gerakannya belum sematang ini.
Maka hwesio itu cepat mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga setelah
bertempur lama, Lin-Lin merasa terdesak juga!
Ada pun Cin Hai yang dikeroyok
dua oleh Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, meski pun belum terdesak, tetapi
sukar pula baginya untuk mendesak kedua lawannya yang berilmu tinggi. Terutama
sekali tengkorak di tangan Thai Kek Losu sangat berbahaya karena Cin Hai tidak
berani menangkisnya dengan pedang. Dia maklum bahwa tengkorak itu amat
berbahaya dan bila ditangkis akan menyebarkan jarum-jarum beracun yang lihai sekali.
Juga gendewa di tangan Sian
Kek Losu bukanlah senjata yang mudah dilawan biar pun dia dapat menduga ke arah
mana gerakan gendewa itu akan dilancarkan. Maka untuk menghadapi kedua lawan
yang tangguh ini, Cin Hai memainkan dua macam ilmu pedang dengan kedua
tangannya.
Pedang panjang di tangan kanan
ia mainkan dengan jurus-jurus dari Ilmu Pedang Daun Bambu, sedangkan pedang
pendek di tangan kiri ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sehingga
kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa terkejut dan mengadakan
perlawanan dengan mati-matian. Mereka harus mengakui bahwa selain Bu Pun Su,
belum pernah mereka menemukan tandingan seorang pemuda yang sedemikian tinggi
ilmu silatnya!
Pada saat pertempuran sedang
berjalan dengan seru, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang gerakannya ringan
sekali dan laki-laki ini langsung membentak marah,
“Pendeta-pendeta pada dewasa
ini hanya menggunakan pakaian sebagai kedok belaka, akan tetapi di dalam tubuh
mengandung iman yang bobrok dan batin yang amat rendah! Jangan kalian berani
mengganggu murid seorang sakti dan mulia seperti Bu Pun Su!”
Kemudian laki-laki itu menarik
keluar pedangnya dan menerjang Bo Lang Hwesio sambil berkata kepada Lin Lin.
“Nona, kau bantulah kawanmu itu dan biarkan Si Gundul ini tewas dalam
tanganku.”
Lin Lin mendengar suara ini
diucapkan dengan halus dan sopan akan tetapi mengandung pengaruh besar, karena
itu dia lalu meninggalkan Bo Lang Hwesio dan melompat untuk membantu Cin Hai.
Lin Lin maklum bahwa ilmu
kepandaian Thai Kek Losu terlampau tinggi baginya, maka ia lalu menyerang Sian
Kek Losu! Memang perhitungannya tepat karena di antara ketiga orang lawan yang
paling lihai dan sangat berbahaya untuk dilawan adalah Thai Kek Losu.
Bo Lang Hwesio memiliki ilmu
kepandaian yang hanya sedikit berada di bawah tingkat kepandaian pendeta Sakya
Buddha ini, bahkan di dalam hal lweekang, mungkin Bo Lang Hwesio lebih tinggi
tingkatnya! Ada pun Sian Kek Losu hanya memiliki tenaga besar saja dan ilmu
silatnya biar pun tinggi, namun tidak selihai kedua orang kawannya itu.
Kini pertempuran terpecah
menjadi tiga dan keadaan berubah dengan cepatnya. Orang yang baru datang tadi
dengan ilmu pedangnya yang gerakannya luar biasa cepat dan aneh, segera
berhasil mendesak Bo Lang Hwesio. Ketika Lin Lin dan Cin Hai mendapat
kesempatan memandang ke arah orang itu, hampir saja mereka berseru karena heran
dan kagum.
Ternyata ilmu pedang yang
dimainkan oleh orang itu memiliki dasar-dasar gerakan yang sama dengan ilmu
silat mereka! Lin Lin teringat akan penuturan Ma Hoa ketika bertemu dengannya
di dalam goa bersama Ang I Niocu, karena itu sambil menangkis serangan gendewa
di tangan Sian Kek Losu ia berseru,
“Enghiong yang gagah bukankah
Lie-enghiong tunangan Ang I Niocu?”
Orang itu tersenyum dan sambil
menangkis poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio, dia pun menjawab,
“Betul, dan Ji-wi tentulah
Nona Lin Lin dan Saudara Cin Hai!”
Mendengar percakapan ini, Cin
Hai merasa heran sekali. Hal ini merupakan ‘surprise’ baginya, yaitu merupakan
hal yang sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Tunangan Ang I Niocu? Dan
demikian gagah perkasa?
Hatinya menjadi girang dan fia
ingin sekali cepat-cepat mengakhiri pertempuran ini agar supaya dapat
bercakap-cakap dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian yang sama dengan kepandaiannya
sendiri.
Ia dulu mendengar bahwa Ang I
Niocu ditolong oleh Lie Kong Sian, akan tetapi Dara Baju Merah itu tidak
menceritakan bahwa ia telah menjadi tunangan Lie Kong Sian. Ia maklum bahwa
orang ini adalah Suheng dari Song Kun, maka boleh dibilang masih suheng-nya
sendiri pula.....
Dengan Ilmu Pedang Han-le
Kiam-hoat Lin Lin dapat mendesak Sian Kek Losu dan pada saat gendewa di tangan
Sian Kek Losu menangkis dengan sekuat tenaga untuk membuat pedang pendek di
tangan Lin Lin terpental, gadis itu dengan sangat cerdik dan cepatnya lantas
menarik kembali pedangnya dan ketika melihat ada lowongan yang terbuka segera
menggunakan gerak tipu Ang I Memetik Kembang, langsung pedangnya ditusukkan ke
arah iga lawan di bawah lengan yang memegang gendewa.
Sian Kek Losu berusaha
mengelak. Akan tetapi gerakan Lin Lin itu luar biasa cepatnya dan juga tidak
diduganya semula, maka tiada ampun lagi pedang Han-le-kiam yang tajam itu
dengan jitu menusuk dadanya dari bawah lengan! Sian Kek Losu menjerit, kemudian
gendewanya terlepas, tubuhnya sempoyongan lalu roboh dan tewas pada saat itu
juga!
Juga Bo Lang Hwesio yang sudah
tidak tahan menghadapi Lie Kong Sian, dengan nekat lalu memutar-mutar
poan-koan-pit di tangannya dan menyerang bagaikan harimau terluka yang sudah
nekat hendak mengadu jiwa. Lie Kong Sian terus mengurung dengan sinar pedangnya
sehingga kini Bo Lang Hwesio terpaksa mempergunakan lweekang-nya untuk
mengerahkan tenaga pada kedua senjatanya, menangkis sambil terdesak mundur.
Ujung pedang Lie Kong Sian
berkelebat cepat mengarah tenggorokannya dan Bo Lang Hwesio lantas membuat
gerakan nekat yang hendak memberi pukulan maut tanpa peduli akan keselamatan
sendiri. Pada waktu pedang itu meluncur ke arah lehernya, dia hanya sedikit
miringkan kepala dan berbareng dengan itu mengirim tusukan dengan sepasang
poan-koan-pit ke arah dada Lie Kong Sian.
Bila Lie Kong Sian meneruskan
serangannya dengan membalikkan pedang, maka ia pun akan termakan oleh sepasang
poan-koan-pit itu dan keduanya pasti akan tewas! Akan tetapi tentu saja Lie
Kong Sian tidak mau diajak mati bersama, maka ia berseru keras dan menggerakkan
tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih.
Kiranya Lie Kong Sian telah
menggunakan gerakan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menangkis tusukan
poan-koan-pit itu! Sedangkan pedangnya tetap dia teruskan dengan bacokan ke
arah leher lawan!
Bo Lang Hwesio merasa girang
melihat ini karena dia telah mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya yang
tinggi ke arah tangan yang memegang senjata, maka ia merasa pasti bahwa
tusukannya akan menewaskan musuh. Tidak tahunya, ketika tangan kiri Lie Kong
Sian menyampok, poan-koan-pitnya kena disampok terpental oleh tenaga yang luar
biasa sehingga dia merasa terkejut sekali. Pada waktu itu pedang Lie Kong Sian
telah datang menyambar. Bo Lang Hwesio berusaha mengelak, akan tetapi
terlambat. Ia pun menjerit keras dan roboh mandi darah dengan leher hampir
putus oleh pedang Lie Kong Sian!
Kini Lin Lin dan Lie Kong Sian
melihat pertempuran yang terjadi antara Cin Hai dan Thai Kek Losu dengan
serunya. Thai Kek Losu yang harus menghadapi Cin Hai seorang diri, merasa jeri
sekali karena dia pernah merasai kelihaian pemuda ini. Melihat betapa Sian Kek
Losu dan Bo Lang Hwesio sudah tewas, dia menjadi nekat dan menyerang Cin Hai
dengan mati-matian. Tengkorak kecil di tangannya lalu diputar-putar laksana
maut sendiri terbang berkeliaran mencari korban.
Ada pun Cin Hai yang pernah
menghadapi That Kek Losu, bahkan dahulu hampir saja mendapatkan celaka karena
pengaruh racun jahat yang keluar dari tengkorak itu, bersilat dengan sangat
hati-hati. Sebegitu jauh dia belum berani membacok tengkorak itu, kuatir
kalau-kalau racun jahat dan senjata-senjata rahasia yang ada di dalam tengkorak
itu akan menyambar keluar dan biar pun ia akan dapat mengelak namun hawa
beracun yang luar biasa itu masih tetap merupakan bahaya besar. Dulu pun baru
lewat dekat mukanya saja dan dia mencium bau racun, dia telah terkena celaka
dan kalau tidak kebetulan bertemu dengan suhu-nya, tentu dia telah binasa.
Melihat keragu-raguan
kekasihnya, Lin Lin hendak maju membantu, akan tetapi Cin Hai melarangnya.
“Mundurlah Lin-moi, sekarang juga aku akan merobohkannya. Lihat!”
Lin Lin melompat mundur
kembali dan pada saat itu tengkorak kecil menyambar ke arah Cin Hai dengan mulut
di depan seakan-akan hendak mencium muka pemuda itu. Cin Hai tidak mengelak,
hanya memandang dengan tajam dan kedua pedang di tangannya telah siap sedia.
Ketika tengkorak itu sudah
datang dekat, tiba-tiba saja pedang pendek di tangan kirinya menyambar dari
samping dengan miring, yaitu dia tidak menggunakan tajamnya pedang untuk
membacok, hanya mempergunakan permukaan pedang untuk menampar dari arah samping
dengan tenaga yang diatur sedemikian rupa hingga tengkorak itu kena ditampar
dan terbalik, kini mukanya menghadap kepada Thai Kek Losu.
Secepat kilat pedang Cin Hai
di tangan kanan lalu membacok tengkorak itu dari belakang sambil menggunakan
tenaga lweekang sekerasnya dan ketika terdengar suara ledakan yang terjadi pada
waktu tengkorak itu kena bacok, Cin Hai segera lompat menjauh dan kebetulan
sekali Lin Lin pada saat itu berdiri dekat, maka Cin Hai segera menyambar
lengan kekasihnya dan dibawanya melompat juga!
Memang Cin Hai telah berlaku
sangat hati-hati dan hal ini ada baiknya bagi dia dan Lin Lin, karena kalau ia
tidak bertindak cepat, mungkin mereka akan terancam bahaya. Pada waktu
tengkorak itu meledak, tidak hanya dari mulut, hidung serta matanya saja keluar
jarum-jarum beracun yang amat jahat dan yang kesemuanya melayang ke arah Thai
Kek Losu, akan tetapi setelah semua jarum habis, tengkorak itu sendiri meledak
dan pecah berhamburan menjadi potongan-potongan kecil yang lantas menyambar ke
sekelilingnya. Potongan ini tidak boleh dipandang rendah, karena setiap
potongan kecil ini mengandung racun jahat dan apa bila melukai kulit, akan
membahayakan jiwa yang terluka!
Thai Kek Losu yang tadinya
sudah merasa gembira melihat Cin Hai berani membacok tengkorak itu, menjadi
terkejut sekali ketika melihat betapa semua senjata rahasia yang keluar dari tengkorak
yang telah terbalik itu menyambar ke arahnya! Ia hendak mengelak pergi, akan
tetapi terlambat. Beberapa batang jarum telah mengenai tubuhnya dan tanpa
berteriak lagi ia roboh dan tewas oleh jarum-jarumnya sendiri!
Lie Kong Sian juga melompat
pergi ketika ledakan tengkorak terjadi, dan dia kemudian menghampiri Cin Hai
dan Lin Lin.
“Sute dan Sumoi, kalian
benar-benar gagah perkasa. Apakah Supek Bu Pun Su dalam keadaan sehat-sehat
saja?” katanya sambil tersenyum tenang.
Melihat sikap orang ini, baik
Lin Lin mau pun Cin Hai merasa tertarik dan suka. Sikap Lie Kong Sian polos,
jujur, dan sederhana sekali, hampir sama dengan sikap Bu Pun Su.
Setelah menjura dan memberi
hormat, Cin Hai segera memegang tangan Lie Kong Sian dengan girang dan berkata,
“Beliau sehat, Suheng. Sudah lama aku mendengar tentang namamu yang besar.
Alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau, apa lagi karena mendengar
tadi bahwa kau telah bertunangan dengan Ang I Niocu!”
Kembali Lie Kong Sian
tersenyum. “Aku memang sedang mencarinya, di manakah dia?”
Cin Hai lalu menceritakan
pengalamannya dan menceritakan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lainnya
mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk membagi-bagikan harta pusaka kepada rakyat
miskin.
“Lie-suheng, ada berita girang
untukmu,” tiba-tiba saja Lin Lin yang lincah dan jenaka itu berkata kepada Lie
Kong Sian sambil menatap wajah pemuda yang tenang dan tampan itu.
Lie Kong Sian sudah mendengar
dari Ang I Niocu tentang kejenakaan gadis ini dan dia tahu bahwa tunangannya
amat mengasihinya maka sambil tertawa dia berkata, “Sumoi, kau tentu akan
menggodaku. Silakanlah, apakah berita girang yang kau maksudkan?”
“Aku sudah mendengar tentang
syarat-syarat yang diajukan oleh Enci Im Giok kepadamu dan...”
“Ehh, ehhh, dari mana kau bisa
mengetahui hal itu?” Lie Kong Sian memotong sambil memandang heran, akan tetapi
dia tidak marah karena bibirnya tetap tersenyum.
“Dari Enci Ma Hoa.”
Lie Kong Sian
mengangguk-angguk dan Lin Lin melanjutkan bicaranya, “Dan sekarang, dua dari
pada tiga syarat itu telah terpenuhi. Aku dan Engko Hai sudah bertemu kembali
sebagaimana yang diharapkan oleh Enci Im Giok dan syarat ke dua pun telah
terlaksana.”
Lie Kong Sian menatap wajah
Lin Lin dengan tajam, kini senyumnya menghilang. “Sumoi, apa maksudmu? Syarat
yang mana? Lekas kau ceritakan padaku!”
“Sute-mu yang jahat itu telah
tewas dalam tangan Hai-ko!”
“Apa?!” Wajah Lie Kong Sian
menjadi pucat sekali dan dua butir air mata menitik turun.
Ia memandang kepada Cin Hai
yang berdiri sambil menundukkan kepala karena pemuda ini pun sudah mendengar
betapa besar cinta kasih Lie Kong Sian terhadap Song Kun. Sikap dan wajah Cin
Hai ini membuat hati Lie Kong Sian lemah kembali.
Kalau saja yang membunuh Song
Kun bukan pemuda ini, pasti ia akan menjadi marah dan membalas dendam. Akan
tetapi, pemuda ini adalah sute-nya sendiri pula, murid Bu Pun Su yang tidak
saja kepandaiannya lebih tinggi dari pada dirinya sendiri, akan tetapi pemuda
ini adalah seorang pemuda yang sangat dicinta oleh Ang I Niocu.
“Sute, kau benar-benar lihai
sekali. Tak sembarang orang dapat merobohkan Song Kun, bahkan terus terang
saja, aku sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Coba kau tuturkan bagaimana hal
itu terjadi.”
“Maafkan aku banyak-banyak,
Lie-suheng. Memang dia lihai sekali dan andai kata dia tak tersesat dan menjadi
seorang jahat, mungkin aku pun tidak akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi,
kejahatan pasti akan hancur dan kalah pada akhirnya.”
Kemudian Cin Hai lalu
menceritakan mengenai pertempurannya dengan Song Kun yang disaksikan oleh Bu
Pun Su. Juga menuturkan pula betapa Song Kun telah mencuri obat dan menggunakan
obat itu untuk mengancam dan hendak mengganggu Lin Lin.
Mendengar ini semua, Lie Kong
Sian menarik napas panjang. “Sayang betapa pun gagah seseorang, apa bila ia tidak
memiliki kesempurnaan budi, ia menjadi orang yang sehina-hinanya dan
serendah-rendahnya dan akhirnya orang itu pasti akan mengalami bencana besar
dalam hidupnya.”
“Kau benar, Suheng,” kata Cin
Hai dan Lin Lin hampir berbareng.
“Dan sekarang kalian hendak
pergi ke manakah?”
“Kami hendak pergi ke Goa
Tengkorak, tempat tinggal Suhu Bu Pun Su,” jawab Cin Hai.
“Bagus! Aku pun ingin sekali
bertemu dengan orang tua itu,” kata Lie Kong Sian.
“Untuk memenuhi syarat ke
tiga, bukan Suheng?” Lin Lin menggoda dan Lie Kong Sian mengangguk-angguk
sambil tersenyum dan memandangnya.
“Kau benar-benar nakal,
Sumoi.” Ketiganya lalu tertawa.
“Sebelum kita pergi, lebih
dulu marilah kita mengubur jenazah tiga orang ini.”
Mendengar ucapan Lie Kong Sian
ini, Lin Lin dan Cin Hai merasa kagum dan diam-diam memuji keluhuran budi
tunangan Ang I Niocu itu. Cin Hai makin merasa girang bahwa Ang I Niocu
mendapat calon suami yang selain gagah perkasa, juga berbudi tinggi.
Jenazah Thai Kek Losu, Sian
Kek Losu dan Bo Lang Hwesio lalu mereka kubur dengan baik-baik, menjadi tiga
gundukan tanah berjajar dan sebagai tandanya, Lie Kong Sian memindahkan tiga
batang pohon Siong yang masih kecil, dan ditanam di depan kuburan-kuburan itu.
Matahari telah menurun ke
barat ketika mereka bertiga selesai melakukan pekerjaan itu dan kemudian
melanjutkan perjalanan menuju ke Goa Tengkorak…..
********************
Kini kita ikuti perjalanan Ang
I Niocu yang bertugas membagi-bagikan sekantung harta pusaka itu kepada rakyat
jelata yang miskin. Oleh karena Dara Baju Merah ini memang sudah biasa
melakukan perjalanan seorang diri, dan pula untuk membagi-bagikan harta benda
itu memang seharusnya berpencar, maka dia segera memisahkan diri dan berjanji
akan saling bertemu dengan kawan-kawannya ini di rumah Lin Lin di Tiang-an
sebagai tempat tujuan terakhir.
Mereka saling berpesan bahwa
apa bila ada yang berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin, harus memberi tahu bahwa
kedua teruna remaja itu pun ditunggu di Tiang-an. Dengan demikian, maka
nantinya mereka tak usah saling mencari dan dapat mengarahkan tujuan perjalanan
mereka ke suatu tempat tertentu.
Ang I Niocu lalu melakukan
perjalanan seorang diri seperti biasa, bebas bagaikan seekor burung di udara.
Dia membagi-bagi harta benda itu dengan adil dan memilih orang-orang yang
benar-benar berada dalam keadaan yang amat sengsara. Pekerjaan ini dia lakukan
dengan hati gembira sebab keharuan dan kegirangan wajah orang-orang yang
menerima pembagian itu membuat hatinya ikut merasa terharu dan girang sekali.
Pada suatu hari, ketika ia
tiba di luar kota Lang-i, tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang dari jalan
simpangan. Ang I Niocu cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon ketika
melihat bahwa dua orang itu bukan lain ialah Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio.
Kedua orang itu berlari cepat memasuki kota Lang-i, maka diam-diam Ang I Niocu
mengikuti mereka.
Dara Baju Merah ini merasa
benci bukan main terhadap Hai Kong Hosiang yang sudah mencelakakan Lin Lin,
maka dia sudah mengambil keputusan untuk mencari kesempatan membunuh hwesio
jahat itu agar kelak tidak menimbulkan kekacauan pula. Akan tetapi, melihat
bahwa hwesio itu bersama Wi Wi Toanio yang kosen, ia merasa ragu-ragu untuk
turun tangan, karena terlalu berat baginya untuk menghadapi dua orang tangguh
itu.
Kedua orang itu menuju ke
sebelah barat kota dan secara diam-diam Ang I Niocu terus mengikuti mereka.
Sesudah tiba di ujung kota, mereka masuk ke dalam sebuah gedung yang besar. Ang
I Niocu mengambil jalan dari belakang dan pada saat melihat bahwa di belakang gedung
itu sunyi, ia lalu melompati pagar tembok dan mengintai. Dan apa yang
dilihatnya di dalam gedung itu membuat hatinya berdebar karena terkejut dan
heran.
Ternyata bahwa di dalam gedung
itu terdapat sebuah ruangan yang amat lebar dan yang dipasangi banyak meja dan
kursi. Ruangan itu telah penuh oleh banyak orang dan justru orang-orang inilah
yang membuat Ang I Niocu terkejut, karena dia melihat wajah-wajah yang telah
dikenalnya baik, antara lain Kam Hong Sin perwira tinggi kerajaan, Ceng Tek
Hosiang dan Ceng To Tojin. Si Hwesio yang selalu tertawa dan tosu yang selalu
mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang tokoh Liong-san, Giok Im Cu, Giok Yang Cu,
dan Giok Keng Cu. Tampak juga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan dua orang yang
baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio!
Orang-orang ini adalah
sebagian dari pada orang-orang yang tadinya mewakili golongan-golongan yang
bermusuhan, yaitu golongan Turki, Mongol, dan kerajaan yang semuanya telah
dikalahkan oleh Bu Pun Su. Mengapa mereka sekarang mengadakan pertemuan
bersama? Apakah mereka hendak mengadu kepandaian?
Ang I Niocu mengintai dengan
hati-hati sekali oleh karena dia maklum bahwa orang yang berada di dalam itu
bukanlah orang-orang lemah dan berbahaya sekali baginya apa bila sampai dapat
terlihat oleh mereka. Kebetulan sekali di luar gedung itu terdapat setumpuk
rumput kering, maka ia mendapatkan tempat persembunyian yang baik sekali di
belakang rumput itu, sambil mengintai melalui celah-celah jendela yang berada
dekat di situ.
Agaknya Hai Kong Hosiang dan
Wi Wi Toanio merupakan orang terakhir yang dinanti-nantikan, karena setelah
mereka berdua datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu dipersilakan duduk,
perwira itu segera berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada semua orang.
“Cu-wi sekalian. Aku
menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan selamat datang bagi Cu-wi sekalian
yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul di sini. Hal ini
membuktikan bahwa bagaimana pun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan
kebangsaan sendiri. Sebagaimana yang Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang
menjadi hak milik kerajaan bangsa kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang.
Kita tak perlu membongkar-bongkar urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan
sekumpulan orang yang hendak berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan
membasmi para pemberontak yang telah berani berlancang tangan mencuri harta
pusaka dari tangan kita.”
Hai Kong Hosiang berdiri
sendiri dan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong Sin berhenti
bicara karena ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu itu
bersinar-sinar tajam memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia berbicara.
“Kam-ciangkun, pencuri harta pusaka
itu adalah Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan tangguh. Selain dia,
masih ada pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan, karena kami tahu
bahwa dia pun menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu kalau-kalau kedua orang
tua jahat itu telah bersekutu! Hal ini tak boleh dipandang ringan, karena
selain mereka berdua yang lihai, masih banyak terdapat anak muridnya yang tak
boleh dipandang ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa,
Kwee An, dan ada pula Nelayan Cengeng!”
Kam Hong Sin
mengangguk-angguk, “Aku maklum, Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan
kelihaian mereka. Akan tetapi dengan kerja sama yang baik dan mengerahkan
tenaga kita dibantu dengan para Perwira Sayap Garuda yang banyak jumlahnya,
apakah sukarnya untuk menangkap mereka dan merampas kembali harta pusaka itu?”
Wi Wi Toanio berdiri dan biar
pun suaranya halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia merasa gemas dan marah
sekali ketika ia berkata,
“Apa artinya berbicara tentang
merampas kembali harta pusaka? Harta itu telah mereka sebar dan bagi-bagikan
kepada rakyat! Ini semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau perundingan ini
dimaksudkan untuk menghukum dia, aku baru mau turut serta!” Setelah berkata
demikian, Wi Wi Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.
Terdengar seruan-seruan marah
dari sana sini mendengar bahwa harta pusaka itu sudah dibagi-bagi kepada
rakyat. Ada pun Kam Hong Sin yang sudah mengetahui hal itu, hanya tersenyum dan
berkata,
“Cuwi sekalian, memang benar
ucapan Wi Wi Toanio tadi. Aku pun sudah mendengar tentang hal itu, dan rupanya
para pemberontak itu hendak menghasut rakyat agar supaya memberontak pula
dengan menyogok harta benda pada mereka. Akan tetapi, kita akan bertindak tegas
dan membasmi sebelum mereka mendapat kesempatan mengumpulkan tenaga bantuan.
Aku membawa surat resmi dari Kaisar sendiri yang ditujukan kepada Cuwi yang
gagah perkasa.”
Sambil berkata demikian, Kam
Hong Sin mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus sutera kuning bersulamkan
burung Hong. Ketika dia membacakan surat itu, semua orang terdiam dengan penuh
hormat, karena bagaimana pun juga, menerima surat dari kaisar sendiri adalah
satu penghormatan besar yang jarang sekali dirasakan orang!
Isi surat itu ternyata adalah
satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka membantu usaha Kaisar
menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin oleh Bu Pun Su dan Hok
Peng Taisu!
Ternyata dalam sakit hatinya
untuk dapat membalas kekalahannya, Kam Hong Sin sudah berhasil membujuk Kaisar
untuk mengeluarkan putusan menghukum kedua tokoh besar itu supaya dia dapat
mencari bala bantuan dengan mudah. Selain mengharapkan untuk mendapat
pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan bahwa orang-orang gagah yang
suka mengulurkan tangan menolong kelak akan diberi pangkat tinggi, tempat
tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah uang yang banyak sekali.
Tentu saja semua orang yang
hadir di situ merasa mengilar mendengar janji upah yang besar itu. Bukan
semata-mata upahnya yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan
penghormatan. Kini terbukalah kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat
pahala yang akan mendatangkan hasil besar dan nama baik di samping menebus
semua dosa mereka yang lalu!
Memang, hampir semua orang
yang hadir di sana, kecuali hamba-hamba Kaisar, dahulu sering kali melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada Kaisar, dan dengan adanya
kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan dilupakan dan bahkan akan
mengangkat diri mereka menjadi orang-orang berkedudukan tinggi!
“Kalau demikian, aku setuju!”
kata Wi Wi Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan kedudukan dan kemuliaan
yang dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi, “Bukan, karena aku inginkan
semua kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan mendapat kesempatan membalas
dendam kepada Bu Pun Su yang sudah menghina kita dan kepada Hok Peng Taisu yang
telah mencuri harta pusaka itu! Tentang kelihaian mereka, jangan kuatir, aku
memiliki seorang supek yang menjadi tokoh nomor satu di daerah barat, yaitu Pok
Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su dan
Hok Pek Taisu biar ditambah seratus orang lagi, dengan mudah mereka akan dapat
dihancurkan!”
Semua orang memandang heran
karena sepanjang pendengaran mereka, tokoh besar dari barat yang disebut Pok
Pok Sianjin itu kabarnya sudah musnah dan sudah naik ke Sorga menjadi dewa!
Demikianlah dongeng yang dituturkan orang.
Hai Kong Hosiang tertawa.
“Memang di atas dunia ini terdapat empat orang tokoh besar yang dapat disebut menduduki
tempat tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah selatan dan timur, nama Bu
Pun Su dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai dua tokoh besar tanpa
tandingan. Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok Sianjin, ada pun di
bagian utara terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek Losu. Kudengar bahwa
Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sudah tewas oleh Pendekar Bodoh, maka kalau
kita pergi ke utara dan melaporkan hal ini kepada Swi Kiat Siansu, mustahil dia
tidak akan turun gunung membantu kita!”
Semua orang merasa girang
sekali karena kalau saja dua orang sakti itu benar-benar mau turun gunung
membantu, pekerjaan yang berat dan hebat ini akan jauh lebih ringan lagi.
Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil mewek-mewek bangun berdiri dari tempat duduknya
dan berkata,
“Cu-wi, sesudah diadakan
persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada baiknya
kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang dilakukan
berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik di antara kita
semua!”
Mendengar ucapan ini, semua
orang saling pandang dan mulailah mereka sama-sama mempertimbangkan, siapa
kiranya yang tepat untuk dijadikan pemimpin.
“Seorang ketua harus mempunyai
kepandaian tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang patut menjadi ketua,
lebih baik kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian calon-calon itu
menguji kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup pandai untuk
diangkat menjadi ketua,” kata Hai Kong Hosiang.
Orang-orang lalu saling
bercakap-cakap hingga keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu yang melihat
dan mendengar semua ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau mereka semua
telah bersatu dan berhasil memanggil kedua orang tokoh besar yang tadi
disebutkan, maka pihaknya akan menghadapi lawan yang amat tangguh.
Ia pernah mendengar nama Pok
Pok Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah mendengar nama Swi
Kiat Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan kabarnya kedua
orang itu memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan napas agar jangan
mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan pengintaiannya.
Sesudah dipilih-pilih, pada
akhirnya yang diajukan menjadi calon adalah tiga orang yang dianggap memiliki
ilmu kepandaian cukup tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Kam
Hong Sin sendiri. Tadinya Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga dipilih, akan
tetapi ia tidak mau menerimanya dan mengundurkan diri sambil berkata,
“Hai Kong Suheng telah
dipilih, kenapa pula aku sebagai Sumoi-nya harus maju? Biarlah dia yang
mewakili aku sekalian!”
Sambil tersenyum Kam Hong Sin
berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio, “Oleh karena kita berada di
antara kawan-kawan sendiri, maka kuharap adu kepandaian ini dilakukan dalam
cara damai sebagaimana yang biasa dilakukan oleh perwira-perwira kerajaan.”
“Bagus, bagaimanakah cara itu,
Kam-ciangkun?” tanya Wi Wi Toanio.
“Di waktu para perwira menguji
kepandaian, mereka mempergunakan sepasang sumpit gading yang dipegang pada
tangan kanan seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan sumpit itu mereka
saling menjepit dan berusaha membetot sumpit pada tangan lawannya dan siapa
yang sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah.”
“Baik sekali!” Hai Kong
Hosiang memuji. “Memang siapa yang lebih tinggi lweekang-nya akan mendapat
kemenangan. Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang tangan orang
dengan sumpit itu, bukan?”
“Tidak boleh sama sekali!
Dalam hal ini tentunya kita harus mengandalkan kejujuran dan kepandaian, sama
sekali tidak boleh melukai tangan lawan!”
Setelah mendapat persetujuan,
Kam Hong Sin, Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu duduk mengelilingi sebuah
meja dan para pelayan segera mengambil tiga pasang sumpit gading. Untuk menguji
kekuatan sumpitnya itu, Kam Hong Siang lalu berseru keras dan menancapkan
sepasang sumpit itu di atas meja sehingga sumpit itu menancap sampai
setengahnya di dalam kayu meja yang keras itu.
Wi Wi Toanio tersenyum. Ia pun
ingin menguji kekuatan sumpitnya yang akan digunakan dalam pertandingan ini,
maka dia pun mengetuk-ngetuk ujung meja dengan perlahan dan hancurlah ujung
meja itu berhamburan ke bawah.
Hai Kong Hosiang tidak mau
kalah. Dia menggunakan sepasang sumpitnya seperti dua batang pensil dan
menggurat-guratkan ujungnya pada permukaan meja. Maka tampaklah guratan-guratan
yang dalam pada permukaan meja itu, bagaikan tanah lempung yang digurat-gurat
dengan pisau tajam saja.
Orang-orang yang melihat
demonstrasi lweekang dari tiga orang itu bersorak memuji, dan Ang I Niocu
sendiri diam-diam merasa kagum melihat pengerahan tenaga lweekang yang tidak
boleh dianggap ringan itu.
Menurut kebiasaan seperti
dituturkan oleh Kam Hong Sin, karena pengikut pertandingan itu ada tiga orang,
maka segera dilakukan undian untuk menentukan siapa yang harus bertanding lebih
dulu. Pemenang pertandingan pertama ini lalu akan berhadapan dengan orang ke
tiga untuk menentukan juara dan jabatan ketua.
Pada saat undian dilakukan,
ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Kam Hong Sin dan Wi Wi
Toanio. Mereka tersenyum dan duduk berhadapan dengan tangan menjepit sumpit
masing-masing.
“Ciangkun, silakan kau mulai
lebih dulu, oleh karena kau yang lebih tahu mengenai cara pertandingan ini.”
Kam Hong Sin mengangguk dan
berseru, “Toanio, jagalah sumpitmu!” Sambil berkata demikian, sepasang sumpit
Kam Hong Sin digerakkan dengan terbuka seperti sepasang patuk burung, hendak
menjepit sumpit di tangan Wi Wi Toanio.
Nenek tua ini tidak mengelak
karena dia hendak mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawan. Ia membiarkan
sepasang sumpitnya terjepit dan tenyata bahwa sepasang sumpitnya itu terjepit
kuat bagaikan terjepit oleh catut besi saja. Kini adu tenaga dimulai.
Kam Hong Sin mengerahkan
tenaga untuk memutar sumpit lawannya agar terlepas dari pegangan. Akan tetapi
ia merasa betapa sumpit itu dipegang dengan kendur dan tenaga lweekang-nya
tidak berdaya menghadapi tenaga halus yang meruntuhkan gerakannya dengan
menyerah, akan tetapi yang mengandung kekuatan yang luar biasa besarnya hingga
ketika ia mencoba untuk memutarnya, sepasang sumpit lawan itu bergerak sedikit
pun tidak.
“Ciangkun, kau sudah terlalu
lama menjepit!” kata Wi Wi Toanio sambil tersenyum.
Hal ini mengherankan Kam Hong
Sin oleh karena di dalam pengerahan tenaga khikang, mengucapkan kata-kata
merupakan pantangan. Ia membarengi pada saat Wi Wi Toanio membuka mulut, lalu
membetot keras untuk menarik sumpit lawan supaya terlepas, akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika tiba-tiba sumpit lawan itu menjadi demikian licin hingga
jepitannya terlepas.
Kini Wi Wi Toanio yang
menggerakkan sumpitnya dan ketika sumpitnya sudah terjepit sepasang sumpit Kam
Hong Sin, nenek itu tiba-tiba membuat gerakan mendorong, bukan membetot. Ini
adalah gerakan yang licin dan penuh perhitungan, karena pada waktu itu Kam Hong
Sin memang sedang mengerahkan tenaga untuk menahan sumpitnya, maka tentu saja
ketika tiba-tiba didorong, tangannya menjadi terdorong dan sumpitnya hampir
terlepas.
Pada saat dia mempertahankan
diri dan mulai merobah tenaganya dari menarik menjadi mendorong untuk melawan
tenaga dorongan lawan, tiba-tiba Wi Wi Toanio secara tidak terduga-duga
membetot sekerasnya sambil berseru,
“Lepas!”
Hal ini betul-betul tak pernah
diduganya, maka Kam Hong Sin tak dapat mempertahankan sumpitnya lagi dan
sungguh pun dia masih mampu mempertahankan sebatang, yang lain telah kena
dibetot terlepas! Kam Hong Sin bangun berdiri dan menjura di depan Wi Wi Toanio
mengaku kalah, sedangkan para hadirin bertepuk tangan memuji.
Hai Kong Hosiang tertawa
terbahak-bahak. “Permainan yang bagus sekali! Selain tenaga dan keuletan, dalam
permainan ini juga diperlukan kecepatan serta kelincahan, ditambah lagi otak
yang cerdik! Aku yang bodoh mana dapat melawan Toanio?” Akan tetapi sambil
berkata demikian, dia lalu duduk menghadapi Wi Wi Toanio, menggantikan tempat
Kam Hong Sin yang sudah kalah.
“Seranglah, Hai Kong!” kata Wi
Wi Toanio menantang.
“Tidak, engkau saja yang
menyerang, aku hendak mempertahankan diri saja,” jawab Hai Kong Hosiang yang
cerdik.
Hwesio ini terkenal amat
cerdik dan banyak tipu muslihatnya, maka Wi Wi Toanio berlaku hati-hati sekali.
Nenek ini benar-benar ingin diangkat menjadi ketua, karena hal ini akan
menguntungkannya. Kalau dia yang menjadi pemimpin, maka dia mendapat kesempatan
lebih banyak untuk membalas dendamnya kepada Bu Pun Su. Ia maklum bahwa dalam
hal tenaga lweekang dan ilmu silat, mungkin tingkatnya masih lebih tinggi dari
Hai Kong Hosiang, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia sering mengagumi hwesio
ini.
Wi Wi Toanio segera menyergap
dengan sumpitnya untuk menjepit kedua sumpit Hai Kong Hosiang, akan tetapi
tiba-tiba hwesio ini membuka mulut sumpitnya dan kini sumpit-sumpit itu menjadi
saling jepit! Sepasang sumpit Wi Wi Toanio menjepit sumpit Hai Kong Hosiang
sebelah bawah, sedangkan sepasang sumpit Hai Kong Hosiang menjepit sumpit Wi Wi
Toanio sebelah atas, bagaikan mulut dua ekor jangkerik sedang saling gigit
dalam sebuah perkelahian yang sengit!
Saking tegangnya pertandingan
itu, tiada terdengar sedikit pun suara di antara penonton yang memandangnya.
Kini Wi Wi Toanio maklum bahwa Hai Kong Hosiang yang cerdik tidak mau mengadu
kecepatan, karena itu dia sengaja menjepit sebuah sumpit lawan dan membiarkan
sumpitnya yang sebatang terjepit pula sehingga dalam keadaan demikian, terpaksa
mereka harus mengandalkan tenaga belaka.
Mereka masing-masing tidak mau
mengalah, dan dua pasang sumpit itu sampai tergetar saking serunya pertemuan
tenaga mereka yang disalurkan melalui sepasang sumpit pada tangan
masing-masing! Sebentar sumpit terputar ke kanan, sebentar ke kiri, akan tetapi
keduanya sama kuat hingga empat batang sumpit itu seakan-akan telah tumbuh
menjadi satu!
Dari getaran-getaran yang
menyerang ke jari-jari tangannya, Hai Kong Hosiang maklum akan kehebatan tenaga
lweekang Wi Wi Toanio. Akan tetapi, nenek tua itu pun merasa betapa sepasang
sumpit di tangan Hai Kong Hosiang demikian kokoh kuatnya bagaikan dua bukit
karang yang sukar dirobohkan!
Lama sekali adu tenaga ini
berlangsung dan pada jidat Hai Kong Hosiang sudah nampak keringat keluar
membasahi jidatnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga mulai nampak pucat! Kam Hong
Sin berdiri dengan mata terpentang lebar karena baru kali ini dia menyaksikan
pertandingan sumpit yang demikian seru dan hebatnya.
Tiba-tiba Wi Wi berseru keras
sekali dan dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Hai Kong mencoba untuk
bertahan, akan tetapi tiba-tiba…
“Krekkk!”
Terdengar suara keras dan tiga
batang sumpit telah patah, yaitu dua batang sumpit Hai Kong Hosiang dan
sebatang sumpit Wi Wi Toanio! Hal ini menunjukkan bahwa lweekang Wi Wi Toanio
masih menang setingkat!
Hai Kong Hosiang menghapus
keringatnya sambil tertawa. “Sudah kukatakan bahwa aku tak akan bisa menang
menghadapi Wi Wi Toanio yang tangguh! Akan tetapi, kita semua enak-enak mengadu
kepandaian hingga melupakan orang yang mengintai dari luar!”
Ang I Niocu merasa terkejut
bukan main dan serba salah. Terang bahwa mata Hai Kong Hosiang yang tinggal
satu itu awas sekali dan sudah dapat melihatnya. Ang I Niocu tidak kenal arti
takut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia benar-benar menjadi bingung.
Kalau ia melarikan diri dari situ, dia akan merasa malu kepada diri sendiri,
sebaliknya jika dia melompat masuk, dia yakin bahwa dia tidak akan kuat
menghadapi sekian banyaknya orang-orang gagah.
Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa dari sebelah atasnya yang disusul ucapan
mengejek, “Ha-ha-ha, memang semenjak tadi aku berada di sini. Bagaimana aku
bisa masuk sebelum diundang?”
Ang I Niocu terkejut bukan
main. Bagaimana ada orang bisa berada di atasnya tanpa dia ketahui sama sekali?
Dia menengok dan melihat seorang kakek botak duduk di atas tiang yang melintang
di atas kepalanya. Kakek itu duduk bagaikan seorang anak-anak sedang menonton
pertunjukan indah, sedangkan pada lengan kirinya terjepit sepasang tongkat
bambu warna kuning.
Dia menjadi tercengang karena
dapat menduga bahwa orang ini tentulah Hok Peng Taisu yang pernah diceritakan
oleh Ma Hoa kepadanya. Dan, orang inilah agaknya yang sudah mencuri harta
pusaka itu. Sementara itu, kakek botak yang bukan lain adalah Hok Peng Taisu
itu, memandang kepadanya dan mengedipkan mata sambil menyeringai, memberi tanda
agar Dara Baju Merah itu jangan mengeluarkan suara.
Sementara itu, ketika Hai Kong
Hosiang dan kawan-kawannya mendengar suara dari luar itu, segera berjaga-jaga
dan Kam Hong Sin sebagai tuan rumah lalu berkata, “Tamu yang berada di luar
dipersilakan masuk!”
Terdengar suara tertawa
bergelak dan tiba-tiba ada tubuh seorang kakek botak melayang masuk dengan
gerakan yang ringan sekali. Dengan sepasang matanya yang amat tajam, kakek
botak itu menyapa semua orang yang berada di ruang itu dan berkata,
“Aduh, semua telah berkumpul.
Bagus, bagus! Tadi telah kusaksikan pertandingan sumpit yang bagus. Aku tua
bangka pun memiliki semacam permainan sumpit yang sama, akan tetapi apakah ada
orang yang cukup bergembira untuk melayaniku bermain-main atau tidak,
entahlah!”
“Biarlah pinceng melayanimu,
Kakek Tua!” kata Hai Kong Hosiang.
“Bagus, bagus, akan tetapi
sebagai tamu baru, aku belum mendapat jamuan, sedangkan perutmu yang gendut
sudah diisi penuh, tentu saja aku akan kalah tenaga! Biarkan aku makan beberapa
mangkok sayur dahulu!” Sambil berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu mengambil
semangkok daging kambing dan sepasang sumpit bambu. Sambil berdiri dia makan
daging itu sepotong demi sepotong dan kelihatannya dia menikmati makanan itu.
“Locianpwe ini siapakah?” Kam
Hong Sin bertanya karena merasa penasaran melihat lagak orang yang tidak tahu
akan kesopanan.
“Baru saja namaku kau
sebut-sebut, sekarang hendak bertanya pula, bukankah ini aneh namanya? Akan
tetapi, aku jangan kau bandingkan dengan Bu Pun Su yang lihai!”
Terkejutlah semua orang, dan
ketika mereka melihat ke arah dua batang tongkat bambu yang dikempit di bawah
lengan kiri, Kam Hong Sin menjadi pucat dan bertanya,
“Apakah kau Hok Peng Taisu
yang telah mencuri harta pusaka?”
Tiba-tiba Hok Peng Taisu
tertawa bergelak-gelak. “Sudah berpuluh tahun aku orang tua menyembunyikan diri
dalam goa dan akibat perbuatan orang-orang yang suka mencurilah yang
menyebabkan aku keluar dari goa. Sekarang aku bahkan dituduh menjadi pencuri.
Lucu, lucu!” Kemudian, dengan tangan kiri masih menyangga mangkok sedang di
bawah lengan kiri itu masih terjepit tongkat-tongkat bambunya, tangan kanan
memegang sumpit, ia menuding ke arah Hai Kong Hosiang dengan sumpitnya itu dan
bertanya,
“Bagaimana, apakah kau masih
mau melayani aku bermain sumpit?”
“Boleh, asal kau orang tua
jangan bermain curang!”
Kembali Hok Peng Taisu tertawa
bergelak dan dia mengulurkan tangan yang memegang sumpit sambil berkata, “Nah,
kau jepitlah sumpitku ini!”
Hai Kong Hosiang yang melihat
bahwa sepasang sumpit kakek itu adalah sumpit bambu biasa saja, lalu melangkah
maju dan dengan sumpit gading yang kuat dia lalu menyerang maju, akan tetapi
bukan menjepit sumpit kakek itu, melainkan menotok dengan sepasang sumpitnya ke
arah pergelangan tangan Hok Peng Taisu!
Akan tetapi, kakek botak ini
agaknya tidak tahu akan kecurangan lawan, maka dia hanya menggerakkan sumpitnya
ke bawah, lalu sesudah dapat menangkis sumpit di tangan Hai Kong Hosiang, dia
memutar sumpitnya sedemikian rupa hingga sumpit Hai Kong Hosiang ikut
terputar-putar tanpa dapat ditahan pula!
Terpaksa Hai Kong Hosiang lalu
mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot, akan tetapi sumpitnya seolah-olah
sudah timbul akar pada sumpit kakek itu sehingga tak dapat dibetot. Ia
mengerahkan tenaganya lagi dan tiba-tiba kakek itu melepaskannya sehingga tubuh
Hai Kong Hosiang terhuyung ke belakang.
“Ha-ha-ha! Kau lucu sekali
hwesio!” katanya, lalu dengan sumpitnya ia menjepit sepotong daging yang
dimasukkan ke dalam mulutnya seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!
Wi Wi Toanio yang dapat
memaklumi akan kelihaian kakek botak ini, secara diam-diam menghampirinya dari
belakang dengan sepasang sumpit gading di tangannya.
“Hok Peng Taisu, aku pun ikut
bermain-main dengan sumpit!”
Dan belum juga habis kata-kata
ini dia ucapkan, dia telah menyerang dengan sepasang sumpitnya, menotok jalan
darah Hok Peng Taisu dari belakangnya! Kakek botak itu tidak bergerak atau pun
membalikkan tubuh, seakan-akan dia tidak mendengar ucapan tadi, hanya tangan
kanannya yang memegang sumpit saja digerakkan ke belakang tubuhnya. Pada saat
itu, Hai Kong Hosiang yang merasa penasaran, lalu menyerang lagi dari depan
dengan sepasang sumpitnya digerakkan ke arah kakek botak itu.
Biar pun diserang dari
belakang dan depan, agaknya Hok Peng Taisu masih saja terus enak-enakan
mengunyah daging beberapa potong yang tadi dimasukkan ke dalam mulut. Ketika
sumpit Wi Wi Toanio telah dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba saja sumpit di
tangan kanannya bergerak dan…
“Krekkk!”
Terdengar suara, diikuti
seruan Wi Wi Toanio yang melompat mundur karena merasa telapak tangannya sakit
sekali, dan ternyata bahwa sepasang sumpitnya telah terpotong menjadi dua,
setelah tadi terjepit oleh sumpit bambu Hok Peng Taisu!
Sedangkan dua batang sumpit
Hai Kong Hosiang yang menyambar ke arah ulu hatinya, juga tidak dielakkan oleh
kakek botak itu, akan tetapi tiba-tiba dia membuka mulutnya dan dua kali dia
meniupkan daging-daging yang dimakan tadi dari mulut! Daging-daging itu
meluncur bagaikan pelor dan tepat sekali mengenai ujung sepasang sumpit itu.
Hai Kong Hosiang hanya merasa
betapa tusukan sumpitnya tertahan oleh tenaga yang kuat sekali dan tahu-tahu
dia melihat betapa dua batang sumpitnya telah menancap pada dua potong daging
bakso yang besar! Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini dan dia
merasa dirinya dipermainkan, maka dia pun berseru.
“Jangan jual lagak di sini!”
Sambil berseru demikian dia mengayunkan tangan sehingga sepasang sumpitnya yang
masih ada baksonya itu meluncur cepat ke arah dua mata Hok Peng Taisu!
Akan tetapi kakek botak itu
sambil terkekeh-kekeh lalu berkata. “Hwesio, mengapa kau tidak makan
bakso-bakso itu?”
Lalu dia mengangkat kedua
tongkat bambunya, memukul ke arah sepasang sumpit yang melayang itu. Heran
sekali, ketika tongkat bambu itu beradu dengan sumpit, bakso yang berada di
ujung sepasang sumpit itu melayang kembali ke arah Hai Kong Hosiang, ada pun
sumpit-sumpitnya melayang ke samping, menuju kepada Wi Wi Toanio!
Hai Kong Hosiang mengelak dan
sambil menyumpah-nyumpah segera mencabut keluar tongkat ularnya. Sedangkan Wi
Wi Toanio juga menjadi marah dan menyampok kedua batang sumpit yang melayang ke
arah dirinya itu hingga runtuh ke atas lantai! Kemudian, nenek ini pun maju
menyerang dengan kedua tangan merupakan cakar burung garuda. Sebenarnya, Ilmu
Silat Eng-jiauw-kang (Kuku Garuda) yang dimiliki oleh nenek ini bukan
Eng-jiauw-kang biasa, maka gerakannya aneh serta lihai sekali.
Melihat dirinya akan
dikeroyok, Hok Peng Taisu segera menggerakkan sepasang tongkat bambunya dan dua
kali tubuhnya berkelebat, tahu-tahu tongkat ular di tangan Hai Kong Hosiang
sudah kena dibikin terpental dan Wi Wi Toanio hampir saja terkena sabetan itu
pada pipinya! Keduanya merasa terkejut sekali dan melompat mundur.
Hok Peng Taisu tertawa
terbahak-bahak. “Kalian ini benar-benar merupakan tuan rumah yang kurang sopan!
Sekarang lebih baik aku pergi saja lagi!” Sesudah berkata demikian, kakek botak
itu menggerakkan kakinya dan melayang pergi.
“Locianpwe, tunggu dulu!”
tiba-tiba Kam Hong Sin berseru dan memburu ke pintu.
“Apa kehendakmu?” terdengar
suara kakek botak itu dari atas genteng.
“Kami hendak menantangmu dan
juga Bu Pun Su untuk mengadakan pertandingan adu kepandaian di Puncak Hoa-san
pada bulan tiga. Apakah kau berani menerima tantangan kami ini?”
Kembali kakek botak itu
tertawa terkekeh-kekeh. “Tak usah kau ceritakan, aku pun sudah maklum akan
maksud kalian yang buruk itu. Baik, baik, memang sudah lama sekali aku ingin
bertemu dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu. Mengenai Bu Pun Su, aku
tidak tanggung bahwa dia akan mau melayani ajakan kalian yang gila itu!”
Hok Peng Taisu lalu melayang
ke tempat mana Ang I Niocu bersembunyi dan memberi tanda dengan tangan agar
supaya Dara Baju Merah itu mengikutinya. Ang I Niocu segera melompat ke atas
genteng dan mengikuti kakek itu pergi dari sana. Sesudah berada di tempat jauh,
kakek botak itu berkata,
“Bukankah kau yang bernama Ang
I Niocu?”
Ang I Niocu menjura dengan
sangat hormatnya. “Betul Locianpwe dan sudah lama aku yang bodoh mendengar
tentang nama Locianpwe dari Ma Hoa. Aku merasa beruntung sekali dapat bertemu
dengan seorang sakti seperti Locianpwe.”
“Ahh, jangan terlalu memuji,
Nona. Kau tentu sudah mendengar semua kehendak mereka itu, bukan? Nah, sekarang
semua terserah padamu apakah kau hendak menyampaikan undangan mereka terhadap
Bu Pun Su atau tidak. Hanya saja, boleh kau katakan pada Bu Pun Su bahwa aku
tua bangka tentu akan menghadapi tantangan mereka itu pada waktunya di Puncak
Hoa-san!”
Setelah berkata demikian, Hok
Peng Taisu lalu berkelebat pergi sedangkan Ang I Niocu kemudian melanjutkan
perjalanannya. Memang dia pun ada maksud untuk pergi ke Goa Tengkorak menemui
susiok-couw-nya, sekalian hendak menemui Bu Pun Su untuk minta ijin orang tua
itu tentang perjodohannya dengan Lie Kong Sian…..
********************
Nelayan Cengeng, Kwee An dan
Ma Hoa menjalankan tugas membagi-bagikan harta itu sambil melanjutkan
perjalanan menuju ke timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun mengalami
banyak sekali kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.
Pada waktu mereka menyeberang
sebatang sungai yang menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan Cengeng melihat ada
beberapa perahu nelayan hilir mudik dengan para nelayan bernyanyi-nyanyi sambil
mendayung perahu mereka. Pemandangan dan pendengaran ini membangkitkan hatinya
dan menimbulkan rindunya pada kehidupan nelayan yang sudah dinikmatinya
semenjak masih muda, maka dia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee An.
“Ma Hoa dan Kwee An, sudah
lama sekali aku merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang nelayan,
mendayung perahu menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di atas air!
Terus terang saja kuakui bahwa hampir setiap malam aku bermimpi duduk di atas
perahu seorang diri, dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya bulan di
waktu malam. Kini kalian sudah saling berjumpa kembali dan juga kawan-kawanmu
telah dapat kita ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan senang. Oleh
karena itu, aku ingin tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di sungai ini.
Kalian teruskan perjalanan kalian dan ini adalah sisa harta benda yang harus
kubagi-bagikan, boleh kalian habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin.
Kelak apa bila sudah tiba saatnya kalian hendak melangsungkan pernikahan,
berilah kabar dan aku pasti akan datang.”
Ma Hoa maklum pula bahwa
suhu-nya ini memang suka sekali hidup di atas air sebagai seorang nelayan,
bahkan dulu suhu-nya pernah menyatakan bahwa ia ingin mati di dalam sebuah
perahu, maka berkata,
“Suhu, sungguh berat hatiku
harus berpisah dengan Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu menganggap Suhu sebagai
ayah sendiri, maka kelak kalau Suhu telah bosan merantau di atas sungai ini,
teecu harap Suhu suka tinggal bersama teecu supaya teecu mendapat kesempatan
merawat Suhu dan membalas budi.”
Nelayan Cengeng tertawa
bergelak sampai air matanya keluar.
“Muridku, anakku yang baik!”
katanya sambil menaruhkan tangannya di atas kepala Ma Hoa. “Tidak ada
kegembiraan yang lebih besar bagiku selain melihat kau hidup bahagia dengan
Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak apa bila aku sudah bosan di sungai ini, pasti
aku akan hidup dekat dengan kau dan suamimu.”
Sesudah banyak mendapat
nasehat-nasehat serta petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik hati itu,
Kwee An dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Ma Hoa mengajak Kwee An
mengunjungi suhu-nya ke dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit Hong-lun-san, di
mana dulu ia diberi pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu masih indah
seperti dahulu, kaya akan tamasya alam yang mengagumkan hati. Ketika mereka
tiba di puncak, mendadak mereka mendengar suara angin pukulan yang hebat sambil
dibarengi bentakan-bentakan seperti orang sedang berkelahi.
Dengan cepat mereka lalu
menghampiri tempat itu dan Ma Hoa menahan geli hatinya pada waktu melihat
betapa suhu-nya bersilat seorang diri dengan sepasang tongkatnya. Gerakan kakek
botak itu sedemikian kuatnya sehingga semua daun-daun di sekitarnya
bergerak-gerak terkena pukulan angin yang keluar dari pukulan dan sambaran
tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan merasa kagum bukan main melihat
kehebatan kakek luar biasa itu.
“Suhu, kau orang tua
benar-benar rajin sekali!” Ma Hoa memuji.
Hok Peng Taisu segera
menghentikan latihannya dan berpaling kepada mereka sambil tersenyum. Ma Hoa
kemudian menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Kwee An yang juga berlutut.
“Bagus, bagus, bagus sekali
kalian datang ke sini. Di mana Nelayan Cengeng?”
“Dia rindu kepada perahu dan
sungai, Suhu, maka dia tidak melanjutkan perjalanan dan hendak hidup beberapa
lama di atas Sungai Liang-ho,” jawab Ma Hoa.
Hok Peng Taisu menarik napas
panjang. “Nelayan Cengeng memang orang beruntung. Tidak seperti aku yang sudah
tua masih menimbulkan perkara dan mencari permusuhan. Tahukah kau bahwa aku akan
mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san pada bulan tiga? Oleh karena itu aku
harus melatih diri dan melepaskan urat-urat yang sudah kaku!”
Di waktu mudanya kakek botak
ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan orang-orang pandai, maka kini
agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam menghadapi tantangan Hai Kong
Hosiang. Kemudian dia segera menceritakan mengenai tantangan itu kepada Ma Hoa
dan Kwee An.
“Bu Pun Su adalah seorang
tokoh besar, maka tentu saja dia pun akan menyambut tantangan ini. Aku kenal
padanya sebagai seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi sebuah tantangan
yang keluar dari mulut hwesio jahat itu, tentu dia akan turun gunung. Oleh
karena itu, hendaknya kalian datang kepadanya dan ceritakanlah tentang
tantangan itu kepada Bu Pun Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya. Katakan
bahwa selatan dan timur tak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!” Dengan
ucapan ini, Hok Peng Taisu hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su takkan
kalah menghadapi Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar dari
barat dan utara itu!
Ma Hoa dan Kwee An kemudian
turun dari Bukit Hong-lun-san dan karena mereka telah mendengar dari Cin Hai di
mana letak Goa Tengkorak itu, maka mereka langsung menuju ke sana.
Ketika mereka sampai di depan
Goa Tengkorak, mereka melihat Lin Lin sedang duduk dengan bengong bagai orang
melamun dengan muka nampak sedih. Melihat kedatangan mereka, gadis ini tidak
merasa girang, bahkan lalu memeluk kakaknya menangis sedih.
Kwee An yang sudah lama sekali
tidak bertemu dengan adiknya yang terkasih itu, cepat mengusap-usap rambut Lin
Lin dan bertanya, “Adikku sayang, mengapa kau bersedih? Di manakah Cin Hai dan
di mana pula Suhu-mu?”
Sesudah tangisnya mereda, Lin
Lin lalu berkata, “Mereka berada di dalam. Suhu sedang menderita sakit keras.
Hai-ko dan Enci Im Giok yang menjaganya. Aku… aku tak dapat menahan kegelisahan
dan kesedihanku maka aku lalu keluar, karena di depan Suhu aku tidak berani
memperlihatkan kesedihanku.”
Bukan main kagetnya hati Ma
Hoa dan Kwee An mendengar penjelasan ini. Segera Ma Hoa bertanya,
“Suhu-mu adalah seorang yang
sakti, mengapa ia bisa menderita sakit? Dan bilakah Ang I Niocu tiba di sini?”
Kemudian, dengan suara
perlahan supaya suara mereka jangan sampai terdengar dari dalam dan mengganggu
Bu Pun Su, Lin Lin lalu menceritakan bahwa setelah ia dan Cin Hai, juga bersama
Lie Kong Sian, tiba di tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun Su sudah berbaring
tak sadarkan diri di dalam goa, dijaga oleh tiga ekor burung sakti yang diam
tak bergerak seperti sedang merasa bingung dan berduka pula.
Lie Kong Sian yang paham akan
ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan menyatakan bahwa Bu
Pun Su menderita kelemahan karena usia tua, dan agaknya kesedihan hati membuat
jantungnya terserang hebat, juga penderitaan batin membuat kakek itu tidak kuat
menahan dan jatuh pingsan. Pemuda itu lalu mengatakan kepada Cin Hai dan Lin
Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan membantu kesempurnaan jalan darahnya
dengan tenaga lweekang, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke pulaunya untuk
mencari semacam rumput darah yang mungkin akan menyembuhkan Bu Pun Su.
Semenjak masuk Goa Tengkorak,
Cin Hai lalu memegang tangan kanan suhu-nya dan mengerahkan tenaganya membantu
aliran hawa ke dalam tubuh suhu itu. Telah sepekan lamanya Cin Hai duduk
bersila tak bergerak di dekat suhu-nya dan hanya makan sedikit sekali, itu pun
kalau sudah dipaksa-paksa oleh Lin Lin.
Baru tiga hari yang lalu Ang I
Niocu tiba di situ dan gadis ini pun menjaga susiok-couwnya siang malam bersama
mereka.
“Apakah selama ini Suhu-mu
tidak pernah siuman?” tanya Kwee An dengan terharu.
“Pernah satu kali, dan sesudah
siuman dia hanya mengucapkan tiga kata, yaitu bahwa dia sudah tua, lalu jatuh
pingsan lagi.” Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Lin Lin.
Tiga orang muda itu lalu masuk
ke dalam Goa Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan hati-hati sekali.
Benar saja, mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai di dalam kamar
hio-louw, berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati.
Terlihat Cin Hai duduk di sisi
kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil bersemedhi mengerahkan
tenaga lweekang-nya untuk membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu-nya, ada pun
Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak bergerak bagaikan
patung. Biar pun ilmu lweekang-nya belum setinggi Cin Hai, namun kadang kala
dia menggantikan Cin Hai dengan memegang tangan kiri kakek itu untuk
membantunya dengan tenaga lweekang-nya agar Cin Hai tidak merasa terlalu lelah.
Melihat hal ini Ma Hoa
teringat akan kepandaian suhu-nya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang ilmu
pengobatan, maka ia lalu memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk keluar
dari tempat itu. Cin Hai dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau tidak
mempedulikan kedatangan mereka.
Ketika Kwee An dan Ma Hoa
melihat tiga ekor burung sakti berdiri di ruangan tengkorak tanpa bergerak dan
dengan muka seakan-akan sedang berduka sekali, mereka merasa amat terharu.
Burung-burung itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan seperti
manusia biasa.
Setelah tiba di luar goa, Kwee
An bertanya mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.
“An-ko, harap kau suka
secepatnya pergi pada Suhu di Hong-lun-san untuk mengabarkan hal ini kepada
Suhu. Suhu adalah seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup menolong
Bu Pun Su Locianpwe.”
Mendengar hal ini, Lin Lin
menyatakan kegirangannya, maka dia pun mendesak kepada kakaknya untuk segera
minta petolongan orang berilmu itu. Kwee An lantas menyatakan persetujuannya
dan ia berpesan kepada kekasihnya dan adiknya supaya mereka berdua menjaga di
luar goa, agar jangan sampai ada musuh yang datang membuat kekacauan pada waktu
Bu Pun Su menderita sakit keras. Kwee An kemudian mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin ke Hong-lun-san.
Dengan adanya Ma Hoa yang
mengawaninya, Lin Lin menjaga di depan goa dan duduk di atas batu karang sambil
bercakap-cakap dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling menuturkan
pengalaman masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang ditewaskannya
Thai Kek Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio. Sebaliknya, ketika mendengar
tentang tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok Peng Taisu dan Bu
Pun Su, Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana
suhu-nya akan dapat memenuhi tantangan itu?
Pada waktu mereka sedang duduk
bercakap-cakap dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat
sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua sudah berdiri di hadapan
mereka. Dengan hati terkejut Lin Lin dan Ma Hoa bangkit berdiri dan memandang
dengan tajam kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!
Melihat nenek ini, Lin Lin
menjadi marah sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu Pun Su ini sudah
menjalankan kecurangan untuk mencelakai suhu-nya itu. Maka sambil mencabut
Han-le-kiam dari pinggangnya, ia membentak,
“Mau apa kau datang ke sini?”
Wi Wi Toanio memandang dengan
mata mengejek lalu jawabnya, “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian
anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu Kwan Cu!”
“Tidak! Tak seorang pun boleh
masuk ke dalam goa ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum pedangku bicara!”
“Anak kecil kurang ajar! Kau
berani menghina dan mengusirku?” Wi Wi Toanio menjadi marah sekali.
Ma Hoa juga sudah mencabut
sepasang bambu runcingnya dan berkata, “Nenek jahat, kau pergilah dengan
baik-baik dan jangan mencari mati.”
Makin marahlah Wi Wi Toanio
mendengar ini. Dengan seruan keras dia melompat dan menerjang ke arah Lin Lin
dan Ma Hoa dengan limu Silat Cakar Garuda yang lihai dan berbahaya itu. Akan
tetapi Lin Lin dan Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya dengan mengirim
serangan-serangan mematikan.
Ternyata Wi Wi Toanio memang
lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaian Hai Kong
Hosiang, maka biar pun Lin Lin dan Ma Hoa mengeroyok dua dan mainkan senjata
mereka dengan cara hebat, namun nenek itu tidak menjadi gentar dan membalas
dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat.
Sambil bertempur Wi Wi Toanio
mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya menyambar-nyambar bagai
seekor burung garuda. Ginkang-nya ternyata telah mencapai tingkat tinggi sekali
hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah dia dapat terbang saja. Namun
Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak mau kalah dan bekerja sama
dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.
Pada saat pertempuran terjadi,
Cin Hai sedang membantu suhu-nya dengan mengalirkan hawa melalui telapak
tangan, sedangkan Ang I Niocu hanya bersila sambil bersemedhi untuk
mengumpulkan tenaga yang sudah banyak dikerahkan membantu susiok-couw-nya itu.
Kini dia mendengar suara-suara
orang berkelahi di luar, maka tahulah dia bahwa Lin Lin dan Ma Hoa sedang
menghadapi lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, dia lantas mengambil
sebatang pedang Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin Hai, kemudian dia
bertindak keluar.
Pada saat itu, sambil memekik
keras Wi Wi Toanio melompat ke atas dengan kedua tangannya terulur ke depan dan
bermaksud merampas senjata kedua lawannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat
bayangan merah dan dua batang pedang yang bercahaya berkilauan langsung
menyambutnya dengan serangan hebat!
Wi Wi Toanio sedang melayang
bagaikan seekor burung garuda yang ganas, sedangkan Ang I Niocu pun melayang
menyambutnya dengan pedang Liong-cu-kiam, bagai seekor burung hong yang indah
dan gesit! Wi Wi Toanio terkejut melihat serangan ini, maka dia lalu berseru
keras dan tahu-tahu tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik beberapa kali
ke belakang!
Melihat Ang I Niocu datang
membantu, Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu mainkan senjata
mereka dengan seru dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini merasa sibuk juga
menghadapi tiga orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga betina
itu!
Ang I Niocu memang lihai dan
dengan sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam di kedua tangan, dia merupakan
seekor harimau yang tumbuh sayap. Juga Lin Lin dengan Han-le Kiam-hoat-nya
merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya ini boleh dianggap
menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu pedang, ada pun Ma
Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan lawan yang tidak mudah
dilawan!
Tentu saja setelah ketiga
orang dara ini maju mengeroyok, biar pun ilmu kepandaian Wi Wi Toanio tinggi
dan pengalamannya banyak, namun tetap saja dia merasa kewalahan sehingga
sebentar saja dia terdesak mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!
Wi Wi Toanio mengeluarkan
jarum-jarum rahasianya dan kedua tangannya lantas diayun menyebar puluhan
batang jarum ke arah tiga dara itu. Akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar sepasang
bambu rucingnya dan Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya, hingga semua
jarum kena terpukul runtuh. Sementara itu melihat kesempatan baik, Lin Lin maju
mengirim serangan hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan cepat.
Wi Wi Toanio mencoba mengelak
akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah gerakannya dan
pedangnya meluncur ke bawah! Wi Wi Toanio ketika itu terancam pula oleh sabetan
pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang menotok ke iganya,
maka dengan bingung dia membanting diri ke belakang!
Meski pun gerakannya sudah
cepat sekali, akan tetapi ujung pedang pendek Han-le-kiam di tangan Lin Lin
masih lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak Wi Wi Toanio
yang lalu berguling ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan
selanjutnya.
Tiga orang gadis itu hendak
mengejar dan mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara
dari dalam goa,
“Jangan bunuh dia!”
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma
Hoa tercengang dan mereka cepat-cepat menahan senjata masing-masing, sedangkan
Wi Wi Toanio yang merasa jeri menghadapi tiga orang gadis kosen itu, lalu
melarikan diri turun dari bukit itu secepatnya!
Ang I Niocu merasa girang
sekali mendengar suara tadi, karena suara yang mencegah mereka tadi adalah
suara Bu Pun Su. Juga Lin Lin mengenal suara suhu-nya, maka dia lalu
cepat-cepat mengajak Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk masuk ke dalam goa.
Mereka melihat bahwa Bu Pun Su
telah siuman kembali akan tetapi masih rebah dengan tubuh lemah, ada pun Cin
Hai duduk bersila di dekatnya dengan wajah muram. Bu Pun Su memang hebat
sekali, karena biar pun dia berada dalam keadaan sedemikian rupa, namun
pendengarannya masih sangat tajam sehingga dia dapat mendengar pertempuran yang
terjadi di luar dan seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya baik-baik, maka
dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mencegah ketiga orang gadis itu membunuh
Wi Wi Toanio. Tanpa menyaksikan dengan mata sendiri, dari pendengaran dan dugaan
saja dia maklum bahwa Wi Wi Toanio tak akan dapat menang menghadapi tiga dara
yang gagah perkasa itu!
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma
Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun Su tersenyum
dengan lemah dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,
“Kalian lihat, betapa pun
tinggi kepandaian orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!”
Kemudian Bu Pun Su memandang
kepada Ma Hoa dan berkata. “Nona Ma Hoa, kau datang ke sini tentu mempunyai
maksud tertentu. Katakanlah!”
Ma Hoa tadinya segan untuk
menceritakan mengenai pesanan suhu-nya, dan tadinya dia berniat untuk menahan
saja pesanan itu karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak tahunya kakek ini bermata
awas hingga tahu bahwa kedatangannya mempunyai maksud tertentu, maka sambil
berlutut dia lalu berkata,
“Maafkan teecu, Locianpwe.
Sebetulnya teecu tidak berani mengganggu Locianpwe yang sedang menderita
sakit.”
Terdengar suara tertawa Bu Pun
Su yang seperti biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini suara ketawanya
tidak sekeras dahulu. “Anak yang baik, tubuhku memang sakit, akan tetapi
semangatku masih seperti biasa. Ceritakanlah.”
“Sebetulnya teecu sudah
diperintahkan oleh Suhu Hok Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan Hai Kong
Hosiang yang ditujukan kepada Suhu dan Locianpwe.”
“Hemm, Hai Kong menantang aku
dan Hok Peng?”
“Benar, Locianpwe. Hwesio itu
menantang untuk mengadu kepandaian pada bulan tiga di Puncak Hoa-san, dan
mereka hendak mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat sebagai jago untuk
menghadapi Locianpwe dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu menyampaikan kepada
Locianpwe bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan
utara!”
Bu Pun Su tertawa lagi, akan
tetapi suara ketawanya makin lemah.
“Hok Peng ternyata lebih muda
semangatnya dari pada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku dapat
menghadapi Pok Pok dan Swi Kiat!” Akan tetapi dia lalu menarik napas panjang
dan berbisik,
“Tak mungkin, bulan tiga masih
lama, aku tak akan dapat bertahan selama itu...”
Mendengar ucapan ini, tak
dapat dicegah lagi Lin Lin lalu menangis terisak-isak.
“Ehh, ehhh, Lin Lin muridku
yang nakal! Mengapa kau menangis? Suhu-mu sebentar lagi terbebas dari pada
kesengsaraan, kenapa kau malah menangis? Seharusnya kau malah bersyukur dan
bergembira!”
Akan tetapi, mendengar ini,
Lin Lin makin hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma Hoa juga ikut
menangis. Bu Pun Su menarik napas panjang,
“Hm-hmm... perempuan,
perempuan... kalau tidak menangis, kau bukan perempuan lagi namanya...”
Setelah tangisnya reda, Lin
Lin lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, perkenankan pada teecu untuk
mengajukan sebuah permohonan.”
“Nah, nah, sesudah menangis
lalu mengajukan permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman dahulu bahwa di
balik air mata wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!”
“Teecu ingin mohon perkenan
dari Suhu untuk mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan perjodohannya dengan Lie
Kong Sian Suheng!”
Mendengar ucapan Lin Lin ini,
Ang I Niocu cepat-cepat menundukkan kepalanya hendak menyembunyikan mukanya
yang menjadi kemerah-merahan.
Bu Pun Su menjawab dan
suaranya makin melemah seperti bisikan.
“Aku tahu... semenjak mereka
datang aku sudah tahu... Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku setuju...,”
tiba-tiba ia mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan, tak sadarkan
diri seperti orang tidur pulas!
Cin Hai cepat menyambar nadi
tangan suhu-nya dan berbisik, “Suhu telah terlalu banyak menggunakan tenaga
untuk bercakap-cakap.”
Tiba-tiba saja masuk seorang
laki-laki ke dalam Goa Tengkorak dan ketika semua orang memandang, ternyata
yang datang ini adalah Lie Kong Sian. Pemuda ini dengan cepat sekali lalu
menghancurkan daun darah yang dia ambil dari pulaunya, memeras daun itu dan
meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun Su. Setelah itu, pemuda ini lalu duduk di
sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan Cin Hai membantu peredaran hawa dalam
tubuh supek-nya.
Tak lama kemudian, bagaikan
api lilin yang hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su menggerakkan
tubuhnya dan membuka matanya. Ternyata khasiat daun darah sudah bekerja dan dia
merasa tubuhnya enak sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan duduk.
“Im Giok, kuulangi kata-kataku
tadi. Kau memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa girang sekali bahwa
kau mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!”
Ang I Niocu dan Lie Kong Sian
menundukkan kepala dan tidak berani bergerak karena jengahnya. Kemudian Bu Pun
Su berkata sambil menuding keluar goa,
“Ada orang datang!”
Semua orang memandang karena
mereka tak mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat mendengar tindakan
kaki yang halus sekali. Dan benar saja, tidak lama kemudian, masuklah Kwee An
bersama Hok Peng Taisu yang datang-datang tertawa bergelak lalu menghampiri Bu
Pun Su.
Bu Pun Su juga tertawa girang.
“Hok Peng, apa kau datang hendak memeriksa tubuhku yang sudah bobrok ini?”
“Bu Pun Su, benar-benarkah kau
hendak mendahului aku? Kau hanya lebih tua beberapa tahun saja dariku, dan
menurut patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!”
Setelah berkata demikian, Hok
Peng Taisu segera duduk di dekat Bu Pun Su kemudian mengulurkan tangan untuk
memeriksa nadi dan detik jantung kakek jembel itu. Sesudah memeriksa sambil
memejamkan mata beberapa lama, kakek jembel itu bertanya,
“Bagaimana, Hok Peng, masih
berapa lama lagikah?”
Kakek botak itu memandang
wajah Bu Pun Su dengan tajam. “Bu Pun Su, aku tidak ingin mengetahui urusan
pribadimu, akan tetapi orang seperti kau ini tidak layak menerima luka di
jantung akibat tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali karena kau agaknya
telah teringat akan hal-hal yang sudah lampau, yang membuat kau merasa malu,
marah, dan berduka. Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya akan dapat
bertahan selama satu pekan saja!”
“Bagus, kalau begitu masih ada
waktu beberapa hari lagi,” kata Bu Pun Su.
“Sungguh sayang Bu Pun Su.
Benar-benar sayang, karena sebenarnya aku ingin sekali mengajak kau menikmati
adu kepandaian di Puncak Hoa-san dan bermain-main sebentar dengan Pok Pok
Sianjin dan Swi Kiat Siansu sebelum kau pergi! Pergi seorang diri saja ke
Hoa-san kurang menggembirakan!”
Bu Pun Su tertawa, “Apa
dayaku? Tadi aku pun sudah mendengar dari muridmu tentang tantangan itu, akan
tetapi kepergianku tak dapat ditunda-tunda lagi!”
Mendengar bahwa usia Bu Pun Su
tinggal sepekan lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek yang aneh itu
membicarakan kematian Bu Pun Su bagai orang yang hendak pergi melancong saja,
Ang I Niocu, Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati lagi sehingga
terdengarlah isak tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki suhu-nya dan menangis sedih.
“Ehh, ehh, kembali kau
memperlihatkan sikapmu yang nakal, Lin Lin!” kata Bu Pun Su. Kemudian, kakek
jembel itu berkata kepada kakek botak,
“Hok Peng, jangan kau kecewa,
karena betapa pun juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus kita hadapi!
Memang aku tidak dapat datang sendiri, tetapi aku hendak mewakilkan kepada Cin
Hai untuk menghadapi mereka.”
“Suhu, teecu masih terlalu
lemah untuk menghadapi mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu
yang sakti itu,” kata Cin Hai.
“Jangan khawatir, mereka itu
sudah tua bangka dan tubuh mereka sudah bobrok seperti aku! Kita masih
mempunyai waktu sepekan dan selama itu, aku akan menurunkan semua sisa-sisa
kepandaianku kepadamu. Pula, sesudah aku pergi, kau boleh minta bimbingan Hok
Peng untuk memperdalam kepandaianmu sehingga tidak akan mengecewakan kelak apa
bila kau mewakili daerah selatan dan timur bersama Hok Peng!”
“Bagus!” kata Hok Peng. “Aku
setuju sekali kalau anak muda ini mewakilimu, karena dia mempunyai bahan cukup
baik. Nah, aku tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun Su. Pergunakanlah sisa
waktu yang tak lama lagi itu dengan sebaiknya dan selamat berpisah sampai
berjumpa kembali.”
Bu Pun Su mengangguk-angguk
sambil tersenyum. “Terima kasih, paling lama lima tahun lagi kita bertemu!”
Hok Peng tertawa
bergelak-gelak. “Mungkin sekali sebelum lima tahun aku sudah akan menyusulmu!”
Kemudian kakek ini berkelebat keluar dan lenyap dari pandangan mata.
Bu Pun Su menarik napas
panjang. “Lie Kong Sian, obatmu itu benar baik sekali karena sekarang aku
merasa sehat kembali. Sekarang kalian dengarkan pesanku yang terakhir. Im Giok
telah kuberi persetujuan menjadi jodoh Lie Kong Sian dan semoga kalian berdua
hidup berbahagia. Pedang Liong-cu-kiam kuberikan kepada Cin Hai dan Im Giok,
yang panjang untuk Cin Hai sedang yang pendek untuk Im Giok karena kalian
berdualah yang telah mendapatkannya.”
Cin Hai, Ang I Niocu dan Lie
Kong Sian menghaturkan terima kasih.
“Masih ada lagi,” Bu Pun Su
berkata, “Kelak, apa bila kalian memperoleh keturunan, juga bagi Nona Ma Hoa,
kuanjurkan supaya menuruti nasehat ini, kalian harus menggunduli
putera-puteramu.”
Semua orang memandang heran
dan menganggap bahwa kakek itu sudah mulai bicara tidak karuan seperti biasanya
orang-orang tua yang sudah mendekati saat kematiannya.
“Hal ini jangan kalian pandang
rendah,” kata Bu Pun Su. “Dan kau, Cin Hai, jangan kau anggap Gurumu berkelakar
dan menyindir kau yang ketika kecil bergundul kepala, karena sesungguhnya bagi
seorang anak laki-laki lebih baik rambutnya digunduli ketika ia masih kecil
agar hawa yang sehat dan sejuk tidak tertolak oleh rambut hingga membuat kepala
anak itu menjadi segar dan baik perjalanan darahnya sehingga selain memperkuat,
juga menambah kecerdikan anak itu. Pesanku yang lain ialah kalau aku sudah
pergi, tubuhku yang bobrok ini supaya dibakar di dalam goa ini dan abunya
kalian masukkan ke dalam hio-louw besar, kemudian kalian tinggalkan goa ini dan
menutupnya dengan batu besar rapat-rapat, lalu tutuplah goa ini dengan pohon-pohon
agar tak sampai ditemukan orang lain. Aku ingin mengaso dengan tenteram di
tempat ini.”
Semua orang mendengarkan pesan
ini dengan hati terharu sekali.
“Nah, sekarang kalian
keluarlah semua, kecuali Cin Hai sebab aku hendak menggunakan sisa waktuku
untuk melatihnya sebagai persiapan untuk menghadapi adu kepandaian di Puncak
Hoa-san kelak.”
Dengan hati sedih dan wajah
muram, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An lalu
mengundurkan diri dan keluar dari goa itu. Mereka menjaga di luar sambil
bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu
ke dalam di mana Bu Pun Su menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin
Hai dengan ilmu-ilmu kepandaian yang belum dipelajarinya.
Tentu saja dalam waktu yang hanya
beberapa hari itu, Cin Hai tidak mungkin mempelajari semua ilmu itu berikut
prakteknya, dan hanya dapat mempelajari pokok-pokok teorinya saja, untuk
kemudian dipelajari prakteknya. Akan tetapi ia telah mencatat dalam otaknya
segala pelajaran itu dengan teliti sehingga Bu Pun Su menjadi puas.
Lima hari kemudian, Cin Hai
keluar dari dalam goa dengan wajah muram dan ia memberi tanda kepada
kawan-kawannya untuk masuk ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan ketika
melihat tubuh suhu-nya berbaring dengan wajah pucat dan napas lemah, ia segera
menubruknya sambil menangis.
Bu Pun Su menggerakkan
tangannya yang sudah amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.
“Jangan menangis, jangan
menangis,” bisiknya, “jangan antarkan kepergianku dengan air mata... aku tidak
suka...!” Lin Lin cepat menahan tangisnya dan terisak-isak dengan hati hancur.
“Anak-anak... pesanku
terakhir... sesudah selesai pertandingan pibu di Hoa-san... kalian pulanglah
dan langsungkan perjodohan... hiduplah dengan aman dan tenteram bahagia, jauhi
segala permusuhan...!” dia terengah-engah karena sebenarnya waktu lima hari
yang dia pergunakan siang malam untuk memberikan gemblengan terakhir kepada Cin
Hai itu terlampau melelahkannya dan membuatnya cepat lemah.
“Sekarang... antarkan kepergianku
dengan cita-cita tinggi dan luhur... selamat... tinggal!” lemaslah lehernya dan
pada saat itu Bu Pun Su, tokoh persilatan yang amat tinggi ilmu kepandaiannya
itu, terpaksa menyerah kalah terhadap maut yang merenggut nyawanya.
Lin Lin, Ang I Niocu, dan Ma
Hoa berusaha menahan tangis mereka karena mereka ingin mentaati pesan terakhir
dari Bu Pun Su. Mereka berenam lalu mengadakan persiapan untuk menyempurnakan
jenazah kakek itu kemudian membakarnya di dalam goa dengan penuh khidmat.
Setelah selesai dan mayat itu sudah menjadi abu seluruhnya, abunya lalu
disimpan di dalam hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar.
Selama beberapa hari mereka
mengadakan perkabungan di tempat itu dan mengadakan sembahyangan untuk memberi
penghormatan terakhir, kemudian beramai-ramai mereka lantas menutup pintu Goa
Tengkorak dengan batu-batu besar dan menimbunnya dengan pohon-pohon kecil
sehingga goa itu tertutup sama sekali dan tidak tampak dari luar.
Sesudah itu, atas anjuran Ma
Hoa, mereka berenam lalu pergi ke Hong-lun-san untuk memberi kabar kepada Hok
Peng Taisu mengenai kematian Bu Pun Su. Kakek botak itu menerima warta ini
sambil tersenyum dan menarik napas panjang.
“Ahh, dia lebih beruntung dari
pada aku. Sekarang dia sudah enak-enak sedangkan aku masih harus menderita.”
Oleh karena waktu untuk
menerima tantangan tinggal sebulan lebih lagi, maka Hok Peng Taisu lalu melatih
Cin Hai dengan berbagai kepandaian yang belum pernah dipelajari oleh anak muda
itu sampai hampir sepuluh hari lamanya. Orang-orang muda yang lain merasa suka
sekali tinggal di bukit yang indah itu dan mereka juga berlatih silat di bawah
pengawasan Hok Peng Taisu.
Setelah menganggap bahwa ilmu
kepandaian Cin Hai cukup kuat, Hok Peng Taisu lalu mengajak mereka mulai
melakukan perjalanan menuju ke Puncak Hoa-san.
Untuk memperkuat rombongan
mereka, Ma Hoa minta perkenan kepada Hok Peng Taisu untuk singgah di tempat
kediaman Nelayan Cengeng, yaitu di Sungai Liong-ho. Ternyata kakek nelayan itu
sedang enak-enakan di atas sebuah perahu kecil, bersenang-senang seorang diri
mencari ikan sambil bernyanyi-nyanyi.
Melihat kedatangan mereka,
Nelayan Cengeng merasa girang bukan main, dan ia segera menyatakan keinginannya
untuk ikut pergi ke Hoa-san! Tentang kematian Bu Pun Su, ia menyambutnya dengan
ucapan yang hampir sama dengan ucapan Hok Peng Taisu dulu, karena ia berkata,
“Aku harap akan dapat segera
menyusulnya!”
Hok Peng Taisu lalu
menyerahkan pimpinan rombongan itu kepada Nelayan Cengeng karena dia hendak
melakukan perjalanan dari lain jurusan untuk singgah di tempat tinggal beberapa
orang kenalannya.
“Kalau sudah tiba di kaki
Bukit Hoa-san, kalian tunggulah kedatanganku, dan kalau aku yang datang lebih
dahulu, aku pun akan menanti kalian,” kata kakek botak itu yang lalu berkelebat
pergi.
Seperti juga Bu Pun Su, Kakek
aneh ini tidak suka melakukan perjalanan dengan orang lain, dan lebih suka
berjalan seorang diri saja…..
********************
Ternyata bahwa pihak Hai Kong
Hosiang telah berkumpul di Puncak Hoa-san menanti kedatangan dua orang musuh
besar, yaitu Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Wi Wi Toanio sudah berhasil
mengundang datang Pok Pok Sianjin, supek-nya yang tinggal di Puncak Go-bi-san
daerah barat yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri itu.
Wi Wi Toanio tak berani
menceritakan tentang hal yang sebenarnya, maka dengan cerdik nenek itu hanya
menceritakan bahwa dia hendak mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng
Taisu dan karena merasa tidak kuasa menghadapi, mereka minta bantuan supek ini.
Sebenarnya Pok Pok Sianjin
tidak mau mempedulikan segala urusan dunia. Akan tetapi mendengar nama Bu Pun
Su dan Hok Peng Taisu sebagai dua orang tokoh tertinggi dari daerah selatan dan
timur, maka tergeraklah hatinya hingga timbul kegembiraannya untuk mengukur
kepandaian mereka. Apakah salahnya mengukur tenaga di dalam sebuah pibu yang
adil dan dilakukan dalam suasana persahabatan? Oleh karena inilah maka Pok Pok
Sianjin menyanggupi dan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Swi Kiat
Siansu, guru Thai Kek Losu, pada waktu dibujuk oleh Hai Kong Hosiang yang
menceritakan betapa kedua orang muridnya, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek
Losu, tewas dalam tangan Cin Hai, Lin Lin dan Lie Kong Sian, tergerak pula
hatinya ketika mendengar betapa pembunuh-pembunuh muridnya itu, dibela pula
oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu.
Kalau saja kedua tokoh besar
itu tidak muncul untuk membela pembunuh-pembunuh dua muridnya, tentu ia tidak
akan sudi turun gunung karena ia pun telah mendengar tentang kesesatan
murid-muridnya itu. Akan tetapi dia tergerak untuk mencoba pula kepandaian Bu
Pun Su dan Hok Peng Taisu yang amat terkenal.
Rombongan Hai Kong Hosiang
terdiri dari dua belas orang, yaitu Pok Pok Sianjin, Swi Kiat Siansu, Hai Kong
Hosiang, Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin, Kam Hong Sin, Ceng Tek
Hosiang, Ceng To Tosu, Giok Im Cu, Giok Keng Cu, dan Giok Yang Cu. Selain dua
belas orang-orang yang lihai ini, masih terdapat ratusan perwira yang sengaja
menjaga di sekitar tempat itu.
Melihat keadaan rombongan yang
berjumlah banyak ini, terutama melihat para perwira, Pok Pok Sianjin merasa
heran dan bertanya kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, kenapa begini banyak orang
berada di sini? Apakah kalian hendak mengadakan perang besar?”
“Tidak, Supek. Mereka adalah
kawan-kawan teecu, dan perwira-perwira itu hanya untuk penjagaan kalau-kalau
pihak lawan membawa pula bantuan besar untuk sengaja mencari permusuhan.”
Juga Swi Kiat Siansu merasa
heran melihat banyaknya orang menjaga di situ, maka dia berkata kepada Hai Kong
Hosiang, “Aku tidak menghendaki adanya pertempuran besar. Kalian boleh saja
bertempur dan bermusuhan, akan tetapi jangan harap untuk melibatkan diriku
dalam keadaan semacam itu!”
Hai Kong Hosiang segera
menyatakan kesanggupannya untuk mencegah para perwira itu membuat kacau dan
hanya minta agar supaya Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu menghadapi Bu Pun
Su dan Hok Peng Taisu di dalam pibu yang hendak diadakan.
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat
Siansu merasa girang dapat saling bertemu dan mereka segera bermain catur di
bawah sebatang pohon dan tidak mempedulikan lagi keadaan di sekitarnya.
Pada saat dua orang kakek yang
sudah amat tua itu asyik bermain catur, maka datanglah rombongan Hok Peng Taisu
yang hanya terdiri dari delapan orang, yaitu Hok Peng Taisu sendiri, Cin Hai,
Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, Lie Kong Sian dan Nelayan Cengeng.
Dengan sikap tenang dan gagah
Hok Peng Taisu berjalan memimpin semua kawannya naik bukit Hoa-san dan sama
sekali tidak gentar melihat para perwira yang berderet-deret menyambut
kedatangan mereka itu.
Pada saat Hai Kong Hosiang dan
yang lain-lainnya menyambut, Hok Peng Taisu berlaku seakan-akan tidak melihat
mereka, akan tetapi langsung menghampiri kedua orang kakek yang tengah bermain
catur itu sambil tertawa dan berkata,
“Kalau saja Bu Pun Su belum
meninggalkan kita, kalian berdua tentu akan dipukul hancur dalam permainan
catur ini. Sayang aku tidak pandai bermain catur!”
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat
Siansu yang sudah melihat kedatangannya, segera berdiri sambil tertawa.
“Hok Peng, kau nyata masih
nampak sehat-sehat saja biar pun kepalamu sudah menjadi botak dan hampir habis
semua rambutmu!” kata Pok Pok Sianjin.
Sedangkan Swi Kiat Siansu
berkata dengan kecewa. “Kau bilang tadi bahwa Bu Pun Su sudah meninggalkan
kita? Ah, sayang sekali...! Dari tempat jauh, aku datang karena ingin merasakan
pula kelihaiannya, ternyata ia telah mendahuluiku pergi... sungguh sayang.”
Hok Peng Taisu tertawa pula.
“Jangan kau kecewa, Swi Kiat Siansu! Sungguh pun Bu Pun Su telah berpulang ke
asalnya, akan tetapi dia telah mengirim salamnya dan bahkan mengirim seorang
wakil yang akan cukup menggembirakan hatimu.”
Swi Kiat Siansu memandang
tajam. “Apa? Apakah kau mewakili dia pula?”
Hok Peng Taisu
menggeleng-gelengkan kepala. “Apa kau kira aku sedemikian serakah untuk
memborong semua kehormatan? Bukan, bukan aku, akan tetapi muridnya.” Kakek
botak ini lalu melambaikan tangan ke arah Cin Hai yang segera menghampiri
mereka.
“Inilah wakil Bu Pun Su, dia
disebut Pendekar Bodoh!”
Cin Hai lalu menjura dengan
penuh penghormatan kepada Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin sambil berkata,
“Teecu Sie Cin Hai yang bodoh merasa mendapat kehormatan besar dapat bertemu
dengan Ji-wi Locianpwe.”
Pok Pok Sianjin bertubuh
tinggi kurus dan agak bongkok. Rambut serta kumisnya sudah putih semua dan
terurai ke bawah tak terawat sama sekali. Tangan kanannya membawa sebatang
tongkat panjang yang bengkok-bengkok dan tangan kirinya selalu mengelus-elus
jenggotnya yang panjang.
Dia mengangguk-angguk senang
melihat sikap Cin Hai yang sopan santun. Melihat sikap serta pandang mata
pemuda itu, maklumlah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang ‘berisi’.
Swi Kiat Siansu bertubuh gemuk
bulat bagai patung Jilaihud, jubahnya kuning dan hanya berupa sehelai kain yang
dibelit-belitkan pada tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang kipas dan
agaknya dia selalu merasa kepanasan karena kipas itu tiada hentinya digunakan
untuk mengipasi tubuhnya.
Ketika mendengar bahwa julukan
pemuda itu adalah Pendekar Bodoh, kakek yang juga sudah tua sekali ini segera
menaruh hormat dan tahu bahwa orang yang menggunakan julukan serendah itu pasti
memiliki kepandaian yang berarti.
“Bagus sekali,” kata Swi Kiat
Siansu. ”Bu Pun Su, ternyata pandai memilih murid-murid, tidak seperti aku yang
selalu salah memilih. Pendekar Bodoh, tentu kau pula yang telah membantuku
memberi hajaran pada kedua muridku Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu?”
Cin Hai menjawab dengan
tenang.
“Locianpwe, mana teecu berani
memberi hajaran kepada orang lain? Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sengaja
hendak membunuh teecu dan kawan-kawan, maka terpaksa kami membela diri.”
Swi Kiat Siansu
mengangguk-angguk, lalu dia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong Bengyu,
kau telah berhasil mengundang aku untuk mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan
Hok Peng Taisu dan kini mereka berdua telah datang, biar pun Bu Pun Su sendiri
hanya diwakili oleh muridnya. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa pibu ini
adalah urusan kami sendiri dan kau bersama kawan-kawanmu yang banyak jumlahnya
itu tidak boleh mencampuri urusan kami. Urusan pribadi terhadap para tamu tiada
hubungannya dengan pibu ini!”
Pok Pok Sianjin juga berkata
kepada Wi Wi Toanio, “Aku telah bertemu dengan jago-jago dari selatan dan
timur, jangan mengganggu pibu ini.”
Hai Kong Hosiang dan Wi Wi
Toanio biar pun merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak berani membantah, hanya
mereka mengharap agar dalam pibu ini, Cin Hai dan Hok Peng Taisu kena
dikalahkan, karena dengan begitu akan mudah bagi mereka untuk menyerang Ang I
Niocu dan kawan-kawannya. Mereka memang merasa gentar terhadap Hok Peng Taisu
dan Bu Pun Su dan biar pun mereka tahu akan kelihaian Cin Hai yang mewakili Bu
Pun Su, namun mereka tidak begitu jeri terhadap Cin Hai.....
Sementara itu, Hok Peng Taisu
lalu menghadapi kedua kakek sakti dari barat dan utara itu dan berkata,
“Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat
Siansu, kita ini seperti anak-anak kecil yang bodoh hingga dapat dibujuk oleh
orang-orang muda untuk datang ke sini sehingga saling berhadapan! Akan tetapi
setelah kita bertemu di sini, maka kita tidak perlu merasa sungkan lagi karena
aku juga dapat menduga isi hati kalian yang tentu tidak jauh bedanya dengan isi
hatiku. Bukankah kalian datang ini karena ingin menguji kepandaianku dan
kepandaian Bu Pun Su?”
Swi Kiat Siansu tertawa.
“Ha-ha-ha-ha! Benar, benar! Orang-orang yang sudah terlalu tua seperti kita ini
memang kembali menjadi bocah-bocah lagi. Sayang sekali Bu Pun Su tak dapat
hadir, kalau dia ada alangkah senangnya!”
“Locianpwe,” kata Cin Hai
dengan masih menghormat, “dahulu mendiang Suhu pernah menyatakan kekecewaannya karena
tak dapat menerima penghormatan ini sendiri, akan tetapi Suhu telah menitahkan
teecu untuk mewakilinya. Oleh karena taat kepada perintah Suhu, maka teecu
melupakan kebodohan sendiri dan berani berlaku lancang menghadapi Ji-wi
Locianpwe untuk melayani Locianpwe berdua bermain-main!”
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat
Siansu saling pandang, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Pendekar Bodoh,” kata
Pok Pok Sianjin. “Kau terlalu merendahkan diri sendiri dan dapat menyesuaikan
dirimu, bagus sekali!”
“Locianpwe,” Cin Hai berkata,
“teecu teringat akan ujar-ujar Nabi Khong Cu yang pernah menyatakan bahwa jika
orang bodoh suka menggunakan cara sendiri dan orang rendah berlaku agung, maka
dia akan selamat. Sedangkan orang yang tak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
yang dihadapinya dan berkukuh memegang aturan kuno yang sudah tidak sesuai
lagi, maka orang demikian itu tentu akan mengalami bencana yang menimpa
dirinya!”
“Itulah ujar-ujar dalam kitab
Tiong-yong!” seru Pok Pok Sianjin dengan kagum. “Ehh, anak muda, kau
benar-benar mengherankan! Ucapan-ucapanmu tidak pantas keluar dari mulut
seorang semuda engkau! Tahukah engkau bahwa usiamu ini membuat kau lebih pantas
menjadi cucuku? Dan kau hendak melayani kami bermain-main?”
“Locianpwe, para bijak jaman
dahulu pernah menyatakan bahwa kepandaian dan pribudi orang tak diukur dari
tinggi rendah usianya, seperti juga kebersihan lahir batin seseorang tidak
dapat dilihat dari pakaiannya! Oleh karena itu, apakah salahnya perbedaan usia
di antara kita? Apakah artinya muda dan tua? Buah yang sudah terlalu tua akan
membusuk dan kemudian jatuh ke atas tanah untuk bersemi lagi menjadi pohon
muda, dan akhirnya pun akan menjadi tua kembali! Lagi pula, Locianpwe hanya
bermaksud untuk main-main, maka biarlah teecu menerima pengajaran dan supaya
bertambah pengalaman teecu dari main-main ini!”
“Ha-ha-ha-ha! Kau memang
pandai sekali, Pendekar Bodoh!” kata Pok Pok Sianjin. “Hok Peng Taisu, tak
salah kau membawa anak muda ini! Sekarang biarlah aku bermain-main dengan anak
muda ini lebih dulu sedangkan Swi Kiat Siansu bermain-main dengan kau, dan
kemudian kita bertukar lawan!”
Hok Peng Taisu hanya
mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah Pok Pok Sianjin. Kalian berdua pada saat
ini boleh kuanggap sebagai tuan rumah, sebab itu biarlah ketentuan-ketentuannya
terserah kepadamu saja.”
Pok Pok Sianjin lalu
menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian ia mengambil dua biji catur dan
menyerahkannya sebuah kepada Cin Hai sambil berkata, “Pendekar Bodoh, kita
masing-masing memegang sebuah biji catur dan marilah kita menaruh biji catur
ini di kepala. Kemudian kita saling serang dan berusaha menjatuhkan biji catur
itu dari atas kepala. Siapa yang biji caturnya terjatuh, harus berani mengaku
kalah!”
Cin Hai diam-diam merasa
terkejut oleh karena biar pun ‘main-main’ ini nampaknya tidak berbahaya, namun
karena biji catur itu ditaruh di atas kepala, maka untuk menjaga agar jangan
sampai biji catur itu terpukul jatuh, sama halnya dengan menjaga kepala
sendiri, sebab kepala itu tak akan terluput dari pada bahaya pukulan! Akan
tetapi, dengan tenang dia mengangguk dan lalu menaruh biji catur itu di atas
kepalanya sesudah menyingkap rambutnya sehingga biji catur itu menyentuh kulit
kepala.
“Teecu telah siap, Locianpwe!”
katanya.
“Bagus, mari kita mulai!”
Kakek tua yang tinggi kurus
dan agak bongkok itu lalu melangkah maju dan mengebutkan tangannya ke arah biji
catur di atas kepala Cin Hai dan pemuda ini merasakan betapa sambaran angin
yang keluar dari kibasan tangan ini sungguh dahsyat dan keras hingga ia merasa
betapa rambut kepalanya tertiup keras! Ia segera menggerakkan dua lengannya dan
mainkan gerak Pek-in Hoat-sut kemudian menolak sambaran angin itu dengan angin
pukulannya, bahkan lantas membalas dengan pukulan Mega Putih Menutup Matahari
ke arah biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin.
Melihat betapa sampokannya
tadi terpental kembali oleh uap putih yang keluar dari kedua lengan Cin Hai,
Pok Pok Sianjin lalu tertawa dan berkata, “Bagus, Pek-in Hoat-sut yang kau mainkan
ini mengingatkan aku kepada Bu Pun Su! Ha-ha-ha-ha, kau benar-benar merupakan
Bu Pun muda!”
Kemudian dia menyerang kembali
dengan kebutan tangan atau tamparan yang dilakukan dengan cepat serta
mendatangkan angin pukulan yang hebat. Cin Hai berlaku waspada dan hati-hati
sekali. Ia cepat mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas
menyerang.
Demikianlah, kedua orang itu
saling serang dengan hebatnya dan biar pun tubuh mereka berkelebatan ke sana ke
mari, akan tetapi belum pernah kedua lengan tangan mereka beradu karena mereka
mempergunakan lweekang dan ginkang untuk menyerang lawan dengan angin pukulan
saja!
Nelayan Cengeng beserta
kawan-kawan lainnya yang menonton pertempuran ini hatinya merasa berdebar-debar
penuh ketegangan karena sungguh pun mereka berdua itu hanya ‘main-main’ belaka,
namun kehebatan pertandingan itu lebih mendebarkan hati dari pada pertempuran
dua ekor naga yang saling terkam! Juga Hok Peng Taisu memandang tajam dan
diam-diam ia mengagumi kelincahan dan ketenangan Cin Hai.
Harus diketahui bahwa
pertandingan adu kepandaian semacam ini lebih berat dari pada pertandingan
dalam pertempuran biasa karena di dalam pertandingan bersyarat ini orang harus
membagi dua perhatiannya, yaitu selain menjaga pukulan lawan juga harus dapat
menjaga supaya biji catur di atas kepala itu jangan tergelincir jatuh di waktu
tubuh mereka bergerak. Dengan tenaga khikang tentu dapat menyedot biji catur
itu hingga seakan-akan menempel pada kulit kepala, akan tetapi sebentar saja
perhatian mereka terlepas, maka biji catur itu ada kemungkinan terguling ke
bawah yang berarti kekalahan bagi mereka!
Supaya dapat melakukan hal ini
dibutuhkan kepandaian tinggi serta khikang yang sudah sempurna, maka Pok Pok
Sianjin sengaja memilih cara ini karena bila mana anak muda itu tidak sanggup
melakukannya berarti bahwa kepandaiannya belum cukup tinggi untuk melayaninya!
Akan tetapi, alangkah kagum
hatinya ketika melihat bahwa bukan saja Cin Hai sanggup melakukan permainan ini
dengan begitu baik, bahkan dapat juga melancarkan serangan balasan yang cukup
mengejutkannya! Dia tidak tahu bahwa Cin Hai sudah mempelajari pokok-pokok
pergerakan silat dengan sempurna sehingga dapat menduga ke mana arah serangan
lawannya, sehingga sungguh pun ia harus mengakui bahwa lweekang dari Pok Pok
Sianjin lebih tinggi dari pada lweekang-nya sendiri, akan tetapi oleh karena
dia telah mengetahui lebih dulu arah serangan lawan, maka dia dapat menjaga
diri lebih cepat dari pada lawannya.
Tipu berganti tipu dan ilmu
bertukar ilmu, akan tetapi setelah bertempur lima puluh jurus, belum juga Pok
Pok Sianjin berhasil mengalahkan Cin Hai. Ia makin menjadi kagum dan juga
penasaran, dan ketika Cin Hai mainkan ilmu serangan yang baru-baru ini dia
terima dari Bu Pun Su, yakni Ilmu Serangan Halilintar Menyambar Hujan,
pukulan-pukulannya telah berhasil membuat biji catur di atas kepala Pok Pok
Sianjin menjadi miring.
Bukan main kagum dan
terkejutnya hati Pok Pok Sianjin saat melihat hebatnya serangan pemuda itu,
hingga dia berseru keras memuji.
“Kau benar-benar murid Bu Pun
Su tulen!” katanya sambil menyambar tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas
tanah. “Keluarkan senjatamu, Pendekar Bodoh, dan marilah kita bermain-main
dengan senjata agar lebih menyenangkan!”
Cin Hai dengan hati gelisah
terpaksa mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam. Akan tetapi oleh karena suara kakek
itu diliputi dengan kegembiraan, ia menenteramkan hatinya dan menggerakkan
pedang itu dengan cepat.
“Pedang bagus!” Pok Pok
Sianjin memuji pula.
Tongkatnya segera berkelebat
dengan hebatnya sehingga Cin Hai merasa amat kagum. Belum pernah dia
menyaksikan ilmu tongkat sehebat ini. Biar pun ilmu pedangnya sudah mencapai
tingkat tinggi sekali hingga tidak mudah orang melawannya, tetapi menghadapi
ilmu tongkat Pok Pok Sianjin, ia benar-benar tidak berdaya.
Tentang kecepatan bergerak dan
lihainya perubahan gerakan, mungkin ilmu pedangnya tidak kalah karena beberapa
kali Pok Pok Sianjin mengeluarkan seruan kaget akibat tidak menduga perubahan
yang tiba-tiba terjadi pada pedang Cin Hai, akan tetapi permainan tongkat kakek
ini mengandung tenaga-tenaga yang mukjijat. Tongkat di tangannya itu
seolah-olah hidup sehingga dapat digunakan untuk menempel, memutar, membetot,
atau mendorong dengan tenaga yang cocok sekali hingga beberapa kali hampir saja
pedang Cin Hai kena dirampas.
Cin Hai lalu mengerahkan
seluruh kepandaiannya dan oleh karena ilmu pedangnya Daun Bambu memang sungguh
hebat dan dapat disesuaikan dengan kepandaian lawan yang bagaimana pun juga,
maka dia dapat melakukan perlawanan cukup seru. Tetapi dia kalah pengalaman dan
juga ilmu tongkat Pok Pok Sianjin itu memang lain dari pada yang lain hingga
lagi-lagi ketika dia menusuk, pedangnya kena ditempel oleh tongkat itu.
Kakek itu memutar-mutar
tongkatnya dan ternyata tenaga putaran itu luar biasa kuatnya. Pedang Cin Hai
ikut terputar dan tiba-tiba saja tongkat itu meluncur ke atas kepalanya,
menyabet biji catur itu dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka.
Cin Hai terkejut sekali, akan
tetapi anak muda ini memang mempunyai ketenangan yang sempurna dan kecerdikan
luar biasa. Melihat bahwa ia tak dapat mengelak lagi, apa lagi menangkis, ia
lalu berseru keras dan mengerahkan khikang-nya hingga tiba-tiba biji catur di
atas kepalanya mumbul setengah kaki lebih dan setelah tongkat kakek itu lewat
di atas kepalanya, biji catur itu turun kembali di atas kepalanya seperti tadi.
Hal ini membuat semua orang
yang menonton berseru kagum dan juga Pok Pok Sianjin tertawa bergelak-gelak
sambil menancapkan tongkatnya di atas tanah lagi.
“Ha-ha-ha-ha! Dasar kau murid
Bu Pun Su selain lihai juga cerdik dan licin sekali. Kau pantas sekali disebut
Pendekar Bodoh! Hebat, hebat!” Pok Pok Sianjin berseru dengan gembira sekali
sambil menepuk-nepuk pundak Cin Hai.
Pemuda ini merasa betapa
tangan kakek yang menepuk pundaknya seperti orang memuji itu berat sekali, maka
cepat-cepat dia lalu mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Pok Pok Sianjin merasa
betapa pundak pemuda itu lemas bagaikan kapuk! Ia memperhebat suara ketawanya
dan Cin Hai menyimpan pedang sambil menjura dan berkata,
“Locianpwe kalau teecu bisa
mempelajari ilmu tongkatmu, teecu akan merasa berbahagia sekali!”
Bukan main senangnya hati Pok
Pok Sianjin mendengar ucapan ini karena ucapan ini saja menunjukkan betapa
pemuda itu menghargainya, maka dia tertawa lagi dan berkata, “Kalau ada jodoh
dan usiaku masih panjang, aku akan senang sekali mewariskan ilmu tongkat ini
kepada salah seorang keturunanmu!”
Walau pun ucapan ini
dikeluarkan seperti main-main belaka dan sambil lalu, akan tetapi Cin Hai mencatat
di dalam hati dengan baik-baik.
Swi Kiat Siansu dan Hok Peng
Taisu juga memuji kepandaian mereka yang baru saja mengadu kepandaian dan kini
kedua orang itu saling pandang. “Sekarang tiba giliran kita, Hok Peng Taisu.
Sudah lama aku mengagumi Ilmu Silat Bambu Runcingmu, marilah kita main-main
sebentar.”
Hok Peng Taisu tersenyum dan
tidak mau berlaku sungkun-sungkan lagi. Dia langsung memegang sepasang tongkat
bambunya pada kedua tangan dan sesudah menjura lantas berkata, “Mana sepasang
tongkat bambuku dapat dibandingkan dengan kipas mautmu?”
Memang senjata Swi Kiat Siansu
ialah kipas yang selalu dipakai untuk mengebut-ngebut tubuhnya itu. Kipas ini
sangat lebar dan gagangnya terbuat dari pada gading gajah yang ujungnya
runcing, sedangkan permukaannya terbuat dari pada kulit harimau yang sudah
direndam obat sehingga menjadi kuat dan keras. Kini dia memegang kipas itu di
tangan kanan dan siap menanti datangnya serangan lawan.
“Karena pibu ini harus
dilakukan dengan kepala dingin, maka lebih baik kita gunakan pula syarat
seperti yang dilakukan oleh Pok Pok Sianjin tadi,” kata Swi Kiat Siansu.
“Terserah kepadamu, Sahabat,
karena seperti telah kukatakan tadi, sebagai tuan rumah kau berhak mengambil
penentuan,” jawab Hok Peng Taisu.
“Baiknya diatur begini saja.
Kalau seorang di antara kita sampai kena diserang ujung baju atau ujung lengan
bajunya hingga robek, maka dia dianggap kalah.”
Hok Peng Taisu mengangguk dan
tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa pihak lawan benar-benar tidak
menghendaki pertempuran mati-matian.
“Baik, baik. Mari kita mulai!”
Dua orang kakek tua itu segera
bergerak dan sebentar saja mereka berdua lenyap dalam sebuah pertempuran yang
memusingkan pandangan mata orang yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya. Gerakan
mereka sama cepat dan gerakan senjata mereka sama lihai, hingga bayangan mereka
terkurung oleh gulungan sinar senjata yang berkelebatan hebat sekali.
Semua orang yang menonton
pertempuran ini merasa kagum dan juga khawatir karena agaknya di dalam
pertempuran semacam ini tidak mungkin dapat menang apa bila tidak merobohkan
lawan dengan serangan maut!
Akan tetapi bagi Hok Peng
Taisu dan Swi Kiat Siansu yang sedang bertempur, mereka berdua maklum akan
tingkat kepandaian lawan yang seimbang. Akan tetapi betapa pun juga Swi Kiat
Siansu secara diam-diam mengakui bahwa Ilmu silat Bambu Runcing dari Hok Peng
Taisu benar-benar lihai sekali dan masih dapat menekan permainan kipasnya
sendiri! Dia terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga
diri dan demikianlah, mereka bertempur dengan hebat sampai puluhan jurus
lamanya.
Tiba-tiba terdengar Swi Kiat
Siansu berseru, “Aku mengaku kalah!“
Sedangkan Hok Peng Taisu juga
berseru, “Kau lihai sekali!”
Dan kedua-duanya melompat ke
belakang sambil menahan senjata masing-masing dan menjura sebagai penghormatan
kepada lawan. Ternyata bahwa sepasang bambu runcing Hok Peng Taisu telah
berhasil melobangi jubah Swi Kiat Siansu di kanan kiri sedangkan ujung lengan
baju Hok Peng Taisu pada saat yang sama juga kena terobek oleh gagang kipas
kakek gemuk itu! Melihat hal ini mudah diputuskan bahwa Hok Peng Taisu masih
menang setingkat.
Swi Kiat Siansu berkata kepada
Pok Pok Sianjin sambil tertawa, “Memang orang-orang selatan dan timur lebih
rajin melatih diri dari pada kita.” Kemudian ia menghadapi Cin Hai dan berkata,
“Pendekar Bodoh, marilah kita
main-main sebentar, ingin aku merasakan lihainya ilmu pedangmu!”
Cin Hai lalu mencabut
Liong-cu-kiam-nya dan bersiap sedia. Suhu-nya pernah berpesan agar supaya
berhati-hati menghadapi kakek gemuk ini oleh karena meski pun tabiatnya jujur
dan baik, akan tetapi Swi Kiat Siansu memiliki dasar watak yang enggan mengaku
kalah. Lain halnya dengan Pok Pok Sianjin yang lebih berani mengaku kalah dan
juga berani pula mengaku salah. Kini menghadapi kakek gemuk ini, Cin Hai
berlaku hati-hati sekali.
“Locianpwe, sebelumnya terima
kasih atas pengajaranmu ini. Apakah syaratnya masih sama dengan tadi, yaitu
saling berusaha menyerang pakaian?”
“Ya, dan kau berhati-hatilah
menjaga kipasku supaya aku jangan sampai salah tangan!” Sambil berkata
demikian, Swi Kiat Siansu lalu maju menyerang kepada Cin Hai.
Kakek gemuk ini biar pun tadi
mengakui keunggulan Hok Peng Taisu, namun diam-diam dia merasa jengkel dan
penasaran juga, maka kini menghadapi Cin Hai, dia mengambil keputusan untuk
mencari kemenangan untuk menebus kekalahannya yang tadi. Maka tak heran apa
bila kipasnya bergerak dengan kecepatan yang sukar untuk dapat diikuti oleh
pandangan mata, merupakan gulungan sinar kuning yang menggulung dengan dahsyat
ke arah tubuh Cin Hai!
Cin Hai terkejut dan cepat
mainkan pedangnya untuk melindungi dirinya dan setiap kali pedangnya bertemu
dengan gagang kipas dia merasa betapa telapak tangannya tergetar! Dari
bentrokan ini saja dia dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawannya,
maka dengan penuh ketekunan dan hati-hati sekali dia segera mainkan ilmu
pedangnya, Daun Bambu dengan tangan kanan, sedangkan untuk menjaga diri, tangan
kirinya lantas melakukan gerakan-gerakan Pek-in Hoat-sut.
Sementara itu Pok Pok Sianjin
berkata kepada Hok Peng Taisu, “Hok Peng Taisu marilah kita main-main sebentar
agar aku mengenal lebih baik bambu runcingmu!”
“Mari!” Hok Peng Taisu
menjawab sambil tersenyum dan bersiap sedia dengan sepasang bambu runcingnya.
Keduanya lalu menggerakkan
senjata masing-masing dan bertempur seru. Sungguh pun di antara keduanya tidak
menggunakan syarat apa-apa, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh berilmu tinggi
mereka bisa menjaga diri. Biar pun serangan-serangan mereka merupakan pukulan
maut, akan tetapi di dalam hati sama sekali tidak memiliki niat atau nafsu
untuk membunuh atau melukai lawan.
Hai Kong Hosiang beserta
kawan-kawannya merasa kecewa sekali melihat betapa empat orang itu mengadu
kepandaian secara persahabatan, oleh karena kini lenyaplah harapan mereka untuk
mengalahkan Hok Peng Taisu mau pun Cin Hai. Biar pun andai kata kalah terhadap
Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, tetapi kekalahan itu belum tentu membuat
Hok Peng Taisu dan Cin Hai mundur untuk membela kawan-kawan lainnya yang hendak
mereka basmi.
Kini melihat betapa keempat
orang itu sedang bertempur dengan serunya, diam-diam dia mengeluarkan
jarum-jarumnya yang mengandung racun Ular Hijau yang amat berbahaya itu lalu
tiba-tiba saja dia mengayunkan tangannya menyerang dengan jarum-jarumnya ke
arah Cin Hai dan Hok Peng Taisu!
Pada saat itu, pertempuran
antara Cin Hai dan Swi Kiat Siansu sedang berjalan dengan ramai-ramainya. Biar
pun Cin Hai sudah mengeluarkan ilmu kepandaiannya, namun pada suatu saat, kipas
pada tangan Swi Kiat Siansu menyambar sedemikian hebatnya sambil mengibas
dengan tenaga sepenuhnya hingga pedang Cin Hai kena disampok dan lepas dari
pegangan!
Akan tetapi, dalam kagetnya,
Cin Hai lalu menggunakan tangan kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar
Hujan yang mengandung daya pukulan luar biasa sekali. Pukulan ini ditujukan
kepada kipas di tangan Swi Kiat Siansu dengan tenaga sepenuhnya dan…
“Brakk!”
Permukaan kipas yang terbuat
dari pada kulit harimau itu menjadi robek dan hancur berkeping-keping sedangkan
pedang Liong-cu-kiam yang terpental dari tangan Cin Hai, menancap di atas
lantai!
Pada saat itulah datangnya
jarum-jarum dari Hai Kong Hosiang secara tiba-tiba. Cin Hai yang masih tergetar
oleh pukulan kipas tadi mendengar datangnya angin senjata rahasia yang lembut
itu. Ia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja ada sebatang jarum Ular Hijau
menancap pada pundaknya hingga dia terhuyung-huyung lalu roboh dengan tubuh
terasa panas sekali.
Akan tetapi ia cepat dapat
mengerahkan lweekang-nya untuk menolak pengaruh racun itu hingga ia masih dapat
menguasai dirinya dan tidak menjadi pingsan. Sambil bersila ia lalu mengatur
napas dan memelihara jalan darahnya.
Sementara itu, Swi Kiat Siansu
yang merasa terkejut sekali karena senjata kipasnya kena dipukul hancur oleh
Cin Hai, kini melihat betapa pemuda itu terkena serangan senjata rahasia yang
dilepas oleh Hai Kong Hosiang, menjadi marah sekali.
“Bangsat gundul curang!”
bentaknya marah. “Kau membikin malu saja kepadaku!” Sambil berkata demikian,
dia lalu menyambit dengan gagang kipasnya yang masih terpegang di dalam
tangannya.
Gagang kipas itu meluncur
cepat menuju ke arah tenggorokan Hai Kong Hosiang yang cepat mengelak hingga
mengenai tempat kosong. Swi Kiat Siansu masih penasaran dan cepat tubuhnya
berkelebat ke arah Hai Kong Hosiang kemudian menyerangnya dengan pukulan tangan
terbuka.
Hai Kong Hosiang bukanlah
orang yang lemah dan ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, maka
tentu saja ia dapat mengelak dan membalas dengan pukulan nekat. Ia maklum bahwa
ia telah gagal mengharapkan bantuan kakek ini yang sekarang bahkan menyerangnya
karena marah melihat kecurangannya tadi, maka sambil berseru keras ia melawan
sekuat tenaga, berkali-kali ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di
atas sambil menggerak-gerakkan dua kakinya untuk menyerang Swi Kiat Siansu
secara hebat sekali.
Tentu saja Swi Kiat Siansu
makin marah dan dengan seruan keras ketika kaki Hai Kong Hosiang menendang ke arah
kedua pundaknya, dia lantas menangkap kaki itu dan cepat membanting tubuh Hai
Kong Hosiang yang tinggi besar itu ke atas batu karang! Segera terdengar pekik
keras dan kepala hwesio jahat itu pecah berantakan ketika dibenturkan kepada
batu karang!
Sementara itu, Lin Lin lalu
berlari menghampiri Cin Hai dan memeluk kekasihnya dengan hati bingung. Ada pun
Hok Peng Taisu yang sedang bertempur mengadu kepandaian dengan Pok Pok Sianjin,
cepat melompat mundur dan menghampiri Swi Kiat Siansu yang masih marah sekali
itu.
Melihat kesedihan Lin Lin, Swi
Kiat Siansu lalu mengeluarkan sebotol obat warna merah. Sebagai seorang pertapa
di daerah Mongolia ia maklum akan berbahayanya jarum-jarum Ular Hijau dan dia
tahu pula obatnya, karena dia pun adalah seorang ahli pengobatan. Untuk menjaga
diri, dia selalu membawa obat-obat anti racun dan obat Semut Merah tersedia
pula dalam saku bajunya.
Dengan amat berterima kasih,
Lin Lin cepat meminumkan obat itu kepada Cin Hai dan seketika itu juga
sembuhlah Cin Hai. Akan tetapi, seperti Lin Lin dulu, begitu dia sembuh, perang
tanding antara Racun Ular Hijau dan Obat Semut Merah itu lalu mempengaruhi
otaknya dan tiba-tiba dia menjadi marah sekali. Hanya karena kekuatan batinnya
sudah jauh lebih kuat dari pada Lin Lin, maka dia masih dapat membedakan mana
kawan mana lawan.
Pada suatu saat, Wi Wi Toanio
beserta kawan-kawannya datang menyerbu, diikuti oleh perwira-perwira di bawah
perintah Kam Hong Sin. Cin Hai langsung melompat ke atas, memungut pedangnya
yang menancap di tanah, lalu mengamuk hebat sekali. Juga Lin Lin, Ang I Niocu,
Lie Kong Sian, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng tidak mau tinggal diam dan
menyambut serbuan musuh yang besar jumlahnya itu.
Perang tanding terjadi amat
hebatnya, sedangkan Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, dan Hok Peng Taisu merasa
segan untuk ikut mencampuri pertempuran itu, sungguh pun mereka merasa
penasaran melihat betapa Cin Hai dan kawan-kawannya dikeroyok oleh sekian
banyak orang.
Dalam kemarahannya yang bukan
sewajarnya, Cin Hai mendesak Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, dan Lok Kun Tojin
yang mengeroyoknya. Pedang Liong-cu-kiam di tangannya menyambar-nyambar dengan
amat dahsyatnya hingga ketiga orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi itu
merasa kewalahan karena belum pernah mereka menyaksikan sepak terjang yang
demikian hebatnya!
Dalam jurus ke dua puluh
lebih, Wi Wi Toanio kena terbabat pinggangnya oleh pedang Liong-cu-kiam
sehingga sambil menjerit wanita itu roboh mandi darah dan tewas seketika itu
juga! Siok Kwat Moli dan Lok Kun Tojin terkejut dan gentar hingga gerakan
mereka menjadi lambat karenanya.
Cin Hai tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan ini. Dua kali ia membuat gerakan tangan kanan menusuk
dan tangan kirinya melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan ke arah Lok
Kun Tojin. Terdengar pekik mengerikan ketika pedang itu menembus dada Siok Kwat
Mo-li dan pukulan tangan kirinya yang dahsyat memecahkan kepala Lok Kun Tojin.
Setelah membunuh tiga orang
lawannya, tiba-tiba Cin Hai merasa pening dan mengantuk sekali dan tanpa dapat
dicegah lagi tubuhnya terguling dan telah tidur mendengkur sambil memegang
pedang Liong-cu-kiam yang telah menjadi merah karena darah.
Sementara itu, pertempuran
masih berjalan hebat dan Ang I Niocu dan kawan-kawannya mengamuk hebat serta
menjatuhkan banyak korban di pihak lawan. Akan tetapi musuh terlampau banyak
hingga mereka terdesak hebat.
Tiba-tiba berkelebat tiga
bayangan orang dan di mana saja tubuh mereka menyambar, senjata-senjata para
perwira terpental ke atas. Mereka ini ternyata adalah tiga orang kakek sakti
yang tidak tahan pula melihat pertempuran itu karena merasa ngeri melihat
banyaknya darah berhamburan. Sambil bergerak mereka berseru,
“Tahan pertempuran, tahan!”
Semua orang merasa jeri juga
melihat mereka ikut turun tangan, karena itu semua lalu mengundurkan diri.
Dengan marah Swi Kiat Siansu
lalu menghadapi Kam Hong Sin dan kawan-kawannya sambil berkata, “Kalau aku
tidak ingat bahwa kau adalah panglima kerajaan, sekarang juga tentu kuhancurkan
kepalamu! Kau telah bersekutu dengan Hai Kong yang jahat, dan dengan tipu
muslihat kalian berhasil mengundang aku bersama Pok Pok Sianjin sehingga
terpaksa kami turun gunung membuat dosa-dosa baru. Tapi, tidak tahunya kalian
hendak menggunakan kami agar memusuhi orang-orang baik dan membela Hai Kong
yang jahat. Lihatlah bukti kekuasaan dan keadilan Tuhan Yang Agung. Mereka yang
jahat menemui kematian mengerikan!” Ia menuding ke arah mayat Hai Kong Hosiang,
Wi Wi Toanio, dan Siok Kwat Mo-li. “Biarlah kali ini menjadi pelajaran bagimu
agar supaya lain kali di dalam menjalankan tugas, kau akan berlaku hati-hati
dan dapat mempertimbangkan orang yang baik dan yang jahat!”
Kam Hong Sin memberi hormat
dan berkata dengan tegas, “Locianpwe, siauwte adalah seorang petugas yang hanya
menjalankan kewajiban siauwte sebagai seorang panglima. Anak murid Bu Pun Su
dan Hok Peng Taisu ini telah merampas harta pusaka dan mereka membagikan harta
pusaka kepada mereka yang tidak berhak. Padahal harta pusaka itu adalah hak
milik kerajaan. Bagi siauwte, lebih baik mati sebagai seorang perwira yang
menjalankan tugasnya dari pada mati sebagai seorang pengkhianat.”
Mendengar ucapan yang gagah
dan patut dihargai ini, Hok Peng Taisu melangkah maju dan berkata,
“Kam-ciangkun, aku sudah lama mendengar bahwa engkau adalah seorang perwira
yang gagah, dan ternyata bahwa hal ini ada betulnya. Akan tetapi, agaknya kau
masih terlampau muda untuk memegang jabatan tinggi itu hingga pertimbanganmu
belum masak benar. Ketahuilah bahwa harta pusaka itu adalah hasil rampokan di
jaman dahulu, dan rakyat yang dirampok. Maka aku dan kawan-kawan lain
mengembalikan harta itu dan membagi-bagikan kepada para rakyat miskin, bukankah
ini sudah adil namanya? Apakah artinya harta sekian banyak itu bagi Kaisar yang
sudah kaya? Akan tetapi besar sekali artinya bagi rakyat yang hampir tak dapat
makan karena miskinnya!”
Kam Hong Sin merasa terpukul
oleh ucapan ini dan dia lalu menjura dan bertanya, “Kalau betul siauwte telah
salah jalan, habis apakah yang sekarang harus kulakukan?”
“Lekaslah tarik mundur anak
buahmu dan bawalah semua orang yang tewas untuk diurus sebaiknya. Kemudian,
setiap langkahmu harus kau perhatikan baik-baik agar kau jangan menanam bibit
permusuhan dengan orang-orang gagah, agar kau dapat memperhatikan dan
membedakan antara orang-orang gagah dengan penjahat-penjahat seperti Hai Kong
Hosiang itu!” kata Hok Peng Taisu.
Kam Hong Sin lalu
memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat semua korban dan dibawa turun
gunung, sedangkan kawan-kawannya pun ikut turun gunung pula. Ceng To Tosu menghampiri
Cin Hai yang sementara itu telah didekati oleh Lin Lin dan telah sadar kembali,
sembuh seperti sedia kala. Bahkan anak muda ini sudah lupa bahwa dia telah
membunuh Siok Kwat Mo-li, Wi Wi Toanio, dan Lok Kun Tojin.
Ceng To Tosu yang selalu mewek
itu menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Sie-taihiap, kau maafkan pinto yang
sudah lancang tangan sehingga terbawa-bawa dalam urusan ini, karena pinto hanya
memenuhi tugas sebagai pembantu kerajaan Kaisar.”
Cin Hai tersenyum. “Tidak apa,
Totiang, dan maaf sama-sama. Kita semua menunaikan tugas masing-masing, hanya
sayangnya dalam bidang lain sehingga timbullah kesalahan paham ini.” Ceng To
Tosu mengangguk-angguk dan mulutnya semakin mewek bagaikan benar-benar hendak
menangis.
“Aku juga minta maaf, Taihiap,”
berkata Ceng Tek Hwesio sambil tertawa-tawa gembira, seakan-akan baru saja tadi
bukan terjadi perang hebat, akan tetapi pesta minum arak yang menggirangkan
hatinya!
“Kau adalah orang yang paling
berbahagia, Ceng Tek Hwesio, dan semoga kau masih panjang usia sehingga kelak
kita dapat bertemu kembali,” jawab Cin Hai.
Keduanya lalu mengundurkan
diri, berlari-lari menyusul rombongan Kam Hong Sin turun gunung.
Cin Hai dan kawan-kawannya
lalu menghampiri Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin dan pemuda itu menjatuhkan
diri berlutut lalu berkata,
“Ji-wi Locianpwe yang mulia,
teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi serta kebaikan Locianpwe
berdua yang telah dapat menyelesaikan persoalan ini dengan penuh kebijaksanaan.
Terutama sekali kepada Swi Kiat Siansu Locianpwe, terima kasih atas pertolongan
kepada teecu.” Cin Hai tadi telah mendengar dari Lin Lin akan pertolongan yang
diberikan oleh kakek itu kepadanya.
Bukan main kagum dan senangnya
hati kedua tokoh dari barat dan utara itu melihat sikap Cin Hai yang meski pun
tingkat ilmu kepandaiannya tidak lebih rendah dari pada mereka, akan tetapi
telah berani bersikap demikian sopan santun dan merendah. Swi Kiat Siansu
mengangkat bangun kepadanya dan berkata,
“Sikapmu ini telah menjatuhkan
hati kami, Pendekar Bodoh. Bukan kepandaian saja yang bisa menjatuhkan
seseorang, akan tetapi sikap yang baik jauh lebih berpengaruh. Melihat sikapmu
saja, kami dapat mengetahui bahwa permusuhan antara pihakmu dengan pihak Hai
Kong, pihakmu yang berada di pihak benar. Sekarang maafkan kami. Tentang ilmu
kepandaian, terus terang kunyatakan bahwa orang-orang selatan dan timur
benar-benar pandai, tidak seperti kami yang menyembunyikan diri dan lupa untuk
berlatih diri.”
“Kalian jangan terlalu
merendah,” jawab Hok Peng Taisu. “Ilmu kipas dari Swi Kiat Siansu sungguh
mengagumkan, sedangkan ilmu tongkat Pok Pok Sianjin benar-benar membuat aku
merasa tunduk.”
Setelah mengeluarkan
ucapan-ucapan merendah, kedua kakek dari barat dan utara itu lalu berkelebat
pergi, sedangkan Hok Peng Taisu lalu berkata,
“Untung sekali bahwa persoalan
ini dapat diselesaikan dengan mudah. Sekarang kalian pulanglah dan jauhkan diri
dari segala persengketaan yang tak perlu. Ma Hoa kalau kelak kau melangsungkan
pernikahanmu, jangan lupa mengundang aku untuk minum arak!” Setelah berkata
demikian, kakek botak ini pun lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali.
Nelayan Cengeng tertawa
bergelak karena girangnya dan air matanya mengalir keluar. “Ha-ha-ha! Memang
yang benar selalu pasti menang! Sekarang segala hal sudah beres, dan aku pun
ingin sekali segera menyaksikan kalian semua melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga yang bahagia!”
Cin Hai menyatakan bahwa dia
bersama Lin Lin hendak bersembahyang dahulu di depan Goa Tengkorak sebagai
penghormatan terakhir dan sebagai laporan kepada mendiang suhu-nya bahwa tugas
sudah diselesaikan dengan baik. Setelah berjanji akan bertemu di Tiang-an
dengan kawan-kawannya, sepasang teruna remaja ini dengan cepat lalu turun
gunung.
Nelayan Cengeng tertawa girang.
“Lebih cepat dilangsungkan pernikahan mereka dan pernikahan Ma Hoa, lebih baik
lagi. Marilah kita langsung menuju ke Tiang-an. Dan Niocu hendak pergi ke
manakah?” tanyanya kepada Ang I Niocu.
Dara Baju Merah itu tak dapat
menjawab dan Ma Hoa tersenyum lalu menggoda sambil mengerling ke arah Lie Kong
Sian.
“Syarat-syarat telah dipenuhi
semua, mau tunggu apa lagi? Lie-taihiap, kenapa kau diam saja?”
Lie Kong Sian maklum akan
maksud kata-kata ini, biar pun ia merasa malu dan mukanya menjadi merah, akan tetapi
karena ia berhati jujur dan polos, ia lalu berkata kepada Ang I Niocu,
“Moi-moi, di depan kawan-kawan
baik yang menjadi saksi, biar kuulangi lagi pinanganku yang dulu itu. Benar
sebagaimana kata Nona Ma Hoa tadi, semua syarat-syaratmu telah terpenuhi.
Sie-sute dan Nona Lin Lin telah bertemu kembali, Sute-ku Song Kun juga telah
tewas, dan kita telah mendapat persetujuan dari mendiang Supek Bu Pun Su.”
Merahlah muka Ang I Niocu,
melebihi merahnya warna bajunya! Sambil menundukkan kepalanya, ia pun berkata,
“Dulu pernah kukatakan bahwa selain yang tiga itu, masih ada sebuah syarat
lagi.”
“Apakah itu? Biarlah
kawan-kawan menjadi saksi, aku akan memenuhi syarat ke empat ini, betapa pun
beratnya!”
Ang I Niocu mengerling tajam.
“Pantaskah diucapkan di sini?”
Nelayan Cengeng tertawa
terbahak-bahak dan berkata, “Niocu, di antara kawan sendiri, mengapa harus
malu-malu? Atau, haruskah kami bertiga pergi dulu dari sini?”
Makin malulah Ang I Niocu
mendengar ini. Ia menjadi serba salah, kemudian dia berkata perlahan, “Syarat
yang ke empat adalah cita-citaku semenjak dulu, yaitu orang yang patut menjadi
suamiku harus lebih dulu dapat menjatuhkan aku dalam sebuah pertandingan!”
Tercenganglah semua orang
mendengar syarat ini, tidak terkecuali Lie Kong Sian. Akan tetapi, Lie Kong
Sian dengan tenang-tenang saja lalu berkata, ”Baiklah apa bila demikian
kehendakmu, terpaksa aku akan berusaha menjatuhkanmu!”
Ang I Niocu mencabut
Liong-cu-kiamnya dan bersiap menghadapi tunangannya. Ma Hoa, Kwee An, dan
Nelayan Cengeng lalu mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dari tempat yang
akan dijadikan gelanggang pertempuran antara kedua orang itu.
“Cobalah kalau bisa!” kata Ang
I Niocu dengan mata bersinar gembira dan bibir tersenyum manis. Sikapnya
menantang sekali, karena dia merasa telah dapat mempermainkan Lie Kong Sian dan
karena ia merasa bahwa nilai dirinya telah naik!
“Jagalah!” seru Lie Kong Sian
sambil mencabut pedangnya pula lantas maju menyerang dengan hebat.
Sebentar saja kedua orang itu
bertempur hebat sekali hingga tubuh mereka seakan-akan menjadi satu gulungan
warna merah dari baju Ang I Niocu dan warna biru dari baju Lie Kong Sian!
Diam-diam Lie Kong Sian
menggunakan tangan kirinya melepaskan dua helai tali sutera warna hijau dan
menggenggam tali itu pada tangannya. Kemudian, ketika pedang Ang I Niocu
menyambar, dia sengaja memasang pundaknya untuk menerima tusukan itu!
Ang I Niocu terkejut sekali
dan sambil menjerit ngeri ia miringkan pedangnya agar jangan sampai menusuk
pundak Lie Kong Sian, tetapi terlambat! Pedangnya masih menggores bahu kanan
Lie Kong Sian hingga bajunya robek dan mengalirlah darah dari bajunya.
Akan tetapi Lie Kong Sian yang
memang sengaja melakukan hal ini, mempergunakan kesempatan selagi Ang I Niocu
terkejut dan menyesal, tangan kirinya bergerak cepat dan tahu-tahu sutera hijau
itu telah melayang dan melibat kedua tangan Ang I Niocu yang terus dibetotnya
dan sekali dia menggerakkan tangan kiri lagi, tali sutera ke dua langsung
melayang dan membelit pergelangan kaki gadis itu!
Beberapa kali dia menggerakkan
tangan dan tali-tali itu sudah mengikat kedua kaki dan kedua tangan Ang I Niocu
dengan kencang, sedangkan pedang Liong-cu-kiam juga telah terampas oleh Lie
Kong Sian! Tubuh Ang I Niocu terguling dan kini dia rebah setengah duduk di atas
tanah dengan kaki tangan terbelenggu!
Ia menjadi bingung sekali dan
berkata, “Lepaskan aku, lepaskan!”
Akan tetapi Lie Kong Sian
hanya berdiri bertolak pinggang sambil memandang dengan tersenyum!
“Lepaskan... lepaskan aku...!”
Ang I Niocu berkata lagi dan ia hampir saja menangis.
Dia meronta-ronta dan
mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk dapat melepaskan diri dari pada belenggu
itu. Akan tetapi tali sutera itu terbuat dari pada bahan yang tidak saja kuat
dan ulet sekali, akan tetapi juga mempunyai sifat lunak dan dapat mulur
sehingga tenaga lweekang-nya tiada berguna!
Terdengar suara tawa
bergelak-gelak dari Nelayan Cengeng yang segera menghampiri Ang I Niocu. Juga
Kwee An dan Ma Hoa menghampirinya sambil tertawa-tawa.
“Lo-enghiong, Kwee An, Ma Hoa!
Lekas lepaskan aku...!” kata Ang I Niocu dengan suara memohon karena Dara Baju
Merah ini merasa malu sekali.
“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng
tertawa geli hingga air matanya mengalir keluar di sekujur pipinya. “Mempelai
wanita sudah tertawan...! Ha-ha-ha!” Kakek ini dengan gelinya tertawa gembira
dan sama sekali tak mau menolong Ang I Niocu.
“Kwee An, tolonglah aku!” kata
Ang I Niocu.
Sambil mengangkat jari
telujuknya, Kwee An berkata, “Niocu, kini kau sudah mendapat bukti akan
kelihaian calon suamimu! Tidak boleh seorang calon isteri menantang suami,
inilah jadinya!” Dia menggoda sambil tersenyum.
“Ma Hoa, benar-benarkah kau
tak mau menolongku membuka belenggu ini?” Ang I Niocu menengok kepada Ma Hoa.
Akan tetapi gadis itu yang
kini telah menyanggul rambutnya atas permintaan Kwee An sebagai ‘pembayaran
kaul’ karena musuh-musuh telah dapat ditewaskan dan dikalahkan semua, hanya
tertawa saja, bahkan kemudian bertepuk tangan gembira sambil bernyanyi
menggoda,
“Mempelai perempuan telah
tertawan! Masuk perangkap mempelai pria!”
Berkali-kali Ma Hoa bernyanyi
sambil bertepuk tangan hingga Ang I Niocu menjadi makin jengah dan malu.
“Adik Hoa, awas! Bila sampai
terbuka ikatan tanganku, akan kucubit bibirmu yang nakal. Hayo lepaskan aku!”
kata Ang I Niocu.
Akan tetapi dengan sikap nakal
dan menggoda, Ma Hoa berkata, “Enci Im Giok, yang mengikat kaki tanganmu
bukanlah aku. Mengapa aku yang harus membukanya? Mintalah kepada orang yang
melakukannya!”
Lie Kong Sian menghampiri Ang
I Niocu dengan senyum di bibir. “Bagaimana, Moi-moi, sudah takluk kau kepadaku
kini?”
Ang I Niocu tak dapat
menjawab, hanya meronta-ronta sambil berkata,
“Lepaskan... lepaskan!”
Lie Kong Sian menjura kepada
Nelayan Cengeng, juga kepada Kwee An dan Ma Hoa sambil berkata, “Maafkan, kami
hendak pergi dahulu, kembali ke pulau tempat kediaman kami. Kelak, apa bila
dilangsungkan pernikahan antara Saudara Kwee An dan Nona Ma Hoa, juga antara
Sie-sute dan Sumoi Lin Lin, kami tentu akan hadir!”
Setelah berkata demikian,
tanpa melepaskan ikatan kaki tangan Ang I Niocu, pemuda itu lalu membungkuk dan
memondong tubuh kekasihnya itu dan membawanya berlari cepat bagaikan terbang,
menuju ke pulaunya yang indah yang merupakan sarang bahagia bagi dia dan calon
isterinya.
Nelayan Cengeng, Kwee An,
serta Ma Hoa merasa girang dan juga terharu sekali dapat menyaksikan
kebahagiaan orang muda itu. Bahkan Ma Hoa sampai menitikkan air mata sambil
berkata,
“Syukurlah, kalau Enci Im Giok
berbahagia. Dia orang berbudi mulia...”
Kemudian mereka bertiga lalu
melanjutkan perjalanan menuju ke Tiang-an untuk menanti datangnya Cin Hai dan
Lin Lin di Tiang-an.
Tak lama kemudian, datanglah
Cin Hai dan Lin Lin membawa tiga ekor burung sakti, dan sebulan kemudian
dilangsungkanlah perkawinan yang meriah antara Kwee An dengan Ma Hoa, dan Cin
Hai dengan Lin Lin.
Selain Ang I Niocu dan Lie
Kong Sian yang sudah menjadi suami isteri, hadir pula banyak tokoh persilatan
dari seluruh penjuru dunia, dan di antaranya yang hadir adalah Swi Kiat Siansu,
Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu, Eng Yang Cu, Giok Gan Kui-bo, Sie Lok dan Sie
Kiong kedua paman Cin Hai, dan banyak orang lagi.
Yousuf juga datang dan orang
Turki ini selanjutnya tinggal bersama Cin Hai dan Lin Lin, menikmati
kebahagiaan hidup sebagai ayah angkat yang dikasihi dan dihormat.
Perkawinan diberkahi oleh Kwee
Tiong sebagai seorang hwesio yang mengucapkan doa sambil mengalirkan air mata
oleh karena merasa bahagia melihat kedua adiknya, Kwee An dan Lin Lin,
melangsungkan upacara pernikahan dengan bahagia.
Yang sangat menggembirakan
hati kedua pasang mempelai itu ialah datangnya Sanoko, kepala suku Haimi itu,
bersama Meilani dan suaminya Manoko, dan juga Kam Hong Sin, panglima yang dulu
pernah menjadi lawan, datang menghadiri pesta pernikahan itu dan melupakan
segala permusuhan yang telah lalu.
Setelah upacara pernikahan
selesai, Ang I Niocu bersama suaminya kembali ke Pulau Pek-le-to di mana mereka
hidup penuh kebahagiaan, jauh dari dunia ramai, dikawani oleh Rajawali Sakti
yang diberikan oleh Lin Lin kepada mereka.
Juga Kwee An bersama isterinya
dan Cin Hai dengan Lin Lin, hidup penuh kebahagiaan, masing-masing didampingi
oleh Nelayan Cengeng dan Yousuf yang merupakan ayah angkat bagi Ma Hoa dan Lin
Lin.....
T A M A T