Pendekar Sakti Jilid 36-40

Akan tetapi, pemuda ini semenjak bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai seorang gadis yang bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis ini.
Pendekar Sakti Jilid 36-40

Akan tetapi, pemuda ini semenjak bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai seorang gadis yang bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis ini. Dan semenjak itu dia betul-betul merasa betapa dia mencintai Sui Ceng!

Terdorong oleh kejujurannya, lagi pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang gadis jujur, dia lalu memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu berkata dengan gagahnya.

"Kenapa aku gembira dapat menikah dengan engkau? Sui Ceng, karena aku... aku cinta kepadamu!"

Sui Ceng bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini terus terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya, mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi dia lalu teringat akan sesuatu dan mukanya menyatakan kemarahan.

"Kwan Cu, bagus benar watakmu! Bukankah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan The Kun Beng?"

"Memang aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.

"Dan kau masih berani menyatakan cin... cinta... padaku?"

"Mengapa tidak?"

"Kau mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"

Kwan Cu mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang, bukankah itu berarti aku mengkhianati hati sendiri? Lagi pula, terus terang saja kukatakan bahwa Kun Beng tidak berharga untuk menjadi suamimu!"

Makin terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya dengan bibir tersenyum mengejek, "Hmm, dan kau pikir bahwa kaulah orang yang paling berharga untuk menjadi... menjadi suamiku?"

Kwan Cu mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."

Sui Ceng membanting-banting kakinya. "Kau sungguh kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau besar mulut! Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"

"Kau sudah melakukan hal itu di atas perahu."

"Ya, akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."

“Kau ingin sekali membunuhku?"

"Ya, jika kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah budi memburukkan nama orang lain di depanku."

"Dengan ang-kin-mu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng. Mengapa kau tidak lakukan hal itu?"

Sui Ceng tertegun. "Selain sombong... kau… kau…"

“Ya...?"

"Kau juga tabah sekali. Kau orang aneh, dan agaknya kau sudah miring otakmu." Setelah berkata demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Kwan Cu.

Kwan Cu mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.

"Benar-benarkah otakku telah miring? Kenapa aku begini tergila-gila setelah melihatnya? Ahh... jangan-jangan otakku sudah miring benar-benar... "

Sambil menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ. Ia langsung menuju bukit di mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kongkong-nya, yaitu Menteri Lu Pin…..

********************

Di dalam Goa Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.

"Kongkong, aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam itu!” Terdengar orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi karena bergema di dalam goa yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu.

Orang ini adalah Lu Kwan Cu yang sudah berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana kongkong angkatnya telah meninggal dunia. Pada waktu memasuki goa, Kwan Cu belum mengetahui bahwa Menteri Lu Pin telah meninggal dunia, tetapi sesudah dia membaca tulisan berukir di dinding, mencabut pedang Liong-coan-kiam, lalu menuju ke hio-louw, ia melihat makam kongkong-nya itu dan menangislah dia. Hatinya amat terharu.

Mereka itu dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin. Keduanya adalah orang-orang yang sangat dijunjung tinggi dan dikasihi oleh Kwan Cu. Sekarang keduanya tewas karena membela kebenaran, membela negara dan bangsa. Dan hanya dia seoranglah yang berkewajiban membalas dendam, atau lebih tepat lagi berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.

Kwan Cu kemudian meninggalkan goa itu sesudah menutupi goa itu dengan batu-batuan dan alang-alang seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya penuh cita-cita, dan tiba-tiba saja dia merasa sebagai seorang yang memanggul banyak macam tugas kewajiban.

Pertama-tama, ia akan membalas dendam kepada para pembunuh Ang-bin Sin-kai, yaitu Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin beserta para pembantu mereka. Ke dua, dia akan mencari keluarga An Lu Shan dan akan membunuh mereka semua, sesuai dengan pesan kongkong-nya, Menteri Lu Pin. Dan urusan ke tiga, dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi permintaan Gouw Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.

Berpikir tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng. Hatinya berdebar kalau dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari yang lalu. Sui Ceng benar-benar sudah menjadi seorang gadis yang melampaui keindahan gadis dalam mimpinya.

Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan hatinya perih kalau teringat bahwa gadis itu telah ditunangkan dengan Kun Beng. Bukan perih karena cemburu atau iri, melainkan karena dia mendapat kenyataan batwa Kun Beng bukanlah seorang pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng. Bukankah Kun Beng telah melakukan hal yang sangat rendah terhadap Gouw Kui Lan?

Tidak boleh! Kun Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.

Dengan cepat Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak menyelidiki betul-betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan semua musuh yang lain. Dia teringat kepada Lu Thong, cucu kongkong-nya yang berhati khianat itu.

Dia akan mempergunakan kekerasan dan memaksa Lu Thong mengaku di mana adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An Lu Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini, juga An Lu Kui, karena mereka ini adalah keluarga An Lu Shan juga.

Semenjak Kwan Cu menyerbu ke kota raja serta berhasil menolong Kui Lan keluar dari gedung An Kong, tembok kota raja lalu dijaga makin keras. Jangankan manusia biasa, seekor burung pun agaknya tidak mungkin lewat di atas tembok kota raja tanpa terlihat oleh para penjaga yang jumlahnya amat banyak dan selalu melakukan penjagaan secara bergilir.

Akan tetapi Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak mempunyai akal budi. Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati penjagaan dan melompat ke atas tembok, mempergunakan kegelapan malam sehingga dia dapat masuk ke kota raja tanpa terlihat oleh siapa pun juga.

Ternyata bahwa di dalam kota raja telah terjadi perubahan besar. Di antara mereka yang bersaingan merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan sudah berhasil membunuh putera An Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri. Kemudian Si Su Beng juga berhasil menduduki tempat tertinggi. Hal ini adalah berkat bantuan para jagoannya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin, tosu yang berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.

Meski diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena pangeran yang terbunuh itu adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak berani berbuat sesuatu. Hanya diam-diam dia mengumpulkan kawan-kawannya dan mencari jalan untuk merampas kembali kedudukan ‘Yang Dipertuan’ di Kerajaan Tang yang sudah dirampas itu.

Malam itu gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke rumah gedung di mana tinggal An Kong, pangeran botak putera An Lu Kui yang dahulu pernah diserbunya ketika dia menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga keturunan atau keluarga An Lu Shan, maka patut dibinasakan. Lagi pula, manusia macam An Kong itu memang sudah pantas jika menerima hukuman mati, karena selama hidupnya hanya mengotorkan dunia serta melakukan kejahatan dan kekejian belaka.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruangan tengah ia melihat An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang telah dikenalnya sebagai panglima-panglima pembantu An Lu Kui yang dulu sudah pernah dia kalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang berwajah brewok dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima yang mempunyai kepandaian tinggi, akan tetapi yang bagi Kwan Cu bukan apa-apa.

Melihat An Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena tidak saja pangeran botak ini mengingatkan dia akan Kui Lan yang bernasib malang, akan tetapi dia juga teringat akan keluarga Lu yang terbinasa karena kekejaman keluarga An.

"An Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu sambil melayang ke bawah.

Tadi ketika mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan pada balok melintang di bawah genteng. Kini tubuhnya melayang bagaikan seekor garuda menyambar.

An Kong dan dua orang panglima itu terkejut sekali. Pangeran botak ini cepat mencabut cambuk dan kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah merobohkannya dan merampas Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah sekali.

"Bagus, kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas lantai, kebutan dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.

Tapi kali ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji kepandaiannya. Dia datang dengan maksud membunuhi musuh-musuh besar yang membuat Menteri Lu Pin sekeluarga terbinasa secara sia-sia.

Begitu melihat kebutan dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja ia telah melihat dari pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Setelah menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat kepandaian pemuda ini memang tak bisa diukur lagi tingginya. Ia sudah mengetahui semua pokok dasar segala macam serangan ilmu silat. Maka, menghadapi serangan dari An-kong ini, dia telah tahu bagaimana untuk melayaninya.

Dengan tangan kirinya, dia mempergunakan gerak tipu Kong-ciak Siu-po (Burung Merak Sambut Mustika), yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam sekejap mata, sebelum An Kong tahu apa yang telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan kiri Kwan Cu.

Pemuda sakti ini tidak berhenti sampai di situ saja. Dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak lantai, tangan kanannya lantas bergerak melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut, menghantam ke arah kebutan yang memukul dari kanannya.

“Krakk!"

Terdengar kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong, lalu disusul oleh menjeritnya pangeran botak itu yang terlempar ke belakang kemudian jatuh sambil mengerang-erang kesakitan.

"Kau kejam sekali! Ada permusuhan apa di antara kau dan aku maka datang-datang kau menjatuhkan tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia terheran-heran dan sangat kagum, akan tetapi dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang tajam berpengaruh.

"Ingat saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu. Kau sebagai keluarga An harus mati."

Setelah berkata demikian, dari tempat ia berdiri, Kwan Cu mengarahkan pukulan kepada pangeran botak itu. Biar pun jarak antara mereka ada dua tombak, dan tangan Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An Kong, namun pangeran ini menjerit dan tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-in Hoat-sut yang keluar dari pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya!

Untuk sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tidak mampu berkata-kata. Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi, mereka menjadi marah dan segera menyerbu dengan senjata di tangan.

Kwan Cu tentu saja tidak gentar, akan tetapi dia pun tak sudi melayani orang-orang yang tidak ada sangkut paut dengan urusannya. Sekali tubuhnya bergerak, dua orang perwira itu sudah roboh tertotok. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

Memang, dengan penglihatannya yang sudah luar biasa, lagi pula karena dia mempunyai gerakan cepat sekali, Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan mereka sampai dia telah menotok mereka dengan kedua tangannya.

Kwan Cu menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok. Dijambaknya rambutnya dan diberdirikan, lalu dibebaskannya dari totokan.

"Hayo katakan, di mana adanya An Lu Kui?" bentaknya sesudah orang itu terbebas dari totokan.

Cang Kwan gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah memiliki banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang telah menduduki tempat yang cukup tinggi. Akan tetapi dalam tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti seorang bocah yang bodoh dan canggung saja.

"An-ciangkun berada di gedungnya sendiri," jawabnya perlahan.

"Di manakah itu? Hayo kau antar aku!"

Kwan Cu mengempit tubuh yang tinggi besar itu bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah boneka, lalu tubuhnya berkelebat keluar dari ruangan itu terus melayang naik ke atas genteng. Atas petunjuk Cang Kwan, mereka kemudian tiba di atas sebuah gedung yang angker di dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.

"Kau panggil An Lu Kui naik, lekas jika minta nyawamu selamat!" Kwan Cu mengancam perlahan.

Karena sudah tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan lalu berteriak, suaranya parau memecah kesunyian malam.

"An-ciangkun, harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!" teriaknya.

Hening sesaat, kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.

"Eh, eh, ehh, bukankah yang di atas itu Cang-ciangkun? Kenapa tidak turun saja?" itulah suara An Lu Kui, dan tak lama kemudian nampak bayangan orang di bawah genteng.

Kwan Cu melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri kemudian melompat menyusul. Karena tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan Cu mendahului sampai di tanah dan dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan tetapi tendangan ini pun cukup membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.

Ada pun An Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan, menjadi terkejut sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu membuat An Lu Kui roboh terguling dengan tulang iga patah-patah!

"lnilah pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang sudah binasa oleh keluargamu!" kata Kwan Cu.

Melihat panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega dan sekali dia mengerahkan tenaga Pek-in Hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui, panglima itu tewas tanpa banyak penderitaan lagi.

Tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah dikurung oleh empat orang kakek. Tiga orang di antara mereka adalah tosu-tosu yang berjenggot panjang.

Kwan Cu segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu bukan lain adalah Kiam Ki Sianjin yang lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang dulu pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi ialah seorang hwesio berkepala gundul dan bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan tidak kenal pula tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun memiliki kepandaian tinggi.

"Eh, ehh, ehh, dia sudah membunuh An-ciangkunl" Kiam Ki Sianjin berseru kaget. "Anak muda, bukankah engkau adalah murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu Kwan Cu, yang dulu pernah menyerbu di istana?”

Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Sekarang engkau dan kawan-kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?"

Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum sekali melihat sikap pemuda yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.

"Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati khianat ini. Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang."

Sebetulnya Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng Sian-jin, perutnya sudah menjadi panas. Inilah seorang di antara mereka yang mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu.

Maka, seketika itu juga dia memiliki niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia lalu mengikuti empat orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.

Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi. Kwan Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi matanya melirik ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.

"Orang muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?” Kiam Ki Sianjin bertanya setelah mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja bundar yang terukir indah.

"Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan juga An Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu Shan dan para kaki tangannya."

"Hemm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, oleh karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua, tapi sayang sekali masih ada seorang lagi yang sempat melarikan dirinya. Dialah keturunan terakhir dari An Lu Shan."

"Siapakah dia?" Kwan Cu mendesak sebab dia memang amat tertarik mendengar bahwa masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.

“Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan."

"Aku pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.

"Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas semua sampai habis!" kata Kiam Ki Sianjin yang merasa dirinya amat cerdik telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi majikannya!

Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena ia maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini berjumpa dengan Kwan Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa diri amat pandai.

Akan tetapi, alangkah kagetnya pada waktu dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa bergelak.

"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu yang tidak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang semacam kau ini tahu apa akan perjuangan membela rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas rakyat. Tidak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, benar-benar memualkan perutku! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan bila aku telah menyelesaikan tugas-tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!"

Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya. Bukan karena takut terhadap ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang setidaknya menikam ulu hati itu.

"Bangsat bermulut lancang! Kau kira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"

Kwan Cu tertawa mengejek. "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!"

Dia melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. "Pek-eng Sianjin, mengakulah! Apakah dahulu kau ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami kebinasaan?"

"Pinto… (aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup.

Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah merasa gentar sekali.

“Hemm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau mesti mampus! Kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan yang lain-lain!"

"Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau bersikap seakan-akan kau merupakan tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau ini hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi? Ha-ha-ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!"

Ada pun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia sudah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata,

“Anak muda, biar pun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin mencabut pedangnya dan bersikap gagah.

"Nanti dulu, Pek-eng Toyu. Pinto yang menjadi tuan rumah, jadi pinto pula yang berhak memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah.

Dia lalu melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."

Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia sedang menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.

"Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang ingin kau nyanyikan!"

Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan pedang hitamnya, dia pun tak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Karena itu kini dia berlaku cerdik dan hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu-ilmu pukulan yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,

"Kita memang tidak mempunyai alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!"

Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah mempelajari dengan baik cara menggunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba ketika dia tidak bersiap dengan senjata tajam. Dia telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. Dia sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.

Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam pokok dasar ilmu silat yang dia pelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,

"Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!"

Pemuda ini lalu menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"

"Jangan banyak mengobrol, lihat senjata!” Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.

Kwan Cu terkejut. Tidak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain.

Ia cepat melompat untuk menghindarkan diri, tak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja itu sehingga sulit pula bagi Kwan Cu untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya!

Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan bisa melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan bisa digunakan untuk mengatur siasat serangannya!

Selama belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu sungguh-sungguh hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu!

Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi, kiranya tidak akan kalah tinggi oleh tingkat dari kelima tokoh besar, sungguh pun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. Oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya terasa sakit dan penasaran bukan main. Dia prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu semedhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekang-nya.

Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya yang dulu.

Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat menggunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tidak salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini.

Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Dia segera mengerahkan ginkang-nya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu segera mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit!

Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu.

Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga mulai kewalahan. Mejanya tidak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.

"Roboh kau!" seru Kiam Ki Sianjin.

"Sabar, orang tua," jawab Kwan Cu.

Dengan cepat dia menggerakkan dua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Ada pun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.

"Bagus sekali!" tak terasa lagi Kiam Ki Sianjin memuji saking kagumnya melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi dielakkan saja oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu memainkan silat meja yang tadi dimainkannya!

Ilmu silat meja itu merupakan ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini mampu meniru sedemikian baiknya? Apakah di waktu dia berlatih di dalam kamarnya, pemuda ini secara diam-diam mengintainya?

Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, walau pun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kali pun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak menggunakan ginkang-nya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras. Dua meja bertumbukan di udara.

"Krakkk!"

Meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa dua kaki meja yang dipegang oleh kakek ini sudah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga ‘senjata’ itu masih berada di tangannya.

Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. Dia tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu sudah menggunakan tangan kiri memukul meja dan berkat tenaga lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya.

Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih merasa penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia kemudian tersenyum pahit dan berkata,

"Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, pinto minta pengajaran darimu."

Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan juga tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas."

Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek, "Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!"

Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Dia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak mampu merobohkan pemuda ini, apa lagi dia. Tanpa malu-malu lagi dia lalu berkata kepada Kwan Cu,

"Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau telah berlaku ngawur saja bila menantang pinto. Ketahuilah bahwa sebetulnya pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kau boleh bertanya kepada Kiam Ki Sianjin atau kepada siapa pun juga."

Kwan Cu merasa ragu-ragu. Tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar tidak berdosa.

"Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"

"Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar. Akan tetapi pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin.

Sebetulnya, tosu ini walau pun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut membunuh Ang-bin Sin-kai. Namun sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.

"Betapa pun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu," akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.

Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik.

Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, kelak masih ada waktu untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata,

"Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan dan nama baik pinto."

Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang telah dia ketahui kualitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biar pun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia sudah memberi tamparan kepada batinnya.

"Pek-eng Sianjin, baik sekali kau tadi mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau juga tidak akan mampu dan berani mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu." Kembali Kwan Cu tertawa.

Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora kemarahannya. Ia merasa telah dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dia berkata dengan mata bernyala-nyala,

"Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu ini, aku hendak menantangmu untuk mengadu kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san. Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"

Kwan Cu tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.

Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya kemudian menghadapinya sambil tersenyum.

"Perlahan dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda mempunyai kepandaian tinggi dan watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?"

Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek bundar, bibirnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat dari pada kain mahal dan amat mewah. Sinar matanya memandang rendah sekali, karena memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya apa bila pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

"Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak berbicara kepadaku?" jawab Kwan Cu acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.

Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata, "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai seorang tamu, telah semestinya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini. Telah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin Sin-kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia sudah keburu meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."

Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia banyak mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata,

"Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai. Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apa kau berani menghadapinya?"

Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi hwesio itu, tentu saja Kwan Cu akan menyatakan tidak sudi, sebab pemuda ini memang tidak ingin bertempur dengan orang-orang yang tak ada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima!

"Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan menatap tajam kepada Bian Ti Hosiang.

Hwesio ini mencabut pedangnya sambil berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar girang dapat mencoba ilmu kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah pedangmu yang kau sembunyikan di balik jubahmu itu."

Kwan Cu sangat terkejut. Dia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya pada waktu menghadapi musuh-musuh besarnya.

Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih terlampau rendah baginya. Bila kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam.

Kini hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu menandakan bahwa mata hwesio ini amat tajam. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini sedang berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Karena itu dia cepat menjura sambil tertawa.

“Ahh, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Hosiang Locianpwe dari Bu-tong-pai. Kiam-hoat (ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu pedang lain? Apa lagi antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini."

Kwan Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini tidak dirampas oleh bajak sungai.

Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda sekali dengan kata-kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi.

Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini akan dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang suling bambu! Dia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Ki Sianjin segera tersenyum berkata,

"Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"

Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Apa bila dia bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk menimbulkan pengaruh lweekang-nya,

"Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!"

Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-kiam Kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang lihai.

Namun siasat ini tidak mempan sama sekali terhadap Kwan Cu karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawannya, sungguh pun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni mempergunakan Tian-kiam Kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya.

Pemuda yang bergerak belakangan ini bahkan jauh lebih cepat dari pada dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dahulu digerakkan menyamping membabat pedang!

Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu pada saat pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.....

Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan Kwan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Akan tetapi dalam pertemuan senjata ini, Kwan Cu sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekang-nya. Karena itu dia menjadi lebih tabah menghadapi pedang lawan.

Bian Ti Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu memiliki gerak tipu yang sama atau hampir sama dengan Tian-kiam Kiat-ciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka dia kemudian memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang Hoa-khai Tiauw-yang (Bunga Mekar Menghadap Matahari).

Ilmu pedang ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai Tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung yang mengitari tubuh Kwan Cu.

Untuk sejenak Kwan Cu melengak. Tidak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai memang benar-benar hebat bukan main. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkang-nya, bergerak memutar menurut gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil kadang-kadang menyentuh pedang itu apa bila terlalu mendekati tubuhnya.

Juga dengan gerakan Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu pedang yang amat indah itu.

Setelah menghadapi belasan jurus serangan, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera dapat mengenal ‘jiwa’ atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh pendeta itu. Pokok dasar ilmu pedang itu adalah berdasarkan kedudukan Sha-kak-pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan gambar-gambar di dinding goa Pulau Pek-hio-to yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga.

Dengan girang dia lalu memuji, "Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!"

Biar pun mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan hwesio itu dengan ilmu pedang yang sama persis seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang pada saat itu!

Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak macamnya jurus-jurus ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia menggunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh kakek ini.

Muka Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Dia segera mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!

"Ehhh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?" tanyanya tanpa menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu.

Kwan Cu cepat mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil menjawab,

"Gerakan ilmu pedang tidak hanya dimonopoli oleh Bu-tong-pai sendiri. Siapa pun boleh saja menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"

Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tiba mengubah ilmu silatnya dan sekarang sulingnya diputar cepat sekali.

"Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kau pelajari dari Ang-bin Sin-kai?"

Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi tubuhnya karena tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa dingin mengurungnya dari semua penjuru.

"Inilah ilmu pedang dari mendiang suhu!" kata Kwan Cu.

Memang benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dahulu pernah dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia mempunyai kepandaian asli dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, ilmu pedang itu berubah luar biasa sekali.

Ang-bin Sin-kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai Kiam-hoat, tentu akan terheran-heran dan kagum sekali. Dia sendiri tidak akan sanggup memainkan ilmu pedang itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu.

Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapa pun sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, maka semakin kacaulah ilmu silat itu.

Sebaliknya, biar pun hanya mainkan ilmu silat sederhana saja, kalau yang memainkan itu telah mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang sempurna, ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat bukan main. Apa lagi Hun-khai Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan, namun diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh besar dari timur yang sudah amat terkenal namanya.

Setelah Kwan Cu membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk ‘memperkenalkan’ kelihaian Ang-bin Sin-kai, dia lalu mempergunakan sulingnya menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu sehingga mendadak hwesio itu melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak terlepas!

Dengan lweekang-nya yang tinggi, dia segera dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia menjadi merah mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar tidak mempunyai keinginan untuk bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas

"Omitohud! Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng sangat kagum dan takluk. Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah mempunyai kepandaian yang begitu tinggi, Lu-sicu," katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.

"Cianpwe terlalu memuji. Apa bila tadi Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boanpwe sanggup menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?” jawab Kwan Cu. Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur serta baik, tentu saja dia tidak berani berlaku kasar.

Tiba-tiba tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.

"Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi pinto untuk beberapa belas jurus.”

Melihat cara tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang ahli lweekang yang sekaligus telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,

"Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?" dia tidak mau langsung bertanya kepada tosu itu, karena terhadap sikap yang kasar dan memandang rendah, Kwan Cu juga siap mengimbanginya.

"Lu-sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai."

Kwan Cu terkejut. Dia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan Kim-san-pai. "Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai adalah seorang tua yang bijaksana dan patut menjadi locianpwe, tak tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?"

Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi dongkol sekali. Dia pun lalu membentak keras, "Bin Kong Siansu adalah suheng-ku. Aku lihat tadi kepandaianmu mengandalkan ginkang yang tinggi, karena itu marilah kita bermain-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji apakah kau mampu menandingi ilmu silat dari Kim-san-pai."

"Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri. Majulah!” Kwan Cu menantang. Cara dia bicara berbeda dengan ketika dia menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap tosu ini.

Bin Hong Siansu bertubuh kurus tinggi dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum mengejek dia segera memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di sisi pinggang. Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu Silat Rajawali Hitam).

Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini, akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lantas meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu!

Ketika melihat sikap pemuda ini, Bin Hong Siansu menjadi amat mendongkol dan gemas. Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat berbahaya. Lawan yang menghadapi dengan kuda-kuda biasa, betapa pun tangguhnya, akan dapat dia serang secara hebat dan jarang sekali serangannya ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.

"Awas batok kepalamu!" bentaknya keras.

Tiba-tiba tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala Kwan Cu. Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama, kepalan tangan kananlah yang menjadi serangan penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu dan siap dibuka untuk mencengkeram apa bila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!

Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepandaian tosu ini cukup tinggi, oleh karena itu dia tidak berani berlaku gegabah. Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya saja sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat dan cepat!

Kwan Cu terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, akan tetapi dia tidak gentar. Dia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa membalas serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari. Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan.

Namun jarak mereka masih saja sama, belum pernah satu kali pun serangan tosu itu bisa mengenai tubuh Kwan Cu. Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apa bila melihat mereka berdua, tentu mengira bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani serangan.

Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena di dalam gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi dari pada ginkang Bin Hong Siansu. Meski pun pemuda itu meloncat sambil mundur atau menyamping, akan tetapi tosu itu yang meloncat ke depan ternyata tidak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh dan luar biasa.

Bin Hong Siansu memiliki julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa ginkang-nya luar biasa tingginya. Namun menghadapi pemuda itu, Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!

"Bocah siluman, kau pengecut!" mendadak Bin Hong Siansu menghentikan serangannya dan tidak mengejar lagi. "Bila kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan hanya melarikan diri terus!"

Kwan Cu tersenyum mengejek. “Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin aku membalas dan menyambut seranganmu? Baik, terimalah!"

Pemuda itu lalu mulai menyerang Bin Hong Siansu. Kini dia tidak mau meniru-niru lagi, melainkan cepat menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut!

Melihat pukulan tangan kanan Kwan Cu yang datangnya sangat lambat dan merupakan ilmu pukulan biasa saja, Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang dia belum pernah melihat Pek-in Hoat-sut, bahkan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw juga jarang atau belum pernah melihat ilmu silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasakan kelihaian ilmu pukulan itu.

Melihat datangnya pukulan yang lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah pada urat nadi di pergelangan tangan lawan.

"Brettt…!"

Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur. Robekan kain beterbangan ke sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang telah mengebulkan uap putih.

Bukan kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum lagi menyentuh tangan pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek?

"Ilmu siluman…!" teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya.

Akan tetapi, Kwan Cu sudah menjadi amat marah melihat kesombongan dan mendengar hinaan tosu itu. Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu dari Kong-ciak Sin-na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, ada pun tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin Hong Siansu.

Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit,

"Aduuuhhh… kurang ajar kau...!"

Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang sudah terjadi? Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu sudah mencengkeram dan mencabut sebagian dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu!

Biar pun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, akan tetapi tosu itu adalah seorang yang bisa melihat keadaan. Jika tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya bukan mencabut jenggot, melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat, dia berkata,

"Kau sudah menghinaku, lain kali Kim-san-pai pasti akan mencarimu!" Sesudah berkata demikian, tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata,

“Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak Tai-hang-san."

Sekali lagi tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.

Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara tenang, "Pinceng juga masih punya urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-hang-san pada waktu yang sudah ditentukan."

Hwesio ini lantas berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda, pinceng sudah mendapat pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!" Kemudian ia pun melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya.

Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, hati Kwan Cu menjadi tertarik. "Kiam Ki Sianjin, ada apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima belas?"

Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, tetapi kemudian dia tersenyum dan berkata,

"Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."

“Musyawarah tentang apa?"

"Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka yang membantu pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau hendak mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan Toat-beng Hui-houw? Nah, di puncak itulah kau dengan mudah akan dapat menjumpai mereka."

Berdebar hati Kwan Cu. Dia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.

"Terima kasih," katanya sambil bertindak pergi, “juga terima kasih atas keteranganmu tentang keturunan An Lu Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."

Kiam Ki Sianjin tertawa senang. "Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau juga sudah berjasa untukku."

Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu segera melompat dan ketika dia sampai di tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong…..

********************

Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di kota raja dari pada Kwan Cu. Akan tetapi gadis ini tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya sebagai mana sudah dipesankan oleh Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-hati.

Setelah dia kehilangan pedangnya, gadis ini ingin mencari senjata lebih dulu, akan tetapi bukan sembarang pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam dia telah menggeledah rumah-rumah bangsawan di kota raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang mempunyai pedang pusaka. Usahanya sia-sia belaka dan sampai lima hari ia tidak berhasil.

Hatinya sangat kesal dan pada hari ke lima itu, dia memasuki sebuah restoran besar. Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua yang senang mengobrol mengenai keadaan di kota raja, terutama sekali mengenai diri keluarga istana.

Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan sudah tewas dan kini yang menjadi orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata pusaka dari Kerajaan Tang.

Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri sebilah pedang dari gudang senjata. Biar pun pedang ini bukan pusaka yang ampuh, akan tetapi merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat dari pada logam putih seperti perak.

Dengan amat girang ia lalu membawa pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai besi pembuat pedang untuk membeli sarung pedang baru. Dia bukanlah seorang bodoh dan tidak nanti dia mau menggunakan sarung pedang aslinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka. Setelah dimasukkan dalam sarung pedang baru, dia pun berani menggantungkan pedang itu di pinggangnya.

Pada keesokan harinya, kembali dia mendatangi rumah makan itu untuk mendengarkan berita. Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang keributan di istana karena ada pedang yang tercuri.

Pelayan itu tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang gadis pendekar yang sikapnya halus serta sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Lagi pula, tentang pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.

"Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal jendela dan pintunya tak terbuka." Kemudian disambungnya dengan suara berbisik-bisik. "Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat digunakan oleh pemimpin-pemimpin pejuang rakyat!"

Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa biar pun bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini bersimpati terhadap perjuangan rakyat!

Tiba-tiba terdengar suara orang di pintu luar.

"He, pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!"

Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang baru datang itu bukanlah tamu kaya atau pun seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis. Celananya dipenuhi tambal-tambalan, bajunya sudah butut sekali, rambutnya dipotong pendek sehingga berdiri bagaikan rambut landak, begitu pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarum-jarum.

Apa bila pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang paling enak, adalah Sui Ceng yang lalu tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali.

Akan tetapi rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan dagunya. Melihat cambang seperti itu dia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan tetapi kedua mata pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.

Pelayan tua itu, tepat seperti dugaan Sui Ceng, merupakan seorang yang simpati kepada perjuangan rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.

"Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untuk Sicu. Perlukah aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal, seguci harganya...”

"Tak peduli berapa harganya, keluarkan saja. Ini cukup untuk membayarnya?" Pemuda itu lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya hampir sama dengan tiga jari tangan.

Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri-seri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyaplah kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,

"Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum hanya memancing datangnya pencopet dan perampok."

Pemuda itu menyimpan emasnya dan tersenyum menyindir. "Segala macam pencopet, maling dan perampok kecil, siapakah yang takut? Nona itu biar pun hanya seorang gadis, tidak takut rampok, apa lagi aku seorang jantan!" katanya sambil mengerling seleretan ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi.

Sui Ceng mengerutkan kening. Tadinya dia mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tak jadi marah dan perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini.

Tidak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti pengemis itu segera makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani tamu-tamu lain yang duduk pada meja yang jauh dari tempat itu.

Sambil makan minum, pemuda pengemis itu mengegerutu seorang diri,

"Tunggulah saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, pasti aku akan menenggak darahmu seperti ini!" Ia minum arak dari cawannya. "Aku akan menusuk matamu seperti ini!" Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu dimasukkan ke dalam mulut.

Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar. Bukankah yang dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu?

Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkan restoran, gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat pemuda itu menuju ke luar kota raja melalui pintu barat dan segera berjalan masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir jalan.

Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda ini masuk, para pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda itu mengangguk ke kanan kiri, lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang emasnya dan melemparkan uang itu kepada mereka. Para pengemis lalu membagi rata uang itu dengan wajah girang.

"Hmm, siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia tadi mengancam Kwan Cu? Aku harus mengawasi orang ini," pikir Sui Ceng.

Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Dia sudah mendapatkan pedang yang cukup lumayan, akan tetapi karena ia amat tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda maksudnya untuk memasuki istana. Dia pun sudah mendengar bahwa keluarga An Lu Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja. Cepat-cepat dia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan berjalan dengan gagahnya ke arah kota raja, lalu langsung menuju ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh hangat.

Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.

"Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya sudah dibunuh orang!"

Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya. "Kau maksudkan An Lu Kui dan An Kong?"

Kakek itu mengangguk-angguk. "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain kita bisa celaka."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa. Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.

"Anjing-anjing penjilat mampus! Ha-ha-ha-ha, kalau daging mereka itu dimasak, biar pun semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha-ha-ha!"

Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran itu. Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah rumah yang tidak berjauhan dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, cepat dia mengikutinya dari jauh.

Pemuda itu berjalan terus, menuju ke timur dan setelah sampai di depan sebuah rumah gedung yang sangat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri!

Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.

"Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo pergi sebelum kami menyeretmu keluar!"

Pengemis muda itu tertawa bergelak. "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!"

Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, hanya mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras.

Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah melayang naik ke atas genteng. Dia hendak mengintai apa yang akan terjadi di rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian pengemis muda itu yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi besar itu!

"Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"

Tidak lama kemudian Sui Ceng melihat ada dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua jurusan berbeda. Yang pertama adalah seorang pemuda gagah dan tampan yang datang dari sebelah kiri rumah. Kedatangannya amat mencurigakan sebab pemuda ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah! Agaknya, seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ.

Orang ke dua adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya besar dan sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang pelayan yang jalan terpincang-pincang.

Pada saat itu terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan, kemudian dengan tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar.

Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah sangat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang amat tinggi itu.

"Hemm, inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?!" bentak pemuda yang bertubuh gagah.

Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah. Mereka saling pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.

"Ha-ha-ha, kaukah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga sendiri dan pantat dari bangsat penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!"

Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.

"Ha-ha, tepat sekali makian itu...," katanya perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah berhadapan, mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan itu.

"Bangsat busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong? Kau sudah bosan hidup agaknya!"

"Kau mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku mendengar tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi sebagai keturunan terakhir bukannya kau bersakit hati terhadap penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!" kata pemuda pengemis itu yang bernama Han Le.

"Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi murid jembel itu. Agaknya dia sudah memberi pelajaran kepadamu bagaimana caranya menjadi jembel busuk!" Lu Thong memaki lalu menyerang dengan hebatnya.

Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali. Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin Sin-kai, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), segera dia menggunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai.

Han Le cepat mengelak sambil memaki, "Berani kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng? Sungguh tidak tahu malu!" Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya.

Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka berimbang, demikian pula tenaga dan kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan tiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat merasakan sambaran angin pukulan yang dahsyat.

Hati Sui Ceng berdebar-debar. Tanpa sengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong mau pun Han Le sudah mewarisi seluruh kepandaian guru mereka sehingga mereka itu kini seolah-olah mewakili Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan pertempuran-pertempuran antara dua orang kakek itu yang dahulu sering kali dilakukan, akan tetapi keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah.

Sayangnya, akhirnya Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas karena keroyokan. Apa bila hanya Jeng-kin-jiu yang menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.

Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.

Dari atas genteng, Sui Ceng tidak ada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang jembel itu adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan tenaga dalam yang dahsyat.

Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang amat kuat, dan ia merupakan seorang ahli gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia bisa mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan kehalusan dan kelemasan lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.

Akan tetapi, biar pun kedua orang muda itu belum dikenalnya, tetapi sekali mendengar percakapan antara mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu. Betapa tidak? Han Le adalah murid dari Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan rakyat.

Ada pun Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu yang sudah membantu penjajah. Apa lagi kalau diingat bahwa Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan penjajah.

Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan sekarang gerakannya amat aneh dan sulit diduga terlebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya yang sangat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main mundur terus.

Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan memuji,

"Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu selama hidup belum pernah aku melihatnya! Saudara Sin-kai (pengemis sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu"

Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan kedua tangan ke depan sambil membentak, "Hah!"

Kedua tangan itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam sinkang yang luar biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali.

Han Le merasa betapa dari kedua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang mendorongnya dengan amat hebat. Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biar pun dia dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat dia terlempar sampai tiga tombak lebih!

Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbarengan dengan Sui Ceng. Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi! Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor burung garuda, memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak!

Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus bergulingan sehingga terhindar dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia melompat cepat dan dengan marah membentak,

"Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kau kira aku takut. Tunggu aku mengambil senjataku!"

Setelah berkata demikian, Lu Thong lari memasuki gedungnya dan tidak lama kemudian dia telah keluar lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan berat.

Sementara itu, dengan muka terheran-heran Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan itu. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat tinggi pula. Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di dalam restoran, adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi menyerang Lu Thong.

Ada pun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling memandang, agaknya mereka seperti pernah saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bila mana. Sebelum mereka keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia lalu menyerang Han Le.

Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat pinggangnya yang tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang pedang yang berkilauan sinarnya. Ternyata bahwa dia telah membawa sebilah po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju luarnya.

Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru dari pada tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong menunjukkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali.

Sungguh pun permainan pedang Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, akan tetapi pertahanan Lu Thong tidak dapat dibobolkan. Berkali-kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-khai Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan setiap kali pemuda jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri.

la benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan membuat lingkaran-lingkaran besar kecil, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang sangat kuat dan sinar pedangnya menyilaukan mata. Akan tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu pedangnya yang aneh ini dan kembali lagi melawan dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan dia memiliki semacam ilmu pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal benar.

Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui Ceng, terus memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar-debar dia melangkah maju, menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,

"Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona adalah nona Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li?”

Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi dia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,

"Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li? Siapakah saudara?"

Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak semakin tampan.

"Sekali bertemu aku sudah menduga! Apa lagi ketika menyaksikan cara kau menyerang bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng…”

Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Dia hanya dapat membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata, “Ah… ahhh…"

Bagaimana dia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah tunangannya itu!

Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat mencari jalan untuk menghilangkan perasaan yang tidak enak ini. Katanya dengan wajah berseri,

"Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong. Mari kita bertiga berlomba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dahulu!" Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak pendek.

Sui Ceng kembali berani mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan orang yang tidak menyenangkan hati.

Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula. Sambil mengangguk dia lalu mencabut pedangnya. Keduanya segera melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le.

Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah tinggi bukan main, tidak kalah dengan tingkat kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang. Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali.

Menghadapi pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apa lagi kini ditambah dengan pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapa pun tangguh ilmu toyanya, dia lantas terdesak hebat sekali.

"Kalian curang! Main keroyokan!" bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya dengan nekat.

"Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tidak perlu menggunakan aturan lagi. Kau lebih jahat dari pada anjing penjilat atau ular!" Kun Beng berseru sambil mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan pedangnya.

"Traaang! Traaang!"

Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng, akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya sudah terlepas dari tangannya. Tepat pada saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong pun terlempar dan roboh dengan sambungan lutut terlepas!

Lu Thong tak berdaya lagi. Ia meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.

"Tahan dulu! Jangan bunuh dia!!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru.

Nampaklah bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Lu Thong sudah berdiri seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.

Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, dia diam saja karena merasa malu untuk menegur pemuda ini, apa lagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan patut dibunuh itu.

"Hemm, siapakah kau dan kenapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat ini?” tanya Han Le penasaran.

Sepasang matanya yang amat tajam menentang pandang mata Kwan Cu. Akan tetapi yang dipandang tidak menjadi gentar, bahkan dengan suara bersungguh-sungguh dan kening dikerutkan dia berkata,

"Aku tahu bahwa sesungguhnya kalian berhak membunuhnya, karena dia memang telah tersesat dan melakukan hal yang amat tidak patut. Aku percaya bahwa kalian hendak membunuh dia karena kalian adalah pejuang-pejuang rakyat yang membenci penjajah yang menguasai tanan air kita. Akan tetapi ada satu hal yang kuminta kalian ingat, yakni bahwa pemuda ini adalah keturunan terakhir dari pada Menteri Lu Pin!"

"Kau mengoceh! Justru karena dia keturunan Menteri Lu Pin maka harus dibinasakan!" seru Han Le yang sudah marah sekali.

Pedangnya berkelebat membacok ke arah Lu Thong.....

Akan tetapi tiba-tiba saja dia merasa ada sambaran angin dari sisinya dan pedang serta tangannya yang sedang menyerang Lu Thong itu terpental ke samping. Pemuda jembel ini marah bukan main. Ia cepat melompat dan membalikkan tubuh menghadapi Kwan Cu.

"Kau agaknya juga kaki tangan penjajah, patut dibikin mampus lebih dahulu!" Segera dia menyerang dengan pedangnya, mainkan ilmu Hun-khai Kiam-hoat yang amat berbahaya.

Kwan Cu cepat mengelak dan tertegun menyaksikan ilmu pedang pemuda jembel yang gagah perkasa ini. Oleh karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-khai Kiam-hoat yang dikenalnya baik, ia sengaja mengelak terus sambil tetap memperhatikan gerakan-gerakan pemuda itu.

Ada pun Sui Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai, kenapa dengan Kwan Cu mereka tak saling mengenal? Bukankah Kwan Cu juga murid Ang-bin Sin-kai? Gadis ini benar-benar merasa heran sehingga ia hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka yang sedang bertempur.

Kun Beng juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong itu, maka dengan tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui Ceng.

"Ceng-moi, biar aku binasakan dahulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le membikin mampus pengkhianat yang baru datang." Cepat tombaknya bergerak menusuk dada Lu Thong.

"Tranggg…!"

Tombaknya terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan muka pucat dan mata terbelalak.

"Ceng-moi, mengapa kau menangkis tombakku? Apa artinya ini?"

"Dia itu adalah Lu Kwan Cu, seorang murid dari Ang-bin Sin-kai, bukan pengkhianat. Kita dengarkan lebih dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita membunuh pengkhianat ini.”

Kun Beng terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan kosong selalu mengelakkan diri dari serangan pedang Han Le.

"Lu Kwan Cu bocah gundul dahulu itu...?" tanyanya seperti kepada diri sendiri.

Sementara itu, Kwan Cu menjadi makin terheran-heran karena pada saat Han Le yang pandai mainkan Hun-khai Kiam-hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba Han Le mengubah ilmu pedangnya, mengeluarkan ilmu pedang yang aneh bukan main, yakni dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan pedangnya, mengurung tubuh Kwan Cu.

"Heeeeei...! Berhenti dulu! Siapakah kau yang sanggup mainkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat dan ilmu pedang menurut Ilmu Silat Thian-te Sin-coan (Lingkaran Sakti Langit Bumi) ini?"

Han Le juga terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu panas perutnya karena sampai begitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang bertangan kosong itu. Tanpa menjawab dia mempercepat gerakan pedangnya.

Akan tetapi dia terkejut sekali karena lawannya lalu bergerak mengikuti serangannya dan tiba-tiba saja lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti betul oleh lawannya, lalu tahu-tahu gagang pedangnya kena dicengkeram dan dirampas!

"Nanti dulu, kau siapakah? Dan dari mana kau bisa mendapatkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat? Dari mana pula engkau dapat memainkan ilmu pedang berdasarkan Thian-te Sin-coan? Hayo jawab!" Muka Kwan Cu menjadi tegang.

Han Le kaget bukan kepalang melihat betapa setelah membalas serangan-serangannya, lawannya dengan satu kali gebrakan saja telah berhasil merampas pedangnya. Ia masih penasaran, maka cepat tangan kanannya memukul dada Kwan Cu. Pukulan ini dahsyat sekali dan hawa pukulan ini pun menurut petunjuk dari pada ukiran-ukiran di dalam goa Pulau Pek-hio-to! Kwan Cu cepat melompat ke belakang beberapa kaki jauhnya.

"Kau pernah apakah dengan suhu Ang-bin Sin-kai? Dan bagaimana kau bisa memainkan ilmu silat yang terdapat di Pulau Pek-hio-to?" Kembali Kwan Cu mendesak.

Mendengar ini Han Le menjadi pucat. Dia berdiri seperti patung dengan mata terbelalak.

"Kau... kau siapakah?”

"Aku murid Ang-bin Sin-kai, Lu Kwan Cu namaku."

Han Le mengeluarkan teriakan girang lalu dia menubruk dan berlutut di depan Kwan Cu, memeluk kedua kaki pemuda itu.

"Aduh, Suheng! Suheng Lu Kwan Cu yang sudah lama kucari-cari! Tidak kusangka dapat bertemu di sini. Harap Suheng mengampunkan kekurang ajaranku," katanya.

Kwan Cu memegang kedua pundak Han Le dan sekali dia menggerakkan tangannya, meski pun Han Le sudah mengerahkan lweekang-nya, tetap saja pemuda jembel ini kena ditarik naik dan terpaksa berdiri.

"Hayo bilang, kau siapa? Jangan main-main!" seru Kwan Cu.

"Siauwte adalah murid Ang-bin Sin-kai pula. Setelah Suheng pergi, suhu mengambil aku bocah sengsara sebagai murid, kemudian suhu yang menyuruh aku menyusul Suheng ke Pek-hio-to!"

Kwan Cu tercengang dan tak dapat berkata-kata saking herannya.

"Kwan Cu, apa kau sudah lupa pula kepadaku?" tiba-tiba pemuda tampan yang dia lihat berdiri di dekat Sui Ceng berkata. "Aku adalah The Kun Beng, murid Pak-lo-sian!"

Air muka Kwan Cu kembali berubah dan dia memandang kepada Sui Ceng, hatinya tidak karuan rasanya.

"Dia ini Bun Sui Ceng yang dulu itu, dia tunanganku," Kun Beng memperkenalkan.

"Koko !" Sui Ceng menegur tunangannya itu.

Hati Kwan Cu terpukul. Panggilan gadis itu terhadap Kun Beng dengan sebutan ‘koko’ terdengar begitu manis dan mesra, namun sangat menusuk jantungnya. Dia memandang kepada Kun Beng dengan wajah dingin karena dia teringat akan nasib Gouw Kui Lan.

Tanpa berkata sesuatu Kwan Cu menghampiri Lu Thong, lalu dia segera mengetuk dan mengurut kaki kakak angkatnya ini sehingga lutut yang tadi terlepas tersambung kembali.

"Suheng, mengapa kau mencegah siauwte membunuhnya?" Han Le bertanya.

"Dia ini patut dikasihani. Seluruh keluarganya sudah musnah, dan dia tersesat karena berada di lingkungan orang-orang yang berhati khianat. Lu Thong, apakah kau sekarang sudah insyaf? Lihatlah mereka ini, mereka ini adalah orang-orang muda yang membantu rakyat. Kau sebagai seorang pemuda Han yang mempunyai kepandaian tinggi, mengapa kau tidak dapat mencontoh mereka? Mengapa kau tidak mau menyumbangkan tenaga untuk tanah air dan bangsa? Ingatlah, kongkong Lu Pin sudah meninggal dunia dalam keadaan amat mengenaskan. Seluruh keluargamu telah terbinasa pula. Tak ingatkah kau kepada ayah bundamu yang menjadi korban jahanam An Lu Shan?”

Menitik air mata dari kedua mata Lu Thong.

"Aku... tadinya aku bermaksud hendak mencapai kedudukan tinggi, sebagai kaisar akan lebih mudah bagiku membalas musuh-musuhku… menjunjung tinggi nama keluarga, dan mencuci noda mereka yang dianggap sebagai pemberontak..."

"Kau keliru! Mereka bukan pemberontak, akan tetapi mereka tewas sebagai pahlawan-pahlawan bangsa! Dan ke mana larinya cita-citamu yang terlalu muluk itu? An Lu Shan terbunuh oleh puteranya sendiri, kemudian puteranya terbunuh pula oleh Si Su Beng. Dan kau... apakah kau kira akan dapat mengharapkan kurnia dari Si Su Beng?"

Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang dan terdengar Sui Ceng berseru,

"Pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal kaisar) datang menyerbu!"

Empat orang muda itu bersiap-siap. Sui Ceng melintangkan pedangnya di depan dada. Han Le memegang kembali pedangnya yang dia terima dari Kwan Cu. Kun Beng juga memegang tombaknya erat-erat dan Kwan Cu bertolak pinggang dengan kedua matanya yang bersinar-sinar.

Sesudah menepuk-nepuk lututnya dan merasa bahwa lututnya dapat digerakkan biar pun masih agak sakit, Lu Thong lalu mengambil toyanya yang tadi terlepas dari tangannya.

"Kau mau apa?!" bentak Sui sambil menodongkan pedangnya di dada Lu Thong.

Akan tetapi yang ditodong tidak menghiraukannya dan masih terus mengambil toyanya. "Hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan di sini," katanya dengan suara dingin dan matanya mengeluarkan sinar yang amat berlainan dari tadi.

"Lu Thong, keturunan pemberontak, menyerahlah! Kami datang atas nama kaisar untuk menangkapmu!" terdengar teriakan komandan barisan Gi-lim-kun yang sudah datang di luar pekarangan rumahnya.

"Apa kataku, Lu Thong? Kaisar begitukah yang hendak kau bela dengan mempertaruhkan nyawa bangsamu?" kata Kwan Cu perlahan, akan tetapi cukup membakar isi dada Lu Thong.

Dengan muka merah dan mata melotot, toya dipegang erat-erat, Lu Thong lalu berteriak kepada barisan yang terdiri dari tiga puluh orang itu,

"Anjing-anjing keparat! Dengarlah baik-baik. Sekarang baru terbuka mataku dan kulihat kepalamu semua bukan kepala manusia, melainkan kepala anjing-anjing penjilat. Dan aku Lu Thong keturunan Lu Pin dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, mulai sekarang tugasku ialah menghancurkan kepala-kepala anjing!" Sambil berkata demikian, dia memutar toyanya dan berlari terpincang-pincang menyerbu barisan Gi-lim-kun.

Kwan Cu segera menyusulnya, setelah melirik ke arah Sui Ceng, Han Le, dan Kun Beng dengan pandang mata penuh arti.

Ketiga orang muda ini saling pandang dan diam-diam mereka membenarkan pembelaan Kwan Cu terhadap Lu Thong tadi, karena sekarang ternyata Lu Thong yang khianat telah sekaligus berubah menjadi Lu Thong yang mengandung penuh dendam terhadap kaum penjajah yang sudah memusnahkan seluruh keluarga! Mereka pun lalu berlari menyusul kemudian memutar senjata mengamuk dan menyerbu barisan Gi-lim-kun!

Mana bisa barisan Gi-lim-kun kuat menghadapi lima orang muda ini? Mereka ini adalah orang-orang muda murid tokoh-tokoh yang sakti, yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.

Biar pun barisan Gi-lim-kun terdiri dari ahli-ahli silat yang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan lima orang muda yang sakti ini, sekejap saja mereka menjadi kocar-kacir. Mayat bergelimpangan di sana sini, sungguh amat mengerikan.

Yang paling hebat amukannya adalah Lu Thong. Toyanya menyambar-nyambar dengan ganas dan sedikitnya ada lima orang anggota Gi-lim-kun yang pecah kepalanya terkena pukulan toyanya!

Di antara mereka semua, hanya Kwan Cu seorang yang lain lagi sepak terjangnya. Dia tidak tega menjadi pembunuh para alat negeri ini. Entah karena terdorong oleh keinginan mendapatkan harta, atau pun terkena tipuan dan bujukan maka mereka menjadi barisan Gi-lim-kun. Oleh karena itu, pemuda ini hanya bergerak dengan tangan kosong saja dan dia cukup puas asalkan dapat menotok roboh mereka itu tanpa membahayakan nyawa mereka.

Han Le agaknya juga tidak begitu kejam sebab pedangnya hanya merobohkan orang dan melukainya tanpa mematikan lawan. Sebaliknya, Sui Ceng benar-benar seperti gurunya. Setiap kali pedangnya bergerak, seorang anggota Gi-lim-kun menjerit kesakitan dengan lengan putus, kaki putus, bahkan ada yang lehernya putus! Demikian pula Kun Beng. Dia juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini tidak seganas Sui Ceng atau Lu Thong.

Akan tetapi, lima orang jago muda ini mengamuk di tengah-tengah kota raja dan hal ini bukanlah merupakan pekerjaan main-main yang mudah saja. Tak lama kemudian, di situ telah datang barisan baru yang jauh lebih kuat dari pada barisan Gi-lim-kun yang sudah dapat diobrak-abrik, sebab barisan ini adalah barisan Si-wi, yaitu pengawal pribadi kaisar dan dipimpin pula oleh Kiam Ki Sianjin bersama panglima-panglima yang berkepandaian tinggi!

Pertempuran berjalan semakin hebat. Kwan Cu mengetahui bahwa bagi keempat orang kawannya, Kiam Ki Sianjin terlampau tangguh. Maka dia segera mencabut sulingnya dan menghadapi kakek ini. Akan tetapi tetap saja empat orang kawannya menjadi terkurung seperti tadi, dan terpaksa bersilat cepat untuk melindungi tubuh dari pada hujan senjata lawan yang amat banyak jumlahnya itu.

Akan tetapi, sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka otomatis tahu bagaimana caranya untuk melayani keroyokan yang demikian banyaknya. Tanpa ada yang mengomando, mereka otomatis berkelahi berdekatan satu sama lain, bahkan lalu membuat lingkaran dengan punggung dihadapkan kepada kawan sendiri sehingga mereka merupakan lingkaran segi empat yang tak dapat diserang dari belakang! Dengan jalan ini, Lu Thong, Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le mampu mempertahankan diri dengan kuatnya, bahkan kadang-kadang terdengar pekik orang dan terjungkalnya seorang anggota Si-wi.

Namun, Sui Ceng amat kecewa tidak melihat Kwan Cu berada di lingkaran mereka itu. Hal ini adalah karena Kwan Cu sengaja menghadapi Kiam Ki Sianjin, mencegah kakek ini ikut menyerang empat orang kawannya.

Sui Ceng mengira bahwa karena kepandaiannya tidak tinggi, Kwan Cu sudah tertawan atau melarikan diri. Dia menggigit bibir dengan gemas kalau memikirkan bahwa pemuda itu sudah melarikan diri meninggalkan kawan-kawannya.

Dia tidak tahu bahwa kepandaian Kwan Cu sudah tinggi sekali. Kemenangan Kwan Cu atas Han Le tadi tidak membikin dia merasa heran karena sebagai murid-murid seguru, tentu saja Kwan Cu sudah mengetahui semua cara bersilat dari Han Le sehingga dapat memenangkannya!

Demikian pula Kun Beng yang sama sekali tidak mengira bahwa Kwan Cu mempunyai kepandaian tinggi. Hanya Han Le dan Lu Thong yang mengetahuinya baik-baik.

Lu Thong yang sudah pernah merasai kelihaian Kwan Cu, ada pun Han Le lebih-lebih lagi. Tidak saja dia telah dapat menduga bahwa suheng-nya yang sudah tinggal di Pulau Pek-hui-to itu telah mempelajari ilmu kesaktian yang luar biasa, juga tadi dia sempat merasakan sendiri kehebatan kepandaian suheng-nya.

Makin lama kurungan itu makin rapat. Pihak pengeroyok memang luar biasa banyaknya. Roboh satu datang dua, roboh lima datang sepuluh. Empat orang jago muda itu sudah bertempur tiga jam lebih dan mereka mulai lelah sekali.

Apa lagi Lu Thong. Lututnya terasa sakit sehingga gerakannya menjadi semakin lambat. Akhirnya sebuah tusukan tombak melukai pahanya dan dia pun terhuyung-huyung roboh. Baiknya Han Le cepat-cepat menyambar tangannya dan menariknya ke dalam lingkaran, sehingga tubuh Lu Thong terlindung oleh tiga orang muda itu.

Di lain fihak, Kwan Cu yang tadinya menghadapi Kiam Ki Sianjin, sekarang ternyata telah dikeroyok tiga orang, yakni Kiam Ki Sianjin sendiri beserta dua orang panglima yang lihai sekali ilmu goloknya. Kwan Cu terus melayani mereka dengan gagah dan sedikit pun tak terdesak, bahkan pada jurus ke lima puluh lebih, dia berhasil merobohkan salah seorang panglima dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut.

Akan tetapi, sebagai gantinya datang pula dua orang panglima lain, sedangkan Kiam Ki Sianjin masih terus melawannya dengan amat kuatnya. Kali ini agaknya tak mudah bagi Kwan Cu untuk mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le sudah lelah dan mulai terdesak. Biar pun korban fihak musuh yang jatuh tidak terhitung banyaknya, namun setiap kali ada yang jatuh, mereka yang jatuh diangkat pergi dan sebagai gantinya datang pengeroyok-pengeroyok lain yang masih segar dan memiliki kepandaian silat tinggi juga.

Tiga orang muda ini maklum bahwa kalau diteruskan, mereka pasti akan celaka semua. Sekarang mereka tidak begitu mudah lagi menjatuhkan lawan, karena para pengeroyok kini terdiri dari orang-orang yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat lumayan.

Kwan Cu maklum pula akan hal ini. Tiba-tiba saja pemuda ini menyimpan sulingnya dan ketika dua orang panglima menyerang dari kanan kiri dan Kiam Ki Sianjin mendesak dari depan, dia melayani dua orang panglima yang bergolok itu dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, sedangkan terhadap Kiam Ki Sianjin dia melancarkan beberapa pukulan Pek-in Hoat-sut.

Tosu itu sudah cukup mengenal kelihaian lengan tangan yang mengebulkan uap putih itu. Maka, cepat-cepat dia menjatuhkan diri untuk menyimpan napas dan mengerahkan lweekang agar dia cukup kuat menghadapi serangan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut.

Akan tetapi, dua orang panglima itu yang belum mengenal Kwan Cu secara baik, terus mendesak pemuda itu. Dan sebelum mereka tahu bagaimana terjadinya, pundak mereka telah terkena cengkeraman IImu Silat Kong-ciak Sin-na dan golok mereka terlempar pula.

Kwan Cu tidak mau berlaku kepalang tanggung. Ia lalu mengangkat tubuh dua orang ini, yang seorang dia lemparkan ke arah Kiam Ki Sianjin dan menggunakan kesempatan itu untuk memutar-mutarkan orang ke dua dan membobolkan kepungan yang mengurung tiga orang kawannya yang masih melawan mati-matian.

"Kawan-kawan, mari kita lekas pergi!" katanya setelah berhasil menyerbu dan memasuki kurungan.

Sui Ceng dan Kun Beng tertegun melihat bahwa Kwan Cu ternyata masih hidup dan berada di situ, dan diam-diam Sui Ceng merasa girang sekali. Ternyata pemuda ini tidak melarikan diri seperti yang tadi dia khawatirkan.

Kemudian Kwan Cu melihat Lu Thong yang terduduk dan luka kakinya. Cepat Kwan Cu melemparkan panglima itu kepada Kun Beng dan berkata,

"Kun Beng, kau terimalah ini dan pergunakan sebagai senjata mencari jalan keluar. Aku akan menggendong Lu Thong!"

Kun Beng menyambut datangnya tubuh panglima itu dengan tangan kiri dan sekali dia mengulur tangan, dia sudah berhasil membekuk batang leher panglima itu yang masih hidup akan tetapi sudah tidak berdaya karena jalan darahnya telah ditotok oleh Kwan Cu.

"Lebih baik kalian juga menangkap seorang lawan untuk dijadikan senjata!" berkata Kun Beng kepada Sui Ceng dan Han Le.

Sui Ceng dan Han Le bisa mengerti apa yang dikehendaki oleh kawan ini. Dengan cepat mereka mendesak maju dan sebentar saja Han Le serta Sui Ceng juga sudah berhasil menangkap masing-masing seorang pengeroyok. Tiga orang ini pun mengamuk mencari jalan keluar, membobolkan kurungan sambil memutar-mutar tubuh lawan yang kakinya mereka pegang!

Dalam pengamukan ini, Sui Ceng, Han Le dan Kun Beng lagi-lagi kehilangan Kwan Cu. Ke manakah perginya pemuda itu? Setelah mengempit tubuh Lu Thong dengan tangan kirinya, Kwan Cu melompat cepat melalui kepala para pengurung itu dan sengaja dia melarikan diri di dekat Kiam Ki Sianjin yang sedang menyumpah-nyumpah marah melihat kawan-kawannya dibikin kocar-kacir oleh tiga orang muda itu.

"Bodoh, goblok! Menghadap tiga orang saja tidak becus menangkap dan mengalahkan." Tosu ini memaki-maki anak buahnya.

"Locianpwe, mereka menggunakan teman-teman kami sebagai senjata buat mengamuk," jawab seorang perwira Si-wi.

“Bodoh! Bacok mampus saja semuanya, meski kawan sendiri tetapi kalau sudah mereka tangkap, perlu apa takut membacoknya?"

Demikianlah, para Si-wi itu segera mengepung kembali dan kini mereka menggunakan senjata untuk menangkis dan membacok ketiga orang muda itu sehingga senjata mereka tentu saja mengenai kawan sendiri yang diputar-putarkan oleh tiga orang muda perkasa itu.

Melihat kenekatan para pengeroyok ini, Sui Ceng dan kawan-kawannya menjadi terkejut. Tentu saja mereka lalu melemparkan orang yang mereka pegang karena tubuh orang itu sudah hancur terkena hujan senjata kawan-kawan sendiri dan mulailah menangkap lain orang untuk dijadikan senjata. Biar pun mereka agak lambat maju, namun mereka dapat juga menipiskan kepungan sehingga keadaan mereka tidak terlalu terdesak seperti tadi. Apa lagi sekarang mereka tidak perlu melindungi Lu Thong seperti tadi.

"Ehh, mana Kwan Cu…?” tanya Sui Ceng yang merasa heran sekali.

Tadi Kwan Cu berada di dalam kepungan, jadi ada di belakangnya, juga di belakang Kun Beng dan Han Le, karena ketika itu Kwan Cu menghampiri Lu Thong yang berada di tengah-tengah. Akan tetapi kenapa sekarang Kwan Cu dan Lu Thong sudah lenyap dari situ?

Juga kedua orang kawannya tidak tahu ke mana perginya Kwan Cu mengempit tubuh Lu Thong. Akan tetapi, oleh karena mereka selalu menghadapi keroyokan musuh, mereka tadi tidak sempat melihat Kwan Cu yang melompat cepat sekali melalui kepala mereka dan para pengeroyok!

Ada pun Kwan Cu, sebagaimana dituturkan di atas, sengaja lari membawa Lu Thong mendekati Kiam Ki Sianjin. Tentu saja melihat pemuda itu mengempit tubuh Lu Thong, Kiam Ki-Sianjin cepat mengejar dengan pedang di tangan.

“Bangsat Lu Kwan Cu, ternyata engkau hendak mati-matian membela pemberontak itu!” serunya.

Kwan Cu tersenyum sindir. “Kiam Ki Sianjin, orang ini adalah keturunan menteri Lu Pin, bagaimana aku tak akan membelanya?”

Pemuda ini menyimpan sulingnya dan sekarang tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang pedang yang bersinar gemilang. Inilah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin yang sengaja diberikan kepadanya.

Kiam Ki Sianjin tertegun dan merasa agak jeri. Baru sekarang dia melihat pemuda ini memegang pedang. Biasanya, hanya dengan tangan kosong atau paling-paling dengan sebatang suling di tangan, pemuda itu sudah terlampau tangguh baginya, apa lagi kalau sekarang memegang sebatang pedang mustika!

"Kiam Ki Sianjin, apakah kau tidak melihat siapa adanya pendekar-pendekar muda itu? Lihatlah baik-baik, gadis perkasa itu adalah murid tunggal dari Kiu-bwe Coa-li, pemuda bertombak itu adalah murid terkasih dari Pak-lo-sian Siang-koan Hai, ada pun pemuda sederhana itu adalah sute-ku! Aku tanggung bahwa kalau kau terus mengurung mereka, semua anak buahmu akan hancur lebur. Dan bukan itu saja, kalau saja mereka sampai terluka, tentu para Locianpwe itu akan bersumpah membalas dendam kepadamu."

"Habis, apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin memandang tajam.

"Kalau kau hendak menghalangi mereka lari, kau tahu bahwa aku akan menyerangmu mati-matian dan mungkin sekali aku akan dapat menewaskan engkau. Akan tetapi kalau kau mau melepaskan mereka lari, kita kelak akan dapat bertemu pula dan aku tak akan melupakan maksud baikmu hari ini."

Sampai beberapa lama Kiam Ki Sianjin terdiam saja, matanya memandang ke arah tiga orang muda yang tengah mengamuk hebat mencari jalan keluar. Memang sepak terjang mereka hebat luar biasa dan sekarang pun para anak buahnya sudah mulai kocar-kacir. Akhirnya dia mengangguk dan Kwan Cu girang sekali.

"Terima kasih, Kiam Ki Sianjin. Kau ternyata berpemandangan jauh.” Dia lalu membawa Lu Thong melompat ke barat!

"Sui Ceng, Kun Beng dan Sute! Lari melalui pintu barat!"

Pada waktu mendengar seruan Kwan Cu yang tiba-tiba ini, tiga orang muda itu menjadi terheran. Akan tetapi mereka segera memutar senjata memaksa para Si-wi yang masih berani mengeroyok untuk mundur dan berlarilah mereka ke barat. Kwan Cu sudah tidak kelihatan lagi oleh mereka.

Aneh sekali, setelah mereka sampai di dinding sebelah barat, di situ tidak kelihatan ada musuh, maka mudah saja mereka melompati tembok itu. Dan ternyata bahwa Kwan Cu sudah berada di bawah tembok sambil mengempit tubuh Lu Thong.

"Kau sudah di sini?" tanya Kun Beng tak mengerti.

Juga Sui Ceng terheran, akan tetapi Han Le diam-diam makin kagum akan kepandaian suheng-nya itu.

Kiam Ki Sianjin memenuhi janjinya. Ia tidak memberi perintah kepada para anak buahnya untuk mengejar, melainkan menyuruh mereka merawat kawan-kawannya yang luka serta mengurus mayat mereka yang tewas. Oleh karena itu, kawanan orang muda perkasa itu dengan mudah dapat melarikan diri keluar dari kota raja dan memasuki hutan sebelah barat.

Dengan Kwan Cu di depan, mereka berlari terus sampai jauh dari kota raja. Kemudian mereka berhenti dan Kwan Cu segera mengambil sapu tangan untuk membalut luka di paha Lu Thong dan setelah mengurut serta menotok jalan darah di kaki pemuda ini, Lu Thong dapat berdiri dan berjalan pula, meski pun pahanya yang terluka itu masih terasa amat sakit.

"Kwan Cu, kau cerdik sekali, dapat mencarikan jalan keluar yang tak terjaga untuk kita," kata Kun Beng memuji dan bibirnya tersenyum kalau dia mengingat alangkah bodohnya pemuda itu pada waktu masih kecilnya. "Kwan Cu, pertemuan kita dalam keadaan yang menguntungkan sudah membuat kita bertemu sebagai sahabat, aku senang sekali akan hal ini. Sekarang biar kita berpisah, dan kelak aku sangat mengharapkan kedatanganmu untuk menghadiri... pernikahan kami.” Sambil berkata demikian, pemuda yang tampan itu melirik ke arah Sui Ceng.

Gadis itu menjadi jengah dan malu, mengerling tajam dan menegur tunangannya dengan pandangan matanya itu.

Akan tetapi tak seorang pun tahu betapa mendongkol dan marah hati Kwan Cu terhadap Kun Beng. Ingin sekali dia menceritakan tentang Gouw Kui Lan, ingin pula dia menampar muka pemuda yang tampan itu. Akan tetapi Kwan Cu dapat menekan nafsunya dan dia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa menjawab sesuatu.

“Ceng-moi, marilah kita pergi,” ajak Kun Beng kepada Sui Ceng dengan suara mesra.

“Ke... manakah? Aku... aku hendak kembali mencari Suthai.”

“Hendak menemui Kiu-bwe Coa-li Suthai? Baiklah, marilah kita bersama menjumpainya, memang perlu kita memberitahukan kepada gurumu tentang penetapan hari pernikahan.”

Sui Ceng makin merah mukanya. Untuk sekejap dia melirik ke arah Kwan Cu dan bukan main heran hatinya melihat pandangan mata Kwan Cu yang berapi-api ditujukan kepada Kun Beng, yang begitu mengerikan dan membuat dia bergidik. Alangkah anehnya Kwan Cu setelah dewasa, aneh dan menarik hati. Akan tetapi pandang mata itu mengandung kebencian yang hebat dan Sui Ceng merasa tidak enak hati.

"Marilah," katanya perlahan dan ia lalu melompat tanpa berpamit kepada Kwan Cu atau yang lain-lain, sedangkan Kun Beng juga melompat menyusul dengan wajah berseri-seri.

Kwan Cu menggigit bibirnya dan mengepal tinjunya, memandang ke arah perginya kedua orang itu tanpa bergerak seperti patung. Lu Thong yang kini sudah terbuka matanya dan sadar akan kesesatannya, duduk memisahkan diri di bawah pohon. Dia merenung sambil kadang-kadang menggigit bibir atau mengepalkan tinju. Wajahnya pucat laksana seorang yang kehilangan semangatnya.

"Suheng." Han Le menegur Kwan Cu yang masih berdiri seperti patung itu.

Kwan Cu tersadar dan cepat menoleh. Wajahnya amat merah ketika dia melihat pandang mata pemuda itu. Mata itu seakan-akan dapat membaca isi hatinya.

"Suheng, mengapa kau kelihatan berduka?"

Kwan Cu benar-benar menjadi sadar dan dengan tersenyum dia lalu memegang lengan pemuda itu.

"Tidak apa-apa, Sute. Sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau dapat menjadi murid suhu, semenjak kapan kau belajar ilmu silat kepada suhu dan bagaimana pula kau bisa memainkan ilmu silat yang hanya terdapat di atas Pulau Pek-hui-to?"

Karena melihat Lu Thong masih duduk melamun seorang diri, kedua orang pemuda ini lalu duduk di atas batu dan berceritalah Han Le.

"Aku adalah seorang anak sengsara. Kedua orang tuaku menjadi korban perang dan mereka tewas oleh bala tentara pemberontak An Lu Shan. Baiknya ketika aku sedang dikeroyok oleh bala tentara pemberontak dan hampir mengalami kebinasaan, datanglah suhu yang menolongku. Hal itu terjadi tidak lama setelah kau berpisah dari suhu. Suhu lalu mengambil murid kepadaku. Sebelum itu aku adalah anak murid dari Kun-lun-pai, dan karena semenjak kecil aku sudah belajar ilmu silat, tidak sulit bagiku untuk menerima gemblengan dari suhu. Kemudian, suhu mendengar tentang jatuhnya pemerintahan Tang dan didudukinya kerajaan oleh An Lu Shan. Suhu marah dan hendak memberi hajaran kepada orang-orang kang-ouw yang membantu pemberontak itu. Aku hendak ikut, akan tetapi dilarangnya dengan alasan bahwa kepandaianku masih jauh dari pada mencukupi untuk berhadapan dengan para tokoh kang-ouw itu. Bahkan suhu lalu menyuruhku untuk menyusulmu ke Pulau Pek-hui-to. Akan tetapi ketika tiba di pulau itu, kau tidak ada dan aku mendapatkan ukiran-ukiran di dalam goa. Karena tertarik aku lalu berlatih seorang diri mempelajari semua ukiran itu dan mendapat kenyataan bahwa semua itu merupakan pelajaran ilmu silat yang luar biasa sekali, akan tetapi sukar sekali dipelajarinya. Suheng, melihat ilmu silatmu, agaknya kau sudah bisa memecahkan semua rahasia dari pelajaran itu, bukan?"

Kwan Cu mengangguk. "Sute, ilmu silatmu sendiri sudah sangat tinggi dan baik. Tidak mudah untuk memecahkan rahasia ilmu silat itu, karena ketahuilah bahwa lukisan-lukisan itu merupakan petunjuk dari ilmu-ilmu silat yang terdapat di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng."

Berseri wajah Han Le yang tampan. "Ahhh, kalau begitu benar kata suhu. Suheng telah mewarisi ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng!" Wajahnya bersinar penuh kekaguman.

Kwan Cu menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tiada batasnya, Sute. Sepandai-pandainya orang, masih ada yang melebihinya, akhirnya dia akan mengaku bahwa dia amat lemah apa bila menghadapi musuh yang berada di dalam hati sendiri."

Kwan Cu termenung dan dia teringat akan Sui Ceng. Dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu, akan tetapi gadis itu telah bertunangan dengan Kun Beng. Hal inilah yang amat menyakitkan hatinya.

Andai kata gadis itu bertunangan dengan pemuda lain, agaknya akan mudah baginya untuk menyerah dan berusaha melupakan gadis itu. Akan tetapi Kun Beng? Nama ini membuat dia otomatis teringat akan Kui Lan dan timbullah penasaran dan sakit hatinya. Tidak, Sui Ceng tidak boleh menikah dengan pemuda itu!

"Han Le, kau tentu akan membantu perjuangan rakyat bukan?”

"Tentu saja, Suheng. Orang tuaku tewas oleh penjajah dan aku belum puas kalau para penjajah belum terusir dari negara kita."

"Bagus, kalau begitu kau bawalah Lu Thong. Obat satu-satunya bagi dia adalah berjuang membela tanah air dan bangsanya untuk menebus kesesatannya."

Kwan Cu lalu menghampiri Lu Thong, diikuti oleh sute-nya.

Lu Thong sudah sadar dari lamunannya dan dia memandang kepada Kwan Cu dengan bibir tersenyum pahit.

"Kwan Cu, kau tentu cinta kepada Sui Ceng, bukan?"

Bukan main kagetnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Memang, berbeda dengan Kwan Cu atau Han Le, Lu Thong sudah kenyang dengan pengalaman mengenai hubungan pria dan wanita, tentang kasih asmara dan tanda-tandanya. Biar pun dia hanya sekelebatan saja melihat semua pertemuan dan percakapan itu, akan tetapi dia telah dapat menduga dengan tepat sekali.

"Lu Thong, omongan apakah yang kau keluarkan ini? Sekarang bukan waktunya bicara yang bukan-bukan. Sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, apakah sekarang kau sudah insyaf betul-betul dan sadar bahwa yang sudah-sudah kau telah tersesat sangat jauh?"

Lu Thong menarik napas panjang. "Memang aku bodoh dan mudah sekali tertarik oleh kedudukan dan harta, Kwan Cu. Akan tetapi, apa lagi yang mampu kulakukan sekarang? Keluargaku sudah terbinasa semua, dan kalau kuingat-ingat aku adalah anak yang paling puthauw (tidak berbakti), anak durhaka." Tiba-tiba Lu Thong menangis sambil menutupi kedua matanya dengan tangan.

Kwan Cu terharu. "Lu Thong, sudah menjadi kewajibanmu untuk menebus dosa itu dan membalaskan sakit hati orang tuamu."

Lu Thong menurunkan tangannya, air matanya mengalir perlahan melalui pipinya.

"Apa dayaku? Musuh-musuhku adalah pemerintah penjajah dan mereka amat kuat. Baru menghadapi pasukan Si-wi saja, aku sudah terluka, apa lagi kalau menghadapi barisan penjajah? Lagi pula, di sana ada orang-orang sakti seperti Kiam Ki Sianjin dan lain-lain."

"Kau tidak berdiri sendirian, Lu Thong. Di fihak kita pun ada ratusan laksa rakyat yang berjuang dengan penuh dendam terhadap penjajah. Sukakah kau membantu perjuangan mereka?"

"Membantu para pemberontak?"

“Nah, itulah kepicikanmu, Lu Thong. Memang, pejuang-pejuang itu disebut pemberontak oleh penjajah, akan tetapi bagaimana mungkin orang-orang gagah yang membela tanah air dan bangsa dari tindasan penjajah asing disebut pemberontak? Insyaflah bahwa para pejuang rakyat itu sudah dibikin sakit hati oleh penjajah."

Lu Thong melompat bangun. "Kau benar, Kwan Cu. Baik, aku bersedia untuk membantu perjuangan rakyat dengan taruhan nyawaku."

Kwan Cu sebaliknya menjadi gembira sekali. "Bagus, kalau begitu kau sungguh-sungguh saudaraku! Kau ikutlah dengan sute-ku ini dan dia akan membawamu ke tempat rakyat yang sedang menyusun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah. Kelak aku akan menyusul."

Maka berangkatlah Lu Thong dan Han Le, menuju markas pasukan pejuang rakyat yang terdekat, karena sebelum pergi ke kota raja, memang Han Le sudah dengan aktif sekali membantu para pejuang ini.

Ada pun Kwan Cu sendiri, tadinya dia berniat untuk menyusul perjalanan Sui Ceng dan Kun Beng. Ingin sekali dia mencegah mereka melakukan perjalanan bersama. Dia ingin sekali membongkar rahasia Kun Beng di depan Sui Ceng, agar gadis yang dicintanya itu tahu betapa buruk watak tunangannya, yang sudah merusak kehormatan seorang gadis yang menjadi adik dari suheng-nya sendiri! Akan tetapi, dia teringat akan tugas-tugasnya, yakni membalas sakit hati guru dan kongkong-nya.

"Urusan pribadi harus dikesampingkan," pikirnya dengan hati getir. "Lebih dulu aku harus mencari mereka yang sudah menewaskan suhu, kemudian aku akan mencari keturunan An Lu Shan yang tinggal seorang itu, yakni An Kai Seng."

Kwan Cu teringat akan tantangan Pek-eng Sianjin, maka dia segera berangkat menuju ke Bukit Leng-san. Tadinya memang dia sudah mengeluarkan nama Pek-eng Sianjin dari daftar orang-orang yang hendak dibalasnya karena membunuh suhu-nya. Hal ini karena dia sudah mendengar sumpah Pek-eng Sianjin bahwa tosu ini tidak turut mengeroyok dalam pembunuhan Ang-bin Sin-kai.

Akan tetapi, sebaliknya Pek-eng Sianjin merasa terhina dan menantangnya untuk datang ke Leng-san. Jika dia tidak meladeni tantangan yang diucapkan di hadapan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin, Bian Ti Hosiang, dan Bin Ti Siansu, tentu namanya akan jatuh sebagai seorang muda pengecut.

"Aku harus memenuhi tantangannya lebih dulu, barulah aku akan mencari tempat tinggal Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan siluman Toat-beng Hui-houw," pikimya.

Selesai berpikir demikian, Kwan Cu lalu berlari cepat sekali ke selatan…..

********************

Di Bukit Leng-san, Pek-eng Sianjin sudah bersiap-siap menunggu kedatangan Kwan Cu, pemuda yang telah menghinanya di depan para tokoh besar. Di pegunungan ini, Pek-eng Sianjin sudah kehilangan empat orang saudaranya yang terbunuh mati oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, dan sekarang sudah membentuk pula sebuah perkumpulan yang diberi nama Pek-eng Kauw-hwe (Perkumpulan Agama Garuda Putih)!

Dia mendapatkan tiga orang kawan, yakni dua orang tosu dan seorang hwesio yang kini dikumpulkan di situ, selain untuk bersama-sama mengurus perkumpulan itu, juga untuk menjadi kawannya menghadapi Kwan Cu.

Dua orang tosu itu memang telah mengangkat saudara dengan dia dan mengganti nama menjadi Thian-eng Sianjin dan Te-eng Sianjin. Dua orang saudara ini memang tadinya adalah orang-orang kang-ouw dari kalangan jalan hitam, karena itu cocok sekali dengan Pek-eng Sianjin. Mereka adalah pelarian dari Thian-san-pai, yang diusir dan tidak diakui lagi karena mereka telah melakukan perbuatan jahat. Setelah bertemu dengan Pek-eng Sianjin, mereka lalu menerima pelajaran ilmu silat baru dan menjadi saudara angkat yang sehidup semati.

Ada pun hwesio itu adalah Loan Kek Hosiang, merupakan seorang hwesio pelarian dari Siauw-lim-pai. Juga seperti dua orang tosu tadi, hwesio ini sudah melarikan diri karena terancam oleh fihak Siauw-lim-pai yang hendak menghukumnya sesudah dia melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang!

Selain empat orang yang lihai ini, Pek-eng Sinjin menerima pula murid-murid yang juga menjadi pembantu-pembantunya. Akan tetapi yang paling mereka sayangi adalah tiga orang anak-anak yang usianya baru delapan sembilan tahun. Tiga orang anak kecil inilah mereka harapkan untuk menggantikan kedudukan mereka kelak, maka mereka bertiga, yakni Pek-eng Sianjin dan dua orang tosu lain, masing-masing mengambil seorang anak menjadi muridnya dan melatih ilmu silat kepada mereka ini.

Pek-eng Sianjin ialah seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-koat, ada pun Thian-eng Sianjin mempunyai ilmu pedang Thian-san Kiam-hoat yang kini dia gabung pula dengan Sin-eng Kiam-hoat, Te-eng Sianjin memiliki ilmu tombak yang lihai dari Thian-san-pai pula. Ada pun Loan Kek Hosiang juga memiliki ilmu pedang dari Siauw-lim-pai yang kini dia tukar atau saling pelajari dengan ilmu pedang dari Pek-eng Sianjin. Kini mereka selalu berlatih dengan giatnya, terutama sekali sesudah mendengar bahwa tidak lama lagi akan datang seorang musuh besar dari Pek-eng Sianjin, ketua dari Pek-eng Kauw-hwe.

Ketika Kwan Cu mendaki Bukit Leng-san, dari kaki bukit itu kelihatannya sunyi saja. Akan tetapi setelah dia mendekati puncak dari bukit yang tidak seberapa tinggi itu, dia melihat sepasukan orang muda yang bertubuh kuat, terdiri dari dua puluh orang, menghadang di tengah jalan.

"Apakah yang datang ini bernama Lu Kwan Cu?" terdengar seorang di antara pasukan itu bertanya dengan suara heran.

Mereka adalah sebagian dari murid-murid Pek-eng Kauw-hwe yang ditugaskan menjaga dan menangkap musuh yang baru datang. Melihat bahwa musuh suhu mereka ternyata hanya seorang pemuda sederhana yang bertangan kosong, berpakaian sederhana serta kelihatannya lemah, orang-orang muda ini memandang ringan.

"Betul, aku adalah Lu Kwan Cu dan aku datang untuk memenuhi undangan dari Pek-eng Sianjin. Apakah dia berada di puncak bukit?"

Para orang muda itu saling pandang, kemudian terdengar gelak tawa mereka. Hampir mereka tidak percaya bahwa inilah musuh yang agaknya ditakuti oleh guru mereka. Apa sih anehnya orang muda yang tubuhnya kelihatan lemah itu?

"Kau yang bernama Lu Kwan Cu?" tanya seorang pemuda bermuka hitam dengan tubuh seperti raksasa sambil melangkah maju menghadapi kwan Cu. "Kalau begitu, menurutlah saja kami rantai untuk dihadapkan kepada suhu. Lebih baik kau menurut dari pada kami harus menggunakan kekerasan dan ada tulang-tulangmu yang patah!" katanya mengejek dan kembali terdengar suara ketawa di sana-sini.

Kwan Cu tidak marah, bahkan merasa kasihan terhadap mereka. Ia tahu bahwa memang banyak orang muda yang tingkahnya seperti mereka ini. Baru mempelajari sejurus dua jurus ilmu silat saja, lalu merasa diri terpandai dan kuat, siap untuk mencari keributan dan memukul orang untuk memamerkan kepandaiannya.

Beginilah contoh orang yang masih dangkal ilmu pengetahuannya dan belum mengerti benar bahwa hakekat dari pada ilmu silat yang sesungguhnya bukan dipergunakan untuk menyombongkan diri. Bahkan sebaliknya, makin tinggi ilmu yang telah dipelajarinya akan merasa bahwa dia masih belum mengerti apa-apa sehingga selalu berlaku merendah.

"Sahabat, aku datang bukan untuk mencari permusuhan, akan tetapi untuk memenuhi undangan Pek-eng Sianjin. Mengapa kau bersikap begini kasar?"

Si muka hitam itu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha! Kami mendengar bahwa orang yang bernama Lu Kwan Cu akan datang untuk mengadakan pibu (mengadu kepandaian silat) dengan suhu. Akan tetapi kalau orangnya ternyata hanya seperti engkau saja, untuk apa suhu harus melelahkan diri? Dari pada kau susah-susah menemui kematian di puncak, lebih baik sekarang saja aku yang akan menghajarmu!"

Setelah berkata demikian, si muka hitam kemudian memasang kuda-kuda dan kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar ke arah dada Kwan Cu. Dengan tenang Kwan Cu menanti datangnya pukulan tanpa mengelak sedikit pun.

"Bukkk!"

Pukulan itu dengan kerasnya tiba pada dada Kwan Cu, akan tetapi pendekar muda ini berkedip pun tidak. Bahkan sebaliknya, si muka hitam itu lalu terlempar ke belakang dan tulang-tulang jari tangannya patah-patah! Dia bergulingan di atas tanah mengaduh-aduh karena rasa sakit membuat dia lupa malu. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum.

Gegerlah keadaan di situ. Para muda itu cepat mencabut senjata sehingga sebentar saja hujan senjata menjatuhi tubuh Kwan Cu. Tapi pemuda ini tidak mau berurusan dengan anak-anak muda yang dianggapnya masih hijau dan tolol itu. Sekali tubuhnya berkelebat, para pengeroyok itu melongo karena tahu-tahu pemuda yang akan dikeroyoknya itu telah lenyap dari situ.

Pada saat mereka menengok, ternyata bahwa Kwan Cu sudah berlari cepat menuju ke puncak bukit! Barulah mereka kemudian beramai-ramai mengejar sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mana bisa mereka menyusul larinya pemuda sakti itu?

Sesudah mendekati puncak, Kwan Cu melihat bangunan tembok di atas puncak gunung itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar suara angin yang aneh dan tahulah dia bahwa banyak sekali senjata gelap menyambar ke arah dirinya.

Mendengar suara angin sambaran itu, Kwan Cu pun tahu bahwa yang menyambar hanya senjata-senjata yang digerakkan oleh orang-orang yang masih lemah tenaganya. Maka dia hanya memutar kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sedikit saja. Semua anak panah yang ratusan banyaknya itu runtuh, tak dapat melukainya, bahkan sebatang pun tidak ada yang bisa merobek bajunya!

Dia berlari terus dan berseru, "Pek-eng Sianjin, bagus benar kau menyambut datangnya tamu yang kau undang sendiri!"

Hati pemuda ini mulai panas dan biar pun tadinya dia tidak mengandung maksud buruk terhadap Pek-eng Sianjin, namun sekarang pandangannya lain. Orang seperti Pek-eng Sianjin yang ternyata curang sekali itu amat berbahaya bagi keamanan umum dan perlu disingkirkan.

Belum juga dia sampai di depan bangunan itu, dari atas pohon menyambar turun tubuh empat orang yang gerakannya amat gesit. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Thian-eng Sianjin, Te-eng Sianjin dan Loan Kek Hosiang, semuanya siap dengan senjata.

"Lu Kwan Cu, sekarang rasakan pembalasan dendamku!" berseru Pek-eng Sianjin yang cepat menyerang dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang saudaranya.

Kwan Cu marah bukan main, akan tetapi dia tetap mengelak dan menyabarkan hatinya. Sambil meloncat ke sana ke mari mengelakkan diri dari sambaran empat senjata lawan, dia berkata keras,

"Pek-eng Sianjin, insyaflah kau! Aku telah mengampuni nyawamu karena kau bersumpah tidak ikut membunuh guruku. Sekarang aku datang sebagai tamu yang kau undang untuk mengadakan pibu. Mengapa kau berlaku curang, telah menyuruh orang mengeroyok dan melepas anak panah, sekarang kau mengeroyok pula? Apa kehendakmu?"

"Bangsat rendah! Gurumu telah membunuh empat orang adikku, kemudian kau pun telah menghinaku. Apa kau kira kini aku mau melepaskan engkau dari sini? Bersiaplah untuk mampus!"

Serangan mereka itu dipercepat dan terpaksa Kwan Cu mencabut keluar sulingnya. Dia mengerahkan tenaga lantas menangkis sekaligus serangan empat batang senjata. Akan tetapi, meski dia berhasil membikin terpental senjata-senjata itu, dia tidak bisa membikin senjata itu terlepas dari pegangan lawan-lawannya. Mengertilah Kwan Cu bahwa para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

"Pek-eng Sianjin, sekali lagi kuharap kau mau sadar dan tahu akan kesopanan di dunia kang-ouw. Kalau mau berpibu secara baik, pergunakanlah aturan. Kecuali kalau memang kau sengaja mau mengadu nyawa!"

"Hari ini kalau bukan kau tentu aku yang mati di sini!" jawab Pek-eng Sian-jin sambil menyerang dengan buasnya.

Mulai timbul amarah Kwan Cu. Sudah nyata sekarang bahwa tosu ini memang berakhlak bejat, menurutkan nafsu hati dan dendam tanpa mengingat bahwa fihaknya sendirilah yang salah besar.....

Empat orang adik seperguruannya tidak akan binasa di tangan Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Ang-bin Sin-kai kalau tidak melakukan kejahatan luar biasa, dan Pek-eng Sianjin sendiri pun tidak akan mengalami hinaan dari Kwan Cu kalau saja dia bertindak di atas jalan yang benar. Sekarang, sebaliknya dari pada menginsyafi kedosaannya, kakek ini bahkan secara amat curang dan tidak tahu malu telah mengeroyok Kwan Cu dan sudah terang menghendaki kematian pemuda ini.

"Kau mencari penyakit sendiri!" seru Kwan Cu dan dia pun mulai melakukan serangan balasan.

Pek-eng Sianjin adalah seorang tokoh kang-ouw dan ilmu silatnya sudah cukup tinggi, demikian pula tiga orang kawannya yang mengeroyok. Mereka mengurung Kwan Cu dari empat jurusan dan melakukan serangan-serangan hebat.

Tetapi Kwan Cu yang gesit dan tingkat ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi itu, melayani mereka dengan amat tabah. Sulingnya bergerak-gerak bagai naga menyambar sehingga setiap serangan lawan kalau tidak dielakkannya tentu dapat ditangkis. Sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, dia bergerak menurut Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na dan mencoba untuk merampas senjata lawan.

Namun keempat orang lawannya itu dapat bergerak gesit dan mereka lebih berhati-hati sekali ketika Pek-eng Sianjin berseru,

“Awas, jangan membiarkan dia merampas senjata. Awas terhadap tangan kirinya!"

Kwan Cu mendongkol sekali. Sampai sebegitu jauh dia belum dapat merampas senjata mereka. Bila dia memang mempunyai niat untuk menyebar maut, kiranya dengan mudah dia akan dapat menggulingkan para pengeroyok ini dengan menggunakan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut atau pun dengan sulingnya untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.

Akan tetapi, Kwan Cu tidak mau sembarangan membunuh. Ia belum kenal siapa adanya tiga orang kawan Pek-eng Sianjin ini dan tidak tega menjatuhkan tangan kejam terhadap orang-orang yang belum diketahui kejahatannya.

Karena kepungan mereka makin rapat dan desakan mereka makin menghebat, Kwan Cu berseru keras dan tiba-tiba saja lawannya menjadi bingung. Tubuh pemuda ini sekarang bergerak sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata mereka.

Sebentar Kwan Cu mendesak Pek-eng Sianjin, sebentar pula berganti lawan dan bahkan kadang-kadang melompat tinggi sekali untuk turun di sebelah belakang seorang di antara mereka. Pemuda ini mengeluarkan kepandaiannya dan menggunakan ginkang-nya yang paling tinggi.

Pengepungan itu menjadi kacau balau dan permainan senjata mereka kini tidak teratur lagi. Mereka membacok dan menusuk ke mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, akan tetapi tidak pernah mendapatkan sasaran.

Pek-eng Sianjin yang sudah menjadi penasaran dan amat marah tiba-tiba saja menubruk dengan pedangnya dari belakang, dibarengi dengan tangan kirinya yang mencengkeram hendak memeluk leher. Inilah suatu serangan yang disebut Pek-mo Jio-beng (Iblis Putih Merebut Nyawa), hebatnya bukan main.

Pedang itu digerakkan dengan khikang sepenuhnya sehingga ujung pedang jadi tergetar, selain cepat juga amat kuatnya dapat menembus dinding baja. Sedangkan tangan kiri itu mencengkeram dengan gerakan Kin-na-jiauw yang dilakukan melalui pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya. Jangan kata kulit atau daging manusia, bahkan batu karang yang keras juga akan hancur terkena cengkeraman ini.

Walau pun amat lihai, sesungguhnya ilmu serangan ini adalah semacam gerak tipu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat dan hendak mengadu jiwa dengan lawannya. Gerakan Pek-mo Jio-beng ini tidak dapat ditarik kembali, sekali dikeluarkan, kalau lawannya tangguh tentu akan kena dipeluk untuk mati bersama, kalau lawannya kurang tangguh pasti takkan dapat mengelakkan diri dari dua serangan yang merupakan sepasang tangan maut itu!

Kwan Cu mendengar suara angin serangan yang amat dahsyat ini, yang dilakukan oleh Pek-eng Sianjin dari belakang. Pemuda ini pun tahu bahwa lawan ini telah berlaku nekat dan telah mengeluarkan serangan dari kepandaian simpanan. Biar pun pemuda ini tidak melihat dengan matanya, namun telinga dan perasaannya yang amat tajam sudah dapat membedakan bahwa Pek-eng Sianjin melakukan serangan dengan pedang serta tangan kiri.

Kwan Cu tidak menjadi gugup. Pada saat itu, tombak di tangan Te-eng Sianjin menusuk perutnya dari depan. Kwan Cu yang lebih memperhatikan serangan dari arah belakang, mengangkat kaki kanan memapaki tombak ini dari samping. Gerakan semacam ini tidak sembarang ahli silat tinggi berani melakukannya, karena kalau meleset sedikit saja, tentu kaki akan beradu dengan ujung tombak dan betapa pun kuatnya, sepatu berikut kulit kaki tentu akan tertembus atau terluka.

Namun tendangan Kwan Cu ini tepat sekali datangnya, mengenai bawah mata tombak sehingga tombak itu terpental. Dengan meminjam tenaga tusukan tombak, Kwan Cu lalu membanting kaki ke kanan sehingga tubuhnya juga miring ke kanan, berbareng dia juga memukulkan sulingnya ke belakang punggung hingga tepat menangkis serangan pedang di tangan Pek-eng Sianjin. Ada pun pukulan tangan kiri Pek-eng Sian-jin hanya lewat di samping tubuhnya sebelah kiri.

Akan tetapi keadaan Kwan Cu yang tubuhnya miring dan kelihatannya berada dalam kedudukan berbahaya ini tidak mau disia-siakan oleh tiga orang kawan Pek-eng Sianjin. Te-eng Sianjin sudah menggerakkan tombaknya pula, menusuk dengan sekuat tenaga. Thian-eng Sianjin membacok dengan pedangnya, demikian pula Loan Kek Hosiang yang melakukan bacokan hebat dengan pedangnya! Agaknya sudah tidak ada harapan bagi Kwan Cu untuk menghindarkan diri dari tiga serangan hebat ini.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan seruan terkejut dari tiga orang itu yang wajahnya menjadi pucat sekali. Apa yang terjadi? Kwan Cu yang tubuhnya sudah miring itu, secepat kilat menangkap tangan kanan Pek-eng Sian-jin, lalu memencet keras hingga pedang lawannya terlepas.

Kemudian, sekaligus Kwan Cu mengerahkan tenaga lweekang sehingga badan Pek-eng Sianjin diangkat oleh tangan kirinya, langsung dibanting ke depan menjadi perisai yang menangkis semua serangan tiga orang itu!

Tombak Te-eng Sianjin tepat sekali menancap di perut Pek-eng Sianjin sampai tembus, pedang Thian-te Sianjin melukai pundaknya dan yang lebih lagi, pedang di tangan Loan Kek Hosiang membabat putus lengan kanan yang dipegang oleh Kwan Cu! Seketika itu juga tewaslah Pek-eng Sianjin, setelah mengeluarkan pekik yang menyeramkan tadi!

Sesudah melepaskan lengan yang sudah putus, Kwan Cu tidak mau berbuat kepalang tanggung. Tubuhnya bergerak cepat, suling di tangannya menyambar-nyambar, lantas robohlah tiga orang kawan Pek-eng Sianjin tadi dalam keadaan tertotok jalan darahnya!

Para anak murid Pek-eng Kauw-hwe yang kini sudah datang mendekat berdiri dengan wajah pucat, sama sekali tak berani bergerak atau bersuara. Tak pernah mereka sangka bahwa pemuda itu ternyata demikian lihainya!

"Kalian lihat, beginilah nasib orang yang berhati curang dan jahat. Pek-eng Sianjin telah mencari kematiannya sendiri. Aku masih tidak tega untuk membunuh orang-orang lain dan biarlah kematian Pek-eng Sianjin ini menjadi peringatan bagi kalian semua supaya mengubah watak dan berbuat kebaikan sesuai dengan jalan kebenaran. Rakyat sedang membutuhkan bantuan orang-orang pandai untuk mengusir penjajah, kenapa kalian tidak membantu perjuangan suci itu bahkan sebaliknya menimbulkan kekacauan? Pikirkanlah kata-kataku ini baik-baik!" Sesudah berkata demikian, tubuh pemuda ini berkelebat dan dalam sekejap mata lenyap dari situ.

Setelah terlongong-longong untuk beberapa waktu dan tidak berani bergerak atau pun membuka suara, barulah para anggota Pek-eng Kauw-hwe itu beramai-ramai menolong tiga orang tua yang lumpuh tertotok dan mengurus jenazah Pek-eng Sianjin yang amat mengerikan itu. Lengannya putus, isi perutnya berantakan keluar dan pundaknya hampir putus pula…..

********************

Kiam Ki Sianjin yang menjadi pembantu utama dari Si Su Beng yang kini menduduki istana kerajaan, dapat melihat bahwa perjuangan rakyat amat kuatnya dan mengancam kedudukan yang dipertuan. Dia tahu bahwa kekuatan perjuangan rakyat itu karena rakyat dari segala lapisan serentak bangkit dan dipimpin serta dibantu pula oleh orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi.

Oleh karena itu, dia mendapatkan sebuah pikiran yang sangat baik. Dia mengirim surat kepada semua partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Thian-san-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Juga dia mengundang tokoh-tokoh besar seperti Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Seng Thian Siansu dari Kun-lun-pai dan fihak-fihak lain yang kelihatannya anti kaisar penjajah.

Undangan itu untuk mengadakan pertemuan atau yang disebutnya musyawarah besar di Bukit Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw (Bulan lima tanggal lima belas), di mana akan dirundingkan dan diperdebatkan pendirian mereka yang bertentangan.

Tentu saja secara diam-diam Kiam Ki Sianjin mengumpulkan tokoh-tokoh yang sekiranya akan berdiri pada fihaknya, yakni seperti Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang yang disebut Bu-eng Siang-hiap dan yang tadinya membantu putera An Lu Shan dan sesudah putera mahkota itu dibinasakan oleh Si Su Beng, kemudian menyerah serta membantu pula kepada Si Su Beng.

Masih banyak tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang berdiri di fihaknya, maka sekali ini Kiam Ki Sianjin bermaksud mengundang semua tokoh dan apa bila fihak yang anti kaisar masih tak mau mengalah, di puncak Tai-hang-san itu akan dijadikan tempat pembasmian bagi mereka!

Banyak para ketua partai persilatan dan tokoh-tokoh besar sengaja datang kepada Kiam Ki Sianjin untuk meminta penjelasan setelah menerima surat itu. Di antara mereka yang datang adalah Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai dan Bin Hong Siansu tokoh ke dua dari Kim-san-pai.

Sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan, dua orang tokoh ini kebetulan sekali bertemu dengan Kwan Cu di gedung Kiam Ki Sian-jin dan sudah mencoba kepandaian pemuda itu pula. Kini mereka pergi dari istana untuk kembali ke tempat masing-masing, menyampaikan hasil penyelidikan mereka setelah bertemu dengan Kiam Ki Sianjin.

Meski pun mereka keluar dari istana tidak bersama-sama, namun setelah tiba di luar kota raja, mereka bertemu dan melakukan perjalanan bersama.

"Bin Hong Toyu, bagaimana pendapatmu mengenai bocah yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai itu?" di tengah perjalanan Bian Ti Hosiang bertanya.

Mereka melakukan perjalanan sambil mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuh mereka bergerak bagaikan terbang saja, akan tetapi mereka tidak kelihatan lelah, bahkan masih bisa bercakap-cakap. Ini menunjukkan betapa tingginya ilmu kepandaian mereka.

Bin Hong Siansu menghela napas panjang. "Kita harus mengakui bahwa kita sudah tua dan ketinggalan jaman. Secara jujur harus kuakui bahwa selama hidup aku belum pernah melihat seorang pemuda yang demikian lihainya."

"Kalau begitu, fihak yang anti kaisar tentu jauh lebih kuat dari pada fihak yang membantu kaisar," kata pula Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai itu.

"Belum tentu demikian. Biar pun pemuda itu lihai, tak mungkin kepandaiannya akan bisa mengatasi Hek-i Hui-mo atau Toat-beng Hui-houw, Kiam Ki Sian-jin juga belum tentu kalah, tadi kelihatan kalah karena mereka bertempur menggunakan meja, hal yang amat aneh!" jawab Bin Hong Siansu. "Bagiku sendiri, kurasa pendirian Kiam Ki Sianjin lebih benar. Kalau orang kang-ouw tidak mau membantu kaisar, hal itu berarti bahwa mereka akan mendatangkan bencana yang lebih besar kepada rakyat. Apa bila pemberontakan-pemberontakan itu dapat ditindas dan keadaan negara aman kembali, tentu rakyat hidup tenang dan damai. Kaisar adalah pilihan Yang Maha Kuasa, jatuh bangunnya sebuah kerajaan, menang kalahnya perebutan kedudukan kaisar, semua sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa harus membangkang terhadap keputusan nasib yang telah ditentukan oleh Thian?"

Bian Ti Hosiang mengerutkan kening. "Pinceng masih belum bisa mengambil keputusan, terserah kepada suheng Bian Kim Hosiang saja."

Memang di dalam hatinya, hwesio Bu-tong-pai ini masih ragu untuk menyetujui pendapat tosu dari Kim-san-pai itu. Dia pun terpengaruh oleh bujukan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena dia juga tahu bahwa suheng-nya sering kali menyatakan tidak sukanya terhadap pemerintah penjajah, maka dia sendiri tidak berani mengambil keputusan.

Perjalanan dilanjutkan cepat sekali dan tahu-tahu siang telah berganti senja dan angkasa gelap sekali, agaknya akan turun hujan.

"Kita harus mencapai tempat bermalam," kata Bin Hong Siansu kepada kawannya.

"Benar, agaknya akan turun hujan dan kita masih berada di dalam hutan. Apakah ada goa untuk berlindung di hutan ini?"

"Jangan khawatir," kata Bin Hong Siansu, "di luar hutan ini terdapat sebuah hutan dan di situ ada seorang kenalanku. Dia adalah Siok Tek Tojin yang mengepalai sebuah kuil."

Mereka lalu mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja, setelah keluar dari hutan mereka tiba di sebuah dusun. Bin Hong Siansu membawa kawannya ke sebuah kuil yang cukup besar, disambut oleh seorang tosu bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti mata burung.

Bian Ti Hosiang yang berpandangan awas dapat menduga bahwa tosu yang menyambut mereka ini berhati kejam. Akan tetapi karena tuan rumah adalah kawan dari Bin Hong Siansu, apa lagi menyambut mereka dengan amat ramah, dia pun tidak memperlihatkan kecurigaannya.

Dengan ramah Siok Tek Tojin menyambut dua orang tamunya, mengeluarkan hidangan dan bercakap-cakaplah mereka dengan asyiknya. Dari percakapan dengan tuan rumah, Bian Ti Hosiang segera tahu bahwa tosu ini adalah seorang yang memuji-muji kaisar dan memuji-muji Kiam Ki Sianjin pula.

Malam hari itu, Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu menginap di kamar yang berlainan. Hal ini adalah atas kehendak tuan rumah yang ingin menghormati kedua tamunya dan ingin menyediakan tempat yang enak bagi para tamunya.

"Di sini ada banyak kamar, harap Ji-wi Beng-yu (dua sahabat) jangan sungkan-sungkan," katanya berkali-kali sambil tersenyum.

Menjelang tengah malam, pada waktu Bian Ti Hosiang masih duduk bersemedhi di atas tempat tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara dari arah jendela dan ketika dia membuka mata dan memandang, terkejutlah dia melihat asap bergulung-gulung masuk dari jendela itu! Dia cepat melompat turun, akan tetapi segera terguling karena tercium olehnya bau yang harum dan keras sekali. Ia pun maklum bahwa asap itu adalah asap beracun yang dapat membius orang, akan tetapi sebentar saja dia telah roboh pingsan.

Ketika dia sadar kembali, dia mendapatkan dirinya masih rebah di atas lantai dengan kedua tangan ke belakang dan ketika dia hendak mengerahkan lweekang-nya, ternyata bahwa seluruh tubuhnya sudah lemas, tanda bahwa jalan darahnya telah ditotok orang secara lihai sekali. Asap telah menghilang, akan tetapi hwesio ini masih merasa pening. Dengan tubuhnya yang sangat lemah karena jalan darahnya tidak lancar, dia bergulingan dan dengan susah payah dapat juga dia duduk dan menyandarkan punggungnya pada tiang pembaringan. Kemudian dia berseru,

"Penjahat manakah yang begitu curang menyerang orang tanpa memberi tahu terlebih dahulu?" Dari luar jendela terdengar suara orang ketawa mengejek,

"Kiu-bwe Coa-li, apakah kau sudah membereskan Siok Tek Tojin?" suara itu bertanya, kemudian dijawab oleh suara wanita yang kecil tinggi melengking.

"Sudah, hanya tosu dari Kim-san-pai itu yang masih harus kita bereskan. Bagaimana, Pak-lo-sian, apakah babi gemuk itu sudah dapat dibikin beres?"

"Ha-ha-ha, sudah heres, dia sudah tidak berdaya. Marilah kita bekuk Bin Hong Siansu," kata suara pertama yang besar dan parau.

Diam-diam Bian Ti Hosiang tertegun dan terheran. Benarkah pendengarannya? Apakah betul dua orang yang berada di luar jendela itu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Kalau memang benar, mengapa dua orang tokoh besar yang luar biasa lihainya itu melakukan perbuatan seperti ini terhadap dia? Ia teringat akan sahabatnya yang menurut pembicaraan tadi belum tertawan, maka sambil mengerahkan lweekang-nya dia cepat berseru,

"Bin Hong Toyu! Hati-hatilah, ada dua orang jahat di tempat ini...!"

Belum lama gema suaranya lenyap, pintu kamamya ditendang orang dan masuklah Bin Hong Siansu.

"Bian Ti Hosiang, ada terjadi apakah…?" Tosu dari Kim-san-pai ini bertanya.

Akan tetapi sebagai jawaban pertanyaan ini, mendadak dari jendela menghembus asap tebal, asap hitam dan putih yang sebentar saja memenuhi kamar itu.

"Bin Hong Siansu, berhati-hatilah terhadap asap beracun itu. Cepatlah kau pergi!" teriak Bian Ti Hosiang.

Mendengar ini Bin Hong Siansu terkejut sekali dan cepat melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu yang sudah penuh oleh asap hitam, dia roboh terkena pukulan yang amat dahsyat, tepat pada dadanya. Pemukul yang tidak kelihatan karena terhalang oleh asap hitam itu tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali karena pukulannya jatuh tanpa dapat ditangkis atau dielakkan lagi.

Bin Hong Siansu terhuyung-huyung dan tanpa disadarinya mengisap asap itu, lalu roboh pingsan. Demikian pula Bian Ti Hosiang, biar pun sudah berusaha dengan merebahkan tubuhnya di atas lantai supaya jangan kena mengisap asap itu, akhirnya dia pun pingsan karena tidak tahan pula dengan asap yang ternyata bisa mengapung rendah itu.

Di dalam kamar yang penuh asap itu lantas berkelebat bayangan yang berbaju hitam. Ia menghampiri Bian Ti Hosiang, memukul pelipis hwesio ini dengan perlahan kemudian dia melakukan hal yang sama kepada Bin Hong Siansu. Setelah melakukan hal ini, dia lalu tertawa bergelak dan sekali berkelebat saja, dia telah menghilang keluar dari kamar itu, masuk di dalam gelap.

Akan tetapi belum lama dan belum jauh dia meninggalkan rumah itu, tiba-tiba berkelebat bayangan lain di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana telah berdiri menghadangnya. Pemuda itu menegurnya.

"Siapakah Losuhu ini dan mengapa malam-malam berlari-larian seperti dikejar orang?" Pemuda itu bukan lain adalah Lu Kwan Cu yang kebetulan pada malam hari itu tiba di dusun ini sepulangnya dari Leng-san dan hendak memulai perjalanannya untuk mencari musuh-musuh besar gurunya.

Dia memandang dengan penuh perhatian dan melihat bahwa orang yang berlari dengan gerakan luar biasa cepatnya itu ternyata adalah seorang hwesio yang tubuhnya tinggi kecil, bermuka amat menyeramkan dan berpakaian serba hitam, mengingatkan dia akan pakaian Hek-i Hui-mo!

Ketika hwesio ini menjawab, hati Kwan Cu berdebar. Suara hwesio ini demikian tinggi dan kecil, lebih mirip seperti suara wanita!

"Bedebah, perlu apa kau bertanya-tanya? Minggirlah!"

Tangan hwesio itu segera mencengkeram ke arah pundaknya. Inilah ilmu silat semacam Eng-jiauw-kang (Pukulan Kuku Garuda) yang lihai sekali!

Kwan Cu tidak berani berlaku lambat karena ketika angin pukulan ini datang menyambar, ia mencium bau yang amat amis. Ia menduga dengan hati bergidik bahwa tangan hwesio ini tentulah mengandung racun berbahaya pula.

Dengan sigapnya Kwan Cu mengelak dan sebelum dia menegur, hwesio itu yang juga tercengang melihat betapa pemuda yang dikiranya pemuda dusun ini dapat mengelakkan diri dari pukulannya, cepat berlari pergi. Kwan Cu diam-diam menggunakan kegesitannya dan sekali mengulur tangan dia sudah berhasil menjambret baju hitam yang panjang itu sehingga sepotong kain hitam tertinggal di dalam tangannya.

Kwan Cu hendak mengejar, akan tetapi malam gelap sekali dan hwesio itu dapat berlari cepat. Dia tidak mengenal hwesio itu dan tidak tahu urusannya, tidak enaklah kalau dia terus mengejar. Maka dia lalu melompat ke arah kuil yang berada di dekat situ, dari mana hwesio yang aneh itu tadi melarikan diri. Robekan kain hitam itu dikantonginya dan dia melakukan ini tanpa disadarinya.

Dengan hati-hati Kwan Cu melakukan penyelidikan dan dia masih mencium bau harum yang menyesakkan dada ketika dia mendekati kuil itu. Cepat pemuda ini mengatur napas dan mengerahkan tenaga lweekang yang didapatinya ketika bersemedhi di atas Pulau Pek-hui-to untuk mengusir racun dan ‘menyaring’ napas yang memasuki paru-parunya, kemudian dia melakukan pengintaian. Dan dia melihat pemandangan yang amat aneh di dalam sebuah kamar di kuil itu.

Setelah Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sadar dari pingsannya, mereka merasa betapa kepala mereka seperti akan pecah. Karena totokan yang membikin tubuh Bian Ti Hosiang lumpuh telah bebas dan ikatan tangannya juga telah dilepaskan orang, maka dia bisa mengerahkan lweekang dan alangkah terkejutnya ketika dia merasa kepalanya sakit sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tahulah dia bahwa dia telah menderita luka yang luar biasa hebatnya dan bahwa nyawanya tak akan tertolong lagi. Demikian pula dengan Bin Hong Siansu!

Tiba-tiba masuklah Siok Tek Tojin. Sebelah tangan kirinya lumpuh dan dia masuk sambil terpincang-pincang.

"Aduh, Ji-wi Bengyu, celaka..." katanya terengah-engah. "Hampir saja pinto sendiri tewas oleh dua orang siluman itu! Entah apa sebabnya Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li datang menyerbu dan menyebar kebinasaan!"

"Kau... juga bertemu dengan mereka…?" Bian Ti Hosiang yang masih merasa ragu-ragu bertanya sambil menahan sakit.

"Tentu saja! Lihat, pundak kiriku ditotok dan sampai sekarang pinto masih belum dapat membebaskannya dan separuh tubuhku lumpuh. Pak-lo-sian yang melakukan ini sambil berkata bahwa dosa pinto tak terlalu besar maka pinto diampuni. Kesalahan pinto hanya karena berani menerima Ji-wi sebagai tamu!"

"Apakah mereka juga bilang mengapa mereka menyerang kami?" tanya Bin Hong Siansu penasaran sambil memegangi kepalanya yang seperti mau pecah itu. Kemudian tiba-tiba dia muntahkan darah hitam dan jatuh pingsan pula!

Siok Tek Tojin menjadi bingung. Dengan tangan kanannya dia mencoba menyadarkan tosu dari Kim-san-pai itu. Akhimya dengan napas terengah-engah Bin Hong Siansu dapat sadar juga, akan tetapi dia sudah tidak kuat duduk lagi. Ada pun Bian Ti Hosiang sambil meramkan mata bersandar pada tiang pembaringan, lalu berkata terengah-engah,

"Lekas ceritakan... apa yang mereka katakan..."

Dengan suara hampir menangis Siok Tek Tojin berkata,

"Kiu-bwe Coa-li yang berkata bahwa Ji-wi harus dibunuh karena Ji-wi telah mengadakan hubungan dengan Kiam Ki Sianjin di istana."

Akan tetapi keadaan kedua orang pendeta itu sudah payah sekali sehingga sukar untuk mendengarkan dengan jelas. Hal ini diketahui pula oleh Siok Tek Tojin, maka pendeta ini cepat-cepat pergi mengambil kertas, pit dan tinta bak lalu berkata,

"Ji-wi, harap sudi menuliskan sedikit kata-kata keterangan tentang peristiwa pembunuhan ini agar pinto bisa membawanya ke Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tanpa ada penjelasan Ji-wi, pinto khawatir sekali kalau-kalau ada salah sangka terhadap diri pinto."

Kedua orang pendeta ini segera maklum akan maksud Siok Tek Tojin. Karena luka yang diderita oleh Bin Hong Siansu jauh lebih hebat dari pada Bian Ti Hosiang, maka hwesio Bu-tong-pai itulah yang menggerakkan tangan menerima pit itu dan dengan pelayanan Siok Tek Tojin, dia kemudian menuliskan beberapa huruf di atas kertas dengan tangan gemetar.

TEECU BERDUA DISERANG OLEH KIU-BWE COA-LI DAN PAK-LO-SIAN

Kemudian tulisan itu ditanda tangani oleh Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu. Setelah menanda tangani surat itu, keduanya lalu mengeluh dan akhirnya roboh pingsan tanpa pernah siuman kembali!

Ada pun Kwan Cu yang mengintai dari luar, melihat dan mendengar semua ini. Dari jauh dia pun tahu bahwa dua orang pendeta yang terluka itu tidak akan tertolong lagi, karena sinar mukanya sudah suram, tidak ada cahaya lagi. Ia teringat akan hwesio tinggi kurus yang berpakaian hitam tadi, maka dia tidak menanti sampai Bian Ti Hosiang menuliskan keterangan, cepat dan tanpa terdengar oleh siapa pun juga dia lalu meloncat keluar dan mengejar ke arah bayangan hitam yang telah melarikan diri.

Pemuda ini merasa terheran-heran. Dia mengenal dua orang pendeta itu yang pernah dijumpainya di rumah tinggal Kiam Ki Sianjin. Memang mereka itu mencurigakan dengan kunjungan mereka di rumah Kiam Ki Sianjin, pembantu utama kaisar penjajah, namun mengapa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian membunuh mereka?

Ia telah mengenal watak dua orang tokoh besar itu, yang kebesaran namanya berendeng dengan mendiang suhu-nya, yang termasuk dalam Lima Tokoh Besar di dunia kang-ouw. Kenapa sekarang mereka melakukan pembunuhan secara curang? Kenapa pula mereka mempergunakan asap beracun?

Bagaikan kilat menyambar masuklah dugaan di dalam hati Kwan Cu bahwa agaknya ada orang yang hendak merusak nama baik Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Jika dugaannya benar, maka yang hendak merusak nama mereka itu bukan lain adalah hwesio berjubah hitam tadi! Dia harus dapat mengejar dan menyusulnya untuk mencari keterangan lebih jelas!

Akan tetapi dia sudah tertinggal jauh. Selain malam gelap sekali, dia juga tidak tahu arah mana yang kemudian diambil oleh hwesio aneh itu. Sampai fajar menyingsing Kwan Cu mengejar dengan cepat, akan tetapi sia-sia. Dia tidak melihat bayangan hwesio aneh itu dan dengan putus asa dia lalu menghentikan pengejarannya.

Ketika dia mengenangkan kembali apa yang telah terjadi dan dilihatnya di dalam kuil tua itu, dia terkejut. Tosu yang menjadi tuan rumah itu berkata bahwa dia menjadi saksi dan sudah bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian! Bahkan dia sendiri juga ditotok oleh Pak-lo-sian. Inilah aneh sekali!

Benarkah hal itu terjadi? Kalau tidak benar, ini hanya berarti bahwa tosu itu juga menjadi anggota komplotan hwesio jubah hitam dan dia sengaja berpura-pura untuk memperkuat usaha memburukkan nama dua orang tokoh besar itu!

Mendapat pikiran ini, Kwan Cu tidak mempedulikan bahwa tubuhnya sudah mulai lelah, bukan karena setengah malam mengejar-ngejar bayangan yang tak tentu arahnya, akan tetapi karena dia kurang tidur. Ia berlari-lari lagi, kini lebih cepat, kembali ke kuil di mana dia menyaksikan peristiwa yang aneh itu.

Setelah tiba di kuil dan masuk ke dalam kamar yang pernah dilihatnya, Kwan Cu hanya mendapatkan jenazah Bian Ti Ho-siang dan Bin Hong Siansu, sudah dingin dan dengan wajah membayangkan penasaran. Ada pun tosu yang menjadi pengurus kuil sudah tidak kelihatan mata hidungnya.

Dia memasuki kamar-kamar lain, memanggil-manggil, akan tetapi tidak seorang pun ada yang menjawab. Saat dia melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa semua pakaian tosu itu tidak ada di kamar, tanda bahwa tosu itu telah pergi membawa semua pakaiannya.

Ini berarti bahwa tosu itu bukan sekedar pergi keluar ke tempat yang dekat, tetapi tentu akan melakukan perjalanan jauh. Tentunya untuk menyampaikan warta pembunuhan ini ke Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!

Kwan Cu menghadapi urusannya sendiri yang dianggap lebih penting dari pada urusan ini. Urusan ini hanya merupakan teka-teki yang membingungkannya, akan tetapi tak ada sangkut-pautnya dengan dia. Maka dia lalu mengurus dua jenazah itu, mengubur mereka dengan baik-baik di halaman kuil, lalu melanjutkan perjalanannya sambil mengenangkan tugas-tugasnya yang amat berat yang masih harus dilaksanakannya.

Pertama-tama ia harus mencari musuh besar kongkong-nya yang hanya tinggal seorang lagi saja, yakni An Kai Seng, keturunan An Lu Shan yang masih belum dia ketahui di mana tempat tinggalnya. Ada pun musuh besar gurunya adalah Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan Hek-i Hui-mo, tiga orang tokoh besar yang tidak boleh dipandang ringan dan yang masih selalu meragukan hatinya apakah dia akan sanggup menghadapi dan mengalahkan mereka.

Di antara tiga orang tokoh besar ini, ia merasa paling benci kepada Toat-beng Hui-houw. Tidak saja kakek yang seperti siluman ini juga mengeroyok dan ikut membunuh Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia mendengar pula akan kejahatan kakek ini dan terutama sekali karena dia masih ingat betapa Pek-cilan Thio Loan Eng, wanita gagah yang dia kasih sayangi seperti kepada ibu sendiri, telah menjadi korban keganasan kakek itu. Dia harus membalas dendam dan membunuh Toat-beng Hui-houw, tidak saja untuk membalaskan kematian suhu-nya, akan tetapi juga untuk membalaskan dendam Pek-cilan Thio Loan Eng.

Teringat akan Pek-cilan Thio Loan Eng, terbayanglah wajah Sui Ceng di depan matanya dan Kwan Cu menghela napas. Otomatis kedua kakinya mogok berjalan dan dia malah menjatuhkan diri di bawah pohon, beristirahat dan melanjutkan lamunannya tentang Sui Ceng.

Selain mencari musuh-musuh besar gurunya, kongkong-nya serta Pek-cilan Thio Loan Eng, juga dia masih menghadapi urusan ini yang baginya tidak kalah pentingnya. Dia harus mencegah berlangsungnya perjodohan antara Kun Beng dan Sui Ceng. Dia harus melakukan ini demi kebaikan Sui-Ceng, demi kebaikan Kui Lan yang disia-siakan oleh Kun Beng dan demi kebaikan... dirinya sendiri.

"Aku cinta kepadanya... ahhh, gila benar, aku cinta mati-matian kepada Bun Sui Ceng!" Kwan Cu menggaruk-garuk kepalanya.

Dahulu dia tidak mempunyai perasaan seperti ini, akan tetapi semenjak dia bersumpah di depan gadis raksasa secara main-main untuk menghindarkan desakan gadis itu, bahwa dia sudah mempunyai seorang gadis pujaan, yakni yang bernama Bun Sui Ceng, sejak itu entah mengapa dia selalu terkenang kepada Sui Ceng.

Selalu terbayang gadis cilik yang lincah, jenaka dan manis itu. Sekarang, sesudah dia bertemu muka dengan Sui Ceng yang sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, hatinya jatuh betul-betul.

Akan tetapi helaan napasnya makin berat ketika dia teringat bahwa gadis itu bagaimana pun juga sudah bertunangan dengan Kun Beng, pertunangan yang sah karena disahkan oleh mendiang Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng dan Pak-lo-sian Siang-koan Hai guru dari Kun Beng! Kalau menghalangi perjodohan itu berarti dia akan berhadapan dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan mungkin juga dengan Kiu-bwe Coa-li yang tentu akan melindungi nama baik muridnya!

"Beraaaaat...!" pikir pemuda ini sambil menarik napas panjang dengan wajah berduka, "Kenapa begitu memasuki dunia ramai aku harus berhadapan dengan tokoh-tokoh besar yang dahulu pun sudah membikin susah padaku ketika aku masih kecil?"

Lamunannya semakin menjauh. Kenangannya membawanya kepada masa kecilnya dan ketika dia teringat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, serta Kiu-bwe Coa-li mengurungnya, mendesaknya dan memaksanya serta menghinanya, Kwan Cu tersenyum gembira dan matanya bersinar-sinar.

"Biarlah, biar aku mencoba kepandaian mereka semua itu, hitung-hitung untuk menagih hutang mereka dahulu ketika aku masih kecil. Hitung-hitung aku mengangkat nama suhu Ang-bin Sin-kai yang patut disebut jago nomor satu di antara Lima Tokoh Besar dunia kang-ouw!"

Dengan adanya pikiran ini, Kwan Cu menjadi gembira kembali dan dia lalu melanjutkan perjalanannya, mencari keterangan mengenai An Kai Seng, musuh besar kongkong-nya atau keturunan terakhir An Lu Shan, pemberontak yang sudah banyak menghancurkan kehidupan rakyat jelata itu…..

********************

Kota Jeng-tauw terletak di pesisir laut timur. Kota ini adalah sebuah kota yang besar di Propinsi Shan-tung, juga sangat ramai karena selain kotanya besar serta penduduknya banyak, letaknya di pinggir laut maka merupakan pusat perdagangan. Kapal-kapal besar keluar masuk ke dalam pelabuhan dan banyak pedagang besar mendapat penghasilan baik sekali.

Oleh karena itu, makin lama kota ini menjadi makin ramai dan banyaklah dibuka orang hotel-hotel dan restoran-restoran besar. Toko-toko penuh dengan barang-barang dari lain daerah dan selalu dikunjungi banyak orang.

Di antara sekian banyaknya orang hartawan yang tinggal di kota Jeng-tauw, kiranya yang paling terkenal adalah Tan-wangwe (hartawan Tan) atau yang nama lengkapnya Tan Kai Seng. Ia tidak saja terkenal karena memang amat kaya, memiliki banyak gedung-gedung besar dan memiliki pula rumah-rumah penginapan serta perahu-perahu yang disewakan untuk mengangkut barang dari perahu-perahu besar yang berlabuh jauh dari pelabuhan, juga dia terkenal sekali karena hartawan Tan ini mempunyai kepandaian ilmu silat yang kabarnya amat tinggi.

Sebagai seorang hartawan, tentu saja dia tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya itu, akan tetapi semua orang kang-ouw yang datang ke kota itu tentu mendengar dan menyaksikannya sendiri. Selain ini semua, hartawan Tan yang masih muda itu menjadi lebih terkenal karena dia telah menikah dengan seorang wanita yang telah lama menjadi sebutan orang sebagai bunga kota Jeng-tauw.

Wi Wi Toanio, demikian nama wanita ini, adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun ketika dikawin oleh Tan-wangwe, seorang gadis yang mempunyai kecantikan luar biasa sehingga banyak orang membandingkannya dengan Permaisuri Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita, kekasih dari pada Kaisar Kerajaan Tang yang sudah roboh oleh An Lu Shan.

Selain memiliki kecantikan luar biasa, juga Wi Wi Toanio tak seperti gadis Han umumnya, yakni malu-malu dan tidak berani memperlihatkan wajah di depan umum. Sebaliknya, Wi Wi Toanio yang mempelajari ilmu silat tinggi dan berkepandaian lihai berkat latihan dari seorang nikouw (paderi wanita) dari Thian-san, sering keluar dari rumah menunggang kuda berbulu merah.

Semenjak belum menikah, dia sudah mempunyai lagak yang sangat genit. Akan tetapi karena yang berlagak genit ini seorang gadis cantik jelita yang berkepandaian tinggi pula, maka dalam pandangan orang-orang lelaki dia bahkan terlihat makin cantik dan menarik!

Semua orang tahu belaka bahwa Wi Wi Toanio masih berdarah Tartar, karena ibunya adalah seorang Tartar bangsawan, akan tetapi tak seorang pun berani membicarakan hal ini. Yang sama sekali tidak diduga orang adalah Tan-wangwe sendiri. Dia ini sebenamya adalah An Kai Seng, cucu dalam dari An Lu Shan sendiri, akan tetapi tidak ada orang yang mengetahuinya dan mereka menerimanya sebagai seorang Han yang kaya raya.

Memang An Kai Seng orangnya cerdik sekali. Meski pun dia keturunan An Lu Shan yang pernah menjadi kaisar, boleh dibilang dia keturunan bangsawan tinggi, akan tetapi An Kai Seng tahu bahwa kedudukan keluarga kakeknya itu berbahaya sekali.

Oleh karena itu, sesudah dia berada di istana, diam-diam dia mengumpulkan harta-harta rampasan dari rakyat dan bekas pemerintah Tang. Kemudian dia keluar dari istana, dan menyatakan kepada semua keluarganya bahwa dia lebih suka menjadi pedagang!

Padahal bukan begitu keadaannya. Dia keluar dari istana sambil membawa harta benda yang besar sekali untuk mencari kebebasan, agar supaya dia jangan terlibat oleh urusan pemerintahan yang tidak menarik hatinya.

Sesudah hidup di luar keluarga kaisar, An Kai Seng lalu mengumbar hawa nafsunya. Dia seorang pemuda, tampan, memegang uang banyak sekali, tentu saja dia laksana kuda tanpa kendali. Di samping berfoya-foya, dia pun memperdalam kepandaiannya di dalam ilmu silat, belajar dari guru-guru silat yang ternama.

Kemudian dia mendengar berita tentang kekacauan di istana, juga tentang pembunuhan terhadap An Lu Shan oleh puteranya sendiri, kemudian mengenai pembunuhan yang dilakukan oleh Si Su Beng terhadap putera mahkota. Diam-diam An Kai Seng memuji diri sendiri yang sudah lari dari istana dan mulailah dia berhati-hati menjaga harta bendanya.

Mulailah dia berdagang dan mendapatkan untung besar sekali karena semenjak kecil dia memang mempelajari ilmu surat sehingga terhitung seorang bun-bu coan-jai (pandai ilmu silat dan surat).

Alangkah kaget dan takutnya ketika dia mendengar berita tentang terbunuhnya An Lu Kui dan An Kong. Dan dia mendengar pula bahwa ada seorang musuh besar keluarga An hendak membasmi semua keturunan dan keluarga An Lu Shan!

An Kai Seng ketakutan hebat. Dia cepat-cepat pindah dari kota yang dekat dengan kota raja, mengangkut semua barang dan harta bendanya, dan pindah ke Jeng-tauw dengan nama sudah diganti, yakni Tan Kai Seng. Karena dia memang pandai sekali bicara Han dan mukanya juga tampan seperti muka orang Han biasa, dia diterima oleh masyarakat di Jeng-tauw sebagai hartawan Tan Kai Seng yang masih muda dan masih bujang. Maka tenanglah hatinya.

Apa lagi setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio dan berhasil mengawininya, Kai Seng merasa hidupnya bahagia dan aman. Siapakah yang tahu bahwa dia adalah keturunan An Lu Shan? Dan andai kata ada orang yang tahu, apa yang ditakutinya? Dia hartawan, berkuasa dan memiliki banyak kawan ahli-ahli silat, bahkan boleh dibilang dengan secara diam-diam, semua buaya darat di kota itu adalah kaki tangannya!

Semua pembesar di kota itu menjadi pelindungnya, dan selain dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi, juga isterinya terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat! Siapa dapat mengganggunya? Iblis sendiri pun akan gentar untuk mengganggunya!

Akan tetapi, kekhawatiran hatinya membuat dia tidak tinggal diam. Ia lalu menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki tentang pembunuh An Lu Kui dan An Kong dan mendapat keterangan bahwa pembunuh mereka itu adalah seorang pemuda murid Ang-bin Sin-kai yang amat lihai, bernama Lu Kwan Cu.

Juga untuk menjaga keamanannya, selain dia dan isterinya terus memperdalam ilmu silat mereka dari guru-guru pandai, dia pun membeli dua batang pedang yang bagus dengan harga mahal sekali. Setiap hari dia dan isterinya tidak pernah berpisah dari pedang ini. Selain itu, dia juga memelihara guru-guru silat yang berpakaian sebagai pelayan, yang jumlahnya ada tujuh orang dan mereka ini menjadi pengawal pribadinya!

Berkat kekuasaan uangnya yang mampu membayar setiap mata-mata dan penyelidik, An Kai Seng dapat mengumpulkan keterangan tentang Lu Kwan Cu sehingga biar pun dia belum pernah bertemu muka dengan musuh besar ini, tetapi dia dapat menggambarkan keadaan pemuda itu, dari bentuk badan, pakaiannya dan wajahnya. Sekali saja bertemu, tentu dia akan mengenal pemuda yang mengancam keluarga An itu.

Dalam hal ilmu silat, Kai Seng memang sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi, bahkan sebelum dia meninggalkan istana, dia sudah menerima warisan ilmu pedang yang cukup lihai dari Coa-tok Lo-ong (Raja Racun Ular) yang baru saja datang dari Tibet.

Coa-tok Lo-ong adalah sute (adik seperguruan) dari Hek-i Hui-mo, oleh karena itu dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Ilmu pedang yang dipelajarinya merupakan ilmu Pedang Pat-coa Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Ular). Selain ilmu pedang dari Coa-tok Lo-ong ini, Kai Seng masih mempelajari banyak ilmu silat dari guru silatnya yang pandai, di antaranya dia mempelajari pula ilmu gulat dari Mongol.

Akan tetapi, sesudah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio, dia mendapatkan orang yang melebihi dirinya dalam segala-galanya, kecuali dalam kekayaan. Tidak saja kecantikan dan kegenitan gadis ini merampas semangat dan hatinya, juga ilmu silat Wi Wi Toanio temyata masih mengatasi kepandaiannya!

Sebagai murid dari Thian-san-pai, Wi Wi Toanio sudah mempelajari Ilmu Silat Thian-san Kiam-hoat sampai hampir sempurna sehingga ketika suami isteri ini secara main-main mengadu ilmu pedang, Pat-coa Kiam-hoat masih tidak sanggup menandingi Thian-san Kiam-hoat! Tentu saja Kai Seng menjadi girang sekali karena selain sebagai seorang isteri yang amat cantik dan tercinta, juga dalam diri isterinya dia mendapatkan seorang pembantu dan pelindung yang boleh diandalkan.

Walau pun tujuh orang pengawal pribadinya terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi, namun tingkat mereka itu masih belum dapat menandingi tingkat kepandaian Kai Seng sendiri, apa lagi kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu pedang Wi Wi Toanio. Karena itu, tujuh orang pengawal ini sangat tunduk dan menghormati majikannya, tidak hanya karena majikannya lebih pandai, terutama sekali karena Kai Seng sangat royal terhadap para pengawalnya ini.

Pada suatu hari, ketika Kai Seng sedang bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam sambil menikmati kue-kue yang mereka beli dari seorang pedagang dari selatan, tiba-tiba seorang pelayannya datang menghadap dan melaporkan dengan muka pucat.

"Siauw-ya (Tuan Muda), menurut para pembantu di rumah penginapan, di kota ini sudah kedatangan seorang pemuda yang mencari keterangan tentang Siauw-ya!"

An Kai Seng dan isterinya saling pandang dan seketika itu juga kue yang tadinya amat enak itu seakan-akan berubah pahit.

"Selidiki apa kehendaknya dan coba panggil tujuh kauwsu (guru silat) ke sini!"

Pelayan itu lalu keluar kembali dan cepat menjalankan perintah itu. Sebelum keluar untuk melakukan tugasnya, lebih dulu ia mencari tujuh orang pengawal pribadi dari majikannya dan memanggil mereka.

"Cu-wi Kauwsu dipanggil oleh Siauw-ya."

Tujuh orang pengawal yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi bajunya digulung dan amat ringkas, lebih mirip pakaian guru silat itu, segera masuk ke dalam, di mana Kai Seng dan Wi Wi Toanio telah menanti. Segera mereka mengadakan perundingan yang sungguh-sungguh.

Tak lama kemudian, pelayan yang tadi keluar datang lagi dengan wajah bangga, karena dia sudah mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang pemuda yang mencari-cari majikannya itu.

"Siauw-ya, ternyata dia adalah pemuda biasa saja. Hamba sudah melihatnya sendiri dan dia bukanlah orang yang perlu dikhawatirkan. Namanya adalah Lu Kwan Cu, demikian yang dia tuliskan di buku hotel."

"Cukup, keluar kau!" bentak Kai Seng.

Pelayan itu keluar sambil mengomel panjang pendek. Dia sangat mengharapkan hadiah, akan tetapi ternyata majikannya kelihatan terkejut dan bahkan terlihat pucat mendengar omongannya tadi.

Memang, mendengar bahwa nama pemuda yang dicurigainya itu adalah Lu Kwan Cu, pemuda yang telah membunuh An Lu Kui dan An Kong, yang dikabarkan berkepandaian tinggi sekali, bukan main kagetnya hati Kai Seng. Akan tetapi dia menjadi lega kembali setelah isterinya menghibumya.

"Mengapa kau gelisah? Belum tentu kalau kabar tentang pemuda itu benar. Betapa pun lihainya, kita takut apakah? Aku sendiri sanggup memenggal lehernya dengan pedangku. Mustahil dia akan dapat menangkan kita. Apa lagi, kita sudah mengatur siasat sehingga andai kata dia memang lihai sekali, dia tidak akan dapat mencari kita."

Malam hari itu Kai Seng tidak dapat tidur dan kelihatan gelisah sekali sehingga Wi Wi Toanio menjebikan bibirnya yang merah dan mencelanya sebagai seorang penakut.

"Orang macam apakah adanya Lu Kwan Cu sehingga kau begitu takut? Kalau kau tidak berkeras melarang, aku ingin pergi ke hotel itu dan mengusirnya dengan pedangku," kata isteri yang cantik jelita dan genit akan tetapi berani itu.

"Jangan, isteriku, jangan berlaku sembrono. Menurut kabar dari istana dan orang-orang yang mengetahui, kakek luarku An Lu Kui dan pamanku An Kong yang sudah terkenal lihai sebagai murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu masih dapat terbunuh olehnya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia lihai sekali."

"Hemmm, aku belum menyaksikan seberapa lihainya kongkong dan pamanmu itu. Akan tetapi aku masih percaya kepada pedangku dan aku tidak takut andai kata pemuda yang bemama Lu Kwan Cu itu berkepala tiga dan bertangan delapan!"

Kai Seng tak berani membantah karena dia takut kalau-kalau isterinya marah. Memang, suami ini kalah oleh isterinya, kalah tinggi kepandaiannya dan juga kalah pengaruh. Akan tetapi sampai hampir pagi barulah dia dapat tidur. Berbeda dengan isterinya yang sejak sore-sore sudah tidur dengan nyenyaknya.....

Akan tetapi pada keesokan harinya, Kai Seng harus bangun lagi ketika pintu kamamya digedor pelayan dari luar.

“Siauw-ya... lekas bangun...!”

Wi Wi Toanio dan Kai Seng melompat dari tempat tidur dan Kai Seng segera membuka pintu.

"Ada apa?" tanyanya dengan muka pucat, karena memang hatinya selalu merasa tidak enak.

Yang menggedor pintu adalah pelayan yang kemarin memberi laporan padanya. Pelayan itu kelihatan gugup ketika mewartakan.

"Pemuda Lu Kwan Cu itu benar-benar berani mati datang ke sini, sekarang dia sedang dihadapi oleh tujuh kauwsu."

Muka hartawan muda itu semakin pucat. "Lekas kau beri tahukan kepada semua pelayan agar supaya apa bila ditanya menyatakan bahwa aku dan Toanio tidak berada di rumah. Awas, jangan ada yang membocorkan hal ini. Kemudian kau cepat-cepat mengundang semua sahabatku yang pandai ilmu silat, minta bantuan mereka dan katakan bahwa di rumahku kedatangan seorang penjahat yang mengacau."

"Baik, Siauwya!" kata pelayan itu yang cepat berlari pergi, dan di dalam hatinya kembali pelayan ini mengomel panjang pendek. "Baru kedatangan seorang seperti pemuda yang lemah itu saja sudah ribut bukan main seperti kedatangan setan!"

"Wi Wi, lekas kau bertukar pakaian pelayan, lepaskan semua perhiasanmu itu!" kata Kai Seng.

Dia sendiri juga cepat-cepat menanggalkan pakaian dan memakai pakaian pelayan yang memang sudah disiapkan sejak kemarin. Saking gugupnya, dia sampai terbalik memakai celana dan baju, sehingga dalam terburu-buru ingin cepat itu, dia bahkan semakin lambat mengenakan pakaian samarannya itu.

Inilah hasil perundingan dengan tujuh orang pengawalnya kemarin. Dalam perundingan itu diambil keputusan bahwa bila Lu Kwan Cu benar-benar datang menyerang, Kai Seng dan Wi Wi Toanio akan menyamar sebagai pelayan, kemudian melihat perkembangan selanjutnya.

Dengan senyum sindir berkembang di bibirnya yang manis, Wi Wi Toanio memandang kelakuan suaminya itu. Yang dipandang melirik dan merahlah wajahnya karena memang dari kegugupannya ketika mengenakan pakaian ini saja sudah merupakan pengakuan dirinya bahwa dia benar-benar merasa bingung, takut, dan gugup.

"Ehh, kau senyum-senyum saja, tidak lekas-lekas mengganti pakaian?" katanya menegur untuk menutupi rasa malunya.

Wi Wi Toanio mainkan bibirnya. "Mengapa aku harus berganti pakaian sebagai pelayan? Aku bukan pelawak yang hanya membikin para pelayan pada tertawa geli jika melihatku. Tidak, aku akan menghadapi musuh besarmu itu dengan pakaian ini."

Kai Seng menggeleng-geleng kepalanya. "Wi Wi, Jangan berlaku sembrono, lebih baik kita berhati-hati, siapa tahu Lu Kwan Cu itu benar-benar amat lihai!"

"Biar pun dia lihai, akan tetapi bukankah yang dia cari adalah engkau? Padaku dia tidak kenal dan tidak mempunyai urusan sesuatu, mengapa aku takut-takut menghadapinya? Dia tidak akan mengapa-apakan aku."

"Bukankah kau isteriku?" Kai Seng berkata jengkel.

Wi Wi Toanio tersenyum dan berkata menghibur, "Siapa bilang aku bukan isterimu? Akan tetapi mustahil kalau Lu Kwan Cu mengerti bahwa aku isterimu!"

Kai Seng merasa kalah dan tidak berani mendesak. Lagi pula apa yang diucapkan oleh isterinya itu memang tidak salah. Yang dicari oleh Lu Kwan Cu hanya dia, keturunan An Lu Shan. Isterinya tentu tidak akan diganggu oleh musuh besar itu.

"Kalau begitu, marilah kita keluar, lihat apakah para kauwsu sudah dapat mengusimya." Kai Seng tidak lupa membawa pedangnya, sedangkan Wi Wi Toanio masih tetap berlaku ayal-ayalan.

“Kau keluarlah dulu, aku tidak mau keluar sebelum berhias dan tukar pakaian. Masa baru saja bangun tidur, belum cuci muka dan belum apa-apa sudah disuruh keluar bertemu orang?”

Kai Seng makin mendongkol. Baginya, sehabis bangun tidur isterinya bahkan semakin cantik saja. Akan tetapi dia tak berani membantah karena memang bagi seorang wanita, sukarlah untuk disuruh keluar dari kamar sehabis bangun tidur, sebelum puas berhias dan mengganti pakaian.

“Jangan terlalu lama!” katanya dan dia bergegas keluar.

Pada saat Kai Seng tiba di luar, dia melihat tujuh orang jagonya itu sedang menghadapi seorang pemuda dan melihat pemuda ini, timbullah ketabahannya. Tidak disangkanya bahwa laporan pelayannya kemarin itu benar belaka. Pemuda ini berpakaian buruk dan miskin sekali, tubuhnya tidak begitu besar dan nampaknya lemah saja. Namun dia tidak berani berlaku sembrono dan hanya berdiri dan mendengarkan dari jauh.

“Sudah kukatakan berkali-kali, orang muda, bahwa majikan kami bukan orang yang kau cari itu. Dia benar bernama Kai Seng, akan tetapi nama keturunannya adalah Tan, bukan An,” kata kauwsu tertua yang masih terus mencoba untuk mengusir pemuda itu dengan alasan.

“Siapa pun juga yang kau cari, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar dan berani mati mencari keributan di rumah Tan-wangwe?” bentak seorang kauwsu termuda yang kasar karena dia merasa berani dan marah melihat pemuda yang dipandangnya ringan ini.

Pemuda itu yang bukan lain adalah Kwan Cu, tertawa mengejek. Dia telah menemukan jejak musuh besarnya dan dia bukanlah seorang pemuda yang suka bertindak sembrono. Telah dicarinya keterangan yang jelas tentang An Kai Seng dan biar pun dia mendengar bahwa hartawan bernama Kai Seng di kota ini seorang ber-she Tan, namun dia masih tetap curiga dan menduga bahwa dia tentulah An Kai Seng yang mengubah namanya.

Apa lagi dia telah mendapat keterangan tentang wajah dan keadaan musuh besarnya itu, dan ketika dia menggunakan waktu sehari semalam di kota Jeng-tauw untuk menyelidik, dia mendengar bahwa wajah, dan bentuk badan hartawan Tan Kai Seng ini sesuai benar dengan keterangan yang dia dapat tentang musuh besarnya, yakni An Kai Seng. Kwan Cu memang berlaku sangat teliti dan tidak mau buru-buru turun tangan, hendak mencari kepastian lebih dulu.

“Aku tidak peduli apakah majikanmu itu she Tan, she An atau she Boan, akan tetapi aku hendak bertemu dengan majikanmu yang bernama Tan Kai Seng itu!” jawab Lu Kwan Cu atas pertanyaan para kauwsu yang berpakaian sebagai pelayan-pelayan itu.

“Hemm, kau berkeras kepala hendak bertemu dengan majikan kami, padahal kami sudah berkali-kali memberi tahu padamu bahwa majikan kami sedang pergi ke luar kota!” kata kauwsu tertua.

“Aku tidak percaya! Lekas panggil dia keluar, kalau tidak terpaksa aku akan mencarinya sendiri di dalam rumah ini.”

Kauwsu termuda marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.

“Kau ini bocah masih ingusan yang tidak tahu diri! Kau hendak mencari majikan kami dan hendak memasuki rumah secara paksa pula, apakah kehendakmu? Apakah kau hendak merampok?”

Kwan Cu tersenyum sindir dan masih berlaku sabar dan tenang.

“Kalian hendak mengetahui apakah kehendakku? Dengarlah baik-baik. Kalau majikanmu itu benar-benar Kai Seng yang kucari-cari, memang benar aku hendak merampok. Akan tetapi bukan harta benda yang hendak kurampok, melainkan kepalanya!”

“Bangsat rendah, kau terlalu sombong!” seru kauwsu termuda.

Oleh karena memandang rendah, secepat kilat dia mengirim serangan dengan pukulan tangan kanannya.

“Bagus, seorang pelayan memiliki kepandaian silat yang lumayan juga!” sindir Kwan Cu.

Ia cepat mengelak ke kiri dan sekali dia menggerakkan kaki, dia telah menendang pantat kauwsu termuda itu sehingga tubuh kauwsu yang tinggi besar itu terlempar dua tombak lebih, lalu jatuh mengeluarkan suara keras. Debu mengebul dan makin banyak lagi debu mengebul saat sambil meringis kesakitan, kauwsu itu bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, bukan hanya untuk menghilangkan debu dari celananya saja, akan tetapi juga untuk memijit-mijit tulang belakang yang terasa sakit sekali!

Melihat betapa dalam segebrakan saja kauwsu itu bisa dilemparkan dengan mudah oleh pemuda ini, semua kauwsu segera mengerti bahwa lawan ini benar-benar berkepandaian tinggi. Serentak terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan gemerlapanlah sinar golok dan pedang yang berada di tangan tujuh orang kauwsu itu.

“Hm, hm, hm, bagus sekali. Para pelayan di sini tidak memegang sapu dan kee-mo-cing (kebutan bulu ayam), melainkan memegang golok dan pedang!” kata Kwan Cu menyindir lagi.

Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membuka mulut lebih banyak lagi karena dengan gerakan berbareng, tujuh orang kauwsu itu sudah menubruk dan menghujankan senjata mereka ke tubuh Kwan Cu.

Melihat gerakan mereka, maka semakin curigalah hati Kwan Cu. Sambil mempergunakan ginkang-nya mengelak, meloncat, dan kadang-kadang menggunakan tangan kaki untuk menangkis serangan, dia berkata lagi.

“Aha, tidak saja pelayan-pelayan bergolok dan berpedang, bahkan ilmu silat kalian sudah tinggi. Benar-benar hartawan majikanmu itu aneh sekali, seperti bangsawan-bangsawan di kota raja saja yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melindungi dirinya!”

Para kauwsu itu terkejut melihat betapa pemuda itu berkelebat ke sana ke mari seperti burung saja gesitnya. Mereka mendesak makin rapat dan mainkan senjata mereka makin gencar. Ada pun Kai Seng yang melihat dari jauh, menjadi kecil hatinya karena pemuda itu benar-benar gesit sekali. Akan tetapi dia masih mengharapkan ada salah seorang di antara para kauwsunya akan berhasil melukai pemuda itu.

Akan tetapi sebentar saja harapannya ini lenyap dan diterbangkan oleh angin kenyataan. Pada saat semua senjata merangseknya, Kwan Cu melompat tinggi melalui kepala para pengeroyoknya ke kiri, kira-kira satu tombak jauhnya dari mereka.

Para kauwsu itu cepat membalikkan tubuh dan segera mengejarnya. Kauwsu termuda yang berdiri paling dekat, cepat menubruk dan mempergunakan gerak tipu Sian-jit Tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan) menusuk ke arah dada Kwan Cu. Gerakan ini cepat dan kuat sekali.

Alangkah girangnya hati kauwsu muda ini ketika dia melihat pedangnya amblas ke dalam dada Kwan Cu sampai dekat gagangnya! Akan tetapi sebentar saja dia membelalakkan matanya penuh keheranan karena dada itu tidak mengucurkan darah, bahkan pemuda itu tersenyum-senyum mengejek.

Ketika dia melihat dengan jelas, tahulah dia bahwa pedangnya amblas antara dada dan lengan, tegasnya pedang itu dikempit dengan lengan oleh lawannya. Ia tadi tidak melihat hal ini dan mengira bahwa tusukannya berhasil karena pemuda itu tidak mengelak sama sekali dan gerakannya ketika mengempit pedang itu begitu cepat sehingga tidak sempat terlihat olehnya!

Kai Seng yang berdiri dan melihat dari jauh, karena dia memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada kauwsu muda itu, dapat melihat akan hal ini dan siang-siang dia sudah terkejut sekali. Itulah gerakan yang banyak persamaannya dengan gerakan Khai-ciang Kiap-kiam (Membuka Tangan Mengempit Pedang), sebuah gerakan yang tak dapat dilakukan oleh sembarang orang karena selain gerakan ini amat berbahaya sehingga salah sedikit saja dada dapat tertembus pedang, juga gerakan ini memerlukan ketajaman mata dan tenaga lweekang yang sudah sempurna!

Kauwsu muda itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut pedangnya yang kini terjepit oleh lengan Kwan Cu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Kwan Cu tersenyum-senyum dan tidak segaris pun urat mukanya memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaganya. Pada saat melihat para pengeroyok lain sudah mengejar dan menggerakkan senjata, Kwan Cu tiba-tiba melepaskan kempitannya dan membarengi mengayun tangan menjamah dagu kauwsu muda itu.

“Aduuhhh... awaaassss, jangan tusuk aku!” Kauwsu muda itu tubuhnya terlempar ke arah para kawannya sendiri.

Para kauwsu lainnya terkejut sekali dan cepat mereka menurunkan senjata agar jangan sampai menusuk kawan sendiri yang melayang ke arah mereka. Dengan cepat mereka melompat ke kanan kiri dan kasihan sekali, kauwsu muda itu tidak jadi menubruk kawan-kawannya dan...

“Ngekkk!”

Dia terbanting ke atas tanah, untuk kedua kalinya pantatnya beradu dengan tanah. Akan tetapi kali ini amat kerasnya sehingga pecahlah kulit pantatnya, menimbulkan rasa sakit dan perih.

Akan tetapi kauwsu ini kebingungan karena dia tidak dapat memilih mana yang kurang sakitnya, dagu atau pantatnya. Dagunya yang tadi dijamah oleh lawannya terasa sakit bukan main sehingga dia merasa seolah-olah dagunya itu kini menjadi tebal seperti baru saja di sengat oleh dua puluh lima tawon berbisa! Karena kedua-duanya terasa sangat sakit, tangan kanannya mengaruk-garuk dagu, tangan kirinya memencet-mencet pantat, lakunya persis seperti seekor kera kepanasan!

Enam orang kauwsu yang lain segera menubruk dan amat marah melihat seorang kawan mereka dirobohkan. Akan tetapi Kwan Cu sudah siap sedia dan pemuda ini tidak mau membuang banyak waktu lagi.

Dia memang tidak ingin membunuh secara serampangan saja. Yang dicarinya adalah An Kai Seng seorang, orang-orang lain tidak masuk hitungan pembalasan dendamnya. Apa lagi para pelayan ini dianggapnya tak bersalah apa-apa, hanya menurut perintah majikan seperti boneka-boneka yang harus dikasihani karena tidak memiliki kebebasan.

Melihat datangnya enam orang itu, cepat-cepat Kwan Cu mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Kedua tangan dan kakinya bergerak aneh dan cepat sekali seperti sepak terjang seekor merak sakti sedang marah.

Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merampas semua senjata dan tidak lupa pada saat merampas senjata, dia mengirim totokan, tendangan atau pukulan siku yang membuat enam orang kauwsu itu terlempar ke kanan kiri, terbanting lantas roboh seperti keadaan kauwsu termuda.

Tujuh orang kauwsu itu hanya dapat mengaduh-aduh. Bahkan ada pula yang tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali, yakni mereka yang terkena totokan siku di bagian ulu hati sehingga sesak napas.

Kwan Cu melemparkan semua senjata yang dirampasnya dan cepat melompat ke arah ruangan depan untuk melakukan pemeriksaan dan hendak mencari orang yang menjadi majikan para pengeroyok tadi. Akan tetapi, sebelum dia melewati pintu ruangan depan, tiba-tiba dia mendengar sambaran angin.

Cepat ia mengelak sambil mengerahkan tenaga, mengulur tangan kanan, menggunakan sebuah gerak tipu dari Kong-ciak Sin-na untuk merampas pedang yang dengan cepat telah ditusukkan kepadanya. Akan tetapi dia amat terkejut melihat pedang itu cepat sekali ditarik kembali dan tidak dapat dirampasnya, bahkan pedang itu kini menyerangnya lagi dengan bacokan ke arah paha!

Kwan Cu melompat mundur lantas memandang. Penyerangnya adalah seorang pelayan pula yang masih muda dan yang memegang sebuah pedang yang berkilauan cahayanya. Ia tercengang dan diam-diam memuji dalam hatinya bahwa hartawan yang bernama Kai Seng itu benar-benar sangat hati-hati dan mempunyai banyak jago-jago yang tidak boleh dipandang ringan.

“Ahh... ternyata masih ada lagi kaki tangan jahanam she An yang begini lihai?” Kwan Cu berseru.

“Majikan kami she Tan, bukan she An. Kau orang kurang ajar lebih baik lekas minggat kalau tidak ingin mampus!” bentak pelayan itu yang sebenarnya bukan lain adalah An Kai Seng sendiri!

Sedikit pun Kwan Cu tidak menduga bahwa pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya ini adalah An Kai Seng, orang yang sedang dicari-carinya. Kalau saja sebelumnya dia tidak dikeroyok oleh kauwsu-kauwsu yang berkepandaian tinggi dan juga berpakaian sebagai pelayan, tentu dia akan bercuriga terhadap pelayan muda itu.

Tak pantas seorang pelayan berkepandaian setinggi itu. Akan tetapi, melihat kepandaian tujuh orang kauwsu yang mengeroyoknya, dia tidak merasa aneh lagi akan kepandaian pelayan muda berpedang ini. Agaknya memang musuh besarnya, An Kai Seng, sudah mendengar tentang usahanya untuk membalas dendam dan telah bersiap sedia menjaga diri, memelihara jago-jago silat yang pandai.

Ketika pelayan muda itu memutar pedangnya dan menyerangnya dengan hebat sekali, diam-diam Kwan Cu terkejut. Ia tidak boleh menyamakan pelayan ini dengan tujuh orang pelayan yang tadi mengeroyoknya, karena ilmu pedang yang dimainkan pelayan muda ini benar-benar lihai sekali dan terang bahwa itu adalah ilmu pedang yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi kelas satu.

Diam-diam Kwan Cu merasa bersyukur bahwa dia sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, karena kalau saja dia hanya menerima latihan dari Ang-bin Sin-kai, agaknya belum tentu dia dapat mengalahkan pemuda ini, apa lagi kalau hanya bertangan kosong.

Baru berusaha untuk mencari musuh besar kongkong-nya saja ia telah berjumpa dengan orang-orang yang demikian lihai, apa lagi kalau dia kelak bertemu dengan musuh-musuh suhu-nya. Sungguh tugasnya tidak ringan dan mudah, baiknya dia telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga dia boleh merasa tenang dalam menghadapi lawan-lawannya.

Karena maklum bahwa kalau dia hanya mempergunakan tangan kosong serta mainkan Kong-ciak Sin-na dan Pek-in Hoat-sut saja agaknya akan memakan waktu lama sebelum dia mengalahkan pelayan ini, Kwan Cu segera mencabut sulingnya. Dia tidak mau lagi membuang banyak waktu menghadapi segala macam pelayan, betapa pun pandainya pelayan ini. Tenaga serta waktunya harus dihemat untuk menghadapi musuh-musuhnya kelak, karena dia tidak ingin membinasakan orang-orang yang tidak punya permusuhan dengannya.

"Jangan kau mengorbankan nyawa untuk bangsat An Kai Seng, keturunan orang Tartar yang sudah banyak membikin sengsara rakyat itu!" Kwan Cu berkata sambil memutar sulingnya.

Setelah kini dia menggunakan senjata, benar saja pelayan muda itu menjadi sibuk sekali. Gerakan pedangnya kacau-balau karena suling lawannya seperti telah berubah menjadi banyak sekali dan mengurung serta mendesak dirinya dari segala jurusan.

Setelah Kwan Cu dapat menangkap inti sari ilmu pedang lawannya yang amat ganas itu, tiba-tiba ia melakukan serangan kilat, menangkis pedang lawan dengan sulingnya sambil dibarengi dengan gerakan menggaet, ada pun tangan kirinya memukul ke arah pangkal lengan kanan lawan yang memegang pedang.

"Lepaskan senjata!" serunya nyaring sambil mengerahkan tenaganya.

Pedang dan suling bertemu di udara dan betapa pun pelayan muda itu mengeluarkan seluruh tenaganya, dia tetap tidak mampu menarik kembali pedangnya yang seolah-olah sudah berakar pada suling itu. Tiba-tiba dia merasa pangkal lengannya sakit dan lumpuh sehingga pedangnya terpaksa dia lepaskan!

Akan tetapi pelayan itu adalah An Kai Seng yang tentu saja merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan terus menurunkan tangan maut kepadanya. Oleh karena itu, dia cepat mempergunakan tangan kirinya memukul dada Kwan Cu sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya.

Tadinya Kwan Cu hanya akan merasa puas setelah merampas pedang saja. Akan tetapi melihat lawannya tlba-tiba memukul dengan pukulan maut yang amat berbahaya, dia lalu berseru,

"Pergilah!"

Pukulan tangan kiri ke arah dadanya itu sama sekali tidak ditangkisnya, hanya dengan tangan kirinya dia menyampok sambil mengeluarkan tenaga Pek-in Hoat-sut.

Pelayan muda itu menjerit, lantas tubuhnya terpental dua tombak dan jatuh bergulingan sampai tiga tombak lebih! Baiknya Kwan Cu memang tidak berniat mencelakakan orang ini, maka dia hanya jatuh dan terbanting babak belur saja, tidak mengalami luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi, pukulan pada pangkal lengannya tadi sudah membuat lengannya kaku dan tubuhnya yang terbanting terasa sakit-sakit.

"Bangsat kecil, jangan kurang ajar!" tiba-tiba saja terdengar suara merdu dan sinar yang berkeredepan menyambar ke arah tenggorokan Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali karena gerakan pedang yang menyerangnya ini bahkan lebih gesit, cepat, serta kuat dari pada pedang pelayan muda yang baru saja dikalahkannya tadi. Bukan main, benar-benar musuh besar kongkong-nya ini sudah memelihara banyak sekali orang pandai, pikirnya sambil mengelak cepat dan menangkis pedang itu dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan Kwan Cu merasa betapa tenaga lweekang dari penyerang ini bahkan lebih besar dari pada tenaga si pelayan muda tadi!

Dia cepat memandang dan seketika itu juga dia melongo. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda yang berpakaian indah dan ketat, cantik jelita bukan main, seperti seorang bidadari turun dari kahyangan.

Tidak saja wajahnya yang putih halus kemerah-merahan itu memiliki tarikan yang sangat menarik hati dan memikat. Akan tetapi bentuk potongan tubuhnya sangat menggairahkan pula, juga sepasang mata wanita ini berkilauan penuh gairah hidup, bibirnya yang manis itu tersenyum simpul dan Kwan Cu mencium bau harum yang membuatnya berdebar.

Memang wanita ini cantik sekali, lebih cantik dari pada Gouw Kui Lan, malah masih lebih cantik dari pada Bun Sui Ceng sekali pun! Belum pernah Kwan Cu melihat gadis secantik ini, maka biar pun dia bukan seorang mata keranjang, namun dia tetap seorang pria dan melihat seorang wanita demikian cantik manisnya, setidaknya dia menjadi tertegun.

"Ehhh, mengapa kau memandang saja kepadaku begitu kurang ajar? Siapakah kau dan mengapa kau membikin kacau di sini?" Wanita cantik itu menegur, akan tetapi dengan mata berkedip-kedip bangga dan mulut tersenyum manis sekali.

Muka Kwan Cu menjadi merah sekali. la menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu tanpa berani memandang langsung supaya tidak terpesona oleh wajah itu, dia menjawab,

"Namaku Lu Kwan Cu dan aku datang hendak mencari An Kai Seng. Akan tetapi para pelayan itu menyerangku sehingga aku terpaksa merobohkan mereka."

Tiba-tiba Kwan Cu mengangkat muka dan memandang pula, kini bukan karena kagum dan untuk menikmati wajah cantik itu, akan tetapi karena dia teringat akan keterangan orang bahwa musuh besarnya An Kai Seng itu mempunyai isteri yang amat cantik. Inikah isterinya itu?

"Siapakah kau dan di mana adanya An Kai Seng?"

Wanita itu tertawa kecil sehingga giginya yang bagaikan mutiara berderet itu kelihatan sebentar, lalu tertutup kembali oleh sepasang bibirnya yang merah dan halus.

"Aku tidak kenal dengan segala An Kai Seng, dan tidak tahu dia berada di mana." Baru bicara sampai di sini, wanita itu melirik ke arah pelayan muda tadi yang sudah berdiri lagi sambil meringis kesakitan. Aneh sekali, wanita ini tersenyum geli dan memandang pula kepada Kwan Cu. "Hemm, kau malah sudah mengalahkan pelayanku itu?"

Sambil berkata demikian, wanita itu menudingkan jari telunjuknya ke arah pelayan tadi. Otomatis Kwan Cu ikut menengok ke arah pelayan muda tadi yang kini sudah berjalan terhuyung-huyung keluar dari pekarangan rumah.

Akan tetapi, gerakan lehernya untuk menengok itu mendatangkan kesempatan baik bagi wanita cantik tadi yang terus saja menusuk dengan pedangnya ke arah lambung Kwan Cu! Pemuda ini terkejut sekali dan cepat dia menggerakkan lengan, miringkan tubuh dan cepat pula menyampok pedang dengan sulingnya. Kembali terdengar suara keras dan pedang itu juga terpental kembali.

"Kau curang!" Kwan Cu menegur dengan hati mendongkol. Jika saja dia kurang hati-hati, serangan menggelap tadi tentu akan mendatangkan bahaya besar baginya.

"Siapakah kau?"

Wanita itu tersenyum mengejek dan sepasang matanya bergerak genit. Melihat dua mata ini, hati Kwan Cu berdebar dan dia mengaku bahwa sepasang mata ini lebih tajam dan lebih berbahaya dari pada sepasang pedang mustika! Maka dia cepat-cepat mengalihkan pandang dan tidak berani lagi menatap secara langsung!

"Kau datang ini hendak mencari orang atau hendak berkenalan dengan aku? Mengapa tanya-tanya nama segala macam?"

Celaka, pikir Kwan Cu. Perempuan ini tidak saja memiliki gaya dan kecantikan luar biasa yang dapat merobohkan hati laki-laki, juga lidahnya amat tajam dan pandai sekali bicara. Kwan Cu yang masih amat muda dan belum berpengalaman dalam menghadapi wanita, masih belum tahu bahwa seorang wanita seperti ini mempunyai kecerdikan dan muslihat yang lebih pandai dari pada seorang ahli perang.

Dengan muka merah sekali sampai ke telinga-telinganya, Kwan Cu membentak, "Jangan sembarangan bicara! Aku datang hendak menghancurkan kepala An Kai Seng dan kau lebih baik lekas menyingkir karena aku tidak suka menjatuhkan tangan kepada seorang wanita, apa lagi kalau kau tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan An Kai Seng."

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak kenal dengan An Kai Seng, yang ada di sini hanya Tan-wangwe, akan tetapi kau tidak percaya. Habis apa yang hendak kau lakukan?" tanya wanita itu sambil menatap wajah Kwan Cu yang tampan dan tenang.

"Aku harus melihat dulu orang yang bernama Kai Seng itu, hendak kulihat apakah dia orang yang kucari-cari ataukah bukan?"

"Jadi kau mau apa?" Wanita itu berkata menantang.

"Aku akan masuk dan memeriksa seluruh isi rumah ini."

Wanita itu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap.

"Kau... kau mengagumkan!"

Kwan Cu melengak dan tidak paham apa yang dimaksudkan oleh wanita ini. Akan tetapi wanita itu segera menyambung kata-katanya, kini dengan bentakan keras dan dengan pedang dilintangkan di depan dadanya.

"Dan kau sangat sombong! Kau mau menggeledah rumah orang begitu saja? Baru dapat kau lakukan kalau kau sudah dapat mengalahkan pedangku!" Ucapan ini ditutup dengan tusukan pedang yang sangat lihai, dan tusukan ini disusul oleh serangan-serangan lain yang cepat sekali.

Kwan Cu sudah dapat menduga akan kehebatan ilmu pedang wanita ini, maka dia tidak berlaku ayal dan cepat menggerakkan sulingnya menangkis dan mengelak. Serentetan serangan dari enam jurus dengan sangat mudahnya sudah dapat dihindarkan oleh Kwan Cu.

"Kau hebat!" Wanita itu memuji. "Coba kau tahan yang ini!"

Dengan gerakan tubuh yang amat indah bagaikan orang menari, dia lalu menggerakkan pedangnya pula, kini melakukan penyerangan dengan pedangnya. Serangan ini memang istimewa, dalam sejurus serangan ini terdapat tiga bagian yang dilakukan dengan tenaga berlainan dan dengan tujuan berlainan pula.

Tusukan pertama dilakukan dengan pengerahan tenaga mengikat, babatan ke dua yang menyusul dengan tenaga mengait, dan serangan ke tiga adalah tusukan ke arah kening di antara mata dengan dibarengi oleh pukulan tangan kiri dan lanjutan pemutaran pedang di depan mata lawan untuk mengacaukan lawan sehingga andai kata lawan masih dapat menghindarkan diri dari tiga kali serangan pedang, dia akan terkena oleh pukulan tangan kirinya!

"Hemm, inilah In-liong Sam-hian (Naga Awan Muncul Tiga Kali)! Kalau begitu kau murid Thian-san!" seru Kwan Cu.

Cepat sekali dia mengerahkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari serangan yang susul-menyusul dan dia tahu hal ini amat berbahaya. la pernah mendengar dari Ang-bin Sin-kai mengenai ilmu-ilmu silat yang paling ampuh dan berbahaya dari berbagai cabang persilatan dan justru ilmu pedang inilah yang pernah dia dengar dari suhu-nya. Jika dulu dia hanya mendengar teorinya saja, setelah dia mempelajari ilmu kesaktian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, sekarang sekali melihat saja tahulah dia bahwa ini adalah ilmu silat dari Thian-san-pai.

Wanita itu pun nampak terkejut dan kagum ketika Kwan Cu selain dapat menghindarkan diri dari serangannya yang dipilihnya paling hebat itu, juga dapat menduga tepat bahwa dia adalah anak murid Thian-san-pai. Akan tetapi dia hanya tertawa mengejek dan cepat melakukan serangan bertubi-tubi!

Kwan Cu merasa tidak perlu membuang waktu melayani wanita ini, akan tetapi karena ilmu pedang dari wanita itu memang lihai sekali, maka dia menjadi bingung. Apa bila dia tinggalkan, memang mudah saja baginya untuk melompat dan terus lari ke dalam rumah. Akan tetapi, lawannya ini tentu akan mengejarnya sehingga dia tidak leluasa melakukan penggeledahan.

Di samping ini, dia pun harus bertindak hati-hati karena siapa tahu kalau-kalau di dalam rumah dipasangi perangkap, karena ternyata bahwa pemilik rumah ini adalah orang yang menjaga diri baik-baik sehingga di situ terdapat banyak ahli silat yang pandai. Lagi pula, salahnya adalah karena dia tidak mau melukai perempuan ini, bukan hanya karena dia merasa tak enak hati untuk melukai seorang perempuan yang belum diketahuinya siapa dan dianggapnya tiada dosa, juga dia merasa tidak tega.

Tidak dapat disangkal pula bahwa kecantikan serta gaya wanita ini sedikit banyak sudah menarik hatinya. Kalau dia mau, memang agaknya dalam sepuluh jurus saja dia mampu merobohkan, akan tetapi tanpa melukainya adalah hal yang tidak begitu mudah.

Akhirnya dia mendapatkan akal. Dengan sulingnya dia melakukan serangan kilat dan…

"Breeettt!" robeklah baju wanita itu di bagian pinggang!

Wanita itu terkejut sekali karena suling lawannya seakan-akan telah mengenai tubuhnya, akan tetapi ternyata bahwa lawannya tak mau melukainya, dan suling itu diselewengkan sedikit sehingga bukan kulitnya yang robek melainkan bajunya. Akan tetapi serangan tadi benar-benar hebat sekali karena amat dekat dengan kulitnya sehingga bukan hanya baju luarnya, malah baju dalamnya ikut robek dan kulit pinggangnya yang putih itu kelihatan!

Karena mengalami kekagetan hebat, wanita itu menjadi tertegun dan Kwan Cu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tangan kirinya bergerak dengan Ilmu Silat Kong-ciang Sin-na, sedangkan tangan kanan menggerakkan suling menotok ke arah pinggang.

Dalam sekejap mata saja pedang wanita itu sudah dirampasnya dan kedua kaki wanita itu menjadi kaku tidak dapat digerakkan lagi akibat totokan suling tadi! Sambil tersenyum Kwan Cu melemparkan pedang itu ke atas sehingga sambil mengeluarkan bunyi nyaring, pedang itu menancap pada langit-langit rumah. Sampai setengah lebih tergantung di situ sambil bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga sambitannya.

Wanita itu menangis! Tangan kirinya menutupi pinggang yang pakaiannya terbuka dan tangan kanan diremas-remasnya, akan tetapi kedua kakinya tetap tak dapat bergerak.

"Kubunuh kau manusia kurang ajar!" teriaknya berkali-kali.

Akan tetapi Kwan Cu tidak melayaninya dan hanya tersenyum sambil berlari memasuki rumah. Dia merasa kasihan dan juga geli. Akan tetapi, setelah melakukan pemeriksaan dengan cepat, teliti dan hati-hati, Kwan Cu menjadi kecewa.

Semua pelayan yang dia temui di dalam gedung itu mengatakan bahwa majikan mereka bernama Tan Kai Seng dan ketika itu sedang keluar rumah. Kwan Cu tidak suka berlaku kejam kepada para pelayan ini, akan tetapi untuk memuaskan hatinya yang kecewa dia memilih seorang pelayan laki-laki yang berwajah bodoh.

Cepat dia mencabut pedangnya, yakni pedang Liong-coan-kiam yang selama itu hanya disembunyikan di balik baju. Sekali sabet saja meja besar dan tebal di ruangan dalam itu terbabat dan terbelah menjadi dua. Kemudian dia memegang leher baju pelayan itu dan menempelkan pedangnya di atas hidung.

"Kalau kau tidak menjawab sejujurnya, pedang ini akan memutuskan hidungmu. Tidak itu saja, aku akan membikin semua kaki tanganmu buntung supaya selama hidup kau tidak akan dapat bekerja dan akan menjadi pengemis yang tidak dapat makan sendiri!"

"Ampun... Siauwya...," kata pelayan itu sambil menggigil ketakutan.

"Nah, katakan siapa sebetulnya majikanmu itu!"

"Hamba tidak membohong, Siauwya majikan hamba bernama Tan Kai Seng..."

"Di mana dia?"

"Tadi... tadi dia berada di sini..."

"Jangan bohong! Mana dia?" Kwan Cu membentak.

Dia mengerahkan sedikit tenaga pada tangan kirinya yang menggencet pundak pelayan itu. Pelayan itu meringis kesakitan, pundaknya serasa ditusuk jarum.

"Am... ampun, Siauwya... hamba tidak membohong. Tadi... tadi majikan hamba berada di sini, bahkan tadi keluar..."

Kwan Cu berpikir, kemudian membentak lagi, "Yang mana dia? Yang mana? Hayo cepat katakan!"

"Dia... dia yang tadi melawan Siauwya."

"Apa?! Yang muda-muda dan berpakaian pelayan, memegang pedang...?".

Pelayan itu hanya mengangguk dengan tubuh menggigil ketakutan. Sesudah membuka rahasia majikannya, kini dia menjadi semakin ketakutan karena dia tahu bahwa apa bila majikannya mengetahui akan pengkhianatannya, dia akan menerima hukuman berat.

Kwan Cu terkejut mendengar ini dan dia merasa menyesal sekali. Tadi dia sudah curiga terhadap pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya itu. Diakah An Kai Seng keturunan An Lu Shan? Mungkin sekali!

"Dan gadis muda yang pandai main pedang itu, siapa dia?"

"Dia adalah Wi Wi Toanio, isteri majikan hamba..."

Baru saja mendengar ini, Kwan Cu cepat melompat keluar lagi. Hemm, yang tahu akan rahasia hartawan muda bernama Kai Seng ini tentu hanya isterinya. Mungkin sekali An Kai Seng sudah mengubah she-nya menjadi Tan, dan hal ini tentu saja tidak diketahui oleh semua pelayan. Hanya isterinya yang tentu tahu akan hal ini!

Pada saat tiba di ruang depan, dia melihat wanita muda yang cantik tadi masih berdiri, sedang mengatur napas dan ternyata bahwa wanita itu telah berhasil membebaskan diri dari totokannya. Ia kaget dan memuji karena hanya dengan tenaga lwekang yang sudah tinggi saja orang dapat membebaskan totokan begitu cepatnya.

Ketika Wi Wi Toanio melihat Kwan Cu keluar lagi, dia cepat hendak melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan, Kwan Cu sudah berada di depannya.

"Jadi kaukah Wi Wi Toanio isteri dari An Kai Seng?" Kwan Cu bertanya dengan mata bersinar mengancam.

"Suamiku bernama Tan Kai Seng!" Wi Wi Toanio berkata dan mencoba untuk tersenyum, sungguh pun hatinya berdebar penuh rasa takut. Ia telah merasai sendiri betapa lihainya orang yang mau membunuh suaminya ini.

Kwan Cu menengok ke arah pelayan muda yang tadi sudah dikalahkannya, akan tetapi seperti yang sudah diduganya, pelayan muda itu kini tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan Wi Wi Toanio mempergunakan kesempatan selagi Kwan Cu menengok, untuk cepat melompat melarikan diri keluar.

"Kau hendak lari ke mana?" Kwan Cu segera mengejar dan di lain saat pemuda ini telah memegang pergelangan tangan Wi Wi Toanio.

"Lepaskan aku! Lepaskan!" la meronta-ronta dan mencoba untuk melepaskan tangannya, akan tetapi sia-sia, karena pegangan Kwan Cu amat kuatnya.

"Katakan dulu, siapa sebetulnya suamimu itu? Apakah dia bukan An Kai Seng keturunan An Lu Shan?" tanya Kwan Cu perlahan sambil mempererat pegangannya hingga wanita muda itu merasa seluruh lengannya sakit sekali.

Pada saat itu pula, para pelayan yang tadi ketakutan setengah mati, sudah keluar dan memandang dari pintu dengan muka pucat. Sementara itu, pelayan yang tadi diperintah oleh Kai Seng untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya, sudah datang diiringkan oleh belasan orang laki-laki yang sudah memegang senjata tajam. Mereka ini menyerbu dari luar dan siap menolong Wi Wi Toanio yang dipegang tangannya oleh Kwan Cu.

Melihat ini, Wi Wi Toanio segera melakukan siasatnya yang amat cerdik. Dia kemudian merapatkan tubuhnya, tidak lagi mempedulikan rasa sakit pada tangannya dan sengaja merapatkan tubuhnya pada tubuh pemuda itu, lalu berteriak-teriak.

"Kau manusia kurang ajar! Kau hendak berlaku kurang sopan terhadapku? Lihat, lihatlah semua orang! Inilah orang yang mengaku bernama Lu Kwan Cu, seorang yang katanya pendekar muda berilmu tinggi! Akan tetapi dia hendak membujukku, mengajakku minggat bersama. Alangkah rendahnya!"

Kwan Cu merasa betapa tubuh wanita itu merapat dan dia kembali mencium bau yang amat harum. Ketika mendengar teriakan ini, dia terkejut sekali, wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya dan otomatis dia melepaskan pegangannya dan segera melangkah mundur.

"Kau bohong! Aku tidak berlaku kurang ajar, hanya mau tahu di mana perginya Kai Seng itu!" katanya mendongkol.

Sambil memijat-mijat pergelangan lengannya Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Dia lalu berkata pula perlahan, "Kalau kau memang gagah, carilah sendiri!" Lalu ia berjalan pergi.

Kwan Cu merasa bingung. Tentu saja dia dapat menangkap wanita itu, dibawa ke tempat sunyi untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya hartawan muda itu dan di mana tempat bersembunyinya. Akan tetapi kalau teringat akan teriakan nyonya muda tadi, dia menjadi merasa malu dan tidak enak sekali. Kalau sampai dia menangkapnya, tentu semua orang akan membenarkan kata-kata Wi Wi Toanio dan namanya akan menjadi busuk di dunia kang-ouw!

Sementara itu, kawan-kawan Kai Seng yang terdiri dari jago-jago silat di kota itu, sudah datang dan menyerbu Kwan Cu. Terpaksa pemuda ini lalu menggerakkan sulingnya. Dia tidak mau membuang banyak waktu dan sebentar saja terdengar suara keras, senjata-senjata tajam terlempar jauh dan orang-orang itu lantas berteriak-teriak kesakitan, roboh seorang demi seorang.

Setelah belasan orang itu semua dibikin tak berdaya, Kwan Cu sudah tidak melihat lagi bayangan Wi Wi Toanio. Dia mendongkol sekali, merasa dipermainkan oleh wanita itu. Cepat dia mengejar dan mencari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan suami isteri itu di kota dan akhirnya ia mendapat keterangan bahwa mereka telah melarikan diri dengan perahu mereka ke laut!

Kwan Cu merasa menyesal sekali. Jauh-jauh dan sekian lama dia mencari, tetapi setelah bertemu, dia kena diakali. Musuh besarnya sudah bertemu dengan dia, bahkan telah dia kalahkan, akan tetapi dia tidak tahu bahwa dia itulah musuh besarnya sehingga dia tidak membunuhnya, bahkan tidak mau melukainya karena mengira bahwa dia adalah seorang pelayan biasa.

“Biarlah, aku pasti akan bisa menemukannya kembali," katanya sambil menghela napas.

Terbayanglah wajah yang cantik jelita dari Wi Wi Toanio, suaranya yang merdu, bentuk tubuhnya yang menggairahkan serta keharuman yang menawan hati masih tercium oleh hidungnya. Kembali Kwan Cu menarik napas panjang. Benar-benar seorang wanita yang cantik, pandai dan... berbahaya sekali…..

********************

Pada suatu hari, Kwan Cu beristirahat di luar sebuah hutan, duduk di bawah pohon dan berlindung dari panas terik matahari yang menggigiti kulit. Dengan ujung lengan bajunya dia menghapus peluh yang membasahi mukanya, peluh sehat yang dipaksa keluar oleh hawa panas matahari.

Seperti biasa, pada waktu menganggur ini dia memeriksa seluruh saluran darah di dalam tubuhnya, untuk membuka saluran yang terhalang jalannya. Dengan perlahan-lahan dia meraba-raba urat nadinya dan dengan totokan dia lalu menyempurnakan jalan darahnya.

Setelah mendapat kenyataan bahwa peredaran jalan darahnya sudah sempurna, dia lalu mengeluarkan sulingnya dan menyuling dengan asyiknya. Tidak ada hiburan yang lebih menyenangkan baginya dari pada meniup sulingnya. Otaknya telah penat berpikir tentang tugasnya, tentang musuh-musuh besar dari suhu-nya dan kongkong-nya.

An Kai Seng telah terlepas dari tangannya dan tidaklah mudah untuk mencarinya, karena tentu saja An Kai Seng akan menyembunyikan dan menjaga dirinya lebih baik, apa lagi dengan bantuan isterinya yang demikian cantik dan licin, kiranya akan makan waktu lama untuk dapat menemukannya kembali.

Terlebih dahulu dia akan mencari musuh-musuh besar gurunya dan teringatlah dia akan pemberitahuan Kiam Ki Sianjin bahwa pada Gouw-gwe Cap-gouw (bulan lima tanggal lima belas) akan diadakan musyawarah besar di puncak Tai-hang-san dan di sanalah dia akan dapat menjumpai musuh-musuh yang membunuh gurunya itu.

Pada waktu itu, bulan lima kurang beberapa hari lagi, jadi dia masih mempunyai waktu beberapa pekan. Oleh karena itu Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan menuju ke Tai-hang-san. Ia melakukan perjalanan cepat dan terus menerus, hanya beristirahat bila dia merasa lelah benar seperti siang hari itu.

Tanpa disengaja, Kwan Cu meniup suling mainkan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat. Dia begitu saja mainkan lagu ini karena ketika tadi menyuling, pikirannya melayang kepada tabib aneh itu. Sulingnya adalah pemberian dari Yok-ong dan dia tidak tahu di mana adanya orang pandai itu sekarang.

Memikirkan Yok-ong, Kwan Cu diam-diam menduga apakah kiranya orang pandai itu akan sanggup menolong Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu bila sekiranya Raja Tabib itu berada di tempat terjadinya mala petaka yang menimpa diri kedua orang pendeta itu. Sambil menyuling, kini pikirannya melayang kembali dan terkenanglah dia akan peristiwa pembunuhan dua orang pendeta yang benar-benar merupakan teka-teki baginya itu.

Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki menyanyikan lagu yang sedang dimainkan oleh Kwan Cu dengan sulingnya. Suara nyanyian ini merdu sekali sehingga Kwan Cu harus mengakui bahwa suara itu amat empuk. Dengan gembira Kwan Cu melanjutkan tiupan sulingnya dan sekarang terdengar paduan suara antara suling dan nyanyian orang itu, menyanyikan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong.

Diam-diam Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan, namun suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring. Dia tidak merasa heran bahwa orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling dengan memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar dari tempat jauh.

Kalau saja pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat heran karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu, akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!

Yang sangat menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar jelas olehnya kata demi kata. Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum karena dari kata-kata nyanyian ini dia mendapatkan kesan bahwa penyanyinya bukanlah orang sembarangan atau penyanyi biasa saja…..

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar