-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 31-35
“Coa-ong Lojin, kau habiskan
nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!” kata Ban Sai
Cinjin sambil mengangkat huncwe-nya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian,
sedangkan Coa-ong Lojin juga telah mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke
arah jalan darah atau urat kematian dari Kam Wi!
Akan tetapi pada saat itu dari
luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar biasa
sekali bagaikan halilintar menyambar dan…
“Trangg…! Trangg…!”
Tongkat dan huncwe itu telah
tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin mau pun Coa-ong Lojin merasa
telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah
mundur sampai lima tindak.
Ketika dua orang ini
mengangkat muka memandang, maka berubahlah air muka mereka, bahkan Coa-ong
Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu
kali ini nampak gentar juga.
Dua orang yang menggerakkan
pedang secara luar biasa sekali dan berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan
Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang lelaki dan seorang
wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Yang laki-laki gagah
sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, kedua matanya membayangkan
kejujuran hati yang tulus dan pada tangannya nampak sebatang pedang yang
berkilau cahayanya. Yang wanita biar pun telah setengah tua, nampak cantik
sekali dengan bibir mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang
bersinar penuh keberanian.
Pantas saja Ban Sai Cinjin dan
Coa-ong Lojin merasa amat gentar menghadapi sepasang orang gagah ini, karena
mereka bukan lain adalah suami isteri yang amat terkenal yaitu Pendekar Bodoh
dan isterinya! Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh bersama Lin Lin, isterinya yang
berkepandaian tinggi, datang pada saat yang amat tepat untuk menolong nyawa Lo
Sian dan Kam Wi.
“Pendekar Bodoh…,” dengan
bibir gemetar Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan kata-kata yang
membayangkan kegelisahannya.
Cin Hai terseyum, senyum yang
amat dingin. “Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar namamu. Dan telah lama
aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Bouw Hun Ti untuk menagih
hutang. Hari ini kebetulan sekali kami berdua sempat menghalangi terjadinya
sebuah di antara kekejamanmu. Akan tetapi oleh karena aku sudah menerima
tantangan suheng-mu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak mempunyai permusuhan
pribadi dengan aku, kali ini aku tak akan mengganggumu! Pergilah!”
Bukan main malu dan marahnya
Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia sedang berada di rumah sendiri,
bagaimana Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja seperti seekor
anjing? Biar pun dia sudah mendengar nama besar Pendekar Bodoh dan tentang
kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan kelihaian itu dan lagi pula
dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang bu-beng-siauw-cut (orang
rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.
“Pendekar Bodoh, lagakmu
benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih meragukan apakah
kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri, bagaimana kau
bisa mengusirku?” lagak Ban Sai Cinjin menantang.
“Aku tidak mengusirmu pergi
dari rumahmu, hanya minggatlah dari depan mataku. Sebal aku melihatmu!” kata
Lin Lin yang mewakili suaminya.
Makin merah muka Ban Sai Cinjin.
Kedua kaki tangannya berbunyi karena dia berusaha keras menahan kemarahannya
sambil mengepalkan tinju hingga pipa yang digenggamnya hampir remuk!
“Kalau aku tidak mau pergi?”
tantangnya.
“Mau atau tidak, pergilah!”
Pendekar Bodoh membentak sambil melangkah cepat ke arah kakek mewah itu.
Ban Sai Cinjin ketika melihat
betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang pedang, timbul sifat
pengecut dan liciknya. Tiba-tiba dia menggerakkan huncwe mautnya yang
dipukulkan sehebatnya ke arah kepala Cin Hai!
Akan tetapi Ban Sai Cinjin
kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara pengecut ini akan
dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Dia tidak tahu bahwa Cin Hai telah
memiliki kepandaian yang luar biasa sekali yang diwarisinya dari suhu-nya,
yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa sekali, yaitu pengertian tentang
dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia pada waktu melakukan gerakan
silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan tiba-tiba dan tidak
tersangka, sama saja sukarnya dengan menyerang angin!
Belum juga huncwe itu
bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat dilihat dan
diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke kepalanya, dia
sudah tahu bahwa huncwe itu akan melayang dan menyerangnya. Dengan tenang
sekali Cin Hai mendiamkan saja. Akan tetapi setelah huncwe itu melayang dekat
dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang sekali, mendadak terdengar seruan kaget
dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini terlempar kemudian melayang keluar dari
pintu ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh berdebuk disusul berkelontangnya huncwe
yang menyusulnya!
Bukan main terkejut dan
herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti itu? Ia tak
melihat Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali terlihat olehnya
betapa huncwe-nya sudah mampir mengenai kepala lawannya. Ia hanya melihat
tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit saat huncwe-nya sudah
hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong sedemikian hebatnya!
Sebenarnya, ketika tadi Cin
Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja. Ia tahu dengan
pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia mendiamkannya saja dan
pada saat tangan yang memegang huncwe sudah hampir mengenai kepalanya, secepat
kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri Cin Hai melayang dibarengi uap putih
mengebul darl tangannya. Inilah sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pek-in
Hoat-sut!
Sambaran hawa putih yang
keluar dari pukulan ini lantas membuat tangan Ban Sai Cinjin terdorong sehingga
pukulannya menjadi melenceng dan tidak mengenai kepala Cin Hai, dan berbareng
dengan saat itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan mendorong tubuh
lawannya yang sama sekali tak mengira akan hal ini. Demikianlah, dengan mudah Cin
Hai telah membuktikan omongannya tadi, yaitu memaksa Ban Sai Cinjin pergi dari
hadapannya.
Sementara itu, Coa-ong Lojin
melihat hal itu dengan mata terbelalak. Dia melihat dengan jelas betapa dengan
mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir ia tidak percaya
dengan pandangan matanya sendiri. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa kekalahan
yang demikian mudah dari Ban Sai Cinjin terjadi karena kesalahan kakek itu
sendiri.
Dalam pandang matanya, Ban Sai
Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri. Memang serangan balasan
dari Pendekar Bodoh tadi terjadi sangat di luar sangkaan dan mungkin di sinilah
letaknya kekuatan dan kelihaian Pendekar Bodoh.
Coa-ong Lojin merasa bahwa ia
dapat menghadapi Pendekar Bodoh. Sungguh pun tidak akan menang, akan tetapi dia
mungkin sanggup bertahan sampai beberapa lama, tidak seperti Ban Sai Cinjin,
baru segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.
Semenjak tadi Lin Lin sudah
memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang masih menggeletak di bawah dan
tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini maju menghampiri Coa-ong
Lojin dan berkata,
“Kalau aku tidak salah sangka,
kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang. Tongkat ularmu itu
mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa kau hendak membunuh
orang ini?”
“Isteriku, dia itu adalah
Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!” kata Cin Hai kepada
Lin Lin.
“Hemm, Sin-houw-enghiong
terkenal sebagai orang gagah yang berpribudi tinggi, kenapa hendak kau bunuh?”
kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk sesaat menjadi pucat
tidak dapat menjawab.
“Aku hanya terbawa-bawa oleh
Ban Sai Cinjin, akan tetapi...,” dia mengangkat dadanya memberanikan hatinya,
“peduli apakah kalian dengan urusanku?”
Diam-diam Ketua Coa-tung
Kai-pang ini menyangka bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela puteranya yang
sudah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sebenarnya Cin Hai dan Lin Lin
belum mengetahui bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat menjadi ketua
Hek-tung Kai-pang dan sudah pernah menanam bibit permusuhan dengan Coa-tung
Kai-pang.
“Burung gagak tentu memilih
kawan burung mayat!” kata Lin Lin. “Sudahlah, kami tidak ingin lebih lama lagi
bicara denganmu. Pergilah!”
Biar pun merasa mendongkol dan
marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati dari pada Ban Sai Cinjin dan dia
tidak berani melawan.
“Pendekar Bodoh, kali ini aku
Coa-ong Lojin mengalah kepadamu, karena tak ada sebab bagiku untuk mengadu
nyawa. Akan tetapi lain kali aku tidak akan sudi menelan hinaan macam ini
lagi!” Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan pergi.
Akan tetapi pada saat itu pula
terdengar bentakan, “Pengemis kelaparan, jangan kau pergi dulu!”
Dari luar menyambar bayangan
orang yang sekali mengulur tangan sudah menerkam ke arah pundak Coa-ong Lojin!
Raja pengemis ini kaget sekali dan cepat menyabet dengan tongkatnya, akan
tetapi dengan gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu mengelak dan
sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu telah kena dirampasnya!
Orang ini bukan lain adalah
Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari Pek Mo-ko Si
Iblis Baju Putih, dan sekaligus menjadi murid dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan
Cengeng (baca cerita Pendekar Bodoh).
Sebagaimana telah dituturkan
di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke utara menyusul Hong
Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan Kwee An lalu ikut
dengan mereka untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan tiga orang pendekar
besar ini dilakukan dengan cepat dan lancar sekali. Dan pada suatu hari, mereka
bertemu dengan Lilani yang sedang menggendong Lie Siong sambil mengalirkan air
mata!
Tentu saja melihat keganjilan
ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani. Melihat wajah
Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Dia merasa seperti pernah melihat
gadis cantik ini, akan tetapi tidak ingat lagi, entah di mana. Lin Lin segera
maju menghampiri Lilani dan bertanya,
“Nona yang manis, apakah yang
telah terjadi dengan pemuda itu? Siapa kau dan siapa pula dia?”
Melihat sikap dan wajah ketiga
orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum. Akan tetapi gadis ini
masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaan dirinya. Siapa tahu
kalau-kalau mereka ini juga kawan-kawan dari Ban Sai Cinjin?
Pendekar Bodoh dapat melihat
keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata, “Nona tak perlu kau mencurigai kami,
karena kami biasanya hanya menolong orang, dan tak pernah mau mengganggu
orang.”
“Siapakah Sam-wi yang mulia?
Kenapa pula menahan perjalananku? Kawanku ini sedang terluka hebat dan perlu
segera dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku yang malang ini.”
Kwee An yang sejak tadi
memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa sudah pernah
bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie Siong dia pun
berseru kaget,
“Nona, kawanmu ini terluka
oleh senjata berbisa! Lekaslah kau ceritakan keadaanmu dan jangan meragukan
kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik. Pendekar di hadapanmu
ini adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh mencurigainya lagi.”
Mendengar ucapan ini,
tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Dia menurunkan tubuh Lie Siong yang
dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cin
Hai sambil berkata,
“Sie Taihiap, tolonglah aku
yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang telah Taihiap kenal. Aku
adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!”
“Kau anak Meilani...?” Kwee An
yang berseru kaget dan barulah kini dia teringat bahwa wajah gadis ini bagaikan
pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani, gadis Haimi yang dahulu
telah menjadi ‘isterinya’ di luar kehendaknya itu! Juga Lin Lin dan Cin Hai
terkejut dan mereka teringat akan Meilani yang pernah mereka jumpai. (baca
cerita Pendekar Bodoh)
“Bangunlah, Nak. Kau kenapakah
dan siapa pula kawanmu ini?” Lin Lin bertanya sambil membangunkan gadis itu.
“Tentu saja kami kenal baik dengan ayah bundamu, bahkan ini adalah Kwee Taihiap
saudara tuaku yang boleh kau sebut sebagai ayah tirimu!”
Sungguh keterlaluan Lin Lin,
dalam keadaan begini ia masih dapat menggoda kakaknya. Tentu saja Kwee An
menjadi jengah sendiri ketika Lilani mendadak menjatuhkan diri dan berlutut
pula di depannya.
“Bangunlah, bangunlah, dan
lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan kenapa ia sampai terluka begini
hebat?”
“Dia bernama Lie Siong, putera
dari Lie Kong Sian Taihiap dan...”
“Apa katamu?” Lin Lin hampir
menjerit. “Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng... jadi dia... dia putera
Ang I Niocu?!”
Lilani mengangguk dan dengan
singkat dia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.
Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih berada di dalam bahaya hebat,
Pendekar Bodoh tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia minta tolong kepada
Kwee An untuk merawat Lie Siong karena sedikit-sedikit Kwee An juga tahu cara
pengobatan orang yang terluka, sedangkan ia sendiri lalu menarik tangan
isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju ke rumah yang ditunjuk oleh
Lilani.
Ada pun Kwee An setelah
memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut dia melihat bahwa
bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat berbahaya dan
dia tidak sanggup mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada Lilani siapa yang
melukai pemuda itu, dan ketika mendengar bahwa Lie Siong terluka oleh tongkat
Coa-ong Lojin, dia segera memondong tubuh Lie Siong dan berkata,
“Hayo kita kejar mereka! Hanya
Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!” Dan bersama Lilani
mereka kemudian berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan isterinya.
Demikianlah, ketika Kwee An
tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, dia lalu memberikan Lie
Siong kepada Lilani dan dia sendiri lantas menyerang Coa-ong Lojin dan berhasil
merampas tongkatnya.
“Pengemis ular,” kata Kwes An
dengan sikap mengancam. “Jangan kau pergi dulu. Kalau kau tidak mau memberi
obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan dapat pergi dari
sini dengan kepala masih menempel di lehermu!”
Coa-ong Lojin berdiri bengong
karena terkajut serta herannya. Bagaimana orang dapat merampas tongkatnya
dengan sedemikian mudahnya?
“Siapakah kau?” tanyanya.
“Kau berhadapan dengan orang
she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap, lekas kau keluarkan obat
untuk menyembuhkan lukanya,” berkata pula Kwee An sambil menunjuk ke arah Lie
Siong yang dipondong masuk oleh Lilani.
“Kalau aku tidak mau dan tidak
takut mampus?” tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum mengejek.
Kwee An menjadi gemas.
“Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima pelajaran dari Pek
Mo-ko? Tahukah kau artinya ini? Aku dapat membuat kau menderita selama hidup,
hidup tidak mati pun tidak! Di samping itu, aku akan pergi mencari
kawan-kawanmu, semua anggota Coa-tung Kai-pang akan kubasmi habis sampai
bersih!”
“Engko An, biarkan aku
mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan putera Enci Im Giok
(Ang I Niocu)!” kata Lin Lin dengan gemas sekali.
“Dan aku pun harus mematahkan
kedua lengannya kalau dia tetap berkukuh tidak mau mengobati Lie Siong!” kata
Cin Hai.
Mau tidak mau ngeri juga hati
Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apa lagi dia pernah mendengar nama
Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian mengerikan sekali. Tadi
pun dia telah menyaksikan kepandaian Kwee An yang demikian mudah merampas
tongkatnya.
Ia menarik napas panjang,
merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang lihai ini.
Dikeluarnya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan berkatalah dia
dengan gemas,
“Biarlah sekali ini aku
Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menuruti kehendak orang lain. Akan tetapi lain
kali aku akan membikin pembalasan!” Dia melemparkan bungkusan obat kepada Kwee
An dan hendak pergi.
“Nanti dulu!” seru Cin Hai.
“Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!” Sambil berkata demikian Pendekar
Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu dan sekali ia
menggerakkan tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh tertotok.
Sementara itu, Lin Lin sudah
menghampiri Lo Sian dan cepat memulihkan kesehatannya setelah menotok dan
mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali dan ucapan pertama
yang keluar dari mulutnya adalah,
“Dia harus disembuhkan, dia
adalah putera Ang I Niocu!”
Cin Hai juga membebaskan
totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa berkata sesuatu,
orang yang kasar dan jujur ini langsung mengangkat tangan dan memukul ke arah
Coa-ong Lojin yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya lagi! Akan tetapi
cepat-cepat Cin Hai menangkap tangannya. Pukulan Kam Wi ini dilakukan dengan
keras sekali, akan tetapi dia tertegun ketika merasa betapa dalam tangkapan Cin
Hai, dia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.
“Dia orang jahat, harus
dibunuh!” katanya dengan keras.
“Sabar dulu, Sin-houw-enghiong!
Dia harus membuktikan terlebih dulu bahwa obat yang diberikan untuk
menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur,” kata Cin Hai.
Sesudah dihibur-hibur oleh Cin
Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan mereka semua lalu
menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk dari Coa-ong
Lojin yang masih dapat bicara dengan lemah, luka di pundak kanannya itu lalu
dicuci bersih dan dibubuhi obat bubuk yang sudah dicairkan dengan air.
Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat dicampur
sedikit arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti hasil
pengobatan itu.
“Sebentar lagi dia akan siuman
dan sembuh,” kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.
“Awas, kalau kata-katamu tak
terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang jahat!” kata Kam
Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.
Akan tetapi, tepat sebagaimana
yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tidak lama kemudian terdengar Lie Siong
mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang pucat telah menjadi
merah kembali, sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah telah mulai menjadi
pulih.
“Baiknya kau tidak membohong
sehingga jiwamu masih tertolong!” kata Pendekar Bodoh. Sebagai seorang budiman,
ia tidak mau melanggar janji dan melihat Lie Siong betul-betul dapat
disembuhkan, dia lalu menghampiri Coa-ong Lojin dan membebaskan totokannya
sehingga pengemis itu dapat melompat berdiri.
“Baiklah sekali ini aku
Coa-ong Lojin sudah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di puncak Thian-san
aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi kalian!”
Setelah berkata demikian,
pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi sudah melompat ke
depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar keluar dari pintu.
“Ha-ha-ha! Pengemis ular, lain
kali bukan pantatmu yang kutendang tetapi kepalamu!”
Setelah Coa-ong Lojin pergi,
Lie Siong memandang semua orang itu dengan heran. Dia menoleh kepada Lo Sian
dengan mata mengandung pertanyaan, sehingga Sin-kai Lo Sian tersenyum dan
berkata,
“Lie Siong, kau berhadapan
dengan orang-orang sendiri. Sungguh bagus sekali nasibmu sehingga hari ini kau
dapat bertemu dan ditolong oleh mereka ini. Ketahuilah bahwa dia ini adalah
Pendekar Bodoh dan isterinya, sedangkan orang gagah itu adalah Kwee An Taihiap
dari Tiang-an!” Memang sebelumnya Lo Sian sudah mendapat keterangan dari Lilani
yang memperkenalkan tiga orang besar itu.
Tentu saja Lie Siong menjadi
terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda ini dapat menekan perasaannya, dan
tidak memperlihatkan perubahan pada wajahnya yang tampan.
“Siong-ji (Anak Siong), ayah
dan ibumu adalah seperti kakak kami sendiri,” kata Lin Lin dengan terharu
sambil menatap wajah yang tampan itu.
Lie Siong lalu memandang
kepada Lin Lin. Alangkah cantiknya nyonya ini, hampir sama dengan Lili, yang
tak pernah lenyap bayangannya dari depan matanya itu. Alangkah jauh bedanya
dengan ibunya yang nampak tua. Tiba-tiba saja ia menjadi terharu sekali ketika
teringat akan ibunya yang telah ditinggalkannya.
Ibunya mempunyai
sahabat-sahabat baik seperti ini, mengapa ibunya hidup menderita? Mengapa
ayahnya sampai mati tanpa ada pembelaan dari mereka ini? Mereka ini adalah
pendekar-pendekar besar seperti yang sudah sering kali disebut-sebut oleh
ibunya, akan tetapi mengapa ibunya dan dia sampai hidup di tempat asing?
Hatinya menjadi dingin sekali.
Keangkuhan hati pemuda ini tersinggung karena dalam keadaan tertimpa mala
petaka, justru orang-orang ini yang telah menolongnya. Alangkah bodoh, lemah,
dan tak berdaya dia nampak dalam pandangan mata ketiga orang ini! Padahal dia
ingin sekali memperlihatkan kepada Pendekar Bodoh dan isterinya, bahwa
keturunan Ang I Niocu tidak kalah oleh mereka!
Akan tetapi oleh karena telah
ditolong oleh mereka, terpaksa Lie Siong lalu maju menjura memberi hormat dan
berkata,
“Sungguh siauwte harus
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sam-wi yang gagah perkasa.
Semoga Thian akan memberi kesempatan kepada siauwte untuk kelak membalas budi
ini. Maafkan bahwa siauwte harus melanjutkan perjalanan mencari ayah, karena
selain siauwte siapa lagi yang akan mencarinya?”
Setelah berkata demikian,
tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menoleh kepada Lilani, “Mari kita pergi!”
Gadis itu memandang dengan
perasaan terheran-heran, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah ajakan pemuda
yang menjadi pujaan hatinya? Ia hanya memandang kepada Lin Lin dengan sedih,
kemudian sambil menahan isak, dia lalu melompat dan menyusul Lie Siong yang
sudah lari terlebih dahulu.
“Eh, ehh, Lie Siong tunggu
dulu! Aku akan menunjukkan tempatnya kepadamu!” Lo Sian berseru keras dan
segera mengejar pula.
Ada pun Kwee An, Lin Lin, dan
Cin Hai menjadi melengak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata saking herannya.
Kemudian mereka saling pandang dengan perasaan aneh. Bagaimanakah pemuda itu
dapat bersikap sedemikian dinginnya?
“Dia seperti orang marah,”
kata Cin Hai.
“Tidak, seperti orang malu,”
kata Lin Lin.
“Menurut pandanganku, seperti
orang yang merasa sangat penasaran. Sungguh aneh!” kata Kwee An.
Selagi ketiga orang itu merasa
terheran-heran, suasana yang tidak enak itu dipecahkan oteh suara Kam Wi yang
keras,
“Ah, sungguh beruntung sekali
hari ini aku dapat bertemu, bahkan mendapat pertolongan dari tiga orang
pendekar besar! Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, memang agaknya Thian telah
menyetujui usulku. Aku memang hendak bertemu dengan kau, Sie Taihiap!”
Cin Hai membalas penghormatan
tokoh Kun-lun-pai itu. “Kam-enghiong, harap kau tidak berlaku sungkan. Saling
bantu dan memberantas kejahatan di antara kalangan kita telah merupakan
kewajiban yang tidak perlu dikotori oleh sebutan pertolongan atau pun budi.
Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepada kami maka kau hendak mencari
kami dan usul apakah yang kau maksudkan itu?”
“Harap kau dan isterimu tidak
menganggap aku berlaku kurang ajar apa bila kesempatan ini kukemukakan maksud
hatiku. Ketahuilah, aku mempunyai seorang anak keponakan yang bernama Kam
Liong, yang sekarang menjabat pangkat sebagai panglima muda di kerajaan. Tentu
kalian masih ingat pada Kam Hong Sin saudara tuaku, nah, Kam Liong adalah
putera satu-satunya.”
“Kami sudah pernah bertemu
dengan Kam Liong itu, Kam-enghiong. Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan
baik.”
Berseri wajah Kam Wi mendengar
ucapan Lin Lin ini. “Bagus sekali, agaknya memang Thian telah menjadi penunjuk
jalan! Toanio, seperti juga kau dan suamimu, aku pun telah melihat puterimu
yang bernama Sie Hong Li! Juga suheng-ku, Suhu dari Kam Liong yang kau kenal
sebagai tokoh pertama dari Kun-lun-pai, yaitu Tiong Kun Tojin, sangat suka
melihat puterimu yang cantik dan gagah itu! Oleh karena itu, kami sudah
sependapat, yaitu aku, Kam Liong, serta suhu-nya, untuk mengajukan pinangan
kepada Sie Taihiap untuk menjodohkan Kam Liong dengan Nona Sie Hong Lie!”
Mendengar pinangan yang
tiba-tiba dan terus terang di tempat yang tidak semestinya ini, kedua orang tua
itu terkejut dan tersipu-sipu. Wajah Lin Lin menjadi merah akibat jengah. Belum
pernah terpikir olehnya akan menerima lamaran orang dan sungguh pun di dalam
hatinya ia amat suka kepada Kam Liong, akan tetapi mulutnya tak dapat berkata
sesuatu.
Dia hanya memandang kepada
suaminya yang kebetulan juga memandang kepadanya dengan mata bodoh. Sampai lama
suami isteri ini hanya saling memandang, tidak dapat menjawab, bahkan tidak
berani pula memandang pada Sin-houw-enghiong Kam Wi yang masih menanti jawaban
mereka.
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa geli, dan ternyata yang tertawa itu adalah Kwee An.
“Ha-ha-ha, bagaimanakah kalian
ini? Anak perempuan dilamar orang, kok hanya saling pandang seperti
pemuda-pemudi yang main mata?”
Kwee An biasanya pendiam dan
tidak banyak berkelakar, akan tetapi sekali ini ia sedang berkumpul dengan Lin
Lin yang suka menggodanya, ia selalu mencari kesempatan untuk balas menggoda
adiknya ini! Tentu saja Lin Lin menjadi makin bingung dan akhirnya Cin Hai yang
dapat mengeluarkan kata-kata sambil menjura kepada Kam Wi,
“Kami menghaturkan
banyak-banyak terima kasih atas kehormatan yang Kam-enghiong berikan kepada
kami. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa anak kami Hong Li yang
bodoh dan buruk rupa itu mendapat perhatian dari keponakanmu, juga dari Tiong
Kun Tojin dan dari kau sendiri. Sesungguhnya puteri kami yang bodoh itu terlalu
rendah, apa bila dibandingkan dengan Kam-ciangkun yang biar pun masih muda sudah
menduduki pangkat sedemikian tingginya, selain lihai juga menjadi anak murid
dari tokoh Kun-lun-pai yang terkenal.”
“Bagus, bagus! Jadi kalian
sudah setuju? Kalian menerima pinanganku?” Kam Wi yang jujur dan kasar itu
segera memutuskannya.
“Bukan begitu, Kam-enghiong.
Harap jangan tergesa-gesa, tak dapat kami memutuskan begitu saja...” kata Cin
Hai.
“Hemmm, jadi Sie Taihiap
menolak?” kembali Kam Wi memutuskan omongan Pendekar Bodoh.
Cin Hai tersenyum, ia maklum
bahwa Kam Wi memiliki watak yang amat kasar, polos, dan tidak sabaran.
“Tenanglah, Kam-enghiong.
Urusan perjodohan bukanlah seperti urusan jual beli barang murahan saja. Hal
ini tentunya harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Sekarang kami tidak
dapat memberi keputusan, berilah waktu kepada kami untuk memikirkan serta
mempertimbangkannya dan terlebih dulu kami harus bertemu dan bicara dengan Lili
puteri kami itu.”
“Pendekar Bodoh, kita adalah
golongan orang-orang yang tak pandai bicara, karena lebih mudah bicara dengan
kepalan tangan dari pada dengan bibir dan lidah. Kalau kiranya kalian berdua
menolak pinangan ini, tak usah banyak sungkan, nyatakan saja sekarang. Aku
takkan merasa penasaran atau marah, karena sudah semestinya sesuatu pinangan
akan mengalami dua hal, diterima atau tidak.”
“Bagaimana kami dapat menolak
pinanganmu? Kami berlaku sombong dan kurang ajar kalau menolaknya. Sesungguhnya
kami tidak melihat sesuatu yang mengecewakan pada diri Kam Liong, akan
tetapi...”
“Ha-ha-ha, jadi kau suka?
Bagus, aku yang menanggung bahwa Kam Liong benar-benar akan merupakan seorang
suami yang baik serta bijaksana, seorang anak menantu yang berbakti! Terima
kasih atas penerimaanmu, Pendekar Bodoh, segera kita akan mencari hari yang
baik untuk melangsungkan pernikahan.”
“Nanti dulu, Kam-enghiong.
Harap jangan tergesa-gesa. Jika tadi kunyatakan bahwa aku tidak menolak, itu
bukan berarti bahwa aku menerimanya. Seperti telah kukatakan tadi, berilah
waktu. Kita sedang menghadapi masa sulit, tugas dan kewajiban menghadang di
depan mata, siapa mempunyai kesempatan untuk bicara tentang perjodohan?
Tunggulah sampai musuh terusir semua, sampai kami dapat bertemu dengan putera
dan puteri kami dalam keadaan selamat, barulah kita akan bicara tentang
perjodohan ini!”
“Baik, baik. Betapa pun juga
aku merasa yakin bahwa kau tidak menolak dan ucapan itu sudah setengah
menerima. Baik, kita menanti sampai selesai tugas kami membela tanah air. Bila
keadaan sudah aman, aku akan membawa Kam Liong datang ke Shaning untuk
menentukan hari baik! Nah, selamat tinggal, dan terima kasih atas pertolongan
kalian tadi!” Setelah berkata demikian dengan wajah berseri gembira Kam Wi lalu
meninggalkan rumah itu.
Pendekar Bodoh menarik napas
panjang. “Alangkah kasar dan jujurnya orang itu! Urusan perjodohan dianggap
mudah begitu saja. Itulah jika orang tidak mempunyai anak sendiri, tidak merasa
betapa sukarnya menetapkan jodoh bagi anak perempuan.”
“Sesungguhnya orang itu
gegabah sekali,” kata Kwee An, “belum juga diberi keputusan, dia sudah
menetapkan dengan yakin bahwa lamarannya diterima. Orang seperti itu kelak akan
dapat menimbulkan keributan karena kebodohan, kejujuran, dan kekasarannya.”
“Terus terang saja, aku
sendiri sudah setuju apa bila Lili mendapatkan jodoh seperti Kam Liong,” kata
Lin Lin. “Kita sudah menyaksikan sendiri betapa pemuda itu sopan santun, lemah
lembut, dan juga sudah menyatakan jasanya dengan membantu Hong Beng dan juga
kita. Bukankah perbuatannya itu saja sudah memperlihatkan bahwa ia suka kepada
Lili dan bahwa ia tidak hendak main-main dalam urusan perjodohan ini?”
“Betapa pun juga, keputusannya
harus kau serahkan kepada Lili sendiri, karena urusan ini menyangkut
kebahagiaan seumur hidupnya. Aku tidak akan merasa puas apa bila dia sendiri
tidak menyetujui perjodohan ini. Dia yang akan menikah, dan dia pula yang akan
menanggung segala akibatnya, dia yang akan sengsara atau senang kalau sudah
terjadi perjodohan itu. Maka aku menyesal sekali kenapa Sin-houw-enghiong
merasa demikian pasti dan tergesa-gesa menganggap kita sudah menerima
pinangannya.”
Demikianlah, mereka kemudian
melanjutkan perjalanan ke utara sambil tak ada hentinya membicarakan urusan
pinangan yang dilakukan oleh Kam Wi dengan cara yang kasar itu…..
********************
Dengan hati mengkal Lie Siong
berlari, akan tetapi dia tidak berlari terlalu cepat karena bila ia melakukan
hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu, maka sebentar saja
ia telah tersusul oleh Lo Sian yang mengejarnya.
“Perlahan dulu, Anak Siong!”
kata Sin-kai Lo Sian sesudah dapat menyusul pemuda itu. Lie Siong berhenti
karena Lilani telah mendahuluinya berhenti untuk menanti datangnya pengemis tua
itu.
“Mengapa kau meninggalkan
mereka begitu saja? Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan ayahmu? Kau
sudah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka seakan-akan seorang
yang sedang marah, mengapakah?” Lo Sian menegur Lie Siong yang mendengar dengan
kepala ditundukkan.
“Alangkah rendah pandangan
mereka terhadapku,” hanya inilah yang diucapkan oleh Lie Siong karena
sebetulnya dia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. “Lopek, kau menyusulku ada
apakah? Karena kau sendiri tidak tahu dan tidak ingat lagi apa yang sudah
terjadi dengan mendiang ayahku, aku tidak perlu mengganggumu lagi. Kembalilah
kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak tahu
diri dan tidak tahu menerima budi. Biarlah mereka lupakan namaku, nama ibu dan
ayahku!”
Lo Sian tertegun melihat sikap
yang dingin dan kaku ini. Dia benar-benar merasa heran sekali melihat keadaan
dan watak pemuda yang aneh ini.
“Lie Siong, sesudah beberapa
lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat mengerti watakmu,
sungguh pun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku menyusulmu bukan untuk
mengganggumu, akan tetapi karena aku kini sudah dapat menduga siapa adanya
pembunuh ayahmu dan di mana kiranya kita dapat menemukan makam ayahmu.”
“Siapa pembunuhnya? Di mana
makamnya?” suara Lie Siong terdengar menggetar dan wajahnya memucat. Lo Sian
lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai Cinjin ketika tadi hendak
membunuhnya.
“Tak salah lagi,” katanya
sebagai penutup ceritanya, “pembunuh ayahmu pasti bukan lain orang, akan tetapi
Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak ayahmu atau makamnya,
kita harus pergi ke tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu dusun Tong-sin-bun!”
“Di tempat di mana aku pernah
membakar rumahnya?”
Lo Sian mengangguk. “Di dekat
dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan kalau tidak salah, di
situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau makamnya. Kalau kau
kehendaki, mari kuantarkan kau ke sana untuk menyelidiki.”
“Kembali ke Tong-sin-bun?” Lie
Siong berkata ragu-ragu. “Kita telah tiba sejauh ini…” Dia lalu menengok ke
arah Lilani. “Kita sudah sangat dekat dengan tempat di mana kita akan menemukan
rombongan suku bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku bangsa itu lebih dulu
untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya. Setelah itu, baru kita kembali ke
selatan untuk menyelidiki hal ini.”
Lo Sian menyatakan setuju dan
demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju ke kaki Gunung
Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong berkata bahwa kalau
memang betul ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin, dia bersumpah untuk
membalas dendam dan akan mencari serta membunuh Ban Sai Cinjin, walau pun untuk
itu dia harus mengorbankan nyawanya sendiri…..
********************
Pada masa itu, keadaan tapal
batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah pecah
dan terjadi di mana-mana, di mana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan
Mongol bertemu dengan rombongan barisan pemerintah yang menjaga di perbatasan.
Malangi Khan sangat pandai
mengatur siasatnya. Tidak saja dia membujuk dan menarik bangsa Tartar untuk
bergabung dengan pasukannya untuk bersama-sama memukul ke selatan dengan
janji-janji muluk, akan tetapi juga dia telah membujuk suku-suku bangsa
Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk secara bersama-sama
menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok.
Juga ia masih berusaha untuk
menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha
penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji
kedudukan. Bahkan dengan Ban Sai Cinjin dia sudah mengadakan hubungan yang
erat, dan menjanjikan bahwa apa bila kelak pemerintah kaisar telah terguling,
dia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar!
Ban Sai Cinjin sendiri bukan
seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini, akan
tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Bila
mana mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan mendapat kemenangan,
dengan mudah saja dia akan menggunakan pengaruhnya untuk berkhianat terhadap
orang-orang Mongol itu sehingga dia akan dapat berkuasa di kota raja.
Sudah lama suku bangsa Haimi
dikuasai oleh Malangi Khan. Sejak dia memukul bangsa Haimi ini hingga
kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini
menjadi semacam bangsa jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako,
dengan sikapnya yang pandai menjilat, akhirnya terpakai oleh Malangi Khan dan
orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh dibilang dia
menjadi kaki tangan bangsa Mongol.
Saliban mengumpulkan
orang-orangnya baik dengan halus mau pun secara paksa, untuk bergabung kembali
kemudian bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu
usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya bisa mengacaukan
pertahanan tentara kerajaan di selatan. Berkat usaha Saliban ini, bangsa Haimi
banyak yang ditangkap dan dijadikan anggota pasukan secara paksa, sehingga
sungguh pun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang
Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.
Pada suatu hari, barisan suku
bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dan dipimpin sendiri oleh
Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan
penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh amat
menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis panjang, kecuali
Saliban sendiri yang semenjak muda sudah membuang kumisnya, bersenjata golok
dan pedang lalu menyerbu sambil berteriak-teriak menyeramkan.
Sebentar saja, pasukan
kerajaan yang jumlahnya jauh lebih kecil itu sudah rapat-rapat terkurung dan
sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari
pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya.
Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah, akan tetapi perwira ini
harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena dia tidak hendak menyerah
sebelum titik darah terakhir!
Pada saat itu, tiba-tiba
keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari
mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik
yang memainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal pada
tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan pedang, maka
robohlah seorang lawan!
Gadis muda ini bukan lain
adalah Sie Hong Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan,
setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari
Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong.
Karena dia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya dia tidak
bertemu dengan seorang manusia pun, dia telah salah mengambil jalan dan yang
disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!
Demikianlah, pada saat dia
melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh pasukan
berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa mengeluarkan
kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan
berkumis dengan hebatnya.
Akan tetapi, ketika Lili
datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya
sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah
dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok lalu menamatkan
riwayatnya. Sebentar kemudian hanya tersisa Lili seorang saja yang masih
dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.
Saliban yang melihat seorang
gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang apa bila gadis ini sampai
mengalami kematian, maka ia lalu berseru,
“Kawan-kawan, jangan bunuh
gadis ini. Tangkap hidup-hidup!”
Akan tetapi, perintah ini
lebih mudah diucapkan dari pada dijalankan, karena jangan kata hendak menangkap
hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main! Setiap orang
yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena
tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga
roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tak mau membunuh orang. Melihat
orang-orang berkumis ini, teringatlah dia akan cerita ayah bundanya tentang
bangsa Haimi, maka dia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.
“Bukankah kalian ini
orang-orang Haimi? Kenapa memusuhi tentara kerajaan? Dengarlah, aku adalah
puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan
Meilani!” seru Lili di antara amukannya.
Benar saja, mendengar
seruannya ini, sebagian besar orang Haimi cepat mengundurkan diri. Mereka sudah
pernah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik dari pada kepala
mereka yang dulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang
mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan pengeroyokan.
Lili menjadi kewalahan juga.
Tidak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa merobohkan atau
menewaskan beberapa orang di antara mereka.
“Mana Manako atau Meilani?
Suruh mereka keluar dan biar aku bicara dengan mereka!” teriaknya lagi. Akan
tetapi siapakah yang berani melayaninya? Walau pun semua orang Haimi itu timbul
hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.
Sungguh celaka bagi Lili pada
saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Ketika melihat betapa
sepasukan orang Haimi sedang mengeroyok seorang gadis Han, orang-orang Mongol
ini cepat menyerbu dan mengeroyok Lili.
Keadaan Lili menjadi lebih
berbahaya lagi. Walau pun dia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana dia dapat
melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya? Mereka itu kini mulai
mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang.
Lili melawan terus dan
pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok
oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biar pun sudah ribuan jurus, belum
juga gadis ini kalah! Mayat sudah bertumpuk, dan pandangan mata Lili pun sudah
menjadi kabur.
Kepalanya pening, peluh
membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin baginya
untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat dia lalu menyerbu, maksudnya
hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum dia roboh.
Mendadak terdengar sorak-sorai
bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang menolong.....
Orang-orang Mongol lalu
memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari
seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah
lelah sekali sehingga pada saat kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung
lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap mata saja
dia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya
dan membawanya lari bersama orang-orangnya.
Lili yang roboh pingsan saking
lelahnya tak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata dia telah
berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di
dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang sudah dibuat oleh
orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang menjadi tempat
beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang sehingga merupakan tempat
terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Lili didudukkan menyandar batu
karang dan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat. Ketika
dia membuka matanya, dia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api,
duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi.
Dulu secara iseng-iseng ayah
bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi
pelajaran kepadanya mengenai bahasa Haimi, maka biar pun hanya sedikit, Lili
dapat menangkap percakapan mereka.
“Jangan, Saliban, dia adalah
puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang telah
banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar seorang Haimi yang
sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis.
Ucapan ini agaknya diterima
dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena mereka
nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu
menjadi marah.
“Siapa takut pada Pendekar
Bodoh? Tak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol?
Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini
jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan
berkepandaian tinggi pula. Apa bila kita membawanya kepada Malangi Khan
kemudian mempersembahkannya, tentu dia akan berterima kasih dan girang sekali.
Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik
ini.”
Kembali terdengar suara
menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju.
Semua ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Dia mendapat
kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini bagaimana pun juga masih menaruh hati
setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka semua agaknya takut kepada
orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.
Diam-diam Lili mengeluh.
Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar
lamaran yang kasar hingga membuat mukanya selalu menjadi merah kembali kalau
mengingatnya. Setelah meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan
Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh pula dalam tangan serombongan orang
Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol! Bila ia
diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia!
Akan tetapi Lili tak pernah
berputus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini tidak akan mati
putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapa pun hebat mala
petaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri.
Dengan pikiran ini, hati Lili
menjadi tetap dan ia segera meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu
sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan
berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.
Memang cerdik sekali pikiran
Lili ini. Apa bila ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia tidak akan dapat
tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau
ditambah lagi dengan kegelisahan dan tidak dapat tidur, keadaannya tentu akan
menjadi lebih buruk lagi.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Meski pun kaki tangannya
terasa kaku dan kesemutan, namun dia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak
lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa
semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tak bercakap-cakap lagi,
hanya duduk melenggut.
Melihat keadaan orang-orang
ini, maka timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup
seperti orang-orang ini. Agaknya tak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya
sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang kini
telah diperbudak pula oleh orang-orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako
dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya?
Pada saat Lili termenung
sambil memandang ke arah Saliban yang juga sudah bangun dan sedang menendangi
kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya
bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat
bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi
itu, di depannya telah berdiri seorang wanita.
Cuaca pagi hari di dalam hutan
itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Di dalam pandangan Lili,
wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari
dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biar pun di sana-sini sudah
ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing.
Tangan wanita itu memegang
pedang yang mengeluarkan cahaya mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan
Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan
wanita baju merah itu lebih pendek dari pada Liong-cu-kiam ayahnya.
Wanita itu tidak mengeluarkan
sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok
ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri
menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tanpa terasa lagi
gadis ini meramkan matanya.
Akan tetapi tiba-tiba ia
merasa betapa tangan dan kakinya sudah terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa
wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang
mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih
kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung!
Cepat-cepat dia melakukan
gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari
Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga
mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini di samping untuk mencegah
tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan
mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak
terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan
berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili,
digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya,
“Siapa kau? Dari mana kau
mempelajari Pek-in Hoat-sut?”
Ketika wanita baju merah itu
menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu
dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Sesudah terlihat jelas wajah ini
ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya
sudah putih semua dan seluruh kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus
lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu. Pada saat itu juga teringatlah
Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
“Ang... Ang... I Niocu....,”
katanya dengan suara gemetar.
Dua tangan yang halus dan amat
kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu
kini terhenti tiba-tiba.
“Kau siapakah? Lekas mengaku,
kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu
adanya.
“Ahh... Ie-ie (Bibi) Im
Giok...!” Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu.
Semenjak kecilnya, ibunya
sering kali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat
dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi
kepada Pendekar Bodoh suami isteri. Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya
juga amat mengharukan karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu
merupakan seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguh pun ia telah mendengar
dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa mala petaka dan menjadi tua
sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu,
maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas
pipinya.
Sementara itu, melihat wajah
dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. “Kau puteri Lin Lin,
anak Cin Hai...?” bisiknya.
“Betul, Ie-ie Im Giok, aku
bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie
Hong Beng.”
Ang I Niocu memegang kedua
pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik
itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita
yang keras hati seperti baja ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya
melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan
kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili
telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia
mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
“Tangkap Nona itu dan bunuh
wanita baju merah itu!” teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu
ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili sambil berkata,
“Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-ha-ha, lihatlah anakku, lihat betapa
Ie-ie-mu, meski pun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi
setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!” Sambil berkata demikian, tangan
kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah
tercabut dan berada di tangannya!
Pedang ini sesungguhnya juga
pedang Liong-cukiam dan asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan),
sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang
mendapatkan pedang ini di dalam goa, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru
Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai ada pun yang pendek jatuh
pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini
hebat sekali dan tajam luar biasa!
Melihat kemarahan Ang I Niocu,
Lili menjadi kuatir sekali. Ia pun dapat menduga bahwa kalau wanita baju merah
ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di
tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini
kalau sedang marah.
“Ie-ie Im Giok, tahan
dulu...!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu
yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak
jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku
menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya
yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Ang I Niocu memandang kepada
Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili sudah kuatir kalau nyonya luar biasa
ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan
berkata perlahan, “Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti
ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka.”
“Terima kasih, Ie-ie, tidak
usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan
pedang Liong-cu-kiam!” Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini
karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang
Liong-cu-kiam juga.
Dengan kedua tangan di pinggang,
Lili berdiri dengan gagahnya, menunggu datangnya serbuan puluhan orang Haimi
itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis
itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan
desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka
berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
“Saudara-saudara suku bangsa
Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang sejak
dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian
telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki
tangan bangsa Mongol yang sangat jahat! Kalian hidup dalam bahaya akan
kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan
jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku
dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan
memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan pemimpinmu yang jahat itu
dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”
Tak seorang pun di antara
orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan
dengan pedang di tangan.
“Perempuan sombong! Kau
kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang
masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa
sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu itu jahat sekali!”
“Ha-ha-ha, kau bernama
Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah
berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau
membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan cara pengeroyokan
yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!”
Saliban memang gentar menghadapi
kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya. Akan tetapi oleh karena
sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri
bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras, “Kawan-kawan, serbu dan
bunuh perempuan sombong ini!”
Akan tetapi tiada seorang pun
di antara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan Lili tadi
telah mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah mengambil keputusan hendak
berdiam diri dulu, kemudian menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan
Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti. Sebelum Saliban dapat
mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya
melesat cepat ke arah Saliban.
Saliban mengangkat pedang
Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat
dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Lili
mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban. Serangan
kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya
dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah
pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.
Ang I Niocu mau tidak mau
tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan Ilmu
Silat Kong-ciak Sin-na. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah
seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya.
Ahh, ia merasa menyesal
mengapa dia telah menjauhkan diri dari mereka ini. Kalau saja ia tahu bahwa Cin
Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu
tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!
Kalau dibuat perbandingan,
ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu bagaikan
seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili
membalas serangan lawan. Dia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu
tangan kirinya bergerak…
“Plokk!” terdengarlah suara
yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.
Saliban merasa seakan-akan
kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya serasa
beralun. Akan tetapi dia masih mampu mempertahankan dirinya. Walau pun ia
merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja
maju menyerang dengan mati-matian!
Saliban memekik kesakitan pada
waktu pukulan Pek-in Hoat-sut itu mengenai dadanya. Pedangnya terampas dengan
amat mudahnya dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai
beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang
memandang dengan mata terbelalak kagum.
Lili memang betul berhati
pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya dia tidak punya niat membunuh
Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras, merampas pedangnya
dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya.
Karena itu dia terkejut sekali
melihat betapa tiba-tiba rombongan orang-orang Haimi yang berkumis panjang itu
kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak itu dengan golok dan
pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur
tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.
Lili melompat ke tempat itu
hendak mencegah, akan tetapi telah terlambat. Tubuh Saliban sudah hancur tidak
karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat,
mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan gadis
gagah itu.
“Lihiap, jahanam ini sudah
terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami,” kata seorang Haimi tua
yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban. “Semenjak
bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami
yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti
budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati sendiri. Bangsat
rendah Saliban ini menambah mala petaka, karena dia pandai bermuka-muka
sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai pemimpin kami. Hari ini, Lihiap
sudah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum
berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan orang-orang Mongol.
Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan mala petaka yang lebih
besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh
orang Mongol!” Sesudah orang tua ini berkata demikian, kemudian terdengar isak
tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu telah menangis sedih.
Ang I Niocu yang datang
berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara
mengejek, “Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang,
akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampangnya saja yang gagah akan
tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang selemah-lemahnya!
Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan tak
mungkin bisa dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Apa bila kalian
mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena sekali
Nona ini telah mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi.”
Orang-orang Haimi yang
mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan jengah.
Mendengar nasehat mengenai kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh amat
memalukan sekali.
“Siapakah kau, Toanio, yang
mengeluarkan kata-kata segagah ini?” tanya orang Haimi tua tadi.
Dengan suara bangga, Lili
segera memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka. “Kalian tentu sudah pernah
mendengar nama Ang I Niocu, bukan? Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita
terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ie-ku yang tercinta. Dengan adanya dia
di sini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan dapat menolong
kalian? Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya seorang manusia
biasa itu, biar pun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan
Ie-ie-ku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!”
Nama besar Ang I Niocu memang
sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke timur,
maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, juga
telah mendengar dan mengenal nama ini. Maka serentak mereka memberi hormat
sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalau begitu, mulai hari ini
juga kami mengangkat Lihiap serta Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami. Hanya
kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami. Ketahuilah, Lihiap
dan Niocu, sesudah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu
isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua dikumpulkan dalam sebuah
kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari sekali kami dibolehkan
menjumpai mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk
merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani
membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!”
Mendengar penuturan ini, baik
Lili mau pun Ang I Niocu menjadi marah sekali.
“Di mana tempat keluarga
kalian itu terkurung?” tanya Ang I Niocu.
“Tidak jauh dari sini, di
sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san,” jawab orang Haimi tua tadi.
“Nah, kita tunggu apa lagi?
Mari berangkat ke sana untuk menolong mereka,” kata pula Ang I Niocu.
Orang-orang Haimi itu terkejut
sekali. “Akan tetapi... tempat itu sudah dijaga oleh seratus orang-orang yang
jahat.”
Lili menjadi hilang sabar.
“Pengecut! Kalian tadi sudah mengakui kami berdua sebagai pemimpin, kenapa
sekarang masih banyak membantah lagi? Apakah kalian tak percaya kepada
Ie-ie-ku? Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!”
Mendengar ini buru-buru
orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah
girang orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada
empat puluh dua orang, lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun di mana
keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang wanita, orang-orang tua,
dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.
Tempat di mana keluarga Haimi
itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Di sana hanya terdapat
gubuk-gubuk yang sangat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi
itu tak lebih baik dari pada penghidupan sekelompok ternak. Benar saja, di
sekeliling kampung itu dijaga oleh orang-orang Mongol yang bersenjata lengkap,
dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat gangguan yang
kurang ajar dari para penjaganya.
Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai
empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di sepanjang
perjalanan, kedua orang ini selalu bercakap-cakap seperti dua orang keluarga
yang telah lama berpisah.
“Ie-ie, aku pernah bertemu
dengan puteramu,” kata Lili.
Ang I Niocu cepat menengok dan
memandang dengan wajah berseri-seri. “Betulkah? Kau sudah bertemu dengan
Siong-ji? Di mana? Bagaimana dia?”
Lili adalah seorang gadis yang
jujur seperti ayahnya. Biar pun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada
saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.
“Menyesal sekali harus
kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga... kurang ajar sekali, Ie-ie!”
Bukan main terkejutnya hati
Ang I Niocu mendengar ini, sehingga dia lalu menoleh ke belakang dan membentak
semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian dia menarik tangan
Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya sungguh sangat menyeramkan,
“Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau menganggap dia demikian? Apakah yang
telah dia perbuat?”
“Perjumpaanku yang pertama
adalah ketika ia… ia mengganggu seorang gadis cantik!” Kembali Ang I Niocu
terkejut sekali.
“Tak mungkin! Siong-ji tidak
akan melakukan perbuatan seperti itu!”
Akan tetapi Lili lalu
menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong pada waktu pemuda ini hendak
meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya
sehingga kemudian dia bertempur dengan Lie Siong.
“Agaknya puteramu itu...
mencinta gadis itu atau sebaliknya.”
“Siapa gadis itu, Lili? Dan
mengapa puteraku bisa bersama dengan dia dan melakukan perjalanan bersama?”
“Bagaimana aku dapat menjawab
pertanyaan ini, Ie-ie? Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu pun bukan
pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling
mengenal.”
“Hemm, sudahlah, dan kemudian
di mana lagi kau berjumpa dengan dia?”
“Yang kedua kalinya, kami
berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang
mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat itu... puteramu dan aku
telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dalam pertempuran
ini... ia...” Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah sekali dan untuk
sejenak ia menundukkan mukanya, “dia telah... berlaku amat kurang ajar terhadap
aku, Ie-ie...”
“Ia berbuat apakah? Lekas,
lekas ceritakan, aku tak sabar lagi.”
“Dia telah merampas sebelah
sepatuku!”
“Apa...??” Kini Ang I Niocu
memandang dengan mata terbelatak. “Merampas sepatumu? Untuk apakah?”
Makin merah wajah Lili.
“Entahlah, siapa tahu?”
Lili cemberut sehingga hampir
Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya.
“Aku tidak dapat mengejar
karena kakiku telanjang. Dia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di
punggungnya.”
“Hmm, aneh... aneh, mengapa
Siong-ji menjadi begitu aneh?”
“Masih belum hebat, Ie-ie.
Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku pergi
ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!”
“Gila! Apa artinya semua ini,
Lili? Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian? Kalau
misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuh Sin-kai Lo
Sian. Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?”
Sebetulnya Lili merasa enggan
untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I Niocu
demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak
berani menyembunyikannya lagi.
“Harap Ie-ie mendengar dengan
tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui satu hal yang amat penting dan
mengejutkan hati. Dia pernah menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa...
bahwa... suamimu telah meninggal dunia.”
Lili melihat betapa wajah Ang
I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak sebuah
pun seruan kaget keluar dari mulutnya.
“Di mana matinya? Bagaimana
dan oleh siapa?” hanya demikian tanyanya.
“Inilah soalnya, Ie-ie. Ini
pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai
Lo Sian, untuk memaksanya memberi penjelasan. Ah, kasihan orang tua itu, dia
sesungguhnya tidak dapat memberi keterangan itu karena ingatannya sudah
hilang.”
“Apakah maksudmu?”
Dengan jelas Lili lalu
menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit
berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari
mulutnya lagi.
Lili memandang dengan terharu
dan amat kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita pukulan batin
yang hebat, mendengar kematian suaminya, tapi tidak mencak-mencak atau menangis
seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan
termenung menenteramkan batin untuk mengatasi pukulan itu.
Tanpa bergerak atau menoleh,
tiba-tiba Ang I Niocu berkata, “Lili, bencikah kau kepada anakku?”
Lili terkejut sekali. Tak
pernah disangkanya bahwa ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia seorang
gadis yang jujur, apa lagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak ingin membohong.
Bencikah ia terhadap Lie Siong pernuda kurang ajar itu? Wajah pemuda itu sering
kali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurang ajarannya.
“Tidak, Ie-ie. Penuturanku
tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku. Mengapa aku harus
membencinya? Biar pun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari
sepatuku...”
“Itu tanda dia suka kepadamu,
anak bodoh!”
Lili tertegun. “Aku... aku
tidak benci kepadanya Ie-ie,” katanya dengan hati tetap karena ia tidak
membenci ketika mengatakan hal ini.
“Dan kau suka kepadanya?” Ang
I Niocu bertanya pula, masih belum bergerak dan tidak menoleh.
Berdebar jantung Lili. Sungguh
hebat sekali Ang I Niocu ini, langsung menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan
yang demikian jitu dan terus terang, betul-betul menyulitkannya. Agaknya
demikian pula jika pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu,
hebat, dan langsung!
“Ie-ie, bagaimana aku dapat
menjawab pertanyaanmu ini? Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah maksudmu
dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?”
“Masudku, Lili,” kata Ang I
Niocu yang kini tiba-tiba menoleh lantas memandang tajam kepada gadis itu,
“karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, engkaulah yang akan
menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang
bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut menjadi mantuku.”
“Enci Goat Lan adalah tunangan
Engko Hong Beng,” Lili memprotes.
“Lebih-lebih begitu. Setelah
aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan mengijinkan Siong-ji menikah
selain dengan engkau!”
Bukan main jengahnya perasaan
Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan dadanya
berdebar. Ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.
“Tidak mungkin, Ie-ie.
Puteramu itu sudah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan
bersama dia!”
“Apakah kau yakin bahwa
Siong-ji mencintainya?”
“Aku tidak mau tahu urusan
orang lain,” jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah.
“Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya.”
“Tidak mungkin Siong-ji menjatuhkan
hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau. Ah, sudahlah, hal itu
akan mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?”
“Ie-ie, dalam hal ini, aku
hanya dapat menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat memutuskannya
sendiri?”
Ang I Niocu memberi tanda ke
belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa percakapan dengan Lili
telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan Lili tak banyak bercakap
lagi. Dia merasa kikuk dan malu-malu terhadap Ang I Niocu sesudah pendekar
wanita itu menyatakan hendak mengambil mantu padanya.
Terbayang berganti-ganti wajah
Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan Song Kam Seng tidak
dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam sikap mereka. Akan
tetapi Lie Siong? Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa perampasan sepatu itu
menjadi tanda bahwa pemuda itu suka kepadanya? Apakah bukan sekedar hendak
menghinanya belaka?
Ketika rombongan itu sudah
tiba di depan pintu gerbang dusun di mana keluarga Haimi itu ditahan, para
penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.
“Siapa menyuruh kalian datang
pada waktu ini? Belum tiba waktunya kalian dibolehkan masuk ke sini! Mana
Saliban? Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan kami,” kata kepala
penjaga, seorang Mongol yang tinggi besar dan berwajah menyeramkan.
“Bangsat Mongol, tidak usah
banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang lantas minggatlah kau dan
orang-orangmu dari sini!” Lili melompat maju sambil menudingkan kipasnya.
Sejak tadi gadis ini sudah
mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat karena perjalanan
itu. Di sepanjang jalan keadaan gadis ini dan Ang I Niocu memang menimbulkan
keheranan para orang Haimi.
Hawa udara amat dinginnya akan
tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya kepanasan! Mereka tidak
tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa dalam tubuh untuk
membikin panas tubuhnya, melawan hawa dingin sambil melancarkan peredaran
darah, maka mereka merasa kepanasan sampai berkeringat. Ada pun kipas Lili ini
dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tak seorang pun menduga bahwa kipas
itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.
Orang Mongol tinggi besar yang
mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak-gelak. “Ha-ha-ha! Mana Saliban?
Bagus benar, dia sudah membawa seorang tawanan wanita yang sedemikian
cantiknya! Sayang otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka memberi dia sepuluh
potong uang emas untuk ditukar denganmu! Ha-ha-ha!”
Akan tetapi suara ketawanya
segera disusul dengan pekik mengerikan pada waktu Lili menggerakkan kipasnya
yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol itu. Pekik mengerikan
ini hanya keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.
Gegerlah seketika karena
orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para penjaga Mongol itu.
Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan halilintar
menyambar-nyambar dan di mana sinar pedangnya berkelebat, pasti ada sebuah
kepala orang Mongol terpisah dari lehernya! Amukan Lili dan Ang I Niocu
sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa-sisa para penjaga Mongol itu
melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan, pergi meninggalkan
kawan-kawan mereka yang telah tewas bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.
Pertemuan antara keluarga
Haimi dengan para prajurit Haimi itu sungguh mengharukan sekali. Akan tetapi
Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera pergi meninggalkan
kampung itu dan beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah timur terdapat sebuah
hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san dan di sinilah mereka berhenti.
Ang I Niocu tidak takut akan
pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk
melindungi sekian banyaknya orang apa bila terjadi pertempuran dengan
orang-orang Mongol. Setelah berada di tengah hutan, orang-orang Haimi lalu
membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian diadakan penjagaan yang kuat.
Sesudah itu, orang Haimi yang
tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut menghaturkan terima kasih
kepada Lili dan Ang I Niocu.
“Lili, kau pimpinlah
orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara kerajaan dan
orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur orang-orang
Mongol. Kalau keadaan sudah aman, barulah kau tinggalkan orang-orang ini, atau
boleh kau serahkan kepada penjagaan tentara kerajaan.”
“Aku akan memimpin mereka
mencari benteng tentara kerajaan di mana terdapat pula Engko Hong Beng, Enci
Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku, Ie-ie.”
“Hemm, jadi Cin Hai dan Lin
Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol? Bagus! Sayang
sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku hendak mencari
puteraku, dan ingin mencari pembunuh suamiku pula. Kau bawalah mereka ke mana
kau suka, Lili, akan tetapi berhati-hatilah. Melihat ilmu silatmu aku bisa
percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini.”
Setelah berkata demikian dan
memeluk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam pandangan mata
orang-orang Haimi yang berada di situ, nyonya merah ini sama saja dengan
menghilang karena lompatannya demikian cepat sehingga tidak kelihatan lagi.
Mereka diam-diam merasa kagum sekali.
“Untuk sementara, dalam
beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu di sini,” kata Lili kepada
orang-orang Haimi itu, “kita mengumpulkan tenaga dan menjaga kalau-kalau ada
pasukan Mongol yang menyerang. Kemudian, kita harus pergi ke lereng Alkata-san
untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan.”
“Lihiap, aku tahu di mana
adanya benteng itu, hanya kurang lebih seratus li dari sini!” kata orang Haimi
tua yang ternyata kemudian bernama Nurhacu itu.
“Bagus sekali, Paman Nurhacu.
Baiklah, kelak kau yang menjadi penunjuk jalan. Tetapi sekarang perkuatlah
penjagaan, aku pun perlu sekali beristirahat. Kita tunggu sampai lima hari,
kalau keadaan sudah nampak aman, baru kita membawa keluarga ini menuju ke
benteng itu.”
Lili diperlakukan sebagai
kepala atau ratu mereka. Semua orang menghormati gadis ini yang dianggap
sebagai dewi penolong mereka. Segala macam keperluan gadis ini telah disediakan
pula dan para wanita juga melayaninya dengan penuh kebaktian sehingga diam-diam
Lili merasa terharu. Kalau saja tidak ada orang tuanya dan kawan-kawan lain,
agaknya ia akan suka sekali hidup sebagai kepala suku Haimi yang ternyata
selain jujur, juga amat manis budi ini.
Tiga hari kemudian, pada siang
hari, seorang penjaga dengan wajah khawatir datang melapor kepada Lili.
“Lihiap, dari arah selatan
datang tiga orang. Mereka itu adalah seorang wanita dan dua orang laki-laki.
Dan yang wanita kami kenal sebagai puteri dari kepala suku bangsa kami yang
dulu, yaitu Lilani, puteri Manako dan Meilani! Menanti keputusan Lihiap apakah
yang harus kami lakukan karena mereka itu sedang menuju ke sini!”
Berdebar hati Lili mendengar
laporan ini, Lilani, puteri Manako dan Meilani? Gadis Haimi dan dua orang
laki-laki?
“Bagaimana macamnya dua orang
laki-laki itu?” tanyanya.
“Yang seorang adalah seorang
pemuda yang tampan dan gagah, agaknya seorang ahli silat karena pedangnya
tergantung pada pinggang. Yang ke dua adalah seorang laki-laki tua berpakaian
tambal-tambalan.”
Makin berdebar dada Lili
mendengar ini. Tidak salah lagi, mereka tentulah Lie Siong dan Lo Sian! Jadi
wanita yang melakukan perjalanan bersama Lie Siong itu adalah puteri dari
Manako dan Mellani? Ahh, bagaimana ada hal yang demikian kebetulan?
“Jangan menggunakan
kekerasan,” katanya dengan suara tetap setelah berpikir sejenak, “akan tetapi
tawan mereka dan bawa menghadap kepadaku!”
“Ditawan...??” penjaga itu
ragu-ragu. “Akan tetapi wanita itu adalah Lilani, puteri dari...”
“Cukup! Jangan membantah. Bawa
mereka menghadap ke sini! Dan apa bila mereka melakukan perlawanan, datang
lapor lagi, aku sendiri yang akan menawan mereka!”
Sementara itu, Nurhacu yang
mendengar bahwa Lilani sudah datang, dengan girang dia bersama kawan-kawannya
lalu berlari-lari menyambut kedatangan puteri kepala mereka itu.
Yang datang memang benar
Lilani, Lie Siong dan Lo Sian. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan,
mereka ini sengaja melanjutkan perjalanan ke utara untuk mencari suku bangsa
Haimi. Pada hari kemarinnya, tiga orang ini bertemu dengan sepasukan orang
Mongol yang terdiri dari belasan orang.
Lie Siong segera menyerbu dan
menangkap seorang di antara mereka, lalu memaksanya memberi keterangan di mana
adanya suku bangsa, Haimi. Orang Mongol yang sudah tak berdaya lagi itu memberi
tahu bahwa bangsa Haimi yang dipimpin oleh Saliban berada di sekitar kaki Bukit
Alkata-san di sebelah barat, maka Lie Siong segera mengajak kawan-kawannya
untuk mencari di daerah itu.
Ketika Lilani mendengar suara
bersorak dan melihat serombongan orang Haimi datang berlari-lari menyambutnya,
ia lalu berlari maju dengan air mata berlinang.
“Paman Nurhacu...!” serunya
penuh keharuan dan kegirangan.
Kakek Haimi itu juga berseru,
“Lilani... ahh, Lilani...”
Mereka lalu berpelukan sambil
bertangis-tangisan. Ramai mereka bicara dalam bahasa Haimi dan Lie Siong
melihat betapa Lilani seolah-olah hidup kembali, seolah-olah sudah menempuh
hidup baru. Wajah gadis ini berseri gembira, matanya bergerak-gerak hidup,
tidak sayu dan muram seperti tadinya. Dia pun menarik napas lega.
Pada saat Lilani
bercakap-cakap menuturkan riwayatnya dengan Nurhacu beserta kawan-kawannya,
datanglah penjaga yang tadi melapor kepada Lili.
“Menurut keputusan Lihiap,
mereka bertiga ini harus ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya,” kata
penjaga ini dalam bahasa Han yang kaku, karena maksudnya supaya dimengerti oleh
dua orang yang mengantar Lilani itu.
Mendengar ucapan ini, Lie
Siong menjadi marah. Dia cepat mencabut pedangnya, lantas melompat ke hadapan
Lilani, melindunginya sambil membentak,
“Apa? Kalian mau menangkap
Lilani, mau menangkap kami? Lilani adalah puteri dari bekas pemimpinmu,
sekarang hendak kalian tangkap sendiri? Baik, majulah! Ingin kulihat bagaimana
kepalamu yang berkumis itu menggelinding meninggalkan tubuhmu!”
“Jangan, Taihiap, jangan!
Mereka ini adalah keluargaku sendiri. Apa bila mereka sudah mempunyai seorang
kepala baru yang menghendaki kita datang menghadap, marilah kita lakukan itu
dan kita lihat siapa adanya kepala mereka yang ternyata seorang wanita itu.
Menurut penuturan Paman Nurhacu, Paman Saliban yang jahat sudah tewas oleh
kepala baru ini. Marilah, Taihiap, harap kau jangan mengganggu mereka.”
Juga Lo Sian menyabarkan hati
Lie Siong sehingga dengan apa boleh buat pemuda ini lalu menyimpan kembali
pedangnya. Mereka bertiga lalu diajak oleh orang-orang Haimi itu, pergi
menghadap Lili!
Ketika tiga orang ‘tawanan’
ini telah tiba, Nurhacu sendiri memberi laporan kepada Lili.
“Suruh mereka tunggu.” kata
Lili dengan angkuh sekali. “Sediakan dulu makanan karena perutku lapar. Setelah
makan, barulah aku akan menerima mereka!”
Nurhacu menjadi heran sekali.
Belum pernah ia melihat Lili bersikap demikian dingin dan nampaknya marah. Akan
tetapi diam-diam dia melakukan perintah ini dan ketika tiba di luar pondok
tempat tinggal Lili, dia memberitahukan kepada Lilani bahwa kepala mereka
sedang makan serta minta mereka menanti sebentar. Ketika Lilani menyampaikan
warta ini kepada Lie Siong, bukan main mendongkol hati pemuda ini.
“Siapa sih dia yang begitu
sombong?” katanya.
Akan tetapi kembali Lilani
menyabarkannya dan sebentar kemudian gadis ini didatangi oleh orang-orang
perempuan Haimi. Riuh rendah di sana, terdengar gelak ketawa dan tangis.
Pertemuan yang sangat mengharukan antara Lilani dan para keluarga Haimi. Dari
orang-orang perempuan ini Lilani mendengar bahwa kepala yang baru ini adalah
seorang wanita cantik yang gagah yang sudah membebaskan mereka dari tahanan
orang-orang Mongol. Diam-diam Lilani merasa heran dan juga kagum sekali.
Tak lama kemudian, seorang
penjaga datang dan minta Lo Sian mengikuti. “Tamu yang tertua dipanggil
menghadap lebih dulu,” katanya.
Lo Sian bangkit dan mengikuti
penjaga itu masuk ke dalam. Dia diantar sampai di luar pintu dan dipersilakan
masuk sendiri. Ketika Lo Sian menolak daun pintu dan melangkah masuk, hampir
saja dia berseru saking kagetnya.
Akan tetapi Lili cepat-cepat
memberi tanda dengan jari telunjuk di depan mulutnya dan melambaikan tangan
meminta kepada Lo Sian agar supaya maju dan duduk di bangku depan mejanya.
“Lili, bagaimana kau bisa
berada di sini dan… apakah artinya tindakanmu yang aneh ini? Mengapa kau
menyuruh kami ditangkap”
Lili tersenyum, “Lo-pek-pek,
apakah kau baik-baik saja? Tadinya aku kuatir kau sudah menjadi korban dan
binasa di tangan pemuda kurang ajar itu.”
“Lili, dia adalah seorang
pemuda yang baik dan dia benar-benar putera Ang I Niocu. Aku memang diculiknya,
akan tetap itu dilakukannya karena dia ingin tahu tentang ayahnya.”
“Aku tahu, Pek-pek. Karena
itulah maka lebih-lebih harus disesalkan kekurang ajarannya! Aku telah menolong
suku bangsa Haimi dan sudah diangkat menjadi pemimpin mereka, sekarang dia dan
gadis itu datang mau apakah?”
“Lili, gadis itu adalah puteri
kepala suku bangsa Haimi. Lie Siong bersama aku sengaja mengantarkannya untuk
mengembalikannya kepada suku bangsanya. Sudah kusaksikan sendiri alangkah
gembiranya orang-orang Haimi ketika bertemu dengan Nona Lilani itu. Mengapa kau
suruh dia ditangkap?”
“Biar pun dia puteri Manako
dan Meilani, akan tetapi pada saat ini akulah yang menjadi kepala di sini,
Pek-pek. Tidak boleh dia berlaku sesuka hatinya. Kalau dia ingin menjadi
pemimpin dia harus sanggup merebutnya dari tanganku! Aku diangkat menjadi
pemimpin bukan atas kehendakku, dan aku juga diberi tugas untuk memimpin mereka
sampai ke benteng pasukan kerajaan di mana mereka bisa berlindung. Apakah
sekarang aku harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang gadis bernama
Lilani? Sudahlah, Pek-pek, kau duduklah saja dan dengarkan apa yang hendak
dikatakan oleh mereka berdua!”
Lo Sian terbelalak heran
memandang wajah Lili yang nampaknya marah dan cemburu itu. Tadinya dia mengira
bahwa gadis ini sedang main-main, karena seperti biasanya, Lili suka sekali
bermain-main dan berjenaka atau melucu. Akan tetapi sekarang pemudi ini
nampaknya bersungguh-sungguh hingga Sin-kai Lo Sian hanya diam sambil memandang
dan menduga-duga.....
Sementara itu, Lili sudah
menepuk tangannya memanggil penjaga yang berada di luar pondoknya. Ia
memerintahkan agar supaya dua orang muda tawanan itu disuruh masuk, Lilani dan
Lie Siong masuk sambil mengangkat kepala, memandang ‘ratu baru’ dari suku
bangsa Haimi itu dengan hati ingin tahu sekali siapakah orangnya yang telah menolong
bangsa itu dan kini menjadi kepalanya.
Sungguh menarik sekali melihat
pertemuan antara tiga orang muda yang elok ini dan Lo Sian beruntung sekali
dapat menyaksikan pertemuan yang menarik ini. Tiga orang muda itu saling
pandang, Lili dengan bibirnya yang manis tersenyum mengejek, sedangkan Lie
Siong dengan mata terbelalak dan muka agak pucat. Ada pun Lilani untuk sesaat
seperti orang terkejut sekali dan mukanya menjadi kemerah-merahan, akan tetapi
gadis ini lalu berlari maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Lili!
“Nona yang gagah perkasa besar
sekali budimu terhadap bangsaku. Perkenankanlah aku menghaturkan terima kasih
atas pertolonganmu dan percayalah bahwa kami bangsa Haimi selamanya tak akan
melupakan jasa dan pertolonganmu.”
Lili tersenyum semakin
mengejek. “Aku mendengar bahwa kau adalah puteri dari bekas pemimpin besar suku
bangsa Haimi. Bukankah engkau datang untuk menduduki pangkat pemimpin
menggantikan orang tuamu? Sanggupkah engkau menggeser aku dari tempat dudukku?
Ketahuilah, aku sudah dipilih dan diangkat menjadi kepala di sini dan karena
aku memperoleh kedudukan ini mengandalkan pedangku, maka kalau kau menghendaki
kedudukan ini, cobalah kau kalahkan aku lebih dulu.”
“Lihiap, bagaimana aku berani
menantang penolong bangsaku? Memang terus terang saja tadinya aku memiliki
cita-cita untuk memimpin bangsaku yang bodoh. Akan tetapi sekarang bintang
terang telah jatuh dari atas langit menerangi kehidupan bangsaku yang tertindas
dan selalu berada dalam kegelapan. Bintang itu adalah engkau sendiri, Lihiap.
Setelah engkau dikirim oleh Tuhan untuk membimbing bangsaku, bagaimana aku
masih tetap menghendaki kedudukan pemimpin? Tidak, aku cukup puas bila aku
dapat menjadi pelayanmu, Lihiap.”
Tertegun dan terharu juga hati
Lili mendengar ucapan ini, akan tetapi ketika ia melirik ke arah Lie Siong dan
melihat betapa jidat pemuda itu berkerut seakan-akan tidak senang hati
mendengar dan melihat sikapnya, Lili menjadi makin panas.
“Hemm, siapakah yang ingin
menjadi ratu di sini? Aku tidak haus akan kedudukan dan tidak ingin menjadi
kepala! Aku hanya kebetulan saja menjadi pemimpin karena mereka pilih dan sudah
menjadi tugas seorang gagah untuk menolong mereka yang tertindas. Tentu saja
aku akan menyerahkan kedudukan ini kepadamu tanpa kau minta sekali pun jika
memang betul kau adalah puteri kepala yang berhak menjadi pemimpin. Akan tetapi
bagaimana aku dapat menyerahkan kedudukan ini dengan begitu saja? Bagaimana aku
dapat menyerahkan nasib ratusan orang ke dalam tangan orang yang belum
kuketahui kecakapannya? Karena itu, coba kau perlihatkan kepandaianmu kepadaku
untuk kulihat apakah kau sudah cukup kuat memimpin orang-orang sedemikian
banyaknya!”
Merah wajah Lilani mendengar
ucapan ini. Biar pun dianggap telah berkepandaian tinggi di antara bangsanya,
mungkin yang tertinggi di antara semua orang Haimi, akan tetapi bagaimana dia
dapat memperlihatkan kepandaiannya itu di hadapan seorang gadis luar biasa
seperti Lili ini?
Dia pernah menyaksikan
kepandaian Lili ketika bertempur melawan Lie Siong dahulu itu. Bahkan Lie Siong
sendiri belum tentu sanggup mengalahkan Lili, apa lagi dia? Dengan gugup dan
bingung, Lilani tak dapat menjawab, fia hanya menundukkan kepala dengan wajah
merah.
Dia hendak minta tolong kepada
Lie Siong, akan tetapi dia tidak berani. Pemuda ini tidak mempedulikan lagi
kepadanya dan ia maklum bahwa pemuda ini telah jatuh cinta kepada Lili yang
kini menantangnya! Dia tahu betul bahwa sepatu yang ditimang-timang oleh Lie
Siong pada malam hari dahulu itu adalah sepatu Lili! Tanpa terasa pula, dua
titik air mata mengalir turun dan merayap di sepanjang pipinya yang halus dan
kemerahan.
Melihat keadaan Lilani, Lie
Siong tidak tega sekali dan timbullah hati penasaran melihat sikap Lili yang
dianggapnya amat keterlaluan. Dia harus mengakui bahwa begitu bertemu dengan
Lili hatinya berdebar-debar tak karuan. Gadis itu duduk di atas kursinya
demikian cantik, demikian agung, demikian jelita sehingga agaknya tiada orang
yang lebih pantas menjadi seorang ratu!
Rambut yang hitam dan gemuk
itu agak kacau di kepala yang berwajah indah. Matanya demikian tajam bersinar
dan menyiratkan kekocakan, dengan bibirnya yang manis sekali tersenyum
mengejek, menimbulkan lesung pipit di pipi kiri. Tubuhnya yang padat dengan
potongannya yang langsing itu menambah kegagahan dan kemolekannya. Ahh, sungguh
seorang gadis luar biasa yang kenyataannya melebihi mimpinya!
Ketika ia melirik ke arah kaki
yang kecil mungil itu, teringatlah ia akan sepatu yang masih dikantonginya dan
diam-diam hatinya makin berdebar jengah dan malu. Akan tetapi kini sikap Lili
membuatnya penasaran sekali.
Seorang gadis seperti ini
tidak selayaknya bersikap demikian kejam terhadap Lilani. Biar pun dia tidak
mencinta Lilani, namun hatinya penuh rasa kasihan terhadap gadis ini dan siapa
pun juga, tidak juga Lili yang diam-diam merampas hatinya, boleh mengganggu dan
menyakiti hati gadis yang bernasib malang ini!
“Nona Sie, sebagai seorang
gagah dan terutama sekali sebagai puteri Pendekar Bodoh yang terkenal budiman,
tidak selayaknya kau memperlakukan Nona Lilani seperti ini! Dia adalah puteri
dari kepala suku bangsa Haimi yang sangat dihormati oleh bangsanya dan sudah
sewajarnya apa bila dia menjadi pemimpin bangsanya. Itu sudah menjadi haknya!
Kenapa sekarang kau mengandalkan kepandaian bukan untuk membantu dan menolong
dia, bahkan kau pergunakan untuk menghinanya? Tidak malukah engkau? Untuk
apakah kedudukan ini bagi seorang gagah seperti Nona?”
Mendengar ucapan ini merahlah
wajah Lili, tetapi menambahkan kecantikannya sehingga Lie Siong yang memandangnya
merasa napasnya menjadi sesak! Gadis ini marah sekali, dan anehnya, dia tidak
marah atas kata-kata yang keras ini, melainkan dia marah melihat pemuda ini
membela Liliani! Boleh dibilang marah karena cemburu, benar-benar aneh.
“Ahhh…, jadi Nona Lilani
mempunyai seorang pelindung yang gagah? Pantas saja Nona Haimi ini berani
melakukan perjalanan ribuan li, tidak tahunya dia selalu berada di bawah
lindungan seorang pemuda gagah! Ha, kalau begitu, biarlah aku mencoba
kepandaian pelindungnya untuk menguji apakah sudah patut bila menjadi pelindung
dan bayangkari seorang Ratu Haimi!” Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat
turun dari bangkunya dan mencabut pedang Liong-coan-kiam dan kipas mautnya!
Lie Song adalah seorang pemuda
yang keras hati. Menghadapi tantangan Lili, biar pun ia menjadi bingung sekali,
akan tetapi ia merasa malu kalau mundur. Ia pun lalu mencabut pedang
Sin-liong-kiam dan berkata,
“Nona Sie, sesungguhnya tidak
ada alasan bagiku untuk bertempur melawanmu, akan tetapi aku akan mencemarkan
nama orang tuaku kalau aku menolak tantangan berkelahi dari siapa pun juga.
Biarlah kini aku menebus kekalahanku dahulu di kuil Siauw-lim-si di Kiciu!”
Kini marahlah Lili. Tidak
sepatutnya orang menyebut-nyebut peristiwa ini. Sekaligus dia teringat akan
sepatunya yang dirampas, maka dia berkata keras.
“Bagus! Biarlah aku pun
mendapat kesempatan untuk membalas penghinaanmu. Kau mengaku putera Ang I
Niocu, akan .tetapi aku tetap tidak percaya, karena putera Ang I Niocu tidak
akan sekurang ajar itu! Tidak saja kau telah merampas sepatu yang berarti
menghinaku, akan tetapi kau juga berani menculik Lo-pek-pek!” Sambil berkata
demikian, Lili lalu melompat keluar dari pondoknya.
Lie Siong juga cepat melompat
keluar dan di pekarangan pondok yang luas itu mereka berhadapan bagaikan dua
jago yang berlagak hendak bertempur mati-matian. Semua orang Haimi, tua muda
lelaki perempuan yang memang berkumpul di depan pondok itu untuk menunggu
Lilani, memandang dengan melongo dan terheran-heran. Lilani dengan diikuti oleh
Lo Sian berlari keluar pula dan gadis ini sambil menangis menjatuhkan diri
berlutut di depan Lili.
“Lihiap, janganlah... Lihiap,
kau tidak tahu... Lie Siong Taihiap tidak menghinamu... dia tidak mencintaiku,
pembelaannya keluar dari wataknya yang budiman dan gagah. Lihiap, jangan kau
menyerangnya...”
Lili tertegun mendengar
pengakuan ini, akan tetapi ia tidak pedulikan Lilani dan tetap saja melompat
dan mulai menyerang Li Siong dengan pedangnya. Li Siong cepat menangkis hingga
terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata!
Lilani melompat nekad dan
berdiri menghalang di antara kedua orang jagoan itu, lalu dia berkata kepada
Lie Siong dengan suara penuh permohonan, “Taihiap, harap simpanlah pedangmu.
Lihiap ini adalah penolong bangsaku, jangan kau musuhi. Senjata tak punya mata,
bagaimana kalau kalian saling melukai...?”
Gadis ini menangis dan melihat
puteri pemimpin mereka menangis sedih, semua orang perempuan Haimi yang berada
di situ tak dapat menahan pula keharuan hati mereka dan ramailah wanita-wanita
itu menangis!
Akan tetapi Lie Siong yang
keras hati sudah tersinggung keangkuhannya oleh Lili. Kalau ia dibela oleh
wanita-wanita ini dengan tangis mereka, selamanya ia akan merasa rendah dan
kurang berharga dalam pandangan Lili, maka ia berseru keras,
“Sie Hong Li, kau kira aku Lie
Siong takut padamu? Biar pun kau puteri Pendekar Bodoh, akan tetapi aku tidak
takut menghadapi pedangmu, ayo keluarkanlah kepandaianmu dan cobalah kau
memenggal kepalaku kalau dapat!”
Lili memang seorang yang keras
dan pemarah pula, sungguh pun ia mudah marah dan mudah pula ketawa. Mendengar
tantangan ini, ia langsung mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berkelebat
cepat melampaui atas kepala Lilani lalu dengan gerakan yang dahsyat pedang dan kipasnya
menyambar kepada Lie Siong.
Pemuda ini sudah merasakan
kelihaian Lili, maka ia tidak berani berlaku lambat. Cepat ia memutar pedangnya
dan ketika pedang gadis itu dapat ditangkisnya, ia rnerasa betapa angin pukulan
hebat menyambar dari tangan kiri yang memegang kipas. Cepat-cepat dia melompat
ke belakang, kemudian dia membalas dengan serangan kilat. Tidak saja ujung
pedangnya menuju ke arah dada Lili, akan tetapi lidah pedang naganya yang merah
dan panjang itu pun terputar mencari sasaran pada leher lawannya!
Lili memperlihatkan
kepandaiannya. Sekali menyampok dengan kipasnya, maka gagang kipas sudah
menangkis pedang dan angin sampokan kipas telah membuat lidah pedang lawannya
itu tertiup ke samping. Demikianiah, dua orang muda ini kembali saling serang
dengan hebatnya, mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing dan saling tak
mau mengalah.
Lo Sian tidak bisa berbuat
sesuatu. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh kepandaian dua
orang muda luar biasa ini. Diam-diam dia pun menghela napas dan berkata penuh
kekaguman,
“Pendekar-pendekar remaja ini
benar-benar mengagumkan. Ah, aku orang tua sudah tak berguna lagi!” Sedangkan
Lilani hanya dapat menutupi mukanya sambil menangis.
Pada saat itu terdengar
bentakan nyaring sekali dan sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya menyerbu
ke dalam gelanggang pertempuran.
“Orang jahat dari mana berani
sekali berlaku kurang ajar terhadap keponakanku?!” Yang menyerbu ini adalah
seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersenjata sepasang bambu runcing
yang kekuning-kuningan.
Lie Siong kaget sekali. Ia
telah menangkis serangan bambu runcing dengan pedangnya, akan tetapi ujung
bambu runcing kiri hampir saja mengenai pundaknya kalau dia tidak cepat-cepat
membuang diri ke kiri! Juga Lili segera melompat mundur. Melihat betapa wanita
itu terus mendesak Lie Siong, Lili berseru,
“Pek-bo, jangan lukai dia!”
Seruan ini diucapkan tanpa disadarinya lagi.
Wanita itu yang ternyata
adalah Ma Hoa isteri Kwee An atau juga ibu Goat Lan, menahan sepasang bambu
runcing dan kini ia berdiri dengan mata heran memandang kepada Lili.
“Hong Li, kau bertempur dengan
orang ini, kenapa kau melarangku menyerangnya.”
Merahlah wajah Lili. Seruan
tadi benar-benar tidak disadarinya, seruan yang keluar dari hatinya yang menaruh.
kekuatiran kalau-kalau pemuda itu akan terluka hebat menghadapi bambu runcing
yang lihai dari pek-bo-nya (uwaknya) itu!
“Pek-bo, dia ini... dia adalah
putera dari Ie-ie Im Giok!”
Terbelalak mata Ma Hoa
memandang kepada Lie Siong. “Apa...?! Dia ini putera Ang I Niocu? Pantas saja
kulihat tadi Sianli Kiam-hoat terbayang dalam permainan pedangnya. Ehh, anak
muda, siapa namamu dan bagaimana ibumu? Baik-baik sajakah dia? Sudah lama aku
merasa rindu sekali pada ibumu!” Ma Hoa berkata sambil matanya memandang dengan
penuh kekaguman dan juga dengan kasih sayang.
Menghadapi pandangan mata ini,
luluhlah kekerasan hati Lie Siong. Ucapan yang mesra, pertanyaan-pertanyaan
tentang ibunya yang penuh gairah dan perhatian ini, membuat ia mau tak mau
tunduk terhadap Ma Hoa. Ia cepat menyimpan Sin-liong-kiam lalu menjura deigan
hormat sekali.
“Sudah lama sekali aku
mendengar ibuku bercerita mengenai kegagahan Kwee Taihiap dan Kwee Toanio,
mohon maaf aku Lie Siong yang muda dan bodoh berlaku kurang hormat kepada KweeToanio.”
Ma Hoa tertawa riang, suara
ketawa yang merdu dan nyaring, tak ubahnya seperti suara ketawanya pada waktu
muda.
“Anak nakal, apa-apaan segala
sebutan taihiap dan toanio ini? Ibumu adalah seperti enci-ku sendiri, dan kita
boleh dibilang orang-orang sekeluarga. Aku tidak mau kau sebut toanio, lebih
baik kau menyebut aku Ie-ie (Bibi) saja.”
“Baiklah... Ie-ie!” kata Lie
Siong dengan muka merah.
“Nah, begitu lebih enak pada
telinga. Dan sekarang, mengapa kalian anak-anak nakal ini sampai bertempur mati-matian?
Apa yang kalian perebutkan?”
Lie Siong tidak dapat
menjawab. Lili juga tidak dapat menjawab. Tanpa janji lebih dulu mereka saling
pandang. Dua pasang mata bertemu, mendatangkan warna merah pada pipi dan
telinga.
“Pek-bo, kami hanya berpibu menguji
kepandaian masing-masing,” akhirnya Lili berkata. Bagaimana ia bisa menjelaskan
semua kepada Ma Hoa? Kalau ia menceritakan semua, tentu ia harus menceritakan
pula bahwa pada hakekatnya mereka berebutan... sepatu!
“Benar, Ie-ie. Kami tadi hanya
mengadu kepandaian saja dan aku... aku menyerah kalah terhadap... Adik Hong Li!
Maafkan, Ie-ie, sekarang aku harus pergi lagi untuk mencari pembunuh ayahku!”
Setelah berkata demikian, ia lalu berkata kepada Lilani,
“Lilani, sekarang kau telah
kuantarkan kepada bangsamu sendiri. Dengan pertolongan puteri Pendekar Bodoh,
aku yakin kau akan dapat menyelamatkan suku bangsamu. Juga Lo-pek, aku
menghaturkan banyak terima kasih atas segala bantuanmu. Kini aku hendak mencari
Ban Sai Cinjin dan membalas dendam. Sekarang tidak perlu bantuanmu lagi.”
Lie Siong hendak pergi, akan
tetapi Ma Hoa yang terheran-heran mendengar ini, segera berkata “Nanti dulu,
Siong-ji (Anak Siong)! Bagaimanakah soalnya? Sudah pastikah jika ayahmu
terbunuh oleh Ban Sai Cinjin?”
“Memang sudah pasti, Ie-ie,
dan sekarang juga aku akan mencarinya untuk membalas dendam.”
“Kalau begitu kita bisa
mencarinya bersama-sama! Ban Sai Cinjin tidak berada jauh, dia kini telah
menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan aku pun sedang mencarinya.
Ketahuilah bahwa dia telah menculik puteraku, Kwee Cin!”
Semua orang terkejut mendengar
ini, terutama sekali Lili. Gadis ini kemudian maju dan memeluk Ma Hoa. “Pek-bo,
bagaimana Adik Cin sampai dapat terculik oleh bangsat itu? Mari kita cepat
mengejarnya, dan aku sendiri akan menghancurkan kepalanya. Memang masih ada
perhitungan lama antara bangsat itu dengan aku!”
“Ie-ie, kalau begitu, lebih
banyak alasan lagi bagiku untuk segera mencarinya! Aku akan berusaha merampas
kembali puteramu sekalian membinasakan kakek jahanam itu!” kata pula Lie Siong.
“Ehh, ehh, mengapa kau hendak
pergi sendiri? Mengapa tidak bersama kami?” tanya Ma Hoa.
“Aku... aku lebih senang
bekerja sendiri, Ie-ie!” sesudah berkata demikian, tanpa dapat dicegah lagi Lie
Siong lalu melompat pergi.
“Pemuda aneh...,” Ma Hoa
berkata perlahan.
“Jangan pedulikan dia,
Pek-bo...,” kata Lili mendongkol.
“Bagaimana aku tidak boleh
pedulikan dia, putera Ang I Niocu?”
Sementara itu, Lilani yang
semenjak tadi mendengar percakapan itu sambil memandang kepada Ma Hoa,
tiba-tiba menghampiri nyonya ini dan menjatuhkan diri berlutut.
“Kwee-hujin (Nyonya Kwee),
hamba Lilani menghaturkan hormat.”
Ma Hoa memandang kepada Lilani
dengan rasa heran, kemudian ia memandang kepada orang-orang Haimi yang semuanya
berkumis panjang itu. Kemudian teringatlah dia akan pengalamannya dengan
suaminya dahulu, ketika suaminya masih menjadi tunangannya, dan berkatalah dia,
“Jika aku tak salah duga, orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang dulu
dipimpin oleh Manako dah Meilani. Kau siapakah, Nona?”
“Hamba adalah puteri yang
malang dari Manako dan Meilani, mendiang orang tuaku!”
Ma Hoa lalu membungkuk,
memeluk Lilani dan ditariknya gadis itu berdiri. “Ah, jadi kau puteri Meilani?
Pantas saja kau cantik jelita seperti ibumu. Jadi kedua orang tuamu telah
meninggal semua? Kasihan, kasihan.”
Melihat nyonya gagah ini
begini halus dan baik budi, Lilani tak dapat menahan keharuan hati dan
menangislah dia. Lo Sian yang sejak tadi juga melihat semua ini, cepat maju dan
memberi hormat kepada Ma Hoa.
“Siauwte yang bodoh sudah lama
mendengar nama besar dari Kwee-toanio dan sekarang telah mendapat kehormatan
untuk bertemu dan menyaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa nama besarmu itu
bukan kosong belaka.”
Lili lalu memperkenalkan Lo Sian
dan dengan singkat ia menceritakan riwayat Pengemis Sakti ini. Ma Hoa
mengangguk-angguk maklum, karena ia telah mendengar hal itu dari Lin Lin dan
Cin Hai.
Kini setelah Lie Siong pergi
lenyaplah rasa cemburu yang amat tidak enak dalam hati Lili, maka sambil
memegang tangan Lilani, dia pun berkata, "Lilani, tadi aku hanya bergurau
saja. Memang, kau harus memimpin bangsamu dan jangan kuatir, aku akan mengantar
kalian sampai benteng penjagaan pasukan kerajaan."
Lilani makin terharu, dia
memeluk Lili dan berkata, "Nona, aku sudah menduga bahwa hatimu tentu
mulia. Orang secantik kau dan puteri Pendekar Bodoh pula, tidak mungkin berhati
kejam. Tadi kau bersikap galak, akan tetapi aku dapat menangkap sinar matamu
yang penuh kebijaksanaan. Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Nona. Kau
sudah menolong bangsaku, walau selamanya menjadi pelayanmu, aku akan rela dan
merasa bahagia."
“Jangan kau bilang demikian,
Lilani,” kata Lili.
Ma Hoa yang tidak tahu akan
urusannya kemudian mendengarkan penuturan Lili tentang pengalaman menolong
orang-orang Haimi yang dibantu pula oleh Ang I Niocu.
“Sayang dia keburu pergi
sebelum mendengar penuturanku bahwa ibunya baru tiga hari yang lalu
meninggalkan tempat ini,” kata gadis ini menutup ceritanya. Yang dimaksudkan
dengan ‘dia’ tentu saja adalah Lie Siong, pemuda kurang ajar itu.
“Dia sudah pergi, biarlah,”
kata Ma Hoa. “Sekarang mari kita melanjutkan perjalanan, mengantar orang-orang
Haimi ini ke benteng di mana kita akan menjumpai Goat Lan dan kakakmu Hong
Beng. Di sana pula kita tentu akan bertemu dengan ayah ibumu, dan juga pek-humu
yang sudah berangkat lebih dulu.” Bicara tentang suaminya, kembali Ma Hoa
teringat akan puteranya yang terculik, maka wajahnya menjadi muram.
“Pek-bo, bagaimana Adik Cin
sampai dapat terjatuh dalam tangan orang jahat?”
“Bila diceritakan membuat hati
menjadi gemas sekali,” kata Ma Hoa. “Mari kita berangkat, nanti di jalan
kuceritakan kepadamu tentang hal itu.”
Setelah rombongan itu
berangkat untuk menuju ke benteng pertahanan tentara kerajaan dengan Nurhacu
orang Haimi tua itu sebagai penunjuk jalan, maka berceritalah Ma Hoa tentang
penculikan Kwee Cing puteranya.
Seperti telah diketahui, Ma
Hoa pergi bersama Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin, oleh karena Kwee Cin masih
terlalu kecil dan tidak baik ditinggalkan seorang diri di rumah dalam saat
mereka terancam oleh musuh-musuh yang jahat. Untuk membawa Kwee Cin dalam
perjalanan ke utara juga kurang baik bagi anak itu.
Sejak menjadi isteri Kwee An,
Ma Hoa belum pernah berpisah terlalu lama dari suaminya dan mereka hidup rukun
serta saling mencinta. Tidak mengherankan apa bila kepergian Kwee An kali ini
membuat Ma Hoa merasa tidak betah di rumah. Apa lagi dia maklum bahwa
perjalanan suaminya itu penuh dengan bahaya, karena itu hatinya selalu merasa
gelisah sekali.
Pada suatu hari menjelang
senja, keadaan dirasakan sunyi sekali oleh Ma Hoa. Memang rumahnya amat besar
dan dia hanya mempunyai dua orang pelayan. Biasanya apa bila ada Kwee An, di
rumah itu nampak gembira dan ramai, apa lagi kalau Goat Lan berada di rumah.
Akan tetapi sekarang, berdua saja dengan Kwee Cin, ia benar-benar merasa sunyi.
Tiba-tiba dari pintu
pekarangan depan masuk seorang kakek yang berpakaian indah dan mengisap
sebatang huncwe panjang. Dengan tindakan lebar, kakek ini langsung maju dan
menghampiri Ma Hoa yang sedang duduk di ruang depan bersama Kwee Cin. Kakek ini
datang-datang segera bertanya dengan suaranya yang parau dan keras,
“Apakah aku berhadapan dengan
Nyonya Kwee An, ibu dari nona Kwee Goat Lan?”
Ma Hoa belum pernah bertemu
dengan orang ini, akan tetapi matanya yang tajam dapat menduga bahwa kakek ini
bukanlah orang biasa dan ketika ia teringat akan cerita Lin Lin dan Cin Hai, ia
menjadi terkejut sekali karena kakek ini cocok sekali dengan gambaran Pendekar
Bodoh tentang seorang yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut! Maka
diam-diam Ma Hoa bersiap sedia dan berlaku waspada. Ia merasa girang bahwa
selama ini ia berlaku hati-hati dan selalu mempersiapkan bambu runcingnya di
tempat yang tak jauh dari situ.
“Benar, aku adalah Nyonya
Kwee, tidak tahu siapakah Lo-enghiong dan ada keperluan apakah datang di
rumahku yang buruk ini?”
Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak, lantas dengan tenang akan tetapi mulutnya tersenyum menyeringai ia
membuang abu tembakau dari kepala pipanya, kemudian mengisinya lagi dengan
tembakau warna hitam! Semua ini ia lakukan sambil matanya terus memandang
kepada nyonya itu dengan kagum. Biar pun Ma Hoa telah berusia hampir empat
puluh tahun, akan tetapi nyonya ini tiada bedanya dengan seorang gadis yang
cantik jelita saja!
Diam-diam Ma Hoa merasa
gelisah, maka dia pun berkata kepada Kwee Cin, “Cin-ji, kau masuklah ke dalam.”
Kwee Cin memang selamanya amat
taat kepada ayah bundanya. Maka sebagai seorang anak kecil yang belum dapat
menduga hal-hal hebat yang akan terjadi, dia menyatakan baik dan anak itu lalu
masuk ke dalam kamarnya.
Kembali Ban Sai Cinjin tertawa
dan sekarang suara ketawanya terdengar nyaring sekali hingga terdengar sampai
jauh karena kakek ini memang telah mengerahkan khikang-nya untuk mengirim suara
ketawanya kepada dua orang kawannya yang bersembunyi di luar!
“Kwee-hujin, ketahuilah bahwa
aku bernama Ban Sai Cinjin dan kedatanganku ini hendak mencari puterimu, yaitu
Nona Kwee Goat Lan. Puterimu itu telah berkali-kali melakukan penghinaan
kepadaku dan sekarang aku sengaja datang hendak membuat perhitungan!”
Warna merah mulai menjalar
pada kedua pipi Ma Hoa. Sekarang dia bangkit dari tempat duduknya dan Ban Sai
Cinjin menjadi makin kagum karena sebenarnya setelah berdiri, nampak betapa
langsing potongan tubuh nyonya yang telah mempunyai dua orang anak ini.
Ma Hoa berjalan tenang
menghampiri tamunya setelah dia menyambar sepasang bambu runcing dan
menancapkannya pada ikat pinggangnya. Dengan mata bercahaya dan bibir tersenyum
mengejek dia berkata,
“Ban Sai Cinjin, biar pun baru
sekali ini aku bertemu denganmu, akan tetapi telah sering kali aku mendengar
namamu yang buruk dan terkenal. Maka aku tidak merasa heran apa bila Goat Lan
bentrok denganmu, karena memang semenjak kecil dia telah kudidik untuk membasmi
orang-orang jahat dan membela yang benar. Kau datang mencari Goat Lan untuk
membuat perhitungan? Sayang, Goat Lan masih belum pulang. Akan tetapi kalau kau
tetap merasa penasaran, untuk obat kecewamu, boleh kiranya aku sebagai ibunya
mewakili Goat Lan untuk membayar hutang.”
“Bagus sekali, sama anak sama
ibu! Kau dan anakmu terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tidak memandang
mata kepada orang lain. Baiklah, Kwee-hujin, karena anakmu tidak ada dan aku
jauh-jauh sudah memerlukan datang, biarlah aku menerima pelajaran darimu!”
Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin cepat menggerakkan huncwe-nya dan
tersebarlah uap hitam yang berbau amat memuakkan.
Akan tetapi Ma Hoa akan
percuma saja disebut seorang pendekar wanita yang gagah perkasa kalau ia gentar
menghadapi uap hitam beracun ini. Puterinya adalah murid Sin Kong Tianglo Si
Raja Obat, sedangkan dia sendiri adalah murid dan anak angkat dari Kong Hwat
Lojin Si Nelayan Cengeng, maka setidaknya Ma Hoa juga sudah tahu akan jahatnya
racun ini dan tahu pula obat penawarnya.
Goat Lan sendiri setelah tamat
berlajar dari Sin Kong Lojin, banyak meninggalkan pil-pil obat penawar racun
maka begitu melihat uap hitam ini, Ma Hoa cepat mengeluarkan tiga butir pil
merah dan memasukkan itu ke dalam mulut. Kemudian kedua bambu runcingnya
bergerak mengimbangi gerakan huncwe lawan.
“Bagus, jadi sebenarnya kaukah
yang menjadi murid Hok Peng Taisu?” Ban Sai Cinjin membentak dan kini
huncwe-nya menyambar ke arah kepala Ma Hoa.
“Ban Sai Cinjin, kau tidak
usah banyak cakap, kalau kau mempunyai kepandaian lekas keluarkan semua hendak
kulihat!”
Kembali Ban Sai Cinjin
mengeluarkan suara ketawa yang bahkan lebih nyaring dari pada tadi sambil
menyerang dengan hebatnya, dan sungguh pun Ma Hoa menangkis dengan bambu
runcingnya, namun telinganya yang tajam masih dapat menangkap suara seruan
seperti seekor burung dari luar rumah. Hatinya tergoncang dan pikirannya
bekerja keras.
Ini tentu ada apa-apanya, dan
hatinya mulai berdebar. Akan tetapi oleh karena tidak terjadi sesuatu dia lalu
memutar bambu runcing hendak cepat-cepat mengalahkan lawan ini. Aku harus
melindungi Cin-ji, pikirnya.
Akan tetapi tidak mudah untuk
mengalahkan Ban Sai Cinjin dalam waktu singkat. Setelah mendapat hajaran dari
Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin selain berlaku hati-hati sekali dan sama sekali
tak berani memandang ringan kepada kawan-kawan Pendekar Bodoh yang ternyata
mempunyai kepandaian yang hebat. Dahulu pun jika dia berlaku hati-hati, tidak
mungkin dalam segebrakan saja dia kalah oleh Pendekar Bodoh.
Akan tetapi harus diakuinya
bahwa ilmu silat bambu runcing yang dimainkan oleh nyonya ini benar-benar luar
biasa sekali. Ia pernah menghadapi sepasang bambu runcing yang dimainkan oleh
Goat Lan dan sudah merasa kagum sekali. Akan tetapi sekarang, ketika menghadapi
permainan Ma Hoa, dia benar-benar terdesak hebat sekali. Kalau dulu Goat Lan
memainkan sepasang bambu runcing sehingga senjata istimewa itu seakan-akan
berubah menjadi lima, sekarang bambu runcing di tangan nyonya ini seakan-akan
telah berganda menjadi delapan!
Selama ini, Ban Sai Cinjin
tiada hentinya berlatih serta memajukan ilmunya sehingga kepandaiannya sudah
naik banyak. Dalam menghadapi nyonya pendekar ini, dia masih dapat
mempertahankan diri dengan mainkan huncwe-nya dan kadang ia menyemburkan asap
hitam biar pun tidak mempengaruhi Ma Hoa yang sudah memasukkan tiga butir pil
merah di dalam mulutnya, akan tetapi tetap saja Ma Hoa harus menghindarkan
kedua matanya dari serangan asap hitam yang lihai itu.
Pertempuran telah berjalan
tiga puluh jurus dan beberapa kali Ban Sai Cinjin hampir saja terkena totokan
bambu runcing hingga keselamatan nyawanya berada di ujung rambut. Ia terdesak
hebat sekali dan hati kakek mewah ini mulai menjadi gelisah sekali.
Tiba-tiba saja terdengar lagi
suara burung hantu dan mendadak Ban Sai Cinjin tertawa menyeramkan sambil
melompat jauh ke belakang.
“Kwee-hujin, tidak percuma kau
menjadi isteri Kwee An yang terkenal namanya, karena memang ilmu silatmu hebat
sekali. Aku Ban Sai Cinjin kali ini mengaku kalah. Biarlah kelak kita bertemu
lagi untuk melanjutkan pertempuran ini.”
“Pengecut!” Ma Hoa memaki,
akan tetapi ia tidak mengejar Ban Sai Cinjin karena kuatir apa bila kakek
pesolek itu menjebaknya dengan tipu ‘memancing harimau meninggalkan sarangnya’.
Ia bahkan cepat melompat ke dalam rumah dan menuju ke kamar Kwee Cin.
Akan tetapi mukanya tiba-tiba
menjadi pucat sekali ketika melihat dua orang pelayannya telah rebah
menggeletak dalam keadaan tertotok! Sambil menekan debaran jantungnya yang
seakan-akan hendak memecahkan dada, Ma Hoa cepat berlari ke dalam kamar
anaknya. Benar saja seperti yang telah dikuatirkannya, di dalam kamar itu tidak
nampak lagi bayangan anaknya!
Ma Hoa sudah sering sekali
menghadapi peristiwa hebat ketika mudanya, akan tetapi mala petaka kali ini
benar-benar hebat sekali dan sangat menusuk perasaannya. Hanya saja ia memang
telah memiliki pandangan yang luas. Ia tidak menjadi putus asa, karena
puteranya itu hanya diculik orang dan bukan dibunuh. Siapa pun yang
menculiknya, dia masih mempunyai harapan untuk merampasnya kembali.
Cepat ia berlari keluar kamar
dan membebaskan totokan dua orang pelayan itu.
“Lekas ceritakan, apa yang
telah terjadi?” tanyanya dengan tenang.
Dua orang pelayan itu
menceritakan bahwa dari belakang datang dua orang pengemis tua yang tak berkata
sesuatu lalu menotok mereka dan kemudian mereka melihat betapa kongcu (tuan
muda) sudah dipanggul oleh salah seorang di antara dua pengemis itu dan dibawa
lari melalui pintu belakang.
Selesai mendengar penuturan
ini, Ma Hoa lalu cepat mengejar melalui pintu belakang. Ia mengejar terus
sampai sejauh sepuluh li lebih, akan tetapi seperti yang telah diduganya, ia
tidak melihat bayangan dua orang pengemis penculik itu.
“Hemm, tidak lain ini tentulah
perbuatan Ban Sai Cinjin yang sengaja memancing dalam sebuah pertempuran dan
sementara itu kawan-kawannya melakukan penculikan terhadap Kwee Cin,” pikirnya.
Dia cepat mengambil keputusan,
menyerahkan penjagaan rumahnya kepada dua orang pelayan karena hari itu juga
dia hendak menyusul suaminya ke utara sekalian mencari jejak Ban Sai Cinjin.
Akan tetapi ketika dia membuka peti di mana dia menyimpan kitab Thian-te Ban-yo
Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit) yang dititipkan oleh
Goat Lan kepadanya, ternyata kitab itu bersama anaknya telah lenyap pula! Ma
Hoa menjadi gemas sekali, dia mengertakkan giginya dan membanting-bantingkan
kaki kanan di atas lantai.
“Ban Sai Cinjin bangsat tua
yang curang! Tunggulah saja kalau sampai aku dapat melihat mukamu lagi, kau
pasti akan kujadikan sate dengan bambu runcingku!”
Demikianlah, Ma Hoa lalu cepat
melakukan pengejaran ke utara dan karena daerah utara memang sukar sekali
dilalui serta Pegunungan Alkata-san masih asing baginya, maka ia tersesat jalan
dan kebetulan sekali dapat menghentikan pertempuran hebat yang terjadi antara
Lili dan Lie Siong.
Setelah Lili mendengar
penuturan Ma Hoa ini, gadis ini pun menjadi marah sekali dan berkata dengan
gemas, “Ban Sai Cinjin memang jahat sekali. Muridnya yang bernama Bouw Hun Ti
sudah membunuh Yousuf kakekku dan menculikku ketika aku masih kecil. Kemudian
Ban Sai Cinjin menurut penuturan dan dugaanku juga sudah meracun Sin-kai Lo
Sian guruku, telah meracuni suhu-ku itu hingga Sin-kai Lo Sian tak dapat
mengingat apa pun, dan yang membunuh Supek Lie Kong Sian juga Ban Sai Cinjin!
Dan sekarang, kembali Ban Sai Cinjin menculik Adik Cin! Benar-benar orang yang
jahanam dan ingin mampus.”
Ma Hoa menarik napas panjang.
“Memang di dunia ini selalu terdapat orang-orang jahat, Lili. Tidak ada bedanya
semenjak dahulu sampai sekarang. Dulu pun ada seorang jahat bernama Hai Kong
Hosiang yang selalu memusuhi orang tua kami dan kami. Akan tetapi, kalau
dibandingkan dengan Ban Sai Cinjin, Hai Kong Hosiang masih tidak begitu curang
dan jahat!”
Lili juga pernah mendengar
nama Hai Kong Hosiang ini karena sering kali ayah ibunya menceritakannya
tentang pengalaman mereka pada waktu muda.
Demikianlah, sambil
bercakap-cakap Ma Hoa dan Lili, diikuti oleh Lilani dan Lo Sian serta semua
orang Haimi, melanjutkan perjalanan menuju ke lereng Alkata-san di mana telah
nampak tembok besar benteng tentara kerajaan itu.
********************
Marilah kita tinggalkan dulu
mereka yang sedang menuju ke benteng itu dan menengok keadaan Goat Lan dan Hong
Beng yang sudah lama kita tinggalkan.
Karena mendapat pertolongan
dari Kam Liong yang memberi kuda kepada mereka dan semua pengawal, perjalanan
Hong Beng dan Goat Lan menuju ke Bukit Alkata-san dapat berjalan cepat dan
lancar. Dan sebagaimana yang dituturkan oleh Kam Liong, benteng itu meski pun
sudah tua dan banyak yang rusak, akan tetapi masih baik dan kuat, juga
merupakan tempat penjagaan yang sangat baiknya. Hong Beng bersama semua
prajurit yang mengawalnya lalu menggulung lengan baju dan memperbaiki
bangunan-bangunan yang berada di dalam benteng itu.
Beberapa hari kemudian, Hong
Beng dan Goat Lan mulai mengatur siasat untuk dapat menjalankan tugas mereka.
Dari para penyelidik yang mereka sebar di sekitar daerah itu, mereka mendapat
keterangan bahwa tentara Mongol banyak yang bersembunyi di atas bukit yang
berada di sebelah utara Bukit Alkata-san, dan amatlah sukar untuk menyerang ke
sana.
Selain daerah itu tertutup
salju dan dingin sekali, juga pertahanan tentara Mongol sangat kuatnya.
Bagaimanakah mereka yang hanya memiliki sedikit pasukan itu dapat melawan
tentara Mongol yang ribuan jumlahnya?
“Lebih baik kita menjaga dan
mengatur penjagaan,” kata Hong Beng. “ Kalau kita melihat ada barisan musuh
yang hendak menyeberang ke selatan dan melalui bukit ini, baru kita serang
mereka.”
Penjagaan dilakukan siang
malam dan benar saja, beberapa hari berturut-turut, mereka berhasil memukul
mundur pasukan-pasukan kecil bangsa Mongol yang hendak menuju ke selatan,
seperti biasanya untuk melakukan keganasan terhadap penduduk Tiongkok di balik
tembok besar. Setiap kali terjadi pertempuran, selalu Hong Beng dan Goat Lan
memperlihatkan kepandaiannya dan tak ada seorang pun perwira Mongol dapat
bertahan menghadapi pendekar-pendekar remaja yang gagah dan sakti ini.
Pasukan-pasukan Mongol yang
hendak melakukan penggarongan ke selatan terpaksa mengambil jalan memutar dan
tidak berani lagi melewati Bukit Alkata-san di mana terjaga oleh pasukan yang
dipimpin oleh dua orang muda ini.
Sementara itu, hubungan Hong
Beng dan Goat Lan makin erat dan cinta mereka berakar makin mendalam. Namun,
sebagai pemuda dan pemudi yang tidak saja gagah lahirnya akan tetapi juga mulia
batinnya, kedua orang muda ini membatasi hubungan mereka dan sama sekali tidak
pernah berani melanggar kesusilaan.
Baik Hong Beng mau pun Goat
Lan bisa menekan cinta kasih mereka dan sudah merasa cukup bahagia dengan
saling berpegang tangan atau saling pandang dengan sinar mata penuh arti, penuh
cinta kasih dan kemesraan. Tentu saja Goat Lan semakin menghargai tunangannya
ini.
Beberapa pekan mereka berada
di sana dan merasa senang karena daerah Alkata-san boleh dibilang aman,
terutama yang termasuk di dalam lingkungan benteng itu. Tidak ada anggota
pasukan yang berani meninggalkan benteng, karena kuatir kalau-kalau pasukan
musuh datang menyerbu.
Maka mereka sama sekali tidak
tahu bahwa hanya seratus li dari tempat itu terdapat Lili dan Ma Hoa. Juga
mereka tidak tahu bahwa dari selatan sudah datang serombongan orang terdiri
dari Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An. Sementara dari jurusan lain datang pula
pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun atau Kam Liong.
Pada suatu senja kedua teruna
remaja ini duduk di bawah pohon di mana mereka sering kali duduk,
bercakap-cakap dengan asyik dan mesranya. Bulan hanya sedikit, bercahaya pudar
sebab kalah oleh cahaya matahari yang masih ada sisanya menerangi permukaan
bumi.
“Lan-moi...” terdengar Hong
Beng berkata pelan sambil memegang tangan tunangannya.
“Ada apa, Koko?” jawab Goat
Lan sambil memandang mesra. Bibirnya tersenyum manis sekali.
“Kalau keadaan sudah aman dan
kelak kita kembali ke selatan, mendapat pengampunan dari Hong-siang...”
“Ya...?”
“Aku akan minta pada ayah
bundaku agar... pernikahan kita dapat segera dilangsungkan”
Wajah yang manis itu memerah
sampai ke telinganya dan jari-jari tangan yang runcing dan halus kulitnya itu
mencubit. “Ahh, Koko, kau ini ada-ada saja. Tergesa-gesa ada apa sih?”
Hong Beng menengok ke kanan di
mana Goat Lan duduk. Mereka duduk di atas rumput dan angin bertiup sepoi-sepoi
menambah segar dan gembira perasaan. Pada senja hari itu, Goat Lan mengenakan
baju berkembang-kembang warna emas, leher baju dan ikat pinggang kuning, begitu
pula celananya terbuat dari sutera kuning yang bersih dan halus. Pinggiran
bajunya sebelah bawah berwarna merah, sama merahnya dengan bunga yang terselip
di atas telinga kanannya. Rambutnya disusun meniru model gadis-gadis Mongol
atau Boan yang pernah dilihatnya di sekitar tempat itu, digelung ke atas dan
selebihnya diurai memanjang di belakang punggungnya. Gadis ini benar-benar
nampak cantik jelita, terutama sekali dalam pandang mata Hong Beng yang
mencintanya.
“Lan-moi, aku bukan hendak
tergesa-gesa, akan tetapi aku ingin selamanya, tak sedetik pun berpisah lagi
darimu. Kalau kita sudah menikah, barulah harapan itu terkabul!”
Goat Lan tertawa geli sebab
merasa lucu mendengar ucapan kekasihnya. Ia memandang dan diam-diam merasa
kagum melihat betapa kekasihnya nampak tampan dan gagah sekali dalam pakaian
yang berwarna biru itu.
“Jika begitu, kita harus
menjadi sepasang kupu-kupu atau seperti sepasang burung yang selalu beterbangan
di udara, siang malam tak pernah berpisah lagi.”
“Mengapa harus menjadi
kupu-kupu atau burung? Kalau kita sudah menikah, meski pun kita masih menjadi
manusia, kita dapat selalu berkumpul, takkan berpisah lagi sebentar pun.”
“Mana mungkin?” Goat Lan
kembali tertawa. “Aku harus mengatur rumah tangga, harus masak, dan kau harus
bekerja. Bagaimana kita bisa selalu berkumpul?”
Demikianlah, sepasang orang
muda yang bahagia ini bersenda gurau, kadang-kadang bersungguh-sungguh
membicarakan masa datang yang penuh harapan dan cita-cita. Tak terasa lagi
cuaca menjadi makin gelap dan dua orang muda yang sedang tenggelam dalam alunan
kasih asmara ini sama sekali tidak tahu betapa bayangan sesosok tubuh yang amat
gesit laksana burung walet hitam, melompat dari wuwungan ke wuwungan lain di
atas bangunan-bangunan dalam benteng itu!
Para prajurit yang sedang
bertugas juga tidak melihat bayangan ini yang menandakan bahwa orang itu
benar-benar berkepandaian tinggi sehingga dapat menyerobot masuk ke dalam
benteng tanpa diketahui orang. Dari atas wuwungan yang terdekat dengan tempat
Hong Beng dan tunangannya duduk, orang itu memandang ke arah mereka. Kemudian,
dengan gerak lompat Naga Hitam Naik ke Langit, ia lalu melompat dari atas
wuwungan itu ke atas pohon yang berada belakang Hong Beng.
Ginkang dari orang itu
benar-benar mencapai tingkat tinggi karena ketika ia tiba di pohon itu, tak
selembar pun daun pohon bergoyang! Akan tetapi ia salah hitung kalau mengira
bahwa Hong Beng tidak mengetahui kehadirannya. Walau pun delapan puluh bagian
dari semangat pemuda ini telah terbang oleh gelombang asmara, namun yang dua
puluh bagian sudah lebih dari cukup untuk mengingatkannya bahwa ada gerakan
sesuatu yang mencurigakan di atas kepalanya!
Di dalam keadaan bahaya,
semangat pembelaan dan perlindungan terhadap kekasihnya timbul dan tanpa
sengaja Hong Beng merangkulkan tangan kanannya pada pundak Goat Lan, sedangkan
tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga lweekang segera dipukulkan dengan
dorongan ke atas pohon dibarengi bentakan, “Turunlah kau!"
Walau pun hanya dilakukan
sambil duduk dan dengan tangan kiri, namun tenaga pukulan Hong Beng ini
mengandung hawa pukulan yang cukup hebat sehingga cabang dan daun pohon itu
bagaikan tertiup angin dari bawah!
“Sie-enghiong, jangan
menyerangku!” terdengar seruan dari atas.
Bayangan yang amat gesitnya
melompat turun dengan gerak tipu Garuda Menyambar Air dan sebentar saja di
depan Hong Beng dan Goat Lan yang sudah bangun itu berdirilah seorang pemuda
yang tampan. Goat Lan segera mengenal orang ini sebagai Song Kam Seng.....
Ia mendengar dari Lili bahwa
pemuda ini dahulunya ditolong oleh Lili dan Lo Sian, akan tetapi kemudian
membalik dan menjadi murid Wi Kong Siansu. Ia juga telah mendengar bahwa pemuda
ini sesungguhnya adalah putera Song Kun, sute dari Lie Kong Sian yang lihai dan
jahat, dan yang tewas dalam tangan Pendekar Bodoh! Tentu saja dia menjadi kaget
dan bercuriga sekali.
“Siapa kau dan apa maksud
kedatanganmu?” Hong Beng membentak sambil menatap tajam dengan sikap siap
sedia.
Sebelum Kam Seng menjawab,
Goat Lan mendahuluinya, “Beng-ko, dia ini adalah Song Kam Seng yang pernah
kuceritakan kepadamu. Inilah putera dari Song Kun, orang tak berbudi yang
melupakan pertolongan dan berbalik memusuhi Lili!”
Pemuda itu menjura dengan
hormat dan berkata dengan suara dingin, “Memang benar, aku adalah Song Kam Seng
putera Song Kun yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh.”
“Apakah kedatanganmu ini ada
hubungannya dengan urusan itu?” Hong Beng bertanya dengan sikap menantang.
“Tidak, Saudara Sie Hong Beng,
sekarang belum tiba waktunya bagiku untuk membuat perhitungan. Semua
perhitungan akan kubuat dan kubereskan dengan ayahmu sendiri, kau tidak usah
ikut campur. Sekarang ada urusan pribadi. Aku hendak bicara mengenai urusan
negara, tentang pengacauan orang Mongol, dan yang berhubungan pula dengan
persekutuan yang diadakan oleh Ban Sai Cinjin dan orang-orang lain.”
“Hemm, bukankah Ban Sai Cinjin
itu susiok-mu?” Goat Lan bertanya dengan pandangan penuh curiga.
“Betul, Nona Kwee. Akan tetapi
di dalam hal ini, paham dia jauh berbeda dengan aku. Betapa pun juga, aku
bukanlah seorang pengkhianat bangsa dan aku merasa tak setuju sekali dengan
tindakan yang telah diambil oleh Susiok. Juga perbuatannya yang terakhir ini,
yaitu menculik adikmu, Nona, amat tidak kusetujui dan untuk itulah maka aku
sengaja datang ke tempat ini.”
Bukan main terkejutnya hati
Goat Lan mendengar ini, juga Hong Beng merasa kaget dan cepat-cepat dia
mengajak pemuda itu masuk ke dalam bangunan yang menjadi tempat tinggalnya.
Mereka bertiga lalu duduk menghadapi meja.
“Apa maksudmu dengan
penculikan adikku yang kau katakan tadi?” Goat Lan langsung bertanya kepada
Song Kam Seng.
Pemuda itu menarik napas
panjang. “Sudah bukan rahasia lagi bahwa Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya,
juga ayahmu yaitu Kwee-lo-enghiong, sedang menuju ke sini untuk membantu
menjaga tapal batas dan mengusir pengacau-pengacau bangsa Mongol dan Tartar.
Hal ini sangat menggelisahkan hati Malangi Khan, karena baru kalian berdua saja
berada di sini sudah merupakan halangan besar, apa lagi kalau orang-orang tuamu
datang membantumu di sini. Oleh karena itu, Susiok yang menjadi tangan kanan
Malangi Khan, kemudian turun tangan. Dia tahu bahwa ibumu hanya berada berdua
saja dengan adikmu yang masih kecil, karena itu dengan ditemani oleh Coa-ong
Lojin dan seorang pembantunya, Ban Sai Cinjin lalu datang ke Tiang-an dan
akhirnya dapat menculik Kwee Cin adikmu, bahkan sudah berhasil mencuri kitab
Thian-te Ban-yo Pit-kip dari Sin Kong Tianglo.”
Goat Lan menjadi pucat sekali.
Ia memandang tajam dan berkata, “Kau yang memihak musuh, mengapa kau datang
menceritakan hal ini? Apa kehendakmu?”
“Sudah kukatakan tadi, Nona,
aku bukan datang dengan niat jahat. Aku terpaksa berada di utara karena terbawa
oleh Susiok dan terpaksa karena suhu-ku malu hati kepada Ban Sai Cinjin,
sehingga biar pun Suhu tidak dapat datang sendiri, namun Suhu menyuruhku
mewakilinya. Maksud kedatanganku dan kenapa aku menceritakan semua ini
kepadamu, juga kepada Saudara Sie Hong Beng, tidak lain supaya kalian bersiap
sedia. Ketahulilah bahwa Ban Sai Cinjin hendak menjadikan adikmu sebagai
tanggungan. Tidak lama lagi kalian tentu akan mendengar ancaman dari Ban Sai
Cinjin bahwa kalau Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya membantu tentara
kerajaan, maka Kwee Cin adikmu itu akan dibinasakan lebih dulu!”
“Bangsat keji!” Goat Lan
berseru keras sambil melompat bangun dan tanpa terasa pula sepasang bambu
runcingnya sudah berada di kedua tangannya. “Orang she Song, lekas tunjukkan
kepadaku di mana adikku ditahan agar aku dapat pergi menolongnya. Kalau kau
tidak mau menunjukkan tempat itu, berarti bahwa kebaikanmu ini palsu belaka
untuk menjebak kami dan untuk itu aku akan membinasakanmu di sini dan sekarang
juga!”
“Nona Kwee, kalau aku mau
menunjukkan tempat itu bukan berarti bahwa aku takut akan ancamanmu, aku lebih
takut apa bila aku disangka ikut berjiwa pengkhianat. Akan tetapi biar pun
dengan segan, aku harus memberitahukan padamu bahwa mendatangi tempat itu untuk
menolong adikmu sama halnya dengan membunuh diri! Penjagaan di situ selain kuat
sekali, juga Susiok sendiri berada di sana, selalu berdekatan dengan adikmu.
Dan tentang kepandaian Susiok, dia telah memperoleh kemajuan hebat apa lagi
dibantu oleh Coa-ong Lojin dengan anak buahnya!”
“Tidak peduli, aku tidak
takut! Lekas tunjukkan di mana tempat adikku ditahan!” Goat Lan mendesak.
Ada pun Hong Beng tidak
berkata sesuatu sebab ia maklum bahwa tunangannya sedang gelisah, bingung dan
kuatir sekali. Song Kam Seng lalu minta kertas dan alat tulis, lalu menggambarkan
keadaan gunung di sebelah utara Alkata-san, di mana terdapat markas Malangi
Khan dan bala tentaranya. Tempat tahanan Kwee Cin itu ternyata berada paling
belakang sehingga untuk datang ke tempat itu harus lebih dahulu melalui benteng
dari tentara Mongol!
“Nah, kalian lihat sendiri
betapa berbahayanya untuk menyerbu tempat ini. Aku memberi tahukan semua ini
agar supaya kalian dapat merundingkan dengan orang-orang tuamu dan mencari
siasat yang baik, jangan sekali-kali berlaku sembrono. Sungguh mati kalau sampai
berlaku nekad dan terjadi sesuatu yang mengerikan, akulah orang pertama yang
akan merasa menyesal sekali. Selamat tinggal!”
“Ucapanmu tidak menakutkan
kami, Song Kam Seng! Betapa pun juga aku akan pergi membebaskan adikku dan
merampas kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip!”
Mendengar suara nona ini
demikian tetap dan nekad, Kam Seng yang sudah melompat sampai di pintu itu
segera menunda kepergiannya. Dia menengok dan berkata, “Jalan satu-satunya yang
lebih aman adalah dari belakang bukit sebab di sana tidak ada tentara Mongol,
akan tetapi perjalanan melalui tempat itu amat berbahaya. Lagi pula setelah kau
berhasil memasuki benteng sebelah belakang itu, kau masih harus berhadapan
dengan Susiok, dengan Coa-ong Lojin, dan banyak lagi orang-orang kang-ouw termasuk
empat puluh orang lebih anggota Coa-tung Kai-pang.” Sesudah berkata demikian,
tubuh Kam Seng berkelebat dan lenyap dari situ!
“Ginkang-nya boleh juga!” kata
Hong Beng.
“Koko, kita harus menyusul
Adik Cin sekarang juga. Siapa tahu kalau-kalau jahanam itu akan mengganggunya.”
“Lan-moi, kurasa kata-kata
Song Kam tadi ada benarnya. Dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati. Bukan
sekali-kali aku merasa jeri mendengar penjagaan musuh yang demikian kuatnya,
akan tetapi bila memang benar orang tua kita tak lama lagi akan datang, apakah
tidak lebih baik berunding dulu dengan mereka, dan minta nasehat mereka
bagaimana? Kau tahu bahwa Ban Sai Cinjin akan menjaganya dengan luar biasa
kuatnya karena dia maklum bahwa keluarga kita juga tidak akan tinggal diam begitu
saja!”
“Justru sekaranglah kita harus
bertindak, Koko. Bukankah tadi Song Kam Seng sudah menyatakan bahwa tak lama
lagi tentu Ban Sai Cinjin akan mengancam kita agar jangan membantu tentara
kerajaan? Hal ini berarti bahwa sekarang Ban Sai Cinjin belum tahu bahwa kita
telah mendengar mengenai diculiknya adikku, maka penjagaan di sana tentu belum
begitu diperkuat. Kita datang mendadak pula, kalau mungkin menangkap Ban Sai
Cinjin dan memaksanya mengembalikan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip serta melepaskan
Adik Cin.”
Hong Beng memandang
tunangannya. Dia segera tahu bahwa kehendak dan ketetapan hati tunangannya yang
tabah ini tidak mungkin dapat dibantah lagi, dan dia pun maklum bahwa pekerjaan
ini sungguh-sungguh amat berbahaya, maka akhirnya dia menyatakan
persetujuannya.
Hong Beng lalu memberitahukan
kepada para prajurit bahwa dia dan Goat Lan hendak melakukan penyelidikan pada
markas musuh, kemudian pemuda ini membuat sepucuk surat yang dimasukkan di
dalam sampul, diberikan kepada pengawal dengan pesan agar supaya surat itu
diberikan kepada Pendekar Bodoh atau kawan-kawan yang lain kalau ternyata ada
yang datang mencari mereka di benteng ini.
Maka berangkatlah Hong Beng
beserta Goat Lan pada malam hari itu juga, membawa tongkat hitamnya yang menjadi
tanda bahwa dia adalah ketua dari Hek-tung Kai-pang, sedangkan Goat Lan tidak
lupa membawa sepasang bambu runcingnya…..
********************
Sie Cin Hai, Lin Lin dan Kwee
An yang melakukan perjalanan cepat serta mereka sudah berpengalaman di daerah
ini di waktu mereka masih muda, dapat lebih dulu tiba di kaki Gunung Alkatasan.
Beberapa kali mereka mengobrak-abrik pasukan-pasukan Mongol yang berhasil
menerobos ke selatan dari jurusan lain karena menjauhi Bukit Alkata-san yang
dijaga oleh sepasang pendekar remaja yang mereka takuti itu.
Oleh karena melakukan
perjalanan sambil membasmi pasukan-pasukan musuh ini, maka mereka agak
terlambat sampai di benteng di mana Hong Beng dan Goat Lan mengatur penjagaan
pasukan mereka yang kecil jumlahnya.
Para penjaga benteng dari jauh
sudah melihat tiga bayangan orang yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa
sekali. Ketika melihat tiga orang gagah itu berdiri di depan pintu gerbang,
seorang penjaga membentak,
“Siapa diluar?!”
“Kami orang tua dari Sie Hong
Beng dan Kwee Goat Lan. Apakah mereka ada di dalam?” seru Kwee An dengan
suaranya yang nyaring.
Semua orang di dalam benteng
itu tidak ada yang mengenal Pendekar Bodoh, isterinya, dan Kwee Taihiap, maka
mendengar disebutnya orang-orang tua Hong Beng dan Goat Lan, mereka cepat
membuka pintu dan tiga orang pendekar ternama itu diterima dengan sinar mata
kagum dan juga girang. Siapa orangnya yang tak menjadi girang kedatangan
pendekar-pendekar yang boleh diandalkan dalam daerah dan keadaan yang berbahaya
sekali itu?
“Sie-enghiong bersama
Kwee-lihiap baru dua hari ini pergi meninggalkan benteng untuk menyelidiki
kedudukan musuh di gunung utara. Sie-enghiong malahan ada meninggalkan sepucuk
surat, maka kebetulan sekali Sam-wi datang hari ini. Kami sendiri sudah merasa
amat kuatir.” Kepala pengawal menyerahkan surat yang ditinggalkan oleh Hong
Beng.
Cin Hai segera menerima surat
itu dan membacanya,
Ayah, Ibu, Kwee-pekhu atau
Lili dan siapa saja yang kebetulan menerima surat ini!
Kami, Sie Hong Beng dan Kwee
Goat Lan, hari ini didatangi oleh Song Kam Seng yang menggambarkan bahwa Kwee
Cin sudah diculik oleh Ban Sai Cinjin dan kini ditahan di dalam benteng
orang-orang Mongol di bukit utara. Oleh karena itu kami segera pergi ke sana
untuk menolong Adik Cin dan mencoba merampas kembali kitab obat yang juga
dicuri oleh kawan-kawan Ban Sai Cinjin.
Dari sini menuju ke bukit itu
melalui belakang benteng, menurut perhitungan Song Kam Seng, dapat dicapai
dalam waktu satu setengah hari, maka jika dalam waktu tiga atau empat hari kami
tidak kembali ke benteng, berarti kami telah tertahan atau terbinasa oleh
musuh. Sekian harap menjadikan maklum.
Terima kasih,
Sie Hong Beng.
Tidak saja Cin Hai yang
terkejut, tetapi Lin Lin dan Kwee An yang mendengar Cin Hai membacakan surat itu,
menjadi amat kaget. Kwee An sendiri menjadi pucat wajahnya.
“Bagaimana bisa terjadi hal
semacam ini?” tanyanya dengan mata mulai menjadi merah karena kemarahan mulai
bernyala di dalam hatinya.
“Kita harus berlaku tenang dan
sabar,” kata Cin Hai yang di dalam menghadapi segala macam urusan bersikap
tenang seperti suhu-nya. “Menurut laporan kepala pengawal tadi mereka baru dua
hari pergi. Apa bila sekarang kita menyusul ke sana, belum tentu kita dapat
bertemu dengan mereka sehingga bahkan dapat menyulitkan keadaan. Kita harus
percaya penuh kepada Hong Beng dan Goat Lan. Agaknya tak mungkin mereka berdua
akan dapat ditawan musuh. Biarlah kita menanti sampai empat hari, jadi dua hari
lagi, kalau mereka tidak pulang juga, barulah kita mengambil keputusan apa yang
harus kita lakukan.”
Kwee An mengangguk menyatakan
setuju. Sebetulnya dia merasa amat gelisah karena mendengar bahwa puteranya
telah diculik orang, akan tetapi harus dia akui bahwa kalau sekarang ia nekat
menyusul Goat Lan, amat dikuatirkan ia bahkan akan mempersulit dan mengacaukan
usaha Hong Beng dan Goat Lan yang sedang berusaha menolong Kwee Cin. Lagi pula,
ia tidak sangsi lagi akan kelihaian puterinya dan juga kelihaian Hong Beng yang
seperti ucapan Pendekar Bodoh tadi, agaknya tidak mudah ditawan oleh musuh.
Alangkah girang hati semua
orang, termasuk juga para prajurit di dalam benteng itu, ketika pada keesokan
harinya, dari jurusan barat datanglah serombongan orang-orang Haimi yang
dipimpin oleh Lili dan Ma Hoa diikuti pula oleh Sin-kai Lo Sian!
Ma Hoa cepat menceritakan
sejelasnya pengalamannya sehingga puteranya, Kwee Cin, sampai diculik orang,
berikut kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip, sebagaimana telah dituturkan dengan
jelas pada bagian depan. Bukan main marahnya Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An
mendengar penuturan ini.
“Betapa pun juga,” kata Kwee
An, “kita harus menanti sampai besok pagi. Kalau Goat Lan dan Hong Beng belum
juga kembali barulah kita beramai akan menyerbu ke sana dan awaslah Ban Sai
Cinjin kalau dia berani mengganggu Cin-ji (Anak Cin)!”
Sesudah membaca surat yang
ditinggalkan oleh Hong Beng, Ma Hoa juga sependapat dengan suaminya, yaitu akan
menanti sehari lagi. Akan tetapi tidak demikian dengan Lili. Diam-diam hati
gadis ini merasa gemas dan benci sekali kepada Ban Sai Cinjin. Kakek pesolek
itu sangat pengecut dan licin, siapa tahu kalau-kalau Hong Beng dan Goat Lan
terjebak ke dalam perangkapnya?
Malam hari itu, Lili lalu
bertemu dengan Nurhacu, orang Haimi yang tua dan banyak pengalaman di daerah
utara ini. Dari Nurhacu dia mendapatkan banyak petunjuk tentang keadaan bukit
di utara itu.
Benteng itu kini menjadi ramai
dan penjagaan diperkuat dengan adanya pasukan Haimi yang juga gagah. Dan pada
malam hari itu pula, Lili keluar dengan diam-diam melalui penjagaan yang
dilakukan oleh orang-orang Haimi, dan di bawah cahaya bulan purnama yang muram,
gadis ini berlari cepat sekali menuju ke utara! Dia hendak menyusul Hong Beng
dan Goat Lan, dan tentu saja kepergiannya ini tidak diberitahukan kepada ayah
bundanya, karena dia tahu bahwa mereka pasti tidak akan mau meluluskannya.
Ada pun Lilani segera dapat
merampas hati Lin Lin yang merasa suka dan amat kasihan melihat nasib gadis
ini. Kwee An dan Cin Hai juga segera menganggap gadis ini seperti keponakan
sendiri sehingga Lilani merasa amat terharu.
Gadis yang lincah dan rajin
ini lalu cepat-cepat melayani pendekar-pendekar gagah itu sehingga dua pasang
suami isteri itu semakin menyayanginya. Benar-benar Lilani dapat menyesuaikan
diri dengan keadaan di sekelilingnya, dan inilah yang membuat seseorang selalu
disuka.
Tentu saja pada keesokan
harinya, semua orang menjadi terkejut dan geger saat melihat betapa Lili telah
tidak ada pula di dalam benteng. Cin Hai dan Lin Lin sudah mencari ke
mana-mana, akan tetapi tidak nampak bayangan Lili. Nurhacu yang mendengar
betapa semua orang mencari Lili, lalu menghadap Cin Hai dan menceritakan bahwa
malam tadi Lili mencari keterangan sejelasnya tentang keadaan bukit di utara
itu.
“Tidak salah lagi!” Cin Hai
membanting kakinya. “anak bengal itu dengan lancang tentu sudah menyusul
kakaknya ke sana!”
Pada saat semua orang tengah
membicarakan urusan perginya Lili ini, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan
tak lama kemudian seorang pengawal dengan wajah berseri memberi laporan akan
datangnya sebuah barisan yang besar sekali, yang dipimpin sendiri oleh
Kam-ciangkun dari kota raja!
Semua orang menyambut dan
benar saja bahwa yang memimpin barisan adalah Kam Liong. Dengan penuh hormat,
Kam Liong memberi penghormatan kepada Cin Hai suami isteri dan Kwee An serta Ma
Hoa, yang dianggapnya pendekar-pendekar yang tingkatnya lebih tinggi hingga
semua orang secara diam-diam menaruh perhatian dan suka kepada panglima muda
ini.
Ketika Kam Liong mendengar
bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah empat hari tidak kembali dari penyelidikan
mereka di markas musuh dan bahwa tadi malam Lili juga telah mengejar ke sana,
pemuda ini lalu mengerutkan keningnya sambil berkata, “Berbahaya, berbahaya!
Bukit itu penuh dengan tentara Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri berada di
tempat itu! Ahh, terlalu berbahaya! Lebih baik kita segera menyerang dan
menyerbu dengan mendadak, barang kali saja masih dapat menolong putera
Kwee-lo-enghiong dan kedua Saudara Hong Beng dan Goat Lan!”
“Jangan, Kam-ciangkun. Itu
terlalu berbahaya. Kita harus mencari daya upaya lain untuk menolong mereka
itu, dan pula belum tentu ketiga orang anak kami akan mudah saja mengalami
bencana di tempat itu!” kata Cin Hai.
Pada saat itu pula terdengar
suara kaki kuda dan ternyata seorang Mongol yang berkuda dengan cepat sekali,
datang membawa sesampul surat yang katanya harus disampaikan kepada Pendekar
Bodoh!
Melihat orang Mongol itu
datang membawa tanda utusan Raja Mongol, para prajurit tidak berani
mengganggunya dan orang itu lalu dihadapkan kepada Cin Hai. Orang Mongol itu
bertubuh tinggi kurus, bermata tajam dan ganas, sedangkan bibirnya menyeringai
seperti sikap seorang yang tidak takut mati.
“Aku datang sebagai utusan
Malangi Khan yang maha besar!” katanya setelah ia dibawa ke dalam benteng.
“Mana surat yang kau bawa?”
Cin Hai bertanya.
“Harus kuserahkan sendiri
kepada Pendekar Bodoh,” jawab utusan itu.
“Akulah orang yang dimaksudkan
itu,” jawab Cin Hai.
Orang Mongol itu memandang
seperti tak percaya. Orang ini tampaknya demikian lemah, pikirnya, mana mungkin
dia adalah Pendekar Bodoh yang demikian terkenal dan bahkan ditakuti oleh
Malangi Khan sendiri?
Cin Hai dapat menduga pikiran
orang. Sambil tersenyum ia berkata, “Kalau kau hendak berlama-lama, biarlah aku
mengambilnya sendiri!”
Tangan kirinya bergerak
perlahan ke depan, mengarah ke dada orang Mongol itu. Orang Mongol itu cepat
menangkis sambil mengerahkan tenaganya, akan tetapi ketika lengan tangannya
beradu dengan tangan Cin Hai, ia kesakitan dan sedetik kemudian seruannya terhenti
karena ia telah terkena totokan jari tangan kiri Cin Hai. Orang Mongol itu
berdiri seperti patung dengan sikap masih menangkis sehingga nampak lucu
sekali.
Cin Hai kemudian menggeledah
saku orang itu dan mendapatkan sesampul surat yang ditujukan kepada Pendekar
Bodoh dan kawan-kawannya. Ketika ia membuka sampulnya dan membaca, ternyata
bahwa surat itu adalah surat yang ditulis oleh Ban Sai Cinjin dan yang
ditujukan kepadanya dan semua kawan-kawannya, bahwa kalau Pendekar Bodoh dan
kawan-kawannya ikut maju membantu bala tentara kerajaan, maka Kwee Cin akan
dibunuh dan kepalanya akan dibawa ke medan perang.
Cin Hai dan Kwee An menjadi
merah sekali mukanya. Cin Hai kemudian membebaskan totokannya dan setelah orang
Mongol itu dapat bergerak lagi, ia membentak, “Kau bilang diutus oleh Malangi
Khan, mengapa yang kau bawa ini adalah surat dari Ban Sai Cinjin?”
“Apakah bedanya Malangi Khan
dan Ban Sai Cinjin?” Orang Mongol itu menjawab. “Ban Sai Cinjin telah menjadi
tangan kanan Malangi Khan, maka setiap perintah Ban Sai Cinjin tentu sudah
disetujui oleh Malangi Khan!”
“Baik, kau kembalilah kemudian
sampaikan kepada Ban Sai Cinjin bahwa kami tak akan melanggar larangannya dan
jangan dia sekali-kali berani mengganggu Kwee Cin karena kalau dia mengganggu
anak itu, biar pun ia akan lari sampal ke neraka, pedangku pasti akan
mendapatkan lehernya!”
Utusan itu lalu dilepaskan dan
dengan kudanya yang luar biasa, utusan Mongol ini lalu membalap hingga sebentar
saja dia hanya nampak sebagai titik hitam dengan debu yang mengebul di
belakangnya.
“Nah, Kam-ciangkun, kau lihat
dan mendengar sendiri. Kalau kita menyerbu begitu saja, pasti akan terbukti
ancaman Ban Sai Cinjin yang berhati kejam dan curang.”
“Kalau demikian, Sie Taihiap.
Biarlah siauwte memimpin sendiri barisan kerajaan untuk menggempur gunung itu.
Ada pun Cu-wi sekalian lebih baik mengambil jalan belakang untuk mencari
saudara-saudara yang sampai sekarang belum kembali.”
“Ini pun kurang sempurna,
Kam-ciangkun,” kata Kwee An. “Memang kita semua sudah berpikir bulat untuk
bersama-sama menghalau pengacau negara dan memusuhi barisan Mongol yang
membikin kekacauan. Pihak Mongol selain banyak jumlahnya, juga di sana mereka
dibantu oleh orang-orang pandai semacam Ban Sai Cinjin dan entah siapa lagi.
Kalau kau maju dan sampai mengalami kekalahan, bukankah itu melemahkan semangat
para prajurit? Lebih baik kau biarkan kami mencari anakku lebih dahulu dan
kalau sudah berhasil dan selamat barulah kita bersama membikin pembalasan dan
menghancurkan barisan Malangi Khan di bukit itu.”
“Berilah waktu lima hari
kepada kami,” Cin Hai menyambung, “sesudah lewat lima hari boleh kau memimpin
barisanmu menggempur musuh.”
Tentu saja Kam Liong tidak
berani membantah dan menyatakan baik. Sikap pemuda ini amat menyenangkan hati
dua pasang suami isteri pendekar itu, karena berbeda dengan sikap
panglima-panglima lain yang biasanya amat sombong dan angkuh. Sikap panglima
muda ini benar-benar menarik hati sehingga diam-diam Lin Lin menyampaikan
kepada Ma Hoa dan Kwee An tentang lamaran yang diajukan oleh paman pemuda ini
terhadap Lili.
“Memang dia orang baik,
agaknya cukup pantas untuk menjadi mantumu,” kata Kwee An kepada adiknya ini,
“tetapi betapa pun juga, sekarang belum waktunya bagi kita untuk membicarakan
soal ini. Lagi pula dalam hal perjodohan harus ada persesuaian antara anak, ibu
dan ayah. Jika ketiganya cocok barulah perjodohan itu dianggap baik dan akan
berbahagia. Kita tunggu saja bagaimana pendapat Lili sendiri tentang pinangan
itu.”
Mereka berempat lalu berunding
mengenai urusan mereka untuk menolong Kwee Cin dan juga mencari Hong Beng, Goat
Lan dan Lili.
“Lebih baik kita bagi-bagi
tugas,” kata Kwee An, “biarlah aku dan Cin Hai pergi ke sarang mereka. Ada pun
kau dan Lin Lin tinggallah saja di sini. Siapa tahu kalau-kalau utusan Mongol
tadi hanya merupakan pancingan supaya kita semua pergi mengejar ke sana dan
meninggalkan benteng ini. Jika kita semua pergi dan mereka tiba-tiba datang
menyerang, kasihan sekali kalau sampai Kam-ciangkun mengalami kekalahan hebat!
Kurasa aku dan Cin Hai berdua sudah cukup untuk menyelidiki keadaan mereka di
gunung itu.”
“Apa yang dikatakan oleh Kwee
An memang benar dan aku merasa setuju sekali,” kata Cin Hai yang walau pun
menjadi adik ipar Kwee An namun selalu menyebut namanya begitu saja karena
sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka belum menikah.
Biar pun merasa kecewa, namun
Lin Lin dan Ma Hoa tidak membantah, karena memang tepat apa yang diusulkan oleh
Kwee An itu. Pula tugas menjaga benteng itu tidak kalah pentingnya, kalau tidak
dapat disebut lebih berbahaya.
Berangkatlah Cin Hai dan Kwee
An pada hari itu juga menuju ke bukit utara itu. Seperti juga Lili, sebelum
berangkat mereka meminta keterangan mengenai kedudukan bukit itu kepada
Nurhacu, karena biar pun Cin Hai dan Kwee An pernah mengadakan perantauan di
daerah utara pada waktu mereka muda, namun mereka belum pernah naik ke bukit
itu.
Nurhacu yang tadinya dipaksa
membantu orang-orang Mongol, tentu saja sudah pernah masuk ke dalam markas
besar Malangi Khan. Sebab itu dengan jelas ia menggambarkan kedudukan markas
musuh yang terjaga kuat itu.
Setelah kedua orang pendekar
itu meninggalkan kaki Bukit Alkata-san di sebelah utara dan sedang berlari
cepat menuju ke bukit yang menjulang tinggi di sebelah utara itu, dari sebuah
tikungan jalan tiba-tiba saja keluarlah seorang pemuda tampan yang berlari
cepat dengan gerakan gesit sekali. Pemuda itu lalu berhenti menghadang di
tengah jalan ketika dia melihat dua orang laki-laki setengah tua yang berlari
cepat itu.
Cin Hai dan Kwee An merasa
curiga dan mereka pun cepat menahan kaki mereka dan berhenti di depan pemuda
itu. Untuk beberapa lama mereka saling pandang, kemudian pemuda itu dengan
sikap sopan lalu menjura dan bertanya,
“Mohon tanya, siapakah Ji-wi
Lo-enghiong yang gagah ini? Dalam keadaan seperti saat ini, melihat dua orang
gagah menuju ke utara, sungguh amat mengherankan hati.”
“Anak muda, kau pandai sekali
membolak-balik kenyataan. Kami yang menuju ke utara belum dapat dikatakan aneh,
sebaliknya kau seorang pemuda yang gagah akan tetapi dalam waktu seperti ini
berkeliaran di daerah musuh betul-betul menimbulkan kecurigaan besar!”
Merahlah wajah pemuda itu.
“Maaf, kau berkata benar, Lo-enghiong. Memang aku Song Kam Seng sudah salah
memilih jalan. Akan tetapi aku sedang berusaha mencari jalan yang benar.
Kuulangi lagi, siapakah gerangan Ji-wi yang terhormat?”
Mendengar disebutnya nama ini,
berubah wajah Cin Hai dan juga Kwee An. Kedua orang pendekar ini telah membaca
surat Hong Beng dan tahu bahwa Hong Beng dan Goat Lan pergi meninggalkan
benteng setelah dipancing oleh pemuda ini! Dan pula, Cin Hai sudah mendengar
dari Lili bahwa pemuda ini adalah putera Song Kun dan sudah mengancam hendak
membalas dendam kepadanya!
“Hemm, jadi kaukah yang
bernama Song Kam Seng putera Song Kun? Ketahuilah, aku yang disebut Pendekar
Bodoh dan ini adalah saudara tuaku bernama Kwee An! Hayo lekas kau ceritakan di
mana adanya anak-anak kami, Hong Beng, Goat Lan dan Kwee Cin?”
Mendengar bahwa yang kini
berhadapan dengannya adalah musuh besarnya, pembunuh ayahnya, tiba-tiba Kam
Seng menjadi makin marah. Ia lalu memandang kepada Cin Hai dengan mata tajam,
lalu mencabut pedangnya dan berkata,
“Bagus, jadi kaukah yang
bernama Sie Cin Hai, orang yang telah membunuh ayahku dan membuat ibu dan aku
hidup menderita selama bertahun-tahun? Manusia kejam, kau telah berhutang
nyawa, maka sudah selayaknya sekarang aku menagihnya!” Sambil berkata demikian,
Kam Seng lalu mengayun pedangnya menusuk dada Cin Hai.
Pendekar Bodoh hanya tersenyum
saja dan sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Akan tetapi dari samping
mendadak berkelebat bayangan pedang dan dengan kerasnya pedang Kam Seng
terpukul oleh pedang yang digerakkan oleh Kwee An hingga pedang itu terpental
kembali dan hampir terlepas dari pegangan Kam Seng!
“Song Kam Seng, jangan kau
berlaku sembrono! Ayahmu Song Kun bukan mati dibunuh oleh Pendekar Bodoh, akan
tetapi dia mati karena kejahatannya sendiri. Seorang gagah membela kebenaran
tanpa memandang kepada hubungan keluarga! Jika kiranya ayahmu itu masih hidup
dan menjadi seorang yang amat jahat, apakah kau juga akan membantu dia dan
ikut-ikutan menjadi jahat?”
Dengan pandangan mata liar Kam
Seng membalikkan tubuh dan menghadapi Kwee An. “Kau bilang ayahku jahat? Apa
maksudmu?”
“Memang hal yang paling sulit
di dunia ini adalah mengakui atau melihat kesalahan pihak sendiri. Ayahmu
dahulu mengancam jiwa Lin Lin yang sudah menjadi tunangan Cin Hai. Adikku itu
terkena racun orang jahat, kemudian obat penawarnya dirampas oleh ayahmu, dan
ayahmu mengancam hendak melenyapkan obat penawar itu kalau adikku tidak mau
menjadi isterinya!”
Dengan singkat akan tetapi
jelas, Kwee An lalu menceritakan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Song
Kun pada waktu mudanya dan bahwa kematian Song Kun terjadi di dalam pertempuran
melawan Cin Hai yang membela diri, jadi sekali-kali bukan Pendekar Bodoh yang
sengaja membunuhnya.
Mendengar penuturan ini,
pucatlah wajah Kam Seng. Alangkah bedanya dengan cerita yang telah didengarnya
dari Ban Sai Cinjin! Mana yang benar? Akan tetapi suara hatinya membisikkan
bahwa dia harus lebih percaya kepada dua orang pendekar besar ini dari pada
kepada Ban Sai Cinjin yang berhati khianat.
“Biar pun andai kata mendiang
ayahku benar jahat, sebagai puteranya aku harus berani menghadapi kenyataan dan
berani pula membalaskan sakit hatinya. Kini aku menantang kepada Pendekar Bodoh
untuk mengadu kepandaian, lepas dari soal siapa salah siapa benar antara dia
dan ayahku. Aku hanya hendak memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang harus
berbakti kepada ayahnya. Apa bila aku kalah, sudahlah, mungkin ayah yang memang
bersalah dalam pertempuran dahulu.” Sambil berkata demikian, kembali pemuda itu
menghadapi Cin Hai dengan sikap menantang.
“Bocah lancang!” Kwee An
membentak marah. “Kau mengandalkan apakah maka berani menantang Pendekar Bodoh?
Mudah saja menyatakan tentang sakit hati dan dendam. Ketahuilah bahwa aku pun
menaruh dendam kepadamu bila pandanganku sepicik engkau! Kau telah memancing
dan mencelakakan puteriku Goat Lan dan bahkan mungkin kau sudah membantu
susiok-mu Ban Sai Cinjin untuk menculik anakku Cin-ji! Nah, bukankah aku pun
boleh berdendam kepadamu? Coba kau hadapi pedangku dulu kalau memang kau
memiliki kepandaian!”
Akan tetapi, sambil tersenyum
Cin Hai berkata, “Biarkanlah, Kwee An, biarkan anak ini, memperlihatkan
tanduknya! Sikapnya mengingatkan kepadaku akan ayahnya, Song Kun. Demikian
berani dan keras hati. Ehh, Kam Seng, aku sudah mendengar namamu disebut oleh
puteriku, Lili. Kau sudah menyeberang ke pihak jahat dan menjadi murid dari Wi
Kong Siansu? Kau salah, anak muda. Kalau saja kau tetap menjadi murid Nyo Tiang
Le dan kemudian kau datang kepadaku, mengingat hubungan ayahmu dengan aku,
kiranya aku takkan menolak untuk memberi bimbingan kepadamu. Sekarang kau
bahkan hendak menantangku bertempur? Hemm, cobalah maju dan jangan ragu-ragu,
seranglah sesuka hatimu.”
Mendengar ucapan yang tenang
ini dan melihat sikap yang acuh tak acuh dari Pendekar Bodoh musuh besarnya,
Kam Seng menjadi ragu-ragu. Tadi ia sudah merasai kelihaian tangkisan pedang
Kwee An. Baru Kwee An saja sudah demikian hebat tenaganya, apa lagi Cin Hai
yang kabarnya memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kwee
An!
Akan tetapi Kam Seng tidak
takut. Hatinya telah bulat untuk membalas dendam ayahnya sehingga ia
mengorbankan perasaannya dan berpindah ke pihak Ban Sai Cinjin. Bukan karena ia
lebih cocok dengan rombongan ini, tidak, karena sebenarnya ia benci melihat
kejahatan kakek pesolek itu. Ia rela berguru kepada Wi Kong Siansu hanya karena
dia ingin tercapai maksudnya membalas dendam kepada musuh besarnya, yaitu
Pendekar Bodoh.
Kalau ia teringat betapa ia
dan ibunya terlunta-lunta setelah ayahnya tewas, sakit hatinya terhadap
Pendekar Bodoh makin besar. Dan sekarang setelah ia bertemu dengan musuh besarnya,
meski pun dia ingat musuhnya itu ayah dari Lili, gadis satu-satunya di dunia
ini yang dicintainya, meski pun ia telah mendengar keterangan dari Kwee An
betapa dahulu sebenarnya ayahnya yang salah dan jahat, namun bagaimana ia dapat
membatalkan niat hatinya hendak membalas dendam?
Sekarang melihat sikap Cin
Hai, amat tidak enak hati Kam Seng. Dia sebenarnya segan melawan pendekar yang
bersikap tenang dan gagah ini, akan tetapi dia malu terhadap bayangannya
sendiri kalau dia tidak melanjutkan niatnya yang telah terpendam di dalam hati
sampai bertahun-tahun lamanya. Maka dia paksakan hatinya dan berseru, “Ayah di
alam baka! Lihat bahwa anak telah melakukan usaha sekuat tenaga!”
Sambil berkata demikian dia
lalu maju menyerang dengan hebat sekali kepada Pendekar Bodoh. Akan tetapi,
dengan cara yang amat membingungkan mata Kam Seng, tahu-tahu pendekar besar itu
telah dapat mengelak dari tusukan pedangnya. Ia menjadi penasaran dan
melanjutkan serangannya sambil mengeluarkan ilmu pedang yang ia pelajari dengan
susah payah dari Wi Kong Siansu.
Kalau dibandingkan dengan
dahulu ketika dia menghadapi Lili, ilmu kepandaian pemuda ini sudah maju amat
pesat dan jauh. Tidak saja ilmu pedangnya yang sudah menjadi kuat dan cepat,
juga tenaga lweekang-nya sudah bertambah dan ginkang-nya pun amat baik
mendekati kesempurnaan.
Diam-diam dalam hatinya Cin
Hai memuji, akan tetapi dengan amat mudahnya Pendekar Bodoh mengelak dari
setiap serangan. Pendekar Bodoh tidak mencabut pedangnya, dan hanya
mempergunakan ujung lengan bajunya untuk kadang-kadang menyampok pedang kalau
ia tidak keburu mengelak.
Dari sampokan ujung lengan
baju ini saja Kam Seng sudah merasa terkejut bukan main. Gurunya sendiri, Wi
Kong Siansu, juga ahli dalam hal bersilat dengan ujung lengan baju, akan tetapi
kiranya tidak sehebat ini.
Kam Seng semakin mempercepat
gerakan pedangnya sehingga tubuhnya lenyap dalam sinar pedangnya yang
bergulung-gulung. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya,
mengambil keputusan untuk bertempur sampai nyawanya melayang! Dia merasa
seakan-akan ayahnya juga menyaksikan pertempuran ini dari alam baka, maka dia
tidak mau berlaku mengalah dan mendesak Pendekar Bodoh dengan nekat.
Pendekar Bodoh maklum bahwa
biar pun ia telah mengenal ilmu pedang pemuda ini dan dapat menjaga diri, akan
tetai dia tidak dapat menaksir sampai di mana kehebatan ilmu pedang ini apa
bila dimainkan oleh Wi Kong Siansu. Ia telah mendapat tantangan dari Wi Kong
Siansu, karena itu dia merasa kebetulan sekali kini dapat menghadapi ilmu pedang
pendeta itu yang dimainkan oleh seorang muridnya yang pandai.
Menurut taksirannya, ilmu
pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini paling banyak baru tujuh puluh bagian
tingkatnya. Maka dia lalu mencabut sulingnya yang selalu terselip di
pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang, akan tetapi
dia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini merupakan
senjatanya yang sangat istimewa, bahkan lebih lihai dari pada pedangnya
Liong-cu-kiam!
Setelah mencabut sulingnya,
makin serulah pertempuran itu. Sekarang Pendekar Bodoh menggunakan sulingnya
untuk mengimbangi ilmu pedang Kam Seng. Sebenarnya kalau dia mau, dalam dua
puluh jurus saja pasti dia akan dapat merobohkan Kam Seng. Akan tetapi Pendekar
Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai di mana kelihaian ilmu pedang ini
yang kelak akan dihadapinya pula.
Tubuh Kam Seng sudah penuh
keringat. Cin Hai berhasil memancingnya hingga pemuda itu menghabiskan seluruh
jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong Siansu! Memang inilah
maksudnya, dan setelah ilmu pedang itu habis dimainkan, Cin Hai segera
mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga pada saat pedang dan suling
menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali!
Betapa pun hebatnya Kam Seng
mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja pedang itu tidak dapat
terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai menggerakkan tangannya
membetot dan sambil berseru keras Kam Seng pun terpaksa melepaskan gagang
pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar biasa ini.
“Kam Seng, kau mempunyai bakat
yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat yang keliru.
Kepandaianmu apa bila dibandingkan dengan kepandaian ayahmu, ahh, kau
ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan sakit
hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu,
mengingat hubunganku dengan mendiang ayahmu.”
Kam Seng menjadi malu sekali.
“Aku sudah kalah...” katanya dengan muka ditundukkan dan air matanya hampir
menitik turun, wajahnya merah sekali. “Kalau Ji-wi menganggap aku tersesat dan
jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan dan kehinaan?”
Cin Hai merasa terharu melihat
keadaan putera dari Song Kun ini, maka dia kemudian melangkah maju
mengembalikan pedang yang dirampasnya tadi sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri pada waktu muda
selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa dipikir
dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa kebaktian
terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua bukan asal
kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat mempergunakan
akal sehat dan otak yang jernih. Apa bila orang tuamu melakukan sesuatu kesalahan,
sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia yang kadang-kadang tersesat
dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk berbakti adalah dengan
menebus kesalahan orang tuamu itu. Biar pun ayahmu telah dianggap jahat oleh
dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi kalau kau sebagai putera
tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk ayahmu itu akan terhapus oleh
perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, jika kau dibutakan oleh dendam
tanpa melihat sebab-sebab kematian ayahmu, kau berarti akan menambah kotor nama
ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang durhaka!”
Kam Seng memandang dengan
wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan
menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh besarnya! Ia makin ragu-ragu,
tak tahu apa yang harus diucapkan mau pun dilakukannya.
“Ketahuilah bahwa kita semua
ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan akibat. Segala
peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab dari peristiwa
lain yang akan terjadi. Kematian ayahmu di dalam tanganku juga merupakan akibat
yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku! Maka aku tidak
marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai, aku menengok
dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau ingin membunuhku tanpa sebab,
seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh ayahmu jika tidak ada sebab-sebab
yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat akibatnya
karena kalau semua sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan kau anggap
sewajarnya!”
Tunduklah hati Kam Seng
mendengar kata-kata yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi mudah ditangkap
ini. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan tak dapat menahan
isak tangisnya!
“Susiok (Paman guru),
ampunkanlah teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang ayahku...,” katanya
dengan hati terharu.
“Tidak ada salah atau benar
dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf memaafkan. Di dalam setiap
perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung siapa yang
melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak
sehat.” Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.
“Bagus, semua kegelapan sudah
menjadi terang sekarang,” kata Kwee An. “Akan tetapi, Kam Seng, kau masih harus
menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang keadaan Goat Lan dan Hong
Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu bukankah hanya satu
pancingan belaka?”
“Tidak, Kwee Taihiap, sama
sekali tidak! Biar pun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih kawan dan
telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak menjadi
seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok Ban Sai
Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya, ketika
aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin
dan mendengar bahwa dia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah
orang-orang gagah membantu tentara kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak
menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku
nekat dan diam-diam mengunjungi benteng Alkata-san di mana aku bertemu dengan
Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan
bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke
tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat
itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng
amat nekat dan datang juga ke sana...”
“Lalu bagaimana? Apa yang
terjadi dengan mereka?” tanya Kwee An dengan rasa ingin tahu sekali.
“Kini mereka juga telah
tertawan oleh Ban Sai Cinjin!” kata Kam Seng. “Oleh karena itu siauwte sengaja
hendak pergi ke benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan tak terduga sama
sekali telah bertemu dengan Ji-wi di sini.”
“Tak mungkin!” kata Kwee An.
“Sukar dipercaya bahwa Hong
Beng bersama Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian mudahnya,” kata Cin Hai.
Kam Seng tersenyum. “Harus
diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng sangat lihai dan
memang agaknya akan sukar sekali untuk mengalahkan dan menawan mereka. Akan
tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh orang-orang
seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena kekerasan, akan tetapi
mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai Cinjin mengancam hendak
membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!”
“Pengecut hina dina yang
curang!” Kwee An berseru marah. “Akan kuhancurkan kepala manusia itu!”
“Kwee Taihiap, bagaimana jika
Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan puteramu sebelum kau turun
tangan?” tanya pemuda itu.
Kwee An tak dapat menjawab,
hanya mengertak gigi dengan marah dan gemas sekali.
“Kam Seng, kau yang mengetahui
keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak maukah kau melawan
kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk mendiang ayahmu?” kata
Cin Hai.
“Susiok, kedatangan teecu
seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi tahu kepada benteng
tentara kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena Kwee Cin telah diminta
oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera Malangi Khan yang bernama
Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara ini, meski pun Ban Sai Cinjin
sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk membunuh Kwee Cin yang disuka
oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi, untuk merampas kembali anak itu
pun bukan merupakan hal yang mudah.”
Kemudian dengan jelas Kam Seng
segera menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan juga istana Malangi
Khan di dalam benteng itu yang berada di tengah-tengah. Sesudah menuturkan
semua ini, Kam Seng segera minta diri untuk kembali ke benteng Mongol itu. Ia
berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta akan berusaha menolong
Goat Lan dan Hong Beng.
“Betapa pun juga, kita harus
berusaha menolong Cin-ji,” kata Kwee An kepada Cin Hai setelah Kam Seng pergi.
Cin Hai mengerutkan kening.
“Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki istana Malangi Khan
dan andai kata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji, lalu bagaimana
dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan di mana pula adanya Lili? Ah, kita
harus mencari akal dan berlaku hati-hati.”
Kedua orang pendekar besar itu
duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka mengambil keputusan
untuk berpisah.
Cin Hai hendak menuju ke
tengah benteng, masuk ke dalam istana Malangi Khan, ada pun Kwee An akan
mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang benteng, di tempat tinggal Ban Sai
Cinjin dan kaki tangannya. Kwee An menyetujui hal ini oleh karena ia pun
mengakui bahwa Cin Hai mempunyai kepandaian yang lebih tinggi maka patut
menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat.....
Dengan ilmu lari cepat mereka,
keduanya lalu melanjutkan perjalanan, mengitari bukit itu untuk masuk melalui
belakang benteng. Dan tepat seperti yang dituturkan oleh Nurhachu orang Haimi
itu, juga seperti yang digambarkan oleh Kam Seng, jalan itu sunyi saja, akan
tetapi penuh hutan yang amat liar dan menyeramkan.
Ketika mereka melintas dengan
cepat melalui sebuah hutan, dari jauh nampak bayangan orang yang berjalan
cepat. Cin Hai dan Kwee An merasa curiga, cepat mereka melompat ke arah
bayangan itu, akan tetapi ketika mereka tiba di situ, bayangan itu berkelebat
dan lenyap dari pandangan mata mereka! Cin Hai dan Kwee An saling pandang
heran.
“Apakah ada setan di tengah
hari?” tanya Kwee An heran. Siapakah orangnya yang dapat menghilang dari depan
mata mereka sedemikian anehnya?
Juga Cin Hai merasa heran
sekali. Kalau bayangan tadi benar-benar seorang manusia, maka kepandaian
ginkang-nya agaknya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri!
Gerakan seperti itu menurut ingatannya hanya dimiliki oleh suhu-nya, yakni Bu
Pun Su, atau orang-orang seperti Swi Kiat Sansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng
Taisu dan tokoh-tokoh tinggi lain yang kesemuanya telah meninggal dunial
“Mungkin kita salah lihat,”
katanya karena bukan menjadi watak Pendekar Bodoh untuk mengganggu orang yang
tak mau memperlihatkan diri, “kita mempunyai tugas yang lebih penting.”
Mereka melanjutkan perjalanan
dan tak lama kemudian tibalah mereka di bawah tembok benteng sebelah belakang
dari benteng tentara Mongol itu. Mereka menggunakan ginkang yang hebat dan
melompat ke atas tembok. Dari sini mereka berpisah.
Cin Hai terus berlari-larian
di atas tembok yang tingginya kurang lebih empat tombak dan lebarnya hanya
kurang dari satu kaki itu. Tembok ini memanjang sampai beberapa belas li dan
Cin Hai terus berlari mencari-cari bangungan istana kepala bangsa Mongol.
Beberapa orang penjaga yang
mulai banyak terlihat setelah ia berlari kurang lebih dua li, sempat melihat
bayangannya, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang dapat mengejar.
Bahkan sebagian besar mengira bahwa yang melayang itu bukanlah seorang manusia,
melainkan seekor burung besar. Gerakan Cin Hai sangat cepat sehingga kalau
tidak kebetulan, jarang ada penjaga yang dapat melihatnya!
Sementara itu, Kwee An setelah
berada di atas tembok dan melihat betapa keadaan di bawah sunyi saja, lalu
melayang turun. Memang benar bahwa di situ tidak terjaga sama sekali dan di
bawah dinding ini hanyalah merupakan belukar yang tidak terurus. Jauh di depan
sana tampak tembok-tembok bangunan, yaitu bagian paling belakang dari benteng
Mongol itu.
Kwee An berlaku hati-hati
sekali. Waktu itu udara mulai gelap karena matahari sudah bersembunyi di barat.
Dia pikir bahwa kalau dia berlaku sembrono dan menyerbu pada malam hari itu
sehingga terlihat oleh musuh, maka keselamatan Hong Beng dan Goat Lan akan
terancam.
Dari Kam Seng dia mendapat
keterangan bahwa Goat Lan beserta Hong Beng ditahan di dalam rumah kecil yang
berada di tengah-tengah kampung dalam benteng itu, tidak jauh dari rumah yang
ditinggali oleh Ban Sai Cinjin. Goat Lan ditahan di dalam kamar sebelah kiri
dan Hong Beng di kamar ke dua sebelah kanan.
Di depan dan belakang, atau
pendeknya rumah itu dikelilingi oleh penjaga-penjaga yang sebenarnya bukan
menjaga untuk menghalangi dua orang muda ini pergi, hanya untuk melihat saja,
kalau mereka pergi akan segera dilaporkan dan Kwee Cin akan dibunuh!
Dengan perlahan Kwee An
bergerak maju di balik belukar dan terus mengintai ke arah kampung itu. Dia
menanti sampai gelap benar barulah dia menggunakan kepandaiannya masuk ke dalam
kampung itu dan melompat naik ke atas wuwungan rumah. Ia melompat dari genteng
ke wuwungan lain hingga akhirnya dapat mendekati rumah kecil di mana puterinya
dan Hong Beng ditahan.
Benar saja, di seputar rumah
itu dipasang kursi dan meja di mana duduk para penjaga yang nampaknya enak-enak
saja, sebab mereka tidak ditugaskan untuk mencegah kedua orang muda itu
melarikan diri. Apa bila sampai dua orang muda itu memberontak dan melarikan
diri, apakah yang dapat mereka lakukan terhadap dua orang gagah itu?
Kwee An memandang ke arah
jendela dan dalam cahaya yang remang-remang melalui tirai jendela dia melihat
ada bayangan seorang gadis yang berpinggang langsing. Hatinya berdebar. Itulah
Goat Lan, tak salah lagi!
Ingin dia melompat turun dan
mengamuk, membunuh para penjaga yang tidak berarti itu bahkan kalau perlu
mencari dan membunuh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ia tidak berani melakukan ini
sebelum Kwee Cin dapat tertolong oleh Cin Hai.
Lagi pula, sudah jelas bahwa
Goat Lan dan Hong Beng tidak mengalami penderitaan dan hanya ditahan karena dua
orang muda itu takut kalau-kalau Kwee Cin dibunuh, maka perlu apa menguatirkan
keadaan dua orang muda ini? Lebih baik aku menyusul Cin Hai dan lebih dahulu
menyelamatkan Kwee Cin pikirnya.
Akan tetapi, sebelum dia
berangkat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke selatan di mana terdapat istana
Malangi Khan yang terpisah cukup jauh, ia mendengar suara orang memaki-maki dan
nampaklah Ban Sai Cinjin yang diikuti oleh lima orang lain berjalan ke arah
rumah kecil itu.
Di bawah sinar lampu, Kwee An
melihat dengan heran betapa kakek pesolek ini nampak matang biru mukanya,
bahkan pada pipinya sebelah kanan nampak ada tanda goresan-goresan dan sepasang
matanya serta pipinya kelihatan biru seakan-akan mukanya telah berkali-kali
ditampar orang! Kakek ini tak hentinya menyumpah-nyumpah, “Akan kubunuh tujuh
turunan... kubunuh tujuh turunan...!”
Kemudian dia memegang
pinggangnya sambil membungkuk-bungkuk. “Aduh… aduhh… jahanam benar Pendekar
Bodoh… aduhhh…!”
Setelah tiba di depan rumah
itu, para penjaga segera berdiri dan memberi hormat pada Ban Sai Cinjin. Kwee
An melihat bahwa Ban Sai Cinjin berjalan dengan sukar, dibantu Coa-ong Lojin
dan di belakangnya nampak beberapa orang lain. Mereka ini sebetulnya adalah
pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang atau pembantu-pembantu Coa-ong Lojin
yang dahulu membantu Ban Sai Cinjin melakukan penculikan di Tiang-an dan selain
menculik Kwee Cin juga telah mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip.
“Apakah dua orang muda itu
masih berada di kamar masing-masing?” tanyanya kepada para penjaga.
“Masih ada, mereka tak pernah
pergi keluar dari kamar!” jawab para penjaga.
Mendadak terdengar suara Hong
Beng dari kamarnya, “Ban Sai Cinjin, kau orang yang berhati curang dan
pengecut! Kalau kau tidak mau disebut seorang rendah yang tidak pantas hidup di
dunia kang-ouw, kau lepaskan Kwee Cin dan mari kita bertempur seribu jurus
sampai seorang di antara kita mampus!”
“Tutup mulut! Kau... kau anak
Pendekar Bodoh si bangsat kurang ajar! Awas kalau ada kesempatan, akan kubunuh
tujuh turunan. Aku tak hendak bicara dengan kau! Kau mau pergi dari sini,
pergilah! Aku hanya akan membunuh Kwee Cin dan Nona Goat Lan. Pergi dari sini,
aku tidak butuh orang macam kau!”
Terdengar Hong Beng tertawa
bergelak, mentertawakan Ban Sai Cinjin yang masih terus menyumpah-nyumpah tiada
hentinya, kemudian kakek pesolek ini memasuki kamar Goat Lan diikuti oleh
Coa-ong Lojin.
Dengan hati berdebar-debar
Kwee An memasang telinga mendengarkan percakapan itu. Dengan sangat pandainya
dia dapat mempergunakan kesempatan ketika Ban Sai Cinjin ribut mulut dengan
Hong Beng, untuk melompat ke atas genteng dan kini berada di atas kamar Goat
Lan!
“Nona Kwee,” dia mendengar
suara parau dari Ban Sai Cinjin, “apakah kau masih belum mau insyaf? Alangkah
keras kepala kau! Kau sudah ditipu oleh kaisar lalim, sudah dihina, akan tetapi
masih saja kau bersetia kepadanya! Kau telah menyelamatkan nyawa Putera
Mahkota, akan tetapi apa yang kau dapat? Hukuman buang! Kau bahkan dihina,
hendak dijadikan selir, kemudian kau dibuang ke tempat yang seperti neraka di
utara ini. Apakah kau tidak mempunyai perasaan keangkuhan sama sekali? Sekarang
adikmu berada di tanganku, dan aku tidak minta banyak. Asal kau suka membantu
kami, membantu hingga Kaisar lalim itu terguling jatuh dari kedudukannya, tidak
saja adikmu akan selamat, malah banyak kemungkinan adikmu akan menjadi seorang
pangeran!”
“Ban Sai Cinjin, percuma saja
kau mengoceh di sini! Aku tetap tidak mau mendengar ocehanmu dan aku akan
menuruti permintaanmu tidak keluar dari tempat ini. Akan tetapi sebaliknya, kau
pun jangan sekali-kali berani mengganggu adikku, sebab jika kau sampai berani
mengganggunya, aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk memukul sampai remuk batok
kepalamu!”
Ban Sai Cinjin
menyumpah-nyumpah lagi dan tersaruk-saruk keluar dari kamar itu. Masih
terdengar keluhannya ketika ia menuju ke bangunan di mana ia tinggal. Malam itu
masih terdengar terus keluhannya ketika ia mengobati luka-luka di tubuhnya yang
membuat ia merasa sakit seluruh tubuhnya, terutama sekali hatinya yang terasa
amat sakit.
Malam hari itu sial sekali
baginya. Siang tadi dia menghadap Malangi Khan dan hendak minta Kwee Cin, akan
tetapi Malangi Khan tidak mengijinkan, karena Kwee Cin ternyata telah menjadi
sahabat yang karib sekali dengan puteranya, Pangeran Kamangis. Dengan hati
mendongkol Ban Sai Cinjin kembali ke kampung di belakang istana, akan tetapi di
tengah jalan dia bertemu dengan Pendekar Bodoh!
“Bangsat tua bangka, kau
sungguh curang dan tak tahu malu!” Pendekar Bodoh memaki. “Orang semacam kau
sepatutnya dibunuh, akan tetapi karena kita ada perjanjian untuk bertemu di
puncak Thian-san, kali ini kau takkan kubunuh, hanya akan kuberi hajaran!”
Setelah berkata demikian,
tanpa banyak cakap lagi Cin Hai menyerangnya dengan hebat! Coa-ong Lojin
bersama kawan-kawannya segera membantu, akan tetapi begitu Cin Hai mencabut
Liong-cu-kiam, sekali gerakkan saja senjata mereka terbabat putus! Terpaksa
mereka mundur lagi dan Ban Sai Cinjin yang melawan mati-matian lalu dibuat
permainan oleh Cin Hai!
Mukanya ditampar berkali-kali
dan pukulan serta tendangan menghujani tubuhnya. Cin Hai sengaja tidak memukul
atau menendang dengan sepenuh tenaga, akan tetapi cukup untuk membuat muka
kakek itu menjadi matang biru dan tubuhnya menjadi sakit semua. Sesudah Ban Sai
Cinjin menjadi setengah pingsan, barulah Cin Hai meninggalkannya!
Tentu saja si Huncwe Maut
merasa terhina sekali sehingga dia menyumpah-nyumpah. Kebenciannya terhadap
Pendekar Bodoh semakin meluap, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Sementara
itu, Pendekar Bodoh sudah menghilang di malam gelap, entah ke mana perginya.
Setelah Ban Sai Cinjin pergi,
Goat Lan menengok ke atas dan berkata sambil tersenyum, “Ayah, turunlah
sekarang!”
Kwee An girang sekali melihat
ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia cepat membuka genteng dan melompat
turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan lalu memegang tangan ayahnya dan
berkata, “Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?”
Gadis ini mengeluarkan ucapan
dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan tangannya. Akan tetapi
Goat Lan tertawa.
“Ayah, kita bukan ditawan. Aku
berada di sini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut? Biarlah Ban Sai
Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada di sini, biar dia makin panas
dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?”
Mendengar ucapan ini, Kwee An
menarik napas panjang. “Asal saja dia tak mengganggu Cin-ji, aku pun tidak
takut apa-apa.”
Sementara itu, Hong Beng yang
mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi hormat kepada
Kwee An. Mereka bertiga berbincang dengan asyik sekali sehingga melupakan
waktu. Ketika Hong Beng mendengar bahwa ayahnya juga masuk ke dalam benteng ini
dan bahkan mendatangi istana Malangi Khan, dan juga mendengar bahwa sebetulnya
Kwee Cin sudah berada di istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai Cinjin, Hong
Beng lalu bangkit berdiri.
“Ah, kalau kita tahu akan hal
itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini,” katanya kepada Goat Lan
yang mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kalau begitu, biarlah aku pergi
sekarang juga menyusul ayah. Siapa tahu kalau dia membutuhkan bantuan!” Kwee An
dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng lalu melompat keluar dan pergi
dari rumah itu dengan cepat!
Ketika Ban Sai Cinjin mendapat
laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat Lan menerima seorang
tamu lelaki yang disebut sebagai ayahnya, kakek ini merasa kaget dan juga marah
sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan mengerahkan semua prajurit
Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah tahanan itu!
Kemudian, pada esok harinya
setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit lagi, bersama Coa-ong
Lojin dia menghampiri rumah itu dan sekali dia mendorong, daun pintu pun
terbuka. Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan telah berdiri di
situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An, orang yang dulu
pernah dijumpainya dan yang sudah memaksa Coa-ong Lojin mengobati Lie Siong
dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban Sai Cinjin,
maka cepat dia memegang pundak anaknya.
“Sabar dulu, Lan-ji,” katanya,
kemudian sambil tersenyum mengejek dia menatap kepada Ban Sai Cinjin. “Selamat
pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau masih belum puas
menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan sekarang masih hendak minta tambah
dari aku!”
Ban Sai Cinjin menjadi marah
sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena tendang oleh Cin Hai
terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya setelah Coa-ong Lojin
memegang punggungnya, dia dapat berdiri teguh. Huncwe-nya terpegang dengan
tangan kiri, kosong tak berasap, kemudian dengan tangan kanannya dia
menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.
“Orang she Kwee, jangan kau
banyak berlagak di sini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang juga aku hendak
menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!”
Akan tetapi, Goat Lan dan Kwee
An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Ban Sai Cinjin,
memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu menggunakan gertakan,
ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan licin. Apa kau kira
sekarang kau dapat menggertak lagi? Aku tahu bahwa puteraku setelah kau culik
secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama putera Malangi Khan
dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan berlaku murah
seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja kau sudah
layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran kepadamu.
Kembalikanlah Thian-te Ban-yo Pit-kip, baru aku akan mengampuni nyawa
anjingmu!”
“Manusia sombong! Bukalah
lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh seratus lebih
tentara, dan kau masih sanggup menyombong? Ha, untuk apa kitab itu bila
sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus di bawah hujan senjata?”
“Setan Tua, mampuslah kau!” Goat
Lan yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi lalu menyerang dengan tangan
kosong!
Walau pun serangan ini
dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan kelihaian
gadis ini. Cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-ong Lojin.
Goat Lan mencabut bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh ayahnya
yang sudah mencabut pedangnya.
Akan tetapi, benar saja, di
luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai Cinjin dan
Coa-ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan dan Can Po
Tin, dua orang jago dari Shantung yang menjadi sahabat Wi Kong Siansu dan yang
pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan. Juga di sana terdapat
pengurus-pengurus tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, para perwira Mongol yang
pandai bermain golok hingga jumlahnya semua menjadi empat belas orang!
Kagetlah Goat Lan melihat ini,
karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di tempat itu terdapat
orang-orang demikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai. Melihat
gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tak boleh
dipandang ringan dan keadaannya bersama ayahnya bukannya tidak berbahaya. Apa
lagi ketika ia menengok, ternyata tempat itu sudah terkurung oleh barisan yang
sangat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya tidak
kurang dari seratus orang!
Ban Sai Cinjin biar pun sudah
dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi dia tidak menderita luka
dalam. Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan karena dia memang marah
sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar kembali. Dia menyerang dengan
huncwe-nya, dan permainan huncwe-nya ini tetap saja yang paling berbahaya di
antara semua pengeroyok.
Ban Sai Cinjin menyerang Kwee
An dan dibantu juga oleh Coa-ong Lojin yang masih merasa sakit hati terhadap
Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang tongkat ular yang ujungnya berbisa
sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit musuhnya, pasti lawannya
akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin, masih ada lagi
lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang mengeroyok Kwee An!
Ada pun Goat Lan yang mainkan
sepasang bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago Shantung itu.
Sebagaimana diketahui, dua orang ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi,
barang kali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-ong Lojin. Apa lagi Po Tin
yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang sangat lincah dan tenaga
lweekang-nya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki tenaga gwakang seperti
seekor gajah! Selain dua orang jago Shantung yang berhasil dibeli oleh Ban Sai
Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok pula oleh lima orang pengurus kelas satu
dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan tongkat ular mereka yang
berbahaya.
Akan tetapi Goat Lan dan Kwee
An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira. Wajah mereka
berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba untuk merobohkan lawan!
Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin yang kini sudah
tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.
“Ayah, mari kita
berlomba-lomba menghabiskan tujuh ekor tikus ini!” Goat Lan berseru sambil
tersenyum.
“Baik, mari kita coba!” kata
Kwee An dan berbareng dengan ucapan itu, terdengar jerit kesakitan karena
seorang perwira Mongol telah kena ditendang oleh tendangan berantai dari Kwee
An sehingga tubuh lawan ini terlempar empat tombak lebih!
“Satu...!” seru Kwee An.
Mendengar ini, Goat Lan merasa
penasaran sekali. Dengan bambu runcing pada tangan kirinya dia menyerang Po Gan
dengan cepat tak terduga. Ketika Po Gan dengan kaget melempar tubuh ke samping,
Goat Lan lalu menyambarkan bambu runcingnya ke arah dada seorang pengurus
Coa-tung Kai-pang yang berdiri di belakang Po Gan. Orang itu menjerit lalu
roboh tak dapat bangun lagi.
“Satu...!” Goat Lan juga
berseru keras.
Kwee An tersenyum lebar dan
tidak lama kemudian, hampir berbareng ayah dan anak ini berseru, “Dua...!” dan
terlemparlah dua orang pengeroyok!
Seruan ini disusul dan disusul
lagi sehingga empat orang lawan masing-masing sudah dirobohkan! Yang mengeroyok
Kwee An kini tinggal Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin dan seorang perwira Mongol,
sedangkan pengeroyok Goat Lan tinggal Can Po Gan, Can Po Tin, dan seorang
pengemis Coa-tung Kai-pang yang sudah empas-empis napasnya!
Melihat hal ini, bukan main
marahnya Ban Sai Cinjin. Ia berseru keras memberi aba-aba, maka puluhan
prajurit segera menyerbu, mengurung rapat-rapat sambil menyerang dan
bersorak-sorak!
Tentu saja Goat Lan dan Kwee
An menjadi terkejut bukan main. Mereka tak usah takut menghadapi keroyokan para
prajurit yang hanya merupakan orang-orang kasar, memiliki kepandaian biasa
saja, akan tetapi karena jumlah mereka banyak sekali, maka untuk melepaskan
diri dari kepungan mereka harus membunuh banyak sekali orang! Hal inilah yang
tidak mereka kehendaki.
Jika saja pertempuran ini
adalah sebuah peperangan, tentulah mereka akan mengamuk dan tidak akan
segan-segan lagi untuk menjatuhkan pukulan maut. Akan tetapi sekarang
pertempuran ini hanya merupakan perselisihan mereka dan Ban Sai Cinjin, maka
kurang baik kalau harus membunuh banyak orang sungguh pun mereka itu adalah
orang-orang Mongol yang menjadi musuh negara.
Pada saat Goat Lan dan Kwee An
dikeroyok oleh prajurit-prajurit Mongol bagaikan ribuan ekor semut mengeroyok
dua ekor burung, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Mundur semua! Lihat siapa
yang berada dalam tawananku!”
Semua orang Mongol menengok
dan mereka melihat dua orang laki-laki datang dan di tengah-tengah mereka
terdapat seorang anak laki-laki yang membuat mereka semua segera menjatuhkan
diri berlutut! Ternyata bahwa yang datang itu adalah Cin Hai dan Hong Beng,
sedangkan yang mereka tawan adalah Pangeran Kamangis, yaitu putera dari Malangi
Khan!
Melihat betapa semua prajurit
Mongol berlutut dan tidak berani pula mengeroyok, dan melihat betapa Pangeran
Kamangis telah tertawan oleh Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin menjadi pucat
sekali mukanya.
“Pendekar Bodoh, kau curang!
Kau menawan Pangeran Kamangis untuk mengalahkan aku!”
Cin Hai tersenyum sindir.
“Cacing tua, aku hanya meniru perbuatanmu sendiri. Kau telah menculik Kwee Cin
yang sekarang disimpan oleh Malangi Khan. Kalau Kaisar Mongol itu tak mau
melepaskan Kwee Cin, kami pun akan menahan puteranya. Kau masih bernasib baik
tidak mampus dalam tanganku, cacing tua!” Setelah berkata demikian, Cin Hai
lalu mengajak Goat Lan dan Kwee An untuk meninggalkan tempat itu sambil
memondong Pangeran Kamangis!
Ban Sai Cinjin
membanting-banting kakinya dengan jengkel sekali dan dia cepat menuju ke istana
Kaisar Malangi Khan untuk mencari keterangan bagaimana sampai pangeran itu
dapat tertawan oleh Pendekar Bodoh.
Setibanya di depan Malangi
Khan, di luar dugaannya, ia bahkan mendapat teguran keras dari Malangi Khan dan
mendengar penuturan tentang keberanian Pendekar Bodoh yang membuat darahnya
mendidih saking marahnya.
Malangi Khan, raja orang-orang
Mongol menjadi marah sekali karena ada orang berani menculik puteranya begitu
saja dari hadapannya tanpa dapat menangkap orang itu. Ban Sai Cinjin
mendengarkan penuturan Malangi Khan itu dengan wajah sebentar merah dan
sebentar pucat, tanda bahwa dia merasa malu dan juga mendongkol sekali terhadap
Pendekar Bodoh.
Ternyata bahwa setelah memberi
hajaran pada Ban Sai Cinjin, Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat
sekali memasuki istana Malangi Khan. Dengan kepandaiannya yang luar biasa,
Pendekar Bodoh dapat melewati semua penjagaan. Memang penjagaan istana Malangi
Khan di tempat itu tak berapa kuat, oleh karena istana itu memang berada di
tengah-tengah benteng pertahanan barisan Mongol, siapakah yang dapat masuk dan
berani mengganggu?
Oleh karena itu, dapat
dibayangkan betapa besar keheranan Malangi Khan ketika pada hari itu, selagi
dia duduk dihadapi oleh para panglimanya untuk mengatur siasat perang yang hendak
dilakukan terhadap pedalaman Tiongkok, tiba-tiba dari luar masuk seorang
laki-laki setengah tua bangsa Han yang berpakaian putih sederhana, akan tetapi
yang bertindak masuk dengan langkah tegap dan tenang seperti seorang raja saja!
“Hei...! Siapa kau? Berhenti!”
Empat orang penjaga segera melompat dan cepat-cepat menghadangnya.
“Minggirlah, aku hendak
bertemu dengan Malangi Khan, Kaisarmu!” Cin Hai menjawab dengan suara tenang,
akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Malangi Khan.
Jawaban ini tentu saja
menimbulkan kegemparan di antara para panglima yang sedang menghadap Kaisar
itu. Juga para penjaga segera menyerbu dan mengurung Pendekar Bodoh.
“Bunuh saja orang gila ini
sebelum dia membikin kacau!” teriak seorang penjaga sambil menyerang dengan
goloknya ke arah leher Cin Hai. Agaknya dengan sekali pancung dia hendak
menyembelih orang Han yang lancang ini! Akan tetapi segera terdengar suara
jeritannya dan orang itu bersama goloknya terlempar jauh menimpa kawan-kawannya
sendiri.
“Jangan bunuh dia, tangkap dan
bawa dia menghadap di sini!” tiba-tiba terdengar suara Malangi Khan yang
menggeledek. Tentu saja semua penjaga dan panglima yang sudah turun tangan,
mentaati perintah ini.
“Orang gila, lebih baik kau
menyerah untuk kami bawa menghadap Kaisar dari pada sakit tubuhmu!” kata
seorang panglima yang diam-diam merasa khawatir akan amukan ‘orang gila’ yang
telah disaksikan kelihaiannya ketika menghadapi serangan golok tadi.
Cin Hai tersenyum. Memang
bukan kehendaknya untuk menimbulkan keributan, lagi pula agaknya akan jauh
lebih mudah menghadapi Kaisar Malangi Khan dengan berpura-pura menyerah dari
pada dengan jalan kekerasan.
“Baiklah, kau belenggu kedua
tanganku!” katanya sambil tersenyum.
Melihat sikap orang setengah
tua ini, semua penjaga dan panglima menjadi geli. Tentu orang gila, pikir
mereka, mengapa raja ingin menghadapinya? Dengan cekatan, seorang panglima lalu
mengambil rantai besi.
“Klik! Klik!” terdengar suara
suara dan dua pergelangan tangan Cin Hai telah terbelenggu erat-erat!
Ada yang menganggap perbuatan
panglima itu keterlaluan. Untuk membelenggu seorang gila, mengapa harus
dipergunakan belenggu besi? Belenggu macam itu biasanya hanya dipergunakan
untuk membelenggu pesakitan yang lihai dan berilmu tinggi saja.
Akan tetapi ketika dua orang
panglima hendak mencabut dan merampas pedang dan suling yang terselip di
pinggang Cin Hai, mereka lantas terperanjat dan terheran-heran. Dengan hanya
melenggang dan menggerakkan tubuh, Cin Hai telah dapat mengelak dari mereka ini
sehingga pedang dan sulingnya tak sampai tercabut! Sementara itu, beberapa kali
melangkah dia telah berdiri di hadapan Kaisar Malangi Khan!
“Siapakah kau? Melihat sinar
mata dan sikapmu, kau bukanlah seorang gila, akan tetapi kenapa kau berani
berlancang masuk ke sini dan bagaimana kau bisa sampai di istana?” Kaisar
Malangi Khan menyatakan keheranannya.
Cin Hai tersenyum dan karena
dua tangannya diikat ke belakang ia hanya mengangguk, kemudian berkata dengan
hormat, “Malangi Khan yang besar, maaf kalau aku datang mengganggu. Aku bernama
Sie Cin Hai, seorang yang bodoh sehingga banyak orang menyebutku Pendekar
Bodoh, dan aku masuk ke sini secara biasa saja, hanya agaknya orang-orangmu
sedang mengantuk sehingga tidak melihatku.”
Malangi Khan nampak tertegun
dan tidak percaya, ada pun semua panglima yang sedang berada di situ pun
terkejut sekali. Akan tetapi siapakah mau percaya bahwa orang yang seperti gila
dan yang menyerahkan diri dibelenggu tangannya ini adalah Pendekar Bodoh yang
namanya menggemparkan sekali dan yang sangat ditakuti oleh Ban Sai Cinjin? Tak
mungkin!
Beberapa orang panglima sudah
terdengar tertawa kecil menahan geli hatinya karena menyangka bahwa orang ini
tentulah seorang gila yang mengaku-aku sebagai Pendekar Bodoh! Seorang panglima
yang berwatak kasar dan keras segera menuding ke arah Cin Hai dan membentak,
“Orang gila, jangan kurang
ajar di hadapan raja yang besar! Orang gila macam engkau ini mana patut menjadi
Pendekar Bodoh?”
Baru saja orang ini menutup
mulutnya, semua orang terkejut, termasuk Malangi Khan karena orang itu kini
duduk diam seperti patung dengan mata terbelalak memandang ke arah Cin Hai.
Ketika seorang kawan yang didekatnya menggoyang tubuhnya, orang ini ternyata
telah duduk dengan kaku seperti patung!
Tadi orang-orang hanya melihat
sinar kecil menyambar ke arah iga panglima ini dan kini nampak nyatalah sebutir
batu kecil menggelinding di bawahnya. Dan karena sinar itu tadi datangnya dari
Cin Hai, mereka cepat memandang dan bukan main kaget hati semua panglima pada
waktu melihat bahwa kini kedua tangan Cin Hai yang tadinya dibelenggu menjadi
satu di belakang tubuhnya, kini telah berada di depan tubuhnya dalam keadaan
masih terbelenggu seperti tadi! Bagaimana bisa orang yang kedua tangannya
terbelenggu menjadi satu di belakang bisa pindah ke depan tubuh?
Di antara para panglima itu
terdapat tiga orang panglima yang berpangkat jenderal, dan mereka ini memiliki
kepandaian yang sudah cukup tinggi, dikenal sebagai tugu pelindung negara dan
menjadi orang-orang kepercayaan Malangi Khan. Mereka ini masih terhitung murid
keponakan dari Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, jago-jago nomor satu dan dua di
Mongol yang menjadi murid-murid Swi Kiat Siansu di jaman belasan tahun yang
lalu. (baca Pendekar Bodoh)
Oleh karena itu, tiga pelindung
negara atau yang juga disebut Sam-koksu ini pernah pula mendengar nama Pendekar
Bodoh. Tadinya mereka pun tak percaya ketika mendengar orang ini mengaku
sebagai Pendekar Bodoh, karena mungkinkah orang yang pernah mengalahkan
supek-supek (uwa-uwa guru) mereka Thian Kek Losu dan Sian Kek Losu ternyata
hanya begini sederhana saja?
Akan tetapi ketika mereka
melihat betapa kini orang yang terbelenggu itu sudah dapat memindahkan tangan
dari belakang ke depan, mereka pun menjadi terkejut sekali. Untuk dapat memindahkan
dua tangan yang terbelenggu dari belakang ke depan tubuh, hanya ada dua jalan.
Yang pertama adalah jalan
sederhana saja, yaitu melangkahkan kedua kaki ke belakang melewati
tengah-tengah antara kedua lengan, dan jalan ke dua hanya dapat dilakukan oleh
orang berilmu tinggi yang telah memiliki ilmu kepandaian Sia-kut-hwat (Ilmu
Melepas Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga kedua tangan itu sekaligus dapat
diputar ke depan melalui atas kepala tanpa merusak sambungan tulang pundak!
Kalau seandainya orang ini
melakukan jalan pertama, bagaimana mereka semua tidak dapat melihatnya dan
bagaimana pula ia dapat menyerang panglima yang menghinanya tadi dengan sebutir
batu kecil?
Mohopi segera berdiri dan
memeriksa panglima yang ternyata benar sudah tertotok jalan darah teng-sin-hiat
dengan tepat sekali, lalu dengan beberapa kali tepukan dan urutan tangan Mohopi
dapat menyembuhkan panglima itu yang kini tidak berani banyak tingkah lagi. Ada
pun Kaisar yang melihat peristiwa ini, diam-diam berdebar hatinya. Benar-benar
hebat kepandaian Pendekar Bodoh ini, dan apa maunya datang ke tempat ini?
“Ehh, kalau benar kau yang
bernama Pendekar Bodoh, apakah kau berani menghadapi Sam-koksu untuk saling
menguji kepandaian?” tanya Malangi Khan.
Cin Hai tersenyum, “Khan yang
besar, sesungguhnya kejadian seperti inilah yang terbaik! Saling menguji
kepandaian, saling memetik pengalaman dan menambah pengertian dari
masing-masing pihak! Bukankah ini jauh lebih sempurna dari pada saling
berperang?”
Malangi Khan mengerutkan
keningnya, “Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, kau berani atau tidak
menghadapi Sam-koksu kami?”
“Khan yang baik, aku datang
dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari
pihak tuan rumah. Juga telah lama aku mendengar bahwa Mongol memiliki banyak
panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang
ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka mataku dan menambah
pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!”
“Beri ruangan yang lebar dan
buka ikatan tangan tamu kita ini!” Malangi Khan berseru dengan wajah berseri.
Raja bangsa Mongol ini,
seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal
sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan serta keperwiraan. Malangi Khan
sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka
tentu saja dia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh
ini sanggup menghadapi tiga orang koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama
dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam laga akan
bertarung!
“Tak usah, Khan yang baik!”
jawab Cin Hai dengan gembira pula, karena pengalamannya dengan orang-orang
Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu. “belenggu
ini tak usah dibuka, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan
terbelenggu!” (baca cerita Pendekar Bodoh)
Tentu saja ucapan ini membuat
semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan
mulailah dia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini
bukannya seorang gila.
Akan tetapi tiga orang koksu
itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tidak
boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang koksu-koksu yang
terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu?
Sementara itu, para penghadap
raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar sehingga ruang
persidangan itu kini berubah menjadi semacam lian-bu-thia (ruang bermain
silat). Cin Hai menjura di hadapan Raja, kemudian berjalan dengan langkah enak
berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Dua tangannya masih
terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
“Khan yang mulia, hamba merasa
malu untuk melawan orang yang berotak miring!” kata Ganisa, orang tertua dari
Sam-koksu itu kepada rajanya.
“Tidak apa, Ganisa, biarlah
kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau
mengukur sampai di mana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga dia sesombong itu.
Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya
karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!”
Mendengar perintah Raja ini,
Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Dia lalu mendapat ijin
dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai.
Melihat gerakan ini, Cin Hai
tersenyum lantas berkata dengan beraninya. “Malangi Khan yang baik, bukankah
tadi kau menantang kepadaku untuk menghadapi Sam-koksu (Tiga Guru Negara)? Mengapa
yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua sudah merasa jeri untuk
menghadapi aku, takut kalah?”
Cin Hai sengaja mengeluarkan
ucapan ini bukan tidak ada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali
mempengaruhi Raja itu agar supaya tunduk padanya sehingga mudah diajak
berunding untuk membebaskan Kwee Cin. Kedua kalinya karena gerakan melompat
dari Mohopi tadi sudah lebih dari cukup baginya untuk menilai sampai di mana
gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
“Orang gila, kau betul-betul
sombong sekali!” Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak dia
melakukan serangan bertubi-tubi.
Pertama-tama tangan kanannya
dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini lalu disusul dengan tusukan dua
jari tangan kiri ke arah mata, lantas disusul pula dengan tendangan kaki kanan
yang hebat sekali ke arah ulu hati! Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan
beruntun hampir berbareng dan satu saja di antara tiga serangan ini mengenai
sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru
hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!
Akan tetapi, sebelum tiga
macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya.
Pendekar Bodoh ialah seorang pendekar sakti yang memiliki pengetahuan mengenai
pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi
raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan
mana pun juga, sebelum serangan itu melayang dating ia telah bisa menduganya hanya
dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan
tendangan lawan.
Saat semua orang, termasuk
Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam
pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri
menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang panglima
yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.
Ketika kelihatannya Pendekar
Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan
tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga-duga dan dengan gerakan cepat sekali
dia kemudian bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya!
Dengan demikian, dia telah berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di
belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar
Bodoh tadi cepat sekali.
Ketika melihat betapa Mohopi
nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi
terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi
bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan
tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
“Majulah, majulah kalian
bertiga!” perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.
Ganisa dan Citalani atau yang
biasanya disebut Thai-koksu (Guru Negara Pertama) dan Ji-koksu (Guru Negara
kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku
Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah
gerakan silat, walau pun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat
juga tidak terduga.
Mereka masih mengira bahwa hal
itu hanya kebetulan saja. Akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan,
mereka lalu serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali
serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi kembali semua
orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan
diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke
kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit
dan sukar diserang.
Biar pun penyerangnya ada tiga
orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai? Dahulu pun ketika
supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang
ini pun tak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apa lagi baru murid
keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih
tinggi dari pada tingkat kepandaian Sam-koksu ini, karena itu walau pun mereka
menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat
menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit
pun.
“Koksu, serang dia dengan
senjatamu!” bentak Malangi Khan yang mukanya menjadi merah karena merasa malu
dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara
ternyata tidak bisa berbuat apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana
saja.
Mendengar perintah ini, tiga
orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang paling menarik
perhatian hingga membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-koksu
Ganisa, oleh karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya
diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan!
Teringatlah Cin Hai kepada
Thian Kek Losu yang dulu juga mempunyai senjata macam ini, maka dia lantas
berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak begitu
diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya
bersenjatakan golok besar yang biasa saja.
Kedua golok besar itu
menyambar cepat, akan tetapi hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil mempergunakan
ginkang-nya yang luar biasa. Namun pada saat tengkorak kecil di ujung rantai
yang dipegang oleh Thai-koksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua
tangannya yang terbelenggu.
Dia maklum dari pengalamannya
dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa
mukjijat dan kekuatan sihir. Dan di samping ini, juga di dalam tengkorak ini
terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apa bila
ditangkis.
Oleh karena itu, tanpa
mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan
perhatiannya kepada tengkorak kecil itu. Pada waktu ia melihat tengkorak
menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu menggerakkan
kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu sudah kena terpegang
oleh kedua tangan Pendekar Bodoh!
Thai-koksu terkejut sekali. Ia
hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada di dalam tengkorak
itu, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan
ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras karena dengan tepat
sekali tendangan itu sudah membuat sambungan pergelangan tangannya terlepas!
Sambil membawa tengkorak kecil
itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-koksu dan Sam-koksu
menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke
kanan, menggunakan sikunya yang ‘dimasukkan’ lurus ke dalam perut Sam-koksu.
“Ngekk!”
Meski pun Mohopi atau Samkoksu
itu mengerahkan lweekang-nya ke arah perut, namun tentu saja dia tidak dapat
menahan pukulan siku ini dan segera dia terhuyung mundur sambil memegangi
perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas!
Ada pun Ji-koksu yang menjadi
marah sekali lalu kembali menerjang dengan goloknya, membabat secara
bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh. Cin Hai yang
kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya
babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga
tubuhnya segera mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang.
Citalani atau Ji-koksu yang
memiliki ilmu golok paling lihai di antara saudara-saudaranya, cepat menerjang
terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya
Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah
kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah
golok!
Seorang yang tidak memiliki
ilmu ginkang yang luar biasa tingginya tidak mungkin dapat melakukan tendangan
selagi tubuhnya masih berada di udara, dan lagi pula, kalau tidak mengandalkan
tenaga lweekang yang amat hebat juga tidak mungkin orang akan berani menendang
sebatang golok yang tajam sekali.
Akan tetapi, Pendekar Bodoh
merupakan kekecualian karena sebagai murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su,
guru besar nomor satu dalam dunia persilatan, dia telah memiliki kepandaian
yang sukar diukur sampai di mana tingginya.