-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 26-30
“Tidak usah kau kuatir,”
Kaisar menghibur selirnya, “walau pun pemberontak, dia adalah pemberontak yang
baik! Lucu, bukan? Dia melarangku keluar dan melarang orang-orang masuk ke
dalam kamar sebab dia tidak mau pengobatan puteramu terganggu! Ia mengira bahwa
ketiga orang tabib kita adalah orang yang berhati khianat. Lucu, bukan?”
Bukan main terkejutnya hati
Song Tian Ci mendengar ini. Sampai berapa jauhnya orang muda itu mengetahui
rahasia komplotannya? Akan tetapi dia pun menjadi lega hati ketika Kaisar tidak
menyatakan sesuatu tentang dia dan Bu Kwan Ji.
“Siapa dapat percaya tuduhan
jahat itu? Paduka, harap waspada dan berhati-hati, siapa tahu kalau kedua orang
ini benar-benar mempunyai niat buruk!”
Akan tetapi Kaisar hanya
tertawa saja dan mengajak selirnya duduk di ujung yang jauh dari tempat tidur
pangeran di mana mereka lalu bercakap-cakap dengan mesra.
Sementara itu, ketika Bu Kwan
Ji melihat Hong Beng berada di kamar itu dengan tongkat di tangan, ia lalu
keluar dan cepat mengajak kawan-kawannya berunding.
“Celaka,” kata Bu Kwan Ji
sesudah mengajak kawan-kawannya pergi dari situ, “pemuda putera Pendekar Bodoh
itu bersama kawan wanitanya telah berada di kamar Pangeran. Tidak tahunya
merekalah yang melakukan semua larangan dan agaknya mereka hendak mengobati
Pangeran disaksikan sendiri oleh Kaisar!”
Ketiga orang tabib itu menjadi
pucat mendengar ini. “Tentu Kaisar telah diberi tahu oleh mereka tentang
penukaran buah itu!” kata Ang Lok Cu.
“Habis, apa yang dapat kita
lakukan?” kata Bu Kwan Ji bingung. “Kaisar sendiri berada di dalam kamar itu
dan agaknya membantu mereka. Celaka!” Akan tetapi diam-diam dia menaruh
pengharapan besar kepada kekasihnya, yakni Song Tian Ci yang sudah masuk ke
dalam kamar Putera Mahkota.
“Kita masuk saja dengan
berkeras kemudian mengeroyok kedua orang muda itu! Apa sih sukarnya?” kata Ban
Sai Cinjin sambil mengebulkan asap huncwe-nya.
“Akan tetapi, hal ini akan
membikin marah Kaisar dan celakalah kita kalau Kaisar sudah bercuriga kepada kita!”
bantah Bu Kwan Ji yang menjadi gelisah sekali.
Akan tetapi dalam hal siasat
kejahatan, Bu Kwan Ji kalah jauh oleh Ban Sai Cinjin, kalah cerdik dan kalah
pengalaman. Sambil tertawa haha-hehe, Ban Sai Cinjin berkata,
“Bu-ciangkun, kenapa begitu
bodoh? Kau adalah seorang panglima besar yang dipercaya penuh oleh Kaisar.
Bukan rahasia lagi bahwa kau sedang mengejar-ngejar pemberontak, yakni
putera-putera Pendekar Bodoh. Dan sekarang kau mengetahui bahwa kedua orang
pemberontak yang kau kejar-kejar itu berada di dalam kamar Pangeran Mahkota.
Kalau tiba-tiba kau masuk menyerbu dengan para perwira untuk menangkap atau
membunuh pemberontak-pemberontak yang berbahaya, meski Kaisar akan menjadi
marah, mudah saja bagimu mencari alasan yang kuat. Kau dapat mengatakan bahwa
kau menguatirkan keadaan Kaisar dan hendak melenyapkan orang-orang jahat yang
dapat mencuri masuk ke dalam istana. Apa salahnya?”
Tiga orang tabib itu segera
menyatakan persetujuannya dan Bu Kwan Ji berpikir keras. Ada benarnya juga
ucapan kakek mewah ini. Memang dia dapat melakukan hal itu, dan seandainya dia
dapat menangkap atau membunuh kedua orang muda tadi, dan apa bila Kaisar marah,
mudah saja baginya untuk minta maaf, apa lagi masih ada Song Tian Ci yang akan
membelanya dan yang akan membujuk Kaisar!
Sore hari itu Pangeran Mahkota
sudah nampak sehat setelah dua kali dia makan buah Giok-ko. Menurut
perhitungan, sekali lagi atau sehari lagi maka akan tertolonglah nyawa Pangeran
Mahkota ini. Diam-diam Goat Lan dan Hong Beng merasa girang sekali dan Goat Lan
berkata kepada Kaisar,
“Oleh karena Paduka telah
menyaksikan sendiri bahwa hamba dan kawan hamba bukan orang-orang jahat atau
pemberontak-pemberontak sebagaimana orang sudah menuduh hamba, maka sudah jelas
bahwa Pangeran Ong Tiang Houw sekeluarga tidak berdosa apa-apa. Karena itu
hamba mohon sudilah kiranya Paduka menaruh hati kasihan kepada keluarga
Pangeran Ong dan membebaskan mereka.”
Kaisar mengangguk-angguk.
“Mudah saja, Nona. Biarlah kita melihat dan menanti satu hari lagi sampai
puteraku betul-betul sembuh.”
Sementara itu, dengan
bisikan-bisikan mesra dan bujukan-bujukan halus, Song Tian Ci berusaha
membangkitkan kecurigaan Kaisar terhadap dua orang muda itu. “Betapa pun juga,
hamba masih curiga besar,” katanya, “maka harus hamba sendiri yang minumkan
obat kepada puteranda!”
Pada saat itu obat daun yang
dimasak oleh Goat Lan telah matang dan telah didinginkan. Goat Lan sudah
bersiap hendak memberi minum kepada Pangeran ketika tiba-tiba selir cantik itu
meminta obat di tangannya. Akan tetapi, gadis yang memiliki kepandaian tinggi
ini berkeras menolaknya.
“Aku harus memeriksa dulu isi
cawan itu!” kata selir itu dengan bengis. “Siapa tahu kalau kau memberinya
minum racun seperti kemarin dulu?”
Goat Lan tak menduga bahwa
selir ini adalah pemegang kendali komplotan yang hendak membunuh Putera
Mahkota, maka dengan halus ia berkata,
“Maaf, tidak boleh orang lain
yang meminumkannya, kecuali aku sendiri!”
Selir itu hendak marah dan
hendak merampas cawan, akan tetapi mana mungkin ia bisa mendekati Goat Lan?
Pada waktu selir itu masih mengejar-ngejar sambil memaki-maki, Kaisar datang
membujuknya.
“Biarlah, biarkan Nona itu
meminumkannya sendiri. Apa bila kelak ternyata bahwa putera kita sembuh, masih
banyak waktu untuk mengadilinya!”
Malam hari itu, di atas
genteng kamar itu terdapat empat orang yang mengintai ke dalam. Hanya Hong Beng
dan Goat Lan saja yang dapat mengetahui hal ini, bahkan mereka berdua tahu
betul bahwa yang datang adalah empat orang yang berkepandaian tinggi.
Memang yang berada di atas itu
adalah Ban Sai Cinjin dan ketiga orang tabib istana. Bu Kwan Ji tidak berani
muncul, karena tentu saja ia tidak mau secara berterang melakukan percobaan
ini. Ia hanya memberi tugas kepada empat orang kawannya ini untuk terlebih dahulu
secara rahasia mencoba untuk membunuh kedua orang muda itu atau kalau tidak
mungkin boleh juga membunuh Pangeran Mahkota!
Goat Lan dan Hong Beng tahu
betul bahwa mereka tak usah menguatirkan keselamatan Kaisar dan selirnya. Siapa
berani mengganggu Kaisar? Akan tetapi, keselamatan Putera Mahkota harus dijaga
baik-baik.
Pada malam hari itu, Goat Lan
tengah memasak daun obat berikutnya untuk diminumkan keesokan harinya. Akan
tetapi malam hari itu, begitu mendengar suara kaki orang di atas genteng, dia
lalu meninggalkan masakan obat dan mendekati Pangeran Mahkota yang sudah
tertidur. Ia memberi isyarat dengan mata kepada Hong Beng yang membalasnya, dan
pemuda ini pun siap sedia di dekat pintu dengan penuh kewaspadaan.
Sesaat suasana sunyi saja.
Tiba-tiba terdengar angin mendesir dan tiga sinar kecil sekali menyambar ke
bawah, ke arah Putera Mahkota, Goat Lan serta Hong Beng! Goat Lan menyambar
ujung selimut di atas pembaringan itu dan sekali dia mengebut, dua batang jarum
yang mengarah dia dan Pangeran sudah menancap pada selimut itu! Juga Hong Beng
dengan mudah saja mengelak sehingga nampak sebatang jarum hitam menancap pada
lantai di dekatnya!
Kaisar belum tidur dan Kaisar
ini di waktu mudanya pernah mempelajari ilmu silat, maka dia dapat melihat juga
sinar tiga batang jarum tadi.
“Apakah itu?” tanyanya.
Goat Lan dan Hong Beng lalu
memperlihatkan tiga batang jarum itu kepada Kaisar dan meletakkan
senjata-senjata rahasia itu ke atas meja sambil berkata,
“Ada orang jahat sengaja
menyerang hamba berdua dan Pangeran!”
Kaisar terkejut sekali, akan
tetapi pada saat itu dari atas menyambar turun asap hitam yang
bergulung-gulung.
“Cepat, Koko. Telan obat ini!”
Gadis itu mengeluarkan sebutir pil merah kepada Hong Beng yang segera
menelannya.
Hawa harum dan hangat keluar
dari dalam perutnya, memenuhi mulut dan hidung. Goat Lan sendiri menelan
sebutir pil merah dan berkata kepada Kaisar,
“Harap paduka menyelamatkan
diri di ujung kamar, akan tetapi sebaiknya semua orang berbaring di atas lantai
agar jangan terserang oleh asap beracun itu!”
Dengan cekatan sekali Goat Lan
lalu memondong Pangeran yang masih tidur, kemudian menidurkannya di sudut
kamar, di atas lantai yang sudah ditilami dengan selimut tebal. Bingunglah
semua pelayan dan mereka dengan wajah pucat lalu menurut nasehat Goat Lan,
berbaring di atas lantai.
Sementara itu, asap makin
banyak masuk. Memang ini adalah perbuatan Ban Sai Cinjin yang mengeluarkan asap
pemabok. Dia tidak ingin membunuh Kaisar, maka asap yang dilepaskan dari
huncwe-nya hanyalah asap yang cukup kuat untuk memabukkan orang.
Dalam suasana tegang dan sibuk
ini, selir Kaisar tiba-tiba melompat dan berlari menuju ke tempat pemasakan
obat.
“Aku masih tidak percaya
kepadamu! Mungkin semua ini adalah buatanmu sendiri untuk meracuni kami!”
Selir ini lantas berpura-pura
lari menghampiri Goat Lan, akan tetapi dengan cerdik sekali kakinya menendang
tempat obat sehingga tumpahlah seluruh obat ini. Goat Lan hendak menghalangi,
akan tetapi terlambat. Dengan gemas Goat Lan lalu membentak,
“Mundurlah! Hanya kepada
Kaisar dan Pangeran saja aku tunduk, tetapi tidak kepadamu! Kalau kau tidak
mundur, terpaksa akan kupukul!”
Akan tetapi sebelum ia
menggerakkan tangan, selir itu telah menghisap asap hitam dan sambil mengeluh
dia segera terhuyung-huyung. Untung Goat Lan cepat menangkapnya, kemudian
mengangkat dan membawanya kepada Kaisar. Gadis itu membiarkan selir tadi
berbaring di situ dan dia cepat kembali ke tempat Hong Beng berdiri.
“Ban Sai Cinjin, manusia
pengecut! Jika kau berani, turunlah! Jangan menggunakan akal busuk!”
Terdengar Ban Sai Cinjin
tertawa bergelak, lalu disusul dengan suara Ang Lok Cu, tosu yang melepas
jarum-jarum berbisa tadi.
“Jangan gelisah, Hong-siang!
Hamba sekalian datang untuk membebaskan Paduka dan menangkap pemberontak
berbahaya ini!”
Genteng dibuka dari atas dan
agaknya orang-orang di atas genteng itu akan menyerbu ke dalam, akan tetapi
terdengar Kaisar berseru keras,
“Ang Lok Cu Totiang! Apakah
kau dan yang lain-lainnya sudah gila? Hayo cepat mundur sebelum aku menjatuhkan
hukuman mati kepada kalian!”
Suara Kaisar sangat
berpengaruh sehingga terdengar oleh para bayangkari di luar pintu, yang tidak
tahu apa yang sedang terjadi di dalam kamar, akan tetapi mereka tetap saja
tidak berani masuk.
Mendengar bentakan Kaisar ini,
Ang Lok Cu dan kawan-kawannya menjadi jeri juga dan mereka mengajak Ban Sai
Cinjin pergi dari situ. Ban Sai Cinjin merasa kecewa dan tidak puas, akan
tetapi tanpa bantuan kawan-kawan ini, apa dayanya terhadap Goat Lan dan Hong
Beng yang sudah dikenal kelihaiannya itu? Mereka pun segera pergi dari tempat
itu dan asap hitam yang ringan itu perlahan-lahan naik ke atas genteng sehingga
kamar itu menjadi bersih kembali.
Selir yang tadinya pingsan
kini sudah siuman kembali, dan menangis terisak-isak karena mendapat marah dari
Kaisar yang masih belum sadar bahwa selirnya inilah sebenarnya kepala komplotan
jahat itu! Selama itu sampai pagi tidak terjadi sesuatu lagi.
Baiknya Goat Lan masih
mempunyai banyak daun obat sehingga ia dapat memasak obat lagi. Begitu terang
tanah dan Pangeran sudah bangun, gadis ini kemudian memberi buah Giok-ko ke
tiga. Semenjak makan obat Giok-ko dan daun To-hio, keadaan Pangeran itu sudah
baik sekali. Kalau biasanya ia selalu mengeluarkan kotoran darah, kini darah
telah berhenti dan sakit pada perutnya sudah lenyap sama sekali.
Giranglah hati Kaisar dan dia
hendak menyuruh membuka pintu. Akan tetapi Goat Lan mencegahnya dan menyatakan
bahwa masih sekali lagi Pangeran harus minum air daun obat siang nanti.
Akan tetapi tiba-tiba di luar
terdengar suara gaduh dan disusul dengan teriakan-teriakan keras.
“Buka pintu! Tangkap
pemberontak! Tolong dan bebaskan Kaisar!”
Suara gaduh itu adalah suara
senjata yang beradu karena ternyata bahwa Bu Kwan Ji bersama beberapa orang
perwira serta tiga orang tabib itu sudah datang menyerbu dan memaksa membuka
pintu. Ketika bayangkari melawan, mereka ini langsung diserang!
Pintu terbuka dan lima orang
bayangkari cepat menghampiri Kaisar untuk melindunginya, sedangkan yang lain
masih menahan majunya para penyerbu itu!
“Cepat lindungi Kaisar dan
Pangeran!” seru Goat Lan kepada lima orang bayangkari itu, kemudian dia dan
Hong Beng lalu menyerbu keluar.
“Tangkap pemberontak!” seru Bu
Kwan Ji ketika melihat kedua orang muda itu.
“Kaulah pemberontak dan
pengkhianat!” seru Goat Lan.
Sedangkan Hong Beng tidak mau
banyak cakap lagi, langsung menyerang dengan amat hebatnya. Dua orang perwira
kena dirobohkan oleh tendangannya dan kini dia menyerbu tiga orang tabib istana
itu dengan tongkatnya!
Ada pun Goat Lan segera
dikeroyok oleh Bu Kwan Ji, Ban Sai Cinjin dan beberapa orang perwira ikut pula
menyerbu, tiga orang mengeroyok Goat Lan sedangkan tiga orang lagi mengeroyok
Hong Beng. Enam orang perwira ini adalah kawan-kawan atau kaki tangan Bu Kwan Ji,
demikian pula dua orang yang sudah roboh oleh tendangan Hong Beng.
Pertempuran hebat terjadi di
luar kamar pangeran, tempat yang cukup luas itu. Kaisar menjadi marah sekali.
“Lekas panggil datang semua
perwira dan pengawal istana!” perintahnya kepada salah seorang bayangkari, dan
Kaisar lalu mengambil sendiri obat di atas tungku, lalu memberi minum secawan
obat kepada puteranya. Obat terakhir dan selamatlah nyawa Pangeran Mahkota!
Amukan Hong Beng dan Goat Lan
hebat sekali. Dengan sepasang bambu runcingnya, Goat Lan dapat menahan serbuan
para pengeroyoknya, bahkan dengan kecepatan kilat dia berhasil menotok lambung
Bu Kwan Ji yang roboh terguling dalam keadaan pingsan dan merobohkan pula dua
orang perwira!
Ada pun Hong Beng juga sudah
berhasil melukai pundak Ang Lok Cu dan bahkan telah menewaskan Cu Siang Hwesio!
Akan tetapi mereka tetap saja masih dikurung, terutama sekali Ban Sai Cinjin
merupakan lawan yang tangguh bukan main, yang berusaha sekuat tenaga untuk
merobohkan Goat Lan!
Pada saat itu pula, datanglah
seorang panglima yang gagah sekali, diiringi oleh beberapa orang pengawal yang
nampaknya gagah dan kuat. Panglima muda ini bukan lain adalah Kam Liong yang
gagah perkasa!
Sejenak pemuda ini menjadi
bingung melihat betapa ada dua orang muda yang elok sedang mengamuk laksana
sepasang naga dan banyak perwira pengawal telah rebah di sana-sini. Tentu saja
tidak sukar baginya untuk memilih kawan, dan serta merta dia dan kawan-kawan
lainnya lalu mengeroyok Hong Beng dan Goat Lan.
Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar bentakan Kaisar, “Kam-ciangkun! Jangan serang mereka! Bantulah mereka
menangkap para pengkhianat!”
Panglima muda ini menjadi
terkejut dan merasa amat heran, apa lagi Ban Sai Cinjin yang mendengar bentakan
Kaisar ini, maklumlah dia bahwa tidak ada harapan lagi baginya. Ternyata bahwa
usaha Bu Kwan Ji telah gagal! Dengan menyebarkan asap hitamnya ia lalu
melarikan diri keluar dari istana!
Beberapa orang perwira hendak
mengejarnya, akan tetapi dengan tabir asap hitam yang jahat sebagai pelindung,
tak seorang pun dapat mendekatinya. Baru saja mencium asap, pengeiar-pengejar
itu sudah jatuh menggeletak seperti mayat! Akhirnya kakek ini berhasil
melarikan diri tanpa seorang pun dapat menangkapnya.
Ada pun Cu Tong Hwesio tak
kuat menghadapi tongkat Hong Beng, maka dia pun roboh dengan dada tertotok
tongkat. Sebentar saja, dengan bantuan Kam Liong, semua orang kaki tangan Bu
Kwan Ji sudah tertangkap dan banyak yang tewas.
“Penggal kepala mereka, baik
yang masih hidup mau pun yang sudah matil” seru Kaisar dengan marah sekali.
“Kecuali Bu-ciangkun, jangan bunuh dia, tahan dengan kuat. Aku perlu mendengar
keterangan dan pengakuan tentang pengkhianatannya!”
Pucatlah wajah Tian Ci
mendengar ini. Kalau Bu Kwan Ji dibunuh seketika itu juga, akan amanlah dia.
Akan tetapi sekarang Kaisar hendak memeriksa perwira itu, sungguh amat
berbahaya baginya!
Setelah keadaan menjadi beres,
Goat Lan dan Hong Beng berlutut di depan Kaisar minta ampun tentang kelancangan
mereka yang sudah berani menahan Kaisar di dalam kamar itu. Kaisar tersenyum
dan berkata,
“Tentu saja ada hukuman bagi
pelanggar dan ada hadiah bagi yang berjasa. Kalian telah melanggar dan
berbareng berjasa pula. Sekarang tinggallah di gedung tamu, tunggu saja
keputusanku!”
Sesungguhnya Goat Lan dan Hong
Beng hendak pergi pada saat itu juga, akan tetapi mereka tidak berani membantah
kehendak Kaisar, dan lagi, mereka berdua perlu sekali beristirahat setelah tiga
hari tiga malam tidak pernah tidur dan jarang makan itu. Maka sepasukan
pengawal lalu mengiringkan mereka dengan penuh penghormatan ke gedung tamu yang
letaknya di sebelah kiri istana.
Pada esok harinya, terjadi
peristiwa yang menggemparkan, ketika Bu Kwan Ji kedapatan telah terbunuh di
dalam kamar tahanannya! Tak ada seorang pun mengetahui siapa yang membunuh
perwira ini sehingga Kaisar menjadi marah sekali, karena sebenarnya Kaisar
ingin sekali membongkar rahasia komplotan itu.
Tiada seorang pun yang
mengetahui, kecuali Song Tian Ci, selir Kaisar itu. Oleh karena sesungguhnya,
yang membunuh adalah penjaga tahanan sendiri yang sudah ‘dibeli’ oleh selir
yang lihai ini.
Song Tian Ci maklum bahwa
kalau Bu Kwan Ji sampai diperiksa di bawah alat penyiksa, bukan tidak mungkin
kalau orang she Bu ini akan membongkar rahasia perhubungannya dengan perwira ini.
Dengan matinya Bu Kwan Ji, maka amanlah nama Song Tian Ci dan semenjak saat
itu, dia tak berani lagi berpikir untuk merebut kedudukan calon kaisar bagi
puteranya.
Akan tetapi diam-diam Song
Tian Ci menaruh hati dendam kepada Goat Lan dan Hong Beng, karena orang muda
inilah yang menggagalkan rencananya dan bahkan membuat ia berada dalam bahaya
besar. Wanita ini cerdik sekali dan mempunyai pandangan mata yang amat tajam.
Pengalamannya di dalam kamar Pangeran telah membuka matanya dan ia dapat
mengetahui bahwa antara Goat Lan dan Hong Beng terdapat pertalian cinta kasih
yang besar. Inilah kesempatan membalas dendam! Ia maklum bahwa salah satu jalan
terbaik untuk membalas dendam adalah menghancurkan kebahagiaan orang.
Dengan amat licin dia lalu
membujuk Kaisar. Dipuji-pujinya Goat Lan setinggi langit dan tentu saja Kaisar
membenarkan pujian ini.
“Sudah sepatutnya apa bila
gadis seperti Nona Kwee itu diberi ganjaran yang setimpal dengan jasa-jasanya,”
katanya mengakhiri pujiannya.
“Memang,” Kaisar membenarkan,
“Aku sendiri pun kini sedang bingung memikirkan apa gerangan yang dapat
kuhadiahkan kepadanya. Kalau dia seorang laki-laki tentu dia akan kuangkat
menjadi seorang pembesar tinggi. Akan tetapi dia adalah seorang gadis.”
“Kedudukan tinggi bagi seorang
gadis adalah menjadi isteri seorang berpangkat tinggi. Nona Kwee sangat cantik
jelita dan gagah perkasa, mengambilnya sebagai seorang selir jauh lebih
berharga dari pada mengambil selir seorang bidadari kahyangan!”
Kaisar memandang selirnya ini
dengan mata terbelalak. “Apakah kau mabuk? Aku sudah tua, mana dapat
menyia-nyiakan hidup seorang gadis seperti dia? Tidak, aku tidak ingin menambah
selirku!”
“Harap Paduka jangan salah
paham,” Song Tian Ci membantah, “maksud hamba bukan Paduka yang harus mengambilnya
menjadi selir, akan tetapi untuk Pangeran Mahkota! Bukankah Nona Kwee telah
berjasa besar menyelamatkan nyawa Putera Mahkota? Lihat saja alangkah telaten
dan sabar Nona itu merawatnya, tanda bahwa Nona itu tentu suka kepada Pangeran.
Bila Nona itu bisa diambil sebagai selirnya, tidak saja dapat menjaga
keselamatan Pangeran, juga hal itu merupakan hadiah yang paling berharga
untuknya!”
Kaisar mengangguk-angguk
sambil mengelus-elus jenggotnya. “Akan tetapi puteraku baru berusia lima belas
tahun kurang, dan Nona itu agaknya sudah ada dua puluh tahun.”
“Soal usia tidak menjadi
halangan, apa lagi bukan sebagai isteri yang sah, hanya sebagai selir nomor
satu.”
“Bagaimana kalau dia
menolaknya?”
“Tak mungkin ada seorang gadis
dari rakyat biasa akan menolak anugerah Paduka yang demikian besarnya.
Penolakan berarti penghinaan karena sama halnya dengan menolak Pangeran! Akan
tetapi, untuk hal ini mudah saja. Bukankah Nona Kwee dan kawannya sudah
melakukan pelanggaran besar? Menahan Paduka di dalam kamar sampai tiga hari
saja telah cukup untuk menghukum mati kepada mereka. Sekarang hukuman
ditiadakan, bahkan dia diangkat menjadi mantu Kaisar, tak mungkin dia menolak!”
Begitulah, dengan siasat yang
licin sekali Song Tian Ci berusaha untuk menghancurkan kebahagiaan Giok Lan,
berusaha memisahkannya dari Hong Beng untuk dijadikan selir oleh Pangeran
Mahkota! Dan akhirnya Kaisar merasa setuju sekali.
Pada keesokan harinya, Goat
Lan dan Hong Beng dipanggil menghadap. Para menteri dan hulubalang lengkap
menghadap raja yang sudah duduk di singgasana dengan wajah girang. Juga
Pangeran Mahkota itu hadir pula di dekat ayahnya.
Semua pembesar yang setia
kepada Kaisar, memandang kepada Pangeran itu dengan wajah riang. Semua sudah
mendengar tentang penyembuhan itu, maka ketika Goat Lan dan Hong Beng datang
menghadap, semua mata ditujukan kepada mereka dengan hati kagum sekali.
Sambil menunjuk kepada Goat
Lan dan Hong Beng yang berlutut di depan Kaisar, Kaisar berkata, “Kalian semua
yang hadir di sini sudah mendengar mengenai jasa besar dari kedua orang muda
ini. Lihatlah, betapa puteraku sudah sembuh sama sekali, semua ini berkat
pengobatan Nona Kwee Goat Lan dan sahabatnya yang bernama Sie Hong Beng. Oleh
karena itu, pada hari ini aku hendak memberi hadiah dan anugerah kepada mereka
berdua.”
Semua yang hadir
mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum, sebab mereka semua merasa bahwa hal
ini sudah cukup pantas.
“Anugerah pertama,” kata
Kaisar, “adalah pembebasan mereka dari tuntutan. Sungguh pun mereka berdua
sudah berani berlaku lancang memasuki istana tanpa ijin, bahkan telah menahan
Kaisar dan Pangeran di dalam kamar selama tiga hari, akan tetapi aku bebaskan
mereka dari kesalahan ini.”
Goat Lan dan Hong Beng
mengangguk-anggukkan kepala dan menyatakan terima kasih mereka.
“Anugerah kedua bagi Sie Hong
Beng, dia kuberi pangkat congtok dan boleh melakukan tugasnya di kota
Nan-kiang, kuberi dua ekor kuda terbaik dari kandang kuda istana dan uang perak
seribu tael. Bagaimana penerimaanmu tentang anugerah ini, orang muda?”
Sie Hong Beng merasa terkejut
sekali. Ia sama sekali tidak mengharapkan hadiah, akan tetapi bagaimana dia
dapat menolak hadiah Kaisar? Dia cepat mengangguk-anggukkan kepala dan berkata
dengan suara perlahan,
“Mohon ampun sebanyaknya apa
bila hamba berani berlaku tidak patut. Bukan sekali-kali hamba tidak menghargai
karunia Paduka yang dilimpahkan kepada hamba, akan tetapi sesungguhnya hamba
tidak sanggup untuk menjabat pangkat di suatu tempat. Mohon Hong-siang suka
mengampuni hamba dan memperbolehkan hamba menolak kedudukan dan pangkat itu.”
Hening suasana di situ. Tak
ada seorang pun berani mengangkat kepala karena merasa heran dan juga kuatir
mendengar jawaban Hong Beng. Kaisar sendiri merasa tertegun, akan tetapi
kemudian terdengar dia berkata,
“Darah petualang agaknya
mengalir pada tubuhmu, anak muda. Tidak apalah, kalau kau tidak dapat menerima
pangkat, biar hadiah uang kutambah lima ratus tael lagi!”
Lega hati Hong Beng dan biar
pun ia tidak suka menerima hadiah uang akan tetapi tentu saja ia tidak berani
menolak lagi. Cepat ia menghaturkan terima kasihnya sambil berlutut.
“Dan sekarang untuk Nona Kwee
Goat Lan yang paling berjasa dalam urusan ini. Tanpa adanya Nona ini, mungkin
puteraku tidak akan dapat sembuh dari sakitnya. Oleh karena pembelaannya ini,
maka seakan-akan berarti bahwa jiwa dan raga Pangeran telah dapat dirampasnya
dari tangan maut, dan oleh karena itu, biarlah untuk selama hidupnya, dia
memiliki jiwa raga Pangeran! Biar pun puteraku baru berusia lima belas tahun
dan belum menikah, akan tetapi aku mengangkat Nona Kwee menjadi selir pertama
dari puteraku atau sama dengan mantuku yang pertama!”
Bukan main kagetnya Goat Lan
dan Hong Beng mendengar ini. Muka Goat Lan sampai menjadi pucat sekali dan
kedua kakinya yang berlutut itu menggigil. Tidak disangkanya sama sekali bahwa
dia akan mendapat anugerah macam ini.
Dia mengerling ke arah Hong
Beng yang juga menjadi pucat dan mengerutkan kening. Kemudian ketika tak
disengaja dia menengok ke arah Pangeran Mahkota, Pangeran itu tersenyum-senyum
malu, agaknya suka sekali akan keputusan ayahnya ini!
Semua yang hadir juga merasa
setuju sekali dengan keputusan ini, karena hal ini mereka anggap sebagai
anugerah terbesar yang mungkin diberikan kepada gadis itu.
“Bagaimana, Nona Kwee Goat
Lan? Engkau tentu dapat menerirna keputusan kami ini, bukan?” Kaisar mendesak
ketika dilihatnya nona itu menundukkan mukanya. Ketika Goat Lan mengangkat
muka, Kaisar melihat betapa pucatnya wajah gadis itu.
“Mohon beribu ampun bahwa
hamba terpaksa tak dapat menerima penghormatan besar ini!”
Kali ini keadaan bahkan
menjadi jauh lebih sunyi dari pada ketika Hong Beng menolak pengangkatan.
Bagaimana gadis ini berani menolak pinangan dari Kaisar yang diucapkan oleh
Kaisar sendiri untuk Putera Mahkota? Hampir tak dapat mereka percaya!
Terdengar orang menarik kursi
dan ternyata Pangeran Mahkota yang mundur dari tempat duduknya memberi hormat
kepada Kaisar sebagai pengganti ucapan maaf dan akhirnya, setelah memandang ke
arah Goat Lan dengan muka merah dan mata sayu Pangeran ini lalu mengundurkan
diri ke dalam! Setelah itu, belum juga Kaisar mengeluarkan suara.
Tak seorang pun yang memandang
wajah Kaisar yang sebentar pucat sebentar merah itu. Ia merasa terhina sekali.
Di hadapan para pembesar, para hulubalang, seorang gadis biasa saja telah
berani menolak pinangannya! Pinangan seorang raja besar untuk putera mahkota,
ditolak oleh seorang gadis biasa saja. Alangkah hinanya! Lalu dia teringat akan
ucapan Song Tian Ci selirnya itu, bahwa gadis ini mempunyai dosa dan untuk dosa
itu sudah patut memberi hukuman mati kepadanya.
“Kwee Goat Lan...!” tiba-tiba
suara Kaisar memecah kesunyian, suara yang telah cukup dikenal oleh para
penghadap, karena kalau suara Kaisar sudah lambat dan parau, tanda bahwa orang
besar ini sedang marah sekali, “insyaf benarkah kau akan apa yang kau ucapkan
tadi? Sadarkah kau bahwa jawabanmu itu berarti penolakan terhadap pinangan
rajamu? Kau telah menghina Kaisar sekaligus membuat malu seorang Pangeran,
seorang Putera Mahkota! Tahukah kau akan dosamu yang besar ini?”
Dengan air mata menitik keluar
dari pelupuk matanya, Goat Lan menganggukkan kepala. “Hamba terpaksa... hamba
tak dapat menerima kehormatan besar itu.” Hanya kekerasan hatinya saja yang
menahan Goat Lan tidak sampai menangis tersedu-sedu di situ!
“Kwee Goat Lan, tahukah kau
bahwa untuk dosamu masuk ke dalam istana tanpa ijin dan menahanku di dalam
kamar sampai tiga hari itu saja sudah cukup untuk memberikan hukuman mati
kepadamu?”
Seorang menteri tua segera
maju dan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang penuh uban dia berkata,
“Mohon Paduka sudi mengampuni gadis ini tentang dosa dan pelanggaran itu karena
paduka tadi dalam anugerah pertama sudah membebaskannya dari kesalahan itu.”
Memang menteri tua yang
berpengalaman ini menjadi kuatir sekali kalau-kalau di dalam kemarahannya
Kaisar akan menarik kembali keputusan yang sudah dikeluarkan terlebih dulu dan
kalau hal ini terjadi, amat tidak baik bagi pribadi Kaisar sendiri. Keputusan
yang keluar dari mulut seorang kaisar besar, tak dapat diubahnya lagi!
Kaisar teringat akan hal ini
dan berkatalah dia, “Sesungguhnya aku sudah mengampuni kesalahan yang itu, akan
tetapi gadis ini berani sekali menghinaku serta membikin malu Pangeran, maka
untuk kedosaannya ini kuputuskan hukum buang keluar Tembok Besar di utara!”
Terdengar isak tertahan di
leher gadis itu. Sebagai seorang gagah, tentu saja dia tidak takut dan dapat
melarikan diri, akan tetapi sebagai seorang setiawan dan seorang yang
menjunjung tinggi kepada Kaisar, tentu saja dia tak berani melakukan hal ini,
karena hal ini akan merupakan pemberontakan yang akan mencemarkan namanya
sekaligus nama keluarganya. Bagaimana dia dapat mencemarkan nama ayah ibunya?
“Ayah... Ibu...” Goat Lan
mengeluh dalam hatinya, akan tetapi tanpa disadarinya bibirnya ikut
menggerakkan sebutan ini.
Hong Beng yang berlutut tak
jauh darinya mendengar keluhan ini dan dapat dibayangkan betapa hancurnya hati
pemuda ini mendengar keputusan hukuman yang dijatuhkan oleh Kaisar kepada Goat
Lan.
“Hamba tidak dapat menerima
keputusan hukuman yang dijatuhkan atas diri Nona Kwee Goat Lan!” Hong Beng
berseru keras sekali sehingga semua orang terkejut.
Kaisar memandangnya dengan
marah. “Hmm, agaknya bukan desas-desus kosong saja bahwa keturunan Pendekar
Bodoh memang memiliki jiwa pemberontak. Teringat olehku betapa dulu ayahmu dan
kawan-kawannya juga pernah melawan tentara kerajaan!” kata Kaisar dengan marah.
“Dan apakah sekarang kau ingin mengulangi perbuatan ayahmu yang tidak benar
itu? Kau hendak melawan keputusan dari Kaisarmu?”
Menteri tua yang tadi membela
Goat Lan, yaitu seorang bangsawan she Liem, segera mengajukan usulnya,
“Hamba mohon sudilah kiranya
Paduka suka mempertimbangkan keadaan kedua orang muda ini. Jasa mereka amat
besar, karena selain telah menyembuhkan Putera Mahkota, mereka jugalah yang
menghancurkan komplotan jahat dari Bu Kwan Ji. Kalau sekarang Paduka
menjatuhkan hukuman berat, bukankah hal ini akan mengejutkan orang-orang gagah
yang banyak terdapat di antara rakyat dan membuat mereka takut sehingga tidak
berani membantu pemerintah untuk menyatakan kesetiaan mereka?”
Kaisar mendongkol juga
mendengar ucapan ini, meski pun diam-diam ia harus mengakui kebenarannya.
“Habis, kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya?”
“Harap Paduka sudi mengampunkan
hamba yang lancang. Hukuman mengusir Nona ini ke utara sudah dikeluarkan
sehingga tidak mungkin dicabut kembali, hanya dapat diubah sifatnya. Hukuman
ini bukan pembuangan seumur hidup, tetapi pembuangan sementara saja. Hamba
teringat bahwa kini bangsa Tartar sedang bergerak dari barat dan utara,
melakukan pengacauan dan merampok serta menculik rakyat yang tinggal di
perbatasan utara dan barat. Mengapa tidak memberi kesempatan kepada Nona Kwee
dan kawannya yang gagah perkasa ini untuk membuktikan kesetiaan dan kebaktian
mereka terhadap negara? Hamba rasa lebih baik kalau memberi tugas kepada mereka
ini untuk mengusir musuh, dan apa bila mereka berdua ternyata benar-benar
setia, Paduka akan melakukan sesuatu yang adil dan mulia apa bila mengampuni mereka
ini!”
Kaisar mengangguk-angguk dan
merasa setuju sekali. Sekelebatan saja menteri tua she Liem ini dapat menduga
bahwa di antara kedua orang muda itu pastilah ada hubungan kasih, terbukti dari
kerling mereka dan betapa pemuda itu dengan mati-matian berani membela Goat Lan
di depan Kaisar. Karena itu timbullah hati kasihan di dalam dadanya sehingga
mengajukan usul ini.
Demikianlah, pada hari itu
juga, Goat Lan dan Hong Beng diberi tanda cap pada lengan tangan mereka dengan
sejenis tinta yang tak dapat dihapus oleh siapa pun juga, kecuali apa bila
dicuci dengan obat yang tersimpan di istana. Cap dari Kaisar ini merupakan
tanda bahwa mereka masih berada di dalam urusan dan apa bila cap ini belum
dihapus oleh Kaisar, berarti mereka selama hidup akan menjadi pesakitan! Kaisar
berjanji bahwa apa bila mereka membuktikan kesetiaan mereka dan berhasil
mengusir para pengacau di utara, cap di lengan itu akan dihapus bersih sebagai
tanda pengampunan bagi mereka!
Dengan hati sedih, Hong Beng
dan Goat Lan segera berangkat ke utara, dikawal oleh sepasukan prajurit
istimewa yang selain akan mengamat-amati mereka, juga bertugas membantu mereka
membasmi para pengacau. Pasukan ini terdiri dari empat puluh orang perjurit
pilihan yang pandai ilmu silat.
Pada hari keberangkatan
pertama, kedua mata Goat Lan menjadi merah dan ia tak dapat banyak mengeluarkan
kata-kata. Baiknya masih ada Hong Beng di sampingnya sehingga berkat
hiburan-hiburan pemuda ini, pada keesokan harinya Goat Lan telah mendapatkan
kembali kegembiraannya. Dengan amat mudah Goat Lan dapat merubah hukum buang
itu seperti sebuah perjalanan pelesir saja. Tiada hentinya di sepanjang jalan
ia berjenaka sehingga kini sebaliknya Hong Beng yang terhibur!
Pada esok harinya, pagi-pagi
sekali mendadak ada serombongan pasukan berkuda yang menyusul cepat dan ketika
pasukan itu tiba, semua prajurit pengawal Hong Beng dan Goat Lan cepat-cepat
memberi hormat kepada seorang panglima muda yang mengepalai pasukan itu. Hong
Beng dan Goat Lan segera mengenal panglima muda yang gagah dan tampan ini
sebagai panglima yang membantu mereka mengalahkan Bu Kwan Ji beserta kaki
tangannya di depan kamar Pangeran itu.
Memang panglima muda ini
adalah Kam Liong! Ia cepat turun dari kudanya dan menjura kepada Hong Beng dan
Goat Lan sambil berkata dengan senyum,
“Alangkah gembira hati siauwte
dapat mengejar dan menyusul Ji-wi hari ini! Siauwte Kam Liong adalah orang
pertama yang merasa amat menyesal dan kecewa mendengar nasib malang yang
menimpa diri Ji-wi yang mulia, karena sebenarnya antara Ji-wi dan siauwte
terdapat hubungan yang sudah lama, semenjak ayah kita masing-masing masih
muda!”
Hong Beng dan Goat Lan segera
membalas penghormatan panglima muda ini dengan gembira dan juga terheran. Kam
Liong lalu memerintahkan agar pasukan itu beristirahat kemudian dia mengajak
kedua orang muda itu untuk duduk di tempat tersendiri sambil mengeluarkan
perbekalan mereka untuk makan minum.
Di bawah sebatang pohon yang
besar mereka duduk bercakap-cakap sambil makan. Di situlah Kam Liong
menceritakan bahwa ia adalah putera dari Panglima Besar Kam Hong Sin yang sudah
kenal baik dengan ayah ibu kedua orang muda itu.
“Siauwte telah bertemu dengan
kedua saudaramu, Sie-enghiong,” katanya kepada Hong Beng sehingga pemuda ini
menjadi terheran. “Bukanlah adikmu perempuan bernama Sie Hong Li dengan
pedangnya Liong-coan-kiam yang hebat itu? Hanya sayang aku belum mengetahui
nama saudaramu laki-laki itu, juga tak tahu apakah dia adik atau kakakmu.”
Hong Beng adalah seorang
pemuda yang pendiam akan tetapi cerdik sekali. Biar pun dia tahu bahwa panglima
muda ini telah salah duga, namun dia tidak segera mengemukakan hal ini, bahkan
lalu bertanya,
“Siapakah dia, di mana kau
bertemu dengannya dan bagaimana rupanya?”
Dengan gembira Kam Liong lalu
menceritakan tentang pertemuannya dengan Lie Siong ketika pemuda ini menolong
Lilani. “Pemuda itu sungguh aneh, tidak mau menyebutkan nama dan tidak mengaku
pula siapa orang tuanya, akan tetapi melihat ilmu silatnya, aku tidak ragu-ragu
lagi bahwa kalau dia bukan saudaramu, Sie-enghiong, pasti dia adalah saudara
dari Kwee Lihiap ini!”
Akan tetapi, Hong Beng dan
Goat Lan yang mendengar penuturan itu saling pandang dengan terheran-heran.
“Aku tidak mempunyai saudara
laki-laki, Kam-ciangkun,” kata Hong Beng.
“Dan adikku masih kecil,” kata
Goat Lan.
Kam Liong memandang kepada
mereka dengan tajam. Memang pemuda ini mempunyai mata yang tajam sekali, tanda
bahwa otaknya cerdik.
“Ahh, kalau begitu, tidak
salah lagi! Dia tentulah putera Ang I Niocu.”
Kemudian Kam Liong merubah
arah pembicaraan dan menyatakan maksudnya menyusul rombongan yang mengantar
kedua orang muda keluar Tembok Besar itu.
“Semenjak kemarin dulu siauwte
bertemu dengan Ji-wi, pada saat kita bersama memberi hajaran kepada komplotan
Bu Kwan Ji yang busuk, siauwte telah merasa tertarik sekali dan ingin
mengadakan perkenalan. Akan tetapi, sayang sekali siauwte menerima tugas keluar
kota raja dan baru kemarin siauwte datang. Alangkah kecewa hatiku mendengar
bahwa Ji-wi sudah berangkat menerima keputusan dari Hong-Siang yang
sesungguhnya amat kurang bijaksana itu. Akan tetapi, harap Ji-wi tidak kuatir.
Apa bila sudah selesai tugasku di selatan, aku pasti akan menyusul ke utara
sehingga kita bisa bersama-sama menghancurkan pengacau-pengacau itu! Siauwte
pernah bertugas di utara dan memiliki tempat merupakan benteng di sebelah dusun
di lereng Gunung Alkata-san. Ji-wi harap mendirikan markas di sana, dan
sementara itu bila mana siauwte ke selatan, siauwte akan mengunjungi
Kwee-lo-enghiong dan Sie Taihiap untuk menyampaikan warta ini dan
memberitahukan bahwa Ji-wi berada dalam keadaan selamat!”
Hong Beng dan Goat Lan merasa
girang sekali dan juga bersyukur, karena itu mereka lalu menyatakan terima
kasih berulang-ulang. Saking gembiranya, kedua orang muda ini menerima saja usul
Kam Liong yang ramah-tamah ketika Kam Liong mengajak keduanya mempertebal
persahabatan dengan menyebut nama masing-masing begitu saja tanpa embel-embel
lagi!
Kam Liong lalu memberi
perintah kepada prajurit-prajurit yang mengawal Hong Beng dan Goat Lan, memberi
tahu ke mana mereka harus pergi untuk mendapatkan benteng yang dulu menjadi
tempat tinggal pasukannya itu. Kemudian, tiga orang muda yang gagah ini lalu
berpisah.
Sebelum berpisah, Kam Liong
melakukan sesuatu yang sangat mengharukan hati kedua orang muda itu. Panglima
gagah perkasa ini memerintahkan kepada prajurit-prajuritnya untuk meninggalkan
semua kuda sehingga pasukan pengawas Hong Beng dan Goat Lan semua mendapat
seekor kuda. Kuda Kam Liong sendiri diserahkan kepada Hong Beng dan Goat Lan juga
mendapatkan seekor kuda yang terbagus!
Ketika Hong Beng dan Goat Lan
hendak menolak, Kam Liong berkata,
“Tujuan perjalanan kalian
masih sangat jauh dan panjang, ada pun kami dapat mudah saja membeli kuda atau
meminjam di kota. Bahkan untuk berjalan kaki ke kota raja pun sudah tak berapa
jauh.” Terpaksa kedua orang muda itu menerima sambil menghaturkan terima kasih.
Tentu saja Hong Beng dan Goat
Lan sama sekali tidak dapat membaca isi hati panglima muda itu. Biar pun Kam
Liong sangat mengagumi kedua remaja itu dan memang ingin mengikat tali
persahabatan, namun kalau tidak ada ‘apa-apanya’ belum tentu Kam Liong akan
berlaku luar biasa baiknya itu.
Semenjak Kam Liong bertemu
dengan Lili, hati pemuda ini telah runtuh dan dia terjeblos dalam perangkap asmara.
Dia jatuh cinta kepada Lili dan semenjak hari pertemuan itu, setiap malam ia
selalu termenung dan merindukan Lili. Ia ingin sekali menyuruh seorang
perantara untuk mengajukan pinangan kepada orang tua Lili di Shaning, namun
hatinya masih ragu-ragu sebab meminang puteri Pendekar Bodoh bukanlah perkara
lumrah saja! Baginya, lebih mudah meminang puteri seorang pangeran di kota raja
dari pada harus meminang puteri Pendekar Bodoh yang dahulu sering kali
disebut-sebut oleh ayahnya, Kam Hong Sin yang sudah gugur dalam peperangan.
Lalu, tanpa
disangka-sangkanya, dia mendengar berita tentang adanya putera Pendekar Bodoh
yang mengacau di istana! Ketika itu dia baru saja datang dari luar kota, karena
memang pekerjaan terutama dari Kam Liong adalah melakukan pemeriksaan terhadap
benteng-benteng penjagaan tentara kerajaan di batas negara. Karena itu dia
dapat cepat datang pada saat Kaisar memanggil bantuan sehingga bisa bertemu
dengan Hong Beng dan Goat Lan.
Akan tetapi, sayang sekali
datang laporan dari seorang perwira sehingga ia mesti keluar kota kembali untuk
beberapa hari. Maka ketika ia kembali ke kota raja, ia telah terlambat karena
Hong Beng dan Goat Lan sudah mendapat hukuman buang ke utara.
Kam Liong tidak mau melepaskan
kesempatan baik ini. Dia tergila-gila kepada Lili, dan sekarang kakak dari
gadis itu berada di sini, bagaimana dia tidak melakukan sesuatu untuk mengambil
hati? Demikianlah, ia lalu menyusul dengan cepat dan berhasil menarik dan
menawan hati Hong Beng.
Di sepanjang perjalanan, Hong
Beng dan Goat Lan tiada henti memuji kebaikan hati Kam Liong. Perwira-perwira
yang memimpin pasukan pengawal itu menambahkan,
“Memang Kam-ciangkun baik
sekali dan ilmu silatnya juga tinggi. Kabarnya dia mendapat didikan langsung
dari tokoh-tokoh Kun-lun-pai. Sejak berusia tujuh belas tahun, dia telah
berjasa dalam peperangan, membantu perjuangan ayahnya. Bahkan pada saat ayahnya
gugur dalam peperangan, Kam-ciangkun ikut bertempur bahu membahu dengan ayahnya
itu.”
Semakin kagumlah hati Hong
Beng dan Goat Lang, dan ini sesuai benar dengan maksud hati Kam Liong!
Kemudian, sesudah menyelesaikan urusannya di kota raja, Kam Liong berangkat ke
selatan dan pertama-tama dia menuju ke Shaning hendak mencari rumah Pendekar
Bodoh untuk melaporkan keadaan Hong Beng, dan terutama sekali agar dapat
bertemu dengan Lili!
Dia pikir lebih baik bertemu
dengan Pendekar Bodoh dahulu sebelum memberanikan diri mengirim perantara
mengajukan pinangan. Baiknya dia mempunyai alasan yang sangat tepat, yakni
berita tentang keadaan Hong Beng. Kalau tidak ada alasan, ia merasa sukar juga
menjumpai suami isteri pendekar besar itu…..
********************
Baiklah, kita meninggalkan Kam
Liong yang menuju ke rumah Sie Cin Hai di Shaning. Mari kita mendahuluinya ke
Shaning dan menengok keadaan keluarga Sie ini.
Sejak Sin-kai Lo Sian Si
Pengemis Sakti tinggal di rumah keluarga Sie, baik Lili mau pun suami isteri
Sie merasa terhibur dari kedukaan mereka karena kematian Yousuf. Walau pun
kematian Yousuf sudah terjadi belasan tahun yang lalu, namun tiap kali teringat
oleh mereka bahwa pembunuhnya, yakni Bouw Hun Ti, belum terbalas, mereka merasa
sedih sekali. Akan tetapi, kini dengan adanya Lo Sian, seakan-akan Yousuf masih
belum mati.
Keadaan dan sikap Lo Sian ini
hampir sama dengan kakek Turki itu. Juga seperti Yousuf, Lo Sian sangat suka
minum arak wangi, suka pula bernyanyi-nyanyi dan mendongeng. Berbeda dengan
Yousuf yang suka mendongeng cerita-cerita dari Turki, adalah Lo Sian pandai
sekali mendongeng cerita-cerita Tiongkok kuno.
Dia boleh lupa akan keadaan
pengalamannya pada masa lampau, yakni segala hal yang menyangkut dengan
dirinya, akan tetapi ternyata dia tidak melupakan dongeng-dongeng yang terjejal
di dalam ingatannya ketika ia masih kecil!
Lili tak sabar menanti
kedatangan Hong Beng, karena dia telah mernperhitungkan bahwa Hong Beng dan
Goat Lan seharusnya telah datang. Ke manakah gerangan perginya dua orang itu?
Lili menyesal sekali mengapa dulu dia tidak ikut saja. Alangkah senangnya bila
mereka itu mengalami hal-hal yang hebat dan berbahaya!
Baiknya di rumah itu ada Lo
Sian yang disebutnya pek-pek atau twa-pek. Kedua orang tuanya, yakni Sie Cin
Hai dan Lin Lin, sudah mendengar penuturannya yang tentu saja banyak
dilebih-lebihkan mengenai pertemuan antara Goat Lan dan Hong Beng sehingga
suami isteri itu merasa girang sekali. Memang Lili amat nakal, jenaka dan lucu.
Katanya ketika dia menceritakan hal kakaknya dan Goat Lan,
“Engko Hong Beng agaknya tak
dapat berpisah lagi dari Enci Lan! Ahh, kalau Ayah dan Ibu melihat betapa
tadinya sebelum saling mengenal ternyata mereka sudah saling jatuh cinta!”
Gadis itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan lengan baju.
“Apa maksudmu?” tanya ayahnya
mengerutkan kening.
Lili menceritakan betapa dia
telah menggoda Hong Beng dan Goat Lan sehingga kedua orang muda yang tidak
saling mengenal itu sampai bertempur!
“Ahh, kau nakal sekali, Lili!”
ayahnya menegur. “Kenakalan seperti itu berbahaya sekali. Kenapa kau seperti
anak kecil saja?”
Lili tidak merasa aneh
mendengar teguran ayahnya, karena memang sejak kecil, hanya ayahnya saja yang
selalu menegurnya. Akan tetapi dia juga maklum betul-betul bahwa ayahnya ini
hanya galak di luarnya saja, padahal di dalam hati sangat menyayang dan
memanjakannya.
“Mengapa, Ayah? Bukankah
dengan demikian mereka jadi dapat saling mengenal tingkat kepandaian
masing-masing?” Kemudian dia lalu melanjutkan penuturannya, betapa Goat Lan
merasa berkuatir ketika mendengar Hong Beng ditantang pibu oleh para pemimpin
Hek-tung Kai-pang.
Setelah selesai dengan
penuturannya dan gadis ini pergi ke belakang mengunjungi Lo Sian di kebun di
mana Lo Sian mengerjakan taman bunga, membuangi daun kering dan rumput,
Pendekar Bodoh berkata kepada isterinya,
“Ahh, kurang pantas sekali
kalau Hong Beng melakukan perjalanan berdua saja dengan Goat Lan. Mereka itu
belum menikah dan sudah terlalu lama mereka pergi berdua. Hal ini tidak baik...
tidak baik...” Ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Apanya yang tidak baik?” Lin
Lin membantah. “Mereka sudah bertunangan.”
“Tapi masih belum pantas
melakukan perjalanan bersama dalam masa pertunangan, itu melanggar adat
kesopanan kita,” kata suaminya.
“Ahhh, kau terlalu kukuh!
Tidak ingatkah kau betapa dahulu kita sebelum menikah juga melakukan
perantauan, bahkan lebih jauh dan lebih lama lagi? Asal kita dapat menjaga
kesopanan, apa salahnya? Lagi pula, aku percaya penuh Beng-ji akan mampu
menjaga kesopanan, demikian pula Goat Lan.”
“Kita lain lagi, isteriku,”
kata Cin Hai. “Ketika kita melakukan perjalanan bersama, kita sudah yatim
piatu. Akan tetapi anak-anak itu masih ada orang tuanya. Boleh saja secara
kebetulan mereka bertemu di jalan dan menyelesaikan urusan bersama, akan tetapi
tidak untuk selanjutnya merantau dan tidak pulang sampai sekarang!”
“Sudahlah, suamiku, kenapa
ribut-ribut? Siapa tahu kalau mereka juga menemui urusan yang penting? Untuk
menenteramkan hatimu, lebih baik kita pergi mengunjungi Enci Hoa dan suaminya
di Tiang-an untuk menetapkan hari pernikahan kedua anak itu. Sekalian kita
melihat-lihat kalau-kalau mereka sudah pulang ke sana.”
Sie Cin Hai menyetujui pikiran
isterinya ini. Demikianlah, pada keesokan harinya kedua suami-isteri pendekar
ini lalu melakukan perjalanan ke Tiang-an.
Lili yang ditinggalkan berdua
dengan Lo Sian, melewatkan waktunya bersama Pengemis Sakti ini. Lili mencoba
terus menerus untuk mengembalikan ingatan bekas suhu-nya ini, akan tetapi
hasilnya sia-sia belaka.
Kini Lo Sian selalu nampak
senang dan gembira. Di dalam rumah keluarga Sie, ia seperti seekor burung yang
akhirnya menemukan sarang yang baik. Badannya menjadi segar dan gemuk dan tiap
hari dia minum arak yang selalu disediakan oleh keluarga Sie.
Untuk menyenangkan hati Lo
Sian yang telah menolong jiwanya dan telah melepas budi besar, Lili lalu
menyuruh pelayan membeli arak terbaik dari Hang-ciu sehingga Lo Sian merasa
girang bukan main. Dengan ditemani oleh Lili, sering kali ia minum arak di
loteng belakang sambil menikmati keindahan taman bunga yang dirawatnya dan yang
berada di bawah loteng itu.
Pada malam hari itu, Lo Sian
nampak masih duduk di atas loteng pada bagian belakang rumah, minum arak
seorang diri. Baru saja datang seguci besar arak wangi yang dibeli oleh Lili
dan gadis itu bahkan membuat kue yang diberikan kepada suhu-nya. Pengemis Sakti
ini makan minum seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi.
Ketika Lili yang berada di
bagian bawah mendengar suara nyanyian suhu-nya, ia merasa heran. Suara pengemis
Sakti itu tidak seperti biasanya, kini terdengar bernada sedih. Dia segera naik
ke atas loteng dan melihat betapa bekas suhu-nya itu minum arak langsung dari
guci dan kaki kirinya ditumpangkan di atas meja!
“Pek-pek, kau kenapakah?”
tanya Lili sambil menghampiri kakek itu.
Lo Sian menunda minumnya dan
pada saat dia menengok kepada Lili, gadis ini terkejut melihat pipi Lo Sian
telah basah dengan air mata!
“Pek-pek, mengapa kau
bersedih?”
Lo Sian terpaksa tersenyum
ketika ia memandang wajah Lili. Alangkah sukanya ia pada gadis ini, seperti
kepada puterinya sendiri.
“Tidak, Lili, aku tidak merasa
bersedih. Dengan kau dan orang tuamu yang mulia berada di dekatku, bagaimana
aku dapaf bersedih? Hanya aku menyesal sekali, Lili, menyesal bahwa sekarang
aku sudah menjadi seorang yang begini tiada guna! Aku hanya menjadi pengganggu
orang tuamu, aku telah banyak mengecewakan kau dan orang tuamu sebab tidak
mampu mengingat-ingat hal yang telah terjadi. Terutama sekali aku tak dapat
ingat lagi di mana dan bagaimana Lie Kong Sian Taihiap meninggal dunia! Ahh,
aku menjadi sebuah boneka hidup!”
“Pek-pek, kenapa hal begitu
saja dibuat menyesal? Kau tak berdaya dan bukan salahmu kalau kau kehilangan
ingatanmu. Lebih baik menghibur hati, agar tubuhmu menjadi sehat dan siapa tahu
kalau kesehatanmu akan dapat memulihkan ingatanmu. Dengan banyak berpikir serta
banyak pusing, kurasa tidak akan mendatangkan manfaat bagi ingatanmu, Pek-pek.”
“Kau betul, Lili. Kau selalu
benar, sungguh aneh seorang gadis muda seperti kau dapat mengeluarkan ucapan
yang begini bijaksana. Pantas benar kau menjadi puteri Pendekar Bodoh...”
Lili tidak menjawab, hanya
tersenyum sambil menghampiri meja dan menyalakan lilin di atas meja yang belum
dipasang oleh Lo Sian. Melihat kue-kue di atas piring belum ada yang termakan
oleh Lo Sian, Lili bertanya,
“Ehh, kenapa kue-kue ini belum
kau makan, Pek-pek?”
“Nanti dulu, aku lebih senang
minum arak yang wangi dan enak ini! Kau sungguh pandai memilih arak yang baik!”
Setelah berkata demikian, Lo Sian lalu mengangkat guci besar itu dengan kedua
tangannya, menuangkan isinya yang masih setengah itu langsung ke mulutnya
dengan sikap seperti tadi, yaitu kaki kiri di atas meja!
Lili hanya berdiri di belakang
Pengemis Sakti itu sambil tersenyum geli, karena dia dapat menduga bahwa Lo
Sian tentu sudah setengah mabuk. Akan tetapi pada saat itu pula, Lili terkejut
sekali melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam yang melayang turun laksana
seekor burung besar dari atas wuwungan! Bayangan itu gerakannya gesit sekali
dan melihat betapa ia melayang dengan dua lengan dikembangkan, dapat diduga
bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Lo Sian yang sedang enak minum
arak, tidak melihat berkelebatnya bayangan itu, akan tetapi Lili yang bermata
tajam tentu saja dapat melihatnya. Dengan amat kuatir, gadis ini lalu
meninggalkan Lo Sian, berlari turun ke bawah melalui anak tangga untuk mencegat
bayangan tadi di bawah. Lo Sian masih saja minum arak, kakek ini tidak heran
melihat Lili berlari-larian karena hal ini sudah menjadi kebiasaan gadis jenaka
ini
Ketika tiba di bawah, Lili
tidak melihat bayangan orang. Cepat-cepat dia melompat keluar dan mengelilingi
rumahnya. Bayangan tadi dilihatnya melompat ke bawah ke arah depan rumah, akan
tetapi mengapa sekarang tidak nampak lagi? Apakah dia salah lihat? Tidak
mungkin, pikirnya, dan dengan penasaran sekali ia kemudian menyelidiki seluruh
pinggir rumahnya.
Ketika tidak menemukan
sesuatu, dia cepat masuk lagi ke dalam rumah dan tiba-tiba dia teringat bahwa
ayah bundanya mempunyai banyak musuh. Cepat dia menuju ke kamar ayah dan ibunya
yang berada di sebelah dalam. Kagetlah ia ketika melihat bahwa kamar ayah
bundanya ternyata telah dimasuki orang, karena pintu kamar yang tadinya
terkunci kini sudah dibuka dengan paksa!
Cepat dia ke dalam dan di situ
kosong saja. Hanya sebuah lemari kayu, tempat pakaian ayah bundanya telah
dibongkar orang secara paksa dan sekarang terbuka dengan isinya berantakan ke
bawah. Ia merasa heran, karena pakaian itu masih utuh, tidak ada yang hilang,
demikian pula tempat uang tidak diganggu.
Siapakah bayangan tadi dan apa
maksudnya membongkar lemari dan memasuki kamar ayah bundanya? Dia cepat mengejar
lagi keluar dari kamar. Lili marah sekali dan ingin ia menangkap maling itu.
Kini dia berlari menuju ke belakang.
Makin marah dan gemas hatinya
melihat tiga orang pelayan rumahnya, seorang pelayan laki-laki dan dua orang
pelayan wanita sudah berada dalam keadaan tertotok di ruangan belakang. Ketika
dia menghampiri mereka untuk membebaskan mereka dari totokan, dia mendapat
kenyataan yang mengejutkan hatinya pada waktu melihat bahwa ketiga orang
pelayan ini terkena totokan yang sama dengan ilmu totok yang dipelajarinya
sendiri yakni ilmu totok dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na!
Tiba-tiba teringatlah dia akan
sesuatu dan mukanya menjadi merah padam. Siapa lagi kalau bukan pemuda kurang
ajar yang telah merampas sepatunya dulu? Pemuda yang mengaku putera Ang I
Niocu? Hanya pemuda itu saja yang pandai Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na!
Kalau memang betul bayangan
orang yang menjadi maling ini ternyata adalah pemuda putera Ang I Niocu yang
belum diketahui namanya itu, kenapa ia datang seperti seorang maling? Tak
mungkin putera Ang I Niocu melakukan hal ini!
Tiba-tiba ia teringat kepada
Lo Sian yang berada di atas loteng dan wajahnya menjadi pucat ketika dia
teringat betapa dahulu di rumah Thian Kek Hwesio, pemuda itu pernah menyerang
Lo Sian karena marah mendengar Pengemis Sakti itu menyatakan bahwa Lie Kong
Sian telah mati!
Dia cepat berlari-lari melalui
anak tangga menuju ke loteng dan alangkah kagetnya ketika ia melihat guci arak
yang tadi diminum oleh Lo Sian, kini telah menggeletak di atas lantai dan
isinya mengalir keluar. Lo Sian sendiri tidak kelihatan pergi ke mana!
Lili menjadi bingung. Dia
mencari ke sana ke mari, akan tetapi biar pun dia memanggil-manggil, tetap saja
ia tidak dapat menemukan Lo Sian. Hati gadis ini marah bukan main. Segera
diambilnya Pedang Liong-coan-kiam dan kipasnya, kemudian dengan amat cepat dia
lalu melompat keluar rumah dan mencari di sekitar rumah itu.
Tiba-tiba dia melihat bayangan
dua orang sedang bertempur dengan hebatnya. Karena malam itu sangat gelap, Lili
hanya dapat melihat bahwa yang bertempur itu adalah dua orang laki-laki yang
masih muda.
“Bangsat rendah, berani sekali
kalian mengganggu rumahku!” berseru Lili dengan marah sekali.
Dia tidak tahu yang mana di
antara kedua orang ini yang tadi datang ke rumahnya, akan tetapi dia lalu
menyerbu mereka! Akan tetapi, kedua orang muda itu ketika mendengar suaranya,
tiba-tiba mereka lalu menghentikan pertempuran, bahkan keduanya lalu berlari
pergi meninggalkan tempat itu.
Kebetulan sekali, sinar lampu
dari dalam rumahnya masih menerangi sedikit tempat itu sehingga ketika dia
melihat orang yang berlari menerjang sinar penerangan ini, ia melihat bahwa
orang itu adalah Song Kam Seng! Bukan main marahnya hati Lili. Ia pun maklum
bahwa pemuda ini tentu datang untuk mencari ayahnya, karena bukankah Kam Seng
sudah berjanji hendak membalaskan dendam hatinya karena ayahnya dulu dibunuh
oleh Pendekar Bodoh?
“Kam Seng, manusia pengecut!
Jangan berlaku sebagai maling hina dina! Apa bila kau berani, mari kita mengadu
nyawa!” teriak Lili sambil mengejar cepat.
Akan tetapi Kam Seng tidak
menjawab bahkan berlari makin cepat, dikejar terus oleh Lili. Pemuda ini memang
maklum akan kepandaian Lili dan kalau dia melawan juga, ia takkan menang. Apa
lagi, betapa pun juga, tak dapat dia bertempur melawan Lili, gadis musuh
besarnya, gadis yang sesungguhnya amat dicintainya itu. Maka ia lalu melarikan
diri lebih cepat lagi. Bukan saja karena ginkang dari Kam Seng sudah sangat
maju, akan tetapi terutama sekali karena malam itu gelap, sebentar saja pemuda
itu sudah meninggalkan Lili dan menghilang di dalam gelap!
Lili menjadi jengkel sekali.
Ia memaki-maki, memanggil-manggil nama Kam Seng sambil menantang-nantang, akan
tetapi karena tidak memperoleh jawaban, akhirnya dia kembali ke rumahnya. Dan
ternyata Lo Sian masih belum kelihatan sehingga gadis ini menjadi makin
bingung.
Sebetulnya, ke manakah
perginya Lo Sian? Ketika dia sedang minum arak dan Lili telah berlari ke bawah,
tiba-tiba dari atas wuwungan menyambar turun bayangan yang cepat masuk loteng itu.
Lo Sian terkejut sekali ketika melihat seorang pemuda sudah berdiri di
hadapannya. Dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang pernah menyerangnya di
rumah Thian Kek Hwesio, yaitu pemuda yang mengaku sebagai putera Lie Kong Sian.
Sebelum ia sempat bertanya,
Lie Siong, pemuda itu, telah mengulurkan tangan menotok jalan darah
thian-hu-hiat di pundaknya. Totokan ini berdasarkan gerakan serangan dari Ilmu
Silat Kong-ciak Sin-na, ilmu silat warisan Bu Pun Su yang dulu dia pelajari
dari Ang I Niocu, maka bukan main cepat dan hebatnya.
Lo Sian sedang memegang guci
arak dan dia berada dalam keadaan setengah mabuk, bagaimana dia mampu
menghindarkan diri dari serangan ini? Tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas terkena
totokan itu dan guci arak itu tertepas dari pegangannya.
Lie Siong cepat menyambar guci
arak itu dan meletakkannya di atas lantai. Akan tetapi oleh karena dia tidak
memperhatikan guci itu, dia meletakkan guci dalam keadaan miring sehingga
isinya mengalir keluar. Kemudian, secepat kilat pemuda ini segera mengempit
tubuh Lo Sian dan membawanya melompat turun!
Supaya tidak membingungkan,
baiknya diceritakan secara singkat bahwa sejak berpisah dari Lo Sian dan Lili,
pikiran Lie Siong sangat terganggu akibat ucapan Lo Sian yang menerangkan
tentang kematian ayahnya. Oleh karena itu, ia menunda niatnya mengajak Lilani
ke utara mencari rombongan suku bangsa Haimi untuk mengembalikan gadis itu
kepada bangsanya, sebaliknya lalu mengajak gadis itu menuju ke Pulau Pek-le-to
untuk mencari ayahnya! Akan tetapi, ia mendapatkan pulau itu berada dalam
keadaan kosong!
Hatinya menjadi gelisah
sekali, keadaan pemuda ini makin menderita batinnya. Pertama dia merasa
menyesal akibat telah mengikat diri dengan Lilani, gadis yang amat mencinta
dirinya. Kedua, dia merasa menyesal dan bingung karena mendengar bahwa ayahnya
telah meninggal dunia seperti yang dikatakan oleh Lo Sian Si Pengemis Sakti.
Dia harus dapat mencari orang
tua itu untuk mencari keterangan tentang ayahnya. Akan tetapi kalau teringat
betapa dia telah bertempur dan bentrok dengan Lili, puteri Pendekar Bodoh, dia
menjadi bingung. Semenjak dia dapat mencabut sepatu Lili, sepatu yang kecil
mungil itu selalu tersimpan dalam saku bajunya sebelah dalam, disembunyikan
sebagai sebuah jimat!
Ada pun Lilani, gadis yang bernasib
malang itu, semakin lama semakin merasa hancur hatinya. Dia amat mencinta Lie
Siong, bersedia menyerahkan jiwa raganya, akan tetapi melihat pemuda itu sama
sekali tidak mengacuhkannya, dia menjadi sedih sekali.
Bila teringat betapa dia telah
kehilangan ayah bundanya, kehilangan kakeknya, dan kini dia menderita karena
mencinta seorang pemuda yang tak mengacuhkannya, ahhh, gadis ini sering kali
mengucurkan air mata di waktu malam. Tetapi betapa pun juga, dia selalu
menyembunyikan perasaan dukanya dari mata Lie Siong.
Sesudah mendapatkan Pulau
Pek-le-to kosong dan tidak mengetahui ke mana perginya ayahnya, Lie Siong lalu
berkata kepada Lilani,
“Lilani, terpaksa aku harus
menyusul ke Shaning...”
“Ahh, ke rumah nona cantik
jelita yang galak itu? Kau dahulu bilang bahwa dia adalah puteri Pendekar
Bodoh, sungguh cocok sekali...”
Lie Siong memandang tajam.
“Apa maksudmu, Lilani? Kau cemburu?”
“Tidak, Taihiap, mengapa aku
cemburu? Ada hak apakah maka aku dapat cemburu? Aku seorang tak berharga, tidak
seperti nona puteri Pendekar Bodoh itu, yang cantik, pandai, lihai... dan...”
“Sudahlah, jangan kau
berbicara tidak karuan! Hatiku sedang bingung memikirkan ayah. Siapa yang
peduli gadis liar itu?” kata Lie Siong sambil mengajak gadis itu melanjutkan
perjalanan. “Sekarang aku terpaksa harus pergi menyusul ke Shaning untuk
menangkap pengemis gila itu. Agaknya dari dia saja aku akan mengetahui di mana
adanya ayahku. Terpaksa urusan mencari suku bangsamu di utara ditunda dulu.”
Lilani tidak membantah, hanya
merasa dadanya sesak oleh cemburu. Cinta orang muda manakah yang tidak terhias
oleh rasa cemburu? Bukan cinta tulen kalau tidak ada rasa cemburu di dalamnya,
kata orang tua.
Pada malam harinya, Lie Siong
dan Lilani bermalam di sebuah hotel. Dan tidak seperti biasanya, Lie Siong
berkeras tidak mau tidur sekamar dan minta kepada pelayan untuk menyediakan dua
kamar yang berdampingan.
Lilani makin merasa tidak
enak, gelisah dan berduka. Sampai tengah malam gadis ini tidak dapat tidur dan
karena hatinya selalu teringat kepada Lie Siong, tak tertahan lagi ia lalu
keluar dari kamarnya dengan perlahan. Ia sengaja membuka kedua sepatunya agar
tindakan kakinya tak sampai mengagetkan Lie Siong yang ia tahu pendengarannya
amat tajam itu. Ia ingin melihat apakah pemuda pujaan hatinya itu telah tidur.
Dengan kaki telanjang ia
berjalan menghampiri jendela kamar Lie Siong, lalu mengintai ke dalam setelah
dia mendapatkan sebuah lubang di antara celah-celah jendela itu. Dia melihat
kamar itu masih terang dan ternyata pemuda pujaannya itu masih belum tidur.
Lie Siong nampak tengah duduk
melamun di atas kursi dan kedua tangannya memegang sebuah benda kecil.
Jari-jari tangannya mempermainkan benda itu dan ketika Lilani memandang dengan
tegas, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah sepatu yang bagus dan kecil
mungil bentuknya! Bukan main panas dan perihnya hati Lilani.
Itu adalah sepatu wanita,
pikirnya, dan terang bukan sepatunya. Sepatunya tidak sekecil itu! Ah, sepatu
siapa lagi kalau bukan sepatu gadis puteri Pendekar Bodoh itu? Biar pun Lie
Siong tidak menceritakan mengenai hasil pertempurannya melawan Lili namun
Lilani dapat menduga dengan tepat.
Hal ini mudah saja bagi
seorang wanita yang berada dalam keadaan cemburu, karena wanita yang sedang
cemburu mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal menyelidiki segala sesuatu
mengenai hubungan laki-laki yang dicintainya dengan wanita lain!
Bagaikan terpukul, Lilani
terhuyung ke belakang dan ia menahan isak tangisnya. Karena tangisnya tak dapat
tertahan lagi, maka ia tidak berani kembali ke kamarnya, takut kalau nanti Lie
Siong akan mendengar suara tangisnya. Sebaliknya dia malah lari ke belakang dan
keluar dari pintu belakang hotel itu menuju ke kebun belakang yang sunyi dan
gelap!
Di situ dia menjatuhkan diri
di atas rumput dan menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil kehilangan
ibunya. Ia merasa sedih, gemas, dan marah. Sedih karena merasa kehilangan
seorang kekasih yang dicinta sepenuh hatinya. Juga gemas melihat Lie Siong yang
tak mengacuhkannya, sebaliknya tergila-gila kepada sebuah sepatu wanita lain
dan marah kepada diri sendiri mengapa ia sampai demikian dalam jatuh dalam
jurang asmara terhadap pemuda itu.
Di dalam kesedihannya itu,
Lilani sampai tidak tahu bahwa ia tidak berada seorang diri di dalam taman itu.
Dia tidak tahu bahwa di situ duduk dua orang laki-laki pemabukan yang sudah
lama duduk minum arak berdua saja di situ dan keadaan mereka sudah setengah
mabuk ketika Lilani datang ke situ dan menangis.
Lilani yang sedang menangis
itu tiba-tiba merasa lehernya dipeluk orang dan terdengar suara parau,
“Nona manis, kenapa kau
menangis? Marilah kuhibur kau…”
Lilani melompat berdiri dengan
mata terbelalak. Dengan penuh kebencian dan kengerian dia melihat dua orang
laki-laki menyeringai dan memandangnya seperti orang kelaparan, kemudian tangan
kedua orang itu terulur maju hendak menangkapnya!
Lilani sedang merasa sedih,
marah, kecewa dan perasaan yang sudah amat menggencet batinnya ini ditambah
lagi oleh kebencian dan kengerian yang amat besar melihat lagak dua orang
laki-laki ini. Hampir saja Lilani menjerit sekerasnya kalau ia tidak ingat
bahwa jeritannya akan terdengar oleh Lie Siong dan dia tidak mau keadaannya
diketahui oleh pemuda itu.
Maka sambil menahan
berdebarnya hati yang membuat dadanya terasa sakit itu, ia lalu mengelak ke
kiri dan tak disangkanya sama sekali, seorang di antara mereka itu memiliki
gerakan yang cepat juga. Lilani sedang menderita dan keadaan malam itu agak
gelap, maka gadis ini kurang cepat elakannya dan tahu-tahu lengannya sudah tertangkap
oleh seorang di antara dua pemabukan itu.
“Ha-ha-ha-ha, lenganmu lemas
dan halus seperti sutera, Nona... ha-ha-ha!” Orang ini lalu merangkulnya dan
hendak menciumnya.
“Bukk!”
Terdengar suara orang terpukul
dan disusul oleh pekik mengerikan dari laki-laki itu yang segera roboh
tersungkur dalam keadaan tak bernyawa lagi! Pukulan Lilani amat hebat karena
selain gadis ini memiliki kepandaian silat yang lumayan, dan kini lebih lihai
karena sering kali mendapat latihan dari Lie Siong, juga pukulan dari jarak
dekat ini tepat sekali mengenai ulu hati lawan sehingga jantung di dalam dada
orang itu menjadi terluka!
Orang ke dua yang masih mabuk
tidak tahu bahwa kawannya sudah mati, bahkan terus tertawa-tawa dan berkata
kepada kawannya itu, “A-siok, terlalu sekali kau... nona manis ditinggal
tidur...” Dan ia maju pula hendak merangkul Lilani.
Gadis ini sekarang sudah
seperti seorang gila dan gelap mata. Sebelum tangan orang ke dua ini dapat
menyentuh bajunya dia kembali mengirim serangan dengan pukulan keras ke arah
dada disusul dengan tendangan ke arah lambung pemabukan ini. Terdengar jerit
keras dan pemabukan ke dua ini pun roboh dalam keadaan mati!
“Eh, eh, eh, apakah yang
terjadi di sini?” Seorang pelayan hotel datang berlari-lari sambil membawa
sebuah lampu minyak. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanyalah sebuah pukulan
tiba-tiba yang tepat mengenai lehernya. Pelayan ini terputar di atas kakinya
lalu roboh. Celaka baginya, lampu yang dibawanya itu jatuh menimpanya hingga
terbakarlah pakaiannya!
Melihat betapa pelayan itu
berkelojotan di dalam cahaya api, Lilani memandang dengan muka sepucat mayat
dan kedua mata terbuka lebar, ada pun kedua tangannya menutup mulutnya menahan
jeritannya. Alangkah ngerinya!
Dan kemudian, seperti baru
sadar, dia melihat pula dua orang pemabukan yang sudah dibunuhnya di tempat itu
juga. Dengan perasaan sangat tergoncang gadis yang masih bertelanjang kaki ini
lalu lari secepatnya, kembali ke dalam kamarnya!
Dia berdiri di tengah kamarnya
sambil terengah-engah dan meramkan kedua matanya. Kepalanya terasa pening
sekali, dadanya berdetak-detak seakan-akan ada orang sedang memukul-mukulkan
palu di dalamnya. Tubuhnya lemas kedua kaki menggigil dan kedua tangan gemetar.
Telinganya mendengar suara gaduh yang tak karuan terdengarnya, ada pun
pemandangan yang mengerikan dari ketiga mayat itu, terutama sekali pelayan yang
terbakar, selalu terbayang di depan matanya.
“Aku harus tenang... harus
tenang…” pikirnya dan dia lantas menjatuhkan diri di tengah kamar itu juga,
duduk bersila lalu untuk menenangkan pikiran dengan bersemedhi. Untuk
memperdalam lweekang-nya, memang gadis ini telah mempelajari siulian (semedhi)
dari Lie Siong.
Suara ribut-ribut di luar
kamarnya itu mengagetkan Lie Siong. Pemuda ini cepat-cepat menyalakan lilin di
dalam kamarnya, lalu berjalan keluar hendak melihat apa gerangan yang
ribut-ribut di tengah malam seperti itu. Ketika ia mendengar bahwa ada tiga
orang terbunuh oleh seorang gadis, ia terkejut sekali.
Cepat dia menuju ke kamar
Lilani dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa pintu kamar gadis
itu setengah terbuka! Dia cepat melangkah masuk dan biar pun kamar itu gelap,
dia masih dapat melihat bayangan gadis itu duduk bersila di atas lantai.
Sungguh cara siulian yang
aneh, pikirnya. Kenapa tidak di atas pembaringan saja? Akan tetapi, ia tidak
berani mengganggu seorang yang sedang semedhi dan secara diam-diam hendak
meninggalkan kamar itu lagi kalau saja tidak mendengar isak tertahan dari gadis
itu.
“Lilani, kau kenapakah?”
tanyanya heran dan kuatir.
Gadis itu tidak menjawab sama
sekali. Lie Siong menjadi heran dan segera menyalakan sebatang lilin di dalam
kamar itu. Pada saat sinar lilin di atas meja itu sudah menerangi seluruh kamar
dan ia memutar tubuh memandang, Lie Siong pun menjadi terkejut sekali.
Dilihatnya Lilani dengan sepasang kaki telanjang duduk bersila di atas lantai,
pakaiannya kusut, pipinya yang amat pucat itu basah dengan air matanya.
“Lilani...!” Lie Siong
melangkah maju, berlutut dekat gadis itu dan tangannya memegang pundak kanan
Lilani. “Kau kenapakah...?” Akan tetapi Lie Siong terpaksa memutuskan
kata-katanya karena tiba-tiba kedua tangan Lilani mendorong dadanya dengan
gerakan cepat dan amat kuat.
Lie Siong yang sama sekali tak
pernah menyangka bahwa gadis ini akan menyerangnya, tidak mengelak atau
menangkis sama sekali. Dadanya terdorong ke belakang dan ia pun langsung
terlempar ke belakang dengan cepatnya sampai membentur bangku! Lie Siong
membelalakkan matanya.
Tenaga dorongan dan tarikan
muka Lilani lebih mengherankannya dari pada sikap gadis itu sendiri. Dorongan
tenaga Lilani tak seperti biasanya, akan tetapi mengandung tenaga yang amat
kuat dan aneh, sedangkan ketika gadis itu mendorongnya, gadis memandang dengan
penuh kebencian, akan tetapi bibirnya tersenyum!
“Ha, kau takkan dapat
mendekatiku... kau akan mampus....” bisik gadis ini dengan suara aneh. Ternyata
bahwa pukulan batin yang datang secara bertubi-tubi dan hebat itu sudah membuat
pikiran gadis ini terganggu dan berubah!
“Lilani...” Lie Siong melompat
bangun, “apa maksudmu? Kau kenapakah...?”
Melihat Lie Siong melompat
bangun, gadis itu turut melompat bangun pula, menunduk dan memandangi kedua
kakinya yang telanjang, kemudian berkata sambil menyeringai, “Ha-ha-ha, sepatu
itu... sepatuku! Lihat, Taihiap, bukankah kedua kakiku telanjang? Aku perlu
sepatu... akan tetapi sepatu itu terlalu kecil... terlalu kecil...” dan ia lalu
menangis! Tiba-tiba dia menghentikan tangisnya dan berkata lagi dengan mata
bersinar dan mulut tersenyum, “Aku bunuh dia! Aku bunuh mereka! Berani sekali
main gila terhadap Lilani, puteri kepala suku bangsa Haimi!”
Sejak tadi, Lie Siong
memandang keadaan gadis ini dengan bengong. Melihat senyum di bibir Lilani,
pemuda ini merasa bulu tengkuknya meremang. Ini tak sewajarnya, pikirnya. Lebih-lebih
terkejutnya ketika dia mendengar ucapan terakhir tentang pembunuhan yang keluar
dari mulut Lilani.
“Lilani, jadi yang membunuh
tiga orang di belakang hotel itu... kaukah orangnya?”
Lilani tertawa terkekeh. “Ya,
memang aku!” teriaknya keras. “Aku Lilani sekali mencinta orang, akan berlaku
setia selama hidup! Aku takkan sudi main gila dengan laki-laki lain, lebih baik
aku mati! Kubunuh mereka itu, kubakar dia hidup-hidup!” Dan tiba-tiba gadis ini
lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil tersedu-sedu.
Lie Siong berdiri tertegun,
hatinya terharu bukan main ketika ia mendengar Lilani berkata seperti keluhan
menyedihkan, “Taihiap... Taihiap... aku cinta padamu...”
Teriakan Lilani telah
terdengar oleh orang-orang yang berada di luar kamar sehingga kini mereka
menyerbu ke arah kamar Lilani sambil berteriak-teriak,
“Tangkap pembunuh! Tangkap
siluman perempuan...!”
Memang tadi ketika Lilani
berlari kembali ke kamarnya, kebetulan sekali ada seorang tamu yang menjenguk
dari jendelanya karena ia tertarik oleh teriakan-teriakan dua orang pemabukan
yang terpukul oleh Lilani. Maka sesudah terjadi geger, dia lalu menceritakan
pengalamannya dan kini mendengar teriakan-teriakan Lilani yang mengaku bahwa
dia yang membunuh tiga orang itu, semua orang lalu menyerbu ke arah kamar
Lilani!
Pada saat belasan orang itu
sudah berada di depan pintu kamar Lilani, mereka tiba-tiba berhenti karena
siapa orangnya yang tidak merasa gentar menghadapi seorang siluman wanita yang
dalam waktu sebentar saja sudah membunuh tiga orang laki-laki dengan keadaan
mengerikan?
“Siluman perempuan,
menyerahlah untuk kami bawa ke depan pengadilan! Apa bila kau melawan kami akan
mengeroyok dan membakarmu!” seorang di antara para penyerbu itu berteriak.
Lilani yang mendengar ini
segera bangkit berdiri, wajahnya nampak amat menyeramkan. “Akan kubunuh kalian
semua!” katanya.
Lie Siong merasa gelisah
sekali. “Lilani, jangan...” katanya.
Akan tetapi Lilani tidak
peduli dan hendak melompat menerjang keluar. Lie Siong segera mendahuluinya, cepat
mengirim serangan kilat dan robohlah gadis itu dalam pelukannya dengan tubuh
lemas tak berdaya sedikit pun juga.
“Serahkan dia kepada kami!”
terdengar teriakan berulang-ulang dari para penyerbu itu.
Lie Siong maklum bahwa mereka
itu sedang marah sekali, jadi tidak perlu bicara dengan mereka. Maka ia lalu
menyambar pakaian gadis itu, dan sekali ia berkelebat keluar pintu, ia telah
melompat keluar sambil menggendong Lilani.
Beberapa orang yang berdiri
menghalangi pintu terlempar ke kanan kiri ketika terdorong oleh sebelah
tangannya! Lie Siong tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka, dan ia
langsung memasuki kamarnya, menyambar pedang serta buntalannya, sambil dikejar
beramai-ramai oleh orang-orang itu.
Akan tetapi ketika mereka
sampai di depan kamar pemuda ini, Lie Siong telah berkelebat keluar dan
orang-orang itu hanya berdiri sambil melongo ketika melihat betapa pemuda yang
menggendong gadis itu sekali mengenjotkan tubuh, telah dapat melompat ke atas
genteng dan menghilang di dalam gelap!
Pada waktu Lie Siong melihat
betapa keadaan gadis itu makin lama semakin tidak beres pikirannya, dia menjadi
bingung sekali. Dia tidak tega dan merasa amat kasihan kepada Lilani, sungguh
pun harus dia akui bahwa dia tidak mencinta gadis ini seperti cinta Lilani
kepadanya. Dia hanya merasa kasihan dan bertanggung jawab.
Kini melihat keadaan Lilani
yang demikian, dia merasa makin kasihan. Hatinya tidak tega untuk meninggalkan
gadis ini, sungguh pun dia tahu kalau dia terus menerus berada di dekat gadis
ini, dia takkan dapat bergerak bebas. Sekarang dia hendak mencari Lo Sian untuk
bertanya tentang keadaan ayahnya, akan tetapi dengan Lilani yang sudah menjadi
gila ini di dekatnya, bagaimana ia dapat mencapai maksudnya? Untuk membiarkan
gadis ini terlepas seorang diri saja, dia juga tak sampai hati.
Akhirnya ia teringat kepada
Thian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di kota Kiciu. Bukankah dulu pendeta
gundul yang gemuk itu pernah mengobati Lo Sian? Pikiran ini membuat dia merubah
niatnya untuk ke Shaning, dan ia langsung membawa Lilani ke Ki-ciu.
Ketika ia memasuki kuil itu,
mau tak mau ia berdebar dan mukanya berubah merah. Dia teringat betapa di sini
ia bertempur melawah Lili, puteri Pendekar Bodoh itu dan betapa ia terluka
pundaknya akan tetapi berhasil merampas sebuah sepatu gadis itu yang sampai
kini masih disimpannya baik-baik di dalam kantong bajunya!
Thian Kek Hwesio menerimanya
dengan muka dan sikap ramah tamah. Hwesio ini segera mengenalnya sebagai pemuda
yang mengaku menjadi putera Lie Kong Sian, maka dia segera menyambut dengan
ucapan halus,
“Anak muda, keperluan apakah
yang membawamu datang ke tempatku yang buruk ini? Jangan kau menghunus
pedangmu, pinceng sama sekali tidak pandai melayanimu dan pinceng paling takut
melihat berkelebatnya pedang!”
Makin merah wajah Lie Siong
mendengar sindiran ini. Betapa pun kerasnya hatinya, dia masih mempunyai
perasaan juga dan kalau perlu, dia dapat menjadi seorang pemuda yang ramah
tamah, sopan santun, dan halus. Memang pemuda ini merupakan bayangan ke dua
dari sifat ibunya, Ang I Niocu, Pendekar Baju Merah yang aneh itu. Ia pun cepat
menjura dengan hormat sekali dan berkata,
“Lo-suhu, mohon kau orang tua
sudi memberi maaf sebesarnya kepada aku yang muda, kasar dan bodoh.
Kedatanganku ini tidak lain hendak mohon pertolonganmu. Sahabatku, Nona ini,
entah mengapa tiba-tiba menjadi aneh sekali dan pikirannya berubah, mohon kau
orang tua sudi mengobatinya.”
Thian Kek Hwesio memandang
kepada Lilani dengan mata tajam, sedangkan gadis itu berdiri bengong dan sama
sekali tidak melihatnya, melainkan menatap ke arah patung-patung batu sambil
melamun.
“Nona, kau kenapakah?” tanya
hwesio itu dengan suara halus, akan tetapi Lie Siong merasa kagum sekali karena
di dalam suara yang halus ini timbul pengaruh yang kuat sekali, yang dapat
membuat orang menjadi tunduk.
Mungkin dikarenakan suara ini,
atau memang jalan pikiran Lilani sedang teringat kepada kakeknya ketika melihat
betapa hwesio itu memandangnya dengan mata mengasihani, karena tiba-tiba saja
gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kemudian
Lilani berkata-kata dalam bahasa Haimi yang sama sekali tak dimengerti oleh Lie
Siong, akan tetapi ia menjadi kagum sekali karena Thian Kek Hwesio ternyata
dapat mengerti ucapan gadis ini, bahkan lalu menjawab dalam bahasa Haimi pula!
“Sicu, sahabatmu ini menderita
tekanan batin yang sangat hebat sehingga mengganggu urat syarafnya. Pinceng
tidak tahu mengapa dia mengalami kedukaan dan kekecewaan sedemikian rupa, akan
tetapi mudah sekali untuk menyembuhkannya asal saja dia mau beristirahat di
sini.”
Dengan girang sekali Lie Siong
lalu menjura dan menghaturkan terima kasih. “Lo-suhu, sesungguhnya aku
mempunyai urusan yang amat penting, maka kalau kiranya Lo-suhu sudi menolong,
aku hendak meninggalkannya untuk sementara waktu di sini.”
“Boleh saja, Sicu. Pinceng
percaya bahwa kau tentu kelak akan datang mengambilnya kembali setelah dia
menjadi sembuh. Pinceng merasa bahwa gadis ini tak dapat ditinggal begitu saja
olehmu.”
“Tentu, Lo-suhu. Aku takkan
pergi lama dan pasti akan kembali mengambil Lilani, karena memang tujuan kami
hendak ke utara.”
“Pinceng percaya penuh kepada
omongan putera Lie Kong Sian Taihiap.”
Lie Siong memandang dengan
penuh terima kasih, kemudian ia pun menghampiri Lilani. “Lilani, harap kau
beristirahat di sini dulu dan aku akan kembali mengambilmu lagi apa bila
urusanku sudah selesai.”
Akan tetapi gadis itu tidak
menjawabnya, hanya berkata-kata dalam bahasa Haimi yang tidak dimengerti oleh
Lie Siong. Akan tetapi Thian Kek Hwesio terharu ketika mendengar gadis itu
berkata, “Taihiap, hanya engkau seorang yang kucinta, dan aku akan menurut
segala kata-katamu.”
Ucapan yang tak dimengerti
oleh Lie Siong akan tetapi dapat dimengerti baik oleh hwesio ini membuat Thian
Kek Hwesio dapat menduga bahwa gadis ini tentulah sudah menderita asmara tak
terbalas! Lie Siong lalu meninggalkan kuil dan segera menuju ke Shaning.
Demikianlah, pada malam hari
itu, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Lie Siong melompat ke atas
wuwungan rumah keluarga Pendekar Bodoh. Siangnya dia telah mendapat keterangan
bahwa Lo Sian masih tinggal di rumah Sie Cin Hai dan bahwa Pendekar Bodoh
beserta isterinya tidak berada di rumah. Yang ada hanya Lo Sian dan Lili,
puteri Pendekar Bodoh.
Hal ini menggirangkan hatinya,
karena betapa pun juga, Lie Siong merasa gentar juga menghadapi Pendekar Bodoh
suami isteri. Kepandaian puterinya saja sudah sedemikian hebat, apa lagi
mereka!
Ia sama sekali tidak mengira
bahwa kedatangannya pada malam hari itu kebetulan sekali bertepatan dengan
kedatangan seorang pemuda lain, yakni Song Kam Seng! Berbeda dengan Lie Siong,
maksud kedatangan ini adalah hendak membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!
Akan tetapi dengan kecewa Kam
Seng mendengar keterangan bahwa Pendekar Bodoh dan isterinya sedang keluar
kota, maka dia lalu datang dengan maksud mencuri pedang Liong-cu-kiam, pedang
yang dulu telah mengalahkan mendiang ayahnya, Song Kun!
Kedatangan Kam Seng di malam
hari itu lebih dulu dari Lie Siong. Kam Seng langsung masuk ke dalam dan berhasil
mencari kamar Pendekar Bodoh yang digeledahnya, akan tetapi dia tidak dapat
menemukan pedang itu karena pedang itu dibawa oleh Pendekar Bodoh.
Ada pun Lie Siong yang masuk
dari kebun belakang, melihat tiga orang pelayan yang cepat ditotoknya sehingga
mereka itu tidak berdaya lagi. Kemudian pemuda ini melayang naik ke atas loteng
ketika dia melihat berkelebatnya bayangan Lili yang mencari-cari di luar rumah!
Saat yang baik itu merupakan kesempatan baginya. Ia merobohkan Lo Sian dengan
totokan dan membawa orang tua itu melompat turun.
Akan tetapi, tiba-tiba ia
mendengar seruan perlahan,
“Bangsat, jangan kau berani
menculik Suhu!” Tiba-tiba sesosok bayangan yang cukup gesit telah menyerangnya
dari samping.
Lie Siong menjadi kaget dan
juga heran. Siapakah adanya pemuda yang menjadi murid Lo Sian ini? Dia cepat
mengelak dan meloncat jauh, kemudian melarikan diri dengan ilmu lari cepatnya,
akan tetapi ternyata bahwa ilmu lari larinya hanya menang sedikit saja dari
pemuda yang mengejarnya itu. Mudah saja kita menduga bahwa pemuda ini bukan
lain adalah Song Kam Seng yang juga sudah keluar dari gedung itu dengan tangan
hampa.
Melihat pengejarnya juga mampu
berlari cepat, Lie Siong lalu menyembunyikan Lo Sian yang tidak dapat bergerak
itu di dalam serumpun tetumbuhan, kemudian dia keluar dan menghampiri Song Kam
Seng. Tanpa banyak cakap lagi keduanya lantas bertempur dan ternyata kepandaian
mereka berimbang.
Harus diketahui bahwa Song Kam
Seng sekarang bukan seperti dulu ketika ia dikalahkan oleh Lili. Kam Seng telah
melatih diri dengan hebat dan tekunnya, telah banyak mewarisi kepandaian Wi
Kong Siansu, maka tidak mudah bagi Lie Siong untuk mengalahkannya.
Dan ketika mereka bertempur
dengan serunya, datanglah Lili yang mengejar. Keduanya takut kepada gadis ini,
bukan takut kalah bertempur, akan tetapi Lie Siong tidak mau usahanya membawa
Lo Sian akan terganggu, ada pun Song Kam Seng betapa pun juga tidak mau
bertempur dengan gadis yang lihai dan yang dicintainya ini. Maka keduanya lalu
berlari dan kebetulan sekali Lili mengejar Kam Seng, mendiamkan Lie Siong yang
dengan enaknya lalu dapat membawa lari Lo Sian!
Demikianlah, seperti sudah
kita ketahui, Lili menjadi bingung dan sedih sekali. Ketika ia mendengar
keterangan para pelayannya yang dibuat tak berdaya oleh totokan Lie Siong,
barulah gadis ini dapat menduga bahwa yang datang di rumahnya malam itu adalah
dua orang, yaitu Kam Seng dan Lie Siong!
Tak salah lagi, pikirnya, yang
mencuri Lo-pek-hu tentulah manusia kurang ajar yang dulu mengaku putera Ang I
Niocu itu! Ia setengah dapat menduga bahwa penculikan ini tentu ada hubungannya
dengan ucapan Lo Sian mengenai kematian Lie Kong Sian. Rupanya ucapan itu ada
betulnya dan kini pemuda yang mengaku putera Lie Kong Sian itu tentu menculik
Lo Sian untuk mendapat keterangan tentang ayahnya.
Hanya perbuatan Kam Seng yang
membongkar kamar dan membuka lemari ayahnya itu masih membingungkannya.
Munculnya Kam Seng di malam hari di rumahnya tidak aneh, karena memang pemuda
itu pernah mengancam hendak membalas dendam terhadap ayahnya, akan tetapi
mengapa pemuda itu membongkar-bongkar lemari seperti seorang maling biasa?
Benar-benar ia tidak mengerti.
Pada keesokan harinya, Lili
lalu menyerahkan perawatan rumah kepada para pelayan, sedangkan ia sendiri lalu
pergi menyusul orang tuanya di Tiang-an. Tak enak ia berdiam di rumah saja,
maka sambil mencoba untuk mengejar ‘pemuda kurang ajar’ yang sudah menculik Lo
Sian, dia menuju ke Tiang-an untuk menyusul ayah-bundanya dan memberi laporan
tentang terjadinya peristiwa itu…..
********************
Mari kita mengikuti perjalanan
Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dengan Lin Lin isterinya yang menuju ke
Tiang-an untuk mengunjungi Kwee An dan Ma Hoa untuk membicarakan tentang
perjodohan putera mereka.
Mereka melakukan perjalanan
berkuda dan seperti biasa, Lin Lin amat gembira di dalam perjalanan itu
sehingga suaminya sering kali memandang dengan kagum karena merasa seakan-akan
isterinya ini masih seperti dulu saja! Baginya, Lin Lin sampai sekarang tidak
berubah, masih seperti Lin Lin pada waktu remaja puteri, lincah dan jenaka.
Pada suatu hari, ketika
sepasang suami isteri pendekar ini berada di sebelah selatan kota Tiang-an,
kurang lebih tiga puluh lie lagi dari Tiang-an, dan mereka sedang menjalankan
kuda dengan cepatnya, tiba-tiba pada sebuah tikungan jalan, hampir saja kuda
mereka beradu dengan seekor kuda yang dilarikan cepat dari depan!
Penunggang kuda itu seorang
pemuda yang tampan dan gagah, cepat menarik kendali kudanya dan sambil
mengeluarkan suara keras, kudanya yang besar itu berhenti dengan tiba-tiba,
mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik!
Pemuda ini adalah Kam Liong,
panglima muda yang sedang menuju ke selatan untuk mengadakan pemeriksaan pada
penjagaan di selatan, serta sekaligus hendak singgah di Shaning untuk
mewartakan kepada Pendekar Bodoh tentang mala petaka yang menimpa diri
puteranya.
Kam Liong membelalakkan
matanya dan tadinya dia hendak marah terhadap dua orang penunggang kuda itu,
akan tetapi akhirnya dia menjadi heran dan terkejut sekali betapa dua orang
penunggang kuda itu pun dapat menghentikan kuda mereka dengan tiba-tiba dan
tenang saja, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.
Ia sendiri yang terkenal
sebagai seorang ahli penunggang kuda hanya bisa menghentikan larinya kuda dengan
kekerasan sampai kudanya merasa sakit pada hidungnya sehingga
berjingkrak-jingkrak, akan tetapi bagaimanakah dua orang itu demikian tenang
dan kuda mereka berhenti seakan-akan empat kaki kuda mereka tiba-tiba berakar
pada tanah?
Dia dapat menduga bahwa dua
orang yang nampaknya gagah ini tentulah orang-orang berkepandaian tinggi, maka
cepat Kam Liong melompat turun dari kudanya dan menjura dengan hormatnya.
“Harap Ji-wi sudi memberi maaf
kepada siauwte kalau siauwte mendatangkan kekagetan kepada Ji-wi.”
“Siapa yang kaget?” Lin Lin
menjawab sambil tersenyum manis karena dia merasa suka kepada pemuda yang
nampak sopan ini. “Kalau ada yang kaget, agaknya kudamu itulah yang kaget.”
Merah muka Kam Liong mendengar
ucapan nyonya setengah tua yang cantik itu. Walau pun nyonya itu mengatakan
bahwa yang kaget adalah kudanya, akan tetapi tentu mereka itu telah melihat
bahwa yang kaget sebenarnya adalah dia sendiri!
“Siauwte she Kam bernama
Liong,” ia memperkenalkan diri, “karena siauwte mempunyai urusan penting, maka
buru-buru membalapkan kuda. Sungguh sangat hebat kepandaian Ji-wi menunggang
kuda, benar-benar membuat siauwte tunduk sekali.”
Cin Hai dan Lin Lin memandang
tajam. Jadi inikah pemuda putera Panglima Hong Sin seperti yang telah
diceritakan oleh Lili itu? Tentu saja mereka tidak menduga sama sekali oleh
karena Kam Liong memang selalu berpakaian biasa saja apa bila sedang melakukan
pemeriksaan.
“Kaukah putera dari Panglima
Kam Hong Sin?” tanya Cin Hai tiba-tiba dengan langsung, sesuai dengan wataknya
yang jujur.
Kam Liong tertegun. “Benar,
Lo-enghiong, tidak tahu siauwte sedang berhadapan dengan siapakah?”
“Ayahmu adalah seorang yang
jujur dan baik,” kata Cin Hai tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu, “kami kenal
baik dengan ayahmu itu. Sayang kami belum dapat bertemu lagi sebelum dia gugur
dalam peperangan.”
Kam Liong memandang semakin
tajam dan tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Cepat dia mengerling ke arah
nyonya itu, dan sekilas melihat saja maka lenyaplah keraguannya. Wajah nyonya
itu sama benar dengan wajah Lili, gadis yang dirindukannya!
Dengan hati berdebar gembira
dia menjura lagi sambil berkata, “Salahkah kalau siauwte mengatakan bahwa
Sie-taihiap, Pendekar Bodoh yang terhormat bersama dengan isteri yang siauwte
hadapi ini?”
“Pandangan matamu tajam juga,
orang muda. Kau tidak menduga salah,” jawab Lin Lin.
Mendadak Kam Liong menjatuhkan
diri berlutut di atas tanah. Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan senyum
di bibir, kemudian terpaksa mereka pun melompat turun dari kuda. Cin Hai cepat
memegang pundak Kam Liong untuk mengangkatnya bangun.
Pemuda ini amat cerdik. Dia
tertarik oleh Lili dan ingin sekali meminang gadis itu menjadi isterinya, maka
kini bertemu dengan orang tua gadis itu, cepat ia memberi hormat. Ketika merasa
betapa kedua tangan Cin Hai menyentuh pundaknya, Kam Liong secara sengaja
mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) supaya dapat
memperlihatkan kemampuannya.
Akan tetapi, alangkah kagetnya
saat pundaknya yang tadinya dikeraskan dengan tenaga Jeng-king-kang itu begitu
tersentuh dan tertekan oleh jari-jari tangan Cin Hai, mendadak tenaganya lenyap
sama sekali dan tubuhnya berubah menjadi lemas hingga dia terpaksa menurut saja
ketika dia diangkat bangun.
“Mohon ampun sebanyaknya bahwa
siauwte yang bodoh bermata buta, tidak melihat dan mengenal pendekar-pendekat
besar! Sebenarnya pertemuan ini sangat membahagiakan hatiku, karena
sesungguhnya siauwte memang hendak pergi ke Shaning ingin bertemu dengan
Ji-wi.”
“Ada keperluan apakah Ciangkun
hendak bertemu dengan kami?” tanya Cin Hai sambil memandang dengan penuh
perhatian, karena sesungguhnya ia tidak begitu suka untuk berhubungan dengan
segala perwira atau panglima kerajaan. Hatinya masih terluka oleh sepak terjang
para perwira kerajaan yang banyak menyusahkan hidupnya pada waktu ia muda dulu.
Akan tetapi, hati Lin Lin
sudah tertarik oleh kesopanan pemuda ini. Biar pun dia memiliki kedudukan
tinggi, akan tetapi pandai sekali membawa diri, tidak sombong dan bersikap
sopan santun. Bagi para pembaca yang sudah pernah membaca cerita Pendekar
Bodoh, tentu masih ingat bahwa Lin Lin sendiri adalah puteri dari seorang
perwira, maka tentu saja dia tidak merasakan ketidak sukaan terhadap kaum
perwira seperti yang dirasakan oleh suaminya.
“Tentu ada keperluan yang amat
penting sehingga Ciangkun sampai meninggalkan kota raja untuk mencari kami,”
kata Lin Lin dengan suara lebih halus.
“Sesungguhnya, siauwte membawa
berita yang amat penting mengenai keadaan putera Ji-wi, yaitu Sie Hong Beng.”
“Dia di mana? Apa yang terjadi?”
Lin Lin mendesak dengan muka berubah mengandung kekuatiran.
Sudah lajimnya para lbu selalu
menguatirkan keadaan puteranya. Cin Hai tetap tenang saja dan hanya sinar
matanya yang mendesak kepada Kam Liong supaya cepat-cepat menceritakan apa yang
telah terjadi atas diri Hong Beng.
Kam Liong lalu menuturkan
dengan sejelasnya betapa Goat Lan dan Hong Beng dengan cara kekerasan telah
berhasil menolong Putera Mahkota, dan betapa kemudian Goat Lan diberi karunia,
diangkat menjadi selir pertama untuk Putera Mahkota yang ditolak dengan tegas
oleh Giok Lan sehingga gadis itu dihukum buang ke utara dan dikawani oleh Hong
Beng! Tentu saja ia tidak lupa untuk menuturkan betapa ia telah menyusul kedua
orang muda itu dan memberi kuda serta memberi petunjuk.
“Siauwte sudah memberi tahu
kepada Saudara Hong Beng dan Nona Kwee agar supaya mereka dan para pengawal
mereka mengambil kedudukan di lereng Gunung Alkata-san, di mana siauwte dahulu
mempunyai sebuah benteng yang cukup baik kedudukannya dan kuat. Bila sudah selesai
tugas siauwte ke selatan, siauwte juga akan memimpin pasukan ke utara. Hal ini
penting sekali karena bukan hanya bangsa Tartar saja yang mengacau, akan tetapi
ada desas-desus yang mengabarkan bahwa kini bangsa Mongol di utara di bawah
pimpinan raja mereka, Malangi Khan, juga hendak menyerbu ke selatan!”
Mendengar penuturan pemuda
ini, Cin Hai hanya menggigit bibirnya, akan tetapi Lin Lin membanting-banting
kedua kakinya dengan gemas.
“Kaisar bu-to (tiada pribudi)!
Sudah ditolong nyawa anaknya, masih tidak berterima kasih, bahkan hendak
menjadikan calon mantuku sebagai selir Putera Mahkota! Dia kira orang macam
apakah Goat Lan itu? Sungguh tak tahu membedakan orang!”
Kam Liong adalah seorang
panglima muda yang mempunyai kesetiaan terhadap Kaisar, seperti ayahnya dahulu.
Oleh karena itu, mendengar betapa Lin Lin memaki Kaisar, dia menjadi tidak
senang juga. Ia pun terkejut mendengar bahwa Goat Lan adalah tunangan Hong Beng
sebagaimana baru saja disebut oleh Lin Lin bahwa Goat Lan adalah calon
mantunya. Untuk membela nama Kaisar, Kam Liong berkata,
“Sayang sekali bahwa Nona Kwee
Goat Lan atau Saudara Sie Hong Beng tidak berterus terang saja kepada
Hong-siang bahwa mereka berdua sudah bertunangan. Kalau Kaisar mengetahui akan
hal ini, siauwte merasa pasti Nona Kwee tak akan dipaksa menjadi selir Putera
Mahkota. Sebenarnya, menjadi selir pertama dari Putera Mahkota adalah suatu
kehormatan yang tinggi sekali, karena siapa tahu kalau Putera Mahkota kelak
menjadi kaisar dan selir pertama sangat dicintanya, wanita itu mempunyai
harapan untuk menjadi permaisuri? Dengan penolakan Nona Kwee, penolakan secara
langsung di hadapan para menteri serta pembesar tinggi, sudah tentu saja Kaisar
merasa terhina sekali sehingga menjatuhkan hukum buang. Siauwte menjelaskan hal
ini supaya Ji-wi tidak menjadi salah mengerti.”
Cin Hai dan Lin Lin
mengangguk-angguk, bahkan Cin Hai lalu menarik napas panjang dan berkata,
“Semenjak dahulu sampai
sekarang, selalu kaum bangsawan dan pembesar mempunyai kekuasaan dan kebenaran
tersendiri, tanah yang mereka injak pun berada di atas kepala rakyat kecil!”
“Kita harus menyusul Beng-ji
ke utara!” kata Lin Lin. “Baiknya kita memberi tahu kepada Engko An dan Enci Ma
Hoa tentang hal ini. Mereka juga berhak mendengar berita perihal puteri mereka.”
“Ke utara bukan tempat dekat
dan tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek. Kalau kita langsung ke sana,
bagaimana dengan Lili? Apakah dia takkan gelisah dan menanti-nanti kita?” kata
Cin Hai. Kedua suami-isteri ini dalam ketegangannya sampai lupa bahwa di situ
masih ada Kam Liong yang diam-diam mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Maaf, Ji-wi harap jangan
mengira siauwte hendak kurang ajar. Akan tetapi sesungguhnya perjalanan siauwte
ke selatan akan melalui Shaning. Jika kiranya Ji-wi tak berkeberatan, siauwte
dapat menyampaikan berita ini ke rumah ji-wi, karena siauwte pernah mendapat
kehormatan bertemu dengan puteri Ji-wi.”
Cin Hai mengerutkan keningnya,
akan tetapi Lin Lin menjawab dengan girang,
“Bagus, kau baik sekali,
Ciangkun. Lili juga telah menceritakan pertemuannya denganmu. Baiklah, apa bila
kau melalui Shaning, tolong kau beritahukan kepada puteri kami bahwa kami
mungkin akan terus ke utara untuk menyusul Hong Beng.”
Kam Liong merasa girang
sekali, akan tetapi dia tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya,
hanya menyatakan kesanggupannya dengan sikap sopan. Mereka lalu berpisah, kedua
suami-isteri pendekar itu cepat mengaburkan kudanya ke Tiang-an, ada pun Kam
Liong dengan hati girang lalu menuju ke Shaning.
Ketika tiba di halaman depan
rumah gedung yang ditinggali oleh Kwee An di Tiang-an, seorang pelayan tua yang
segera mengenal mereka cepat menyambut dan memegang kendali kuda mereka untuk
dibawa ke kandang kuda.
“Selamat datang, Sie-taihiap
berdua, selamat datang!” katanya girang.
Terdengar suara teriakan
girang dan nampak seorang anak laki-laki yang bermuka putih dan bundar berusia
kurang lebih sembilan tahun berlari keluar dari pintu depan.
“Kouw-kouw dan Kouw-thio
datang...!” serunya.
“Cin-ji (Anak Cin), engkau
sudah besar sekarang!” seru Lin Lin yang segera menyambut anak itu dengan kedua
tangan terbuka. Dipeluknya Kwee Cin, anak ke dua dari Kwee An dan Ma Hoa dengan
girang.
Pada waktu Cin Hai memeluknya
pula, anak itu berbisik kepadanya, “Kouw-thio (Paman, suami Bibi), kapan kau
mau mengajarku Liong-cu Kiam-sut?”
Cin Hai tertawa. Ketika anak
ini baru berusia lima tahun, anak ini telah pula mengajukan permintaan untuk
belajar ilmu pedang darinya. Dan sekarang anak ini menanyakan hal itu pula,
sungguh seorang anak yang teguh kehendaknya.
“Bukankah ilmu pedang ayahmu
juga bagus sekali? Dan ilmu bambu runcing ibumu tiada keduanya di dunia ini!”
kata Cin Hai.
Kwee Cin berkata bangga,
“Memang ilmu bambu runcing Ibu tidak ada bandingannya di atas dunia ini, akan
tetapi kata Ayah, dalam hal ilmu pedang, tak ada yang melebihi Ilmu Pedang
Liong-cu Kiam-sut dari Kouw-thio!”
“Baiklah, Cin-ji, kelak kalau
ada waktu, kau boleh mempelajari ilmu pedang dariku.”
Kwee Cin menjadi girang sekali
dan ia lalu menarik tangan bibi dan pamannya itu, diajak masuk ke dalam rumah.
Akan tetapi, sebelum mereka melangkah ke ambang pintu, dari dalam keluarlah
Kwee An dan Ma Hoa dengan wajah girang sekali. Kedua suami isteri ini telah
mendengar dari pelayan akan kedatangan kedua orang tamu dari Shaning ini.
Mereka segera bercakap-cakap
dengan gembira sekali, akan tetapi kegembiraan mereka itu tidak berlangsung
lama, terutama bagi pihak tuan rumah. Ketika Lin Lin menceritakan lagi
penuturan Kam Liong mengenai peristiwa yang terjadi di istana kaisar dan
hukuman yang dijatuhkan Kaisar kepada Goat Lan, wajah Ma Hoa menjadi pucat.
Seperti juga suaminya, Ma Hoa
juga puteri seorang perwira, maka ia tahu betul akan arti semua peristiwa ini.
“Keputusan Kaisar tidak dapat
diubah. Tidak ada jalan lain, kita harus menyusul ke utara untuk membantu tugas
yang diberikan kepada anak kita!” kata Ma Hoa sesudah dapat menenteramkan
hatinya dari berita mengejutkan ini.
“Memang kami berdua pun telah
mengambil keputusan hendak menyusul ke sana,” kata Lin Lin yang kemudian
menceritakan bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah mendapat pertolongan Kam Liong
bahkan telah diberi nasehat untuk menempati bekas benteng di lereng Bukit
Alkata-san.
“Biar aku saja yang pergi
bersama Lin Lin dan Cin Hai,” kata Kwee An kepada isterinya. “Kita tidak dapat
pergi berdua meninggalkan Cin-ji seorang diri di rumah. Begitu banyak
orang-orang jahat sedang memusuhi kita, maka tidak baik kalau rumah
ditinggalkan, apa lagi jika meninggalkan Cin-ji seorang diri tanpa ada yang
menjaganya.”
“Ayah, aku juga mau pergi! Aku
mau ikut pergi menyusul Enci Lan dan membantu dia menghancurkan para pengacau
yang mengganggu orang-orang di daerah perbatasan!” tiba-tiba Kwee Cin berkata
dengan penuh semangat. Anak ini nampak lucu sekali, kedua tangannya dikepal dan
sepasang matanya bersinar-sinar!
“Tidak boleh, sama sekali
tidak boleh!” ayahnya berkata. “Perjalanan ke utara bukanlah perjalanan mudah.
Kau tinggal di rumah dengan ibumu!”
Kwee Cin tampak murung, akan
tetapi Ma Hoa yang dapat merasakan kebenaran ucapan suaminya ini, lalu
menghibur puteranya dan berkata, “Ayahmu berkata benar, Cin-ji. Kau tak boleh
ikut dan kita berdua tinggal di rumah menjaga kalau-kalau ada musuh datang.”
“Kalau ada musuh datang,
jangan sembunyikan aku di dalam kamar, Ibu. Biarkan aku ikut menghadapi
mereka!”
Sesudah ibunya menyanggupi,
barulah Kwee Cin tidak murung lagi. Cin Hai dan Lin Lin hanya bermalam satu
malam saja di rumah Kwee An, dan pada keesokan harinya, Kwee An, Cin Hai dan
Lin Lin berangkat naik kuda menuju ke utara…..
********************
Kam Liong yang merasa senang
sekali, membalapkan kudanya menuju ke kota Shaning. Ia merasa amat bahagia,
karena dapat bertemu dengan Pendekar Bodoh dan isterinya dan bisa membantu
mereka. Tak dapat tidak, dia tentu telah mendatangkan kesan baik di dalam hati
mereka. Akan lebih licinlah jalan menuju kepada cita-citanya, yaitu melakukan
pinangan terhadap Lili. Dan sekarang ia bahkan telah mendapat perkenan mereka
untuk menyampaikan berita tentang Hong Beng dan tentang kedua suami isteri itu
kepada Lili, gadis yang membuatnya tidak nyenyak tidur setiap malam.
Akan tetapi, ketika ia
teringat akan sesuatu, tak terasa pula ia menahan lari kudanya. Ia duduk di
atas kuda yang kini tak lari lagi itu dengan bengong dan wajahnya menjadi amat
muram. Bagaimana kalau ternyata bahwa Lili juga telah ditunangkan dengan lain
orang? Seperti halnya Hong Beng dan Goat Lan, tanpa ia duga mereka ini sudah
bertunangan! Siapa tahu kalau-kalau Lili juga sudah ditunangkan! Tidak, tidak,
tidak mungkin! Ia cepat membantah jalan pikirannya sendiri dan kembali ia
mengaburkan kudanya.
Ketika ia memasuki kota
Shaning, tiba-tiba ia melihat seorang gadis berjalan seorang diri dari depan.
Ia menjadi terkejut dan juga girang karena ia mengenal gadis itu yang bukan lain
adalah Lili yang berjalan sambil menggendong buntalan, ada pun gagang pedangnya
nampak pada balik punggungnya. Meski pun gadis itu berada di tempat yang jauh,
sekali melihat bayangannya saja, Kam Liong akan mengenalnya!
Ia cepat melompat turun dari
kudanya dan kini ia berjalan kaki sambil menuntun kuda, menyongsong kedatangan
Lili. Gadis ini pun ternyata sudah mengenalinya, maka segera menghampirinya.
Lili bukan seorang gadis pemalu dan dia ramah tamah pula. Panglima muda ini
telah berlaku ramah kepadanya, bahkan telah memberi surat tentang kakaknya,
maka tidak dapat dia membiarkan pemuda itu berlalu begitu saja. Sesudah
berhadapan keduanya saling memberi hormat sambil menjura.
“Sie-siocia (Nona Sie),
sungguh kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini! Aku sedang menuju ke
rumahmu untuk menyampaikan pesan orang tuamu!”
Lili tertegun. Bagaimana ayah
bundanya dapat menyampaikan pesan kepadanya melalui Panglima Muda ini? Akan
tetapi, setelah membalas penghormatan pemuda itu ia berkata,
“Di manakah kau berjumpa
dengan ayah ibuku, Kam-ciangkun?”
“Di luar kota Tiang-an. Akan
tetapi, marilah kita duduk di sana karena ceritaku panjang, Nona.” Kam Liong
menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang berada di pinggir jalan, maka Lili
lalu mengikuti pemuda ini ke tempat itu.
Setelah mengikat kudanya pada
akar pohon dan membiarkan binatang itu makan rumput di bawah pohon, Kam Liong
lalu mengajak gadis itu duduk di atas batu besar dan dia pun mulai menceritakan
semua hal yang telah terjadi. Ia menuturkan tentang Goat Lan dan Hong Beng,
kemudian menuturkan pula tentang pertemuannya dengan Pendekar Bodoh dan
isterinya.
“Kalau begitu, ayah dan ibuku
telah berangkat dan menyusul ke utara, Kam-ciangkun?”
Kam Liong mengangguk. “Mungkin
ayah bundamu telah pergi dengan Kwee Lo-enghiong, karena menurut mereka,
sebelum berangkat hendak pergi ke Tiang-an mengajak orang tua gagah she Kwee
itu.”
Lili nampak kecewa. “Ahh,
kalau begitu mereka tentu telah berangkat. Aku harus segera menyusul mereka ke
utara! Ahh, kasihan sekali Engko Hong Beng dan Enci Goat Lan!” Kemudian ia
bangkit berdiri, menjura kepada Kam Liong dan berkata,
“Kam-ciangkun, banyak terima
kasih untuk semua jerih payahmu menyampaikan berita penting ini kepadaku. Aku
harus berangkat sekarang juga untuk menyusul mereka di utara!”
“Nanti dulu, Nona Sie.
Ketahuilah bahwa aku sendiri pun hendak memimpin pasukan menuju ke utara. Aku
telah berjanji kepada kakakmu untuk membantu mereka menghalau para pengacau dan
membuat penjagaan kuat di perbatasan utara untuk menolak bahaya yang datang
dari pihak Mongol. Perjalanan ke utara bukanlah perjalanan mudah, selain di
daerah itu amat tidak aman dan banyak sekali penjahat, juga bagi yang belum
pernah melakukan perantauan ke daerah itu, akan sukar mencari jalan ke
Alkata-san. Tentu saja aku percaya penuh bahwa kau tak akan gentar menghadapi
para penjahat, akan tetapi, kalau kau sudi, lebih baik kau melakukan perjalanan
bersama aku dan pasukanku. Selain tidak membuang banyak waktu untuk
mencari-cari, juga di tempat berbahaya itu lebih baik berkawan dari pada
seorang diri saja. Daerah itu amat dingin dan kalau sampai kau terserang hawa
dingin kemudian jatuh sakit, siapakah yang akan menolongmu? Dengan bergabung,
kita lebih kuat menghadapi bahaya. Tentu saja aku tidak memaksamu, yakni kalau
kau sudi melakukan perjalanan dengan orang bodoh seperti aku ini.”
Lili berpikir sejenak.
Panglima Muda ini cukup sopan dan pemurah, juga seorang kawan seperjuangan yang
tidak menjemukan. Dan dia sudah banyak menolongnya, maka apa salahnya melakukan
perjalanan bersama? Kalau dipikir-pikir memang betul juga ucapan Panglima Muda
ini, karena bukankah Sin Kong Tianglo, guru dari Goat Lan yang sangat sakti pun
terkena bencana di daerah dingin itu? Selain dari pada semua itu, dia masih
ingin banyak bertanya kepada panglima ini, baik mengenai pengalaman Goat Lan
dan Hong Beng, mau pun penjelasan tentang isi suratnya dahulu, yaitu surat dari
Kam Liong yang memberitahukan bahwa kakaknya telah menjadi orang buruan!
“Baiklah, Kam-ciangkun, dan
untuk kedua kalinya, terima kasih atas kebaikan hatimu.”
Kam Liong merasa girang
sekali, seakan-akan kejatuhan bulan. Akan tetapi tentu saja ia tak mengutarakan
kegirangannya ini, hanya nampak senyumnya melebar dan wajahnya berseri.
“Marilah kita ke kota Shaning
dulu, Nona. Aku perlu memberi pesan kepada pembesar di Shaning agar pekerjaanku
memeriksa penjagaan di selatan dapat diwakili oleh seorang perwira lain.”
Demikianlah, kedua orang muda
ini masuk kota Shaning dan Kam Liong cepat memberi perintah pada pembesar setempat
untuk menyampaikan surat-surat perintahnya kepada komandan barisan yang menjaga
di daerah selatan. Ketika melihat tanda pangkat yang dikeluarkan oleh Kam
Liong, pembesar itu segera menghormatinya sebagai seorang panglima kerajaan
yang berkedudukan tinggi. Pemuda ini lalu meminta seekor kuda yang baik untuk
Lili, dan pada hari itu juga, berangkatlah keduanya keluar dari kota Shaning,
langsung menuju ke utara!
Sungguh sangat sedap dipandang
melihat sepasang orang muda ini membalapkan kuda mereka. Yang laki-laki muda,
tampan, dan gagah sekali. Yang wanita cantik jelita dan juga amat gagah. Mereka
seakan-akan merupakan dua orang pembalap yang melarikan kuda untuk berlomba.
Diam-diam Kam Liong makin
merasa kagum kepada Lili yang ternyata selain memiliki kepandaian tinggi, juga
pandai sekali naik kuda. Ingin sekali dia menyaksikan sampai di mana ketinggian
ilmu kepandaian puteri dari Pendekar Bodoh ini. Dia telah menyaksikan
kepandaian Hong Beng dan merasa kagum sekali. Apakah Lili juga sepandai
kakaknya?
Di sepanjang jalan, Kam Liong
selalu disambut dengan penuh penghormatan oleh para perwira dan pembesar
setempat sehingga diam-diam Lili juga mengagumi pemuda yang masih muda sudah
menduduki tempat tinggi ini. Juga Kam Liong selalu memperlihatkan sikap sopan
santun, jauh sekali bedanya dengan pemuda kurang ajar yang dulu mencuri
sepatunya itu! Lebih-lebih kalau ia teringat betapa pemuda kurang ajar itu
telah menculik Lo Sian, makin gemaslah hatinya!
Pada saat Kam Liong ditanya
oleh Lili mengenai pengalaman Goat Lan dan Hong Beng, Panglima Muda ini lalu
menceritakannya dengan sejelasnya, diiringi dengan pujian-pujian kepada Goat
Lan dan Hong Beng sehingga Lili makin suka kepada pemuda ini.
“Dan ketika aku melihatmu, kau
nampak murung. Sebenarnya, kalau boleh kiranya aku mengetahui, kau sedang
menuju ke manakah, Nona?”
Apa bila pertanyaan ini
diajukan oleh Kam Liong pada saat mereka bertemu, belum tentu Lili mau
menceritakannya. Akan tetapi oleh karena gadis ini melihat betapa Kam Liong
sungguh-sungguh seorang pemuda yang baik, gagah, dan boleh dijadikan kawan, ia
lalu berkata sambil menarik napas panjang.
“Ahh, di rumah telah terjadi
peristiwa yang cukup menggemparkan dan membingungkan hatiku.”
Kam Liong segera memandang
dengan penuh perhatian. “Apakah yang terjadi, Nona? Siapa kiranya orang gila
yang berani main-main di rumah orang tuamu?”
“Ada orang jahat yang telah
menculik Sin-kai Lo Sian bekas suhu-ku.”
“Apa...? Kau maksudkan Sin-kai
Lo Sian, orang tua gagah yang kujumpai bersamamu dulu, orang tua yang
menuliskan kata-kata bersemangat di dinding makam panglima itu?”
Lili mengangguk. “Benar, dia
yang diculik orang.”
Ia lalu menuturkan peristiwa
yang terjadi di rumahnya, betapa seorang pemuda bernama Song Kam Seng masuk ke
dalam rumah seperti maling dan betapa tahu-tahu Lo Sian telah lenyap. Ia tidak
menceritakan kepada Kam Liong bahwa ia tahu siapa penculik itu. Hatinya segan
menuturkan siapa adanya orang yang menculik Lo Sian, karena kalau memang betul
pemuda kurang ajar itu adalah putera Ang I Niocu, bukankah itu berarti ia
memburukkan nama Ang I Niocu yang amat dikasihi oleh ayah bundanya?
Kam Liong menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Aneh sekali. Orang yang bernama Song Kam Seng itu, mengapa dia
masuk rumah seperti pencuri? Apakah yang dicurinya?”
“Entahlah, hanya kutahu bahwa
dia menaruh hati dendam terhadap ayah, dan rupanya karena ayah tidak berada di
rumah dia hendak mencuri sesuatu.”
“Yang lebih aneh lagi adalah
lenyapnya Sin-kai Lo Sian. Siapa orangnya yang berani dan dapat menculiknya?
Dia adalah seorang tua yang memiliki kepandaian tinggi, bagaimana bisa diculik
begitu saja? Aku masih meragukan apakah betul-betul diculik orang. Siapa tahu
kalau memang dia sengaja pergi? Orang-orang kang-ouw memang banyak yang
mempunyai watak aneh,” kata- pemuda itu.
Setelah diam sejenak, Lili
teringat akan surat dulu itu, maka tanyanya, “Dan sekarang, Kam-ciangkun,
maukah kau menjelaskan isi suratmu kepadaku dahulu itu? Kesalahan apakah yang
telah diperbuat oleh kakakku Hong Beng sehingga kau menyatakan bahwa dia
menjadi orang buruan?”
Merahlah wajah Kam Liong
mendengar pertanyaan ini. “Aku telah salah sangka, Nona. Ketika itu, aku memang
mengira bahwa pemuda itu putera Pendekar Bodoh, karena dia pandai sekali dan
dia dapat mainkan ilmu-ilmu silat yang menjadi kepandaian ayahmu. Akan tetapi
ketika aku bertemu dengan Saudara Hong Beng barulah aku tahu bahwa sesungguhnya
pemuda itu bukanlah putera ayahmu.” Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan
Lie Siong ketika Lie Siong menolong Lilani dari tangan Gui Kongcu.
Mendengar penuturan ini,
diam-diam Lili merasa dadanya tidak enak sekali. Hemm, tidak tahunya ‘pemuda
kurang ajar’ yang telah merampas sepatunya itu telah menolong gadis cantik yang
dulu dilihatnya mengejar-ngejar pemuda itu dan agaknya hubungan mereka menjadi
demikian eratnya sehingga mereka tidak dapat berpisah lagi!
Mendengar penuturan Kam Liong
bahwa pemuda yang disangka saudaranya itu memiliki pedang yang berbentuk naga
dan lidah merah dari pedang naga itu lihai sekali, dia tidak sangsi pula bahwa
pemuda yang menolong Lilani itu tentulah pemuda kurang ajar yang mengaku-putera
Ang I Niocu.
“Tahukah kau, Kam-ciangkun,
siapa nama pemuda yang kau sangka saudaraku itu?”
“Dia berwatak aneh, keras dan
tinggi hati sekali, Nona. Dia tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi
ilmu pedangnya sungguh-sungguh hebat sekali. Kalau melihat ilmu silatnya,
kurasa kepandaiannya tak berada di sebelah bawah dari kepandaian kakakmu,
Saudara Hong Beng.”
Lili mencibirkan bibirnya
sehingga dalam pandangan Kam Liong nampak manis sekali. “Huh, kepandaian macam
itu saja mengapa dikagumi? Kalau aku bertemu dia, pedang naganya pasti tak akan
berkepala lagi!”
Kam Liong merasa heran sekali
mengapa gadis ini agaknya amat marah dan membenci pemuda berpedang naga itu,
akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Makin besar keinginan hatinya
untuk menyaksikan kepandaian gadis yang agaknya jumawa sekali ini. Dia tidak
percaya apa bila kepandaian gadis ini akan lebih tinggi dari pada kepandaian
pemuda yang menolong Lilani itu.
Pada waktu mereka tiba di kota
raja, Kam Liong segera mengajak Lili singgah di rumah gedungnya dan ia
memperkenalkan gadis ini kepada ibunya yang sudah janda. Nyonya Kam ternyata
adalah seorang wanita terpelajar yang halus dan ramah-tamah, dan terus mengajak
Lili bercakap-cakap.
Sementara itu Kam Liong lalu
membuat laporan kepada Kaisar, dan kemudian menerima perintah untuk memimpin
sepasukan besar tentara pilihan untuk menuju ke utara dan menggempur para
pengacau serta memperkuat penjagaan tapal batas karena terdengar berita akan
adanya serangan dari Malangi Khan, raja bangsa Mongol.
Kam Liong membutuhkan waktu
selama tiga hari di kota raja untuk membuat persiapan, kemudian berangkatlah
pasukan di bawah pimpinannya. Kini pemuda itu mengenakan pakaian panglima dan
makin gagah saja. Lili minta diri dari Nyonya Kam yang baik hati, kemudian
gadis ini pun ikut dengan pasukan itu, naik kuda di depan bersama Kam Liong.
Ketika mendengar bahwa gadis
itu adalah puteri Pendekar Bodoh, semua perwira dalam barisan itu menjadi kagum
dan diam-diam mereka tersenyum karena menaruh harapan bahwa komandan mereka,
Kam-ciangkun, akan berjodoh dengan pendekar wanita yang lincah dan jelita ini.
Lima hari setelah pasukan ini
berangkat ke utara, mereka mulai melewati daerah yang amat sukar dan dingin.
Diam-diam Lili merasa bersyukur bahwa ia ikut dalam rombongan ini, karena
memang harus diakuinya bahwa kalau dia melakukan perjalanan seorang diri tentu
dia akan menempuh kesukaran besar sekali.
Pada suatu hari, ketika
pasukan itu dengan susah payah mendaki sebuah lereng gunung yang tertutup
salju, tiba-tiba saja Kam Liong dan Lili yang berkuda di depan, melihat dua
orang tua berlari cepat dari arah kanan.
“Hei...! Bukankah itu
Kam-ciangkun yang memimpin pasukan?” tiba-tiba salah seorang di antara kedua
kakek itu berseru girang sambil berlari menghampiri.
Ketika kedua orang ini sudah
dekat, hampir saja Lili tidak dapat menahan ketawanya. Dia melihat dua orang
pendeta, seorang tosu dan seorang hwesio yang keadaannya sangat lucu.
Mereka sudah tua dan tosu itu
bertubuh tinggi kurus, mukanya yang keriputan saking tuanya itu nampak makin
menyedihkan karena selalu dia bermuka seperti orang hendak menangis! Ada pun
hwesio yang menjadi kawannya itu pun lucu sekali. Tubuhnya gemuk seperti tong
besar, bajunya terbuka sehingga biar pun berada di tempat dingin, perutnya yang
gendut selalu nampak. Mukanya bundar seperti bal dan selalu menyeringai seperti
orang yang merasa gembira sekali.
“Kam-ciangkun, apakah kau
hendak memimpin pasukanmu ke Alkata-san?” bertanya Si Tosu yang mau menangis
itu.
Sebelum Kam Liong menjawab dan
berkata dengan dua orang pendeta itu, Lili tak dapat menahan hatinya lagi dan
bertanya girang,
“Apakah dua orang pendeta ini
bukan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio?”
Kedua orang pendeta itu
terkejut dan memandang kepada Lili dengan penuh perhatian.
“Kam-ciangkun, siapakah Nona
yang cantik dan gagah ini?” Si Hwesio bertanya sambil tersenyum-seyum.
“Kawan lama, Ji-wi Losuhu (Dua
Orang Pendeta). Kawan lama!” Kam Liong menjawab gembira. “Tentu Ji-wi takkan
dapat menduga siapa dia, karena dia ini adalah Nona Sie Hong Lie, puteri dari
Sie Cin Hai Taihiap Pendekar Bodoh!”
“Apa...?!” Ceng To Tosu dengan
mewek-mewek mau menangis lalu menghampiri Lili dan memegang tangan kirinya, sedangkan
Ceng Tek Hwesio yang semakin lebar ketawanya juga menghampirinya dan memegang
tangan kanannya.
Lili menjadi gembira sekali.
Sering kali ayah dan ibunya terkekeh-kekeh kalau bercerita tentang kedua orang
ini yang muncul pada masa ayah ibunya masih muda. Kini melihat mereka, walau
pun sudah nampak tua sekali namun keadaan mereka masih tetap tidak berubah,
persis seperti yang digambarkan oleh ayah dan ibunya, mau tidak mau Lili lalu
tertawa terpingkal-pingkal sehingga dia menggunakan tangan yang dipegang
lengannya itu untuk menutupi mulutnya.
“Ji-wi Losuhu,” akhirnya dia
berkata sesudah dapat menahan geli hatinya. “Jiwi hendak pergi kemanakah?
Apakah Jiwi telah bertemu dengan ayah bundaku?”
“Di mana ayahmu? Di manakah
Sie Taihiap? Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan dia,” jawab Ceng To
Tosu.
“Ayah dan Ibu juga berada di
daerah utara ini,” kata Lili.
“Apa...? Betulkah?” tanya Ceng
Tek Hwesio.
Kemudian Kam Liong lalu
menuturkan kepada kedua orang pendeta ini tentang semua peristiwa yang terjadi
sehingga kedua orang pendeta itu menjadi girang sekali.
“Ahh, usiaku yang tinggal
sedikit ini ternyata penuh dengan kebahagiaan,” kata Ceng To Tosu. “Berjumpa
dengan Nona Sie Hong Li puteri Sie Taihiap sudah merupakan hal yang
membahagiakan, apa lagi sekarang ada kemungkinan bertemu lagi dengan Sie
Taihiap sendiri dan puteranya!”
“Akan tetapi Ji-wi Losuhu
mengapa sampai berada di tempat ini? Ada keperluan penting apakah?” tanya Kam
Liong.
Kini Ceng Tek Hwesio yang
menceritakan dengan muka berseri-seri seakan-akan cerita itu merupakan sebuah
cerita yang menggirangkan hati. Padahal cerita itu amat hebat dan seharusnya
patut dibuat gelisah.
Ternyata bahwa Malangi Khan,
raja bangsa Mongol, sudah membuat persiapan perang besar-besaran dan bala
tentaranya dipecah menjadi dua, satu barisan menyerang dari utara dan barisan
ke dua menyerang dari barat. Pertempuran-pertempuran kecil sudah pecah antara
barisan Mongol yang di bagian barat sebagian besar sudah menggabung dengan
tentara Tartar, melawan pasukan-pasukan penjaga kerajaan yang tidak berapa
kuat.
“Sudah demikian hebat
keadaannya?” kata Kam Liong dengan kaget.
“Itu masih belum hebat,
Kam-ciangkun. Yang paling menggemaskan adalah terdapatnya banyak sekali
orang-orang kang-ouw yang menggabungkan diri dan membantu Malangi Khan!”
“Hebat, siapakah
pengkhianat-pengkhianat bangsa itu?”
“Belum diketahui, Ciangkun.
Akan tetapi menurut laporan-laporan para prajurit yang dulu menjaga di
perbatasan dan telah dipukul mundur, di antara pemimpin-pemimpin pasukan Tartar
dan Mongol, banyak sekali terdapat orang-orang bangsa kita sendiri yang
memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu kami sengaja mencarimu atas
perintah suhu-mu dan siok-humu (pamanmu) yang telah mengumpulkan beberapa orang
gagah untuk menjadi sukarelawan menghadapi serbuan musuh.”
Berseri wajah Kam Liong
mendengar berita ini. “Suhu dan Siok-hu? Di mana mereka?”
“Tidak jauh dari sini, di
hutan sebelah barat itu, Ciangkun. Marilah kau ikut bersama kami menjumpainya
dan kau juga, Nona Sie. Kau akan bertemu dengan orang-orang gagah di sana.”
Tentu saja Lili tidak menolak.
Sesudah berpesan kepada para perwira untuk memberi kesempatan kepada pasukan
beristirahat di situ, Kam Liong beserta Lili lalu berjalan kaki mengikuti dua
orang pendeta itu. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat, maka tak lama kemudian
sampailah mereka di hutan yang nampak dari tempat pemberhentian tadi.
Suhu dari Kam Liong adalah
seorang tosu yang bertubuh tinggi besar berwajah galak. Sungguh pun usianya
telah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi rambut kepalanya masih subur dan
hitam sehingga ia nampak lebih muda dari usia sebenarnya! Tiong Kun Tojin masih
terhitung suheng (kakak seperguruan) yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari
pada mendiang Kam Hong Sin.
Ada pun yang disebut paman
atau siok-hu dari Kam Liong, adalah adik misan dari ayah Kam Liong dan bernama
Kam Wi. Kam Wi juga bukan orang sembarangan, karena dia memiliki kepandaian
yang tinggi pula. Ia menjadi sute (adik seperguruan) dari Tiong Kun Tojin.
Selain sudah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai, juga Kam Wi telah mempelajari
Ilmu Houw-jiauw-kang yang lihai, semacam ilmu silat tangan kosong yang amat
berbahaya.
Oleh karena itu, Kam Wi jarang
sekali mempergunakan senjata, sungguh pun dia pandai pula memainkan pedang. Dia
selalu menghadapi lawannya hanya dengan tangan kosong, mengandalkan Ilmu Silat
Houw-jiauw-kang yang sempurna. Dan oleh karena Ilmu Silat Houw-jiauw-kang
(Cengkeraman Kuku Harimau) inilah maka dia sudah mendapat julukan
Sin-houw-enghiong (Pendekar Harimau Sakti)!
Tiong Kun Tojin dan Kam Wi
mempunyai watak yang cocok. Keduanya beradat keras, berangasan, akan tetapi
jujur serta gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan. Kalau Tiong Kun
Tojin sudah berusia empat puluh tahun, adalah Kam Wi baru berusia tiga puluh
tahun lebih. Juga ia mempunyai tubuh tinggi besar seperti suheng-nya.
Pada waktu mendengar tentang
penyerbuan dan pengacauan bangsa Mongol dan Tartar di daerah perbatasan
negaranya, maka kedua orang gagah ini timbul semangat dan jiwa patriotnya.
Mereka segera meninggalkan Gunung Kun-lun-san dan menuju ke utara.
Di sepanjang perjalanan mereka
mengajak para tokoh kang-ouw. Kemudian mereka lalu berkumpul di hutan itu,
hutan yang hanya dilindungi oleh pohon-pohon gundul karena daunnya telah rontok
semua. Dahan-dahannya kini penuh oleh salju yang menggantikan kedudukan
daun-daun yang sudah lenyap.
Di tengah-tengah hutan yang
berada di lereng gunung itu terdapat sebuah goa besar dan karena adanya goa
besar inilah maka tokoh-tokoh Kun-lun-pai itu memilih tempat ini.
Ketika Kam Liong dan Lili yang
mengikuti dua orang pendeta itu tiba di luar goa, mereka melihat sinar api dari
dalam goa. Ternyata bahwa di dalam goa itu duduk lima orang yang mengelilingi
api unggun yang bernyala besar. Hawa panas keluar dari goa itu dan karena hawa
di luar goa demikian dinginnya, maka panas ini mendatangkan udara yang nyaman
sekali.
“Aduh, enak... enak...!” kata
Ceng Tek Hwesio sambil tersenyum-senyum dan mendekati mulut goa.
“Kam-ciangkun, kalau kau dan
Nona Sie kuat menghadapi panas yang hebat itu, maka masuklah, berjumpa dengan
suhu-mu. Kami berdua tidak kuat bertahan terlalu lama di dalam neraka itu!”
kata Ceng To Tosu.
Dari luar Kam Liong sudah
melihat suhu-nya dan pamannya duduk bersama tiga orang lain yang tidak
dikenalnya. Nampak mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya. Kam Liong
maklum bahwa tanpa mempunyai tenaga lweekang yang tinggi, tak mungkin orang
akan dapat bertahan duduk di goa yang panas itu sampai lama.
Ia telah maklum akan
kepandaian Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, namun kedua orang pendeta itu
masih tidak kuat tinggal lama-lama di dalam goa dan kini hanya duduk di luar
goa! Akan tetapi, tidak percuma ia menjadi murid Tiong Kun Tojin, tokoh luar
biasa dari Kun-lun-pai. Ia maklum bahwa untuk kuat bertahan di dalam goa yang
panas itu, dia harus mengerahkan lweekang-nya guna memperkuat daya Im-kang di
dalam tubuh untuk melawan daya Yang-kang. Ia lalu melirik kepada Lili yang
memandang ke dalam dengan sikap acuh tak acuh.
“Nona, kalau terlalu panas
untukmu, biarlah aku masuk menjumpai Suhu dan siok-hu.”
“Siapa bilang terlalu panas?
Aku pun ingin sekali berjumpa dengan orang-orang yang suka mendekati api itu,”
jawab Lili, karena diam-diam gadis ini pun amat tertarik hatinya melihat lima
orang yang seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian mereka itu.
Mendengar jawaban ini, selain
tertegun Kam Liong juga kagum dan gembira, karena kali ini ia akan dapat
menyaksikan dan membuktikan hingga di mana keunggulan kepandaian gadis ini. Ia
lalu melangkah masuk diikuti oleh Lili.
Bukan main panasnya hawa di
dalam goa itu. Baiknya di langit-langit goa terdapat lobang di antara batu
karang sehingga asap api unggun itu dapat keluar dan tidak menyesakkan napas di
dalam goa. Akan tetapi api yang besar itu benar-benar membuat kulit serasa
hampir terbakar.
Ketika melihat kedatangan Kam
Liong dan Lili, lima orang yang sedang bercakap-cakap itu segera menunda
percakapan mereka dan kini semua mata tertuju kepada dua orang muda ini.
“Suhu, sungguh menggembirakan
dapat bertemu dengan Suhu di sini!” kata Kam Liong setelah berlutut, kemudian
ia berpaling kepada pamannya dan berkata, “Siok-hu, apakah Siok-hu baik-baik
saja?”
Kedua orang tua itu girang
melihat Kam Liong.
“Ah, kebetulan sekali. Kau
baru datang?” tanya suhu-nya. “Memang kami sedang bicara tentang penyerbuan
musuh. Kebetulan kau datang, karena sesungguhnya secara resmi, kaulah yang
bertanggung jawab menghadapi mereka.”
Sebaliknya, pada saat Kam Wi
melihat Lili yang masih muda dan cantik itu dapat pula bertahan memasuki goa
dan sama sekali tidak nampak kepanasan, diam-diam ia merasa kagum sekali.
“Eh… Liong-ji (Anak Liong),
siapakah Nona yang gagah ini?”
“Dia adalah Nona Sie Hong Li,
puteri dari Sie Taihiap!”
“Kau maksudkan Sie Taihiap
Pendekar Bodoh?” tanya Kam Wi setengah tidak percaya.
Ketika Kam Liong mengangguk
membenarkan pertanyaan ini, tidak saja Kam Wi yang memandang dengan penuh
perhatian bahkan Tiong Kun Tojin dan ketiga orang lain itu memandang dengan
penuh perhatian. Terdengar seorang di antara ketiga kakek yang duduk di situ
mengeluarkan seruan heran dan berkata,
“Ah, kebetulan sekali! Telah
lama sekali kami merindukan untuk menyaksikan kepandaian Pendekar Bodoh yang
telah amat terkenal namanya. Hari ini bertemu dengan puterinya, setidaknya kami
akan dapat menilai sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar Bodoh yang
terkenal itu!”
Mendengar nama ayahnya
disebut-sebut oleh suara orang yang agaknya sombong ini, Lili segera mengangkat
mukanya memandang dengan penuh perhatian. Suhu dari Kam Liong dan juga
pamannya, memang patut menjadi orang gagah.
Wajah mereka kereng dan tubuh
mereka pun tinggi besar, terutama sekali pandang mata dua orang tokoh
Kun-lun-pai ini amat tajam dan memandang dengan jujur dan langsung. Akan
tetapi, tiga orang kakek lainnya yang duduk di situ betul-betul membuat Lili
hampir tertawa geli. Orang-orang macam ini pantas sekali kalau menjadi sahabat
Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, karena mereka ini pun mempunyai bentuk tubuh
yang aneh.
Yang bicara tadi adalah seorang
yang tubuhnya seperti anak-anak, kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih
semua. Dia mengempit sebuah payung butut. Orang yang ke dua bertubuh gemuk
pendek dengan muka lebar dan mulut serta mata besar. Kepalanya tertutup kopyah
pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan
di pinggangnya terlilit rantai yang panjang dan besar. Orang ke tiga bertubuh
tinggi kecil dan kepalanya yang kecil tertutup kopyah. Kumisnya hanya beberapa
lembar di kanan kiri, ada pun jenggotnya yang hitam berbentuk jenggot kambing.
Ia memegang sebatang tongkat sederhana.
Lili sama sekali tak pernah
menduga bahwa tiga orang ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek
dari Hailun) yang amat tersohor namanya. Seperti pernah dituturkan di bagian
depan, pada waktu mencarikan obat untuk putera pangeran, Goat Lan pernah
bertemu dengan tiga orang kakek itu. Juga pernah dituturkan bahwa ketiga orang
kakek ini setelah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa pertandingan pibu melawan
rombongan Pendekar Bodoh akan diadakan setahun lagi, yaitu pada permulaan musim
semi, lalu meninggalkan Ban Sai Cinjin untuk melanjutkan perantauan mereka.
Sungguh pun ketiga orang kakek
ini memiliki kegemaran yang buruk, yaitu suka sekali berkelahi dan mencoba ilmu
kepandaian serta tidak mau kalah, namun mereka masih tetap merupakan
orang-orang gagah yang tak mau melakukan kejahatan. Bahkan orang pertama,
Thian-he Te-it Siansu yang bertubuh kate, dan Lak Mau Couwsu yang pendek gemuk,
mempunyai jiwa pahlawan.
Mereka berdua ini merasa tak
senang mendengar betapa bangsanya banyak yang diculik dan dirampok oleh
orang-orang Mongol dan Tartar. Orang ke tiga, yang bernama Bouw Ki, sebetulnya
adalah seorang keturunan Mongol, akan tetapi ketika mendengar betapa kedua
orang suheng-nya hendak membantu tentara kerajaan mengusir para pengacau bangsa
Tartar dan Mongol, dia segera menyatakan kesediaannya untuk membantu pula!
Dahulu Bouw Ki menjadi tokoh
di negara Mongol. Akan tetapi semenjak Malangi Khan merebut tahta kerajaan, dia
melarikan diri dan mendendam kepada Malangi Khan yang sudah banyak membunuh
keluarganya.
Demikianlah, ketika Hailun
Thai-lek Sam-kui bertemu dengan Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, kedua orang tokoh
Kun-lun-pai ini, mereka segera mengadakan pertemuan di dalam goa itu untuk
merundingkan maksud mereka membantu gerakan tentara pemerintah yang hendak
mengusir bangsa Tartar dan Mongol. Inilah sebab mengapa Lili menjumpai mereka
di dalam goa.
Ketika kelima orang tua itu
mengadakan pertemuan di dalam goa, dengan jujur Kam Wi menyatakan bahwa hawa
sangat dingin. Mendengar ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan ia
mengusulkan membuat api unggun di dalam goa. Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu
disuruh mengumpulkan kayu kering dan tidak lama kemudian bernyala api unggun
besar di dalam goa itu.....
Karena panasnya tak
tertahankan lagi oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, maka kedua orang ini
lalu keluar dan kemudian disuruh oleh Tiong Kun Tojin untuk mencegat perjalanan
barisan dari kerajaan hingga kebetulan bertemu dengan Kam Liong.
Ada pun kelima orang pandai
itu, sesudah menyalakan api unggun, timbullah sifat Hailun Thai-lek Sam-kui
untuk menguji kepandaian orang. Mereka dengan sengaja menambah bahan bakar
sehingga kini api unggun itu diadakan tidak lagi untuk mengusir hawa dingin,
melainkan diadakan untuk menguji kepandaian masing-masing!
Tentu saja kedua orang tokoh
Kun-lun-pai yang mengerti maksud tiga orang tamunya, tidak mau menyerah kalah
begitu saja dan seakan-akan tidak mengerti maksud mereka. Kedua orang ini
bahkan mengajak Hailun Thai-lek Sam-kui bercakap-cakap sampai Kam Liong dan
Lili datang.
Lili yang merasa mendongkol
juga ketika mendengar ucapan Thian-he Te-it Siansu yang menyinggung nama
ayahnya, lalu berkata,
“Siapakah gerangan Sam-wi
Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah) yang telah mengenal nama ayahku?”
Ketiga orang aneh itu tidak
menjawab, melainkan hanya tertawa-tawa saja dan Bouw Ki sekarang menambah lagi
kayu bakar pada api unggun itu sehingga kini makin besarlah nyalanya dan makin
panas hawanya.
Tiong Kun Tojin merasa tak
enak melihat sikap tiga orang kakek itu, karena menghadapi puteri Pendekar
Bodoh ia tak berani memandang rendah, maka ia lalu memperkenalkan,
“Kam Liong, dan kau juga Nona
Sie. Ketahuilah bahwa tiga orang tua ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui yang
sangat terkenal. Mereka datang untuk membantu kita mengusir pengacau di
perbatasan.”
Kam Liong terkejut dan menjura
dengan hormat kepada tiga orang kakek itu, akan tetapi Lili tiba-tiba tertawa
mengejek.
“Ahh, tidak tahunya aku berhadapan
dengan tiga orang kakek gagah perkasa, demikian gagah perkasanya sehingga suka
mengeroyok seorang gadis yang bernama Goat Lan!”
Tiong Kun Tojin dan Kam Wi,
juga Kam Liong menjadi tertegun mendengar ucapan ini, dan mereka merasa
khawatir sekali melihat gadis itu berani mengejek tiga orang kakek itu. Akan
tetapi, Hailun Thai-lek Sam-kui memang memiliki watak yang aneh, mereka ini
tidak pernah marah, dan hanya satu kesukaannya, yaitu berkelahi mencari
kemenangan! Kini mendengar ejekan Lili, mereka sama sekali tidak marah. Lak Mau
Couwsu berkata sambil memperlebar senyumnya,
“Ah, murid Sin Kong Tianglo
itu telah menceritakan tentang perjumpaannya dengan kami bertiga? Bagus,
katakan kepadanya bahwa lain kali dia tak akan kami lepaskan sebelum mengaku
kalah. Ha-ha-ha!”
Tiong Kun Tojin adalah seorang
tokoh Kun-lun-pai yang dikenal berwatak keras, jujur dan suka berterus terang.
Melihat betapa di antara ketiga orang kakek itu dan Lili terdapat pertentangan,
dia lalu berkata terus terang,
“Dalam waktu seperti ini, di
mana negara dan bangsa sedang terancam oleh musuh dari luar, sungguh sangat
disesalkan kalau di antara kita saling cakar-cakaran! Lebih baik kita melupakan
untuk sementara waktu urusan lama yang terjadi di antara kita, dan mari kita
mempersatukan tenaga untuk menolong negara! Ada pun tentang pengujian
kepandaian, dapat dilakukan di sini tanpa membahayakan nyawa! Biarlah kutambah
lagi api ini untuk melihat siapa yang paling kuat di antara kita.”
Sambil berkata demikian, tokoh
Kun-lun-pai ini lalu menambahkan kayu bakar lagi pada api unggun yang sudah
sangat besar itu. Kam Liong hampir tak dapat menahannya lagi. Peluhnya telah
mulai keluar membasahi jidatnya. Pada waktu ia mengerling ke arah Lili,
ternyata bahwa gadis ini masih tersenyum-senyum seakan-akan tak merasa panas
sama sekali!
“Kam Liong, kau keluarlah. Kau
tak usah ikut serta dalam ujian ini!” kata suhu-nya untuk menolong muridnya
ini, karena dia maklum bahwa kepandaian Kam Liong masih belum cukup matang
untuk dapat menahan panas yang demikian hebatnya.
Kam Liong lalu menjura dan
setelah mengerling sekali kepada Lili, ia lalu keluar dari situ, disambut oleh
Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.
“Aduh, kukira kau tak akan
keluar, Kam-ciangkun. Kalau aku yang berada di dalam, bisa kering seluruh
tubuhku!” kata hwesio gemuk itu.
“Ehh, apakah Nona Sie masih
bertahan di dalam?” tanya Ceng To Tosu heran.
Kam Liong mengangguk. Ia belum
berani mengeluarkan suara, karena pergantian hawa dari dalam yang panas menjadi
dingin sekali di luar, membutuhkan pengerahan tenaga lweekang untuk mengatur
aliran darahnya.
Ada pun Lili yang menghadapi
kelima orang itu, sambil tersenyum-senyum memandang kepada mereka. Dilihatnya
betapa muka kelima orang itu merah sekali tersorot oleh api unggun dan betapa
mereka mempertahankan dengan sinkang mereka yang tinggi, tetap saja nampak
betapa mereka itu telah mulai terserang rasa panas yang luar biasa ini.
Lili sendiri juga merasakan
serangan hawa panas itu, akan tetapi dia bukanlah puteri Pendekat Bodoh dan
cucu murid Bu Pun Su kalau harus kalah sedemikian mudahnya. Ia sudah
mempelajari latihan sinkang yang luar biasa dari ayahnya, yaitu latihan sinkang
pokok yang dahulu diajarkan oleh Bu Pun Su kepada ayahnya. Pengerahan
sinkang-nya membuat tubuhnya sebentar-sebentar terasa dingin sekali, maka dia
berseru,
“Aduh dinginnya...”
Thian-he Te-it Siansu
memandangnya dengan kagum dan heran, lalu menganggukkan kepalanya dan berkata,
“Memang dingin sekali! Biar kutambah lagi kayu bakarnya!” Kakek botak yang
kecil ini lalu menambah kayu bakar lagi sehingga api berkobar semakin tinggi
dan hawa panas makin menghebat!
Melihat hal ini, diam-diam
Lili terkejut sekali. Sinkang dari lima orang tua ini benar-benar hebat sekali,
dan karena ia kalah latihan, kalau dilanjutkan akhirnya ia sendiri yang akan
mundur dan mengaku kalah. Akan tetapi, Lili adalah puteri Pendekar Bodoh dan
ibunya terkenal amat cerdik. Gadis ini pun mempunyai kecerdikan, ketabahan, dan
ketenangan yang luar biasa sekali.
Dia lalu berpikir dan
mengingat-ingat dongeng yang dulu sering ia dengar dari kakeknya, yaitu Yousuf.
Sesudah mengingat sebuah dongeng tentang padang pasir, dia kemudian tersenyum,
menghafalkan sajak tentang Abdullah yang terserang panas di padang pasir.
Setelah hafal betul di luar kepala, gadis ini lalu tersenyum-senyum girang. Dia
lalu berdiri dan mengumpulkan semua kayu bakar, dan dilemparkannya kayu bakar
itu ke dalam api unggun. Api kini menyala hebat sekali sampai menyundul pada
langit-langit goa!
Lima orang tua itu kaget
sekali dan cepat mereka mengerahkan tenaga dalam, karena kini hawa panas luar
biasa hebatnya. Lili sendiri lalu duduk bersila, mengatur napas dan duduk
bagaikan orang bersemedhi, seluruh perasaannya melupakan adanya api unggun,
bahkan kini membayangkan keadaan di luar goa yang tertutup salju dan dingin
sekali.
Sesudah hawa panas sedikit
mereda, tiba-tiba gadis ini lalu menyanyikan sajak yang tadi dihafalnya di luar
kepala. Dia bernyanyi tanpa mempergunakan perasaannya sehingga ia tidak
terpengaruh oleh nyanyiannya sendiri.
Lima orang tua itu mendengar
suara yang merdu dan indah, tak dapat bertahan lagi lalu memperhatikan
kata-kata nyanyian itu. Memang Lili mempunyai suara yang amat merdu, dan
terdengarlah dia bernyanyi keras,
Abdullah kelana sengsara.
Haus, lapar, lelah tak
berdaya.
Tersesat di gurun pasir
tandus.
Matahari membakar, panas...
haus!
Tak tertahankan panasnya,
serasa dibakar.
Mata silau, terasa pedas,
perih, nanar.
Kulit mengering.
Kepala pening...
Aduh panasnya, panas tak
tertahankan...!
Dahulu ketika Yousuf
menyanyikan sajak ini ketika mendongengkannya tentang Abdullah si musafir
kelana, Lili sering kali merasa ikut kepanasan dan seolah-olah dia merasakan
betapa sengsaranya berada di padang pasir yang kering itu. Kini dia bernyanyi
dengan suaranya yang merdu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh lima orang
tua itu. Dan akibatnya sungguh hebat!
Ketika dia bernyanyi sampai di
bagian ‘mata silau, terasa pedas, perih, nanar’, terdengar keluhan Kam Wi yang
tidak kuat lagi membuka matanya, seakan-akan api unggun yang bernyala itu
berubah menjadi matahari yang luar biasa panas dan menyilaukan matanya.
Kepalanya menjadi pening dan betapa pun ditahan-tahannya, ia tidak kuat lagi
sehingga untuk berjalan keluar saja dia tidak kuat lagi.
Suheng-nya, Tiong Kun Tojin, yang
melihat keadaan sute-nya ini, segera menggerakkan kaki kanannya mendorong tubuh
sute-nya itu yang lalu terpental dan bergulingan keluar sampai di pintu goa.
Setelah mendapatkan hawa segar dari luar, barulah Kam Wi dapat mengerahkan
tenaga dan melompat keluar dengan terengah-engah!
Tiong Kun Tojin menolong
sute-nya tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, sebab dia sendiri juga
sudah hampir tidak kuat, apa lagi ketika Lili mengulang nyanyiannya dan
menambahkan semua sisa kayu bakar pada api unggun itu!
Juga Hailun Thai-lek Sam-kui
dengan susah payah berusaha untuk menahan serangan hawa panas yang luar biasa
dan yang sekarang menjadi berlipat ganda hebatnya setelah mereka mendengarkan
nyanyian Lili.
“Tutup mulut...! Jangan
menyanyi...!” Thian-he Te-it Siansu membentak.
Akan tetapi bentakannya ini
membuat dia semakin lemah dan pertahanannya tidak dapat melawan pengaruh panas
yang mendesak. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat keluar dari situ dan
langsung diikuti oleh kedua orang sute-nya. Sesampai di luar, mereka
terengah-engah dan cepat-cepat duduk bersemedhi untuk mengatur napas.
Tiong Kun Tojin berusaha
mencoba untuk mempertahankan diri. Sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah
ternama, dia merasa malu kalau harus mengaku kalah dalam hal menghadapi api
unggun oleh gadis yang cerdik dan banyak akal ini. Akan tetapi gema nyanyian
Lili betul-betul membuat dia bohwat (kehabisan akal) dan terpaksa ia lalu
berdiri dari tempat duduknya, memandang ke arah Lili yang ternyata sekarang
bernyanyi sambil duduk bersemedhi meramkan matanya itu.
Lili memang sedang memusatkan
tenaganya dan biar pun mulutnya bernyanyi, tetapi dia bernyanyi tanpa
menggunakan perasaan atau pikiran. Tahulah Tiong Kun Tojin akan akal bulus
gadis ini dan diam-diam ia menjadi kagum sekali. Ia tidak kuat berdiam di situ
lebih lama lagi dan dengan tindakan perlahan ia keluar dari goa.
Berbeda dengan yang lain-lain,
dia keluar dengan tenang dan sambil berjalan. Dia sudah mengatur napasnya
sehingga ketika tiba di luar goa, keadaannya tidak apa-apa, hanya mukanya saja
telah penuh dengan peluh!
Baru saja tiba di luar,
berkelebatlah bayangan Lili. Gadis ini hanya nampak merah saja mukanya, tanpa
peluh setitik pun. Kemerahan mukanya menambah kemanisan gadis ini sehingga
semua orang memandangnya dengan penuh kekaguman.
“Ahh, tidak mengecewakan kau
menjadi puteri Pendekar Bodoh!” Tiong Kun Tojin memuji dengan setulus hati.
Juga Sin-houw-enghiong Kam Wi
yang berwatak kasar dan jujur lantas berkata kepada Kam Liong,
“Liong-ji, apa bila kau dapat
berjodoh dengan Nona ini, hatiku akan puas sekali dan roh ayahmu akan tersenyum
bahagia! Aku akan mencari Pendekar Bodoh untuk mengajukan pinangan!”
Kam Liong menjadi kaget sekali
dan menyesal akan kelancangan pamannya yang kasar itu. Diam-diam dia mengerling
ke arah Lili yang menjadi merah sekali mukanya, bukan merah akibat panasnya
api, akan tetapi merah sampai ke telinga-telinganya saking malu, jengah dan
marahnya.
Dia memandang dengan mata
bersinar tajam kepada pembicara itu, agaknya siap untuk memaki. Akan tetapi Kam
Liong buru-buru menghampirinya dan menjura amat dalam lalu berkata,
“Nona Sie, mohon maaf
sebanyaknya apa bila ucapan pamanku menyinggung hatimu. Percayalah, Siok-hu
(Paman) tidak bermaksud buruk dan dia sama sekali bukan hendak menghinamu.
Harap kau sudi memaafkannya.”
Mendengar ucapan dan melihat
sikap pemuda ini, Lili merasa tidak enak hati kalau terus melanjutkan
kemarahannya terhadap orang tinggi besar yang kasar itu. Akan tetapi tetap saja
dia mengomel,
“Agaknya orang di sini tidak
tahu aturan dan boleh bicara apa saja seenak hatinya, tanpa mempedulikan orang
lain seolah-olah dia yang lebih tinggi dan lebih pintar. Kam-ciangkun, marilah
kita melanjutkan perjalanan, aku hendak mencari keluargaku. Untuk apa kita
lama-lama di sini? Kalau kau masih hendak lama berdiam di tempat ini, terpaksa
aku akan pergi lebih dulu!”
Kam Liong menjadi serba salah
dan memandang kepada suhu serta pamannya. Akan tetapi sebelum tiga orang ini
dapat mengeluarkan kata-kata, Thian-he Teit Siansu, orang pertama dari Thai-lek
Sam-kui itu, berkata sambil tertawa,
“Nona Sie, kau telah mengakali
kami bertiga. Kau cerdik sekali! Akan tetapi hatiku belum puas karena belum
melihat kepandaianmu yang sebenarnya. Marilah kau melayani kami sebentar,
hendak kulihat apakah kepandaianmu sama tingginya dengan akal bulusmu!” Sambil
berkata demikian, kakek kate ini menggerak-gerakkan payungnya.
Pada waktu itu Lili sedang
merasa jengkel dan marah karena ucapan Kam Wi tadi, maka kini mendengar orang
menantangnya, ia menjawab marah,
“Kalian ini tiga orang iblis
tua ternyata jahat dan sombong. Kalian kira aku takut kepada kalian? Di dalam
waktu seperti ini, kalian datang katanya hendak membantu perjuangan dan
mengusir para pengacau, akan tetapi siapa tahu bahwa ternyata kalian hanya
hendak mencari permusuhan dengan setiap orang yang kalian jumpai. Kalian hendak
mengajak berkelahi? Baik, majulah aku Sie Hong Li tidak takut sedikit pun!”
Sambil berkata begitu sekali
ia menggerakkan kedua tangannya, pedang Liong-coan-kiam sudah berada di tangan
kanan dan kipas maut telah berada di tangan kirinya! Dia berdiri dengan sikap
gagah sekali, mukanya merah matanya menyala.
Melihat sikap ini, Tiong Kun
Tojin lalu cepat melangkah maju dan berkata kepada Hailun Thai-ek Sam-kui,
“Sam-wi sungguh tidak dapat
membedakan orang. Bicara terhadap seorang gadis muda seperti Nona Sie,
seharusnya jangan disamakan dengan pembicaraan terhadap seorang yang telah
masak oleh api pengalaman.” Kemudian tosu ini lalu berpaling kepada Lili dan
berkata,
“Nona Sie, sesungguhnya memang
sudah menjadi watak Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian tiap orang
yang dijumpainya. Ini adalah cara penghargaan mereka. Kalau yang dijumpainya
itu adalah seorang yang mereka anggap tidak cukup sempurna kepandaiannya dan
tidak cukup berharga, walau dipaksa-paksa sekali pun jangan harap akan dapat
membuat mereka turun tangan mengajak bertanding! Tantangannya ini ialah suatu
cara penghormatan yang aneh, Nona. Oleh karena itu, harap kau jangan marah dan
lakukanlah pertandingan ini secara persahabatan saja, yaitu hanya merupakan
pibu (pertandingan kepandaian) biasa untuk menentukan siapa yang tingkatnya
lebih unggul!”
Lili tersenyum menyindir saat
menjawab, “Totiang, aku pun bukan seorang kanak-kanak, sungguh pun harus aku
akui bahwa pengalamanku belum banyak. Ketiga orang tua ini termasuk tokoh-tokoh
kang-ouw yang terkenal dan sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi mengapa
hanya untuk menghadapi aku seorang saja mereka bertiga hendak maju berbareng?
Bukan aku merasa takut, akan tetapi bukankah kalau hal ini hanya sebuah pibu
biasa maka nama mereka akan merosot turun?”
Bouw Ki orang ke tiga dari
Thailek Sam-kui tertawa bergelak.
“Nona Sie, kami bertiga
disebut Tiga Setan, mengapa takut nama merosot? Kami tidak mempedulikan nama
dan juga telah menjadi kebiasaan kami untuk maju bersama, hidup bertiga mati
bertiga! Nona, bila mana seorang di antara kami menang, kami tidak dapat
memperebutkan kemenangan itu dan kalau kalah, harus kami pikul bertiga.
Ha-ha-ha!”
Lili adalah seorang gadis yang
keras hati, mendengar omongan ini dia menjadi semakin marah.
“Majulah, majulah! Siapa takut
padamu?”
Thian-he Te-it Siansu, orang
pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui mengeluarkan suara aneh dan payungnya
menyambar ke arah pinggang Lili.
“Anak Pendekar Bodoh,
awaslah!” serunya.
Lili melihat bahwa biar pun
payung itu merupakan benda sederhana saja, namun dia tahu bahwa itu adalah
sebuah senjata luar biasa. Tidak saja gagang payung dapat mewakili sebuah
tongkat, juga setiap jari-jari payung itu merupakan tongkat-tongkat kecil yang
dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka ia tidak berlaku ayal lagi
dan cepat ia mengebutkan kipas di tangan kirinya menangkis. Terdengar suara
keras ketika kipas dan payung beradu dan ketika dari kipas ini datang angin
pukulan yang aneh, Thian-he Te-it Siansu menjadi kagum sekali.
Begitu pukulan pertama dari
payung Thian-he Te-it Siansu dapat tertangkis oleh Lili, lalu menyusullah
serangan-serangan dari Bouw Ki yang menggerakkan tongkatnya dan Lak Mou Couwsu
yang mainkan rantai besarnya. Sebentar saja Lili telah terkurung oleh tiga
orang tokoh besar itu dengan rapat sekali.
Akan tetapi, gadis yang
berhati tabah dan berani sekali ini tidak menjadi gentar seujung rambut pun,
bahkan ia lalu mempercepat permainan kipas San-sui San-hoat peninggalan dari
Swi Kiat Siansu dan memperhebat pula serangan pedang di tangan kanannya yang
memainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan ayahnya.
Ketika Thian-he Te-it Siansu
menyerang dengan payung dikembangkan ke arah lambung Lili, gadis ini lalu
berseru keras dan cepat mengembangkan kipasnya pula, dikebutkan ke arah payung
sedangkan pedangnya tidak tinggal diam, melainkan menahan datangnya rantai dan
tongkat!
“Nanti dulu!” seru Thian-te
Te-it Siansu pada saat merasa betapa kebutan kipas itu telah menolak hawa
pukulan dari payungnya. “Bukankah yang kau mainkan ini ilmu kipas maut San-sui
San-hoat dari Swi Kiat Siansu?”
Lili tidak mau menahan
senjatanya dan sambil menyerang terus dia berseru, “Kalau betul kau mau apa?”
“Ha-ha-ha! Katanya kau puteri
Pendekar Bodoh, kenapa menghadapi dengan Ilmu Kipas Maut dari Swi Kiat Siansu?
Mana kepandaian dari Pendekar Bodoh, ayahmu?” Thian-he Te-it Siansu yang paling
pandai bicara di antara kedua mengejek Lili.
Memang sesungguhnya, Thian-he
Tiat Siansu agak jeri menghadapi ilmu kipas maut dari Swi Kiat Siansu, karena
ia pernah jatuh bangun oleh Swi Kiat Siansu yang mainkan ilmu silat ini. Ketiga
orang Iblis Geledek dari Hailun ini memang pernah mengadu kepandaian dengan Swi
Kiat Siansu dan biar pun tokoh terbesar dari utara ini hanya mainkan sebuah
kipas butut, namun ketiga orang iblis ini terpaksa mengakui keunggulan Swi Kiat
Siansu!
Kini melihat bahwa gadis muda
ini pandai pula memainkan ilmu Kipas San-sui San-hoat, di samping jeri terhadap
ilmu kipas itu sendiri, juga Thian-he Te-it Siansu merasa jeri apa bila
menghadapi nama kakek jagoan dari utara itu. Maka dia sengaja mengejek Lili
agar mengeluarkan kepandaian yang dipelajarinya dari Pendekar Bodoh.
Lili adalah seorang gadis muda
yang betapa pun cerdik dan tabahnya, akan tetapi masih kurang pengalaman. Dalam
sebuah pibu, sebetulnya ia boleh saja mengeluarkan segala kepandaian yang
pernah dia pelajari, karena namanya juga pibu (mengadu kepandaian). Kalau dia
menyimpan dan tidak mempergunakan sesuatu kepandaiannya, kalah menang justru
tak dapat dipergunakan sebagai ukuran. Mendengar ejekan Thian-he Te-it Siansu
itu, dia menjadi marah sekali.
“Tua bangka, kau kira aku
hanya mengandalkan pelajaran dari Swi Kiat Siansu belaka? Untuk mengalahkan
orang-orang macam kalian ini cukup dengan pedang beserta tangan kiriku saja.”
Sambil berkata demikian, Lili cepat menyelipkan kipas mautnya di pinggang,
kemudian ia menyerang lagi sambil memutar pedang Liong-coan-kiam sehingga pedang
itu berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata.
“Bagus sekali. Aku tidak
pernah menyaksikan ilmu pedang seperti ini, akan tetapi ilmu ini betul-betul
hebat!” seru Lak Mou Couwsu yang jujur.
Memang Ilmu Pedang Liong-cu
Kiam-sut merupakan ciptaan dari Pendekar Bodoh sendiri, yaitu sebagian dari
Ilmu Pedang Daun Bambu yang amat sulit dipelajarinya, maka jarang ada orang
yang pernah menyaksikannya. Ilmu Pedang Daun Bambu adalah ilmu pedang yang baru
dapat dimainkan oleh orang yang telah memiliki kepandaian pokok segala ilmu
silat dan dasar-dasar gerakan tubuh seperti yang telah dimiliki oleh Pendekar
Bodoh.
Meski pun Lili sudah dilatih
oleh ayahnya semenjak kecil, akan tetapi tetap saja gadis ini belum sanggup
menangkap pelajaran mengenal pokok dan dasar ilmu silat seperti yang dimiliki
ayahnya, maka sukarlah baginya untuk mempelajari Ilmu Pedang Daun Bambu. Dan
sebagai gantinya, Pendekar Bodoh lalu menciptakan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut
untuk puterinya.
Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut
ini memang benar-benar hebat, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Lak Mou
Couwsu yang jujur. Apa bila sekiranya yang menghadapi ilmu pedang ini hanya
seorang di antara Hailun Thai-lek Sam-kui, belum tentu mereka akan kuat
menahan. Gerakan pedang ini sama sekali tidak pernah terduga dan pergerakannya
amat wajar, tetapi tepat dan sesuai dengan gerakan lawan.
Ilmu pedang ini menjadi
‘hidup’ apa bila digunakan menghadapi serangan lawan, karena sambil menangkis,
pedang Liong-coan-kiam itu akan terus bergerak dan secara otomatis menyerang
bagian yang paling lemah dari lawan yang masih berada dalam kedudukan menyerang
itu.
Pernah dituturkan di dalam
cerita Pendekar Bodoh betapa pendekar ini menciptakan Ilmu Pedang Daun Bambu
dengan menjadikan daun-daun bambu yang bergerak-gerak tertiup angin sebagai
‘lawan-lawan’ yang ratusan jumlahnya. Apa bila daun-daun bambu itu tak bergerak
tertiup angin, agaknya Sie Cin Hai si Pendekar Bodoh juga tidak akan berhasil
menciptakan ilmu pedang yang lihai ini. Akan tetapi dengan ratusan daun bambu
yang bergerak-gerak, maka gerakan pedangnya menjadi ‘hidup’ sehingga sungguh
pun batang bambu terlindung oleh ratusan daunnya yang bergerak-gerak, namun
tetap saja ujung pedangnya dapat melukai batang-batang bambu tanpa melanggar
sehelai pun daun!
Tentu saja dalam hal ilmu
pedang, Lili masih jauh di bawah kepandaian ayahnya. Selain belum matang betul,
juga pengertiannya mengenai pokok dasar gerakan masih belum sepandai ayahnya.
Ditambah pula sekarang dia menghadapi keroyokan tiga tokoh besar di dunia
kang-ouw yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat mereka
yang aneh pula, maka sesudah bertempur puluhan jurus, Lili mulai terkurung
rapat dan terdesak.
Sementara itu, tidak saja
Tiong Kun Tojin dan Kam Wi memandang dengan amat kagum menyaksikan ilmu
kepandaian Lill, akan tetapi terutama sekali Kam Liong menjadi sangat terkejut.
Sedikit pun tidak pernah disangkanya bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang
sedemikian hebatnya sehingga mampu menghadapi keroyokan Hailun Thai-lek
Sam-kui! Akan tetapi dia merasa bukan main cemasnya pada saat melihat betapa
gulungan sinar pedang gadis itu semakin menjadi kecil karena terdesak oleh tiga
senjata istimewa yang dimainkan oleh tiga iblis tua itu.
“Liong-ji,” tiba-tiba saja Kam
Wi berkata dengan penuh kekaguman, “Nona ini betul-betul patut menjadi
isterimu! Aku akan melamarnya untukmu kepada Pendekar Bodoh!”
Ucapan ini dikeluarkan dengan
keras sehingga terdengar pula oleh Lili yang menggigit bibirnya dengan muka
makin merah. Akan tetapi dia tidak sempat untuk melayani orang kasar yang jujur
ini.
“Memang mengagumkan sekali,”
Tiong Kun Tojin berkata, “pinto sendiri pun sepenuhnya setuju kalau Kam Liong
dapat berjodoh dengan Nona Sie yang gagah perkasa ini.” Akan tetapi ucapan tosu
ini hanya perlahan dan terdengar oleh Kam Liong dan Kam Wi saja. Tentu saja Kam
Liong merasa amat gembira mendengar ucapan dua orang ini.
“Sungguh pun teecu merasa
setuju sekali akan tetapi orang seperti teecu mana berharga untuk menjadi
jodohnya?” kata pemuda ini dengan hati berdebar.
Ucapan terakhir dari pemuda
ini terdengar oleh Lili maka ia menjadi makin tak enak hati. Dia ingin sekali
mengalahkan ketiga orang lawannya dan segera pergi dari mereka yang membuatnya
amat jengah dan malu, akan tetapi bagaimana ia dapat lolos dari kepungan tiga
orang lawan yang hebat ini?
Dia telah mendengar penuturan
Goat Lan betapa gadis kosen itu pun kalah menghadapi keroyokan Thai-lek
Sam-kui, maka teringatlah dia akan cerita Goat Lan bahwa tiga iblis tua ini tak
bermaksud mencelakakan lawannya dan hanya bertempur mati-matian karena haus
akan kemenangan belaka!
Mereka tidak akan melukaiku,
pikir Lili, dan gadis ini memutar otaknya yang cerdik. Kalau aku tidak
menggunakan senjata, mereka tentu takkan mendesak hebat dalam kekuatiran mereka
melukaiku dan apa bila mereka memperlambat gerakan, maka dengan ilmu silat
Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) apakah aku takkan dapat merampas
senjata mereka? Setelah berpikir demikian gadis ini kemudian menyimpan
pedangnya dan kini ia bersilat dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, ilmu silat
tangan kosong ciptaan Bu Pun Su kakek gurunya yang khusus untuk menghadapi
lawan bersenjata!
Tubuh gadis yang lincah ini
menjadi makin ringan dan dia lalu melompat ke sana ke mari bagai burung merak
indah yang menyambar-nyambar di antara sambaran senjata lawan sambil mencari
kesempatan untuk mengulur tangan dan mencengkeram senjata lawan untuk
dirampasnya.
“Aduh, hebat! Inilah agaknya
Kong-ciak Sin-na dari Bu Pun Su yang lihai!” Thian-he Te-it Siansu berseru.
“Dia mau merampas senjata, lekas kita menghadapinya dengan tangan kosong pula!”
Ternyata kakek kate ini cerdik
sekali dan ia telah tahu akan maksud gadis itu. Lili menjadi semakin gelisah
dan gemas. Karena sekarang ketiga orang lawannya bertangan kosong dan mereka
ternyata adalah ahli-ahli lweekeh yang tenaganya hebat, harapannya untuk dapat
lolos menjadi tipis sekali. Di dalam kemarahannya, Lili kemudian merubah
gerakan tubuhnya dan kini dua lengannya mengebulkan uap putih dan hawa pukulan yang
hebat keluar dari lengan yang berkulit putih halus itu!
“Hebat sekali, inilah Pek-in
Hoat-sut dari Bu Pun Su!” teriak Thian-te Te-it Siansu dengan gembira.
Dia sudah mencabut payungnya
lagi yang segera dikembangkan untuk menangkis hawa pukulan yang luar biasa dari
Lili. Juga kedua orang adiknya lalu mengeluarkan senjata masing-masing karena
dengan bertangan kosong, mereka tidak akan berani menghadapi Pek-in Hoat-sut
yang lihai.
Bukan main gemasnya hati Lili.
Dia berseru nyaring, “Baiklah, aku akan mengadu jiwa dengan kalian!”
Dan sekejap mata kemudian,
kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangannya. Inilah keputusan terakhir
yang berarti bahwa gadis ini bukan hendak pibu lagi, melainkan hendak bertempur
mati-matian dengan maksud membunuh!
Akan tetapi, ketiga orang
iblis tua itu tidak takut sama sekali, bahkan terdengar mereka tertawa-tawa
mengejek sambil mengurung Lili. Memang mereka bertiga tentu saja lebih kuat
dari pada Lili, dan betapa pun gadis ini mainkan kipas dan pedangnya, tetap
saja ia terkurung dan tak dapat lolos!
Tiba-tiba saja berkelebat
bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu tanpa dapat dicegah lagi oleh Tiong
Kun Tojin mau pun Kam Wi, Kam Liong telah meloncat masuk ke dalam gelanggang
pertempuran dengan pedang di tangan.
“Sam-wi Totiang, harap suka
melepaskan Nona Sie!” Panglima Muda ini berteriak sambil memutar pedangnya,
membantu Lili menangkis serangan lawan.
Thai-lek Sam-kui lalu menunda
serangannya, “Ha-ha-ha, Kam-ciangkun, tentu saja kami akan menghentikan
serangan kalau Nona Sie suka mengaku bahwa kepandaian Hailun Thai-lek Sam-kui
masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”
“Jangan ngacau!” bentak Lili.
“Biar pun ada sepuluh orang seperti kalian, ayahku takkan kalah!” Dengan gemas
sekali, gadis ini lalu menyerang lagi dan disambut oleh Thai-lek Sam-kui sambil
tertawa-tawa.
“Sam-wi Totiang, jangan serang
dia!” Kam Liong kembali mencegah.
“Kam-ciangkun, kau sayang
kepada Nona ini? Boleh kau bantu padanya agar permainan ini lebih gembira.
Ha-ha-ha!” Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak.
Demikianiah, pertempuran kini
menjadi lebih ramai lagi dengan adanya Kam Liong yang membantu Lili. Lili
menjadi makin gemas. Bantuan dari Kam Liong tidak menyenangkan hatinya, karena
hal itu dianggap merendahkannya. Akan tetapi apa pula yang dapat dia lakukan?
Betapa pun juga, harus ia akui bahwa seorang diri saja tak mungkin ia akan
dapat lolos dan kini bantuan Kam Liong, biar pun tak dapat mendatangkan
kemenangan baginya namun dapat membuat ia agak bernapas lega, tidak repot
seperti tadi.
Melihat betapa pertempuran
itu, terutama dari pihak Lili, dilakukan dengan mati-matian dan
sungguh-sungguh, timbul hati khawatir pada Tiong Kun Tojin dan Kam Wi. Keduanya
saling memberi tanda dengan mata dan sekali mereka menggerakkan tubuh, mereka
pun telah melompat ke dalam gelanggang pertempuran.
“Sam-wi Beng-yu, harap suka
mengalah dan mundur!” Tiong Kun Tojin berkata sambil menggerakkan tangannya ke
arah payung yang dipegang oleh Thian-he Te-it Siansu. Si Kakek Kate ini merasa
betapa angin pukulan yang amat hebat keluar dari tangan tokoh Kun-lun-pai itu,
maka cepat dia menarik kembali payungnya dan melompat mundur.
Juga Kam Wi sebagai tokoh
Kun-lunpai ke dua, lalu memperlihatkan kepandaiannya. Dia hanya mengebutkan
kedua ujung lengan bajunya, akan tetapi kedua ujung baju itu sudah cukup untuk
menggempur tongkat dan rantai di tangan Bouw Ki dan Lak Mou Couwsu sehingga
senjata mereka terpental ke belakang!
Hailun Thai-lek Sam-kui
melompat mundur dan Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak. “Nona Sie, sekarang
sudah sepantasnya kalau kau mengakui bahwa kepandaian Hailun Thai-lek Sam-kui
masih lebih unggul dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”
“Manusia sombong, kalau
sewaktu-waktu kalian mendapat kehormatan bertemu dengan ayah, kalian ini seorang
demi seorang tentu akan mendapat tamparan agar melenyapkan kesombonganmu!”
Setelah berkata demikian, Lili lalu mengangguk kepada Kam Liong dan berkata,
“Kam-ciangkun, maafkan, aku
tidak dapat berdiam di sini lebih lama lagi!” Dia kemudian melompat jauh dan
tidak pedulikan lagi seruan Kam Liong yang hendak menahannya.
Tiong Kun Tojin menarik napas.
“Seorang gadis yang gagah. Aku setuju usul Sute untuk menjodohkannya dengan Kam
Liong.”
Kam Wi menegur Thai-lek
Sam-kui mengapa mereka ini sebagai orang-orang tua masih suka mengganggu
seorang gadis muda seperti itu. Ada pun Kam Liong, betapa pun mendongkolnya
terhadap Thai-lek Sam-kui, namun ia tidak berani menegur. Mereka lalu masuk
kembali ke dalam goa yang kini telah padam api unggunnya, lalu merundingkan
cara untuk mencegah penyerbuan tentara musuh, yaitu bala tentara Mongol dan
Tartar.
“Pinto mendengar berita bahwa
pasukan Mongol dibantu oleh orang-orang pandai dari pedalaman, entah
siapa-siapa orangnya. Oleh karena inilah maka pinto dan Siok-hu-mu sengaja
mengumpulkan teman-teman untuk menghadapi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang
tak tahu malu itu,” kata Tiong Kun Tojin kepada muridnya. “Baiknya kau pimpin
dulu pasukanmu untuk menjaga garis depan di sepanjang tembok besar, pinto akan
menanti dahulu di sini sampai kawan-kawan kita tiba di sini, baru kami akan
menyusul ke garis depan.”
Setelah berunding, Kam Liong
lalu kembali ke tempat di mana pasukannya berhenti dan kemudian memimpin
pasukannya maju terus ke utara. Di dalam hatinya ia merasa amat menyesal dan
kecewa sekali karena Lili telah meninggalkannya sehingga diam-diam dia
menyumpahi Hailun Thai-lek Sam-kui yang telah menyebabkan gadis itu menjadi
marah-marah dan pergi.
Akan tetapi secara diam-diam
dia juga merasa girang dan bersyukur sekali karena suhu dan siok-hu-nya sudah
berjanji hendak meminang Lili untuknya kepada Pendekar Bodoh! Maklum bahwa
gadis itu pasti akan pergi ke Gunung Alkata-san dimana Hong Beng dan Goat Lan
berada, maka dia pun tidak merasa khawatir. Dia lalu mempercepat perjalanan
pasukannya ke Gunung Alkata-san…..
********************
Mari kita sekarang mengikuti
perjalanan Lie Siong putera Ang I Niocu, pemuda remaja yang gagah perkasa dan
berwatak sukar dan aneh itu. Sebagaimana telah diketahui, Lie Siong berhasil menotok
Lo Sian hingga tidak berdaya dan membawa Pengemis Sakti itu. Ia menculik Lo
Sian bukan karena ia benci kepada pengemis ini, akan tetapi sebenarnya karena
dia ingin sekali mengetahui keadaan ayahnya, yakni pendekar besar Lie Kong
Sian.
Setelah membawa Lo Sian jauh
dari Shaning malam hari itu, Lie Siong lalu menurunkan Lo Sian dari
pondongannya dan meletakkannya di atas rumput. Dia tidak membebaskan Lo Sian
dari totokan, sebaliknya bahkan lalu merebahkan diri di bawah pohon dan tidur.
Pemuda ini telah melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah sekali.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali dia telah bangun dan ketika melihat ke arah Lo Sian, dia
melihat pengemis tua itu masih berbaring tanpa dapat bergerak. Timbullah rasa
kasihan dalam hatinya, maka dia lalu menghampiri Lo Sian dan melepaskan
totokannya. Beberapa kali urutan dan tepukan pada tubuh pengemis itu,
terbebaslah Lo Sian. Akan tetapi oleh karena selama setengah malam Lo Sian
berada dalam keadaan tertotok, dia masih merasa lemas dan hanya dapat bangun
duduk dengan payah sekali.
Pengemis ini segera meramkan
mata bersemedhi untuk menyalurkan tenaga dalamnya dan mengatur napasnya agar
supaya jalan darahnya bisa normal kembali. Lie Siong lalu menempelkan telapak
tangannya pada telapak tangan pengemis itu dan membantunya dengan menyalurkan
hawa dan tenaga dalamnya hingga sebentar saja Lo Sian merasa tubuhnya hangat
dan kuat.
Diam-diam Lo Sian merasa heran
melihat pemuda ini. Baru saja menotok, menculik dan menyiksanya dengan
membiarkannya dalam keadaan tertotok sampai setengah malam, akan tetapi
sekarang bahkan membantunya melancarkan jalan darahnya sehingga cepat menjadi
baik kembali. Sungguh pemuda yang aneh sekali!
Ia membuka matanya dan
menggerakkan tangannya. Lie Siong lalu menjauhkan diri dan duduk menghadapi
pengemis itu.
“Anak muda, apa maksudmu
menculik kemudian membawaku ke tempat ini?” kata-kata pertama yang keluar dari
mulut Lo Sian ini terdengar tenang sekali.
Pandangan mata pengemis ini
yang begitu tenang dan mengandung tenaga batin yang tinggi, membuat Lie Siong
tiba-tiba merasa malu kepada diri sendiri sehingga mukanya menjadi
kemerah-merahan. Pandang mata ini mengingatkan dia pada ayahnya. Seperti itulah
pandang mata ayahnya, kalau dia tak salah ingat.
“Maaf, Lopek. Sebenarnya aku
tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan kau, dan sungguh tidak ada alasan
sama sekali bagiku untuk menyusahkan kau orang tua. Akan tetapi ucapanmu yang
kudengar di rumah Thian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu dahulu itu
selalu tidak pernah dapat terlupakan olehku. Ketahuilah, terus terang saja aku
adalah putera tunggal dari Lie Kong Sian, Ang I Niocu adalah ibuku, dan namaku
Lie Siong. Cukup sekian keterangan mengenai diriku. Sekarang yang paling
penting, apakah maksud kata-katamu dahulu itu yang menyatakan bahwa ayahku
telah meninggal dunia? Ketahuilah bahwa aku sedang mencari ayahku dan di Pulau
Pek-le-to aku tidak dapat menemukannya. Karena kau mengenal ayahku, maka aku
ingin agar kau menceritakan apa maksud kata-katamu tentang kematian ayah itu.”
Setelah berkata demikian, pemuda itu memandang tajam.
Lo Sian merasa ngeri melihat
mata yang berbentuk bagus itu mengeluarkan sinar yang amat tajam, seakan-akan
hendak menembus dadanya. Ia tidak tahu bahwa seperti itulah mata Ang I Niocu,
Pendekar Wanita Baju Merah yang dulu telah menggemparkan dunia persilatan.
“Sayang sekali, orang muda.
Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, karena sebetulnya aku sendiri pun tidak
tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu itu.”
“Lopek, harap kau orang tua
jangan main-main! Kau pernah berkata bahwa Ayah mati, akan tetapi sekarang kau
menyatakan tidak tahu apa-apa. Apa artinya ini?”
“Aku bicara sebenarnya, anak
muda, dan sama sekali aku tidak mempermainkanmu atau juga membohong kepadamu.
Aku telah kehilangan ingatan sama sekali, aku tidak tahu apa yang telah terjadi
dahulu. Ingatanku hanya terbatas semenjak di tempat Thian Kek Hwesio sampai
sekarang. Sebelum itu, yang teringat olehku hanya bahwa ayahmu telah meninggal
dunia.”
“Di mana matinya dan
bagaimana? Di mana makamnya.” Lie Kong mendesak.
Lo Sian menarik napas panjang.
“Percayalah, anak yang baik. Satu-satunya hal yang akan kukerjakan pertama-tama
kalau ingatanku dapat kembali adalah mengingat tentang ayahmu itu. Akan tetapi
apa daya, pikiranku hampir menjadi rusak dan harapanku untuk hidup hampir
musnah karena aku telah berusaha mengingat-ingat tanpa hasil sedikit pun juga.
Kau tenanglah dan coba dengar penuturanku.”
Lo Sian lalu menceritakan
semua pengalamannya, yaitu semenjak tahu-tahu dia merasa berada di tempat
tinggal Thian Kek Hwesio yang menyembuhkannya dan menceritakan pula semua
pengalamannya yang didengarnya kembali dari Lili, yaitu pada waktu ia dulu
menolong Lili.
“Ahh, sampai sekarang aku
tidak bisa mengingat kembali hal yang terjadi sebelum aku disembuhkan oleh
Thian Kek Hwesio. Hanya ada dua hal yang masih terbayang di depan mataku, yaitu
ayahmu yang telah meninggal dan ucapan pemakan jantung yang selama ini
membuatku tak dapat tidur.”
Lie Siong mengerutkan alisnya.
Dapatkah dia mempercaya omongan seorang yang baru saja sembuh dari sakit gila?
“Betapa pun juga, anak muda.
Aku mempunyai perasaan bahwa ayahmu itu pasti mati dalam keadaan yang
mengerikan, dan aku juga merasa yakin bahwa kalau aku melihat kuburannya, tentu
akan mengenal tempat itu.”
Timbul kembali harapan Lie
Siong. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata,
“Kalau begitu, Lopek. Terpaksa
kau harus ikut dengan aku mencari makam ayah, kalau benar-benar dia telah
meninggal dunia seperti yang kau katakan tadi.”
“Boleh, boleh! Hanya saja...
bagaimana dengan Lili?”
“Lili siapa?”
“Sie Hong Li, nona yang
kutinggalkan seorang diri. Dia adalah anak baik, seperti anak atau keponakanku
sendiri. Dia tentu akan gelisah sekali.”
“Biar saja, dia bukan anak
kecil lagi dan kepandaiannya cukup tinggi untuk menjaga diri sendiri,” jawab
Lie Siong tegas.
“Ke mana kita akan pergi?”
“Sudah kukatakan tadi, mencari
makam ayah.”
“Setelah itu?”
“Aku akan mengantarkan seorang
gadis ke utara untuk mencarikan suku bangsanya.”
Lo Sian teringat akan cerita Lili.
“Ahh, gadis yang dulu kau ganggu itu?”
Merah muka Lie Siong. “Jangan
berbicara sembarangan, Lopek! Gadis itu adalah Lilani, seorang gadis Haimi yang
kutolong dari gangguan orang jahat. Sekarang dia menderita penyakit pikiran dan
kutinggalkan di rumah Thian Kek Hwesio. Kita sekarang menuju ke sana untuk
melihat keadaannya.”
Lo Sian tertegun mendengar
kekerasan hati pemuda ini. Lili boleh disebut seorang gadis yang berhati keras,
akan tetapi pemuda ini lebih-lebih lagi!
“Baiklah, aku menurut saja, karena
aku merasa kagum dan menghormat pada ayahmu, seorang pendekar besar. Biar pun
aku tidak ingat lagi, namun aku merasa yakin bahwa aku dahulu tentu pernah
ditolong oleh ayahmu. Maka sudah menjadi kewajibanku kalau sekarang aku
membantumu mencarikan makamnya. Jangan sekali-kali kau menganggap kepergianku
denganmu ini sebagai tanda bahwa aku takut kepadamu, anak muda. Ahh, bukan
sekali-kali. Biar pun kepandaianmu boleh lebih tinggi dariku, namun aku Sin-kai
Lo Sian bukanlah seorang yang takut mati. Aku menuruti kehendakmu karena aku
pun ingin sekali mendapatkan makam pendekar besar Lie Kong Sian ayahmu.”
Lie Siong mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sangat suka melihat sikap pengemis ini yang dianggapnya cukup
gagah dan patut dijadikan kawan seperjalanan. Berangkatlah kedua orang ini
menuju ke Ki-ciu untuk melihat keadaan Lilani gadis Haimi yang bernasib malang
itu. Tentu saja sebagai seorang yang pendiam dan tidak banyak bicara, Lie Siong
tidak menceritakan hubungannya dengan Lilani itu.
Dengan hati girang Lie Siong
mendapatkan Lilani telah sembuh dari sakitnya, hanya saja gadis ini sekarang
berubah menjadi pendiam sekali. Dia telah mendapat banyak nasehat dan petuah
dari Thian Kek Hwesio, karena setelah diobati, gadis ini menganggap Thian Kek
Hwesio sebagai satu-satunya orang yang dapat diajak bertukar pikiran. Pendeta
tua yang sudah banyak sekali pengalamannya ini dan yang paham dengan bahasa
Haimi, mendengarkan pengakuan dan penuturan Lilani dengan wajah tenang dan
sabar.
“Itulah salahnya bila
orang-orang muda kurang memperhatikan tentang kesopanan yang sudah jauh lebih
tua dari pada kita umurnya. Amat tidak sempurna kalau seorang gadis seperti
engkau melakukan perjalanan berdua dengan seorang pemuda seperti Lie Siong yang
tampan dan gagah. Mudah sekali bagi iblis untuk mengganggu kalian.” Hwesio itu
menarik napas panjang. “Akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Yang
terpenting sekarang, dengarlah nasehatku. Apa bila kau memang benar-benar sudah
merasa yakin bahwa cintamu tidak terbalas oleh pemuda itu, jalan satu-satunya
bagimu adalah kembali ke bangsamu sendiri! Kebiasaanmu dan kebiasaan Lie Siong,
sebagai seorang gadis Haimi dan seorang pemuda Han tidak cocok sekali. Kau
biasa hidup bebas, sedangkan orang Han selalu terikat oleh peraturan-peraturan
kesusilaan dan kesopanan sehingga kalau ikatan itu terlepas sedikit saja, akan
membahayakan. Memang baik sekali kalau dia mau menikah denganmu, akan tetapi
kalau hal demikian tidak terjadi, jalan satu-satunya adalah seperti yang
kukatakan tadi. Nah, terserah kepadamu.”
Lilani mendengarkan nasehat
ini sambil meramkan mata untuk menahan air mata yang mulai mengucur. Alangkah
besamya cinta hatinya terhadap Lie Siong. Akan tetapi ia juga dapat merasakan
bahwa pemuda itu tidak mencintainya. Sebelum mendengar nasehat dari Thian Kek
Hwesio, memang dia sudah mengambil keputusan untuk kembali kepada bangsanya,
dan dia sekarang makin tetap lagi hatinya.
Demikianlah, ketika Lie Siong
datang, Thian Kek Hwesio lalu memanggil pemuda itu ke dalam kamarnya dan
berkata,
“Anak muda she Lie. Pinceng
telah mendengar semua penuturan Lilani tentang hubungan kalian. Katakan saja
terus terang kepada pinceng, apakah ada niat dalam hatimu untuk mengawininya?”
Lie Siong menundukkan mukanya
yang menjadi merah sekali dan kemudian menggeleng kepalanya. Akan tetapi
pernyataan dengan gelengan kepala ini segera disusulnya dengan berkata, “Betapa
pun juga, Losuhu, aku takkan membuatnya sengsara dan meninggalkan dia begitu
saja. Aku akan menjaganya, kalau perlu mengambilnya sebagai adik angkat, atau…
bagaimana saja menurut sekehendak hatinya asalkan... asalkan jangan menjadi
suaminya!”
“Pinceng maklum akan isi
hatimu. Kau sudah bersalah, akan tetapi kalau kau sudah mau mengakui
kesalahanmu dan kini mau bertanggung jawab memperhatikan nasib gadis itu, kau
boleh disebut orang baik.”
“Aku akan mencari suku bangsa
Haimi dan membawa Lilani kembali kepada bangsanya. Tentu saja aku tidak akan
memaksanya, hanya saja inilah kehendakku.”
Thian Kek Hwesio
mengangguk-angguk. “Baik, itulah jalan yang terbaik. Pinceng merasa girang
sekali mendengar kau mempunyai ketetapan hati seperti itu. Dengar, anak muda.
Kalau kau bukan putera pendekar besar Lie Kong Sian dan Ang I Niocu yang
keduanya sudah memupuk perbuatan baik dan kebajikan, kiranya pinceng tak akan
mau bersusah payah memberi nasehat dan mencampuri urusanmu. Akan tetapi,
sebagai seorang lelaki yang gagah, kau harus berani bertanggung jawab atas
segala perbuatanmu. Di dalam kegelapan pikiran kau sudah melakukan pelanggaran
bersama Lilani dan sungguh pun kau tidak dapat mengawininya, akan tetapi kau
harus penuh tanggung jawab mengatur kehidupannya dan sekali-kali jangan
menyia-nyiakan dia sehingga gadis yang malang itu hidup dalam kesengsaraan.
Kalau kau meninggalkannya begitu saja tanpa persetujuan hatinya, kau akan
menjadi seorang siauw-jin (orang rendah). Mengertikah kau?”
Kalau sekiranya yang bicara
itu bukan Thian Kek Hwesio yang memiliki daya pengaruh luar biasa memancar
keluar dari wajahnya yang tenang, sabar dan berwibawa itu, pasti Lie Siong akan
menjadi marah sekali. Akan tetapi kali ini pemuda itu hanya menundukkan kepala
dan menyatakan kesanggupannya.....
Ketika Lilani bertemu dengan
Lie Siong, gadis itu memandang dengan mata sayu, lalu bertanya perlahan,
“Taihiap, bilakah kita akan mencari suku bangsaku?”
“Sekarang juga, Lilani. Hari
ini juga!” jawab Lie Siong dengan hati diliputi keharuan besar.
Ada pun Lo Sian begitu bertemu
dengan Thian Kek Hwesio, cepat-cepat dia memberi hormat. Hwesio sangat tua itu
mengangguk-angguk lagi dengan senang.
“Adanya Sin-kai Lo Sian
bersama Lie Siong, menandakan bahwa pemuda itu betul-betul seorang yang boleh
dipercaya,” pikir hwesio ini, karena dia tahu betul orang macam apa adanya
Sin-kai Lo Sian.
“Lebih baik kita mengantar
dulu Nona Lilani ke utara. Setelah kita dapat bertemu dengan rombongan suku
bangsa Haimi dan mengembalikan Nona itu kepada bangsanya, baru kita mencoba
untuk mencari keterangan perihal ayahmu,” kata Lo Sian sesudah mereka bertiga
mulai melakukan perjalanan.
Lie Siong menyetujui pikiran
ini, akan tetapi dia hendak mengetahui pendirian Lilani yang kini nampak
demikian pendiam dan wajahnya selalu diliputi kemurungan.
“Taihiap tahu bahwa aku selalu
hanya menurut saja. Sesuka hatimu sajalah, aku hanya ikut, karena apakah daya
seorang seperti aku?” jawaban ini tak saja membuat Lie Siong menjadi amat
terharu, bahkan Lo Sian yang tidak tahu apa-apa tentang urusan mereka, menjadi
kasihan sekali melihat Lilani. Dia lalu bersikap ramah tamah dan baik terhadap
gadis ini sehingga Lilani merasa agak terhibur dan suka kepada Pengemis Sakti
ini.
Beberapa hari kemudian,
sampailah mereka di kota Ciang-kou, dekat dengan tapal batas Mongolia di
Propinsi Ho-pak. Mereka melihat kota itu sunyi seperti kota-kota dan dusun
lainnya di dekat tapal batas, karena penduduknya sebagian besar telah pergi
mengungsi ke selatan, takut akan penyerbuan dan gangguan tentara-tentara.
Di sepanjang jalan, Lie Siong
dan Lo Sian mendengar tentang kekacauan dan gangguan para tentara Mongol dan
Tartar. Lo Sian yang berjiwa patriot itu menjadi marah sekali dan beberapa kali
dia menyatakan kepada Lie Siong bahwa kalau dia bertemu dengan tentara musuh,
dia tentu akan menyerang mereka! Sebaliknya, pemuda itu hanya diam saja tidak
menyatakan perasaannya hingga sukar bagi Lo Sian untuk mengetahui isi hati
pemuda aneh ini.
Seperti biasa, di dalam kota
Ciang-kou mereka mencari tempat bermalam di dalam kuil yang sudah ditinggal
pergi oleh para hwesio-nya, dan di sana hanya terdapat dua orang hwesio penjaga
kuil yang ramah tamah.
“Sicu, sungguh amat berani
sekali Ji-wi Sicu datang ke tempat ini. Setiap waktu kota ini dapat diserbu
oleh gerombolan musuh yang jahat. Tentu saja untuk Nona ini tidak ada
bahayanya.” Kedua hwesio ini memandang kepada Lilani dengan kening dikerutkan.
Betapa pun Lilani bersikap
sebagai seorang gadis Han, tetap saja kecantikannya yang berbeda dengan
gadis-gadis Han itu mudah menimbulkan dugaan bahwa dia bukanlah gadis bangsa
Han. Kulit seorang gadis Haimi berbeda dengan gadis Han yang kulitnya kekuning-kuningan.
Sebaliknya kulit tubuh gadis ini putih kemerah-merahan.
“Biarkan mereka datang, akan
kami sikat!” kata Lo Sian dengan marah sekali.
Kedua orang hwesio itu diam
saja, akan tetapi di dalam hatinya mengejek orang yang berpakaian pengemis itu.
Siapa berani bersikap sombong terhadap gerombolan Mongol yang mempunyai banyak
perwira pandai?
Akan tetapi, ketika Lie Siong
minta tolong kepada hwesio itu untuk membelikan makanan dan mengeluarkan uang
perak, pendeta-pendeta itu bersikap manis dan membantu serta melayani mereka
dengan ramah. Lie Siong dan kawan-kawannya tidak mengira bahwa diam-diam kedua
orang hwesio itu telah melaporkan hal keadaan mereka, terutama Lilani kepada
seorang gagah yang selalu melakukan pengawasan terhadap mata-mata Mongol di tempat
itu. Orang gagah ini bukan lain adalah Kam Wi, paman dari Kam Liong!
Di dalam usahanya mencari
kawan-kawan yang hendak membantu pertahanan tapal batas dari serangan musuh,
Kam Wi memisahkan diri dari suheng-nya, Tiong Kun Tojin dan pergi sampai ke
kota Ciang-kou. Di sepanjang jalan dia selalu berlaku waspada. Apa bila dia
melihat ada orang-orang kang-ouw yang hendak menyeberang ke utara untuk
bersekutu dengan orang-orang Mongol, tentu orang-orang kang-ouw itu akan
dibujuknya, baik dengan jalan halus atau pun dengan cara kasar!
Mendengar laporan kedua orang
hwesio itu bahwa ada dua orang gagah yang sikapnya mencurigakan bersama seorang
gadis Haimi hendak bermalam di kuil, diam-diam Kam Wi merasa curiga sekali.
Pada keesokan harinya, ketika Lie Siong, Lo Sian dan Lilani melanjutkan
perjalanan mereka, sebelum meninggalkan kota yang sunyi itu, tiba-tiba saja
mereka sudah berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi besar yang melompat
keluar dari sebuah tikungan jalan. Orang ini bukan lain adalah Kam Wi.
Begitu melihat keadaan Lilani,
maka tahulah Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu bahwa gadis ini memang seorang gadis
Haimi. Maka, untuk mencari bukti, dia segera menegur Lilani dalam bahasa Haimi,
“Apakah kau orang Haimi?”
Ditegur demikian tiba-tiba
dalam bahasanya sendiri, Lilani menjadi terkejut, akan tetapi dia menjawab
juga, “Betul! Saudara siapakah?”
Akan tetapi Kam Wi tak banyak
cakap lagi, segera membentak dan mengulur tangannya hendak menangkap pundak
kiri Lilani, “Mata-mata Mongol! Jangan harap kau akan dapat melepaskan diri
dari Sin-houw Enghiong!”
Akan tetapi Lilani bukanlah
seorang gadis yang lemah. Ia pun telah mendapat tambahan pelajaran silat dari
Lie Siong, maka kegesitannya bertambah. Melihat betapa orang tinggi besar yang
berwajah galak itu tiba-tiba menyerang dan hendak menangkap pundaknya, dia
cepat mengelak dan melompat mundur.
Bukan main marahnya hati Kam
Wi melihat cengkeramannya dapat dielakkan oleh gadis itu. Sekarang
kecurigaannya makin bertambah. Seorang gadis Haimi dapat mengelak dari cengkeramannya
pastilah bukan orang sembarangan dan patut kalau menjadi mata-mata Mongol atau
setidaknya pencari orang-orang kang-ouw untuk membantu gerakan bangsa Mongol.
“Bagus, kau berani mengelak?
Cobalah kau mengelak lagi kalau dapat!” Sambil berkata demikian, Kam Wi
mengeluarkan kepandaiannya yang sangat diandalkan, yaitu Ilmu Silat
Houw-jiauw-kang! Tangannya terulur maju merupakan cengkeraman atau kuku harimau
dan dia menubruk ke depan untuk menangkap atau mencengkeram pundak gadis itu!
Lilani benar-benar menjadi
bingung dan gugup. Serangan kali ini hebat bukan main dan kedua tangan Kam Wi
yang merupakan kuku harimau itu betul-betul sulit untuk dielakkan lagi. Jalan
ke kanan kiri atau ke belakang telah tertutup sehingga Lilani hanya akan dapat
menghindarkan serangan ini kalau ia dapat ke atas atau amblas ke dalam bumi!
Tetapi pada saat itu terdengar
bentakan keras dan tahu-tahu tubuh gadis itu benar-benar mumbul ke atas! Kam Wi
sampai membelalakkan matanya ketika tiba-tiba yang hendak ditangkapnya itu
lenyap dari depan matanya dan telah melompati tubuhnya, melalui atas kepala dan
tiba di belakangnya! Ia cepat menengok dan ternyata bahwa yang menolong gadis
itu adalah pemuda yang tadi bersama gadis itu datang dengan tenangnya.
Memang sesungguhnya adalah Lie
Siong yang telah menolong Lilani dari cengkeraman Kam Wi tadi. Ketika tadi
pemuda itu melihat betapa Lilani terancam bahaya cengkeraman yang demikian
lihainya, cepat dia melompat sambil menyambar pinggang Lilani, dibawa lompat
melewati atas kepala Kam Wi dengan gerakan Hui-niau Coan-in (Burung Terbang
menerjang Mega)! Dengan gerakan ginkang yang luar biasa ini ia pun berhasil
menolong gadis itu sehingga kini Kam Wi memandang dengan tertegun dan penuh
kekaguman.
“Siapa Saudara muda yang gagah
ini? Mengapa dapat bersama dengan seorang gadis Haimi yang menjadi mata-mata
Mongol? Apakah mungkin seorang enghiong yang gagah perkasa sampai tersesat dan
hendak mengkhianati bangsa sendiri?”
Sebelum Lie Siong sempat
menjawab, Lo Sian sudah mendahuluinya. Pengemis tua ini mengangkat kedua tangan
menjura sambil berkata,
“Orang gagah, harap kau suka
bersabar dahulu, agaknya kau sudah salah sangka! Kami sekali-kali bukanlah
pengkhianat-pengkhianat seperti yang kau kira!”
Kam Wi berpaling kepada Lo
Sian dan ketika melihat pengemis ini ia memandang penuh perhatian dan berkata,
“Ahh, bukankah aku berhadapan
dengan Sin-kai Lo Sian?”
Lo Sian tertegun dan ia
mengerti bahwa dulu tentu orang yang gagah ini pernah bertemu atau bahkan kenal
dengannya, akan tetapi dia telah lupa sama sekali. Karena itu dengan senyum
ramah ia berkata,
“Maaf, memang benar siauwte
adalah Lo Sian orang yang bodoh. Akan tetapi sungguh otakku yang tumpul tidak
ingat lagi siapa adanya orang gagah yang berdiri di hadapanku sekarang.”
Kam Wi tertawa bergelak. “Ah,
ahh, Sin-kai Lo Sian benar-benar suka bergurau! Kini aku sudah tak ragu-ragu
lagi bahwa kawan-kawanmu ini pasti bukan orang jahat, akan tetapi sungguh
sangat mengherankan apa bila seorang Sin-kai Lo Sian sampai lupa kepadaku. Aku
adalah Kam Wi, sudah lupa lagikah kau akan Sin-houw-enghiong dari Kun-lun-pai?”
Akan tetapi Kam Wi tidak tahu
bahwa benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi kepadanya. Bagaimanakah pengemis ini
dapat ingat kepadanya sedangkan terhadap diri sendiri saja sudah lupa? Akan
tetapi Lo Sian tidak mau berpanjang lebar, maka cepat ia menjura lagi sambil
berkata,
“Ah, tidak tahunya
Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh dari Kun-lun-pai! Maaf, maaf, kami tidak tahu
sebelumnya maka sudah berani bertindak kurang ajar. Harap Enghiong suka
melepaskan kami, karena sesungguhnya kami bukanlah orang-orang jahat. Kami
hendak mengantar Nona ini kembali ke bangsanya maka bisa sampai di tempat ini.”
Kam Wi berdiri ternganga. Lo
Sian sama sekali tidak menyangka bahwa ucapannya ini benar-benar mengherankan
hati Kam Wi karena dahulu Lo Sian tidak sedemikian ‘sopan santun’ sikapnya.
Mengapa pengemis ini begini berubah?
“Sungguh aneh!” Kam Wi
berkata. “Kalian tidak bermaksud menggabungkan diri dengan para pengkhianat
bangsa, akan tetapi ingin mencari suku bangsa Haimi, sedangkan suku bangsa
Haimi sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol! Bangsa Haimi dan bangsa Mongol
sudah menjadi sekutu untuk menyerang dan mengganggu negara kita!”
“Kau bohong!” tiba-tiba Lilani
berseru keras. “Bangsaku tidak pernah berlaku seperti itu! Selamanya bangsaku
bahkan selalu diganggu oleh orang-orang Mongol, dan sebaliknya selalu mendapat
pertolongan bangsa Han. Tak mungkin sekarang bisa bersekutu dengan
perampok-perampok Mongol!”
“Nona, baiknya kau datang
bersama Sin-kai Lo Sian sehingga aku percaya bahwa kau bukanlah orang jahat.
Apa bila tidak demikian halnya, tuduhan bohong kepada Sin-houw Enghiong Kam Wi
sudah merupakan alasan yang cukup untuk membuatku turun tangan. Aku Kam Wi
selama hidup tak pernah berbohong. Agaknya kau telah lama meninggalkan bangsamu
sehingga kau tidak tahu betapa pemimpinmu yang bernama Saliban itu sudah
membawa bangsamu bersekutu dengan orang.-orang Mongol!”
Lilani kaget sekali. Saliban
adalah seorang di antara sekian banyak pamannya. Memang dia tahu bahwa di
antara paman-pamannya, Saliban adalah seorang yang jahat. Menurut cerita
mendiang ibunya, Meilani, dulu Saliban pernah memberontak bahkan hampir saja
membunuh kakeknya karena pamannya itu ditolak cintanya oleh ibunya yang pada
masa itu sudah bertunangan dengan Manako, mendiang ayahnya.
Lilani berpaling kepada Lie
Siong, “Taihiap, bantulah aku untuk menolong bangsaku dan melenyapkan Saliban
yang memang jahat itu! Mari kita pergi mencari mereka.”
Lie Siong tidak membantah dan
kedua orang muda ini tanpa melirik lagi kepada Kam Wi lalu pergi dari situ. Ada
pun Sin-kai Lo Sian cepat memberi hormat kepada Kam Wi dan berkata,
“Sin-houw-enghiong, terima
kasih atas kepercayaanmu. Biarlah lain waktu kita berjumpa lagi.” Setelah
berkata demikian, Sin-kai Lo Sian hendak pergi.
Akan tetapi Kam Wi menahannya
dengan kata-kata, “Nanti dulu, kawan. Negara sedang terancam oleh penyerbuan
pengacau-pengacau Mongol dan Tartar. Apakah kau sebagai seorang gagah mau
berpeluk tangan saja?”
“Siapa bilang aku hendak peluk
tangan saja? Dimana saja aku bertemu dengan mereka, aku akan mengerahkan
sedikit kebodohanku untuk menghancurkan mereka.”
“Bagus, kalau begitu kau
benar-benar seorang sahabat. Ketahuilah bahwa aku sedang mengumpulkan
kawan-kawan seperjuangan. Jika kau bermaksud membantu, pergilah ke Gunung
Alkata-san dan bantulah tentara kerajaan di sana.”
“Aku akan memperhatikan
omonganmu, Sin-houw-enghiong. Akan tetapi terlebih dahulu aku akan membantu
Nona Lilani mencari bangsanya!” Maka pergilah Lo Sian menyusul Lie Siong dan
Lilani yang telah berangkat lebih dulu.
Setelah mengalami peristiwa
yang tidak enak itu, dan yang disebabkan oleh keadaannya sebagai seorang gadis
Haimi, Lilani lalu berganti pakaian. Ia merasa malu dan menyesal sekali
mendengar betapa bangsanya sudah dibawa tersesat oleh Saliban sehingga suku
bangsa Haimi kini dipandang sebagai musuh oleh orang-orang gagah di dunia
kang-ouw. Untuk mencegah terjadinya hal seperti yang tadi dialami saat bertemu
dengan Sin-houw-enghiong Kam Wi, Lilani lalu mengenakan pakaian seperti seorang
gadis Han, bahkan rambutnya juga diubah susunannya sehingga kini dia
benar-benar merupakan seorang gadis Han yang cantik.
Mereka bertiga melanjutkan
perjalanan dengan cepat, sama sekali tidak menduga bahwa diam-diam Sin-houw-enghiong
Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu masih membayangi mereka. Kam Wi merasa curiga
kepada mereka yang disangkanya mata-mata bangsa Mongol.
Kehadiran Lo Sian memang
menimbulkan kepercayaannya, akan tetapi sebaliknya sikap Lo Sian yang amat
berbeda dengan dahulu, mengembalikan kecurigaannya. Ia tadi telah menyaksikan
kelihaian pemuda tampan yang mengawani gadis itu, maka khawatirlah dia
kalau-kalau mereka itu benar-benar akan menggabungkan diri dengan kaum
pengacau.
Pada suatu pagi, tibalah
mereka di dusun yang berada di sebelah selatan kaki Gunung Alkata-san. Dusun
itu cukup ramai dan di situ banyak sekali orang gagah dari berbagai golongan.
Memang amat mengherankan apa bila melihat di tempat yang jauh di sebelah utara
itu begitu banyak terdapat orang-orang dari selatan. Mereka ini adalah
orang-orang yang biasa melakukan perdagangan dengan orang-orang Mongol dan biar
pun keadaan amat mengkhawatirkan dengan timbulnya bahaya perang, namun
orang-orang yang ulet ini masih saja mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan
keuntungan besar.
Pada saat Lo Sian dan kedua
orang kawannya sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Ha, bangsat muda, kebetulan
sekali aku bertemu dengan kau di sini!” Orang ini ketika dilihat ternyata
adalah Ban Sai Cinjin!
Seperti telah diketahui, Ban
Sai Cinjin pernah bentrok dengan Lie Siong dan pemuda itu mengamuk dan telah
membunuh beberapa orang murid dan kawan Ban Sai Cinjin ketika orang-orang muda
itu mengganggu Lilani dahulu. Kini melihat pemuda ini, bukan main marahnya Ban
Sai Cinjin sehingga dia langsung menegur di jalan raya.
Ban Sai Cinjin bukan seorang
diri di situ, akan tetapi ditemani oleh seorang pengemis tua yang sangat
menyeramkan. Rambutnya dipotong pendek dan berdiri kaku seperti kawat. Pengemis
menyeramkan ini sesungguhnya bukan lain adalah Coa-ong Lojin, ketua dari
perkumpulan Coa-tung Kai-pang!
Sebagaimana sudah dituturkan,
dua orang pengurus kelas satu dari Coa-tung Kai-pang pernah bertempur dan
dikalahkan oleh Hong Beng yang telah diangkat menjadi ketua dari Hek-tung
Kai-pang. Dalam usahanya mencari kawan-kawan, Ban Sai Cinjin berhasil pula
menempel raja pengemis yang terkenal galak dan ganas ini dan kini mereka berada
di utara karena memang Ban Sai Cinjin sudah mengadakan persekutuan dengan Malangi
Khan. Yang menjadi perantara adalah muridnya sendiri yaitu Bouw Hun Ti yang
sudah lebih dahulu menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan membantu
mereka.
Setelah Ban Sai Cinjin tidak
berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan Ji, maka kakek
jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Dia mengubah cita-citanya.
Kini dia berusaha menggunakan
kekuatan tentara Mongol dan berpura-pura membantu Malangi Khan dan kemudian
setelah mendapat kemenangan, akan merampas kedudukan tinggi di kerajaan! Dia
terkenal hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak orang yang
gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban Sai Cinjin untuk membantu usahanya yang
penuh khianat ini.
Ketika secara tiba-tiba Ban
Sai Cinjin melihat Lie Siong, maka tak tertahan lagi ia segera membentak sambil
memandang dengan penuh kebencian. Demikian pula sebaliknya, Lie Siong yang
sudah pernah melihat Ban Sai Cinjin juga timbul marahnya.
“Setan tua, kau berada di
sini? Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!” bentak Lie Siong
sambil mencabut pedangnya.
Akan tetapi pada saat itu Ban
Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang dengan wajah berubah.
Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seolah-olah tidak mengenalnya,
dia menjadi lega dan bertanya,
“Pengemis tua ini bukankah
gurumu?” kata-kata ini mengandung sindiran sekaligus juga mencoba untuk menguji
apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun yang dulu ia jejalkan ke
mulutnya.
“Bangsat tua tak usah banyak
mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku habis!” kata Lie
Siong.
Kalau menurutkan kata hatinya,
ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan tetapi ia bukan seorang
yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan kepandaian Ban Sai Cinjin, dan
dengan adanya Lo Sian dan Lilani di situ, maka tugasnya akan lebih berat.
Kepandaian kedua orang ini
masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan jika kakek mewah ini
mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka. Oleh karena
ini maka Lie Siong menahan kesabarannya dan bila mana mungkin hendak segera
menjauhi kakek lihai ini tanpa pertempuran.
Akan tetapi pada saat pengemis
yang menyeramkan itu melihat Lo Sian, rambutnya dan jenggotnya yang kaku
seakan-akan menjadi makin kaku, sepasang matanya memandang marah.
“Bukankah kau yang bernama
Sin-kai Lo Sian?” dia bertanya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Lo
Sian.
Sesungguhnya pada saat itu Lo
Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan sepasang mata terbelalak. Ia
merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian mewah dengan baju bulu
itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Ketika mendengar orang menyebutkan
namanya, dia lalu memandang kepada pengemis yang menyeramkan itu sambil
menjawab,
“Benar, kawan. Aku adalah Lo
Sian.”
“Bagus!” seru Coa-ong Lojin
dengan marah. “Kaulah yang menjadi biang keladi dan telah mengacau
perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?”
Memang dahulu di waktu
mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan tetapi tentu
saja ia tidak ingat lagi akan hal itu. Dia hendak menjawab, akan tetapi tak
diberi kesempatan oleh Coa-ong Lojin yang langsung menyerangnya dengan tangan
kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar hebat. Kedua lengannya
bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan lambung Lo Sian.
Lie Siong melihat hebatnya
serangan ini, maka cepat dia melompat dan menggerakkan pedangnya menahan
serangan itu sambil membentak, “Pengemis hina, jangan berlaku sombong di depan
kami!”
Coa-ong Lojin terkejut sekali
melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong. Sungguh pun pedang itu
tidak diserangkan kepadanya, hanya digunakan untuk menjaga Lo Sian, namun lidah
pedang naga yang panjang berwarna merah itu menyambar ke jurusan urat nadi tangan
kanannya.
Sambil berseru keras ia
menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong dengan hebat. Dengan
gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat yang bengkak-bengkok seperti
ular telah berada di tangannya dan tongkat itu lalu dipergunakan untuk
menyerang dada Lie Siong.
Tentu saja pemuda ini tidak
berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk mematahkan tongkat itu.
Akan tetapi dia kaget sekali karena ternyata bahwa tongkat itu sama sekali
tidak menjadi rusak pada saat beradu dengan pedangnya dan ketika mereka
bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu tongkat pengemis ini hebat
luar biasa!
Memang, Coa-ong Lojin adalah
seorang berilmu tinggi dan dia sendiri yang menciptakan Ilmu Tongkat
Coa-tung-hoat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat tentu dapat
dibayangkan betapa tinggi dan mahir dia dalam hal ilmu silat.
Tentu saja Lie Siong tidak mau
kalah, untungnya ia telah mempelajari ginkang luar biasa dari ibunya, dan dalam
hal ilmu silat, ibunya sudah menggemblengnya semenjak kecil sehingga kini dia
telah memiliki kepandaian yang tinggi.
Ketika melihat betapa Lie
Siong telah bertempur dengan hebat, Lo Sian tidak mau tinggal diam dan demikian
pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk membantu Lie Siong. Akan tetapi
dari samping segera berkelebat bayangan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin
dibarengi suaranya yang parau.
“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis
jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?” Sambil tertawa-tawa Ban Sai
Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian.
Tentu saja kedua orang itu
bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwe-nya telah dapat menotok roboh
Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin menyerbu dan
membantu Coa-ong Lojin mengeroyok Lie Siong!
Kalau hanya menghadapi Coa-ong
Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan mampu
mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini dia dikeroyok oleh
dua orang kakek yang lihai itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apa lagi ia
merasa amat gelisah pada saat melihat betapa Lo Sian dan Lilani telah
dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.
Kebenciannya terhadap Ban Sai
Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk merobohkan kakek
mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk menghadapi kakek
ini, maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh jurus, ujung tongkat
ular dari Coa-ong Lojin dengan tepat menotok pundaknya dari kanan. Lie Siong
mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung, lantas pedangnya terlepas
dari pegangan dan robohlah dia tak sadarkan diri lagi!
Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak-gelak. “Kita bawa mereka ke rumahku!” katanya setelah mengambil pedang
Lie Siong, dan bersama Coa-ong Lojin lalu berlari cepat menuju ke rumah gedung
milik Ban Sai Cinjin.
Di kota ini Ban Sai Cinjin
amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas dan penjaga,
maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai ini? Ketika
tadi terjadi pertempuran, orang-orang sudah meninggalkan jalan itu sehingga
keadaan menjadi sepi sekali.
Setelah tiba di dalam gedung,
Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong ke dalam sebuah kamar. “Dia
yang paling berbahaya,” katanya.
Kemudian dia membawa Lo Sian
dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja Lilani dan Lo Sian
siuman kembali dari keadaan yang tidak berdaya. Lilani segera menghampiri Lo
Sian dan memegang tangan kanan pengemis ini dengan wajah pucat dan penuh
kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang, berdiri memandang kepada Ban Sai Cinjin
dan Coa-ong Lojin.
“Ban Sai Cinjin, apakah yang
hendak kau lakukan kepada dua orang ini?” tanya Coa-ong Lojin sambil
tertawa-tawa dan menenggak arak yang telah tersedia di atas meja. Matanya yang
besar itu mengerling ke arah Lilani penuh gairah.
Ban Sai Cinjin tersenyum.
“Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah,” katanya kepada kawannya itu yang
hanya tertawa saja. “Dia sudah menyebabkan kematian banyak orang tamuku, bahkan
rumahku sampai dibakar oleh pemuda tadi! Ada pun pengemis ini... ahh, lihat,
bukankah dia mirip seperti boneka hidup?” Dia mendekati Lo Sian yang menentang
pandang matanya dengan berani.
“Lo Sian, kau benar-benar
sudah lupa kepadaku?”
Sesungguhnya Lo Sian sama
sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia telah mendengar
banyak dari Lili mengenai kakek mewah ini. Karena itu dengan senyum mengejek
dia pun berkata,
“Sungguh pun ingatanku sudah
banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi aku sudah cukup
banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai yang jahat dan
tidak berperi kemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah. Akan tetapi
jangan kau mengganggu Nona ini, karena dia hendak mencari dan kembali kepada
bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda tadi itu harap kau bebaskan,
jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa bersih. Dia
adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau mengingat nama
ayahnya dan suka melepaskannya!”
Tadi pada saat mendengar bahwa
Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin saling
pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda yang
ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah Ban Sai Cinjin
menjadi pucat dan kaget sekali.
“Apa...? Dia putera Lie Kong
Sian... Kalau begitu kau... kau ingat kembali akan peristiwa dahulu...?”
Lo Sian sebetulnya tidak
mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang yang banyak
pengalaman dan cerdik. Sengaja dia mengangguk dan berkata, “Mengapa tidak
ingat? Kau maksudkan peristiwa dulu tentang Lie Kong Sian Taihiap? Tentu saja!”
“Bangsat rendah! Jadi kau
sengaja membawa puteranya untuk mencariku? Ahhh, kalau begitu kalian harus
mampus!”
Kakek mewah ini bangkit
berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam tangannya.
“Nanti dulu, sahabat,”
tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. “Kau boleh saja membunuh Lo Sian, akan
tetapi gadis ini...” dia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan. “Ehh, Nona,
benar-benarkah kau hendak pergi mencari bangsamu?”
Lilani mengangguk tanpa dapat
mengeluarkan suara jawaban.
“Kenalkah kau kepada Saliban?”
“Dia adalah pamanku.”
Kembali Coa-ong Lojin dan Ban
Sai Cinjin saling pandang.
“Biar aku yang membawamu
kepada pamanmu, Nona!” kata Ban Sai Cinjin. “Pamanmu itu adalah kawan baik
kami, jangan kuatir, kami tidak akan mengganggumu. Akan tetapi pengemis ini dan
pemuda tadi harus mampus!”
“Jangan bunuh mereka!” Lilani
menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan mati-matian guna membela
Lo Sian dan Lie Siong.
“Kau tidak tahu, Nona. Mereka
ini adalah orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan menggagalkan rencana
kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau bersiaplah untuk mampus!”
Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian.
Sementara itu, Lo Sian
semenjak tadi telah memutar otaknya. Ahh, pasti ada apa-apanya dalam ucapan Ban
Sai Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie Kong Sian dan
menurut ucapannya tadi, sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh oleh Ban Sai
Cinjin.
“Ban Sai Cinjin!” katanya
sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi saat-saat maut iu.
“Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?”
Terdengar suara ketawa yang
parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu. “Ha-ha-ha! Kau kini berpura-pura tidak
tahu? Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!”
Huncwe-nya terayun, akan
tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan berteriak keras,
“Jangan bunuh dia!”
“Lilani, minggirlah, biar aku
menghadapinya. Aku tidak takut mati,” Lo Sian berkata. “Kini puaslah hatiku
karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap.”
Akan tetapi Lilani memegangi
tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin kembali mengangkat
huncwe-nya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan
keras dan sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.
“Ban Sai Cinjin, manusia
rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan pengkhianatan?”
Ketika Ban Sai Cinjin dan
Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang lelaki tinggi besar yang
berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.
“Sin-houw-enghiong Kam Wi!”
berkata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. “Kau yang kudengar sudah bertapa
mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang ke sini mau apakah? Aku mempunyai
perhitungan lama dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri urusan orang
lain?”
“Ban Sai Cinjin, janganlah kau
memutar-mutar persoalan. Urusan dengan segala macam pengemis tak ada sangkut
pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa kau adalah sahabat dari
Saliban, maka mudah saja diduga bahwa tentu kau pula yang telah membujuk banyak
orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk menjadi pengkhianat-pengkhianat
yang amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong Kam Wi tidak dapat
membiarkannya begitu saja!”
Sambil berkata demikian ia
melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika tadi menyatakan bahwa
urusan ia tidak mempunyai sangkut paut dengan segala macam pengemis, diam-diam
dia telah menyindir Coa-ong Lojin.
Merah muka Ban Sai Cinjin
mendengar ucapan ini. “Kam Wi, kau manusia macam apa berani berlagak
besar-besaran di hadapanku? Sepak terjangku yang mana pun juga, kau tidak boleh
tahu dan tidak boleh mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban, baik kita
bicarakan nanti sesudah aku bikin mampus pengemis hina ini!” Dia kembali hendak
menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.
“Tahan dulu! Tidak boleh kau
mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kau kira aku orang macam apa maka
tidak kau layani lebih dulu?”
Kini Ban Sai Cinjin
benar-benar menjadi marah. “Kam Wi, biar pun orang lain boleh takut mendengar
kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak takut!
Sebetulnya apakah kehendakmu?”
“Kau harus ikut dengan aku ke
kota raja untuk menerima hukuman atas semua perbuatan pengkhianatanmu!”
“Ho-ho-ho! Sejak kapan tokoh
Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?” Ban Sai Cinjin menyindir.
“Ban Sai Cinjin, dengan
membawamu ke kota raja, berarti aku masih mau memandang mukamu sebagai orang
kang-ouw. Aku selamanya tidak peduli akan urusan pemerintah, akan tetapi kalau
negara sedang dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau, aku harus
turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa ke kota raja atau kau minta diadili
oleh orang-orang kang-ouw sendiri!”
“Kalau aku memilih yang
terakhir?” tantang Ban Sai Cinjin.
“Hukuman dunia kang-ouw bagi
seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!”
“Bagus, Kam Wi! Kau hendak
menghukum mati padaku? Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar seekor kucing
hendak membunuh harimau! Majulah, biar aku membereskan jiwa anjingmu dulu
sebelum aku bikin mampus Lo Sian!”
Sambil berkata demikian, Ban
Sai Cinjin segera menggerakkan huncwe-nya, akan tetapi Coa-ong Lojin yang
semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang dia anggap sombong
sekali, segera mendahuluinya berkata,
“Sahabat Ban Sai Cinjin,
biarlah aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun ini!”
Karena melihat bahwa Kam Wi
tidak bersenjata, Coa-ong Lojin tidak mau merendahkan diri dengan menyerang dan
menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan tangan kosong.
Kam Wi cepat mengelak. “Ha-ha,
sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis Coa-tung Kai-pang
yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk itu, hendak
kulihat betapa jahatnya tongkat ularmu.”
“Bangsat she Kam! Sudah
semenjak lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai adalah hebat
sekali. Kebetulan sekali kau datang membawa kesombonganmu di sini, biarlah kini
kucoba sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap sesombong ini!”
Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan kedua tangan
dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan menegang.
Melihat betapa kedua tangan
pengemis itu sekarang tergetar dan mengeluarkan cahaya kehitaman, tahulah Kam
Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yang dia dengar disebut Hek-coa
Tok-jiu (Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya. Akan tetapi ia tidak
takut dan cepat dia mengelak kemudian mengirim serangan balasan yang tak kalah
hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung lawan hingga hampir saja
lambung Coa-ong Lojin menjadi korban.
Harus diketahui bahwa tidak
saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan tetapi juga tenaga
lweekang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga walau pun
cengkeramannya tidak mengenai sasaran, akan tetapi angin pukulannya sudah
membuat lawannya merasa lambungnya bagaikan terlanggar benda tajam! Coa-ong
Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai ini
benar-benar tak boleh dibuat permainan! Dia lalu bersilat dengan amat
hati-hati.
Namun segera ternyata bahwa
kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat. Di samping ia menang
tenaga, juga ginkang-nya amat mengagumkan. Sepasang kakinya berlompatan
bagaikan seekor harimau dan kedua tangannya sangat ganas. Sekali saja Coa-ong
Lojin kena sampok atau diterkam, pasti akan celakalah dia.
Hal ini dimaklumi sedalamnya
oleh Coa-ong Lojin. Maka, sesudah bertempur dua puluh jurus lebih, raja
pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main mundur.
“Ha-ha-ha-ha, begini sajakah
kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang? Hayo, jembel busuk, keluarkan
kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?” Kam Wi mengejek sambil
menyerang makin hebat.
Sementara itu, Lo Sian dan
Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo Sian maklum bahwa
meski pun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi, namun apa bila Ban Sai
Cinjin ikut maju mengeroyok, maka akan celakalah dia. Dia merasa bingung
sekali. Untuk membantu, dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh.
Tiba-tiba terdengar Lo Sian
berseru keras, “Sin-houw-enghiong, awas belakang!”
Sebetulnya seruan ini tidak
perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah mendengar adanya
suara angin pukulan yang sangat hebat menyambar dari belakang. Pada saat itu ia
sedang mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara pukulan dari
belakang dan melihat berkelebatnya huncwe maut yang berkilauan, cepat ia
berseru keras sekali.
Tubuhnya mumbul ke atas dan
kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan gelap yang
dilakukan Ban Sai Cinjin. Dengan lompatan tinggi yang dilakukan dengan ginkang
hebat ini, selamatlah ia dari penyerangan Ban Sai Cinjin yang dilakukan dengan
cara pengecut sekali itu.
Sesampainya tubuhnya di atas,
Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya. Kaki kiri yang ditekuk ke belakang itu
tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, ada pun kaki kanan bagaikan halilintar
menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua kaki itu menggunting dengan
kaki kanannya menyerang ke arah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin! Inilah
gerakan tendangan berantai yang disebut Soan-hoang-twi yang sangat lihai karena
sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga seribu kati beratnya!
“Bangsat Ban Sai Cinjin, kau
benar-benar curang sekali!” seru Kam Wi yang kini sudah turun lagi ke bawah.
Akan tetapi Ban Sai Cinjin
tidak mempedulikan makian ini, Dengan muka merah saking marah dan malunya dia
lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin juga sudah
mencabut tongkat ularnya!
Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai itu
benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah tinggi, dia memiliki
banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang pandai. Akan tetapi kali
ini ia menghadapi dua orang jago kawakan yang tingkat kepandaiannya sudah sama
dengan dia, karena itu dengan bertangan kosong saja menghadapi mereka,
bagaimana ia dapat bertahan?
Lo Sian dan Lilani yang telah
menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat membantu, tentu
Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka ketika melihat
betapa dua orang kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan Lilali cepat
berlari ke dalam kamar di mana Lie Siong tadi dilempar oleh Ban Sai Cinjin.
Mereka melihat pemuda ini
masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada seperti orang
pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut jalan darahnya.
Akan tetapi ia tidak dapat membebaskan Lie Siong dari totokan Coa-ong Lojin
yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan biasa.
Betapa pun Lo Sian
mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan pundaknya
bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi gelisah
sekali sedangkan Lilani lalu mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie Siong.
“Mari kita bawa dia lari
keluar dari sini saja!” kata Lilani.
“Kau boleh membawa dia lari,
Lilani. Akan tetapi aku tak dapat meninggalkan Sin-houw-enghiong begitu saja.
Aku harus membantunya, biar pun untuk usaha ini aku akan tewas. Tidak
selayaknya aku meninggalkan seorang penolong begitu saja mati sendiri!”
Lilani dapat memaklumi sifat
gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun apa bila tidak ingat akan keselamatan
Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam Wi dalam keadaan
terancam bahaya seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong tubuh Lie Siong dan
berkata, “Lo-enghiong, berlakulah hati-hati!” kemudian ia melompat keluar dari
pintu belakang.
Lo Sian segera kembali ke
ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak hebat sekali.
Sungguh sangat lucu dan harus dikasihani melihat orang tinggi besar yang
bertangan kosong ini melompat ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari
sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan
untuk membalas serangan kedua orang lawannya.
“Sin-houw-enghiong, biar
siauwte membelamu dengan nyawaku!” tiba-tiba saja Lo Sian berseru keras.
Pengemis Sakti ini telah melepaskan
ikat pinggangnya dan dia menyerbu bersenjatakan ikat pinggang ini. Biar pun
ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, akan tetapi di dalam tangan
seorang ahli dapat menjadi senjata yang cukup berbahaya.
Dan sesungguhnya, kepandaian
Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja apa bila dibandingkan
dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin, mau pun
Sin-houw-enghiong Kam Wi, dia masih ketinggalan amat jauh!
Lo Sian amat benci kepada Ban
Sai Cinjin, biar pun dia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam kakek mewah ini
terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya membisikkan
sesuatu karena baru melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci sekali. Oleh
karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat pinggangnya untuk menyerang Ban
Sai Cinjin.
Ban Sai Cinjin menjadi marah
sekali. “Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni jiwamu untuk kedua
kalinya!” Sambil berkata demikian, huncwe-nya bergerak cepat dan ia sengaja
menangkis ikat pinggang itu, terus memutar huncwe-nya sedemikian rupa.
Sebenarnya ikat pinggang itu
ketika digunakan oleh Lo Sian, sudah menjadi kaku seperti besi. Akan tetapi
begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, seluruh tenaga lweekang
yang disalurkan oleh Lo Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi buyar karena dia
memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang menjadi lemas lagi.
Karena ikat pinggang itu kini
telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan tenaga membetotnya,
terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam keadaan
terhuyung-huyung Lo Sian hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan kiri
Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok saja robohlah Lo Sian
dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena
ditotok sehingga biar pun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih
dapat dipergunakan, namun seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.
Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak-gelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi, karena sebentar
saja dia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan Coa-ong Lojin
menjadi terdesak hebat oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini kembali Kam Wi
terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun akhirnya kena ditendang
roboh oleh Ban Sai Cinjin!
“Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin
tertawa bergelak, kemudian dengan amat tenangnya dia lalu memasang tembakau
pada kepala pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan mengebulkan asap
yang wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.
“Kita bereskan saja mereka sekarang
juga agar jangan merupakan gangguan lagi!” kata pengemis tongkat ular itu.
“Nanti dulu, aku mau bicara
sedikit kepada mereka,” jawab Ban Sai Cinjin yang segera menghampiri Kam Wi
yang sekarang sudah menggeletak di lantai dengan mata melotot memandangnya
penuh keberanian.
“Orang she Kam! Sesungguhnya
tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri yang datang
mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau menemui maut.
Kalau engkau mempunyai kepandaian lebih tinggi, tentu bukan engkau melainkan
kami yang menggeletak di sini tak bernyawa lagi! Sebelum aku membunuhmu,
ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang mengadakan persekutuan dengan
bangsa Mongol! Kau tahu mengapa? Karena Kaisar amat lemah, tidak pantas menjadi
seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena keponakanmu,
Kam-ciangkun, menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus membunuhmu!”
Kemudian Ban Sai Cinjin
menghampiri Lo Sian dan berkata, “Kau pengemis jembel hina dina, selalu kau
mencampuri urusanku dan selalu pula kau menghalangi jalanku. Agaknya memang
dulu di dalam penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku maka
sekarang kau takkan mampus kalau tidak di tanganku. Dahulu aku sudah mengampuni
nyawamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi agaknya kau iri hati kepada
Lie Kong Sian dan suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!”
Bukan main kagetnya hati Lo
Sian mendengar ini. Baru sekarang dia tahu bahwa yang membuat dia menjadi gila
dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh Lie Kong Sian.
Bahkan suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le seperti yang telah diceritakan oleh Lili
kepadanya, agaknya juga telah terbunuh oleh penjahat besar ini!
Akan tetapi apa dayanya? Dia
telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama lagi dia akan mati.
Maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan mata melotot, sedikit
pun tidak merasa takut.....