Pendekar Bodoh Jilid 11-15
“Orang itu bukan lain ialah
Kang Ek Sian! Aku sudah tahu benar-benar akan hubunganmu dengan dia dan telah
kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan patut dipuji. Bagaimana pendapatmu
tentang hal ini, Im Giok?”
Bukan main kecewa rasa hati
Ang I Niocu.
“Maaf, Susiok-couw, teecu...
tidak... belum ingin mengikat diri dengan perjodohan!”
“Im Giok, jawabanmu ini sama
artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah Kang Ek Sian bukan seorang
laki-laki yang baik?”
“Dia memang seorang baik,
Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat menjadi isteri seorang yang
tidak... teecu cinta...?”
“Aha, anak muda jaman
sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak. Bukti-bukti telah
menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat mendatangkan rasa cinta
yang jauh lebih sempurna dari pada cinta muda yang hanya terdorong oleh nafsu
semata! Aku maklum bahwa hatimu telah tertarik oleh Cin Hai. Betulkah?”
Bukan main terkejutnya hati
Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek guru ini dapat mengetahui segalanya?
Dapat mengetahui mengenai segala persoalannya dengan Kang Ek Sian dan dapat
tahu pula rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani mengangkat muka dan
hanya tunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
“Im Giok, kau sudah mendekati
jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh menaruh hati sayang terhadap Cin
Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang wanita terhadap laki-laki.
Seharusnya kasih sayangmu itu kau dasarkan atas rasa kasihan dan kecocokan
tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang, dan berapa usia Cin Hai? Harus kuakui
bahwa engkau memang masih nampak muda sekali berkat telur burung rajawali putih
dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun lagi saja, kau akan
menjadi tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini tidak akan
mendatangkan kepincangan sehingga akan merupakan gangguan hebat terhadap
kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”
Mendengar kata-kata yang terus
terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I Niocu lalu menangis tersedu-sedu
sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat betapa Bu Pun Su
memandangnya dengan sinar mata penuh iba hati.
“Im Giok, kelak kau akan
teringat bahwa aku memberi semua nasehat ini semata-mata untuk kebaikanmu
sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua kata-kataku benar belaka.
Sekarang gunakanlah imanmu dan kuasailah hatimu kembali. Kau boleh pergi dan
apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak akan melarang. Aku tidak akan
mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau kau setuju dengan
usulku tadi, kau boleh mencariku.”
Ang I Niocu lalu menghaturkan
terima kasih dan mengundurkan diri, lalu keluar dari goa itu diikuti pandangan
mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan kepala, karena kakek ini diam-diam
merasa kasihan sekali.
“Nafsu, nafsu... kau memang
kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!” katanya perlahan kepada asap
putih yang mengepul di depannya.
Setelah keluar dari goa itu
diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala ucapan Bu Pun Su dan setelah
berada di tempat terbuka sehingga hawa sejuk mendinginkan kepalanya, ia merasa
betapa tepat dan betulnya nasehat kakek itu. Biar pun ia tidak diberi tahu,
akan tetapi dia dapat menduga bahwa Cin Hai tentu telah turun gunung. Tentu
saja dia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su mengenai anak muda itu, setelah
Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya terhadap Cin Hai.
Ang I Niocu sama sekali tak
pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa hari yang lalu meninggalkan Goa
Tengkorak itu. Ia hanya mengira bahwa pemuda itu tentu kembali ke rumah
bibinya, yaitu di Tiang-an, karena pemuda itu pernah menceritakan riwayatnya
kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke Tiang-an untuk menyusul Cin
Hai. Betapa pun juga ia harus bertemu dengan pemuda itu, karena ia tidak dapat
menahan rindu hatinya lagi.
Sesudah mencari Ang I Niocu di
Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai kemudian kembali ke Sam-hwa-bun untuk
mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang. Dan terjadilah sebuah hal yang tak
terduga-duga!
Ketika ia tiba di sebuah kaki
gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat titik merah mendatangi
dengan amat cepat dari arah depan! Hatinya berdebar girang karena hanya seorang
manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat bergerak seperti itu! Ia
segera mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak mau memperlihatkan kepada
Ang I Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu ginkang yang hebat.
Benar saja dugaannya, tak lama
kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang I Niocu tiba-tiba berhenti
bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika dia melihat pemuda yang berdiri
memandangnya dengan wajah berseri-seri itu! Ia hampir pangling melihat Cin Hai
dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang tiga tahun lamanya itu sudah
mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi seorang pemuda yang cakap dan
tegap!
“Kau... kau... Hai-ji...?”
bisiknya.
“Niocu!” Cin Hai tertawa
lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu.
Kegirangan besar membuat ia
lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju Merah itu dengan erat
bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama dirindukannya. Sebenarnya
perasaan Cin Hai ketika itu terhadap Ang I Niocu hanyalah perasaan kasih sayang
terhadap orang yang dianggapnya paling baik di dunia ini. Akan tetapi sikapnya
telah dipandang salah oleh gadis itu.
Ang I Niocu mengira bahwa Cin
Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka jika tadinya ia merasa
ragu-ragu dan kata-kata Bu Pun Su selalu bergema di dalam telinganya sehingga
dia tidak ingin memperlihatkan kesukaan hatinya karena pertemuan ini, maka
sekarang hatinya meluap-luap karena girangnya. Dia balas memegang lengan tangan
Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,
“Hai-ji... Hai-ji…”
Mereka lalu pergi duduk di
pinggir jalan sambil saling pandang dengan mesra.
“Hai-ji, suah selama tiga
tahun kau belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu sekarang telah memiliki
kepandaian tinggi.”
“Ah, Niocu, kepandaian apakah
yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya memberi pelajaran menari!” Sambil
berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang suling dari pinggangnya
kemudian mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa. Ang I Niocu juga
tertawa girang.
“Kalau begitu, tentu kau
sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?” tanyanya sambil memandang muka
yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam bagus.
”Barang kali saja dapat. Aku
pun telah lama ingin sekali melihat kau menari, Niocu. Bagai mana kalau kita
menari bersama-sama? Aku akan mencoba mengikuti gerakanmu.”
Dengan girang sekali Ang I
Niocu bangkit berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera meniup sulingnya.
Memang selama belajar silat kepada Bu Pun Su, pemuda ini tidak pernah lupa
untuk meniup sulingnya yang menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya sendiri suka
sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.
Maka terdengar tiupan suling
yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I Niocu lalu menari dengan gerakan
yang indah dan gemulai, dan Cin Hai yang sudah mempelajari pokok-pokok segala
silat, sekali lihat saja dengan mudah mampu mengimbangi tarian itu! Memang
Tarian Bidadari bukanlah sembarang tarian akan tetapi pada hakekatnya adalah
sebuah ilmu silat yang lihai.
Sepasang pemuda-pemudi itu
menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu. Gerakan kaki mereka cocok
sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau sepasang lengan tangan
Ang I Niocu bergerak dengan lincah indah, maka kedua tangan Cin Hai tidak
digerakkan karena dia menggunakan untuk memegang suling yang ditiupnya untuk
mengiringi tarian itu.
Bukan main senangnya hati Ang
I Niocu dan ia juga merasa amat kagum karena gerakan kaki Cin Hai sungguh tepat
dan tidak ada salahnya. Gadis ini merasa sangat bahagia dan gembira hatinya
hingga ia menari-nari sambil tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai
dengan sinar mata penuh rasa cinta!
Cin Hai juga gembira. Namun
sebaliknya dia menari dengan tenang dan wajahnya yang tampan itu tidak
memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan gembira. Sesudah selesai
menari, mereka kembali duduk di atas batu di pinggir jalan.
“Hai-ji, kau hebat sekali!
Dalam tiga tahun saja kau telah sanggup meniru Tarian Bidadari sedemikian
sempurnanya! Kau tentu sudah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali dari
Susiok-couw! Coba kau perlihatkan pelajaran ilmu silatmu itu untuk kukagumi.”
“Sebenarnya, Niocu. Aku tidak
mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian itu saja. Bahkan tarian itu pun baru
dapat kulakukan jika kau menari bersamaku, kalau aku disuruh menari seorang diri
aku tak akan sanggup melakukannya.”
Ang I Niocu memandang heran,
akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak berbohong. Ia hanya menyangka bahwa
pemuda ini memang agak bodoh hingga susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain
ilmu silat yang tinggi.
“Biarlah, kau tidak perlu
kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi pelajaran silat kepadamu!”
“Terima kasih, Niocu, kau
memang baik sekali.”
“Sekarang, kau hendak ke mana,
Hai-ji? Apakah kau sudah bertemu dengan Bibimu dan keluarga Kwee?”
“Aku sudah bertemu dengan
Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie. Sebetulnya aku pun sedang
menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Ie-thio.” Cin Hai
lalu menceritakan pengalamannya dan pertemuannya dengan Kwee In Liang.
Ang I Niocu mengerutkan
alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka berbahaya sekali. Aku
mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai sekali. Apakah kau
hendak membantu mereka? Kalau begitu biar aku ikut dengan kau untuk membantu
mereka!”
Cin Hai merasa gembira sekali
mendengar ini. Demikianlah, mereka lalu bercakap-cakap dengan girang sekali dan
Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan pesan susiok-couwnya setelah bertemu
dengan Cin Hai! Mereka sudah mengambil keputusan untuk datang ke Sam-hwa-bun
pada saat pesta dilangsungkan.
Pada bulan itu juga, tanggal
lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar akan tetapi sederhana itu
diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun Kwee In Liang yang ke
enam puluh. Sebenarnya orang she Kwee ini tidak hanya khusus merayakan hari
lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung lain maksud.
Puterinya Lin Lin, sejak
kembali dari perguruan sudah memiliki kepandaian tinggi sekali dan telah
berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya yang berjumlah lima orang itu telah
dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap tidak mau dicarikan jodoh. Kini Kwe
In Liang mengadakan perayaan dan mengundang banyak orang gagah yang sudah
dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak mencari-cari seorang calon mantu yang
cocok untuk Lin Lin.
Kenapa Kwee-ciangkun
meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini juga akibat terpengaruh
oleh kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal sebagai seorang
panglima yang sangat setia dan gagah. Dia mematuhi perintah dan menunaikan
kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan perasaan sendiri. Oleh sebab ini
jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar.
Akan tetapi, ketika Lin Lin
pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini dan muridnya lantas
mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya Kwee-ciangkun
tidak membantu lagi kaisar yang sesungguhnya lalim dan tidak adil itu. Dengan
alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk ayahnya, disertai penuturan Biauw Suthai
tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua rahasia kejahatan kaki
tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan memeras
rakyat.
“Kalau Ayah tidak segera
mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan dimusuhi oleh orang-orang gagah
sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya.
Akhirnya Kwee In Liang
menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan di dunia luar. Ia
adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama sekali ia tidak takut
akan ancaman orang kang-ouw karena kedudukan sebagai panglima. Yang ia takuti
ialah bahwa karena membantu dan berada di pihak yang tidak benar, maka
jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama busuk
sesudah meninggal kelak. Kedua kalinya, dia ini sudah tua serta sudah merasa
bosan dan capai untuk memegang pangkat.
Oleh karena ini, dia segera
mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan sudah terlalu
tua dan lemah. Atasannya dapat menerima permohonannya dan ia pun berhenti
dengan hormat lalu pindah ke Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup
bertani.
Pada hari itu rumah keluarga
Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni dan kembang. Tampak putera-putera
keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang
seorang lagi yakni Kwee An, tidak tampak di antara mereka. Telah lebih dari
empat tahun yang lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah ketika ia bertengkar
dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya meninggalkan surat dan
memberi tahu kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi merantau.
Keempat putera keluarga Kwee
yang hadir di situ nampak amat gagah dan bersemangat. Terutama Kwee Tiong yang
nampak paling gagah dan cakap dalam pakaiannya yang indah mentereng. Mereka ini
oleh ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan akhir-akhir ini mereka berguru
kepada seorang hwesio yang bernama Tong Kak Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong
di luar tembok kota Tiang-an.
Hwesio ini adalah seorang
perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh karena ini, maka
kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang tinggi juga,
terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang telah pergi
merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tak mendapat kemajuan dalam
pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu kesusasteraan.
Para tamu datang
berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang yang disediakan
untuk tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang puteranya duduk
di ruangan depan dan menyambut datangnya para tamu dengan sikap ramah dan
menghormat.
Lin Lin sibuk membantu ibu
tirinya di belakang dan setelah semuanya hadir, baru mereka berdua keluar dan
menyambuti tamu-tamu wanita yang banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara
tamu-tamu wanita terdapat pula Biauw Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin
untuk mengharapkan bantuannya karena mungkin sekali akan ada bahaya mengancam
dari pihak perwira Sayap Garuda yaitu Boan Sip.
Perwira she Boan ini adalah
pengganti Kwee-ciangkun dan dia menjadi kepala penjaga keamanan kota Tiang-an.
Dia adalah salah seorang perwira Sayap Garuda yang terkenal memiliki kepandaian
tinggi.
Ketika melihat kecantikan Lin
Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran, tetapi yang ditolak keras oleh Kwee
In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka dia menaruh hati dendam sehingga
beberapa hari yang lalu dia sengaja mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam
hutan.
Karena ini maka kedatangan
Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya menggirangkan hati Lin Lin, tetapi
juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.
Selain Biauw Suthai, di situ
nampak juga seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan berpakaian
serba putih. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sinar matanya
berpengaruh.
Ini adalah murid pertama dari
Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki kepandaian tinggi
sehingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee
Leng adalah seorang wanita yang telah menjadi janda. Juga nyonya ini bisa
dibujuk oleh Lin Lin yang menjadi sumoi-nya. Memang, baik Biauw Suthai mau pun
Bwee Leng sangat sayang kepada Lin Lin.
Perjamuan berjalan dalam
suasana gembira dan diselingi oleh datangnya para tamu yang mengucapkan selamat
pada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan dikeluarkan oleh pelayan yang
sibuk melayani para tamu.
Tiba-tiba seorang di antara
para tamu, seorang kakek yang berpakaian sebagai seorang petani yang telah
terkenal di antara para tamu sebagai seorang pendekar tua dari selatan yang
bernama Bhok Ki Sun, berdiri dari tempat duduknya. Sambil menjura kepada tuan
rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,
“Kwee-enghiong, aku orang tua
selain menghaturkan selamat padamu dengan doa agar kau diberkahi panjang umur,
juga menyatakan kegirangan hatiku mendengar bahwa kau telah bertemu kembali
dengan puterimu yang baru kembali dari belajar silat. Memang kau beruntung
sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah menjadi murid dari Biauw Suthai
yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di sini. Kuharap Kwee-enghiong suka
berlaku murah dan memberi kepuasan kepada kedua mataku yang tua ini untuk dapat
menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia. Bagaimana Cuwi sekalian, apakah
usulku ini tak cukup baik?” tanyanya kepada semua yang hadir.
Di tempat itu juga hadir
banyak pemuda yang sudah mendengar tentang puteri keluarga Kwee yang tersohor
cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari ilmu silat tinggi, maka tentu saja
mereka merasa gembira sekali dan menyambut dengan tepuk sorak gembira.
Sebetulnya di luar tahunya
semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah minta bantuan Bhok Ki Sun yang
menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan usul ini supaya terbuka jalan
baginya untuk mencari seorang mantu yang cocok. Maka sekarang, sambil tersenyum
lebar dia berdiri dari tempat duduknya dan menjura kepada semua tamunya sambil
berkata,
“Cuwi sekalian, Bhok-enghiong
terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang muda ini? Tapi karena di pesta ini
tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi kewajiban kami untuk mengadakan
sesuatu yang kiranya bisa menghibur dan menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin,
kau penuhilah permintaan Bhok-enghiong setelah mendapat ijin dari Gurumu!”
Lin Lin adalah seorang gadis
yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian banyak pasang mata yang memandang ke
arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan tenang ia minta perkenan
dari gurunya dan setelah Biauw Suthai memberi persetujuannya, dara ini dengan
tabahnya menuju ke tempat bersilat yang memang sudah disediakan di tempat itu,
tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.
Sesudah menjura sebagai
pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin lalu mulai bersilat dengan
gayanya yang indah dan cepat. Dia mainkan ilmu Silat Pat-kwa Kun-hoat atau Ilmu
Silat Pat-kwa yang mempunyai gerakan selain indah, juga cepat sekali hingga
sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi ilmu silatnya menjadi kabur dan
melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi tiga empat orang.
Tepuk sorak terdengar riuh
rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat ini. Baru saja Lin Lin menghentikan
ilmu silatnya tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek dari luar. Suara
tertawa ini terdengar nyaring sekali sehingga semua tamu menengok ke luar. Juga
Kwee In Liang memandang keluar dan seketika dia menjadi pucat.
Yang datang adalah Boan Sip
serta empat orang lain yang juga memakai tanda Sayap Garuda pada topi mereka
dan kesemuanya memakai jubah merah, tanda bahwa mereka ini adalah
perwira-perwira kelas satu. Yang menarik hati ialah bahwa di antara mereka ini
terdapat seorang perwira yang usianya telah lebih dari lima puluh tahun tetapi
tampaknya masih gagah dan kuat.
“Sungguh bagus, orang-orang
bergembira dan berpesta pora sampai lupa mengundang sahabat!” Perwira tua itu
berkata keras dan dialah yang tadi mengeluarkan suara ketawa itu.
Kwee In Liang sudah kenal
kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma Ing, seorang yang terkenal
sekali karena mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi salah seorang di antara
para perwira terkemuka di istana. Diam-diam orang she Kwee ini merasa terkejut
sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh menjadi sangat kuat dengan adanya Ma
Ing ini. Akan tetapi dia dapat menetapkan hatinya dan cepat-cepat maju
menyambut sambil menjura memberi hormat,
“Ngo-wi yang mulia, silakan
duduk di dalam.”
Boan Sip sambil tertawa
menyeringai mendahului masuk, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka berlima masuk
ke ruang itu sambil mengangkat dada dan dengan tindakan kaki lebar, sama sekali
tak memandang mata kepada sekalian yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri
Lin Lin yang masih berdiri di tengah ruang tempat bermain silat dan sambil
menyeringai ia berkata,
“Kwee-siocia, ilmu silatmu
tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis sekali!”
Lin Lin memandang dengan mata
melotot dan gadis ini marah bukan main sebab teringat betapa beberapa hari yang
lalu dia sudah tertangkap oleh orang she Boan ini dan hampir saja diculik
pergi! Hampir saja ia tak dapat menahan kesabaran hatinya dan memaki atau
menyerangnya, akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara yang nyaring,
“Ie-ie…!”
Lin Lin cepat menengok. Ia
melihat Cin Hai diikuti oleh seorang gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai
langsung berlari menghampiri Loan Nio atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian
tamu wanita.
Loan Nio yang belum diberi
tahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai, berdiri memandang
dengan mata terbelalak pada pemuda tampan yang menghampirinya. Cin Hai
menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
“Ie-ie, aku Cin Hai menghadap.
Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”
“Cin Hai, kaukah ini?” Loan
Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu, sementara tak tertahan lagi air
matanya mengucur keluar dari kedua matanya.
Cin Hai juga mengeluarkan air
mata dari sepasang matanya karena terharu dan girang. Kemudian dia
memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ie-nya.
“Ie-ie, ini adalah Nona Kiang
Im Giok yang amat berbudi dan telah banyak menolongku.”
Loan Nio memandang Ang I Niocu
dengan kagum dan mempersilakan gadis itu duduk di bagian tamu wanita. Ketika
bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,
“Ehhh, tidak tahunya Ang I
Niocu yang datang. Silakan…, silakan, aku masih ingat akan pertolonganmu di goa
dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek
I Toanio dan mereka segera bercakap-cakap dengan gembira.
Sementara itu Lin Lin juga
berlari menghampiri mereka dan diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan Cin
Hai kemudian menghampiri ie-thio-nya untuk memberi hormat dan menghaturkan
selamat. Dengan ramah Kwee In Liang lalu menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.
Sementara itu, melihat
kesibukan tuan rumah karena kedatangan seorang pemuda dan seorang gadis baju
merah, Boan Sip beserta kawan-kawannya menjadi tidak puas dan merasa betapa
mereka dipandang ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.
“Eh, ehh apakah tuan rumah
lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada kami?” Boan Sip dengan sikap
sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika Kwee In Liang memandang ke
arahnya, ia berkata,
“Kwee Lo-enghiong, kau telah
tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang juga aku minta keputusanmu dan
marilah kau beri sedikit pengajaran kepadaku untuk melanjutkan main-main yang
kita lakukan di dalam hutan beberapa hari yang lalu. Aku sudah berjanji akan
datang, apakah kau tidak berani menyambutku?”
Bukan main marahnya hati Kwee
In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak sopan dan sikap yang kasar
menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jika dibandingkan
dengan perwira muda ini, akan tetapi tentu saja ia tak mau memperlihatkan
kelemahannya.
“Orang she Boan! Agaknya kau
sudah melupakan aturan kesopanan dan sengaja datang membawa kawan-kawanmu untuk
mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak maju.
Akan tetapi, tiba-tiba saja
Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali lompatan ia telah menghadapi
Boan Sip.
“Orang she Boan, engkau
menjabat pangkat namun tidak mengenal aturan! Kami tidak mengundang akan tetapi
engkau sudah menebalkan muka untuk datang di pesta kami. Apakah engkau tidak
malu? Apa bila datang hendak mengajak pibu, apakah engkau tidak dapat memilih
lain hari?”
“Ha-ha-ha-ha!” Boan Sip
tertawa mengejek. “Jika hanya mengandalkan keberanian untuk mengadu kepandaian,
tidak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan sekali banyak orang
menjadi saksi, apa bila pihak tuan rumah memiliki kegagahan, silakan maju
memperlihatkan kepandaian!”
“Bangsat, apa kau kira kami
takut padamu?” Lin Lin berseru dan meraba punggung untuk mencabut senjatanya.
Akan tetapi pada saat itu
berkelebat bayangan putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi
bentakan, “Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”
Bayangan itu ternyata adalah
Pek I Toanio yang mewakili sumoi-nya dan lantas saja dia menyerang dengan
tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi siang-siang Boan Sip telah
dapat memaklumi akan kelihaian wanita ini karena tamparannya mendatangkan angin
pukulan dahsyat dan gerakannya ketika melompat tadi ringan sekali.
Ia mengangkat tangan menangkis
dan sepasang lengan beradu keras. Boan Sip terkejut sekali karena dia terdorong
ke samping sampai terhuyung-huyung! Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan
duduk di dekat gurunya yang memandang dengan sikap tenang.
Ketika melihat sikap Boan Sip
yang sombong dan sengaja datang mengacau itu, Kwee Tiong beserta ketiga orang
adiknya menjadi marah sekali dan mereka berempat sambil mencabut pedang lalu
maju menghampiri dengan sikap mengancam.
Akah tetapi Kwee In Liang yang
maklum bahwa kepandaian mereka ini masih terlampau rendah untuk bisa menghadapi
Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang ajar, kalian mundurlah dulu!”
Kwee Tiong merasa penasaran
sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ayahnya. Maka bersama adiknya
dia lalu berdiri dan bersiap sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.
Boan Sip yang melihat hal ini
lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha-ha-ha! Kwee Lo-enghiong agaknya tahu akan
kebodohan putra-putranya, karena itu tak mengijinkan anak-anaknya maju, bahkan
telah mengumpulkan orang-orang gagah untuk mewakilinya! Cerdik sekali!”
Kemudian ia berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak tahu siapakah Lihiap yang
begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”
“Orang she Boan, bila sikapmu
tak begini menjemukan dan kesombonganmu tidak begitu besar, siapa yang sudi
melayanimu? Akan tetapi engkau sudah lupa akan sopan santun dan tak memandang
mata kepada tuan rumah dan para tamunya. Apakah kau kira hanya engkau seorang
saja yang mempunyai kepandaian? Orang lain boleh engkau hina, tetapi aku Pek I
Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam engkau!”
Memang biar pun Pek I Toanio
berwatak pendiam, akan tetapi kalau telah mengeluarkan kata-kata selalu tajam
dan berterus terang. Boan Sip sudah pernah mendengar nama ini dan maklum akan
kelihaiannya, akan tetapi dia tidak takut.
“Hmm, apakah benar-benar
engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.
“Siapa yang sedang main-main
padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum mengejek sehingga kemarahan Boan Sip
makin meluap.
“Kalau begitu kau mencari
penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju menyerang.
Pek I Toanio cepat berkelit
dan membalas menyerang sehingga sebentar saja mereka berdua sudah bertempur
dengan seru.
Sementara itu, sejak datang
dan duduk di kursi terdepan, beberapa kali Cin Hai bertukar pandang dengan Lin
Lin dan gadis yang sedang marah itu apa bila terbentur pandangan matanya dengan
Cin Hai, lalu tersenyum seakan-akan minta maaf bahwa dia tidak bisa menyambut
sebagaimana mestinya karena terganggu oleh para perwira kasar itu.
Kebetulan sekali Kwee Tiong
dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat tempat dia duduk. Kwee Tiong hanya
mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap
ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri mereka.
“Tiong-ko, bagaimana, apakah
engkau sudah mendapat kemajuan besar?” tanya Cin Hai dengan manis.
Kwee Tiong memandang ke
arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk kesopanan dia menjawab juga, “Biasa
saja, dan engkau sendiri telah belajar apakah?”
Juga Kwee Sin, Kwee Siang
serta Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat dan bertanya kepada anak muda
ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan tetapi rata-rata mereka
memandang rendah kepada Cin Hai.
“Ahh, aku tidak belajar
apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.
Ketika Cin Hai sedang
bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur mereka, “Sudahlah, jangan
banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat tamu kita bertempur
untuk kita, tidak pantas kita hanya mengobrol saja!”
Memang benar ucapan Kwee Tiong
ini, oleh karena pada waktu itu pertempuran sedang berlangsung hebat. Boan Sip
sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat, juga mantap dan keras
sehingga Pek I Toanio harus mengeluarkan segenap kepandaiannya untuk melayani
lawan yang kosen ini.
Cin Hai hanya memandang
sebentar, akan tetapi ia tidak tertarik melihat pertempuran itu. Sebaliknya ia
celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan matanya. Kenapa ia tidak
melihat Kwee An? Ia kemudian menowel lengan Kwee Bun dan ketika pemuda ini
berpaling, ia bertanya sambil berbisik,
“Di manakah adanya Saudara
Kwee An?”
“Dia pergi merantau, sudah
empat tahun belum kembali.”
Pada saat Cin Hai hendak
bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka dengan pandangan tidak senang
sehingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan percakapan mereka. Sebetulnya
pada saat itu perhatian Kwee Tiong tidak tertuju sepenuhnya kepada pertempuran
yang sedang berlangsung dengan hebatnya, namun sebagian besar tertuju kepada
Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu tirinya.
Di dalam pandangan matanya,
Ang I Niocu nampak sedemikian cantik dan ayu sehingga sepasang matanya
seakan-akan telah ditarik oleh besi sembrani. Ingin sekali Kwee Tiong
memperlihatkan kegagahannya dan melawan musuh supaya bisa menarik perhatian dan
kekaguman gadis jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin Hai, anak tolol
itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis demikian cantiknya!
Pada saat melihat jalannya
pertempuran, Ang I Niocu juga merasa terkejut di dalam hati. Baginya,
kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi ternyata bahwa
orang she Boan itu lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya masih diperhebat
dengan ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga gerakannya, sehingga
beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah kena
dicengkeram!
Diam-diam Ang I Niocu menguatirkan
keadaan paman dari Cin Hai, karena baru seorang lawan saja sudah begini tinggi
kepandaiannya, belum lagi yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di situ ada Biauw
Suthai yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sampai di manakah tingkat
kepandaian kawan-kawan Boan Sip yang duduk dengan muka tenang dan sombong itu?
Ia mengerling ke arah Cin Hai
yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang tidak memperhatikan
jalannya pertempuran. Pada saat Ang I Niocu memandang kepada Cin Hai, pandangan
matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan cepat
mengalihkan pandangan matanya dan hatinya merasa tak senang.
Ia tahu bahwa pemuda tinggi
tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat betapa Kwee
Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka dicegah oleh Kwee In
Liang. Mengapa pemuda itu memandangnya begitu macam? Apakah hanya kebetulan
saja?
Sekali lagi Ang I Niocu
mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap saja ia melihat betapa pemuda itu
menatapnya dengan pandangan mata penuh arti! Ang I Niocu merasa sebal dan
marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak mau memandang ke arah anak
muda itu lagi.
Pertempuran itu benar-benar
berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah murid pertama dari Biauw Suthai
dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir mewarisi kepandaian gurunya,
maka dapat dibayangkan betapa lihainya.
Akan tetapi Boan Sip adalah
seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja kepandaiannya sudah
cukup tinggi, karena apa bila tidak memiliki kepandaian tinggi, dia yang masih
muda tidak akan dapat menduduki pangkat yang besar itu, karena rata-rata
Perwira Sayap Garuda kelas satu terdiri dari orang-orang yang sudah berusia
tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.
Setelah bertempur beberapa
puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba saja Boan Sip merubah gerakannya dan kini
dia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai Gila Bergulingan. Tubuhnya
berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan tubuhnya tertutup dan
terlindung oleh perisai, sedangkan goloknya menyambar-nyambar ke arah kaki
lawan!
Ilmu gerakan ini benar-benar
berbahaya dan cepat, dan ke mana saja Pek I Toanio loncat menghindar, selalu
Boan Sip dengan amat cepat lantas mengejar sambil bergulingan dan melancarkan
serangan berbahaya. Ia tak hanya bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi
secara tiba-tiba ia bangun dan menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan
pula!
Diserang secara begini, Pek I
Toanio menjadi gugup sekali dan tak berdaya melancarkan serangan balasan. Ia
menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan dan serangan nekad.
Sambil berseru nyaring Pek I
Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering Tertiup
Angin! Dia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan dia membabat dengan
pedangnya dari samping. Karena serangannya ini hampir menempel pada lantai,
maka tak mungkin tertangkis dengan perisai.
Pada saat itu terdengar
teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti
lakunya seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang
didudukinya dan melemparkan bangku itu dengan sambaran cepat ke arah mereka
yang sedang bertempur sambil bergulingan!
Kwee Tiong dan adik-adiknya
serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran sekali melihat
perbuatan pemuda ini. Sementara itu, ketika Cin Hai melemparkan bangkunya, Pek
I Toanio setelah pedangnya kena ditangkis, kemudian bergulingan pergi menjauhi
Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya.
Ketika mendapat kesempatan
baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang bergulingan pergi membelakanginya,
ia lalu menyambitkan goloknya ke arah punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada
saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin Hai telah tiba di antara mereka hingga
sebelum golok itu terlepas dari tangan Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya
kembali dan tidak jadi melontarkan goloknya.
Boan Sip melompat berdiri
dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan Sip
sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara
nyaring,
“Tuan rumah tidak kenal malu
dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati
melempar bangku tadi?”
Sementara itu, dengan marah
Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan! Apa
maksudmu melemparkan bangku tadi?”
Cin Hai pura-pura gugup dan
bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha
memisahkannya!”
Mendengar ini, semua orang
tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih
begini bodoh, pikirnya!
Di antara semua orang merasa
heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek
I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan
gerakannya tadi yang telah membuka punggungnya pada saat dia bergulingan dan
hal ini pun diketahui baik oleh gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali
pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian tepat hingga jiwa Pek I
Toanio terbebas dari ancaman?
Bahkan Ang I Niocu sendiri
tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek I Toanio
sehingga Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin Hai.
Sekali lagi Boan Sip berseru,
“Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani mengganggu,”
katanya dengan lagak sombong.
Sementara itu, atas isyarat
gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura kepada Kwee In
Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.
Tiba tiba Kwee Tiong yang
diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil
membentak, “Orang she Boan, jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik
keponakanku yang tolol dan bodoh, namun tidak perlu engkau memusuhi dan
menantangnya. Kalau engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”
Boan Sip memandang kepada Kwee
Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini barusan mengeluarkan ucapan gagah, akan
tetapi ternyata sekali maju membawa ketiga orang adiknya. Melihat gerakan
mereka itu, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa,
“Ha-ha-ha-ha, kalian ini
putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai
putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”
Kwee In Liang hendak memanggil
putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tidak dapat menahan marahnya
lagi. Dia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga
orang adiknya yang menyerang dengan berbareng.
Boan Sip mengeluarkan suara di
hidung dan menggerakkan goloknya menangkis. Sekali tangkis saja, dua dari empat
batang pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan
gerakannya dengan serangan pembalasan.
Baiknya perwira muda ini masih
ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang dia
rindukan, maka dia tidak memiliki niat mencelakakan mereka, hanya ingin
menggoda serta memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya
hanya nampaknya saja hebat mengerikan karena goloknya menyambar-nyambar hebat,
akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat
berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.
Tiba-tiba Cin Hai memegang
sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena
tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai berlari
menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta
sambil berseru berkali-kali,
“Jangan membunuh
kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakak-kakakku!”
Mendapat serangan kacau balau
itu, Boan Sip terkejut dan cepat melihat penyerangnya. Karena ia tujukan
perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur,
sedangkan Cin Hai masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika
melihat bahwa pemuda inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I
Toanio menjadi marah sekali.
“Orang tolol, engkau mencari
mampus!” bentaknya.
Dia kemudian menggunakan
goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup
panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan
kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru
inilah yang membingungkan Boan Sip.
Gerakan silat dapat diduga
karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan yang menggila ini benar-benar membingungkan
dan sebelum dia dapat menyerang, sebuah kaki dari pada bangku yang
diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya.
“Bukk!” terdengar suara karena
bokongnya kena dihajar kaki bangku.
Semua orang tertawa geli
melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol
itu. Akan tetapi karena dalam ketololannya pemuda itu berani membela keempat
pemuda Kwee, walau pun mereka mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati
mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa
disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.....
Sementara itu, Cin Hai sambil
mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada Kwee Tiong beserta adik-adiknya,
“Engko Tiong, kau ajaklah adik-adikmu mundur, biar aku tahan babi hutan yang
mengamuk ini!”
Kembali terdengar suara
orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia
tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar
hendak membela keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang sangat lihai.
Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan!
Akan tetapi, keadaan ini
merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip. Kembali ia
menyerang sambil memaki-maki. Pada saat bangku itu menyambar kembali, dengan
gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu mampu
menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat
putus.
Akan tetapi sungguh malang
bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu.
Ketika kaki bangku itu terbabat putus, ternyata saking tajam golok yang
membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi
Boan Sip!
“Plokk!”
Terdengar suara dan pipi Boan
Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu lantas menjadi merah kulitnya
dan terasa pedas sekali!
Kejadian ini terlihat jelas
oleh semua orang sehingga kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata
walau pun bodoh dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang
‘hok-khi’ (beruntung) maka secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki
bangku yang dipotongnya sendiri!
Pada waktu itu, di bagian tamu
di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah peristiwa lain yang menimbulkan tertawa
geli. Kiranya dua orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara
Kwee Tiong dibantu adiknya dengan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh
Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa dua kali Boan Sip kena
terpukul kaki bangku, mereka jadi begitu gembira sehingga sambil tertawa
terkekeh-kekeh mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang mereka. Akan
tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan karena mereka
berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tak ada bangkunya
lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang langgang!
Orang-orang di sekitarnya
tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan
tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip
adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka!
Boan Sip marah sekali dan ia
menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi
macamnya karena bekas bacokan golok.
“Eh, eh, tak tahu malu!
Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin Hai memaki dengan suara
mengejek.
Kata-kata ini mengingatkan
Boan Sip bahwa kalau dia nanti membunuh anak muda tolol yang tidak bersenjata
ini dengan goloknya, maka dia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang
gagah. Lagi pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh ini lebih
mudah menggunakah tangan kosong. Karena itu dia segera membanting golok dan
perisainya di atas lantai sehingga mengeluarkan suara berkerontangan, kemudian
sambil mendelikkan mata ia memaki,
“Baik, aku telah membuang
senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik batang lehermu!”
“Mengapa bermain cekik-cekikan?
Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai dengan muka lucu hingga
kembali semua orang tertawa.
Sementara itu, Lin Lin merasa
heran sekali dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin Hai
setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa
kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang
tabah, bersemangat, dan berani membela kakak-kakaknya!
Juga Kwee In Liang
menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu memiliki seorang
keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pandangan tajam dan
pengalaman luas dapat pula dikelabui oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan
sehingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang
tolol akan tetapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak
mengeluarkan suara saking terperanjat dan kuatirnya.
Ketika Cin Hai mengangkat
bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua tangannya
dan ia lantas membetot. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ternyata bahwa
ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran
sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki tenaga sebesar itu? Ia
membetot kembali dan Cin Hai terus mempertahankan.
“Uhh… uhhh…” mulut Cin Hai
mengeluarkan suara seolah-olah dia sedang mengerahkan seluruh tenaganya.
Demikianlah, keduanya saling
membetot dan mempertahankan, sedikit pun tak ada yang mau mengalah! Bangku itu
sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot ke kiri sehingga seakan-akan
kedua orang itu sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka
keduanya berubah merah!
Yang merasa sangat gembira
adalah para penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua orang
itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar
dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya
kepada pemuda tolol itu!
Pada saat itu mereka merasa
seolah-olah sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik bangku
sebagai gantinya tambang yang biasa dipergunakan untuk mengadu tenaga
bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai
sambil berteriak-teriak,
“Hayo, tarik... tarik...!
Keluarkan tenagamu...”
Jika bangku itu terbetot ke arah
Cin Hai, maka semua orang berseru gembira, “Hayo... lebih keras lagi...
tarik...!”
Akan tetapi apa bila bangku
itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung
kekuatiran, “Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”
Untuk beberapa lamanya kedua
orang itu saling tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga. Boan Sip
makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari
pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini
dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya
dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya.
Tiba-tiba saja Cin Hai
mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah
Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan
tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya sehingga tubuhnya ikut terbetot
dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip demikian kerasnya hingga karena tenaga
bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan dan
terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh
terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.
Orang-orang tertawa geli dan
bersorak-sorai. Akan tetapi pada saat itu pula Lin Lin sudah melompat ke tempat
itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh
Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu.
Dan alangah herannya Lin Lin
ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat
sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetot tubuhnya!
Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai sehingga dia
menguatirkan keselamatan pemuda ini.
Akan tetapi, ketika orang-orang
melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu
mengalirkan darah dan ia pun berdiri dengan terhuyung-huyung. Karena terlalu
banyak menghabiskan tenaga dan tiba-tiba saja bangku dilepas, maka tenaganya
membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat luka dalam yang hebat
juga!
Kawan-kawannya segera
menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk
pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan
Sip lalu duduk diam dan cepat mengatur napas untuk memulihkan tenaganya
kembali.
Lin Lin dan Ang I Niocu
kembali lagi ke tempat duduk masing-masing, ada pun Cin Hai dengan mendapat
sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ie-nya, yaitu di
bagian para tamu wanita. Pada saat Biauw Suthai memandang pemuda itu,
teringatlah wanita gagah ini. Dia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.
“Bukankah kita pernah
bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.
“Sudah, Suthai,” jawab Cin
Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”
“Empat kali?” Biauw Suthai
mengingat-ingat.
“Ya, empat kali. Pertama kali
ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau menolongku
dari serangan Biauw Leng Hosiang, lalu ketiga kalinya di dalam Goa Tengkorak,
dan ke empat kalinya... sekarang ini!”
Biauw Suthai tertawa senang.
“Ahh, benar... pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau telah
memiliki keberanian yang besar!”
Lin Lin memandang kepada Cin
Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, benar-benar kau gagah berani!”
Dan aneh sekali, mendengar
pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang hingga
ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat
duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.
Sementara itu, Kwee Tiong dan
adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol itu
mendapat pujian dari orang-orang.
“Sungguh menjemukan, sungguh
menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.
Pada saat itu seorang perwira
lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam arena.
Dengan tertawa dingin dia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak
sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan
warna kulit mukanya. Dia memandang ke sekeliling dan berkata kepada Kwee In
Liang,
“Kwee-ciangkun...”
“Aku bukan seorang pembesar
lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong. Perwira kate itu
tertawa,
“Kwee Lo-enghiong,” katanya
lagi.
“Pertempuran antara Boan-sute
dan Pek I Toanio boleh dianggap berakhir dengan seri karena datangnya gangguan
dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak
termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami
masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang kuharap kau suka
maju, atau boleh juga kau mengajukan pemuda bodoh setengah gila tadi untuk
menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak
bodoh itu tidak berani!”
“Siapa yang tidak berani?”
tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka
mulut besar!”
Terdengar orang-orang tertawa
keras karena merasa geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi
lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.
“Anjing tolol, jangan kau suka
berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat
padamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar
disebut muka hitam?” Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak
menyambut tantangan orang itu. Akan tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu
memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih jauh.
Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri
sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri Kwee In
Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?”
Kwee In Liang yang merasa
bahwa ia sendiri tak berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung.
Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya
melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi.
Semua orang memuji keindahan
gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia kini
sedang menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani
main-main dan segera menjura dengan hormat.
“Tuan rumah sudah berhasil
mengumpulkan pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku mengetahui nama
Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”
Ang I Niocu tersenyum dan
orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan sajak,
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan
air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan
hati.
Kau hendak bertanya nama?
Lihat pakaian dan pedang.
Dan cari sendiri siapa namaku!
Perwira itu lalu memikir-mikir
sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Kemudian
ia pun berkata dengan kaget, “Ahh, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?”
Ang I Niocu tersenyum manis,
dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya
terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetapi tak seorang
pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya!
“Apakah artinya nama bagi
kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi.
Dan tentang hubungan dengan keluarga Kwee yang kau tanyakan tadi, terus terang
saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tidak diundang seperti
juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik maka aku diterima dengan baik
pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”
“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa
Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku kurang hormat. Pertempuran ini tidak
dapat dilanjutkan!” Si Muka Hitam berkata. “Bukan karena aku tidak menghormat
Lihiap, akan tetapi karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan
keluarga Kwee, maka aku Tan Song tak akan mau melayaninya!”
Mendengar kata-kata ini, Ang I
Niocu tidak berdaya dan ia tidak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke
tempatnya semula sesudah berkata, “Kalau begitu, masih kuharapkan agar lain
kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini,
Tan-ciangkun!”
Tan Siong merasa malu dan
marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura tak
mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.
“Hei, orang she Kwee,
bagaimanakah? Apakah kau serta kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku? Mana
pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh dia keluar, jangan sembunyi di
dalam pelukan ibunya saja!”
Bukan main hebatnya hinaan ini
sehingga Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan kepandaian.
Akan tetapi pada saat itu pula dari luar berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu seorang pemuda berpakaian bagai seorang sasterawan telah berdiri di
situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan berkata,
“Manusia sombong yang suka
mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap menghadapimu!”
“An-ji...!” Kwee In Liang dan
Loan Nio berseru hampir berbareng.
Akan tetapi karena pada waktu
itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya memandang dengan girang
dan juga kuatir. Apa lagi Kwee An hanya mempunyai kepandaian silat yang masih
rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru
dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan
Kwee An yang demikian cepat!
Cin Hai dengan jelas bisa
melihat bahwa ketika masuk tadi Kwee Ang telah menggunakan Ilmu Loncat Naga
Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya bisa dilakukan oleh orang
yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan sudah mempunyai
ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang
pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui
hal ini sehingga mereka menjadi girang.
Akan tetapi, Cin Hai adalah
seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Meski pun maklum bahwa Kwee An
memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat
yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil
berteriak-teriak “Kwee An... Kwee An...”
Kwee An cepat berpaling dan
wajahnya yang cakap itu berseri gembira melihat Cin Hai. “Cin Hai, engkau juga
datang?” Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu
Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.
Ketika mereka berpelukan,
dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,
“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”
Akan tetapi dengan suara keras
ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini
sebentar lagi akan bermuka biru!” Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu
bertindak kembali ke tempat duduknya.
Semua orang tertawa mendengar
olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap Cin Hai
yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam
sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tidak akan menyangka, karena
memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti
halnya Hek-see-jiu atau Ang-see-jiu, sebab orang yang memiliki ilmu ini,
tangannya hitam atau merah.
Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis
Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan
sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang dicampurkan obat-obat kuat
dan digosok-gosokkan pada seluruh lengan tangan, juga melatih dengan
memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan mempunyai tenaga
luar biasa!
Pertempuran antara Kwee An dan
Tan Song segera dimulai. Dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa
Kwee An sudah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan
dari Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan itu.
Pernah dulu Bu Pun Su memberi
tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biar pun kurang ternama, akan
tetapi sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai
membuktikan sendiri hingga dia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik
hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih
tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka
Hitam ini!
Benar saja seperti dugaan Cin
Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memiliki
kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai
kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Dia
segera mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat
membawa maut.
Akan tetapi Kwee An berlaku
hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia
memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari pada lawannya, maka ia
menggunakan ginkang-nya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya
laksana seekor burung kepinis!
Orang-orang bersorak gembira
melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka itu seakan-akan seekor ular
yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee
An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan segera balas menyerang
dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah lawan.
Pernah terjadi kelambatan
pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda ini sebab Tan Song
menggunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke
arah dada Kwee An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu pun mengeluarkan
seruan tertahan.
Kwee An merasa betapa angin
pukulan Pek-mo-ciang ini seakan mengiris kulit dadanya. Namun berkat
kegesitannya, dia segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua
kakinya menendang ke depan bergantian. Untung saja dia mempergunakan Ilmu
Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan
gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk
maju sambil mengirim serangan ke dua.
Cepat sekali Kwee An
menggunakan kedua tangan menekan lantai sehingga tubuhnya dapat mencelat ke
atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih
hati-hati.
Sesudah bertempur seratus
jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda serta
bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai
dan karena cabang persilatan ini memang tidak banyak dikenal orang, maka Tan
Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.
Cin Hai merasa gembira sekali
dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru “Hayo, Kwee An, hantam terus...
hantam terus...”
Semua penonton melihat dan
mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua berpihak
pada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat.
Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya
disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang lain, ternyata
kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin
lebih tinggi dari pada Lin Lin!
Ketika mendapat kesempatan
baik, yaitu pada saat lawannya terhuyung mundur karena serangan yang datang
bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke
arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena
tiba-tiba saja kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan yang tidak
menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu.
Tak ampun lagi dada Tan Song
berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak
kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang
menolong dan mengangkatnya ke pinggir.
Kwee In Liang lalu menghampiri
Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh ayahnya
menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan
terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu segera datang menyerbu
menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa bangga sekali
akan kepandaian Kwee An.
“Nah, ini baru disebut
kepandaian asli,” kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam
engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur kau mengalahkan orang she Tan yang
tangguh itu. Engkau benar-benar hebat, An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak
adiknya dengan wajah bangga sekali.
Pada saat itu perwira ke tiga
masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan
gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya
tajam berpengaruh. Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa
orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh.
Perwira ini sesungguhnya
adalah kakak dari Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu
silatnya masih jauh lebih tinggi dari pada Tan Boan Sip. Tetapi adatnya pendiam
dan tidak sombong.
Setelah berdiri di
tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata
dengan suaranya yang besar,
“Kwee-enghiong, puteramu tadi
sungguh lihai, apa bila kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran
kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”
Kwee An hendak maju lagi,
tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.
“Kau terlalu lelah, baru saja
datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau kini kau maju lagi, maka kau
akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”
“Habis siapa yang akan maju
melayani perwira itu?” tanya Kwee An.
Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang
menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata, “Biarlah aku yang tua ikut
meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.”
Muka Kwee In Liang berseri.
Dia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup lihai
dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka dia cepat menjura sambil
berkata, “Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali.”
Bhok Ki Sun segera bertindak
maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang petani
sederhana ini lalu menjura dan berkata,
“Belum tahu siapa nama
Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama pula dengan pendirian Tan-ciangkun
bahwa orang luar tidak boleh membantu tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena
menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka berkenan mengajukan diri untuk
melayanimu.”
Berbeda dengan Tan Song, Tan
Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka dia menjawab, “Aku bernama Tan
Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Jika Bhok Lo-enghiong
hendak turun tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main
sebentar!”
Bhok Ki Sun adalah seorang
anak murid dari Kun-lun-pai, maka dia pun memiliki tenaga lweekang yang cukup
sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran
segera dimulai.
Keduanya bergerak
lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak. Akan
tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak
lawan sama kuatnya, mereka kemudian mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya
mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka segera mengeluarkan kecepatan dan
kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran lantas berubah cepat dan
hebat.
Dan beberapa puluh jurus
kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang tua
itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu sangat mengagumkan karena di
samping sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak
sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat.
Beberapa kali Bhok Ki Sun
hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur
sebelum terluka dalam pertempuran yang sesungguhnya lebih bersifat mengukur
kepandaian ini. Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun lalu
meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun
sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata,
“Tan-ciangkun, kepandaianmu
sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!” Dia lalu menjura kepada
Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama
keluarga Kwee.
Pek I Toanio tertarik sekali
melihat kepandaian Tan Bu, karena itu sesudah mendapat perkenan dari gurunya,
ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.
“Ingin sekali aku merasakan
kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio sambil mencabut pedang
di tangan kanan dan mengeluarkan sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya
baju putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari
gurunya.
“Baik, baik. Aku pun sudah melihat
permainanmu yang sangat lihai tadi dan ingin sekali untuk mencobanya,” jawab
Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang
ujungnya dipasangi kaitan.
Sesudah saling memberi hormat,
maka kedua orang ini segera menggerakkan senjata masing-masing dalam
pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur
melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong.
Sinar pedang Pek I Toanio
bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtim-nya yang cukup lihai sehingga
permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.
Akan tetapi permainan toya
dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan. Toya itu sangat berat
dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya sehingga mendatangkan angin
berkesiur yang dirasakan oleh semua penonton yang duduk di situ! Baru anginnya
saja sudah memiliki tenaga hebat hingga bisa menggerakkan pakaian dan rambut
orang-orang di sekitarnya, apa lagi kalau terkena kemplang toya yang berat dan
digerakkan cepat ini!
Baru bertempur dalam beberapa
belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu tenaga, maka
ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri
dari sabetan toya, sambil mempergunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas
menusuk dengan pedang atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.
Pada saat Tan Bu menggunakan
gerak tipu Hing-sau Chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara dan
tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya
itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat laksana
kitiran angin, toya Tan Bu sudah mengejar tubuh yang di atas itu dan cepat
menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua orang
menahan napas.
Akan tetapi, Pek I Toanio
benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini
berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit, ada pun untuk
menangkis dia akan kalah tenaga, maka dia segera memperlihatkan kegesitannya.
Pada saat ujung toya menyambar ke arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan
ujung kaki kanannya ditotolkan pada ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan
toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan hudtim-nya ke arah jalan
darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu!
Gerakan ini luar biasa indah
dan beraninya sehingga Tan Bu sama sekali tidak menduga, tahu-tahu pundaknya
kena terpukul dan tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras,
sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas
hingga kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas!
Pek I Toanio tidak kalah
kagetnya. Totokannya tadi sudah mengenai urat di tubuh lawan dengan tepat
sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tidak pernah terpukul,
apa lagi terluka!
Cepat nyonya ini meluncur
turun dan dia merasa bahwa melawan terus tidak akan ada gunanya, karena harus
dia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh
hebat dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu menjura
dan berkata,
“Terima kasih atas petunjuk
Ciangkun.”
Tepuk sorak ramai terdengar
dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua pertempuran
berturut-turut Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali
kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan dapat
menebus kekalahan Tan Song tadi.
“He, Kwee In Liang, jika kau
sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba
Boan Sip berseru keras dengan suara menghina.
Semua penonton memandang ke
arah Kwee In Liang dengan cemas karena sesudah kedua jago itu kalah, siapa lagi
yang hendak maju?
Kwee In Liang tidak berani
minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang maju
dan berternpur mati-matian, membela nama kita!”
“Kwee-enghiong, sabar dulu.
Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata Biauw Suthai.
Akan tetapi tiba-tiba Ang I
Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri.
“Biarkan aku saja yang maju!”
setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, lalu sekali melompat
tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu!
Orang tidak melihat bagaimana
dia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah
memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.
“Manusia sombong yang membuka
mulut besar, kau keluarlah dan marilah kau rasakan tajamnya pedangku!” katanya
sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip!
Tan Bu maju selangkah dan
mengangkat kedua tangan sambil berkata,
“Bukankah engkau ini Ang I
Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang besar, maka betapa beruntungnya
hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan kau hiraukan Boan-sute yang
memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba kepandaian!”
Ang I Niocu terpaksa
menghadapi Tan Bu.
“Orang she Tan! Sungguh harus
disesalkan bahwa orang yang mempunyai kepandaian seperti engkau ini telah
berlaku sembrono dan mengacau pesta orang lain.”
“Ang I Niocu, kita sama-sama
orang luar dan peduli apa dengan segala urusan remeh? Yang paling penting bagi
kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing pada kesempatan yang baik
ini, untuk meluaskan pengetahuan.”
“Baiklah, kalau engkau
menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I Niocu lantas membuat gerakan
yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya sehingga semua penonton bertepuk
tangan kagum.
Tan Bu maklum akan kelihaian
lawan, karena itu dia segera mendahului dan mengirim serangan kilat dengan
toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja
menghindarkan diri dari serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang
serta dengan tarian indah sekali hingga keduanya merupakan dua orang mahluk
yang sangat berbeda.
Para penonton merasa kagum
sekali. Seumur hidup mereka belum pernah menyaksikan seorang gadis cantik
menghadapi ilmu silat toya yang luar biasa ganas itu dengan hanya menari-nari,
akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul!
Tidak hanya para penonton yang
kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee An, dan yang
lain-lainnya memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai nampak
mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang dengan
penuh perhatian.
Akan tetapi kegembiraan mereka
bercampur dengan kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu benar-benar hebat dan
dahsyat. Karena telah tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan
lihai, perwira yang kosen ini lalu mengeluarkan ilmu toyanya yang paling hebat
dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia menghadapi Pek I Toanio
tadi.
Oleh karena ini diam-diam Ang
I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa sebenarnya Tan Bu
memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Dia lalu bertempur dengan hati-hati
sekali dan selama itu belum pernah membalas dengan desakan, hanya
mempertahankan diri sambil memperhatikan dan mempelajari gerakan lawan.
Melihat keragu-raguan Ang I
Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali. Dia yang sudah mempunyai
pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah memiliki pandangan
tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu itu sebenarnya hanyalah ganas
dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu mempunyai
tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka Nona
Baju Merah itu tak akan sulit mengalahkan lawannya. Oleh karena itu maka
diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.
Lin Lin yang duduk tidak jauh
dari Cin Hai, dan semenjak tadi sering kali mengerling ke arah pemuda yang
sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tanpa dapat ditahan
lagi mengajukan pertanyaan, “Ehh, Engko Hai, mengapa kau keluarkan sulingmu
pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil tersenyum geli.
Cin Hai juga tersenyum, namun
jawabannya menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat terheran itu ketika
mendengar Cin Hai berkata,
“Aku meniup suling untuk
mengiringi tarian Niocu.”
Sebelum Lin Lin dapat bertanya
lebih lanjut, Cin Hai sudah meniup suling maka tiba-tiba terdengarlah tiupan
suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang menjadi heran sekali, ada pun
Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Dia anggap pemuda ini
benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Dia melangkah maju dan hendak
melarang Cin Hai menyuling.
Akan tetapi Lin Lin memandang
pada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata, “Engko Tiong, biarkan saja
dan jangan ganggu dia!”
Kwee Tiong merasa dongkol
sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali dengan membawa
kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang
dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih terus menyuling dengan asyiknya.
Akan tetapi, tiba-tiba ketika
suara suling Cin Hai semakin keras, nyaring dan meninggi, terdengar
seruan-seruan orang menyatakan rasa terkejut dan kagum. Ketika Kwee Tiong
memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena ternyata
tubuh Ang I Niocu sudah lenyap dan kini gadis itu berubah menjadi bayang-bayang
merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali!
Lin Lin memandang kagum dan diam-diam
dia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal keindahan itu. Juga Biauw
Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang lihai ini mengerling ke arah
Cin Hai. Dia tahu bahwa suara suling itu sangat tepat mengiringi semua gerakan
Ang I Niocu sehingga seakan-akan suara suling itulah yang menuntun dan membuat
gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian luar biasa! Oleh karena ini,
diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan timbul dugaan di dalam
hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi sesungguhnya
berkepandaian tinggi!
Memang sebetulnya Ang I Niocu
ketika tadi melayani lawannya dengan gerakan hati-hati sekali, tiba-tiba ia
mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba hatinya berdebar girang
dan timbul semangatnya.
Suara suling itu baginya
mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik sehingga rasa hangat
menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya seakan bernyala-nyala. Ia
lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah.
Alangkah terkejutnya Tan Bu
ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya halus dan lemah
gemulai serta hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan gerakan untuk
menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat laksana kilat menyambar!
Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya melakukan serangan yang hebat,
dan dia merasa betapa sinar pedang lawan ini mengurungnya dari segala jurusan
hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan Bu bukanlah orang lemah, dan ia
memutar toyanya sedemikian rupa sehingga toya ini merupakan benteng baja yang
kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya!
Suara suling yang ditiup Cin
Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah gerakan pedang Ang I
Niocu sehingga pada suatu saat terdengar suara kain terobek dan tiba-tiba Tan
Bu melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah terobek ujung pedang dari dada
sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka kulit saja di bagian
lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.
“Ang I Niocu, sungguh kau
benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong kosong belaka!” Tan Bu memuji
dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di mana dia lalu membalut
lukanya setelah memberi obat.
Sesudah menyimpan kembali
pedangnya, dengan senyum lebar Ang I Niocu lalu kembali ke tempat duduknya, di
mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan ucapan terima kasih.
“Niocu tarianmu hebat sekali!”
kata Cin Hai tertawa-tawa.
“Hai-ji, terima kasih atas
doronganmu dengan suling tadi,” Ang I Niocu menjawab sambil memandang wajah Cin
Hai dengan senyum mesra.
Diam-diam Lin Lin
memperhatikan mereka berdua dia heran sekali mengapa dada kirinya merasa tidak
enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin Hai dan betapa
akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi dia pun heran sekali mendengar
sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji atau
anak Hai! Sebenarnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Dia belum
mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.
Pada saat itu dari pihak
perwira Sayap Garuda, segera maju perwira ke empat sambil mengangkat dada dan
berkata,
“Kami harus mengakui bahwa
saudara kami Tan Bu sudah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang
benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari
keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan apa bila di antara keluarga Kwee tidak
ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani orang-orang luar yang ingin
membela Kwee-enghiong!”
Perwira ke empat ini bernama
Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi karena sebetulnya dia merupakan
saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari Shantung yang
kesemuanya kini menjadi perwira-perwira kelas tertinggi di kota raja! Un Kong
Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain mempunyai tenaga ginkang dan lweekang
yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang mengagumkan.
Di kota raja Un Kong Sian dan
kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira lain, sehingga
beleh dibilang bahwa dia menjadi seorang di antara guru-guru para perwira di
kota raja. Oleh karena ini, maka dapatlah dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu
jauh lebih tinggi dari pada yang lain-lain.
Ada pun Ma Ing, perwira ke
lima yang menjadi suheng-nya, adalah orang ke empat dari Shantung Ngo-hiap,
maka tentu saja kepandaian Ma Ing ini masih lebih tinggi dari pada kepandaian
Un Kong Sian. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua perwira tinggi ini.
Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan, dan sebaliknya Ma
Ing terkenal mempunyai ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang yang amat
hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.
Mendengar betapa Un Kong Sian
menantang keluarga Kwee, Kwee An tak sanggup lagi menahan sabarnya dan dia lalu
melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,
“Biarlah aku yang muda dan tak
tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan tenang.
Un Kong Sian telah melihat
kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan santun dan
halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil tertawa,
“Anak muda, walau pun harus
diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai, akan tetapi kepandaianmu belum
matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku.”
Un Kong Sian adalah seorang
yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan kasar, karena itu kata-katanya
sering kali menyakiti hati orang. Kali ini pun ucapannya tentu saja membuat
Kwee An menjadi merah telinganya. Dia dipandang ringan sekali, maka sambil
tersenyum ia pun menjawab,
“Terima kasih atas rasa
sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tidak berharga ini memang telah
kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, jika engkau memang memiliki
kepandaian tinggi, keluarkan saja kepandaianmu itu, hendak kulihat bagaimana
hebatnya!”
“Ha-ha-ha! Engkau pemberani, juga,
anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau terluka, jangan salahkan aku!”
Sehabis berkata demikian, Un
Kong Sian lantas melempar jubah luarnya dan tampaklah kedua lengan tangan yang
besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa besarnya.
“Nah, majulah, anak muda!”
kata Un Kong Sian. “Biarlah kini engkau berkenalan dengan kepandaian Un Kong
Sian!”
Mendengar nama ini diam-diam
Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan, oleh karena ia telah kenal nama ini
sebagai saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian
orang ini sangat tinggi. Diam-diam dia menguatirkan keadaan Kwee An dan tak
terasa lagi dia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh dari tempatnya,
“Un Kong Sian itu adalah ahli
gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau carilah akal agar Kwee-kongcu suka
mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!”
Ternyata bahwa kalau lain-lain
orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin Hai dan menganggap
bahwa pemuda itu benar-benar bodoh, adalah Biauw Suthai yang hanya memiliki
sebuah mata saja segera bisa mengetahui bahwa Cin Hai adalah seorang pemuda
yang banyak akalnya, maka sekarang dia minta kepada pemuda itu untuk dapat
mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian.....
Sesudah mendengar ucapan Biauw
Suthai, tiba-tiba Cin Hai berlari-lari sambil memegang sulingnya ke arah arena
pertempuran dan pada saat itu Un Kong Sian dan Kwee An telah saling berhadapan
dan hampir bergebrak.
“Mengetahui kepandaian lawan
lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah tindakan gagah berani, tetapi
hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!” kata Cin Hai sambil menuding Un
Kong Sian dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja yang memiliki kelicinan dan
kecurangan seperti itu!”
Co Cho yang dimaksudkan oleh
Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin
sehingga banyak orang membenci dan menghinanya, walau pun Co Cho adalah seorang
yang terlalu cerdik.
Un Kong Sian menunda niatnya
hendak menyerang Kwee An. Memang dia merasa benci dan mendongkol kepada Cin Hai
karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang dengan mata dipelototkan.
“Pemuda tolol! Gangguan apa
lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?” bentaknya. “Lekas engkau
menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”
“Memang kau licin, lebih licin
dari pada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An memandang kepada
Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.
“Bangsat tolol, mengapa kau
menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong Sian.
“Engkau sudah melihat sampai
di mana tingkat kepandaian Kwee An, namun kami semua belum melihat tingkat
kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau dapat mengukur
sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan adil kau harus
memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu. Apa bila kau bisa meniru
perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An yang gagah perkasa.
Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba mencari penyakit!”
Semua orang yang hadir kali
ini dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti
maksud Cin Hai.
”Anak bodoh! Kau mempunyai
kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru dengan baik lagi!”
Cin Hai lalu meniup sulingnya
sebentar, kemudian berkata, “Nah, kau bisa tidak meniru kepandaianku tadi?”
Semua orang tertawa geli
melihat kebodohan yang tolol ini, ada pun Un Kong Sian marah sekali sampai
membanting-banting kaki.
“Tolol! Kepandaian meniup
suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau kau memperlihatkan
demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau menirunya.”
“Ha-ha-ha-ha, agaknya kau
bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba keluarkan senjatamu!”
Meski pun merasa heran, akan
tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu sebuah toya yang
beratnya lebih dari seratus kati. Inilah senjata perwira she Un yang
benar-benar hebat itu.
“Nah, ini senjataku, kau mau
apa?” bentaknya.
“Aku akan memainkan senjata
ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata Cin Hai dengan gagah.
Dengan sikap dibuat-buat ia
lalu menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan dan
mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua
orang tertawa geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka
bahwa Cin Hai setolol ini.
“Celaka, budak tolol itu kali
ini benar-benar membikin malu kita!” kata Kwee Tiong dengan mendongkol sekali.
Tetapi Cin Hai lalu memutar
toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara
mengaung yang sangat hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan
mengembalikannya kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka
berhentilah suara mengaung itu.
“Nah, kau tirulah perbuatanku
tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!”
Kembali semua orang tertawa,
akan tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai
mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat saja sudah hampir tidak
kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai menyembunyikan sulingnya di belakang
toya dan ketika ia memutar toyanya, dengan khikang yang tinggi ia meniup ke
arah lubang suling itu hingga menerbitkan suara mengaung.
Un Kong Sian menerima toyanya
dan memutarnya begitu cepat sehingga mendatangkan angin keras, akan tetapi mana
bisa toya itu mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat toya itu hanya
mengeluarkan suara mengiuk saja.
“Aha, ternyata engkau kurang
kuat, sobat! Engkau tidak mampu memutar toyamu sampai mengeluarkan angin
mengaung!”
“Bangsat tolol!” Un Kong Sian
marah sekali, lalu ia pergunakan tenaganya menancapkan toyanya yang berat itu
pada lantai, dan toya itu menancap sampai setengahnya di lantai yang keras itu!
“Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya ini, barulah dia berharga
untuk melayani aku!”
Kwee An terkejut sekali
melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh
Cin Hai.
“Aha, engkau sungguh hebat,
Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!” Thio Whie adalah seorang tokoh yang
gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok. “Di dalam ruangan ini hanya satu
orang saja yang dapat menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee An yang
masih muda belia ini!”
“Cin Hai, engkau mundurlah.
Walau pun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih akan mencoba minta
pengajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena anak muda ini tentu saja
tidak sudi memperlihatkan rasa jeri terhadap lawannya.
“Nah, segera mundurlah pemuda
tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah dari pada engkau yang hanya
pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.
“Eh, ehh mana bisa! Engkau
sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya inilah yang hendak engkau layani.”
“Akan kucoba untuk
mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju.
Cin Hai menjadi bingung dan
sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu hatinya dan dia pun
percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan peringatan
Biauw Suthai dan tahu pula betapa berbahayanya bagi Kwee An menghadapi orang
she Un ini, oleh karena orang she Un ini mempunyai muka yang membayangkan
kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka kalau mereka bertempur,
banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh!
Dia lalu melangkah maju dan
berkata, “Nanti dulu! Aku tadi sudah berkali-kali dihinanya, biarkan aku
mencoba dahulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk
ini?”
Dengan lagak dibuat-buat Cin
Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong Sian segera melangkah mundur dan
memandang dengan mata menghina dan kedua lengan tangan bersilang. Cin Hai
pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan kata tercabut, toya
itu bergoyang pun tidak. Semua orang yang menonton tertawa geli dan kini mereka
mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat.
Sebenarnya, Cin Hai
betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang
disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia
telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.
Dia lalu bangun dan menjura
kepada Un Kong Sian. “Tenagamu benar-benar hebat. Aku tidak kuat mencabut!”
katanya sambil terengah-engah.
Kwee An merasa malu bukan main
melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia hendak mencuci malu di pihaknya yang
ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia lantas melangkah maju dan membetot toya itu.
Alangkah herannya ketika dia mampu membetot keluar toya itu tanpa banyak
mengeluarkan tenaga.
Tepuk sorak riuh menyambut
kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap luar biasa dan
besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tidak mungkin pemuda
itu mempunyai tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira
sambil tertawa dan sama sekali tidak menghiraukan pandangan mata Kwee An yang
menyelidik dan ditujukan kepadanya dengan penuh kecurigaan.
Mendadak Un Kong Sian
mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak mencabut keluar
toyaku, akan tetapi dia telah mematahkannya! Tentu saja hal ini tidak aneh.”
Kwee An tercengang lagi. Dia
sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi benar saja, ketika dia memandang,
ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini ia dapat menduga bahwa sengaja
Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini. Akan tetapi, benarkah
Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya bertempur melawan Un Kong Sian?
“Betul, betul!” kata Cin Hai
dengan suara keras. “Ujung toya itu telah patah. Jelas bahwa Kwee An tidak
dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas melayanimu. Ada orang lain yang
lebih tepat menghajarmu.”
Bukan main marahnya Un Kong
Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia? Suruh maju lekas!” bentaknya.
“Sabarlah orang she Un. Kalau
kau mencari lawan, pinni bersedia untuk melayanimu!” Dan tahu-tahu Biauw Suthai
sudah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi
dari situ.
“Aku hanya melakukan perintah
Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An yang penasaran dan
curiga kepadanya.
Sementara itu, ketika melihat
seorang tokouw yang berwajah buruk dan mengerikan telah berdiri di depannya, Un
Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan bertanya,
“Siapakah Toa-suthai yang
hendak memberi pelajaran kepadaku?”
“Orang-orang memanggilku Biauw
Suthai.”
Diam-diam hati Un Kong Sian
berdebar karena dia sudah pernah mendengar nama besar Biauw Suthai, akan tetapi
dia sama sekali tidak merasa jeri.
“Kebetulan sekali. Sudah lama
aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin sekali merasakan
kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan kosong atau
dengan senjata?”
“Toyamu telah patah, maka
tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain senjata.”
“Bagus, kalau begitu marilah
kita menguji kepandaian tangan!”
Tanpa banyak cakap lagi Un
Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.
Dalam hal ilmu silat Biauw
Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman pertempuran yang
luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga hebat itu, ia
telah bertemu dengan tandingannya. Gerakan pukulan dua orang ini mendatangkan
angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga Cin Hai tidak berani
berjenaka lagi oleh karena dia maklum betapa kepandaian kedua orang itu
benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat sekali.
Setelah bertempur puluhan
jurus, Biauw Suthai yang lihai itu sudah dapat memukul dua kali pada pundak dan
dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian demikian hebat hingga
perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad menyerang lagi. Cin Hai merasa
terkejut karena dia maklum bahwa meski pun di luar tidak kelihatan terluka
parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi pukulan Biauw Suthai yang
disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan luka di sebelah dalam.
Juga Biauw Suthai merasa
sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat kenekatan orang yang sudah terang
mendapat luka, maka dia lalu menyerang semakin hebat. Pada suatu saat, ketika
Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan jari
tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian.
Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit,
bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan Ular
Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian mengarah leher Biauw
Suthai dengan hebatnya.
Gerakan kedua orang ini cepat
sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai memiringkan tubuh
hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong Sian meleset dan
hanya mengenai pundaknya. Akan tetapi pukulan dua orang ini cukup hebat untuk
membuat keduanya terpental mundur.
Biauw Suthai dapat berdiri
tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat. Ada pun Un Kong Sian
terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian dia roboh sambil
memuntahkan darah.
Kawan-kawan Un Kong Sian
segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin cepat-cepat meloncat
menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat duduknya. Tokouw ini lantas
mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya dan minum obat itu dengan
segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini mengeluarkan tiga butir pil
merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada Un Kong Sian.
Akan tetapi pemberian obat itu
ternyata ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan obatnya sendiri bagi
sute-nya. Kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah maju ke kalangan.
“Sekarang di pihak kami hanya
tersisa aku seorang. Hayo kau keluarkanlah jago-jagomu, Kwee-enghiong, dan kita
sudahi adu kepandaian ini!”
Kwee In Liang menjadi bingung
sekali. Dia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini sangat tinggi dan kini setelah
Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang dapat diharapkan bantuannya untuk
menghadapi Ma Ing?
Ma Ing agaknya tahu pula bahwa
pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago, karena itu dengan sombongnya dia
berkata,
“Kalau di pihak tuan rumah tak
ada jago yang berani menghadapi aku seorang diri, boleh kamu semua maju
berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing seorang diri pun cukup untuk melayani
kamu sekeluarga!”
Biar pun kepandaian Kwee Tiong
dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi mendengar ucapan sombong ini, sambil
berseru keras mereka cepat meloncat maju berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee
Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang maju dan serentak menyerang tanpa dapat
dicegah lagi!
Ma Ing mengeluarkan suara
menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan serta kakinya menendang
dan dalam beberapa gebrakan saja keempat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan
adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan
adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan
dan tendangan!
“Ha-ha-ha-ha! Segala tikus
kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing menyindir.
Sikap dan kata-katanya yang
sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang ini tanpa
berjanji terlebih dahulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan pedang di
tangan mereka berdua menyerang Ma Ing!
Ma Ing cepat mencabut
pedangnya dan ketiga orang ini segera bertempur. Menghadapi keroyokan Kwee An
dan Ang I Niocu yang mempunyai kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani
main-main dan melayani dengan sengit, dan dalam waktu sebentar saja dia sudah
dapat mendesak kedua anak muda!
Kwee Tiong dan adik-adiknya
kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal melihat betapa
Cin Hai memandangnya sambil tersenyum dan betapa pemuda itu dengan enaknya
duduk memegang-megang sulingnya! Orang lain lagi sibuk melayani musuh, akan
tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.
“Kenapa kau tertawa?” tegurnya.
“Aku kagum melihat kelihaian
orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak saja dapat merampas pedang kalian
berempat!” jawab Cin Hai.
Kwee Tiong marah sekali dan
apa bila ia tidak ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia sudah mengirim
kepalannya ke arah Cin Hai.
“Kau sendiri orang tolol hanya
duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu. Coba kau lihat Kwee An,
dia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak seperti
engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”
“Tiong-ko, jangan kau menghina
orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai. “Engko Hai, Ang I
Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?”
Cin Hai memandang kepada Lin
Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik, apakah kau juga ingin melayani
orang she Ma itu?”
Lin Lin mengerutkan alisnya
yang bagus. Ia sungguh tak dapat segera mengerti maksud kata-kata Cin Hai ini.
“Ahh, sedangkan Ang I Niocu
dan Engko An yang memiliki kepandaian amat tinggi masih terdesak olehnya, apa
lagi aku! Aku melihat kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah
guruku!”
Cin Hai bangun dari duduknya.
“Lin-moi, kau siapkan pedangmu dan marilah kau kuantar melawan orang she Ma
itu. Kalau kau tidak mampu merobohkannya jangan kau panggil aku Engko Hai
lagi!” kata-katanya ini disertai senyum mesra kepada gadis yang masih
memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin benarkah kau tidak percaya
kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.
“Aku percaya kepadamu, Hai-ko.
Mari kita maju!”
Lin Lin dan Cin Hai lalu maju
ke kalangan pertempuran.
“Niocu! Saudara Kwee! Kalian
mundurlah, biar aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!”
Mendengar kata-kata ini, Ma
Ing menunda serangannya karena heran sekali mendengar bahwa pemuda tolol itu
hendak maju. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Niocu dan Kwee An untuk
melompat mundur ke belakang.
“Hai-ji, dia lihai sekali,
jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.
“Lin Lin, dia bukan lawanmu!”
kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.
Akan tetapi, baik Cin Hai mau
pun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini. Lin Lin lalu mencabut pedangnya
dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang sulingnya.
“Ehh orang she Ma! Apa kau
berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”
“Ha-ha-ha! Orang tolol! Kau
agaknya sudah bosan hidup! Ingat, sekali ini aku tidak mau mengampuni kau
pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau tambah seratus
orang lagi, aku Ma Ing tak akan gentar.”
“Nah, kau bersiaplah!” kata
Cin Hai.
Dia segera menggerakkan
sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera
melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.
“Kau bersenjata suling?
Ha-ha-ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda. Tukarkan senjatamu dengan
pedang atau lain senjata tajam.”
“Tidak usah, orang sombong.
Aku tak akan melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku
hanya menghalangi serbuanmu saja, untuk apa menggunakan senjata tajam?”
Tidak hanya Ma Ing, akan
tetapi semua orang yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala karena
menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang
berkata kepada Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai.
“Kwee-kongcu, kau tenanglah
sebab sekarang Ma Ing betul-betul akan kehilangan muka!”
Kwee Tiong heran sekali
mendengar kata-kata ini. Akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini dia tidak berani
banyak cakap.
“Cuwi sekalian, semua orang
hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini mencari matinya sendiri. Aku tak
akan mengganggu Kwee-siocia, akan tetapi kalau hari ini aku tak dapat membunuh
anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku Ma Ing lagi!” Setelah berkata
demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya.
Benar saja, dia menujukan
serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan kilat ke arah
dada kiri pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena sudah terbayang di
depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang.
Akan tetapi Cin Hai juga
menjerit, “Ayaaaa...!“
Sambil menggunakan gerakan
Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan gerakan
canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil
terhuyung-huyung ini Cin Hai berkata,
“Wah, galak... galak...!
Lin-moi, lekas kau serang dia!”
Lin Lin tak perlu diperintah
lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, dia sudah merasa khawatir
sekali dan cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing hendak menangkis,
akan tetapi mendadak Cin Hai meniru gerakannya tadi dan menusuk ke arah
punggungnya dengan suling itu.
Terpaksa Ma Ing mengelak dari
serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai lagi dan hendak
membacok suling itu dengan pedang. Akan tetapi tiba-tiba suling yang ditusukkan
itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan tangan Ma Ing
yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama benar dengan gerakannya dan
tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu.
Ma Ing terkejut sekali karena
meski pun suling itu hanya terbuat dari pada bambu, akan tetapi tangannya merasa
sakit sekali. Dia cepat memutar pedangnya dan menyerang Cin Hai dengan serangan
kilat. Akan tetapi, tiba-tiba ia memandang dengan mata terbelalak, karena Cin
Hai juga bersilat persis ilmu silatnya sendiri.
Semua orang yang menonton
menjadi terheran-heran. Mereka menganggap bahwa Cin Hai hanya meniru-niru
gerakan Ma Ing saja. Akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat mempercayai
matanya karena semua gerakan Cin Hai bahkan lebih sempurna dari pada gerakannya
sendiri. Maka dia cepat meloncat mundur dan berseru.
“Tahan dulu! Ehh, pemuda
tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan dari mana kau dapat memainkan
Pek-coa Kiam-hoat?” Pek-coa Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang tadi dimainkan
oleh Ma Ing tadi.
Cin Hai pura-pura memandang
heran. “Orang she Ma, kenapa kau masih bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu
pedang ini darimu sendiri!”
“Bangsat penipu! Kapan aku
memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru marah,
“Bukankah baru saja kau telah
memperlihatkan ilmu pedangmu?”
Jawaban Cin Hai ini memang
sebenarnya saja, oleh karena ilmu silat apa pun juga kalau digunakan untuk
menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal akan
pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.
“Anak muda, ternyata kau hanya
berpura-pura tolol saja. Apa bila kau memang laki-laki, jangan maju keroyokan.
Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.
Cin Hai memandang kepada Lin
Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini ternyata takut kepada pedangmu,
biarlah aku yang melayaninya sendiri!”
“Tapi, Hai-ko...,” kata Lin
Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.
Tiba-tiba saja Cin Hai
mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya tersenyum. “Tidak percaya kau
kepadaku?”
Gadis itu tidak menjawab, dia
lalu mengangsurkan pedangnya. “Kau pakailah pedangku, Hai-ko!”
“Tak usah, Adikku, cukup
dengan suling saja. Jika memang perlu, aku sendiri pun sudah mempunyai sebatang
pedang.”
Lin Lin mengundurkan diri,
tetapi ia berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga kalau-kalau Cin Hai berada
dalam bahaya. Ma Ing lantas mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba memutar
pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang itu lalu berubah menjadi
segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah Cin Hai.
“Bagus!” Cin Hai berseru.
Dia lalu mengikuti gerakan
lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan sulingnya diputar cepat hingga
pada saat ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking
yang aneh dan lucu.
Baru sekarang semua penonton
maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya lihai sekali. Mereka
bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi ramai dan riuh rendah
sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai dan yang lain-lain
lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton lebih jelas!
Sebaliknya, Kwee Tiong serta
adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan
kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi dari
pada kebisaanku.”
Ma Ing merasa pusing sekali
karena dia tidak berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangan kata mendesak,
menyerang pun sulit baginya, sebab pemuda itu secara aneh sekali telah
mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat dilakukan.
Tiap kali apa bila pedangnya berkelebat
hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahului serangannya dengan tusukan
sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga serangan-serangannya itu
selalu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh sekali. Dan yang lebih gila,
tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.
Ma Ing merasa penasaran
sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam ilmu Pedang Pek-coa
Kiam-hoat, karena itu tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya dan mainkan Ilmu
Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi ia kecele, karena pemuda itu
pun telah mengenal baik ilmu pedang ini dan dapat melakukan ilmu pedang ini
dengan sama sempurna!
Ia mengubah-ubah terus ilmu
silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing memang
memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini dia benar-benar
tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba pemuda itu
pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan sedikit pun tidak berbeda. Masih
seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam pula.
Ma Ing merasa seolah-olah ia
sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam cermin. Dan yang lebih
celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena sudah beberapa kali
suling itu berhasil memukulnya secara perlahan, baik di kepala, punggung,
pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Meski pun pukulan ini perlahan sekali,
akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih adalah perasaan di
dalam hatinya.
“Orang she Ma, sudah beberapa
kali engkau kukemplang dengan sulingku, masih belum mau kalahkah engkau?” Cin
Hai bertanya dengan ejekannya.
Adapun sorak-sorai penonton
semakin riuh sebab sungguh-sungguh mereka sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian sedemikian tingginya sehingga
berhasil mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai kini benar-benar kagum sekali
dan menyatakan kekagumannya itu dengan kata-kata sehingga terdengar oleh Ang I
Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.
“Tidak heran bahwa ia demikian
lihainya, karena ia adalah murid tunggal dari Bu Pun Su Susiok-couw!”
Mendengar ini, terkejutlah
Biauw Suthai dan tokouw ini mengangguk-angguk maklum.
Mendengar ejekan Cin Hai, Ma
Ing makin marah dan menyerang dengan nekad. Tiba-tiba Cin Hai lalu berkata,
“Ahhh, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah engkau lelah sendiri, aku hendak
mengaso!” Sesudah berkata demikian Cin Hai lalu duduk bersila di tengah
kalangan itu sambil meramkan mata seperti orang bersemedhi!
Semua orang merasa heran
sekali sehingga mereka memandang dengan mata terbelalak tanpa pernah berkejap
karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak menghadapi lawannya dengan
duduk bersila sambil meramkan mata!
Juga Ma Ing merasa ragu-ragu.
Akan tetapi karena dia telah merasa lelah sekali apa lagi hatinya terasa sakit
dan mendongkol karena telah dipermainkan, dia menjadi mata gelap. Dengan
mengertak gigi, dia lalu membacok ke arah kepala Cin Hai yang sedang duduk
bersila sambil meramkan mata itu.
Kwee An bergerak hendak melompat
dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh Biauw Suthai, dan Ang I Niocu
yang sudah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin Lin sudah siap dengan
pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai digerakkan dan suling
itu tidak menangkis pedang yang menyambar kepalanya, bahkan mendahului gerakan
Ma Ing!
Terpaksa Ma Ing menahan
gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah pundak Cin Hai. Akan tetapi,
dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak saja pemuda itu telah berhasil
mengelit bacokan itu sambil berkata perlahan,
“Ah, Ma-ciangkun, engkau telah
mendapat luka dalam, masih belum insyafkah engkau?”
Ma Ing kaget sekali dan cepat
menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam dadanya terasa panas dan
yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang merasa mual dan hendak
muntah.
“Rabalah iga kirimu dan engkau
akan tahu!” kata Cin Hai lagi.
Seperti dalam mimpi Ma Ing
lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan terkejutlah dia karena iganya
terasa sakit sekali dan ketika dia merobek bajunya, ternyata di iga itu
terdapat sebintik tanda merah sebesar jempol kaki! Ia maklum bahwa ia telah
kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil berkata,
“Sungguh mataku bagaikan buta
sehingga tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang menjulang di depan mata.
Sicu lihai sekali, jadi aku merasa takluk. Tidak tahu siapakah sebenarnya Sicu
ini, dan murid siapakah?”
Cin Hai lalu mempergunakan
kepandaiannya sehingga dalam keadaan bersila, tahu-tahu tubuhnya dapat mumbul
ke atas. Inilah demonstrasi tenaga ginkang yang jarang dipunyai oleh sembarang
tokoh persilatan. Setelah berada di udara, Cin Hai melepaskan kaki dan berdiri.
Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata sambil tersenyum,
“Ma-ciangkun, siauwte bukanlah
orang yang bernama besar. Siauwte bernama Cin Hai, she Sie dan orang memberi
julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”
Orang-orang tertawa dan
memuji, menyatakan heran dan kagum karena meski pun telah memiliki kepandaian
sehebat itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi sombong bahkan merendahkan
diri serta bersikap ketolol-tololan.
“Kau sangat pandai
menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhu-mu yang mulia?” tanya Ma
Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak berani bersikap
sombong.
“Suhu-ku lebih bodoh lagi dari
padaku, dia tak memiliki kepandaian apa-apa.”
Ma Ing menjadi pucat mendengar
ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bu Pun Su yang berarti tidak
punya kepandaian! Dia lalu menjura lagi dan berkata “Terima kasih atas pengajaranmu,
biarlah lain kali apa bila ada jodoh kita bertemu kembali.” Ma Ing lalu
mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.
Sesudah kelima orang perwira
itu pergi, semua orang lalu merubung dan memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih Lin
Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya
ke arah ayahnya.
“Ayah, coba lihat Engko Hai
ini! Semenjak pertama bertemu aku telah menduga bahwa ia memiliki kepandaian
hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.
Kwee In Liang hanya
mengangguk-angguk dan dengan suara terharu ia berkata, “Terima kasih, Hai-ji.
Kau telah menyelamatkan kami sekeluarga.”
Loan Nio memeluk keponakannya
dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada waktu itu dari luar terdengar
seruan-seruan kaget dan tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa. Suara ini
menyeramkan sekali.
Cin Hai juga merasa kaget
sekali karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari pelukan bibinya
dan melompat keluar. Ternyata di sana sudah berdiri Hek Moko dan Pek Moko yang
tertawa bagaikan dua orang gila!
“Ha-ha-ha! Anak muda,
kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau ternyata telah mewarisi
kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita main-main sebentar!”
“Ji-wi Locianpwe,” Cin Hai
berkata dengan sabar dan suara sungguh-sungguh. “Kita tidak pernah bermusuhan,
untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan menimbulkan buah tertawaan
orang belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar berpengaruh, tidak seperti tadi
ketika dia mempermainkan para perwira itu. Lin Lin dan Ang I Niocu tahu-tahu
sudah berdiri di kanan-kirinya.
“Anak muda, tak perlu banyak
cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah berhutang kepada kami dan sekarang
engkaulah yang harus membayar!” Setelah berkata demikian, mereka berdua mencabut
keluar pedang mereka yang mengerikan itu dan juga mereka mengeluarkan senjata
tasbeh lalu menyerang dengan hebat ke arah Cin Hai!
Terpaksa Cin Hai mencabut
pedang pemberian suhu-nya dahulu, yaitu Liong-coan-kiam, dan dia lalu
menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan lawannya itu! Tiga orang ini lalu
bertempur dengan hebat dan sebentar saja mereka bertiga lenyap dari pandangan
mata dan hanya nampak debu mengepul dan tiga bayangan pedang bercampur menjadi
satu!
Melihat pertempuran yang luar
biasa hebatnya ini, baik Lin Lin mau pun Ang I Niocu tidak berdaya untuk
membantu karena kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu, tidak hanya
sangat berbahaya bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai, bahkan
mungkin akan mengacaukan pertahanannya.
Ang I Niocu mengerling ke arah
Lin Lin. Ia melihat betapa gadis muda ini meremas-remas kedua tangannya dan
dengan wajah pucat serta sepasang mata basah dengan air mata memandang ke arah
bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu!
Ang I Niocu merasa betapa
hatinya tiba-tiba saja menjadi perih seperti tertusuk pedang. Ia maklum bahwa
gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai! Keperihan hati ini
membuat ia menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu dan kini gulungan
sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.
“Niocu, kau mundur!” Terdengar
seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali.
Tiba-tiba bayangan merah itu
terlempar pada waktu pedangnya beradu dengan tasbeh Pek Moko, hampir saja dia
mendapat celaka.
Sesudah bertempur agak lama lagi,
tiba-tiba saja terdengar teriakan ngeri dan tahu-tahu gulungan sinar pedang Hek
Moko dan Pek Moko sudah mengendur dan tiba-tiba kedua iblis itu sambil
berteriak-teriak kesakitan lari dari situ! Cin Hai berdiri dengan wajah pucat
dan pedang di tangan kanannya bergetar karena tangan yang memegang itu
menggigil!
Ang I Niocu memburu, akan
tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini memeluk tubuh Cin Hai yang
berdiri bagaikan patung itu sambil berseru berkali-kali,
“Engko Hai... Engko... Hai...
kau kenapakah?”
Cin Hai memandang Lin Lin
dengan tersenyum, lalu mengerling ke arah Ang I Niocu yang juga sudah
mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan dan jatuh pingsan!
Untunglah Lin Lin cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu
segera memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke dalam rumah.
Para tamu dan tuan rumah
menjadi panik dan bingung. Cin Hai sudah mendapat luka di dalam tubuh karena
pukulan tasbeh Hek Moko, namun di ujung pedang Liong-coan-kiam juga terdapat
tanda-tanda darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun telah berhasil melukai
kedua lawannya yang tangguh!
Kwee In Liang lalu minta maaf
kepada semua tamunya dan para tamu lalu bubaran dan tiada habis-habisnya mereka
membicarakan mengenai Pendekar Bodoh yang luar biasa dan lihai itu! Di dalam
perjamuan itu mereka benar-benar telah disuguhi pertunjukan silat yang luar
biasa hebatnya…..
********************
Cin Hai dibaringkan di dalam
kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis di dekatnya, sedangkan Ang I Niocu
juga berdiri di situ dengan wajah pucat. Biauw Suthai yang pandai akan ilmu
pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai
sudah kena pukul tasbeh di pundak kanannya hingga menderita luka dalam yang
hebat juga.
“Tidak perlu kuatir,” kata
Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka ini, tentu akan melayang
jiwanya. Akan tetapi anak muda ini betul-betul telah mendapat latihan sinkang
yang tinggi sehingga luka ini takakan membahayakan jiwanya.”
Dia segera mengeluarkan tiga belas
butir pil putih dan memberikan pil itu kepada Lin Lin. “Berikan pil ini sehari
tiga butir dan bila mana semua pil telah ditelan habis tentu ia akan sembuh
kembali!”
Lin Lin cepat menerima pil itu
dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur mengambil air panas,
lalu dengan kedua tangannya sendiri memasukkan pil itu ke dalam mulut Cin Hai
dan memberi pemuda itu minum air. Dengan sangat mesra gadis ini lalu
menggunakan sapu tangannya untuk menyusut peluh yang berkumpul pada jidat Cin
Hai.
Melihat gerakan-gerakan yang
mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Dia lalu menangis
tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini merasa heran dan
memandang muka bibinya dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa
semua mata ditujukan padanya, ia lalu menjadi insyaf bahwa telah berlaku
terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan karena
jengah dan malu!
Tiba-tiba Lin Lin teringat
kepada Ang I Niocu karena dia hendak bertanya kepada Dara Baju Merah ini
tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya. Akan tetapi ketika dia
memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi! Dia
cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan Ang I Niocu! Lin
Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya kepada kakaknya
ini barang kali melihat Ang I Niocu.
“Dia telah pergi dan minta
supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang. Agaknya ia sebal
melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barang kali ia cemburu, karena
tidak melihatkah engkau betapa mesra dan akrab hubungan antara dia dengan Cin
Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat kegagahan Cin Hai, mulai
menyebar racun di hati Lin Lin.
Akan tetapi gadis ini dengan
muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,
“Engko Tiong, kau tidak berhak
ikut campur segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita sendiri dan dia
dengan gagah berani telah berhasil membela nama baik kita. Apakah tidak pantas
kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka cemberut gadis ini pergi
meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.
Biauw Suthai bersama Pek I
Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah keluarga Kwee.
Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut perintah
ayahnya yang menyuruh dia mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini, Kwee In
Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu dia meninggalkan
kamar itu dengan muka muram.
Benar seperti kata-kata Biauw
Suthai, sesudah diberi makan obat pil itu, pada keesokan harinya Cin Hai siuman
dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu melihat kebaikan Lin Lin yang sudah
memelihara dan menjaganya selama itu. Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan
cinta kasih yang bersemi di dalam hatinya terhadap Lin Lin semakin mendalam dan
berakar.
Bibinya juga sering kali
datang menengok, sedangkan pamannya biar pun tiap hari paling sedikit satu kali
datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin,
Kwee Bun dan Kwee Siang sama sekali tak pernah datang menengok.
Hanya Kwee An yang sering
datang. Setiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya dan
minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.
Pada hari yang ke tiga Cin Hai
keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang rumah yang mempunyai
sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I Niocu dan berpikir
dengan heran kenapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika diberitahu oleh Lin Lin
akan kepergian Ang I Niocu dia hanya merasa menyesal mengapa Gadis Baju Merah
itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia masih pingsan.
Akan tetapi dia tidak kecewa.
Dia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan ie-ie-nya dan dengan
Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap. Dia tidak tahu bahwa dahulu
dia hidup sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang
dia telah berada di rumah Loan Nio, bibinya yang sangat cinta kepadanya itu,
dan di sini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut hatinya dengan diam-diam.
Pada waktu dia sedang duduk
melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya, “Engko Hai... Engko
Hai...”
Cin Hai tersenyum. Dia
mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan dia lalu duduk di
bawah sebatang pohon di dalam taman itu. Akhirnya suara panggilan Lin Lin
terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi tidak tega. Dia lalu
menjawab, “Aku berada di sini!”
Lin Lin berlari-lari
menghampiri. Wajah gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan tetapi
mulutnya cemberut.
“Engko Hai, engkau nakal
sekali. Mengapa engkau diam saja dan malah bersembunyi di sini? Kukira
engkau...”
“Kau kira apa?”
“Kukira engkau sudah pergi
tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu menjatuhkan diri duduk di dekat
Cin Hai.
“Kalau aku pergi, kenapakah?”
“Bila engkau pergi, aku...
ahh... ahh, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum
menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan
memberikan itu kepada Cin Hai.
Cin Hai menerima pil itu
sambil memandang wajah Lin Lin yang berada di dekatnya. “Lin Lin... kenapakah
engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai terdengar menggetar penuh
perasaan.
Lin Lin membalas memandang dan
ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cin Hai, dia lalu
menundukkan mukanya dengan wajah merah.
“Engkau jangan memandang aku
seperti itu, Engko Hai...,” katanya berbisik.
Cin Hai memegang tangan Lin
Lin dan merasa betapa tangan dara itu menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kau
pandanglah aku dan jawablah pertanyaanku tadi!”
Akan tetapi Lin Lin tidak
berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di dada. “Aku... tidak berani,
Hai-ko.”
“Lin Lin, kau aneh sekali.
Mengapa tidak berani? Katakanlah...”
Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan
mencoba untuk merenggutkan tangannya yang terpegang, akan tetapi tidak dapat.
“Sudahlah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa malu sekali. Telanlah piI
itu!”
Tetapi Cin Hai tetap tidak
melepas tangan gadis itu. “Jawab dulu pertanyaanku…”
Lin Lin makin merasa malu dan
kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai lepaskan tanganku dan telanlah
pil itu!” katanya memohon.
“Tidak, sebelum kau menjawab
pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”
“Engkau nakal sekali, Engko
Hai!”
“Jawablah dulu!”
Dengan tersenyum kemalu-maluan
serta matanya yang indah mengerling tajam, Lin Lin pun mengangguk!
Bukan main senangnya Cin Hai
melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini hidup ini berarti bagiku. Alangkah
indahnya dunia ini. Lihatlah semua pohon-pohon itu menari-nari girang menyaksikan
kebahagiaan kita!”
“Ahh, pohon itu bergerak
karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.
“Dan daun-daun itu
melambai-lambai pada kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena hendak turut
menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh-sungguh membuat aku
berbahagia sekali. Adikku, aku... aku cinta kepadamu...”
“Sudahlah, kau telan pil itu!”
kata Lin Lin cemberut, tetapi hatinya berdebar-debar karena gembira dan
bahagia.
“Baiklah, akan kutelan. Tapi
kau jangan cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut wajahmu menjadi makin
manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”
“Kau... kau memang nakal!” Lin
Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda itu.
Cin Hai lalu menelan pil itu
dan merasa betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan
sulingnya.
“Lin Lin aku akan melagukan
sebuah nyanyian indah untukmu.”
Cin Hai segera meniup
sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya yang mencinta di dalam
tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang indah merayu dan merdu
sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam suara suling itu, dia
seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai kepadanya.....
Sesudah Cin Hai selesai meniup
sulingnya, dengan mata basah Lin Lin berkata, “Terima kasih, Hai-ko, aku telah
mendengar suara hatimu. Memang engkau semenjak dulu sangat baik padaku.
Ingatkah kau betapa dulu kau mati-matian melawan Guruku untuk membela aku? Ahh,
aku tidak dapat melupakan semua kejadian itu!”
Cin Hai memandang wajah Lin
Lin dengan tersenyum.
“Ha, kau mengingatkanku akan
hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan yang berkuncir dua, yang nakal,
bengal, dan bandel bukan main!” Cin Hai tertawa dan matanya memandang penuh
menggoda.
Lin Lin cemberut. “Dan kau...
kau... ahh, lucu sekali...”
“Aku kenapa...?” Cin Hai
menuntut.
“Engkau buruk rupa, kepalamu
gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan nakal...” Lin Lin tertawa geli dan
Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih cepat, karena gadis ini
telah berdiri dan lari.
Cin Hai mengejarnya sambil
berkata, “Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!”
Lin Lin berlari memutari pohon
dan tanaman kembang, Cin Hai mengejar dan mereka pun berkejar-kejaran bagaikan
dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia.
Tiba-tiba Kwee Tiong muncul
dari pintu belakang. Dengan wajah tak senang dia berkata, “Lin Lin Ayah
memanggilmu!”
Tanpa menengok kepada Cin Hai,
Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin memperlihatkan wajah
kecewa.
Akan tetapi Cin Hai berkata,
“Pergilah, Lin-moi! Tentu ada suatu hal penting maka Ie-thio memanggilmu.”
Lin Lin kemudian masuk ke
dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang kembali duduk melamun dengan penuh
kebahagiaan.
Ketika tiba di kamar ayahnya,
Lin Lin melihat ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram. Begitu melihat
anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur,
“Lin Lin sikapmu sungguh tidak
patut dan memalukan!”
Lin Lin terkejut dan memandang
kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah, Ayah?”
“Engkau bergaul terlalu dekat
dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”
Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini
tentu telah mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.
“Ayah, apakah salahnya kalau
aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita sendiri dan bukankah ia
juga seorang pemuda yang baik dan gagah serta telah menolong kita?” jawabnya
dengan berani.
“Betul, akan tetapi kau harus
ingat bahwa engkau telah dewasa dan dia seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut
kalau engkau berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau
melihat?”
“Ayah, mengapa engkau berkata
demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai adalah seorang pemuda baik
dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan dia!”
Memang semenjak dulu Lin Lin
sangat dimanja oleh ayahnya sehingga ia berani bersikap bandel terhadap ayah
ini.
“Lin Lin,” Kwee In Liang
menghela napas. “Di dalam hal ini engkau harus taat kepadaku. Engkau sudah
cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang melamarmu. Engkau harus
memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan lagi kau bertemu dengan dia
kalau tidak ada keperluan penting.”
“Ayah!” Gadis itu berseru.
“Diam!! Engkau harus menurut,
atau... apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang puthauw (tidak
berbakti)?!”
Dibentak seperti ini, Lin Lin
menundukkan kepala dan menangis!
“Ayah, kau... kau kejam!”
katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke kamarnya, di mana ia membantingkan
dirinya di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Tak lama kemudian, Loan Nio
masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia memeluk tubuh gadis itu dan
berbisik mesra,
“Lin Lin, aku sudah tahu akan
kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka kepada Cin Hai? Jawabnya terus
terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan
Cin Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”
Lin Lin tersentak bangun dan
menyusut air mata. Dia lalu memandang kepada Loan Nio dengan mata terbelalak.
Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai, karena itu
pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini lantas membuatnya bingung dan malu.
Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.
“Lin Lin.” kata Loan Nio
sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau menyimpan
rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah! Jika kau diam saja, maka
akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku akan bicara dengan
Ayahmu.”
Lin Lin diam saja, hanya
tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!
“Sudahlah, tenangkan hatimu
dan kau serahkan saja persoalan ini padaku.” Dan setelah menepuk-nepuk bahu Lin
Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar Lin Lin dan menuju ke
kamar suaminya.
Lin Lin adalah seorang gadis
yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan sabar menunggu hasil
dari pada pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya. Maka, setelah menanti
sebentar, lalu dia mempergunakan kepandaiannya melompat keluar dari jendela
kamarnya, kemudian dengan hati-hati sekali dia mengintai di atas genteng dan
mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan Loan Nio!
Pada saat itu Cin Hai dengan
hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk memasuki kamarnya. Tiba-tiba
telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat suara Kwee In Liang seperti
orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan memutar, keluar lagi ke
belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas genteng.
Alangkah herannya ketika dia
mendapatkan Lin Lin sedang mengintai pula, maka secara diam-diam ia cepat
menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian lain. Ia tak perlu
mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk mendengarkan.
“Tidak, tidak! Sekali-kali
tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara marah. “Memang ia
seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan tetapi orang jaman dahulu pernah
berkata bahwa memilih mantu harus melihat keadaan orang tuanya. Dan apakah
orang tua anak itu? Pemberontak! Apakah kau pikir aku harus berbesan dengan
seorang pemberontak?”
“Tetapi ayahnya sudah
meninggal dunia dan tidak perlu lagi kiranya kita membawa-bawa namanya!”
terdengar Loan Nio membantah.
“Hemm, harimau mati
meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya! Dan nama apakah yang
ditinggalkan oleh orang she Sie itu? Nama busuk pula!”
“Pikirlah dengan tenang. Cin
Hai berbeda dengan ayahnya, ia adalah seorang anak yang baik. Juga mereka
berdua telah saling mencintai!”
“Apa?” terdengar Kwee In Liang
berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau bisa tahu?”
“Lin Lin sudah mengaku
kepadaku!”
“Anak keparat! Tidak, tidak
boleh! Ia harus menjadi mantu keluarga Gan di See-tok, dan habis perkara!”
Kedua suami isteri yang sedang
bertengkar ini tidak tahu betapa di atas genteng terdapat dua orang yang pada
saat itu berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun membasahi pipi Lin Lin
dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas.
Sedangkan Cin Hai berdiri
pucat dan air matanya mengalir pula, akan tetapi bukan akibat sedih, hanya
sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina dan rendah
sekali. Sakit hatinya yang dahulu, yang telah dapat dipadamkan ketika ia
bertemu kembali dengan ie-ie-nya dan terutama dengan Lin Lin, kini timbul
kembali.
Ayahnya sekeluarga telah
ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang
telah menjadi tanah itu masih direndahkan!
Timbul keangkuhan serta
kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja dia tidak ingat kepada Lin Lin,
tentu dia sudah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang yang berani
merendahkan ayahnya!
Dengan hati sangat terluka Cin
Hai meloncat turun dan langsung menuju ke kamarnya, mengambil semua pakaiannya
dan segera keluar dari situ. Akan tetapi, ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin
yang berada di atas genteng sambil menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini
meloncat turun pula dan mengejar sambil berseru,
“Hai-ko... kau hendak ke
mana...?”
Mendengar suara panggilan Lin
Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi dia malah mempercepat
larinya!
Akan tetapi, karena serangan
batin yang amat hebat itu dan karena nafsu marahnya yang menggelora, maka luka
di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali dan tiba-tiba saja ia
merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan rasa sakit ini
dan terus berlari cepat, sedangkan Lin Lin tetap mengejar sambil
berteriak-teriak dan menangis.
“Engko Hai... tunggu...! Engko
Hai...!”
Setelah hampir dua puluh li
jauhnya, Cin Hai merasa tidak kuat lagi. Hari mulai gelap dan kebetulan sekali
dia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Dia lalu membelok ke sana dan seorang
hwesio tua menyambutnya.
“Losuhu, tolonglah beri sebuah
kamar padaku. Aku sedang terluka dan tolong kau cegah siapa saja yang memasuki
kamarku.”
Hwesio yang baik hati ini
membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat sebuah pembaringan bambu sederhana.
Cin Hai kemudian menutup kamar itu dan duduk di atas pembaringan, lalu
bersemedhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.
Lin Lin yang tidak tertinggal
jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat, juga karena sakit
di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat cepat menyusul
dan gadis ini girang sekali ketika melihat bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia
juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua tadi.
“Losuhu, di manakah perginya
orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”
Hwesio itu dengan muka sabar
berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi sudah berpesan bahwa siapa pun tidak
boleh bertemu dengan dia.”
Tetapi Lin Lin menjadi tidak
sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku harus bicara dengan
dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras sekali.
“Tidak baik memaksa orang yang
tidak mau bertemu muka, Nona,” hwesio tadi berkata dengan masih sabar.
Kata-kata ini membangkitkan
keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata, “Kalau memang tidak mau bertemu, biarlah
aku bicara dari luar kamarnya saja!”
Karena gadis ini mendesak
terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar Cin Hai.
“Engko Hai...!” Suara Lin Lin
mengandung isak ketika ia memanggil dari luar kamar.
Semenjak Lin Lin datang, Cin
Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora hatinya yang ingin
sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi hatinya berbisik,
“Ayahnya telah menghina Ayahku!”
Maka ia lalu menjawab dari
dalam, “Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar
sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”
Hwesio itu meninggalkan mereka
karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar memiliki hubungan dengan orang di
dalam kamar.
“Hai-ko, jangan kau samakan
Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara memohon.
“Sudahlah Lin-moi, kau
pulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali jika tahu kau menyusul ke sini.
Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang diri. Kau lupakan
aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingatlah, aku
seorang keturunan pemberontak hina!”
“Engko Hai...!”
Lin Lin menangis sedih dan
dengan nekat dia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Dia melihat betapa
pemuda itu dengan muka pucat sedang rebah di pembaringan bambu dan keadaannya
menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!
“Engko Hai...!” Lin Lin
menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang
tertutup selimut.
Melihat keadaan gadis
kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang sangat tulus kepadanya
ini, hati Cin Hai melunak.
“Lin-moi... Lin-moi... jangan
kau bersedih, Adikku yang manis...,” katanya dengan penuh kasih sayang.
Lin Lin menyusut kering air
matanya, dan di antara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan bagus
itu, ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih
sayang itu.
“Apa bila kau tidak ingin aku
menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan aku, Engko
Hai.”
Cin Hai merasa terharu sekali.
“Adikku, percayalah, selama hayat di kandung badan, aku takkan sanggup membenci
kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa.”
Lin Lin memandang dengan sayu.
“Hai-ko... kau maafkanlah kata-kata Ayahku tadi. Dia memang kejam... ah, akan
kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain,
lebih baik aku mati atau... atau... aku akan minggat dan pergi bersama kau,
Engko Hai.”
Cin Hai tersenyum sedih.
“Jangan begitu, Lin Lin. Tidak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti
engkau melarikan diri.”
“Habis, bagaimanakah baiknya,
Hai-ko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”
“Puterinya begini keras hati
dan kukuh, kenapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita harus bersabar. Aku
tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menanti sampai dia
berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”
“Ayah tidak membencimu, tetapi
agaknya membenci Ayahmu.”
Cin Hai menghela napas.
“Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah
agar supaya kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan
melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang kembali”
Lin Lin mengangkat mukanya.
“Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”
“Aku akan pergi ke kampung kelahiranku
dan hendak mencari keterangan tentang orang tuaku.”
“Tetapi... kau pasti akan
kembali kepadaku, bukan?”
“Tentu saja, Lin-moi, kau kira
aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?”
Lin Lin kembali memeluk lutut
Cin Hai yang masih rebah di pembaringan. “Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku
akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!”
Akhirnya Lin Lin meninggalkan
tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu
benar-benar akan kembali. Akan tetapi, belum berapa lama gadis itu pergi,
tiba-tiba saja ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah
ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai.
“Celaka, Hai-ko, celaka...!”
Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi lalu menangis dengan
sedih.
Cin Hai meloncat dari tempat
tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin.
“Lin-moi, tenanglah. Ada
apakah yang terjadi?”
Lama sekali Lin Lin menangis
sedih, baru dia bisa berkata,
“Celaka, Hai-ko! Rumah sudah kedatangan
musuh. Perwira-perwira jahanam itu kembali datang dan mencelakakan serumah
tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”
Tanpa banyak cakap lagi Cin
Hai cepat menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu. Dia
menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga
gadis ini seakan-akan terbang. Mereka segera menuju ke rumah keluarga Kwee dan
dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.
Ketika Lin Lin datang bersama
Cin Hai, dengan pedang di tangan Kwee Tiong langsung menyerang Lin Lin dengan
hebat. Akan tetapi, sekali melayangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil
menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.
“Perempuan rendah! Sundal tak
tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau main gila di luar,
tidak tahu di rumah ditimpa mala petaka! Aku akan mencekik lehermu dengan
tanganku sendiri!”
Pemuda yang sudah kalap ini
lalu menubruk maju. Akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya
sehingga dia lantas roboh dengan lemas, tak dapat berkutik mau pun berteriak
lagi.
“Lebih baik begini, agar dia
jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin dia lalu lari
memasuki rumah.
Pemandangan yang nampak di
dalam rumah itu membuat sepasang kaki Cin Hai terasa lemas dan memeluk tubuh
Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Pada sudut masih nampak banyak
orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee
Siang, dan Kwee An!
Cin Hai cepat melakukan
pemeriksaan. Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan
pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata sudah tewas karena
bacokan yang tepat mengenai lehernya. Demikian juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee
Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena biar pun ia
menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh lebih kuat
dari pada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali.
Cin Hai tidak tahan dan ikut
mengucurkan air mata. Dia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan
memanggil para pelayan untuk membantunya. Kemudian ia segera menolong Kwee An
dan Kwee In Liang.
Sesudah menotok jalan darah
dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga
setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia
lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.
Kwee An kemudian dirawat oleh
seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka pemuda itu, sedangkan Lin
Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah pundaknya diurut oleh Cin Hai,
orang tua ini membuka kedua matanya.
Untuk beberapa saat kedua
matanya memandang sayu seakan-akan tak dapat mengenal keadaan di sekelilingnya,
akan tetapi lambat laun pemandangan matanya semakin terang sehingga dia dapat
mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh
kedua anak muda itu mendekat, lalu dia menggerak-gerakkan bibirnya.
Lin Lin dan Cin Hai
mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.
“Lin Lin kau jaga baik-baik
dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan sakit hati
ini... jangan kau kawini Lin Lin sebelum kau balaskan sakit hati ini”
Cin Hai serta Lin Lin
mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.
“Cin Hai... kau berjanjilah…,”
suara orang tua itu makin lemah.
“Aku berjanji, Ie-thio!” kata
Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena dia merasa bahwa sudah menjadi
kewajibannya untuk membalaskan sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.
“Aku… aku puas... balaskanlah
sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu... kalau telah berhasil kau
sungguh-sungguh mantuku yang sangat baik…,” setelah berkata demikian, orang tua
ini menghembuskan napas terakhir.
Lin Lin menubruk jenazah
ayahnya, tetapi akhirnya gadis ini jatuh pingsan! Setelah sadar, dia menangis
dengan amat sedihnya sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri sebab merasa
menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!
“Sudahlah, Lin-moi, engkau
bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah. Karena kalau berada
di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun
dapat dirobohkan. Apa bila engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan
dapat membalas dendam?”
Karena hiburan-hiburan Cin
Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu dibebaskan dari
totokan, dan dengan kata-kata tajam Cin Hai dapat mengusir kemurkaan yang
menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang
hebat itu.
Pada saat Cin Hai dan Lin Lin
sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda menuju ke
rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dahulu
mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua,
yakni dua orang perwira Sayap Garuda lainnya yang menjadi anggota dari Shantung
Ngo-hiap, yaitu orang pertama dan ke dua, ada pun yang ke tiga adalah seorang
hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!
Kedatangan mereka ini
sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka yang lalu.
Akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi
buta dan membunuh semua keluarga Kwee!
Tentu saja Kwee In Liang dan
putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An yang dengan gagah
berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat
melukai beberapa orang perwira. Akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan
terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, sehingga pada akhirnya semua kena
dirobohkan!
Hanya pelayan-pelayan saja
yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga
dirobohkan dengan bacokan pedang. Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin,
melihat kehebatan rombongan itu lalu cepat-cepat melarikan diri dan bersembunyi
sehingga dia terhindar dari pada kebinasaan!
Mendengar penuturan Kwee Tiong
yang tiada hentinya mencela serta mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu
kembali menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong,
jangan kau persalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah, sebenarnya aku pergi
memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi. Sedangkan Adik
Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau
menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita urus pemakaman
jenazah-jenazah ini dan nanti bila mana Kwee An sudah sadar, kita dapat
mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.
Karena ia hanya mengandalkan
tenaga Cin Hai untuk membalas dendam, akhirnya Kwee Tiong tidak mengomel lagi
dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.
Sesudah sadar dari pingsan dan
agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi dikertak
karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku bersumpah untuk membalas dendam
ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dahulu mengacau di sini ditambah
tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari Shantung Ngo-hiap, dan
yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”
“Hmm, aku pernah bertemu
dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kau tenangkanlah hatimu, Saudaraku. Besok
aku segera berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha untuk membasmi
delapan orang bangsat kejam itu!”
“Jangan, Cin Hai! Kau jangan
berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.
“Kenapa?”
“Kau kira aku akan enak saja
tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas dendam
ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!”
Cin Hai tersenyum maklum.
“Baiklah, aku akan menunggu sampai kau sembuh dan kita akan pergi bersama!”
Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh
pulas.
Dengan telaten Cin Hai dan Lin
Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan gurunya untuk
mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas kemudian
berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit hati itu.
Dan dua pekan kemudian, berkat
pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari Lin Lin beserta
Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada luka-luka yang dideritanya. Sesudah
melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin Hai mengajak pemuda
itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.
Pada saat mereka hendak
berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut membalas dendam. Sebenarnya
gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan Cin Hai yang sangat
dicintainya dan dia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk menghadapi bahaya
seorang diri. Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di dalam ruang belakang,
Cin Hai berkata,
“Lin Lin, kau sendiri tahu
alangkah pentingnya perjalanan yang akan kulakukan bersama Kwee An ini. Bukan
saja penting akan tetapi amat berbahaya, maka biarkanlah aku pergi berdua
dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya.”
Lin Lin menyemberutkan
mulutnya, “Justru karena penting dan berbahaya ini maka aku harus ikut Engko
Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi tugasku, mengapakah aku harus takut
menghadapi bahaya karenanya? Dan kalau memang ada bahaya, apa kau kira aku
dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal di rumah dan membiarkan engkau dan
Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau tahu bahwa aku akan menderita
karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu berdua. Biarkan aku ikut, Engko
Hai!”
Cin Hai menjadi serba salah.
Dia memang harus membenarkan pendapat gadis ini, akan tetapi kepandaian gadis
ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira Sayap Garuda yang
lihai dan kejam itu. Kalau saja gadis ini dibiarkan ikut, bukan dapat membantu
usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah beban saja, karena dia
harus melindungi Lin Lin yang dia cinta.
“Jangan engkau ikut, Adikku
yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku? Engkau mendengar sendiri pesan
terakhir dari Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan dendam itu menjadi syarat
bagiku untuk dapat menjadi... suamimu!”
Akan tetapi dengan sikap
membandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil membanting-banting kaki dan
berkata, “Tidak... tidak... aku mau ikut...!”
Cin Hai melihat sikap Lin Lin
yang seperti seorang anak kecil hendak ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu
tersenyum dan menyentuh pundaknya,
“Sudahlah, jangan engkau
marah. Biar kita merundingkan dahulu dengan kakakmu serta Gurumu, karena aku
bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merudingkan
persoalan ini.”
Maka mereka lalu mengadakan
perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio yang sering
berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.
“Lin Lin, muridku, pendapat
Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut pergi, sebab kepandaianmu masih
belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini. Ketahuilah, kepandaian
musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”
“Akan tetapi aku sama sekali
tidak takut!” Lin Lin menjawab sambil berdiri dengan kedua tangan dikepalkan
dan kedua mata bernyala penuh semangat.
Biauw Suthai dan yang
lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. “Aku percaya penuh akan
ketabahanmu,” berkata Biauw Suthai, “akan tetapi ketahuilah, bukan soal takut
atau berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja
engkau tak akan membantu, justru akan menambah beban pada Sie-taihiap dan
kakakmu Kwee-kongcu.”
“Menambah beban?” kata Lin Lin
penasaran “Teecu tak minta digendong, teecu sanggup berjalan sendiri, dan
mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu asal teecu boleh ikut.”
“Lin Lin, engkau sungguh
bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku, akan tetapi apa bila terjadi
pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal ini merupakan tambahan
tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang harus melindungimu.
Mengertikah engkau? Apakah kau akan senang apa bila pembalasan dendam ini
sampai gagal hanya karena kau memaksa ikut?”
Mendengar alasan yang kuat
ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab lagi, hanya mulutnya yang
berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya. Akhirnya dia dapat
dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan keinginannya.
Setelah mendapat pesan dari
Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong yang mendengarkan
perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee An. Mereka berdua
tahu ke mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota raja! Mereka
berdua berangkat berjalan kaki saja sambil mempergunakan kepandaian mereka
berlari cepat.
Pada saat Cin Hai dan Kwee An
sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw Suthai
menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I
Toanio,
“Anak itu kecewa akibat
ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara sudah tertancap
di hatinya, dan selain itu, dia pun merasa bersedih karena merasa sunyi
ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Sekarang kau pergilah, hiburlah
hatinya dan katakan bahwa kita akan tinggal di sini untuk sementara waktu dan
menemaninya.”
Sambil tersenyum maklum, Pek I
Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu
sedang berbaring telungkup di atas tempat tidurnya dan tubuhnya
bergoyang-goyang oleh karena menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan yang
amat mencintai sumoi-nya ini lalu memeluk pundaknya dan berkata menghibur,
“Sumoi, seorang gadis gagah
seperti engkau tidak patut bersikap begini lemah.”
Lin Lin bangun dan duduk di
dekat suci-nya, “Suci aku tidak sedih karena tidak boleh ikut pergi, akan
tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tak bisa ikut adalah kedangkalan ilmu
silatku.”
“Sumoi, kalau memang begitu,
mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak memperdalam ilmu silatmu?
Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini menemanimu untuk sementara
waktu.”
Mendadak wajah gadis yang
muram itu berubah terang dan dia tersenyum! Pek I Toanio menjadi geli melihat
gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja menangis sekarang sudah tersenyum.
Lin Lin lalu menghadap kepada
gurunya dan dia sendiri lalu mengatur dua buah kamar di dalam rumah yang besar
itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya untuk memberi
petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih giat sekali
karena dia berpikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang berilmu tinggi, dia
juga harus mempertinggi kepandaiannya!
Pada suatu sore dia berlatih
silat di dalam pekarangan belakang sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw
Suthai yang berdiri memandang gerakan-gerakannya. Sesudah selesai bersilat Lin
Lin lalu duduk bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.
“Suthai, bagaimana pendapatmu
tentang ilmu silat Engko Hai?”
“Ilmu silat Sie Taihiap sudah
mencapai tingkat yang tidak dapat diukur tingginya, muridku. Ia telah mewarisi
kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar biasa. Biar pun anak
muda itu tidak memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya dia sudah memiliki
segala inti sari ilmu silat dan mendapat gemblengan yang hebat secara aneh dari
Bu Pun Su orang tua sakti itu.”
“Suthai, apakah teecu bisa
mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”
Biauw Suthai tertawa dan
wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira sekali. “Muridku, kepandaian
manusia tak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu dia akan
mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat seperti
Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang luar biasa
seperti Bu Pun Su.”
“Dan sampai di mana tingkat
kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin bertanya.
“Dia? Ah, kepandaiannya pun
hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian Sie-taihiap
adalah satu cabang. Ketahuilah, kalau aku tak salah, Ang I Niocu adalah cucu
murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah susiok-couw-nya. Dalam hal ilmu
silat, walau pun Ang I Niocu memiliki gerakan yang indah dan lebih matang, akan
tetapi dia masih kalah setingkat oleh Sie-taihiap.”
“Suthai, teecu ingin sekali
mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah melawan dia,” entah
mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah dan sengit karena perasaan
cemburu telah menyerang hatinya.
Gurunya heran mendengar ini,
dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi bisa mendengar suara
tindakan kaki yang sangat ringan di belakang mereka. Ketika nenek ini
mengerling, ternyata Ang I Niocu sudah berada di belakang mereka, bersembunyi
di balik sebatang pohon.
“Wanita itu agaknya sombong
dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat kembali betapa dia
berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu itu.”
“Lin Lin, kalau belum tahu
jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak terhadap orang lain. Lagi pula,
bukankah dia telah membantu pihakmu dalam pertempuran dulu itu?” kata Biauw
Suthai yang hatinya merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang I Niocu
dapat mendengar percakapan mereka.
“Suthai, teecu tidak menyangka
yang tidak-tidak, karena sesungguhnya teecu juga tidak mempunyai hubungan
apa-apa dengan dia kecuali... karena dia... kawan baik Engko Hai, maka ia pun
boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, jika dia tidak sombong, kenapa ia
pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia menjadi kawan baik Engko Hai, akan tetapi
ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan meninggalkannya
pergi?”
“Sudahlah Lin Lin, kau
membicarakan seorang yang berdiri tak jauh dari kita!” kata Biauw Suthai, lalu
nenek ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan duduk!”
Ang I Niocu keluar dari
belakang pohon dan Lin Lin cepat berdiri lalu memandang kepada Dara Baju Merah
itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran bukan main ketika melihat betapa
wajah Ang I Niocu sangat pucat dan dari kedua mata yang bagus itu keluar dua
titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.
Akan tetapi, pada waktu
pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu mengeluarkan senyum
sedih. “Adikku yang baik, semua kata-katamu benar belaka. Aku memang seorang
yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi hatimu, jangan kau
khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan baik dan kawan senasib belaka...”
Dara Baju Merah itu memejamkan
mata seakan-akan sedang menahan rasa sakit yang menyerang dadanya, lantas dia
berkata lagi, sekarang suaranya terdengar tegas, “Akan tetapi dalam hal
kepandaian silat, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk dapat
mengimbangi kepandaianku, apa lagi jika hendak menyamai ilmu kepandaian Hai-ji.
Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku, bukan? Nah, agar
kau puas marilah kita main-main sebentar!”
Lin Lin memang berhati tabah,
sedikit pun dia tidak menjadi jeri. Dia lalu menarik keluar sebilah belati
pendek yang menjadi senjata ampuhnya. Biauw Suthai hendak mencegah, akan tetapi
Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan menjura,
“Suthai, aku bukan anak kecil
lagi, tak perlu Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud menambah pengertiannya
dan kepandaian Adik ini.”
Mendengar ucapan dan melihat
sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas lega. Dia hanya menggerakkan
tangannya kepada Lin Lin dan berkata. “Lin Lin, jangan kau berlaku kurang ajar
kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!”
Ang I Niocu lalu menghunus
pedangnya dan berkata kepada Lin Lin, “Nah, kau maju dan seranglah, Adikku yang
baik, dan jangan kau berlaku sungkan-sungkan lagi.”
Lin Lin adalah seorang gadis
yang masih sangat muda dan belum mempunyai banyak pengalaman. Hatinya masih
keras dan tabah, karena itu ketika mendengar ucapan Ang I Niocu, dia merasa
bahwa dia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi
dia lalu menyerang dengan belatinya.
Ang I Niocu mengelak cepat dan
keduanya lantas bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa belati pendek itu
membuat gerakan tangannya cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada gerakan
pedang. Lagi pula, gadis ini sudah mendapat didikan ilmu silat semenjak kecil
oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti bahwa gadis ini
telah mempunyai kepandaian yang lumayan dan tak mudah dikalahkan oleh sembarang
orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan sekali dan
gerakannya gesit laksana seekor burung walet.
Akan tetapi sekarang ia
menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga telah
memiliki pengalaman lebih luas dari pada Lin Lin. Juga, jika Lin Lin bertempur
dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya dengan tenang.
Nona Baju Merah ini lalu
memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari Bidadari yang indah
dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan secara lemah gemulai, pedangnya
berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin yang semakin
bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat.
Ang I Niocu sengaja berlaku
mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri dari pada menyerang. Ia biarkan
Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya menggunakan sedikit gerakan
untuk menangkis atau mengelak sehingga ia hanya sedikit mengeluarkan tenaga,
ada pun Lin Lin seperti seekor naga yang muda dan ganas menyambar-nyambar
dengan belatinya!
Lama juga mereka saling
mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar sedang Ang I Niocu mengelak dan
mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin yang menjadi
kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar galak, ada pun
Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang.
Rambut Ang I Niocu yang diikat
dengan sapu tangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar mengikuti
gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir dua
menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.
Biauw Suthai berdiri menonton
pertempuran itu dengan mata kagum. Karena asyiknya ia menonton, tak terasa lagi
kadang-kadang Biauw Suthai menggerak-gerakkan tangannya seakan-akan dia sendiri
yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu. Kalau Lin Lin melakukan kesalahan
dalam gerakannya, ia menjadi kecewa lantas membanting-banting kakinya,
sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik dalam sebuah serangan, ia
menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan lidahnya. Orang tua ini benar lupa
diri karena asyik dan kagumnya melihat pertempuran itu.
Sebetulnya Ang I Niocu hanya
hendak mengukur saja sampai di mana kepandaian gadis itu. Karena itu, setelah
puas melayani Lin Lin, tiba-tiba dia merubah gerakannya dan kini melancarkan
serangan-serangan hebat sehingga pedangnya berkelebat amat cepat dan bayangan
tubuhnya bergulung-gulung akibat cepatnya gerakan tubuhnya. Lin Lin terkejut
sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau menyerang terus,
bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,
“Adik, sudah cukup kita
mengukur tenaga.”
Lin Lin merasa kagum sekali.
Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih tinggi dari pada
kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu tidak berniat
buruk. Maka buru-buru ia menyimpan belatinya dan menghampiri Ang I Niocu.
“Cici, kepandaianmu lihai
sekali dan aku mohon engkau sudi memberi petunjuk.”
Ang I Niocu pada saat
mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos dari Lin Lin, timbul
perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, “Adik Lin Lin, engkau masih
harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian Hai-ji.”
Ketika melihat betapa wajah
gadis ini tertutup oleh kedukaan, dia bertanya, “Adik Lin Lin, kenapa wajahmu
nampak amat murung? Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik saja bukan?”
Ternyata Ang I Niocu sama
sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang sudah menimpa keluarga Kwee, oleh
karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak hatinya sehingga membuat ia
angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari dusun itu
dan hendak melanjutkan perantauannya.
Telah dicobanya dengan
berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia gagal. Makin
dilupa, justru ia makin teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak dapat
menahan hatinya lagi. Dia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan dia menjadi
kuatir sekali. Inilah yang membuat dia kembali ke kampung itu dan dengan
diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara Lin Lin
dan Biauw Suthai.
Ketika mendapat pertanyaan
dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin Lin segera memeluk
Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan sedih. Ang I Niocu menjadi
bingung, akan tetapi ketika dia memandang ke arah Biauw Suthai, nenek tua ini
memberi isyarat padanya hingga ia hanya mengelus-elus kepala Lin lin yang
disandarkan di dadanya.
“Adikku yang baik.
Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik-baik.” Ia lalu menuntun
Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh Biauw Suthai.
Kwee Tong dan Pek I Toanio
menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan matanya tidak ada bedanya bagaikan
seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan
dan dia melayani tamunya dengan hormat dan bermuka-muka. Akan tetapi Ang I
Niocu yang telah tahu akan sifat pemuda macam Kwee Tiong ini, tidak ambil
peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini tidak ada.
Sesudah mendengar penuturan
Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga Kwee, wajah Ang I Niocu menjadi
merah karena ia merasa marah sekali.
“Jahanam benar perwira-perwira
itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu turut campur dalam segala macam urusan busuk.
Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka bumi!” Sambil
mengepal-ngepal tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya. “Dan bagaimana
dengan luka kakakmu? Di mana adanya dia dan di mana Hai-ji?” tanyanya kepada
Lin Lin.
“Mereka telah pergi lima hari
yang lalu untuk mencari musuh-musuh kami itu kemudian membalas dendam!”
Ang I Niocu mengangguk. “Dan
kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut pergi?”
Pertanyaan ini mengandung dua
maksud. Pertama-tama sebab ia memang merasa heran kenapa Lin Lin tidak mau ikut
membalaskan sakit hati kedua orang tuanya. Kedua kalinya karena ia hendak
memancing dan menyelidiki sampai di mana hubungan antara gadis ini dengan Cin
Hai.....
Mendengar pertanyaan ini,
mendadak Lin Lin menjadi marah dan cemberut. “Inilah yang menyesalkan hatiku!
Mereka itu tidak mau membawaku serta! Sungguh menggemaskan!”
Pek I Toanio turut bicara dan
membela Cin Hai, “Sie-taihiap tidak mau membawa Sumoi oleh karena memang apa
bila Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam itu akan lebih sukar lagi.”
“Kepandaian Lin Lin belum
cukup tinggi menempuh bahaya besar itu,” kata Biauw Suthai dengan sabar.
“Dan lagi, kalau Lin Lin
pergi, aku akan ditinggal seorang diri di rumah, bagaimana kalau
penjahat-penjahat itu datang kembali?” kata Kwee Tiong yang tidak sadar bahwa
ucapan ini menunjukkan sifatnya yang pengecut.
Ang I Niocu tersenyum
memandang Lin Lin. “Kau benar, Adikku. Tidak ada bahaya bagi seorang anak yang
hendak membalaskan sakit hati orang tuanya.”
Lin Lin memandangnya dengan
rasa berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini membela dan
membenarkannya. Pada waktu ia hendak menyatakan kemenangannya kepada guru dan
suci-nya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw Suthai telah
berkata pula,
“Akan tetapi betapa pun juga,
kau harus tunduk kepada nasehat Gurumu.”
Ucapan ini membuat Lin Lin
menunduk dan tak jadi membuka mulut. Akan tetapi di dalam hati ia merasa
tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat dia kemudian
membujuk-bujuk supaya wanita itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain ikut
membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan setuju.
Lin Lin gembira sekali dan dia
menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena dia tidak mau berpisah dengan
nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya saja.
Dan pada keesokan harinya,
ternyata Lin Lin sudah pergi dari rumah itu bersama Ang I Niocu. Gadis ini
dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk membawanya pergi menyusul Cin
Hai. Biauw Suthai hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata kepada
Pek I Toanio,
“Muridku, biar pun keselamatan
Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena dia pergi bersama Ang I Niocu, akan
tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik kita juga pergi mencari mereka
itu untuk membantu apa bila mereka berada dalam bahaya.”
Keduanya segera berpamit
kepada Kwee Tiong yang menjadi amat kecewa dan khawatir. “Kalau Lin Lin pergi
dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi apa-apa di rumah ini, aku harus
berbuat apa?”
Pek I Toanio mendongkol sekali
melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka katanya dengan ketus, “Kongcu,
mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya? Adik-adikmu pergi dengan nekad
mencari musuh, akan tetapi engkau yang ditinggal di rumah seorang diri saja
merasa takut.”
Akan tetapi Biauw Suthai yang
tidak mau berbicara banyak dengan pemuda ini berkata, “Kwee-kongcu, jika engkau
merasa takut, kau pergi saja kepada Suhu-mu dan tinggal di rumah kuil.” Kemudian
guru bersama murid ini meninggalkan Kwee Tiong tanpa memberi kesempatan kepada
pemuda itu untuk banyak membantah.
Kwee Tiong lalu menutup pintu
rumahnya, menghentikan semua pelayan yang membantu rumah keluarga Kwee dan dia
pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak Hosiang di kelenteng
Ban-hok-tong, di mana dia kemudian berlutut sambil menangis dan menceritakan
segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.
Tong Gak Hosiang hanya dapat
menghela napas. Dia lalu menasehati muridnya untuk berdiam saja untuk sementara
waktu di kelenteng itu…..
********************
Sesudah melakukan perjalanan
cepat tanpa berhenti, akhirnya Cin Hai dan Kwee An tiba di kota raja. Di
sepanjang perjalanan, dua anak muda ini saling menuturkan pengalaman
masing-masing dan Kwee An merasa kagum sekali akan hasil yang diperoleh Cin
Hai, anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu dihina orang itu. Ia makin
suka kepada Cin Hai dan selama perjalanan tiada hentinya ia minta
petujuk-petunjuk dan nasehat-nasehat tentang persilatan.
Hanya dengan melihat permainan
silat Kwee An saja, Cin Hai dapat melihat kekurangan-kekurangan dan
kelemahan-kelemahannya sehingga ia dapat memberikan petunjuk yang benar-benar
sangat berguna bagi Kwee An dan berdasarkan petunjuk ini, ilmu silat Kwee An
menjadi lebih sempurna lagi.
Di kota raja mereka berdua
mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama kaum perwira Sayap Garuda adalah
sebuah bangunan besar merupakan benteng yang disebut Eng-hiong-koan atau
Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani sekali Cin Hai dan Kwee An
pada keesokan harinya, pagi-pagi sudah mengunjungi Eng-hiong-koan dan
memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin menemui para perwira Sayap
Garuda.
“Kami adalah kenalan-kenalan
baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira, terutama lima orang Shantung
Ngo-hiap.”
“Sayang sekali bahwa sekarang
ini semua perwira sedang mengadakan pertemuan besar sehingga kurasa tak sempat
menjumpai kalian berdua,” jawab penjaga itu.
“Pertemuan apakah?” tanya Cin
Hai.
“Di dalam gedung sedang
diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak diangkat menjadi kepala
perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar,” jawab penjaga itu.
Akan tetapi penjaga kedua yang
tidak suka melihat kawannya mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu berkata,
“Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja. Pendeknya pada saat ini tak
seorang pun boleh memasuki Eng-hiong-koan.”
Kwee An dan Cin Hai merasa
dongkol sekali. Mereka saling pandang dan saling memberi tanda dengan kejapan
mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir berbarengan mereka mengulurkan tangan
menotok kedua penjaga itu yang segera roboh dengan tubuh lemas karena jalan
darah mereka sudah tertotok oleh Cin Hai dan Kwee An!
Dengan tenang dua pemuda gagah
ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke ruang belakang di mana terdengar
suara orang bersorak dan tanpa jeri sedikit pun mereka lalu melangkah masuk
dari sebuah pintu yang besar dan tinggi.
Ternyata ruangan belakang itu
amat luas dan di tengah ruang itu sudah terdapat sebuah panggung karena memang
ruang ini adalah ruang berlatih silat atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga
puluh orang perwira duduk mengitari panggung itu, ada pun di kepala panggung
duduk seorang hwesio gundul bertubuh tinggi kurus dan di sebelahnya duduk
beberapa orang perwira tua yang kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat
tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk di sebelah hwesio itu.
Ketika itu memang sedang
diadakan pertandingan adu silat di antara para perwira yang dicalonkan untuk
menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan ini dilakukan atas perintah
kaisar sendiri yang minta supaya tiga orang panglima yang berkepandaian tinggi
dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam istana. Siapa orangnya yang
tidak mau mencoba peruntungannya pada kesempatan ini? Menjadi pengawal pribadi
kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan mulia.
Pemilihan ini dilakukan dan
diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang sebenarnya adalah hwesio kepala dalam
Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di lingkungan istana dan yang biasanya
dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala hwesio di kuil kota raja itu, juga
hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat pula menjadi penasehat para
perwira. Ini kedudukan yang tinggi, karena sebenarnya hwesio ini bukan lain
ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai Kong Hosiang yang sudah terkenal
kelihaiannya.
Di bawah pengawasan Beng Kong
Hosiang, maka sekarang diadakan pemilihan dan para perwira itu mengadu
kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada waktu Cin Hai dan Kwee An memasuki
ruangan itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang bergumul di atas panggung
dan semua perwira yang menonton bersorak-sorak gembira, juga Beng Kong Hosiang,
Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua dan terpandai, menikmati
pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya pemuda ini.
Cin Hai berbisik kepada Kwee
An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka melalui kepala para perwira
kemudian melompat ke atas panggung di mana dua orang perwira itu sedang mengadu
kepandaian. Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan Kwee An masing-masing
memegang seorang perwira pada lehernya dan melemparkan mereka ke bawah panggung
seakan-akan orang melempar ayam saja!
Semua orang terkejut, tidak
terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing melihat siapa yang datang mengacau,
dia menjadi pucat karena dia telah mengenal Cin Hai yang telah dirasai
kelihaiannya itu.
Cin Hai lalu memandang ke
sekeliling dan keadaan di sana sunyi senyap karena semua orang masih tercengang
melihat peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Siapakah orang yang berani mati
mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada saat perwira-perwira sedang mengadakan
pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang berada di sana? Mungkin setan pun
tak berani mengacau, maka tindakan dua orang pemuda itu sungguh-sungguh membuat
mereka tercengang dan terheran!
“Cuwi-ciangkun (para panglima
yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan sengaja hendak mengacau bahkan
kami sesungguhnya tidak mempunyai urusan apa pun dengan Eng-hiong-koan ini.
Akan tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini, terpaksa kami datang juga.
Kini kami minta supaya para musuh besar kami itu suka tampil ke muka dan
mempertanggung jawabkan perbuatan mereka yang biadab!”
Semua orang merasa heran
mendengar ini dan mereka tercengang melihat ketenangan anak muda itu. Yang
tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan angkat pundak.
Melihat keberanian ini, Beng
Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh sebab ia memandang rendah sekali pada kedua
orang itu. Maka katanya dengan suaranya yang tinggi nyaring,
“Ehh, anak-anak muda yang
berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?”
Sekarang Kwee An yang menjawab
dengan suaranya yang halus nyaring, “Musuh-musuh kami adalah si pengecut Boan
Sip, kedua saudara Tan Song dan Tan Bu, kelima orang kawanan yang disebut
Shantung Ngo-hiap Ma Ing, Un Kong Sian serta tiga saudaranya yang lain, dan
yang terakhir adalah seorang hwesio keparat bernama Hai Kong Hosiang.
Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau berada di tempat ini
harap maju untuk menerima kematian!”
Semua orang terkejut, tak
terkecuali Beng Kong Hosiang. Betapa beraninya dua pemuda itu. Orang-orang yang
namanya mereka sebut adalah perwira-perwira kelas tinggi, malah Ma Ing dan Un
Kong Sian mendapat tempat duduk di deretan Beng Kong Hosiang karena mereka itu
sudah dianggap perwira-perwira yang tinggi kedudukan dan kepandaiannya,
demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan yang kesemuanya berjumlah
lima orang dan disebut Shantung Ngo-hiap. Terlebih lagi nama yang terakhir,
yakni Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini merupakan sute (adik sepergurunan)
dari Beng Kong Hosiang sendiri!
Musuh-musuh besar yang namanya
disebutkan tadi semua berada di situ, kecuali Boan Sip dan Hai Kong Hosiang.
Biar pun wajah mereka menjadi berubah ketika nama-nama mereka disebut, tapi
karena berada di rumah sendiri dan memiliki banyak kawan-kawan, terutama adanya
Beng Kong Hosiang di situ membuat mereka tabah dan berani.
Secara otomatis Tan Song dan
Tan Bu segera berdiri dan menghampiri kelima saudara Shantung Ngo-hiap yang
duduk di dekat Beng Kong Hosiang. Juga lima orang jago dari Shantung itu yakni
Ma Ing, Un Kong Sian, dan tiga orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai,
lalu berdiri dari kursinya hingga ketujuh orang ini berkelompok untuk menghadapi
kedua musuh itu.
Sebetulnya nama Shantung
Ngo-hiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka ialah seperti berikut:
yang pertama Lauw Tek, kedua adalah adiknya Lauw Houw. Dua saudara inilah yang
dahulu ikut membasmi keluarga Kwee.
Orang ke tiga adalah seorang
tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah satu-satunya
orang dari kelima jago dari Shantung yang tak pernah memusuhi keluarga Kwee
dahulu. Akan tetapi karena dia juga menjadi anggota Shantung Ngo-hiap, maka
otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan saudara-saudara seperguruannya.
Orang ke empat dan ke lima
adalah Ma Ing dan Un Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima
saja yang demikian hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing
memperlihatkan kepandaian di rumah keluarga Kwee dahulu, maka dapatlah
dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!
Demikianlah, kelima Shantung
Ngo-hiap itu serta kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah berdiri merupakan
satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,
“Ehh, dua anjing pemberontak
muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau apa?”
Sambil berkata demikian, dia
bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam orang lainnya. Sambil
maju, mereka meloloskan senjata masing-masing. Para perwira yang merasa marah
sekali melihat kedatangan dua orang muda yang mengacau ini, juga pada bergerak
mendekati panggung sehingga Cin Hai dan Kwee Ang seolah-olah hendak dikeroyok
oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!
Cin Hai memandang ke arah
mereka dengan senyum sindir. “Hmm, hmm, tidak kusangka bahwa selain menjadi
manusia-manusia biadab yang kejam, juga para perwira Sayap Garuda yang terkenal
ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya berani main keroyokan.
Ha-ha-ha, kalian majulah!” Sambil berkata demikian, tangannya segera bergerak
dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah berada di tangannya!
Juga Kwee An telah bersiap
sedia dan ia mencabut pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan. Mereka
sudah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.
Tiba-tiba terdengar bentakan
Beng Kong Hosiang, “Tahan!”
Dan tahu-tahu hwesio yang
tinggi kurus ini sudah berada di atas panggung, mendahului semua perwira. Dia
menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.
“Apakah kalian tidak malu?”
tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju. “Untuk menangkap dua ekor
cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar? Janganlah kalian bikin
malu kepada pinceng, Cuwi-ciangkun!”
Memang ucapan Beng Kong
Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai penasehat para perwira dan
juga terkenal sebagai seorang yang sangat disegani dan ditakuti karena
kepandaiannya yang sangat tinggi. Sekarang tempat itu dikacau oleh dua orang
pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan kehadirannya itu
tidak ada artinya sama sekali!
Dia sudah melihat gerakan
kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan dia maklum bahwa di
antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, ada pun pemuda yang
ke dua itu tidak berbahaya.
Mendengar bentakan Beng Kong
Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka dan hanya berdiri memandang kepada
pemuda itu dengan mata mengancam.
Beng Kong Hosiang lalu
tertawa. “Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid siapa sehingga berani
sekali mengganggu tempat kediaman kami?”
“Aku bernama Sie Cin Hai dan
ini adalah Kwee An,” jawab Cin Hai dengan suara tenang karena dia belum kenal
siapa sebetulnya hwesio tua ini. “Kedatangan kami ini tidak ada hubungannya
dengan orang lain, kecuali orang-orang yang namanya sudah disebut tadi. Mereka
itu secara kejam sekali telah membunuh keluarga Kwee dan kami sengaja datang
untuk menuntut balas!”
“Hemm, mereka itu dibunuh
karena mereka sudah memberontak dan berani menghina perwira-perwira kerajaan.
Kalian memiliki kepandaian apakah hingga berani mengacau di sini? Ketahuilah,
anak-anak muda, perbuatan kalian ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk
menghukum kalian!”
“Kami hanya ingin membasmi
orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami bersedia
menghadapi siapa saja!” berkata Kwee An dengan marah karena dia dapat menduga
bahwa hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di kalangan perwira Sayap
Garuda.
“Ha-ha-ha! Kau seperti
anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak tahu sampai di mana tingginya
langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun, marilah kau dan pinceng
menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!”
Beng Kong Hosiang berlaku
cerdik. Dia tidak mau jika pihaknya disebut curang dan main keroyokan, akan
tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan, maka ia sengaja
memanggil Lauw Tek, yaitu saudara tertua dari Shantung Ngo-hiap atau perwira
berkepandaian tertinggi yang pada waktu itu hadir di situ. Dia maklum bahwa
kepandaian Lauw Tek sudah cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An, sedangkan
untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya!
Sambil tersenyum Lauw Tek
menggerakkan tubuh, segera melompat ke atas panggung menghadapi Kwee An. Ia
lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,
“Dulu kau masih kuberi ampun
sehingga jiwamu tak sampai melayang. Apakah karena itu kau merasa menyesal dan
sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?”
Kwee An mengenal orang ini
sebagai salah seorang di antara mereka yang menyerbu rumahnya, maka tanpa
banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan menusuk dengan gerakan
Rajawali Mematuk Ikan. Lauw Tek kemudian menggerakkan pedangnya menangkis
sambil tersenyum menyindir dan mereka berdua lalu bertempur hebat.
“Ha-ha-ha, anak muda,
sambutlah hidanganku yang pertama!” kata Beng Kong Hosiang dan dia mengebut
dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah jalan darah
kin-hun-hiat di dada Cin Hai.
Sambaran ini hebat dan kuat,
akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan
tahu-tahu pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini!
Hampir saja lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh pedang
Liong-coan-kiam.
Hwesio ini terkejut sekali
karena ia tak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai, maka tadi dia
berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan ujung lengan
baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin pukulannya
saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, tetapi ternyata
pemuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat mengelak dari
serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan bajunya
memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri?
Dia mengebut lagi, kini dengan
tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan ujung lengan baju
kanan dan mula-mula langsung meluncur ke depan mengarah muka lawan, akan tetapi
gerakan ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka, karena gerakan yang
sesungguhnya adalah secepat kilat ujung lengan baju itu diputar ke arah
pergelangan orang yang memegang pedang untuk merampas pedang lawan itu!
Akan tetapi, lagi-lagi ia
terkejut bukan main, bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan
saja ujung lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju
itu memang tidak diteruskan, malah kini terputar cepat ke arah pergelangan
tangannya. Cin Hai cepat menggerakkan lengan tangannya dan pedangnya menyabet
ke bawah sehingga tanpa ampun lagi ujung lengan baju itu terbabat putus!
Bukan main terkejut dan
marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia menyangka bahwa dalam satu dua gebrakan
saja dia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya, serangannya
dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri menderita
kerugian karena ujung lengan baju yang merupakan senjata baginya itu sudah
terbabat putus!
Dengan muka terheran-heran ia
lalu mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang bergagang
bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang
pacul itu dapal dilipat dua dan oleh karena itu sesudah dilipat menjadi pendek
dan dapat diselipkan pada pinggangnya.
Sambil membentak hebat Beng
Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan menyerang dengan cepat. Gerakannya aneh
sekali laksana seorang petani mencangkul tanah. Akan tetapi Cin Hai berlaku
tangkas dan cepat melompat ke pinggir, lantas balas menyerang dengan pedangnya.
Di lain pihak, Kwee An
mengeluarkan seluruh ketangkasan serta kepandaiannya untuk mempertahankan diri
terhadap serangan Lauw Tek yang benar-benar lihai itu. Melihat permainan pedang
Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,
“Ehh, anak muda she Kwee,
bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”
Kwee An merasa terkejut ketika
lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia menahan senjatanya dan membentak,
“Kalau aku benar murid Kim-san-pai, kau mau apakah?”
Lauw Tek tertawa menghina.
“Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang Cu untuk mampus di ujung
senjataku!” Setelah berkata demikian ia segera mendesak makin hebat hinggga
Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak hebat.
Tidak tahunya Lauw Tek memang
pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh dari Kim-san-pai. Hal ini
terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An menjadi murid Eng Yang Cu.
Ketika itu, Shantung Ngo-hiap
masih tinggal di Shantung dan menjadi jago yang ditakuti karena di samping
lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang
merantau tiba di Shantung dan mendengar tentang keadaan Shantung Ngo-hiap, lalu
sengaja menantang pibu pada mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah
panas hingga ia tak tahan mendengar betapa di Shantung ada Shantung Ngo-hiap
yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang.
Di dalam pertandingan pibu
ini, seorang demi seorang dari Shantung Ngo-hiap akhirnya kena dikalahkan oleh
Eng Yang Cu. Akan tetapi secara licik kelima jago Shantung itu lalu mengeroyok
sehingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan melarikan diri. Semenjak itu,
Shantung Ngo-hiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.
Karena pernah bertempur dengan
Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat Kim-san-pai yang dimainkan
oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian Kwee An, ia pun dapat menduga bahwa anak
muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia menjadi girang sekali karena
sekarang mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya yang dulu kepada murid
Eng Yang Cu ini.
Oleh karena ini, Lauw Tek lalu
mendesak hebat dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan
tetapi biar pun masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga
gerakan pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat
mempertahankan dirinya.
Pada waktu itu dari luar
berkelebat bayangan putih dan terdengar suara orang berseru, “Lauw Tek, jangan
kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau mundurlah!”
Kwee An merasa girang sekali
karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Dia segera mundur dan
membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek.
Eng Yang Cu adalah seorang tua
berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah putih dan
pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya ialah pedang
panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.
“Eng Yang Cu, manusia sombong.
Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!” Lauw Tek berseru dan menyerang dengan
ganas.
Melihat kedatangan musuh lama
ini, para saudaranya seketika segera datang menyerbu hingga kini pertempuran
lebih hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Melihat betapa pihak
lawan mengeroyok, Kwee An tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan pedangnya
lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan
kedatangan suhu-nya itu.
Sementara itu, dengan ilmu
pedang campuran dari Ngo-lian Kiam-hoat, Sianli Kiam-hoat dan Liong-san
Kiam-hoat yang pernah dipelajarinya, juga kepandaiannya yang dipelajari dari Bu
Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua gerakan lawannya, Cin Hai berhasil
membuat Beng Kong Hosiang tak berdaya. Setiap gerakan dan serangan hwesio ini
telah dapat diduga oleh Cin Hai, sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang campur
aduk itu sangat membingungkan hwesio ini. Hanya tenaga lweekang Beng Kong
Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya sehingga ia belum dijatuhkan
oleh Cin Hai.
Ketika melihat kedatangan suhu
dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua lawan hingga keadaan menjadi
berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan pedangnya kini disertai tenaga
khikang yang luar biasa. Inilah tenaga khikang yang ia latih atas petunjuk Bu
Pun Su, dan yang mempunyai daya gempur luar biasa sekali karena seluruh tenaga
lweekang, gwakang mau pun ginkang dipersatukan merupakan pergerakan hebat
hingga menimbulkan angin besar.
Khikang semacam ini jarang
dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang bulat
hingga sangat melelahkan tubuh. Ia sendiri akan mendapat celaka oleh karena
kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka kepandaian ini jarang sekali dia
keluarkan. Untuk mempergunakan tenaga khikang ini, paling lama dia hanya kuat
bersilat sampai tiga puluh jurus saja.
Akan tetapi, akibatnya hebat
sekali. Baru saja ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya berhasil
menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini jatuh menggelinding ke bawah
panggung dalam keadaan pingsan.
Melihat kehebatan ini, para
perwira menjadi kaget sekali. Permainan Shantung Ngo-hiap menjadi kacau balau
sehingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek dengan pedangnya.
Keadaan menjadi kalut dan semua perwira mencabut senjata hendak mengeroyok.
Akan tetapi karena jumlah mereka besar, sedangkan panggung itu sempit, maka
gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan sendiri.
Cin Hai dan Kwee An yang
mengambil keputusan hendak membalas dendam, kemudian sengaja menujukan senjata
mereka kepada keempat sisa anggota Shantung Ngo-hiap dan kedua saudara Tan Song
dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu musuh-musuh besar muridnya hanya
menggerakkan senjata untuk melindungi kedua pemuda itu.
Pedang Kwee An berhasil
merobohkan Tan Song dan Tan Bu, dan serangan pemuda ini disertai oleh kegemasan
yang meluap sehingga dua saudara Tan itu roboh tewas mandi darah. Cin Hai yang
mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti memperlihatkan diri, juga berhasil
merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In. Akan tetapi karena
ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia
masih mengampuni jiwa orang tua ini dan hanya menotoknya roboh, sedangkan yang
lain-lain telah tewas di ujung pedang Liong-koan-kiam!
Melihat bahwa ketujuh musuh
besar itu semua telah dapat dirobohkan, tiba-tiba saja Cin Hai melintangkan
pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.
“Cuwi sekalian, tahan senjata!
Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak berdosa. Orang-orang yang sudah
mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanya enam orang yang sudah tewas ini!
Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya diberi hajaran saja,
demikian pula Beng Kong Hwesio yang sombong hanya diberi hajaran agar ia tidak
memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi beritahukan di mana
adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang jahat itu pun hendak
kami basmi dari permukaan bumi!”
Akan tetapi, di antara semua
perwira itu, mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia kawan sendiri?
Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di tangan, walau
pun hati mereka telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang itu!
Karena tidak ada orang yang
berani memberi keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya pergi dari
situ. Tiga bayangan berkelebat dan para perwira baru sadar bahwa ketiga lawan
mereka telah pergi setelah tak melihat mereka di atas panggung lagi.
Mereka lalu menolong
kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan ke
istana. Keadaan menjadi kalut bukan main, karena sejak Kanglam Chit-koai
mengamuk pada beberapa puluh tahun yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak
pernah ada orang yang berani mengganggu mereka.
Tak dinyana bahwa hari ini dua
orang pemuda yang dibantu oleh seorang tosu tua sudah membuat mereka
kocar-kacir, bahkan enam orang perwira telah binasa! Yang lebih hebat lagi,
Beng Kong Hosiang yang belum pernah dikalahkan orang itu, kini juga roboh dalam
tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat sekali.
Juga Kaisar menjadi terkejut
mendengar huru-hara ini. Ia segera memerintahkan barisan pengawal untuk
mengejar dan mengepung, tapi ketika itu, Cin Hai dan kawan-kawannya telah lari
jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah berhenti di dalam sebuah hutan.
Kwee An lalu memperkenalkan
Cin Hai kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum kepada Cin Hai.
“Sie-taihiap, kau masih begini
muda akan tetapi kepandaianmu betul-betul membuat aku menjadi kagum sekali.
Siapakah Suhu-mu yang mulia?”
Sebagaimana biasa, Cin Hai
merasa segan untuk memberitahukan nama suhu-nya oleh karena maklum bahwa Bu Pun
Su sama sekali tak suka bahkan membenci segala nama besar yang dianggapnya
kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu mewakilinya menjawab,
“Guru Saudara Cin Hai ini
adalah Bu Pun Su.”
“Ah!” Eng Yang Cu terkejut
sekali mendengar ini. “Tak heran apa bila kepandaiannya lihai sekali. Pinto
pernah mendengar nama besar Suhu-mu biar pun mataku belum mendapat kemuliaan
dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe itu. Akan tetapi, sesudah melihat
kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas.”
Eng Yang Cu lalu menceritakan
bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar tentang nasib
buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada
muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke kota raja
hendak mencari Shantung Ngo-hiap yang sudah membunuh keluarga muridnya dan
kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga dapat membantu pembalasan
sakit hati Kwee An dan Cin Hai.
“Baiknya Totiang cepat-cepat
datang, kalau tidak, aku tidak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena hwesio
itu pun cukup lihai sehingga aku tidak mempunyai kesempatan membelanya,” kata
Cin Hai terus terang.
“Kwee An, musuh-musuhmu sudah
terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka jangan kau
melupakan budi yang besar itu.”
“Musuh belum terbalas semua,
Suhu,” kata Kwee An. “Masih ada dua orang musuh besar yang memegang peranan
penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan
Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya.”
Eng Yang Cu terkejut. “Hai
Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji ini? Ah, memang benar kata-kata
orang kang-ouw bahwa dalam setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai
Kong Hosiang ikut campur! Meski ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak
lebih hebat dari pada suheng-nya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan
banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan
seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”
Kemudian, setelah memberi
nasehat dan pesanan kepada muridnya agar supaya berlaku hati-hati dan supaya
suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara ini lalu melanjutkan
perjalanannya.
“Kalau pinto kebetulan bertemu
dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto tidak akan tinggal diam dan mencoba
untuk melawan mereka,” katanya.
Kwee An merasa terharu atas
pembelaan suhu-nya itu dan menghaturkan terima kasih serta selamat berpisah.
Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.
“Suhu-mu itu berhati mulia
sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat kepada suhu-nya sendiri Bu Pun Su,
yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhu-nya itu masih berada di Goa
Tengkorak?
“Saudara Cin Hai, ketika kita
hendak pergi ke kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata dia
sudah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan
tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita
harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”
Setelah berpikir sebentar, Cin
Hai menjawab, “Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong Hosiang.
Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak mereka. Akan tetapi
kita harus berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar tak akan tinggal
diam karena perbuatan kita yang membunuh para perwira.”
Mereka lalu menunggu sampai
sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja pada waktu malam agar jangan
terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada
setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.
“Saudara Kwee An, kurasa
satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang dan
Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Shantung
Ngo-hiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, dia agaknya paling baik.
Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita mengenai tempat tinggal Hai
Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak membunuhnya.”
Dengan menggunakan kepandaian
ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan mudah bisa melompati
tembok kota di bagian yang tak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka
dapat menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari
keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana
rumah kediaman perwira she Ma itu, yakni di dalam sebuah gedung besar yang
kuno.
Segera mereka jalan di atas
genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas
wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda
berpakaian biru yang sudah berdiri di sana dengan tangan memegang sebatang
pedang terhunus dan tajam berkilat!
“Hmm, kalian masih belum puas
dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya sambil menggerakkan pedang. “Nah,
majulah, memang sejak tadi aku telah menanti kedatangan kalian berdua!”
Pemuda baju biru itu menyerang
Kwee An dengan pedangnya, namun Kwee An cepat menangkis. Kedua pedang bertemu
menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa
tenaga kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda
ini mempunyai gerakan cukup lihai.
“Sobat, tahan dulu,” katanya.
“Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?”
“Kalian diam-diam memasuki
kota raja dan mencari rumah kediaman Ma-ciangkun. Masih hendak bertanya mengapa
aku di sini menanti dengan pedang di tanganku? Aku adalah anak dari
Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas di kota raja,
sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kau hadapi dulu anaknya!”
Sebelum Cin Hai dan Kwee An
menjawab, pemuda itu dengan ganasnya sudah kembali menyerang kepada Kwee An.
Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan
pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka dia diamkan saja
dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian.
Yang mengherankan hatinya
ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu pedang Ma Keng
In, bahkan tidak lebih rendah dari pada kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga
gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan
tubuh sehingga gerakannya bagaikan seekor naga yang menyabet dengan ekornya
yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang lihai ini
tidak kalah oleh Kwee An!
Juga Kwee An tidak kurang
terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan yang
tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu tapi tak dapat
mendesak!
“Sahabat, kita datang bukan
dengan maksud buruk!” Kwee An berkata sambil menahan serangan orang. Akan
tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya.
Pada saat itu terdengar suara
Ma Keng In yang berat dari bawah genteng, “Hoa-ji, jangan berlaku kurang ajar
kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!”
Pemuda yang disebut Hoa-ji
oleh ayahnya itu mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat ke
bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri
di situ dan menyambut mereka dengan wajah kereng.
“Jiwi yang muda dan gagah
malam-malam datang ke pondokku, ada keperluan apakah?”
Kwee An membalas hormatnya dan
berkata, “Harap Lo-enghiong suka memaafkan kami. Sebetulnya kami berdua tak mempunyai
permusuhan dengan kau orang tua, karena kau tak ikut membasmi keluargaku.
Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-enghiong dan bertanya
di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, dua musuh besarku yang masih
belum terbalas itu.”
Walah Ma Keng In memerah. “Hm,
kalian orang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang sebelah mata
padaku! Kau kira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan
mengkhianati kawan-kawan sendiri? Meski kalian akan membunuh dan memotong lidahku,
aku orang she Ma tak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri.”
Kwee An tercengang dan tak
dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang semenjak tadi
memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak muda yang telah ia
saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia
berkata,
“Apakah kau demikian memandang
rendah kepadaku sehingga mentertawakan sikapku yang bodoh?”
“Ah, tidak, tidak sekali-kali,
Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat
kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa
dan berjiwa satria, akan tetapi kenapa kau sudi menjadi anggota Sayap Garuda
yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku
pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi keliru sekali!
Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula,
akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan
Sip merupakan orang-orang yang telah melakukan keganasan dan kekejaman yang
termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka kepada kami, itu
berarti bahwa kau sudah melakukan perbuatan yang adil. Ingatlah bahwa
permusuhan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan
mereka sebagai anggota Sayap Garuda, akan tetapi ini adalah urusan pribadi.
Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa perlunya
mereka bersembunyi dari pada kami? Kalau kau tetap menolak untuk memberi
tahukan tempat tinggal mereka, hal itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan
mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh
oleh kami!”
Ma Keng In mendengarkan ucapan
panjang lebar ini dengan mata terbelalak. Dia makin heran melihat pemuda yang
tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga memiliki pandangan yang
demikian dalam dan halus. Ia menghela napas dan berkata,
“Alasan-alasanmu dapat
diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan
bila ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan padamu tentang
kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan menganggap aku sudah
merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan tetapi apa bila
kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa penasaran
kepadaku. Hai Kong Suhu bersama Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang
diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di
perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain
telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”
Cin Hai segera menjura dan
berkata, “Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang benar-benar seorang tua
gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan kita bertemu kembali dalam keadaan yang
lebih menyenangkan.”
Kwee An juga menghaturkan
terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk meninggalkan kota
raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.
Akan tetapi, belum jauh mereka
pergi, tiba-tiba saja terdengar suara orang menegur dari belakang. Mereka
berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi,
telah mengejar mereka!
“Eh, ehh, kau mengejar mau
apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?” Kwee An menegur tidak
senang.
“Kalau hendak melanjutkan
pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab pemuda itu ketus. “Ayah
terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari
aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah utara!”
Kwee An merasa mendongkol dan
penasaran. “Kenapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami
akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus!
Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?”
Pemuda itu membanting-banting
kaki dan berkata, “Aku akan menunggu di sana!”
Kemudian ia lalu membalikkan
tubuh dan lari meninggalkan mereka.....