Pendekar Bodoh Jilid 11-15

“Orang itu bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku sudah tahu benar-benar akan hubunganmu dengan dia dan telah kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan patut dipuji
Pendekar Bodoh Jilid 11-15

“Orang itu bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku sudah tahu benar-benar akan hubunganmu dengan dia dan telah kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan patut dipuji. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, Im Giok?”

Bukan main kecewa rasa hati Ang I Niocu.

“Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum ingin mengikat diri dengan perjodohan!”

“Im Giok, jawabanmu ini sama artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah Kang Ek Sian bukan seorang laki-laki yang baik?”

“Dia memang seorang baik, Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat menjadi isteri seorang yang tidak... teecu cinta...?”

“Aha, anak muda jaman sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak. Bukti-bukti telah menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih sempurna dari pada cinta muda yang hanya terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa hatimu telah tertarik oleh Cin Hai. Betulkah?”

Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek guru ini dapat mengetahui segalanya? Dapat mengetahui mengenai segala persoalannya dengan Kang Ek Sian dan dapat tahu pula rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani mengangkat muka dan hanya tunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

“Im Giok, kau sudah mendekati jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh menaruh hati sayang terhadap Cin Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang wanita terhadap laki-laki. Seharusnya kasih sayangmu itu kau dasarkan atas rasa kasihan dan kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang, dan berapa usia Cin Hai? Harus kuakui bahwa engkau memang masih nampak muda sekali berkat telur burung rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun lagi saja, kau akan menjadi tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kepincangan sehingga akan merupakan gangguan hebat terhadap kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”

Mendengar kata-kata yang terus terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I Niocu lalu menangis tersedu-sedu sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat betapa Bu Pun Su memandangnya dengan sinar mata penuh iba hati.

“Im Giok, kelak kau akan teringat bahwa aku memberi semua nasehat ini semata-mata untuk kebaikanmu sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua kata-kataku benar belaka. Sekarang gunakanlah imanmu dan kuasailah hatimu kembali. Kau boleh pergi dan apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak akan melarang. Aku tidak akan mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau kau setuju dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”

Ang I Niocu lalu menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri, lalu keluar dari goa itu diikuti pandangan mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan kepala, karena kakek ini diam-diam merasa kasihan sekali.

“Nafsu, nafsu... kau memang kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!” katanya perlahan kepada asap putih yang mengepul di depannya.

Setelah keluar dari goa itu diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala ucapan Bu Pun Su dan setelah berada di tempat terbuka sehingga hawa sejuk mendinginkan kepalanya, ia merasa betapa tepat dan betulnya nasehat kakek itu. Biar pun ia tidak diberi tahu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Cin Hai tentu telah turun gunung. Tentu saja dia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su mengenai anak muda itu, setelah Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya terhadap Cin Hai.

Ang I Niocu sama sekali tak pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa hari yang lalu meninggalkan Goa Tengkorak itu. Ia hanya mengira bahwa pemuda itu tentu kembali ke rumah bibinya, yaitu di Tiang-an, karena pemuda itu pernah menceritakan riwayatnya kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke Tiang-an untuk menyusul Cin Hai. Betapa pun juga ia harus bertemu dengan pemuda itu, karena ia tidak dapat menahan rindu hatinya lagi.

Sesudah mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai kemudian kembali ke Sam-hwa-bun untuk mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang. Dan terjadilah sebuah hal yang tak terduga-duga!

Ketika ia tiba di sebuah kaki gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat titik merah mendatangi dengan amat cepat dari arah depan! Hatinya berdebar girang karena hanya seorang manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat bergerak seperti itu! Ia segera mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak mau memperlihatkan kepada Ang I Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu ginkang yang hebat.

Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang I Niocu tiba-tiba berhenti bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika dia melihat pemuda yang berdiri memandangnya dengan wajah berseri-seri itu! Ia hampir pangling melihat Cin Hai dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang tiga tahun lamanya itu sudah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi seorang pemuda yang cakap dan tegap!

“Kau... kau... Hai-ji...?” bisiknya.

“Niocu!” Cin Hai tertawa lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu.

Kegirangan besar membuat ia lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju Merah itu dengan erat bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama dirindukannya. Sebenarnya perasaan Cin Hai ketika itu terhadap Ang I Niocu hanyalah perasaan kasih sayang terhadap orang yang dianggapnya paling baik di dunia ini. Akan tetapi sikapnya telah dipandang salah oleh gadis itu.

Ang I Niocu mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka jika tadinya ia merasa ragu-ragu dan kata-kata Bu Pun Su selalu bergema di dalam telinganya sehingga dia tidak ingin memperlihatkan kesukaan hatinya karena pertemuan ini, maka sekarang hatinya meluap-luap karena girangnya. Dia balas memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,

“Hai-ji... Hai-ji…”

Mereka lalu pergi duduk di pinggir jalan sambil saling pandang dengan mesra.

“Hai-ji, suah selama tiga tahun kau belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.”

“Ah, Niocu, kepandaian apakah yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya memberi pelajaran menari!” Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang suling dari pinggangnya kemudian mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa. Ang I Niocu juga tertawa girang.

“Kalau begitu, tentu kau sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?” tanyanya sambil memandang muka yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam bagus.

”Barang kali saja dapat. Aku pun telah lama ingin sekali melihat kau menari, Niocu. Bagai mana kalau kita menari bersama-sama? Aku akan mencoba mengikuti gerakanmu.”

Dengan girang sekali Ang I Niocu bangkit berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera meniup sulingnya. Memang selama belajar silat kepada Bu Pun Su, pemuda ini tidak pernah lupa untuk meniup sulingnya yang menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya sendiri suka sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.

Maka terdengar tiupan suling yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I Niocu lalu menari dengan gerakan yang indah dan gemulai, dan Cin Hai yang sudah mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali lihat saja dengan mudah mampu mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari bukanlah sembarang tarian akan tetapi pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang lihai.

Sepasang pemuda-pemudi itu menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu. Gerakan kaki mereka cocok sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau sepasang lengan tangan Ang I Niocu bergerak dengan lincah indah, maka kedua tangan Cin Hai tidak digerakkan karena dia menggunakan untuk memegang suling yang ditiupnya untuk mengiringi tarian itu.

Bukan main senangnya hati Ang I Niocu dan ia juga merasa amat kagum karena gerakan kaki Cin Hai sungguh tepat dan tidak ada salahnya. Gadis ini merasa sangat bahagia dan gembira hatinya hingga ia menari-nari sambil tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai dengan sinar mata penuh rasa cinta!

Cin Hai juga gembira. Namun sebaliknya dia menari dengan tenang dan wajahnya yang tampan itu tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan gembira. Sesudah selesai menari, mereka kembali duduk di atas batu di pinggir jalan.

“Hai-ji, kau hebat sekali! Dalam tiga tahun saja kau telah sanggup meniru Tarian Bidadari sedemikian sempurnanya! Kau tentu sudah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali dari Susiok-couw! Coba kau perlihatkan pelajaran ilmu silatmu itu untuk kukagumi.”

“Sebenarnya, Niocu. Aku tidak mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian itu saja. Bahkan tarian itu pun baru dapat kulakukan jika kau menari bersamaku, kalau aku disuruh menari seorang diri aku tak akan sanggup melakukannya.”

Ang I Niocu memandang heran, akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak berbohong. Ia hanya menyangka bahwa pemuda ini memang agak bodoh hingga susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain ilmu silat yang tinggi.

“Biarlah, kau tidak perlu kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi pelajaran silat kepadamu!”

“Terima kasih, Niocu, kau memang baik sekali.”

“Sekarang, kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah kau sudah bertemu dengan Bibimu dan keluarga Kwee?”

“Aku sudah bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie. Sebetulnya aku pun sedang menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Ie-thio.” Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan pertemuannya dengan Kwee In Liang.

Ang I Niocu mengerutkan alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka berbahaya sekali. Aku mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai sekali. Apakah kau hendak membantu mereka? Kalau begitu biar aku ikut dengan kau untuk membantu mereka!”

Cin Hai merasa gembira sekali mendengar ini. Demikianlah, mereka lalu bercakap-cakap dengan girang sekali dan Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan pesan susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin Hai! Mereka sudah mengambil keputusan untuk datang ke Sam-hwa-bun pada saat pesta dilangsungkan.

Pada bulan itu juga, tanggal lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar akan tetapi sederhana itu diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun Kwee In Liang yang ke enam puluh. Sebenarnya orang she Kwee ini tidak hanya khusus merayakan hari lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung lain maksud.

Puterinya Lin Lin, sejak kembali dari perguruan sudah memiliki kepandaian tinggi sekali dan telah berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya yang berjumlah lima orang itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap tidak mau dicarikan jodoh. Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang banyak orang gagah yang sudah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak mencari-cari seorang calon mantu yang cocok untuk Lin Lin.

Kenapa Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini juga akibat terpengaruh oleh kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal sebagai seorang panglima yang sangat setia dan gagah. Dia mematuhi perintah dan menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan perasaan sendiri. Oleh sebab ini jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar.

Akan tetapi, ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini dan muridnya lantas mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya Kwee-ciangkun tidak membantu lagi kaisar yang sesungguhnya lalim dan tidak adil itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk ayahnya, disertai penuturan Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua rahasia kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan memeras rakyat.

“Kalau Ayah tidak segera mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan dimusuhi oleh orang-orang gagah sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya.

Akhirnya Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan di dunia luar. Ia adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama sekali ia tidak takut akan ancaman orang kang-ouw karena kedudukan sebagai panglima. Yang ia takuti ialah bahwa karena membantu dan berada di pihak yang tidak benar, maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama busuk sesudah meninggal kelak. Kedua kalinya, dia ini sudah tua serta sudah merasa bosan dan capai untuk memegang pangkat.

Oleh karena ini, dia segera mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan sudah terlalu tua dan lemah. Atasannya dapat menerima permohonannya dan ia pun berhenti dengan hormat lalu pindah ke Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup bertani.

Pada hari itu rumah keluarga Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni dan kembang. Tampak putera-putera keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang seorang lagi yakni Kwee An, tidak tampak di antara mereka. Telah lebih dari empat tahun yang lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah ketika ia bertengkar dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya meninggalkan surat dan memberi tahu kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi merantau.

Keempat putera keluarga Kwee yang hadir di situ nampak amat gagah dan bersemangat. Terutama Kwee Tiong yang nampak paling gagah dan cakap dalam pakaiannya yang indah mentereng. Mereka ini oleh ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio yang bernama Tong Kak Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota Tiang-an.

Hwesio ini adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh karena ini, maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tak mendapat kemajuan dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu kesusasteraan.

Para tamu datang berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang yang disediakan untuk tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang puteranya duduk di ruangan depan dan menyambut datangnya para tamu dengan sikap ramah dan menghormat.

Lin Lin sibuk membantu ibu tirinya di belakang dan setelah semuanya hadir, baru mereka berdua keluar dan menyambuti tamu-tamu wanita yang banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara tamu-tamu wanita terdapat pula Biauw Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin untuk mengharapkan bantuannya karena mungkin sekali akan ada bahaya mengancam dari pihak perwira Sayap Garuda yaitu Boan Sip.

Perwira she Boan ini adalah pengganti Kwee-ciangkun dan dia menjadi kepala penjaga keamanan kota Tiang-an. Dia adalah salah seorang perwira Sayap Garuda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi.

Ketika melihat kecantikan Lin Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran, tetapi yang ditolak keras oleh Kwee In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka dia menaruh hati dendam sehingga beberapa hari yang lalu dia sengaja mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam hutan.

Karena ini maka kedatangan Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya menggirangkan hati Lin Lin, tetapi juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.

Selain Biauw Suthai, di situ nampak juga seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan berpakaian serba putih. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sinar matanya berpengaruh.

Ini adalah murid pertama dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki kepandaian tinggi sehingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee Leng adalah seorang wanita yang telah menjadi janda. Juga nyonya ini bisa dibujuk oleh Lin Lin yang menjadi sumoi-nya. Memang, baik Biauw Suthai mau pun Bwee Leng sangat sayang kepada Lin Lin.

Perjamuan berjalan dalam suasana gembira dan diselingi oleh datangnya para tamu yang mengucapkan selamat pada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk melayani para tamu.

Tiba-tiba seorang di antara para tamu, seorang kakek yang berpakaian sebagai seorang petani yang telah terkenal di antara para tamu sebagai seorang pendekar tua dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun, berdiri dari tempat duduknya. Sambil menjura kepada tuan rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,

“Kwee-enghiong, aku orang tua selain menghaturkan selamat padamu dengan doa agar kau diberkahi panjang umur, juga menyatakan kegirangan hatiku mendengar bahwa kau telah bertemu kembali dengan puterimu yang baru kembali dari belajar silat. Memang kau beruntung sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah menjadi murid dari Biauw Suthai yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di sini. Kuharap Kwee-enghiong suka berlaku murah dan memberi kepuasan kepada kedua mataku yang tua ini untuk dapat menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia. Bagaimana Cuwi sekalian, apakah usulku ini tak cukup baik?” tanyanya kepada semua yang hadir.

Di tempat itu juga hadir banyak pemuda yang sudah mendengar tentang puteri keluarga Kwee yang tersohor cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari ilmu silat tinggi, maka tentu saja mereka merasa gembira sekali dan menyambut dengan tepuk sorak gembira.

Sebetulnya di luar tahunya semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah minta bantuan Bhok Ki Sun yang menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan usul ini supaya terbuka jalan baginya untuk mencari seorang mantu yang cocok. Maka sekarang, sambil tersenyum lebar dia berdiri dari tempat duduknya dan menjura kepada semua tamunya sambil berkata,

“Cuwi sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang muda ini? Tapi karena di pesta ini tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi kewajiban kami untuk mengadakan sesuatu yang kiranya bisa menghibur dan menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin, kau penuhilah permintaan Bhok-enghiong setelah mendapat ijin dari Gurumu!”

Lin Lin adalah seorang gadis yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian banyak pasang mata yang memandang ke arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan tenang ia minta perkenan dari gurunya dan setelah Biauw Suthai memberi persetujuannya, dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat bersilat yang memang sudah disediakan di tempat itu, tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.

Sesudah menjura sebagai pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin lalu mulai bersilat dengan gayanya yang indah dan cepat. Dia mainkan ilmu Silat Pat-kwa Kun-hoat atau Ilmu Silat Pat-kwa yang mempunyai gerakan selain indah, juga cepat sekali hingga sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi ilmu silatnya menjadi kabur dan melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi tiga empat orang.

Tepuk sorak terdengar riuh rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat ini. Baru saja Lin Lin menghentikan ilmu silatnya tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek dari luar. Suara tertawa ini terdengar nyaring sekali sehingga semua tamu menengok ke luar. Juga Kwee In Liang memandang keluar dan seketika dia menjadi pucat.

Yang datang adalah Boan Sip serta empat orang lain yang juga memakai tanda Sayap Garuda pada topi mereka dan kesemuanya memakai jubah merah, tanda bahwa mereka ini adalah perwira-perwira kelas satu. Yang menarik hati ialah bahwa di antara mereka ini terdapat seorang perwira yang usianya telah lebih dari lima puluh tahun tetapi tampaknya masih gagah dan kuat.

“Sungguh bagus, orang-orang bergembira dan berpesta pora sampai lupa mengundang sahabat!” Perwira tua itu berkata keras dan dialah yang tadi mengeluarkan suara ketawa itu.

Kwee In Liang sudah kenal kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma Ing, seorang yang terkenal sekali karena mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi salah seorang di antara para perwira terkemuka di istana. Diam-diam orang she Kwee ini merasa terkejut sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh menjadi sangat kuat dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi dia dapat menetapkan hatinya dan cepat-cepat maju menyambut sambil menjura memberi hormat,

“Ngo-wi yang mulia, silakan duduk di dalam.”

Boan Sip sambil tertawa menyeringai mendahului masuk, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka berlima masuk ke ruang itu sambil mengangkat dada dan dengan tindakan kaki lebar, sama sekali tak memandang mata kepada sekalian yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri Lin Lin yang masih berdiri di tengah ruang tempat bermain silat dan sambil menyeringai ia berkata,

“Kwee-siocia, ilmu silatmu tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis sekali!”

Lin Lin memandang dengan mata melotot dan gadis ini marah bukan main sebab teringat betapa beberapa hari yang lalu dia sudah tertangkap oleh orang she Boan ini dan hampir saja diculik pergi! Hampir saja ia tak dapat menahan kesabaran hatinya dan memaki atau menyerangnya, akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara yang nyaring,

“Ie-ie…!”

Lin Lin cepat menengok. Ia melihat Cin Hai diikuti oleh seorang gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai langsung berlari menghampiri Loan Nio atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian tamu wanita.

Loan Nio yang belum diberi tahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai, berdiri memandang dengan mata terbelalak pada pemuda tampan yang menghampirinya. Cin Hai menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Ie-ie, aku Cin Hai menghadap. Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”

“Cin Hai, kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu, sementara tak tertahan lagi air matanya mengucur keluar dari kedua matanya.

Cin Hai juga mengeluarkan air mata dari sepasang matanya karena terharu dan girang. Kemudian dia memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ie-nya.

“Ie-ie, ini adalah Nona Kiang Im Giok yang amat berbudi dan telah banyak menolongku.”

Loan Nio memandang Ang I Niocu dengan kagum dan mempersilakan gadis itu duduk di bagian tamu wanita. Ketika bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,

“Ehhh, tidak tahunya Ang I Niocu yang datang. Silakan…, silakan, aku masih ingat akan pertolonganmu di goa dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan mereka segera bercakap-cakap dengan gembira.

Sementara itu Lin Lin juga berlari menghampiri mereka dan diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan Cin Hai kemudian menghampiri ie-thio-nya untuk memberi hormat dan menghaturkan selamat. Dengan ramah Kwee In Liang lalu menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.

Sementara itu, melihat kesibukan tuan rumah karena kedatangan seorang pemuda dan seorang gadis baju merah, Boan Sip beserta kawan-kawannya menjadi tidak puas dan merasa betapa mereka dipandang ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.

“Eh, ehh apakah tuan rumah lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada kami?” Boan Sip dengan sikap sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika Kwee In Liang memandang ke arahnya, ia berkata,

“Kwee Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang juga aku minta keputusanmu dan marilah kau beri sedikit pengajaran kepadaku untuk melanjutkan main-main yang kita lakukan di dalam hutan beberapa hari yang lalu. Aku sudah berjanji akan datang, apakah kau tidak berani menyambutku?”

Bukan main marahnya hati Kwee In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak sopan dan sikap yang kasar menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jika dibandingkan dengan perwira muda ini, akan tetapi tentu saja ia tak mau memperlihatkan kelemahannya.

“Orang she Boan! Agaknya kau sudah melupakan aturan kesopanan dan sengaja datang membawa kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak maju.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali lompatan ia telah menghadapi Boan Sip.

“Orang she Boan, engkau menjabat pangkat namun tidak mengenal aturan! Kami tidak mengundang akan tetapi engkau sudah menebalkan muka untuk datang di pesta kami. Apakah engkau tidak malu? Apa bila datang hendak mengajak pibu, apakah engkau tidak dapat memilih lain hari?”

“Ha-ha-ha-ha!” Boan Sip tertawa mengejek. “Jika hanya mengandalkan keberanian untuk mengadu kepandaian, tidak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan sekali banyak orang menjadi saksi, apa bila pihak tuan rumah memiliki kegagahan, silakan maju memperlihatkan kepandaian!”

“Bangsat, apa kau kira kami takut padamu?” Lin Lin berseru dan meraba punggung untuk mencabut senjatanya.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi bentakan, “Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”

Bayangan itu ternyata adalah Pek I Toanio yang mewakili sumoi-nya dan lantas saja dia menyerang dengan tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi siang-siang Boan Sip telah dapat memaklumi akan kelihaian wanita ini karena tamparannya mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya ketika melompat tadi ringan sekali.

Ia mengangkat tangan menangkis dan sepasang lengan beradu keras. Boan Sip terkejut sekali karena dia terdorong ke samping sampai terhuyung-huyung! Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di dekat gurunya yang memandang dengan sikap tenang.

Ketika melihat sikap Boan Sip yang sombong dan sengaja datang mengacau itu, Kwee Tiong beserta ketiga orang adiknya menjadi marah sekali dan mereka berempat sambil mencabut pedang lalu maju menghampiri dengan sikap mengancam.

Akah tetapi Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka ini masih terlampau rendah untuk bisa menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang ajar, kalian mundurlah dulu!”

Kwee Tiong merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ayahnya. Maka bersama adiknya dia lalu berdiri dan bersiap sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.

Boan Sip yang melihat hal ini lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha-ha-ha! Kwee Lo-enghiong agaknya tahu akan kebodohan putra-putranya, karena itu tak mengijinkan anak-anaknya maju, bahkan telah mengumpulkan orang-orang gagah untuk mewakilinya! Cerdik sekali!” Kemudian ia berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”

“Orang she Boan, bila sikapmu tak begini menjemukan dan kesombonganmu tidak begitu besar, siapa yang sudi melayanimu? Akan tetapi engkau sudah lupa akan sopan santun dan tak memandang mata kepada tuan rumah dan para tamunya. Apakah kau kira hanya engkau seorang saja yang mempunyai kepandaian? Orang lain boleh engkau hina, tetapi aku Pek I Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam engkau!”

Memang biar pun Pek I Toanio berwatak pendiam, akan tetapi kalau telah mengeluarkan kata-kata selalu tajam dan berterus terang. Boan Sip sudah pernah mendengar nama ini dan maklum akan kelihaiannya, akan tetapi dia tidak takut.

“Hmm, apakah benar-benar engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.

“Siapa yang sedang main-main padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum mengejek sehingga kemarahan Boan Sip makin meluap.

“Kalau begitu kau mencari penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju menyerang.

Pek I Toanio cepat berkelit dan membalas menyerang sehingga sebentar saja mereka berdua sudah bertempur dengan seru.

Sementara itu, sejak datang dan duduk di kursi terdepan, beberapa kali Cin Hai bertukar pandang dengan Lin Lin dan gadis yang sedang marah itu apa bila terbentur pandangan matanya dengan Cin Hai, lalu tersenyum seakan-akan minta maaf bahwa dia tidak bisa menyambut sebagaimana mestinya karena terganggu oleh para perwira kasar itu.

Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat tempat dia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri mereka.

“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau sudah mendapat kemajuan besar?” tanya Cin Hai dengan manis.

Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk kesopanan dia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar apakah?”

Juga Kwee Sin, Kwee Siang serta Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat dan bertanya kepada anak muda ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan tetapi rata-rata mereka memandang rendah kepada Cin Hai.

“Ahh, aku tidak belajar apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.

Ketika Cin Hai sedang bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur mereka, “Sudahlah, jangan banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat tamu kita bertempur untuk kita, tidak pantas kita hanya mengobrol saja!”

Memang benar ucapan Kwee Tiong ini, oleh karena pada waktu itu pertempuran sedang berlangsung hebat. Boan Sip sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat, juga mantap dan keras sehingga Pek I Toanio harus mengeluarkan segenap kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.

Cin Hai hanya memandang sebentar, akan tetapi ia tidak tertarik melihat pertempuran itu. Sebaliknya ia celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan matanya. Kenapa ia tidak melihat Kwee An? Ia kemudian menowel lengan Kwee Bun dan ketika pemuda ini berpaling, ia bertanya sambil berbisik,

“Di manakah adanya Saudara Kwee An?”

“Dia pergi merantau, sudah empat tahun belum kembali.”

Pada saat Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka dengan pandangan tidak senang sehingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu perhatian Kwee Tiong tidak tertuju sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya, namun sebagian besar tertuju kepada Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu tirinya.

Di dalam pandangan matanya, Ang I Niocu nampak sedemikian cantik dan ayu sehingga sepasang matanya seakan-akan telah ditarik oleh besi sembrani. Ingin sekali Kwee Tiong memperlihatkan kegagahannya dan melawan musuh supaya bisa menarik perhatian dan kekaguman gadis jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin Hai, anak tolol itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis demikian cantiknya!

Pada saat melihat jalannya pertempuran, Ang I Niocu juga merasa terkejut di dalam hati. Baginya, kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi ternyata bahwa orang she Boan itu lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya masih diperhebat dengan ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga gerakannya, sehingga beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah kena dicengkeram!

Diam-diam Ang I Niocu menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai, karena baru seorang lawan saja sudah begini tinggi kepandaiannya, belum lagi yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di situ ada Biauw Suthai yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sampai di manakah tingkat kepandaian kawan-kawan Boan Sip yang duduk dengan muka tenang dan sombong itu?

Ia mengerling ke arah Cin Hai yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang tidak memperhatikan jalannya pertempuran. Pada saat Ang I Niocu memandang kepada Cin Hai, pandangan matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan cepat mengalihkan pandangan matanya dan hatinya merasa tak senang.

Ia tahu bahwa pemuda tinggi tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat betapa Kwee Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka dicegah oleh Kwee In Liang. Mengapa pemuda itu memandangnya begitu macam? Apakah hanya kebetulan saja?

Sekali lagi Ang I Niocu mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap saja ia melihat betapa pemuda itu menatapnya dengan pandangan mata penuh arti! Ang I Niocu merasa sebal dan marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak mau memandang ke arah anak muda itu lagi.

Pertempuran itu benar-benar berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah murid pertama dari Biauw Suthai dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir mewarisi kepandaian gurunya, maka dapat dibayangkan betapa lihainya.

Akan tetapi Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja kepandaiannya sudah cukup tinggi, karena apa bila tidak memiliki kepandaian tinggi, dia yang masih muda tidak akan dapat menduduki pangkat yang besar itu, karena rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu terdiri dari orang-orang yang sudah berusia tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.

Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba saja Boan Sip merubah gerakannya dan kini dia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan goloknya menyambar-nyambar ke arah kaki lawan!

Ilmu gerakan ini benar-benar berbahaya dan cepat, dan ke mana saja Pek I Toanio loncat menghindar, selalu Boan Sip dengan amat cepat lantas mengejar sambil bergulingan dan melancarkan serangan berbahaya. Ia tak hanya bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan pula!

Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tak berdaya melancarkan serangan balasan. Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan dan serangan nekad.

Sambil berseru nyaring Pek I Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering Tertiup Angin! Dia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan dia membabat dengan pedangnya dari samping. Karena serangannya ini hampir menempel pada lantai, maka tak mungkin tertangkis dengan perisai.

Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti lakunya seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang didudukinya dan melemparkan bangku itu dengan sambaran cepat ke arah mereka yang sedang bertempur sambil bergulingan!

Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran sekali melihat perbuatan pemuda ini. Sementara itu, ketika Cin Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah pedangnya kena ditangkis, kemudian bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya.

Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang bergulingan pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari tangan Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan goloknya.

Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,

“Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku tadi?”

Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”

Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!”

Mendengar ini, semua orang tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih begini bodoh, pikirnya!

Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang telah membuka punggungnya pada saat dia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman?

Bahkan Ang I Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek I Toanio sehingga Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin Hai.

Sekali lagi Boan Sip berseru, “Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani mengganggu,” katanya dengan lagak sombong.

Sementara itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.

Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil membentak, “Orang she Boan, jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, namun tidak perlu engkau memusuhi dan menantangnya. Kalau engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”

Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini barusan mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa ketiga orang adiknya. Melihat gerakan mereka itu, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa,

“Ha-ha-ha-ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”

Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng.

Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan menggerakkan goloknya menangkis. Sekali tangkis saja, dua dari empat batang pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan.

Baiknya perwira muda ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang dia rindukan, maka dia tidak memiliki niat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda serta memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampaknya saja hebat mengerikan karena goloknya menyambar-nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.

Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai berlari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta sambil berseru berkali-kali,

“Jangan membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakak-kakakku!”

Mendapat serangan kacau balau itu, Boan Sip terkejut dan cepat melihat penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.

“Orang tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya.

Dia kemudian menggunakan goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip.

Gerakan silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan yang menggila ini benar-benar membingungkan dan sebelum dia dapat menyerang, sebuah kaki dari pada bangku yang diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya.

“Bukk!” terdengar suara karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.

Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol itu. Akan tetapi karena dalam ketololannya pemuda itu berani membela keempat pemuda Kwee, walau pun mereka mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.....

Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada Kwee Tiong beserta adik-adiknya, “Engko Tiong, kau ajaklah adik-adikmu mundur, biar aku tahan babi hutan yang mengamuk ini!”

Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar hendak membela keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang sangat lihai. Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan!

Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Pada saat bangku itu menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu mampu menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat putus.

Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu. Ketika kaki bangku itu terbabat putus, ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip!

“Plokk!”

Terdengar suara dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu lantas menjadi merah kulitnya dan terasa pedas sekali!

Kejadian ini terlihat jelas oleh semua orang sehingga kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata walau pun bodoh dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang ‘hok-khi’ (beruntung) maka secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!

Pada waktu itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah peristiwa lain yang menimbulkan tertawa geli. Kiranya dua orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dengan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka jadi begitu gembira sehingga sambil tertawa terkekeh-kekeh mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang mereka. Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang langgang!

Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka!

Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya karena bekas bacokan golok.

“Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin Hai memaki dengan suara mengejek.

Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa kalau dia nanti membunuh anak muda tolol yang tidak bersenjata ini dengan goloknya, maka dia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Lagi pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh ini lebih mudah menggunakah tangan kosong. Karena itu dia segera membanting golok dan perisainya di atas lantai sehingga mengeluarkan suara berkerontangan, kemudian sambil mendelikkan mata ia memaki,

“Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik batang lehermu!”

“Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.

Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela kakak-kakaknya!

Juga Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu memiliki seorang keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pandangan tajam dan pengalaman luas dapat pula dikelabui oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan sehingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang tolol akan tetapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak mengeluarkan suara saking terperanjat dan kuatirnya.

Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua tangannya dan ia lantas membetot. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai terus mempertahankan.

“Uhh… uhhh…” mulut Cin Hai mengeluarkan suara seolah-olah dia sedang mengerahkan seluruh tenaganya.

Demikianlah, keduanya saling membetot dan mempertahankan, sedikit pun tak ada yang mau mengalah! Bangku itu sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot ke kiri sehingga seakan-akan kedua orang itu sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah!

Yang merasa sangat gembira adalah para penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu!

Pada saat itu mereka merasa seolah-olah sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik bangku sebagai gantinya tambang yang biasa dipergunakan untuk mengadu tenaga bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak,

“Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu...”

Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira, “Hayo... lebih keras lagi... tarik...!”

Akan tetapi apa bila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran, “Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”

Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga. Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya.

Tiba-tiba saja Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya sehingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip demikian kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.

Orang-orang tertawa geli dan bersorak-sorai. Akan tetapi pada saat itu pula Lin Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu.

Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetot tubuhnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai sehingga dia menguatirkan keselamatan pemuda ini.

Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah dan ia pun berdiri dengan terhuyung-huyung. Karena terlalu banyak menghabiskan tenaga dan tiba-tiba saja bangku dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat luka dalam yang hebat juga!

Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan cepat mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.

Lin Lin dan Ang I Niocu kembali lagi ke tempat duduk masing-masing, ada pun Cin Hai dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ie-nya, yaitu di bagian para tamu wanita. Pada saat Biauw Suthai memandang pemuda itu, teringatlah wanita gagah ini. Dia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.

“Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.

“Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”

“Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.

“Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, lalu ketiga kalinya di dalam Goa Tengkorak, dan ke empat kalinya... sekarang ini!”

Biauw Suthai tertawa senang. “Ahh, benar... pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian yang besar!”

Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, benar-benar kau gagah berani!”

Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.

Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.

“Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.

Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam arena. Dengan tertawa dingin dia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Dia memandang ke sekeliling dan berkata kepada Kwee In Liang,

“Kwee-ciangkun...”

“Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong. Perwira kate itu tertawa,

“Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.

“Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio boleh dianggap berakhir dengan seri karena datangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang kuharap kau suka maju, atau boleh juga kau mengajukan pemuda bodoh setengah gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak bodoh itu tidak berani!”

“Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!”

Terdengar orang-orang tertawa keras karena merasa geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.

“Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat padamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka hitam?” Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu. Akan tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih jauh.

Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?”

Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tak berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung. Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi.

Semua orang memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia kini sedang menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main dan segera menjura dengan hormat.

“Tuan rumah sudah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”

Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan sajak,

Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau hendak bertanya nama?
Lihat pakaian dan pedang.
Dan cari sendiri siapa namaku!

Perwira itu lalu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Kemudian ia pun berkata dengan kaget, “Ahh, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?”

Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetapi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya!

“Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi. Dan tentang hubungan dengan keluarga Kwee yang kau tanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tidak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik maka aku diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”

“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku kurang hormat. Pertempuran ini tidak dapat dilanjutkan!” Si Muka Hitam berkata. “Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song tak akan mau melayaninya!”

Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tidak berdaya dan ia tidak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula sesudah berkata, “Kalau begitu, masih kuharapkan agar lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini, Tan-ciangkun!”

Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.

“Hei, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau serta kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh dia keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!”

Bukan main hebatnya hinaan ini sehingga Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi pada saat itu pula dari luar berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian bagai seorang sasterawan telah berdiri di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan berkata,

“Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap menghadapimu!”

“An-ji...!” Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng.

Akan tetapi karena pada waktu itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya memandang dengan girang dan juga kuatir. Apa lagi Kwee An hanya mempunyai kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat!

Cin Hai dengan jelas bisa melihat bahwa ketika masuk tadi Kwee Ang telah menggunakan Ilmu Loncat Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan sudah mempunyai ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal ini sehingga mereka menjadi girang.

Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Meski pun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil berteriak-teriak “Kwee An... Kwee An...”

Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri gembira melihat Cin Hai. “Cin Hai, engkau juga datang?” Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.

Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,

“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”

Akan tetapi dengan suara keras ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!” Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya.

Semua orang tertawa mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tidak akan menyangka, karena memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti halnya Hek-see-jiu atau Ang-see-jiu, sebab orang yang memiliki ilmu ini, tangannya hitam atau merah.

Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang dicampurkan obat-obat kuat dan digosok-gosokkan pada seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan mempunyai tenaga luar biasa!

Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai. Dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An sudah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan itu.

Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biar pun kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga dia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka Hitam ini!

Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Dia segera mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat membawa maut.

Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari pada lawannya, maka ia menggunakan ginkang-nya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor burung kepinis!

Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka itu seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan segera balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah lawan.

Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda ini sebab Tan Song menggunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu pun mengeluarkan seruan tertahan.

Kwee An merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini seakan mengiris kulit dadanya. Namun berkat kegesitannya, dia segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua kakinya menendang ke depan bergantian. Untung saja dia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk maju sambil mengirim serangan ke dua.

Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai sehingga tubuhnya dapat mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih hati-hati.

Sesudah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda serta bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tidak banyak dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.

Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru “Hayo, Kwee An, hantam terus... hantam terus...”

Semua penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua berpihak pada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada Lin Lin!

Ketika mendapat kesempatan baik, yaitu pada saat lawannya terhuyung mundur karena serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena tiba-tiba saja kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu.

Tak ampun lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.

Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu segera datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa bangga sekali akan kepandaian Kwee An.

“Nah, ini baru disebut kepandaian asli,” kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur kau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau benar-benar hebat, An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.

Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh. Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh.

Perwira ini sesungguhnya adalah kakak dari Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi dari pada Tan Boan Sip. Tetapi adatnya pendiam dan tidak sombong.

Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata dengan suaranya yang besar,

“Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, apa bila kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”

Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.

“Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau kini kau maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”

“Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.

Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata, “Biarlah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.”

Muka Kwee In Liang berseri. Dia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka dia cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali.”

Bhok Ki Sun segera bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata,

“Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama pula dengan pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak boleh membantu tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka berkenan mengajukan diri untuk melayanimu.”

Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka dia menjawab, “Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Jika Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”

Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka dia pun memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai.

Keduanya bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak. Akan tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan sama kuatnya, mereka kemudian mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka segera mengeluarkan kecepatan dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran lantas berubah cepat dan hebat.

Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu sangat mengagumkan karena di samping sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat.

Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum terluka dalam pertempuran yang sesungguhnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun lalu meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata,

“Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!” Dia lalu menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama keluarga Kwee.

Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, karena itu sesudah mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.

“Ingin sekali aku merasakan kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.

“Baik, baik. Aku pun sudah melihat permainanmu yang sangat lihai tadi dan ingin sekali untuk mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.

Sesudah saling memberi hormat, maka kedua orang ini segera menggerakkan senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong.

Sinar pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtim-nya yang cukup lihai sehingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.

Akan tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan. Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya sehingga mendatangkan angin berkesiur yang dirasakan oleh semua penonton yang duduk di situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga bisa menggerakkan pakaian dan rambut orang-orang di sekitarnya, apa lagi kalau terkena kemplang toya yang berat dan digerakkan cepat ini!

Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil mempergunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.

Pada saat Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau Chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat laksana kitiran angin, toya Tan Bu sudah mengejar tubuh yang di atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua orang menahan napas.

Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit, ada pun untuk menangkis dia akan kalah tenaga, maka dia segera memperlihatkan kegesitannya. Pada saat ujung toya menyambar ke arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan pada ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan hudtim-nya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu!

Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya sehingga Tan Bu sama sekali tidak menduga, tahu-tahu pundaknya kena terpukul dan tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas hingga kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas!

Pek I Toanio tidak kalah kagetnya. Totokannya tadi sudah mengenai urat di tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tidak pernah terpukul, apa lagi terluka!

Cepat nyonya ini meluncur turun dan dia merasa bahwa melawan terus tidak akan ada gunanya, karena harus dia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu menjura dan berkata,

“Terima kasih atas petunjuk Ciangkun.”

Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan dapat menebus kekalahan Tan Song tadi.

“He, Kwee In Liang, jika kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina.

Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena sesudah kedua jago itu kalah, siapa lagi yang hendak maju?

Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang maju dan berternpur mati-matian, membela nama kita!”

“Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata Biauw Suthai.

Akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri.

“Biarkan aku saja yang maju!” setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, lalu sekali melompat tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu!

Orang tidak melihat bagaimana dia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.

“Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan marilah kau rasakan tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip!

Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata,

“Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang besar, maka betapa beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan kau hiraukan Boan-sute yang memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba kepandaian!”

Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.

“Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa orang yang mempunyai kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan mengacau pesta orang lain.”

“Ang I Niocu, kita sama-sama orang luar dan peduli apa dengan segala urusan remeh? Yang paling penting bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan pengetahuan.”

“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I Niocu lantas membuat gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya sehingga semua penonton bertepuk tangan kagum.

Tan Bu maklum akan kelihaian lawan, karena itu dia segera mendahului dan mengirim serangan kilat dengan toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja menghindarkan diri dari serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang serta dengan tarian indah sekali hingga keduanya merupakan dua orang mahluk yang sangat berbeda.

Para penonton merasa kagum sekali. Seumur hidup mereka belum pernah menyaksikan seorang gadis cantik menghadapi ilmu silat toya yang luar biasa ganas itu dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul!

Tidak hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee An, dan yang lain-lainnya memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang dengan penuh perhatian.

Akan tetapi kegembiraan mereka bercampur dengan kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu benar-benar hebat dan dahsyat. Karena telah tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai, perwira yang kosen ini lalu mengeluarkan ilmu toyanya yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia menghadapi Pek I Toanio tadi.

Oleh karena ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Dia lalu bertempur dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah membalas dengan desakan, hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan mempelajari gerakan lawan.

Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali. Dia yang sudah mempunyai pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah memiliki pandangan tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu itu sebenarnya hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu mempunyai tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka Nona Baju Merah itu tak akan sulit mengalahkan lawannya. Oleh karena itu maka diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.

Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi sering kali mengerling ke arah pemuda yang sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tanpa dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan, “Ehh, Engko Hai, mengapa kau keluarkan sulingmu pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil tersenyum geli.

Cin Hai juga tersenyum, namun jawabannya menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat terheran itu ketika mendengar Cin Hai berkata,

“Aku meniup suling untuk mengiringi tarian Niocu.”

Sebelum Lin Lin dapat bertanya lebih lanjut, Cin Hai sudah meniup suling maka tiba-tiba terdengarlah tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang menjadi heran sekali, ada pun Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Dia anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Dia melangkah maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling.

Akan tetapi Lin Lin memandang pada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata, “Engko Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu dia!”

Kwee Tiong merasa dongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali dengan membawa kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih terus menyuling dengan asyiknya.

Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai semakin keras, nyaring dan meninggi, terdengar seruan-seruan orang menyatakan rasa terkejut dan kagum. Ketika Kwee Tiong memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena ternyata tubuh Ang I Niocu sudah lenyap dan kini gadis itu berubah menjadi bayang-bayang merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali!

Lin Lin memandang kagum dan diam-diam dia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal keindahan itu. Juga Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Dia tahu bahwa suara suling itu sangat tepat mengiringi semua gerakan Ang I Niocu sehingga seakan-akan suara suling itulah yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian luar biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi sesungguhnya berkepandaian tinggi!

Memang sebetulnya Ang I Niocu ketika tadi melayani lawannya dengan gerakan hati-hati sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya.

Suara suling itu baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik sehingga rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya seakan bernyala-nyala. Ia lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah.

Alangkah terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya halus dan lemah gemulai serta hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya melakukan serangan yang hebat, dan dia merasa betapa sinar pedang lawan ini mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa sehingga toya ini merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya!

Suara suling yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah gerakan pedang Ang I Niocu sehingga pada suatu saat terdengar suara kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah terobek ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka kulit saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.

“Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong kosong belaka!” Tan Bu memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di mana dia lalu membalut lukanya setelah memberi obat.

Sesudah menyimpan kembali pedangnya, dengan senyum lebar Ang I Niocu lalu kembali ke tempat duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan ucapan terima kasih.

“Niocu tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai tertawa-tawa.

“Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi,” Ang I Niocu menjawab sambil memandang wajah Cin Hai dengan senyum mesra.

Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua dia heran sekali mengapa dada kirinya merasa tidak enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin Hai dan betapa akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi dia pun heran sekali mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji atau anak Hai! Sebenarnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Dia belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.

Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda, segera maju perwira ke empat sambil mengangkat dada dan berkata,

“Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu sudah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan apa bila di antara keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani orang-orang luar yang ingin membela Kwee-enghiong!”

Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi karena sebetulnya dia merupakan saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari Shantung yang kesemuanya kini menjadi perwira-perwira kelas tertinggi di kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain mempunyai tenaga ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang mengagumkan.

Di kota raja Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira lain, sehingga beleh dibilang bahwa dia menjadi seorang di antara guru-guru para perwira di kota raja. Oleh karena ini, maka dapatlah dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada yang lain-lain.

Ada pun Ma Ing, perwira ke lima yang menjadi suheng-nya, adalah orang ke empat dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian Ma Ing ini masih lebih tinggi dari pada kepandaian Un Kong Sian. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan, dan sebaliknya Ma Ing terkenal mempunyai ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang yang amat hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.

Mendengar betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak sanggup lagi menahan sabarnya dan dia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,

“Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan tenang.

Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil tertawa,

“Anak muda, walau pun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai, akan tetapi kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku.”

Un Kong Sian adalah seorang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan kasar, karena itu kata-katanya sering kali menyakiti hati orang. Kali ini pun ucapannya tentu saja membuat Kwee An menjadi merah telinganya. Dia dipandang ringan sekali, maka sambil tersenyum ia pun menjawab,

“Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tidak berharga ini memang telah kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, jika engkau memang memiliki kepandaian tinggi, keluarkan saja kepandaianmu itu, hendak kulihat bagaimana hebatnya!”

“Ha-ha-ha! Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau terluka, jangan salahkan aku!”

Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lantas melempar jubah luarnya dan tampaklah kedua lengan tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa besarnya.

“Nah, majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian. “Biarlah kini engkau berkenalan dengan kepandaian Un Kong Sian!”

Mendengar nama ini diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan, oleh karena ia telah kenal nama ini sebagai saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi. Diam-diam dia menguatirkan keadaan Kwee An dan tak terasa lagi dia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh dari tempatnya,

“Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau carilah akal agar Kwee-kongcu suka mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!”

Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin Hai dan menganggap bahwa pemuda itu benar-benar bodoh, adalah Biauw Suthai yang hanya memiliki sebuah mata saja segera bisa mengetahui bahwa Cin Hai adalah seorang pemuda yang banyak akalnya, maka sekarang dia minta kepada pemuda itu untuk dapat mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian.....

Sesudah mendengar ucapan Biauw Suthai, tiba-tiba Cin Hai berlari-lari sambil memegang sulingnya ke arah arena pertempuran dan pada saat itu Un Kong Sian dan Kwee An telah saling berhadapan dan hampir bergebrak.

“Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah tindakan gagah berani, tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!” kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja yang memiliki kelicinan dan kecurangan seperti itu!”

Co Cho yang dimaksudkan oleh Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin sehingga banyak orang membenci dan menghinanya, walau pun Co Cho adalah seorang yang terlalu cerdik.

Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang dia merasa benci dan mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang dengan mata dipelototkan.

“Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?” bentaknya. “Lekas engkau menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”

“Memang kau licin, lebih licin dari pada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An memandang kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.

“Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong Sian.

“Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An, namun kami semua belum melihat tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu. Apa bila kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An yang gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba mencari penyakit!”

Semua orang yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti maksud Cin Hai.

”Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru dengan baik lagi!”

Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, kemudian berkata, “Nah, kau bisa tidak meniru kepandaianku tadi?”

Semua orang tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, ada pun Un Kong Sian marah sekali sampai membanting-banting kaki.

“Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau kau memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau menirunya.”

“Ha-ha-ha-ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba keluarkan senjatamu!”

Meski pun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu sebuah toya yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.

“Nah, ini senjataku, kau mau apa?” bentaknya.

“Aku akan memainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata Cin Hai dengan gagah.

Dengan sikap dibuat-buat ia lalu menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka bahwa Cin Hai setolol ini.

“Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!” kata Kwee Tiong dengan mendongkol sekali.

Tetapi Cin Hai lalu memutar toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara mengaung yang sangat hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan mengembalikannya kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung itu.

“Nah, kau tirulah perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!”

Kembali semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat saja sudah hampir tidak kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia memutar toyanya, dengan khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga menerbitkan suara mengaung.

Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat sehingga mendatangkan angin keras, akan tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara mengiuk saja.

“Aha, ternyata engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak mampu memutar toyamu sampai mengeluarkan angin mengaung!”

“Bangsat tolol!” Un Kong Sian marah sekali, lalu ia pergunakan tenaganya menancapkan toyanya yang berat itu pada lantai, dan toya itu menancap sampai setengahnya di lantai yang keras itu! “Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya ini, barulah dia berharga untuk melayani aku!”

Kwee An terkejut sekali melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh Cin Hai.

“Aha, engkau sungguh hebat, Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!” Thio Whie adalah seorang tokoh yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok. “Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang dapat menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia ini!”

“Cin Hai, engkau mundurlah. Walau pun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih akan mencoba minta pengajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena anak muda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan rasa jeri terhadap lawannya.

“Nah, segera mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah dari pada engkau yang hanya pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.

“Eh, ehh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya inilah yang hendak engkau layani.”

“Akan kucoba untuk mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju.

Cin Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu hatinya dan dia pun percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan peringatan Biauw Suthai dan tahu pula betapa berbahayanya bagi Kwee An menghadapi orang she Un ini, oleh karena orang she Un ini mempunyai muka yang membayangkan kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka kalau mereka bertempur, banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh!

Dia lalu melangkah maju dan berkata, “Nanti dulu! Aku tadi sudah berkali-kali dihinanya, biarkan aku mencoba dahulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk ini?”

Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong Sian segera melangkah mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan tangan bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan kata tercabut, toya itu bergoyang pun tidak. Semua orang yang menonton tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat.

Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.

Dia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong Sian. “Tenagamu benar-benar hebat. Aku tidak kuat mencabut!” katanya sambil terengah-engah.

Kwee An merasa malu bukan main melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia hendak mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia lantas melangkah maju dan membetot toya itu. Alangkah herannya ketika dia mampu membetot keluar toya itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.

Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap luar biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tidak mungkin pemuda itu mempunyai tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa dan sama sekali tidak menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya dengan penuh kecurigaan.

Mendadak Un Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak mencabut keluar toyaku, akan tetapi dia telah mematahkannya! Tentu saja hal ini tidak aneh.”

Kwee An tercengang lagi. Dia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi benar saja, ketika dia memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini. Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya bertempur melawan Un Kong Sian?

“Betul, betul!” kata Cin Hai dengan suara keras. “Ujung toya itu telah patah. Jelas bahwa Kwee An tidak dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas melayanimu. Ada orang lain yang lebih tepat menghajarmu.”

Bukan main marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia? Suruh maju lekas!” bentaknya.

“Sabarlah orang she Un. Kalau kau mencari lawan, pinni bersedia untuk melayanimu!” Dan tahu-tahu Biauw Suthai sudah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi dari situ.

“Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An yang penasaran dan curiga kepadanya.

Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan mengerikan telah berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan bertanya,

“Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?”

“Orang-orang memanggilku Biauw Suthai.”

Diam-diam hati Un Kong Sian berdebar karena dia sudah pernah mendengar nama besar Biauw Suthai, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa jeri.

“Kebetulan sekali. Sudah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin sekali merasakan kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?”

“Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain senjata.”

“Bagus, kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!”

Tanpa banyak cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.

Dalam hal ilmu silat Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman pertempuran yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan tandingannya. Gerakan pukulan dua orang ini mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga Cin Hai tidak berani berjenaka lagi oleh karena dia maklum betapa kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat sekali.

Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu sudah dapat memukul dua kali pada pundak dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian demikian hebat hingga perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena dia maklum bahwa meski pun di luar tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi pukulan Biauw Suthai yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan luka di sebelah dalam.

Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat kenekatan orang yang sudah terang mendapat luka, maka dia lalu menyerang semakin hebat. Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian.


Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian mengarah leher Biauw Suthai dengan hebatnya.

Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai memiringkan tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong Sian meleset dan hanya mengenai pundaknya. Akan tetapi pukulan dua orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur.

Biauw Suthai dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat. Ada pun Un Kong Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian dia roboh sambil memuntahkan darah.

Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin cepat-cepat meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat duduknya. Tokouw ini lantas mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada Un Kong Sian.

Akan tetapi pemberian obat itu ternyata ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan obatnya sendiri bagi sute-nya. Kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah maju ke kalangan.

“Sekarang di pihak kami hanya tersisa aku seorang. Hayo kau keluarkanlah jago-jagomu, Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!”

Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Dia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini sangat tinggi dan kini setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang dapat diharapkan bantuannya untuk menghadapi Ma Ing?

Ma Ing agaknya tahu pula bahwa pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago, karena itu dengan sombongnya dia berkata,

“Kalau di pihak tuan rumah tak ada jago yang berani menghadapi aku seorang diri, boleh kamu semua maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing seorang diri pun cukup untuk melayani kamu sekeluarga!”

Biar pun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi mendengar ucapan sombong ini, sambil berseru keras mereka cepat meloncat maju berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi!

Ma Ing mengeluarkan suara menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan serta kakinya menendang dan dalam beberapa gebrakan saja keempat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan dan tendangan!

“Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing menyindir.

Sikap dan kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang ini tanpa berjanji terlebih dahulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan pedang di tangan mereka berdua menyerang Ma Ing!

Ma Ing cepat mencabut pedangnya dan ketiga orang ini segera bertempur. Menghadapi keroyokan Kwee An dan Ang I Niocu yang mempunyai kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani main-main dan melayani dengan sengit, dan dalam waktu sebentar saja dia sudah dapat mendesak kedua anak muda!

Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal melihat betapa Cin Hai memandangnya sambil tersenyum dan betapa pemuda itu dengan enaknya duduk memegang-megang sulingnya! Orang lain lagi sibuk melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.

“Kenapa kau tertawa?” tegurnya.

“Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak saja dapat merampas pedang kalian berempat!” jawab Cin Hai.

Kwee Tiong marah sekali dan apa bila ia tidak ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia sudah mengirim kepalannya ke arah Cin Hai.

“Kau sendiri orang tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu. Coba kau lihat Kwee An, dia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”

“Tiong-ko, jangan kau menghina orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai. “Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?”

Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik, apakah kau juga ingin melayani orang she Ma itu?”

Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tak dapat segera mengerti maksud kata-kata Cin Hai ini.

“Ahh, sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang memiliki kepandaian amat tinggi masih terdesak olehnya, apa lagi aku! Aku melihat kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah guruku!”

Cin Hai bangun dari duduknya. “Lin-moi, kau siapkan pedangmu dan marilah kau kuantar melawan orang she Ma itu. Kalau kau tidak mampu merobohkannya jangan kau panggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya ini disertai senyum mesra kepada gadis yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin benarkah kau tidak percaya kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.

“Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!”

Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.

“Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah, biar aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!”

Mendengar kata-kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali mendengar bahwa pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.

“Hai-ji, dia lihai sekali, jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.

“Lin Lin, dia bukan lawanmu!” kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.

Akan tetapi, baik Cin Hai mau pun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini. Lin Lin lalu mencabut pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang sulingnya.

“Ehh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”

“Ha-ha-ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, sekali ini aku tidak mau mengampuni kau pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing tak akan gentar.”

“Nah, kau bersiaplah!” kata Cin Hai.

Dia segera menggerakkan sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.

“Kau bersenjata suling? Ha-ha-ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda. Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain senjata tajam.”

“Tidak usah, orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja, untuk apa menggunakan senjata tajam?”

Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala karena menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai.

“Kwee-kongcu, kau tenanglah sebab sekarang Ma Ing betul-betul akan kehilangan muka!”

Kwee Tiong heran sekali mendengar kata-kata ini. Akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini dia tidak berani banyak cakap.

“Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini mencari matinya sendiri. Aku tak akan mengganggu Kwee-siocia, akan tetapi kalau hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku Ma Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya.

Benar saja, dia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada kiri pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena sudah terbayang di depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang.

Akan tetapi Cin Hai juga menjerit, “Ayaaaa...!“

Sambil menggunakan gerakan Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan gerakan canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai berkata,

“Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!”

Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, dia sudah merasa khawatir sekali dan cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing hendak menangkis, akan tetapi mendadak Cin Hai meniru gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu.

Terpaksa Ma Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang. Akan tetapi tiba-tiba suling yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama benar dengan gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu.

Ma Ing terkejut sekali karena meski pun suling itu hanya terbuat dari pada bambu, akan tetapi tangannya merasa sakit sekali. Dia cepat memutar pedangnya dan menyerang Cin Hai dengan serangan kilat. Akan tetapi, tiba-tiba ia memandang dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya sendiri.

Semua orang yang menonton menjadi terheran-heran. Mereka menganggap bahwa Cin Hai hanya meniru-niru gerakan Ma Ing saja. Akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat mempercayai matanya karena semua gerakan Cin Hai bahkan lebih sempurna dari pada gerakannya sendiri. Maka dia cepat meloncat mundur dan berseru.

“Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan dari mana kau dapat memainkan Pek-coa Kiam-hoat?” Pek-coa Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang tadi dimainkan oleh Ma Ing tadi.

Cin Hai pura-pura memandang heran. “Orang she Ma, kenapa kau masih bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu pedang ini darimu sendiri!”

“Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru marah,

“Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?”

Jawaban Cin Hai ini memang sebenarnya saja, oleh karena ilmu silat apa pun juga kalau digunakan untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.

“Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Apa bila kau memang laki-laki, jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.

Cin Hai memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini ternyata takut kepada pedangmu, biarlah aku yang melayaninya sendiri!”

“Tapi, Hai-ko...,” kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.

Tiba-tiba saja Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya tersenyum. “Tidak percaya kau kepadaku?”

Gadis itu tidak menjawab, dia lalu mengangsurkan pedangnya. “Kau pakailah pedangku, Hai-ko!”

“Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja. Jika memang perlu, aku sendiri pun sudah mempunyai sebatang pedang.”

Lin Lin mengundurkan diri, tetapi ia berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing lantas mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang itu lalu berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah Cin Hai.

“Bagus!” Cin Hai berseru.

Dia lalu mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan sulingnya diputar cepat hingga pada saat ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang aneh dan lucu.

Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya lihai sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton lebih jelas!

Sebaliknya, Kwee Tiong serta adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi dari pada kebisaanku.”

Ma Ing merasa pusing sekali karena dia tidak berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangan kata mendesak, menyerang pun sulit baginya, sebab pemuda itu secara aneh sekali telah mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat dilakukan.

Tiap kali apa bila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahului serangannya dengan tusukan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga serangan-serangannya itu selalu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh sekali. Dan yang lebih gila, tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.

Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam ilmu Pedang Pek-coa Kiam-hoat, karena itu tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi ia kecele, karena pemuda itu pun telah mengenal baik ilmu pedang ini dan dapat melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna!

Ia mengubah-ubah terus ilmu silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini dia benar-benar tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan sedikit pun tidak berbeda. Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam pula.

Ma Ing merasa seolah-olah ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam cermin. Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena sudah beberapa kali suling itu berhasil memukulnya secara perlahan, baik di kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Meski pun pukulan ini perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih adalah perasaan di dalam hatinya.

“Orang she Ma, sudah beberapa kali engkau kukemplang dengan sulingku, masih belum mau kalahkah engkau?” Cin Hai bertanya dengan ejekannya.

Adapun sorak-sorai penonton semakin riuh sebab sungguh-sungguh mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian sedemikian tingginya sehingga berhasil mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai kini benar-benar kagum sekali dan menyatakan kekagumannya itu dengan kata-kata sehingga terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.

“Tidak heran bahwa ia demikian lihainya, karena ia adalah murid tunggal dari Bu Pun Su Susiok-couw!”

Mendengar ini, terkejutlah Biauw Suthai dan tokouw ini mengangguk-angguk maklum.

Mendengar ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah dan menyerang dengan nekad. Tiba-tiba Cin Hai lalu berkata, “Ahhh, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah engkau lelah sendiri, aku hendak mengaso!” Sesudah berkata demikian Cin Hai lalu duduk bersila di tengah kalangan itu sambil meramkan mata seperti orang bersemedhi!

Semua orang merasa heran sekali sehingga mereka memandang dengan mata terbelalak tanpa pernah berkejap karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak menghadapi lawannya dengan duduk bersila sambil meramkan mata!

Juga Ma Ing merasa ragu-ragu. Akan tetapi karena dia telah merasa lelah sekali apa lagi hatinya terasa sakit dan mendongkol karena telah dipermainkan, dia menjadi mata gelap. Dengan mengertak gigi, dia lalu membacok ke arah kepala Cin Hai yang sedang duduk bersila sambil meramkan mata itu.

Kwee An bergerak hendak melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh Biauw Suthai, dan Ang I Niocu yang sudah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin Lin sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai digerakkan dan suling itu tidak menangkis pedang yang menyambar kepalanya, bahkan mendahului gerakan Ma Ing!

Terpaksa Ma Ing menahan gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah pundak Cin Hai. Akan tetapi, dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak saja pemuda itu telah berhasil mengelit bacokan itu sambil berkata perlahan,

“Ah, Ma-ciangkun, engkau telah mendapat luka dalam, masih belum insyafkah engkau?”

Ma Ing kaget sekali dan cepat menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam dadanya terasa panas dan yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang merasa mual dan hendak muntah.

“Rabalah iga kirimu dan engkau akan tahu!” kata Cin Hai lagi.

Seperti dalam mimpi Ma Ing lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan terkejutlah dia karena iganya terasa sakit sekali dan ketika dia merobek bajunya, ternyata di iga itu terdapat sebintik tanda merah sebesar jempol kaki! Ia maklum bahwa ia telah kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil berkata,

“Sungguh mataku bagaikan buta sehingga tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang menjulang di depan mata. Sicu lihai sekali, jadi aku merasa takluk. Tidak tahu siapakah sebenarnya Sicu ini, dan murid siapakah?”

Cin Hai lalu mempergunakan kepandaiannya sehingga dalam keadaan bersila, tahu-tahu tubuhnya dapat mumbul ke atas. Inilah demonstrasi tenaga ginkang yang jarang dipunyai oleh sembarang tokoh persilatan. Setelah berada di udara, Cin Hai melepaskan kaki dan berdiri. Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata sambil tersenyum,

“Ma-ciangkun, siauwte bukanlah orang yang bernama besar. Siauwte bernama Cin Hai, she Sie dan orang memberi julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”

Orang-orang tertawa dan memuji, menyatakan heran dan kagum karena meski pun telah memiliki kepandaian sehebat itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi sombong bahkan merendahkan diri serta bersikap ketolol-tololan.

“Kau sangat pandai menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhu-mu yang mulia?” tanya Ma Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak berani bersikap sombong.

“Suhu-ku lebih bodoh lagi dari padaku, dia tak memiliki kepandaian apa-apa.”

Ma Ing menjadi pucat mendengar ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bu Pun Su yang berarti tidak punya kepandaian! Dia lalu menjura lagi dan berkata “Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain kali apa bila ada jodoh kita bertemu kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.

Sesudah kelima orang perwira itu pergi, semua orang lalu merubung dan memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih Lin Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya ke arah ayahnya.

“Ayah, coba lihat Engko Hai ini! Semenjak pertama bertemu aku telah menduga bahwa ia memiliki kepandaian hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.

Kwee In Liang hanya mengangguk-angguk dan dengan suara terharu ia berkata, “Terima kasih, Hai-ji. Kau telah menyelamatkan kami sekeluarga.”

Loan Nio memeluk keponakannya dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada waktu itu dari luar terdengar seruan-seruan kaget dan tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa. Suara ini menyeramkan sekali.

Cin Hai juga merasa kaget sekali karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari pelukan bibinya dan melompat keluar. Ternyata di sana sudah berdiri Hek Moko dan Pek Moko yang tertawa bagaikan dua orang gila!

“Ha-ha-ha! Anak muda, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau ternyata telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita main-main sebentar!”

“Ji-wi Locianpwe,” Cin Hai berkata dengan sabar dan suara sungguh-sungguh. “Kita tidak pernah bermusuhan, untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan menimbulkan buah tertawaan orang belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar berpengaruh, tidak seperti tadi ketika dia mempermainkan para perwira itu. Lin Lin dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di kanan-kirinya.

“Anak muda, tak perlu banyak cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah berhutang kepada kami dan sekarang engkaulah yang harus membayar!” Setelah berkata demikian, mereka berdua mencabut keluar pedang mereka yang mengerikan itu dan juga mereka mengeluarkan senjata tasbeh lalu menyerang dengan hebat ke arah Cin Hai!

Terpaksa Cin Hai mencabut pedang pemberian suhu-nya dahulu, yaitu Liong-coan-kiam, dan dia lalu menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan lawannya itu! Tiga orang ini lalu bertempur dengan hebat dan sebentar saja mereka bertiga lenyap dari pandangan mata dan hanya nampak debu mengepul dan tiga bayangan pedang bercampur menjadi satu!

Melihat pertempuran yang luar biasa hebatnya ini, baik Lin Lin mau pun Ang I Niocu tidak berdaya untuk membantu karena kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu, tidak hanya sangat berbahaya bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai, bahkan mungkin akan mengacaukan pertahanannya.

Ang I Niocu mengerling ke arah Lin Lin. Ia melihat betapa gadis muda ini meremas-remas kedua tangannya dan dengan wajah pucat serta sepasang mata basah dengan air mata memandang ke arah bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu!

Ang I Niocu merasa betapa hatinya tiba-tiba saja menjadi perih seperti tertusuk pedang. Ia maklum bahwa gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai! Keperihan hati ini membuat ia menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu dan kini gulungan sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.

“Niocu, kau mundur!” Terdengar seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali.

Tiba-tiba bayangan merah itu terlempar pada waktu pedangnya beradu dengan tasbeh Pek Moko, hampir saja dia mendapat celaka.

Sesudah bertempur agak lama lagi, tiba-tiba saja terdengar teriakan ngeri dan tahu-tahu gulungan sinar pedang Hek Moko dan Pek Moko sudah mengendur dan tiba-tiba kedua iblis itu sambil berteriak-teriak kesakitan lari dari situ! Cin Hai berdiri dengan wajah pucat dan pedang di tangan kanannya bergetar karena tangan yang memegang itu menggigil!

Ang I Niocu memburu, akan tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini memeluk tubuh Cin Hai yang berdiri bagaikan patung itu sambil berseru berkali-kali,

“Engko Hai... Engko... Hai... kau kenapakah?”

Cin Hai memandang Lin Lin dengan tersenyum, lalu mengerling ke arah Ang I Niocu yang juga sudah mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan dan jatuh pingsan! Untunglah Lin Lin cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu segera memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke dalam rumah.

Para tamu dan tuan rumah menjadi panik dan bingung. Cin Hai sudah mendapat luka di dalam tubuh karena pukulan tasbeh Hek Moko, namun di ujung pedang Liong-coan-kiam juga terdapat tanda-tanda darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun telah berhasil melukai kedua lawannya yang tangguh!

Kwee In Liang lalu minta maaf kepada semua tamunya dan para tamu lalu bubaran dan tiada habis-habisnya mereka membicarakan mengenai Pendekar Bodoh yang luar biasa dan lihai itu! Di dalam perjamuan itu mereka benar-benar telah disuguhi pertunjukan silat yang luar biasa hebatnya…..

********************

Cin Hai dibaringkan di dalam kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis di dekatnya, sedangkan Ang I Niocu juga berdiri di situ dengan wajah pucat. Biauw Suthai yang pandai akan ilmu pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai sudah kena pukul tasbeh di pundak kanannya hingga menderita luka dalam yang hebat juga.

“Tidak perlu kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka ini, tentu akan melayang jiwanya. Akan tetapi anak muda ini betul-betul telah mendapat latihan sinkang yang tinggi sehingga luka ini takakan membahayakan jiwanya.”

Dia segera mengeluarkan tiga belas butir pil putih dan memberikan pil itu kepada Lin Lin. “Berikan pil ini sehari tiga butir dan bila mana semua pil telah ditelan habis tentu ia akan sembuh kembali!”

Lin Lin cepat menerima pil itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur mengambil air panas, lalu dengan kedua tangannya sendiri memasukkan pil itu ke dalam mulut Cin Hai dan memberi pemuda itu minum air. Dengan sangat mesra gadis ini lalu menggunakan sapu tangannya untuk menyusut peluh yang berkumpul pada jidat Cin Hai.

Melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini merasa heran dan memandang muka bibinya dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan padanya, ia lalu menjadi insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan karena jengah dan malu!

Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena dia hendak bertanya kepada Dara Baju Merah ini tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya. Akan tetapi ketika dia memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi! Dia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya kepada kakaknya ini barang kali melihat Ang I Niocu.

“Dia telah pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang. Agaknya ia sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barang kali ia cemburu, karena tidak melihatkah engkau betapa mesra dan akrab hubungan antara dia dengan Cin Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin.

Akan tetapi gadis ini dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,

“Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita sendiri dan dia dengan gagah berani telah berhasil membela nama baik kita. Apakah tidak pantas kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka cemberut gadis ini pergi meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.

Biauw Suthai bersama Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh dia mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu dia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.

Benar seperti kata-kata Biauw Suthai, sesudah diberi makan obat pil itu, pada keesokan harinya Cin Hai siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan menjaganya selama itu. Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam hatinya terhadap Lin Lin semakin mendalam dan berakar.

Bibinya juga sering kali datang menengok, sedangkan pamannya biar pun tiap hari paling sedikit satu kali datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang sama sekali tak pernah datang menengok.

Hanya Kwee An yang sering datang. Setiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya dan minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.

Pada hari yang ke tiga Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang rumah yang mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I Niocu dan berpikir dengan heran kenapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu dia hanya merasa menyesal mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia masih pingsan.

Akan tetapi dia tidak kecewa. Dia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan ie-ie-nya dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap. Dia tidak tahu bahwa dahulu dia hidup sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang dia telah berada di rumah Loan Nio, bibinya yang sangat cinta kepadanya itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut hatinya dengan diam-diam.

Pada waktu dia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya, “Engko Hai... Engko Hai...”

Cin Hai tersenyum. Dia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan dia lalu duduk di bawah sebatang pohon di dalam taman itu. Akhirnya suara panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi tidak tega. Dia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”

Lin Lin berlari-lari menghampiri. Wajah gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan tetapi mulutnya cemberut.

“Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan malah bersembunyi di sini? Kukira engkau...”

“Kau kira apa?”

“Kukira engkau sudah pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.

“Kalau aku pergi, kenapakah?”

“Bila engkau pergi, aku... ahh... ahh, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan memberikan itu kepada Cin Hai.

Cin Hai menerima pil itu sambil memandang wajah Lin Lin yang berada di dekatnya. “Lin Lin... kenapakah engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai terdengar menggetar penuh perasaan.

Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cin Hai, dia lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.

“Engkau jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai...,” katanya berbisik.

Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kau pandanglah aku dan jawablah pertanyaanku tadi!”

Akan tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di dada. “Aku... tidak berani, Hai-ko.”

“Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah...”

Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang terpegang, akan tetapi tidak dapat. “Sudahlah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa malu sekali. Telanlah piI itu!”

Tetapi Cin Hai tetap tidak melepas tangan gadis itu. “Jawab dulu pertanyaanku…”

Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai lepaskan tanganku dan telanlah pil itu!” katanya memohon.

“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”

“Engkau nakal sekali, Engko Hai!”

“Jawablah dulu!”

Dengan tersenyum kemalu-maluan serta matanya yang indah mengerling tajam, Lin Lin pun mengangguk!

Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini hidup ini berarti bagiku. Alangkah indahnya dunia ini. Lihatlah semua pohon-pohon itu menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”

“Ahh, pohon itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.

“Dan daun-daun itu melambai-lambai pada kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena hendak turut menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh-sungguh membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku... aku cinta kepadamu...”

“Sudahlah, kau telan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tetapi hatinya berdebar-debar karena gembira dan bahagia.

“Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut wajahmu menjadi makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”

“Kau... kau memang nakal!” Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda itu.

Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan sulingnya.

“Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”

Cin Hai segera meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya yang mencinta di dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam suara suling itu, dia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai kepadanya.....

Sesudah Cin Hai selesai meniup sulingnya, dengan mata basah Lin Lin berkata, “Terima kasih, Hai-ko, aku telah mendengar suara hatimu. Memang engkau semenjak dulu sangat baik padaku. Ingatkah kau betapa dulu kau mati-matian melawan Guruku untuk membela aku? Ahh, aku tidak dapat melupakan semua kejadian itu!”

Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.

“Ha, kau mengingatkanku akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan yang berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan bandel bukan main!” Cin Hai tertawa dan matanya memandang penuh menggoda.

Lin Lin cemberut. “Dan kau... kau... ahh, lucu sekali...”

“Aku kenapa...?” Cin Hai menuntut.

“Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan nakal...” Lin Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari.

Cin Hai mengejarnya sambil berkata, “Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!”

Lin Lin berlari memutari pohon dan tanaman kembang, Cin Hai mengejar dan mereka pun berkejar-kejaran bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia.

Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang. Dengan wajah tak senang dia berkata, “Lin Lin Ayah memanggilmu!”

Tanpa menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin memperlihatkan wajah kecewa.

Akan tetapi Cin Hai berkata, “Pergilah, Lin-moi! Tentu ada suatu hal penting maka Ie-thio memanggilmu.”

Lin Lin kemudian masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang kembali duduk melamun dengan penuh kebahagiaan.

Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin melihat ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram. Begitu melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur,

“Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”

Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah, Ayah?”

“Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”

Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.

“Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita sendiri dan bukankah ia juga seorang pemuda yang baik dan gagah serta telah menolong kita?” jawabnya dengan berani.

“Betul, akan tetapi kau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan dia seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”

“Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai adalah seorang pemuda baik dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan dia!”

Memang semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya sehingga ia berani bersikap bandel terhadap ayah ini.

“Lin Lin,” Kwee In Liang menghela napas. “Di dalam hal ini engkau harus taat kepadaku. Engkau sudah cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang melamarmu. Engkau harus memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan lagi kau bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”

“Ayah!” Gadis itu berseru.

“Diam!! Engkau harus menurut, atau... apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?!”

Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!

“Ayah, kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke kamarnya, di mana ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.

Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia memeluk tubuh gadis itu dan berbisik mesra,

“Lin Lin, aku sudah tahu akan kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka kepada Cin Hai? Jawabnya terus terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”

Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air mata. Dia lalu memandang kepada Loan Nio dengan mata terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai, karena itu pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini lantas membuatnya bingung dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.

“Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah! Jika kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku akan bicara dengan Ayahmu.”

Lin Lin diam saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!

“Sudahlah, tenangkan hatimu dan kau serahkan saja persoalan ini padaku.” Dan setelah menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.

Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan sabar menunggu hasil dari pada pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya. Maka, setelah menanti sebentar, lalu dia mempergunakan kepandaiannya melompat keluar dari jendela kamarnya, kemudian dengan hati-hati sekali dia mengintai di atas genteng dan mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan Loan Nio!

Pada saat itu Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk memasuki kamarnya. Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas genteng.

Alangkah herannya ketika dia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai pula, maka secara diam-diam ia cepat menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian lain. Ia tak perlu mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk mendengarkan.

“Tidak, tidak! Sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara marah. “Memang ia seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih mantu harus melihat keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apakah kau pikir aku harus berbesan dengan seorang pemberontak?”

“Tetapi ayahnya sudah meninggal dunia dan tidak perlu lagi kiranya kita membawa-bawa namanya!” terdengar Loan Nio membantah.

“Hemm, harimau mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya! Dan nama apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu? Nama busuk pula!”

“Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia adalah seorang anak yang baik. Juga mereka berdua telah saling mencintai!”

“Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau bisa tahu?”

“Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”

“Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus menjadi mantu keluarga Gan di See-tok, dan habis perkara!”

Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas genteng terdapat dua orang yang pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas.

Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, akan tetapi bukan akibat sedih, hanya sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya yang dahulu, yang telah dapat dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan ie-ie-nya dan terutama dengan Lin Lin, kini timbul kembali.

Ayahnya sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang telah menjadi tanah itu masih direndahkan!

Timbul keangkuhan serta kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja dia tidak ingat kepada Lin Lin, tentu dia sudah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang yang berani merendahkan ayahnya!

Dengan hati sangat terluka Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke kamarnya, mengambil semua pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi, ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di atas genteng sambil menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar sambil berseru,

“Hai-ko... kau hendak ke mana...?”

Mendengar suara panggilan Lin Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi dia malah mempercepat larinya!

Akan tetapi, karena serangan batin yang amat hebat itu dan karena nafsu marahnya yang menggelora, maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali dan tiba-tiba saja ia merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan rasa sakit ini dan terus berlari cepat, sedangkan Lin Lin tetap mengejar sambil berteriak-teriak dan menangis.

“Engko Hai... tunggu...! Engko Hai...!”

Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tidak kuat lagi. Hari mulai gelap dan kebetulan sekali dia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Dia lalu membelok ke sana dan seorang hwesio tua menyambutnya.

“Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar padaku. Aku sedang terluka dan tolong kau cegah siapa saja yang memasuki kamarku.”

Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat sebuah pembaringan bambu sederhana. Cin Hai kemudian menutup kamar itu dan duduk di atas pembaringan, lalu bersemedhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.

Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat, juga karena sakit di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini girang sekali ketika melihat bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua tadi.

“Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”

Hwesio itu dengan muka sabar berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi sudah berpesan bahwa siapa pun tidak boleh bertemu dengan dia.”

Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku harus bicara dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras sekali.

“Tidak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” hwesio tadi berkata dengan masih sabar.

Kata-kata ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata, “Kalau memang tidak mau bertemu, biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”

Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar Cin Hai.

“Engko Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar kamar.

Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora hatinya yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi hatinya berbisik, “Ayahnya telah menghina Ayahku!”

Maka ia lalu menjawab dari dalam, “Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”

Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar memiliki hubungan dengan orang di dalam kamar.

“Hai-ko, jangan kau samakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara memohon.

“Sudahlah Lin-moi, kau pulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali jika tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang diri. Kau lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingatlah, aku seorang keturunan pemberontak hina!”

“Engko Hai...!”

Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat dia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Dia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat sedang rebah di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!

“Engko Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.

Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang sangat tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.

“Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis...,” katanya dengan penuh kasih sayang.

Lin Lin menyusut kering air matanya, dan di antara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan bagus itu, ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.

“Apa bila kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai.”

Cin Hai merasa terharu sekali. “Adikku, percayalah, selama hayat di kandung badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa.”

Lin Lin memandang dengan sayu. “Hai-ko... kau maafkanlah kata-kata Ayahku tadi. Dia memang kejam... ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau... atau... aku akan minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”

Cin Hai tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin Lin. Tidak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri.”

“Habis, bagaimanakah baiknya, Hai-ko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”

“Puterinya begini keras hati dan kukuh, kenapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menanti sampai dia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”

“Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”

Cin Hai menghela napas. “Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar supaya kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang kembali”

Lin Lin mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”

“Aku akan pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan tentang orang tuaku.”

“Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”

“Tentu saja, Lin-moi, kau kira aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?”

Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan. “Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!”

Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu benar-benar akan kembali. Akan tetapi, belum berapa lama gadis itu pergi, tiba-tiba saja ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai.

“Celaka, Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi lalu menangis dengan sedih.

Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin.

“Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”

Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,

“Celaka, Hai-ko! Rumah sudah kedatangan musuh. Perwira-perwira jahanam itu kembali datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”

Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai cepat menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu. Dia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka segera menuju ke rumah keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.

Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, dengan pedang di tangan Kwee Tiong langsung menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali melayangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.

“Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau main gila di luar, tidak tahu di rumah ditimpa mala petaka! Aku akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!”

Pemuda yang sudah kalap ini lalu menubruk maju. Akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya sehingga dia lantas roboh dengan lemas, tak dapat berkutik mau pun berteriak lagi.

“Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin dia lalu lari memasuki rumah.

Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat sepasang kaki Cin Hai terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Pada sudut masih nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!

Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan. Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata sudah tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Demikian juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena biar pun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh lebih kuat dari pada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali.

Cin Hai tidak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Dia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantunya. Kemudian ia segera menolong Kwee An dan Kwee In Liang.

Sesudah menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.

Kwee An kemudian dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah pundaknya diurut oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya.

Untuk beberapa saat kedua matanya memandang sayu seakan-akan tak dapat mengenal keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya semakin terang sehingga dia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu dia menggerak-gerakkan bibirnya.

Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.

“Lin Lin kau jaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan sakit hati ini... jangan kau kawini Lin Lin sebelum kau balaskan sakit hati ini”

Cin Hai serta Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.

“Cin Hai... kau berjanjilah…,” suara orang tua itu makin lemah.

“Aku berjanji, Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena dia merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalaskan sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.

“Aku… aku puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu... kalau telah berhasil kau sungguh-sungguh mantuku yang sangat baik…,” setelah berkata demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir.

Lin Lin menubruk jenazah ayahnya, tetapi akhirnya gadis ini jatuh pingsan! Setelah sadar, dia menangis dengan amat sedihnya sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri sebab merasa menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!

“Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah. Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Apa bila engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?”

Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu dibebaskan dari totokan, dan dengan kata-kata tajam Cin Hai dapat mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang hebat itu.

Pada saat Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dahulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lainnya yang menjadi anggota dari Shantung Ngo-hiap, yaitu orang pertama dan ke dua, ada pun yang ke tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!

Kedatangan mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka yang lalu. Akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee!

Tentu saja Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An yang dengan gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat melukai beberapa orang perwira. Akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, sehingga pada akhirnya semua kena dirobohkan!

Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang. Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu lalu cepat-cepat melarikan diri dan bersembunyi sehingga dia terhindar dari pada kebinasaan!

Mendengar penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela serta mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu.

“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau persalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah, sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti bila mana Kwee An sudah sadar, kita dapat mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.

Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam, akhirnya Kwee Tiong tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.

Sesudah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dahulu mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari Shantung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”

“Hmm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kau tenangkanlah hatimu, Saudaraku. Besok aku segera berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha untuk membasmi delapan orang bangsat kejam itu!”

“Jangan, Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.

“Kenapa?”

“Kau kira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!”

Cin Hai tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan menunggu sampai kau sembuh dan kita akan pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh pulas.

Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas kemudian berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit hati itu.

Dan dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari Lin Lin beserta Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada luka-luka yang dideritanya. Sesudah melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.

Pada saat mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut membalas dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan Cin Hai yang sangat dicintainya dan dia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di dalam ruang belakang, Cin Hai berkata,

“Lin Lin, kau sendiri tahu alangkah pentingnya perjalanan yang akan kulakukan bersama Kwee An ini. Bukan saja penting akan tetapi amat berbahaya, maka biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya.”

Lin Lin menyemberutkan mulutnya, “Justru karena penting dan berbahaya ini maka aku harus ikut Engko Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya karenanya? Dan kalau memang ada bahaya, apa kau kira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau tahu bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu berdua. Biarkan aku ikut, Engko Hai!”

Cin Hai menjadi serba salah. Dia memang harus membenarkan pendapat gadis ini, akan tetapi kepandaian gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam itu. Kalau saja gadis ini dibiarkan ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah beban saja, karena dia harus melindungi Lin Lin yang dia cinta.

“Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku? Engkau mendengar sendiri pesan terakhir dari Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat menjadi... suamimu!”

Akan tetapi dengan sikap membandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil membanting-banting kaki dan berkata, “Tidak... tidak... aku mau ikut...!”

Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan menyentuh pundaknya,

“Sudahlah, jangan engkau marah. Biar kita merundingkan dahulu dengan kakakmu serta Gurumu, karena aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merudingkan persoalan ini.”

Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio yang sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.

“Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut pergi, sebab kepandaianmu masih belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini. Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”

“Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!” Lin Lin menjawab sambil berdiri dengan kedua tangan dikepalkan dan kedua mata bernyala penuh semangat.

Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. “Aku percaya penuh akan ketabahanmu,” berkata Biauw Suthai, “akan tetapi ketahuilah, bukan soal takut atau berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja engkau tak akan membantu, justru akan menambah beban pada Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu.”

“Menambah beban?” kata Lin Lin penasaran “Teecu tak minta digendong, teecu sanggup berjalan sendiri, dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu asal teecu boleh ikut.”

“Lin Lin, engkau sungguh bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku, akan tetapi apa bila terjadi pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang harus melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah kau akan senang apa bila pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena kau memaksa ikut?”

Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab lagi, hanya mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya. Akhirnya dia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan keinginannya.

Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong yang mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee An. Mereka berdua tahu ke mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota raja! Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja sambil mempergunakan kepandaian mereka berlari cepat.

Pada saat Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw Suthai menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I Toanio,

“Anak itu kecewa akibat ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara sudah tertancap di hatinya, dan selain itu, dia pun merasa bersedih karena merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Sekarang kau pergilah, hiburlah hatinya dan katakan bahwa kita akan tinggal di sini untuk sementara waktu dan menemaninya.”

Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat tidurnya dan tubuhnya bergoyang-goyang oleh karena menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan yang amat mencintai sumoi-nya ini lalu memeluk pundaknya dan berkata menghibur,

“Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini lemah.”

Lin Lin bangun dan duduk di dekat suci-nya, “Suci aku tidak sedih karena tidak boleh ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tak bisa ikut adalah kedangkalan ilmu silatku.”

“Sumoi, kalau memang begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak memperdalam ilmu silatmu? Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini menemanimu untuk sementara waktu.”

Mendadak wajah gadis yang muram itu berubah terang dan dia tersenyum! Pek I Toanio menjadi geli melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja menangis sekarang sudah tersenyum.

Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan dia sendiri lalu mengatur dua buah kamar di dalam rumah yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih giat sekali karena dia berpikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang berilmu tinggi, dia juga harus mempertinggi kepandaiannya!

Pada suatu sore dia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang berdiri memandang gerakan-gerakannya. Sesudah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.

“Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?”

“Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur tingginya, muridku. Ia telah mewarisi kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar biasa. Biar pun anak muda itu tidak memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya dia sudah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu.”

“Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”

Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira sekali. “Muridku, kepandaian manusia tak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu dia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang luar biasa seperti Bu Pun Su.”

“Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin bertanya.

“Dia? Ah, kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian Sie-taihiap adalah satu cabang. Ketahuilah, kalau aku tak salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah susiok-couw-nya. Dalam hal ilmu silat, walau pun Ang I Niocu memiliki gerakan yang indah dan lebih matang, akan tetapi dia masih kalah setingkat oleh Sie-taihiap.”

“Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah melawan dia,” entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah dan sengit karena perasaan cemburu telah menyerang hatinya.

Gurunya heran mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi bisa mendengar suara tindakan kaki yang sangat ringan di belakang mereka. Ketika nenek ini mengerling, ternyata Ang I Niocu sudah berada di belakang mereka, bersembunyi di balik sebatang pohon.

“Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat kembali betapa dia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu itu.”

“Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak terhadap orang lain. Lagi pula, bukankah dia telah membantu pihakmu dalam pertempuran dulu itu?” kata Biauw Suthai yang hatinya merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.

“Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena sesungguhnya teecu juga tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena dia... kawan baik Engko Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, jika dia tidak sombong, kenapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia menjadi kawan baik Engko Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan meninggalkannya pergi?”

“Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tak jauh dari kita!” kata Biauw Suthai, lalu nenek ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan duduk!”

Ang I Niocu keluar dari belakang pohon dan Lin Lin cepat berdiri lalu memandang kepada Dara Baju Merah itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran bukan main ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu sangat pucat dan dari kedua mata yang bagus itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.

Akan tetapi, pada waktu pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu mengeluarkan senyum sedih. “Adikku yang baik, semua kata-katamu benar belaka. Aku memang seorang yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan baik dan kawan senasib belaka...”

Dara Baju Merah itu memejamkan mata seakan-akan sedang menahan rasa sakit yang menyerang dadanya, lantas dia berkata lagi, sekarang suaranya terdengar tegas, “Akan tetapi dalam hal kepandaian silat, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk dapat mengimbangi kepandaianku, apa lagi jika hendak menyamai ilmu kepandaian Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku, bukan? Nah, agar kau puas marilah kita main-main sebentar!”

Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun dia tidak menjadi jeri. Dia lalu menarik keluar sebilah belati pendek yang menjadi senjata ampuhnya. Biauw Suthai hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan menjura,

“Suthai, aku bukan anak kecil lagi, tak perlu Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud menambah pengertiannya dan kepandaian Adik ini.”

Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas lega. Dia hanya menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata. “Lin Lin, jangan kau berlaku kurang ajar kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!”

Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin, “Nah, kau maju dan seranglah, Adikku yang baik, dan jangan kau berlaku sungkan-sungkan lagi.”

Lin Lin adalah seorang gadis yang masih sangat muda dan belum mempunyai banyak pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah, karena itu ketika mendengar ucapan Ang I Niocu, dia merasa bahwa dia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi dia lalu menyerang dengan belatinya.

Ang I Niocu mengelak cepat dan keduanya lantas bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada gerakan pedang. Lagi pula, gadis ini sudah mendapat didikan ilmu silat semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti bahwa gadis ini telah mempunyai kepandaian yang lumayan dan tak mudah dikalahkan oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan sekali dan gerakannya gesit laksana seekor burung walet.

Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga telah memiliki pengalaman lebih luas dari pada Lin Lin. Juga, jika Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya dengan tenang.

Nona Baju Merah ini lalu memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari Bidadari yang indah dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan secara lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin yang semakin bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat.

Ang I Niocu sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri dari pada menyerang. Ia biarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis atau mengelak sehingga ia hanya sedikit mengeluarkan tenaga, ada pun Lin Lin seperti seekor naga yang muda dan ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!

Lama juga mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar sedang Ang I Niocu mengelak dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin yang menjadi kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar galak, ada pun Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang.

Rambut Ang I Niocu yang diikat dengan sapu tangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar mengikuti gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir dua menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.

Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu dengan mata kagum. Karena asyiknya ia menonton, tak terasa lagi kadang-kadang Biauw Suthai menggerak-gerakkan tangannya seakan-akan dia sendiri yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu. Kalau Lin Lin melakukan kesalahan dalam gerakannya, ia menjadi kecewa lantas membanting-banting kakinya, sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik dalam sebuah serangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan lidahnya. Orang tua ini benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat pertempuran itu.

Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai di mana kepandaian gadis itu. Karena itu, setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba dia merubah gerakannya dan kini melancarkan serangan-serangan hebat sehingga pedangnya berkelebat amat cepat dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung akibat cepatnya gerakan tubuhnya. Lin Lin terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau menyerang terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,

“Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga.”

Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu tidak berniat buruk. Maka buru-buru ia menyimpan belatinya dan menghampiri Ang I Niocu.

“Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi petunjuk.”

Ang I Niocu pada saat mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos dari Lin Lin, timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, “Adik Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian Hai-ji.”

Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, dia bertanya, “Adik Lin Lin, kenapa wajahmu nampak amat murung? Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik saja bukan?”

Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang sudah menimpa keluarga Kwee, oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak hatinya sehingga membuat ia angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya.

Telah dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia gagal. Makin dilupa, justru ia makin teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak dapat menahan hatinya lagi. Dia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan dia menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat dia kembali ke kampung itu dan dengan diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara Lin Lin dan Biauw Suthai.

Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin Lin segera memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi ketika dia memandang ke arah Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat padanya hingga ia hanya mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di dadanya.

“Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik-baik.” Ia lalu menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh Biauw Suthai.

Kwee Tong dan Pek I Toanio menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan matanya tidak ada bedanya bagaikan seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan dan dia melayani tamunya dengan hormat dan bermuka-muka. Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan sifat pemuda macam Kwee Tiong ini, tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini tidak ada.

Sesudah mendengar penuturan Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga Kwee, wajah Ang I Niocu menjadi merah karena ia merasa marah sekali.

“Jahanam benar perwira-perwira itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu turut campur dalam segala macam urusan busuk. Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka bumi!” Sambil mengepal-ngepal tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya. “Dan bagaimana dengan luka kakakmu? Di mana adanya dia dan di mana Hai-ji?” tanyanya kepada Lin Lin.

“Mereka telah pergi lima hari yang lalu untuk mencari musuh-musuh kami itu kemudian membalas dendam!”

Ang I Niocu mengangguk. “Dan kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut pergi?”

Pertanyaan ini mengandung dua maksud. Pertama-tama sebab ia memang merasa heran kenapa Lin Lin tidak mau ikut membalaskan sakit hati kedua orang tuanya. Kedua kalinya karena ia hendak memancing dan menyelidiki sampai di mana hubungan antara gadis ini dengan Cin Hai.....

Mendengar pertanyaan ini, mendadak Lin Lin menjadi marah dan cemberut. “Inilah yang menyesalkan hatiku! Mereka itu tidak mau membawaku serta! Sungguh menggemaskan!”

Pek I Toanio turut bicara dan membela Cin Hai, “Sie-taihiap tidak mau membawa Sumoi oleh karena memang apa bila Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam itu akan lebih sukar lagi.”

“Kepandaian Lin Lin belum cukup tinggi menempuh bahaya besar itu,” kata Biauw Suthai dengan sabar.

“Dan lagi, kalau Lin Lin pergi, aku akan ditinggal seorang diri di rumah, bagaimana kalau penjahat-penjahat itu datang kembali?” kata Kwee Tiong yang tidak sadar bahwa ucapan ini menunjukkan sifatnya yang pengecut.

Ang I Niocu tersenyum memandang Lin Lin. “Kau benar, Adikku. Tidak ada bahaya bagi seorang anak yang hendak membalaskan sakit hati orang tuanya.”

Lin Lin memandangnya dengan rasa berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini membela dan membenarkannya. Pada waktu ia hendak menyatakan kemenangannya kepada guru dan suci-nya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw Suthai telah berkata pula,

“Akan tetapi betapa pun juga, kau harus tunduk kepada nasehat Gurumu.”

Ucapan ini membuat Lin Lin menunduk dan tak jadi membuka mulut. Akan tetapi di dalam hati ia merasa tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat dia kemudian membujuk-bujuk supaya wanita itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain ikut membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan setuju.

Lin Lin gembira sekali dan dia menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena dia tidak mau berpisah dengan nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya saja.

Dan pada keesokan harinya, ternyata Lin Lin sudah pergi dari rumah itu bersama Ang I Niocu. Gadis ini dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk membawanya pergi menyusul Cin Hai. Biauw Suthai hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata kepada Pek I Toanio,

“Muridku, biar pun keselamatan Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena dia pergi bersama Ang I Niocu, akan tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik kita juga pergi mencari mereka itu untuk membantu apa bila mereka berada dalam bahaya.”

Keduanya segera berpamit kepada Kwee Tiong yang menjadi amat kecewa dan khawatir. “Kalau Lin Lin pergi dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi apa-apa di rumah ini, aku harus berbuat apa?”

Pek I Toanio mendongkol sekali melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka katanya dengan ketus, “Kongcu, mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya? Adik-adikmu pergi dengan nekad mencari musuh, akan tetapi engkau yang ditinggal di rumah seorang diri saja merasa takut.”

Akan tetapi Biauw Suthai yang tidak mau berbicara banyak dengan pemuda ini berkata, “Kwee-kongcu, jika engkau merasa takut, kau pergi saja kepada Suhu-mu dan tinggal di rumah kuil.” Kemudian guru bersama murid ini meninggalkan Kwee Tiong tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk banyak membantah.

Kwee Tiong lalu menutup pintu rumahnya, menghentikan semua pelayan yang membantu rumah keluarga Kwee dan dia pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong, di mana dia kemudian berlutut sambil menangis dan menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.

Tong Gak Hosiang hanya dapat menghela napas. Dia lalu menasehati muridnya untuk berdiam saja untuk sementara waktu di kelenteng itu…..

********************

Sesudah melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti, akhirnya Cin Hai dan Kwee An tiba di kota raja. Di sepanjang perjalanan, dua anak muda ini saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Kwee An merasa kagum sekali akan hasil yang diperoleh Cin Hai, anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu dihina orang itu. Ia makin suka kepada Cin Hai dan selama perjalanan tiada hentinya ia minta petujuk-petunjuk dan nasehat-nasehat tentang persilatan.

Hanya dengan melihat permainan silat Kwee An saja, Cin Hai dapat melihat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya sehingga ia dapat memberikan petunjuk yang benar-benar sangat berguna bagi Kwee An dan berdasarkan petunjuk ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.

Di kota raja mereka berdua mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama kaum perwira Sayap Garuda adalah sebuah bangunan besar merupakan benteng yang disebut Eng-hiong-koan atau Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani sekali Cin Hai dan Kwee An pada keesokan harinya, pagi-pagi sudah mengunjungi Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin menemui para perwira Sayap Garuda.

“Kami adalah kenalan-kenalan baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira, terutama lima orang Shantung Ngo-hiap.”

“Sayang sekali bahwa sekarang ini semua perwira sedang mengadakan pertemuan besar sehingga kurasa tak sempat menjumpai kalian berdua,” jawab penjaga itu.

“Pertemuan apakah?” tanya Cin Hai.

“Di dalam gedung sedang diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak diangkat menjadi kepala perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar,” jawab penjaga itu.

Akan tetapi penjaga kedua yang tidak suka melihat kawannya mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu berkata, “Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja. Pendeknya pada saat ini tak seorang pun boleh memasuki Eng-hiong-koan.”

Kwee An dan Cin Hai merasa dongkol sekali. Mereka saling pandang dan saling memberi tanda dengan kejapan mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir berbarengan mereka mengulurkan tangan menotok kedua penjaga itu yang segera roboh dengan tubuh lemas karena jalan darah mereka sudah tertotok oleh Cin Hai dan Kwee An!

Dengan tenang dua pemuda gagah ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke ruang belakang di mana terdengar suara orang bersorak dan tanpa jeri sedikit pun mereka lalu melangkah masuk dari sebuah pintu yang besar dan tinggi.

Ternyata ruangan belakang itu amat luas dan di tengah ruang itu sudah terdapat sebuah panggung karena memang ruang ini adalah ruang berlatih silat atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga puluh orang perwira duduk mengitari panggung itu, ada pun di kepala panggung duduk seorang hwesio gundul bertubuh tinggi kurus dan di sebelahnya duduk beberapa orang perwira tua yang kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk di sebelah hwesio itu.

Ketika itu memang sedang diadakan pertandingan adu silat di antara para perwira yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan ini dilakukan atas perintah kaisar sendiri yang minta supaya tiga orang panglima yang berkepandaian tinggi dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam istana. Siapa orangnya yang tidak mau mencoba peruntungannya pada kesempatan ini? Menjadi pengawal pribadi kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan mulia.

Pemilihan ini dilakukan dan diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang sebenarnya adalah hwesio kepala dalam Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di lingkungan istana dan yang biasanya dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala hwesio di kuil kota raja itu, juga hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat pula menjadi penasehat para perwira. Ini kedudukan yang tinggi, karena sebenarnya hwesio ini bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai Kong Hosiang yang sudah terkenal kelihaiannya.

Di bawah pengawasan Beng Kong Hosiang, maka sekarang diadakan pemilihan dan para perwira itu mengadu kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada waktu Cin Hai dan Kwee An memasuki ruangan itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang bergumul di atas panggung dan semua perwira yang menonton bersorak-sorak gembira, juga Beng Kong Hosiang, Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua dan terpandai, menikmati pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya pemuda ini.

Cin Hai berbisik kepada Kwee An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka melalui kepala para perwira kemudian melompat ke atas panggung di mana dua orang perwira itu sedang mengadu kepandaian. Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan Kwee An masing-masing memegang seorang perwira pada lehernya dan melemparkan mereka ke bawah panggung seakan-akan orang melempar ayam saja!

Semua orang terkejut, tidak terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing melihat siapa yang datang mengacau, dia menjadi pucat karena dia telah mengenal Cin Hai yang telah dirasai kelihaiannya itu.

Cin Hai lalu memandang ke sekeliling dan keadaan di sana sunyi senyap karena semua orang masih tercengang melihat peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Siapakah orang yang berani mati mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada saat perwira-perwira sedang mengadakan pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang berada di sana? Mungkin setan pun tak berani mengacau, maka tindakan dua orang pemuda itu sungguh-sungguh membuat mereka tercengang dan terheran!

“Cuwi-ciangkun (para panglima yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan sengaja hendak mengacau bahkan kami sesungguhnya tidak mempunyai urusan apa pun dengan Eng-hiong-koan ini. Akan tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini, terpaksa kami datang juga. Kini kami minta supaya para musuh besar kami itu suka tampil ke muka dan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka yang biadab!”

Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka tercengang melihat ketenangan anak muda itu. Yang tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan angkat pundak.

Melihat keberanian ini, Beng Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh sebab ia memandang rendah sekali pada kedua orang itu. Maka katanya dengan suaranya yang tinggi nyaring,

“Ehh, anak-anak muda yang berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?”

Sekarang Kwee An yang menjawab dengan suaranya yang halus nyaring, “Musuh-musuh kami adalah si pengecut Boan Sip, kedua saudara Tan Song dan Tan Bu, kelima orang kawanan yang disebut Shantung Ngo-hiap Ma Ing, Un Kong Sian serta tiga saudaranya yang lain, dan yang terakhir adalah seorang hwesio keparat bernama Hai Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau berada di tempat ini harap maju untuk menerima kematian!”

Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Betapa beraninya dua pemuda itu. Orang-orang yang namanya mereka sebut adalah perwira-perwira kelas tinggi, malah Ma Ing dan Un Kong Sian mendapat tempat duduk di deretan Beng Kong Hosiang karena mereka itu sudah dianggap perwira-perwira yang tinggi kedudukan dan kepandaiannya, demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan yang kesemuanya berjumlah lima orang dan disebut Shantung Ngo-hiap. Terlebih lagi nama yang terakhir, yakni Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini merupakan sute (adik sepergurunan) dari Beng Kong Hosiang sendiri!

Musuh-musuh besar yang namanya disebutkan tadi semua berada di situ, kecuali Boan Sip dan Hai Kong Hosiang. Biar pun wajah mereka menjadi berubah ketika nama-nama mereka disebut, tapi karena berada di rumah sendiri dan memiliki banyak kawan-kawan, terutama adanya Beng Kong Hosiang di situ membuat mereka tabah dan berani.

Secara otomatis Tan Song dan Tan Bu segera berdiri dan menghampiri kelima saudara Shantung Ngo-hiap yang duduk di dekat Beng Kong Hosiang. Juga lima orang jago dari Shantung itu yakni Ma Ing, Un Kong Sian, dan tiga orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai, lalu berdiri dari kursinya hingga ketujuh orang ini berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.

Sebetulnya nama Shantung Ngo-hiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka ialah seperti berikut: yang pertama Lauw Tek, kedua adalah adiknya Lauw Houw. Dua saudara inilah yang dahulu ikut membasmi keluarga Kwee.

Orang ke tiga adalah seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah satu-satunya orang dari kelima jago dari Shantung yang tak pernah memusuhi keluarga Kwee dahulu. Akan tetapi karena dia juga menjadi anggota Shantung Ngo-hiap, maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan saudara-saudara seperguruannya.

Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima saja yang demikian hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan kepandaian di rumah keluarga Kwee dahulu, maka dapatlah dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!

Demikianlah, kelima Shantung Ngo-hiap itu serta kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah berdiri merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,

“Ehh, dua anjing pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau apa?”

Sambil berkata demikian, dia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam orang lainnya. Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing. Para perwira yang merasa marah sekali melihat kedatangan dua orang muda yang mengacau ini, juga pada bergerak mendekati panggung sehingga Cin Hai dan Kwee Ang seolah-olah hendak dikeroyok oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!

Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum sindir. “Hmm, hmm, tidak kusangka bahwa selain menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha-ha, kalian majulah!” Sambil berkata demikian, tangannya segera bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah berada di tangannya!

Juga Kwee An telah bersiap sedia dan ia mencabut pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan. Mereka sudah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.

Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong Hosiang, “Tahan!”

Dan tahu-tahu hwesio yang tinggi kurus ini sudah berada di atas panggung, mendahului semua perwira. Dia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.

“Apakah kalian tidak malu?” tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju. “Untuk menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar? Janganlah kalian bikin malu kepada pinceng, Cuwi-ciangkun!”

Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai penasehat para perwira dan juga terkenal sebagai seorang yang sangat disegani dan ditakuti karena kepandaiannya yang sangat tinggi. Sekarang tempat itu dikacau oleh dua orang pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali!

Dia sudah melihat gerakan kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan dia maklum bahwa di antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, ada pun pemuda yang ke dua itu tidak berbahaya.

Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka dan hanya berdiri memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam.

Beng Kong Hosiang lalu tertawa. “Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid siapa sehingga berani sekali mengganggu tempat kediaman kami?”

“Aku bernama Sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An,” jawab Cin Hai dengan suara tenang karena dia belum kenal siapa sebetulnya hwesio tua ini. “Kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain, kecuali orang-orang yang namanya sudah disebut tadi. Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut balas!”

“Hemm, mereka itu dibunuh karena mereka sudah memberontak dan berani menghina perwira-perwira kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah hingga berani mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak muda, perbuatan kalian ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menghukum kalian!”

“Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami bersedia menghadapi siapa saja!” berkata Kwee An dengan marah karena dia dapat menduga bahwa hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di kalangan perwira Sayap Garuda.

“Ha-ha-ha! Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak tahu sampai di mana tingginya langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun, marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!”

Beng Kong Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau jika pihaknya disebut curang dan main keroyokan, akan tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan, maka ia sengaja memanggil Lauw Tek, yaitu saudara tertua dari Shantung Ngo-hiap atau perwira berkepandaian tertinggi yang pada waktu itu hadir di situ. Dia maklum bahwa kepandaian Lauw Tek sudah cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An, sedangkan untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya!

Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh, segera melompat ke atas panggung menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,

“Dulu kau masih kuberi ampun sehingga jiwamu tak sampai melayang. Apakah karena itu kau merasa menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?”

Kwee An mengenal orang ini sebagai salah seorang di antara mereka yang menyerbu rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan. Lauw Tek kemudian menggerakkan pedangnya menangkis sambil tersenyum menyindir dan mereka berdua lalu bertempur hebat.

“Ha-ha-ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!” kata Beng Kong Hosiang dan dia mengebut dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah jalan darah kin-hun-hiat di dada Cin Hai.

Sambaran ini hebat dan kuat, akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan tahu-tahu pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini! Hampir saja lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh pedang Liong-coan-kiam.

Hwesio ini terkejut sekali karena ia tak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai, maka tadi dia berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, tetapi ternyata pemuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat mengelak dari serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan bajunya memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri?

Dia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan ujung lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke depan mengarah muka lawan, akan tetapi gerakan ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya adalah secepat kilat ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang yang memegang pedang untuk merampas pedang lawan itu!

Akan tetapi, lagi-lagi ia terkejut bukan main, bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan saja ujung lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang tidak diteruskan, malah kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai cepat menggerakkan lengan tangannya dan pedangnya menyabet ke bawah sehingga tanpa ampun lagi ujung lengan baju itu terbabat putus!

Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia menyangka bahwa dalam satu dua gebrakan saja dia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya, serangannya dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri menderita kerugian karena ujung lengan baju yang merupakan senjata baginya itu sudah terbabat putus!

Dengan muka terheran-heran ia lalu mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang bergagang bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang pacul itu dapal dilipat dua dan oleh karena itu sesudah dilipat menjadi pendek dan dapat diselipkan pada pinggangnya.

Sambil membentak hebat Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan menyerang dengan cepat. Gerakannya aneh sekali laksana seorang petani mencangkul tanah. Akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas dan cepat melompat ke pinggir, lantas balas menyerang dengan pedangnya.

Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan serta kepandaiannya untuk mempertahankan diri terhadap serangan Lauw Tek yang benar-benar lihai itu. Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,

“Ehh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”

Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia menahan senjatanya dan membentak, “Kalau aku benar murid Kim-san-pai, kau mau apakah?”

Lauw Tek tertawa menghina. “Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang Cu untuk mampus di ujung senjataku!” Setelah berkata demikian ia segera mendesak makin hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak hebat.

Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh dari Kim-san-pai. Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An menjadi murid Eng Yang Cu.

Ketika itu, Shantung Ngo-hiap masih tinggal di Shantung dan menjadi jago yang ditakuti karena di samping lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang merantau tiba di Shantung dan mendengar tentang keadaan Shantung Ngo-hiap, lalu sengaja menantang pibu pada mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah panas hingga ia tak tahan mendengar betapa di Shantung ada Shantung Ngo-hiap yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang.

Di dalam pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari Shantung Ngo-hiap akhirnya kena dikalahkan oleh Eng Yang Cu. Akan tetapi secara licik kelima jago Shantung itu lalu mengeroyok sehingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan melarikan diri. Semenjak itu, Shantung Ngo-hiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.

Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat Kim-san-pai yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian Kwee An, ia pun dapat menduga bahwa anak muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia menjadi girang sekali karena sekarang mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini.

Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan tetapi biar pun masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga gerakan pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya.

Pada waktu itu dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara orang berseru, “Lauw Tek, jangan kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau mundurlah!”

Kwee An merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Dia segera mundur dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek.

Eng Yang Cu adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah putih dan pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya ialah pedang panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.

“Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!” Lauw Tek berseru dan menyerang dengan ganas.

Melihat kedatangan musuh lama ini, para saudaranya seketika segera datang menyerbu hingga kini pertempuran lebih hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Melihat betapa pihak lawan mengeroyok, Kwee An tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan pedangnya lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan kedatangan suhu-nya itu.

Sementara itu, dengan ilmu pedang campuran dari Ngo-lian Kiam-hoat, Sianli Kiam-hoat dan Liong-san Kiam-hoat yang pernah dipelajarinya, juga kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tak berdaya. Setiap gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai, sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang campur aduk itu sangat membingungkan hwesio ini. Hanya tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya sehingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.

Ketika melihat kedatangan suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua lawan hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan pedangnya kini disertai tenaga khikang yang luar biasa. Inilah tenaga khikang yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya gempur luar biasa sekali karena seluruh tenaga lweekang, gwakang mau pun ginkang dipersatukan merupakan pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar.

Khikang semacam ini jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang bulat hingga sangat melelahkan tubuh. Ia sendiri akan mendapat celaka oleh karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka kepandaian ini jarang sekali dia keluarkan. Untuk mempergunakan tenaga khikang ini, paling lama dia hanya kuat bersilat sampai tiga puluh jurus saja.

Akan tetapi, akibatnya hebat sekali. Baru saja ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya berhasil menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam keadaan pingsan.

Melihat kehebatan ini, para perwira menjadi kaget sekali. Permainan Shantung Ngo-hiap menjadi kacau balau sehingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek dengan pedangnya. Keadaan menjadi kalut dan semua perwira mencabut senjata hendak mengeroyok. Akan tetapi karena jumlah mereka besar, sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan sendiri.

Cin Hai dan Kwee An yang mengambil keputusan hendak membalas dendam, kemudian sengaja menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggota Shantung Ngo-hiap dan kedua saudara Tan Song dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu musuh-musuh besar muridnya hanya menggerakkan senjata untuk melindungi kedua pemuda itu.

Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu, dan serangan pemuda ini disertai oleh kegemasan yang meluap sehingga dua saudara Tan itu roboh tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni jiwa orang tua ini dan hanya menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung pedang Liong-koan-kiam!

Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu semua telah dapat dirobohkan, tiba-tiba saja Cin Hai melintangkan pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.

“Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak berdosa. Orang-orang yang sudah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanya enam orang yang sudah tewas ini! Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya diberi hajaran saja, demikian pula Beng Kong Hwesio yang sombong hanya diberi hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang jahat itu pun hendak kami basmi dari permukaan bumi!”

Akan tetapi, di antara semua perwira itu, mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia kawan sendiri? Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di tangan, walau pun hati mereka telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang itu!

Karena tidak ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya pergi dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi setelah tak melihat mereka di atas panggung lagi.

Mereka lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan ke istana. Keadaan menjadi kalut bukan main, karena sejak Kanglam Chit-koai mengamuk pada beberapa puluh tahun yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak pernah ada orang yang berani mengganggu mereka.

Tak dinyana bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh seorang tosu tua sudah membuat mereka kocar-kacir, bahkan enam orang perwira telah binasa! Yang lebih hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang belum pernah dikalahkan orang itu, kini juga roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat sekali.

Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia segera memerintahkan barisan pengawal untuk mengejar dan mengepung, tapi ketika itu, Cin Hai dan kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah berhenti di dalam sebuah hutan.

Kwee An lalu memperkenalkan Cin Hai kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum kepada Cin Hai.

“Sie-taihiap, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu betul-betul membuat aku menjadi kagum sekali. Siapakah Suhu-mu yang mulia?”

Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama suhu-nya oleh karena maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tak suka bahkan membenci segala nama besar yang dianggapnya kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu mewakilinya menjawab,

“Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su.”

“Ah!” Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar ini. “Tak heran apa bila kepandaiannya lihai sekali. Pinto pernah mendengar nama besar Suhu-mu biar pun mataku belum mendapat kemuliaan dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe itu. Akan tetapi, sesudah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas.”

Eng Yang Cu lalu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari Shantung Ngo-hiap yang sudah membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.

“Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tidak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena hwesio itu pun cukup lihai sehingga aku tidak mempunyai kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus terang.

“Kwee An, musuh-musuhmu sudah terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang besar itu.”

“Musuh belum terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. “Masih ada dua orang musuh besar yang memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya.”

Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji ini? Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa dalam setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Meski ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat dari pada suheng-nya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”

Kemudian, setelah memberi nasehat dan pesanan kepada muridnya agar supaya berlaku hati-hati dan supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.

“Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto tidak akan tinggal diam dan mencoba untuk melawan mereka,” katanya.

Kwee An merasa terharu atas pembelaan suhu-nya itu dan menghaturkan terima kasih serta selamat berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.

“Suhu-mu itu berhati mulia sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat kepada suhu-nya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhu-nya itu masih berada di Goa Tengkorak?

“Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata dia sudah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”

Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab, “Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar tak akan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para perwira.”

Mereka lalu menunggu sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja pada waktu malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.

“Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Shantung Ngo-hiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, dia agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita mengenai tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak membunuhnya.”

Dengan menggunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan mudah bisa melompati tembok kota di bagian yang tak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu, yakni di dalam sebuah gedung besar yang kuno.

Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda berpakaian biru yang sudah berdiri di sana dengan tangan memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!

“Hmm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya sambil menggerakkan pedang. “Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti kedatangan kalian berdua!”

Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya, namun Kwee An cepat menangkis. Kedua pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa tenaga kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.

“Sobat, tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?”

“Kalian diam-diam memasuki kota raja dan mencari rumah kediaman Ma-ciangkun. Masih hendak bertanya mengapa aku di sini menanti dengan pedang di tanganku? Aku adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kau hadapi dulu anaknya!”

Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya sudah kembali menyerang kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka dia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian.

Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah dari pada kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan tubuh sehingga gerakannya bagaikan seekor naga yang menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!

Juga Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu tapi tak dapat mendesak!

“Sahabat, kita datang bukan dengan maksud buruk!” Kwee An berkata sambil menahan serangan orang. Akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya.

Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng, “Hoa-ji, jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!”

Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya itu mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah kereng.

“Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku, ada keperluan apakah?”

Kwee An membalas hormatnya dan berkata, “Harap Lo-enghiong suka memaafkan kami. Sebetulnya kami berdua tak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua, karena kau tak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, dua musuh besarku yang masih belum terbalas itu.”

Walah Ma Keng In memerah. “Hm, kalian orang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang sebelah mata padaku! Kau kira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri? Meski kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri.”

Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,

“Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku sehingga mentertawakan sikapku yang bodoh?”

“Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi kenapa kau sudi menjadi anggota Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip merupakan orang-orang yang telah melakukan keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau sudah melakukan perbuatan yang adil. Ingatlah bahwa permusuhan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan mereka sebagai anggota Sayap Garuda, akan tetapi ini adalah urusan pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa perlunya mereka bersembunyi dari pada kami? Kalau kau tetap menolak untuk memberi tahukan tempat tinggal mereka, hal itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh kami!”

Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak. Dia makin heran melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga memiliki pandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela napas dan berkata,

“Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan bila ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan padamu tentang kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan menganggap aku sudah merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan tetapi apa bila kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu bersama Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”

Cin Hai segera menjura dan berkata, “Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang benar-benar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan kita bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”

Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.

Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba saja terdengar suara orang menegur dari belakang. Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!

“Eh, ehh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?” Kwee An menegur tidak senang.

“Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab pemuda itu ketus. “Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah utara!”

Kwee An merasa mendongkol dan penasaran. “Kenapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?”

Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata, “Aku akan menunggu di sana!”

Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar