Pendekar Sakti Jilid 06-10
Anak ini menurut saja dan
ketika dia mulai membaca pelajaran itu, dia merasa kepalanya sampai berdenyutan
saking merasa aneh dan terheran-heran! Dulu dia pernah menerima pelajaran
siulian (semedhi) dari Pek-cilan Thio Loan Eng, juga sudah pernah menerima
pelajaran melatih napas, akan tetapi apa yang dia baca di kitab ini benar-benar
luar biasa sekali!
Dulu ketika dia belajar
siulian dari Loan Eng, dia diharuskan duduk dengan sikap tegak, kedua kaki
bersila dengan mata diarahkan kepada ujung hidung sendiri sambil mengatur
pernapasan dan mengosongkan pikiran. Sekarang apa yang dibacanya?
Beraneka macam aturan tentang
semedhi terdapat dalam kitab ini. Ada semedhi dengan berdiri jungkir balik,
yaitu kepala di atas lantai dan kedua kaki diangkat ke atas, ada pula yang
menggantung di atas pohon, dan berbagai macam cara yang aneh-aneh lagi! Dan
latihannya bernapas juga luar biasa anehnya!
Menurut pelajaran yang
diterima dari Loan Eng dulu, menyedot dan mengeluarkan napas harus selambat-lambatnya
dan sepanjang-panjangnya, pada waktu meyedot hawa harus dikumpulkan di dada
sehingga dada mengembung dan perut menipis, kemudian di waktu mengeluarkan
napas, dada harus dikosongkan dan seluruh hawa murni dari dada harus ditarik ke
dalam perut untuk memperkuat tian-tan sehingga dada mengempis dan perut
mengembung. Akan tetapi di dalam Im-yang Bu-tek Cin-keng ini bahkan sebaliknya!
Kwan Cu benar-benar tidak
mengerti. Akan tetapi dasar dia berbakat baik sekali dalam ilmu silat, maka
ketika dia membaca ini, malam harinya ketika Gui Tin telah mendengkur, anak ini
lalu bersemedhi dengan cara yang tadi dibacanya di dalam kitab itu, juga
melatih pernapasan seperti yang dibacanya siang tadi!
Hasilnya bukan main! Kwan Cu
hampir gila karenanya! Jika saja dia tidak memiliki tulang yang baik dan bahan
bersih dalam dirinya, mungkin otaknya sudah menjadi miring. Pada saat dia
bersemedhi menurut kedudukan yang dipelajari dari dalam kitab, yakni dengan
kepalanya yang gundul di atas lantai dan kedua kakinya di atas bersandar
tembok, dia merasa kepalanya berdenyut-denyut karena semua darah mengalir ke
bawah dengan cepat.
Kemudian, pada waktu dia
hendak mengosongkan pikiran serta mengheningkan panca inderanya, beraneka macam
bayangan setan terbayang di depan matanya, dan berbagai macam hal yang
ngeri-ngeri teringat olehnya. Juga latihan pernapasan dengan cara itu membuat
perutnya merasa muak dan dadanya sakit.
Akan tetapi karena dia memang
keras hati, dia melanjutkan latihannya sampai beberapa hari. Terjadilah hal yang
aneh dalam dirinya. Ia merasa ada tenaga saling tarik-menarik di dalam dadanya
dan perjalanan darahnya mengalir sebentar cepat sebentar lambat.
Ketika dia telah melatih
selama sebulan, dia sudah dapat membiasakan diri dengan cara baru ini dan pada
suatu tengah malam, dia mendengar buku-buku tulang pada seluruh tubuhnya
berbunyi keletak-keletuk! Dia tidak tahu bahwa karena latihannya ini, dia sudah
melenyapkan hasil latihannya yang dahulu.
Perasaan tidak enak dan tarik
menarik tenaga di dalam dadanya adalah pertempuran antara tenaga latihan yang
berlawanan. Dan ternyata bahwa cara latihan menurut kitab rahasia itu lebih
kuat sehingga dalam waktu beberapa hari saja tenaga latihan cara baru ini dapat
mengalahkan tenaga latihan yang dahulu!
Karena tiada waktu untuk
melatih diri dengan ilmu silat seperti yang diuraikan di dalam kitab itu, maka
Kwan Cu lalu membaca saja kitab itu seperti orang membaca buku cerita! Akan
tetapi dia membaca tidak sembarang membaca, melainkan menghafal isi kitab itu
sedikit demi sedikit.
Enam bulan telah lewat. Kini
Gui Tin telah menyelesaikan pekerjaannya menterjemahkan ilmu perang dari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng! Terjemahan itu diambil oleh An Lu Shan untuk
dipraktekkan, ada pun kitab aslinya masih berada di dalam kamar, karena Gui Tin
harus menterjemahkan ilmu-ilmu yang lain!
Dan pada petang hari itu
terjadilah hal yang hebat! Baru saja Gui Tin menutup kitab itu setelah mulai
menterjemahkan bagian pertama dari ilmu silat, tiba-tiba terdengar suara gaduh
di luar kamar dan tak lama kemudian pintu kamar itu terbuka lebar.
Seorang laki-laki bertubuh
gemuk dengan baju terbuka di bagian dada sehingga nampak dadanya itu brewok,
juga mukanya penuh brewok, meloncat masuk! Gui Tin dan Kwan Cu melihat betapa
beberapa orang penjaga yang tadinya menjaga di luar pintu kamar itu kini
menggeletak malang melintang dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Laki-laki brewok ini melihat
kitab yang sudah dimasukkan ke dalam peti hitam dan ditaruh di atas meja. Tanpa
banyak cakap, dia melompat ke dekat meja, memegang peti hitam itu dan berpaling
kepada Gui Tin.
"Gui-siucai, inikah kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng yang lagi kau terjemahkan?" tanyanya kepada Gui
Tin dengan suaranya yang parau dan kasar sekali.
Gui Tin mengangguk dengan
wajah pucat. Orang itu menyambar peti dan juga tangan kanannya menyambar Gui
Tin yang terus dikempitnya dan hendak pergi dari situ.
"Jangan kau culik
guruku!"
Mendadak orang itu merasa ada
sambaran keras dari belakang menuju ke arah pundak kanannya! Sambaran ini
merupakan angin pukulan yang hebat, maka dia terkejut sekali. Terpaksa dia
melepaskan tubuh Gui Tin dan mengangkat tangan menangkis.
Ternyata yang menyerang adalah
Kwan Cu! Melihat gurunya hendak dibawa orang, anak ini menjadi nekad dan
memukul ke arah pundak orang itu dengan maksud merampas gurunya. Tidak tahunya
bahwa pukulan itu mengandung tenaga lweekang yang didapat dari melakukan
latihan siulian itu, maka juga hebat sekali datangnya.
Akan tetapi, orang itu lihai
sekali. Dengan keras lengannya menangkis dan tubuh Kwan Cu terpental membentur
tembok!
Orang itu tertawa dan hendak
menyambar tubuh Gui Tin. Akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara
teriakan berkali-kali.
“Tangkap penjahat!”
Orang yang mencuri kitab itu
melompat keluar dan disambut oleh An Lu Shan, An Lu Kui dan Li Kong Hoat-ong
sendiri dan di belakang mereka ini masih terdapat puluhan orang perwira!
Ketika melihat orang brewokan
ini, Li Kong Hoat-ong, An Lu Shan dan An Lu Kui menjadi terkejut sekali.
Sebaliknya si brewok ini hanya tertawa saja menghina, sama sekali tidak merasa
gentar dan bahkan suara ketawanya menyatakan bahwa dia memandang rendah semua
orang itu.
“Ahhh, tidak tahunya
Hek-mo-ong Lo-taihiap yang datang berkunjung,” kata An Lu Shan sambil menjura.
“An-ciangkun, kau seorang
perwira, untuk apakah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Apa lagi Gui-siucai telah
menterjemahkan bagian ilmu perangnya, yang lain-lain kau tak perlu lagi. Oleh
karena itu aku datang untuk mengambilnya, dan sekalian membawa Gui-siucai pergi
bersamaku.”
An Lu Shan tidak berani
membantah dan terlalu banyak berbicara. Dia sudah kenal akan kelihaian
Hek-mo-ong (Raja Iblis Hitam) ini yang di daerah utara namanya hanya sebelah
bawah Pak-lo-sian Siangkoan Hai saja. Akan tetapi, Li Kong Hoat-ong tentu saja
menjadi marah melihat lagak orang.
“Hek-mo-ong, sudah lama aku
mendengar namamu tetapi baru sekarang aku mendapat kehormatan untuk bertemu
muka. Tidak tahunya Hek-mo-ong yang memiliki nama besar itu hanya seorang
sombong yang tidak memandang muka orang lain dan hendak berlaku sewenang-wenang
tanpa kesopanan sedikit pun juga.”
Wajah Hek-mo-ong tak berubah,
akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat ketika dia berpaling
kepada Li Kong Hoat-ong.
“Hemm…” Dia mengeluarkan suara
dari hidung, sikapnya menghina sekali, “Kalau tidak salah kau adalah Li Kong
Hoat-ong, raja yang sudah kehilangan mahkotanya itu? Perlu apa kau mencampuri
urusanku? Kalau memang betul aku kurang sopan dan sombong, habis kau mau
apakah?”
“Hek-mo-ong, kau benar-benar
tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh berbuat sesuka
hatimu, akan tetapi setelah aku berada di sini, apakah kau masih mau banyak
lagak?”
“Li Kong Hoat-ong, apa
kehendakmu?!” suara Hek-mo-ong dahsyat sekali, mengandung ancaman maut.
“Tinggalkan kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng, kalau tidak jangan harap dapat keluar dari sini!” berkata Li
Kong Hoat-ong dan bekas raja yang memiliki kepandaian tinggi ini telah
meloloskan senjatanya, yakni sebatang pedang kerajaan Yu-yan pada tangan kanan
dan sebatang tongkat tanda pangkat di tangan kiri!
An Lu Shan hendak mencegah
akan tetapi dia sudah terlambat, karena telah terdengar suara ketawa ngakak
seperti suara burung goak dari mulut Hek-mo-ong dan terdengar suara keras,
disusul oleh melayangnya daun pintu yang sudah dicabut oleh Hek-mo-ong dan kini
menyambar ke arah Li Kong Hoat-ong!
Li Kong Hoat-ong cepat
menghantam dengan tongkat di tangan kirinya dan terdengarlah suara keras lain.
Daun pintu itu sudah pecah menjadi beberapa potong dan pecahannya menyambar ke kanan
kiri!
An Lu Shan dan An Lu Kui
cepat-cepat mengelak, akan tetapi beberapa orang perwira lain yang kurang cepat
sudah terkena sambaran potongan serta pecahan daun pintu ini sehingga terdengar
jerit mengerikan. Pecahan-pecahan daun pintu itu menembus baju perang bagaikan
pelor-pelor baja dan beberapa orang perwira tewas pada saat itu juga!
Pertempuran segera terjadi
dengan hebatnya. An Lu Shan tak berdaya dan hanya bisa menyuruh para perwira
menjauhkan diri, karena setelah dua orang sakti ini bertanding, siapa yang
dapat dan berani memisahkan mereka? Sekejap saja yang nampak hanyalah
berkelebatnya pedang serta tongkat pada kedua tangan Li Kong Hoat-ong, serta
tubuh Hek-mo-ong yang berubah menjadi sesosok bayangan yang gesit sekali.
Sebentar saja kelihatan betapa
hebatnya kepandaian Hek-mo-ong, karena meski pun dia bertangan kosong, akan
tetapi tongkat dan pedang ini sama sekali tidak dapat mengenai tubuhnya. Tiap
kali kedua tangannya bergerak, menyambar angin pukulan yang dahsyat, yang tidak
saja membuat kedua senjata itu terpental mundur, juga membuat bangunan di situ
seakan-akan tergetar-getar!
Berkat tubuhnya yang kuat,
Kwan Cu yang tadi terlempar akibat tangkisan Hek-mo-ong dan membentur tembok,
tidak mengalami luka hebat dan kini dia telah menolong gurunya bangun. Gui Tin
cepat menyingkir ke tepi karena gentar melihat pertempuran yang amat dahsyat
itu, sebaliknya Kwan Cu malahan menonton dekat-dekat.
Anak ini telah menghafal isi
pelajaran ilmu silat dari kitab yang diperebutkan itu, dan biar pun pengetahuannya
terbatas pada teori saja, namun pengertian ini telah mendatangkan dorongan
sehingga dia mulai memperhatikan gerakan-gerakan kedua tokoh besar ini! Ia
diam-diam merasa gembira sekali bisa menyaksikan pertandingan yang begitu
hebatnya, dan biar pun dia merasa ngeri juga, akan tetapi dia tidak pernah
melepaskan pandang matanya dari kedua orang itu.
Setelah bertempur puluhan
jurus, perlahan-lahan Hek-mo-ong mendesak lawannya. Raja Iblis Hitam ini
mempergunakan pukulan berdasarkan lweekang yang cukup tinggi dan baginya untuk
merobohkan lawan tidak usah mempergunakan tenaga tangan, cukup oleh hawa
pukulannya saja.
Li Kong Hoat-ong maklum akan
kehebatan lawan, maka dia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
mengimbangi permainan lawan. Akan tetapi sia-sia saja. Pada saat dia membacok
dengan pedangnya dan berbarengan mengemplang dengan tongkatnya, tiba-tiba
Hek-mo-ong berseru keras sekali.
Kwan Cu yang tadinya berdiri
sampai roboh dan terlempar ke lantai saking hebatnya getaran seruan ini yang
menyerang serta melumpuhkan dirinya melalui pendengarannya! Demikian pula
orang-orang yang berada di sekitar tempat itu, semua merasa seolah-olah lumpuh!
Berbareng dengan pekik yang
dahsyat ini, Hek-mo-ong tidak mengelak dari serangan lawan, bahkan menubruk
maju. Tangan kanannya mencengkeram ke arah pedang dan dia membiarkan kepalanya
dipukul tongkat!
Terdengar suara keras pada
saat tongkat memukul kepalanya. Tongkat itu terpental dan Hek-mo-ong merasa
kepalanya sedikit pening, akan tetapi dia berhasil mencengkeram pedang yang
patah menjadi dua potong! Sebelum rasa terkejut Li Kong Hoat-ong hilang,
Hek-mo-ong sudah menyeruduk maju dan menubruk dengan kepalanya ke dada Li Kong
Hoat-ong.
Terdengar pekik mengerikan dan
tubuh bekas raja itu terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan darah segar
menyembur keluar dari mulutnya. Tulang-tulang dadanya sudah remuk akibat
terkena benturan kepala lawannya dan dia tewas pada saat itu juga setelah
tubuhnya roboh terlentang!
Keadaan menjadi sunyi,
kemudian dipecahkan oleh suara ketawa Hek-mo-ong. Tak ada seorang pun berani
bergerak.
“Ha-ha-ha! An-ciangkun, lebih
baik kau mengurus bala tentaramu baik-baik dan jangan meributkan urusan kitab
ini,” kata Hek-mo-ong.
An Lu Shan maklum bahwa tiada
gunanya menyerang orang luar biasa ini. Akan tetapi dia tahu bahwa apa bila Gui
Tin sampai dibawa pergi, amat berbahayalah bagi dirinya. Hanya Gui Tin dan
muridnya saja yang tahu bahwa ia telah mempelajari ilmu perang dari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kalau sampai orang luar mengetahuinya…, mungkin
rencananya yang sudah terkandung di dalam hati selama bertahun-tahun akan
gagal!
Oleh karena itu dia lalu
menjura dan berkata,
“Lo-enghiong, kami tak akan
meributkan urusan ini, akan tetapi kami harap Lo-enghiong juga suka berlaku adil.
Kitab itu sudah kau ambil, biarlah. Akan tetapi harap kau jangan membawa pergi
Gui-siucai, karena sebenarnya masih banyak sekali penjelasan tentang terjemahan
yang kami perlukan darinya. Apa bila kami sudah selesai dengan dia, boleh
Lo-enghiong membawanya. Hal ini penting sekali, dan kami harap saja Lo-enghiong
tidak akan menggunakan kekerasan terhadap puluhan ribu anak buah barisan kami
yang telah teratur dan menjaga berlapis-lapis di benteng ini.”
Hek-mo-ong terdiam sejenak. Ia
juga tahu bahwa An Lu Shan adalah seorang komandan yang pandai sekali mengatur
barisan. Kalau dia berkeras, dia akan menghadapi puluhan ribu tentara dan hal
ini tidak boleh dibuat sembarangan.
Biar pun kepandaiannya tinggi
dan dia tidak takut akan keroyokan, akan tetapi jika harus membobolkan
pertahanan puluhan ribu orang, sebelum bebas tentu dia akan kehabisan tenaga
dan akhirnya usahanya akan sia-sia belaka. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng telah
berada di tangannya, mengapa dia harus bertindak tergesa-gesa? Masih banyak waktu
untuk mempelajari kitab itu, pikirnya.
Setelah berpikir begitu, dia
mengangguk. “Baiklah, An-ciangkun. Aku minta maaf karena sudah kesalahan tangan
membunuh gurumu, namun seperti kalian menyaksikan sendiri, gurumulah yang mulai
lebih dulu.”
“Tidak mengapa, Lo-enghiong.
Mati hidup bukan di tangan kita dan sudah lajim di dalam pertempuran kalau
tidak menang, tentu kalah dan mati,” jawab An Lu Shan.
Kembali Hek-mo-ong tertawa.
Kemudian dia melihat Kwan Cu masih berdiri di pinggir. kedua matanya mendelik
dan dia kelihatannya akan menyerang anak ini. Akan tetapi dia membatalkan
niatnya, lalu tertawa dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah melompat keluar
dari rumah itu.
Pada saat dia berlari keluar
dari benteng, benar saja dia melihat betapa tempat itu sudah terkurung rapat
oleh lapisan-lapisan tentara yang kuat sekali. Dia merasa girang bahwa tadi dia
tidak mempergunakan kekerasan. Mudah kelak menculik Gui-siucai, pikirnya.
Mengapa An Lu Shan berlaku
demikian lemahnya? Mengapa dia tidak mengeroyok dan mengerahkan pasukannya
untuk membunuh Hek-mo-ong? An Lu Shan tidak sedemikian bodoh untuk mengorbankan
anak buahnya. Ia adalah seorang yang amat cerdik.
Pada waktu dia tadi melihat
peti kitab itu tercuri oleh Hek-mo-ong, dia telah yakin bahwa Hek-mo-ong tidak
akan dapat hidup lama di dunia ini. Selain peti itu mengandung rahasia sehingga
kalau dibuka akan ada tujuh batang anak panah beracun yang menyambar ke luar,
juga peti itu telah dilabur dengan racun yang amat jahat.
Jika tangan Hek-mo-ong telah
terkena racun itu, sedikit racun masuk ke dalam mulutnya, pasti Raja Iblis
Hitam itu akan mampus! Perlu apa mengeroyoknya? Dia tahu ke mana harus mencari
Hek-mo-ong, maka nanti saja dia akan menyuruh para penyelidik supaya mendatangi
tempat tinggal Hek-mo-ong di dusun Thian-bun di Gunung Hek-mo-san. Bila iblis
itu sudah mati, mudah saja mengambil kembali peti itu.
Dan dia sengaja menahan Gui
Tin, sebab selain dia sendiri, hanya sastrawan tua itu saja yang pernah membaca
Im-yang Bu-tek Cin-keng. Biar pun kitab itu sekarang berada di tangan
Hek-mo-ong, takkan ada gunanya kalau tidak diterjemahkan!
Karena itu, setelah Hek-mo-ong
pergi, An Lu Shan lalu mengumpulkan orang-orangnya yang paling cakap untuk
pergi menyusul ke Hek-mo-san dan menyelidiki keadaan iblis itu, sekalian kalau
iblis itu sudah mampus terkena racun, supaya mengambil kembali peti kitab tadi.
Akan tetapi, setelah serbuan
Hek-mo-ong yang mencuri kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, berturut-turut
terjadilah hal-hal yang luar biasa dan mengerikan hati An Lu Shan.
Pada keesokan harinya, baru
saja dia beserta yang lain-lain selesai mengubur jenazah Li Kong Hoat-ong dan
sedang duduk berunding di dalam ruangan tengah, tiba-tiba datang
penjaga-penjaga di pintu depan yang melaporkan dengan napas tersengal-sengal
bahwa ada seorang tokouw (pertapa wanita) yang sangat galak dan memaksa masuk
ke dalam benteng. Siapa saja yang menghalanginya lantas dirobohkan dengan amat
mudah!
An Lu Shan dan An Lu Kui
bergegas keluar, diikuti oleh beberapa orang perwira. Betapa kaget hati mereka
ketika melihat pemandangan yang amat aneh dan luar biasa. Seorang tokouw yang
tua akan tetapi tubuhnya masih nampak sehat seperti tubuh seorang gadis berusia
delapan belas tahun, jalan mendatangi.
Tangan kirinya menggandeng
seorang anak perempuan berusia enam tahun yang cantik mungil, tangan kanannya
memegang sebatang ranting pohon yang panjang. Dia berjalan maju terus dan
setiap kali ada prajurit yang hendak menghalanginya, dia menudingkan ranting
itu kepada prajurit yang menghadang dan prajurit itu roboh sambil memekik keras
dan ternyata bahwa prajurit itu telah tewas!
Berdiri bulu tengkuk An Lu
Shan saat menyaksikan keganasan dan kekejaman yang luar biasa ini! Siapakah
iblis wanita ini, pikirnya. Cepat dia lalu mengeluarkan aba-aba untuk melarang
orang-orangnya menghalangi majunya wanita pertapa itu dan dia sendiri lalu
cepat mundur dan menanti di ruang tengah, akan tetapi diam-diam dia menyuruh
barisan panah mengurung tempat itu untuk bergerak apa bila tokouw itu datang
dengan maksud kurang baik.
Sambil tersenyum-senyum
mengejek, tokouw itu bersama anak perempuan tadi lantas memasuki benteng dan
menuju ke ruangan besar di mana An Lu Shan duduk menanti. Dengan melihat
bendera yang berkibar di atas ruangan itu, mudah saja bagi tokouw ini untuk
mencari di mana adanya komandan benteng. Dia melangkah masuk dengan sikap
tenang seperti memasuki rumahnya sendiri saja.
Setelah masuk ke dalam ruangan
itu tokouw ini berdiri tegak dan memandang kepada An Lu Shan. Perwira ini
segera berdiri dan menyambut dengan penghormatan. Akan tetapi sebelum dia
membuka mulut, terdengar seruan nyaring.
“Ehh, adik Ceng...! Kau di
sini...?”
“Hee...! Bukankah kau adalah
Kwan Cu?” jawab anak perempuan yang masih digandeng tangannya oleh tokouw itu.
Kwan Cu yang kebetulan keluar
bersama gurunya, melihat bahwa anak perempuan itu adalah Bun Sui Ceng, puteri
dari Thio Loan Eng, segera menegur. Juga Gui Tin yang telah banyak merantau dan
banyak sekali pengalamannya, ketika melihat tokouw itu, dia tersaruk-saruk maju
menghampiri dan menjura.
“Dunia ini ternyata sempit
sekali,” katanya kepada tokouw itu, “sehingga di ujung utara ini akan dapat
bertemu muka dengan Kiu-bwe Coa-li Suthai dari ujung selatan!”
Tokouw itu nampak tertegun,
kemudian ia mengerutkan keningnya. Setelah memandang beberapa lama, dia lalu
tersenyum dan berkata dingin, “Hemm, tubuhmu sudah reyot dan lelah, akan tetapi
matamu masih tajam sekali, Gui-siucai. Kita bertemu baru satu kali ketika masih
muda, namun kau betul-betul tidak melupakan muka orang.”
“Siapa dapat melupakan wajah
dan bentuk badan Kii-bwe Coa-li Suthai dari selatan?” jawab Gui Tin sambil
tersenyum pula.
Sementara itu, pada saat
mendengar bahwa tokouw yang berada di depannya itu adalah Kiu-bwe Coa-li (Ular
Betina Berekor Sembilan) yang namanya amat terkenal dan ditakuti oleh semua
orang kang-ouw, An Lu Shan menjadi terkejut sekali sehingga dia merasa betapa
belakang lehernya menjadi dingin. Ia cepat maju dan menjura dan berkata,
“Ah, tak tahunya Locianpwe
yang datang mengunjungi tempatku yang bobrok ini. Mohon banyak maaf karena
siauwte tidak tahu maka tidak keluar menyambut.”
Tokouw itu mengeluarkan suara
mengejek dari hidungnya.
“Anak buahmu sudah menyambut
baik-baik, mengapa kau bersungkan? Lagi pula, siapa sih yang mengharapkan sambutan?
Aku bukan kaisar!”
Muka An Lu Shan menjadi merah.
Akan tetapi biar pun dia disindir, toh hatinya senang juga mendengar bahwa
tokouw ini tidak suka kepada kaisar.
“Maaf, maafkan!” katanya
merendah. “Bolehkah kiranya siauwte mengetahui kedatangan Locianpwe ini membawa
maksud mulia yang manakah?”
“Tidak bermaksud apa-apa,
hanya minta kau menyerahkan padaku kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.”
Hemm, ini hebat, pikir An Lu
Shan. Jadi kitab itu sudah demikian digilai oleh orang-orang pandai di dunia. Baiknya
dia telah mendahului mempelajari bagian ilmu perangnya.
“Bagaimana?” tiba-tiba Kiu-bwe
Coa-li mendesak sambil menggerak-gerakkan ranting di tangannya.
Ternyata bahwa itu bukan
ranting biasa, melainkan gagang sebatang pecut yang panjang dan halus sekali.
Pecut itu terdiri dari sembilan helai tali yang halus akan tetapi kuat dan
merupakan senjatanya yang luar biasa. Oleh karena tali-tali yang sembilan helai
ini bisa bergerak-gerak hidup bagaikan ular-ular kecil, maka dia lalu dijuluki
Ular Betina Berekor Sembilan!
Satu saja dari sembilan helai
tali ini ia gerakkan untuk menotok jalan darah seperti yang diperlihatkan tadi
terhadap para prajurit yang menghadangnya cukup untuk membunuh seorang manusia.
Dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya kepandaian tokouw ini!
“Locianpwe, sungguh kebetulan
sekali. Kalau saja siauwte tidak kehilangan guru siauwte dalam urusan ini,
tentu siauwte sudah tertawa geli mendengar Locianpwe datang hendak minta kitab
itu.”
“Apa yang telah terjadi?”
Sepasang alis tokouw itu bergerak-gerak dan kedua matanya demikian tajam
sehingga An Lu Shan tidak kuat untuk menentang lama-lama.
“Baru terjadi kemarin,
Locianpwe. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang kau minta itu telah dirampas
orang dan suhu-ku Li Kong Hoat-ong bahkan sampai tewas melawan orang itu.”
“Lekas bilang, siapa yang
merampasnya?” seru tokouw itu yang sama sekali tidak peduli tentang kematian Li
Kong Hoat-ong.
“Dia adalah Hek-mo-ong yang
tinggal di Hek-mo-san...”
Secepat kilat Kiu-bwe Coa-li
memutar tubuhnya menghadapi Gui Tin.
“Betulkah demikian?”
Gui Tin hanya mengangguk dan
diam-diam sastrawan ini tidak suka melihat sikap tokouw ini. Apa lagi setelah
dia melihat bahwa tokouw ini sudah membunuh banyak penjaga di luar benteng!
Kiu-bwe Coa-li hendak pergi,
akan tetapi ternyata Sui Ceng yang tadi masih digandeng, telah melepaskan
gandengan tangannya dan anak itu sekarang nampak bercakap-cakap dengan seorang
anak laki-laki gundul.
“Sui Ceng, mari!” seru tokouw
ini dan sekali ia mengulur tangannya, ia mendorong Kwan Cu sehingga anak ini
menggelundung seperti bola.
Akan tetapi Kwan Cu cepat
melompat lagi dan menuding kepada Kiu-bwe Coa-li sambil berkata, “Mengapa kau
begitu galak? Aku tidak suka melihat adik Ceng menjadi murid seorang galak!
Ketahuilah, adik Ceng sudah diserahkan kepadaku untuk kujaga dan bila kau
memperlakukan buruk padanya...”
Melihat betapa anak laki-laki
gundul yang didorongnya itu tidak apa-apa, bahkan barusan mengeluarkan ucapan
yang mengancam kepadanya untuk membela Sui Ceng, Kiu-bwe Coa-li menengok dan
memandang terheran-heran. Hebat sekali anak gundul ini, pikirnya. Dia lalu ia
berbisik kepada Sui Ceng dan anak perempuan ini berkata,
“Engko Kwan Cu, guruku ini
baik sekali kepadaku! Ehh, aku ingin tanya, betul-betulkah penuturan mereka tentang
Hek-mo-ong?”
Kwan Cu maklum bahwa tokouw
ini masih tidak percaya penuh kepada An-ciangkun dan Gui-siucai, maka
menggunakan Sui Ceng untuk bertanya kepadanya. Dengan demikian, itu berarti
bahwa tokouw itu lebih percaya kepadanya! Hanya dalam sekejap mata saja anak
yang berkepala gundul dan berotak cerdik ini bisa menghubung-hubungkan sesuatu
dan menarik kesimpulannya pada saat itu juga!
“Adik Ceng, biasanya, orang
yang tidak mudah percaya kepada orang lain itu mempunyai watak yang tak dapat
dipercayai pula. Karena hendak mengukur watak orang lain seperti wataknya
sendiri, maka dia selalu merasa khawatir kalau dibohongi orang!”
Sui Ceng tentu saja tidak
mengerti akan maksud jawaban yang menyimpang dari pada pertanyaannya tadi, akan
tetapi Kiu-bwe Coa-li merasa sekali akan sindiran yang amat tepat ini. Anak
gundul itu seakan-akan dapat membaca pikirannya!
“Keparat gundul!” bisiknya.
Sekali dia menarik tangan
muridnya, kemudian menggerakkan tubuhnya, berkelebatlah bayangannya dan
lenyaplah tokouw ini dari hadapan mereka! Kali ini, ketika berlari cepat keluar
dari benteng, bayangannya hampir tidak dapat terlihat oleh para penjaga!
“Hebat...!” An Lu Shan
berkata. “Celakalah Hek-mo-ong kalau bertemu dengan dia!”
Baru saja keadaan mereda
setelah tokouw itu pergi, tiba-tiba terdengar suara di atas genteng, suara yang
kecil tinggi. “Omitohud! Pinceng hanya datang mengganggu saja!”
Dan tiba-tiba genteng di atas
ruangan itu pecah beterbangan, lalu tubuh seorang hwesio yang gemuk seperti
gajah menerobos turun dari lubang di atas genteng itu! Walau pun tubuhnya besar
dan gemuk, hampir sama dengan tubuh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, akan tetapi
ketika kaki hwesio ini menyentuh lantai sama sekali tidak terdengar suara apa
pun, sungguh pun An Lu Shan yang masih duduk dapat merasakan betapa bangkunya
tergetar dan dia terpental sedikit ke atas!
Pada saat semua mata
memandang, ternyata bahwa hwesio ini berkulit agak kehitaman, bermata lebar dan
misainya tergantung menutupi dagunya. Jubahnya hitam seluruhnya, hitam arang
sehingga membuat mukanya yang berkulit kehitaman itu kelihatannya agak bersih.
Tangan kiri hwesio gemuk ini memegang serangkaian tasbih, tangan kanannya
memegang sebatang tongkat berkepala naga terbuat dari logam kuning seperti
emas.
“Hek-i Hui-mo...,” terdengar
Gui Tin berkata.
Hwesio ini segera menjura
kepada sastrawan ini.
“Gui-siucai, kau masih tetap
muda. Ha-ha-ha-ha, agaknya nasib akan menjodohkan kita sehingga tak lama lagi
pinceng akan berkumpul dengan Gui-siucai, bersama mempelajari isi kitab!”
Setelah suaranya yang halus
mengeluarkan kata-kata ini, mendadak dia menggerakkan tongkatnya ke depan An Lu
Shan dan…
“Brakk!” meja di depan An Lu
Shan menjadi hancur sama sekali tertimpa tongkat itu, biar pun dia hanya
memukulkan perlahan saja.
An Lu Shan terkejut luar biasa
dan mencelat ke belakang, bersiap sedia karena maklum bahwa dia kini berhadapan
dengan tokoh besar dari barat, yaitu hwesio Tibet yang telah menyeleweng dan
sekarang mengadakan permusuhan besar dengan hwesio Tibet aliran jubah kuning.
Oleh karena penyelewengan inilah maka nama Hek-i Hui-mo (Iblis Terbang Berjubah
Hitam) amat terkenal.
“An-ciangkun, pinceng tidak
mau membuang banyak waktu. Lekas kau serahkan Im-yang Bu-tek Cin-keng kepada
pinceng!” kini suaranya berbeda sekali karena terdengar amat ketus dan galak,
mengandung ancaman hebat.
Akan tetapi An Lu Shan sudah
menjadi mendongkol sekali. Kalau sekiranya yang datang bukanlah tokoh besar
yang amat berbahaya ini, tentu dia akan menyerang mati-matian dan menyuruh
seluruh barisannya untuk maju mengeroyok.
“Hemm, celaka sekali,”
katanya, “kenapa hari ini aku betul-betul sial? Losuhu, ketahuilah bahwa
kemarin kitab itu sudah dicuri oleh Hek-mo-ong, bahkan baru tadi Kiu-bwe Coa-li
juga datang menanyakan. Sekarang Kiu-bwe Coa-li telah menyusul ke Hek-mo-san.”
Seperti juga Kiu-bwe Coa-li
tadi, kini hwesio itu berpaling kepada Gui Tin dan bertanya. “Betulkah itu,
Gui-siucai?”
“Memang betul demikian,” kata
Gui Tin.
“Baiklah, kau beristirahat
dulu baik-baik di sini, Gui-siucai. Kalau sudah terdapat kitab itu, pinceng
akan menjemputmu di tempat ini!”
Sesudah berkata demikian,
sekali dia menggerakkan kakinya, tubuhnya yang gemuk itu telah melayang naik
dan menerobos melalui lubang yang tadi! Betul-betul hebat ginkang dari hwesio gemuk
ini, karena itu tidak mengherankan apa bila julukannya adalah Iblis Terbang!
Celaka, pikir An Lu Shan.
Sekarang benar-benar hebat! Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah dikejar oleh demikian
banyak orang lihai. Tidak ada harapan sama sekali baginya untuk mendapatkan
kitab itu kembali!
Sesungguhnya, yang pertama
kali mendapatkan kitab itu adalah suhu-nya, yaitu Li Kong Hoat-ong. Maka
setelah suhu-nya itu meninggal, An Lu Shan menganggap kitab itu telah menjadi
haknya. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan besar untuk mengambil
kembali kitab itu dari tangan Hek-mo-ong yang lihai, tidak tahunya kini muncul
banyak tokoh yang masih jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada Hek-mo-ong
sendiri! Habislah harapannya dan diam-diam dia mengerling ke arah Gui Tin. Untuk
apa sastrawan tua ini dibiarkan hidup?
“Ia harus mati!” demikian An
Lu Shan mengambil keputusan.
Kalau dia mati, biar pun
seorang di antara tokoh-tokoh besar itu berhasil mendapatkan kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng, namun apa gunanya? Tak seorang pun selain Gui-siucai mengerti
akan bahasa tulisan kitab itu. Kalau sastrawan ini dibiarkan hidup sehingga ada
orang lain yang mampu membaca kitab rahasia itu, bukankah hal itu berbahaya
sekali?
Sekarang dia sudah mempunyai
barisan yang kuat dan siasat-siasat perang yang lihai. Apa bila sampai ada yang
mengerti rahasianya kemudian siasat-siasatnya itu dipecahkan orang, bukankah
itu akan celaka sekali?
Sementara itu, terdengar Kwan
Cu mengomel, “Benar-benar orang-orang tua itu sudah miring otaknya semua! Kitab
palsu diperebutkan!” Baru saja dia bicara demikian, Gui Tin membentaknya dan
baru Kwan Cu sadar bahwa dia telah berbicara terlalu banyak. Ia menyesal sekali
dan mendekap mulutnya sendiri.
Akan tetapi An Lu Shan sudah
bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri mereka.
“Coba katakan, apa artinya
ucapan tadi, Kwan Cu? Kitab palsu, apakah maksudmu?”
Kwan Cu tak dapat menjawab,
hanya berdiri memandang kepada komandan itu dengan mata terbuka lebar-lebar.
Akan tetapi An Lu Shan sudah
menaruh kecurigaan dan tidak percaya akan keterangan ini. Memang dia hendak
mencari-cari alasan untuk melenyapkan guru serta murid ini. Dia memegang tangan
Kwan Cu dan menekannya keras-keras.
“Hayo kau mengaku terus
terang, benarkah kitab itu palsu?”
Kwan Cu merasa tangannya sakit
sekali, akan tetapi pada saat dia mengerahkan tenaga lweekang-nya yang selama
ini dilatih menurut petunjuk kitab itu, mendadak An Lu Shan melepaskan
pegangannya sambil berteriak kesakitan. Dari lengan anak itu seakan-akan
menolak hawa yang panas sekali.
“Keparat! Kau bahkan sudah
mempelajari isi kitab itu, ya? Hayo lekas katakan terus terang!”
Kwan Cu hanya tertawa, dan
suara ketawanya ini mengobarkan kemarahan komandan itu. Sekali dia mengayun
tangannya, dada Kwan Cu telah dipukulnya.
Bila menurut keadaan biasa,
tentu dada anak ini akan pecah dan binasa di saat itu juga. Akan tetapi, tubuh
anak ini hanya terlempar jauh dan kembali seperti ketika dia tertangkis oleh
Hek-mo-ong, tubuhnya lalu membentur dinding. Anehnya, dia tidak apa-apa, karena
ketika dipukul dia kerahkan hawa murni yang dikumpulkan di bagian dada yang
terpukul sambil menahan napas sehingga tubuhnya seakan-akan terisi hawa yang
kuat dan tidak terluka!
Melihat keanehan ini, semakin
yakinlah An Lu Shan. Ia lalu menubruk maju dan kini dia memegang lengan
Gui-siucai.
“Kau berbicaralah terus
terang!”
Akan tetapi Gui Tin
menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mau menjawab pertanyaan ini. An Lu Shan
menggunakan tenaganya menekan dan…
“Krakk!” terdengar suara dan
ternyata tulang lengan Gui Tin telah remuk! Sastrawan tua ini berjengkit
kesakitan. Namun dia tetap menutup mulut.
“Jangan kau sakiti guruku!”
tiba-tiba Kwan Cu berseru keras.
Sekali melompat, dia telah
berada di depan An Lu Shan dan merenggutkan lengan An Lu Shan yang menekan
lengan Gui Tin. An Lu Shan merasakan sambaran angin datang dari serangan Kwan
Cu, maka cepat dia mengelak dan kakinya menyambar. Sekali lagi Kwan Cu
terlempar jauh.
An Lu Shan sudah marah sekali.
Dia berteriak memanggil penjaga-penjaga dan berkata keras, “Tangkap mereka,
rangket sampai mereka mengaku tentang kitab itu!”
Lima orang tentara yang biasa
menjalankan perintah menyiksa tawanan atau lebih tepat disebut algojo-algojo,
segera menyerbu dan sebentar saja Gui Tin dan Kwan Cu sudah ditangkap, lalu diseret
keluar! Seorang di antara mereka mengeluarkan sebatang cambuk hitam dan
mulailah guru dan murid ini dihajar, dicambuki seperti dua ekor binatang yang
mogok kerja.
Darah mengalir dari kulit
tubuh mereka yang tertimpa oleh cambuk. Tidak hanya pakaian mereka yang butut
itu yang terobek, bahkan kulit dan muka mereka juga pecah-pecah mengeluarkan
darah.
“Kwan Cu...” Giu-siucai
mengeluh dengan tubuh lemah terkulai, menggantung di tangan seorang algojo yang
memegangnya. “Carilah kitab aslinya, kau pelajari baik-baik, jangan seperti
aku... lemah... kepandaian bu penting sekali agar dapat menghadapi orang-orang
macam ini.”
Akan tetapi dia tak dapat lagi
melanjutkan kata-katanya karena sebuah tendangan tepat sekali mengenai ulu
hatinya sehingga orang tua ini tiba-tiba merasa napasnya terhenti dan dia
megap-megap seperti ikan dilempar di darat.
“Kejam! Kalian ini bukan
manusia. Kejam!”
Kwan Cu meronta dan berhasil
melepaskan diri, lalu menubruk gurunya. Akan tetapi satu ketokan dengan
belakang golok membuat ia roboh terguling dan tangannya telah dicekal lagi,
lalu dicambuki sampai pakaiannya hancur dan anak ini menjadi setengah
telanjang!
Gui Tin sudah payah sekali.
Dan betapa pun kuat tubuh Kwan Cu, tanpa memiliki ilmu silat, dia tidak berdaya
dan agaknya guru dan murid ini tentu akan menemui kematian di tangan para
algojo ini yang sudah mendapat perintah dari An Lu Shan untuk membunuh mereka.
Akan tetapi, pada waktu itu
terdengar bunyi gembreng dan tambur dari luar benteng dan masuklah satu
rombongan orang yang disambut dengan penghormatan besar oleh para penjaga.
Penyiksaan terhadap Gui Tin
dan Kwan Cu otomatis dihentikan. An Lu Shan bersama An Lui Kui nampak
tergesa-gesa menyambut kedatangan tamu agung itu. Ternyata bahwa yang datang
adalah Menteri Lu Pin yang mendapat tugas dari kaisar untuk menaikkan pangkat
An Lu Shan!
Dari jauh Lu Pin melihat kakek
dan bocah pengemis itu dicambuki, maka begitu bertemu dengan An Lu Shan yang
menjalankan penghormatan, dia lalu bertanya,
“Siapakah mereka itu dan
mengapa dicambuki?”
“Ahh, Taijin. Mereka itu
adalah dua orang penipu besar. Mereka adalah guru dan murid yang mengaku
sebagai sastrawan dan yang kami perintahkan untuk menterjemahkan sebuah kitab
kuno. Tiada tahunya mereka menipu kami dan menyatakan bahwa kitab itu palsu
adanya.”
“Kitab kuno? Apakah
An-ciangkun maksudkan bahwa kitab itu adalah Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
Pucatlah muka An Lu Shan
mendengar ini. “Ahh, Taijin sudah mendengar pula tentang kitab itu? Agaknya
semua orang tahu akan kitab itu.”
“Tentu saja. Siapa yang tak
mendengar akan kitab yang diperebutkan oleh semua orang di negeri ini?
An-ciangkun, apakah kau benar-benar sudah menemukan kitab itu? Kalau benar
begitu, kenapa tidak kau antarkan ke kota raja?” Menteri tua ini memandang
penuh curiga dan selidik.
“Itulah Lu-taijin. Kami memang
telah mendapatkan kitab, akan tetapi kami masih merasa ragu-ragu apakah kitab
itu kitab yang asli, karena banyak kitab-kitab yang dipalsukan orang. Dan
karena itu pula kami segera memerintahkan kepada sastrawan tua itu untuk
menterjemahkannya. Tidak tahunya, dia menipu kami dan kitab itu dinyatakan
palsu.”
“Mana kitab itu?”
An Lu Shan menarik napas
panjang. Kini dia merasa puas dan lega bahwa kitab itu telah dirampas orang!
Jauh lebih baik kitab itu jatuh ke dalam tangan para tokoh kang-ouw dari pada
jatuh ke dalam tangan pemerintah! Ia kemudian menuturkan bahwa kitab itu telah
dirampas orang. Menteri Lu Pin menghela napas dan menyatakan sayangnya. Lalu
dia menyuruh orang membawa datang dua orang pengemis yang disiksanya tadi.
Setelah Gui Tin dan Kwan Cu
diseret di hadapan Menteri Lu Pin, kebetulan sekali Gui Tin siuman dari
pingsannya. Keadaannya sudah payah sekali, akan tetapi begitu dia melirik dan
bertemu muka dengan Menteri Lu Pin, dia segera membuang muka dan meludah ke
atas tanah.
Lu Pin memandang dengan penuh
perhatian. “Ahh, bukankah kau ini Gui-twako?”
Gui Tin tetap saja membuang
muka dan pandangan matanya penuh hinaan terhadap menteri itu.
“Benarkah kau Gui Tin...?
Benarkah aku berhadapan dengan Gui-twako?” Menteri Lu Pin kembali bertanya,
bahkan kini dia turun dari tempat duduknya yang tadi disediakan oleh seorang
pengawalnya, lalu dihampirinya Gui Tin.
“Aku tidak sudi berkenalan
dengan manusia she Lu!” mendadak Gui Tin berkata dengan suara keras dan marah
sekali sehingga kembali dadanya terasa sakit dan dia pun roboh pingsan!
“Lekas tolong dia!” kata Lu
Pin. “Dia adalah kenalan lama dariku. Hayo cepat tolong dan rawat dia
baik-baik?”
An Lu Shan menjadi kaget
sekali melihat bahwa menteri ini kenal baik dengan Gui Tin, karena itu dia
cepat menyuruh orang-orangnya untuk menolong Gui Tin dan Kwan Cu. Kemudian
Menteri Lu Pin lalu dibawa ke rumah gedung An Lu Shan yang berada di luar
benteng. Memang komandan An ini telah membawa keluarganya dari kota raja ke
tempat itu, akan tetapi karena merasa tak enak untuk tinggal bersama keluarga
dalam benteng, dia lalu membuah sebuah rumah gedung di luar benteng.
Lu Pin lalu menyuruh An Lu
Shan untuk membawa Gui Tin dan muridnya ke rumah itu pula untuk dirawat. Akan
tetapi keadaan Gui Tin demikian parah sehingga dia tak pernah siuman lagi,
kecuali satu kali di tengah malam ketika dia meninggalkan pesan kepada Kwan Cu
bahwa anak ini harus mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
“Kwan Cu.” bisiknya di atas
pembaringan. “Untuk mendapatkan kitab itu, satu-satunya jalan hanya membaca dan
mempelajari kitab sejarah yang masih kusimpan di dalam goa di hutan siong di
lereng Bukit Liang-san. Di dalam dusun di lereng bukit sebelah barat, asal kau
tanyakan di mana tempat tinggal Gui-lokai (pengemis tua she Gui), tentu semua
orang akan dapat memberi tahu. Goa itu kosong dan aku menyimpan peti besi di
bawah tanah. Bukalah dan carilah kitab sejarah yang tulisannya sama dengan isi
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pelajari sejarah itu dan kemudian kau
carilah kitab itu. Dunia kacau balau, kekerasan dan kekuatan selalu memegang
peranan penting, kalau tidak dilawan oleh kekerasan dan tenaga pula, kita tidak
berdaya. Taatilah pesanku ini, Kwan Cu.”
Kwan Cu mengangguk-angguk
sambil mencegah keluarnya air matanya. Ia tidak mudah terharu, tetapi melihat
keadaan gurunya yang sangat dikasihinya ini, dia merasa kasihan juga.
Gui Tin meninggal dunia dan
berkat pengaruh Lu Pin, dia dimakamkan dengan pantas di dusun itu. Ada pun Kwan
Cu yang bersembahyang di depan makam bekas gurunya ini, merasa sunyi sekali.
Tiba-tiba dia disuruh datang menghadap Menteri Lu Pin.
Setelah dia berhadapan dengan
menteri ini, Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa wajah menteri ini benar-benar
sangat agung dan mendatangkan rasa sayang. Gerak-geriknya halus seperti
Gui-siucai, dan amat peramah pula.
“Anak, apakah kau murid dari
Gui-twako?”
“Benar, Taijin.”
“Apa saja yang kau pelajari
dari gurumu itu?”
“Membaca, menulis, dan
mempelajari syair-syair dan ujar-ujar kuno,” Kwan Cu menjawab terus terang.
Mendengar jawaban yang lancar
serta melihat sikap Kwan Cu yang sopan-santun, jujur, dan tidak merendah ini,
Lu Pin merasa suka juga.
“Anak baik, siapakah namamu?”
“Nama hamba Kwan Cu.”
“Nama keluargamu?”
“Hamba she Lu”
Menteri Lu Pin tercengang.
“Siapa orang tuamu?”
“Hamba tidak tahu. Nama dan
she hamba juga hamba terima sebagai pemberian orang lain kepada hamba,” kata
Kwan Cu terus terang.
Mau tidak mau Lu Pin tertawa
juga. “Ahh, aneh sekali. Siapakah orangnya yang memberi she Lu kepadamu?”
“Hamba menerima she Lu itu
dari pemberian seorang tua yang gagah perkasa, Ang-bin Sin-kai.”
“Ang-bin Sin-kai?!” Lu Pin
benar-benar terkejut. “Ehhh, anak baik, masih ada hubungan apakah antara kau
dan dia?”
“Tidak ada hubungan apa-apa,
Taijin. Hanya Ang-bin Sin-kai hendak mengambil murid kepada hamba, akan tetapi
hamba tidak mau.”
Lu Pin tertawa gembira. “Dia
orang aneh, akan tetapi kau seorang bocah yang lebih aneh lagi. Dan namamu itu,
Kwan Cu, pemberian siapa pula?”
“Nama hamba diberi oleh
seorang hwesio gemuk bernama Kak Thong Taisu.”
Kembali menteri tua itu
tertegun. “Ahh, benar-benar kau bocah aneh sekali. Masih sekecil ini sudah
mengalami hal yang tidak sembarangan anak dapat mengalaminya. Diberi she oleh
Ang-bin Sin-kai, diberi nama oleh Kak Thong Taisu, menjadi murid dari
Gui-siucai, kini kau bercakap-cakap dengan aku! Ah, Lu Kwan Cu, apakah kau
tidak ingat lagi siapa adanya ayah bundamu?”
Kwan Cu menggelengkan
kepalanya. “Ayah hamba adalah langit dan ibu hamba adalah bumi. Saudara-saudara
hamba adalah semua manusia di dunia ini,” Kwan Cu menjawab sambil meniru
ujar-ujar yang pernah dibacanya.
Bukan main terharunya hati Lu
Pin mendengar ini. Ia melambaikan tangannya dan ketika Kwan Cu mendekat,
menteri tua ini lalu memeluknya dan mengelus-elus kepalanya yang gundul.....
Sebagaimana diketahui, Menteri
Lu Pin hanya mempunyai seorang putera dan seorang cucunya amat tidak berkenan
dalam hatinya. Kini melihat Kwan Cu, timbul sukanya.
“Kwan Cu, marilah kau ikut
dengan aku saja ke kota raja. Kau akan kudidik dengan ilmu kesusastraan, dan
sungguh pun aku tidak sepandai mendiang gurumu, akan tetapi kau akan berhasil
dengan cita-citamu. Kau tinggallah bersama aku, kau kuanggap sebagai cucuku
sendiri, Kwan Cu.”
Terharu sekali hati Kwan Cu.
Belum pernah ada orang yang sikapnya demikian halus dan ramah tamah kepadanya,
apa lagi seorang pembesar tinggi seperti Menteri Lu Pin ini.
“Hamba boleh menyebut kongkong
kepada Taijin?”
“Tentu saja, karena dalam
pandanganku, kau adalah cucuku sendiri, Kwan Cu.”
Saking girangnya Kwan Cu lalu
menjatuhkan dirinya berlutut di depan menteri tua itu dan tak tertahankan pula
dua titik air mata kemudian mengalir turun ke pipinya yang kurus. “Kongkong...”
katanya.
Lu Pin juga merasa terharu,
segera dipeluknya anak itu. “Kau harus berganti pakaian, cucuku, dan besok kau
ikut aku ke kota raja.”
“Tidak, Kongkong. Tidak
sekarang. Biarlah kelak aku akan mencari Kongkong. Sekarang aku mempunyai tugas
lain yang lebih penting.”
“Tugas...?” Menteri Lu Pin membelalakkan
matanya. “Kau...? Tugas apa dan dari siapa, cucuku?”
“Tugas yang telah dipesankan
oleh mendiang Gui-lopek, dan tugas itu adalah...” Anak ini menengok ke kanan
kiri, kemudian melanjutkan dengan perlahan, “tugas mencari kitab asli Im-yang
Bu-tek Cin-keng.”
Kembali untuk ke sekian
kalinya menteri tua itu tertegun. Kemudian dia menghela napas. “Memang kau
seorang anak ajaib! Benar-benar kau bocah ajaib! Baiklah, aku juga tahu bahwa
orang-orang aneh seperti Ang-bin Sin-kai dan kau tak akan mudah dibantah. Kau
pergilah, akan tetapi ingat bahwa aku selalu menanti kau sebagai kongkong-mu!”
Sesudah berkata demikian,
Menteri Lu Pin lalu memberi bekal sekantong uang emas kepada Kwan Cu, dan
memberitahukan An Lu Shan agar semua anak buahnya jangan mengganggu anak ini.
Sesudah berpamit dan menghaturkan terima kasihnya, Kwan Cu bersembahyang lagi
di hadapan makam Gui Tin, lalu pergilah anak ini, menuju ke Goa Liang-san untuk
mencari simpanan kitab-kitab mendiang gurunya…..
********************
Sesudah berhasil merampas
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dengan hati gembira sekali Hek-mo-ong berlari
cepat sambil tertawa-tawa menuju ke rumahnya di puncak gunung Hek-mo-san. Ia
tinggal bersama dua orang adiknya dan isteri serta ipar-iparnya di dalam satu
rumah besar di kampung yang cukup ramai, di mana dia dianggap sebagai seorang
tuan tanah yang cukup kaya-raya. Memang sejak bertahun-tahun yang lalu,
Hek-mo-ong tidak berkelana lagi di dunia kang-ouw, melainkan hidup aman di
dalam kampung ini.
Ketika dia melangkah masuk ke
dalam rumahnya, dia disambut oleh dua orang adiknya yang juga dua orang
laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kasar, yang menyambutnya bersama
isteri-isterinya yang cantik. Isteri Hek-mo-ong sendiri masih muda, lagi cantik
dan genit sekali. Melihat kegembiraan Hek-mo-ong, mereka beramai-ramai
mengajukan pertanyaan.
Akan tetapi Hek-mo-ong hanya
menjawab sambil tertawa-tawa. “Lekas bikin masakan yang enak, keluarkan arak
yang wangi! Kita rayakan hari besar ini, karena tak lama lagi aku Hek-mo-ong
akan menjagoi di seluruh permukaan bumi! Tunggu saja kalian, Ang-bin Sin-kai,
Jeng-kin-jiu, Pak-lo-sian, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li! Sebentar lagi,
kalian terpaksa harus bertekuk lutut dan tunduk kepadaku, mengakui keunggulan
Hek-mo-ong sebagai orang yang terpandai! Ha-ha-ha-ha-ha!”
Adik-adiknya, ipar-iparnya,
juga isterinya sudah tahu akan keanehan watak Hek-mo-ong, karena itu mereka
tidak berani bertanya lagi sebelum orang ini menceritakannya sendiri. Maka,
segera makanan dan arak disediakan lalu mereka makan minum dengan gembira
sekali.
Setelah makan kenyang, barulah
Hek-mo-ong mengeluarkan peti hitam itu dari sakunya, meletakkannya di atas meja
sambil berkata bangga.
“Lihat, inilah kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng!”
“Twa-pek (Uwa), mengapa kitab
seperti kotak kayu?” memotong seorang anak kecil yang menjadi putera dari
saudara termuda.
“Kau tahu apa?!” bentak
ayahnya atau adik termuda dari Hek-mo-ong. “Kotak itu hanya tempat saja,
tentunya.”
Karena tidak sabar lagi,
mereka lalu mendesak kepada Hek-mo-ong untuk membuka peti itu. Pada waktu peti
itu dibuka, kedua orang adik Hek-mo-ong menjenguk dari kanan kiri. Hek-mo-ong
tertawa-tawa, lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka peti itu.
“Ser! Serr! Serrr…!”
Berturut-turut, tujuh batang
anak panah yang secara pandai dipasang oleh An Lu Shan itu menyambar ke atas
cepat sekali. Kalau saja bukan Hek-mo-ong, tentu orang yang membukanya akan
mati saat itu juga, terpanggang oleh anak-anak panah itu.
Akan tetapi Hek-mo-ong sudah
mempunyai kepandaian yang amat tinggi. Begitu melihat menyambarnya cahaya hitam
dari dalam peti, dia berseru keras dan kedua tangannya bergerak menangkis
sehingga anak-anak panah itu terpental ke kanan kiri.
Celaka sekali, kedua adiknya
yang menjenguk dari kanan kiri itu tidak sempat mengelak dan tepat sekali muka
mereka tertembus anak-anak panah sehingga mereka roboh tak berkutik lagi. Muka
itu menjadi bengkak dan biru, amat mengerikan.
Tentu saja isteri-isteri
mereka menangis dan menjerit-jerit memeluki mayat dua orang itu. Hek-mo-ong
sendiri untuk beberapa lama berdiri bagaikan patung, akan tetapi sesudah
mengeluarkan kitab itu dan membalik-balikkan lembarannya, timbul lagi
kegembiraannya.
“Sudah, jangan menangis lagi.
Mereka sudah mati, sudahlah. Sudah patut kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng
didapatkan dengan pengorbanan besar. Urus jenazah mereka baik-baik, dan kalian
ini tidak usah menangis, mulai sekarang boleh ikut aku saja sebagai pengganti
suami-suamimu.”
Tidak seorang pun berani
membantah, akan tetapi ucapan ini saja sudah cukup dipakai ukuran orang macam
apa adanya Hek-mo-ong ini! Tanpa menghiraukan perkabungan dan sambil
tertawa-tawa, dia lalu minum arak dan membalik-balik lembaran kitab yang baru
saja dirampasnya itu.
Akan tetapi, mendadak dia
menjadi pucat sekali dan mukanya meringis-ringis menahan sakit. Kedua tangannya
bergerak memegangi perut, dada, dan leher karena dia merasa betapa
bagian-bagian tubuh itu terasa amat panas dan sakit.
“Celaka... keparat An Lu
Shan... aduh...!” Ia terhuyung-huyung, menubruk meja sehingga kitab itu
terlempar ke atas lantai.
Isterinya beserta ipar-iparnya
memburu dan menubruknya.
“Aduh...” Hek-mo-ong
menjerit-jerit, ada pun mulutnya mulai berbusa. “Awas... peti itu... jangan
disentuh... aduh, mati aku!” tubuhnya kaku, matanya mendelik, mulutnya berbusa
dan dia tidak bernapas lagi!
Apa bila orang lain, tentu
sudah semenjak tadi mati karena pengaruh racun. Tadi dia memegang-megang peti,
kemudian makan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang kasar seperti Hek-mo-ong,
biar pun tangannya kotor, kalau mau makan terus saja makan tanpa mencuci atau
membersihkan tangannya, maka sebentar saja racun di tangannya terbawa masuk ke
perut. Akan tetapi dia memang bertubuh kuat sehingga racun itu agak lama
merobohkannya.
Isteri-isteri dari tiga orang
itu beserta anak-anak dan keluarganya, tentu saja menangis dan sebentar saja di
situ terdengar jerit tangis ramai sekali. Pada waktu dua orang adik Hek-mo-ong
tadi tewas, mereka tidak berani menangis karena takut kepada Hek-mo-ong.
Setelah sekarang Hek-mo-ong sendiri mati, semua orang menangis sepuasnya!
Dengan dibantu oleh para
tetangga dan orang sedusun yang datang berlayat, keluarga itu lalu mengurus
tiga jenazah itu. Dan atas perintah isteri Hek-mo-ong, peti hitam itu lalu
dibakar, ada pun kitabnya lalu ditaruh di atas meja sembahyang yang diletakkan
di depan peti mati Hek-mo-ong. Tiga peti mati dijajarkan dan peti mati
Hek-mo-ong ditempatkan di tengah-tengah. Juga meja sembahyangnya paling besar.
Pada keesokan harinya, pada
waktu orang-orang masih ramai bersembahyang dan hio mengebulkan asapnya
bergulung-gulung, seorang tokouw datang ke tempat itu! Tangan kanan tokouw itu
memegang cambuk berbulu sembilan helai, sedangkan tangan kirinya menggandeng
tangan seorang anak perempuan yang mungil dan cantik manis. Tokouw ini bukan
lain adalah Kiu-bwe Coa-li dan muridnya Bun Sui Ceng!
Pada saat Kiu-bwe Coa-li
melihat tiga peti mati itu berjajar di halaman dan semua orang menangis dan
berkabung, dia mengerutkan keningnya. Ada pun keluarga Hek-mo-ong segera
menyambut tokouw ini, bagai layaknya menyambut seorang pertapa wanita yang
mereka anggap datang untuk memberi hiburan kepada warga yang mati.
“Silakan duduk, Suthai,” kata
mereka.
Kiu-bwe Coa-li tidak menjawab,
melainkan memandang ke arah peti-peti mati, kemudian matanya mencari-cari
sesuatu dengan pandangan yang tajam sekali.
“Di mana Hek-mo-ong?” tanyanya
tiba-tiba dengan suara kereng.
Ditanya demikian, isteri dari
Hek-mo-ong melangkah maju dan menangis.
“Suthai yang mulia, suamiku
telah meninggal dunia,” lalu tangisnya makin menjadi.
Kiu-bwe Coa-li tertegun dan
memandang tajam. “Yang mana petinya?” tanyanya pula.
Karena tidak menyangka buruk,
isteri Hek-mo-ong lalu menunjuk ke arah peti mati yang berada di tengah-tengah
sambil berkata, “Itulah peti mati suamiku.”
Dengan langkah perlahan
Kiu-bwe Coa-li lalu menghampiri peti itu. Sui Ceng tak senang melihat peti
mati, maka semenjak tadi dia sudah melepaskan tangannya dari gandengan gurunya.
Sekarang anak ini duduk di atas sebuah bangku dan memandang ke arah meja
sembahyang dengan perasaan heran serta kagum melihat hiasan-hiasan dalam
upacara sembahyang itu.
Kiu-bwe Coa-li mendekati peti
mati Hek-mo-ong, kemudian mengulur tangan kirinya dan menepuk-nepuk peti mati
itu beberapa kali secara perlahan. Semua orang menyangka bahwa pendeta wanita
itu memberi berkah kepada yang mati, maka mereka menjadi terharu dan girang.
Tidak seorang pun di antara mereka pernah mengira bahwa tepukan-tepukan
perlahan itu adalah serangan-serangan pukulan lweekang yang dahsyat bukan main!
Ternyata bahwa Kiu-bwe Coa-li
masih belum percaya penuh akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi
peti mati itu. Kemudian dia melirik ke arah peti mati yang berada di kanan kiri
peti mati Hek-mo-ong.
“Siapa yang berada di dalam
dua peti mati itu?” tanyanya kepada isteri Hek-mo-ong.
“Mereka adalah kedua adik
suamiku, Suthai,” jawab nyonya itu sambil sesunggukan. Dan kembali ramai
orang-orang menangis di tempat itu.
Pada saat itu terdengarlah
suara ketawa keras. Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, entah dari
mana datangnya, tahu-tahu di depan peti-peti mati itu sudah berdiri seorang
hwesio gemuk bundar berpakaian serba hitam yang berkali-kali menyebut nama
Buddha.
“Omitohud!” Kemudian, sambil
mengoceh seorang diri, dia berkata lagi, “Tidak tahunya iblis neraka telah
mendahului pinceng (aku) dan merenggut nyawa Hek-mo-ong.”
“Hemm, Hek-i Hui-mo, alat
penciumanmu lebih tajam dari seekor anjing buduk!” berkata Kiu-bwe Coa-li
dengan senyum mengejek.
Hwesio itu yang bukan lain
adalah Hek-i Hui-mo, tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Kiu-bwe Coa-li, kau
benar-benar cepat. Hampir saja pinceng ketinggalan!”
Setelah berkata demikian,
hwesio ini lalu melakukan upacara sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong.
Akan tetapi yang dia pakai sembahyang bukannya hio yang dibakar, melainkan tiga
batang hio hitam yang tidak dibakar. Orang-orang merasa heran sekali, akan
tetapi Kiu-bwe Coa-li maklum bahwa tiga batang hio hitam itu sebenarnya
bukanlah hio, melainkan tiga batang jarum hitam yang disebut Hek-tok-ciam
(Jarum Racun Hitam)!
Mulut hwesio ini
berkemak-kemik membaca doa, kemudian setelah selesai sembahyang dia
menggerakkan tangannya dan lenyaplah tiga batang hio hitam itu! Orang-orang
lain tidak tahu ke mana perginya benda-benda hitam itu dan mereka mengira
hwesio gemuk ini main sulap.
Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li
tersenyum dan tahu bahwa hwesio Tibet yang lihai ini telah menyambitkan
jarum-jarum itu yang meluncur laksana kilat ke arah tiga buah peti mati dan
telah menembusi peti-peti itu untuk menyerang isinya! Jadi seperti juga dia
sendiri, Hek-i Hui-mo Si Iblis Terbang Baju Hitam ini tidak percaya akan
kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati!
“Sebelum mati, suamimu membawa
sebuah peti kecil terisi kitab, di manakah ditaruhnya peti itu? Peti itu adalah
milikku, sekarang harap dikeluarkan dan dikembalikan kepadaku!” Kata Kiu-bwe
Coa-li kepada isteri Hek-mo-ong.
“Peti celaka itu!” seru isteri
Hek-mo-ong. “Peti hitam celaka itulah yang telah membunuh suamiku dan adik-adiknya!
Kami telah membakar peti siluman itu, Suthai!”
Terdengar seruan tertahan dan
tahu-tahu Kiu-bwe Coa-li bersama Hek-i Hui-mo sudah bergerak dan berdiri di
depan nyonya itu, sikap mereka mengancam dan beringas sekali.
“Sudah dibakar?!” tanya Hek-i
Hui-mo dengan suara parau dan keras sehingga nyonya Hek-mo-ong terkejut sekali.
“Dan isinya, kitab itu...
apakah terbakar pula?” tanya Kiu-bwe Coa-li, pandang matanya mengancam.
Kalau nyonya itu menganggukkan
kepala, tak salah lagi dia tentu akan mati dalam sekali pukul oleh dua orang
tokoh kang-ouw yang amat mengerikan itu. Akan tetapi nyonya itu menggelengkan
kepalanya, lalu menunjuk ke arah meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong.
“Itulah dia kitab setan itu,
yang tadinya berada di dalam peti hitam.”
Tubuh Kiu-bwe Coa-li
berkelebat ke arah meja hendak mengambil kitab itu. Akan tetapi tahu-tahu di
dekat kitab itu, di atas meja, terdengar bunyi nyaring dan tiga batang jarum
hitam telah menancap di situ! Kiu-bwe Coa-li cepat melompat ke belakang dan
menoleh pada Hek-i Hui-mo yang berdiri tersenyum-senyum!
“Aha, Hek-i Hui-mo! Kau hendak
main-main dengan pinni?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan pandang mata tajam dan
cambuknya digerak-gerakkan dalam tangannya.
“Kiu-bwe Coa-li, kita datang
di tempat yang sama dan dengan maksud yang sama pula. Tidak boleh kau mau
menang sendiri saja! Aku pun membutuhkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Dua orang tokoh besar itu
berdiri saling pandang dengan sikap mengancam. Keduanya sama jauhnya dari meja
sembahyang di mana keduanya maklum bahwa bergerak lebih dahulu berarti bahaya
maut. Mereka saling menanti, dan sekali lawannya bergerak, tentu akan mengirim
serangan.
Ada pun keluarga Hek-mo-ong,
ketika sadar dan tahu bahwa dua orang ini sebenarnya sama sekali bukanlah
orang-orang suci yang datang hendak menghibur mereka, bahkan sebaliknya adalah
orang-orang jahat yang datang hendak mengacau, menjadi panik dan makin
bersedih. Terdengar tangisan-tangisan dan sebentar saja keadaan di situ menjadi
gaduh sekali.
Tiba-tiba terdengar suara
orang mencela, “Hee, kalian ini apakah sudah gila? Menangis tidak karuan
padahal seharusnya bersyukur! Hayo diam semua jangan menangis, kalau tidak akan
kutampar mulutnya siapa yang menangis!”
Semua orang terheran dan kaget
sehingga suara tangisan benar-benar lenyap. Memang, seperti biasanya di dalam
sebuah kematian, sebagian besar tangisan orang hanyalah air mata buaya belaka,
yaitu tangis palsu asal keluar air mata saja agar membuktikan bahwa mereka
benar-benar berduka!
Ternyata yang baru saja
menegur adalah seorang kakek berpakaian seperti pengemis yang tubuhnya kurus
tinggi. Sesudah semua orang berhenti menangis, kakek ini lantas bernyanyi!
Suara nyanyinya yang parau itu mengucapkan kata-kata yang cukup aneh!
Ahh, Hek-mo-ong!
Kau benar-benar amat
berbahagia!
Kau telah kembali ke asalmu
semula,
tidak seperti kami yang masih
menjadi manusia!
Ahh, kau benar-benar
berbahagia, Hek-mo-ong!
Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i
Hui-mo yang tadinya saling pandang dan sudah bersiap-siap untuk memperebutkan kitab
di atas meja sembahyang itu, seketika air mukanya berubah ketika melihat
pengemis kurus kering ini.
“Ang-bin Sin-kai, engkau juga
datang? Kau tidak mau ketinggalan pula?” Kiu-bwe Coa-li menyindir.
“Ha-ha-ha-ha, tua bangka dari
timur mana mau mengalah? Ada tulang baik dan daging gemuk, tentu datang
anjing!” Hek-i Hui-mo juga menyindir.
Akan tetapi baik Hek-I Hui-mo
mau pun Kiu-bwe Coa-li kini lebih waspada dan bersiap lagi mengawasi
gerak-gerik Ang-bin Sin-kai, menjaga jangan sampai pengemis kurus itu
mendahului mereka mengambil kitab di atas meja!
“Kau benar, Setan Hitam!
Memang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tidak boleh terjatuh ke dalam tanganmu
yang kotor!” Ang-bin Sin-kai yang dimaki itu tersenyum-senyum saja.
Mendadak menyambar angin keras
dan tubuh seorang lain yang gemuk bundar seperti tubuh Hek-i Hui-mo, datang
bagaikan ‘menggelundung’! Ternyata dia adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Tiasu,
tokoh pertama dari selatan.
“Omitohud, bakal ramai
sekarang!” katanya sambil matanya yang bundar itu jelalatan ke kanan kiri.
“Pengemis bangkotan, kau juga sudah ada di sini?” katanya kepada Ang-bin
Sin-kai.
Pembaca tentu masih ingat akan
hwesio gemuk ini, karena pada permulaan cerita ini, dia sudah muncul bersama
Ang-bin Sin-kai dan mengadu kepandaian di pinggir pantai Laut Po-hai, maka tak
perlu kiranya dituturkan pula betapa hebat dan lihai kepandaian hwesio gemuk
ini!
“Bagus, bagus! Dengan
munculnya si gundul gendut ini, benar-benar menggembirakan!” berkata Ang-bin
Sin-kai yang segera menyambar sebuah bangku dan menduduki bangku itu. Matanya
terus mengincar ke arah kitab yang terletak di atas meja sembahyang.
Empat tokoh besar ini telah
mengetahui kepandaian masing-masing dan tak seorang pun di antara mereka berani
lancang bergerak untuk mengambil kitab itu. Sudah jelas bahwa mereka semua
datang untuk memperebutkan kitab itu, namun karena kitab itu berada di atas
meja dan mereka berempat sudah berada di sana, siapakah yang berani lancang
turun tangan lebih dulu? Oleh karena itu, Ang-bin Sin-kai memilih tempat duduk,
karena dia tahu bahwa menanti sambil berdiri saja amat melelahkan.
Tidak tahunya, akalnya ini
diketahui pula oleh yang lain-lain, maka yang tiga orang lagi pun segera
menyambar bangku dan ikut duduk! Empat orang itu kini duduk tak bergerak mengelilingi
meja sembahyang dalam jarak yang sama jauhnya. Masing-masing memutar otak
mencari akal bagaimana dapat mengambil kitab itu!
Tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li
berseru nyaring dan tahu-tahu pecutnya yang berbulu sembilan helai itu
menyambar ke arah meja. Ia hendak mencoba mengambil kitab itu dengan ujung
cambuknya.
Akan tetapi, sebelum pecut itu
mencapai kitab, sebatang tongkat berkepala naga datang menyambar dan menangkis
pecut itu sehingga terpental kembali! Ternyata Hek-i Hui-mo yang duduknya
paling dekat dengan Kiu-bwe Coa-li telah menangkis dan menggagalkan niat wanita
sakti itu!
“Eh, ehh, nanti dulu, Kiu-bwe
Coa-li,” kata hwesio dari Tibet ini sambil tertawa terkekeh.
Pada saat Kiu-bwe Coa-li
memandang, dia melihat Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu juga memandangnya
dengan senyum penuh arti. Senyum yang menyatakan bahwa mereka berdua ini pun
tidak akan tinggal diam saja kalau wanita tua itu turun tangan.
“Hemm, berat nih...,” pikir
Kiu-bwe Coa-li, lalu ia duduk kembali sambil mengerling ke kiri kanan. “Apakah
kalian begitu pengecut tidak berani mendahului turun tangan mengambil kitab
itu?” tanyanya.
Akan tetapi, tiga orang kakek
itu tidak menjawab, hanya duduk saja sambil tersenyum-senyum. Benar-benar
keadaan mereka lucu sekali, kini hanya duduk diam saja, bagaikan empat orang
kawan lawan yang baru bertemu dan mengobrol mengitari meja!
“Bagus, baiknya aku belum
terlambat!” mendadak terdengar suara halus dan datanglah seorang kakek bertubuh
pendek kecil diikuti oleh dua orang anak laki-laki di tempat itu.
Semua orang menengok dan
ternyata kakek ini adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, tokoh besar dari utara!
Ada pun dua orang anak kecil itu adalah murid-muridnya, yakni Gouw Swi Kiat dan
The Kun Beng.
Dua orang anak-anak ini sudah
sering kali mendengar dari suhu mereka tentang empat orang tokoh yang kini
duduk mengelilingi meja sembahyang. Maka, mereka tidak berani mendekat, lalu
menghampiri Ben Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li, karena melihat anak perempuan
yang mungil dan cantik duduk di tempat agak jauh sambil menonton.
“Bagus, tua bangka dari utara
sekarang sudah datang, kaulah yang boleh mulai mencoba mengambil kitab itu.
Bukankah untuk itu kau datang?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
Akan tetapi Siangkoan Hai Si
Dewa Dari Utara bukanlah seorang bodoh. Hanya melihat sekelebatan saja, dia
tahu bahwa empat orang ini tidak berani mengambil kitab, karena kalau seorang
mengambil, yang lain tentu akan mencegahnya. Ia tertawa terkekeh-kekeh sambil
memandang mereka berempat itu berganti-ganti.
“Heh-heh-heh! Dunia ini ternyata
tak lebih lebar dari pada setapak tangan. Tak kusangka bahwa aku di sini akan
bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Jen-kin-jiu Kak Thong Taisu dari selatan!
Hek-i Hui-mo dari barat dan Ang-bin Sin-kai dari timur! Hebat benar! Apakah
seluruh dunia sudah terbakar oleh api neraka sehingga iblis-iblis dan
setan-setan datang berkumpul di sini? Dan berkumpul mengelilingi meja kematian
pula! Heh-heh-heh! Orang yang berada di dalam peti mati ini benar-benar seorang
yang beruntung dan terhormat. Kaisar sendiri kalau mati tak mungkin dapat
mengundang datang setan-setan dari barat, timur dan selatan!”
“Ehh, tua bangka kecil, kau
lupa menyebutkan iblis dari utara!” kata Ang-bin Sin-kai.
“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu
tertawa. “Memaki orang lain memang mudah, mana bisa memaki diri sendiri?”
Disindir oleh dua orang kakek
itu, Siangkoan Hai hanya tersenyum-senyum saja, lalu dia menghampiri peti mati
di mana tersimpan jenazah Hek-mo-ong. Empat orang yang lain segera memandang
dengan penuh perhatian dan kecurigaan. Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang peti
mati itu, lalu berkata lagi,
“Ingin aku melihat orang yang
mendapat kehormatan demikian besar!” sambil berkata demikian, dua tangannya
bergerak ke arah peti dan tiba-tiba sambil mengeluarkan suara keras, tutup peti
itu telah dibukanya!
Semua keluarga yang mati
berseru keras dan lari berserabutan ke belakang dan keluar, cepat-cepat pergi
dari tempat itu. Mereka ketakutan setengah mati karena kedatangan lima orang
yang seperti iblis-iblis berkeliaran itu.
Pemandangan yang nampak di
dalam peti memang mengerikan sekali. Tadinya, karena pengaruh racun jahat yang
memasuki perut Hek-mo-ong, muka orang ini sudah menjadi hitam kebiruan. Akan
tetapi sekarang, kepalanya telah pecah sedangkan di ulu hatinya menancap jarum
hitam! Inilah akibat dari pukulan lweekang dari Kiu-bwe Coa-li yang tadi
meraba-raba peti dan serangan jarum hitam dari Hek-i Hui-mo!
“Siancai, siancai...!”
Pak-lo-sian menyebut sambil cepat-cepat menutupkan peti kembali. “Benar-benar
Hek-mo-ong telah mampus. Bahkan tiga kali mampus.”
Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe
Coa-li, dan kedua orang murid Pak-lo-sian, segera berdiri menonton semua itu.
Mereka bertiga sama sekali tidak takut melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Bahkan Sui Ceng dengan senyuman yang membuat pipi kirinya dekik, melirik ke
arah The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, lalu berkata,
“Guru kalian itu bertubuh
kecil, akan tetapi berkepala besar. Orang sombong seperti dia mana bisa
mendapatkan kitab?”
Mendengar ucapan ini, Gouw Swi
Kiat yang berdarah panas lalu menjawab, “Kau bocah ingusan tahu apa? Lihat
betapa suhu kami akan merampas kitab itu!”
“Huh! Sebelum dia menyentuh
kitab, kepalanya akan hancur seperti kepala Hek-mo-ong oleh tangan guruku!”
kata Sui Ceng sambil menjebikan bibirnya yang merah.
“Betulkah?” seru Swi Kiat
penasaran. “Atau kepalamu yang akan pecah terlebih dulu oleh tanganku?”
Sikapnya mengancam dan dia seakan-akan hendak menyerang nona cilik itu.
“Suheng, kenapa mencari
perkara? Tiada salahnya dia ini membela dan memenangkan gurunya sendiri. Kita
lihat sajalah buktinya nanti.” The Kun Beng mencegah suheng-nya.
Mendengar ini, Sui Ceng
melirik ke arah Kun Beng dan diam-diam di dalam hatinya Sui Ceng merasa jauh
lebih suka kepada Kun Beng dari pada Swi Kiat.
Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan
Hai yang tak mau membuang-buang banyak waktu untuk menanti sambil memandangi
kitab yang amat diinginkannya itu, tiba-tiba melompat dan sekali sambar saja
dia sudah mengambil kitab itu. Akibatnya hebat sekali. Serentak empat orang
tokoh yang lain bangun dan bergerak menyerang.
“Lepaskan kitab itu!” seru
Kiu-bwe Coa-li yang lebih dulu menyerang dengan cambuknya.
Siangkoan Hai cepat mengelak,
akan tetapi dia disambut oleh serangan bertubi-tubi dari Hek-i Hui-mo,
Jeng-kin-jiu, dan Ang-bin Sin-kai! Serangan-serangan tiga orang ini tentu saja
tak bisa dipandang ringan, sebab kepandaian mereka setingkat dengan kepandaian
Siangkoan Hai.
Dengan kaget Siangkoan Hai
mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya melompat ke belakang secepatnya, namun
masih saja sebuah pukulan dari jauh yang dilancarkan oleh Ang-bin Sin-kai
mengenai pundaknya sehingga dia menjadi terhuyung-huyung!
Pada saat itu, Kiu-bwe Coa-li
telah menubruk lagi dan sekali renggut, dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Merampas
Bunga, kitab di tangan Siangkoan Hai itu telah dapat dirampas olehnya!
Kiu-bwe Coa-li yang sudah
dapat merampas kitab hendak melompat ke arah muridnya dan hendak melarikan diri
sambil membawa muridnya itu. Akan tetapi sebelum ia tiba di depan Sui Ceng, di
depannya telah menghadang Hek-i Hui-mo!
“Enak saja kau mau membawa
pergi kitab itu? Lepaskan!” kata Iblis Terbang Baju Hitam ini dan tasbihnya di
tangan kiri menyambar ke arah dada Kiu-bwe Coa-li!
Serangan hebat ini dapat
mendatangkan maut, karena meski pun hanya berupa tasbih, namun senjata aneh ini
bukan main lihainya, merupakan segundukan cahaya putih yang bulatan tasbih itu
menghantam ke arah jalan darah di dada.
Kiu-bwe Coa-li cepat
menggerakkan pecutnya menangkis. Terdengar suara keras sekali dan bunga api
berpijar ketika dua senjata aneh ini bertemu. Keduanya tergetar mundur dan
sebelum Kiu-bwe Coa-li sadar, ia hanya merasa kitab itu dibetot orang dan
terlepas dari pegangannya!
Ketika ia menoleh, ternyata
bahwa kitab itu telah berpindah ke dalam tangan Ang-bin Sin-kai! Kakek pengemis
ini tertawa-tawa sambil memegang kitab itu tinggi-tinggi, seperti sikap seorang
kanak-kanak yang menggoda kawan-kawannya.
“Jembel tua, kau serahkan
kitab itu kepadaku!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil mengulur tangan
hendak merampas. Tangan kirinya diulur hendak merampas, ada pun tangan kanannya
menonjok dada pengemis tua itu!
Pada saat yang sama Hek-i
Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga tidak tinggal diam
dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok empat!
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa
dia tak mungkin dapat melawan empat orang lihai ini, dan walau pun dia
melarikan diri, ilmu lari cepat mereka pun tidak kalah olehnya. Maka dia cepat
berseru, “Tahan serangan!”
Berkata begini, dia melempar
kitab ke atas meja sembahyang kembali.
Empat orang yang menyerangnya
tertegun dan tidak jadi menyerang, karena serangan mereka itu pun hanya
berdasarkan ingin merampas kitab, sedangkan kini kitab sudah berada di atas
meja lagi, untuk apa menyerang lawan yang sama lihainya itu?
“Hayo, siapa berani mengambil
kitab itu, dialah jagoan sejati!” Ang-bin Sin-kai tertawa dan kembali menduduki
bangkunya yang tadi.
Empat orang yang lain merasa
ragu-ragu dan akhirnya mereka pun menduduki bangku dan duduk lagi mengelilingi
meja sembahyang di mana terdapat kitab itu. Semua orang maklum bahwa apa bila
dia memberanikan diri mengambil kitab itu, tentu akan langsung diserang oleh
empat orang lainnya dan hal ini tidak mungkin, karena bahayanya terlalu besar.
Akhirnya, tak seorang pun di antara mereka berani turun tangan mengambil kitab,
dan kelima orang ini hanya saling pandang dan tertawa ha-ha-hi-hi-hi, tertawa
masam!
Terdengar suara ketawa
kanak-kanak dan yang tertawa adalah Sui Ceng dan Kun Beng. Dua orang anak ini
merasa geli karena pemandangan itu benar-benar terlihat lucu sekali!
Sebaliknya, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas itu merasa mendongkol sekali.
Benar suhu-nya tidak mampu mengambil kitab itu dan kini gurunya, seperti yang
lain-lain, hanya duduk saja menghadapi meja sembahyang seperti patung.
Dari sikap mereka ini saja
sudah dapat dilihat bahwa Sui Ceng dan Kun Beng memiliki sifat periang yang
sama, ada pun Swi Kiat mempunyai sifat pemarah dan keras.
“Suhu, apa sih sukarnya
mengambil kitab? Ambil dan lawan mereka, masa Suhu akan kalah?” seru Swi Kiat
kepada suhu-nya.
“Hush, diam kau. Tahu apa kau
tentang urusan ini?” bentak suhu-nya dan Swi Kiat makin mendongkol.
“Sayang kepandaianku masih
belum sempurna. Kalau tidak, aku sama sekali tidak takut menghadapi mereka!” ia
mengomel.
Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak.
“Pak-lo-sian, muridmu yang itu
benar-benar keras seperti batu. Tidak seperti muridmu yang ke dua itu, yang
lunak seperti air!” katanya.
Keluarga dari Hek-mo-ong yang
melihat betapa lima orang itu bertempur tak karuan rupa, kemudian kini duduk
lagi mengelilingi meja sembahyang, menjadi terheran-heran, takut, dan juga
cemas. Akhirnya, isteri Hek-mo-ong memberikan diri maju sambil
membungkuk-bungkuk.
“Mau apa kau?” Kiu-bwe Coa-li
membentak sehingga nyonya itu menjadi pucat.
“Kami bermaksud hendak
mengubur jenazah tiga orang keluarga kami ini, apakah tidak boleh?” tanya
nyonya itu dengan suara gemetar.
Di antara kelima orang tokoh
yang aneh serta menyeramkan itu, Ang-bin Sin-kai boleh dibilang memiliki watak
yang paling lembut. Ia menaruh kasih kepada nyonya ini, maka sambil
menggerakkan tangan dia berkata, “Uruslah jenazah itu baik-baik dan bawa pergi
dari sini. Akan tetapi, jangan sekali-kali berani menyentuh meja sembahyang
kalau kalian sayang kepada nyawa sendiri.”
Setelah mendengar kata-kata
ini, nyonya Hek-mo-ong lalu segera memberi tanda kepada keluarganya dan
beramai-ramai akan tetapi hati-hati sekali supaya jangan mengganggu lima orang
aneh itu, mereka lalu mengangkat tiga buah peti mati itu untuk dikuburkan.
Akan tetapi, lima orang itu
tetap saja duduk mengelilingi meja sembahyang tanpa berani turun tangan, akan
tetapi juga tidak sudi mengalah dan tidak mau meninggalkan tempat itu!
Hari sudah mulai senja.
Tiba-tiba Sui Ceng yang merasa kesal berkata kepada gurunya, “Suthai, perutku
lapar, hidangan di meja sembahyang itu tidak diperlukan, bukan? Lebih baik
berikan kepada teecu!”
Kiu-bwe Coa-li boleh jadi
seorang wanita sakti yang berhati baja dan terkenal ganas, akan tetapi terhadap
muridnya ini, ia menaruh hati kasih sayang yang besar. Mendengar kata-kata
muridnya ini, ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan menggerakkan pecutnya
yang berbulu sembilan itu ke arah meja. Secara luar biasa sekali dua helai bulu
pecutnya melibat pinggir piring sebelah bawah dan mengangkat piring itu yang
terus dilontarkan ke belakang dimana muridnya berdiri!
Hebat sekali demonstrasi
tenaga lweekang ini, karena piring yang penuh kue mangkok itu melayang tanpa
kuenya jatuh sama sekali! Sui Ceng menyambut piring ini dengan kedua tangannya
dan ternyata selama ikut dengan gurunya, anak perempuan ini sudah memiliki
kepandaian yang lumayan juga karena ia dapat menyambut piring itu tanpa ada kue
yang jatuh.
Bocah ini lalu mengambil
sebuah mangkok dan makan kue dengan enaknya. Pada saat makan kue, dia melirik
ke arah Kun Beng dan tiba-tiba saja dia menyodorkan piring kue mangkok itu
kepada Kun Beng.
Anak laki-laki ini tersenyum
dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa mengeluarkan sepatah
pun kata. Sui Ceng juga menyodorkan piringnya kepada Swi Kiat, akan tetapi Swi
Kiat membuang muka kemudian berjalan ke dalam rumah untuk minta makanan dari
tuan rumah yang segera melayaninya dengan ramah karena takut kepada gurunya.
Benar-benar keras hati anak ini.
Akan tetapi Sui Ceng tidak
menghiraukannya, bahkan lantas mencela kepada Kun Beng, “Suheng-mu itu kepala
batu. Aku tidak suka kepadanya!”
Sebaliknya Kun Beng memuji
nona kecil ini, “Kau baik hati, aku suka kepadamu.”
“Hm, memberi kue bukan berarti
bahwa aku suka kepadamu!” jawab Sui Ceng merengut. “Hanya karena aku tadi
mendengar suara perutmu berkeruyuk!”
Dia menyodorkan lagi piringnya
dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil sebuah kue lagi. Keduanya
saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak kecil ini telah mendapat
kecocokan dalam pertemuan yang aneh ini.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
tertawa melihat ini. “Eh, Ular Betina Buntut Sembilan (Kiu-bwe Coa-li)! Muridmu
itu baik sekali, tidak seperti engkau! Kelak kalau ada jodoh, aku akan
menemuimu untuk membicarakan urusan mereka berdua itu!”
Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li
diam saja, bahkan memperlihatkan muka yang tidak senang. “Kalian ini
orang-orang lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan sekali!” katanya sambil
membanting kaki kirinya. “Masa kita harus duduk diam saja dan menjadi patung di
sini? Baik diatur begini saja. Aku hendak menantang kalian maju melawan aku
seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang dapat mengalahkan
cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu lagi. Hayo,
siapa berani maju lebih dulu?”
Sambil berkata demikian,
wanita sakti ini kemudian bangkit berdiri dan mengayun-ayun cambuknya dengan
sikap menantang sekali. “Akan kuhancurkan kepala kalian empat orang laki-laki
tolol.”
Melihat sikap gurunya, Sui
Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun Beng dan Swi Kiat
lalu berkata, “Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang seperti gurumu
dapat melawan dan mengalahkannya?”
Karena kata-kata ini diucapkan
dengan keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang menjadi
panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari bangkunya menghadapi Kiu-bwe
Coa-li. Memang watak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini sombong dan dalam hal
ilmu silat, dia tidak pernah mau mengalah terhadap siapa pun juga.
“Kiu-bwe Coa-li, siapa sih
yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita main-main
sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu mengeluarkan
sepasang kipas.
Inilah senjata yang amat lihai
dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas warna hitam dan putih. Ia mempunyai
ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hoat, yang permainannya membutuhkan
tenaga lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu kipas ini dan
ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat lihai ini,
juga dia mempunyai ilmu silat tangan kosong yang jarang ada bandingannya di
dunia ini. Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang memegang sebuah
cambuk, yakni senjata yang lemas, dia merasa rugi kalau harus menghadapinya
dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk menghadapinya.
Dua orang sakti itu telah
saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan bergebrak ramai.
“Nanti dulu!” berkata
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya yang bulat itu
seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di tengah, di antara
kedua jago tua yang hendak bertanding. “Harus diadakan perjanjian lebih dulu
yang adil!”
“Apa maksudmu, keledai
gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.
“Kalau dalam pertandingan ini
ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan tetapi kalau tidak
sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan tidak berhak lagi
menginginkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah yang akan menghadapi
lawan ke dua!” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu menerangkan.
Ang-bin Sin-kai maklum dalam
pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang bahwa yang kalah masih
dapat hidup, maka dia segera melompat maju juga dan sambil tertawa-tawa dia
mengacung-acungkan tangannya seperti yang hendak mengusulkan sesuatu dalam
rapat!
“Nanti dulu, aku pun mau
mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada betulnya, akan
tetapi masih kurang adil.”
“Cecak kering, bagaimana kau
bilang masih kurang adil?” Jeng-kin-jiu bertanya sambil tertawa lebar.
“Kalau dibiarkan dua orang
berhantam, biar pun ada yang menang, tentu si pemenang itu sudah empas-empis
napasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus menghadapi lawan
ke dua? Ini tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh tenaga baru! Lebih
baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi, yakni dengan pembakaran hio pendek
yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan dan setelah hio
terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.”
“Hmm, hio akan terbakar habis
setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih. Bagaimana kalau
tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya Pak-lo-sian Siangkoan
Hai.
Ang-bin Sin-kai
menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang kembali
untuk kedua kalinya.”
Semua orang menyatakan setuju,
maka Ang-bin Sin-kai cepat-cepat menyalakan hio dan ditancapkan di tempat hio
yang berada diatas meja sembahyang.
“Mulai!” kata Ang-bin Sin-kai
sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit pertandingan!
“Lihat senjata!” Kiu-bwe
Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai
menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah kipas yang
dimainkan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali digunakan untuk
menangkis.
Seperti diketahui, ujung pecut
adalah benda lemas, maka walau pun oleh pemegangnya digerakkan dengan
pengerahan tenaga dalam, saat tertangkis oleh kipas yang mengebut akan bertolak
kembali. Akan tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku lambat. Cepat dia
membalas serangan lawan dengan kipas kanan yang berwarna hitam sambil kerahkan
tenaga gwakang.
Wanita sakti itu cepat
mengelak. Ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu cambuk
bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam nyawa
lawan!
“Satu jurus!” seru Ang-bin
Sin-kai menghitung, seakan-akan anak kecil yang bergembira melihat dua orang
kawan berhantam!
Serangan Kiu-bwe Coa-li
benar-benar lihai. Cambuknya itu walau pun hanya bergagang satu, akan tetapi
karena ujungnya memiliki sembilan helai bulu panjang yang bergerak
masing-masing dari segala jurusan, maka merupakan sembilan senjata yang amat
lihai.
Namun Pak-lo-sian Siangkoan
Hai juga bukan orang sembarangan. Sepasang kipasnya bisa digerakkan hingga
menimbulkan angin berputar. Dari mana pun juga bulu-bulu pecut itu menyerang,
selalu dia dapat mengebut senjata lawannya sehingga dia terhindar dari bahaya
maut. Ada pun kipas hitamnya juga berkali-kali menyerang yang semuanya dapat
pula dihindarkan oleh Kiu-bwe Coa-li.
“Guruku pasti menang!” kata
Sui Ceng sambil mulutnya terus bergerak-gerak makan kue mangkok. Dalam
ketegangannya, tak terasa pula makin cepat ia makan kue itu sehingga mulutnya
yang kecil itu bergerak-gerak lucu.
“Tak mungkin! Guruku yang akan
membikin mampus gurumu!” kata Swi Kiat.
Sui Ceng mendelikkan matanya.
“Siapa bilang? Kalau gurumu sampai terkena cambukan guruku, nyawanya tentu
melayang ke akhirat!”
“Ssttt……! Jangan ribut-ribut!”
Kun Beng mencela kedua orang anak itu. “Kita lihat saja siapa yang yang akan
menang.”
Pertempuran itu benar-benar
hebat sekali. Bahkan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin
Sin-kai, mau tidak mau harus memuji kelihaian dua orang itu. Ang-bin Sin-kai
yang merasa gembira sampai seperti anak kecil dan menghitung terus.
“Dua puluh delapan jurus! Dua
puluh sembilan…! Ahh, cukup! Hio-nya sudah padam lagi. Tahan!”
Mendengar ini Kiu-bwe Coa-li
dan Siangkoan Hai lalu melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing.
Nampak bayangan kecewa di muka Kiu-bwe Coa-li, sedangkan Siangkoan Hai juga
merasa penasaran sekali karena tak dapat mengalahkan lawannya.
“Kau hebat, Ular Betina!
Benar-benar aku kagum sekali!” katanya.
“Dalam babak ke dua nanti kau
pasti akan kurobohkan, Pak-lo-sian,” kata Kiu-bwe Coa-li dengan muka merah.
“Sekarang siapakah yang akan melawan aku?” tantangnya.
“Hee, kau jangan begitu
bernafsu dan serakah, Kiu-bwe Coa-li!” Ang-bin Sin-kai mencela, “Sekarang
giliran orang-orang lain, jangan main borong semua.”
Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu sudah melompat dan saling berhadapan sehingga Kiu-bwe Coa-li
terpaksa mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi.
“Eh, ehh, aku dulu!” Ang-bin
Sin-kai berkata kebingungan setelah melihat dua orang yang sama gundul, sama
bundar bulat itu saling berhadapan. “Siapa nanti lawanku?”
“Cecak kurus, kau minggirlah
dan nyalakan lain hio!” Kak Thong Taisu berkata, “Hek-i Hui-mo Si Setan Hitam
patut menjadi lawanku!”
Ketika Ang-bin Sin-kai
menyalakan lain hio, terdengar suara gelak terbahak yang merdu dan nyaring.
Ternyata Sui Ceng dan Kun Beng tertawa bergelak sambil menudingkan jari tangan
ke arah Jeng-kin-kiu dan Hek-i Hui-mo.
Memang lucu sekali dua orang
ini. Keduanya gendut sekali dan kelihatannya seperti dua ekor babi kebiri yang
gemuk sedang berhadapan. Wajah Hek-i Hui-mo kelihatan seram dan galak,
sedangkan Kak Thong Taisu memang selalu kelihatan tertawa-tawa. Mereka ini
tiada ubahnya seperti dua orang pelawak yang beraksi.
Akan tetapi, ketika keduanya
sudah bergerak saling serang, hebatnya bukan main. Meja sembahyang yang terkena
sambaran pukulan mereka sampai bergerak-gerak, juga lantai sampai tergetar dan
beberapa macam barang yang letaknya terlalu tinggi dan berada di atas meja,
roboh terguling!
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu
mainkan sebuah toya besar yang berat. Memang hwesio tokoh selatan ini adalah
seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti gajah, maka toya yang berat
itu di tangannya hanya merupakan ranting yang ringan saja dan ketika
diputarnya, merupakan segulungan sinar yang mendatangkan angin ribut!
Sebaliknya, Hek-i Hui-mo juga
memiliki tenaga besar, sedangkan Tongkat Kepala Naga (Liong-thouw-tung) pada
tangan kanannya, ditambah pula dengan tasbih di tangan kiri, merupakan sepasang
senjata aneh yang dapat mengimbangi ancaman toya Jeng-kin-jiu.
“Tang! Tung! Tang! Tung!”
berkali-kali terdengar suara dibarengi bunga api berpencaran ke sana ke mari
kalau senjata-senjata itu bertemu dengan kerasnya.
Menghadapi pertandingan yang
dilakukan dengan tenaga kasar dan nampak dahsyat sekali ini, Sui Ceng, Kun
Beng, dan Swi Kiat sampai berdiri melongo saking tertarik dan juga merasa
ngeri. Mereka yang semenjak kecil telah terdidik ilmu dapat membayangkan
kehebatan sambaran-sambaran senjata itu yang akan dapat meremukkan batu karang,
apa lagi kepala manusia yang gundul-gundul seperti Jeng-kin-jiu dan Hek-i
Hui-mo itu! Tentu akan pecah berantakan.
“Cukup! Hio sudah padam!”
tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Pertandingan kali ini lebih
cepat habisnya. Hal ini oleh karena sambaran senjata mereka yang digerakkan
tenaga luar biasa itu mendatangkan angin dan membuat nyala api hio makin
membesar dan cepat menghabiskan hio itu.....
Kedua orang hwesio itu
‘menggelundung’ mundur dan saling menjura.
“Omitohud! Jeng-kin-jiu
benar-benar bertenaga besar. Pinceng merasa amat kewalahan menghadapimu,” kata
Hek-i Hui-mo.
“Omitohud! Apa bila
dibandingkan, tasbihmu itu benar-benar lebih lihai sepuluh kali lipat dari pada
tongkatku.” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memuji.
Sesudah duduk kembali Ang-bin
Sin-kai nampak termenung dan diam saja, agaknya dia sedang memutar otaknya.
“Ehh, pengemis bangkotan. Hayo
kau maju melawan aku!” kata Siangkoan Hai dengan gembira.
Memang kelima orang ini adalah
jago-jago tua yang berkepandaian tinggi. Dan di dalam dunia ini tidak ada
kesukaan yang melebihi kesukaan mereka bertempur dan mengadu ilmu.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai diam
saja dan keningnya nampak berkerut tanda dia sedang berpikir keras. Akhirnya
dia mengangkat muka dan berkata dengan suara bersungguh-sungguh, “Kita semua
sudah melakukan kebodohan besar! Benar-benar kita sudah tolol sekali, berebut
mangkok butut yang kosong. Apa artinya kitab itu? Ambillah siapa saja yang suka
mengambil. Aku tidak butuh lagi.”
Semua orang memandang heran.
“Ehh, apa maksudmu, Ang-bin
Sin-kai? Apa kau takut menghadapi pertempuran?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
Ang-bin Sin-kai menggeleng-gelengkan
kepala. “Pertempuran adalah bagus sekali untuk menambah semangat di dalam
kepala kita yang sudah tua. Akan tetapi untuk apa? Apa artinya kitab itu tanpa
penterjemah? Di dunia ini hanya Gui Tin siucai seorang yang dapat
menterjemahkan. Sekarang dia sudah mati, untuk apa kita berebut kitab itu?
Sekarang kitab itu tiada gunanya lagi!”
Mendengar ucapan ini,
bengonglah semua orang itu. Pikiran mereka baru terbuka dan mereka pun saling
pandang dengan tertegun.
Sambil tertawa bergelak Ang-bin
Sin-kai menghampiri meja dan berkata, “Nah, inilah. Kalian lihat sendiri, siapa
di antara kita yang dapat membaca kitab kuno ini? Kalian tahu, aku seorang ahli
sastra pula, dan aku tahu bahwa kitab ini usianya masih lebih tua dari pada
usia nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu!”
Ia lalu mengambil kitab itu
dan yang lain-lain tidak bergerak untuk mencegah lagi. Sambil membuka kitab itu
Ang-bin Sin-kai memperlihatkannya kepada semua orang, dan benar saja. Tulisan
pada kitab itu tidak karuan macamnya dan tidak dapat dibaca sama sekali. Hanya
pada halaman terdepan ditulis dengan huruf besar dan jelas ‘IM-YANG BU-TEK
CIN-KENG’, akan tetapi selanjutnya tak ada satu huruf pun yang dapat mereka
baca.
“Ha-ha-ha!” Ang-bin Sin-kai
tertawa lagi sambil menuding ke arah huruf pertama. “Siapa di antara kita yang
dapat membaca huruf pertama ini?”
Semua orang memandang.
“Huruf BENG!” kata
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Bukan, gundul! Huruf BENG di
depannya pakai huruf JIT, akan tetapi ini pakai huruf GO!” Ang-bin Sin-kai
membantah. “Huruf macam ini tidak terdapat dalam kata-kata kita. Siapa yang
akan dapat menterjemahkan kecuali mendiang Gui-suicai?”
Sambil berkata demikian,
Ang-bin Sin-kai melemparkan kitab itu ke atas meja, karena setelah membuka-buka
lagi, mereka hanya melihat tulisan-tulisan yang bentuknya seperti gambar yang
tidak karuan, ada gambar udang, gambar kepiting, gambar muka orang dan
lain-lain yang tak dapat diartikan sama sekali.
“Aku tahu! Anak kecil itu…”
kata Kiu-bwe Coa-li. Lalu ia menengok kepada muridnya dan berkata, “Sui Ceng,
siapa namanya anak laki-laki murid Gui-suicai itu?”
“Namanya Lu Kwan Cu!” kata Sui
Ceng
Muka Ang-bin Sin-kai berubah,
“Anak kecil itu mana mengerti?”
“Belum tentu!” kata Hek-i
Hui-mo. “Kita harus tangkap dia dan tanya dia, siapa tahu dia sudah mempelajari
dari gurunya!”
Kembali mereka bersitegang dan
kini timbul harapan baru, maka mereka saling pandang dengan penuh kecurigaan
dan tak seorang pun berani mencoba untuk mengambil kitab itu lagi!
Ang-bin Sin-kai mengangguk.
“Baik! Sekarang diatur begini saja. Di sini ada tiga orang anak murid Kiu-bwe
Coa-li dan Pak-lo-sian. Biarlah mereka membawa meja ini dan kita berjalan di
belakang, lalu kita mencari Lu Kwan Cu. Kalau dia bisa menterjemahkan, kita
lanjutkan pertandingan ini.”
Demikianlah The Kun Beng, Gouw
Swi Kiat, dan Bun Sui Ceng lalu mengangkat meja sembahyang itu bertiga,
diangkat tinggi-tinggi. Kecuali kitab itu yang berada di tengah-tengah, semua
barang di atas meja itu telah dilemparkan. Lalu berangkatlah mereka.
Benar-benar lucu sekali
rombongan ini. Yang di depan tiga orang anak kecil. Kun Beng dan Swi Kiat
memegang kaki meja berjalan di depan. Sui Ceng kaki meja di belakang. Dan di
belakang ‘meja berjalan’ ini berjalanlah lima orang tua yang aneh!
“Hee, kenapa meja ini menjadi
berat?” Swi Kiat berkata dan ketika menoleh, dia segera membentak, “Bocah
setan, jangan main-main!”
Kun Beng yang juga menengok,
terdengar tertawa. Ternyata bahwa Sui Ceng yang nakal itu, kini tidak lagi ikut
memanggul meja, melainkan dia bergantung pada kaki meja yang dipegangnya itu!
Karena tubuhnya paling pendek, maka dia dapat begantung sehingga boleh dibilang
dia dipikul oleh Kun Beng dan Swi Kiat. Setelah Swi Kiat membentaknya, barulah
Sui Ceng menurunkan kakinya dan ikut memanggul lagi. Benar-benar seperti tiga
orang anak kecil memanggul patung toapekong dari kelenteng yang diarak…..
********************
Kita ikuti perjalanan Lu Kwan
Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang. Meski pun dia telah
memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh, dan diperkuat
pula dengan latihan-latihan semedhi semenjak dilatih oleh Loan Eng dan kemudian
dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah
diterjemahkan oleh suhu-nya, yakni Gui Tin, namun menghadapi keadaan hidupnya,
dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat kesunyian.
Tadinya, sesudah bertemu
dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasa bahagia, dan merasa suka
sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian sesudah dia berpisah dari Loan Eng
dan bertemu dengan Gui Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan lagi karena
dia merasa ada orang yang harus dijaganya, yang dapat dikasihinya dan juga
mencintainya. Maka dapatlah dibayangkan betapa sakit hatinya ketika dia
menyaksikan kematian Gui Tin.
Ketika dia melakukan
perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki gunung dan di
luar sebuah dusun dia melihat ada sebuah rumah pondok yang reot dan kosong. Ia
merasa girang dan memasuki rumah ini.
Perutnya terasa lapar sekali
dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni Menteri Lu Pin, dia
taruh di atas lantai dalam rumah itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya
terang sekali! Akan tetapi bagi Kwan Cu, bulan yang bundar itu bahkan
menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan.
Kalau saja dia tidak mempunyai
hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis tersedu-sedu. Akan
tetapi Kwan Cu tidak mau menangis. Dia keluar dari rumah pondok reot itu dan
duduk di luar rumah di atas sebuah batu. Ketika memandang ke arah bulan yang
bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu seakan-akan berubah menjadi
wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar kemudian berubah lagi menjadi wajah
Gui Tin yang sayang kepadanya.
Ia membuang muka dan tak
berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang semua
daunnya sudah rontok, tinggal cabang-cabangnya saja dan membuat keadaan menjadi
makin sunyi.
Lu Kwan Cu duduk dengan tangan
kiri menunjang dagunya. Dia duduk termenung, tidak bergerak seakan-akan dia
telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu tertimpa cahaya
bulan sehingga mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak sunyi dan sedih.
“Memang betul kata suhu Gui
Tin,” pikirnya, “ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan jahat. Tergantung dari
orang yang menggunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang yang jahat dan ilmu
silatnya dia pergunakan untuk menolong orang. Kalau aku mengerti ilmu silat,
tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui Tin takkan sampai tersiksa
sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat menemukan kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan tetapi dimana aku harus
mencarinya? Aku harus menemukan petinya lebih dulu agar aku dapat mencari pula
kitab itu di dalam buku peta dan sejarah.”
Selagi dia duduk termenung,
mendadak dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari depan.
“Itu dia…!” Ia mendengar suara
seorang anak perempuan. “Hei… Kwan Cu...!”
Kwan Cu mengenal suara ini. Ia
berdiri dan menanti datangnya rombongan itu.
“Adik Ceng...!” teriaknya
girang.
Di dalam kesunyian seperti
itu, melihat orang yang di kenalnya, tentu saja mendatangkan rasa girang. Akan
tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat betapa Sui Ceng sedang
memanggul sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki yang segera dikenalnya
pula sebagai dua orang anak laki-laki yang dahulu pernah mempermainkan dirinya,
yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Lebih-lebih herannya ketika
dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula Ang-bin Sin-kai dan
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah dikenalnya baik-baik.
“Anak baik! Kau sudah berada
di tempat ini?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang.
“He, Kwan Cu! Kau masih ingat
kepada pinceng, bukan?” berkata Jeng-kin-jiu kak Thong Taisu dengan suara
gembira pula.
Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo,
dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini terkurung di
tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji dan manis.
Kwan Cu adalah seorang anak
yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu bersikap manis, dia
melirik ke arah meja yang kini sudah diturunkan oleh tiga orang anak-anak itu.
Pada saat melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa tentu mereka ini
membutuhkan pertolongannya untuk membaca buku itu!
“Cu-wi sekalian datang
mengejar teecu apakah hendak bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng itu?” tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja.
“Benar-benar! Kau benar-benar
seorang anak yang cerdas!” kata lima orang itu hampir berbareng.
“Kau tentu dapat membacanya,
bukan?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Kwan Cu, kau telah menjadi
murid Gui Tin, tentu gurumu telah mengajarkan membaca huruf-huruf aneh di dalam
kitab itu, bukan?” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata penuh gairah.
“Bagaimana isinya? Tentang
ilmu silatkah?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
“Lekas kau baca agar kami
mendengarnya, anak baik!” kata Pak-lo-sian.
Hanya Hek-i Hui-mo seorang
yang tidak berbicara apa-apa, namun seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah
Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya, tokoh barat dari
Tibet ini tidak khawatir takkan mendapatkan membaca kitab itu tanpa bantuan Gui
Tin. Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku kamus di dalam gudang kesusastraan
lama dan apa bila perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku tentang bahasa
yang dipergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
“Tidak ada gunanya bagi Ngo-wi
(Tuan Berlima) untuk bersusah payah membaca kitab itu. Tidak tahukah Ngo-wi
bahwa kitab itu adalah kitab palsu?” berkata Kwan Cu sambil menggelengkan
kepala, kemudian memandang kepada lima orang itu dengan sinar mata menyatakan
kasihan!
Terdengar seruan-seruan keras
dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih dekat dengan sinar mata
mengancam.
“Apa katamu?”
“Jangan bohong bocah!”
“Kuhancurkan kepalamu yang
gundul kalau kau menipu kami!”
Kwan Cu menggeleng-geleng
kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi semenjak dia dijejali
buah coa-ko oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biar pun menghadapi ancaman, dia
tetap tenang-tenang saja.
“Apa gunanya aku membohong?
Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul palsu, bukan
Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aslinya.”
Di antara lima tokoh besar
itu, Ang-bin Sin-kai yang paling sayang kepada Kwan Cu. Pengemis Sakti Muka
Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia lalu berkata, “Lu Kwan
Cu, jangan kau bicara sembarangan. Kau tidak tahu betapa besar arti ucapanmu
tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima orang ahli silat terbesar di
seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali saja seorang di
antara kami timbul hati marah, nyawamu tak akan dapat dipertahankan lagi. Kau
bilang kitab ini palsu? Kwan Cu, buktikan. Beri alasannya yang masuk akal!”
Kwan Cu memandang kepada
Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya, setelah pengemis
tua ini bicara dengan halus, dia melihat persamaan yang amat mengherankan
antara pengemis ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya!
“Locianpwe, selain suhu Gui
Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah mempelajari sedikit ilmu
sejarah.” Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar dan jeli, anak ini
memandang kepada lima orang tokoh besar itu seorang demi seorang, lalu katanya,
“Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula, bukan? Tahukah Ngo-wi, kitab ini
ditulis jaman apa?”
Lima orang tua itu saling
pandang.
“Aku tahu,” kata Ang-bin
Sin-kai cepat-cepat, “ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan begitu?”
“Pinceng pun tahu, memang
betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,” kata
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Tidak salah lagi, pinceng
juga tahu sedikit tentang sejarah,” menyambung Hek-i Hui-mo yang semenjak tadi
berdiam diri saja. “Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis pada jaman
Kerajaan Shia.”
Berseri wajah Kwan Cu. “Ehh,
ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!” serunya. “Sayangnya kurang
lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini di tulis di dalam
jaman Shia, tentu Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini palsu!”
“Mengapa demikian?” suara
Kiu-bwe Coa-li mengguntur.
“Oleh karena pada jaman Shia
belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang
tulen ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu berani katakan
bahwa kitab ini palsu!”
Lima orang tua itu saling
pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka yang tiba-tiba
menjadi amat kecewa.
“Tar! Tarr!”
Tiba-tiba terdengar bunyi
suara dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak melayang-layang, lalu sehelai
bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu dan membelitnya!
“Hayo katakan, pelajaran apa
saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu ini! Katakan terus terang
kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!”
Kwan Cu merasa bahwa bulu
pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin mencekik. Ia cepat
mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan pelajaran yang dia
latih dari kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini tidak terasa amat
mencekik lagi.
“Aku tidak tahu.” Kata Kwan
Cu.
“Bohong!” bentak Kiu-bwe
Coa-li.
Ia menggetarkan tangannya yang
memegang cambuk sehingga lilitan makin erat. Akan tetapi alangkah terkejutnya
ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan, tanda bahwa dari leher anak
gundul itu keluar getaran tenaga perlawanan yang aneh!
Kekagetannya ini belum lenyap
ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan ternyata Ang-bin
Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher anak itu sambil
berkata,
“Kiu-bwe Coa-li, kita semua
memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!” sambil berkata demikian, dengan
pengerahan tenaga lweekang, dia lalu memencet bulu pecut itu dan memunahkan
serangan Kiu-bwe Coa-li pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu terlepas lagi.
Kiu-bwe Coa-li mendelikkan
matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia pun melihat betapa tiga orang
tua yang lainnya sudah mendekatinya dengan sikap mengancam pula seperti ketika
ia hendak mengambil kitab itu dulu. Ternyata bahwa kini anak gundul inilah yang
diperebutkan!
“Di mana kitab aslinya?!”
Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu. “Awas, jangan
membohong!”
“Siapa yang perlu membohong.
Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab lapuk itu untuk
apakah?” Kwan Cu berkata jengkel. “Guruku Gui Tin pernah mengatakan bahwa
memang ada kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng, akan tetapi tidak menerangkan di
mana, hanya samar dikatakan bahwa kitab itu berada di dalam sebuah pulau kosong
yang sangat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah, aku sudah bicara terus
terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat bicara lain dan habis
perkara!”
Memang hebat sekali kalau
dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, tapi melihat ketabahan
serta keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, sungguh luar biasa sekali. Melihat
sikap Kwan Cu, Sui Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan ini
mendekatinya.
“Kau hebat, Kwan Cu...,” katanya.
Kwan Cu hanya memandang dan
tersenyum sedih kepadanya. “Apanya yang hebat, adik Ceng? Aku hanya menimbulkan
keributan belaka...”
Pada saat itu, bulan yang
tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya awan hitam yang
terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba menyambar bayangan
Hek-i Hui-mo ke arah meja. Disambarnya kitab itu dari atas meja kemudian
melompat pergi!
“Bangsat tua bangka curang!”
teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar.
Hebat sekali serangan ini
karena bulu pecut itu memang panjang, kalau diulur terus ada sepuluh kaki.
Sembilan helai bulu pecut lantas meluncur ke arah bayangan Hek-i Hui-mo dengan
kecepatan luar biasa.
Namun, Hek-i Hui-mo bukanlah
seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia telah menggerakkan
tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa sehingga tasbih ini
merupakan segulungan sinar bundar yang menjadi perisai.
“Trang! Traaang!” terdengar
suara nyaring dan rantaslah tasbih itu saat terhantam pecut Kiu-bwe Coa-li,
sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan ke sana ke
mari.
Hal ini dapat terjadi karena
dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Sebaliknya, dalam kemarahannya Kiu-bwe Coa-li melakukan serangan sepenuh
tenaga.
Hek-i Hui-mo tidak
mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari. Mendadak menyambar
angin besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari atas.
Cepat Hek-i Hui-mo mengerahkan ginkang-nya dan melompat jauh ke kiri.
Terdengar suara keras karena
ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon menjadi tumbang. Ternyata
bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk
menghalangi larinya Hek-i Hui-mo.
Tentu saja Setan Terbang Baju
Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biar pun dia lihai, kalau sampai
tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng! Baru saja dia berlari
beberapa langkah lagi, belasan sinar putih meluncur ke tubuhnya sambil
mengeluarkan suara mengaung-ngaung bagai belasan ekor tawon. Inilah senjata
rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya.
Hek-i Hui-mo cepat mengelak
sambil berloncatan, akan tetapi tetap saja sebatang paku menancap di pundaknya.
Dia mengeluh dan menggigit bibirnya, kemudian mempercepat larinya.
Ia di juluki orang Hui-mo atau
Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa sekali. Apa lagi
pada saat itu bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan menjadi gelap sekali
dan sebentar saja dia telah lenyap dari pandang mata. Empat orang tokoh besar
tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan kitab palsu?
Apa lagi Ang-bin Sin-kai,
kakek ini tertawa bergelak dan berkata, “Biarlah dia mempelajari kitab itu
sampai ubanan, dengan ilmu yang tidak asli, aku takut apakah? Hayo Kwan Cu, kau
turut aku!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menarik tangan anak gundul
itu.
“Ang-bin Sin-kai, nanti dulu!”
berkata Kiu-bwe Coa-li. “Kau mau membawa ke mana anak itu?”
“Dia? Dia adalah seorang anak
yang sudah semenjak dulu kuanggap sebagai muridku!” jawab Ang-bin Sin-kai.
“Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik. Juga Pak-lo-sian
Siangkoan Hai sudah mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya Jeng-kin-jiu
saja kulihat belum mempunyai murid.”
“Siapa bilang? Muridku masih
kurahasiakan, tetapi kelak murid-murid kalian akan kalah olehnya. Ha-ha-ha!”
kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Bagus!” kata Ang-bin Sin-kai.
“Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai muridku. Kita sama-sama
lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa di antara kita yang akan berhasil mengajar
kepada murid masing-masing.”
Dia hendak membawa pergi Kwan
Cu, namun Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan kata-katanya yang tajam dan
mengancam, “Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu mengambil
murid, dan aku pun tak butuh dengan anak gundul ini. Akan tetapi, aku masih
curiga kepadanya. Bagaimana kalau dia tahu di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang asli? Dan siapa tahu kalau kau hanya pura-pura mengambil murid
padanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab itu? Aku kenal kecurangan
lelaki macam kau!”
“Habis, kau mau apa?” tanya
Ang-bin Sin-kai.
“Anak ini harus dibunuh!
Dengan demikian barulah adil namanya jika kita saling berlomba mencari kitab
itu tanpa bantuan siapa pun juga.”
“Betul, betul!” kata Siangkoan
Hai.
Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini. “Betapa pun juga, pinceng juga
termasuk orang yang pernah menolong nyawa anak ini, bagaimana sekarang pinceng
tega hati melihat nyawanya hendak direnggut orang? Apa lagi pinceng yang
memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kalau kalian akan
berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai untuk
membela dan melindunginya. Sebaiknya diatur begini saja. Percayakah kalian akan
sumpah dari Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?”
“Aku percaya!” kata Siangkoan
Hai dengan suara tegas.
“Aku pun percaya!” kata
Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, “akan tetapi apa maksudmu?”
“Biar dia bersumpah bahwa dia
tak akan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab yang didapatkan atas
pertolongan anak gundul ini,” kata Kak Thong Taisu.
“Bagus, kalau begitu aku
setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai
menjadi makin merah mukanya. “Aku tidak sudi bersumpah! Kalian boleh percaya
kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan mempergunakan
Kwan Cu untuk mencari kitab itu.”
Tiba-tiba Kwan Cu menjatuhkan
diri berlutut di hadapan Ang-bin Sin-kai. Anak ini, dalam semua percakapan di
dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia paling cocok dan suka
kepada kakek jambel yang mukanya seperti kakek angkatnya itu, maka dia telah
mengambil keputusan untuk berguru kepadanya.
“Suhu, teecu pun baru mau mau menjadi
muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta oleh Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu tadi.”
Ang-bin Sin-kai membelalakkan
sepasang matanya dan memandang kepada Kwan Cu. “Ehh, bocah aneh. Bukankah dulu
kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?”
“Sekarang teecu sudah berubah
pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus setiap hari berubah
pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?” jawab Kwan Cu.
Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak. “Boleh, boleh, biarlah aku bersumpah bahwa kalau aku menggunakan Kwan
Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku si pengemis jembel akan
mampus seperti seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke dalam neraka
jahanam!” Kemudian ucapannya ini disambungnya dengan suara menyindir, “Andai
kata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang harus ditakuti?”
Kiu-bwe Coa-li menjadi girang
sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah Sui Ceng, memegang
tangan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya telah lenyap dari
situ. Siangkoan Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi, demikian pula
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawa-tawa dia ‘menggelundung’ pergi
dari situ.
“Hayo kita pergi, Kwan Cu,”
kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh.
“Nanti dulu, Suhu. Teecu meninggalkan
sesuatu di dalam pondok itu.” Anak itu berlari-lari ke dalam pondok mengambil
kantongnya yang penuh uang emas pemberian dari kakek angkatnya.
“Apa itu?” tanya gurunya.
“Uang emas, Suhu.”
Ang-bin Sin-kai membuka
kantong itu dan kedua matanya terbelalak melihat uang emas sebanyak itu. “Ehh,
dari mana kau dapatkan uang ini?”
“Dari Kongkong (Kakek)!”
Mendengar jawaban ini, Ang-bin
Sin-kai jadi semakin tertegun. “Bocah aneh, siapa pula kongkong-mu itu?
Bukankah nenek moyangmu hanya samudera luas saja?”
Lu Kwan Cu tersenyum. “Ini
mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu dan sekarang
Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!”
Ia lalu menceritakan
pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin Sin-kai yang
sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut dan juga
terharu sekali.
“Buang saja uang itu, untuk
apa sih? Memberatkan dan mengotorkan saja.”
“Mengapa dibuang, Suhu?
Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?”
Kakek itu melototkan matanya.
“Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan? Buang saja!”
“Sayang, Suhu.”
“Eh, bocah gundul! Baru pada
saat pertama kau sudah berani membantah suhu-mu?”
“Rakyat banyak sekali yang
menderita dan sengsara. Dari pada dibuang di sini, dan bila ditemukan orang
hanya akan membuat orang itu menjadi tersesat hidupnya. bukankah lebih baik
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya?”
Ang-bin Sin-kai menarik napas
panjang. “Kau lebih terikat dengan dunia dari padaku. Sesukamulah.”
Maka berjalanlah Ang-bin
Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika ia melihat betapa muridnya
yang gundul itu sanggup mengikutinya, dia mempercepat jalannya. Dan walau pun
terlihat gurunya hanya berjalan lambat-lambat saja, bagi Kwan Cu, dia harus
mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk berlari cepat agar bisa mengimbangi
kecepatan suhu-nya…..
********************
Di pinggiran sebuah hutan yang
liar, menghadap sebuah anak gunung yang merupakan batu karang besar, nampak
pemandangan yang sangat aneh dan menyeramkan sekali. Seorang anak lelaki
berkepala gundul tergantung pada cabang pohon besar, tergantung dengan kaki
terikat di atas dan kepala serta kedua tangannya bergantungan di bawah!
Baju anak itu yang sudah lapuk
terbuka dan ikut bergantungan hingga nampak perutnya yang kecil, dadanya yang
kurus dengan tulang-tulang iga menonjol. Anak ini diam tidak bergerak dan
kelihatan seperti mayat saja, kedua matanya meram, akan tetapi wajahnya
kelihatan berseri!
Ada pun di bawah pohon, seorang
kakek pengemis berpakaian tambal-tambalan duduk bersandarkan batu. Tubuh
pengemis itu pun kurus kering seperti orang yang menderita kelaparan. Apa lagi
kalau melihat apa yang dia lakukan pada saat itu, tentu orang akan
menganggapnya sudah kelaparan dan miring otaknya.
Ia memegang seekor ular hidup.
Tangan kanannya mencekik leher ular, ada pun tangan kirinya memegang tubuh ular
dekat ekornya, kemudian dia menggigit perut ular itu! Ular itu membuka
mulutnya. Dan dari dalam mulut ular ini keluarlah suara mendesis-desis dan
mengebulkan uap putih yang keruh. Siapakah mereka ini?
Anak itu bukan lain adalah
Kwan Cu, ada pun kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai! Apakah kakek ini sudah
menjadi gila, menggantung tubuh muridnya secara terbalik dan makan ular beracun
pula? Tidak demikianlah halnya.
Sesudah membagi-bagi habis
uang emas pemberian Menteri Lu Pin, kedua orang guru dan murid ini melanjutkan
perantauan mereka. Atas permintaan Kwan Cu, mereka lalu menuju ke bukit
Liang-san.
Bagi Ang-bin Sin-kai, ke mana
saja mereka pergi, dia tidak ambil peduli. Maka, dia pun tidak mau banyak
bertanya kepada Kwan Cu, apa perlunya muridnya itu mengajaknya ke Liang-san.
Akan tetapi dengan keras dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada Kwan Cu.
“Dari mana kau dapat
mempelajari lweekang dan ginkang yang aneh dan serba terbalik itu?” tanyanya.
“Teecu pertama-tama menerima
pelajaran dari Pek-cilan Thio Loan Eng Toanio.”
“Hemm, seorang wanita yang
baik dan gagah,” Ang-bin Sin-kai memuji.
“Kemudian, teecu menurut pada
petunjuk dari kitab palsu yang dibawa pergi oleh Hek-i Hui-mo, yakni setelah
diterjemahkan oleh suhu Gui Tin.”
Kali ini Ang-bin Sin-kai
mengerutkan keningnya. “Kau sudah membaca semua isi kitab palsu itu?”
Kwan Cu mengangguk. “Akan
tetapi hanya sebagian siulian dan pengaturan napas saja yang teecu pelajari.”
“Coba kau tidur terlentang,”
gurunya memerintah.
Kwan Cu menurut dan anak ini
lalu membaringkan tubuhnya telentang.
Ang-bin Sin-kai menekan pusar
muridnya, sambil berkata, “Kerahkan tenagamu yang kau dapat dari pelajaran
kitab palsu.”
Kwan Cu mengerahkan tenaganya
dengan cara pengaturan napas yang terbalik, yakni menyedot napas dengan
mengembungkan perut dan mengempiskan dada! Dia merasa dadanya sakit, maka dia
lalu melepaskan tenaganya itu.
Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai
merasa betapa ada tenaga yang aneh tersembul keluar dari pusar anak itu.
“Sakitkah dadamu?”
Kwan Cu mengangguk.
“Celaka sekali! Latihan itu
telah merusak paru-parumu sendiri! Ahh, benar-benar kitab itu palsu. Akan
tetapi jika ilmu ini dipelajari secara mendalam, benar-benar akan merupakan
ilmu yang aneh dan juga dahsyat. Baru yang palsu saja begini hebat, apa lagi
aslinya. Kwan Cu, kau sudah mempelajari ilmu yang salah, karena itu kau harus
menurut segala petunjukku. Pertama-tama kau harus dapat mengusir tenaga yang
salah itu dari dalam tubuhmu. Kau harus belajar menderita jasmani karena mesti
melakukan latihan napas semedhi secara terbalik.”
Kemudian, sejak hari itu kedua
kaki Kwan Cu diikat, kemudian ikatan itu digantungkan pada cabang pohon
sehingga anak itu tergantung seperti seekor kalong!
“Dengan begini, pernapasanmu
selalu akan berada di paru-paru dan akan menyehatkan paru-parumu yang sudah
terluka. Perutmu akan selalu kempis dan kosong. Pusatkan perhatianmu dan tutup
semua panca inderamu, jangan rasakan siksaan dari perjalanan darah yang secara
terbalik ini akan terasa tidak enak sekali. Kulihat kau sudah pandai menutup
hawa, tutuplah hawa di bagian kepalamu supaya aliran darahmu tidak merusak
otak. Hati-hati, latihan ini bisa membuat kau menjadi gila karena banyaknya
aliran darah di bagian otak. Akan tetapi kalau kau tekun dan berhasil, hanya
inilah jalan satu-satunya untuk membersihkan tubuhmu dari tenaga palsu itu!”
Demikianlah, dapat dibayangkan
betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih secara ini. Lebih
hebat lagi, sering kali suhu-nya agaknya lupa untuk memberi makan kepadanya
sehingga pernah selama dua hari dua malam Kwan Cu tergantung saja secara
terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa udara saja! Akan tetapi yang lebih
aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah minta makan!
Akhirnya, beberapa bulan
kemudian, dia telah dapat melakukan siulian (semedhi) secara tergantung kakinya
ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga pernapasannya menjadi normal
kembali. Meski pun dalam keadaan tergantung, dia telah dapat bernapas dengan
teratur, bahkan dia dapat mendesak isi perutnya supaya jangan tergantung dan
tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa ringan sekali dan jalan
pikirannya terang.
Kini dia telah mendapatkan
kepandaian yang istimewa. Bila dia hendak berlatih, gurunya tidak lagi
membantu. Dia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa kain
pengikat kakinya, lalu mengikat kedua kakinya pada cabang itu dan menggantung
dirinya!
Pada pagi hari itu, ketika
mereka sampai di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas, seperti biasa
Kwan Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon dan gurunya
duduk di bawah pohon. Sebentar saja Ang-bin Sin-kai sudah tidur mendengkur ada
pun Kwan Cu sebentar saja juga sudah dapat mempersatukan panca inderanya dan
mengheningkan cipta.
Baik guru mau pun murid ini
sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari atas pohon, yang
merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah merah! Inilah
seekor ular beracun yang jahat sekali!
Walau pun gerakan ular yang
merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan sekali, namun kalau
saja Ang-bin Sin-kai tidak sedang tertidur dan Kwan Cu tidak sedang bersemedhi
dan menutup panca indera, tubuh ular yang melanggar daun itu tentu akan
terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu sendiri pun kini telah mempunyai
pendengaran yang amat tajam.
Tiba-tiba terdengar Kwan Cu
menjerit. “Suhu...!”
Ang-bin Sin-kai melompat bangun
dan betapa terkejutnya ketika dia melihat seekor ular melingkar di tali
pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan muridnya itu!
“Kwan Cu...!” Ang-bin Sin-kai
melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah menangkap ular itu pada
lehernya.
Sambil duduk di atas cabang
itu, Ang-bin Sin-kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba tubuh muridnya.
Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Dia tahu bahwa muridnya
telah terkena racun gigitan ular!
Ia tidak berani menurunkan
muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran darahnya akan kacau
dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya yang berarti anak itu
takkan dapat ditolong lagi.
“Mudah-mudahan tadi dia masih
mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni di dalam pusarnya,” pikir kakek ini
yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu.
Cara satu-satunya untuk
menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah ular yang
menggigitnya ini. Akan tetapi di sana tidak ada mangkok atau apa saja untuk
menadahi darah ular, juga sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu yang
masih dalam keadaan tergantung dengan kepala di bawah. Satu-satunya cara adalah
dia harus dapat menyimpan darah ular itu di dalam mulutnya, lalu dia akan
menyemburkan darah itu dari mulutnya ke mulut Kwan Cu!
Demikianlah, maka terlihat
pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung bagaikan mayat, dan kakek
itu duduk sambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan, meronta-ronta dan
Ang-bin Sin-kai tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk mencari lobang
guna menyedot darah ular itu.
Lidahnya merasai darah yang
asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada lidahnya. Akan
tetapi dia terus menyedot hingga darah ular itu terkumpul ke dalam mulutnya.
Kedua pipinya yang kurus itu menggembung, karena mulutnya penuh dengan darah
ular. Beberapa tetes darah mengalir turun ke dagunya, membuat kakek itu nampak
menyeramkan sekali.
Gerakan ular itu makin lama
makin lemah dan setelah darahnya habis, dia mati lemas. Ang-bin Sin-kai
melemparkan bangkai ular, kemudian melompat lagi ke atas cabang. Dia
menggantungkan dua kakinya pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan
membungkukkan punggungnya, mukanya berdekatan dengan muka muridnya.
Pada waktu dia mengulur tangan
membukakan mulut muridnya, kakek ini terheran-heran karena melihat muka
muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka lagi! Akan tetapi
dia tidak mau banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut muridnya dan menempelkan
mulut sendiri ke mulut muridnya yang terbuka, kemudian dia mengerahkan hawa
dari dalam perutnya untuk menyemburkan darah itu ke dalam perut muridnya!
Kwan Cu yang sudah siuman itu
maklum pula akan maksud suhu-nya, maka dia lalu menerima darah ular itu dan
menelannya. “Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!” seru Ang-bin
Sin-kai setelah mulutnya kosong karena darah ular semua telah berpindah ke
mulut dan perut muridnya. “Tahan napas kemudian biarkan darah ular itu
memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!”
Kwan Cu menurut pada petunjuk
suhu-nya dan sebentar saja, dia merasa panas yang menyerang tubuhnya mulai
hilang. Ang-bin Sin-kai lalu menaruh telapak tangannya pada pusar muridnya dan
dari telapak tangan itu dia mengalirkan hawa murni untuk membantu kekuatan
muridnya melawan racun ular tadi.
Setengah hari guru dan murid
itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah mendapat kenyataan
bahwa tubuh muridnya sudah tidak panas lagi, Ang-bin Sin-kai baru menurunkan
tubuh muridnya.
“Kau selamat!” katanya dengan
lega. “Akan tetapi aneh sekali kenapa kau tidak muntah. Biasanya, kalau racun
ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular, orang yang digigit ular tentu
akan muntahkan darah ular beracun itu.”
Kwan Cu menjatuhkan diri
berlutut di depan gurunya. “Mohon diampunkan atas kelalaian teecu sehingga
merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang teecu merasa bahwa
tubuh teecu sangat nyaman dan ringan. Agaknya darah dan racun ular itu ada
khasiatnya yang lihai.”
“Mana mungkin?” Gurunya
menggeleng kepala. “Kecuali kalau kau sudah makan coa-ko (buah ular).”
“Teecu sudah makan coa-ko,
Suhu!”
“Hushh! Kau kira mudah
mendapat coa-ko? Aku yang sudah tua ini pun semenjak dulu mencari belum juga
dapat.”
“Akan tetapi teecu tidak
membohong, Suhu.”
Lalu Kwan Cu menuturkan betapa
dia dulu diculik oleh Tauw-cai-houw dan dijejali sebutir buah ular. Gurunya
girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu. Hanya diam-diam
dia berpikir bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang bernasib baik
sekali.
“Hm, kalau aku tahu bahwa kau
sudah makan buah coa-ko, tadi aku tidak akan begitu kebingungan seperti orang
kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu, kau takkan dapat tewas
oleh racun ular yang mana pun juga!”
Maka, setelah melihat betapa
tubuh Kwan Cu sudah bersih dari tenaga yang didapatnya dari latihan menurut
kitab pelajaran palsu, Ang-bin Sin-kai lalu mulai melatih muridnya ini dengan
ilmu-ilmu silat dari dia sendiri. Pengemis Sakti Muka Merah ini merupakan tokoh
terbesar dari timur, maka tentu saja dia memiliki kepandaian silat yang luar
biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong…..
********************
Agar pembaca tidak menjadi
bingung melihat Bun Sui Ceng, yaitu anak perempuan dari Pek-cilan Thio Loan Eng
itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid Kiu-bwe Coa-li, baiklah kita menengok
keadaan Thio Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak dia pergi
meninggalkan rumahnya karena puterinya diangkat menjadi ketua oleh para anggota
Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti.
Seperti sudah dituturkan di
bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang bersama Bun Sui Ceng,
puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan
nasib puterinya kelak, karena itu timbul di dalam pikirannya untuk mengunjungi
rumah seorang sahabat baiknya yang bernama Ong Kiat.
Ketika masih kecil, Ong Kiat
ini merupakan kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi tetangga
dan di antara dua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok. Akan
tetapi, Loan Eng oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan
berpisahlah mereka.
Dengan terharu Loan Eng
mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika dia
menikah dengan Bun Liok Si. Diam-diam dia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta
kepadanya.
Ong Kiat yang sejak kecil juga
belajar ilmu silat, kemudian menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke
Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-san-pai. Selama itu
mereka tidak pernah saling bertemu lagi.
Baru setelah Loan Eng membunuh
suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering merantau,
terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara
kebetulan sekali. Ketika itu, seperti biasanya, Loan Eng meninggalkan puterinya
yang masih kecil dalam asuhan para pelayan-pelayannya, dan ia sendiri pergi
merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai seorang lihiap
(pendekar wanita).
Memang sudah menjadi kesukaan
dan kebiasaan Loan Eng untuk pergi merantau dan mempergunakan kepandaiannya
guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai
pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Ia sering
kali berpakaian warna putih dan karena kecantikannya disamakan dengan bunga
cilan yang harum, maka ia pun mendapat julukan ini. Selain itu, Loan Eng memang
suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias oleh setangkai bunga
cilan.
Seorang diri Loan Eng menuju
sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-san yang
berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena
ia mendengar kabar bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang
baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan kota-kota, dan bahkan sekawanan orang
jahat ini lihai sekali.
Pek-cilan Thio Loan Eng memang
tidak mengenal akan arti kata takut. Selain lihai ilmu pedangnya, juga nyonya
janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam
perantauannya, entah sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya dan
biar pun ia sudah sering kali menghadapi orang-orang jahat serta bahaya maut,
namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat.
Setelah Loan Eng mulai naik
Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidak amanan daerah ini. Banyak dusun yang
sudah kosong ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas
mendaki puncak bukit menjadi makin sunyilah kedaannya dan hutan-hutan yang
berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap saja.
Namun, Loan Eng tetap tabah
dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Dia ingin sekali mendatangi
sarang gerombolan itu dan hendak membasmi gerombolan itu sampai bersih.....
Loan Eng tidak mengetahui
bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintai dirinya dari
balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam.
Bibir-bibir tebal dan kotor menyeringai penuh gairah pada waktu mata mereka
memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita dan potongan tubuhnya yang langsing.
Setelah Loan Eng tiba di
tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras
sekali dan segera tampak berlompatan keluar anggota-anggota gerombolan yang
jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh
tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang
di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok,
menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu
adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau
Sakti).
“Nona elok dan gagah siapakah
yang bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya Sin Sai sambil
memandang kagum, ada pun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh
gairah.
“Namaku tak perlu diketahui
oleh gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini
yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Jika betul, cepat berlututlah
kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi.”
Semua orang tertegun, karena
mereka tidak mengira seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata
seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.
“Sai-ko, dia ini tentu
mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil berkata
demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu dengan
mulut menyeringai dia berkata, “Nona manis, walau pun kau bersikap sombong,
namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja
dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku tidak
akan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!”
Sepasang mata Loan Eng yang
jeli dan bagus lantas bernyala. Sekali dia menggerakkan tangannya, pedangnya
yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.
“Bagus sekali, kau memilih
kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, apa bila tidak dapat membasmi kalian
anjing-anjing hina-dina ini, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!” Sebagai penutup
kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw!
Melihat sinar pedang yang
mengkilat dan cepat ini, Sin Houw tidak berani memandang ringan. Dari gerakan
ini dia maklum bahwa pendekar wanita di depannya itu mempunyai kepandaian
tinggi, apa lagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah
mendengar nama ini dipuji-puji orang.
Cepat dia menangkis sambil
mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang lawannya terpental
dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak
terpental, bahkan telapak tangan kepala rampok muda ini yang terasa sakit!
Dia berseru keras dan merasa
terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga
terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental
oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua
kaki Loan Eng menggunakan gerak tipu Hong-sauw Pai-hio (Angin Menyapu Daun
Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya.
Diam-diam Loan Eng harus
mengakui bahwa kepandaian kepala rampok muda ini tidak jelek, maka cepat ia
memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai
sekali. Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang
ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Akan tetapi ilmu goloknya masih jauh
untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng sehingga dalam beberapa jurus saja
Sin Houw sudah terdesak hebat.
Sin Sai berseru keras dan
kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih
lebih tinggi dan lebih lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok
diberi tanda sehingga sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat.
Pendekar wanita ini tidak
menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya. Tak lama
kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah
perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang
cantik dan gagah itu.
“Mundur...!” teriak Sin Sai
ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh.
“Kita tangkap dia
hidup-hidup!” seru Sin Houw pula.
Mereka lantas berkelahi sambil
mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan
pedang Loan Eng yang bergerak cepat.
Akhirnya mereka sampai di
depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng menjadi terheran-heran, mengapa
dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba
semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup
dengan mengeluarkan suara keras!
Pek-cilan Thio Loan Eng
ragu-ragu. Dia memandang bangunan di depannya yang kini nampak senyap. Tidak
salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya.
Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun?
Dia tidak tahu bahwa kelenteng
ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat gangguan
perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan menggunakan
sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam
gedung yang besar dan memiliki pekarangan belakang yang luas sekali ini.
“Hemm, mereka pasti akan
menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng.
Sebagai seorang pendekar
wanita yang banyak merantau dan sudah sering menghadapi penjahat-penjahat,
tentu saja dia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi,
keberaniannya luar biasa sekali dan biar pun dia sudah bercuriga dan menyangka
akan adanya perangkap yang dipasang, Loan Eng tak merasa takut. Dihampirinya
pintu rumah gedung itu dan beberapa kali bacok saja, sambil mengeluarkan suara
gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!
“Syuuut-syuuuut! Syuuuuut!”
Banyak sekali anak panah
menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau saja Loan Eng tadi
terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini.
Akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali, dan setelah
tadi merobohkan pintu, dia melompat ke samping sehingga semua anak panah itu
mengenai tempat kosong.
Setelah semua anak panah yang
terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk
sambil memutar pedangnya, memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Dia
melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorang pun manusia.
Akan tetapi, baru saja ia
melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang
gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu
Loan Eng mendengar seruan-seruan.
“Tangkap penjahat! Padamkan
api...!”
Loan Eng diam-diam tersenyum
dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini.
Akan tetapi dia tidak tertarik, malah ingin terus menerjang masuk untuk
membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan dia dapat
memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar,
ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.
“Siapa dia? Kenapa menangis?
Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,” pikir Loan Eng. “Aku
harus menolong dia.” Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang
belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu.
Suara tangis itu makin
mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran
daun pintu hingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti juga tadi,
Loan Eng tidak langsung menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke belakang
sambil memandang tajam.
Ia tak melihat apa-apa di
dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis
wanita yang tadi kini sudah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat
bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke
ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini.
Baru saja ia melangkah lima
tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada
angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa
menengok kemudian menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil
memutar tubuhnya. Akan tetapi anehnya, toya itu tidak dipegang oleh siapa pun
juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di atas.
Ketika Loan Eng berdongak ke
atas, ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang di
gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apa bila ada
orang memasuki kamar dan alat penggeraknya kena terinjak. Tetapi ia tidak takut
dan melangkah terus!
Baru dua tindak dia melangkah,
agaknya ia kena menginjak alat-alat penggerak lagi yang dipasang di bawah
permadani, karena mendadak terdengar suara keras dan tiga macam senjata
menyerangnya dari tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan
menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing
tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk ke arah perutnya,
ada pun senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang dengan kecepatan kilat
menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan
kepalanya!
Namun, Pek-cilan tidak gentar
sedikit pun juga.
“Perampok busuk, siapa takut
dengan senjata-senjatamu?” bentaknya.
Cepat dia merendahkan tubuh
untuk menghindarkan kepala dari sambaran ruyung dan golok yang menyambar ke
arah kakinya itu dapat di tendangnya secara luar biasa sekali! Memang Loan Eng
memiliki ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda ini berani menghadapi
senjata musuh yang tajam atau runcing dengan kedua kakinya! Ada pun tombak yang
menusuk ke arah perutnya dapat di babat putus dengan pedangnya.
“Gerombolan perampok, hari ini
aku harus dapat membasmi kalian semua!” Loan Eng berseru dan hendak menerjang
pintu yang berada di kamar itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja
dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang lebarnya memenuhi
kamar itu. Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat keluar dari kamar itu,
namun tidak keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala itu sudah menerkamnya
dan ternyata bahwa itu bukanlah jala biasa melainkan jala yang terbuat dari
kawat-kawat baja yang lemas akan tetapi kuat sekali!
Untuk beberapa lamanya, Loan
Eng menjadi bingung dan gelagapan. Dia meronta-ronta ke sana ke mari di dalam
jala, seperti seekor ikan emas di dalam jala seorang nelayan. Makin keras Loan
Eng meronta, makin erat pula jala baja itu menekan tubuhnya!
Pendekar wanita ini lalu diam
tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Dia tidak boleh gugup
menghadapi bahaya ini, kemudian ia menggunakan pedangnya, digosokkan pada kawat
jala seperti orang orang menggergaji.
Dengan pengerahan tenaga
lweekang-nya, dia berhasil membuat kawat itu putus! Loan Eng girang sekali dan
bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin putus beberapa helai
kawat jala dan kini ia akan mudah saja dapat menerobos keluar dari jala yang
sudah bocor itu. Akan tetapi dia tidak mau keluar, bahkan memegangi bagian jala
yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang mendatangi.
Muncullah dari pintu depan
dengan seorang anggota gerombolan yang tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, aku dapat menangkap
seekor ikan duyung!” serunya girang. “Aduh cantiknya! Manis, kalau kau berjanji
mau menjadi biniku, segera aku akan melepaskan kau dari jala itu. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi mendadak dia
menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau menangis lagi
karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos keluar dan sekali
pedangnya berkelebat, tubuh anggota gerombolan ini sudah putus menjadi dua pada
bagian pinggangnya!
Dengan marah sekali Loan Eng lantas
menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan terbuka. Di situ ia
melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan giginya digigitkan.
Ternyata di balik pintu itu
adalah sebuah ruangan yang cukup luas dan di seberang sana dia melihat seorang
wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh Sin Houw, kepala
perampok ke dua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat dan air matanya
mengalir membasahi pipinya. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai dan kini
dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain.
“Jahanam keparat!” Loan Eng
memaki dan cepat ia berlari mengejar.
Akan tetapi, celaka sekali
baginya! Tak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepada wanita itu,
yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan, hanya
dengan maksud agar Loan Eng menjadi marah, menjadi kurang hati-hati dan terus
mengejarnya.
Pada waktu pendekar wanita ini
berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba saja permadani
yang diinjaknya menyeplos ke bawah! Di situ tidak ada lantainya sama sekali dan
merupakan lobang yang bentuknya segi empat, besarnya ada sepuluh kaki dan dalam
sekali, hanya luarnya ditutupi dengan permadani tebal. Tentu saja kalau diinjak
lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya!
Bukan main kagetnya hati Loan
Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang menerima tubuhnya di
bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang pada permadani yang
tebal dan lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali dan sesudah terkena
air, terus saja tenggelam!
Loan Eng terpaksa cepat-cepat
melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan tenggelam terus. Bukan
main dalamnya sumur yang lebar sekali ini, sedangkan dia tidak pandai berenang!
Pada saat itu air bergolak dan
permadani yang tadinya sudah tenggelam, kini tersembul kembali dengan cepatnya.
Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika melihat ujung ekor ikan
yang besar!
Ternyata bahwa di dalam sumur
lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi marah karena permadani
itu tenggelam. Kini ikan itu mulai mengamuk dan menyerang permadani tadi.
Terdengarlah suara kain robek dan sebentar saja permadani itu sudah
cobak-cabik.
Ketika Loan Eng merasa
tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan kedua
kakinya ke bawah sehingga dia bisa mumbul kembali. Cepat-cepat ia mengerahkan
tenaganya menusuk dinding sumur dengan pedangnya yang tidak pernah lepas dari
tangannya. Biar pun dinding sumur itu berbatu dan keras, namun pedang Loan Eng
dengan mudah menancap sampai setengahnya.
Kini nyonya muda itu mempunyai
pegangan, yakni gagang pedangnya dan karena tubuh di dalam air menjadi ringan
sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada pedangnya. Akan tetapi,
setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya yang lebih hebat lagi,
yaitu ikan itu!
Beberapa kali kepala ikan
tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu di depan mulutnya
memiliki sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah Loan Eng bahwa itu
ikan cucut yang jahat dan suka makan orang!
“Celaka,” pikirnya dengan hati
berdebar.
Apa bila dia berada di darat,
biar pun ada sepuluh ekor binatang macam ini, dia takkan merasa jeri. Akan
tetapi, karena dia tidak berdaya dan di dalam air kepandaiannya tiada gunanya
lagi, tentu saja bahaya yang kini dia hadapi adalah bahaya maut yang sukar
dielakkan lagi.
“Betapa pun juga, aku harus
dapat melawannya,” pikir Loan Eng dengan gemas.
Cepat-cepat nyonya muda ini
mengerahkan tenaga lweekang-nya dan dengan tangan kiri berpegang pada gagang
pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada dinding sumur. Hebat juga
tenaga lweekang nyonya ini karena biar pun ia merasa ujung jari-jari tangannya
sakit, namun dia berhasil mencengkeram dinding itu dan membuat lobang di mana
ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat tangannya berpegang pada
lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut pedang dengan tangan kanan karena ia
melihat air berombak dan ikan itu muncul lagi!
Bukan main dahsyatnya ikan
itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah sekali. Ketika ia
melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan tombak di depan
mulutnya dengan kecepatan luar biasa!
Loan Eng sudah bersiap sedia.
Segera ia menggerakkan pedangnya menangkis tombak itu. Ia merasa seluruh
lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyerang. Akan tetapi dia
tidak menyangka bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng dengan
memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi, ekornya menyabet ke depan!
Sebetulnya bagi Loan Eng
serangan ini tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang muncrat ke arah
mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi nyonya ini masih sempat
menggerakkan pedang, diputar di depannya dan ketika ekor itu menyabet,
terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung pedang yang runcing tajam.
Akan tetapi, berbareng dengan
tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang memberebet dan
pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor ikan. Hebat sekali
karena ujung lengan baju itu membelit pada ekor sehingga ketika ikan itu
meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan tahu-tahu semua pakaian Loan
Eng bagian atas sudah robek!
Pendekar wanita ini bingung
sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa oleh ikan itu
sehingga bagian atas tubuhnya hanya tertutup dengan pakaian dalam yang sempit
dan tipis sehingga dia kini dalam keadaan setengah telanjang.
“Bedebah! Kau harus mampus!”
seru Loan Eng dengan marah sekali.
Akan tetapi berbareng ia pun
menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Andai kata ia tertolong dan dapat
keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan orang?
Ikan itu kini tidak berani
menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa sakit sekali. Air
sumur itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan Eng hampir menjadi
pingsan oleh bau amis yang memuakkan perutnya.
Dia mengincar dan
bersiap-siap. Ketika ikan itu berenang berputaran dan berada dekat dengan dia,
cepat sekali pedangnya dia gerakkan ke arah perut, menusuk kuat-kuat lalu
menggerakkan pedang ke belakang tubuh ikan sehingga perut itu terbelah! Ikan
itu lalu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat sehingga tubuh Loan Eng
bergerak-gerak karena gelombang air. Akan tetapi hanya sebentar saja karena
perut ikan itu sudah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah
binantang itu.
Akan tetapi, air menjadi
semakin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan pegangannya
pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk menancapkan
pedang pada dinding sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada gagang pedang
lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini bergantung pada gagang pedang dalam
keadaan setengah pingsan. Dia mulai putus asa karena tidak melihat jalan keluar
sama sekali. Tubuhnya terasa kedinginan, karena dalam keadaan setengah
telanjang itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam tulang-tulangnya.
Pada saat yang sangat
berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang dan terdengar
suara orang.
“He, kawan yang berada di
bawah. Lekas berpegang pada tambang!”
Pikiran Loan Eng sudah nanar
dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi, tidak ingat akan keadaan
tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di dekatnya, ia cepat
menyambar, mencabut pedangnya dan bergantung pada tambang itu. Bau amis membuat
dia muak dan lemah sehingga tak kuasa lagi untuk merayap melalui tambang.
Perlahan-lahan tambang itu
ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana dia tadi
terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali masih sempat melihat wajah seorang
pemuda yang tampan. Ia berusaha mempertahankan rasa muaknya, akan tetapi tak
tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu tak sadarkan diri.
Akan tetapi tidak lama ia
jatuh pingsan. Ketika kembali membuka mata, dia cepat-cepat melompat dan pada
saat dia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang tadinya menutupi
bagian atas tubuhnya. Dengan terkejut Loan Eng melihat betapa bagian atas
tubuhnya itu setengah telanjang! Bukan main kagetnya dan cepat-cepat dia
menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali. Ia menengok
dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil memandangnya
dengan senyum!
“Loan Eng, baiknya kau lekas
sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka masih mengancam keselamatan
kita.”
“Ohhh...” Loan Eng terkejut
sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting di rebus. “Kau… Ong Kiat...?
Bagaimana kau bisa berada di sini...?”
Orang muda itu tersenyum lagi,
wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tak ada perubahan pada wajah yang dikenalnya
baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu.
“Tiada waktu bicara sekarang,
Loan Eng. Lekas kau pakailah pakaian kering ini dan kita bersiap-siap
menghadapi mereka!” Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu melemparkan segulung
pakaian wanita kepada Loan Eng, lalu membalikkan tubuhnya, membelakangi Loan
Eng.
Makin merah muka Loan Eng.
Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, dia tidak sudi berganti
pakaian di dekat orang laki-laki, sungguh pun laki-laki itu telah berdiri
membelakanginya. Akan tetapi dia harus berganti pakaian, karena kalau nanti
bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak dengan baju panjang
mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu? Cepat-cepat ia membuka semua
pakaiannya dan apa bila pada waktu itu ada perlombaan berganti pakaian, pasti
Loan Eng akan menjadi juaranya. Demikian cepatnya ia berganti pakaian!
“Jadi kaukah orang yang
menolongku dari sumur tadi?” tanyanya perlahan.
“Tiada harganya untuk
disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku selalu siap sedia untuk membelamu
dengan taruhan nyawa sekali pun!”
Berdebar jantung janda muda
itu. Dia memeras rambutnya, lalu di gelungnya.
“Punyamukah jubah panjang ini,
Ong Kiat?”
“Ya, aku melihat kau... kau
kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku.”
Dengan muka terasa panas biar
pun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang muda itu.
“Dan… kau... kau melihat...”
“Apa, Loan Eng?”
“...tidak apa-apa! Aku sudah
selesai berpakaian, Ong Kiat!”
Orang muda itu memutar
tubuhnya dan mereka saling pandang.
“Ahh, kau tidak berubah, Loan
Eng. Masih seperti dulu.”
“Siapa bilang tidak berubah?
Aku sekarang sudah tua.”
“Kau keliru! Setiap orang
pasti akan mengatakan bahwa kau tidak ada ubahnya seorang gadis berusia tujuh
belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng.”
“Kau pun tidak berubah, Ong
Kiat, yakni... watakmu, masih baik seperti dulu.”
“Jadi keadaan jasmaniku
berubah dalam pandanganmu?”
“Hanya pakaianmu!”
Ong Kiat tertawa dan biar pun
usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih muda
sekali.
“Memang aku telah menjadi
piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal di kota
Hak-keng, tidak jauh dari sini.”
Percakapan mereka terhenti
karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki.
“Akan kubasmi semua gerombolan
anjing itu!” kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua orang ini
lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu.
Alangkah kagetnya Sin Sai dan
Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu. Mereka
tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu. Namun Loan Eng
dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk berheran-heran
lebih lama lagi karena Loan Eng sudah lantas menggerakkan pedangnya dan
menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang dengan goloknya
yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang berkepandaian
tinggi.
Hebat sekali sepak terjang dua
orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar wanita ini
mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya,
sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati para anak buah gerombolan yang
segera roboh sambil menjerit kesakitan.
Hanya dalam waktu tiga puluh
jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung pedang
Loan Eng. Kemudian berdua Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak
seorang pun dapat melarikan diri.
Ong Kiat lalu mengajak Loan
Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang wanita yang
tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan
orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-keng.
Ong Kiat segera mengumpulkan
barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia tak mau
mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu
membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang
berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil menghaturkan terima kasih.
Mereka membakar gedung sarang
gerombolan itu, lalu kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang wanita itu
menuju Hak-keng. Kiranya tidak perlu diceritakan betapa dua orang muda pendekar
ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para
korban itu. Terutama sekali Ong Kiat yang memang sudah terkenal di kota
Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat sambutan hangat,
bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar Hak-keng Taihiap kepadanya.
Kemudian, di ruang tamu di
rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak. Loan Eng merasa
terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada
dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.
“Ong Kiat, di mana orang
tuamu?”
Ong Kiat menarik napas
panjang. “Mereka sudah meninggal dunia ketika wabah penyakit mengamuk di kota
ini.”
“Dan kau hidup sebatang kara?”
Ong Kiat mengangguk.
“Apakah kau tidak… tidak
beristri?”
Mendengar pertanyaan ini,
seketika merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar, “Loan Eng, kau
kira aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku tidak akan melanggar
sumpahku!”
Kini Loan Eng menghela napas
sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong Kiat,
bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali dengan
Thio Loan Eng yang sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si!
“Loan Eng, kau baik-baik saja
selama ini? Bahagiakah hidupmu?”
“Ahh, Ong Kiat. Kau tidak
tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik.
Aku... aku telah membunuh suamiku sendiri.”
Akan tetapi Ong Kiat tidak
heran mendengar ini. “Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar tentang
semua keadaanmu.” Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya. “Ahh,
ya, bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?”
Berseri wajah Loan Eng. “Kalau
tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini.” Setelah berhenti
sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tak enak itu. “Ong Kiat,
bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali dapat
menolongku keluar dari dalam sumur?”
Ong Kiat lalu bercerita. Telah
beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya, maka dia
dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan. Pada suatu hari,
pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari seorang bangsawan
dan barang-barang itu harus diantarkan ke kota raja. Pada waktu itu, Ong Kiat
tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini sedang mengantarkan sebuah
keluarga yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-keng kembali,
dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan
itu.
Marahlah Ong Kiat dan seorang
diri saja dia kemudian membawa goloknya melakukan penyelidikan. Melihat
gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran
di bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk
ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan ini, karena dia pun tahu
bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagian-bagian rahasia.
Dia lantas merobohkan beberapa
orang anggota gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang pada saat yang tepat
karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan
besar, di mana terdapat sumur rahasia itu. Dia dapat merobohkan dua orang
anggota gerombolan dan yang dua lagi lari keluar.
Maka waktu kedatangannya tepat
sekali dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia tadinya
tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di
dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya.
Melihat keadaan Loan Eng cepat
Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju luarnya,
kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan meminta sesetel pakaian dari
seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar manita
ini siuman kembali.
Mendengar penuturan Ong Kiat
ini, Loan Eng lalu berkata kagum, “Tak kusangka bahwa kepandaianmu telah maju
demikian hebatnya, Ong Kiat.”
“Ahh, mana bisa dibandingkan
dengan ilmu pedangmu?” jawab Ong Kiat merendah, lalu dengan wajah
bersungguh-sungguh ia berkata, “Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda,
hanya hidup berdua saja dengan puterimu, kiranya adakah harapan bagiku untuk
membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan menganggap dia sebagai anakku
sendiri, Loan Eng.” Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya
itu dengan penuh harapan.
Loan Eng tertegun dan
menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, dahulu sebelum
dijodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat,
kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi
perasaan cinta kasih yang terpendam.
Akan tetapi, setelah menjadi
istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan
tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta
suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biar pun suaminya telah meninggal
dunia, namun andai kata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama hidupnya ia
pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu.
Akan tetapi, nasib agaknya
menghendaki lain, karena dalam keadaan yang sangat tidak tersangka-sangka, ia
bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih
tetap setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang
mengajukan pinangan kepadanya! Dapat dibayangkan betapa gelisah serta
bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini.
Ia maklum akan kemuliaan hati
dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andai kata ia
meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung. Dan juga puterinya, Sui
Ceng, pasti akan menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya
dari pada ayahnya sendiri yang sudah meninggal! Akan tetapi... hatinya masih
terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, pada masa itu di Tiongkok,
adalah merupakan suatu hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda,
apa lagi sudah mempunyai anak, untuk bisa menikah lagi.
Melihat sampai sekian lamanya
Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar merah sebentar
pucat, Ong Kiat lalu bertanya dengan nada mendesak. “Loan Eng, bagaimana
jawabmu? Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?”
Loan Eng mengangkat mukanya
memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu menjadi
basah.
“Ong Kiat, bagaimana aku harus
menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin mengecewakanmu, kau begitu
baik... Sedangkan aku...”
“Hushh Loan Eng, jangan
ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi. Marilah kita
bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita
seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu.”
Mendengar ucapan ini, legalah
Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan sekarang ia memandang dengan berani.
Pandangan matanya penuh kekaguman.
“Loan Eng, aku dapat menduga
isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau merasa
tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?”
Loan Eng mengangguk, “Bukan
cuma itu saja, Ong Kiat. Aku sudah membunuh suamiku sendiri karena dia
menyeleweng, karena cemburu. Apa bila sekarang aku menikah lagi dengan kau,
apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku
untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?”
Ong Kiat mengerutkan
keningnya. Beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini. “Akan tetapi,
Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar selalu hanya
mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita?
Pula, hendak kulihat siapa orang-orangnya yang berani mencacimu? Pendeknya
begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tak
terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena sudah bertahun-tahun aku menanti,
bahkan aku telah mengambil keputusan tak akan menikah dengan orang lain. Masa
aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah
selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu.”
Demikianlah, Loan Eng lalu
pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari
tangan Tauw-cai-houw sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan.
Kemudian terjadilah peristiwa
penculikan Sui Ceng oleh para anak buah suaminya, yakni anggota-anggota
Sin-to-pang. Melihat keadaan ini, hati Loan Eng merasa ngeri. Dia takut
kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan sangat dikasihinya itu
benar-benar akan menjadi ketua dari Sin-to-pang! Karena itu ia kemudian membawa
pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu.
Ke manakah perginya Loan Eng
dan Sui Ceng. Mudah diduga. Ke mana lagi kalau tidak ke Hak-keng, ke tempat
tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan
Eng. Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada piauwsu
muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa
ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat dan tabah, dan Sui
Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia.
Ong Kiat menerima mereka
dengan gembira bukan main. Pernikahan lalu dilangsungkan secara amat sederhana.
Ong Kiat cuma mengundang teman-teman dan kenalan-kenalan yang dekat, dan
upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu.
Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali.
Selagi para tamu
bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali
ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw (pendekar wanita) yang
tua akan tetapi berwajah kereng sekali. Pendeta wanita ini memegang sebatang
cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, tokoh besar ke
dua dari selatan!
Pada saat itu Loan Eng tengah
memeluk puterinya sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan upacara
pernikahan, Sui Ceng marah-marah dan menangis saja. Anak ini tidak mau keluar
dari kamar.
“Ibu, kau terlalu! Mengapa
menikah dengan Paman Ong Kiat?” demikian berkali-kali anak kecil ini menegur
ibunya dengan muka cemberut.
“Ssttt, anakku. Bukankah paman
Ong sangat baik? Dia akan menjadi ayahmu yang baik sekali.”
“Ahh, aku tidak suka, Ibu.
Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap ayahku!”
Mendengar ucapan ini, Loan Eng
memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak tahu harus berbuat dan berkata
bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar.
Suaminya masih melayani tamu
di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng cepat-cepat melepaskan
penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian dia segera
bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas
tempat tidur.
Ketika Loan Eng tiba di luar,
ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan
suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah.
“Suthai, kau terlalu sekali!
Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan mengganggu
kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau
datang-datang hendak mengacau?”
Mendengar ucapan suaminya,
Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras, “Ong Kiat, jangan kurang
ajar...!”
Semua orang menjadi terkejut
dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng lalu berlari dan
sesudah tiba di hadapan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di
depannya dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Teecu mengaku salah, harap
Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian...,” katanya dengan suara amat
menghormat.
Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan
lenyaplah kekakuan pada mukanya.
“Hemm, Loang Eng, kau masih
muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni datang bukan hendak
mengganggu, hanya untuk meminta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu
kebahagianmu saja?”
Pada saat itu Sui Ceng sudah
muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat tokouw itu, Sui Ceng
tertegun. Mengapa ibunya berlutut di depan tokouw aneh ini?
Sementara itu ketika melihat
Sui Ceng, Kiu-bwe Coa-li lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu cambuknya
itu melayang dan tahu-tahu sudah melibat tubuh Sui Ceng. Dengan sekali betot
saja, tubuh anak itu sudah melayang ke arahnya dan diterima terus dipondong
oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang.
“Hebat, hebat! Kau lihai
sekali, Suthai,” kata Sui Ceng.
Kiu-bwe Coa-li tertawa. “Mau
kau turut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu ibumu yang sedang
bersenang-senang!”
Sui Ceng memandang kepada
ibunya yang masih berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di dekat
situ, lalu dia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan menganggukkan
kepalanya.
“Aku ingin belajar silat,
karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!”
“Bagus, hayo kau ikut aku
pergi!” Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng.
“Sui Ceng...!” Loan Eng
mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar.
Tokouw itu menengok dan
berkata dengan suara kereng, “Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan anakmu
sebagai muridku?”
“Bukan tidak rela, hanya teecu
berat berpisah dari dia...,” jawab ibu ini.
Kiu-bwe Coa-li tertawa
mengejek. “Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru? Dia yang akan menghiburmu
dan kau akan lupa kepada anakmu!”
“Suthai, kau terlalu sekali!”
Ong Kiat membentak. “Kembalikan Sui Ceng kepada kami!” Piauwsu muda ini lalu
melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng.
“Ong Kiat, jangan…!” Loan Eng
memberi peringatan, namun terlambat.
Begitu Kiu-bwe Coa-li
menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup
angin puyuh.
“Hemm, kalau tidak ingat kau
seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!” berkata
Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama
Sui-Ceng.
Loan Eng menangis, dipeluk dan
dihibur oleh suaminya yang masih saja terheran-heran bagaimana dia tadi sampai
terpental ke belakang, karena dia tak dapat melihat tangkisan atau serangan
wanita tua yang lihai itu.
“Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu
kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti? Ia akan
menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-san
tidak mungkin dapat menandingi kelihaian nenek tadi. Siapakah dia itu?”
Sesudah menyusut air matanya
dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata, ”Tidak tahukah kau siapa dia?
Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!”
“Ayaaa...! Pantas saja ia
demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau
tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?” kata Ong Kiat.
“Dia telah beberapa kali
menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam pendidikannya,
akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggal oleh anakku?” Loan Eng
mengeluh sedih.
Ong Kiat menghiburnya dengan
penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat laun dapat juga Loan Eng
mengatasi kedukaannya.
Demikianlah keadaan dan
pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul memperebutkan kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang kini telah menjadi muridnya.
Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih
lanjut…..
********************
Sambil melakukan perjalanan
menuju ke Gunung Liang-san untuk mencari peninggalan buku-buku dari Gui Tin, Lu
Kwan Cu mulai menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai
Lu Sin.
Ang-bin Sin-kai melihat bakat
yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak berlaku kepalang tanggung
dalam melatih ilmu silat. Dia melatih bhesi dan gerakan kaki dengan amat
cermat, sehingga dalam beberapa bulan, dia masih belum memberi pelajaran ilmu
pukulan, melainkan ilmu pelajaran pasang kuda-kuda kaki dan mengatur tenaga
dalam kedudukan badan.
Selain itu, dia memberi
pelajaran cara bersiulian dan mengatur napas. Biar pun pelajaran ini menjemukan
dan tidak menarik hati, akan tetapi Kwan Cu mempelajari dan melatih diri dengan
amat tekun. Tubuhnya telah kehilangan tenaga lweekang yang dahulu dilatihnya
menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, maka boleh dibilang
bahwa dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi.
Akan tetapi, dalam hal latihan
ginkang dan ilmu berlari cepat, Kwan Cu sungguh-sungguh mendapat kemajuan pesat
sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri merupakan latihan yang
terus menerus baginya. Tanpa memberi tahu kepada muridnya, makin lama Ang-bin
Sin-kai semakin cepat menggerakkan kedua kakinya sehingga secara otomatis, ilmu
lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali.
Kadang kala, pada waktu
melompati jurang-jurang kecil, kakek ini tidak membantu Kwan Cu ketika
melompati jurang-jurang. Karena itu, makin lama semakin hebat dan semakin
lebarlah jurang yang dapat dilompatinya.
Pada suatu hari mereka mengaso
di dalam sebuah hutan. Ang-bin Sin-kai langsung tidur mendengkur sambil
bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di dalam hutan mencari
bahan makan siang. Ia tahu bahwa suhu-nya doyan sekali makan daging kelinci
panggang, maka dia mencari-cari binatang itu untuk ditangkapnya.
Setelah mencari beberapa lama,
akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang sedang menggerak-gerakkan dua telinganya
dengan lagak lucu sekali. Kelinci itu pun mendengar kedatangannya, dan cepat
sekali binatang ini melompat ke dalam semak-semak. Kwan Cu mengejarnya sambil
mengambil beberapa potong batu kecil. Di goyang-goyangnya rumpun di mana
kelinci itu bersembunyi.
Binatang ini menjadi ketakutan
dan melompat keluar lalu berlari cepat. Akan tetapi Kwan Cu lebih cepat
gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke arah binatang
itu.
Kwan Cu merasa yakin bahwa
sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia sudah mempelajari Pek-po
Coan-yang (Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki). Akan tetapi, ketika
batu itu sudah menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba dari lain
jurusan menyambar sebutir batu bundar yang meluncur cepat sekali dan membentur
batu yang disambitkan Kwan Cu.
Kwan Cu terkejut dan juga
heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat orang. Kelinci itu
sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap.
“Binatang yang begitu lucu
mengapa harus dibunuh?” terdengar suara nyaring menegur.
Mendadak melompatlah bayangan
seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar. Ketika Kwan Cu
memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid kedua dari
Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum ramah dan
wajahnya yang tampan tampak menarik sekali. Kwan Cu tidak menjadi marah
kehilangan kelincinya.
“Maksudku bukan untuk
membunuh, akan tetapi makan dagingnya,” bantahnya sambil tersenyum juga.
Kun Beng membelalakkan kedua
matanya. “Apa bedanya? Bukankah makan dagingnya berarti membunuh juga?”
Dengan wajah sungguh-sungguh,
Kwan Cu menggelengkan kepalanya. “Bedanya sangat jauh! Membunuh karena marah
dan mata gelap, itu bodoh namanya. Membunuh untuk memuaskan hati dan
memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya. Tapi membunuh untuk mengisi perut
karena lapar, itu lain lagi, bukan membunuh lagi namanya!”
Kun Beng tertegun. “Ahh,
lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak mengerti
maksudnya. Cara kau bicara seperti suhu saja, membingungkan. Bukan bicara
anak-anak dan aku tak suka. Lebih baik kita main gundu, lebih menggembirakan.”
“Main gundu?” kini Kwan Cu
yang terheran-heran.
Anak aneh, datang-datang dan
bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak bisa main gundu.
Kun Beng mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada tujuh butir, terbuat
dari pada batu-batu hitam yang keras.
“Sebetulnya harus delapan
butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa kelinci,” kata Kun
Beng sambil tertawa. “Akan tetapi tidak mengapa, pakai tujuh butir pun sudah
cukup.”
“Bagaimana cara memainkannya?”
tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng.
“Kau lihatlah baik-baik! Yang
enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran, kemudian dengan sebutir
ini aku akan membidik sehingga berganti-ganti dapat mengenai enam butir
kelerang itu.” Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan sebutir
kelereng dari jarak lima kaki.
Kelereng itu meluncur dari
tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai kelereng pertama,
terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam butir
kelereng itu itu terkena benturan semua!
“Bagus!” kata Kwan Cu memuji,
“Kau pandai sekali!”
“Nah, yang berhasil
membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh main terus.
Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran.”
Demikianlah, dua orang
anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan! Akan tetapi
karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu selalu kalah.
“Kau benar-benar pandai. Siapa
sih namamu?’
“Namaku The Kun Beng. Aku
sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?”
Kwan Cu mengangguk. “Suhu-mu
itu amat lihai dan terkenal. Suhu-ku sering kali memuji namanya. Dan suheng-mu
yang galak itu, siapa namanya?’
“Suheng bernama Gouw Swi Kiat,
meski pun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai mainkan sepasang kipas.”
“Kau pun tentu lihai main
kipas.”
Kun Beng menggelengkan
kepalanya. “Aku lebih suka memainkan tombak dan pedang, terutama sekali tombak.
Kau sendiri belajar apakah dari suhu-mu?”
Kwan Cu menggelengkan
kepalanya yang gundul. “Tidak belajar apa-apa, hanya belajar gerakan kaki saja.
Eh, Kun Beng, kau kenapa bisa berada di tempat ini? Mana suhu-mu dan
suheng-mu?”
“Mereka masih di belakang. Aku
mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling senang berada di dalam
hutan, dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan daun-daun. Nah, itu dia suheng-ku
datang.”
Benar saja, Swi Kiat muncul
dan datang-datang ia menegur sute-nya.
“Sute, kau terlalu sekali.
Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai berputaran di
dalam hutan ini. Ehhh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang mengacaukan urusan
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil memandang tajam kepada Kwan
Cu.
“Suheng, Kwan Cu kalah main
kelereng denganku!” kata Kun Beng.
“Main kelereng? Ahh, kau
seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dalam dia main silat?”
“Kwan Cu belum belajar silat,
Suheng. Bagaimana bisa minta dia untuk pibu (mengadu kepandaian silat)?”
“Dia bohong! Mana bisa murid
Ang-bin Sin-kai tidak mengerti ilmu silat? Hm, orang yang suka menyembunyikan
kepandaiannya, dia tentu memiliki hati curang dan licik. Ehh, Lu Kwan Cu,
beranikah kau mengadu kepandaian dengan aku?” Gouw Swi Kiat menantang dengan
sikap sombong.
“Berani sih tentu saja berani.
Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati orang yang bersalah,
sedangkan aku tidak bersalah sesuatu terhadapmu. Akan tetapi, tentang mengadu
kepandaian denganmu, apanya yang harus diadu? Aku tak punya kepandaian
apa-apa,” jawab Kwan Cu sejujurnya.
Memang, semenjak suhu-nya
mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya dari kitab palsu, sekarang dia
tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali ginkang dan lweekang yang
masih dimiliki tanpa disadarinya.
“Mulutmu lemas sekali bagaikan
perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari alasan, padahal
sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!” Swi Kiat membentak
sambil mengejek.
“Aku tidak takut!” jawab Kwan
Cu menggelengkan kepala.
“Bagus, kalau begitu marilah
kita mengukur kepandaian!” Dan sebelum Kwan Cu sempat menjawab, Swi Kiat sudah
menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada!
Walau pun belum menerima
latihan ilmu pukulan dari suhu-nya, namun Kwan Cu sudah mempelajari cara
pergerakan kaki serta kedudukan tubuh, maka dia memiliki kegesitan dan gerakan
otomatis dari seorang ahli silat tinggi. Menghadapi pukulan ini, dia miringkan
tubuh dan menarik kaki yang berada di depan sehingga pukulan itu mengenai
angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang bertubi-tubi!
Swi Kiat adalah murid pertama
yang berbakat dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Tentu saja ilmu silatnya sudah
baik dan tinggi. Seorang pria dewasa saja, dalam satu dua gebrakan tentu akan
roboh olehnya. Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal ilmu silat, dia
masih menang jauh. Karena itu, setelah dapat mengelak beberapa jurus, akhirnya
kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi Kiat.
“Bukkk!”
Tubuh Kwan Cu berputaran
saking kerasnya pukulan Swi Kiat. Untuk sejenak kepalanya terasa pening dan
seolah-olah kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi hanya sebentar saja,
karena di dalam darah Kwan Cu telah mengalir darah ular dan sari buah coa-ko,
ditambah pula latihan lweekang yang tanpa disadarinya sudah mencapai tingkat
tinggi juga.
“Suheng, jangan pukul dia! Dia
betul-betul tidak mempunyai kepandaian silat!” Kwan Cu mendengar suara Kun Beng
mencegah suheng-nya.
Akan tetapi sambil bertolak
pinggang Swi Kiat berkata kepada Kwan Cu, “Hayo lekas kau mengaku kalah
padaku!”
“Kita tidak berkelahi,
bagaimana aku dapat mengaku kalah?” Kwan Cu berkata sambil menggelengkan
kepalanya.
“Ehh, gilakah kau? Bukankah
baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?”
“Memang kau menyerangku, akan tetapi
tidak berkelahi!”
“Suheng, dia benar! Dia sama
sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?”
“Kalau begitu, sekarang aku
akan memaksa dia supaya berkelahi dengan aku!” seru Swi Kiat yang segera
menyerang pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat menangkis serangan
suheng-nya itu.
“Ehh, Kun Beng. Apa kau sudah
gila?”
“Tidak segila engkau, Suheng!
Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau membalas!” jawab Kun
Beng.
Swi Kiat ragu-ragu. Ia harus
akui bahwa tingkat kepandaian sute-nya tidak kalah olehnya, kalau tidak mau
dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada sute-nya ini dan
tentu saja tidak mau cekcok dengan sute-nya hanya karena Kwan Cu, bocah gundul
itu.
“Kau pergilah!” bentaknya
kepada Kwan Cu yang memandang semua itu dengan mata yang bersinar-sinar.
Mendengar bentakan ini,
sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk, Kwan Cu
tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus,
“Kwan Cu, lebih baik kau
tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?”
Kwan Cu mengangguk dan
berjalanlah dia untuk kembali kepada suhu-nya. Di tengah jalan, dia berhasil
menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci itu kepada
suhu-nya. Ia mendapatkan gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini gurunya
itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya.
“Suhu, teecu mendapatkan
seekor kelinci!” kata anak itu girang.
Akan tetapi gurunya tidak ikut
bergembira, bahkan menegurnya.
“Kwan Cu, kau membikin malu
kepadaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan tetapi tidak berani
membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kenapa kau biarkan kepalamu
yang gundul itu dijadikan permainan pukulan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Bukankah itu amat memalukan dan merendahkan nama guru?”
Kwan Cu tertegun. Gurunya tadi
masih tidur pulas di bawah pohon, bagaimana suhu-nya ini tahu akan peristiwa
yang terjadi antara dia dan Swi Kiat?
“Suhu, teecu tidak berniat
untuk berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang? Tidak ada alasan bagi
teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana teecu dapat membalas? Dia
lihai sekali.”
Merah muka Ang-bin Sin-kai
yang memang sudah merah itu, “Murid goblok! Kalau tiada hujan tiada angin kau
mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak beralasan. Akan
tetapi kau dihina dan dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat sekali bagimu
untuk balas memukulnya!”
“Akan tetapi, Suhu...”
“Tidak ada tapi! Lekas kau
kembali dan membalas pukulannya!”
“Dia lihai, Suhu...”
“Ehh, kau takut?”
Mata bocah gundul itu bersinar
penasaran, “Takut?! Siapa takut, Suhu? Biar kepada iblis sekali pun teecu tidak
takut!”
“Kalau begitu, kau lekas
kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau dia menyerang,
balas!”
“Teecu belum pernah suhu ajari
ilmu pukulan.”
“Untuk apa kedua tangan dan
kakimu? Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa lain harus
menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?”
Kwan Cu mengaku kalah dan
segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia melihat Swi Kiat dan
Kun Beng sedang duduk di bawah pohon bersama gurunya, yakni Pak-lo-sian
Siangkoan Hai!
Keder juga hati Kwan Cu
melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang dia
seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh,
seteguh batu karang di pinggir laut, bahwa apa bila tidak bersalah dia tidak
boleh takut kepada siapa pun juga!
“Ehh, Swi Kiat. Apakah kau
masih juga mau memukulku seperti tadi?” tanyanya sambil menghampiri Swi Kiat
yang memandangnya dengan mata terheran.
Juga Kun Beng merasa heran
sekali sehingga tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata. Ada pun Siangkoan Hai
memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata, “Ahh, bukankah bocah
gundul itu murid Gui Tin?”
“Teecu sekarang murid Ang-bin
Sin-kai, Locianpwe,” Kwan Cu menjawab dengan suara tenang.
Siangkoan Hai tertawa
bergelak. “Bersemangat juga anak ini. Ehh, Swi Kiat, dia datang menegurmu
hendak apakah?”
“Tadinya teecu telah menghajar
dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi,” kata Swi Kiat sambil
bangun berdiri, “Kwan Cu, apakah kau datang karena hendak minta digebuk
kepalamu yang gundul itu lagi? Jangan kurang ajar, lekaslah pergi dari sini!”
“Aku datang hendak menyatakan
bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan membalasmu!”
Swi Kiat tertawa geli, bahkan
Kun Beng juga tertawa. Akan tetapi murid kedua dari Siangkoan Hai ini lalu
berkata, “Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan tandingan Suheng, untuk apa
mencari penyakit?”
“Aku tidak ingin menyerangnya.
Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini aku akan membalasnya,”
kata Kwan Cu masih tetap tenang.
“Kalau begitu aku akan
memukulmu!” kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan Cu.
Sikap bocah gundul ini tidak
seperti tadi, sekarang dia pun bersiap-siap dan memasang kuda-kuda.
Melihat sikap Kwan Cu ini,
Pak-lo-sian tertawa bergelak. “Ehh, bocah gundul, apakah kau benar-benar murid
Ang-bin Sin-kai? Apa bila benar kau murid Ang-bin Sin-kai, kau biasa mempelajari
ilmu senjata apa sajakah?”
Kini Kwan Cu mengerti bahwa
tinggi rendahnya nama suhu-nya tergantung dari sikap dan sepak terjangnya, maka
kini dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu nama gurunya. Ia
melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka ranting itu dipungutnya
dan dia menjawab, “Apa pun juga yang berada di tangan suhu, menjadi senjatanya
yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang senjata, pada waktu ini teecu
memegang ranting dan inilah pula senjataku!”
“Bagus! Eh, Kun Beng kau lawan
bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting pohon!”
Kun Beng tertegun, akan tetapi
dia pikir bagi Kwan Cu lebih baik melawan dia dari pada menghadapi suheng-nya,
“Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, jika kau roboh berarti kau kalah!”
“Sesukamulah!” kata Kwan Cu
karena baginya, bertanding dengan siapa pun sama juga, asal dia sudah dapat
menebus nama baik suhu-nya dengan melawan. “Siapa saja yang memukul dan
menyerangku, tentu kubalas.”
Kun Beng menggerakkan
rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang sejak kecil Kun Beng lebih
suka mempelajari ilmu tombak, dan berbeda dengan suheng-nya, dia mewarisi ilmu
tombak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
“Awas senjata!” serunya.
Kwan Cu bingung sekali melihat
betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng, ujung ranting
seolah-olah berubah menjadi banyak sekali yang semuanya serentak menyerang
tubuhnya dengan hebat! Dia kemudian menggerakkan rantingnya menangkis
sejadi-jadinya, namun karena tenaga lweekang-nya memang sudah boleh juga, dia
pun berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng.
Akan tetapi, ilmu tombak yang
dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya.
Sebab itu, begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur turun dan tanpa dapat
dicegah lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah bocah gundul itu!
“Ha-ha-ha! Pukul kepalanya
yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!” kata Swi Kiat tertawa gembira.
Sebaliknya, Siangkoan Hai
lantas melongo. Bagaimana Ang-bin Sin-kai dapat mengambil seorang murid yang
begini tolol? Dia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik, akan tetapi
agaknya otaknya tidak genap!
Watak Kwan Cu memang bandel
dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia segera bangun lagi
dan siap sedia bertempur lagi.
“Ehh, Kwan Cu. Kau sudah
kalah, mengakulah,” kata Kun Beng. Murid kedua Siangkoan Hai ini memang
memiliki perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu lagi yang
terang-terangan tidak mempunyai kepandaian silat.
“Menyerah kalah tak mungkin.
Tapi kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!” Kwan Cu membandel.
Kun Beng tidak mau menyerang
lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah. “Suhu, dia tidak bisa ilmu
silat, bagaimana teecu dapat melawannya?”
Tiba-tiba Swi Kiat melompat
maju. “Anak ini memang bandel sekali dan dia tidak akan tahu kelihaian ilmu
Suhu kalau belum diberi hajaran. Ehh, Kwan Cu, apakah kau berani menghadapiku?”
“Mengapa tidak berani?” jawab
Kwan Cu tenang.
“Kau boleh menggunakan
rantingmu, biarlah aku menyerangmu dengan tangan kosong!” kata Swi Kiat.
“Aku bukan pengecut yang
menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata,” Kwan Cu juga membuang
rantingnya.
Diam-diam Siangkoan Hai
memuji. “Hemm, anak gundul ini benar-benar mempunyai sifat gagah, sayang sekali
otaknya agak miring. Mana bisa dia belajar silat? Sungguh kali ini Ang-bin
Sin-kai menggelikan sekali.”
Swi Kiat sudah maju menyerang.
Kwan Cu segera mengelak dan menangkis. Dalam hal mempertahankan diri, dia boleh
juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan atau tendangan Swi Kiat yang
mengenai tubuh Kwan Cu. Namun Kwan Cu hanya membalas dengan pukulan-pukulan
ngawur saja, asal pukul dan asal menendang.
Ketika dia menendang, Swi Kiat
menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh Kwan Cu terlempar ke
belakang lantas dengan suara keras tubuhnya menyusur tanah! Namun dia bangkit
kembali dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya kembali Swi Kiat
menyerbu dengan pukulannya yang membuat Kwan Cu untuk kedua kalinya jatuh
tersungkur.
“Kau masih belum mengaku
kalah?” bentak Swi Kiat.
Kekerasan hati Kwan Cu memang
luar biasa sekali. Ia menggeleng kepala dan mencoba untuk merayap bangun lagi,
akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terguling-guling. Sampai lima kali dia
mencoba bangun dan terpaksa harus mencium tanah lagi, bahkan pukulan yang
kelima kalinya membuat bibirnya pecah dan berdarah. Namun pukulan itu seperti
tidak terasa olehnya karena sedikit pun dia tidak mengeluh dan begitu roboh,
dia merayap bangun kembali.
“Cukup, Suheng!” kata Kun
Beng.
“Diam kau, Sute. Di dalam
pibu, yang kalah harus mengaku kalah!” jawab Swi Kiat yang mengejar Kwan Cu
lagi.
Sementara itu, Pak-lo-sian
Siangkoan Hai hanya tertawa-tawa saja. Kakek ini merasa bangga sekali dan
diam-diam dia pun mengakui kekuatan Kwan Cu. Jangankan seorang anak-anak, biar
pun orang dewasa menghadapi pukulan bertubi-tubi dari Swi Kiat yang sudah
memiliki tenaga lweekang lumayan itu, pasti akan terluka hebat. Bagaimana bocah
gundul ini tubuhnya seakan-akan terbuat dari pada baja dan tidak pernah merasa
sakit?
Bila saja dia melihat bocah
gundul itu terluka, tentu segera dia akan mencegah Swi Kiat melanjutkan
serangannya. Akan tetapi karena ia tahu betul bahwa Kwan Cu tidak terluka di
dalam tubuhnya, maka dia hanya menonton saja.
Tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa, disusul oleh kata-kata, “Bagus sekali! Memang orang yang kalah
dalam pibu harus mengakui kebodohannya. Hayo Kwan Cu, kau harus mengakui
kekalahan dan kelemahanmu!”
Muncullah Ang-bin Sin-kai sambil
tertawa-tawa. Melihat kakek ini, Swi Kiat melompat ke belakang dan tidak
melanjutkan serangannya lagi. Ada pun Kwan Cu setelah mendengar kata-kata
suhu-nya ini, merahlah mukanya.
Ingin dia menangis keras, akan
tetapi semangat serta kekerasan hatinya melarang air matanya mengucur keluar.
Ia amat taat kepada suhu-nya, maka sambil menghadapi Swi Kiat yang berdiri
dengan dada terangkat, dia berkata, “Swi Kiat, aku mengaku kalah.”
Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak dan berkata keras-keras. “Kwan Cu, dengan pengakuan ini, kau berarti
menang! Orang yang menangkan orang lain, belum boleh disebut gagah. Hanya orang
yang sudah bisa mengalahkan kesombongan dan nafsunya sendirilah yang patut
disebut gagah! Orang menangkan orang lain tak akan kekal, akan datang masanya
dia dikalahkan oleh orang lain. Tetapi kau telah dapat mengakui kelemahan,
kebodohan dan kekalahanmu, inilah yang penting sekali. Kelak kau akan berlaku
berhati-hati dan tidak akan terkalahkan untuk kedua kalinya. Ha-ha-ha!”
“Bagus, bagus!” Siangkoan Hai
bertepuk tangan memuji dengan kagum. “Tak kusangka bahwa jembel tua ini
benar-benar pandai menjadi guru. Ehh, Swi Kiat dan Kun Beng, kau perhatikan
baik-baik ajaran tadi. Memang bagus dan tepat sekali!”
Sambil tersenyum Ang-bin
Sin-kai menghampiri Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan bertanya, “Ehh, jago tua
utara! Kenapa kau bisa tersesat sampai di sini?”
“Kau kira aku akan membiarkan
Hek-i Hui-mo berlaku kurang ajar begitu saja? Meski pun kitab itu palsu, aku
harus mengejarnya dan memberi hajaran padanya!” kata Siangkoan Hai.
“Hemm, kau sudah tua akan
tetapi masih berkepala batu. Kau hendak menyusulnya ke Tibet?”
“Biar ke neraka sekali pun
pasti akan kususul! Mana bisa orang merampas sesuatu dari depan hidungku begitu
saja?”
Kembali Ang-bin Sin-kai tertawa.
“Kau benar-benar orang tua sombong sekali. Pantas muridmu juga memiliki sifat
tidak baik itu.”
“Bukan muridku yang sombong,
tetapi muridmu yang terlalu bodoh. Ehh, Ang-bin Sin-kai, kenapa kau memilih
murid seorang bocah gendeng yang pikirannya miring?” Siangkoan Hai memandang ke
arah Kwan Cu yang diam saja mendengarkan percakapan antara dua orang tokoh
besar ini, sama sekali tidak bergerak, hanya hatinya saja terasa panas sekali.
Ia tidak berdarah lagi pada bibirnya, karena luka di bibir itu telah rapat
kembali.
“Biarlah dia bodoh, dan biar
kau menganggap miring otaknya. Akan tetapi coba saja kau lihat lima tahun lagi.
Kukira dua orang muridmu ini tak akan mampu mempermainkannya seperti tadi.”
“Begitukah? Berani kau
bertaruh, Ang-bin Sin-kai?” tantang Siangkoan Hai. “Lima tahun lagi kita adukan
mereka, guru yang kalah harus memberi hadiah semacam ilmu pukulan kepada murid
yang menang! Setujukah?”
Berseri muka Ang-bin Sin-kai.
Dia tahu bahwa di antara para tokoh besar, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini termasuk
seorang yang baik hatinya, akan tetapi dia sombong sekali.
“Jadi bila muridku kalah, aku
harus memberi hadiah ilmu pukulan kepada murid-muridmu, sebaliknya kalau
muridku menang, kau akan memberi padanya semacam ilmu pukulan?” tanya Ang-bin
Sin-kai Lu Sin kepadanya.
“Benar, benar begitu. Bukankah
adil sekali namanya?”
“Baik. Kelak, lima tahun
kemudian, aku akan membawa muridku mencarimu!” Siangkoan Hai lalu memberi tanda
kepada murid-muridnya. “Hayo kita pergi, Hek-i Hui-mo tak akan jauh dari tempat
ini!” tanpa berpamit dan tanpa menoleh lagi, Siangkoan Hai dan kedua muridnya
lalu pergi dari dalam hutan itu.
Ang-bin Sin-kai menoleh kepada
Kwan Cu yang menundukkan mukanya.
“Suhu, apakah kekalahanku tadi
membikin malu nama Suhu?” tanyanya perlahan.
“Bukan memalukan aku,
melainkan kuharap akan dapat membuka kedua matamu bahwa ilmu silat itu bukan
tidak perlu sama sekali seperti yang kau kira. Coba kau dahulu tidak membenci
ilmu silat, bukankah kau sudah mampu membela diri dan belum tentu begitu mudah dipermainkan
orang.”
“Mulai sekarang teecu akan
belajar ilmu pukulan dengan baik-baik, Suhu.”
“Hemm, tidak mudah. Kau
mempunyai watak tidak mau menyakiti orang lain. Ini sukar sekali. Apa bila kau
belum mempunyai kekerasan hati dan ketegaan untuk memukul dan merobohkan orang,
bagaimana kau dapat mempelajari ilmu pukulan? Kau harus berlatih ketabahan
lebih dulu, baru ilmu pukulan ada gunanya. Hayo kau ikut aku!”
Ang-bin Sin-kai melompat dan
berlari pergi. Kwan Cu cepat mengejar suhu-nya. Sampai malam tiba, Ang-bin
Sin-kai masih terus berlari, tanpa berhenti untuk makan, sedikit pun tidak
pernah bicara.
Diam-diam Kwan Cu mengerti
bahwa gurunya ini marah dan kecewa kepadanya, karena kalau dia pikir-pikir,
peristiwa dengan murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi, tentu saja amat
memalukan gurunya!
“Aku harus belajar ilmu silat,
aku harus dapat mengalahkan mereka,” demikian Kwan Cu berpikir sambil berlari
di belakang suhu-nya.
Setelah memasuki sebuah hutan
besar, hari sudah malam dan Ang-bin Sin-kai berhenti lalu mengaso di bawah
pohon.
“Kau lihat ini baik-baik!”
kata kakek jembel itu.
Setelah memasang kuda-kuda,
dia lalu menggerakkan kedua kakinya. Terdengar suara keras dan tahu-tahu dua
batang pohon yang besarnya setubuh orang menjadi tumbang!
Semenjak tadi Kwan Cu memasang
mata baik-baik dan dia mencatat di dalam otaknya bagaimana tadi suhu-nya
menggerakkan kedua tangan, bagaimana menggeser kaki dan cara memukul ke depan
dan kanan kiri!
“Nah, kau latih gerakan
pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) tadi!”
“Teecu sudah melihat Suhu.”
“Coba kau tiru gerakan
Sam-hoan-ciang.”
Kwan Cu memasang kuda-kuda
seperti gurunya tadi, kemudian sambil mengerjakan otak mengingat bagaimana tadi
suhu-nya bergerak, dia lalu memukul dengan kedua tangan dan menggeserkan
kakinya, kemudian mainkan tiga jurus Sam-hoan-ciang seperti yang dimainkan oleh
Ang-bin Sin-kai tadi. Dari sepasang kepalan tangannya yang kecil lantas
menyambar angin yang membuat daun-daun pohon kecil bergoyang-goyang!
Ang-bin Sin-kai mengangguk
sesudah Kwan Cu menyelesaikan gerakan tadi. “Gerakan tanganmu sudah baik, hanya
saja tenaga pukulan jangan kau buyarkan. Tenaga dalam pukulan Sam-hoan-ciang
harus dikumpulkan, ditujukan kepada bagian tubuh yang lemah dan jalan darah
yang penting, ketika tangan kanan memukul, mulut harus mengeluarkan suara
‘hah!’ dan kalau tangan kiri memukul harus berbunyi ‘heh!’ Ingat,
Sam-hoan-ciang dilakukan tiga jurus, jurus pertama pukulan tangan kanan, jurus
kedua pukulan tangan kiri, dan jurus ke tiga pukulan kedua tangan dibarengkan,
mendorong ke depan, dengan agak jongkok dan tenaga dari pusar disalurkan kepada
kedua lengan. Mengertikah?”
Kwan Cu mengangguk. “Mengerti,
Suhu.”
“Coba lagi! Sekarang anggap
aku sebagai lawanmu dan lakukan tiga macam pukulan itu terhadap tubuhku!
Mulai!”
Demikianlah, dalam keadaan
yang remang-remang di dalam hutan itu, dan dengan perut kosong, Ang-bin Sin-kai
mulai melatih muridnya. Kwan Cu memasang kuda-kuda, lalu mulai menggerakkan dua
kakinya, dan melihat suhu-nya berdiri di depannya, ia lalu mulai menyerang
dengan jurus pertama. Dia menyalurkan seluruh tenaganya di ujung tangan
kanannya, menyerang ke arah ulu hati gurunya sambil membentak, “Hah!”
Dengan sedikit gerakan saja
Ang-bin Sin-kai bisa mengelak dari pukulan muridnya. Kwan Cu lalu menyusul
dengan jurus serangan kedua. Tangan kirinya yang sudah diisi dengan tenaga
lweekang yang dipindah dari tangan kanan, segera menyambar dengan pukulan
dahsyat ke arah lambung suhu-nya dan mulutnya berbunyi, “Heh!”
Kembali Ang-bin Sin-kai
mengelak lagi, lalu kakek jembel ini sengaja berdiri tegak untuk menanti
datangnya pukulan ketiga dari muridnya. Kwan Cu lantas menyerangnya dengan
jurus ketiga dari ilmu Sam-hoan-ciang. Sekarang anak ini memukul dengan dua
tangan, mengerahkan tenaga dan mendorong ke arah tubuh suhu-nya bagian bawah.
Kali ini Ang-bin Sin-kai tidak
mengelak, namun mengulur kedua tangan pula menyambut dorongan muridnya. Dua
pasang tangan bertemu dan Kwan Cu terlempar ke belakang, bergulingan sampai
beberapa kaki jauhnya! Dia menjadi agak nanar, akan tetapi cepat bangkit
kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Mohon Suhu memberi petunjuk
tentang bagian yang salah dari gerakan teecu,” katanya.
“Kakimu yang salah, jika tidak
masa kau akan jatuh berguling-guling? Kau menghabiskan seluruh tenagamu pada
lengan, sama sekali tidak mempedulikan kedudukan kaki. Kalau kau bertemu dengan
lawan yang tenaganya kecil, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau kau
menyerang orang yang tenaganya lebih besar, tentu kedua kakimu tidak kuasa
menahan pertemuan tenaga dan kau akan terpelanting seperti tadi! Lupakah kau
kenapa aku selama ini hanya mengajarmu dengan gerakan kaki dan pemasangan
kuda-kuda? Karena pokok dasar ilmu silat terletak pada keteguhan pemasangan
kuda-kuda, seperti bangunan berdasar pada tiang-tiang yang kuat. Nah,
berlatihlah lagi, dan kini perhatikan gerakan kaki, aku hanya akan memberi
contoh sekali lagi.”
Ang-bin Sin-kai kembali
melakukan gerakan Sam-hoan-ciang. Kwan Cu memperhatikan dengan mata yang tak
pernah berkedip. Setelah kakek jembel ini melakukan gerakannya, kembali dua
batang pohon besar menjadi tumbang!
Kwan Cu merasa kagum bukan
main. Dan setelah memberi contoh untuk kedua kalinya, Ang-bin Sin-kai lalu
duduk menyandar di pohon dan sebentar saja dia sudah tidur pulas! Sudah dua
malam kakek ini tidak makan, namun dia dapat tidur begitu mudah, sungguh
membuktikan adatnya aneh.
Akan tetapi, Kwan Cu lebih
aneh lagi. Kekerasan hatinya serta ketekunan hatinya boleh dipuji. Sebenarnya
dia merasa sangat lapar, akan tetapi pelajaran baru ini membuat dia lupa akan
keperihan perutnya. Dia terus berlatih ilmu pukulan Sam-hoan-ciang. Ia ulangi
dan ulangi lagi dan mempergunakan batang pohon sebagai lawan!
Makin lama tenaganya bukan
makin lemah, bahkan karena menghadapi kekuatan pohon, dia makin dapat mengatur
tenaganya sedemikain rupa sehingga lambat laun dapatlah dia mengerahkan tenaga
sampai pada titik yang tepat! Bila tadinya pukulannya pada pohon membuat kulit
kepalan tangannya merah-merah sampai akhirnya lecet-lecet, menjelang fajar, dia
telah dapat memukul pohon itu sampai menjadi doyong!
Ketika Ang-bin Sin-kai pada
keesokan harinya membuka matanya, kakek ini amat girang dan kagum melihat
muridnya masih berlatih diri dan melihat betapa gerakan Kwan Cu kini tidak kaku
lagi!
“Cukup! Jangan menghabiskan
tenagamu!” serunya.
Kwan Cu berhenti bersilat.
Barulah dia merasa letih bukan main sehingga untuk berdiri saja kedua kakinya
gemetar dan terpaksa dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Akan tetapi
kepalanya yang gundul dan mukanya yang berkilau karena peluh itu berseri-seri
ketika suhu-nya memujinya.
“Bagus, Kwan Cu, kau telah
maju banyak sekali.”
“Masih jauh, Suhu. Tanpa
menyentuh pohon Suhu sudah bisa merobohkan pohon-pohon dalam jarak lima kaki
lebih. Sedangkan teecu, sampai rusak kulit tangan, tetap saja tidak dapat
merobohkan sebatang pohon juga.”
Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak. “Bocah bodoh. Kau lihat pohon ini, bukankah biar pun luarnya lecet
kulitnya, akan tetapi dalamnya telah menderita pukulanmu yang bertubi-tubi itu?
Kau lihat!”
Setelah berkata demikian,
kakek ini lalu mendorong pohon tadi dan sambil mengeluarkan suara keras, pohon
itu tumbang. Ternyata bahwa di bagian dalamnya telah banyak yang remuk menjadi
bubuk seperti dimakan kutu. Kwan Cu lantas meleletkan lidahnya melihat
kehebatan akibat pukulan-pukulannya yang telah membuat tangan-tangannya
lecet-lecet malam tadi!
“Harus kau ketahui bahwa ilmu
pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) mesti mengandalkan tenaga
lweekang. Jika malam tadi kau memukul dengan tenaga gwakang dan mengandalkan
kekerasan kulit tangan, kulitmu tak akan lecet sedang pohon ini pun hanya akan
rusak luarnya saja. Akan tetapi karena kau menggunakan tenga lweekang, kulit
tanganmu yang tak terjaga oleh tenaga gwakang menjadi rusak, sebaliknya pohon
ini terluka pada bagian dalamnya! Oleh karena itu, penggunaan tenaga lweekang
tidak boleh dilakukan secara membabi buta, harus sekali pukul dengan tepat
seperti contoh ini. Lihat!”
Ang-bin Sin-kai lalu melakukan
pukulan jurus kedua dari Sam-hoan-ciang dengan tangan kirinya, diarahkan pada
pohon yang terpisah beberapa kaki dari tempat dia berdiri dan…
“Krakkk...!” pohon itu roboh!
Kwan Cu menjatuhkan diri
berlutut. “Terima kasih atas petunjuk yang amat berharga dari Suhu.”
“Bangunlah,” kata Ang-bin
Sin-kai sambil tertawa. “Kau seperti anak kecil yang mendapat permainan baru.
Ketahuilah, ilmu pukulan Sam-hoan-ciang ini hanya merupakan pukulan pertama
saja, dan kalau sudah mempelajari semua ilmu-ilmu silat dari aku, maka pukulan
Sam-hoan-ciang ini belum ada seperseratusnya! Apa artinya mempunyai ilmu
menyerang jika tidak dapat mempertahankan diri? Di dalam ilmu silat, kepandaian
harus dibagi dua. Mempertahankan diri dan menyerang, dan seorang ahli silat
yang baik, mengisi dirinya dengan enam puluh bagian ilmu menjaga diri dan hanya
empat puluh bagian ilmu untuk menyerang lawan. Dalam setiap gerakan menjaga
diri tersembunyi gerakan menyerang, sebaliknya kalau kau menyerang, berarti kau
membuka kesempatan bagi lawan untuk membobolkan pertahananmu. Maka berlatihlah
yang giat, karena ilmu silat bukanlah ilmu yang semudah orang kira!”
Demikianlah, Ang-bin Sin-kai
mulai membuka rahasia ilmu silat kepada muridnya dan semua kata-kata suhu-nya
itu masuk ke dalam kepala yang gundul itu.
“Apa kau tidak merasa lapar?”
tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Mendengar ini, perut Kwan Cu
berkeruyuk, mendahului mulutnya menjawab pertanyaan suhu-nya. Merahlah wajah
Kwan Cu dan mengharap mudah-mudahan suara perutnya itu tak terdengar oleh
suhu-nya. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai mempunyai pendengaran yang amat tajam.
Jangankan suara perut berkeruyuk, biar sehelai daun yang jatuh ke tanah saja
dia akan mendengarnya. Maka tertawalah kakek itu.
“Setelah latihan yang
menggunakan banyak tenaga lweekang, tiada daging yang lebih baik melebihi
daging ular besar. Hayo kita mencari daging ular. Di hutan depan banyak
ular-ular besar!” Kakek ini lalu berlari ke hutan yang nampak kehijau-hijauan,
dan Kwan Cu cepat menyusul gurunya.
Ang-bin Sin-kai memasuki
sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar sekali sehingga Kwan Cu yang
berjalan di belakang gurunya itu merasa betapa dirinya sangat kecil tak berarti
di bawah pohon-pohon raksasa itu. Ketika mereka sudah tiba di tengah hutan,
Ang-bin Sin-kai menunjuk ke depan dan berkata,
"Nah, itu dia calon
daging untuk perut kita. Kau tangkaplah yang paling gemuk!" Setelah
berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu duduk bersandar pada sebatang pohon.
Kwan Cu berdiri terpaku untuk
beberapa lama. Di tempat itu, dia melihat beberapa ekor ular yang amat besar.
Yang paling kecil saja ukuran perutnya sama dengan pahanya dan panjangnya
sekitar tujuh atau delapan kaki! Tubuh ular itu berwarna kekuning-kuningan,
lidahnya panjang warna merah, demikian pula matanya, ada pun mulutnya lebar
sekali.
Berdebar juga hati Kwan Cu
saking ngerinya sungguh pun dia tidak merasa takut sama sekali. Untuk menangkap
yang paling kecil saja, agaknya sangat sukar dan mengerikan, apa lagi suhu-nya
minta dia menangkap yang paling gemuk, yang berarti ular yang paling besar!
Akan tetapi Kwan Cu tidak
merasa jeri. Apa lagi ada gurunya di situ, apakah yang perlu ditakutkan lagi?
Sebagian besar ular-ular itu membelitkan tubuhnya pada cabang-cabang pohon,
dengan kepala bergantung, atau kepala mereka tersembunyi dalam lilitan tubuh.
Pada waktu Kwan Cu
mencari-cari dengan matanya untuk memilih, dia melihat seekor di antara
ular-ular itu yang melingkar di bawah pohon. Ular ini besar sekali lagi amat
gemuk. Agaknya lebih mudah menangkap yang melingkar di bawah ini karena dia
sedang tidur, sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan ular mati yang tidak
bernapas sama sekali.
"Suhu, teecu akan
menangkap yang itu!" katanya sambil menunjuk ke arah ular terbesar yang
melingkar di bawah pohon.
"Bagus, kau tangkaplah,
hitung-hitung latihan bagimu. Jangan takut, ular itu tak berbisa. Makin besar,
semakin tidak berbahaya. Hanya dia kuat sekali, dan kalau sampai tergigit,
sukar untuk melepaskan diri dari gigi-giginya yang doyong ke sebelah dalam
itu," berkata Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.
Suara suhu-nya ini
mendatangkan semangat dan keberanian dalam hati Kwan Cu, maka anak ini dengan
hati-hati lalu mendekati ular besar itu.
Biar pun tadinya kelihatan
seperti mati atau tidur, namun ketika Kwan Cu sudah sangat dekat, ular itu
mulai hidup. Ia mengangkat kepalanya dan sepasang matanya yang merah itu
ditujukan kepada Kwan Cu. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis.
Mengebullah uap putih dari mulutnya yang terbuka lebar-lebar. Kini kelihatan
betapa lebar mulutnya dan betapa mengerikan gigi-gigi yang runcing dan doyong
ke dalam itu. Lidahnya yang panjang menjulur keluar dan bergerak-gerak keluar
masuk cepat sekali.
Kwan Cu tidak mau membuang
waktu lagi. Melihat ular itu sudah mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dia
segera melangkah maju dan melakukan serangan dengan ilmu pukulan Sam-hoan-ciang,
karena untuk bertindak dengan ilmu silat lain dia masih belum bisa. Ia
melakukan jurus kedua, yakni tangan kiri bergerak maju, hanya mengubah sedikit.
Kalau biasanya gerakan ini dilakukan dengan tangan terkepal untuk memukul, dia
membuka jari tangannya dan kini menggunakan tangan kirinya untuk menerkam leher
ular!
Ular itu gesit sekali. Melihat
tangan bocah gundul ini bergerak ke arah leher, dia cepat mengelak ke kiri.
Namun Kwan Cu adalah anak yang amat cerdik. Walau pun dia baru mempelajari Sam-hoan-ciang,
akan tetapi kecerdikannya membuat dia dapat memecah gerakan-gerakan ini
sehingga jurus ke dua yang dia pergunakan tadi sebenarnya adalah semacam
pancingan belaka!
Dia tidak melanjutkan
serangan, bahkan segera menarik kembali serangannya dan kini disusul cepat
dengan jurus ketiga, yakni kedua tangannya maju berbareng dan tubuhnya agak
berjongkok. Dan gerakan ini berhasil. Ia berhasil menangkap leher ular itu
dengan kedua tangannya dan mencekiknya sekuat tenaganya.
Ular itu marah bukan main.
Beberapa kali ia menggerakkan kepala dan menggoyangkan lehernya, meronta-ronta
untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi Kwan Cu mencengkeram semakin keras karena
merasa betapa ular itu licin sekali.
Tiba-tiba ular itu berganti
siasat dan seluruh tubuhnya bergerak, terus melilit tubuh Kwan Cu dengan
ekornya. Sebentar saja tubuh bocah gundul ini sudah dililit sedemikian rupa
sehingga dari paha sampai dada tidak kelihatan lagi.
Kwan Cu terkejut sekali dan
sedapat mungkin dia mempertahankan kedua kakinya. Akan tetapi aneh sekali,
tenaga ular itu makin lama semakin hebat dan lilitannya makin lama makin erat.
Ketika ular itu menggoyang-goyang tubuhnya, dia tidak dapat bertahan lebih lama
dan tergulinglah Kwan Cu! Betapa pun juga, dia masih dapat mengatur jatuhnya dan
dia hanya jatuh duduk dengan tubuh masih dibelit-belit ular yang licin, dingin
dan kuat. Ia memperkuat cekikannya, mengerahkan seluruh tenaga yang disalurkan
kepada lengan tangannya.
Akan tetapi, tiba-tiba Kwan Cu
merasa betapa perut dan dadanya terhimpit keras sekali sehingga dia sukar untuk
bernapas! Dengan menekan napas ke arah perut, dia membuat perut dan dadanya
mengembung dan sanggup menahan himpitan ular, akan tetapi oleh karena itu,
tenaga pada kedua lengannya berkurang.
Sementara itu, ular tadi
menjadi makin penasaran dan marah. Biasanya, kalau ia sudah mengerahkan tenaga
dalam lilitannya, seekor kijang pun akan remuk-remuk tulangnya! Mengapa bocah
gundul ini dari perut dan dadanya keluar hawa panas sekali? Apa lagi, cekikan
pada lehernya itu pun mendatangkan rasa sakit.
Sambil mendesis hebat, ular
itu membuka lebar-lebar mulutnya yang bergerak di depan muka Kwan Cu dan
bergerak hendak menggigit kepala gundul itu. Kalau gigitannya ini berhasil,
agaknya kepala Kwan Cu yang gundul itu akan masuk ke dalam mulutnya!
Kwan Cu terkejut dan menahan
dengan kedua tanganya, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kepalanya yang gundul
itu gatal-gatal. Dia mengerti bahwa ini tentulah akibat dari pada semburan uap
yang keluar dari mulut ular itu. Tadi ketika ular itu menyemburkan uap putih
yang mengarah ke mukanya, dia menundukkan kepala untuk melindungi mukanya, maka
kepalanya yang gundul itulah yang terkena uap putih dan kini gatal-gatal.
Rasa gatalnya tidak
tertahankan lagi, maka terpaksa dia melepaskan tangan kanan yang mencekik leher
ular untuk digunakan menggaruk kepala gundulnya yang gatal setengah mati itu!
Ular tadi setelah kini merasa bahwa yang mencekik lehernya hanya satu tangan
saja, cepat memberontak sehingga cekikan tangan kiri Kwan Cu terlepas! Ular itu
segera menggerakkan lehernya dan dengan kecepatan luar biasa sekali mulutnya
yang lebar itu menyerang kepala Kwan Cu.
Akan tetapi Kwan Cu tidak
berkurang waspada. Bocah gundul ini cepat mengelak ke kiri sehingga mulut itu
hanya meluncur lewat di samping telinga kanannya. Cepat Kwan Cu menggerakkan
kedua tangan mencekik lagi dan kembali terjadi pergulatan mati-matian.
Kwan Cu mencekik sekuatnya,
ada pun ular itu melilit perut serta dada Kwan Cu sambil meronta-ronta hendak
melepaskan diri dari cekikan. Jari-jari tangan Kwan Cu tidak cukup panjang
untuk mencengkeram leher ular yang besarnya seperti betis kakinya sendiri itu,
maka beberapa kali terpaksa dia melepaskan cekikannya dari kulit leher yang
amat licin itu dan beberapa kali pula ular itu menyerang kepalanya yang dapat
dihindarkan dengan elakan-elakan cepat.
Tak dapat terus-terusan
begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua tangannya makin
lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu,
mencari-cari akal.
Akhirnya dia mendapat
akal.....