Pendekar Bodoh Jilid 01-05

Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi.
Pendekar Bodoh Jilid 01-05

Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis pada dinding dan bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi ‘Lam Bu O Mi To Hud’ masih dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang pada depan pintu luar dan berbunyi ‘Ban Hok Tong’ atau ‘Kuil Selaksa Rejeki’.

Pada siang hari yang sunyi itu terdengar suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara liamkeng pendeta bukan merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.

“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.

“Tahu, tahu...,” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua adalah saudara!”

“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”

“Siapa, Sianseng (Pak Guru)? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.

“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan peri kemanusiaan, tahu?”

Suara anak itu menandakan bahwa ia masih amat kecil, mana mungkin ia bisa menikmati ‘makanan rohani’ yang berat ini. Maka terdengar jawabannya yang takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sianseng.”

“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan tangan. Nah, kau rasakan ini supaya mengerti!”

Lalu terdengarlah suara tamparan, akan tetapi sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walau pun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu hanya menggigit bibirnya.

“Nah, sekarang kau sebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.”

“Ujar-ujar yang manakah, Sianseng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,” jawab murid itu.

“Ujar-ujar yang ke tiga.”

Sunyi sebentar, lalu terdengarlah suara lantang anak itu, “Janganlah kau perbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!”

“Bodoh, itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini saja! Agaknya hanya ujar-ujar ini yang bisa memasuki batok kepalamu yang keras itu.”

“Memang hakseng paling suka kepada ujar-ujar yang satu ini, Sianseng,” jawab anak itu yang tiba-tiba menjadi berani.

“Mengapa begitu?”

“Harap Sianseng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan betul?”

“Tentu saja, tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”

“Kalau begitu, apakah Sianseng suka kalau kutampar mukamu?”

“Apa katamu? Kau... kau bangsat....”

“Sianseng tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang kita pelajari?”

Untuk beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi kemudian terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu pula di luar kuil terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.

Seorang hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar menakutkan dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya, berhenti di luar kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar sekali yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil melihat ke arah pintu kuil dengan penuh perhatian.

Tiba-tiba saja dari dalam pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta penganut Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas dan diikat di tengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh sebab yang seorang tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek namun gerak-geriknya gesit sekali, ada pun yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk yang menyongot ke sana sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih panjang dan halus.

Ketika melihat tiga tosu ini keluar dari pintu kuil, hwesio gundul tinggi besar itu tampak terkejut karena memang dia tidak menduga sama sekali akan melihat mereka di sana. Sebaliknya, ketika melihat hwesio, ketiga orang tosu itu juga terkejut sekali dan mereka bertiga lalu menggerakkan tubuh meloncat menghampiri. Loncatan ini luar biasa sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga telah melayang ke tempat hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak (setombak kira-kira dua meter)!

“Hai Kong, kau berani menemui kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu jangkung kurus bertanya sambil mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas tanah.

Tiba-tiba hwesio gundul yang bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara tawanya ini aneh sekali. Keras dan parau memekakkan telinga dan sebentar merendah bagaikan suara orang bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat jauh hingga guru dan murid yang sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil itu menjadi terkejut.

Anak kecil itu tak dapat menahan keinginan tahunya, karena itu sambil membawa suling bambunya ia lalu berlari keluar dari kamar itu. Gurunya marah dan mengejarnya sambil berteriak,

“Cin Hai… Cin Hai.... kau tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada Pamanmu!”

Karena dikejar-kejar, Cin Hai berlari ke tempat yang rendah di pinggir kuil lalu memanjat naik. Ketika siucai (sasterawan) tua yang kurus sekali bagai orang cacingan itu mengejar ke situ, ia lalu memanjat ke atas genteng!

Ternyata Cin Hai yang baru berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di sepanjang wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan bulat kecil itu seperti berkilau karena tertimpa cahaya matahari!

Gurunya berteriak-teriak memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar pintu, tetapi tiba-tiba sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang hwesio aneh yang kini saling berhadapan di luar kuil itu. Dia menjadi ketakutan dan buru-buru bersembunyi di belakang pintu kuil!

Cin Hai kini duduk di atas genteng sambil memandang ke bawah. Dia juga heran sekali melihat ketiga orang tosu itu yang kini siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar.

Sementara itu, sesudah tertawa keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang hebat sambil berkata, “Ha-ha-ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu, jangan kalian sombong karena kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun yang lalu di Heng-san! Apakah kau kira aku takut menghadapi Kanglam Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha-ha-ha! Dahulu kalian maju bertiga baru mampu mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan bertiga, kau tambah tiga belas lagi akan kutewaskan semua, ha-ha-ha!”

Hwesio gundul itu kemudian menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat bukan main. Berbeda dengan tubuhnya yang besar dan kasar itu, gerakannya sebat dan gesit sekali. Tubuhnya bagaikan lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja yang nampak bergerak menyerang ketiga lawannya!

Tetapi Kanglam Sam-lojin adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama disohorkan orang. Mereka adalah tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan Liong-san-pai dan ketiganya merupakan saudara seperguruan yang memiliki kepandaian silat tinggi dan keistimewaan masing-masing.

Giok Im Cu yang tertua memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan mempunyai tenaga gwakang (tenaga luar, kekuatan urat) yang melebihi tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng Cu adalah ahli menggunakan piauw (senjata rahasia yang disambitkan) bersayap. Di samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan lihai sekali.

Maka, menghadapi serangan Hai Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu berpencar dan menghadapi hwesio itu dari tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata luar biasa, karena gerak-geriknya sangat aneh bagai menari berlenggak-lenggok, sama sekali bukan seperti gerakan silat.

Kedua tangannya bagaikan dua ekor ular yang hidup, ada pun sepuluh jari tangannya juga hidup bergerak-gerak dan setiap jari selalu mengancam jalan darah lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan dinamakan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular dan setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan datangnya secara tiba-tiba tak terduga sama sekali!

Baiknya ketiga tosu yang menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di puncak Heng-san sehingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula akan keganasan ilmu silat ini sehingga mereka dapat menjaga diri dan melancarkan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.

Cin Hai yang duduk di atas genteng itu dengan senang menonton pertempuran dan gembira sekali. Memang dia suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali di kota diadakan keramaian dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia selalu pasti ada di antara penonton, dan minggat dari gedung pamannya biar pun sudah dilarang.

Kini ada tontonan adu silat tanpa bayar, tentu saja ia senang sekali. Apa lagi adu silat kali ini sungguh berbeda dengan adu silat biasa yang dilakukan di atas panggung.

Ia melihat betapa empat orang yang berkelahi itu bergerak-gerak dengan aneh sekali dan kedua matanya menjadi kabur dan silau ketika melihat betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti dengan bayang-bayang hitam yang bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini tidak dapat membedakan lagi mana hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya kadang-kadang saja warna merah dari jubah hwesio gundul itu masih tampak dan ternyata ia terkurung di tengah-tengah.

Sungguh satu tontonan yang mengasyikkan dan menegangkan hati, apa lagi karena Cin Hai tahu bahwa hwesio gundul itu dikeroyok bertiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda dengan segala pibu (adu kepandaian silat). Maka dengan tak terasa pula saking tegangnya, Cin Hai memasukkan ujung suling ke mulut seperti orang sedang meniup suling.

Sementara itu, ketiga tosu yang mengeroyok Hai Kong Hosiang semakin lama semakin terdesak oleh Jian-coa Kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut sekali karena kepandaian Si Gundul ini betul-betul telah maju hebat, jauh bedanya kalau dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu.

Karena tahu bahwa apa bila terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im Cu berseru keras,

“Hai Kong, kau benar-benar hendak mengadu jiwa?”

Setelah berkata demikian, Giok Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu mencabut ranting kayu yang tadi ketika bertempur ia selipkan pada ikat pinggangnya. Biar pun ranting itu hanya kecil saja, namun berada di dalam tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang ampuh karena ranting yang lemas itu dapat menerima tenaga lweekang yang dia salurkan ke dalamnya.

Kedua kawannya lalu meniru perbuatan ini. Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan sangat gesit itu kemudian mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia putar-putar sampai menerbitkan angin dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam dongeng sejarah Samkok) kemudian mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya!

Ketiga tosu dengan senjata masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya seperti serangan badai mengamuk.

“Ha-ha-ha! Hayo kalian lekas keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan kumampuskan seorang demi seorang!” Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang tadi tersimpan di sebelah dalam jubahnya hingga tidak kelihatan.

Senjata ini dilihat dari jauh kelihatan seperti sebatang kayu kering yang tidak lurus dan bengkak-bengkok, tetapi kalau dilihat dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu adalah seekor ular yang sudah kering! Walau pun telah mati dan kering, tapi tubuh binatang itu masih utuh dan lengkap, bahkan matanya yang melotot dan lidahnya yang terjulur itu membuat ular itu seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh juga berbahaya sekali karena ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular berbisa yang luar biasa jahatnya.

Hai Kong Hosiang memegang senjata tongkat ular itu pada ekornya sehingga kalau dia memainkan senjata istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam itu dapat pula digunakan untuk menotok jalan darah, ada pun mulut bergigi ular itu dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang memenuhi mulut ular itu, yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat menyeretnya ke lubang kuburan!

Sebentar saja keempat orang itu telah bertanding pula, kini jauh lebih hebat karena kalau tadi tubuh mereka masih tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari, maka kini setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap dan sebagai gantinya tampak gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya. Pertempuran adu jiwa yang seru dan seram, tapi yang membuat pemandangan indah menarik hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin gembira lagi.

Hampir saja dia bersorak dan bertepuk tangan, namun tiba-tiba kakinya yang menginjak genteng terpeleset hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan pindah duduk di tempat yang lebih rendah.

Sementara itu, gurunya yang tadi bersembunyi di balik pintu, pada waktu mencoba untuk menjenguk keluar dan menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat orang itu kini bertempur dengan senjata tajam. Karena itu segera kepala yang nongol itu ditariknya kembali ke belakang dengan cepat seperti kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus kering seperti cecak itu menggigil ketakutan!

Biar pun senjata di tangan Hai Kong Hosiang hebat sekali dan permainan silatnya yang berdasarkan permainan ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Ular) lihai dan berbahaya, tapi menghadapi tiga macam permainan senjata dari Kanglam Sam-lojin itu, ia merasa kewalahan dan keteter juga. Gerakannya mulai tak tetap dan sinar ketiga senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.

“Ha, Hai Kong, sekarang kau hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil pendek itu menyindir sambil memperhebat gerakan golok besarnya.

“Ha-ha-ha! Tiga tikus tua, kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku, ha-ha-ha!”

Biar pun dalam keadaan terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa. Kemudian terdengar bunyi melengking yang sangat aneh dari mulutnya. Suara ini menyerupai bunyi suling dan melengking tinggi rendah seperti berlagu.

Dan pada saat itu, keranjang rotan besar yang tadi dia panggul dan kini terletak di atas tanah, kemudian bergoyang-goyang dan tutupnya terangkat naik seperti di dalamnya ada apa-apa yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang itu meninggi, maka terbukalah tutup keranjang besar itu dan dari dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali!

Ular itu mendesis-desis dan membuka mulutnya yang lebar. Lidahnya yang merah dan tajam itu menusuk-nusuk keluar masuk dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Kedua matanya liar memandang ke arah suara lengking yang menggairahkannya.

Kemudian ia keluar dari keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu terangkat, naik bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari dalam keranjang keluar pula ular lain berturut-turut sehingga semua isi keranjang yang ternyata mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah keluar semua.

Tiga orang tosu yang sedang mendesak Hai Kong Hosiang terkejut sekali melihat betapa kelima ekor ular itu cepat menghampiri mereka dan segera mengurung dalam segi lima yang teratur. Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit, sedangkan tubuh mereka yang berkembang dengan warna merah kehijauan itu berlenggak-lenggok seperti sedang menari-nari. Nyata sekali bahwa semua gerakan mereka terpengaruh oleh bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang!

Giok Keng Cu cepat mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan sekali menggerakkan tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang berada di depannya. Tapi pada saat itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang menyambar dua benda hitam yang membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga batang piauw yang masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang ternyata gerakannya gesit sekali itu!

Biar pun pada dasarnya mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta keberanian luar biasa, tapi ketika melihat betapa dari keranjang itu keluar lima ekor ular yang menakutkan sekali, Cin Hai merasa ngeri juga! Ia memandang keadaan di bawah dengan mata yang terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan perasaannya tidak enak sekali.

Sementara gurunya yang bersembunyi dengan tubuh menggigil, ketika mendengar bunyi lengking yang aneh itu, tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat. Meski pun masih menggigil ketakutan, ia lalu memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi. Tapi pemandangan yang dihadapinya sekarang terlampau hebat dan mengerikan untuknya.

Jantungnya terasa berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam dadanya kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa lemas dan roboh pingsan bagai sehelai kain yang dilepaskan, ada pun di bawah tubuhnya tiba-tiba saja menjadi basah!

Keadaan ketiga tosu itu makin berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas desakan bunyi lengking dari Hai Kong Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka. Sedikit demi sedikit kurungan mereka semakin rapat dan ketiga tosu yang bergerak di dalam kurungan itu tak dapat keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin sempit.

Mereka mempertahankan diri dan melakukan serangan hebat dengan senjata mereka, namun lima ular itu ternyata gesit sekali dan dapat mengelakkan setiap serangan senjata lawan. Selain itu masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal diam, tetapi juga ikut menyerang dengan tak kurang hebatnya!

Keadaan tiga orang tosu itu berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan tertolong lagi. Tapi pada saat itu, dari atas terdengarlah bunyi yang lebih tinggi nadanya dari pada bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh!

Mendengar bunyi lengking yang lain ini, kelima ular itu agaknya menjadi bingung sekali. Gerakan mereka menjadi kacau-balau, mereka berlima hanya mengangkat-angkat kepala tinggi-tinggi seolah-olah tak tahu harus berbuat apa. Terang sekali bahwa mereka sedang mencari-cari ke atas dengan sepasang mata mereka untuk dapat mendengar ‘perintah’ itu lebih nyata dan jelas lagi!

Melihat hal ini, Hai Kong Hosiang lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk memperkuat perintahnya sehingga lengking yang keluar dari mulutnya makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari atas itu juga makin hebat seakan-akan tak mau kalah bersaing! Ular-ular itu makin panik dan bingung hingga akhirnya seekor yang terkecil kena disabet oleh ranting pada tangan Giok Im Cu hingga berkelojotan!

Sebenarnya apakah yang terjadi tadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang dengan enak-enak asyik nonton di atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya meremang melihat lagak dan keganasan ular-ular itu, makin lama semakin tak tertahan mendengar bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang karena suara itu seakan-akan menembus anak telinganya dan langsung menusuk-nusuk hatinya.

Karena itu dia menjadi marah, lalu ditiupnyalah suling yang memang semenjak tadi telah dimasukkan di mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia suka meniru-niru segala macam lagu yang didengarnya.

Kini mendengar nada lengking hwesio gundul yang aneh itu, dia lalu mencoba-coba dan bersusah payah untuk menirunya pula. Tapi, biar pun ia telah meniup nada yang setinggi-tingginya tak juga dapat meniru dengan tepat dan baik, bahkan suara lengking sulingnya terdengar sumbang dan lebih menyakitkan telinga dari pada suara Hai Kong Hosiang!

Akan tetapi aneh, ketika ia telah meniup sulingnya, semakin tinggi nada yang ditiupnya, makin berkuranglah rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara yang dikeluarkan oleh hwesio itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras bunyi sulingnya. Ketika ia melirik ke bawah, kegembiraannya bertambah karena dia melihat betapa hwesio gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu tampaknya marah sekali, sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan gerakannya.

Cin Hai lalu meniup dan meniup lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal meniup nada yang tinggi-tinggi saja! Ia sama sekali tak mengira bahwa karena perbuatannya ini maka ular-ular itu kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah menolong tiga orang itu.

Bukan main marahnya hati Hai Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang nakal itu ternyata telah menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya, padahal tadi dia sudah merasa pasti sekali bahwa tidak lama lagi ketiga tosu itu tentu akan dapat ia robohkan.

Sebaliknya, tiga orang tosu itu pada saat melihat betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan ular-ularnya sudah kacau, segera mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat keluar kurungan. Mereka bertiga mengeluarkan keringat dingin karena keadaan mereka tadi benar-benar berbahaya.

“Hai Kong, kau makin tua semakin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji, lalu dia mengajak kedua kawannya pergi secepat mungkin.

Ia tahu bahwa meski pun seekor ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat ekor ularnya yang lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan sulit dilawan. Tanpa mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa sengaja telah menolong jiwa mereka, ketiga tosu itu lari meninggalkan tempat itu.

Hai Kong Hosiang membanting kakinya yang besar dan kuat. Dia tidak mau mengejar, karena biar pun ia tak usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi jika dapat mengejar juga, apa gunanya? Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya ia takkan menang menghadapi tiga orang tosu yang lihai itu.

Ia marah sekali karena telah gagal membunuh tiga orang musuh lamanya, bahkan seekor ularnya masih berkelojotan akibat kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai. Tentu tulang punggung ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak setan itu, pikirnya.

Hai Kong Hosiang melihat ke arah Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya. Hwesio gundul itu lalu mengayun tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam menyambar.

Cin Hai sama sekali tak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu suling yang terpegang di tangannya dan sedang ditiup itu sudah terbang bagaikan direnggut oleh tangan yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah, kembali tangan kiri Hai Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang menuju arah kepala Cin Hai!

Dengan muka merah karena gemas, Hai Kong Hosiang sudah membayangkan betapa kepala anak kecil yang gundul bagai kepalanya sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu akan menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah heran dan kagetnya melihat pelornya itu tiba-tiba saja melenceng arahnya dan sebaliknya malah menghantam tembok di dekat anak itu hingga tembus dan tembok itu berlubang!

Ketika ia sedang bengong terdengar suara yang halus penuh kesabaran menegur.

“Tidak malukah kau, Hwesio? Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?”

Dan tiba-tiba saja di belakang Cin Hai muncul seorang kakek tua yang berpakaian penuh tambalan. Kakek ini bertubuh sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku, bajunya tambal-tambalan, semuanya membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga agaknya sangat aneh dan janggal bila suara teguran yang halus dan sabar itu keluar dari mulutnya yang tampak kasar kejam itu!

Ketika melihat kakek jembel itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa banyak cakap lagi dia mengambil semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka ini ke dalam keranjang kembali. Lalu ia memanggul keranjang rotannya dan pergi secepat terbang dari situ sambil mengomel panjang pendek.

“Setan alas benar-benar! Belum pernah seperti hari ini sialnya diriku. Gagal membasmi Kang-lam Sam-lojin, lalu bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya dia tidak menurunkan tangan jahat kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya lagi aku melelahkan diri?”

Tapi Hai Kong Hosiang keliru kalau menganggap bahwa kakek jembel itu berlaku murah padanya karena pada saat itu juga dia merasa betapa keranjang yang dipanggulnya itu menjadi berat dan tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah ke atas pundaknya. Ia cepat menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya. Apa yang dilihatnya?

Kelima ularnya sudah mati semua dan di kepala kelima ular itu tampak luka kecil yang mengalirkan darah. Dia tahu bahwa ini adalah akibat dari serangan gelap Bu Pun Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan gin-ciam (jarum perak) untuk membunuh ular-ular itu.

Melihat betapa binatang-binatang peliharaan yang sudah bertahun-tahun dipelihara serta dididiknya sampai pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua, tiba-tiba Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio gundul yang bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu melampiaskan rasa dongkol dan marahnya.

Kemudian ia berdiri dan meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia berkata. “Awas Bu Pun Su, lain kali aku akan membunuhmu untuk ini!”

Cin Hai yang masih duduk di atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang berdiri di belakangnya itu telah menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek tua renta, dia tadi menyambit dengan apakah?”

Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali suara ketawanya sama sekali tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus.

“Ehh, anak tolol, dia tadi menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si tua renta, sekarang kau sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”

Sementara itu, guru anak itu yang masih berdiri di belakang pintu, setelah mendengar di luar sunyi dan suara Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari keluar dan memanggil-manggil.

“Cin Hai... Cin Hai... kau turunlah, mari kita pulang!”

Akan tetapi Cin Hai tidak mempedulikannya, bahkan dia lalu bertanya kepada kakek yang menolongnya tadi, “Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”

“Kau ingin mempelajarinya?” tanya Bu Pun Su.

“Tentu saja, asal kau orang tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.

“Cin Hai... Cin Hai...!” terdengar gurunya memanggil lagi.

“Tunggulah sebentar, Sianseng, itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.

“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !” guru itu menjerit dan cepat-cepat dia menyelinap lagi ke belakang daun pintu.

Cin Hai menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek jembel itu, “Dia juga Guruku dan mengajar ilmu surat padaku.”

Bu Pun Su tertawa dan berkata, “Bila kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru padaku.”

“Boleh, boleh, jika mengangkat guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh menghafal ujar-ujar yang sulit dan membingungkan.”

“Lebih dari itu, anak bodoh. Kau harus tunduk dan taat kepadaku serta menurut segala perintahku.”

Tiba-tiba Cin Hai merengut. “Semua orang menyebutku bodoh, bahkan kau caIon guruku juga! Lama-lama aku bisa percaya bahwa aku benar-benar bodoh.”

“Ha-ha-ha, memang kau bodoh. Bagaimana, kau mau mentaati segala perintahku?”

“Tentu, tentu saja. Ada ujar-ujar yang berkata bahwa apa pun juga kata guru, murid harus taat dan menurut.”

“Nah, kalau begitu, kau loncatlah ke bawah!”

“Lo... lo... loncat ke bawah?” Ci Hai memandang kakek jembel itu dengan matanya yang bundar terbelalak. “Tapi, tapi... begini tinggi...”

Kakek jembel yang matanya lebih bundar dan lebih lebar itu berdiri.

“Ingat, apa pun juga kata guru, murid harus...”

“Iya, dah! Aku loncat!” kata Ci Hai yang lalu mengenjot kakinya dan mengayun tubuh ke bawah!

Tapi ia tidak terbanting dan kakinya tidak patah-patah sebagaimana yang ia khawatirkan, karena pada saat ia terjun, sebuah tangan yang kuat telah memegang leher bajunya dan membawanya turun dengan ringan.

“Bagus, kau harus turuti segala perintahku. Sekarang kau pulanglah dengan gurumu itu dan setahun kemudian, sekembaliku dari Nam-thian, kau akan kuambil!”

Cin Hai yang kini maklum akan kelihaian kakek jembel ini, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul! Dan pada saat itu pun Bu Pun Su berkelebat lenyap dari depan anak itu!

Cin Hai lalu mencari gurunya di belakang pintu. Guru sekolahnya itu sampai menjumbul karena merasa kaget ketika Cin Hai tiba-tiba muncul di depannya sambil berteriak keras, “Sianseng!”

Melihat anak kecil itu, guru itu mulai marah lagi. Dengan lengan terulur ia hendak menjiwir telinga Cin Hai, namun anak itu mengangkat kedua lengan ke atas melindungi telinganya sambil berkata,

“Sianseng, jangan kau berbuat sesuatu kepada lain orang apa yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu!” dan ketika guru kurus kering itu menjadi makin marah dan hendak menjatuhkan tamparan padanya, dia buru-buru berkata lagi, “Sianseng, bukankah kau tadi mengajarkan Su-hai-ci-lwee-heng-te-ya? Lalu kenapa Sianseng selalu memukul hakseng tanpa ingat peri kemanusiaan?”

Dihujani ujar-ujar yang sering ia ajarkan kepada muridnya itu, Si Guru menjadi bohwat (habis daya) dan tangan yang sudah diangkat naik itu diturunkan kembali.

“Hayo kita lekas pulang, takut kalau siluman-siluman itu datang lagi.”

Dia lalu memegang lengan muridnya dan menyeretnya sambil berlari anjing menuju ke kota yang tak berapa jauh karena tembok kotanya tampak dari kuil itu…..

********************

Anak kecil yang bernama Cin Hai itu adalah seorang anak yatim piatu. Semenjak berusia empat tahun, dia sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dan ia lalu dipelihara oleh ie-ienya (bibi adik ibu) yang menjadi isteri ke dua dari Kwee In Liang, seorang pembesar militer berpangkat touwtong yang tinggal di Tiang-an. Karena ketika ditinggal mati kedua orang tuanya dia masih kecil sekali, maka Cin Hai tidak dapat ingat lagi bagaimana rupa kedua ayah bundanya dan tidak tahu pula bagaimana matinya.

Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) telah ditinggal mati oleh isterinya yang pertama hingga ia kawin lagi dengan ie-ie dari Cin Hai itu. Dari isteri pertama ia mempunyai enam orang anak, lima orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak laki-laki yang sulung berusia sepuluh tahun dan tiap tahun bertambah seorang anak hingga anak perempuan yang bungsu itu kini sudah berusia lima tahun! Mungkin karena setiap tahun melahirkan anak inilah yang menyebabkan isteri Kwee-ciangkun menjadi lemah kemudian jatuh sakit sampai matinya.

Kwee-ciangkun sangat memanjakan anak-anaknya hingga mereka itu rata-rata bersifat manja dan nakal. Akan tetapi hal ini dapat dimengerti karena keenam orang anak-anak itu ditinggal mati ibunya ketika usia mereka masih belum dewasa.

Ketika itu Loan Nio, bibi Cin Hai itu, menjadi pelayan di gedung keluarga Kwee, dan dia memang telah bekerja di sana sejak masih kanak-kanak hingga dewasa. Boleh dibilang semua anak-anak Kwee-ciangkun ketika kecilnya diasuh oleh gadis ini sehingga mereka menjadi suka dan biasa kepada Loan Nio. Maka, sesudah ibu anak-anak itu meninggal, dan melihat sifat-sifat yang baik serta wajah yang manis dari gadis itu, Kwee-ciangkun lalu mengambilnya menjadi isteri kedua.

Memang boleh dipuji tindakan panglima yang masih muda ini, karena pilihannya memang tepat dan bijaksana, tidak semata-mata terdorong oleh nafsu ingin senang sendiri, tetapi sebagian besar didasarkan untuk kepentingan anak-anaknya. Demikianlah, Loan Nio lalu menjadi seorang isteri panglima dan sekaligus menjadi ibu enam orang anak, seorang ibu yang baik karena di dalam hatinya memang dia mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak-anak yang semenjak kecil diasuhnya itu.

Cuma sayangnya, anak-anak itu sudah terlampau manja dan karena mereka pun tahu bahwa ibunya yang sekarang ini bukanlah ibu sendiri, perasaan mereka tentu berbeda dan kadang-kadang terasa ada suatu ganjalan yang tak menyenangkan.

Apa lagi pada saat Loan Nio mendatangkan anak kemenakannya yang telah yatim piatu, yakni Cin Hai, maka sering terjadi hal-hal yang menyakitkan hati Cin Hai dan Loan Nio, sungguh pun kejadian-kejadian itu terjadi di luar tahu Kwee In Liang sendiri.

Kwee In Liang adalah seorang pembesar militer yang memiliki kepandaian silat tinggi, karena dia adalah seorang murid dari Kun-lun-pai. Karena ini, maka tidak heran bila dia mendidik kelima puteranya dengan ilmu silat, di samping mendidik mereka dalam ilmu surat.

Ketika isterinya membawa Cin Hai ke dalam gedung, hal ini diterima oleh Kwee-ciangkun dengan tangan terbuka dan senang hati, karena ia yang berhati baik juga merasa kasihan kepada Cin Hai. Melihat bahwa Cin Hai usianya sebaya dengan puteranya yang ke lima, maka ia lalu sekalian menyuruh Cin Hai belajar sama-sama dengan putera-puteranya, di bawah pimpinan seorang guru sastera dan untuk belajar silat, untuk tingkat permulaan ia serahkan mereka kepada seorang guru silat she Tan yang terkenal di kota itu.

Tapi ternyata bahwa Cin Hai menjadi korban dari segala ejekan dan kebencian. Anak ini kepalanya sengaja digundul plontos karena dulu sering mendapat sakit kulit di kepalanya. Pula, mukanya yang membayangkan kebodohan, mungkin karena bingung dan banyak menangis pada saat ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, membuat ia menjadi bahan godaan semua orang.

Apa bila sedang belajar bersama-sama dengan anak-anak Kwee-ciangkun, kalau ia tidak menghafal dan tak dapat menjawab pertanyaan guru, ia dimaki tolol dan bodoh bahkan si guru tak segan-segan untuk mengetok kepalanya yang gundul itu. Tetapi kalau dia rajin menghafal hingga pengertiannya melebihi lima anak-anak Kwee-ciangkun, ia lalu dibenci oleh mereka itu dan dianggap sombong. Tak jarang di luar tahunya orang-orang tua, dia dikeroyok, dipukuli, dan dimaki-maki oleh kelima anak laki-laki Kwee-ciangkun itu.

Guru silat she Tan yang mengajar mereka agaknya juga sengaja menghina Cin Hai. Entah mengapa, mungkin karena mengingat bahwa anak gundul itu datang dari dusun, atau karena ingin menyenangkan hati tuan-tuan muda, yakni lima putera Kwee-ciangkun, atau memang ia sendiri mempunyai rasa tak suka melihat wajah Cin Hai, tapi nyatanya ia tidak mengajar sungguh-sungguh kepada Cin Hai. Bahkan sering kali dia menyuruh Cin Hai menghadapi Kwee Tiong, putera tertua yang sudah berusia sepuluh tahun itu untuk berlatih. Tentu saja Cin Hai hanya mendapat gebukan-gebukan dalam latihan itu karena selain kalah besar, juga kalah tenaga dan kalah kepandaian!

Baiknya, sikap yang tahu diri dan agung dari Loan Nio yang kini telah menjadi ‘nai-nai’ (nyonya) itu membuat semua orang tidak berani menghina Cin Hai secara berterang di muka nyonya muda itu. Dan Loan Nio menjadi tempat Cin Hai menumpahkan segala kesedihannya.

Kalau ia sedang digoda atau dipukul, tak sebutir pun air mata dapat meloncat keluar dari kedua matanya yang bundar, tapi kalau sudah berada dengan bibinya, dan kepala yang gundul rebah di pangkuan nyonya muda itu, barulah air mata membanjir keluar. Betapa pun juga, tak pernah satu kali pun ia mengadu kepada bibinya mengapa ia menangis, mengapa kepalanya benjol-benjol dan mukanya biru-biru.

Bibinya hanya menganggap bahwa lazim bagi seorang anak laki-laki untuk kadang kala berkelahi sampai kepalanya benjol! Dan ia menyangka bahwa kesedihan anak itu karena teringat akan orang tuanya, maka dia tidak pernah bertanya karena tak mau menambah kesedihan anak itu.

Akan tetapi, tidak semua orang berhati kejam dan buruk. Ada beberapa orang pelayan yang merasa kasihan melihat nasib Cin Hai lalu diam-diam memberitahukan kepada Loan Nio tentang perlakuan guru itu kepada Cin Hai.

Biar pun hatinya sangat panas, tapi sebagai seorang bijaksana yang panjang pikir, Loan Nio tidak menimbulkan ribut-ribut. Ia hanya memberi tahu kepada Cin Hai supaya jangan belajar silat lagi dan sengaja ia memanggil seorang guru sasterawan tua untuk mengajar Cin Hai. Cita-citanya hanya agar supaya anak itu kelak menjadi seorang pandai yang dapat menempuh ujian dan menggondol pangkat tinggi. Dan ia sengaja menyewa sebuah kamar di kelenteng yang terletak di luar tembok kota sebelah barat itu untuk tempat Cin Hai belajar.

Nyonya muda bijak yang mencinta kemenakannya itu tentu saja tidak tahu bahwa Cin Hai memang tak begitu rajin belajar dan guru kurus kering ini pun berlaku sewenang-wenang dan main ketok kepala saja. Agaknya kepala Cin Hai yang gundul plontos itu memang mempunyai daya tarik kepada orang untuk mengulurkan tangan dan mengetoknya!

Lima putera Kwee-ciangkun semua berwajah tampan dan gagah. Yang sulung bernama Kwee Tiong, ke dua Kwee Sin, ke tiga Kwee Bun, ke empat Kwee Siang, ke lima Kwee An. Sedangkan anak ke enam yang perempuan adalah seorang anak mungil dan manis, bermuka bundar dengan mulut kecil dan mata lebar, namanya Kwee Lin dan biasanya disebut Lin Lin.

Karena hanya mempunyai seorang saja anak perempuan, tak heran bila Kwee-ciangkun sangat cinta kepada Lin Lin dan diam-diam, di luar tahu orang lain, setelah Lin Lin berusia lima tahun, ia mulai menurunkan kepandaian silat yang tinggi pada anak perempuannya ini!

Biar pun orang luar tidak tahu, namun Lin Lin tentu saja sebagai seorang anak kecil tak dapat menyimpan rahasia dan membocorkannya kepada saudara-saudaranya. Semua saudaranya merasa iri hati, tetapi mereka tidak berani mengganggu Lin Lin, karena tahu betapa sayangnya ayah mereka kepada anak yang bungsu lagi perempuan ini…..

********************

Guru Cin Hai yang kurus kering itu adalah seorang she Kui. Setelah mengalami peristiwa aneh yang menyeramkan di luar kuil tempat dia mengajar itu, dia segera lari ke gedung Kwee-ciangkun sambil menarik tangan muridnya bagaikan dikejar setan. Ia tak pedulikan celananya yang telah menjadi basah karena tak tahan lagi saking kagetnya ketika melihat orang-orang aneh itu bertempur, dan melihat ular-ular yang mengerikan itu.

Pada saat memasuki pekarangan gedung keluarga Kwee, mereka bertemu dengan Kwee Tiong.

“Ehh, Kui-sianseng, mengapa kau lari-lari seperti maling dikejar?” tanya anak itu.

“Twa-kongcu (Tuan Muda Terbesar)... celaka, ada... ada... siluman...,” jawab kakek kurus kering itu gagap.

Kwee Tiong terbelalak memandang. “Apa katamu? Siluman?”

Cin Hai memotong, “Ya, siluman menyeramkan sekali. Beginilah macamnya...” Dia lalu mempergunakan kedua tangan untuk menarik mata dan mulutnya sambil mengeluarkan suara, “hii... hiii... hiiii...”

Kwee Tiong menggerakkan hidungnya ke atas mengejek, “Ahh, betapa pun buruknya, kukira siluman itu tidak lebih buruk dari pada mukamu!”

Cin Hai hanya tertawa ha-ha-hi-hi dan dia menurut saja ketika gurunya terus menarik tangannya dibawa ke dalam gedung menghadap bibinya.

Tentu saja nyonya muda itu amat terkejut melihat kedatangan mereka yang tidak seperti biasanya, apa lagi melihat muka Kui-sianseng itu pucat dan tubuhnya gemetar.

“Ehh, Kui-sianseng, kenapa masih begini siang sudah pulang? Apakah yang terjadi? Cin Hai, apakah kau tadi berlaku nakal?”

Cin Hai tersenyum kepada bibinya dan menggelengkan kepala.

“Maaf... saya... saya tidak sanggup mengajar di kuil itu... ada... siluman...,” Kui-sianseng itu masih saja gugup, bingung dan takut.

“Sabarlah, Kui-sianseng, sebetulnya apakah yang telah terjadi?”

Dengan suara terputus-putus, sasterawan tua kurus kering itu lalu menceritakan segala peristiwa yang dilihatnya tadi dengan ditambahi bumbu-bumbu yang timbul dari khayalan pikirannya yang penuh kepercayaan tahyul hingga Cin Hai tertawa geli.

Akhirnya tanpa dapat ditahan lagi, guru yang hafal segala ujar-ujar dan filsafat semua nabi, tapi yang satu pun tak pernah terbukti dalam segala perbuatannya itu, lalu berpamit dan minta berhenti, kemudian pergi dari situ. Kalau tidak takut kepada bibinya, tentu Cin Hai bersorak karena girang hati bahwa akhirnya ia terlepas jua dari siksaan dan godaan guru she Kui yang memaksa dia ‘makan’ segala ujar-ujar di dalam buku-buku tebal itu secara bulat-bulat!

Nyonya muda itu menghela napas. “Cin Hai, mengapa nasibmu begini buruk? Agaknya tidak ada seorang guru pun yang suka mengajarmu, habis bagaimanakah dan kau akan menjadi apakah kelak? Biarlah, mulai sekarang, aku sendiri akan mengajarmu membaca dan menulis, tapi pengertianku dalam hal ini juga tidak sangat banyak. Apakah terpaksa aku harus memberi pelajaran menjahit dan menyulam padamu?”

Cin Hai menggunakan tangan kiri untuk menutup mulutnya supaya tidak tertawa geli. Dia belajar menyulam? Tapi ia menjawab,

“Ie-ie, kalau memang kau anggap perlu, boleh saja aku belajar menjahit dan menyulam.”

Bibinya melerok. “Anak tolol, masak anak lelaki belajar menyulam?”

“Ie-ie, mengapa semua orang menyebutku bodoh dan tolol, bahkan tadi ie-ie sendiri juga menyebutku tolol? Apakah aku benar-benar tolol? Ahh... tentu saja aku bodoh dan tolol, kalau tidak masak semua guru membenciku?”

Bibinya menjadi terharu dan menariknya dekat-dekat.....

“Tidak, Cin Hai, kau tidak bodoh, asal saja kau mau rajin-rajin belajar.” Nyonya muda yang murah hati itu mengelus-elus kepala Cin Hai yang gundul plontos.

“Itulah sukarnya, ie-ie, terus terang saja, aku lebih suka belajar silat dan meniup suling.”

“Anak tolol...”

Cin Hai mengangkat telunjuk ke atas.

“Nah, nah, lagi-lagi aku disebut tolol!”

“Sudahlah, aku lupa. Kau tidak boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus belajar ilmu surat agar kelak menjadi seorang pandai yang memegang jabatan penting dan menjadi seorang pembesar. Alangkah akan bangga dan senangnya hatiku kelak kalau kau bisa menjadi seorang pembesar yang dihormati orang!” Sampai di sini suara nyonya muda itu terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia terisak.

Cin Hai memegang tangan bibinya, “Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku akan belajar ilmu membaca dan menulis dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku teringat bahwa sulingku telah lenyap, maka aku harus membuat lagi sebuah. Di hutan sebelah utara kota ada tumbuh bambu-bambu kuning gading yang kecil dan dapat dibuat suling. Bolehkan aku ke sana, ie-ie?”

“Baru saja datang mau pergi lagi! Bagaimana kalau le-thio-mu sewaktu-waktu bertanya tentang kau?”

“Apa bila le-thio (Paman, suami Bibi) bertanya beri tahukan saja, ie-ie, dan lagi, untuk apa le-thio menanyakan aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”

“Kau suka benar akan suling, Cin Hai?” tanya ie-ie-nya.

“Ie-ie, suling adalah satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak menyatakan segala perasaan hatiku, aku nyatakan kepada seorang kawan baikku, sedangkan aku tidak... ya, kecuali kau, aku tidak mempunyai kawan baik lagi selain suling bambu yang dapat kutiup sesuka hatiku...”

Nyonya muda itu menghela napas dan menggunakan sapu tangan untuk menahan air matanya. “Pergilah, Cin Hai. Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.”

Cin Hai dengan girang hati lalu berlari-lari keluar.

“Engko Hai. Kau mau ke mana?” mendadak terdengar suara halus menegur dari sebelah kiri dan seorang anak perempuan muncul dengan rambutnya yang dikuncir bergantungan di kanan-kiri lehernya.

“Ehh, Lin Lin! Sampai kaget aku. Kau tahu, sesudah bertemu dengan para siluman dan setan itu, aku menjadi mudah kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”

Anak perempuan itu mencibirkan mulutnya yang kecil manis, tetapi matanya yang lebar terbelalak, tanda bahwa ia tertarik sekali.

“Apa? Kau tadi melihat siluman? Di mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu sekali.

“Ahh, nanti saja lain kali kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”

“Engko Hai, kau mau ke manakah?”

“Mau ke hutan di sebelah utara itu mencari bambu.”

“Aneh benar, itu di belakang kan banyak bambu, mengapa mesti mencari jauh-jauh?”

“Ahh, kau tahu apa? Bambu yang kucari ini adalah bambu untuk suling.”

“Engko Hai, aku ikut! Nanti di jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”

“Jangan!”

“Aku mau! Aku tidak minta kau gendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak perempuan itu berkeras.

Oleh karena tak dapat menolak lagi, dengan muka ‘apa boleh buat’ Cin Hai lalu bertindak keluar, diikuti oleh Lin Lin yang sementara itu telah mengeluarkan topi milik kakeknya dan memakainya sehingga dari belakang dan dari jauh dia kelihatan seperti seorang laki-laki. Memang anak-anak dari Kwee-ciangkun sangat dimanja dan bebas sehingga boleh pergi ke mana mereka suka tanpa ada yang berani mencegah.

Kedua anak itu berjalan dengan tindakan yang pendek-pendek tapi cepat menuju ke jalan yang kecil. Jalan itu mengarah ke utara, menuju luar kota di mana terdapat sebuah hutan yang cukup besar.

Di sepanjang jalan Cin Hai kemudian bercerita tentang pengalamannya siang tadi, dan ia menambahkan betapa dengan suara sulingnya ia dapat mengusir semua ular siluman! Ia menambah-nambahi ceritanya dan menonjolkan diri sendiri sebagai jagoan hingga Lin Lin memandang padanya dengan matanya yang bagus itu setengah percaya dan kagum!

Memang di antara anak-anak Kwee-ciangkun, yang tidak membenci pada Cin Hai hanya Lin Lin seorang. Ini pun bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena kalau mereka berdua dekat, sering mereka berbantah dan bercekcok membawa mau sendiri, tapi tidak sampai saling pukul atau saling membenci.

Sejak kecil Lin Lin memang telah memiliki sifat peramah dan suka bergaul serta memiliki perangai yang halus. Pula anak ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu silat sehingga pada saat itu biar pun usianya belum lebih dari lima tahun, ia telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat.

“Engko Hai, itu yang kita tuju sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke sana!”

Cin Hai memandang Lin Lin dengan senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga, “Boleh, hayo kita mulai. Satu… dua... ti... ga!”

Dan larilah ia secepatnya untuk mendahului Lin Lin. Ia ingin meninggalkan Lin Lin sejauh mungkin supaya ia dapat sampai di hutan lebih dahulu dan menanti anak perempuan itu sambil mentertawakannya!

Pada waktu ia menengok, tidak tahunya ternyata Lin Lin telah lari di sebelahnya, bahkan perlahan-lahan tapi tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat ia heran adalah kedua kaki Lin Lin tampaknya begitu ringan dan langkahnya lebar dan tinggi!

Kini Lin Lin sudah mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok sambil tersenyum manis tapi yang menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya senyum itu mengejeknya! Ia merapatkan gigi dan mempercepat larinya hingga benar-benar saja ia bisa menyusul lagi dan mereka lari berendeng.

Akan tetapi, tidak seperti kelihatannya, hutan yang di depan itu ternyata bukanlah dekat, jauhnya tak kurang dari setengah li hingga ketika mereka tiba di hutan dengan berbareng, Cin Hai membuka mulutnya dan dadanya turun naik karena ia terengah-engah bagaikan ikan dilempar di pasir panas! Sebaliknya, Lin Lin hanya mengeluarkan peluh di leher dan di dahinya, tapi napasnya biasa saja!

Tentu saja hal ini tidak mengherankan, karena anak perempuan itu semenjak kecil sudah dilatih oleh Tan-kauwsu (Guru Silat Tan) dan juga telah diberi latihan napas oleh ayahnya sendiri! Sedangkan Cin Hai hanya lari sekuatnya dan mempergunakan tenaganya tanpa disesuaikan dengan jalan napas, karena ia tak pernah diberi latihan dasar pelajaran silat.

Walau pun merasa penasaran tidak dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai terhindar dari rasa malu karena mereka tiba di hutan berbareng.

“Tak kusangka, Lin Lin, larimu secepat kelinci!” katanya setelah napasnya pulih kembali.

Lin Lin tersenyum. “Dan larimu seperti kuda.” Keduanya tertawa.

“Di mana tempat bambu yang kau maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil memandang ke sekelilingnya, takut-takut karena hutan itu memang besar dan agak gelap sebab matahari telah mulai turun.

“Di sebelah kiri sana, hayo!” Cin Hai mengajak kawannya.

Betul saja, tidak jauh dari sana terdapat rumpun bambu kuning gading yang bagus dan kecil-kecil serta lurus batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat bahwa ia tidak membawa pisau atau senjata tajam lainnya! Bagaimana ia harus mengambil itu?

Sementara itu karena berada di bawah pohon-pohon besar, keadaan makin gelap hingga mereka menjadi cemas dan menyangka bahwa senja sudah tiba. Cin Hai tidak berpikir panjang lagi, maju dan memegang batang bambu yang diinginkan lalu mencabut sekuat tenaganya.

Namun sia-sia saja karena bambu itu banyak sekali akarnya dan kuat pula. Jangankan tenaga seorang anak-anak seperti Cin Hai, biar seorang dewasa sekali pun belum tentu akan dapat mencabut sebatang bambu dari rumpunnya.

Betapa pun juga, Cin Hai mempunyai kemauan keras dan pantang mundur. Ia mencoba dan mencoba lagi sampai akhirnya dia berteriak kesakitan karena tangannya penuh bulu bambu yang gatal!

“Biarkan aku mencobanya,” kata Lin Lin.

Ia ingat ketika ayahnya pernah memberi petunjuk kepadanya tentang dasar-dasar melatih sinkang. Saat itu ayahnya pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang dan menendang sebatang pohon hingga pohon itu jebol berikut akar-akarnya.

Karena tangannya sudah gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin mencoba. Dia menyangka bahwa anak perempuan itu tentu akan mencoba untuk mencabut seperti yang dilakukannya tadi, karena itu ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin Lin, banyak bulu-bulu gatal!”

Tapi alangkah herannya ketika Lin Lin tidak mencabut, tetapi memasang kuda-kuda, lalu berseru keras, “Haihhh…!”

Anak itu menggunakan kaki kanan menyapu sebatang bambu! Batang bambu bergoyang-goyang dan dua helai daunnya rontok, akan tetapi batangnya tidak dapat dijebolkan oleh tendangan Lin Lin tadi. Berkali-kali anak itu mencoba dengan kedua kakinya, tapi sia-sia.

Tiba-tiba terdengar seruan orang memuji, “Bagus betul!”

Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui, di belakang mereka telah berdiri seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah buruk sekali. Kulit muka tokouw itu hitam seperti pantat kuali, sedangkan pipinya telah kisut berkerut-kerut dan matanya sebelah kanan buta. Tokouw itu pakaiannya panjang dan longgar berwarna putih dan pada tangan kanannya terdapat sebuah hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu panjang berwarna putih pula. Di punggungnya tampak gagang sebilah pedang.

Lin Lin dan Cin Hai terkejut sekali melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan Lin Lin merasa agak takut.

“Bagus, anak yang manis. Siapakah yang telah mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan Menyapu Ribuan Tiang itu tadi?”

Biar pun agak takut-takut Lin Lin menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”

“Bagus! Sekarang kau lihat ini!”

Tokouw itu menggerakkan hudtim yang dipegangnya sehingga ujung bulu hudtim yang hanya beberapa lembar itu, yaitu bulu-bulu yang terpanjang, membelit beberapa batang bambu.

“Naik!” Tokouw itu berseru dan heran sekali, rumpun bambu dengan kurang lebih lima belas batang bambu itu dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut akar-akarnya.

Tokouw itu kembali mengerakkan hudtim-nya dan rumpun bambu itu terlempar beberapa tombak jauhnya seperti dilontarkan oleh tenaga yang kuat sekali, lalu roboh ke arah lain sehingga daun-daunnya tidak menimpa mereka!

Lin Lin melongo dan terheran-heran, sedangkan Cin Hai tidak dapat ditahan lagi bertepuk tangan dan berseru, “Bagus! Bagus!”

Ia tidak saja girang menyaksikan kehebatan tenaga ini, tetapi juga girang karena bambu yang dikehendaki telah berada di situ, tinggal ambil saja!

“Nah, anak baik, sekarang kau turutlah padaku dan menjadi muridku!”

“Tidak mau, aku tidak mau!” Lin Lin berkata sambil melangkah mundur ketakutan.

Tokouw itu mengedikkan kepalanya sehingga mukanya yang buruk itu nampak semakin mengerikan.

“Dengarlah, anak manis. Ribuan orang akan berlutut dan memohon-mohon di hadapanku untuk minta menjadi muridku. Tapi kau menolak begitu saja!”

Lin Lin sekali lagi memandang muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa rambut tokouw itu dikuncir panjang dan membelit-belit pada lehernya bagaikan seekor ular yang menambah keburukan rupanya, anak itu melangkah mundur dan berkata lagi.

“Tidak, aku tidak mau...!”

Tapi tokouw itu tertawa ha-ha hi-hi lalu berkata lagi, “Kau berjodoh dengan aku, betapa pun juga kau harus menjadi muridku!” dan ia bertindak maju hendak memegang lengan Lin Lin.

Tetapi pada saat itu Cin Hai membentak keras, “Jangan kau paksa dia! Cih, tidak tahu malu, orang tidak sudi menjadi muridnya, dipaksa-paksa!”

Tokouw itu menggunakan mata kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam, namun mulutnya tetap tersenyum dan berkata, “Kau boleh juga, tapi tak berjodoh dengan aku.”

Lin Lin yang merasa ketakutan karena hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan ketika tokouw itu mendekat serta mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang kecil lalu memukul tangan itu. Biar pun Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia sudah terlatih baik dan pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang baik.

Tokouw buruk rupa itu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik... kau mau main-main? Boleh coba kau serang terus padaku agar dapat kuketahui sampai di mana kau telah mempelajari ilmu pukulan!” Ia lalu bergerak-gerak menghindari pukulan-pukulan Lin Lin.

Tiba-tiba saja Cin Hai membentak. “Tokouw jahat, kau mengganggu orang saja, apakah itu baik?”

Ia lalu menyerang. Tapi karena Cin Hai belum pernah belajar silat dengan baik, tentu saja pukulannya ngawur dan sekenanya saja!

Melihat kenekatan Cin Hai, tokouw itu segera menangkap tangan anak itu. Tapi tiba-tiba tokouw itu meringis dan mendongkol sekali karena Cin Hai tanpa dapat diduga lebih dulu telah menggunakan giginya dan menggigit tangan itu!

Dengan gerakan perlahan tokouw itu telah berhasil membanting Cin Hai hingga anak itu merasa tulang-tulang punggungnya seperti remuk dan merayap bangun sambil merintih-rintih. Baiknya tokouw itu hanya ingin melampiaskan kedongkolan hatinya saja dan tidak membanting sesungguhnya, hingga ia hanya menderita sakit di luar saja. Tapi dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan kenekatan luar biasa, sambil maju terpincang-pincang ia menyerang lagi!

Untuk kedua kalinya Cin Hai terbanting ke tanah setelah kena ditowel pundaknya oleh jari telunjuk tokouw itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang sejak tadi dan selalu memukul dan menendang angin, telah mulai lelah dan berpeluh.

Kebetulan sekali pada waktu itu Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan) lewat di situ, hendak kembali ke kota dari mengunjungi seorang kenalannya. Ia terkejut dan heran sekali melihat betapa Lin Lin sedang menyerang seorang tokouw yang bermuka seperti setan sedangkan Cin Hai merangkak-rangkak kesakitan.

“Hai, tahan dulu!” Tan-kauwsu membentak pertapa wanita itu yang segera menghadapi guru silat itu. “Kau seorang pendeta mengapa main-main dengan anak kecil?”

Tokouw itu tersenyum hingga wajahnya makin buruk saja. “Pinni hendak membawa anak perempuan ini untuk dijadikan murid,” katanya berterus terang.

Tan-kauwsu terkejut dan bertanya, “Siankouw siapakah?”

“Sicu (Tuan yang gagah) berdandan sebagai guru silat tapi belum kenal kepada pinni? Sungguh aneh! Ketahuilah Pinni she Biauw.”

Tan-kawsu makin terkejut karena dia teringat akan seorang pertapa wanita yang disebut Biauw Suthai dan yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan.

“Ahh, jadi siauwte berhadapan dengan Biauw Suthai yang terkenal itu?”

“Ha, agaknya namaku terdengar juga sampai ke Tiang-an,” kata tokouw itu senang.

Tan-kauwsu tidak berani berkata kasar lagi dan sesudah menjura, dia kemudian berkata, “Siankouw, tentang pemungutan murid kepada anak ini, kebetulan sekali siauwte adalah guru yang diserahi tugas oleh ayah anak ini untuk mendidiknya. Tentu saja siauwte tidak merasa keberatan apa bila Siankouw sudi memungut ia sebagai murid, akan tetapi hal ini harus dirundingkan dulu dengan Ayahnya. Karena itu, saya persilakan kepadamu untuk menjumpai Kwee-ciangkun dan merundingkan soal ini.”

“Sicu seperti tidak tahu saja kebiasaan kita orang-orang kang-ouw. Jika kita menghendaki sesuatu yang dirasa baik, maka kita lakukan saja tanpa banyak rewel dan pusing. Siapa yang sudi mengadakan rundingan dengan segala ciangkun? Aku hendak mengambil dia sebagai murid dan habis perkara!”

“Kalau begitu, terpaksa siauwte berlaku lancang dan melindungi anak ini.”

“Ha, kau hendak menghalangi maksudku membawa anak ini?”

“Biarlah kali ini siauwte melupakan kebodohan sendiri.”

Tokouw yang buruk rupa itu tertawa panjang dan mata kirinya memandang penuh ejekan. Melihat sikap pendeta perempuan itu Tan-kauwsu segera mencabut pedangnya. Suara ketawa Biauw Suthai terdengar makin aneh dan menyeramkan ketika ia melihat gerakan Tan-kauwsu, lalu tiba-tiba saja kebutan di tangannya menyambar ke arah guru silat itu!

Tan-kauwsu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak berani berlaku sembrono. Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat membalas serangan, ternyata ujung kebutan tokouw itu telah menyambar kembali, bahkan sudah mengirim serangan pula yang lebih berbahaya. Ujung kebutan itu selalu mengarah jalan darahnya, merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali.

Tan-kauwsu cepat menggunakan pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, namun tiba-tiba hudtim itu bagai bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan sekali tokouw itu menggerakkan tangannya, pedangnya sudah terampas tanpa dia dapat bertahan pula! Dan pada saat itu juga, kembali ujung hudtim telah menyambar pundaknya.

Tan-kauwsu merasa betapa tubuhnya menjadi kesemutan akibat urat darahnya tersentuh sehingga tidak ampun lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak bertenaga. Ketika ia merayap bangun lagi, ternyata tokouw itu telah lenyap, begitu pun Lin Lin telah hilang pula!

Walau pun merasa benci kepada tokouw berwajah buruk itu, tetapi melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja guru silat Tan Hok itu jatuh bangun dan pedangnya terampas, Cin Hai merasa puas sekali. Ia memang sangat benci terhadap guru silat ini yang tidak pernah mengajar silat padanya, sebaliknya malah sering kali memukul dan mengadunya dengan Kwee Tiong sehingga ia sering dipukul sampai matang biru.

Maka, untuk menyatakan kepuasan hatinya, dia tersenyum-senyum dan berkata kepada Tan-kauwsu.

“Tan-suhu, sakitkah engkau? Tokouw siluman itu hebat dan lihai sekali, ya?”

Mendengar kata-kata ini, Tan-kauwsu merasa semakin gemas dan mendongkol sekali. Segala perasaan ini dikumpulkan menjadi satu di dalam dada dan menjadi kemarahan besar yang kini seluruhnya ditujukan kepada Cin Hai.

“Anak setan! Engkau sedang berbuat apa di sini dan mengapa kau ajak Nona Lin Lin? Tahukah kau bahwa kali ini engkau menimbulkan bencana yang hebat sekali? Nona Lin Lin diculik orang, dan tahukah engkau apa artinya ini? Batok kepalamu pasti akan diketok sampai pecah oleh Kwee-ciangkun!”

“Bukan aku yang membawa Lin Lin, akan tetapi dia sendiri yang memaksa untuk ikut. Aku hendak mencari bambu ini untuk dibuat suling dan ia ikut padaku. Salahkukah itu?”

“Anak tolol, kalau bukan salahmu, lalu siapa lagi?”

“Tan-suhu, aku sih bukan lawan tokouw siluman itu. Tetapi engkau adalah guru silat yang katanya mempunyai kepandaian tinggi, kenapa kau biarkan saja Lin Lin diculik olehnya? Mengapa baru satu gebrakan saja kau telah menyerah kalah?”

Baru saja bicara sampai di sini, tangan Tan-kauwsu melayang dan kepala yang gundul itu ditempeleng hingga Cin Hai merasa matanya gelap dan kepalanya terasa berputaran. Ia terhuyung-huyung dan sebuah tendangan membuat ia terlempar dan tertelungkup di atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk. Malang baginya, sebuah batu menyambut mulutnya hingga bibirnya berdarah.

Anak ini marah sekali di dalam hati dan rasa sakit hatinya melenyapkan segala rasa sakit pada tubuhnya. Ia cepat merayap bangun dan berdiri dengan tegak sedangkan sepasang matanya memandang tajam, sedikit pun tidak takut dan jeri.

“Nah, kau baru tahu adat sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” Tan Hok berkata sambil uring-uringan.

“Tan-suhu memang beraninya hanya terhadap anak kecil yang tidak berdaya. Alangkah baiknya kalau kegagahanmu ini kau perlihatkan pada saat menghadapi Biauw Suthai tadi, sehingga Lin Lin tidak sampai terculik.”

“Bangsat kecil, kuhancurkan kepalamu!” Guru silat itu lalu melangkah maju dengan sikap mengancam. Tetapi Cin Hai tidak mundur sedikit pun.

“Boleh, boleh! Pukullah aku sampai mati. Sayang, Bibiku tak melihat kelakuanmu ini.”

Teringatlah Tan-kauwsu bahwa anak ini setidak-tidaknya masih menjadi kemenakan dari Kwee-hujin maka ia menahan tangannya yang telah terangkat di atas untuk menjatuhkan pukulan. Ia lalu meludahi kepala anak yang gundul itu sambil membentak,

“Hayo kita pulang dan kau menjadi saksi utama betapa aku telah membela Nona Lin Lin dengan mati-matian. Kau harus terangkan duduknya perkara yang sebetulnya di hadapan Kwee-ciangkun!”

Cin Hai tak menjawab, tapi segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok menjadi marah dan ia menyambar tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari cepat!

Alangkah terkejut dan marahnya Kwee In Liang ketika dia mendengar laporan Tan Hok. Mukanya sebentar merah sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata,

“Hamba sudah melawan mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tapi ternyata Biauw Suthai sangat lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas dan hamba dibikin tak berdaya. Sebelum hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin sudah dibawa pergi cepat sekali.”

Karena sangat marah dan sedih, Kwee In Liang menggebrak meja di hadapannya sambil membentak kepada Cin Hai, “Cin Hai! Mengapa kau ajak Lin Lin ke hutan tanpa memberi tahu siapa-siapa? Kau anak tolol lancang sekali!”

Cin Hai merasa hatinya seperti tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali terhadapnya, tidak pernah memukul tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu atau mengajak dia bicara. Sekarang ie-thio-nya membentak dan memakinya, sungguh menyakitkan hati.

“Ie-thio (Paman),” katanya dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang. Biarlah sekarang aku pergi mencari Adik Lin Lin sampai dapat...”

Hampir saja Cin Hai mengeluarkan air mata karena hatinya merasa pilu. Dia meraba-raba kepala gundulnya yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.

Melihat betapa kepala anak itu merah serta bibirnya pecah-pecah, kemarahan Kwee In Liang lantas berkurang, “Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”

Sebelum Cin Hai menjawab, Tan Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu akan mengadu, cepat berkata,

“Apa bila hamba tidak lekas-lekas datang, tentu kemenakan Ciangkun ini akan mendapat celaka pula.”

Cin Hai melirik kepada guru silat itu dengan pandangan mata mengejek.

“Benar, ie-thio, sayang sekali bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang lihai ini telah terampas pedangnya dan bahkan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung kebutan tokouw siluman itu!”

“Begitu lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang kepada Tan Hok.

“Memang dia luar biasa lihai, dan hamba bukanlah lawannya.” Tan Hok mengaku dengan muka merah karena malu, dan kebenciannya terhadap Cin Hai semakin bertambah.

Karena kejadian itu, Kwee In Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin yang diberitahu oleh pelayan akan peristiwa itu segera berlarian keluar dan sambil menangis tersedu-sedu ia duduk di sebelah Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta sekali kepada Lin Lin dan telah menganggap anak itu sebagai anak sendiri, maka berita ini benar-benar menghancurkan hatinya.

“Cin Hai, kau... kau anak tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak Lin Lin pergi ke hutan? Bukankah engkau berpamit padaku, tetapi mengapa engkau tidak menyatakan hendak pergi dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.

“Ie-ie, sungguh aku menyesal sekali, ie-ie... Bukan kusengaja membawa dan mengajak Lin Lin, tetapi ketika aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan bertanya. Aku mengaku terus terang bahwa aku hendak mencari bambu kuning di hutan dan ia memaksa hendak ikut.”

Sementara itu, melihat bahwa nyonya muda itu keluar, Tan Hok segera mengundurkan diri. Kwee In Liang segera memerintahkan para pengawalnya untuk mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik kuda mencari sampai jauh ke dalam hutan.

Biar pun kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak pernah menceritakan mengenai perlakuan Tan-kauwsu yang sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tak suka mengadu dan segala hal yang menyakitkan hati hanya ia pendam di dalam dada sendiri saja.

Ia selalu ingat akan ujar-ujar yang bermaksud: Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula dan kejahatan dengan keadilan! Maka dia menganggap kurang adil apa bila ia membalas kejahatan Tan-kauwsu dengan mengadukan hal itu kepada ie-ie-nya atau ie-thio-nya. Itu kurang adil dan kurang tepat karena ia yang dijahati, maka baru adil kalau ia sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu kelak akan tiba masanya ia membalas segala perlakuan tak pantas itu.

Hatinya telah merupakan sebuah buku catatan di mana ia mencatatkan segala perlakuan baik dan buruk yang dijatuhkan orang kepada dirinya, dan yang ia anggap sudah menjadi kewajibannya untuk membayar lunas semua perlakuan dan budi itu, baik yang jahat mau pun yang baik.

Ketika Ie-thio-nya sedang sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya itu dibantu puluhan pengawal dan anak buahnya, sedangkan bibinya masih menangisi nasib Lin Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret bambu kuning ke belakang. Ia duduk di kebun belakang sambil asyik menggosok bambu itu, menghilangkan bulu-bulu bambu dan mencabut daun dan cabang-cabangnya.

Tiba-tiba terdengar suara anak-anak memasuki kebun itu.

“Nah, itu dia Si Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata.

Yang masuk adalah lima orang anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini tampan wajahnya dan indah-indah pakaiannya.

Yang sulung bernama Kwee Tiong berusia sepuluh tahun, ke dua bernama Kwee Sin berusia sembilan tahun, ke tiga Kwee Bun delapan tahun. Ke empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima ialah Kwee An berusia enam tahun.

Di antara mereka ini, hanya dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul, karena selain Kwee An memiliki perangai yang baik dan halus, juga mereka ini sebaya, jadi lebih cocok. Yang empat lainnya sudah biasa menggoda dan memukul atau memaki Cin Hai.

Kini mendengar betapa adik perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya ikut Cin Hai ke hutan, maka marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih akibat kehilangan adiknya, juga merasa marah. Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin Hai duduk seorang diri membawa bambu kuning di dalam kebun, mereka segera menangkapnya!

Kwee Tiong lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai di situ dengan tali tadi. Cin Hai tidak dapat melawan sebab dia sudah lelah sekali, malah tubuhnya masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan terutama bekas tangan Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh kelima anak-anak itu, sama sekali dia tidak melawan, walau pun andai kata dia melawan juga tak akan berguna.

“Bangsat, mengakulah bahwa kau yang menjadi gara-gara atas lenyapnya Lin Lin!” Kwee Tiong membentak.

“Bukan, bukan aku!” jawab Cin Hai sambil membalas pandang mata Kwee Tiong dengan berani.

“Kepala anjing!” Kwee Tiong memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang gundul itu.

“Bukan aku!” Cin Hai tetap berkokoh menyangkal.

Lima saudara yang sedang marah itu berganti-ganti memukul dan menempeleng kepala Cin Hai yang gundul, tetapi meski pun merasa kesakitan dan kepalanya pening, anak ini tetap berteriak-teriak, “Bukan aku... bukan aku!”

Melihat betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan suara teriakannya semakin parau dan lemah, Kwee An menjadi kasihan dan timbul sifat baiknya.

“Koko sekalian, aku jadi ingat akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala hal kita harus berlaku gagah berani. Sekarang kita mengikat Cin Hai dan memukulinya tanpa dia dapat membalas, apakah ini adil? Kurasa ini bukan kelakuan gagah berani seperti yang sudah dianjurkan oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat perbuatan kita ini tentu kita akan mendapat marah.”

“Ehh, pengecut, apa kau hendak membela dia?” Kwee Tiong membentak marah kepada adiknya.

“Dia bukan pengecut, juga bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru mukanya dan lemas tubuhnya itu mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini mempunyai kegagahan lebih besar dari pada kalian berempat yang terhadap seorang anak lebih kecil saja mesti melakukan pengeroyokan secara pengecut.”

“Plokk!”

Tangan Kwee Tiong terayun, menampar mulut Cin Hai hingga bibir yang sudah bengkak karena jatuh terpukul oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.

“Twako, kalau memang kau hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah secara jujur. Lepaskan dia lebih dahulu dan berkelahilah dengan adil!” Kwee An berkata marah melihat kekejaman kakaknya, lalu ia sendiri maju membuka belenggu tangan Cin Hai.

“Baik, baik! Kau bukalah ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata Kwee Tiong gembira.

Cin Hai merasa seluruh tubuhnya lemas dan tidak bertenaga, maka biar pun dia sudah dilepaskan dari ikatan, tetap saja dia tak berdaya. Sebaliknya, Kwee Tiong yang bertubuh tegap dan lebih besar darinya itu, lagi pula memiliki kepandaian silat yang sudah cukup lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang kepalan dan tendangan kakinya.

Berkali-kali Cin Hai dipukul jatuh dan selagi anak itu dengan mata kabur hendak merayap bangun, sebuah tendangan Kwee Tiong tepat mengenai lambungnya sehingga ia kembali tersungkur lagi.

“Nah, rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang menjadi gara-gara sehingga Lin Lin terculik orang! Rasakan ini!”

Sambil menunggangi tubuh Cin Hai pada punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada seluruh tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai lalu meramkan mata dan mempergunakan kedua tangannya untuk balas menyerang. Ia tidak dapat memukul, tetapi menangkap apa saja yang dapat ditangkap.

Karena kebingungan dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin Hai menjadi nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang tadinya tertelungkup itu sehingga menjadi miring. Tangan kanannya lantas menyerang ke depan dan mencengkeram, dan seketika itu juga terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat mencengkeram anggota rahasia Kwee Tiong.

Mendengar jeritan ini barulah Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat. Alangkah senang hatinya mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul niatnya untuk sekali remas membikin hancur anggota tubuh yang dicengkeramnya itu supaya anak jahat yang selama ini cukup banyak menghina dan cukup sering menyiksanya itu mampus seketika itu juga.

Tetapi entah kenapa, di dalam pikirannya yang telah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar nabi yang dipelajarinya. Betapa pun hebat Kwee Tiong menyiksanya dan menghinanya, akan tetapi anak itu tidak sampai membunuhnya, apa bila sekarang ia membalas dengan membunuh, itu tidak adil namanya. Pula, ada ujar-ujar yang ia lupa lagi bunyinya, tetapi yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh sesamanya hanya untuk sekedar melampiaskan kemarahan dan memuaskan perasaan. Teringat akan semua ini, tiba-tiba cengkeraman tangannya mengendur.

Tadinya Kwee Tiong sudah sambat, bahkan tanpa malu-malu lagi ia telah mengeluarkan kata-kata, “Cin Hai... lepaskan aku... ampun, Cin Hai...”

Tetapi ucapan ini agaknya tak terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa betapa cengkeraman Cin Hai mengendur, kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Kwee Tiong yang segera merenggut tangan Cin Hai itu dan meloncat berdiri.

“Bangsat! Anjing! Pengecut hina, kau berlaku curang!” Kwee Tiong memaki-maki sambil menggunakan kedua kakinya menendang-nendang tubuh Cin Hai.

Namun anak gundul ini sama sekali tidak bergerak dan tidak mengeluh.

“Tahan, Twako, ia... ia... mati!” tiba-tiba Kwee An berseru sambil loncat berlutut.

“Hahh?! Mati...?!”

Kwee Tiong terkejut sekali dan seketika itu juga wajahnya berubah pucat. Juga semua adiknya yang tadi turut memaki-maki menjadi terkejut sekali dan beramai-ramai mereka berlutut untuk melihat dan memeriksa tubuh Cin Hai. Sebetulnya Cin Hai hanya pingsan saja, namun karena banyak mengeluarkan darah dan perutnya kosong, maka mukanya nampak pucat sekali seperti mayat.

Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan semua anak-anak itu makin terkejut karena yang datang bukan lain adalah Loan Nio, bibi Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan Nio menyangka bahwa kemenakannya itu sudah mati, maka dia berteriak kaget. Dua orang pelayan lalu diperintahkan untuk mengangkat tubuh anak itu ke dalam kamar, sedangkan Loan Nio memarahi kelima saudara Kwee.

“An-ji, coba kau ceritakan, apakah yang sudah terjadi tadi?” Loan Nio atau Kwee-hujin itu sengaja bertanya kepada Kwee An, oleh karena ia yang telah mengenal perangai semua anak-anak itu sejak kecil, tahu bahwa hanya Kwee An yang boleh ia percaya.

“Cin Hai telah berkelahi dengan Engko Tiong,” Kwee An berkata terus terang, kemudian dia menceritakan mengenai sebab-sebab perkelahian, yakni bahwa mereka marah sekali karena menganggap bahwa Cin Hai yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin Lin.

Loan Nio menghela napas, lalu dia berkata dengan suara kereng, “Anak-anak, memang perbuatan Cin Hai mengajak Lin Lin ke hutan itu adalah sangat lancang dan tidak baik. Seharusnya ia memberi tahu dulu kepada orang tua. Tetapi kurasa Cin Hai sudah cukup terhukum apa lagi jika diingat bahwa dia biar pun kecil juga telah membela Lin Lin hingga terpukul oleh penculik, maka kalian seharusnya bisa memaafkannya. Pula peristiwa telah terjadi, Lin Lin masih belum ketemu, sekarang kalian tambahi kepusingan orang-orang tua dengan perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak baik sekali!”

Pada saat itu Kwee In Liang kembali dari pengejarannya kepada penculik itu. Wajahnya muram dan tampak lelah sekali.

“Bagaimana, terdapatkah?” Kwee-hujin bertanya dengan muka cemas.

Kwee-ciangkun menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas, nampaknya susah sekali. Kemudian melihat anak-anaknya yang berada di situ seperti orang ketakutan.

“Anak-anak ini sedang bekerja apa di sini? Mengapa tidak berada di kamar dan belajar?”

Terpaksa Loan Nio yang tidak pernah membohong segera menceritakan bahwa ia baru saja menegur mereka karena berkelahi dan mengeroyok Cin Hai sehingga anak itu jatuh pingsan. Muka Kwee In Liang semakin muram mendengar ini, lalu ia membentak mereka supaya pergi ke kamar masing-masing.

Melihat kemarahan serta kesedihan suaminya ini, dengan manis budi Loan Nio mencoba menghiburnya. Tapi ayah yang kehilangan anak kesayangannya itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan berkali-kali menghela napas.

“Tadi aku mendengar bahwa Biauw Suthai yang menculik Lin Lin adalah seorang wanita gagah dan tokoh yang ternama sekali, maka kurasa pertapa wanita itu tidak mempunyai maksud buruk. Barang kali dia memang benar-benar senang kepada Lin Lin dan hanya bermaksud untuk menurunkan ilmu silatnya dan segala kepandaiannya pada anak kita.” Kwee hujin menghibur.

Sesudah berulang-ulang kali menghela napas, Kwee In Liang hanya menjawab perlahan, “Mudah-mudahan begitu. Karena apa bila siluman wanita itu sampai berani mengganggu selembar rambut saja dari anakku, maka dia harus mengganti dengan selembar jiwanya!”

Dan panglima gagah ini mengertak-ngertak gigi serta mengepal-ngepal tinju tangannya, sedangkan kedua matanya mengeluarkan sinar mengancam. Isterinya lalu menghiburnya lagi dan mengajak suaminya yang sedang bersedih itu masuk ke dalam gedung karena di luar sudah mulai gelap.

Malam itu keadaan di gedung keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada malam hari terdengar suara anak-anak menghafal sastera mereka, tetapi malam ini sengaja dilarang mengeluarkan suara keras. Sore-sore Kwee Tiong dan keempat adiknya telah pergi tidur sambil membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.

Cin Hai sendiri berbaring terlentang dengan mata terbelalak memandang ke langit-langit kamar dan pikirannya melamun jauh sekali. Tubuhnya masih terasa sakit, namun hatinya telah terhibur sebab tadi bibinya datang dan menghiburnya, serta memerintahkan pelayan untuk menyediakan makan. Bahkan dengan kedua tangannya sendiri bibi yang baik hati itu membaluri seluruh tubuhnya yang bengkak-bengkak dan matang biru dengan minyak gosok.

Ketika tadi bibinya menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, ia merasa terharu dan diam-diam air matanya mengalir di kedua pipinya.

“Ie-ie, sebenarnya di manakah kedua orang tuaku?” tanyanya perlahan.

Tangan bibinya yang menggosok-gosok punggungnya itu mendadak menggigil dan untuk sesaat berhenti menggosok, tapi lalu terdengar jawabannya, “Anak, mengapa berkali-kali kau tanyakan hal ini? Bukankah sudah kuberitahukan padamu bahwa kedua orang tuamu telah kembali ke alam baka?”

“Tetapi di manakah makam mereka, ie-ie? Aku ingin sekali mengunjungi makam kedua orang tuaku.”

”Aku tidak tahu, Cin Hai.”

“Mengapa kau tidak tahu ie-ie, bukankah kau adik mendiang ibuku?”

“Sudah berapa kali kukatakan bahwa aku tidak tahu, Cin Hai! Sudahlah, jangan kau terus mendesak. Kau harus mengaso dan aku akan kembali ke kamar, ie-thio-mu masih sangat bersedih.”

Nyonya muda itu mengelus-elus kepala kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi sebelum melangkah ke luar pintu, Cin Hai menegur,

“Ie-ie yang baik!”

Nyonya muda itu berhenti lalu menengok, dan Cin Hai sempat melihat betapa ie-ie-nya telah mengalirkan air mata!

“Setidak-tidaknya beritahukan padaku siapa nama dan she Ayahku!”

“Kau she Kwee juga, bukankah sudah pernah kuberitahukan padamu?”

“She... Kwee...? Ahh, tak mungkin... ahh, kenapa kau membohongi, Ie-ie yang baik? Aku bukan she Kwee...”

Tetapi Ie-ie-nya sudah melangkah keluar dari pintu dan Cin Hai mendengar suara sandal bibinya itu makin menjauhi kamarnya.

Demikianlah, setelah bibinya pergi, sampai jauh malam Cin Hai masih tak bisa meramkan matanya. Bibinya telah membohong padanya ketika menerangkan bahwa dia she Kwee! Juga bibinya telah membohong ketika bilang bahwa dia tidak mengetahui makam kedua orang tuanya.

Ia dapat merasakan kebohongan itu, karena setiap kali bibinya diajak bicara tentang hal kedua orang tuanya, selalu nyonya muda itu mendadak menjadi sedih dan gelisah, dan jawabannya selalu ragu-ragu. Aku harus mencari kedua orang tuaku, dan aku harus tahu siapa sebenarnya diriku ini.

Cin Hai lalu turun dari pembaringan dengan maksud hendak pergi ke kamar bibinya dan mendesak keterangan dan penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan sepatu agar tindakan kakinya tidak menerbitkan suara dan mengagetkan atau membangunkan orang lain dari tidurnya. Ketika sudah tiba di dekat kamar bibinya, tiba-tiba ia mendengar suara bibinya terisak menangis, kemudian suara pamannya yang besar itu seakan-akan sedang memarahi bibinya.

Cin Hai bergerak hati-hati sekali ke arah kamar yang masih terang karena lampu di dalam belum dipadamkan. Ia mendekati jendela dan mengintai. Ternyata bibinya sedang duduk di pembaringan sambil menutup mukanya dengan selampai, menahan tangis. Pamannya berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu.

“Ayahnya yang berdosa, dan Ayah serta seluruh keluarganya telah menebus dosa itu dan semua dihukum penggal leher. Sekarang janganlah kau ikut-ikutkan pula anaknya yang tak berdosa apa-apa.” Nyonya muda itu berkata sambil menangis.

“Kau kira aku manusia berhati sekejam itu? Kalau aku kejam, apakah aku mengijinkan anak pemberontak itu berdiam di rumahku sampai bertahun-tahun? Pemberontak she Sie yang menjadi iparmu itu sudah dihukum mati berikut semua keluarganya, dan aku sama sekali tiada sangkut-paut dengan perkara itu.”

“Tiada sangkut-paut, hanya engkaulah yang menangkap mereka semua,” kata Loan Nio.

“Apa salahnya? Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku? Jangankan orang she Sie itu yang tidak punya hubungan apa-apa dengan aku, biar pun andai kata adikku sendiri yang menjadi pemberontak, tentu aku akan menangkapnya. Inilah jiwa seorang gagah. Harus kau ingat bahwa yang tiap hari kita makan dan pakaian yang tiap hari kita pakai ini adalah hasilku mengabdi kepada raja. Apakah aku hanya boleh menerima hasil saja tanpa harus memenuhi kewajiban? Pula, bukan aku yang ingin dia dihukum, tetapi ini perintah atasan. Tugas tetap tugas, perasaan pribadi jangan dibawa-bawa!” Agaknya panglima itu marah betul karena terdorong kesedihan hatinya kehilangan Lin Lin.

Hening sejenak kecuali isak Loan Nio dan helaan napas Kwee In Liang, kemudian baru terdengar lagi nyonya muda itu berkata agak sabar,

“Aku tahu semua itu, dan aku tidak salahkan kau. Hanya mengenai anak ini, Cin Hai yang malang... kau berlakulah murah hati sekali.”

“Istriku, betapa pun juga kau pertimbangkanlah baik-baik. Engkau lebih sayang Cin Hai dari pada suamimu? Aku benci Cin Hai, juga aku tidak menghubungkan dia dengan orang tuanya. Akan tetapi, semenjak Lin Lin hilang....,” sampai di sini suaranya sember dan sedih, “...aku tak tahan melihat muka Cin Hai lagi. Betapa pun juga, Lin Lin diculik orang karena ikut pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini tidak akan pernah hilang dari hatiku yang menuduh dan mempersalahkannya, maka tidak baik kiranya apa bila anak itu berada di depan mataku. Tidak baik untuknya dan tidak baik untukku sendiri. Dia harus pergi dari sini, titipkanlah kepada keluarga lain...”

Semenjak tadi, di luar Jendela Cin Hai mendengar dengan air mata turun bagaikan hujan membasahi kedua pipinya. Orang tuanya, juga semua keluarganya, mendapat hukuman penggal kepala! Alangkah hebatnya!

Ayahnya yang she Sie itu disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah pemberontak itu? Perasaannya yang terasa perih itu semakin hancur mendengar betapa bibinya sampai bertengkar dengan Ie-thio-nya karena dia! Pula, hatinya sakit sekali mendengar betapa ie-thio-nya kini membencinya karena hilangnya Lin Lin dan ie-thio-nya sudah mengambil keputusan supaya ia pergi dari situ!

Cin Hai menggigit bibirnya yang tadinya mewek menangis itu. Timbul perasaan angkuh di dalam kepalanya yang gundul. Orang tidak menghendaki dia di situ, untuk apa menanti lebih lama lagi? Ia tak perlu minta-minta ampun dan mohon agar diperkenankan tinggal terus di situ. Dia harus pergi karena dia bukan keluarga Kwee! Hanya ie-ie-nyalah yang selama ini menahan ia berada di tempat itu, karena itu ia amat mencinta ie-ie-nya yang berbudi baik itu.

Dengan pikiran kacau balau Cin Hai lalu pergi dari situ. Dengan hati-hati sekali ia hendak keluar dan minggat dari gedung keluarga Kwee. Dia benci sekali kepada Kwee In Liang, sebab dari mulut pamannya itu sendiri dia tadi mendengar bahwa yang menangkap orang tuanya adalah pamannya itu sendiri.

Ia memasuki kamarnya dan mengambil semua pakaiannya, lalu dibuntal. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa semua pakaian yang dipakai itu adalah hasil pengabdiannya kepada raja! Dan karena pengabdian kepada raja itulah yang memaksa pamannya itu menangkap dan membasmi seluruh keluarga Sie.

Tiba-tiba timbullah rasa jijik dan bencinya kepada semua pakaiannya dan dilemparkannya buntalan itu jauh-jauh dengan perasaan jijik. Dia tak akan membawa pakaian pemberian pamannya.

Lalu dia teringat akan pakaiannya sendiri. Yang dipakainya ini pun pakaian pemberian bibinya yang berarti pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu menanggalkan semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari keluar.....

Tetapi dari mana ia harus keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci. Cin Hai yang gundul dan telanjang itu lalu lari ke belakang dan memasuki kebun. Angin malam yang dingin menyerang kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi dikeraskan hatinya dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi kebun. Memang ia telah biasa memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah saja ia dapat memanjat dinding mempergunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan yang terdapat di beberapa bagian dinding.

“He, bangsat kecil, kau hendak berbuat apa lagi?!”

Itu adalah suara Tan-kauwsu!

Cin Hai terkejut sekali dan dia memegang sulingnya erat-erat di tangan kanan. Memang, anak gundul itu tidak membawa bekal apa-apa bahkan pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling buatan sendiri itu tak akan ia lupakan.

Ketika Tan-kauwsu sudah datang dekat dan melihat betapa Cin Hai dengan bertelanjang bulat berada di atas dinding, ia merasa heran sekali dan untuk beberapa lama ia berdiri bengong memandang. Sudah gilakah anak ini? Demikian ia berpikir, dan kemudian timbul maksudnya hendak menangkap lalu menyerahkan anak ini kepada Kwee-ciangkun dalam keadaan demikian, agar anak itu dan juga bibinya merasa malu!

“Bangsat tolol, turun kau!” bentaknya.

Tetapi dalam takut dan bingungnya Cin Hai tak mempedulikan bahaya lagi. Dia meloncat ke sebelah luar dan untung sekali dia jatuh ke dalam semak-semak hingga kakinya tidak patah-patah, hanya tubuhnya yang telanjang itu saja lecet-lecet. Ia segera berdiri dan lari secepat mungkin di dalam kegelapan malam.

Tan Hok, guru silat yang membenci Cin Hai itu menjadi penasaran dan marah. Sekali loncat saja ia sudah berada di atas dinding. Tetapi malam itu gelap sekali sehingga ia tak melihat Cin Hai. Ia memanggil-manggil dan memaki-maki.

Tiba-tiba ia mendengar suara keluhan, karena pada saat itu, Cin Hai yang sudah lari agak jauh itu kakinya tersandung akar pohon di dalam gelap hingga tubuhnya terguling! Karena dadanya yang telanjang tertumbuk pada akar, maka tanpa disengaja ia mengeluh hingga terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini meloncat turun dari tembok dan mengejar ke arah suara itu sambil memaki,

“Anak totol, apakah kau sudah gila?”

Cin Hai makin takut dan dia berdiri lagi, lalu memaksa kakinya yang terasa sakit karena jatuh itu untuk berlari lagi. Saat itu telah lama lewat tengah malam hingga keadaan gelap sekali. Namun dari suara kaki Cin Hai yang berlari-lari dapat juga Tan Hok mengejar ke mana anak itu berlari. Hanya keadaan yang sangat gelap itu membuat Tan-kauwsu tidak mungkin dapat berlari cepat, takut kalau-kalau dia akan menabrak pohon atau terjeblos ke dalam tanah berlubang.

Sebaliknya, Cin Hai yang ketakutan dan bingung, tak mempedulikan semua ini dan ia lari sekerasnya. Maksud hatinya hendak lari secepat-cepatnya supaya dapat menghindarkan diri dari tangan guru silat yang jahat dan yang tentunya akan membawa dia kembali ke tempat yang tak disukainya itu.

Oleh karena berlari dengan nekad membuta ini, tiba-tiba saja dia terjeblos ke bawah! Cin Hai terkejut sekali tetapi tak berani mengeluarkan keluhan, takut kalau-kalau pengejarnya mendengarnya.

Ketika ia meraba-raba di sekitar dirinya, ternyata ia telah terjeblos ke dalam tanah lumpur yang lembek berair. Sesudah berpikir-pikir sejenak dapatlah ia menduga bahwa ia tentu terjatuh ke dalam kolam lumpur yang biasa dipergunakan oleh para penggembala kerbau untuk membawa kerbau-kerbau mereka mandi lumpur di situ.

Anehnya, apa bila tadi dia merasa tubuhnya dingin sekali karena angin yang meniup-niup tubuhnya, kini sesudah masuk ke dalam lumpur itu, dia merasa hangat! Agaknya seperti ada hawa yang aneh dan hangat keluar dari kolam lumpur itu.

Akan tetapi, rasa girangnya hanya sebentar saja karena lagi-lagi terdengar suara makian guru silat yang masih tetap mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi gemas sekali. Kalau saja ia kuasa mengalahkan guru silat itu, pasti ia akan menghajar habis-habisan padanya! Ia memutar-mutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari akal.

Tan Hok si guru silat merasa mendongkol sekali. Biar pun ia lari tidak cepat, tetapi sudah dua kali ia menabrak pohon dan tabrakan yang ke dua kali membuat hidungnya berdarah! Ia tidak menyesalkan hidungnya yang terlalu panjang itu, akan tetapi menimpakan semua penyesalan, kemendongkolan, dan kemarahannya kepada Cin Hai.

“Anak tolol, anak binatang rendah, anak haram! Kalau saja kau sampai terpegang olehku, tentu akan kubeset kulit kepalamu!” demikian ia memaki-maki dan maju terus, tetapi kini dengan kedua tangan di depan agar jangan sampai tertumbuk pada pohon lagi.

Tiba-tiba saja dia mendengar suara kaki Cin Hai berlari-lari di depan. Ia mendengar jelas betapa napas anak itu terengah-engah dan beberapa kali pula mengaduh-aduh. Girang hatinya mendengar ini.

“Bangsat kecil, kau hendak lari ke mana sekarang?!” bentaknya.

Dia mempercepat larinya, karena dia pun mendengar suara kaki anak itu berlari semakin cepat. Dia maju dengan langkah lebar, tetapi setelah berlari beberapa tindak tiba-tiba dia menjerit dan terdengar betapa tubuhnya yang besar itu jatuh terjerambab di dalam kolam lumpur! Celakanya dia jatuh telungkup hingga mukannya penuh tertutup lumpur.

“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya!” terdengar Cin Hai mentertawakan guru silat itu.

Ternyata tadi anak itu mendapat akal untuk menjebak pengejarnya. Ia berdiri di seberang kolam lumpur, lalu berlari di tempat sambil sengaja mengeluarkan suara napas terengah-engah.

Tubuh Tan-kauwsu telungkup di dalam lumpur bagai seekor kerbau besar! Setelah puas memaki-maki dan mengejek serta mentertawakan Tan Kauwsu, Cin Hai lalu berlari lagi ke depan dengan cepat. Kini malam telah hampir terganti fajar hingga samar-samar mata dapat menembus kegelapan yang dari warna gelap hitam menjadi abu-abu.

Sudah tentu rasa marah Tan Hok meluap. Untuk beberapa lama dia tak berdaya karena selain merasa pengap akibat lubang hidungnya tertutup lumpur, juga dia merasa bingung bagaimana harus membersihkan lumpur yang memasuki mata kirinya!

Akhirnya ia dapat juga ke luar dari kolam lumpur itu dan dapat menggunakan bajunya yang masih bersih, yakni yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk membersihkan lumpur dari hidung, mulut dan matanya. Walau pun mata kirinya masih terasa pedas dan lamur, tetapi dengan mata kanan dia dapat memandang ke depan. Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia segera lari mengejar.

Fajar telah menyingsing ketika dari jauh Tan Hok dapat melihat berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru silat ini mengeluarkan seruan girang, karena sebentar lagi dia pasti akan bisa memuaskan hati membalas dendam kepada setan cilik itu! Ia lalu memperkuat larinya dan sebentar saja jarak antara dia dan Cin Hai yang berlari sekuatnya itu tinggal beberapa tombak saja lagi!

“Bocah tolol! Sekarang kau hendak lari ke mana? Bersiaplah untuk mampus di tanganku!” teriak Tan Hok dengan girang sekali dan dia sudah siap-siap mengulurkan tangan untuk menangkap.

Cin Hai yang sudah putus asa tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari sekerasnya dan ia sudah mengambil keputusan tetap bahwa bila mana ia tertangkap, sebelum mati ia hendak melawan dahulu sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan dan giginya untuk melawan. Ia ingat akan bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata bahwa lebih baik mati sebagai harimau dari pada mati sebagai babi!

Tetapi pada saat itu, ketika ia sudah mendengar suara kaki dan napas Tan-kauwsu dekat sekali di belakangnya, tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang berdiri di depannya! Dan tahu-tahu tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk di atas lengan seorang tua yang pendek.

Cin Hai menjadi terkejut, heran dan bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua pendek di depannya dan bagaimana maka dia tahu-tahu sudah melayang ke atas lantas duduk di atas lengan kanan orang tua yang bertubuh pendek itu, yang mulutnya selalu menyeringai, memakai jubah hitam dan kopiah hitam pula. Maka teringatlah dia bahwa orang ini bukan lain adalah seorang di antara tiga orang yang belum lama ini bertempur melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan Kelenteng Ban-hok-tong!

Sementara itu, ketika melihat betapa seorang tosu pendek tahu-tahu menangkap Cin Hai dan berdiri di depannya, Tan Hok menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu itu yang bukan lain adalah Giok Keng Cu, yakni orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin (Tiga Orang Tua dari Kanglam), tidak kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan Hok.

Ia tidak mengenal anak itu karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian lumpur yang telah mulai mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang juga penuh dengan lumpur pada seluruh tubuh bagian depan. Ia hanya memandang sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi.

Ketika melihat bahwa tosu pendek itu hanya orang biasa saja yang berpakaian sebagai seorang pendeta, Tan-kauwsu menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja berada di situ. Maka ia lalu membentak keras karena hatinya masih panas penuh kemarahan,

“Totiang, kau berikan anak tolol itu kepadaku!”

Mendengar kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu bertanya. “Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak ini?”

“Siapa sudi menjadi ayah anak haram ini? Dia ini... adalah bujang dari keluarga Kwee yang melarikan diri dan aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas lepaskan dia!”

“Sabar dulu, Sicu, sabar dan tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak ini sampai bertelanjang bulat dan penuh lumpur dan kenapa pula kau juga agaknya mandi lumpur? Kalian ini orang-orang Tiang-an agaknya suka benar dengan lumpur.”

Tiba-tiba saja Cin Hai tertawa geli. Dia menganggap tosu ini lucu dan dia merasa senang mendengar betapa Tan Hok dipermainkan. Dia pun maklum bahwa tosu pendek ini lihai sekali, maka hatinya menjadi tabah dan keberaniannya timbul.

“Totiang, kau seharusnya menonton pada waktu kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam lumpur! Kerbau ini adalah kerbau gila, Totiang, dia mengejarku dari malam tadi dengan maksud membunuhku, tetapi sayang aku terlalu cepat baginya.”

“Bangsat kecil!”

Tan Hok meloncat maju dan hendak menerkam Cin Hai serta merampasnya dari tangan tosu itu, tetapi dengan sekali menggerakkan lengan saja tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga terhindar dari serangan Tan Hok, lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima lagi dengan lengannya!

“Sabar dulu, Sicu. Biar pinto dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak bodoh, coba kau ceritakan kepadaku hal yang sesungguhnya telah terjadi.”

Diam-diam tosu ini suka sekali melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran kenapa bocah kecil yang membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan di seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur.

Dengan singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung keluarga Kwee karena ia dibenci. Ia sama sekali tak mau menceritakan tentang sebab-sebab yang sebenarnya dari kepergiannya itu. Ia menceritakan pula bahwa dia sengaja meninggalkan pakaiannya karena tidak mau pergi membawa sepotong pun barang dari gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan ia lalu dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.

“Betul demikiankah, Sicu?” tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.

“Sudahlah, kau orang tua jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak ini ikut dengan keluarga Kwee-ciangkun dan aku adalah guru silat di gedung itu. Janganlah kau mencari penyakit!” Tan Hok membentak marah.

Giok Keng Cu berpaling kepada Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya, kemudian bertanya sambil tertawa, “Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh Kauwsu ini?”

“Bukan sering lagi, kalau ia diberi kesempatan tentu aku akan dibunuhnya!” jawab Cin Hai terus terang.

“Apakah kau berani melawannya kalau diberi kesempatan?”

“Kalau aku mempunyai kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini akan kuhajar kepalanya sampai benjut!”

“Anjing kecil, kau turunlah!” Tan Hok menantang.

“Nah, kalau kau berani, kau lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!” kata Giok Keng Cu sambil tertawa.

Cin Hai belum mengerti benar maksud tosu itu. Tetapi ia yakin bahwa tosu ini bermaksud membantunya, maka dia lalu mengangguk-angguk dan berkata, “Baik, baik, akan kupukul kepalanya sampai benjol dan benjut.”

“Pukullah!” Giok Keng Cu berkata sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin Hai ke dekat Tan Hok dan benar-benar Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah kepala guru silat itu.

Mana Tan Hok mandah saja dirinya dipukul. Dia mengangkat tangan kiri menangkis dan tangan kanannya memukul ke arah muka Cin Hai, maksudnya hendak sekali pukul lantas menjatuhkan anak itu dari atas lengan Si tosu. Akan tetapi Giok Keng Cu menggerakkan lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke lengan kiri!

“Guru silat, kalau kau bisa menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau bawa dia!” Giok Keng Cu mengejek.

Tan Hok marah sekali dan ia lalu menyerang. Tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu itu dan dengan cepat menghindari setiap serangannya, bahkan tangan anak itu lalu balas menghantam!

Tan Hok dengan geram dan marah lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu Cin-jip Houw-hiat (Terjang Masuk Gua Harimau), sebuah serangan yang sangat hebat karena dilakukan dengan kedua tangan. Kalau kepala Cin Hai yang gundul terkena pukulan ini, pasti otaknya akan berceceran keluar dari batok kepalanya yang pecah!

Tetapi dengan enak dan tenang Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan menggerakkan lengannya dengan cepat sekali. Tahu-tahu Cin Hai merasa badannya terlempar ke atas melalui kepala Tan Hok, maka cepat anak itu menggunakan kakinya menyepak ke arah kepala itu! Tan Hok yang kena sepak kepalanya menjadi marah sekali dan menggunakan tangan hendak menerkam tubuh yang masih berada di atasnya itu, namun tangan Giok Keng Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga tubuh Cin Hai dan dibawa turun lagi.

Demikianlah, dengan gerakan-gerakan aneh serta cepat melebihi angin, Cin Hai dapat dibawa oleh lengan Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali kepalan Cin Hai yang kecil dapat memukul muka, kepala dan dada guru silat itu sekerasnya, tetapi akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena anggota tubuh guru silat yang terlatih itu keras dan kuat, sedangkan kepalan tangannya lemah tak terlatih.

“Totiang, tanganku sakit…,” Cin Hai berbisik.

“Anak tolol, kau pukul daun telinganya!” Giok Keng Cu balas berbisik.

Benar saja, semenjak saat itu, Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun telinga Tan Hok hingga guru silat itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol. Ia rasakan daun telinganya pedas dan sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit lagi. Bagian-bagian tubuh lain memang terlatih, tetapi daun telinganya tidak dapat dilatih dan terasa sekali hingga biar pun pukulan seorang anak kecil juga mendatangkan rasa sakit dan bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam telinganya!

Cin Hai merasa girang sekali karena ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Kini dia tidak hanya memukul, tetapi menjewer, mencengkeram, menusuk lubang telinga dengan sulingnya dan lain-lain serangan yang membuat Tan Hok merasa mata gelap dan isi kepala berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!

Tan Hok sudah mendapat hajaran hebat. Ketika guru silat itu menyerang lagi, Giok Keng Cu sengaja menangkis dengan tangan kirinya sambil membentak,

“Masih belum cukupkah?”

Tangkisan itu membuat Tan Hok hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan kanannya, dari ujung jari sampai ke pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan sakit sekali, hingga sambil meringis-ringis ia melangkah mundur, lalu berkata,

“Aku sudah menerima pengajaran dari orang pandai. Tidak tahu siapakah Totiang ini dan apa pula hubungannya dengan anak tolol ini sehingga Totiang membantunya serta tanpa segan-segan memberi pukulan kepada siauwte.”

Pada saat itu matahari telah mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan kepalanya yang gundul pelontos tampak nyata. Pada saat mendengar ucapan guru silat itu, Giok Keng Cu lalu memandang muka anak kecil yang ditolongnya.

“Ehh, kau?” tanyanya.

Cin Hai tersenyum mengangguk sambil berkata, “Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang yang lain?” tanyanya.

Giok Keng Cu lalu berdongak dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan daun-daun pohon.

“Dengarlah, guru silat buruk adat! Kau sedang berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau kalau nama ini tidak kau kenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang termuda dari Kanglam Sam-lojin. Ada pun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin (penolong) kami!”

Bukan main kagetnya Tan Hok mendengar bahwa dia berhadapan dengan seorang dari pada Kanglam Sam-lojin yang sangat tenar namanya dan yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelihaian dan kehebatan mereka. Tetapi lebih heran lagi ketika dia mendengar pengakuan orang tua itu bahwa Cin Hai dianggap sebagai in-jin mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura dalam-dalam sambil berkata,

“Maafkan siauwte yang tak bisa mengenali Gunung Thai-san menghalang di depan mata (Orang Gagah berdiri di depan mata) bahkan berani berlancang tangan. Biarlah siauwte memberi laporan kepada Kwee-ciangkun bahwa anak tolol...,” dia menahan makiannya, lalu melanjutkan, “…anak ini telah ikut dengan Locianpwe.”

Tetapi Giok Keng Cu yang kegirangan dapat bertemu lagi dengan ‘tuan penolong’ itu, tak mempedulikan lagi guru silat itu dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai juga dibawanya pergi bersama.

Berulang-ulang kali Tan Hok menghela napas dan hatinya penasaran, malu dan gemas. Berturut-turut dalam dua hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan Biauw Suthai dan mendapat hajaran yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil, sedangkan sekarang tiba-tiba saja berhadapan dengan seorang dari Kang-lam Sam-lojin yang lihai! Semua ini gara-gara Cin Hai si setan kecil.

Kemudian guru silat ini pergi ke gedung Kwee-ciangkun untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi bersama seorang tua jahat yang mungkin mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tak mau menceritakan pengalamannya memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua yang membawa Cin Hai itu agak miring otaknya, ada pun Cin Hai sendiri ketika ikut orang tua itu bertelanjang bulat seperti anak gila.

Kwee In Liang tidak terlalu memperdulikan peristiwa ini, akan tetapi Loan Nio lalu lari ke kamarnya dan setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa anak itu pergi tanpa membawa sedikit pun barang atau sepotong pun pakaian, dia langsung menangis tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan iba sekali…..

********************

Giok Keng Cu berlari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuh Cin Hai yang segera menutup mata karena angin kencang menderu-deru di kedua telinganya. Akhirnya tosu ini membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.

Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam.

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang kubawa ini!”

Baru saja ucapan itu habis dikatakan, dari dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan orang dan tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus dan Giok Yang Cu si tinggi besar yang brewokan. Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka cepat ia berkata girang.

“In-kongcu (tuan penolong muda)!”

Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu dengan muka bodoh. “Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku penolong? Apakah memang cara-cara pendeta memutar balikkan kenyataan? Sebetulnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut penolong, bagaimanakah ini?”

Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa bergelak.

“Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di depan Kelenteng Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh kelima ularnya yang berbahaya dan lihai sekali. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu, tentu sekarang Kanglam Sam-lojin sudah tidak ada lagi! Kepada Hai Kong si hwesio itu kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”

Barulah Cin Hai mengerti kenapa ia disebut sebagai tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa dan berkata,

“Sungguh aku gembira sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar suara melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa telingaku sakit lantas kugunakan sulingku untuk melawan suara itu. Tidak tahunya suara itu sudah dapat menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak perlu berterima kasih kepadaku, melainkan seharusnya kepada suling ini!” Dia lalu mengangkat dan mengacung-acungkan suling barunya.

“Anak baik, kata-katamu betul juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini menyanyikan sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,

“Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”

Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi merupakan syair dari kitab To-tek-keng yang merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabinya para penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,

Berlakulah sopan jujur seperti balok. Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam. Dan bersikaplah seperti air keruh!

Cin Hai semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno lagi. Di kala mempelajari segala ujar itu, dia hanya hafal seperti burung beo saja, dapat mengucapkan tanpa mengerti isi dan maksudnya.

Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa pun tak akan mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biar pun singkat jika dipecahkan dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin mendalam. Oleh karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan atau lanjutan dari pada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.

“Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa dapat bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar lambat laun memetik buahnya)”

Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai. Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sejak muda sangat tekun mempelajari ujar-ujar nabi Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu disambung dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia pun menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,

“Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!”

Sesudah cukup memuji-muji Cin Hai, ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya, “Anak baik, sebenarnya siapakah namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan pembesar she Kwee itu?”

Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab, “Teecu (murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang tua teecu telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan untuk pergi saja!” Juga kepada tiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi baru-baru ini.

“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah selayaknya kalau kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai? Bagaimana kalau kau menjadi murid kami bertiga?”

Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali belajar silat, hanya sayang tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai murid, tentu saja hal ini menggembirakan sekali.

Kedua matanya telah bersinar dan mukanya berseri-seri, tetapi tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhu-nya, yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,

“Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak berani menjadi murid Sam-wi.”

“Ehh, mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena heran. Tosu tinggi besar ini adatnya kaku tapi amat jujur. “Apa kau anggap kami bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”

“Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan seorang saja sudah cukuplah!”

“Siapa? Siapa suhu-nya itu?” ketiga tosu itu serentak bertanya.

Cin Hai menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Akan tetapi keangkuhannya yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia mengangkat mukanya dan berkata gagah, “Guruku itu adalah seorang jembel tua yang tidak memiliki kepandaian apa-apa!”

Di luar dugaannya, biar pun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.

“Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh orang tua aneh itu!”' kata Giok Im Cu menyesal.

“Jadi, Sam-wi Totiang sudah kenal kepada suhu-ku. Di mana dia sekarang?” tanya Cin Hai dengan girang.

Tetapi ketiga tosu itu menggeleng-gelengkan kepala menyatakan bahwa mereka pun tak tahu. Kemudian, karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya lebih jauh.

”Dan sekarang, bila kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau mengajukan sebuah permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada seorang di antara kami sehingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah untuk pembalas jasamu yang telah menolong kami.”

“Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan yang dilakukan sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan namanya, tapi ialah utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!”

Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang sudah paham akan ilmu batin. Padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal belaka dan dia selalu menggunakan ujar-ujar hafalan itu untuk diucapkan pada saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!

“Biar pun kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, tetapi kami akan selalu merasa mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,” jawab Giok Yang Cu. Karena didesak-desak akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga permintaan.

“Pertama,” katanya, “teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore kemarin!”

Ketiga tosu itu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil kue kering dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa sheji (sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa dia tidak berpakaian, ia menggunakan lengan tangan dan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak setelah makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.

“Permintaan teecu yang ke dua adalah minta diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak malam kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”

Sekali lagi tiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu karena ternyata anak ini mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus. Benar-benar tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian?

Tapi karena permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka segera mencarikan pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian, maka Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian warna putih.

Pada saat dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik celana mau pun jubahnya terlalu besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta hwesio yang sangat kebesaran, maka tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu.

Sambil tertawa-tawa ketiga tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian itu dapat juga dipakai, walau pun potongannya sangat kebesaran dan lengan bajunya melompong terbuka sehingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya!

Betapa pun juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli di mana?

Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,

“Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tak keberatan teecu mohon diijinkan ikut dan belajar silat dari Sam-wi!”

Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang. Mereka merasa puas karena ternyata akhirnya bahwa anak ini bukannya gendeng dan tolol.

“Jika begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada kami!” kata Giok Keng Cu.

Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala. Kemudian anak itu berlutut tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,

“Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru. Teecu hanya ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!”

“He?! Mana bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok Yang Cu.

Cin Hai mengangkat muka memandang, “Bukankah tadi teecu sudah mengatakan bahwa teecu tak ingin minta balasan dan tak ingin apa-apa? Kenapa Sam-wi Totiang mendesak? Sekarang permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal tidak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar yang berkata bahwa sekali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun tidak akan mampu mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang budiman berludah, tak akan ia jilat kembali?”

“Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku kalah. Semenjak sekarang, kau boleh ikut kami ke goa kami dan belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri sendiri!”

Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk dia tidak tidur dan berlari-larian hingga dia sangat lelah dan mengantuk. Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak dia berbantahan saja itu, membuat dia semakin lelah dan semakin mengantuk. Setelah mendengar betapa permintaannya yang ke tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega sehingga tiba-tiba saja kedua matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!

“Kasihan, anak yang baik!” kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kau pondonglah dia dan mari kita berangkat.”

“Anak yang tolol!” sambil mengomel Giok Yang Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh Cin Hai yang telah mendengkur itu.

Ketiga tosu itu lalu meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka. Karena tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang saja.

Karena tidur nyenyak di dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Saat ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan karena kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat dia mengeluarkan kepalanya yang gundul dari balik jubah pendeta itu dan memandang keluar.

Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang tinggi. Tidak heran bahwa hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang sedang bertempur seru!

Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai melorot turun dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.

“Jangan mendekat!” Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara yang menyatakan bahwa larangannya itu sungguh-sungguh.

Cin Hai merasa heran akan tetapi dia tidak berani banyak ribut melihat sikap ketiga tosu demikian tegang. Maka dia lalu duduk di atas rumput dan menonton orang yang sedang bertempur.

Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki. Yang wanita berbaju hijau bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang memenuhi punggungnya.

Usianya paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru melihat pertama kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia belasan tahun. Ilmu silatnya hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung kepinis.

Laki-laki yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya bagaikan seorang siucai (pelajar sastra) dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun dan mukanya putih agak kepucat-pucatan.

Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang hebat dari pada kalau orang bertempur dengan senjata tajam. Buktinya serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan atau tendangan selalu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali.

Kepandaian mereka berimbang. Tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan dua kakinya lalu bergerak bagaikan kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan bertubi-tubi dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian bergerak menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan atau ditangkis!

“Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira tetapi cemas Cin Hai berkata sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak kau tolong dia?”

Namun Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan, “Ssttt! Jangan berisik, kau lihat saja!”

Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis mengharukan.

“Hi-hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa harus mengeluarkan tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kau sohorkan itu? Hi-hi, orang she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!”

Sambil menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi setiap gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!

Tiba-tiba wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau tadi kedua lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang luar biasa lemas sambil mengelit serangan lawan, sekarang ia menggerakkan kedua tangannya ke belakang dan depan. Jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi sebenarnya ini adalah serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya dapat digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya lelaki yang dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.

“Pengecut, rebahlah kau!” Tiba-tiba wanita itu berseru.

Dan benar saja, pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biar pun kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh! Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ha-ha hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya menyeramkan perasaan.

Tiba-tiba perempuan aneh itu menengok dan memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak bergerak. Ia memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, kemudian mengembangkan hidung dan mengedikkan kepalanya.

“Baiknya tidak ada yang lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku terpaksa harus merobohkan beberapa orang lagi!” Wanita itu berkata seakan-akan kepada diri sendiri, tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua kawannya.

Giok Im Cu menjura ke arah wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti kepada diri sendiri, “Kami Sam-lojin (Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang usilan.”

Maka tertawalah wanita itu dan kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu pergilah dia berlari turun gunung dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya yang hitam, yang juga ikut berkibar-kibar tertiup angin di belakangnya. Dipandang dari jauh, ia laksana seekor kupu-kupu besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari pendengaran.

Giok Im Cu menghela napas. “Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?” dia berkata perlahan seakan-akan kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.

“Totiang, siapakah perempuan yang pandai menari itu?”

Giok Yang Cu tertawa mendengar ucapan ini. “Dasar kau tolol! Sehari penuh tidur terus, dan kini setelah bangun bicara tidak karuan. Kau anggap dia itu menari-nari? Ha-ha-ha!”

Giok Im Cu lalu berkata sambil menghela napas lagi. “Mana kau tahu? Tarian itu justru kepandaiannya yang membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan. Itulah ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis! Oleh karena kepandaiannya ini maka dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata Kumala) dan namanya menggemparkan seluruh permukaan bumi.”

“Tetapi mengapa Sam-wi takut kepada iblis itu?” tanya Cin Hai penasaran.

“Takut sih tidak,” jawab Giok Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, “hanya saja, kita tidak tahu seluk-beluk urusan mereka, mengapa harus ikut campur dengannya?”

Tetapi pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga tosu itu teringat akan laki-laki yang masih rebah di atas tanah, maka buru-buru mereka segera menghampiri. Laki-laki yang rebah terlentang dengan wajahnya yang telah pucat itu kini makin kuning dan kedua matanya meram.

Ketika Giok Im Cu perlahan meraba pundak orang itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat luka dalam yang cukup hebat, biar pun tidak dapat dikatakan membahayakan jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu menggunakan kepandaiannya menotok serta mengurut pundak yang terluka oleh tangan Giok-gan Kuibo yang halus putih tetapi ganas lihai itu!

Laki-laki itu siuman dan membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat tiga orang tosu itu.

“Kanglam Sam-lojin?” tanyanya perlahan.

Giok Im Cu mengangguk. “Sicu siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan dia?”

Laki-laki itu kembali tersenyum lalu duduk. “Siauwte Kang Ek Sian sungguh tak mengukur kepandaian sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona Bermata Intan), sungguh tidak tahu diri!” jawaban ini merupakan tangkisan terhadap pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu pun maklum bahwa orang tak suka menceritakan sebab musabab pertempurannya.

“Untung bagimu dia masih berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut,” dia berkata singkat lalu mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan tempat itu.

“Totiang, sebenarnya sampai di manakah kelihaian iblis wanita itu? Kulihat dia hanyalah seorang perempuan cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,” kata Cin Hai yang sungguh-sungguh tak mengerti kenapa seorang perempuan seperti itu ditakuti oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.

“Ha-ha-ha, anak tolol, dengarlah!” kata Giok Yang Cu.

Cin Hai segera berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut tolol dan bodoh oleh tosu tinggi besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu selalu berterus terang kepadanya.....

“Perempuan yang kau anggap lemah-lembut tadi, yang disebut orang-orang kang-ouw sebagai Biang Iblis Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan seorang diri saja telah naik ke Cin-liong-san dan mengobrak-abrik sarang berandal The Kok, menewaskan lebih dari dua puluh tauwbak dan kepala berandal dan membasmi lebih dari tiga puluh liauwlo (anak buah perampok), dan yang seorang diri saja sudah mendatangi hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk dicoba kepandaiannya. Dan tahukah kau, bahwa selama itu hanya baru beberapa kali saja ia tidak dapat merobohkan orang? Pendeknya, jarang ada orang yang dapat mengalahkan dan karena tangannya yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan untuk berurusan dengan dia!”

“Dan lagi,” sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, “coba kau lihat yang seorang lagi. Lebih hebat lagi!” Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka jeri.

“Yang satu lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.

Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sute-nya. “Yang dimaksudkan oleh Sute tadi adalah seorang wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan Giok-gan Kuibo. Wanita ini adalah Sumoi-nya (Adik Perempuan Seperguruan) yang berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona ini masih muda dan ilmu kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Suci-nya (Kakak Perempuan Seperguruan) itu! Ang I Niocu seorang diri pernah naik ke Bu-tong-san dan menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-pai dan ternyata ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan orang!”

Mendengar kelihaian-kelihaian sedemikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking kagumnya. “Hebat sekali!” serunya kagum.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya tergantung dan tidak menginjak tanah, tetapi ia maju cepat sekali sehingga angin dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga orang tosu itu hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke bawah.

Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian hebatnya, padahal tadi ia mendengar betapa mereka ini masih memuji-muji kepandaian orang lain, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kepandaian orang-orang yang mereka puji itu! Karena itu timbullah keinginan di dalam hatinya untuk belajar keras supaya ia pun bisa mempunyai kepandaian itu sehingga kelak tidak ada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.

Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai pasti tertawa geli karena di dalam pakaian yang besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu dan aneh sekali.

“Mungkin anak gila,” terdengar orang berkata.

“Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya,” kata orang lain.

Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah, dikecilkan dan dijahit pula. Namun dengan keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab.

“Tidak, biarkan sajalah! Biarkan saja anjing-anjing itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit! Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan mereka!”

Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan serta ketabahan hati anak ini. Dan untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tak peduli kepada semua orang yang mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan beberapa lagu merdu!

Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam.

Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan yang sangat liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan indah permai, berbeda dengan tempat yang penuh rumput, alang-alang, dan pohon-pohon tua dan liar.

Di tengah-tengah padang rumput itu terdapat sebuah gunung kecil yang ditumbuhi oleh pohon-pohon liu, ada pun bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri terdapat mulut goa yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam Sam-lojin.

Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat goa terdapat sumber air yang memancar keluar dan mengalir merupakan beberapa anak sungai kecil yang airnya bagai berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang hitam dan halus. Ada pun burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.

Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat itu. Biar pun mulut goa itu tampak gelap, akan tetapi sesudah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang masuk melalui beberapa lubang di kanan kiri yang menembus atas gunung.

Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan dari ketiga tosu itu dengan bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar dari sana dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang yang pergi, kadang kala berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal seorang diri.

Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu merupakan tiga saudara seperguruan, sebab itu kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan, yaitu cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan khusus, yaitu seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu.

Giok Im Cu yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang sudah mencapai tingkat tinggi sehingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam tangannya akan berubah menjadi senjata yang amat ampuh. Oleh karena mengandalkan tenaga lweekang-nya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulu pun pada waktu menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang ranting kayu.

Sebaliknya dari pada suheng-nya, Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, dia mahir sekali memainkan pedang yang digerakkannya secara luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja ilmu pedangnya ini adalah Liong-san Kiam-hoat yang memang dikenal memiliki gerakan-gerakan yang cukup lihai.

Tosu ke tiga jika dipandang begitu saja memang dapat menimbulkan pandangan rendah sebab tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tapi janganlah orang memandang rendah padanya, karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua suheng-nya! Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang bersayap di kanan kirinya sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Di samping ini, dia memiliki ginkang yang paling sempurna dibandingkan kedua suheng-nya sehingga gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.

Walau pun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan hebat, namun dia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki ketekunan terhadap sesuatu yang disukainya. Justru ia suka ilmu silat dan sudah semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya. Apa lagi ketika dia sering menerima pukulan serta hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi.

Kini, ketika sekaligus dia mendapat didikan dari tiga orang lihai, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah dia menerima pelajaran dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.

Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka memberi pelajaran kepada Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi dan hendak membalasnya, bukan berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai peraturan lagi!

Mereka berganti-gantian memberi pelajaran silat Liong-san Kun-hoat secara cepat sekali, padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam, hingga seorang anak-anak seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara bertubi-tubi mana dapat mengingatnya?

Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai bukan ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan latihan-latihan keras berhari-hari. Memang karena penolakan Cin Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat ketiga tosu itu menjadi kurang perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir bahwa jika anak itu diberi kepandaian asli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tidak berhak melarangnya, karena dia bukan anak murid Liong-san-pai.

Oleh karena tindakan ketiga tosu ini, Cin Hai menjadi bingung sekali dan dia tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja dia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna, lain tosu sudah memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan begitu, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah terlupa lagi!

Meski pun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya dahulu, dia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera melakukan hal yang cerdik juga.

Dengan diam-diam dia mempergunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas selembar kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, dia segera mengingat baik-baik dan malamnya pada saat berada seorang diri dalam kamarnya di goa itu, ia segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang mengajarnya tadi!

Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna betul.

Melihat ketololan anak itu, ketiga tosu diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi, akan tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tidak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini sebenarnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol, tetapi adalah karena waktunya banyak dia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya baik-baik secara rahasia.

Seperti semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai masih haus akan permainan dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari teman-teman untuk bermain-main atau mencari segala macam barang permainan untuk menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di dalam goa dan kalau ia keluar dari goa, yang ada hanya hutan betantara yang penuh pohon-pohon besar dan binatang-binatang buas.

Pernah terjadi ketika pada beberapa bulan yang lampau dia pergi agak jauh dari goa dan memasuki hutan yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar menghadang jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali, kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar-debar. Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku waspada.

Sambil mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada saat itu Cin Hai sudah mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Maka, melihat datangnya terkaman harimau itu, otomatis kakinya bergerak dengan tipuan Lo-wan Tong-ki atau Monyet Tua Meloncati Cabang sehingga ia terhindar dari terkaman harimau. Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi dari sana, tetapi terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!

Biar pun matanya tak melihat, akan tetapi ternyata latihan-latihan silat yang dipelajarinya telah membuat telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan membalik, pada saat harimau itu lewat di sampingnya, ia lalu memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah lambung harimau!

Namun apakah artinya pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja berlatih silat kurang dari dua tahun? Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit dan begitu keempat kakinya menginjak tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat menubruk lagi!

Cin Hai benar-benar terdesak dan ia hanya dapat menggunakan segala kepandaian yang dipelajarinya untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tak menyangka bahwa biar pun baru mempelajari beberapa belas jurus dari Liong-san Kun-hoat, ia telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai beberapa lama! Apa bila ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk saja ia sudah menjadi mangsa binatang itu.

Tiba-tiba Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari Giok Keng Cu. Tosu kate itu adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula akan adatnya, maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya sehingga tosu itu lantas menurunkan semacam kepandaian loncat tinggi kepadanya!

Ilmu loncat ini merupakan pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te Hui-teng Kang-hu yang jika sudah dipelajari secara sempurna dapat dipergunakan untuk meloncat jauh sambil menggunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga tampaknya seperti melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran pada bagian loncat tinggi saja, yakni tipu gerakan Cian-liong Seng-thian (Naga Naik ke Langit).

Demikianlah, sesudah teringat dengan pelajaran meloncat ini, Cin Hai perlahan-lahan lalu menggeser kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat mendekati sebatang pohon yang memiliki cabang rendah dan berada di atas kepalanya. Ketika harimau itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya, Cin Hai menerobos ke bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia lalu meloncat ke atas cabang pohon di atasnya dengan gerakan Cian-liong Seng-thian yang sudah dipelajarinya itu!

Ia berhasil dan tubuhnya melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali dia berbuat demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba saja si harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari, segera meloncat pula ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras! Tubuhnya segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak memandang ke arah Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan aman.

Anak itu dengan hati geli dan senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, serta meludahinya dan melemparinya dengan cabang-cabang kering yang dia dapatkan di atas pohon-pohon! Harimau itu mengaum-ngaum dan meraung-raung, mengeluarkan suara keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang marah dan kecewa.

Untuk beberapa lamanya binatang itu terus mendekam di bawah pohon, menanti calon mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas dengan hidung kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki, bahkan anak itu lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu!

Entah karena jengkel dan kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.

Cin Hai tak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani turun dan lari pulang ke goa. Semenjak pengalamannya itu Cin Hai tahu akan manfaat kepandaiannya, maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak berani lagi meninggalkan goa terlalu jauh.

Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut goa lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain suling.

Selama berdiam di goa itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!

Ketika dia sedang asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Dia berdiri di depan goa, tidak jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan tubuh tak bergerak.

Cin Hai juga melihat kedatangan orang itu. Namun dia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali, karena yang datang adalah seorang wanita asing.

Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya, dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang sangat manis dengan sepasang bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya serba merah dan bersih sekali, juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.

Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengar dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dahulu, yaitu Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dari mendengarkan gurunya itu bersuling, maka dapatlah Cin Hai meniru lagunya.

Makin lama makin merdu dan merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan sulingnya.

Dara muda itu terlihat kecewa dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali, mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.” Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.

Cin Hai merengut ketika disebut ‘hwesio cilik’. Ia menjawab tak senang. “Kira-kira dong kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil.”

Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Dia memang merasa aneh dan ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan liar seorang diri, dan anak ini pandai bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.

“Saudara kecil, kalau kau memang bukan seorang hwesio, kenapa kepalamu gundul dan pakaianmu jubah hwesio?”

Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela pakaiannya. “Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan engkau? Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”

Walau pun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara Baju Merah itu tidak marah, malah memperlihatkan senyum yang agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja dia sudah dewasa. Namun senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.

“Engko cilik, apa bila aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu, tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”

“Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”

Mendadak gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari mana kau tahu bahwa aku pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman supaya Cin Hai mengaku.

Cin Hai merasa heran dan menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai menari? Hanya menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai menari.”

Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu. “Baiklah, kau tiup sulingmu dan aku akan menari untukmu.”

Cin Hai merasa girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut goa yang gelap sehingga pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar belakang goa hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju Merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.

Sambil menyuling Cin Hai memandang gadis itu dan dia bagaikan kena pesona. Bukan main indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian seorang bidadari! Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!

Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling yang ditiup Cin Hai dan pada saat Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang berwarna putih dengan sinar merah dari bajunya!

Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya meniup suling, barulah dia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.

“Hebat sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.

“Lebih hebat adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan dua matanya yang lebar.

“Kau menyukai tarianku?” tanya gadis itu.

“Suka sekali, dan tentu jauh lebih dari pada sukamu kepada suara sulingku,” kata Cin Hai cepat-cepat dan sejujurnya.

Gadis itu tersenyum. “Engko kecil, siapakah namamu?”

Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih suka menyebutku Tolol atau Bodoh!”

Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya, memandang kepalanya yang gundul dan besar, kemudian ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang, dia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,

“Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!”

Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, “Memang aku bodoh dan tolol, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.”

Si Nona Baju Merah mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”

“Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang tak akan lenyap dan berakhir dengan keburukan? Lihat saja cahaya matahari berganti malam yang gelap lagi buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik jelita.”

“Stop segala omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik yang berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil tetapi bicara seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?”

Cin Hai tertawa. “Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”

“Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”

Cin Hai cepat-cepat menggelengkan kepalanya, “Aku bukanlah pendeta, dan mengenai pakaian…” dia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya ada satu yang terpaksa kupakai.”

Dara Baju Merah itu tertawa geli. Sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu tampak berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai bersuling ini.

“Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”

“Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kanglam Sam-lojin.”

“Ahh? Jadi mereka itu suhu-suhu-mu?”

Cin Hai cepat menggeleng kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini siapakah? Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I Niocu…”

Nona itu meloncat dengan amat kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I Niocu?”

Cin Hai menghela napas. “Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang macam apakah? Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu itu bercerita.”

Gadis itu tersenyum pula. “Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”

Cin Hai mengangguk.

“Kalau begitu, mari kita bertukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin sekali belajar menyuling.”

Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari padanya.

“Boleh, boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”

Sambil tersenyum gadis itu menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”

Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu berkata, “Mengapa? Apakah kau juga takut kepada Ang I Niocu? Apakah mukaku begitu menyeramkan?”

“Tidak, tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”

“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.

“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.

“Kalau begitu, lekas kau kumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi.”

Cin Hai memandang pada wajah yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu. Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata,

“Barang-barangku?” Ia lantas memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang dipakainya. “Barangku hanya suling dan pakaian ini.”

Pandangan mata Ang I Niocu mengandung perasaan iba. “Jadi kau tak berbohong ketika tadi berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”

“Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai menirukan bunyi sebuah ujar-ujar, “dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.

“Kalau begitu mari kita berangkat!”

Cin Hai mengangguk.

Namun pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.

Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil dengan suara keras. Namun Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa, lalu melambaikan tangan sebagai salam berpisah! Tentu saja Kanglam Sam-lojin merasa penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.

“Hai, Tolol, kau hendak minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar dengan suara mengguntur.

“Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!”

“Apa? Belajar menari? Kepada siapa dan di mana?” Giok Keng Cu si pendek bertanya dengan heran.

“Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana saja, di sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?”

Ang I Niocu hanya tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Mendadak ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu lalu berkata dengan hati-hati.

“Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan dengan Nona yang gagah itu?”

“Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang sangat tajam. Aku betul Ang I Niocu.”

Kalau dilihat sungguh mengherankan, oleh karena begitu mendengar nama Ang I Niocu, tiga tokoh kang-ouw yang telah berusia lanjut ini lalu nyata sekali tampak terkejut dan dari jauh mereka mengangkat tangan memberi hormat.

“Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu apakah keperluan yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?”

Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Dia kemudian bersyair sambil memandang ke langit.

Berkawan sebatang pedang,
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau masih bertanya maksud keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon,
Terbang ke sini berkehendak apa?

“Bagus, bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar aku nanti buatkan lagunya yang merdu!”

Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada tiga tosu itu,

“Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”

Kanglam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena bagaimana pun juga, mereka sudah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan.

Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit yang memang memiliki watak agak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah lembut lalu memandang rendah sekali.

“Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu peraturan kang-ouw! Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat kurang ajar?”

Sungguh pun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja, akan tetapi sebetulnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun lebih namanya sudah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang sangat berani dan dapat menyimpan perasaannya.

Kini mendengar betapa ada orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena walau pun Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa dia masih sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin disebut muda dan ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.

Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,

“Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kau anggap aku tidak memandang kalian orang tua dan berbuat kurang ajar?”

“Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa tanpa minta ijin kau kini hendak menculiknya begitu saja? Bukankah hal itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok Ken Cu dengan marah.

Sebelum Ang I Niocu menjawab, Cin Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.

“Ehh, ehh, semenjak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang ingat bahwa teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!”

Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya mengira bahwa Cin Hai yang membohonginya, kini melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng Cu yang menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.

Melihat keadaan sute-nya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,

“Ang I Niocu! Betapa pun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja. Biar pun dia bukan murid kami, tetapi dia sudah ikut kami dan tidak boleh diambil oleh orang lain tanpa ijin kami!”

Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena dia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita oleh sute-nya, apa lagi memang dia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!

“Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu yang mulai merasa sebal. “Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?”

Kini Giok Im Cu yang menjawab sesudah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.

“Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah seorang yang tinggi hati dan sombong. Apa bila kau berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami bertiga lebih dulu menerima petunjuk-petunjuk darimu!” Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau hendak mengajak pibu (mengadu kepandaian).

“Begini lebih bagus, tak usah membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I Niocu dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika dia mencabut pedang dari pinggangnya.

Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut sebatang ranting kayu dari bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan Giok Keng Cu meloloskan goloknya.

Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pibu atau pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,

“He, Sam-wi Totiang, apa kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”

Ang I Niocu sambil tertawa berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka sekaligus maju bertiga agar gembira kau menonton!”

Sebenarnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi sesudah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, sehingga mereka kini tidak perlu sungkan-sungkan lagi!

Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,

“Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”

“Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku sheji-sheji (sungkan) segala?” kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.

Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu.

Ketiga orang tosu itu terkejut sekali melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini. Mereka kemudian memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, berupa kepungan segi tiga yang sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kanglam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.

Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyok dirinya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis. Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!

Cin Hai yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Dia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi hanya merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan amat sedap dipandang.

Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan yang halus dan nampak lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.

Tiap kali ada serangan lawan yang datang, dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan ujung pedang, maka senjata lawan itu pasti lantas menyeleweng arahnya. Sedangkan dengan pinjaman tenaga dan kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat ia pentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balasan! Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi sehingga setiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan mereka tergetar!

Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Saking asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari mukanya.

Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.

Ketika Hai Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.

Akan tetapi kini, walau pun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Mendadak lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat kemudian salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga!

Anak itu baru sadar dan dengan marah ia lalu menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu dia teringat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan goa. Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling. Maka dia lalu meniup sulingnya, meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.

Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah semakin hebat! Apa lagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedangnya lenyap terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!

Tentu saja perubahan ini membuat tiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan sehingga ketiganya juga meloncat mundur berbarengan!

“Ang I Niocu, kau memang lihai bukan main! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.

“Kau memang cukup pantas untuk menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung ejekan.

“Hemm, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kelak kau tentu akan mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.

Namun Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!

Sementara itu, mendengar kata-kata ketiga pendeta itu, Ang I Niocu lalu berkata sambil tetap tersenyum,

“Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya.”

Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat, “Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa murid?”

Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan dan pergi meninggalkan tempat itu.

Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka kini mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju merah itu dahulu bersyair di depan Kanglam Sam-lojin, maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke mana saja mengandalkan kaki dan hati!

Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatang kara dan tak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini tak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya.

Wanita muda itu selain sangat pandai menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu segera meminjam suling milik Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu.

Sebaliknya, dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar biasa yang disebut Sian-li Kun-hoat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi pada mulanya dia mengalami kesukaran karena betapa pun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tentu saja tubuhnya tak selemas tubuh perempuan, padahal Sian-li Kun-hoat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut.

Akan tetapi dengan sabar serta telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apa lagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sian-li Kun-hoat, biar pun masih agak kaku.

Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu.....

Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san Kun-hoat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,

“Jangankan baru kau pelajari delapan puluh jurus, biar pun kau bisa mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini tak kan mampu mengalahkan Sian-li Kun-hoat.”

Cin Hai juga tersenyum. Dia maklum bahwa Ang I Niocu tidak akan melarangnya karena memang dara itu tidak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san Kun-hoat sampai dia hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya.

Sudah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan hampir selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat dia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki.

Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga dia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka sungguh pun dia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tapi dengan sungguh hati ia hendak menurunkan Sian-li Kun-hoat yang merupakan tarian indah dan sangat digemari oleh Cin Hai itu.

Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, dia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apa lagi nyanyian To-tik-keng sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat dari pada kitab peninggalan Nabi Locu yang sangat bijaksana itu.

Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandang matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan dia akan Loan Nio, Ie-ie-nya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya.

Akan tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga dia maklum bahwa rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatang kara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.

Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya.

Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka dia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu mengenai kenakalan-kenakalan Kwee Tiong beserta adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.

Akan tetapi, pada waktu Cin Hai bertanya mengenai riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.

“Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, engkau berlatih meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”

Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia menatap Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung di dalam sinar matanya, lalu dia mengambil suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak menari!

Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biar pun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun dia baru saja mampu memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Karena itu dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sian-li Kun-hoat itu.

Juga karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga bila orang kurang latihan tentu tidak akan sanggup menarikannya sampai lama.

Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,

“Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Akan tetapi selebihnya, mulai jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup, karena gerakan-gerakan jari itulah yang akan menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, karena itu semua gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu. Dalam gerakan ini jari-jari kita akan merupakan ujung-ujung sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”

Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan lihainya Ilmu Silat Sian-li Kun-hoat itu, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!

Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan mengenai tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!

“Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang. Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, walau pun ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi, oleh karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh seorang kakek yang mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu? Dia adalah Su-siok-couw-ku (Kakek Paman Guru) sendiri!”

Cin Hai sangat terkejut mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couw-mu? Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?”

Ang I Niocu menganggukkan kepalanya. “Memang beliau adalah Susiok-couw-ku, karena mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ahhh, sukar untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kanglam Sam-lojin, atau oleh beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”

“Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.

“Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di dekat kota Tiang-an, ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan yang segera berusaha merampasnya. Tapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia pada Pemerintah Han sehingga mereka cepat-cepat mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk dipergunakan bila mana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang kang-ouw semacam Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini pun mempunyai telinga yang tajam sehingga mendengar pula tentang harta karun itu dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan Kanglam Sam-lojin berjumpa di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagai mana yang kau lihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang ingin merampas emas, semua ketakutan dan lari pada saat melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk membantu para patriot mengungsikan emas itu. Dan secara kebetutan sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?”

“Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”

Ang I Niocu tersenyum. “Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah memiliki seorang murid pun. Menurut kata-kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali pada orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan mala petaka saja! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang secara tiba-tiba saja dia mengangkat engkau sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?”

“Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata.

“He, mengapa?” Ang I Niocu bertanya.

“Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih senang belajar darimu dari pada harus belajar dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?”

Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang kanak-kanak, akan tetapi Ang I Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.

“Berjanjilah, Niocu, kau tak akan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.

Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku tidak akan pernah meninggalkan kau.”

Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan ‘Niocu’ yang biar pun artinya ‘nona’ namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya ‘niocu’ begitu saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini.

Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kanglam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu.

Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab, “Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah cici-ku, yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena dia adalah murid Ayahku.”

Tetapi Cin Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan menjadi sedih. Dari pandang matanya yang amat tajam, anak yang berusia paling banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!

Demikanlah, Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun sudah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau.

Anak ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, sebab setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala.

Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.

“Kau bukan seorang hwesio, kenapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.

“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio kecil, tapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”

Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”

Dan benar saja, setelah mendapat perawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia lalu memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.

Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambut, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekali, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!

Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai sudah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia kelihatan seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu semakin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang antara ibu dan anak atau kakak beradik.

Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu.

“Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”

Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang sasterawan.

Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona itu.

“Ehh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?” tanyanya.

“Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suci-ku?”

“Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”

Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci-ku memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”

Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu tak akan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja tidak mau bertanya.

Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata, “Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”

Tanpa menjawab Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian sudah tidak tampak lagi di situ. Yang menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan.

Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik serta gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.

“Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.

“Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”

Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut ‘taihiap’ (tuan pendekar) terhadap Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.

“Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”

Pelayan itu masuk ke dalam dan tidak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberi tahukan bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam. Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian depannya dipakai sebagai toko itu.

Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar dari pada bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang lelaki setengah tua yang kurus dan mempunyai jenggot tipis kecil panjang dan sepasang kumis kecil panjang pula berjuntai ke bawah. Seorang anak laki-laki sebaya Cin Hai turut pula menyambut.

Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini.

Akan tetapi, dengan senyum manis di bibir Ang I Niocu segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.

“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.

“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.

“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” berkata Ang I Niocu lagi.

Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung pada pinggang kirinya. Kemudian tiba-tiba dia tersenyum dan pada waktu ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.

“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.”

Ang I Niocu yang tadi hanya menunduk saja kini mengangkat muka memandang. Kedua matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata,

“Ahh, tidak tahunya aku yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”

Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia pun berkata, “Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”

Melihat sikap orang yang biar pun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.

Namun walau pun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, Ang I Niocu tetap tersenyum ketika berkata, “Kang-taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”

“Ahh, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”

Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu lalu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang amat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!

“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu segera mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.

Namun ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,

“Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”

Tapi Ang I Niocu menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. “Kang Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!”

Tiba-tiba saja muka Kang Bok Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada Adikku?”

Ang I Niocu memandang heran. “Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”

Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kanglam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Suci-mu?”

Sekarang mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan,

“Harap kau tidak salah paham. Kedatanganku ini justru ingin minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suci-ku.”

Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali. “Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!”

Ia sendiri menenggak habis secawan arak, lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata,

”He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau…, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau memasuki rumahku?”

Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di hadapan Cin Hai tertawa perlahan, kemudian mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari minum arakmu!”

Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi dia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!

“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras.

Lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat dari pada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.

“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir.

Dia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang masih menempel di atas itu. Sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya dia pun berseru,

“Kang-taihiap, kau terimalah kembali arakmu!”

Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga lweekang ini terjadi secara diam-diam tetapi tak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian!

Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.

“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu.

Sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga lweekang yang hebat menarik itu! Kini mendengar suara Ang I Niocu, dia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.

“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku sudah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!”

Tiba-tiba terasa ada sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar mendekat dan dia mengulurkan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau saja sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan hancur berikut dagingnya!

Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Ang I Niocu berkata, “Orang she Kang, jangan banyak tingkah!”

Tiba-tiba lengan tangannya yang hendak dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakan Pek-ho Tok-hi (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu.

Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan dia meringis kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah di lengannya sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!

Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.

Ang I Niocu menghela napas panjang. “Ini semua gara-gara Suci yang terlalu gegabah. Memang telah sering kali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci-ku!”

Gadis itu kemudian mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada waktu mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

“Niocu, tunggu sebentar!”

Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.

“Ahh, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.

“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.

“Niocu, kau maafkan banyak-banyak Kakakku itu. Dia tidak tahu kelihaianmu sampai di mana, maka hendak mencoba,” Kang Ek Sian berkata dengan suara halus sehingga Cin Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.

“Tidak apa, Kang-twako. Sebetulnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, sebab aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya kenapa kau sampai bentrok dengan dia?”

Kang Ek Sian menghela napas. “Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, suci-mu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia lalu menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”

Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan rasa kasihan. “Ahh, Suci-ku memang terlalu angkuh dan sembrono.”

“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”

Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”

“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.

“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?”

Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh.

“Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?”

Akan tetapi Ang I Niocu tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata,

“Hai-ji, marilah kita pergi.”

Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.

“Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikan dirinya dan bahkan mengajak Cin Hai berbicara gembira, Kang Ek Sia merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur dan mencinta.

Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus. Tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang.

Biar pun dia tidak tahu akan duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun dia dapat menduga bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan mereka.

Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tak selayaknya seorang lelaki selemah itu. Karena itu sambil berjalan dia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari buku.

Lima macam rupa indah membuat mata buta,
Lima macam suara merdu membuat telinga tuli,
Tetapi seorang laki-laki sejati,
memiliki keteguhan iman dan kekuatan hati,
untuk menentang godaan lima anggota tubuhnya!

Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi dia tidak memperhatikan anak muda yang hubungannya dengan Ang I Niocu tampak begitu erat dan mesra, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan memandang dengan penuh perhatian.

Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi sudah mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,

“Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Tapi sayang... sayang... !” Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan kisah ini adalah sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.

Mendengar ini, karena sebagai sasterawan tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, sekali lagi Kang Ek Sian merasa betapa mukanya panas seolah-olah mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insyaflah dia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar dia bersikap lemah sekali dan memalukan benar!

Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras,

“Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau jauh lebih gagah dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”

Kini Ang I Niocu tiba-tiba saja memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara agak gemetar karena terharu,

“Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!”

Gadis ini lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat sehingga Cin Hai terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat supaya jangan tertinggal di belakang.

“Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?”

“Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”

Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah berlari dua puluh li lebih!

Memang tadi mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yang masih tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga-duga olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.

“Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki yang gagah dan baik.”

“Kalau begitu... mengapa kau... sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan berani.

Wajah Ang I Niocu memerah. “Ahh, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!” Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.

“Dengarlah, Hai-ji. Kini telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku padamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya.”

Maka dengan singkat Ang I Niocu menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang dahulu sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya.

Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat.

Sejak kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan dia menjadi setengah gila! Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya.

Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula. Hal ini disetujui oleh ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun dari pada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik sehingga sejak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi dari pada kepandaian Kim Lian.

Setelah dewasa, Im Giok bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau sasterawan muda itu dari serangan para perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci.

Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya!

Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri.

Pada saat itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang sangat hebat. Tidak tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yakni sedari dia berusia empat tahun sampai tujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan rasa kesedihan amat hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan menderita sakit jantung!

Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu ternyata berdasarkan kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri! Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu.

Tetapi kemudian ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya sehingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!

“Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang kenapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta di dalam hatiku sudah terbawa mati oleh sasterawan itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”

Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika teringat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatang kara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.

“Niocu, nasibmu buruk sekali. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa memiliki nasib seburuk itu...,” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra.

Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu. “Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk...”

Untuk beberapa lama keduanya diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh, apa lagi lemah!”

Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Tiba-tiba wajah manis yang tadinya muram itu bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.

“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ahh, sungguh baik apa bila hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau.”

“Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana dulu kau bisa mengenalnya?”

“Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena dia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-tong-pai. Empat tahun yang lalu, pada waktu orang-orang gagah mengadakan pertemuan di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan berkenalan. Dia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,”

“Niocu, kiranya sudah cukup kita berbicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak menggembirakan. Tempat ini sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?”

“Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas karena gerakanmu masih amat kaku,” jawab Ang I Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.

Cin Hai telah beberapa lama menerima latihan Ngo-lian-hwa Kiam-hoat atau Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu pedang ini merupakan pecahan dari Sian-li Kiam-hoat yang digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.

Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang serombongan orang lewat di jalan itu. Karena mereka sedang asyik berlatih, baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka.

Rombongan itu terdiri dari sembilan orang yang berpakaian seragam. Melihat di pinggir jalan ada seorang wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari pedang, mereka ini berhenti dan menonton.

Tiba-tiba seorang dari mereka tertawa bergelak, “Eh, ehh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?”

Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!

Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,

“Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”

Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Dia tidak tahu siapakah mereka itu, karena biar pun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang sudah seperti kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di atasnya.

Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang keadaan mereka. Tapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.

Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu sudah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengannya yang dipentang lebar-lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang menjemukan sekali.

“Ahh, Nona manis, mengapa terburu-buru hendak pergi? Bukankah kau memang hendak mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”

Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup serta pelupuk mata gemetar sedikit sehingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan rasa marahnya.

Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah dia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar