Pendekar Sakti Jilid 26-30
Kwan Cu menjadi bingung. Untuk
membuktikan bahwa dia mampu membantu mereka ini dan mengalahkan para
pemberontak, dia harus dapat menunjukkan kepandaiannya dan dapat mengalahkan
Malita dan Malika. Akan tetapi, hanya dengan tangan kosong saja, tak mungkin
dia bisa mengalahkan mereka tanpa melukai mereka ini. Ia tentu akan dapat
menggunakan Ilmu silat Sin-ci Tin-san yang lihai, akan tetapi apakah tubuh
mereka yang kecil-kecil ini akan dapat menahan hawa pukulan Sin-ci Tin-san?
Makin lama, Malita dan Malika
mendesaknya makin hebat sehingga Kwan Cu terpaksa menahan desakan mereka dengan
Ilmu Silat Sam-hoan-ciang. Meski ilmu silat ini hanya terdiri dari tiga jurus
pukulan, akan tetapi dapat membuat dia bertahan secara kuat. Hawa pukulan yang
ditimbulkan gerakan kedua tangannya merupakan perisai yang menangkis semua
serangan lawan.
Malita dan Malika tak dapat
mendekatinya lagi karena di sekitar tubuh pemuda itu bertiup angin pukulan yang
membuat tubuh mereka terpental mundur kembali setiap kali mereka hendak
menyerang. Kwan Cu masih tidak puas. Sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan
sulingnya yang tadi dia ambil dari buntalan pakaian dan dia selipkan di ikat
pinggangnya.
Malita memandang heran. Apakah
pemuda raksasa yang aneh dan amat lihai ini hendak menyuling sambil bertempur?
Akan tetapi, keheranannya makin bertambah ketika Kwan Cu bukannya menggunakan
benda itu untuk menyuling melainkan mempergunakannya untuk bertempur!
Dengan sulingnya ini, Kwan Cu
mulai memainkan gerakan-gerakan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat yang dia pelajari
dari Ang-bin Sin-kai. Dia bermaksud mengalahkan dua orang gadis cilik ini
dengan merampas pedang mereka. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dua
orang gadis itu agaknya tidak gentar menghadapi sulingnya, bahkan agaknya sudah
dapat menduga lebih dulu ke mana sulingnya akan bergerak sehingga mereka mampu
mempertahankan diri dengan baik.
Melihat gerakan mereka, Kwan
Cu merasa yakin bahwa mereka sudah mengenali ilmu pedangnya, karena ke mana pun
juga dia hendak menggerakkan suling, keduanya sudah bersiap sedia dan setiap
elakan demikian tepatnya. Untung bagi Kwan Cu bahwa kedua orang lawannya yang
kecil itu tenaganya kecil pula sehingga baru hawa pukulannya saja sudah cukup
untuk menangkis serangan-serangan mereka.
Akan tetapi diam-diam pemuda
ini merasa kagum dan girang sekali. Ilmu pedang yang diperlihatkan oleh Malita
dan Malika benar-benar hebat dan agaknya memang di tempat ini menjadi sumber
dari ilmu-ilmu silat tinggi. Tidak salah lagi, tentu kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng berada di pulau yang dijadikan tempat sembunyi kaum pemberontak itu.
Kwan Cu menjadi girang dan
penuh harapan. Memang tujuan dari pada perantauannya ke tempat-tempat aneh ini
adalah untuk mendapatkan ilmu silat tinggi, dan sekarang dia telah menyaksikan
orang-orang kecil yang memiliki ilmu silat mengherankan. Bagaimana dua orang
gadis ini seolah-olah mengenal ilmu pedangnya yang dia pelajari dari Ang-bin
Sin-kai? Ia harus menyelidiki semua ini.
Setelah mengambil keputusan
untuk mengalahkan dua orang gadis ini karena dia sudah puas menyaksikan ilmu
pedang mereka, tiba-tiba saja Kwan Cu berseru nyaring sambil meyembunyikan
sulingnya di balik lengan baju. Kini dia bersilat ilmu silat Sin-ci Tin-san,
akan tetapi bukan menggunakan tangan, melainkan menggunakan ujung lengan
bajunya!
Serangan yang sangat dahsyat
ini benar-benar membuat Malita serta Malika kewalahan sekali. Seharusnya, ilmu
silat ini dimainkan dengan jari tangan yang melakukan serangan menotok, akan
tetapi oleh karena Kwan Cu tak ingin mencelakai dua orang gadis ini, dia
mempergunakan ujung lengan baju sebagai gantinya. Ia telah memperhitungkan
dengan tepat dan mendapat akal bagaimana harus mengalahkan lawan-lawannya.
Sambaran pukulan yang
dilakukan dengan ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga lweekang yang
berat, maka benarlah sebagaimana perhitungannya, ketika ujung pedang kedua
orang gadis ini beradu dengan ujung lengan bajunya, mereka berteriak kesakitan
karena telapak tangan mereka menjadi panas. Kwan Cu mempergunakan lweekang-nya
untuk mengubah ujung lengan baju yang tadinya keras kaku menjadi lembek.
Sekejap mata saja dua pedang itu sudah terlibat ujung lengan baju dan sekali
dia menggerakkan kedua tangannya, pedang-pedang itu lantas terampas olehnya.
Malita dan Malika menghentikan
gerakan mereka dan dengan menjura Malita menulis di atas tanah dengan ujung
sepatunya.
‘Kami menyerah kalah dan
percaya penuh akan kelihaianmu.’
‘Kalian memiliki ilmu pedang
yang hebat sekali,’ jawab Kwan Cu sambil mengembalikan dua batang pedang kecil
itu.
‘Akan tetapi, Kahano beserta
kawan-kawannya lebih berbahaya lagi. Kalau menghadapi mereka, kau harus
mempergunakan kedua tanganmu, dan untuk menjaga supaya jangan kau terluka oleh
senjata mereka yang mengandung racun berbahaya, kedua tanganmu harus digosok
lebih dulu dengan obat kami,’ kata Malita.
Sesudah mendapat kenyataan
bahwa pemuda raksasa itu benar-benar lihai, Malita dan kawan-kawannya menjadi
amat gembira dan penuh harapan. Malita segera mengadakan pesta perjamuan untuk
menghormati raksasa muda yang akan menolong mereka itu. Di dalam kesempatan ini
Kwan Cu mempelajari bahasa mereka yang terdengar amat kaku bagi telinganya.
Malita dan Malika mengajak
Kwan Cu untuk berunding bagaimana harus mengadakan penyerangan terhadap pemberontak.
“Yang terberat untuk dihadapi
hanya enam orang di bawah pimpinan Kahano itu,” kata Malita sambil menjelaskan
dengan tulisan bagian kata-kata yang tidak atau belum dapat dimengerti oleh
Kwan Cu, “tentang anak buah mereka, serahkan saja kepada kami dan kawan-kawan.
Asal kau sudah dapat mengalahkan dan menawan enam orang itu, tentu akan beres.
Akan tetapi sukarnya, mereka itu menyembunyikan diri dalam goa-goa yang panjang
dan gelap dan pertahanan mereka di situ kuat sekali. Setiap kali kami hendak
menyerbu masuk, kami lantas dihujani anak panah dan senjata rahasia dari dalam
goa.”
“Kita lihat saja dulu keadaan
mereka di sana, baru nanti mencari akal,” kata Kwan Cu sambil makan hidangan
yang enak akan tetapi aneh bagi lidahnya.
Dia merasa agak malu-malu
ketika melihat betapa semua wanita itu menonton dia makan hidangan yang bagi
mereka amat banyak itu. Hm, alangkah gembulku dalam pandangan mereka, pikir
Kwan Cu.
Malam hari itu Kwan Cu
bermalam di dusun mereka. Karena tidak ada rumah atau kamar yang cukup besar
bagi Kwan Cu, terpaksa pemuda ini bermalam di luar rumah-rumah kecil itu, di
udara terbuka. Namun dia mendapat hiburan yang luar biasa sekali.
Pada saat hari mulai gelap dan
dia telah membaringkan tubuhnya di bawah pohon untuk mengaso dan mengenangkan
semua pengalamannya yang amat aneh-aneh itu, tiba-tiba nampak banyak sekali
obor yang menerangi tempat itu. Berbarengan dengan munculnya obor-obor ini,
terdengar suara tetabuhan yang amat merdu namun aneh sekali iramanya. Suara
tetabuhan ini lalu disusul oleh nyanyian bersama yang membuat Kwan Cu merasa
heran, karena dalam suara nyanyian bersama ini, dia mendengar adanya suara
laki-laki yang besar!
Obor-obor itu makin mendekat
dan Kwan Cu melihat sesuatu yang membuat dia terkejut dan juga gembira, karena
tanpa diduga-duganya bahwa para pemegang obor itu adalah wanita-wanita dan juga
laki-laki bangsa katai itu. Mereka tampak begitu rukun dan damai, ada pun di
antara mereka nampak pula banyak anak-anak kecil yang dalam pandangan Kwan Cu
luar biasa lucunya, seperti bayi-bayi berjalan!
Malita dan Malika memimpin
rombongan ini dan menurut tafsiran Kwan Cu tidak kurang dari lima puluh orang
wanita-wanita muda dan dua puluh orang lelaki muda yang datang membawa obor
itu. Pakaian mereka seragam, yang wanita merah dan yang laki-laki biru. Agaknya
mereka dalam keadaan dan suasana berpesta riang gembira.
Kwan Cu bangun dan duduk
bersandarkan pohon. Malita menghampirinya dan bersama Malika, dia menjura tanda
menghormat yang dibalas Kwan Cu dengan anggukan kepala dan senyum ramah.
“Nasehatmu baik sekali,
saudara Kwan Cu. Lihat, laki-laki yang tadinya menjadi tawanan kami, sekarang
sudah kami bebaskan dan setelah kami menjelaskan tentang nasehatmu agar kami
hidup rukun dan damai saling mengalah dan saling melindungi, mereka mau
menerima dengan gembira dan menyatakan hendak membantu kami menumpas Kahano dan
kawan-kawannya.”
“Bagus sekali! Tidak ada
berita lebih menggirangkan dari pada ini,” kata Kwan Cu.
Ada pun orang-orang lelaki
yang berada di situ, lalu bersama maju dan berlutut di depan Kwan Cu dengan
mata memandang kagum dan juga agak takut-takut.
Kwan Cu melihat betapa kaum
lelaki di situ memang bersemangat kecil dan jelas sekali nampak sifat rendah
diri dan kalah pengaruh oleh kaum wanitanya. Namun harus diakui bahwa mereka
pun mempunyai bentuk yang tampan dan menarik serta potongan tubuh yang bagus.
Anak-anak kecil kelihatan lucu sekali ketika mereka memandang kepada ‘raksasa
muda’ itu dengan mata terbelalak ketakutan.
“Kami sengaja mengumpulkan orang-orang
untuk menghiburmu sebagai penghormatan,” kata Malita, kemudian ia memberikan
tanda dengan tangannya.
Tetabuhan dibunyikan semakin
gencar dan dari rombongan itu keluarlah belasan orang gadis dengan pakaian
indah, menari-nari di hadapan Kwan Cu dengan gerakan lemah gemulai. Kwan Cu
terpesona. Belum pernah dia menyaksikan tari-tarian yang demikian indahnya,
ditarikan oleh gadis-gadis yang biar pun bentuk tubuhnya sudah menunjukkan
kepenuhan dan kedewasaan, tapi tingginya hanya sampai di pahanya saja!
Seakan-akan dia melihat boneka-boneka hidup menari dengan indahnya.
Semua ini menggembirakan hati
Kwan Cu, namun yang paling menggembirakan adalah sikap laki-laki dan wanita
yang berada di situ, saling pandang antara suami isteri, penuh cinta kasih dan
pengertian, tertawa-tawa dan tiada ubahnya dengan pasangan-pasangan di
dusun-dusun di negaranya, di mana hidup petani-petani yang sederhana akan
tetapi selalu hidup rukun dengan keluarganya.
“Pesta seperti biasanya kami
lakukan setahun sekali,” kata Malita kepada Kwan Cu tanpa mempergunakan tulisan
karena Kwan Cu yang berotak cerdik luar biasa itu sebentar saja sudah menguasai
bahasa percakapan yang mudah-mudah.
“Untuk merayakan apakah?”
tanya Kwan Cu sambil menikmati gerak tarian para gadis cantik yang berputar-putar
di hadapannya menurutkan irama lagu.
“Untuk merayakan dewi bulan.
Dalam perayaan itu para dara mendapatkan kesempatan untuk memilih calon
jodohnya.”
Kwan Cu tertegun. Sampai lama
dia tidak dapat berkata-kata. Hemm, benar-benar dunia nyata di pulau ini.
Bahkan dalam hal memilih jodoh, wanitalah yang berhak memilih!
“Jadi laki-laki tak berhak
memilih jodohnya?” tanyanya.
Sepasang mata Malita
memancarkan sinar penasaran. “Laki-laki memilih? Hemm, akan rusaklah semua
kalau laki-laki yang diberi kekuasaan memilih jodohnya. Laki-laki selalu
memilih jodohnya berdasarkan kecantikan wanita dan keindahan bentuk tubuh!
Laki-laki seakan-akan buta dalam hal memilih jodoh. Kalau mereka memilih, tentu
tak akan dapat terbentuk rumah tangga bahagia. Mereka selalu memilih yang
cantik-cantik, akan tetapi akhirnya bercekcok di kemudian hari karena ternyata
pilihannya itu tidak cocok dengan wataknya sendiri. Kemudian bagaimana? Mereka
itu, laki-laki buta itu, akan mencari-cari wanita lain!”
Kwan Cu tersenyum. “Malita,
agaknya kau masih belum dapat melenyapkan kebencian terhadap laki-laki di dalam
hatimu.”
Malita tersenyum juga menjadi
sabar kembali. “Bukan semata-mata terdorong kebencian, melainkan berdasarkan
kenyataan. Sifat buruk laki-lakilah yang memancing kebencian di dalam hati
wanita.”
“Kurasa tak akan terjadi
seperti penuturanmu itu apa bila pemilihan laki-laki berdasarkan cinta kasih.”
Kata Kwan Cu.
Tiba-tiba gadis bertahi lalat
di pipinya itu tertawa berkikikan sambil menutupi mulutnya, seakan-akan mendengar
sesuatu yang sangat menggelikan hatinya. Tentu saja Kwan Cu menjadi melongo
karena dia tidak mengerti apa gerangan yang ditertawakan oleh Malita.
“Ehh, kau tertawa begitu geli,
ada apakah?” tanyanya dengan tak senang karena berada di tengah-tengah
orang-orang katai ini, kembali datang perasaan tidak sedap dalam hati Kwan Cu
yang merasa bahwa dia akan kembali menjadi buah tertawaan.
“Apakah di antara bangsa
raksasa terdapat juga perasaan cinta kasih yang membikin gila orang?” tanya
Malita.
“Tentu saja ada. Apa kau kira
kami bangsa yang kau sebut raksasa bukan manusia yang mempunyai perasaan dan
hati?”
“Bukan begitu maksudku,
saudara Kwan Cu yang baik. Melihat kau serta kepandaianmu, tadinya kukira bahwa
bangsamu adalah manusia-manusia yang sudah pandai dan tidak bodoh serta lemah
sehingga mudah pula dikuasai oleh perasaan palsu yang kita sebut cinta kasih.
Akan tetapi ternyata sama saja dengan kami, masih dapat dipengaruhi oleh
perasaan palsu itu.”
“Bagaimana kau berani
menyatakan bahwa cinta kasih itu adalah sesuatu perasaan yang palsu?” tanya
Kwan Cu penasaran.
“Cinta kasih yang timbul di
dalam hati wanita memang murni dan suci, akan tetapi cinta kasih di dalam dada
seorang laki-laki hanyalah palsu belaka! Cinta kasih seorang laki-laki hanya berdasarkan
nafsu, berdasarkan rasa tertarik dan suka kepada wajah yang indah, bentuk tubuh
yang menggairahkan! Sebaliknya, cinta kasih yang timbul dalam hati wanita
berdasarkan watak yang baik dan budi bahasa yang halus, bukan semata-mata
karena wajah yang tampan dan gagah!”
Kwan Cu kembali tertegun. Baru
kali ini dia mendengar filsafat seperti ini sungguh pun dia memang jarang
sekali mendengar atau tidak pernah membaca tentang filsafat cinta kasih. Namun
dia penasaran sekali karena sebagai seorang laki laki dia merasa laki-laki
sangat direndahkan oleh ucapan itu.
“Tak mungkin!” ia membantah.
”Tidak semua laki-laki hanya mendasarkan cintanya pada nafsu dan keindahan. Ada
pula laki-laki yang berpribudi dan bijaksana.”
“Seribu satu saudara Kwan Cu.
Seribu orang hanya ada satu! Aku berani bertaruh bahwa seorang laki-laki tidak
akan suka mencinta seorang wanita yang buruk rupa atau cacad tubuhnya. Ehh,
apakah kau sendiri sudah mempunyai seorang wanita yang kau kasihi?”
Kwan Cu tak dapat menjawab,
wajahnya memerah. Ia teringat akan sumpahnya di depan gadis raksasa Liyani
bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Akan tetapi di depan Malita dia tidak
menyatakan sesuatu.
“Saudara Kwan Cu, andai kata
kau sudah mempunyai seorang gadis yang kau cinta, aku berani memastikan bahwa
gadis itu tentulah seorang yang cantik manis, bukan seorang gadis yang tidak
ada hidungnya! Aku tidak percaya akan ada seorang laki-laki yang mau mencintai
seorang gadis yang hidungnya lenyap atau rusak.” Setelah berkata demikian,
Malita tertawa mengejek.
“Kau mau menang sendiri saja,”
Kwan Cu merasa perutnya panas, ”aku juga merasa yakin bahwa tidak ada seorang
gadis yang mau menjadi isteri dari seorang laki-laki yang hidungnya rusak
seperti yang kau katakan tadi.”
“Siapa bilang tidak mungkin?
Banyak wanita yang mencinta sepenuh hati suaminya yang buruk rupa, yang bopeng,
yang pincang dan sebagainya. Cintanya suci murni, karena seperti kukatakan
tadi, cinta kasih seorang wanita berdasarkan kesetiaan, berdasarkan watak baik
dan kecocokan hati dan pikiran, bukan seperti laki laki yang buta cinta, hanya
suka kepada apa yang baik dan menarik, akan tetapi mudah pula bosan setelah
melihat wanita lain yang lebih menarik!”
Kwan Cu menjadi panas, akan
tetapi dia sempat menahan gelora hatinya dan hampir saja dia tertawa. Untuk
apakah berdebat urusan cinta dengan gadis ini?
“Sesukamulah, Malita. Hanya
kalau kau dan kawan kawanmu mau menuruti nasehatku, dalam menetapkan
perjodohan, harus ada persetujuan kedua fihak, baik dari si wanita mau pun dari
si lelaki, baik dari fihak wanita mau pun dari fihak laki-laki jangan sekali
kali ada paksaan. Dengan demikian, kiranya baru akan dapat dibentuk rumah
tangga yang damai.”
Pesta penghormatan itu
berjalan sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba saja banyak sekali obor yang
mendadak padam dan terdengar jeritan di sana sini. Kwan Cu terkejut sekali
melihat beberapa orang laki-laki yang tadi memegang obor, terjungkal roboh dan
keadaan menjadi panik. Di bawah penerangan bulan kelihatan bayangan yang amat
gesit di sana sini dan anak panah-anak panah yang kecil menyambar-nyambar.
Kwan Cu dan Malita melompat
bangun.
“Mereka datang menyerbu!” seru
Malita marah sambil mencabut pedangnya.
“Biar aku yang menghadapi
mereka!” Kwan Cu berseru. Pemuda ini berlari cepat dengan lompatan-lompatan
jauh menuju ke arah para penyerbu.
Memang benar dugaan Malita,
banyak sekali orang katai datang dari arah pantai sambil menghujankan anak
panah kepada orang-orang yang sedang berpesta itu. Kahano yang mendengar bahwa
pulau itu kedatangan seorang raksasa dan bahwa para wanita tengah mengadakan
pesta pada malam itu, dan terutama sekali mendengar betapa para laki-laki yang
tertawan kini sudah berbaikan dengan para wanita, menjadi marah dan memimpin
semua orang menyerbu.
Kwan Cu yang berlari mendatangi,
mendadak disambut oleh puluhan batang anak panah yang kecil-kecil tapi
datangnya cukup berbahaya. Pemuda ini cepat mencabut sulingnya kemudian
memutarnya seperti pedang sehingga semua anak panah yang kecil-kecil itu
tersampok runtuh. Dia maju terus dan para pemberontak itu ketika menyaksikan
betapa raksasa ini amat tangguh, menjadi ketakutan dan berlari cerai-berai!
Akan tetapi, pada saat itu
pula, Malita dan Malika serta kawan-kawannya telah datang menyerbu dan
terjadilah pertempuran yang hebat. Kwan Cu menyerang ke sana ke mari dengan
sulingnya. Dia tidak ingin membunuh, hanya mempergunakan tenaganya untuk
membuat senjata-senjata lawan terlempar sambil berseru berkali-kali,
“Malita, jangan bunuh mereka,
tawan saja!”
Menghadapi amukan raksasa ini,
orang-orang katai yang sudah panik itu menjadi makin kacau balau. Apa lagi
memang kepandaian para wanita itu hebat dan walau pun mereka menerima latihan
ilmu silat tinggi yang aneh dari Kahano, namun masih belum sanggup mengatasi
kepandaian para wanita.
Sebentar saja mereka sudah
dapat dikalahkan, terluka dan tertawan. Kwan Cu sengaja mencegah mereka itu
melarikan diri, tetapi setelah dia menjaga di pantai dan menangkap setiap orang
katai yang hendak melarikan diri, dan pertempuran selesai, ternyata bahwa
betapa pun juga, Kahano dan lima orang kawannya telah melarikan diri dari pulau
itu!
Malita dan kawan-kawannya
girang sekali melihat betapa semua anak buah Kahano kini telah dapat tertawan,
sungguh pun Malita masih penasaran karena Kahano bersama lima orang kawannya
yang menjadi biang keladi kekacauan itu dapat melarikan diri.
Pada malam hari itu juga,
Malita beserta kawan-kawannya lalu memberi nasehat kepada semua tawanan,
dibantu pula oleh orang-orang lelaki yang telah insyaf dan baik kembali. Para
tawanan itu setelah mendapat penerangan bahwa semenjak hari itu tidak akan ada
tindas-menindas antara laki-laki dan wanita, bahwa akan diadakan kerja sama
yang baik menurut nasehat Kwan Cu raksasa muda itu, menjadi sangat terharu.
Mereka tadinya kena hasutan Kahano hanya karena mereka menganggap pihak wanita
terlalu menindas dan merendahkan mereka yang bertenaga lebih besar.
“Setiap pelanggaran atau
kejahatan, setiap penindasan dan kekejaman, baik dilakukan oleh wanita mau pun
laki-laki, akan diadili dan yang melakukan akan dihukum!” demikian Malita
menutup penerangannya, sesuai dengan nasehat dan penerangan Kwan Cu yang
memasukkan aturan-aturan bangsanya kepada bangsa katai ini.
Pada keesokan harinya, diantar
oleh Malita, Malika beserta sepuluh orang prajurit wanita, Kwan Cu naik
perahunya menuju ke pulau yang dijadikan tempat sembunyi Kahano dan lima orang
kawannya. Melihat pulau itu dari perahunya, Kwan Cu berdebar hatinya.
Tidak salah lagi, inilah pulau
yang ditunjuk di dalam buku sejarah, tempat Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan.
Ia melihat pulau yang kecil dan bentuknya bundar dan dari jauh telah nampak
pohon-pohon yang keputih-putihan, batu-batu karang yang menjulang tinggi dan
goa-goa di batu karang yang bermulut hitam gelap.
“Itulah Pek-hio-to (pulau daun
putih) yang dijadikan tempat sembunyi Kahano bersama kawan-kawannya,” kata
Malita kepada Kwan Cu.
Di dalam kegembiraan dan
ketegangan hatinya, Kwan Cu tidak menjawab, melainkan dia mendayung semakin
cepat lagi ke arah pulau itu sehingga perahunya meluncur sangat cepat dan
membuat para wanita itu memandang dengan kagum.
Pulau kecil itu ternyata
paling tinggi letaknya di antara semua pulau-pulau kecil yang ada di sekitar
daerah itu. Kelihatannya seperti bukit kecil yang berwarna putih.
Sesudah Kwan Cu mendaratkan
perahunya, dia dan semua wanita katai melompat turun ke pantai. Malita
mengeluarkan sehelai sapu tangan warna putih dari balik bajunya dan memberikan
sapu tangan itu kepada Kwan Cu.
“Seperti telah kukatakan
kemarin, Kahano dan kawan-kawannya menggunakan bisa ular pada ujung senjata
mereka. Bisa itu sangat berbahaya, dan kalau kulit tanganmu sampai terluka,
nyawamu akan terancam bahaya. Akan tetapi jika kau menggosok-gosok kedua
tanganmu dengan sapu tangan yang sudah mengandung obat penawar ini, kau tak
usah takut menghadapi ujung senjata mereka.”
Kwan Cu menerima sapu tangan
itu sambil mengucapkan terima kasihnya kemudian dia menggosok-gosokkan kedua
telapak tangan dengan sapu tangan itu. Aneh sekali, terasa panas dan
gatal-gatal tangannya, akan tetapi Malita meminta dia menggosok-gosok terus
sampai lenyap rasa gatal-gatal itu.
Benar saja, lama-lama lenyap
rasa gatalnya, tinggal rasa panas-panas hangat di telapak tangannya. Dia lalu
mengembalikan sapu tangan putih kepada Malita dan diam-diam dia merasa kagum.
Agaknya gadis ini adalah seorang ahli mengenai senjata yang berbahaya dan racun
sehingga perlu membawa sapu tangan-sapu tangan yang aneh dari berbagai warna.
Kwan Cu masih teringat sapu tangan merah yang dapat membuat dia mabuk dan tertidur.
“Di mana tempat mereka
bersembunyi?” Kwan Cu bertanya sambil mengajak Malita dan kawan-kawannya naik
ke tengah pulau.
Mata pemuda ini memandang ke
sekelilingnya dan dia melihat bahwa pulau itu memang aneh sekali dan keadaannya
juga menyeramkan. Pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak banyak, akan tetapi
daun-daunnya berwarna putih belaka, juga rumput-rumputan banyak yang berwarna
putih.
Pulau ini mengingatkan dia
kepada daerah utara bila mana sedang dilanda musim salju. Goa-goa yang banyak
terdapat di bukit karang itu nampak menghitam, sehingga sangat jelas terlihat
di antara daun-daun yang putih itu.
“Sukar untuk mengatakan di
mana mereka bersembunyi. Goa-goa di sini banyak sekali dan di antaranya
terdapat lima buah goa yang merupakan terowongan bersambung satu dengan yang
lainnya,” jawab Malita sambil memimpin rombongan itu kepada sebuah goa yang
gelap. “Nah, goa ini yang terbesar, akan tetapi dari goa ini orang dapat
mencapai goa-goa di lain bagian.”
Kwan Cu melihat ada bekas
tapak-tapak kaki kecil di sekitar mulut goa dan tahu bahwa memang orang-orang
katai itu menyembunyikan diri di dalam goa. Akan tetapi agaknya sia-sia kalau
hendak mengejar, karena orang-orang itu dari dalam goa yang gelap tentu akan
melihat kedatangannya sehingga mereka bisa melarikan diri melalui mulut goa
yang lain. Di samping itu, goa itu memang cukup besar bagi orang-orang katai,
namun bagi dia agaknya dia hanya dapat masuk dengan jalan merangkak! Ini
berbahaya sekali! Akhirnya dia mendapat akal.
“Kumpulkan kayu-kayu bakar dan
daun-daun kering di mulut goa yang berhubungan satu dengan yang lain itu, tutup
empat mulut goa dengan kayu bakar dan daun kering, biarkan yang satu ini saja
terbuka. Setelah penuh dengan kayu bakar , bakar semua tumpukan itu supaya
asapnya memenuhi goa dan terowongan. Asap itulah yang akan memaksa mereka
keluar dari goa melalui mulut goa ini dan aku akan menjaga di sini.”
Mendengar siasat ini, Malita
mengangguk-angguk dengan kagum. Dia segera mengatur dan memecah kawan-kawan
menjadi empat bagian untuk melakukan tugas menutup dan membakar mulut goa. Ada
pun Kwan Cu lantas bersembunyi di belakang batu karang, menjaga kalau-kalau
para pemberontak itu muncul dari goa besar itu.
Tempat sembunyi Kwan Cu adalah
di balik pohon yang berada di dekat goa dan pemuda ini bersandar pada batu
karang itu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh batu karang yang hitam itu dan
mendapatkan bagian-bagian yang halus teraba oleh tangannya. Dia memandang dan
melihat ukiran-ukiran seperti huruf di dinding batu karang di luar goa. Akan
tetapi coretan atau ukiran itu tak dapat dibaca karena telah tertutup oleh
tanah yang mengeras, merupakan kulit dari batu karang itu.
Kwan Cu mengerahkan tenaga dan
menggunakan tangan untuk menarik keluar kulit batu karang itu. Sebagian dari
kulit yang terjadi dari tanah mengeras itu terlepas dan ternyata bahwa huruf
itu adalah huruf LIU. Berdebar hati Kwan Cu.
Huruf ini mengingatkan dia
akan bunyi kitab sejarah yang dia dapatkan di dalam sumur di Kun-lun-san, yakni
kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang menyatakan bahwa kitab rahasia
Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong oleh LIU PANG yang
akhirnya menjadi raja. Dia segera mengerjakan kedua tangannya untuk melepaskan
kulit batu karang yang menutup huruf-huruf selanjutnya.
Sementara itu, Malita, Malika
dan kawan-kawan mereka sudah mulai bekerja, menutupi empat mulut goa yang
lainnya dengan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu membakar semua itu. Asap
yang tebal bergumpal-gumpal lalu memasuki goa dan terus memasuki terowongan itu!
Karena amat tertarik oleh
ukiran huruf di dinding sebelah luar goa, Kwan Cu lupa bahwa dia sedang
bertugas menunggu munculnya Kahano dan kawan-kawannya, dan dia tidak ingat lagi
bahwa sudah beberapa lama dia bekerja mencoba untuk melepaskan kulit batu
karang yang sudah amat keras dan menjadi satu dengan batunya. Setelah dengan
susah payah bekerja sehingga kuku-kuku jari tangannya sampai pecah-pecah,
akhirnya Kwan Cu dapat membaca empat huruf yang berbunyi LIU SIN TONG TANG
(Guna Anak Ajaib Liu).
Hampir saja Kwan Cu
berjingkrak saking girangnya. Tak salah lagi, yang dimaksudkan dengan anak
ajaib she Liu itu tentu bukan lain adalah Liu Pang, karena anak yang kelak
menjadi kaisar patut disebut atau menyebut diri sendiri sebagai anak ajaib. Ia
pun makin dekat dengan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah lama
dicari-carinya.
Akan tetapi pada saat itu asap
telah memasuki terowongan dan bahkan sudah ada asap yang keluar dari mulut goa
yang dijaga oleh Kwan Cu. Tidak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk dan
tampak enam orang katai berlari-lari keluar dari dalam goa itu.
Gerakan mereka gesit sekali
dan keenam-enamnya memegang sebatang pedang kecil yang nampaknya tidak
berbahaya, akan tetapi yang sesungguhnya mengandung racun putih yang sangat
berbahaya pada ujungnya. Enam orang itu bukan lain adalah Kahano beserta lima
orang kawannya.
Kwan Cu yang mendengar suara
mereka, lalu memandang. Dia melihat seorang katai yang usianya sudah agak tua,
dengan kumis dan jenggot putih tebal menutupi mulutnya. Lima orang yang lain
berkepala gundul dan biar pun mereka masih muda-muda, namun wajah mereka buruk
rupa dan nampak kejam-kejam.
Kwan Cu teringat akan
penuturan Malita bahwa lima orang yang menjadi murid Kahano adalah
pemuda-pemuda jahat yang dibenci oleh para gadis karena sikap mereka yang
kurang ajar. Yang menarik perhatian adalah sapu tangan yang mengikat kepala
mereka. Sapu tangan itu berwarna kuning dan bentuknya sama, seakan-akan
dijadikan semacam tanda pengenal bagi golongan mereka.
“Tak salah lagi, dialah Kahano
dan kawan-kawannya,” pikir Kwan Cu.
Hati pemuda ini sedang gembira
sekali berhubung sudah ditemukannya huruf-huruf yang menyatakan bahwa dia
benar-benar berada pada pulau yang dicari-carinya. Ia melompat keluar dan
dengan dua kali lompatan saja dia sudah sampai di depan enam orang yang sedang
mengatur napas untuk menghilangkan pengaruh asap yang menyerang mereka di dalam
terowongan dan goa. Cara mereka mengatur napas membuat Kwan Cu terkejut, karena
itulah pengaturan napas dari ilmu lweekang yang sangat tinggi.
Ada pun Kahano dan
kawan-kawannya, pada saat melihat kedatangan Kwan Cu menjadi marah sekali.
“Hemm, jadi kaukah yang
memimpin mereka dan melakukan akal ini?” tanya Kahano dan Kwan Cu kembali
merasa tertegun karena kini Kahano menggunakan bahasa yang biasa dipergunakan
oleh penduduk Tiongkok di bagian utara!
“Kau bisa bahasa daratan
Tiongkok?” tanya Kwan Cu terheran-heran.
“Tentu saja bisa, karena aku
pun seorang yang berasal dari sana,” jawab Kahano. “Oleh karena itu, mengingat
hubungan antara orang kang-ouw, kuharap kau tidak mencampuri urusan kami dan
jangan kau mengganggu kami.”
Memang benar bahwa sebenarnya
Kahano adalah seorang keturunan Jepang-Tiongkok yang telah lama merantau di
daratan Tiongkok daerah utara, yaitu di perbatasan Mongol. Ketika merantau di
sana, dia telah mempelajari ilmu silat dan di dunia kang-ouw terkenal sebagai
orang yang kurang baik. Kadang-kadang dia turut dengan serombongan pemain
akrobat dan bermain sebagai seorang pelawak yang cocok sekali dengan keadaannya
yang pendek kecil itu.
Setelah dia merasa bosan di
daratan Tiongkok, dia mengambil keputusan untuk kembali ke Jepang dengan naik
perahu. Akan tetapi perahunya terserang oleh taufan hebat dan akhirnya dia
terdampar dalam keadaan pingsan di atas pulau bangsa katai itu.
Dia dianggap sebagai bangsa
sendiri oleh mereka dan Kahano yang cerdik itu pura-pura bisu sehingga dia
tidak dicurigai. Sesudah dapat mempelajari bahasa orang-orang katai itu,
barulah dia berbicara dan mendongeng bahwa dia adalah seorang yang terpilih
oleh dewata sebagai calon pemimpin mereka, akan tetapi dengan syarat menjadi
bisu untuk beberapa tahun!
Dongengnya ini dipercaya oleh
sebagian orang lelaki, akan tetapi tidak dipercaya oleh kaum wanitanya sehingga
semenjak Kahano berada di sana, di antara mereka timbullah pertentangan. Akan
tetapi, ternyatalah oleh mereka bahwa Kahano pandai sekali ilmu silat dan bukan
merupakan laki-laki yang lemah.
Melihat kecantikan Malita dan
Malika, Kahano yang sudah agak tua itu jadi tergila-gila dan timbullah satu
kehendak rendah. Ia ingin menjadi raja dari bangsa itu dan mengambil Malita
serta Malika sebagai isteri-isterinya!
Mula-mula kehendak atau
cita-cita ini dipendamnya saja karena kedudukan ayah kedua gadis ini kuat
sekali sebagai raja yang terkasih dan bijaksana. Namun sedikit demi sedikit dia
menanam rasa penasaran dan memberontak dalam hati kaum laki-laki sehingga dia
berhasil mempunyai pengikut yang banyak juga. Kemudian meninggallah raja, ayah
dari kedua orang dara jelita itu dan kesempatan ini segera dipergunakan oleh
Kahano untuk memberontak.
Ketika Kwan Cu mendengar
Kahano dari daratan Tiongkok, dia menjadi sangat marah.
“Kahano, apa bila kau bukan
penduduk asli, maka dosamu lebih besar lagi. Kau sudah menghasut orang-orang
untuk memberontak dan maksudmu untuk menjadi raja serta mengambil puteri-puteri
itu sebagai isteri, telah menunjukkan betapa rendah martabatmu. Lebih baik kau
dan pengikut-pengikutmu ini menyerah saja. Aku yang akan menanggung bahwa
kalian tidak akan dihukum asal saja kalian suka berjanji untuk selanjutnya
tidak akan melakukan kekacauan lagi. Ketahuilah bahwa sekarang kaum perempuan
bangsa katai ini telah insyaf, bahwa cara satu-satunya untuk mencapai
perdamaian antara kaum laki-laki dan wanita, adalah dengan kerja sama dan
persamaan hak, seperti yang terjadi di negara kita.”
Kahano tertawa bergelak. Biar
pun orangnya kecil, ternyata suara ketawanya besar.
“Ha-ha-ha, orang muda sombong.
Kau dapat membodohi mereka ini, akan tetapi apa kau kira aku tidak tahu bagaimana
perangai kaum laki-laki di daratan Tiongkok? Apa kau kira aku tidak tahu betapa
ayah bunda yang kelaparan menjual anak-anak gadisnya kepada orang-orang kaya,
tuan-tuan tanah tua, hanya untuk ditukar dengan makanan? Memang sudah
semestinya begitu. Orang perempuan memang dilahirkan cantik dan ditakdirkan
untuk menjadi alat penghibur laki-laki. Mereka makhluk lemah yang harus menurut
dan taat kepada laki-laki, akan tetapi di pulau ini terjadi sebaliknya. Aku
hendak mengubah aturanmu itu, sesuai dengan aturan bangsamu, apakah kau masih
berani mati untuk merintangi kehendakku? Siapakah kau ini berani mati
mencampuri urusan orang lain?”
“Aku bernama Lu Kwan Cu dan
aku sekali-kali bukan bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi sudah
menjadi tugasku untuk membela orang-orang tertindas dan melenyapkan
pengacau-pengacau keamanan seperti engkau ini!”
Kahano mengutuk dan memberi
aba-aba kepada lima orang pembantunya. Enam orang katai itu segera bergerak
secara teratur sekali, mengurung Kwan Cu dari enam jurusan. Melihat gerakan
kaki mereka, diam-diam Kwan Cu memuji. Mereka ini memiliki gerakan kaki yang
amat teratur dan gesit sekali, dan sikap mereka menyatakan bahwa mereka adalah
ahli-ahli silat tinggi.
Setelah Kahano berseru keras,
enam orang itu mulai menyerang. Pedang pendek pada tangan mereka bergerak
cepat. Serangan mereka tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan secara
teratur sekali, susul-menyusul seakan-akan memang keenam orang itu sudah
berlatih terlebih dahulu untuk maju berenam dengan ilmu silat tertentu yang
harus dilakukan oleh enam orang!
Kwan Cu terkejut dan cepat
mengelak. Akan tetapi, biar pun dia dapat mengelak dari serangan pertama
tahu-tahu orang kedua sudah menyusul serangan dari belakang, dan ketika dia
membalikkan tubuh sambil mengelak ke kiri, orang di sebelah kanan sudah
menyusul serangan ke tiga. Dengan demikian, setiap serangan selalu datang dari
arah belakangnya dan setiap serangan merupakan serangan yang amat berbahaya.
“Lihai sekali!” seru Kwan Cu
tanpa terasa lagi.
Dia merasa gentar untuk
menghadapi mereka dengan tangan kosong, maka cepat dia mencabut sulingnya,
yakni satu-satunya senjata yang selalu berada di tubuhnya. Dengan suling ini,
dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat. Ia menangkis dengan keras dan
membalas serangan enam orang pengeroyoknya.
Akan tetapi, segera terjadi
hal yang sangat mengherankan, juga mengecilkan hati Kwan Cu. Tiba-tiba Kahano
berseru dan kini enam orang itu semuanya membalasnya dengan serangan yang mirip
dengan ilmu pedangnya pula! Malah lebih hebat lagi, agaknya enam orang itu
setengah dapat menduga ke mana pedangnya akan bergerak selanjutnya, dan
seakan-akan keenam orang itu pernah mempelajari Hun-kai Kiam-hoat, meski pun
belum mahir betul.
Menghadapi keroyokan yang
dilakukan dengan ilmu silat yang sama dengan ilmu pedangnya, Kwan Cu menjadi
bingung sekali. Apa lagi senjatanya hanya sebatang suling yang tengahnya kosong
sehingga tidak dapat dia gerakkan dengan tenaga besar. Maka, walau pun dia
dapat menangkis setiap serangan lawan, namun dia tidak kuasa membuat lawannya
itu melepaskan pedangnya.
Kwan Cu terkurung semakin
hebat dan pada saat-saat tertentu, dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh Kahano,
enam orang itu mengubah gerakan mereka dan tiba-tiba saja maju menubruk berbareng
dengan dahsyat sekali! Walau pun Kwan Cu sudah berusaha mengelak sambil memutar
sulingnya, akan tetapi bajunya terobek oleh tiga ujung pedang kecil.
Pemuda ini berubah air
mukanya. Ia maklum bahwa ujung pedang mereka mengandung racun yang berbahaya.
Sekali kulit tubuhnya tergurat ujung pedang, besar kemungkinan nyawanya akan
melayang! Lebih hebat lagi, selagi pemuda ini kebingungan, mendadak Kahano
melompat ke atas dan sebuah tendangan yang sangat cepat sudah mengenai
pergelangan tangan Kwan Cu yang memegang suling.
Pemuda ini merasa pergelangan
tangannya kaku. Memang dulu Kahano adalah pemain akrobat, loncatannya tinggi
dan tendangannya tepat mengenai urat besar sehingga Kwan Cu tidak kuasa
memegang sulingnya lagi yang langsung terlempar jauh.
“Ha-ha-ha! Lu Kwan Cu bocah
sombong. Baru kini kau mengenal kelihaian Kahano!” Si katai berjenggot ini
tertawa bergelak saking girangnya. Lima orang kawannya mendesak makin hebat,
mendapat tambahan semangat melihat hasil tendangan pemimpin mereka yang lihai.
Kwan Cu segera dapat
menenteramkan hatinya. Dia teringat bahwa di antara anggota tubuhnya, yang
berani menghadapi ujung pedang enam orang lawannya hanya kedua tangannya yang
sudah diberi obat oleh Malita. Dia teringat pula betapa tenaga keenam orang ini
kecil saja, terbukti pula dari tendangan tadi.
Tendangan Kahano itu tidak
mengandung tenaga besar, dan hasil yang baik itu hanya karena tepatnya
tendangan itu mengenai urat besar di pergelangan tangannya. Teringat akan hal
ini, Kwan Cu berseri wajahnya dan dia tersenyum.
“Kahano, kaulah yang sombong.
Sekarang akan kau rasai kelihaian Lu Kwan Cu!” sambil berkata demikian, Kwan Cu
menggerakkan tangannya dengan jari-jari terpentang.
Ia lalu bersilat dengan ilmu
silat Sin-ci Tin-san yang mengandung tenaga lweekang dan gwakang sangat besar
sehingga baru sambaran hawa pukulannya saja sudah sanggup merobohkan lawan. Di
samping itu, dia pun menggerakkan kedua kakinya menurutkan gerakan ilmu silat
Sam-hoan-ciang sehingga dia seakan-akan mempunyai muka tiga dan gerakan-gerakan
kakinya selalu membentuk segitiga sehingga tidak dapat di serang dari belakang
oleh lawan-lawannya.
Sungguh tepat gerakan Kwan Cu
ini. Begitu dia mainkan ilmu silat Sin-ci Tin-san, enam orang pengeroyoknya
menjadi bingung luar biasa. Mereka agaknya dapat pula menduga gerakan-gerakan
selanjutnya dari Sin-ci Tin-san, namun karena ilmu silat ini dilakukan dengan
mengandalkan lweekang yang tinggi dan tenaga yang besar, tentu saja mereka
tidak dapat menirunya!
Hal ini merupakan keuntungan
bagi Kwan Cu yang mendesak terus selagi enam orang itu kebingungan, tak tahu
harus berbuat bagaimana untuk menghadapi pukulan-pukulan sepuluh jari tangan
Kwan Cu yang baru hawa pukulannya saja sudah membuat tubuh mereka tergetar!
Melihat hasil serangannya,
Kwan Cu mengamuk semakin hebat. Dengan heran sekali dia melihat betapa keenam
orang ini pun seakan-akan mengenal ilmu silat Sin-ci Tin-san, karena mereka
dapat menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari ilmu silat ini, bahkan mereka
mencoba untuk menyerangnya dengan meniru gerakan itu. Ilmu silat apakah yang
mereka miliki ini sehingga semua ilmu silatnya dapat dikembari oleh mereka?
Kalau dia berlaku lambat, tentu mereka akan dapat menguasai diri dan kalau
sekali ini dia tidak mampu mengalahkan mereka, agaknya itu akan menjadi tanda
bahwa dialah sebaliknya yang akan kalah dan mendapatkan bencana besar!
“Robohlah kalian!” Kwan Cu
berseru untuk memperkuat pengaruh dan lweekang-nya.
Kedua tangannya bergerak cepat
sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. Yang paling dia desak adalah Kahano, maka
ketika kedua tangannya bergerak, terdengar Kahano menjerit, disusul oleh dua
orang kawannya.
Ternyata bahwa hanya setengah
pukulan Kwan Cu tadi yang mampu dielakkan mereka, akan tetapi hawa pukulannya
masih menghantam Kahano dan kedua orang kawannya, yakni seorang yang berada di
belakangnya dan seorang pula yang berada di kanannya. Pedang pendek Kahano
terlepas dari pegangan dan si katai brewok ini terpukul dadanya sehingga dia
terlempar ke belakang dengan dada menderita luka dalam.
Orang yang berada di belakang
Kwan Cu lebih hebat lagi. Tangan kanan Kwan Cu, atau lebih tepat jari-jari
tangan kanannya, telah dapat menampar kepala orang itu sehingga si katai gundul
ini terlempar bagaikan seekor anjing dilemparkan dan dia roboh tanpa dapat
bangun kembali. Orang yang berada di kanannya, hanya terkena langgar telunjuk
Kwan Cu, namun karena tepat mengenai tangannya yang memegang pedang, pedang itu
pun terlepas dari pegangan dan dia menjerit-jerit kesakitan sambil mundur dan
memegangi tangan kanan dan tangan kirinya. Ternyata bahwa tulang-tulang tangan
kanannya telah patah-patah.
Tiga orang lainnya yang berada
di depan Kwan Cu, ketika melihat ini, terbang semangat mereka dan timbul watak
pengecutnya. Mereka melempar pedang dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan
kepala yang gundul itu, minta ampun! Memang, sudah terlalu lama kaum lelaki di
pulau katai itu diperlakukan seperti wanita sehingga rata-rata memiliki watak
penakut dan berhati kecil.
Kwan Cu tertawa bergelak
dengan puas dan mengambil sulingnya. Berhasillah tugasnya mengamankan pulau
itu. Akan tetapi, mendadak dia melihat bayangan beberapa orang berkelebat
dekatnya dan lenyaplah suara ketawanya ketika dia melihat apa yang sudah
terjadi pada saat dia tertawa tadi. Ketika dia memandang, enam orang laki-laki
katai itu telah kehilangan kepala mereka dan kini tubuh mereka tergeletak
dengan leher terputus dan darah mengalir deras dari leher-leher yang tak
berkepala lagi itu.....
Dengan kening berkerut Kwan Cu
memandang tajam pada Malita, Malika dan beberapa orang wanita lain yang sudah
berdiri di situ dengan pedang di tangan. Malita dan Malika menyusut darah yang
menempel di pedang mereka dengan menggunakan pakaian yang menempel pada
mayat-mayat itu.
“Mengapa kalian lakukan ini?
Alangkah kejamnya!” seru Kwan Cu tak senang.
Malika menghadapinya dengan
sikap menantang. Gadis ini memang berwatak keras dan pemberani. Ia menentang
pandang mata Kwan Cu tanpa merasa takut sedikit pun juga, lalu berkata,
“Kau bilang kami kejam? Kalau
mengingat betapa enam orang iblis ini hendak membuat kami kaum perempuan
menjadi barang permainan yang hina dina, hukuman penggal kepala masih terlampau
murah untuk mereka!”
Kwan Cu menghela napas, lalu
berkata,
“Sudahlah, Malika, dan kau
juga Malita. Yang sudah lalu biarlah lenyap. Memang mereka ini jahat sekali dan
patut dihukum mati, akan tetapi apakah perbuatan ini merupakan tanda bahwa
kalian kaum wanita kini hendak berkuasa lagi dan melupakan kerja sama yang
baik?”
“Tidak, sama sekali kami
takkan mengulangi kesalahan besar yang dilakukan oleh nenek moyang kami. Kami
sudah berjanji kepadamu dan janji kami selalu kami pegang teguh. Kami akan
melakukan pemilihan raja baru secara adil, kaum laki-laki pun berhak memilih.
Dan kami tak akan memandang-mandang lagi apakah ia laki-laki atau wanita, akan
tetapi siapa saja yang bersalah akan dihukum dan yang tertindas akan dibela,
baik dia laki-laki mau pun wanita! Dan semua ini, kebahagiaan yang akan kami
hadapi ini, semua berkat pertolonganmu yang amat berharga, saudara Kwan Cu yang
budiman!”
“Semua berkat pertolonganmu,”
semua wanita berkata pula dan tiba-tiba, dipimpin oleh Malita dan Malika, semua
orang wanita yang berada di sana menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu
sambil menangis riuh-rendah!
Kwan Cu tertegun, kebingungan,
kemudian dia menghela napas dan berkata di dalam hatinya, “Perempuan,
perempuan... perempuan namamu dan di mana pun sama saja, paling mudah
menangis!” berpikir sampai di sini, timbul pikiran lain yang membantahnya.
“Ahh, Kong Hoat putera Liok-te
Mo-li itu terang seorang laki-laki, akan tetapi dia pun suka menangis.”
Pikiran kedua mengejek, “Ahh,
Kong Hoat memang dasar cengeng!”
Demikianlah, menghadapi tangis
karena berterima kasih dan gembira dari banyak wanita kecil-kecil ini, Kwan Cu
malahan melamun, teringat yang bukan-bukan. Akan tetapi, dia sadar kembali dan
berkata.
“Sudahlah, untuk apa menangis?
Kalian membikin aku merasa sedih dan jangan-jangan aku akan ikut menangis pula.
Malita dan Malika, saat ini boleh dibilang kalian merupakan pemimpin bangsamu,
jangan melakukan upacara yang berlebih-lebihan ini. Aku bertindak sebagai
seorang manusia yang memang seharusnya sebisa mungkin menolong manusia lain.
Aku hanya ada satu permintaan, yakni kalau sekiranya kalian tidak keberatan.”
Malita menyusut air matanya
dan bangkit berdiri sambil tersenyum manis sekali.
“Apakah permintaanmu itu,
saudaraku yang baik? Apa saja yang menjadi permintaanmu, pasti akan kami
turuti. Kau ingin menjadi pemimpin kami? Kami setuju sepenuhnya! Kau ingin
memilih seorang jodoh di antara kami? Kiranya takkan ada seorang pun dara akan
menolakmu, siapa pun dia adanya!” sesudah mengucapkan kata-kata ini, sadarlah
Malita bahwa dia sudah berbicara terlalu banyak, maka merahlah mukanya.
“Jangan main-main, Malita. Aku
bukan Kahano! Tiada lain hanya ini. Perbolehkanlah aku tinggal di pulau ini
seorang diri, entah berapa tahun sampai aku merasa bosan dan pergi meninggalkan
pulau ini. Selama aku berada di sini, harap kalian jangan menggangguku, karena
aku bermaksud hendak bersemedhi dan menjauhkan diri dari keramaian dunia di
tempat ini. Tempat ini amat menarik hatiku.”
Malita dan kawan-kawannya
saling pandang dengan heran.
“Kau memang orang aneh,
seorang sakti yang berbudi tinggi. Hal itu bukan merupakan permintaan karena tentu
tak seorang pun merasa keberatan kalau kau tinggal di pulau ini.”
“Nah, jika begitu selamat
berpisah. Kalian pulanglah, kemudian aturlah pemerintahanmu sebaik-baiknya dan
tinggalkan aku di sini. Jangan ingat lagi kepadaku, karena aku pun tak akan mengganggu
kalian di sana.”
Mendengar keputusan ini,
terkejutlah Malita.
“Mengapa begitu keras, saudara
Kwan Cu? Setidaknya, perkenankanlah kami kadang kala mengunjungimu di sini
untuk melihat apakah kau tidak kekurangan sesuatu di sini,” kata Malita.
“Dan sudah tentu kami yang
akan menjaga makananmu setiap harinya,” kata Malika.
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng
kepala dan menggoyang-goyang tangannya.
“Jangan! Kulihat pulau ini
mengandung pohon-pohon yang berbuah dan tadi kulihat ada beberapa ekor binatang
hutan yang kiranya akan dapat menjadi bahan makanan bagiku. Aku ingin seorang
diri saja di sini, tanpa mendapatkan gangguan dari siapa pun juga. Kecuali...”
sambungnya ketika meliha sinar mata pada wajah mereka, “kecuali kalau ada
sesuatu yang hebat menimpa kalian, tentu saja aku selalu bersiap sedia untuk
menolong kalian. Nah, sekarang pergilah, mayat-mayat ini tinggalkan saja, biar
aku nanti yang akan menguburnya di tempat ini.”
Terpaksa Malita memberi tanda
kepada kawan-kawannya untuk pergi dari sana dengan wajah kecewa sekali. Akan
tetapi, belum berapa lama dia berjalan, dia segera membawa kawan-kawannya
datang lagi dan berlutut.
“Ada apa lagi?” tanya Kwan Cu
tak senang.
“Saudara Kwan Cu, sungguh pun
kami tak berani melanggar laranganmu dan tidak akan mengganggumu di tempat ini,
setidaknya berjanjilah bahwa sewaktu-waktu engkau akan datang mengunjungi kami
supaya kami dapat melihat bahwa kau masih berada di dekat kami.”
Kwan Cu tersenyum. Ia tidak
boleh terlalu keras agar mereka ini jangan menduga yang bukan-bukan sehingga
malah akan pecah rahasia sebenarnya dari keinginannya berada seorang diri di
tempat itu.
“Baiklah, kelak bila mana kau
dan adikmu menikah, beritahulah aku dan aku akan datang menyaksikan pernikahan
itu!”
Bertitik air mata di pipi Malita,
bahkan Malika juga menangis sesenggukan akibat terharu. Mereka kemudian pergi
dari tempat itu menuju ke perahu-perahu kecil milik Kahano dan kawan-kawannya,
sambil menoleh beberapa kali ke arah raksasa muda yang masih terus berdiri
bertolak pinggang melihat sampai mereka pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.
********************
Setelah menggali lubang dan
mengubur jenazah Kahano beserta lima orang kawannya, Kwan Cu segera menghampiri
goa yang dijadikan tempat sembunyi para pemberontak tadi. Ia memeriksa dinding
goa dengan sepasang obor yang dibuatnya dari pada rumput kering dan alangkah
gembiranya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dinding-dinding itu, sebagaimana
telah diduganya semula, terhias oleh gambar-gambar manusia sedang bersilat! Gambar-gambar
ini ukirannya bagus dan jelas sekali sehingga melihat gambar-gambar ini saja
orang sudah dapat mempelajari ilmu silat yang terlukis di situ!
“Hemm, kiranya dari sini
mereka itu mempelajari ilmu silat mereka yang aneh!” pikirnya.
Gambar-gambar itu benar-benar
hebat luar biasa karena amat banyak dan mengandung gerakan dari hampir semua
ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari dan yang pernah dia dengar dari
suhu-nya, Ang-bin Sin-kai. Manusia gaib siapakah yang dulu telah membuat
lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat seperti ini?
Sampai seharian penuh Kwan Cu
memeriksa gambar-gambar itu dan masih juga belum habis. Ternyata bahwa seluruh
terowongan yang menembus ke goa-goa lain juga terhias gambar-gambar seperti
itu, namun anehnya, semua lukisan itu menggambarkan orang bersilat tangan
kosong! Tidak ada sebuah pun gambar orang bersilat dengan senjata di tangan.
Ada yang bersilat seorang
diri, ada yang bertempur, ada pula yang dikeroyok dua, tiga, sampai dikeroyok
puluhan orang! Agaknya lukisan itu dititik beratkan kepada tokoh yang
dikeroyok, karena kedudukan tokoh ini jelas sekali, setiap gerak kaki atau
tangan teratur baik.
Pada saat menghadapi sebaris
lukisan yang menggambarkan bagaimana cara seorang lelaki dikeroyok oleh puluhan
orang, Kwan Cu lantas menjadi terkejut sekali. Bukan main hebatnya kedudukan
orang yang dikeroyok itu, malah jauh lebih kuat dari pada ilmu silat Pai-bun
Tui-pek-to yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai.
Saking girangnya, Kwan Cu
sampai lupa makan lupa tidur, setiap hari dia melihat dan mempelajari
gambar-gambar yang terlukis di dinding goa dan terowongan itu. Kemudian
teringatlah dia akan niat sesungguhnya dari kedatangannya ke pulau ini, yakni
mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Hatinya berdebar keras. Betapa
pun jelas ukiran-ukiran ini yang dengan sendirinya telah merupakan pelajaran
yang hebat sekali, namun tanpa buku petunjuk atau guru yang membimbing,
ilmu-ilmu silat tinggi itu bisa dipelajari dengan cara yang keliru!
“Bukan tidak mungkin bahwa
Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang merupakan kouw-koat (teori ilmu
silat) dari semua lukisan ini,” pikirnya.
Sesudah berpikir demikian,
Kwan Cu merangkak keluar dari goa kecil itu dan baru dia merasa betapa tubuhnya
sakit-sakit semua karena dia mempelajari dan melihat semua lukisan di dinding
itu sambil merangkak! Ternyata bahwa sudah dua hari dua malam dia berada di goa
itu tanpa berhenti untuk makan atau tidur. Kini dia merasa perutnya lapar
sekali. Maka pergilah dia ke dalam hutan yang penuh dengan pohon-pohon itu.
Keadaan di situ memang aneh.
Semua pohon mempunyai daun yang keputih-putihan, sungguh pun daun-daun itu
berbeda corak dan ukurannya. Dan di antara pohon-pohon itu, ada pula yang
mengandung buah-buahan yang biar pun ada yang berwarna merah, namun merahnya
juga pucat seperti dikapur.
Kwan Cu berlaku hati-hati
sekali. Biar pun perutnya amat lapar dan mulutnya amat haus, tetapi dia tidak
berlaku sembrono. Buah-buahan itu sangat asing baginya dan siapa tahu
kalau-kalau di tempat aneh ini terdapat buah-buah yang mengandung bisa.
Sebelum makan buah itu dia
menciumnya terlebih dulu, kemudian menancapkan suling pemberian Hang-houw-siauw
Yok-ong ke dalam buah itu. Gurunya pernah memberi tahu bahwa suling itu selain
dapat dipergunakan sebagai senjata, juga dapat digunakan untuk menguji apakah
dalam sesuatu benda terdapat bisa yang berbahaya. Kalau suling yang kehijauan
itu berubah hitam seperti hangus, itulah tanda bahwa buah itu mengandung racun.
Sesudah dilihatnya bahwa
suling itu tidak hangus, barulah dia berani mencoba makan. Ternyata buah itu
wangi dan manis, sehingga hatinya girang sekali. Juga di situ terdapat banyak
binatang hutan yang rupanya seperti kijang, maka dia tidak khawatir lagi akan
makanan untuk perutnya.
Betapa pun tertarik hatinya
untuk mempelajari semua lukisan orang bersilat di dalam goa yang kecil gelap
itu, namun Kwan Cu tidak mau melihatnya lagi. Hatinya tetap bahwa dia harus
terlebih dahulu mencari kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebab itulah
tujuan utamanya datang mencari pulau ini.
Berhari-hari dia lalu mencari.
Semua goa, dari yang besar sampai yang paling kecil dia masuki, tapi dia tidak
mendapatkan tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bahkan sebulan
telah berlalu dia belum juga bisa menemukan kitab itu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah
seorang pemuda yang keras hati dan tidak mudah patah semangat. Dia yakin bahwa
kitab itu tentu belum ditemukan oleh Kahano, karena kalau Kahano sudah berhasil
mempelajari ilmu silat dari kitab itu, tak mungkin dia akan dapat mengalahkannya.
Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiu-bwe Coa-li dan
masih banyak tokoh-tokoh sakti dari dunia kang-ouw, semua ingin memiliki kitab
itu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kitab itu tentulah mengandung
pelajaran ilmu silat yang bukan main tingginya. Kemajuan ilmu silat Kahano dan
kawan-kawannya yang diherankan oleh Malita, tentulah karena Kahano serta
kawan-kawannya mempelajari sebagian dari gambar-gambar lukisan pada dinding
itu.
Beberapa pekan telah berlalu
pula dan tahu-tahu sudah tiga bulan Kwan Cu tinggal di pulau kosong itu. Dan
belum juga dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicari-carinya,
biar pun sudah beberapa kali dia memasuki goa-goa yang banyak itu dan memeriksa
di balik batu-batu karang yang besar.
Selama seratus hari ini Kwan
Cu belum lagi mempelajari ilmu silat yang dilukis di dinding, karena kemauannya
amat keras hendak menemukan kitab rahasia itu terlebih dahulu. Ia percaya penuh
akan kebenaran kitab sejarah peninggalan Gui Tin dan meski pun sudah seratus
hari mencari dengan sia-sia, kepercayaannya ini sama sekali tidak berkurang,
bahkan dia menjadi semakin penasaran dan memaki-maki diri sendiri sebagai
seorang yang bodoh dan sial.
Pada suatu hari, ketika dia
mencari seekor kijang untuk dipanggang dagingnya, tiba-tiba dia melihat
bayangan putih berkelebat cepat di atas tanah. Hampir saja dia tidak dapat
melihat apakah yang berkelebat itu, karena gerakan bayangan ini cepat luar
biasa. Akan tetapi, ketika dia mengejar ke arah itu, dia melihat seekor
binatang yang rupanya seperti kelinci berbulu putih, berlari cepat sekali.
Ia menjadi tertarik. Belum
pernah dia melihat binatang seindah itu bulunya. Putih bersih bagaikan kapas
dan keempat kakinya yang pendek-pendek itu sangat cepat larinya. Dia mengejar
sambil mengerahkan ginkang-nya, dan meski pun dia tidak atau belum dapat
menangkap binatang putih itu akan tetapi binatang itu pun tidak mampu
memperbesar jaraknya.
Binatang itu nampak
kebingungan sekali dan segera berlari ke arah bukit batu karang yang ditumbuhi
oleh pohon-pohon berdaun putih yang tidak berbuah. Kwan Cu mengejar terus.
Ketika binatang itu tiba di bawah sebatang pohon di puncak bukit, pohon yang
terbesar, tiba-tiba saja binatang itu lenyap!
“Ehh, ibliskah dia? Bagaimana
dapat menghilang begitu saja sedangkan di sini, kecuali pohon-pohon besar ini,
tidak ada tetumbuhan lainnya?” pikir Kwan Cu penasaran.
Pemuda ini mencari-cari dengan
pandangan matanya, dan akhirnya dia melihat sebuah lubang di dekat pohon itu,
lubang yang berada di tengah antara dua batang akar yang menonjol keluar dari
permukaan tanah.
“Hemm, jadi dia bersembunyi di
sini,” pikir Kwan Cu sambil tersenyum gembira.
Ia mempergunakan pedang kecil
yang dahulu menjadi senjata Kahano dan disimpannya karena dia memang
membutuhkan senjata itu untuk memotong sesuatu yang diperlukan. Dengan pedang
yang kecil seperti pisau ini, dia menggali lubang itu dan merenggut putus dua
akar yang menjepit lubang. Semakin dalam dia menggali, lubang itu semakin
besar. Kegembiraan Kwan Cu membesar pula. Ini merupakan pengalaman baru
baginya. Bagai mana seekor binatang yang begitu kecil bisa membuat sarang
begini besar?
Kurang lebih tiga kaki
dalamnya dia menggali dan tiba-tiba, ketika dia mengayun pedang itu dan
ditancapkan pada tanah untuk memperdalam galian, terdengar suara keras dan
pedang itu patah! Kwan Cu terkejut dan heran sekali. Dengan jari-jari tangannya
dia lalu menggali tanah dan ternyata bahwa pedangnya tadi sudah memukul dinding
besi yang mengeluarkan cahaya kehitaman dan kelihatannya kuat sekali!
“Apakah ini...?” katanya makin
heran.
Ia menjadi makin bersemangat,
menggunakan patahan pedang untuk menggali tanah di sekitar pedang besi itu dan
ternyata bahwa dinding ini merupakan sebuah peti besi segi empat yang lebarnya
ada satu kaki lebih. Di samping peti besi ini terdapat lubang lain yang kecil,
agaknya binatang itu mempergunakan peti besi yang kuat ini untuk perisai dan
tentu dia bersembunyi di dalam sebuah lubang yang digalinya tepat di bawah peti
itu.
Namun Kwan Cu sudah tidak
ingat lagi akan kelinci atau binatang berbulu putih yang tadi dikejar-kejarnya.
Sekarang seluruh perhatiannya tercurah pada peti besi ini. Hatinya jadi
berdebar-debar dan diam-diam dia berdoa kepada Thian semoga peti inilah yang
akan memberi jalan kepadanya mendapatkan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng!
Ia membawa peti besi itu ke
goanya. Memang selama tiga bulan berada di situ, Kwan Cu telah memilih sebuah
goa yang paling besar, goa yang tidak merupakan terowongan dan sinar matahari
dapat masuk ke dalamnya, sebagai tempat tinggalnya, di mana dia dapat mengaso
dan tidur.
Sesudah makan buah-buahan yang
disimpan di dalam goa itu, Kwan Cu mulai mendekati peti besi dan setelah
diperiksanya keadaan di luarnya sambil membersihkan tanah yang melengket di
situ, dia tidak mendapatkan sesuatu tulisan. Lalu dia membuka tutup peti besi
itu dengan amat hati-hati.
Hampir saja dia bersorak
girang ketika melihat betapa isi peti itu memang sebuah kitab yang sudah
kuning. Jelas kelihatan bahwa kitab itu terbuat dari pada sutera putih yang
sudah menguning saking tuanya dan seakan-akan kitab itu akan hancur menjadi
debu apa bila dipegang!
Dengan kedua tangan gemetar,
Kwan Cu mengulurkan tangan hendak mengambil kitab itu, namun tiba-tiba mukanya
menjadi pucat dan dia segera menarik kembali tangannya. Keringat dingin
membasahi jidatnya, karena dia teringat akan kehebatan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang palsu.
Baru kitab palsu itu saja oleh
Panglima An Lu Shan sudah dipasangi racun yang sangat berbahaya hingga
menewaskan seorang tokoh yang berilmu tinggi seperti Hek-mo-ong! Apa lagi kitab
ini kalau benar-benar kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentulah yang aslinya!
Siapa tahu kalau-kalau penyimpannya, yakni Liu Pang, juga menggunakan akal
seperti yang telah di lakukan oleh An Lu Shan?
Kwan Cu mengeluarkan sulingnya
dan beberapa kali dia menggosok-gosokkan sulingnya itu di atas kitab tua itu.
Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada suling itu dan legalah hati Kwan Cu. Ia
sudah yakin bahwa kitab itu tidak dipasangi racun jahat, namun ketika dia
menjamah dan mengeluarkan kitab itu dari peti, tetap saja kedua tangannya
gemetar dan wajahnya tegang sekali. Siapa orangnya yang tidak akan merasa
seperti itu bila mana mendapatkan kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh
besar di daratan Tiongkok?
Kwan Cu harus berlaku
hati-hati. Kitab itu sudah tua sekali dan lembaran-lembarannya yang terbuat
dari pada sutera itu sudah lapuk. Maka dia meletakkan kitab itu di dalam peti
lagi dan hanya berusaha membuka halaman pertama, karena pada kulit muka tidak
terdapat tulisan apa-apa.
Setelah halaman pertama
dibuka, dia melihat deretan huruf-huruf kuno yang sudah amat dikenalnya, yakni
huruf-huruf yang dipergunakan pula untuk menuliskan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang
palsu dan yang Gui-siucai telah mengerjakannya sampai hafal betul. Dan
huruf-huruf ini juga berbunyi: IM-YANG BU-TEK CIN-KENG!
Tak terasa lagi dua titik air
mata meloncat keluar dan membasahi pipi Kwan Cu. Inilah kitab rahasia Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang asli!!
Dapat kita bayangkan betapa
girang dan terharunya hati Kwan Cu setelah dia mendapat kenyataan bahwa kitab
kuno yang dia dapatkan di atas pulau ini betul-betul adalah kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang asli. Kitab itu sudah diperebutkan oleh tokoh-tokoh besar
di dunia kang-ouw, bahkan dicari-cari oleh pembesar. Dia sendiri semenjak
dahulu telah merindukan kitab ini, telah ditempuhnya jalan yang amat jauh dan
berbahaya. Sekarang, secara kebetulan sekali kitab itu telah berada di
tangannya!
Sampai lama sekali Kwan Cu
menjatuhkan diri berlutut dan bibirnya bergerak-gerak. Ia menghaturkan terima
kasihnya pada Thian Yang Maha Kasih, kepada arwah Gui-siucai yang sudah membuka
rahasia kitab itu kepadanya. Kemudian dengan amat hati-hati dia mulai mempelajari
isi kitab.
Ia harus berlaku hati-hati
sekali karena sutera yang tertulis dengan huruf kuno itu sudah sangat tua. Baru
di buka lembar pertama saja, bagian pinggir yang tersentuh tangannya menjadi
hancur! Bukan itu saja, bahkan bagian tengah lembaran itu yang bergerak ketika
dia buka telah menjadi robek-robek.
Maka dia mengambil keputusan
untuk mempelajari selembar demi selembar, sama sekali tidak berani membuka
lembar berikutnya kalau lembar yang dibuka itu belum dihafalnya benar-benar.
Juga ia berlaku amat sopan dan menghormat isi kitab itu yang dianggapnya
sebagai kitab suci, untuk menghormat manusia sakti yang menciptanya.
Tiap kali hendak membaca kitab
itu, terlebih dahulu dia berlutut sebagai penghormatan. Dan menjelang malam
hari, dia kembali berlutut menghaturkan terima kasih atas segala pelajaran yang
telah diterimanya pada hari itu. Hal ini dia lakukan setiap hari!
Pelajaran yang dia dapat dari
lembaran-lembaran pertama adalah uraian tentang tenaga yang menggerakkan
seluruh dunia, yakni tenaga Im dan Yang (Positive dan Negative). Tentang dua
tenaga yang bertentangan tapi yang apa bila bersatu akan mendatangkan kekuatan
dan daya penggerak di seluruh permukaan bumi ini. Dia mendapat uraian yang amat
jelas dan terperinci, disertai dengan contoh-contoh. Kemudian, pada
lembar-lembar berikutnya, diterangkan dengan seluasnya mengenai unsur tenaga
alam yang terdiri dari ngo-heng (lima zat).
Kitab itu bukanlah kitab biasa
dan untuk mempelajari isinya dibutuhkan kecerdikan yang luar biasa dan bakat yang
amat besar. Kwan Cu mengerahkan seluruh tenaga otaknya dan mencurahkan seluruh
perhatiannya. Tidak satu pun dilewatkannya, tidak sebaris pun kalimat
dialpakannya. Semua dia telan bulat-bulat, lantas diolah di dalam otaknya yang
memang cerdik.
Baiknya dia berlaku hati-hati,
karena ternyata kemudian olehnya betapa setiap kali dia membalikkan lembar
berikutnya, lembar yang terdahulu tergencet dan menjadi hancur! Jelasnya,
setiap lembar yang sudah dipelajarinya tidak akan mungkin dibacanya kembali
karena sudah rusak. Orang lain takkan dapat membaca kitab itu sesudah dia
membaca habis, karena kitab itu akan merupakan kitab rusak yang hampir menjadi
debu.
Pelajaran-pelajaran berikutnya
merupakan uraian lengkap tentang cara mempergunakan tenaga-tenaga Im dan Yang
di dalam tubuh sehingga hawa di dalam tubuh yang berupa tenaga tersembunyi itu
dapat dikuasai dengan baik. Ada pula pelajaran tentang semedhi dan mengatur
pernapasan, tentang cara menggugah panca indera dalam batin sehingga panca
indera di tubuh menjadi kuat dan tajam.
Semua pelajaran ini disertai
penjelasan-penjelasan terperinci tentang sebab-sebab dan akibatnya, sehingga
amat jelas bagi Kwan Cu. Pernah dia menerima latihan semedhi dan pengerahan
tenaga lweekang dari Ang-bin Sin-kai, tetapi pelajaran itu hanya merupakan
pelajaran yang sudah mati, yang dilakukannya sebagai tiruan atau jiplakan
belaka. Kini dia baru mengerti mengapa segala macam tenaga yang tersembunyi di
dalam tubuh itu dapat timbul.
Sampai setahun lebih Kwan Cu
jarang sekali keluar dari dalam goanya kalau perutnya tidak sangat lapar.
Jarang pula dia tidur kalau tidak sudah amat mengantuk dan matanya tidak dapat
bertahan lagi. Tubuhnya menjadi kurus kering dan matanya cekung. Setelah makan
waktu satu tahun lebih, barulah selesai bagian melatih semedhi dan pernapasan
yang selain dipelajari teorinya, juga dipraktekkan setiap saat.
Kemudian mulailah kitab itu
mengurai tentang ilmu silat! Bukan main hebatnya. Di situ dibentangkan tentang
ilmu-silat-ilmu silat yang sudah ada dan dimiliki manusia, ilmu silat ilmu
silat tinggi yang dibuat partai-partai persilatan menjadi termasyhur, seperti
ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain.
Akan tetapi, yang diajarkan di
situ hanya rahasia pokok dan dasar dari semua ilmu silat itu. Ternyata pula
bahwa lukisan-lukisan di dinding goa-goa dan terowongan itu adalah ilmu-ilmu
silat dari berbagai cabang persilatan ini, memperlihatkan perbedaan-perbedaan
yang ternyata hanya pada variasi dan kembangannya belaka. Ada pun pada dasarnya
semua gerakan ilmu silat adalah serupa dan berasal dari satu sumber!
Untuk memperdalam
pengertiannya, Kwan Cu meneliti semua lukisan di dinding goa-goa dan
terowongan-terowongan itu, mempelajarinya dengan penuh perhatian. Sesudah dia
mulai dapat menangkap apa yang disebut pokok dasar gerakan ilmu silat tinggi,
matanya menjadi terbuka dan amat mudahlah baginya untuk mempelajari ilmu-ilmu
silat itu.
Ia mempraktekkannya dengan
melatih diri, meniru semua gerakan ilmu silat dari berbagai cabang itu.
Alangkah girangnya ketika dia dapat mainkan ilmu silat-ilmu silat itu dengan
amat mudahnya! Tanpa disadarinya, dia telah maju sekali dalam gerakan yang
terdorong oleh tingginya tenaga lweekang dan khikang, serta tanpa terasa
latihan napas selama ini telah membuat ginkang-nya istimewa sekali.
Pada suatu hari, selagi dia
berlatih seorang diri di dekat pantai laut pulau kosong yang berpohon putih
itu, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh seperti dulu pernah didengarnya ketika
dia mula-mula naik perahu melintasi lautan ganjil itu. Ia tidak mempedulikan
suara ini dan terus saja berlatih silat berganti-ganti gerakan dan dia mainkan
pelbagai ilmu silat tinggi dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai.
Tiba-tiba datang angin bertiup
keras sekali, dibarengi suara mendesis hebat dan air laut di tepi pantai
bergelombang seakan-akan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) sendiri hendak keluar
dari dasar laut! Akan tetapi, Kwan Cu seperti tidak mendengar semua ini dan
tidak merasakan sambaran angin pohon yang begitu hebatnya, yang membuat
pohon-pohon besar di pulau itu menjadi doyong.
Orang biasa saja apa bila
kebetulan berada di situ, pasti akan melayang terbawa angin badai yang kuatnya
bukan main itu. Akan tetapi, Kwan Cu tetap bersilat dengan penuh semangat, sama
sekali tidak merasakan betapa pakaiannya sedikit demi sedikit mulai
meninggalkan tubuhnya karena terbawa oleh angin. Saking kerasnya angin,
pakaiannya itu mulai robek-robek dan melayang entah ke mana perginya.
Tanpa diketahui oleh Kwan Cu,
air laut mulai naik menjadi gelombang besar, membuat air makin mendekati tempat
dia bermain silat! Akhirnya setelah air menyentuh kakinya, barulah pemuda ini
terkejut, seakan-akan air itu menyerangnya. Otomatis dia melompat untuk
mengelak dan otomatis pula dia menendang ke arah air.
Air itu muncrat dan terpental
saking kerasnya tenaga tendangannya. Pemuda itu kini melihat ombak besar
mendarat di pantai. Makin gembiralah hati Kwan Cu.
Seperti Ang-bin Sin-kai
gurunya yang suka bercanda dengan laut, dia kini menghadapi ombak, bahkan dia menerjang
maju melawan ombak! Hebat sekali pemuda ini. Setiap kali ombak besar
menyerangnya, bukan dia terdorong roboh, bahkan air yang terdampar kepadanya
dan yang dipukul atau ditendangnya, menjadi buyar!
Akan tetapi, makin lama
semakin hebatlah air menaik sehingga terpaksa Kwan Cu main mundur, terdesak
oleh air yang makin lama makin dalam, siap untuk menelan tubuhnya. Lagi pula,
baru sekarang dia merasa betapa tubuhnya sudah setengah telanjang, karena
pakaiannya telah robek di sana sini dan ujungnya sudah hilang semua entah
terbang ke mana!
Angin bertiup makin keras dan
ketika memandang ke arah laut, Kwan Cu membelalakkan matanya. Laut menjadi
demikian buas, dan airnya berombak-ombak tinggi disertai uap yang hitam
menggelapkan langit di atas laut.
Mulai takutlah hati Kwan Cu
menghadapi kekuasaan alam yang luar biasa ini. Air kini naik semakin tinggi
seakan-akan hendak menelan pulau itu. Kwan Cu melompat-lompat mundur dan
tiba-tiba dia terkejut setengah mati ketika tanah yang diinjaknya
bergoyang-goyang, miring ke sana ke mari seakan-akan pulau itu berubah menjadi
sebuah perahu yang mengambang!
“Aduh, akan kiamatkah dunia?”
serunya kaget dan dia lalu berlari-lari ke goanya.
Dalam berlari ini, beberapa
kali dia terhuyung-huyung dan tentu dia sudah jatuh kalau saja ginkang-nya
tidak luar biasa baiknya. Sambil melompat ke kanan kiri mengimbangi goyangan
tanah yang makin menghebat, akhirnya bisa juga dia sampai di dalam goanya.
Ia melihat betapa semua pohon
bergoyang-goyang dan daun-daun putih rontok, namun tidak sebatang pun tumbang.
Dia tahu bahwa akar-akar pohon berdaun putih itu sangat banyak dan dalam
sekali, maka tidak mengherankan apa bila pohon-pohon itu demikian kuat
menghadapi serangan angin yang demikian dahsyatnya.
Sampai sehari semalam Kwan Cu
berdiam dalam goanya, serasa mabuk dan beberapa kali dia mau muntah-muntah.
Baiknya dia cepat mengerahkan hawa di dalam tubuhnya untuk menekan perut
sehingga isi perutnya tidak terlalu tergoyang oleh ‘gempa bumi’ yang tiada
habisnya itu seakan-akan pulau akan meletus setiap saat!
Goa itu sendiri dindingnya
sampai retak-retak, sehingga pemuda itu khawatir kalau-kalau gambar-gambar di
dinding itu akan rusak dan pelajarannya terhalang karenanya. Begitu besar
perhatian Kwan Cu terhadap pelajarannya sehingga dalam keadaan sehebat itu, dia
sama sekali tak mengkhawatirkan keselamatan dirinya, sebaliknya mengkhawatirkan
kalau-kalau pelajarannya akan terhalang atau tertunda.
Akhirnya gempa bumi itu reda
dan suara ombak yang bergemuruh juga melenyap. Air tadinya telah sampai di kaki
goa di mana Kwan Cu berlindung, hal ini amat mengejutkan hati Kwan Cu karena
kejadian ini berarti bahwa air laut telah naik tinggi sekali.
Matahari bersinar kembali,
tanah di mana dia berada tidak goyang lagi. Kwan Cu segera keluar sesudah
menaruh peti kitab dan buntalan pakaiannya yang semenjak kemarin dia peluk
saja, terutama peti kitab itu.
Ia melihat bekas-bekas air
laut, di mana-mana basah belaka. Akan tetapi, tidak sebatang pun pohon tumbang,
hal ini amat membanggakan hati pemuda ini. Betapa kuatnya pohon berdaun putih.
Aku harus bisa menjadi seorang manusia sekuat dia! Tidak tumbang oleh gelombang
hidup yang betapa berat sekali pun.
Akan tetapi, ketika dia tiba
di pantai, dia melihat perahunya telah lenyap. Bukan itu saja, bahkan
pulau-pulau kecil yang tadinya dia lihat banyak sekali ada di kanan kiri
pulaunya, kini telah berubah arahnya. Ia menengok ke sana ke mari dan betapa
terkejutnya bahwa goanya sekarang juga berubah letaknya.
Biasanya, matahari terbit
menghadapi goanya, berarti bahwa goanya itu menghadap ke timur, akan tetapi
sekarang, matahari terbit dari belakang goa. Hal ini hanya mempunyai satu arti,
yaitu bahwa goanya itu telah berubah letaknya, kini menghadap ke barat!
Ataukah matahari yang sekarang
muncul dari barat dan tenggelam di timur? Tidak boleh jadi, pikirnya. Dia
kemudian teringat akan goncangan-goncangan pada pulaunya, maka berdebarlah
hatinya. Apakah tidak bisa jadi kalau pulaunya itu yang ‘pindah’? Pulaunya
hanyut terbawa ombak yang mengamuk?
Dugaan Kwan Cu yang tidak
dipercayanya sendiri itu sebenarnya sangat tepat. Memang pulaunya itu telah
hanyut! Pulau ini sudah terlepas dari dasar laut, dan hanya karena pohon-pohon
berdaun putih itu akarnya tertanam sampai dalam sekali, berpuluh meter
panjangnya, yang menolong pulau itu dari kebinasaannya.
Dengan pohon-pohon yang masih
tegak di atas pulau, maka tanah pulau itu pun tidak bisa pecah-pecah dan masih
merupakan pulau atau ‘perahu besar’ dari tanah dan pohon dan dengan kuatnya
dapat melawan badai, sungguh pun terpaksa harus pindah tempat karena dorongan
ombak yang kuat sekali.
Bukan baru satu kali itu saja
pulau itu berpindah tempat, tapi sudah berkali-kali apa bila datang taufan
hebat mengamuk seperti tadi. Sesungguhnya karena keistimewaan pulau ini belaka
yang membuat Liu Pang menyembunyikan Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau itu.
Calon kaisar ini maklum bahwa hanya di atas pulau itu saja maka kitab rahasia
ini dapat disimpan dengan sentosa.
Ketika Kwan Cu memperhatikan
pulau-pulau di sekitarnya, dia menjadi berdebar tegang. Pulau-pulau itu
sekarang kelihatan gundul dan bersih, dan jumlahnya jauh berkurang dari semula,
seolah-olah banyak di antaranya telah lenyap ditelan ombak. Segera ingatannya
melayang kepada para raksasa, Lakayong dan puterinya Liyani, teringat pula pada
Malita dan Malika dan bangsa katai itu. Bagaimana dengan nasib mereka?
Karena perahunya telah lenyap,
Kwan Cu segera merobohkan sebatang pohon berdaun putih yang ia tahu batangnya
amat kuat, membuangi cabang-cabang dan ranting-ranting serta daun-daunnya,
kemudian mempergunakan batang pohon itu sebagai perahu! Ilmu kepandaiannya
telah meningkat amat tinggi dan dengan berdiri di atas batang pohon itu yang
mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan cabang pohon sebagai
dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri!
Mula-mula dia mencari pulau
tempat tinggal bangsa katai, dan sesudah dia berkeliling dengan bingung karena
kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia mendapatkan pulau bangsa katai
itu. Ia lalu mendarat dengan dada berdebar tegang dan tenggorokan seakan-akan
tersumbat sesuatu dan kedua mata pedas menahan jatuhnya air mata.
Kwan Cu melihat betapa pulau
itu telah musnah sama sekali. Bangunan-bangunan kecil semuanya hancur dan hanya
tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih oleh air yang mengamuk. Kwan
Cu memeriksa semua pulau dan hatinya semakin terharu karena tak seorang pun
manusia katai selamat. Agaknya semua telah hanyut oleh air dan sudah jelas
nasib mereka, pasti semua terendam di dasar laut atau masuk ke dalam
perut-perut ikan-ikan besar.
Akan tetapi, saat dia melongok
ke dalam sebuah goa, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat air matanya
keluar bercucuran. Di dalam goa itu dia melihat Malita dan Malika, dua orang
puteri katai kakak beradik itu saling peluk, dengan tubuh mereka yang terikat
pada batu karang yang kuat, dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi!
Agaknya dalam serangan ombak
yang menenggelamkan pulau, mereka sudah berdaya upaya untuk menolong diri
dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling berpelukan. Akan
tetapi mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik tinggi sampai
menutupi semua pulau itu!
“Malita... Malika... kasihan
kalian ...” kata Kwan Cu yang cepat melepaskan tubuh mereka dari ikatan. Tubuh
kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah dingin sekali.
Tiba-tiba saja dia mendengar
suara burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah selatan.
“Tentu di sana terdapat korban
lain,” pikirnya.
Ia lalu berlari menuju ke
pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk dikubur bersama. Akan
tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dari jauh dia melihat tubuh seorang
raksasa terbujur di pantai! Ketika dia berlari cepat dan sampai di tempat itu,
dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang wanita raksasa yang bukan lain
adalah Liyani!
“Liyani...!” Kwan Cu cepat
melompat dan berlutut untuk memeriksa.
Tubuh yang sudah hampir
telanjang itu ternyata sudah tidak bernapas lagi, mati seperti Malita dan
Malika. Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan pengalaman
dirinya ketika dia berada di pulau raksasa. Gadis raksasa ini suka kepadanya,
dan kini, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan yang amat
memilukan hati.
“Liyani... agaknya kau dan
bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas...!”
Tanpa kesulitan Kwan Cu segera
memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu, karena sejak mempelajari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng, tenaga pemuda ini sudah meningkat luar biasa sekali.
Lalu dia membawa pulang tiga jenazah itu dengan perahu ke pulaunya.
Ia menggali lubang yang dalam
dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh lebih besar ukuran
tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada tiga mayat itu.
Dia melihat betapa keadaan
Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan rambut mereka
masih tergelung indah. Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan hati. Tubuhnya
hampir telanjang dan gelung rambutnya terlepas, agaknya cukup lama ombak
mempermainkannya sehingga dari pulau raksasa yang begitu jauh dia terdampar ke
pulau bangsa katai.
Kwan Cu teringat akan tusuk
konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari ke dalam
goanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya kemudian kembali ke
dalam lubang kuburan. Dengan hati penuh belas kasihan, dia lalu merapikan
rambut Liyani yang digelungnya baik-baik dan sedapat-dapatnya lalu dipasangnya
tusuk konde itu di rambut gadis raksasa ini. Tiga orang gadis yang sudah
menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri. Malita
di tengah dan Malika di sebelah kanan.
Ketika dia hendak menutupi
lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat mengumpulkan
daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau itu, dan dengan
daun-daun ini dia menutupi tiga jenazah itu sampai tidak kelihatan lagi.
Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia menutupnya dengan tanah
sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun putih yang masih
kecil di atas gundukan tanah kuburan ini.
Baiknya pulau berpohon putih
itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau saja terjadi demikian,
biar pun andai kata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia tentu akan kelaparan
pula. Namun ternyata bahwa semua binatang di pulau itu hanya mengalami
kekagetan saja, dan mereka masih sempat menyembunyikan diri ke dalam goa-goa
yang banyak terdapat di pulau itu.
Semenjak saat itu, Kwan Cu,
lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua bangsa manusia yang
aneh sekali itu yakni bangsa raksasa dan bangsa katai, termusnah oleh kekuasaan
alam, membuat dia semakin yakin akan kekuasaan alam yang dalam sekejap mata
dapat memusnahkan dua bangsa manusia.
Apa daya manusia terhadap
kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan bangsa raksasa itu? Namun
mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah alam maha kuasa.
Kurang bagaimana sederhana dan suci kehidupan bangsa katai itu? Mereka jauh
lebih mulia dan suci hidupnya apa bila dibandingkan dengan manusia biasa, dan kalau
pun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa itu tak sebesar dosa yang biasa di
lakukan oleh manusia seperti bangsa Kwan Cu, akan tetapi kalau alam
menghendaki, bangsa yang suci ini pun dapat dimusnahkan!
Kenyataan ini membuat Kwan Cu
semakin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam tangan Thian Yang Maha
Kuasa dan Sakti. Apa lagi sesudah dia semakin tekun mempelajari ilmu dari kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng, terbukalah matanya.
Kitab ini tidak saja
mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi pelajaran
mengenai pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh manusia dalam
pertempuran, akan tetapi juga berisi filsafat-filsafat kebatinan yang sangat
tinggi.
Filsafat kebatinan ini condong
kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi kepandaian seseorang,
maka semakin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut ‘kepandaian’ itu
sebenarnya hanyalah kosong belaka! Makin terbuka mata orang akan kekuasaan
alam, makin terasalah olehnya betapa kecil tak berarti adanya dirinya, betapa
menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian yang dimiliki manusia!
Oleh karena itu, makin dalam
pengetahuan Kwan Cu, dan makin lama dia mempelajari ilmu dari kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam wataknya. Ia merasa
seakan-akan dia bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian, akan tetapi
mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan diri sendiri dan untuk mengenal
sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia telah
mendapatkan ilmu yang sangat tinggi, mendapatkan semua dasar-dasar dari segala
pergerakan ilmu silat yang semuanya harus berdasarkan kepada tenaga Im dan
Yang. Akan tetapi dengan sadar dia sekarang bisa melihat betapa semua
pengetahuannya adalah kosong belaka dan membuat dia tidak berani menyombongkan
kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari otak, sedangkan
siapakah penggerak otak manusia?
Kalau Yang Maha Kuasa mencabut
tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh manusia sebagai ‘kepintaran’
itu! Bahkan lebih hebat lagi jika Yang Maha Kuasa menghentikan napas yang
keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, karena akan lenyaplah wujud yang
disebut manusia! Apakah makhluk yang begini lemah, yang mengandalkan hidup dan
keadaannya dari pengaruh alam, patut menyombongkan diri dan menganggap diri
sendiri pandai? Menggelikan sekali!
Sang waktu berlalu cepat
sekali tanpa dirasakan oleh manusia. Setiap lembar dari kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, dipelajari Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut prakteknya dan dua
tahun kemudian, tamatlah buku ini di pelajarinya.
Itu pun baru merupakan
setengah dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, yakni bagian latihan tenaga
lweekang dan bagian ilmu silat saja. Ketika dia menamatkan bagian ilmu silat
dan hendak mulai membuka lembaran atau bagian ilmu perang, ternyata bahwa
bagian ini sudah lengket menjadi satu dan kalau dipaksa dibuka,
lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran
tentang ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka.
Namun, setelah menamatkan
bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk mempelajari bagian
lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu perang? Dia benci
akan perang yang hanya merupakan penyembelihan antara sesama manusia, lepas
dari pada persoalan yang menimbulkan perang itu sendiri.
Ada pun tentang ilmu
pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan menjadi agak
kecewa ketika melihat bagian ini tidak mungkin dibaca lagi. Akan tetapi pengetahuannya
yang mulai mendalam mengenai garis-garis hidup membuat dia berpikir bahwa
betapa pun pandai seseorang mengobati orang sakit, bila Thian tak menghendaki,
si sakit itu takkan tertolong juga!
Sembuh tidaknya seorang
penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini dia percaya
sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan tergantung
dari pengobatan. Apa bila Thian menghendaki nyawa seseorang, walau pun seribu
orang dewa datang menolong, orang itu pasti akan mati juga!
Karena kini kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian depan setelah
dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang telah
lengket-lengket tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu berikut
petinya, di dekat makam tiga orang gadis, yakni Liyani, Malita dan Malika.
Juga di atas ‘kuburan’ kitab
Im-yang Bu-tek Cin-keng ini dia letakkan tanda batu karang besar. Kemudian
dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan... bukan main
hebatnya, ternyata bahwa di atas batu karang yang keras itu telah terdapat
tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti berikut:
‘Teecu Lu Kwan Cu telah
menerima petunjuk dan selamanya teecu akan mentaati semua pelajaran yang teecu
terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala pelajaran demi kebaikan dan
perikemanusiaan.’
Kurang lebih sebulan kemudian,
nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret perahu buatannya sendiri,
menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke air, melompat ke dalam
perahu sambil memegang dayung, lalu mendayung perahu itu ke tengah samudera.
Tidak lama kemudian, dia
menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke arah pulau
itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam Liyani,
Malita dan Malika kini sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya itu
kelihatan dari perahunya.
Segala pengalaman selama tiga
tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata Kwan Cu dan dia cepat
menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal. Kemudian dia menarik
napas panjang dan mendayung perahunya lagi.
Tak lama kemudian dia sudah
memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang disambung-sambung, dan
meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke utara, ke arah daratan tanah
Tiongkok. Tak seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa pada saat itu, seorang
pemuda yang telah mewarisi kepandaian luar biasa dari kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke daratan Tiongkok, dan
akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw.....
********************
Sebaliknya, Kwan Cu yang
sekarang telah berusia dua puluhan itu sama sekali tidak tahu bahwa selama dia
pergi dari daratan Tiongkok, yakni selama kurang lebih empat tahun, di Tiongkok
telah terjadi perubahan besar sekali. Telah terjadi hal-hal yang amat hebat!
Sebagaimana sudah diceritakan
di bagian depan, pada masa itu, Kaisar Kerajaan Tang ialah Kaisar Hian Tiong
yang terkenal sebagai seorang yang amat doyan pelesir, mencari kesenangan dan
hiburan bagi diri sendiri belaka, sama sekali tidak mau mempedulikan
pemerintahannya, apa lagi keadaan rakyatnya. Oleh karena itu, secara sembrono
sekali kaisar ini mengangkat An Lu Shan sebagai panglima besar di utara, dan
sama sekali dia tidak menaruh dugaan atau kecurigaan terhadap An Lu Shan.
Bahkan sampai pada saat An Lu Shan sudah membentuk pasukan yang besar dan
mempunyai niat memberontak, kaisar ini masih enak-enak saja berpelesiran di
istananya yang indah, tentu saja dengan dikelilingi oleh selir-selirnya yang
banyak jumlahnya dan yang rata-rata amat cantik jelita dan muda-muda!
Bukan sampai di situ saja
kelalaian Kaisar Hian Tiong. Bahkan ketika An Lu Shan mulai menggerakkan
tentaranya ke selatan, kaisar ini masih tinggal enak-enakan saja di dalam
istananya.
“Bentuk pasukan, hancurkan
pemberontakan bodoh itu, apa sih sukarnya?” katanya acuh tak acuh, seakan-akan
yang dihadapinya hanya persoalan kecil belaka.
Para menteri yang berwatak
jujur dan setia lalu tergopoh-gopoh menghadap kaisar untuk memperingatkan
junjungan ini dari pada mabuk dan mimpinya. Akan tetapi kaisar tetap tinggal
enak-enak, bahkan mencaci para menteri itu sebagai pengecut-pengecut besar!
Menteri Lu Pin yang dianggap
menteri tertua yang paling setia dan disegani oleh kaisar, segera didatangi
oleh para menteri dengan desakan agar Menteri Lu Pin suka memberi peringatan
kepada kaisar.
Menteri Lu Pin lalu menghadap
kaisar, namun diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan ucapan menyindir.
“Apakah kau yang terkenal sebagai
menteri jujur, setia dan keturunan panglima gagah perkasa, juga berhati
pengecut seperti mereka itu dan hendak menakut-nakuti aku?”
Merahlah wajah Lu Pin
mendengar sabda kaisar ini. Ia memberi hormat dengan berlutut sambil berkata,
“Harap Sri Baginda segera
sadar dari keadaan Sri Baginda yang tidak sewajarnya ini. Sebenarnya para
perdana menteri dan panglima itu memberi nasehat amat baik kepada Paduka.
Demikian pula kedatangan hamba menghadap ini bukan karena hamba berhati
pengecut, melainkan karena hamba melihat datangnya bahaya besar yang mengancam
keselamatan negara kita. Sadarlah Paduka dari mimpi, keadaan kita benar-benar
sudah terancam bahaya besar sebab tentara An Lu Shan si pemberontak jahat itu
telah makin jauh menyerang ke selatan.”
Marah sekali Kaisar Hian Tiong
mendengar ini. Ia menggebrak meja dan menudingkan jari tangannya ke arah pintu.
“Pergi! Pergilah! Hendak
kulihat sampai di mana kebisaan An Lu Shan! Mustahil kalau para barisan penjaga
kita dapat dia bobolkan!”
Dengan hati terpukul, Menteri
Lu Pin lalu keluar dari ruangan itu dan menuturkan kepada para menteri lain
atas kegagalannya itu dengan suara penuh kekecewaan dan kedukaan. Hati para
menteri itu tidak senang ketika mendengar bahwa kaisar tetap saja tenggelam
dalam mimpi buruk. Keadaan sudah amat berbahaya dan apa bila para pemberontak
itu sampai berhasil memasuki kota raja, tentu mereka sekeluarga sekarang takkan
selamat pula. Hal ini yang melemahkan semangat mereka.
Ketika para mata-mata An Lu
Shan datang menghubungi mereka, sebagian besar para menteri ini lalu menerima
uluran tangan para pemberontak. Demi keselamatan seluruh keluarga dan harta
benda serta kedudukan mereka, para menteri ini tidak segan-segan untuk
berkhianat dan memihak pemberontak. Diam-diam mereka memberi kesanggupan kepada
An Lu Shan bahwa apa bila tentara pemberontak itu memasuki kota raja, mereka
diam-diam akan mengadakan bantuan dari dalam supaya pembobolan benteng kota
raja dipermudah!
Menteri Lu Pin dapat membuka
rahasia mereka ini. Dengan hati sangat berang, menteri yang setia ini segera
menghadap kaisar dan membeberkan semua rahasia para menteri yang berkhianat.
Kaisar sangat marah dan baru sadar akan keadaan yang memang amat berbahaya.
Segera dia memeritahkan
pasukan pengawal untuk menangkap-nangkapi para menteri dorna itu dan menghukum
penggal kepala sekeluarga mereka! Sesudah melakukan hal ini, kaisar lalu
menggerakkan barisan untuk mempertahankan kerajaan.
Akan tetapi, hal ini
benar-benar merupakan pengobatan yang sudah amat terlambat bagi penyakit yang
berat. Dengan dihukumnya para menteri, keadaan menjadi semakin kalut dan lemah.
Kalau saja Kaisar Hian Tiong dari dahulu sadar pada waktu para menteri itu
belum memiliki hati khianat, agaknya keadaan masih dapat diharapkan akan
tertolong.
Terlambatlah semua usaha
kaisar ini. Barisan pemberontak An Lu Shan telah menerobos dan memasuki kota
raja! Pertahanan kaisar hancur luluh!
Dalam kekacuan yang menghebat
ini, Menteri Lu Pin menjadi tujuan pertama dari An Lu Shan. Tentu saja An Lu
Shan telah mendengar bahwa Menteri Lu Pin inilah yang sudah menggagalkan
rencananya menghubungi para menteri, dan bahwa Menteri Lu Pin yang membuka
rahasia para menteri pengikutnya sehingga para menteri dorna itu sekeluarga
dijatuhi hukuman mati oleh kaisar. Karena itu, begitu memasuki kota raja, An Lu
Shan memerintahkan semua anak buahnya untuk pertama-tama mencari Menteri Lu Pin
dan membunuh serta membasmi seluruh keluarganya!
Akan tetapi, atas desakan
keluarganya, Manteri Lu Pin siang-siang sudah melarikan diri, mengungsi dengan
dikawal oleh pasukan panglima yang setia. Diam-diam Menteri Lu Pin mengumpulkan
harta benda dari istana dalam satu peti besar, bukan dengan niat hendak
mempergunakan harta benda itu untuk dirinya sendiri, akan tetapi dia
bercita-cita besar hendak melarikan harta benda itu supaya jangan terjatuh ke
dalam tangan pemberontak dan kelak dapat dia pergunakan untuk membiayai pasukan
yang akan dipimpinnya untuk memukul mundur para pemberontak itu!
Kota raja diduduki, dan
sungguh malang nasib keluarga Menteri Lu pin. Semua keluarga, dari yang tua
sampai anak bayi, dikumpulkan dan dibakar hidup-hidup oleh An Lu Shan! Bahkan
Lu Seng Hok, puteri Lu Pin atau ayah dari Lu Thong sekeluarganya juga dibasmi
dalam pembersihan ini, tidak terkecuali para bujang pelayan! Hanya Lu Thong
seorang yang sedang dibawa pergi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yakni gurunya,
yang tidak ikut menjadi korban.
Lu Pin mendengar tentang
berita ini dan di sepanjang jalan, kakek ini menangis keras, bukan semata-mata
karena menyedihi kebinasaan seluruh keluarganya. Memang kakek ini memang
berjiwa patriot dan sangat setia kepada pemerintah, maka sambil menangis ia
bersembahyang dan bersumpah bahwa ia akan menuntut balas kepada pemberontak An
Lu Shan! Melihat kesetiaan ini, tiga orang panglima besar yang turut
mengawalnya bersama pasukan kecil, ikut pula menangis.
Akan tetapi An Lu Shan
ternyata bukan orang bodoh dan sebentar saja dia sudah dapat mendengar ke mana
larinya Menteri Lu Pin yang dibencinya itu. Segera dia mengirim pasukan besar
untuk melakukan pengejaran terhadap Lu Pin serta rombongannya! Tiga hari
kemudian, benar saja pasukan gerak cepat ini berhasil menyusul rombongan
Menteri Lu Pin.
Terjadilah pertempuran hebat.
Pasukan pengawal Menteri Lu Pin melakukan perlawanan mati-matian, namun jumlah
pasukan pengejar jauh lebih besar sehingga banyak di antara mereka roboh.
Akhirnya hanya tiga orang panglima besar itu saja yang masih sempat menggendong
Menteri Lu Pin dan membawa peti harta dan melarikan diri.
Namun tentu saja para pengejar
yang telah mendengar bahwa menteri tua itu membawa sepeti harta benda yang tak
ternilai harganya, melakukan pengejaran cepat sekali. Tiga orang panglima ini
mempunyai kepandaian tinggi, maka mereka berhasil membawa pergi Menteri Lu Pin.
Namun, kalau mereka sampai tersusul, menghadapi pengeroyokan yang demikian
banyaknya, mana mereka mampu mempertahankan diri?
Sudah sehari semalam mereka
melarikan diri, terus dikejar oleh barisan pemberontak. Akhirnya, pada esok
paginya, ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang amat liar, kuda-kuda yang
ditunggangi oleh tiga orang panglima yang membawa lari Menteri Lu Pin, roboh
dan tewas saking lelahnya. Padahal para pengejar sudah begitu dekat hingga
suara teriakan mereka telah terdengar riuh rendah.
“Kita terpaksa melawan
mati-matian!” berkata tiga orang panglima yang gagah berani itu.
Menteri Lu Pin mengalirkan air
mata. “Sudah terlalu banyak orang menjadi korban karena aku seorang, padahal
bukan maksudku untuk menyelamatkan badan yang sudah tua dan tak berharga ini.
Sam-wi Ciangkun (Tiga Panglima), harap Sam-wi membawa pergi harta ini dan
usahakan agar supaya dapat dibentuk pasukan baru guna menumpas penjahat An Lu
Shan dan membalaskan sakit hati kerajaan kita. Biarkan aku mereka tangkap, aku
tidak takut mati.”
Namun tiga orang panglima itu
menolak. “Harta benda ini tiada artinya bagi kami bertiga. Tanpa adanya Taijin
yang bijaksana untuk mengatur, bagaimana dapat dibentuk pasukan besar? Tidak,
Taijin, kalau sudah semestinya kita mati, biarlah kita bersama-sama mati di
tempat ini! Namun kami berjanji bahwa penjahat-penjahat itu takkan mudah begitu
saja untuk merenggut nyawa kita!” Sambil berkata demikian, tiga orang panglima
itu segera mencabut golok besar mereka dan menanti dengan penuh semangat.
Maka datanglah para pengejar
itu dan mereka menyerbu bagai taufan mengamuk! Tiga orang panglima perang itu
menjaga Menteri Lu Pin yang berdiri di tengah-tengah. Mereka merupakan benteng
segitiga yang amat kuat sehingga para pemberontak yang terdekat segera terjungkal
mandi darah akibat terlanggar golok mereka yang tajam dan kuat.
Hebat sekali perang tanding
yang tidak seimbang ini. Datangnya pemberontak bagaikan semut dan tak lama
kemudian, tiga orang panglima itu sudah lelah sekali. Mereka mulai menerima bacokan
yang mendatangkan luka, namun mereka tetap mengamuk bagaikan banteng-banteng
terluka!
Pada saat yang amat berbahaya
bagi Menteri Lu Pin bersama tiga orang pengawalnya, tiba-tiba saja terdengar
teriakan-teriakan kaget dan kepungan para pemberontak menjadi kacau balau. Dan
tak lama kemudian, nampaklah tubuh para pemberontak terpental dan terlempar ke
sana ke mari, seakan-akan ada seorang raksasa perkasa yang menangkap-nangkapi
dan melempar-lemparkan tubuh mereka.
Menteri Lu Pin memandang. Dia
menjadi amat terharu pada waktu melihat bahwa yang sedang mengamuk sambil
memaki-maki para pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau Ang-bin Sin-kai
kakaknya sendiri!
“Anjing-anjing pemberontak
yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?” berkali-kali Ang-bin
Sin-kai memaki.
Setiap kali tangannya diulur,
tentu ada dua tiga orang pemberontak yang ditangkapnya dan dilemparkannya
sampai jauh. Ada pula yang ditendang seperti seorang menendang bal karet saja.
Tubuh para pemberontak melayang dan jatuh dengan kepala pecah atau tulang
patah.
Keadaan amat kacau balau, ada
pun para pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak terjang Ang-bin
Sin-kai yang pada saat itu kelihatan sangat menyeramkan. Kakek pengemis itu
yang biasanya bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya. Kedua matanya
bersinar-sinar, rambutnya terurai serta jenggotnya melambai-lambai mengikuti
gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya pun robek di sana-sini.
Ketika melihat kakek pengemis
ini, ada dua orang perwira pemberontak menjadi sangat penasaran. Kakek pengemis
itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak dapat merobohkannya?
Mereka melompat turun dari atas kuda dan dengan pedang di tangan, kedua orang
perwira itu menyerang Ang-bin Sin-kai yang masih saja mengamuk dan
melempar-lemparkan para pemberontak yang berada di hadapannya.
Ketika dua pedang dari kanan
kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan seperti seekor burung
garuda hendak terbang. Kedua lengannya dipentang ke kanan kiri dan hebat bukan
main, tahu-tahu dia sudah dapat mencekik batang leher kedua perwira pemberontak
itu, dan pedang mereka terpental saat beradu dengan jari-jari tangan kakek ini.
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa
untuk dapat mengundurkan para pemberontak, dia harus menjatuhkan pimpinan
mereka. Karena itu ketika dia melihat bahwa yang terpegang oleh kedua tangannya
adalah perwira-perwira pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas
membenturkan kepala mereka satu kepada yang lain!
Terdengar suara keras, suara
batok kepala yang pecah karena saling bentur dan Ang-bin Sin-kai melemparkan
kedua tubuh perwira pemberontak yang kepalanya sudah pecah itu ke atas sampai
tinggi.
“Lihat pemimpin-pemimpinmu
ini, hai anjing-anjing pemberontak! Siapa yang berani mati hendak mengukur
tenaga dengan Ang-bin Sin-kai, boleh lekas maju!”
Suara ini dikeluarkan dengan
nyaring dan menyeramkan. Tentu saja para pemberontak menjadi makin ketakutan
ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apa lagi pada waktu
mereka mendengar nama Ang-bin Sin-kai yang telah amat terkenal, tanpa pikir
panjang lagi mereka lalu melarikan diri. Suara derap kaki kuda menjauh dan tak
lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap, kecuali suara keluhan para
anggota pemberontak yang tergeletak di sana-sini.
Tiga orang panglima pengawal
Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka kemudian memandang kepada Ang-bin
Sin-kai sambil menjura sebagai tanda terima kasih. Namun Ang-bin Sin-kai tidak
memperhatikan mereka, melainkan datang menghampiri Menteri Lu Pin dan berkata
sambil tersenyum pahit,
“Inilah jadinya kalau kau
membantu kaisar lalim!”
Menteri Lu Pin sejak tadi
telah basah matanya. Mendengar ucapan ini, dia mengedikkan kepala dan berkata
keras,
“Twako, aku bukan berjuang
untuk kaisar, melainkan untuk tanah air dan bangsa! An Lu Shan telah berkhianat
dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan kaisar, tapi para petugas juga
mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku telah bersumpah hendak membalas
dendam kepada An Lu Shan, dan aku sengaja pergi membawa harta benda di dalam
peti ini untuk membentuk pasukan baru agar dapat mengusir penjajah khianat itu
dari kota raja!”
“Adik Pin, suaramu seperti
harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini lemah bagaimana
dapat mengusir An Lu Shan dengan pasukannya yang dibantu oleh orang-orang
pandai?” kata Ang-bin Sin-kai.
“Kita sama lihat saja nanti!”
jawab Menteri Lu Pin gagah. “Meski pun aku seorang lemah, hanya seorang seniman
bodoh, tapi semangatku masih tinggi, Sin-ko. Soal orang-orang pandai, ada kau
di sini, takut apakah?”
Melihat sikap adiknya, Ang-bin
Sin-kai menjadi terharu sekali.
“Orang bodoh, kau kira aku tak
tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum padamu, Adikku. Kau memang patut
menjadi teladan semua pembesar dan pemimpin rakyat. Kau tidak tahu bahwa sejak
kau keluar dari kota raja, secara diam-diam aku selalu mengikuti kau. Aku sudah
mendengar pula tentang nasib keluargamu. Ahh, adikku yang gagah, kau menderita
demikian hebat akan tetapi masih bersemangat membela negara, benar-benar aku
pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu kepada diri sendiri.”
“Sin-ko, jangan kau berkata
begitu...”
Menteri Lu Pin mencucurkan air
mata saking terharunya. Dia cepat menghampiri kakek pengemis itu dan kedua
orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Dari kedua mata Ang-bin
Sin-kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya, menteri setia
yang berjiwa patriot asli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah yang tidak
mengerti ilmu silat! Sedangkan dia, orang yang semenjak kecil mempelajari
kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang keselamatan tanah air!
Ketika berpelukan dengan
Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-bin Sin-kai. Tidak patut
dia disebut seorang gagah apa bila dia tidak dapat berbuat seperti adiknya ini,
tidak dapat mengorbankan diri untuk rakyat dan negara. Ia tahu bahwa An Lu Shan
mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Hek-i Hui-mo sendiri
juga menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat menghadapi mereka jika
tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?
“Adik Pin, kau betul. Harta
ini harus kau simpan baik-baik sehingga dengan diam-diam kau dapat mengerahkan
kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau dapat membantu
pengerahan para pasukan rakyat untuk bergerilya. Aku tahu sebuah tempat
persembunyian yang sangat baik, Adikku. Pergilah ke timur, di sebelah bukit ini
terdapat pegunungan dan sesudah kau menyeberangi sungai kecil, kau akan melihat
hutan pohon pek. Di sebelah selatan hutan itu terdapat sebuah goa besar yang
penuh tulang belulang binatang purbakala yang besar-besar. Goa itu lebar
sekali, aku pernah menggunakannya sebagai tempat bertapa. Kau bawalah harta ini
dan kau bersembunyilah di goa itu. Goa itu tertutup oleh serumpun pohon bunga
cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri akan segera ke
kota raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya. Selamat berpisah
adikku!”
Bukan main girangnya hati
Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia sangat kecewa melihat kakaknya yang
sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali. Memang mereka
sekeluarga adalah keturunan patriot ternama, sudah selayaknya kalau kakaknya
pun bersikap sebagai seorang pahlawan bangsa.
“Terima kasih, Sin-ko. Semoga
perjuanganmu berhasil,” jawabnya.
Dua orang kakak beradik ini
kembali berpelukan, disaksikan oleh ketiga orang panglima yang memandang dengan
penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi dari pertemuan dua orang
kakak beradik yang berjiwa gagah, namun yang keadaannya amat berlainan, seorang
kakek pengemis dan seorang menteri setia, namun keduanya gagah perkasa dalam
bidang masing-masing. Mereka kemudian berpisah dan tiga orang panglima itu
melanjutkan kawalan mereka terhadap Menteri Lu Pin, menuju ke tempat yang
ditunjukkan oleh Ang-bin Sin-kai.
Benar saja seperti petunjuk
dari Ang-bin Sin-kai, mereka mendapatkan goa besar yang amat lebar itu dan di
situ penuh dengan tulang-tulang besar yang putih dan kuat. Selain ini juga di
sebelah ruangan kecil di dalam goa itu mereka mendaparkan sebuah hiolouw
(tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar dan kuno.
Hiolouw ini biasanya
dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk membakar akar-akar dan dupa untuk
mengusir hawa busuk dari dalam goa. Melihat tulang-tulang berserakan itu,
Menteri Lu Pin tertarik sekali hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang
kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa amat tertarik dan
gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan yang baik sekali untuk diukir.
Setelah membereskan dan
membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga orang panglima
pengawalnya untuk mulai menghubungi para pejuang rakyat. Mereka lalu ditugaskan
untuk memperkuat pasukan-pasukan rakyat yang ikut melakukan perlawanan terhadap
pemberontak An Lu Shan. Mereka disuruh membawa sebagian dari pada harta istana
itu untuk membiayai dan membantu pergerakan rakyat dan sewaktu-waktu datang ke
goa itu memberi laporan.
Ada pun Menteri Lu Pin yang
hidup seorang diri di dalam goa, mendapatkan makanan dari buah-buahan yang
tumbuh di sekitar tempat itu. Dalam waktu senggang, dia mulai membuat
ukir-ukiran pada tulang-tulang besar tadi.
Menteri Lu Pin tinggal sampai
bertahun-tahun di situ dan sudah menciptakan ukir-ukiran berupa
tengkorak-tengkorak manusia yang luar biasa besarnya, semua dibuatnya dari
tulang-tulang itu sehingga tengkorak-tengkorak atau rangka-rangka manusia
raksasa itu seperti tulen, terbuat dari pada tulang-tulang! Ia mengatur dan
menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan goa,
berjajar seperti barisan raksasa yang menjaga goa, namun raksasa yang telah
menjadi rangka yang amat menyeramkan!
Memang, Menteri Lu Pin membuat
ini tidak saja untuk menimbulkan daya khayalnya agar menjadi kenyataan, namun
juga dengan maksud supaya para penjahat yang iseng-iseng dan kebetulan masuk ke
goa itu, akan menjadi ketakutan lalu mundur kembali setelah melihat
rangka-rangka raksasa yang benar-benar menyeramkan sekali itu.
Ada pun Ang-bin Sin-kai
setelah berpisah dari Menteri Lu Pin, segera menuju ke kota raja dengan hati
panas sekali. Dari orang-orang kang-ouw dia sudah mendengar bahwa tidak saja An
Lu Shan mempunyai barisan yang berjumlah besar dan terlatih baik sekali serta
mempunyai ilmu perang yang luar biasa, juga pemberontak ini dibantu oleh
orang-orang pandai.
Ia sudah mendengar siapa-siapa
yang membantu para pemberontak itu, yaitu yang sudah dia kenal adalah Hek-i
Hui-mo Thian Seng Hwesio, pendekar gundul yang berjubah dan berkulit hitam dari
Tibet yang lihai itu. Ke dua, Pek-eng Sianjin ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang
pernah dia hajar di puncak Kun-lun-san. Ketiga, Toat-beng Hui-houw siluman tua
berkuku panjang yang lihai, yang pernah pula dia hajar ketika dia berada di
dapur istana kaisar.
Dan yang membuat hati Ang-bin
Sin-kai merasa sakit dan penasaran adalah ketika dia mendengar bahwa di samping
tokoh-tokoh itu dan lain-lain ahli silat ternama, juga Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu terpikat oleh bujukan An Lu Shan dan membantu pemberontak itu
menggulingkan kedudukan Kaisar Hian Tiong!
Tadinya sebelum dia bertemu
dengan Menteri Lu Pin, dia hanya tersenyum mendengar semua berita ini. “Rupanya
tua bangka-tua bangka itu sudah gila sehingga sudi mengikat diri dengan urusan
perang, urusan yang paling busuk di antara semua urusan keduniaan,” pikirnya.
Akan tetapi sesudah dia
bertemu dengan adiknya itu, sekarang pandangannya berubah. Ia menjadi marah
sekali ketika matanya terbuka betapa orang-orang itu, terutama sekali
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, seakan-akan membantu pemberontak untuk menindas
rakyat jelata. Apa lagi ketika dia mendengar di sepanjang jalan, betapa kejam
perlakuan para anggota pemberontak terhadap rakyat, hatinya menjadi makin
panas.
Kemarahan hati kakek sakti ini
memuncak ketika tiba di kota raja, dia mendengar berita bahwa sebelumnya,
semenjak kota raja diduduki oleh An Lu Shan, berturut-turut datang beberapa
tokoh kang-ouw untuk menyerang An Lu Shan.
Ia mendengar bahwa Pak-lo-sian
Siangkoan Hai sudah datang menyerbu istana, akan tetapi kakek sakti dari utara
ini terpaksa melarikan diri karena tidak kuat menghadapi keroyokan Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu yang dibantu oleh Hek-i Hui-mo dan tokoh-tokoh lain! Juga
Kiu-bwe Coa-li wanita sakti yang ganas itu sudah datang dengan maksud memberi
hajaran kepada mereka, namun wanita sakti ini bahkan terluka dan terpaksa
mundur pula.
Kalau dua orang sakti ini
hanya terluka dan dapat melarikan diri, adalah beberapa orang tokoh kang-ouw
lainnya tewas dalam usaha mereka membalaskan sakit hati rakyat ini. Yang tewas
adalah Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai bersama beberapa orang muridnya,
tiga tokoh Kun-lun-pai yakni Seng Te Taisu, Seng Jin Taisu dan Seng Giok
Siansu, dan masih banyak pula tokoh-tokoh besar yang telah mengorbankan nyawa
dalam perjuangan itu.
“Terkutuk!” Ang-bin Sin-kai
mengerutkan keningnya. “Biadab benar An Lu Shan dan kaki tangannya!”
Dengan amarah meluap-luap,
begitu tiba di kota raja, Ang-bin Sin-kai langsung menyerbu ke istana dan di
dalam istana, setelah merobohkan para penjaga yang hendak mencegah masuk, dia
berseru keras sekali,
“Anjing pemberontak An Lu
Shan, keluarlah untuk terima binasa!”
Tentu saja keadaan menjadi
gempar sekali di halaman istana itu. Para penjaga dan pengawal menyerbu dari
luar dan dalam istana, dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai dikeroyok sedikitnya
seratus orang penjaga!
Namun pada saat itu Ang-bin
Sin-kai sedang marah luar biasa, maka para penjaga ini seakan-akan
nyamuk-nyamuk yang melawan api pelita. Siapa saja yang menyerbu dekat, tentu
roboh tak bernyawa pula oleh pukulan, tamparan atau tendangan kaki Ang-bin
Sin-kai. Dalam kemarahannya, setiap gerakan kaki tangan kakek ini merupakan
tangan maut yang menjangkau nyawa lawan.
Suara hiruk-pikuk, suara
senjata terlempar dan orang memekik, memenuhi halaman istana itu, gaduh bukan
main. Mayat-mayat para penjaga sudah malang melintang dan bertumpuk-tumpuk
memenuhi tempat itu, karena dalam waktu cepat sekali Ang-bin Sin-kai sudah
menewaskan sedikitnya tiga puluh orang penjaga! Sambil mengamuk, Ang-bin
Sin-kai tetap berseru-seru keras,
“Pengecut An Lu Shan, anjing
pemberontak tak kenal budi, keluarlah untuk terima hukuman!”
Tiba-tiba terdengar bentakan
keras sekali kepada para penjaga.
“Mundur semua!”
Mendengar bentakan ini, para
penjaga lalu mengundurkan diri dan menarik mayat-mayat kawan yang bergeletakan
di situ. Ang-bin Sin-kai memandang dengan mata merah dan dia melihat
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu muncul dari pintu samping istana, diikuti oleh
Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin dan banyak orang kang-ouw
ternama lagi.
Jeng-kin-jiu yang bertubuh
bundar gendut tertawa bergelak lalu berkata,
“Ha-ha-ha, kukira siapa, tidak
tahunya sahabat baikku setan tua dari timur yang datang main-main di sini
dengan para penjaga! Ahh, Ang-bin Sin-kai, sahabat baik, apakah kau terlalu
banyak minum arak sehingga jadi mabuk dan membunuh orang banyak seperti
membunuh semut saja?”
Hubungan antara dua orang
tokoh besar ini biasanya erat dan mereka sudah biasa bicara mian-main tanpa
banyak peraturan. Biasanya Ang-bin Sin-kai menghadapi kelakar si gendut itu
dengan gembira. Akan tetapi kali ini dengan mata terbelalak penuh kebencian dia
membentak,
“Jeng-kin-jiu, kau tahu bahwa
aku Ang-bin Sin-kai tidak sudi mempunyai sahabat anjing-anjing penjilat! Aku
tidak mempunyai sahabat anjing penjilat pemberontak An Lu Shan seperti engkau!”
Kembali Jeng-kin-jiu tertawa
bergelak. Sudah biasa dia menerima makian-makian dari Ang-bin Sin-kai, maka
kata-kata yang pedas itu tidak membuat dia marah. Akan tetapi Hek-i Hui-mo yang
memang mempunyai rasa benci terhadap Ang-bin Sin-kai, menjadi marah sekali.
“Pengemis busuk, kau mempunyai
kepandaian apakah berani bersikap sombong di hadapanku?” Setelah berkata
demikian dia melangkah maju dan mengayun lengan kanan memukul ke arah kepala
Ang-bin Sin-kai.
Pukulan ini kelihatannya
seperti pukulan orang biasa saja, akan tetapi sebetulnya pukulan ini mengandung
tenaga lweekang yang akan dapat menghancurkan batu karang, apa lagi kepala
manusia! Melihat ini, Ang-bin Sin-kai mengerahkan tenaga dan menggunakan
lengannya menyampok pukulan itu sambil berseru,
“Aku tidak ada urusan dengan
kau!”
Dua batang lengan tangan yang
sama kuatnya bertemu, mengeluarkan suara “duk!” dan keduanya terhuyung mundur
empat langkah! Ternyata bahwa keduanya mempunyai tenaga berimbang.
“Nanti dulu, Hek-i-bengyu,”
kata Jeng-kin-jiu mencegah Hek-i Hui-mo menyerang terus.
“Biar kita dengar dulu maksud
kedatangan Ang-bin Sin-kai.” Kemudian setelah hwesio hitam yang bertubuh bulat
seperti dia sendiri itu mundur dengan marah Jeng-kin-jiu lalu menghadapi
Ang-bin Sin-kai dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Sahabatku yang baik, agaknya
kau telah mabuk arak murah sehingga dalam mabukmu kau marah-marah. Jangan kau
membolak-balikkan kenyataan, sahabat. An Lu Shan bukanlah pengkhianat, demikian
pula kami bukan penjilat-penjilat. Kau sudah tahu bahwa Kaisar Hian Tiong
adalah seorang kaisar lalim yang tidak mempedulikan kesengsaraan rakyat yang
hidup untuk kesenangan diri sendiri. Perjuangannya suci dan kami tentu saja
membantunya. Apakah kau hendak membela kaisar lalim itu demi mengingat adik
kandungmu yang menjadi menteri?”
“Jangan mengeluarkan omongan
berbau busuk!” Ang-bin Sin-kai membanting-banting kaki. “Matamu sudah buta atau
telingamu sudah tuli? Siapa orangnya tidak mendengar tentang kebusukan An Lu
Shan dan anak buahnya?”
Jeng-kin-jiu menjadi habis
sabar dan mulai kurang senyumnya. “Ang-bin Sin-kai, habis apa yang kau
kehendaki?” tantangnya.
“Pertama-tama, keluarkan
cucuku Lu Thong agar dia jangan terseret ke dalam jurang kehinaan dan
mencemarkan nama keluargaku. Ke dua, suruh An Lu Shan keluar untuk menerima
hukuman di tanganku!”
Terdengar seruan-seruan marah
di antara kawan-kawan Jeng-kin-jiu, akan tetapi si gendut ini memberi isyarat
dengan tangan menyabarkan kawan-kawannya. Kemudian dia tertawa bergelak
menghadapi Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali.
“Ang-bin Sin-kai, kalau kita
bicara tentang buta dan tuli, kaulah orangnya. An Lu Shan adalah seorang
pahlawan gagah perkasa yang dapat menghargai orang-orang gagah. Kau lihat saja
betapa adikmu Lu Pin itu telah mengkhianati rencana baik, telah mengkhianati
banyak menteri sehingga mereka dihukum sekeluarga mereka olah Kaisar Hian Tiong
yang lalim! Sudah sepatutnya kalau Lu Pin sekeluarganya dihukum mampus. Akan
tetapi apa yang dilakukan oleh An-ciangkun terhadap muridku Lu Thong? Biar pun
dia adalah cucu dalam dari Lu Pin, namun melihat kegagahannya, terutama
memandang mukaku, muridku itu tidak saja diampuni, bahkan dianugerahi pangkat
dan kedudukan! Berkat kebijaksanaan An-ciangkun, cucumu Lu Thong itu telah
menjadi seorang yang dimuliakan dan sekarang kau datang untuk menghina
An-ciangkun? Sungguh buta dan tuli, di mana keadilan dan kebijaksanaanmu?”
Mendengar berita ini, bukan
luluh kemarahan Ang-bin Sin-kai, bahkan bagaikan api yang disiram minyak,
berkobar makin hebat. Dua kali dia membanting kakinya dan tanah di sekitarnya
sejauh lima kaki tergetar oleh tenaga bantingan kaki ini!
“Bangsat kau, Kak Thong Taisu!
Kau telah menyeretnya menjadi anjing penjilat pemberontak An Lu Shan pula?
Kalau begitu, sebelum menghancurkan An Lu Shan, kepalamu harus kupecahkan lebih
dulu!” Setelah berkata demikian, dia menubruk maju dan melakukan serangan
hebat.
“Sombong dan gila!” seru
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menangkis.
Segera dua orang kakek yang
sudah pernah bertempur mati-matian dengan keadaan seimbang itu kini mulai
bertempur lagi mati-matian. Bukan main hebatnya pertempuran ini yang biar pun
dilakukan dengan tangan kosong, namun sekali saja pukulan mengenai tubuh lawan,
berarti merenggut nyawanya.
Hek-i Hui-mo tidak mau tinggal
diam. Ia menggerakkan sepasang senjatanya, yakni tasbih di tangan kiri dan
Liong-touw-tung di tangan kanan, menyerang Ang-bin Sin-kai dengan gemas.
Kepandaian Hek-i Hui-mo semenjak dia berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng palsu, telah meningkat hebat sekali. Maka serangan-serangannya juga
membuat Ang-bin Sin-kai terkejut karena serangan ini benar-benar jauh lebih
berbahaya dari pada gerakan-gerakan hwesio ini pada waktu dahulu, bahkan masih
lebih lihai dari pada serangan yang dilancarkan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!
Akan tetapi dia bukanlah tokoh
besar dari timur kalau gentar menghadapi keroyokan dua orang ahli silat yang
kepandaiannya berimbang dengan tingkat kepandaiannya sendiri itu. Dengan
gerakan cepat amat lincah, mengandalkan ginkang-nya yang tinggi, dia
menghindarkan diri dari serangan-serangan itu dan masih sempat membalas tak
kalah hebatnya.
Pek-eng Sianjin, ketua dari
Kun-lun Ngo-eng, sebagaimana diketahui telah mendendam sakit hati kepada
Ang-bin Sin-kai, karena empat orang saudara seperguruannya tewas dalam
pertempuran ketika Ang-bin Sin-kai menyerang ke sarangnya. Kini melihat Ang-bin
Sin-kai telah dikeroyok oleh dua orang tokoh besar itu, dia merasa mendapat kesempatan
untuk membalas dendam. Sambil berseru keras dia lalu melompat maju menggerakkan
pedangnya dan menyerang dengan hebat.
Namun Pek-eng Sianjin ternyata
tidak bijaksana dengan perbuatannya ini. Ia tidak mengukur kepandaian sendiri
yang masih kalah jauh. Baru saja dia maju, tiba-tiba dia berteriak keras dan
tubuhnya terlempar dua tombak lebih, pedangnya terlepas dan jatuh tak jauh dari
tubuhnya. Ternyata bahwa hawa pukulan Ang-bin Sin-kai saja sudah cukup untuk
membuat dia terpental, seakan-akan seekor nyamuk mendekati kitiran angin.
Baiknya dia tidak terkena tangan Ang-bin Sin-kai, hanya keserempet hawa pukulan
saja, karena kalau sampai terjadi demikian, kiranya nyawanya akan menyusul
nyawa empat orang adik seperguruannya yang tewas terlebih dulu!
Berbeda dengan Pek-eng
Sianjin, Toat-beng Hui-houw yang kepandaiannya juga sudah amat tinggi, berani
menyerbu dan dengan masuknya kakek seperti iblis yang berkuku panjang ini,
tentu saja keadaan Ang-bin Sin-kai menjadi amat terdesak. Di antara tiga orang
pengeroyoknya, hanya Toat-beng Hui-houw saja yang kepandaiannya masih agak
rendah apa bila dibandingkan dengan kepandaian sendiri. Akan tetapi
Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo benar-benar hebat. Apa lagi Hek-i Hui-mo,
serangan-serangannya benar-benar amat luar biasa. Menghadapi seorang di antara
dua tokoh ini saja, belum dapat dipastikan bahwa Ang-bin Sin-kai akan menang.
Apa lagi sekarang dikeroyok tiga!
Namun Ang-bin Sin-kai dalam
pertempuran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga. Segala pengalamannya
yang berpuluh tahun itu dia keluarkan dan pergunakan dalam pertempuran ini,
maka dia masih dapat mempertahankan diri sampai seratus jurus! Hal ini
benar-benar membuat ketiga orang pengeroyoknya terheran-heran dan kagum bukan
main, namun mereka mendesak makin hebat dan akhirnya robohlah Ang-bin Sin-kai!
Kepalanya terpukul oleh tasbih dari tangan kiri Hek-i Hui-mo, dadanya terkena
hawa pukulan Jeng-kin-jiu, sedangkan kuku panjang Toat-beng Hui-houw yang
beracun melukai lambungnya. Ang-bin Sin-kai terhuyung-huyung lalu jatuh
terkulai.
Kalau orang lain yang terkena
pukulan-pukulan itu, biar pun hanya terkena satu di antaranya, tentu sudah
roboh tak bernyawa lagi. Pukulan tasbih di kepala itu dapat memecahkan batok
kepala, pukulan Jeng-kin-jiu ke dada itu, biar pun hanya hawanya saja, dapat
melukai isi dada, apa lagi kuku panjang dari Toat-beng Hui-houw itu mengandung
racun ular yang berbahaya sekali.
Ang-bin Sin-kai biar pun tidak
tewas di saat itu juga, dia maklum bahwa luka-lukanya tak dapat diobati lagi.
Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan tertawa geli sambil berkata, “Syukurlah
aku mati di tangan kalian, bukan di tangan para anjing pemberontak! Namun aku
mati sebagai putera bangsa, Ang-bin Sin-kai biar pun mungkin takkan diingat
orang lagi, namanya tidak busuk dan rusak. Akan tetapi kalian….. ha-ha-ha,
kalian akan mati sebagai anjing-anjing perusak dan nama kalian akan membusuk
sampai ratusan tahun! Jeng-kin-jiu, kau menjadi pucat….. dan ngeri? Ha-ha-ha,
tunggu saja kalau Kwan Cu pulang, kau…. kalian ini….. akan merasakan
pembalasannya….” Bicara sampai di sini, putuslah napas Ang-bin Sin-kai dan
lenyaplah sifat-sifat kegagahannya, karena setelah mati, dia tidak berbeda
dengan orang lain, yakni sebuah mayat yang dingin dan tidak berdaya.
Setelah melihat pengemis tua
ini mati, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu teringat akan hubungan mereka yang
dahulu, maka dia menjadi tidak tega hati. Ia menyuruh orang-orangnya untuk
merawat dan mengubur jenazah kakek sakti itu baik-baik.
Demikianlah, jatuhnya
pemerintahan Kaisar Hian Tiong membawa korban banyak sekali, tidak hanya para
pembesar dan rakyat jelata, bahkan banyak pula tokoh-tokoh kang-ouw binasa.
Penuturan Jeng-kin-jiu kepada
Ang-bin Sin-kai tentang diri Lu Thong memang betul. An Lu Shan adalah seorang
cerdik sekali. Ia tahu bahwa Jeng-kin-jiu amat lihai, demikian pula muridnya,
yakni pemuda Lu Thong yang sebetulnya adalah cucu dari Menteri Lu Pin sendiri.
Setelah bertemu dengan pemuda
ini, An Lu Shan dapat melihat sifat-sifat Lu Thong yang suka akan kemewahan dan
sombong sekali, maka dia lalu mengampuni pemuda ini dan bahkan mengangkatnya
sebagai seorang pangeran dan diberi kedudukan tinggi sebagai kepala daerah di
kota Ciang-bun.
Ada pun Jeng-kin-jiu, Hek-i
Hui-mo dan lain-lain tokoh besar, diberi kedudukan sebagai guru-guru dan
penasihat-penasihat di istana. Hal ini pun merupakan kecerdikan dari An Lu Shan
yang ingin tinggal dekat dengan orang-orang sakti ini sehingga dia selalu
terlindung oleh mereka. Tokoh-tokoh ini tidak sadar bahwa sebenarnya mereka
telah diperalat dan dijadikan pengawal-pengawal pribadi tanpa mereka
ketahui.....!
********************
Walau pun An Lu Shan telah
berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, akan tetapi ternyata bahwa di
mana-mana rakyat tak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana
di kalangan rakyat jelata. Di sana-sini rakyat lalu melakukan perlawanan
terhadap barisan An Lu Shan sehingga boleh di bilang bahwa An Lu Shan tak dapat
tidur nyenyak! Dia sudah melakukan banyak usaha untuk menumpas perlawanan rakyat
ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati rakyat yang
tidak sudi melihat dia menduduki singgasana kaisar?
Tadinya Jeng-kin-jiu, Hek-i
Hui-mo dan beberapa tokoh besar lain membantu usaha ini, menumpas perlawanan
rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi sesudah beberapa tahun perlawanan rakyat
bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-kin-jiu dan yang
lain-lain sadar serta terkejut.
Barulah mereka tahu bahwa
sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan! Apa lagi ketika
kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat ini, diam-diam
Jeng-kin-jiu menjadi gentar. Dia lalu berunding dengan Hek-i Hui-mo dan yang
lain-lain.
“Kalau begini, kita sudah
menempatkan diri dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat keadaan ini,
lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pada kekeruhan
ini,” kata Jeng-kin-jiu.
Memang mereka merasa ngeri
kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak mereka akan mati sebagai
pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk selama ratusan tahun! Setelah
mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa
kini sesudah kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan
masing-masing.
Tentu saja An Lu Shan menjadi
amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar ini,
bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda
yang sangat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka
bahwa sewaktu-waktu bila mana ada kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang
pandai ini bersedia untuk membantunya.
Sepeninggal orang-orang sakti
ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada para anak buahnya untuk melakukan
kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu
disiksa di tempat umum agar rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman
terjadi di mana-mana dan biar pun rakyat menjadi takut sekali, namun hal ini
menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu Shan…..
********************
Pada suatu hari, di kota
Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah
lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan ‘operasi’ secara
berpindah-pindah. Di kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan
mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap sebagai pemberontak untuk
menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka.
Dalam hal ini tentu terjadi
hal-hal dan cara yang amat kotor. Para petugas ini mendatangi orang-orang
biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak. Kalau yang diancam ini
mempunyai harta, tentu dia tak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak
untuk menyogok agar dirinya selamat.
Ada pula yang sengaja
menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan
mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat
supaya keluarga itu bebas dari pada siksa dan kebinasaan! Masih banyak lagi
hal-hal kotor yang terjadi dan dilakukan oleh orang yang bermoral rendah, baik
oleh anak buah An Lu Shan mau pun oleh pembesar-pembesar setempat yang telah
mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang beroperasi itu.
Penduduk Thian-cin dipaksa
meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di tempat
terbuka, di suatu lapangan rumput dekat markas pasukan itu. Hal itu di sebut
sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala pasukan, yang akan
menjalani hukuman adalah para pemimpin gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya
ada sepuluh orang.
Penduduk berbondong datang ke
tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, akan tetapi akibat
dipaksa oleh para anggota pasukan untuk datang menonton, dan juga karena ingin
tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin
pejuang rakyat itu.
Di tengah-tengah lapangan itu,
sepuluh orang laki-laki diikat pada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar
tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena pakaian mereka seperti
orang-orang sastrawan dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan
mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk.
Di belakang tiang itu,
berjajar barisan yang berpakaian seragam dengan sikap garang, sedangkan para
penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang
itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang.
Mereka ini rata-rata mempunyai tubuh tinggi besar dan nampak kuat luar biasa.
Sambil memutar-mutar cambuknya, mereka menyeringai dan masing-masing
menghampiri para korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.
Seorang perwira pasukan maju
ke depan, menghadapi para penonton kemudian berkata dengan suara keras.
“Lihat, beginilah nasib para
pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!” teriaknya dan
mulailah dia menghitung, “Satu...!”
Sepuluh orang algojo itu
mengayun cambuk.
“Tarrr...!”
Hampir berbareng sepuluh
batang cambuk itu jatuh pada tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan
terdengar dan baju pun mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana
cambuk itu menyabet.
Wajah para penonton menegang.
Mana mungkin sepuluh orang ini patut disebut sebagai pemimpin-pemimpin
gerombolan? Mereka begitu lemah!
Sebenarnya, mereka ini adalah
sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka
itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara
mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi
korban fitnah belaka.
“Dua...!” Komandan itu memberi
aba-aba.
Akan tetapi sebelum sepuluh
orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat
bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan
terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!
Mereka cepat memandang dan
dapat melihat seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di
situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang
tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,
“Jangan pukul mereka yang
tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”
Sambil berkata demikian, tanpa
menunggu jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap
mata saja sepuluh orang tawanan itu sudah terlepas dari ikatan tangan mereka!
Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke
tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan
orang-orang itu telah putus semua!
Para prajurit menjadi gempar.
Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.
“Kau siapakah berani mati
mengacau disini? Apa kehendakmu?” Biar pun bersikap galak, akan tetapi para
perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah
menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.
“Aku datang untuk mewakili orang-orang
itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu tidak akan kuat menerima lima
puluh kali cambukan. Apa bila memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang,
biarlah aku yang akan mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah
sesukamu, agar hatimu yang buas dapat merasa puas.”
Para perwira itu saling
pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini
tentulah salah seorang dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya
pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.
“Kau benar-benar hendak
mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang dan
masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima
ratus kali cambukan?” tanya seorang perwira.
Pemuda itu menoleh ke arah
penonton. Pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian
sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan tapi sinar matanya mengandung
pengaruh yang luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan
kepalanya kepada pemuda itu dan wajah pemuda yang tadinya sangat keruh dan
muram segera berubah girang.
“Boleh, boleh, sesukamulah!”
katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali
wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, “Aku memang
sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas semua dosa-dosaku!”
“Lima ratus kali, bukan lima
puluh kali!” bentak komandan itu.
“Sesukamulah, mau lima ratus
atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima
puluh kali!” jawab pemuda itu yang segera menghampiri sebuah di antara
tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.
Komandan itu menjadi gemas dan
geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang yang gila, pikirnya. Lebih baik dia
memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang
‘bijaksana’ dan yang berlaku adil.
“Rakyat semua!” serunya
memandang pada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri mau mewakili
hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan
menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian
kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian diharuskan membayar denda
setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!”
Sepuluh orang itu saling pandang
seperti tak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira
bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima
kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring,
mereka memandang kepada pemuda ini.
“Saudara yang baik, apakah kau
benar-benar sudah yakin akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan lima ratus
kali akan merenggut nyawamu,” berkata seorang di antara bekas tawanan itu.
Namun pemuda ini menggerakkan
tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,
“Pergilah, pergilah! Untuk apa
mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”
Sepuluh orang itu lalu minggir
dan berdiri di antara para penonton, akan tetapi tentu saja mereka tidak mau
pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.
“Hayo, pukul aku!” teriak
pemuda ini.
Komandan menunjuk seorang
algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda agar segera mulai
menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat
aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Kali ini dia menghadapi sebuah
pengalaman yang aneh.
Ia telah merasa bosan menyiksa
orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan hanya dengan tiga kali cambukan
saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang tadi dengan secara
sangat aneh dapat merampas cambuknya, benar-benar merupakan seorang hukuman
yang luar biasa.
Dengan gerakan yang tidak
dapat dilihat, pemuda ini sudah dapat merampas cambuk sepuluh orang algojo, dan
cambuk-cambuk itu lantas dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh.
Ketika para algojo mengambil cambuk mereka masing-masing dari tanah, ternyata
bahwa gagang cambuk yang terbuat dari pada kayu telah hancur sama sekali,
tinggal cambuknya saja!
Tentu saja hal itu membuat
semua orang merasa khawatir dan juga gentar. Akan tetapi sesudah sekarang
pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal
yang amat luar biasa dan menggembirakan.
Dengan lagak gagah, algojo
yang terpilih untuk menjalankan hukuman lalu mengangkat cambuk tak bergagang
itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali, lantas
dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini
kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.
“Tarrr...!”
Semua penonton menahan napas,
mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan
putus atau setidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang
tingkah lakunya seperti orang gila ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas
dan merasa amat kecewa.....
Baju pemuda itu robek,
sedangkan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu
mengerutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa
dia agaknya sama sekali tak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia lalu
pejamkan kedua matanya untuk menahan jatuhnya air mata dan bibirnya
bergerak-gerak seperti berdoa.
Cambuk itu menari-nari di atas
tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya yang mulai robek di
sana-sini.
Di antara hujan cambukan,
terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil memejamkan kedua matanya.
“Suhu, semoga Suhu puas
melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu
menganggap ini sebagai hukuman terhadap teecu yang meninggalkan Suhu sehingga
Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat...”
Tak seorang pun di antara para
penonton mau pun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu.
Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya
tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian menghela napas dan
dia berkata perlahan,
“Dia benar-benar menerima
hukuman ini dengan suka rela. Ahhh... orang inilah harapan rakyat...!
Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Memang benar, pemuda yang
seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata
meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain
adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di
antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu?
Orang ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga
yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu!
Untuk mengetahui bagaimana
Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat
ikut menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari
yang lalu.
Sebagaimana sudah diceritakan
pada bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan
perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Dia
teringat akan pesan suhu-nya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhu-nya itu hendak bertapa
di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini.
Kesukaran-kesukaran di dalam
pelayaran itu dapat ditempuhnya dengan sangat mudah, karena kini dia bukanlah
Kwan Cu seperti pada empat tahun yang lalu. Tanpa dia sadari, kepandaiannya
telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali dan betul-betul dia kini
telah menjadi seorang yang sakti.
Sesudah mendarat di pantai
Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia
bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia
mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang
telah terjadi selama empat tahun itu.
Kwan Cu mendengarkan semua itu
tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu,
karena memang sesudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,
pemuda ini pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah pula
dikuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri.
Mata hatinya telah terbuka
mengenai kekuasaan Thian. Dia percaya sepenuhnya bahwa semua peristiwa di dunia
ini sebenarnya dilakukan oleh manusia, akan tetapi keputusan terakhir tetap di
tangan Thian. Oleh karena ini, betapa pun janggal terdengarnya oleh orang lain,
Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan pemberontak An Lu Shan juga
merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!
Hanya satu hal yang terpikir
olehnya pada saat dia mendengar itu, bahwa suhu-nya tentu pergi ke kota raja.
Suhu-nya merupakan kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula.
Peristiwa perpindahan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat pada
Menteri Lu Pin. Mustahil bila Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok
keadaan kota raja.
“Pasti Suhu berada di kota
raja dan tidak aneh apa bila aku mendapatkan dia di dapur istana, siapa pun
juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan
kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.
Maka berangkatlah Kwan Cu
langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan ini, dia mendengar pula
mengenai usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan meski dia melihat betapa
keadaan memang benar-benar berubah, namun tidak mempengaruhi ketenangan
batinnya.
Dia melakukan perjalanan cepat
tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda
tampan sederhana yang berpakaian amat buruk, menggendong sebuah buntalan dan di
samping pakaian butut itu, harta lain satu-satunya adalah suling pemberian
Hang-houw-sian Yok-ong.
Beberapa kali dia bertemu
dengan rombongan pengungsi yang sedang pergi menuju ke selatan, menjauhi
pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal sangat buas dan kejam. Terutama sekali
mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang segera mengungsi ke selatan,
pergi sejauh mungkin.
Ketika dia sudah tiba di dekat
kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani
yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka
berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan
kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka
semua nampak muram.
Ketika Kwan Cu bertemu dengan
rombongan ini, tiba-tiba saja di antara para pengungsi terdengar seorang tua
bernyanyi dengan suara yang lantang.
Seekor babi gemuk memimpin
negara
mana negara bisa kuat dan
rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi serigala utara
lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan,
bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul
pengkhianatan bangsa.
Penasaran...! Penasaran...!
Sayang sekali dua saudara Lu
menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis
sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa
dengan sia-sia.
Penasaran...! Penasaran...!
Berulang kali orang itu
mengucapkan nyanyian ini sampai salah seorang di antara para pengungsi
menegurnya,
“Tu-siucai, harap kau diam dan
jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua ditangkap dan dihukum
mati?”
Mendengar teguran ini, si
penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,
“Di dalam dunia memang banyak
orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat
dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An,
melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan
ingin muntah saja mulutku.”
Orang yang menegurnya tadi
hendak kembali menegur dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba saja dia
berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa sang
penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa dilihat bagaimana terjadinya tahu-tahu
telah lenyap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang
menjadi terkejut, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat
setan di tengah hari.
“Di mana dia? Ke mana perginya
Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.
“Dia menghilang begitu saja!”
Ramailah rombongan itu. Akan
tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka
akhirnya segera melanjutkan perjalanan itu sambil tak ada hentinya membicarakan
peristiwa yang aneh itu.
Apakah betul penyanyi tadi
bisa menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang
sastrawan yang berbatin kuat, berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun
bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja.
Ketika dia bicara dengan
penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat dilihat
oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat
sekali melewati kepala orang-orang di dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan
ini terpaksa meramkan mata karena angin bertiup keras ke arah mukanya.
Ketika dia membuka mata,
ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang
tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang
menjura sambil berkata,
“Siauwte mohon maaf sebesarnya
kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang
membawa Siucai ke sini.”
Tu Fu biar pun seorang
sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal
semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Sekarang dia menghadapi Kwan
Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.
“Orang muda yang gagah perkasa
dan lihai sekali. Siapa namamu dan murid siapakah engkau?”
“Siauwte seorang tak berarti,
Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk
diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi amat menarik
hati siauwte. Apakah siauwte boleh mengetahui siapakah adanya mereka itu?
Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”
Tu Fu tertawa. “Orang muda
yang aneh, kau lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Baiklah, Bu-pun-su
(Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan
pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat
sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin
dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”
“Apakah yang terjadi dengan
mereka?” Kwan Cu bertanya.
Biar pun dia telah menekan
goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini,
manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai
seorang, oleh karena itu sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja
langsung menggerakkan hatinya.
Orang-orang yang memiliki
kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula
sastrawan Tu Fu. Meski pun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi,
namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw
yang mana pun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang
tak dapat dibengkokkan.
Ketika dia mendengar
pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia lantas mengedikkan
kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,
“Orang muda, ada hubungan apa
antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara kau dengan
keluaraga Lu?”
“Sudah siauwte katakan bahwa
siauwte seorang tidak berharga, tidak perlu dibicarakan tentang diri siauwte.”
“Hemm, anak sombong. Jangan
coba merendahkan diri di depan air! Kau ceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin
Sin-kai, bila tidak jangan harap dapat mendengar sesuatu tentang dia dari
mulutku!”
Kwan Cu menghela napas kewalahan.
Ia maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras dan bersemangat
baja, maka dia mengalah dan berkata,
“Ang-bin Sin-kai adalah
guruku.”
Mendengar ini sastrawan Tu Fu
mencak-mencak, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke
arah muka Kwan Cu.
“Bu-pun-su, murid macam apa
engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan
sekarang tiba-tiba saja kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa
gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si
sakit yang sudah tidak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan mati-matian
berjuang mempertahankan nama baik negara dan bangsa, tetapi kau bersembunyi
tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau
berpura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu? Kau
sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima
puluh kali cambukan pada tubuhmu!”
Kwan Cu menjura lagi. “Siucai
yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi
dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”
“Ang-bin Sin-kai adalah
seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti
engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat banyak tokoh kang-ouw membela
pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu ke kota raja. Akan
tetapi dia sendirian mana kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti
Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhu-mu benar-benar
seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”
Bukan main sedihnya hati Kwan
Cu mendengar akan nasib suhu-nya itu. Tak terasa pula dua titik air mata
meloncat keluar dari sepasang matanya. Dia terharu sekali akan nasib gurunya
yang sangat dia cinta, sudah setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa
mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara.
Hatinya mulai diliputi rasa
sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhu-nya, tapi kesadarannya timbul
ketika dia teringat bahwa semuanya itu merupakan kehendak Thian yang tak dapat
di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,
“Mengapa Suhu begitu lemah
menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi
kehendak alam yang berkuasa?”
Mendengar ini, kembali Tu Fu
mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
“Wahai semua makhluk yang
kebetulan sedang berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang
pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih
berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang
kuhormati?”
Merah muka Kwan Cu mendengar
ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk
menghadapi orang tua ini yang memiliki pengaruh luar biasa.
“Siucai yang baik, siauwte mana
berani mencela guru? Siauwte tadi hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa
memang semuanya merupakan kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia
menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu
tidak melihat kenyataan ini?”
Tu Fu makin marah-marah.
“Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong
luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya
jika orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih
hijau dan bodoh! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat
padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang bagai
mangkok yang berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka!
Bu-pun-su, engkau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tidak
dapat dimengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk
menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan
kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa pula bahwa manusia juga berhak untuk
berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan
secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya!
Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, semua itu bukankah kehendak Thian pula?
Kalau kau tidak dapat membela bangsa dan tanah air, membiarkan tanah air dan
bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, apa kau patut disebut
seorang anak bangsa? Hemm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu
marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.
Kwan Cu menjadi tertegun.
Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal
baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia
terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.
“Siucai yang bijaksana,
siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhu-ku dan yang dapat
mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”
“Bu-pun-su murid murtad, belum
pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”
Kwan Cu terkejut sekali
mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan hanya
satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dulu gurunya yang pertama,
yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kagum.
Gui Tin menyebut nama Tu Fu
sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po,
seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya,
Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya terhadap Tu Fu.
Kini melihat sendiri orangnya
dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus
tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat
dengan gurunya, malah melebihi gurunya dalam hal ilmu kebatinan dan filsafat.
Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat
terharu dia berkata,
“Locianpwe, teecu sudah
berlaku kurang hormat, mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat alangkah
besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu mohon petunjuk
dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu harus bertindak, karena sebenarnya
teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana.”
“Pertama-tama kau harus di
hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh.
“Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira.
Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar telah sadar bahwa tindakan suhu-mu itu
baik dan sempurna? Di kota Thian-cin ini, tidak jauh dari sini, orang-orang baik-baik
dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan akan dihukum cambuk. Apa bila kau bisa
mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka, kau akan dapat
melanjutkan usaha suhu-mu membasmi para pengkhianat bangsa yang amat berbahaya
bagi keselamatan negara dan bangsa.”
Mendengar ini, bangkitlah
semangat Kwan Cu. “Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan
Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai tak akan sia-sia belaka.”
Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu
menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin
di mana segera akan berlangsung pelaksanaan hukuman cambuk atas diri sepuluh
orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin-pemimpin para gerombolan pengacau
yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat.
Kwan Cu menurunkan Tu Fu di
antara para penonton, ada pun dia sendiri sebagaimana sudah dituturkan di
bagian depan, kemudian turun tangan merampas cambuk, mencegah dilanjutkannya
hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman
pada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.
Demikianlah sebabnya mengapa
Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat
tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya
dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal
kasihan.
Walau pun para penonton merasa
sangat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, akan
tetapi diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan
matanya dan sama sekali tidak pernah mengaduh, sungguh pun pakaiannya
robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas
cambuk.
Suara cambuk algojo memecah di
udara, kemudian disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu
sehingga menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba
di antara para penonton terdengar suara,
“Cukup, Bu-pun-su! Sudah lima
puluh kali engkau menerima hukuman!” Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu
yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali.
Pujangga ini benar-benar
merasa kagum terhadap Kwan Cu yang begitu jujur dan setia terhadap sumpahnya.
Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap
Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan,
padahal apa bila dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena
ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.
Baru saja ucapan ini selesai
dikeluarkan oleh Tu Fu, mendadak algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu
menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya
berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan
Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa hingga tenaga cambukan itu membalik dan
melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri.
Demikian lihainya Kwan Cu yang
sudah dapat menyalurkan tenaga itu hingga membalik melukai pemegang pecut.
Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan si algojo terobek kulitnya
sehingga dia segera melepaskan cambuk, lalu mengaduh-aduh sambil memegangi
tangan kanannya yang berdarah!
Komandan pasukan mengira bahwa
saking lelahnya algojo itu merasa sakit tangannya. Dia sudah amat mendongkol
melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera
dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lainnya untuk turun
tangan pula.
Sembilan batang cambuk
berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi,
kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, berbareng sembilan batang
cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang
berdarah pula!
Geger keadaan di situ. Para
anggota pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apa
lagi ketika dengan sekali renggut saja Kwan Cu mematahkan ikatan tangannya,
keadaan menjadi makin kacau.
Para perwira bala tentara An
Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan
orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau
balaunya.
Akan tetapi, barisan belakang
terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa teman-teman sendiri
yang dilempar-lemparkan dari depan bagai daun-daun kering tertiup angin.
Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tidak lama kemudian, anggota-anggota
pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan
begitu pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya.
Ketika mereka memandang,
alangkah terkejutnya mereka melihat sepuluh orang perwira telah terikat
erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para
tawanan! Ada pun pemuda luar biasa itu, entah pergi ke mana karena tidak
kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak peristiwa itu, nama
Bu-pun-su menjadi terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan. Nama ini
mendatangkan rasa gentar di dalam hati mereka, karena selama menghadapi para
pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan
kepandaiannya pada saat dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri
dari kepungan tanpa terlihat oleh siapa pun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu
Fu keluar dari Thian-cin. Dia lalu menghaturkan terima kasih atas segala
petunjuk pujangga itu. Dia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada
sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu.
Apa bila pujangga itu lahir
batin membenci terhadap seluruh pasukan An Lu Shan yang sudah menggulingkan
kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu
Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci
terhadap para anggota pasukan. Oleh karena ini, ketika dia dikepung dia tidak
mau menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!
Setelah Kwan Cu mendengar dari
Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, ia
menjadi amat terharu dan segera timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah
membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala
peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga
tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio,
Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di
dalam hatinya dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang
demi seorang.
Yang membuat dia merasa sangat
heran dan juga mendongkol adalah pada waktu dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu
juga ikut mengeroyok suhu-nya. Dia tahu bahwa antara suhu-nya dan Jeng-kin-jiu,
terdapat hubungan yang sangat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai
saling bermusuhan?
Dia sendiri masih mempunyai
hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun
adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini, maka orang pertama
yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah dari Tu Fu yang
seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di
sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan
yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada
pasukan itu, mengancam perwiranya.
Semua ini dia lakukan tanpa
memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan
dengan cara mengukir tulisan di dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi
singkat:
APA BILA MASIH BERANI MENINDAS
RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU
Banyaknya kejadian yang amat
tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat
hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa
anggota-anggota pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia
timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama
menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggota pasukan pemberontak An Lu
Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata.
Namun seberapa bisa, Kwan Cu
masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, yaitu
dengan cara memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding
markas pasukan pemberontak…..
********************
Karena melakukan perjalanan
cepat, biar pun banyak gangguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan
pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian tibalah Kwan Cu di kota
raja. Dia teringat ketika dulu bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan
sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali.
Dia menuju ke jalan di mana
dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini
telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada
tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.
Kwan Cu berjalan terus lalu
memasuki rumah makan yang besar. Agaknya rumah makan ini pun baru karena
seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu.
Kwan Cu disambut oleh seorang
pelayan yang menatapnya dengan mata penuh curiga. Maklumlah, pakaian Kwan Cu
yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan perasaan curiga karena rumah
makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh para hartawan dan
bangsawan-bangsawan belaka.
Kwan Cu tidak mempedulikan
sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia
memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan serta biaya-biaya lainnya,
maka dia sudah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar
kaya raya pada waktu dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai
penindas kaum tani itu.
Rumah makan itu sangat banyak
tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka
bercakap-cakap sambil makan sehingga suara ketawa mereka memecah di ruang makan
itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya ada seorang
laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup
menarik.
Laki-laki ini sedang bicara
dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda
berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Kwan Cu diam-diam
merasa geli karena dia tahu bahwa pada waktu bicara laki-laki botak itu
mengerahkan tenaga khikang-nya yang lumayan juga hingga suaranya terdengar nyaring
sekali.
Pelayan rumah makan
mempersilakan Kwan Cu duduk di meja depan yang terletak di sebuah pojok, agak
jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa
tempat yang kosong. Akan tetapi Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia
memesan beberapa makanan.
Selagi menanti makanan, Kwan
Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya
seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus sedang
makan tulang yang hitam.
Pengemis-pengemis itu berjalan
dengan kaki lemas, salah seorang di antaranya bahkan terpincang-pincang.
Melihat hal ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para
pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai yang juga selalu
berpakaian pengemis, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang
amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang
tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti
anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi.
Dia kemudian melambaikan
tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan muka
angkuh.
“Tolong bikin tiga mangkok
masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu. Aku yang akan
bayar.”
Pelayan itu mengerutkan
keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang
tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
“Pesanan Tuan akan kamu
layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan
sendiri.”
“Mengapa begitu?” tanya Kwan
Cu dengan suara sabar.
“Oleh karena kalau kami yang
memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan
datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”
Kwan Cu menahan sabar dan
menekan kegemasan dalam hatinya. “Baiklah, biar nanti aku yang memberikan
sendiri.”
“Hei, A-kiu...!” tiba-tiba
laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu.
Pelayan itu cepat meninggalkan
Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlarian menghampiri meja si botak.
“Ada apakah memanggil hamba,
An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya membungkuk-bungkuk.
“Bagaimana sih kerjaanmu?
Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?” Sambil berkata demikian, si botak
melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”
Pelayan itu mengerti akan
sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara
bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga
orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat
mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran Kwan Cu amat
tajam sehingga dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang
sedang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan
lalat busuk adalah dirinya sendiri!
Akan tetapi kesabaran Kwan Cu
memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah,
bahkan merasa amat kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan
waktu muda begitu saja.
“Hm, agaknya dia orang jauh
yang memiliki uang juga. Tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan bangsa jembel
yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” si botak berkata
agak keras, dan sikapnya ini terang sekali menghina dan tak memandang mata
kepada orang lain.
Kemudian mereka melanjutkan
percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi ikut mendengarkan kelakar
mereka, akan tetapi karena tadi dia sudah terlanjur memasang telinga
mendengarkan percakapan mereka ketika mereka bicara mengenai dia, sekarang
perhatiannya masih ke sana dan tanpa disengaja dia mendengarkan kata-kata si
botak yang diucapkan dengan suara perlahan.
“Bunga liar cantik dan harum
selalu banyak durinya. Makin sukar dipetik makin menarik,” kata si botak
tertawa-tawa.
“Siauw-ongya mengapa bingung-bingung?
Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah sendiri. Apa sukarnya?” kata
seorang pemuda dengan sikap menjilat.
Si botak tertawa bergelak,
lalu dia mengangkat cawan araknya. “Hayo minum arak untuk merayakan malam
gemilang hari ini. Malam terang bulan dan kini dia pasti akan menurut.
Ha-ha-ha!”
Semua orang di meja itu minum
arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu mendongkol sekali
karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentu kaum berandalan yang
suka menggoda wanita baik-baik, atau sekelompok pemuda pemogoran yang tak kenal
malu.
Akan tetapi diam-diam dia
menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga liar yang
hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.
Pada saat itu pula, tiga mangkok
bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu merasa heran sekali kenapa
pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan tetapi pesanan untuk para
pengemis ini demikian cepat matangnya.
Ketika dia melihat masakan
itu, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak karuan macamnya.
Sayur-sayurnya terang bukan sayuran segar, agaknya sayur yang seharusnya sudah
dibuang. Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih sabar dan segera
membawa tiga mangkok itu keluar, ke arah para pengemis yang masih duduk jauh
dari rumah makan itu.
Para pengemis itu memandang
dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda memberi mangkok berisi
bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan bihun itu, lupa untuk
menghaturkan terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu memandang dengan terharu
sekali. Ia mengeluarkan tiga potong uang emas dan memberikan uang itu kepada
mereka.
“Bawalah mangkok-mangkok itu,
akan kubayar,” katanya.
Melihat semua pemberian ini,
tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan kemudian menjatuhkan diri
berlutut di depan Kwan Cu. Akan tetapi tanpa mempedulikan mereka Kwan Cu
berjalan kembali ke dalam rumah makan.
Tanpa mempedulikan pandang
mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat memperhatikan dirinya, Kwan
Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi. Ternyata bahwa masakan pesanannya
sudah tersedia di atas meja, masih mengebul hangat. Akan tetapi, ketika Kwan Cu
mengangkat mangkok dan mengerjakan sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari
mangkok itu.
Ia meletakkan kembali mangkok
serta sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah dan segera dia menengok ke
belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya dan cepat-cepat membuang
muka ketika melihat dia menengok.
Kwan Cu memanggilnya. “Sahabat
pelayan, harap datang ke sini sebentar.”
Pelayan itu menengok dan
menghampirinya.
“Ada apakah?” tanyanya singkat
dan kurang hormat.
Kwan Cu lalu menuding ke arah
mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika dia bertanya.
“Masakan ini sudah masam dan
bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran ini hanya menjual
barang-barang busuk belaka?”
Wajah pelayan itu memerah.
Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak sesuai dengan tamu-tamu
lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan berlaku curang dan
memberi hidangan-hidangan sisa yang seharusnya sudah dibuang!
“Kau sombong amat!” pelayan
itu berteriak marah. “Agaknya kau belum pernah makan masakan mahal maka kini
mengira masakan ini busuk.”
Kesabaran Kwan Cu ada
batasnya. Apa bila orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah sepatutnya kalau
orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina orang.
“Begitukah anggapanmu,
Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar aku yang
membayarnya!”
Sebelum pelayan itu sempat
menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan itu hingga tubuhnya
menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat ditutup kembali.
Dengan tenang Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan sumpit untuk
menjejalkan masakan itu ke dalam mulut si pelayan, terus di dorong dengan
sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan!
Pelayan yang tak berdaya itu
mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan paksa melalui
kerongkongannya!
Orang muda botak yang tadi
disebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh
kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan
mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga
pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.
“Nah, aku terima kalah,” Kwan
Cu berkata. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah
makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran
ini.” Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
“Pengemis liar dari mana
berani main gila dan mengacau di kota raja?” Pangeran Muda An yang botak itu
membentak sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh.
Melihat senjata itu, diam-diam
Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang dapat
memainkan senjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah
joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat dari pada logam hitam diuntai, ada pun
tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh
pendeta).
Kwan Cu telah bersiap sedia
menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu serta kawan-kawannya
hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis
yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang lelaki muda yang berpakaian
mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini merupakan seorang
yang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu
tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini, ada pun kemarahannya telah
membuat mukanya menjadi amat merah. Dengan gerakan istimewa, kebutan di tangan
kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya.
Ujung kebutan itu melilit kaki
meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan
empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan
lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!
Kwan Cu terkejut. Terang bahwa
si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya
dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kepandaian serta lweekang yang sudah
tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda
berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
“Sekarang terlalu banyak orang
pandai sehingga di mana-mana gampang melihat orang memamerkan tenaga!” Sambil
berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat
kakinya. Dengan gerakan perlahan saja dia memegang meja itu, dan sekali renggut
ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding.
Ketika Kwan Cu memandang ke
arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun sebab ternyata bahwa
pemuda berpakaian mewah yang datang ini malah kepandaiannya lebih tinggi dari
pada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki
meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk
oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.
Ketika memandang kepada orang
yang baru datang ini, air muka pemuda botak menjadi berubah. Dia cepat-cepat
menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
“Ehhh, kiranya Suheng tidak
menginginkan ada keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar
ini kepada Suheng.” Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil
tertawa-tawa mengejek lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti pula oleh
kawan-kawannya yang kelihatan sangat takut terhadap pemuda baju mewah yang baru
datang.
Kini perhatian Kwan Cu tertuju
kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka
pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya
dia lupa lagi di mana dan bila mana.
Tiga orang pengemis tadi kini
berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu
dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda
ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan
Cu.
Agaknya keadaan di kota raja
ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang pengemis itu
memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini.
Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti
pemuda botak yang tadi disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak
seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara itu, pemuda
berpakaian mewah ini juga memandang pada Kwan Cu dengan penuh perhatian.
Sepasang matanya memandang dengan mulutnya tersenyum setengah mengejek.
Melihat sinar mata dan senyum
itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun
mempunyai watak dasar yang sombong sekali, bahkan jauh lebih sombong dari
pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik
kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti
ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
“Kiranya benar sekali laporan
Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja sedang kedatangan seorang pemuda
luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ahh,
Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” pemuda itu berkata sambil tersenyum dan
menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu hampir melompat dari
bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
“Lu Thong...!” serunya.
Lu Thong memperlebar
senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di
tempat terbuka itu.
“Kita masih bersaudara, bukan?
Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan
enak dan leluasa.”
Akan tetapi, melihat senyum
pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan
benci.
“Aku tidak mau pergi bersama
murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,” jawabnya.
Lu Thong mainkan alisnya. “Aha,
kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu, kita
kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang
sejelasnya mengenai semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai
bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kau dapatkan dari aku. Marilah
kau mampir ke rumahku, ataukah… kau takut?”
Keangkuhan hati Kwan Cu
tersentuh dengan tantangan ini, karena itu dengan gagah dia menjawab, “Siapa
takut? Kau sanggup berbuat apakah terhadap aku? Baiklah, aku ikut denganmu,
hendak kulihat apa yang hendak kau lakukan.”
Lu Thong tertawa gembira dan
memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu.
Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan
Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya,
bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong membawa Kwan Cu pergi
ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota. Tadi ketika pemuda mewah
ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada
yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan
Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang
kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula.
Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa
pemuda ini sudah mampu mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa
heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga,
keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak
bertanya, hanya mengikuti Lu Thong secara diam-diam.
Ketika memasuki rumah gedung
itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong serta Kwan Cu dengan penuh
penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang
cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya,
Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!
“Aku belum menikah dan masih
menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena itu, mereka
inilah yang sementara ini menghiburku dan mengusir kesepian dari anak malang
yang hidup sebatang kara ini.”
Kwan Cu hanya mengerutkan
keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar
mata para wanita muda yang ditujukan padanya dengan sikap genit. Juga dia
melihat tiga orang pengemis tadi kini sudah turut menyambut dengan pakaian
bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
“Mari kita bicara di dalam
taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa.”
Kwan Cu harus mengakui, bahwa
taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga
beraneka warna, apa lagi dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan
emas dan bunga teratai. Juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah
lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.
“Kau hidup mewah dan senang
sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Dia
mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu mau pun taman bunganya,
dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat
berduri. “Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan sangat kuat seperti
takut akan kedatangan musuh.”
Lu Thong tertawa dan mengajak
Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah dipenuhi dengan hidangan-hidangan mewah
dan guci arak berukir yang penuh berisi arak wangi.
“Duduklah, saudaraku. Matamu
sungguh awas sekali dan kau pun dapat menduga tepat. Memang sekarang kota raja
sedang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja bagi para pembesar dan
penduduk, bahkan di dalam istana sendiri juga terjadi kekacauan dan persaingan
hebat.”
“Seperti halnya suhu-mu
Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhu-ku,” kata Kwan Cu dengan
pandang mata tajam.
“Jangan kau persalahkan aku
dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau
lagi menginjak kota raja karena merasa sangat menyesal telah ikut terseret
dalam permusuhan.”
“Akan tetapi muridnya bahkan
hidup mewah di sini, meski pun seluruh keluarganya telah musnah...,” Kwan Cu
menyindir.
“Kau tidak tahu, Kwan Cu.
Kongkong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”
Berubah wajah Kwan Cu.
“Benarkah? Di mana beliau?”
“Itulah soalnya, Kwan Cu.
Kongkong sudah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar
sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya
kongkong Lu Pin. Oleh karena itulah, biar pun semua keluarga terbinasa, aku
terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun
oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”
Kembali Kwan Cu tertegun.
“Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”
“Hussh, jangan keras-keras kau
bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorang panglima gagah perkasa dan
bahkan sudah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak mungkin
aku diangkat menjadi pangeran malah dianggap sebagai putera angkatnya sendiri.”
“Hemm, begitukah...?” kata
Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya.
Akan tetapi di dalam hatinya
dia merasa muak bukan main terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk
ayah bundanya, dan semua orang, sudah dibinasakan oleh An Lu Shan namun dia
sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
“Kau agaknya tidak tahu sama
sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”
“Memang aku tidak tahu,
bukankah kau mengajak aku ke sini untuk menceritakan semua itu?” Kwan Cu
bertanya.
Lu Thong kembali tersenyum,
senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan
kecerdikannya dan membuat Kwan Cu untuk bersikap waspada. “Baiklah, kuceritakan
semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”
Maka berceritalah Lu Thong…
Sebagaimana diketahui, Kaisan
Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono sudah mengangkat An Lu
Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan
berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sebenarnya sudah ditentang oleh banyak menteri,
terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.
Akan tetapi kaisar tidak
mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya
mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya benar saja, An Lu
Shan lalu memberontak dengan sejumlah tentara tak kurang dari lima belas laksa
orang yang sudah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, kemudian
pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus
pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya
mengutamakan kesenangan serta pelesiran saja seperti kaisarnya.
Memang, keadaan Kaisar Hian
Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu
menuruti kehendak seorang isterinya yang sangat cantik, yakni Yang Kui Hui yang
tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala
tentara An Lu Shan memang istimewa, lagi pula dibantu oleh banyak orang pandai,
akhirnya kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan, ada pun kaisar sendiri lalu
melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan para dan kaki
tangannya, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar.
Sekali mendapatkan tahta kerajaan, mereka bagaikan orang-orang kelaparan yang
menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan akhirnya
terjadilah perebutan kekuasaan.
Dalam keributan ini, An Lu
Shan sudah dibunuh oleh salah seorang puteranya sendiri. Keributan merajalela,
tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu akhirnya
menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa dengan
diam-diam saling mempengaruhi dan menanam bibit permusuhan serta persaingan
yang dalam sekali.
Ada pun fihak tentara Kerajaan
Tang masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Pada waktu bala
tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kaisar
untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah
yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh
ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan
ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara
Tang sendiri!
Telah dituturkan di bagian
depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan
Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan,
sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh
karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara
yang amat besar.
Telah dituturkan pula betapa
Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan akhirnya dapat bersembunyi di
dalam goa yang selanjutnya disebut goa Tengkorak, karena bekas menteri ini
membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purba kala yang
banyak terdapat di dalam goa itu.
Hanya Lu Thong yang selamat
dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota
raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan sudah
memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, bahkan diberi gelar pangeran
dan diberi kedudukan istimewa.
Semua ini diceritakan oleh Lu
Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
“Demikianlah, saudara Kwan Cu.
Betapa pun juga, An Lu Shan telah bersikap amat baik terhadap aku, dan setelah
dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat
secara diam-diam. Mereka saling menjaga supaya persaingan itu tidak mengacaukan
bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar
biasa hebatnya, yakni di antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran
mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua yaitu
tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Ada pun golongan ketiga adalah
Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”
“Hemm, diakah? Aku pernah
bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang teringat akan
pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin
Sin-kai.
“Ya, memang dia dan tadi kau
telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”
“Pemuda botak hidung belang
tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sute-mu?”
Lu Thong menarik napas
panjang. “Suhu selalu tak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia
itu sudah diangkat sebagai murid ke dua.”
“Lu Thong, sebenarnya semua
ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku.
Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja untuk mencari
Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?”
“Kwan Cu, benar-benarkah kau
hendak membalaskan sakit hati karena suhu-mu tewas oleh suhu-ku?” tanya Lu
Thong mengerutkan kening.
“Bukan hanya oleh suhu-mu,
melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut.”
“Kwan Cu, kau keliru. Gurumu
Ang-bin Sin-kai itu memang bersikap salah sekali, hendak membalaskan sakit hati
karena kakek Lu Pin sekeluarganya dihukum oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat
melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang sudah membantu pemerintah
baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?”
Kwan Cu hendak membantah, akan
tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.
“Kwan Cu, sudahlah jangan kita
bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak
harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, walau pun
hanya cucu angkat dari kongkong Lu Pin. Kini keturunan Lu hanya kau dan aku
saja. Kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga
kita!”
“Apa maksudmu?”
“Dengar baik-baik, Kwan Cu.
Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing dengan hebat, bermaksud saling
menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan
jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?”
“Apa?!” Kwan Cu membelalakkan
matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”
“Apa salahnya? Nenek moyangku
adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara.
Sudah sepatutnya apa bila keturunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya
menjadi raja? Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku
mendengar dari suhu bahwa engkaulah orangnya yang kiranya akan berhasil
menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, sekarang marilah kita
bekerja sama, saudaraku yang baik.”
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu
Thong menyebut nama kitab itu.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau
mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Apa bila kau mau
menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan
di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku bisa membuat perhitungan dengan dia!”
Mendengar suara Kwan Cu yang
tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong. Wajahnya yang tadinya kelihatan manis
budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi
kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
“Kwan Cu, agaknya benar kata
suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,
maka kau berani menetang suhu!”
“Tidak, Lu Thong, aku hanyalah
seorang yang tidak ada kepandaian (Bu Pun Su),” jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum
mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang
dengan langkah menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir
ini dengan heran dan kecewa segera mengundurkan diri.....
Kemudian ketika Lu Thong
bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang kini telah
berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu
merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan
Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang
berkilauan!
“Lu Thong, apa kehendakmu?”
tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.
“Kehendakku?” jawab Lu Thong menyindir.
“Sudah kukatakan semenjak tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk
mencapai cita-citaku.”
“Aku tidak sudi!”
“Kau tetap bocah bodoh yang
keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan
Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhu-ku, ini sudah merupakan
dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua kalinya,
kalau memang sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus
menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu
pada saat kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan
suhu-mu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi? Nah, karena
sekarang kau berkeras kepala, perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka adalah
Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah
orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya
cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia semacam engkau
berani menolak ajakanku yang baik?”
Bukan main panasnya hati Kwan
Cu mendengar ucapan yang sangat menghina serta merendahkannya itu.
“Banyak anjing-anjing penjilat
yang akan melonjorkan kaki depan ketika melihat orang melemparkan tulang
kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku
tidak punya banyak waktu untuk melayani obrolanmu.”
Sesudah berkata demikian Kwan
Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu. Akan tetapi tiba-tiba tiga orang
pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.
“Kalian mau apa?!” bentak Kwan
Cu.
Lu Thong memberi isyarat
dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, “Hendak
mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!”
Ucapan ini ditutup dengan
berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat. Tidak percuma
mereka memperoleh julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka
benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak
hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.
Ini kalau dilihat oleh mata
orang lain. Akan tetapi bagi mata Kwan Cu gerakan itu tidak seberapa hebat.
Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan serta pengertian
tentang pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia sudah lebih
dulu dapat menduga ke mana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya!
Oleh karena itu, dia melakukan
gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu
akan disusul dengan gerakan lain, hal ini dapat dia lihat dari pergerakan
pundak dan pandangan mata mereka. Maka, sebelum tiga orang itu sempat
melanjutkan serangan mereka setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini pun
sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang
dimiringkan ke arah pangkal lengan.
“Plak! Plak! Plak!”
Tiga kali jari-jari tangannya
yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan
susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas dan ketiga orang
Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu lalu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal
lengan kanan dengan tangan kirinya. Ada pun pedang yang tadi mereka pegang,
tentu saja terpental jauh karena tangan mereka mendadak menjadi kaku dengan
jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!
Untuk sesaat Lu Thong tertegun
melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia sudah
melompat dengan senjata pada tangannya. Seperti main sulap saja melihat dia
tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung
toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat dari pada emas.
Bagaimana tiba-tiba saja
pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadi tidak kelihatan dia
bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat secara istimewa, bersambung-sambung dan
dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat digulungkan di pinggang, tertutup oleh baju
luar.
“Kwan Cu, ternyata selama kau
tidak muncul, kau sudah mempunyai kepandaian yang lumayan. Hendak kulihat
apakah kau cukup kuat pula menahan seranganku!” bentak Lu Thong sambil mengayun
toyanya.
Kwan Cu dapat merasakan angin
sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan
yang terkenal sebagai ahli gwakang dan mempunyai tenaga seperti gajah. Menurut
penuturan Ang-bin sin-kai dahulu, untuk masa itu, tingkat kepandaian dari
Jeng-kin-jiu sudah amat tinggi dan dia merupakan satu-satunya ahli gwakang yang
dapat mengatur tenaga sehingga mampu menggunakan tenaga sampai seribu kati
kuatnya!
Kwan Cu juga maklum bahwa Lu
Thong tentu sudah mewarisi tenaga serta kepandaian suhu-nya, maka dia berlaku
sangat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek
Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia
pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia
tahu bagaimana caranya harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini.
Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran
toya yang datang bertubi-tubi.
Setelah menghadapi toya Lu
Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia
telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam
merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran
dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu
yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti
sarinya!
Kalau dia mau, dia akan dapat
meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam
hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu
toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, barulah dapat berjalan
sempurna.
Maka Kwan Cu segera mencabut
sulingnya dan dia mulai melakukan serangan balasan. Dia dapat menghadapi Lu
Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan
bergerak, bahkan dia telah tahu ke mana toya akan menyambar hanya dengan
memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!
Sebaliknya Lu Thong menjadi
heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu
menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini tak akan
mengherankan dirinya. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu
mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu telah melangkah ke arah
yang berlawanan dengan tujuan pukulan toyanya, seolah-olah Kwan Cu sudah tahu
lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang.
Kemudian Kwan Cu mainkan
sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu ini gerakannya
benar-benar sama dengan serangan toyanya, hanya bedanya apa bila dia menyerang
dengan gwakang untuk menghancurkan kepala atau mematahkan tulang, adalah Kwan
Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.
Pertempuran ini benar-benar
berat sebelah. Lu Thong segera terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi
lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan terlebih dulu oleh
lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan
tetapi mendadak diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak
dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang,
sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.
Lu Thong merasa seluruh
tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toyanya dari
pegangan. Kwan Cu cepat-cepat menyusulkan sebuah totokan pula ke arah pundak,
kini untuk membebaskan totokan pertama tadi. Dia lalu melompat ke belakang,
berdiri tegak dan berkata,
“Lu Thong, melihat muka
Kongkong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah
menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!”
Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari
situ.
Lu Thong menarik napas panjang
dan membanting tubuhnya di atas bangku. Dia tidak mempedulikan ketiga orang
pembantunya yang sedang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu
memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang
diri.
“Dia benar-benar hebat. Tentu
Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,” pikir Lu Thong penasaran.
Ia tidak menyusahkan keadaan
suhu-nya yang terancam oleh Kwan Cu, juga sama sekali tak memikirkan kata-kata
Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang Kwan Cu yang
sakti tak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana seorang pemuda yang sudah lemah
imannya ini dapat mendengarkan nasehat Kwan Cu?
Sampai berhari-hari Lu Thong
masih bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak
mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik…..
********************
Pada malam hari itu, sebuah
bayangan yang amat gesit tampak melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal
dari kompleks bangunan istana yang megah. Tiada seorang pun manusia menyangka
bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas genteng bangunan
itu.
Memang, biar pun penjagaan
daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh
anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang mampu menembus
penjagaan sehingga dapat berlari-larian di atas genteng? Penjagaan seluruh
pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding
yang tebal dan tinggi sekali, apa lagi dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri
pada sepanjang tembok! Seekor burung pun tidak akan dapat lewat tanpa terlihat
oleh barisan penjaga.
Akan tetapi, bukan iblis atau
dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa.
Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang sudah memiliki ilmu kepandaian luar
biasa sehingga membuatnya menjadi seorang sakti.
Tidak sukar baginya untuk
melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang sangat cepat.
Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa
terlihat oleh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga
ada di antara penjaga yang melihat sosok bayangan berkelebat, akan tetapi tentu
dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu
penerangan di luar tembok.
Kwan Cu sudah melakukan
penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu beserta tokoh-tokoh lain yang sudah membunuh Ang-bin Sin-kai
tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja.
Pertama, karena dia hendak
menyelidiki di dalam istana dahulu, siapa tahu kalau-kalau di antara
musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Kedua, dia ingin
menyelidiki karena dia sempat teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An
Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat
terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk
sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita
tadi.
Dahulu dia pernah dibawa oleh
suhu-nya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhu-nya, mereka
langsung menuju ke dapur istana dan tak pernah menyelidiki keadaan istana dari
atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu.
Dia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia
melihat ada ruangan di bawah genteng.
Di bawah genteng
bangunan-bangunan istana yang tinggi itu terdapat langit-langit yang tebal,
maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apa lagi banyak
sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat.
Sering kali ia harus menggunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di
bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng.
Akan tetapi, dia hanya
mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh
wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula
orang-orang yang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya
mereka adalah para pengawal istana.
Tiba-tiba dia melihat sebuah
bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu
dinyalakan terang. Beberapa orang laki-laki sedang duduk menghadapi meja
panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan
dia segera menuju ke bangunan itu.
Ia selalu berlaku amat
hati-hati. Maka, ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan
ringan sekali bagai daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini melayang turun,
lalu berjalan perlahan menuju ke tempat itu.
Dari balik jendela dia
mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia
melihat ada lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan,
agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya
berpakaian sebagai panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah
hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.
Ketika Kwan Cu melayangkan
pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu
bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli hatinya memikirkan
betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat lagi
gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan
Ang-bin Sin-kai.
Panglima itu masih nampak
tegap dan gagah, walau pun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan
seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui
termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan
raja di tempat itu!
Dia tidak mengenal dua orang
panglima yang lainnya itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa mereka pun
memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia
tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu
sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya. Dia
ingin mendengar percakapan mereka.
“Apakah Ji-wi Suhu (bapak
pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku pada putera mahkota?” terdengar An
Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu.
Kwan Cu maklum bahwa yang
disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh
ayahnya sendiri itu. Karena itu dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seorang di antara dua hwesio
itu menganguk-angguk, “Sudah, Ong-ya.”
Kwan Cu merasa geli mendengar
sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan terhadap seorang pangeran muda.
“Apa pendapat beliau?” tanya
An Lu Kui.
“Beliau merasa bahwa memang
perlu diadakan perundingan ini, sebab harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu
memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”
Mendengar jawaban hwesio itu,
berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kongkong-nya, Lu Pin, untung
tadi dia mendengarkan ucapan ini.
“Dan beliau memberi kekuasaan
penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?” tanya An Lu Kui.
Hwesio itu mengangguk. “Itulah
sebabnya maka beliau sengaja mengutus pinceng (saya) berdua untuk merundingkan
soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si).”
“Bagus,” kata An Lu Kui.
“Memang dalam menghadapi para pemberontak yang semakin kuat serta dalam
mengatur rencana untuk mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan
seluruh tenaga. Herannya, kenapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak
datang?”
“Pinto (aku, sebutan pendeta
To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh.
Diam-diam Kwan Cu terkejut.
Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirimkan
jawaban, tentu saja adalah seseorang berkepandaian tinggi yang mahir
menggunakan Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka pemuda ini
cepat menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.
Tidak lama kemudian, menyambar
angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang
berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang
di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam
ruangan.
“Kalian amat sembrono,
membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu
kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!” Setelah berkata demikian, tubuh
tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah
betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi.
Kwan Cu semakin terkejut dan
cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia
mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.
“Dia itulah orang baru dari Si
Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!”
Tak lama kemudian, kembali
bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,
“Keadaan aman, tidak seekor
burung pun pinto lihat di atas genteng!”
An Lu Kui tertawa bergelak.
“Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati
melakukan pengintaian? Mari Totiang, silakan duduk. Karena Totiang belum lama
datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo
Beng Hosiang yang berjulukan San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang
yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu
sekalian penasehat, dan juga guru dari Panglima Si Su Beng yang bernama Kiam Ki
Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”
Kiam Ki Sianjin
mengangguk-angguk dan membalas penghormatan kedua orang hwesio itu.
“Hmm, hemm, apakah bukan
Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor? Bagus,
bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apa lagi?”
Pujian ini sekaligus merupakan
ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang
berwatak keras, karena itu biar pun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki
Sianjin, dia pura-pura bertanya,
“Pinceng (saya) sudah
mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya
menggegerkan dunia, tak tahu masih ada hubungan apakah dengan Toyu (Sahabat)?”
Wajah Kiam Ki Sianjin
merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidak
senangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Adat Kiam Ki Sianjin ini
memang sombong. Dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggapnya
mengembari namanya.
Mereka berdua, kedua tokoh
yang memakai julukan Dewa Utara ini, kemudian bertempur hebat. Sesudah hampir
satu harian mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan
lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak
itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Maka kini mendengar ucapan Mo
Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah
mendengar akan pertempuran itu.
Suara ketawa dari Kiam Ki
Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Akan tetapi
tenaga khikang yang terkandung di dalam suara itu seakan-akan menggetarkan
tiang-tiang ruangan itu.
“Gunung dan bukit biar pun
sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biar pun berbentuk
serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa disamakan dengan pinto?”
Jawabannya ini sudah menyatakan alangkah sombongnya tosu ini yang menganggap
diri sendiri seakan-akan gunung dan Pak-lo-sian hanyalah bukit, atau yang
mengumpamakan diri sendiri naga sedangkan Pak-lo-sian hanya ular biasa!
Sebagaimana sudah dituturkan
oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, di antara mereka ini memang terdapat persaingan.
Bu-eng Siang-hiap bersama dua orang hwesio gundul itu adalah pengikut setia
dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, ada
pun Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama
mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan.
Tentu saja di dalam hati
mereka satu terhadap yang lain sudah ada perasaan dendam dan permusuhan.
Sekarang hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh
besar, mereka bersedia datang berkumpul untuk merundingkan cara untuk
menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu
Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu. Tak
mengherankan apa bila di dalam percakapan mereka terdengar ucapan-ucapan yang
menyindir dan saling memandang rendah.
Mendengar ucapan Kiam Ki
Sianjin yang menyombongkan diri, Mo Beng Hosiang yang berwatak keras menjadi
tak senang.
“Memang nama besar Pak-lo-sian
menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat laksana naga!” katanya sambil
memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang.
Terang sekali bahwa ucapan ini
sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan
tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti
bukit dan ular!
Melihat suasana sudah mulai
panas di antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu
Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka sekali melihat
perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa
khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur.
Pada masa itu, dia justru
membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya,
yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, dan kedua untuk mencari Lu
Pin dan harta pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini tercapai dan beres, baru dia
akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu.
Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali.
Ia melompat di antara kedua
orang itu dan menjura sambil berkata,
“Pada waktu rumah tangga aman
dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa. Akan tetapi
kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus
bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita
ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi suka bersabar dan mengingat bahwa
kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang amat
penting demi keselamatan negara.”
An Lu Kui masih merupakan
orang yang sangat berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka
Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.
“Kiam Ki Toyu harap sudi
memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat.”
Kiam Ki Sianjin lalu berkata
sambil tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan
baik, tentu masih belum percaya.”
Suasana damai dan persahabatan
dapat cepat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua
orang lalu duduk menghadapi meja panjang.
“Ang-ciangkun dipersilakan
untuk menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin.
Dia menggunakan ujung lengan
bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas. Padahal malam
hari itu udara sangat dingin. Tosu yang sombong ini masih saja ingin
mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan menunjukkan
bahwa dia bukanlah ‘orang biasa’!
Melihat sikap tosu ini,
diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap
ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa
memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
“Menurut hasil penyelidikan
mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara, “pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan oleh para petani kini makin merajalela. Semua ini adalah karena
pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia
kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, walau pun
mendapat pimpinan orang-orang pandai, agaknya mereka itu tidak akan banyak
berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan
mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan
mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-mata kita
mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan
Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang
yang sangat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!”
“Ahh, tentu harta pusaka
kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.
“Memang! Anjing Lu Pin itu
sudah menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai
pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.
“Keparat jahanam!” Mo Beng
Hosiang turut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat
itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya.”
An Lu Kui mengangguk-angguk.
“Begitulah kiranya. Memang, semenjak dulu pun sudah diketahui oleh semua orang
bahwa Menteri Lu Pin merupakan menteri yang paling setia terhadap Kerajaan
Tang. Seluruh keluarganya sudah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai
sekarang pun ia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa
untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang paling baik adalah mencari sampai
dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan dan harta pusaka Kerajaan
Tang bisa dirampas, kiraku tanpa dipukul, para pemberontak itu dengan
sendirinya akan mengundurkan diri.”
“Akan tetapi, di manakah kita
bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” bertanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung
Pemecah Gunung.
“Benar, di mana kita bisa
mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencari dia dengan sia-sia.
Agaknya dia sudah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak.” Kata
Mo Beng Hosiang.
“Tadinya aku pun mengira bahwa
anjing she Lu itu sudah mampus,” An Lu Kui berkata, “akan tetapi baru-baru ini
aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia tengah bersembunyi di dalam
sebuah goa dan dari sanalah dia mengatur serta merencanakan semua pemberontakan
para petani.”
Mendengar ini, tidak saja
kedua hwesio serta Kiam Ki Sianjin menjadi sangat tertarik, bahkan Kwan Cu yang
mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar keras dan baru
sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kongkong angkatnya,
Menteri Lu Pin.
Ketika dia mendengar dari
sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kongkong angkatnya
itu. Akan tetapi, selama ini pikirannya dipenuhi oleh keadaan suhu-nya yang
meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia
pikirkan lagi.
Akan tetapi sekarang,
mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa sangat kagum
terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang
sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat
setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!
“Kongkong benar-benar luar
biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya,” kata Kwan Cu di dalam hati
dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat
persembunyian kakek angkatnya itu.
“Di goa manakah dia
bersembunyi?” teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya.
Suara tosu ini tinggi dan mengandung
penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi
gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan? Bukan
dikarenakan mereka terlalu membenci menteri ini, akan tetapi semata-mata karena
menteri itu membawa harta pusaka kerajaan!
Inilah yang merupakan daya
penarik luar biasa. Selain harta yang dibawa Menteri Lu Pin, harta yang
terdapat di dalam istana itu sudah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah
habis. Sekarang semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia,
ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.
“Inilah yang masih harus
diselidiki,” An Lu Kui menjawab sambil mengeluarkan segulung kertas. “Menurut
penyelidikan, dia bersembunyi dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit
Tengkorak Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tak terdapat bukit yang bernama
demikian dan nama ini pun baru-baru ini saja muncul menjadi sebutan orang. Akan
tetapi menurut hasil penyelidikan mata-mata, bukit ini adanya di antara Pegunungan
Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho
yang mengalir di situ.”
An Lu Kui lalu membuka
gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh
perhatian.
“Pembantuku ini,
Cang-ciangkun, sudah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau
jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” An Lu Kui berkata kepada
seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.
Panglima perang yang di sebut
Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah
kereng dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu
menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.
“Pasukan penyelidik yang
kupimpin sudah sampai di bagian ini. Di sepanjang jalan kami mencari keterangan
dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu
sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh.”
“Ang-bin Sin-kai...,” kata
Kiam Ki Sianjin perlahan.
An Lu Kui mengangguk
membenarkan.
“Kemudian kami tiba di lembah
Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit
Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa,
daerah ini sering kali didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan
membawa-bawa pedang dan tombak. Biar pun tak seorang pun yang pernah mendatangi
Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu
adalah para pemimpin pemberontak, sebab setelah mereka pergi lagi, menurut
petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat.”
Kiam Ki Sianjin
mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi...”
Akan tetapi tiba-tiba dia
menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang
pada waktu itu, Kwan Cu sangat memperhatikan dan ingin sekali dia juga dapat
melihat peta di atas meja itu. Maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan
yang menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit suara ini ternyata sudah dapat
ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.
Ketika Kiam Ki Sianjin
melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua
Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki
Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan.
Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan
kawan-kawannya dengan mata terbelalak.
“Siapa... kau...…?” An Lu Kui
bertanya.
Maksudnya hendak membentak
marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu yang masuk begitu saja tanpa mereka
ketahui, membuat dia sangat terheran-heran dan gugup. Apa lagi ketika dia
mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!
An Lu Kui dan kawan-kawannya
bersiap menyambut. Akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu terapung ke atas
kepala mereka, terus ke atas lalu sebelum menyentuh langit-langit, tiba-tiba
tubuh itu berjungkir balik dan kini bagaikan seekor capung beterbangan di dalam
kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah dan tahu-tahu gulungan peta itu telah
dapat dirampasnya!
An Lu Kui hendak menubruk,
akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari atas meja melalui
kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan sambil
tersenyum-senyum. Ada pun peta itu lantas dia masukan ke dalam saku dengan
sikap amat tenang!
Untuk sejenak, An Lu Kui
beserta kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya gerakan pemuda tadi luar
biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung yang begitu ringan dan
gesit. Apa bila tidak menyaksikan dengan mata sendiri sukarlah untuk mempercayai
kejadian itu.
“Siapa kau yang berani mati
bermain gila di sini?” kembali An Lu Kui membentak dan kini panglima ini
mencabut sepasang tombaknya yang lihai.
Kwan Cu tersenyum dan
menjawab, “An-ciangkun, apakah baik kabarmu? Kau sudah kelihatan tua, akan
tetapi tetap saja ganas dan galak!”
Mendengar ini, An Lu kui
tercengang dan tidak jadi menyerang. Sebaliknya Cang Kwan panglima brewokan itu
membentak,
“Bangsat kecil, siapakah kau
yang sudah bosan hidup?”
“Bangsat besar, aku bernama Lu
Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap kongkong-ku Lu Pin?
Jangan bermimpi, Kawan!”
“Bohong besar!” seru Liong Tek
Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, “Aku tahu benar keadaan Menteri Lu Pin
dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!”
Kwan Cu tersenyum lagi. “Tentu
kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau tahu baik akan keadaan
kongkong-ku. Akan tetapi aku tidak peduli akan kata-katamu itu, pengkhianat.
Pendeknya, jangan kalian bermimpi untuk menangkap Menteri Lu Pin yang setia dan
gagah berani, pahlawan bangsa! Tidak seperti kalian ini, hanya kumpulan
katak-katak busuk yang berbahaya.”
“Tangkap dia!” tiba-tiba An Lu
Kui berseru keras. “Dia adalah bocah gundul murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku
ingat sekarang, dia memang sudah diakui cucu oleh Lu Pin!” Sambil berkata
demikian, An Lu Kui lalu menyerang dengan sepasang tombaknya.
Kwan Cu mengelak tangkas
sambil menyindir. “Hmm, kau sudah ingat betapa dahulu aku pernah membagi
beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?”
“Bangsat, mampuslah kau!” An
Lu Kui berseru sengit dan tombaknya melakukan gerakan menyilang dari kanan
kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.
Akan tetapi, hanya dengan
merendahkan tubuhnya sedikit saja, Kwan Cu sudah berhasil membebaskan diri dari
ancaman, sepasang tombak itu hanya melayang melewati atas kepalanya. Cang Kwan
dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima pembantu An Lui Kui dengan marah maju
menyerang dengan golok besar mereka yang menyambar-nyambar menyilaukan mata
ketika terkena cahaya lampu yang terang.
“Rebahlah kalian!” bentak Kwan
Cu.
Tahu-tahu, ketika dua batang
golok itu sudah dekat dengan tubuhnya dari kanan kiri, dia melompat ke belakang
dan sebelum dua orang panglima itu dapat menarik kembali golok mereka, dua kali
berturut-turut Kwan Cu menotok dengan telujuknya dan sunggguh aneh! Dua orang
panglima itu roboh dan terus bergulingan sambil mengaduh-aduh, kemudian mereka
tak bergerak lagi, rebah dengan tubuh lemas tak berdaya di dekat dinding.
Kwan Cu tidak mau membuang
banyak waktu. Ketika dia melihat An Lu Kui tercengang, dia cepat menggerakkan
kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan panglima itu.
Terdengar suara keras ketika sepasang tombak itu terlepas dari pegangan An Lu
Kui dan terlempar jauh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring.
An Lu Kui masih mencoba untuk
mengelak ketika tangan Kwan Cu menyambar, namun terlambat. Pundaknya kena
ditepuk sehingga panglima ini jatuh terduduk dengan tubuh lemas dan setengah
tubuhnya sebelah kanan terasa lumpuh!
Pada saat itu, terasa angin
pukulan menyambar dari depan dan belakang. Kiranya dua orang hwesio itu sudah
turun tangan.
Tadi mereka hanya menonton
saja karena memang sebetulnya di dalam hati mereka, dua orang hwesio ini tidak
suka kepada An Lu Kui dan mencurigainya. Akan tetapi, setelah melihat An Lu Kui
dan dua orang pembantunya telah roboh, mereka tidak mau tinggal diam dan segera
menyerang.
Mo Beng Hosiang Si Tangan
Kilat menyerang dengan kedua tangannya yang jari-jarinya dibuka, melakukan
pukulan hebat sekali sesuai dengan julukannya. Ada pun Mo Keng Hosiang Si
Ruyung Pemecah Gunung sudah menyerang dengan ruyungnya yang aneh. Joan-pian
(ruyung lemas) itu merupakan rantai pendek yang ujungnya sudah dipasangi bola
baja sebesar kepalan tangan dan digerakkan dengan ayunan keras menghantam
punggung Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali
melihat datangnya serangan yang memang hebat sekali ini. Dengan tangan kirinya
dia menangkis pukulan Mo Beng Hosiang sehingga hwesio itu terhuyung ke
belakang. Bola baja di ujung joan-pian yang dipakai menyerang oleh Mo Keng
Hosiang hampir saja mengenai sasarannya, yakni punggung Kwan Cu.
Pemuda ini yang maklum
menghadapi lawan-lawan tangguh, cepat mencabut sulingnya sambil mengelak dengan
gerakan Kong-ciak Kai-peng (Merak Membuka Sayap) hingga serangan senjata Mo
Keng Hosiang lewat di atas punggung serta kepalanya. Sekaligus Kwan Cu
menyerang Mo Beng Hosiang yang sudah maju lagi itu dengan sulingnya.
Mo Beng Hosiang bukan seorang
lemah, dia memiliki ilmu pukulan yang di sebut Pek-lek Sin-jiu (Tangan Geledek
Sakti). Menghadapi pukulan suling yang meski pun dilakukan secara perlahan akan
tetapi telah dapat dia duga kehebatannya itu, dia cepat menampar dengan tangan
kanannya. Jari-jari tangan kanan ini menegang dan kaku laksana baja. Tamparannya
dilakukan keras luar biasa dengan maksud membuat suling itu remuk atau terlepas
dari pegangan Kwan Cu.
Namun pemuda ini sudah
mempunyai kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Baru melihat sekali saja
dia sudah tahu ke mana tamparan itu di arahkan. Maka, sebelum tamparan itu
datang, sulingnya sudah ditarik ke bawah dan tangan kirinya yang tadi dia
pentang, memukul ke depan sambil tubuhnya diputar sedemikian rupa, dan cepat
sekali sebelah kakinya menendang ke arah Mo Keng Hosiang!
Bukan main hebatnya serangan
ini dan amat indah pula gerakannya sehingga terdengar pujian, “Bagus sekali!”
Yang memuji ini adalah Kiam Ki
Sianjin yang berdiri menonton saja. Seperti sikap Bu-eng Siang-hiap saat
menonton pertempuran antara Kwan Cu dengan An Lu Kui bersama dua orang
pembantunya, kini Kiam Ki Sianjin juga menonton saja, enggan membantu kedua
orang hwesio itu yang memang tidak disukainya.
Namun diam-diam dia sangat
memperhatikan gerakan pemuda aneh itu dan makin lama kedua mata tosu ini
semakin terbelalak lebar karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan
ilmu silat demikian anehnya seperti yang sedang dimainkan oleh pemuda pemegang
suling itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang
kang-ouw yang ulung dan banyak pengalaman. Sudah banyak dia melihat ilmu silat
tinggi-tinggi dan serba aneh. Bahkan dia mampu mengenal ilmu silat dari lima
tokoh besar dunia persilatan, yakni ilmu-ilmu silat dari Ang-bin Sin-kai, Hek-i
Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan
Hai, dan Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi belum pernah dia melihat ilmu silat yang
dimainkan oleh pemuda ini.
Tadi dia telah mendengar
seruan An Lu Kui bahwa pemuda ini adalah murid dari Ang-bin Sin-kai dan memang
betul, gerakan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi
setelah dia perhatikan, ternyata banyak sekali perbedaannya.
Pemuda ini bergerak seenaknya
saja seperti bukan orang main silat, lebih patut disebut main-main saja,
seperti seorang pemuda tidak becus main silat yang berpura-pura mau bermain
silat. Akan tetapi, semua gerakannya menghindarkan diri dari serangan kedua
lawannya tepat sekali dan biar pun gerakannya ketolol-tololan, akan tetapi
bukan main hebatnya.
Apa lagi setelah dia
memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu kini bersilat tepat seperti ilmu
silat yang dimainkan oleh kedua lawannya, Kiam Ki Sianjin menjadi bengong!
Setiap kali diserang oleh Mo Beng Hosiang, pemuda itu melayani hwesio tangan
kilat itu dengan ilmu silat yang sangat mirip dengan Pek-lek Sin-jiu! Ada pun
apa bila Mo Keng Hosiang yang menyerang, pemuda ini juga menghadapinya dengan
ilmu silat tepat sama seperti yang dimainkan oleh Ruyung Pemecah Gunung itu.
“Iblis muda dari manakah dia?
Ilmu silat apa yang telah dia pelajari?” Demikian Kiam Ki Sianjin bertanya-tanya
di dalam hatinya sendiri.
Tosu yang cerdik itu sengaja
tidak mau turun tangan lebih dulu. Bukan saja karena dia memang tak suka untuk
membantu dua orang hwesio kepercayaan putera mahkota yang diam-diam dimusuhi
pula oleh muridnya, yaitu Si Su Beng, akan tetapi juga dia hendak mempelajari
terlebih dahulu gerakan pemuda itu untuk mengukur sampai di mana tingkat
kepandaiannya supaya nanti kalau dia harus menghadapi pemuda itu, dia sudah
dapat mengetahui cara bagaimana harus melawannya.....