Pendekar Sakti Jilid 26-30

Kwan Cu menjadi bingung. Untuk membuktikan bahwa dia mampu membantu mereka ini dan mengalahkan para pemberontak, dia harus dapat menunjukkan kepandaiannya dan dapat mengalahkan Malita dan Malika.
Pendekar Sakti Jilid 26-30

Kwan Cu menjadi bingung. Untuk membuktikan bahwa dia mampu membantu mereka ini dan mengalahkan para pemberontak, dia harus dapat menunjukkan kepandaiannya dan dapat mengalahkan Malita dan Malika. Akan tetapi, hanya dengan tangan kosong saja, tak mungkin dia bisa mengalahkan mereka tanpa melukai mereka ini. Ia tentu akan dapat menggunakan Ilmu silat Sin-ci Tin-san yang lihai, akan tetapi apakah tubuh mereka yang kecil-kecil ini akan dapat menahan hawa pukulan Sin-ci Tin-san?


Makin lama, Malita dan Malika mendesaknya makin hebat sehingga Kwan Cu terpaksa menahan desakan mereka dengan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang. Meski ilmu silat ini hanya terdiri dari tiga jurus pukulan, akan tetapi dapat membuat dia bertahan secara kuat. Hawa pukulan yang ditimbulkan gerakan kedua tangannya merupakan perisai yang menangkis semua serangan lawan.

Malita dan Malika tak dapat mendekatinya lagi karena di sekitar tubuh pemuda itu bertiup angin pukulan yang membuat tubuh mereka terpental mundur kembali setiap kali mereka hendak menyerang. Kwan Cu masih tidak puas. Sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan sulingnya yang tadi dia ambil dari buntalan pakaian dan dia selipkan di ikat pinggangnya.

Malita memandang heran. Apakah pemuda raksasa yang aneh dan amat lihai ini hendak menyuling sambil bertempur? Akan tetapi, keheranannya makin bertambah ketika Kwan Cu bukannya menggunakan benda itu untuk menyuling melainkan mempergunakannya untuk bertempur!

Dengan sulingnya ini, Kwan Cu mulai memainkan gerakan-gerakan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Dia bermaksud mengalahkan dua orang gadis cilik ini dengan merampas pedang mereka. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dua orang gadis itu agaknya tidak gentar menghadapi sulingnya, bahkan agaknya sudah dapat menduga lebih dulu ke mana sulingnya akan bergerak sehingga mereka mampu mempertahankan diri dengan baik.

Melihat gerakan mereka, Kwan Cu merasa yakin bahwa mereka sudah mengenali ilmu pedangnya, karena ke mana pun juga dia hendak menggerakkan suling, keduanya sudah bersiap sedia dan setiap elakan demikian tepatnya. Untung bagi Kwan Cu bahwa kedua orang lawannya yang kecil itu tenaganya kecil pula sehingga baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk menangkis serangan-serangan mereka.

Akan tetapi diam-diam pemuda ini merasa kagum dan girang sekali. Ilmu pedang yang diperlihatkan oleh Malita dan Malika benar-benar hebat dan agaknya memang di tempat ini menjadi sumber dari ilmu-ilmu silat tinggi. Tidak salah lagi, tentu kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng berada di pulau yang dijadikan tempat sembunyi kaum pemberontak itu.

Kwan Cu menjadi girang dan penuh harapan. Memang tujuan dari pada perantauannya ke tempat-tempat aneh ini adalah untuk mendapatkan ilmu silat tinggi, dan sekarang dia telah menyaksikan orang-orang kecil yang memiliki ilmu silat mengherankan. Bagaimana dua orang gadis ini seolah-olah mengenal ilmu pedangnya yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai? Ia harus menyelidiki semua ini.

Setelah mengambil keputusan untuk mengalahkan dua orang gadis ini karena dia sudah puas menyaksikan ilmu pedang mereka, tiba-tiba saja Kwan Cu berseru nyaring sambil meyembunyikan sulingnya di balik lengan baju. Kini dia bersilat ilmu silat Sin-ci Tin-san, akan tetapi bukan menggunakan tangan, melainkan menggunakan ujung lengan bajunya!

Serangan yang sangat dahsyat ini benar-benar membuat Malita serta Malika kewalahan sekali. Seharusnya, ilmu silat ini dimainkan dengan jari tangan yang melakukan serangan menotok, akan tetapi oleh karena Kwan Cu tak ingin mencelakai dua orang gadis ini, dia mempergunakan ujung lengan baju sebagai gantinya. Ia telah memperhitungkan dengan tepat dan mendapat akal bagaimana harus mengalahkan lawan-lawannya.

Sambaran pukulan yang dilakukan dengan ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga lweekang yang berat, maka benarlah sebagaimana perhitungannya, ketika ujung pedang kedua orang gadis ini beradu dengan ujung lengan bajunya, mereka berteriak kesakitan karena telapak tangan mereka menjadi panas. Kwan Cu mempergunakan lweekang-nya untuk mengubah ujung lengan baju yang tadinya keras kaku menjadi lembek. Sekejap mata saja dua pedang itu sudah terlibat ujung lengan baju dan sekali dia menggerakkan kedua tangannya, pedang-pedang itu lantas terampas olehnya.

Malita dan Malika menghentikan gerakan mereka dan dengan menjura Malita menulis di atas tanah dengan ujung sepatunya.

‘Kami menyerah kalah dan percaya penuh akan kelihaianmu.’

‘Kalian memiliki ilmu pedang yang hebat sekali,’ jawab Kwan Cu sambil mengembalikan dua batang pedang kecil itu.

‘Akan tetapi, Kahano beserta kawan-kawannya lebih berbahaya lagi. Kalau menghadapi mereka, kau harus mempergunakan kedua tanganmu, dan untuk menjaga supaya jangan kau terluka oleh senjata mereka yang mengandung racun berbahaya, kedua tanganmu harus digosok lebih dulu dengan obat kami,’ kata Malita.

Sesudah mendapat kenyataan bahwa pemuda raksasa itu benar-benar lihai, Malita dan kawan-kawannya menjadi amat gembira dan penuh harapan. Malita segera mengadakan pesta perjamuan untuk menghormati raksasa muda yang akan menolong mereka itu. Di dalam kesempatan ini Kwan Cu mempelajari bahasa mereka yang terdengar amat kaku bagi telinganya.

Malita dan Malika mengajak Kwan Cu untuk berunding bagaimana harus mengadakan penyerangan terhadap pemberontak.

“Yang terberat untuk dihadapi hanya enam orang di bawah pimpinan Kahano itu,” kata Malita sambil menjelaskan dengan tulisan bagian kata-kata yang tidak atau belum dapat dimengerti oleh Kwan Cu, “tentang anak buah mereka, serahkan saja kepada kami dan kawan-kawan. Asal kau sudah dapat mengalahkan dan menawan enam orang itu, tentu akan beres. Akan tetapi sukarnya, mereka itu menyembunyikan diri dalam goa-goa yang panjang dan gelap dan pertahanan mereka di situ kuat sekali. Setiap kali kami hendak menyerbu masuk, kami lantas dihujani anak panah dan senjata rahasia dari dalam goa.”

“Kita lihat saja dulu keadaan mereka di sana, baru nanti mencari akal,” kata Kwan Cu sambil makan hidangan yang enak akan tetapi aneh bagi lidahnya.

Dia merasa agak malu-malu ketika melihat betapa semua wanita itu menonton dia makan hidangan yang bagi mereka amat banyak itu. Hm, alangkah gembulku dalam pandangan mereka, pikir Kwan Cu.

Malam hari itu Kwan Cu bermalam di dusun mereka. Karena tidak ada rumah atau kamar yang cukup besar bagi Kwan Cu, terpaksa pemuda ini bermalam di luar rumah-rumah kecil itu, di udara terbuka. Namun dia mendapat hiburan yang luar biasa sekali.

Pada saat hari mulai gelap dan dia telah membaringkan tubuhnya di bawah pohon untuk mengaso dan mengenangkan semua pengalamannya yang amat aneh-aneh itu, tiba-tiba nampak banyak sekali obor yang menerangi tempat itu. Berbarengan dengan munculnya obor-obor ini, terdengar suara tetabuhan yang amat merdu namun aneh sekali iramanya. Suara tetabuhan ini lalu disusul oleh nyanyian bersama yang membuat Kwan Cu merasa heran, karena dalam suara nyanyian bersama ini, dia mendengar adanya suara laki-laki yang besar!

Obor-obor itu makin mendekat dan Kwan Cu melihat sesuatu yang membuat dia terkejut dan juga gembira, karena tanpa diduga-duganya bahwa para pemegang obor itu adalah wanita-wanita dan juga laki-laki bangsa katai itu. Mereka tampak begitu rukun dan damai, ada pun di antara mereka nampak pula banyak anak-anak kecil yang dalam pandangan Kwan Cu luar biasa lucunya, seperti bayi-bayi berjalan!

Malita dan Malika memimpin rombongan ini dan menurut tafsiran Kwan Cu tidak kurang dari lima puluh orang wanita-wanita muda dan dua puluh orang lelaki muda yang datang membawa obor itu. Pakaian mereka seragam, yang wanita merah dan yang laki-laki biru. Agaknya mereka dalam keadaan dan suasana berpesta riang gembira.

Kwan Cu bangun dan duduk bersandarkan pohon. Malita menghampirinya dan bersama Malika, dia menjura tanda menghormat yang dibalas Kwan Cu dengan anggukan kepala dan senyum ramah.

“Nasehatmu baik sekali, saudara Kwan Cu. Lihat, laki-laki yang tadinya menjadi tawanan kami, sekarang sudah kami bebaskan dan setelah kami menjelaskan tentang nasehatmu agar kami hidup rukun dan damai saling mengalah dan saling melindungi, mereka mau menerima dengan gembira dan menyatakan hendak membantu kami menumpas Kahano dan kawan-kawannya.”

“Bagus sekali! Tidak ada berita lebih menggirangkan dari pada ini,” kata Kwan Cu.

Ada pun orang-orang lelaki yang berada di situ, lalu bersama maju dan berlutut di depan Kwan Cu dengan mata memandang kagum dan juga agak takut-takut.

Kwan Cu melihat betapa kaum lelaki di situ memang bersemangat kecil dan jelas sekali nampak sifat rendah diri dan kalah pengaruh oleh kaum wanitanya. Namun harus diakui bahwa mereka pun mempunyai bentuk yang tampan dan menarik serta potongan tubuh yang bagus. Anak-anak kecil kelihatan lucu sekali ketika mereka memandang kepada ‘raksasa muda’ itu dengan mata terbelalak ketakutan.

“Kami sengaja mengumpulkan orang-orang untuk menghiburmu sebagai penghormatan,” kata Malita, kemudian ia memberikan tanda dengan tangannya.

Tetabuhan dibunyikan semakin gencar dan dari rombongan itu keluarlah belasan orang gadis dengan pakaian indah, menari-nari di hadapan Kwan Cu dengan gerakan lemah gemulai. Kwan Cu terpesona. Belum pernah dia menyaksikan tari-tarian yang demikian indahnya, ditarikan oleh gadis-gadis yang biar pun bentuk tubuhnya sudah menunjukkan kepenuhan dan kedewasaan, tapi tingginya hanya sampai di pahanya saja! Seakan-akan dia melihat boneka-boneka hidup menari dengan indahnya.

Semua ini menggembirakan hati Kwan Cu, namun yang paling menggembirakan adalah sikap laki-laki dan wanita yang berada di situ, saling pandang antara suami isteri, penuh cinta kasih dan pengertian, tertawa-tawa dan tiada ubahnya dengan pasangan-pasangan di dusun-dusun di negaranya, di mana hidup petani-petani yang sederhana akan tetapi selalu hidup rukun dengan keluarganya.

“Pesta seperti biasanya kami lakukan setahun sekali,” kata Malita kepada Kwan Cu tanpa mempergunakan tulisan karena Kwan Cu yang berotak cerdik luar biasa itu sebentar saja sudah menguasai bahasa percakapan yang mudah-mudah.

“Untuk merayakan apakah?” tanya Kwan Cu sambil menikmati gerak tarian para gadis cantik yang berputar-putar di hadapannya menurutkan irama lagu.

“Untuk merayakan dewi bulan. Dalam perayaan itu para dara mendapatkan kesempatan untuk memilih calon jodohnya.”

Kwan Cu tertegun. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata. Hemm, benar-benar dunia nyata di pulau ini. Bahkan dalam hal memilih jodoh, wanitalah yang berhak memilih!

“Jadi laki-laki tak berhak memilih jodohnya?” tanyanya.

Sepasang mata Malita memancarkan sinar penasaran. “Laki-laki memilih? Hemm, akan rusaklah semua kalau laki-laki yang diberi kekuasaan memilih jodohnya. Laki-laki selalu memilih jodohnya berdasarkan kecantikan wanita dan keindahan bentuk tubuh! Laki-laki seakan-akan buta dalam hal memilih jodoh. Kalau mereka memilih, tentu tak akan dapat terbentuk rumah tangga bahagia. Mereka selalu memilih yang cantik-cantik, akan tetapi akhirnya bercekcok di kemudian hari karena ternyata pilihannya itu tidak cocok dengan wataknya sendiri. Kemudian bagaimana? Mereka itu, laki-laki buta itu, akan mencari-cari wanita lain!”

Kwan Cu tersenyum. “Malita, agaknya kau masih belum dapat melenyapkan kebencian terhadap laki-laki di dalam hatimu.”

Malita tersenyum juga menjadi sabar kembali. “Bukan semata-mata terdorong kebencian, melainkan berdasarkan kenyataan. Sifat buruk laki-lakilah yang memancing kebencian di dalam hati wanita.”

“Kurasa tak akan terjadi seperti penuturanmu itu apa bila pemilihan laki-laki berdasarkan cinta kasih.” Kata Kwan Cu.

Tiba-tiba gadis bertahi lalat di pipinya itu tertawa berkikikan sambil menutupi mulutnya, seakan-akan mendengar sesuatu yang sangat menggelikan hatinya. Tentu saja Kwan Cu menjadi melongo karena dia tidak mengerti apa gerangan yang ditertawakan oleh Malita.

“Ehh, kau tertawa begitu geli, ada apakah?” tanyanya dengan tak senang karena berada di tengah-tengah orang-orang katai ini, kembali datang perasaan tidak sedap dalam hati Kwan Cu yang merasa bahwa dia akan kembali menjadi buah tertawaan.

“Apakah di antara bangsa raksasa terdapat juga perasaan cinta kasih yang membikin gila orang?” tanya Malita.

“Tentu saja ada. Apa kau kira kami bangsa yang kau sebut raksasa bukan manusia yang mempunyai perasaan dan hati?”

“Bukan begitu maksudku, saudara Kwan Cu yang baik. Melihat kau serta kepandaianmu, tadinya kukira bahwa bangsamu adalah manusia-manusia yang sudah pandai dan tidak bodoh serta lemah sehingga mudah pula dikuasai oleh perasaan palsu yang kita sebut cinta kasih. Akan tetapi ternyata sama saja dengan kami, masih dapat dipengaruhi oleh perasaan palsu itu.”

“Bagaimana kau berani menyatakan bahwa cinta kasih itu adalah sesuatu perasaan yang palsu?” tanya Kwan Cu penasaran.

“Cinta kasih yang timbul di dalam hati wanita memang murni dan suci, akan tetapi cinta kasih di dalam dada seorang laki-laki hanyalah palsu belaka! Cinta kasih seorang laki-laki hanya berdasarkan nafsu, berdasarkan rasa tertarik dan suka kepada wajah yang indah, bentuk tubuh yang menggairahkan! Sebaliknya, cinta kasih yang timbul dalam hati wanita berdasarkan watak yang baik dan budi bahasa yang halus, bukan semata-mata karena wajah yang tampan dan gagah!”

Kwan Cu kembali tertegun. Baru kali ini dia mendengar filsafat seperti ini sungguh pun dia memang jarang sekali mendengar atau tidak pernah membaca tentang filsafat cinta kasih. Namun dia penasaran sekali karena sebagai seorang laki laki dia merasa laki-laki sangat direndahkan oleh ucapan itu.

“Tak mungkin!” ia membantah. ”Tidak semua laki-laki hanya mendasarkan cintanya pada nafsu dan keindahan. Ada pula laki-laki yang berpribudi dan bijaksana.”

“Seribu satu saudara Kwan Cu. Seribu orang hanya ada satu! Aku berani bertaruh bahwa seorang laki-laki tidak akan suka mencinta seorang wanita yang buruk rupa atau cacad tubuhnya. Ehh, apakah kau sendiri sudah mempunyai seorang wanita yang kau kasihi?”

Kwan Cu tak dapat menjawab, wajahnya memerah. Ia teringat akan sumpahnya di depan gadis raksasa Liyani bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Akan tetapi di depan Malita dia tidak menyatakan sesuatu.

“Saudara Kwan Cu, andai kata kau sudah mempunyai seorang gadis yang kau cinta, aku berani memastikan bahwa gadis itu tentulah seorang yang cantik manis, bukan seorang gadis yang tidak ada hidungnya! Aku tidak percaya akan ada seorang laki-laki yang mau mencintai seorang gadis yang hidungnya lenyap atau rusak.” Setelah berkata demikian, Malita tertawa mengejek.

“Kau mau menang sendiri saja,” Kwan Cu merasa perutnya panas, ”aku juga merasa yakin bahwa tidak ada seorang gadis yang mau menjadi isteri dari seorang laki-laki yang hidungnya rusak seperti yang kau katakan tadi.”

“Siapa bilang tidak mungkin? Banyak wanita yang mencinta sepenuh hati suaminya yang buruk rupa, yang bopeng, yang pincang dan sebagainya. Cintanya suci murni, karena seperti kukatakan tadi, cinta kasih seorang wanita berdasarkan kesetiaan, berdasarkan watak baik dan kecocokan hati dan pikiran, bukan seperti laki laki yang buta cinta, hanya suka kepada apa yang baik dan menarik, akan tetapi mudah pula bosan setelah melihat wanita lain yang lebih menarik!”

Kwan Cu menjadi panas, akan tetapi dia sempat menahan gelora hatinya dan hampir saja dia tertawa. Untuk apakah berdebat urusan cinta dengan gadis ini?

“Sesukamulah, Malita. Hanya kalau kau dan kawan kawanmu mau menuruti nasehatku, dalam menetapkan perjodohan, harus ada persetujuan kedua fihak, baik dari si wanita mau pun dari si lelaki, baik dari fihak wanita mau pun dari fihak laki-laki jangan sekali kali ada paksaan. Dengan demikian, kiranya baru akan dapat dibentuk rumah tangga yang damai.”

Pesta penghormatan itu berjalan sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba saja banyak sekali obor yang mendadak padam dan terdengar jeritan di sana sini. Kwan Cu terkejut sekali melihat beberapa orang laki-laki yang tadi memegang obor, terjungkal roboh dan keadaan menjadi panik. Di bawah penerangan bulan kelihatan bayangan yang amat gesit di sana sini dan anak panah-anak panah yang kecil menyambar-nyambar.

Kwan Cu dan Malita melompat bangun.

“Mereka datang menyerbu!” seru Malita marah sambil mencabut pedangnya.

“Biar aku yang menghadapi mereka!” Kwan Cu berseru. Pemuda ini berlari cepat dengan lompatan-lompatan jauh menuju ke arah para penyerbu.

Memang benar dugaan Malita, banyak sekali orang katai datang dari arah pantai sambil menghujankan anak panah kepada orang-orang yang sedang berpesta itu. Kahano yang mendengar bahwa pulau itu kedatangan seorang raksasa dan bahwa para wanita tengah mengadakan pesta pada malam itu, dan terutama sekali mendengar betapa para laki-laki yang tertawan kini sudah berbaikan dengan para wanita, menjadi marah dan memimpin semua orang menyerbu.

Kwan Cu yang berlari mendatangi, mendadak disambut oleh puluhan batang anak panah yang kecil-kecil tapi datangnya cukup berbahaya. Pemuda ini cepat mencabut sulingnya kemudian memutarnya seperti pedang sehingga semua anak panah yang kecil-kecil itu tersampok runtuh. Dia maju terus dan para pemberontak itu ketika menyaksikan betapa raksasa ini amat tangguh, menjadi ketakutan dan berlari cerai-berai!

Akan tetapi, pada saat itu pula, Malita dan Malika serta kawan-kawannya telah datang menyerbu dan terjadilah pertempuran yang hebat. Kwan Cu menyerang ke sana ke mari dengan sulingnya. Dia tidak ingin membunuh, hanya mempergunakan tenaganya untuk membuat senjata-senjata lawan terlempar sambil berseru berkali-kali,

“Malita, jangan bunuh mereka, tawan saja!”

Menghadapi amukan raksasa ini, orang-orang katai yang sudah panik itu menjadi makin kacau balau. Apa lagi memang kepandaian para wanita itu hebat dan walau pun mereka menerima latihan ilmu silat tinggi yang aneh dari Kahano, namun masih belum sanggup mengatasi kepandaian para wanita.

Sebentar saja mereka sudah dapat dikalahkan, terluka dan tertawan. Kwan Cu sengaja mencegah mereka itu melarikan diri, tetapi setelah dia menjaga di pantai dan menangkap setiap orang katai yang hendak melarikan diri, dan pertempuran selesai, ternyata bahwa betapa pun juga, Kahano dan lima orang kawannya telah melarikan diri dari pulau itu!

Malita dan kawan-kawannya girang sekali melihat betapa semua anak buah Kahano kini telah dapat tertawan, sungguh pun Malita masih penasaran karena Kahano bersama lima orang kawannya yang menjadi biang keladi kekacauan itu dapat melarikan diri.

Pada malam hari itu juga, Malita beserta kawan-kawannya lalu memberi nasehat kepada semua tawanan, dibantu pula oleh orang-orang lelaki yang telah insyaf dan baik kembali. Para tawanan itu setelah mendapat penerangan bahwa semenjak hari itu tidak akan ada tindas-menindas antara laki-laki dan wanita, bahwa akan diadakan kerja sama yang baik menurut nasehat Kwan Cu raksasa muda itu, menjadi sangat terharu. Mereka tadinya kena hasutan Kahano hanya karena mereka menganggap pihak wanita terlalu menindas dan merendahkan mereka yang bertenaga lebih besar.

“Setiap pelanggaran atau kejahatan, setiap penindasan dan kekejaman, baik dilakukan oleh wanita mau pun laki-laki, akan diadili dan yang melakukan akan dihukum!” demikian Malita menutup penerangannya, sesuai dengan nasehat dan penerangan Kwan Cu yang memasukkan aturan-aturan bangsanya kepada bangsa katai ini.

Pada keesokan harinya, diantar oleh Malita, Malika beserta sepuluh orang prajurit wanita, Kwan Cu naik perahunya menuju ke pulau yang dijadikan tempat sembunyi Kahano dan lima orang kawannya. Melihat pulau itu dari perahunya, Kwan Cu berdebar hatinya.

Tidak salah lagi, inilah pulau yang ditunjuk di dalam buku sejarah, tempat Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan. Ia melihat pulau yang kecil dan bentuknya bundar dan dari jauh telah nampak pohon-pohon yang keputih-putihan, batu-batu karang yang menjulang tinggi dan goa-goa di batu karang yang bermulut hitam gelap.

“Itulah Pek-hio-to (pulau daun putih) yang dijadikan tempat sembunyi Kahano bersama kawan-kawannya,” kata Malita kepada Kwan Cu.

Di dalam kegembiraan dan ketegangan hatinya, Kwan Cu tidak menjawab, melainkan dia mendayung semakin cepat lagi ke arah pulau itu sehingga perahunya meluncur sangat cepat dan membuat para wanita itu memandang dengan kagum.

Pulau kecil itu ternyata paling tinggi letaknya di antara semua pulau-pulau kecil yang ada di sekitar daerah itu. Kelihatannya seperti bukit kecil yang berwarna putih.

Sesudah Kwan Cu mendaratkan perahunya, dia dan semua wanita katai melompat turun ke pantai. Malita mengeluarkan sehelai sapu tangan warna putih dari balik bajunya dan memberikan sapu tangan itu kepada Kwan Cu.

“Seperti telah kukatakan kemarin, Kahano dan kawan-kawannya menggunakan bisa ular pada ujung senjata mereka. Bisa itu sangat berbahaya, dan kalau kulit tanganmu sampai terluka, nyawamu akan terancam bahaya. Akan tetapi jika kau menggosok-gosok kedua tanganmu dengan sapu tangan yang sudah mengandung obat penawar ini, kau tak usah takut menghadapi ujung senjata mereka.”

Kwan Cu menerima sapu tangan itu sambil mengucapkan terima kasihnya kemudian dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dengan sapu tangan itu. Aneh sekali, terasa panas dan gatal-gatal tangannya, akan tetapi Malita meminta dia menggosok-gosok terus sampai lenyap rasa gatal-gatal itu.

Benar saja, lama-lama lenyap rasa gatalnya, tinggal rasa panas-panas hangat di telapak tangannya. Dia lalu mengembalikan sapu tangan putih kepada Malita dan diam-diam dia merasa kagum. Agaknya gadis ini adalah seorang ahli mengenai senjata yang berbahaya dan racun sehingga perlu membawa sapu tangan-sapu tangan yang aneh dari berbagai warna. Kwan Cu masih teringat sapu tangan merah yang dapat membuat dia mabuk dan tertidur.

“Di mana tempat mereka bersembunyi?” Kwan Cu bertanya sambil mengajak Malita dan kawan-kawannya naik ke tengah pulau.

Mata pemuda ini memandang ke sekelilingnya dan dia melihat bahwa pulau itu memang aneh sekali dan keadaannya juga menyeramkan. Pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak banyak, akan tetapi daun-daunnya berwarna putih belaka, juga rumput-rumputan banyak yang berwarna putih.

Pulau ini mengingatkan dia kepada daerah utara bila mana sedang dilanda musim salju. Goa-goa yang banyak terdapat di bukit karang itu nampak menghitam, sehingga sangat jelas terlihat di antara daun-daun yang putih itu.

“Sukar untuk mengatakan di mana mereka bersembunyi. Goa-goa di sini banyak sekali dan di antaranya terdapat lima buah goa yang merupakan terowongan bersambung satu dengan yang lainnya,” jawab Malita sambil memimpin rombongan itu kepada sebuah goa yang gelap. “Nah, goa ini yang terbesar, akan tetapi dari goa ini orang dapat mencapai goa-goa di lain bagian.”

Kwan Cu melihat ada bekas tapak-tapak kaki kecil di sekitar mulut goa dan tahu bahwa memang orang-orang katai itu menyembunyikan diri di dalam goa. Akan tetapi agaknya sia-sia kalau hendak mengejar, karena orang-orang itu dari dalam goa yang gelap tentu akan melihat kedatangannya sehingga mereka bisa melarikan diri melalui mulut goa yang lain. Di samping itu, goa itu memang cukup besar bagi orang-orang katai, namun bagi dia agaknya dia hanya dapat masuk dengan jalan merangkak! Ini berbahaya sekali! Akhirnya dia mendapat akal.

“Kumpulkan kayu-kayu bakar dan daun-daun kering di mulut goa yang berhubungan satu dengan yang lain itu, tutup empat mulut goa dengan kayu bakar dan daun kering, biarkan yang satu ini saja terbuka. Setelah penuh dengan kayu bakar , bakar semua tumpukan itu supaya asapnya memenuhi goa dan terowongan. Asap itulah yang akan memaksa mereka keluar dari goa melalui mulut goa ini dan aku akan menjaga di sini.”

Mendengar siasat ini, Malita mengangguk-angguk dengan kagum. Dia segera mengatur dan memecah kawan-kawan menjadi empat bagian untuk melakukan tugas menutup dan membakar mulut goa. Ada pun Kwan Cu lantas bersembunyi di belakang batu karang, menjaga kalau-kalau para pemberontak itu muncul dari goa besar itu.

Tempat sembunyi Kwan Cu adalah di balik pohon yang berada di dekat goa dan pemuda ini bersandar pada batu karang itu. Tanpa sengaja tangannya menyentuh batu karang yang hitam itu dan mendapatkan bagian-bagian yang halus teraba oleh tangannya. Dia memandang dan melihat ukiran-ukiran seperti huruf di dinding batu karang di luar goa. Akan tetapi coretan atau ukiran itu tak dapat dibaca karena telah tertutup oleh tanah yang mengeras, merupakan kulit dari batu karang itu.

Kwan Cu mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan untuk menarik keluar kulit batu karang itu. Sebagian dari kulit yang terjadi dari tanah mengeras itu terlepas dan ternyata bahwa huruf itu adalah huruf LIU. Berdebar hati Kwan Cu.

Huruf ini mengingatkan dia akan bunyi kitab sejarah yang dia dapatkan di dalam sumur di Kun-lun-san, yakni kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang menyatakan bahwa kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong oleh LIU PANG yang akhirnya menjadi raja. Dia segera mengerjakan kedua tangannya untuk melepaskan kulit batu karang yang menutup huruf-huruf selanjutnya.

Sementara itu, Malita, Malika dan kawan-kawan mereka sudah mulai bekerja, menutupi empat mulut goa yang lainnya dengan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu membakar semua itu. Asap yang tebal bergumpal-gumpal lalu memasuki goa dan terus memasuki terowongan itu!

Karena amat tertarik oleh ukiran huruf di dinding sebelah luar goa, Kwan Cu lupa bahwa dia sedang bertugas menunggu munculnya Kahano dan kawan-kawannya, dan dia tidak ingat lagi bahwa sudah beberapa lama dia bekerja mencoba untuk melepaskan kulit batu karang yang sudah amat keras dan menjadi satu dengan batunya. Setelah dengan susah payah bekerja sehingga kuku-kuku jari tangannya sampai pecah-pecah, akhirnya Kwan Cu dapat membaca empat huruf yang berbunyi LIU SIN TONG TANG (Guna Anak Ajaib Liu).

Hampir saja Kwan Cu berjingkrak saking girangnya. Tak salah lagi, yang dimaksudkan dengan anak ajaib she Liu itu tentu bukan lain adalah Liu Pang, karena anak yang kelak menjadi kaisar patut disebut atau menyebut diri sendiri sebagai anak ajaib. Ia pun makin dekat dengan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang sudah lama dicari-carinya.

Akan tetapi pada saat itu asap telah memasuki terowongan dan bahkan sudah ada asap yang keluar dari mulut goa yang dijaga oleh Kwan Cu. Tidak lama kemudian terdengarlah batuk-batuk dan tampak enam orang katai berlari-lari keluar dari dalam goa itu.

Gerakan mereka gesit sekali dan keenam-enamnya memegang sebatang pedang kecil yang nampaknya tidak berbahaya, akan tetapi yang sesungguhnya mengandung racun putih yang sangat berbahaya pada ujungnya. Enam orang itu bukan lain adalah Kahano beserta lima orang kawannya.

Kwan Cu yang mendengar suara mereka, lalu memandang. Dia melihat seorang katai yang usianya sudah agak tua, dengan kumis dan jenggot putih tebal menutupi mulutnya. Lima orang yang lain berkepala gundul dan biar pun mereka masih muda-muda, namun wajah mereka buruk rupa dan nampak kejam-kejam.

Kwan Cu teringat akan penuturan Malita bahwa lima orang yang menjadi murid Kahano adalah pemuda-pemuda jahat yang dibenci oleh para gadis karena sikap mereka yang kurang ajar. Yang menarik perhatian adalah sapu tangan yang mengikat kepala mereka. Sapu tangan itu berwarna kuning dan bentuknya sama, seakan-akan dijadikan semacam tanda pengenal bagi golongan mereka.

“Tak salah lagi, dialah Kahano dan kawan-kawannya,” pikir Kwan Cu.

Hati pemuda ini sedang gembira sekali berhubung sudah ditemukannya huruf-huruf yang menyatakan bahwa dia benar-benar berada pada pulau yang dicari-carinya. Ia melompat keluar dan dengan dua kali lompatan saja dia sudah sampai di depan enam orang yang sedang mengatur napas untuk menghilangkan pengaruh asap yang menyerang mereka di dalam terowongan dan goa. Cara mereka mengatur napas membuat Kwan Cu terkejut, karena itulah pengaturan napas dari ilmu lweekang yang sangat tinggi.

Ada pun Kahano dan kawan-kawannya, pada saat melihat kedatangan Kwan Cu menjadi marah sekali.

“Hemm, jadi kaukah yang memimpin mereka dan melakukan akal ini?” tanya Kahano dan Kwan Cu kembali merasa tertegun karena kini Kahano menggunakan bahasa yang biasa dipergunakan oleh penduduk Tiongkok di bagian utara!

“Kau bisa bahasa daratan Tiongkok?” tanya Kwan Cu terheran-heran.

“Tentu saja bisa, karena aku pun seorang yang berasal dari sana,” jawab Kahano. “Oleh karena itu, mengingat hubungan antara orang kang-ouw, kuharap kau tidak mencampuri urusan kami dan jangan kau mengganggu kami.”

Memang benar bahwa sebenarnya Kahano adalah seorang keturunan Jepang-Tiongkok yang telah lama merantau di daratan Tiongkok daerah utara, yaitu di perbatasan Mongol. Ketika merantau di sana, dia telah mempelajari ilmu silat dan di dunia kang-ouw terkenal sebagai orang yang kurang baik. Kadang-kadang dia turut dengan serombongan pemain akrobat dan bermain sebagai seorang pelawak yang cocok sekali dengan keadaannya yang pendek kecil itu.

Setelah dia merasa bosan di daratan Tiongkok, dia mengambil keputusan untuk kembali ke Jepang dengan naik perahu. Akan tetapi perahunya terserang oleh taufan hebat dan akhirnya dia terdampar dalam keadaan pingsan di atas pulau bangsa katai itu.

Dia dianggap sebagai bangsa sendiri oleh mereka dan Kahano yang cerdik itu pura-pura bisu sehingga dia tidak dicurigai. Sesudah dapat mempelajari bahasa orang-orang katai itu, barulah dia berbicara dan mendongeng bahwa dia adalah seorang yang terpilih oleh dewata sebagai calon pemimpin mereka, akan tetapi dengan syarat menjadi bisu untuk beberapa tahun!

Dongengnya ini dipercaya oleh sebagian orang lelaki, akan tetapi tidak dipercaya oleh kaum wanitanya sehingga semenjak Kahano berada di sana, di antara mereka timbullah pertentangan. Akan tetapi, ternyatalah oleh mereka bahwa Kahano pandai sekali ilmu silat dan bukan merupakan laki-laki yang lemah.

Melihat kecantikan Malita dan Malika, Kahano yang sudah agak tua itu jadi tergila-gila dan timbullah satu kehendak rendah. Ia ingin menjadi raja dari bangsa itu dan mengambil Malita serta Malika sebagai isteri-isterinya!

Mula-mula kehendak atau cita-cita ini dipendamnya saja karena kedudukan ayah kedua gadis ini kuat sekali sebagai raja yang terkasih dan bijaksana. Namun sedikit demi sedikit dia menanam rasa penasaran dan memberontak dalam hati kaum laki-laki sehingga dia berhasil mempunyai pengikut yang banyak juga. Kemudian meninggallah raja, ayah dari kedua orang dara jelita itu dan kesempatan ini segera dipergunakan oleh Kahano untuk memberontak.

Ketika Kwan Cu mendengar Kahano dari daratan Tiongkok, dia menjadi sangat marah.

“Kahano, apa bila kau bukan penduduk asli, maka dosamu lebih besar lagi. Kau sudah menghasut orang-orang untuk memberontak dan maksudmu untuk menjadi raja serta mengambil puteri-puteri itu sebagai isteri, telah menunjukkan betapa rendah martabatmu. Lebih baik kau dan pengikut-pengikutmu ini menyerah saja. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum asal saja kalian suka berjanji untuk selanjutnya tidak akan melakukan kekacauan lagi. Ketahuilah bahwa sekarang kaum perempuan bangsa katai ini telah insyaf, bahwa cara satu-satunya untuk mencapai perdamaian antara kaum laki-laki dan wanita, adalah dengan kerja sama dan persamaan hak, seperti yang terjadi di negara kita.”

Kahano tertawa bergelak. Biar pun orangnya kecil, ternyata suara ketawanya besar.

“Ha-ha-ha, orang muda sombong. Kau dapat membodohi mereka ini, akan tetapi apa kau kira aku tidak tahu bagaimana perangai kaum laki-laki di daratan Tiongkok? Apa kau kira aku tidak tahu betapa ayah bunda yang kelaparan menjual anak-anak gadisnya kepada orang-orang kaya, tuan-tuan tanah tua, hanya untuk ditukar dengan makanan? Memang sudah semestinya begitu. Orang perempuan memang dilahirkan cantik dan ditakdirkan untuk menjadi alat penghibur laki-laki. Mereka makhluk lemah yang harus menurut dan taat kepada laki-laki, akan tetapi di pulau ini terjadi sebaliknya. Aku hendak mengubah aturanmu itu, sesuai dengan aturan bangsamu, apakah kau masih berani mati untuk merintangi kehendakku? Siapakah kau ini berani mati mencampuri urusan orang lain?”

“Aku bernama Lu Kwan Cu dan aku sekali-kali bukan bermaksud mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi sudah menjadi tugasku untuk membela orang-orang tertindas dan melenyapkan pengacau-pengacau keamanan seperti engkau ini!”

Kahano mengutuk dan memberi aba-aba kepada lima orang pembantunya. Enam orang katai itu segera bergerak secara teratur sekali, mengurung Kwan Cu dari enam jurusan. Melihat gerakan kaki mereka, diam-diam Kwan Cu memuji. Mereka ini memiliki gerakan kaki yang amat teratur dan gesit sekali, dan sikap mereka menyatakan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tinggi.

Setelah Kahano berseru keras, enam orang itu mulai menyerang. Pedang pendek pada tangan mereka bergerak cepat. Serangan mereka tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan secara teratur sekali, susul-menyusul seakan-akan memang keenam orang itu sudah berlatih terlebih dahulu untuk maju berenam dengan ilmu silat tertentu yang harus dilakukan oleh enam orang!

Kwan Cu terkejut dan cepat mengelak. Akan tetapi, biar pun dia dapat mengelak dari serangan pertama tahu-tahu orang kedua sudah menyusul serangan dari belakang, dan ketika dia membalikkan tubuh sambil mengelak ke kiri, orang di sebelah kanan sudah menyusul serangan ke tiga. Dengan demikian, setiap serangan selalu datang dari arah belakangnya dan setiap serangan merupakan serangan yang amat berbahaya.

“Lihai sekali!” seru Kwan Cu tanpa terasa lagi.

Dia merasa gentar untuk menghadapi mereka dengan tangan kosong, maka cepat dia mencabut sulingnya, yakni satu-satunya senjata yang selalu berada di tubuhnya. Dengan suling ini, dia lalu mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat. Ia menangkis dengan keras dan membalas serangan enam orang pengeroyoknya.

Akan tetapi, segera terjadi hal yang sangat mengherankan, juga mengecilkan hati Kwan Cu. Tiba-tiba Kahano berseru dan kini enam orang itu semuanya membalasnya dengan serangan yang mirip dengan ilmu pedangnya pula! Malah lebih hebat lagi, agaknya enam orang itu setengah dapat menduga ke mana pedangnya akan bergerak selanjutnya, dan seakan-akan keenam orang itu pernah mempelajari Hun-kai Kiam-hoat, meski pun belum mahir betul.

Menghadapi keroyokan yang dilakukan dengan ilmu silat yang sama dengan ilmu pedangnya, Kwan Cu menjadi bingung sekali. Apa lagi senjatanya hanya sebatang suling yang tengahnya kosong sehingga tidak dapat dia gerakkan dengan tenaga besar. Maka, walau pun dia dapat menangkis setiap serangan lawan, namun dia tidak kuasa membuat lawannya itu melepaskan pedangnya.

Kwan Cu terkurung semakin hebat dan pada saat-saat tertentu, dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh Kahano, enam orang itu mengubah gerakan mereka dan tiba-tiba saja maju menubruk berbareng dengan dahsyat sekali! Walau pun Kwan Cu sudah berusaha mengelak sambil memutar sulingnya, akan tetapi bajunya terobek oleh tiga ujung pedang kecil.

Pemuda ini berubah air mukanya. Ia maklum bahwa ujung pedang mereka mengandung racun yang berbahaya. Sekali kulit tubuhnya tergurat ujung pedang, besar kemungkinan nyawanya akan melayang! Lebih hebat lagi, selagi pemuda ini kebingungan, mendadak Kahano melompat ke atas dan sebuah tendangan yang sangat cepat sudah mengenai pergelangan tangan Kwan Cu yang memegang suling.

Pemuda ini merasa pergelangan tangannya kaku. Memang dulu Kahano adalah pemain akrobat, loncatannya tinggi dan tendangannya tepat mengenai urat besar sehingga Kwan Cu tidak kuasa memegang sulingnya lagi yang langsung terlempar jauh.

“Ha-ha-ha! Lu Kwan Cu bocah sombong. Baru kini kau mengenal kelihaian Kahano!” Si katai berjenggot ini tertawa bergelak saking girangnya. Lima orang kawannya mendesak makin hebat, mendapat tambahan semangat melihat hasil tendangan pemimpin mereka yang lihai.

Kwan Cu segera dapat menenteramkan hatinya. Dia teringat bahwa di antara anggota tubuhnya, yang berani menghadapi ujung pedang enam orang lawannya hanya kedua tangannya yang sudah diberi obat oleh Malita. Dia teringat pula betapa tenaga keenam orang ini kecil saja, terbukti pula dari tendangan tadi.

Tendangan Kahano itu tidak mengandung tenaga besar, dan hasil yang baik itu hanya karena tepatnya tendangan itu mengenai urat besar di pergelangan tangannya. Teringat akan hal ini, Kwan Cu berseri wajahnya dan dia tersenyum.

“Kahano, kaulah yang sombong. Sekarang akan kau rasai kelihaian Lu Kwan Cu!” sambil berkata demikian, Kwan Cu menggerakkan tangannya dengan jari-jari terpentang.

Ia lalu bersilat dengan ilmu silat Sin-ci Tin-san yang mengandung tenaga lweekang dan gwakang sangat besar sehingga baru sambaran hawa pukulannya saja sudah sanggup merobohkan lawan. Di samping itu, dia pun menggerakkan kedua kakinya menurutkan gerakan ilmu silat Sam-hoan-ciang sehingga dia seakan-akan mempunyai muka tiga dan gerakan-gerakan kakinya selalu membentuk segitiga sehingga tidak dapat di serang dari belakang oleh lawan-lawannya.

Sungguh tepat gerakan Kwan Cu ini. Begitu dia mainkan ilmu silat Sin-ci Tin-san, enam orang pengeroyoknya menjadi bingung luar biasa. Mereka agaknya dapat pula menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari Sin-ci Tin-san, namun karena ilmu silat ini dilakukan dengan mengandalkan lweekang yang tinggi dan tenaga yang besar, tentu saja mereka tidak dapat menirunya!

Hal ini merupakan keuntungan bagi Kwan Cu yang mendesak terus selagi enam orang itu kebingungan, tak tahu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi pukulan-pukulan sepuluh jari tangan Kwan Cu yang baru hawa pukulannya saja sudah membuat tubuh mereka tergetar!

Melihat hasil serangannya, Kwan Cu mengamuk semakin hebat. Dengan heran sekali dia melihat betapa keenam orang ini pun seakan-akan mengenal ilmu silat Sin-ci Tin-san, karena mereka dapat menduga gerakan-gerakan selanjutnya dari ilmu silat ini, bahkan mereka mencoba untuk menyerangnya dengan meniru gerakan itu. Ilmu silat apakah yang mereka miliki ini sehingga semua ilmu silatnya dapat dikembari oleh mereka? Kalau dia berlaku lambat, tentu mereka akan dapat menguasai diri dan kalau sekali ini dia tidak mampu mengalahkan mereka, agaknya itu akan menjadi tanda bahwa dialah sebaliknya yang akan kalah dan mendapatkan bencana besar!

“Robohlah kalian!” Kwan Cu berseru untuk memperkuat pengaruh dan lweekang-nya.

Kedua tangannya bergerak cepat sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. Yang paling dia desak adalah Kahano, maka ketika kedua tangannya bergerak, terdengar Kahano menjerit, disusul oleh dua orang kawannya.

Ternyata bahwa hanya setengah pukulan Kwan Cu tadi yang mampu dielakkan mereka, akan tetapi hawa pukulannya masih menghantam Kahano dan kedua orang kawannya, yakni seorang yang berada di belakangnya dan seorang pula yang berada di kanannya. Pedang pendek Kahano terlepas dari pegangan dan si katai brewok ini terpukul dadanya sehingga dia terlempar ke belakang dengan dada menderita luka dalam.

Orang yang berada di belakang Kwan Cu lebih hebat lagi. Tangan kanan Kwan Cu, atau lebih tepat jari-jari tangan kanannya, telah dapat menampar kepala orang itu sehingga si katai gundul ini terlempar bagaikan seekor anjing dilemparkan dan dia roboh tanpa dapat bangun kembali. Orang yang berada di kanannya, hanya terkena langgar telunjuk Kwan Cu, namun karena tepat mengenai tangannya yang memegang pedang, pedang itu pun terlepas dari pegangan dan dia menjerit-jerit kesakitan sambil mundur dan memegangi tangan kanan dan tangan kirinya. Ternyata bahwa tulang-tulang tangan kanannya telah patah-patah.

Tiga orang lainnya yang berada di depan Kwan Cu, ketika melihat ini, terbang semangat mereka dan timbul watak pengecutnya. Mereka melempar pedang dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala yang gundul itu, minta ampun! Memang, sudah terlalu lama kaum lelaki di pulau katai itu diperlakukan seperti wanita sehingga rata-rata memiliki watak penakut dan berhati kecil.

Kwan Cu tertawa bergelak dengan puas dan mengambil sulingnya. Berhasillah tugasnya mengamankan pulau itu. Akan tetapi, mendadak dia melihat bayangan beberapa orang berkelebat dekatnya dan lenyaplah suara ketawanya ketika dia melihat apa yang sudah terjadi pada saat dia tertawa tadi. Ketika dia memandang, enam orang laki-laki katai itu telah kehilangan kepala mereka dan kini tubuh mereka tergeletak dengan leher terputus dan darah mengalir deras dari leher-leher yang tak berkepala lagi itu.....

Dengan kening berkerut Kwan Cu memandang tajam pada Malita, Malika dan beberapa orang wanita lain yang sudah berdiri di situ dengan pedang di tangan. Malita dan Malika menyusut darah yang menempel di pedang mereka dengan menggunakan pakaian yang menempel pada mayat-mayat itu.

“Mengapa kalian lakukan ini? Alangkah kejamnya!” seru Kwan Cu tak senang.

Malika menghadapinya dengan sikap menantang. Gadis ini memang berwatak keras dan pemberani. Ia menentang pandang mata Kwan Cu tanpa merasa takut sedikit pun juga, lalu berkata,

“Kau bilang kami kejam? Kalau mengingat betapa enam orang iblis ini hendak membuat kami kaum perempuan menjadi barang permainan yang hina dina, hukuman penggal kepala masih terlampau murah untuk mereka!”

Kwan Cu menghela napas, lalu berkata,

“Sudahlah, Malika, dan kau juga Malita. Yang sudah lalu biarlah lenyap. Memang mereka ini jahat sekali dan patut dihukum mati, akan tetapi apakah perbuatan ini merupakan tanda bahwa kalian kaum wanita kini hendak berkuasa lagi dan melupakan kerja sama yang baik?”

“Tidak, sama sekali kami takkan mengulangi kesalahan besar yang dilakukan oleh nenek moyang kami. Kami sudah berjanji kepadamu dan janji kami selalu kami pegang teguh. Kami akan melakukan pemilihan raja baru secara adil, kaum laki-laki pun berhak memilih. Dan kami tak akan memandang-mandang lagi apakah ia laki-laki atau wanita, akan tetapi siapa saja yang bersalah akan dihukum dan yang tertindas akan dibela, baik dia laki-laki mau pun wanita! Dan semua ini, kebahagiaan yang akan kami hadapi ini, semua berkat pertolonganmu yang amat berharga, saudara Kwan Cu yang budiman!”

“Semua berkat pertolonganmu,” semua wanita berkata pula dan tiba-tiba, dipimpin oleh Malita dan Malika, semua orang wanita yang berada di sana menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu sambil menangis riuh-rendah!

Kwan Cu tertegun, kebingungan, kemudian dia menghela napas dan berkata di dalam hatinya, “Perempuan, perempuan... perempuan namamu dan di mana pun sama saja, paling mudah menangis!” berpikir sampai di sini, timbul pikiran lain yang membantahnya.

“Ahh, Kong Hoat putera Liok-te Mo-li itu terang seorang laki-laki, akan tetapi dia pun suka menangis.”

Pikiran kedua mengejek, “Ahh, Kong Hoat memang dasar cengeng!”

Demikianlah, menghadapi tangis karena berterima kasih dan gembira dari banyak wanita kecil-kecil ini, Kwan Cu malahan melamun, teringat yang bukan-bukan. Akan tetapi, dia sadar kembali dan berkata.

“Sudahlah, untuk apa menangis? Kalian membikin aku merasa sedih dan jangan-jangan aku akan ikut menangis pula. Malita dan Malika, saat ini boleh dibilang kalian merupakan pemimpin bangsamu, jangan melakukan upacara yang berlebih-lebihan ini. Aku bertindak sebagai seorang manusia yang memang seharusnya sebisa mungkin menolong manusia lain. Aku hanya ada satu permintaan, yakni kalau sekiranya kalian tidak keberatan.”

Malita menyusut air matanya dan bangkit berdiri sambil tersenyum manis sekali.

“Apakah permintaanmu itu, saudaraku yang baik? Apa saja yang menjadi permintaanmu, pasti akan kami turuti. Kau ingin menjadi pemimpin kami? Kami setuju sepenuhnya! Kau ingin memilih seorang jodoh di antara kami? Kiranya takkan ada seorang pun dara akan menolakmu, siapa pun dia adanya!” sesudah mengucapkan kata-kata ini, sadarlah Malita bahwa dia sudah berbicara terlalu banyak, maka merahlah mukanya.

“Jangan main-main, Malita. Aku bukan Kahano! Tiada lain hanya ini. Perbolehkanlah aku tinggal di pulau ini seorang diri, entah berapa tahun sampai aku merasa bosan dan pergi meninggalkan pulau ini. Selama aku berada di sini, harap kalian jangan menggangguku, karena aku bermaksud hendak bersemedhi dan menjauhkan diri dari keramaian dunia di tempat ini. Tempat ini amat menarik hatiku.”

Malita dan kawan-kawannya saling pandang dengan heran.

“Kau memang orang aneh, seorang sakti yang berbudi tinggi. Hal itu bukan merupakan permintaan karena tentu tak seorang pun merasa keberatan kalau kau tinggal di pulau ini.”

“Nah, jika begitu selamat berpisah. Kalian pulanglah, kemudian aturlah pemerintahanmu sebaik-baiknya dan tinggalkan aku di sini. Jangan ingat lagi kepadaku, karena aku pun tak akan mengganggu kalian di sana.”

Mendengar keputusan ini, terkejutlah Malita.

“Mengapa begitu keras, saudara Kwan Cu? Setidaknya, perkenankanlah kami kadang kala mengunjungimu di sini untuk melihat apakah kau tidak kekurangan sesuatu di sini,” kata Malita.

“Dan sudah tentu kami yang akan menjaga makananmu setiap harinya,” kata Malika.

Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepala dan menggoyang-goyang tangannya.

“Jangan! Kulihat pulau ini mengandung pohon-pohon yang berbuah dan tadi kulihat ada beberapa ekor binatang hutan yang kiranya akan dapat menjadi bahan makanan bagiku. Aku ingin seorang diri saja di sini, tanpa mendapatkan gangguan dari siapa pun juga. Kecuali...” sambungnya ketika meliha sinar mata pada wajah mereka, “kecuali kalau ada sesuatu yang hebat menimpa kalian, tentu saja aku selalu bersiap sedia untuk menolong kalian. Nah, sekarang pergilah, mayat-mayat ini tinggalkan saja, biar aku nanti yang akan menguburnya di tempat ini.”

Terpaksa Malita memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi dari sana dengan wajah kecewa sekali. Akan tetapi, belum berapa lama dia berjalan, dia segera membawa kawan-kawannya datang lagi dan berlutut.

“Ada apa lagi?” tanya Kwan Cu tak senang.

“Saudara Kwan Cu, sungguh pun kami tak berani melanggar laranganmu dan tidak akan mengganggumu di tempat ini, setidaknya berjanjilah bahwa sewaktu-waktu engkau akan datang mengunjungi kami supaya kami dapat melihat bahwa kau masih berada di dekat kami.”

Kwan Cu tersenyum. Ia tidak boleh terlalu keras agar mereka ini jangan menduga yang bukan-bukan sehingga malah akan pecah rahasia sebenarnya dari keinginannya berada seorang diri di tempat itu.

“Baiklah, kelak bila mana kau dan adikmu menikah, beritahulah aku dan aku akan datang menyaksikan pernikahan itu!”

Bertitik air mata di pipi Malita, bahkan Malika juga menangis sesenggukan akibat terharu. Mereka kemudian pergi dari tempat itu menuju ke perahu-perahu kecil milik Kahano dan kawan-kawannya, sambil menoleh beberapa kali ke arah raksasa muda yang masih terus berdiri bertolak pinggang melihat sampai mereka pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.

********************

Setelah menggali lubang dan mengubur jenazah Kahano beserta lima orang kawannya, Kwan Cu segera menghampiri goa yang dijadikan tempat sembunyi para pemberontak tadi. Ia memeriksa dinding goa dengan sepasang obor yang dibuatnya dari pada rumput kering dan alangkah gembiranya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dinding-dinding itu, sebagaimana telah diduganya semula, terhias oleh gambar-gambar manusia sedang bersilat! Gambar-gambar ini ukirannya bagus dan jelas sekali sehingga melihat gambar-gambar ini saja orang sudah dapat mempelajari ilmu silat yang terlukis di situ!

“Hemm, kiranya dari sini mereka itu mempelajari ilmu silat mereka yang aneh!” pikirnya.

Gambar-gambar itu benar-benar hebat luar biasa karena amat banyak dan mengandung gerakan dari hampir semua ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari dan yang pernah dia dengar dari suhu-nya, Ang-bin Sin-kai. Manusia gaib siapakah yang dulu telah membuat lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat seperti ini?

Sampai seharian penuh Kwan Cu memeriksa gambar-gambar itu dan masih juga belum habis. Ternyata bahwa seluruh terowongan yang menembus ke goa-goa lain juga terhias gambar-gambar seperti itu, namun anehnya, semua lukisan itu menggambarkan orang bersilat tangan kosong! Tidak ada sebuah pun gambar orang bersilat dengan senjata di tangan.

Ada yang bersilat seorang diri, ada yang bertempur, ada pula yang dikeroyok dua, tiga, sampai dikeroyok puluhan orang! Agaknya lukisan itu dititik beratkan kepada tokoh yang dikeroyok, karena kedudukan tokoh ini jelas sekali, setiap gerak kaki atau tangan teratur baik.

Pada saat menghadapi sebaris lukisan yang menggambarkan bagaimana cara seorang lelaki dikeroyok oleh puluhan orang, Kwan Cu lantas menjadi terkejut sekali. Bukan main hebatnya kedudukan orang yang dikeroyok itu, malah jauh lebih kuat dari pada ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai.


Saking girangnya, Kwan Cu sampai lupa makan lupa tidur, setiap hari dia melihat dan mempelajari gambar-gambar yang terlukis di dinding goa dan terowongan itu. Kemudian teringatlah dia akan niat sesungguhnya dari kedatangannya ke pulau ini, yakni mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Hatinya berdebar keras. Betapa pun jelas ukiran-ukiran ini yang dengan sendirinya telah merupakan pelajaran yang hebat sekali, namun tanpa buku petunjuk atau guru yang membimbing, ilmu-ilmu silat tinggi itu bisa dipelajari dengan cara yang keliru!

“Bukan tidak mungkin bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang merupakan kouw-koat (teori ilmu silat) dari semua lukisan ini,” pikirnya.

Sesudah berpikir demikian, Kwan Cu merangkak keluar dari goa kecil itu dan baru dia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua karena dia mempelajari dan melihat semua lukisan di dinding itu sambil merangkak! Ternyata bahwa sudah dua hari dua malam dia berada di goa itu tanpa berhenti untuk makan atau tidur. Kini dia merasa perutnya lapar sekali. Maka pergilah dia ke dalam hutan yang penuh dengan pohon-pohon itu.

Keadaan di situ memang aneh. Semua pohon mempunyai daun yang keputih-putihan, sungguh pun daun-daun itu berbeda corak dan ukurannya. Dan di antara pohon-pohon itu, ada pula yang mengandung buah-buahan yang biar pun ada yang berwarna merah, namun merahnya juga pucat seperti dikapur.

Kwan Cu berlaku hati-hati sekali. Biar pun perutnya amat lapar dan mulutnya amat haus, tetapi dia tidak berlaku sembrono. Buah-buahan itu sangat asing baginya dan siapa tahu kalau-kalau di tempat aneh ini terdapat buah-buah yang mengandung bisa.

Sebelum makan buah itu dia menciumnya terlebih dulu, kemudian menancapkan suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong ke dalam buah itu. Gurunya pernah memberi tahu bahwa suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata, juga dapat digunakan untuk menguji apakah dalam sesuatu benda terdapat bisa yang berbahaya. Kalau suling yang kehijauan itu berubah hitam seperti hangus, itulah tanda bahwa buah itu mengandung racun.

Sesudah dilihatnya bahwa suling itu tidak hangus, barulah dia berani mencoba makan. Ternyata buah itu wangi dan manis, sehingga hatinya girang sekali. Juga di situ terdapat banyak binatang hutan yang rupanya seperti kijang, maka dia tidak khawatir lagi akan makanan untuk perutnya.

Betapa pun tertarik hatinya untuk mempelajari semua lukisan orang bersilat di dalam goa yang kecil gelap itu, namun Kwan Cu tidak mau melihatnya lagi. Hatinya tetap bahwa dia harus terlebih dahulu mencari kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebab itulah tujuan utamanya datang mencari pulau ini.

Berhari-hari dia lalu mencari. Semua goa, dari yang besar sampai yang paling kecil dia masuki, tapi dia tidak mendapatkan tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bahkan sebulan telah berlalu dia belum juga bisa menemukan kitab itu.

Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang keras hati dan tidak mudah patah semangat. Dia yakin bahwa kitab itu tentu belum ditemukan oleh Kahano, karena kalau Kahano sudah berhasil mempelajari ilmu silat dari kitab itu, tak mungkin dia akan dapat mengalahkannya.

Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiu-bwe Coa-li dan masih banyak tokoh-tokoh sakti dari dunia kang-ouw, semua ingin memiliki kitab itu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kitab itu tentulah mengandung pelajaran ilmu silat yang bukan main tingginya. Kemajuan ilmu silat Kahano dan kawan-kawannya yang diherankan oleh Malita, tentulah karena Kahano serta kawan-kawannya mempelajari sebagian dari gambar-gambar lukisan pada dinding itu.

Beberapa pekan telah berlalu pula dan tahu-tahu sudah tiga bulan Kwan Cu tinggal di pulau kosong itu. Dan belum juga dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicari-carinya, biar pun sudah beberapa kali dia memasuki goa-goa yang banyak itu dan memeriksa di balik batu-batu karang yang besar.

Selama seratus hari ini Kwan Cu belum lagi mempelajari ilmu silat yang dilukis di dinding, karena kemauannya amat keras hendak menemukan kitab rahasia itu terlebih dahulu. Ia percaya penuh akan kebenaran kitab sejarah peninggalan Gui Tin dan meski pun sudah seratus hari mencari dengan sia-sia, kepercayaannya ini sama sekali tidak berkurang, bahkan dia menjadi semakin penasaran dan memaki-maki diri sendiri sebagai seorang yang bodoh dan sial.

Pada suatu hari, ketika dia mencari seekor kijang untuk dipanggang dagingnya, tiba-tiba dia melihat bayangan putih berkelebat cepat di atas tanah. Hampir saja dia tidak dapat melihat apakah yang berkelebat itu, karena gerakan bayangan ini cepat luar biasa. Akan tetapi, ketika dia mengejar ke arah itu, dia melihat seekor binatang yang rupanya seperti kelinci berbulu putih, berlari cepat sekali.

Ia menjadi tertarik. Belum pernah dia melihat binatang seindah itu bulunya. Putih bersih bagaikan kapas dan keempat kakinya yang pendek-pendek itu sangat cepat larinya. Dia mengejar sambil mengerahkan ginkang-nya, dan meski pun dia tidak atau belum dapat menangkap binatang putih itu akan tetapi binatang itu pun tidak mampu memperbesar jaraknya.

Binatang itu nampak kebingungan sekali dan segera berlari ke arah bukit batu karang yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih yang tidak berbuah. Kwan Cu mengejar terus. Ketika binatang itu tiba di bawah sebatang pohon di puncak bukit, pohon yang terbesar, tiba-tiba saja binatang itu lenyap!

“Ehh, ibliskah dia? Bagaimana dapat menghilang begitu saja sedangkan di sini, kecuali pohon-pohon besar ini, tidak ada tetumbuhan lainnya?” pikir Kwan Cu penasaran.

Pemuda ini mencari-cari dengan pandangan matanya, dan akhirnya dia melihat sebuah lubang di dekat pohon itu, lubang yang berada di tengah antara dua batang akar yang menonjol keluar dari permukaan tanah.

“Hemm, jadi dia bersembunyi di sini,” pikir Kwan Cu sambil tersenyum gembira.

Ia mempergunakan pedang kecil yang dahulu menjadi senjata Kahano dan disimpannya karena dia memang membutuhkan senjata itu untuk memotong sesuatu yang diperlukan. Dengan pedang yang kecil seperti pisau ini, dia menggali lubang itu dan merenggut putus dua akar yang menjepit lubang. Semakin dalam dia menggali, lubang itu semakin besar. Kegembiraan Kwan Cu membesar pula. Ini merupakan pengalaman baru baginya. Bagai mana seekor binatang yang begitu kecil bisa membuat sarang begini besar?

Kurang lebih tiga kaki dalamnya dia menggali dan tiba-tiba, ketika dia mengayun pedang itu dan ditancapkan pada tanah untuk memperdalam galian, terdengar suara keras dan pedang itu patah! Kwan Cu terkejut dan heran sekali. Dengan jari-jari tangannya dia lalu menggali tanah dan ternyata bahwa pedangnya tadi sudah memukul dinding besi yang mengeluarkan cahaya kehitaman dan kelihatannya kuat sekali!

“Apakah ini...?” katanya makin heran.

Ia menjadi makin bersemangat, menggunakan patahan pedang untuk menggali tanah di sekitar pedang besi itu dan ternyata bahwa dinding ini merupakan sebuah peti besi segi empat yang lebarnya ada satu kaki lebih. Di samping peti besi ini terdapat lubang lain yang kecil, agaknya binatang itu mempergunakan peti besi yang kuat ini untuk perisai dan tentu dia bersembunyi di dalam sebuah lubang yang digalinya tepat di bawah peti itu.

Namun Kwan Cu sudah tidak ingat lagi akan kelinci atau binatang berbulu putih yang tadi dikejar-kejarnya. Sekarang seluruh perhatiannya tercurah pada peti besi ini. Hatinya jadi berdebar-debar dan diam-diam dia berdoa kepada Thian semoga peti inilah yang akan memberi jalan kepadanya mendapatkan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng!

Ia membawa peti besi itu ke goanya. Memang selama tiga bulan berada di situ, Kwan Cu telah memilih sebuah goa yang paling besar, goa yang tidak merupakan terowongan dan sinar matahari dapat masuk ke dalamnya, sebagai tempat tinggalnya, di mana dia dapat mengaso dan tidur.

Sesudah makan buah-buahan yang disimpan di dalam goa itu, Kwan Cu mulai mendekati peti besi dan setelah diperiksanya keadaan di luarnya sambil membersihkan tanah yang melengket di situ, dia tidak mendapatkan sesuatu tulisan. Lalu dia membuka tutup peti besi itu dengan amat hati-hati.

Hampir saja dia bersorak girang ketika melihat betapa isi peti itu memang sebuah kitab yang sudah kuning. Jelas kelihatan bahwa kitab itu terbuat dari pada sutera putih yang sudah menguning saking tuanya dan seakan-akan kitab itu akan hancur menjadi debu apa bila dipegang!

Dengan kedua tangan gemetar, Kwan Cu mengulurkan tangan hendak mengambil kitab itu, namun tiba-tiba mukanya menjadi pucat dan dia segera menarik kembali tangannya. Keringat dingin membasahi jidatnya, karena dia teringat akan kehebatan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu.

Baru kitab palsu itu saja oleh Panglima An Lu Shan sudah dipasangi racun yang sangat berbahaya hingga menewaskan seorang tokoh yang berilmu tinggi seperti Hek-mo-ong! Apa lagi kitab ini kalau benar-benar kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentulah yang aslinya! Siapa tahu kalau-kalau penyimpannya, yakni Liu Pang, juga menggunakan akal seperti yang telah di lakukan oleh An Lu Shan?

Kwan Cu mengeluarkan sulingnya dan beberapa kali dia menggosok-gosokkan sulingnya itu di atas kitab tua itu. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada suling itu dan legalah hati Kwan Cu. Ia sudah yakin bahwa kitab itu tidak dipasangi racun jahat, namun ketika dia menjamah dan mengeluarkan kitab itu dari peti, tetap saja kedua tangannya gemetar dan wajahnya tegang sekali. Siapa orangnya yang tidak akan merasa seperti itu bila mana mendapatkan kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh besar di daratan Tiongkok?

Kwan Cu harus berlaku hati-hati. Kitab itu sudah tua sekali dan lembaran-lembarannya yang terbuat dari pada sutera itu sudah lapuk. Maka dia meletakkan kitab itu di dalam peti lagi dan hanya berusaha membuka halaman pertama, karena pada kulit muka tidak terdapat tulisan apa-apa.

Setelah halaman pertama dibuka, dia melihat deretan huruf-huruf kuno yang sudah amat dikenalnya, yakni huruf-huruf yang dipergunakan pula untuk menuliskan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu dan yang Gui-siucai telah mengerjakannya sampai hafal betul. Dan huruf-huruf ini juga berbunyi: IM-YANG BU-TEK CIN-KENG!

Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dan membasahi pipi Kwan Cu. Inilah kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli!!

Dapat kita bayangkan betapa girang dan terharunya hati Kwan Cu setelah dia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno yang dia dapatkan di atas pulau ini betul-betul adalah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli. Kitab itu sudah diperebutkan oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan dicari-cari oleh pembesar. Dia sendiri semenjak dahulu telah merindukan kitab ini, telah ditempuhnya jalan yang amat jauh dan berbahaya. Sekarang, secara kebetulan sekali kitab itu telah berada di tangannya!

Sampai lama sekali Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut dan bibirnya bergerak-gerak. Ia menghaturkan terima kasihnya pada Thian Yang Maha Kasih, kepada arwah Gui-siucai yang sudah membuka rahasia kitab itu kepadanya. Kemudian dengan amat hati-hati dia mulai mempelajari isi kitab.

Ia harus berlaku hati-hati sekali karena sutera yang tertulis dengan huruf kuno itu sudah sangat tua. Baru di buka lembar pertama saja, bagian pinggir yang tersentuh tangannya menjadi hancur! Bukan itu saja, bahkan bagian tengah lembaran itu yang bergerak ketika dia buka telah menjadi robek-robek.

Maka dia mengambil keputusan untuk mempelajari selembar demi selembar, sama sekali tidak berani membuka lembar berikutnya kalau lembar yang dibuka itu belum dihafalnya benar-benar. Juga ia berlaku amat sopan dan menghormat isi kitab itu yang dianggapnya sebagai kitab suci, untuk menghormat manusia sakti yang menciptanya.

Tiap kali hendak membaca kitab itu, terlebih dahulu dia berlutut sebagai penghormatan. Dan menjelang malam hari, dia kembali berlutut menghaturkan terima kasih atas segala pelajaran yang telah diterimanya pada hari itu. Hal ini dia lakukan setiap hari!

Pelajaran yang dia dapat dari lembaran-lembaran pertama adalah uraian tentang tenaga yang menggerakkan seluruh dunia, yakni tenaga Im dan Yang (Positive dan Negative). Tentang dua tenaga yang bertentangan tapi yang apa bila bersatu akan mendatangkan kekuatan dan daya penggerak di seluruh permukaan bumi ini. Dia mendapat uraian yang amat jelas dan terperinci, disertai dengan contoh-contoh. Kemudian, pada lembar-lembar berikutnya, diterangkan dengan seluasnya mengenai unsur tenaga alam yang terdiri dari ngo-heng (lima zat).

Kitab itu bukanlah kitab biasa dan untuk mempelajari isinya dibutuhkan kecerdikan yang luar biasa dan bakat yang amat besar. Kwan Cu mengerahkan seluruh tenaga otaknya dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Tidak satu pun dilewatkannya, tidak sebaris pun kalimat dialpakannya. Semua dia telan bulat-bulat, lantas diolah di dalam otaknya yang memang cerdik.

Baiknya dia berlaku hati-hati, karena ternyata kemudian olehnya betapa setiap kali dia membalikkan lembar berikutnya, lembar yang terdahulu tergencet dan menjadi hancur! Jelasnya, setiap lembar yang sudah dipelajarinya tidak akan mungkin dibacanya kembali karena sudah rusak. Orang lain takkan dapat membaca kitab itu sesudah dia membaca habis, karena kitab itu akan merupakan kitab rusak yang hampir menjadi debu.

Pelajaran-pelajaran berikutnya merupakan uraian lengkap tentang cara mempergunakan tenaga-tenaga Im dan Yang di dalam tubuh sehingga hawa di dalam tubuh yang berupa tenaga tersembunyi itu dapat dikuasai dengan baik. Ada pula pelajaran tentang semedhi dan mengatur pernapasan, tentang cara menggugah panca indera dalam batin sehingga panca indera di tubuh menjadi kuat dan tajam.

Semua pelajaran ini disertai penjelasan-penjelasan terperinci tentang sebab-sebab dan akibatnya, sehingga amat jelas bagi Kwan Cu. Pernah dia menerima latihan semedhi dan pengerahan tenaga lweekang dari Ang-bin Sin-kai, tetapi pelajaran itu hanya merupakan pelajaran yang sudah mati, yang dilakukannya sebagai tiruan atau jiplakan belaka. Kini dia baru mengerti mengapa segala macam tenaga yang tersembunyi di dalam tubuh itu dapat timbul.

Sampai setahun lebih Kwan Cu jarang sekali keluar dari dalam goanya kalau perutnya tidak sangat lapar. Jarang pula dia tidur kalau tidak sudah amat mengantuk dan matanya tidak dapat bertahan lagi. Tubuhnya menjadi kurus kering dan matanya cekung. Setelah makan waktu satu tahun lebih, barulah selesai bagian melatih semedhi dan pernapasan yang selain dipelajari teorinya, juga dipraktekkan setiap saat.

Kemudian mulailah kitab itu mengurai tentang ilmu silat! Bukan main hebatnya. Di situ dibentangkan tentang ilmu-silat-ilmu silat yang sudah ada dan dimiliki manusia, ilmu silat ilmu silat tinggi yang dibuat partai-partai persilatan menjadi termasyhur, seperti ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain.

Akan tetapi, yang diajarkan di situ hanya rahasia pokok dan dasar dari semua ilmu silat itu. Ternyata pula bahwa lukisan-lukisan di dinding goa-goa dan terowongan itu adalah ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan ini, memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang ternyata hanya pada variasi dan kembangannya belaka. Ada pun pada dasarnya semua gerakan ilmu silat adalah serupa dan berasal dari satu sumber!

Untuk memperdalam pengertiannya, Kwan Cu meneliti semua lukisan di dinding goa-goa dan terowongan-terowongan itu, mempelajarinya dengan penuh perhatian. Sesudah dia mulai dapat menangkap apa yang disebut pokok dasar gerakan ilmu silat tinggi, matanya menjadi terbuka dan amat mudahlah baginya untuk mempelajari ilmu-ilmu silat itu.

Ia mempraktekkannya dengan melatih diri, meniru semua gerakan ilmu silat dari berbagai cabang itu. Alangkah girangnya ketika dia dapat mainkan ilmu silat-ilmu silat itu dengan amat mudahnya! Tanpa disadarinya, dia telah maju sekali dalam gerakan yang terdorong oleh tingginya tenaga lweekang dan khikang, serta tanpa terasa latihan napas selama ini telah membuat ginkang-nya istimewa sekali.

Pada suatu hari, selagi dia berlatih seorang diri di dekat pantai laut pulau kosong yang berpohon putih itu, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh seperti dulu pernah didengarnya ketika dia mula-mula naik perahu melintasi lautan ganjil itu. Ia tidak mempedulikan suara ini dan terus saja berlatih silat berganti-ganti gerakan dan dia mainkan pelbagai ilmu silat tinggi dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai.

Tiba-tiba datang angin bertiup keras sekali, dibarengi suara mendesis hebat dan air laut di tepi pantai bergelombang seakan-akan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) sendiri hendak keluar dari dasar laut! Akan tetapi, Kwan Cu seperti tidak mendengar semua ini dan tidak merasakan sambaran angin pohon yang begitu hebatnya, yang membuat pohon-pohon besar di pulau itu menjadi doyong.

Orang biasa saja apa bila kebetulan berada di situ, pasti akan melayang terbawa angin badai yang kuatnya bukan main itu. Akan tetapi, Kwan Cu tetap bersilat dengan penuh semangat, sama sekali tidak merasakan betapa pakaiannya sedikit demi sedikit mulai meninggalkan tubuhnya karena terbawa oleh angin. Saking kerasnya angin, pakaiannya itu mulai robek-robek dan melayang entah ke mana perginya.

Tanpa diketahui oleh Kwan Cu, air laut mulai naik menjadi gelombang besar, membuat air makin mendekati tempat dia bermain silat! Akhirnya setelah air menyentuh kakinya, barulah pemuda ini terkejut, seakan-akan air itu menyerangnya. Otomatis dia melompat untuk mengelak dan otomatis pula dia menendang ke arah air.

Air itu muncrat dan terpental saking kerasnya tenaga tendangannya. Pemuda itu kini melihat ombak besar mendarat di pantai. Makin gembiralah hati Kwan Cu.

Seperti Ang-bin Sin-kai gurunya yang suka bercanda dengan laut, dia kini menghadapi ombak, bahkan dia menerjang maju melawan ombak! Hebat sekali pemuda ini. Setiap kali ombak besar menyerangnya, bukan dia terdorong roboh, bahkan air yang terdampar kepadanya dan yang dipukul atau ditendangnya, menjadi buyar!

Akan tetapi, makin lama semakin hebatlah air menaik sehingga terpaksa Kwan Cu main mundur, terdesak oleh air yang makin lama makin dalam, siap untuk menelan tubuhnya. Lagi pula, baru sekarang dia merasa betapa tubuhnya sudah setengah telanjang, karena pakaiannya telah robek di sana sini dan ujungnya sudah hilang semua entah terbang ke mana!

Angin bertiup makin keras dan ketika memandang ke arah laut, Kwan Cu membelalakkan matanya. Laut menjadi demikian buas, dan airnya berombak-ombak tinggi disertai uap yang hitam menggelapkan langit di atas laut.

Mulai takutlah hati Kwan Cu menghadapi kekuasaan alam yang luar biasa ini. Air kini naik semakin tinggi seakan-akan hendak menelan pulau itu. Kwan Cu melompat-lompat mundur dan tiba-tiba dia terkejut setengah mati ketika tanah yang diinjaknya bergoyang-goyang, miring ke sana ke mari seakan-akan pulau itu berubah menjadi sebuah perahu yang mengambang!

“Aduh, akan kiamatkah dunia?” serunya kaget dan dia lalu berlari-lari ke goanya.

Dalam berlari ini, beberapa kali dia terhuyung-huyung dan tentu dia sudah jatuh kalau saja ginkang-nya tidak luar biasa baiknya. Sambil melompat ke kanan kiri mengimbangi goyangan tanah yang makin menghebat, akhirnya bisa juga dia sampai di dalam goanya.

Ia melihat betapa semua pohon bergoyang-goyang dan daun-daun putih rontok, namun tidak sebatang pun tumbang. Dia tahu bahwa akar-akar pohon berdaun putih itu sangat banyak dan dalam sekali, maka tidak mengherankan apa bila pohon-pohon itu demikian kuat menghadapi serangan angin yang demikian dahsyatnya.

Sampai sehari semalam Kwan Cu berdiam dalam goanya, serasa mabuk dan beberapa kali dia mau muntah-muntah. Baiknya dia cepat mengerahkan hawa di dalam tubuhnya untuk menekan perut sehingga isi perutnya tidak terlalu tergoyang oleh ‘gempa bumi’ yang tiada habisnya itu seakan-akan pulau akan meletus setiap saat!

Goa itu sendiri dindingnya sampai retak-retak, sehingga pemuda itu khawatir kalau-kalau gambar-gambar di dinding itu akan rusak dan pelajarannya terhalang karenanya. Begitu besar perhatian Kwan Cu terhadap pelajarannya sehingga dalam keadaan sehebat itu, dia sama sekali tak mengkhawatirkan keselamatan dirinya, sebaliknya mengkhawatirkan kalau-kalau pelajarannya akan terhalang atau tertunda.

Akhirnya gempa bumi itu reda dan suara ombak yang bergemuruh juga melenyap. Air tadinya telah sampai di kaki goa di mana Kwan Cu berlindung, hal ini amat mengejutkan hati Kwan Cu karena kejadian ini berarti bahwa air laut telah naik tinggi sekali.

Matahari bersinar kembali, tanah di mana dia berada tidak goyang lagi. Kwan Cu segera keluar sesudah menaruh peti kitab dan buntalan pakaiannya yang semenjak kemarin dia peluk saja, terutama peti kitab itu.

Ia melihat bekas-bekas air laut, di mana-mana basah belaka. Akan tetapi, tidak sebatang pun pohon tumbang, hal ini amat membanggakan hati pemuda ini. Betapa kuatnya pohon berdaun putih. Aku harus bisa menjadi seorang manusia sekuat dia! Tidak tumbang oleh gelombang hidup yang betapa berat sekali pun.

Akan tetapi, ketika dia tiba di pantai, dia melihat perahunya telah lenyap. Bukan itu saja, bahkan pulau-pulau kecil yang tadinya dia lihat banyak sekali ada di kanan kiri pulaunya, kini telah berubah arahnya. Ia menengok ke sana ke mari dan betapa terkejutnya bahwa goanya sekarang juga berubah letaknya.

Biasanya, matahari terbit menghadapi goanya, berarti bahwa goanya itu menghadap ke timur, akan tetapi sekarang, matahari terbit dari belakang goa. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa goanya itu telah berubah letaknya, kini menghadap ke barat!

Ataukah matahari yang sekarang muncul dari barat dan tenggelam di timur? Tidak boleh jadi, pikirnya. Dia kemudian teringat akan goncangan-goncangan pada pulaunya, maka berdebarlah hatinya. Apakah tidak bisa jadi kalau pulaunya itu yang ‘pindah’? Pulaunya hanyut terbawa ombak yang mengamuk?

Dugaan Kwan Cu yang tidak dipercayanya sendiri itu sebenarnya sangat tepat. Memang pulaunya itu telah hanyut! Pulau ini sudah terlepas dari dasar laut, dan hanya karena pohon-pohon berdaun putih itu akarnya tertanam sampai dalam sekali, berpuluh meter panjangnya, yang menolong pulau itu dari kebinasaannya.

Dengan pohon-pohon yang masih tegak di atas pulau, maka tanah pulau itu pun tidak bisa pecah-pecah dan masih merupakan pulau atau ‘perahu besar’ dari tanah dan pohon dan dengan kuatnya dapat melawan badai, sungguh pun terpaksa harus pindah tempat karena dorongan ombak yang kuat sekali.

Bukan baru satu kali itu saja pulau itu berpindah tempat, tapi sudah berkali-kali apa bila datang taufan hebat mengamuk seperti tadi. Sesungguhnya karena keistimewaan pulau ini belaka yang membuat Liu Pang menyembunyikan Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau itu. Calon kaisar ini maklum bahwa hanya di atas pulau itu saja maka kitab rahasia ini dapat disimpan dengan sentosa.

Ketika Kwan Cu memperhatikan pulau-pulau di sekitarnya, dia menjadi berdebar tegang. Pulau-pulau itu sekarang kelihatan gundul dan bersih, dan jumlahnya jauh berkurang dari semula, seolah-olah banyak di antaranya telah lenyap ditelan ombak. Segera ingatannya melayang kepada para raksasa, Lakayong dan puterinya Liyani, teringat pula pada Malita dan Malika dan bangsa katai itu. Bagaimana dengan nasib mereka?

Karena perahunya telah lenyap, Kwan Cu segera merobohkan sebatang pohon berdaun putih yang ia tahu batangnya amat kuat, membuangi cabang-cabang dan ranting-ranting serta daun-daunnya, kemudian mempergunakan batang pohon itu sebagai perahu! Ilmu kepandaiannya telah meningkat amat tinggi dan dengan berdiri di atas batang pohon itu yang mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan cabang pohon sebagai dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri!


Mula-mula dia mencari pulau tempat tinggal bangsa katai, dan sesudah dia berkeliling dengan bingung karena kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia mendapatkan pulau bangsa katai itu. Ia lalu mendarat dengan dada berdebar tegang dan tenggorokan seakan-akan tersumbat sesuatu dan kedua mata pedas menahan jatuhnya air mata.

Kwan Cu melihat betapa pulau itu telah musnah sama sekali. Bangunan-bangunan kecil semuanya hancur dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih oleh air yang mengamuk. Kwan Cu memeriksa semua pulau dan hatinya semakin terharu karena tak seorang pun manusia katai selamat. Agaknya semua telah hanyut oleh air dan sudah jelas nasib mereka, pasti semua terendam di dasar laut atau masuk ke dalam perut-perut ikan-ikan besar.

Akan tetapi, saat dia melongok ke dalam sebuah goa, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat air matanya keluar bercucuran. Di dalam goa itu dia melihat Malita dan Malika, dua orang puteri katai kakak beradik itu saling peluk, dengan tubuh mereka yang terikat pada batu karang yang kuat, dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi!

Agaknya dalam serangan ombak yang menenggelamkan pulau, mereka sudah berdaya upaya untuk menolong diri dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling berpelukan. Akan tetapi mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik tinggi sampai menutupi semua pulau itu!

“Malita... Malika... kasihan kalian ...” kata Kwan Cu yang cepat melepaskan tubuh mereka dari ikatan. Tubuh kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah dingin sekali.

Tiba-tiba saja dia mendengar suara burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah selatan.

“Tentu di sana terdapat korban lain,” pikirnya.

Ia lalu berlari menuju ke pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk dikubur bersama. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dari jauh dia melihat tubuh seorang raksasa terbujur di pantai! Ketika dia berlari cepat dan sampai di tempat itu, dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang wanita raksasa yang bukan lain adalah Liyani!

“Liyani...!” Kwan Cu cepat melompat dan berlutut untuk memeriksa.

Tubuh yang sudah hampir telanjang itu ternyata sudah tidak bernapas lagi, mati seperti Malita dan Malika. Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan pengalaman dirinya ketika dia berada di pulau raksasa. Gadis raksasa ini suka kepadanya, dan kini, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan yang amat memilukan hati.

“Liyani... agaknya kau dan bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas...!”

Tanpa kesulitan Kwan Cu segera memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu, karena sejak mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tenaga pemuda ini sudah meningkat luar biasa sekali. Lalu dia membawa pulang tiga jenazah itu dengan perahu ke pulaunya.

Ia menggali lubang yang dalam dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh lebih besar ukuran tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada tiga mayat itu.

Dia melihat betapa keadaan Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan rambut mereka masih tergelung indah. Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan hati. Tubuhnya hampir telanjang dan gelung rambutnya terlepas, agaknya cukup lama ombak mempermainkannya sehingga dari pulau raksasa yang begitu jauh dia terdampar ke pulau bangsa katai.

Kwan Cu teringat akan tusuk konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari ke dalam goanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya kemudian kembali ke dalam lubang kuburan. Dengan hati penuh belas kasihan, dia lalu merapikan rambut Liyani yang digelungnya baik-baik dan sedapat-dapatnya lalu dipasangnya tusuk konde itu di rambut gadis raksasa ini. Tiga orang gadis yang sudah menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri. Malita di tengah dan Malika di sebelah kanan.

Ketika dia hendak menutupi lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat mengumpulkan daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau itu, dan dengan daun-daun ini dia menutupi tiga jenazah itu sampai tidak kelihatan lagi. Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia menutupnya dengan tanah sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun putih yang masih kecil di atas gundukan tanah kuburan ini.

Baiknya pulau berpohon putih itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau saja terjadi demikian, biar pun andai kata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia tentu akan kelaparan pula. Namun ternyata bahwa semua binatang di pulau itu hanya mengalami kekagetan saja, dan mereka masih sempat menyembunyikan diri ke dalam goa-goa yang banyak terdapat di pulau itu.

Semenjak saat itu, Kwan Cu, lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua bangsa manusia yang aneh sekali itu yakni bangsa raksasa dan bangsa katai, termusnah oleh kekuasaan alam, membuat dia semakin yakin akan kekuasaan alam yang dalam sekejap mata dapat memusnahkan dua bangsa manusia.

Apa daya manusia terhadap kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan bangsa raksasa itu? Namun mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah alam maha kuasa. Kurang bagaimana sederhana dan suci kehidupan bangsa katai itu? Mereka jauh lebih mulia dan suci hidupnya apa bila dibandingkan dengan manusia biasa, dan kalau pun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa itu tak sebesar dosa yang biasa di lakukan oleh manusia seperti bangsa Kwan Cu, akan tetapi kalau alam menghendaki, bangsa yang suci ini pun dapat dimusnahkan!

Kenyataan ini membuat Kwan Cu semakin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam tangan Thian Yang Maha Kuasa dan Sakti. Apa lagi sesudah dia semakin tekun mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terbukalah matanya.

Kitab ini tidak saja mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi pelajaran mengenai pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh manusia dalam pertempuran, akan tetapi juga berisi filsafat-filsafat kebatinan yang sangat tinggi.

Filsafat kebatinan ini condong kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi kepandaian seseorang, maka semakin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut ‘kepandaian’ itu sebenarnya hanyalah kosong belaka! Makin terbuka mata orang akan kekuasaan alam, makin terasalah olehnya betapa kecil tak berarti adanya dirinya, betapa menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian yang dimiliki manusia!

Oleh karena itu, makin dalam pengetahuan Kwan Cu, dan makin lama dia mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam wataknya. Ia merasa seakan-akan dia bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian, akan tetapi mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan diri sendiri dan untuk mengenal sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya.

Tanpa disadarinya, dia telah mendapatkan ilmu yang sangat tinggi, mendapatkan semua dasar-dasar dari segala pergerakan ilmu silat yang semuanya harus berdasarkan kepada tenaga Im dan Yang. Akan tetapi dengan sadar dia sekarang bisa melihat betapa semua pengetahuannya adalah kosong belaka dan membuat dia tidak berani menyombongkan kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari otak, sedangkan siapakah penggerak otak manusia?

Kalau Yang Maha Kuasa mencabut tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh manusia sebagai ‘kepintaran’ itu! Bahkan lebih hebat lagi jika Yang Maha Kuasa menghentikan napas yang keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, karena akan lenyaplah wujud yang disebut manusia! Apakah makhluk yang begini lemah, yang mengandalkan hidup dan keadaannya dari pengaruh alam, patut menyombongkan diri dan menganggap diri sendiri pandai? Menggelikan sekali!

Sang waktu berlalu cepat sekali tanpa dirasakan oleh manusia. Setiap lembar dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dipelajari Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut prakteknya dan dua tahun kemudian, tamatlah buku ini di pelajarinya.

Itu pun baru merupakan setengah dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, yakni bagian latihan tenaga lweekang dan bagian ilmu silat saja. Ketika dia menamatkan bagian ilmu silat dan hendak mulai membuka lembaran atau bagian ilmu perang, ternyata bahwa bagian ini sudah lengket menjadi satu dan kalau dipaksa dibuka, lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran tentang ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka.

Namun, setelah menamatkan bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk mempelajari bagian lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu perang? Dia benci akan perang yang hanya merupakan penyembelihan antara sesama manusia, lepas dari pada persoalan yang menimbulkan perang itu sendiri.

Ada pun tentang ilmu pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan menjadi agak kecewa ketika melihat bagian ini tidak mungkin dibaca lagi. Akan tetapi pengetahuannya yang mulai mendalam mengenai garis-garis hidup membuat dia berpikir bahwa betapa pun pandai seseorang mengobati orang sakit, bila Thian tak menghendaki, si sakit itu takkan tertolong juga!

Sembuh tidaknya seorang penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini dia percaya sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan tergantung dari pengobatan. Apa bila Thian menghendaki nyawa seseorang, walau pun seribu orang dewa datang menolong, orang itu pasti akan mati juga!

Karena kini kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian depan setelah dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang telah lengket-lengket tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu berikut petinya, di dekat makam tiga orang gadis, yakni Liyani, Malita dan Malika.

Juga di atas ‘kuburan’ kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini dia letakkan tanda batu karang besar. Kemudian dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan... bukan main hebatnya, ternyata bahwa di atas batu karang yang keras itu telah terdapat tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti berikut:

‘Teecu Lu Kwan Cu telah menerima petunjuk dan selamanya teecu akan mentaati semua pelajaran yang teecu terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala pelajaran demi kebaikan dan perikemanusiaan.’

Kurang lebih sebulan kemudian, nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret perahu buatannya sendiri, menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke air, melompat ke dalam perahu sambil memegang dayung, lalu mendayung perahu itu ke tengah samudera.

Tidak lama kemudian, dia menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke arah pulau itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam Liyani, Malita dan Malika kini sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya itu kelihatan dari perahunya.

Segala pengalaman selama tiga tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata Kwan Cu dan dia cepat menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal. Kemudian dia menarik napas panjang dan mendayung perahunya lagi.

Tak lama kemudian dia sudah memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang disambung-sambung, dan meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke utara, ke arah daratan tanah Tiongkok. Tak seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda yang telah mewarisi kepandaian luar biasa dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke daratan Tiongkok, dan akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw.....

********************
Sebaliknya, Kwan Cu yang sekarang telah berusia dua puluhan itu sama sekali tidak tahu bahwa selama dia pergi dari daratan Tiongkok, yakni selama kurang lebih empat tahun, di Tiongkok telah terjadi perubahan besar sekali. Telah terjadi hal-hal yang amat hebat!

Sebagaimana sudah diceritakan di bagian depan, pada masa itu, Kaisar Kerajaan Tang ialah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang amat doyan pelesir, mencari kesenangan dan hiburan bagi diri sendiri belaka, sama sekali tidak mau mempedulikan pemerintahannya, apa lagi keadaan rakyatnya. Oleh karena itu, secara sembrono sekali kaisar ini mengangkat An Lu Shan sebagai panglima besar di utara, dan sama sekali dia tidak menaruh dugaan atau kecurigaan terhadap An Lu Shan. Bahkan sampai pada saat An Lu Shan sudah membentuk pasukan yang besar dan mempunyai niat memberontak, kaisar ini masih enak-enak saja berpelesiran di istananya yang indah, tentu saja dengan dikelilingi oleh selir-selirnya yang banyak jumlahnya dan yang rata-rata amat cantik jelita dan muda-muda!

Bukan sampai di situ saja kelalaian Kaisar Hian Tiong. Bahkan ketika An Lu Shan mulai menggerakkan tentaranya ke selatan, kaisar ini masih tinggal enak-enakan saja di dalam istananya.

“Bentuk pasukan, hancurkan pemberontakan bodoh itu, apa sih sukarnya?” katanya acuh tak acuh, seakan-akan yang dihadapinya hanya persoalan kecil belaka.

Para menteri yang berwatak jujur dan setia lalu tergopoh-gopoh menghadap kaisar untuk memperingatkan junjungan ini dari pada mabuk dan mimpinya. Akan tetapi kaisar tetap tinggal enak-enak, bahkan mencaci para menteri itu sebagai pengecut-pengecut besar!

Menteri Lu Pin yang dianggap menteri tertua yang paling setia dan disegani oleh kaisar, segera didatangi oleh para menteri dengan desakan agar Menteri Lu Pin suka memberi peringatan kepada kaisar.

Menteri Lu Pin lalu menghadap kaisar, namun diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan ucapan menyindir.

“Apakah kau yang terkenal sebagai menteri jujur, setia dan keturunan panglima gagah perkasa, juga berhati pengecut seperti mereka itu dan hendak menakut-nakuti aku?”

Merahlah wajah Lu Pin mendengar sabda kaisar ini. Ia memberi hormat dengan berlutut sambil berkata,

“Harap Sri Baginda segera sadar dari keadaan Sri Baginda yang tidak sewajarnya ini. Sebenarnya para perdana menteri dan panglima itu memberi nasehat amat baik kepada Paduka. Demikian pula kedatangan hamba menghadap ini bukan karena hamba berhati pengecut, melainkan karena hamba melihat datangnya bahaya besar yang mengancam keselamatan negara kita. Sadarlah Paduka dari mimpi, keadaan kita benar-benar sudah terancam bahaya besar sebab tentara An Lu Shan si pemberontak jahat itu telah makin jauh menyerang ke selatan.”

Marah sekali Kaisar Hian Tiong mendengar ini. Ia menggebrak meja dan menudingkan jari tangannya ke arah pintu.

“Pergi! Pergilah! Hendak kulihat sampai di mana kebisaan An Lu Shan! Mustahil kalau para barisan penjaga kita dapat dia bobolkan!”

Dengan hati terpukul, Menteri Lu Pin lalu keluar dari ruangan itu dan menuturkan kepada para menteri lain atas kegagalannya itu dengan suara penuh kekecewaan dan kedukaan. Hati para menteri itu tidak senang ketika mendengar bahwa kaisar tetap saja tenggelam dalam mimpi buruk. Keadaan sudah amat berbahaya dan apa bila para pemberontak itu sampai berhasil memasuki kota raja, tentu mereka sekeluarga sekarang takkan selamat pula. Hal ini yang melemahkan semangat mereka.

Ketika para mata-mata An Lu Shan datang menghubungi mereka, sebagian besar para menteri ini lalu menerima uluran tangan para pemberontak. Demi keselamatan seluruh keluarga dan harta benda serta kedudukan mereka, para menteri ini tidak segan-segan untuk berkhianat dan memihak pemberontak. Diam-diam mereka memberi kesanggupan kepada An Lu Shan bahwa apa bila tentara pemberontak itu memasuki kota raja, mereka diam-diam akan mengadakan bantuan dari dalam supaya pembobolan benteng kota raja dipermudah!

Menteri Lu Pin dapat membuka rahasia mereka ini. Dengan hati sangat berang, menteri yang setia ini segera menghadap kaisar dan membeberkan semua rahasia para menteri yang berkhianat. Kaisar sangat marah dan baru sadar akan keadaan yang memang amat berbahaya.

Segera dia memeritahkan pasukan pengawal untuk menangkap-nangkapi para menteri dorna itu dan menghukum penggal kepala sekeluarga mereka! Sesudah melakukan hal ini, kaisar lalu menggerakkan barisan untuk mempertahankan kerajaan.

Akan tetapi, hal ini benar-benar merupakan pengobatan yang sudah amat terlambat bagi penyakit yang berat. Dengan dihukumnya para menteri, keadaan menjadi semakin kalut dan lemah. Kalau saja Kaisar Hian Tiong dari dahulu sadar pada waktu para menteri itu belum memiliki hati khianat, agaknya keadaan masih dapat diharapkan akan tertolong.

Terlambatlah semua usaha kaisar ini. Barisan pemberontak An Lu Shan telah menerobos dan memasuki kota raja! Pertahanan kaisar hancur luluh!

Dalam kekacuan yang menghebat ini, Menteri Lu Pin menjadi tujuan pertama dari An Lu Shan. Tentu saja An Lu Shan telah mendengar bahwa Menteri Lu Pin inilah yang sudah menggagalkan rencananya menghubungi para menteri, dan bahwa Menteri Lu Pin yang membuka rahasia para menteri pengikutnya sehingga para menteri dorna itu sekeluarga dijatuhi hukuman mati oleh kaisar. Karena itu, begitu memasuki kota raja, An Lu Shan memerintahkan semua anak buahnya untuk pertama-tama mencari Menteri Lu Pin dan membunuh serta membasmi seluruh keluarganya!

Akan tetapi, atas desakan keluarganya, Manteri Lu Pin siang-siang sudah melarikan diri, mengungsi dengan dikawal oleh pasukan panglima yang setia. Diam-diam Menteri Lu Pin mengumpulkan harta benda dari istana dalam satu peti besar, bukan dengan niat hendak mempergunakan harta benda itu untuk dirinya sendiri, akan tetapi dia bercita-cita besar hendak melarikan harta benda itu supaya jangan terjatuh ke dalam tangan pemberontak dan kelak dapat dia pergunakan untuk membiayai pasukan yang akan dipimpinnya untuk memukul mundur para pemberontak itu!

Kota raja diduduki, dan sungguh malang nasib keluarga Menteri Lu pin. Semua keluarga, dari yang tua sampai anak bayi, dikumpulkan dan dibakar hidup-hidup oleh An Lu Shan! Bahkan Lu Seng Hok, puteri Lu Pin atau ayah dari Lu Thong sekeluarganya juga dibasmi dalam pembersihan ini, tidak terkecuali para bujang pelayan! Hanya Lu Thong seorang yang sedang dibawa pergi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yakni gurunya, yang tidak ikut menjadi korban.

Lu Pin mendengar tentang berita ini dan di sepanjang jalan, kakek ini menangis keras, bukan semata-mata karena menyedihi kebinasaan seluruh keluarganya. Memang kakek ini memang berjiwa patriot dan sangat setia kepada pemerintah, maka sambil menangis ia bersembahyang dan bersumpah bahwa ia akan menuntut balas kepada pemberontak An Lu Shan! Melihat kesetiaan ini, tiga orang panglima besar yang turut mengawalnya bersama pasukan kecil, ikut pula menangis.

Akan tetapi An Lu Shan ternyata bukan orang bodoh dan sebentar saja dia sudah dapat mendengar ke mana larinya Menteri Lu Pin yang dibencinya itu. Segera dia mengirim pasukan besar untuk melakukan pengejaran terhadap Lu Pin serta rombongannya! Tiga hari kemudian, benar saja pasukan gerak cepat ini berhasil menyusul rombongan Menteri Lu Pin.

Terjadilah pertempuran hebat. Pasukan pengawal Menteri Lu Pin melakukan perlawanan mati-matian, namun jumlah pasukan pengejar jauh lebih besar sehingga banyak di antara mereka roboh. Akhirnya hanya tiga orang panglima besar itu saja yang masih sempat menggendong Menteri Lu Pin dan membawa peti harta dan melarikan diri.

Namun tentu saja para pengejar yang telah mendengar bahwa menteri tua itu membawa sepeti harta benda yang tak ternilai harganya, melakukan pengejaran cepat sekali. Tiga orang panglima ini mempunyai kepandaian tinggi, maka mereka berhasil membawa pergi Menteri Lu Pin. Namun, kalau mereka sampai tersusul, menghadapi pengeroyokan yang demikian banyaknya, mana mereka mampu mempertahankan diri?

Sudah sehari semalam mereka melarikan diri, terus dikejar oleh barisan pemberontak. Akhirnya, pada esok paginya, ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang amat liar, kuda-kuda yang ditunggangi oleh tiga orang panglima yang membawa lari Menteri Lu Pin, roboh dan tewas saking lelahnya. Padahal para pengejar sudah begitu dekat hingga suara teriakan mereka telah terdengar riuh rendah.

“Kita terpaksa melawan mati-matian!” berkata tiga orang panglima yang gagah berani itu.

Menteri Lu Pin mengalirkan air mata. “Sudah terlalu banyak orang menjadi korban karena aku seorang, padahal bukan maksudku untuk menyelamatkan badan yang sudah tua dan tak berharga ini. Sam-wi Ciangkun (Tiga Panglima), harap Sam-wi membawa pergi harta ini dan usahakan agar supaya dapat dibentuk pasukan baru guna menumpas penjahat An Lu Shan dan membalaskan sakit hati kerajaan kita. Biarkan aku mereka tangkap, aku tidak takut mati.”

Namun tiga orang panglima itu menolak. “Harta benda ini tiada artinya bagi kami bertiga. Tanpa adanya Taijin yang bijaksana untuk mengatur, bagaimana dapat dibentuk pasukan besar? Tidak, Taijin, kalau sudah semestinya kita mati, biarlah kita bersama-sama mati di tempat ini! Namun kami berjanji bahwa penjahat-penjahat itu takkan mudah begitu saja untuk merenggut nyawa kita!” Sambil berkata demikian, tiga orang panglima itu segera mencabut golok besar mereka dan menanti dengan penuh semangat.

Maka datanglah para pengejar itu dan mereka menyerbu bagai taufan mengamuk! Tiga orang panglima perang itu menjaga Menteri Lu Pin yang berdiri di tengah-tengah. Mereka merupakan benteng segitiga yang amat kuat sehingga para pemberontak yang terdekat segera terjungkal mandi darah akibat terlanggar golok mereka yang tajam dan kuat.

Hebat sekali perang tanding yang tidak seimbang ini. Datangnya pemberontak bagaikan semut dan tak lama kemudian, tiga orang panglima itu sudah lelah sekali. Mereka mulai menerima bacokan yang mendatangkan luka, namun mereka tetap mengamuk bagaikan banteng-banteng terluka!

Pada saat yang amat berbahaya bagi Menteri Lu Pin bersama tiga orang pengawalnya, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kepungan para pemberontak menjadi kacau balau. Dan tak lama kemudian, nampaklah tubuh para pemberontak terpental dan terlempar ke sana ke mari, seakan-akan ada seorang raksasa perkasa yang menangkap-nangkapi dan melempar-lemparkan tubuh mereka.

Menteri Lu Pin memandang. Dia menjadi amat terharu pada waktu melihat bahwa yang sedang mengamuk sambil memaki-maki para pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau Ang-bin Sin-kai kakaknya sendiri!

“Anjing-anjing pemberontak yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?” berkali-kali Ang-bin Sin-kai memaki.

Setiap kali tangannya diulur, tentu ada dua tiga orang pemberontak yang ditangkapnya dan dilemparkannya sampai jauh. Ada pula yang ditendang seperti seorang menendang bal karet saja. Tubuh para pemberontak melayang dan jatuh dengan kepala pecah atau tulang patah.

Keadaan amat kacau balau, ada pun para pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak terjang Ang-bin Sin-kai yang pada saat itu kelihatan sangat menyeramkan. Kakek pengemis itu yang biasanya bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya. Kedua matanya bersinar-sinar, rambutnya terurai serta jenggotnya melambai-lambai mengikuti gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya pun robek di sana-sini.

Ketika melihat kakek pengemis ini, ada dua orang perwira pemberontak menjadi sangat penasaran. Kakek pengemis itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak dapat merobohkannya? Mereka melompat turun dari atas kuda dan dengan pedang di tangan, kedua orang perwira itu menyerang Ang-bin Sin-kai yang masih saja mengamuk dan melempar-lemparkan para pemberontak yang berada di hadapannya.

Ketika dua pedang dari kanan kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan seperti seekor burung garuda hendak terbang. Kedua lengannya dipentang ke kanan kiri dan hebat bukan main, tahu-tahu dia sudah dapat mencekik batang leher kedua perwira pemberontak itu, dan pedang mereka terpental saat beradu dengan jari-jari tangan kakek ini.

Ang-bin Sin-kai maklum bahwa untuk dapat mengundurkan para pemberontak, dia harus menjatuhkan pimpinan mereka. Karena itu ketika dia melihat bahwa yang terpegang oleh kedua tangannya adalah perwira-perwira pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas membenturkan kepala mereka satu kepada yang lain!

Terdengar suara keras, suara batok kepala yang pecah karena saling bentur dan Ang-bin Sin-kai melemparkan kedua tubuh perwira pemberontak yang kepalanya sudah pecah itu ke atas sampai tinggi.

“Lihat pemimpin-pemimpinmu ini, hai anjing-anjing pemberontak! Siapa yang berani mati hendak mengukur tenaga dengan Ang-bin Sin-kai, boleh lekas maju!”

Suara ini dikeluarkan dengan nyaring dan menyeramkan. Tentu saja para pemberontak menjadi makin ketakutan ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apa lagi pada waktu mereka mendengar nama Ang-bin Sin-kai yang telah amat terkenal, tanpa pikir panjang lagi mereka lalu melarikan diri. Suara derap kaki kuda menjauh dan tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap, kecuali suara keluhan para anggota pemberontak yang tergeletak di sana-sini.

Tiga orang panglima pengawal Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka kemudian memandang kepada Ang-bin Sin-kai sambil menjura sebagai tanda terima kasih. Namun Ang-bin Sin-kai tidak memperhatikan mereka, melainkan datang menghampiri Menteri Lu Pin dan berkata sambil tersenyum pahit,

“Inilah jadinya kalau kau membantu kaisar lalim!”

Menteri Lu Pin sejak tadi telah basah matanya. Mendengar ucapan ini, dia mengedikkan kepala dan berkata keras,

“Twako, aku bukan berjuang untuk kaisar, melainkan untuk tanah air dan bangsa! An Lu Shan telah berkhianat dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan kaisar, tapi para petugas juga mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku telah bersumpah hendak membalas dendam kepada An Lu Shan, dan aku sengaja pergi membawa harta benda di dalam peti ini untuk membentuk pasukan baru agar dapat mengusir penjajah khianat itu dari kota raja!”

“Adik Pin, suaramu seperti harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini lemah bagaimana dapat mengusir An Lu Shan dengan pasukannya yang dibantu oleh orang-orang pandai?” kata Ang-bin Sin-kai.

“Kita sama lihat saja nanti!” jawab Menteri Lu Pin gagah. “Meski pun aku seorang lemah, hanya seorang seniman bodoh, tapi semangatku masih tinggi, Sin-ko. Soal orang-orang pandai, ada kau di sini, takut apakah?”

Melihat sikap adiknya, Ang-bin Sin-kai menjadi terharu sekali.

“Orang bodoh, kau kira aku tak tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum padamu, Adikku. Kau memang patut menjadi teladan semua pembesar dan pemimpin rakyat. Kau tidak tahu bahwa sejak kau keluar dari kota raja, secara diam-diam aku selalu mengikuti kau. Aku sudah mendengar pula tentang nasib keluargamu. Ahh, adikku yang gagah, kau menderita demikian hebat akan tetapi masih bersemangat membela negara, benar-benar aku pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu kepada diri sendiri.”

“Sin-ko, jangan kau berkata begitu...”

Menteri Lu Pin mencucurkan air mata saking terharunya. Dia cepat menghampiri kakek pengemis itu dan kedua orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Dari kedua mata Ang-bin Sin-kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya, menteri setia yang berjiwa patriot asli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah yang tidak mengerti ilmu silat! Sedangkan dia, orang yang semenjak kecil mempelajari kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang keselamatan tanah air!

Ketika berpelukan dengan Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-bin Sin-kai. Tidak patut dia disebut seorang gagah apa bila dia tidak dapat berbuat seperti adiknya ini, tidak dapat mengorbankan diri untuk rakyat dan negara. Ia tahu bahwa An Lu Shan mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Hek-i Hui-mo sendiri juga menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat menghadapi mereka jika tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?

“Adik Pin, kau betul. Harta ini harus kau simpan baik-baik sehingga dengan diam-diam kau dapat mengerahkan kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau dapat membantu pengerahan para pasukan rakyat untuk bergerilya. Aku tahu sebuah tempat persembunyian yang sangat baik, Adikku. Pergilah ke timur, di sebelah bukit ini terdapat pegunungan dan sesudah kau menyeberangi sungai kecil, kau akan melihat hutan pohon pek. Di sebelah selatan hutan itu terdapat sebuah goa besar yang penuh tulang belulang binatang purbakala yang besar-besar. Goa itu lebar sekali, aku pernah menggunakannya sebagai tempat bertapa. Kau bawalah harta ini dan kau bersembunyilah di goa itu. Goa itu tertutup oleh serumpun pohon bunga cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri akan segera ke kota raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya. Selamat berpisah adikku!”

Bukan main girangnya hati Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia sangat kecewa melihat kakaknya yang sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali. Memang mereka sekeluarga adalah keturunan patriot ternama, sudah selayaknya kalau kakaknya pun bersikap sebagai seorang pahlawan bangsa.

“Terima kasih, Sin-ko. Semoga perjuanganmu berhasil,” jawabnya.

Dua orang kakak beradik ini kembali berpelukan, disaksikan oleh ketiga orang panglima yang memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi dari pertemuan dua orang kakak beradik yang berjiwa gagah, namun yang keadaannya amat berlainan, seorang kakek pengemis dan seorang menteri setia, namun keduanya gagah perkasa dalam bidang masing-masing. Mereka kemudian berpisah dan tiga orang panglima itu melanjutkan kawalan mereka terhadap Menteri Lu Pin, menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Ang-bin Sin-kai.

Benar saja seperti petunjuk dari Ang-bin Sin-kai, mereka mendapatkan goa besar yang amat lebar itu dan di situ penuh dengan tulang-tulang besar yang putih dan kuat. Selain ini juga di sebelah ruangan kecil di dalam goa itu mereka mendaparkan sebuah hiolouw (tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar dan kuno.

Hiolouw ini biasanya dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk membakar akar-akar dan dupa untuk mengusir hawa busuk dari dalam goa. Melihat tulang-tulang berserakan itu, Menteri Lu Pin tertarik sekali hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa amat tertarik dan gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan yang baik sekali untuk diukir.

Setelah membereskan dan membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga orang panglima pengawalnya untuk mulai menghubungi para pejuang rakyat. Mereka lalu ditugaskan untuk memperkuat pasukan-pasukan rakyat yang ikut melakukan perlawanan terhadap pemberontak An Lu Shan. Mereka disuruh membawa sebagian dari pada harta istana itu untuk membiayai dan membantu pergerakan rakyat dan sewaktu-waktu datang ke goa itu memberi laporan.

Ada pun Menteri Lu Pin yang hidup seorang diri di dalam goa, mendapatkan makanan dari buah-buahan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dalam waktu senggang, dia mulai membuat ukir-ukiran pada tulang-tulang besar tadi.

Menteri Lu Pin tinggal sampai bertahun-tahun di situ dan sudah menciptakan ukir-ukiran berupa tengkorak-tengkorak manusia yang luar biasa besarnya, semua dibuatnya dari tulang-tulang itu sehingga tengkorak-tengkorak atau rangka-rangka manusia raksasa itu seperti tulen, terbuat dari pada tulang-tulang! Ia mengatur dan menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan goa, berjajar seperti barisan raksasa yang menjaga goa, namun raksasa yang telah menjadi rangka yang amat menyeramkan!

Memang, Menteri Lu Pin membuat ini tidak saja untuk menimbulkan daya khayalnya agar menjadi kenyataan, namun juga dengan maksud supaya para penjahat yang iseng-iseng dan kebetulan masuk ke goa itu, akan menjadi ketakutan lalu mundur kembali setelah melihat rangka-rangka raksasa yang benar-benar menyeramkan sekali itu.

Ada pun Ang-bin Sin-kai setelah berpisah dari Menteri Lu Pin, segera menuju ke kota raja dengan hati panas sekali. Dari orang-orang kang-ouw dia sudah mendengar bahwa tidak saja An Lu Shan mempunyai barisan yang berjumlah besar dan terlatih baik sekali serta mempunyai ilmu perang yang luar biasa, juga pemberontak ini dibantu oleh orang-orang pandai.

Ia sudah mendengar siapa-siapa yang membantu para pemberontak itu, yaitu yang sudah dia kenal adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, pendekar gundul yang berjubah dan berkulit hitam dari Tibet yang lihai itu. Ke dua, Pek-eng Sianjin ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang pernah dia hajar di puncak Kun-lun-san. Ketiga, Toat-beng Hui-houw siluman tua berkuku panjang yang lihai, yang pernah pula dia hajar ketika dia berada di dapur istana kaisar.

Dan yang membuat hati Ang-bin Sin-kai merasa sakit dan penasaran adalah ketika dia mendengar bahwa di samping tokoh-tokoh itu dan lain-lain ahli silat ternama, juga Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu terpikat oleh bujukan An Lu Shan dan membantu pemberontak itu menggulingkan kedudukan Kaisar Hian Tiong!

Tadinya sebelum dia bertemu dengan Menteri Lu Pin, dia hanya tersenyum mendengar semua berita ini. “Rupanya tua bangka-tua bangka itu sudah gila sehingga sudi mengikat diri dengan urusan perang, urusan yang paling busuk di antara semua urusan keduniaan,” pikirnya.

Akan tetapi sesudah dia bertemu dengan adiknya itu, sekarang pandangannya berubah. Ia menjadi marah sekali ketika matanya terbuka betapa orang-orang itu, terutama sekali Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, seakan-akan membantu pemberontak untuk menindas rakyat jelata. Apa lagi ketika dia mendengar di sepanjang jalan, betapa kejam perlakuan para anggota pemberontak terhadap rakyat, hatinya menjadi makin panas.

Kemarahan hati kakek sakti ini memuncak ketika tiba di kota raja, dia mendengar berita bahwa sebelumnya, semenjak kota raja diduduki oleh An Lu Shan, berturut-turut datang beberapa tokoh kang-ouw untuk menyerang An Lu Shan.

Ia mendengar bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah datang menyerbu istana, akan tetapi kakek sakti dari utara ini terpaksa melarikan diri karena tidak kuat menghadapi keroyokan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang dibantu oleh Hek-i Hui-mo dan tokoh-tokoh lain! Juga Kiu-bwe Coa-li wanita sakti yang ganas itu sudah datang dengan maksud memberi hajaran kepada mereka, namun wanita sakti ini bahkan terluka dan terpaksa mundur pula.

Kalau dua orang sakti ini hanya terluka dan dapat melarikan diri, adalah beberapa orang tokoh kang-ouw lainnya tewas dalam usaha mereka membalaskan sakit hati rakyat ini. Yang tewas adalah Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai bersama beberapa orang muridnya, tiga tokoh Kun-lun-pai yakni Seng Te Taisu, Seng Jin Taisu dan Seng Giok Siansu, dan masih banyak pula tokoh-tokoh besar yang telah mengorbankan nyawa dalam perjuangan itu.

“Terkutuk!” Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. “Biadab benar An Lu Shan dan kaki tangannya!”

Dengan amarah meluap-luap, begitu tiba di kota raja, Ang-bin Sin-kai langsung menyerbu ke istana dan di dalam istana, setelah merobohkan para penjaga yang hendak mencegah masuk, dia berseru keras sekali,

“Anjing pemberontak An Lu Shan, keluarlah untuk terima binasa!”

Tentu saja keadaan menjadi gempar sekali di halaman istana itu. Para penjaga dan pengawal menyerbu dari luar dan dalam istana, dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai dikeroyok sedikitnya seratus orang penjaga!

Namun pada saat itu Ang-bin Sin-kai sedang marah luar biasa, maka para penjaga ini seakan-akan nyamuk-nyamuk yang melawan api pelita. Siapa saja yang menyerbu dekat, tentu roboh tak bernyawa pula oleh pukulan, tamparan atau tendangan kaki Ang-bin Sin-kai. Dalam kemarahannya, setiap gerakan kaki tangan kakek ini merupakan tangan maut yang menjangkau nyawa lawan.

Suara hiruk-pikuk, suara senjata terlempar dan orang memekik, memenuhi halaman istana itu, gaduh bukan main. Mayat-mayat para penjaga sudah malang melintang dan bertumpuk-tumpuk memenuhi tempat itu, karena dalam waktu cepat sekali Ang-bin Sin-kai sudah menewaskan sedikitnya tiga puluh orang penjaga! Sambil mengamuk, Ang-bin Sin-kai tetap berseru-seru keras,

“Pengecut An Lu Shan, anjing pemberontak tak kenal budi, keluarlah untuk terima hukuman!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras sekali kepada para penjaga.

“Mundur semua!”

Mendengar bentakan ini, para penjaga lalu mengundurkan diri dan menarik mayat-mayat kawan yang bergeletakan di situ. Ang-bin Sin-kai memandang dengan mata merah dan dia melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu muncul dari pintu samping istana, diikuti oleh Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin dan banyak orang kang-ouw ternama lagi.

Jeng-kin-jiu yang bertubuh bundar gendut tertawa bergelak lalu berkata,

“Ha-ha-ha, kukira siapa, tidak tahunya sahabat baikku setan tua dari timur yang datang main-main di sini dengan para penjaga! Ahh, Ang-bin Sin-kai, sahabat baik, apakah kau terlalu banyak minum arak sehingga jadi mabuk dan membunuh orang banyak seperti membunuh semut saja?”

Hubungan antara dua orang tokoh besar ini biasanya erat dan mereka sudah biasa bicara mian-main tanpa banyak peraturan. Biasanya Ang-bin Sin-kai menghadapi kelakar si gendut itu dengan gembira. Akan tetapi kali ini dengan mata terbelalak penuh kebencian dia membentak,

“Jeng-kin-jiu, kau tahu bahwa aku Ang-bin Sin-kai tidak sudi mempunyai sahabat anjing-anjing penjilat! Aku tidak mempunyai sahabat anjing penjilat pemberontak An Lu Shan seperti engkau!”

Kembali Jeng-kin-jiu tertawa bergelak. Sudah biasa dia menerima makian-makian dari Ang-bin Sin-kai, maka kata-kata yang pedas itu tidak membuat dia marah. Akan tetapi Hek-i Hui-mo yang memang mempunyai rasa benci terhadap Ang-bin Sin-kai, menjadi marah sekali.

“Pengemis busuk, kau mempunyai kepandaian apakah berani bersikap sombong di hadapanku?” Setelah berkata demikian dia melangkah maju dan mengayun lengan kanan memukul ke arah kepala Ang-bin Sin-kai.

Pukulan ini kelihatannya seperti pukulan orang biasa saja, akan tetapi sebetulnya pukulan ini mengandung tenaga lweekang yang akan dapat menghancurkan batu karang, apa lagi kepala manusia! Melihat ini, Ang-bin Sin-kai mengerahkan tenaga dan menggunakan lengannya menyampok pukulan itu sambil berseru,

“Aku tidak ada urusan dengan kau!”

Dua batang lengan tangan yang sama kuatnya bertemu, mengeluarkan suara “duk!” dan keduanya terhuyung mundur empat langkah! Ternyata bahwa keduanya mempunyai tenaga berimbang.

“Nanti dulu, Hek-i-bengyu,” kata Jeng-kin-jiu mencegah Hek-i Hui-mo menyerang terus.

“Biar kita dengar dulu maksud kedatangan Ang-bin Sin-kai.” Kemudian setelah hwesio hitam yang bertubuh bulat seperti dia sendiri itu mundur dengan marah Jeng-kin-jiu lalu menghadapi Ang-bin Sin-kai dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,

“Sahabatku yang baik, agaknya kau telah mabuk arak murah sehingga dalam mabukmu kau marah-marah. Jangan kau membolak-balikkan kenyataan, sahabat. An Lu Shan bukanlah pengkhianat, demikian pula kami bukan penjilat-penjilat. Kau sudah tahu bahwa Kaisar Hian Tiong adalah seorang kaisar lalim yang tidak mempedulikan kesengsaraan rakyat yang hidup untuk kesenangan diri sendiri. Perjuangannya suci dan kami tentu saja membantunya. Apakah kau hendak membela kaisar lalim itu demi mengingat adik kandungmu yang menjadi menteri?”

“Jangan mengeluarkan omongan berbau busuk!” Ang-bin Sin-kai membanting-banting kaki. “Matamu sudah buta atau telingamu sudah tuli? Siapa orangnya tidak mendengar tentang kebusukan An Lu Shan dan anak buahnya?”

Jeng-kin-jiu menjadi habis sabar dan mulai kurang senyumnya. “Ang-bin Sin-kai, habis apa yang kau kehendaki?” tantangnya.

“Pertama-tama, keluarkan cucuku Lu Thong agar dia jangan terseret ke dalam jurang kehinaan dan mencemarkan nama keluargaku. Ke dua, suruh An Lu Shan keluar untuk menerima hukuman di tanganku!”

Terdengar seruan-seruan marah di antara kawan-kawan Jeng-kin-jiu, akan tetapi si gendut ini memberi isyarat dengan tangan menyabarkan kawan-kawannya. Kemudian dia tertawa bergelak menghadapi Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali.

“Ang-bin Sin-kai, kalau kita bicara tentang buta dan tuli, kaulah orangnya. An Lu Shan adalah seorang pahlawan gagah perkasa yang dapat menghargai orang-orang gagah. Kau lihat saja betapa adikmu Lu Pin itu telah mengkhianati rencana baik, telah mengkhianati banyak menteri sehingga mereka dihukum sekeluarga mereka olah Kaisar Hian Tiong yang lalim! Sudah sepatutnya kalau Lu Pin sekeluarganya dihukum mampus. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh An-ciangkun terhadap muridku Lu Thong? Biar pun dia adalah cucu dalam dari Lu Pin, namun melihat kegagahannya, terutama memandang mukaku, muridku itu tidak saja diampuni, bahkan dianugerahi pangkat dan kedudukan! Berkat kebijaksanaan An-ciangkun, cucumu Lu Thong itu telah menjadi seorang yang dimuliakan dan sekarang kau datang untuk menghina An-ciangkun? Sungguh buta dan tuli, di mana keadilan dan kebijaksanaanmu?”

Mendengar berita ini, bukan luluh kemarahan Ang-bin Sin-kai, bahkan bagaikan api yang disiram minyak, berkobar makin hebat. Dua kali dia membanting kakinya dan tanah di sekitarnya sejauh lima kaki tergetar oleh tenaga bantingan kaki ini!

“Bangsat kau, Kak Thong Taisu! Kau telah menyeretnya menjadi anjing penjilat pemberontak An Lu Shan pula? Kalau begitu, sebelum menghancurkan An Lu Shan, kepalamu harus kupecahkan lebih dulu!” Setelah berkata demikian, dia menubruk maju dan melakukan serangan hebat.

“Sombong dan gila!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menangkis.

Segera dua orang kakek yang sudah pernah bertempur mati-matian dengan keadaan seimbang itu kini mulai bertempur lagi mati-matian. Bukan main hebatnya pertempuran ini yang biar pun dilakukan dengan tangan kosong, namun sekali saja pukulan mengenai tubuh lawan, berarti merenggut nyawanya.


Hek-i Hui-mo tidak mau tinggal diam. Ia menggerakkan sepasang senjatanya, yakni tasbih di tangan kiri dan Liong-touw-tung di tangan kanan, menyerang Ang-bin Sin-kai dengan gemas. Kepandaian Hek-i Hui-mo semenjak dia berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu, telah meningkat hebat sekali. Maka serangan-serangannya juga membuat Ang-bin Sin-kai terkejut karena serangan ini benar-benar jauh lebih berbahaya dari pada gerakan-gerakan hwesio ini pada waktu dahulu, bahkan masih lebih lihai dari pada serangan yang dilancarkan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!

Akan tetapi dia bukanlah tokoh besar dari timur kalau gentar menghadapi keroyokan dua orang ahli silat yang kepandaiannya berimbang dengan tingkat kepandaiannya sendiri itu. Dengan gerakan cepat amat lincah, mengandalkan ginkang-nya yang tinggi, dia menghindarkan diri dari serangan-serangan itu dan masih sempat membalas tak kalah hebatnya.

Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng, sebagaimana diketahui telah mendendam sakit hati kepada Ang-bin Sin-kai, karena empat orang saudara seperguruannya tewas dalam pertempuran ketika Ang-bin Sin-kai menyerang ke sarangnya. Kini melihat Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok oleh dua orang tokoh besar itu, dia merasa mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Sambil berseru keras dia lalu melompat maju menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan hebat.

Namun Pek-eng Sianjin ternyata tidak bijaksana dengan perbuatannya ini. Ia tidak mengukur kepandaian sendiri yang masih kalah jauh. Baru saja dia maju, tiba-tiba dia berteriak keras dan tubuhnya terlempar dua tombak lebih, pedangnya terlepas dan jatuh tak jauh dari tubuhnya. Ternyata bahwa hawa pukulan Ang-bin Sin-kai saja sudah cukup untuk membuat dia terpental, seakan-akan seekor nyamuk mendekati kitiran angin. Baiknya dia tidak terkena tangan Ang-bin Sin-kai, hanya keserempet hawa pukulan saja, karena kalau sampai terjadi demikian, kiranya nyawanya akan menyusul nyawa empat orang adik seperguruannya yang tewas terlebih dulu!

Berbeda dengan Pek-eng Sianjin, Toat-beng Hui-houw yang kepandaiannya juga sudah amat tinggi, berani menyerbu dan dengan masuknya kakek seperti iblis yang berkuku panjang ini, tentu saja keadaan Ang-bin Sin-kai menjadi amat terdesak. Di antara tiga orang pengeroyoknya, hanya Toat-beng Hui-houw saja yang kepandaiannya masih agak rendah apa bila dibandingkan dengan kepandaian sendiri. Akan tetapi Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo benar-benar hebat. Apa lagi Hek-i Hui-mo, serangan-serangannya benar-benar amat luar biasa. Menghadapi seorang di antara dua tokoh ini saja, belum dapat dipastikan bahwa Ang-bin Sin-kai akan menang. Apa lagi sekarang dikeroyok tiga!

Namun Ang-bin Sin-kai dalam pertempuran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga. Segala pengalamannya yang berpuluh tahun itu dia keluarkan dan pergunakan dalam pertempuran ini, maka dia masih dapat mempertahankan diri sampai seratus jurus! Hal ini benar-benar membuat ketiga orang pengeroyoknya terheran-heran dan kagum bukan main, namun mereka mendesak makin hebat dan akhirnya robohlah Ang-bin Sin-kai! Kepalanya terpukul oleh tasbih dari tangan kiri Hek-i Hui-mo, dadanya terkena hawa pukulan Jeng-kin-jiu, sedangkan kuku panjang Toat-beng Hui-houw yang beracun melukai lambungnya. Ang-bin Sin-kai terhuyung-huyung lalu jatuh terkulai.

Kalau orang lain yang terkena pukulan-pukulan itu, biar pun hanya terkena satu di antaranya, tentu sudah roboh tak bernyawa lagi. Pukulan tasbih di kepala itu dapat memecahkan batok kepala, pukulan Jeng-kin-jiu ke dada itu, biar pun hanya hawanya saja, dapat melukai isi dada, apa lagi kuku panjang dari Toat-beng Hui-houw itu mengandung racun ular yang berbahaya sekali.

Ang-bin Sin-kai biar pun tidak tewas di saat itu juga, dia maklum bahwa luka-lukanya tak dapat diobati lagi. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan tertawa geli sambil berkata, “Syukurlah aku mati di tangan kalian, bukan di tangan para anjing pemberontak! Namun aku mati sebagai putera bangsa, Ang-bin Sin-kai biar pun mungkin takkan diingat orang lagi, namanya tidak busuk dan rusak. Akan tetapi kalian….. ha-ha-ha, kalian akan mati sebagai anjing-anjing perusak dan nama kalian akan membusuk sampai ratusan tahun! Jeng-kin-jiu, kau menjadi pucat….. dan ngeri? Ha-ha-ha, tunggu saja kalau Kwan Cu pulang, kau…. kalian ini….. akan merasakan pembalasannya….” Bicara sampai di sini, putuslah napas Ang-bin Sin-kai dan lenyaplah sifat-sifat kegagahannya, karena setelah mati, dia tidak berbeda dengan orang lain, yakni sebuah mayat yang dingin dan tidak berdaya.

Setelah melihat pengemis tua ini mati, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu teringat akan hubungan mereka yang dahulu, maka dia menjadi tidak tega hati. Ia menyuruh orang-orangnya untuk merawat dan mengubur jenazah kakek sakti itu baik-baik.

Demikianlah, jatuhnya pemerintahan Kaisar Hian Tiong membawa korban banyak sekali, tidak hanya para pembesar dan rakyat jelata, bahkan banyak pula tokoh-tokoh kang-ouw binasa.

Penuturan Jeng-kin-jiu kepada Ang-bin Sin-kai tentang diri Lu Thong memang betul. An Lu Shan adalah seorang cerdik sekali. Ia tahu bahwa Jeng-kin-jiu amat lihai, demikian pula muridnya, yakni pemuda Lu Thong yang sebetulnya adalah cucu dari Menteri Lu Pin sendiri.

Setelah bertemu dengan pemuda ini, An Lu Shan dapat melihat sifat-sifat Lu Thong yang suka akan kemewahan dan sombong sekali, maka dia lalu mengampuni pemuda ini dan bahkan mengangkatnya sebagai seorang pangeran dan diberi kedudukan tinggi sebagai kepala daerah di kota Ciang-bun.

Ada pun Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain tokoh besar, diberi kedudukan sebagai guru-guru dan penasihat-penasihat di istana. Hal ini pun merupakan kecerdikan dari An Lu Shan yang ingin tinggal dekat dengan orang-orang sakti ini sehingga dia selalu terlindung oleh mereka. Tokoh-tokoh ini tidak sadar bahwa sebenarnya mereka telah diperalat dan dijadikan pengawal-pengawal pribadi tanpa mereka ketahui.....!

********************

Walau pun An Lu Shan telah berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, akan tetapi ternyata bahwa di mana-mana rakyat tak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana di kalangan rakyat jelata. Di sana-sini rakyat lalu melakukan perlawanan terhadap barisan An Lu Shan sehingga boleh di bilang bahwa An Lu Shan tak dapat tidur nyenyak! Dia sudah melakukan banyak usaha untuk menumpas perlawanan rakyat ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati rakyat yang tidak sudi melihat dia menduduki singgasana kaisar?

Tadinya Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan beberapa tokoh besar lain membantu usaha ini, menumpas perlawanan rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi sesudah beberapa tahun perlawanan rakyat bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-kin-jiu dan yang lain-lain sadar serta terkejut.

Barulah mereka tahu bahwa sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan! Apa lagi ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat ini, diam-diam Jeng-kin-jiu menjadi gentar. Dia lalu berunding dengan Hek-i Hui-mo dan yang lain-lain.

“Kalau begini, kita sudah menempatkan diri dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pada kekeruhan ini,” kata Jeng-kin-jiu.

Memang mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak mereka akan mati sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk selama ratusan tahun! Setelah mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa kini sesudah kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan masing-masing.

Tentu saja An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda yang sangat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu bila mana ada kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya.

Sepeninggal orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada para anak buahnya untuk melakukan kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu disiksa di tempat umum agar rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biar pun rakyat menjadi takut sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu Shan…..

********************

Pada suatu hari, di kota Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan ‘operasi’ secara berpindah-pindah. Di kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap sebagai pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka.

Dalam hal ini tentu terjadi hal-hal dan cara yang amat kotor. Para petugas ini mendatangi orang-orang biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak. Kalau yang diancam ini mempunyai harta, tentu dia tak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat.

Ada pula yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat supaya keluarga itu bebas dari pada siksa dan kebinasaan! Masih banyak lagi hal-hal kotor yang terjadi dan dilakukan oleh orang yang bermoral rendah, baik oleh anak buah An Lu Shan mau pun oleh pembesar-pembesar setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang beroperasi itu.

Penduduk Thian-cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di tempat terbuka, di suatu lapangan rumput dekat markas pasukan itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah para pemimpin gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang.

Penduduk berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, akan tetapi akibat dipaksa oleh para anggota pasukan untuk datang menonton, dan juga karena ingin tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pejuang rakyat itu.

Di tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat pada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena pakaian mereka seperti orang-orang sastrawan dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk.

Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam dengan sikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata mempunyai tubuh tinggi besar dan nampak kuat luar biasa. Sambil memutar-mutar cambuknya, mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri para korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.

Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton kemudian berkata dengan suara keras.

“Lihat, beginilah nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!” teriaknya dan mulailah dia menghitung, “Satu...!”

Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.

“Tarrr...!”

Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh pada tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju pun mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet.

Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini patut disebut sebagai pemimpin-pemimpin gerombolan? Mereka begitu lemah!

Sebenarnya, mereka ini adalah sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.

“Dua...!” Komandan itu memberi aba-aba.

Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!

Mereka cepat memandang dan dapat melihat seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,

“Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”

Sambil berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu sudah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!

Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.

“Kau siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?” Biar pun bersikap galak, akan tetapi para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.

“Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu tidak akan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Apa bila memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang akan mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas dapat merasa puas.”

Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini tentulah salah seorang dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.

“Kau benar-benar hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang dan masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?” tanya seorang perwira.

Pemuda itu menoleh ke arah penonton. Pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan tapi sinar matanya mengandung pengaruh yang luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan wajah pemuda yang tadinya sangat keruh dan muram segera berubah girang.

“Boleh, boleh, sesukamulah!” katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, “Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas semua dosa-dosaku!”

“Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!” bentak komandan itu.

“Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!” jawab pemuda itu yang segera menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.

Komandan itu menjadi gemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang yang gila, pikirnya. Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang ‘bijaksana’ dan yang berlaku adil.

“Rakyat semua!” serunya memandang pada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri mau mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian diharuskan membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!”

Sepuluh orang itu saling pandang seperti tak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.

“Saudara yang baik, apakah kau benar-benar sudah yakin akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu,” berkata seorang di antara bekas tawanan itu.

Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,

“Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”

Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton, akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.

“Hayo, pukul aku!” teriak pemuda ini.

Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda agar segera mulai menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Kali ini dia menghadapi sebuah pengalaman yang aneh.

Ia telah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan hanya dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang tadi dengan secara sangat aneh dapat merampas cambuknya, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa.

Dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, pemuda ini sudah dapat merampas cambuk sepuluh orang algojo, dan cambuk-cambuk itu lantas dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh. Ketika para algojo mengambil cambuk mereka masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat dari pada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!

Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan juga gentar. Akan tetapi sesudah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.

Dengan lagak gagah, algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman lalu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali, lantas dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.

“Tarrr...!”

Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau setidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang tingkah lakunya seperti orang gila ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa.....

Baju pemuda itu robek, sedangkan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu mengerutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama sekali tak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia lalu pejamkan kedua matanya untuk menahan jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa.

Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya yang mulai robek di sana-sini.

Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil memejamkan kedua matanya.

“Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman terhadap teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat...”

Tak seorang pun di antara para penonton mau pun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian menghela napas dan dia berkata perlahan,

“Dia benar-benar menerima hukuman ini dengan suka rela. Ahhh... orang inilah harapan rakyat...! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Orang ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu!

Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat ikut menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.

Sebagaimana sudah diceritakan pada bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Dia teringat akan pesan suhu-nya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhu-nya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini.

Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat ditempuhnya dengan sangat mudah, karena kini dia bukanlah Kwan Cu seperti pada empat tahun yang lalu. Tanpa dia sadari, kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali dan betul-betul dia kini telah menjadi seorang yang sakti.

Sesudah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.

Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang sesudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pemuda ini pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah pula dikuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri.

Mata hatinya telah terbuka mengenai kekuasaan Thian. Dia percaya sepenuhnya bahwa semua peristiwa di dunia ini sebenarnya dilakukan oleh manusia, akan tetapi keputusan terakhir tetap di tangan Thian. Oleh karena ini, betapa pun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!

Hanya satu hal yang terpikir olehnya pada saat dia mendengar itu, bahwa suhu-nya tentu pergi ke kota raja. Suhu-nya merupakan kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula. Peristiwa perpindahan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat pada Menteri Lu Pin. Mustahil bila Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.

“Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh apa bila aku mendapatkan dia di dapur istana, siapa pun juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.

Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan ini, dia mendengar pula mengenai usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan meski dia melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah, namun tidak mempengaruhi ketenangan batinnya.

Dia melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian amat buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, harta lain satu-satunya adalah suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong.

Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengungsi yang sedang pergi menuju ke selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal sangat buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang segera mengungsi ke selatan, pergi sejauh mungkin.

Ketika dia sudah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.

Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba saja di antara para pengungsi terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang.

Seekor babi gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi serigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran...! Penasaran...!
Sayang sekali dua saudara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran...! Penasaran...!

Berulang kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai salah seorang di antara para pengungsi menegurnya,

“Tu-siucai, harap kau diam dan jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua ditangkap dan dihukum mati?”

Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,

“Di dalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku.”

Orang yang menegurnya tadi hendak kembali menegur dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba saja dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa sang penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa dilihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi terkejut, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.

“Di mana dia? Ke mana perginya Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.

“Dia menghilang begitu saja!”

Ramailah rombongan itu. Akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya segera melanjutkan perjalanan itu sambil tak ada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.

Apakah betul penyanyi tadi bisa menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang sastrawan yang berbatin kuat, berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja.

Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang di dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin bertiup keras ke arah mukanya.

Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata,

“Siauwte mohon maaf sebesarnya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini.”

Tu Fu biar pun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Sekarang dia menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.

“Orang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapa namamu dan murid siapakah engkau?”

“Siauwte seorang tak berarti, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi amat menarik hati siauwte. Apakah siauwte boleh mengetahui siapakah adanya mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”

Tu Fu tertawa. “Orang muda yang aneh, kau lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”

“Apakah yang terjadi dengan mereka?” Kwan Cu bertanya.

Biar pun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, oleh karena itu sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja langsung menggerakkan hatinya.

Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula sastrawan Tu Fu. Meski pun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mana pun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan.

Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia lantas mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,

“Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?”

“Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tidak perlu dibicarakan tentang diri siauwte.”

“Hemm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kau ceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, bila tidak jangan harap dapat mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!”

Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,

“Ang-bin Sin-kai adalah guruku.”

Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.

“Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba saja kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tidak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan mati-matian berjuang mempertahankan nama baik negara dan bangsa, tetapi kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau berpura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!”

Kwan Cu menjura lagi. “Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”

“Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat banyak tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu ke kota raja. Akan tetapi dia sendirian mana kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhu-mu benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”

Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhu-nya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Dia terharu sekali akan nasib gurunya yang sangat dia cinta, sudah setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara.

Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhu-nya, tapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa semuanya itu merupakan kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,

“Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?”

Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.

“Wahai semua makhluk yang kebetulan sedang berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?”

Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang memiliki pengaruh luar biasa.

“Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru? Siauwte tadi hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang semuanya merupakan kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?”

Tu Fu makin marah-marah. “Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya jika orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang bagai mangkok yang berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka! Bu-pun-su, engkau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tidak dapat dimengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa pula bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, semua itu bukankah kehendak Thian pula? Kalau kau tidak dapat membela bangsa dan tanah air, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, apa kau patut disebut seorang anak bangsa? Hemm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.

Kwan Cu menjadi tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.

“Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhu-ku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”

“Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”

Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan hanya satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dulu gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kagum.

Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya terhadap Tu Fu.

Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya, malah melebihi gurunya dalam hal ilmu kebatinan dan filsafat. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,

“Locianpwe, teecu sudah berlaku kurang hormat, mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat alangkah besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu harus bertindak, karena sebenarnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana.”

“Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar telah sadar bahwa tindakan suhu-mu itu baik dan sempurna? Di kota Thian-cin ini, tidak jauh dari sini, orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan akan dihukum cambuk. Apa bila kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka, kau akan dapat melanjutkan usaha suhu-mu membasmi para pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa.”

Mendengar ini, bangkitlah semangat Kwan Cu. “Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai tak akan sia-sia belaka.”

Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin di mana segera akan berlangsung pelaksanaan hukuman cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin-pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat.

Kwan Cu menurunkan Tu Fu di antara para penonton, ada pun dia sendiri sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, kemudian turun tangan merampas cambuk, mencegah dilanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman pada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.

Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.

Walau pun para penonton merasa sangat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, akan tetapi diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan matanya dan sama sekali tidak pernah mengaduh, sungguh pun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.

Suara cambuk algojo memecah di udara, kemudian disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu sehingga menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,

“Cukup, Bu-pun-su! Sudah lima puluh kali engkau menerima hukuman!” Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali.

Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang begitu jujur dan setia terhadap sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal apa bila dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.

Baru saja ucapan ini selesai dikeluarkan oleh Tu Fu, mendadak algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa hingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri.

Demikian lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu hingga membalik melukai pemegang pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan si algojo terobek kulitnya sehingga dia segera melepaskan cambuk, lalu mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!

Komandan pasukan mengira bahwa saking lelahnya algojo itu merasa sakit tangannya. Dia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lainnya untuk turun tangan pula.

Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, berbareng sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!

Geger keadaan di situ. Para anggota pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apa lagi ketika dengan sekali renggut saja Kwan Cu mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau.

Para perwira bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau balaunya.

Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa teman-teman sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagai daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tidak lama kemudian, anggota-anggota pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan begitu pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya.

Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka melihat sepuluh orang perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Ada pun pemuda luar biasa itu, entah pergi ke mana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.

Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su menjadi terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan. Nama ini mendatangkan rasa gentar di dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.

Setelah memperlihatkan kepandaiannya pada saat dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapa pun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin. Dia lalu menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Dia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu.

Apa bila pujangga itu lahir batin membenci terhadap seluruh pasukan An Lu Shan yang sudah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci terhadap para anggota pasukan. Oleh karena ini, ketika dia dikepung dia tidak mau menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!

Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, ia menjadi amat terharu dan segera timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.

Yang membuat dia merasa sangat heran dan juga mendongkol adalah pada waktu dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhu-nya. Dia tahu bahwa antara suhu-nya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang sangat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan?

Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini, maka orang pertama yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.

Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya.

Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan dengan cara mengukir tulisan di dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:

APA BILA MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!

BU PUN SU

Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggota-anggota pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggota pasukan pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata.

Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, yaitu dengan cara memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas pasukan pemberontak…..

********************

Karena melakukan perjalanan cepat, biar pun banyak gangguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian tibalah Kwan Cu di kota raja. Dia teringat ketika dulu bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali.

Dia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.

Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar. Agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu.

Kwan Cu disambut oleh seorang pelayan yang menatapnya dengan mata penuh curiga. Maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan perasaan curiga karena rumah makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh para hartawan dan bangsawan-bangsawan belaka.

Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan serta biaya-biaya lainnya, maka dia sudah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya pada waktu dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.

Rumah makan itu sangat banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan sehingga suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya ada seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik.

Laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Kwan Cu diam-diam merasa geli karena dia tahu bahwa pada waktu bicara laki-laki botak itu mengerahkan tenaga khikang-nya yang lumayan juga hingga suaranya terdengar nyaring sekali.

Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di meja depan yang terletak di sebuah pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Akan tetapi Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa makanan.

Selagi menanti makanan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus sedang makan tulang yang hitam.

Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, salah seorang di antaranya bahkan terpincang-pincang. Melihat hal ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai yang juga selalu berpakaian pengemis, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi.

Dia kemudian melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan muka angkuh.

“Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu. Aku yang akan bayar.”

Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.

“Pesanan Tuan akan kamu layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri.”

“Mengapa begitu?” tanya Kwan Cu dengan suara sabar.

“Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”

Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. “Baiklah, biar nanti aku yang memberikan sendiri.”

“Hei, A-kiu...!” tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu.

Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlarian menghampiri meja si botak.

“Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya membungkuk-bungkuk.

“Bagaimana sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?” Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”

Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.

Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran Kwan Cu amat tajam sehingga dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang sedang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dirinya sendiri!

Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa amat kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.

“Hm, agaknya dia orang jauh yang memiliki uang juga. Tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan bangsa jembel yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” si botak berkata agak keras, dan sikapnya ini terang sekali menghina dan tak memandang mata kepada orang lain.

Kemudian mereka melanjutkan percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi ikut mendengarkan kelakar mereka, akan tetapi karena tadi dia sudah terlanjur memasang telinga mendengarkan percakapan mereka ketika mereka bicara mengenai dia, sekarang perhatiannya masih ke sana dan tanpa disengaja dia mendengarkan kata-kata si botak yang diucapkan dengan suara perlahan.

“Bunga liar cantik dan harum selalu banyak durinya. Makin sukar dipetik makin menarik,” kata si botak tertawa-tawa.

“Siauw-ongya mengapa bingung-bingung? Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah sendiri. Apa sukarnya?” kata seorang pemuda dengan sikap menjilat.

Si botak tertawa bergelak, lalu dia mengangkat cawan araknya. “Hayo minum arak untuk merayakan malam gemilang hari ini. Malam terang bulan dan kini dia pasti akan menurut. Ha-ha-ha!”

Semua orang di meja itu minum arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu mendongkol sekali karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentu kaum berandalan yang suka menggoda wanita baik-baik, atau sekelompok pemuda pemogoran yang tak kenal malu.

Akan tetapi diam-diam dia menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga liar yang hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.

Pada saat itu pula, tiga mangkok bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu merasa heran sekali kenapa pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan tetapi pesanan untuk para pengemis ini demikian cepat matangnya.

Ketika dia melihat masakan itu, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak karuan macamnya. Sayur-sayurnya terang bukan sayuran segar, agaknya sayur yang seharusnya sudah dibuang. Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih sabar dan segera membawa tiga mangkok itu keluar, ke arah para pengemis yang masih duduk jauh dari rumah makan itu.

Para pengemis itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda memberi mangkok berisi bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan bihun itu, lupa untuk menghaturkan terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu memandang dengan terharu sekali. Ia mengeluarkan tiga potong uang emas dan memberikan uang itu kepada mereka.

“Bawalah mangkok-mangkok itu, akan kubayar,” katanya.

Melihat semua pemberian ini, tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu. Akan tetapi tanpa mempedulikan mereka Kwan Cu berjalan kembali ke dalam rumah makan.

Tanpa mempedulikan pandang mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat memperhatikan dirinya, Kwan Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi. Ternyata bahwa masakan pesanannya sudah tersedia di atas meja, masih mengebul hangat. Akan tetapi, ketika Kwan Cu mengangkat mangkok dan mengerjakan sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari mangkok itu.

Ia meletakkan kembali mangkok serta sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah dan segera dia menengok ke belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya dan cepat-cepat membuang muka ketika melihat dia menengok.

Kwan Cu memanggilnya. “Sahabat pelayan, harap datang ke sini sebentar.”

Pelayan itu menengok dan menghampirinya.

“Ada apakah?” tanyanya singkat dan kurang hormat.

Kwan Cu lalu menuding ke arah mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika dia bertanya.

“Masakan ini sudah masam dan bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran ini hanya menjual barang-barang busuk belaka?”

Wajah pelayan itu memerah. Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak sesuai dengan tamu-tamu lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan berlaku curang dan memberi hidangan-hidangan sisa yang seharusnya sudah dibuang!

“Kau sombong amat!” pelayan itu berteriak marah. “Agaknya kau belum pernah makan masakan mahal maka kini mengira masakan ini busuk.”

Kesabaran Kwan Cu ada batasnya. Apa bila orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah sepatutnya kalau orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina orang.

“Begitukah anggapanmu, Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar aku yang membayarnya!”

Sebelum pelayan itu sempat menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan itu hingga tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat ditutup kembali. Dengan tenang Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan sumpit untuk menjejalkan masakan itu ke dalam mulut si pelayan, terus di dorong dengan sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan!

Pelayan yang tak berdaya itu mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan paksa melalui kerongkongannya!

Orang muda botak yang tadi disebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.

“Nah, aku terima kalah,” Kwan Cu berkata. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini.” Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.

“Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?” Pangeran Muda An yang botak itu membentak sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh.

Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang dapat memainkan senjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat dari pada logam hitam diuntai, ada pun tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).

Kwan Cu telah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu serta kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang lelaki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini merupakan seorang yang berpangkat pula.

Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini, ada pun kemarahannya telah membuat mukanya menjadi amat merah. Dengan gerakan istimewa, kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya.

Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!

Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kepandaian serta lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,

“Sekarang terlalu banyak orang pandai sehingga di mana-mana gampang melihat orang memamerkan tenaga!” Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan saja dia memegang meja itu, dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding.

Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun sebab ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini malah kepandaiannya lebih tinggi dari pada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.

Ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, air muka pemuda botak menjadi berubah. Dia cepat-cepat menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.

“Ehhh, kiranya Suheng tidak menginginkan ada keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar ini kepada Suheng.” Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti pula oleh kawan-kawannya yang kelihatan sangat takut terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.

Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bila mana.

Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu.

Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang tadi disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.

Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang pada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dengan mulutnya tersenyum setengah mengejek.

Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, bahkan jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.

“Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja sedang kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ahh, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” pemuda itu berkata sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.

Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.

“Lu Thong...!” serunya.

Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.

“Kita masih bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa.”

Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.

“Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,” jawabnya.

Lu Thong mainkan alisnya. “Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang sejelasnya mengenai semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kau dapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah… kau takut?”

Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, karena itu dengan gagah dia menjawab, “Siapa takut? Kau sanggup berbuat apakah terhadap aku? Baiklah, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kau lakukan.”

Lu Thong tertawa gembira dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!

Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota. Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula.

Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini sudah mampu mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong secara diam-diam.

Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong serta Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!

“Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena itu, mereka inilah yang sementara ini menghiburku dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini.”

Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan padanya dengan sikap genit. Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini sudah turut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.

“Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa.”

Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna, apa lagi dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai. Juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.

“Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Dia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu mau pun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri. “Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan sangat kuat seperti takut akan kedatangan musuh.”

Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah dipenuhi dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh berisi arak wangi.

“Duduklah, saudaraku. Matamu sungguh awas sekali dan kau pun dapat menduga tepat. Memang sekarang kota raja sedang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja bagi para pembesar dan penduduk, bahkan di dalam istana sendiri juga terjadi kekacauan dan persaingan hebat.”

“Seperti halnya suhu-mu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhu-ku,” kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.

“Jangan kau persalahkan aku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa sangat menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan.”

“Akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, meski pun seluruh keluarganya telah musnah...,” Kwan Cu menyindir.

“Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kongkong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”

Berubah wajah Kwan Cu. “Benarkah? Di mana beliau?”

“Itulah soalnya, Kwan Cu. Kongkong sudah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kongkong Lu Pin. Oleh karena itulah, biar pun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”

Kembali Kwan Cu tertegun. “Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”

“Hussh, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorang panglima gagah perkasa dan bahkan sudah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak mungkin aku diangkat menjadi pangeran malah dianggap sebagai putera angkatnya sendiri.”

“Hemm, begitukah...?” kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya.

Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak bukan main terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, sudah dibinasakan oleh An Lu Shan namun dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.

“Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”

“Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku ke sini untuk menceritakan semua itu?” Kwan Cu bertanya.

Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan membuat Kwan Cu untuk bersikap waspada. “Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”

Maka berceritalah Lu Thong…

Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono sudah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sebenarnya sudah ditentang oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.

Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya benar saja, An Lu Shan lalu memberontak dengan sejumlah tentara tak kurang dari lima belas laksa orang yang sudah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, kemudian pemberontak ini memukul ke selatan!

Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan serta pelesiran saja seperti kaisarnya.

Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang sangat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagi pula dibantu oleh banyak orang pandai, akhirnya kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan, ada pun kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.

An Lu Shan para dan kaki tangannya, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, mereka bagaikan orang-orang kelaparan yang menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan akhirnya terjadilah perebutan kekuasaan.

Dalam keributan ini, An Lu Shan sudah dibunuh oleh salah seorang puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu akhirnya menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa dengan diam-diam saling mempengaruhi dan menanam bibit permusuhan serta persaingan yang dalam sekali.

Ada pun fihak tentara Kerajaan Tang masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Pada waktu bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!

Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar.

Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan akhirnya dapat bersembunyi di dalam goa yang selanjutnya disebut goa Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purba kala yang banyak terdapat di dalam goa itu.

Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan sudah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, bahkan diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.

Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,

“Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapa pun juga, An Lu Shan telah bersikap amat baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga supaya persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni di antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua yaitu tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Ada pun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”

“Hemm, diakah? Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.

“Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”

“Pemuda botak hidung belang tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sute-mu?”

Lu Thong menarik napas panjang. “Suhu selalu tak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sudah diangkat sebagai murid ke dua.”

“Lu Thong, sebenarnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku. Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?”

“Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhu-mu tewas oleh suhu-ku?” tanya Lu Thong mengerutkan kening.

“Bukan hanya oleh suhu-mu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut.”

“Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang bersikap salah sekali, hendak membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin sekeluarganya dihukum oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang sudah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?”

Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.

“Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, walau pun hanya cucu angkat dari kongkong Lu Pin. Kini keturunan Lu hanya kau dan aku saja. Kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!”

“Apa maksudmu?”

“Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing dengan hebat, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?”

“Apa?!” Kwan Cu membelalakkan matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”

“Apa salahnya? Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya apa bila keturunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja? Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa engkaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, sekarang marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik.”

Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu.

“Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Apa bila kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku bisa membuat perhitungan dengan dia!”

Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong. Wajahnya yang tadinya kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.

“Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!”

“Tidak, Lu Thong, aku hanyalah seorang yang tidak ada kepandaian (Bu Pun Su),” jawab Kwan Cu tenang.

Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan langkah menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa segera mengundurkan diri.....

Kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang kini telah berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!

“Lu Thong, apa kehendakmu?” tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.

“Kehendakku?” jawab Lu Thong menyindir. “Sudah kukatakan semenjak tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk mencapai cita-citaku.”

“Aku tidak sudi!”

“Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhu-ku, ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua kalinya, kalau memang sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu pada saat kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan suhu-mu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi? Nah, karena sekarang kau berkeras kepala, perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia semacam engkau berani menolak ajakanku yang baik?”

Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang sangat menghina serta merendahkannya itu.

“Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan ketika melihat orang melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu untuk melayani obrolanmu.”

Sesudah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu. Akan tetapi tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.

“Kalian mau apa?!” bentak Kwan Cu.

Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, “Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!”

Ucapan ini ditutup dengan berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat. Tidak percuma mereka memperoleh julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.

Ini kalau dilihat oleh mata orang lain. Akan tetapi bagi mata Kwan Cu gerakan itu tidak seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan serta pengertian tentang pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia sudah lebih dulu dapat menduga ke mana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya!

Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu akan disusul dengan gerakan lain, hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka. Maka, sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangan mereka setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini pun sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.

“Plak! Plak! Plak!”

Tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas dan ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu lalu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya. Ada pun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka mendadak menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!

Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia sudah melompat dengan senjata pada tangannya. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat dari pada emas.

Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadi tidak kelihatan dia bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat secara istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat digulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.

“Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau sudah mempunyai kepandaian yang lumayan. Hendak kulihat apakah kau cukup kuat pula menahan seranganku!” bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.


Kwan Cu dapat merasakan angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan mempunyai tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai dahulu, untuk masa itu, tingkat kepandaian dari Jeng-kin-jiu sudah amat tinggi dan dia merupakan satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga mampu menggunakan tenaga sampai seribu kati kuatnya!

Kwan Cu juga maklum bahwa Lu Thong tentu sudah mewarisi tenaga serta kepandaian suhu-nya, maka dia berlaku sangat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia tahu bagaimana caranya harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.

Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti sarinya!

Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, barulah dapat berjalan sempurna.

Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan dia mulai melakukan serangan balasan. Dia dapat menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu ke mana toya akan menyambar hanya dengan memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!

Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini tak akan mengherankan dirinya. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu telah melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuan pukulan toyanya, seolah-olah Kwan Cu sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang.

Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu ini gerakannya benar-benar sama dengan serangan toyanya, hanya bedanya apa bila dia menyerang dengan gwakang untuk menghancurkan kepala atau mematahkan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.

Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong segera terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan terlebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi mendadak diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.

Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toyanya dari pegangan. Kwan Cu cepat-cepat menyusulkan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi. Dia lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,

“Lu Thong, melihat muka Kongkong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!” Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.

Lu Thong menarik napas panjang dan membanting tubuhnya di atas bangku. Dia tidak mempedulikan ketiga orang pembantunya yang sedang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.

“Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,” pikir Lu Thong penasaran.

Ia tidak menyusahkan keadaan suhu-nya yang terancam oleh Kwan Cu, juga sama sekali tak memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang Kwan Cu yang sakti tak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasehat Kwan Cu?

Sampai berhari-hari Lu Thong masih bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik…..

********************

Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit tampak melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tiada seorang pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas genteng bangunan itu.

Memang, biar pun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang mampu menembus penjagaan sehingga dapat berlari-larian di atas genteng? Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi sekali, apa lagi dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri pada sepanjang tembok! Seekor burung pun tidak akan dapat lewat tanpa terlihat oleh barisan penjaga.

Akan tetapi, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga membuatnya menjadi seorang sakti.

Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang sangat cepat. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oleh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada di antara penjaga yang melihat sosok bayangan berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu penerangan di luar tembok.

Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu beserta tokoh-tokoh lain yang sudah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja.

Pertama, karena dia hendak menyelidiki di dalam istana dahulu, siapa tahu kalau-kalau di antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Kedua, dia ingin menyelidiki karena dia sempat teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.

Dahulu dia pernah dibawa oleh suhu-nya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhu-nya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Dia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.

Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu terdapat langit-langit yang tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apa lagi banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Sering kali ia harus menggunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng.

Akan tetapi, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang yang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya mereka adalah para pengawal istana.

Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu dinyalakan terang. Beberapa orang laki-laki sedang duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu.

Ia selalu berlaku amat hati-hati. Maka, ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan sekali bagai daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini melayang turun, lalu berjalan perlahan menuju ke tempat itu.

Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat ada lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian sebagai panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.

Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli hatinya memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat lagi gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.

Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, walau pun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!

Dia tidak mengenal dua orang panglima yang lainnya itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa mereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya. Dia ingin mendengar percakapan mereka.

“Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku pada putera mahkota?” terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu.

Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh ayahnya sendiri itu. Karena itu dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk, “Sudah, Ong-ya.”

Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan terhadap seorang pangeran muda.

“Apa pendapat beliau?” tanya An Lu Kui.

“Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, sebab harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”

Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kongkong-nya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.

“Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?” tanya An Lu Kui.

Hwesio itu mengangguk. “Itulah sebabnya maka beliau sengaja mengutus pinceng (saya) berdua untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si).”

“Bagus,” kata An Lu Kui. “Memang dalam menghadapi para pemberontak yang semakin kuat serta dalam mengatur rencana untuk mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga. Herannya, kenapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang?”

“Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh.

Diam-diam Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirimkan jawaban, tentu saja adalah seseorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka pemuda ini cepat menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.

Tidak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.

“Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi.

Kwan Cu semakin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.

“Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!”

Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,

“Keadaan aman, tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!”

An Lu Kui tertawa bergelak. “Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati melakukan pengintaian? Mari Totiang, silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjulukan San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu sekalian penasehat, dan juga guru dari Panglima Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”

Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan kedua orang hwesio itu.

“Hmm, hemm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor? Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apa lagi?”

Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, karena itu biar pun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya,

“Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya menggegerkan dunia, tak tahu masih ada hubungan apakah dengan Toyu (Sahabat)?”

Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidak senangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Adat Kiam Ki Sianjin ini memang sombong. Dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggapnya mengembari namanya.

Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, kemudian bertempur hebat. Sesudah hampir satu harian mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.

Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Akan tetapi tenaga khikang yang terkandung di dalam suara itu seakan-akan menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.

“Gunung dan bukit biar pun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biar pun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa disamakan dengan pinto?” Jawabannya ini sudah menyatakan alangkah sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri seakan-akan gunung dan Pak-lo-sian hanyalah bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga sedangkan Pak-lo-sian hanya ular biasa!

Sebagaimana sudah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, di antara mereka ini memang terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap bersama dua orang hwesio gundul itu adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, ada pun Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan.

Tentu saja di dalam hati mereka satu terhadap yang lain sudah ada perasaan dendam dan permusuhan. Sekarang hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka bersedia datang berkumpul untuk merundingkan cara untuk menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu. Tak mengherankan apa bila di dalam percakapan mereka terdengar ucapan-ucapan yang menyindir dan saling memandang rendah.

Mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang menyombongkan diri, Mo Beng Hosiang yang berwatak keras menjadi tak senang.

“Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat laksana naga!” katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang.

Terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!

Melihat suasana sudah mulai panas di antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka sekali melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur.

Pada masa itu, dia justru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, dan kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini tercapai dan beres, baru dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali.

Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,

“Pada waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi suka bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang amat penting demi keselamatan negara.”

An Lu Kui masih merupakan orang yang sangat berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.

“Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat.”

Kiam Ki Sianjin lalu berkata sambil tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya.”

Suasana damai dan persahabatan dapat cepat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.

“Ang-ciangkun dipersilakan untuk menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin.

Dia menggunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas. Padahal malam hari itu udara sangat dingin. Tosu yang sombong ini masih saja ingin mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan menunjukkan bahwa dia bukanlah ‘orang biasa’!

Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

“Menurut hasil penyelidikan mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara, “pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani kini makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, walau pun mendapat pimpinan orang-orang pandai, agaknya mereka itu tidak akan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang sangat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!”

“Ahh, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.

“Memang! Anjing Lu Pin itu sudah menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.

“Keparat jahanam!” Mo Beng Hosiang turut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya.”

An Lu Kui mengangguk-angguk. “Begitulah kiranya. Memang, semenjak dulu pun sudah diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin merupakan menteri yang paling setia terhadap Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya sudah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun ia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang paling baik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan dan harta pusaka Kerajaan Tang bisa dirampas, kiraku tanpa dipukul, para pemberontak itu dengan sendirinya akan mengundurkan diri.”

“Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” bertanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.

“Benar, di mana kita bisa mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencari dia dengan sia-sia. Agaknya dia sudah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak.” Kata Mo Beng Hosiang.

“Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus,” An Lu Kui berkata, “akan tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia tengah bersembunyi di dalam sebuah goa dan dari sanalah dia mengatur serta merencanakan semua pemberontakan para petani.”

Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio serta Kiam Ki Sianjin menjadi sangat tertarik, bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar keras dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kongkong angkatnya, Menteri Lu Pin.

Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kongkong angkatnya itu. Akan tetapi, selama ini pikirannya dipenuhi oleh keadaan suhu-nya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi.

Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa sangat kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!

“Kongkong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya,” kata Kwan Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.

“Di goa manakah dia bersembunyi?” teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya.

Suara tosu ini tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan? Bukan dikarenakan mereka terlalu membenci menteri ini, akan tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan!

Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa. Selain harta yang dibawa Menteri Lu Pin, harta yang terdapat di dalam istana itu sudah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Sekarang semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.

“Inilah yang masih harus diselidiki,” An Lu Kui menjawab sambil mengeluarkan segulung kertas. “Menurut penyelidikan, dia bersembunyi dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorak Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru-baru ini saja muncul menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan mata-mata, bukit ini adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ.”

An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh perhatian.

“Pembantuku ini, Cang-ciangkun, sudah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” An Lu Kui berkata kepada seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.

Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah kereng dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.

“Pasukan penyelidik yang kupimpin sudah sampai di bagian ini. Di sepanjang jalan kami mencari keterangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh.”

“Ang-bin Sin-kai...,” kata Kiam Ki Sianjin perlahan.

An Lu Kui mengangguk membenarkan.

“Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, daerah ini sering kali didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biar pun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, sebab setelah mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat.”

Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi...”

Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang pada waktu itu, Kwan Cu sangat memperhatikan dan ingin sekali dia juga dapat melihat peta di atas meja itu. Maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit suara ini ternyata sudah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.

Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan. Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.

“Siapa... kau...…?” An Lu Kui bertanya.

Maksudnya hendak membentak marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu yang masuk begitu saja tanpa mereka ketahui, membuat dia sangat terheran-heran dan gugup. Apa lagi ketika dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!

An Lu Kui dan kawan-kawannya bersiap menyambut. Akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu terapung ke atas kepala mereka, terus ke atas lalu sebelum menyentuh langit-langit, tiba-tiba tubuh itu berjungkir balik dan kini bagaikan seekor capung beterbangan di dalam kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah dan tahu-tahu gulungan peta itu telah dapat dirampasnya!

An Lu Kui hendak menubruk, akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari atas meja melalui kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum-senyum. Ada pun peta itu lantas dia masukan ke dalam saku dengan sikap amat tenang!

Untuk sejenak, An Lu Kui beserta kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya gerakan pemuda tadi luar biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung yang begitu ringan dan gesit. Apa bila tidak menyaksikan dengan mata sendiri sukarlah untuk mempercayai kejadian itu.

“Siapa kau yang berani mati bermain gila di sini?” kembali An Lu Kui membentak dan kini panglima ini mencabut sepasang tombaknya yang lihai.

Kwan Cu tersenyum dan menjawab, “An-ciangkun, apakah baik kabarmu? Kau sudah kelihatan tua, akan tetapi tetap saja ganas dan galak!”

Mendengar ini, An Lu kui tercengang dan tidak jadi menyerang. Sebaliknya Cang Kwan panglima brewokan itu membentak,

“Bangsat kecil, siapakah kau yang sudah bosan hidup?”

“Bangsat besar, aku bernama Lu Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap kongkong-ku Lu Pin? Jangan bermimpi, Kawan!”

“Bohong besar!” seru Liong Tek Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, “Aku tahu benar keadaan Menteri Lu Pin dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!”

Kwan Cu tersenyum lagi. “Tentu kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau tahu baik akan keadaan kongkong-ku. Akan tetapi aku tidak peduli akan kata-katamu itu, pengkhianat. Pendeknya, jangan kalian bermimpi untuk menangkap Menteri Lu Pin yang setia dan gagah berani, pahlawan bangsa! Tidak seperti kalian ini, hanya kumpulan katak-katak busuk yang berbahaya.”

“Tangkap dia!” tiba-tiba An Lu Kui berseru keras. “Dia adalah bocah gundul murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku ingat sekarang, dia memang sudah diakui cucu oleh Lu Pin!” Sambil berkata demikian, An Lu Kui lalu menyerang dengan sepasang tombaknya.

Kwan Cu mengelak tangkas sambil menyindir. “Hmm, kau sudah ingat betapa dahulu aku pernah membagi beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?”

“Bangsat, mampuslah kau!” An Lu Kui berseru sengit dan tombaknya melakukan gerakan menyilang dari kanan kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.

Akan tetapi, hanya dengan merendahkan tubuhnya sedikit saja, Kwan Cu sudah berhasil membebaskan diri dari ancaman, sepasang tombak itu hanya melayang melewati atas kepalanya. Cang Kwan dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima pembantu An Lui Kui dengan marah maju menyerang dengan golok besar mereka yang menyambar-nyambar menyilaukan mata ketika terkena cahaya lampu yang terang.

“Rebahlah kalian!” bentak Kwan Cu.

Tahu-tahu, ketika dua batang golok itu sudah dekat dengan tubuhnya dari kanan kiri, dia melompat ke belakang dan sebelum dua orang panglima itu dapat menarik kembali golok mereka, dua kali berturut-turut Kwan Cu menotok dengan telujuknya dan sunggguh aneh! Dua orang panglima itu roboh dan terus bergulingan sambil mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak lagi, rebah dengan tubuh lemas tak berdaya di dekat dinding.

Kwan Cu tidak mau membuang banyak waktu. Ketika dia melihat An Lu Kui tercengang, dia cepat menggerakkan kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan panglima itu. Terdengar suara keras ketika sepasang tombak itu terlepas dari pegangan An Lu Kui dan terlempar jauh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring.

An Lu Kui masih mencoba untuk mengelak ketika tangan Kwan Cu menyambar, namun terlambat. Pundaknya kena ditepuk sehingga panglima ini jatuh terduduk dengan tubuh lemas dan setengah tubuhnya sebelah kanan terasa lumpuh!

Pada saat itu, terasa angin pukulan menyambar dari depan dan belakang. Kiranya dua orang hwesio itu sudah turun tangan.


Tadi mereka hanya menonton saja karena memang sebetulnya di dalam hati mereka, dua orang hwesio ini tidak suka kepada An Lu Kui dan mencurigainya. Akan tetapi, setelah melihat An Lu Kui dan dua orang pembantunya telah roboh, mereka tidak mau tinggal diam dan segera menyerang.

Mo Beng Hosiang Si Tangan Kilat menyerang dengan kedua tangannya yang jari-jarinya dibuka, melakukan pukulan hebat sekali sesuai dengan julukannya. Ada pun Mo Keng Hosiang Si Ruyung Pemecah Gunung sudah menyerang dengan ruyungnya yang aneh. Joan-pian (ruyung lemas) itu merupakan rantai pendek yang ujungnya sudah dipasangi bola baja sebesar kepalan tangan dan digerakkan dengan ayunan keras menghantam punggung Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali melihat datangnya serangan yang memang hebat sekali ini. Dengan tangan kirinya dia menangkis pukulan Mo Beng Hosiang sehingga hwesio itu terhuyung ke belakang. Bola baja di ujung joan-pian yang dipakai menyerang oleh Mo Keng Hosiang hampir saja mengenai sasarannya, yakni punggung Kwan Cu.

Pemuda ini yang maklum menghadapi lawan-lawan tangguh, cepat mencabut sulingnya sambil mengelak dengan gerakan Kong-ciak Kai-peng (Merak Membuka Sayap) hingga serangan senjata Mo Keng Hosiang lewat di atas punggung serta kepalanya. Sekaligus Kwan Cu menyerang Mo Beng Hosiang yang sudah maju lagi itu dengan sulingnya.

Mo Beng Hosiang bukan seorang lemah, dia memiliki ilmu pukulan yang di sebut Pek-lek Sin-jiu (Tangan Geledek Sakti). Menghadapi pukulan suling yang meski pun dilakukan secara perlahan akan tetapi telah dapat dia duga kehebatannya itu, dia cepat menampar dengan tangan kanannya. Jari-jari tangan kanan ini menegang dan kaku laksana baja. Tamparannya dilakukan keras luar biasa dengan maksud membuat suling itu remuk atau terlepas dari pegangan Kwan Cu.

Namun pemuda ini sudah mempunyai kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Baru melihat sekali saja dia sudah tahu ke mana tamparan itu di arahkan. Maka, sebelum tamparan itu datang, sulingnya sudah ditarik ke bawah dan tangan kirinya yang tadi dia pentang, memukul ke depan sambil tubuhnya diputar sedemikian rupa, dan cepat sekali sebelah kakinya menendang ke arah Mo Keng Hosiang!

Bukan main hebatnya serangan ini dan amat indah pula gerakannya sehingga terdengar pujian, “Bagus sekali!”

Yang memuji ini adalah Kiam Ki Sianjin yang berdiri menonton saja. Seperti sikap Bu-eng Siang-hiap saat menonton pertempuran antara Kwan Cu dengan An Lu Kui bersama dua orang pembantunya, kini Kiam Ki Sianjin juga menonton saja, enggan membantu kedua orang hwesio itu yang memang tidak disukainya.

Namun diam-diam dia sangat memperhatikan gerakan pemuda aneh itu dan makin lama kedua mata tosu ini semakin terbelalak lebar karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan ilmu silat demikian anehnya seperti yang sedang dimainkan oleh pemuda pemegang suling itu!

Kiam Ki Sianjin adalah seorang kang-ouw yang ulung dan banyak pengalaman. Sudah banyak dia melihat ilmu silat tinggi-tinggi dan serba aneh. Bahkan dia mampu mengenal ilmu silat dari lima tokoh besar dunia persilatan, yakni ilmu-ilmu silat dari Ang-bin Sin-kai, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi belum pernah dia melihat ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda ini.

Tadi dia telah mendengar seruan An Lu Kui bahwa pemuda ini adalah murid dari Ang-bin Sin-kai dan memang betul, gerakan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia perhatikan, ternyata banyak sekali perbedaannya.

Pemuda ini bergerak seenaknya saja seperti bukan orang main silat, lebih patut disebut main-main saja, seperti seorang pemuda tidak becus main silat yang berpura-pura mau bermain silat. Akan tetapi, semua gerakannya menghindarkan diri dari serangan kedua lawannya tepat sekali dan biar pun gerakannya ketolol-tololan, akan tetapi bukan main hebatnya.

Apa lagi setelah dia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu kini bersilat tepat seperti ilmu silat yang dimainkan oleh kedua lawannya, Kiam Ki Sianjin menjadi bengong! Setiap kali diserang oleh Mo Beng Hosiang, pemuda itu melayani hwesio tangan kilat itu dengan ilmu silat yang sangat mirip dengan Pek-lek Sin-jiu! Ada pun apa bila Mo Keng Hosiang yang menyerang, pemuda ini juga menghadapinya dengan ilmu silat tepat sama seperti yang dimainkan oleh Ruyung Pemecah Gunung itu.

“Iblis muda dari manakah dia? Ilmu silat apa yang telah dia pelajari?” Demikian Kiam Ki Sianjin bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri.

Tosu yang cerdik itu sengaja tidak mau turun tangan lebih dulu. Bukan saja karena dia memang tak suka untuk membantu dua orang hwesio kepercayaan putera mahkota yang diam-diam dimusuhi pula oleh muridnya, yaitu Si Su Beng, akan tetapi juga dia hendak mempelajari terlebih dahulu gerakan pemuda itu untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaiannya supaya nanti kalau dia harus menghadapi pemuda itu, dia sudah dapat mengetahui cara bagaimana harus melawannya.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar