Pendekar Bodoh Jilid 31-35
“Pendekar Bodoh, kami akan
memegang janji, akan tetapi pada lain waktu apa bila kami mengundangmu, harap
kau tidak menolak karena takut!” teriaknya.
Akan tetapi Cin Hai pura-pura
tidak mendengarnya dan mempercepat langkahnya, oleh karena dia tidak mau
mengikat dirinya dengan perjanjian semacam itu yang hanya akan memperbesar
permusuhan belaka. Dan pula, entah kenapa, ia merasa kepalanya pening sekali
dan selalu seperti hendak muntah.
Karena kepeningan kepalanya,
maka Cin Hai telah mengambil jalan keliru dan ia tersesat jalan tanpa dia
sadari. Pada suatu jalan simpang tiga, seharusnya dia membelok ke kiri, akan
tetapi sebaliknya ia justru membelok ke kanan. Kepalanya makin pening dan kedua
kakinya gemetar, akan tetapi dia berlari terus secepatnya.
Ketika dia masuk dalam sebuah
hutan yang liar dan terus berlari cepat, tiba-tiba saja dia mendengar suara
harimau mengaum. Akan tetapi, berbeda dengan auman harimau yang biasa, auman
ini luar biasa kerasnya hingga Cin Hai sendiri sampai tergetar jantungnya. Ia
segera menekan perasaan peningnya dan berlari menuju ke arah auman harimau itu
karena setelah suara auman itu hilang gemanya, terdengar suara orang bersuara.
Sesudah dia tiba di satu
tempat terbuka, dia menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengagumkan. Dua
orang laki-laki, yang seorang sudah tua dengan rambut dan jenggot putih, dan
yang kedua setengah tua, tengah tertawa-tawa sambil mempermainkan seekor
harimau yang luar biasa besar dan galaknya.
Cin Hai melangkah mendekati
dan menyaksikan sepak terjang dua orang tua itu. Kakek jenggot putih itu
berdiri berhadapan dengan harimau sambil dia mempermainkan bibirnya yang
seakan-akan mengolok-oloknya. Orang ke dua berdiri di belakang harimau sambil
tangannya bertolak pinggang. Sikap mereka ini seakan-akan bukan sedang
menghadapi seekor harimau yang besar, akan tetapi seakan-akan dua orang
anak-anak menghadapi seekor kucing yang jinak!
Tiba-tiba harimau itu
menggereng keras dan melompat tinggi, menerkam kakek jenggot putih! Kakek itu diam
saja tidak mengelak akan tetapi setelah harimau itu melayang dekat ia segera
berseru dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, melalui tubuh harimau
dan sambil berjungkir balik di udara dia lalu menjatuhkan diri pula menduduki
punggung harimau!
“Heh-heh-heh! Hayo lekas
menari...!” katanya menepuk-nepuk punggung harimau besar itu dengan kedua
tangannya persis anak kecil naik kuda-kudaan!
“Ha-ha-ha, Twako, jangan
lepaskan dia. Ha-ha-ha!” Lelaki setengah tua yang berjenggot hitam itu tertawa
gembira dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah menyambar ke arah harimau yang
sedang marah sekali itu.
Harimau itu menggoyang-goyang
tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan ekornya bergerak cepat dan tiba-tiba
bagaikan sebatang toya, ekor yang panjang itu menyambar kepala kakek jenggot
putih dari belakang. Cin Hai merasa terkejut, akan tetapi tiba-tiba seakan-akan
kepala kakek itu ada mata di belakangnya, kakek itu menundukkan kepala sehingga
sabetan ekor harimau mengenai tempat kosong.
Sementara itu, Si Jenggot
Hitam yang sudah melompat di dekat tubuh harimau, lantas mengulurkan tangan
kanannya dan menjiwir telinga harimau itu sehingga binatang liar ini
menggerung-gerung kesakitan.
Ketika ekor harimau itu
menyabet kembali, dengan mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi dan
menahannya di belakang hingga harimau yang hendak lari ke depan itu jadi
tertahan dan tak dapat bergerak.
“Hayo, menyerah tidak kau!”
kata kakek jenggot putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya di punggung harimau.
Binatang itu hendak menggulingkan
diri dan mencakar kakek itu, akan tetapi dia merasa betapa tubuh kakek itu
bukan main beratnya hingga dia tak kuat berdiri lagi dan perutnya menempel pada
tanah.
Cin Hai melihat dengan kagum
dan heran akan kelihaian dan kegesitan kedua orang itu. Pada saat itu, dia
mendengar suara keras berbunyi di udara, dan ketika dia memandang, ternyata di
angkasa sedang terjadi pertempuran yang terlebih aneh lagi.
Seekor burung bangau besar
sedang bertempur dengan serunya melawan seekor burung rajawali. Rajawali itu
terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi dengan patuknya yang
runcing serta panjang bagaikan dua batang pedang itu, burung bangau dapat
mempertahankan diri dengan baiknya.
Ketika dua orang laki-laki itu
menengok ke atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang
berkelahi, mereka juga terkejut sekali.
“Kau mendekamlah!' kakek
jenggot putih berseru sambil menepuk dan menotok urat di punggung harimau.
Dan aneh sekali, harimau itu
tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi. Ternyata bahwa kakek
itu tahu akan jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat mengirim tiam-hoat
(totokan) dengan tepat sekali. Ada pun Si jenggot Hitam segera memandang ke
atas dan berseru keras,
“Ang-siang-kiam, kau
turunlah!”
Kemudian dia mengeluarkan
suara bersuit yang nyaring sekali. Burung bangau itu diberi nama Ang-siang-kiam
atau Sepasang Pedang Merah sebab patuknya memang berwarna merah dan panjang
seperti sepasang pedang.
Mendengar suitan ini, dengan
cepat bangau itu lalu meluncur turun dan di belakangnya, rajawali itu menyambar
pula mengejar.
“Rajawali keparat!” Si Jenggot
Hitam itu memaki.
Tiba-tiba tangan kanannya
bergerak dan sebatang pelor putih yang bulat meluncur cepat ke arah dada
rajawali yang mengejar bangau itu. Akan tetapi, rajawali ini gesit sekali dan
sebelum pelor mengenai dadanya, dia sudah mengelak ke kiri. Sebutir pelor putih
lainnya menyusul dan mengarah lehernya. Rajawali itu segera mengebutkan
sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!
Melihat kelihaian rajawali
itu, kedua orang laki-laki itu menjadi terkejut dan mengeluarkan seruan
tertahan. Ada pun Cin Hai yang juga memandang dengan perhatian lalu teringat
akan rajawali yang dulu pernah bertanding melawan Ang I Niocu di atas perahu.
Banyak persamaannya antara kedua burung rajawali itu.
Sementara itu, burung bangau
yang diberi nama Ang-siang-kiam itu telah turun di atas tanah dan kini berdiri
di dekat kakek jenggot hitam. Tubuh burung bangau itu tinggi sekali sehingga
merupakan seekor burung bangau yang langka terdapat. Ada pun rajawali tadi
karena tahu akan kelihaian dua orang manusia yang berada di bawah, lalu hanya
terbang berputaran sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa berani turun ke
bawah.
Pada saat itu terdengar
bentakan halus, “Sin-kim-tiauw, jangan kurang ajar!”
Mendengar suara ini, rajawali
tadi lalu melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan juga terkejut sekali
oleh karena ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya, Bu Pun Su!
Benar saja, pada waktu kedua
orang laki-laki itu pun memandang, dari sebuah tikungan, muncullah seorang
kakek tua sekali yang berpakaian penuh tambalan hingga merupakan seorang jembel
tua. Rajawali emas tadi telah turun dan kini berjalan di belakang kakek itu
bagaikan seekor anjing yang jinak sekali.
“Suhu!” Cin Hai berseru dan
segera berlari dan menghampiri, akan tetapi hampir saja ia roboh terguling
karena kepalanya terasa pening sekali ketika dia berlari itu. Untung dia masih
dapat menetapkan kaki dan segera berlutut.
“Cin Hai, lekas kau duduk,
kumpulkan semangat dan bersihkan napas!” terdengar kakek itu berseru setelah
memandang wajah muridnya.
Sekali pandang saja kakek
sakti ini tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa beracun yang berbahaya
sekali. Walau pun merasa heran, Cin Hai segera menurut dan taat akan perintah
gurunya itu. Ia segera duduk bersila, meramkan mata dan merangkapkan kedua
tangan di depan dada.
Tiba-tiba ia merasa betapa
telapak tangan suhu-nya yang halus itu memegang tangannya dan dari telapak
tangan suhu-nya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan kuatnya melalui
telapak tangannya sendiri dan terus membantu hawa kekuatan tubuhnya sendiri.
Oleh karena ini, dia merasa betapa hawa tenaga di dalam tubuhnya kini menjadi
berlipat ganda dan lalu ia gunakan hawa itu diputar-putar ke seluruh tubuh
karena tidak tahu akan maksud suhu-nya.
“Penuhkan di dada, bersihkan
paru-paru dan usir hawa racun yang tadi masuk melewati lubang hidungmu!” kakek
itu berbisik perlahan.
Cin Hai diam-diam merasa
terkejut dari teringatlah dia akan pertempurannya melawan Thai Kek Losu tadi.
Jarum-jarum berbisa yang amat lihai dan yang keluar dari tengkorak Pendeta
Sakya Buddha itu hampir saja tadi mengenainya dan menyambar dekat sekali di
depan hidungnya hingga dia mencium bau yang amis dan busuk! Bukan main jahatnya
jarum-jarum berbisa itu. Baru baunya saja telah mempengaruhinya, apa lagi kalau
sampai terluka oleh jarum itu!
Cin Hai segera mengerahkan
hawa di dalam tubuh itu di dikumpulkan di dada, mendesak keluar segala hawa
kotor yang terbawa masuk oleh pernapasan ke dalam paru-parunya, sehingga ketika
dia mendesak hawa itu keluar hidungnya, kembali ia mencium bau yang amis dan
busuk itu! Ternyata bahwa bau yang amis dari senjata tadi telah mengeram di
dalam paru-parunya. Bukan main berbahaya dan jahatnya!
Sementara itu, kedua orang
penakluk harimau tadi berdiri dengan heran dan kagum pada saat melihat cara
guru itu menyembuhkan muridnya. Mereka pun maklum bahwa kakek jembel itu tentu
lihai sekali, maka mereka tidak berani mengganggu dan hanya berdiri memandang.
Tidak lama kemudian, Bu Pun Su melepaskan genggaman tangannya pada telapak
tangan Cin Hai dan dia berdiri kembali.
“Sudah, sudah bersih...,”
katanya. Cin Hai membuka kedua matanya dan segera berlutut.
“Senjata siapakah yang hampir
mencelakaimu tadi, Cin Hai?”
Cin Hai lalu menceritakan
mengenai pengalamannya, betapa dia menjadi utusan kaisar, menyampaikan surat
kepada Yagali Khan dan betapa dia mengadu kepandaian dengan Thai Kek Losu dan
berhasil mengalahkannya tanpa menyadari bahwa dia sudah hampir mendapat celaka
karena senjata rahasia yang hebat dari pendeta itu.
Bu Pun Su mengangguk-anggukkan
kepala. “Bagus, bagus. Memang itu sudah menjadi tugasmu...”
Ketika mendengar cerita ini,
dua orang pemilik burung bangau tadi segera menghampiri dan menjura dengan
sikap hormat sekali.
“Ah, tidak mengira bahwa kami
berdua mendapat kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan seorang patriot
yang gagah perkasa beserta suhu-nya yang sakti. Mohon tanya, siapakah Locianpwe
ini dan siapa pula muridmu yang gagah perkasa?” bertanya kakek jenggot putih
itu sambil menjura kepada Bu Pun Su yang jauh lebih tua darinya.
Bu Pun Su tidak membalas
pemberian hormat itu, sebagaimana biasa dia memang tidak menyukai segala
penghormatan, lalu menjawab seakan-akan mereka telah lama menjadi kawan baik
saja,
“Burung bangaumu itu hebat
sekali. Bukankah kau yang bernama Sie Lok dan disebut Si Pemelihara Harimau?”
Kakek jenggot putih itu nampak
tercengang. “Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar berpemandangan tajam.
Memang nama siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie Kiong. Kami berdua
saudara memang tukang memelihara harimau. Bolehkah kami mengetahui nama
Locianpwe yang mulia?”
“Siapakah aku ini? Ahh, aku
sendiri sudah hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja kepada muridku ini!”
jawabnya tak acuh sambil mendekati burung bangau dan memeriksa seluruh bulu dan
tubuh burung itu dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Berkali-kali ia
menganggukkan kepala dan berkata, “Bagus, bagus,” seolah-olah seorang ahli
barang antik sedang mengagumi sebuah benda kuno yang berharga dan menarik.
Cin Hai yang sudah tahu akan
sifat aneh dari suhu-nya, merasa kurang enak terhadap kedua orang tua itu, maka
dia segera menjura dengan hormat sambil berkata,
“Jiwi yang gagah, suhu-ku itu
bernama Bu Pun Su dan siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai.”
Kedua orang itu nampak amat
terkejut karena mereka telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai seorang kakek
sakti yang luar biasa. Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik mendengar
nama Cin Hai karena kakek jenggot putih itu kemudian melangkah maju dan
bertanya,
“Anak muda, wajahmu
mengingatkan aku akan seseorang. Siapakah nama ayahmu dan siapa pula nama
ibumu?”
Berdebarlah hati pemuda itu.
Tadinya dia mengira bahwa persamaan she dengan kedua orang itu hanya kebetulan
saja, akan tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan ganjil di dalam
hatinya.
Sambil menggeleng kepala dia
menjawab, ”Siauwte tidak tahu, tak tahu siapa nama ayah dan ibu...,” sampai di
sini ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena hatinya merasa terharu.
Tiba-tiba Bu Pun Su berkata
dengan suara sambil lalu, “Eh, pemelihara harimau, apakah kau ketahui tentang
seorang she Sie yang terbunuh mati sekeluarganya karena dianggap pemberontak?”
Mendadak kedua orang itu
menjadi pucat wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak.
“Locianpwe... apa... apa maksud pertanyaanmu ini...?”
Kedua orang itu teringat bahwa
pemuda itu adalah utusan kaisar, maka tentu saja akan memusuhi orang-orang yang
dianggap pemberontak.
Akan tetapi, Cin Hai yang
mendengar pertanyaan suhu-nya ini dan yang melihat sikap kedua orang itu,
tiba-tiba merasa makin berdebar. “Lo-peh, tahukah kau tentang dia yang
memberontak itu? Tahukah kau...? Katakanlah, Lo-peh!”
Kakek jenggot putih itu
memandang tajam lalu bertanya. “Kau bilanglah lebih dahulu apa maksudmu dengan
pertanyaan itu? Kau adalah seorang utusan kaisar, apa hubungannya dengan segala
pemberontak?”
“Pemberontak she Sie adalah
ayahku sendiri!” kata Sie Cin Hai dengan suara pilu.
Kini kakek jenggot putih itu
melangkah mundur dan wajahnya menjadi amat pucat, tanda bahwa ia terkejut
sekali. Si Jenggot Hitam yang bernama Sie Kiong itu pun mengeluarkan seruan
kaget.
“Apa katamu... ? Anak muda...
mukamu memang sama benar dengan Sie Gwat Leng, pemberontak she Sie itu. Dia itu
adalah adikku dan kakak dari Sie Kiong. Anak muda, apakah kau mau bilang bahwa
kau adalah anak Gwat Leng...?”
Dengan kedua mata terbelalak
Cin Hai lalu bertanya, suaranya gemetar. “Katakanlah... katakanlah... apakah
Jiwi kenal kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang menjadi isteri Kwee In
Liang?”
“Tentu saja kenal. Dia adalah
adik ipar dari Gwat Leng...”
“Ya Tuhan...! Kalau begitu
kalian adalah paman-pamanku...!” terdengar Cin Hai berkata dengan dada naik
turun karena menahan gelora hatinya. “Pekhu... Siokhu... aku Sie Cin Hai memang
putera Sie Gwat Leng itu... tak salah lagi...” Ia lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan kedua orang itu sambil menahan air matanya!
Sie Lok dan Sie Kiong lalu
menubruk Cin Hai dan memeluknya. “Kau anak Gwat Leng yang ikut Bibimu itu...?
Ah, tak kusangka kita masih akan dapat bertemu...!” kata Sie Lok.
Bu Pun Su menghampiri mereka
dan berkata, “Tidak ada perceraian yang tidak berakhir. Agaknya Thian sudah
menghendaki sehingga kalian dapat saling berjumpa dengan tak tersangka-sangka.
Sudah lama aku mendengar nama kalian berdua pemelihara harimau, dan telah
timbul persangkaanku, maka hari ini memang aku datang hendak menyelidiki. Siapa
tahu, kebetulan sekali Cin Hai datang ke sini pula dalam keadaan terpengaruh
racun jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!”
“Siokhu, Pekhu, Suhu-ku inilah
yang memungkinkan keponakanmu ini sampai sekarang masih hidup!” kata Cin Hai
setelah keharuan hati mereka mereda.
“Sudah lama kami mendengar nama
besar Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah guru dan penolong dari
keponakan kami yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima kasih kami,
Locianpwe!” Setelah berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu berlutut di
depan Bu Pun Su.
“Sudahlah, sudahlah, tak perlu
bersikap seperti kanak-kanak,” kata Bu Pun Su dan ketika ia menggerakkan kedua
tangannya menyentuh pundak kedua orang itu, mau tidak mau keduanya harus
berdiri lagi karena ada tenaga yang amat besarnya mengangkat mereka bangun!
Kemudian, Bu Pun Su berkata kepada Cin Hai,
“Muridku, sesudah bertemu
dengan kedua pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang tuamu. Sekarang
aku akan pergi, tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak kuat untuk
merantau lebih lama lagi. Sekarang aku hendak kembali ke Goa Tengkorak dan
membawa Sin-kim-tiauw bersamaku. Kalau kau bertemu dengan Im Giok, suruh dia
menyusulku ke sana!”
Cin Hai memandang kepada muka
suhu-nya dengan bengong. “Suhu maksudkan Ang I Niocu? Bukankah Niocu sudah...
sudah...,” ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Kekuasaan Thian tidak ada
batasnya, anak bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah Im Giok masih
hidup dan bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik burung ini mau
pun Im Giok berada di pulau itu? Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak dapat bertemu
dengan Im Giok, akhirnya aku pun akan dapat menemuinya, entah di sini entah di
sana...,“ setelah berkata demikian, sekali saja kakek itu mengebutkan lengan
bajunya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa berpamit kepada Sie
Lok dan Sie Kiong!
Memang demikianlah watak Bu
Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan segala hal yang dianggapnya
kurang perlu! Sin-kim-tiauw lalu memekik keras dan terbang cepat menyusul kakek
itu.
Sie Lok menghela napas. “Telah
banyak aku melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi baru kali ini aku
melihat orang yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi. Mari, Cin Hai, mari
kita pulang ke rumahku dan di sana bercakap-cakap dengan leluasa. Hari ini
adalah hari yang paling gembira dan baik semenjak kami ditinggal oleh ayahmu.”
Sambil digandeng tangannya
oleh Sie Kong, Cin Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar dari hutan itu,
sedangkan harimau yang telah ditotok tadi, setelah dikalungi tambang dan
dipulihkan keadaannya, lalu diseret dan akhirnya berlari mengikuti mereka
dengan jinak. Ternyata bahwa harimau itu pun maklum akan kelihaian kakek itu
hingga menyerah kalah dan tidak berani memberontak!
Dan demikianlah cara kedua
orang she Sie itu menangkap harimau dan menjinakkannya. Tiap kali bertemu
dengan harimau buas, mereka lalu mengganggu dan mempermainkan harimau itu
dengan kepandaian mereka yang amat tinggi. Kemudian, setelah harimau itu
ditundukkan, leher harimau lalu dicancang dan dibawa pulang, bagaikan orang
menuntun anjing saja.
Setelah sampai di rumah Sie
Lok dan Sie Kiong yang berada di atas sebuah lereng bukit penuh dengan pohon
pek dan siong, Cin Hai merasa kagum sekali oleh karena ternyata di sekeliling
rumah besar itu terdapat banyak sekali harimau yang berkeliaran di sekitar
rumah dengan jinak bagaikan binatang peliharaan biasa.
Ketika Cin Hai mencoba untuk
menghitung jumlah harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah ada dua puluh ekor
lebih. Kemudian dia mendengar dari pamannya bahwa mereka mempunyai lebih dari
empat puluh ekor harimau yang besar dan galak.
Bagaikan anjing-anjing penjaga
rumah, ketika melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia baru yang asing,
harimau-harimau itu menggereng sambil memperlihatkan gigi dan taring akan
tetapi ketika kedua orang she Sie itu mengangkat tangan kanan, semua harimau
itu menjadi ketakutan dan mengundurkan diri. Bukan main kagumnya hati Cin Hai
melihat pengaruh dan kekuasaan dua orang pamannya itu atas sekian banyaknya
harimau buas.
Setelah masuk ke dalam rumah
dan duduk saling berhadapan, maka berceritalah Sie Lok kepada Cin Hai.
Ternyata bahwa keluarga Sie
terdiri dari empat orang saudara laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng, Sie
Ban Leng dan Sie Kiong. Keempat saudara ini pada waktu mudanya rajin
mempelajari ilmu silat, dan di antara mereka, yang pandai sekali dan tinggi
ilmu silatnya adalah Sie Gwat Leng dan Sie Ban Leng oleh karena kedua orang ini
mendapat didikan dari seorang pertapa sakti Gobi-san.
Ada pun Sie Lok dan Sie Kiong
mendapat didikan dari seorang hwesio perantau yang juga mempunyai ilmu
kepandaian tinggi dan menjadi ahli penakluk semua binatang buas. Dari hwesio
inilah Sie Lok dan Sie Kiong mendapat ilmu atau cara menaklukkan harimau dan
lain-lain binatang buas, bahkan mereka juga mempelajari cara menotok tubuh
binatang-binatang itu.
Setelah tamat belajar, keempat
saudara ini bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran kepandaian, ternyata
bahwa Sie Gwat Leng adalah yang paling pandai, kemudian Sie Ban Leng, kemudian
Sie Lok dan Sie Kiong sungguh pun bagi orang biasa boleh disebut telah memiliki
ilmu silat yang amat tinggi, namun dibandingkan dengan kedua saudaranya yang
menjadi anak murid Gobi-san itu, kepandaian mereka masih jauh.
Kecuali Sie Ban Leng yang
mempunyai watak buruk, ketiga saudara yang lainnya adalah orang-orang yang
berjiwa ksatria dan gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada henti-hentinya
menggunakan kepandaian untuk menolong sesama manusia yang menderita. Gwat Leng
merasa tidak puas sekali melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa,
karena itu sering kali ia menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap kaisar
dan pemerintahnya.
Berbeda dengan Gwat Leng dan
yang lain-lain, Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu jahat, bergaul dengan
segala macam penjahat dan membiasakan diri dengan segala jenis permainan judi.
Gwat Leng juga sering kali menegurnya sehingga beberapa kali mereka bercekcok
oleh karena Ban Leng tak pernah takut atau tunduk kepada kakaknya ini. Ada pun
Sie Lok yang menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa oleh karena dia memang
jauh lebih lemah dari pada Ban Leng.
Namun, betapa pun juga, Sie
Ban Leng masih berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku jahat secara
berterang oleh karena dia takut kepada suhu-nya yang sudah menyuruhnya
bersumpah ketika menjadi muridnya dulu. Kepada Gwat Leng dia tidak takut oleh
karena biar pun ilmu kepandaian Gwat Leng lebih tinggi, akan tetapi dia tahu
akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka dia yakin bahwa Gwat Leng
tentu takkan tega untuk mencelakakannya.
Kemudian Sie Gwat Leng menikah
dengan seorang gadis dusun yang cantik dan halus budi bahasanya. Mereka berdua
hidup dengan rukun dan saling mencinta, penuh dengan kebahagiaan. Setahun
kemudian terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sie Hai yang
kemudian ditambah dengan huruf ‘Cin’ oleh Loan Nio karena nyonya ini tidak
ingin kalau ada orang mengetahui bahwa anak itu adalah putera Sie Gwat Leng
yang memberontak.
Akan tetapi celakanya, ketika
melihat isteri Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati jahat di dalam dada
Ban Leng yang berwatak buruk itu. Dia mencoba untuk menggoda soso-nya sendiri
hingga timbullah pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian antara dia dan
kakaknya.
Ban Leng kena dikalahkan oleh
Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng lalu lari meninggalkan
saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tidak terdengar lagi berita mengenai
dirinya. Akan tetapi, sesudah guru Gwat Leng, pertapa Gobi-san itu meninggal
dunia, mereka mendengar lagi tentang keadaan Ban Leng dan ternyata bahwa Ban
Leng sudah berada di kota raja, menjadi seorang jago muda yang jarang mendapat
tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat julukan Gobi Sin-liong atau
Naga Sakti dari Gobi-san!
Sie Gwat Leng masih saja
bercita-cita untuk menolong kaum tani dan rakyat jelata yang lemah dan miskin.
Ia mulai dengan usahanya di dalam dusun sendiri. Ia mengumpulkan orang-orang
kampung, mendidik mereka dengan ilmu silat, kemudian mendesak dengan kekerasan
dan pengaruh kepandaiannya kepada mereka yang tergolong hartawan untuk
mengulurkan tangan membantu.
Akhirnya ia pun berhasil
membuat kampungnya menjadi makmur. Semua orang bertubuh sehat dan mendapat
didikan ilmu silat sehingga dapat menjaga kampung dari serangan orang jahat dan
tidak ada lagi orang yang mengalami kemelaratan karena semua orang mendapat
penghasilan yang cukup.
Hal ini lalu terdengar oleh
kampung lain yang merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa keluarga Sie
hendak mengadakan pemberontakan dan telah bersiap-siap dengan melatih
orang-orang dusun dengan ilmu silat untuk kelak dipergunakan memberontak dan
memukul kerajaan!
Hal ini terdengar oleh seorang
perwira yang bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun itu. Perwira ini orangnya
sombong dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia telah lancang mengadakan
tindakan sendiri untuk mencari pahala.
Dia membawa anak buahnya
sebanyak empat puluh orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya mengamuk dan
tidak hanya memukul dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu anak bini orang
dan merampas harta mereka!
Tentu saja Sie Gwat Leng
menjadi marah sekali. Dia mengumpulkan orang-orang dusun dan melawan
penyerbu-penyerbu itu hingga tentara di bawah pimpinan perwira sombong itu
dapat dimusnakan berikut pemimpinnya!
Segera kota raja mendengar
mengenai peristiwa ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai pemberontak!
Kaisar kemudian memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin serombongan tentara
terdiri dari seratus orang untuk menawan kawanan pemberontak-pemberontak itu.
Di dalam rombongan ini ikut
pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk membalas dendam
kepada kakaknya sendiri. Biar dia tidak secara terang-terangan ikut di dalam
rombongan Kwee-ciangkun, akan tetapi diam-diam dia ikut pergi kembali ke
dusunnya sendiri dengan maksud membantu penindasan pemberontak, sebab ia maklum
bahwa dengan adanya tiga saudaranya di dalam dusun, maka akan sukarlah bagi
tentara kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.
Terjadilah pertempuran hebat
antara tentara kerajaan dan orang-orang dusun di bawah pimpinan ketiga saudara
Sie yang melakukan perlawanan karena mereka sudah merasa benci sekali terhadap
kerajaan, yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang jahat dari para tentara di
bawah pimpinan perwira yang dulu menyerbu dan berhasil dihancurkan.
Benar saja dugaan Ban Leng.
Kwee Ciangkun tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang benar-benar
kosen dan tangguh. Selagi dia merasa bingung, datanglah Sie Ban Leng membantunya.
Dengan licik dan curang
sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan penyesalannya,
kemudian berkata bahwa ia sengaja datang ingin membantu perjuangan
saudara-saudaranya mengusir barisan kerajaan. Tentu saja Gwat Leng, Sie Lok dan
Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima saudara yang sesat ini dengan dua
tangan terbuka.
Tidak tahunya, pada malam
harinya, ketika Sie Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya memimpin orang-orang
dusun melawan tentara negeri, Ban Leng lalu berlaku curang dan menotok kedua
pundak kakaknya yang sedang tidur itu!
Sie Lok dan Sie Kiong yang
melihat hal ini menjadi amat marah lalu menyerang Ban Leng yang berkhianat.
Akan tetapi kepandaian mereka belum mampu melawan Ban Leng dan pada saat itu
pula, sesuai dengan rencana Ban Leng dan Kwee-ciangkun, tentara negeri segera
menyerbu!
Dalam keadaan tidak berdaya
karena totokan Ban Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng ditawan, orang-orang
kampung banyak yang mati dan sebagian pula ditawan, kampung dibakar habis dan
semua keluarga Sie ditawan pula! Dalam suasana ribut itu, Ban Leng hendak
menculik serta mengganggu isteri Gwat Leng, akan tetapi Kwee In Liang dengan
marah mencegahnya.
“Semua orang tidak boleh
mengganggu wanita, siapa melanggar akan dihukum!” katanya dengan garang.
Ban Leng sendiri sebetulnya
tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba isteri Gwat Leng yang
merasa putus harapan itu, segera menggunakan kesempatan ini untuk membenturkan
kepala sendiri pada dinding hingga kepalanya menjadi pecah dan tewas pada saat
itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng lalu meninggalkan tempat itu.
Adik perempuan isteri Gwat
Leng yaitu Loan Nio, yang pada saat itu sudah remaja puteri, sambil menggendong
Sie Hai yang masih kecil mencoba lari, akan tetapi dia ditangkap oleh seorang
anggota tentara yang kagum melihat kecantikannya. Akan tetapi, untunglah bahwa
pada waktu itu Kwee In Liang melihat hal ini terjadi. Perwira ini memberi
pukulan keras hingga tentara itu pingsan, sedangkan dia lalu menolong Loan Nio
dan anak kecil yang disangka anak Loan Nio itu, dibawa ke dalam rumahnya.
Loan Nio lalu diambil sebagai
pelayan di rumah gedung Kwee In Liang, dan gadis yang cerdik ini lalu
menitipkan Sie Hai kepada seorang wanita di luar gedung dengan memberi belanja
setiap pekan, yaitu uang gajinya sendiri, seluruhnya diberikan kepada wanita
itu.
Demikianlah, Sie Hai yang
kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu baru berusia
setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan setelah Loan Nio
diambil sebagai isteri oleh Kwee-ciangkun, baru dia memberi tahu dengan jujur
kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera Sie Gwat Leng. Karena sangat
mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini, Kwee-ciangkun mau
juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.
Ada pun Sie Lok dan Sie Kiong
yang mempunyai ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah mereka tidak
berhasil menghukum Ban Leng yang sangat jahat dan yang sudah mengkhianati kakak
sendiri itu. Mereka lalu merantau dengan hati duka. Apa lagi ketika mereka
mendengar betapa Gwat Leng menjalankan hukuman mati dalam keadaan masih lumpuh,
sedangkan isterinya mati membunuh diri dan keluarga lain dihukum mati pula,
kedua saudara ini hanya bisa menangis dan sedih.
Mereka merasa benci sekali kepada
manusia, oleh karena dianggapnya manusia adalah makhluk yang sejahat-jahatnya.
Seorang saudara kandung sendiri seperti Ban Leng bisa berlaku sejahat itu, apa
lagi orang lain? Maka, mereka lalu mengasingkan diri di hutan, dan menaklukkan
banyak harimau untuk menjadi kawan-kawan dan penjaga mereka!
Mendengar cerita Sie Liok ini,
Cin Hai merasa sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.
“Pek-hu dan Siok-hu, di
manakah adanya Paman Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan biadab itu?
Ingin sekali aku dapat melihat muka orang yang berhati binatang itu!” katanya
gemas dan marah, sambil mengepal tangannya.
“Entahlah, kami berdua dulu
pernah mencarinya untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali kami sudah kena
dikalahkan dan kemudian kabarnya dia merasa menyesal atas perbuatannya yang
terkutuk itu dan dia telah mengasingkan diri entah di mana.”
Kemudian, atas permintaan
kedua pamannya, Cin Hai dengan singkat lalu menceritakan pengalamannya. Kedua
orang tua itu merasa kagum sekali. Akan tetapi, mereka masih penasaran jika
belum mencoba dan mengukur sendiri kelihaian keponakannya ini, maka Sie Kiong
yang berwatak gembira lalu berkata,
“Cin Hai coba kau perlihatkan
kepandaianmu agar hatiku puas.”
Cin Hai tersenyum, lantas
mengikuti mereka berdua keluar dari rumah di mana terdapat halaman yang cukup
luas.
“Bagaimanakah aku harus
memperlihatkan kebodohanku?” tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.
“Kau lawanlah kami berdua,
agar kami dapat mengukur apakah kepandaianmu ini dapat dibandingkan dengan
Ayahmu atau Pamanmu yang jahat itu?” kata Sie Lok yang segera menggulung lengan
bajunya.
Cin Hai maklum bahwa betapa
pun tinggi ilmu kepandaian dua pamannya ini, akan tetapi melihat gerakan mereka
ketika menawan harimau tadi, dia merasa yakin bahwa dia tentu akan dapat
mengalahkan mereka.
“Baiklah, aku akan berusaha
menjaga diri,” kata Cin Hai dengan tenang.
“Awas serangan!” tiba-tiba Sie
Kiong berseru gembira.
Ia lalu menerkam dengan
serangan yang cukup lihai berbahaya, sedangkan Sie Lok yang hendak menguji kelihaian
keponakannya juga segera membarengi menyerang dari lain jurusan. Cin Hai
mengerti akan kehebatan serangan kedua pamannya ini, maka tubuhnya lalu
berkelebat dan dia pun mengeluarkan ginkang-nya yang sudah sempurna.
Kedua mata Sie Lok dan Sie
Kiong menjadi kabur ketika mereka melihat betapa tubuh keponakan itu tiba-tiba
berkelebat dan lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan tiba-tiba mereka
mendengar suara Cin Hai di tempat yang jauhnya tiga tombak lebih, “Aku berada
di sini.”
Bukan main heran kedua orang
tua itu, dan dengan cepat mereka segera menerjang lagi, sekarang dengan cepat
sekali supaya jangan sampai pemuda itu mendapat kesempatan mengelak. Sie Lok
menyerang dengan jari tangan kanan dibuka dan menotok ke arah jalan darah di
lambung Cin Hai, sedangkan Sie Kiong menyerang dengan pukulan tangan miring ke
arah leher keponakannya.
Cin Hai berseru keras, dan
dengan menundukkan kepala ia dapat mengelak dari pukulan Sie Kiong, sedangkan
untuk menghadapi totokan Sie Lok, dia cepat mengulur tangan dan mendahului
dengan totokan ke arah pergelangan tangan pamannya itu. Sie Lok terkejut dan
menarik kembali tangannya lantas menyerang lagi dengan hebat, demikian pula Sie
Kiong.
Akan tetapi, Cin Hai kemudian
mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari sambil berkata,
“Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu.”
Setiap serangan kedua orang
tua itu dia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang lemas seakan-akan orang
menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya itu tidak mampu mengenai
tubuhnya sama sekali. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali dan juga heran
betapa dengan hanya menari-nari saja keponakannya ini dapat mengelak dari
serangan-serangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Cin Hai memang sengaja mendemonstrasikan
kepandaiannya kepada kedua pamannya, karena ia ingin membuat kedua pamannya itu
girang dan senang. Maka setelah mainkan Sianli Utauw berapa belas jurus untuk
menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia lalu merubah gerakannya dan
berkata pula,
“Dan sekarang aku memainkan
kepandaian pokok ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu Pun Su!” Setelah ia
berkata demikian, ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan pamannya dan ia lalu
mengembalikan setiap serangan dengan gerakan yang sama seperti ilmu silat kedua
pamannya.
Kalau tadi menyaksikan Sianli
Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, sekarang menghadapi betapa
keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka sendiri, maka kedua
orang she Sie itu sesudah mengeluarkan ilmu pukulan yang paling sulit dan
berbahaya akan tetapi yang dikembalikan dengan sama baiknya oleh Cin Hai,
keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan cepat melompat
mundur.
“Nanti dulu! Dari mana pula
kau mempelajari ilmu silat kami itu?” tanya Sie Lok dengan terheran-heran dan
mata terbelalak!
“Aku belum pernah mempelajari
ilmu-ilmu silat itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah melatihku untuk
mengetahui semua dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya sama, sehingga
setiap kali aku diserang dengan semacam ilmu silat, aku dapat meniru gerakan
itu dan mengembalikannya kepada lawan dengan jurus itu juga.”
Sie Lok dan Sie Kiong saling
pandang dengan heran dan mereka ini hampir tidak dapat mempercayai keterangan
ini. Akan tetapi oleh karena tadi mereka telah menyaksikannya sendiri dan
beberapa belas jurus pukulan yang paling terahasia dan terlihai dari mereka
sudah dilakukan dengan sempurna oleh Cin Hai, mereka hanya menggeleng-gelengkan
kepala.
“Bukan main!” kata pula Sie
Kiong. “Akan tetapi Kanda Ban Leng mempunyai kepandaian Eng-jiauw-kang yang
lihai sehingga ia mampu menghadapi kami berdua yang memegang senjata dengan
tangan kosong saja. Maka cobalah kau menghadapi kami dengan tangan kosong pula
sedangkan kami menyerang dengan senjata tajam!”
Sie Lok juga menyetujui cara
percobaan kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk mengambil dua
batang pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya, kedua orang tua
ini lalu menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,
“Cin Hai kau berhati-hatilah,
karena ilmu pedang kami bukanlah kepandaian rendah!” Lalu ia melangkah maju dan
mulai dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera memutar pedang di
atas kepala dan mengirim serangan hebat.
Cin Hai lalu memperlihatkan
ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu Kong-ciak
Sin-na. Tubuhnya dengan ringan sekali melompat-lompat ke atas laksana seekor
burung merak yang sedang terbang saja dan kemudian dari atas dia menghadapi
serangan pedang dengan tendangan serta cengkeraman untuk merampas senjata kedua
pamannya.
Sementara itu, semenjak tadi
burung bangau yang besar itu hanya berdiri memandang, kadang-kadang terbang ke
atas dan berputaran di atas kepala ketiga orang yang sedang bertempur. Akan
tetapi, sesudah ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai melayang ke atas bagaikan
burung, ia lalu memekik keras dan tubuhnya melayang lalu menyambar dengan
sepasang patuknya yang runcing bagai pedang itu, yang digerakkan secara hebat
untuk menyerang Cin Hai.
“Ang-siang-kiam, jangan!” teriak
Sie Lok.
Akan tetapi Cin Hai lalu
berkata sambil tersenyum. “Biarlah, Pek-hu, dia juga mau ikut bergembira,
mengapa tidak boleh?”
Demikianlah, dengan ilmu Silat
Kongciak Sinna, Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu oleh burung bangau
itu sehingga kini dia dikeroyok tiga. Akan tetapi ilmu silatnya sungguh hebat
sehingga tubuhnya seakan-akan tidak pernah mengambah bumi. Tiap kali tubuhnya
turun, ia kemudian menggunakan ujung sepatunya untuk mengenjot lagi hingga
tubuhnya kembali melayang ke atas.
Serangan burung bangau itu dia
gagalkan dengan kepretan tangan ke arah paruh burung itu sehingga tiap kali
jari tangannya menyentuh paruh, maka burung bangau itu hampir jatuh ke bawah!
Sementara itu, dua pedang Sie Lok dan Sie Kiong yang bergerak bagai dua ekor
ular sakti menyambar-nyambar itu dapat dihindarkannya dengan tendangan kaki dan
cengkeraman yang sebaliknya bahkan mengancam pergelangan tangan mereka dan
bagian tubuh lain!
Setelah menghadapi serangan
tiga pengeroyok ini sampai tiga puluh jurus lebih, Cin Hai tiba-tiba melompat
turun dan berkata,
”Sekarang setelah permainan
Kong-ciak Sin-na tadi, aku akan mainkan Pek-in Hoat-sut, juga yang diturunkan
oleh Suhu Bu Pun Su!”
Jauh sekali perbedaan ilmu
silatnya ini dengan yang tadi. Apa bila tadi gerakannya gesit sekali, kini dia
berdiri dengan tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan tangannya
digerak-gerakkan dan tiba-tiba dari kedua lengan ini mengebul uap putih! Burung
bangau menyambar turun, lalu dikebut dengan tangan kiri dan ketika uap putih
itu menyambar, burung itu memekik keras dan terlempar, lalu terbang lagi ke
atas tanpa berani menyerang lagi!
“Hebat!” kata Sie Lok yang
segera menyerang lagi, disusul oleh Sie Kiong.
Akan tetapi alangkah terkejut
hati mereka ketika sekali saja Cin Hai menangkis, pedang mereka hampir saja
terlepas dari pegangan!
“Sungguh lihai sekali!” kata
Sie Lok sambil berhenti menyerang dan memandang Cin Hai dengan wajah berseri.
“Cin Hai, kalau tidak menyaksikan dan merasakan sendiri, aku tak akan dapat
percaya bahwa kau mempunyai ilmu kepandaian seperti ilmu sihir saja! Ahh,
anakku, jangankan baru seorang Ban Leng, biar dia menjadi tiga pun tak mungkin
dapat mengalahkan kau! Hebat, hebat!”
“Akan tetapi, semenjak tadi
Hai-ji (Anak Hai) hanya menangkis dan menjaga diri saja. Aku belum merasai
kehebatan serangan balasannya. Cin Hai, coba kau cabut pedangmu agar kami dapat
pula menyaksikan kiamsut-mu!”
“Baiklah,” kata Cin Hai sambil
mencabut keluar Liong-coan-kiam dari pinggangnya. “Nah, Pek-hu dan Siok-hu, bersiap
sedialah, aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang Daun Bambu!”
Sie Lok dan Sie Kong segera
memutar pedang mereka dengan cepat untuk melindungi diri sehingga jangankan
pedang lawan, biar pun air sepikul pun kalau disiramkan ke arah mereka tak
mungkin akan dapat menembus sinar pedang mereka yang melindungi tubuh!
Cin Hai lalu menggerakkan
pedangnya. Gerakannya cepat luar biasa dan matanya yang tajam sudah dapat
melihat lowongan-lowongan di antara sinar pedang kedua pamannya.
“Awas!” teriaknya dan dua kali
pedangnya lalu berkelebat secara luar biasa sekali. Maka terdengarlah kain
robek dua kali, lantas Cin Hai menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak!
Sie Lok dan Sie Kiong merasa
heran dan segera menghentikan gerakan mereka pula. Alangkah terkejut hati
mereka ketika melihat betapa baju di dada mereka telah robek dan bolong terkena
ujung pedang Cin Hai yang baru menyerang segebrakan saja itu!
Keduanya lalu melempar pedang
masing-masing dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula, mata mereka berlinang
air mata karena girang, puas dan bangga.
“Hai-ji... kalau bangsat Ban
Leng itu berada di sini, akan mampus dia di tanganmu!” kata Sie Lok.
“Cin Hai, anakku yang gagah
perkasa! Ahh... kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu dia akan merasa
bangga sekali melihat kau selihai ini...,” kata Sie Kiong dan orang tua
berjenggot hitam ini menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi dua butir
air mata yang terloncat keluar dari kedua matanya.
Dengan hati terharu Cin Hai
lalu bertanya, “Di manakah makam Ibu? Dan di manakah pula jenazah Ayah
dikuburkan?”
“lbumu dikuburkan di dusun
Kang-cou, dan jenazah ayahmu yang dulu dibakar oleh para petugas di kota raja,
dapat kami curi dan kami tanam pula di dekat makam Ibumu. Dusun itu berada di
kaki Bukit Houw-san.”
Untuk dua pekan lamanya Cin
Hai tinggal bersama kedua pamannya dan selama itu dia mempelajari cara-cara
menangkap semua binatang buas. Burung bangau menjadi kawan baiknya dan ia
merasa suka sekali kepada burung ini hingga burung itu menjadi jinak dan ke
mana pun dia pergi burung itu selalu mengikutinya. Melihat hal ini, kedua
pamannya kemudian menyatakan bahwa burung itu diberikan kepada Cin Hai untuk
menjadi kawan seperjalanannya.
“Bawalah Ang-siang-kiam, dia
dapat menjadi kawan baik dalam perjalanan,” kata Sie Lok dan Cin Hai
menerimanya dengan girang hati.
Dalam waktu senggang, Cin Hai
menuturkan pengalaman-pengalamannya dan bercerita pula tentang
sahabat-sahabatnya, tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An den Ma Hoa, dan
tidak lupa pula menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya sebagai calon
isterinya sehingga kedua orang tua itu menjadi girang sekali.
“Kelak kalau kau akan menikah,
tak boleh tidak kau harus memberi kabar supaya kami dapat datang minum arak
kegirangan.”
Kemudian Cin Hai berpamit
karena dia sudah terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya tidak dapat
menahannya dan berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya dengan semua harimau
itu, pergi dengan ilmu berlari cepat. Burung bangau yang besar terbang di
atasnya dan ikut pergi bersamanya…..
********************
Karena Cin Hai melakukan
perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam
kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin, sambil tidak lupa
mencari-cari jejak Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu,
maka beberapa hari kemudian sampailah dia di kaki bukit tempat tinggal Yousuf.
Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu sudah
kosong dan tiada bermanfaat lagi!
Dengan hati berdebar cemas dia
berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang dia khawatirkan, rumah
Yousuf sudah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan
wajah pucat Cin Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi dia
menjadi lega oleh karena tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf
menjadi korban api yang membakar rumah. Dia berdiri di depan tumpukan puing
dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba dia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.
“Pek-gin-ma!” ia berseru dan
melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu.
Dan di dalam sebuah hutan dia
melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang kala meringkik sedih
seolah-olah kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Pada saat Cin Hai lari
menghampiri, ia lalu mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan
hendak menceritakan sesuatu.
Cin Hai memeluk leher kuda itu
dan merasa menyesal sekali mengapa dia tidak menjadi kuda saja supaya dapat
mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma tentang kekasihnya!
“Pek-gin-ma, apakah yang telah
terjadi pada mereka? Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah aku
kepada Lin Lin...”
Akan tetapi, kuda itu hanya
menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya.
Sementara itu, burung bangau
yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat
daerah yang asing baginya itu. Cin Hai lantas menunggang Pek-gin-ma dan bersuit
memanggil Ang-siang-kiam yang segera meluncur turun dan mengikuti ke mana
pemuda itu melarikan kudanya.
Cin Hai turun dari lereng dan
memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu. Pada saat dia sedang berdiri di
tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-gin-ma, tiba-tiba dia mendengar
suara tindakan kaki. Dia segera melompat ke belakang sebuah pohon besar dan
dapat menangkap lengan tangan seorang penduduk dusun yang hendak melarikan
diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian setelah merasa bahwa ia
tidak kuasa melepaskan diri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.
“Ampun, Hohan, jangan bunuh
aku,” katanya dengan tubuh menggigil.
“Berdirilah, sahabat. Aku
bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang sudah
terjadi di pegunungan ini. Ke mana perginya semua penduduk dusun ini dan
tahukah kau ke mana perginya orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng
itu?”
Ketika melihat bahwa Cin Hai
bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa beberapa
hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang Turki yang terdiri
dari puluhan orang banyaknya, sambil menunggang kuda-kuda besar mereka
menyerang dusun-dusun seperti orang-orang gila.
Kemudian orang-orang Turki ini
menyerbu naik ke atas bukit untuk menangkap Yousuf. Terjadilah pertempuran
hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lantas melihat betapa Yousuf, Lin
Lin dan Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh
rombongan orang Turki itu!
“Entah ke mana mereka
melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki
itu!” pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya.
Cin Hai merasa terkejut
sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi
rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai,
pikirnya. Ia heran sekali, siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin
yang sudah dilatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu? Dia benar-benar tak
mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung,
diikuti oleh burung bangau yang dengan setia terbang rendah di atas
kepalanya…..
********************
Marilah kita ikuti pengalaman
Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat
curam itu.
Telah diceritakan pada bagian
depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang
lihai hingga dia terguling ke dalam jurang, sedangkan Ma Hoa cepat melompat
menyusul kekasihnya itu sehingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam jurang
saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa karena
sentuhan tangan ini!
Akan tetapi betapa pun juga,
merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar
biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga
ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biar pun juga tidak berdaya, tetapi ia
masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan
mengulur tangan untuk mencari pegangan!
Akhirnya ia pun berhasil dan
sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh pada permukaan
jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa betapa tangan Ma Hoa
yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya di cabang pohon
itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu lalu terlepas
tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!
Kwee An merasa betapa
tangannya yang memegang pohon itu sakit, dan seakan-akan sambungan tulang pada
pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba
tertahan itu keras sekali. Dia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil
memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu
terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh
keras-keras.
“Ma Hoa...”
Kemudian ia pun roboh pingsan!
Untung baginya bahwa di mana ia berada itu memiliki banyak cabang dan daun,
sehingga pada saat tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan
oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.
Setelah beberapa lama berada
dalam keadaan pingsan, lambat laun dia siuman kembali dan teringat akan nasib
Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Dia ingin melemparkan
dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus
harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Lebih dulu dia harus
menyelidiki dengan teliti.
Maka dia segera merangkak
dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Dia melihat betapa pohon itu
tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak
mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati dia lalu menggunakan batu-batu menonjol
di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.
Dengan pertolongan batu-batu
karang dan akar-akar pohon, dia dapat juga meninggalkan pohon di mana dia
tersangkut tadi dan akhirnya dia mendapatkan sebuah goa di dinding tebing.
Karena merasa lelah sekali, dia lalu masuk ke dalam goa kecil itu dan
beristirahat.
Semalaman penuh dia
beristirahat di dalam goa itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan
akhirnya ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan
mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian
mencari kekasihnya.
Sementara itu, tubuh Ma Hoa
meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi,
jika tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur
lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tak
terbatas. Bila belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang
menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.
Pada saat tubuh Ma Hoa telah
meluncur mendekati tanah, tiba-tiba saja terdengar orang mengeluarkan seruan
kaget, “Ya Tuhan Yang Maha Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek
berkepala botak.
Secepat kilat kakek botak ini
segera menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah,
dia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel
disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu tenaga
luncurannya dibelokkan ke kiri, kemudian diteruskan ke atas sehingga tubuh itu
melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang
keras itu.
Ketika tubuh Ma Hoa melayang
lagi ke bawah, dengan tenaga yang telah patah sehingga daya luncurannya jauh
berkurang, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam
sebuah goa yang berada tak jauh dari tempat itu.
Setelah memeriksa keadaan Ma
Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu
pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi akibat kengerian, ketakutan
dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika dia jatuh
dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!
Maka kakek botak itu lalu
membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan
sampai siuman sendiri. Dia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali,
dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan jalan pernapasannya kembali,
kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di
atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersemedhi, seakan-akan tidak
terjadi sesuatu.
Tidak lama kemudian, dari luar
goa masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa
yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk
bersemedhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan matanya dan mengeluarkan
suara, “Ah, ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata
bahwa dia adalah seorang kakek gagu!
Kakek botak itu membuka
matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.
“A Tok! Jangah kau heran!
Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi dia terjatuh dari atas tebing
itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka
sejak sekarang, dia menjadi sumoi-mu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih
untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”
A Tok yang gagu itu lalu
terkekeh-kekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian dia
sudah kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna
putih dan tangannya lalu bergerak-gerak serta dikembangkan ke kanan dan kiri
meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh”
seperti tadi.
“Hmm, burung besar? Biarlah
aku keluar melihatnya, A Tok!”
Kakek botak itu lalu bertindak
keluar dengan tenang. Dan benar saja, dia melihat seekor burung merak yang
besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya
seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin
Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.
Ketika melihat kakek yang
berdiri di depan goa itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat,
kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.
“Ha-ha-ha, burung merak yang
lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya.
Dari tangan itu lalu menyambar
hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas.
Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka dia hanya memekik-mekik
keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu.
Sedangkan kakek itu kemudian
mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian dia
mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.
“Merak baik, kau kembalilah
dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!”
Ia lalu menyelipkan kertas
bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut
tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak
Sakti!
Sin-kong-ciak menyangka bahwa
kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka dia cepat mengelak.
Akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang
luar biasa sehingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah
kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan
erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biar pun tidak merasa sakit, akan tetapi ia
terkejut sekali sehingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke
atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu!
Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan
suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.
Ketika akhirnya Ma Hoa siuman
kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di
atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Ia lalu
bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera
terbayang kembali peristiwa tadi.
Ia memandang ke sekeliling
untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika dia melihat bahwa di atas
dua buah batu besar dua orang kakek sedang duduk bersemedhi. Kakek botak itu
mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.
“Anak, jangan kau kaget, kau
berada di tempat yang aman,” katanya halus.
“Teecu... berada di manakah...
dan siapakah Locianpwe?”
“Kau tadi terjatuh dari atas
dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu
dari kehancuran. Kau makan dulu daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.”
Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberi lima helai daun-daun kecil
yang berwarna putih dan yang tadi dia suruh A Tok mencari.
Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa
menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi karena
memang dia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, dia lalu makan
habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya
lenyap. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan
berkata,
“Locianpwe, teecu menghaturkan
banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Dan mohon tanya, bagaimanakah
nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?” Sambil berkata demikian Ma Hoa
memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.
“Seorang kawanmu?” kakek itu
berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari
atas.”
“Ahh... kalau begitu, biarlah
teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.
“Nanti dulu, Nak. Sebetulnya
siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau dan
kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”
Biar pun hatinya ingin sekali
lekas keluar dari goa itu untuk mencari Kwee An, akan tetapi karena dia telah
tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya,
betapa dia dan kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak
itu mengangguk-angguk dan berkata,
“Pantas saja kau dan kawanmu
kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika aku masih muda
dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau
mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi
menghadapi mereka!”
Ma Hoa terkejut mendengar ini,
karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai
muridnya! Maka dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe,
bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan tetapi mengenai belajar silat ini
lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu.”
“Hemm, tidak boleh! Kau berjodoh
untuk menjadi muridku dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar
orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tidak mungkin dia dapat
menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tak ada lagi
orang lain jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah
dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena bila dia memiliki
ginkang yang tinggi, pada waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon
yang banyak tumbuh di samping tebing itu.”
Mendengar ucapan ini Ma Hoa
menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak
berbohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa setelah
mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, dia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio
dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir saja
menewaskan dirinya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
“Suhu, teecu Ma Hoa menurut
perintah dan petunjuk Suhu!”
Kakek botak itu tertawa
bergelak-gelak karena girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok
Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah seheng-mu bernama A Tok!”
Ma Hoa lalu menjura kepada
suheng-nya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas
pemberian hormat itu sambil berseru “Ah, ah… uh, uh…” dan tangannya
bergerak-gerak.
“Tempat ini kurang baik untuk
belajar silat,” kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!”
Ma Hoa menurut dan kedua guru
serta murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah bukit
lain yang dari sana nampak puncaknya. Ma Hoa mengerahkan ilmunya berlari cepat,
akan tetapi meski pun suhu-nya hanya kelihatan berjalan perlahan saja, namun
dia selalu tertinggal di belakang! Maka dia merasa girang sekali oleh karena
mendapat kenyataan bahwa suhu-nya yang baru ini sungguh-sungguh mempunyai ilmu
kepandaian tinggi.
Setelah tiba di Hong-lun-san,
Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok suhu-nya
dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf.
Semenjak saat itu, ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa
dari suhu-nya, Hok Peng Taisu.
Ilmu silat ini dimainkan
dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang bambu runcing
ini pendek saja sehingga merupakan siangkiam atau sepasang pedang yang aneh
karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing.
Biar pun hanya sepasang bambu
runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak kalah dengan
senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja. Hok Peng Taisu telah
menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta ilmu silat ini dan di waktu
mencipta, dia telah memasukkan segala kemungkinan menghadapi senjata lawan yang
bagaimana pun.
Kemudian, pada waktu muda dia
telah merantau puluhan tahun tanpa dapat menemukan tandingan yang dapat
merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah dia mengundurkan diri dan bertapa, dia
bahkan memperdalam lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk
menurunkannya pada seorang murid yang berbakat dan baik. Dan secara kebetulan
dan tak terduga sekali, pilihannya jatuh pada Ma Hoa.
Ma Hoa sudah memiliki
dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya
Hai-liong Kiamsut lihai sekali. Dan oleh karena ginkang-nya sudah cukup tinggi
maka kini ia dapat mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah
lagi.
Sesudah mempelajari ilmu silat
yang aneh itu selama tiga bulan, maka dia sudah dapat mainkan dua batang bambu
runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan mematangkannya saja.
Oleh karena maklum bahwa muridnya ini sangat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok
Peng Taisu tidak menahannya lagi ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk
turun gunung dan mencari kekasihnya. Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa
berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu mengunjunginya.
Ma Hoa langsung menuju ke
bukit tempat tinggal Yousuf, oleh karena dia merasa pasti bahwa kalau Kwee An
tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke
tempat tinggal orang Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewa dan cemas hatinya
ketika tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf telah menjadi tumpukan puing
dan keadaan di situ sunyi sekali.
Dengan cepat Ma Hoa lalu turun
dari bukit dan menemui penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur kembali
lagi ke rumah masing-masing. Gadis itu mendapat keterangan tentang adanya
penyerbuan rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf.
Seperti juga Cin Hai, ia
merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan
sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Pada waktu ia mencari
keterangan tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya,
oleh karena memang Kwee An tidak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika
Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.
Bukan main bingung hati Ma
Hoa, karena tidak saja dia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini dia tidak
tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lainnya serta di mana mereka sekarang
berada. Maka dia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di
mana dia dan Kwee An terjatuh dari tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil
keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini…..
********************
Setelah bermalam di dalam goa,
pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas
sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh
tubuhnya terasa kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan
kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga.
Ia menderita sakit dan agaknya
keadaan goa yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam
kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam goa itu dan selama tiga hari panas
tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena
panasnya.
Keadaannya berbahaya sekali
karena selain tidak ada yang merawatnya, juga dia tidak dapat makan sesuatu.
Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya berkurang sehingga ia dapat
menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut goa. Ia melihat tetumbuhan
kecil di mulut goa itu dan oleh karena dia merasa lapar sekali, dia mengambil
daun-daun muda dan memakannya!
Demikianlah, dia hidup dengan
sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam goa itu, hanya makan akar-akar
pohon dan daun-daun yang ada di dekat goa. Setelah tubuhnya menjadi kuat
kembali, barulah dia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar
pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berupaya keluar dari tempat
tahanan alam ini!
Sesudah dia dapat menginjak
tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan lereng
gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar
dan tanpa dia sadari dia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat
tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Dia juga tidak ingat lagi bahwa dia
telah berada di goa itu selama tiga bulan lebih!
Kwee An lalu memasuki sebuah
hutan yang terdekat, kemudian mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari
pohon-pohon besar di sana, dan makanlah dia sepuas-puasnya dan sekenyangnya.
Namun, baru saja dia turun
dari pohon, mendadak dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang
mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini mengenakan pakaian aneh,
setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh serta wajah mereka
bagus dan tidak ada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi
bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol.
Mereka ini adalah kelompok
sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol.
Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han
dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan.
Kwee An merasa terheran-heran
melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis indah yang panjang dan
dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka,
bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis
yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah
dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis pula!
Rombongan orang berkumis
melintang ini lalu mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap dalam
bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.
“Apakah yang kalian kehendaki?
Aku tak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat
pundak. Betapa pun juga, dia melihat sikap mereka bukanlah seperti orang-orang
liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba salah seorang di
antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang
hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya
dalam bahasa Han campuran yang kaku.
“Siapakah kau dan dari mana
kau datang?”
Kwee An merasa girang sekali.
Dia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab, “Syukur
sekali engkau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku
datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan
siapakah kalian ini?”
Dengan sukar sekali kakek ini
lalu menjawab. “Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan
sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tak bertemu dengan
orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini.”
“Mengapa kalian mengurungku?”
tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.
“Kau harus ikut kami menghadap
kepada pemimpin kami di dalam hutan.”
Biar pun tidak merasa
keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee
An merasa tidak senang juga sebab ia seolah-olah hendak dipaksa dan dijadikan
tawanan pula. Apa perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka?
Ada pun orang-orang yang
mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan dia adalah
seorang yang lucu. Dia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan
pada hidungnya sehingga diam-diam Kwee An merasa amat heran dan beberapa kali
ia lalu menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir
kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan hidungnya. Ia tidak tahu bahwa
para pemuda berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli
melihat ia tidak berkumis sama sekali!
Bagi mereka, melihat seorang
pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau yang tak berkumis atau kera tak
berbulu! Salah seorang di antara mereka yang berwajah tampan dan mempunyai
kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima
belas tahun, bahkan maju mendekatinya. Sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An,
ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya.
Semua orang tertawa mendengar
ucapan pemuda tanggung ini dan biar pun tak mengerti bahasa mereka, namun Kwee
An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.
“Tidak, aku tidak mau pergi
menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.
Orang tua itu melangkah mundur
dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu
kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tak mau pergi menghadap kepala
mereka.
Tiba-tiba sikap orang-orang
yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan
mereka bergerak, mereka semua sudah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan
melepaskan seutas cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam
sekali.
“Ehh, ehh, apakah kalian
hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut
keluar seutas cambuk panjang berwarna merah dan sebilah golok kecil yang tajam
sekali.
Kakek itu mengangguk. “Apa
bila kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu.
Siapa pun orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami karena
daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau
mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini
dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan kami!”
Tiba-tiba, anak muda belasan
tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil
memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali dan
menyambar-nyambar ke atas dengan ganasnya sehingga diam-diam Kwee An menjadi
terkejut dan juga kagum. Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu jika tidak
mempunyai kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan
senjata yang berbahaya!
“Siapakah anak ini dan apa
kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu.
Orang tua itu lalu berkata
dengan suara dingin. “Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tak puas
melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia
menantang kau untuk mengadu cambuk!”
“Mengadu cambuk? Apa artinya
itu?”
“Ini merupakan semacam adu
kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu kepandaian
memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh digunakan
untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu hanya digunakan
untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya bisa dibuat
putus berarti kalah. Apa bila keduanya dapat menjaga sehingga cambuk masing-masing
tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah.”
Kwee An mengangguk-angguk dan
ia pun memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang
gagah sekali. Tubuhnya kuat dan sepasang matanya menyinarkan keberanian yang
besar, sedangkan kedua tangan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.
“Aku terima tantangannya,”
kata Kwee An dengan wajah berseri karena dia ingin sekali mencoba sampai di
mana kepandaian anak muda yang tampan itu.
Ketika kakek itu memberi tahu
bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau
tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan
bergembira, karena mereka memang menghargai kegagahan.
Melihat bahwa Kwee An berani
melawan pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa kagum!
Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan
memberi tempat yang cukup luas untuk dua orang yang hendak bertanding itu.
Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjaman sebatang cambuk panjang dan sebuah
golok kepada Kwee An.
Sebetulnya Kwee An tak gentar
untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong. Akan tetapi oleh
karena dia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua
senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja.
Tentu saja sikapnya ini
menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, dari cara memegang
kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya.
Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu
diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus
membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan
memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke
bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk
bersilat.
Pemuda tanggung itu tiba-tiba
berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak
mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda
dan memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan
berkelebat menyambar ke arah lehernya.
Kwee An segera mengelak sambil
merendahkan tubuhnya. Akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah
bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang
itu tiba-tiba saja dapat bergerak ke arah dadanya.
Hanya dengan pengerahan
lweekang cukup tinggi yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya seakan-akan
cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak
lagi dengan lompatan cepat ke samping.
Kwee An terlepas dari pada
serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan
menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa sangat heran melihat
cara Kwee An mempertahankan diri.
Memang, mereka itu biasanya
tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan biasanya
ketika diserang, mereka akan menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis
dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera
dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Jadi ilmu cambuk mereka itu pada
hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan lawan serta ketepatan
menangkis dengan golok.
Gerakan Kwee An yang cepat itu
membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus
bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara
keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan
ginkang-nya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua
orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh
Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu
pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.
Tiba-tiba pemuda tanggung itu
menghentikan serangannya. Dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia
bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang.
Kakek itu lantas berkata dari
tempat duduknya, “Dia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara
bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh,
sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, namun hanya mengadu
kepandaian. Sekarang kau pilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak
bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus membalas
dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”
Kwee An terkejut. Tanpa
sengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia pun cepat-cepat
berkata, “Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas
cambuk dari tangannya!”
Ketika kakek itu
memberitahukan hal ini kepada pemuda itu. Dia lalu tersenyum senang dan mulai
menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkang-nya lagi, dan
ketika cambuk lawan menyambar, dia pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya
dan menggerakkan tenaga lweekang-nya hingga cambuknya kemudian membelit cambuk
lawan. Ketika dia berseru keras dan membetot, tanpa tertahan lagi pemuda tanggung
itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari tangannya.
“Nah, aku menang, karena
cambuknya telah dapat kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk
sambil memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran.
Semua orang, termasuk pemuda
tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai untuk
merampas senjata sedemikian mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju
lantas kembali mengeluarkan kata-kata keras dengan muka penasaran. Sesudah dia
habis berkata-kata, terdengar semua orang yang duduk mengelilingi mereka itu
tertawa bergelak.
“Ada apa lagi?” tanya Kwee An
kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu.
Kakek itu tersenyum geli
mendengar kata-kata anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis
memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Dia menganggap kau tidak
tahan melihat darah seperti seorang perempuan, dan karena kau tak berkumis,
maka tentu saja kau berhati curang dan tadi mempergunakan ilmu sihir yang jahat
untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain cambuknya masih belum
terputus oleh golokmu, dia pun tidak mendapat satu pun luka dari cambukmu. Dia
menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”
Merahlah muka Kwee An
mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda tadi,
dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan
ke arah pinggang pemuda itu!
Pemuda itu berseru gembira dan
mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali dengan niat memutuskan
cambuk Kwee An yang berarti bahwa ia akan mendapat kemenangan!
Kwee An terkejut juga melihat
gerakan golok itu, oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung itu
mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa
sabetan golok itu berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia
menggerakkan tangannya hingga cambuk memutar kembali lalu menyerampang kedua
kaki pemuda itu dengan gerakan cepat.
Ia menyangka bahwa pemuda itu
tentu tidak memiliki ilmu ginkang sehingga lemah pada pergerakan kaki dan
kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke
atas dan dari atas cambuknya segera menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali
Kwee An terkejut. Gerakan melompat tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan
Melompati Ombak!
Maka dia tidak berlaku
sungkan-sungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali
mengurung tubuh pemuda itu! Pemuda tanggung itu nampak makin gembira dan
melawan dengan hebat, dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain
cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai!
Sekarang para penonton
bersorak dengan girang sekali karena mereka kini menyaksikan pertandingan main
cambuk yang benar-benar hebat dan ramai! Bahkan kakek tadi sudah mengeluarkan
sebuah huncwe (pipa tembakau) yang pendek, lalu mengepulkan asap dari
huncwe-nya dan dia duduk menonton dengan asyiknya seakan-akan yang sedang
berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah menarik!
Betapa pun pandai permainan
cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki ilmu
kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak
perlu menggunakan goloknya, karena cambuknya sudah cukup digunakan untuk
menangkis. Sedangkan tiap kali pemuda itu menyabet cambuknya, dengan
mengerahkan lweekang-nya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi lemas, licin
dan kuat hingga pada waktu beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental
saja dan tidak dapat diputuskan!
Ia mulai mengirim cambukan dan
mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja. Bukan main herannya
semua penonton ketika melihat betapa setiap kali Kwee An mengayun cambuk,
selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya!
Juga pemuda tanggung itu
merasa heran dan penasaran karena tidak dia sangka sama sekali bahwa pemuda
asing tanpa kumis ini ternyata adalah seorang jago cambuk yang luar biasa! Dia
adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah lama
dikagumi, tak nyana bahwa sekarang dia menjadi korban cambuk seorang pemuda
tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas!
Maka ia menjadi marah dan
penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walau pun bajunya pada
bagian punggungnya telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An
tidak bermaksud melukai pemuda itu sehingga tiap kali cambuknya mengenai
sasaran, dia selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi
terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.
Tadinya Kwee An bermaksud agar
supaya pemuda itu menginsyafi kelemahannya dan suka mengaku kalah. Akan tetapi
sesudah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, maka dia menjadi
penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya sehingga pecahlah
kulit punggung pemuda itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya
yang sudah sobek.
Alangkah heran hati Kwee An
ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu, seakan-akan
menyaksikan peristiwa yang sangat menggembirakan dan yang menambah keindahan
pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan lagi yang
membuat kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu terpukul
pecah.
Sungguh pun Kwee An tak
bermaksud melukainya terlalu dalam, akan tetapi seharusnya cambukan-cambukan
itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, pemuda itu bukannya menyerah,
bahkan menjadi makin nekad dan menyerang semakin hebat!
Kwee An menjadi kewalahan
juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang
menjadi gembira, dia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu
mengambil keputusan hendak melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat
lagi, sedangkan para penonton semakin merasa gembira saja. Ketika ia mengerling
dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun sedang
menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwe-nya, seolah-olah dia menikmati
pemandangan yang menyenangkan hati!
Maka Kwee An lalu mendapat
akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan Hek
Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak mengelilingi
pemuda itu yang menjadi pening dan kabur matanya.
Tiba-tiba, tanpa terlihat
orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok
jalan darah thian-hu-hiat sehingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat
bergerak lagi.....
Melihat pemuda itu roboh
dengan tubuh lemas, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah amat lelah
dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu
menolongnya! Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi saat dia
mengangkat pundak pemuda itu, dia menekan dengan jarinya hingga totokannya tadi
dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali.
Pemuda itu hanya memandang
dengan heran dan kagum, kemudian tiba-tiba dia berdiri, memeluk leher Kwee An
dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari rasa persahabatan dan kekaguman
sehingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Tetapi setelah dia mendapat
keterangan dari kakek itu, dia merasa lega dan sangat senang.
Semua orang tiada habisnya
memuji serta mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An mendapatkan
julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah putera
pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di
situ, dan sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali
pun!
Sekarang semua orang bukan
memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An supaya menemui pemimpin mereka.
Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya,
maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu.
Kedatangan mereka disambut
oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang
laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang
melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan kereng! Akan
tetapi yang membuatnya benar-benar tak mengerti adalah bahwa anak-anak muda
yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu!
Pada saat melihat ada seorang
anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak
terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan
tetapi ketika dia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua
orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu!
Hanya kakek juru bahasa tadi
saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia pun berkata, “Semua kumis yang kami
pakai adalah kumis tulen, kumis yang tumbuh dengan wajar dari kulit!”
“Tapi... tapi anak kecil
itu... usianya baru sebelas tahun!” berkata Kwee An dengan heran sekali.
Kakek itu tertawa. “Kenapa
tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki
yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan
upacara tumbuh kumis, yakni dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa
dan di atas bibirnya kemudian digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu
setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kau lihat pada
anak tadi.”
Kwee An baru mengerti setelah
mendengar penuturan ini. Pantas semua orang di sana memelihara kumis. Yang
lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka
ini rata-rata berkulit halus putih dan walau pun potongan muka hampir sama
dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus. Akan tetapi
ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang
kecil dan berderet rapi itu ternyata berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee
An mengeluh dan menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi
hitam!
Kwee An dibawa menghadap pada
seorang Haimi yang bertubuh tinggi besar dan yang mempunyai kumis indah dan
panjang sekali. Matanya lebar berpengaruh, usianya belum tua benar, paling
banyak empat puluh tahun. Ketika melihat Kwee An, dia lalu turun dari tempat
duduknya dan menyambutnya dengan ramah.
“Sahabat, kunjungan seorang
Han merupakan kehormatan besar sekali bagi kami!”
Bukan main dan herannya hati
Kwee An mendengar betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara bahasa Han dengan amat
baiknya! Ia lalu menjura dan berkata girang,
“Akulah yang mendapat
kehormatan besar sekali kini dapat bertemu dengan orang-orang gagah bangsa
Haimi, dan girang sekali hatiku karena ternyata bahwa selain kakek itu kau pun
pandai berbahasa Han!”
Tempat di mana Kwee An
disambut oleh kepala suku bangsa Haimi itu adalah sebuah pondok yang cukup
besar terbuat dari pada kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang dalam muncul
seorang wanita muda dan ketika Kwee An memandang, ia menjadi kagum.
Dara ini cantik sekali,
terutama sepasang matanya yang lebar dan sangat indah. Dengan gerakan lemah
lembut dan tanpa sungkan-sungkan lagi, dara muda itu mengambil tempat duduk di
dekat pemimpin itu kemudian memandang Kwee An dengan sinar mata kagum, menatap
secara langsung tanpa malu-malu seperti biasa kelakuan para gadis bangsanya
sendiri! Oleh karena dipandang secara demikian itu, Kwee Anlah yang merasa malu
dan sungkan!
“Ini adalah puteriku yang
bernama Meilani,” kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu tersenyum
kepadanya.
Kembali datang rasa kecewa
dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis itu dikacaukan oleh
cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Kenapa orang merusak gigi yang bagus itu?
Pemuda yang tadi dikalahkan
oleh Kwee An, lalu menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang pertandingan tadi
kepada ayahnya sambil menggerak-gerakkan dua tangannya. Ia memandang kepada
Kwee An dengan kagum dan agaknya ia memuji-muji kepandaian Kwee An karena Kwee
An melihat betapa pemimpin itu lalu memandangnya dengan mata terbelalak,
sedangkan Meilani bahkan lalu berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri dia
sambil memandangnya penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, seperti seorang
memeriksa dan menaksir-naksir benda yang indah menarik!
Kwee An sama sekali tidak
berani bergerak ketika didekati oleh dara ini, dan pada waktu gadis ini
mendekatinya dia mencium keharuman yang ganjil, seperti bau bunga mawar!
Ketika Kwee An mengerling
ternyata ruang yang luas itu sudah penuh orang-orang, lelaki dan wanita, serta
kanak-kanak yang semuanya memandang kepadanya dengan kagum! Dikelilingi oleh
sekian banyak laki-laki berkumis sedangkan dia sendiri tidak, juga sekian
banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia merasa seolah-olah ia sedang
berada di dunia lain!
“Anak muda, ketahuilah bahwa
aku adalah Sanoko, yaitu pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari dua
ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang tadi kau kalahkan
adalah puteraku. Kau siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu cambuk yang
begitu hebat hingga sudah mengalahkan puteraku?” pertanyaan ini diajukan dengan
mata memandang kagum.
“Aku bernama Kwee An, dan
tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah mempelajarinya. Hanya
sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari sehingga aku dapat mempertahankan
diri terhadap serangan cambuk puteramu.”
Tiba-tiba gadis yang bernama
Meilani itu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya sangat merdu dan
nyaring.
Ayahnya tertawa bergelak, lalu
bertanya kepada Kwee An, “Kwee-taihiap, apakah engkau juga pandai bermain
golok?”
Mendengar bahwa kepala suku
bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebutnya taihiap (pendekar besar), Kwee An merasa
sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,
“Aku pernah mempelajari
sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku sudah hilang di jalan.”
Ketika Sanoko menterjemahkan
ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke
dalam rumah dan keluar kembali sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus
kain kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima
dan melihat pedang itu, menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang
sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika yang ringan sekali dan tajam
serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya yang
menjelaskan pada Kwee An,
“Anakku Meilani dulu pernah
menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah goa dan oleh karena kami tidak
pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka
pedang ini tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah
belajar main golok, ia sekarang minta supaya kau suka melawannya dengan pedang
ini dan apa bila kau dapat mengalahkannya, maka pedang ini akan dihadiahkan
kepadamu!”
Bukan main girang hati Kwee
An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan tajam.
Pada tempat di dekat gagang dia melihat ukiran dua huruf ‘OEI KANG’ yang
berarti ‘Baja Kuning’. Akan tetapi, ketika itu ia tidak sempat memperhatikan
keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh karena dia merasa terkejut
mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah
disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok.
Ketika dia melihat golok itu,
dia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat dari pada logam yang sama dengan
pedangnya, karena juga mengeluarkan cahaya kekuningan. Sebagai seorang ahli
silat, tentu saja Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka dia pun segera
menjawab,
“Baik, hanya kuharap saja Nona
Meilani akan berlaku murah hati kepadaku.”
Setelah mendengar jawaban
pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan
adiknya. Kwee An juga keluar dari tempat itu sambil membawa pedang
Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar pula dengan wajah berseri gembira,
mereka seakan-akan hendak menghadiri pesta perayaan yang menarik hati.
Sesudah berada di halaman
pondok yang luas, Meilani lantas melompat dengan gerakan yang ringan dan lincah
sambil membawa goloknya. Gadis ini kemudian mempererat ikat pinggangnya,
mengikat pula dua kuncir rambutnya yang lalu diselipkan di dalam baju di
belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan cantik, dia berdiri menanti
Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias bibirnya.
Ketika melihat gerakan gadis
yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata memiliki
gerakan yang gesit. Maka dia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang
Oei-kang-kiam di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus
Awan, melompat ke hadapan gadis itu. Ia telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya
kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini disambut dengan tampik sorak oleh
semua penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!
Melihat bahwa pemuda ini sudah
melompat ke hadapannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya memberitahu
bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia langsung menggerakkan goloknya,
diputar-putar di atas kepalanya seperti gerakan orang Haimi bermain cambuk,
kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah lompatan cepat dan golok itu
menyambar ke arah leher Kwee An!
Seperti juga pedang
Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi ringan
sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak mencoba
pedangnya, maka dia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara nyaring dan
ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang terbuat dari
logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau. Meilani berseru
kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam, hampir saja senjata
itu lepas dari pegangannya!
“Hebat sekali tenagamu!”
katanya dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang membuat
para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena dia tahu bahwa
puterinya itu sudah diberi latihan tenaga dalam yang cukup tinggi, karena itu
dengan sekali tangkis saja dapat membuat puterinya memuji, tentu pemuda tanpa
kumis itu benar-benar lihai!
Meilani lalu memutar-mutar
goloknya dan mainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya lalu
berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung laksana gelombang menderu
mengancam diri Kwee An. Akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedang
Hai-liong Kiam-sut yang dulu dia pelajari dari Nelayan Cengeng.
Melihat betapa pemuda itu
berkelebat cepat sekali seolah-olah menerobos di antara sinar goloknya dan
kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali.
Sedangkan semua penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat
Kwee An dan pertandingan yang seru itu membuat mereka menahan napas dan lupa
untuk bersorak.
Sanoko juga merasa kagum
sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak mengurung, kini
bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, dia sampai berdiri
dari tempat duduknya kemudian memandang dengan penuh perhatian. Gerakan pedang
Kwee An benar-benar bagai seekor naga laut yang mengamuk hingga diam-diam
Sanoko mengakui bahwa belum pernah ia menyaksikan ilmu silat sedemikian
lihainya.
Kwee An yang merasa sangat
gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali, segera mendemonstrasikan
ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya mengurung dengan
pedangnya saja. Apa bilas dia mau, dengan mudah saja dia dapat menjatuhkan
Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk melukai gadis cantik yang tak bermaksud
buruk terhadap dirinya itu.
Dikurung oleh sinar pedang
Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan pandangan matanya
kabur. Mendadak dia berseru keras dan segera tubuhnya melompat tinggi dan jauh.
Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah kemerah-merahan, kemudian
setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu dia lalu melemparkan goloknya
kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan kiri Kwee An!
Melihat hal ini, semua orang
bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang cepat menghampiri Kwee An,
memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli sekali karena merasa
betapa kumis-kumis mereka itu seakan-akan mengitik-itiknya.
Kakek yang dapat berbahasa Han
itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata, “Kionghi, kionghi, (selamat,
selamat)...!”
Kwee An hanya mengira bahwa
kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah terkejutnya ketika
Sanoko datang menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh
keharuan.
“Kwee An, puteriku sudah
memilih jodohnya dan aku merasa gembira sekali mendapat seorang mantu seperti
engkau!”
“Apa...? Apakah maksudmu...?”
Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.
“Meilani telah memberikan
goloknya dan kau pun telah menerimanya dengan baik, masih ingin bertanya apa
lagi? Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan jangan
berpura-pura atau malu-malu. Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan
sementara itu, kau boleh mengadakan persiapan dan akan dibantu oleh pamanku
ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata
adalah paman Sanoko sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan
kaki gagah.
Kwee An berdiri bagaikan
sebuah patung dan ketika kakek itu menarik dirinya menuju ke sebuah pondok tak
berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya, “Lopek, apakah maksudnya
ini semua?”
“Barang kali kau tidak tahu,
anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apa bila seorang gadis memberikan
goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterima, maka itu berarti bahwa
mereka telah mengikatkan diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah
memberikan goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau
adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan berbahagia oleh karena
Meilani merupakan gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah banyak pemuda
yang merindukannya. Di samping memiliki kepandaian tinggi dan menjadi puteri
kepala kami, dia juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kau lihatkah
betapa cantik jelitanya dia?”
Pucatlah wajah Kwee An
mendengar ini. “Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerima dia sebagai… sebagai…
jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Dia melemparkan
goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tanganku. Lopek, tolonglah
aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan ini!”
Wajah kakek itu berubah tak
senang. “Mengapa begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda, ingatlah bahwa di
seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti
Meilani. Dia telah memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tak patut karena
tidak berkumis, semata-mata karena dia kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu.
Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak. Penolakanmu ini
akan berarti penghinaan pada kami seluruh suku bangsa Haimi, dan tentu kau akan
dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini
hanya terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh
orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!”
Bukan main terkejut hati Kwee
An mendengar keterangan ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan kembali
golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata, “Lopek, tolong kau kembalikan
golok ini dan sampaikan salam serta rasa hormatku kepada Sanoko, dan juga
penyesalan serta permohonan maafku kepada Meilani, karena kalau memang demikian
halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul hal-hal yang tidak
diinginkan.”
Akan tetapi begitu menerima
kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap
mengancam. ”Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan
membuat Meilani malu sekali sehingga dia pasti akan membunuh diri sesuai dengan
adat kami. Karena ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku tak akan membiarkan
kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah melewati mayatku!”
“Jangan, Lopek, biarkan aku
pergi!” kata Kwee An dengan gugup.
Akan tetapi, kakek itu lalu
menyerangnya dengan golok di tangan! Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih
lihai dari pada gerakan golok Meilani, sehingga Kwee An terpaksa harus
mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya
berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas olehnya!
“Kau benar-benar lihai, nah,
kau bunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!”
Lemaslah tubuh Kwee An. Ia
merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri karena
dia tinggal pergi, dia merasa tidak tega sekali. Karena itu dia lalu memandang
kakek itu dengan mata mengandung permintaan tolong.
“Kakek, aku... tidak dapat
melukaimu. Kalian sudah berlaku sangat baik kepadaku, begitu ramah tamah,
bagaimana aku sampai hati mendatangkan mala petaka? Tapi perkawinan itu
sungguh-sungguh tidak mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku sudah mempunyai
seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin dengan gadis lain.”
Mendengar ini, kakek itu
berpikir keras. “Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang
pemuda untuk memiliki dua orang isteri, sungguh pun hal itu sangat jarang
terjadi. Aku maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik
budi. Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis kami ialah
upacara pernikahan. Apa bila upacara itu sudah dilangsungkan, kau tidak
berhalangan untuk pergi meninggalkan isterimu walau pun tidak menjadi isteri
dalam arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu
benar-benar kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh diri.
Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina Meilani.”
“Akan tetapi, Lopek, tentu
Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan
seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi
meninggalkannya!” Kwee An membantah.
“Jangan kuatir, sebelum
upacara dilangsungkan, malam ini juga aku akan memberi tahu kepadanya bahwa kau
menjalankan upacara ini hanyalah untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah
dan malu, dan bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah
mempunyai calon istri lain.”
Kwee An memegang tangan kakek
itu dengan pernyataan terima kasihnya oleh karena ia anggap itu adalah cara
terbaik.
Malam itu, lima orang gadis
yang berwajah manis-manis serta bergigi hitam mengkilap, menyerbu masuk ke
kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara tidak karuan
karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri Kwee An. Ada
yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang kepalanya, dan
ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di bawah hidungnya.
Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan dia lalu memberontak
dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!
“Ehh, ehh, kalian pergilah!
Keluarlah dari kamar ini! Apakah kalian sudah gila dan hendak menggangguku?”
katanya dengan keras dan mata terbelalak.
Akan tetapi oleh karena kelima
orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan
menghampirinya kembali! Kwee An berlarian ke sana ke mari di dalam kamarnya,
akan tetapi terus dikejar-kejar oleh para gadis itu sambil tertawa-tawa! Karena
merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tidak lama kemudian, datanglah
kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat apakah yang terjadi
di situ.
Melihat betapa Kwee An telah
melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil memandang lima
orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagai seekor tikus melihat
lima ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak! Girang sekali
hati Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari
ke belakang tubuh kakek tadi.
“Lopek, tolonglah aku. Mereka
ini apakah tiba-tiba menjadi gila?”
“Ini pun termasuk upacara
perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka ini datang untuk
menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh kumis!”
“Apa?” Kwee An berseru sambil
menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seolah-olah merasa ngeri sekali bahwa
hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! “Aku tidak mau... aku
tidak mau, Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An
berkata, “Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis
panjang menjungat ke atas!”
Kakek itu kemudian mengucapkan
perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh, akan
tetapi pada waktu mereka memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee
An menghela napas panjang karena hatinya lega ketika melihat gadis-gadis itu
sudah pergi.
“Bagaimana Lopek, apakah kau
memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?”
Kakek itu mengangguk dengan
muka sedih.
“Dan marahkah dia kepadaku?”
“Tidak, tidak marah. Hanya
kecewa dan berduka. Kau... kau memang kejam.”
“Ehh, mengapa kau berkata
demikian, Lopek? Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi
atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong
dia.”
Kakek itu mengangguk-angguk
dan kembali dia menghela napas. “Alangkah baiknya bila kau benar-benar menjadi
suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaian yang kau miliki
lihai sekali dan kau dapat kami harapkan untuk membantu kami mengusir para
pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!”
Tergerak hati Kwee An melihat
wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali. “Lopek, untuk
membantu kalian, tidak perlu aku harus menjadi keluarga. Kalau memang terdapat
kesulitan dan aku mampu membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga.
Katakanlah, apakah yang sudah terjadi dan apa pula yang diperbuat oleh
orang-orang Mongol terhadap bangsamu?”
Sesudah berulang kali menghela
napas, kakek itu lalu bercerita, “Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi, adalah
bangsa yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami
merupakan bangsa perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka
inilah yang merupakan kelemahan kami. Selama beberapa tahun ini, kami selalu
mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang hendak memperluas daerah
kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan
harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan
cucuran air mata dan dengan helaan napas, oleh karena kami tak berdaya. Makin
banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak jatuh korban di pihak kami
hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga kami, oleh karena pihak Mongol
memang jauh lebih kuat dari pada kami. Telah lama kami mengimpikan datangnya
bintang penolong, dan setelah kini kau datang, maka besarlah harapanku dan
harapan Sanoko bahwa engkaulah orangnya yang mampu menolong kami membalas
dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir mereka kalau berani datang
mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang buruk, kau bahkan
mengecewakan kami, juga menghancurkan hati puteri kami yang bernasib malang...”
Setelah mengucapkan kata-kata
itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee An
merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.
“Lopek, janganlah kau kuatir.
Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang Mongol yang
berani mengganggu kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan kudatangi dan
kuhajar mereka!” kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat sehingga kakek
itu dapat tersenyum lagi.
“Hal itu mudah, nanti apa bila
upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu di mana
keparat-keparat itu berada.”
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah
kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar. “Pakailah ini, hanya
untuk memenuhi syarat upacara adat.”
Agar supaya tidak melukai
perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu mengenakan pakaian
itu.
“Ahh, kau memang gagah sekali.
Apa bila kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda yang paling
tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi
Meilani! Sayang... sayang...,” kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.
Kemudian, sambil menabuh
gendang dan tambur, serombongan anak gadis ‘mengambil’ pengantin laki-laki dan
diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan. Ketika kedua mempelai
dipertemukan, Kwee An melihat betapa wajah ‘isterinya’ itu basah dengan air
mata dan diam-diam dia lalu menghela napas panjang dan terkenanglah dia kepada
Ma Hoa. Ahhh, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma Hoa.
Seorang pendeta Haimi membaca
doa-doa dalam bahasa Haimi, namun dari cara-cara ia membaca doa, tahulah Kwee
An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah,
disesuaikan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.
Kwee An harus mengakui
kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, akan tetapi bila mengingat gigi
yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Ketika upacara dilakukan,
tiba-tiba seorang pemuda Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan
sesuatu kepada Sanoko. Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada
di situ. Bahkan Meilani lantas membuka penutup mukanya dan segera mengambil
goloknya yang sudah dikembalikan oleh Kwee An.
“Apakah yang telah terjadi?”
Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur orang-orangnya
yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.
“Seorang Perwira Mongol yang
kosen dan yang sering mengganggu kami sudah datang dengan seorang kawannya. Dia
sudah menculik dua orang gadis serta membunuh tiga orang pemuda kami!”
“Keparat!” Kwee An memaki
sambil mencabut Oei-kang-kiam. “Hayo tunjukkan di mana ia berada!”
“Kami hendak mengeroyoknya,
karena kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan ragu-ragu.
“Jangan kuatir, biar aku yang
menghadapinya!” Maka semua orang segera mengiringkan pemuda itu, berlari keluar
dari hutan.
Akan tetapi ketika mereka tiba
di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik itu
telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu
sedang bertempur melawan seorang gadis yang gagah perkasa.
Hampir saja Kwee An menjerit
karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau yang
dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Ada pun gadis berambut
riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan
amat hebatnya melawan dua orang kosen itu, bukan lain adalah Ma Hoa sendiri!
“Hoa-moi...!” Kwee An berseru
dan dia segera menerjang maju pedangnya.
Ketika Ma Hoa memandang, dia
terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan pakaian
yang aneh itu.
“Koko, marilah kita gempur
bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!” katanya sambil tetap mengerjakan kedua
batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa.
Walau pun merasa heran sekali
melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai itu,
namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo
Lang Hwesio yang bersenjata sebatang pedang pula karena merasa kewalahan
menghadapi Ma Hoa dengan tangan kosong saja.
Melihat munculnya Kwee An, Ke
Ce menjadi jeri karena dia maklum bahwa setelah kini gadis itu mempunyai ilmu
silat yang sedemikian lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga
lihai sekali, tidak mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apa lagi ia
melihat bahwa serombongan besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan
juga ikut datang pula. Orang Mongol yang licik ini lalu berseru keras dan
segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri.
Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja
tidak mau melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat ke atas
sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua
bambu runcing di tangan, bagai seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke
Ce menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas terdengar bentakan Ma Hoa
yang halus tapi nyaring,
“Bangsat keji hendak lari ke
mana?”
Ke Ce menengok ke belakang dan
mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai sepasang
bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan
terus. Ia hendak menggunakan ginkang-nya yang tinggi untuk melarikan diri, akan
tetapi Ma Hoa mengejar sambil berlompatan sehingga sebentar saja dia sudah
melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan pemuda Mongol itu!
“Kalau mau lari, hanya boleh
lari ke neraka untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa sambil mengirim
tusukan dengan kedua bambu runcingnya, yang kiri ke arah leher lawan, sedangkan
yang kanan ke arah jalan darah di dada!
Ke Ce terkejut sekali melihat
betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget lagi
ketika dia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri,
bergulingan di atas tanah sampai beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri
dan cepat menggerakkan dua tangannya hendak mengirim pukulan Angin Topan yang
hebat!
Akan tetapi Ma Hoa sudah siap
menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat dia dan Kwee An terjungkal ke dalam
jurang itu. Maka sambil berseru keras dia melompat ke kiri dan cepat sekali
tangan kanannya bergerak.
Bambu runcing di tangan
kirinya lantas meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah terlepas dari
busur dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan
kanannya meluncur menyusul bambu pertama!
“Cepp…! Cepp…!”
Kedua bambu runcing itu
menancap di tubuh Ke Ce, yang sebatang di tengah dada dan sebatang lagi di
lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi meninggalkan
tubuh pada saat itu juga!
Terdengar sorak sorai riuh
rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu
binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce dan mencabut keluar kedua bambu
runcingnya serta membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian
ia menghampiri rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan berlutut.
Ma Hoa mendekati Meilani dan
mengangkat bangun gadis yang cantik itu. Akan tetapi ketika dia bertanya, gadis
itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya menunjuk ke arah
Kwee An dan Ma Hoa menengok.
Ternyata bahwa Kwee An tengah
bertempur dengan hebatnya melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo Lang Hwesio
benar-benar lihai sekali, karena meski pun Kwee An sudah mengeluarkan Ilmu
Pedang Hai-liong Kiam-sut, akan tetapi hwesio itu sanggup menahan serangannya
secara baik dan bahkan dapat membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya!
Kwee An lalu mengeluarkan ilmu
silat yang dulu dia pelajari dari Hek Mo-ko, dan setelah mainkan ilmu silat ini
dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio. Akan
tetapi, dalam lweekang dia masih kalah setingkat sehingga tiap kali pedang
mereka bertemu, Kwee An merasa betapa tangannya gemetar! Untungnya ia memegang
pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau dia memegang pedang biasa tentu
pedangnya akan bisa dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio yang di samping
merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi
itu.
Melihat ini, Ma Hoa berseru,
“An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!”
Tubuh gadis ini lalu
berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang secara hebat
bukan main. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya,
karena baru menghadapi Kwee An seorang saja biar pun dia tidak akan kalah akan
tetapi sudah amat sulit merobohkan anak muda itu, sekarang ditambah pula dengan
permainan kedua bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan Ilmu Silat Bambu Kuning yang
luar biasa, maka dia menjadi sibuk sekali!
Dengan perlahan akan tetapi
tentu, Ma Hoa serta Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin mulai
mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa girang sekali oleh
karena ia mendapat kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai.
Sedangkan Bo Lang Hwesio amat
gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia pun sangat
heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena dia teringat bahwa yang memiliki
ilmu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang bernama Hok
Peng Taisu! Kenapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu kepandaian ini?
Ketika Ma Hoa mendesak makin
hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak Bo Lang
Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena sungguh pun dia memiliki lweekang
yang membuat kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam
itu telah melukainya. Sambil berseru hebat ia memutar pedangnya dan ketika
kedua lawannya mengelak, dia lalu melompat ke belakang dengan cepat dan kabur dari
tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan
berkata,
“Yang mencelakai kita dulu
adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”
Ma Hoa dan Kwee An berdiri
saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang dengan
perasaan terharu sekali. Tanpa terasa lagi dari mata mereka lalu mengalir air
mata karena rasa girang dan terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru
bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik oleh tenaga mukjijat, keduanya
lalu saling rangkul sambil berbisik,
“Koko...”
“Moi-moi..., serasa dalam
mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi...”
“Koko...,” kata Ma Hoa setelah
melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda itu dengan
mata basah tapi bibir tersenyum, “kau... kelihatan lucu sekali! Dari mana kau
peroleh pakaian seperti itu?”
“Untung saja kau tidak melihat
aku berkumis seperti mereka itu!” Kwee An berkata sambil menahan ketawanya.
Ma Hoa heran sekali mendengar
ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri mereka,
dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia tidak
tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati Meilani
terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau bangga karena betapa
pun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil mengusir musuh itu
adalah ‘suaminya’.
“Engko An, siapakah gadis
manis ini?”
“Dia adalah isterinya,
lihiap!” Sanoko menjawab, “dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga
menjadi ayah mertua Kwee An!”
Bukan main terkejut hati Ma
Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An dengan
wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata, “Tenanglah, Moi-moi,
hal ini memerlukan penjelasan!”
Kemudian ia berkata kepada
Sanoko dengan suara tegas, “Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah mendengar
keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah kini bahwa Nona ini adalah tunanganku
yang kuceritakan itu!”
Oleh karena di situ terdapat
banyak orang-orang Haimi, meski pun mereka tidak mengerti percakapan mereka,
akan tetapi Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham,
maka Ma Hoa tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu
memberi isyarat kepada Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di
tempat yang agak jauh dari mereka. Meilani hanya memandang dengan heran dan
tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri pembicaraan
mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.
“Lopek, sekarang harap kau suka
ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai terjadi
kesalah pahaman,” kata Kwee An kepada kakek itu sesudah mereka berada jauh dari
rombongan itu.
“Lihiap, kata-kata
Kwee-taihiap ini memang benar. Walau pun dia terpaksa menjalankan upacara
pernikahan dengan Meilani, akan tetapi hal itu hanya untuk menjaga kehormatan
puteri kami itu saja. Kwee-taihiap tadinya juga bersikeras menolak, akan tetapi
akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan menolong
gadis itu.”
Maka dengan panjang lebar
kakek itu lalu menuturkan bagaimana sudah terjadi kesalah pahaman ketika Kwee
An menerima golok dari Meilani, dan betapa bila pemuda itu tidak mau memenuhi
kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena malu.
Ma Hoa mendengarkan semua ini
dengan terharu. Tadinya dia marah sekali, akan tetapi setelah tahu akan
duduknya perkara, dia malah merasa kasihan sekali kepada Meilani.
“An-ko, apa bila kau memang
suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan kau pikirkan aku lagi!”
“Ehh, ehh, Moi-moi, mengapa
kau berkata demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan wanita lain!
Sesudah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu
kepadaku?”
“Bukan cemburu, akan tetapi
aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!” Kemudian Ma Hoa lalu bertindak
menghampiri Meilani dan memeluknya.
Biar pun Meilani tidak
mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena dia sudah mendengar
dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya karena telah
bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia dapat juga menduga.
Ketika melihat hubungan antara
Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa tentu gadis inilah yang
menjadi tunangan Kwee An. Ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan
tetapi juga kagum melihat kecantikannya, sehingga dia merasa bahwa memang gadis
itu lebih cocok menjadi calon isteri Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia
hanya dapat mengalirkan air mata saja.
Sanoko juga sudah tahu akan
hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa karena ternyata bahwa ‘gadis saingan’
puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan memiliki kepandaian yang
lebih hebat dari pada Kwee An sendiri. Bahkan gadis itu juga sudah meneewaskan
seorang musuh yang telah banyak membunuh bangsanya!
Maka ketika kedua orang muda
itu berpamit, dia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih. Meilani
tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan
dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur.
Ada pun semua orang Haimi,
ketika melihat Kwee An pergi meninggalkan ‘isterinya’ yang baru saja menikah
dengannya, merasa tidak puas. Akan tetapi mereka tak berani banyak bertanya,
hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.
Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee
An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang
merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari
cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa
bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan pada waktu mendengar
dari Ma Hoa bahwa dara itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar
biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali.
Sebaliknya, pada waktu Kwee An
menceritakan betapa dia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam
goa dengan keadaan amat menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan
merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak
enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah
dengan Meilani itu.
"Koko," katanya di
tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau
aku membikin hitam gigiku.”
Kwee An tersenyum pahit.
"Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sebenarnya aku merasa ngeri
tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"
Ma Hoa tertawa. "Bila
kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya
melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"
"Betapa pun juga, bangsa
Haimi itu adalah orang-orang baik, akan tetapi nasib mereka buruk sekali.
Moi-moi, biarlah kita jangan berbicara tentang mereka lagi. Sekarang yang
terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman
Yousuf?"
“Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar
oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau,
aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat
kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di
Kansu pemandangannya amat indah dan di sana terdapat goa-goa kuno yang
terkenal. Jika hendak mendengar tentang Lin Lin dan Paman Yo, baiknya kita
merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat
pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”
Bagi Kwee An, jangankan dia
harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan
menarik hati, biar pun harus ke neraka sekali pun, kalau bersama Ma Hoa, dia
akan pergi dengan senang hati.
“Dugaanmu ini memang berdasar
juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat
pula,” katanya.
Demikianlah, kedua sejoli itu
lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia
Dalam, menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia…..
********************
Siapa yang pernah melakukan
perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta dan mencinta,
tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu yang terasa hanyalah
kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya
gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap suara
terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu!
Pendek kata, Ma Hoa dan Kwee
An melakukan perjalanan berdua dengan hati dipenuhi kebahagiaan dan
kegembiraan. Apa lagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sama
sekali belum pernah mereka kunjungi sehingga pemandangan yang ganjil di daerah
itu menambah kegembiraan mereka.
Suatu hari di tapal batas
daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang
berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan
oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari
menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat
dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.
Ketika mereka telah tiba agak
dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa
betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera menatap wajah kekasihnya
yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat
sekali.
Sepasang mata gadis itu
memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur itu dengan terbelalak penuh
keheranan dan tampaknya amat terkejut bagaikan melihat setan di tengah hari!
Kwee An segera memandang dan memperhatikan pula dua orang yang bertempur itu.
Tiba-tiba dia pun memandang dengan mulut celangap.
Ma Hoa menggosok-gosok kedua
matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah kau
juga melihat apa yang kulihat?"
Kwee An hanya berkata
perlahan, "Heran…. heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar
dia?"
"Siapa lagi? Walau pun
lupa akan wajah dan bentuk badannya, aku tak akan melupakan gerakan dan ilmu
silatnya. Dia benar-benar Enci Im Giok!"
"Mari kita
membantunya!" kata Kwee An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,
"Jangan dulu! Enci Im
Giok paling tidak suka dibantu apa bila keadaannya tidak terdesak. Lihat, dia
sedang mendesak lawannya, dan dua orang pendeta yang menonton itu, entah mereka
itu kawan atau lawan. Sebaiknya kita menonton sambil bersembunyi dan melihat
gelagat."
Keduanya lantas mengintai dari
balik pohon. Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah seorang nenek tua yang
mengerikan. Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi dan di sana terdapat daging
yang menonjol, merupakan punggung onta. Rambutnya digelung dan diikat dengan
sapu tangan bersulam yang kecil. Telinganya memakai anting-anting yang besar
melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan tangan kosong menghadapi seorang
dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang.
Nona ini cantik sekali dan
sekali pandang saja orang yang sudah pernah melihatnya tak akan ragu-ragu lagi
bahwa dia ini bukan lain adalah Ang I Niocu! Apa bila gerakan Ang I Niocu indah
menarik dan gesit sekali hingga nampaknya seperti sedang menari dengan
pedangnya, gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya.
Tubuh nenek itu berlompatan ke
atas sambil menyerang dahsyat dengan cengkeraman-cengkeraman tangan yang
jari-jarinya ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat pertempuran
itu, dua orang kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di antara mereka
bertubuh tinggi besar, berjubah hitam panjang dan kepalanya ditutup oleh sebuah
sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya penuh cambang bauk.
Pada waktu itu, Ang I Niocu
sedang mendesak hebat dengan ilmu pedangnya. Apa bila gerakan nenek itu boleh
diumpamakan sebagai seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar korbannya, Ang I
Niocu merupakan seekor burung merah yang indah dan luar biasa gesitnya.
Di samping memiliki ginkang
yang tinggi dan sempurna, ternyata nenek itu juga memiliki tenaga dalam yang
hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan Ilmu Silat
Eng-jiauw-kang dari ahli silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang dia
mengirim pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat rambut Ang I Niocu berkibar
dan menjadi awut-awutan!
Akan tetapi, pedang Ang I
Niocu sangat lihainya, sinar pedangnya dapat mendesak terus sehingga nenek itu
terpaksa berkelahi sambil mundur. Pada saat nenek itu mundur dan melompat ke
atas sebuah batu karang, Ang I Niocu membabat dengan pedangnya ke arah kaki
lawannya dengan gerakan Bidadari Menyebar Bunga hingga hampir saja kaki nenek
itu terbabat.
Akan tetapi, dengan cepat
sekali nenek itu lantas melompat ke atas sambil mengeluarkan teriakan keras,
dan ketika tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba saja kedua tangannya
digerakkan dan berhamburanlah hancuran batu menyerang ke arah Ang I Niocu!
Ternyata bahwa ketika tadi
nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya lalu mencengkeram batu
karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan sekarang dia menggunakan
hancuran batu karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran batu karang yang
menjadi kerikil kecil-kecil ini tak boleh dipandang ringan, oleh karena tenaga
lemparan yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu kecil itu dapat
menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan sebuah senjata
rahasia yang lihai!
Akan tetapi Ang I Niocu yang
berkepandaian tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat ini. Dengan tenang
dia segera memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan terlindung oleh
dinding baja dan semua potongan batu kecil itu dapat terpukul jatuh.
Kembali mereka bertempur seru,
masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian mereka yang paling tinggi. Meski pun
Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah menjatuhkan nenek yang
lihai itu.
Sebelum kita maju lebih lanjut
dengan cerita ini, lebih baik kita ikuti dulu pengalaman Ang I Niocu semenjak
dia berada di Pulau Kim-san-to, karena pembaca tentu merasa heran bagaimana Ang
I Niocu bisa muncul di sini sedangkan dulu ia berada di Pulau Kim-san-to ketika
pulau itu terbakar dan meledak? Baiklah kita mundur sejenak supaya selanjutnya
cerita ini dapat diikuti dengan lancar.
Sebagaimana telah dituturkan
pada bagian depan, Ang I Niocu mendahului Cin Hai pergi ke Pulau Kim-san-to
untuk mencari Lin Lin. Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik ke atas puncak
untuk mencari Lin Lin, akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai, bahkan ia
melihat pemandangan yang amat mengerikan, yaitu seluruh danau di bukit itu
terbakar hingga merupakan neraka yang dahsyat.
Ia melihat bayangan Vayami
seperti sedang melambai-lambai memanggilnya dari tengah lautan api itu, maka
dengan hati ngeri sekali Ang I Niocu mencari-cari Lin Lin, berlari ke sana ke
mari dan suaranya sampai serak karena terus-menerus ia memanggil,
“Lin Lin…. Lin Lin….! Di mana
kau…?”
Ketika ia sedang berlari
menubruk sana menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti orang gila,
tiba-tiba saja terdengar sebuah letusan hebat dan daya tenaga raksasa yang
keluar dari ledakan itu membuat tubuh Ang I Niocu terlempar ke atas udara.
Walau pun semangat Ang I Niocu seolah-olah terbang keluar dari tubuhnya karena
hebatnya ledakan itu, namun ia masih sempat berteriak lagi memanggil, "Lin
Lin…. Lin Lin…. Hai-ji…. "
Ang I Niocu kemudian pingsan
selagi tubuhnya masih melayang di udara! Memang mati atau hidup seseorang
sepenuhnya berada di dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha Kuasa. Kalau Tuhan
menghendaki, seorang yang sudah berada di mulut harimau masih akan dapat
tertolong dan hidup, sedangkan seorang segar bugar dapat tiba-tiba mati. Hal
ini harus diakui oleh semua orang karena banyak terjadi bukti-bukti akan
kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi dalam tangan
Tuhan!
Begitu pula dengan nasib Ang I
Niocu. Agaknya Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari hidup di dunia, maka
tubuhnya terlempar ke angkasa tanpa terluka. Hal ini memang tidak begitu aneh
oleh karena dapat diketahui sebab-sebabnya.
Kalau sekiranya Ang I Niocu
tidak berada terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu, seperti halnya para
tentara Turki dan tentara kerajaan yang terbasmi habis seluruhnya, tentu Dara
Baju Merah itu pun akan tewas juga, termakan oleh api dan minyak panas. Akan
tetapi saat ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu berada dekat sekali sehingga
sebelum api dapat membakar tubuhnya, hawa letusan yang luar biasa kerasnya itu
telah membuat tubuhnya terlempar ke udara!
Karena hebatnya tekanan
ledakan itu, pakaiannya yang merah sampai terobek ke sana sini. Potongannya
lalu terlempar dan melayang-layang terbawa angin yang didatangkan oleh ledakan
hingga sepotong dari pakaian ini kemudian ditemukan oleh Cin Hai di atas laut.
Biar pun pada saat dia
terlempar ke udara, Ang I Niocu terhindar dari bahaya api yang mengamuk, akan
tetapi dia masih belum terlepas dari bahaya maut sama sekali, karena dia telah
menjadi pingsan dan kalau dia jatuh kembali, maka tubuhnya tentu akan hancur
dan dimakan api! Akan tetapi, memang Tuhan belum menghendaki kematiannya, maka
kembali Yang Maha Kuasa memperlihatkan kekuasaanNya lagi.
Di antara semua makhluk hidup
yang berada di atas Pulau Kim-san-to pada saat ledakan terjadi, selain Ang I
Niocu yang selamat, masih ada yang lainnya lagi, yakni Sin-kim-tiauw atau
rajawali sakti berbulu emas. Kebetulan sekali pada waktu ledakan terjadi,
burung rajawali ini sedang terbang tinggi di atas pulau karena ia merasa
terkejut melihat sekian banyak orang sedang berperang di atas pulaunya yang
biasanya sunyi dan tenteram itu.
Ia terbang berputar-putar di
angkasa sambil berteriak-teriak marah, karena perasaannya memberi tahukannya
bahwa orang-orang yang sedemikian banyaknya itu bukanlah orang baik-baik. Dia
hendak mengamuk serta menyerang, akan tetapi tidak berani dan merasa takut
untuk menghadapi sekian banyak orang, maka kini dia hanya terbang tinggi sambil
memekik-mekik marah.
Pada waktu terjadi ledakan,
Sin-kim-tiauw merasa terkejut sekali dan sambil menyambar-nyambar ke bawah
dengan marah, ia pun menjadi bingung dan takut melihat api berkobar hebat
membakar pulaunya. Kemudian, tiba-tiba dia melihat tubuh orang yang berpakaian
merah melayang ke udara dengan kecepatan luar biasa.
Tadinya burung itu merasa
terkejut dan takut, oleh karena belum pernah ia melihat orang yang dapat
terbang! Tentu ilmu kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Karena itu dia hanya
terbang mengelilingi dan tidak berani menyerang, sungguh pun dia merasa marah
sekali.
Akan tetapi, ketika Ang I
Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuh itu mulai
melayang jatuh kembali ke bawah, Sin-kim-tiauw kemudian menyambar dan
mencengkeram tubuh itu. Perlu diketahui bahwa Sin-kim-tiauw bukanlah burung
liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung peliharaan yang telah dilatih
oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le, hingga burung ini telah dapat
membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai. Maka ketika ia
mencengkeram tubuh Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai tubuh itu, hanya
membawanya terbang menuju ke timur dengan cepat sambil berteriak-teriak girang
seperti biasa kalau ia menang berkelahi!
Burung rajawali yang besar itu
membawa tubuh Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok ke arah tenggara, dan
selama itu Ang I Niocu masih saja pingsan tak sadarkan diri sebab ledakan hebat
itu betul-betul telah mengguncang jantungnya, sedangkan perasaan kuatir dan
takut membuat semangatnya seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya.
Burung rajawali itu terbang
terus dan setelah berputar-putaran tinggi di atas pulau yang banyak terdapat di
permukaan Laut Tiongkok, dia lalu menyambar turun ke atas sebuah pulau kecil
yang penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika ia telah terbang rendah di atas
pulau itu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit keras dan Sin-kim-tiauw
segera terbang ke arah suara suitan itu.
"Ehh, Kim-tiauw, siapakah
yang kau bawa itu?" mendadak terdengar bentakan halus dan seorang lelaki
keluar dari sebuah goa memandang pada Kim-tiauw yang terbang rendah itu.
"Lepaskan dia!"
teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat segera melepaskan tubuh Ang I Niocu
dari cengkeraman kakinya.
Tubuh Dara Baju Merah itu
melayang ke bawah dan dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu menyambut
tubuhnya. Merahlah muka laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu hampir tidak
berpakaian lagi karena pakaiannya yang merah sudah robek di sana-sini oleh hawa
ledakan tadi! Cepat-cepat laki-laki itu menanggalkan mantelnya, menyelimuti
tubuh yang segera dibawanya masuk ke dalam goa itu, kemudian diletakkannya di
atas tanah yang bertilamkan rumput-rumput kering.
Dengan hati-hati laki-laki itu
lalu memeriksa nadi pergelangan tangan Ang I Niocu, lalu ia menarik napas lega.
Dari sudut goa dia segera mengambil bungkusan pakaiannya dan mengeluarkan
sebuah kulit buah labu yang telah dikeringkan dan dipergunakan sebagai tempat
air. Ternyata bahwa isinya bukanlah air biasa, akan tetapi sari buah-buahan
yang mengandung khasiat menguatkan tubuh dan mendatangkan ketenangan pada hati.
Dengan hati-hati, dia lalu
membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan menuangkan sedikit
isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, sesudah menyimpan tempat
air ke dalam bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang wajah dara itu
dengan penuh perhatian lalu menarik napas panjang dan keluar dari goa.
Burung rajawali melihat
kedatangannya, lalu berjalan menghampiri sambil mengeluarkan keluhan panjang.
"Sin-kim-tiauw, dari
manakah kau datang dan siapakah gadis itu? Aku mendengar suara ledakan keras
dari arah Pulau Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali, apakah
yang telah terjadi?"
Kim-tiauw itu mengeluarkan
keluhan keras dan aneh, lalu dia mengembangkan sayapnya dan memukul-mukul
tanah, seakan-akan hendak menceritakan peristiwa hebat yang telah menimpa
pulaunya. Akan tetapi tentu saja laki-laki itu tidak mengerti sama sekali,
hanya dia dapat menyangka bahwa tentu telah terjadi hal yang aneh sekali,
karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku seaneh ini.
Siapakah laki-laki yang
tinggal seorang diri di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada berkawan ini?
Ia adalah seorang laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening lebar dan
sinar matanya tajam berkilat. Tubuhnya tegap dan sedang, ada pun usianya paling
banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya terbuat dari pada bahan kasar berwarna
biru dan sebilah pedang tergantung di pinggangnya.
Sesungguhnya orang ini adalah
seorang pendekar silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu tinggi yang
patah hati oleh karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh kepalsuan. Dulu
dia tinggal di atas Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada suhu-nya yang
bukan lain adalah Han Le atau sute dari Bu Pun Su! Mereka tinggal bertiga
dengan seorang sute-nya, karena Han Le memiliki dua orang murid, yaitu lelaki
ini yang bernama Lie Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun.
Baik Lie Kong Sian mau pun
Song Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi korban keganasan
tentara Mongol. Ayah bunda mereka sudah tewas pada saat tentara Mongol menyerbu
dusun-dusun dan mereka berdua mendapat pertolongan dari Han Le yang lalu
membawa mereka ke atas Pulau Kim-san-to dan mengangkat mereka menjadi murid.
Walau pun Lie Kong Sian
mempunyai bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi kepandaian
suhu-nya, namun dia masih kalah apa bila dibandingkan dengan Song Kun yang
memiliki bakat luar biasa sekali. Bahkan Han Le sendiri pernah berkata kepada
Lie Kong Sian yang dipercaya penuh dan disayangi seperti anak sendiri.
"Muridku, kau lihat saja,
Song Kun kelak akan mempunyai ilmu kepandaian yang jarang mendapatkan tandingan
oleh karena anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar biasa. Dalam hal ilmu
silat, bakat mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena biar pun ilmu silat
yang dipelajarinya sama dengan yang kau pelajari, akan tetapi bakatnya akan
dapat membuat ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat, karena mendapat
tambahan sendiri oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi dia masih sangat muda,
muridku, dan apa bila aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, kaulah yang harus
menjadi wakilku untuk menuntunnya ke arah jalan benar."
Bertahun-tahun kedua orang
murid ini digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian Han Le
mengajak kedua muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia ramai.
Dan hal inilah yang kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah watak
aslinya ketika pemuda ini melihat benda-benda berharga dan hal-hal yang terjadi
di dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk menguasai
hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan wanita
cantik.
Baik Han Le mau pun Lie Kong
Sian mengetahui hal ini, maka setelah berkelana selama dua tahun, Han Le lalu
mengajak Song Kun kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh Lie Kong Sian
mengembara seorang diri untuk meluaskan pengalaman dan menjalankan pekerjaan
sebagai seorang pendekar yang harus menolong sesama hidup yang sedang menderita
kesukaran.
Diam-diam Song Kun merasa
mendongkol sekali kepada suhu-nya, akan tetapi dia tidak berani menyatakan
dengan terus terang, bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap menjadi
penurut dan berbakti sekali. Ia melayani suhu-nya dengan amat baiknya, bahkan
ketika Bu Pun Su datang berkunjung ke pulau itu, ia dapat pula menipu kakek
jembel ini hingga Bu Pun Su juga salah sangka dan memuji murid adik
seperguruannya ini, lalu menurunkan semacam kepandaian ilmu silat kepada Song
Kun.
Di atas pulau itu, selain Song
Kun dan gurunya, sudah ada tiga ekor binatang sakti yang dahulu dipelihara oleh
Bu Pun Su, yaitu Rajawali Emas, Harimau Bertanduk dan Merak Sakti. Ketika dulu
Bu Pun Su bertapa di pulau itu, ia memelihara ketiga ekor binatang ini dan
kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang tetap berdiam di pulau itu.
Selama Lie Kong Sian pergi
merantau, Song Kun dapat menipu suhu-nya dan membujuk sehingga Han Le lalu
memberi pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu hari, tanpa
memberi tahu kepada suhu-nya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han Le terkejut
sekali dan mulailah ia merasa sedih dan jatuh sakit berat di atas pulau itu.
Kebetulan sekali Lie Kong Sian
datang ke Pulau Kim-san-to untuk mengunjungi suhu-nya dan sute-nya. Alangkah
terkejutnya ketika ia melihat suhu-nya dalam keadaan sakit berat. Cepat-cepat
dia menolong serta merawatnya, akan tetapi terlambat. Agaknya memang sudah
menjadi takdir bagi Han Le untuk meninggalkan dunia ini di pulau itu! Sebelum
ia menutup mata, ia meninggalkan pesan kepada Lie Kong Sian.
“Muridku, kalau aku telah
mati, kuburkanlah mayatku di dalam goa ini, dan juga pedangku ini harus ikut
ditanam pula, kemudian kau pergilah mencari sute-mu Song Kun. Selidikilah
keadaannya karena aku kuatir sekali kalau-kalau ia akan mencemarkan namaku
dengan perbuatan rendah. Akan tetapi, kau berhati-hatilah menghadapinya, Kong
Sian, karena ilmu silatnya hampir sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau
carilah supek-mu Bu Pun Su untuk membantu menangkapnya. Selain supek-mu Bu Pun
Su, kukira tidak ada orang lain yang akan dapat melawannya!”
Tidak lama kemudian, sesudah
Lie Kong Sian memenuhi pesanan suhu-nya yang telah meninggal, yaitu mengubur
jenazah suhu-nya bersama pedangnya di dalam goa yang penuh pasir itu, lalu ia
meninggalkan Pulau Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih berdiam di
pulau itu dengan sedih dan kesunyian.
Lie Kong Sian berhasil bertemu
dengan sute-nya, akan tetapi, biar pun ia melihat bahwa sute-nya ini menyimpang
dari perjalanan hidup yang benar, dia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun
Su. Sejak kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sute-nya ini hingga
ia pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia
melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasehat.
Akan tetapi, benar sebagaimana
dugaan suhu-nya, adiknya itu tak mau menurut bahkan menantangnya hingga mereka
lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan tetapi Song Kun
memiliki kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong Sian dapat
dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.
Hal ini amat mendukakan hati
Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya
terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam keraguan dan kebimbangan,
dia lalu kembali ke Pulau Kim-san-to dan menangis di depan kuburan suhu-nya,
mengakui akan kelemahannya.
Kemudian dia lalu mengasingkan
diri dan bertapa di sebuah pulau kosong tidak jauh dari Kim-san-to, yaitu
sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Pek-le-to. Sering kali Merak Sakti
terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya, dan juga beberapa kali Lie Kong Sian
mendayung perahu kecil mengunjungi pulau di mana suhu-nya dimakamkan itu.
Demikianlah selama beberapa
tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan tenteram,
sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau
Kim-san-to. Kemudian datang pula Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu
yang pingsan, maka tentu saja ia menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia
harus bertanya? Sesudah menepuk-nepuk punggung rajawali itu, Kong Sian kembali
ke dalam goa.
Seperti tadi, dia berdiri
memandang Ang I Niocu lagi dan kembali dia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia
menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama hidupnya dia mendapat
perasaan seperti ini, sungguh pun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik
selama ia merantau.
Ia segera maklum pengaruh apa
yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat dia segera membuang muka dan
tidak mau memandang lagi. Akan tetapi, oleh karena hatinya masih saja berdebar,
dia lalu pergi ke sudut goa di mana terdapat sebuah batu besar yang pada bagian
atasnya ia tilami jerami kering, lalu duduk dan bersemedhi untuk menenteramkan
hatinya yang terguncang!
Tidak lama kemudian, Kong Sian
berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun dari
atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu
merah sekali dan pernapasannya sesak.
Ia mengulurkan tangan meraba
jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu terserang demam hebat.
Maka cepat dia keluar dari goa dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas
pulau Pek-le-to, lalu memeras daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu,
kemudian dengan sapu tangan yang dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I
Niocu.
Kekagetan dan ketakutan yang
menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang dahsyat
itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga
hari. Dan selama itu pula, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian terus
menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Akan
tetapi selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang
biasa berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi untuk bersemedhi dan
mengatur pernapasannya serta menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!
Pada hari ke empatnya, tubuh
Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi tubuhnya
ternyata lemah sekali. Karena gerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel
yang menutupi tubuhnya terbuka tapi dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu
menutupkannya kembali. Kemudian dia lalu mengurut jalan darah gadis itu hingga
Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan tetapi gadis
itu masih belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup
ia berbisik.
“Lin Lin…. Hai-ji….” Kemudian
sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan di bibirnya ia berbisik
lagi, “Air…. air….”
Ketika Kong Sian meraba
jidatnya, maka ternyata panasnya sudah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir
sekali dan segera mengambil air yang sudah dimatangkannya, lalu dengan sebuah
sendok yang terbuat dari kayu, dia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I
Niocu yang menelannya dengan lahap sekali. Kong Sian lalu mengambil bubur
gandum yang tadi telah dimasaknya, lalu dengan pelan-pelan dia menyuapkan bubur
ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa
membuka mata.
Sesudah diberi makan bubur,
gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap
menjaganya dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta
yang amat besar dan mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima
tahun ini.
Memang tadinya Kong Sian
mengambil keputusan untuk tak akan kawin selama hidupnya dan terus tinggal di
pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan ilmu
pengobatan. Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan
yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan dia merasa betapa hidup
ini baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I
Niocu dan kemudian membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya
apa bila gadis cantik ini meninggal dunia karena sakitnya.
Sesudah dirawat dengan sangat
teliti serta telaten oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam keadaan
setengah sadar, dan selama itu pula Ang I Niocu belum pernah membuka matanya,
maka lenyaplah demam yang menyerang dirinya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan
biar pun tubuhnya masih agak lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi.
Pada hari ke tujuh semenjak
dia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan
baru bangun dari alam mimpi yang sangat dahsyat. Ia bangun sambil tersentak
kaget dan begitu membuka mata, dia segera bangun duduk sambil memanggil
nyaring.
"Lin Lin…. Hai-ji…..
" dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.
Akan tetapi, alangkah kaget
dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa kini dia sedang duduk diatas
setumpuk rumput kering di dalam sebuah goa dan melihat seorang laki-laki cakap
duduk di dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini
Ang I Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan dia melihat seorang
bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!
Ang I Niocu meloncat ke atas
karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya sehingga Kong Sian juga
buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya untuk membelakangi gadis
itu.
"Nona, pakailah mantel
itu baik-baik, baru kita bicara!" katanya perlahan dan halus.
Sementara itu Ang I Niocu
terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tak karuan hingga ia
hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu
menyambar mantel itu kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan
ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan mata
bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.
"Bangsat kurang ajar! Kau
berani menghinaku?" serunya.
Mendengar ada sambaran angin
pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak sambil berkata,
"Ehh, Nona, sabar dulu...
aku... aku …."
Walau pun merasa tubuhnya
masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap menyerang
dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silat Kong-ciak Sin-na. Kong Sian merasa
terkejut sekali oleh karena tentu saja dia juga mengenal ilmu silat dari
suhu-nya ini, maka dengan heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan baik.
Makin kagumlah dia ketika
mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan biar
pun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini
menyatakan bahwa dia menghadapi seorang pendekar wanita yang tidak boleh dibuat
gegabah.
Ia pikir bahwa gerakan-gerakan
ini akan membahayakan kesehatan gadis yang baru saja sembuh itu, maka dengan
cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan totokan- totokan luar biasa
dan karena Ang I Niocu belum cepat gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih
lemah, lagi pula oleh karena ilmu kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih
tinggi, maka sebentar saja pemuda itu berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang
segera mengeluh dan roboh dengan lemas!
Kong Sian segera mengangkat
tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar goa di mana ia menaruh tubuh gadis itu
di bawah sebatang pohon sehingga angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu
merasa nyaman sekali.
"Nona, banyak sekali hal
yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku.
Pertama-tama yang perlu kau ketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka
padaku. Aku bukanlah orang jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud
buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan diri di
pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil
mencengkeram tubuhmu yang sedang pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan
diri sampai tujuh hari dan aku merawatmu di dalam goa itu!"
Mendengar ucapan ini,
lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu dan Kong Sian lalu mengulur tangan
memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata, "Biarlah,
kalau kau tetap tidak percaya padaku, kau seranglah aku lagi, aku tak hendak
membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar belaka!"
Setelah sadar dari totokan,
Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan dia tidak berkutik dari tempat
duduknya. Tubuhnya masih terasa lemah sehingga ia menyandarkan diri saja pada
pohon itu.
"Benar-benar masih
hidupkah aku?" tanyanya perlahan setengah berbisik, karena kini dia
teringat betapa dia sudah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan
kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
Kong Sian tersenyum dan
wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubah sesudah dia tersenyum.
Sekarang dia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira.
"Tentu saja kau masih
hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada di Pulau
Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."
"Bagaimana seekor
rajawali dapat membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya Ang I
Niocu yang masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita
yang aneh itu.
Lie Kong Sian lalu berdiri dan
bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan
tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya.
Setelah tiba mendekat, ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung
rajawali besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung rajawali yang dulu
menyambar-nyambar dirinya di atas perahu ketika dia masih mencari Pulau
Kim-san-to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio.
Akan tetapi rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw
terbang rendah lalu turun di hadapan Kong Sian, memandang kepada Ang I Niocu
dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.
"Nah, inilah
Sin-kim-tiauw yang membawamu ke sini. Sekarang akulah yang ingin minta
keterangan kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini."
"Aku…. aku berada di
Pulau Kim-san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke
udara oleh ledakan itu kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika
tubuhku melayang di udara dalam keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar
diriku dan membawanya ke sini. Kalau begitu, dia adalah penolong jiwaku!"
Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan
burung itu!
Kim-tiauw itu adalah seekor
burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, dia agaknya tahu dan
sambil mengeluh panjang dia kemudian menundukkan kepalanya dan membelai kepala
Ang I Niocu dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik gembira
burung itu lalu terbang ke atas dan berputaran di udara seakan-akan merasa
girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan berlutut padanya!
"Kau katakan tadi bahwa
aku sudah jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari di sini?"
tanya Ang I Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di
atas rumput, saling berhadapan.
Kong Sian mengangguk.
"Ya, kau pingsan selama tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali. Kau
terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang.
Kemudian kau dapat bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama
sekali tidak membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan sudah hampir
habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi."
Ketika Kong Sian sedang
bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan. Duduk berhadapan
dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya,
dia merasa seakan-akan dia telah menjadi kenalan lama, apa lagi ketika dia
dapat menangkap nada suara yang penuh getaran karena terharu pada saat pemuda
itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!
“Kalau begitu, selama tujuh
hari aku menderita sakit… akan tetapi… sungguh heran… bagaimana aku masih dapat
hidup….?”
Kong Sian merasa segan dan
malu untuk menceritakan betapa ia telah merawat gadis ini selama sakit, maka ia
hanya menjawab, “Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka
Thian telah melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu.”
Ang I Niocu menggelengkan
kepalanya. “Betapa pun juga, jika dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat dan
selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tak mungkin aku akan dapat hidup!
Siapakah yang merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?”
Merahlah wajah Kong Sian
mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali, ada pun suaranya menjadi gagap
ketika ia menjawab, “Memang… aku telah… aku yang memberi obat kepadamu dan… dan
melihat kau begitu lemah dan gelisah…. aku memberi bubur gandum kepadamu."
Ketika mendengar ini,
terbayang sinar terima kasih yang amat mendalam pada mata Ang I Niocu karena
biar pun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya. Sikap
ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa pemuda itu sudah merawatnya, membuat
pandangannya terhadap pemuda itu semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini
hanyalah menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini.
Akan tetapi, tiba-tiba Ang I
Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur keraguan membayang
kembali pada wajahnya yang menjadi makin memerah.
"Dan... keadaan pakaianku
ini…!”
Dia lalu melompat berdiri
lagi, kedua tangannya terkepal, "katakanlah terus terang, apa yang terjadi
dengan pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan mantel? Mantel
siapakah ini?" Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan marah oleh karena
ia merasa bercuriga.
Kong Sian menarik napas
panjang. "Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan
menyangka yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi
amat marah! Kau kira aku Lie Kong Sian ini orang macam apakah? Nona, kau boleh
maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan tetapi janganlah sekali-kali
kau menduga aku sudah berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu! Pada waktu
Sin-kim-tiauw datang membawamu ke sini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan
macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang
sebenarnya!"
Sambil berkata demikian,
teringatlah Kong Sian akan hal itu sehingga dia menundukkan kepala dengan
kemalu-maluan. Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia akan melihat
betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua mata gadis itu
mencucurkan air mata!
Tiba-tiba Ang I Niocu lalu
menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata
dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), kau maafkan aku
yang kasar dan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku,
telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan, akan tetapi
aku yang tertolong bahkan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah
aku…" Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak
saja dia merasa terharu, akan tetapi dia juga teringat akan semua peristiwa dan
dia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!
Lie Kong Sian lalu berkata
dengan halus, "Duduklah, Nona, dan kini legalah hatiku sebab sekarang kau
telah percaya kepadaku."
Ang I Niocu bangun, lantas
duduk kembali sambil menyusuti air matanya dengan ujung mantelnya. Ia kini
merasa sangat jengah dan malu sehingga dia tidak berani memandang langsung
kepada pemuda itu.
"Yang amat
mengherankan," katanya kemudian, "kenapa tubuhku tak terluka
sedangkan aku dicengkeram dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang
begitu besar dan ganas.”
“Tidak usah kau merasa heran,
Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Dia telah terlatih baik
sekali oleh Supek-ku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang
dapat melatihnya.”
Ang I Niocu mengangkat
kepalanya dan memandang tajam. “Apa? Jadi kau adalah murid keponakan dari Suhu
Bu Pun Su?”
Kong Sian juga memandang
heran. “Benar, mendiang Suhu-ku yang bernama Han Le adalah sute dari Supek Bu
Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam goa tadi kau telah mainkan Ilmu
Silat Kong-ciak Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”
Dengan girang sekali Ang I
Niocu berkata, “Kalau begitu, kau masih terhitung seheng-ku (kakak seperguruan)
karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biar pun
sebetulnya Suhu Bu Pun Su masih menjadi susiok couw-ku sendiri karena mendiang
ayahku ialah murid keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku juga mendapat
latihan Kong-ciak Sinna serta Pek-in Hoat-sut dari Suhu Bu Pun Su sehingga aku
boleh juga menyebutnya Suhu!"
Bukan main girang rasa hati
Kong Sian "Ahh, ahh, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa
aku sudah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh aku merasa girang
sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?"
"Ayahku adalah Kiang
Liat," jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena dia merasa malu
membicarakan ayahnya yang mati karena gila!
Kong Sian mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Aku sudah pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu itu yang
berjuluk Jian-jiu Sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku
juga pernah mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang
I Niocu, apakah kau sendiri orang itu?"
Ang I Niocu mengangguk.
"Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im
Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan."
"Sumoi, kata-katamu ini
benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di
dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."
Keduanya lalu berdiam sampai
lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing.....
Kemudian Kong Sian minta
kepada Ang I Niocu supaya menceritakan pengalamannya sampai dia dapat berada di
Pulau Kim-san-to. Dengan panjang lebar Ang I Niocu lalu menceritakan semua
pengalamannya dan menyebut nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Nelayan
Cengeng dan juga nama Yousuf dan lain-lainnya. Setelah selesai bercerita, Kong
Sian lalu menepuk kepalanya sendiri sambil berkata,
"Ah, memang aku yang
percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan
demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang
kukerjakan hanyalah duduk melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to
telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan api! Ah, arwah
Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku hanya orang yang berjiwa
lemah!" Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri
sendiri.
"Suheng, kau adalah
seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu saat kau menotok roboh padaku
tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kau
sia-siakan diri di tempat ini? Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan
melakukan darma bakti sebagai orang yang berkepandaian? Kalau kau mengasingkan
diri di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian
sampai bertahun-tahun?"
Seperti biasanya, Ang I Niocu
selalu merasa bahwa dia lebih berpengalaman dan lebih ‘berakal’ dari pada orang
lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasehat-nasehat, teguran dan
penyesalan, seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru
menasehati murid. Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang disegani
oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanya Bu Pun Su seorang, sedangkan
kepada lain-lain orang ia bersikap ‘lebih tinggi’.
Kong Sian tersenyum mendengar
ucapannya ini. "Sumoi, memang demikianlah apa bila dipandang sepintas lalu
saja. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau
dapat? Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh
sesama manusia. Aku sudah bosan menghadapi semua itu. Di sini aku mendapatkan
ketenteraman jiwa dan tak terpengaruh oleh kejahatan-kejahatan manusia yang
terjadi di dunia ramai. Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar dari pulau ini
untuk meninjau dunia ramai sehingga tidak terputus hubunganku dengan manusia
umum, akan tetapi, tempat ini sudah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang
tetap di mana aku dapat hidup dengan tenteram dan aman sentosa!"
Ucapan ini membuat Ang I Niocu
menjadi tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh suheng-nya
ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang dia dapat selama ini? Hanya
kesedihan, kekecewaan, dan permusuhan belaka.
Demikianlah, kedua orang itu
kemudian bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang
kepandaiannya sangat dipuji oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum
sekali.
"Ahh, ingin sekali aku
bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda yang
masih demikian muda telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun
Su. Dahulu Suhu pernah mengatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan
ilmu silat adalah kepandaian tunggal Supek yang membuat dia menjadi seorang
yang tak ada lawannya dalam dunia persilatan. Dan dia sudah mampu mencipta
sendiri ilmu pedangnya. Mengagumkan sekali." Diam-diam Kong Sian
membandingkan anak muda itu dengan sute-nya Song Kun yang juga amat lihai ilmu
silatnya.
Sambil merawat dan memulihkan
kesehatannya, Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan melatih ilmu-ilmu silat
bersama Kong Sian. Ia telah menggunakan waktu senggang untuk menjahit kembali
pakaiannya hingga kini tak perlu lagi ia menyelimuti diri dengan mantel pemuda
itu.
Dalam latihan ilmu silat, ia
mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu benar-benar hebat dan lihai
sekali sehingga boleh dikata masih lebih tinggi setingkat dari pada ilmu
kepandaiannya sendiri. Oleh karena ini, dia mendapat petunjuk-petunjuk dari
suheng-nya ini yang juga merasa kagum sekali melihat kepandaian sumoi-nya.
Ketika mendengar tentang Song
Kun, Ang I Niocu menyatakan pendapatnya,
"Suheng sudah terang
bahwa sute-mu itu jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa kau tidak
pergi mencari dan menasehatinya?"
“Dulu sudah pernah aku
mencarinya, akan tetapi dia tidak mau mendengar nasehatku," jawab Kong
Sian dengan suara sedih.
"Kalau begitu, kau harus
menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberantas
kejahatan, dan siapa pun juga orangnya yang berlaku jahat, maka harus kita
berantas!"
"Kami bahkan pernah
bertempur dan aku tidak dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya walau pun tidak
lebih dari pada kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar biasa serta
kelincahan yang mengagumkan sekali. Dan… dan aku tidak tega melihat dia
mendapat celaka. Aku amat menyayangnya seperti adik sendiri, sumoi."
Ang I Niocu memandangnya tajam
dan kagum. "Kau memang orang yang berhati mulia, akan tetapi kau terlalu
lemah, Suheng. Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang, kau akan membelanya
sampai mati! Sayang tidak ada seseorang wanita yang mendapat kehormatan
menerima cinta di hatimu itu, Suheng. Alangkah bahagianya seorang wanita yang
mendapat cinta hati seorang mulia seperti kau ini!"
Ucapan ini sebenarnya hanya
muncul dari watak yang jujur dari Ang I Niocu karena dia merasa betapa ada
persesuaian antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau sudah mencinta
orang, dia rela membelanya dengan taruhan jiwa sekali pun. Seperti halnya Lin
Lin dan Cin Hai, ia rela untuk mengorbankan jiwa demi kebahagiaan mereka! Akan
tetapi, tanpa disangkanya, ketika mendengar ucapan yang diucapkan sewajarnya
ini, mendadak Kong Sian menjadi pucat sekali.
"Suheng, kau….. kau
kenapakah?"
Sambil menundukkan kepala dan
tak berani menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu berkata pelan,
"Sumoi, sebetulnya lidahku seolah-olah beku untuk mengeluarkan ucapan ini,
akan tetapi biarlah kini aku berterus terang saja. Sebelum bertemu dengan kau,
tak pernah terpikir olehku mengenai diri seorang wanita dan aku telah mengambil
keputusan untuk hidup menyendiri di pulau ini hingga mati. Akan tetapi, setelah
aku bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku mengetahui siapa adanya kau, melihat
kau menderita sakit tanpa mengetahui apakah kau orang baik-baik atau orang
jahat, hatiku sudah… tertarik sekali kepadamu dan… dan…" kemudian ia
mengangkat mukanya dan dengan wajah pucat ia memandang kepada gadis itu dengan
mata sayu, "Sumoi… maafkan kata-kataku ini… kita sama-sama hidup tidak
berisi seakan-akan kosong dan sunyi. Maukah kau... maukah kau menghabiskan sisa
hidupmu dengan aku di pulau ini?"
Warna merah menjalar di
seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya, dan matanya terbelalak ketika
dia memandang pemuda itu. "Suheng... apakah maksudmu?" tanyanya
dengan suara gemetar.
"Sumoi, kalau kau sudi,
marilah kita hidup bersama di pulau ini... maksudku, kita hidup sebagai suami
isteri!"
Kini mata Ang I Niocu
memandang tajam. “Kenapa, Suheng? Kenapa kau mengajukan usul ini? Apakah yang
mendorongmu?"
Sementara itu, Kong Sian sudah
dapat menetapkan hatinya yang tadi berguncang hebat. Dengan gagah dia lalu
mengangkat muka, memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya. "Sumoi, biarlah
kau mendengar pengakuanku. Meski pun kau akan mentertawaiku, akan mencaci, biarlah!
Aku cinta kepadamu, Sumoi, sebagai cinta seorang laki-laki terhadap seorang
wanita! Belum pernah ada perasaan demikian di hatiku, akan tetapi sesudah aku
melihatmu, aku cinta kepadamu, cinta dengan sepenuh jiwaku! Karena itu,
sekarang aku mengajukan pinangan kepadamu, Sumoi, apa bila kau sudi, sukalah
kiranya kau menjadi isteriku dan kita menghabiskan sisa hidup sebagai suami
isteri di pulau ini."
Tiba-tiba saja tanpa dapat
ditahan lagi, mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu sehingga Kong Sian
menjadi terkejut dan berkata halus,
"Sumoi, kalau aku
menyinggung dan melukai hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan memaksamu,
Sumoi, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, apa bila kau tidak suka menerima katakanlah
tanpa ragu-ragu atau sungkan-sungkan lagi. Aku takkan menyesal kepadamu, hanya
akan menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak tahu diri!"
Sambil menghapus air matanya,
Ang I Niocu menggelengkan kepalanya berkali-kali dan berkata, "Bukan
demikian, Suheng. Jangan kau salah sangka. Aku... aku hanya merasa terharu
sekali mendengar pernyataanmu yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka itu.
Aku telah menerima budi pertolonganmu yang besar yang selama hidupku tidak akan
pernah kulupa. Kau sudah menolong jiwaku dan apa bila seandainya tidak ada kau,
aku Kiang Im Giok pasti sudah mati! Dan seandainya aku tidak terjatuh ke dalam
tanganmu, akan tetapi ke dalam tangan laki-laki lain ahh... entah nasib apa
yang akan kuderita! Kau seorang gagah dan mulia, Suheng, terlalu mulia
bagiku... aku... aku seorang yang jahat dan kotor! Ketahuilah, pada waktu aku
masih muda, aku telah jatuh cinta yang akhirnya mengorbankan nyawa Ayahku
sendiri. Aku tidak berharga bagimu, Suheng."
"Im Giok, aku sudah tahu
tentang hal itu dari Suhu-ku. Aku pernah mendengar betapa kekasihmu dibunuh
oleh ayahmu sendiri. Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam hal itu. Ayahmu
meninggal dunia oleh karena serangan penyakit jantung yang berbahaya. Wajar
bagi seorang gadis untuk jatuh cinta!"
"Bukan itu saja, Suheng.
Semenjak peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda yang jatuh cinta
kepadaku, sengaja kupermainkan perasaan cintanya sehingga mereka menjadi
seperti gila! Aku berlagak membalas perasaan mereka dan apa bila mereka telah
menjadi gila betul-betul, aku pergi meninggalkannya. Banyak yang sudah menjadi
korban, bahkan seorang pemuda yang baik budi bernama Kang Ek Sian, yang dulu
bahkan telah dipilih oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi suamiku, juga
telah kupermainkan dan kupatahkan hatinya!"
Kong Sian menggelengkan kepala
dan menarik napas dalam. "Memang kau telah berlaku kejam dan sesat, Sumoi,
akan tetapi pengakuanmu ini telah meringankan dosamu, tanda bahwa kau sudah
insyaf. Aku tidak menyesal mendengar ini dan tidak mengurangi rasa cintaku
padamu."
"Masih ada lagi, Suheng...
" kata Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang menitik ke atas pipinya,
"aku... aku yang tidak tahu diri akhirnya telah jatuh hati! Dan aku jatuh
hati serta mencinta dengan sepenuh jiwaku kepada seorang pemuda yang usianya
jauh lebih muda dariku, padahal ketika aku bertemu dengan dia, aku telah
berusia dua puluh tahun lebih dan dia baru berusia dua belas tahun! Aku... aku
yang tidak tahu malu ini diam-diam mencinta kepadanya, dan... dan orang itu
adalah Cin Hai, murid Suhu Bu Pun Su yang pernah kuceritakan padamu!"
"Hmm, jadi karena itukah
maka kau mati-matian hendak mengorbankan nyawamu untuk menolong Lin Lin seperti
yang kau ceritakan itu? Sumoi, kau benar- benar seorang mulia yang bernasib
malang dan patut dikasihani! Aku dapat membayangkan betapa suci dan mulia rasa
cintamu kepada Cin Hai! Melihat pemuda itu mencinta seorang gadis lain, kau
tidak sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga hendak mempertemukan mereka!
Aku tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan aku merasa bersyukur sekali bahwa
kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang kurang baik. Sumoi, cerita dan
pengakuanmu ini mempertinggi nilai dirimu dalam pandanganku."
Ang I Niocu mengangkat muka
dan memandang heran. "Apa? Kau tidak marah padaku, Suheng? Kau tidak
memandang rendah terhadapku setelah segala apa yang kuceritakan padamu
itu?"
Kong Sian menggeleng-geleng
kepalanya sambil tersenyum, dan dari matanya bersinar cinta kasih yang diliputi
kekaguman hati. "Pengakuanmu bahkan telah mempertebal rasa cintaku, Sumoi.
Sudah wajar bagi tiap manusia untuk melakukan kekeliruan, akan tetapi, setiap
kekeliruan akan musnah apa bila orang itu sudah menyadari dan menginsyafinya.
Kau adalah seorang mulia."
Mendengar ini, lemaslah
seluruh anggota tubuh Ang I Niocu dan dia lalu menjatuhkan dirinya duduk di
atas rumput sambil menangis.
"Im Giok, jangan kau
merasa berat untuk menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa aku memang
mungkin terlalu tua bagimu dan... "
"Tidak Suheng. Usia kita
tidak berselisih jauh."
"Apa?? ]angan kau
membohongi aku, Sumoi!" kata Kong Sian dengan heran.
Ang I Niocu tersenyum sedih di
antara air matanya. "Aku tidak bohong, Suheng. Memang mungkin aku nampak
jauh lebih muda oleh karena aku banyak makan telur dari pek-tiauw (rajawali
putih), akan tetapi sesungguhnya aku telah berusia tiga puluh lebih, sedikitnya
tiga puluh dua tahun!"
Kong Sian mengangguk-angukkan
kepalanya, karena sebagai seorang ahli pengobatan yang menerima warisan
kepandaian dari Han Le, ia maklum akan khasiat yang besar dari telur burung
rajawali putih.
"Pantas, pantas saja! Dan
hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, oleh karena tak sembarangan orang
dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu, agaknya engkau paling banyak
baru berusia dua puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi. Bersediakah kau menerima
aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai kawan hidupmu?"
Ang I Niocu menggunakan tangan
untuk menutup mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam hati ia mengaku bahwa
mungkin di dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak dan patut menjadi
suaminya selain Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya sendiri, rupanya
tampan dan sikapnya halus dan sopan santun. Pribadinya tinggi dan hal ini telah
ia buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang berada dalam keadaan
setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan penuh kesabaran.
Semua ini telah menunjukkan
bahwa pemuda ini sungguh-sungguh mencintanya dengan sepenuh jiwa. Terutama
sekali, di dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia! Apa lagi? Pemuda ini
bahkan telah menolong jiwanya sehingga sampai mati pun belum tentu ia bisa
membalas budinya.
Akan tetapi, jika dia menerima
pinangan itu, seakan-akan ia terlalu murah memberi harga kepada dirinya! Dia
memang berwatak tinggi hati dan keras, dan tidak mau ditundukkan dengan mudah.
Akan tetapi, untuk menolak dia pun tidak berani!
"Suheng,” katanya setelah
dia berpikir dengan masak-masak, "aku harus menghaturkan beribu terima
kasih atas budi kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak pinangan seorang
seperti kau? Akan tetapi hal ini terjadi terlalu tiba-tiba sehingga aku belum
dapat memutuskannya karena masih merasa bingung! Sekarang begini saja, Suheng.
Biarlah kau anggap aku telah menerima pinanganmu itu dan aku pun takkan
malu-malu mengaku bahwa aku telah menjadi tunanganmu. Akan tetapi, soal
pernikahan antara kita baru bisa terlaksana setelah kau memenuhi beberapa
syarat!"
Kong Sian tersenyum dan dari
ucapan ini saja ia yang sudah paham akan tabiat manusia, dapat mengetahui bahwa
gadis kekasih hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan keras! Ia menjawab
sambil masih tersenyum. "Sumoi, katakanlah, apa syarat-syaratmu itu?"
"Pertama, kau harus
menanti sampai aku bisa bertemu kembali dengan kawan-kawanku, terutama dengan
Cin Hai dan Lin Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli ini atau
melihat mereka telah berkumpul kembali, tidak mungkin aku dapat mengikat diri
dengan laki-laki lain!"
Kong Sian mengangguk-angguk,
karena maklum akan isi hati Ang I Niocu.
“Kedua, kita harus mendapat
perkenan dari Suhu Bu Pun Su, oleh karena dahulu beliau mempunyai maksud dan
kehendak untuk menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang biar pun mencintaku,
akan tetapi tak kubalas cintanya itu.”
Syarat ke dua ini diam-diam
menggirangkan hati Kong Sian, oleh karena dari ucapan terakhir yang menyatakan
bahwa gadis ini tidak menerima pinangan Kang Ek Sian oleh karena tidak
mencintanya, hampir menyatakan bahwa biar pun sedikit, gadis ini ‘ada hati’
padanya, kalau tidak, tentu ia akan menolaknya pula! Karena itu ia
mengangguk-angguk kembali dengan mulut tersenyum.
“Ke tiga,” kata lagi Ang I
Niocu, “kau harus keluar dari pulau ini dan turun ke dunia ramai untuk mencari
sute-mu Song Kun itu dan memenuhi pesan Suhu-mu, yaitu menasehati dia atau
menggunakan kekerasan terhadapnya.”
“Ahh, yang ke tiga ini berat
sekali, Sumoi! Kau tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak tega untuk
mencelakakannya!”
“Inilah kelemahan yang membuat
hatiku tak puas! Kau tidak tega kepada Sute-mu karena kau mencintanya, akan
tetapi apakah kau akan bertega hati melihat betapa wanita-wanita diganggunya?
Kelemahanmu ini menimbulkan ketidak adilan di dalam hatimu yang tidak layak dan
tidak patut dimiliki oleh seorang pendekar silat.”
Kong Sian menghela napas,
kemudian menjawab, “Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan kupikirkan
baik-baik, sumoi. Masih ada lagikah syarat-syaratmu?”
Pertanyaan ini membuat Ang I
Niocu menjadi merah mukanya karena dia merasa telah keterlaluan mengajukan
sekian banyak syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu setidaknya dapat
‘mengangkat’ harga dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya mentah-mentah!
“Masih ada satu hal lagi,”
katanya dengan muka merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi yang terakhir
ini baru akan kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga itu.”
“Baiklah, Sumoi. Kuterima
semua syarat-syaratmu.” Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya dari
pinggang dan memberikan itu kepada Ang I Niocu, lalu berkata, “Sumoi, terimalah
Cian-hong-kiam ini sebagai bukti dari pada ikatan yang ada di antara kita, dan
biarlah Thian yang menjadi saksi atas pertunangan kita ini.” Kata-kata ini
diucapkan oleh Kong Sian dengan suara bergetar hingga mengharukan hati Ang I
Niocu yang menerima pedang itu.
Kemudian Ang I Niocu mengambil
perhiasan rambutnya yang terbuat dari pada mutiara dan memberikannya kepada
Kong Sian. “Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan biarlah benda ini menjadi
bukti dari pada kesetiaanku.”
Tak ada upacara yang
mengesahkan pertunangan mereka itu selain dari pada penukaran benda yang
dilakukan dengan sikap sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh pertemuan
pandang mata mereka yang menembus ke hati masing-masing.
Sesudah itu, Ang I Niocu lalu
berpamit hendak pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian segera mengambil
perahunya dan ia lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke darat di pesisir
Tiongkok. Si Rajawali Emas tidak mau ketinggalan, ikut mengantar sambil terbang
di atas perahu itu.
Pada saat keduanya telah
mendarat dan Ang I Niocu hendak meninggalkannya, mereka saling pandang dan Ang
I Niocu berbisik, “Semoga Thian memberkahi perjodohan kita dan semoga cita-cita
kita bersama akan terlaksana, Koko.”
Kedua mata Kong Sian menjadi
basah karena terharu dan girang mendengar sebutan ini dan semakin yakinlah dia
bahwa diam-diam Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang sama dengan perasaan
hatinya.
“Selamat Jalan, Moi-moi, dan
biarlah Sin-kim-tiauw mengawanimu.”
Ang I Niocu girang sekali. Ia
berkata kepada burung rajawali itu,
“Sin-kim-tiauw, kau ikutlah
padaku!”
Burung itu agaknya mengerti
ucapan ini, karena dia cepat menoleh kepada Kong Sian seakan-akan minta
perkenannya. Dia tak akan berani pergi sebelum mendapat perkenan dari Kong
Sian.
“Pergilah kau ikut dia,
Kim-tiauw, dan jagalah dia baik-baik!”
Burung itu lalu mengeluarkan
bunyi karena girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat meninggalkan tempat
itu, dia lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke pulaunya untuk
merenungkan peristiwa yang tak tersangka-sangka telah terjadi dalam hidupnya
itu.
Demikianlah kisah pengalaman
Ang I Niocu yang diduga telah tewas itu. Beberapa bulan lamanya ia merantau
mencari-cari Cin Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir dari mana ia
menyeberang ke Pulau Kim-san-to, tetapi dia tidak mendapatkan jejak
kawan-kawannya sehingga ia segera menuju ke barat. Oleh karena mendengar bahwa
Lin Lin ikut dengan seorang Turki dan bahwa pada waktu itu di daerah Kansu
banyak terdapat orang-orang Turki, ia lalu merantau ke barat.
Pada suatu hari dia tiba di
sebuah bukit di daerah Sui-yan. Dia berlari cepat, akan tetapi Sin-kim-tiauw telah
mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang
bahwa Ang I Niocu tidak dapat mengejarnya!
Tiba-tiba burung itu memekik
keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu hingga membuatnya
mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh
karena melihat betapa ada tiga orang-orang tua tengah melempar-lempar batu
kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan menyambar-nyambar di atas
mereka dengan marah!
Burung itu cepat mengelak dan
mengebut sambitan batu dengan sayapnya sehingga tiga orang tua itu berseru
kagum, “Burung bagus!”
Ketiga orang tua itu adalah
seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung kakak
tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua
lainnya adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu
yang bermata lebar.
Melihat betapa rajawali itu
dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan salah satu batu yang dikebut oleh
sayapnya berbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi
marah.
“Burung siluman! Rasakan
sambitanku ini!”
Dan ketika ia menggerakkan
tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan hebatnya ke arah tubuh
rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak sambil mengebut dengan sayapnya,
akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai pahanya sehingga dia
merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!
“Nenek jahat! Jangan kau
mengganggu burungku!” Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke hadapan
nenek itu.
Ketika melihat seorang gadis
berbaju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah dan tanpa
berkata sesuatu langsung menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah pundak
Ang I Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis, akan
tetapi dia menjadi terhuyung-huyung ke belakang karena ternyata bahwa tenaga
lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini, Ang I Niocu
cepat-cepat mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan dia
pun segera menyerang dengan cepat.
Dan pada saat dia bertempur
dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa yang
terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!
Dua orang kakek yang tadinya
hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata
lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru
keras, dan maju menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang.
Ang I Niocu merasa terkejut oleh karena sambaran angin pukulan mereka ternyata
jauh lebih hebat dari pada serangan nenek bongkok itu, terutama pendeta yang
bersorban! Maka dia lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi dan mainkan
ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat.
Melihat hal ini, Kwee An
beserta Ma Hoa langsung menerjang dengan pedang di tangan dan membantu Ang I
Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I
Niocu, untuk membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu.
Saat melihat ada dua bayangan
berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu adalah Kwee An
dan Ma Hoa, bukan main girangnya hati Ang I Niocu dan dia segera menegur,
“Ma Hoa...! Kwee An...!”
Berdebarlah tubuh kedua anak
muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tidak perlu merasa ragu-ragu
lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tidak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis
ujung lengan baju pendeta bersorban yang sedang melayang ke arah mukanya, dia
berseru dengan isak tertahan,
“Enci Im Giok...!”
Juga Kwee An berseru girang,
“Ang I Niocu...!”
Sementara itu, tiga orang tua
yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur dengan
hati terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk
saling tubruk dan saling peluk.
“Enci Im Giok..., kau... kau
masih hidup...?”
“Adik Ma Hoa...,” mereka
berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling
pandang dengan tersenyum.
“Ha-ha-ha-ha, jadi kalian
adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi. ”Kebetulan
sekali!”
Juga nenek bongkok itu lalu
berkata, “Hmm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan kami!
Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini
adalah sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.”
Ia menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu. “Tak perlu aku
bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup kalau kuberi tahu
bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah seheng-ku!”
Sekarang mengertilah Ang I
Niocu serta kedua orang kawannya, dan mereka maklum bahwa pertempuran
mati-matian tak dapat dielakkan lagi.
“Memang burung gagak selalu
berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil tersenyum
sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat apa bila belum mempunyai
seorang sumoi seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari
pendeta-pendeta palsu pula!”
Bukan main marahnya ketiga
orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu mencabut
keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang
hingga ketika ia pegang dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata
lemas yang luar biasa.
Wai Sauw Pu pendeta yang
bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga ikut pula
membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan senjatanya yang
jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh yang terbuat dari pada gading gajah dan
merupakan lingkaran panjang.
Lok Kun Tojin, seorang pertapa
yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu
sepasang roda memakai tali sehingga roda-roda itu bila digerakkan bisa
berputaran bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada lawannya.
Sambil berseru keras, ketiga
orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta
bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An. Pertempuran hebat
segera berlangsung dengan ramai sekali.
Ang I Niocu memegang pedang
Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian, yaitu sebuah pedang pusaka yang ampuh.
Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka
hingga ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Ada pun Ma Hoa dengan
sepasang bambu runcingnya yang dimainkan secara luar biasa itu dapat
mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu!
Setelah bertempur belasan
jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena
tadinya mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama
sekali tak pernah mereka sangka demikian lihainya.
Ang I Niocu maklum akan
kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan
tetapi tadinya dia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek
bersorban yang nampaknya kuat dan lihai sekali. Namun begitu melihat permainan
bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran, maka
dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata
kepada Ma Hoa,
“Adikku, kau kini hebat
sekali!”
Mendengar pujian ini, Ma Hoa
lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari Hok Peng
Taisu dan biar pun tasbeh di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya,
akan tetapi sepasang bambu runcingnya juga merupakan senjata lihai yang
gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw Pu!
Ada pun rajawali emas yang
terus beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang
bertempur, kini mulai menyambar turun dan siap membantu. Yang terutama
dibantunya ialah Ang I Niocu dan beberapa kali ia menyerang kepala nenek
bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang kabut.
“Burung jahanam! Burung
siluman! Akan kusembelih lehermu, akan kumakan dagingmu mentah-mentah!” Sambil
berkata begitu, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I
Niocu ada pun ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah
Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar turun.
Mendadak ketika burung itu
menyambar turun, tosu yang berkelahi melawan Kwee An menggerakkan roda pada
tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang
terbang di atas kepala nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali yang ada di
tengah-tengah roda itu amat panjangnya sehingga roda itu dapat terbang tinggi
dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat
mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia menyambar turun
dan menyerang Lok Kun Tojin!
“Sin-kim-tiauw, jangan!”
teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu
itu.
Akan tetapi rajawali yang
sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya. Dia tetap menyerang dan
menyambar-nyambar dengan ganasnya.
“Sin-kim-tiauw, tak maukah kau
menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan kemarahan besar
yang terdorong oleh kekuatirannya.
Rajawali itu terkejut
mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun
Tojin dengan keras mengenai dadanya! Burung itu terpental ke atas udara sambil
berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sangat sakit dan
pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang
dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!
Ang I Niocu merasa cemas
sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya dan
keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apa bila
terpukul oleh rodanya, akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya, bahkan
lalu terbang pergi dengan cepat!
Dengan Ilmu Silat Bambu
Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jeri hati lawannya yang sebenarnya
masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga
membuat nenek bongkok itu merasa gentar.
Tak pernah disangkanya bahwa
musuh-musuh suheng-nya yang muda-muda mempunyai ilmu kepandaian yang begini
luar biasa. Tidak heran apa bila suheng-nya yang lihai itu sampai kena
dikalahkan.
Sebaliknya, sungguh pun ilmu
pedang yang dimiliki Kwee An juga bukanlah ilmu pedang sembarangan, yaitu ilmu
pedang Kim-san-pai warisan suhu-nya yang pertama, yaitu Eng Yang Cu, dan Ilmu
Pedang Hai-liong Kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan tetapi sepasang roda di
tangan tosu yang menjadi lawannya itu benar-benar luar biasa.
Beberapa kali pemuda ini
hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung dia masih dapat mengelak sambil
mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko, hingga Lok Kun Tojin
merasa kagum. Jarang sekali tosu ini mendapatkan lawan yang sanggup mengimbangi
ilmu kepandaiannya dan sekarang, baru saja ia turun gunung dan bertemu dengan
musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang dapat
bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!
Kwee An maklum bahwa apa bila
dilanjutkan, ia tak akan menang dan juga kedua orang kawannya belum tentu akan
dapat menang pula, maka ketika ia melihat rajawali terbang pergi, ia mendapat
akal dan berkata,
“Bagus, Sin-kim-tiauw tentu
akan memanggil Suhu-mu!”
Benar saja, ucapan ini membuat
ketiga orang tua itu merasa kaget dan kuatir sekali. Baru murid-muridnya saja
sudah begini lihai, apa lagi kalau suhu mereka yang datang! Maka, nenek bongkok
itu berkata, “Jiwi bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai Kong lebih dulu,
lain kali mudah untuk mengambil nyawa ketiga tikus kecil itu!”
Ketiga orang tua itu lalu
melompat pergi dan segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Ang I Niocu
yang memiliki watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan kecewa, maka ia
menegur Kwee An,
”Kongcu, mengapa kau
menggunakan akal mengusir mereka?”
“Mereka itu sebenarnya tidak
mempunyai permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi mati-matian?”
kata Kwee An sambil menarik napas lega.
“Akan tetapi, Sin-kim-tiauw
telah dilukainya!” kata Ang I Niocu.
“Belum tentu kim-tiauw itu
terluka, karena kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang begitu tinggi
dan cepat?” Ma Hoa membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu lihai sekali.
Sudahlah jangan membicarakan mereka pula, yang perlu sekarang lekaslah kau
ceritakan pengalamanmu. Kami semua, terutama Cin Hai dan Lin Lin, merasa
berduka sekali, karena menyangka bahwa kau tentu sudah meninggal di atas Pulau
Kim-san-to yang terbakar hebat dan meledak itu.” Sambil berkata demikian, Ma
Hoa lalu memegang tangan Ang I Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah sebatang
pohon untuk beristirahat dan bercakap-cakap.
Mendengar disebutnya nama Cin
Hai dan Lin Lin, lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I Niocu yang cantik, dan
sekarang wajahnya berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin dan Cin Hai, apakah
benar-benar mereka itu selamat dan sudah saling bertemu?”
Ma Hoa lalu menuturkan
pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang terjadi semenjak
mereka berpisah, juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh dari atas tebing
bersama Kwee An.
Mendengar cerita itu, Ang I
Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan baiknya telah terhindar dari bahaya
maut. Akan tetapi ketika mendengar betapa kini kedua orang muda itu tidak tahu
bagaimana nasib Lin Lin dan Yousuf yang dikejar-kejar orang-orang Turki, di
mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas dan berkata,
”Ah, sungguh kasihan sekali
Lin Lin dan Cin Hai. Baru saja bertemu, mereka sudah harus berpisah pula.
Sekarang kita harus mencari mereka sampai dapat.”
“Memang kami berdua pun sedang
mencari jejak mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar Lin Lin dan
Yo-siokhu adalah orang-orang Turki, maka pada waktu mendengar bahwa di daerah
Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat untuk
menyelidiki di sana. Tidak tahunya kebetulan sekali kita saling bertemu di
sini.”
“Sayang sekali Sin-kim-tiauw
sudah terbang pergi, entah di mana dia sekarang berada,” kata Ang I Niocu.
Tentu saja ketiga orang muda
ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu sudah berjumpa dengan Bu Pun Su
sehingga nyawanya tertolong, karena kakek jembel ini yang melihat Sin-kim-tiauw
terbang tinggi di udara, lalu mengerahkan tenaga khikang-nya memanggil,
kemudian ia mengobati luka pada dada burung sakti itu yang selanjutnya
mengikuti kakek jembel itu.
Setelah menanti sampai senja
dan burung itu tidak juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An, serta Ma Hoa lalu
melanjutkan perjalanan mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan mereka adalah
Propinsi Kansu sebelah barat…..
********************