Pendekar Bodoh Jilid 31-35

“Pendekar Bodoh, kami akan memegang janji, akan tetapi pada lain waktu apa bila kami mengundangmu, harap kau tidak menolak karena takut!” teriaknya.
Pendekar Bodoh Jilid 31-35

“Pendekar Bodoh, kami akan memegang janji, akan tetapi pada lain waktu apa bila kami mengundangmu, harap kau tidak menolak karena takut!” teriaknya.

Akan tetapi Cin Hai pura-pura tidak mendengarnya dan mempercepat langkahnya, oleh karena dia tidak mau mengikat dirinya dengan perjanjian semacam itu yang hanya akan memperbesar permusuhan belaka. Dan pula, entah kenapa, ia merasa kepalanya pening sekali dan selalu seperti hendak muntah.

Karena kepeningan kepalanya, maka Cin Hai telah mengambil jalan keliru dan ia tersesat jalan tanpa dia sadari. Pada suatu jalan simpang tiga, seharusnya dia membelok ke kiri, akan tetapi sebaliknya ia justru membelok ke kanan. Kepalanya makin pening dan kedua kakinya gemetar, akan tetapi dia berlari terus secepatnya.

Ketika dia masuk dalam sebuah hutan yang liar dan terus berlari cepat, tiba-tiba saja dia mendengar suara harimau mengaum. Akan tetapi, berbeda dengan auman harimau yang biasa, auman ini luar biasa kerasnya hingga Cin Hai sendiri sampai tergetar jantungnya. Ia segera menekan perasaan peningnya dan berlari menuju ke arah auman harimau itu karena setelah suara auman itu hilang gemanya, terdengar suara orang bersuara.

Sesudah dia tiba di satu tempat terbuka, dia menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengagumkan. Dua orang laki-laki, yang seorang sudah tua dengan rambut dan jenggot putih, dan yang kedua setengah tua, tengah tertawa-tawa sambil mempermainkan seekor harimau yang luar biasa besar dan galaknya.

Cin Hai melangkah mendekati dan menyaksikan sepak terjang dua orang tua itu. Kakek jenggot putih itu berdiri berhadapan dengan harimau sambil dia mempermainkan bibirnya yang seakan-akan mengolok-oloknya. Orang ke dua berdiri di belakang harimau sambil tangannya bertolak pinggang. Sikap mereka ini seakan-akan bukan sedang menghadapi seekor harimau yang besar, akan tetapi seakan-akan dua orang anak-anak menghadapi seekor kucing yang jinak!

Tiba-tiba harimau itu menggereng keras dan melompat tinggi, menerkam kakek jenggot putih! Kakek itu diam saja tidak mengelak akan tetapi setelah harimau itu melayang dekat ia segera berseru dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, melalui tubuh harimau dan sambil berjungkir balik di udara dia lalu menjatuhkan diri pula menduduki punggung harimau!

“Heh-heh-heh! Hayo lekas menari...!” katanya menepuk-nepuk punggung harimau besar itu dengan kedua tangannya persis anak kecil naik kuda-kudaan!

“Ha-ha-ha, Twako, jangan lepaskan dia. Ha-ha-ha!” Lelaki setengah tua yang berjenggot hitam itu tertawa gembira dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah menyambar ke arah harimau yang sedang marah sekali itu.

Harimau itu menggoyang-goyang tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan ekornya bergerak cepat dan tiba-tiba bagaikan sebatang toya, ekor yang panjang itu menyambar kepala kakek jenggot putih dari belakang. Cin Hai merasa terkejut, akan tetapi tiba-tiba seakan-akan kepala kakek itu ada mata di belakangnya, kakek itu menundukkan kepala sehingga sabetan ekor harimau mengenai tempat kosong.

Sementara itu, Si Jenggot Hitam yang sudah melompat di dekat tubuh harimau, lantas mengulurkan tangan kanannya dan menjiwir telinga harimau itu sehingga binatang liar ini menggerung-gerung kesakitan.

Ketika ekor harimau itu menyabet kembali, dengan mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi dan menahannya di belakang hingga harimau yang hendak lari ke depan itu jadi tertahan dan tak dapat bergerak.

“Hayo, menyerah tidak kau!” kata kakek jenggot putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya di punggung harimau.

Binatang itu hendak menggulingkan diri dan mencakar kakek itu, akan tetapi dia merasa betapa tubuh kakek itu bukan main beratnya hingga dia tak kuat berdiri lagi dan perutnya menempel pada tanah.

Cin Hai melihat dengan kagum dan heran akan kelihaian dan kegesitan kedua orang itu. Pada saat itu, dia mendengar suara keras berbunyi di udara, dan ketika dia memandang, ternyata di angkasa sedang terjadi pertempuran yang terlebih aneh lagi.

Seekor burung bangau besar sedang bertempur dengan serunya melawan seekor burung rajawali. Rajawali itu terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi dengan patuknya yang runcing serta panjang bagaikan dua batang pedang itu, burung bangau dapat mempertahankan diri dengan baiknya.

Ketika dua orang laki-laki itu menengok ke atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang berkelahi, mereka juga terkejut sekali.

“Kau mendekamlah!' kakek jenggot putih berseru sambil menepuk dan menotok urat di punggung harimau.

Dan aneh sekali, harimau itu tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi. Ternyata bahwa kakek itu tahu akan jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat mengirim tiam-hoat (totokan) dengan tepat sekali. Ada pun Si jenggot Hitam segera memandang ke atas dan berseru keras,

“Ang-siang-kiam, kau turunlah!”

Kemudian dia mengeluarkan suara bersuit yang nyaring sekali. Burung bangau itu diberi nama Ang-siang-kiam atau Sepasang Pedang Merah sebab patuknya memang berwarna merah dan panjang seperti sepasang pedang.

Mendengar suitan ini, dengan cepat bangau itu lalu meluncur turun dan di belakangnya, rajawali itu menyambar pula mengejar.

“Rajawali keparat!” Si Jenggot Hitam itu memaki.

Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sebatang pelor putih yang bulat meluncur cepat ke arah dada rajawali yang mengejar bangau itu. Akan tetapi, rajawali ini gesit sekali dan sebelum pelor mengenai dadanya, dia sudah mengelak ke kiri. Sebutir pelor putih lainnya menyusul dan mengarah lehernya. Rajawali itu segera mengebutkan sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!

Melihat kelihaian rajawali itu, kedua orang laki-laki itu menjadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan. Ada pun Cin Hai yang juga memandang dengan perhatian lalu teringat akan rajawali yang dulu pernah bertanding melawan Ang I Niocu di atas perahu. Banyak persamaannya antara kedua burung rajawali itu.

Sementara itu, burung bangau yang diberi nama Ang-siang-kiam itu telah turun di atas tanah dan kini berdiri di dekat kakek jenggot hitam. Tubuh burung bangau itu tinggi sekali sehingga merupakan seekor burung bangau yang langka terdapat. Ada pun rajawali tadi karena tahu akan kelihaian dua orang manusia yang berada di bawah, lalu hanya terbang berputaran sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa berani turun ke bawah.

Pada saat itu terdengar bentakan halus, “Sin-kim-tiauw, jangan kurang ajar!”

Mendengar suara ini, rajawali tadi lalu melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan juga terkejut sekali oleh karena ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya, Bu Pun Su!

Benar saja, pada waktu kedua orang laki-laki itu pun memandang, dari sebuah tikungan, muncullah seorang kakek tua sekali yang berpakaian penuh tambalan hingga merupakan seorang jembel tua. Rajawali emas tadi telah turun dan kini berjalan di belakang kakek itu bagaikan seekor anjing yang jinak sekali.

“Suhu!” Cin Hai berseru dan segera berlari dan menghampiri, akan tetapi hampir saja ia roboh terguling karena kepalanya terasa pening sekali ketika dia berlari itu. Untung dia masih dapat menetapkan kaki dan segera berlutut.

“Cin Hai, lekas kau duduk, kumpulkan semangat dan bersihkan napas!” terdengar kakek itu berseru setelah memandang wajah muridnya.

Sekali pandang saja kakek sakti ini tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa beracun yang berbahaya sekali. Walau pun merasa heran, Cin Hai segera menurut dan taat akan perintah gurunya itu. Ia segera duduk bersila, meramkan mata dan merangkapkan kedua tangan di depan dada.

Tiba-tiba ia merasa betapa telapak tangan suhu-nya yang halus itu memegang tangannya dan dari telapak tangan suhu-nya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan kuatnya melalui telapak tangannya sendiri dan terus membantu hawa kekuatan tubuhnya sendiri. Oleh karena ini, dia merasa betapa hawa tenaga di dalam tubuhnya kini menjadi berlipat ganda dan lalu ia gunakan hawa itu diputar-putar ke seluruh tubuh karena tidak tahu akan maksud suhu-nya.

“Penuhkan di dada, bersihkan paru-paru dan usir hawa racun yang tadi masuk melewati lubang hidungmu!” kakek itu berbisik perlahan.

Cin Hai diam-diam merasa terkejut dari teringatlah dia akan pertempurannya melawan Thai Kek Losu tadi. Jarum-jarum berbisa yang amat lihai dan yang keluar dari tengkorak Pendeta Sakya Buddha itu hampir saja tadi mengenainya dan menyambar dekat sekali di depan hidungnya hingga dia mencium bau yang amis dan busuk! Bukan main jahatnya jarum-jarum berbisa itu. Baru baunya saja telah mempengaruhinya, apa lagi kalau sampai terluka oleh jarum itu!

Cin Hai segera mengerahkan hawa di dalam tubuh itu di dikumpulkan di dada, mendesak keluar segala hawa kotor yang terbawa masuk oleh pernapasan ke dalam paru-parunya, sehingga ketika dia mendesak hawa itu keluar hidungnya, kembali ia mencium bau yang amis dan busuk itu! Ternyata bahwa bau yang amis dari senjata tadi telah mengeram di dalam paru-parunya. Bukan main berbahaya dan jahatnya!

Sementara itu, kedua orang penakluk harimau tadi berdiri dengan heran dan kagum pada saat melihat cara guru itu menyembuhkan muridnya. Mereka pun maklum bahwa kakek jembel itu tentu lihai sekali, maka mereka tidak berani mengganggu dan hanya berdiri memandang. Tidak lama kemudian, Bu Pun Su melepaskan genggaman tangannya pada telapak tangan Cin Hai dan dia berdiri kembali.

“Sudah, sudah bersih...,” katanya. Cin Hai membuka kedua matanya dan segera berlutut.

“Senjata siapakah yang hampir mencelakaimu tadi, Cin Hai?”

Cin Hai lalu menceritakan mengenai pengalamannya, betapa dia menjadi utusan kaisar, menyampaikan surat kepada Yagali Khan dan betapa dia mengadu kepandaian dengan Thai Kek Losu dan berhasil mengalahkannya tanpa menyadari bahwa dia sudah hampir mendapat celaka karena senjata rahasia yang hebat dari pendeta itu.

Bu Pun Su mengangguk-anggukkan kepala. “Bagus, bagus. Memang itu sudah menjadi tugasmu...”

Ketika mendengar cerita ini, dua orang pemilik burung bangau tadi segera menghampiri dan menjura dengan sikap hormat sekali.

“Ah, tidak mengira bahwa kami berdua mendapat kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan seorang patriot yang gagah perkasa beserta suhu-nya yang sakti. Mohon tanya, siapakah Locianpwe ini dan siapa pula muridmu yang gagah perkasa?” bertanya kakek jenggot putih itu sambil menjura kepada Bu Pun Su yang jauh lebih tua darinya.

Bu Pun Su tidak membalas pemberian hormat itu, sebagaimana biasa dia memang tidak menyukai segala penghormatan, lalu menjawab seakan-akan mereka telah lama menjadi kawan baik saja,

“Burung bangaumu itu hebat sekali. Bukankah kau yang bernama Sie Lok dan disebut Si Pemelihara Harimau?”

Kakek jenggot putih itu nampak tercengang. “Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar berpemandangan tajam. Memang nama siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie Kiong. Kami berdua saudara memang tukang memelihara harimau. Bolehkah kami mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”

“Siapakah aku ini? Ahh, aku sendiri sudah hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja kepada muridku ini!” jawabnya tak acuh sambil mendekati burung bangau dan memeriksa seluruh bulu dan tubuh burung itu dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Berkali-kali ia menganggukkan kepala dan berkata, “Bagus, bagus,” seolah-olah seorang ahli barang antik sedang mengagumi sebuah benda kuno yang berharga dan menarik.

Cin Hai yang sudah tahu akan sifat aneh dari suhu-nya, merasa kurang enak terhadap kedua orang tua itu, maka dia segera menjura dengan hormat sambil berkata,

“Jiwi yang gagah, suhu-ku itu bernama Bu Pun Su dan siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai.”

Kedua orang itu nampak amat terkejut karena mereka telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai seorang kakek sakti yang luar biasa. Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik mendengar nama Cin Hai karena kakek jenggot putih itu kemudian melangkah maju dan bertanya,

“Anak muda, wajahmu mengingatkan aku akan seseorang. Siapakah nama ayahmu dan siapa pula nama ibumu?”

Berdebarlah hati pemuda itu. Tadinya dia mengira bahwa persamaan she dengan kedua orang itu hanya kebetulan saja, akan tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan ganjil di dalam hatinya.

Sambil menggeleng kepala dia menjawab, ”Siauwte tidak tahu, tak tahu siapa nama ayah dan ibu...,” sampai di sini ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena hatinya merasa terharu.

Tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sambil lalu, “Eh, pemelihara harimau, apakah kau ketahui tentang seorang she Sie yang terbunuh mati sekeluarganya karena dianggap pemberontak?”

Mendadak kedua orang itu menjadi pucat wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak. “Locianpwe... apa... apa maksud pertanyaanmu ini...?”

Kedua orang itu teringat bahwa pemuda itu adalah utusan kaisar, maka tentu saja akan memusuhi orang-orang yang dianggap pemberontak.

Akan tetapi, Cin Hai yang mendengar pertanyaan suhu-nya ini dan yang melihat sikap kedua orang itu, tiba-tiba merasa makin berdebar. “Lo-peh, tahukah kau tentang dia yang memberontak itu? Tahukah kau...? Katakanlah, Lo-peh!”

Kakek jenggot putih itu memandang tajam lalu bertanya. “Kau bilanglah lebih dahulu apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Kau adalah seorang utusan kaisar, apa hubungannya dengan segala pemberontak?”

“Pemberontak she Sie adalah ayahku sendiri!” kata Sie Cin Hai dengan suara pilu.

Kini kakek jenggot putih itu melangkah mundur dan wajahnya menjadi amat pucat, tanda bahwa ia terkejut sekali. Si Jenggot Hitam yang bernama Sie Kiong itu pun mengeluarkan seruan kaget.

“Apa katamu... ? Anak muda... mukamu memang sama benar dengan Sie Gwat Leng, pemberontak she Sie itu. Dia itu adalah adikku dan kakak dari Sie Kiong. Anak muda, apakah kau mau bilang bahwa kau adalah anak Gwat Leng...?”

Dengan kedua mata terbelalak Cin Hai lalu bertanya, suaranya gemetar. “Katakanlah... katakanlah... apakah Jiwi kenal kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang menjadi isteri Kwee In Liang?”

“Tentu saja kenal. Dia adalah adik ipar dari Gwat Leng...”

“Ya Tuhan...! Kalau begitu kalian adalah paman-pamanku...!” terdengar Cin Hai berkata dengan dada naik turun karena menahan gelora hatinya. “Pekhu... Siokhu... aku Sie Cin Hai memang putera Sie Gwat Leng itu... tak salah lagi...” Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu sambil menahan air matanya!

Sie Lok dan Sie Kiong lalu menubruk Cin Hai dan memeluknya. “Kau anak Gwat Leng yang ikut Bibimu itu...? Ah, tak kusangka kita masih akan dapat bertemu...!” kata Sie Lok.

Bu Pun Su menghampiri mereka dan berkata, “Tidak ada perceraian yang tidak berakhir. Agaknya Thian sudah menghendaki sehingga kalian dapat saling berjumpa dengan tak tersangka-sangka. Sudah lama aku mendengar nama kalian berdua pemelihara harimau, dan telah timbul persangkaanku, maka hari ini memang aku datang hendak menyelidiki. Siapa tahu, kebetulan sekali Cin Hai datang ke sini pula dalam keadaan terpengaruh racun jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!”

“Siokhu, Pekhu, Suhu-ku inilah yang memungkinkan keponakanmu ini sampai sekarang masih hidup!” kata Cin Hai setelah keharuan hati mereka mereda.

“Sudah lama kami mendengar nama besar Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah guru dan penolong dari keponakan kami yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima kasih kami, Locianpwe!” Setelah berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu berlutut di depan Bu Pun Su.

“Sudahlah, sudahlah, tak perlu bersikap seperti kanak-kanak,” kata Bu Pun Su dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya menyentuh pundak kedua orang itu, mau tidak mau keduanya harus berdiri lagi karena ada tenaga yang amat besarnya mengangkat mereka bangun! Kemudian, Bu Pun Su berkata kepada Cin Hai,

“Muridku, sesudah bertemu dengan kedua pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang tuamu. Sekarang aku akan pergi, tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak kuat untuk merantau lebih lama lagi. Sekarang aku hendak kembali ke Goa Tengkorak dan membawa Sin-kim-tiauw bersamaku. Kalau kau bertemu dengan Im Giok, suruh dia menyusulku ke sana!”

Cin Hai memandang kepada muka suhu-nya dengan bengong. “Suhu maksudkan Ang I Niocu? Bukankah Niocu sudah... sudah...,” ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

“Kekuasaan Thian tidak ada batasnya, anak bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah Im Giok masih hidup dan bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik burung ini mau pun Im Giok berada di pulau itu? Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak dapat bertemu dengan Im Giok, akhirnya aku pun akan dapat menemuinya, entah di sini entah di sana...,“ setelah berkata demikian, sekali saja kakek itu mengebutkan lengan bajunya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa berpamit kepada Sie Lok dan Sie Kiong!

Memang demikianlah watak Bu Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan segala hal yang dianggapnya kurang perlu! Sin-kim-tiauw lalu memekik keras dan terbang cepat menyusul kakek itu.

Sie Lok menghela napas. “Telah banyak aku melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi baru kali ini aku melihat orang yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi. Mari, Cin Hai, mari kita pulang ke rumahku dan di sana bercakap-cakap dengan leluasa. Hari ini adalah hari yang paling gembira dan baik semenjak kami ditinggal oleh ayahmu.”

Sambil digandeng tangannya oleh Sie Kong, Cin Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar dari hutan itu, sedangkan harimau yang telah ditotok tadi, setelah dikalungi tambang dan dipulihkan keadaannya, lalu diseret dan akhirnya berlari mengikuti mereka dengan jinak. Ternyata bahwa harimau itu pun maklum akan kelihaian kakek itu hingga menyerah kalah dan tidak berani memberontak!

Dan demikianlah cara kedua orang she Sie itu menangkap harimau dan menjinakkannya. Tiap kali bertemu dengan harimau buas, mereka lalu mengganggu dan mempermainkan harimau itu dengan kepandaian mereka yang amat tinggi. Kemudian, setelah harimau itu ditundukkan, leher harimau lalu dicancang dan dibawa pulang, bagaikan orang menuntun anjing saja.

Setelah sampai di rumah Sie Lok dan Sie Kiong yang berada di atas sebuah lereng bukit penuh dengan pohon pek dan siong, Cin Hai merasa kagum sekali oleh karena ternyata di sekeliling rumah besar itu terdapat banyak sekali harimau yang berkeliaran di sekitar rumah dengan jinak bagaikan binatang peliharaan biasa.

Ketika Cin Hai mencoba untuk menghitung jumlah harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah ada dua puluh ekor lebih. Kemudian dia mendengar dari pamannya bahwa mereka mempunyai lebih dari empat puluh ekor harimau yang besar dan galak.

Bagaikan anjing-anjing penjaga rumah, ketika melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia baru yang asing, harimau-harimau itu menggereng sambil memperlihatkan gigi dan taring akan tetapi ketika kedua orang she Sie itu mengangkat tangan kanan, semua harimau itu menjadi ketakutan dan mengundurkan diri. Bukan main kagumnya hati Cin Hai melihat pengaruh dan kekuasaan dua orang pamannya itu atas sekian banyaknya harimau buas.

Setelah masuk ke dalam rumah dan duduk saling berhadapan, maka berceritalah Sie Lok kepada Cin Hai.

Ternyata bahwa keluarga Sie terdiri dari empat orang saudara laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng, Sie Ban Leng dan Sie Kiong. Keempat saudara ini pada waktu mudanya rajin mempelajari ilmu silat, dan di antara mereka, yang pandai sekali dan tinggi ilmu silatnya adalah Sie Gwat Leng dan Sie Ban Leng oleh karena kedua orang ini mendapat didikan dari seorang pertapa sakti Gobi-san.

Ada pun Sie Lok dan Sie Kiong mendapat didikan dari seorang hwesio perantau yang juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan menjadi ahli penakluk semua binatang buas. Dari hwesio inilah Sie Lok dan Sie Kiong mendapat ilmu atau cara menaklukkan harimau dan lain-lain binatang buas, bahkan mereka juga mempelajari cara menotok tubuh binatang-binatang itu.

Setelah tamat belajar, keempat saudara ini bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran kepandaian, ternyata bahwa Sie Gwat Leng adalah yang paling pandai, kemudian Sie Ban Leng, kemudian Sie Lok dan Sie Kiong sungguh pun bagi orang biasa boleh disebut telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi, namun dibandingkan dengan kedua saudaranya yang menjadi anak murid Gobi-san itu, kepandaian mereka masih jauh.

Kecuali Sie Ban Leng yang mempunyai watak buruk, ketiga saudara yang lainnya adalah orang-orang yang berjiwa ksatria dan gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada henti-hentinya menggunakan kepandaian untuk menolong sesama manusia yang menderita. Gwat Leng merasa tidak puas sekali melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa, karena itu sering kali ia menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap kaisar dan pemerintahnya.

Berbeda dengan Gwat Leng dan yang lain-lain, Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu jahat, bergaul dengan segala macam penjahat dan membiasakan diri dengan segala jenis permainan judi. Gwat Leng juga sering kali menegurnya sehingga beberapa kali mereka bercekcok oleh karena Ban Leng tak pernah takut atau tunduk kepada kakaknya ini. Ada pun Sie Lok yang menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa oleh karena dia memang jauh lebih lemah dari pada Ban Leng.

Namun, betapa pun juga, Sie Ban Leng masih berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku jahat secara berterang oleh karena dia takut kepada suhu-nya yang sudah menyuruhnya bersumpah ketika menjadi muridnya dulu. Kepada Gwat Leng dia tidak takut oleh karena biar pun ilmu kepandaian Gwat Leng lebih tinggi, akan tetapi dia tahu akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka dia yakin bahwa Gwat Leng tentu takkan tega untuk mencelakakannya.

Kemudian Sie Gwat Leng menikah dengan seorang gadis dusun yang cantik dan halus budi bahasanya. Mereka berdua hidup dengan rukun dan saling mencinta, penuh dengan kebahagiaan. Setahun kemudian terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sie Hai yang kemudian ditambah dengan huruf ‘Cin’ oleh Loan Nio karena nyonya ini tidak ingin kalau ada orang mengetahui bahwa anak itu adalah putera Sie Gwat Leng yang memberontak.

Akan tetapi celakanya, ketika melihat isteri Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati jahat di dalam dada Ban Leng yang berwatak buruk itu. Dia mencoba untuk menggoda soso-nya sendiri hingga timbullah pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian antara dia dan kakaknya.

Ban Leng kena dikalahkan oleh Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng lalu lari meninggalkan saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tidak terdengar lagi berita mengenai dirinya. Akan tetapi, sesudah guru Gwat Leng, pertapa Gobi-san itu meninggal dunia, mereka mendengar lagi tentang keadaan Ban Leng dan ternyata bahwa Ban Leng sudah berada di kota raja, menjadi seorang jago muda yang jarang mendapat tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat julukan Gobi Sin-liong atau Naga Sakti dari Gobi-san!

Sie Gwat Leng masih saja bercita-cita untuk menolong kaum tani dan rakyat jelata yang lemah dan miskin. Ia mulai dengan usahanya di dalam dusun sendiri. Ia mengumpulkan orang-orang kampung, mendidik mereka dengan ilmu silat, kemudian mendesak dengan kekerasan dan pengaruh kepandaiannya kepada mereka yang tergolong hartawan untuk mengulurkan tangan membantu.

Akhirnya ia pun berhasil membuat kampungnya menjadi makmur. Semua orang bertubuh sehat dan mendapat didikan ilmu silat sehingga dapat menjaga kampung dari serangan orang jahat dan tidak ada lagi orang yang mengalami kemelaratan karena semua orang mendapat penghasilan yang cukup.

Hal ini lalu terdengar oleh kampung lain yang merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa keluarga Sie hendak mengadakan pemberontakan dan telah bersiap-siap dengan melatih orang-orang dusun dengan ilmu silat untuk kelak dipergunakan memberontak dan memukul kerajaan!

Hal ini terdengar oleh seorang perwira yang bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun itu. Perwira ini orangnya sombong dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia telah lancang mengadakan tindakan sendiri untuk mencari pahala.

Dia membawa anak buahnya sebanyak empat puluh orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya mengamuk dan tidak hanya memukul dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu anak bini orang dan merampas harta mereka!

Tentu saja Sie Gwat Leng menjadi marah sekali. Dia mengumpulkan orang-orang dusun dan melawan penyerbu-penyerbu itu hingga tentara di bawah pimpinan perwira sombong itu dapat dimusnakan berikut pemimpinnya!

Segera kota raja mendengar mengenai peristiwa ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai pemberontak! Kaisar kemudian memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin serombongan tentara terdiri dari seratus orang untuk menawan kawanan pemberontak-pemberontak itu.

Di dalam rombongan ini ikut pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk membalas dendam kepada kakaknya sendiri. Biar dia tidak secara terang-terangan ikut di dalam rombongan Kwee-ciangkun, akan tetapi diam-diam dia ikut pergi kembali ke dusunnya sendiri dengan maksud membantu penindasan pemberontak, sebab ia maklum bahwa dengan adanya tiga saudaranya di dalam dusun, maka akan sukarlah bagi tentara kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.

Terjadilah pertempuran hebat antara tentara kerajaan dan orang-orang dusun di bawah pimpinan ketiga saudara Sie yang melakukan perlawanan karena mereka sudah merasa benci sekali terhadap kerajaan, yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang jahat dari para tentara di bawah pimpinan perwira yang dulu menyerbu dan berhasil dihancurkan.

Benar saja dugaan Ban Leng. Kwee Ciangkun tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang benar-benar kosen dan tangguh. Selagi dia merasa bingung, datanglah Sie Ban Leng membantunya.

Dengan licik dan curang sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan penyesalannya, kemudian berkata bahwa ia sengaja datang ingin membantu perjuangan saudara-saudaranya mengusir barisan kerajaan. Tentu saja Gwat Leng, Sie Lok dan Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima saudara yang sesat ini dengan dua tangan terbuka.

Tidak tahunya, pada malam harinya, ketika Sie Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya memimpin orang-orang dusun melawan tentara negeri, Ban Leng lalu berlaku curang dan menotok kedua pundak kakaknya yang sedang tidur itu!

Sie Lok dan Sie Kiong yang melihat hal ini menjadi amat marah lalu menyerang Ban Leng yang berkhianat. Akan tetapi kepandaian mereka belum mampu melawan Ban Leng dan pada saat itu pula, sesuai dengan rencana Ban Leng dan Kwee-ciangkun, tentara negeri segera menyerbu!

Dalam keadaan tidak berdaya karena totokan Ban Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng ditawan, orang-orang kampung banyak yang mati dan sebagian pula ditawan, kampung dibakar habis dan semua keluarga Sie ditawan pula! Dalam suasana ribut itu, Ban Leng hendak menculik serta mengganggu isteri Gwat Leng, akan tetapi Kwee In Liang dengan marah mencegahnya.

“Semua orang tidak boleh mengganggu wanita, siapa melanggar akan dihukum!” katanya dengan garang.

Ban Leng sendiri sebetulnya tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba isteri Gwat Leng yang merasa putus harapan itu, segera menggunakan kesempatan ini untuk membenturkan kepala sendiri pada dinding hingga kepalanya menjadi pecah dan tewas pada saat itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng lalu meninggalkan tempat itu.

Adik perempuan isteri Gwat Leng yaitu Loan Nio, yang pada saat itu sudah remaja puteri, sambil menggendong Sie Hai yang masih kecil mencoba lari, akan tetapi dia ditangkap oleh seorang anggota tentara yang kagum melihat kecantikannya. Akan tetapi, untunglah bahwa pada waktu itu Kwee In Liang melihat hal ini terjadi. Perwira ini memberi pukulan keras hingga tentara itu pingsan, sedangkan dia lalu menolong Loan Nio dan anak kecil yang disangka anak Loan Nio itu, dibawa ke dalam rumahnya.

Loan Nio lalu diambil sebagai pelayan di rumah gedung Kwee In Liang, dan gadis yang cerdik ini lalu menitipkan Sie Hai kepada seorang wanita di luar gedung dengan memberi belanja setiap pekan, yaitu uang gajinya sendiri, seluruhnya diberikan kepada wanita itu.

Demikianlah, Sie Hai yang kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu baru berusia setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan setelah Loan Nio diambil sebagai isteri oleh Kwee-ciangkun, baru dia memberi tahu dengan jujur kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera Sie Gwat Leng. Karena sangat mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini, Kwee-ciangkun mau juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.

Ada pun Sie Lok dan Sie Kiong yang mempunyai ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah mereka tidak berhasil menghukum Ban Leng yang sangat jahat dan yang sudah mengkhianati kakak sendiri itu. Mereka lalu merantau dengan hati duka. Apa lagi ketika mereka mendengar betapa Gwat Leng menjalankan hukuman mati dalam keadaan masih lumpuh, sedangkan isterinya mati membunuh diri dan keluarga lain dihukum mati pula, kedua saudara ini hanya bisa menangis dan sedih.

Mereka merasa benci sekali kepada manusia, oleh karena dianggapnya manusia adalah makhluk yang sejahat-jahatnya. Seorang saudara kandung sendiri seperti Ban Leng bisa berlaku sejahat itu, apa lagi orang lain? Maka, mereka lalu mengasingkan diri di hutan, dan menaklukkan banyak harimau untuk menjadi kawan-kawan dan penjaga mereka!

Mendengar cerita Sie Liok ini, Cin Hai merasa sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.

“Pek-hu dan Siok-hu, di manakah adanya Paman Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan biadab itu? Ingin sekali aku dapat melihat muka orang yang berhati binatang itu!” katanya gemas dan marah, sambil mengepal tangannya.

“Entahlah, kami berdua dulu pernah mencarinya untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali kami sudah kena dikalahkan dan kemudian kabarnya dia merasa menyesal atas perbuatannya yang terkutuk itu dan dia telah mengasingkan diri entah di mana.”

Kemudian, atas permintaan kedua pamannya, Cin Hai dengan singkat lalu menceritakan pengalamannya. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali. Akan tetapi, mereka masih penasaran jika belum mencoba dan mengukur sendiri kelihaian keponakannya ini, maka Sie Kiong yang berwatak gembira lalu berkata,

“Cin Hai coba kau perlihatkan kepandaianmu agar hatiku puas.”

Cin Hai tersenyum, lantas mengikuti mereka berdua keluar dari rumah di mana terdapat halaman yang cukup luas.

“Bagaimanakah aku harus memperlihatkan kebodohanku?” tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.

“Kau lawanlah kami berdua, agar kami dapat mengukur apakah kepandaianmu ini dapat dibandingkan dengan Ayahmu atau Pamanmu yang jahat itu?” kata Sie Lok yang segera menggulung lengan bajunya.

Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi ilmu kepandaian dua pamannya ini, akan tetapi melihat gerakan mereka ketika menawan harimau tadi, dia merasa yakin bahwa dia tentu akan dapat mengalahkan mereka.

“Baiklah, aku akan berusaha menjaga diri,” kata Cin Hai dengan tenang.

“Awas serangan!” tiba-tiba Sie Kiong berseru gembira.

Ia lalu menerkam dengan serangan yang cukup lihai berbahaya, sedangkan Sie Lok yang hendak menguji kelihaian keponakannya juga segera membarengi menyerang dari lain jurusan. Cin Hai mengerti akan kehebatan serangan kedua pamannya ini, maka tubuhnya lalu berkelebat dan dia pun mengeluarkan ginkang-nya yang sudah sempurna.

Kedua mata Sie Lok dan Sie Kiong menjadi kabur ketika mereka melihat betapa tubuh keponakan itu tiba-tiba berkelebat dan lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan tiba-tiba mereka mendengar suara Cin Hai di tempat yang jauhnya tiga tombak lebih, “Aku berada di sini.”

Bukan main heran kedua orang tua itu, dan dengan cepat mereka segera menerjang lagi, sekarang dengan cepat sekali supaya jangan sampai pemuda itu mendapat kesempatan mengelak. Sie Lok menyerang dengan jari tangan kanan dibuka dan menotok ke arah jalan darah di lambung Cin Hai, sedangkan Sie Kiong menyerang dengan pukulan tangan miring ke arah leher keponakannya.

Cin Hai berseru keras, dan dengan menundukkan kepala ia dapat mengelak dari pukulan Sie Kiong, sedangkan untuk menghadapi totokan Sie Lok, dia cepat mengulur tangan dan mendahului dengan totokan ke arah pergelangan tangan pamannya itu. Sie Lok terkejut dan menarik kembali tangannya lantas menyerang lagi dengan hebat, demikian pula Sie Kiong.

Akan tetapi, Cin Hai kemudian mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari sambil berkata, “Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu.”

Setiap serangan kedua orang tua itu dia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang lemas seakan-akan orang menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya itu tidak mampu mengenai tubuhnya sama sekali. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali dan juga heran betapa dengan hanya menari-nari saja keponakannya ini dapat mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Cin Hai memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya kepada kedua pamannya, karena ia ingin membuat kedua pamannya itu girang dan senang. Maka setelah mainkan Sianli Utauw berapa belas jurus untuk menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia lalu merubah gerakannya dan berkata pula,

“Dan sekarang aku memainkan kepandaian pokok ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu Pun Su!” Setelah ia berkata demikian, ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan pamannya dan ia lalu mengembalikan setiap serangan dengan gerakan yang sama seperti ilmu silat kedua pamannya.

Kalau tadi menyaksikan Sianli Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, sekarang menghadapi betapa keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka sendiri, maka kedua orang she Sie itu sesudah mengeluarkan ilmu pukulan yang paling sulit dan berbahaya akan tetapi yang dikembalikan dengan sama baiknya oleh Cin Hai, keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan cepat melompat mundur.

“Nanti dulu! Dari mana pula kau mempelajari ilmu silat kami itu?” tanya Sie Lok dengan terheran-heran dan mata terbelalak!

“Aku belum pernah mempelajari ilmu-ilmu silat itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah melatihku untuk mengetahui semua dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya sama, sehingga setiap kali aku diserang dengan semacam ilmu silat, aku dapat meniru gerakan itu dan mengembalikannya kepada lawan dengan jurus itu juga.”

Sie Lok dan Sie Kiong saling pandang dengan heran dan mereka ini hampir tidak dapat mempercayai keterangan ini. Akan tetapi oleh karena tadi mereka telah menyaksikannya sendiri dan beberapa belas jurus pukulan yang paling terahasia dan terlihai dari mereka sudah dilakukan dengan sempurna oleh Cin Hai, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“Bukan main!” kata pula Sie Kiong. “Akan tetapi Kanda Ban Leng mempunyai kepandaian Eng-jiauw-kang yang lihai sehingga ia mampu menghadapi kami berdua yang memegang senjata dengan tangan kosong saja. Maka cobalah kau menghadapi kami dengan tangan kosong pula sedangkan kami menyerang dengan senjata tajam!”

Sie Lok juga menyetujui cara percobaan kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk mengambil dua batang pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya, kedua orang tua ini lalu menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,

“Cin Hai kau berhati-hatilah, karena ilmu pedang kami bukanlah kepandaian rendah!” Lalu ia melangkah maju dan mulai dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera memutar pedang di atas kepala dan mengirim serangan hebat.

Cin Hai lalu memperlihatkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu Kong-ciak Sin-na. Tubuhnya dengan ringan sekali melompat-lompat ke atas laksana seekor burung merak yang sedang terbang saja dan kemudian dari atas dia menghadapi serangan pedang dengan tendangan serta cengkeraman untuk merampas senjata kedua pamannya.

Sementara itu, semenjak tadi burung bangau yang besar itu hanya berdiri memandang, kadang-kadang terbang ke atas dan berputaran di atas kepala ketiga orang yang sedang bertempur. Akan tetapi, sesudah ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai melayang ke atas bagaikan burung, ia lalu memekik keras dan tubuhnya melayang lalu menyambar dengan sepasang patuknya yang runcing bagai pedang itu, yang digerakkan secara hebat untuk menyerang Cin Hai.

“Ang-siang-kiam, jangan!” teriak Sie Lok.

Akan tetapi Cin Hai lalu berkata sambil tersenyum. “Biarlah, Pek-hu, dia juga mau ikut bergembira, mengapa tidak boleh?”

Demikianlah, dengan ilmu Silat Kongciak Sinna, Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu oleh burung bangau itu sehingga kini dia dikeroyok tiga. Akan tetapi ilmu silatnya sungguh hebat sehingga tubuhnya seakan-akan tidak pernah mengambah bumi. Tiap kali tubuhnya turun, ia kemudian menggunakan ujung sepatunya untuk mengenjot lagi hingga tubuhnya kembali melayang ke atas.

Serangan burung bangau itu dia gagalkan dengan kepretan tangan ke arah paruh burung itu sehingga tiap kali jari tangannya menyentuh paruh, maka burung bangau itu hampir jatuh ke bawah! Sementara itu, dua pedang Sie Lok dan Sie Kiong yang bergerak bagai dua ekor ular sakti menyambar-nyambar itu dapat dihindarkannya dengan tendangan kaki dan cengkeraman yang sebaliknya bahkan mengancam pergelangan tangan mereka dan bagian tubuh lain!

Setelah menghadapi serangan tiga pengeroyok ini sampai tiga puluh jurus lebih, Cin Hai tiba-tiba melompat turun dan berkata,

”Sekarang setelah permainan Kong-ciak Sin-na tadi, aku akan mainkan Pek-in Hoat-sut, juga yang diturunkan oleh Suhu Bu Pun Su!”

Jauh sekali perbedaan ilmu silatnya ini dengan yang tadi. Apa bila tadi gerakannya gesit sekali, kini dia berdiri dengan tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan tangannya digerak-gerakkan dan tiba-tiba dari kedua lengan ini mengebul uap putih! Burung bangau menyambar turun, lalu dikebut dengan tangan kiri dan ketika uap putih itu menyambar, burung itu memekik keras dan terlempar, lalu terbang lagi ke atas tanpa berani menyerang lagi!

“Hebat!” kata Sie Lok yang segera menyerang lagi, disusul oleh Sie Kiong.

Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika sekali saja Cin Hai menangkis, pedang mereka hampir saja terlepas dari pegangan!

“Sungguh lihai sekali!” kata Sie Lok sambil berhenti menyerang dan memandang Cin Hai dengan wajah berseri. “Cin Hai, kalau tidak menyaksikan dan merasakan sendiri, aku tak akan dapat percaya bahwa kau mempunyai ilmu kepandaian seperti ilmu sihir saja! Ahh, anakku, jangankan baru seorang Ban Leng, biar dia menjadi tiga pun tak mungkin dapat mengalahkan kau! Hebat, hebat!”

“Akan tetapi, semenjak tadi Hai-ji (Anak Hai) hanya menangkis dan menjaga diri saja. Aku belum merasai kehebatan serangan balasannya. Cin Hai, coba kau cabut pedangmu agar kami dapat pula menyaksikan kiamsut-mu!”

“Baiklah,” kata Cin Hai sambil mencabut keluar Liong-coan-kiam dari pinggangnya. “Nah, Pek-hu dan Siok-hu, bersiap sedialah, aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang Daun Bambu!”

Sie Lok dan Sie Kong segera memutar pedang mereka dengan cepat untuk melindungi diri sehingga jangankan pedang lawan, biar pun air sepikul pun kalau disiramkan ke arah mereka tak mungkin akan dapat menembus sinar pedang mereka yang melindungi tubuh!

Cin Hai lalu menggerakkan pedangnya. Gerakannya cepat luar biasa dan matanya yang tajam sudah dapat melihat lowongan-lowongan di antara sinar pedang kedua pamannya.

“Awas!” teriaknya dan dua kali pedangnya lalu berkelebat secara luar biasa sekali. Maka terdengarlah kain robek dua kali, lantas Cin Hai menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak!

Sie Lok dan Sie Kiong merasa heran dan segera menghentikan gerakan mereka pula. Alangkah terkejut hati mereka ketika melihat betapa baju di dada mereka telah robek dan bolong terkena ujung pedang Cin Hai yang baru menyerang segebrakan saja itu!

Keduanya lalu melempar pedang masing-masing dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula, mata mereka berlinang air mata karena girang, puas dan bangga.

“Hai-ji... kalau bangsat Ban Leng itu berada di sini, akan mampus dia di tanganmu!” kata Sie Lok.

“Cin Hai, anakku yang gagah perkasa! Ahh... kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu dia akan merasa bangga sekali melihat kau selihai ini...,” kata Sie Kiong dan orang tua berjenggot hitam ini menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi dua butir air mata yang terloncat keluar dari kedua matanya.

Dengan hati terharu Cin Hai lalu bertanya, “Di manakah makam Ibu? Dan di manakah pula jenazah Ayah dikuburkan?”

“lbumu dikuburkan di dusun Kang-cou, dan jenazah ayahmu yang dulu dibakar oleh para petugas di kota raja, dapat kami curi dan kami tanam pula di dekat makam Ibumu. Dusun itu berada di kaki Bukit Houw-san.”

Untuk dua pekan lamanya Cin Hai tinggal bersama kedua pamannya dan selama itu dia mempelajari cara-cara menangkap semua binatang buas. Burung bangau menjadi kawan baiknya dan ia merasa suka sekali kepada burung ini hingga burung itu menjadi jinak dan ke mana pun dia pergi burung itu selalu mengikutinya. Melihat hal ini, kedua pamannya kemudian menyatakan bahwa burung itu diberikan kepada Cin Hai untuk menjadi kawan seperjalanannya.

“Bawalah Ang-siang-kiam, dia dapat menjadi kawan baik dalam perjalanan,” kata Sie Lok dan Cin Hai menerimanya dengan girang hati.

Dalam waktu senggang, Cin Hai menuturkan pengalaman-pengalamannya dan bercerita pula tentang sahabat-sahabatnya, tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An den Ma Hoa, dan tidak lupa pula menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya sebagai calon isterinya sehingga kedua orang tua itu menjadi girang sekali.

“Kelak kalau kau akan menikah, tak boleh tidak kau harus memberi kabar supaya kami dapat datang minum arak kegirangan.”

Kemudian Cin Hai berpamit karena dia sudah terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya tidak dapat menahannya dan berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya dengan semua harimau itu, pergi dengan ilmu berlari cepat. Burung bangau yang besar terbang di atasnya dan ikut pergi bersamanya…..

********************
Karena Cin Hai melakukan perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin, sambil tidak lupa mencari-cari jejak Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian sampailah dia di kaki bukit tempat tinggal Yousuf. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu sudah kosong dan tiada bermanfaat lagi!

Dengan hati berdebar cemas dia berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang dia khawatirkan, rumah Yousuf sudah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan wajah pucat Cin Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi dia menjadi lega oleh karena tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf menjadi korban api yang membakar rumah. Dia berdiri di depan tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba dia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.

“Pek-gin-ma!” ia berseru dan melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu.

Dan di dalam sebuah hutan dia melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang kala meringkik sedih seolah-olah kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Pada saat Cin Hai lari menghampiri, ia lalu mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan hendak menceritakan sesuatu.

Cin Hai memeluk leher kuda itu dan merasa menyesal sekali mengapa dia tidak menjadi kuda saja supaya dapat mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma tentang kekasihnya!

“Pek-gin-ma, apakah yang telah terjadi pada mereka? Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah aku kepada Lin Lin...”

Akan tetapi, kuda itu hanya menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya.

Sementara itu, burung bangau yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat daerah yang asing baginya itu. Cin Hai lantas menunggang Pek-gin-ma dan bersuit memanggil Ang-siang-kiam yang segera meluncur turun dan mengikuti ke mana pemuda itu melarikan kudanya.

Cin Hai turun dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu. Pada saat dia sedang berdiri di tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-gin-ma, tiba-tiba dia mendengar suara tindakan kaki. Dia segera melompat ke belakang sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan seorang penduduk dusun yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian setelah merasa bahwa ia tidak kuasa melepaskan diri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.

“Ampun, Hohan, jangan bunuh aku,” katanya dengan tubuh menggigil.

“Berdirilah, sahabat. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang sudah terjadi di pegunungan ini. Ke mana perginya semua penduduk dusun ini dan tahukah kau ke mana perginya orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng itu?”

Ketika melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang Turki yang terdiri dari puluhan orang banyaknya, sambil menunggang kuda-kuda besar mereka menyerang dusun-dusun seperti orang-orang gila.

Kemudian orang-orang Turki ini menyerbu naik ke atas bukit untuk menangkap Yousuf. Terjadilah pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lantas melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!

“Entah ke mana mereka melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki itu!” pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya.

Cin Hai merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai, pikirnya. Ia heran sekali, siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin yang sudah dilatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu? Dia benar-benar tak mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung, diikuti oleh burung bangau yang dengan setia terbang rendah di atas kepalanya…..

********************

Marilah kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu.

Telah diceritakan pada bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga dia terguling ke dalam jurang, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu sehingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam jurang saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa karena sentuhan tangan ini!

Akan tetapi betapa pun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biar pun juga tidak berdaya, tetapi ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan!

Akhirnya ia pun berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh pada permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa betapa tangan Ma Hoa yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya di cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu lalu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!

Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit, dan seakan-akan sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Dia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.

“Ma Hoa...”

Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu memiliki banyak cabang dan daun, sehingga pada saat tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.

Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun dia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Dia ingin melemparkan dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Lebih dulu dia harus menyelidiki dengan teliti.

Maka dia segera merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Dia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati dia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.

Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, dia dapat juga meninggalkan pohon di mana dia tersangkut tadi dan akhirnya dia mendapatkan sebuah goa di dinding tebing. Karena merasa lelah sekali, dia lalu masuk ke dalam goa kecil itu dan beristirahat.

Semalaman penuh dia beristirahat di dalam goa itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya.

Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, jika tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Bila belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.

Pada saat tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba saja terdengar orang mengeluarkan seruan kaget, “Ya Tuhan Yang Maha Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak.

Secepat kilat kakek botak ini segera menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah, dia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu tenaga luncurannya dibelokkan ke kiri, kemudian diteruskan ke atas sehingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang keras itu.

Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, dengan tenaga yang telah patah sehingga daya luncurannya jauh berkurang, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah goa yang berada tak jauh dari tempat itu.

Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi akibat kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika dia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!

Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Dia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali, dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan jalan pernapasannya kembali, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersemedhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

Tidak lama kemudian, dari luar goa masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersemedhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan matanya dan mengeluarkan suara, “Ah, ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!

Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.

“A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi dia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka sejak sekarang, dia menjadi sumoi-mu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”

A Tok yang gagu itu lalu terkekeh-kekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak serta dikembangkan ke kanan dan kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh” seperti tadi.

“Hmm, burung besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!”

Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang. Dan benar saja, dia melihat seekor burung merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.

Ketika melihat kakek yang berdiri di depan goa itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.

“Ha-ha-ha, burung merak yang lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya.

Dari tangan itu lalu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka dia hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu.

Sedangkan kakek itu kemudian mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian dia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.

“Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!”

Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti!

Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa sehingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biar pun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali sehingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.

Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi.

Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika dia melihat bahwa di atas dua buah batu besar dua orang kakek sedang duduk bersemedhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.

“Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,” katanya halus.

“Teecu... berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?”

“Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kau makan dulu daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.” Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberi lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi dia suruh A Tok mencari.

Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi karena memang dia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, dia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan berkata,

“Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Dan mohon tanya, bagaimanakah nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?” Sambil berkata demikian Ma Hoa memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.

“Seorang kawanmu?” kakek itu berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari atas.”

“Ahh... kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.

“Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”

Biar pun hatinya ingin sekali lekas keluar dari goa itu untuk mencari Kwee An, akan tetapi karena dia telah tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya, betapa dia dan kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak itu mengangguk-angguk dan berkata,

“Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!”

Ma Hoa terkejut mendengar ini, karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai muridnya! Maka dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe, bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan tetapi mengenai belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu.”

“Hemm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi muridku dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tidak mungkin dia dapat menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena bila dia memiliki ginkang yang tinggi, pada waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak tumbuh di samping tebing itu.”

Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak berbohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa setelah mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, dia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir saja menewaskan dirinya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,

“Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!”

Kakek botak itu tertawa bergelak-gelak karena girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah seheng-mu bernama A Tok!”

Ma Hoa lalu menjura kepada suheng-nya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas pemberian hormat itu sambil berseru “Ah, ah… uh, uh…” dan tangannya bergerak-gerak.

“Tempat ini kurang baik untuk belajar silat,” kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!”

Ma Hoa menurut dan kedua guru serta murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah bukit lain yang dari sana nampak puncaknya. Ma Hoa mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi meski pun suhu-nya hanya kelihatan berjalan perlahan saja, namun dia selalu tertinggal di belakang! Maka dia merasa girang sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa suhu-nya yang baru ini sungguh-sungguh mempunyai ilmu kepandaian tinggi.

Setelah tiba di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok suhu-nya dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu, ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari suhu-nya, Hok Peng Taisu.

Ilmu silat ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang bambu runcing ini pendek saja sehingga merupakan siangkiam atau sepasang pedang yang aneh karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing.

Biar pun hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak kalah dengan senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja. Hok Peng Taisu telah menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta ilmu silat ini dan di waktu mencipta, dia telah memasukkan segala kemungkinan menghadapi senjata lawan yang bagaimana pun.

Kemudian, pada waktu muda dia telah merantau puluhan tahun tanpa dapat menemukan tandingan yang dapat merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah dia mengundurkan diri dan bertapa, dia bahkan memperdalam lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk menurunkannya pada seorang murid yang berbakat dan baik. Dan secara kebetulan dan tak terduga sekali, pilihannya jatuh pada Ma Hoa.

Ma Hoa sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya Hai-liong Kiamsut lihai sekali. Dan oleh karena ginkang-nya sudah cukup tinggi maka kini ia dapat mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah lagi.

Sesudah mempelajari ilmu silat yang aneh itu selama tiga bulan, maka dia sudah dapat mainkan dua batang bambu runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan mematangkannya saja. Oleh karena maklum bahwa muridnya ini sangat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu tidak menahannya lagi ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan mencari kekasihnya. Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu mengunjunginya.

Ma Hoa langsung menuju ke bukit tempat tinggal Yousuf, oleh karena dia merasa pasti bahwa kalau Kwee An tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke tempat tinggal orang Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewa dan cemas hatinya ketika tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di situ sunyi sekali.

Dengan cepat Ma Hoa lalu turun dari bukit dan menemui penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur kembali lagi ke rumah masing-masing. Gadis itu mendapat keterangan tentang adanya penyerbuan rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf.

Seperti juga Cin Hai, ia merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Pada waktu ia mencari keterangan tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya, oleh karena memang Kwee An tidak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.

Bukan main bingung hati Ma Hoa, karena tidak saja dia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini dia tidak tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lainnya serta di mana mereka sekarang berada. Maka dia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di mana dia dan Kwee An terjatuh dari tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini…..

********************

Setelah bermalam di dalam goa, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga.

Ia menderita sakit dan agaknya keadaan goa yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam goa itu dan selama tiga hari panas tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya.

Keadaannya berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga dia tidak dapat makan sesuatu. Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya berkurang sehingga ia dapat menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut goa. Ia melihat tetumbuhan kecil di mulut goa itu dan oleh karena dia merasa lapar sekali, dia mengambil daun-daun muda dan memakannya!

Demikianlah, dia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam goa itu, hanya makan akar-akar pohon dan daun-daun yang ada di dekat goa. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali, barulah dia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berupaya keluar dari tempat tahanan alam ini!

Sesudah dia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa dia sadari dia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Dia juga tidak ingat lagi bahwa dia telah berada di goa itu selama tiga bulan lebih!

Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang terdekat, kemudian mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari pohon-pohon besar di sana, dan makanlah dia sepuas-puasnya dan sekenyangnya.

Namun, baru saja dia turun dari pohon, mendadak dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini mengenakan pakaian aneh, setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh serta wajah mereka bagus dan tidak ada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol.

Mereka ini adalah kelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan.

Kwee An merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis indah yang panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis pula!

Rombongan orang berkumis melintang ini lalu mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.

“Apakah yang kalian kehendaki? Aku tak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat pundak. Betapa pun juga, dia melihat sikap mereka bukanlah seperti orang-orang liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.

Tiba-tiba salah seorang di antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran yang kaku.

“Siapakah kau dan dari mana kau datang?”

Kwee An merasa girang sekali. Dia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab, “Syukur sekali engkau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?”

Dengan sukar sekali kakek ini lalu menjawab. “Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tak bertemu dengan orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini.”

“Mengapa kalian mengurungku?” tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.

“Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan.”

Biar pun tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee An merasa tidak senang juga sebab ia seolah-olah hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula. Apa perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka?

Ada pun orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan dia adalah seorang yang lucu. Dia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan pada hidungnya sehingga diam-diam Kwee An merasa amat heran dan beberapa kali ia lalu menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan hidungnya. Ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!

Bagi mereka, melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau yang tak berkumis atau kera tak berbulu! Salah seorang di antara mereka yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju mendekatinya. Sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya.

Semua orang tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biar pun tak mengerti bahasa mereka, namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.

“Tidak, aku tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.

Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tak mau pergi menghadap kepala mereka.

Tiba-tiba sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan mereka bergerak, mereka semua sudah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan melepaskan seutas cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam sekali.

“Ehh, ehh, apakah kalian hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut keluar seutas cambuk panjang berwarna merah dan sebilah golok kecil yang tajam sekali.

Kakek itu mengangguk. “Apa bila kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu. Siapa pun orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami karena daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan kami!”

Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali dan menyambar-nyambar ke atas dengan ganasnya sehingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum. Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu jika tidak mempunyai kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!

“Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu.

Orang tua itu lalu berkata dengan suara dingin. “Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tak puas melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia menantang kau untuk mengadu cambuk!”

“Mengadu cambuk? Apa artinya itu?”

“Ini merupakan semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh digunakan untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu hanya digunakan untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya bisa dibuat putus berarti kalah. Apa bila keduanya dapat menjaga sehingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah.”

Kwee An mengangguk-angguk dan ia pun memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang gagah sekali. Tubuhnya kuat dan sepasang matanya menyinarkan keberanian yang besar, sedangkan kedua tangan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.

“Aku terima tantangannya,” kata Kwee An dengan wajah berseri karena dia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian anak muda yang tampan itu.

Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena mereka memang menghargai kegagahan.

Melihat bahwa Kwee An berani melawan pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa kagum! Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat yang cukup luas untuk dua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjaman sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.

Sebetulnya Kwee An tak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong. Akan tetapi oleh karena dia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja.

Tentu saja sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, dari cara memegang kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.

Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke arah lehernya.

Kwee An segera mengelak sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba saja dapat bergerak ke arah dadanya.

Hanya dengan pengerahan lweekang cukup tinggi yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.

Kwee An terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa sangat heran melihat cara Kwee An mempertahankan diri.

Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan biasanya ketika diserang, mereka akan menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Jadi ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan lawan serta ketepatan menangkis dengan golok.

Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkang-nya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.

Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan serangannya. Dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang.

Kakek itu lantas berkata dari tempat duduknya, “Dia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, namun hanya mengadu kepandaian. Sekarang kau pilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”

Kwee An terkejut. Tanpa sengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia pun cepat-cepat berkata, “Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas cambuk dari tangannya!”

Ketika kakek itu memberitahukan hal ini kepada pemuda itu. Dia lalu tersenyum senang dan mulai menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkang-nya lagi, dan ketika cambuk lawan menyambar, dia pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya dan menggerakkan tenaga lweekang-nya hingga cambuknya kemudian membelit cambuk lawan. Ketika dia berseru keras dan membetot, tanpa tertahan lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari tangannya.

“Nah, aku menang, karena cambuknya telah dapat kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk sambil memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran.

Semua orang, termasuk pemuda tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai untuk merampas senjata sedemikian mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju lantas kembali mengeluarkan kata-kata keras dengan muka penasaran. Sesudah dia habis berkata-kata, terdengar semua orang yang duduk mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.

“Ada apa lagi?” tanya Kwee An kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu.

Kakek itu tersenyum geli mendengar kata-kata anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Dia menganggap kau tidak tahan melihat darah seperti seorang perempuan, dan karena kau tak berkumis, maka tentu saja kau berhati curang dan tadi mempergunakan ilmu sihir yang jahat untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain cambuknya masih belum terputus oleh golokmu, dia pun tidak mendapat satu pun luka dari cambukmu. Dia menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”

Merahlah muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda tadi, dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan ke arah pinggang pemuda itu!

Pemuda itu berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali dengan niat memutuskan cambuk Kwee An yang berarti bahwa ia akan mendapat kemenangan!

Kwee An terkejut juga melihat gerakan golok itu, oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung itu mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa sabetan golok itu berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia menggerakkan tangannya hingga cambuk memutar kembali lalu menyerampang kedua kaki pemuda itu dengan gerakan cepat.

Ia menyangka bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang sehingga lemah pada pergerakan kaki dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke atas dan dari atas cambuknya segera menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali Kwee An terkejut. Gerakan melompat tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!

Maka dia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali mengurung tubuh pemuda itu! Pemuda tanggung itu nampak makin gembira dan melawan dengan hebat, dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai!

Sekarang para penonton bersorak dengan girang sekali karena mereka kini menyaksikan pertandingan main cambuk yang benar-benar hebat dan ramai! Bahkan kakek tadi sudah mengeluarkan sebuah huncwe (pipa tembakau) yang pendek, lalu mengepulkan asap dari huncwe-nya dan dia duduk menonton dengan asyiknya seakan-akan yang sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah menarik!

Betapa pun pandai permainan cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak perlu menggunakan goloknya, karena cambuknya sudah cukup digunakan untuk menangkis. Sedangkan tiap kali pemuda itu menyabet cambuknya, dengan mengerahkan lweekang-nya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi lemas, licin dan kuat hingga pada waktu beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental saja dan tidak dapat diputuskan!

Ia mulai mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja. Bukan main herannya semua penonton ketika melihat betapa setiap kali Kwee An mengayun cambuk, selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya!

Juga pemuda tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak dia sangka sama sekali bahwa pemuda asing tanpa kumis ini ternyata adalah seorang jago cambuk yang luar biasa! Dia adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang dia menjadi korban cambuk seorang pemuda tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas!

Maka ia menjadi marah dan penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walau pun bajunya pada bagian punggungnya telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An tidak bermaksud melukai pemuda itu sehingga tiap kali cambuknya mengenai sasaran, dia selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.

Tadinya Kwee An bermaksud agar supaya pemuda itu menginsyafi kelemahannya dan suka mengaku kalah. Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, maka dia menjadi penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya sehingga pecahlah kulit punggung pemuda itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek.

Alangkah heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu, seakan-akan menyaksikan peristiwa yang sangat menggembirakan dan yang menambah keindahan pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan lagi yang membuat kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu terpukul pecah.

Sungguh pun Kwee An tak bermaksud melukainya terlalu dalam, akan tetapi seharusnya cambukan-cambukan itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, pemuda itu bukannya menyerah, bahkan menjadi makin nekad dan menyerang semakin hebat!

Kwee An menjadi kewalahan juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang menjadi gembira, dia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu mengambil keputusan hendak melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat lagi, sedangkan para penonton semakin merasa gembira saja. Ketika ia mengerling dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun sedang menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwe-nya, seolah-olah dia menikmati pemandangan yang menyenangkan hati!

Maka Kwee An lalu mendapat akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan Hek Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak mengelilingi pemuda itu yang menjadi pening dan kabur matanya.

Tiba-tiba, tanpa terlihat orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok jalan darah thian-hu-hiat sehingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat bergerak lagi.....

Melihat pemuda itu roboh dengan tubuh lemas, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah amat lelah dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu menolongnya! Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi saat dia mengangkat pundak pemuda itu, dia menekan dengan jarinya hingga totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali.

Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan kagum, kemudian tiba-tiba dia berdiri, memeluk leher Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari rasa persahabatan dan kekaguman sehingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Tetapi setelah dia mendapat keterangan dari kakek itu, dia merasa lega dan sangat senang.

Semua orang tiada habisnya memuji serta mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An mendapatkan julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di situ, dan sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!

Sekarang semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An supaya menemui pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu.

Kedatangan mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan kereng! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tak mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu!

Pada saat melihat ada seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan tetapi ketika dia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu!

Hanya kakek juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia pun berkata, “Semua kumis yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yang tumbuh dengan wajar dari kulit!”

“Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!” berkata Kwee An dengan heran sekali.

Kakek itu tertawa. “Kenapa tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara tumbuh kumis, yakni dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya kemudian digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kau lihat pada anak tadi.”

Kwee An baru mengerti setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang di sana memelihara kumis. Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka ini rata-rata berkulit halus putih dan walau pun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus. Akan tetapi ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang kecil dan berderet rapi itu ternyata berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh dan menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!

Kwee An dibawa menghadap pada seorang Haimi yang bertubuh tinggi besar dan yang mempunyai kumis indah dan panjang sekali. Matanya lebar berpengaruh, usianya belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun. Ketika melihat Kwee An, dia lalu turun dari tempat duduknya dan menyambutnya dengan ramah.

“Sahabat, kunjungan seorang Han merupakan kehormatan besar sekali bagi kami!”

Bukan main dan herannya hati Kwee An mendengar betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara bahasa Han dengan amat baiknya! Ia lalu menjura dan berkata girang,

“Akulah yang mendapat kehormatan besar sekali kini dapat bertemu dengan orang-orang gagah bangsa Haimi, dan girang sekali hatiku karena ternyata bahwa selain kakek itu kau pun pandai berbahasa Han!”

Tempat di mana Kwee An disambut oleh kepala suku bangsa Haimi itu adalah sebuah pondok yang cukup besar terbuat dari pada kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang dalam muncul seorang wanita muda dan ketika Kwee An memandang, ia menjadi kagum.

Dara ini cantik sekali, terutama sepasang matanya yang lebar dan sangat indah. Dengan gerakan lemah lembut dan tanpa sungkan-sungkan lagi, dara muda itu mengambil tempat duduk di dekat pemimpin itu kemudian memandang Kwee An dengan sinar mata kagum, menatap secara langsung tanpa malu-malu seperti biasa kelakuan para gadis bangsanya sendiri! Oleh karena dipandang secara demikian itu, Kwee Anlah yang merasa malu dan sungkan!

“Ini adalah puteriku yang bernama Meilani,” kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu tersenyum kepadanya.

Kembali datang rasa kecewa dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis itu dikacaukan oleh cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Kenapa orang merusak gigi yang bagus itu?

Pemuda yang tadi dikalahkan oleh Kwee An, lalu menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang pertandingan tadi kepada ayahnya sambil menggerak-gerakkan dua tangannya. Ia memandang kepada Kwee An dengan kagum dan agaknya ia memuji-muji kepandaian Kwee An karena Kwee An melihat betapa pemimpin itu lalu memandangnya dengan mata terbelalak, sedangkan Meilani bahkan lalu berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri dia sambil memandangnya penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, seperti seorang memeriksa dan menaksir-naksir benda yang indah menarik!

Kwee An sama sekali tidak berani bergerak ketika didekati oleh dara ini, dan pada waktu gadis ini mendekatinya dia mencium keharuman yang ganjil, seperti bau bunga mawar!

Ketika Kwee An mengerling ternyata ruang yang luas itu sudah penuh orang-orang, lelaki dan wanita, serta kanak-kanak yang semuanya memandang kepadanya dengan kagum! Dikelilingi oleh sekian banyak laki-laki berkumis sedangkan dia sendiri tidak, juga sekian banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia merasa seolah-olah ia sedang berada di dunia lain!

“Anak muda, ketahuilah bahwa aku adalah Sanoko, yaitu pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari dua ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang tadi kau kalahkan adalah puteraku. Kau siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu cambuk yang begitu hebat hingga sudah mengalahkan puteraku?” pertanyaan ini diajukan dengan mata memandang kagum.

“Aku bernama Kwee An, dan tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah mempelajarinya. Hanya sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari sehingga aku dapat mempertahankan diri terhadap serangan cambuk puteramu.”

Tiba-tiba gadis yang bernama Meilani itu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya sangat merdu dan nyaring.

Ayahnya tertawa bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An, “Kwee-taihiap, apakah engkau juga pandai bermain golok?”

Mendengar bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebutnya taihiap (pendekar besar), Kwee An merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,

“Aku pernah mempelajari sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku sudah hilang di jalan.”

Ketika Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke dalam rumah dan keluar kembali sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus kain kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima dan melihat pedang itu, menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika yang ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya yang menjelaskan pada Kwee An,

“Anakku Meilani dulu pernah menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah goa dan oleh karena kami tidak pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka pedang ini tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah belajar main golok, ia sekarang minta supaya kau suka melawannya dengan pedang ini dan apa bila kau dapat mengalahkannya, maka pedang ini akan dihadiahkan kepadamu!”

Bukan main girang hati Kwee An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan tajam. Pada tempat di dekat gagang dia melihat ukiran dua huruf ‘OEI KANG’ yang berarti ‘Baja Kuning’. Akan tetapi, ketika itu ia tidak sempat memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh karena dia merasa terkejut mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok.

Ketika dia melihat golok itu, dia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat dari pada logam yang sama dengan pedangnya, karena juga mengeluarkan cahaya kekuningan. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka dia pun segera menjawab,

“Baik, hanya kuharap saja Nona Meilani akan berlaku murah hati kepadaku.”

Setelah mendengar jawaban pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan adiknya. Kwee An juga keluar dari tempat itu sambil membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar pula dengan wajah berseri gembira, mereka seakan-akan hendak menghadiri pesta perayaan yang menarik hati.

Sesudah berada di halaman pondok yang luas, Meilani lantas melompat dengan gerakan yang ringan dan lincah sambil membawa goloknya. Gadis ini kemudian mempererat ikat pinggangnya, mengikat pula dua kuncir rambutnya yang lalu diselipkan di dalam baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan cantik, dia berdiri menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias bibirnya.

Ketika melihat gerakan gadis yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata memiliki gerakan yang gesit. Maka dia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang Oei-kang-kiam di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke hadapan gadis itu. Ia telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini disambut dengan tampik sorak oleh semua penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!

Melihat bahwa pemuda ini sudah melompat ke hadapannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya memberitahu bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia langsung menggerakkan goloknya, diputar-putar di atas kepalanya seperti gerakan orang Haimi bermain cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah lompatan cepat dan golok itu menyambar ke arah leher Kwee An!

Seperti juga pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi ringan sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak mencoba pedangnya, maka dia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau. Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam, hampir saja senjata itu lepas dari pegangannya!

“Hebat sekali tenagamu!” katanya dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang membuat para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena dia tahu bahwa puterinya itu sudah diberi latihan tenaga dalam yang cukup tinggi, karena itu dengan sekali tangkis saja dapat membuat puterinya memuji, tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!

Meilani lalu memutar-mutar goloknya dan mainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya lalu berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung laksana gelombang menderu mengancam diri Kwee An. Akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedang Hai-liong Kiam-sut yang dulu dia pelajari dari Nelayan Cengeng.

Melihat betapa pemuda itu berkelebat cepat sekali seolah-olah menerobos di antara sinar goloknya dan kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali. Sedangkan semua penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat Kwee An dan pertandingan yang seru itu membuat mereka menahan napas dan lupa untuk bersorak.

Sanoko juga merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak mengurung, kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, dia sampai berdiri dari tempat duduknya kemudian memandang dengan penuh perhatian. Gerakan pedang Kwee An benar-benar bagai seekor naga laut yang mengamuk hingga diam-diam Sanoko mengakui bahwa belum pernah ia menyaksikan ilmu silat sedemikian lihainya.

Kwee An yang merasa sangat gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali, segera mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya mengurung dengan pedangnya saja. Apa bilas dia mau, dengan mudah saja dia dapat menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk melukai gadis cantik yang tak bermaksud buruk terhadap dirinya itu.

Dikurung oleh sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan pandangan matanya kabur. Mendadak dia berseru keras dan segera tubuhnya melompat tinggi dan jauh. Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu dia lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan kiri Kwee An!

Melihat hal ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang cepat menghampiri Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli sekali karena merasa betapa kumis-kumis mereka itu seakan-akan mengitik-itiknya.

Kakek yang dapat berbahasa Han itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata, “Kionghi, kionghi, (selamat, selamat)...!”

Kwee An hanya mengira bahwa kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah terkejutnya ketika Sanoko datang menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh keharuan.

“Kwee An, puteriku sudah memilih jodohnya dan aku merasa gembira sekali mendapat seorang mantu seperti engkau!”

“Apa...? Apakah maksudmu...?” Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.

“Meilani telah memberikan goloknya dan kau pun telah menerimanya dengan baik, masih ingin bertanya apa lagi? Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan jangan berpura-pura atau malu-malu. Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan sementara itu, kau boleh mengadakan persiapan dan akan dibantu oleh pamanku ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata adalah paman Sanoko sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan kaki gagah.

Kwee An berdiri bagaikan sebuah patung dan ketika kakek itu menarik dirinya menuju ke sebuah pondok tak berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya, “Lopek, apakah maksudnya ini semua?”

“Barang kali kau tidak tahu, anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apa bila seorang gadis memberikan goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterima, maka itu berarti bahwa mereka telah mengikatkan diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah memberikan goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan berbahagia oleh karena Meilani merupakan gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah banyak pemuda yang merindukannya. Di samping memiliki kepandaian tinggi dan menjadi puteri kepala kami, dia juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kau lihatkah betapa cantik jelitanya dia?”

Pucatlah wajah Kwee An mendengar ini. “Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerima dia sebagai… sebagai… jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Dia melemparkan goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tanganku. Lopek, tolonglah aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan ini!”

Wajah kakek itu berubah tak senang. “Mengapa begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda, ingatlah bahwa di seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti Meilani. Dia telah memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tak patut karena tidak berkumis, semata-mata karena dia kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu. Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak. Penolakanmu ini akan berarti penghinaan pada kami seluruh suku bangsa Haimi, dan tentu kau akan dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini hanya terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!”

Bukan main terkejut hati Kwee An mendengar keterangan ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan kembali golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata, “Lopek, tolong kau kembalikan golok ini dan sampaikan salam serta rasa hormatku kepada Sanoko, dan juga penyesalan serta permohonan maafku kepada Meilani, karena kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.”

Akan tetapi begitu menerima kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap mengancam. ”Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan membuat Meilani malu sekali sehingga dia pasti akan membunuh diri sesuai dengan adat kami. Karena ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku tak akan membiarkan kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah melewati mayatku!”

“Jangan, Lopek, biarkan aku pergi!” kata Kwee An dengan gugup.

Akan tetapi, kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di tangan! Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih lihai dari pada gerakan golok Meilani, sehingga Kwee An terpaksa harus mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas olehnya!

“Kau benar-benar lihai, nah, kau bunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!”

Lemaslah tubuh Kwee An. Ia merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri karena dia tinggal pergi, dia merasa tidak tega sekali. Karena itu dia lalu memandang kakek itu dengan mata mengandung permintaan tolong.

“Kakek, aku... tidak dapat melukaimu. Kalian sudah berlaku sangat baik kepadaku, begitu ramah tamah, bagaimana aku sampai hati mendatangkan mala petaka? Tapi perkawinan itu sungguh-sungguh tidak mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku sudah mempunyai seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin dengan gadis lain.”

Mendengar ini, kakek itu berpikir keras. “Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang pemuda untuk memiliki dua orang isteri, sungguh pun hal itu sangat jarang terjadi. Aku maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik budi. Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis kami ialah upacara pernikahan. Apa bila upacara itu sudah dilangsungkan, kau tidak berhalangan untuk pergi meninggalkan isterimu walau pun tidak menjadi isteri dalam arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu benar-benar kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh diri. Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina Meilani.”

“Akan tetapi, Lopek, tentu Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi meninggalkannya!” Kwee An membantah.

“Jangan kuatir, sebelum upacara dilangsungkan, malam ini juga aku akan memberi tahu kepadanya bahwa kau menjalankan upacara ini hanyalah untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah dan malu, dan bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah mempunyai calon istri lain.”

Kwee An memegang tangan kakek itu dengan pernyataan terima kasihnya oleh karena ia anggap itu adalah cara terbaik.

Malam itu, lima orang gadis yang berwajah manis-manis serta bergigi hitam mengkilap, menyerbu masuk ke kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara tidak karuan karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan dia lalu memberontak dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!

“Ehh, ehh, kalian pergilah! Keluarlah dari kamar ini! Apakah kalian sudah gila dan hendak menggangguku?” katanya dengan keras dan mata terbelalak.

Akan tetapi oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan menghampirinya kembali! Kwee An berlarian ke sana ke mari di dalam kamarnya, akan tetapi terus dikejar-kejar oleh para gadis itu sambil tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tidak lama kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat apakah yang terjadi di situ.

Melihat betapa Kwee An telah melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil memandang lima orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagai seekor tikus melihat lima ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak! Girang sekali hati Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari ke belakang tubuh kakek tadi.

“Lopek, tolonglah aku. Mereka ini apakah tiba-tiba menjadi gila?”

“Ini pun termasuk upacara perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka ini datang untuk menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh kumis!”

“Apa?” Kwee An berseru sambil menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seolah-olah merasa ngeri sekali bahwa hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! “Aku tidak mau... aku tidak mau, Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An berkata, “Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis panjang menjungat ke atas!”

Kakek itu kemudian mengucapkan perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi pada waktu mereka memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee An menghela napas panjang karena hatinya lega ketika melihat gadis-gadis itu sudah pergi.

“Bagaimana Lopek, apakah kau memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?”

Kakek itu mengangguk dengan muka sedih.

“Dan marahkah dia kepadaku?”

“Tidak, tidak marah. Hanya kecewa dan berduka. Kau... kau memang kejam.”

“Ehh, mengapa kau berkata demikian, Lopek? Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong dia.”

Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali dia menghela napas. “Alangkah baiknya bila kau benar-benar menjadi suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaian yang kau miliki lihai sekali dan kau dapat kami harapkan untuk membantu kami mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!”

Tergerak hati Kwee An melihat wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali. “Lopek, untuk membantu kalian, tidak perlu aku harus menjadi keluarga. Kalau memang terdapat kesulitan dan aku mampu membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga. Katakanlah, apakah yang sudah terjadi dan apa pula yang diperbuat oleh orang-orang Mongol terhadap bangsamu?”

Sesudah berulang kali menghela napas, kakek itu lalu bercerita, “Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi, adalah bangsa yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami merupakan bangsa perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan kelemahan kami. Selama beberapa tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang hendak memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan dengan helaan napas, oleh karena kami tak berdaya. Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak jatuh korban di pihak kami hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga kami, oleh karena pihak Mongol memang jauh lebih kuat dari pada kami. Telah lama kami mengimpikan datangnya bintang penolong, dan setelah kini kau datang, maka besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa engkaulah orangnya yang mampu menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir mereka kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang buruk, kau bahkan mengecewakan kami, juga menghancurkan hati puteri kami yang bernasib malang...”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee An merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.

“Lopek, janganlah kau kuatir. Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang Mongol yang berani mengganggu kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan kudatangi dan kuhajar mereka!” kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat sehingga kakek itu dapat tersenyum lagi.

“Hal itu mudah, nanti apa bila upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu di mana keparat-keparat itu berada.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar. “Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat upacara adat.”

Agar supaya tidak melukai perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu mengenakan pakaian itu.

“Ahh, kau memang gagah sekali. Apa bila kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda yang paling tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi Meilani! Sayang... sayang...,” kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.

Kemudian, sambil menabuh gendang dan tambur, serombongan anak gadis ‘mengambil’ pengantin laki-laki dan diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan. Ketika kedua mempelai dipertemukan, Kwee An melihat betapa wajah ‘isterinya’ itu basah dengan air mata dan diam-diam dia lalu menghela napas panjang dan terkenanglah dia kepada Ma Hoa. Ahhh, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma Hoa.

Seorang pendeta Haimi membaca doa-doa dalam bahasa Haimi, namun dari cara-cara ia membaca doa, tahulah Kwee An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah, disesuaikan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.

Kwee An harus mengakui kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, akan tetapi bila mengingat gigi yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Ketika upacara dilakukan, tiba-tiba seorang pemuda Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan sesuatu kepada Sanoko. Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada di situ. Bahkan Meilani lantas membuka penutup mukanya dan segera mengambil goloknya yang sudah dikembalikan oleh Kwee An.

“Apakah yang telah terjadi?” Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur orang-orangnya yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.

“Seorang Perwira Mongol yang kosen dan yang sering mengganggu kami sudah datang dengan seorang kawannya. Dia sudah menculik dua orang gadis serta membunuh tiga orang pemuda kami!”

“Keparat!” Kwee An memaki sambil mencabut Oei-kang-kiam. “Hayo tunjukkan di mana ia berada!”

“Kami hendak mengeroyoknya, karena kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan ragu-ragu.

“Jangan kuatir, biar aku yang menghadapinya!” Maka semua orang segera mengiringkan pemuda itu, berlari keluar dari hutan.

Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik itu telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu sedang bertempur melawan seorang gadis yang gagah perkasa.

Hampir saja Kwee An menjerit karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau yang dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Ada pun gadis berambut riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan amat hebatnya melawan dua orang kosen itu, bukan lain adalah Ma Hoa sendiri!

“Hoa-moi...!” Kwee An berseru dan dia segera menerjang maju pedangnya.

Ketika Ma Hoa memandang, dia terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan pakaian yang aneh itu.

“Koko, marilah kita gempur bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!” katanya sambil tetap mengerjakan kedua batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa.

Walau pun merasa heran sekali melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai itu, namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio yang bersenjata sebatang pedang pula karena merasa kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan tangan kosong saja.

Melihat munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jeri karena dia maklum bahwa setelah kini gadis itu mempunyai ilmu silat yang sedemikian lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga lihai sekali, tidak mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apa lagi ia melihat bahwa serombongan besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan juga ikut datang pula. Orang Mongol yang licik ini lalu berseru keras dan segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri.

Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja tidak mau melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat ke atas sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua bambu runcing di tangan, bagai seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke Ce menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas terdengar bentakan Ma Hoa yang halus tapi nyaring,

“Bangsat keji hendak lari ke mana?”

Ke Ce menengok ke belakang dan mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai sepasang bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan terus. Ia hendak menggunakan ginkang-nya yang tinggi untuk melarikan diri, akan tetapi Ma Hoa mengejar sambil berlompatan sehingga sebentar saja dia sudah melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan pemuda Mongol itu!

“Kalau mau lari, hanya boleh lari ke neraka untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa sambil mengirim tusukan dengan kedua bambu runcingnya, yang kiri ke arah leher lawan, sedangkan yang kanan ke arah jalan darah di dada!

Ke Ce terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget lagi ketika dia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah sampai beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan dua tangannya hendak mengirim pukulan Angin Topan yang hebat!

Akan tetapi Ma Hoa sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat dia dan Kwee An terjungkal ke dalam jurang itu. Maka sambil berseru keras dia melompat ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya bergerak.

Bambu runcing di tangan kirinya lantas meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah terlepas dari busur dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan kanannya meluncur menyusul bambu pertama!

“Cepp…! Cepp…!”

Kedua bambu runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, yang sebatang di tengah dada dan sebatang lagi di lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuh pada saat itu juga!

Terdengar sorak sorai riuh rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce dan mencabut keluar kedua bambu runcingnya serta membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian ia menghampiri rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan berlutut.

Ma Hoa mendekati Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu. Akan tetapi ketika dia bertanya, gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya menunjuk ke arah Kwee An dan Ma Hoa menengok.

Ternyata bahwa Kwee An tengah bertempur dengan hebatnya melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo Lang Hwesio benar-benar lihai sekali, karena meski pun Kwee An sudah mengeluarkan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut, akan tetapi hwesio itu sanggup menahan serangannya secara baik dan bahkan dapat membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya!

Kwee An lalu mengeluarkan ilmu silat yang dulu dia pelajari dari Hek Mo-ko, dan setelah mainkan ilmu silat ini dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, dalam lweekang dia masih kalah setingkat sehingga tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa tangannya gemetar! Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau dia memegang pedang biasa tentu pedangnya akan bisa dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio yang di samping merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi itu.

Melihat ini, Ma Hoa berseru, “An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!”

Tubuh gadis ini lalu berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang secara hebat bukan main. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, karena baru menghadapi Kwee An seorang saja biar pun dia tidak akan kalah akan tetapi sudah amat sulit merobohkan anak muda itu, sekarang ditambah pula dengan permainan kedua bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa, maka dia menjadi sibuk sekali!

Dengan perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa serta Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin mulai mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa girang sekali oleh karena ia mendapat kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai.

Sedangkan Bo Lang Hwesio amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia pun sangat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena dia teringat bahwa yang memiliki ilmu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang bernama Hok Peng Taisu! Kenapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu kepandaian ini?

Ketika Ma Hoa mendesak makin hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak Bo Lang Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena sungguh pun dia memiliki lweekang yang membuat kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam itu telah melukainya. Sambil berseru hebat ia memutar pedangnya dan ketika kedua lawannya mengelak, dia lalu melompat ke belakang dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan berkata,

“Yang mencelakai kita dulu adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”

Ma Hoa dan Kwee An berdiri saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang dengan perasaan terharu sekali. Tanpa terasa lagi dari mata mereka lalu mengalir air mata karena rasa girang dan terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik oleh tenaga mukjijat, keduanya lalu saling rangkul sambil berbisik,

“Koko...”

“Moi-moi..., serasa dalam mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi...”

“Koko...,” kata Ma Hoa setelah melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah tapi bibir tersenyum, “kau... kelihatan lucu sekali! Dari mana kau peroleh pakaian seperti itu?”

“Untung saja kau tidak melihat aku berkumis seperti mereka itu!” Kwee An berkata sambil menahan ketawanya.

Ma Hoa heran sekali mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia tidak tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau bangga karena betapa pun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil mengusir musuh itu adalah ‘suaminya’.

“Engko An, siapakah gadis manis ini?”

“Dia adalah isterinya, lihiap!” Sanoko menjawab, “dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga menjadi ayah mertua Kwee An!”

Bukan main terkejut hati Ma Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An dengan wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata, “Tenanglah, Moi-moi, hal ini memerlukan penjelasan!”

Kemudian ia berkata kepada Sanoko dengan suara tegas, “Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah mendengar keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah kini bahwa Nona ini adalah tunanganku yang kuceritakan itu!”

Oleh karena di situ terdapat banyak orang-orang Haimi, meski pun mereka tidak mengerti percakapan mereka, akan tetapi Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham, maka Ma Hoa tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu memberi isyarat kepada Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di tempat yang agak jauh dari mereka. Meilani hanya memandang dengan heran dan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.

“Lopek, sekarang harap kau suka ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai terjadi kesalah pahaman,” kata Kwee An kepada kakek itu sesudah mereka berada jauh dari rombongan itu.

“Lihiap, kata-kata Kwee-taihiap ini memang benar. Walau pun dia terpaksa menjalankan upacara pernikahan dengan Meilani, akan tetapi hal itu hanya untuk menjaga kehormatan puteri kami itu saja. Kwee-taihiap tadinya juga bersikeras menolak, akan tetapi akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan menolong gadis itu.”

Maka dengan panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana sudah terjadi kesalah pahaman ketika Kwee An menerima golok dari Meilani, dan betapa bila pemuda itu tidak mau memenuhi kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena malu.

Ma Hoa mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya dia marah sekali, akan tetapi setelah tahu akan duduknya perkara, dia malah merasa kasihan sekali kepada Meilani.

“An-ko, apa bila kau memang suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan kau pikirkan aku lagi!”

“Ehh, ehh, Moi-moi, mengapa kau berkata demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan wanita lain! Sesudah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu kepadaku?”

“Bukan cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!” Kemudian Ma Hoa lalu bertindak menghampiri Meilani dan memeluknya.

Biar pun Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena dia sudah mendengar dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya karena telah bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia dapat juga menduga.

Ketika melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa tentu gadis inilah yang menjadi tunangan Kwee An. Ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum melihat kecantikannya, sehingga dia merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi calon isteri Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air mata saja.

Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa karena ternyata bahwa ‘gadis saingan’ puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan memiliki kepandaian yang lebih hebat dari pada Kwee An sendiri. Bahkan gadis itu juga sudah meneewaskan seorang musuh yang telah banyak membunuh bangsanya!

Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, dia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur.

Ada pun semua orang Haimi, ketika melihat Kwee An pergi meninggalkan ‘isterinya’ yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas. Akan tetapi mereka tak berani banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.

Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan pada waktu mendengar dari Ma Hoa bahwa dara itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali.

Sebaliknya, pada waktu Kwee An menceritakan betapa dia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam goa dengan keadaan amat menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.

"Koko," katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku.”

Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sebenarnya aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"

Ma Hoa tertawa. "Bila kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"

"Betapa pun juga, bangsa Haimi itu adalah orang-orang baik, akan tetapi nasib mereka buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan berbicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"

“Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan di sana terdapat goa-goa kuno yang terkenal. Jika hendak mendengar tentang Lin Lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”

Bagi Kwee An, jangankan dia harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biar pun harus ke neraka sekali pun, kalau bersama Ma Hoa, dia akan pergi dengan senang hati.

“Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula,” katanya.

Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia Dalam, menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia…..

********************
Siapa yang pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta dan mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu yang terasa hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu!

Pendek kata, Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan berdua dengan hati dipenuhi kebahagiaan dan kegembiraan. Apa lagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sama sekali belum pernah mereka kunjungi sehingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.

Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.

Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera menatap wajah kekasihnya yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat sekali.

Sepasang mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur itu dengan terbelalak penuh keheranan dan tampaknya amat terkejut bagaikan melihat setan di tengah hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan pula dua orang yang bertempur itu. Tiba-tiba dia pun memandang dengan mulut celangap.

Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah kau juga melihat apa yang kulihat?"

Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran…. heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia?"

"Siapa lagi? Walau pun lupa akan wajah dan bentuk badannya, aku tak akan melupakan gerakan dan ilmu silatnya. Dia benar-benar Enci Im Giok!"

"Mari kita membantunya!" kata Kwee An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,

"Jangan dulu! Enci Im Giok paling tidak suka dibantu apa bila keadaannya tidak terdesak. Lihat, dia sedang mendesak lawannya, dan dua orang pendeta yang menonton itu, entah mereka itu kawan atau lawan. Sebaiknya kita menonton sambil bersembunyi dan melihat gelagat."

Keduanya lantas mengintai dari balik pohon. Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah seorang nenek tua yang mengerikan. Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi dan di sana terdapat daging yang menonjol, merupakan punggung onta. Rambutnya digelung dan diikat dengan sapu tangan bersulam yang kecil. Telinganya memakai anting-anting yang besar melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan tangan kosong menghadapi seorang dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang.

Nona ini cantik sekali dan sekali pandang saja orang yang sudah pernah melihatnya tak akan ragu-ragu lagi bahwa dia ini bukan lain adalah Ang I Niocu! Apa bila gerakan Ang I Niocu indah menarik dan gesit sekali hingga nampaknya seperti sedang menari dengan pedangnya, gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya.

Tubuh nenek itu berlompatan ke atas sambil menyerang dahsyat dengan cengkeraman-cengkeraman tangan yang jari-jarinya ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat pertempuran itu, dua orang kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi besar, berjubah hitam panjang dan kepalanya ditutup oleh sebuah sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya penuh cambang bauk.

Pada waktu itu, Ang I Niocu sedang mendesak hebat dengan ilmu pedangnya. Apa bila gerakan nenek itu boleh diumpamakan sebagai seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar korbannya, Ang I Niocu merupakan seekor burung merah yang indah dan luar biasa gesitnya.

Di samping memiliki ginkang yang tinggi dan sempurna, ternyata nenek itu juga memiliki tenaga dalam yang hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan Ilmu Silat Eng-jiauw-kang dari ahli silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang dia mengirim pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat rambut Ang I Niocu berkibar dan menjadi awut-awutan!

Akan tetapi, pedang Ang I Niocu sangat lihainya, sinar pedangnya dapat mendesak terus sehingga nenek itu terpaksa berkelahi sambil mundur. Pada saat nenek itu mundur dan melompat ke atas sebuah batu karang, Ang I Niocu membabat dengan pedangnya ke arah kaki lawannya dengan gerakan Bidadari Menyebar Bunga hingga hampir saja kaki nenek itu terbabat.

Akan tetapi, dengan cepat sekali nenek itu lantas melompat ke atas sambil mengeluarkan teriakan keras, dan ketika tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba saja kedua tangannya digerakkan dan berhamburanlah hancuran batu menyerang ke arah Ang I Niocu!

Ternyata bahwa ketika tadi nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya lalu mencengkeram batu karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan sekarang dia menggunakan hancuran batu karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran batu karang yang menjadi kerikil kecil-kecil ini tak boleh dipandang ringan, oleh karena tenaga lemparan yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu kecil itu dapat menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan sebuah senjata rahasia yang lihai!

Akan tetapi Ang I Niocu yang berkepandaian tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat ini. Dengan tenang dia segera memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan terlindung oleh dinding baja dan semua potongan batu kecil itu dapat terpukul jatuh.

Kembali mereka bertempur seru, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian mereka yang paling tinggi. Meski pun Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah menjatuhkan nenek yang lihai itu.

Sebelum kita maju lebih lanjut dengan cerita ini, lebih baik kita ikuti dulu pengalaman Ang I Niocu semenjak dia berada di Pulau Kim-san-to, karena pembaca tentu merasa heran bagaimana Ang I Niocu bisa muncul di sini sedangkan dulu ia berada di Pulau Kim-san-to ketika pulau itu terbakar dan meledak? Baiklah kita mundur sejenak supaya selanjutnya cerita ini dapat diikuti dengan lancar.

Sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Ang I Niocu mendahului Cin Hai pergi ke Pulau Kim-san-to untuk mencari Lin Lin. Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik ke atas puncak untuk mencari Lin Lin, akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai, bahkan ia melihat pemandangan yang amat mengerikan, yaitu seluruh danau di bukit itu terbakar hingga merupakan neraka yang dahsyat.

Ia melihat bayangan Vayami seperti sedang melambai-lambai memanggilnya dari tengah lautan api itu, maka dengan hati ngeri sekali Ang I Niocu mencari-cari Lin Lin, berlari ke sana ke mari dan suaranya sampai serak karena terus-menerus ia memanggil,

“Lin Lin…. Lin Lin….! Di mana kau…?”

Ketika ia sedang berlari menubruk sana menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti orang gila, tiba-tiba saja terdengar sebuah letusan hebat dan daya tenaga raksasa yang keluar dari ledakan itu membuat tubuh Ang I Niocu terlempar ke atas udara. Walau pun semangat Ang I Niocu seolah-olah terbang keluar dari tubuhnya karena hebatnya ledakan itu, namun ia masih sempat berteriak lagi memanggil, "Lin Lin…. Lin Lin…. Hai-ji…. "

Ang I Niocu kemudian pingsan selagi tubuhnya masih melayang di udara! Memang mati atau hidup seseorang sepenuhnya berada di dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha Kuasa. Kalau Tuhan menghendaki, seorang yang sudah berada di mulut harimau masih akan dapat tertolong dan hidup, sedangkan seorang segar bugar dapat tiba-tiba mati. Hal ini harus diakui oleh semua orang karena banyak terjadi bukti-bukti akan kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi dalam tangan Tuhan!

Begitu pula dengan nasib Ang I Niocu. Agaknya Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari hidup di dunia, maka tubuhnya terlempar ke angkasa tanpa terluka. Hal ini memang tidak begitu aneh oleh karena dapat diketahui sebab-sebabnya.

Kalau sekiranya Ang I Niocu tidak berada terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu, seperti halnya para tentara Turki dan tentara kerajaan yang terbasmi habis seluruhnya, tentu Dara Baju Merah itu pun akan tewas juga, termakan oleh api dan minyak panas. Akan tetapi saat ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu berada dekat sekali sehingga sebelum api dapat membakar tubuhnya, hawa letusan yang luar biasa kerasnya itu telah membuat tubuhnya terlempar ke udara!

Karena hebatnya tekanan ledakan itu, pakaiannya yang merah sampai terobek ke sana sini. Potongannya lalu terlempar dan melayang-layang terbawa angin yang didatangkan oleh ledakan hingga sepotong dari pakaian ini kemudian ditemukan oleh Cin Hai di atas laut.

Biar pun pada saat dia terlempar ke udara, Ang I Niocu terhindar dari bahaya api yang mengamuk, akan tetapi dia masih belum terlepas dari bahaya maut sama sekali, karena dia telah menjadi pingsan dan kalau dia jatuh kembali, maka tubuhnya tentu akan hancur dan dimakan api! Akan tetapi, memang Tuhan belum menghendaki kematiannya, maka kembali Yang Maha Kuasa memperlihatkan kekuasaanNya lagi.

Di antara semua makhluk hidup yang berada di atas Pulau Kim-san-to pada saat ledakan terjadi, selain Ang I Niocu yang selamat, masih ada yang lainnya lagi, yakni Sin-kim-tiauw atau rajawali sakti berbulu emas. Kebetulan sekali pada waktu ledakan terjadi, burung rajawali ini sedang terbang tinggi di atas pulau karena ia merasa terkejut melihat sekian banyak orang sedang berperang di atas pulaunya yang biasanya sunyi dan tenteram itu.

Ia terbang berputar-putar di angkasa sambil berteriak-teriak marah, karena perasaannya memberi tahukannya bahwa orang-orang yang sedemikian banyaknya itu bukanlah orang baik-baik. Dia hendak mengamuk serta menyerang, akan tetapi tidak berani dan merasa takut untuk menghadapi sekian banyak orang, maka kini dia hanya terbang tinggi sambil memekik-mekik marah.

Pada waktu terjadi ledakan, Sin-kim-tiauw merasa terkejut sekali dan sambil menyambar-nyambar ke bawah dengan marah, ia pun menjadi bingung dan takut melihat api berkobar hebat membakar pulaunya. Kemudian, tiba-tiba dia melihat tubuh orang yang berpakaian merah melayang ke udara dengan kecepatan luar biasa.

Tadinya burung itu merasa terkejut dan takut, oleh karena belum pernah ia melihat orang yang dapat terbang! Tentu ilmu kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Karena itu dia hanya terbang mengelilingi dan tidak berani menyerang, sungguh pun dia merasa marah sekali.

Akan tetapi, ketika Ang I Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuh itu mulai melayang jatuh kembali ke bawah, Sin-kim-tiauw kemudian menyambar dan mencengkeram tubuh itu. Perlu diketahui bahwa Sin-kim-tiauw bukanlah burung liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung peliharaan yang telah dilatih oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le, hingga burung ini telah dapat membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai. Maka ketika ia mencengkeram tubuh Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai tubuh itu, hanya membawanya terbang menuju ke timur dengan cepat sambil berteriak-teriak girang seperti biasa kalau ia menang berkelahi!

Burung rajawali yang besar itu membawa tubuh Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok ke arah tenggara, dan selama itu Ang I Niocu masih saja pingsan tak sadarkan diri sebab ledakan hebat itu betul-betul telah mengguncang jantungnya, sedangkan perasaan kuatir dan takut membuat semangatnya seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya.

Burung rajawali itu terbang terus dan setelah berputar-putaran tinggi di atas pulau yang banyak terdapat di permukaan Laut Tiongkok, dia lalu menyambar turun ke atas sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika ia telah terbang rendah di atas pulau itu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit keras dan Sin-kim-tiauw segera terbang ke arah suara suitan itu.

"Ehh, Kim-tiauw, siapakah yang kau bawa itu?" mendadak terdengar bentakan halus dan seorang lelaki keluar dari sebuah goa memandang pada Kim-tiauw yang terbang rendah itu.

"Lepaskan dia!" teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat segera melepaskan tubuh Ang I Niocu dari cengkeraman kakinya.

Tubuh Dara Baju Merah itu melayang ke bawah dan dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu menyambut tubuhnya. Merahlah muka laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu hampir tidak berpakaian lagi karena pakaiannya yang merah sudah robek di sana-sini oleh hawa ledakan tadi! Cepat-cepat laki-laki itu menanggalkan mantelnya, menyelimuti tubuh yang segera dibawanya masuk ke dalam goa itu, kemudian diletakkannya di atas tanah yang bertilamkan rumput-rumput kering.

Dengan hati-hati laki-laki itu lalu memeriksa nadi pergelangan tangan Ang I Niocu, lalu ia menarik napas lega. Dari sudut goa dia segera mengambil bungkusan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kulit buah labu yang telah dikeringkan dan dipergunakan sebagai tempat air. Ternyata bahwa isinya bukanlah air biasa, akan tetapi sari buah-buahan yang mengandung khasiat menguatkan tubuh dan mendatangkan ketenangan pada hati.

Dengan hati-hati, dia lalu membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan menuangkan sedikit isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, sesudah menyimpan tempat air ke dalam bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang wajah dara itu dengan penuh perhatian lalu menarik napas panjang dan keluar dari goa.

Burung rajawali melihat kedatangannya, lalu berjalan menghampiri sambil mengeluarkan keluhan panjang.

"Sin-kim-tiauw, dari manakah kau datang dan siapakah gadis itu? Aku mendengar suara ledakan keras dari arah Pulau Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali, apakah yang telah terjadi?"

Kim-tiauw itu mengeluarkan keluhan keras dan aneh, lalu dia mengembangkan sayapnya dan memukul-mukul tanah, seakan-akan hendak menceritakan peristiwa hebat yang telah menimpa pulaunya. Akan tetapi tentu saja laki-laki itu tidak mengerti sama sekali, hanya dia dapat menyangka bahwa tentu telah terjadi hal yang aneh sekali, karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku seaneh ini.

Siapakah laki-laki yang tinggal seorang diri di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada berkawan ini? Ia adalah seorang laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening lebar dan sinar matanya tajam berkilat. Tubuhnya tegap dan sedang, ada pun usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya terbuat dari pada bahan kasar berwarna biru dan sebilah pedang tergantung di pinggangnya.

Sesungguhnya orang ini adalah seorang pendekar silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu tinggi yang patah hati oleh karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh kepalsuan. Dulu dia tinggal di atas Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada suhu-nya yang bukan lain adalah Han Le atau sute dari Bu Pun Su! Mereka tinggal bertiga dengan seorang sute-nya, karena Han Le memiliki dua orang murid, yaitu lelaki ini yang bernama Lie Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun.

Baik Lie Kong Sian mau pun Song Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi korban keganasan tentara Mongol. Ayah bunda mereka sudah tewas pada saat tentara Mongol menyerbu dusun-dusun dan mereka berdua mendapat pertolongan dari Han Le yang lalu membawa mereka ke atas Pulau Kim-san-to dan mengangkat mereka menjadi murid.

Walau pun Lie Kong Sian mempunyai bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi kepandaian suhu-nya, namun dia masih kalah apa bila dibandingkan dengan Song Kun yang memiliki bakat luar biasa sekali. Bahkan Han Le sendiri pernah berkata kepada Lie Kong Sian yang dipercaya penuh dan disayangi seperti anak sendiri.

"Muridku, kau lihat saja, Song Kun kelak akan mempunyai ilmu kepandaian yang jarang mendapatkan tandingan oleh karena anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar biasa. Dalam hal ilmu silat, bakat mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena biar pun ilmu silat yang dipelajarinya sama dengan yang kau pelajari, akan tetapi bakatnya akan dapat membuat ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat, karena mendapat tambahan sendiri oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi dia masih sangat muda, muridku, dan apa bila aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, kaulah yang harus menjadi wakilku untuk menuntunnya ke arah jalan benar."

Bertahun-tahun kedua orang murid ini digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian Han Le mengajak kedua muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia ramai. Dan hal inilah yang kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah watak aslinya ketika pemuda ini melihat benda-benda berharga dan hal-hal yang terjadi di dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk menguasai hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan wanita cantik.

Baik Han Le mau pun Lie Kong Sian mengetahui hal ini, maka setelah berkelana selama dua tahun, Han Le lalu mengajak Song Kun kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh Lie Kong Sian mengembara seorang diri untuk meluaskan pengalaman dan menjalankan pekerjaan sebagai seorang pendekar yang harus menolong sesama hidup yang sedang menderita kesukaran.

Diam-diam Song Kun merasa mendongkol sekali kepada suhu-nya, akan tetapi dia tidak berani menyatakan dengan terus terang, bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap menjadi penurut dan berbakti sekali. Ia melayani suhu-nya dengan amat baiknya, bahkan ketika Bu Pun Su datang berkunjung ke pulau itu, ia dapat pula menipu kakek jembel ini hingga Bu Pun Su juga salah sangka dan memuji murid adik seperguruannya ini, lalu menurunkan semacam kepandaian ilmu silat kepada Song Kun.

Di atas pulau itu, selain Song Kun dan gurunya, sudah ada tiga ekor binatang sakti yang dahulu dipelihara oleh Bu Pun Su, yaitu Rajawali Emas, Harimau Bertanduk dan Merak Sakti. Ketika dulu Bu Pun Su bertapa di pulau itu, ia memelihara ketiga ekor binatang ini dan kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang tetap berdiam di pulau itu.

Selama Lie Kong Sian pergi merantau, Song Kun dapat menipu suhu-nya dan membujuk sehingga Han Le lalu memberi pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu hari, tanpa memberi tahu kepada suhu-nya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han Le terkejut sekali dan mulailah ia merasa sedih dan jatuh sakit berat di atas pulau itu.

Kebetulan sekali Lie Kong Sian datang ke Pulau Kim-san-to untuk mengunjungi suhu-nya dan sute-nya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat suhu-nya dalam keadaan sakit berat. Cepat-cepat dia menolong serta merawatnya, akan tetapi terlambat. Agaknya memang sudah menjadi takdir bagi Han Le untuk meninggalkan dunia ini di pulau itu! Sebelum ia menutup mata, ia meninggalkan pesan kepada Lie Kong Sian.

“Muridku, kalau aku telah mati, kuburkanlah mayatku di dalam goa ini, dan juga pedangku ini harus ikut ditanam pula, kemudian kau pergilah mencari sute-mu Song Kun. Selidikilah keadaannya karena aku kuatir sekali kalau-kalau ia akan mencemarkan namaku dengan perbuatan rendah. Akan tetapi, kau berhati-hatilah menghadapinya, Kong Sian, karena ilmu silatnya hampir sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau carilah supek-mu Bu Pun Su untuk membantu menangkapnya. Selain supek-mu Bu Pun Su, kukira tidak ada orang lain yang akan dapat melawannya!”

Tidak lama kemudian, sesudah Lie Kong Sian memenuhi pesanan suhu-nya yang telah meninggal, yaitu mengubur jenazah suhu-nya bersama pedangnya di dalam goa yang penuh pasir itu, lalu ia meninggalkan Pulau Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih berdiam di pulau itu dengan sedih dan kesunyian.

Lie Kong Sian berhasil bertemu dengan sute-nya, akan tetapi, biar pun ia melihat bahwa sute-nya ini menyimpang dari perjalanan hidup yang benar, dia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun Su. Sejak kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sute-nya ini hingga ia pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasehat.

Akan tetapi, benar sebagaimana dugaan suhu-nya, adiknya itu tak mau menurut bahkan menantangnya hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan tetapi Song Kun memiliki kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.

Hal ini amat mendukakan hati Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam keraguan dan kebimbangan, dia lalu kembali ke Pulau Kim-san-to dan menangis di depan kuburan suhu-nya, mengakui akan kelemahannya.

Kemudian dia lalu mengasingkan diri dan bertapa di sebuah pulau kosong tidak jauh dari Kim-san-to, yaitu sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Pek-le-to. Sering kali Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya, dan juga beberapa kali Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau di mana suhu-nya dimakamkan itu.

Demikianlah selama beberapa tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan tenteram, sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau Kim-san-to. Kemudian datang pula Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu saja ia menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia harus bertanya? Sesudah menepuk-nepuk punggung rajawali itu, Kong Sian kembali ke dalam goa.

Seperti tadi, dia berdiri memandang Ang I Niocu lagi dan kembali dia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama hidupnya dia mendapat perasaan seperti ini, sungguh pun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik selama ia merantau.

Ia segera maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat dia segera membuang muka dan tidak mau memandang lagi. Akan tetapi, oleh karena hatinya masih saja berdebar, dia lalu pergi ke sudut goa di mana terdapat sebuah batu besar yang pada bagian atasnya ia tilami jerami kering, lalu duduk dan bersemedhi untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!

Tidak lama kemudian, Kong Sian berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun dari atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu merah sekali dan pernapasannya sesak.

Ia mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu terserang demam hebat. Maka cepat dia keluar dari goa dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to, lalu memeras daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan sapu tangan yang dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.

Kekagetan dan ketakutan yang menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang dahsyat itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga hari. Dan selama itu pula, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian terus menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Akan tetapi selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang biasa berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi untuk bersemedhi dan mengatur pernapasannya serta menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!

Pada hari ke empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi tubuhnya ternyata lemah sekali. Karena gerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel yang menutupi tubuhnya terbuka tapi dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu menutupkannya kembali. Kemudian dia lalu mengurut jalan darah gadis itu hingga Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan tetapi gadis itu masih belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup ia berbisik.

“Lin Lin…. Hai-ji….” Kemudian sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan di bibirnya ia berbisik lagi, “Air…. air….”

Ketika Kong Sian meraba jidatnya, maka ternyata panasnya sudah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir sekali dan segera mengambil air yang sudah dimatangkannya, lalu dengan sebuah sendok yang terbuat dari kayu, dia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I Niocu yang menelannya dengan lahap sekali. Kong Sian lalu mengambil bubur gandum yang tadi telah dimasaknya, lalu dengan pelan-pelan dia menyuapkan bubur ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa membuka mata.

Sesudah diberi makan bubur, gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap menjaganya dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta yang amat besar dan mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima tahun ini.

Memang tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tak akan kawin selama hidupnya dan terus tinggal di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan ilmu pengobatan. Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan dia merasa betapa hidup ini baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I Niocu dan kemudian membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya apa bila gadis cantik ini meninggal dunia karena sakitnya.

Sesudah dirawat dengan sangat teliti serta telaten oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam keadaan setengah sadar, dan selama itu pula Ang I Niocu belum pernah membuka matanya, maka lenyaplah demam yang menyerang dirinya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biar pun tubuhnya masih agak lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi.

Pada hari ke tujuh semenjak dia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan baru bangun dari alam mimpi yang sangat dahsyat. Ia bangun sambil tersentak kaget dan begitu membuka mata, dia segera bangun duduk sambil memanggil nyaring.

"Lin Lin…. Hai-ji….. " dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.

Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa kini dia sedang duduk diatas setumpuk rumput kering di dalam sebuah goa dan melihat seorang laki-laki cakap duduk di dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini Ang I Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan dia melihat seorang bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!

Ang I Niocu meloncat ke atas karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya sehingga Kong Sian juga buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya untuk membelakangi gadis itu.

"Nona, pakailah mantel itu baik-baik, baru kita bicara!" katanya perlahan dan halus.

Sementara itu Ang I Niocu terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tak karuan hingga ia hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu menyambar mantel itu kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan mata bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.

"Bangsat kurang ajar! Kau berani menghinaku?" serunya.

Mendengar ada sambaran angin pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak sambil berkata,

"Ehh, Nona, sabar dulu... aku... aku …."

Walau pun merasa tubuhnya masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap menyerang dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silat Kong-ciak Sin-na. Kong Sian merasa terkejut sekali oleh karena tentu saja dia juga mengenal ilmu silat dari suhu-nya ini, maka dengan heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan baik.

Makin kagumlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan biar pun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini menyatakan bahwa dia menghadapi seorang pendekar wanita yang tidak boleh dibuat gegabah.

Ia pikir bahwa gerakan-gerakan ini akan membahayakan kesehatan gadis yang baru saja sembuh itu, maka dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan totokan- totokan luar biasa dan karena Ang I Niocu belum cepat gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih lemah, lagi pula oleh karena ilmu kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda itu berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan lemas!

Kong Sian segera mengangkat tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar goa di mana ia menaruh tubuh gadis itu di bawah sebatang pohon sehingga angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu merasa nyaman sekali.

"Nona, banyak sekali hal yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku. Pertama-tama yang perlu kau ketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka padaku. Aku bukanlah orang jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan diri di pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil mencengkeram tubuhmu yang sedang pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan diri sampai tujuh hari dan aku merawatmu di dalam goa itu!"

Mendengar ucapan ini, lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu dan Kong Sian lalu mengulur tangan memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata, "Biarlah, kalau kau tetap tidak percaya padaku, kau seranglah aku lagi, aku tak hendak membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar belaka!"

Setelah sadar dari totokan, Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan dia tidak berkutik dari tempat duduknya. Tubuhnya masih terasa lemah sehingga ia menyandarkan diri saja pada pohon itu.

"Benar-benar masih hidupkah aku?" tanyanya perlahan setengah berbisik, karena kini dia teringat betapa dia sudah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.

Kong Sian tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubah sesudah dia tersenyum. Sekarang dia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira.

"Tentu saja kau masih hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada di Pulau Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."

"Bagaimana seekor rajawali dapat membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya Ang I Niocu yang masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita yang aneh itu.

Lie Kong Sian lalu berdiri dan bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya. Setelah tiba mendekat, ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung rajawali besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung rajawali yang dulu menyambar-nyambar dirinya di atas perahu ketika dia masih mencari Pulau Kim-san-to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Akan tetapi rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw terbang rendah lalu turun di hadapan Kong Sian, memandang kepada Ang I Niocu dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.

"Nah, inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu ke sini. Sekarang akulah yang ingin minta keterangan kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini."

"Aku…. aku berada di Pulau Kim-san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke udara oleh ledakan itu kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika tubuhku melayang di udara dalam keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar diriku dan membawanya ke sini. Kalau begitu, dia adalah penolong jiwaku!" Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan burung itu!

Kim-tiauw itu adalah seekor burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, dia agaknya tahu dan sambil mengeluh panjang dia kemudian menundukkan kepalanya dan membelai kepala Ang I Niocu dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik gembira burung itu lalu terbang ke atas dan berputaran di udara seakan-akan merasa girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan berlutut padanya!

"Kau katakan tadi bahwa aku sudah jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari di sini?" tanya Ang I Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di atas rumput, saling berhadapan.

Kong Sian mengangguk. "Ya, kau pingsan selama tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali. Kau terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang. Kemudian kau dapat bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama sekali tidak membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan sudah hampir habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi."

Ketika Kong Sian sedang bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan. Duduk berhadapan dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya, dia merasa seakan-akan dia telah menjadi kenalan lama, apa lagi ketika dia dapat menangkap nada suara yang penuh getaran karena terharu pada saat pemuda itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!

“Kalau begitu, selama tujuh hari aku menderita sakit… akan tetapi… sungguh heran… bagaimana aku masih dapat hidup….?”

Kong Sian merasa segan dan malu untuk menceritakan betapa ia telah merawat gadis ini selama sakit, maka ia hanya menjawab, “Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka Thian telah melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu.”

Ang I Niocu menggelengkan kepalanya. “Betapa pun juga, jika dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat dan selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tak mungkin aku akan dapat hidup! Siapakah yang merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?”

Merahlah wajah Kong Sian mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali, ada pun suaranya menjadi gagap ketika ia menjawab, “Memang… aku telah… aku yang memberi obat kepadamu dan… dan melihat kau begitu lemah dan gelisah…. aku memberi bubur gandum kepadamu."

Ketika mendengar ini, terbayang sinar terima kasih yang amat mendalam pada mata Ang I Niocu karena biar pun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya. Sikap ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa pemuda itu sudah merawatnya, membuat pandangannya terhadap pemuda itu semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini hanyalah menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini.

Akan tetapi, tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur keraguan membayang kembali pada wajahnya yang menjadi makin memerah.

"Dan... keadaan pakaianku ini…!”

Dia lalu melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal, "katakanlah terus terang, apa yang terjadi dengan pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan mantel? Mantel siapakah ini?" Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan marah oleh karena ia merasa bercuriga.

Kong Sian menarik napas panjang. "Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan menyangka yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi amat marah! Kau kira aku Lie Kong Sian ini orang macam apakah? Nona, kau boleh maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan tetapi janganlah sekali-kali kau menduga aku sudah berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu! Pada waktu Sin-kim-tiauw datang membawamu ke sini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang sebenarnya!"

Sambil berkata demikian, teringatlah Kong Sian akan hal itu sehingga dia menundukkan kepala dengan kemalu-maluan. Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia akan melihat betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua mata gadis itu mencucurkan air mata!

Tiba-tiba Ang I Niocu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), kau maafkan aku yang kasar dan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku, telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan, akan tetapi aku yang tertolong bahkan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah aku…" Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak saja dia merasa terharu, akan tetapi dia juga teringat akan semua peristiwa dan dia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!

Lie Kong Sian lalu berkata dengan halus, "Duduklah, Nona, dan kini legalah hatiku sebab sekarang kau telah percaya kepadaku."

Ang I Niocu bangun, lantas duduk kembali sambil menyusuti air matanya dengan ujung mantelnya. Ia kini merasa sangat jengah dan malu sehingga dia tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu.

"Yang amat mengherankan," katanya kemudian, "kenapa tubuhku tak terluka sedangkan aku dicengkeram dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang begitu besar dan ganas.”

“Tidak usah kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Dia telah terlatih baik sekali oleh Supek-ku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang dapat melatihnya.”

Ang I Niocu mengangkat kepalanya dan memandang tajam. “Apa? Jadi kau adalah murid keponakan dari Suhu Bu Pun Su?”

Kong Sian juga memandang heran. “Benar, mendiang Suhu-ku yang bernama Han Le adalah sute dari Supek Bu Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam goa tadi kau telah mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”

Dengan girang sekali Ang I Niocu berkata, “Kalau begitu, kau masih terhitung seheng-ku (kakak seperguruan) karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biar pun sebetulnya Suhu Bu Pun Su masih menjadi susiok couw-ku sendiri karena mendiang ayahku ialah murid keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku juga mendapat latihan Kong-ciak Sinna serta Pek-in Hoat-sut dari Suhu Bu Pun Su sehingga aku boleh juga menyebutnya Suhu!"

Bukan main girang rasa hati Kong Sian "Ahh, ahh, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa aku sudah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh aku merasa girang sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?"

"Ayahku adalah Kiang Liat," jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena dia merasa malu membicarakan ayahnya yang mati karena gila!

Kong Sian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sudah pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu itu yang berjuluk Jian-jiu Sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku juga pernah mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Niocu, apakah kau sendiri orang itu?"

Ang I Niocu mengangguk. "Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan."

"Sumoi, kata-katamu ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."

Keduanya lalu berdiam sampai lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing.....

Kemudian Kong Sian minta kepada Ang I Niocu supaya menceritakan pengalamannya sampai dia dapat berada di Pulau Kim-san-to. Dengan panjang lebar Ang I Niocu lalu menceritakan semua pengalamannya dan menyebut nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Nelayan Cengeng dan juga nama Yousuf dan lain-lainnya. Setelah selesai bercerita, Kong Sian lalu menepuk kepalanya sendiri sambil berkata,

"Ah, memang aku yang percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan api! Ah, arwah Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku hanya orang yang berjiwa lemah!" Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri sendiri.

"Suheng, kau adalah seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu saat kau menotok roboh padaku tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kau sia-siakan diri di tempat ini? Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan melakukan darma bakti sebagai orang yang berkepandaian? Kalau kau mengasingkan diri di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian sampai bertahun-tahun?"

Seperti biasanya, Ang I Niocu selalu merasa bahwa dia lebih berpengalaman dan lebih ‘berakal’ dari pada orang lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasehat-nasehat, teguran dan penyesalan, seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru menasehati murid. Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang disegani oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanya Bu Pun Su seorang, sedangkan kepada lain-lain orang ia bersikap ‘lebih tinggi’.

Kong Sian tersenyum mendengar ucapannya ini. "Sumoi, memang demikianlah apa bila dipandang sepintas lalu saja. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau dapat? Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku sudah bosan menghadapi semua itu. Di sini aku mendapatkan ketenteraman jiwa dan tak terpengaruh oleh kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai. Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar dari pulau ini untuk meninjau dunia ramai sehingga tidak terputus hubunganku dengan manusia umum, akan tetapi, tempat ini sudah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap di mana aku dapat hidup dengan tenteram dan aman sentosa!"

Ucapan ini membuat Ang I Niocu menjadi tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh suheng-nya ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang dia dapat selama ini? Hanya kesedihan, kekecewaan, dan permusuhan belaka.

Demikianlah, kedua orang itu kemudian bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan pengalaman masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang kepandaiannya sangat dipuji oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum sekali.

"Ahh, ingin sekali aku bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda yang masih demikian muda telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun Su. Dahulu Suhu pernah mengatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan ilmu silat adalah kepandaian tunggal Supek yang membuat dia menjadi seorang yang tak ada lawannya dalam dunia persilatan. Dan dia sudah mampu mencipta sendiri ilmu pedangnya. Mengagumkan sekali." Diam-diam Kong Sian membandingkan anak muda itu dengan sute-nya Song Kun yang juga amat lihai ilmu silatnya.

Sambil merawat dan memulihkan kesehatannya, Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan melatih ilmu-ilmu silat bersama Kong Sian. Ia telah menggunakan waktu senggang untuk menjahit kembali pakaiannya hingga kini tak perlu lagi ia menyelimuti diri dengan mantel pemuda itu.

Dalam latihan ilmu silat, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu benar-benar hebat dan lihai sekali sehingga boleh dikata masih lebih tinggi setingkat dari pada ilmu kepandaiannya sendiri. Oleh karena ini, dia mendapat petunjuk-petunjuk dari suheng-nya ini yang juga merasa kagum sekali melihat kepandaian sumoi-nya.

Ketika mendengar tentang Song Kun, Ang I Niocu menyatakan pendapatnya,

"Suheng sudah terang bahwa sute-mu itu jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa kau tidak pergi mencari dan menasehatinya?"

“Dulu sudah pernah aku mencarinya, akan tetapi dia tidak mau mendengar nasehatku," jawab Kong Sian dengan suara sedih.

"Kalau begitu, kau harus menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberantas kejahatan, dan siapa pun juga orangnya yang berlaku jahat, maka harus kita berantas!"

"Kami bahkan pernah bertempur dan aku tidak dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya walau pun tidak lebih dari pada kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar biasa serta kelincahan yang mengagumkan sekali. Dan… dan aku tidak tega melihat dia mendapat celaka. Aku amat menyayangnya seperti adik sendiri, sumoi."

Ang I Niocu memandangnya tajam dan kagum. "Kau memang orang yang berhati mulia, akan tetapi kau terlalu lemah, Suheng. Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang, kau akan membelanya sampai mati! Sayang tidak ada seseorang wanita yang mendapat kehormatan menerima cinta di hatimu itu, Suheng. Alangkah bahagianya seorang wanita yang mendapat cinta hati seorang mulia seperti kau ini!"

Ucapan ini sebenarnya hanya muncul dari watak yang jujur dari Ang I Niocu karena dia merasa betapa ada persesuaian antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau sudah mencinta orang, dia rela membelanya dengan taruhan jiwa sekali pun. Seperti halnya Lin Lin dan Cin Hai, ia rela untuk mengorbankan jiwa demi kebahagiaan mereka! Akan tetapi, tanpa disangkanya, ketika mendengar ucapan yang diucapkan sewajarnya ini, mendadak Kong Sian menjadi pucat sekali.

"Suheng, kau….. kau kenapakah?"

Sambil menundukkan kepala dan tak berani menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu berkata pelan, "Sumoi, sebetulnya lidahku seolah-olah beku untuk mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi biarlah kini aku berterus terang saja. Sebelum bertemu dengan kau, tak pernah terpikir olehku mengenai diri seorang wanita dan aku telah mengambil keputusan untuk hidup menyendiri di pulau ini hingga mati. Akan tetapi, setelah aku bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku mengetahui siapa adanya kau, melihat kau menderita sakit tanpa mengetahui apakah kau orang baik-baik atau orang jahat, hatiku sudah… tertarik sekali kepadamu dan… dan…" kemudian ia mengangkat mukanya dan dengan wajah pucat ia memandang kepada gadis itu dengan mata sayu, "Sumoi… maafkan kata-kataku ini… kita sama-sama hidup tidak berisi seakan-akan kosong dan sunyi. Maukah kau... maukah kau menghabiskan sisa hidupmu dengan aku di pulau ini?"

Warna merah menjalar di seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya, dan matanya terbelalak ketika dia memandang pemuda itu. "Suheng... apakah maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Sumoi, kalau kau sudi, marilah kita hidup bersama di pulau ini... maksudku, kita hidup sebagai suami isteri!"

Kini mata Ang I Niocu memandang tajam. “Kenapa, Suheng? Kenapa kau mengajukan usul ini? Apakah yang mendorongmu?"

Sementara itu, Kong Sian sudah dapat menetapkan hatinya yang tadi berguncang hebat. Dengan gagah dia lalu mengangkat muka, memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya. "Sumoi, biarlah kau mendengar pengakuanku. Meski pun kau akan mentertawaiku, akan mencaci, biarlah! Aku cinta kepadamu, Sumoi, sebagai cinta seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Belum pernah ada perasaan demikian di hatiku, akan tetapi sesudah aku melihatmu, aku cinta kepadamu, cinta dengan sepenuh jiwaku! Karena itu, sekarang aku mengajukan pinangan kepadamu, Sumoi, apa bila kau sudi, sukalah kiranya kau menjadi isteriku dan kita menghabiskan sisa hidup sebagai suami isteri di pulau ini."

Tiba-tiba saja tanpa dapat ditahan lagi, mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu sehingga Kong Sian menjadi terkejut dan berkata halus,

"Sumoi, kalau aku menyinggung dan melukai hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan memaksamu, Sumoi, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, apa bila kau tidak suka menerima katakanlah tanpa ragu-ragu atau sungkan-sungkan lagi. Aku takkan menyesal kepadamu, hanya akan menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak tahu diri!"

Sambil menghapus air matanya, Ang I Niocu menggelengkan kepalanya berkali-kali dan berkata, "Bukan demikian, Suheng. Jangan kau salah sangka. Aku... aku hanya merasa terharu sekali mendengar pernyataanmu yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka itu. Aku telah menerima budi pertolonganmu yang besar yang selama hidupku tidak akan pernah kulupa. Kau sudah menolong jiwaku dan apa bila seandainya tidak ada kau, aku Kiang Im Giok pasti sudah mati! Dan seandainya aku tidak terjatuh ke dalam tanganmu, akan tetapi ke dalam tangan laki-laki lain ahh... entah nasib apa yang akan kuderita! Kau seorang gagah dan mulia, Suheng, terlalu mulia bagiku... aku... aku seorang yang jahat dan kotor! Ketahuilah, pada waktu aku masih muda, aku telah jatuh cinta yang akhirnya mengorbankan nyawa Ayahku sendiri. Aku tidak berharga bagimu, Suheng."

"Im Giok, aku sudah tahu tentang hal itu dari Suhu-ku. Aku pernah mendengar betapa kekasihmu dibunuh oleh ayahmu sendiri. Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam hal itu. Ayahmu meninggal dunia oleh karena serangan penyakit jantung yang berbahaya. Wajar bagi seorang gadis untuk jatuh cinta!"

"Bukan itu saja, Suheng. Semenjak peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda yang jatuh cinta kepadaku, sengaja kupermainkan perasaan cintanya sehingga mereka menjadi seperti gila! Aku berlagak membalas perasaan mereka dan apa bila mereka telah menjadi gila betul-betul, aku pergi meninggalkannya. Banyak yang sudah menjadi korban, bahkan seorang pemuda yang baik budi bernama Kang Ek Sian, yang dulu bahkan telah dipilih oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi suamiku, juga telah kupermainkan dan kupatahkan hatinya!"

Kong Sian menggelengkan kepala dan menarik napas dalam. "Memang kau telah berlaku kejam dan sesat, Sumoi, akan tetapi pengakuanmu ini telah meringankan dosamu, tanda bahwa kau sudah insyaf. Aku tidak menyesal mendengar ini dan tidak mengurangi rasa cintaku padamu."

"Masih ada lagi, Suheng... " kata Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang menitik ke atas pipinya, "aku... aku yang tidak tahu diri akhirnya telah jatuh hati! Dan aku jatuh hati serta mencinta dengan sepenuh jiwaku kepada seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda dariku, padahal ketika aku bertemu dengan dia, aku telah berusia dua puluh tahun lebih dan dia baru berusia dua belas tahun! Aku... aku yang tidak tahu malu ini diam-diam mencinta kepadanya, dan... dan orang itu adalah Cin Hai, murid Suhu Bu Pun Su yang pernah kuceritakan padamu!"

"Hmm, jadi karena itukah maka kau mati-matian hendak mengorbankan nyawamu untuk menolong Lin Lin seperti yang kau ceritakan itu? Sumoi, kau benar- benar seorang mulia yang bernasib malang dan patut dikasihani! Aku dapat membayangkan betapa suci dan mulia rasa cintamu kepada Cin Hai! Melihat pemuda itu mencinta seorang gadis lain, kau tidak sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga hendak mempertemukan mereka! Aku tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan aku merasa bersyukur sekali bahwa kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang kurang baik. Sumoi, cerita dan pengakuanmu ini mempertinggi nilai dirimu dalam pandanganku."

Ang I Niocu mengangkat muka dan memandang heran. "Apa? Kau tidak marah padaku, Suheng? Kau tidak memandang rendah terhadapku setelah segala apa yang kuceritakan padamu itu?"

Kong Sian menggeleng-geleng kepalanya sambil tersenyum, dan dari matanya bersinar cinta kasih yang diliputi kekaguman hati. "Pengakuanmu bahkan telah mempertebal rasa cintaku, Sumoi. Sudah wajar bagi tiap manusia untuk melakukan kekeliruan, akan tetapi, setiap kekeliruan akan musnah apa bila orang itu sudah menyadari dan menginsyafinya. Kau adalah seorang mulia."

Mendengar ini, lemaslah seluruh anggota tubuh Ang I Niocu dan dia lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput sambil menangis.

"Im Giok, jangan kau merasa berat untuk menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa aku memang mungkin terlalu tua bagimu dan... "

"Tidak Suheng. Usia kita tidak berselisih jauh."

"Apa?? ]angan kau membohongi aku, Sumoi!" kata Kong Sian dengan heran.

Ang I Niocu tersenyum sedih di antara air matanya. "Aku tidak bohong, Suheng. Memang mungkin aku nampak jauh lebih muda oleh karena aku banyak makan telur dari pek-tiauw (rajawali putih), akan tetapi sesungguhnya aku telah berusia tiga puluh lebih, sedikitnya tiga puluh dua tahun!"

Kong Sian mengangguk-angukkan kepalanya, karena sebagai seorang ahli pengobatan yang menerima warisan kepandaian dari Han Le, ia maklum akan khasiat yang besar dari telur burung rajawali putih.

"Pantas, pantas saja! Dan hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, oleh karena tak sembarangan orang dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu, agaknya engkau paling banyak baru berusia dua puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi. Bersediakah kau menerima aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai kawan hidupmu?"

Ang I Niocu menggunakan tangan untuk menutup mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam hati ia mengaku bahwa mungkin di dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak dan patut menjadi suaminya selain Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya sendiri, rupanya tampan dan sikapnya halus dan sopan santun. Pribadinya tinggi dan hal ini telah ia buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang berada dalam keadaan setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan penuh kesabaran.

Semua ini telah menunjukkan bahwa pemuda ini sungguh-sungguh mencintanya dengan sepenuh jiwa. Terutama sekali, di dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia! Apa lagi? Pemuda ini bahkan telah menolong jiwanya sehingga sampai mati pun belum tentu ia bisa membalas budinya.

Akan tetapi, jika dia menerima pinangan itu, seakan-akan ia terlalu murah memberi harga kepada dirinya! Dia memang berwatak tinggi hati dan keras, dan tidak mau ditundukkan dengan mudah. Akan tetapi, untuk menolak dia pun tidak berani!

"Suheng,” katanya setelah dia berpikir dengan masak-masak, "aku harus menghaturkan beribu terima kasih atas budi kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak pinangan seorang seperti kau? Akan tetapi hal ini terjadi terlalu tiba-tiba sehingga aku belum dapat memutuskannya karena masih merasa bingung! Sekarang begini saja, Suheng. Biarlah kau anggap aku telah menerima pinanganmu itu dan aku pun takkan malu-malu mengaku bahwa aku telah menjadi tunanganmu. Akan tetapi, soal pernikahan antara kita baru bisa terlaksana setelah kau memenuhi beberapa syarat!"

Kong Sian tersenyum dan dari ucapan ini saja ia yang sudah paham akan tabiat manusia, dapat mengetahui bahwa gadis kekasih hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan keras! Ia menjawab sambil masih tersenyum. "Sumoi, katakanlah, apa syarat-syaratmu itu?"

"Pertama, kau harus menanti sampai aku bisa bertemu kembali dengan kawan-kawanku, terutama dengan Cin Hai dan Lin Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli ini atau melihat mereka telah berkumpul kembali, tidak mungkin aku dapat mengikat diri dengan laki-laki lain!"

Kong Sian mengangguk-angguk, karena maklum akan isi hati Ang I Niocu.

“Kedua, kita harus mendapat perkenan dari Suhu Bu Pun Su, oleh karena dahulu beliau mempunyai maksud dan kehendak untuk menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang biar pun mencintaku, akan tetapi tak kubalas cintanya itu.”

Syarat ke dua ini diam-diam menggirangkan hati Kong Sian, oleh karena dari ucapan terakhir yang menyatakan bahwa gadis ini tidak menerima pinangan Kang Ek Sian oleh karena tidak mencintanya, hampir menyatakan bahwa biar pun sedikit, gadis ini ‘ada hati’ padanya, kalau tidak, tentu ia akan menolaknya pula! Karena itu ia mengangguk-angguk kembali dengan mulut tersenyum.

“Ke tiga,” kata lagi Ang I Niocu, “kau harus keluar dari pulau ini dan turun ke dunia ramai untuk mencari sute-mu Song Kun itu dan memenuhi pesan Suhu-mu, yaitu menasehati dia atau menggunakan kekerasan terhadapnya.”

“Ahh, yang ke tiga ini berat sekali, Sumoi! Kau tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak tega untuk mencelakakannya!”

“Inilah kelemahan yang membuat hatiku tak puas! Kau tidak tega kepada Sute-mu karena kau mencintanya, akan tetapi apakah kau akan bertega hati melihat betapa wanita-wanita diganggunya? Kelemahanmu ini menimbulkan ketidak adilan di dalam hatimu yang tidak layak dan tidak patut dimiliki oleh seorang pendekar silat.”

Kong Sian menghela napas, kemudian menjawab, “Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan kupikirkan baik-baik, sumoi. Masih ada lagikah syarat-syaratmu?”

Pertanyaan ini membuat Ang I Niocu menjadi merah mukanya karena dia merasa telah keterlaluan mengajukan sekian banyak syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu setidaknya dapat ‘mengangkat’ harga dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya mentah-mentah!

“Masih ada satu hal lagi,” katanya dengan muka merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi yang terakhir ini baru akan kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga itu.”

“Baiklah, Sumoi. Kuterima semua syarat-syaratmu.” Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya dari pinggang dan memberikan itu kepada Ang I Niocu, lalu berkata, “Sumoi, terimalah Cian-hong-kiam ini sebagai bukti dari pada ikatan yang ada di antara kita, dan biarlah Thian yang menjadi saksi atas pertunangan kita ini.” Kata-kata ini diucapkan oleh Kong Sian dengan suara bergetar hingga mengharukan hati Ang I Niocu yang menerima pedang itu.

Kemudian Ang I Niocu mengambil perhiasan rambutnya yang terbuat dari pada mutiara dan memberikannya kepada Kong Sian. “Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan biarlah benda ini menjadi bukti dari pada kesetiaanku.”

Tak ada upacara yang mengesahkan pertunangan mereka itu selain dari pada penukaran benda yang dilakukan dengan sikap sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh pertemuan pandang mata mereka yang menembus ke hati masing-masing.

Sesudah itu, Ang I Niocu lalu berpamit hendak pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian segera mengambil perahunya dan ia lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke darat di pesisir Tiongkok. Si Rajawali Emas tidak mau ketinggalan, ikut mengantar sambil terbang di atas perahu itu.

Pada saat keduanya telah mendarat dan Ang I Niocu hendak meninggalkannya, mereka saling pandang dan Ang I Niocu berbisik, “Semoga Thian memberkahi perjodohan kita dan semoga cita-cita kita bersama akan terlaksana, Koko.”

Kedua mata Kong Sian menjadi basah karena terharu dan girang mendengar sebutan ini dan semakin yakinlah dia bahwa diam-diam Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang sama dengan perasaan hatinya.

“Selamat Jalan, Moi-moi, dan biarlah Sin-kim-tiauw mengawanimu.”

Ang I Niocu girang sekali. Ia berkata kepada burung rajawali itu,

“Sin-kim-tiauw, kau ikutlah padaku!”

Burung itu agaknya mengerti ucapan ini, karena dia cepat menoleh kepada Kong Sian seakan-akan minta perkenannya. Dia tak akan berani pergi sebelum mendapat perkenan dari Kong Sian.

“Pergilah kau ikut dia, Kim-tiauw, dan jagalah dia baik-baik!”

Burung itu lalu mengeluarkan bunyi karena girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat meninggalkan tempat itu, dia lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke pulaunya untuk merenungkan peristiwa yang tak tersangka-sangka telah terjadi dalam hidupnya itu.

Demikianlah kisah pengalaman Ang I Niocu yang diduga telah tewas itu. Beberapa bulan lamanya ia merantau mencari-cari Cin Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir dari mana ia menyeberang ke Pulau Kim-san-to, tetapi dia tidak mendapatkan jejak kawan-kawannya sehingga ia segera menuju ke barat. Oleh karena mendengar bahwa Lin Lin ikut dengan seorang Turki dan bahwa pada waktu itu di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, ia lalu merantau ke barat.

Pada suatu hari dia tiba di sebuah bukit di daerah Sui-yan. Dia berlari cepat, akan tetapi Sin-kim-tiauw telah mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang bahwa Ang I Niocu tidak dapat mengejarnya!

Tiba-tiba burung itu memekik keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu hingga membuatnya mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh karena melihat betapa ada tiga orang-orang tua tengah melempar-lempar batu kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan menyambar-nyambar di atas mereka dengan marah!

Burung itu cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya sehingga tiga orang tua itu berseru kagum, “Burung bagus!”

Ketiga orang tua itu adalah seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung kakak tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua lainnya adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu yang bermata lebar.

Melihat betapa rajawali itu dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan salah satu batu yang dikebut oleh sayapnya berbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi marah.

“Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!”

Dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan hebatnya ke arah tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak sambil mengebut dengan sayapnya, akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai pahanya sehingga dia merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!

“Nenek jahat! Jangan kau mengganggu burungku!” Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke hadapan nenek itu.

Ketika melihat seorang gadis berbaju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah dan tanpa berkata sesuatu langsung menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah pundak Ang I Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis, akan tetapi dia menjadi terhuyung-huyung ke belakang karena ternyata bahwa tenaga lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini, Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan dia pun segera menyerang dengan cepat.

Dan pada saat dia bertempur dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa yang terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!

Dua orang kakek yang tadinya hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru keras, dan maju menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang. Ang I Niocu merasa terkejut oleh karena sambaran angin pukulan mereka ternyata jauh lebih hebat dari pada serangan nenek bongkok itu, terutama pendeta yang bersorban! Maka dia lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi dan mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat.

Melihat hal ini, Kwee An beserta Ma Hoa langsung menerjang dengan pedang di tangan dan membantu Ang I Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I Niocu, untuk membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu.

Saat melihat ada dua bayangan berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu adalah Kwee An dan Ma Hoa, bukan main girangnya hati Ang I Niocu dan dia segera menegur,

“Ma Hoa...! Kwee An...!”

Berdebarlah tubuh kedua anak muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tidak perlu merasa ragu-ragu lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tidak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis ujung lengan baju pendeta bersorban yang sedang melayang ke arah mukanya, dia berseru dengan isak tertahan,

“Enci Im Giok...!”

Juga Kwee An berseru girang, “Ang I Niocu...!”

Sementara itu, tiga orang tua yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur dengan hati terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk saling tubruk dan saling peluk.

“Enci Im Giok..., kau... kau masih hidup...?”

“Adik Ma Hoa...,” mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling pandang dengan tersenyum.

“Ha-ha-ha-ha, jadi kalian adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi. ”Kebetulan sekali!”

Juga nenek bongkok itu lalu berkata, “Hmm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan kami! Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini adalah sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.” Ia menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu. “Tak perlu aku bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup kalau kuberi tahu bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah seheng-ku!”

Sekarang mengertilah Ang I Niocu serta kedua orang kawannya, dan mereka maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan lagi.

“Memang burung gagak selalu berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil tersenyum sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat apa bila belum mempunyai seorang sumoi seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari pendeta-pendeta palsu pula!”

Bukan main marahnya ketiga orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu mencabut keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang hingga ketika ia pegang dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata lemas yang luar biasa.

Wai Sauw Pu pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga ikut pula membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh yang terbuat dari pada gading gajah dan merupakan lingkaran panjang.

Lok Kun Tojin, seorang pertapa yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu sepasang roda memakai tali sehingga roda-roda itu bila digerakkan bisa berputaran bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada lawannya.

Sambil berseru keras, ketiga orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An. Pertempuran hebat segera berlangsung dengan ramai sekali.

Ang I Niocu memegang pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian, yaitu sebuah pedang pusaka yang ampuh. Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka hingga ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Ada pun Ma Hoa dengan sepasang bambu runcingnya yang dimainkan secara luar biasa itu dapat mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu!

Setelah bertempur belasan jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena tadinya mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama sekali tak pernah mereka sangka demikian lihainya.

Ang I Niocu maklum akan kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan tetapi tadinya dia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek bersorban yang nampaknya kuat dan lihai sekali. Namun begitu melihat permainan bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran, maka dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata kepada Ma Hoa,

“Adikku, kau kini hebat sekali!”

Mendengar pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari Hok Peng Taisu dan biar pun tasbeh di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya, akan tetapi sepasang bambu runcingnya juga merupakan senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw Pu!

Ada pun rajawali emas yang terus beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang bertempur, kini mulai menyambar turun dan siap membantu. Yang terutama dibantunya ialah Ang I Niocu dan beberapa kali ia menyerang kepala nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang kabut.

“Burung jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih lehermu, akan kumakan dagingmu mentah-mentah!” Sambil berkata begitu, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I Niocu ada pun ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar turun.

Mendadak ketika burung itu menyambar turun, tosu yang berkelahi melawan Kwee An menggerakkan roda pada tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang terbang di atas kepala nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali yang ada di tengah-tengah roda itu amat panjangnya sehingga roda itu dapat terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia menyambar turun dan menyerang Lok Kun Tojin!

“Sin-kim-tiauw, jangan!” teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu itu.

Akan tetapi rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya. Dia tetap menyerang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.

“Sin-kim-tiauw, tak maukah kau menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan kemarahan besar yang terdorong oleh kekuatirannya.

Rajawali itu terkejut mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun Tojin dengan keras mengenai dadanya! Burung itu terpental ke atas udara sambil berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sangat sakit dan pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!

Ang I Niocu merasa cemas sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya dan keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apa bila terpukul oleh rodanya, akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya, bahkan lalu terbang pergi dengan cepat!

Dengan Ilmu Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jeri hati lawannya yang sebenarnya masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga membuat nenek bongkok itu merasa gentar.

Tak pernah disangkanya bahwa musuh-musuh suheng-nya yang muda-muda mempunyai ilmu kepandaian yang begini luar biasa. Tidak heran apa bila suheng-nya yang lihai itu sampai kena dikalahkan.

Sebaliknya, sungguh pun ilmu pedang yang dimiliki Kwee An juga bukanlah ilmu pedang sembarangan, yaitu ilmu pedang Kim-san-pai warisan suhu-nya yang pertama, yaitu Eng Yang Cu, dan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan tetapi sepasang roda di tangan tosu yang menjadi lawannya itu benar-benar luar biasa.

Beberapa kali pemuda ini hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung dia masih dapat mengelak sambil mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko, hingga Lok Kun Tojin merasa kagum. Jarang sekali tosu ini mendapatkan lawan yang sanggup mengimbangi ilmu kepandaiannya dan sekarang, baru saja ia turun gunung dan bertemu dengan musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang dapat bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!

Kwee An maklum bahwa apa bila dilanjutkan, ia tak akan menang dan juga kedua orang kawannya belum tentu akan dapat menang pula, maka ketika ia melihat rajawali terbang pergi, ia mendapat akal dan berkata,

“Bagus, Sin-kim-tiauw tentu akan memanggil Suhu-mu!”

Benar saja, ucapan ini membuat ketiga orang tua itu merasa kaget dan kuatir sekali. Baru murid-muridnya saja sudah begini lihai, apa lagi kalau suhu mereka yang datang! Maka, nenek bongkok itu berkata, “Jiwi bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai Kong lebih dulu, lain kali mudah untuk mengambil nyawa ketiga tikus kecil itu!”

Ketiga orang tua itu lalu melompat pergi dan segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Ang I Niocu yang memiliki watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan kecewa, maka ia menegur Kwee An,

”Kongcu, mengapa kau menggunakan akal mengusir mereka?”

“Mereka itu sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi mati-matian?” kata Kwee An sambil menarik napas lega.

“Akan tetapi, Sin-kim-tiauw telah dilukainya!” kata Ang I Niocu.

“Belum tentu kim-tiauw itu terluka, karena kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang begitu tinggi dan cepat?” Ma Hoa membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu lihai sekali. Sudahlah jangan membicarakan mereka pula, yang perlu sekarang lekaslah kau ceritakan pengalamanmu. Kami semua, terutama Cin Hai dan Lin Lin, merasa berduka sekali, karena menyangka bahwa kau tentu sudah meninggal di atas Pulau Kim-san-to yang terbakar hebat dan meledak itu.” Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu memegang tangan Ang I Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah sebatang pohon untuk beristirahat dan bercakap-cakap.

Mendengar disebutnya nama Cin Hai dan Lin Lin, lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I Niocu yang cantik, dan sekarang wajahnya berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin dan Cin Hai, apakah benar-benar mereka itu selamat dan sudah saling bertemu?”

Ma Hoa lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang terjadi semenjak mereka berpisah, juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh dari atas tebing bersama Kwee An.

Mendengar cerita itu, Ang I Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan baiknya telah terhindar dari bahaya maut. Akan tetapi ketika mendengar betapa kini kedua orang muda itu tidak tahu bagaimana nasib Lin Lin dan Yousuf yang dikejar-kejar orang-orang Turki, di mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas dan berkata,

”Ah, sungguh kasihan sekali Lin Lin dan Cin Hai. Baru saja bertemu, mereka sudah harus berpisah pula. Sekarang kita harus mencari mereka sampai dapat.”

“Memang kami berdua pun sedang mencari jejak mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar Lin Lin dan Yo-siokhu adalah orang-orang Turki, maka pada waktu mendengar bahwa di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat untuk menyelidiki di sana. Tidak tahunya kebetulan sekali kita saling bertemu di sini.”

“Sayang sekali Sin-kim-tiauw sudah terbang pergi, entah di mana dia sekarang berada,” kata Ang I Niocu.

Tentu saja ketiga orang muda ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu sudah berjumpa dengan Bu Pun Su sehingga nyawanya tertolong, karena kakek jembel ini yang melihat Sin-kim-tiauw terbang tinggi di udara, lalu mengerahkan tenaga khikang-nya memanggil, kemudian ia mengobati luka pada dada burung sakti itu yang selanjutnya mengikuti kakek jembel itu.

Setelah menanti sampai senja dan burung itu tidak juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An, serta Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu sebelah barat…..

********************

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar