Pendekar Bodoh Jilid 21-25
Setelah lewat tengah malam,
mendadak Cin Hai menghentikan gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi agak
pucat. Dia memandang kepada Ang I Niocu dan berkata,
“Niocu, terima kasih atas
petunjuk dan nasehatmu tadi. Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat
ciptaanku sendiri.”
Ang I Niocu girang sekali dan
berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu dengan pedang, Hai-ji!”
Cin Hai lalu mencabut
pedangnya dan berkata lagi,
“Ketika aku bersilat dan
mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat,
tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tak pernah
mempunyai pikiran untuk membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa aku tak
perlu mengerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan, karena sebetulnya aku
telah memiliki daya tahan yang otomatis hingga tak perlu menggunakan seluruh
perhatian lagi. Karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat
lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki
untuk merobohkan lawan.”
Setelah berkata demikian, dia
menghampiri serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan suburnya di
dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang
kecil hampir tidak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu
bertiup kencang, maka semua daun-daun yang berbentuk runcing itu bagai ratusan
senjata menyerang ke depan dan melindungi batang-batang mereka yang kecil.
Cin Hai lalu membayangkan
bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata musuh yang melindungi tubuh
musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh yang kini
dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak itu.
Dia lantas menggerakkan
Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat dengan gerakan aneh. Gerakannya
mula-mula lambat seakan mengintai rumpun itu, akan tetapi makin lama semakin
cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik ratusan
senjata itu tanpa mengadu pedangnya dengan senjata itu!
Hal ini tentu saja sukar bukan
main oleh karena ratusan daun itu bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena
tertiup angin hingga tubuh-tubuh atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat
dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat dan hati-hati dan setiap
kali daun-daun itu bergerak hingga sebatang pohon kecil nampak, biar pun hanya
sekilas, namun dengan pedangnya sudah memasuki lowongan itu dan ujung pedangnya
tepat menusuk batang itu tanpa mematahkannya!
Gerakan-gerakan pedangnya ini
luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat api, ketika
melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa begitu gembira sehingga diam-diam
dia pun menggerakkan kedua tangannya, kemudian bersilat meniru-niru dan
mengimbangi gerakan pedang Cin Hai!
Ia melihat betapa
gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, karena itu sambil menggerakkan
kedua tangannya, dia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus
begini dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendek kata, pada waktu itu Cin Hai
bersama dengan Ang I Niocu sedang menciptakan semacam ilmu pedang. Cin Hai yang
mencipta ilmu pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu memperbaiki gerak
gayanya!
Setelah Cin Hai selesai
bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu dan ketika dia menyibakkan
daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang jumlahnya puluhan itu
semua sudah berlubang bekas tusukan ujung pedang Ci Hai! Ang I Niocu bersorak
girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!
Cin Hai juga merasa girang
sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu mengajak dia sekali lagi
bertanding dan dia diharuskan menggunakan ilmu pedangnya yang baru saja
diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat!
Setiap jurus bila mana Cin Hai
menyerang, selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu. Dan kalau saja
pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja Pendekar
Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh!
Ternyata bahwa Cin Hai sudah
menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa, sebab ilmu
pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan
ilmu silat lain yang telah dilihatnya. Ia pergunakan kesempatan untuk mengisi
lowongan-lowongan serta menyerbu bagian-bagian yang lemah dengan
gerakan-gerakan aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau tangannya
berbalik dan merupakan kebalikan dari pada gerakan ilmu silat biasa!
Ang I Niocu merasa gembira
sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi seorang diri. Pada gerakan yang
kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah ini lalu
memperbaiki tanpa merusak gerakan asli.
Sampai fajar menyingsing,
kedua orang ini tiada hentinya berlatih, atau lebih tepat lagi Cin Hai melatih
diri dan Ang I Niocu membantunya dengan nasehat-nasehat mengenai keindahan
gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak beristirahat.
Pada keesokan harinya mereka
hanya beristirahat sebentar, kemudian Cin Hai kembali melatih diri dengan ilmu
silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat dari samping memberi
petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya.
Walau pun ilmu pedang ini dapat
dilihat dan ditirukan oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena untuk
menggunakan ilmu pedang ini sebelumnya harus memiliki kepandaian dan pengertian
pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang sudah dimiliki Cin
Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada gunanya bagi Ang I Niocu. Pendeknya,
tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Pun Su, orang lain tidak mungkin
menggunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!
Demikianlah, setelah berlatih
terus-menerus selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu pedang ini mampu
dimainkan secara baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu menjadi puas dan
girang. Pada waktu dia mencoba untuk melawan ilmu pedang ini dengan ilmu
pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya telah dapat dirampas oleh Cin Hai.
“Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu
ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai Kong Hosiang, biar Hek Pek Moko
sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi, kionghi! (Selamat).”
Tiba-tiba saja terdengar suara
orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi, kionghi! Akan tetapi
berhati-hatilah kau, Cin Hai, agar ilmu jahat ini tidak merusak hatimu menjadi
jahat dan kejam pula!”
Cin Hai dan Ang I Niocu
terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su sudah berdiri di dekat mereka!
“Cin Hai, ilmu pedang tadi
memang baik sekali dan tak kusangka bahwa kau yang bodoh ini mampu mencipta
ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih dengan melukai
batang-batang bambu dengan ujung pedangmu, maka ketika menghadapi lawan, kau
baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang melukainya pula! Ini jahat
sekali, muridku!”
Cin Hai merasa bingung dan
terkejut sekali oleh karena kata-kata gurunya tadi memang betul semua. Tadi dia
berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh karena gadis pendekar itu terlalu
terdesak oleh ilmu pedangnya sehingga memungkinkan dia menyambar lantas
merampas pedang gadis itu. Sedangkan apa bila bertempur dengan lawan yang
melawan dengan mati-matian, maka untuk merobohkannya dia harus mempergunakan
pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!
“Mohon ampun, Suhu, dan sudi
memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,” katanya.
Bu Pun Su tersenyum dan
tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Coba cabutlah pedangmu itu
dan seranglah aku!”
Cin Hai tidak ragu-ragu untuk
melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan penuh akan kesaktian
suhu-nya. Karena itu, sesudah memberi hormat sekali lagi, dia lalu mencabut
Liong-coan-kiam dan lantas menyerang dengan hebat. Pedangnya berkelebat
merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan dia sudah mempergunakan jurus ke
lima yang dianggapnya cukup berbahaya.
Ia maklum bahwa suhu-nya
memiliki mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak
yang mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga sudah tahu akan
pergerakan lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan
serangan jurus ke lima ini.
Memang dalam menciptakan ilmu
pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apa bila menghadapi orang yang
telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah
dipelajarinya dari Bu Pun Su. Karena itu dalam beberapa gerakan ia sengaja
membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan terbalik!
Menurut gerakan ilmu silat
biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa pedang di tangan
kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi sebelum pedangnya menusuk,
secepat kilat gerakan itu sudah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki
lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, kembali telah dibalikkan pula menjadi
sebuah serangan memutar ke arah leher!
“Ganas sekali!” Bu Pun Su
berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena guru yang lihai ini benar-benar
tercengang dan terkejut melihat kehebatan serangan muridnya. “Ayo kau serang
terus dan keluarkan semua ilmu pedangmu yang liar ini!” katanya.
Cin Hai tak berani membantah
dan segera maju menyerang terus.
Akan tetapi, ilmu meringankan
tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai pada tingkat tertinggi sehingga boleh
dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali
angin pedang menyambar hingga biar pun pedang Cin Hai hampir menyerempet
pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat melukainya!
Akan tetapi kali ini Bu Pun Su
benar-benar menghadapi semacam ilmu pedang yang luar biasa dan hanya dengan
mengerahkan seluruh ginkang-nya saja maka ia bisa mengelak bagaikan seekor
burung beterbangan di antara sambaran pedang!
Ang I Niocu memandang
demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata terbelalak
saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah dia melihat kelihaian
seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin Hai kini
telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!
Ilmu pedang Cin Hai seluruhnya
ada tiga puluh sembilan jurus dan sesudah semuanya dia mainkan, akhirnya pemuda
ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas terengah-engah, “Sudahlah,
Suhu, teecu tidak kuat lagi!”
Dia lalu berlutut dengan muka
merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek itu dapat mengelak
dari serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan
bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!
“Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su
tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan dapat membaca isi hati Cin
Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, bahwa ilmu
pedang yang baru saja kau mainkan ini kelihaiannya jauh melebihi dugaanku
semula!”
“Mohon Suhu jangan
mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.
“Siapa yang mentertawakan kau?
Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu tadi, kau boleh menjelajah ke seluruh negeri
dan mengharapkan kemenangan dari setiap pertempuran! Akan tetapi, jangan kira
bahwa aku merasa senang atau bangga melihat ilmu pedangmu ini! Mungkin kau kira
aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu maka aku tidak pernah menurunkan
ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah, dan kau juga Im Giok, aku
memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh karena apakah
baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala apa sudah ditentukan oleh
takdir sehingga kau yang tidak mempelajari ilmu menyerang, ternyata kini
menghadapi banyak musuh yang lihai. Namun jangan kau anggap bahwa ilmu pedangmu
ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, supek
dari Hai Kong Hosiang itu! Ahh, kau terlalu mengunggulkan diri kalau kau
mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang
pandai dan mungkin kelak sewaktu-waktu engkau akan menemui musuh yang lebih
lihai lagi! Sekarang engkau telah berhasil menciptakan semacam ilmu menyerang,
maka biarlah supaya jangan kepalang tanggung, kau pelajari juga Ilmu Silat
Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na beserta Ilmu Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan
Putih).”
Bukan main girang rasa hati
Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala untuk menghaturkan terima kasih.
“Juga kau yang telah banyak
membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut
dan mengucapkan terima kasih pula.
Demikianlah, selama dua pekan,
Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada Cin Hai dan Ang I
Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian oleh dua orang pendekar muda itu.
Pek-in Hoat-sut adalah ilmu
sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini
merupakan gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang
sehingga dari kedua kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih bagai
awan yang dapat menolak setiap hawa serangan dari lawan yang bagaimana jahat
pun!
Uap putih ini terjadi dari
keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga khikang
yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan. Meski
lawan menggunakan ilmu hitam atau pukulan keji seperti Ang-see-ciang (Tangan
Pasir Merah) dan lain-lain, apa bila bertemu dengan orang yang mempergunakan
Pek-in Hoat-sut ini akan mati kutunya, tenaga serangan mereka yang buyar dengan
sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir!
Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat
Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na atau Ilmu Silat Tangan Kosong Burung Merak.
Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul juga menggunakan jari-jari tangan
untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh sehingga tepat sekali digunakan
dengan tangan kosong apa bila menghadapi lawan yang bersenjata.
Setelah kedua orang itu
mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su lalu berkata,
“Cin Hai dan Im Giok! Walau
pun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali
mendengarkan tentang nasib Lin Lin.”
Cin Hai mendengarkan dengan
wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga mendengarkan dengan hati
berdebar khawatir.
“Kalian jangan khawatir,
menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau tidak keliru ia sedang
melakukan perjalanan bersama kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang lebih
penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang berlomba untuk
merebut sebuah pulau di laut timur dan apa bila pulau ini sampai jatuh ke dalam
tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol dengan
diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan secara
bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur untuk berlomba menemukan pulau itu.
Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut timur melalui sungai
yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana saja, maka kalian
akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat bertemu pula dengan
musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang aku hendak
pergi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu maklum
akan sikap aneh dari orang tua ini yang bicaranya selalu mengandung rahasia.
Mereka maklum pula bahwa secara membuta mereka juga harus menurut petunjuk ini,
oleh karena petunjuk ini pasti betul dan biar pun tidak jelas, namun kalau
tidak nyata tentu tak akan dikeluarkan dari mulut kakek luar biasa itu.
Tanpa menunda lagi, Cin Hai
serta Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tidak lama kemudian mereka bertemu
dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah timur itu. Di tempat itu
tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka keduanya segera
mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai menuju ke timur. Akan
tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan hutan-hutan
berbahaya, juga amat sukar dilalui.
Setelah mereka berlari selama
dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang
sekali saat melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin
Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya.
Dua orang menghampiri mereka
dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”
“Betul,” kata Cin Hai dengan
girang. “Kami berdua ingin menyewa atau membeli sebuah perahu.”
“Membeli?” kedua orang itu
saling pandang “Ahh, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya.
Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”
“Apa katamu?” Cin Hai bertanya
heran dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak
mempermainkannya.
“Kongcu ingin membeli perahu,
sedangkan bagi seorang nelayan sebuah perahu adalah sama dengan seorang isteri.
Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian
berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biar pun kecil, tetapi
kuat dan laju!”
Cin Hai tersenyum geli.
“Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”
“Jiwi hendak ke manakah?”
tanya nelayan yang seorang lagi.
Ang i Niocu tidak senang
melihat ada orang lain turut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian
mereka.
“Apa perlunya kau ikut campur
dan bertanya ke mana kami hendak pergi?” tanyanya tak senang.
Orang itu berkata sambil
mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk turut campur, oleh karena perahu
ini adalah milik kami berdua!”
Cin Hai tertawa. “Aha, kalau
begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?”
Kedua orang nelayan itu
tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin sehingga dua orang memiliki
sebuah perahu saja.”
“Kami berdua hendak menuju ke
laut dan hendak mencari sebuah pulau.”
Kedua orang itu nampak
terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah itu Pulau Emas?”
Cin Hai dan Ang I Niocu
tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum
pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan,
maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, kami mencari Pulau Emas!”
Tiba-tiba salah seorang di
antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada kawannya, “Twako,
marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah
kegilaan emas dan mungkin akan timbul mala petaka kembali apa bila kita membawa
mereka seperti hal kita tempo hari itu!”
Cin Hai menjadi tertarik, dan
Ang I Niocu segera membentak,
“Apakah yang terjadi? Apa ada
orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”
Kedua nelayan itu saling
pandang dan keduanya kemudian berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama
sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu cepat meloncat dan sekali tangannya
bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya dan pedang itu sekarang
menempel di leher seorang nelayan.
“Ke mana engkau hendak pergi?
Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami, jangan harap
akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”
Nelayan itu menghela napas.
“Apa kataku, Twako? Pulau Emas itu benar-benar pulau berhantu dan hanya
setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku
murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau
Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa hari yang
lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan royal dengan
hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh
karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan
mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Tetapi pada suatu malam perahu orang
asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak dan gagah,
sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan,
yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”
Berdebarlah hati Cin Hai dan
Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan tetapi
Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan ceritamu!”
“Setelah perwira galak ini
naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk
mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira itu tadinya hendak
membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang
asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis itu lalu
ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang setan
berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk
dengan sebuah perahu lain yang biar pun kecil, akan tetapi maju dengan kuat
hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika kami menegur
nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan sekali
memukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan
bocor hingga tenggelam!”
“Nelayan Cengeng!” tak terasa
lagi Cin Hai berseru.
Nelayan yang bercerita itu
menjadi terkejut karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng. Akan tetapi
sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah kembali mendesaknya. “Teruskanlah,
teruskanlah!”
“Penumpang-penumpang kami
orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah kemudian
melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak
tersangka-sangka lihai juga dan dapat pula melompat ke darat! Kami berdua tak
dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan
berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki
bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang sudah memecahkan
perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang
pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”
“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan
kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara Baju Merah
yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan ini.
“Dan bagaimana hasil
pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa
pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang
bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.
“Kesudahannya mengerikan
sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk
membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik,
“perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung
yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong tertembus
pedang Si Pemuda tampan!”
Baik Cin Hai mau pun Ang I
Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai dengan gembira,
kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh
tahun, dan bibirnya tebal?”
Nelayan itu memandangnya
heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?”
Akan tetapi Cin Hai tidak
menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi, “Dan bagaimana hasil pertempuran
orang Turki melawan nelayan tua itu?”
“Mereka bertempur secara luar
biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa kalah.
Mendadak mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si
Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil
mencari dan mengambil perahu yang sudah tenggelam itu. Bukan main! Selama
hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal semacam itu. Tentu
ia iblis air sungai itu!”
“Hush! Jangan membuka mulut
sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!” kata Cin Hai
sambil mendelikkan matanya sehingga nelayan itu terkejut dan merasa ketakutan.
“Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?”
“Selanjutnya? Tak ada apa-apa
lagi. Setelah memperbaiki perahu, mereka berempat lalu berangkat pergi dan kami
ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”
“Jadi perahu kecil ini adalah
perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan girang. Kedua nelayan
itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.
“Kalau begitu kami hendak
memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang perak
dari sakunya. “Nih, kalian ambillah seorang satu! Perahu ini kami ambil!”
Melihat bahwa perahu itu hanya
diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi bingung, “Ehh, Siocia,
ehhh... Toanio, nanti dulu, perahu... perahu kami ini harganya lebih dari lima
potong uang perak!”
Ang I Niocu mengangkat tangan
mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak sudah
terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi
sebagai upah kalian bercerita tadi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu
melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai. Kedua
nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh
dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara!
Dua hari kemudian, saat perahu
melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah lenci di dekat
pantai. Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya
dan dia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan
makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena dia pun merasa ingin makan buah yang
segar nampaknya itu.
Mereka kemudian mendayung
perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh karena
melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbullah kegembiraan mereka dan
keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati
mereka.
Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai
berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang ke arah
perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta penganut Agama
Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya tosu ini ingin
menggunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka! Ang I Niocu menjadi
marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon.
Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu
berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar melompat
keluar seorang hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek
namun gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak
kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis seperti boneka besar atau
Jilaihud yang berwajah baik dan peramah.
Mukanya yang bulat itu selalu
tersenyum ramah. Tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan gemuk dililit kain
yang hanya menutupi kedua pundak dan lengannya saja, ada pun tubuh atas bagian
depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar
kelihatan menambah kelucuannya.
Ia menghadang Cin Hai dan Ang
I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata, “Ai, aih, kalian sepasang burung dara
yang bahagia! Kenapa melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih
senang bermain-main di atas pohon?”
Bukan main marahnya Cin Hai
mendengar ini, ada pun Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak, “Bangsat
gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”
Akan tetapi hwesio tadi
memandang heran dan tertawa lagi, “Ehh, ehh, mengapa kalian malah marah-marah?
Apakah aku mengganggu kalian?”
“Hwesio gemuk, jangan kau
menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar, “Kami akan mengejar
pencuri perahu itu!”
Si Hwesio tertawa terus dan
berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ahh, dia adalah saudaraku!
Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”
“Bagus, hwesio maling!” kata
Ang I Niocu yang segera melompat maju sambil mengayun kepalan tangannya
menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali
karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali
ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.
“Waduh, ganas... ganas...!”
seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa meski pun Ang I Niocu
menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke
mari dengan repot sekali.
Sementara itu, tosu yang
hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang
I Niocu dan terdesak sekali, cepat-cepat menarik kembali perahu itu ke darat
dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.
“Jangan kau memukul Adikku!”
teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.
Melihat serangan ini hebat
juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai!
Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk
dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini
mukanya seperti orang sedang mewek dan menangis. Matanya yang sangat sipit itu
seakan-akan memandang dengan sedih sehingga membikin sedih pula kepada orang
yang melihatnya.
Walau pun Ang I Niocu sedang
marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biar pun terdesak sekali masih
saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan,
menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat
yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-ciak Sin-na
sehingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I
Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu
sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat
kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang
betul-betul luar biasa.
Sebaliknya, dengan mudahnya
Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet
kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.
“Nah, biar kau kapok mendapat
hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan supaya lain kali tidak berani mencoba
untuk mencuri perahu lain orang.”
Dengan muka seperti orang
menangis, Si Tosu itu menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalang-kabut
oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru.
“Ceng Tek, sudahlah baik kita
menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”
Mendengar kata-kata ini,
hwesio gemuk itu cepat melompat mundur dan berkata sambil tertawa, “Sudahlah
Nona, pinceng mengaku kalah!”
Ang I Niocu menjadi geli
hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.
“Siapakah kalian dua orang tua
ini, dan mengapa kalian hendak mencuri perahu kami?” tanyanya.
Kedua pendeta itu saling
pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata. “Kami dua kakak beradik adalah
pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio ada pun pinto
sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami mengira bahwa kalian berdua adalah
sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu
dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian serta
kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apa bila kau mengaku wanita yang
berjuluk Ang I Niocu!”
Ang I Niocu tersenyum. “Memang
dugaanmu tepat sekali, Totiang. Memang aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini
adalah Pendekar Bodoh!”
Kedua mata Ceng To Tosu yang
sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih
disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini,
apa lagi yang pintar?”
Biar pun tosu ini mengucapkan
kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek seperti mau
menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka
sesenang-senangnya!
Cin Hai tertarik sekali
melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya. “Harap kau dua orang
suci suka berkata terus terang saja. Sebenarnya mau meminjam perahu kami hendak
pergi ke manakah?”
Kini hwesio gemuk itu yang
menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami hendak pergi ke laut dan mencari
sebuah pulau.”
“Pulau Emas?” Cin Hai cepat
menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.
“Kau... sudah tahu?”
“Tentu saja! Kami hendak pergi
ke sana!”
“Aha! Sungguh kebetulan
sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau
Gunung Emas)?”
Secara terus terang saja Cin
Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya
Si Tosu berkata,
“Baiklah, sekarang diatur
begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi oleh empat orang. Kami
berdua membonceng kalian dan sekaligus menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai
perahu akan tetapi tidak mengenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan
tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?”
Cin Hai dan Ang I Niocu kini
saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata,
“Kata-katamu ini pantas juga.
Biarlah kita bersama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi penunjuk
jalan!”
“Akan tetapi perahu kita kecil
dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak
hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!” kata Ang I
Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira.
Cin Hai dan Ang I Niocu merasa
suka pada dua orang aneh itu. Mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini
tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.
Beberapa hari kemudian, empat
orang dalam perahu kecil itu sudah sampai di samudera dan mulai dengan usaha
mereka untuk mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu
lalu didayung ke kiri melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang
tinggi.
Ketika perahu mereka bergerak
perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, dari atas tiba-tiba saja
menyambar turun bayangan yang gerakannya cepat sekali! Bayangan ini menyambar
ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.
Empat orang di dalam perahu
itu terkejut sekali ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung
rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan
dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia
menyambar turun dan hendak mencengkeram daging gemuk itu!
Ceng Tek Hwesio merasa kaget
dan hendak berkelit, namun berat badannya membuat perahu itu berguncang!
“Hai, jangan bergerak!” Ang I
Niocu mencegah.
Gadis ini dengan cepat lalu
menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya ketika
burung itu dengan cepat mampu mengelak dari tendangannya dan melayang ke atas
lagi!
Cin Hai yang berdiri di kepala
perahu dan memandang tajam, juga merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan
burung yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu melihat bahwa dirinya
diserang oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha hi-hi
saja, dan biar pun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum.
Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan betul-betul
hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada
burung pemakan manusia itu.
Sekarang burung rajawali itu
dengan cepatnya menyambar turun dari atas. Ang I Niocu yang merasa mendongkol
melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada
kawan-kawannya,
“Jangan bergerak dan biarkan
aku bikin mampus burung celaka itu!”
Ketika burung itu mengulur
cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat
menghantam sekerasnya dengan tangan kanannya! Namun kembali ia tertegun oleh
karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya
seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu!
Akan tetapi pukulan itu
bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga biar pun
burung itu menangkis dengan sayap, tetapi tubuh burung itu terlempar jauh dan
oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke
atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh berhamburan menimpa ke arah perahu
seperti hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng Tek
Hosiang dan Ceng To Tosu sehingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor
kena kotoran burung itu.
Ang I Niocu makin gemas dan
marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental serta kaget
saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil
mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan
muka merah karena gemas ia berkata,
“Burung keparat, turunlah
kalau kau berani!”
Seakan-akan mengerti dan dapat
mendengar tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning emas dan
berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun. Kini dia bukan
menyerang kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu,
oleh karena agaknya dia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali
menyerangnya itu.
Burung ini adalah sejenis
Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala
burung. Ketika dia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga
oleh karena ia bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil
bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya.
Ang I Niocu bukanlah sembarang
gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan seruan keras, sebelum burung
itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar
dengan pedangnya.
Kembali burung Kim-tiauw itu
secara aneh mampu mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali dia
menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara
Ang I Niocu di atas perahu dengan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari
atas.
Beberapa kali pedang Ang I
Niocu yang hampir saja dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat
disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu
menjadi semakin marah dan penasaran saja. Biar pun Ang I Niocu belum berhasil
membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu sudah rontok ketika
sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tak mendapat
kesempatan untuk menyerang gadis perkasa itu.
Sebenarnya, apa bila dia
berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kim-tiauw
itu. Akan tetapi kini dia berada di atas perahu yang bergerak-gerak sehingga
membuat gerakannya tidak leluasa sekali.
Sesudah berkali-kali
serangannya gagal, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya dan
memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu
dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat serta mengeluarkan bunyi
seperti orang mengeluh panjang, ia kemudian terbang pergi dengan cepat sekali
hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.
Ang I Niocu menyimpan kembali
pedangnya dan duduk dengan muka merengut. Hatinya tidak puas sekali karena
kegagalannya membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu berkata
sambil menghela napas panjang,
“Baiknya kau tidak membunuhnya
Lihiap.”
“Ehh, mengapa kau berkata baik
sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?” kata Ang I
Niocu sambil memandang heran.
“Burung itu adalah burung
Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini
terkenal sebagai burung pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita sudah bertemu
dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali, apa lagi kalau kau
tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”
Diam-diam Cin Hai terkejut
sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu lantas berkata, “Burung jahat itu
mana bisa membawa kebahagiaan?”
Biar pun Cin Hai tidak setuju
mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa gadis
ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya,
hanya berkata memuji,
“Kim-sin-tiauw itu lihai
sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”
“Kalau di darat ada harimau
menjadi raja dan di laut ada naga, maka Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi
raja di angkasa!” kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan
kejadian tadi adalah hal yang menyenangkan hatinya!
“Dan raja angkasa itu hampir
saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!” kata Cin Hai.
Semua orang tertawa geli,
kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa. Dia hanya
mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!
Kita tinggalkan dulu perahu
kecil yang dinaiki empat orang yang sedang mencari Pulau Emas itu, pulau yang
aneh dan mengandung rahasia dan yang pada waktu itu menjadi sebab terjadinya
hal-hal yang hebat karena ada tiga bangsa sedang berusaha merampas pulau itu…..
********************
Pada waktu itu, Kerajaan Turki
yang telah mendengar tentang adanya Pulau Emas di laut timur Negara Tiongkok
sudah mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di antaranya Yousuf yang cerdik
dan yang menjadi orang pertama mendapatkan pulau itu. Di samping menyebar
mata-mata, Kerajaan Turki lalu mengirim pula sejumlah besar tentaranya untuk
menyerbu ke daerah ini.
Mereka tak berani melalui
daratan Tiongkok, oleh karena maklum bahwa apa bila mereka melalui daratan
pedalaman Tiongkok mereka pasti akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang
memungkinkan gagalnya usaha mereka, oleh karena selain memiliki daerah luas
yang berbahaya, Tiongkok juga mempunyai banyak orang pandai yang tentu akan
melawan tentara Turki yang menjelajah negaranya.
Oleh karena ini, barisan Turki
itu mengambil jalan memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang
perbatasan Negara Tiongkok dan masuk di daerah Mongol. Mereka ini pun tidak
tinggal diam dan melawan barisan asing yang memasuki tanahnya. Akan tetapi oleh
karena pada waktu itu bangsa Mongol masih belum kuat dan hidupnya
berkelompok-kelompok ini, dengan mudah dapat dihalau oleh barisan Turki yang
kuat.
Barisan Turki ini dipimpin
oleh orang-orang pandai, bahkan di dalam barisan ini terdapat seorang pemimpin
aneh yang merupakan seorang pendeta bertubuh besar sekali seperti seorang
raksasa akan tetapi agak pendek. Pendeta ini berkepala botak, berjenggot hitam
dan kaku bagaikan kawat dan yang menyongot ke sana ke mari tidak terawat.
Tubuhnya yang gemuk besar itu
mengenakan pakaian yang amat aneh pula, oleh karena pakaian ini terbuat dari
banyak macam kain kembang yang ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan
pakaiannya, pendeta ini lebih pantas disebut seorang pengemis jembel!
Pendeta ini lihai dan sakti
sekali dan ia adalah jago nomor satu di seluruh Kerajaan Turki. Namanya di
Turki terkenal sebagai Balutin, sedangkan pendeta yang sudah sering kali
merantau di pedalaman Tiongkok ini disebut dalam bahasa Tiongkok sebagai Pouw
Lojin. Oleh karena sering masuk di daerah Tiongkok, maka Balutin pandai bicara
dalam bahasa Tionghoa.
Dengan adanya pendeta ini,
maka ekspedisi Turki ini tidak mengalami banyak rintangan, oleh karena setiap
penghalang yang kuat selalu hancur kalau saja berhadapan dengan Balutin yang
lihai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, Balutin juga mahir dalam ilmu sihir,
dan lweekang serta khikang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Gerakan tentara Turki ini
membuat bangsa Mongol merasa gelisah sekali. Mereka ini pun akhirnya bisa juga
mencari tahu akan rahasia Kerajaan Turki dan dapat pula mengetahui bahwa bangsa
Turki ini hendak mencari sebuah Pulau Emas di Laut Tiongkok.
Karena itu, bangsa Mongol lalu
menguasakan kepada Pangeran Vayami yang cerdik dan mempunyai kepandaian tinggi
untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini pulalah sebabnya maka Hai Kong Hosiang
diutus oleh kaisar untuk mengundang Pangeran Vayami datang ke istana kaisar.
Setelah Vayami bertemu dengan
kaisar, secara cerdik sekali Vayami lalu menghasut dan memberi tahu bahwa
tentara Turki bermaksud mengurung ibu kota Tiongkok dan merebut sebuah pulau di
Laut Tiongkok yang mengandung banyak emas! Dengan cerdik sekali Pangeran Vayami
menghasut dan hendak mengadu dombakan tentara Turki dan tentara Tiongkok,
sedangkan diam-diam pangeran yang cerdik dan licin ini telah menyiapkan kaki
tangannya untuk secara mendadak menyerbu pulau itu. Ia memakai siasat
‘Membiarkan Dua Ekor Anjing Berebut Tulang’ dan kemudian diam-diam membawa
tulang itu berlari sementara kedua anjing itu masih bergumul!
Akan tetapi, Kaisar Tiongkok
pun bukan orang bodoh, dan seandainya dia sendiri bodoh, akan tetapi para
penasehatnya adalah orang-orang cendekiawan yang berpemandangan luas. Memang
kaisar sudah masuk dalam perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang
bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara dekat tapal batas negeri Tiongkok,
di mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara Turki itu berkumpul.
Barian besar ini dikepalai
oleh Beng Kong Hosiang beserta beberapa orang perwira yang tertinggi
kepandaiannya. Bahkan kepala bayangkari, yaitu seorang perwira kekasih kaisar
yang amat tinggi kepandaiannya dan bernama Lui Siok In, mendapat tugas khusus
untuk memimpin barisan itu bersama-sama Beng Kong Hosiang dan lain-lain
perwira.
Sementara itu, kaisar
memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk tetap menemani Pangeran Vayami dengan
alasan melindungi keselamatan tamu agung itu dalam perjalanan kembali ke
negerinya. Akan tetapi sebetulnya kaisar ini bukan ingin menjaga keselamatan
orang, namun bahkan hendak mengawasi dan mengikuti gerak-geriknya, dan
membatasi segala usaha kecurangan yang mungkin akan dilakukan oleh Pangeran
Vayami yang cerdik itu. Oleh karena ini, Hai Kong Hosiang mendapat tugas
istimewa dan hwesio ini pun lantas mengajak supek-nya, yaitu Kiam Ki Sianjin
yang telah pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai sekali itu.
Pangeran Vayami lalu keluar
dari istana bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, dan pangeran ini
langsung menuju ke utara pula dan memberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang
tentang adanya Pulau Emas itu.
Walau pun Hai Kong Hosiang
seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan ingin sekali mendapatkan gunung
emas itu, maka ia pun segera menyetujui ajakan Pangeran Vayami untuk
menyaksikan pulau itu dari dekat dan apa bila mungkin mendarat di pulau itu.
Hal ini menurut Hai Kong Hosiang tak ada salahnya, oleh karena tugasnya yang
didapat dari kaisar hanya mengawasi dan menjaga agar pangeran ini jangan
melakukan sesuatu yang akan merugikan. Pendeknya, kaisar mencurigai Pangeran
Vayami dan Hai Kong Hosiang bertugas mengawasinya.
Ketika tentara Turki yang dipimpin
dan dilindungi oleh Balutin itu tiba di tepi pantai laut, mereka berhenti dan
memasang kemah. Sementara itu, bagian perlengkapan lalu sibuk membuat
perahu-perahu untuk keperluan menyeberang. Biar pun mereka telah lebih dulu
menyiapkan segala keperluan untuk membuat perahu-perahu ini, akan tetapi oleh
karena jumlah tentara yang hendak diseberangkan ini tak kurang dari seribu
orang, maka proses pembuatan perahu itu makan waktu berhari-hari.
Dan pada saat mereka sedang
sibuk membuat persiapan untuk menyeberang, datanglah tentara Kerajaan Tiongkok
yang dipimpin oleh Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan para perwira lainnya!
Tentara Tiongkok lebih banyak jumlahnya, dan karena mereka datang di waktu hari
sudah menjadi gelap, maka tentara Tiongkok di bawah pimpinan Lui Siok In yang
pandai ini lalu diam-diam mengurung perkemahan tentara Turki. Kemudian, tentara
Tiongkok yang telah mengurung ini serentak memasang obor sehingga keadaan
menjadi terang sekali bagaikan siang hari!
Tentu saja tentara Turki
menjadi panik ketika tiba-tiba melihat ribuan obor menyala yang mengelilingi
tempat mereka. Namun, dengan senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat
dan gemuk, Balutin berhasil menyuruh anak buahnya berlaku tenang. Mereka
diperintahkan untuk memasang serta memegang obor pula, kemudian dia lalu
berdiri di depan barisannya menanti kedatangan musuh.
Dengan tindakan gagah, pedang
di pinggang dan bulu sayap garuda menghias topinya, tanda bahwa ia adalah
seorang perwira Sayap Garuda tingkat tertinggi, Lui Siok In diikuti oleh
perwira-perwira lain dan Beng Kong Hosiang, maju menghampiri Balutin dan
berkata dengan suara lantang,
“Hai, tentara Turki! Kalian
telah melanggar wilayah kami dan karena sekarang kamu telah dikurung dan tak
berdaya lagi, maka lebih baik kamu menyerah saja agar supaya menjadi
orang-orang tawanan yang akan kami perlakukan dengan baik-baik!”
Di bawah penerangan obor di
sekeliling mereka yang dipegang oleh tentara kedua belah fihak, Balutin
kelihatan seperti seorang raksasa pendek. Pendeta Turki ini lalu melangkah maju
dan sambil tertawa ia menuding ke arah Lui Siok In dan berkata,
“Hai, Perwira muda! Siapakah
yang menjadi pemimpin besar barisanmu ini? Suruhlah dia sendiri maju, dan
jangan majukan segala perwira hijau untuk bicara dengan aku!”
Mendengar bahwa dirinya
disebut ‘perwira hijau’ oleh pengemis jembel yang amat gemuk ini, tentu saja
Lui Siok In menjadi marah.
“Bangsat jembel, siapakah
kamu?”
Balutin tertawa bergelak
sambil memegangi perutnya. “Kau mau tahu aku siapa? Akulah pemimpin besar
barisan Turki! Akulah Balutin atau bisa juga kau sebut Pouw Lojin! Anak muda,
panggillah keluar pemimpin besarmu agar dapat bicara dengan aku!”
Lui Siok In terkejut mendengar
bahwa yang berdiri di depannya seperti seorang pengemis jembel ini adalah
Balutin sendiri, tokoh yang amat terkenal sejak tentara Turki menyerbu melalui
Mongol. Nama Balutin ini pernah disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika
memberi perintah kepadanya untuk memimpin barisan, karena kaisar pun sudah
mendengar dari Pangeran Vayami yang sangat memuji-muji Balutin sebagai orang
gagah dan pemimpin besar.
Lui Siok In tidak sudi
memperlihatkan kelemahan dan kejeriannya, maka sambil tertawa ia pun berkata,
“Aha, pemimpin besar tentara
Turki yang bernama Balutin dan yang disohorkan sangat gagah perkasa itu tak
tahunya hanya seorang pengemis jembel yang terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah,
Jembel gemuk, akulah pemimpin barisan ini dan namaku adalah Lui Siok In. Lebih
baik kau menyerah saja agar kau dapat diberi makan enak dan tidak usah mampus
di ujung senjata!”
Balutin memandang dengan rasa
heran dan hampir tidak percaya bahwa panglima besar tentara Tiongkok hanyalah
seorang perwira muda ini. Ia lalu berkata menghina,
“Agaknya Tiongkok telah
kehabisan orang gagah maka terpaksa memajukan kau sebagai panglima. Mari,
hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!'
Sambil berkata demikian,
Balutin menengok ke arah pohon yang tumbuh di dekat sana. Daun-daun pohon itu
bergantungan di atasnya dan dia kemudian menggerakkan kedua tangannya menampar
ke arah daun-daun pohon itu.
Angin besar keluar dari kedua
lengannya yang dipenuhi tenaga khikang itu dan beberapa helai daun di pohon itu
lantas rontok dan melayang ke bawah! Balutin masih menggerak-gerakkan kedua
tangannya dan daun-daun pohon yang melayang ke bawah itu kelihatan
bergerak-gerak di udara akan tetapi tak dapat melayang turun, seakan-akan
tertahan oleh tiupan dari bawah dan kini bermain-main di udara bagaikan hidup!
Lui Siok In merasa terkejut
sekali dan ia mengerti bahwa Balutin sedang mempergunakan kepandaian khikang
yang disebut Mempermainkan Daun Rontok! Ia juga maklum bahwa daun-daun ini biar
pun ringan, akan tetapi dapat digerakkan dengan tenaga khikang dan dapat
dipakai menyerang lawan seperti senjata-senjata rahasia hebat! Di Tiongkok juga
terdapat ilmu ini yang dipelajari sambil menggunakan tenaga khikang dan angin
gerakan tangan dapat diarahkan kepada daun-daun itu sehingga daun-daun itu
dapat digerakkan ke mana saja menurut kehendak orang.
Benar saja sebagaimana dugaan
Lui Siok In. Tiba-tiba saja Balutin lalu membuat gerakan dengan kedua telapak
tangannya dan daun-daun itu dari atas langsung menyambar turun hendak menyerang
tubuh Lui Siok In. Perwira muda ini bukan orang sembarangan dan ia juga
memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia tidak lihai, mana ia bisa diterima menjadi
kepala pengawal pribadi kaisar.
Dia kemudian berseru keras dan
membuat gerakan pula dengan jari-jari tangannya yang ditelentangkan. Dari kedua
telapak tangannya ini keluarlah tenaga khikang yang hebat pula dan aneh.
Daun-daun yang tadinya meluncur dari atas kini melayang naik kembali, dan
kemudian terapung-apung di tengah udara.
Pertempuran dahsyat dan adu
tenaga khikang ini berlangsung lama serta menegangkan sehingga semua tentara
yang memegang obor dan menyaksikan pertandingan hebat ini menahan napas. Kedua
panglima itu berhadapan dengan mata saling memandang dan dua tangan
bergerak-gerak serta diulur ke depan seakan-akan dua orang pengemis yang sedang
minta sedekah, sedangkan daun-daun itu terus melayang-layang di tengah udara,
sebentar menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.
Akan tetapi, akhirnya ternyata
bahwa Lui Siok In kalah tinggi kepandaiannya dan tenaga khikang-nya masih kalah
setingkat oleh Balutin yang lihai itu. Beberapa kali kedua orang itu berseru
mengerahkan tenaga, dan perlahan tapi tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai
gemetar, sedangkan pada mukanya yang pucat itu mengucur peluh membasahi jidat
dan pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di udara itu mulai mendesak turun
dan semakin mendekati kepala Lui Sok In.
Perwira she Lui itu maklum
bahwa apa bila adu khikang ini diteruskan, keadaannya akan berbahaya sekali.
Maka secepat kilat dia lantas membuat gerakan Ikan Gabus Melompat Tinggi,
menjatuhkan diri ke belakang sambil membuat gerakan berjungkir balik, lalu
cepat menjatuhkan diri pula sambil bergulingan di atas tanah.
Dia memang harus menggunakan
gerakan ini, karena kalau tidak dia akan terpukul oleh tenaga khikang yang
telah menekan dan mendesaknya. Dengan cara bergulingan itu dia memulihkan
aliran darahnya kembali dan membebaskan dia dari serangan daun-daun itu yang
lalu meluncur dan jatuh ke atas tanah.
Balutin tertawa bekakakan
sambil bertolak pinggang. “Ha-ha-ha-ha! Hanya begitu sajakah kepandaianmu,
Perwira muda? Dan tadi kau berani bersombong hendak menawan aku? Ha-ha-ha!”
“Balutin jembel busuk, jangan
sombong!” teriak Lui Siok In dengan marah sekali dan dia lalu mencabut pedang
dan menyerang Balutin dengan hebat.
Balutin hanya tertawa dan dia
memberi tanda ke belakang sambil mengelak ke samping. Salah seorang pembantunya
segera melompat dan melemparkan sebatang tongkat yang panjang dan besar kepada
Balutin. Setelah Balutin menerima senjatanya ini ternyata oleh Lui Siok In
bahwa senjata itu adalah sebatang tongkat yang nampaknya berat sekali dan entah
terbuat dari apa, karena kekuning-kuningan dan berkilau bagaikan emas.
Maka keduanya kemudian
bertanding hebat sekali dan para tentara yang tadinya hanya bersorak sorai saja
menyaksikan pertandingan ini, lalu bergerak maju semakin mendekat!
Perwira-perwira kedua belah fihak sudah melompat maju dan pertandingan semakin
seru hingga akhirnya kedua barisan maju saling gempur menimbulkan suara
hiruk-pikuk!
Ujung pedang, golok dan
lain-lain senjata berkelebat dan berkilauan di bawah sinar obor, dan lantas
terdengar pekik jerit kemenangan tercampur keluh kesakitan. Darah mengucur
keluar bersama peluh kemudian membasahi tanah yang terpaksa harus menerima
segala kengerian yang dilakukan oleh manusia-manusia tu!
Balutin benar-benar tangguh sekali.
Baru bertempur beberapa puluh jurus saja Lui Siok In maklum bahwa ia tak akan
dapat mengalahkan pendeta gemuk ini, maka ia lalu berteriak memberi perintah
sehingga beberapa orang perwira maju mengeroyok. Juga Beng Kong Hosiang tidak
ketinggalan mengeroyok Balutin.
Kepandaian Beng Kong Hosiang
setingkat dengan kepandaian Lui-ciangkun, maka tentu saja Balutin mulai
terdesak ketika dia pun turut menyerbu bersama perwira-perwira lain. Akan
tetapi, dua orang perwira Turki maju dengan ilmu silat mereka yang aneh dan
cepat sehingga kembali pihak Balutin dan kawan-kawannya yang mendesak hebat!
Beng Kong Hosiang yang melihat
betapa pihaknya terdesak hebat, menjadi marah sekali. Ia lalu memutar-mutar
senjatanya yang istimewa, yaitu pacul yang bergagang bengkok itu dan menyerang
Balutin dengan sepenuh tenaga. Memang sejak tadi yang diperhatikan oleh Balutin
hanya Beng Kong Hosiang yang kini menyerangnya dengan ganas, maka dia pun cepat
menangkis dan kedua orang ini bertempur seru sekali.
Pada suatu saat, ketika Beng
Kong Hosiang menyerampang kaki Balutin dengan senjata paculnya, Balutin lalu
menangkis sekuat tenaga hingga terdengar bunyi keras sekali dan gagang pacul
Beng Kong Hosiang telah patah! Akan tetapi, tongkat di tangan Balutin juga
terlepas dari pegangan. Demikian hebat dan keras benturan tenaga itu!
Melihat betapa senjatanya
telah patah, Beng Kong Hosiang lantas berseru keras dan dia menyambitkan sisa
senjatanya ke arah Balutin yang mengelak cepat. Gagang pacul yang disambitkan
itu meluncur cepat bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya dan
dengan jitu menancap di dada seorang Turki yang bertempur di belakang Balutin!
Beng Kong Hosiang masih marah
dan bagaikan seekor banteng terluka, ia lalu menubruk maju ke arah Balutin
dengan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda! Tangan kirinya mencengkeram
ke arah dada dan tangan kanannya ke arah leher lawan!
Serangan ini hebat sekali.
Balutin berseru keras, menundukkan kepala untuk menghindari serangan leher dan
serangan tangan pada dadanya ia tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi,
gerakan Beng Kong Hosiang cepat dan ganas sekali sehingga ketika lengan kiri
Balutin menangkis, maka tangan kirinya itu berhasil pula mencengkeram lengan
tangan Balutin yang menangkis! Balutin berseru kesakitan dan tangan kanannya
lalu memukul ke dada lawan.
“Bukkk!”
Terdengar suara keras ketika
pukulan tangan ini dengan tepat menghantam dada Beng Kong Hosiang. Pukulan ini
keras sekali datangnya hingga dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar
dan tubuh hwesio itu langsung terpental ke belakang dalam keadaan tidak
bernyawa lagi! Akan tetapi, cengkeraman tangannya pada lengan kiri Balutin
masih belum terlepas sehingga tubuh Balutin terbawa maju.
Balutin cepat sekali
menggunakan dua jarinya mengetuk sambungan siku lawannya yang telah mati itu.
Ketika kena totokan ini, urat lengan Beng Kong Hosiang yang telah kaku itu
menjadi mengendur dan pegangan atau cengkeramannya terlepas hingga tubuhnya
lalu menggelinding ke bawah.
Balutin lalu memandang ke arah
lengan kirinya yang sudah menjadi matang biru karena cengkeraman lawan tadi!
Dia menggeleng-geleng kepala dan kagum akan ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka
pada lengan kirinya tidak berbahaya, maka dia lalu mengambil senjatanya lagi
dan kembali mengamuk hebat. Banyak perwira roboh di bawah pukulan tongkatnya.
Sementara itu, tentara
Tiongkok yang kurang terlatih oleh karena kaisar dan para perwira selama ini
hanya ingat bersenang-senang saja, tak kuat pula menghadapi tentara musuh. Apa
lagi mereka baru habis melakukan perjalanan sehingga keadaan mereka masih lelah
sekali, sedangkan pihak musuh sudah berhari-hari beristirahat di sana, maka
meski pun jumlah mereka lebih besar, namun korban yang jatuh di pihak mereka
juga lebih banyak.
Melihat kerugian yang diderita
oleh pihaknya dan melihat pula kelihaian Balutin, Lui Siok In segera memberi
perintah mundur, sedangkan dia sendiri pun lalu melompat mundur. Tentara
Tiongkok menarik diri dan mundur. Beberapa orang perwira segera diutus untuk
mencari bala bantuan!
Tentara Turki sengaja tidak
mau mengejar oleh karena mereka mempunyai tugas yang lebih penting, yakni
menyelesaikan pembuatan perahu untuk dipakai menyeberang dan mengurus
korban-korban yang roboh di pihak mereka. Mereka hanya berjaga-jaga saja
kalau-kalau pihak musuh datang menyerbu lagi.
Akan tetapi, oleh karena bala
bantuan yang diharapkan masih jauh dan belum tentu akan dapat segera datang,
maka pihak Turki mendapat kesempatan pula untuk menyelesaikan pembuatan perahu
dan mereka lalu beramai-ramai menurunkan perahu-perahu itu ke air dan mulai
berlayar! Beberapa orang kawan Yousuf yang dahulu bersama-sama pergi dan
mendapatkan Pulau Emas itu, menjadi penunjuk jalan.
Ketika bala bantuan yang
diharapkan datang dari daerah yang jauh letaknya dari tempat itu, pihak tentara
kerajaan pun langsung mempergunakan perahu-perahu untuk mengejar sehingga
terjadilah pengejaran ramai di atas laut. Akan tetapi perahu-perahu Tiongkok
ini terlambat dua hari sehingga telah tertinggal jauh…..
********************
Dengan mempergunakan sebuah
perahu besar dan mewah, Pangeran Vayami, pangeran bangsa Mongol yang menjadi
pemimpin Agama Sakya Buddha itu berlayar ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan
Kiam Ki Sianjin. Di atas perahu besar ini juga sudah disediakan dua buah
perahu-perahu kecil untuk keperluan khusus dan perahu ini berlayar cepat ke
tengah samudera.
Ketika terjadi pertempuran
pada malam hari itu, Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bisa melihat dari
atas perahu mereka. Akan tetapi mereka hanya melihat obor menerangi seluruh pantai
dan mendengar suara teriakan mereka yang berperang. Secara diam-diam Pangeran
Vayami bersorak girang di dalam hatinya oleh karena tipu dayanya berhasil baik.
DIa sudah memberi perintah kepada anak buahnya, yaitu pendeta-pendeta Sakya
Buddha untuk dengan diam-diam menuju ke Pulau Emas yang diperebutkan itu.
Tipu daya Pangeran Vayami amat
jahat dan licin. Ia memerintahkan para pengikutnya itu untuk mengangkut harta
benda berupa emas yang berada di pulau itu. Sesudah berhasil mencari dan
mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu diharuskan membakar sebuah telaga
yang mengandung minyak bakar agar pulau itu terbakar habis!
Sebetulnya, pada saat
mendengar akan adanya Pulau Emas itu, Pangeran Vayami sudah pernah pergi
menyelidiki dan dia mendapat kenyataan bahwa pada malam hari pulau itu
mengeluarkan cahaya berkilauan dan terang sekali, seakan-akan sekujur gunung di
pulau itu terbuat dari pada emas yang bersinar gemilang.
Akan tetapi, ketika ia
mendarat di pulau itu, ia tidak bisa mendapatkan di mana adanya emas yang
bercahaya pada waktu malam itu, bahkan yang didapatkannya hanya sebuah telaga
kecil yang airnya berkilauan dan berwarna kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan,
ia mengambil sebotol air dan ketika pada malam harinya dia membuat penerangan,
hampir saja tangannya terbakar. Tangan yang masih basah terkena benda cair itu
tercium api, lalu bernyala hebat!
Ia tidak tahu bahwa pulau itu
mengandung minyak tanah dan hanya menduga benda cair di telaga itu adalah air
mukjijat yang mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di dalam botol itu yang
segera berkobar dan terbakar dengan sangat mudahnya. Oleh karena inilah, dia
menggunakan tipu daya untuk membakar telaga itu apa bila emas sudah didapatkan
oleh kaki tangannya, agar semua orang yang berada di pulau itu dan hendak
mencari emas, termakan habis oleh api yang membakar pulau dan anak buahnya
dapat melarikan emas itu dengan aman!
Tentu saja tipu dayanya ini
tidak diberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, oleh karena
ia pun maklum bahwa kedua orang tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga
dirinya, dan ia dapat menduga pula bahwa kaisar telah mencurigainya!
Pangeran Vayami sengaja
memutar-mutar perahunya dan tidak mau membawa Hai Kong Hosiang menuju ke pulau
itu untuk memberikan kesempatan kepada para anak buahnya. Demikianlah,
perahunya hanya berputaran melewati pulau-pulau yang sangat banyak itu.
Ketika rombongan perahu Turki
menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami merasa kuatir sekali. Anak buahnya belum
kelihatan kembali dan sekarang perahu-perahu Turki sudah menyeberang ke pulau
itu! Hatinya menjadi gelisah sekali, terutama ketika melihat betapa rombongan
perahu tentara kerajaan mengejar pula.
Celaka, pikirnya, pulau itu
tentunya akan penuh dengan tentara kedua pihak dan mungkin sekali akan terjadi
perang hebat di pulau itu. Lalu bagaimana anak buahnya akan dapat bekerja
dengan baik?
Ia ingin sekali pergi ke pulau
itu untuk memimpin sendiri pekerjaan anak buahnya, akan tetapi ia tidak berdaya
oleh karena selalu ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin.
Tiba-tiba Pangeran Vayami yang cerdik ini mendapatkan akal baik.
Pada saat itu, Hai Kong
Hosiang juga sedang berdiri di kepala perahu dan melihat betapa perahu-perahu
Turki telah mendahului berlayar dan kemudian dikejar oleh perahu-perahu tentara
kerajaan. Hwesio ini memandang dengan penuh rasa khawatir. Ia dapat menduga
bahwa peperangan semalam tentu dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak
demikian tentu musuh tak akan dapat menyeberang!
”Hai Kong Bengyu…,” Pangeran
Vayami berkata. ”Apakah kau dapat menduga apa yang menjadikan kegelisahan
hatiku?”
Hai Kong Hosiang sebenarnya
dapat menduga bahwa Pangeran Mongol ini tentu menjadi gelisah dan kuatir
melihat pergerakan barisan Turki itu, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan
menggelengkan kepala.
“Hai Kong Bengyu, tidakkah kau
melihat betapa barisan Turki sudah mempergunakan perahu-perahu dan menyeberang
ke pulau-pulau? Ini berarti bahwa barisan kerajaanmu itu telah kalah perang!
Dan apakah kau tega melihat hal itu terjadi begitu saja? Kurasa di pihak
barisan Turki terdapat orang-orang pandai, maka memang sebaiknya kau bersama
supek-mu tinggal saja di sini.”
Di samping mencela, Pangeran
Vayami juga sengaja membakar panas hati pendeta itu. Akan tetapi Hai Kong
Hosiang hanya diam saja, seolah-olah tidak mengerti akan maksud sindiran
Pangeran Vayami.
”Untung sekali kau berada di
sini, Hai Kong Bengyu, kalau kau ikut menyerbu tentu kau berada dalam bahaya.
Aku mendengar bahwa panglima Turki yang bernama Balutin atau Pouw Lojin itu
sangat sakti dan lihai hingga kurasa tidak ada orang Han (Tionghoa) yang mampu
mengalahkannya!”
Hai Kong Hosiang tak dapat
menahan sabarnya lagi dan dia memandang kepada Vayami dengan mata mendelik.
Akan tetapi Vayami sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan berlaku
seakan-akan tidak melihat kemarahan Hai Kong Hosiang, dan ia lalu menambah
omongannya seperti berikut,
“Sungguh celaka! Aku mendengar
bahwa seheng-mu yang bernama Beng Kong Hosiang juga ikut dalam barisan
kerajaan! Jangan-jangan Seheng-mu terkena celaka, oleh karena aku merasa
ragu-ragu apakah dia sanggup menghadapi Balutin yang sakti itu?”
“Vayami! Kau sungguh-sungguh
memandang rendah kekuatan kami! Kau kira aku takut kepada segala macam orang
seperti Balutin itu? Baik! Aku dan Suhu-ku akan menyusul dan menghancurkan
mereka itu, anjing-anjing bangsa asing yang kurang ajar!” Di dalam makian ini,
otomatis Vayami terkena dimaki juga, karena bukankah ia pun di hadapan Hai Kong
Hosiang merupakan orang asing pula?
Hai Kong Hosiang segera memberi
tahu kepada supek-nya yang gagu itu, dan Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk
menyatakan setuju untuk menggempur barisan Turki itu. Hai Kong Hosiang kemudian
menurunkan sebuah dari pada perahu kecil yang berada di situ, kemudian ia
menghampiri Vayami dan berkata,
“Pangeran Vayami, aku dan
Supek akan pergi dulu, dan kau...” Setelah berkata demikian, secepat kilat Hai
Kong Hosiang mengulurkan tangan menotok.
Vayami terkejut sekali, akan
tetapi terlambat, oleh karena jari tangan Hai Kong Hosiang sudah menotok jalan
darahnya dengan tepat hingga pangeran itu roboh terduduk dengan tubuh lemas dan
tak mampu bergerak lagi.
“Maaf, Pangeran Vayami. Aku
terpaksa melakukan ini untuk menjaga agar kau tidak bisa sembarangan bergerak.”
Hai Kong Hosiang lalu tertawa bergelak-gelak dengan girangnya dan Vayami
terpaksa tak dapat berdaya sesuatu dan hanya memandang keberangkatan dua orang
itu dengan hati gemas dan mendongkol sekali.
Sambil tertawa-tawa puas
melihat hasil kecerdikannya, Hai Kong Hosiang serta Kam Ki Sianjin lalu
mendayung perahu kecilnya menuju ke arah pulau di mana kedua barisan itu
menuju. Di atas pulau itu telah terjadi kembali pertempuran hebat antara
barisan kerajaan yang telah mendapat bala bantuan dengan pasukan Turki.
Akan tetapi, kembali Balutin mengamuk
sehingga puluhan prajurit kerajaan tewas dalam tangannya. Banyak perwira
mengeroyoknya, akan tetapi tak ada seorang pun yang dapat menandingi kelihaian
pendeta gemuk ini.
Ketika sampai di tempat
pertempuran, Hai Kong Hosiang mendengar mengenai kematian suheng-nya di tangan
Balutin, maka bukan kepalang marahnya. Sambil mencabut keluar tongkat ularnya,
ia melompat dan menerjang Balutin sambil berteriak,
“Balutin bangsat besar! Akulah
lawanmu!” Ia lalu menyerang dengan hebat sekali.
Balutin terkejut melihat sepak
terjang pendeta ini dan melawan dengan hati-hati. Mereka berdua ternyata
merupakan tandingan yang sangat setimpal dan seimbang, baik dalam kepandaian
mau pun dalam kehebatan tenaga mereka.
Tak seorang perwira dari kedua
pihak berani maju mendekat oleh karena beberapa orang perwira yang mencoba
untuk membantu kawan, ternyata baru beberapa gebrakan saja telah roboh dan
tewas oleh amukan kedua orang yang sedang bertempur sengit ini.
Keduanya mengeluarkan seluruh
kepandaian serta tenaganya. Ada pun Kiam Ki Sianjin yang telah tua itu hanya
memandang dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan penuh perhatian
dan siap menolong apa bila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya…..
********************
Perahu besar Vayami yang
ditinggal seorang diri terapung-apung di atas laut, terdampar ombak dan
kebetulan sekali mendekati pulau itu. Mendadak kelihatan perahu kecil yang
cepat sekali majunya dan perahu ini bukan lain adalah perahu yang ditumpangi
oleh Cin Hai, Ang I Niocu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.
Melihat perahu besar yang
sedang terombang-ambing seakan-akan tidak ada orang yang mengemudikannya itu,
Cin Hai dan Ang I Niocu segera melompat ke atas perahu itu dan meninggalkan
tosu serta hwesio itu di dalam perahu kecil.
Alangkah terkejutnya mereka
ketika melihat Vayami duduk tak bergerak bagaikan patung batu. Juga Vayami
sangat terkejut melihat kedua orang ini, akan tetapi dia hanya dapat duduk
tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Cin Hai maklum bahwa pangeran ini berada di
bawah pengaruh totokan, maka dia lalu mengulurkan tangan memulihkan totokan
yang mempengaruhi tubuh Pangeran Vayami.
Pangeran Vayami cepat berdiri
menjura dengan hormat sekali kepada Cin Hai dan Ang I Niocu.
“Terima kasih, Taihiap.
Syukurlah engkau datang menolong, kalau tidak entah bagaimana dengan nasibku
yang buruk ini.” Sambil berkata demikian, dia mengerling kepada Ang I Niocu
dengan bibir tersenyum, akan tetapi hatinya berdebar khawatir dan takut!
Cin Hai dan Ang I Niocu merasa
amat sebal dan benci melihat pangeran ini, akan tetapi mereka berdua tertarik
untuk mengetahui apakah yang sedang dilakukan oleh pangeran aneh dan licin ini
di atas perahu di dekat Pulau Emas itu.
“Bagaimana kau bisa berada di
sini seorang diri dan mengapa dalam keadaan tertotok orang? Siapakah yang
melakukan itu dan apa pula maksudmu berada di sini?” tanya Cin Hai tanpa
memakai banyak peradatan lagi.
Pangeran Vayami menghela napas
dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang indah model bangsawan Han itu.
“Dasar Hai Kong Hosiang yang jahat dan berhati palsu!”
Cin Hai girang sekali
mendengar nama itu disebut-sebut. “Eh, apakah bangsat Hai Kong Hosiang berada
di sini? Katakanlah di mana dia!”
Vayami menghela napas dan
memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum bahwa di antara Hai Kong dengan
anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar sekali sehingga pemuda ini selalu
berusaha membunuhnya, dan dia teringat pula bahwa dulu Cin Hai di perahunya
pernah memberitahu bahwa Hai Kong Hosiang adalah musuh besarnya. Maka ia segera
mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba lagi demi keuntungan dirinya
sendiri.
“Sebagaimana kau ketahui, Hai
Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar. Akan tetapi hwesio itu mendengar
bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut ini, lalu timbul hati jahatnya
dan bersama Supek-nya yang gila dan gagu itu, dia memaksa aku mengantarkan
mereka berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di sini dan mengetahui tempat
itu, dia lantas menotokku dan mencuri perahu kecilku, kemudian bersama dengan
Supek-nya dia lalu menuju ke sana!”
Mendengar tentang Pulau Emas
ini tiba-tiba saja Ang I Niocu dan Cin Hai teringat kepada si tosu dan si
hwesio yang tidak kelihatan lagi, dan ketika mereka memandang ternyata perahu
kecil itu telah bergerak maju dan telah jauh meninggalkan tempat itu!
”Hai...!” Ang I Niocu
berteriak marah ”Kembalilah kalian!”
Akan tetapi dari jauh kedua
pendeta hanya melambaikan tangan saja, si hwesio tetap tertawa dan si tosu
tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan hendak menggunakan perahu kecil yang
berada di perahu besar Vayami itu untuk mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat
kedua tanganya dan berkata mencegah,
“Lihiap, jangan mengejar.
Mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka ikut dibakar hidup-hidup!”
Ang I Niocu dan Cin Hai
terkejut, cepat memandang kepada pangeran yang tersenyum-senyum girang itu
dengan heran. Pada waktu itu, hari telah mulai gelap dan angin bertiup kencang.
“Pangeran Vayami, apa maksudmu
dengan ucapan tadi?” tanya Cin Hai dan Ang I Niocu yang tidak jadi mengejar
kedua pendeta itu oleh karena dia pun tidak mempunyai urusan dengan mereka.
Tadi ia hendak mengejar hanya karena merasa marah saja dan kini dua orang
pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi pula.
Vayami tersenyum dan berkata,
“Sebelum aku menceritakan kepada kalian, lebih dahulu bantulah aku memasang
layar ini sebab aku hendak menunjukkan sebuah pemandangan indah kepada kalian!”
Cin Hai lalu membantunya
memasang layar dan sebentar saja perahu besar itu bergerak laju ke kanan.
Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu, telah memutar perahunya
mengelilingi Pulau Kim-san-to. Dan sesudah melakukan pelayaran lebih dari dua
jam, kini perahu itu berada di belakang pulau.
“Nah, kalian lihat itu!” kata
Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.
Ang I Niocu dan Cin Hai cepat
memandang dan mereka berdua menjadi amat tercengang melihat pemandangan yang
mereka lihat di depan mereka. Di atas Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah
bukit yang menjulang tinggi dan berujung runcing. Kini di dalam gelap senja,
bukit itu nampak bercahaya dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang berkilauan!
Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih kuning kemerah-merahan bagaikan
emas murni, dan di bawah bukit membentang pohon-pohon yang gelap dan hitam.
Ang I Niocu berdiri di pinggir
perahu dengan penuh takjub sehingga untuk beberapa lama gadis itu berdiri tak
bergerak laksana patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan
heran dan kagetnya, segera minta keterangan dari Vayami!
“Ketahuilah, Taihiap, inilah
Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua! Tentu kau juga sudah melihat
bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan telah saling gempur dan kini
pun sedang bertempur mati-matian di atas pulau itu untuk memperebutkan Bukit
Emas itu. Semua orang yang berjumlah ribuan itu, mereka berebut mati-matian
untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka sudah
berada di tepi neraka. Ha-ha! Juga Hai Kong yang jahat itu sebentar lagi takkan
dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun akan mati terpanggang api, di
pulau itu, ha-ha-ha!”
Mendengar keterangan ini, Cin
Hai merasa heran sekali. Dia lalu membentak, “Pangeran Vayami! Kau jelaskanlah
semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?”
Sesudah berusaha keras untuk
menekan kegirangan dan kegelian hatinya yang hendak tertawa saja, Vayami lalu
berkata lagi,
“Dengarlah, Taihiap dan kau
juga, Lihiap. Kami orang-orang Mongol tidaklah segoblok orang-orang Turki atau
orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi harus bersusah payah mengerahkan
barisan tentara untuk memperebutkan pulau ini. Sebentar lagi, pulau ini akan
menjadi lautan api dan semua emas akan berada di tanganku. Ya, semua emas akan
berada di tangan Pangeran Vayami!”
Cin Hai makin heran dan ia
memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha yang muda dan tampan ini. Ia
melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai hadiah dan tanda
perhahabatan, akan tetapi tetap saja mukanya masih jelas bahwa dia adalah orang
Mongol.
Cin Hai sama sekali tidak
pernah menyangka bahwa Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa
perahunya ke tempat itu oleh karena memang ia telah berjanji kepada anak
buahnya untuk menanti dengan perahu besar di tempat itu untuk menerima mereka
setelah selesai mengerjakan tugas mereka.
Pangeran Vayami memang
mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam
Ki Sianli lihai sekali, maka sesudah melihat munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu,
ia berniat menarik kedua orang ini untuk menjadi pembela-pembelanya dan untuk
menghadapkan dua orang gagah ini kepada Hai Kong Hosiang apa bila hwesio itu
muncul untuk mengganggunya.
Oleh karena ia menganggap
bahwa kedua orang muda gagah ini tidak memiliki hubungan sesuatu dengan Turki
mau pun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia segera
melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan
kecerdikannya.
“Orang-orang Turki dan barisan
kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta di pulau itu, dan oleh karena mereka
sedang bertempur mati-matian, mereka sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk
mencari emas itu yang belum dapat diketahui secara pasti di mana tempatnya. Dan
diam-diam aku telah menyuruh anak buahku yang tiga puluh enam orang banyaknya
untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum tentara-tentara kedua pihak itu
tiba dan telah memerintahkan apa bila mereka telah dapat mengangkut harta itu,
mereka segera harus membakar sebuah danau di pulau itu yang airnya dapat
terbakar seperti minyak domba! Bahkan aku memerintahkan supaya seluruh hutan di
situ dibakar semua sampai habis, baru mereka mengangkat kaki dan mengangkut
semua emas itu ke sini!”
Cin Hai dan Ang I Niocu
bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai yang teringat kepada Lin
Lin tiba-tiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan Ang I Niocu.
Juga Ang I Niocu teringat bahwa Lin Lin diduga pergi ke pulau itu, maka cepat
bertanya,
“Bilakah kiranya perintahmu
yang kejam itu dilakukan?”
Vayami memandang dengan muka
berseri. “Malam ini, tepat tengah malam, jadi tak lama lagi!” katanya sambil
memandang ke arah pulau.
Diam-diam pangeran ini juga
merasa sangat khawatir oleh karena orang-orangnya yang sedang ditunggu-tunggu
belum kelihatan muncul seorang pun.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa
makin terkejut. “Vayami, tahukah kau di mana adanya seorang Turki yang bernama Yousuf?”
tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar
dengan orang Turki ini dan nama ini dia dengar dari dua orang nelayan yang
menceritakan pengalaman mereka dulu.
Vayami berubah air mukanya
mendengar nama ini. Dia pernah bertemu dengan Yousuf dan tahu akan kelihaian
orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu pertama dari Kim-san-to.
“Kau mencari setan itu?
Ha-ha-ha-ha! Tentu dia juga berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf
itu pun berada di atas pulau dan sebentar lagi ia pun akan musnah!”
“Dan kawan-kawannya yang
berlayar bersama dia?” tanya pula Cin Hai dengan suara gemetar.
“Kawan-kawannya?” kata Vayami
yang mengira bahwa ‘kawan-kawan’ yang dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah
orang-orang Turki lainnya. “Ha-ha-ha-ha! Semua kawan-kawan Yousuf juga akan
terpanggang mampus di pulau itu.”
“Bangsat besar!” Tiba-tiba Cin
Hai memaki dan ketika tangannya menampar, pipi Vayami kena ditampar hingga
giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas papan perahu.
Pangeran ini mengeluh dan
merintih-rintih sambil mengusap-usap pipinya yang menjadi matang biru dan
memandang kepada Cin Hai dengan heran.
“Niocu, jaga bangsat ini! Aku
hendak menyusul Lin Lin!”
“Jangan, Hai-ji! Pulau itu
sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau berminyak itu bisa meledak'!'
kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.
“Lin Lin berada di sana,
karena itu bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi menolongnya?”
tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu kecil dan hendak
melemparnya ke air untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.
Akan tetapi, pada saat itu
pula dia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi oleh banyak perahu-perahu
kecil dan mendadak dari perahu-perahu kecil itu berlompatan naik tubuh orang-orang
tinggi besar yang berjubah merah. Kiranya orang-orang ini adalah anak buah
Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakya Buddha yang memiliki ilmu tinggi dan
yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan senjata di tangan. Jumlah
mereka banyak sekali sehingga terpaksa Cin Hai melompat mundur ke dekat Ang I
Niocu, bersiap sedia menghadapi keroyokan.
Ketika melihat bahwa tiba-tiba
anak buahnya muncul, Pangeran Vayami menjadi girang sekali dan ia lalu timbul
pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik oleh kecantikan Ang I Niocu dan
kalau saja kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis Baju Merah yang cantik jelita
itu, tentu dia telah memaksa Ang I Niocu untuk menjadi isterinya. Kini melihat
datangnya semua anak buahnya yang dia percaya akan dapat menundukkan kedua anak
muda itu dengan keroyokan, lalu ia memerintah,
“Tangkap pemuda itu dan lempar
dia ke laut! Tetapi jangan ganggu gadis itu dan tawan dia.”
Bagaikan serombongan anjing
pemburu yang terlatih dan mendengar perintah tuannya, tiga puluh enam orang pendeta
Sakya Buddha itu lalu menyerbu dengan mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan.
Cin Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang masing-masing dan melakukan perlawanan
dengan gagah.
Semua pendeta itu adalah
orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas
pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak
rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu
dan Cin Hai menjadi bingung juga.
Akan tetapi kedua orang muda
ini memiliki ilmu kepandaian sempurna, terutama Cin Hai. Maka, baru beberapa
jurus saja mereka bertempur, dua orang pengeroyok sudah dapat dirobohkan.
Meski pun demikian, kesetiaan
anak buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka tidak
mundur, malah makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak
muda yang lihai, biar pun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan
segan-segan buat mentaatinya asal perintah itu keluar dari mulut Pangeran
Vayami, oleh karena mereka menaruh kepercayaan penuh bahwa kesetiaan mereka ini
akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh oleh pemimpin agama itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu
menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua pengeroyok ini bukanlah hal yang
terlalu sulit bagi mereka berdua, akan tetapi hati mereka tidak tega untuk
membunuh sekian banyak orang yang hanya menjalankan perintah. Dan keduanya
masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin yang berada di pulau itu!
Pada saat itu, tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga bayangan orang meloncat ke
atas perahu dan langsung mengamuk dengan hebatnya disertai suara tertawa
menyeramkan! Pada saat Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah Hek
Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa girang sekali akan tetapi berbareng
juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat datang bersama
kedua iblis ini?
Ketika melihat Pek Hek Mo-ko
dan Kwee An mengamuk dan membabat semua pendeta Sakya Buddha, Cin Hai lalu
melompat ke pinggir perahu dengan maksud hendak segera menyusul Lin Lin.....
Akan tetapi, ketika ia
memandang, ia menjadi terkejut sekali oleh karena dalam kekalutan itu, Ang I
Niocu sudah mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di
atas perahu kemudian mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya
bersinar-sinar itu!
“Niocu, tunggu!” teriak Cin
Hai.
Akan tetapi Ang I Niocu
melambaikan tangan padanya sambil menjawab, “Jangan, Hai-ji. Biar aku saja yang
menyusul, jangan kita berdua terancam bahaya bersama. Kau tunggu saja, aku
pasti akan membawa Lin Lin kepadamu!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu
mendayung makin cepat!
Cin Hai bingung sekali dan ia
cepat melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa semua pendeta Sakya Buddha
tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu kecil nampak di situ, dan
perahu-perahu ini sudah dipukul hancur dan tenggelam oleh Hek Pek Mo-ko dan
Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas!
Dalam kebingungannya, dan
karena keadaan di situ makin gelap sehingga sukar mencari perahu kecil yang
dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu berlaku nekad dan mengayun
dirinya ke laut! Ia mengambil keputusan bendak berenang ke arah pulau yang tak
seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau sampai Ang I Niocu berkorban seorang
diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia sendiri harus enak-enak
menunggu!
Sementara itu, di dalam
kegembiraan mereka mengamuk serta membasmi para pendeta Sakya Buddha itu, Hek
Mo-ko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain dan sama sekali tidak
melihat Cin Hai dan Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang melihat mereka, tak
mengerti maksud mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok oleh banyak lawan
sehingga tidak mendapat kesempatan bertanya lagi.
Amukan Hek Mo-ko serta Pek
Mo-ko hebat sekali, bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama sekali Pek
Mo-ko yang masih menderita duka akibat kematian puterinya, kini mengamuk dan
merupakan seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko mau pun Pek Mo-ko tak memiliki
alasan untuk memusuhi pendeta-pendeta baju merah ini. Mereka bertempur hanya
atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu dikeroyok!
Kedua iblis ini memang suka
sekali bertempur, dan asalkan mereka bisa bertempur serta membunuh banyak orang,
tidak peduli lagi apa alasannya, mereka sudah cukup merasa senang dan puas!
Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang ini disebut Iblis Putih dan Iblis
Hitam!
Sedangkan Kwee An yang juga
tak mengerti sebab-sebab pertempuran, hanya bertindak untuk menolong kedua
orang kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, dia menjadi
menyesal akan tetapi tidak berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan
melakukan pembunuhan besar-besaran.
Tak lama kemudian, habislah
ketiga puluh enam orang pendeta Sakya Buddha ini berikut Pangeran Vayami
terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko! Sambil tertawa bergelak-gelak
kedua iblis ini lalu menendangi mayat-mayat itu ke dalam laut.
Pangeran Vayami yang bernasib
malang itu sampai tidak mengetahui bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak
buahnya untuk mencari emas itu! Kalau saja ia tahu bahwa anak buahnya tidak
mendapatkan emas sepotong pun, jika dia masih hidup pun tentu dia akan jatuh
binasa karena kecewa dan menyesal!
Anak buahnya ternyata tak
berhasil mendapatkan sedikit pun emas di pulau itu, biar pun sudah berhari-hari
mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas sepotong kecil
pun! Akan tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan ketika melihat
peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan barisan dari kaisar,
mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di atas bukit itu! Danau
itu kini mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi hal ini masih
belum diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang…..
********************
Cin Hai mengerahkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya untuk dapat berenang secepat mungkin, akan tetapi di
dalam air dia tidak seleluasa seperti di darat di mana dia boleh mempergunakan
ginkang-nya untuk bergerak cepat. Tidak saja kepandaian renangnya memang kurang
sempurna, akan tetapi air laut itu berombak dan dia tidak kuat melawan ombak
air sehingga tubuhnya hanya maju perlahan saja dan sebentar juga perahu yang
dinaiki Ang I Niocu telah jauh meninggalkannya.
Keadaan di atas permukaan laut
itu lebih gelap lagi. Satu-satunya petunjuk jalan bagi Cin Hai adalah cahaya
terang yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.
Ia masih bergulat dengan ombak
laut ketika Ang I Niocu sudah lama mendarat dan gadis ini tanpa mempedulikan
mereka yang berperang mati-matian, segera berlari naik ke atas bukit untuk
mencari Lin Lin. Ketika dia naik semakin tinggi, sungguh luar biasa, karena
cahaya terang itu semakin menghilang dan keadaan di atas bukit sunyi sekali!
Bahkan di atas bukit itu tidak terlihat pohon sama sekali.
Ang I Niocu berseru keras
memanggil, “Lin Lin…!”
Suaranya yang dikerahkan
dengan tenaga khikang ini terdengar bergema nyaring sekali, bahkan terdengar
lapat-lapat oleh Cin Hai yang masih berenang di laut!
“Niocu...!” Cin Hai berseru
memanggil karena ia mengenal suara Ang I Niocu.
Hatinya bingung dan cemas
sekali. Akan tetapi, biar pun ia mengerahkan khikang-nya, di dalam air itu
suaranya tak terdengar jelas dan menjadi kacau oleh bunyi riak ombak yang
menggelora.
“Lin Lin...!” terdengar lagi
teriakan Ang I Niocu dan suara ini membangunkan semangat Cin Hai yang lalu
mengerahkan tenaganya sehingga ia dapat maju lebih cepat.
Ang I Niocu terus berlari ke
atas sambil memanggil nama Lin Lin. Ia telah berjanji kepada Cin Hai untuk
menemukan gadis kekasih pemuda itu, maka ia bertekad tak akan kembali sebelum
mendapatkan Lin Lin.
Ketika Ang I Niocu tiba di
sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia memandang ke bawah. Kedua matanya
langsung terbelalak dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya
oleh karena tiba-tiba matanya menjadi silau.
Di bawah, tidak jauh dari situ
dia melihat pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan sanubarinya. Di bawah
puncak itu ia melihat api sedang berkobar-kobar besar sekali dan bernyala-nyala
seolah-olah neraka sendiri yang terbuka di hadapan kakinya! Inilah danau penuh
minyak tanah yang dibakar oleh kaki tangan Pangeran Vayami!
Dengan hati penuh kengerian
dan cemas, Ang I Niocu berteriak lagi, “Lin Lin…! Lin Lin…! Di mana kau…??”
Akan tetapi suara teriakannya
yang amat keras ini seakan-akan hanya menambah besar berkobarnya api yang
membakar seluruh danau itu! Ang I Niocu dengan mata terbelalak memandang ke
arah api dan tiba-tiba ia melihat seolah-olah bayangan Pangeran Vayami berdiri
di tengah-tengah api sambil tersenyum-senyum serta melambai-lambaikan tangan
kepadanya!
Ang I Niocu menggigil dengan
penuh kengerian dan mukanya penuh keringat. Dia cepat menggosok-gosok kedua
matanya, akan tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas saja. Sambil berseru
ngeri dan takut, Ang I Niocu lalu berlarian ke sana ke mari sambil
memekik-mekik memanggil nama Lin Lin,
“Lin Lin...! Lin Lin...!
Keluarlah, Lin Lin. Hai-ji menunggu kau...!”
Namun, sampai serak suaranya
memanggil-manggil dengan kerasnya sambil berlari-lari menubruk sana menubruk
sini, akan tetapi yang dipanggilnya tidak juga menjawab atau muncul.
Nyala api di danau yang
membesar dan membubung tinggi itu terlihat juga oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam
Ki Sianjin. Maka Hai Kong Hosiang segera menyerang semakin keras kepada Balutin
sambil berteriak minta supaya supek-nya membantu.
Kiam Ki Sianjin lalu melompat
maju dan menyerang Balutin dengan kebutan ujung lengan bajunya yang lebar.
Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin sambaran ujung baju itu
keras dan luar biasa! Dia mencoba berkelit, akan tetapi serangan susulan dari
Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyung-huyung ke belakang, dan pada saat itu pula
tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah yang ada di lehernya.
Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan tewas!
Kiam Ki Sianjin lalu mengempit
tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat bagaikan terbang, kakek gagu ini
cepat meninggalkan tempat pertempuran menuju ke pantai dan keduanya lalu
melarikan diri di atas sebuah perahu!
Cin Hai juga melihat
membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan seolah-olah hendak membakar
awan-awan di atas itu. Dia semakin bingung dan gelisah, lalu berteriak-teriak
sambil berenang cepat-cepat.
“Niocu...! Lin Lin...!” Akan
tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan suara ombak yang menderu.
Pada waktu itu, terdengar
ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh Cin Hai yang sedang berenang di
air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di atas bukit itu mendadak
saja pecah dan pulau itu dalam sekejap mata menjadi terang oleh karena sudah
terbakar menjadi lautan api! Tepat sebagaimana ramalan Pangeran Vayami, pulau
itu berubah menjadi neraka!
Cin Hai membelalakkan matanya
dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia masih mendengar suara
Ang I Niocu lapat-lapat.
“Lin Lin... Lin Lin...
Hai-ji...!”
Cin Hai merasa seakan-akan
jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya seakan-akan tercekik oleh
sesuatu! Sebagai akibat dari pada letusan dahsyat itu, tiba-tiba ombak besar
datang menggulung dirinya dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu diterima lagi
oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat semula!
Cin Hai mencoba berseru lagi.
“Niocu... Lin Lin...!”
Akan tetapi suaranya tak dapat
keluar dari kerongkongannya. Ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan tidak
kuat berenang pula! Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam, akan tetapi tiba-tiba ia
mendengar suara bisikan.
“Hai-ji... kuatkanlah
hatimu... Lin Lin menanti-nantimu...”
Cin Hai terkejut. Inilah suara
Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan dapat timbul lagi ke permukaan
air. Dia memandang ke sana ke mari mencari-cari, akan tetapi yang nampak hanya
ombak dengan kepala ombak keputih-putihan yang menyambar kembali hingga ia
terombang-ambing dan menjadi permainan ombak. Kembali tubuhnya menjadi lemas
dan ketika dia sudah merasa putus asa tiba-tiba dia melihat bayangan wajah Ang
I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis itu bergerak-gerak dalam bisikan,
“Hai-ji... kuatkanlah
hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu...”
Dengan tenaga terakhir Cin Hai
berenang lagi dan tiba-tiba tangannya menyentuh benda keras yang ternyata
adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Dia segera mengangkat perahu itu dan
membalikkannya, ternyata itu adalah perahunya yang siang tadi dia naiki bersama
Ang I Niocu dan yang sudah dilarikan oleh Si Hwesio dan Si Tosu, Ceng Tek
Hwesio dan Ceng To Tosu!
Agaknya perahu itu terpukul
ombak lantas terguling, dan entah bagaimana nasib kedua pendeta itu! Dengan
sekuat tenaga Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu dan akhirnya jatuh
pingsan di dalam perahu kecil yang masih terombang-ambing oleh ombak besar itu.
Ternyata bahwa oleh karena
pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan meletus, maka minyak yang telah
menjadi api itu lalu membakar seluruh pulau, bahkan kini minyak yang
bernyala-nyala terbawa oleh air sampai di mana-mana hingga seakan-akan laut itu
telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah menimbulkan gelombang hebat yang
susul menyusul dengan dahsyatnya.
Seluruh benda, berjiwa mau pun
tidak, yang berada di atas pulau itu binasa dan terbakar habis. Jangankan
makhluk tanpa sayap yang tak dapat melarikan diri, sedangkan burung-burung yang
berada di atas pohon pun tak dapat menghindarkan diri dari bencana sebab
sebelum mereka terbang cukup tinggi, sudah terpukul oleh letusan itu dan runtuh
ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk hebat.
Perahu kecil yang ditumpangi
Cin Hai terdampar ombak hingga kembali ke pantai daratan Tiongkok. Ketika Cin
Hai siuman dari pingsannya, dia merasa kepalanya masih pening. Pemuda itu
bangkit perlahan dan ternyata dia sudah berada di dalam perahu kecil itu
semalam penuh karena waktu itu telah menjelang pagi! Karena melihat bahwa dia
berada dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun ke air yang
dangkal dan berlari cepat ke pantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara
luar biasa, teriakan yang dibarengi suara senjata beradu! Ia cepat berlari
menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget berbareng girang ketika melihat
bahwa di sebelah kiri, yakni dekat pantai di mana air laut masih bergelombang
memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang yang sedang bertempur
hebat!
Ketika dia sudah datang
mendekat, maka yang bertempur itu adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko. Inilah
yang membuat dia kaget dan heran, sedangkan yang membuat hatinya memukul girang
adalah ketika ia melihat bahwa di dekat tempat pertempuran itu, empat orang
sedang berdiri sebagai penonton, yaitu bukan lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I
Toanio dan Si Nelayan Cengeng!
Hati Cin Hai berdebar girang
sekali karena melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di sana, karena bukankah Lin
Lin bersama-sama dengan nelayan tua itu? Akan tetapi hatinya kecut dan cemas
kembali, karena ia tidak melihat Lin Lin dan Ma Hoa berada di situ!
Cin Hai lalu berlari cepat
menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang lain mau pun yang sedang
bertempur, dia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si Nelayan Cengeng dan terus
menjatuhkan diri berlutut sambil bertanya dengan suara tak sabar,
“Locianpwe, di mana adanya Lin
Lin?”
Kedatangan pemuda ini sama
sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang lain-lain, maka mereka berempat
lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli
dan terus bertempur dengan hebat dan mati-matian!
“Locianpwe, bagaimana dengan
Lin Lin?” Cin Hai bertanya lagi dengan muka pucat dan tubuh menggigil karena
terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.
“Ah, Cin Hai... engkau
selamatkah...?” tanya Si Nelayan Cengeng dengan terharu sekali. Kemudian,
ketika melihat keadaan pemuda itu yang sangat mengkhawatirkan, dia segera
menyambung. “Lin Lin dan Ma Moa selamat, mereka berdua pergi dengan Yousuf!”
Mendengar betapa Lin Lin sudah
selamat, tiba-tiba saja Cin Hai menangis tersedu-sedu, menggunakan kedua tangan
menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan, “Lin Lin... ahh, Niocu...!”
lalu pemuda itu jatuh pingsan lagi!
Semua orang sibuk sekali,
terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh kawannya itu dan memijat-mijat
belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian pemuda ini sadar kembali dalam
pelukan Kwee An. Melihat Kwee An, Cin Hai lalu membalas memeluk dan pemuda ini
menangis lagi.
Seribu satu macam hal sudah
berada di ujung lidah mereka hendak diceritakan atau pun ditanyakan kepada Cin
Hai, akan tetapi kini mereka terganggu oleh pertempuran hebat di dekat mereka.
Malah Cin Hai juga tak sempat menceritakan pengalamannya, dan sambil memandang
ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu, dia tak tahan pula untuk tidak
menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee An,
“Mengapa mereka saling hantam
sendiri?”
Dengan muka sedih Kwee An
berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu, “Cin Hai, hanya kau yang dapat
menolong. Gunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling membunuh.”
Cin Hai tidak mengerti akan
maksud Kwee An, oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An dengan Hek Mo-ko.
Akan tetapi oleh karena dia percaya penuh kepada Kwee An, dia lalu bangkit
berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas.
Akan tetapi ia terlambat. Pada
saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil menggunakan pedang
mereka yang luar biasa, sudah menggunakan serangan-serangan nekad dan pada
suatu saat, keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang.
Pek Mo-ko terus roboh binasa
dengan dada terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri
telah kena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya sehingga
Pek Mo-ko mendapat luka dalam yang sangat hebat dan jantungnya terguncang.
Setelah melihat Pek Mo-ko
roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak lalu merangkak
menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa bergelak-gelak ia lalu
memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali. Kemudian ia muntahkan
darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek Mo-ko.
Mengapa kedua iblis yang
biasanya sehidup semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa bertempur
mati-matian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An, Biauw
Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita melihat keadaan di
tempat itu sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.
Setelah Kwee An serta kedua
iblis itu mengamuk lalu membasmi Pangeran Vayami dan seluruh anak buahnya,
mereka bertiga kemudian mengajukan perahu itu ke arah Pulau Kim-san-to. Akan
tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat sehingga menjadi takut
dan memutar arah perahu.
Tiba-tiba terjadi letusan
hebat itu hingga perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut
dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali. Dengan pucat dan ketakutan
ketiganya cepat melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang
menjadi neraka itu. Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis yang
berhati kejam dan tidak kenal takut, kini sesudah melihat pemandangan
mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga.
Terutama sekali Kwee An, oleh
karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu yang telah disaksikan
dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang itu tadi menuju ke Pulau Emas.
Bagaimanakah nasib mereka?
Tanpa terasa pula Kwee An
mengalirkan air mata karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua orang itu
pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah orangnya yang kuasa
menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api itu?
Menjelang fajar tiba-tiba ada
sesosok bayangan orang melompat dari air ke dekat mereka dan ternyata bahwa
bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng! Tepat pada saat itu, dari jurusan
darat datang berlari dua orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika telah
dekat, kedua orang itu bukan lain adalah Biauw Suthai dan Pek I Toanio! Kwee An
yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu yang bersamaan ini
segera berlari menghampiri dan berteriak memanggil.
Akan tetapi, Pek Mo-ko yang
masih haus darah dan agaknya masih belum puas dengan pembunuhan-pembunuhan
hebat yang dia lakukan bersama Hek Mo-ko di atas perahu Pangeran Vayami, sudah
mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi dia lalu menyerang Si
Nelayan Cengeng yang berada terdekat.
Nelayan Cengeng terkejut
sekali ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang
berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah, maka dengan
mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru,
“Ehh, iblis dari mana
datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau kemasukan setan Pulau
Kim-san-to?”
Akan tetapi, ketika melihat
bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat mengelak dari
seranganya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat lagi.
“Pek-susiok, jangan menyerang
dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!” Akan tetapi, Pek Mo-ko
tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan menyerang makin hebat lagi.
Sementara itu, Biauw Suthai
yang mendengar nama dua orang yang sedang bertempur itu disebut oleh Kwee An,
tidak ragu lagi untuk memilih pihak. Dia sudah lama mendengar nama Nelayan
Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan golongan pendekar berbudi, sedangkan
nama Pek Mo-ko sudah terkenal sebagai iblis jahat yang kejam. Maka, ketika
melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng terdesak hebat, Biauw Suthai
segera melompat maju sambil mencabut keluar hudtim-nya dan berseru,
“Pek Mo-ko, jangan kau
mengganggu orang di depanku!”
Pek Mo-ko tertawa pada saat
melihat tokouw ini, oleh karena ia dapat mengenal wanita pendeta yang bermata
satu dan beroman buruk ini.
“Biauw Suthai, kebetulan
sekali aku sedang gembira! Marilah kau maju sekalian untuk menerima binasa!”
Sambil berkata begini Pek Mo-ko lantas mencabut keluar pedangnya yang luar
biasa itu dan menyerang dengan penuh semangat.
Biauw Suthai cepat menangkis
dan Si Nelayan Cengeng yang mendengar nama Biauw Suthai, lalu berkata,
“Suthai, jangan kuatir, aku
membantumu membasmi iblis ini,”
Lalu kakek nelayan yang gagah
ini maju pula dengan tangan kosong melawan pedang Pek Mo-ko. Dia mengeluarkan
pukulan-pukulan keras dan lihai dan meski pun bertangan kosong, namun kakek
yang lihai ini tidak kurang berbahayanya.
Dikeroyok dua, Pek Mo-ko
menjadi sibuk juga dan terdesak. Pengeroyoknya bukanlah orang-orang biasa dan
adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, maka tidak heran apa bila Pek Mo-ko
kehilangan kegarangannya menghadapi mereka ini.
Akan tetapi, tiba-tiba
berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko sudah masuk menyerbu ke
tengah pertempuran, membantu Pek Mo-ko. Ilmu silat dua iblis ini memang
merupakan kepandaian pasangan sehingga apa bila kedua iblis ini telah maju
berbareng, maka kelihaian mereka menjadi berlipat-ganda. Sebentar saja Biauw
Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat oleh kedua pedang Hek Mo-ko dan Pek
Mo-ko yang luar biasa.
Ketika melihat gurunya berada
dalam bahaya, Pek I Toanio tidak mau tinggal dan maju membantu. Namun apa
artinya bantuan Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah jauh? Tetap saja
sepasang iblis itu mendesak hebat sambil tertawa-tawa.
Kwee An menjadi sibuk sekali.
Berkali-kali dia berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan tetapi suaranya tak
dihiraukan oleh kedua iblis yang sedang bergembira itu, seperti biasa kalau
mereka berkelahi dan dapat mendesak serta mempermainkan lawan! Kwee An tak
dapat membiarkan dua iblis itu membunuh tiga orang ini, maka terpaksa ia lalu
mencabut pedang dan ikut menyerbu membantu Biauw Suthai dan kawan-kawannya.
Pertempuran berjalan makin
hebat. Akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat ‘anaknya’ maju membantu lawan, dia
pun menjadi ragu-ragu dan tiba-tiba berteriak,
“Tahan dan mundur semua!”
Suaranya menggeledek dan berpengaruh sekali sehingga semua orang menahan
senjata masing-masing.
“Siauw-mo (Setan Cilik),
mengapa kau membantu musuh?” Hek Mo-ko bertanya sambil memandang Kwee An dengan
heran tapi suaranya penuh nada mencinta.
“Maaf, Ayah. Mereka ini adalah
kawan-kawan baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih dapat pula disebut
guruku sendiri. Ayah dan Pek-susiok tidak boleh membinasakan mereka!” kata Kwee
An dengan gagah sambil menentang pandang mata ayah angkatnya.
Hek Mo-ko menghela napas
kemudian berkata perlahan, “Kalau begitu biarlah aku tidak menyerang mereka
lagi.”
Akan tetapi Pek Mo-ko
tiba-tiba menjadi beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan pedangnya ke
arah Kwee An dan membentak. “Anjing tak kenal budi! Beginikah cara kau membalas
kami? Bagaimana pun, hari ini aku harus mencium bau darah orang-orang ini!”
Sesudah berkata demikian, Pek
Mo-ko maju menyerang lagi dengan hebat. Akan tetapi pedang Kwee An segera
menangkis pedangnya dan anak muda ini berseru, '“Pek-susiok! Kebaikan mereka
lebih dari pada kekejamanmu! Kalau kau tetap berkeras, terpaksa aku
memberanikan diri melawanmu!”
Pek Mo-ko makin marah. “Bagus
sekali! Aku akan membunuh kau lebih dahulu!”
Ia lalu mengirim serangan
hebat dan ketika Kwee An menangkis, pemuda ini terkejut oleh karena tenaga Pek
Mo-ko benar-benar hebat hingga tangkisan itu membuat ia terhuyung-huyung
belakang. Pek Mo-ko memburu dan mengirim serangan hebat sehingga terpaksa Kwee
An membuang diri ke belakang sambil terus bergulingan di atas tanah untuk dapat
menghindarkan diri dari serangan maut.
“Ha-ha-ha! Bangsat rendah, kau
hendak lari ke mana!” teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk memberi tusukan
terakhir.
Akan tetapi pada saat itu Hek
Mo-ko melompat maju dan menangkis pedang Pek Mo-ko sehingga terdengar suara
keras dan kedua pedang itu mengeluarkan api! Baru sekali ini selama mereka
hidup, pedang mereka ini saling beradu.
Pek Mo-ko memandang kepada Hek
Mo-ko dengan mata terbelalak dan muka berubah merah, tanda bahwa dia merasa
penasaran dan marah sekali, juga heran.
“Suheng, kau... kau... hendak
melawan aku?” tanyanya gagap.
Hek Mo-ko memandang tajam.
“Sute, kau tidak boleh turunkan tangan kepada anakku!”
“Apa? Dia bukan anakmu, dia
adalah kawan musuh-musuh kita!” Pek Mo-ko membentak sambil menubruk lagi ke
arah Kwee An yang telah bersiap sedia dan menangkis.
“Pek-sute! Jangan kau serang
anakku!” teriak Hek Mo-ko dengan marah.
“Suheng, tinggal kau pilih.
Kau akan membela aku atau membela binatang ini!” jawab Pek Mo-ko dengan
melolotkan mata.
“Pikir saja sendiri olehmu!
Anak dan Sute, mana lebih berat?”
Tiba-tiba Pek Mo-ko tertawa
bergelak. “Anak? Ha-ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya anak! Ha-ha, kau
tidak punya anak lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!”
Kini mengertilah semua orang
bahwa sebenarnya Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu, merasa iri hati melihat
Hek Mo-ko mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw Suthai, Pek I Toanio,
dan Si Nelayan Cengeng memandang perdebatan ini dengan penuh perhatian dan
tanpa terasa pula mereka berdiri saling mendekati, merupakan kelompok yang menonton
pertentangan antara kedua iblis itu.
Mendengar ucapan adiknya itu,
Hek Mo-ko menjadi marah bukan main. Karena itu ia lalu menggerak-gerakkan
pedang di tangannya dan berkata tegas. “Siapa peduli ocehanmu? Pendeknya, kalau
kau mengganggu Siauw Mo, kau harus dapat mengalahkan pedangku ini dulu!”
“Kau sudah bosan hidup!” Pek
Mo-ko membentak dan menyerang dengan hebat.
Hek Mo-ko juga menggereng
marah dan menangkis lalu balas menyerang. Demikianlah, dua saudara yang tadinya
sehidup semati itu kemudian bertempur mati-matian sehingga mereka tidak
menghiraukan kedatangan Cin Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati di ujung
pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini juga terkena pukulan hebat dari Pek
Mo-ko sehingga menderita luka dalam yang berbahaya dan roboh pingsan.
Melihat keadaan Hek Mo-ko,
hati Kwee An yang merasa sayang karena berhutang budi, menjadi terharu sekali.
Pemuda ini menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat kepala iblis itu di
pangkuannya sambil mengeluh,
“Ayah...”
Tentu saja Cin Hai dan lain-lainnya
merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak mengerti melihat kelakuan
Kwee An itu!
Kwee An segera memeriksa
keadaan Hek Mo-ko, lalu pemuda ini menengok pada Biauw Suthai yang pandai dalam
hal pengobatan sambil berkata,
“Suthai, tolonglah kau obati
dia ini!”
Biar pun hatinya meragu untuk
memeriksa dan menolong Iblis Hitam yang terkenal jahat dan kejam itu, Biauw
Suthai tidak menolak permintaan Kwee An. Ia lalu menghampiri dan memeriksa dada
yang terpukul, akan tetapi ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
“Tak ada gunanya lagi.
Jantungnya telah kena pukul dan terluka. Tidak ada obatnya bagi pukulan ini.”
Ia lalu mengurut dan menotok dada Hek Mo-ko untuk mengurangi rasa sakit yang
diderita oleh Iblis Hitam itu.
Tidak lama kemudian Hek Mo-ko
membuka matanya. Ketika melihat bahwa dia berada di dalam pelukan Kwee An, dia
tersenyum dan dari kedua matanya mengalir air mata!
“Bagus... bagus... kau
benar-benar anakku yang kusayang, Siauw Mo! Aku... aku puas dapat mati dalam
pelukan anakku...” Agaknya Hek Mo-ko telah menggunakan tenaganya yang terakhir
untuk mengucapkan kata-kata ini, karena lehernya lalu tiba-tiba menjadi lemas
dan dia pun menghembuskan napas terakhir.
Kwee An menahan isak tangis
yang mendorong perasaannya dari dalam dada. Kemudian dengan hati sedih dan tak
banyak mengeluarkan kata-kata dia lalu menggali lubang, dan dibantu oleh Cin
Hai dan Si Nelayan Cengeng, mereka lalu menguburkan kedua jenazah sepasang
iblis yang telah menggemparkan dunia kang-ouw untuk puluhan tahun lamanya itu.
Sesudah penguburan kedua
jenazah itu selesai, barulah semua orang berkumpul untuk menuturkan riwayat
serta perjalanan masing-masing. Sebelum menuturkan pengalaman dirinya, lebih
dulu Cin Hai menengok ke arah Pulau Kim-san-to dengan pandangan sayu dan
melihat betapa pulau itu masih tetap berkobar bagaikan api neraka mengamuk.
Dengan suara terputus-putus
dan keharuan besar mempengaruhi lidahnya, dia kemudian menceritakan riwayatnya,
semenjak berpisah dari Kwee An dalam pertempuran melawan Hai Kong Hosiang dulu
sampai tertolong oleh Ang I Niocu dan bersama Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu
mencari Pulau Emas. Ketika dia menceritakan tentang pertempuran Ang I Niocu
dengan seekor burung Kim-tiauw, dia menghela napas dan berkata,
“Memang betul ramalan pendeta
itu bahwa pertempuran dengan burung Rajawali Emas itu mendatangkan bencana
besar. Niocu yang bertempur melawan burung itu sekarang tak ketahuan nasibnya
di pulau yang berubah menjadi neraka, sedangkan kedua pendeta yang tertimpa
kotoran burung itu pun agaknya telah kena bencana pula. Buktinya perahu mereka
kudapatkan terbalik di lautan sedangkan mereka tidak kelihatan lagi!”
Semua orang merasa terharu dan
kasihan sekali pada Ang I Niocu yang telah mencegah Cin Hai mendekati pulau
untuk mencari Lin Lin, bahkan yang menggantikan pemuda itu menuju ke pulau yang
berbahaya, padahal dia sudah mendengar dari Pangeran Vayami bahwa pulau itu
hendak dibakar dan diledakkan!
Dara Baju Merah yang luar
biasa itu ternyata sudah mengorbankan diri guna menolong dan membela Cin Hai
dan Lin Lin. Sungguh perbuatan yang mulia sekali. Apa lagi bagi Cin Hai yang
mengetahui apa yang terkandung dalam hati sanubari Dara Baju Merah itu terhadap
dirinya.
Sesudah Cin Hai selesai
menuturkan pengalamannya yang mengerikan, lalu tiba giliran Kwee An untuk
menuturkan perjalanannya. Dia menceritakan betapa setelah ia terlempar ke dalam
sungai lalu dirinya terbawa hanyut dan diserang oleh ratusan ekor buaya yang
ganas dan kemudian jiwanya tertolong oleh Hek Mo-ko.
Kemudian ia diambil anak oleh
Iblis Hitam itu dan diberi pelajaran silat, dan bersama Hek Pek Mo-ko lalu
pergi mencari Pulau Emas hingga berhasil membantu Cin Hai dan Ang I Niocu yang
dikeroyok di perahu Pangeran Vayami. Ia menuturkan betapa kedua iblis itu sudah
membasmi seluruh anak buah Pangeran Vayami dan membinasakan pangeran itu
sendiri dan betapa perahunya terdampar oleh gelombang besar ke pantai.
Setelah ia menuturkan semua
pengalamannya, maka mengertilah semua orang mengapa Kwee An yang telah diakui
sebagai anak dan diberi nama Siauw Mo atau Iblis Kecil oleh Pek Mo-ko itu
begitu sayang kepada lblis Hitam ini. Dan hal ini pun dianggap wajar oleh semua
pendengarnya, oleh karena memang demikianlah semestinya sifat seorang ksatria
yang biar pun kejam dan jahat, namun masih diliputi hati sayang dan cinta suci
terhadap seorang anak pungut.
Biauw Suthai dan Pek I Toanio
yang mendapat giliran menuturkan pengalaman mereka, tidak dapat bercerita
banyak. Mereka ini oleh karena mengkhawatirkan keadaan Ang I Niocu dan Lin Lin
yang diam-diam pergi meninggalkan rumah tanpa memberi tahu, lalu menyusul.
Akan tetapi, walau pun sudah
merantau berapa lama, mereka tak berhasil mendapatkan jejak dua orang gadis
itu. Akhirnya mereka bertemu dengan orang-orang dusun di utara yang bicara
tentang penyerbuan tentara Turki ke timur hingga hal yang aneh ini menarik hati
Biauw Suthai dan dia pun mengajak muridnya untuk menyusul ke timur dan melihat
apakah sebenarnya yang dikerjakan oleh barisan asing itu. Akhirnya mereka dapat
pula menyusul ke pantai ini dan melihat Si Nelayan Cengeng bertempur melawan
Pek Mo-ko dan membantu kakek nelayan yang gagah ini.
Sekarang tiba giliran Si
Nelayan Cengeng untuk menuturkan riwayatnya yang didengar dengan penuh
perhatian oleh Cin Hai, Kwee An, Biauw Suthai dan muridnya. Kong Hwat Lojin
menghela napas berulang-ulang, kemudian ia mulai ceritanya yang panjang…..
Sebagaimana telah diketahui di
bagian depan, setelah Nelayan Cengeng memperlihatkan kemahirannya di dalam air
dan berhasil mengambil perahu Yousuf yang tenggelam dari dasar sungai, dia dan
Yousuf dengan bantuan Ma Hoa dan Lin Lin segera memperbaiki perahu itu dan
kemudian berangkat berlayar menuju ke laut.
Di sepanjang pelayaran mereka,
Yousuf dapat menggembirakan hati Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa dengan
bermacam-macam cerita yang didongengkannya. Ternyata bahwa orang Turki ini
telah memiliki banyak sekali pengalaman hidup dan sudah banyak melakukan
perantauan-perantauan ke luar negeri. Ia bercerita tentang orang-orang yang
tinggi besar seperti raksasa, berambut merah dan bermata biru, sehingga Lin Lin
dan Ma Hoa menjadi ngeri dan takut.
“Apakah mereka itu suka makan
orang?” Ma Hoa bertanya sambil menggeser duduknya mendekati Lin Lin oleh karena
ketika itu telah malam dan kegelapan malam membuat dia membayangkan hal-hal
yang mengerikan pada waktu mendengar cerita Yousuf tentang orang-orang aneh
itu.
Mendengar pertanyaan ini,
Yousuf lalu tertawa geli. “Ahh, tidak, mereka itu juga manusia seperti kita.
Bahkan, mereka itu mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan dapat membuat
barang-barang yang aneh dan indah. Hanya saja, mereka itu bersikap kasar dan
tidak tahu adat. Mereka tinggal di Barat.”
“Apakah yang disebut Dunia
Barat?” tanya Lin Lin.
Pada waktu itu Tiongkok telah
mengenal India yang di sebut dengan Dunia Barat, bahkan Agama Buddha datangnya
juga dari India. Mendengar bahwa raksasa-raksasa berambut merah dan bermata
biru itu berada di Barat, maka Lin Lin mengajukan pertanyaan itu.
“Bukan, mereka bahkan tinggal
lebih jauh lagi dari Dunia Barat. Orang-orang di Dunia Barat memang tinggi
besar akan tetapi kulit dan warna rambut mereka sama dengan kita. Mungkin
banyak yang lebih hitam kulitnya kalau dibandingkan dengan kalian orang-orang
Han. Akan tetapi adat istiadat mereka itu tak berbeda jauh dengan kita
sendiri.”
Kemudian Yousuf menceritakan
pula pengalaman-pengalamannya pada saat ia merantau jauh ke utara hingga ia
menyebut-nyebut tentang bukit-bukit es yang dinginnya membuat ludah yang
dikeluarkan dari mulut menjadi beku sebelum tiba di atas tanah! Pendeknya,
banyak hal-hal aneh yang terjadi di luar Tiongkok yang bagi ketiga orang
pendengarnya, jangan kata menyaksikan, bahkan mendengar pun belum pernah,
diceritakan oleh Yousuf hingga ketiga orang itu menjadi tertarik dan senang sekali.
Juga perasaan mereka terhadap
Yousuf yang peramah dan pandai membawa diri itu jadi makin berkesan baik.
Setelah bergaul selama beberapa hari di atas perahu, kedua gadis itu harus
mengakui bahwa Yousuf adalah seorang laki-laki yang sopan santun, pandai berkelakar
dengan sopan, dan memiliki pribudi tinggi. Bahkan Nelayan Cengeng terpaksa
harus melempar syakwasangka yang tadinya timbul di hatinya ketika bertemu
dengan orang Turki ini.
“Dahulu kau berkata tentang
Pulau Kim-san-to, maukah kau menceritakan tentang pulau itu? Kita sedang menuju
ke sana, maka ada baiknya bagi kami bertiga untuk mengetahui serba cukup
mengenai hal-ihwal pulau itu,” kata Nelayan Cengeng, dan Lin Lin serta Ma Hoa
pun mendesak sambil mendengarkan.
Sesudah bergaul dengan ketiga
orang Han ini, Yousuf juga mendapat kesan baik sekali dan ia mengagumi sepenuh
hatinya sifat-sifat mereka yang gagah berani. Ia kini percaya bahwa di Tiongkok
memang banyak sekali pendekar-pendekar atau orang-orang gagah yang pekerjaannya
hanya menolong sesama manusia dan menjadi pelopor-pelopor serta penegak-penegak
keadilan.
Terhadap Nelayan Cengeng dia
merasa kagum sekali dan memandang penuh hormat seperti seorang saudara tua,
sedangkan terhadap Ma Hoa dan Lin Lin, ia merasa sayang dan suka. Hatinya yang
tadinya tertarik seperti tertariknya hati laki-laki terhadap seorang wanita,
lambat laun berubah menjadi kasih sayang seorang tua terhadap anaknya atau
seorang kakak terhadap adiknya.
Hal ini timbul dari
kesadarannya yang tinggi dan tak mengijinkan hatinya untuk memaksa seorang
gadis mencintainya, dan meski ia mencinta gadis itu dengan sungguh-sungguh,
melihat sikap Lin Lin terhadapnya yang polos dan jujur bagai sikap seorang adik
sendiri, maka nafsu-nafsu birahi yang tadinya mengotori kasih sayangnya terhadap
gadis itu, kini menjadi luntur dan banyak mengurang.
Pada saat mendengar permintaan
mereka untuk menceritakan perihal Pulau Kim-san-to, Yousuf merasa ragu-ragu.
Akan tetapi, kemudian ia berkata,
“Cerita ini sekaligus
membongkar rahasiaku dan keadaan diriku. Apakah hal ini tak akan menimbulkan
kekecewaan kalian dan tidak akan membuat kalian membenciku? Sungguh tak enak
kalau kita yang melakukan pelayaran seperahu dan setujuan ini akan memiliki
perasaan tak suka dan benci satu kepada yang lain!”
Nelayan Cengeng tertawa.
“Saudara Yo Se Fei! Kau sungguh-sungguh terlalu sungkan! Bila sekiranya hal ini
tak dapat kau ceritakan kepada kami, janganlah kau ceritakan! Kami juga tidak
begitu nekat untuk memaksamu, bukankah begitu, anak-anak?”
Akan tetapi Nelayan Cengeng
menjadi tertegun ketika Ma Hoa dan Lin Lin dengan suara berbareng dan tegas
berkata, “Ahh, Yo-sianseng (Tuan Yo) harus menceritakan tentang pulau itu
kepada kita!”
Bahkan Lin Lin segera berkata
lagi, “Apakah Yo-sianseng kurang percaya kepada kami sehingga masih menyimpan
segala rahasia?”
Kalau Nelayan Cengeng
tercengang, Yousuf tertawa terbahak-bahak dan ia lalu berkata, “Ha-ha, Kong
Hwat Lojin yang masih mempunyai sikap sungkan-sungkan, bukan aku dan bukan pula
kedua nona ini! Baiklah, aku akan menceritakan pengalamanku!” Kemudian setelah
minum air teh yang dibuat oleh Lin Lin dan dihidangkan oleh Ma Hoa, orang Turki
itu bercerita,
“Beberapa tahun yang lalu, aku
dan dua orang kawanku berlayar di laut ini. Pada suatu malam, ketika kami
melalui banyak pulau di pantai laut ini, tiba-tiba kami dikejutkan oleh
pemandangan yang dahsyat dan aneh, dan yang sebentar lagi juga akan dapat
kalian saksikan. Sebuah pulau di depan kami, yakni pulau yang disebut Pulau
Gunung Emas, nampak bercahaya mengeluarkan sinar kuning emas yang menakjubkan.
Kami bertiga merasa takut sekali karena pemandangan itu sungguh aneh sekali.
Kami lalu berhenti berlayar dan malam itu kami tidak tidur, terus berdiri di
perahu mengagumi keindahan pulau itu dari jauh. Pada keesokan harinya, kami
mendayung perahu mendekati pulau itu kemudian mendarat. Akan tetapi, apa yang
menyambut kami? Sungguh di luar dugaan! Ketika kami mendarat di pulau itu, dari
belakang sebatang pohon, tiba-tiba saja keluarlah seekor harimau besar yang
memiliki sebuah tanduk di tengah-tengah kepalanya! Harimau itu lari menerjang,
kami terpaksa melawannya. Harus diketahui bahwa kedua kawanku itu pun memiliki
kepandaian yang hanya berada sedikit di bawah kepandaianku, akan tetapi kami
bertiga masih tak dapat mengalahkan harimau itu! Dan dalam saat yang berbahaya
itu tiba-tiba dari atas menyambar turun seekor burung rajawali berbulu kuning
emas ke arah kami kemudian menyerang dengan tidak kalah hebatnya! Kami menjadi
sibuk dan terdesak hebat, bahkan seorang kawan kami sudah kena cakar harimau
itu dan dipukul dengan sayap oleh Kim-tiauw hingga keadaan kami makin
berbahaya! Akan tetapi, ketika kami sudah berada di pinggir jurang maut,
tiba-tiba datanglah penolong yang tidak kalah anehnya. Penolong ini adalah
seekor burung merak yang besar sekali dan bulunya hijau bercampur kuning
keemasan yang indah sekali. Merak ini cepat menyambar turun sambil mengeluarkan
bunyi nyaring dan aneh! Dan begitu melihat merak ajaib ini, Rajawali Emas dan
Harimau Bertanduk itu lalu mengeluarkan keluhan panjang kemudian berlarian
pergi seolah-olah dalam ketakutan hebat!”
“Merak ajaib itu lalu turun
dan sambil mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia berjalan hilir
mudik seolah-olah membanggakan keunggulan dan kecantikannya. Aku merasa sangat
tertarik dan timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara Sin-kong-ciak
(Merak Sakti) itu, akan tetapi tiba-tiba dia mengibaskan sayap kirinya dan aku
jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai tenaga yang luar biasa
besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan Rajawali Emas itu
takut menghadapinya. Ternyata merak itu bukanlah binatang sembarangan dan
mempunyai kesaktian luar biasa!”
Nelayan Cengeng menjadi kagum
sekali mendengar cerita tentang merak ajaib ini, maka dia lalu berkata, “Aku
pernah mendengar tentang burung merak yang datang dari negeri sebelah selatan
Tiongkok, dan kabarnya merak di negeri itu pun sangat cantik dan kuat, akan
tetapi belum pernah aku mendengar tentang burung merak sehebat seperti yang kau
ceritakan itu.”
Juga Lin Lin dan Ma Hoa merasa
kagum sekali, dan Lin Lin segera mendesak supaya Yousuf suka melanjutkan
penuturannya.....
“Terpaksa kami berdua membawa
kawan kami yang terluka dan melarikan diri ke atas perahu. Kami tidak berani
mendarat oleh karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni yang aneh-aneh dan
lihai sekali. Kami hanya mendayung perahu mengitari pulau itu dan sungguh aneh.
Selain tiga ekor binatang aneh itu, kami tidak melihat apa-apa lagi. Kami lalu
mendarat pada bagian lain untuk menyelidiki, dan ternyata di puncak bukit
terdapat sebuah telaga yang airnya berwarna indah, kadang kala hijau, ada
merahnya, lalu kuning, bagaikan warna pelangi di udara, akan tetap pada
dasarnya berwarna kehitam-hitaman. Kami mempunyai keyakinan bahwa pulau itu
tentulah menyimpan harta yang luar biasa, sebab itu kami lalu berputar sambil
memeriksa. Untung sekali kami tidak pergi terlalu jauh dari pantai, oleh karena
selagi kami berjalan, tiba-tiba saja dari atas terdengar suara yang menakutkan
dan betul saja, burung Rajawali Emas yang kami takuti itu telah menyambar dari
atas dan menyerang kami! Kami berdua lalu memutar-mutar pedang di atas kepala
untuk melindungi kepala kami dari terkaman burung hantu itu sambil berlarian ke
perahu kami. Dan dengan penuh ketakutan, kami lalu pergi dari pulau itu, dan
kawan kami yang terluka itu terpaksa kami lempar ke laut oleh karena dia
meninggal dunia karena lukanya. Demikianlah, kami lantas kembali ke negeri kami
dan Raja kami yang mendengar tentang penuturanku, lalu memerintahkan barisan
besar untuk menyelidiki keadaan pulau itu. Dan harap kalian tidak kaget, aku
adalah orang yang ditugaskan untuk memimpin rombongan penyelidik atau mata-mata
Pemerintah Turki.”
Ketika melihat betapa ketiga
orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan, “Aku
pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai
perintis menuju ke pulau itu.” Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada
Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka pendengarnya.
Akan tetapi Nelayan Cengeng
agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan ia lalu berkata, “Aku ingin sekali
melihat binatang-binatang aneh itu.”
Juga Lin Lin dan Ma Hoa
berkata. “Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang burung merak sakti
itu.”
Maka gembiralah hati Yousuf
melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau tak ambil
peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf
lalu menyanyikan sebuah lagu Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan
penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biar pun mereka harus mengakui
bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun lagu yang
dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka sehingga terdengar sumbang dan
lucu.
Pada saat Yousuf selesai
bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah sampai di dekat Pulau
Kim-san-to. Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata, “Nah, kalian
lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-san-to benar-benar pulau yang menakjubkan?”
Nelayan Cengeng, Lin Lin dan
Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan mata terbelalak pada saat
melihat pemandangan ajaib yang terbentang di hadapan mata mereka. Mereka telah
melihat Kim-san-to di waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan
seakan-akan bukit itu terbuat dari pada emas murni.
“Mungkinkah ini?” Nelayan
Cengeng menggerakkan bibirnya.
“Apakah aku sedang bermimpi?”
bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya seakan-akan tidak percaya
kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam
bagaikan patung batu.
“Hebat bukan? Aku sendiri pada
waktu melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama Dewata,
karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini.
Tempat seperti itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?” terdengar
Yousuf berkata hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela napas.
“Betul-betul hebat, Saudara
Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul persangkaanku
bahwa kau berbohong atau melebih-lebihkan ceritamu. Akan tetapi melihat
pemandangan ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau
yang aneh-aneh itu,” kata Nelayan Cengeng.
“Mari kita ke sana sekarang
juga!” kata Ma Hoa dengan gembira.
Lin Lin juga mendesak supaya
mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu. Akan tetapi Yousuf
menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
“Jangan pergi sekarang. Aku
belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada makhluk
lain yang berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono
dan berbahaya sekali. Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi,
barulah kita mendarat dengan hati-hati.”
Nelayan Cengeng yang dapat
memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas, menyetujui ucapan ini sehingga
terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan
mereka dan semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu
sambil menikmati pemandangan indah itu dan mengaguminya.
Melihat pemandangan indah
sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada
kekasih masing-masing. Dan mendadak wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu
akan perubahan pada muka Lin Lin, maka dia bertanya perlahan,
“Lin Lin mengapa tiba-tiba kau
menghela napas dan seperti orang berduka?”
Lin Lin tiba-tiba menjadi
merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia bertanya,
“Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?”
Ma Hoa memegang tangan Lin Lin
erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata, “Jadi itukah yang mengganggu
pikiranmu? Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa
Saudara Cin Hai dan... dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki
kepandaian yang tinggi.”
Lin Lin maklum bahwa keadaan
hati serta pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan pikirannya
maka dia tidak mau bicara mengenai hal kedua pemuda itu terlebih lanjut. Dalam
berdiam, mereka seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masing-masing yang
membuat mereka merasa saling tertarik lebih dekat lagi.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sesudah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di
pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau
kecil yang berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau
lainnya.
Mereka berempat lalu mendarat
dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar biasa
yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa
heran karena binatang yang dulu dilihatnya tak ada seekor pun kelihatan muncul.
“Apakah selama beberapa tahun
ini mereka telah mati?” katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan dengan
mulut.
“Mungkin juga, karena benda
atau makhluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap kematian?”
kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di
pundak.
Mereka lalu menjelajah di
pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas
pohon, pulau itu nampaknya tidak ada makhluk yang berbahaya. Mereka kemudian
mengunjungi danau yang pernah diceritakan oleh Yousuf, dan bersama-sama
mengagumi danau yang berwarna macam-macam itu.
“Agaknya ada sesuatu yang
mengerikan di bawah danau ini,” Nelayan Cengeng berkata sehingga Lin Lin dan Ma
Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegangan tangan oleh karena kedua gadis
ini pun merasa betapa danau ini agak berbeda dengan danau biasa, seakan-akan
ada sesuatu di dasarnya yang hitam dan mengerikan!
Yousuf lalu mengajak mereka
memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk mendapatkan harta
atau emas yang disangkanya berada di pulau itu, akan tetapi mereka tidak
mendapatkan sesuatu yang berharga.
Matahari sudah naik tinggi
pada saat mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bunga-bunga
indah.
Tiba-tiba Lin Lin berseru,
“Ada goa di sini!”
Pada saat semua orang
menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat
pintu goa yang cukup besar dan tinggi. Goa itu tadinya gelap oleh karena terhalang
oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf menggunakan pedangnya untuk
membabat alang-alang itu, di dalam goa menjadi terang karena kebetulan sekali
goa itu menghadap ke barat dan matahari yang sudah condong ke barat itu
menyinarkan cahayanya ke dalam goa.
Dengan didahului Yousuf dan
Nelayan Cengeng, empat orang itu segera memasuki goa dengan perlahan dan
hati-hati, dan tidak lupa mereka juga menyiapkan senjata di tangan
masing-masing untuk menghadapi bahaya yang mungkin timbul. Kiranya goa itu
memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira tiga tombak saja dan di
dalam goa itu kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba saja Lin Lin
menjerit perlahan dan melompat seakan-akan sudah diserang oleh sesuatu yang
mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya, “Ada apakah?”
Dengan tangan menggigil Lin
Lin menunjuk ke bawah, dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi sudah tersangkut
oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup
pasir itu! Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang
rangka selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat lima buah jari
tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan menimbulkan hati
takut dan ngeri.
“Tentu ada apa-apanya di bawah
ini,” berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir yang
menimbun tangan rangka itu.
Setelah digali, maka tampaklah
rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan di sebelah rangka itu
terdapat sebatang pedang yang telah habis dimakan karat dan pedang itu hanya
tinggal sisanya sepanjang paling banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun sudah
merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah tinggal sepotong kayu lapuk.
Sambil memegang pedang bobrok
itu dan mengamat-amatinya dengan penuh perhatian, Nelayan Cengeng berkata
sambil menghela napas.
“Ah, kalau saja pedang bobrok
ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu indah
menarik sekali. Apa lagi tubuh manusia, sedangkan pedang yang aku percaya
tadinya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya
saja yang sudah tidak berharga lagi!” Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng
segera menaruh kembali pedang yang tinggal sepotong dan karatan itu di dekat
rangka itu.
“Kita harus tanam kembali
rangka ini dengan pasir,” katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan
sesuatu di situ.
“Nanti dulu, Locianpwe!”
tiba-tiba Lin Lin berkata. “Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi
menowel kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa
pedang ini sebagai kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini.”
Nelayan Cengeng tertawa.
“Engkau ini memang aneh! Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?”
Akan tetapi semua orang tidak
melarang pada waktu Lin Lin dengan hati-hati mengambil pedang bobrok itu dan
membungkusnya dengan baik-baik di dalam sapu tangannya, lalu menyelipkannya di
ikat pinggang.
Setelah mengubur kembali
tulang itu secara baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam di
goa ini yang merupakan tempat yang baik sekali untuk berlindung dari serangan
angin atau binatang buas yang mungkin menyerang di waktu malam.
Berhari-hari keempat orang itu
tinggal di Pulau Kim-san-to dan setiap hari Yousuf keluar melakukan pemeriksaan
dan mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau itu. Akan tetapi
usahanya selalu gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di pulau itu hanya
batu-batu karang yang tidak berharga. Sedangkan Nelayan Cengeng serta kedua
orang gadis itu yang tidak terlalu bernafsu untuk mencari harta terpendam, maka
jarang ikut dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di pulau itu.
Pada hari ke tiga, mendadak
terdengar jeritan Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya menjadi kaget sekali
dan cepat memburu ke arah suara jeritannya. Mereka kaget melihat Yousuf sedang
mencekik seekor ular yang besarnya hanya selengan tangan orang, akan tetapi
wajah orang Turki itu telah menjadi pucat sekali. Lin Lin memburu dengan pedang
di tangan dan sekali bacok saja tubuh ular itu telah terpotong menjadi dua.
Yousuf melepaskan leher ular
yang sedang dicekiknya itu ke atas tanah. Namun semua orang menjadi kaget
sekali melihat bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor ular itu, ternyata
merupakan kepala pula dan yang telah menggigit pundak Yousuf dan kini masih
menempel di situ.
Ternyata bahwa ular itu adalah
seekor ular kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa dan mencari-cari sambil
menyingkap rumput alang-alang, mendadak ular tadi menyambar dan hendak
menggigitnya. Yousuf tidak keburu berkelit, maka dia cepat mengulur tangan
menangkap leher ular yang menyambarnya itu dan langsung menggunakan kekuatannya
mencekik leher ular yang tak dapat melepaskan diri lagi.
Akan tetapi, mendadak Yousuf
merasa pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget serta herannya pada waktu
melihat bahwa ekor ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak menyangka
bahwa ekor ular itu pun merupakan kepala kedua sehingga dia tidak sempat
mengelak dan pundaknya lalu kena tergigit. Yousuf merasa tubuhnya menjadi panas
dan pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula dia menjerit sehingga
kawan-kawannya datang menolong.
Sesudah melepaskan kepala ular
yang dicekiknya, Yousuf lantas roboh pingsan dengan muka merah sekali. Ketika
Nelayan Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang Turki itu terasa panas
sekali. Kong Hwat Lojin lalu mencabut kepala ular yang masih menggigit pundak
walau pun telah mati dan melemparkannya jauh-jauh, kemudian dia memondong tubuh
Yousuf ke dalam goa tempat mereka bermalam.
Lin Lin yang biar pun sedikit
tapi pernah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu Biauw Suthai, lalu
memeriksa luka pada pundak Yousuf. Ia terkejut sekali melihat betapa pundak itu
sudah menjadi matang biru dan maklum bahwa ular yang menggigit Yousuf itu
adalah ular beracun yang berbahaya sekali.
Selagi mereka bertiga
kebingungan, tiba-tiba di luar goa terdengar suara aneh. Mereka memburu keluar
dan melihat seekor burung merak yang berbulu biru bercampur kuning
keemas-emasan sehingga dari jauh nampak seperti hijau. Merak ini indah sekali
dan juga besarnya melebihi merak biasa.
Mereka terkejut karena
teringat akan cerita Yousuf tentang merak sakti yang amat lihai. Nelayan
Cengeng dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk menyerbu, akan tetapi
tiba-tiba Lin Lin berseru,
“Jangan ganggu dia! Lihat, dia
membawa buah Pek-kim-ko (Buah Emas Putih). Buah inilah yang kubutuhkan pada
saat ini untuk menolong jiwa Yo sian seng.”
Merak itu seakan-akan mengerti
bicara Lin Lin, karena ia berhenti dan berdiri di depan Lin Lin sambil
memandang ke arah gadis itu dengan kedua matanya yang merah dan indah. Lin Lin
lalu melangkah maju tanpa kelihatan jeri sedikit pun, karena di dalam hatinya
dia menganggap tidak mungkin seekor burung yang begini indahnya dapat mempunyai
watak jahat.
Setelah dekat, Lin Lin tidak
berani langsung mengambil buah itu dari mulut merak karena menganggap hal itu
kurang patut dan tidak menghargai burung itu, maka dia kemudian mengulurkan
tangan kanan seperti orang minta-minta. Dan benar saja, merak ajaib itu lalu
mengulurkan lehernya ke depan dan menjatuhkan buah yang berwarna putih itu ke
dalam telapak tangan Lin Lin. Lin Lin menerima buah itu dan ketika melihat
bahwa itu adalah benar-benar buah Pek-kim-ko seperti yang ia duga, ia menjadi
girang sekali dan tak terasa pula ia mengangguk kepada burung merak itu dan
berkata,
“Sin-kong-ciak-ko (Saudara
Merak Sakti), terima kasih banyak!”
Lalu gadis ini berlari masuk
ke dalam goa, diikuti oleh Nelayan Cengeng serta Ma Hoa yang memandang
terheran-heran. Lin Lin segera menghampiri Yousuf yang masih rebah di atas
pembaringan tanpa dapat berkutik lagi dan mukanya makin menjadi merah serta
tubuhnya panas sekali bagaikan dibakar.
Tanpa banyak membuang waktu
dan banyak bicara lagi, Lin Lin cepat-cepat mencabut pedangnya dan
mempergunakan ujung pedang itu untuk digoreskan ke pundak Yousuf yang telah
dibuka bajunya, yaitu di bagian yang bengkak dan matang biru, bekas gigitan
ular tadi. Kulit pundak dan daging di situ terbuka dengan mudah oleh ujung
pedang yang tajam dan runcing itu, lalu setelah menyimpan pedangnya, Lin Lin
lalu memasukkan buah Pek-kim-ko itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan.
Rasa buah itu pahit sekali dan
di dalamnya mengandung getah yang melekat di seluruh lidah, gigi, dan kulit di
dalam mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang merah dan berbentuk indah
itu ke arah luka bekas goresan pedang pada pundak Yousuf, lalu segera
dihisapnya! Setelah menghisap, dia lalu meludahkan darah hitam yang dapat
disedot dari luka itu.
Berkali-kali dia menghisap dan
meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk mengurut jalan darah di sekitar
pundak yang tergigit ular itu. Dan akhirnya, habislah bisa ular yang meracuni
darah Yousuf dan lenyaplah warna merah di mukanya dan warna matang biru pada
pundaknya, sedangkan panasnya juga otomatis menurun.
Ternyata bahwa khasiat buah
Emas Putih itu ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin Lin, agar jangan
sampai terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-kim-ko, Lin Lin tidak
akan berani melakukan penghisapan racun dengan mulutnya itu, karena hal ini
berbahaya sekali dan dapat menewaskannya.
Setelah jiwa Yousuf tertolong
dari ancaman racun ular, Lin Lin lalu keluar dari goa untuk mencari air dan
mencuci mulutnya sampai bersih. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa saling pandang. Rasa
haru yang mendalam terasa oleh hati kedua orang ini melihat ketinggian budi Lin
Lin. Mereka memuji kemuliaan hati gadis itu.
Ketika Lin Lin sedang mencuci
mulut dan tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak gunung itu, tiba-tiba
ia dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan ketika ia menoleh,
terlihat olehnya seekor harimau yang besar sekali! Yang aneh adalah bahwa di
tengah-tengah jidat harimau itu tumbuh sebuah tanduk yang melengkung ke atas
laksana tanduk seekor badak.
Lin Lin cepat berdiri dan
melompat ke tempat yang lebih lega dan rata, karena maklum bahwa binatang ini
tentulah harimau jahat dan lihai yang pernah diceritakan oleh Yousuf di atas
perahu dulu.
Memang benar bahwa harimau
inilah yang dulu menyerang Yousuf dan kawan-kawannya dan binatang ini lihai dan
kuat. Akan tetapi melihat Lin Lin, harimau ini agaknya ragu-ragu untuk
menyerang, hanya memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum kecil
seakan-akan menyatakan keraguannya apakah ia harus menyerang gadis ini atau
tidak.
Mendadak terdengar suara
pukulan sayap dari atas dan Lin Lin merasa datangnya angin menyambar kepalanya
dari arah atas. Cepat gadis ini mengelak secara tepat oleh karena tanpa
peringatan lagi, dari atas telah manyambar turun seekor Rajawali Emas yang amat
besar! Kalau Lin Lin tadi tidak mengelak secara tepat, tentu kepalanya telah
kena dipatuk oleh burung yang gelak itu!
Lin Lin makin terkejut oleh
karena dia telah mendengar akan kelihaian burung ini dan kini setelah dua macam
binatang lihai ini berada di depannya, apakah yang dapat ia lakukan? Sedangkan
Yousuf yang begitu gagah dan dibantu oleh dua orang kawannya pun masih tidak
kuat melawan dua ekor binatang ini, apa lagi dia kini berada seorang diri dan
tidak memegang senjata pula?
Namun gadis ini memang
mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut sedikit
pun. Bahkan ketika itu dia memandang kepada harimau dan rajawali sakti itu
dengan pandangan mata kagum dan senang.
Setelah menyambar turun
rajawali itu lalu berdiri di dekat harimau bertanduk dan ternyata bahwa tubuh
rajawali itu jauh lebih tinggi dari pada tubuh harimau itu! Dua ekor binatang
ini memandang kepada Lin Lin dan agaknya mereka keduanya merasa ragu-ragu
melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil sikap bermusuhan dengan
mereka, malah tidak mengeluarkan senjata untuk melukai mereka.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi
nyaring dari atas dan ketika Lin Lin memandang, ternyata merak yang luar biasa
tadi telah melayang turun dan berdiri di atas tanah di depan kedua binatang
itu. Harimau bertanduk lalu menggoyang-goyangkan ekornya dan menundukkan
kepala, ada pun Rajawali Emas itu lalu mengebut-ngebutkan sepasang sayapnya
sambil menunduk pula, seakan-akan keduanya memberi hormat kepada merak ini.
Merak Sakti itu mengangkat
dadanya dengan bangga, lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis ini gembira
sekali oleh karena ternyata bahwa merak ini berdiri hanya dengan sebelah
kakinya sedang kakinya sebelah lagi mencengkeram serumpun daun Coa-tok-te,
yaitu sejenis daun yang merupakan obat khusus untuk menyembuhkan luka akibat
gigitan ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan sambil tersenyum
manis gadis itu berkata,
“Ah, Saudara Merak Sakti.
Sungguh kau benar-benar baik hati dan amat pandai.” Sambil berkata demikian Lin
Lin mengulurkan tangan menerima rumput atau daun-daun panjang itu dari kaki
merak. Kemudian dengan mesranya Lin Lin mengelus-elus bulu merak yang indah
sekali serta halus dan bersih itu.
Merak itu menjulurkan lehernya
yang panjang untuk dibelai-belaikan pada lengan tangan gadis yang
mengelus-elusnya itu, seolah-olah ia merasa gembira sekali. Sikapnya seperti
seekor binatang peliharaan yang amat jinak. Sedangkan harimau bertanduk dan
Rajawali Emas itu pun melangkah maju perlahan-lahan dengan mata mengeluarkan
pandangan mengiri.
Lin Lin tertawa dan dengan
tabahnya dia pun lalu menghampiri kedua binatang buas itu dan mengelus-elus
punggung mereka. Si Harimau bertanduk itu menggoyang-goyangkan ekornya dan
mengeluarkan keluhan perlahan seperti seekor kucing yang merasa senang dan
manja, sedangkan Rajawali Emas itu pun kemudian mengembangkan sayapnya dan
merendahkan diri sambil membuka paruhnya bagaikan seekor burung murai yang
dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang.
Tiba-tiba harimau itu
mencium-cium ke arah pinggang Lin Lin dan tiba-tiba ia menggeram keras sehingga
gadis itu terkejut, juga Rajawali Emas dan Merak Sakti nampak kaget. Lin Lin
teringat akan pedang karatan yang berada di pinggangnya dan otomatis ia
mencabut pedang itu, dan sungguh aneh. Ketika melihat pedang karatan itu,
ketiga binatang itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan sedih dan ketiganya
lalu mendekam di hadapan Lin Lin seakan-akan berlutut.
Lin Lin adalah seorang gadis
yang cerdik dan dapat mengerjakan otaknya cepat sekali. Ia dapat menduga tepat
bahwa ketiga binatang sakti ini tentulah murid-murid atau binatang-binatang
peliharaan orang sakti yang telah meninggal dunia di dalam goa dan kini ketiga
ekor binatang ini mengenal pedang pusaka orang sakti itu!
Maka Lin Lin lalu ikut
berlutut pula dan mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, seakan-akan hendak
memperlihatkan kepada ketiga binatang itu bahwa dia juga menjunjung tinggi dan
menghormat pemilik pedang itu. Kemudian ia berdiri dan memasukkan pedang bobrok
itu ke dalam ikat pinggang lagi. Kini ketiga binatang itu nampak girang sekali
dan mereka menjadi begitu jinak seperti tiga ekor anjing yang amat menurut.
Pada saat itu terdengar seruan
heran dan ketika Lin Lin memandang, ternyata bahwa Nelayan Cengeng dan Ma Hoa
telah berdiri mengintai dari belakang pohon dengan mata terbelalak heran. Lin
Lin tersenyum lalu berkata kepada binatang itu dengan suara keras tapi halus,
“Sin-kong-ciak (Merak Sakti),
Sin-kim-tiauw (Rajawali Emas Sakti), dan kau It-kak-houw (Harimau Tanduk Satu).
Lihatlah baik-baik kepada dua orang itu. Mereka adalah sahabat-sahabat baikku
dan janganlah kalian mengganggunya. Juga kawan yang sedang terluka oleh ular
berbisa itu adalah kawan baikku!”
Ketiga ekor binatang sakti itu
mengangguk-angukkan kepala seakan-akan mereka dapat mengerti ucapan Lin Lin
sehingga Nelayan Cengeng dan Ma Hoa menjadi terheran dan girang sekali. Kini
mereka tidak ragu-ragu lagi dan melangkah maju serta mengelus-elus pundak
ketiga ekor binatang itu yang menjadi heran sekali. Terutama Ma Hoa, gadis ini
merasa suka benar kepada Sin-kong-ciak dan mengagumi bulu merak itu tiada
habisnya.
Kemudian mereka lalu kembali
ke goa, diikuti oleh tiga ekor binatang itu. Ternyata bahwa tadi Nelayan
Cengeng dan Ma Hoa juga mendengar suara binatang-binatang itu hingga mereka
lalu memburu keluar karena khawatir kalau-kalau Lin Lin berada dalam bahaya.
Akan tetapi mereka berdiri tercengang sambil mengintai dari balik pohon ketika
melihat peristiwa yang aneh dan menakjubkan yang terjadi antara Lin Lin dan
ketiga binatang itu.
Lin Lin lalu meremas-remas
daun Racun Ular, dan obat ini digunakan untuk mengobati luka Yousuf, dibalurkan
di tempat bekas gigitan dan sebagian airnya diminumkan.
Tak lama kemudian Yousuf
siuman kembali dan keadaannya baik sekali. Ketika melihat betapa Lin Lin
merawatnya dengan telaten dan open, tak terasa pula air mata mengalir turun
dari kedua matanya. Apa lagi ketika Ma Hoa menceritakan betapa Lin Lin menyedot
keluar semua racun yang ada di dalam tubuhnya dengan menggunakan mulutnya,
orang Turki ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya dan dia menangis
terisak-isak di atas pembaringannya. Dia tak dapat mengucapkan kata-kata, hanya
memandang kepada Lin Lin dengan pandangan penuh mengandung pernyataan terima
kasih yang besar.
Lin Lin tersenyum dengan muka
merah.
“Enci Ma Hoa,” katanya kepada
gadis itu, “mengapa kau menceritakan hal itu? Kau hanya melebih-lebihkan hal
yang tidak ada artinya.” Kemudian kepada Yousuf ia berkata,
“Yo-sianseng, kita adalah
sahabat-sahabat baik yang sedang berada di tempat asing dan berbahaya. Bila
kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa hidup? Aku yakin bahwa kau pun
tentu tidak akan ragu-ragu lagi melakukan hal ini apa bila aku yang mendapat
kecelakaan.”
Yousuf hanya mengangguk-anggukkan
kepala, tapi ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata oleh karena hatinya
merasa terharu sekali dan penyesalan besar membuat ia tak kuasa membuka mulut.
Dia ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding goa karena menyesal kepada
diri sendiri dan diam-diam ia memaki pada diri sendiri.
“Ahh, Yousuf! Kau manusia
tersesat dan gila! Mengapa kau biarkan setan menguasai hati dan pikiranmu
hingga kau pernah tergila-gila dan memiliki pikiran buruk terhadap seorang
gadis yang demikian mulia hatinya? Kalau kau mempunyai seorang anak perempuan
pun belum tentu ia akan semulia dan sebakti gadis ini!”
Demikianlah Yousuf menyesali
diri oleh karena memang ia pernah mengandung maksud untuk mengambil Lin Lin
sebagai permaisurinya apa bila cita-citanya tercapai. Semenjak saat itu rasa
cintanya kepada Lin Lin sama sekali berubah dari cinta seorang lelaki pada
seorang wanita menjadi cinta kasih seorang ayah terhadap seorang anak
perempuannya!
“Lin Lin,” katanya ketika
gadis itu menyiapkan obat untuknya dan mereka berada berdua saja, karena Ma Hoa
beserta Nelayan Cengeng dengan ditemani oleh harimau bertanduk dan Rajawali
Emas sedang keluar mencari buah-buahan yang enak dimakan. “Setelah apa yang kau
lakukan untuk membelaku, sudilah kiranya kau menyebut Ayah kepadaku? Kau
kuanggap anakku sendiri, Lin Lin, dan oleh karena kau tak berayah ibu lagi,
biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu. Sukakah kau, Nak?”
Mendengar suara yang diucapkan
dengan menggetar, juga melihat betapa wajah Yousuf memandangnya dengan penuh
harapan, Lin Lin menjadi amat terharu dan teringat pada ayahnya. Maka dia
segera berlutut di depan pembaringan Yousuf dan tanpa ragu lagi dia menyebut,
“Ayah!” sambil menangis.
Yousuf yang sudah kuat kembali
tubuhnya lalu bangun dan duduk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kepala
gadis itu dan berkata,
“Lin Lin, semenjak saat ini
kau adalah anakku dan aku akan membelamu dengan seluruh tubuh dan nyawaku,
semoga Dewata Yang Agung memberkahimu.”
Ketika Nelayan Cengeng dan Ma
Hoa mendengar tentang pemungutan anak ini, mereka berdua juga merasa girang
sekali. Nelayan Cengeng sudah percaya penuh akan ketulus ikhlasan dan kejujuran
hati orang Turki itu, maka ia pun tidak merasa keberatan apa-apa, sedangkan Ma
Hoa yang juga telah kehilangan ayahnya, lalu menangis dengan terharu sekali
sambil memeluk leher Lin Lin.
Nelayan Cengeng menghela
napas, “Ma Hoa, aku tahu apa yang menjadikan kau merasa sedih, akan tetapi kau
ingatlah, Ma Hoa, bahwa semenjak saat kau merantau denganku, aku Kong Hwat
Lojin sudah menjadi guru dan ayahmu sendiri! Walau pun kau menyebut Suhu
kepadaku, tapi kau kuanggap anak sendiri dan hal ini pun tentu kau maklumi,
maka janganlah kau bersedih, Anakku.”
Ma Hoa menjatuhkan diri
berlutut di hadapan suhu-nya dan berkata, “Terima kasih, Suhu, dan demi Tuhan,
sedikit pun tak pernah teecu meragukan kemuliaan hati Suhu.”
Setelah Yousuf sembuh kembali,
mereka melanjutkan pemeriksaan dan mencari harta di pulau itu, akan tetapi
kalau dulu Yousuf mencari dengan cita-cita hendak mengangkat diri menjadi
kaisar dan mengawini Lin Lin, kini cita-citanya itu diubah sedikit. Dia masih
ingin menjadi kaisar dan memiliki harta besar itu, akan tetapi semua itu demi
kemuliaan Lin Lin yang akan dijadikan seorang puteri kerajaan yang agung.
Akan tetapi, sesudah beberapa
hari tinggal di pulau itu, ternyata belum juga didapatkan tanda-tanda bahwa
pulau itu betul-betul mengandung banyak emas seperti yang tadinya disangka.
Pada suatu hari, ketika Yousuf
dan kawan-kawannya sedang memeriksa di puncak bukit, mereka melihat banyak
sekali pendeta Sakya Buddha anak buah Pangeran Vayami naik ke pulau itu dan
melakukan pemeriksaan pula. Yousuf dan kawan-kawannya lalu cepat mempergunakan
alang-alang dan pohon-pohon kecil untuk dipakai menutupi goa mereka sehingga
tidak mungkin akan terlihat oleh orang lain, lantas diam-diam mereka mengintai
pendeta-pendeta itu untuk melihat apa yang mereka kerjakan.
Ketika Nelayan Cengeng
mengusulkan untuk menyerang Pendeta-pendeta Jubah Merah itu, Yousuf mencegahnya
dan berkata,
“Aku tahu, mereka ini adalah
kaki tangan Vayami, Pangeran dari Mongol dan agaknya mereka sudah tahu di mana
letak harta terpendam. Baiknya kita menanti sampai mereka mendapatkannya baru
kita turun tangan. Sementara itu, biarlah kita mengintai saja dan melihat apa
yang mereka lakukan.”
Lin Lin lalu memerintahkan
kepada ketiga binatang sakti untuk berdiam diri dan jangan menyerang
orang-orang itu. Selama tiga hari pendeta-pendeta itu bekerja, akan tetapi
sebagaimana hasil kerja Yousuf, mereka juga tidak mendapatkan apa-apa.
Kemudian, dengan kaget sekali
Yousuf dan kawan-kawannya melihat datangnya perahu-perahu pasukan Turki sedang
disusul dan dikejar oleh perahu-perahu pasukan kerajaan. Yousuf tahu bahwa
barisan bangsanya telah tiba di situ dan hendak menguasai pulau itu sebagai
mana direncanakannya dan tahu pula bahwa kalau mereka melihatnya, tentu dia
akan ditangkap oleh karena selama itu dia tidak pernah memberi kabar mengenai
hasil penyelidikannya sehingga ia dapat dituduh sebagai pengkhianat yang hendak
mengambil sendiri harta itu.
Kemudian mereka melihat
pertempuran besar yang terjadi antara pasukan Turki dengan barisan Tiongkok,
dan ketika Yousuf menyelidiki keadaan Pendeta Sakya Buddha itu, ia menjadi
terkejut sekali oleh karena pendeta-pendeta itu kemudian menyalakan api dan
membakar danau minyak yang segera berkobar hebat menjadi lautan api.
“Celaka! Danau itu dibakar dan
mungkin akan meledak. Hayo, cepat kita harus pergi dari pulau neraka ini!'
katanya.
Kawannya menjadi panik dan
Nelayan Cengeng segera memanggil Lin Lin dan Ma Hoa yang masih mengintai dan
menonton pertempuran hebat dari jauh.
Kedua orang gadis itu pun
terkejut sekali mendengar berita ini dan Lin Lin lalu memberi tanda suitan
memanggil ketiga binatang sakti itu. Mereka lalu lari cepat ke perahu mereka
yang disembunyikan di belakang alang-alang, diikuti oleh ketiga binatang itu.
Akan tetapi, ketika mereka telah naik ke atas perahu, tiba-tiba ketiga binatang
itu memekik keras dan ketiganya lalu membalikkan diri dan kembali ke pulau.
Lin Lin berteriak-teriak
memanggil sambil mengejar dan ketika ia memasuki goa, ternyata tiga ekor
binatang sakti itu sedang mendekam dan berlutut di depan makam rangka yang
mereka tanam dahulu. Lin Lin membetot-betot mereka, akan tetapi ketiganya tidak
mau pindah dari tempat mereka, seakan-akan bersiap untuk mati di depan kuburan
tuannya. Lin Lin menjadi bingung dan memeluk leher Merak Sakti. Ia berkata
sambil menangis,
“Saudara Merak Sakti,
bagaimana aku dapat tega meninggalkan kau? Kau adalah seperti saudaraku sendiri,
dan pulau ini akan terbakar habis. Marilah kau ikut padaku. Tegakah kau
membiarkan aku merasa sedih seumur hidupku?”
Merak Sakti itu mengeluarkan
keluhan panjang dan dari kedua matanya yang indah itu mengalir keluar dua butir
air mata. Dari jauh terdengar suara Yousuf memanggil-manggil namanya, dan Lin
Lin terpaksa keluar dari goa sambil menangis. Beberapa kali ia masih menengok
memandang ketiga kawannya yang aneh ini.
Dan ketika ia berlari ke
perahu dengan tubuh lemas dan hati berduka, tiba-tiba terdengar suara keras di
atas kepalanya dan ternyata bahwa Merak Sakti itu telah menyusulnya. Lin Lin
menjadi girang sekali dan segera lari ke perahu diikuti oleh Merak Sakti yang
agaknya tidak tega untuk melepas Lin Lin pergi seorang diri dan ikut menyusul.
Baru saja Lin Lin naik ke
perahu, tiba-tiba serombongan Pendeta Baju Merah itu melihat mereka. Sambil
berteriak-teriak buas mereka langsung menyerbu dan Nelayan Cengeng serta
kawan-kawannya segera menyambut serangan mereka dan terjadilah pertempuran sengit.
“Lekas kalian bertiga jalankan
perahu, biarlah aku sendiri menahan serbuan anjing-anjing merah ini!” kata
Nelayan Cengeng.
Yousuf yang melihat betapa api
berkobar semakin hebat, lalu cepat menjalankan perahu, akan tetapi Ma Hoa
berteriak,
“Suhu jangan melawan mereka
seorang diri, teecu akan membantumu!”
“Jangan!” teriak Si Nelayan
Cengeng dengan suara tetap dan keras. “Kau harus ikut pergi lebih dulu! Aku
tidak takut segala anjing ini, dan biar pun tanpa perahu, aku mudah saja
menyeberang ke daratan Tiongkok!” jawab suhu-nya yang gagah perkasa sambil
terus memutar-mutar dayungnya dan mengamuk hebat.
Lin Lin mendapatkan akal. Dia
segera menghampiri Merak Sakti dan berkata, “Saudaraku yang baik. Kau bantulah
Nelayan Cengeng dan cakarlah habis-habis pendeta busuk itu!”
Sin-kong-ciak mengeluarkan
pekik keras, tanda bahwa dia girang sekali menerima tugas ini dan sebentar saja
tubuhnya melesat dan melayang ke atas. Sesudah Merak Sakti ini menyerbu, maka
terdengarlah jerit dan tangis yang ribut sekali di kalangan para Pendeta Sakya
Buddha ini dan Nelayan Cengeng menjadi gembira sekali.
“Bagus Kong-ciak-ko, bagus!
Hayo, kita hantam bersama!”
Perahu yang ditumpangi oleh
Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa, telah pergi jauh dan pendeta-pendeta Baju Merah itu
merasa tidak kuat menghadapi Nelayan Cengeng yang tangguh dan yang dibantu oleh
Merak Sakti yang aneh itu. Maka sambil berteriak-teriak ketakutan mereka lalu
melarikan diri ke arah perahu-perahu kecil mereka di lain bagian. Dengan cepat
mereka segera melarikan diri dengan perahu-perahu itu dari pulau yang telah
mulai berkobar hebat itu.
Nelayan Cengeng juga tidak
membuang waktu lagi, ia berkata kepada Merak Sakti,
“Kong-ciak-ko, sekarang kau
terbanglah menyusul perahu Lin Lin dan aku akan berenang. Hayo kita berlomba,
kau terbang dan aku berenang. Siapa yang lebih cepat menyusul perahu, dialah
yang menang!”
Merak Sakti agaknya mengerti
omongan ini dan sambil mengeluarkan teriakan panjang dan girang, ia lalu
terbang melayang ke atas dan mencari-cari perahu Lin Lin yang telah berlayar
jauh sekali.
Sementara itu, Nelayan Cengeng
juga segera menceburkan diri ke dalam laut, kemudian mempergunakan kepandaian
dan tenaganya yang luar biasa untuk berenang ke daratan pantai Tiongkok. Akan
tetapi dia telah tertinggal jauh dan dia harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk mengejar perahu itu sehingga dia berenang cepat sekali
bagaikan seekor ikan besar. Air tidak kelihatan terpercik ke atas, namun
tubuhnya bergerak maju pesat sekali.
Akan tetapi, setelah ia dapat
melihat bayangan perahu itu dalam kegelapan, tiba-tiba saja terdengar letusan
hebat dari pulau yang terbakar itu sehingga Kong Hwat Lojin terlempar jauh,
terbawa ombak yang datang setinggi gunung dan yang melemparkannya ke arah lain,
jauh dari kapal itu, dan ke lain jurusan!
Ilmu kepandaian di dalam air
yang dimiliki oleh Nelayan Cengeng memang hebat sekali, maka ketika melihat
betapa dirinya menjadi permainan ombak, dia lalu menahan napas dan menyelam ke
dalam. Tekanan air makin ke bawah semakin kuat, akan tetapi tidak bergelombang
sehebat di permukaan air itu. Dengan demikian, Nelayan Cengeng dapat berenang
terus, dekat di atas dasar laut itu dan ia pun menuju ke pantai.
Akan tetapi oleh karena
gelombang yang hebat itu pun membuat perahu yang ditumpangi oleh Yousuf dan
kedua gadis itu terbawa ombak dan tidak tentu arahnya, ketika Nelayan Cengeng
sudah muncul di darat, ia berada jauh sekali dari perahu itu, dan sedikit pun
tidak tahu dirinya berada di mana!
Dan pada waktu dia melompat ke
darat, datanglah Hek Pek Mo-ko, dan Pek Mo-ko lalu menyerangnya hingga terjadi
pertempuran sengit yang kemudian disusul oleh datangnya Biauw Suthai dan Pek I
Toanio dan yang mengeroyok Hek Pek Mo-ko. Dan seperti yang telah diketahui,
akhirnya karena Kwee An ikut mencampuri pertempuran itu, Hek Mo-ko bertempur
sendiri melawan Pek Mo-ko yang mengakibatkan tewasnya kedua orang Iblis Hitam
dan Putih itu!
Kwee An dan Cin Hai merasa
senang sekali mendengar bahwa Lin Lin dan Ma Hoa ada di bawah perlindungan
Yousuf yang baik hati. Sungguh pun mereka tidak tahu ke mana perginya ketiga
orang itu, namun mereka percaya bahwa kedua gadis itu tentu berada dalam
keadaan selamat.
Sementara itu, Pulau
Kim-san-to masih saja berkobar sampai dua hari dua malam! Cin Hai berkeras
tidak mau meninggalkan pantai sebelum keadaan aman kembali, dan dia berniat
hendak menggunakan perahu mencari Ang I Niocu!
Semua orang tahu akan isi hati
serta kehancuran kalbu pemuda ini. Maka, oleh karena mereka semua pun merasa
sangat kagum dan kasihan kepada Ang I Niocu, mereka juga menunggu di pantai
sambil melihat ke arah pulau yang musnah dimakan api itu.....
Pada hari ke tiga, padamlah
api yang membakar seluruh Pulau Kim-san-to dan lenyaplah gelombang besar yang
diakibatkan oleh kejadian mengerikan itu. Laut kembali menjadi tenang dan semua
orang memandang ke arah pulau itu, hati mereka tertegun dan untuk beberapa lama
tak seorang pun di antara mereka dapat mengeluarkan kata-kata.
Ternyata bahwa pulau yang
tadinya menjulang dari permukaan laut dan pada malam hari nampak bagaikan sorga
itu, kini telah lenyap sama sekali, bagaikan sepotong kue besar yang habis
ditelan oleh mulut raksasa. Sedikit pun tak nampak bekas-bekasnya lagi.
Semua orang lalu mulai dengan
usaha mereka mencari-cari, tetapi ke manakah mereka harus mencari Ang Niocu?
Cin Hai sendiri lalu menggunakan perahu kecil bersama Kwee An dan mendayung
perahu itu ke tempat di mana tadinya terdapat pulau itu.
Mereka melihat banyak barang
mengambang di permukaan air laut, barang besar kecil yang berupa benda-benda
hitam memenuhi air laut itu. Sesudah mereka berputar-putar sehari lamanya dan
orang-orang lain telah kembali ke pantai oleh karena telah berputus asa,
tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu mengambang di air dan dia lalu menjerit
dengan suara mengandung isak tangis.
“Niocu!” Kemudian pemuda ini
lalu melompat ke dalam air.
Kwee An terkejut sekali dan
mendayung perahunya mengejar Cin Hai yang berenang cepat ke depan. Dia melihat
Cin Hai mengambil sesuatu dari permukaan air laut itu dan saat dilihatnya, ternyata
bahwa yang dipegang oleh Cin Hai adalah selembar kain warna merah. Sambil
menangis Cin Hai berenang kembali ke perahu dan naik ke dalam perahu sambil
memegang erat-erat potongan kain merah itu, lalu dia terduduk menangis sambil
menyembunyikan mukanya di dalam kain itu dan mengeluh tiada hentinya.
“Niocu... Niocu...”
Kwee An teringat bahwa kain
ini sama benar dengan kain pakaian yang biasa dipakai oleh Ang I Niocu, maka
dia menjadi amat terharu dan tak dapat berkata-kata apa kecuali menggunakan tangannya
menepuk-nepuk Cin Hai.
“Kuatkanlah hatimu, Cin Hai...
dan bolehkah aku mendayung perahu kembali ke pantai?”
Cin Hai tak dapat mengeluarkan
suara, hanya mengangguk-angguk dengan muka masih tersembunyi ke dalam sobekan
kain merah itu. Agaknya tubuh Ang I Niocu telah hancur karena ledakan dahsyat
itu dan secara ajaib sekali sepotong pakaiannya sudah terlempar dan terbawa
hawa ledakan hingga jatuh di air dan tidak ikut terbakar. Tentu saja Cin Hai
menjadi sedih sekali oleh karena sobekan pakaian ini menjadi bukti nyata bahwa
Gadis Baju Merah itu telah tewas dan hanya meninggalkan sesobek kain dari
pakaiannya.
Nelayan Cengeng yang hampir
seharian penuh berenang kian-kemari mencari-cari, juga tidak menemukan sesuatu
dan sekarang telah berada di pantai dengan orang-orang lain. Pada saat mereka
melihat kain merah yang ditemukan oleh Cin Hai, mereka hanya dapat menghela
napas saja, bahkan Pek I Toanio tidak dapat menahan keharuan hatinya dan
berkata kepada Cin Hai.
“Jangan kau terus bersedih
hati, karena itu tidak ada gunanya. Ang I Niocu agaknya telah tewas, tetapi dia
tewas sebagai seorang pendekar gagah perkasa dan boleh dibanggakan maka tidak
perlu kita terlalu menyedihi kematiannya. Bukankah kita semua ini kelak pun
akan pergi ke tempat di mana dia mendahului kita? Lebih baik sekarang kita
berusaha mencari di mana adanya Lin Lin dan Ma Hoa.”
Nelayan Cengeng yang diam-diam
juga mengalirkan air mata tanda menangis itu cepat menggunakan ujung lengan
bajunya yang basah oleh air untuk mengusap pipinya sambil mengangguk-angguk.
“Benar ucapan Pek I Toanio. Marilah kita sekarang menyusul dan mencari ke mana
mendaratnya perahu Yousuf itu.”
Kata-kata ini memperingatkan
Cin Hai bahwa Lin Lin masih hidup dan hal ini merupakan hiburan yang besar
sekali. Dia lalu mempertahankan dan menguatkan hatinya, kemudian memandang
kepada mereka.
“Maafkanlah kelemahanku dan
terima kasih kuucapkan kepada Cuwi sekalian yang telah begitu baik hati untuk
ikut bersusah payah.”
Setelah mengadakan
perundingan, maka diputuskan bahwa mereka akan dipecah dalam tiga rombongan
sebagai usaha mereka mencari kedua gadis itu. Kwee An hendak pergi bersama Cin
Hai, Pek Toanio bersama gurunya dan Nelayan Cengeng pergi seorang diri. Tempat
di mana perahu orang Turki itu mendarat belum diketahui, maka mereka segera
berpencar dan mulai mencari dan menyusul Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf…..
********************
Berkat kecerdikannya dan
kepandaian supek-nya yang gagu, Hai Kong Hosiang berhasil melarikan diri dari
Pulau Kim-san-to dan karenanya ia terhindar dari bahaya maut. Ketika perahunya
mendarat, ia pun dapat melihat pula pertempuran yang terjadi antara Nalayan
Cengeng yang dibantu Biauw Suthai dan Toanio melawan Hek Pek Mo-ko.
Akan tetapi, oleh karena
melihat bahwa yang bertanding itu adalah tokoh-tokoh ternama yang memiliki
kepandaian tinggi sekali, terutama Hek Pek Mo-ko yang sudah dia ketahui
memiliki ilmu kepandaian luar biasa, Hai Kong Hosiang segera mengajak supek-nya
yang gagu untuk terus berlari dan jangan mencampuri urusan mereka.
Hatinya merasa mendongkol dan
marah sekali oleh karena kembali dia sudah mengalami kesialan. Pertama, dia
telah kena dibujuk oleh Pangeran Vayami, kedua ia telah bertemu dengan Balutin
dan bertempur tanpa bisa merobohkan pendeta asing itu, dan ketiganya ia hampir
saja mendapat celaka besar di pulau yang terbakar dan meledak.
Di sepanjang jalan Hai Kong
Hosiang terus menyumpahi Cin Hai. Dia merasa menyesal sekali mengapa dulu
ketika Cin Hai terjatuh ke dalam tangan Pangeran Vayami, ia tidak lekas-lekas
membunuh anak muda itu.
Sekarang anak muda itu tentu
masih hidup dan selanjutnya akan merupakan penghalang besar baginya oleh karena
bahwa Cin Hai bersama beberapa orang kawannya tentu tak akan tinggal diam saja
dan akan terus mengejar-ngejarnya untuk membalas dendam atas kematian keluarga
Kwee! Sedangkan kepandaiannya sendiri yang tadinya dia banggakan itu, baru
menghadapi Balutin saja belum mampu mengalahkannya!
Maka ia lalu mengajak
supek-nya, yakni Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu untuk bersembunyi di
atas sebuah gunung yang sunyi, lalu mengerahkan seluruh perhatiannya untuk
memperdalam ilmu silatnya di bawah pimpinan Kiam Ki Sianjin yang lihai! Dengan
bujukan-bujukan dan pujian-pujian, ia berhasil mengeduk semua ilmu yang
dimiliki Kim Ki Sianjin yang lihai, sehingga kepandaian Hai Kong Hosiang sudah
meningkat tinggi sekali, bahkan dia dengan giatnya meyakinkan ilmu lweekang
yang berdasarkan ilmu yoga dari barat.
Lweekang ini dilatih secara
terbalik, yaitu mengatur pernapasan dan pergerakan tenaga dalam secara jungkir
balik, kepala di bawah dan dua kaki di atas. Berkat latihan ini, maka Hai Kong
Hosiang mempunyai ilmu silat yang diajarkan oleh supek-nya, yakni Ilmu Silat
Kalajengking yang amat lihai.
Ilmu silat ini bukan
digerakkan dengan tubuh dalam keadaan biasa, akan tetapi dalam keadaan kaki di
atas dan kepala di bawah! Dengan kepala di atas tanah, kedua kaki Hai Kong
Hosiang bisa bergerak secara lihai sekali, mengirim serangan-serangan maut yang
tidak terduga datangnya. Oleh karena tenaga kaki memang lebih besar dari pada
tenaga tangan maka kedua kaki yang menendang-nendang dan menyerang secara hebat
itu sulit ditahan oleh lawan.
Ini masih belum begitu hebat,
akan tetapi kedua tangannya pun tidak tinggal diam dan melancarkan
serangan-serangan dari bawah dengan secara tiba-tiba dan sukar dilawan. Kalau
lawan sampai kena terpegang kakinya oleh tangan Hai Kong Hosiang yang berada di
bawah, maka celakalah dia!
Ilmu kepandaian Kiam Ki
Sianjin lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian Hek Pek Mo-ko. Dalam usia
yang sangat tua saja ia masih amat lihai, maka kini setelah Hai Kong Hosiang
dapat mewarisi seluruh kepandaiannya dapatlah dibayangkan betapa hebatnya
kelihaian Hai Kong Hosiang yang masih kuat dan bertenaga besar itu!
Selain Ilmu Silat Kalajengking
yang lihai ini, juga Hai Kong Hosiang mempelajari Ilmu Kebal Kim-ciong-ko yang
membuat kulit dan dagingnya dapat menahan serangan senjata tajam. Kim-ciong-ko
yang dapat dipelajari oleh Hai Kong Hosiang ini bukan Kim-ciong-ko yang biasa
dipelajari dalam dunia persilatan, oleh karena didasarkan khikang yang dilatih
secara jungkir balik sehingga dia bisa menyalurkan tenaga dalamnya disertai
hawa dalam badan yang membuat kulitnya dapat melembung dan mengempis laksana
karet. Karena itu, jangankan pedang biasa, bahkan pedang pusaka yang tajam pun
apa bila digunakan oleh orang yang memiliki tenaga biasa tidak akan dapat
melukainya!
Setelah merasa bahwa
kepandaiannya sudah sempurna betul, Hai Kong Hosiang turun dari gunung dan
bersama supek-nya lalu pergi ke kota raja. Di situ ia mendengar tentang
terbunuhnya perwira Boan Sip. Maka kebencian dan kemarahannya kepada Cin Hai
dan kawan-kawannya makin meluap dan bersumpah hendak membunuh mereka ini semua!
Nama-nama Cin Hai, Kwee An,
Lin Lin, Nelayan Cengeng, Ma Hoa, Biauw Suthai, serta Pek I Toanio termasuk
dalam daftarnya dan dia hendak mencari orang-orang ini untuk dibinasakan! Tentu
nama Bu Pun Su juga tak pernah terlupa olehnya walau pun ia masih merasa jeri
dan ragu-ragu apakah ia akan dapat menghadapi kakek jembel yang sangat kosen
itu!
Pada suatu hari, Hai Kong
Hosiang dalam perantauannya tiba di sebuah dusun kecil dan oleh karena di dusun
itu tak ada penginapan, ia lalu memilih sebuah rumah yang terdekat dan masuk
saja tanpa permisi kepada tuan rumah.
Seorang petani tua yang
mendiami rumah itu menjadi marah sekali saat melihat seorang gundul memasuki
rumahnya begitu saja, maka ia lalu membentak,
“Eh, ehh, hwesio dari manakah
dan perlu apa memasuki rumahku tanpa permisi.”
Hai Kong Hosiang memandang kepada
petani tua itu dengan mendelik, dan sekali dia mengulurkan tangan, pundak
petani itu telah kena dipegangnya dan ia lalu melemparkan tuan rumah itu keluar
jendela. Tubuh petani itu jatuh berdebuk di luar rumah, kemudian bergulingan
beberapa kali. Untung sekali Hai Kong Hosiang tidak berniat membunuhnya dan ia
terbanting di atas rumput tebal, kalau tidak tentu ia akan tewas seketika itu
juga.
Petani ini menjadi marah
sekali. Dia lalu memaki-maki sambil berlari ke dalam kampung dan memberi
tahukan kepada semua tetangga. Beberapa orang laki-laki yang mendengar kekurang
ajaran ini, segera membawa senjata hendak mengusir Hai Kong Hosiang, akan
tetapi baru saja mereka tiba di muka rumah kecil itu, Hai Kong Hosiang telah
melompat keluar dengan bertolak pinggang.
“Kalian ini orang-orang dusun
mau apakah?” tanyanya dengan muka bengis.
“Hwesio kurang ajar! Mengapa
kau merampas rumah orang begitu saja?”
“Siapa merampas rumah? Aku
hendak meminjamnya sebentar untuk beristirahat. Kalian orang-orang kampung
sungguh tak tahu aturan. Sepatutnya kalian cepat menghidangkan makanan dan
minuman untukku seperti layaknya tuan rumah menghormati tamunya.”
“Mana ada aturan macam itu?”
berkata seorang petani lain yang menjadi marah melihat sikap dan mendengar
perkataan yang keterlaluan ini. “Kau bukanlah seorang tamu, akan tetapi kau
masuk rumah orang seperti perampok, bahkan sudah berani melempar tuan rumah
yang mempunyai rumah ini.”
“Sudahlah, jangan banyak cakap
lagi. Kalian mau memberi hidangan cepat keluarkan dan jangan banyak mengobrol
karena aku menjadi tidak sabar lagi.”
“Hweso jahat!” teriak
orang-orang kampung itu kemudian menyerbu hendak memukul dan mengusir Hai Kong
Hosiang.
Akan tetapi, orang-orang
kampung yang lemah dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini mana dapat
menghadapi orang kosen seperti Hai Kong Hosiang yang memiliki kepandaian
tinggi.
Ketika berbagai senjata
menyambar ke tubuhnya, Hai Kong Hosiang lalu menggunakan lengan kiri untuk
menangkis senjata-senjata itu, ada pun tangan kanannya tetap bertolak pinggang.
Semua petani berteriak kesakitan saat senjata-senjata mereka beradu dengan
lengan tangan Hai Kong Hosiang, karena senjata-senjata itu terpental dan
terlepas dari pegangan, sedangkan telapak tangan mereka menjadi perih dan
sakit.
Beberapa orang yang berhati
tabah masih merasa penasaran dan maju memukul. Akan tetapi pada saat kepalan
tangan mereka mengenai dada Hai Kong Hosiang yang bidang, mereka kembali
menjerit-jerit kesakitan dan tangan mereka menjadi bengkak-bengkak.
“Ha-ha-ha-ha! Cacing tanah
busuk! Hayo kalian lekas ambil pergi semua makanan yang enak untukku, kalau
tidak mau, semua orang kampung ini akan kubikin mampus semua!” Sesudah berkata
demikian, Hai Kong Hosiang bergerak cepat dan melempar-lemparkan orang-orang
yang terdekat dengannya seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja.
Orang-orang kampung
berteriak-teriak kesakitan. Mereka merasa terkejut sekali dan juga takut
menghadapi hwesio yang jahat seperti setan dan yang mempunyai ilmu kepandaian
mukjijat yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Maka sambil
berteriak-teriak mereka lalu melarikan diri dan sekali lagi Hai Kong Hosiang
membentak,
“Tidak lekas kau sediakan
makanan enak dan arak yang baik? Atau kalian menunggu sampai aku membikin dusun
ini hancur lebur?”
Takutlah orang-orang kampung
itu mendengar ancaman ini oleh karena mereka percaya bahwa hwesio jahat ini
pasti sanggup membuktikan ancamannya itu. Maka mereka lalu cepat mengeluarkan
semua hidangan yang ada pada mereka dan menyuguhkan kepada Hai Kong Hosiang.
Akan tetapi, demi melihat
suguhan-suguhan yang terdiri dari sayuran-sayuran dan hanya sedikit terdapat
daging, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan sekali dia menggerakkan kakinya,
semua hidangan melayang dan hancur berantakan di atas tanah. Orang-orang
kampung mundur ketakutan dan hwesio jahat itu lalu membentak,
“Bawa ke sini seekor babi.
Hayo cepat!”
“Kami...kami orang sedusun
tidak mempunyai babi seekor pun,” jawab seorang petani mewakili kawan-kawannya.
“Tidak ada babi? Awas, jangan
kau membohong! Kalau kau membohong, kau sendirilah yang kujadikan babi dan
kupanggang tubuhmu!”
“Benar-benar kami tidak
mempunyai babi, Losuhu,” kata seorang petani lain.
Hai Kong Hosiang baru mau
percayai keterangan mereka. “Kalau begitu, bawalah seekor kerbau ke sini!”
Orang-orang kampung itu
menjadi pucat. “Kami hanya mempunyai beberapa ekor kerbau yang kami pekerjakan
sebagai penggarap sawah ladang. Kalau Losuhu mengambilnya, bagaimana nasib
kami?”
“Tutup mulut kalian dan lekas
bawa seekor kerbau yang paling gemuk! Awas, aku sudah lapar sekali dan kalau
aku habis sabar, mungkin kau yang akan kumakan!”
Tentu saja semua orang
terkejut dan ngeri mendengar ancaman ini dan mereka terpaksa lalu menuntun
kerbau tergemuk di kampung itu ke hadapan Hai Kong Hosiang. Hwesio itu
memandang tubuh kerbau yang gemuk ini dan mulutnya tersenyum lebar.
“Nah, ini pun boleh!”
Secepat kilat ia merampas
sebatang golok dari tangan seorang petani dan sekali saja tangannya bergerak,
leher kerbau itu telah putus. Darah menyembur-nyembur keluar dari dalam perut
binatang itu melalui lehernya yang berlubang dan kedua mata binatang itu masih
terbuka lebar. Keempat kakinya berkelojotan lalu terdiam.
Terdengar pekik seorang
kanak-kanak dan mendadak dari rombongan para petani yang memandang
penyembelihan kerbau secara istimewa ini dengan wajah pucat dan mata
terbelalak, keluar berlari seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih.
Anak ini segera menubruk tubuh kerbau yang telah mati itu sambil menangis
keras.
“Heii, siapakah anjing kecil
ini?” Hai Kong Hosiang bertanya kepada seorang wanita yang menarik-narik anak
itu sambil mengeluarkan kata-kata hiburan.
“Dia... dia ini adalah anakku
dan kerbau itu… adalah kerbau kesayangannya. Semenjak kecil dia bersama-sama
kerbau ini, maka ia menjadi sayang sekali. Maafkan dia Losuhu, karena dia tidak
tega melihat kawan bermainnya itu terbunuh.”
“Ha-ha-ha! Anak goblok! Anak
bodoh! Apakah dia belum tahu bagaimana rasanya daging sahabatnya itu? Kalau
sudah tahu, ha-ha-ha! Tentu ia akan senang melihat sahabatnya disembelih! Hayo
anak kau ikut aku pesta dan menikmati daging sahabatmu ini!” Sambil berkata
demikian, Hai Kong Hosiang memegang tangan anak itu dan menariknya masuk ke
dalam rumah. Ketika ibunya hendak mengejar, Hai Kong Hosiang membentak,
“Aku hendak mengajak anakmu
makan besar, apa salahnya?! Kalau kau mengganggu, aku akan bunuh kamu berdua!”
Terpaksa ibu ini melangkah
mundur dengan muka pucat, kemudian ia menjatuhkan diri di atas tanah sambil
menangis. Seorang tetangganya lalu menariknya pergi dari sana oleh karena
merasa khawatir kalau hwesio jahat itu akan marah dan benar-benar melakukan
pembunuhan.
“Hayo lekas masak daging ini!”
Hai Kong Hosiang memerintah sambil minum arak yang disuguhkan di atas meja
dalam rumah itu.
Anak yang tadi ditariknya kini
didudukkan di depannya dan sambil memandang anak itu, Hai Kong Hosiang tiada
hentinya minum arak sambil terus tertawa-tawa. Anak itu duduk dengan muka pucat
dan tubuh menggigil, tetapi ia tidak berani berteriak!
Setelah masakan daging kerbau
sudah matang dan disuguhkan di atas meja depan Hai Kong Hosiang dan anak itu,
Hai Kong Hosiang lalu mulai makan dengan enaknya.
“Hayo kau makan daging kawanmu
ini. Enak dan lezat sekali rasanya!” berkata Hai Kong Hosiang kepada anak itu.
Akan tetapi sambil menggigit bibirnya dan menahan runtuhnya air mata yang
mengembeng di bulu matanya, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hayo makan!” teriak Hai Kong
Hosiang dengan suara yang menggeledek laksana guntur hingga semua orang tani
yang berada di luar rumah itu menjadi terkejut dan kuatir sekali.
Akan tetapi, sekali lagi anak
itu menggelengkan kepala karena jangankan harus makan daging kerbaunya yang
dikasihinya itu, baru melihat saja betapa daging kawan baiknya kini sudah
dimasak dan dimakan oleh hwesio itu, hatinya telah terasa perih dan hancur
sekali.
Melihat kekerasan anak ini,
Hai Kong Hosiang menjadi marah dan penasaran. Dia lalu mengambil sepotong
daging dengan tangannya dan begitu ia mengulurkan tangan, maka tangan kirinya
sudah menangkap mulut anak itu hingga dipaksa menyelangap dan lalu memasukkan
daging itu ke dalam mulut anak tadi! Anak itu membelalakkan matanya dan ketika
merasa betapa daging itu dimasukkan ke dalam mulutnya, lantas tiba-tiba dia pun
muntah-muntah!
Bukah main marahnya Hai Kong
Hosiang melihat hal ini. Ingin dia memukul mati anak di depannya ini, akan
tetapi baru saja ia mengangkat tangannya untuk memukul, ia teringat bahwa jika
membunuh anak ini, maka setidaknya tentu akan terjadi heboh dan ribut yang
hanya akan mengganggu istirahatnya saja. Karena itu dia tidak jadi memukul,
akan tetapi memegang batang leher anak itu dan sekali ia menggerakkan tangan,
anak itu menjerit karena tubuhnya terlempar keluar pintu!
Baiknya di luar pintu itu
orang-orang tani sedang duduk berkumpul dengan hati berdebar penuh
kekhawatiran, karena itu tubuh anak kecil itu jatuh menimpa mereka hingga tidak
mengalami luka hebat. Anak itu jatuh pingsan karena sedih, ngeri dan rasa
takutnya, dan orang-orang kampung itu cepat menggotongnya pulang sambil
menghela napas, bahkan ada yang mengucurkan air mata karena merasa sedih, dan
tak berdaya!
Hai Kong Hosiang melanjutkan
makan-minumnya seakan-akan tak pernah ada gangguan apa-apa. Nafsu makannya
besar sekali dan sebentar saja hidangan yang disuguhkan di atas meja itu habis
bersih!
Memang hwesio ini mempunyai
sifat aneh. Dia dapat bertahan tidak makan sampai tiga hari tiga malam, dan
sekali dia makan, agaknya dia hendak menebus hutangnya kepada perutnya itu dan
takaran makan yang tiga hari itu dirangkap menjadi sekali makan!
Setelah hidangan itu habis
semua, ia lalu merebahkan dirinya di atas sebuah balai-balai reyot di dalam
rumah petani itu dan sebentar lagi terdengar suaranya mendengkur keras,
seolah-olah kerbau yang dagingnya telah memasuki perutnya itu tiba-tiba bangkit
kembali di dalam perut dan menguak-uak!
Semalam suntuk itu Hai Kong
Hosiang tertidur tanpa berkutik dari tempat tidurnya. Telah beberapa pekan dia
meninggalkan kota raja dan supek-nya ditinggalkan di kota raja, oleh karena
supek-nya yang sudah tua itu menyatakan lelah dan bosan merantau, hingga Hai
Kong Hosiang pergi seorang diri.
Pada keesokan harinya,
kebetulan sekali Biauw Suthai bersama Pek I Toanio yang pergi mencari jejak Lin
Lin, Ma Hoa dan Yousuf tiba di dusun itu. Kedua orang ini merasa heran melihat
kelesuan muka orang-orang kampung itu ketika pada pagi hari itu mereka pergi ke
ladang sambil memanggul cangkul mereka.
Pek I Toanio lalu bertanya
kepada seorang petani tua yang bertemu di jalan,
“Lopek (Uwa), agaknya kalian penduduk
desa ini sedang berduka dan kebingungan. Mala petaka apakah gerangan yang
menimpa desamu?”
Tadinya si petani ini tak
berani banyak bicara. Akan tetapi ketika melihat gagang pedang yang tergantung
di punggung Pek I Toanio, segera timbul kepercayaannya, bahkan ia lalu berharap
kalau-kalau dua wanita yang nampak gagah ini akan dapat menolong desanya.
“Ketahuilah, Toanio. Desa kami
baru saja kedatangan seorang hwesio jahat sekali yang mengganggu kami dan
bahkan merampok kami. Itu masih belum seberapa, bahkan dia berani memukul dan
melukai orang.”
Bangkitlah semangat pendekar
dalam dada Pek I Toanio ketika mendengar penuturan ini, ada pun Biauw Suthai
yang lebih sabar lalu minta kepada petani tua itu untuk menuturkan sejelasnya.
Petani itu lalu menceritakan tentang kejahatan Hai Kong Hosiang dan Biauw
Suthai menjadi marah sekali, apa lagi saat mendengar betapa hwesio jahat itu
memaksa anak kecil itu makan daging kerbaunya sendiri dan kemudian melempar
tubuh anak itu keluar ketika dia tidak mau makan daging kerbau kesayangannya.
“Hwesio bangsat yang kurang
ajar! Hendak kulihat siapakah dia yang begitu jahat dan tak mengenal
kemanusiaan itu.”
Sesudah berkata demikian,
dengan tindakan kaki lebar dan diikuti oleh muridnya, Biauw Suthai langsung
pergi menuju ke rumah yang diceritakan oleh petani tadi. Sementara itu, petani
tua itu lalu menceritakan kepada kawan-kawannya dan sebentar saja semua orang
tahu bahwa ada dua orang wanita gagah yang hendak mengusir dan menghukum hwesio
jahat yang mengganggu mereka. Semua orang lalu meninggalkan pekerjaan mereka
dan beramai-ramai menuju ke rumah itu. Akan tetapi mereka tidak datang
mendekat, hanya memandang dari jauh dengan perasaan tegang.
Ketika melihat bahwa pintu
rumah itu masih tertutup, Biauw Suthai dan Pek I Toanio lalu melompat ke atas
genteng dan membuka dua genteng untuk mengintai ke dalam. Dan mereka melihat
pemandangan yang aneh.
Seorang hwesio yang bertubuh
tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan, sedang berdiri dengan kepala di
tanah dan kedua kakinya di atas. Hwesio ini menaruh kedua tangannya di belakang
kepala dan saat itu sedang memutar-mutar tubuhnya sedemikian rupa sehingga dari
atas kelihatan bagaikan sebuah gangsingan atau semacam barang permainan yang
terputar-putar. Di dekatnya kelihatan menggeletak sebuah topi bambu yang lebar.
Ketika Biauw Suthai dan
muridnya memandang dengan penuh perhatian, mereka terkejut sekali karena
mengenal hwesio itu yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang. Ternyata bahwa Hai
Kong Hosiang sedang melatih lweekang-nya yang hebat dan aneh. Kepalanya dapat
berloncat-loncat dan berpindah-pindah dengan cepat tanpa mengeluarkan suara,
ada pun sepasang kakinya bergerak-gerak sehingga di dalam kamar itu berkesiur
angin yang kuat.
Tiba-tiba terdengar Hai Kong
Hosiang tertawa bergelak dan tahu-tahu sepasang kakinya ditendangkan ke atas.
Angin hebat menyerang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio
sedang mengintai.
“Awas!” seru Biauw Suthai dan
untung ia masih keburu membetot lengan muridnya, oleh karena tiba-tiba genteng
di mana mereka tadi berdiri tiba-tiba pecah dan terpental ke atas tinggi sekali
sebagai akibat pukulan angin tendangan Hai Kong Hosiang yang dahsyat.
”Hai Kong pendeta bangsat!”
Biauw Suthai memaki keras dan tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang sudah berada di
luar dan berdiri sambil tertawa berkakakan dan memandang ke atas genteng di
mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio masih berdiri.
Biauw Suthai menjadi marah
sekali dan sambil mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu
merah, dia lalu melayang turun dari genteng diikuti oleh Pek I Toanio yang juga
telah mencabut keluar pedangnya.
“Ha-ha-ha, tokouw mata satu
yang buruk! Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau. Dan agaknya engkaulah
orang pertama yang akan mampus dalam tanganku, mendahului anjing-anjing lain
yang hendak kubasmi semua. Dan muridmu yang cantik ini pun takkan ketinggalan
dan akan mengiringkan kau! Ha-ha-ha!”
“Hai Kong Hwesio keparat yang
patut mampus. Memang sudah sejak lama pinni hendak menyingkirkan kau dari muka
bumi ini oleh karena kedosaanmu telah melewati takaran. Bersedialah untuk
mati!” Sambil berkata demikian Biauw Suthai lalu menggerak-gerakkan hudtim-nya
yang lihai.
Kalau dulu sebelum memperdalam
ilmu silatnya, jika ia harus berhadapan dengan Biauw Suthai, tentu Hai Kong
Hosiang akan merasa jeri oleh karena ia pun telah maklum akan ketangguhan
tokouw mata satu ini, dan karena ia maklum akan kelihaian para musuhnya, maka
ia lalu mengajak supek-nya untuk menemaninya dalam perantauan.
Akan tetapi, sekarang setelah
mempelajari banyak macam ilmu silat yang lihai-lihai dari Kiam Ki Sianjin, ia
memandang rendah kepada musuh-musuhnya, dan berani melakukan perjalanan seorang
diri tanpa dikawani supek-nya.
Memang Hai Kong Hosiang
mempunyai dasar watak yang sombong dan tinggi hati serta memandang rendah
kepandaian orang lain, akan tetapi harus diakui bahwa dia memang mempunyai
dasar atau bakat yang baik sekali. Jarang ada orang yang dapat mempelajari ilmu
silat sebaik dan secepat dia.
Ilmu Silat Kalajengking yang
aneh gerakannya dan dilakukan secara berjungkir balik itu telah dapat
dimainkannya dengan sempurna dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan saja. Juga
di samping ilmu silat ini dia telah meyakinkan ilmu-ilmu silat lain dan bahkan
sudah mendapat kemajuan ilmu lweekang yang berdasarkan yoga dari Barat.
Kini melihat betapa Biauw
Suthai sudah menggerak-gerakkan ujung kebutan yang lihai hingga bulu-bulu halus
kebutan itu mulai menggetar dan seakan-akan menjadi hidup oleh karena tenaga
dalam tokouw itu telah disalurkan ke dalam senjatanya untuk menghadapi hwesio
yang sangat tangguh ini, Hai Kong Hosiang kembali tertawa bergelak-gelak dan
tiba-tiba ia menyerang dengan tangan kosong.
Serangan ini berarti
penghinaan serta memandang rendah terhadap Biauw Suthai yang memegang kebutan,
maka tokouw ini menjadi marah sekali. Benar-benarkah hwesio ini mengangap ia
begitu ringan sehingga tak perlu dilawan dengan senjata? Ia berseru keras dan
menggerakkan kebutannya dalam tipu gerakan Angin Badai Memutar Ombak.
Terdengar angin bersuitan
ketika hudtim berkelebat merupakan cahaya merah dan dalam segebrakan saja ujung
hudtim-nya menyambar-nyambar ke tiga tempat, pertama ke arah pelipis kepala Hai
Kong Hosiang lalu ke dua meluncur terus ke arah jalan darah di leher untuk
melakukan totokan maut dan terus disambung lagi dengan serangan ke tiga yaitu
mengebut ke arah ulu hati hwesio itu.
Akan tetapi Hai Kong Hosiang
memang lihai sekali. Melihat gerakan serangan yang sekali serang mengancam tiga
tempat yang berbahaya dan yang membawa hawa maut ini, dia tidak menjadi gugup.
Dia gunakan kedua tangannya yang dibuka untuk digerak-gerakkan ke arah ujung
kebutan dan ternyata tenaga khikang yang kuat sekali itu berhasil memukul buyar
ujung hudtim sebelum senjata itu mengenai tubuhnya.
Biauw Suthai terkejut bukan
main. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hai Kong Hosiang telah maju
sedemikian hebatnya dan diam-diam ia maklum bahwa tenaga dalam hwesio ini telah
maju pesat dan telah berada di tingkat yang lebih tinggi dari pada tenaga
dalamnya sendiri.
Akan tetapi, Hai Kong Hosiang
terlampau memandang rendah Biauw Suthai. Ia tidak tahu bahwa tokouw ini adalah
tokoh persilatan yang boleh dibilang ‘kawakan’ atau jago tua yang telah malang
melintang dalam dunia kang-ouw sampai puluhan tahun lamanya dan jarang menemui
tandingan.
Biauw Suthai telah terlalu
sering menghadapi orang-orang pandai dan lawan-lawan yang tangguh, hingga ia
tidak menjadi jeri menghadapi Hai Kong Hosiang, biar pun ia maklum bahwa hwesio
ini berkepandaian tinggi sekali. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang
terlihai dan sekarang kebutannya bergerak bagaikan seekor naga mengamuk dan
semua serangannya ditujukan ke arah urat-urat kematian Hai Kong Hosiang agar
supaya dapat mempertahankan nyawanya lagi.
Sesudah bertempur dengan
hebatnya sampai lima puluh jurus lebih, Hai Kong Hosiang terpaksa mengakui
keunggulan permainan silat Biauw Suthai dalam lima puluh jurus lebih itu. Telah
beberapa kali ia mengeluarkan keringat dingin dan menjadi pucat sebab hampir
saja ia menjadi korban senjata hudtim lawannya. Maka ia segera berseru keras,
“Biauw Suthai, rasakan
kerasnya senjataku!” dan ia lalu mencabut keluar tongkat ularnya yang terkenal
ganas dan ampuh.
“Hai Kong manusia sombong!
Hayo kau keluarkan semua kesaktianmu, dan jangan kira aku takut kepadamu!”
“Ha-ha-ha! Biauw Suthai,
kematian sudah di depan mata tapi kau masih berani berlagak. Sungguh-sungguh
tua bangka tak tahu diri. Muridmu yang cantik itu telah menjadi pucat dan tidak
berani bergerak, maka jagalah dirimu baik-baik!” Sambil berkata demikian, Hai
Kong Hosiang menubruk maju sambil menggerakkan tongkatnya yang istimewa
sehingga Biauw Suthai harus berlaku hati-hati karena maklum akan berbahayanya
tongkat ini.
Sementara itu, Pek I Toanio
mendengar penghinaan Hai Kong Hosiang yang mengatakan bahwa mukanya pucat dan
takut bergerak menjadi marah sekali. Sambil melompat maju dia menyerang dengan
pedangnya dan membentak, “Hwesio gundul keparat! Aku Pek I Toanio tidak takut
iblis macam kau!”
“Jangan maju!” teriak Biauw
Suthai memperingatkan muridnya, akan tetapi terlambat.
Ketika pedang Pek I Toanio
menusuk dada Hai Kong Hosiang, pendeta gundul ini sama sekali tidak menangkis
karena maklum bahwa tenaga Pek I Toanio tidak perlu dia takuti, maka sengaja ia
memasang dadanya untuk menerima tusukan itu. Terdengar bunyi kain terobek
pedang!
Akan tetapi Pek I Toanio
terkejut sekali karena di balik pakaian itu, ujung pedangnya membentur kulit
dan daging yang keras dan dapat membuat pedangnya terpental kembali seakan-akan
dia menusuk sebuah benda yang keras dan licin. Sebelum hilang kagetnya, ujung
tongkat Hai Kong Hosiang yang sebenarnya adalah seekor ular kering dan berbisa
itu telah menyambar dan tepat mengenai lehernya.
Pek I Toanio memekik perlahan
sambil memegangi lehernya. Tubuhnya terhuyung-huyung kemudian roboh dan tewas
dengan muka serta leher berubah menjadi hitam karena pengaruh bisa yang keluar
dari tongkat itu.
“Ha-ha-ha-ha, Biauw Suthai,
lihatlah! Muridmu yang cantik sudah berubah buruk seperti mukamu!”
Bukan main marah dan sedihnya
hati Biauw Suthai melihat hal ini. Dia berubah menjadi buas dan liar karena
marahnya.
“Hai Kong, kalau bukan kau
yang mampus biarlah aku yang tewas saat ini!”
Lalu hudtim-nya diputar hebat
dan ia pun menyerang dengan mati-matian! Belum pernah selama hidupnya Biauw
Suthai marah seperti ini dan tentu saja serangannya menjadi ganas dan berlipat
ganda lebih hebat dari pada biasa.
Hai Kong Hosiang terkejut dan
diam-diam dia mengakui bahwa ilmu kepandaian Biauw Suthai benar-benar hebat.
Dia memainkan tongkatnya dengan hati-hati dan tidak berani berlaku sembrono,
sebab maklum bahwa serangan-serangan tokoh yang disertai dengan kemarahan hebat
dan penuh dendam ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan!
Setelah mereka bertempur
seratus jurus lebih dengan ramai dan hebat sekali sehingga orang-orang kampung
yang tadinya menonton dari jauh dan takut melihat betapa Pek I Toanio tewas,
kini tidak berani bergerak atau mengeluarkan suara melihat pertempuran yang
luar biasa ramainya itu, tiba-tiba Biauw Suthai lalu merubah gerakannya dan
kini ia menujukan perhatian serta mencurahkan tenaganya untuk merampas tongkat
Hai Kong Hosiang yang lihai.
Pada suatu ketika ujung
kebutan Biauw Suthai berhasil membelit ujung tongkat ular itu dengan erat sekali.
Hai Kong Hosiang mengerahkan tenaganya untuk menarik kembali tongkatnya, akan
tetapi tidak berhasil.
Tiba-tiba Hai Kong Hosiang
mengeluarkan seruan aneh dan menyeramkan dan tahu-tahu tubuhnya berjungkir
balik, kepalanya di atas tanah dan pada saat itu juga, kedua kaki dan tangannya
bergerak menyerang Biauw Suthai!
Gerakan ini sungguh-sungguh
diluar dugaan Biauw Suthai. Tadi setelah ujung hudtim-nya berhasil membelit,
Hai Kong Hosiang berusaha membetot tongkatnya, karena itu ia cepat mengerahkan
lweekang-nya untuk menahan dan pada waktu Hai Kong Hosiang tiba-tiba melepaskan
pegangan, tongkat itu tertarik oleh hudtim dan melayang kepadanya, maka
cepat-cepat Biauw Suthai mengelak. Akan tetapi dia tidak menyangka sama sekali
bahwa sesudah melepaskan tongkatnya, Hai Kong Hosiang lalu berjungkir balik dan
menyerang dirinya dalam keadaan yang aneh sehingga dia menjadi bingung.
Sebagaimana sudah jadi watak
wanita, dia paling takut diserang dari bawah, maka Biauw Suthai terlalu
mencurahkan perhatian pada dua tangan Hai Kong Hosiang yang bergerak menyerang
dari arah bawah! Ia menggerakkan hudtim-nya untuk menyapu ke bawah dan
menangkis pukulan-pukulan itu, akan tetapi tahu-tahu sepasang kaki Hai Kong
Hosiang bergerak bagaikan dua batang cangkul ke arah pundaknya di kanan kiri
dengan tenaga yang hebat sekali!
Biauw Suthai terkejut hingga
mengeluarkan seruan kaget serta cepat miringkan tubuh. Ia dapat mengelak dari
serangan pada pundak kanannya, akan tetapi secara telak pundak kirinya telah
kena terpukul oleh ujung sepatu dari kaki Hai Kong Hosiang. Terdengar jerit
perlahan dan tubuh Biauw Suthai terhuyung-huyung ke belakang.
Tokouw bermata satu ini telah
menderita pukulan maut yang hebat sekali dan kalau lain orang yang terkena
pukulan ini, pasti pada saat itu juga telah roboh tak bernyawa! Biauw Suthai
yang telah menderita luka dalam yang hebat oleh karena totokan keras di pundak
ini tidak saja membuat tulang punggungnya remuk, akan tetapi hawa pukulan juga
telah menyerang jantungnya, masih kuat melayangkan kebutannya dengan gerakan
terakhir yang hebat ke arah tubuh Hai Kong Hosiang.
Akan tetapi, biar pun
keadaannya berjungkir dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas, tapi
gerakan pendeta gundul ini tidak kalah cepatnya. Kepalanya cepat membuat
gerakan dan tubuhnya tiba-tiba saja rebah di atas tanah hingga sambitan hudtim
itu tidak mengenai sasaran.
Hudtim itu melayang cepat dan
menghantam sebuah batu besar di belakang Hai Kong Hosiang. Terdengar suara
keras karena sebagian besar batu itu hancur terpukul hudtim! Dapat dibayangkan
bahwa apa bila hudtim itu mengenai tubuh manusia maka tentu akan hancur lebur.
Demikian hebatnya tenaga sambitan yang dilakukan dengan menggunakan tenaga
terakhir itu.
Setelah menyambit dengan
hudtim-nya, Biauw Suthai lantas roboh dan ternyata dia telah menghembuskan
napas terakhir. Tubuhnya menggeletak di samping tubuh Pek I Toanio.
Hai Kong Hosiang tertawa
bergelak-gelak, akan tetapi sesudah melakukan pembunuhan hebat ini ia merasa
lebih aman untuk segera meninggalkan tempat itu, oleh karena siapa tahu
kalau-kalau kawan-kawan tokouw itu berada di dekat tempat itu. Bukan karena dia
takut kepada mereka, akan tetapi oleh karena dalam pertempuran dengan Biauw
Suthai tadi dia sudah mengerahkan banyak sekali tenaga dan sudah menjadi lelah,
maka kalau sekarang harus menghadapi musuh tangguh yang lain lagi, hal ini akan
berbahaya. Maka dia segera angkat kaki dan meninggalkan tempat itu.
Sesudah melihat bahwa hwesio
jahat itu benar-benar telah pergi meninggalkan kampung mereka, para petani baru
berani beramai-ramai menghampiri dua mayat yang tergeletak di situ. Mereka
merasa terharu sekali oleh karena kedua wanita itu binasa dalam tugas membela
mereka sekampung.
Karena itu kedua jenazah Biauw
Suthai dan muridnya lalu diurus baik-baik, ditangisi dan dikabungi, kemudian
dikebumikan dengan penuh penghormatan. Bahkan petani tua yang rumahnya dirampas
oleh Hai Kong Hosiang, lalu menyimpan hudtim Biauw Suthai dan pedang Pek I
Toanio yang dipasangnya di dinding rumahnya sebagai perhormatan dan setiap
orang kampung apa bila melihat kedua senjata ini, mereka menundukkan kepala
kepada dua senjata itu untuk memberi hormat…..
********************
Perahu yang ditumpangi oleh
Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa bergerak maju dengan cepat meninggalkan pulau yang
telah berkobar dan dimakan api. Tak lama kemudian, terdengar suara burung merak
sakti dan Lin Lin menjadi girang sekali melihat merak sakti melayang turun
kemudian berdiri di atas perahu. Akan tetapi dia merasa kuatir karena tidak
melihat Nelayan Cengeng. Juga Ma Hoa semenjak tadi melihat ke arah air oleh
karena maklum bahwa suhu-nya tentu akan menyusul dengan berenang.
“Kong-ciak-ko, di mana Kong
Hwat Lojin?” tanya Lin Lin sambil memegang leher merak sakti.
Binatang sakti itu hanya
mengeluarkan suara perlahan dan memandang ke arah pulau, seolah-olah hendak
mengatakan bahwa tadi mereka berpisah di pantai Pulau Kim-san-to. Lin Lin dan
Ma Hoa menjadi gelisah sekali, demikian pula Yousuf. Mereka bertiga lalu
berdiri di pinggir perahu sambil memandang ke air. Tiba-tiba, di bawah cahaya
api yang berkobar besar, mereka melihat bayangan hitam bergerak di permukaan
air.
“Itu tentu Suhu!” kata Ma Hoa
dengan girang sekali dan dia merasa yakin bahwa yang begerak-gerak itu tentu
suhu-nya yang berenang cepat laksana seekor ikan. Mendengar seruan ini, Lin Lin
dan Yousuf juga ikut bergirang hati.
Tiba-tiba terdengar letusan
hebat dari pulau itu sehingga ketiganya terhuyung dan jatuh di dalam perahu.
Bukan main terkejut hati mereka dan sebelum mereka sempat melihat di mana
adanya Nelayan Cengeng, tiba-tiba datang lagi gelombang sebesar gunung yang
membawa perahu mereka terlempar jauh sekali.
Dengan dibantu dua orang gadis
itu, Yousuf mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk mencegah perahu mereka
terbalik dan dalam keadaan tidak berdaya itu mereka terpaksa mengikuti kemana
ombak besar membawa perahu mereka. Jika perahu itu kecil, mungkin mereka masih
sanggup menguasainya di antara permainan ombak, akan tetapi perahu mereka besar
dan berat sehingga mereka benar-benar tak berdaya.
Ombak demi ombak datang
menyerbu dan membawa perahu mereka semakin jauh dari tempat yang mereka tuju.
Perahu itu terus terbawa menuju ke utara. Sampai satu malam penuh mereka
terbawa semakin jauh dan pada keesokan harinya barulah ombak menjadi lemah
sehingga mereka dapat mendayung perahu itu ke arah pantai. Akan tetapi mereka
maklum bahwa mereka telah terdampar jauh sekali dari pantai yang hendak mereka
tuju.
Ketika mereka telah mendarat
dan beristirahat oleh karena lelah sekali, mendadak datang barisan besar ke
tempat itu. Kagetlah Yousuf ketika mendapat kenyataan bahwa barisan ini adalah
tentara Turki yang sengaja datang menyusul rombongan pertama. Pada saat melihat
Yousuf, pemimpin barisan itu lalu berseru,
“Tangkap pengkhianat itu!”
Banyak anggota tentara lalu
menyerbu hendak menangkap Yousuf. Akan tetapi beberapa orang di antara mereka
jatuh tunggang langgang karena dihantam dengan sengit oleh Lin Lin dan Ma Hoa.
Pemimpin barisan merasa kaget
dan heran sekali, kenapa Yousuf dibela oleh dua orang gadis Han yang cantik
jelita. Maka dia lalu tertawa menghina dan memaki,
“Bagus sekali, Yousuf! Kau
tidak saja pandai mengkhianati kerajaan dan menipu kami, akan tetapi juga
pandai membujuk dua orang gadis Han yang cantik untuk menjadi bini muda dan
pembela. Ha-ha-ha...!”
“Bangsat anjing bermulut
jahat!” Lin Lin memaki sengit sebab gadis ini sedikit-sedikit telah mempelajari
bahasa Turki dari Yousuf maka ia dapat mengerti ucapan pemimpin itu.
Dalam kemarahannya, Lin Lin
mencabut pedang dan menyerang pemimpin barisan itu. Akan tetapi, puluhan
tentara Turki lalu maju mengeroyok karena agaknya mereka ini suka sekali untuk
menghadapi dua orang gadis cantik itu. Mereka berniat mempermainkan dua dara
jelita ini, tidak tahunya, begitu Lin Lin bergerak diikuti oleh Ma Hoa,
beberapa orang serdadu terguling mandi darah.
Kini mereka baru tahu bahwa
kedua orang gadis itu adalah pendekar pedang yang luar biasa, maka sambil
berteriak-teriak marah, Lin Lin dan Ma Hoa dikeroyok oleh puluhan orang,
sedangkan ratusan tentara berteriak-teriak di belakang mereka yang mengeroyok.
Yousuf marah sekali dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah berhasil menangkap
dua orang tentara yang diputar-putar di sekelilingnya dan digunakan sebagai
senjata.
Tentara Turki terkejut sekali
dan mereka menjadi jeri karena sudah tahu bahwa Yousuf merupakan seorang jagoan
terkenal di negeri mereka, maka dengan amukan Yousuf ini, kepungan mengendur
dan pengeroyok-pengeroyok berkelahi dengan hati-hati.
Tiba-tiba terdengar suara
nyaring dari angkasa dan tahu-tahu seekor burung merak yang indah dan besar,
menyambar-nyambar turun dan setiap kali sayapnya menyampok, maka seorang Turki
segera terpukul roboh tanpa dapat bangun kembali. Amukan burung merak ini
ternyata lebih hebat dari pada amukan Yousuf.
Menghadapi empat orang lawan
yang tangguh luar biasa ini, pengeroyokan tentara Turki menjadi kacau balau dan
Yousuf yang tidak saja segan untuk melawan serta mengamuk bangsa sendiri akan
tetapi juga berpikir bahwa tidak mungkin mereka harus menghadapi jumlah lawan
yang sedikitnya ada lima ratus orang itu, lalu berseru,
“Mari kita pergi!”
Lin Lin dan Ma Hoa mengerti
pula bahwa jumlah musuh terlalu banyak, karena itu tanpa membantah, mereka
cepat-cepat ikut melompat pergi, melalui kepala pengeroyok sambil menggulingkan
tiap penghalang. Juga Sin-kong-ciak lalu memekik nyaring dan mengikuti ketiga
orang itu. Sebenarnya burung merak ini merasa kecewa karena baru enak-enak
membabat lawan-lawannya yang empuk itu, kini diperintahkan untuk pergi.
Ilmu berlari cepat dari ketiga
orang itu cukup tinggi untuk memungkinkan mereka segera lari meninggalkan
mereka yang mengejar sambil berteriak-teriak, dan tak lama kemudian mereka
bertiga tak mendengar lagi suara teriakan barisan Turki yang mengejar itu.
Merak sakti tetap terbang di atas mereka dan ketika Yousuf berhenti, merak itu
pun melayang turun dan membelai-belai tangan Lin Lin dengan leher dan
kepalanya.
“Lin Lin dan Ma Hoa,” kata
Yousuf yang kini juga menyebut nama Ma Hoa biasa saja oleh karena orang tua ini
sudah menganggap dia sebagai keluarga sendiri. “Kalian tahu bahwa aku
dikejar-kejar dan dimusuhi, oleh karena dianggap menipu dan mengkhianati
mereka.” Ia menghela napas panjang. “Maka, demi keselamatan kalian berdua,
kalian kembalilah ke pedalaman Tiongkok untuk mencari kawan-kawanmu dan Nelayan
Cengeng. Biarkan aku melarikan diri dan bersembunyi di gunung sebelah utara
itu. Kalau kalian bersama dengan aku maka kalian hanya akan menghadapi bahaya
saja.”
“Ayah, janganlah kau berkata
begitu,” bantah Lin Lin. “Bagiku, kau adalah ayahku sendiri, dan ke mana kau
pergi, aku sudah sewajarnya ikut.”
“Yo-peh-peh,” kata Ma Hoa yang
kini menyebut peh-peh atau uwa kepada Yousuf, “benar seperti yang dikatakan Lin
Lin. Semenjak berlayar kita telah bersama-sama dan aku pun menganggap kau
sebagai orang tua sendiri, maka kenapa sedikit bahaya saja membuat kita harus
berpisah? Marilah Peh-peh bersama aku dan Adik Lin Lin kembali ke selatan
kemudian mencari Suhu dan kawan-kawan lainnya. Ada pun tentang segala bahaya
yang menyerang dirimu, akan kita hadapi bertiga, bahkan berempat dengan
Sin-kong-ciak.”
Yousuf merasa terharu sekali.
Dia lalu menggunakan kedua tangannya untuk memegang tangan Lin Lin dan Ma Hoa.
“Kalian memang anak-anak baik
dan berhati mulia. Semenjak dahulu aku hidup sebatang kara, setelah bertemu
dengan kalian, seakan-akan mendapat kurnia besar sekali. Takkan ada di dunia
ini perkara yang lebih kusukai dari pada hidup di dekat kalian dan
sahabat-sahabat baik seperti Kong Hwat Lojin, akan tetapi kalian anak-anak muda
harus tahu pula bahwa aku adalah seorang Turki. Apakah mungkin aku harus
melawan serta membunuh tentara bangsaku sendiri? Ahh, itu tidak mungkin. Lebih
baik untuk sementara waktu aku bersembunyi di tempat sunyi dan kelak apa bila
tentara Turki sudah kembali ke negeriku dan keadaan sudah aman kembali, barulah
aku menyusul ke selatan dan mencari kalian.”
Akan tetapi Lin Lin merasa
tidak tega untuk meninggalkan Yousuf dalam keadaan sedang dikejar-kejar itu.
Bagaimana kalau dia diketemukan dan akhirnya sampai mati?
“Tidak, Ayah. Biarlah aku ikut
kau bersembunyi untuk sementara waktu, dan nanti kalau keadaan telah aman
kembali, kita bersama menuju ke selatan mencari kawan-kawan.”
Ma Hoa yang berpikir bahwa
keadaan itu tak akan berlangsung lama, oleh karena setelah ternyata bahwa Pulau
Kim-san-to terbakar habis, tentu tentara Turki itu tidak mau tinggal
berlama-lama di tempat yang bukan menjadi daerah mereka ini, maka ia segera
berkata,
“Memang demikian sebaiknya,
Yo-peh-peh. Lin Lin dan aku akan ikut kau bersembunyi untuk beberapa pekan,
atau beberapa bulan kalau memang keadaan menghendaki.”
Yousuf merasa girang sekali
dan wajahnya yang agak kecoklat-coklatan itu berseri-seri gembira. “Bagus,
anak-anakku, kalian benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali. Jangan
kalian kuatir, di lereng salah satu bukit dekat tapal batas Tiongkok, aku dulu
telah meninggalkan sebuah rumah yang mungil dan indah. Mari kita pergi ke sana
dan untuk sementara waktu kita tinggal di tempat itu, di mana pemandangannya
indah dan hawanya sejuk. Tentang biaya, jangan kuatir!” Sambil berkata demikian
Yousuf pun mengeluarkan sekantung emas yang disimpan di dalam saku dalam
bajunya.
Demikianlah, ketiganya,
berempat dengan Merak Sakti, lalu segera menuju ke bukit yang dimaksudkan oleh
Yousuf.....