Pendekar Remaja Jilid 11-15

Kita tinggalkan dulu Lie Siong dan Lilani yang melakukan pelayaran dalam usaha mereka mencari tempat tinggal Kwee An atau Pendekar Bodoh agar mendapatkan tempat tinggal dan tempat menumpang bagi gadis itu.
Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------

Pendekar Remaja Jilid 11-15

Kita tinggalkan dulu Lie Siong dan Lilani yang melakukan pelayaran dalam usaha mereka mencari tempat tinggal Kwee An atau Pendekar Bodoh agar mendapatkan tempat tinggal dan tempat menumpang bagi gadis itu. Marilah kita menengok keadaan Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, Lin Lin, yang melakukan perjalanan hingga perbatasan utara, bahkan memasuki daerah Mongol untuk mencari Ang I Niocu!

Dengan hati dipenuhi keharuan dan kegelisahan Cin Hai dan Lin Lin hendak kembali ke selatan perbatasan Mongol di mana dahulu Ang I Niocu dan Lin Lin pernah mengadakan perantauan. Mereka mencari keterangan di sana-sini, mengadakan kunjungan ke banyak tempat dan pegunungan, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.

Pada suatu hari, ketika dengan putus harapan Cin Hai serta Lin Lin hendak kembali ke selatan dan sampai di dalam sebuah hutan, mereka mendengar orang bernyanyi dengan suara nyaring.

Ahh, kipas sial, kipas butut!
Apakah jasamu terhadapku?
Hanya mendatangkan nama besar yang kosong.
Menambah musuh menjauhkan sahabat.
Kau tidak mampu merenggut nyawaku.
Yang jemu dan telah lama terkurung.
Kau tetap hanya menghibur badan.
Mengusir hawa panas mendatangkan angin.
Ahh, kipas butut, kipas sial!

Hutan itu liar dan sunyi, maka tentu saja Cin Hai dan Lin Lin terheran-heran mendengar nyanyian ini, karena selain kata-katanya amat aneh, juga suara itu nyaring sekali hingga menggema di seluruh hutan!

Suami isteri ini saling pandang dan cepat menghampiri arah datangnya suara. Mereka tertegun melihat seorang kakek tua sekali tengah duduk di bawah sebatang pohon besar sambil memakai sebuah kipas yang benar-benar sudah butut untuk mengipasi tubuhnya yang gemuk.

Pakaian kakek ini hampir telanjang tidak terurus dan tubuhnya sudah kotor penuh debu dan lumpur. Kalau saja tidak melihat kipas yang terbuat dari pada kulit harimau itu tentu suami isteri pendekar ini tidak mengenal orangnya. Cin Hai yang lebih dulu mengenalnya dan segera berseru keras,

“Swie Kiat Siansu! Locianpwe, mengapa kau berada di sini?” Dia kemudian menghampiri bersama isterinya, dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

Kakek tua renta yang gemuk itu memandang dengan bermalas-malasan, kemudian dia tertawa bergelak dan memukul-mukul kepalanya dengan kipasnya.

“Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh...! Agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadaku maka di saat terakhir masih dapat bertemu dengan engkau! Alangkah sempitnya dunia ini? Dan alangkah cepatnya sang waktu berlari.” Ia memandang kepada Lin Lin dan berkata pula, “Agaknya kalian sedang menderita, akan tetapi jangan ceritakan hal itu kepadaku, aku sudah cukup kenyang mendengar penderitaan manusia sehingga menjadi bosan. Ehhh, Nyonya muda, coba kau buatkan masakan yang cocok untukku, nanti kuberikan kipasku yang butut ini kepadamu.”

Lin Lin diam-diam merasa mendongkol bukan main. Untuk apa kipas butut itu baginya? Akan tetapi dengan muka girang Cin Hai berkata kepadanya,

“Kau tangkaplah seekor kelinci dan panggang itu untuk Locianpwe.”

Lin Lin memandang kepada suaminya, akan tetapi karena ia telah percaya penuh kepada suaminya yang sesungguhnya tidak bodoh itu, dia pun segera bangkit berdiri dan berlari memasuki hutan.

“Ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, kau baik sekali. Berapa orangkah anakmu sekarang?”

“Dua orang, Locianpwe, seorang anak perempuan dan seorang lagi anak laki-laki. Putera teecu itu kini sedang belajar di bawah asuhan Pok Pok Sianjin.”

Kembali kakek gemuk itu tertawa bergelak-gelak. “Bagus, bagus! Setan tua dari barat itu agaknya tak mau mampus sambil membawa kepandaiannya yang akan membikin pusing saja di neraka! Baiklah, kalau begitu, aku pun akan meninggalkan kipas ini untuk anakmu yang perempuan itu. Akan tetapi aku harus makan dulu, telah dua pekan lebih aku tidak makan sama sekali!” Sambil berkata begitu, kakek gemuk ini lalu menggunakan tangan kanannya untuk menekan tanah dan berpindah tempat duduk.

Terkejutlah Cin Hai ketika melihat bahwa kakek ini ternyata sedang menderita penyakit yang hebat sekali, agaknya tangan dan kaki kirinya sudah lumpuh tak dapat digerakkan lagi! Sungguh mengherankan, dalam keadaan demikian apa lagi ditambah dengan dua pekan tidak makan, kakek ini masih saja nampak gemuk dan sehat!

“Maafkan, Locianpe. Apakah Locianpwe menderita sakit?”

Swie Kiat Siansu mengangguk-angguk sambil menghela napas. “Agaknya dosaku terlalu besar sehingga sebelum mampus harus menderita lebih dulu. Setelah tua, darahku jalan terlampau cepat sehingga memecahkan urat-urat syaraf dan membuat semua urat-urat di setengah tubuhku pecah-pecah. Akan tetapi tidak apa, dalam keadaan sakit atau tidak, kematian akan datang juga akhirnya!”

Cin Hai lalu teringat akan keadaan orang tua ini pada belasan tahun yang lalu. Swie Kiat Siansu adalah seorang di antara ‘empat besar’ yang menjagoi seluruh daratan Tiongkok. Pada masa itu, Bu Pun Su (guru Cin Hai dan Lin Lin) dan Hok Peng Taisu (guru Ma Hoa) merupakan tokoh besar dari selatan dan timur, ada pun Pok Pok Sianjin adalah tokoh dari barat. Tokoh dari utara yang paling terkenal adalah Swie Kiat Siansu inilah!

Keempat orang ini, yakni Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swie Kiat Siansu terkenal sebagai empat besar dan kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi hingga jarang bertemu tandingan! Hanya sayang sekali bahwa Swie Kiat Siansu telah salah dalam memilih murid. Dua orang muridnya yang bernama Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu menjadi perwira-perwira Mongol dan berwatak jahat sekali. Dulu Swie Kiat Siansu ini bersama Pok Pok Sianjin pernah mengadakan pibu (adu kepandaian silat) di puncak Hoa-san menghadapi Hok Peng Taisu dan Bu Pun yang diwakili Pendekar Bodoh.

Kini melihat keadaan orang tua ini, diam-diam Cin Hai menghela napas dan teringatlah ia bahwa ia sendiri kelak tak akan terlepas dari pada pengaruh usia tua dan kematian. Akan tetapi, mendengar bahwa kakek ini hendak menyerahkan kipasnya kepada puterinya, ia menjadi girang sekali. Menyerahkan senjata berarti menyerahkan atau menurunkan ilmu silat, dan kipas kakek ini memang merupakan senjatanya yang paling lihai dan yang telah membuat namanya menjadi terkenal sekali.

Tak lama kemudian, Lin Lin datang sambil membawa dua ekor kelinci putih yang gemuk. Ia tertawa manis sekali dan berkata,

“Aku sengaja menangkap keduanya supaya pasangan ini tidak terpisah, biar pun sudah berpindah tempat ke dalam perut!”

Swie Kiat Siansu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! Pantas saja kau dan suamimu Pendekar Bodoh ini dapat hidup rukun dan damai, tidak tahunya kau dapat menghargai kesetiaan dan kecintaan! Lekas masak... lekas masak... aku tidak tahan lagi menghadapi cacing-cacing perutku!”

Cin Hai segera membuat api dan setelah kedua kelinci itu disembelih serta dibersihkan, dagingnya kemudian dipanggang. Tidak lama kemudian sudah tercium bau yang sedap dan menimbulkan selera. Swie Kiat Siansu menahan air liurnya ketika tercium bau sedap ini olehnya.

“Aduh, cacing perutku makin menggeliat-geliat. Lekas bawa ke sini!”

Lin Lin tersenyum senang, karena ucapan ini secara tidak langsung menyatakan pujian atas pekerjaannya. Wanita mana pun juga di dunia ini memiliki dua macam kesenangan yang sama, yaitu mendapat pujian tentang kecantikannya atau kelezatan masakannya. Ia lalu membawa daging yang sudah merah dan mengebulkan uap dan aroma kesedapan itu kepada Swie Kiat Siansu.

Kakek tua yang hanya dapat menggerakkan tangan kanannya itu cepat menerima daging itu dan makan dengan amat lahapnya. Cin Hai dan Lin Lin memandang kagum karena biar pun daging itu baru saja keluar dari api dan amat panas, akan tetapi kakek itu dapat memakannya demikian enak dan sekali-kali tidak kelihatan kepanasan!

Tanpa menawarkan kepada Cin Hai dan Lin Lin yang terpaksa memandang saja sambil menelan ludah, kakek itu makan terus dengan enak dan lahap sekali sampai lenyaplah daging dua ekor kelinci itu berpindah ke dalam perutnya!

Swie Kiat Siansu kemudian menggunakan tangan kanannya yang masih penuh dengan minyak untuk mengelus-elus perutnya yang gendut, lalu dia tertawa dan berkata,

“Ahh, yang senang saja kalian sepasang ketinci tinggal di dalam perutku!” ia tertawa lagi, kemudian berkata. “Sayang tidak ada arak...”

“Jangan khawatir, Locianpwe, kebetulan teecu membawa bekal arak,” kata Cin Hai yang cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalannya.

Berserilah wajah kakek itu. “Bagus, bagus! Kau baik sekali! Ahh, benar-benar Thian telah memimpin kalian suami isteri ke tempat ini untuk menyenangkan hatiku di saat terakhir ini dan untuk menerima warisan dariku!”

Dia lalu minum arak itu dan nampak senang sekali. Tiap kali habis menenggak arak, dia menjulurkan lidah dari mulut dan diputarnya lidah itu menghapus kedua bibirnya dengan puas sekali.

Lin Lin juga merasa girang ketika mendengar bahwa kakek itu hendak menurunkan ilmu silat dan kepandaian memainkan senjata kipas itu kepada puterinya, maka ia pun bersiap sedia untuk memasak apa saja yang dibutuhkan kakek ini.

Dua pekan lebih Cin Hai dengan tekun mempelajari ilmu silat tinggi dari Swie Kiat Siansu untuk kemudian dipelajarkan kepada puterinya. Karena Cin Hai telah memiliki dasar ilmu silat tinggi serta mempunyai pengertian dasar dan pokok segala macam ilmu silat, maka setelah memperhatikan dan mempelajari selama dua pekan, dia sudah dapat menerima semua kepandaian itu.

Pada malam yang ke lima belas, setelah memberikan keterangan-keterangan terakhir dan memberikan kipas itu kepada Cin Hai, Swie Kiat Siansu berkata puas, “Nah, kini bebaslah aku dari kipas sial dan butut itu! Ehh, Nyonya muda, tolong kau panggangkan sepasang kelinci lagi untukku!”

“Baik, Locianpwe,” jawab Lin Lin yang selama itu selalu mengurus keperluan Swie Kiat Siansu yang membawa mereka tinggal di sebuah goa di hutan itu.

Sesudah sepasang kelinci didapatkan dan dagingnya dimasak, kembali kakek itu makan dengan enaknya dan menghabiskan persediaan arak milik Cin Hai yang tinggal seguci lagi. Sesudah makan kenyang, dia lalu menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas tanah, berkata, “Besok kalian boleh pergi!” dan sebentar kemudian ia tidur mendengkur!

Cin Hai dan Lin Lin teringat akan Bu Pun Su, guru mereka yang juga memiliki adat yang sangat aneh seperti kakek ini pula. Dengan perlahan mereka lalu keluar dari goa itu dan makan buah-buahan yang dikumpulkan oleh Lin Lin.

“Besok kita disuruh pergi,” kata Cin Hai. “Karena Ang I Niocu tidak ada kabarnya, lebih baik kita kembali mencari anak kita dan mampir di Beng-san menengok putera kita.”

Teringat akan puteri mereka, Sie Hong Li atau Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti, Lin Lin tiba-tiba kembali merasa berduka sekali dan menunda makannya, memandang dengan mata melamun ke tempat jauh. Nampak dua titik air mata perlahan-lahan mengalir turun membasahi pipinya.

“Isteriku, janganlah kau berduka. Percayalah bahwa Thian pasti akan melindungi Lili,” Cin Hai menghibur sambil menepuk-nepuk pundak isterinya. Mendengar hiburan ini, Lin Lin merasa semakin terharu dan sedih sehingga ia lalu menangis terisak sambil menjatuhkan kepalanya di atas pundak suaminya.

Cin Hai membiarkan saja karena untuk melepaskan kedukaan, memang tidak ada yang lebih baik dari pada tangis dan air mata. Karena besok pagi mereka harus pergi, maka sekali lagi Cin Hai menghafalkan dan melatih ilmu silat yang diturunkan oleh Swie Kiat Siansu.

Malam itu mereka berada di luar goa dan melatih ilmu silat dengan amat rajinnya. Dasar suami isteri ini memang gemar sekali akan ilmu silat, maka berlatih semalam penuh di bawah sinar bulan itu merupakan hiburan yang sangat baik bagi kedukaan hati mereka akibat lenyapnya puteri mereka.

Akan tetapi, alangkah kagetnya sepasang suami isteri ini ketika pada keesokan harinya mereka memasuki goa tempat tinggal Swie Kiat Siansu, mereka mendapatkan kakek itu telah menggeletak tak bergerak dan tak bernapas lagi! Ternyata setelah makan kenyang dan tidur, kakek yang usianya sudah seratus lebih dan yang terserang penyakit berat ini telah menghembuskan napas terakhir, hal yang sudah lama dinanti-nantinya!

Dengan penuh penghormatan, Cin Hai dan isterinya lalu mengurus jenazah itu, menggali tanah dan mengubur jenazah itu sebagaimana mestinya. Mereka bersembahyang secara sederhana, menunda keberangkatan mereka sampai pada keesokan harinya lagi untuk memberi penghormatan terakhir. Kalau kiranya manusia mati masih mempunyai roh, dan apa bila rohnya ini pandai melihat dan berpikir, maka roh Swie Kiat Siansu tentu akan merasa berterima kasih sekali melihat sepasang suami isteri ini.

Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Hai dan isterinya meninggalkan tempat itu dan langsung menuju ke selatan. Di sepanjang jalan tiada hentinya mereka berdua mencari keterangan dan menyelidiki tentang Ang I Niocu dan juga tentang Bouw Hun Ti.

Tanpa mendengar sesuatu pun keterangan tentang kedua orang yang dicari-carinya itu, akhirnya mereka sampai di Beng-san dan mendaki gunung itu dengan cepat.

Baru saja mereka berdua tiba di lereng gunung, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring memanggil mereka. “Ayah... lbu...!”

Cin Hai dan Lin Lin cepat menengok dengan wajah berubah, dan alangkah kaget, heran serta girang hati mereka ketika melihat di atas sebuah puncak berdiri Lili bersama Hong Beng dan seorang anak laki-laki lain lagi!

Lin Lin berlari seperti terbang cepatnya ke arah anaknya itu sambil menangis. Cin Hai juga berlari mengejar isterinya, akan tetapi kali ini dia kalah cepat! Kegirangan agaknya sudah membuat nyonya muda itu seakan-akan terbang saja dan ilmu berlari cepatnya mendadak menjadi makin hebat.

Juga Lili dan Hong Beng berlarian turun dari puncak. Sesudah saling berhadapan, Lin Lin lalu menubruk Lili sambil mencium anaknya itu dan menangis tersedu-sedu.

“Lili... Lili... anak nakal... kau selamat, Nak?” dengan megap-megap Lin Lin bertanya.

Lili juga menangis saking girangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian dia menengok kepada ayahnya yang juga sudah datang ke situ lalu tersenyum!

“Ayah dan Ibu tidak marah...?” tanyanya.

“Mengapa marah? Tidak, anakku, tidak!” jawab Cin Hai.

“Mengapa Kongkong tidak ikut datang?” tanya lagi Lili dan mendengar pertanyaan ini, Lin Lin tiba-tiba menangis lagi.

Hong Beng maju mendekati ibunya dan melihat ibunya menangis sedih sekali ini, dia lalu menyentuh pundak ibunya yang masih berlutut memeluk Lili. “Ibu, apakah yang terjadi dengan Kongkong?”

Oleh karena Lin Lin tidak dapat menjawab, Cin Hai kemudian maju dan berkata tenang, “Kongkong-mu sudah ditewaskan oleh orang-orang yang menculik Lili. Karena itu kalian belajarlah baik-baik agar kelak dapat mencari musuh besar ini.”

Lili yang sangat sayang kepada engkong-nya, menjerit keras ketika mendengar berita ini. “Apa...?!” Ia memandang kepada ayahnya dengan mata bernyala. “Engkong di... dibunuh oleh bangsat itu...?”

Ketika Cin Hai menganggukkan kepalanya, Lili merangkul ibunya dan menangis keras. Ada pun Hong Beng yang juga sangat sayang kepada kongkong-nya itu, berdiri dengan muka muram. Pemuda cilik ini mengepal tinju dan membanting-banting kakinya sambil berkata perlahan,

“Jahanam...! Jahanam...!” Akan tetapi ia tidak mengeluarkan air mata.

Diam-diam Cin Hai menjadi bangga melihat ketenangan dan kekuatan hati puteranya ini, maka dia lalu menarik tangan Lili, mendekapnya dan berkata halus,

“Lili, lihat kakakmu itu. Kau tidak boleh berhati lemah dan menangis seperti seorang anak cengeng! Kewajibanmulah untuk kelak membalas sakit hati kongkong-mu.”

Mendengar ucapan ayahnya ini, bangkitlah semangat Lili dan dengan muka masih basah oleh air mata ia berkata, “Ayah, aku bersumpah untuk mencari keparat Bouw Hun Ti dan menghancurkan kepalanya!”

Lin Lin juga sudah dapat menguasai keharuan hatinya dan nyonya muda ini lalu teringat kepada pemuda cilik yang tadi bersama kedua anaknya. Ternyata pemuda itu masih berdiri tidak jauh dari mereka dan hanya berdiam saja sambil memandang dengan mata berduka.

Anak ini adalah Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang menjadi murid Sin-kai Lo Sian atau kini menjadi suheng dari Lili. Melihat betapa Lili dan Hong Beng berjumpa kembali dengan kedua orang tua mereka, hatinya menjadi perih dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri yang sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya.

“Ehh, anak itu siapakah?” tanya Lin Lin kepada Lili.

Baru Lili teringat kepada suheng-nya ini dan dia lalu melambaikan tangan kepadanya.

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”

“Kam Seng, kau kesinilah bertemu dengan ayah bundaku!”

Dengan malu-malu Kam Seng lalu bertindak maju dan memberi hormat sambil menjura kepada Cin Hai dan Lin Lin.

“Dia bernama Thio Kam Seng, murid dari Suhu,” kata Lili.

“Suhu? Siapakah Suhu-mu?” tanya Cin Hai terheran.

Lili lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh Bouw Hun Ti, kemudian tertolong oleh Sin-kai Lo Sian dan dibawa ke atas Gunung Beng-san ini dan kemudian dilatih oleh Mo-kai Nyo Tiang Le, suheng dari Lo Sian atau supek mereka.

Cin Hai dan Lin Lin merasa girang sekali mendengar penuturan ini dan mereka sangat berterima kasih kepada Sin-kai Lo Sian, pengemis sakti yang namanya sudah pernah mereka dengar itu.

“Sekarang di mana dia, penolong dan suhu-mu itu? Kami harus bertemu dengan dia untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lin Lin.

“Dia sudah turun gunung, Ibu. Katanya hendak pergi ke Shaning untuk mencari Ayah dan Ibu, melaporkan keadaanku yang sudah tertolong.”

Pada waktu itu, dari puncak gunung nampak bayangan orang yang cepat sekali berlari mendatangi.

“Nah, itu dia Supek datang!” kata Kam Seng ketika melihat bayangan itu.

Cin Hai dan Lin Lin cepat-cepat menengok. Mereka melihat seorang yang berpakaian sebagai pengemis datang berlari cepat sekali dari atas.

Mo-kai Nyo Tiang Le biar pun sudah sering kali mendengar nama Pendekar Bodoh akan tetapi belum pernah bertemu muka, maka ia tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Dari atas, dia tadi melihat seorang laki-laki dan seorang wanita bercakap-cakap dengan tiga orang anak itu, maka cepat ia menghampiri karena ia berkhawatir kalau-kalau kedua orang itu adalah orang-orang jahat. Pada saat melihat dua orang itu bersikap gagah dan berwajah elok, ia lalu bertanya kepada Lili,

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”

“Supek, mereka ini adalah ayah bundaku!” kata Lili dengan girang dan tersenyum, sama sekali lenyap rasa dukanya yang tadi! Memang watak gadis cilik ini benar-benar sama dengan ibunya.

Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali mendengar pengakuan ini. Dia memandang dengan penuh perhatian kepada Cin Hai yang sementara itu bersama isterinya sudah menjura kepadanya untuk memberi hormat.

“Ahh, jadi kau ini adalah Pendekar Bodoh yang bernama Sie Cin Hai? Maaf, maaf! Aku tak mengenal orang pandai!” Nyo Tiang Le cepat menjura dan membalas penghormatan itu.

“Nyo Loheng (Saudara Tua Nyo) terlalu sungkan!” jawab Cin Hai merendah. “Sebetulnya justru kami berdua yang harus menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan hatimu, terutama sekali kepada adikmu yang sudah menolong jiwa puteri kami. Mudah-mudahan saja budi ini akan terbalas oleh Thian apa bila kami tiada kesempatan untuk membalas semuanya.”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa terbahak-bahak dengan gembira sekali, sehingga Lili dan Kam Seng memandang dengan heran karena jarang mereka menyaksikan supek mereka ini sedemikian gembiranya.

“Pendekar Bodoh, kau seperti anak kecil saja!” kata Pengemis Iblis Mo-kai Nyo Tiang Le setelah tertawa bergelak. “Di antara kita masih perlukah bicara tentang budi? Sekarang Lili telah bertemu dengan kalian, suami isteri pendekar yang kepandaiannya tinggi sekali, maka sudah cukup lama kiranya aku tinggal di tempat ini mengganggu Pok Pok Sianjin! Lili, yang baik-baiklah kau belajar ilmu kepandaian supaya kelak jangan sampai terculik orang lagi. Ha-ha-ha-ha! Kam Seng, kau ikutlah padaku turun gunung!” Setelah berkata demikian, Mo-kai menyambar lengan tangan Kam Seng dan berlari pergi dari situ dengan cepat.

Lili tertegun menyaksikan sikap ini, akan tetapi Cin Hai hanya tersenyum saja kemudian berkata, “Memang orang-orang kang-ouw selalu mempunyai watak yang sangat aneh. Kita harus catat nama Mo-kai Nyo Tiang Le itu sebagai seorang sahabat baik. Marilah kita naik ke puncak untuk menghadap Pok Pok Sianjin!”

Mereka beramai-ramai lalu pergi ke atas puncak dan menghadap Pok Pok Sianjin yang menerima kedatangan mereka dengan girang.

“Pendekar Bodoh, kebetulan sekali kau dan isterimu sudah datang! Apakah kalian telah bertemu dengan Sin-kai Lo Sian?”

Setelah memberi hormat, Cin Hai menjawab, “Belum, Locianpwe.” Ia lalu menceritakan perjalanannya mencari Lili, dan betapa mereka bertemu pula dengan Swie Kiat Siansu yang meninggal dunia karena penyakit dan usia tua.

Pok Pok Sianjin menarik napas panjang. “Ahh, semua kawan-kawan telah meninggalkan aku! Mereka sudah bebas dan senang! Tinggal aku seorang tua bangka yang harus mengalami penderitaan entah berapa tahun lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin tidak lama tinggal di tempat itu, hanya tiga hari, ini pun karena Hong Beng selalu menahan mereka. Akhirnya mereka pun turun gunung bersama Lili, setelah memesan kepada Hong Beng untuk belajar ilmu dari Pok Pok Sianjin dengan giat dan rajin.

Pemuda cilik ini diam-diam merasa sangat kesepian sesudah adik perempuannya turun gunung mengikuti ayah ibunya. Akan tetapi Hong Beng memang seorang pemuda yang pendiam dan selain berwatak tenang, dia juga memiliki kekuatan batin yang cukup tabah. Kesunyiannya ini lalu dia tutup dengan ketekunannya belajar ilmu silat sehingga Pok Pok Sianjin merasa makin gembira menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang berbakat ini.

Demikianlah, apa bila Sie Hong Beng dengan rajin mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, Lili juga menerima latihan ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan ia menerima pula Ilmu Silat Kipas Maut yang diwariskan oleh Swie Kiat Siansu untuknya. Walau pun Lili memiliki watak yang lincah dan tidak dapat tekun belajar, akan tetapi apa bila dia teringat akan kematian kakeknya, dia lalu mengerahkan semangatnya dan mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga ayah bundanya merasa girang juga melihat perubahan ini…..

********************

Seperti telah dikatakan oleh Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari sangat pesatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun terbang berlalu dengan cepatnya sehingga kita sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah tua!

Memang aneh kalau direnungkan. Apa bila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan atau pun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, maka nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat memperhatikan jalannya waktu?

Kita semua tidak merasa dan sungguh pun masa kanak-kanak kadang kala masih suka terbayang di depan mata, peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua. Belasan tahun itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja!

Siapa bilang kalau hidup ini lama? Memang benarlah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau sudah terlambat!

Tak terasa lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili sudah berusia delapan belas tahun dan dia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak gembira dan suka tertawa. Matanya kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan ibunya, Lin Lin, pada waktu muda!

“Kalau aku melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!” kata Cin Hai sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya.

Lin Lin yang biar pun sudah berusia hampir empat puluh tahun tapi masih nampak cantik itu, mengerling sambil cemberut manja.

“Ah, kau ini memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?”

Cin Hai tertawa karena dia sudah maklum sekali bahwa isterinya ini biar pun di mulutnya mengomel akan tetapi di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.

Lin Lin memandang kagum lalu menghela napas. “Betapa pun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah dia kelak menikah?”

“Hal itu tak perlu tergesa-gesa,” jawab suaminya dengan tenang, “ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!”

Lin Lin mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat betapa indahnya gerakan Sian-li San-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang dia mainkan itu!”

Cin Hai memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu kini sedang melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang sangat indah dan cepat, dan gerakan Sian-li San-hwa adalah sebuah di antara tipu-tipu ilmu silat ini. Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia lalu membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

Anak gadisnya ini sungguh mengagumkan sekali, dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah gerangan yang patut menjadi menantunya. Dia merasa puas dengan ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi untuk Lili, dia belum dapat memilih seorang calon menantu yang cukup sesuai dan cocok.

Sementara itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya. Dia segera menengok dan berlari-lari menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja dia lalu duduk di dekat ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan sapu tangannya untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.

“Ibu, sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan padaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri.”

“Tak baik bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,” kata Cin Hai.

Lili merengut. “Ahhh…, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku. Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga sering kali pergi merantau menambah pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!”

Cin Hai memandang dengan muka bersungguh-sungguh. “Lili, dahulu itu lain lagi, karena keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, ayah dan ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan turun tangan dan mengganggumu.”

Lili berdiri dan dengan sikap menantang berkata keras, “Aku tidak takut! Aku bukan puteri ayah dan ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang jahat? Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang kupelajari dengan susah payah tidak akan ada artinya apa bila tidak dipergunakan demi kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah pendekar namanya!”

Cin Hai tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini sering kali menggunakan ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!

“Sudah, bicara dengan kau takkan ada orang yang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Soso-mu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan ke sana.”

Lili makin cemberut. “Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin menggunakan kepandaian yang telah kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku... aku akan minggat!”

Cin Hai melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.

“Hussh, Lili! Jangan kau berkata begitu!”

Lili memandang pada ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata mengingatkan, “Ibu, apakah kau sudah lupa bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu? Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!”

Lin Lin tidak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak berdaya).

“Lili,” kata Cin Hai menolong isterinya, “Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita untuk menyusulku dalam usaha untuk membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah membasmi keluarga ibumu.”

“Apa bedanya? Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam pada keparat Bouw Hun Ti!” Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata, “Ahh, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang. Kalau Beng-ko lain lagi, ia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka hatinya! Ahh, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki saja!”

Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak ini lebih keras kepala dari pada ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain lagi. Hebat, bisik hatinya, anak ini bahkan lebih gagah dan bersemangat dari pada ayahnya!

“Sudahlah, Lili, kau jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!” kata Cin Hai. “Baiklah, kami akan merundingkan hal ini.”

Setelah Lili kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.

“Bagaimana baiknya?” bertanya Lin Lin dengan hati gelisah “Bila dia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak berbahaya?”

“Berbahaya sih tidak,” suaminya menjawab setelah berpikir keras. “Kepandaian Lili sudah lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tak hanya kepandaian silat tinggi saja yang mampu menjaga keselamatan tubuh. Banyak akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya dari pada kepandaian silat lawan.”

“Kalau begitu, kita harus melarangnya pergi!” kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.

Pendekar Bodoh menggelengkan kepalanya. “Melarang pun tidak benar. Anak itu bahkan lebih keras kepala dari pada engkau!”

“Hmm, jadi aku keras kepala, ya? Kenapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?”

Cin Hai tertawa. “Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu. Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini. Kita berdua sudah cukup tua, bukan anak-anak lagi.”

“Kau yang mulai!”

“Sebaiknya begini saja. Mulai kini kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw supaya matanya terbuka terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau dia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita dapat memberi perkenan kepadanya untuk pergi merantau dengan dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, tentu dia tidak akan berani pergi terlalu jauh.”

Karena tidak dapat mencari jalan lain yang lebih baik, terpaksa Lin Lin pun menyatakan persetujuannya. Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Dia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para penjahat).

Sampai hampir dua pekan dia menerima wejangan dan nasehat, memperhatikan semua cerita dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Ia lalu mempelajari pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal mereka, melalui Propinsi Honan kemudian memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-an yang terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.

Lin Lin yang amat sayang pada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi nasehat-nasehat supaya dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang sangat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili.

Gadis itu membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan juga obat-obat untuk menjaga diri. Pedang Liong-coan-kiam pemberian ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya berkembang-kembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari sutera mahal, sepatunya berkembang hingga dia nampak cantik jelita dan gagah sekali. Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.

“Ayah, Ibu, aku berangkat!” katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.

“Hati-hatilah di perjalananmu,” kata Cin Hai.

“Sampaikan salam kami kepada Kwee-pekhu sekeluarga,” pesan Lin Lin.

Kemudian berangkatlah Lili. Dia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis tampak berseri-seri, sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.

Apakah ia akan langsung menuju ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh ayah ibunya? Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasehat orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal pekhu-nya (uwaknya) di Tiang-an. Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sebenarnya adalah untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-an hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan pergi!

Oleh karena inilah maka dia segera membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning! Bukan Tiang-an yang ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin! Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutan, kelenteng milik Ban Sai Cinjin di mana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong Thio Kam Seng!

Dulu ia suka menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu. Akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin meski pun raja iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!

Keadaan Lili yang pakaiannya begitu mewah, cantik jelita, gadis muda yang melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi melihat cara dia naik kuda serta melihat gagang pedangnya yang tergantung pada pinggangnya, membuat orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang perantau yang pandai ilmu silat sehingga tak seorang pun berani mencoba-coba untuk mengganggunya.

Hanya satu kali terjadi gangguan ketika ia masuk ke kota Lok-yang. Di kota ini terdapat seorang jagoan muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-bin-liong (Naga Muka Kuning) bernama Lok Ceng. Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-tong-pai yang berwatak sombong dan berlagak tinggi.

Kebetulan sekali Lok Ceng sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-yang, ketika Lili menghentikan kudanya di depan restoran itu, lalu melompat turun dan memanggil seorang pelayan.

Seorang pelayan berlari menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,

“Kau urus baik-baik kudaku pada waktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya sampai bersih. Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di atas kuda itu dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!”

Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk dengan hormat. “Tentu saja, Siocia. Akan kulakukan pesanmu baik-baik.” Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.

“Kuda yang bagus!” tiba-tiba terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke arah orang yang memuji kudanya.

Orang ini bukan lain adalah Lok Ceng sendiri. Melihat ada seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku hati-hati dan segera membuang pandangan matanya. Tanpa mempedulikan orang itu, Lili terus saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang cepat datang menghampirinya.

Restoran itu besar sekali dan para tamu yang makan di situ tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya. Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira. Ketika Lili memasuki restoran itu, hampir semua mata menengok dan memandang kagum.

Akan tetapi Lili tak mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah menjadi biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap hal ini biasa saja. Ibunya telah menasehatinya untuk bersikap dingin dan jangan mempedulikan hal ini.

“Lili, kau seorang gadis muda yang cantik manis,” kata ibunya memberi nasehat, “banyak sekali gangguan yang akan kau hadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata minyak, selalu tidak dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis cantik. Akan tetapi, apa bila mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan kurang ajar, janganlah kau hiraukan mereka. Asal mereka tak mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan yang kurang ajar, anggap saja mereka itu seperti patung-patung hidup yang tak perlu dilayani.”

Oleh karena itu, maka Lili selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandang dia dengan kagum. Malah orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti padanya, dianggapnya sebagai lalat saja!

Akan tetapi, ketika dia sedang menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan, tiba-tiba telinganya yang amat tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di dalam warung itu. Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan ketika ia mengerling, ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji kudanya, telah memasuki ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat!

Diam-diam Lili merasa heran mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini. Apa lagi ketika ia mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada orang yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali.

Akan tetapi pemuda tinggi besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan tangan, lalu dia tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja di mana Lili sedang makan! Dia lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan cara yang sangat menjemukan. Mulutnya menyeringai bagaikan seekor kuda kelaparan dan terdengarlah dia berkata keras,

“Kudanya besar dan bagus, pemiliknya lebih bagus lagi!”

Semua orang yang duduk di situ maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili juga maklum bahwa pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh karena ucapannya itu masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak mengerti dan melanjutkan makannya.

Melihat betapa gadis manis itu tidak menengok dan tidak mempedulikan pujiannya, Lok Ceng menjadi semakin berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa ha-ha hi-hi ia kemudian menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi gadis itu sambil memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai. Semua orang diam-diam tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan tetapi ada pula yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita itu.

Semenjak tadi Lili menahan sabarnya, karena ia masih selalu ingat akan nasehat ibunya supaya menjauhkan diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu kini duduk dekat di hadapannya, tentu saja dia merasa amat terganggu dan masakan yang tadinya nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.

“Lalat kuning sungguh menjemukan!”

Ia lalu menunda makannya, kemudian dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil mengerahkan tenaga lweekang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air kuah di dalam mangkok itu tiba-tiba saja memercik ke arah Lok Ceng dan tanpa dapat terelakkan lagi mengenai bajunya!

Semua orang terkejut mendengar gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan maklum bahwa dengan sebutan lalat kuning, gadis itu sudah memaki Lok Ceng! Mana ada lalat yang berwarna kuning? Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng!

Akan tetapi, tak ada seorang pun yang tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan membasahi baju Lok Ceng itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka hanya mengira bahwa hal itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak menyangka bahwa gadis cantik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat menggerakkan tenaga lweekang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya.

Oleh karena itu, pemuda ini hanya tersenyum-senyum saja dan biar pun dia tahu bahwa dirinya dimaki ‘lalat kuning’, dia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang gadis yang melawan apa bila diganggunya, dari pada seorang gadis yang bahkan tersenyum-senyum melayani gangguannya.

“Aku ingin sekali menjadi potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan mulut yang manis!” katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar ucapannya ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini.

Mendengar ucapan dan melihat sikap orang muka kuning itu, Lili segera maklum bahwa kegagahan orang itu hanya pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan tahu akan demonstrasi tenaga lweekang yang diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka Kuning ini agaknya tidak tahu akan hal ini, bahkan berani mengeluarkan ucapan yang demikian kurang ajar.

Lili sudah kehabisan kesabarannya. “Lalat kuning, kau lapar dan hendak makan daging? Nah, ini makanlah!”

Secepat kilat tangannya lalu menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan sebelum Si Muka Kuning sempat mengelak, isi mangkok itu sudah menyiram mukanya, bahkan sepotong daging mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa sakit!

Suara tertawa dari para tamu tadi tiba-tiba saja tak terdengar lagi dan sekarang mereka memandang dengan muka pucat. Selama ini belum pernah ada orang berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng sedemikian hebatnya!

Sementara itu, untuk sesaat Lok Ceng merasa kedua matanya amat pedas dan tak dapat dibuka sehingga dia menjadi gelagapan kemudian menggunakan kedua tangannya untuk membersihkan mukanya. Keadaannya sangat lucu dan para penonton menahan suara ketawa mereka karena sungguh pun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti itu berada dalam keadaan begitu lucunya, akan tetapi mereka tak berani memperdengarkan suara ketawa.

Kini kegembiraan Lok Ceng lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi kemerah-merahan karena marah dan berminyak akibat siraman kuah tadi. Matanya yang sudah bebas dari kepedasan kuah kini memandang dengan melotot.

“Gadis liar, apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng?” Ia membentak dan melangkah maju.

“Ehh, ehh, cacing muka kuning!” kata Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga menjadi cacing. “Apakah kau masih belum kenyang?”

Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak dan kini masakan lain yang penuh kecap berwarna merah dan masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka Lok Ceng.

Si Naga Muka Kuning cepat mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah tersiram oleh masakan kecap ini! Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua matanya yang tadi melotot sehingga kecap itu tidak sempat memasuki kedua matanya. Akan tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang hidungnya sehingga dua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap yang membuat dia tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak copot hidungnya!

Kini para tamu di restoran itu terpaksa mendekap mulut masing-masing untuk menahan ketawa, karena melihat Lok Ceng berbangkis-bangkis sambil mencak-mencak, sungguh merupakan pemandangan yang amat lucu dan menggelikan.

Lok Ceng memaki-maki dan kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada pinggangnya dan kini mengamuk hebat. Beberapa kali dia membacok ke kanan kiri dan meja kursi yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih menggerakkan kedua kakinya menendang ke sana ke mari sehingga meja kursi beterbangan ke mana mana.

Para tamu yang tadinya menahan ketawa, kini menjadi ketakutan dan segera mereka menyingkirkan diri ke tempat jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan pagar. Muka mereka menjadi pucat karena sekarang keadaan bukan main-main lagi. Gadis itu pasti akan menjadi korban golok Lok Ceng yang amat tajam.

Akan tetapi, Lili tak mau membuang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong itu. Biar pun Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak menjadi gentar dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah berada di depan si pengamuk itu.

“Gadis liar, kupenggal lehermu!” teriak Lok Ceng.

“Manusia tak tahu diri, kau harus diberi rasa sedikit!” Lili balas membentak.

Dengan gerak tipu Sianli-jip-pek-to (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, dia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia dapat masuk di antara kelebatan golok itu dan langsung menggerakkan tangan kanan ke arah iga lawannya.

“Dukk!” dengan tepat sekali jari tangannya mengirim tiam-hoat (totokan) yang mengenai jalan darah hong-twi-hiat dengan jitu sekali.

Terdengar Lok Ceng memekik keras dan aneh...! Orang muka kuning yang tinggi besar ini tidak dapat bergerak lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih berdiri dengan golok terpegang erat-erat di tangan kanannya.....

Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti kenapa Lok Ceng berdiri kaku seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai kesukaan berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum dan dengan mata berseri-seri dia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang masih terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng, sehingga Lok Ceng sekarang memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir di sepanjang hidungnya!

Semua orang yang merasa lebih heran dari pada lucu itu, tidak dapat tertawa dan masih memandang dengan bengong. Bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok Ceng.

“He, aku mau membayar! Mana pelayan?” teriak Lili.

Barulah pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.

“Nah, ini untuk membayar masakan yang telah kumakan. Dan lebihnya untuk mengganti kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!” Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu.

Pelayan yang mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.

“Ehh, Siocia...,” kata pelayan ini, ”bagaimana dengan Oei-bin-liong? Tubuhnya kaku dan dia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami.”

Lili tertawa geli. “Biarlah, bukankah dia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?”

“Akan tetapi... tentu dia akan marah dan... bagaimana kalau dia mati?”

Lili berkata dengan sungguh-sungguh, “Janganlah kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya. Dalam waktu pendek dia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan pulih kembali.” Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan kota Lok-yang…..

********************

Sesudah melakukan perjalanan dengan cepat selama dua pekan, akhirnya sampailah Lili ke tempat yang menjadi tujuan utamanya, yaitu dusun Tong-sin-bun. Dia segera memilih rumah penginapan dan menyewa sebuah kamar. Kudanya dia serahkan kepada pelayan untuk dirawat baik-baik.

Tanpa bertanya pada orang lain, Lili dapat mencari rumah Ban Sai Cinjin dengan mudah, oleh karena di dalam dusun yang tak berapa besar itu, hanya satu-satunya gedung yang besar dan mewah yang menjadi tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Bahkan ketika ia bertanya kepada pelayan, ternyata hotel di mana dia bermalam juga milik dari Ban Sai Cinjin yang kaya raya dan berpengaruh besar.

“Nona datang dari mana dan apakah hendak bertemu dengan Ban Sai Cinjin Loya?”

Lili tersenyum dan maklum bahwa semua pekerja di dalam hotel ini adalah anak buah Ban Sai Cinjin, maka ia hanya menjawab, “Ah, tidak. Aku hanya seorang pelancong yang tertarik melihat keadaan di dusun ini yang amat ramai.”

Pada senja hari itu juga, diam-diam tanpa diketahui oleh seorang pun, Lili mengenakan pakaian yang ringkas, menggantungkan pedangnya di pinggang, lalu keluar dari rumah penginapan itu untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti. Ia menduga bahwa musuh besarnya itu tentu berada di kelenteng yang dahulu pernah dilihatnya dengan Sin-kai Lo Sian, yaitu dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun Tong-sin-bun itu.

Akan tetapi sebelum menuju ke hutan itu, dia sengaja menyelidiki dahulu gedung besar tempat tinggal Ban Sai Cinjin yang nampak sunyi dari luar. Ketika ia hendak melompat ke atas pagar tembok yang tinggi dan yang mengelilingi gedung itu, tiba-tiba saja dia melihat seorang pemuda yang tampan bersama seorang setengah tua sedang berjalan keluar dari gedung itu dengan tindakan cepat.

Lili cepat bersembunyi di tempat gelap dan memandang tajam. Bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat pemuda itu. Tidak salah lagi, pemuda itu tentulah Thio Kam Seng, anak laki-laki yang dulu pernah ditolong oleh suhu-nya, Sin-kai Lo Sian, atau yang boleh juga disebut suheng-nya, karena mereka keduanya pernah menjadi murid Sin-kai Lo Sian.

Lili menjadi girang sekali dan hampir saja ia memanggil pemuda itu. Akan tetapi ia dapat menahan keinginannya ini sebab teringat bahwa pemuda ini baru saja keluar dari gedung Ban Sai Cinjin. Hal ini benar-benar aneh sekali.

Dulu Kam Seng pernah hampir dibunuh oleh seorang murid Ban Sai Cinjin, bagaimana sekarang dia dapat keluar masuk demikian leluasa di gedung Ban Sai Cinjin itu? Hal ini menimbulkan kecurigaannya dan ia tidak memanggil pemuda itu, bahkan lalu diam-diam mengikuti perjalanan Kam Seng dan orang tua itu yang berjalan cepat menuju ke hutan di mana terdapat kelenteng besar kepunyaan Ban Sai Cinjin.

Bagaimanakah Kam Seng dapat berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin dengan enaknya? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar Bodoh dan isterinya naik ke Gunung Beng-san dan bertemu kembali dengan Lili, pemuda ini dibawa pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le.

Sesungguhnya, Thio Kam Seng tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dahulu ketika ditolong oleh Sin-kai Lo Sian, dia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi sebenarnya tidak demikian halnya.

Thio Kam Seng adalah anak tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song Kun. Para pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun merupakan sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena kejahatannya hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Si Pendekar Bodoh Cin Hai.

Pada waktu hal ini terjadi, Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun telah meninggalkan seorang gadis yang selama itu dipeliharanya sebagai isteri tidak sah, dan isterinya ini sudah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun juga terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka dia mempunyai banyak bini peliharaan di mana-mana, baik yang dia dapatkan karena ketampanannya mau pun yang dia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari rumah orang tua gadis itu!

Setelah Song Kun tewas di dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin ibu Kam Seng lalu hidup terlunta-lunta. Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia pun merasa malu, dan hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka dia masih mempertahankan hidupnya.

Beberapa bulan kemudian, dalam keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang bayi laki-laki yang dia beri nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat benci kepada suaminya yang mengambilnya secara paksa, maka ia memberi nama keturunan Thio kepada puteranya ini.

Betapa pun juga, setelah Kam Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam Seng bertanyakan ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa ayahnya telah tewas dalam tangan seorang pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!

Kui Lin lalu hidup berdua dengan puteranya dalam keadaan yang sangat miskin. Mereka terlunta-lunta dan hidup serba kekurangan, sehingga akhirnya Kui Lin jatuh sakit yang membawanya kembali ke alam baka. Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim piatu, hidup merantau terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik.

Ternyata Kam Seng memiliki otak yang sangat cerdik, dan agaknya kecerdikan ayahnya menurun kepadanya. Dia bisa berpura-pura bodoh dan jarang berbicara, padahal segala sesuatu dia perhatikan betul-betul. Cerita ibunya mengenai ayahnya yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan dia tidak dapat melupakan nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya.

Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dia tertolong oleh Sin-kai Lo Sian, diangkat menjadi muridnya dan akhirnya dia diajak pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le Si Pengemis Iblis yang lihai.

“Kita harus mencari suhu-mu,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le. “Sebelum kita bertemu dengan gurumu, kau harus melatih diri baik-baik. Akan kuajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu agar kelak kau tidak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri Pendekar Bodoh sekali pun!”

Diam-diam Kam Seng merasa girang sekali. Telah lama dia menahan-nahan dendamnya ketika ia mengetahui bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh ayahnya, adalah ayah Lili yang menjadi sumoi-nya. Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu ia melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-san.

Saking terharu dan sedihnya karena tak berdaya untuk membalas dendam, dulu dia telah menangis sedih. Tak seorang pun mengetahui apa yang menyebabkan ia menangis. Kini mendengar ucapan Mo-kai Nyo Tiang Le supek-nya, dia menjadi girang sekali dan mulai hari itu dia belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati Mo-kai Nyo Tiang Le.

Bertahun-tahun Kam Seng pergi merantau ikut dengan Mo-kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh propinsi di daerah Tiongkok, akan tetapi mereka tidak bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, bahkan mendengar beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka telah tanyai, tak seorang pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang sudah menghilang untuk bertahun-tahun lamanya.

Terpaksa Mo-kai Nyo Tiang Le mewakili sute-nya mendidik Kam Seng yang sebetulnya menguntungkan pemuda itu, sebab kepandaian Pengemis Iblis ini masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Si Pengemis Sakti. Sembilan tahun lamanya Mo-kai Nyo Tiang Le mengajak Kam Seng merantau, selalu berpindah-pindah dari barat ke timur, dari utara ke selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju dengan cepat sekali.

Ia telah mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat (Ilmu Silat Kitiran Angin) serta ilmu melepas senjata rahasia yang disebut Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan tongkat dari Pengemis Iblis ini pun telah dia warisi dengan baik sekali.

“Supek,” kata Kam Seng pada suatu hari setelah supek-nya itu menyatakan kekesalan hatinya karena belum juga dapat bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, “apakah tidak bisa jadi Suhu terkena celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin? Bagaimana kalau kita pergi mencari Suhu di sana?”

Supek-nya mengangguk-angguk. “Mungkin dugaanmu ini bisa benar juga. Aku pun telah mempunyai dugaan demikian.” Dia menghela napas. “Memang Ban Sai Cinjin jahat dan kejam, akan tetapi ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Jangankan Sute, aku sendiri belum tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui bagaimana dengan nasib Sute. Mari kita berangkat ke dusun Tong-sin-bun.”

Mereka lalu menuju kembali ke barat dan tiba di dusun itu pada waktu malam.

“Supek, biarlah teecu menyelidiki ke kuil itu.”

“Kau berhati-hatilah, Kam Seng. Di sana terdapat banyak orang pandai,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le yang duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di warung arak.

“Jangan kuatir, Supek. Tidak percuma selama ini teecu mempelajari ilmu kepandaian dari Supek.”

Pemuda ini lalu mempergunakan ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Dia melihat kelenteng itu terang sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang sangat mewah dan besar. Melihat keadaan kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain sutera yang halus tergantung dijadikan tirai penutup pintu, Kam Seng menghela napas dan melirik ke arah pakaiannya sendiri.

Semenjak ia pergi ikut dengan supek-nya belum pernah dia berpakaian baik. Pakaiannya tambal-tambalan dan kotor sekali. Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau saja dia mau mengambil pakaian dari para hartawan, akan tetapi supek-nya tentu melarangnya, dan ia pun merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan supek-nya berpakaian kotor penuh tambalan. Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda!

Kam Seng menunggu sampai beberapa lama, akan tetapi oleh karena dia tidak melihat seorang pun keluar dari kelenteng itu, dia kemudian memberanikan diri dan menghampiri kelenteng itu. Dengan ginkang-nya yang sudah terlatih baik, dia lalu melompat ke atas genteng dengan mudahnya. Dari atas genteng ia melihat bahwa penerangan yang paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan amat hati-hati ia lalu menuju ke ruang itu, mengerahkan ginkang-nya supaya genteng yang diinjaknya tidak menerbitkan suara berisik.

Ketika dia mengintai ke bawah, dia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang rambutnya masih nampak hitam, demikian pula jenggotnya.

Kam Seng merasa heran mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu menyebut suheng (kakak seperguruan) pada tosu ini. Sungguh mengherankan sekali bahwa seorang yang usianya lebih tua dari pada Ban Sai Cinjin masih nampak segar dan rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka lebih menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh disebut-sebut.

“Memang Pendekar Bodoh lihai sekali,” dia kemudian mendengar tosu itu berkata sambil menganggukkan kepalanya. “Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi pinto (aku) tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan pengertian tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau dia dilawan dengan ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi pinto telah mempelajari ilmu silat dunia barat yang mempunyai gerakan amat berlainan dan dasarnya pun berbeda sehingga apa bila menghadapi Pendekar Bodoh, belum tentu pinto tak akan dapat merobohkannya!”

“Supek berkata benar,” Bouw Hun Ti tiba-tiba berkata, “bagaimana pun juga, Pendekar Bodoh bukan tak dapat dilawan! Pernah juga teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh masih belum selihai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw yang muncul dalam cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara itu. Kalau kepandaian Suhu saja telah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko sebab berasal dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak mampu menundukkan Pendekar Bodoh!”

Ketika Ban Sai Cinjin menyedot huncwe-nya dan hendak menjawab, tiba-tiba saja tosu itu menengok ke arah genteng di mana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata halus, “Sahabat muda yang mengintai di atas genteng, kau turunlah saja!”

Bukan main kagetnya Kam Seng mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Kalau orang-orang di bawah ini yang begitu lihai ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tak sekali-kali boleh memusuhi mereka. Alangkah baiknya bila mana dia bisa berkawan dengan mereka untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!

Telah berkali-kali supek-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa ilmu kepandaian Pendekar Bodoh amat tinggi, masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pengemis Iblis itu, maka sudah menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar pernyataan ini. Kini mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan tosu yang menjadi suheng kakek ber-huncwe itu demikian tingginya, dia mendapat sebuah pikiran yang baik sekali.

Mendengar ucapan tosu itu, semakin yakinlah dia bahwa tosu itu benar-benar lihai sekali, maka ia lalu menjawab, “Maafkan teecu yang muda telah berlaku lancang!”

Sesudah berkata demikian, dia lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan gerakan In-liong San-hian (Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah dan ilmu lompatnya cukup hebat sehingga tiga orang yang berada di ruangan itu memandang dengan kagum.

Melihat seorang pemuda cakap berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin lalu melangkah maju, dan bertanya,

“Orang muda, siapakah kau dan mengapa kau melakukan pengintaian di kelentengku?”

Kam Seng menjura memberi hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia berkata dengan sikap gagah dan suara tenang,

“Tadi teecu mendengar tentang totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena ada permusuhan pribadi antara teecu dengan Pendekar Bodoh, maka hati teecu tertarik sekali dan ingin teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu maklum bahwa teecu bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang mampu mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, maka teecu akan menghambakan diri menjadi murid dan akan menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman di sini. Jika Totiang tidak dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, jangah harapkan akan dapat menangkan Pendekar Bodoh!”

Kata-kata ini membuat Bouw Hun Ti menjadi marah sekali dan dia melompat ke depan, cepat mengirim pukulan keras ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,

“Macammu hendak menantang Supek?”

Pukulan tangan kanan Bouw Hun Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam pukulan itu cukup untuk dapat menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa ilmu kepandaian Bouw Hun Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari Sin-kai Lo Sian, maka dapat diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini.

Akan tetapi, Kam Seng bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia telah mewarisi seluruh kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le sehingga kepandaiannya sekarang mungkin telah lebih tinggi dari pada Sin-kai Lo Sian! Dia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang tidak mungkin ia dapat melawan orang kuat ini, maka ia lalu mempergunakan kecerdikannya.

Dengan lengan kanan, dia mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke depan dengan ilmu silat Soan-hong-jiu (Kepalan Kitiran Angin).

Bouw Hun Ti merasa terkejut sekali sebab sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu pukulan lawan itu mendatangkan angin yang sangat hebat dan berbahaya sehingga terpaksa dia miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Pada saat pukulannya tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke belakang!

“Bagus...!” kata tosu itu yang sesungguhnya merupakan suheng dari Ban Sai Cinjin yang bernama Wi Kong Siansu.

Wi Kong Siansu ini sebagaimana pernah dituturkan pada bagian depan adalah seorang pertapa di Hek-kwi-san dan dijuluki Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa). Oleh karena merasa khawatir menghadapi musuh-musuh yang sangat tangguh, Ban Sai Cinjin menyuruh Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk suheng-nya itu yang ternyata kemudian berhasil dengan baik.

Melihat pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan dia lalu berdiri dari bangkunya.

“Bouw Hun Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya.” Ia lalu melangkah maju untuk menghadapi Kam Seng. “Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau sampai bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?”

Semenjak dulu, Kam Seng tidak pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapa pun juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada di antara orang-orang yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tak merasa ragu-ragu lagi untuk memberi tahukan nama ayahnya, bahkan dia pun merubah pula she-nya yang biasanya Thio itu menjadi Song.

“Teecu bernama Kam Seng, she Song, dulu Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan ayah teecu itu bernama Song Kun.”

Mendengar disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin lalu saling pandang dengan terkejut sekali. “Apa?! Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-ho Sian-kiam?” tanya Wi Kong Siansu dengan heran.

“Entahlah, karena ayah telah tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari ibuku yang sekarang sudah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu ketahui, yaitu bahwa ayah teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!”

“Benar, benar!” Wi Kong Siansu mengangguk-angguk. “Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu, anak muda!”

Kam Seng memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud tertentu. Dia telah maklum sampai di mana tingkat kepandaiannya, apa bila diukur dengan kepandaian supek-nya Nyo Tiang Le. Walau pun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian supek-nya itu, namun dari latihan-latihan dengan supek-nya dia dapat menaksir bahwa supek-nya itu tidak mungkin akan sanggup merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus! Maka ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena kalau hal ini memang dapat terjadi, dia tidak ragu-ragu lagi dengan kepandaian tosu ini dan tidak ragu-ragu pula untuk mengkhianati supek-nya!

Setelah tosu itu melangkah maju menghadapinya, tanpa sheji (sungkan) lagi Kam Seng segera menyerang dengan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat yang paling lihai. Dia hendak mendahului menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk dapat menyerangnya. Kalau saja dia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus, biar pun tidak dapat merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!

Wi Kong Siansu agaknya maklum akan isi pikirannya ini, maka sambil tersenyum kakek yang amat lihai ini tidak mau memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lainnya. Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan sudah dekat dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu, ia lalu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng.

Pemuda ini terkejut bukan main karena tangkisan ujung lengan baju itu ketika menimpa lengannya, tulang lengannya langsung terasa sakit sekali bagaikan beradu dengan baja keras sedangkan totokan itu pun cepat sekali datangnya sehingga hampir saja ia menjadi korban dalam segebrakan saja!

Dia cepat menjatuhkan diri ke belakang, berjumpalitan ke belakang dua kali, kemudian setelah berdiri ia lalu menyerang lagi. Serangan dalam jurus ke dua ini dilakukan dengan gerak tipu yang amat lihai.

Ia melakukan serangan dari tiga jurusan, tangan kanan diputar merupakan kepalan yang mengarah kepala, tangan kiri dengan jari tangan terbuka menyabet lambung, sedangkan kaki kanan menyusul dengan tendangan maut ke arah pusar! Inilah gerak tipu yang disebut Sam-in Koan-goat (Tiga Awan Menutup Bulan).

Gerakan tiga macam pukulan ini dilakukan susul menyusul, maka boleh dibilang hampir berbareng datangnya. Dan karena yang diarah oleh tiga pukulan ini merupakan anggota-anggota tubuh yang berbahaya, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya serangan Sam-in Koan goat ini. Satu saja di antara ketiga pukulan itu mengenai sasaran, sudah cukup untuk mengantar nyawa orang ke tempat asal!

“Bagus...!” seru Wi Kong Siansu melihat kehebatan serangan ini.

Dengan sangat tenang kakek ini melangkahkan kakinya dalam bentuk segitiga. Pertama- tama ia melangkah ke kanan sambil menundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari pukulan ke arah kepalanya, lalu melangkah lagi menyerong ke muka sambil menangkis pukulan ke arah lambungnya, sedangkan tendangan yang mengarah pusarnya itu tidak dielakkan, bahkan dia kemudian mengangkat kakinya menyambut tendangan itu dengan tendangan pula.

Sungguh mengherankan sekali. Kalau dilihat tendangan Kim Seng amat keras dan cepat datangnya, ada pun kakek itu hanya mengangkat kakinya sedikit saja untuk menyambut tendangan pemuda itu. Akan tetapi begitu sepatu mereka bertemu, Kam Seng berseru kaget dan tubuhnya segera terlempar ke belakang tiga tombak lebih! Masih baik bahwa ia mempunyai ginkang yang sempurna sehingga ia dapat berjungkir balik dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun dengan kaki terlebih dulu!

Bukan main kagumnya hati Kam Seng. Ia maklum bahwa tosu ini benar-benar jauh lebih lihai dari pada supek-nya, maka tanpa banyak ragu-ragu lagi, dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan tosu itu. “Kalau Totiang sudi menerima teecu sebagai murid, teecu akan merasa bahagia sekali.”

Wi Kong Siansu tertawa bergelak. “Sayang kau ditinggal mati ayahmu dan tidak bertemu dengan guru yang baik. Kalau ada ayahmu, tentu kepandaianmu sudah sepuluh kali lipat lebih pandai dari pada sekarang.”

Ban Sai Cinjin lalu maju dan mengebulkan huncwe-nya.

“Song Kam Seng, kau tadi bilang bahwa kau memiliki rahasia yang hendak kau tuturkan. Apakah rahasia itu? Hayo kau berkata terus terang, karena kalau memang benar kau putera Song Kun, kita adalah orang-orang sendiri. Ketahuilah bahwa antara kami dengan ayahmu dahulu terdapat hubungan yang baik sekali.”

“Sesungguhnya amat malu untuk menuturkan keadaan teecu,” kata Kam Seng sambil menundukkan kepalanya dan masih berlutut di depan Wi Kong Siansu. “Semenjak kecil teecu telah ditinggal mati ibu, dan ayah bahkan telah meninggalkan teecu sebelum teecu terlahir. Teecu berkelana dan bersengsara seorang diri dengan hati yang mengandung dendam pada Pendekar Bodoh, akan tetapi apa daya teecu? Kemudian, teecu bertemu dengan Mo-kai Nyo Tiang Le yang memberi pelajaran ilmu silat kepada teecu. Sungguh pun kemudian teecu ketahui bahwa Mo-kai Nyo Tiang Le dan juga Sin-kai Lo Sian adalah kawan-kawan segolongan dengan Pendekar Bodoh sehingga hati teecu merasa segan sekali untuk belajar ilmu silat darinya, namun terpaksa teecu pertahankan juga. Karena, lebih baik menerima pelajaran ilmu silat dari siapa pun juga dari pada tidak mempunyai kepandaian sama sekali. Nah, kebetulan sekali pada hari ini teecu dibawa oleh Mo-kai Nyo Tiang Le yang sedang berusaha mencari Sin-kai Lo Sian. Dia menyangka bahwa sute-nya itu tentu telah mendapat celaka dari Ban Sai Cinjin, karena itu ia lalu menyuruh teecu mengadakan penyelidikan ke sini!”

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Mo-kai Nyo Tiang Le pengemis kelaparan! Apa yang kutakuti terhadap orang seperti dia itu?”

“Teecu juga maklum akan hal ini, dan mulai saat ini juga, kalau kiranya Cu-wi Locianpwe sudi menerima, teecu ingin tinggal di sini mempelajari ilmu silat dan kemudian bersama Cu-wi ikut menyerbu dan membalas hukuman kepada Pendekar Bodoh.”

Ban Sai Cinjin agaknya masih ragu-ragu dan menaruh hati curiga. Akan tetapi Wi Kong Siansu sambil berkedip pada sute-nya itu, berkata kepada Kam Seng, “Anak muda, kami percaya bahwa kau memang putera Song Kun. Akan tetapi, siapa mengetahui keadaan seseorang? Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurumu itu ternyata hendak memusuhi sute dan menyuruh kau mengadakan penyelidikan ke sini. Bagaimanakah kalau sikapmu ini hanya sandiwara belaka supaya kau dapat menyelamatkan diri dari kami? Kalau kau sekarang bisa memancing agar Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke sini, tanpa mengatakan bahwa pinto dan Ban Sai Cinjin berada di tempat ini, dan kemudian di depan kami kau memperlihatkan sikapmu bermusuh dengan dia, barulah kami akan percaya. Menerima murid bukanlah hal yang amat mudah, dan sebelum mengetahui betul kesetiaanmu, pinto tidak dapat menerimamu sebagai murid.”

“Baiklah, harap Cu-wi suka menanti sebentar. Malam ini juga teecu pasti akan membawa Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke tempat ini!” Sesudah berkata demikian, Kam Seng lalu memberi hormat dan melompat keluar dari ruangan itu.

Ban Sai Cinjin hendak menggerakkan tangan mencegah, akan tetapi suheng-nya sudah berkata, “Anak itu memang betul keturunan Song Kun. Tidak lihatkah kau akan gerakan matanya dan bentuk bibirnya? Sama benar dengan Song Kun. Dan andai kata sikapnya tadi hanya untuk menyelamatkan diri, apa yang perlu kita takuti untuk seorang pemuda macam dia?”

Sementara itu, Kam Seng cepat kembali ke tempat supek-nya yang masih menantinya. Hatinya girang sekali. Tadinya ia telah merasa putus harapan untuk dapat membalaskan dendamnya kepada Pendekar Bodoh, karena kalau Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurunya masih mengatakan kalah jauh oleh Pendekar Bodoh, apa lagi dia?

Menurut supek-nya ini, Pendekar Bodoh mempunyai banyak orang-orang pandai. Isteri Pendekar Bodoh sendiri adalah murid Bu Pun Su dan mempunyai kepandaian yang amat tinggi. Masih ada lagi Ang I Niocu serta suaminya Lie Kong Sian yang terhitung kakak seperguruan dari Pendekar Bodoh, ada lagi Kwee An yang menjadi iparnya dan isteri Kwee An yang bernama Ma Hoa dan yang mempunyai kepandaian tinggi karena nyonya muda ini adalah murid terkasih dari Hok Peng Taisu yang lihai!

Bagaimana ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh seorang diri saja? Bahkan supek-nya amat menghormat Pendekar Bodoh maka tak mungkin supek atau suhu-nya mengijinkan dia berlaku kurang ajar terhadap Pendekar Bodoh.

Kini, pertemuan dengan Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu yang kepandaiannya amat tinggi, menimbulkan pengharapan baru di dalam hatinya. Dia tadi belum melihat Hok Ti Hwesio, hwesio kecil jahat murid Ban Sai Cinjin yang dahulu hendak membelek perutnya, akan tetapi dia pun tidak takut. Andai kata Hok Ti Hwesio mengenalnya, dia rasa masih dapat melayani hwesio itu, dan apa lagi kalau dia sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, tentu Hek Ti Hwesio tidak berani mengganggunya.

“Bagaimana, Kam Seng? Apakah kau melihat suhu-mu berada di sana? Dan apakah Ban Sai Cinjin berada di sana pula?”

“Teecu rasa Suhu berada di sana, Supek. Mungkin dikurung dalam sebuah kamar. Akan tetapi teecu tidak berani turun dan berlaku sembrono, karena di sana teecu melihat ada murid-murid Ban Sai Cinjin. Teecu rasa sekarang lebih baik kalau kita berdua menyerbu ke sana, karena tidak terlihat Ban Sai Cinjin, yang ada hanya Bouw Hun Ti!”

Girang sekali hati Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar kesempatan yang amat baik ini, maka dia cepat berdiri dan mengajak pemuda itu cepat berlari kembali ke hutan itu.

Kam Seng mengajak supek-nya melompat ke atas genteng dan mengintai di atas ruang tadi. Akan tetapi baru saja Nyo-kai Tiang Le menginjak genteng, dia mendengar suara Bouw Hun Ti tertawa di bawah genteng.

“Pengemis kelaparan Nyo Tiang Le! Perlu apa mengintai seperti seorang maling? Kalau kau kelaparan tidak perlu kau mencuri makanan di sini. Turunlah! Ada makanan anjing tersedia untukmu!”

Bukan main marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan yang sangat menghina ini. Dia memang seorang pemarah yang keras hati, maka tanpa mempedulikan sesuatu lagi, ia lalu melayang turun, diikuti oleh Kam Seng. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak lantai ruangan itu, Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali sebab melihat Ban Sai Cinjin dan seorang tosu tua muncul dari balik pintu. Ban Sai Cinjin mengebulkan asap huncwe-nya dan melihat asap itu berwarna hitam, tahulah Mo-kai Nyo Tiang Le bahwa dia kini harus melawan mati-matian.

Terdengar tosu yang tidak dikenalnya itu tertawa girang dan berkata kepada Kam Seng, “Bagus, bagus, Kam Seng! Kau memang boleh dipercaya dan pinto tentu suka menjadi suhu-mu.”

Tentu saja Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi melongo melihat dan mendengar ucapan ini.

“Kam Seng! Apakah artinya ini?”

Akan tetapi sebelum pemuda itu menjawab, Ban Sai Cinjin telah menegur Pengemis Iblis itu, “Orang she Nyo! Kau datang sebagai tamu tak diundang, mengapa lagakmu begini kasar? Sebetulnya, apakah keperluanmu datang ke tempatku ini?”

“Ban Sai Cinjin, semenjak dahulu kita belum pernah bermusuhan, maka harap kau suka memberi keterangan tentang sute-ku Lo Sian. Di manakah dia?”

Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara menghina. “Apa kau kira aku adalah bujang pengasuh dari Lo Sian? Kau carilah sendiri, di sini tidak ada sute-mu yang gila itu!”

“Gila...? Sute-ku tidak gila...!” kata Mo-kai Nyo Tiang Le sambil memandang tajam.

Merahlah wajah Ban Sai Cinjin sebab tanpa sengaja ia hampir saja membuka rahasianya. Memang Lo Sian telah menjadi gila karena ia paksa minum obat beracun.

“Kau dan Sute-mu memang orang-orang tidak waras, kalau sehat kenapa malam-malam datang ke tempat tinggal orang lain mencari Sute-mu?”

Mo-kai Nyo Tiang Le merasa segan untuk bermusuh melawan Ban Sai Cinjin yang lihai dan di situ masih ada tosu tua yang nampaknya berkepandaian tinggi itu. Juga ia masih merasa heran mendengar percakapan antara tosu itu dengan Kam Seng, maka ia pikir lebih baik mengajak pemuda itu pergi dari tempat berbahaya ini.

“Sudahlah, aku tak mau mengganggu terlebih jauh. Hayo, Kam Seng, kita pergi dari sini!” katanya mengajak pemuda itu.

Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya sama sekali jawaban yang dia dengar dari mulut pemuda itu, “Tidak, aku tidak pergi dari sini. Di sinilah tempatku bersama suhu-ku yang baru Wi Kong Siansu!”

Barulah kini Mo-kai Nyo Tiang Le tahu bahwa tosu itu adalah Toat-beng Lomo yang amat terkenal. Ia terkejut sekali, akan tetapi keheranannya lebih besar lagi.

“Apa katamu?! Kam Seng, apa artinya ini? Apakah kau sudah gila?!”

Pemuda itu memandangnya tajam. “Tidak, Mo-kai Nyo Tiang Le, kaulah yang gila kalau kau mengira akan bisa memaksaku untuk menjadi pengemis, hidup berkeliaran, pakaian tidak karuan, makan tak tentu. Aku tidak mau mengikuti kau terus. Kau pergilah dari sini!”

Marahlah Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan ini. Tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang biasanya pendiam dan penurut itu kini berubah menjadi sedemikian kurang ajar.

“Kam Seng...! Kau murid durhaka! Kalau kau tidak mau pergi, maka terpaksa aku harus binasakan kau lebih dulu agar kelak tidak mencemarkan namaku!”

Tiba-tiba Kam Seng tersenyum. “Hm, Mo-kai Nyo Tiang Le! Ketahuilah siapa sebenarnya aku. Aku adalah putera dari Ang-ho Sian-kiam Song Kun, dan semenjak dulu aku sudah bersumpah untuk membalas kematian ayahku pada Pendekar Bodoh! Nah, apakah kau tetap tak mau lekas pergi dari sini? Aku masih mengingat akan sedikit kebaikanmu yang telah menurunkan sedikit ilmu silat tak berarti kepadaku. Kalau kau tidak mau lekas pergi, janganlah menganggap aku keterlaluan apa bila aku terpaksa turun tangan melawan dan mengusirmu!”

Serasa meledak dada Mo-kai Nyo Tiang Le. Sepasang matanya menjadi merah bagaikan terbakar dan rambutnya yang tidak karuan itu menjadi kaku berdiri.

“Murid durhaka! Manusia berhati rendah!”

Akan tetapi, dengan amat marah Kam Seng telah mengeluarkan beberapa butir Thi-tho-ci dan mengayun senjata-senjata rahasia itu ke arah Mo-kai Nyo Tiang Le sambil berseru, “Kau pergilah!”

Dengan amarah yang meluap-luap Mo-kai Nyo Tiang Le menyambut datangnya senjata-senjata rahasia itu dengan gerakan tangan kirinya yang menangkis dan memukul runtuh beberapa senjata-senjata rahasia itu, kemudian sambil berseru keras ia lalu melancarkan serangannya yang hebat yaitu pukulan Soan-hong-jiu yang dilakukannya dengan tenaga penuh ke arah bekas muridnya itu!

Kam Seng maklum akan kelihaian pukulan ini, akan tetapi karena dia tahu pula bahwa mengelak dari pukulan ini selain sia-sia juga amat berbahaya, terpaksa dia pun segera mengerahkan tenaganya dan melakukan gerakan pukulan yang sama.

Walau pun jarak di antara mereka ada dua tombak lebih jauhnya, namun angin pukulan Soan-hong-jiu dari Mo-kai Nyo Tiang Le ini menyambar hebat sekali ke arah Kam Seng. Pemuda ini juga melakukan pukulan Soan-hong-jiu dengan tenaga khikang sepenuhnya untuk menangkis.

Dua angin pukulan bertemu dan akibatnya, Kam Seng terlempar ke belakang sampai tubuhnya menimpa dinding di belakangnya! Akan tetapi tangkisannya itu menyelamatkan jiwanya, karena sedikitnya sudah membentur tenaga pukulan bekas supek-nya sehingga dia hanya terlempar saja tanpa menderita luka.

“Kau harus mampus!” Mo-kai Nyo Tiang Le berseru sambil melompat ke arah bekas muridnya untuk memberi pukulan maut. Akan tetapi, tiba-tiba dari sebelah kiri berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Wi Kong Siansu telah berada di depannya dan tersenyum mengejek.

“Wi Kong Siansu! Jangan kau ikut-ikut! Tidak ada orang kang-ouw yang begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan antara guru dengan muridnya sendiri!” teriak Mo-kai Nyo Tiang Le marah sekali.

Wi Kong Siansu tertawa bergelak. “Mo-kai, kau lupa bahwa pemuda ini bukan muridmu lagi! Ia telah menyatakan tidak sudi menjadi muridmu dan kau harus ingat lagi bahwa dia kini telah menjadi murid pinto! Apakah kau kira pinto dapat berpeluk tangan saja melihat murid pinto hendak dibinasakan olehmu?”

Saking marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi nekat.

“Bagus!” teriaknya “Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Toat-beng Lo-mo!”

“Ha-ha-ha! Majulah, mari kita main-main sebentar!” jawab tosu itu.

Nyo Tiang Le menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Akan tetapi, tosu yang berilmu tinggi itu dengan tenangnya dapat mengelak dan membalas dengan serangannya.

Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu melayani Pengemis Iblis dengan kedua ujung lengan bajunya yang panjang, yang menyambar-nyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah. Setiap sambaran ujung lengan baju membawa angin keras dan berat sekali.

Mo-kai Nyo Tiang Le amat kaget saat menyaksikan betapa angin pukulan Soan-hong-jiu yang dipergunakannya selalu terpental kembali tiap kali terbentur oleh ujung lengan baju itu. Segera maklumlah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang dan khikang, ia masih kalah setingkat!

Oleh karena merasa percuma saja melawan tosu lihai ini, Mo-kai Nyo Tiang Le membuat gerakan mengalah, yakni melompat mundur beberapa tindak sambil berkata, “Toat-beng Lo-mo, kepandaianmu sungguh mengagumkan sekali! Perkenankan aku pergi membawa muridku yang murtad!” Sambil berkata demikian, ia melompat hendak menyambar tubuh Kam Seng yang berdiri di sudut, akan tetapi Wi Kong Siansu sudah mendahuluinya dan kembali menghadang di depannya.

“Mo-kai! Jangan kau lanjutkan kehendakmu yang salah ini. Kau pergilah dengan aman, dan pinto takkan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau berkeras hendak mencelakakan muridku, terpaksa pinto harus turun tangan!”

Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi makin marah. Ia maklum bahwa ia akan sukar sekali dapat memenangkan tosu ini, akan tetapi kalau ia mundur, berarti bahwa ia telah menurunkan kehormatannya dengan rendah sekali. Bagi orang gagah, soal kehormatan lebih penting dan lebih mahal dari pada nyawa. Muridnya berlaku khianat dan durhaka, sudah menjadi haknya untuk menghukum murid itu. Jika ada orang lain yang menghalanginya, itu berarti penghinaan yang amat besar.

Sambil berseru keras, Mo-kai Nyo Tiang Le kemudian mencabut tongkatnya yang tadi dia selipkan di ikat pinggang depan. Kemudian ia lalu menotok ke arah leher tosu itu dengan gerak tipu Sian-jin Tit-lou (Dewa Menunjukkan Jalan).

“Bagus!” seru Wi Kong Siansu.

Tosu ini segera mengebut dengan ujung lengan bajunya sebelah kiri, kemudian ia lantas mengibaskan lengan baju kanannya ke arah kepala lawannya dengan gerak tipu Burung Elang Menyambar Ayam. Nyo Tiang Le cepat mengelak dan dia lalu memutar tongkatnya dengan hebat sekali. Tongkat pendek itu terputar-putar bagaikan kitiran, berubah menjadi gulungan sinar yang amat kuat dan berkelebatan, ujungnya dapat menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan. Inilah ilmu tongkat dari Hoa-san-pai yang lihai sekali, karena setiap serangan dapat mendatangkan maut!

Akan, tetapi Wi Kong Siansu adalah tokoh persilatan yang telah banyak pengalaman dan kepandaiannya tinggi sekali. Dia telah tahu akan ilmu tongkat Hoa-san-pai ini, maka biar pun dia tak menggunakan senjata, tetapi kedua ujung lengan bajunya sudah cukup untuk memunahkan semua serangan Nyo Tiang Le.

Nampaknya dia hanya menggerakkan kedua ujung lengan baju itu perlahan dan lambat saja, akan tetapi angin gerakannya demikian kuat sehingga tiap kali ujung tongkat Mo-kai menyerang, selalu kena ditolak oleh ujung lengan baju itu.

Setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak lawannya yang tangguh itu, bahkan gulungan sinar tongkatnya makin lemah, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan tubuhnya lantas bergulingan ke atas lantai sambil melakukan serangan hebat dan bertubi-tubi dari bawah! Inilah ilmu tongkat Hoa-san-pai yang paling lihai dan disebut gerak tipu Naga Sakti Mempermainkan Mustika!

Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu terkejut juga melihat cara penyerangan yang hebat serta berbahaya ini. Ujung tongkat lawannya menyambar-nyambar dari bawah dibarengi dengan tubuh lawannya yang bergulung-gulung dan selalu mengejarnya ke mana juga ia melompat. Dia sudah mengenal ilmu silat ini, akan tetapi oleh karena ilmu meringankan tubuh dari Mo-kai Nyo Tiang Le memang hebat, maka kelihaian penyerangan ini sungguh mengatasi dugaannya!

Pada saat dia melompat untuk mengelak dari tusukan yang diarahkan kepada pusarnya, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan melompat pula, dengan cara yang amat tak terduga mengubah serangannya dengan gerak tipu Monyet Tua Menyambar Bunga, langsung menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati tosu itu! Serangan ini amat cepat dan tak terduga sehingga sukar untuk dielakkan lagi.

Akan tetapi Wi Kong Siansu benar-benar mengagumkan. Dia sangat tenang dan tidak menjadi gugup. Dengan ujung lengan baju sebelah kiri ia menyabet ujung tongkat itu dan lengan baju sebelah kanan untuk menyabet pula hingga kain ini kini melibat tongkat milik lawannya. Sekarang kedua ujung lengan baju itu sudah membelit tongkat dan tak dapat dilepaskan lagi.

Melihat kesempatan baik ini, dengan girang Nyo Tiang Le segera menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka ia langsung memukul kepala tosu itu dengan pukulan Soan-hong-jiu yang hebat.....

Kalau pukulan ini mengenai kepala tosu itu, biar pun dia amat kuat dan lihai, agaknya dia akan mendapat luka di dalam kepala dan nyawanya tidak akan dapat diselamatkan lagi. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat cepatnya, tosu itu menarik kepalanya ke bawah lalu melakukan serangan dengan kepalanya itu, diserudukkan ke arah dada Nyo Tiang Le, di bawah lengan kiri yang memukulnya!

Nyo Tiang Le kaget sekali, menahan napas dan mengumpulkan lweekang-nya pada dada untuk menyambut benturan kepala yang tak dapat dielakkan atau pun ditangkis lagi itu.

“Dukkk...!”

Tubuh Nyo Tiang Le langsung terpental sampal dua tombak lebih, sedangkan Wi Kong Siansu nampak pucat dan terhuyung-huyung akan tetapi pada saat itu dia bisa mengatur napasnya kembali.

Sedangkan Nyo Tiang Le, sesudah terguling sambil muntahkan darah merah dari mulut, ternyata juga dapat melompat berdiri lagi! Akan tetapi pada waktu itu pula, dari sebelah kanannya menyambar benda hitam kekuningan ke arah kepalanya. Ia terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi terlambat!

“Takk!”

Terdengar suara ketika kepala huncwe di tangan Ban Sai Cinjin mengenai batok kepala Pengemis Iblis. Seketika itu juga Nyo Tiang Le merasa kepalanya pening dan matanya gelap. Tiba-tiba dia berbangkis beberapa kali, lalu tertawa bergelak dan ia lalu melompat keluar di dalam gelap, terus melarikan diri!

Ban Sai Cinjin tertawa terbahak-bahak. “Dia telah terluka di dalam otaknya, sekarang dia hanya kehilangan ingatannya saja, akan tetapi tak lama lagi ia akan roboh dan mampus!”

Kam Seng terkejut sekali mendengar ucapan ini dan hatinya merasa ngeri. Sebetulnya ia tak mengira bahwa supek-nya akan mengalami nasib yang sehebat itu. Tadinya ia hanya bermaksud untuk melepaskan diri dari Mo-kai Nyo Tiang Le untuk berguru kepada tosu itu dan untuk mendapatkan harapan baru dalam cita-citanya membalas dendam.

Juga Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu menghela napas panjang dengan rasa sesal.

“Sute, mengapa kau menewaskannya? Permusuhan akan menjadi makin hebat.”

Ban Sai Cinjin tersenyum. “Suheng, pengemis itu terlalu menghina kita, dan orang jahat dan berbahaya seperti dia sudah sepatutnya dilenyapkan agar kelak tidak menimbulkan kepusingan.”

Kam Seng lalu berlutut di depan Wi Kong Siansu dan berkata, “Suhu, betapa pun juga, Mo-kai Nyo Tiang Le pernah melepas budi kepada teecu, apakah teecu boleh mengubur jenazahnya?”

Tosu itu nampak girang. “Bagus, Kam Seng. Sikapmu ini menyenangkan hatiku, karena boleh kuharapkan kesetiaanmu kepadaku kelak. Kau susullah dia, kurasa tidak akan jauh dari sini kau akan dapat menemukannya.”

Kam Seng segera melompat keluar dan mengejar ke arah Nyo Tiang Le tadi melompat pergi. Dan benar saja, di tempat yang tak jauh dari kelenteng itu dia mendapatkan tubuh supek-nya itu sudah tak bernyawa lagi, rebah di atas tanah dalam keadaan terlentang!

Kedua mata pengemis iblis itu terbuka dan di bawah sinar buIan, mata itu seakan-akan memandangnya dengan penuh penyesalan, mulut yang sudah biru itu pun seakan-akan berbisik, “Murid durhaka!”

Ia bergidik dan cepat menggunakan sapu tangan untuk menutupi muka itu. Kemudian dia menggali lubang di tanah dekat tempat itu untuk mengubur jenazah supek-nya.

Demikianlah, semenjak saat itu, Kam Seng menjadi murid Wi Kong Siansu. Ia menerima latihan ilmu silat yang tinggi sehingga kepandaiannya maju pesat sekali. Ketika Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin yang kini telah menjadi seorang hwesio muda yang cakap tiba di kelenteng itu, hwesio muda ini memandang kepada Kam Seng dan berkata,

“Sute, agaknya aku pernah melihat mukamu, entah di mana.”

Kam Seng tersenyum dan menekan debar jantungnya. “Tidak bisa jadi, Suheng. Selama hidupku baru sekali ini aku bertemu dengan kau.”

Karena Kam Seng pandai membawa diri dan sangat menghormat kepada semua orang sebagai orang baru, dia amat disuka. Selain Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin masih mempunyai seorang murid lain yang usianya baru empat belas tahun, yaitu putera seorang pangeran dari kota raja. Pangeran itu maklum akan kelihaian Ban Sai Cinjin, maka ia lalu memberikan puteranya untuk dididik oleh kakek lihai ini.

Anak muda ini datang dua bulan setelah Kam Seng berada di kelenteng itu dan namanya adalah Ong Tek. Sebelum berguru kepada Ban Sai Cinjin, Ong Tek pernah mempelajari ilmu silat dari panglima kerajaan, sehingga ilmu silatnya pun sudah lumayan juga.

Kam Seng memberikan banyak petunjuk kepada sute-nya yang dikasihinya ini, dan sebaliknya Ong Tek juga memberi pelajaran ilmu surat kepada suheng-nya ini. Hubungan mereka sangat erat karena dengan lain-lain orang yang berada di sana, terutama dengan Hok Ti Hwesio, kedua anak muda ini kurang merasa cocok.

Dengan amat tekun dan rajin, Kam Seng berlatih ilmu silat dari Suhu-nya yang baru dan tanpa terasa lagi, setahun telah lewat dengan amat cepatnya…..

********************

Begitulah riwayat Kam Seng yang terlihat oleh Lili. Tentu saja Lili merasa terheran-beran melihat betapa Kam Seng dan orang tua yang berjenggot pendek itu ternyata menuju ke kelenteng di mana dulu Kam Seng akan dibelek perutnya oleh hwesio cilik murid Ban Sai Cinjin!

Sebenarnya, Kam Seng baru saja datang dari dusun Tong-sin-bun, ke rumah Ban Sai Cinjin untuk menjemput orang setengah tua itu yang menjadi utusan dari Pangeran Ong. Utusan ini adalah seorang guru silat yang dahulu pernah pula mengajar Ong Tek di kota raja dan kini dia menerima tugas dari Pangeran Ong untuk menengok puteranya serta membawa segala macam barang kiriman berupa pakaian, uang dan lain-lain.

Kedatangan Kam Seng dan guru silat disambut oleh Ong Tek dengan girang sekali. Anak muda ini berlari menghampiri guru silat itu dan sambil memegang tangannya, dia segera bertanya, “Tan-kauwsu, apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?”

“Baik, Kongcu, semua baik. Taijin dan Hujin hanya berpesan agar supaya Kong-cu suka belajar dengan rajin di sini.”

Mereka bertiga lalu masuk ke ruang dalam, di mana terdapat Wi Kong Siansu dan Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin tidak berada di situ, oleh karena kakek mewah ini lebih banyak bermalam di dusun Tong-sin-bun.

Semenjak Wi Kong Siansu tinggal di kelentengnya itu, Ban Sai Cinjin tak merasa leluasa apa bila tinggal bermalam di situ pula. Dia merasa malu kepada suheng-nya karena dia memiliki kesukaan yang meniadi pantangan bagi kakak seperguruannya, yaitu misalnya meminum minuman keras, bermain judi dengan kawan-kawannya, atau bergurau dengan perempuan-perempuan penyanyi.

Mata Lili yang tajam masih dapat mengenal Hok Ti Hwesio sebagai hwesio kecil yang dulu hampir membelek perut Kam Seng, maka semakin heranlah dia melihat betapa kini Kam Seng dapat bersahabat dengan hwesio itu! Juga dia heran sekali ketika mendengar Kam Seng menyebut ‘Suhu’ kepada tosu tua yang duduk di situ!

Di manakah adanya suhu Sin-kai Lo Sian serta supek Mo-kai Nyo Tiang Le? Demikian dara perkasa ini bertanya seorang diri dengan penuh rasa bingung.

Lili mendengarkan guru silat she Tan itu bercerita mengenai keadaan di kota raja dan hatinya berdebar keras ketika guru silat itu berkata,

“Agaknya keturunan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya telah mulai berdatangan dan mengacau pula di sekitar kota raja.”

Tak hanya Lili yang mengintai dari atas genteng yang tertarik oleh penuturan ini, bahkan semua orang di bawah genteng juga tertarik sekali.

“Seorang pemuda keturunan Pendekar Bodoh atau entah kawan-kawannya, oleh karena menurut cerita Kam Thai-ciangkun, penjahat itu pandai ilmu-ilmu silat Pendekar Bodoh, telah mengacau di kota Tatung dan membunuh putera Kepala Daerah Tatung, yaitu Gui Kongcu. Bahkan pemuda jahat itu sudah melarikan seorang gadis bangsa Haimi yang tadinya hendak menjadi bini muda Gui Kongcu!”

Kam Seng amat tertarik dan bertanya, “Tan-kauwsu, siapakah namanya? Dan apakah ia benar-benar putera Pendekar Bodoh? Apakah namanya Hong Beng, Sie Hong Beng?”

Guru silat itu menggeleng kepalanya. “Entahlah, tentang namanya aku tidak tahu. Hanya saja, menurut penuturan Kam-ciangkun, pemuda jahat itu amat lihai. Kam-ciangkun telah terkenal memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi dia mengaku bahwa pemuda pengacau itu ilmu silatnya benar-benar tinggi, hampir sama dengan Pendekar Bodoh!”

Tentu saja Lili merasa heran dan juga tertegun mendengar cerita ini. Siapakah pemuda itu? Benarkah Hong Beng kakaknya? Boleh jadi, karena dia mendengar dari ayah ibunya bahwa kakaknya itu pun sudah meninggalkan perguruan dan kini menuju pulang setelah merantau dulu untuk meluaskan pengalaman.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan ketika Lili memandang ke bawah, ia melihat bahwa yang tertawa itu adalah Hok Ti Hwesio, kepala gundul muda itu. Hok Ti Hwesio tertawa menyeringai dengan sikap menghina dan berkata,

“Ha-ha, kenapa orang selalu menyebut-nyebut nama Pendekar Bodoh dan menganggap dia seakan-akan seorang dewata? Kenapa orang agaknya memuji-muji musuh sehingga memperkecil semangat sendiri? Urusan Pendekar Bodoh, serahkan saja padaku, siapa yang takut kepadanya? Tunggulah sampai aku bertemu dengan dia!”

Semua orang tahu bahwa Hok Ti Hwesio ini selain sombong seperti gurunya, juga amat lihai. Ia telah mempelajari tidak saja ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu sihir dan ilmu lainnya yang aneh dan mukjijat. Ia memiliki ilmu kebal yang luar biasa, bukan ilmu kebal yang timbul akibat tenaga lweekang, akan tetapi ilmu kebal yang dipelajari oleh pengaruh sihir.

Sebagaimana pernah dituturkan pada bagian depan, untuk memperoleh ilmu ini, ia tidak segan-segan untuk makan jantung manusia. Selain itu, dia sangat terkenal pula dengan kepandaiannya melempar dan mainkan pedang kecil atau pisau belati yang disebutnya sendiri ‘hui-kiam’ (pedang terbang).

Pedang kecil ini dapat ia lontarkan dengan cepat dan yang aneh, pedang kecil ini dapat mengejar sasarannya dan dapat pula terbang kembali seakan-akan bersayap. Tentu saja pedang itu tidak dapat terbang sebagaimana nampaknya, namun karena kepandaiannya melempar yang telah terlatih baik dan karena bentuk pedang itu agak bengkok, ditambah pula dengan pengerahan tenaga yang tepat, maka pedang itu seolah-olah dapat terbang kembali.

Ketika Lili mendengar ucapan hwesio muda ini, timbullah kemarahannya. Hampir saja dia melompat turun untuk mengamuk dan menampar mulut hwesio yang berani menantang-nantang ayahnya itu.

Akan tetapi ia teringat akan nasehat ayahnya yang berkata, “Lili, kelemahan yang paling membahayakan diri kita sendiri, adalah rasa takut dan nafsu marah. Kalau kau takut dan marah, maka kau tak akan dapat berlaku tenang dan mutu permainan silat akan menjadi turun serta keadaan menjadi lemah sekali. Karena itu, baik dalam keadaan bagaimana juga kau harus sanggup menguasai hatimu, dan dapat membebaskan diri dari rasa takut dan nafsu marah.”

Aku tak boleh marah, pikirnya dan setelah dengan susah payah ia dapat menekan hawa amarah yang mengalun di dalam dadanya, barulah Lili memandang kembali ke bawah. Ia mendengar Tan-kauwsu masih banyak menceritakan keadaan kota raja dan saat melihat kepala Hok Ti Hwesio yang gundul plontos dan mengkilap tertimpa sinar tujuh batang lilin yang dipasang di atas meja, timbullah keinginan di hati Lili untuk mempermainkan orang ini. Memang gadis ini mempunyai watak yang persis seperti ibunya, jenaka, nakal dan suka mempermainkan orang yang dibencinya.

Di atas genteng itu terdapat banyak tanah lumpur yang terjadi dari debu dan air hujan. Ia lalu menggaruk lumpur ini dari celah-celah genteng kemudian membuat beberapa butir pil lumpur sebesar kacang.

Lili bekerja dengan hati-hati sekali hingga sama sekali tak menimbulkan suara, kemudian dia meletakkan sebutir pil lumpur atau tanah liat itu di atas telapak tangan kirinya, dan menggerakkan jari tengah dan ibu jari kanan untuk menendang atau menyelentik pil itu ke bawah.

Dia tidak berani menggunakan tangan menyambit karena kalau dia lakukan hal ini, tentu angin tenaga sambitannya itu akan terdengar dari bawah oleh telinga orang-orang yang berkepandaian tinggi itu. Begitu pil tanah liat itu terkena tendangan jari tengah, benda kecil ini meluncur turun dengan amat cepat menuju ke arah kepala Hok Ti Hwesio yang gundul licin dan mengkilap.

“Plokk!”

Pil tanah liat itu dengan jitu sekali mengenai kepala Hok Ti Hwesio dan menjadi gepeng serta melengket pada kulit kepalanya! Akan tetapi tubuh hwesio muda itu tidak bergerak sedikit pun juga, seakan-akan serangan ini tidak terasa olehnya.

Hal ini amat mengejutkan hati Lili, oleh karena ia maklum bahwa tenaga selentikannya ini cukup untuk membuat tanah liat itu melubangi batang pohon! Demikian keraskah batok kepala hwesio itu?

Sebaliknya, Hok Ti Hwesio juga terkejut sekali. Dia tidak merasa terlalu sakit, akan tetapi kulit kepalanya cukup terasa pedas. Yang membuat dia sangat terkejut adalah kelihaian serangan ini. Mengapa dia tidak mendengarnya sama sekali? Bagaimana orang dapat menyambit sesuatu tanpa mengeluarkan suara?

Dan lagi, kalau memang betul yang menyambitnya seorang manusia yang berada di atas genteng, kenapa dia dan yang lain-lainnya tidak mendengarnya? Mungkin pendengaran telinganya kurang tajam, akan tetapi Wi Kong Siansu tentu akan mendengarnya!

Maka dia lalu meraba kepalanya dan menyangka bahwa yang jatuh di atas kepalanya itu hanya tahi cecak yang kebetulan jatuh di atas kepalanya. Juga Kam Seng dan Wi Kong Siansu mendengar suara ‘plok’ tadi, akan tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu apa pun, hanya mengira bahwa itu adalah suara buah busuk yang jatuh di atas tanah di luar kelenteng.

Benda hitam kecil ke dua meluncur cepat, disusul dengan yang ke tiga dan ke empat. Tiba-tiba saja Hok Ti Hwesio berseru keras dan mencabut pisau belatinya dengan marah sekali. Kali ini dia merasa sakit sekali pada hidung dan kedua telinganya. Dengan tepat sekali tiga pil tanah liat kecil itu menghantam hidung dan kedua daun telinganya.

Tak salah lagi, ini tentu perbuatan seorang manusia. Tidak mungkin binatang cecak bisa melempar tahi demikian kebetulan!

“Bangsat rendah, kalau kau memang berani, turunlah!” bentaknya sambil mendongakkan kepalanya memandang ke arah genteng.

Akan tetapi malang baginya, karena ia berseru sambil menengadah, sebutir pil tanah liat yang tidak kelihatan dan tidak terdengar menyambarnya, dan tahu-tahu telah memasuki mulutnya sehingga tak tertahan pula terus masuk ke tenggorokan lalu turun ke perut!

“Kurang ajar! Keparat!”

Hok Ti Hwesio menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat ia telah melompat keluar dan langsung naik ke genteng, sedangkan Wi Kong Siansu, Kam Seng, Tan-kauwsu dan Ong Tek memandang kelakuan hwesio itu dengan heran.

Ketika tiba di atas genteng, Hok Ti Hwesio memandang ke sana ke mari, akan tetapi dia tak melihat bayangan seekor kucing pun di atas genteng. Dengan mendongkol dan juga heran sekali dia melompat turun dan kembali ke dalam ruang itu. Ia berpikir bahwa kalau memang benar ada orang mengganggunya, tentulah orang itu melakukan hal itu karena marah mendengar ia tadi menantang Pendekar Bodoh, karena itu dengan suara keras ia berkata,

“Apa bila yang datang tadi Pendekar Bodoh atau konco-konconya, maka ternyata bahwa Pendekar Bodoh dan konco-konconya hanyalah pengecut-pengecut besar yang berani menyerang dengan sembunyi! Kalau ia berani turun ke sini, dalam beberapa jurus saja tentu pisauku ini akan menembus lehernya!”

Baru saja ucapannya habis, mendadak terdengar bentakan nyaring dari atas, “Bangsat gundul bermulut besar!” Berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah sekali.

Semua orang amat terkejut melihat gadis ini, karena bagaimanakah seorang dara muda remaja memiliki ginkang yang sedemikian tingginya sehingga kedatangannya sampai tak terdengar sama sekali?

Yang lebih terkejut adalah Kam Seng, karena sekali memandang saja ia mengenal gadis ini sebagai Lili!

“Lili...!” ia berseru perlahan dengan mata terbelalak.

Apa bila orang melihat sinar matanya, di sana akan terbayang kasih sayang yang besar, tercampur kebencian yang mengejutkan. Memang, semenjak dahulu ketika tertolong oleh Sinkai Lo Sian, Kam Seng merasa kagum dan suka sekali kepada Lili. Ia kagum akan kecantikan dan kejenakaan gadis ini, sehingga dulu sering kali ia diam-diam memandang kepada gadis itu dengan pikiran melamun. Akan tetapi, di samping rasa kasih sayangnya ini, ia mengandung kebencian hebat sekali mengingat bahwa dara jelita ini adalah puteri dari musuh besarnya, Pendekar Bodoh!

Seruan perlahan ini terdengar juga oleh Lili, maka dia menengok dan tersenyum manis. “Kukira tadi bukan Kam Seng yang berada di sini, akan tetapi ternyata benar-benar kau! Kenapa kau berada di sini? Di manakah Suhu dan Supek?” tanyanya sambil memandang tajam. Sinar matanya berkelebat seolah-olah hendak menembus dada Kam Seng hingga pemuda itu merasa tak enak hati sekali dan mukanya berubah merah.

Sementara itu, Wi Kong Siansu beserta yang lain-lain juga sudah bangkit dari tempat duduknya, dan Hok Ti Hwesio bertanya kepada Kam Seng,

“Sute, siapakah perempuan ini?”

Tiba-tiba timbul sebuah pikiran yang baik dalam otak Kam Seng. Ia memang mempunyai perasaan tidak suka kepada Hok Ti Hwesio yang kini menjadi suheng-nya, dan dia ingin mengadu hwesio ini dengan Lili agar dengan demikian dia dapat mengadukan dua orang yang termasuk dalam daftar musuhnya.

“Suheng, engkau tadi mencari Pendekar Bodoh. Nah, inilah puterinya yang bernama Sie Hong Li atau Lili!”

Lili makin terheran mendengar ucapan Kam Seng ini. “Dan Si Gundul ini kalau tak salah tentulah si tukang membelek perut, bukan? Apakah dia sekarang menjadi suheng-mu, Kam Seng?”

Makin merahlah muka Kam Seng mendengar hal ini. “Lili...” katanya perlahan. “Sekarang tidak ada hubungan antara kau dan aku lagi, aku... aku sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, yaitu suhu-ku yang baru ini!”

Lili tersenyum mengejek. “Siapa bilang bahwa kau dan aku pernah ada hubungan? Dari dulu pun kita tidak mempunyai hubungan sesuatu!”

Sementara itu, Hok Ti Hwesio tak dapat menahan kemarahannya lagi.

“Bagus, hendak kulihat sampai di mana kelihaian anak dari Pendekar Bodoh!”

Sambil berkata demikian, ia lantas menyerang dengan pisau belatinya, menusuk ke arah dada Lili yang berdiri dengan tenang. Melihat tusukan ini, Lili lalu tertawa mengejek dan sambil mengelak gesit ia mentertawakan hwesio itu.

“Tukang sembelih babi! Bagaimana kau berani berlagak di depan nonamu? Apakah kau masih ingin merasai pil tanah liat lagi? Masih kurang kenyangkah yang tadi itu?” Sambil berkata demikian, tangan Lili terayun dan dia melemparkan dua butir pil lagi yang masih dipegangnya. Dengan cepat sekali dua butir pil itu menyambar ke arah sepasang mata Hok Ti Hwesio!

Bukan main kagetnya Si Kepala Gundul ini pada saat melihat dua titik hitam berkelebat menyambar matanya. Dia cepat menundukkan mukanya, akan tetapi serangan dua butir pil tanah liat itu benar-benar cepat sekali.

“Tak! Tak!”

Bagaikan dua buah pelor besi, dua butir pil tanah liat itu melesat di atas kepalanya yang gundul, meski pun tidak dapat melukai kulitnya yang kebal, namun cukup mendatangkan rasa sakit!

“Perempuan liar, kau harus mampus!” serunya marah.

Dia langsung maju lagi menyerang dengan cepat, menggunakan gerak tipu yang disebut Coan-jiu Ciong-kiam (Lonjorkan Lengan Sembunyikan Pedang). Gerakan ini merupakan serangan yang berbahaya sekali, karena ia melakukan serangan dengan pukulan tangan kanan sambil menyembunyikan pedang kecil itu di bawah lengannya. Pedang kecil ini siap untuk diputar dan ditusukkan apa bila pukulan itu dapat dielakkan lawan.

Akan tetapi, Lili yang sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari ayah ibunya, bahkan sudah menerima ilmu silat warisan dari Swie Kiat Siansu yang diturunkan melalui ayahnya, tentu saja hanya mentertawakan serangan ini. Ia maklum bahwa pedang kecil yang tersembunyi di bawah lengan itu akan melakukan serangan lanjutan, maka dia lalu memutar kedudukan kakinya, mengelak sambil memainkan Ilmu Silat Sianli Utauw (Tari Bidadari) yang indah sehingga tubuhnya seakan-akan sedang menari-nari menghadapi serangan lawannya. Mulutnya yang kecil manis itu tiada hentinya tersenyum dan sambil menggerakkan tubuh mengerling tajam ke arah lawannya, ia menyindir,

“Tikus gundul! Tiada guna kau maju memperlihatkan kebodohanmu! Suruhlah Bouw Hun Ti si keparat itu keluar untuk kuambil kepalanya!”

Hok Ti Hwesio semakin marah, apa lagi ketika dia mendengar Wi Kong Siansu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu,

“Itulah Ilmu Silat Sianli Utauw yang lihai dari Ang I Niocu! Hok Ti, kau mundurlah karena kau tidak akan menang menghadapi Nona ini!”

Hanya ada seorang saja di dunia ini yang ditakuti serta ditaati oleh Hok Ti Hwesio, yakni gurunya, Ban Sai Cinjin. Walau pun dia menghormati supek-nya ini, akan tetapi di dalam kemarahan dan rasa penasarannya terhadap Lili ucapan supek-nya itu bahkan semakin menambah kemarahannya.

“Biarlah, Supek. Masa teecu tidak dapat mengalahkan perempuan liar ini?”

Ia lalu maju lagi dan kini mengirim serangan maut bertubi-tubi. Pisau belati di tangannya menyambar-nyambar cepat sekali dan karena ginkang-nya memang sudah sangat tinggi, sedangkan pisau itu kecil dan ringan, ditambah tenaga lweekang-nya yang sudah baik, maka tubuhnya lenyap berubah menjadi segunduk bayangan yang mengurung tubuh Lili dari segenap jurusan.

Lili sudah mempelajari ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan meski pun belum sempurna seperti ayahnya, namun dara jelita yang gagah perkasa ini sudah mengerti pula tentang dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, maka dengan enaknya ia menghadapi serangan-serangan Hok Ti Hwesio.

Dia melihat hwesio itu menyerangnya dengan gerak tipu Tiang-ging King-thian (Pelangi Panjang Melengkung di Langit) dan pedang kecil itu menyambar di atas kepalanya, ada pun kaki kanan hwesio itu menendang dengan cepatnya sambil mengerahkan tenaga Kim-kong-twi (Tendangan Sinar Emas).

Melihat gerakan pedang dan kaki yang menendang, Lili dapat menduga bahwa lawannya tentu memancing dirinya untuk mengelakkan tendangan itu dengan gerak lompat Kim-le Coan-po (Ikan Gabus Terjang Ombak) atau Cian-liong Seng-thian (Naga Sakti Naik ke Langit) agar supaya tubuhnya naik ke atas hingga pedang kecil yang berkelebat di atas kepalanya itu dapat menyerangnya dengan gerak tipu Liong-ting Thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga).

Ia pun maklum akan berbahayanya serangan beruntun ini, akan tetapi dasar Lili memang berhati tabah, berwatak nakal jenaka, dan sudah memiliki perhitungan yang tepat, maka dengan sengaja seakan-akan tak tahu bahaya, ia segera melompat ke atas mengelakkan serangan tendangan lawan dengan Ilmu Lompat Cian-liong Seng-thian!

Hok Ti Hwesio menjadi girang sekali melihat pancingannya ternyata berhasil dan benar saja, seperti yang sudah diduga oleh Lili, pedang kecil di tangannya lalu menyambar dari atas, memapaki kepala Lili dengan gerakan Liong-ting Thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga)! Satu hal yang tidak terduga oleh Lili, yaitu sambil melakukan serangan berbahaya ini, tangan kiri Hok Ti Hwesio tidak tinggal diam dan maju memukul ke arah dada gadis itu dengan pukulan yang mengandung tenaga Thiat-ciang-kang (Pukulan Tangan Besi)!

Kam Seng yang melihat bahaya mengancam gadis cantik yang diam-diam menjatuhkan cinta kasihnya itu, hampir saja berseru ngeri karena tak terbayang olehnya bagaimana orang dapat menghindarkan diri dari bahaya serangan sehebat itu!

Akan tetapi Lili berlaku tenang. Ia mengangkat tangan kirinya ke atas dan menggerakkan tangannya itu secara luar biasa sekali ke arah pedang lawan sehingga terdengar suara…

“Cringg...!”

Ternyata dia sudah berhasil menangkis pedang lawannya itu dengan gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya! Ada pun pukulan ke arah dadanya itu ia sambut dengan tangan kanannya, dengan telapak tangan dari jari-jari yang dikembangkan!

“Ah... tangan kanan itu sudah terang mainkan Pek-in Hoat-sut akan tetapi tangan kiri itu... apakah itu yang disebut Kong-ciak Sinna, ilmu-ilmu lihai dari Bu Pun Su?” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum.

Akan tetapi, orang-orang lain tak memperhatikan ucapan ini karena mereka lebih tertarik melihat akibat dari dua gerakan gadis yang lihai itu. Hok Ti Hwesio tadi merasa terkejut setengah mati ketika menyaksikan betapa gadis muda itu dapat menangkis pedangnya hanya dengan gelang di tangannya! Akan tetapi kekagetannya itu tidak berarti apa bila dibandingkan dengan kenyataan yang ia hadapi ketika pukulan tangan kirinya bertumbuk dengan telapak tangan gadis itu!

Ia tidak merasa bahwa kepalan tangannya sudah bertemu dengan telapak tangan kanan lawannya, akan tetapi dari telapak tangan itu mengebul uap putih dan ia merasa lengan kirinya seakan-akan hendak patah! Rasa sakit menusuk-nusuk tulang lengannya yang kiri, dan dia tahu bahwa itu adalah akibat membaliknya tenaga pukulannya sendiri!

Sambil berseru keras hwesio ini melompat ke belakang dan cepat menggunakan gagang pedangnya untuk menotok urat lengan kirinya. Dengan cara demikian dia membuyarkan tenaga sendiri yang membalik karena tangkisan gadis itu secara istimewa tadi!

“Perempuan liar! Jangan lari!” teriak Hok Ti Hwesio dengan keras dan marah, suatu sikap untuk menutup rasa malunya dan untuk memperbesar semangatnya.

Ia menubruk maju lagi dan kini ia bersilat lebih hati-hati. Diam-diam ia merasa penasaran dan sedih sekali sehingga ingin sekali dia menangis berkaok-kaok saking jengkel hatinya. Bagaimanakah dia, Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin, yang sejak masih kecil dengan rajin dan tekunnya mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, bahkan sudah memiliki kekebalan dan ilmu kesaktian yang berdasarkan ilmu hitam, juga sudah ‘bertapa’ mencari kesaktian dari makhluk halus, bermalam di tanah pekuburan, sekarang dengan pedang di tangan tidak berdaya menghadapi seorang gadis yang bertangan kosong?

Saking jengkelnya, ia tidak ingat lagi akan pengalamannya yang tadi. Bila Hok Ti Hwesio tidak begitu jengkel dan penasaran, tentu telah terbuka matanya bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya.

“Hemm, tikus gundul! Binatang rendah macam kau inikah yang hendak melawan ayah? Ha, kau perlu diberi rasa sedikit!”

Setelah berkata demikian, Lili mengubah caranya bersilat dan kini dia memainkan Sianli Utauw bagian yang paling cepat. Tubuhnya seakan-akan lenyap berubah menjadi sinar kemerahan dari bajunya yang berkembang merah itu sehingga pandangan mata Hok Ti Hwesio menjadi pening.

Sering kali ia menyaksikan gurunya atau supek-nya bersilat dengan hebat, akan tetapi belum pernah melihat yang secepat ini. Dia lalu mengamuk dan menggunakan pedang kecilnya menyambar ke arah bayangan tubuh lawannya. Akan tetapi tiap kali pedangnya menyerang, xia merasa hanya mengenai angin belaka karena lawannya sudah berhasil mengelak lebih dulu. Dan sebagai imbangannya…

“Tokk!” terdengar suara ketika kepalanya telah kena diketok oleh jari tangan Lili.

Beberapa puluh jurus mereka bertempur dan entah sudah beberapa belas kali terdengar suara ‘tak-tok! tak-tok!’ karena selalu tangan atau pun kaki Lili berkenalan dengan kepala yang gundul klimis itu.

Gadis ini benar-benar merasa kagum dan heran. Ketokan, pukulan, dan tendangannya itu dilakukan dengan tenaga lweekang yang penuh dan kuat luar biasa. Jangankan baru kepala orang, biar pun kepala patung batu akan pecah atau retak terkena serangan ini. Bagaimanakah hwesio ini dapat menerima semua pukulan itu dengan adem-adem saja, seakan-akan yang hinggap di kepalanya hanyalah lalat-lalat belaka?

Sebaliknya, Hok Ti Hwesio menjadi demikian mendongkol, malu, penasaran dan marah sehingga tak terasa lagi dari kedua matanya keluar dua titik air mata yang besar-besar! Bukan main gemasnya karena kepalanya dibuat main bola oleh gadis ini, dan biar pun ia dapat menahan pukulan itu, namun tetap saja ia merasa sedikit puyeng!

Wi Kong Siansu khawatir kalau-kalau murid keponakan ini akan mendapat luka di dalam otaknya akibat pukulan-pukulan lihai itu, maka dia segera membentak, “Hok Ti! Mundur kau...!”

Kali ini Hok Ti Hwesio tidak membangkang, karena di dalam suara supek-nya terdengar perintah yang amat keras. Lagi pula, tadinya dia hendak mengadu nyawa karena merasa malu untuk mengundurkan diri mengaku kalah setelah dia tadi bersumbar, kini ia melihat kesempatan baik karena supek-nya yang memerintahnya mundur!

Dengan gerak lompatan Naga Hitam Berjungkir Balik ia melompat ke belakang, membuat poksai (salto) tiga kali dan tiba-tiba ketika tubuhnya masih berjumpalitan itu, pisau belati yang berada di tangannya telah ia lontarkan ke arah Lili!

Inilah keistimewaan Hok Ti Hwesio. Pedang kecil atau pisau belati itu lantas menyambar dengan cepatnya, merupakan sinar putih yang mengkilap menuju ke arah leher Lili yang sama sekali tidak menduganya. Akan tetapi, dengan tenang sekali dan masih tersenyum, Lili mengangkat tangan kiri ke depan leher dan dengan gerak tipu Kwan-im-siu-koai-to (Dewi Kwan Im Menyambut Golok Siluman) ia telah dapat menangkap hui-kiam (pedang terbang) itu dan berbareng pada saat itu juga, dia mengirim pulang pedang itu dengan melontarkannya ke arah perut Hok Ti Hwesio disusul suara ejekannya,

“Nah, makanlah pisau penyembelih babimu ini!”

Baru saja tubuh Hok Ti Hwesio melompat turun, pisaunya telah terbang dan menyambar perutnya yang kecil karena jarang makan itu. Dia terkejut sekali sehingga tidak sempat mengelak atau menangkis, maka dia cepat mengerahkan kekebalannya ke tempat yang terserang itu dan…

“Brett!” hanya pakaiannya sajalah yang terobek oleh pisau itu, akan tetapi kulitnya lecet pun tidak!

“Terlalu enak bagimu!” Lili berseru penasaran dan sambil melangkah maju dua tindak, ia melancarkan pukulan Pek-in Hoat-sut ke arah hwesio itu dengan kedua lengannya!

“Celaka!” seru Wi Kong Siansu.

Dari tempatnya tosu ini segera menggerakkan ujung kedua lengan bajunya menangkis serangan angin pukulan yang sudah dilancarkan oleh Lili. Akan tetapi, masih tetap saja sebagian tenaga pukulan ini menyerang Hok Ti Hwesio sehingga hwesio itu terpental menubruk dinding di belakangnya yang terpisah tiga tombak lebih dari padanya!

Kalau saja pukulan ini tak tertahan oleh angin tangkisan Wi Kong Siansu, maka tak dapat diharapkan Hok Ti Hwesio akan dapat bernapas lagi. Walau pun dia kebal, akan tetapi pukulan Pek-in Hoat-sut menembus semua kekebalan dan merusak tubuh bagian dalam. Kini Hok Ti Hwesio juga terluka, akan tetapi tidak terlalu parah dan tidak membahayakan jiwanya, hanya cukup membuat dia terduduk mengeluh panjang pendek sambil berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk memulihkan lukanya.

“Ganas, ganas...!” kata Wi Kong Siansu sambil memandang kepada Lili. “Tidak kusangka bahwa Pek-in Hoat-sut dari Bu Pun Su yang budiman dan penuh hati welas asih itu kini dipergunakan oleh cucu muridnya secara demikian kejam!”

Lili tersenyum manis dan menjura kepada Wi Kong Siansu, lalu ia pun berkata, “Wi Kong Siansu, aku yang muda sudah sering kali mendengar namamu yang besar sebagai orang yang berkepandaian tinggi. Ucapanmu tadi memang kuakui ada benarnya, akan tetapi agaknya kau orang tua sudah menjadi pikun dan lupa akan ejekan orang-orang jaman dahulu yang berbunyi: peluh orang lain berbau busuk, akan tetapi kotoran sendiri berbau sedap! Tadi mudah saja kau mencela aku yang muda, bahkan membawa nama Sucouw Bu Pun Su. Akan tetapi, bukankah tikus gundul itu murid keponakanmu sendiri? Kenapa kau tidak mencelanya sama sekali? Apakah kau anggap bahwa perbuatannya terhadap aku tadi cukup pantas?”

Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. Ia tidak tahu bahwa Lili memang semenjak kecil gemar berkelahi dan karena sering kali bertengkar, maka ia juga menjadi pandai berdebat! Apa lagi karena dia sering kali mendengar ayahnya memberi nasehat dengan segala macam ujar-ujar kuno, maka ujar-ujar yang kiranya dapat dia pergunakan untuk ‘memukul’ lawan, telah hafal di dalam kepalanya.

Dengan kata-katanya yang lantang itu, gadis ini sama sekali tidak memandang muka Wi Kong Siansu sehingga tosu itu menjadi penasaran sekali. Ia merasa ditantang!

“Hemm, Nona muda, biar pun kau puteri Pendekar Bodoh, tak selayaknya kau bersikap begini sombong di hadapan Toat-beng Lo-mo! Agaknya ayahmu hanya memberi didikan ilmu silat saja kepadamu, sama sekali tidak memberi pelajaran mengenai tata susila dan sopan santun!”

Kembali Lili tersenyum lebih manis lagi. Semakin manis senyum gadis ini, maka semakin berbahayalah dia, karena itu merupakan tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya dan berada dalam keadaan yang amat waspada.

“Totiang, orang-orang dulu yang lebih tua dari padamu telah menyatakan bahwa manusia dihormat oleh sesamanya bukan karena keputihan rambutnya (usia tua), melainkan dari keputihan hatinya (budiman).”

Mulai bersinar pandang mata Wi Kong Siansu. “Bocah lancang mulut! Apakah kau mau menyatakan bahwa kau anggap aku seorang jahat?”

“Tak ada sangka-menyangka dalam hal ini, Totiang,” kata Lili sambil mengerling ke arah Kam Seng dengan pandangan mengejek. “Ayah pernah berkata bahwa burung gagak hanya akan berkawan dengan mayat, sedangkan burung Hong hanya berkawan dengan burung sorga! Aku tidak berani menyatakan atau menyangka bahwa Totiang dan semua orang di sini jahat pula, akan tetapi aku berani menyatakan bahwa orang-orang yang bernama Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, yang keduanya tinggal di tempat ini juga adalah binatang-binatang rendah yang harus dimusnakan dari muka bumi ini!”

Ucapan ini terasa bagai tamparan pedas di muka Wi Kong Siansu, akan tetapi terhadap Kam Seng merupakan ujung pedang yang menikam di ulu hatinya. Mukanya yang tadi merah sekarang berubah menjadi pucat.

Wi Kong Siansu berkata lagi, “Hemm, kau masih kanak-kanak akan tetapi mulutmu jahat sekali. Sikapmu menantang kepadaku, akan tetapi aku masih malu untuk menghadapi seorang anak kecil seperti kau. Kam Seng, kau wakili aku dan coba kau uji kepandaian Nona ini!”

Kam Seng tidak berani membantah. Gurunya sudah tahu bahwa sebelum dia datang di tempat itu, ia adalah suheng dari gadis ini, maka kalau sekarang ia memperlihatkan sikap ragu-ragu dan membantah, tentu gurunya akan menaruh hati curiga kepadanya. Pula, Lili adalah anak dari musuh besarnya yang harus pula ia balas, sungguh pun cara membalas dendam terhadap Lili telah ada rencana lain dalam otaknya!

Dia amat sayang kalau nona yang begini cantik manis sampai terbinasa. Akan lebih baik kalau dia dapat mengambil nona ini menjadi isterinya! Bukan karena cinta kasih murni, akan tetapi hanya untuk mempermainkan anak musuh besarnya!

Sambil menekan debar jantungnya, Kam Seng segera melangkah maju sambil mencabut pedangnya.

“Lili,” katanya dengan suara tenang, “kau sudah berani menghina Suhu. Lekas cabutlah pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar. Hendak kulihat apakah kepandaianmu sesuai dengan kesombonganmu ini!”

Lili tidak menjawab, bahkan dia lalu menatap pemuda itu dan memandang dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki. Ia melihat pemuda ini sekarang nampak tampan dan gagah, mukanya putih terawat, rambutnya tersisir rapi dan diikat ke atas. Pakaiannya bersih dan terbuat dari sutera mahal, baju warna merah dengan leher kuning emas dan celana warna biru. Alangkah jauh bedanya dengan Kam Seng yang dulu itu! Dulu hanya seorang pengemis kelaparan dan kurus kering, berpakaian compang-camping dan kotor.

“Hemm, Kam Seng, kau benar-benar sudah memperoleh kemajuan hebat! Pakaianmu itu semewah keadaan dalam ruangan ini! Hanya sayangnya, tidak semua keadaan di luar mencerminkan keadaan di dalam! Banyak kutemui keindahan luar yang hanya menjadi kedok dari pada kebobrokan di sebelah dalam!” Suara ini dikeluarkan dengan bibir masih tersenyum simpul, seolah-olah ia adalah seorang dewasa yang sedang memberi nasehat kepada seorang anak kecil.

“Sudahlah, Lili, jangan banyak cakap lagi,” Kam Seng menjawab dengan muka kemerah-merahan. “Tidak ada gunanya bertanding kata-kata, cabutlah pedangmu!”

“Lagakmu seperti orang gagah saja!” Lili masih menyindir dan dengan gerakan perlahan dia mengeluarkan sebuah kipas dari dalam bajunya, membuka kipas itu lalu mengipasi tubuhnya yang tidak gerah!

Bagi pandangan orang lain dan juga Kam Seng, agaknya sikap Lili ini memandang rendah sekali kepada lawannya. Bahkan Kam Seng tidak mengira bahwa gadis itu akan menghadapinya dengan kipas di tangan!

“Lili, lekas kau keluarkan pedangmu. Aku tak mau menyerang orang bertangan kosong!” Ucapan ini sengaja dikeluarkan dengan keras untuk memberi tamparan kepada Hok Ti Hwesio yang dibencinya.

Akan tetapi Lili hanya tersenyum saja dan mengipasi tubuhnya makin cepat lagi. “Untuk menghadapi seekor lalat, cukup dengan sehelai kipas!” katanya.

Tidak seperti Kam Seng dan orang-orang lainnya, Wi Kong Siansu memandang kepada kipas di tangan Lili itu dengan penuh perhatian. Bukan kipasnya yang menarik perhatian tosu ini, melainkan cara jari tangan gadis itu memegang kipas itu.

Orang lain apa bila memegang kipas tentu gagangnya digenggam di telapak tangan di antara empat jari dan ibu jari. Akan tetapi Lili memegang kipas itu dengan gagang dijepit antara ibu jari dan telunjuk, sedangkan tiga jari tangan yang lain lurus dan tegang!

Berdebarlah dada tosu ini karena pegangan ini mengingatkan ia akan jago tua di utara, yaitu Swie Kiat Siansu, ahli Kipas Maut! Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya. Bagaimana gadis ini bisa menjadi murid Swie Kiat Siansu?

“Kam Seng, jangan pandang ringan kipas itu, kau seranglah!” katanya kepada muridnya.

Lili diam-diam memuji ketajaman mata tosu itu, sedangkan Kam Seng menjadi terkejut dan memperhatikan kipas di tangan Lili. Kipas itu gagangnya berwarna putih kekuningan seperti tulang. Ia dapat menduga bahwa kalau kipas ini dipergunakan sebagai senjata, tentu gagang kipas itu terbuat dari pada gading yang keras. Layar atau permukaan kipas entah terbuat dari apa, kekuningan pula akan tetapi telah digambari gunung dan sungai dan ditulisi syair pula.

Ia masih merasa ragu-ragu. Bagaimanakah kipas sekecil itu akan dipergunakan sebagai senjata? Akan tetapi karena suhu-nya telah menyuruhnya menyerang, ia lantas bergerak maju.

“Awas pedang!” teriaknya dan menyeranglah dia dengan gerak tipu Liu-seng Kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), sebuah gerak tipu serangan yang cukup berbahaya.

Laksana sebuah bintang, ujung pedang itu bergerak secara berantai dan dapat mengejar terus kemana saja sasarannya bergerak. Kini yang dijadikan sasaran oleh pedangnya adalah pundak kanan Lili. Dengan memilih sasaran pundak kanan, Kam Seng hendak menyatakan bahwa dia tidak berniat jahat atau hendak menewaskan gadis itu. Dengan menyerang pundak, maka ia memberi banyak kesempatan kepada Lili untuk mengelak.

Akan tetapi, ternyata Lili sama sekali tak mengelak, bahkan menanti datangnya serangan ini dengan senyum mengejek. Kam Seng terkejut sekali. Betapa pun juga, dia tidak bisa membatalkan serangannya karena hal ini akan membikin marah suhu-nya dan biar pun hanya pundak, kalau terkena pedangnya tentu akan terluka hebat juga! Serangannya ini amat cepat dan dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya.

Pada waktu ujung pedang Kam Seng sudah berada dekat sekali dengan baju Lili yang menutup pundak, tiba-tiba gadis itu yang masih saja mengipasi tubuhnya dengan kipas lalu mengubah gerakan kipasnya dan kini dia mengebut ke arah pedang Kam Seng yang ujungnya sudah mendekati pundaknya.

Kam Seng hampir mengeluarkan seruan keras saking kagetnya. Gerakan dengan kipas di tangan yang sangat sederhana namun luar biasa sekali, dibarengi penyerangan yang luar biasa pula. Sekaligus kipas itu telah melakukan tiga gerakan yang luar biasa.

Permukaan kipas menangkis ujung pedang, lalu kebutannya mendatangkan angin yang menyambar wajahnya sehingga membuat ia tak dapat membuka mata, dan gagang kipas dari gading itu cepat sekali melakukan totokan berbahaya ke arah pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang!

“Lihai sekali...!” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum. “Aku berani bertaruh bahwa ini tentulah Ilmu Kipas Maut dari Swie Kiat Siansu!”

Sementara itu Kam Seng yang lincah gerakannya telah dapat melompat mundur dan wajahnya menjadi pucat. Karena tadi memandang rendah hampir saja ia terkena totokan hanya dalam segebrakan saja. Sedangkan Lili makin kagum mendengar ucapan Wi Kong Siansu yang ternyata dapat mengenal ilmu silatnya demikian cepatnya.

Kam Seng berlaku hati-hati dan kini ia tidak berlaku sheji (sungkan) lagi. Ia mengerahkan kepandaiannya dan menyerang dengan cepat, mempergunakan Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut, yaitu ilmu pedang ciptaan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang amat ganas dan selain kuat juga amat cepat gerakannya.

Diam-diam Lili kagum juga melihat ilmu pedang ini. Sayang dia sudah berkumpul dengan orang-orang jahat, pikirnya. Bila ia terus terdidik oleh orang baik-baik, tentu ilmu sitatnya akan amat berguna.

Sama sekali Lili tidak tahu bahwa sesungguhnya dasar ilmu silat Kam Seng ia dapat dari pendidikan Mo-kai Nyo Tiang Le. Hanya ilmu pedangnya ini memang pelajaran dari Wi Kong Siansu. Agaknya pemuda ini merasa malu untuk mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Nyo Tiang Le guna menghadapi gadis ini.....

Lili maklum bahwa ilmu kepandaian Kam Seng lebih baik dan lebih berbahaya dari pada Hok Ti Hwesio. Perbedaan yang amat mencolok antara kedua orang ini ialah bahwa Hok Ti Hwesio mendasarkan kepandaiannya untuk daya tahan, tubuhnya kebal, pertahanan pun kuat, bahkan batok kepalanya juga dapat menahan pukulan maut.

Sebaliknya, Kam Seng mendasarkan kepandaiannya pada daya serang. Serangan yang dilancarkan pemuda ini sangat berbahaya dan cepat, tidak memberi banyak kesempatan kepada lawan. Akan tetapi, daya tahannya tidak sekuat Hok Ti Hwesio.

Ilmu Kipas Maut yang dia warisi dari Swie Kiat Siansu adalah semacam ilmu silat yang luar biasa sekali, dan disebut ilmu silat San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air). Kipas yang dulu dipergunakan oleh Swie Kiat Siansu adalah kipas yang layarnya terbuat dari pada kulit harimau, akan tetapi sebagai seorang gadis, Lili tidak suka menggunakan kipas yang buruk rupa.

Ia sengaja membuat kipas yang kecil dan indah bentuknya, dengan layar dari kain tebal yang dilukisi dan ditulisi syair. Dengan demkian, kipasnya ini tidak saja dapat digunakan untuk senjata, akan tetapi juga dapat dipakai untuk pemantas dan untuk mencari angin sejuk. Lukisan di atas kipasnya ini indah sekali dan syairnya ditulis sendiri oleh ayahnya, maka Lili merasa sayang sekali kepada kipas ini.

Dalam perkelahian menghadapi lawan, baru kali ini ia mempergunakan kipas ini, maka ia berlaku amat hati-hati agar jangan sampai lukisan pada kipas itu menjadi rusak. Maka ia lalu menutup kipasnya, dan hanya mempergunakan gagangnya saja untuk menghadapi Kam Seng.

Hal ini tidak saja memperlambat kemenangannya, bahkan membuat ia sukar sekali untuk menjatuhkan lawannya. Kalau kipas itu dibuka, maka senjata istimewa ini menjadi tiga kali lipat lebih berbahaya, karena gagangnya berubah menjadi dua pada kanan kiri yang keduanya dapat dipergunakan untuk menotok. Permukaan kipas dapat digunakan untuk mengacaukan pandangan mata musuh, bahkan angin kipasannya saja dapat membuat lawan menjadi bingung. Dengan menutup kipas itu, maka senjata ini hanya merupakan sebuah gagang yang digerakkan untuk menangkis atau mengirim serangan totokan.

Sebelum berguru kepada Wi Kong Siansu, terlebih dahulu Kam Seng telah mendapatkan gemblengan dari Mo-kai Nyo Tiang Le dan ia telah sering menderita sehingga ia menjadi tekun sekali melatih lweekang, maka ilmu pedangnya kini sama sekali tak dapat dibilang rendah tingkatnya.

Kalau saja Lili tidak sayang kepada kipasnya dan melayaninya dengan kipas terbuka, maka dapat dipastikan bahwa kurang dari dua puluh jurus saja Kam Seng akan sanggup dirobohkan olehnya. Akan tetapi karena Lili menghadapinya dengan kipas tertutup, maka pertempuran berjalan sengit dan ramai sekali.

Tetapi masih saja Lili selalu berada pada pihak penyerang, karena dengan pengertiannya akan dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, gadis ini dapat menduga gerakan-gerakan dan perkembangan serangan lawan lantas dapat mendahuluinya. Berbeda dengan ketika melawan Hok Ti Hwesio, Lili tidak mau mengejeknya dan tidak mau mempermainkannya pula, sebab di dalam hatinya tidak terkandung kebencian terhadap Kam Seng, hanya ada penyesalan dan kekecewaan besar melihat pemuda itu tersesat.

Setelah bertempur hampir lima puluh jurus, perlahan akan tetapi pasti Lili mulai berhasil mendesak Kam Seng. Pemuda ini merasa penasaran sekali, karena bagaimanakah Lili dapat berkelahi sedemikian kuatnya dengan hanya bersenjatakan sebuah kipas kecil? Ia lalu mengerahkan ilmu silat yang ia pelajari dari Mo-kai Nyo Tiang Le, akan tetapi sia-sia belaka. Kipas Lili betul-betul hebat sekali dan ujung gagang gading itu selalu mengancam jalan darahnya.

Pada waktu pedangnya berkelebat membabat pinggang Lili dan dapat ditangkis oleh Lili yang mementalkan gagang gadingnya kemudian membalas dengan totokan ke arah iga, terpaksa Kam Seng harus menjatuhkan diri ke bawah dengan gerak tipu Harimau Lapar Mengintai Korban. Dengan amat cepatnya, ia langsung menggerakkan pedang menyapu pergelangan kaki gadis itu.

Menghadapi serangan ini, Lili memperlihatkan kepandaiannya yang amat mengagumkan. Ia tidak melompat ke atas untuk menyelamatkan kakinya, bahkan dengan berani dia lalu memapaki datangnya pedang ini dengan gerakan kaki yang dinamakan gerak tipu Dewa Bumi Menginjak Ular.

Kaki kanannya dengan kecepatan luar biasa dan dari arah atas menyerong ke bawah dapat menyambut permukaan pedang dan sambil meminjam tenaga serangan lawan, dia menekan dan menggerakkan tenaga lweekang pada kakinya yang terus menindih dan menginjak pedang itu di atas tanah!

Kam Seng terkejut sekali. Dia cepat mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia belaka. Pedangnya itu seakan-akan sudah terjepit dan tertindih oleh batu karang yang berat sekali sehingga tidak dapat terlepas dari tindihan kaki Lili yang memandangnya sambil tersenyum! Kemudian, gagang kipas gading di tangan Lili cepat menyambar turun, menotok ke arah pundak kanan Kam Seng.

Melihat datangnya totokan yang amat berbahaya ini, terpaksa pemuda itu melakukan hal yang membuatnya mendapat malu dan yang sekaligus menyatakan kekalahannya. Yaitu dia melepaskan gagang pedangnya dan menggulingkan tubuhnya ke belakang dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng! Dia dapat menghindarkan diri dari totokan, akan tetapi dia harus melepaskan pedangnya yang berarti bahwa dia telah kalah!

Dengan muka merah dia melompat bangun dan berdiri menundukkan muka, akan tetapi diam-diam dia amat mengagumi gadis puteri musuh besarnya itu.

“Hebat...! Hebat...!” kata Wi Kong Siansu sambil melangkah maju menghadapi Lili yang masih menginjak pedang.

Sekali tosu tua ini mengebutkan ujung lengan bajunya, maka tubuhnya merendah dan ujung lengan baju melibat gagang pedang itu bagaikan seekor ular. Lalu dia membetot keras akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi merah ketika merasa bahwa pedang itu tak dapat terbetot dari injakan kaki Lili!

Dia terkejut dan diam-diam dia kagum sekali karena ternyata bahwa tenaga injakan itu betul-betul hebat. Ia segera dapat menduga bahwa gadis ini tentu menggunakan tenaga Thai-san-cui, karena hanya dengan ilmu pengerahan tenaga ini sajalah betotannya dapat tertahan.

Kakek ini tersenyum-senyum, kemudian berseru, “Lepas!”

Dia lalu mengerahkan tenaga Im-yang-cui. Tenaga betotannya kali ini bukanlah tenaga membetot semata, sebab ujung bajunya itu membetot dengan tenaga terbalik, yaitu justru mendorong pedang itu ke depan, kemudian di tengah-tengah dorongannya ini, barulah ia menarik keras. Inilah tenaga Im-yang-cui yang sifatnya bertentangan, akan tetapi dapat dipergunakan dengan berbareng, maka kehebatannya pun luar biasa sekali.

Lili maklum bahwa ia tidak dapat mempertahankan injakannya lagi, maka tiba-tiba saja ia melepaskan tenaga injakannya sambil berbareng menekuk jari kakinya, yaitu ibu jari dan jari kedua, lalu jari-jari kakinya itu menggunakan gerakan menyentik pedang itu!

Memang gadis ini selain nakal, juga mempunyai banyak akal dan lihai sekali. Biar pun jari kakinya tersembunyi di dalam sepatu kain, dan tenaganya dapat berkurang karenanya, namun dia masih dapat melakukan gerakan yang lihai ini. Pedang itu yang terbetot oleh ujung lengan baju Wi Kong Siansu, ditambah dengan tenaga menyentik dari jari kaki Lili, tiba-tiba bergerak membalik dan seakan-akan terbang menuju ke arah leher tosu itu!

Kini Wi Kong Siansu yang maklum akan demonstrasi yang diperlihatkan oleh gadis itu, tidak mau ‘kalah muka’! Melihat datangnya pedang yang melayang ke arah lehernya, dia kemudian merendahkan tubuh dan membuka mulutnya. Pedang itu dengan tepat sekali memasuki mulutnya dan tergigitlah ujung pedang itu oleh gigi si kakek yang lihai!

Semua orang langsung memandang dengan melongo melihat betapa gagang pedang itu bergoyang-goyang seakan-akan pedang itu telah menancap di batang pohon! Lili sendiri pun merasa amat kagum dan terkejut karena makin maklum bahwa dia kini menghadapi seorang tosu yang berilmu tinggi sekali.

Dengan tenang Wi Kong Siansu mengambil pedang itu dari mulutnya, kemudian sambil tersenyum-senyum kepada Lili dia pun berkata,

“Siancai... Sungguh seorang gadis yang lihai, cerdik, nakal dan tabah sekali! Nona, kau masih begini muda, akan tetapi telah mewarisi kepandaian Pendekar Bodoh, bahkan kau sudah mewarisi kepandaian Swie Kiat Siansu! Tak percuma kau menjadi puteri Pendekar Bodoh! Akan tetapi pinto (aku) tidak ingin bertanding melawan seorang anak-anak seperti kau. Lebih baik kau pulang saja dan kalau memang kau ingin mengacau rumah tangga kawan-kawanku, suruhlah ayahmu yang datang ke sini.”

“Totiang, kau bilang tidak ingin bertanding melawan aku, sebaliknya siapakah yang ingin bertempur dengan kau? Telah kukatakan bahwa kedatanganku bukan hendak berurusan dengan kau, dan juga aku tidak butuh sesuatu dari Kam Seng atau si kepala gundul itu! Aku hanya perlu mencari manusia busuk yang bernama Bouw Hun Ti untuk kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya!”

Pada waktu itu, Bouw Hun Ti tidak berada di kelenteng itu. Bahkan dia tidak ada pula di dusun Tong-sin-bun, oleh karena orang she Bouw ini semenjak beberapa hari yang lalu telah pergi jauh ke utara.

Bouw Hun Ti memang seorang yang amat cerdik dan hati-hati. Biar pun ia telah berhasil mengundang datang Wi Kong Siansu untuk memperkuat kedudukannya, namun ia masih berkhawatir juga. Sesudah berunding dengan suhu-nya dan supek-nya itu dan mendapat persetujuan, ia lalu berangkat ke utara untuk mengunjungi tiga orang sahabat baiknya yang berilmu tinggi, yaitu yang disebut Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun).

Ketiga orang ini adalah orang-orang yang aneh dan sakti dan yang tinggal di Hailun, yaitu sebuah kota di daerah Mancuria. Bouw Hun Ti mengunjungi mereka untuk membujuk mereka agar datang kemudian bersama-sama menghancurkan Pendekar Bodoh beserta kawan-kawannya. Ia mempunyai harapan besar untuk mendapat bantuan ketiga orang ini yang masih terhitung keluarga dari Panglima Mongol yang bernama Balaki dan yang dulu tewas dalam perang ketika orang Mongol menyerbu ke selatan.

Mendengar kata-kata Lili yang menyatakan hendak memenggal leher Bouw Hun Ti, Wi Kong Siansu lalu tertawa.

“Ahh, sungguh kau sombong sekali, Nona. Belum tentu Bouw Hun Ti akan sedemikian mudahnya menyerahkan lehernya untuk kau sembelih! Lagi pula, pada saat ini murid keponakanku itu tidak berada di sini.”

“Bohong!” seru Lili marah. “Totiang, kau ingatlah. Walau pun aku tidak ingin bermusuhan dengan kau orang tua, akan tetapi kalau engkau hendak menyembunyikan dan membela keparat Bouw Hun Ti, terpaksa aku berlaku kurang ajar!”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari dalam kelenteng, disusul dengan mengebulnya asap hitam diikuti berkelebatnya tubuh seorang tua pendek gemuk yang berpakaian mewah. Ban Sai Cinjin telah datang pula sambil membawa huncwe-nya yang mengebulkan asap hitam, tanda bahwa dia sudah siap untuk bertempur! Bagaimanakah orang ini bisa datang ke kelenteng itu pada waktu malam gelap?

Sebagaimana sudah diceritakan di bagian depan, hampir semua rumah penginapan dan toko-toko besar di dusun Tong-sin-bun adalah milik dari Ban Sai Cinjin. Demikian pula rumah penginapan di mana Lili bermalam, adalah rumah penginapan orang tua ini pula.

Ketika menyaksikan kecantikan Lili, para pengurus hotel segera memberi laporan kepada Ban Sai Cinjin yang mata keranjang dan rnemang berwatak sebagai bandot tua. Ia amat gembira mendengar bahwa di hotel itu bermalam seorang gadis cantik jelita. Penuturan pengurus rumah penginapan itu bahwa gadis ini nampaknya berkepandaian tinggi, malah membuat hatinya makin gembira.

“Ha-ha-ha! Inilah yang selama ini kucari-cari,” katanya. “Aku telah merasa bosan dengan gadis-gadis yang lemah. Aku sudah bosan dengan bunga-bunga harum yang mudah layu dan rontok. Aku menghendaki bunga hutan, bunga liar. Ha-ha-ha!”

Akan tetapi ketika dia mendengar bahwa gadis itu keluar dari kamar tanpa diketahui ke mana perginya, dan ditunggu-tunggu belum juga kembali, maka mulai curigalah hati Ban Sai Cinjin. Di dusun sekecil Tong-sin-bun, orang dapat melancong ke manakah? Apa lagi seorang gadis muda!

Dia lalu teringat akan penuturan pengurus hotel bahwa gadis itu berkepandaian silat, dan karena Ban Sai Cinjin merasa bahwa dia mempunyai banyak musuh yang mendendam sakit hati kepadanya, maka ia lalu berlaku waspada.

Digantinya tembakau pada huncwe-nya dan ia lalu berlari cepat menuju ke kelenteng di tengah hutan itu. Benar saja, dia melihat gadis cantik jelita itu sedang berada di dalam kelentengnya dan mengucapkan ancaman terhadap muridnya Bouw Hun Ti.

Ia kemudian tertawa dan melompat masuk, dan sambil menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari gadis itu ia berkata,

“Nona, kau mencari Bouw Hun Ti? Ha-ha-ha, muridku ini sedang pergi jauh. Biarlah aku mewakilinya menyambutmu yang sudah datang dari tempat jauh. Kalau aku tahu, tentu kau tidak kuperbolehkan mendiami kamar hotelku yang kecil itu, akan kusediakan kamar besar dan mewah di rumahku. Ha-ha-ha!”

Melihat munculnya orang tua itu, maklumlah Lili bahwa dia harus melawan mati-matian, karena dia tahu akan kelihaian dan kejahatan Ban Sai Cinjin.

“Hemm, aku tahu siapa kau ini. Ban Sai Cinjin, aku memang datang untuk memenggal leher muridmu Bouw Hun Ti, untuk membalas dendamku ketika aku terculik olehnya pada waktu aku masih kecil dan terutama sekali untuk membalas dendam karena dia sudah membunuh kakekku, yaitu Yo Se Fu!”

“Mudah saja, mudah. Marilah kau ikut aku ke rumah, dan sementara menanti datangnya Bouw Hun Ti, kita makan minum untuk menghormat kedatanganmu!”

Lili maklum bahwa orang tua ini mencari perkara. Menghadapi Ban Sai Cinjin tidak boleh gegabah, apa lagi di situ terdapat Wi Kong Siansu yang menjadi suheng dari orang tua mewah ini, maka kalau tidak diserang, lebih baik jangan mencari penyakit sendiri.

“Ban Sai Cinjin, kata-katamu sama hitamnya dengan tembakaumu yang berbau busuk! Siapa mau meladeni orang seperti kau? Kalau Bouw Hun Ti si jahanam itu tidak berada di sini, sudahlah!” Ia lalu menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ.

Akan tetapi tiba-tiba Ban Sai Cinjin bergerak maju menghadang di tengah jalan.

“Ha-ha-hi-hi, enak saja kau mau pergi dari sini! Kau berani datang ke kelentengku tanpa kupanggil, dan kau datang dengan maksud jahat, apakah aku harus membiarkan kau berlaku sesuka hatimu? Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani membuka mulut besar hendak membunuh muridku. Siapakah adanya kau yang sombong ini?”

“Suhu, dia adalah puteri dari Pendekar Bodoh dan tadi pun dia hampir saja membunuh teecu!” tiba-tiba Hok Ti Hwesio berkata sambil menudingkan jarinya ke arah Lili dengan pandangan marah. Hwesio muda ini ingin sekali suhu-nya membalaskan hinaan yang dia alami tadi.

Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ini. Apa bila gadis ini sudah dapat mengalahkan Hok Ti Hwesio, itu tandanya bahwa kepandaian gadis ini tidak boleh dibuat gegabah. Dia menengok kepada Kam Seng dan Wi Kong Siansu dengan heran.

“Ada Suheng dan Kam Seng di sini, bagaimana dia bisa mengganggu Hok Ti?”

Kam Seng buru-buru berkata, “Teecu juga sudah kena dikalahkan oleh Nona ini.”

“Hemm, hemm, lihai juga,” Ban Sai Cinjin mengangguk-angguk. “Baiknya Suheng belum turun tangan, biarlah aku yang meringkus bocah ini!” Sambil berkata demikian, dengan gerakan yang tak terduga-duga, Ban Sai Cinjin cepat mengulurkan tangan kirinya hendak menangkap pundak Lili.

Gadis itu segera mengelak dan menggunakan kipasnya yang masih dipegangnya untuk mengebut dan menotok pergelangan tangan lawan yang diulur itu. Ban Sai Cinjin hanya tersenyum-senyum saja dan sama sekali tidak mau mengelak. Kakek ini sudah memiliki kekebalan yang melebihi Hok Ti Hwesio sehingga dia tidak takut akan segala totokan biasa saja.

“Awas, Sute!” seru Wi Kong Siansu yang maklum bahwa sute-nya memandang rendah kepada gadis muda itu.

Akan tetapi sudah terlambat, karena ujung gagang kipas di tangan Lili dengan tepat telah menotok jalan darah di pergelangan tangan Ban Sai Cinjin. Kakek ini cepat mengerahkan kekebalannya, akan tetapi dia segera menjerit karena kaget dan kesakitan, dan alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa lengan kirinya menjadi lumpuh!

Bukan main hebatnya totokan yang tadi dilancarkan oleh kipas Lili ini, sehingga dia dapat mematahkan kekebalan Ban Sai Cinjin dan masih dapat menembusi kulit tebal itu untuk mencari sasarannya.

Sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin melompat ke belakang dan cepat dia menggunakan tangan kanannya untuk mengetok kemudian mengurut lengan kirinya, dan dengan cepat dia dapat membebaskan lengan kirinya dari pengaruh totokan yang lihai itu!

Lili juga terkejut dan kagum sekali. Totokannya tadi berbahaya dan dapat menewaskan seorang lawan, akan tetapi kakek itu tidak menjadi roboh dan bahkan dapat memulihkan kembali jalan darahnya dengan cepat.

“Kurang ajar!” teriak Ban Sai Cinjin dengan marah sekali sehingga mukanya yang merah itu berubah menjadi pucat sekali. “Kau ganas dan liar, harus mampus di tanganku!”

Cepat seperti harimau menerkam ia lalu menubruk maju dan menggerakkan huncwe-nya mengetok kepala Lili dengan gerakan yang cepat sekali. Lili tak mau berlaku lambat dan mendadak nampak sinar terang berkelebat menyilaukan mata ketika gadis ini mencabut pedangnya, yaitu Liong-coan-kiam pemberian ayahnya!

“Tranggg…!”

Terdengar bunyi keras ketika huncwe itu beradu dengan pedang dan bunga api berpijar indah.

Ilmu silat Ban Sai Cinjin benar-benar hebat, ganas dan kuat sekali. Huncwe di tangannya menyambar-nyambar, diliputi uap hitam yang menyeramkan dan berbau tak enak sekali.

Akan tetapi, pedang Liong-coan-kiam di tangan Lili bergerak-gerak dengan indahnya pula. Sedikit pun huncwe lawannya tidak dapat mendekati tubuhnya, karena ke mana saja huncwe itu berkelebat, selalu terhalang oleh sinar pedang yang agaknya secara otomatis mengikuti gerakan lawannya. Tubuh gadis itu ketika bersilat pedang bergerak dengan lincah dan indah bagaikan orang sedang menari, begitu lemah gemulai, namun demikian kuatnya. Benar-benar mengagumkan!

Dan kini Wi Kong Siansu sendiri memandang dengan mata terbelalak, bukan saja saking kagumnya, akan tetapi juga karena heran dan bingung. Belum pernah dia menyaksikan ilmu pedang yang sehebat dan seaneh ini!

Inilah ilmu pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan Pendekar Bodoh. Ilmu pedang Liong-cu Kiam-sut ini berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, ilmu pedang sederhana yang aneh dan lihai sekali yang diciptakan oleh Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh (baca cerita Pendekar Bodoh).

Oleh karena ilmu pedang ini ciptaan ayah Lili sendiri dan tidak pernah diturunkan kepada orang lain, tentu saja ilmu pedang ini jarang sekali terlihat di dunia persilatan, berbeda dengan ilmu-ilmu pedang dari cabang persilatan besar seperti Gobi Kiam-hoat, Kun-lun Kiam-hoat, dan lain-lain yang banyak dimainkan oleh para muridnya.

Kalau melihat Lili sedang mainkan pedang ini, agaknya ia lebih mahir dari pada ayahnya sendiri, yaitu dalam hal kelincahan serta keindahan gerakan. Akan tetapi, sesungguhnya tentu saja ia tak dapat menandingi ayahnya, terutama sekali dalam kematangan gerakan dan pengalaman pertempuran.

Kini menghadapi seorang lawan berat seperti Ban Sai Cinjin, meski pun ilmu pedangnya berhasil membingungkan lawan dan membuat huncwe maut di tangan Ban Sai Cinjin tak banyak berhasil, namun pertempuran ini membuat gadis itu menjadi letih sekali. Tiap kali senjatanya beradu dengan senjata lawan, dia langsung merasa urat-uratnya tergetar dan pertempuran kali ini telah memaksa dia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga.

Ia memang tak usah khawatir akan terkena senjata lawan, akan tetapi sebaliknya, sukar pula baginya untuk dapat merobohkan lawan tangguh ini. Huncwe itu benar-benar lihai sekali dan memiliki gerakan yang serba aneh dan tak terduga.

Ban Sai Cinjin menjadi gemas dan marah luar biasa. Perasaan ini timbul dari rasa malu dan penasaran. Benar-benarkah dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut dan juga Si Golok Malaikat, orang yang sudah puluhan tahun malang-melintang di kalangan kang-ouw dan jarang sekali menemui tandingan, sekarang tidak berdaya merobohkan seorang bocah yang belum ada dua puluh tahun usianya? Dan seorang bocah perempuan pula, yang berkulit halus, bermata bintang, berbibir merah semringah, dan nampak lemah?

Jarang ada seorang lawan, seorang kang-ouw yang bagaimana tangguhnya pun, mampu melawan huncwe-nya sampai lebih dari dua puluh jurus. Akan tetapi gadis manis ini telah melawannya sampai lima puluh jurus dan sedikit pun dia belum dapat menjatuhkannya!

“Bangsat perempuan, kau harus mampus!” mendadak Ban Sai Cinjin berseru marah dan kini tangan kirinya yang tadi tidak ikut menyerang, lalu dikepal-kepal dan kepalan tangan itu tak lama kemudian berubah menjadi kemerah-merahan!

Thio Kam Seng atau lebih benar Song Kam Seng, terkejut sekali melihat kepalan tangan susiok-nya ini. Celaka, pikirnya, kini Lili berada di pinggir jurang maut! Ia maklum bahwa kalau kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin sudah menjadi kemerah-merahan, itu tandanya bahwa kakek ini telah mengerahkan tenaga Ang-tok-jiu (Tangan Merah Beracun)! Jangan kata sampai terkena pukul, baru tersambar oleh angin pukulan tangan Ang-tok-jiu ini saja, lawan dapat roboh menderita luka hebat yang dapat membawanya ke lubang kubur!

Harus diakui bahwa Lili adalah seorang gadis yang boleh dikata pengalamannya dalam hal pertempuran masih hijau dan jarang sekali dia bertempur menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, dia adalah puteri dari sepasang suami isteri pendekar besar.

Ayahnya, Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh, adalah seorang ahli silat yang sangat jarang tandingannya, sedangkan ibunya, Kwee Lin atau Lin Lin, juga memiliki kepandaian yang amat tinggi. Lebih-lebih lagi karena baik ayah mau pun ibunya telah mempunyai banyak sekali pengalaman pertempuran dan terutama sekali ayahnya sudah sering menghadapi akal-akal serta ilmu-ilmu jahat dan kejam yang dimiliki oleh golongan hek-to (jalan hitam, penjahat). Karena itu sering kali gadis ini didongengi oleh ayah bundanya, termasuk juga tentang Ang-se-jiu (Tangan Pasir Merah) dan Ang-tok-jiu yang sudah pernah dia dengar dari ayahnya.

Ia tidak mengira bahwa kakek ini memiliki ilmu yang jahat ini pula, maka setelah melihat kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin berubah merah, cepat ia menyelipkan kipasnya di saku bajunya dan ia pun segera menggerak-gerakkan tangan kirinya lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya, bergerak-gerak ke kanan kiri hingga tak lama kemudian dari seluruh lengan kirinya mengebullah uap putih. Inilah Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, yakni ilmu turunan dari sucouw-nya (kakek guru) yang bernama Bu Pun Su!

Pada waktu huncwe Ban Sai Cinjin melayang ke arah pelipisnya, dia menangkis dengan pedangnya dan secepat kilat Ban Sai Cinjin menonjok ke arah dadanya dengan tangan kiri yang mengandung tenaga Racun Merah itu! Angin pukulan itu sudah terlebih dahulu menyambar, namun dengan tenang akan tetapi waspada dan cepat sekali Lili kemudian menangkis pula dengan tangan kiri.

Hebat sekali tenaga pukulan Ang-tok-jiu dan tenaga tangkisan Pek-in Hoat-sut ini. Orang tidak melihat dua lengan tangan itu beradu, akan tetapi tubuh kedua orang itu terpental mundur sampai dua tindak ke belakang!

Ban Sai Cinjin menjadi pucat saking kagetnya melihat betapa gadis muda itu sanggup menangkis pukulan mautnya sedemikian lihainya. Sedangkan Lili juga terkejut sekali dan buru-buru dia mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya ketika merasa betapa seluruh urat pada tangan kirinya terasa kesemutan! Ini adalah tanda bahwa betapa pun hebatnya ilmu silat Pek-in-hoat-sut, akan tetapi dalam hal tenaga dalam, dia masih kalah terhadap kakek ini.

Pengalaman ini membuat dia berlaku hati-hati sekali. Berkali-kali Ban Sai Cinjin kembali melancarkan serangan dengan pukulan Ang-tok-jiu, karena kakek ini pun maklum bahwa dia masih menang tenaga sehingga apa bila dia menyerang bertubi-tubi, ada harapan dia akan melukai gadis itu.

Akan tetapi kini Lili menangkis dengan cerdik sekali. Ia menggunakan tangkisan dari ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut dari samping, dengan cara menyampok tenaga serangan lawan dari samping, tidak mengadu tenaga seperti tadi. Oleh karena ini, selalu apa bila pukulan Ang-tok-jiu datang, dia tidak perlu mengadu tenaga dan hanya menyampok dari samping sambil mengelak saja. Dengan cara demikian, maka tenaga pukulan lawan yang hebat itu tidak langsung datangnya dan tidak demikian telak menghantamnya.

Wi Kong Siansu makin kagum saja, demikian pula Ban Sai Cinjin diam-diam juga kagum sekali kepada puteri Pendekar Bodoh ini. Tadinya ia tidak ingin menggunakan kelicikan dalam pertempuran ini, karena ia segan untuk merobohkan lawannya yang masih muda dan wanita pula ini dengan ilmu hitam. Namun, karena tahu bahwa ia tidak mudah dapat merobohkannya, dan hal ini akan lebih memalukannya lagi, tiba-tiba dia lalu menyedot huncwe-nya dan sekali dia berseru keras, dari mulutnya menyembur keluar asap hitam yang amat berbahaya menuju ke muka Lili!

Gadis itu terkejut sekali. Sungguh pun asap itu masih jauh dari mukanya, namun ia telah mencium baunya yang amat memuakkannya. Ia cepat melempar tubuhnya ke belakang, melakukan gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang membuat gerakan poksai (salto) sampai tiga kali dan turun beberapa tombak jauhnya dari lawannya.

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. Ia maklum bahwa lawannya takut kepadanya, maka ia berseru, “Nona manis, kau hendak lari ke mana?”

Lalu dia menyedot huncwe-nya pula dan kesempatan itu dia pergunakan untuk membuka kantong tembakau yang tergantung pada huncwe-nya lalu mengisi kembali mulut huncwe itu dengan tembakau baru. Ia sudah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya dengan asap mautnya!

Lili maklum bahwa sungguh pun hawa Pek-in Hoat-sut dari tangan kirinya akan dapat menolak asap hitam itu buyar terkena hawa Pek-in Hoat-sut, asap yang ringan itu masih akan dapat menyerangnya. Asap macam ini tidak menyerangnya mengandalkan tenaga tiupan, melainkan mengandalkan kejahatan racun yang dikandungnya.

Karena itu ia segera melepaskan tenaga Pek-in Hoat-sut dari lengan kirinya dan sebagai gantinya, dia cepat mengeluarkan kipasnya. Sekali dia menggerakkan jari tangan kirinya, kipasnya ini telah terkembang dan dipegangnya seperti hendak mengipas tubuhnya.

Ban Sai Cinjin belum tahu bahwa gadis ini sudah mewarisi Ilmu Silat San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Bukit dan Air) yang lihai dari Swie Kiat Siansu, maka tanpa memperhatikan kipas ini, dia lalu menyerbu lagi dengan sekaligus mengeluarkan tiga serangan. Tangan kirinya memukul dengan Ang-tok-jiu, tangan kanannya menggerakkan huncwe menotok leher, dan dari mulutnya menyembur asap yang hitam dan tebal ke arah muka lawannya!

Lili merasa girang saat melihat lawannya tidak memperhatikan kipasnya, dan gadis yang cerdik ini lantas mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya yang sangat lihai ini. Dia menanti datangnya serangan dengan amat tenang dan sengaja berlaku agak lambat untuk menarik perhatian lawan.

Untuk menghindarkan diri dari tiga serangan itu, dia mempergunakan ginkang-nya (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, berkelit ke kanan sambil merendahkan tubuh sebab dia maklum bahwa asap hitam itu tidak akan turun ke bawah. Ia sengaja menanti untuk memancing lawannya.

Benar saja, melihat keadaan gadis yang agaknya lambat gerakannya ini, Ban Sai Cinjin menjadi girang dan mengira bahwa gadis itu telah terkena racun asap hitamnya, maka ia melanjutkan serangan dengan mencengkeram ke bawah sambil mengayun huncwe-nya. Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba kipas di tangan kiri Lili dikebutkan ke arah uap hitam yang tebal tadi sehingga uap itu melayang ke arah muka Ban Sai Cinjin!

Tentu saja sebelumnya Ban Sai Cinjin telah menggunakan obat penawar untuk menolak pengaruh asap hitam dari huncwe-nya sendiri sehingga serangan asap yang membalik ke mukanya ini tidak membahayakannya sama sekali. Akan tetapi bukan itulah kehendak Lili. Kebutan kipasnya ini bermaksud membuat asap hitam itu menutupi pandang mata lawannya dan maksudnya ini memang berhasil baik. Betapa pun juga, Ban Sai Cinjin tak berani menghadapi racun asap tembakaunya sendiri dengan mata terbuka.

Untuk sesaat sambil meniup ke arah asap itu dia meramkan matanya dan dengan tidak terduga-duga sekali, tiba-tiba saja ia merasa pangkal lengan kirinya sakit sekali! Ternyata bahwa tadi pada waktu ia sedang menghadapi asap yang membalik itu, secepat kilat Lili mengelak dari serangan kedua tangannya, bergerak sambil menggeser kakinya ke kanan dan dari samping dia segera mengirim totokan dengan kipasnya yang dapat tepat sekali mengenai pangkal lengan kiri lawannya!

Tubuh Ban Sai Cinjin terhuyung ke belakang dan tiba-tiba dia merasa datangnya angin dingin ke arah leher dan lambungnya! Ia maklum akan bahaya maut itu. Ternyata bahwa lambungnya sudah diserang oleh pedang Liong-coan-kiam dengan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah sedangkan lehernya telah diserang oleh sepasang gagang kipas dengan gerakan Gunung Thai-san Menimpa Kepala!

Ban Sai Cinjin mengeluarkan keringat dingin dan cepat dia menjatuhkan diri ke belakang. Akan tetapi gerakan kipas ke arah lehernya itu luar biasa cepatnya.

“Krekk!” terdengar suara dan pundaknya masih terkena gagang kipas itu.

Ban Sai Cinjin menjerit dan maklum bahwa sambungan tulang pundaknya telah terlepas! Lili tidak mau memberi hati dan terus mendesak dengan serangan yang lebih hebat lagi. Agaknya tak lama lagi nyawa Ban Sai Cinjin terpaksa akan meninggalkan raganya.

Akan tetapi, tentu saja Wi Kong Siansu tidak mau tinggal diam melihat sute-nya terancam bahaya maut. Cepat bagaikan seekor burung gagak menyambar bangkai, dia melompat ke belakang gadis itu dan mengirim serangan dengan kebutan ujung lengan bajunya!

Lili sedang mengerahkan seluruh tenaga serta perhatiannya untuk menewaskan kakek mewah yang dibencinya itu. Sungguh pun dia mendengar angin pukulan Wi Kong Siansu dari belakang dan mencoba untuk mengelak, dia tetap terlambat.

Gerakan Wi Kong Siansu luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jalan darah kim-to-hiat di punggungnya telah kena tertotok oleh ujung lengan baju tosu itu. Lili mengeluh perlahan, kipas dan pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya dengan lemas tak berdaya langsung terkulai ke atas lantai!

Ban Sai Cinjin dengan meringis-ringis sudah dapat bangun kembali dan melihat keadaan Lili yang sudah roboh oleh suheng-nya, ia masih dapat tertawa terbahak-bahak. “Bagus, Suheng, bagus! Kau telah dapat merobohkan kuda betina liar ini!”

Matanya berkilat penuh dendam terhadap Lili, kemudian perlahan-lahan ia bergerak maju menghampiri gadis muda itu. Lili masih dapat memandang lawannya ini dan pikirannya masih berjalan terang, akan tetapi seluruh tubuhnya sudah lemas tidak dapat digerakkan lagi.

Gadis ini maklum akan bahaya yang akan menimpa dirinya, dan sinar ketakutan segera terbayang pada matanya. Gadis ini tidak takut akan mati, akan tetapi ia maklum bahwa terjatuh ke dalam tangan manusia iblis seperti Ban Sai Cinjin ini, tentulah nasibnya akan jauh lebih mengerikan dari pada kematian!

Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba bayangan tubuh Kam Seng berkelebat dan pemuda ini tahu-tahu telah mendahului Ban Sai Cinjin menyambar tubuh Lili yang terus dipeluk dan dipondongnya!

“Kam Seng! Kau lepaskan dia!” Ban Sai Cinjin berseru keras dengan mata melotot.

Kam Seng memandang kepada susiok-nya. Hatinya bimbang ragu. Di lubuk hatinya ada perasaan cinta yang besar terhadap gadis ini, sungguh pun perasaan itu tertutup kabut kebenciannya karena kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, musuh besarnya! Jika gadis jelita ini harus mati, maka dialah yang berhak membunuhnya, bukan orang lain. Apa lagi dia merasa ngeri dan jijik memikirkan nasib gadis jelita ini di tangan susiok-nya. Maka ia lalu memandang kepada suhu-nya dan berkata,

“Suhu, maukah Suhu memberikan puteri musuhku ini kepada teecu?”

Wi Kong Siansu adalah seorang kakek yang tajam pandangan matanya. Karena sudah berpengalaman, dia dapat merasa bahwa muridnya yang tersayang tentu jatuh hati dan tertarik oleh kecantikan gadis ini. Sebaliknya, dIa pun dapat melihat sinar mata dahsyat dari mata sute-nya, maka dia lalu berkata kepada sute-nya,

“Sute, berikan gadis ini kepada Kam Seng. Kau tentu masih ingat bahwa ayah gadis ini adalah musuh besar dari Kam Seng dan biarkanlah dia melepaskan rasa sakit hati dan dendamnya kepada puteri musuh besarnya!”

Ban Sai Cinjin memandang marah, akan tetapi ia lalu tertawa.

“Baik, baik, Suheng. Kau yang meronohkannya, maka kau pula yang berhak menentukan nasibnya. Akan tetapi awaslah kalau gadis ini sampai terlepas, Kam Seng. Dia lihai sekali dan kau tak akan dapat menguasainya!”

Wi Kong Siansu juga tertawa. “Sute, kau sudah tua. Kam Seng lebih muda, maka kau tentu tahu akan kehendak hatinya melihat gadis cantik ini. Biarkanlah dia melampiaskan dendamnya dan biar dia pula yang menghabiskan nyawa musuhnya ini. Hati-hati, Kam Seng, jangan sampai dia terlepas!”

Hok Ti Hwesio juga berkata kepada Kam Seng sambil menyeringai, “Sute, bila kau sudah selesai dengan dia, berikanlah kepadaku. Aku perlu jantungnya untuk obat!”

Kemudian hwesio ini berjalan masuk ke kelenteng. Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin juga berjalan masuk untuk mengobati lukanya.

Ong Tek, putera pangeran yang semenjak tadi menyaksikan segala peristiwa ini dengan dada berdebar dan muka pucat, lalu ikut pergi pula ke dalam kamarnya sambil menarik tangan Tan-kauwsu. Kini Wi Kong Siansu tinggal berdua dengan Kam Seng yang masih memondong tubuh Lili yang lemas.

“Muridku, kau tentu mencinta gadis ini, bukan?”

Bukan main terkejutnya hati pemuda itu mendengar ucapan suhu-nya. Untuk beberapa lama dia tidak mau dan tidak dapat menjawab, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga dengan suara perlahan,

“Suhu lebih waspada dan awas. Sesungguhnya, sakit hati teecu terhadap ayah gadis ini amat besar, karena itu teecu hendak menjadikannya sebagai isteri di luar kehendaknya atau pun kehendak orang tuanya. Hal ini akan dapat teecu pergunakan untuk membalas penghinaan dan sakit hati, jika tak terkabul cita-cita teecu untuk menewaskan Pendekar Bodoh.”

Wi Kong Siansu menggeleng-geleng kepalanya. “Salah... salah..., muridku. Aku mengerti akan maksudmu, akan tetapi apa kau kira akan mudah saja menjadikan gadis ini sebagai sekutu kita? Biar pun kau dapat memaksanya menjadi isterimu, akan tetapi apa kau kira dia akan tunduk begitu saja? Kau jangan memandang rendah gadis ini. Dia benar-benar lihai sekali. Lebih baik kau tamatkan saja riwayatnya supaya kelak kita tidak mengalami gangguan dari padanya.”

Tosu ini membicarakan tentang mati hidup seorang gadis bagaikan bicara tentang seekor domba saja! Memang, bagi Wi Kong Siansu, urusan-urusan dunia sudah tidak masuk hitungan pula, dan mati hidup baginya hanya urusan kecil.

“Akan teecu pikir-pikir dulu, Suhu,” kata Kam Seng dan dia lalu membawa Lili ke dalam kamarnya. Di ruangan dalam, dia bertemu dengan Ong Tek yang menghadangnya dan pemuda tanggung ini berkata,

“Suheng... hendak kau apakan gadis ini?”

Wajah Kam Seng berubah merah. “Kau tak usah tahu, Sute. Kau masih kecil dan belum tahu urusan. Gadis ini adalah musuh besarku, ayahnya dulu telah membunuh ayahku.”

“Ah...!” hanya demikian seruan Ong Tek yang segera berlari kembali ke dalam kamarnya. Akan tetapi sebelum memasuki kamarnya dia merasa pundaknya dipegang orang. Ketika dia menengok ternyata Hok Ti Hwesio yang memegangnya.

“Ong-sute, jangan kau turut campur dengan urusan itu. Seng-sute sedang berpesta-pora, ia mendapat keuntungan besar, mendapat hadiah seorang bidadari jelita. Kau tentu tidak tahu...! Ha-ha-ha!”

“Tidak... tidak!” Ong Tek menjadi pucat dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Suheng, besok pagi juga aku akan pergi dari sini. Aku mau pulang saja ke kota raja! Tak tertahan olehku semua kejadian yang mengerikan ini. Tidak kusangka sama sekali bahwa kalian demikian... demikian...”

“Apa maksudmu, Sute?” Hok Ti Hwesio memandang tajam.

“Mengapa kalian bisa begitu kejam terhadap seorang gadis seperti dia?” Sambil berkata demikian, Ong Tek lalu melompat ke dalam kamarnya, kemudian menutupkan pintunya keras-keras. Terdengar dia menangis dan berkata-kata dengan Tan-kauwsu utusan dari kota raja itu.

Hok Ti Hwesio termenung sambil mengerutkan jidat. Kemudian dia lalu mencari suhu dan supek-nya untuk menceritakan sikap dari putera pangeran ini.

Sementara itu, dengan dada berdebar keras, Kam Seng memondong tubuh Lili ke dalam kamarnya, lalu menutup daun pintu dan melemparkan tubuh Lili ke atas pembaringannya. Gadis itu terbanting ke atas pembaringan dengan tubuh lemas dan rebah telentang tak berdaya. Hanya sepasang matanya saja yang masih bertenaga dan kini ditujukan kepada Kam Seng dengan tajam berapi-api!

Ia telah mendengar semua percakapan tadi dan tahu akan maksud pemuda ini. Yang membuatnya terheran-heran adalah ketika mendengar bahwa Kam Seng adalah musuh besar Pendekar Bodoh, bahwa ayahnya sudah membunuh ayah pemuda ini! Sungguh-sungguh mengherankan, akan tetapi keheranannya ini tersapu habis oleh kebenciannya terhadap pemuda ini.

Dia maklum bahwa dia tidak berdaya sama sekali. Telah dicobanya untuk membebaskan diri dari pada totokan Wi Kong Siansu, akan tetapi sia-sia saja. Dia maklum dengan hati penuh kengerian bahwa dia telah berada di dalam tangan Kam Seng dan tak akan dapat melawan sedikit pun juga.

Akan tetapi masih ada semangat di dalam hatinya yang tidak karuan rasanya itu, yaitu semangat untuk membalas dendam. Biarlah, pikirnya, dan tunggulah saja! Apa bila aku sampai lepas dari pada totokan ini, akan kuhancurkan kepalamu hingga menjadi bubur!

Sementara itu Kam Seng duduk menghadapi Lili dengan wajah sebentar merah sebentar pucat. Ia menatap wajah dan tubuh Lili tanpa berkedip. Seribu satu macam pikiran kini teraduk di dalam hatinya. Pikirannya menjadi pening.

Berkali-kali dia sudah mengulurkan tangan hendak meraba muka gadis, itu, akan tetapi selalu ditariknya kembali. Pandangan mata Lili yang bagaikan dua cahaya api itu terasa menusuk matanya. Hatinya penuh gairah kalau ia melihat wajah yang manis hidung yang kecil bangir, apa lagi bibir yang luar biasa indah dan manisnya itu. Akan tetapi sepasang mata Lili merupakan dua pedang mustika yang membuat dia senantiasa tak enak pikiran.

“Dia musuh besarku!” demikian bisik hatinya. “Aku boleh membunuhnya, menghinanya! Ayahku dulu juga terbunuh oleh ayahnya!”

“Akan tetapi ia dan Sin-kai Lo Sian pernah menolongku!” bisik suara lain di hatinya. “Dan aku... aku cinta kepadanya. Dan alangkah baiknya kalau dia bisa menjadi isteriku untuk selamanya!”

“Sekarang pun kau bisa mengambilnya menjadi isterimu!” bisik suara pertama.

“Siapa tahu kalau ia akan dapat tunduk terhadapmu dan membalas cintamu. Setidaknya malam ini kau akan menjadi suaminya!”

Terdorong oleh bisikan ini, Kam Seng mengulurkan tangan kanan. Untuk beberapa lama jari-jari tangannya membelai-belai rambut Lili yang halus. Belaian ini penuh dengan kasih sayang, akan tetapi mendadak dia menarik kembali tangannya ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Lili.

Demikianlah, sampai lewat tengah malam Kam Seng berada dalam keadaan ragu-ragu. Nafsu dendamnya mendorongnya untuk membunuh Lili, untuk menghinanya, untuk dapat melampiaskan sakit hatinya terhadap ayah gadis itu. Akan tetapi ada kekuasaan lainnya yang menahan kehendaknya ini, kekuasaan cinta. Kekuasaan ini membuat dia tidak tega untuk menyakiti Lili baik menyakiti hati mau pun raganya.

Akhirnya dia tidak kuat pula menghadapi pandangan mata Lili. Dia mencabut pedangnya dan hendak membebaskan gadis ini dari siksaan lebih lanjut. Hendak dibunuhnya gadis ini dan habis perkara!

“Lili,” katanya sambil berdiri dengan pedang di tangan. “Aku akan membunuhmu, dan sebelum itu hendaknya kau ketahui bahwa engkau adalah puteri musuh besarku! Ayahku bernama Song Kun dan menjadi kakak seperguruan ayahmu, akan tetapi ayahmu telah membunuhnya! Ayahmu telah membunuh ayahku dan karena itulah aku hidup sengsara. Karena itulah ibuku terlunta-lunta dan aku menjadi yatim piatu, menjadi pengemis untuk bertahun-tahun lamanya! Karena itu kau harus mati! Kau harus berterima kasih kepadaku karena kau terhindar dari penghinaan, terhindar dari penghinaan Susiok, dan... dan... aku pun tidak sampai hati menghinamu! Aku... aku kasihan kepadamu!”

Ia berhenti sebentar dan dilihatnya air mata mengalir turun dari sepasang mata indah dan jelita itu.

“Lili, bersiaplah untuk mati,” katanya sambil mengangkat pedangnya.

Dari kedua mata gadis itu tidak nampak rasa takut sedikit pun, bahkan sinar berapi-api tadi telah padam, bibirnya agak tersenyum. Lili memang merasa lega bahwa ia tak akan menjadi korban penghinaan, maka dia menghadapi kematian dengan amat tabahnya.

Kam Seng mengayun pedangnya ke atas dan... tiba-tiba saja ia menurunkan pedangnya kembali, bahkan pedang itu terlepas ke atas lantai! Ia lalu meramkan mata dan menubruk Lili, lalu... mencium jidat gadis itu satu kali. Dilemparkannya tubuhnya ke belakang dan dia pun terduduk di atas bangku yang tadi didudukinya.

Ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Terdengar helaan napas berkali-kali. “Ahh, Lili... aku... aku tidak tega membunuhmu... aku... aku cinta kepadamu!”

Sinar mata Lili mulai berapi-api lagi. Untuk ciuman pada jidatnya itu saja ia sudah dapat membunuh Kam Seng kalau dapat. Keadaan menjadi sunyi kembali.....

Kam Seng duduk seperti tadi, menghadapi Lili, tidak tahu harus berbuat apa! Betapa pun bencinya kepada Pendekar Bodoh, hatinya tetap tidak tega untuk mengganggu apa lagi membunuh gadis ini.

“Lili... Lili... aku tidak sanggup membunuhmu... tanganku gemetar... bagaimana aku bisa membunuh gadis yang kucinta dengan seluruh jiwaku? Tidak, Lili, tidak! Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi... aku pasti akan mencari ayahmu, aku harus membalas sakit hatiku terhadap Pendekar Bodoh...!” demikian keluh kesah yang keluar dari mulut Kam Seng sambil menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.

Pada saat itu, terdengar suara senjata-senjata beradu di ruang depan dibarengi teriakan Hok Ti Hwesio, “Supek... tolong...! Supek, lekas bantu...! Lekas bantu merobohkan gadis setan ini...!”

Mendengar seruan ini, Kam Seng melompat bangun. Kalau Hok Ti Hwesio sampai minta tolong kepada suhu-nya, yaitu Wi Kong Siansu, dan tidak minta tolong kepada suhu-nya sendiri, berarti bahwa tentu terjadi mala petaka hebat dan datang musuh yang tangguh.

Ia hendak melompat keluar dari kamarnya, akan tetapi ia teringat kepada Lili dan merasa khawatir bahwa kalau ia meninggalkan gadis itu seorang diri, jangan-jangan gadis yang dikasihinya itu akan diganggu oleh Hok Ti Hwesio atau Ban Sai Cinjin. Untuk beberapa saat dia merasa ragu-ragu, lalu menghampiri Lili dan berkata,

“Lili, aku hendak membebaskanmu. Ketahuilah, bahwa perbuatanku ini hanya terdorong oleh rasa cinta kasih terhadapmu, dan ketahuilah pula bahwa pada suatu hari aku pasti akan membalas dendamku pada ayahmu yang sudah membunuh ayahku!”

Sesudah berkata demikian, Kam Seng segera menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lili. Dia telah belajar ilmu silat dari Wi Kong Siansu, maka dia tahu pula bagaimana harus membuka totokan dari suhu-nya itu. Setelah menotok pundak gadis itu, dia lalu melompat keluar sambil membawa pedangnya, langsung menuju ke ruang depan dari mana terdengar suara senjata beradu.

Walau pun pengaruh totokan yang menghentikan jalan darahnya sudah lenyap dan jalan darahnya sudah terbuka kembali, akan tetapi Lili masih merasa lemas dan hanya dapat bergerak perlahan. Dia segera mengumpulkan semangat dan mengatur pernapasannya untuk melancarkan kembali jalan darahnya.

Dia melihat betapa kipas dan pedangnya telah ditaruh di atas meja dalam kamar itu oleh Kam Seng. Hatinya merasa tidak karuan karena dia telah mengalami ketegangan hebat selama dibawa di dalam kamar Kam Seng. Kini ia merasa terharu, marah, malu, dan juga diam-diam ia merasa berterima kasih kepada pemuda itu.

Ada sedikit rasa girang dalam hatinya bahwa biar pun pemuda itu telah menggabungkan diri dengan orang-orang jahat, namun pada dasarnya hati pemuda itu tidaklah kejam dan jahat. Masih ada kegagahan di dalam lubuk hati Kam Seng. Ia teringat akan supek-nya Song Kun, karena ia pernah ia diceritakan tentang halnya Song Kun ini oleh ibunya.

Setelah kesehatannya pulih kembali, Lili cepat mengambil senjata-senjatanya kemudian melompat keluar di mana kini suara senjata masih beradu ramai sekali. Ketika ia tiba di ruang luar, di bawah sinar lampu ia melihat seorang gadis cantik manis yang memiliki gerakan lincah sekali, sedang bertempur dikeroyok tiga oleh Ban Sai Cinjin, Song Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio!

Sungguh mengagumkan sekali betapa gadis cantik manis itu bisa menghadapi lawannya sambil tersenyum-senyum dan mainkan kedua tangannya yang tidak memegang senjata. Ginkang-nya sungguh hebat dan mengagumkan, bagaikan seekor kupu-kupu bermain di antara tiga bunga itu menyambar-nyambar, di celah tiga gulungan sinar senjata di tangan tiga pengeroyoknya.

“Goat Lan...!” Lili berteriak girang pada waktu ia mengenal wajah manis yang tersenyum-senyum itu.

“Hai, Lili, anak nakal! Kau di sini?” Gadis itu dalam menghadapi desakan lawan-lawannya masih sempat berjenaka.

“Goat Lan, jangan khawatir. Mari kita basmi tiga anjing busuk ini!”

Lili segera mencabut keluar kipas dan pedangnya, lantas menyerbu dan menyerang Ban Sai Cinjin. Ia merasa segan dan sungkan untuk menyerang Kam Seng, maka ia sengaja memilih Ban Sai Cinjin dan membiarkan Goat Lan menghadapi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio.

Ban Sai Cinjin sudah merasakan kelihaian Lili, bahkan tadi sore pundaknya telah terluka hebat oleh gadis ini. Dalam keadaan sehat dia masih belum dapat mengalahkan Lili, apa lagi sekarang pundaknya masih belum sembuh benar, tentu saja ia merasa amat gelisah.

Kalau saja ia tidak sedang terluka, tadi pun Goat Lan tak nanti dapat mempermainkan dia begitu mudah. Dan ia maklum bahwa belum tentu ia kalah oleh Lili kalau saja tadi sore ia tidak bertempur dengan main-main dan memandang rendah. Terpaksa ia menggigit bibir, dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang selain berkepandaian sangat tinggi, juga sudah mengenal banyak sekali taktik perkelahian dan mempunyai banyak tipu-tipu curang. Pengalamannya amat luas dan tenaga lweekang-nya juga telah mendekati batas kesempurnaan. Oleh karena itu biar pun ia sudah terluka masih amat sukarlah bagi Lili untuk dapat merobohkan kakek mewah ini. Sebaliknya, jangan harap bagi Ban Sai Cinjin untuk mengalahkan puteri Pendekar Bodoh yang mempunyai ilmu kipas dan ilmu pedang yang luar biasa sekali.

Berbeda dengan pertempuran antara Lili melawan Ban Sai Cinjin yang berjalan seru dan seimbang, pertempuran antara gadis cantik manis dan kedua pengeroyoknya, Kam Seng dan Hok Ti Hwesio, berjalan berat sebelah. Ketika tadi dikeroyok tiga, gadis itu masih dapat melayani dengan senyum simpul, apa lagi sekarang. Meski pun kepandaian Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sudah jauh lebih tinggi dari pada kepandaian silat para ahli silat biasa, akan tetapi bagi gadis manis itu mereka berdua ini masih merupakan ahli-ahli silat kelas rendah saja!

Bagaimanakah gadis itu yang ternyata adalah Kwee Goat Lan, dapat tiba-tiba muncul di situ? Dan mengapa tahu-tahu sudah dikeroyok oleh Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio pada saat Lili tertawan dalam kamar Kam Seng?

Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam percakapan antara Ong Tek putera pangeran dan Hok Ti Hwesio, pemuda cilik dari kota raja itu merasa amat muak dan tidak senang melihat peristiwa yang terjadi di dalam kuil di mana dia belajar silat kepada Ban Sai Cinjin.

Betapa pun juga, Ong Tek adalah seorang pemuda bangsawan yang sejak kecil dididik dengan pelajaran-pelajaran kesopanan dan juga dia sudah banyak membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat segala macam pelajaran mengenai kebajikan. Ia menjadi terkejut dan juga kecewa melihat dengan kedua mata sendiri betapa jahat adanya orang-orang yang selama ini dia hormati dan junjung tinggi. Maka dia lalu masuk ke dalam kamarnya sambil menangis, lalu dia memaksa kepada Tan-kauwsu, utusan dari ayahnya itu, untuk pada malam hari itu juga meninggalkan kuil dan pulang ke kota raja.

Sikap pemuda bangsawan ini membuat Hok Ti Hwesio menjadi curiga dan cepat hwesio ini menjumpai suhu-nya. Ketika Ban Sai Cinjin mendengar keadaan muridnya dari kota raja itu, dia pun mengerutkan alisnya.

“Sungguh berbahaya,” katanya perlahan. “Bila anak itu pulang dan menceritakan segala peristiwa yang terjadi kepada ayahnya dan para pembesar, tentu nama kita akan hancur dan tercemar.”

“Kenapa pusing-pusing, Suhu? Kalau Sute tidak mau menurut kehendak kita dan bahkan hendak merusak nama kita, lebih baik kita lenyapkan dia bersama guru silat itu, habis perkara!”

Ban Sai Cinjin menjadi ragu-ragu. “Enak saja kau bicara! Apa kau kira Ong Tek itu orang biasa saja yang boleh kita perbuat sesuka kita! Apa bila dia sampai lenyap, apa kau kira Pangeran Ong tidak akan mencari dan menimbulkan huru-hara yang akan menyulitkan kita?”

Hok Ti Hwesio tersenyum “Apa sih bahayanya seorang putera bangsawan macam Ong Tek? Sedangkan menghadapi orang-orang besar seperti pendekar Pek-le-to Lie Kong Sian, Mo-kai Nyo Tiang Le, Sin-kai Lo Sian, kita masih sanggup membereskan mereka tanpa banyak ribut dan tiada seorang pun mengetahui, apa lagi seorang manusia macam Ong Tek dan seorang guru silat seperti orang she Tan itu? Suhu, mengapa kita tidak mau meminjam nama puteri Pendekar Bodoh untuk melenyapkan mereka? Kita sebarkan bahwa yang menewaskan Ong Tek dan Tan-kauwsu adalah puteri Pendekar Bodoh itu, bukankah ini baik sekali?”

Wajah Ban Sai Cinjin berseri. “Kau benar! Kau memang cerdik sekali, Hok Ti!” ia memuji. “Kita lenyapkan kedua orang itu, kemudian kita bikin puteri Pendekar Bodoh seperti Lo Sian. Ha-ha-ha-ha! Akan lenyap jejak mereka dan tak seorang pun mengetahuinya.”

Pada saat itu, terdengar tindakan kaki dua orang yang berlari keluar dari kelenteng itu.

“Nah, itulah mereka yang agaknya hendak melarikan diri pada malam hari ini juga. Kita harus bertindak cepat sebelum Supek mengetahui!” berkata Hok Ti Hwesio yang merasa takut kepada supek-nya, Wi Kong Siansu yang pada waktu itu sudah berada di dalam kamarnya.

Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio segera melompat keluar dan mereka melihat Ong Tek diikuti oleh Tan-kauwsu yang menggendong buntalan pakaian putera pangeran itu.

“Ong Tek, kau hendak pergi ke manakah?” Ban Sai Cinjin membentak.

Melihat suhu-nya datang bersama Hok Ti Hwesio, Ong Tek menjadi sangat terkejut dan sinar ketakutan membayangi wajahnya yang tampan.

“Suhu... teecu hendak... hendak pulang ke kota raja bersama Tan-suhu. Teecu... merasa rindu kepada ayah dan ibu...!”

“Hemm, kau hendak lari dari kami, ya? Bagus, murid macam apa kau ini? Tidak boleh, kau tidak boleh pergi! Tentu di kota raja kau hendak membuka mulut besar tentang kami, ya?”

“Tidak... tidak, Suhu... tidak!” kata Ong Tek dengan muka pucat ketika melihat suhu-nya melangkah maju dengan huncwe mengancam di tangan.

“Kau murid durhaka. Kau harus diberi hajaran!”

Tan-kauwsu segera melompat maju. “Jangan kau berani mengganggu Ong-kongcu, Ban Sai Cinjin! Ingat, dia adalah putera Pangeran Ong!”

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha. Segala tikus busuk seperti kau berani pula ikut campur bicara! Apa kau kira aku takut kepada segala macam pangeran? Biar kepada Kaisar sendiri pun aku tidak takut!” Ia lalu melangkah maju dan mengayun huncwe-nya ke arah kepala guru silat she Tan itu!

Serangan ini hebat dan cepat sekali, akan tetapi Tan-kauwsu sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang dapat dibandingkan dengan kepandaian Ban Sai Cinjin, namun dia sudah banyak merantau dan telah mempunyai pengalaman yang banyak dalam pertempuran. Ia cepat mengelak ke belakang, akan tetapi hawa pukulan huncwe itu masih membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.

Pada waktu Ban Sai Cinjin hendak mengejar untuk mengirim pukulan maut, tiba-tiba saja dari atas genteng menyambar turun sesosok bayangan manusia yang gerakannya begitu cepat sehingga nampak bagaikan seekor burung garuda menyambar.

“Manusia setan!” bayangan itu berseru dengan suaranya yang nyaring dan merdu. “Kau benar-benar kejam!”

Dan tiba-tiba huncwe pada tangan Ban Sai Cinjin yang sudah dipukulkan ke arah kepala Tan-kauwsu itu terpental mundur oleh tenaga pukulan dari atas!

Ketika Ban Sai Cinjin yang merasa terkejut sekali itu memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang gadis yang cantik manis dengan dua buah lesung pipit di sepasang pipinya. Gadis ini cantik dan jenaka sekali, sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi, mulutnya tersenyum lebar sehingga giginya yang rata dan putih berkilau bagaikan mutiara itu nampak berkilat.

Ban Sai Cinjin tercengang karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa seorang gadis muda dapat menahan huncwe-nya dengan tangan kosong saja! Ia maklum bahwa ia sedang menghadapi seorang gadis muda yang menjadi murid orang sakti.

Gadis cantik itu tersenyum manis. “Kau tentu yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut. Hemm, pantas saja kau disebut Huncwe Maut, karena hampir saja kau membunuh orang lagi.” Dia lalu menengok ke arah Ong Tek dan Tan-kauwsu, lalu berkata kepada Ong Tek,

“Aku sudah mendengar bahwa kau adalah seorang putera pangeran. Entah bagaimana kau bisa tersesat dalam neraka dunia ini, akan tetapi itu bukan urusanku. Lebih baik kau lekas melanjutkan niatmu pergi dari sini. Lebih cepat lebih baik. Jangan takut, boneka besar pengusir burung di sawah ini serahkan saja kepadaku!”

Ong Tek lalu memandang tajam, agaknya untuk mengukir wajah gadis penolongnya itu di dalam ingatannya, kemudian dia mengangguk memberi hormat dan segera pergi, diikuti oleh Tan-kauwsu.

“Ong Tek, jangan kau berani pergi dari sini!” seru Hok Ti Hwesio yang segera mencabut pisaunya dan menyambitkan pisau terbangnya itu ke arah Ong Tek!

Pisau itu terbang lewat di dekat gadis itu yang dengan tenang mengulurkan tangan dan sekali tangannya bergerak, pisau itu telah disampoknya ke bawah sehingga pisau itu kini meluncur ke bawah dan menancap di atas lantai!

“Hmm, hwesio gundul, telah banyak aku mendengar tentang hwesio-hwesio gundul yang pada hakekatnya hanyalah penjahat-penjahat rendah yang banyak mencemarkan nama para pendeta Buddha! Agaknya kau yang paling rendah di antara mereka semua!”

Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan serta melihat sikap gadis itu. Tanpa banyak cakap lagi ia lantas menyerang dengan huncwe-nya. Juga Hok Ti Hwesio lalu menubruk kembali pisaunya, mencabutnya dari lantai dan maju menyerang.

Ban Sai Cinjin yang biasanya amat sayang kepada gadis cantik, biar pun harus diakui bahwa dara di hadapannya ini memiliki kecantikan yang sangat menggiurkan dan jarang terdapat, kini hatinya sama sekali tidak terguncang, bahkan ingin sekali dia membunuh gadis ini. Demikianlah, Ban Sai Cinjin dan muridnya lalu menyerang hebat kepada gadis manis itu yang melayani mereka dengan tangan kosong.

Sungguh hebat ilmu ginkang dari gadis itu. Dengan lincahnya dia dapat mengelakkan diri dari sambaran huncwe dan pisau lawannya, bahkan dia masih sempat memaki-maki dan mentertawakan sambil membalas serangan mereka dengan pukulan-pukulan yang tidak boleh dipandang ringan.

Ban Sai Cinjin terkejut sekali melihat sepak terjang gadis ini. Diam-diam ia pun mengeluh dalam hatinya. Selamanya hidup, belum pernah dia mengalami malam sesial ini. Secara berturut-turut telah datang dua orang gadis yang aneh dan lihai sekali!

Kalau saja ia tidak terluka pundaknya oleh pukulan kipas dari Lili sore tadi, tentu ia akan dapat menyerang lebih baik terhadap gadis yang baru datang ini. Ia dapat melihat betapa gadis itu mempergunakan Ilmu Silat Bi-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan) yang menjadi pecahan dari Ilmu Silat Tangan Kosong Kwan-im Siu-ban-po (Dewi Kwan Im Menyambut Selaksa Musuh)!

Akan tetapi pergerakan kedua tangan gadis ini sangat aneh, agak berbeda dengan ilmu silat tersebut, dan yang membuatnya diam-diam harus mengakui dan mengagumi adalah ilmu ginkang dari gadis ini. Ilmu meringankan tubuhnya mengingatkan dia kepada empat besar di dunia dan terutama sekali kepada Bu Pun Su!

Akan tetapi, gadis yang sekarang tertawan di dalam kamar Kam Seng dan yang menjadi cucu murid Bu Pun Su sendiri, agaknya tidak sehebat ini ilmu ginkang-nya!

Melihat betapa dia bersama gurunya sama sekali tak berdaya, bahkan telah dua kali dia menerima pukulan tangan halus akan tetapi antep itu, Hok Ti Hwesio mulai berteriak-teriak memanggil supek-nya minta bantuan! Hanya berkat ilmu kebalnya yang hebat, ia terhindar dari mala petaka ketika tangan gadis itu berhasil memukulnya sampai dua kali.

Sepeti telah dituturkan di bagian depan, teriakan-teriakan Hok Ti Hwesio terdengar oleh Kam Seng yang berada di dalam kamarnya dan sedang menghadapi Lili yang tertawan. Suara senjata yang didengarnya ternyata adalah suara pisau di tangan Hok Ti Hwesio yang beradu dengan huncwe Ban Sai Cinjin.

Memang, Goat Lan yang jenaka dan nakal itu beberapa kali menyampok tangan Hok Ti Hwesio sehingga pisaunya menjadi nyeleweng dan membentur senjata suhu-nya sendiri, membuat Ban Sai Cinjin menjadi makin marah dan mendongkol.

Goat Lan terheran pada saat melihat seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan ikut maju mengeroyoknya. Ia melihat gerakan pedang yang cukup tangkas dan lihai. Kini setelah dikeroyok tiga, dia tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas dengan serangannya.

Akan tetapi gadis ini benar-benar tabah dan jenaka. Biar pun tiga orang lawannya amat tangguh, ia masih melayani mereka dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, menyambar-nyambar di antara gelombang serangan.

Dan pada saat itu, datanglah Lili. Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Goat Lan. Tentu saja dia menjadi amat gembira dan girang. Telah bertahun-tahun dia tidak bertemu dengan Lili, mungkin sudah ada tiga tahun.

Dia melihat betapa calon adik iparnya ini maju menyerbu dengan senjata pedang dan kipas. Dia merasa amat heran ketika melihat betapa Lili menyerbu Ban Sai Cinjin dengan muka merah dan mata berapi, agaknya Lili amat marah dan membenci kakek mewah itu.

Melihat kemarahan Lili yang agaknya penuh nafsu membunuh itu, Goat Lan tidak mau main-main lagi dan saat ia berseru keras, kaki kanannya telah berhasil menendang tubuh belakang Hok Ti Hwesio dengan gerakan Soan-hong-twi (Tendangan Kitiran Angin).

Tendangan ini dilakukan dengan tenaga yang ratusan kati beratnya dan cukup membuat tulang punggung lawan menjadi patah-patah. Akan tetapi, bagaikan sebuah bal karet, tubuh Hok Ti Hwesio terpental keras dan ketika membentur dinding, lalu mental kembali dan bergulingan di atas lantai tanpa luka sedikit pun!

Goat Lan terheran-heran sehingga untuk sesaat ia berdiri bengong memandang manusia bal itu! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio telah melatih diri dengan ilmu kebal yang luar biasa dan yang dimilikinya setelah dia makan tiga buah jantung manusia!

Pada saat Goat Lan berdiri bengong memandang Hok Ti Hwesio saking herannya, Kam Seng mengirim tusukan maut dengan pedangnya. Ujung pedangnya sudah berada dekat sekali dengan dada kiri Goat Lan, akan tetapi alangkah terkejut hati Kam Seng ketika tiba-tiba, bagaikan tubuh seekor ular, tubuh gadis itu melenggok ke kiri dan tusukan itu hanya lewat di pinggir tubuhnya saja! Dan sebelum Kam Seng kehilangan rasa herannya, tiba-tiba saja dia merasa lengan kanannya sakit sekali dan pedangnya telah terlepas dari pegangannya! Tanpa dia ketahui, dengan gerakan yang cepat bukan main bagaikan kilat menyambar, Goat Lan telah mengirim totokan ke arah urat nadinya!

Hok Ti Hwesio telah bangun berdiri lagi, begitu juga Kam Seng telah mengambil kembali pedangnya karena totokan tadi tidak berbahaya, akan tetapi kedua orang itu kini merasa ragu-ragu dan hanya memandang kepada gadis itu dengan bengong. Mereka mengira sedang berhadapan dengan setan, sebab bagaimanakah seorang gadis cantik lagi muda itu dapat menghadapi mereka dengan tangan kosong dan membuat mereka tak berdaya dengan dua kali serangan saja?

Sementara itu, Ban Sai Cinjin telah diserang dan didesak hebat oleh Lili yang berusaha membunuhnya! Pundaknya yang tadi terluka mulai terasa sakit bukan main dan agaknya sambungan tulang yang telah disambung itu kini terlepas lagi! Keadaannya benar-benar berbahaya dan Goat Lan hanya memandang sambil tertawa-tawa.

Pada saat itu, terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam menyambar angin yang menolak kipas Lili yang sedang dipukulkan ke arah dada Ban Sai Cinjin! Goat Lan amat terkejut ketika melihat betapa kipas itu terpental dan tahu bahwa dari dalam ada orang berkepandaian tinggi yang turun tangan. Benar saja, seruan tadi segera disusul dengan munculnya seorang tosu tua.

“Nona Sie!” kata tosu itu ketika Lili melompat mundur. “Muridku telah berlaku sangat baik kepadamu, mengapa kau masih mati-matian mengacaukan tempat tinggal orang lain?”

Melihat munculnya tosu yang sore tadi sudah merobohkannya, kemarahan Lili jadi makin memuncak. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Wi Kong Siansu ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, akan tetapi puteri Pendekar Bodoh ini memang mempunyai ketabahan yang diwarisinya dari ayah bundanya.

“Tosu siluman, rasakan pembalasanku!” teriaknya keras dan ia cepat menyerang dengan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut di tangan kanan serta mainkan San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air) dengan tangan kirinya!

Wi Kong Siansu sudah tahu akan kelihaian gadis galak ini, maka dia berlaku hati-hati sekali dan mainkan kedua lengan bajunya dengan cepat. Juga Goat Lan berdiri dengan kagum memandang ilmu silat yang dimainkan oleh Lili. Diam-diam dia mengakui bahwa ilmu silat Lili benar-benar hebat sekali.

Akan tetapi ketika ia melihat gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu, ia lebih kaget lagi. Ujung lengan baju yang terbuat dari kain lemas itu kini mengeras bagaikan ujung toya baja dan tiap kali terbentur dengan pedang atau gagang kipas Lili, terdengar suara keras dan senjata di tangan gadis itu terpental ke belakang.

Melihat hal ini saja maklumlah Goat Lan bahwa kepandaian tosu tua ini sungguh hebat sekali dan jika dibiarkan saja, Lili mungkin takkan dapat menang. Maka ia lalu mencabut senjatanya dan berseru,

“Kakek tua, jangan kau orang tua menghina yang muda!”

Ketika Wi Kong Siansu melihat datangnya serangan dan melihat senjata di tangan Goat Lan, kakek ini terkejut sekali dan cepat dia melompat mundur. Ternyata bahwa gadis ini sekarang memegang dua batang bambu kuning yang hanya sebesar lengan anak-anak dan berujung runcing, panjangnya kira-kira hanya tiga kaki!

“Tahan, Nona. Apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”

Goat Lan memang bersifat nakal dan jenaka, karena itu sambil tersenyum-senyum ia pun menjawab,

“Totiang (sebutan untuk pendeta tua), aku yang muda tidak mau membawa-bawa nama orang-orang tua untuk menakuti-nakuti kau!”

Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. “Siapa takut kepadamu? Meski pun Hok Peng Taisu sendiri yang datang, aku Wi Kong Siansu belum tentu akan takut kepadanya! Hanya kulihat bahwa sepasang bambu runcingmu itu adalah bambu runcing yang merupakan kepandaian tunggal dari Hok Peng Taisu.”

“Sudahlah, tidak perlu kita membawa-bawa nama orang tua itu di tempat yang kotor ini. Pendeknya, kalau Totiang takut, sudah saja jangan kau mengganggu adikku ini!”

“Siapa takut? Biarlah, biar kumencoba kepandaian Bu Pun Su dan Swie Kiat Siansu yang diturunkan kepada Nona Sie ini dan sekalian kurasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!” Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik jubahnya yang lebar.

Pedang ini bersinar kehitaman sebab inilah pedang mustika yang sangat berbahaya dan ganas yang bernama Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam)! Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu memang telah menciptakan semacam ilmu pedang tunggal yang pada waktu itu merupakan sebuah dari ilmu-ilmu pedang yang paling terkenal dan ditakuti di masa itu.

Ilmu pedang ini ia ciptakan berdasarkan pedang mustikanya yang didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san. Karena pedang itu mengeluarkan sinar kehitaman dan didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san (Bukit Setan Hitam), maka ia lalu memberi nama Hek-kwi-kiam pada pedang itu dan lalu memberi nama pada ilmu pedang ciptaannya Hek-kwi Kiam-sut.

Walau pun Kam Seng sudah mempelajari ilmu pedang ini dengan tekunnya, akan tetapi karena ilmu pedang ini amat sukar dan banyak sekali perubahannya, maka kepandaian itu boleh dibilang belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian Wi Kong Siansu Si Iblis Tua Pencabut Nyawa!

“Majulah, anak-anak muda! Biarlah kalian mendapat kehormatan untuk mengenal Hek-kwi Kiam-sut dari dekat!”

Akan tetapi Lili yang amat marah sudah tak sabar lagi mendengar ocehan tosu itu dan cepat maju menyerang dengan pedangnya. Goat Lan yang dapat menduga kelihaian tosu itu, lalu maju pula membarengi gerakan Lili dan mengirim serangan dengan bambu runcingnya.

Sesungguhnya, dari kedua suhu-nya yang menggembleng dirinya selama delapan tahun, yaitu Sin Kong Tianglo Si Raja Obat dan Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak, Giok Lan hanya menerima latihan-latihan ilmu silat tangan kosong beserta lweekang dan ginkang. Akan tetapi gadis ini tentu saja tidak mau meniru kedua suhu-nya yang menggunakan senjata-senjata yang paling aneh di antara sekalian senjata ahli silat di dunia ini.

Yok-ong Sin Kong Tianglo selalu mempergunakan keranjang obat dan pisau pemotong rumput sebagai senjata, sedangkan Im-yang Giok-cu mempergunakan senjata guci arak. Oleh karena itu, di samping menerima gemblengan ilmu silat dari kedua kakek sakti ini, Goat Lan juga mempelajari ilmu pedang dari ayahnya dan terutama sekali yang paling disukai adalah mempelajari ilmu bambu runcing dari ibunya!

Bahkan sesudah dia dapat memainkan ilmu bambu runcing dengan pandai, dia lalu minta kepada ayahnya untuk membuatkan bambu runcing terbuat dari sepasang bambu kuning seperti milik ibunya! Hanya dengan senjata inilah Goat Lan melakukan perantauannya!

Ilmu silat Goat Lan tentu saja sudah tinggi dan tangguh bukan main. Ia telah menerima gemblengan dari empat orang berkepandaian tinggi dan biasanya dia hanya menghadapi para lawan yang betapa lihai pun dengan kedua kaki tangannya sambil mengandalkan ginkang-nya yang seperti ibunya itu. Akan tetapi kini saat menghadapi Wi Kong Siansu, terpaksa dia harus mengeluarkan bambu-runcingnya.

Begitu pula dengan Wi Kong Siansu. Biasanya, orang tua ini selalu memandang rendah lawan-lawannya dan tak pernah dia mengeluarkan pedang mustikanya. Kini menghadapi dua orang gadis cantik dan masih muda dia sampai mengeluarkan pedangnya, dapatlah diketahui bahwa tosu ini sama sekali tidak berani memandang ringan terhadap Lili dan Goat Lan.

Bahkan Ban Sai Cinjin sendiri memandang heran dan ia selalu bersiap sedia dengan hati berdebar-debar. Hok Ti Hwesio dan Kam Seng tentu saja hanya berdiri di sudut ruangan yang luas itu sambil menonton dan sama sekali tidak berani mencoba untuk ikut turun tangan.

Pertempuran kali ini memang benar-benar hebat sekali. Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut luar biasa ganas dan cepatnya hingga ruang yang terang oleh cahaya lampu itu menjadi muram, oleh karena sinar pedang itu bergulung-gulung laksana uap gunung berapi yang mengandung abu hitam.

Akan tetapi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan merupakan titik kuning, yang kadang-kadang berkelebat bagaikan halilintar menyambar dengan cepatnya. Sedangkan pedang Liong-coan-kiam terkenal sebagai pedang yang ampuh, kini digerakkan dengan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut menjadi amat mengagumkan, berkelebat-kelebat bersinar putih laksana perak merupakan seekor naga perkasa yang bermain-main di antara awan hitam dan halilintar! Kipas maut di tangan kiri Lili merupakan pusat angin yang apa bila digerakkan membuat para penonton merasakan sambaran angin dingin yang aneh!

Empat ilmu silat yang luar biasa tingginya kini bertemu, dimainkan oleh tiga orang yang memiliki ilmu tinggi, sungguh merupakan pemandangan yang sukar dilihat orang! Ban Sai Cinjin, Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio sampai berdiri bengong bagaikan terpaku di lantai.

Bagi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang ilmu kepandaiannya jauh lebih rendah, tidak ada kemungkinan sama sekali bagi mereka untuk ikut turun tangan dalam pertempuran yang maha dahsyat itu, akan tetapi tidak demikian dengan Ban Sai Cinjin. Apa bila diukur tingkat kepandaiannya, memang dia tidak usah mengaku kalah terhadap dua orang gadis itu.

Maka secara diam-diam kakek mewah ini lalu menelan dua butir pil dan mengurut-urut pundaknya, membenarkan letak tulang pundak sambil mengatur napasnya. Lalu, setelah pundaknya tidak begitu sakit lagi, dia lalu mengeluarkan tembakau hitamnya yang amat berbahaya, dan mulai mengisi kepala huncwe-nya dengan tembakau beracun itu. Tidak lama kemudian, mengebullah asap tembakau yang membuat kepala menjadi pening dan napas menjadi sesak. Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sendiri terpaksa melangkah mundur menjauhi agar jangan sampai terkena serangan asap beracun itu.

Goat Lan adalah murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, maka tentu saja ia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan, terutama sekali tentang racun yang sering kali dipergunakan oleh kaum hek-to (jalan hitam, yaitu orang-orang jahat). Begitu hidungnya mencium bau asap tembakau yang mulai melayang-layang di ruangan itu, ia pun maklum bahwa kakek mewah dengan huncwe mautnya itu akan ikut turun tangan pula, hendak mengandalkan huncwe dan asapnya yang lihai.

Cepat tangan kirinya menancapkan bambu runcing yang kiri di ikat pinggang, menjaga diri dengan bambu runcing kanan, lalu menggunakan tangan kirinya untuk merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan dua butir buah yang putih warnanya, lalu menyerahkan sebutir kepada Lili sambit berkata,

“Lili, masukkan buah ini ke dalam mulut dan gigit! Jangan telan!”

Lili menerima buah itu dan ketika dia menggigitnya, maka mulut dan hidungnya terasa dingin dan pedas, akan tetapi tercium hawa yang sangat harum keluar dari mulut serta hidungnya.

Pada saat itu pula, Ban Sai Cinjin sudah melompat maju dan menyerbu dengan huncwe mautnya sambil mengebulkan asap hitam dari mulutnya ke arah kedua orang gadis itu. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya pada waktu ia melihat Lili dan Goat Lan tidak mengelak dan menerima asap itu tanpa terpengaruh sedikit pun! Ternyata bahwa asap hitam itu sebelum dapat memasuki hidung atau mulut dua orang dara pendekar ini, telah diusir kembali oleh hawa harum yang keluar dari mulut dan hidung mereka!

Akan tetapi, setelah Ban Sai Cinjin ikut menyerbu, sibuk jugalah Lili dan Goat Lan. Tadi saat menghadapi dan mengeroyok Wi Kong Siansu, keadaan mereka baru dapat disebut seimbang, tetapi masih saja mereka berdua merasa amat sukar untuk dapat merobohkan Toat-beng Lo-mo yang memang sakti itu.

Kini, ditambah Ban Sai Cinjin yang memiliki ilmu kepandaian tidak lebih rendah dari pada tingkat mereka, tentu saja menimbulkan banyak kesukaran sehingga keduanya terpaksa mengerahkan kepandaian pada penjagaan diri.

“Lili, mari kita pergi, malam sudah lewat!” kata Goat Lan sambil memutar kedua bambu runcingnya menghadapi pedang hitam Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu. Memang, saat itu malam telah terganti pagi. Ayam-ayam hutan mulai berkokok nyaring, burung-burung mulai berkicau.

“Ha-ha-ha, nona-nona manis! Kalian baru boleh pergi setelah meninggalkan tubuh kalian yang bagus di sini. Hanya nyawa kalian saja yang bisa pergi! Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak karena girangnya melihat betapa dia dan suheng-nya dapat mendesak kedua nona lihai itu.

Sebenarnya, pertempuran itu boleh dibilang amat ganjil. Wi Kong Siansu tetap dikeroyok dua oleh Lili dan Goat Lan, ada pun Ban Sai Cinjin hanya membantu suheng-nya dengan serangan-serangan curang kepada dua orang nona itu.

Lili dan Goat Lan tidak dapat membalas kakek mewah ini karena mereka selalu harus mencurahkan perhatian terhadap Toat-beng Lo-mo yang benar-benar sangat berbahaya dan lihai. Kedua nona itu merasa serba sulit.

Kalau seorang di antara mereka meningalkan Toai-beng Lo-mo untuk menghadapi Ban Sai Cinjin, mungkin sekali dia akan dapat merobohkan Ban Sai Cinjin yang sudah terluka pundaknya. Akan tetapi kawan yang ditinggalkan juga sangat berbahaya kedudukannya dan mungkin tidak akan kuat menghadapi Toat-beng Lo-mo. Maka mereka tetap saling bantu dan tidak mau meninggalkan kawan, selalu bersama-sama menghadapi desakan Toat-beng Lo-mo dan Ban Sai Cinjin tanpa dapat membalas!

Sebetulnya, biar pun hati nurani dan peri kemanusiaannya amat tipis, namun Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat pengecut dan rendah seperti sute-nya. Mendengar ejekan sute-nya terhadap kedua orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu.

Dua orang kakek yang telah dikenal sebagai tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw, sekarang menghadapi dua orang gadis yang usianya baru belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan mereka! Apa lagi kalau dia mengingat bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan mereka ini.

Juga ada sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja dia selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.

Tiba-tiba Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad, merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka merasa heran sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri.

Cepat mereka menggunakan kesempatan pada waktu pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil sinarnya. Mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat nekad menyerang membabi buta.

Hampir saja Ban Sai Cinjin menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak terserang menjadi pihak penyerang, sudah memberi kesempatan kepada Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!

Ban Sai Cinjin hendak mengejar akan tetapi suheng-nya mencegah. “Mereka sudah lari, jangan dikejar, Sute. Kepandaian mereka tinggi dan tidak perlu pertempuran yang sudah berlangsung setengah malam ini harus diperpanjang lagi.”

Karena pundaknya juga terasa amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya. Kalau suheng-nya tidak ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang gadis yang lihai itu? Ia menarik napas panjang dan berkata,

“Baru anak dari Pendekar Bodoh dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah membuat kita tak berdaya, apa lagi kalau Pendekar Bodoh sendiri beserta kawan-kawannya datang menyerbu!”

Ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk mencela dan menegur suheng-nya, dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu juga merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,

“Kau tahu sendiri bahwa mereka adalah para murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku akan kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang menjadikan pikiranku ruwet adalah pulangnya Ong Tek. Apa bila Pangeran Ong mendengar bahwa puteranya hampir saja kau bunuh, bukankah ini berarti bahwa kita sudah memancing permusuhan dengan para perwira kerajaan?”

“Aku tidak takut, Suheng!” jawab Ban Sai Cinjin.

Toat-beng Lo-mo tak menjawab, hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi semakin besar dan ruwet, tak ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

“Kam Seng, mulai sekarang kau harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa pihak musuh-musuhmu ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”

Pada siang harinya, datanglah Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang kakek aneh dan sakti yang sudah amat terkenal namanya di perbatasan Mancuria di utara.

Baru melihat keadaan tiga orang ini saja sudah sangat aneh. Yang seorang tinggi kurus potongan tubuhnya seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya. Orang kedua gemuk dengan muka lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha, mulutnya lebar seperti terobek dari telinga ke telinga.

Orang ke tiga lebih aneh lagi. Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang dia persis seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang melihat wajahnya, dia pasti akan terkejut dan heran. Mukanya adalah muka seorang kakek tua berjenggot dan berkepala botak.

Sungguh pun keadaan ketiga orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat tersohor dan mereka terkenal sebagai orang-orang sakti.

Hailun Thai-lek Sam-kui tadinya agak merasa segan untuk menuruti bujukan Bouw Hun Ti. Akan tetapi saat mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak takut dan gelisah sehingga mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, ketiga orang Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik.

Mereka lalu ikut turun gunung dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Dengan serta merta Ban Sai Cinjin yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan hidangan-hidangah yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan riangnya. Kegelisahan yang tadi terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi Kong Siansu juga mulai merasa lega karena dia maklum akan kelihaian tiga orang iblis itu…..

********************

Sementara itu, setelah dapat melarikan diri dari kuil serta meninggalkan Ban Sai Cinjin dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang lihai itu, Lili lalu membawa Goat Lan untuk mampir ke rumah penginapan dan mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian, pada pagi itu juga mereka lalu melarikan diri keluar dari dusun Tong-sin-bun.

“Ahh, sungguh lihai tosu tua itu!” kata Goat Lan setelah mereka tiba di luar dusun. Dia berhenti, kemudian memegang kedua tangan Lili. “Akan tetapi mengapa kau bisa berada di dalam kuil itu, Lili? Dan apakah yang terjadi? Pertemuanku dengan kau di tempat itu selain amat menggirangkan hati, juga amat mengejutkan dan mengherankan!”

Lili membalas pelukan Goat Lan dan berkata sambil tertawa. “Sebenarnya aku sedang melakukan perjalanan untuk mengunjungi kau di Tiang-an.”

“Aihh, aneh benar kau ini. Dari tempat tinggalmu ke Tiang-an, sama sekali tidak melewati tempat ini. Apakah kau tersesat jalan?”

Lili tersenyum lagi. “Goat Lan, berjanjilah dulu, bahwa kau takkan membuka rahasiaku ini kepada orang lain. Juga tidak kepada ayah ibu, karena sebenarnya aku telah mengambil jalan sendiri!”

“Rahasia apakah?” Goat Lan bertanya heran.

“Sesungguhnya, dari rumah aku berpamit untuk pergi ke Tiang-an dengan alasan sudah merasa rindu padamu. Akan tetapi, diam-diam aku tidak menuju ke rumahmu, melainkan membelok ke Tong-sin-bun untuk mencari musuh besarku, Bouw Hun Ti. Tentunya kau sudah mendengar pula bahwa Bouw Hun Ti adalah murid dari Ban Sai Cinjin, maka aku langsung menuju ke sana untuk mencarinya. Nah, jangan kau ceritakan hal ini kepada ayah atau ibuku, karena mereka tentu akan marah besar. Memang ayah ibuku benar, karena hampir saja aku mendapat celaka besar.”

Maka, kemudian berceritalah Lili tentang pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak menceritakan bahwa ketika dia tertawan, Kam Seng sudah mencium jidatnya! Ia hanya memberitahukan kepada Goat Lan bahwa Kam Seng itu sesungguhnya adalah putera dari Song Kun, suheng dari ayah Lili!

“Dan bagaimana kau bisa kebetulan sekali datang pada malam hari tadi, Goat Lan?”

“Mari kita mengaso dahulu di bawah pohon itu,” kata Goat Lan sambil menuju ke arah sebatang pohon besar di pinggir jalan. “Ceritaku agak panjang karena memang sudah lama kita tak saling jumpa. Mari kita duduk di sana dan mari kuceritakan pengalamanku. Kau tentu akan tertarik mendengarnya. Karena ketahuilah bahwa aku pernah bertemu dengan Bouw Hun Ti musuh besarmu itu!”

Mereka lalu pergi dan duduk di bawah pohon yang rindang itu, dan berceritalah Goat Lan dengan jelas, didengarkan oleh Lili dengan asyiknya…..

********************

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar