-------------------------------
----------------------------
Pendekar Remaja Jilid 11-15
Kita tinggalkan dulu Lie Siong
dan Lilani yang melakukan pelayaran dalam usaha mereka mencari tempat tinggal
Kwee An atau Pendekar Bodoh agar mendapatkan tempat tinggal dan tempat
menumpang bagi gadis itu. Marilah kita menengok keadaan Pendekar Bodoh Sie Cin
Hai dan isterinya, Lin Lin, yang melakukan perjalanan hingga perbatasan utara,
bahkan memasuki daerah Mongol untuk mencari Ang I Niocu!
Dengan hati dipenuhi keharuan
dan kegelisahan Cin Hai dan Lin Lin hendak kembali ke selatan perbatasan Mongol
di mana dahulu Ang I Niocu dan Lin Lin pernah mengadakan perantauan. Mereka
mencari keterangan di sana-sini, mengadakan kunjungan ke banyak tempat dan
pegunungan, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.
Pada suatu hari, ketika dengan
putus harapan Cin Hai serta Lin Lin hendak kembali ke selatan dan sampai di
dalam sebuah hutan, mereka mendengar orang bernyanyi dengan suara nyaring.
Ahh, kipas sial, kipas butut!
Apakah jasamu terhadapku?
Hanya mendatangkan nama besar yang kosong.
Menambah musuh menjauhkan sahabat.
Kau tidak mampu merenggut nyawaku.
Yang jemu dan telah lama terkurung.
Kau tetap hanya menghibur badan.
Mengusir hawa panas mendatangkan angin.
Ahh, kipas butut, kipas sial!
Hutan itu liar dan sunyi, maka
tentu saja Cin Hai dan Lin Lin terheran-heran mendengar nyanyian ini, karena
selain kata-katanya amat aneh, juga suara itu nyaring sekali hingga menggema di
seluruh hutan!
Suami isteri ini saling
pandang dan cepat menghampiri arah datangnya suara. Mereka tertegun melihat
seorang kakek tua sekali tengah duduk di bawah sebatang pohon besar sambil
memakai sebuah kipas yang benar-benar sudah butut untuk mengipasi tubuhnya yang
gemuk.
Pakaian kakek ini hampir
telanjang tidak terurus dan tubuhnya sudah kotor penuh debu dan lumpur. Kalau
saja tidak melihat kipas yang terbuat dari pada kulit harimau itu tentu suami
isteri pendekar ini tidak mengenal orangnya. Cin Hai yang lebih dulu
mengenalnya dan segera berseru keras,
“Swie Kiat Siansu! Locianpwe,
mengapa kau berada di sini?” Dia kemudian menghampiri bersama isterinya, dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Kakek tua renta yang gemuk itu
memandang dengan bermalas-malasan, kemudian dia tertawa bergelak dan
memukul-mukul kepalanya dengan kipasnya.
“Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh...!
Agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadaku maka di saat terakhir masih dapat
bertemu dengan engkau! Alangkah sempitnya dunia ini? Dan alangkah cepatnya sang
waktu berlari.” Ia memandang kepada Lin Lin dan berkata pula, “Agaknya kalian
sedang menderita, akan tetapi jangan ceritakan hal itu kepadaku, aku sudah
cukup kenyang mendengar penderitaan manusia sehingga menjadi bosan. Ehhh,
Nyonya muda, coba kau buatkan masakan yang cocok untukku, nanti kuberikan
kipasku yang butut ini kepadamu.”
Lin Lin diam-diam merasa
mendongkol bukan main. Untuk apa kipas butut itu baginya? Akan tetapi dengan
muka girang Cin Hai berkata kepadanya,
“Kau tangkaplah seekor kelinci
dan panggang itu untuk Locianpwe.”
Lin Lin memandang kepada
suaminya, akan tetapi karena ia telah percaya penuh kepada suaminya yang
sesungguhnya tidak bodoh itu, dia pun segera bangkit berdiri dan berlari
memasuki hutan.
“Ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, kau
baik sekali. Berapa orangkah anakmu sekarang?”
“Dua orang, Locianpwe, seorang
anak perempuan dan seorang lagi anak laki-laki. Putera teecu itu kini sedang
belajar di bawah asuhan Pok Pok Sianjin.”
Kembali kakek gemuk itu
tertawa bergelak-gelak. “Bagus, bagus! Setan tua dari barat itu agaknya tak mau
mampus sambil membawa kepandaiannya yang akan membikin pusing saja di neraka!
Baiklah, kalau begitu, aku pun akan meninggalkan kipas ini untuk anakmu yang
perempuan itu. Akan tetapi aku harus makan dulu, telah dua pekan lebih aku
tidak makan sama sekali!” Sambil berkata begitu, kakek gemuk ini lalu
menggunakan tangan kanannya untuk menekan tanah dan berpindah tempat duduk.
Terkejutlah Cin Hai ketika
melihat bahwa kakek ini ternyata sedang menderita penyakit yang hebat sekali,
agaknya tangan dan kaki kirinya sudah lumpuh tak dapat digerakkan lagi! Sungguh
mengherankan, dalam keadaan demikian apa lagi ditambah dengan dua pekan tidak
makan, kakek ini masih saja nampak gemuk dan sehat!
“Maafkan, Locianpe. Apakah
Locianpwe menderita sakit?”
Swie Kiat Siansu
mengangguk-angguk sambil menghela napas. “Agaknya dosaku terlalu besar sehingga
sebelum mampus harus menderita lebih dulu. Setelah tua, darahku jalan terlampau
cepat sehingga memecahkan urat-urat syaraf dan membuat semua urat-urat di
setengah tubuhku pecah-pecah. Akan tetapi tidak apa, dalam keadaan sakit atau
tidak, kematian akan datang juga akhirnya!”
Cin Hai lalu teringat akan
keadaan orang tua ini pada belasan tahun yang lalu. Swie Kiat Siansu adalah
seorang di antara ‘empat besar’ yang menjagoi seluruh daratan Tiongkok. Pada masa
itu, Bu Pun Su (guru Cin Hai dan Lin Lin) dan Hok Peng Taisu (guru Ma Hoa)
merupakan tokoh besar dari selatan dan timur, ada pun Pok Pok Sianjin adalah
tokoh dari barat. Tokoh dari utara yang paling terkenal adalah Swie Kiat Siansu
inilah!
Keempat orang ini, yakni Bu
Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swie Kiat Siansu terkenal sebagai
empat besar dan kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi hingga
jarang bertemu tandingan! Hanya sayang sekali bahwa Swie Kiat Siansu telah
salah dalam memilih murid. Dua orang muridnya yang bernama Thai Kek Losu dan
Sian Kek Losu menjadi perwira-perwira Mongol dan berwatak jahat sekali. Dulu
Swie Kiat Siansu ini bersama Pok Pok Sianjin pernah mengadakan pibu (adu
kepandaian silat) di puncak Hoa-san menghadapi Hok Peng Taisu dan Bu Pun yang
diwakili Pendekar Bodoh.
Kini melihat keadaan orang tua
ini, diam-diam Cin Hai menghela napas dan teringatlah ia bahwa ia sendiri kelak
tak akan terlepas dari pada pengaruh usia tua dan kematian. Akan tetapi,
mendengar bahwa kakek ini hendak menyerahkan kipasnya kepada puterinya, ia
menjadi girang sekali. Menyerahkan senjata berarti menyerahkan atau menurunkan
ilmu silat, dan kipas kakek ini memang merupakan senjatanya yang paling lihai
dan yang telah membuat namanya menjadi terkenal sekali.
Tak lama kemudian, Lin Lin
datang sambil membawa dua ekor kelinci putih yang gemuk. Ia tertawa manis
sekali dan berkata,
“Aku sengaja menangkap
keduanya supaya pasangan ini tidak terpisah, biar pun sudah berpindah tempat ke
dalam perut!”
Swie Kiat Siansu tertawa
bergelak, “Ha-ha-ha! Pantas saja kau dan suamimu Pendekar Bodoh ini dapat hidup
rukun dan damai, tidak tahunya kau dapat menghargai kesetiaan dan kecintaan!
Lekas masak... lekas masak... aku tidak tahan lagi menghadapi cacing-cacing
perutku!”
Cin Hai segera membuat api dan
setelah kedua kelinci itu disembelih serta dibersihkan, dagingnya kemudian
dipanggang. Tidak lama kemudian sudah tercium bau yang sedap dan menimbulkan
selera. Swie Kiat Siansu menahan air liurnya ketika tercium bau sedap ini
olehnya.
“Aduh, cacing perutku makin
menggeliat-geliat. Lekas bawa ke sini!”
Lin Lin tersenyum senang,
karena ucapan ini secara tidak langsung menyatakan pujian atas pekerjaannya.
Wanita mana pun juga di dunia ini memiliki dua macam kesenangan yang sama,
yaitu mendapat pujian tentang kecantikannya atau kelezatan masakannya. Ia lalu
membawa daging yang sudah merah dan mengebulkan uap dan aroma kesedapan itu
kepada Swie Kiat Siansu.
Kakek tua yang hanya dapat
menggerakkan tangan kanannya itu cepat menerima daging itu dan makan dengan
amat lahapnya. Cin Hai dan Lin Lin memandang kagum karena biar pun daging itu
baru saja keluar dari api dan amat panas, akan tetapi kakek itu dapat
memakannya demikian enak dan sekali-kali tidak kelihatan kepanasan!
Tanpa menawarkan kepada Cin
Hai dan Lin Lin yang terpaksa memandang saja sambil menelan ludah, kakek itu
makan terus dengan enak dan lahap sekali sampai lenyaplah daging dua ekor
kelinci itu berpindah ke dalam perutnya!
Swie Kiat Siansu kemudian
menggunakan tangan kanannya yang masih penuh dengan minyak untuk mengelus-elus
perutnya yang gendut, lalu dia tertawa dan berkata,
“Ahh, yang senang saja kalian
sepasang ketinci tinggal di dalam perutku!” ia tertawa lagi, kemudian berkata.
“Sayang tidak ada arak...”
“Jangan khawatir, Locianpwe,
kebetulan teecu membawa bekal arak,” kata Cin Hai yang cepat mengeluarkan
seguci arak dari buntalannya.
Berserilah wajah kakek itu.
“Bagus, bagus! Kau baik sekali! Ahh, benar-benar Thian telah memimpin kalian suami
isteri ke tempat ini untuk menyenangkan hatiku di saat terakhir ini dan untuk
menerima warisan dariku!”
Dia lalu minum arak itu dan
nampak senang sekali. Tiap kali habis menenggak arak, dia menjulurkan lidah
dari mulut dan diputarnya lidah itu menghapus kedua bibirnya dengan puas
sekali.
Lin Lin juga merasa girang
ketika mendengar bahwa kakek itu hendak menurunkan ilmu silat dan kepandaian
memainkan senjata kipas itu kepada puterinya, maka ia pun bersiap sedia untuk
memasak apa saja yang dibutuhkan kakek ini.
Dua pekan lebih Cin Hai dengan
tekun mempelajari ilmu silat tinggi dari Swie Kiat Siansu untuk kemudian
dipelajarkan kepada puterinya. Karena Cin Hai telah memiliki dasar ilmu silat
tinggi serta mempunyai pengertian dasar dan pokok segala macam ilmu silat, maka
setelah memperhatikan dan mempelajari selama dua pekan, dia sudah dapat
menerima semua kepandaian itu.
Pada malam yang ke lima belas,
setelah memberikan keterangan-keterangan terakhir dan memberikan kipas itu
kepada Cin Hai, Swie Kiat Siansu berkata puas, “Nah, kini bebaslah aku dari
kipas sial dan butut itu! Ehh, Nyonya muda, tolong kau panggangkan sepasang
kelinci lagi untukku!”
“Baik, Locianpwe,” jawab Lin
Lin yang selama itu selalu mengurus keperluan Swie Kiat Siansu yang membawa mereka
tinggal di sebuah goa di hutan itu.
Sesudah sepasang kelinci
didapatkan dan dagingnya dimasak, kembali kakek itu makan dengan enaknya dan
menghabiskan persediaan arak milik Cin Hai yang tinggal seguci lagi. Sesudah
makan kenyang, dia lalu menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas tanah, berkata,
“Besok kalian boleh pergi!” dan sebentar kemudian ia tidur mendengkur!
Cin Hai dan Lin Lin teringat
akan Bu Pun Su, guru mereka yang juga memiliki adat yang sangat aneh seperti
kakek ini pula. Dengan perlahan mereka lalu keluar dari goa itu dan makan
buah-buahan yang dikumpulkan oleh Lin Lin.
“Besok kita disuruh pergi,”
kata Cin Hai. “Karena Ang I Niocu tidak ada kabarnya, lebih baik kita kembali
mencari anak kita dan mampir di Beng-san menengok putera kita.”
Teringat akan puteri mereka,
Sie Hong Li atau Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti, Lin Lin tiba-tiba kembali
merasa berduka sekali dan menunda makannya, memandang dengan mata melamun ke
tempat jauh. Nampak dua titik air mata perlahan-lahan mengalir turun membasahi
pipinya.
“Isteriku, janganlah kau
berduka. Percayalah bahwa Thian pasti akan melindungi Lili,” Cin Hai menghibur
sambil menepuk-nepuk pundak isterinya. Mendengar hiburan ini, Lin Lin merasa
semakin terharu dan sedih sehingga ia lalu menangis terisak sambil menjatuhkan
kepalanya di atas pundak suaminya.
Cin Hai membiarkan saja karena
untuk melepaskan kedukaan, memang tidak ada yang lebih baik dari pada tangis
dan air mata. Karena besok pagi mereka harus pergi, maka sekali lagi Cin Hai
menghafalkan dan melatih ilmu silat yang diturunkan oleh Swie Kiat Siansu.
Malam itu mereka berada di
luar goa dan melatih ilmu silat dengan amat rajinnya. Dasar suami isteri ini
memang gemar sekali akan ilmu silat, maka berlatih semalam penuh di bawah sinar
bulan itu merupakan hiburan yang sangat baik bagi kedukaan hati mereka akibat
lenyapnya puteri mereka.
Akan tetapi, alangkah kagetnya
sepasang suami isteri ini ketika pada keesokan harinya mereka memasuki goa
tempat tinggal Swie Kiat Siansu, mereka mendapatkan kakek itu telah menggeletak
tak bergerak dan tak bernapas lagi! Ternyata setelah makan kenyang dan tidur,
kakek yang usianya sudah seratus lebih dan yang terserang penyakit berat ini
telah menghembuskan napas terakhir, hal yang sudah lama dinanti-nantinya!
Dengan penuh penghormatan, Cin
Hai dan isterinya lalu mengurus jenazah itu, menggali tanah dan mengubur
jenazah itu sebagaimana mestinya. Mereka bersembahyang secara sederhana,
menunda keberangkatan mereka sampai pada keesokan harinya lagi untuk memberi penghormatan
terakhir. Kalau kiranya manusia mati masih mempunyai roh, dan apa bila rohnya
ini pandai melihat dan berpikir, maka roh Swie Kiat Siansu tentu akan merasa
berterima kasih sekali melihat sepasang suami isteri ini.
Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Cin Hai dan isterinya meninggalkan tempat itu dan langsung menuju ke
selatan. Di sepanjang jalan tiada hentinya mereka berdua mencari keterangan dan
menyelidiki tentang Ang I Niocu dan juga tentang Bouw Hun Ti.
Tanpa mendengar sesuatu pun keterangan
tentang kedua orang yang dicari-carinya itu, akhirnya mereka sampai di Beng-san
dan mendaki gunung itu dengan cepat.
Baru saja mereka berdua tiba
di lereng gunung, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring memanggil mereka.
“Ayah... lbu...!”
Cin Hai dan Lin Lin cepat
menengok dengan wajah berubah, dan alangkah kaget, heran serta girang hati
mereka ketika melihat di atas sebuah puncak berdiri Lili bersama Hong Beng dan
seorang anak laki-laki lain lagi!
Lin Lin berlari seperti
terbang cepatnya ke arah anaknya itu sambil menangis. Cin Hai juga berlari
mengejar isterinya, akan tetapi kali ini dia kalah cepat! Kegirangan agaknya
sudah membuat nyonya muda itu seakan-akan terbang saja dan ilmu berlari
cepatnya mendadak menjadi makin hebat.
Juga Lili dan Hong Beng
berlarian turun dari puncak. Sesudah saling berhadapan, Lin Lin lalu menubruk
Lili sambil mencium anaknya itu dan menangis tersedu-sedu.
“Lili... Lili... anak nakal...
kau selamat, Nak?” dengan megap-megap Lin Lin bertanya.
Lili juga menangis saking
girangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian dia menengok kepada
ayahnya yang juga sudah datang ke situ lalu tersenyum!
“Ayah dan Ibu tidak marah...?”
tanyanya.
“Mengapa marah? Tidak, anakku,
tidak!” jawab Cin Hai.
“Mengapa Kongkong tidak ikut
datang?” tanya lagi Lili dan mendengar pertanyaan ini, Lin Lin tiba-tiba
menangis lagi.
Hong Beng maju mendekati
ibunya dan melihat ibunya menangis sedih sekali ini, dia lalu menyentuh pundak
ibunya yang masih berlutut memeluk Lili. “Ibu, apakah yang terjadi dengan
Kongkong?”
Oleh karena Lin Lin tidak
dapat menjawab, Cin Hai kemudian maju dan berkata tenang, “Kongkong-mu sudah
ditewaskan oleh orang-orang yang menculik Lili. Karena itu kalian belajarlah
baik-baik agar kelak dapat mencari musuh besar ini.”
Lili yang sangat sayang kepada
engkong-nya, menjerit keras ketika mendengar berita ini. “Apa...?!” Ia
memandang kepada ayahnya dengan mata bernyala. “Engkong di... dibunuh oleh
bangsat itu...?”
Ketika Cin Hai menganggukkan
kepalanya, Lili merangkul ibunya dan menangis keras. Ada pun Hong Beng yang
juga sangat sayang kepada kongkong-nya itu, berdiri dengan muka muram. Pemuda
cilik ini mengepal tinju dan membanting-banting kakinya sambil berkata
perlahan,
“Jahanam...! Jahanam...!” Akan
tetapi ia tidak mengeluarkan air mata.
Diam-diam Cin Hai menjadi
bangga melihat ketenangan dan kekuatan hati puteranya ini, maka dia lalu
menarik tangan Lili, mendekapnya dan berkata halus,
“Lili, lihat kakakmu itu. Kau
tidak boleh berhati lemah dan menangis seperti seorang anak cengeng!
Kewajibanmulah untuk kelak membalas sakit hati kongkong-mu.”
Mendengar ucapan ayahnya ini,
bangkitlah semangat Lili dan dengan muka masih basah oleh air mata ia berkata,
“Ayah, aku bersumpah untuk mencari keparat Bouw Hun Ti dan menghancurkan
kepalanya!”
Lin Lin juga sudah dapat
menguasai keharuan hatinya dan nyonya muda ini lalu teringat kepada pemuda
cilik yang tadi bersama kedua anaknya. Ternyata pemuda itu masih berdiri tidak
jauh dari mereka dan hanya berdiam saja sambil memandang dengan mata berduka.
Anak ini adalah Thio Kam Seng,
anak yatim piatu yang menjadi murid Sin-kai Lo Sian atau kini menjadi suheng
dari Lili. Melihat betapa Lili dan Hong Beng berjumpa kembali dengan kedua
orang tua mereka, hatinya menjadi perih dan teringatlah ia akan nasibnya
sendiri yang sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya.
“Ehh, anak itu siapakah?”
tanya Lin Lin kepada Lili.
Baru Lili teringat kepada
suheng-nya ini dan dia lalu melambaikan tangan kepadanya.
“Lili, siapakah kedua orang
gagah ini?”
“Kam Seng, kau kesinilah
bertemu dengan ayah bundaku!”
Dengan malu-malu Kam Seng lalu
bertindak maju dan memberi hormat sambil menjura kepada Cin Hai dan Lin Lin.
“Dia bernama Thio Kam Seng,
murid dari Suhu,” kata Lili.
“Suhu? Siapakah Suhu-mu?” tanya
Cin Hai terheran.
Lili lalu menceritakan
pengalamannya semenjak dia diculik oleh Bouw Hun Ti, kemudian tertolong oleh
Sin-kai Lo Sian dan dibawa ke atas Gunung Beng-san ini dan kemudian dilatih
oleh Mo-kai Nyo Tiang Le, suheng dari Lo Sian atau supek mereka.
Cin Hai dan Lin Lin merasa
girang sekali mendengar penuturan ini dan mereka sangat berterima kasih kepada
Sin-kai Lo Sian, pengemis sakti yang namanya sudah pernah mereka dengar itu.
“Sekarang di mana dia,
penolong dan suhu-mu itu? Kami harus bertemu dengan dia untuk menghaturkan
terima kasih,” kata Lin Lin.
“Dia sudah turun gunung, Ibu.
Katanya hendak pergi ke Shaning untuk mencari Ayah dan Ibu, melaporkan
keadaanku yang sudah tertolong.”
Pada waktu itu, dari puncak
gunung nampak bayangan orang yang cepat sekali berlari mendatangi.
“Nah, itu dia Supek datang!”
kata Kam Seng ketika melihat bayangan itu.
Cin Hai dan Lin Lin
cepat-cepat menengok. Mereka melihat seorang yang berpakaian sebagai pengemis
datang berlari cepat sekali dari atas.
Mo-kai Nyo Tiang Le biar pun
sudah sering kali mendengar nama Pendekar Bodoh akan tetapi belum pernah
bertemu muka, maka ia tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Dari atas, dia
tadi melihat seorang laki-laki dan seorang wanita bercakap-cakap dengan tiga orang
anak itu, maka cepat ia menghampiri karena ia berkhawatir kalau-kalau kedua
orang itu adalah orang-orang jahat. Pada saat melihat dua orang itu bersikap
gagah dan berwajah elok, ia lalu bertanya kepada Lili,
“Lili, siapakah kedua orang
gagah ini?”
“Supek, mereka ini adalah ayah
bundaku!” kata Lili dengan girang dan tersenyum, sama sekali lenyap rasa
dukanya yang tadi! Memang watak gadis cilik ini benar-benar sama dengan ibunya.
Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut
sekali mendengar pengakuan ini. Dia memandang dengan penuh perhatian kepada Cin
Hai yang sementara itu bersama isterinya sudah menjura kepadanya untuk memberi
hormat.
“Ahh, jadi kau ini adalah
Pendekar Bodoh yang bernama Sie Cin Hai? Maaf, maaf! Aku tak mengenal orang
pandai!” Nyo Tiang Le cepat menjura dan membalas penghormatan itu.
“Nyo Loheng (Saudara Tua Nyo)
terlalu sungkan!” jawab Cin Hai merendah. “Sebetulnya justru kami berdua yang
harus menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan hatimu, terutama sekali
kepada adikmu yang sudah menolong jiwa puteri kami. Mudah-mudahan saja budi ini
akan terbalas oleh Thian apa bila kami tiada kesempatan untuk membalas
semuanya.”
Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa
terbahak-bahak dengan gembira sekali, sehingga Lili dan Kam Seng memandang
dengan heran karena jarang mereka menyaksikan supek mereka ini sedemikian
gembiranya.
“Pendekar Bodoh, kau seperti
anak kecil saja!” kata Pengemis Iblis Mo-kai Nyo Tiang Le setelah tertawa
bergelak. “Di antara kita masih perlukah bicara tentang budi? Sekarang Lili
telah bertemu dengan kalian, suami isteri pendekar yang kepandaiannya tinggi
sekali, maka sudah cukup lama kiranya aku tinggal di tempat ini mengganggu Pok
Pok Sianjin! Lili, yang baik-baiklah kau belajar ilmu kepandaian supaya kelak
jangan sampai terculik orang lagi. Ha-ha-ha-ha! Kam Seng, kau ikutlah padaku
turun gunung!” Setelah berkata demikian, Mo-kai menyambar lengan tangan Kam
Seng dan berlari pergi dari situ dengan cepat.
Lili tertegun menyaksikan
sikap ini, akan tetapi Cin Hai hanya tersenyum saja kemudian berkata, “Memang
orang-orang kang-ouw selalu mempunyai watak yang sangat aneh. Kita harus catat
nama Mo-kai Nyo Tiang Le itu sebagai seorang sahabat baik. Marilah kita naik ke
puncak untuk menghadap Pok Pok Sianjin!”
Mereka beramai-ramai lalu
pergi ke atas puncak dan menghadap Pok Pok Sianjin yang menerima kedatangan
mereka dengan girang.
“Pendekar Bodoh, kebetulan
sekali kau dan isterimu sudah datang! Apakah kalian telah bertemu dengan
Sin-kai Lo Sian?”
Setelah memberi hormat, Cin
Hai menjawab, “Belum, Locianpwe.” Ia lalu menceritakan perjalanannya mencari
Lili, dan betapa mereka bertemu pula dengan Swie Kiat Siansu yang meninggal
dunia karena penyakit dan usia tua.
Pok Pok Sianjin menarik napas
panjang. “Ahh, semua kawan-kawan telah meninggalkan aku! Mereka sudah bebas dan
senang! Tinggal aku seorang tua bangka yang harus mengalami penderitaan entah
berapa tahun lagi.”
Cin Hai dan Lin Lin tidak lama
tinggal di tempat itu, hanya tiga hari, ini pun karena Hong Beng selalu menahan
mereka. Akhirnya mereka pun turun gunung bersama Lili, setelah memesan kepada
Hong Beng untuk belajar ilmu dari Pok Pok Sianjin dengan giat dan rajin.
Pemuda cilik ini diam-diam
merasa sangat kesepian sesudah adik perempuannya turun gunung mengikuti ayah
ibunya. Akan tetapi Hong Beng memang seorang pemuda yang pendiam dan selain
berwatak tenang, dia juga memiliki kekuatan batin yang cukup tabah.
Kesunyiannya ini lalu dia tutup dengan ketekunannya belajar ilmu silat sehingga
Pok Pok Sianjin merasa makin gembira menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang
berbakat ini.
Demikianlah, apa bila Sie Hong
Beng dengan rajin mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, Lili juga
menerima latihan ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan ia menerima pula Ilmu
Silat Kipas Maut yang diwariskan oleh Swie Kiat Siansu untuknya. Walau pun Lili
memiliki watak yang lincah dan tidak dapat tekun belajar, akan tetapi apa bila
dia teringat akan kematian kakeknya, dia lalu mengerahkan semangatnya dan
mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga ayah bundanya merasa girang juga
melihat perubahan ini…..
********************
Seperti telah dikatakan oleh
Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari sangat pesatnya. Hari berganti hari,
bulan berganti bulan, tahun terbang berlalu dengan cepatnya sehingga kita
sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah tua!
Memang aneh kalau direnungkan.
Apa bila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan atau
pun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, maka
nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat
memperhatikan jalannya waktu?
Kita semua tidak merasa dan
sungguh pun masa kanak-kanak kadang kala masih suka terbayang di depan mata,
peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun
kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua. Belasan tahun itu kalau
tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja!
Siapa bilang kalau hidup ini
lama? Memang benarlah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus
kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau
sudah terlambat!
Tak terasa lagi, sepuluh tahun
telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun
anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili sudah berusia delapan
belas tahun dan dia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak
gembira dan suka tertawa. Matanya kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu
tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan
ibunya, Lin Lin, pada waktu muda!
“Kalau aku melihat anak kita,
aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!” kata Cin Hai sambil menengok
kepada isterinya yang duduk di dekatnya.
Lin Lin yang biar pun sudah
berusia hampir empat puluh tahun tapi masih nampak cantik itu, mengerling
sambil cemberut manja.
“Ah, kau ini memang tukang
memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia
cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?”
Cin Hai tertawa karena dia
sudah maklum sekali bahwa isterinya ini biar pun di mulutnya mengomel akan
tetapi di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang
memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.
Lin Lin memandang kagum lalu
menghela napas. “Betapa pun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia
sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai
usia berapakah dia kelak menikah?”
“Hal itu tak perlu
tergesa-gesa,” jawab suaminya dengan tenang, “ia cantik jelita dan ilmu
silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!”
Lin Lin mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu
silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat betapa indahnya gerakan
Sian-li San-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang dia mainkan itu!”
Cin Hai memandang lagi ke arah
Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu kini sedang melatih Ilmu Silat
Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang sangat indah dan cepat, dan gerakan
Sian-li San-hwa adalah sebuah di antara tipu-tipu ilmu silat ini. Melihat
gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia lalu
membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.
Anak gadisnya ini sungguh
mengagumkan sekali, dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah
gerangan yang patut menjadi menantunya. Dia merasa puas dengan ikatan jodoh
antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi
untuk Lili, dia belum dapat memilih seorang calon menantu yang cukup sesuai dan
cocok.
Sementara itu, Lili sudah
menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang
memandangnya dan membicarakannya. Dia segera menengok dan berlari-lari
menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja dia lalu duduk di dekat ibunya
sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan sapu tangannya untuk menghapus
peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.
“Ibu, sekarang kau dan Ayah
harus memberi perkenan padaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku
ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri.”
“Tak baik bagi seorang gadis
muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,” kata Cin Hai.
Lili merengut. “Ahhh…, Ayah
selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku. Bukankah Ayah dan lbu
sering bercerita betapa Ibu dulu juga sering kali pergi merantau menambah
pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis
muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!”
Cin Hai memandang dengan muka
bersungguh-sungguh. “Lili, dahulu itu lain lagi, karena keadaan negara tidak
sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, ayah dan ibumu
dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat
memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan
turun tangan dan mengganggumu.”
Lili berdiri dan dengan sikap
menantang berkata keras, “Aku tidak takut! Aku bukan puteri ayah dan ibu, bukan
anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut!
Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu
tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang
jahat? Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang kupelajari
dengan susah payah tidak akan ada artinya apa bila tidak dipergunakan demi
kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan
menggunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah pendekar namanya!”
Cin Hai tersenyum. Ia merasa
betapa puterinya yang cerdik ini sering kali menggunakan ujar-ujar dan
pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!
“Sudah, bicara dengan kau
takkan ada orang yang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Soso-mu
(Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat
melakukan perjalanan ke sana.”
Lili makin cemberut. “Tidak,
aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau
menambah pengalaman, ingin menggunakan kepandaian yang telah kupelajari untuk menolong
orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam
Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku... aku
akan minggat!”
Cin Hai melongo dan Lin Lin
segera memegang tangan puterinya.
“Hussh, Lili! Jangan kau
berkata begitu!”
Lili memandang pada ibunya dan
matanya berseri nakal ketika ia berkata mengingatkan, “Ibu, apakah kau sudah
lupa bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu? Ibu
sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!”
Lin Lin tidak dapat menjawab,
hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak berdaya).
“Lili,” kata Cin Hai menolong
isterinya, “Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita untuk menyusulku
dalam usaha untuk membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah membasmi
keluarga ibumu.”
“Apa bedanya? Sekarang pun aku
hendak pergi untuk membalas dendam pada keparat Bouw Hun Ti!” Kemudian, dara
yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata, “Ahh,
sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang.
Kalau Beng-ko lain lagi, ia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil
ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka hatinya! Ahh, aku ingin
menjadi seorang anak laki-laki saja!”
Cin Hai dan Lin Lin saling
pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak
ini lebih keras kepala dari pada ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain
lagi. Hebat, bisik hatinya, anak ini bahkan lebih gagah dan bersemangat dari
pada ayahnya!
“Sudahlah, Lili, kau jangan
marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!” kata Cin Hai. “Baiklah, kami
akan merundingkan hal ini.”
Setelah Lili kembali ke dalam
kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.
“Bagaimana baiknya?” bertanya
Lin Lin dengan hati gelisah “Bila dia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak
berbahaya?”
“Berbahaya sih tidak,”
suaminya menjawab setelah berpikir keras. “Kepandaian Lili sudah lebih dari
cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu
ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan
tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tak hanya
kepandaian silat tinggi saja yang mampu menjaga keselamatan tubuh. Banyak
akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya dari pada kepandaian silat lawan.”
“Kalau begitu, kita harus
melarangnya pergi!” kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.
Pendekar Bodoh menggelengkan
kepalanya. “Melarang pun tidak benar. Anak itu bahkan lebih keras kepala dari
pada engkau!”
“Hmm, jadi aku keras kepala,
ya? Kenapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?”
Cin Hai tertawa. “Justeru
kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu. Sudahlah, jangan kita
bercekcok karena urusan ini. Kita berdua sudah cukup tua, bukan anak-anak
lagi.”
“Kau yang mulai!”
“Sebaiknya begini saja. Mulai
kini kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia
penjahat-penjahat di dunia kang-ouw supaya matanya terbuka terhadap tipu-tipu
muslihat yang keji. Kalau dia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita
dapat memberi perkenan kepadanya untuk pergi merantau dengan dibatasi waktunya.
Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi
waktu tiga atau empat bulan saja, tentu dia tidak akan berani pergi terlalu
jauh.”
Karena tidak dapat mencari
jalan lain yang lebih baik, terpaksa Lin Lin pun menyatakan persetujuannya.
Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Dia
segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari
orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para penjahat).
Sampai hampir dua pekan dia
menerima wejangan dan nasehat, memperhatikan semua cerita dari ayah bundanya
tentang kekejaman orang-orang jahat. Ia lalu mempelajari pula peta
perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal mereka,
melalui Propinsi Honan kemudian memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-an yang
terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.
Lin Lin yang amat sayang pada
puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi
nasehat-nasehat supaya dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang sangat kuat
dan baik menjadi tunggangan Lili.
Gadis itu membawa bungkusan
besar berisi pakaian, uang, bahkan juga obat-obat untuk menjaga diri. Pedang
Liong-coan-kiam pemberian ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya
berkembang-kembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari
sutera mahal, sepatunya berkembang hingga dia nampak cantik jelita dan gagah
sekali. Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri
mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.
“Ayah, Ibu, aku berangkat!”
katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.
“Hati-hatilah di
perjalananmu,” kata Cin Hai.
“Sampaikan salam kami kepada
Kwee-pekhu sekeluarga,” pesan Lin Lin.
Kemudian berangkatlah Lili.
Dia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju
ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis tampak berseri-seri,
sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung
yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.
Apakah ia akan langsung menuju
ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh ayah ibunya? Ah,
tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasehat orang tuanya dan
langsung menuju ke tempat tinggal pekhu-nya (uwaknya) di Tiang-an. Tidak,
maksud tujuannya dengan perantauannya ini sebenarnya adalah untuk mencari musuh
besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-an hanya menjadi
alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan
pergi!
Oleh karena inilah maka dia
segera membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning! Bukan Tiang-an yang
ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin! Ia
hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutan, kelenteng
milik Ban Sai Cinjin di mana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong Thio Kam
Seng!
Dulu ia suka menggigil ngeri
kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu. Akan
tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin meski pun raja iblis sendiri
muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!
Keadaan Lili yang pakaiannya
begitu mewah, cantik jelita, gadis muda yang melakukan perjalanan seorang diri,
tentu saja menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi melihat cara dia naik
kuda serta melihat gagang pedangnya yang tergantung pada pinggangnya, membuat
orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang perantau yang pandai
ilmu silat sehingga tak seorang pun berani mencoba-coba untuk mengganggunya.
Hanya satu kali terjadi
gangguan ketika ia masuk ke kota Lok-yang. Di kota ini terdapat seorang jagoan
muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-bin-liong (Naga Muka Kuning) bernama Lok
Ceng. Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-tong-pai yang berwatak
sombong dan berlagak tinggi.
Kebetulan sekali Lok Ceng
sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-yang, ketika Lili menghentikan
kudanya di depan restoran itu, lalu melompat turun dan memanggil seorang
pelayan.
Seorang pelayan berlari
menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,
“Kau urus baik-baik kudaku
pada waktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya sampai bersih.
Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di atas kuda itu
dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!”
Pelayan itu tersenyum sambil
mengangguk-angguk dengan hormat. “Tentu saja, Siocia. Akan kulakukan pesanmu
baik-baik.” Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.
“Kuda yang bagus!” tiba-tiba
terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke arah orang yang
memuji kudanya.
Orang ini bukan lain adalah
Lok Ceng sendiri. Melihat ada seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi
besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku hati-hati dan
segera membuang pandangan matanya. Tanpa mempedulikan orang itu, Lili terus
saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang cepat datang
menghampirinya.
Restoran itu besar sekali dan
para tamu yang makan di situ tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya.
Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira. Ketika Lili memasuki restoran itu,
hampir semua mata menengok dan memandang kagum.
Akan tetapi Lili tak
mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah menjadi
biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap hal ini
biasa saja. Ibunya telah menasehatinya untuk bersikap dingin dan jangan
mempedulikan hal ini.
“Lili, kau seorang gadis muda
yang cantik manis,” kata ibunya memberi nasehat, “banyak sekali gangguan yang
akan kau hadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata minyak, selalu tidak
dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis cantik. Akan tetapi, apa
bila mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan kurang ajar, janganlah kau
hiraukan mereka. Asal mereka tak mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan yang
kurang ajar, anggap saja mereka itu seperti patung-patung hidup yang tak perlu
dilayani.”
Oleh karena itu, maka Lili
selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandang dia dengan kagum. Malah
orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti padanya, dianggapnya
sebagai lalat saja!
Akan tetapi, ketika dia sedang
menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan, tiba-tiba telinganya
yang amat tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di dalam warung itu.
Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan ketika ia mengerling,
ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji kudanya, telah memasuki
ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat!
Diam-diam Lili merasa heran
mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini. Apa lagi ketika ia
mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada orang
yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali.
Akan tetapi pemuda tinggi
besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan tangan, lalu dia
tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja di mana Lili sedang makan! Dia
lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan cara yang sangat
menjemukan. Mulutnya menyeringai bagaikan seekor kuda kelaparan dan
terdengarlah dia berkata keras,
“Kudanya besar dan bagus,
pemiliknya lebih bagus lagi!”
Semua orang yang duduk di situ
maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili juga maklum bahwa
pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh karena ucapannya itu
masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak mengerti dan melanjutkan
makannya.
Melihat betapa gadis manis itu
tidak menengok dan tidak mempedulikan pujiannya, Lok Ceng menjadi semakin
berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa ha-ha hi-hi ia kemudian
menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi gadis itu sambil
memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai. Semua orang diam-diam
tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan tetapi ada pula
yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita itu.
Semenjak tadi Lili menahan
sabarnya, karena ia masih selalu ingat akan nasehat ibunya supaya menjauhkan
diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu kini duduk dekat di
hadapannya, tentu saja dia merasa amat terganggu dan masakan yang tadinya
nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.
“Lalat kuning sungguh menjemukan!”
Ia lalu menunda makannya,
kemudian dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil mengerahkan tenaga
lweekang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air kuah di dalam mangkok
itu tiba-tiba saja memercik ke arah Lok Ceng dan tanpa dapat terelakkan lagi
mengenai bajunya!
Semua orang terkejut mendengar
gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan maklum bahwa dengan
sebutan lalat kuning, gadis itu sudah memaki Lok Ceng! Mana ada lalat yang
berwarna kuning? Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng!
Akan tetapi, tak ada seorang
pun yang tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan membasahi baju Lok Ceng
itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka hanya mengira bahwa hal
itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak menyangka bahwa gadis
cantik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat menggerakkan tenaga
lweekang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya.
Oleh karena itu, pemuda ini
hanya tersenyum-senyum saja dan biar pun dia tahu bahwa dirinya dimaki ‘lalat
kuning’, dia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang gadis yang
melawan apa bila diganggunya, dari pada seorang gadis yang bahkan
tersenyum-senyum melayani gangguannya.
“Aku ingin sekali menjadi
potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan mulut yang
manis!” katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar ucapannya
ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini.
Mendengar ucapan dan melihat
sikap orang muka kuning itu, Lili segera maklum bahwa kegagahan orang itu hanya
pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak mempunyai kepandaian tinggi.
Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan tahu
akan demonstrasi tenaga lweekang yang diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka
Kuning ini agaknya tidak tahu akan hal ini, bahkan berani mengeluarkan ucapan
yang demikian kurang ajar.
Lili sudah kehabisan
kesabarannya. “Lalat kuning, kau lapar dan hendak makan daging? Nah, ini
makanlah!”
Secepat kilat tangannya lalu
menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan sebelum Si Muka Kuning
sempat mengelak, isi mangkok itu sudah menyiram mukanya, bahkan sepotong daging
mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa sakit!
Suara tertawa dari para tamu
tadi tiba-tiba saja tak terdengar lagi dan sekarang mereka memandang dengan
muka pucat. Selama ini belum pernah ada orang berani menghina Oei-bin-liong Lok
Ceng sedemikian hebatnya!
Sementara itu, untuk sesaat
Lok Ceng merasa kedua matanya amat pedas dan tak dapat dibuka sehingga dia
menjadi gelagapan kemudian menggunakan kedua tangannya untuk membersihkan
mukanya. Keadaannya sangat lucu dan para penonton menahan suara ketawa mereka
karena sungguh pun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti itu berada
dalam keadaan begitu lucunya, akan tetapi mereka tak berani memperdengarkan
suara ketawa.
Kini kegembiraan Lok Ceng
lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi kemerah-merahan karena
marah dan berminyak akibat siraman kuah tadi. Matanya yang sudah bebas dari kepedasan
kuah kini memandang dengan melotot.
“Gadis liar, apakah kau sudah
bosan hidup berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng?” Ia membentak dan melangkah
maju.
“Ehh, ehh, cacing muka
kuning!” kata Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga menjadi cacing.
“Apakah kau masih belum kenyang?”
Sambil berkata demikian,
kembali tangannya bergerak dan kini masakan lain yang penuh kecap berwarna
merah dan masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka Lok Ceng.
Si Naga Muka Kuning cepat
mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah tersiram oleh
masakan kecap ini! Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua matanya yang
tadi melotot sehingga kecap itu tidak sempat memasuki kedua matanya. Akan
tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang hidungnya sehingga
dua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap yang membuat dia
tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak copot
hidungnya!
Kini para tamu di restoran itu
terpaksa mendekap mulut masing-masing untuk menahan ketawa, karena melihat Lok
Ceng berbangkis-bangkis sambil mencak-mencak, sungguh merupakan pemandangan
yang amat lucu dan menggelikan.
Lok Ceng memaki-maki dan
kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada pinggangnya dan
kini mengamuk hebat. Beberapa kali dia membacok ke kanan kiri dan meja kursi
yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih menggerakkan kedua
kakinya menendang ke sana ke mari sehingga meja kursi beterbangan ke mana mana.
Para tamu yang tadinya menahan
ketawa, kini menjadi ketakutan dan segera mereka menyingkirkan diri ke tempat
jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan pagar. Muka mereka menjadi pucat
karena sekarang keadaan bukan main-main lagi. Gadis itu pasti akan menjadi
korban golok Lok Ceng yang amat tajam.
Akan tetapi, Lili tak mau
membuang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong itu. Biar pun
Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak menjadi gentar
dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah berada di
depan si pengamuk itu.
“Gadis liar, kupenggal
lehermu!” teriak Lok Ceng.
“Manusia tak tahu diri, kau
harus diberi rasa sedikit!” Lili balas membentak.
Dengan gerak tipu
Sianli-jip-pek-to (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari Ilmu
Silat Sian-li Utauw, dia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia dapat
masuk di antara kelebatan golok itu dan langsung menggerakkan tangan kanan ke
arah iga lawannya.
“Dukk!” dengan tepat sekali
jari tangannya mengirim tiam-hoat (totokan) yang mengenai jalan darah
hong-twi-hiat dengan jitu sekali.
Terdengar Lok Ceng memekik
keras dan aneh...! Orang muka kuning yang tinggi besar ini tidak dapat bergerak
lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih berdiri dengan golok
terpegang erat-erat di tangan kanannya.....
Semua orang memandang dengan
mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti kenapa Lok Ceng berdiri kaku
seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai kesukaan
berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum dan dengan
mata berseri-seri dia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang masih
terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng,
sehingga Lok Ceng sekarang memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir
di sepanjang hidungnya!
Semua orang yang merasa lebih
heran dari pada lucu itu, tidak dapat tertawa dan masih memandang dengan
bengong. Bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar
panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok
Ceng.
“He, aku mau membayar! Mana
pelayan?” teriak Lili.
Barulah pelayan itu berlari
menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.
“Nah, ini untuk membayar
masakan yang telah kumakan. Dan lebihnya untuk mengganti kerugian rumah makan
ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!” Ia melemparkan
sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu,
sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu.
Pelayan yang mengurus kudanya
mendapat hadiah yang lumayan pula.
“Ehh, Siocia...,” kata pelayan
ini, ”bagaimana dengan Oei-bin-liong? Tubuhnya kaku dan dia tidak dapat
menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami.”
Lili tertawa geli. “Biarlah,
bukankah dia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian
langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?”
“Akan tetapi... tentu dia akan
marah dan... bagaimana kalau dia mati?”
Lili berkata dengan
sungguh-sungguh, “Janganlah kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya.
Dalam waktu pendek dia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan
pulih kembali.” Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya
dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan kota Lok-yang…..
********************
Sesudah melakukan perjalanan
dengan cepat selama dua pekan, akhirnya sampailah Lili ke tempat yang menjadi
tujuan utamanya, yaitu dusun Tong-sin-bun. Dia segera memilih rumah penginapan
dan menyewa sebuah kamar. Kudanya dia serahkan kepada pelayan untuk dirawat
baik-baik.
Tanpa bertanya pada orang
lain, Lili dapat mencari rumah Ban Sai Cinjin dengan mudah, oleh karena di
dalam dusun yang tak berapa besar itu, hanya satu-satunya gedung yang besar dan
mewah yang menjadi tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Bahkan ketika ia bertanya
kepada pelayan, ternyata hotel di mana dia bermalam juga milik dari Ban Sai
Cinjin yang kaya raya dan berpengaruh besar.
“Nona datang dari mana dan
apakah hendak bertemu dengan Ban Sai Cinjin Loya?”
Lili tersenyum dan maklum
bahwa semua pekerja di dalam hotel ini adalah anak buah Ban Sai Cinjin, maka ia
hanya menjawab, “Ah, tidak. Aku hanya seorang pelancong yang tertarik melihat
keadaan di dusun ini yang amat ramai.”
Pada senja hari itu juga,
diam-diam tanpa diketahui oleh seorang pun, Lili mengenakan pakaian yang
ringkas, menggantungkan pedangnya di pinggang, lalu keluar dari rumah
penginapan itu untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti. Ia menduga bahwa
musuh besarnya itu tentu berada di kelenteng yang dahulu pernah dilihatnya
dengan Sin-kai Lo Sian, yaitu dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun
Tong-sin-bun itu.
Akan tetapi sebelum menuju ke
hutan itu, dia sengaja menyelidiki dahulu gedung besar tempat tinggal Ban Sai
Cinjin yang nampak sunyi dari luar. Ketika ia hendak melompat ke atas pagar
tembok yang tinggi dan yang mengelilingi gedung itu, tiba-tiba saja dia melihat
seorang pemuda yang tampan bersama seorang setengah tua sedang berjalan keluar
dari gedung itu dengan tindakan cepat.
Lili cepat bersembunyi di
tempat gelap dan memandang tajam. Bukan main heran dan terkejutnya ketika dia
melihat pemuda itu. Tidak salah lagi, pemuda itu tentulah Thio Kam Seng, anak
laki-laki yang dulu pernah ditolong oleh suhu-nya, Sin-kai Lo Sian, atau yang
boleh juga disebut suheng-nya, karena mereka keduanya pernah menjadi murid
Sin-kai Lo Sian.
Lili menjadi girang sekali dan
hampir saja ia memanggil pemuda itu. Akan tetapi ia dapat menahan keinginannya
ini sebab teringat bahwa pemuda ini baru saja keluar dari gedung Ban Sai Cinjin.
Hal ini benar-benar aneh sekali.
Dulu Kam Seng pernah hampir
dibunuh oleh seorang murid Ban Sai Cinjin, bagaimana sekarang dia dapat keluar
masuk demikian leluasa di gedung Ban Sai Cinjin itu? Hal ini menimbulkan
kecurigaannya dan ia tidak memanggil pemuda itu, bahkan lalu diam-diam
mengikuti perjalanan Kam Seng dan orang tua itu yang berjalan cepat menuju ke
hutan di mana terdapat kelenteng besar kepunyaan Ban Sai Cinjin.
Bagaimanakah Kam Seng dapat
berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin dengan enaknya?
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar Bodoh dan
isterinya naik ke Gunung Beng-san dan bertemu kembali dengan Lili, pemuda ini
dibawa pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le.
Sesungguhnya, Thio Kam Seng
tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dahulu ketika ditolong oleh Sin-kai Lo
Sian, dia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang tuanya telah
meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi sebenarnya tidak
demikian halnya.
Thio Kam Seng adalah anak
tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song Kun. Para
pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun merupakan
sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena kejahatannya
hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Si Pendekar
Bodoh Cin Hai.
Pada waktu hal ini terjadi,
Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun telah meninggalkan
seorang gadis yang selama itu dipeliharanya sebagai isteri tidak sah, dan
isterinya ini sudah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun juga terkenal
sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka dia mempunyai
banyak bini peliharaan di mana-mana, baik yang dia dapatkan karena
ketampanannya mau pun yang dia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari
rumah orang tua gadis itu!
Setelah Song Kun tewas di
dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin ibu Kam Seng lalu hidup
terlunta-lunta. Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia pun merasa malu, dan
hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka dia masih mempertahankan
hidupnya.
Beberapa bulan kemudian, dalam
keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang bayi laki-laki yang dia beri
nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat benci kepada suaminya yang
mengambilnya secara paksa, maka ia memberi nama keturunan Thio kepada puteranya
ini.
Betapa pun juga, setelah Kam
Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam Seng bertanyakan
ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa ayahnya telah tewas dalam tangan
seorang pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!
Kui Lin lalu hidup berdua
dengan puteranya dalam keadaan yang sangat miskin. Mereka terlunta-lunta dan
hidup serba kekurangan, sehingga akhirnya Kui Lin jatuh sakit yang membawanya
kembali ke alam baka. Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim piatu, hidup merantau
terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik.
Ternyata Kam Seng memiliki
otak yang sangat cerdik, dan agaknya kecerdikan ayahnya menurun kepadanya. Dia
bisa berpura-pura bodoh dan jarang berbicara, padahal segala sesuatu dia
perhatikan betul-betul. Cerita ibunya mengenai ayahnya yang terbunuh oleh
Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan dia tidak dapat melupakan
nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya.
Demikianlah, sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan, dia tertolong oleh Sin-kai Lo Sian, diangkat
menjadi muridnya dan akhirnya dia diajak pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le Si
Pengemis Iblis yang lihai.
“Kita harus mencari suhu-mu,”
kata Mo-kai Nyo Tiang Le. “Sebelum kita bertemu dengan gurumu, kau harus
melatih diri baik-baik. Akan kuajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu agar
kelak kau tidak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri Pendekar
Bodoh sekali pun!”
Diam-diam Kam Seng merasa
girang sekali. Telah lama dia menahan-nahan dendamnya ketika ia mengetahui
bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh ayahnya, adalah ayah Lili yang menjadi
sumoi-nya. Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu ia
melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-san.
Saking terharu dan sedihnya
karena tak berdaya untuk membalas dendam, dulu dia telah menangis sedih. Tak
seorang pun mengetahui apa yang menyebabkan ia menangis. Kini mendengar ucapan
Mo-kai Nyo Tiang Le supek-nya, dia menjadi girang sekali dan mulai hari itu dia
belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati Mo-kai Nyo Tiang Le.
Bertahun-tahun Kam Seng pergi
merantau ikut dengan Mo-kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh propinsi di daerah
Tiongkok, akan tetapi mereka tidak bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, bahkan mendengar
beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka telah tanyai, tak seorang
pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang sudah menghilang untuk
bertahun-tahun lamanya.
Terpaksa Mo-kai Nyo Tiang Le
mewakili sute-nya mendidik Kam Seng yang sebetulnya menguntungkan pemuda itu,
sebab kepandaian Pengemis Iblis ini masih jauh lebih tinggi dari pada
kepandaian Si Pengemis Sakti. Sembilan tahun lamanya Mo-kai Nyo Tiang Le
mengajak Kam Seng merantau, selalu berpindah-pindah dari barat ke timur, dari
utara ke selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju dengan cepat
sekali.
Ia telah mewarisi kepandaian
Mo-kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat
(Ilmu Silat Kitiran Angin) serta ilmu melepas senjata rahasia yang disebut
Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan tongkat dari Pengemis Iblis
ini pun telah dia warisi dengan baik sekali.
“Supek,” kata Kam Seng pada
suatu hari setelah supek-nya itu menyatakan kekesalan hatinya karena belum juga
dapat bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, “apakah tidak bisa jadi Suhu terkena
celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin? Bagaimana kalau kita pergi
mencari Suhu di sana?”
Supek-nya mengangguk-angguk.
“Mungkin dugaanmu ini bisa benar juga. Aku pun telah mempunyai dugaan
demikian.” Dia menghela napas. “Memang Ban Sai Cinjin jahat dan kejam, akan
tetapi ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Jangankan Sute, aku sendiri belum
tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui bagaimana
dengan nasib Sute. Mari kita berangkat ke dusun Tong-sin-bun.”
Mereka lalu menuju kembali ke
barat dan tiba di dusun itu pada waktu malam.
“Supek, biarlah teecu
menyelidiki ke kuil itu.”
“Kau berhati-hatilah, Kam
Seng. Di sana terdapat banyak orang pandai,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le yang
duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di warung arak.
“Jangan kuatir, Supek. Tidak
percuma selama ini teecu mempelajari ilmu kepandaian dari Supek.”
Pemuda ini lalu mempergunakan
ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Dia melihat kelenteng itu terang
sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang sangat mewah dan besar.
Melihat keadaan kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain sutera yang halus
tergantung dijadikan tirai penutup pintu, Kam Seng menghela napas dan melirik ke
arah pakaiannya sendiri.
Semenjak ia pergi ikut dengan
supek-nya belum pernah dia berpakaian baik. Pakaiannya tambal-tambalan dan
kotor sekali. Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau saja dia mau mengambil
pakaian dari para hartawan, akan tetapi supek-nya tentu melarangnya, dan ia pun
merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan supek-nya berpakaian kotor penuh
tambalan. Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda!
Kam Seng menunggu sampai
beberapa lama, akan tetapi oleh karena dia tidak melihat seorang pun keluar
dari kelenteng itu, dia kemudian memberanikan diri dan menghampiri kelenteng
itu. Dengan ginkang-nya yang sudah terlatih baik, dia lalu melompat ke atas
genteng dengan mudahnya. Dari atas genteng ia melihat bahwa penerangan yang
paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan amat hati-hati ia lalu
menuju ke ruang itu, mengerahkan ginkang-nya supaya genteng yang diinjaknya
tidak menerbitkan suara berisik.
Ketika dia mengintai ke bawah,
dia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Dia mengenal
dua orang di antara mereka, yaitu Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Yang seorang
lagi adalah seorang tosu tua yang rambutnya masih nampak hitam, demikian pula
jenggotnya.
Kam Seng merasa heran
mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu menyebut suheng
(kakak seperguruan) pada tosu ini. Sungguh mengherankan sekali bahwa seorang
yang usianya lebih tua dari pada Ban Sai Cinjin masih nampak segar dan
rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka lebih
menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh disebut-sebut.
“Memang Pendekar Bodoh lihai
sekali,” dia kemudian mendengar tosu itu berkata sambil menganggukkan
kepalanya. “Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi pinto (aku)
tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan pengertian
tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau dia dilawan dengan
ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi pinto telah
mempelajari ilmu silat dunia barat yang mempunyai gerakan amat berlainan dan
dasarnya pun berbeda sehingga apa bila menghadapi Pendekar Bodoh, belum tentu
pinto tak akan dapat merobohkannya!”
“Supek berkata benar,” Bouw
Hun Ti tiba-tiba berkata, “bagaimana pun juga, Pendekar Bodoh bukan tak dapat
dilawan! Pernah juga teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh masih belum selihai
Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw yang muncul dalam
cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara itu. Kalau
kepandaian Suhu saja telah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko sebab
berasal dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak mampu
menundukkan Pendekar Bodoh!”
Ketika Ban Sai Cinjin menyedot
huncwe-nya dan hendak menjawab, tiba-tiba saja tosu itu menengok ke arah
genteng di mana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata halus, “Sahabat
muda yang mengintai di atas genteng, kau turunlah saja!”
Bukan main kagetnya Kam Seng
mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan
hatinya tertarik sekali. Kalau orang-orang di bawah ini yang begitu lihai
ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tak sekali-kali boleh memusuhi
mereka. Alangkah baiknya bila mana dia bisa berkawan dengan mereka untuk
membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!
Telah berkali-kali supek-nya,
Mo-kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa ilmu kepandaian Pendekar Bodoh amat
tinggi, masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pengemis Iblis itu, maka sudah
menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar pernyataan ini. Kini
mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan tosu yang menjadi suheng
kakek ber-huncwe itu demikian tingginya, dia mendapat sebuah pikiran yang baik
sekali.
Mendengar ucapan tosu itu,
semakin yakinlah dia bahwa tosu itu benar-benar lihai sekali, maka ia lalu
menjawab, “Maafkan teecu yang muda telah berlaku lancang!”
Sesudah berkata demikian, dia
lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan gerakan In-liong San-hian
(Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah dan ilmu lompatnya cukup
hebat sehingga tiga orang yang berada di ruangan itu memandang dengan kagum.
Melihat seorang pemuda cakap
berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin lalu melangkah maju,
dan bertanya,
“Orang muda, siapakah kau dan
mengapa kau melakukan pengintaian di kelentengku?”
Kam Seng menjura memberi
hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia berkata dengan sikap
gagah dan suara tenang,
“Tadi teecu mendengar tentang
totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena ada permusuhan
pribadi antara teecu dengan Pendekar Bodoh, maka hati teecu tertarik sekali dan
ingin teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu maklum bahwa teecu
bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang mampu mengalahkan teecu
dalam sepuluh jurus, maka teecu akan menghambakan diri menjadi murid dan akan
menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman di sini. Jika Totiang
tidak dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, jangah harapkan akan dapat
menangkan Pendekar Bodoh!”
Kata-kata ini membuat Bouw Hun
Ti menjadi marah sekali dan dia melompat ke depan, cepat mengirim pukulan keras
ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,
“Macammu hendak menantang
Supek?”
Pukulan tangan kanan Bouw Hun
Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam pukulan itu cukup untuk
dapat menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa ilmu kepandaian Bouw Hun
Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari Sin-kai Lo Sian, maka dapat
diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini.
Akan tetapi, Kam Seng bukanlah
seorang pemuda yang bodoh. Ia telah mewarisi seluruh kepandaian Mo-kai Nyo
Tiang Le sehingga kepandaiannya sekarang mungkin telah lebih tinggi dari pada
Sin-kai Lo Sian! Dia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang tidak mungkin ia dapat
melawan orang kuat ini, maka ia lalu mempergunakan kecerdikannya.
Dengan lengan kanan, dia
mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan, sedangkan tangan
kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke depan dengan ilmu
silat Soan-hong-jiu (Kepalan Kitiran Angin).
Bouw Hun Ti merasa terkejut
sekali sebab sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu pukulan lawan itu
mendatangkan angin yang sangat hebat dan berbahaya sehingga terpaksa dia
miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Pada saat pukulannya
tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke belakang!
“Bagus...!” kata tosu itu yang
sesungguhnya merupakan suheng dari Ban Sai Cinjin yang bernama Wi Kong Siansu.
Wi Kong Siansu ini sebagaimana
pernah dituturkan pada bagian depan adalah seorang pertapa di Hek-kwi-san dan
dijuluki Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa). Oleh karena merasa
khawatir menghadapi musuh-musuh yang sangat tangguh, Ban Sai Cinjin menyuruh
Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk suheng-nya itu yang ternyata kemudian
berhasil dengan baik.
Melihat pukulan Soan-hon-jiu
yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan dia lalu
berdiri dari bangkunya.
“Bouw Hun Ti, biarkan anak
muda ini memenuhi keinginannya.” Ia lalu melangkah maju untuk menghadapi Kam
Seng. “Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi,
lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau sampai bermusuhan
dengan Pendekar Bodoh?”
Semenjak dulu, Kam Seng tidak
pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapa pun juga. Sekarang karena
maklum sepenuhnya bahwa ia berada di antara orang-orang yang menjadi musuh
Pendekar Bodoh pula, ia tak merasa ragu-ragu lagi untuk memberi tahukan nama
ayahnya, bahkan dia pun merubah pula she-nya yang biasanya Thio itu menjadi
Song.
“Teecu bernama Kam Seng, she
Song, dulu Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan ayah teecu itu
bernama Song Kun.”
Mendengar disebutnya nama ini,
Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin lalu saling pandang dengan terkejut sekali.
“Apa?! Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-ho Sian-kiam?”
tanya Wi Kong Siansu dengan heran.
“Entahlah, karena ayah telah
tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari ibuku yang sekarang sudah
meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu ketahui, yaitu bahwa ayah teecu
yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!”
“Benar, benar!” Wi Kong Siansu
mengangguk-angguk. “Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan
hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu, anak muda!”
Kam Seng memang sengaja
menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud
tertentu. Dia telah maklum sampai di mana tingkat kepandaiannya, apa bila
diukur dengan kepandaian supek-nya Nyo Tiang Le. Walau pun ia belum dapat
menyamai ilmu kepandaian supek-nya itu, namun dari latihan-latihan dengan
supek-nya dia dapat menaksir bahwa supek-nya itu tidak mungkin akan sanggup
merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus! Maka ia sengaja menantang
untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena kalau hal ini memang
dapat terjadi, dia tidak ragu-ragu lagi dengan kepandaian tosu ini dan tidak
ragu-ragu pula untuk mengkhianati supek-nya!
Setelah tosu itu melangkah
maju menghadapinya, tanpa sheji (sungkan) lagi Kam Seng segera menyerang dengan
Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat yang paling lihai. Dia hendak mendahului
menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk dapat
menyerangnya. Kalau saja dia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus,
biar pun tidak dapat merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam
sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!
Wi Kong Siansu agaknya maklum
akan isi pikirannya ini, maka sambil tersenyum kakek yang amat lihai ini tidak
mau memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lainnya.
Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan sudah dekat dengan dadanya yang sama
sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu, ia lalu mengebutkan ujung lengan
bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan
itu menotok ke arah pundak Kam Seng.
Pemuda ini terkejut bukan main
karena tangkisan ujung lengan baju itu ketika menimpa lengannya, tulang
lengannya langsung terasa sakit sekali bagaikan beradu dengan baja keras
sedangkan totokan itu pun cepat sekali datangnya sehingga hampir saja ia
menjadi korban dalam segebrakan saja!
Dia cepat menjatuhkan diri ke
belakang, berjumpalitan ke belakang dua kali, kemudian setelah berdiri ia lalu
menyerang lagi. Serangan dalam jurus ke dua ini dilakukan dengan gerak tipu
yang amat lihai.
Ia melakukan serangan dari
tiga jurusan, tangan kanan diputar merupakan kepalan yang mengarah kepala,
tangan kiri dengan jari tangan terbuka menyabet lambung, sedangkan kaki kanan
menyusul dengan tendangan maut ke arah pusar! Inilah gerak tipu yang disebut
Sam-in Koan-goat (Tiga Awan Menutup Bulan).
Gerakan tiga macam pukulan ini
dilakukan susul menyusul, maka boleh dibilang hampir berbareng datangnya. Dan
karena yang diarah oleh tiga pukulan ini merupakan anggota-anggota tubuh yang
berbahaya, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya serangan Sam-in Koan goat
ini. Satu saja di antara ketiga pukulan itu mengenai sasaran, sudah cukup untuk
mengantar nyawa orang ke tempat asal!
“Bagus...!” seru Wi Kong
Siansu melihat kehebatan serangan ini.
Dengan sangat tenang kakek ini
melangkahkan kakinya dalam bentuk segitiga. Pertama- tama ia melangkah ke kanan
sambil menundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari pukulan ke arah
kepalanya, lalu melangkah lagi menyerong ke muka sambil menangkis pukulan ke
arah lambungnya, sedangkan tendangan yang mengarah pusarnya itu tidak
dielakkan, bahkan dia kemudian mengangkat kakinya menyambut tendangan itu
dengan tendangan pula.
Sungguh mengherankan sekali.
Kalau dilihat tendangan Kim Seng amat keras dan cepat datangnya, ada pun kakek
itu hanya mengangkat kakinya sedikit saja untuk menyambut tendangan pemuda itu.
Akan tetapi begitu sepatu mereka bertemu, Kam Seng berseru kaget dan tubuhnya
segera terlempar ke belakang tiga tombak lebih! Masih baik bahwa ia mempunyai
ginkang yang sempurna sehingga ia dapat berjungkir balik dan mengatur
keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun dengan kaki terlebih dulu!
Bukan main kagumnya hati Kam
Seng. Ia maklum bahwa tosu ini benar-benar jauh lebih lihai dari pada
supek-nya, maka tanpa banyak ragu-ragu lagi, dia cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan tosu itu. “Kalau Totiang sudi menerima teecu sebagai murid,
teecu akan merasa bahagia sekali.”
Wi Kong Siansu tertawa
bergelak. “Sayang kau ditinggal mati ayahmu dan tidak bertemu dengan guru yang
baik. Kalau ada ayahmu, tentu kepandaianmu sudah sepuluh kali lipat lebih
pandai dari pada sekarang.”
Ban Sai Cinjin lalu maju dan
mengebulkan huncwe-nya.
“Song Kam Seng, kau tadi
bilang bahwa kau memiliki rahasia yang hendak kau tuturkan. Apakah rahasia itu?
Hayo kau berkata terus terang, karena kalau memang benar kau putera Song Kun,
kita adalah orang-orang sendiri. Ketahuilah bahwa antara kami dengan ayahmu
dahulu terdapat hubungan yang baik sekali.”
“Sesungguhnya amat malu untuk
menuturkan keadaan teecu,” kata Kam Seng sambil menundukkan kepalanya dan masih
berlutut di depan Wi Kong Siansu. “Semenjak kecil teecu telah ditinggal mati
ibu, dan ayah bahkan telah meninggalkan teecu sebelum teecu terlahir. Teecu
berkelana dan bersengsara seorang diri dengan hati yang mengandung dendam pada
Pendekar Bodoh, akan tetapi apa daya teecu? Kemudian, teecu bertemu dengan
Mo-kai Nyo Tiang Le yang memberi pelajaran ilmu silat kepada teecu. Sungguh pun
kemudian teecu ketahui bahwa Mo-kai Nyo Tiang Le dan juga Sin-kai Lo Sian
adalah kawan-kawan segolongan dengan Pendekar Bodoh sehingga hati teecu merasa
segan sekali untuk belajar ilmu silat darinya, namun terpaksa teecu pertahankan
juga. Karena, lebih baik menerima pelajaran ilmu silat dari siapa pun juga dari
pada tidak mempunyai kepandaian sama sekali. Nah, kebetulan sekali pada hari
ini teecu dibawa oleh Mo-kai Nyo Tiang Le yang sedang berusaha mencari Sin-kai
Lo Sian. Dia menyangka bahwa sute-nya itu tentu telah mendapat celaka dari Ban
Sai Cinjin, karena itu ia lalu menyuruh teecu mengadakan penyelidikan ke sini!”
Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha! Mo-kai Nyo Tiang Le pengemis kelaparan! Apa yang kutakuti
terhadap orang seperti dia itu?”
“Teecu juga maklum akan hal
ini, dan mulai saat ini juga, kalau kiranya Cu-wi Locianpwe sudi menerima,
teecu ingin tinggal di sini mempelajari ilmu silat dan kemudian bersama Cu-wi
ikut menyerbu dan membalas hukuman kepada Pendekar Bodoh.”
Ban Sai Cinjin agaknya masih
ragu-ragu dan menaruh hati curiga. Akan tetapi Wi Kong Siansu sambil berkedip
pada sute-nya itu, berkata kepada Kam Seng, “Anak muda, kami percaya bahwa kau
memang putera Song Kun. Akan tetapi, siapa mengetahui keadaan seseorang? Mo-kai
Nyo Tiang Le yang menjadi gurumu itu ternyata hendak memusuhi sute dan menyuruh
kau mengadakan penyelidikan ke sini. Bagaimanakah kalau sikapmu ini hanya
sandiwara belaka supaya kau dapat menyelamatkan diri dari kami? Kalau kau
sekarang bisa memancing agar Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke sini, tanpa
mengatakan bahwa pinto dan Ban Sai Cinjin berada di tempat ini, dan kemudian di
depan kami kau memperlihatkan sikapmu bermusuh dengan dia, barulah kami akan
percaya. Menerima murid bukanlah hal yang amat mudah, dan sebelum mengetahui
betul kesetiaanmu, pinto tidak dapat menerimamu sebagai murid.”
“Baiklah, harap Cu-wi suka
menanti sebentar. Malam ini juga teecu pasti akan membawa Mo-kai Nyo Tiang Le
datang ke tempat ini!” Sesudah berkata demikian, Kam Seng lalu memberi hormat
dan melompat keluar dari ruangan itu.
Ban Sai Cinjin hendak
menggerakkan tangan mencegah, akan tetapi suheng-nya sudah berkata, “Anak itu
memang betul keturunan Song Kun. Tidak lihatkah kau akan gerakan matanya dan
bentuk bibirnya? Sama benar dengan Song Kun. Dan andai kata sikapnya tadi hanya
untuk menyelamatkan diri, apa yang perlu kita takuti untuk seorang pemuda macam
dia?”
Sementara itu, Kam Seng cepat
kembali ke tempat supek-nya yang masih menantinya. Hatinya girang sekali.
Tadinya ia telah merasa putus harapan untuk dapat membalaskan dendamnya kepada
Pendekar Bodoh, karena kalau Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurunya masih
mengatakan kalah jauh oleh Pendekar Bodoh, apa lagi dia?
Menurut supek-nya ini,
Pendekar Bodoh mempunyai banyak orang-orang pandai. Isteri Pendekar Bodoh
sendiri adalah murid Bu Pun Su dan mempunyai kepandaian yang amat tinggi. Masih
ada lagi Ang I Niocu serta suaminya Lie Kong Sian yang terhitung kakak
seperguruan dari Pendekar Bodoh, ada lagi Kwee An yang menjadi iparnya dan
isteri Kwee An yang bernama Ma Hoa dan yang mempunyai kepandaian tinggi karena
nyonya muda ini adalah murid terkasih dari Hok Peng Taisu yang lihai!
Bagaimana ia dapat menghadapi
Pendekar Bodoh seorang diri saja? Bahkan supek-nya amat menghormat Pendekar
Bodoh maka tak mungkin supek atau suhu-nya mengijinkan dia berlaku kurang ajar
terhadap Pendekar Bodoh.
Kini, pertemuan dengan Ban Sai
Cinjin dan Wi Kong Siansu yang kepandaiannya amat tinggi, menimbulkan pengharapan
baru di dalam hatinya. Dia tadi belum melihat Hok Ti Hwesio, hwesio kecil jahat
murid Ban Sai Cinjin yang dahulu hendak membelek perutnya, akan tetapi dia pun
tidak takut. Andai kata Hok Ti Hwesio mengenalnya, dia rasa masih dapat
melayani hwesio itu, dan apa lagi kalau dia sudah menjadi murid Wi Kong Siansu,
tentu Hek Ti Hwesio tidak berani mengganggunya.
“Bagaimana, Kam Seng? Apakah
kau melihat suhu-mu berada di sana? Dan apakah Ban Sai Cinjin berada di sana
pula?”
“Teecu rasa Suhu berada di
sana, Supek. Mungkin dikurung dalam sebuah kamar. Akan tetapi teecu tidak
berani turun dan berlaku sembrono, karena di sana teecu melihat ada murid-murid
Ban Sai Cinjin. Teecu rasa sekarang lebih baik kalau kita berdua menyerbu ke
sana, karena tidak terlihat Ban Sai Cinjin, yang ada hanya Bouw Hun Ti!”
Girang sekali hati Mo-kai Nyo
Tiang Le mendengar kesempatan yang amat baik ini, maka dia cepat berdiri dan
mengajak pemuda itu cepat berlari kembali ke hutan itu.
Kam Seng mengajak supek-nya
melompat ke atas genteng dan mengintai di atas ruang tadi. Akan tetapi baru
saja Nyo-kai Tiang Le menginjak genteng, dia mendengar suara Bouw Hun Ti
tertawa di bawah genteng.
“Pengemis kelaparan Nyo Tiang
Le! Perlu apa mengintai seperti seorang maling? Kalau kau kelaparan tidak perlu
kau mencuri makanan di sini. Turunlah! Ada makanan anjing tersedia untukmu!”
Bukan main marahnya Mo-kai Nyo
Tiang Le mendengar ucapan yang sangat menghina ini. Dia memang seorang pemarah
yang keras hati, maka tanpa mempedulikan sesuatu lagi, ia lalu melayang turun,
diikuti oleh Kam Seng. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak lantai ruangan
itu, Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali sebab melihat Ban Sai Cinjin dan
seorang tosu tua muncul dari balik pintu. Ban Sai Cinjin mengebulkan asap huncwe-nya
dan melihat asap itu berwarna hitam, tahulah Mo-kai Nyo Tiang Le bahwa dia kini
harus melawan mati-matian.
Terdengar tosu yang tidak
dikenalnya itu tertawa girang dan berkata kepada Kam Seng, “Bagus, bagus, Kam
Seng! Kau memang boleh dipercaya dan pinto tentu suka menjadi suhu-mu.”
Tentu saja Mo-kai Nyo Tiang Le
menjadi melongo melihat dan mendengar ucapan ini.
“Kam Seng! Apakah artinya
ini?”
Akan tetapi sebelum pemuda itu
menjawab, Ban Sai Cinjin telah menegur Pengemis Iblis itu, “Orang she Nyo! Kau
datang sebagai tamu tak diundang, mengapa lagakmu begini kasar? Sebetulnya,
apakah keperluanmu datang ke tempatku ini?”
“Ban Sai Cinjin, semenjak
dahulu kita belum pernah bermusuhan, maka harap kau suka memberi keterangan
tentang sute-ku Lo Sian. Di manakah dia?”
Ban Sai Cinjin mengeluarkan
suara menghina. “Apa kau kira aku adalah bujang pengasuh dari Lo Sian? Kau
carilah sendiri, di sini tidak ada sute-mu yang gila itu!”
“Gila...? Sute-ku tidak
gila...!” kata Mo-kai Nyo Tiang Le sambil memandang tajam.
Merahlah wajah Ban Sai Cinjin
sebab tanpa sengaja ia hampir saja membuka rahasianya. Memang Lo Sian telah
menjadi gila karena ia paksa minum obat beracun.
“Kau dan Sute-mu memang
orang-orang tidak waras, kalau sehat kenapa malam-malam datang ke tempat
tinggal orang lain mencari Sute-mu?”
Mo-kai Nyo Tiang Le merasa
segan untuk bermusuh melawan Ban Sai Cinjin yang lihai dan di situ masih ada
tosu tua yang nampaknya berkepandaian tinggi itu. Juga ia masih merasa heran
mendengar percakapan antara tosu itu dengan Kam Seng, maka ia pikir lebih baik
mengajak pemuda itu pergi dari tempat berbahaya ini.
“Sudahlah, aku tak mau
mengganggu terlebih jauh. Hayo, Kam Seng, kita pergi dari sini!” katanya
mengajak pemuda itu.
Akan tetapi, sungguh di luar
dugaannya sama sekali jawaban yang dia dengar dari mulut pemuda itu, “Tidak,
aku tidak pergi dari sini. Di sinilah tempatku bersama suhu-ku yang baru Wi
Kong Siansu!”
Barulah kini Mo-kai Nyo Tiang
Le tahu bahwa tosu itu adalah Toat-beng Lomo yang amat terkenal. Ia terkejut
sekali, akan tetapi keheranannya lebih besar lagi.
“Apa katamu?! Kam Seng, apa
artinya ini? Apakah kau sudah gila?!”
Pemuda itu memandangnya tajam.
“Tidak, Mo-kai Nyo Tiang Le, kaulah yang gila kalau kau mengira akan bisa
memaksaku untuk menjadi pengemis, hidup berkeliaran, pakaian tidak karuan,
makan tak tentu. Aku tidak mau mengikuti kau terus. Kau pergilah dari sini!”
Marahlah Mo-kai Nyo Tiang Le
mendengar ucapan ini. Tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang biasanya
pendiam dan penurut itu kini berubah menjadi sedemikian kurang ajar.
“Kam Seng...! Kau murid
durhaka! Kalau kau tidak mau pergi, maka terpaksa aku harus binasakan kau lebih
dulu agar kelak tidak mencemarkan namaku!”
Tiba-tiba Kam Seng tersenyum.
“Hm, Mo-kai Nyo Tiang Le! Ketahuilah siapa sebenarnya aku. Aku adalah putera
dari Ang-ho Sian-kiam Song Kun, dan semenjak dulu aku sudah bersumpah untuk
membalas kematian ayahku pada Pendekar Bodoh! Nah, apakah kau tetap tak mau
lekas pergi dari sini? Aku masih mengingat akan sedikit kebaikanmu yang telah
menurunkan sedikit ilmu silat tak berarti kepadaku. Kalau kau tidak mau lekas
pergi, janganlah menganggap aku keterlaluan apa bila aku terpaksa turun tangan
melawan dan mengusirmu!”
Serasa meledak dada Mo-kai Nyo
Tiang Le. Sepasang matanya menjadi merah bagaikan terbakar dan rambutnya yang
tidak karuan itu menjadi kaku berdiri.
“Murid durhaka! Manusia
berhati rendah!”
Akan tetapi, dengan amat marah
Kam Seng telah mengeluarkan beberapa butir Thi-tho-ci dan mengayun
senjata-senjata rahasia itu ke arah Mo-kai Nyo Tiang Le sambil berseru, “Kau
pergilah!”
Dengan amarah yang meluap-luap
Mo-kai Nyo Tiang Le menyambut datangnya senjata-senjata rahasia itu dengan
gerakan tangan kirinya yang menangkis dan memukul runtuh beberapa senjata-senjata
rahasia itu, kemudian sambil berseru keras ia lalu melancarkan serangannya yang
hebat yaitu pukulan Soan-hong-jiu yang dilakukannya dengan tenaga penuh ke arah
bekas muridnya itu!
Kam Seng maklum akan kelihaian
pukulan ini, akan tetapi karena dia tahu pula bahwa mengelak dari pukulan ini
selain sia-sia juga amat berbahaya, terpaksa dia pun segera mengerahkan
tenaganya dan melakukan gerakan pukulan yang sama.
Walau pun jarak di antara
mereka ada dua tombak lebih jauhnya, namun angin pukulan Soan-hong-jiu dari
Mo-kai Nyo Tiang Le ini menyambar hebat sekali ke arah Kam Seng. Pemuda ini
juga melakukan pukulan Soan-hong-jiu dengan tenaga khikang sepenuhnya untuk
menangkis.
Dua angin pukulan bertemu dan
akibatnya, Kam Seng terlempar ke belakang sampai tubuhnya menimpa dinding di
belakangnya! Akan tetapi tangkisannya itu menyelamatkan jiwanya, karena
sedikitnya sudah membentur tenaga pukulan bekas supek-nya sehingga dia hanya
terlempar saja tanpa menderita luka.
“Kau harus mampus!” Mo-kai Nyo
Tiang Le berseru sambil melompat ke arah bekas muridnya untuk memberi pukulan
maut. Akan tetapi, tiba-tiba dari sebelah kiri berkelebat bayangan putih dan
tahu-tahu Wi Kong Siansu telah berada di depannya dan tersenyum mengejek.
“Wi Kong Siansu! Jangan kau
ikut-ikut! Tidak ada orang kang-ouw yang begitu tidak tahu malu untuk
mencampuri urusan antara guru dengan muridnya sendiri!” teriak Mo-kai Nyo Tiang
Le marah sekali.
Wi Kong Siansu tertawa
bergelak. “Mo-kai, kau lupa bahwa pemuda ini bukan muridmu lagi! Ia telah menyatakan
tidak sudi menjadi muridmu dan kau harus ingat lagi bahwa dia kini telah
menjadi murid pinto! Apakah kau kira pinto dapat berpeluk tangan saja melihat
murid pinto hendak dibinasakan olehmu?”
Saking marahnya Mo-kai Nyo
Tiang Le menjadi nekat.
“Bagus!” teriaknya “Hendak
kulihat sampai di mana kehebatan Toat-beng Lo-mo!”
“Ha-ha-ha! Majulah, mari kita
main-main sebentar!” jawab tosu itu.
Nyo Tiang Le menyerang dengan
cepat dan bertubi-tubi. Akan tetapi, tosu yang berilmu tinggi itu dengan
tenangnya dapat mengelak dan membalas dengan serangannya.
Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu
melayani Pengemis Iblis dengan kedua ujung lengan bajunya yang panjang, yang
menyambar-nyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah. Setiap sambaran
ujung lengan baju membawa angin keras dan berat sekali.
Mo-kai Nyo Tiang Le amat kaget
saat menyaksikan betapa angin pukulan Soan-hong-jiu yang dipergunakannya selalu
terpental kembali tiap kali terbentur oleh ujung lengan baju itu. Segera
maklumlah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang dan khikang, ia masih kalah
setingkat!
Oleh karena merasa percuma
saja melawan tosu lihai ini, Mo-kai Nyo Tiang Le membuat gerakan mengalah,
yakni melompat mundur beberapa tindak sambil berkata, “Toat-beng Lo-mo,
kepandaianmu sungguh mengagumkan sekali! Perkenankan aku pergi membawa muridku
yang murtad!” Sambil berkata demikian, ia melompat hendak menyambar tubuh Kam
Seng yang berdiri di sudut, akan tetapi Wi Kong Siansu sudah mendahuluinya dan
kembali menghadang di depannya.
“Mo-kai! Jangan kau lanjutkan
kehendakmu yang salah ini. Kau pergilah dengan aman, dan pinto takkan
mengganggumu. Akan tetapi kalau kau berkeras hendak mencelakakan muridku,
terpaksa pinto harus turun tangan!”
Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi
makin marah. Ia maklum bahwa ia akan sukar sekali dapat memenangkan tosu ini,
akan tetapi kalau ia mundur, berarti bahwa ia telah menurunkan kehormatannya
dengan rendah sekali. Bagi orang gagah, soal kehormatan lebih penting dan lebih
mahal dari pada nyawa. Muridnya berlaku khianat dan durhaka, sudah menjadi
haknya untuk menghukum murid itu. Jika ada orang lain yang menghalanginya, itu
berarti penghinaan yang amat besar.
Sambil berseru keras, Mo-kai
Nyo Tiang Le kemudian mencabut tongkatnya yang tadi dia selipkan di ikat
pinggang depan. Kemudian ia lalu menotok ke arah leher tosu itu dengan gerak
tipu Sian-jin Tit-lou (Dewa Menunjukkan Jalan).
“Bagus!” seru Wi Kong Siansu.
Tosu ini segera mengebut
dengan ujung lengan bajunya sebelah kiri, kemudian ia lantas mengibaskan lengan
baju kanannya ke arah kepala lawannya dengan gerak tipu Burung Elang Menyambar
Ayam. Nyo Tiang Le cepat mengelak dan dia lalu memutar tongkatnya dengan hebat
sekali. Tongkat pendek itu terputar-putar bagaikan kitiran, berubah menjadi
gulungan sinar yang amat kuat dan berkelebatan, ujungnya dapat menotok ke arah
jalan darah di tubuh lawan. Inilah ilmu tongkat dari Hoa-san-pai yang lihai
sekali, karena setiap serangan dapat mendatangkan maut!
Akan, tetapi Wi Kong Siansu
adalah tokoh persilatan yang telah banyak pengalaman dan kepandaiannya tinggi
sekali. Dia telah tahu akan ilmu tongkat Hoa-san-pai ini, maka biar pun dia tak
menggunakan senjata, tetapi kedua ujung lengan bajunya sudah cukup untuk
memunahkan semua serangan Nyo Tiang Le.
Nampaknya dia hanya
menggerakkan kedua ujung lengan baju itu perlahan dan lambat saja, akan tetapi
angin gerakannya demikian kuat sehingga tiap kali ujung tongkat Mo-kai
menyerang, selalu kena ditolak oleh ujung lengan baju itu.
Setelah menyerang selama tiga
puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak lawannya yang tangguh itu, bahkan
gulungan sinar tongkatnya makin lemah, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru
keras dan tubuhnya lantas bergulingan ke atas lantai sambil melakukan serangan
hebat dan bertubi-tubi dari bawah! Inilah ilmu tongkat Hoa-san-pai yang paling
lihai dan disebut gerak tipu Naga Sakti Mempermainkan Mustika!
Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu
terkejut juga melihat cara penyerangan yang hebat serta berbahaya ini. Ujung
tongkat lawannya menyambar-nyambar dari bawah dibarengi dengan tubuh lawannya
yang bergulung-gulung dan selalu mengejarnya ke mana juga ia melompat. Dia
sudah mengenal ilmu silat ini, akan tetapi oleh karena ilmu meringankan tubuh
dari Mo-kai Nyo Tiang Le memang hebat, maka kelihaian penyerangan ini sungguh
mengatasi dugaannya!
Pada saat dia melompat untuk
mengelak dari tusukan yang diarahkan kepada pusarnya, tiba-tiba Mo-kai Nyo
Tiang Le berseru keras dan melompat pula, dengan cara yang amat tak terduga
mengubah serangannya dengan gerak tipu Monyet Tua Menyambar Bunga, langsung
menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati tosu itu! Serangan ini amat cepat dan
tak terduga sehingga sukar untuk dielakkan lagi.
Akan tetapi Wi Kong Siansu
benar-benar mengagumkan. Dia sangat tenang dan tidak menjadi gugup. Dengan
ujung lengan baju sebelah kiri ia menyabet ujung tongkat itu dan lengan baju
sebelah kanan untuk menyabet pula hingga kain ini kini melibat tongkat milik
lawannya. Sekarang kedua ujung lengan baju itu sudah membelit tongkat dan tak
dapat dilepaskan lagi.
Melihat kesempatan baik ini,
dengan girang Nyo Tiang Le segera menggerakkan tangan kirinya, dengan jari
tangan terbuka ia langsung memukul kepala tosu itu dengan pukulan Soan-hong-jiu
yang hebat.....
Kalau pukulan ini mengenai
kepala tosu itu, biar pun dia amat kuat dan lihai, agaknya dia akan mendapat
luka di dalam kepala dan nyawanya tidak akan dapat diselamatkan lagi. Akan
tetapi, dengan gerakan yang amat cepatnya, tosu itu menarik kepalanya ke bawah
lalu melakukan serangan dengan kepalanya itu, diserudukkan ke arah dada Nyo
Tiang Le, di bawah lengan kiri yang memukulnya!
Nyo Tiang Le kaget sekali,
menahan napas dan mengumpulkan lweekang-nya pada dada untuk menyambut benturan
kepala yang tak dapat dielakkan atau pun ditangkis lagi itu.
“Dukkk...!”
Tubuh Nyo Tiang Le langsung
terpental sampal dua tombak lebih, sedangkan Wi Kong Siansu nampak pucat dan
terhuyung-huyung akan tetapi pada saat itu dia bisa mengatur napasnya kembali.
Sedangkan Nyo Tiang Le,
sesudah terguling sambil muntahkan darah merah dari mulut, ternyata juga dapat
melompat berdiri lagi! Akan tetapi pada waktu itu pula, dari sebelah kanannya
menyambar benda hitam kekuningan ke arah kepalanya. Ia terkejut dan cepat
mengelak, akan tetapi terlambat!
“Takk!”
Terdengar suara ketika kepala
huncwe di tangan Ban Sai Cinjin mengenai batok kepala Pengemis Iblis. Seketika
itu juga Nyo Tiang Le merasa kepalanya pening dan matanya gelap. Tiba-tiba dia
berbangkis beberapa kali, lalu tertawa bergelak dan ia lalu melompat keluar di
dalam gelap, terus melarikan diri!
Ban Sai Cinjin tertawa
terbahak-bahak. “Dia telah terluka di dalam otaknya, sekarang dia hanya
kehilangan ingatannya saja, akan tetapi tak lama lagi ia akan roboh dan
mampus!”
Kam Seng terkejut sekali
mendengar ucapan ini dan hatinya merasa ngeri. Sebetulnya ia tak mengira bahwa
supek-nya akan mengalami nasib yang sehebat itu. Tadinya ia hanya bermaksud
untuk melepaskan diri dari Mo-kai Nyo Tiang Le untuk berguru kepada tosu itu
dan untuk mendapatkan harapan baru dalam cita-citanya membalas dendam.
Juga Toat-beng Lo-mo Wi Kong
Siansu menghela napas panjang dengan rasa sesal.
“Sute, mengapa kau
menewaskannya? Permusuhan akan menjadi makin hebat.”
Ban Sai Cinjin tersenyum.
“Suheng, pengemis itu terlalu menghina kita, dan orang jahat dan berbahaya
seperti dia sudah sepatutnya dilenyapkan agar kelak tidak menimbulkan
kepusingan.”
Kam Seng lalu berlutut di
depan Wi Kong Siansu dan berkata, “Suhu, betapa pun juga, Mo-kai Nyo Tiang Le
pernah melepas budi kepada teecu, apakah teecu boleh mengubur jenazahnya?”
Tosu itu nampak girang.
“Bagus, Kam Seng. Sikapmu ini menyenangkan hatiku, karena boleh kuharapkan
kesetiaanmu kepadaku kelak. Kau susullah dia, kurasa tidak akan jauh dari sini
kau akan dapat menemukannya.”
Kam Seng segera melompat
keluar dan mengejar ke arah Nyo Tiang Le tadi melompat pergi. Dan benar saja,
di tempat yang tak jauh dari kelenteng itu dia mendapatkan tubuh supek-nya itu
sudah tak bernyawa lagi, rebah di atas tanah dalam keadaan terlentang!
Kedua mata pengemis iblis itu
terbuka dan di bawah sinar buIan, mata itu seakan-akan memandangnya dengan
penuh penyesalan, mulut yang sudah biru itu pun seakan-akan berbisik, “Murid
durhaka!”
Ia bergidik dan cepat
menggunakan sapu tangan untuk menutupi muka itu. Kemudian dia menggali lubang
di tanah dekat tempat itu untuk mengubur jenazah supek-nya.
Demikianlah, semenjak saat
itu, Kam Seng menjadi murid Wi Kong Siansu. Ia menerima latihan ilmu silat yang
tinggi sehingga kepandaiannya maju pesat sekali. Ketika Hok Ti Hwesio, murid
Ban Sai Cinjin yang kini telah menjadi seorang hwesio muda yang cakap tiba di
kelenteng itu, hwesio muda ini memandang kepada Kam Seng dan berkata,
“Sute, agaknya aku pernah
melihat mukamu, entah di mana.”
Kam Seng tersenyum dan menekan
debar jantungnya. “Tidak bisa jadi, Suheng. Selama hidupku baru sekali ini aku
bertemu dengan kau.”
Karena Kam Seng pandai membawa
diri dan sangat menghormat kepada semua orang sebagai orang baru, dia amat
disuka. Selain Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin masih mempunyai
seorang murid lain yang usianya baru empat belas tahun, yaitu putera seorang
pangeran dari kota raja. Pangeran itu maklum akan kelihaian Ban Sai Cinjin,
maka ia lalu memberikan puteranya untuk dididik oleh kakek lihai ini.
Anak muda ini datang dua bulan
setelah Kam Seng berada di kelenteng itu dan namanya adalah Ong Tek. Sebelum
berguru kepada Ban Sai Cinjin, Ong Tek pernah mempelajari ilmu silat dari
panglima kerajaan, sehingga ilmu silatnya pun sudah lumayan juga.
Kam Seng memberikan banyak
petunjuk kepada sute-nya yang dikasihinya ini, dan sebaliknya Ong Tek juga
memberi pelajaran ilmu surat kepada suheng-nya ini. Hubungan mereka sangat erat
karena dengan lain-lain orang yang berada di sana, terutama dengan Hok Ti
Hwesio, kedua anak muda ini kurang merasa cocok.
Dengan amat tekun dan rajin,
Kam Seng berlatih ilmu silat dari Suhu-nya yang baru dan tanpa terasa lagi,
setahun telah lewat dengan amat cepatnya…..
********************
Begitulah riwayat Kam Seng
yang terlihat oleh Lili. Tentu saja Lili merasa terheran-beran melihat betapa
Kam Seng dan orang tua yang berjenggot pendek itu ternyata menuju ke kelenteng
di mana dulu Kam Seng akan dibelek perutnya oleh hwesio cilik murid Ban Sai
Cinjin!
Sebenarnya, Kam Seng baru saja
datang dari dusun Tong-sin-bun, ke rumah Ban Sai Cinjin untuk menjemput orang
setengah tua itu yang menjadi utusan dari Pangeran Ong. Utusan ini adalah
seorang guru silat yang dahulu pernah pula mengajar Ong Tek di kota raja dan
kini dia menerima tugas dari Pangeran Ong untuk menengok puteranya serta
membawa segala macam barang kiriman berupa pakaian, uang dan lain-lain.
Kedatangan Kam Seng dan guru
silat disambut oleh Ong Tek dengan girang sekali. Anak muda ini berlari
menghampiri guru silat itu dan sambil memegang tangannya, dia segera bertanya,
“Tan-kauwsu, apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?”
“Baik, Kongcu, semua baik.
Taijin dan Hujin hanya berpesan agar supaya Kong-cu suka belajar dengan rajin
di sini.”
Mereka bertiga lalu masuk ke
ruang dalam, di mana terdapat Wi Kong Siansu dan Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin
tidak berada di situ, oleh karena kakek mewah ini lebih banyak bermalam di
dusun Tong-sin-bun.
Semenjak Wi Kong Siansu
tinggal di kelentengnya itu, Ban Sai Cinjin tak merasa leluasa apa bila tinggal
bermalam di situ pula. Dia merasa malu kepada suheng-nya karena dia memiliki
kesukaan yang meniadi pantangan bagi kakak seperguruannya, yaitu misalnya
meminum minuman keras, bermain judi dengan kawan-kawannya, atau bergurau dengan
perempuan-perempuan penyanyi.
Mata Lili yang tajam masih dapat
mengenal Hok Ti Hwesio sebagai hwesio kecil yang dulu hampir membelek perut Kam
Seng, maka semakin heranlah dia melihat betapa kini Kam Seng dapat bersahabat
dengan hwesio itu! Juga dia heran sekali ketika mendengar Kam Seng menyebut
‘Suhu’ kepada tosu tua yang duduk di situ!
Di manakah adanya suhu Sin-kai
Lo Sian serta supek Mo-kai Nyo Tiang Le? Demikian dara perkasa ini bertanya
seorang diri dengan penuh rasa bingung.
Lili mendengarkan guru silat
she Tan itu bercerita mengenai keadaan di kota raja dan hatinya berdebar keras
ketika guru silat itu berkata,
“Agaknya keturunan Pendekar
Bodoh dan kawan-kawannya telah mulai berdatangan dan mengacau pula di sekitar
kota raja.”
Tak hanya Lili yang mengintai
dari atas genteng yang tertarik oleh penuturan ini, bahkan semua orang di bawah
genteng juga tertarik sekali.
“Seorang pemuda keturunan
Pendekar Bodoh atau entah kawan-kawannya, oleh karena menurut cerita Kam
Thai-ciangkun, penjahat itu pandai ilmu-ilmu silat Pendekar Bodoh, telah
mengacau di kota Tatung dan membunuh putera Kepala Daerah Tatung, yaitu Gui
Kongcu. Bahkan pemuda jahat itu sudah melarikan seorang gadis bangsa Haimi yang
tadinya hendak menjadi bini muda Gui Kongcu!”
Kam Seng amat tertarik dan
bertanya, “Tan-kauwsu, siapakah namanya? Dan apakah ia benar-benar putera
Pendekar Bodoh? Apakah namanya Hong Beng, Sie Hong Beng?”
Guru silat itu menggeleng
kepalanya. “Entahlah, tentang namanya aku tidak tahu. Hanya saja, menurut
penuturan Kam-ciangkun, pemuda jahat itu amat lihai. Kam-ciangkun telah
terkenal memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi dia mengaku bahwa
pemuda pengacau itu ilmu silatnya benar-benar tinggi, hampir sama dengan
Pendekar Bodoh!”
Tentu saja Lili merasa heran
dan juga tertegun mendengar cerita ini. Siapakah pemuda itu? Benarkah Hong Beng
kakaknya? Boleh jadi, karena dia mendengar dari ayah ibunya bahwa kakaknya itu
pun sudah meninggalkan perguruan dan kini menuju pulang setelah merantau dulu
untuk meluaskan pengalaman.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa dan ketika Lili memandang ke bawah, ia melihat bahwa yang tertawa itu
adalah Hok Ti Hwesio, kepala gundul muda itu. Hok Ti Hwesio tertawa menyeringai
dengan sikap menghina dan berkata,
“Ha-ha, kenapa orang selalu
menyebut-nyebut nama Pendekar Bodoh dan menganggap dia seakan-akan seorang
dewata? Kenapa orang agaknya memuji-muji musuh sehingga memperkecil semangat
sendiri? Urusan Pendekar Bodoh, serahkan saja padaku, siapa yang takut
kepadanya? Tunggulah sampai aku bertemu dengan dia!”
Semua orang tahu bahwa Hok Ti Hwesio
ini selain sombong seperti gurunya, juga amat lihai. Ia telah mempelajari tidak
saja ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu sihir dan ilmu lainnya yang aneh
dan mukjijat. Ia memiliki ilmu kebal yang luar biasa, bukan ilmu kebal yang
timbul akibat tenaga lweekang, akan tetapi ilmu kebal yang dipelajari oleh
pengaruh sihir.
Sebagaimana pernah dituturkan
pada bagian depan, untuk memperoleh ilmu ini, ia tidak segan-segan untuk makan
jantung manusia. Selain itu, dia sangat terkenal pula dengan kepandaiannya
melempar dan mainkan pedang kecil atau pisau belati yang disebutnya sendiri
‘hui-kiam’ (pedang terbang).
Pedang kecil ini dapat ia
lontarkan dengan cepat dan yang aneh, pedang kecil ini dapat mengejar
sasarannya dan dapat pula terbang kembali seakan-akan bersayap. Tentu saja
pedang itu tidak dapat terbang sebagaimana nampaknya, namun karena
kepandaiannya melempar yang telah terlatih baik dan karena bentuk pedang itu
agak bengkok, ditambah pula dengan pengerahan tenaga yang tepat, maka pedang
itu seolah-olah dapat terbang kembali.
Ketika Lili mendengar ucapan
hwesio muda ini, timbullah kemarahannya. Hampir saja dia melompat turun untuk
mengamuk dan menampar mulut hwesio yang berani menantang-nantang ayahnya itu.
Akan tetapi ia teringat akan
nasehat ayahnya yang berkata, “Lili, kelemahan yang paling membahayakan diri
kita sendiri, adalah rasa takut dan nafsu marah. Kalau kau takut dan marah,
maka kau tak akan dapat berlaku tenang dan mutu permainan silat akan menjadi
turun serta keadaan menjadi lemah sekali. Karena itu, baik dalam keadaan
bagaimana juga kau harus sanggup menguasai hatimu, dan dapat membebaskan diri
dari rasa takut dan nafsu marah.”
Aku tak boleh marah, pikirnya
dan setelah dengan susah payah ia dapat menekan hawa amarah yang mengalun di
dalam dadanya, barulah Lili memandang kembali ke bawah. Ia mendengar Tan-kauwsu
masih banyak menceritakan keadaan kota raja dan saat melihat kepala Hok Ti
Hwesio yang gundul plontos dan mengkilap tertimpa sinar tujuh batang lilin yang
dipasang di atas meja, timbullah keinginan di hati Lili untuk mempermainkan
orang ini. Memang gadis ini mempunyai watak yang persis seperti ibunya, jenaka,
nakal dan suka mempermainkan orang yang dibencinya.
Di atas genteng itu terdapat
banyak tanah lumpur yang terjadi dari debu dan air hujan. Ia lalu menggaruk
lumpur ini dari celah-celah genteng kemudian membuat beberapa butir pil lumpur
sebesar kacang.
Lili bekerja dengan hati-hati
sekali hingga sama sekali tak menimbulkan suara, kemudian dia meletakkan
sebutir pil lumpur atau tanah liat itu di atas telapak tangan kirinya, dan
menggerakkan jari tengah dan ibu jari kanan untuk menendang atau menyelentik
pil itu ke bawah.
Dia tidak berani menggunakan
tangan menyambit karena kalau dia lakukan hal ini, tentu angin tenaga sambitannya
itu akan terdengar dari bawah oleh telinga orang-orang yang berkepandaian
tinggi itu. Begitu pil tanah liat itu terkena tendangan jari tengah, benda
kecil ini meluncur turun dengan amat cepat menuju ke arah kepala Hok Ti Hwesio
yang gundul licin dan mengkilap.
“Plokk!”
Pil tanah liat itu dengan jitu
sekali mengenai kepala Hok Ti Hwesio dan menjadi gepeng serta melengket pada
kulit kepalanya! Akan tetapi tubuh hwesio muda itu tidak bergerak sedikit pun
juga, seakan-akan serangan ini tidak terasa olehnya.
Hal ini amat mengejutkan hati
Lili, oleh karena ia maklum bahwa tenaga selentikannya ini cukup untuk membuat
tanah liat itu melubangi batang pohon! Demikian keraskah batok kepala hwesio
itu?
Sebaliknya, Hok Ti Hwesio juga
terkejut sekali. Dia tidak merasa terlalu sakit, akan tetapi kulit kepalanya
cukup terasa pedas. Yang membuat dia sangat terkejut adalah kelihaian serangan
ini. Mengapa dia tidak mendengarnya sama sekali? Bagaimana orang dapat
menyambit sesuatu tanpa mengeluarkan suara?
Dan lagi, kalau memang betul
yang menyambitnya seorang manusia yang berada di atas genteng, kenapa dia dan
yang lain-lainnya tidak mendengarnya? Mungkin pendengaran telinganya kurang
tajam, akan tetapi Wi Kong Siansu tentu akan mendengarnya!
Maka dia lalu meraba kepalanya
dan menyangka bahwa yang jatuh di atas kepalanya itu hanya tahi cecak yang
kebetulan jatuh di atas kepalanya. Juga Kam Seng dan Wi Kong Siansu mendengar
suara ‘plok’ tadi, akan tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu apa pun,
hanya mengira bahwa itu adalah suara buah busuk yang jatuh di atas tanah di
luar kelenteng.
Benda hitam kecil ke dua
meluncur cepat, disusul dengan yang ke tiga dan ke empat. Tiba-tiba saja Hok Ti
Hwesio berseru keras dan mencabut pisau belatinya dengan marah sekali. Kali ini
dia merasa sakit sekali pada hidung dan kedua telinganya. Dengan tepat sekali
tiga pil tanah liat kecil itu menghantam hidung dan kedua daun telinganya.
Tak salah lagi, ini tentu
perbuatan seorang manusia. Tidak mungkin binatang cecak bisa melempar tahi
demikian kebetulan!
“Bangsat rendah, kalau kau
memang berani, turunlah!” bentaknya sambil mendongakkan kepalanya memandang ke
arah genteng.
Akan tetapi malang baginya,
karena ia berseru sambil menengadah, sebutir pil tanah liat yang tidak
kelihatan dan tidak terdengar menyambarnya, dan tahu-tahu telah memasuki
mulutnya sehingga tak tertahan pula terus masuk ke tenggorokan lalu turun ke
perut!
“Kurang ajar! Keparat!”
Hok Ti Hwesio menggerakkan
tubuhnya dan dengan cepat ia telah melompat keluar dan langsung naik ke
genteng, sedangkan Wi Kong Siansu, Kam Seng, Tan-kauwsu dan Ong Tek memandang
kelakuan hwesio itu dengan heran.
Ketika tiba di atas genteng,
Hok Ti Hwesio memandang ke sana ke mari, akan tetapi dia tak melihat bayangan
seekor kucing pun di atas genteng. Dengan mendongkol dan juga heran sekali dia
melompat turun dan kembali ke dalam ruang itu. Ia berpikir bahwa kalau memang
benar ada orang mengganggunya, tentulah orang itu melakukan hal itu karena
marah mendengar ia tadi menantang Pendekar Bodoh, karena itu dengan suara keras
ia berkata,
“Apa bila yang datang tadi
Pendekar Bodoh atau konco-konconya, maka ternyata bahwa Pendekar Bodoh dan
konco-konconya hanyalah pengecut-pengecut besar yang berani menyerang dengan
sembunyi! Kalau ia berani turun ke sini, dalam beberapa jurus saja tentu
pisauku ini akan menembus lehernya!”
Baru saja ucapannya habis,
mendadak terdengar bentakan nyaring dari atas, “Bangsat gundul bermulut besar!”
Berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di
ruangan itu telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah sekali.
Semua orang amat terkejut
melihat gadis ini, karena bagaimanakah seorang dara muda remaja memiliki
ginkang yang sedemikian tingginya sehingga kedatangannya sampai tak terdengar
sama sekali?
Yang lebih terkejut adalah Kam
Seng, karena sekali memandang saja ia mengenal gadis ini sebagai Lili!
“Lili...!” ia berseru perlahan
dengan mata terbelalak.
Apa bila orang melihat sinar
matanya, di sana akan terbayang kasih sayang yang besar, tercampur kebencian
yang mengejutkan. Memang, semenjak dahulu ketika tertolong oleh Sinkai Lo Sian,
Kam Seng merasa kagum dan suka sekali kepada Lili. Ia kagum akan kecantikan dan
kejenakaan gadis ini, sehingga dulu sering kali ia diam-diam memandang kepada
gadis itu dengan pikiran melamun. Akan tetapi, di samping rasa kasih sayangnya
ini, ia mengandung kebencian hebat sekali mengingat bahwa dara jelita ini
adalah puteri dari musuh besarnya, Pendekar Bodoh!
Seruan perlahan ini terdengar
juga oleh Lili, maka dia menengok dan tersenyum manis. “Kukira tadi bukan Kam
Seng yang berada di sini, akan tetapi ternyata benar-benar kau! Kenapa kau
berada di sini? Di manakah Suhu dan Supek?” tanyanya sambil memandang tajam.
Sinar matanya berkelebat seolah-olah hendak menembus dada Kam Seng hingga
pemuda itu merasa tak enak hati sekali dan mukanya berubah merah.
Sementara itu, Wi Kong Siansu
beserta yang lain-lain juga sudah bangkit dari tempat duduknya, dan Hok Ti
Hwesio bertanya kepada Kam Seng,
“Sute, siapakah perempuan
ini?”
Tiba-tiba timbul sebuah
pikiran yang baik dalam otak Kam Seng. Ia memang mempunyai perasaan tidak suka
kepada Hok Ti Hwesio yang kini menjadi suheng-nya, dan dia ingin mengadu hwesio
ini dengan Lili agar dengan demikian dia dapat mengadukan dua orang yang
termasuk dalam daftar musuhnya.
“Suheng, engkau tadi mencari
Pendekar Bodoh. Nah, inilah puterinya yang bernama Sie Hong Li atau Lili!”
Lili makin terheran mendengar
ucapan Kam Seng ini. “Dan Si Gundul ini kalau tak salah tentulah si tukang
membelek perut, bukan? Apakah dia sekarang menjadi suheng-mu, Kam Seng?”
Makin merahlah muka Kam Seng
mendengar hal ini. “Lili...” katanya perlahan. “Sekarang tidak ada hubungan
antara kau dan aku lagi, aku... aku sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, yaitu
suhu-ku yang baru ini!”
Lili tersenyum mengejek.
“Siapa bilang bahwa kau dan aku pernah ada hubungan? Dari dulu pun kita tidak
mempunyai hubungan sesuatu!”
Sementara itu, Hok Ti Hwesio
tak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Bagus, hendak kulihat sampai
di mana kelihaian anak dari Pendekar Bodoh!”
Sambil berkata demikian, ia
lantas menyerang dengan pisau belatinya, menusuk ke arah dada Lili yang berdiri
dengan tenang. Melihat tusukan ini, Lili lalu tertawa mengejek dan sambil
mengelak gesit ia mentertawakan hwesio itu.
“Tukang sembelih babi!
Bagaimana kau berani berlagak di depan nonamu? Apakah kau masih ingin merasai
pil tanah liat lagi? Masih kurang kenyangkah yang tadi itu?” Sambil berkata
demikian, tangan Lili terayun dan dia melemparkan dua butir pil lagi yang masih
dipegangnya. Dengan cepat sekali dua butir pil itu menyambar ke arah sepasang
mata Hok Ti Hwesio!
Bukan main kagetnya Si Kepala
Gundul ini pada saat melihat dua titik hitam berkelebat menyambar matanya. Dia
cepat menundukkan mukanya, akan tetapi serangan dua butir pil tanah liat itu
benar-benar cepat sekali.
“Tak! Tak!”
Bagaikan dua buah pelor besi,
dua butir pil tanah liat itu melesat di atas kepalanya yang gundul, meski pun
tidak dapat melukai kulitnya yang kebal, namun cukup mendatangkan rasa sakit!
“Perempuan liar, kau harus
mampus!” serunya marah.
Dia langsung maju lagi
menyerang dengan cepat, menggunakan gerak tipu yang disebut Coan-jiu Ciong-kiam
(Lonjorkan Lengan Sembunyikan Pedang). Gerakan ini merupakan serangan yang
berbahaya sekali, karena ia melakukan serangan dengan pukulan tangan kanan
sambil menyembunyikan pedang kecil itu di bawah lengannya. Pedang kecil ini
siap untuk diputar dan ditusukkan apa bila pukulan itu dapat dielakkan lawan.
Akan tetapi, Lili yang sudah
menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari ayah ibunya, bahkan sudah
menerima ilmu silat warisan dari Swie Kiat Siansu yang diturunkan melalui
ayahnya, tentu saja hanya mentertawakan serangan ini. Ia maklum bahwa pedang
kecil yang tersembunyi di bawah lengan itu akan melakukan serangan lanjutan,
maka dia lalu memutar kedudukan kakinya, mengelak sambil memainkan Ilmu Silat
Sianli Utauw (Tari Bidadari) yang indah sehingga tubuhnya seakan-akan sedang
menari-nari menghadapi serangan lawannya. Mulutnya yang kecil manis itu tiada
hentinya tersenyum dan sambil menggerakkan tubuh mengerling tajam ke arah
lawannya, ia menyindir,
“Tikus gundul! Tiada guna kau
maju memperlihatkan kebodohanmu! Suruhlah Bouw Hun Ti si keparat itu keluar
untuk kuambil kepalanya!”
Hok Ti Hwesio semakin marah,
apa lagi ketika dia mendengar Wi Kong Siansu berkata sambil menudingkan jari
telunjuknya ke arah gadis itu,
“Itulah Ilmu Silat Sianli
Utauw yang lihai dari Ang I Niocu! Hok Ti, kau mundurlah karena kau tidak akan
menang menghadapi Nona ini!”
Hanya ada seorang saja di
dunia ini yang ditakuti serta ditaati oleh Hok Ti Hwesio, yakni gurunya, Ban
Sai Cinjin. Walau pun dia menghormati supek-nya ini, akan tetapi di dalam
kemarahan dan rasa penasarannya terhadap Lili ucapan supek-nya itu bahkan
semakin menambah kemarahannya.
“Biarlah, Supek. Masa teecu
tidak dapat mengalahkan perempuan liar ini?”
Ia lalu maju lagi dan kini
mengirim serangan maut bertubi-tubi. Pisau belati di tangannya
menyambar-nyambar cepat sekali dan karena ginkang-nya memang sudah sangat
tinggi, sedangkan pisau itu kecil dan ringan, ditambah tenaga lweekang-nya yang
sudah baik, maka tubuhnya lenyap berubah menjadi segunduk bayangan yang
mengurung tubuh Lili dari segenap jurusan.
Lili sudah mempelajari ilmu
silat tinggi dari ayahnya, bahkan meski pun belum sempurna seperti ayahnya,
namun dara jelita yang gagah perkasa ini sudah mengerti pula tentang dasar dan
pokok pergerakan ilmu silat, maka dengan enaknya ia menghadapi
serangan-serangan Hok Ti Hwesio.
Dia melihat hwesio itu
menyerangnya dengan gerak tipu Tiang-ging King-thian (Pelangi Panjang
Melengkung di Langit) dan pedang kecil itu menyambar di atas kepalanya, ada pun
kaki kanan hwesio itu menendang dengan cepatnya sambil mengerahkan tenaga
Kim-kong-twi (Tendangan Sinar Emas).
Melihat gerakan pedang dan
kaki yang menendang, Lili dapat menduga bahwa lawannya tentu memancing dirinya
untuk mengelakkan tendangan itu dengan gerak lompat Kim-le Coan-po (Ikan Gabus
Terjang Ombak) atau Cian-liong Seng-thian (Naga Sakti Naik ke Langit) agar
supaya tubuhnya naik ke atas hingga pedang kecil yang berkelebat di atas
kepalanya itu dapat menyerangnya dengan gerak tipu Liong-ting Thi-cu (Ambil
Mutiara di Kepala Naga).
Ia pun maklum akan
berbahayanya serangan beruntun ini, akan tetapi dasar Lili memang berhati
tabah, berwatak nakal jenaka, dan sudah memiliki perhitungan yang tepat, maka
dengan sengaja seakan-akan tak tahu bahaya, ia segera melompat ke atas
mengelakkan serangan tendangan lawan dengan Ilmu Lompat Cian-liong Seng-thian!
Hok Ti Hwesio menjadi girang
sekali melihat pancingannya ternyata berhasil dan benar saja, seperti yang
sudah diduga oleh Lili, pedang kecil di tangannya lalu menyambar dari atas,
memapaki kepala Lili dengan gerakan Liong-ting Thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala
Naga)! Satu hal yang tidak terduga oleh Lili, yaitu sambil melakukan serangan
berbahaya ini, tangan kiri Hok Ti Hwesio tidak tinggal diam dan maju memukul ke
arah dada gadis itu dengan pukulan yang mengandung tenaga Thiat-ciang-kang (Pukulan
Tangan Besi)!
Kam Seng yang melihat bahaya
mengancam gadis cantik yang diam-diam menjatuhkan cinta kasihnya itu, hampir
saja berseru ngeri karena tak terbayang olehnya bagaimana orang dapat
menghindarkan diri dari bahaya serangan sehebat itu!
Akan tetapi Lili berlaku
tenang. Ia mengangkat tangan kirinya ke atas dan menggerakkan tangannya itu
secara luar biasa sekali ke arah pedang lawan sehingga terdengar suara…
“Cringg...!”
Ternyata dia sudah berhasil
menangkis pedang lawannya itu dengan gelang emas yang melingkar di pergelangan
tangan kirinya! Ada pun pukulan ke arah dadanya itu ia sambut dengan tangan
kanannya, dengan telapak tangan dari jari-jari yang dikembangkan!
“Ah... tangan kanan itu sudah
terang mainkan Pek-in Hoat-sut akan tetapi tangan kiri itu... apakah itu yang
disebut Kong-ciak Sinna, ilmu-ilmu lihai dari Bu Pun Su?” terdengar Wi Kong
Siansu berseru kagum.
Akan tetapi, orang-orang lain
tak memperhatikan ucapan ini karena mereka lebih tertarik melihat akibat dari
dua gerakan gadis yang lihai itu. Hok Ti Hwesio tadi merasa terkejut setengah
mati ketika menyaksikan betapa gadis muda itu dapat menangkis pedangnya hanya
dengan gelang di tangannya! Akan tetapi kekagetannya itu tidak berarti apa bila
dibandingkan dengan kenyataan yang ia hadapi ketika pukulan tangan kirinya
bertumbuk dengan telapak tangan gadis itu!
Ia tidak merasa bahwa kepalan
tangannya sudah bertemu dengan telapak tangan kanan lawannya, akan tetapi dari
telapak tangan itu mengebul uap putih dan ia merasa lengan kirinya seakan-akan
hendak patah! Rasa sakit menusuk-nusuk tulang lengannya yang kiri, dan dia tahu
bahwa itu adalah akibat membaliknya tenaga pukulannya sendiri!
Sambil berseru keras hwesio
ini melompat ke belakang dan cepat menggunakan gagang pedangnya untuk menotok
urat lengan kirinya. Dengan cara demikian dia membuyarkan tenaga sendiri yang
membalik karena tangkisan gadis itu secara istimewa tadi!
“Perempuan liar! Jangan lari!”
teriak Hok Ti Hwesio dengan keras dan marah, suatu sikap untuk menutup rasa
malunya dan untuk memperbesar semangatnya.
Ia menubruk maju lagi dan kini
ia bersilat lebih hati-hati. Diam-diam ia merasa penasaran dan sedih sekali
sehingga ingin sekali dia menangis berkaok-kaok saking jengkel hatinya.
Bagaimanakah dia, Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin, yang sejak masih kecil
dengan rajin dan tekunnya mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, bahkan
sudah memiliki kekebalan dan ilmu kesaktian yang berdasarkan ilmu hitam, juga
sudah ‘bertapa’ mencari kesaktian dari makhluk halus, bermalam di tanah
pekuburan, sekarang dengan pedang di tangan tidak berdaya menghadapi seorang
gadis yang bertangan kosong?
Saking jengkelnya, ia tidak
ingat lagi akan pengalamannya yang tadi. Bila Hok Ti Hwesio tidak begitu
jengkel dan penasaran, tentu telah terbuka matanya bahwa dia menghadapi seorang
lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya.
“Hemm, tikus gundul! Binatang
rendah macam kau inikah yang hendak melawan ayah? Ha, kau perlu diberi rasa
sedikit!”
Setelah berkata demikian, Lili
mengubah caranya bersilat dan kini dia memainkan Sianli Utauw bagian yang
paling cepat. Tubuhnya seakan-akan lenyap berubah menjadi sinar kemerahan dari
bajunya yang berkembang merah itu sehingga pandangan mata Hok Ti Hwesio menjadi
pening.
Sering kali ia menyaksikan
gurunya atau supek-nya bersilat dengan hebat, akan tetapi belum pernah melihat
yang secepat ini. Dia lalu mengamuk dan menggunakan pedang kecilnya menyambar
ke arah bayangan tubuh lawannya. Akan tetapi tiap kali pedangnya menyerang, xia
merasa hanya mengenai angin belaka karena lawannya sudah berhasil mengelak
lebih dulu. Dan sebagai imbangannya…
“Tokk!” terdengar suara ketika
kepalanya telah kena diketok oleh jari tangan Lili.
Beberapa puluh jurus mereka
bertempur dan entah sudah beberapa belas kali terdengar suara ‘tak-tok!
tak-tok!’ karena selalu tangan atau pun kaki Lili berkenalan dengan kepala yang
gundul klimis itu.
Gadis ini benar-benar merasa
kagum dan heran. Ketokan, pukulan, dan tendangannya itu dilakukan dengan tenaga
lweekang yang penuh dan kuat luar biasa. Jangankan baru kepala orang, biar pun
kepala patung batu akan pecah atau retak terkena serangan ini. Bagaimanakah
hwesio ini dapat menerima semua pukulan itu dengan adem-adem saja, seakan-akan
yang hinggap di kepalanya hanyalah lalat-lalat belaka?
Sebaliknya, Hok Ti Hwesio
menjadi demikian mendongkol, malu, penasaran dan marah sehingga tak terasa lagi
dari kedua matanya keluar dua titik air mata yang besar-besar! Bukan main
gemasnya karena kepalanya dibuat main bola oleh gadis ini, dan biar pun ia
dapat menahan pukulan itu, namun tetap saja ia merasa sedikit puyeng!
Wi Kong Siansu khawatir
kalau-kalau murid keponakan ini akan mendapat luka di dalam otaknya akibat
pukulan-pukulan lihai itu, maka dia segera membentak, “Hok Ti! Mundur kau...!”
Kali ini Hok Ti Hwesio tidak
membangkang, karena di dalam suara supek-nya terdengar perintah yang amat
keras. Lagi pula, tadinya dia hendak mengadu nyawa karena merasa malu untuk
mengundurkan diri mengaku kalah setelah dia tadi bersumbar, kini ia melihat
kesempatan baik karena supek-nya yang memerintahnya mundur!
Dengan gerak lompatan Naga
Hitam Berjungkir Balik ia melompat ke belakang, membuat poksai (salto) tiga
kali dan tiba-tiba ketika tubuhnya masih berjumpalitan itu, pisau belati yang berada
di tangannya telah ia lontarkan ke arah Lili!
Inilah keistimewaan Hok Ti
Hwesio. Pedang kecil atau pisau belati itu lantas menyambar dengan cepatnya,
merupakan sinar putih yang mengkilap menuju ke arah leher Lili yang sama sekali
tidak menduganya. Akan tetapi, dengan tenang sekali dan masih tersenyum, Lili
mengangkat tangan kiri ke depan leher dan dengan gerak tipu Kwan-im-siu-koai-to
(Dewi Kwan Im Menyambut Golok Siluman) ia telah dapat menangkap hui-kiam
(pedang terbang) itu dan berbareng pada saat itu juga, dia mengirim pulang
pedang itu dengan melontarkannya ke arah perut Hok Ti Hwesio disusul suara
ejekannya,
“Nah, makanlah pisau
penyembelih babimu ini!”
Baru saja tubuh Hok Ti Hwesio
melompat turun, pisaunya telah terbang dan menyambar perutnya yang kecil karena
jarang makan itu. Dia terkejut sekali sehingga tidak sempat mengelak atau
menangkis, maka dia cepat mengerahkan kekebalannya ke tempat yang terserang itu
dan…
“Brett!” hanya pakaiannya
sajalah yang terobek oleh pisau itu, akan tetapi kulitnya lecet pun tidak!
“Terlalu enak bagimu!” Lili
berseru penasaran dan sambil melangkah maju dua tindak, ia melancarkan pukulan
Pek-in Hoat-sut ke arah hwesio itu dengan kedua lengannya!
“Celaka!” seru Wi Kong Siansu.
Dari tempatnya tosu ini segera
menggerakkan ujung kedua lengan bajunya menangkis serangan angin pukulan yang
sudah dilancarkan oleh Lili. Akan tetapi, masih tetap saja sebagian tenaga
pukulan ini menyerang Hok Ti Hwesio sehingga hwesio itu terpental menubruk
dinding di belakangnya yang terpisah tiga tombak lebih dari padanya!
Kalau saja pukulan ini tak
tertahan oleh angin tangkisan Wi Kong Siansu, maka tak dapat diharapkan Hok Ti
Hwesio akan dapat bernapas lagi. Walau pun dia kebal, akan tetapi pukulan
Pek-in Hoat-sut menembus semua kekebalan dan merusak tubuh bagian dalam. Kini
Hok Ti Hwesio juga terluka, akan tetapi tidak terlalu parah dan tidak
membahayakan jiwanya, hanya cukup membuat dia terduduk mengeluh panjang pendek
sambil berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk memulihkan lukanya.
“Ganas, ganas...!” kata Wi
Kong Siansu sambil memandang kepada Lili. “Tidak kusangka bahwa Pek-in Hoat-sut
dari Bu Pun Su yang budiman dan penuh hati welas asih itu kini dipergunakan
oleh cucu muridnya secara demikian kejam!”
Lili tersenyum manis dan
menjura kepada Wi Kong Siansu, lalu ia pun berkata, “Wi Kong Siansu, aku yang
muda sudah sering kali mendengar namamu yang besar sebagai orang yang
berkepandaian tinggi. Ucapanmu tadi memang kuakui ada benarnya, akan tetapi
agaknya kau orang tua sudah menjadi pikun dan lupa akan ejekan orang-orang
jaman dahulu yang berbunyi: peluh orang lain berbau busuk, akan tetapi kotoran
sendiri berbau sedap! Tadi mudah saja kau mencela aku yang muda, bahkan membawa
nama Sucouw Bu Pun Su. Akan tetapi, bukankah tikus gundul itu murid keponakanmu
sendiri? Kenapa kau tidak mencelanya sama sekali? Apakah kau anggap bahwa
perbuatannya terhadap aku tadi cukup pantas?”
Merahlah wajah Wi Kong Siansu
mendengar ucapan ini. Ia tidak tahu bahwa Lili memang semenjak kecil gemar berkelahi
dan karena sering kali bertengkar, maka ia juga menjadi pandai berdebat! Apa
lagi karena dia sering kali mendengar ayahnya memberi nasehat dengan segala
macam ujar-ujar kuno, maka ujar-ujar yang kiranya dapat dia pergunakan untuk
‘memukul’ lawan, telah hafal di dalam kepalanya.
Dengan kata-katanya yang
lantang itu, gadis ini sama sekali tidak memandang muka Wi Kong Siansu sehingga
tosu itu menjadi penasaran sekali. Ia merasa ditantang!
“Hemm, Nona muda, biar pun kau
puteri Pendekar Bodoh, tak selayaknya kau bersikap begini sombong di hadapan
Toat-beng Lo-mo! Agaknya ayahmu hanya memberi didikan ilmu silat saja kepadamu,
sama sekali tidak memberi pelajaran mengenai tata susila dan sopan santun!”
Kembali Lili tersenyum lebih
manis lagi. Semakin manis senyum gadis ini, maka semakin berbahayalah dia,
karena itu merupakan tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya dan berada dalam
keadaan yang amat waspada.
“Totiang, orang-orang dulu
yang lebih tua dari padamu telah menyatakan bahwa manusia dihormat oleh sesamanya
bukan karena keputihan rambutnya (usia tua), melainkan dari keputihan hatinya
(budiman).”
Mulai bersinar pandang mata Wi
Kong Siansu. “Bocah lancang mulut! Apakah kau mau menyatakan bahwa kau anggap
aku seorang jahat?”
“Tak ada sangka-menyangka dalam
hal ini, Totiang,” kata Lili sambil mengerling ke arah Kam Seng dengan
pandangan mengejek. “Ayah pernah berkata bahwa burung gagak hanya akan berkawan
dengan mayat, sedangkan burung Hong hanya berkawan dengan burung sorga! Aku
tidak berani menyatakan atau menyangka bahwa Totiang dan semua orang di sini
jahat pula, akan tetapi aku berani menyatakan bahwa orang-orang yang bernama
Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, yang keduanya tinggal di tempat ini juga adalah
binatang-binatang rendah yang harus dimusnakan dari muka bumi ini!”
Ucapan ini terasa bagai
tamparan pedas di muka Wi Kong Siansu, akan tetapi terhadap Kam Seng merupakan
ujung pedang yang menikam di ulu hatinya. Mukanya yang tadi merah sekarang
berubah menjadi pucat.
Wi Kong Siansu berkata lagi,
“Hemm, kau masih kanak-kanak akan tetapi mulutmu jahat sekali. Sikapmu
menantang kepadaku, akan tetapi aku masih malu untuk menghadapi seorang anak
kecil seperti kau. Kam Seng, kau wakili aku dan coba kau uji kepandaian Nona
ini!”
Kam Seng tidak berani membantah.
Gurunya sudah tahu bahwa sebelum dia datang di tempat itu, ia adalah suheng
dari gadis ini, maka kalau sekarang ia memperlihatkan sikap ragu-ragu dan
membantah, tentu gurunya akan menaruh hati curiga kepadanya. Pula, Lili adalah
anak dari musuh besarnya yang harus pula ia balas, sungguh pun cara membalas
dendam terhadap Lili telah ada rencana lain dalam otaknya!
Dia amat sayang kalau nona
yang begini cantik manis sampai terbinasa. Akan lebih baik kalau dia dapat
mengambil nona ini menjadi isterinya! Bukan karena cinta kasih murni, akan
tetapi hanya untuk mempermainkan anak musuh besarnya!
Sambil menekan debar
jantungnya, Kam Seng segera melangkah maju sambil mencabut pedangnya.
“Lili,” katanya dengan suara
tenang, “kau sudah berani menghina Suhu. Lekas cabutlah pedangmu itu dan mari
kita main-main sebentar. Hendak kulihat apakah kepandaianmu sesuai dengan
kesombonganmu ini!”
Lili tidak menjawab, bahkan
dia lalu menatap pemuda itu dan memandang dengan penuh perhatian dari kepala
sampai ke kaki. Ia melihat pemuda ini sekarang nampak tampan dan gagah, mukanya
putih terawat, rambutnya tersisir rapi dan diikat ke atas. Pakaiannya bersih
dan terbuat dari sutera mahal, baju warna merah dengan leher kuning emas dan
celana warna biru. Alangkah jauh bedanya dengan Kam Seng yang dulu itu! Dulu
hanya seorang pengemis kelaparan dan kurus kering, berpakaian compang-camping
dan kotor.
“Hemm, Kam Seng, kau
benar-benar sudah memperoleh kemajuan hebat! Pakaianmu itu semewah keadaan
dalam ruangan ini! Hanya sayangnya, tidak semua keadaan di luar mencerminkan
keadaan di dalam! Banyak kutemui keindahan luar yang hanya menjadi kedok dari
pada kebobrokan di sebelah dalam!” Suara ini dikeluarkan dengan bibir masih
tersenyum simpul, seolah-olah ia adalah seorang dewasa yang sedang memberi
nasehat kepada seorang anak kecil.
“Sudahlah, Lili, jangan banyak
cakap lagi,” Kam Seng menjawab dengan muka kemerah-merahan. “Tidak ada gunanya
bertanding kata-kata, cabutlah pedangmu!”
“Lagakmu seperti orang gagah
saja!” Lili masih menyindir dan dengan gerakan perlahan dia mengeluarkan sebuah
kipas dari dalam bajunya, membuka kipas itu lalu mengipasi tubuhnya yang tidak
gerah!
Bagi pandangan orang lain dan
juga Kam Seng, agaknya sikap Lili ini memandang rendah sekali kepada lawannya.
Bahkan Kam Seng tidak mengira bahwa gadis itu akan menghadapinya dengan kipas
di tangan!
“Lili, lekas kau keluarkan
pedangmu. Aku tak mau menyerang orang bertangan kosong!” Ucapan ini sengaja
dikeluarkan dengan keras untuk memberi tamparan kepada Hok Ti Hwesio yang
dibencinya.
Akan tetapi Lili hanya
tersenyum saja dan mengipasi tubuhnya makin cepat lagi. “Untuk menghadapi
seekor lalat, cukup dengan sehelai kipas!” katanya.
Tidak seperti Kam Seng dan
orang-orang lainnya, Wi Kong Siansu memandang kepada kipas di tangan Lili itu
dengan penuh perhatian. Bukan kipasnya yang menarik perhatian tosu ini,
melainkan cara jari tangan gadis itu memegang kipas itu.
Orang lain apa bila memegang
kipas tentu gagangnya digenggam di telapak tangan di antara empat jari dan ibu
jari. Akan tetapi Lili memegang kipas itu dengan gagang dijepit antara ibu jari
dan telunjuk, sedangkan tiga jari tangan yang lain lurus dan tegang!
Berdebarlah dada tosu ini
karena pegangan ini mengingatkan ia akan jago tua di utara, yaitu Swie Kiat Siansu,
ahli Kipas Maut! Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya. Bagaimana gadis ini bisa
menjadi murid Swie Kiat Siansu?
“Kam Seng, jangan pandang
ringan kipas itu, kau seranglah!” katanya kepada muridnya.
Lili diam-diam memuji
ketajaman mata tosu itu, sedangkan Kam Seng menjadi terkejut dan memperhatikan
kipas di tangan Lili. Kipas itu gagangnya berwarna putih kekuningan seperti
tulang. Ia dapat menduga bahwa kalau kipas ini dipergunakan sebagai senjata,
tentu gagang kipas itu terbuat dari pada gading yang keras. Layar atau
permukaan kipas entah terbuat dari apa, kekuningan pula akan tetapi telah
digambari gunung dan sungai dan ditulisi syair pula.
Ia masih merasa ragu-ragu.
Bagaimanakah kipas sekecil itu akan dipergunakan sebagai senjata? Akan tetapi karena
suhu-nya telah menyuruhnya menyerang, ia lantas bergerak maju.
“Awas pedang!” teriaknya dan
menyeranglah dia dengan gerak tipu Liu-seng Kan-goat (Bintang Mengejar Bulan),
sebuah gerak tipu serangan yang cukup berbahaya.
Laksana sebuah bintang, ujung
pedang itu bergerak secara berantai dan dapat mengejar terus kemana saja
sasarannya bergerak. Kini yang dijadikan sasaran oleh pedangnya adalah pundak
kanan Lili. Dengan memilih sasaran pundak kanan, Kam Seng hendak menyatakan
bahwa dia tidak berniat jahat atau hendak menewaskan gadis itu. Dengan
menyerang pundak, maka ia memberi banyak kesempatan kepada Lili untuk mengelak.
Akan tetapi, ternyata Lili
sama sekali tak mengelak, bahkan menanti datangnya serangan ini dengan senyum
mengejek. Kam Seng terkejut sekali. Betapa pun juga, dia tidak bisa membatalkan
serangannya karena hal ini akan membikin marah suhu-nya dan biar pun hanya
pundak, kalau terkena pedangnya tentu akan terluka hebat juga! Serangannya ini
amat cepat dan dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya.
Pada waktu ujung pedang Kam
Seng sudah berada dekat sekali dengan baju Lili yang menutup pundak, tiba-tiba
gadis itu yang masih saja mengipasi tubuhnya dengan kipas lalu mengubah gerakan
kipasnya dan kini dia mengebut ke arah pedang Kam Seng yang ujungnya sudah
mendekati pundaknya.
Kam Seng hampir mengeluarkan
seruan keras saking kagetnya. Gerakan dengan kipas di tangan yang sangat
sederhana namun luar biasa sekali, dibarengi penyerangan yang luar biasa pula.
Sekaligus kipas itu telah melakukan tiga gerakan yang luar biasa.
Permukaan kipas menangkis
ujung pedang, lalu kebutannya mendatangkan angin yang menyambar wajahnya
sehingga membuat ia tak dapat membuka mata, dan gagang kipas dari gading itu
cepat sekali melakukan totokan berbahaya ke arah pergelangan tangan kanannya
yang memegang pedang!
“Lihai sekali...!” terdengar
Wi Kong Siansu berseru kagum. “Aku berani bertaruh bahwa ini tentulah Ilmu
Kipas Maut dari Swie Kiat Siansu!”
Sementara itu Kam Seng yang
lincah gerakannya telah dapat melompat mundur dan wajahnya menjadi pucat.
Karena tadi memandang rendah hampir saja ia terkena totokan hanya dalam
segebrakan saja. Sedangkan Lili makin kagum mendengar ucapan Wi Kong Siansu
yang ternyata dapat mengenal ilmu silatnya demikian cepatnya.
Kam Seng berlaku hati-hati dan
kini ia tidak berlaku sheji (sungkan) lagi. Ia mengerahkan kepandaiannya dan
menyerang dengan cepat, mempergunakan Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut, yaitu ilmu
pedang ciptaan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang amat ganas dan selain kuat
juga amat cepat gerakannya.
Diam-diam Lili kagum juga
melihat ilmu pedang ini. Sayang dia sudah berkumpul dengan orang-orang jahat,
pikirnya. Bila ia terus terdidik oleh orang baik-baik, tentu ilmu sitatnya akan
amat berguna.
Sama sekali Lili tidak tahu
bahwa sesungguhnya dasar ilmu silat Kam Seng ia dapat dari pendidikan Mo-kai
Nyo Tiang Le. Hanya ilmu pedangnya ini memang pelajaran dari Wi Kong Siansu.
Agaknya pemuda ini merasa malu untuk mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari
dari Nyo Tiang Le guna menghadapi gadis ini.....
Lili maklum bahwa ilmu
kepandaian Kam Seng lebih baik dan lebih berbahaya dari pada Hok Ti Hwesio.
Perbedaan yang amat mencolok antara kedua orang ini ialah bahwa Hok Ti Hwesio
mendasarkan kepandaiannya untuk daya tahan, tubuhnya kebal, pertahanan pun
kuat, bahkan batok kepalanya juga dapat menahan pukulan maut.
Sebaliknya, Kam Seng
mendasarkan kepandaiannya pada daya serang. Serangan yang dilancarkan pemuda
ini sangat berbahaya dan cepat, tidak memberi banyak kesempatan kepada lawan.
Akan tetapi, daya tahannya tidak sekuat Hok Ti Hwesio.
Ilmu Kipas Maut yang dia
warisi dari Swie Kiat Siansu adalah semacam ilmu silat yang luar biasa sekali,
dan disebut ilmu silat San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air). Kipas yang
dulu dipergunakan oleh Swie Kiat Siansu adalah kipas yang layarnya terbuat dari
pada kulit harimau, akan tetapi sebagai seorang gadis, Lili tidak suka
menggunakan kipas yang buruk rupa.
Ia sengaja membuat kipas yang
kecil dan indah bentuknya, dengan layar dari kain tebal yang dilukisi dan
ditulisi syair. Dengan demkian, kipasnya ini tidak saja dapat digunakan untuk
senjata, akan tetapi juga dapat dipakai untuk pemantas dan untuk mencari angin
sejuk. Lukisan di atas kipasnya ini indah sekali dan syairnya ditulis sendiri
oleh ayahnya, maka Lili merasa sayang sekali kepada kipas ini.
Dalam perkelahian menghadapi
lawan, baru kali ini ia mempergunakan kipas ini, maka ia berlaku amat hati-hati
agar jangan sampai lukisan pada kipas itu menjadi rusak. Maka ia lalu menutup
kipasnya, dan hanya mempergunakan gagangnya saja untuk menghadapi Kam Seng.
Hal ini tidak saja
memperlambat kemenangannya, bahkan membuat ia sukar sekali untuk menjatuhkan
lawannya. Kalau kipas itu dibuka, maka senjata istimewa ini menjadi tiga kali
lipat lebih berbahaya, karena gagangnya berubah menjadi dua pada kanan kiri
yang keduanya dapat dipergunakan untuk menotok. Permukaan kipas dapat digunakan
untuk mengacaukan pandangan mata musuh, bahkan angin kipasannya saja dapat
membuat lawan menjadi bingung. Dengan menutup kipas itu, maka senjata ini hanya
merupakan sebuah gagang yang digerakkan untuk menangkis atau mengirim serangan
totokan.
Sebelum berguru kepada Wi Kong
Siansu, terlebih dahulu Kam Seng telah mendapatkan gemblengan dari Mo-kai Nyo Tiang
Le dan ia telah sering menderita sehingga ia menjadi tekun sekali melatih
lweekang, maka ilmu pedangnya kini sama sekali tak dapat dibilang rendah
tingkatnya.
Kalau saja Lili tidak sayang
kepada kipasnya dan melayaninya dengan kipas terbuka, maka dapat dipastikan
bahwa kurang dari dua puluh jurus saja Kam Seng akan sanggup dirobohkan
olehnya. Akan tetapi karena Lili menghadapinya dengan kipas tertutup, maka
pertempuran berjalan sengit dan ramai sekali.
Tetapi masih saja Lili selalu
berada pada pihak penyerang, karena dengan pengertiannya akan dasar dan pokok
pergerakan ilmu silat, gadis ini dapat menduga gerakan-gerakan dan perkembangan
serangan lawan lantas dapat mendahuluinya. Berbeda dengan ketika melawan Hok Ti
Hwesio, Lili tidak mau mengejeknya dan tidak mau mempermainkannya pula, sebab
di dalam hatinya tidak terkandung kebencian terhadap Kam Seng, hanya ada
penyesalan dan kekecewaan besar melihat pemuda itu tersesat.
Setelah bertempur hampir lima
puluh jurus, perlahan akan tetapi pasti Lili mulai berhasil mendesak Kam Seng.
Pemuda ini merasa penasaran sekali, karena bagaimanakah Lili dapat berkelahi
sedemikian kuatnya dengan hanya bersenjatakan sebuah kipas kecil? Ia lalu
mengerahkan ilmu silat yang ia pelajari dari Mo-kai Nyo Tiang Le, akan tetapi
sia-sia belaka. Kipas Lili betul-betul hebat sekali dan ujung gagang gading itu
selalu mengancam jalan darahnya.
Pada waktu pedangnya
berkelebat membabat pinggang Lili dan dapat ditangkis oleh Lili yang
mementalkan gagang gadingnya kemudian membalas dengan totokan ke arah iga,
terpaksa Kam Seng harus menjatuhkan diri ke bawah dengan gerak tipu Harimau
Lapar Mengintai Korban. Dengan amat cepatnya, ia langsung menggerakkan pedang
menyapu pergelangan kaki gadis itu.
Menghadapi serangan ini, Lili
memperlihatkan kepandaiannya yang amat mengagumkan. Ia tidak melompat ke atas
untuk menyelamatkan kakinya, bahkan dengan berani dia lalu memapaki datangnya
pedang ini dengan gerakan kaki yang dinamakan gerak tipu Dewa Bumi Menginjak
Ular.
Kaki kanannya dengan kecepatan
luar biasa dan dari arah atas menyerong ke bawah dapat menyambut permukaan
pedang dan sambil meminjam tenaga serangan lawan, dia menekan dan menggerakkan
tenaga lweekang pada kakinya yang terus menindih dan menginjak pedang itu di
atas tanah!
Kam Seng terkejut sekali. Dia
cepat mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia belaka.
Pedangnya itu seakan-akan sudah terjepit dan tertindih oleh batu karang yang
berat sekali sehingga tidak dapat terlepas dari tindihan kaki Lili yang memandangnya
sambil tersenyum! Kemudian, gagang kipas gading di tangan Lili cepat menyambar
turun, menotok ke arah pundak kanan Kam Seng.
Melihat datangnya totokan yang
amat berbahaya ini, terpaksa pemuda itu melakukan hal yang membuatnya mendapat
malu dan yang sekaligus menyatakan kekalahannya. Yaitu dia melepaskan gagang
pedangnya dan menggulingkan tubuhnya ke belakang dengan gerakan Trenggiling
Turun dari Lereng! Dia dapat menghindarkan diri dari totokan, akan tetapi dia
harus melepaskan pedangnya yang berarti bahwa dia telah kalah!
Dengan muka merah dia melompat
bangun dan berdiri menundukkan muka, akan tetapi diam-diam dia amat mengagumi
gadis puteri musuh besarnya itu.
“Hebat...! Hebat...!” kata Wi
Kong Siansu sambil melangkah maju menghadapi Lili yang masih menginjak pedang.
Sekali tosu tua ini
mengebutkan ujung lengan bajunya, maka tubuhnya merendah dan ujung lengan baju
melibat gagang pedang itu bagaikan seekor ular. Lalu dia membetot keras akan
tetapi mukanya tiba-tiba menjadi merah ketika merasa bahwa pedang itu tak dapat
terbetot dari injakan kaki Lili!
Dia terkejut dan diam-diam dia
kagum sekali karena ternyata bahwa tenaga injakan itu betul-betul hebat. Ia
segera dapat menduga bahwa gadis ini tentu menggunakan tenaga Thai-san-cui,
karena hanya dengan ilmu pengerahan tenaga ini sajalah betotannya dapat
tertahan.
Kakek ini tersenyum-senyum,
kemudian berseru, “Lepas!”
Dia lalu mengerahkan tenaga
Im-yang-cui. Tenaga betotannya kali ini bukanlah tenaga membetot semata, sebab
ujung bajunya itu membetot dengan tenaga terbalik, yaitu justru mendorong
pedang itu ke depan, kemudian di tengah-tengah dorongannya ini, barulah ia
menarik keras. Inilah tenaga Im-yang-cui yang sifatnya bertentangan, akan
tetapi dapat dipergunakan dengan berbareng, maka kehebatannya pun luar biasa
sekali.
Lili maklum bahwa ia tidak
dapat mempertahankan injakannya lagi, maka tiba-tiba saja ia melepaskan tenaga
injakannya sambil berbareng menekuk jari kakinya, yaitu ibu jari dan jari
kedua, lalu jari-jari kakinya itu menggunakan gerakan menyentik pedang itu!
Memang gadis ini selain nakal,
juga mempunyai banyak akal dan lihai sekali. Biar pun jari kakinya tersembunyi
di dalam sepatu kain, dan tenaganya dapat berkurang karenanya, namun dia masih
dapat melakukan gerakan yang lihai ini. Pedang itu yang terbetot oleh ujung
lengan baju Wi Kong Siansu, ditambah dengan tenaga menyentik dari jari kaki
Lili, tiba-tiba bergerak membalik dan seakan-akan terbang menuju ke arah leher
tosu itu!
Kini Wi Kong Siansu yang
maklum akan demonstrasi yang diperlihatkan oleh gadis itu, tidak mau ‘kalah
muka’! Melihat datangnya pedang yang melayang ke arah lehernya, dia kemudian
merendahkan tubuh dan membuka mulutnya. Pedang itu dengan tepat sekali memasuki
mulutnya dan tergigitlah ujung pedang itu oleh gigi si kakek yang lihai!
Semua orang langsung memandang
dengan melongo melihat betapa gagang pedang itu bergoyang-goyang seakan-akan
pedang itu telah menancap di batang pohon! Lili sendiri pun merasa amat kagum
dan terkejut karena makin maklum bahwa dia kini menghadapi seorang tosu yang
berilmu tinggi sekali.
Dengan tenang Wi Kong Siansu
mengambil pedang itu dari mulutnya, kemudian sambil tersenyum-senyum kepada
Lili dia pun berkata,
“Siancai... Sungguh seorang
gadis yang lihai, cerdik, nakal dan tabah sekali! Nona, kau masih begini muda,
akan tetapi telah mewarisi kepandaian Pendekar Bodoh, bahkan kau sudah mewarisi
kepandaian Swie Kiat Siansu! Tak percuma kau menjadi puteri Pendekar Bodoh!
Akan tetapi pinto (aku) tidak ingin bertanding melawan seorang anak-anak
seperti kau. Lebih baik kau pulang saja dan kalau memang kau ingin mengacau
rumah tangga kawan-kawanku, suruhlah ayahmu yang datang ke sini.”
“Totiang, kau bilang tidak
ingin bertanding melawan aku, sebaliknya siapakah yang ingin bertempur dengan
kau? Telah kukatakan bahwa kedatanganku bukan hendak berurusan dengan kau, dan
juga aku tidak butuh sesuatu dari Kam Seng atau si kepala gundul itu! Aku hanya
perlu mencari manusia busuk yang bernama Bouw Hun Ti untuk kupenggal lehernya
dan kubawa pulang kepalanya!”
Pada waktu itu, Bouw Hun Ti
tidak berada di kelenteng itu. Bahkan dia tidak ada pula di dusun Tong-sin-bun,
oleh karena orang she Bouw ini semenjak beberapa hari yang lalu telah pergi
jauh ke utara.
Bouw Hun Ti memang seorang
yang amat cerdik dan hati-hati. Biar pun ia telah berhasil mengundang datang Wi
Kong Siansu untuk memperkuat kedudukannya, namun ia masih berkhawatir juga.
Sesudah berunding dengan suhu-nya dan supek-nya itu dan mendapat persetujuan,
ia lalu berangkat ke utara untuk mengunjungi tiga orang sahabat baiknya yang
berilmu tinggi, yaitu yang disebut Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek
dari Hailun).
Ketiga orang ini adalah
orang-orang yang aneh dan sakti dan yang tinggal di Hailun, yaitu sebuah kota
di daerah Mancuria. Bouw Hun Ti mengunjungi mereka untuk membujuk mereka agar
datang kemudian bersama-sama menghancurkan Pendekar Bodoh beserta
kawan-kawannya. Ia mempunyai harapan besar untuk mendapat bantuan ketiga orang
ini yang masih terhitung keluarga dari Panglima Mongol yang bernama Balaki dan
yang dulu tewas dalam perang ketika orang Mongol menyerbu ke selatan.
Mendengar kata-kata Lili yang
menyatakan hendak memenggal leher Bouw Hun Ti, Wi Kong Siansu lalu tertawa.
“Ahh, sungguh kau sombong
sekali, Nona. Belum tentu Bouw Hun Ti akan sedemikian mudahnya menyerahkan
lehernya untuk kau sembelih! Lagi pula, pada saat ini murid keponakanku itu
tidak berada di sini.”
“Bohong!” seru Lili marah.
“Totiang, kau ingatlah. Walau pun aku tidak ingin bermusuhan dengan kau orang
tua, akan tetapi kalau engkau hendak menyembunyikan dan membela keparat Bouw
Hun Ti, terpaksa aku berlaku kurang ajar!”
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa terkekeh-kekeh dari dalam kelenteng, disusul dengan mengebulnya asap
hitam diikuti berkelebatnya tubuh seorang tua pendek gemuk yang berpakaian
mewah. Ban Sai Cinjin telah datang pula sambil membawa huncwe-nya yang
mengebulkan asap hitam, tanda bahwa dia sudah siap untuk bertempur!
Bagaimanakah orang ini bisa datang ke kelenteng itu pada waktu malam gelap?
Sebagaimana sudah diceritakan
di bagian depan, hampir semua rumah penginapan dan toko-toko besar di dusun
Tong-sin-bun adalah milik dari Ban Sai Cinjin. Demikian pula rumah penginapan
di mana Lili bermalam, adalah rumah penginapan orang tua ini pula.
Ketika menyaksikan kecantikan
Lili, para pengurus hotel segera memberi laporan kepada Ban Sai Cinjin yang
mata keranjang dan rnemang berwatak sebagai bandot tua. Ia amat gembira
mendengar bahwa di hotel itu bermalam seorang gadis cantik jelita. Penuturan
pengurus rumah penginapan itu bahwa gadis ini nampaknya berkepandaian tinggi,
malah membuat hatinya makin gembira.
“Ha-ha-ha! Inilah yang selama
ini kucari-cari,” katanya. “Aku telah merasa bosan dengan gadis-gadis yang
lemah. Aku sudah bosan dengan bunga-bunga harum yang mudah layu dan rontok. Aku
menghendaki bunga hutan, bunga liar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi ketika dia
mendengar bahwa gadis itu keluar dari kamar tanpa diketahui ke mana perginya,
dan ditunggu-tunggu belum juga kembali, maka mulai curigalah hati Ban Sai
Cinjin. Di dusun sekecil Tong-sin-bun, orang dapat melancong ke manakah? Apa
lagi seorang gadis muda!
Dia lalu teringat akan
penuturan pengurus hotel bahwa gadis itu berkepandaian silat, dan karena Ban
Sai Cinjin merasa bahwa dia mempunyai banyak musuh yang mendendam sakit hati
kepadanya, maka ia lalu berlaku waspada.
Digantinya tembakau pada
huncwe-nya dan ia lalu berlari cepat menuju ke kelenteng di tengah hutan itu.
Benar saja, dia melihat gadis cantik jelita itu sedang berada di dalam kelentengnya
dan mengucapkan ancaman terhadap muridnya Bouw Hun Ti.
Ia kemudian tertawa dan
melompat masuk, dan sambil menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan kecantikan
yang luar biasa dari gadis itu ia berkata,
“Nona, kau mencari Bouw Hun
Ti? Ha-ha-ha, muridku ini sedang pergi jauh. Biarlah aku mewakilinya
menyambutmu yang sudah datang dari tempat jauh. Kalau aku tahu, tentu kau tidak
kuperbolehkan mendiami kamar hotelku yang kecil itu, akan kusediakan kamar
besar dan mewah di rumahku. Ha-ha-ha!”
Melihat munculnya orang tua
itu, maklumlah Lili bahwa dia harus melawan mati-matian, karena dia tahu akan
kelihaian dan kejahatan Ban Sai Cinjin.
“Hemm, aku tahu siapa kau ini.
Ban Sai Cinjin, aku memang datang untuk memenggal leher muridmu Bouw Hun Ti,
untuk membalas dendamku ketika aku terculik olehnya pada waktu aku masih kecil
dan terutama sekali untuk membalas dendam karena dia sudah membunuh kakekku,
yaitu Yo Se Fu!”
“Mudah saja, mudah. Marilah
kau ikut aku ke rumah, dan sementara menanti datangnya Bouw Hun Ti, kita makan
minum untuk menghormat kedatanganmu!”
Lili maklum bahwa orang tua
ini mencari perkara. Menghadapi Ban Sai Cinjin tidak boleh gegabah, apa lagi di
situ terdapat Wi Kong Siansu yang menjadi suheng dari orang tua mewah ini, maka
kalau tidak diserang, lebih baik jangan mencari penyakit sendiri.
“Ban Sai Cinjin, kata-katamu
sama hitamnya dengan tembakaumu yang berbau busuk! Siapa mau meladeni orang
seperti kau? Kalau Bouw Hun Ti si jahanam itu tidak berada di sini, sudahlah!”
Ia lalu menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ.
Akan tetapi tiba-tiba Ban Sai
Cinjin bergerak maju menghadang di tengah jalan.
“Ha-ha-hi-hi, enak saja kau
mau pergi dari sini! Kau berani datang ke kelentengku tanpa kupanggil, dan kau
datang dengan maksud jahat, apakah aku harus membiarkan kau berlaku sesuka
hatimu? Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani membuka mulut
besar hendak membunuh muridku. Siapakah adanya kau yang sombong ini?”
“Suhu, dia adalah puteri dari
Pendekar Bodoh dan tadi pun dia hampir saja membunuh teecu!” tiba-tiba Hok Ti
Hwesio berkata sambil menudingkan jarinya ke arah Lili dengan pandangan marah.
Hwesio muda ini ingin sekali suhu-nya membalaskan hinaan yang dia alami tadi.
Merah muka Ban Sai Cinjin
mendengar ini. Apa bila gadis ini sudah dapat mengalahkan Hok Ti Hwesio, itu
tandanya bahwa kepandaian gadis ini tidak boleh dibuat gegabah. Dia menengok
kepada Kam Seng dan Wi Kong Siansu dengan heran.
“Ada Suheng dan Kam Seng di
sini, bagaimana dia bisa mengganggu Hok Ti?”
Kam Seng buru-buru berkata,
“Teecu juga sudah kena dikalahkan oleh Nona ini.”
“Hemm, hemm, lihai juga,” Ban
Sai Cinjin mengangguk-angguk. “Baiknya Suheng belum turun tangan, biarlah aku
yang meringkus bocah ini!” Sambil berkata demikian, dengan gerakan yang tak
terduga-duga, Ban Sai Cinjin cepat mengulurkan tangan kirinya hendak menangkap
pundak Lili.
Gadis itu segera mengelak dan
menggunakan kipasnya yang masih dipegangnya untuk mengebut dan menotok
pergelangan tangan lawan yang diulur itu. Ban Sai Cinjin hanya tersenyum-senyum
saja dan sama sekali tidak mau mengelak. Kakek ini sudah memiliki kekebalan
yang melebihi Hok Ti Hwesio sehingga dia tidak takut akan segala totokan biasa
saja.
“Awas, Sute!” seru Wi Kong
Siansu yang maklum bahwa sute-nya memandang rendah kepada gadis muda itu.
Akan tetapi sudah terlambat,
karena ujung gagang kipas di tangan Lili dengan tepat telah menotok jalan darah
di pergelangan tangan Ban Sai Cinjin. Kakek ini cepat mengerahkan kekebalannya,
akan tetapi dia segera menjerit karena kaget dan kesakitan, dan alangkah
terkejutnya ketika ia merasa betapa lengan kirinya menjadi lumpuh!
Bukan main hebatnya totokan
yang tadi dilancarkan oleh kipas Lili ini, sehingga dia dapat mematahkan
kekebalan Ban Sai Cinjin dan masih dapat menembusi kulit tebal itu untuk
mencari sasarannya.
Sambil berseru keras, Ban Sai
Cinjin melompat ke belakang dan cepat dia menggunakan tangan kanannya untuk
mengetok kemudian mengurut lengan kirinya, dan dengan cepat dia dapat
membebaskan lengan kirinya dari pengaruh totokan yang lihai itu!
Lili juga terkejut dan kagum
sekali. Totokannya tadi berbahaya dan dapat menewaskan seorang lawan, akan
tetapi kakek itu tidak menjadi roboh dan bahkan dapat memulihkan kembali jalan
darahnya dengan cepat.
“Kurang ajar!” teriak Ban Sai
Cinjin dengan marah sekali sehingga mukanya yang merah itu berubah menjadi
pucat sekali. “Kau ganas dan liar, harus mampus di tanganku!”
Cepat seperti harimau menerkam
ia lalu menubruk maju dan menggerakkan huncwe-nya mengetok kepala Lili dengan gerakan
yang cepat sekali. Lili tak mau berlaku lambat dan mendadak nampak sinar terang
berkelebat menyilaukan mata ketika gadis ini mencabut pedangnya, yaitu
Liong-coan-kiam pemberian ayahnya!
“Tranggg…!”
Terdengar bunyi keras ketika
huncwe itu beradu dengan pedang dan bunga api berpijar indah.
Ilmu silat Ban Sai Cinjin
benar-benar hebat, ganas dan kuat sekali. Huncwe di tangannya
menyambar-nyambar, diliputi uap hitam yang menyeramkan dan berbau tak enak
sekali.
Akan tetapi, pedang
Liong-coan-kiam di tangan Lili bergerak-gerak dengan indahnya pula. Sedikit pun
huncwe lawannya tidak dapat mendekati tubuhnya, karena ke mana saja huncwe itu
berkelebat, selalu terhalang oleh sinar pedang yang agaknya secara otomatis
mengikuti gerakan lawannya. Tubuh gadis itu ketika bersilat pedang bergerak
dengan lincah dan indah bagaikan orang sedang menari, begitu lemah gemulai,
namun demikian kuatnya. Benar-benar mengagumkan!
Dan kini Wi Kong Siansu
sendiri memandang dengan mata terbelalak, bukan saja saking kagumnya, akan
tetapi juga karena heran dan bingung. Belum pernah dia menyaksikan ilmu pedang
yang sehebat dan seaneh ini!
Inilah ilmu pedang Liong-cu
Kiam-sut ciptaan Pendekar Bodoh. Ilmu pedang Liong-cu Kiam-sut ini berdasarkan
Ilmu Pedang Daun Bambu, ilmu pedang sederhana yang aneh dan lihai sekali yang
diciptakan oleh Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh (baca cerita Pendekar Bodoh).
Oleh karena ilmu pedang ini
ciptaan ayah Lili sendiri dan tidak pernah diturunkan kepada orang lain, tentu
saja ilmu pedang ini jarang sekali terlihat di dunia persilatan, berbeda dengan
ilmu-ilmu pedang dari cabang persilatan besar seperti Gobi Kiam-hoat, Kun-lun
Kiam-hoat, dan lain-lain yang banyak dimainkan oleh para muridnya.
Kalau melihat Lili sedang
mainkan pedang ini, agaknya ia lebih mahir dari pada ayahnya sendiri, yaitu
dalam hal kelincahan serta keindahan gerakan. Akan tetapi, sesungguhnya tentu
saja ia tak dapat menandingi ayahnya, terutama sekali dalam kematangan gerakan
dan pengalaman pertempuran.
Kini menghadapi seorang lawan
berat seperti Ban Sai Cinjin, meski pun ilmu pedangnya berhasil membingungkan
lawan dan membuat huncwe maut di tangan Ban Sai Cinjin tak banyak berhasil,
namun pertempuran ini membuat gadis itu menjadi letih sekali. Tiap kali
senjatanya beradu dengan senjata lawan, dia langsung merasa urat-uratnya
tergetar dan pertempuran kali ini telah memaksa dia mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaga.
Ia memang tak usah khawatir
akan terkena senjata lawan, akan tetapi sebaliknya, sukar pula baginya untuk
dapat merobohkan lawan tangguh ini. Huncwe itu benar-benar lihai sekali dan
memiliki gerakan yang serba aneh dan tak terduga.
Ban Sai Cinjin menjadi gemas
dan marah luar biasa. Perasaan ini timbul dari rasa malu dan penasaran.
Benar-benarkah dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut dan juga Si Golok Malaikat,
orang yang sudah puluhan tahun malang-melintang di kalangan kang-ouw dan jarang
sekali menemui tandingan, sekarang tidak berdaya merobohkan seorang bocah yang
belum ada dua puluh tahun usianya? Dan seorang bocah perempuan pula, yang
berkulit halus, bermata bintang, berbibir merah semringah, dan nampak lemah?
Jarang ada seorang lawan,
seorang kang-ouw yang bagaimana tangguhnya pun, mampu melawan huncwe-nya sampai
lebih dari dua puluh jurus. Akan tetapi gadis manis ini telah melawannya sampai
lima puluh jurus dan sedikit pun dia belum dapat menjatuhkannya!
“Bangsat perempuan, kau harus
mampus!” mendadak Ban Sai Cinjin berseru marah dan kini tangan kirinya yang
tadi tidak ikut menyerang, lalu dikepal-kepal dan kepalan tangan itu tak lama
kemudian berubah menjadi kemerah-merahan!
Thio Kam Seng atau lebih benar
Song Kam Seng, terkejut sekali melihat kepalan tangan susiok-nya ini. Celaka,
pikirnya, kini Lili berada di pinggir jurang maut! Ia maklum bahwa kalau
kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin sudah menjadi kemerah-merahan, itu tandanya
bahwa kakek ini telah mengerahkan tenaga Ang-tok-jiu (Tangan Merah Beracun)!
Jangan kata sampai terkena pukul, baru tersambar oleh angin pukulan tangan
Ang-tok-jiu ini saja, lawan dapat roboh menderita luka hebat yang dapat
membawanya ke lubang kubur!
Harus diakui bahwa Lili adalah
seorang gadis yang boleh dikata pengalamannya dalam hal pertempuran masih hijau
dan jarang sekali dia bertempur menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ban Sai
Cinjin. Akan tetapi, dia adalah puteri dari sepasang suami isteri pendekar
besar.
Ayahnya, Sie Cin Hai atau
Pendekar Bodoh, adalah seorang ahli silat yang sangat jarang tandingannya,
sedangkan ibunya, Kwee Lin atau Lin Lin, juga memiliki kepandaian yang amat
tinggi. Lebih-lebih lagi karena baik ayah mau pun ibunya telah mempunyai banyak
sekali pengalaman pertempuran dan terutama sekali ayahnya sudah sering
menghadapi akal-akal serta ilmu-ilmu jahat dan kejam yang dimiliki oleh
golongan hek-to (jalan hitam, penjahat). Karena itu sering kali gadis ini
didongengi oleh ayah bundanya, termasuk juga tentang Ang-se-jiu (Tangan Pasir
Merah) dan Ang-tok-jiu yang sudah pernah dia dengar dari ayahnya.
Ia tidak mengira bahwa kakek
ini memiliki ilmu yang jahat ini pula, maka setelah melihat kepalan tangan kiri
Ban Sai Cinjin berubah merah, cepat ia menyelipkan kipasnya di saku bajunya dan
ia pun segera menggerak-gerakkan tangan kirinya lalu mengerahkan tenaga
sinkang-nya, bergerak-gerak ke kanan kiri hingga tak lama kemudian dari seluruh
lengan kirinya mengebullah uap putih. Inilah Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, yakni
ilmu turunan dari sucouw-nya (kakek guru) yang bernama Bu Pun Su!
Pada waktu huncwe Ban Sai
Cinjin melayang ke arah pelipisnya, dia menangkis dengan pedangnya dan secepat
kilat Ban Sai Cinjin menonjok ke arah dadanya dengan tangan kiri yang
mengandung tenaga Racun Merah itu! Angin pukulan itu sudah terlebih dahulu
menyambar, namun dengan tenang akan tetapi waspada dan cepat sekali Lili
kemudian menangkis pula dengan tangan kiri.
Hebat sekali tenaga pukulan
Ang-tok-jiu dan tenaga tangkisan Pek-in Hoat-sut ini. Orang tidak melihat dua
lengan tangan itu beradu, akan tetapi tubuh kedua orang itu terpental mundur
sampai dua tindak ke belakang!
Ban Sai Cinjin menjadi pucat
saking kagetnya melihat betapa gadis muda itu sanggup menangkis pukulan mautnya
sedemikian lihainya. Sedangkan Lili juga terkejut sekali dan buru-buru dia
mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya ketika merasa betapa seluruh
urat pada tangan kirinya terasa kesemutan! Ini adalah tanda bahwa betapa pun
hebatnya ilmu silat Pek-in-hoat-sut, akan tetapi dalam hal tenaga dalam, dia
masih kalah terhadap kakek ini.
Pengalaman ini membuat dia
berlaku hati-hati sekali. Berkali-kali Ban Sai Cinjin kembali melancarkan
serangan dengan pukulan Ang-tok-jiu, karena kakek ini pun maklum bahwa dia
masih menang tenaga sehingga apa bila dia menyerang bertubi-tubi, ada harapan
dia akan melukai gadis itu.
Akan tetapi kini Lili
menangkis dengan cerdik sekali. Ia menggunakan tangkisan dari ilmu pukulan
Pek-in Hoat-sut dari samping, dengan cara menyampok tenaga serangan lawan dari
samping, tidak mengadu tenaga seperti tadi. Oleh karena ini, selalu apa bila
pukulan Ang-tok-jiu datang, dia tidak perlu mengadu tenaga dan hanya menyampok
dari samping sambil mengelak saja. Dengan cara demikian, maka tenaga pukulan
lawan yang hebat itu tidak langsung datangnya dan tidak demikian telak
menghantamnya.
Wi Kong Siansu makin kagum
saja, demikian pula Ban Sai Cinjin diam-diam juga kagum sekali kepada puteri
Pendekar Bodoh ini. Tadinya ia tidak ingin menggunakan kelicikan dalam
pertempuran ini, karena ia segan untuk merobohkan lawannya yang masih muda dan
wanita pula ini dengan ilmu hitam. Namun, karena tahu bahwa ia tidak mudah
dapat merobohkannya, dan hal ini akan lebih memalukannya lagi, tiba-tiba dia
lalu menyedot huncwe-nya dan sekali dia berseru keras, dari mulutnya menyembur
keluar asap hitam yang amat berbahaya menuju ke muka Lili!
Gadis itu terkejut sekali.
Sungguh pun asap itu masih jauh dari mukanya, namun ia telah mencium baunya
yang amat memuakkannya. Ia cepat melempar tubuhnya ke belakang, melakukan
gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang membuat gerakan poksai (salto) sampai
tiga kali dan turun beberapa tombak jauhnya dari lawannya.
Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak. Ia maklum bahwa lawannya takut kepadanya, maka ia berseru, “Nona
manis, kau hendak lari ke mana?”
Lalu dia menyedot huncwe-nya
pula dan kesempatan itu dia pergunakan untuk membuka kantong tembakau yang tergantung
pada huncwe-nya lalu mengisi kembali mulut huncwe itu dengan tembakau baru. Ia
sudah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya dengan asap mautnya!
Lili maklum bahwa sungguh pun
hawa Pek-in Hoat-sut dari tangan kirinya akan dapat menolak asap hitam itu
buyar terkena hawa Pek-in Hoat-sut, asap yang ringan itu masih akan dapat
menyerangnya. Asap macam ini tidak menyerangnya mengandalkan tenaga tiupan,
melainkan mengandalkan kejahatan racun yang dikandungnya.
Karena itu ia segera
melepaskan tenaga Pek-in Hoat-sut dari lengan kirinya dan sebagai gantinya, dia
cepat mengeluarkan kipasnya. Sekali dia menggerakkan jari tangan kirinya,
kipasnya ini telah terkembang dan dipegangnya seperti hendak mengipas tubuhnya.
Ban Sai Cinjin belum tahu
bahwa gadis ini sudah mewarisi Ilmu Silat San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Bukit
dan Air) yang lihai dari Swie Kiat Siansu, maka tanpa memperhatikan kipas ini,
dia lalu menyerbu lagi dengan sekaligus mengeluarkan tiga serangan. Tangan
kirinya memukul dengan Ang-tok-jiu, tangan kanannya menggerakkan huncwe menotok
leher, dan dari mulutnya menyembur asap yang hitam dan tebal ke arah muka
lawannya!
Lili merasa girang saat
melihat lawannya tidak memperhatikan kipasnya, dan gadis yang cerdik ini lantas
mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya yang sangat lihai ini. Dia
menanti datangnya serangan dengan amat tenang dan sengaja berlaku agak lambat
untuk menarik perhatian lawan.
Untuk menghindarkan diri dari
tiga serangan itu, dia mempergunakan ginkang-nya (ilmu meringankan tubuh) yang
luar biasa, berkelit ke kanan sambil merendahkan tubuh sebab dia maklum bahwa
asap hitam itu tidak akan turun ke bawah. Ia sengaja menanti untuk memancing
lawannya.
Benar saja, melihat keadaan
gadis yang agaknya lambat gerakannya ini, Ban Sai Cinjin menjadi girang dan
mengira bahwa gadis itu telah terkena racun asap hitamnya, maka ia melanjutkan
serangan dengan mencengkeram ke bawah sambil mengayun huncwe-nya. Akan tetapi
pada saat itu juga, tiba-tiba kipas di tangan kiri Lili dikebutkan ke arah uap
hitam yang tebal tadi sehingga uap itu melayang ke arah muka Ban Sai Cinjin!
Tentu saja sebelumnya Ban Sai
Cinjin telah menggunakan obat penawar untuk menolak pengaruh asap hitam dari
huncwe-nya sendiri sehingga serangan asap yang membalik ke mukanya ini tidak
membahayakannya sama sekali. Akan tetapi bukan itulah kehendak Lili. Kebutan
kipasnya ini bermaksud membuat asap hitam itu menutupi pandang mata lawannya
dan maksudnya ini memang berhasil baik. Betapa pun juga, Ban Sai Cinjin tak
berani menghadapi racun asap tembakaunya sendiri dengan mata terbuka.
Untuk sesaat sambil meniup ke
arah asap itu dia meramkan matanya dan dengan tidak terduga-duga sekali,
tiba-tiba saja ia merasa pangkal lengan kirinya sakit sekali! Ternyata bahwa
tadi pada waktu ia sedang menghadapi asap yang membalik itu, secepat kilat Lili
mengelak dari serangan kedua tangannya, bergerak sambil menggeser kakinya ke
kanan dan dari samping dia segera mengirim totokan dengan kipasnya yang dapat
tepat sekali mengenai pangkal lengan kiri lawannya!
Tubuh Ban Sai Cinjin terhuyung
ke belakang dan tiba-tiba dia merasa datangnya angin dingin ke arah leher dan
lambungnya! Ia maklum akan bahaya maut itu. Ternyata bahwa lambungnya sudah
diserang oleh pedang Liong-coan-kiam dengan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah
sedangkan lehernya telah diserang oleh sepasang gagang kipas dengan gerakan
Gunung Thai-san Menimpa Kepala!
Ban Sai Cinjin mengeluarkan
keringat dingin dan cepat dia menjatuhkan diri ke belakang. Akan tetapi gerakan
kipas ke arah lehernya itu luar biasa cepatnya.
“Krekk!” terdengar suara dan
pundaknya masih terkena gagang kipas itu.
Ban Sai Cinjin menjerit dan
maklum bahwa sambungan tulang pundaknya telah terlepas! Lili tidak mau memberi
hati dan terus mendesak dengan serangan yang lebih hebat lagi. Agaknya tak lama
lagi nyawa Ban Sai Cinjin terpaksa akan meninggalkan raganya.
Akan tetapi, tentu saja Wi
Kong Siansu tidak mau tinggal diam melihat sute-nya terancam bahaya maut. Cepat
bagaikan seekor burung gagak menyambar bangkai, dia melompat ke belakang gadis
itu dan mengirim serangan dengan kebutan ujung lengan bajunya!
Lili sedang mengerahkan
seluruh tenaga serta perhatiannya untuk menewaskan kakek mewah yang dibencinya
itu. Sungguh pun dia mendengar angin pukulan Wi Kong Siansu dari belakang dan
mencoba untuk mengelak, dia tetap terlambat.
Gerakan Wi Kong Siansu luar
biasa cepatnya dan tahu-tahu jalan darah kim-to-hiat di punggungnya telah kena
tertotok oleh ujung lengan baju tosu itu. Lili mengeluh perlahan, kipas dan
pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya dengan lemas tak berdaya langsung
terkulai ke atas lantai!
Ban Sai Cinjin dengan
meringis-ringis sudah dapat bangun kembali dan melihat keadaan Lili yang sudah
roboh oleh suheng-nya, ia masih dapat tertawa terbahak-bahak. “Bagus, Suheng,
bagus! Kau telah dapat merobohkan kuda betina liar ini!”
Matanya berkilat penuh dendam
terhadap Lili, kemudian perlahan-lahan ia bergerak maju menghampiri gadis muda
itu. Lili masih dapat memandang lawannya ini dan pikirannya masih berjalan
terang, akan tetapi seluruh tubuhnya sudah lemas tidak dapat digerakkan lagi.
Gadis ini maklum akan bahaya
yang akan menimpa dirinya, dan sinar ketakutan segera terbayang pada matanya.
Gadis ini tidak takut akan mati, akan tetapi ia maklum bahwa terjatuh ke dalam
tangan manusia iblis seperti Ban Sai Cinjin ini, tentulah nasibnya akan jauh
lebih mengerikan dari pada kematian!
Akan tetapi, pada saat itu
tiba-tiba bayangan tubuh Kam Seng berkelebat dan pemuda ini tahu-tahu telah
mendahului Ban Sai Cinjin menyambar tubuh Lili yang terus dipeluk dan
dipondongnya!
“Kam Seng! Kau lepaskan dia!”
Ban Sai Cinjin berseru keras dengan mata melotot.
Kam Seng memandang kepada
susiok-nya. Hatinya bimbang ragu. Di lubuk hatinya ada perasaan cinta yang
besar terhadap gadis ini, sungguh pun perasaan itu tertutup kabut kebenciannya
karena kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, musuh besarnya!
Jika gadis jelita ini harus mati, maka dialah yang berhak membunuhnya, bukan
orang lain. Apa lagi dia merasa ngeri dan jijik memikirkan nasib gadis jelita
ini di tangan susiok-nya. Maka ia lalu memandang kepada suhu-nya dan berkata,
“Suhu, maukah Suhu memberikan
puteri musuhku ini kepada teecu?”
Wi Kong Siansu adalah seorang
kakek yang tajam pandangan matanya. Karena sudah berpengalaman, dia dapat
merasa bahwa muridnya yang tersayang tentu jatuh hati dan tertarik oleh
kecantikan gadis ini. Sebaliknya, dIa pun dapat melihat sinar mata dahsyat dari
mata sute-nya, maka dia lalu berkata kepada sute-nya,
“Sute, berikan gadis ini
kepada Kam Seng. Kau tentu masih ingat bahwa ayah gadis ini adalah musuh besar
dari Kam Seng dan biarkanlah dia melepaskan rasa sakit hati dan dendamnya
kepada puteri musuh besarnya!”
Ban Sai Cinjin memandang
marah, akan tetapi ia lalu tertawa.
“Baik, baik, Suheng. Kau yang
meronohkannya, maka kau pula yang berhak menentukan nasibnya. Akan tetapi
awaslah kalau gadis ini sampai terlepas, Kam Seng. Dia lihai sekali dan kau tak
akan dapat menguasainya!”
Wi Kong Siansu juga tertawa.
“Sute, kau sudah tua. Kam Seng lebih muda, maka kau tentu tahu akan kehendak
hatinya melihat gadis cantik ini. Biarkanlah dia melampiaskan dendamnya dan
biar dia pula yang menghabiskan nyawa musuhnya ini. Hati-hati, Kam Seng, jangan
sampai dia terlepas!”
Hok Ti Hwesio juga berkata
kepada Kam Seng sambil menyeringai, “Sute, bila kau sudah selesai dengan dia,
berikanlah kepadaku. Aku perlu jantungnya untuk obat!”
Kemudian hwesio ini berjalan
masuk ke kelenteng. Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin juga berjalan masuk
untuk mengobati lukanya.
Ong Tek, putera pangeran yang
semenjak tadi menyaksikan segala peristiwa ini dengan dada berdebar dan muka
pucat, lalu ikut pergi pula ke dalam kamarnya sambil menarik tangan Tan-kauwsu.
Kini Wi Kong Siansu tinggal berdua dengan Kam Seng yang masih memondong tubuh
Lili yang lemas.
“Muridku, kau tentu mencinta
gadis ini, bukan?”
Bukan main terkejutnya hati
pemuda itu mendengar ucapan suhu-nya. Untuk beberapa lama dia tidak mau dan
tidak dapat menjawab, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga dengan suara
perlahan,
“Suhu lebih waspada dan awas.
Sesungguhnya, sakit hati teecu terhadap ayah gadis ini amat besar, karena itu
teecu hendak menjadikannya sebagai isteri di luar kehendaknya atau pun kehendak
orang tuanya. Hal ini akan dapat teecu pergunakan untuk membalas penghinaan dan
sakit hati, jika tak terkabul cita-cita teecu untuk menewaskan Pendekar Bodoh.”
Wi Kong Siansu
menggeleng-geleng kepalanya. “Salah... salah..., muridku. Aku mengerti akan
maksudmu, akan tetapi apa kau kira akan mudah saja menjadikan gadis ini sebagai
sekutu kita? Biar pun kau dapat memaksanya menjadi isterimu, akan tetapi apa
kau kira dia akan tunduk begitu saja? Kau jangan memandang rendah gadis ini.
Dia benar-benar lihai sekali. Lebih baik kau tamatkan saja riwayatnya supaya
kelak kita tidak mengalami gangguan dari padanya.”
Tosu ini membicarakan tentang
mati hidup seorang gadis bagaikan bicara tentang seekor domba saja! Memang,
bagi Wi Kong Siansu, urusan-urusan dunia sudah tidak masuk hitungan pula, dan
mati hidup baginya hanya urusan kecil.
“Akan teecu pikir-pikir dulu,
Suhu,” kata Kam Seng dan dia lalu membawa Lili ke dalam kamarnya. Di ruangan
dalam, dia bertemu dengan Ong Tek yang menghadangnya dan pemuda tanggung ini
berkata,
“Suheng... hendak kau apakan
gadis ini?”
Wajah Kam Seng berubah merah.
“Kau tak usah tahu, Sute. Kau masih kecil dan belum tahu urusan. Gadis ini
adalah musuh besarku, ayahnya dulu telah membunuh ayahku.”
“Ah...!” hanya demikian seruan
Ong Tek yang segera berlari kembali ke dalam kamarnya. Akan tetapi sebelum
memasuki kamarnya dia merasa pundaknya dipegang orang. Ketika dia menengok
ternyata Hok Ti Hwesio yang memegangnya.
“Ong-sute, jangan kau turut
campur dengan urusan itu. Seng-sute sedang berpesta-pora, ia mendapat keuntungan
besar, mendapat hadiah seorang bidadari jelita. Kau tentu tidak tahu...!
Ha-ha-ha!”
“Tidak... tidak!” Ong Tek
menjadi pucat dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Suheng, besok pagi juga aku
akan pergi dari sini. Aku mau pulang saja ke kota raja! Tak tertahan olehku
semua kejadian yang mengerikan ini. Tidak kusangka sama sekali bahwa kalian
demikian... demikian...”
“Apa maksudmu, Sute?” Hok Ti
Hwesio memandang tajam.
“Mengapa kalian bisa begitu
kejam terhadap seorang gadis seperti dia?” Sambil berkata demikian, Ong Tek
lalu melompat ke dalam kamarnya, kemudian menutupkan pintunya keras-keras.
Terdengar dia menangis dan berkata-kata dengan Tan-kauwsu utusan dari kota raja
itu.
Hok Ti Hwesio termenung sambil
mengerutkan jidat. Kemudian dia lalu mencari suhu dan supek-nya untuk
menceritakan sikap dari putera pangeran ini.
Sementara itu, dengan dada
berdebar keras, Kam Seng memondong tubuh Lili ke dalam kamarnya, lalu menutup
daun pintu dan melemparkan tubuh Lili ke atas pembaringannya. Gadis itu terbanting
ke atas pembaringan dengan tubuh lemas dan rebah telentang tak berdaya. Hanya
sepasang matanya saja yang masih bertenaga dan kini ditujukan kepada Kam Seng
dengan tajam berapi-api!
Ia telah mendengar semua
percakapan tadi dan tahu akan maksud pemuda ini. Yang membuatnya terheran-heran
adalah ketika mendengar bahwa Kam Seng adalah musuh besar Pendekar Bodoh, bahwa
ayahnya sudah membunuh ayah pemuda ini! Sungguh-sungguh mengherankan, akan
tetapi keheranannya ini tersapu habis oleh kebenciannya terhadap pemuda ini.
Dia maklum bahwa dia tidak
berdaya sama sekali. Telah dicobanya untuk membebaskan diri dari pada totokan
Wi Kong Siansu, akan tetapi sia-sia saja. Dia maklum dengan hati penuh
kengerian bahwa dia telah berada di dalam tangan Kam Seng dan tak akan dapat
melawan sedikit pun juga.
Akan tetapi masih ada semangat
di dalam hatinya yang tidak karuan rasanya itu, yaitu semangat untuk membalas
dendam. Biarlah, pikirnya, dan tunggulah saja! Apa bila aku sampai lepas dari
pada totokan ini, akan kuhancurkan kepalamu hingga menjadi bubur!
Sementara itu Kam Seng duduk
menghadapi Lili dengan wajah sebentar merah sebentar pucat. Ia menatap wajah
dan tubuh Lili tanpa berkedip. Seribu satu macam pikiran kini teraduk di dalam
hatinya. Pikirannya menjadi pening.
Berkali-kali dia sudah
mengulurkan tangan hendak meraba muka gadis, itu, akan tetapi selalu ditariknya
kembali. Pandangan mata Lili yang bagaikan dua cahaya api itu terasa menusuk
matanya. Hatinya penuh gairah kalau ia melihat wajah yang manis hidung yang kecil
bangir, apa lagi bibir yang luar biasa indah dan manisnya itu. Akan tetapi
sepasang mata Lili merupakan dua pedang mustika yang membuat dia senantiasa tak
enak pikiran.
“Dia musuh besarku!” demikian
bisik hatinya. “Aku boleh membunuhnya, menghinanya! Ayahku dulu juga terbunuh
oleh ayahnya!”
“Akan tetapi ia dan Sin-kai Lo
Sian pernah menolongku!” bisik suara lain di hatinya. “Dan aku... aku cinta
kepadanya. Dan alangkah baiknya kalau dia bisa menjadi isteriku untuk
selamanya!”
“Sekarang pun kau bisa
mengambilnya menjadi isterimu!” bisik suara pertama.
“Siapa tahu kalau ia akan
dapat tunduk terhadapmu dan membalas cintamu. Setidaknya malam ini kau akan
menjadi suaminya!”
Terdorong oleh bisikan ini,
Kam Seng mengulurkan tangan kanan. Untuk beberapa lama jari-jari tangannya
membelai-belai rambut Lili yang halus. Belaian ini penuh dengan kasih sayang,
akan tetapi mendadak dia menarik kembali tangannya ketika pandang matanya
bertemu dengan sinar mata Lili.
Demikianlah, sampai lewat
tengah malam Kam Seng berada dalam keadaan ragu-ragu. Nafsu dendamnya
mendorongnya untuk membunuh Lili, untuk menghinanya, untuk dapat melampiaskan
sakit hatinya terhadap ayah gadis itu. Akan tetapi ada kekuasaan lainnya yang
menahan kehendaknya ini, kekuasaan cinta. Kekuasaan ini membuat dia tidak tega
untuk menyakiti Lili baik menyakiti hati mau pun raganya.
Akhirnya dia tidak kuat pula
menghadapi pandangan mata Lili. Dia mencabut pedangnya dan hendak membebaskan
gadis ini dari siksaan lebih lanjut. Hendak dibunuhnya gadis ini dan habis
perkara!
“Lili,” katanya sambil berdiri
dengan pedang di tangan. “Aku akan membunuhmu, dan sebelum itu hendaknya kau
ketahui bahwa engkau adalah puteri musuh besarku! Ayahku bernama Song Kun dan
menjadi kakak seperguruan ayahmu, akan tetapi ayahmu telah membunuhnya! Ayahmu
telah membunuh ayahku dan karena itulah aku hidup sengsara. Karena itulah ibuku
terlunta-lunta dan aku menjadi yatim piatu, menjadi pengemis untuk
bertahun-tahun lamanya! Karena itu kau harus mati! Kau harus berterima kasih kepadaku
karena kau terhindar dari penghinaan, terhindar dari penghinaan Susiok, dan...
dan... aku pun tidak sampai hati menghinamu! Aku... aku kasihan kepadamu!”
Ia berhenti sebentar dan
dilihatnya air mata mengalir turun dari sepasang mata indah dan jelita itu.
“Lili, bersiaplah untuk mati,”
katanya sambil mengangkat pedangnya.
Dari kedua mata gadis itu
tidak nampak rasa takut sedikit pun, bahkan sinar berapi-api tadi telah padam,
bibirnya agak tersenyum. Lili memang merasa lega bahwa ia tak akan menjadi
korban penghinaan, maka dia menghadapi kematian dengan amat tabahnya.
Kam Seng mengayun pedangnya ke
atas dan... tiba-tiba saja ia menurunkan pedangnya kembali, bahkan pedang itu
terlepas ke atas lantai! Ia lalu meramkan mata dan menubruk Lili, lalu...
mencium jidat gadis itu satu kali. Dilemparkannya tubuhnya ke belakang dan dia
pun terduduk di atas bangku yang tadi didudukinya.
Ia menggunakan kedua tangan
menutupi mukanya. Terdengar helaan napas berkali-kali. “Ahh, Lili... aku... aku
tidak tega membunuhmu... aku... aku cinta kepadamu!”
Sinar mata Lili mulai
berapi-api lagi. Untuk ciuman pada jidatnya itu saja ia sudah dapat membunuh
Kam Seng kalau dapat. Keadaan menjadi sunyi kembali.....
Kam Seng duduk seperti tadi,
menghadapi Lili, tidak tahu harus berbuat apa! Betapa pun bencinya kepada
Pendekar Bodoh, hatinya tetap tidak tega untuk mengganggu apa lagi membunuh
gadis ini.
“Lili... Lili... aku tidak
sanggup membunuhmu... tanganku gemetar... bagaimana aku bisa membunuh gadis
yang kucinta dengan seluruh jiwaku? Tidak, Lili, tidak! Aku tidak akan
membunuhmu, akan tetapi... aku pasti akan mencari ayahmu, aku harus membalas
sakit hatiku terhadap Pendekar Bodoh...!” demikian keluh kesah yang keluar dari
mulut Kam Seng sambil menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.
Pada saat itu, terdengar suara
senjata-senjata beradu di ruang depan dibarengi teriakan Hok Ti Hwesio,
“Supek... tolong...! Supek, lekas bantu...! Lekas bantu merobohkan gadis setan
ini...!”
Mendengar seruan ini, Kam Seng
melompat bangun. Kalau Hok Ti Hwesio sampai minta tolong kepada suhu-nya, yaitu
Wi Kong Siansu, dan tidak minta tolong kepada suhu-nya sendiri, berarti bahwa
tentu terjadi mala petaka hebat dan datang musuh yang tangguh.
Ia hendak melompat keluar dari
kamarnya, akan tetapi ia teringat kepada Lili dan merasa khawatir bahwa kalau
ia meninggalkan gadis itu seorang diri, jangan-jangan gadis yang dikasihinya
itu akan diganggu oleh Hok Ti Hwesio atau Ban Sai Cinjin. Untuk beberapa saat
dia merasa ragu-ragu, lalu menghampiri Lili dan berkata,
“Lili, aku hendak
membebaskanmu. Ketahuilah, bahwa perbuatanku ini hanya terdorong oleh rasa
cinta kasih terhadapmu, dan ketahuilah pula bahwa pada suatu hari aku pasti
akan membalas dendamku pada ayahmu yang sudah membunuh ayahku!”
Sesudah berkata demikian, Kam
Seng segera menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lili. Dia
telah belajar ilmu silat dari Wi Kong Siansu, maka dia tahu pula bagaimana
harus membuka totokan dari suhu-nya itu. Setelah menotok pundak gadis itu, dia
lalu melompat keluar sambil membawa pedangnya, langsung menuju ke ruang depan
dari mana terdengar suara senjata beradu.
Walau pun pengaruh totokan
yang menghentikan jalan darahnya sudah lenyap dan jalan darahnya sudah terbuka
kembali, akan tetapi Lili masih merasa lemas dan hanya dapat bergerak perlahan.
Dia segera mengumpulkan semangat dan mengatur pernapasannya untuk melancarkan
kembali jalan darahnya.
Dia melihat betapa kipas dan
pedangnya telah ditaruh di atas meja dalam kamar itu oleh Kam Seng. Hatinya
merasa tidak karuan karena dia telah mengalami ketegangan hebat selama dibawa
di dalam kamar Kam Seng. Kini ia merasa terharu, marah, malu, dan juga
diam-diam ia merasa berterima kasih kepada pemuda itu.
Ada sedikit rasa girang dalam
hatinya bahwa biar pun pemuda itu telah menggabungkan diri dengan orang-orang
jahat, namun pada dasarnya hati pemuda itu tidaklah kejam dan jahat. Masih ada
kegagahan di dalam lubuk hati Kam Seng. Ia teringat akan supek-nya Song Kun,
karena ia pernah ia diceritakan tentang halnya Song Kun ini oleh ibunya.
Setelah kesehatannya pulih
kembali, Lili cepat mengambil senjata-senjatanya kemudian melompat keluar di
mana kini suara senjata masih beradu ramai sekali. Ketika ia tiba di ruang
luar, di bawah sinar lampu ia melihat seorang gadis cantik manis yang memiliki
gerakan lincah sekali, sedang bertempur dikeroyok tiga oleh Ban Sai Cinjin,
Song Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio!
Sungguh mengagumkan sekali
betapa gadis cantik manis itu bisa menghadapi lawannya sambil tersenyum-senyum
dan mainkan kedua tangannya yang tidak memegang senjata. Ginkang-nya sungguh
hebat dan mengagumkan, bagaikan seekor kupu-kupu bermain di antara tiga bunga
itu menyambar-nyambar, di celah tiga gulungan sinar senjata di tangan tiga
pengeroyoknya.
“Goat Lan...!” Lili berteriak
girang pada waktu ia mengenal wajah manis yang tersenyum-senyum itu.
“Hai, Lili, anak nakal! Kau di
sini?” Gadis itu dalam menghadapi desakan lawan-lawannya masih sempat
berjenaka.
“Goat Lan, jangan khawatir.
Mari kita basmi tiga anjing busuk ini!”
Lili segera mencabut keluar
kipas dan pedangnya, lantas menyerbu dan menyerang Ban Sai Cinjin. Ia merasa
segan dan sungkan untuk menyerang Kam Seng, maka ia sengaja memilih Ban Sai
Cinjin dan membiarkan Goat Lan menghadapi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio.
Ban Sai Cinjin sudah merasakan
kelihaian Lili, bahkan tadi sore pundaknya telah terluka hebat oleh gadis ini.
Dalam keadaan sehat dia masih belum dapat mengalahkan Lili, apa lagi sekarang
pundaknya masih belum sembuh benar, tentu saja ia merasa amat gelisah.
Kalau saja ia tidak sedang
terluka, tadi pun Goat Lan tak nanti dapat mempermainkan dia begitu mudah. Dan
ia maklum bahwa belum tentu ia kalah oleh Lili kalau saja tadi sore ia tidak
bertempur dengan main-main dan memandang rendah. Terpaksa ia menggigit bibir,
dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Ban Sai Cinjin adalah seorang
tokoh kang-ouw yang selain berkepandaian sangat tinggi, juga sudah mengenal
banyak sekali taktik perkelahian dan mempunyai banyak tipu-tipu curang.
Pengalamannya amat luas dan tenaga lweekang-nya juga telah mendekati batas
kesempurnaan. Oleh karena itu biar pun ia sudah terluka masih amat sukarlah
bagi Lili untuk dapat merobohkan kakek mewah ini. Sebaliknya, jangan harap bagi
Ban Sai Cinjin untuk mengalahkan puteri Pendekar Bodoh yang mempunyai ilmu
kipas dan ilmu pedang yang luar biasa sekali.
Berbeda dengan pertempuran
antara Lili melawan Ban Sai Cinjin yang berjalan seru dan seimbang, pertempuran
antara gadis cantik manis dan kedua pengeroyoknya, Kam Seng dan Hok Ti Hwesio,
berjalan berat sebelah. Ketika tadi dikeroyok tiga, gadis itu masih dapat
melayani dengan senyum simpul, apa lagi sekarang. Meski pun kepandaian Kam Seng
dan Hok Ti Hwesio sudah jauh lebih tinggi dari pada kepandaian silat para ahli
silat biasa, akan tetapi bagi gadis manis itu mereka berdua ini masih merupakan
ahli-ahli silat kelas rendah saja!
Bagaimanakah gadis itu yang
ternyata adalah Kwee Goat Lan, dapat tiba-tiba muncul di situ? Dan mengapa
tahu-tahu sudah dikeroyok oleh Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio pada saat Lili
tertawan dalam kamar Kam Seng?
Seperti sudah dituturkan pada
bagian depan, dalam percakapan antara Ong Tek putera pangeran dan Hok Ti
Hwesio, pemuda cilik dari kota raja itu merasa amat muak dan tidak senang
melihat peristiwa yang terjadi di dalam kuil di mana dia belajar silat kepada
Ban Sai Cinjin.
Betapa pun juga, Ong Tek
adalah seorang pemuda bangsawan yang sejak kecil dididik dengan
pelajaran-pelajaran kesopanan dan juga dia sudah banyak membaca kitab-kitab
kuno di mana terdapat segala macam pelajaran mengenai kebajikan. Ia menjadi
terkejut dan juga kecewa melihat dengan kedua mata sendiri betapa jahat adanya
orang-orang yang selama ini dia hormati dan junjung tinggi. Maka dia lalu masuk
ke dalam kamarnya sambil menangis, lalu dia memaksa kepada Tan-kauwsu, utusan
dari ayahnya itu, untuk pada malam hari itu juga meninggalkan kuil dan pulang
ke kota raja.
Sikap pemuda bangsawan ini
membuat Hok Ti Hwesio menjadi curiga dan cepat hwesio ini menjumpai suhu-nya.
Ketika Ban Sai Cinjin mendengar keadaan muridnya dari kota raja itu, dia pun
mengerutkan alisnya.
“Sungguh berbahaya,” katanya
perlahan. “Bila anak itu pulang dan menceritakan segala peristiwa yang terjadi
kepada ayahnya dan para pembesar, tentu nama kita akan hancur dan tercemar.”
“Kenapa pusing-pusing, Suhu?
Kalau Sute tidak mau menurut kehendak kita dan bahkan hendak merusak nama kita,
lebih baik kita lenyapkan dia bersama guru silat itu, habis perkara!”
Ban Sai Cinjin menjadi
ragu-ragu. “Enak saja kau bicara! Apa kau kira Ong Tek itu orang biasa saja
yang boleh kita perbuat sesuka kita! Apa bila dia sampai lenyap, apa kau kira
Pangeran Ong tidak akan mencari dan menimbulkan huru-hara yang akan menyulitkan
kita?”
Hok Ti Hwesio tersenyum “Apa
sih bahayanya seorang putera bangsawan macam Ong Tek? Sedangkan menghadapi
orang-orang besar seperti pendekar Pek-le-to Lie Kong Sian, Mo-kai Nyo Tiang
Le, Sin-kai Lo Sian, kita masih sanggup membereskan mereka tanpa banyak ribut
dan tiada seorang pun mengetahui, apa lagi seorang manusia macam Ong Tek dan
seorang guru silat seperti orang she Tan itu? Suhu, mengapa kita tidak mau
meminjam nama puteri Pendekar Bodoh untuk melenyapkan mereka? Kita sebarkan
bahwa yang menewaskan Ong Tek dan Tan-kauwsu adalah puteri Pendekar Bodoh itu,
bukankah ini baik sekali?”
Wajah Ban Sai Cinjin berseri.
“Kau benar! Kau memang cerdik sekali, Hok Ti!” ia memuji. “Kita lenyapkan kedua
orang itu, kemudian kita bikin puteri Pendekar Bodoh seperti Lo Sian.
Ha-ha-ha-ha! Akan lenyap jejak mereka dan tak seorang pun mengetahuinya.”
Pada saat itu, terdengar
tindakan kaki dua orang yang berlari keluar dari kelenteng itu.
“Nah, itulah mereka yang
agaknya hendak melarikan diri pada malam hari ini juga. Kita harus bertindak
cepat sebelum Supek mengetahui!” berkata Hok Ti Hwesio yang merasa takut kepada
supek-nya, Wi Kong Siansu yang pada waktu itu sudah berada di dalam kamarnya.
Ban Sai Cinjin dan Hok Ti
Hwesio segera melompat keluar dan mereka melihat Ong Tek diikuti oleh
Tan-kauwsu yang menggendong buntalan pakaian putera pangeran itu.
“Ong Tek, kau hendak pergi ke
manakah?” Ban Sai Cinjin membentak.
Melihat suhu-nya datang
bersama Hok Ti Hwesio, Ong Tek menjadi sangat terkejut dan sinar ketakutan
membayangi wajahnya yang tampan.
“Suhu... teecu hendak...
hendak pulang ke kota raja bersama Tan-suhu. Teecu... merasa rindu kepada ayah
dan ibu...!”
“Hemm, kau hendak lari dari
kami, ya? Bagus, murid macam apa kau ini? Tidak boleh, kau tidak boleh pergi!
Tentu di kota raja kau hendak membuka mulut besar tentang kami, ya?”
“Tidak... tidak, Suhu...
tidak!” kata Ong Tek dengan muka pucat ketika melihat suhu-nya melangkah maju
dengan huncwe mengancam di tangan.
“Kau murid durhaka. Kau harus
diberi hajaran!”
Tan-kauwsu segera melompat
maju. “Jangan kau berani mengganggu Ong-kongcu, Ban Sai Cinjin! Ingat, dia
adalah putera Pangeran Ong!”
Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha. Segala tikus busuk seperti kau berani pula ikut campur
bicara! Apa kau kira aku takut kepada segala macam pangeran? Biar kepada Kaisar
sendiri pun aku tidak takut!” Ia lalu melangkah maju dan mengayun huncwe-nya ke
arah kepala guru silat she Tan itu!
Serangan ini hebat dan cepat
sekali, akan tetapi Tan-kauwsu sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang dapat
dibandingkan dengan kepandaian Ban Sai Cinjin, namun dia sudah banyak merantau
dan telah mempunyai pengalaman yang banyak dalam pertempuran. Ia cepat mengelak
ke belakang, akan tetapi hawa pukulan huncwe itu masih membuatnya
terhuyung-huyung ke belakang.
Pada waktu Ban Sai Cinjin
hendak mengejar untuk mengirim pukulan maut, tiba-tiba saja dari atas genteng
menyambar turun sesosok bayangan manusia yang gerakannya begitu cepat sehingga
nampak bagaikan seekor burung garuda menyambar.
“Manusia setan!” bayangan itu
berseru dengan suaranya yang nyaring dan merdu. “Kau benar-benar kejam!”
Dan tiba-tiba huncwe pada
tangan Ban Sai Cinjin yang sudah dipukulkan ke arah kepala Tan-kauwsu itu
terpental mundur oleh tenaga pukulan dari atas!
Ketika Ban Sai Cinjin yang
merasa terkejut sekali itu memandang, ternyata di depannya telah berdiri
seorang gadis yang cantik manis dengan dua buah lesung pipit di sepasang
pipinya. Gadis ini cantik dan jenaka sekali, sepasang matanya bersinar-sinar
bagaikan sepasang bintang pagi, mulutnya tersenyum lebar sehingga giginya yang
rata dan putih berkilau bagaikan mutiara itu nampak berkilat.
Ban Sai Cinjin tercengang
karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa seorang gadis muda dapat
menahan huncwe-nya dengan tangan kosong saja! Ia maklum bahwa ia sedang
menghadapi seorang gadis muda yang menjadi murid orang sakti.
Gadis cantik itu tersenyum
manis. “Kau tentu yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut. Hemm, pantas saja
kau disebut Huncwe Maut, karena hampir saja kau membunuh orang lagi.” Dia lalu
menengok ke arah Ong Tek dan Tan-kauwsu, lalu berkata kepada Ong Tek,
“Aku sudah mendengar bahwa kau
adalah seorang putera pangeran. Entah bagaimana kau bisa tersesat dalam neraka
dunia ini, akan tetapi itu bukan urusanku. Lebih baik kau lekas melanjutkan
niatmu pergi dari sini. Lebih cepat lebih baik. Jangan takut, boneka besar
pengusir burung di sawah ini serahkan saja kepadaku!”
Ong Tek lalu memandang tajam,
agaknya untuk mengukir wajah gadis penolongnya itu di dalam ingatannya,
kemudian dia mengangguk memberi hormat dan segera pergi, diikuti oleh
Tan-kauwsu.
“Ong Tek, jangan kau berani
pergi dari sini!” seru Hok Ti Hwesio yang segera mencabut pisaunya dan
menyambitkan pisau terbangnya itu ke arah Ong Tek!
Pisau itu terbang lewat di
dekat gadis itu yang dengan tenang mengulurkan tangan dan sekali tangannya
bergerak, pisau itu telah disampoknya ke bawah sehingga pisau itu kini meluncur
ke bawah dan menancap di atas lantai!
“Hmm, hwesio gundul, telah
banyak aku mendengar tentang hwesio-hwesio gundul yang pada hakekatnya hanyalah
penjahat-penjahat rendah yang banyak mencemarkan nama para pendeta Buddha!
Agaknya kau yang paling rendah di antara mereka semua!”
Bukan main marahnya Ban Sai
Cinjin mendengar ucapan serta melihat sikap gadis itu. Tanpa banyak cakap lagi
ia lantas menyerang dengan huncwe-nya. Juga Hok Ti Hwesio lalu menubruk kembali
pisaunya, mencabutnya dari lantai dan maju menyerang.
Ban Sai Cinjin yang biasanya
amat sayang kepada gadis cantik, biar pun harus diakui bahwa dara di hadapannya
ini memiliki kecantikan yang sangat menggiurkan dan jarang terdapat, kini
hatinya sama sekali tidak terguncang, bahkan ingin sekali dia membunuh gadis
ini. Demikianlah, Ban Sai Cinjin dan muridnya lalu menyerang hebat kepada gadis
manis itu yang melayani mereka dengan tangan kosong.
Sungguh hebat ilmu ginkang
dari gadis itu. Dengan lincahnya dia dapat mengelakkan diri dari sambaran
huncwe dan pisau lawannya, bahkan dia masih sempat memaki-maki dan
mentertawakan sambil membalas serangan mereka dengan pukulan-pukulan yang tidak
boleh dipandang ringan.
Ban Sai Cinjin terkejut sekali
melihat sepak terjang gadis ini. Diam-diam ia pun mengeluh dalam hatinya.
Selamanya hidup, belum pernah dia mengalami malam sesial ini. Secara
berturut-turut telah datang dua orang gadis yang aneh dan lihai sekali!
Kalau saja ia tidak terluka
pundaknya oleh pukulan kipas dari Lili sore tadi, tentu ia akan dapat menyerang
lebih baik terhadap gadis yang baru datang ini. Ia dapat melihat betapa gadis
itu mempergunakan Ilmu Silat Bi-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan) yang menjadi
pecahan dari Ilmu Silat Tangan Kosong Kwan-im Siu-ban-po (Dewi Kwan Im
Menyambut Selaksa Musuh)!
Akan tetapi pergerakan kedua
tangan gadis ini sangat aneh, agak berbeda dengan ilmu silat tersebut, dan yang
membuatnya diam-diam harus mengakui dan mengagumi adalah ilmu ginkang dari
gadis ini. Ilmu meringankan tubuhnya mengingatkan dia kepada empat besar di
dunia dan terutama sekali kepada Bu Pun Su!
Akan tetapi, gadis yang
sekarang tertawan di dalam kamar Kam Seng dan yang menjadi cucu murid Bu Pun Su
sendiri, agaknya tidak sehebat ini ilmu ginkang-nya!
Melihat betapa dia bersama
gurunya sama sekali tak berdaya, bahkan telah dua kali dia menerima pukulan
tangan halus akan tetapi antep itu, Hok Ti Hwesio mulai berteriak-teriak
memanggil supek-nya minta bantuan! Hanya berkat ilmu kebalnya yang hebat, ia
terhindar dari mala petaka ketika tangan gadis itu berhasil memukulnya sampai
dua kali.
Sepeti telah dituturkan di
bagian depan, teriakan-teriakan Hok Ti Hwesio terdengar oleh Kam Seng yang
berada di dalam kamarnya dan sedang menghadapi Lili yang tertawan. Suara
senjata yang didengarnya ternyata adalah suara pisau di tangan Hok Ti Hwesio
yang beradu dengan huncwe Ban Sai Cinjin.
Memang, Goat Lan yang jenaka
dan nakal itu beberapa kali menyampok tangan Hok Ti Hwesio sehingga pisaunya
menjadi nyeleweng dan membentur senjata suhu-nya sendiri, membuat Ban Sai
Cinjin menjadi makin marah dan mendongkol.
Goat Lan terheran pada saat
melihat seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan ikut maju mengeroyoknya.
Ia melihat gerakan pedang yang cukup tangkas dan lihai. Kini setelah dikeroyok
tiga, dia tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas dengan serangannya.
Akan tetapi gadis ini
benar-benar tabah dan jenaka. Biar pun tiga orang lawannya amat tangguh, ia
masih melayani mereka dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahan gerakan
tubuhnya, menyambar-nyambar di antara gelombang serangan.
Dan pada saat itu, datanglah
Lili. Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Goat Lan. Tentu saja dia
menjadi amat gembira dan girang. Telah bertahun-tahun dia tidak bertemu dengan
Lili, mungkin sudah ada tiga tahun.
Dia melihat betapa calon adik
iparnya ini maju menyerbu dengan senjata pedang dan kipas. Dia merasa amat
heran ketika melihat betapa Lili menyerbu Ban Sai Cinjin dengan muka merah dan
mata berapi, agaknya Lili amat marah dan membenci kakek mewah itu.
Melihat kemarahan Lili yang
agaknya penuh nafsu membunuh itu, Goat Lan tidak mau main-main lagi dan saat ia
berseru keras, kaki kanannya telah berhasil menendang tubuh belakang Hok Ti
Hwesio dengan gerakan Soan-hong-twi (Tendangan Kitiran Angin).
Tendangan ini dilakukan dengan
tenaga yang ratusan kati beratnya dan cukup membuat tulang punggung lawan
menjadi patah-patah. Akan tetapi, bagaikan sebuah bal karet, tubuh Hok Ti
Hwesio terpental keras dan ketika membentur dinding, lalu mental kembali dan
bergulingan di atas lantai tanpa luka sedikit pun!
Goat Lan terheran-heran
sehingga untuk sesaat ia berdiri bengong memandang manusia bal itu! Tentu saja
ia tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio telah melatih diri dengan ilmu kebal yang
luar biasa dan yang dimilikinya setelah dia makan tiga buah jantung manusia!
Pada saat Goat Lan berdiri
bengong memandang Hok Ti Hwesio saking herannya, Kam Seng mengirim tusukan maut
dengan pedangnya. Ujung pedangnya sudah berada dekat sekali dengan dada kiri
Goat Lan, akan tetapi alangkah terkejut hati Kam Seng ketika tiba-tiba,
bagaikan tubuh seekor ular, tubuh gadis itu melenggok ke kiri dan tusukan itu
hanya lewat di pinggir tubuhnya saja! Dan sebelum Kam Seng kehilangan rasa
herannya, tiba-tiba saja dia merasa lengan kanannya sakit sekali dan pedangnya
telah terlepas dari pegangannya! Tanpa dia ketahui, dengan gerakan yang cepat
bukan main bagaikan kilat menyambar, Goat Lan telah mengirim totokan ke arah
urat nadinya!
Hok Ti Hwesio telah bangun
berdiri lagi, begitu juga Kam Seng telah mengambil kembali pedangnya karena
totokan tadi tidak berbahaya, akan tetapi kedua orang itu kini merasa ragu-ragu
dan hanya memandang kepada gadis itu dengan bengong. Mereka mengira sedang
berhadapan dengan setan, sebab bagaimanakah seorang gadis cantik lagi muda itu
dapat menghadapi mereka dengan tangan kosong dan membuat mereka tak berdaya
dengan dua kali serangan saja?
Sementara itu, Ban Sai Cinjin
telah diserang dan didesak hebat oleh Lili yang berusaha membunuhnya! Pundaknya
yang tadi terluka mulai terasa sakit bukan main dan agaknya sambungan tulang
yang telah disambung itu kini terlepas lagi! Keadaannya benar-benar berbahaya
dan Goat Lan hanya memandang sambil tertawa-tawa.
Pada saat itu, terdengar
seruan orang dan tahu-tahu dari dalam menyambar angin yang menolak kipas Lili
yang sedang dipukulkan ke arah dada Ban Sai Cinjin! Goat Lan amat terkejut
ketika melihat betapa kipas itu terpental dan tahu bahwa dari dalam ada orang
berkepandaian tinggi yang turun tangan. Benar saja, seruan tadi segera disusul
dengan munculnya seorang tosu tua.
“Nona Sie!” kata tosu itu
ketika Lili melompat mundur. “Muridku telah berlaku sangat baik kepadamu,
mengapa kau masih mati-matian mengacaukan tempat tinggal orang lain?”
Melihat munculnya tosu yang
sore tadi sudah merobohkannya, kemarahan Lili jadi makin memuncak. Ia maklum
bahwa ilmu kepandaian Wi Kong Siansu ini jauh lebih tinggi dari pada
kepandaiannya sendiri, akan tetapi puteri Pendekar Bodoh ini memang mempunyai
ketabahan yang diwarisinya dari ayah bundanya.
“Tosu siluman, rasakan
pembalasanku!” teriaknya keras dan ia cepat menyerang dengan pedangnya dan
mainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut di tangan kanan serta mainkan San-sui
San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air) dengan tangan kirinya!
Wi Kong Siansu sudah tahu akan
kelihaian gadis galak ini, maka dia berlaku hati-hati sekali dan mainkan kedua
lengan bajunya dengan cepat. Juga Goat Lan berdiri dengan kagum memandang ilmu
silat yang dimainkan oleh Lili. Diam-diam dia mengakui bahwa ilmu silat Lili
benar-benar hebat sekali.
Akan tetapi ketika ia melihat
gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu, ia lebih kaget lagi. Ujung lengan
baju yang terbuat dari kain lemas itu kini mengeras bagaikan ujung toya baja
dan tiap kali terbentur dengan pedang atau gagang kipas Lili, terdengar suara
keras dan senjata di tangan gadis itu terpental ke belakang.
Melihat hal ini saja maklumlah
Goat Lan bahwa kepandaian tosu tua ini sungguh hebat sekali dan jika dibiarkan
saja, Lili mungkin takkan dapat menang. Maka ia lalu mencabut senjatanya dan
berseru,
“Kakek tua, jangan kau orang
tua menghina yang muda!”
Ketika Wi Kong Siansu melihat
datangnya serangan dan melihat senjata di tangan Goat Lan, kakek ini terkejut
sekali dan cepat dia melompat mundur. Ternyata bahwa gadis ini sekarang
memegang dua batang bambu kuning yang hanya sebesar lengan anak-anak dan
berujung runcing, panjangnya kira-kira hanya tiga kaki!
“Tahan, Nona. Apakah
hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
Goat Lan memang bersifat nakal
dan jenaka, karena itu sambil tersenyum-senyum ia pun menjawab,
“Totiang (sebutan untuk
pendeta tua), aku yang muda tidak mau membawa-bawa nama orang-orang tua untuk
menakuti-nakuti kau!”
Merahlah wajah Wi Kong Siansu
mendengar ucapan ini. “Siapa takut kepadamu? Meski pun Hok Peng Taisu sendiri
yang datang, aku Wi Kong Siansu belum tentu akan takut kepadanya! Hanya kulihat
bahwa sepasang bambu runcingmu itu adalah bambu runcing yang merupakan
kepandaian tunggal dari Hok Peng Taisu.”
“Sudahlah, tidak perlu kita
membawa-bawa nama orang tua itu di tempat yang kotor ini. Pendeknya, kalau
Totiang takut, sudah saja jangan kau mengganggu adikku ini!”
“Siapa takut? Biarlah, biar
kumencoba kepandaian Bu Pun Su dan Swie Kiat Siansu yang diturunkan kepada Nona
Sie ini dan sekalian kurasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!”
Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan
di balik jubahnya yang lebar.
Pedang ini bersinar kehitaman
sebab inilah pedang mustika yang sangat berbahaya dan ganas yang bernama
Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam)! Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu memang telah
menciptakan semacam ilmu pedang tunggal yang pada waktu itu merupakan sebuah
dari ilmu-ilmu pedang yang paling terkenal dan ditakuti di masa itu.
Ilmu pedang ini ia ciptakan
berdasarkan pedang mustikanya yang didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san.
Karena pedang itu mengeluarkan sinar kehitaman dan didapatkannya di atas Bukit
Hek-kwi-san (Bukit Setan Hitam), maka ia lalu memberi nama Hek-kwi-kiam pada
pedang itu dan lalu memberi nama pada ilmu pedang ciptaannya Hek-kwi Kiam-sut.
Walau pun Kam Seng sudah
mempelajari ilmu pedang ini dengan tekunnya, akan tetapi karena ilmu pedang ini
amat sukar dan banyak sekali perubahannya, maka kepandaian itu boleh dibilang
belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian Wi Kong Siansu Si Iblis Tua
Pencabut Nyawa!
“Majulah, anak-anak muda!
Biarlah kalian mendapat kehormatan untuk mengenal Hek-kwi Kiam-sut dari dekat!”
Akan tetapi Lili yang amat
marah sudah tak sabar lagi mendengar ocehan tosu itu dan cepat maju menyerang
dengan pedangnya. Goat Lan yang dapat menduga kelihaian tosu itu, lalu maju
pula membarengi gerakan Lili dan mengirim serangan dengan bambu runcingnya.
Sesungguhnya, dari kedua
suhu-nya yang menggembleng dirinya selama delapan tahun, yaitu Sin Kong Tianglo
Si Raja Obat dan Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak, Giok Lan hanya menerima
latihan-latihan ilmu silat tangan kosong beserta lweekang dan ginkang. Akan
tetapi gadis ini tentu saja tidak mau meniru kedua suhu-nya yang menggunakan
senjata-senjata yang paling aneh di antara sekalian senjata ahli silat di dunia
ini.
Yok-ong Sin Kong Tianglo
selalu mempergunakan keranjang obat dan pisau pemotong rumput sebagai senjata,
sedangkan Im-yang Giok-cu mempergunakan senjata guci arak. Oleh karena itu, di
samping menerima gemblengan ilmu silat dari kedua kakek sakti ini, Goat Lan
juga mempelajari ilmu pedang dari ayahnya dan terutama sekali yang paling
disukai adalah mempelajari ilmu bambu runcing dari ibunya!
Bahkan sesudah dia dapat
memainkan ilmu bambu runcing dengan pandai, dia lalu minta kepada ayahnya untuk
membuatkan bambu runcing terbuat dari sepasang bambu kuning seperti milik
ibunya! Hanya dengan senjata inilah Goat Lan melakukan perantauannya!
Ilmu silat Goat Lan tentu saja
sudah tinggi dan tangguh bukan main. Ia telah menerima gemblengan dari empat
orang berkepandaian tinggi dan biasanya dia hanya menghadapi para lawan yang
betapa lihai pun dengan kedua kaki tangannya sambil mengandalkan ginkang-nya
yang seperti ibunya itu. Akan tetapi kini saat menghadapi Wi Kong Siansu,
terpaksa dia harus mengeluarkan bambu-runcingnya.
Begitu pula dengan Wi Kong Siansu.
Biasanya, orang tua ini selalu memandang rendah lawan-lawannya dan tak pernah
dia mengeluarkan pedang mustikanya. Kini menghadapi dua orang gadis cantik dan
masih muda dia sampai mengeluarkan pedangnya, dapatlah diketahui bahwa tosu ini
sama sekali tidak berani memandang ringan terhadap Lili dan Goat Lan.
Bahkan Ban Sai Cinjin sendiri
memandang heran dan ia selalu bersiap sedia dengan hati berdebar-debar. Hok Ti
Hwesio dan Kam Seng tentu saja hanya berdiri di sudut ruangan yang luas itu
sambil menonton dan sama sekali tidak berani mencoba untuk ikut turun tangan.
Pertempuran kali ini memang
benar-benar hebat sekali. Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut luar biasa ganas dan
cepatnya hingga ruang yang terang oleh cahaya lampu itu menjadi muram, oleh
karena sinar pedang itu bergulung-gulung laksana uap gunung berapi yang
mengandung abu hitam.
Akan tetapi sepasang bambu
runcing di tangan Goat Lan merupakan titik kuning, yang kadang-kadang
berkelebat bagaikan halilintar menyambar dengan cepatnya. Sedangkan pedang
Liong-coan-kiam terkenal sebagai pedang yang ampuh, kini digerakkan dengan Ilmu
Pedang Liong-cu Kiam-sut menjadi amat mengagumkan, berkelebat-kelebat bersinar
putih laksana perak merupakan seekor naga perkasa yang bermain-main di antara
awan hitam dan halilintar! Kipas maut di tangan kiri Lili merupakan pusat angin
yang apa bila digerakkan membuat para penonton merasakan sambaran angin dingin
yang aneh!
Empat ilmu silat yang luar
biasa tingginya kini bertemu, dimainkan oleh tiga orang yang memiliki ilmu
tinggi, sungguh merupakan pemandangan yang sukar dilihat orang! Ban Sai Cinjin,
Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio sampai berdiri bengong bagaikan terpaku di lantai.
Bagi Kam Seng dan Hok Ti
Hwesio yang ilmu kepandaiannya jauh lebih rendah, tidak ada kemungkinan sama
sekali bagi mereka untuk ikut turun tangan dalam pertempuran yang maha dahsyat
itu, akan tetapi tidak demikian dengan Ban Sai Cinjin. Apa bila diukur tingkat
kepandaiannya, memang dia tidak usah mengaku kalah terhadap dua orang gadis
itu.
Maka secara diam-diam kakek
mewah ini lalu menelan dua butir pil dan mengurut-urut pundaknya, membenarkan
letak tulang pundak sambil mengatur napasnya. Lalu, setelah pundaknya tidak
begitu sakit lagi, dia lalu mengeluarkan tembakau hitamnya yang amat berbahaya,
dan mulai mengisi kepala huncwe-nya dengan tembakau beracun itu. Tidak lama
kemudian, mengebullah asap tembakau yang membuat kepala menjadi pening dan
napas menjadi sesak. Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sendiri terpaksa melangkah
mundur menjauhi agar jangan sampai terkena serangan asap beracun itu.
Goat Lan adalah murid dari
Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, maka tentu saja ia juga sudah
mempelajari ilmu pengobatan, terutama sekali tentang racun yang sering kali
dipergunakan oleh kaum hek-to (jalan hitam, yaitu orang-orang jahat). Begitu
hidungnya mencium bau asap tembakau yang mulai melayang-layang di ruangan itu,
ia pun maklum bahwa kakek mewah dengan huncwe mautnya itu akan ikut turun
tangan pula, hendak mengandalkan huncwe dan asapnya yang lihai.
Cepat tangan kirinya
menancapkan bambu runcing yang kiri di ikat pinggang, menjaga diri dengan bambu
runcing kanan, lalu menggunakan tangan kirinya untuk merogoh saku bajunya. Ia
mengeluarkan dua butir buah yang putih warnanya, lalu menyerahkan sebutir
kepada Lili sambit berkata,
“Lili, masukkan buah ini ke
dalam mulut dan gigit! Jangan telan!”
Lili menerima buah itu dan
ketika dia menggigitnya, maka mulut dan hidungnya terasa dingin dan pedas, akan
tetapi tercium hawa yang sangat harum keluar dari mulut serta hidungnya.
Pada saat itu pula, Ban Sai
Cinjin sudah melompat maju dan menyerbu dengan huncwe mautnya sambil
mengebulkan asap hitam dari mulutnya ke arah kedua orang gadis itu. Akan
tetapi, alangkah heran dan kagetnya pada waktu ia melihat Lili dan Goat Lan
tidak mengelak dan menerima asap itu tanpa terpengaruh sedikit pun! Ternyata
bahwa asap hitam itu sebelum dapat memasuki hidung atau mulut dua orang dara
pendekar ini, telah diusir kembali oleh hawa harum yang keluar dari mulut dan
hidung mereka!
Akan tetapi, setelah Ban Sai
Cinjin ikut menyerbu, sibuk jugalah Lili dan Goat Lan. Tadi saat menghadapi dan
mengeroyok Wi Kong Siansu, keadaan mereka baru dapat disebut seimbang, tetapi
masih saja mereka berdua merasa amat sukar untuk dapat merobohkan Toat-beng Lo-mo
yang memang sakti itu.
Kini, ditambah Ban Sai Cinjin
yang memiliki ilmu kepandaian tidak lebih rendah dari pada tingkat mereka,
tentu saja menimbulkan banyak kesukaran sehingga keduanya terpaksa mengerahkan
kepandaian pada penjagaan diri.
“Lili, mari kita pergi, malam
sudah lewat!” kata Goat Lan sambil memutar kedua bambu runcingnya menghadapi
pedang hitam Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu. Memang, saat itu malam telah
terganti pagi. Ayam-ayam hutan mulai berkokok nyaring, burung-burung mulai
berkicau.
“Ha-ha-ha, nona-nona manis!
Kalian baru boleh pergi setelah meninggalkan tubuh kalian yang bagus di sini.
Hanya nyawa kalian saja yang bisa pergi! Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa
bergelak karena girangnya melihat betapa dia dan suheng-nya dapat mendesak
kedua nona lihai itu.
Sebenarnya, pertempuran itu
boleh dibilang amat ganjil. Wi Kong Siansu tetap dikeroyok dua oleh Lili dan
Goat Lan, ada pun Ban Sai Cinjin hanya membantu suheng-nya dengan
serangan-serangan curang kepada dua orang nona itu.
Lili dan Goat Lan tidak dapat
membalas kakek mewah ini karena mereka selalu harus mencurahkan perhatian
terhadap Toat-beng Lo-mo yang benar-benar sangat berbahaya dan lihai. Kedua
nona itu merasa serba sulit.
Kalau seorang di antara mereka
meningalkan Toai-beng Lo-mo untuk menghadapi Ban Sai Cinjin, mungkin sekali dia
akan dapat merobohkan Ban Sai Cinjin yang sudah terluka pundaknya. Akan tetapi
kawan yang ditinggalkan juga sangat berbahaya kedudukannya dan mungkin tidak
akan kuat menghadapi Toat-beng Lo-mo. Maka mereka tetap saling bantu dan tidak
mau meninggalkan kawan, selalu bersama-sama menghadapi desakan Toat-beng Lo-mo
dan Ban Sai Cinjin tanpa dapat membalas!
Sebetulnya, biar pun hati
nurani dan peri kemanusiaannya amat tipis, namun Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu
masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat pengecut dan
rendah seperti sute-nya. Mendengar ejekan sute-nya terhadap kedua orang nona
itu, ia merasa amat jengah dan malu.
Dua orang kakek yang telah
dikenal sebagai tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama besar
di kalangan kang-ouw, sekarang menghadapi dua orang gadis yang usianya baru
belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan
mereka! Apa lagi kalau dia mengingat bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak
dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng Taisu, Bu Pun Su dan
Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan
mereka ini.
Juga ada sedikit rasa sayang
dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang demikian cantik
jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai
seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja dia selalu merasa sayang kepada
orang-orang muda yang berbakat dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba Lili dan Goat Lan
yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad, merasa
betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka merasa heran
sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan
beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri.
Cepat mereka menggunakan
kesempatan pada waktu pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil sinarnya.
Mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat
nekad menyerang membabi buta.
Hampir saja Ban Sai Cinjin
menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat
menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak
terserang menjadi pihak penyerang, sudah memberi kesempatan kepada Lili dan
Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!
Ban Sai Cinjin hendak mengejar
akan tetapi suheng-nya mencegah. “Mereka sudah lari, jangan dikejar, Sute.
Kepandaian mereka tinggi dan tidak perlu pertempuran yang sudah berlangsung
setengah malam ini harus diperpanjang lagi.”
Karena pundaknya juga terasa
amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya. Kalau suheng-nya tidak
ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang gadis yang lihai itu? Ia
menarik napas panjang dan berkata,
“Baru anak dari Pendekar Bodoh
dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah membuat kita tak
berdaya, apa lagi kalau Pendekar Bodoh sendiri beserta kawan-kawannya datang
menyerbu!”
Ucapan ini sengaja dikeluarkan
untuk mencela dan menegur suheng-nya, dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu juga
merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,
“Kau tahu sendiri bahwa mereka
adalah para murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa
aku akan kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang menjadikan pikiranku ruwet
adalah pulangnya Ong Tek. Apa bila Pangeran Ong mendengar bahwa puteranya
hampir saja kau bunuh, bukankah ini berarti bahwa kita sudah memancing
permusuhan dengan para perwira kerajaan?”
“Aku tidak takut, Suheng!”
jawab Ban Sai Cinjin.
Toat-beng Lo-mo tak menjawab,
hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi semakin besar dan ruwet, tak
ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
“Kam Seng, mulai sekarang kau
harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa pihak musuh-musuhmu
ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”
Pada siang harinya, datanglah
Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi Kong Siansu dan
Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka ini adalah Hailun
Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang kakek aneh dan
sakti yang sudah amat terkenal namanya di perbatasan Mancuria di utara.
Baru melihat keadaan tiga
orang ini saja sudah sangat aneh. Yang seorang tinggi kurus potongan tubuhnya
seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya. Orang kedua gemuk
dengan muka lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha, mulutnya lebar seperti
terobek dari telinga ke telinga.
Orang ke tiga lebih aneh lagi.
Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka bahwa dia adalah
seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang dia persis seperti
seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang melihat wajahnya,
dia pasti akan terkejut dan heran. Mukanya adalah muka seorang kakek tua
berjenggot dan berkepala botak.
Sungguh pun keadaan ketiga
orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat tersohor dan mereka
terkenal sebagai orang-orang sakti.
Hailun Thai-lek Sam-kui
tadinya agak merasa segan untuk menuruti bujukan Bouw Hun Ti. Akan tetapi saat
mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak takut dan gelisah
sehingga mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh dan
kawan-kawannya, ketiga orang Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik.
Mereka lalu ikut turun gunung
dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Dengan serta merta Ban Sai Cinjin
yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan
hidangan-hidangah yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan
riangnya. Kegelisahan yang tadi terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi
Kong Siansu juga mulai merasa lega karena dia maklum akan kelihaian tiga orang
iblis itu…..
********************
Sementara itu, setelah dapat
melarikan diri dari kuil serta meninggalkan Ban Sai Cinjin dan Toat-beng Lo-mo
Wi Kong Siansu yang lihai itu, Lili lalu membawa Goat Lan untuk mampir ke rumah
penginapan dan mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian, pada pagi itu juga
mereka lalu melarikan diri keluar dari dusun Tong-sin-bun.
“Ahh, sungguh lihai tosu tua
itu!” kata Goat Lan setelah mereka tiba di luar dusun. Dia berhenti, kemudian
memegang kedua tangan Lili. “Akan tetapi mengapa kau bisa berada di dalam kuil
itu, Lili? Dan apakah yang terjadi? Pertemuanku dengan kau di tempat itu selain
amat menggirangkan hati, juga amat mengejutkan dan mengherankan!”
Lili membalas pelukan Goat Lan
dan berkata sambil tertawa. “Sebenarnya aku sedang melakukan perjalanan untuk
mengunjungi kau di Tiang-an.”
“Aihh, aneh benar kau ini.
Dari tempat tinggalmu ke Tiang-an, sama sekali tidak melewati tempat ini.
Apakah kau tersesat jalan?”
Lili tersenyum lagi. “Goat
Lan, berjanjilah dulu, bahwa kau takkan membuka rahasiaku ini kepada orang
lain. Juga tidak kepada ayah ibu, karena sebenarnya aku telah mengambil jalan
sendiri!”
“Rahasia apakah?” Goat Lan
bertanya heran.
“Sesungguhnya, dari rumah aku
berpamit untuk pergi ke Tiang-an dengan alasan sudah merasa rindu padamu. Akan
tetapi, diam-diam aku tidak menuju ke rumahmu, melainkan membelok ke
Tong-sin-bun untuk mencari musuh besarku, Bouw Hun Ti. Tentunya kau sudah
mendengar pula bahwa Bouw Hun Ti adalah murid dari Ban Sai Cinjin, maka aku
langsung menuju ke sana untuk mencarinya. Nah, jangan kau ceritakan hal ini
kepada ayah atau ibuku, karena mereka tentu akan marah besar. Memang ayah ibuku
benar, karena hampir saja aku mendapat celaka besar.”
Maka, kemudian berceritalah
Lili tentang pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak menceritakan bahwa
ketika dia tertawan, Kam Seng sudah mencium jidatnya! Ia hanya memberitahukan
kepada Goat Lan bahwa Kam Seng itu sesungguhnya adalah putera dari Song Kun,
suheng dari ayah Lili!
“Dan bagaimana kau bisa
kebetulan sekali datang pada malam hari tadi, Goat Lan?”
“Mari kita mengaso dahulu di
bawah pohon itu,” kata Goat Lan sambil menuju ke arah sebatang pohon besar di
pinggir jalan. “Ceritaku agak panjang karena memang sudah lama kita tak saling
jumpa. Mari kita duduk di sana dan mari kuceritakan pengalamanku. Kau tentu
akan tertarik mendengarnya. Karena ketahuilah bahwa aku pernah bertemu dengan
Bouw Hun Ti musuh besarmu itu!”
Mereka lalu pergi dan duduk di
bawah pohon yang rindang itu, dan berceritalah Goat Lan dengan jelas,
didengarkan oleh Lili dengan asyiknya…..
********************