Pendekar Sakti Jilid 11-15
Sambil mencekik leher ular
dengan kedua tangan, dia menggelundung ke kiri di mana dia melihat beberapa
potong batu karang. Sesudah mengambil sepotong batu karang yang sebesar
kepalanya dan yang tajam runcing pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya.
Ular itu menyerang lagi dengan
mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu itu ke dalam mulut
ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi ular itu mendoyong
ke dalam, maka sesudah batu karang ini memasuki mulut sampai di belakang
gigi-gigi ular, batu itu tidak dapat keluar kembali akibat terganjal oleh gigi
atas dan bawah!
"Bagus, Kwan Cu!"
Ang-bin Sin-kai tertawa-tawa memuji.
Mendengar pujian guru ini,
besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu lagi. Kini ular itu
pun menjadi bingung sekali, terus menggerak-gerakkan kepalanya berusaha hendak
melepaskan benda aneh yang mengganjal mulutnya. Saking bingungnya, lilitan pada
tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa eratnya, makin lama semakin kendor
dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang dililitnya. Ular itu menggeliat-geliat,
memukul-mukulkan kepalanya pada tanah dan Kwan Cu segera bertindak. Ia
mengambil sepotong batu lagi dan sekali pukul saja pecahlah kepala ular itu!
"Hemm, bagus! Lekas bikin
api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu lama, dibikin setengah
matang saja!" Ang-bin Sin-kai berkata dengan air liur memenuhi mulutnya
dan beberapa kali menelan ludah.
Setelah daging ular matang dan
merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran kata-kata suhu-nya. Daging
itu terasa manis dan gurih sekali biar pun dipanggang tanpa diberi bumbu dan
garam, hanya saja setelah memasuki tubuh, membuat perut dan dada terasa panas
dan darah mengalir lebih cepat dari biasanya.
Setelah makan kenyang. Ang-bin
Sin-kai berkata kepada Kwan Cu.
"Perkelahianmu dengan
ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular itu
mempunyai tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun lilitannya
makin lama makin kuat karena ia mempergunakan tenaga dalam yang mengalir di
dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam),
memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau mempergunakan
tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi mengerahkan ambekan
(pernapasan) untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau menggunakan
kekerasan, tentu akan ada tulangmu yang patah dan uratmu tergelincir dari
tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi binatang yang selalu
mempergunakan tenaga kasar, yakni harimau.”
Terbelalak sepasang mata Kwan
Cu memandang suhu-nya.
"Waaah, Suhu. Bagaimana
teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan telah terkenal
sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup mengalahkan
harimau?"
"Kau baru saja mempunyai
kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih berat. Biar sekarang
aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-bun
Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok). Kalau kau sudah bisa
mainkan ilmu silat ini, agaknya tak akan mudah kau diserang lawan."
Dengan girang Kwan Cu kemudian
mulai mempelajari Pai-bun Tui-pek-to, yang dilakukan mengandalkan ginkang yang
sangat tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan
lawan serta melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada
saat bagaimana mempergunakan tenaga lweekang dan saat bagaimana pula
mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan sejelasnya, pendeknya
ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to ini sangat baik untuk seorang ahli silat tangan
kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata.
Beberapa bulan berlalu tanpa
terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh dikata bahwa
dia sudah menyempurnakan ilmu Pai-bun Tui-pek-to, karena tak seperti
Sam-hoan-ciang yang hanya mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini
meski pun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap jurus dapat
dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung dari pada kedudukan
lawan menyerang.
Kini Ang-bin Sin-kai menurut
kehendak muridnya lagi, yaitu mencari Bukit Liang-san yang masih amat jauh.
Pada saat mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang
besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari.
Di dalam kota kecil itu banyak
terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan kota itu terdapat telaga
kecil yang airnya sangat biru serta dikelilingi pohon-pohon dan
kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai senang sekali pelesir di daerah ini, maka dia
sengaja bermalas-malasan untuk pergi meninggalkannya.
Pada hari ketiga, pada waktu
Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekat telaga itu, tanpa sengaja mereka
melihat berkelebatnya seorang Tartar yang wajahnya tampan dan berpakaian perwira.
Ang-bin Sin-kai tak mengenal
orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya dengan baik. Apa lagi, sejak mereka
memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa
yang berada di sekitarnya, melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul
pikirannya bahwa orang ini tentulah sedang menyelidiki keadaan dia dan gurunya.
Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu Shan.
Akan tetapi An Lu Kui seperti
yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak mempedulikannya.
Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya
lagi.
Kwan Cu tidak tahu bahwa
sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui diam-diam
melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak
aneh ini hendak mengambil kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tulen. Sedangkan
kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak mengenalnya sama
sekali. Bila saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai, agaknya
siang-siang dia telah angkat kaki dan kabur.
"Suhu, ada orang
mengikuti kita," kata Kwan Cu perlahan kepada suhu-nya.
"Mana dia?"
"Entah, dia sudah pergi
lagi, Suhu. Akan tetapi, telah beberapa kali teecu melihatnya dan agaknya dia
memperhatikan kita."
"Siapa sih
orangnya?"
"Dia adalah penculik yang
dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu adik
dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui."
"Hemm, dia mau apa?"
"Entahlah, Suhu. Akan
tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai juga. Dulu pernah
teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguh pun dia tidak
berdaya menghadang Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya."
Kwan Cu lalu menuturkan
pengalamannya ketika diculik oleh An Lu Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan
berkata gembira,
"Bagus, kalu begitu,
biarlah dia menjadi pengujimu."
"Penguji bagaimana,
Suhu?"
"Kau sudah mempelajari
ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to, coba kau hadapi dia, hitung-hitung
untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat
sunyi."
Kwan Cu mengangguk, dan
hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-ong itu
tak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang pandai dan gagah
perkasa, lalu bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja
sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama suhu-nya dan
perlawanannya adalah atas perintah suhu-nya, hatinya menjadi besar.
Tidak lama kemudian, benar
saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan Cu
menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, kemudian menggandeng tangan
suhu-nya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari sana
letaknya. Pancingannya berhasil karena melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan
dan bergesa-gesa ke bukit kecil, An Lu Kui lalu mengejar!
Sesudah berada di tempat yang
sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama suhu-nya menengok ke
belakang. Tampak An Lu Kui berlari cepat menghampiri mereka dan setelah
berhadapan, dia menegur.
"Ehh, tidak tahunya kau
Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi ke manakah?"
Kwan Cu memang telah mendapat
perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan perwira ini, maka dia
memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ketika
dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja, maka dia menjawab,
"Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada urusan apakah kau
menyusulku, An-sianseng?"
Mendengar jawaban yang kurang
ajar ini tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya.
"Bocah gundul! Ketika
dahulu menjadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan,
sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak
pergi ke mana?"
"Ke mana pun aku pergi,
tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!" kata Kwan Cu dengan sengaja agar
perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu
silatnya Pai-bun Tui-pek-to.
"Setan cilik! Bukankah
kau hendak pergi ke tempat disembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Hayo
jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai
pecah!"
Tiba-tiba saja terdengar suara
meledak dari Ang-bin Sin-kai. "Ha-ha-ha! Agaknya semua orang sudah
tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni
badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke bawah!"
Bukan main marahnya An Lu Kui
mendengar ejekan ini. "Bangsat tua bangka! Apakah matamu buta dan tak
mengenal orang? Kau sedang berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari panglima
besar An Lu Shan! Berlutut kau!"
Kwan Cu melangkah maju.
"Orang she An, jangan kau menghina guruku!"
"Kau setan gundul mau
apa?" bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah
kepala Kwan Cu yang gundul.
Akan tetapi dengan sedikit
menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini. An Lu
Kui menjadi penasaran dan marah sekali. Oleh karena itu, sambil menggereng
bagaikan seekor harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan
bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya!
Akan tetapi, sebentar saja dia
menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah, Kwan Cu
dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru
beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan
demikian lincah.
Ahh, jangan-jangan gurunya
yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka dia
mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai
pengerahan tenaga lweekang!
Kwan Cu baru saja belajar
beberapa bulan. Ada pun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, karena itu
menghadapi serangan-serangan hebat ini, tentu saja Kwan Cu menjadi repot
sekali. Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to, dia masih
dapat mengelak mau pun menangkis, akan tetapi dia tidak dapat membalas sama
sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!
"Kau menyia-nyiakan
banyak kesempatan baik!" kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.
"Campur Pai-bun Tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!"
Kwan Cu maklum akan maksud
suhu-nya. Namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat membalas
serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk semakin hebat itu.
An Lu Kui kali ini benar-benar
penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, namun
tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul
ini. Kini mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia bahwa kakek ini memang
benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia.
Celaka, keluh An Lu Kui, bila
aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa dipermainkan oleh
setan besar itu. Maka, dia lalu mencabut sepasang siang-kek (senjata tombak
bercagak) dari punggungnya dan lantas memutar dua senjata ini bagaikan kitiran
cepatnya.
"Kwan Cu kau melompatlah
ke punggungku dan lihat baik-baik cara aku mainkan Pai-bun Tui-pek-to dan
Sam-hoan-ciang!" kata Ang-bin Sin-kai.
Kwan Cu tertawa gembira dan
sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah
melompat ke atas punggung suhu-nya. An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah
merasa malu serta marah dijadikan permainan oleh Kwan Cu, maka kini dia
menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan berbahaya.
Kwan Cu melihat gerakan tubuh
suhu-nya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di punggung suhu-nya, dia
merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari
balik punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan suhu-nya.
Benar saja, gurunya menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu
mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to!
Melihat betapa gerakan gurunya
amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan semua
serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui, Kwan Cu menjadi kagum
sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi pada waktu
menghadapi serangan An Lu Kui ia terlalu gugup dan terlalu banyak membuang
gerakan sendiri. Sebenarnya, kalau dia bisa tenang seperti suhu-nya, tidak usah
terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-bun
Tui-pek-to sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.
"Kau lihat
lowongan-lowongan itu?" kata Ang-bin Sin-kai pada muridnya. "Buka
matamu baik-baik, setiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah
pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu yang
terbuka dan kau gunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!"
Kwan Cu mengerti. Yang
dimaksud oleh gurunya mengenai pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang
terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan sekarang setelah berada di
punggung suhu-nya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan,
memang matanya terbuka dan dia bisa melihat betapa setiap kali menyerang, An Lu
Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali.
Mendengar perintah suhu-nya
ini, maka mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-hoan-ciang! Tiap kali
An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya,
pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan Cu tidak ingin
menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang, suhu-nya mengelak
dan dia menghantam dengan tangannya.
“Bak! Buk! Bak! Buk!”
terdengar suara ketika tubuh An Lu Kui terpukul secara tepat oleh tangan Kwan
Cu yang kecil!
An Lu Kui menyumpah-nyumpah,
Ang-bin Sin-kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak girang. Bocah
gundul itu kini duduk di punggung gurunya dengan tangan kanan terangkat, siap
untuk menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke arah ‘pintu
terbuka’ dari lawannya!
Ada pun bagi An Lu Kui,
Ang-bin Sin-kai seakan-akan merupakan manusia asap saja. Ke mana pun sepasang
tombaknya menyerang, selalu tidak mampu mengenai tubuh kakek aneh itu. Ia mulai
menjadi gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biar pun tidak bisa
melukainya, akan tetapi terasa cukup pedas dan memanaskan kulit, terutama
sekali memanaskan hatinya.
"Orang Tartar, kau masih
belum cukup?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Entah dengan gerakan apa, karena
Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan gurunya ini, tahu-tahu sepasang tombak
cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan. Ang-bin Sin-kai menggerakkan
kedua tombak itu dan…
“Krakk!” terdengar suara dan
patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang!
Sambil tersenyum Ang-bin
Sin-kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam jurang, kemudian
berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan hati
terheran-heran.
"Tidak patut sekali
seorang perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil.
Pergilah!"
An Lu Kui menjadi malu sekali.
Ia menjura sambil berkata, "Mohon banyak maaf siauwte tidak mengenal orang
pandai. Siauwte An Lu Kui hendak mohon tanya, siapakah nama Lo-enghiong yang
terhormat?"
Ang-bin Sin-kai tidak mau melayaninya,
bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompatlah dia turun dari bukit.
"An-sian-seng (tuan An),
suhu-ku itu adalah Ang-bin Sin-kai!" berkata Kwan Cu yang lalu cepat-cepat
berlari turun gunung mengikuti suhu-nya.
An Lu Kui tertinggal di bukit
itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga belas, pikirnya. Mengapa
aku selalu bertemu dengan setan-setan itu? Dia lantas teringat akan
pengalamannya dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan belum lagi sakit hatinya
karena terhina oleh kakek itu terbalas, sekarang dia mengalami hinaan pula dari
Ang-bin Sin-kai!
Ahhh, alangkah banyak orang
Han yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya mereka itu tidak ambil
peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau kaisar tidak demikian
bodoh dan dapat menghargai orang-orang seperti itu, negara manakah di dunia ini
yang dapat menandingi Tiongkok?
Dengan hati mengkal sekali, An
Lu Kui lalu turun dari bukit itu untuk kembali ke markas besar kakaknya di mana
dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dengan sangat tekunnya. Dalam
hal ilmu perang, barisan yang dipimpin oleh An Lu Shan benar-benar mendapat
kemajuan yang hebat sekali, berkat petunjuk dan pelajaran dari kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau Gui-siucai itu…..
********************
Ada pun Kwan Cu lalu
melanjutkan perjalanannya dengan Ang-bin Sin-kai, dan semenjak itu, Kwan Cu
makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya kegunaan
dari pada ilmu ini. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan murid-murid tokoh
lain, dia tetap saja terhitung yang paling bodoh.
Terhitung beberapa bulan yang
lalu, ketika menghadapi kedua orang murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dia masih
dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak bertemu dengan An Lu Kui,
terjadilah peristiwa lain yang di samping menunjukkan bahwa ia masih kalah jauh
oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh dan hatinya sakit sekali.
Hal itu terjadi ketika mereka
sudah sampai di kaki bukit Liang-san. Ketika itu, Kwan Cu sedang hendak
bertanya keterangan pada penduduk dusun tentang mendiang gurunya yang dahulu di
tempat ini terkenal dengan sebutan Gui-lokai (pengemis tua she Gui). Tiba-tiba
terdengar suara ketawa seperti gembreng dipukul dan disusul oleh suara yang
keras.
"Lu Thong, lihat ini
adalah saudara misanmu!"
Di depan Kwan Cu muncullah
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, hwesio gundul yang bundar seperti bal tubuhnya
itu, tokoh utama dari selatan! Dan di sampingnya berjalan seorang anak
laki-laki yang dikenal baik oleh Kwan Cu sebagai putera bangsawan yang dahulu
menghina Gui Tin dan yang memerintah anjingnya untuk mengeroyok Gui-suicai!
Memang benar, anak itu adalah
putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin! Seperti biasanya,
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali ini diikuti oleh
muridnya.
Semenjak menjadi murid Kak
Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali. Dia mempelajari ilmu
silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasihat suhu-nya. Di luarnya,
anak ini bersikap baik sekali, pendiam dan tidak jahat atau sombong seperti
dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari suhu-nya, tidak mewah seperti
dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja.
Biar pun dia dibawa merantau
dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak menolak ketika
suhu-nya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong mempunyai kekerasan hati dan
ketekunan luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan nafsunya dapat dia
tekan sedemikian rupa hingga seolah dia merupakan seorang murid yang baik sekali.
Tentu saja gurunya amat sayang kepadanya dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang
tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan pesat sekali.
Ketika melihat Kwan Cu dan
Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan diam-diam
dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah
pengharapannya untuk menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi
Laut Po-hai itu.
Sebaliknya, Lu Thong mengenal
Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dahulu menolong jembel tua di halaman
rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah
ditakut-takuti oleh bocah gundul ini, akan tetapi sekarang, sesudah dia merasa
mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi dan bahkan ingin dia
membalasnya! Tetapi dia tidak kenal kepada Ang-bin Sin-kai, yang sesungguhnya
masih kongkong-nya sendiri, karena ayahnya adalah keponakan dari pengemis tua
ini.
"Gundul bangkotan! Kau di
sini?" Ang-bin Sin-kai menegur dengan muka girang.
Di antara para tokoh
persilatan, dia lebih suka hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga mempunyai
kejujuran dan berhati baik. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak.
"Lucu, lucu sekali.
Ha-ha-ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha-ha-ha! Dan alangkah hebat dan lucunya
keluarga ini. Ehh, pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang menjadi muridku
ini?"
Ang-bin Sin-kai memandang,
akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka dia lalu
menggelengkan kepalanya.
"Kenalkah kau kepada
pengemis kelaparan ini?" Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bertanya kepada
muridnya.
Juga Lu Thong menggelengkan
kepala sesudah memandang tajam. "Teecu tidak kenal, Suhu."
"Lu Thong, inilah
Kongkong-mu yang tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu!" kata Kak
Thong Taisu.
Terbelalak mata Lu Thong.
"Ang-bin
Sin-kai...?" katanya perlahan.
"Ya, ya! Dialah Ang-bin
Sin-kai Lu Sin, Twa-pek (Uwa) dari ayahmu!"
Ada pun Ang-bin Sin-kai juga
terkejut mendengar kata-kata ini.
"Gundul jahat! Apakah
muridmu ini putera Lu Seng Hok?"
Lu Thong sekarang telah dapat
mengubah sikapnya dan dia pun sangat cerdik. Dia tahu bahwa Ang-bin Sin-kai ini
merupakan seorang tokoh yang pandai, maka dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya
berlutut di depan pengemis tua itu.
"Kongkong, harap maafkan
cucumu yang tidak tahu adat!" katanya sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Diam-diam Kwan Cu merasa heran
sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika dilihatnya di depan gedung
itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik.
Walau pun Ang-bin Sin-kai Lu
Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang bekerja membantu kaisar
yang dianggapnya lemah dan tidak baik, akan tetapi melihat cucunya ini, timbul
juga rasa terharu dalam hatinya.
"Baguslah kalau kau
menjadi murid Jeng-kin-jiu, belajarlah baik-baik," berkata Ang-bin Sin-kai
sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam panjang itu.
"Kongkong, biar pun
cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat mengharapkan
semacam ilmu silat dari Kongkong sebagai warisan sehingga kelak jangan ada yang
mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-bin Sin-kai yang terkenal, namun cucumu ini
tidak tahu sama sekali tentang kepandaian Kongkong-nya sendiri. Bukankah itu
amat tidak baik bagi keluarga kita?"
Semua orang termasuk Kwan Cu,
tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik sekali.
Jeng-kin-jiu menegur muridnya.
"Ehh, Lu Thong. Apakah
kau tidak puas dengan pelajaran yang kau dapat dari pinceng?"
Buru-buru Lu Thong memberi
hormat kepada suhu-nya. "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu merasa girang dan
puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya saja, teecu minta
tanda mata sebagai warisan dari Kongkong, apakah ini salah?"
Terdengar Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak.
"Tidak mengecewakan kau
menjadi cucunya Lu Pin, karena kau mempunyai kecerdikan. Ha-ha-ha! Jangan
bicara tentang kekeluargaan, sebab aku Lu Sin telah menjadi keluarga dari bumi
dan langit. Tak ada manusia yang bukan keluargaku, karena bukankah semua
manusia di seluruh dunia ini bersaudara belaka? Betapa pun juga, untuk
kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni Ilmu
Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa)! He, hwesio
gundul, kau terimalah Kong-jiu Toat-beng untuk diajarkan kepada muridmu ini,
akan tetapi bersumpahlah bahwa selama hidupmu kau tak akan mempergunakan ilmu
ini!" katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu.
Kak Thong Taisu tertawa
bergelak. "Pengemis kelaparan! Apa kau kira aku sudah begitu rakus untuk
mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru aku pun tak dapat kau kalahkan. Aku
bersumpah!" dia mengangkat kedua tangan di depan dada seperti menghormat
kepada Buddha.
Ang-bin Sin-kai mengangguk
puas, lalu kakek ini segera bersilat tangan kosong. Dalam pandangan Lu Thong
dan Kwan Cu, kakek ini bergerak luar biasa cepatnya bagai orang menari-nari
dengan jari-jari tangan terbuka. Tetapi sesudah Ang-bin Sin-kai mengulangi
sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang seluruhnya terdiri dari dua puluh
empat jurus itu, Jeng-kin-jiu sudah dapat menghafalnya!
"Hebat, hebat! Pinceng
sudah hafal semua," kata hwesio gemuk itu.
Ang-bin Sin-kai tertawa lagi.
"Eh, Thong-ji (anak Thong), sekarang coba kau menghadapi Kwan Cu, hendak
kulihat hwesio bundar ini sampai seberapa jauhnya memberi pelajaran
kepadamu!" Kemudian Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu. "Coba kau
layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!"
Kwan Cu baru saja mempelajari
dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to dan
ilmu menyerang Sam-hoan-ciang. Mendengar ucapan suhu-nya, dengan taat dia lalu
berdiri menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda.
"Lu Thong, kau hadapi dia
dengan Lam-hai Kong-jiu (Tangan kosong Dari Laut Selatan)!" kata
Jeng-kin-jiu sambil tertawa-tawa gembira.
Bagi dia dan juga Ang-bin
Sin-kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan dari pada pertandingan
silat, bagaikan dua orang kakek yang sudah ‘nyandu’ adu ayam melihat dua jago
berlaga.
Berbeda dengan Kwan Cu, Lu
Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari gurunya. Juga dalam hal tingkat
kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama sekali karena
Kwan Cu baru-baru ini saja mulai mempelajari ilmu pukulan dari Ang-bin Sin-kai,
juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari ilmu silat yang tadinya dianggap
sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya.
Akan tetapi, kalau dilihat
dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah gundul ini
memiliki tubuh yang kuat, di tambah pula oleh nasibnya yang baik sehingga dia
tanpa sengaja telah makan coa-ko (buah ular), kemudian Ang-bin Sin-kai yang
memang sengaja terus-menerus melatihnya kuda-kuda sehingga memiliki dasar kuat
sekali.
Begitu Lu Thong sudah siap,
cucu menteri ini serentak melancarkan serangan-serangan hebat dengan kedua
kepalan tangannya. Kwan Cu cepat memainkan Pai-bun Tui-pek-to, ilmu silat
mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya. Pada saat lengan tangannya
beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya amat pedas, maka
tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang lihai sekali.
Memang, Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu merupakan seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga hebat. Semenjak
belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini secara tekun dan
menggembleng tangan Lu Thong melalui latihan-latihan memukul pasir panas. Meski
pun usianya masih delapan tahun, akan tetapi Lu Thong kini sudah berani
mempergunakan lengannya untuk menangkis serangan tongkat!
Kwan Cu berlaku sangat
hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia selalu menggunakan tenaga
lweekang. Dia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan
dengan meminjam tenaga.
Kagetlah Lu Thong ketika dia
merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, amat lunak dan setiap
pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran,
kemudian mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-hai
Kong-jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk.
Kwan Cu terdesak hebat dan
payah juga. Biar pun ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to dapat digunakan untuk
menghindarkan semua serangan lawan, dan meski dia melihat adanya pintu-pintu
terbuka dalam kedudukan Lu Thong, akan tetapi dia tidak sempat membalas
serangan lawan. Dia belum memahami benar cara mengombinasikan Ilmu Silat
Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang.
Namun dengan sekuat tenaga dia
melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong sudah mengenai
tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia
terjungkal.
Menarik sekali kalau dilihat
sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Ang-bin
Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata
merem melek, sedikit pun tak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak.
Akan tetapi sebaliknya,
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tak mau diam, seperti orang melihat ayamnya diadu.
Dia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru "ah!",
"bagus!" atau mencela "salah!" sambil memperhatikan semua
gerakan muridnya. Kaki tangannya juga bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri
yang bertempur.
"Untuk apa kau sudah
mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki Naga)?" tiba-tiba
dia berkata seperti mencela muridnya.
Padahal ucapan ini merupakan
petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya dengan tendangan
yang datangnya bertubi-tubi dan cepatnya bukan main. Menghadapi serangan ini
Kwan Cu tak berdaya dan sebuah tendangan dengan kerasnya mengenai pahanya
sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah!
"Ha-ha-ha! Ang-bin
Sin-kai, muridmu kalah!"
Kwan Cu menjadi merah mukanya
dan teringat akan nasihat suhu-nya, dia lalu menjura kepada Lu Thong dan
berkata, "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!"
Lu Thong lalu mengangkat
dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya dengan gembira.
Ang-bin Sin-kai segera bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar
kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena
dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu sudah terlihat nyata.
Kwan Cu jauh lebih kuat. Kalau
saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali
terkena pukulannya Lu Thong tentu tak akan dapat bangun kembali tanpa menderita
luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali
tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia pun senang melihat cara
muridnya mengaku kalah.
"Hwesio gendut. Yang
baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun
dari saat ini, kita bertemu lagi dan kita akan mengadu murid-murid kita.
Beranikah kau?"
"Ha-ha-ha! Pengemis
kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun dari saat ini kita
bertaruh dalam pibu murid-murid kita."
"Bagus! Taruhanku begini.
Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat, sebaliknya
kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula
kepadanya. Bagaimana?"
"Ha-ha-ha! Kau memang
pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tak ada
ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah
berjanji ingin menjadi guru dari bocah gundul goblok ini!"
Ang-bin Sin-kai lalu mengajak
muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong dan
memandang dengan tajam sambil berkata, "Thong-ji, karena kau adalah cucu
dari Lu Pin, maka aku hendak memberi nasihat. Hilangkanlah semua sifat
kesombonganmu, karena apa bila kau pelihara sifat itu, kelak kau tentu akan
mengalami kekecewan karena kesombonganmu."
Ketika mengangkat muka
memandang, Lu Thong merasa terkejut sekali melihat sinar mata kakek itu
demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk
hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin.
“Baik, Kongkong," katanya
perlahan.
Ang-bin Sin-kai lalu pergi
bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya tubuhnya
merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya sudah menurunkan ilmu silat yang
hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya
menerima ilmu-ilmu silat yang digunakan untuk menahan serangan Lu Thong saja
masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat dan penerima,
dia tak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak
dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan…..
********************
Setelah berhasil menggondol
pergi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, Hek-i Hui-mo (Iblis Tebang Baju Hitam)
lantas melarikan diri secepatnya. Dia tidak percaya akan keterangan Kwan Cu
bocah gundul itu, bahwa kitab itu palsu, karena kalau palsu, kenapa Panglima An
Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk menterjemahkannya?
Hek-i Hui-mo adalah seorang
pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga di Tibet dia
membentuk sebuah perkumpulan agama yang memisahkan diri dari Lama atau juga
dari aliran pendeta Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau anak buahnya
mengenakan jubah hitam seperti dia pula.
Hwesio ini mempunyai cita-cita
untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu sekali
menterjemahkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, selain untuk mempertinggi ilmu
silat, juga untuk melatih ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau tokoh besar
lain menganggap kitab itu tidak ada gunanya lagi, selain dianggap palsu juga
dianggap tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-i Hui-mo beranggapan
lain.
Dia tahu bahwa di Tiongkok
tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Dia mengenal pula nama dua
orang sastrawan yang kepandaiannya mungkin tak kalah oleh Gui Tin. Yang seorang
adalah Li Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu.
Tidak ada harapan untuk minta
bantuan Li Po karena sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras. Maka ia
hendak mencoba untuk minta bantuan sastrawan besar Tu Fu karena kebetulan
sekali dia tahu di mana adanya sastrawan perantau ini pada waktu itu.
Di samping Li Po, Tu Fu
merupakan seorang sastrawan yang amat pandai dan terkenal. (Bahkan sampai jaman
atom ini hasil-hasil karyanya masih terkenal). Dia adalah seorang dari keluarga
terpelajar dan berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang jenderal
besar yang gagah perkasa dan terkenal sekali dari Kerajaan Cin barat.
Kakeknya juga seorang
sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, ada pun ayahnya pernah menjadi
seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa patriot. Ia amat mencinta
nusa bangsanya dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang
korup, ia tidak mau menduduki pangkat dan bahkan rela hidup sebagai perantau
yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang semasa hidupnya dia kenal
baik.
Hek-i Hui-mo maklum bahwa
selain Gui Tin yang sudah tewas, orang-orang yang kiranya dapat menterjemahkan
kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li Po, akan tetapi
yang dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah dia ke Ho-nan
di mana dia tahu sastrawan muda itu berada pada waktu itu. Memang kini Tu Fu
sudah menjadi seorang perantau yang menjelajah di propinsi-propinsi Kiang-su,
Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung.
Di kota Kai-feng sebelah timur
ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah timur, terdapat sebuah rumah
bobrok, bentuknya laksana kelenteng. Memang rumah ini adalah bekas kelenteng
yang telah rusak dan yang gentingnya sudah hampir tidak ada sehingga kalau
hujan, tempat itu menjadi basah semua sedangkan di waktu panas tidak terlindung
sama sekali.
Agaknya yang sanggup hidup di
tempat rusak dan kotor ini hanya ayam dan babi belaka. Akan tetapi, pada waktu
itu di sebelah dalam kelenteng ini ada seorang manusia yang tinggal.
Orang ini belum tua benar,
usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih dari tiga puluh
lima tahun. Melihat potongan pakaiannya, meski pun kain bajunya sudah lapuk dan
penuh tambalan, jelas dapat dilihat bahwa dia seorang terpelajar. Pakaiannya
seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan ikat pinggang terbuat
dari tali hitam.
Kumisnya hitam serta panjang,
menggantung di kanan kiri mulutnya. Jenggotnya sedikit saja, di tengah-tengah
dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya tertutup oleh sebuah topi
butut, topi sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus, tulang-tulang pipinya agak
menonjol. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam, sedangkan dahinya lebar
sekali.
Inilah dia Tu Fu, sastrawan
yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada pemerintah sekarang
yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela menderita seperti
bangsanya, yakni rakyat kecil yang banyak sekali menderita seperti dia pula.
Di dalam kehidupannya yang
miskin, kelaparan, dia berduka sekali dan menangis, bukan hanya karena
kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan keluarganya ini
mengingatkan dia akan keadaan para petani miskin, rakyat kecil yang banyak
menderita kelaparan seperti keluarganya!
Sejak itu dia pergi merantau,
membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah permai sebagaimana
menjadi kesukaan para sastrawan, juga dia membuat sajak-sajak keluhan dan
protes terhadap pemerintah yang lalim! Betapa pun miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk
ke dalam kelenteng bobrok itu, dia akan melihat bahwa sastrawan ini tidak
pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni pena bulu, kertas, dan tinta!
Pada waktu itu, matahari telah
condong ke barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai remang-remang. Akan
tetapi, Tu Fu seperti tidak merasai ini semua dan dia masih saja duduk
termenung seperti orang sedang bersemedhi, tangkai pena di tangan kanan dan
sebuah kipas bobrok di tangan kiri.
Tiba-tiba berkelebat bayangan
orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang hwesio berpakaian hitam
yang tubuhnya amat gendut, kulit mukanya hitam dan misainya panjang. Hwesio itu
merangkapkan kedua tangan di depan dadanya dan berkata,
"Omitohud! Tu-siucai
benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu keras?" tanya
hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo adanya.
Bagaikan dalam mimpi, Tu Fu
menjawab, "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil menuliskan sesuatu
yang berguna!"
"Tu-siucai bersusah payah
menulis sajak, untuk apakah gerangan?" bertanya pula Hek-i Hui-mo.
"Untuk siapa?" Tu Fu
mengerutkan kening. "Tentu saja untuk rakyat sebagai penambah semangat dan
untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!" Sambil berkata demikian, Tu
Fu bangkit berdiri.
Baru sekarang dia memandang
kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia heran sekali siapa
adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai seorang terpelajar dan
sopan, dia memberi hormat lalu bertanya,
"Siapakah Losuhu ini? Dan
mengapa datang mengunjungi siauwte yang miskin? Harap dimaafkan, di sini
siauwte tak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk disuguhkan."
Hek-i Hui-mo tertawa bergelak.
"Mengapa Siucai memikirkan keadaan orang lain? Bagi pinceng tidak
membutuhkan makan minum, tetapi sebaliknya kaulah yang memerlukan makan dan
minum. Lihat, pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!" Sambil
berkata demikian, Hek-I Hui-mo mengeluarkan seguci arak wangi dan sebungkus
daging panggang dari saku bajunya yang lebar.
To Fu menerima pemberian ini
sambil menghela napas, "Apa artinya haus dan lapar? Kadang-kadang sampai
sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunyai tambalan lebih seratus
jumlahnya, akan tetapi, apakah artinya bila dibandingkan dengan penderitaan
rakyat kecil? Jika mengingat penderitaan mereka itu, perutku terasa kenyang
sendiri dan bajuku telah terlampau baik! Ah, Losuhu, agaknya hidupmu sebagai
pendeta lebih bahagia dari pada hidupku sebagai seorang sastrawan!"
"Keliru, keliru!
Tu-siucai keliru sekali!" jawab Hek-i Hui-mo sambil menggoyang-goyang dua
tangannya. "Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran diri sendiri.
Kebahagiaan berada di dalam hati kita sendiri, demikian pula keadaan.
Kebahagiaan dapat diusahakan secara mudah, mengapa kau masih saja duduk
merenung menyusahkan keadaan orang lain? Jika kau suka menerima jabatan, apa
lagi yang menyusahkanmu? Kau mempunyai kepandaian tinggi."
"Cukup!" tiba-tiba
Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya. "Siapa sudi membantu
orang-orang yang hidup seperti lintah menghisap darah petani miskin? Tidak!
Lebih baik mati!" Kemudian, teringat bahwa dia sudah bersikap kasar
terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata dengan sikap halus,
"Maaf, Losuhu. Kalau tadi siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah
sebenarnya Losuhu?" ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab.
"Nama pinceng Thian Seng
Hwesio dan pinceng datang dari Tibet," jawab Hek-i Hui-mo. Memang
sebenarnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan kang-ouw saja dia
disebut Hek-i Hui-mo.
Mendengar keterangan ini, Tu
Fu memandang dengan mata lebar. "Dari barat? Ahhh, Losuhu melakukan
perjalanan begitu jauh menjumpai siauwte, ada keperluan apakah?"
"Tu-siucai, pinceng tak
mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud ingin memohon sedikit
pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan mengharap
Tu-siucai takkan menolak."
Biar pun terkenal kejam dan
ganas, namun Hek-i Hui-mo juga seorang cerdik dan banyak pengalaman. Menghadapi
seorang sastrawan seperti Tu Fu yang meski kepandaiannya tinggi tapi tidak mau
menduduki jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu bahwa orang ini
memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan seperti juga Gui Tin, tiada
gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan.
Andai kata ia menggunakan
kekerasan kemudian memaksa sastrawan ini membantunya menterjemahkan kitab, hati
sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau sampai terjadi demikian,
maka agaknya walau pun dia akan memukul sampai mati, sastrawan muda ini takkan sudi
membantunya! Oleh karena itulah maka Hek-i Hui-mo menjalankan siasat licin dan
bersikap halus dan manis budi.
Berbeda dengan Gui Tin yang
lebih tua dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw, Tu Fu tidak
mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia tidak mengenal Hek-i
Hui-mo dan keganasannya. Ia memang seorang yang berhati mulia dan suka
menolong, apa lagi menolong seorang hwesio yang lajimnya menuntut kehidupan
beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong.
"Tu-siucai tak perlu
tergesa-gesa. Silakan makan terlebih dahulu, baru nanti kita bicara
kembali," kata Hek-i Hui-mo.
Tu Fu tidak berlaku
sungkan-sungkan dan sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan minum arak
itu sampai setengah guci.
Setelah Tu Fu selesai makan,
barulah Hek-i Hui-mo mengeluarkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dari saku
bajunya. Sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia berkata,
"Pertama-tama pinceng ingin sekali mengetahui pendapat Tu-siucai mengenai
kitab ini. Pinceng mendapat kitab kuno ini, akan tetapi tidak dapat mengerti
huruf-hurufnya yang kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng
penting sekali, maka harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau
bukan?"
Tu Fu menerima kitab itu
seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue.....
Sastrawan mana yang tidak
tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima kitab itu dengan
penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran pertamanya.
"Hmm, sebuah kitab kuno
yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-i Hui-mo
dengan penuh perhatian. "Usianya sudah ribuan tahun dan ditulis dengan
bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!"
Hek-i Hui-mo tertegun.
"Pinceng mendengar bahwa kitab ini ditulis pada jaman Shia!"
Tu Fu menggelengkan kepalanya.
"Tak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur, Losuhu,
siauwte tahu betul akan hal ini."
"Kalau begitu, apakah
kitab ini palsu?"
"Bagaimana orang dapat
menyatakan palsu bila tidak melihat aslinya? Orang baru dapat mengenal
kejahatan jika sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa mengenal
barang palsu apa bila sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak dapat
mengatakan bahwa kitab ini palsu atau asli, namun kitab ini benar-benar amat
menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa yang
ditulis dalam kitab ini, yaitu Gui-siucai."
Kembali Hek-i Hui-mo tertegun.
"Pinceng mendengar bahwa Giu-suicai sudah meninggal dunia, akan tetapi,
pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-siucai. Harap kau suka
menterjemahkan kitab ini untuk pinceng."
Tu Fu tidak menjawab,
melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan
membalik-balikkan beberapa lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya.
"Aneh sekali! Kitab ini bernama
Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebuah kitab pelajaran yang luar biasa anehnya. Akan
tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Losuhu. Kitab ini adalah pelajaran
tentang ilmu silat dan ilmu perang, bagaimana seorang hwesio yang menuntut
penghidupan suci seperti Losuhu ingin mempelajari isi kitab ini? Apakah gunanya
untuk Losuhu?"
Hek-i Hui-mo merasa muaknya
panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat betapa
mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hemm, pikirnya,
kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini, kuketok kepalanya
sampai pecah! Ia menarik muka sungguh-sungguh ketika menjawab.
"Tu-siucai, harap jangan
salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab ilmu silat dan
ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguh pun harus
pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat.
Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan negara? Jika pinceng
bisa mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat,
bukankah kelak pinceng dapat menurunkan ilmu kepandaian itu kepada para orang
gagah sehingga bisa dipergunakan untuk membela negara?"
Pada saat Tu Fu hendak
menjawab, mendadak terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul
dengan suara seorang wanita berkata, "Bangsat gundul menjemukan! Kau kira
dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!"
Hek-i Hui-mo terkejut sekali
dan sekali dia melompat, dia sudah berada di luar kelenteng menghadapi Kiu-bwe
Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Hati Tu Fu kaget bukan main pada
waktu melihat betapa hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya.
"Aduh..., setankah
dia?" katanya perlahan.
Kemudian dia mendengar suara
gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main heran dan
terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman
kelenteng seperti iblis sedang menari-nari!
Memang Hek-i Hui-mo tak
membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-bwe
Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia kemudian mengeluarkan tasbih dan
Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan cepat menyerang dengan amat
hebatnya. Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu
menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe Sin-pian (Ruyung Lemas Berekor
Sembilan).
Pertempuran kali ini bukan
main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang mengganggu
mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara gurunya dan
Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis serta elok itu sama
sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah,
juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan menang.
"Kiu-bwe Coa-li, kau
manusia usilan mengganggu saja!" seru Hek-i Hui-mo dan Tongkat Kepala Naga
di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu.
"Pendeta busuk, kau
pencuri tidak tahu malu!" balas memaki Kiu-bwe Coa-li.
Sedikit miringkan kepala saja,
serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan di tangannya tidak
tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor
ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang sembilan jalan darah di tubuh
lawannya!
Hek-i Hui-mo terkejut sekali
melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan telah mendengar
pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li, yang terkenal sekali turun tangan tentu
akan menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia segera menggerakkan tasbihnya
diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi
tubuhnya.
“Tar! Tar! Tar! Tar!” beberapa
kali terdengar suara dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li, sungguh membikin hati
menjadi ngeri.
Makin lama pertempuran
berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat. Tiga macam senjata
berubah menjadi gulungan sinar dan yang paling menarik dan indah dipandang
adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li. Cambuk yang berujung sembilan
itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor ikan
gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut nyawa
yang lihai sekali.
Namun ilmu silat Hek-i Hui-mo
juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat yang pernah
menggemparkan Tibet, yang sudah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari
barat dan boleh dibilang, selama dia melakukan perantauannya di dunia kang-ouw,
Hek-i Hui-mo tidak pernah terkalahkan. Entah sudah berapa ratus orang lawan
terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh lawan binasa
di tangannya!
Tasbihnya berputar menjadi
segundukan sinar bundar bagaikan mustika naga sakti. Ada pun tongkatnya yang
merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak
bagaikan seekor naga mengejar mustikanya!
Sukarlah untuk dikatakan
siapakah yang lebih lihai di antara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing
memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali
ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan amat berat.
Agaknya pertempuran ini akan menjadi sebuah pertandingan mati hidup yang
berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak bernyawa
lagi di depan kaki lawannya.
Pecut Kiu-bwe Coa-li
menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan. Oleh karena
sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dengan
kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagai
sembilan buah suling ditiup berbareng.
Hek-i Hui-mo menangkis dengan
tongkat yang disapukan dan sehelai dari pada ujung pecut Kiu-bwe Coa-li
menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring. Tenaga
wanita sakti ini hebat luar biasa, karena meja itu melayang ke atas dan
bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng berdiri.
Melihat hal itu, Tu Fu
menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan sepasang matanya saking kagum dan heran
melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang
kecil.
"Brakkk!" meja itu
pecah berkeping-keping!
Sekarang tongkat Liong-thouw-tung
di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang Kiu-bwe Coa-li. Serangan ini
dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tak berani menangkis.
Tubuhnya melompat ke atas dan mundur.
Akan tetapi Hek-i Hui-mo tak
mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan tongkatnya,
dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-bwe Coa-li segera mengelak
dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan.
"Kraaaakk...
bruuuk...!" Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!
"Aduh, tahan...! Tahan…!
Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang tua
bertingkah bagaikan anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat
diurus, mohon mendengar kata-kata siauwte," Tu Fu berseru berkali-kali
sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
Kalau saja mereka tidak
mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang bisa dimintai tolong menterjemahkan
kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini
mau mendengarkan ucapan seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya
melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor harimau sedang marah.
"Tu-siucai, kau menahan
kami mau apakah?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin.
Tiba-tiba saja Tu Fu merasa
bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah bukan
merupakan manusia lagi!
"Harap Suthai suka
bersabar, dan demikian pula Losuhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur
mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik
dari pada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?"
Hek-i Hui-mo menarik napas
panjang. "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng!"
Tu Fu masih membawa kitab itu.
Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata, "Memperebutkan
kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja,
Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta siauwte menterjemahkan isi buku
ini?"
Kiu-bwe Coa-li mengangguk dan
berkata tegas, "Orang she Tu, tak usah direntang lebih panjang lagi.
Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua
orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti
kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-i Hui-mo, kita lanjutkan
pertempuran kita!"
"Baik, Kiu-bwe Coa-li.
Awaslah kau!"
Dua orang jago tua ini sudah
bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian. Akan tetapi Tu Fu segera
mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau pun sastrawan
dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan amat mencinta
kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu saling
gempur mati-matian seperti tadi.
"Tahan!" katanya
keras. "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu tak akan mau
menterjemahkan kitab ini. Walau Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau
menterjemahkannya."
Mendengar ini, kedua orang
tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka amat maklum bahwa
sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang
kang-ouw, bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biar pun mereka itu memiliki
jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati.
Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i
Hui-mo percaya dan tahu bahwa ucapan yang keluar dari mulut sastrawan ini
menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekali pun, tetap
dia tidak akan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu
tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas pembungkus belaka!
"Habis, kalau di sini ada
kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak mengaturnya?" tanya Hek-i Hui-mo
dengan suara minta pertimbangan.
Tu Fu mempersilakan mereka
duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan kepada
Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.
"Anak baik, kau
benar-benar hidup dalam alam yang aneh," kata sastrawan itu sambil
mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian
sastrawan ini berkata kepada kedua orang tokoh dunia kang-ouw itu. "Harap
Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tidak mungkin dapat diubah lagi.
Siauwte sanggup membantu serta menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya
dengan syarat. Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara
membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan
mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus
dibakar di depan siauwte, supaya kelak tidak menjadi perebutan mati-matian
kembali. Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak,
meski Ji-wi akan membunuh siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya.
Bagaimana?"
Kedua orang tokoh kang-ouw itu
saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi kitab
dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima,
selain sastrawan aneh ini tidak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling
berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur mati-matian dulu.
Andai kata menang, bagaimana
pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apa lagi jika sampai terdengar oleh tiga
orang tokoh besar yang lainnya dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe
saja!
"Aku setuju!" kata
Kiu-bwe Coa-li. "Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua
kali!"
Kiu-bwe Coa-li memang amat
cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak Sui
Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab
itu.
Hek-i Hui-mo tidak dapat
mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li lebih untung dengan
adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata, "Tidak adil
sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang diri!"
"Kau boleh mencari
seorang pembantu pula," jawab Kiu-bwe Coa-li.
Tu Fu mengerti akan maksud
pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan persoalan
ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah
seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun.
"Tu-sianseng, hakseng
(murid) datang membawa makanan," kata anak lelaki itu sambil memandang
kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran.
"Ehh, Tu-siucai, siapakah
anak ini?" tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki
yang berwajah tampan dan jujur ini. Biar pun anak ini bertubuh kurus dan
tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk belajar silat.
"Dia adalah Li Siang Pok,
seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan pula dan dia datang
ke sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte."
"Hemm, jadi dia boleh
dibilang muridmu?"
Tu Fu mengangguk membenarkan.
"Bagus! Pinceng hendak
mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu pinceng,
mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka keadaan pinceng dan
Kiu-bwe Coa-li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!"
Tu Fu ragu-ragu, kemudian
bertanya kepada Siang Pok, "Siang Pok, Losuhu ini minta bantuanmu untuk
mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?"
Siang Pok adalah seorang anak
yang suka sekali akan kesusastraan. Mendengar akan dibacanya kitab kuno, tentu
saja tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia
menganggukkan kepalanya.
"Hakseng bersedia,
Sianseng!"
Demikianlah, mereka semua
duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan di situ sunyi dan ketika
Tu Fu mulai membacakan isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas. Empat
orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, Sui Ceng,
dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Kitab itu tidak terlalu tebal
sehingga isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno
lainnya, yang ditulis hanya garis besarnya saja. Sebagaimana diketahui, kitab
itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu
perang. Dalam hal bahasa kuno, kepandaian Tu Fu ini tidak kalah oleh mendiang
Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar.
Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng,
tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan bunyi
ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini hanya mencurahkan
seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja. Sebaliknya, karena tidak
diberi tahu terlebih dahulu, anak laki-laki yang bernama Lai Siang Pok itu
mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu perangnya.
Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia mempunyai cita-cita pemberontakan, dia
juga memperhatikan kedua bagian ini.
Hampir satu hari lamanya Tu Fu
membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa puas. Karena
mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah mereka
dengarkan tadi, kini Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo melihat saja dan tidak
mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan
mereka!
Setelah melihat kitab itu
habis terbakar, Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia
melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!
"He, Losuhu! Lepaskan
muridku!" Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh
sana menjawabnya.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li yang
tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu menggandeng
tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ.
Tu Fu menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil berkata seorang diri. "Benar-benar aneh sekali
orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu?
Aneh... aneh...!" Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan
lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya…..
********************
Ketika sudah berada di tempat
sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya. “Sui Ceng, coba kau
ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai tadi.”
Sui Ceng kemudian mengulangi
kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan tentang
peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya
gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu.
Semua ada tiga puluh enam
pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari bakat
dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis
dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya.
Setelah dia mendengarkan apa
yang yang masih diingat oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan ingatannya
sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya mampu mengumpulkan empat belas gerakan
saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang Bu-tek
Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga. Memang dia seorang yang ahli dalam
ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi
gerakan-gerakan ini.
Segera ia lalu mempelajari
gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama tiga
bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, setiap hari hanya
berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa
yang ia dengar dari kitab itu. Dan terciptalah ilmu silat baru yang benar-benar
luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu
melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.
“Sui Ceng, ilmu silat yang
kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli atau bukan, namun kau
harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali.
Setelah kuperbaiki semua yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang
kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng ini, takkan mudah
dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak
kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!”
Maka berangkatlah Kiu-bwe
Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni
Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai atau juga
Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru! Perjalanan ini
dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe Coa-li terus melatih diri
dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberikan latihan-latihan ilmu
silat tinggi kepada muridnya.
Pada suatu hari mereka pun
tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda dengan tokoh-tokoh
kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih makan dan tempat
menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan
dari restoran yang besar. Oleh karena itu, pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng
pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian beberapa
stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di
atas punggungnya.
Di kota Cin-leng, begitu telah
memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe Coa-li terus saja berdiam
dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersemedhi. Sebaliknya, Sui Ceng
yang ketika memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota
yang ramai, lalu keluar dari hotel itu dan pergi berjalan-jalan.
Ketika tiba di depan sebuah
restoran, perhatian Sui Ceng tertarik pada tujuh orang yang sedang makan di
ruangan depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan
dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan piauwsu
(pengawal kiriman barang berharga). Dari wajah mereka yang kelihatan muram dan
percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga bahwa tentu telah terjadi
sesuatu yang hebat.
Oleh gurunya, Sui Ceng selalu
dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu angkuh untuk membiarkan
muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki
restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para piauwsu yang
sedang bercakap-cakap itu.
Tentu saja ada beberapa orang
yang memandang padanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang anak
perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri. Akan
tetapi selanjutnya tidak ada lagi yang menaruh perhatian, karena dia disangka
puteri seorang kaya raya yang suka jajan!
Sui Ceng tertarik sekali
ketika mendengar seorang di antara para piauwsu itu berkata, “Jalan satu-satunya
bagi kita untuk menolong mereka, tidak lain kita harus minta bantuan dari Bin
Kong Siansu ketua Kim-pan-sai. Selain orang tua itu, agaknya siluman itu takkan
dapat di lawan.”
Pada saat itu terdengar suara
banyak orang mendatangi di luar restoran. Ketika Sui Ceng melirik, yang datang
itu adalah belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah dan yang pada saat itu
nampak marah sekali.
“Hee, pengecut-pengecut dari
Hui-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang)! Keluarlah untuk terima
binasa!” teriak seorang di antara para pendatang itu.
“Hemm, menyebalkan sekali
orang-orang Sin-to-pang itu!” kata seorang piauwsu sambil mencabut goloknya,
lalu berjalan keluar diikuti oleh kawan-kawannya.
Sementara itu, ketika
mendengar bahwa orang-orang yang datang adalah para anggota Sin-to-pang
(Perkumpilan Golok Sakti), Sui Ceng terkejut sekali dan cepat berdiri lalu
melihat dengan penuh perhatian.
“Kalian ini orang-orang
Sin-to-pang mau apakah? Ketua kami dan isterinya mengalami bencana, namun
kalian ini sebagai orang-orang yang menganggap diri gagah bukannya membantu
bahkan mencari masalah!” kata piauwsu tadi sambil bersiap dengan golok di
tanganya.
Seorang di antara
anggota-anggota Sin-to-pang, yang semuanya juga memegang golok, menudingkan
goloknya sambil memaki, “Orang-orang rendah! Kalau tidak ketua kalian si
pemikat she Ong itu membujuk Thio-toanio, tidak nanti akan terjadi Thio-toanio
sampai tertangkap oleh Toat-beng Hui-houw (Macan Terbang Pencabut Nyawa)!
Sekarang mau atau tidak mau kalian harus menebus kesalahan ketuamu itu, baru
kami akan menolong Thio-toanio.”
“Manusia-manusia sombong dan
bodoh!” para piauwsu itu berseru.
Terjadilah perang tanding
antara belasan anggota Sin-to-pang dan tujuh orang paiuwsu itu. Semua
menggunakan golok dan pertempuran terjadi ramai sekali. Orang-orang yang berada
di sekitar tempat itu menjadi ketakutan dan cepat-cepat melarikan diri.
Akan tetapi, pada saat itu,
sesosok bayangan yang kecil melompat ke tengah medan pertandingan dan terdengar
seruan nyaring, “Tahan semua senjata!”
Bayangan ini adalah Sui Ceng
yang tadi bergerak dengan tubuh ringan dan cepat, juga suaranya dikeluarkan
dengan mengerahkan tenaga khikang sehingga terdengar nyaring dan berpengaruh.
Beberapa orang segera menahan senjata mereka dan mundur, akan tetapi ada tiga
orang anggota Sin-to-pang dan dua orang piauwsu yang berangasan dan masih saja
bertanding dengan hebatnya.
“Tahan kataku!” teriak Sui
Ceng. Sekali saja dia menggerakkan tangannya dan tubuhnya menyambar, terdengar
suara berkerontangan dan empat batang golok telah terlepas dari pegangan dan
terlempar ke atas tanah mengenai batu-batu.
Orang-orang itu kaget bukan
main karena ternyata bahwa yang membuat tangan mereka lumpuh untuk sesaat tadi
hanyalah seorang anak perempuan! Sui Ceng memang telah menggunakan gerakan
jari-jari tangan untuk menotok urat-urat nadi mereka, kemudian mengandalkan
ginkang-nya yang sudah tinggi, dia dapat melakukan serangan-serangan ini dengan
amat mudah!
“Siauw-pangcu (ketua cilik)!!”
para anggota-anggota Sin-to-pang berseru ketika mereka melihat Sui Ceng.
Serta-merta orang-orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng!
Para piauwsu yang melihat hal
ini menjadi tertegun dan kini dua orang di antara mereka mengenal pula Sui Ceng
yang dulu pernah ikut ibunya, ketika ibunya menikah dengan Ong Kiat pemimpin
mereka.
“Ah, tidak tahunya Siocia yang
datang!” kata mereka sambil memberi hormat.
Menghadapi semua penghormatan
ini, Sui Ceng sama sekali tidak merasa kikuk atau sungkan. Ia berdiri tegak,
lalu berkata, “Mengapa di antara orang-orang sendiri sampai menimbulkan
keributan yang tidak perlu? Ada urusan dapat diurus, ada persoalan dapat
diselesaikan. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?”
Karena kini orang-orang datang
lagi berduyun-duyun untuk mendengarkan pembicaraan mereka, para piauwsu itu
mempersilakan Sui Ceng dan anggota-anggota Sin-to-pang untuk memasuki restoran.
Mereka mengambil tempat di ruang atas dan di situ Sui Ceng duduk dikelilingi
oleh orang-orang Sin-to-pang dan para piauwsu dari Hui-to Piauwkiok.
Maka berceritalah mereka
tentang bencana yang menimpa Ong Kiat dan isterinya, yakni Thio Loan Eng.
Bencana itu baru terjadi dua hari yang lalu. Pada saat itu, Ong Kiat yang
menjadi ketua dari Hui-to Piauwkiok mengawal sendiri barang kiriman dari Hak-keng
ke kota raja. Terpaksa dia turun tangan sendiri karena barang yang dikirim itu
adalah barang berharga, yaitu sumbangan hartawan-hartawan di Hak-keng untuk
para pembesar di kota raja.
Memang pada masa itu, di
Tiongkok lajim terjadi pengiriman barang-barang ‘upeti’ yang amat mahal dari
para hartawan kepada pembesar-pembesar tertentu sampai ke kaisar, akan tetapi
tak seorang pun berani menyatakan bahwa kiriman itu merupakan ‘sogokan’.
Perjalanan dari Hak-keng ke
kota raja harus melalui kota Cin-leng, dan sampai di kota ini rombongan yang
terdiri dari dua gerobak kuda berisi barang kiriman dan dikawal oleh Ong Kiat
beserta tujuh orang anak buahnya, tidak mengalami gangguan sesuatu. Para
petualang di dunia liok-lim tidak ada yang berani mengganggu rombongan ini pada
saat mereka melihat dua macam bendera yang tertancap di atas gerobak.
Yang pertama bendera
berlukiskan sebuah golok terbang sebagai lambang dari Hui-to Piauwkiok
(Perusahaan Expedisi Golok Terbang), dan bendera kedua adalah bendera kuning
bertuliskan merah ONG, tanda bahwa Ong Kiat sendiri mengawal barang-barang
berharga itu. Rombongan itu kemudian bermalam di kota Cin-leng.
Keesokan harinya mereka
melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi perjalanan kali ini amat
sukar, karena dari Cin-leng ke kota raja harus melalui hutan-hutan belukar yang
amat liar dan di sana tidak terdapat jalan besar yang dapat dilalui gerobak
dengan mudah. Terpaksa memperlebar jalan kecil di dalam hutan dengan membabat
rumput dan pepohonan.
Baru saja mereka memasuki
hutan kedua, kira-kira tiga puluh li dari kota Cin-leng di sebelah utara, senja
telah tiba. Selagi Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya membabat alang-alang,
tiba-tiba terdengar suara ketawa yang keras dan menyeramkan sekali dan dari
atas sebatang pohon besar menyambar turun bayangan orang yang tak dapat dilihat
dengan jelas oleh karena cepatnya gerakan orang ini. Orang itu hanya melompat
ke atas gerobak di depan dan menghilang lagi, meninggalkan gema ketawa yang
menyeramkan.
“Ibliskah dia...?” tanya
seorang anak buah, kawan Ong Kiat.
“Ssttt, jangan sembarangan
bicara,” Ong Kiat mencela. “Apa kalian tak tahu bahwa orang itu sengaja
mempermainkan kita? Lihat!” Ong Kiat menunjuk ke atas gerobak pertama dan
ketika tujuh orang anak buahnya menengok, mereka menjadi pucat sekali.
Ternyata bahwa dua buah
bendera yang tadinya tertancap di atas gerobak dan berkibar kibar tertiup
angin, sekarang sudah lenyap tak meninggalkan bekas! Alangkah hebatnya
kepandaian bayangan tadi, sekali melompat saja sudah dapat merampas dua bendera
tanpa dapat mereka lihat sedikit pun juga.
Ong Kiat sendiri tidak dapat
melihat gerakan orang tadi dengan jelas, akan tetapi karena ilmu silatnya lebih
tinggi dari pada kawan-kawannya, dia masih dapat mengikuti ke mana bayangan
tadi melayang sehingga dia juga sempat melihat lenyapnya dua benderanya. Ong
Kiat lalu menghadap ke arah bayangan tadi menghilang, kemudian menjura sambil
mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata,
“Siauwte Ong Kiat mengharap
supaya sahabat yang di depan jangan mempermainkan kami dan sukalah memberi maaf
apa bila kami tidak menyambut kedatanganmu karena tidak tahu. Apa bila sahabat
berlaku murah, kami Hui-to Piauwkiok bukanlah orang-orang yang tak kenal budi
dan tentu akan memenuhi permintaan yang pantas dari padamu.”
Setelah Ong Kiat mengakhiri
kata-katanya, keadaan sunyi sekali. Semua orang menahan napas dan yang
terdengar hanya berkereseknya daun-daun pohon dipermainkan oleh angin lalu.
Tiba-tiba terdengar lagi suara ketawa yang menyeramkan seperti tadi dan dari
jurusan depan, menyambar dua benda merupakan sinar kuning dan putih yang
meluncur mengarah dada dan leher Ong Kiat!
Piauwsu ini bukan seorang
lemah. Ia tahu bahwa dia diserang dengan senjata rahasia yang aneh, maka cepat
dia miringkan tubuhnya ke kiri. Ketika dua tangannya bergerak dari samping, dia
telah menangkap dua benda kuning dan putih itu.
Alangkah mendongkolnya ketika
dia melihat bahwa benda-benda itu bukan lain adalah dua buah benderanya yang
tadi dicabut orang! Akan tetapi, diam-diam dia terkejut sekali karena ketika
dia menyambut bendera-bendera tadi, kedua tangannya tergetar. Bukan main
hebatnya tenaga yang menyambitkan dua bendera bergagang kayu itu.
“Ong Kiat, manusia lancang!”
terdengar suara yang parau dan kasar. “Kau sudah berani sekali mengambil
Pek-cilan sebagai isterimu, padahal dia telah dipastikan akan mampus di dalam
tanganku. Akan tetapi aku masih mau mengampuni jiwamu dan hanya akan
menghukummu dengan merampas dua gerobak barang ini. Kau dan anak buahmu lekas
pergi dari sini dan tinggalkan dua gerobak barang ini di sini!”
Wajah Ong Kiat sebentar
berubah pucat sebentar merah saking marah dan dongkolnya mendengar kata-kata
yang sangat menghina ini. Dia adalah seorang gagah, walau pun pekerjaannya sebagai
piauwsu mengharuskannya untuk bersikap baik terhadap para perampok agar jangan
banyak dimusuhi orang, akan tetapi kalau orang terlalu menghina, dia pasti akan
melawan!
“Sahabat manakah yang begitu
sombong? Harap keluar memperkenalkan diri. Aku Ong Kiat bukanlah orang yang
lantas menjadi ketakutan oleh gertak kosong belaka!” Sambil berkata demikian,
dia mencabut goloknya yang tajam mengkilap.
Tujuh orang kawannya juga
sudah mencabut goloknya masing-masing. Ong Kiat terkenal sebagai seorang ahli
golok yang lihai, seorang murid Thian-san-pai yang tak boleh dibuat permainan.
Juga tujuh orang kawannya telah mempelajari ilmu golok sehingga rata-rata
memiliki kepandaian yang cukup tangguh.
Kembali terdengar suara ketawa
dan kali ini disertai ejekan. “Kalian sudah bosan hidup, jangan bilang aku
berlaku kejam!”
Sehabis ucapan ini, dari
belakang rumpun menyambar keluar tubuh seorang kakek yang betul-betul
menyeramkan. Bajunya yang berlengan lebar berwarna biru muda, celananya biru
tua dan kakinya telanjang. Hidungnya bengkok dan besar, ada pun mulutnya
tertutup oleh cambang dan jenggot putih.
Kepalanya botak kelimis, hanya
pada kanan kirinya terdapat rambut hitam yang kaku dan berdiri. Yang hebat
adalah jari-jari tangannya, karena sepuluh jari tangannya itu berkuku panjang
dan runcing bagaikan kuku harimau! Ketika dia melompat keluar, kedua kakinya
tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seperti kaki harimau saja.
“Kau tidak mengenal aku?
Ha-ha-ha!” Kakek yang menyeramkan ini mengeluarkan suara ketawa seperti auman
harimau.
Ong Kiat memandang takjub.
Melihat keadaan kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh hek-to (jalan hitam,
dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang
Pencabut Nyawa). Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw kabarnya sudah lenyap dari
dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri lagi.
Ong Kiat segera memberi
hormat. “Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya Locianpwe yang
terhormat.”
Toat-beng Hui-houw sejak
mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka begitu mendengar orang tidak
mengenal namanya, dia menjadi makin marah. “Buka telingamu dan matamu
lebar-lebar, Ong-piauwsu! Aku adalah Toat-beng Hui-houw, dan kau tentu sudah
tahu bahwa siapa pun juga yang tidak mau mentaati perintah Toat-beng Hui-houw,
berarti harus mati!” Sesudah berkata demikian, secepat kilat tangannya yang
berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat!
Piauwsu muda ini terkejut
sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena serangan yang
datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia menggerakkan goloknya
menangkis sekuat tenaga, bermaksud membabat putus kuku-kuku panjang dari
lawannya itu.
“Traaang...!”
Ong Kiat berseru kaget.
Cepat-cepat dia melompat ke belakang karena merasa betapa goloknya beradu
dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau dia tidak
buru-buru menarik kembali goloknya dan melompat mundur, tentu golok itu akan
terlepas dari pegangannya! Baiknya golok yang dipegangnya adalah golok pusaka
yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah menjadi
rusak pada saat bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya!
“Ha-ha-ha! Kau harus mampus!
Kau juga!” kata-kata ini diulangi terus.
Tubuhnya bergerak maju sambil
menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing dan panjang.
“Tranggg! Tranggg!”
Terdengar suara beberapa kali
dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu terbang terlepas dari
tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong menjadi dua! Kemudian
disusul jeritan-jeritan ngeri ketika kuku-kuku yang panjang itu mengenai tubuh
mereka. Ada yang lehernya hampir putus, kulit perutnya robek dan sebentar saja
tujuh orang piauwsu itu tergeletak tumpang tindih dalam keadaan yang amat
mengerikan!
Keadaan mereka ini tiada
bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor harimau yang ganas.
Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw sengaja hanya melukai pundak salah seorang di
antara ketujuh kawan Ong Kiat itu yang kini duduk merintih-rintih dan memegangi
pundak kanannya yang berlumur darah.
Ong Kiat menjadi marah sekali.
Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya. Serangannya tidak boleh dibuat
permainan, oleh karena dia mempergunakan ilmu golok Thian-san-pai yang lihai.
Toat-beng Hui-houw maklum akan
hal ini. Karena itu dia pun tidak berani sembarangan menangkis, melainkan
mempergunakan ginkang-nya yang istimewa untuk mengelak ke sana kemari. Orang
sudah tahu akan kegesitan seekor harimau, akan tetapi Toat-beng Hui-houw
(Harimau Terbang) karena gerakannya itu seakan-akan seekor harimau yang
bersayap!
Tidak saja dia pandai dan
cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang kala dia melompat tinggi
seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan Ong Kiat yang
mengamuk seperti gila karena sudah nekat sekali, juga Toat-beng Hui-houw
membalas dengan serangan-serangan kukunya yang berbahaya.
Betapa pun pandainya Ong Kiat
mainkan goloknya, namun menghadapi kakek yang luar biasa sekali ini dia hanya
dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau Toat-beng Hui-houw
menghendaki kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat akan roboh binasa.
Tetapi kakek ini hendak
menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok. Akhirnya,
ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, kakek itu berseru keras sekali
dan kedua tangannya bergerak. Tangan kanan mendahului golok mencengkeram ke
arah lambung lawan dan tangan kiri menyusul untuk merampas golok!
Ong Kiat tak berdaya. Kalau
dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan goloknya yang
datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa dia melompat ke
belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok itu telah kena
dicengkeram dan sekali renggut saja sudah pindah tangan!
Toat-beng Hui-houw mendesak
terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena dicengkeram oleh
jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah, lantas Ong Kiat roboh dalam keadaan
lumpuh tak berdaya lagi!
“Ha-ha-ha! Baru kalian tahu
betapa lihainya Toat-beng Hui-houw!”
Dia lalu mempergunakan kakinya
yang telanjang itu untuk menendang bangun anggota piauwsu yang terluka
pundaknya tadi. “Hei, kau!” Aku sengaja tidak membikin mampus padamu agar kau
dapat memanggil Pek-cilan, datang ke sini! Katakan bahwa selambat-lambatnya
besok pagi ia harus datang di sini, bila tidak, suaminya akan kucekik mampus
dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!”
Piauwsu itu tidak berdaya.
Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu kembali ke
Hak-keng. Dia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti, sedangkan luka
dipundaknya tidak dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio Loan Eng, dia
roboh pingsan!
Dapat diduga betapa hebat
kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan suaminya. Tanpa
banyak cakap lagi, dia lalu cepat melarikan kuda menuju ke tempat itu, diikuti
oleh semua anggota piauwkok, yakni piauwsu-piauwsu yang kebetulan berada di
kota yang jumlahnya ada sepuluh orang. Begitu sampai di tempat yang dituju,
Loan Eng mencabut pedangnya dan berseru dengan suara keras,
“Toat-beng Hui-houw siluman
buas, kau keluarlah untuk terima binasa!”
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa dari Toat-beng Hui-houw, lalu tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia
telah berdiri di hadapan Loan Eng. Pendekar wanita ini pun belum pernah bertemu
dengan kakek ini, maka seperti juga Ong Kiat, dia terkejut sekali menyaksikan
keseraman kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengenal takut, dan karena itu
sambil menudingkan pedangnya ke muka orang, ia pun berkata,
“Toat-beng Hui-houw, antara
kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku begitu kejam,
membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?”
Kakek yang menyeramkan itu
tertawa bergelak dengan suara mengejek lalu dia berkata, “Pek-cilan, kau
terlalu mengandalkan kegagahan sendiri dan sama sekali tidak melihat orang! Kau
telah membunuh sute-ku Tauw-cai-houw, maka sekarang aku datang untuk menagih
hutang!”
Terkejut hati Loan Eng
mendengar ini. Ahhh, tidak tahunya kakek mengerikan ini adalah suheng (kakak
seperguruan) dari Tauw-cai-houw, manusia gila yang dulu menculik dan hendak
memanggang Kwan Cu hidup-hidup dan yang telah terbunuh olehnya dalam satu
pertempuran. Tauw-cai-houw saja sudah amat lihai, apa lagi suheng-nya ini!
Akan tetapi Loan Eng tidak
menjadi jeri. Ia tersenyum mengejek dan berkata, “Toat-beng Hui-houw, kau mau
menang sendiri saja. Sute-mu (adik seperguruanmu) Tauw-cai-houw itu adalah
orang gila. Aku melihat jelas dia menangkap seorang anak kecil yang hendak
dipanggang dan dimakan dagingnya. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan
tidak mencegahnya? Kau tentu maklum bahwa kejahatan seperti itu tidak dapat
diampunkan lagi. Sute-mu bertempur dengan aku dan dia binasa, mengapa hal ini
kau jadikan alasan untuk membunuh orang-orangku dan menawan suamiku?”
“Tolol! Sute-ku sedang
meyakinkan Ilmu Hoat-lek Kim-ciong-ko (Ilmu Kebal Berdasarkan Ilmu Gaib) dan
untuk itu dia membutuhkan daging serta darah seorang anak sin-tong (anak
ajaib)! Kau datang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Sekarang aku yang akan
mengambil darahmu untuk dijadikan obat panjang usia, ha-ha-ha!” Setelah berkata
demikian, Toat-beng Hui-houw lalu menubruk dengan kuku-kuku tangannya yang
sangat panjang dan runcing.
Loan Eng maklum bahwa dia
menghadapi seorang kakek yang selain lihai sekali, juga agaknya pun miring
otaknya, maka ia lantas berlaku hati-hati sekali. Pedangnya diputar cepat
sehingga berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Kalau dibandingkan dengan ilmu
golok Ong Kiat, ilmu pedang Loan Eng ini ternyata lebih ganas dan berbahaya.
Akan tetapi kini Toat-beng Hui-houw bergerak cepat sekali dan kakek ini
mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Pandangan mata Loan Eng
menjadi kabur dan gelap saking cepatnya gerakan kakek itu, apa lagi kini dari
kedua tangan kakek itu menyambar hawa dingin yang berbau sangat amis. Diam-diam
Loan Eng bergidik.
Dia pernah mendengar akan
kehebatan kakek ini, dan mendengar pula bahwa kuku-kuku yang panjang itu
sewaktu-waktu apa bila menghadapi lawan tangguh, direndam dalam air obat terisi
racun yang sangat jahat. Ia tahu bahwa sekali saja ia terkena kuku yang runcing
seperti pisau itu, tentu ia akan terkena bisa dan celaka.
Akan tetapi Loan Eng memang
terkenal seorang keras hati yang tak mau menyerah dan pantang mundur. Ia
menyerang terus, mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaiannya, menggerakkan
pedangnya dalam tipu-tipu yang paling diandalkan.
Pertandingan terjadi luar
biasa hebatnya, jauh lebih hebat dibandingkan ketika Toat-beng Hui-houw
menghadapi Ong Kiat. Sepuluh orang piauwsu yang ikut datang bersama Loan Eng
menjadi bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Ingin membantu, akan
tetapi maklum akan kekurangan sendiri dan baru melihat pertandingan itu saja
mereka telah menjadi pening dan tak dapat membedakan mana kawan dan lawan
karena gerakan dua orang yang bertempur luar biasa cepatnya.
Baru kali ini Loan Eng merasa
mendapat lawan yang amat tangguh. Toat-beng Hui-houw benar-benar jauh lebih
tangguh dari pada Tauw-cai-houw dan setelah melawan sampai empat puluh jurus
lebih, akhirnya ia pun harus menyerah kalah. Sepuluh buah kuku yang runcing itu
berhasil mencengkeram pedangnya dan tanpa dapat ditahan lagi, pedangnya
terlepas dari tangannya.
Kemudian Toat-beng Hui-houw
menubruk maju, disambut oleh tendangan kaki Loan Eng yang menggunakan ilmu
tendang Soan-hong-twi.
Namun, alangkah kagetnya
ketika kaki kirinya dapat tertangkap pula! Sebelum ia sempat memukul, pundaknya
dapat dicengkeram dan matanya menjadi gelap. Loan Eng roboh pingsan…..
Melihat hal ini, sepuluh orang
piauwsu yang berada di sana menjadi terkejut dan marah sekali. Dengan golok di
tangan mereka menyerbu Toat-beng Hui-houw. Kakek yang amat mengerikan ini hanya
tertawa bergelak. Begitu tubuhnya bergerak didahului oleh kedua tangannya yang
berkuku panjang, tiga orang piauwsu roboh tak bernyawa pula!
Melihat kehebatan ini, tujuh
orang piauwsu yang lain lalu melompat ke atas kuda mereka dan melarikan diri
dari situ! Kemudian mereka mengadakan perundingan dalam restoran untuk mencari
jalan guna menolong Ong Kiat beserta Loan Eng dan kemudian datang rombongan
anggota Sin-to-pang sehingga terjadi pertempuran sebagaimana yang sudah
dituturkan di bagian depan.
Ada pun orang-orang
Sin-to-pang kemudian menuturkan bahwa mereka mendengar pula mengenai bencana
yang menimpa Loan Eng. Mereka menjadi marah sekali. Semenjak mendengar bahwa
Loan Eng menikah dengan Ong Kiat, semua anggota Sin-to-pang ini sudah merasa
sakit hati dan tidak senang kepada Hui-to Piauwkiok. Dan kini, mendengar bahwa
Loan Eng mendapat bencana, mereka menganggap bahwa itu adalah kesalahan Ong
Kiat. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa justru Toat-beng Hui-houw turun
gunung mengganggu Ong Kiat karena Ong Kiat memperisteri Loan Eng dan karena
Loan Eng telah membinasakan Tauw-cai-houw, sute dari Toat-beng Hui-houw!
Demikianlah, dua rombongan
dari Sin-to-pang dan Hui-to Piauwkiok saling menuturkan apa yang mereka ketahui
kepada Sui Ceng dan baru sekarang rombongan Sin-to-pang mengetahui duduk
perkara yang sesungguhnya.
“Hanya ada dua jalan,” kata
para piauwsu itu menutup penuturan mereka. “Pertama, kita minta bantuan Bin
Kong Siansu dari Kim-san-pai, dan ke dua, kita harus minta bantuan
Thian-san-pai untuk menghadapi Toat-beng Hui-houw yang lihai.”
Sementara itu, untuk beberapa
lama Sui Ceng tidak dapat berkata-kata saking marahnya mendengar penuturan
tentang bencana yang menimpa diri ibunya. Kini ia berseru keras dan mencela
kata-kata mereka itu.
“Banyak cakap tanpa kerja
tiada gunanya. Hayo kalian tunjukkan kepadaku di mana Ibu ditawan. Menghadapi
siluman tua itu saja, kenapa mesti ribut-ribut minta bantuan orang lain?”
“Siauw-pangcu berkata benar!
Sin-to-pang tak boleh memperlihatkan kelemahan. Hayo, kawan-kawan dari Hui-to
Piauwkiok, marilah kita mengantar Pangcu ke tempat itu dan kita keroyok siluman
itu!” kata orang-orang Sin-to-pang.
Akan tetapi, para piauwsu yang
sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kelihaian Toat-beng Hui-houw,
menjadi geli melihat sikap Sui Ceng dan para anggota Sin-to-pang. Ong Kiat dan
Loan Eng sendiri dibantu oleh beberapa orang piauwsu yang tangguh, masih tidak
berdaya menghadapi siluman tua itu, apa lagi anak kecil ini?
Melihat keraguan orang-orang
Hui-to Piauwkiok, Sui Ceng membentak,
“Apakah kalian takut? Hemm,
kalau aku berhasil menolong ayah tiriku, akan kuceritakan kepadanya bagaimana
sikap kalian yang pengecut ini!”
Naik darah para piauwsu itu
mendengar ejekan anak kecil ini.
“Siapa bilang kami takut? Hayo
kita berangkat sekarang juga!” kata mereka.
Diam-diam Sui Ceng tersenyum
karena dia telah berhasil membangunkan lagi semangat mereka. Orang-orang ini
masih belum percaya kepadanya dan perlu dia memperlihatkan kepandaian agar
mereka itu menjadi tenang dan bersemangat.
“Kalian boleh naik kuda dan
maju secepatnya. Aku sendiri akan berlari cepat.”
Kembali diam-diam para piauwsu
itu mentertawakan Sui Ceng.
“Hemm, anak ini sungguh
sombong sekali dan keras seperti ibunya,” pikir mereka. Akan tetapi, karena
rombongan Sin-to-pang yang datang berkuda itu pun telah mengaburkan kuda
mereka, para piauwsu itu juga segera naik ke atas kuda dan menjalankan kuda
mereka cepat sekali.
Pada saat mereka telah keluar
dari kota Cin-leng, bukan main heran hati mereka ketika melihat seorang anak
perempuan telah berlari-lari di depan kuda mereka. Ketika mereka memandang dengan
penuh perhatian, tak salah lagi, anak kecil itu adalah Bun Sui Ceng adanya!
Melihat kehebatan ilmu lari cepat dari ketua mereka, orang-orang Sin-to-pang
bersorak,
“Hidup Siauw-pangcu!”
Ada pun orang-orang Hui-to
Piauwkiok amat kagum dan diam-diam mereka pun menaruh harapan mudah-mudahan
ketua mereka dan isterinya akan tertolong dari tangan siluman tua itu oleh anak
perempuan yang ajaib ini. Ada pun Sui Ceng yang di depan, segera memberi tanda
kepada orang-orang dari Hui-to Piauwkiok untuk menjadi penunjuk jalan karena
dia sendiri belum tahu di mana adanya sarang Toat-beng Hui-houw.
Diam-diam Sui Ceng merasa agak
khawatir juga. Bukan khawatir atau takut menghadapi Toat-beng Hui-houw, sama
sekali tidak. Anak ini keberaniannya malah melebihi ibunya! Yang ia khawatirkan
adalah gurunya. Ia tadi pergi tidak memberitahukan kepada Kiu-bwe Coa-li, dan
takut kalau-kalau gurunya kelak akan menegur dan memarahinya.
Ketika tiba di tempat di mana
kemarin harinya Loan Eng bertempur melawan Toat-beng Hui-houw, mereka semua
kemudian berhenti dan turun dari kuda. Di situ masih nampak bekas-bekas
pertempuran, bahkan mayat para piauwsu yang tidak keburu diambil oleh
kawan-kawannya masih bergelimpangan di situ.
Kemudian Sui Ceng berseru
menantang, “Toat-beng Hui-houw, lekas keluar! Marilah kita bertempur seribu
jurus!”
Akan tetapi, biar pun
berkali-kali ia berteriak, bahkan dibantu oleh para piauwsu bersama anggota
Sin-to-pang yang memaki-maki, tidak terdengar jawaban dari iblis tua itu. Hanya
gema suara mereka saja terdengar dari kanan dan kiri sehingga membuat
burung-burung hutan beterbangan serta binatang-binatang kecil berlarian
menyembunyikan diri di dalam semak-semak.
Ke mana perginya Toat-beng
Hui-houw? Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat? Tak jauh dari tempat Sui
Ceng bersama kawan-kawannya berseru menantang, terdapat sebuah goa besar sekali
di bukit batu karang. Goa inilah tempat sembunyi atau sarang Toat-beng Hui-houw
dan ke dalam goa ini pula dia membawa Loan Eng dan Ong Kiat.
Pada saat itu, bukan dia tidak
mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan tetapi dia tengah asyik
dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan merupakan perbuatan manusia
lagi. Di dalam ruangan sebelah kiri goa itu, Loan Eng rebah di atas pembaringan
batu dalam keadaan lumpuh dan tak dapat menggerakkan kaki tangannya karena
jalan darahnya sudah dipukul dengan tiam-hoat (ilmu menotok) oleh iblis tua
itu.
Biar pun ia tak dapat
menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu bahwa dia
berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali. Beberapa kali dia
melirik ke dalam ruangan yang suram-suram itu karena mendapat penerangan cahaya
matahari yang masuk melalui mulut goa. Akan tetapi dia tidak melihat suaminya,
dan dia diam-diam mengeluh.
Mendadak terdengar suara
terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-beng Hui-houw di dalam ruangan itu. Loan
Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan,
akan tetapi sia-sia belaka, bahkan usahanya ini melemaskan seluruh tubuhnya dan
membuat luka di pundaknya terasa sakit sekali, hampir tak tertahankan.
“Ha-ha-ha! He-he-he!
Pek-cilan, kau telah membunuh sute-ku dan sekarang kau sudah terjatuh ke dalam
tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti bunga cilan putih. Cantik dan
bersih. He-he-he! Darahmu tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin aku
muda kembali!”
Sambil tertawa-tawa, kakek
botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu di mana Loan Eng
terlentang tak berdaya. Lebih dahulu kakek ini meraba kaki tangan Loan Eng,
untuk melihat bahwa korbannya benar-benar masih berada dalam keadaan lumpuh
tertotok sehingga tidak akan dapat melakukan serangan yang tiba-tiba.
Kemudian, dia mendekatkan
mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali. Akan tetapi apa
dayanya? Dia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang akan diperbuat
oleh manusia iblis ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu untuk membalas
dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku sampai terbebas.
Akan tetapi, perbuatan yang
kemudian dilakukan oleh Toat-beng Hui-houw benar-benar di luar dugaannya. Belum
pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan perbuatan keji
seperti itu. Ketika dia sudah mendekatkan mukanya dengan muka Loan Eng,
ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini mukanya diarahkan pada
leher Loan Eng yang berkulit halus.
Tiba-tiba Loan Eng merasa
betapa mulut kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia merasa ngeri dan
membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa kakek ini hanya ingin mencium
lehernya saja. Akan tetapi, tidak tahunya, kakek ini tidak mau melepaskan
lehernya lagi dan sampai lama, mulut kakek itu masih menempel pada lehernya.
Pelan-pelan Loan Eng merasa
betapa kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya yang terasa
perih, kemudian ia merasa betapa mulut kakek itu mulai menghisap darah dari
luka di leher bekas gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng menghadapi
perbuatan kakek siluman ini sehingga kepalanya menjadi makin pening, tubuhnya
makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!
Toat-beng Hui-houw ternyata
membuktikan ancamannya. Dia hendak menghisap darah pembunuh sute-nya ini, bukan
saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk suatu maksud, yakni
dia hendak ‘mengoper’ darah wanita muda yang cantik jelita itu agar supaya dia
akan menjadi awet muda! Pikiran dari seorang yang telah lenyap peri
kemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis jahat!
Sesudah kenyang menghisap
darah Loan Eng, Toat-beng Hui-houw tertawa-tawa girang dan melompat-lompat
keluar. Ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan karena isapan
darah yang dilakukan seperti seorang iblis keji itu, melainkan disebabkan
perasaan dan pikirannya yang sudah tidak normal lagi itulah yang membuat dia
merasa seolah-olah menjadi muda kembali! Ia pun keluar dari goa dan kini dia
mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.
“Ha-ha-ha, segala tikus busuk!
Toat-beng Hui-houw berada disini, kalian mau apa?”
Suara ini dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga khikang sepenuhnya hingga terdengar sampai jauh. Seperti
tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, Toat-beng Hui-houw juga
pandai Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka tentu saja
suaranya ini bergema jauh dan terdengar baik-baik oleh Sui Ceng dan
kawan-kawannya.
Mendengar suara ini, Sui Ceng
lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu, diikuti oleh
kawan-kawannya yang segera tertinggal jauh. Dengan berkuda saja piauwsu dan
anggota Sin-to-pang masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat Sui Ceng, apa
lagi sekarang mereka berlari biasa!
Pada saat tiba di depan goa,
Sui Ceng melihat seorang kakek yang mengerikan sedang menari-nari,
berlompat-lompatan dan bernyanyi!
“Aku menjadi muda kembali,
muda kembali...! Ha-ha-ha…! Toat-beng Hui-houw menjadi muda kembali!”
Untuk sesaat, Sui Ceng
tertegun. Yang berada di hadapannya itu seperti bukan manusia lagi, melainkan
seorang iblis yang mengerikan. Akan tetapi, Sui Ceng yang baru berusia delapan
tahun itu tidak merasa takut sedikit pun juga. Dia bahkan melangkah maju dan
menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan tabah.
“Ehh, kakek tua miring otak!”
Toat-beng Hui-houw segera
menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada seorang anak
perempuan kecil berani memakinya?
“Kaukah Toat-beng Hui-houw
yang berani menangkap ibuku dan ayah tiriku? Lekas kau lepaskan mereka,
barangkali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!”
Toat-beng Hui-houw
menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. Lagi mimpikah dia?
Ataukah benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri dengan
gagah dan berani serta mengeluarkan ucapan macam itu kepadanya? Kemudian ia
tertawa bergelak.
“Jadi kau memang puteri
Pek-cilan? Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula! Agaknya darahmu
lebih segar dari pada darah ibumu. Ha-ha-ha! Mari, mari! Kau hendak bertemu
dengan ibumu bukan?” Sambil berkata demikian, dia cepat menubruk hendak
menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil menubruk seekor burung yang
indah.
Akan tetapi, betapa heran hati
iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan tahu-tahu sebuah kaki
yang kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga, bahkan menendang mukanya!
Toat-beng Hui-houw terkejut dan heran, cepat dia miringkan kepalanya, akan
tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah tendangan pancingan belaka dan
sebelum Toat-beng Hui-houw sempat mengelak, perutnya sudah kena ditendang oleh
sebuah kaki lain yang sama mungilnya!
“Bukkk!”
Kaki Sui Ceng tepat mengenai
perut, akan tetapi bukan Toat-beng Hui-houw yang roboh, melainkan tubuh Sui
Ceng sendiri yang terlempar ke belakang! Akan tetapi, bagai seekor burung
walet, gadis cilik ini dapat berpoksai (membuat salto) di udara dan turun
dengan ringan sekali.
Apa bila tadi Toat-beng
Hui-houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia kurang lihai, akan
tetapi karena kakek ini memandang rendah dan tidak mengira sama sekali bahwa
bocah ini akan dapat melakukan gerakan sehebat itu!
Pada saat ditubruk tadi,
secepat kilat Sui Ceng melakukan gerakan melompat Can-liong Seng-thian (Naga
Terbang Naik ke Langit), kemudian disusul oleh tendangan Ji-liong-twi
(Tendangan Sepasang Naga) yang bertubi-tubi sehingga dia berhasil menendang
perut lawannya.
Akan tetapi, yang ditendangnya
tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main kagetnya Sui Ceng
dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepadaian lawannya betul-betul hebat
sekali. Sebaliknya Toat-beng Hui-houw juga amat kagum menyaksikan kegesitan
anak perempuan ini, namun kalau saja dia tahu bahwa anak ini adalah murid
Kiu-bwe Coa-li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti oleh kekagetan
hebat.
“Anak manis, aku harus
mendapatkan darahmu!” katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi.
Akan tetapi, berkat kegesitan
dan ginkang-nya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan diri.
Pada waktu itu rombongan piauwsu dan para anak buah Sin-to-pang sudah datang di
situ dan mereka menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum.
Anggota-anggota Sin-to-pang
merasa bangga melihat ‘siauw-pangcu’ mereka itu berani menghadapi Toat-beng
Hui-houw dengan tangan kosong. Melihat betapa kakek itu bagai seekor harimau
buas yang menubruk ke sana sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan seekor
burung walet beterbangan dan berkelit cepat sekali, mereka itu tanpa terasa
pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.
Kalau Toat-beng Hui-houw
bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya. Biar pun untuk
menjamah tubuh anak ini sulit sekali karena memang kegesitan Sui Ceng dapat mengimbangi
kegesitan lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun bila dia mau, dengan
hawa pukulan tangannya, dia dapat merobohkan gadis cilik ini.
Akan tetapi pada saat itu,
Toat-beng Hui-houw mendapat pikiran lain. Tadi ia menghisap darah Loan Eng hanya
karena hendak membalas sakit hati atas kematian sute-nya dan ingin awet muda.
Sekarang melihat Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak, dia takut kalau-kalau
dia berubah menjadi anak-anak pula apa bila dia menghisap darah anak ini!
Memang bodoh, gila, dan jahat merupakan satu keluarga, dan kakek ini telah
mempunyai ketiga-tiganya.
“Aku tidak mau isap darahmu!
Aku akan menangkapmu, memelihara dalam sangkar, kau burung cantik!” katanya
berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya.
Alangkah herannya hati Sui
Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua itu seperti tidak
berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya sudah dapat digulung ke dalam!
Berkali-kali dia mendesak
hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini benar-benar tidak
mudah. Sui Ceng sudah mendapat gemblengan dari Kiu-bwe Coa-li, dan dalam hal
ginkang dan kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang lincah ini
berbakat baik sekali.
Ketika melihat betapa Sui Ceng
terdesak, sambil berteriak-teriak nekat para piauwsu dan anak buah Sin-to-pang
lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggota Sin-to-pang (Perkumpulan
Golok Sakti), mau pun para piauwsu dari Hui-to Piauwkiok (Expedisi Golok
Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka sekarang belasan batang golok
berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-beng Hui-houw. Otomatis Sui Ceng
juga terkurung karena dua orang ini bertempur begitu cepatnya sehingga mereka
seakan-akan menjadi satu bayangan besar!
Para pengeroyok itu menjadi
bingung. Mereka hanya dapat berteriak-teriak saja dan tidak berani sembarangan
turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat bayangan lawan, tiba-tiba
bayangan itu lenyap dan berganti dengan bayangan Sui Ceng! Kedua orang ini
berputaran, melompat ke sana ke mari, bagaimana mereka dapat membantu Sui Ceng?
“Jangan bantu aku! Jangan
datang mendekat!” Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat.
Ketika tubuh Toat-beng
Hui-houw mendadak menerjang ke arah para pengeroyok sambil meninggalkan Sui
Ceng, terdengarlah jeritan berturut-turut dan empat orang pengeroyok roboh tak
bernyawa lagi!
“Siluman tua, kau kejam
sekali!” teriak Sui Ceng.
Anak ini secepat kilat
menyambar sebatang golok dari seorang piauwsu yang roboh, lalu dia segera
menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga merupakan segunduk
sinar yang menyilaukan.
“Ha-ha-ha, burung cantik, kau
harus menjadi peliharaanku!” berkata Toat-beng Hui-houw sambil menghadapi
serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang.
Ada pun para pengeroyok,
ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan demikian
mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri dan
menonton dari jauh saja. Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu,
akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa bantuan mereka itu sia-sia belaka
dan tidak akan sanggup menolong, bahkan mereka pasti akan mengantarkan nyawa
dengan cuma-cuma saja.
Sekarang gerakan Sui Ceng
tidak lagi secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang gadis cilik ini
memegang sebatang golok yang besar dan cukup berat. Tadinya Sui Ceng sengaja
mengambil golok karena dia hendak bertempur mati-matian mengadu jiwa, akan
tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan justru dia mendatangkan kerugian pada
dirinya sendiri. Golok itu terhadap Toat-beng Hui-houw tidak ada artinya sama
sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri.
Hanya dalam beberapa jurus
saja, masih sambil tertawa-tawa, Toat-beng Hui-houw telah berhasil menangkap
pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah thian-hu-hiat pada pundak gadis
cilik itu, lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas dari pegangan!
Pada saat itu tampak menyambar
beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu halus dan panjang yang
sekaligus menyerang Toat-beng Hui-houw di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian
dari bulu-bulu halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan sekali renggut, tubuh Sui
Ceng sudah terlepas dari pegangan Toat-beng Hui-houw, kemudian melayang ke
depan!
Toat-beng Hui-houw terkejut
bukan main menghadapi serangan ini. Dia telah terkejut dan jeri melihat macam
senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah dia bahwa yang
datang menyerangnya adalah Kiu-bwe Coa-li! Kalau ada rasa takut di dalam dada
Toat-beng Hui-houw manusia siluman ini, maka rasa takut itu mungkin hanyalah tertuju
kepada lima orang tokoh besar di kalangan kang-ouw, di antaranya ialah Kiu-bwe
Coa-li ini!
“Kiu-bwe Coa-li, mengapa kau
mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah mengganggumu?”
katanya penasaran.
Ia cepat melompat ke belakang
sebab jeri menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-bwe Coa-li yang kini telah
berdiri di hadapannya sambil menggandeng tangan Sui Ceng yang sudah dibebaskan
dari totokan pula.
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li
mengerti mengapa muridnya tadi sampai kalah oleh Toat-beng Hui-houw. Tadi
begitu datang melihat muridnya berada dalam pelukan kakek siluman itu, dia lalu
melakukan serangan pecutnya yang paling dan jarang sekali ada orang mampu
menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiu-seng Kan-goat (Sembilan Bintang
Mengejar Bulan).
Sembilan helai bulu pecutnya
menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi dia hanya berhasil merampas
kembali muridnya dan sama sekali tidak dapat melukai kakek itu. Dari sini saja
dia ketahui bahwa kepandaian kakek itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian
muridnya.
“Siluman jahat, apa matamu
sudah menjadi buta?” jawab Kiu-bwe Coa-li dan sepasang matanya mengeluarkan
sinar membakar. “Kau berani mengganggu murid pinni (muridku), maka sekarang kau
harus mati!”
Bukan main kagetnya Toat-beng
Hui-houw.
“Dia ini muridmu...? Ahh,
Kiu-bwe Coa-li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia adalah muridmu. Akan
tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya? Kalau aku bermaksud untuk
mengganggunya, apakah sekarang ia masih dapat bernapas?”
“Kau memang tidak melukainya,
akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau sudah menghinaku pula. Maka
bersiaplah untuk mati!”
Kembali Kiu-bwe Coa-li
menggerakkan pecutnya, melakukan serangan-serangan dengan cara yang ganas dan
tidak mengenal ampun sama sekali. Memang watak Kiu-bwe Coa-li luar biasa
ganasnya. Sekali ia turun tangan, ia tidak akan merasa puas kalau lawannya
belum roboh binasa!
Toat-beng Hui-houw bukannya
orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Dia memang merasa segan bertempur
melawan Kiu-bwe Coa-li dan tentu dia bersedia mengalah jika berurusan dengan
orang yang dia anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu. Akan tetapi kalau
dia didesak, dia terpaksa melawan.
“Kiu-bwe Coa-li, kau terlalu
sekali. Kau kira aku Toat-beng Hui-houw takut menghadapi Kiu-bwe Joan-pian-mu
(Pecut Berbulu Sembilan)?”
“Siapa peduli takut atau
tidak? Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!” Kiu-bwe Coa-li mendesak
terus.
Toat-beng Hui-houw
mengeluarkan suara nyaring dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah mulur
kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan! Ia cepat mengelak dari
serangan lawannya lantas membalas dengan serangan pukulan yang mendatangkan
hawa dingin dan berbau amis.
Ternyata bahwa siluman tua ini
telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai racun yang keluar dari hawa
pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu ini, dalam beberapa jurus
saja Sui Ceng tentu telah roboh binasa.
Menghadapi pukulan-pukulan
hebat ini, Kiu-bwe Coa-li pertama-tama mendorong tubuh muridnya sehingga Sui
Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian wanita sakti ini
lalu memutar pecutnya sampai berbunyi mengaung dan kadang-kadang diselingi
suara bergeletar dan dari pecutnya yang berekor sembilan ini keluar hawa yang
menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan berbisa dari Toat-beng
Hui-houw.
Para piauwsu dan anggota
Sin-to-pang, semenjak tadi berdiri seperti patung. Munculnya seorang tokouw
yang memegang cambuk ini saja sudah membuat mereka heran sekali, karena tak
seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara pecut tokouw
itu merampas Sui Ceng dan kemudian mendengar pula bahwa tokouw ini adalah
Kiu-bwe Coa-li yang tersohor dan menjadi guru Sui Ceng, mereka makin
terbelalak.
Kini, sesudah pertandingan
antara Toat-beng Hui-houw dan Kiu-bwe Coa-li berlangsung, mereka lalu menjadi
bengong dan melongo. Menurut pendapat mereka, pertandingan ini bukan
pertempuran orang-orang pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah berpindah
dari tempat masing-masing dan hanya kedua tangan mereka saja yang
bergerak-gerak luar biasa cepat ke depan. Hampir saja ada yang tertawa
menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan
mereka sedang membadut.
Akan tetapi Sui Ceng menonton
dengan wajah penuh ketegangan. Ia pun maklum bahwa permainan cambuk dari
gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan berisi lweekang yang
tinggi sekali tingkatnya. Pada waktu dua orang tua itu sedang bertempur dengan
mengandalkan hawa pukulan lweekang, maka mereka hanya berdiri berhadapan dan
saling memukul dari jauh, sama sekali tidak mengubah kedudukan kaki.
Akan tetapi, tak beberapa lama
kemudian, Toat-beng Hui-houw terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, oleh
karena bulu-bulu pecut Kiu-bwe Coa-li makin lama semakin mendesaknya, makin
lama semakin dekat serangan ujung cambuk itu, terus mendesak hawa pukulannya
yang hendak menentangnya.
Ia maklum bahwa kalau sampai
ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri
lagi. Dia cukup mengenal akan kelihaian totokan ujung cambuk di tangan Kiu-bwe
Coa-li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.
“Cukup, siluman betina! Kali
ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku pasti akan mengalahkanmu!”
kata Toat-beng Hui-houw sambil melompat mundur.
“Keparat pengecut! Kau belum
mampus, bagaimana bisa bilang cukup?” berseru Kiu-bwe Coa-li sambil mengejar
dan melakukan serangan kilat.
Toat-beng Hui-houw cepat
mengerahkan tenaganya menangkis sambil melompat jauh, namun tetap saja sebuah
dari pada sembilan ekor pecut itu dengan tepat menghantam pahanya. Baiknya dia
cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya ke arah bagian tubuh ini sehingga ketika
pecut itu dengan suara nyaring menampar paha, hanya kain dan kulitnya saja yang
pecah, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam.
Gentarlah hati Toat-beng
Hui-houw. Ia cepat melompat dan menyambar sebatang pohon besar. Sekali cabut
saja jebollah pohon itu dan dia melontarkan pohon ke arah Kiu-bwe Coa-li yang
mengejarnya! Terpaksa Kiu-bwe Coa-li melompat pergi dari sambaran pohon yang
besar itu, dan ketika hendak melanjutkan pengejarannya, ia teringat pada
muridnya.
“Mari, Sui Ceng, kita kejar
siluman itu!” katanya sambil menggandeng tangan muridnya.
Akan tetapi Sui Ceng menarik
tangannya dan berkata, “Nanti dulu, Suthai. Teecu harus menolong Ibu lebih
dahulu.”
Kiu-bwe Coa-li menghentikan
langkahnya. “Ibumu? Di mana dia?”
“Dia telah ditawan oleh
Toat-beng Hui-houw. Karena itulah maka teecu datang ke tempat ini. Mungkin Ibu
disembunyikan di dalam goa itu.” Sui Ceng menunjuk ke arah goa.
Kiu-bwe Coa-li mengerutkan
keningnya. Dia sudah tahu persis akan kejahatan Toat-beng Hui-houw dan jika
orang sudah terjatuh ke dalam tangan siluman itu, jangan harap akan tertolong
lagi jiwanya.
“Kalau begitu, kita harus
cepat-cepat melihat dan memeriksa goa itu,” katanya.
Guru dan murid ini kemudian
berlari-larian memasuki goa. Para piauwsu beserta anggota Sin-to-pang juga
mendekati goa, akan tetapi mereka tidak berani lancang memasuki goa, hanya
menanti dan berkumpul di luar goa sambil membicarakan pertempuran dahsyat yang
tadi mereka saksikan.
Ada pun Sui Ceng dan gurunya
yang memasuki goa, mendapat kenyataan bahwa goa itu lebar sekali dan di
dalamnya terbagi-bagi menjadi tiga ruangan. Mereka memasuki ruang sebelah kiri
dan membuka pintu ruangan itu yang terbuat dari pada kayu. Cahaya yang memasuki
ruangan ini suram-suram saja, namun Sui Ceng segera mengenal tubuh yang
terbaring membujur di atas pembaringan batu, sebab yang terlentang itu tidak
lain adalah Loan Eng, ibunya sendiri!
“Ibuuu...!” Sui Ceng melompat
dan menubruk ibunya.
Kiu-bwe Coa-li yang berdiri di
belakang muridnya, segera mengulur tangan dan dengan beberapa totokan di jalan
darah nyonya muda yang nampak lemas dan tidak berdaya lagi itu, dapatlah Loan
Eng menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi dia sudah demikian lemas sehingga hampir
tidak kuat mengangkat tangannya. Ternyata bahwa darahnya hampir habis terisap
oleh Toat-beng Hui-houw, manusia iblis itu!
“Ibu... kau kenapakah...?” Sui
Ceng menggoyang-goyang tubuh ibunya dan memandang dengan mata terbelalak.
“Sui Ceng... kau datang...?”
Suara Loan Eng lemah sekali, dan hanya terdengar seperti bisik-bisik saja,
“Kebetulan sekali... aku ada pesan untukmu...”
“Suthai, tolong Ibuku, mengapa
dia begitu lemah?” kata Sui Ceng tanpa mempedulikan kata-kata ibunya, karena ia
tidak mau percaya bahwa ibunya akan mati.
Kiu-bwe Coa-li memegang
pergelangan tangan Loan Eng, dan dia nampak terkejut, lalu menggeleng-gelengkan
kepalanya dan ketika ia memeriksa leher sebelah kiri dari nyonya muda itu,
terdengar wanita sakti ini menggertakkan giginya.
“Jahanam benar...” bisiknya.
Ternyata bahwa kulit leher
dari Loan Eng yang putih halus itu kini telah terluka dan di luar luka ini
masih terdapat tanda gigitan dan darah-darah yang telah mengering!
“Ibumu tidak akan tertolong
lagi, Sui Ceng. Dia sudah kehabisan darah,” katanya tenang. Mendengar ini, Sui
Ceng menubruk ibunya dan menangis.
“Sui Ceng, anakku selamanya
tidak akan menangis sedih,” kata Loan Eng. Mendengar tangis anaknya, agaknya
Loan Eng mendapat tambahan tenaga baru. “Agaknya memang aku harus menebus
dosaku pada kematian ayahmu yang kubunuh sendiri. Aku berpesan kepadamu, Sui
Ceng. Kelak kau harus menjadi jodohnya murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan
Hai, karena aku telah menerima pinangan orang tua itu. Nama murid itu The Kun
Beng. Nah... hanya sekian pesanku...!” Loan Eng makin lemas.
“Ibu..., aku bersumpah untuk
membalaskan sakit hati ini. Akan kucincang hancur tubuh iblis itu...!” kata Sui
Ceng di antara tangisnya.
Meski tubuhnya telah lemas
sekali, mendengar kata-kata anaknya, Loan Eng memaksa bibirnya tersenyum. Ia
merasa senang dan bangga melihat sikap puterinya yang gagah.
“Kau tentu akan berhasil, Sui
Ceng, di bawah pimpinan gurumu yang sakti... dan tentang Sin-to-pang... kau...
kau benar, perkumpulan mendiang ayahmu itu amat baik…, mereka telah berusaha
menolongku... jadilah ketua yang baik kelak...! Sui Ceng, jangan lupa kau
tunangan The Kun Beng murid Pak-lo-sian... nah, selamat tinggal, anakku...”
Habislah tenaga nyonya itu dan
Pek-cilan Thio Loan Eng, pendekar wanita yang cantik dan gagah perkasa itu,
menghembuskan napas terakhir dalam pelukan puterinya.
“Ibu...! Ibu...!” Sui Ceng
menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri dan berdongak ke atas
sambil berkata,
“Toat-beng Hui-houw, manusia
iblis. Tunggulah, akan tiba waktunya aku Bun Sui Ceng menghancurkan kepalamu!”
“Tenanglah, Sui Ceng. Apa sih
sukarnya membikin mampus manusia seperti Toat-beng Hui-houw itu? Sekarang juga
aku dapat mengejarnya dan membikin tamat riwayatnya,” kata Kiu-bwe Coa-li yang
merasa kasihan kepada muridnya yang tersayang itu.
“Tidak, Suthai, dia tidak
boleh mati di tanganmu atau di tangan siapa juga. Teecu sendiri yang akan
membalaskan sakit hati ini.”
Kiu-bwe Coa-li
mengangguk-angguk. “Boleh saja, Sui Ceng. Asalkan kau belajar dengan rajin, tak
lama lagi kau akan dapat melaksanakan cita-citamu ini. Juga baik-baik saja kau
menjadi ketua Sin-to-pang. Hanya aku merasa agak menyesal mengapa ibumu
demikian tergesa-gesa menjodohkan kau dengan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.”
Sui Ceng tidak menjawab oleh
karena di dalam hati gadis cilik ini sama sekali belum ada pikiran mengenai
jodoh, bahkan ia menganggap ibunya tadi bersenda gurau saja. Ia lalu
melanjutkan pemeriksaan di dalam goa.
Di kamar lainnya mereka
mendapatkan tubuh Ong Kiat, juga sudah tewas dengan tubuh penuh luka-luka.
Walau pun ketika Ong Kiat masih hidup, Sui Ceng tidak suka kepada piauwsu ini
karena sudah mengawini ibunya, namun kini melihat piauwsu muda itu yang telah
menjadi suami ibunya tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan, ia lalu
berlutut pula dan berkata perlahan dengan janji bahwa dia akan membalaskan
sakit hati mendiang ayah tirinya ini.
Lalu Sui Ceng dan gurunya
keluar dari goa, disambut oleh para anggota Sin-to-pang dan para piauwsu yang
memandang penuh hormat.
“Saudara-saudara sekalian, Ibu
beserta Ayah sudah tewas di tangan iblis itu. Kelak aku sendiri yang akan
membalaskan sakit hati dan membunuh iblis keparat itu, supaya kalian semua
bertenang hati. Sekarang, kalian lakukanlah tugas kewajiban masing-masing, dan
tunggu hingga aku datang untuk memimpin Sin-to-pang. Ada pun para piauwsu,
terserah, hendak menjadi anggota Sin-to-pang baik-baik saja, mau melanjutkan
pekerjaan sebagai piauwsu pun boleh. Hanya pesanku, baik Hui-to Piauwkiok mau
pun Sin-to-pang, harus bekerja sama dalam segala hal. Ingat bahwa akulah yang
mewarisi keduanya dan aku pula yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang
kalian!”
Para anggota Sin-to-pang dan
anggota Hui-to Piauwkiok menjadi sedih sekali mendengar betapa ketua mereka
telah tewas, akan tetapi melihat sikap dan mendengar ucapan Sui Ceng yang
benar-benar gagah dan bersemangat, yang sesungguhnya mengherankan sekali keluar
dari mulut anak yang masih demikian hijau, terbangunlah semangat mereka dan
serentak menyatakan setuju.
Jenazah Loan Eng dan Ong Kiat
diurus dan dirawat baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir kepada makam ibu
dan ayah tirinya, Sui Ceng lalu melanjutkan perjalanannya mengikuti gurunya.
Sejak saat itu Sui Ceng makin
tekun belajar dan semua ilmu kepandaian dari Kiu-bwe Coa-li direnggut dan
diteguknya seperti seorang kehausan minum air segar. Juga dia dan gurunya
sangat tekun mempelajari ilmu silat aneh yang mereka dengar dari Tu Fu yang
membacakan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sebagaimana diketahui, isi
kitab ini sebenarnya palsu, bahkan di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat
dan latihan tenaga dalam secara terbalik. Kalau sekiranya Sui Ceng sendiri yang
melatih diri menurut bunyi kitab ini, tentu ia akan mendapatkan kepandaian
palsu yang membahayakan tubuhnya seperti halnya Kwan Cu.
Akan tetapi, ia berada di
bawah asuhan Kiu-bwe Coa-li, seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat tinggi
kepandaiannya. Maka tentu saja Kiu-bwe Coa-li tidak dapat tertipu dan nenek
yang sakti ini tahu bagaimana harus melatih ilmu silat aneh ini tanpa merusak
tenaga sendiri.
Cara melatihnya bukan seperti
yang dilakukan oleh Lu Kwan Cu, yang menjiplak begitu saja dan menelan semua
pelajaran tanpa dipilih lagi. Kiu-bwe Coa-li tidak mau berlaku sembrono dan
sebagai seorang ahli silat tinggi, ia tahu mana yang tidak betul dan mana yang
berguna. Oleh sebab itu, di antara pelajaran-pelajaran yang masih ia ingat
bersama muridnya, lalu dia saring dan pilih lagi, memilih mana yang sekiranya
berguna dan dapat dipakai untuk mempertinggi kepandaiannya.
Melihat ketekunan muridnya,
Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan nenek sakti ini lalu membatalkan
niatnya yang hendak mencoba ilmu silat barunya kepada seorang di antara
tokoh-tokoh besar, bahkan ia lalu mengajak muridnya tinggal di puncak Bukit
Wu-yi-san yang berada di Tiongkok Selatan, perbatasan Propinsi Hok-kian dan
Kiang-si.
Kiu-bwe Coa-li memang berasal
dari Hok-kian, maka ia disebut tokoh besar selatan yang ke dua. Sebagaimana
diketahui, tokoh besar selatan yang pertama adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu, yang selalu merantau di seluruh propinsi selatan dan tak tentu tempat
tinggalnya…..
********************
Sementara itu, Hek-i Hui-mo
dengan cepat membawa lari Lai Siang Pok yang menjadi ketakutan dan kaget
setengah mati itu. Anak ini menangis dan minta dengan suara amat menyedihkan
agar supaya dia dilepaskan kembali, namun Hek-i Hui-mo menjawab,
“Kau ingat baik-baik semua isi
kitab yang di baca oleh Tu-siucai tadi, barulah kau ada harapan untuk hidup
terus!”
Mendengar ini Siang Pok pun
mengerti bahwa kakek yang menyeramkan ini benar-benar membutuhkan bantuan untuk
mengingat bunyi isi kitab tadi, maka karena maklum bahwa hal itulah satu-satunya
jalan baginya untuk dapat menolong diri sendiri dari bahaya, dia lalu
mengumpulkan seluruh ingatan dan perhatiannya kepada bunyi isi kitab yang aneh
itu.
Lai Siang Pok adalah seorang
anak yang amat cerdik luar biasa dan semenjak kecil dia telah digembleng oleh
ayah bundanya dalam ilmu kesusastraan. Oleh karena itu dia telah biasa
menghafal, dan meski pun tadi dia mendengarkan isi kitab yang dibaca oleh Tu Fu
dengan setengah hati saja, namun dia telah hampir dapat mengingat semuanya!
Setelah jauh dari kota
Kai-feng, Hek-i Hui-mo menurunkan Lai Siang Pok dan berkata,
“Coba kau sekarang mengulang
kembali isi kitab itu, hendak kudengar apakah kau ada gunanya bagiku atau
tidak!”
Siang Pok mengumpulkan
ingatannya, kemudian mengulang apa yang tadi didengarnya. Mendengar ini, Hek-i
Hui-mo menjadi girang sekali karena semua yang diingat olehnya sendiri dari isi
kitab itu, ternyata tidak ada seperempatnya dari apa yang dapat diingat oleh
Siang Pok!
“Anak baik...! Kau patut
menjadi muridku!” katanya girang sambil menepuk-nepuk pundak anak itu.
Tepukan ini bukanlah tepukan
biasa, akan tetapi tepukan hendak memeriksa keadaan tubuh dan tulang dari anak
laki-laki ini. Akan tetapi dia mempunyai watak yang tabah dan keras hati, maka
digigitnya bibir untuk menahan rasa sakit.
“Bagus, tidak jelek!” kata
Hek-i Hui-mo yang kemudian tertawa bergelak. “Hendak kulihat kelak, siapa yang
paling pandai memilih dan mengajar muridnya. Ha-ha-ha, Siang Pok, kau menjadi
muridku dan kelak kaulah yang akan menjagoi di antara murid-murid semua orang
gila itu. Ha-ha-ha!”
Siang Pok tidak mengerti apa
yang dimaksud oleh kakek hitam ini, akan tetapi diam-diam ia menjadi girang
juga. Sering kali anak ini membaca cerita-cerita kuno tentang pendekar dan
pahlawan, kemudian diam-diam dia mengagumi sepak terjang dan kegagahan para
pendekar itu.
Sekarang mendengar bahwa dia
hendak diambil murid oleh kakek yang telah ia saksikan sendiri kelihaiannya,
tentu saja dia menjadi girang. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan
Hek-i Hui-mo sambil berkata,
“Segala petunjuk dari Suhu
akan teecu pelajari dengan rajin.”
“Bagus, mari kita cepat pulang
agar kau bisa segera berlatih. Kau sudah tertinggal jauh oleh murid-murid
mereka itu.”
“Pulang? Ke mana, Suhu?”
“Ha-ha-ha, tentu saja ke
Tibet, ke barat! Hayo!” Sambil berkata demikian, Hek-i Hui-mo menyambar tubuh
muridnya.
Sekejap kemudian terpaksa
Siang Pok meramkan kedua matanya karena angin bertiup kencang sekali, membuat
kedua matanya pedas ketika suhu-nya membawanya lari luar biasa cepatnya seakan-akan
terbang!
Walau pun Hek-i Hui-mo
melakukan perjalanan cepat sekali dan jarang berhenti di jalan, namun dia harus
menggunakan waktu sebulan lebih baru tiba di Tibet, daerah barat yang jauh itu.
Siang Pok diterima dengan penuh penghormatan dan juga perasaan iri hati oleh
orang-orang di barat, karena bila menjadi murid Hek-i Hui-mo, selain dianggap
mendapat kehormatan tinggi, juga dianggap sebagai yang menerima kurnia besar.
Namun Siang Pok tidak
mempedulikan semua itu dan mulai saat gurunya menurunkan pelajaran ilmu silat
kepadanya, dia belajar dengan amat rajin dan tekun sehingga boleh dibilang lupa
makan dan lupa tidur! Melihat ini, Hek-i Hui-mo semakin sayang kepadanya,
karena makin besar harapan di hatinya, murid ini kelak akan menjunjung tinggi
namanya dan akan mengalahkan semua murid tokoh-tokoh besar yang sudah berlatih
lebih dulu.
Seperti juga Kiu-bwe Coa-li,
Hek-i Hui-mo yang bernama Thian Seng Hwesio ini, jarang sekali keluar dan
bersembunyi saja di kelentengnya, memberi latihan-latihan kepada Lai Siang Pok,
karena seperti juga Kiu-bwe Coa-li, dia ingin mempelajari isi kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari Tu Fu, kemudian kalau sudah
mempelajarinya dengan sempurna, bersama muridnya dia akan mencari tokoh-tokoh
lain untuk ditantang pibu!
Seperti telah kita ketahui,
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang terjatuh ke dalam tangan Hek-i Hui-mo dan
yang kemudian isinya dibacakan oleh pujangga besar Tu Fu sambil didengarkan
oleh Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo bersama murid-murid mereka, adalah kitab
palsu. Akan tetapi biar pun palsu, kitab ini ditulis di jaman dahulu oleh orang
yang pandai dan hafal akan isi kitab aslinya, maka biar pun palsu, isi kitab
ini merupakan pelajaran yang aneh dan luar biasa sekali.
Bagi orang yang tidak memiliki
ilmu silat tinggi, tentu saja kitab ini tidak ada artinya sama sekali dan jika
orang biasa melatih diri meniru pelajaran isi kitab ini, bukannya mendapat
kemajuan dan kepandaian tinggi, malah tubuh orang itu akan menjadi rusak. Akan
tetapi sebaliknya, apa bila yang mendengarnya adalah orang-orang berilmu tinggi
seperti Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li, mereka dapat menangkap serta menerima
isi kitab untuk disaring kembali dan untuk dijadikan bahan menyempurnakan
kepandaian silat mereka.
Oleh karena inilah, maka hasil
dari pada mendengarkan isi kitab itu bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li
sangat jauh berlainan. Pelajaran yang mereka dengar itu, lalu diolah dan
disaring sesuai dengan ilmu kepandaian yang sudah ada pada mereka, maka tentu
saja tidak sama.
Bagi Kiu-bwe Coa-li, pelajaran
dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang telah didengarnya dari pujangga Tu Fu itu
mendatangkan kemajuan yang hebat sekali dalam hal ilmu lweekang, yakni
penggunaan tenaga dalam. Walau pun pelajaran lweekang di dalam kitab itu tidak
karuan dan sengaja dibolak-balikkan oleh penulis kitab palsu, namun sungguh
kebetulan sekali perhatian Kiu-bwe Coa-li dan muridnya, Sui Ceng, justru
dikerahkan ke jurusan ini.
Dengan kecerdikannya yang luar
biasa, Kiu-bwe Coa-li bertekun mengupas pelajaran ini dan akhirnya dia pun
dapat menemukan ilmu aslinya dengan jalan meraba-raba serta menduga-duga. Ia
lalu memperbaiki dengan caranya sendiri, sesuai dengan kepandaian yang telah
dimilikinya, sehingga akhirnya dia pun mendapatkan ilmu silat berdasarkan pelajaran
Im-yang Bu-tek Cin-keng yang seluruhnya menggunakan tenaga lweekang yang hebat
luar biasa!
Sebaliknya, setelah mendengar
dan mempelajari isi kitab itu, Hek-i Hui-mo mendapatkan gerakan-gerakan
istimewa yang sesuai benar untuk menyempurnakan ilmu tongkatnya. Ilmu tongkat
Hek-i Hui-mo, yakni permainan tongkat Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga),
memang telah terkenal dan lihai sekali. Kini, setelah dia mempelajari isi kitab
itu, dia mendapatkan sesuatu yang cocok sekali dan yang dapat dia olah sedemikian
rupa sehingga ilmu tongkatnya menjadi maju dengan pesat dan kini merupakan ilmu
tongkat yang aneh dan luar biasa!
Jika biasanya dia mainkan dua
senjata, yakni tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan dan tasbih di tangan
kiri, di mana tongkat menjadi alat penyerang dan tasbih sebagai alat penangkis,
kini dengan hanya mainkan tongkatnya saja kelihaiannya sudah berlipat kali
melebihi sepasang senjatanya itu. Sebab itu dia lalu tekun memperdalam
kepandaiannya bermain tongkat yang kelak akan diturunkan kepada murid
tunggalnya, yakni Lai Siang Pok.
Sebetulnya, kalau orang
mengetahui isi dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, orang takkan
merasa heran mengapa isi kitab yang dibaca Tu Fu itu mendatangkan dua macam
ilmu jauh berlainan bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li. Kitab asli Im-yang
Bu-tek Cin-keng memang merupakan raja kitab ilmu silat di dunia ini!
Di situ terdapat pelajaran
pokok dan dasar dari pada segala macam gerakan ilmu silat di atas dunia. Ilmu
silat dengan tangan kosong mau pun dengan senjata yang bagaimana pun juga,
kesemuanya berpokok dan berdasar sama, yakni berdasarkan menyerang dan
bertahan. Ada pun inti sari dari pada dua gerakan ini memang menjadi isi dari
Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli.....
********************
Baiklah kita tinggalkan dahulu
Siang Pok yang sedang digembleng oleh suhu-nya, yakni Hek-i Hui-mo di
Pegunungan Tibet, juga kita biarkan dulu Sui Ceng yang tekun menerima
latihan-latihan dari gurunya, Kiu-bwe Coa-li di Pegunungan Wu-yi-san di daerah
selatan. Sekarang lebih dahulu kita menengok keadaan Lu Kwan Cu yang melakukan
perantauan bersama gurunya, Ang-bin Sin-kai.
Kekalahannya yang
berturut-turut menghadapi The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, kedua murid
Pak-lo-sian Siangkoan Hai, kemudian kekalahannya pula dari Lu Thong murid dari
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tidak mengecewakan hati Kwan Cu, bahkan
seakan-akan menjadi dorongan kepadanya untuk berlatih makin giat dan tekun.
Juga dia melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Liang-san untuk mencari goa tempat
mendiang Gui Tin dulu menyimpan buku-bukunya. Ang-bin Sin-kai menuruti saja
kehendak muridnya yang ingin mencari gunung itu.
“Kitab-kitab macam apa yang
dapat ditinggalkan oleh seorang sastrawan kepadamu?” hanya demikian
kata-katanya mencemoohkan. “Paling hebat hanyalah kitab-kitab Su-si Ngo-keng
dan kitab-kitab kuno penuh oleh tulisan kosong tentang adat-istiadat, tentang
peri kebajikan dan peri kemanusiaan yang kosong melompong!”
Mendengar omongan gurunya ini,
Kwan Cu menyatakan tidak setujunya.
“Suhu, mengapa soal-soal
mengenai peri kebajikan dan peri kemanusiaan Suhu anggap pelajaran yang kosong
melompong? Bukankah manusia di dunia ini perlu sekali akan pelajaran serupa itu
agar hidupnya tidak terlalu tersesat dan jahat?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak
mendengar ucapan muridnya ini.
“Kwan Cu, pelajaran mengenai
peri kebajikan memang kosong melompong dan hanya merupakan pekerjaan
orang-orang malas yang mengaku diri suci dan berjasa terhadap manusia. Siapakah
orangnya yang tak tahu bahwa mencuri dianggap jahat? Akan tetapi tetap saja
mereka mengambil barang lain orang. Siapa yang tak tahu bahwa membunuh dianggap
jahat? Namun tetap saja mereka membunuh sesama hidup dengan hati enak saja.
Apakah dengan munculnya pelajaran-pelajaran mengenai peri kebajikan itu dunia
menjadi makin bersih? Lihat saja, makin kotorlah batin manusia. Jika
kitab-kitab itu tidak memberi pelajaran tentang jahatnya mencuri, manusia juga
tak akan mengenal kata-kata mencuri dan tidak akan ada pencuri di muka bumi
ini. Kalau orang tidak membaca dan mendengar tentang pelajaran peri kebajikan
yang menyatakan bahwa membunuh itu tak baik, orang tidak akan mengenal
kata-kata membunuh dan tidak akan ada pembunuh. Kalau saja orang tidak
mendengar sebutan kejahatan dari dalam kitab, orang tidak akan mengenal pula
kata-kata kejahatan dan tidak akan ada kejahatan di dalam dunia ini!”
Kepala Kwan Cu yang gundul itu
menjadi semakin kelimis karena dia mempergunakan otaknya untuk membuka arti
ucapan gurunya yang sukar dimengerti itu. “Kalau begitu dunia akan kacau, Suhu.
Tanpa ada pengertian tentang kejahatan, orang tak akan takut berbuat sekehendak
hatinya!”
“Bodoh, berbuat sekehendak
hati bukan perbuatan yang jahat! Kau kira dengan pelajaran yang memenuhi
otak-otak tentang kejahatan dan segala macam omong kosong itu, akan membuat
dunia menjadi baik dan aman? Tengok saja, di manakah terjadinya
kejahatan-kejahatan besar? Bukan di dusun-dusun yang ditempati oleh orang-orang
yang pikiran dan hatinya masih amat sederhana, yang belum banyak mengenal
tentang pelajaran peri kebajikan yang di dalam pandangan orang-orang kota masih
dianggap bodoh! Di dalam ketidak mengertian mereka tentang kejahatan itu,
mereka bersih!”
“Suhu terpengaruh oleh
filsafat Lo Cu!” tiba-tiba saja Kwan Cu berseru karena anak yang cerdik ini
memang sudah hafal akan semua isi kitab kuno dan pelajaran tentang filsafat dan
kebatinan.
“Bukan terpengaruh, hanya aku
setuju dengan pendirian Lo Cu tentang itu. Orang-orang besar yang membuat
kitab-kitab itu sudah berlaku terlalu sombong, hendak mendahului kehendak alam,
hendak menggantikan kedudukan alam mengadakan perubahan besar dalam watak
manusia. Padahal watak manusia itu memang baik seperti watak seluruh isi alam
yang suci. Watak manusia seperti air telaga yang tenang, bila sekali dikacau,
akan bergelombanglah air itu dan menjadi kacau dan tidak aman lagi. Pengertian
tentang apa yang disebut baik dan jahat, menimbulkan nafsu dalam diri manusia
dan pada sekarang ini, dunia kemanusiaan dirajai oleh maha raja nafsu,
manusianya sendiri hanya menjadi hamba sahaya dan hulubalang yang taat dan
setia kepadanya! Nafsulah yang menjadi penggerak manusia mencuri, membunuh,
menipu, serta melakukan kejahatan-kejahatan lain, dan nafsu ini dipupuk dan
diperkuat oleh pengertian tentang baik dan buruknya yang diajarkan oleh
kitab-kitabmu itu! Anggaplah emas seperti batu karang, siapa yang sudi mencuri
emas? Dengan pengertian tentang baik buruk, tentang dosa dan suci, manusia
telah dibentuk menjadi makhluk yang paling kotor dan jahat di dunia ini.”
Kwan Cu mengerutkan keningnya.
“Akan tetapi, Suhu, bukankah itu sebaliknya? Manusia merupakan makhluk yang
paling pandai dan baik. Bukan hanya di antara manusia terjadi saling bunuh,
bukankah binatang juga sering kali membunuh sesamanya?”
Ang-bin Sin-kai memandang
kepada muridnya dengan mata terbelalak lebar. “Anak tolol, kau tahu apa?
Binatang-binatang membunuh tidak seperti manusia membunuh! Manusia membunuh
sesama manusia hanya terdorong oleh iblis, terdorong oleh dendam, benci, marah,
dan sakit hati karena dirugikan, baik nama mau pun hartanya. Pernahkah kau
mendengar binatang membunuh karena perasaan-perasaan jahat ini? Harimau boleh
jadi setiap hari membunuh binatang lain, akan tetapi itu adalah kehendak alam
yang telah memastikan bahwa harimau tidak bisa makan rumput, melainkan harus
makan daging atau darah.”
“Akan tetapi, Suhu. Kalau
semua manusia menurutkan ajaran Lo Cu semenjak dahulu, teecu kira dunia akan
menjadi sunyi, dan tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini. Manusia
mungkin masih menjadi makhluk-makhluk telanjang yang hidup di goa-goa, tiada
lain kerjanya hanya makan dan tidur!”
“Kau sombong!” Ang-bin Sin-kai
berteriak dan muka yang merah itu menjadi semakin merah. “Berani kau mendahului
pertumbuhan alam? Memang mungkin sekali tidak akan ada kemajuan duniawi seperti
sekarang, akan tetapi juga tak akan ada kejahatan seperti sekarang! Tentang
kemajuan, orang mengenalnya hanya setelah kata-kata itu diciptakan. Coba kau
tengok pohon siong itu. Ribuan tahun yang lalu keadaannya masih sama saja
seperti sekarang, akan tetapi, katakan, hai bocah gundul sombong, siapakah yang
dapat menyatakan bahwa pohon itu tidak mempunyai kemajuan? Lihat burung yang
terbang itu. Seribu tahun yang lalu bangsanya pun berbuat seperti itu. Apakah
sekarang dia kelihatan sudah terlalu kuno dan tidak menarik lagi? Kwan Cu, kau
hanya memandang kulit saja, tetapi tidak melihat isi. Kemajuan lahir saja tiada
artinya tanpa dibarengi kemajuan batin, karena lahir itu tidak kekal adanya.”
Sekarang Kwan Cu benar-benar
kelihatan pusing dan teringatlah Ang-bin Sin-kai bahwa Kwan Cu hanyalah seorang
kanak-kanak yang tentu saja masih belum dapat menerima semua filsafat hidup
ini. Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang dan dia seolah-olah baru kembali ke
atas bumi dari perantauannya di awang-awang yang membuatnya lupa akan segala
itu.
“Sudahlah, Kwan Cu. Mari kita
melanjutkan perjalanan. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pun ingin sekali tahu
buku-buku apa saja yang disimpan oleh mendiang Gui Tin di atas Bukit Liang-san
itu.”
“Buku-buku yang lainnya, teecu
pun tidak menghendakinya, Suhu. Hanya sebuah buku yang perlu sekali bagi teecu
karena sudah dipesankan oleh Gui-sianseng kepada teecu. Yakni buku sejarah kuno
di mana teecu akan membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli!
Dari buku itulah teecu akan mendapat petunjuk di mana teecu dapat mencari kitab
rahasia itu.”
Ang-bin Sin-kai tertegun dan
mukanya berubah.
“Kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng?” Ia mengulang setengah tidak percaya.
Kwan Cu mengangguk. “Memang kitab
yang dahulu itu adalah kitab tiruan yang sengaja dipalsukan, Suhu. Aslinya
masih disimpan baik-baik, kata Gui-sianseng, kitab itu berada di atas suatu
pulau kosong yang sulit dicari. Hanya bisa didapatkan dengan pertolongan kitab
sejarah yang disimpan oleh Gui-sianseng.”
“Kwan Cu, jika begitu kau
benar-benar berjodoh dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Hayo kita percepat
jalan agar segera dapat menemukan kitab itu, muridku!”
Ketika Ang-bin Sin-kai
memandang kepada muridnya dan bertemu pandang, mukanya yang merah berubah pucat
karena dia marah sekali.
“Kwan Cu! Kau kira aku
mempunyai pikiran buruk? Aku sudah bersumpah tidak akan mempelajari Im-yang
Bu-tek Cin-keng dan aku Lu Sin selamanya akan memegang teguh sumpahku!”
Kwan Cu kaget sekali dan buru-buru
dia berlutut minta maaf. Pandangan mata suhu-nya benar-benar tajam sekali,
karena memang tadi dia memandang dengan curiga kepada suhu-nya yang disangkanya
menginginkan kitab itu.
“Sudahlah, tak ada salahnya
kau mencurigaiku, karena kalau tidak ingat akan sumpahku, memang aku ingin
sekali melihat kemudian mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Siapa orangnya
yang tidak ingin? Sudah berpuluh tahun aku merindukan kitab itu, seperti juga
tokoh-tokoh persilatan yang lain. Akan tetapi, aku sudah tua dan tidak ada
gunanya aku mempelajari ilmu silat lain lagi. Kaulah yang perlu mempelajarinya,
maka kerinduanku sekarang bukan untuk aku sendiri, melainkan melihat kau dapat
mempelajari kitab aneh itu.”
“Terima kasih atas budi
kebaikanmu, Suhu.”
“Phuah, budi kebaikan macam
manakah? Hayo kita lekas pergi. Aku tahu di mana kau akan dapat melatih gwakang
dan memperdalam Sam-hoan-ciang dan Pai-bun Tui-pek-to yang sedang kau
pelajari.”
Guru dan murid ini kemudian
berangkat dan berlari cepat menuju ke Liang-san. Tiga hari kemudian tibalah
mereka di sebuah hutan besar. Ang-bin Sin-kai segera menghentikan larinya dan
berkata,
“Nah, di sini kita dapat
beristirahat sambil mencari lawan untuk melatih ilmu silatmu.”
Hutan itu besar dan sunyi
sekali. Di mana ada lawan untuk melatih ilmu silat? Kwan Cu memandang ke sana
ke mari, akan tetapi keadaan sunyi saja, hanya bergeraknya daun pohon tertiup
angin menimbulkan suara gemerisik. Pohon-pohon raksasa menimbulkan bayangan
yang amat teduh dan silir angin membuat mata mengantuk.
Lapat-lapat terdengar suara
binatang hutan. Kwan Cu merasa amat heran kenapa suara binatang hutan, kecuali
burung dan ayam, yang kedengaran hanyalah geraman harimau belaka.
“Heran sekali, ke manakah
perginya keluarga raja hutan?” kata Ang-bin Sin-kai perlahan. “Biasanya setiap
kali aku datang, mereka itu sudah beramai-ramai menyambut dengan gigi dan kuku
yang runcing!”
Tiba-tiba, seolah-olah menjadi
jawaban dari kata-katanya, terdengarlah bunyi lengkingan suling bambu yang aneh
sekali suaranya. Lengking ini amat tinggi dan panjang, tiba-tiba kemudian
berubah menjadi irama rendah dengan irama terputus-putus seperti geraman
harimau marah.
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai
mendengar ini.
“Ahh, kiranya dia berada di
sini. Pantas saja harimau-harimau itu tidak nampak di sini.”
“Suhu, siapakah peniup suling
yang aneh bunyinya itu?”
“Orang aneh... orang aneh, dan
sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kita. Dia itulah Hang-houw-siauw
Yok-ong (Raja Obat dengan Suling Penakluk Harimau)!”
Akan tetapi Kwan Cu belum
pernah mendengar julukan orang yang terdengar aneh ini. Julukan Yok-ong (Raja
Obat) saja sudah hebat, apa lagi ditambah dengan julukan kedua ini. Bagaimana
bisa orang menaklukan harimau dengan suling? Atau, bagaimana suling bisa
dipergunakan menjadi penakluk harimau?
Jawabannya segera terlihat
olehnya. Dari jurusan barat, kelihatan seorang laki-laki tua berpakaian jubah
panjang menutupi kedua kakinya hingga sebagian jubah itu terseret di
belakangnya, sedang berjalan dengan tindakan perlahan. Ia memegang sebatang
suling bambu yang ditiupnya sambil berjalan. Kedua matanya memandang lurus ke
depan tidak mempedulikan kanan kiri. Juga sama sekali tidak dia mempedulikan
apa yang terjadi di belakangnya, kejadian yang membuat Kwan Cu membuka mata
selebar-lebarnya!
Ternyata olehnya bahwa di
belakang kakek itu, berbaris belasan ekor harimau besar dan buas. Mereka
berjalan merupakan barisan di belakang kakek ini dan sebentar-sebentar
mengeluarkan geraman. Melihat keadaan ini, tahulah Kwan Cu bahwa binatang-binatang
buas itu ternyata telah tertarik dan berada di bawah pengaruh suara suling yang
aneh itu. Pantas saja di sebut Hang-houw-siauw (Suling Penakluk Harimau).
Kwan Cu benar-benar merasa
aneh sekali. Dia sudah sering kali mendengar mengenai suling yang suaranya
dapat mempengaruhi ular, akan tetapi harimau?
“Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw
Yok-ong betul-betul tabah sekali!” Ang-bin Sin-kai memuji. “Hanya dengan suara
suling mampu menundukkan belasan raja hutan, benar-benar aku Ang-bin Sin-kai
tidak mampu melakukannya!”
Melihat munculnya seorang anak
laki-laki gundul bersama Ang-bin Sin-kai, untuk sesaat kakek berjubah panjang
itu lupa meniup sulingnya dan dia memandang kepada kakek pengemis itu.
“Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai
si manusia sadar!” Memang Yok-ong ini amat mengagumi Ang-bin Sin-kai dan selalu
menyebutnya manusia sadar. “Selagi jalan halus sempat dan dapat dipergunakan,
mengapa memakai jalan kasar?”
Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong! Enak saja kau bicara begitu! Dengan
sulingmu, tentu saja kau sanggup menundukkan harimau dengan jalan halus, akan
tetapi aku yang tak mengerti caranya, bagaimana harus menundukkan harimau? Aku
takkan dapat membujuk mereka dengan kata-kata halus. Lihat, bagaimana aku harus
menghadapi mereka ini?”
Sambil berkata demikian,
Ang-bin Sin-kai menunjuk ke arah belakang Hang-houw-siauw Yok-ong. Kakek ini
menengok dan melihat betapa belasan ekor harimau buas itu mulai gelisah dan
kini mereka memperlihatkan gigi runcing dan muka buas, siap siaga untuk
menyerang! Harimau-harimau itu kini sudah tidak berada di bawah pengaruh suara
suling lagi dan mereka mengeluarkan geraman hebat lalu menubruk maju, menyerang
Ang-bin Sin-kai, Yok-ong dan Kwan Cu!
Lu Kwan Cu terkejut sekali,
akan tetapi dia sudah memiliki ketabahan dan ketenangan, maka ketika seekor
harimau menubruk kepadanya, dia cepat melompat ke pinggir. Lain harimau segera
menerkamnya, akan tetapi kembali dengan menggeser kaki menurutkan gerakan
Pai-bun Tui-pek-to, dia dapat menyelamatkan diri.
Ada pun Hang-houw-siauw
Yok-ong, juga berbuat seperti Kwan Cu. Kakek ini memiliki kepandaian tinggi,
akan tetapi hatinya amat lemah dan tidak tega melukai siapa pun juga. Ia adalah
seorang ahli pengobatan dan hatinya sudah tercurah pada watak menyayang dan memelihara
sesuatu yang sakit, mana sanggup dia melukai harimau-harimau itu? Ia bergerak
ke sana ke mari dan sungguh mengagumkan, walau pun gerakannya nampak lambat
saja, namun tak pernah ada kuku harimau yang dapat menyentuh jubahnya yang
panjang itu.
Hebat adalah sepak terjang
Ang-bin Sin-kai. Berbeda dengan Kwan Cu yang mengelak terus karena tidak mampu
membalas serangan harimau dan Yok-ong yang sengaja tidak mau mengganggu
bintang-binatang itu, Ang-bin Sin-kai tidak mau mandah saja dirinya diserang. Tiap
kali kaki dan tangannya bergerak, terdengar harimau yang terpukul atau
tertendang mengeluarkan gerengan kesakitan, dan tubuh harimau bergulingan di
atas tanah saking kerasnya serangan Ang-bin Sin-kai.
Melihat ini, Hang-houw-siauw
Yok-ong berteriak-teriak,
“Ang-bin Sin-kai, jangan
berlaku kejam! Ampunkan nyawa harimau-harimau ini!”
Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak. “Aku memandang mukamu dan tak akan mengganggu mereka lagi,” katanya
dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat ke atas dan tahu-tahu dia
telah duduk di atas sebatang ranting pohon yang tinggi!
Ada pun Kwan Cu yang melihat
perbuatan suhu-nya, segera melompat pula, akan tetapi dia tidak melompat ke
atas pohon, melainkan melompat ke belakang Hang-houw-siauw Yok-ong mencari
perlindungan!
Raja obat itu lalu meniup
sulingnya dan... benar mengherankan sekali, tiba-tiba binatang-binatang yang
buas dan sedang marah itu menghentikan serangan mereka, kemudian berdiri
berkumpul di depan Yok-ong dengan kepala tunduk dan telinga digerak-gerakkan
seakan-akan senang sekali medengar suara suling yang bagi telinga Kwan Cu
terdengar menyakitkan anak telinga!
Suara suling yang ditiup oleh
Yok-ong makin lama semakin meninggi, dan makin sakitlah telinga Kwan Cu
sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi lalu menggunakan ibu jari untuk
menyumpal lubang telinganya. Dan benar-benar hebat!
Harimau-harimau itu
seolah-olah mendengar bunyi perintah yang tak dapat dibantah lagi. Serentak
mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu! Masih agak
lama Yok-ong meniup sulingnya, kemudian setelah tidak terdengar lagi geraman
harimau, dia menghentikan tiupannya dan menoleh kepada Ang-bin Sin-kai yang
masih duduk di atas pohon.
“Ang-bin Sin-kai, terima kasih
atas kemurahan hatimu terhadap harimau-harimau itu. Jika tadi diteruskan, tentu
aku menjadi sibuk memelihara serta mengobati luka-luka mereka. Untuk kebaikan
hatimu itu, kau patut diberi hadiah. Aku adalah orang miskin yang hanya
mempunyai sebatang suling. Nah, terimalah barang pusakaku ini.” Dia melempar
suling yang tadi ditiupnya ke arah Ang-bin Sin-kai yang cepat mengulur tangan
menerimanya.
Hang-houw-siauw Yok-ong lalu
berpaling kepada Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia memandang anak itu dengan
tajam.
“Hebat!” tiba-tiba saja dia
berkata. “Dari mana kau memperoleh anak seperti ini?” Ia lalu mendekati Kwan
Cu. “Coba ulur tangamu, anak yang baik.”
Kwan Cu segera mengulur tangan
kanannya dan Yok-ong cepat memegang pergelangan tangan Kwan Cu. Untuk beberapa
lamanya dia mengangguk-angguk dan berkatalah dia dengan suara keras.
“Benar-benar hebat! Darah yang
luar biasa kuatnya, yang ditambah oleh semacam darah liar yang mempunyai
kekuatan tekanan tiga kali lipat dari pada tekanan darah manusia, membuat
seluruh urat di tubuhmu dipenuhi oleh aliran darah yang kuat dan cepat sekali.
Berkat tulang dan dagingmu yang kuat dan bersih, hal itu akan menguntungkan
dalam usahamu mempelajari bu (ilmu silat). Akan tetapi, urat halus dalam otak
dapat terganggu karenanya. Anak baik, aku kasihan kepadamu, maka biarlah aku
memberimu Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga) yang jarang kupergunakan.”
Ia lalu merogoh saku jubahnya
yang lebar sekali dan mengeluarkan bungkusan dari kain kuning yang bersih.
Ketika bungkusan itu dibuka, di dalamnya terdapat beberapa butir pil merah yang
berbau amis.
“Untuk ketabahan dan kemurahan
hatimu ketika menghadapi harimau-harimau tadi, kau kuberi hadiah tiga butir
Liong-kak Hian-tan. Telanlah sehari sebutir, dan dalam tiga hari kau akan
merasakan khasiatnya.”
Kwan Cu merasa ragu-ragu untuk
menerima, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari atas pohon,
“Murid goblok! Tidak lekas
diterima dan menghaturkan terima kasih, mau tunggu kapan lagi?”
Sebenarnya bukan karena Kwan
Cu merasa kurang percaya terhadap kakek Raja Obat itu, melainkan karena dia
menjadi murid Ang-bin Sin-kai, maka dia merasa tidak patut tanpa ijin gurunya
jika dia menerima pemberian orang lain. Sekarang mendengar ucapan suhu-nya, dia
menjadi girang sekali, dan sesudah menerima tiga butir pil itu, dia cepat berlutut
di depan Hang-houw-siauw Yok-ong dan menghaturkan terima kasihnya.
Yok-ong tertawa bergelak dan
menengok ke atas pohon. “Ang-bin Sin-kai, muridmu ini benar-benar tahu
menghargai guru dan orang-orang tua. Itu bagus sekali! Nah, sampai bertemu
kembali!”
Sesudah berkata demikian,
Hang-houw-siauw Yok-ong kemudian menyimpan bungkusan obatnya. Seperti main
sulap saja, ketika dia merogoh saku di tangannya telah memegang sebatang suling
lagi! Ia lalu berjalan pergi sambil meniup sulingnya!
Kwan Cu dan gurunya
mendengarkan suara suling itu yang makin melenyap, kemudian terdengar suara
suling lain. Pada waktu Kwan Cu menengok, ternyata suhu-nya sedang meniup
suling pemberian Yok-ong tadi! Kwan Cu tercengang ketika mendengar tiupan
suling suhu-nya amat merdu. Ternyata gurunya itu juga pandai sekali meniup
suling melagukan sebuah lagu kuno!
“Bagus, Suhu pandai sekali
bersuling!” Kwan Cu memuji.
Gurunya menghentikan tiupannya
dan tertawa girang.
“Masih tak sepandai
Hang-houw-siauw Yok-ong. Kau telanlah sebutir Liong-kak Hian-tan itu seperti
yang dipesan oleh Yok-ong. Aku mau mencoba memanggil harimau dengan suling
ini!”
Kwan Cu cepat-cepat menelan
sebutir pil yang terasa masam dan amis sekali, kemudian menyimpan yang dua
butir lagi di dalam saku bajunya. Pada saat itu, gurunya sedang mencoba untuk
meniru tiupan suling Yok-ong ketika menundukkan harimau tadi. Akan tetapi
tiupan sulingnya tidak karuan bunyinya sehingga mengusir burung-burung di atas
pohon yang menjadi kaget ketakutan mendengar suara melengking yang aneh luar
biasa itu!
Sampai capai bibir meniup
suling, tapi harimau-harimau itu tidak juga datang! Kwan Cu tertawa geli
melihat usaha suhu-nya tidak mendatangkan hasil itu.
“Jangan tertawa, lihat
belakangmu!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Kwan Cu terkejut dan cepat
menengok. Benar saja di belakangnya telah berdiri seekor harimau muda yang
nampaknya juga terpesona dan bingung mendengar suara suling yang lucu dan aneh
tadi. Kini, menghadapi Kwan Cu, dia mulai merendahkan tubuhnya dan menggaruk-garukkan
kakinya, siap untuk menerkam.
“Kwan Cu, hadapi dia dengan
Pai-bun Tui-pek-to! Jangan hanya mengelak saja, lawan dia dan kalahkan dia.
Sekarang waktunya untuk menguji kepandaian. Dia ahli gwakang (tenaga luar),
awaslah!” kata Ang-bin Sin-kai dengan gembira sekali.
Harimau itu mengaum lalu
menubruk dengan kuat sekali. Kwan Cu sudah bersiap sedia. Dengan lincahnya dia
melangkah ke kiri, membiarkan tubuh harimau itu menyambar lewat, kemudian
memberi pukulan keras ke arah lambung harimau itu. Harimau terjatuh
tunggang-langgang sambil menggereng.
Akan tetapi tubuh harimau muda
itu terlampau kuat sehingga baginya pukulan Kwan Cu tadi hanya merupakan
dorongan kuat belaka, sama sekali tidak melukainya. Ia menubruk lagi dan
seperti juga tadi, Kwan Cu menghadapi dengan mengelak sambil memukul atau
menendang.
Pertempuran seperti ini
berjalan lama. Ang-bin Sin-kai hanya meniup suling seakan-akan mengiringi
pertempuran itu dengan lagu perang, akan tetapi matanya memandang penuh
perhatian. Akhirnya, sesudah berpuluh kali menubruk tanpa hasil bahkan beberapa
kali menerima tendangan atau pukulan, harimau itu menjadi lelah. Demikian pula
Kwan Cu. Ia telah mengerahkan benar tenaga untuk memukul dan menendang, akan
tetapi sedikit pun tak dapat merobohkan lawannya.
“Kau harus dapat mengalahkan
dia!” seru Ang-bin Sin-kai berkali-kali dengan suara tidak puas. Masa muridnya,
murid Ang-bin Sin-kai tidak mampu mengalahkan seekor harimau yang masih muda?
Kwan Cu mengerti bahwa apa
bila dia melanjutkan perkelahian secara ini, tidak mungkin dapat mengalahkan
harimau itu. Maka dia mencari akal dan ketika harimau itu untuk ke sekian
kalinya menubruknya, dia lalu mengelak dan menyambar ekor harimau.
Sekuat tenaga dia lantas
mengayun tubuh harimau itu dan membantingnya. Akan tetapi karena tubuh harimau
itu berat sekali dan dia telah merasa lelah, maka dia terbawa oleh bantingan
ini sehingga terpelanting di atas tanah!
Harimau itu nanar seketika,
akan tetapi segera berdiri kembali dan melihat tubuh Kwan Cu di dekatnya, dia segera
menubruk! Kwan Cu sudah siap dan cepat menggulingkan tubuhnya mengelak,
kemudian dia mendahului menerkam dan mencekik leher harimau itu dalam kempitan
lengannya yang kecil akan tetapi kuat!
Harimau itu lalu
meronta-ronta, akan tetapi Kwan Cu memutar lehernya sehingga kaki harimau tidak
dapat mencakarnya. Makin lama harimau itu mejadi semakin lemah dan sebentar
lagi dia tentu takkan berdaya.
Tiba-tiba terdengar auman
keras sekali dan seekor harimau yang besar sekali keluar dari semak-semak,
merunduk dan siap menerkam Kwan Cu yang mencekik anaknya! Ang-bin Sin-kai yang
sedang enak-enakan meniup sulingnya saking gembira melihat kecerdikan Kwan Cu
mengalahkan lawannya, melihat harimau besar itu, langsung berseru keras dan
tubuhnya melayang turun.
Pada saat itu, harimau besar
telah melompat menubruk Kwan Cu. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya terjengkang
kembali ke belakang akibat dorongan tangan Ang-bin Sin-kai yang memapakinya di
tengah udara! Sekarang pertempuran terpecah menjadi dua. Kwan Cu dengan cepat
dapat membuat harimau muda itu pingsan karena tidak dapat bernapas, kemudian
anak ini menonton pertempuran antara suhu-nya dan harimau besar.
Bukan main kagum hati Kwan Cu
ketika melihat betapa suhu-nya menghadapi harimau itu dengan senjata suling.
Ternyata suling yang ditiupnya dengan merdu tadi kini disulap menjadi sebatang
senjata yang lihai sekali. Ke mana juga harimau itu menubruk, selalu dia
tertotok oleh suling di bentulan lehernya.
Sesudah empat lima kali
tertotok suling, harimau itu merasa kesakitan luar biasa dan segera membalikkan
tubuh lalu berlari cepat sambil menggereng kesakitan! Sementara itu, harimau
muda yang tadi pingsan, juga telah siuman kembali dan kini berlari menyusul
harimau besar!
“Suhu, indah sekali permainan
suling tadi. Teecu ingin belajar bersilat dengan suling.”
Ang-bin Sin-kai tertawa.
“Memang indah dan mudah saja dilihat, akan tetapi jangan kira mudah
dipelajarinya. Ketahuilah bahwa semakin sederhana bentuk senjata, makin sukar
dipelajarinya dan semakin lihai permainannya. Kelak akan tiba saatnya kau
belajar ilmu silat dengan suling.”
Guru dan murid ini lalu
melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan harimau muda itu,
semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari kemudian setelah dia
menghabiskan tiga butir pil merah pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa
kepalanya dingin dan dadanya tenang. Pikirannya makin kuat saja dan kini dia
tidak terganggu oleh rasa pening yang sering kali datang di kala dia melatih
diri dengan pengendalian napas dalam semedhinya. Dia merasa girang dan Ang-bin
Sin-kai berkata sambil menarik napas panjang.
“Karena itulah ketika dulu aku
melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh kau menerimanya.
Hang-houw-siauw Yok-ong dulunya adalah seorang tabib istana yang amat terkenal,
bukan saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama karena ilmu silatnya
yang tinggi dan pribadinya yang luhur. Mungkin sekali tingkat kepandaiannya tak
akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat penjuru, akan tetapi
mengenai ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di dunia ini sukar mencari
keduanya!”
“Yang diberikan kepada teecu
itu, disebut olehnya Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga), apakah
benar-benar terbuat dari pada darah yang berada di tanduk naga, Suhu?”
Ang-bin Sin-kai tertawa
bergelak. “Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja, keduanya seperti
orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan untuk membuat obat
atau masakannya terkenal, mereka itu suka sekali memberi nama yang aneh-aneh!
Nama liong (naga) atau burung hong (burung dewata) selalu dibawa-bawa dalam
pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau belum melihatnya
sendiri?”
“Apakah liong itu tidak ada,
Suhu?”
“Aku sendiri percaya bahwa
naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah melihat dengan
mata sendiri. Memang telah kulihat banyak ular-ular besar sekali, bahkan ada
pernah kulihat ular bertanduk lunak di kepalanya, akan tetapi, ular itu tidak
berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut! Betapa pun juga, aku
percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, kenapa rakyat di empat
penjuru bisa melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya? Pasti ada, seperti adanya
pula burung hong!”
“Kalau begitu, obat Liong-kak
Hian-tan itu benar-benar terbuat dari pada darah tanduk naga, Suhu?” kata Kwan
Cu dengan suara tetap.
Ang-bin Sin-kai kembali
tertawa. “Hal inilah yang meragukan, sebab biar pun kepandaian yang dimiliki
oleh Hang-houw-siauw Yok-ong itu cukup lihai, mana dapat dia pergunakan untuk
menangkap seekor liong dan mengambil darah dari tanduknya? Sudahlah, hal ini
tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa obat itu
memang kupercaya amat baik bagimu.”
Sesudah sampai di lereng bukit
Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya kepada orang kampung
mengenai Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama Gui-lokai.
Beberapa orang sudah ditanya
oleh Kwan Cu, akan tetapi tak ada seorang pun mengaku pernah kenal dengan
Gui-lokai (pengemis tua Gui).
“Anak bodoh, mengapa kau tanya
hanya orang-orang muda saja? Tanyalah kau kepada orang tua, dan wanita pula,
karena yang biasa memberi derma kepada para pengemis kebanyakan hanya
orang-orang wanita,” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.
Kwan Cu menganggap kata-kata
suhu-nya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita dusun yang sudah
agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini tengah memikul air
bersama beberapa wanita lain.
Kwan Cu merasa tidak enak
kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, apa lagi nampaknya
wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya ke arah pundak
wanita yang berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan itu telah
berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tentu saja wanita itu terkejut dan amat
heran, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Bibi, aku kasihan melihat kau
bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku yang membawakan ke
rumahmu.”
Tentu saja wanita itu girang
sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang jarang dan
kecil-kecil.
“Anak baik, terima kasih,”
katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu.
Dua orang wanita di
belakangnya juga memandang heran pada Kwan Cu, bocah gundul yang baik hati itu.
Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu
mengajukan pertanyaan,
“Bibi, pernahkah engkau
mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil Gui-lokai?”
“Gui-lokai...?” Wanita itu
mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, “Ah, kakek yang gila itu?
Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah seorang tua yang malas dan gila, tidak
mau bekerja, hanya menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia masih suka
memberi pelajaran kepada beberapa orang anak, akan tetapi pelajaran membaca dan
menulis, untuk apakah di dusun ini? Lebih baik belajar mencangkul tanah dari
pada menggerakkan pit menulis!”
Bukan main girangnya hati Kwan
Cu.
“Tahukah kau di mana adanya
dia? Dan di mana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah ini?”
“Tempat tinggalnya? Di mana
saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur di pinggir sawah, di
tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Ehh, anak baik, kau pernah apakah
dengan Gui-lokai maka kau mencarinya?”
Pada saat itu, seorang kakek
tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu menyambung,
“Aneh sekali! Baru kemarin
sore ada juga dua orang lainnya yang menanyakan tentang Gui-lokai!”
Mendengar ini Kwan Cu merasa
terheran.
“Lopek, siapakah mereka yang
bertanya tentang Gui-lokai?”
“Seorang hwesio gemuk sekali
dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang yang berbentuk menara dan
berada di lereng barat untuk mencari goa yang dulu ditinggali oleh Gui-lokai,”
jawab kakek itu.
“Di manakah batu karang itu,
Lopek? Aku pun ingin sekali pergi ke goa tempat tinggal Gui-lokai!” Kwan Cu
bertanya cepat-cepat.
Kakek itu ragu-ragu, akan
tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi cepat-cepat menudingkan jari
telunjuknya ke arah puncak bukit yang tidak jauh dari situ. “Di sanalah
tempatnya. Di sana terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi, bentuknya
mirip seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya goa tempat tinggal
Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini.”
“Terima kasih!” jawab Kwan Cu
dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling pandang ketika tiba-tiba
Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.
“Suhu, cepat, Suhu! Ada orang
mendahului kita!” kata Kwan Cu ketika dia kembali ke tempat di mana Ang-bin
Sin-kai menantinya.
“Siapa orangnya yang
mendahului kita?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.
“Entahlah, kata orang dusun
itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari goa tempat tinggal
Gui-siucai!”
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai
mendengar ini.
“Hemm, jangan-jangan
Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita.”
“Mari cepat, Suhu. Goanya
berada di puncak itu,” berkata Kwan Cu dan bocah gundul ini mendahului suhu-nya
berlari ke arah puncak itu. Ang-bin Sin-kai menyusul dan guru ini pun merasa
gelisah kalau-kalau kitab yang dikehendaki oleh muridnya itu sudah dicuri orang
lain.
Sebentar saja mereka telah
tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk menara. Mudah saja
mendapatkan goa bekas tempat tinggal Gui Tin, karena goa ini besar dan panjang.
Kwan Cu segera membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki goa itu.
Tak salah lagi, inilah bekas
tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat pahatan dan ukiran,
tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat sajak-sajak ini. Kwan Cu
mencari terus hingga akhirnya dia mendapatkan lubang di mana tersimpan sebuah
peti.
Dengan hati berdebar girang,
Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar. Setelah tiba di
luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di tarik orang dan
ternyata suhu-nya yang menarik tadi.
“Hati-hati, Kwan Cu. Keliru
sekali kalau berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan kewaspadaan. Aku
masih bersangsi kenapa Gui-siucai semudah ini menyimpan petinya yang berisikan
kitab-kitab yang lebih disayangnya dari pada harta benda lain. Aku sangsi
kalau-kalau ada orang yang sudah mendahului kita dan sengaja memasang
perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!”
Sambil berkata demikian,
Ang-bin Sin-kai menggunakan sulingnya untuk mencokel tutup peti dan benar saja
dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar keluar kepala seekor
ular kehijauan yang mendesis dan menjulurkan lidahnya.
Kwan Cu tertawa. “Ahh, ular
kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?”
Ang-bin Sin-kai mengerutkan
keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Salah, salah! Sama sekali
salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau tahu tentang ular
ini? Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau) yang bisanya jauh
lebih berbahaya dari pada seekor ular sendok. Sekali pagut saja, tidak ada obat
di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong orang yang dipagutnya! Biar
pun kau sendiri yang sudah mempunyai darah penolak racun di tubuhmu, agaknya
akan bergulat dengan maut apa bila tadi kau membuka peti dan kena digigit oleh
ular ini!”
Mendengar ini, Kwan Cu
meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Sekarang ular itu bergerak-gerak
dan gerakannya betul-betul cepat sekali sehingga dapat dibayangkan kalau ular
ini menyerang orang.
Ang-bin Sin-kai menggerakkan
sulingnya. Sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular itu, mengeluarkan
lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan yang membuat kepala
menjadi pening ketika hidung mencium bau itu.
Ang-bin Sin-kai segera
mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia memperkenankan
Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak buku-buku tebal dan
kuno.
Dengan jari-jari tangan
gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa buku-buku itu satu
demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang dan kitab-kitab
kebatinan yang amat kuno. Tetapi tidak ada sebuah pun kitab sejarah tentang
Im-yang Bu-tek Cin-keng!
“Heran sekali..., kitab yang
dimaksudkan Gui-sianseng itu tidak ada... !” kata Kwan Cu setelah untuk kelima
kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu demi satu.
“Hemm, benar ada orang yang
mendahului kita,” kata Ang-bin Sin-kai, “kau lihat di sana itu!”
Kwan Cu segera memandang dan
dapat melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali menuruni gunung itu.
Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar bersama seorang anak
laki-laki yang sebaya dengan dia!
“Keparat!” Kwan Cu memaki dan
hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan memegang pundaknya.
Tiba-tiba Kwan Cu membalikkan
tubuhnya dan memandang kepada suhu-nya dengan mata basah dan muka pucat.
“Suhu, kau benar-benar tidak
adil dan berat sebelah!” katanya dengan tangan terkepal.
“Ketika Suhu memberi pelajaran
Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa) kepada Lu
Thong, teecu sudah tahu bahwa betapa pun juga, Suhu lebih memberatkan keluarga
sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang yang mencuri kitab
dari Gui-siucai adalah Lu Thong dan gurunya, akan tetapi Suhu tidak mengejar
mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu, sesungguhnya Suhu hendak berlaku
bagaimanakah terhadap murid?”
Mendengar ucapan Kwan Cu yang
sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin Sin-kai mengeluarkan
cahaya berkilat.
“Tutup mulutmu! Bila sekali
lagi kau berkata demikian terhadapku, betapa pun besar rasa sayangku kepadamu
dan betapa pun baiknya bakatmu untuk menjadi muridku, kau akan kutinggalkan!
Tuduhanmu hanya karena terdorong oleh rasa iri hati dan putus asa. Iri hati
melihat aku menurunkan Kong-jiu Toat-beng kepada Lu Thong, perasaan iri hati
yang tak berdasar. Dia adalah cucu luarku, kenapa aku tidak boleh memberi
sesuatu kepadanya? Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan Gui-siucai
dicuri orang. Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi melihat
sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu hebat sekali, tidak kalah
olehku? Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka sudah meninggalkan
kita. Aku masih ragu-ragu... apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu,
Si Gundul dari selatan itu tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih
condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!”
Kwan Cu menjatuhkan diri
berlutut di hadapan gurunya. “Ampunkan kelancangan mulut teecu, Suhu.
Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak ada lagi.
Bagaimana kita harus berbuat sekarang, Suhu?”
“Tenanglah dan kita perlahan-lahan
menyelidiki siapakah orangnya yang sudah mencuri kitab itu. Bukankah kau dulu
bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang sukar dimengerti dan yang
hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?”
“Memang benar, Suhu. Akan
tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya. Menurut mendiang
Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po pasti bisa
membacanya. Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita hingga sukar untuk
mengenal mukanya, akan tetapi teecu yakin bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu.”
“Bagaimana kau bisa
memastikannya?”
“Karena hanya Jeng-kin-jiu
yang memiliki seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu kita, Hek-i Hui-mo
tidak mempunyai murid.”
Ang-bin Sin-kai
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku pun berpikir demikian. Namun, masih
terlalu pagi untuk menuduh tanpa bukti. Sebaiknya kita menyusul ke kota raja
dan bertanya terang-terangan kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Kwan Cu girang sekali karena
ternyata bahwa suhu-nya benar-benar mau membantunya merampas kembali kitab itu.
Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari Liang-san menuju ke kota raja
untuk mencari Jeng-kin-jiu yang mereka sangka telah mencuri kitab sejarah
peninggalan Gui Tin.
Di dalam perjalanan menuju ke
kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan terkenal sebagai tempat
berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.
“Kita mampir dulu ke rumah
Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), dia seorang sahabatku yang baik,” kata Ang-bin
Sin-kai kepada Kwan Cu.
Yang disebut Kwa-pangcu oleh
Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, yakni seorang ahli silat Bu-tong-pai yang di
samping memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal sebagai seorang ahli
sastra terkemuka. Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu merupakan ketua dari perkumpulan
Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat dan Sastrawan) yang didirikan oleh para
ahli sastra dan ahli-ahli silat di seluruh daerah Po-keng. Kwa Ok Sin dipilih
karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun (sastra), akan
tetapi juga tinggi ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).
Kwa Ok Sin yang memang
keturunan kaya raya, amat besar rumahnya dan gedung ini selain dijadikan tempat
tinggalnya, juga menjadi rumah perkumpulan Bun-bu-pai. Papan nama yang
tergantung di depan rumahnya benar-benar amat indah.
Papan itu berukir dan
berukuran besar sekali, ditulis dengan huruf-huruf yang amat indah dan gagah
‘RUMAH PERKUMPULAN BUN BU PAI’. Hal ini tidak mengherankan, karena sebagai
perkumpulan ahli sastra, tentu saja tulisannya juga hebat!
Tak seorang pun di kota
Po-keng yang tidak mengenal rumah ini, karena perkumpulan Bun-bu-pai memang
dihormati oleh setiap orang. Bahkan dengan adanya perkumpulan ini, di daerah
Po-keng bersih dari pada semua penjahat. Penjahat manakah berani main gila di
kedung naga dan goa harimau?
Karena itu, tidak mengherankan
apa bila nama Bun-bu-pai di Po-keng ini amat terkenal dan namanya dipuji-puji
hingga jauh di luar daerah Po-keng. Bahkan, pujangga-pujangga besar dan ternama
semacam Li Po dan Tu Fu sendiri tidak jarang datang berkunjung ke Bun-bu-pai
untuk bercakap-cakap dengan Kwa Ok Sin dan para anggota lain. Juga para
locianpwe, ahli-ahli silat tingkat tinggi dari seluruh Tiongkok apa bila lewat
Po-keng selalu memerlukan untuk mampir.
Sungguh sangat kebetulan
sekali, ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu tiba di Po-keng, Bun-bu-pai tengah
penuh dengan para anggotanya. Hari itu dari berbagai tempat mereka sengaja
datang berkumpul sebab ada beberapa hal yang amat penting dan mesti mereka
rundingkan. Bahkan banyak tokoh-tokoh dari jauh datang mengunjungi pertemuan
itu.
Kwan Cu dan gurunya berdiri di
depan gedung Bun-bu-pai, dan Kwan Cu amat kagum melihat papan nama yang ditulis
amat indah itu.
“Alangkah indahnya tulisan
itu, Suhu,” kata bocah gundul itu dengan kagum.
Ang-bin Sin-kai tersenyum.
“Apa sih indahnya tulisan macam itu? Marilah kita masuk dan kau akan melihat
tulisan yang jauh lebih indah dari pada ini.”
Mereka masuk melalui pintu
gerbang dan ketika tiba di ruang depan, benar saja. Di sana tergantung
tulisan-tulisan dan lian-lian (tulisan berpasangan dan merupakan sajak indah)
yang ditulis dengan indah sekali dalam berbagai-bagai bentuk.
Selama hidup belum pernah Kwan
Cu menyaksikan sekumpulan tulisan demikian indah, baik gaya mau pun isinya,
maka tiada bosannya dia membaca dan menikmati tulisan itu satu demi satu. Hal
ini memang tidak mengherankan oleh karena yang tergantung di situ adalah hasil
karya pujangga-pujangga terkemuka. Bahkan Tu Fu dan Li Po sendiri pun
menyumbang ruangan ini dengan tulisan-tulisan dan sajak-sajak mereka!
Tidak seperti rumah
perkumpulan lainnya, di situ tidak ada penjaga. Memang, siapakah orangnya yang
akan berani mencuri atau membikin ribut di tempat ini? Karena itu tidak
perlulah diadakan penjagaan.
Ketika Kwan Cu sedang
enak-enak dan asyiknya membaca tulisan-tulisan itu, tiba-tiba terdengar suara
halus, “Anak baik, sekecil ini sudah dapat menghargai tulisan baik!”
Pada saat Kwan Cu menengok,
dia melihat seorang laki-laki tinggi tegap berusia kurang lebih empat puluh
tahun dan sungguh pun pakaiannya seperti seorang ahli silat, namun
gerak-geriknya sangat halus dan sopan. Orang itu kini menghadapi Ang-bin
Sin-kai, lalu menjura dan berkata,
“Sungguh kebetulan sekali
Ang-bin Sin-kai locianpwe datang berkunjung. Memang kami sedang berkumpul dan
ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada Locianpwe.”
Ang-bin Sin-kai tertegun.
Orang yang menyambutnya ini adalah Kwa Ok Sin sendiri, sang ketua dari
Bun-bu-pai. Biasanya, tidak beginilah sambutan Kwa-pangcu yang sudah lama
menjadi sahabat baiknya. Sambutan kali ini mengapa begini dingin dan pada wajah
ketua ini seakan-akan terbayang kekurang senangan dan juga kegelisahan?
“Selamat bertemu, Kwa-pangcu!
Apakah gerangan yang telah terjadi?”
“Silakan masuk saja dan kau
orang tua akan mendengarnya sendiri nanti,” Kwa-pangcu menjawab dengan muka
masih tetap dingin dan beberapa kali dia melirik ke arah Kwan Cu seakan-akan
dia pernah mendengar sesuatu mengenai bocah gundul yang pandai membaca sajak
itu.
Ang-bin Sin-kai lalu memberi
tanda kepada muridnya untuk masuk ke dalam. Di ruang ke dua, Kwan Cu kembali
kagum sekali melihat lukisan-lukisan indah tergantung di dinding, ada pun di
bawah terdapat tempat senjata penuh dengan senjata-senjata persilatan yang
delapan belas macam banyaknya. Senjata-senjata yang ada di situ semuanya
terdiri dari senjata-senjata pilihan belaka, sehingga bukan hanya Kwan Cu,
bahkan Ang-bin Sin-kai sendiri memandang sambil mengeluarkan suara pujian.
Akhirnya tibalah mereka di
dalam ruang tengah. Ruang ini luas sekali, dan di sana telah berkumpul lebih
dari dua puluh orang. Melihat orang-orang ini Kwan Cu tertegun.
Sesungguhnya memang aneh
karena tempat itu dipenuhi orang-orang yang berpakaian beraneka macam. Ada yang
mirip seorang sastrawan dan bersikap lemah lembut sekali, ada yang berpakaian
seperti ahli silat atau guru silat, bahkan ada pula pendeta-pendeta dan hwesio
kepala gundul atau tosu-tsou yang rambutnya digelung di atas kepala.
Pendeknya, di tempat ini
berkumpul ahli-ahli sastra dan ahli-ahli silat yang agaknya tidak memiliki
kepandaian kepalang tanggung. Sikap mereka saja sudah menjelaskan bahwa baik
ahli sastra mau pun ahli silat yang berkumpul di sana rata-rata memiliki
kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya di bidangnya masing-masing.
Baik nama mau pun orangnya, Ang-bin
Sin-kai sudah amat terkenal di antara para tokoh persilatan dan sastrawan itu.
Akan tetapi, jika biasanya mereka menyambut kedatangan Ang-bin Sin-kai dengan
muka girang dan kata-kata ramah, adalah pada saat itu tidak ada seorang pun
yang berdiri dari tempat duduknya dan hanya memandang dengan sinar mata dingin.
Tentu saja Ang-bin Sin-kai
menjadi heran dan tidak enak hati sekali, akan tetapi dia tetap bersikap tenang
dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu memandang ke kanan kiri
menentang pandang mata semua orang yang duduk di situ. Pandang mata Ang-bin
Sin-kai sangat tajam dan berpengaruh, karena itu siapa pun juga yang bertemu
pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan pandang matanya.
Kwa-pangcu duduk kembali ke
bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk dua orang tokoh
besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw Hong Taisu,
ketua dari Thian-san-pai yang berilmu tinggi. Ada pun di sebelah kanannya duduk
Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua Kim-pan-sai.
Diam-diam Ang-bin Sin-kai
sudah merasa amat heran melihat dua orang tokoh besar ini, karena tidak
biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di tempat ini.
Tidak mungkin kehadiran mereka itu hanya hal yang kebetulan saja, sebab apa
bila memang begitu, tentu dua orang kakek itu telah menyambutnya dengan ramah
sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat kediaman
masing-masing.
“Cu-wi sekalian, karena ada
saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah
dibicarakan, diulangi lagi laporannya,” Kwa Ok Sin berkata dengan suara kereng.
Semua orang kemudian
menyatakan setuju. Dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya
gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang memiliki kepandaian cukup
tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong
rakyat.....
Karena semua orang telah
mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan
berkata,
“Tadi sudah siauwte ceritakan
bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujangga Tu Fu, tiba-tiba ada seorang
tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai.
Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha untuk menolong
Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena
cepatnya gerakan orang itu, siauwte tak sempat mengenal mukanya, hanya tahu
bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk
sekali.”
“Apakah bajunya hitam semua?”
tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Lie Seng menggelengkan
kepalanya. “Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke
arah lampu yang menjadi padam seketika.”
Kwa Ok Sin berdiri kemudian
berkata, “Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa
Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Karena
kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa
gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menggunakan kepandaian dan
mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”
Warta ini menggirangkan hati
Kwan Cu. Tanpa dapat ditahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil
nyaring.
“Penculiknya pasti
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Semua orang terkejut.
“Ehh, anak gundul, bagaimana
kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras dan yang membentak
ini adalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi
memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.
Tak senang hati Kwan Cu
mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga.
“Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang
sastrawan besar!”
“Diam kau, Kwan Cu!” Ang-bin
Sin-kai menegur.
Ketika guru dan murid ini
saling bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum
bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain,
maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.
“Muridku ini memang panjang
lidah,” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.
“Tuduhannya tadi hanya
kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapa pun juga, aku
akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang
menculik Tu-siucai.”
“Syukurlah, memang sudah
menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan coba menolong Tu-siucai,”
kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua
Thian-san-pai sambil berkata,
“Karena masalah pertama telah
dibicarakan, maka lebih baik sekarang Taisu menuturkan lagi persoalan kedua
yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!” Sambil berkata begini, Kwa Ok Sin
lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang
sudah bangkit berdiri dengan muka merah.
Pouw Hong Taisu bertubuh
jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih
hitam sekali sungguh pun usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Di
punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai
in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to (sepasang golok).
“Cu-wi sekalian, sesungguhnya
bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan ini seperti yang
telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong
Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya
dan murid pinto sudah terbunuh mati oleh seorang saja.” Sampai di sini Pouw
Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala. Agaknya orang
tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Pouw Hong Taisu lantas
menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada
Ang-bin Sin-kai dan berada di hadapan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke
atas tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh
Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu
dia menggebrak meja yang mencelat hanyalah cawan arak milik Ang-bin Sin-kai
saja, tepat seperti dikehendakinya!
Melihat ini, terkejutlah
Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Akan
tetapi dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya dan
meletakkannya lagi di hadapannya.
“Tenang, Pouw Hong Taisu,
ceritakanlah dengan jelas persoalannya lebih dahulu, jangan marah-marah seperti
anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong
Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.
“Pinto merasa heran sekali
melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat
kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Sungguh berani mati dan tak tahu
malu sekali!”
Sambil melontarkan kata-kata
ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan
Ang-bin Sin-kai dan...
“Praaaakk!”
Cawan itu pecah
berkeping-keping seperti telah dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang
cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini
saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian tokoh Kim-san-pai
ini.
Kwan Cu tertawa geli mendengar
ucapan suhu-nya. Dia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu itu, dan
sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia selalu berada
dengan suhu-nya dan merasa yakin bahwa suhu-nya tidak pernah melakukan hal yang
tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah fahaman dari fihak
mereka.
Oleh karena ini, anak ini pun
merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan di dalam hatinya. Dia bahkan
mengharapkan agar suhu-nya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari
Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia
mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!
“Bin Kong dan Pouw Hong dua
tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya untuk main-main seperti ini?
Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian
seperti kemasukan setan dan marah-marah padaku?” kata Ang-bin Sin-kai sambil
memandang kepada dua orang tosu itu.
“Pengemis busuk, kau masih
berpura-pura tidak tahu? Kau sudah membunuh mati Ong Kiat, murid yang pinto
tahu betul belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai
seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi,
mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik malah menurunkan tangan
kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau
datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Kini
bersiaplah! Mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan hanya berani
mengganggu orang-orang muda!” Sambil berkata begitu, tokoh Thian-san-pai ini
mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.
Inilah sebuah tantangan
terbuka dan kini semuanya memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat
bagaimana tokoh besar dari timur itu bersikap. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai
masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong
Siansu sambil berkata,
“Bin Kong Siansu, baru saja
Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai sudah melontarkan tuduhannya. Agar dapat
sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang
muridmu yang katanya kubunuh itu.”
Melihat sikap Ang-bin Sin-kai,
Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga.
“Benar-benarkah kau tidak tahu
atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid Pouw Hong Taisu,
muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng
yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, juga terbunuh
olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang engkau pun harus menghadapi
sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa muridku!” Bin
Kong Siansu lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.
Tiba-tiba terdengar orang
menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.
“Siapa bilang Thio-toanio
mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati...!”
“Hmm, anak gundul, otakmu
sudah agak miring rupanya. Kami sendiri telah menyaksikan kuburan dari Thio
Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi
kedosaan gurumu?!” Bin Kong Siansu membentak diikuti tangan kirinya menyambar
menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.
Gerakan itu cepat sekali
sehingga meski pun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan
kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan
tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.
“Thio-toanio mati...?
Terbunuh...? Ahhh, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya...” katanya
setengah menangis sambil menghampiri suhu-nya.
“Bocah lancang, kau diamlah
saja, jangan turut campur,” kata Ang-bin Sin-kai menghibur.
Kakek ini maklum bahwa
mendengar tentang kematian Pek-cilan, kesedihan muridnya mungkin masih lebih
besar dari pada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.
“Bin Kong dan Pouw Hong, apa
kalian berdua menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa aku membunuh
murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Apa bila kami melihat dengan
mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?!”
bentak Pouw Hong Taisu marah.
Ketua Thian-san-pai ini memang
wataknya sedikit sombong. Berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jeri
menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian
sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.
“Kalau begitu, siapakah yang
memberi tahu kepada kalian bahwa aku sudah membunuh murid kalian?”
Bin Kong Siansu dan Pouw Hong
Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,
“Ang-bin Sin-kai, kami
mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah
bersumpah tidak akan memberitahukan namanya kepada siapa pun juga.”
”Hm, hem, hemm, jadi kalian
percaya penuh kepadanya?”
“Tentu saja kami percaya! Dia
orang terhormat, tidak seperti engkau!” Pouw Hong Taisu membentak sambil
melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.
Bersinar sepasang mata Ang-bin
Sin-kai. “Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah
kalian tidak percaya padaku?”
Bin Kong Siansu ragu-ragu,
akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,
“Siapa bisa percaya kepada
seorang yang telah membunuh mati muridku?”
Akan tetapi Bin Kong Siansu
lalu cepat-cepat berkata, “Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberi tahukan
mengenai pembunuhan itu adalah seorang yang ternama dan dia telah bersumpah.
Maka apa bila kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku
Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini.”
Ang-bin Sin-kai makin marah.
Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai
setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada
satu pun yang terguling!
“Kalian percaya omonganku atau
tidak, habis perkara! Kalian kira aku ini orang macam apakah? Kalian percaya,
bagus. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!”
Ang-bin Sin-kai menggandeng
tangan muridnya, bangkit meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia
meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin
Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.
“Jembel pembunuh! Enak saja
kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu yang langsung
menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.
“Kwan Cu, menyingkir ke sana!”
kata Ang-bin Sin-kai.
Secepat kilat kaki kanan
Ang-bin Sin-kai menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat
seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya
memang kelebihan dan ditumpuk di situ supaya tidak memenuhi ruangan. Sambil
berpoksai dan berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Siluman
Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga
dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!
Ada pun Ang-bin Sin-kai yang
menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan dan kiri, berlaku tenang akan
tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua
Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri
mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur
menghindarkan diri.
“Ang-bin Sin-kai, makanlah
golokku!” Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi
yang kesemuanya amat berbahaya.
Permainan golok kakek
Thian-san-pai ini memang sangat hebat. Tingkat kepandaiannya sudah mencapai
puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan
maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung
mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!
Melihat permainan golok ini,
Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.
“Bagus, bagus! Sinar golok
yang bagus sekali!”
Anak ini terlalu percaya
terhadap suhu-nya sehingga seruannya tadi sama sekali tidak tercampur rasa
kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar,
karena betapa pun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan
Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi.
Kakek ini nampaknya seperti
tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu
menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa dalam
menghadapi sepasang golok tokoh dari Thian-san-pai itu, suhu-nya hanya
mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok)
yang telah dia pelajari!
Ahhh, betapa tadinya dia
memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang
menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat
Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan
sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah
dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun Tui-pek-to, ternyata oleh gurunya
telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu
dengan sepasang goloknya!
Pada saat dia memperhatikan
permainan kedua tangan dan kaki suhu-nya, dia menjadi makin heran. Pai-bun
Tui-pek-to yang dimainkan oleh suhu-nya itu sama sekali tidak ada bedanya
dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhu-nya itu nampaknya terlalu
lambat. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu
tangguh?
Ketika dia mencurahkan
perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu
menyambar, kalau suhu-nya tidak sempat lagi untuk mengelak, suhu-nya lalu
menggunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran
sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan
menyeleweng arahnya!
Ia maklum bahwa dalam mainkan
Pai-bun Tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya adalah bahwa gurunya hanya
bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menunggu perkembangan serangan
lawan. Tiap gerakan suhu-nya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan
yang penuh isi, tak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka.
Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan
arti kata-kata suhu-nya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu
lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!
Setelah ‘mengukur’ tingkat
ilmu golok dari Thian-san-pai itu, Ang-bin Sin-kai sudah dapat menguras semua
gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam
hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa serta sangat baik
untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya.
Beginilah sikap seorang jagoan
besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka
matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap
seperti ini maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja
kepandaiannya dan semakin tenar namanya.
Kalau Ang-bin Sin-kai mau,
sebetulnya dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu. Akan
tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang
sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia
merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-san-pai di
hadapan orang banyak.
Selain hal ini akan
menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan akibat dendam dan bibit
permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Lagi pula, ketua
Thian-san-pai ini menyerang dirinya karena menduga bahwa dia membunuh anak
murid Thian-san, karena itu tidak seharusnya ketua ini dirobohkan. Ia hanya mau
merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biar pun agak
keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!
“Pouw Hong Taisu, biarlah
pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin Kong Siansu
berkata keras.
Pedangnya berubah menjadi
sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok ketua
Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh dari Kim-san-pai itu telah turun tangan
menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya.
Tadi dia telah menyaksikan
kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu tak akan dapat menangkan
Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih
sangsi apakah dia akan sanggup mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena
dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong
Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.
Akan tetapi Pouw Hong Taisu
benar-benar berhati keras. Walau pun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali
dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia
mengalah atau kalah.
“Tidak, Bin Kong Siansu. Aku
harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang goloknya langsung
diputar semakin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok
Thian-san-pai.
“Ha-ha-ha, tua bangka pikun.
Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!” Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak.
Tiba-tiba tubuhnya lenyap dan
berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di
antara sinar golok dan pedang! Baru kini kakek ini menunjukkan kelihaiannya.
Tidak saja dua orang
pengeroyoknya yang sangat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok
sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena
matanya yang terlatih masih tidak mampu mengikuti gerakan suhu-nya yang
demikian cepatnya! Sekarang dia betul-betul melihat suhu-nya dengan kepandaian
yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum.
Tiba-tiba Kwan Cu merasa
tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat
memberontak, tubuhnya sudah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah
dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang
terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui
Ceng!
“Ehh..., apa artinya ini...?”
tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar seperti
sepasang bintang pagi.
“Artinya, jika aku tak
memerlukanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu
yang gundul ini sebab ternyata kau adalah seorang penipu cilik, seorang
pembohong pandai yang kurang ajar sekali!”
Kwan Cu memandang kepada nenek
sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. “Eh, ehh, ehhh…! Suthai,
mengapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa kesalahanku?”
“Kau tahu tempat kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng yang asli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?”
“Itulah rahasiaku sendiri,
Suthai. Kenapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup rahasiaku
sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah teecu membohong
dan perbuatan mana pula yang merupakan penipuan?”
Dilawan dengan amat tabah oleh
bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!
“Sudahlah tak perlu banyak
cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat disimpannya
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di
dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu.”
“Teecu masih mau hidup karena
di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni pertama
mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit
Thio-toanio yang telah terbunuh orang!” Sambil berkata demikian, dia memandang
kepada Sui Ceng.
Anak perempuan ini tiba-tiba
mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti.
“Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan
kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng.
“Apa...?! Pembunuh ibumu
Toat-beng Hui-houw?” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan suhu di bawah
dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!”
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li
langsung menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi!
“Sui Ceng, cepat bawa bocah
gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara. Biar
aku lebih dahulu membereskan Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!”
Sui Ceng mengangguk dan dia
segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biar pun seluruh tubuhnya lumpuh,
namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat
kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang walau pun menggendongnya, masih dapat berlari
dengan ringan dan cepat sekali.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li setelah
melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam
ruangan di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang
kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai.
Menghadapi ilmu pedang
Kim-san-pai yang betul-betul ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai
menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti
tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan kedua
orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja.
Oleh karena itu, begitu
tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, ia pun mulai membalas
dengan pukulan-pukulannya yang sangat lihai. Beberapa kali dia hampir saja
berhasil memukul runtuh senjata lawan, akan tetapi kedua orang kakek yang cukup
mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.
“Tar! Tar! Tar!”
Pada saat itu tiba-tiba saja
terdengar bunyi nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah
medan pertempuran! Inilah pecut ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah
turun tangan. Bagai sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu
melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa
lihainya.
Pada saat itu, karena kini
Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin
Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatian pada serangan Ang-bin Sin-kai dan
tidak bisa menjaga datangnya ‘ular-ular hidup’ ini. Maka tanpa dapat dicegah
pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu serta pedang di tangan Bin Kong
Siansu, gagangnya telah terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh
Kiu-bwe Coa-li sehingga senjata-senjata itu terlepas dari pegangan!
Ada pun Ang-bin Sin-kai, biar
pun dia menghadapi keroyokan dua orang yang lihai, tetapi memang tingkat
kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia
ketahui baik-baik. Apa lagi saat terdengar bunyi bergeletar tadi, tahulah dia
bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia tidak berani
lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia segera
menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh
Kiu-bwe Coa-li!
Ang-bin Sin-kai sengaja
mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk
tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Dia merasa heran dan juga marah
mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua
orang tokoh Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas
senjata mereka saja.
Pukulan yang dilancarkan
Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biar pun jarak antara
Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu
merasakan datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu
hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan
diri dan dengan demikian, dia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai, namun berhasil
merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu!
Ketua Kim-pan-sai dan ketua
Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut
menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah
disaksikan kepandaiannya itu.
“Suthai, apakah maksud
kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata Pouw Hong Taisu
dengan mata bernyala merah.
Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya
dengan mengejek, “Hemm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun
tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal
yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian telah menyerang
orang yang tidak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran
pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar sumpah!”
“Kiu-bwe Coa-li!” Pouw Hong
Taisu membentak marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah membunuh
murid-murid kami!”
“Bodoh, kalian tua bangka-tua
bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukanlah Ang-bin
Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan
sendiri!”
Mendengar kata-kata ini, tentu
saja dua orang tokoh persilatan itu kaget sekali dan muka mereka menjadi pucat.
Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai
dan hal itu bukan urusan yang kecil saja. Akan tetapi pada saat mereka menengok
kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja.
“Nah, terimalah
senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa
karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata Kiu-bwe
Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan
meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke arah Bin Kong
Siansu!
Luncuran ini hebat sekali,
cepatnya melebihi anak panah ada pun tenaganya melebihi tusukan seorang ahli
silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali.
Dengan gerakan Monyet Sakti
Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut
pedangnya sendiri pada gagangnya. Dia berhasil menerima pedangnya itu akan
tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali.
Yang lebih hebat adalah Pouw
Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang
meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya agak terlambat
menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri
sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di
belakangnya!
Keadaan amat berbahaya bagi
tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan
sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang
melintang di atas hingga separuhnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda
bahwa luncuran tadi amat kuatnya!
Pouw Hong Taisu menjadi pucat,
demikian pula semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah kedatangan
dua orang tamu yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.
Walau pun mereka sudah
mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh-tokoh
besar yang tiada taranya, akan tetapi baru hari ini mereka kebetulan bisa
menyaksikan kepandaian mereka yang betul-betul hebat. Keringat dingin mengucur
pada jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang
sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh secara keji
sekali.
Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi
Ang-bin Sin-kai. Sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini sedang marah
bukan main.
“Ang-bin Sin-kai, pengemis
hina dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk
menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain
boleh kau bodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!” sambil
berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu
cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai!
Ang-bin Sin-kai kaget sekali
menghadapi serangan yang hebat ini. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jeri
melainkan heran kenapa iblis wanita ini betul-betul menyerang dengan niat
membunuh. Kesalahan apakah yang sudah diperbuatnya? Agaknya hari ini dia sial
benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki jiwanya!
Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh
sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu,
karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan sangat berbahaya. Cepat
Ang-bin Sin-kai menggunakan ginkang-nya untuk mencelat mundur sehingga
bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya.
Ia mengangkat kedua tangan
sambil berkata keras, “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya
tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu
kenapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?”
“Bagus, jembel siluman masih
hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah tidak akan
mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul
tidak?”
“Betul,” jawab Ang-bin Sin-kai
dengan suara tenang.
Kiu-bwe Coa-li tersenyum
mengejek. “Dan bila mana kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan mampus
seperti anjing, betulkah?”
“Memang begitulah kira-kira
bunyi sumpahku.”
Mata kiu-bwe Coa-li mendelik.
“Jahanam! Dan sekarang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan
Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!
Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku.”
Terbelalak mata Ang-bin
Sin-kai memandang nenek sakti itu. “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu. Dari manakah kau
bisa mengetahui semua ini?”
“Semua orang sudah tahu. Empat
tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?”
“Kiu-bwe Coa-li, siluman
perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari kitab peninggalan itu atas
pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku
adalah apa bila aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak
mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari
gurunya yakni Gui-suicai?”
“Bohong! Kau sengaja memutar
balikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?”
Ang-bin Sin-kai mulai marah.
“Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut kepadamu? Kau boleh
menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?”
“Bangsat tua, mampuslah!”
Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya.
“Tar! Tar! Tar!”
Cambuknya berbunyi keras
sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jeri dan tak terasa
pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang
lihai itu.
Kiu-bwe Coa-li mengamuk
seperti iblis. Ujung cambuknya kalau mengenai bangku, maka pecahlah bangku itu
seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia menggunakan cambuknya menangkap meja
dan bangku, lalu dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah
orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka
duduki.
Yang celaka adalah kaum
sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang bisa menangkis atau
mengelak, mereka ini tertimpa meja serta bangku sehingga menderita benjol!
Ruangan yang luas itu kini
bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li
serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan
tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong.
Memang biasanya kakek ini
tidak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapa pun juga.
Akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya,
sekarang dia mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk
menangkis.
Pertempuran antara kedua orang
tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biar pun orang-orang yang berkumpul
di situ telah berdiri mepet pada tembok, namun sambaran angin yang keluar dari
cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai masih terasakan oleh mereka yang
membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin!
Suara yang mengiringi
pertempuran ini pun terdengar amat mengerikan. Tidak saja suara bersiutnya
bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diselingi dengan suara
menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan oleh
Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini
digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling
menimbulkan suara bagaikan seekor binatang buas menangis.
Semua orang bergidik mendengar
suara-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua
orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu kini hanya terlihat
gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari
sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah.
Melihat cara Kiu-bwe Coa-li
mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai merasa terkejut bukan main. Pernah dia
menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan
kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah
menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini.
Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat sekali. Berat
dan aneh.
Tiba-tiba dia teringat akan
tenaga lweekang yang pernah didapat bocah gundul itu dalam mempelajari lweekang
dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah
dengan cara bagaimana, iblis wanita ini sudah pula mempelajari ilmu lweekang
dari kitab palsu itu!
Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin
Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu
supaya terhindar dari pada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak
melihat muridnya berada di situ. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan
tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah
terjadi sesuatu dengan anak itu.
Pikiran ini membuat Ang-bin
Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali. Begitu kedua
tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan
direnggutnya sekuat tenaga!
Kiu-bwe Coa-li sangat terkejut
dan cepat dia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah
kepala Ang-bin Sin-kai. Dia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan
dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan
tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu dia mampu merobohkan kakek ini
dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian
yang penting seperti ubun-ubun kepala!
Ang-bin Sin-kai marah sekali
dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan
enam helai bulu pecut sudah menyambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat-cepat dia
mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapa pun cepat gerakannya, dia terlambat
dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa
sakit dan ngilu.
Dia mengerahkan tenaga
lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya mendadak menubruk maju dengan
kedua tangan dipentang. Ternyata dalam kemarahannya Ang-bin Sin-kai sudah
mengeluarkan tipu serangan yang sangat berbahaya, yakni pukulan yang disebut
Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat menangkap dan meniru
inti pukulan serangan ombak terhadap batu karang pada waktu dia masih suka
bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai!
Kiu-bwe Coa-li berseru kaget
ketika hawa pukulan lawan membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan
membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia kembali berseru dan tiba-tiba
tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan.
Kesempatan itu dipergunakan
oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah
berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya
keluar dari tempat ini.
“Kwan Cu...!” Ia berteriak di
atas genteng sambil memandang ke kanan dan kiri. Namun keadaan di situ sunyi
saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.
“Kwan Cu...! Hai... Kwan Cu
bocah gundul, kau di mana?!” kembali kakek ini berseru memanggil sambil
mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga seruan ini tentu akan bisa terdengar
oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari
tempat itu.
Dan memang betul, Kwan Cu
dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya
karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu
oleh Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng
yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!
“Jangan kau khawatir, Kwan Cu.
Biar pun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti tak akan
diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk
mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,” kata Sui Ceng kepada bocah gundul
itu.
Ada pun Ang-bin Sin-kai,
setelah memanggil beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, menjadi semakin
gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu
tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua
Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak
itu bersembunyi di dalam rumah?
Ia lalu melompat kembali turun
ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li.
Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik
melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa
yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu.
Semua orang menahan napas. Dan sekarang melihat Ang-bin Sin-kai melayang turun
kembali, mereka memandang penuh perhatian.
“Di mana adanya muridku?” tanya
Ang-bin Sin-kai kepada mereka.
Tak seorang pun menjawab.
“Hai...! Tulikah kalian semua?
Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?”
Bin Kong Siansu dan Pouw Hong
Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini segera merangkap dua tangan dan
memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.
“Muridmu sudah diambil oleh
Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata Pouw Hong Taisu
dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami
mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk
terhadapmu. Maaf, maaf...,” kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali.
“Marah, menyesal! Ahh,
orang-orang seperti kalian masih bisa diombang-ambingkan oleh perasaan dan
nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai gemas. “Ehh,
orang she Kwa, apakah kau pun tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?” Sambil
berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah
perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas.
“Biarlah hal ini merupakan
pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang.
“Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu urusan,
harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja
kata-kata orang lain.”
Pouw Hong Taisu dan Bin Kong
Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Hui-mo, karena
sebenarnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi
tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh murid-murid mereka.
“Kiu-bwe Coa-li, hati-hati
kau! Apa bila sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati
sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata
begini meski pun hatinya tak begitu mengkhawatirkan akan keadaan muridnya.
Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li
menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat
memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan
Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan berusaha merampas
kembali kitab sejarah yang tercuri.
“Betulkah Jeng-kin-jiu yang
telah mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu
Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hemm,
tiada jalan lain, aku pun harus menyusul ke sana. Betapa pun juga, kitab
sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi
milik Kwan Cu yang memang berhak.”
Setelah mengambil keputusan
begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja…..
********************