Pendekar Bodoh Jilid 06-10

Pada saat itu, seorang di antara delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu, yaitu yang masih muda, berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.
Pendekar Bodoh Jilid 06-10

Pada saat itu, seorang di antara delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu, yaitu yang masih muda, berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.

“Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami bayar!”

Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi wajah seorang demi seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barang kali di antara mereka itu ada yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu tersenyum.

Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah kakek-kakek tertawa gembira melihat senyum yang sangat manis dan menggiurkan hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.

“Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?” mendadak terdengar suara Ang I Niocu, suara yang sangat merdu bagaikan berlagu.

Namun bagi pendengaran Cin Hai suara itu mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu biasanya hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biar pun masih tetap halus dan merdu, terdengar sangat dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti terjadi hal-hal hebat.

“Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!” sembilan orang itu berkata dengan suara riuh.

“Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku.”

“Apa syaratnya?”

“Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah sambil berlutut untuk menghormati kami berdua, baru aku mau menari.”

Tentu saja kesembilan pengawal raja ini merasa heran dan marah. Terang sekali bahwa gadis ini hendak mempermainkan mereka dan bahkan telah berani menghina mereka.

“Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan pahlawan-pahlawan istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan segera menari untuk kami!” bentak laki-laki tinggi kurus tadi.

“Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin Hai.

“Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.

Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang kepada Cin Hai dengan alis berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang dari pada marah, karena mana mungkin ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang anggota Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring.

Akan tetapi pengawal muda itu tidak dapat menahan marahnya lagi. Meski gila mau pun waras, pemuda kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus. Maka ia segera melangkah maju kemudian mengayunkan tangan kanan memukul kepala Cin Hai sambil membentak,

“Bangsat kecil, mampuslah kau!”

Pukulan ini adalah gerakan Siok-lui Kik-ting atau Petir Menyambar Kepala dan dilakukan dengan tenaga mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apa lagi hanya kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul!

Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin Hai melejit ke samping sambil tertawa mengejek dan berkata, “Hei, bangsat besar, percuma saja kau hidup karena hidungmu terlalu besar!”

Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh Cin Hai dan mendengar sindiran anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tanpa terasa pula ia mempergunakan tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak ini.

“Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang besar, jangan panggil aku Harimau Kepala Besi lagi!”

Dan Tiat-thou-houw atau Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu To-cu-kim-ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.

“Anjing besar! Aku tak akan menyebut kau Harimau Kepala Besi melainkan Anjing Hidung Panjang!” Cin Hai mengejek lagi.

Anak ini kemudian mengeluarkan kepandaiannya Ngo-lian-hwa Kun-hoat yang baru saja dipelajari beberapa bulan dari Ang I Niocu! Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya sudah mempunyai kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian Bidadari.

Kemudian dia balas menyerang, namun karena Ilmu Silat Lima Kembang Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia terpaksa mengeluarkan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang dia pelajari dari catatannya pada waktu masih mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-lojin!

Biar pun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dalam pertempuran, tapi karena selama ini ia telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak terduga-duga. Sebab itu Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat perubahan ini,

Tadi pada waktu mengelit serangan-serangannya, Cin Hai bergerak lemah lembut seperti sedang menari. Kini dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan tangannya menumbuk dada lawan!

Tiat-thou-houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya tidak menduga bahwa anak muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih lweekang yang cukup lumayan oleh Ang I Niocu, karena itu ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat pukulannya tidak kurang dari seratus kati!

Melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai bisa menggulingkan lawannya, delapan orang pengawal lainnya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan pada saat mereka mencabut senjata masing-masing dari sarungnya!

“Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan itu membentak marah.

“Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah aku layani kaleng-kaleng kosong ini!” tiba-tiba Ang I Niocu loncat menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju mengancam.

Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya, lalu berkata keras kepada para pengawal itu,

“He, bangsat-bangsat besar. Kalian tadi hendak melihat tarian indah? Nah, sekarang kau lihatlah!” Ia lalu meniup sulingnya dengan perlahan-lahan, maka bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan pedangnya!

Untuk sejenak delapan orang pengawal istana itu memandang tercengang kepada gadis itu dengan kagum, karena tarian Dara Baju Merah itu benar-benar indah. Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang tinggi kurus lantas berseru,

“Serbuuu…!”

Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai lalu mempercepat tiupannya dan sebentar saja kalang kabutlah delapan orang anggota Sayap Garuda itu. Mereka sudah kehilangan lawan karena tubuh Ang I Niocu tidak tampak lagi, tertutup oleh sinar pedangnya, hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari!

Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kini mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah seorang pendekar pedang yang sama sekali tak bisa dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu mengerahkan tenaga serta kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!

Sambil meniup sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I Niocu. Kini benar-benar ia dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sian-li Kiam-hoat yang benar jarang terlihat dan tak mungkin dicari keduanya!

Dahulu ketika menghadapi Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh kepandaiannya. Namun kini, menghadapi delapan orang jagoan istana, anggota-anggota Sayap Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar biasa!

Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggota Sayap Garuda itu sendiri terkejut dan terheran karena selamanya mereka belum pernah menghadapi lawan yang sehebat serta selihai ini! Mereka merasa menyesal mengapa tadi telah berlaku jail dan sembrono hingga kini terpaksa harus menelan pel pahit! Akan tetapi, tidak ada jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan tenaga dan mengepung makin rapat.

Sesudah pertempuran berlangsung lima puluh jurus lebih, Ang I Niocu baru menurunkan tangan besi dan sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar kemudian terdengar teriakan-teriakan mengaduh yang diikuti dengan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari pegangan tangan!

Dalam beberapa jurus saja Ang I Niocu berhasil merobohkan delapan orang lawannya, masing-masing mendapat hadiah guratan pedang di lengan tangan, pundak, muka dan paha, hingga biar pun mereka mandi darah dan roboh di tanah, tak seorang pun di antara mereka yang menderita luka berat sehingga membahayakan keselamatan jiwa mereka!

“Puaskah kalian melihat tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan pedang ke sarungnya dan tersenyum manis.

Pemimpin rombongan Sayap Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak lantas bertanya dengan suara parau, “Lihiap ini siapakah...?”

Tetapi Ang I Niocu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang Cin Hai yang menyimpan sulingnya,

“Kalian belum tahu siapakah pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ahhh…, sungguh percuma hidup di dunia mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum sindir Cin Hai lalu menyanyikan syair Ang I Niocu.

Berkawan sebatang pedang dan suling,
Menjelajah ribuan li tanah dan air,
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan hati!

Memang Cin Hai sudah menggubah sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair ini dan menambahkan kata ‘suling’ di belakang ‘pedang’. Sehabis menyanyikan syair itu, Cin Hai memandang wajah mereka. Tetapi ternyata bahwa para anggota Sayap Garuda itu masih saja belum mengerti siapa adanya nona gagah perkasa yang demikian lihai ilmu silatnya itu.

Karena mendongkol melihat kebodohan mereka, Cin Hai lalu membentak, “Orang-orang macam kalian ini mana pantas mengenal dia?!”

Sementara itu, Ang I Niocu bertaka, “Hai-ji mari kita pergi”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Kawanan Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah dan saling tolong. Untung bagi mereka bahwa kekalahan hebat ini tidak terlihat oleh orang lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali dan andai kata kelihatan oleh orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!

Tiba-tiba pemimpin mereka berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya, “Ah, siapa lagi kalau bukan dia!”

Kawan-kawannya memandang heran dan dia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu nona tadi Ang I Niocu! Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau bukan Ang I Niocu?”

“Akan tetapi ia masih begitu muda dan cantik, paling banyak berusia delapan belas tahun. Sedangkan Ang I Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun yang lalu!”

Kawan-kawannya menganggap ucapan ini ada betulnya juga, maka mereka hanya saling pandang dengan heran dan menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat kepala untuk membalut luka masing-masing.

Sementara itu, Ang I Niocu segera mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu Berlari Cepat) untuk menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin Hai menanyakan maksud tujuannya pergi ke gunung itu, Ang I Niocu lalu menjawab sambil tersenyum,

“Di puncak Pek-tiauw-san itu terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya bertelur sekali dalam setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan aku perlu sekali mendapatkan satu atau dua butir telur rajawali putih.”

“Mencari telur mengapa begitu jauh, Niocu? Untuk apakah?”

Ang I Niocu tertawa kecil. “Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat telur rajawali putih?”

Benar-benar Cin Hai tidak mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh sehingga sekali lagi Ang I Niocu tertawa. “Di antara segala macam akar terdapat akar jin-som yang mengandung obat mujizat, dan di antara segala macam telur terdapat telur rajawali putih yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”

Cin Hai pernah melihat dan tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk anak orok itu, maka ia heran mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih manjur dari pada jin-som.

“Benarkah itu, Niocu? Apakah telur itu dapat menguatkan tubuh seperti jin-som?”

“Tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah orang menjadi tua. Makan sebutir saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”

“Begitukah? Hebat sekali. Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai dua tahun!”

Ang I Niocu tertawa merdu. “Kecil katamu? Anak tolol, telur burung itu besarnya melebihi kepalamu!”

Cin Hai melebarkan matanya dan wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I Niocu makin geli melihatnya.

Demikianlah, sambil berlari cepat mereka bercakap-cakap dengan gembira hingga waktu lewat tak terasa oleh mereka berdua…..

********************

Gunung Pek-tiauw-san menjulang tinggi menembus awan. Pada kaki dan lereng gunung penuh dengan rimba raya yang kaya akan pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu ada yang demikian besar ukurannya hingga untuk mengelilingi sebatang saja, orang harus berjalan sedikitnya empat puluh langkah!

Pohon sebesar ini mungkin umurnya sudah ada seribu tahun. Tinggi besar, kokoh kuat, seakan-akan raksasa berdiri sambil bertolak pinggang memandangi segala yang berada di bawahnya!

Berbeda dengan keadaan kaki dan lereng gunung yang dipenuhi tetumbuhan, di puncak tidak ditumbuhi pohon, sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi dan meruncing ke atas. Bahkan ada batu karang yang tingginya sampai puluhan kaki seakan-akan ingin menyaingi pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sebelah bawah.

Tempat inilah yang dipilih oleh burung rajawali untuk bertelur. Pada puncak batu karang yang tinggi, burung raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara anaknya. Di seluruh daratan Tiongkok, hanya pada puncak Pek-tiauw-san ini saja terdapat burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena jumlah burung itu hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya, apa lagi tempat di mana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan sangat sukar sekali didaki orang.

Jangankan orang biasa yang tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai yang sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga, masih menderita kesukaran ketika Ang I Niocu membawanya naik ke atas. Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini benar merupakan ujian baginya, bahkan merupakan latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.

Seandainya ia diharuskan mendaki sendiri, belum tentu ia dapat mencapai puncak, sebab setelah melewati rimba terakhir, jalan menjadi demikian sulit, penuh dengan jurang-jurang yang curam, melalui batu-batu karang yang tinggi dengan permukaan tajam hingga dapat menembus sepatu!

Akan tetapi Ang I Niocu nampak tenang dan enak saja. Gerakannya tetap sangat gesit dan ringan sehingga sekali lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju Merah ini. Pada saat melalui tempat-tempat yang berbahaya dan sukar Cin Hai tidak ragu-ragu lagi untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di waktu harus meloncati jurang yang curam dan lebar, gadis itu tidak sungkan-sungkan untuk memondong dan membawanya melompat ke seberang jurang!

Betapa pun juga, setelah setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru mereka sampai di puncak, memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus awan yang merupakan gumpalan-gumpalan halimun tipis.

“Aku tidak melihat ada sarang burung di puncak batu karang itu!” Cin Hai berkata sambil terengah-engah kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

“Apa kau kira mudah saja mendapatkan sarangnya? Di antara seluruh batu-batu karang yang ratusan banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima buah sarang saja!”

Cin Hai menghela napas. Seluruh tubuhnya telah payah dan penat-penat, dan agaknya ia tak akan kuat harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu untuk mencapai sarang rajawali. Melihat keadaan Cin Hai, Ang I Niocu juga ikut duduk mengaso.

“Biarlah kita beristirahat lebih dulu melepaskan penat,” katanya sambil menghibur Cin Hai dengan senyumnya yang membesarkan hati. Pada saat itu terdengar suara yang keras dan dahsyat menggetarkan anak telinga!

”Seekor Pek-tiauw (Rajawali Putih)!” Ang I Niocu berkata perlahan seolah-olah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Cin Hai dengan pandangan matanya. “Dia sedang marah, entah mengapa?”

Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke arah suara tadi. Cin Hai terpaksa mengikutinya dari belakang, biar pun sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu, apa lagi burungnya. Tentu besar dan liar!

Makin dekat, makin keras pula pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan sayapnya mengebut-ngebut membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi serta angin bertiup dari arah itu! Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu terus maju, kemudian mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan terkejutlah dia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya menyambar-nyambar serta menerjang seorang kakek di depannya!

Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga, oleh karena kejadian yang dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa dipakai oleh petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Akan tetapi kakek itu mengenakan sebuah rompi yang terbuat dari bulu merak yang masih baru!

Pada waktu itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang menyerang dengan kedua cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja serta paruhnya yang besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini dibantu pula oleh dua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan tenaga sedikitnya seribu kati!

Akan tetapi kakek itu tidak jeri, bahkan terdengar dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu dia pun mengembangkan kedua lengan tangannya yang dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga seakan-akan ia telah siap untuk bermain cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan kepada burung itu bahwa kakinya tak lebih buruk dari pada kaki burung rajawali putih!

“Ha-ha-ha, majulah, tolol, majulah!” kakek itu mengejek burung itu.

Tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek jembel yang telah dia angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang lalu!

Pada saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap kanannya. Akan tetapi dengan ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan sayap hingga sayap burung yang besar itu menghantam batu karang di belakang Bu Pun Su! Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul hancur sehingga batu-batu kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu, maka dapat dibayangkan betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.

Namun Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Dia menghadapi burung raksasa itu dengan tenang, bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu dia berdiri di tempat yang sempit sekali.

Di depan kakinya terbuka jurang yang amat curam, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang besar. Kalau ia sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua macam, kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki dalamnya!

Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba saja Ang I Niocu memegang lengannya dan menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.

“Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!” Ang I Niocu berkata dengan wajah pucat!

“Ehh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?”

“Anak tolol! Bukankah dia adalah Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau akan dibawanya dan berpisah dariku, lupakah kau?”

Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia segera ikut berlari turun dari puncak itu, ada pun hatinya makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus berpisah darinya!

Sambil bergandeng tangan mereka berdua berlari-lari dengan cepat seperti dikejar setan. Akan tetapi karena Cin Hai sudah lemah sekali serta sepatunya sudah banyak berlubang sehingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam, perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.

Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya sudah menarik napas lega karena menduga bahwa Bu Pun Su tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun orang tua itu sedang sibuk menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, mendadak mereka mendengar pukulan sayap burung di atas. Pada waktu mereka memandang ke atas, tiba-tiba wajah mereka menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang biasanya agak kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan!

Seekor Pek-tiauw terbang di atas mereka, yakni burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun Su. Dan di atas punggung burung itu tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil menggunakan tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan leher, kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut arah yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Sekarang Bu Pun Su membetot-betot ekornya dan membekuk lehernya ke arah bawah sehingga burung rajawali putih yang besar itu dapat menangkap maksudnya bahwa ia harus turun!

Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su membentak burung itu yang segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai itu!

Ang I Niocu segera menjatuhkan diri dan berlutut di depan Bu Pun Su sambil menyebut, “Susiok-couw!”

Juga Cin Hai tidak dapat berbuat lain kecuali ikut berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat mukanya!

“Hm, hemm! Kau mencari telur Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.

“Benar, Susiok-couw, harap maafkan kalau teecu mengganggu Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan hormat.

“Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya lagi, “Kau bawa-bawa anak ini untuk apa? Apa ia muridmu?”

Ang I Niocu tidak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka dia menggelengkan kepala menyangkal.

Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya. “Kalau bukan murid mengapa dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?”

Terpaksa Cin Hai mengangguk karena dia memang tidak bisa membohong.

“Kiang Im Giok! Kau berani berbohong terhadap Susiok-couw-mu?” Bu Pun Su menegur tetapi tidak marah karena mulutnya tersenyum.

“Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,” jawab Ang I Niocu.

“Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebisaanmu maka kau berani mengajar silat kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama baik cabang persilatan! Apakah kau tahu benar bahwa orang yang kau beri pelajaran silat itu orang baik-baik? Bagaimana kalau kelak dia akan mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”

“Maafkan teecu, Susiok-couw,” kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala.

“Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima murid, sedangkan aku tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai murid. Pernah aku menerima seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu sudah pergi minggat entah ke mana?”

Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu memarahi Ang I Niocu, dia menjadi tidak senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya yang kini sudah tidak gundul lagi. Ternyata kakek tua itu sudah lupa dan pangling.

“Sekarang kau pergilah, Im Giok, dan kau wakili aku pergi ke Kun-lun-pai. Di sana sedang timbul pertikaian hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dengan Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau pergilah ke sana dan atas namaku kau coba damaikan mereka itu demi persatuan para hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!”

Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-couw-nya itu. Tetapi dengan bingung ia melirik ke arah Cin Hai. Bu Pun Su yang bermata tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak,

“Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biarlah kini dia menggunakan kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”

Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai dengan wajah pucat dia hanya berkata, “Sampai bertemu kembali!”

Lalu gadis itu melompat jauh sehingga sebentar saja dia hanya merupakan setitik warna merah yang kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak-gelak dan ketika Cin Hai mengangkat muka memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!

Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas serta sedih. Hatinya terasa hancur dan pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia hidup seorang diri, sebatang kara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa mengetahui apa yang harus ia perbuat!

Cin Hai tak dapat menahan sedihnya lagi dan dia menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu! Dia menangis bukan karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan oleh Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di atas dunia ini!

Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis, akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia pun menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya terasa lapar sekali.

Biasanya, saat dia masih merantau bersama-sama dengan Ang I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan mereka berdua ialah gadis itu. Pandai sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik dengan jalan membeli, mencari buah-buahan, berburu, mau pun kadang-kadang memasak sendiri!

Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah belukar. Apa daya? Kembali air matanya turun membasahi kedua pipinya.

Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam sebuah kitab kuno, yaitu kata-kata Ci Kui yang menasihati puteranya ketika sedang bersedih.

‘Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan, simpan air matamu dan gantilah dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan (Pahlawan) sejati!’

Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya sendiri. Ia lalu menggunakan lengan bajunya menghapus kering segala sisa air mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di dalam hutan itu.

Akhirnya dapat juga dia menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Dia lalu makan buah itu dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa, maka dia berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.

Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan hawa dalam tubuhnya yang dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya dia sudah sering berlatih khikang sehingga dia tidak sangat menderita kedinginan.

Yang sangat dia derita adalah kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur berdua di atas pohon, gadis itu tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan suling hingga ia tak pernah merasa sunyi.

Bahkan dulu ketika khikang-nya belum begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan mantelnya lalu diselimutkan kepadanya, dan ketika mantel itu masih belum mampu mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lantas memegang tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin.

Ahh, alangkah baik dan mulia hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai seakan-akan menemukan seorang kawan dan guru, bahkan juga seorang ibu dan ayah yang sangat mengasihinya! Kini gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai kapan dapat bersua kembali!

Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh dengan Ang I Niocu. Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisikannya, “Niocu... Niocu...,” ia menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang menekan dadanya.

Pada keesokan harinya, dia mulai merantau seorang diri dengan hati tertekan dan pikiran bingung. Karena tak tahu bagaimana harus mendapatkan makan untuk mengisi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta makanan dari orang kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu kali lebih baik menjadi seorang pengemis dari pada jadi seorang pencuri, tidak ada lain jalan lagi.

Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai semakin buruk. Pakaiannya kotor dan compang-camping. Dahulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling lama tiga hari sekali dia tentu disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali bertemu dengan anak sungai, dia diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh Ang I Niocu. Akan tetapi sekarang, dia menjadi sangat malas untuk mencuci pakaian atau mandi sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor penuh debu!

Bahkan kudis yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman pisau dan mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh amat mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, sekarang berubah menjadi penuh penderitaan dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang cantik dan memiliki kepandaian tinggi itu!

Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. DIa sudah berubah menjadi seorang pengemis muda. Tubuhnya begitu kurus hingga tulang-tulangnya tampak di balik kulitnya yang kotor. Rambutnya yang tumbuh kembali tidak teratur dan awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang kurus tampak muram, tapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu.

Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat dia masak dan terbukalah kini mata hatinya akan kesengsaraan hidup miskin. Karena hidup menderita, maka kini dia dapat merasakan pula penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.

Biar pun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan apa bila perutnya sudah lapar benar dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan. Kadang-kadang sampai dua hari dia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan lapar.

Juga ia tidak sembarangan mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak merasa sedap kalau untuk semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak dia tukar dengan bantuan tenaganya kepada pemberinya itu. Terlebih dahulu dia akan melakukan suatu pekerjaan untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis muda yang istimewa.

Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya. Kota ini cukup ramai dan hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih. Penduduknya peramah dan perdagangan di sana kelihatan ramai dan hidup karena tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur. Rupanya anak sungai yang mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain air sungai dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata mengandung banyak ikan.

Pada saat ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin Hai tertarik dengan sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa bangunan itu adalah sebuah bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw.

Papan nama itu terbuat dari pada sepotong papan. Tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang sekali papan nama itu agaknya tidak terawat sehingga tampak kotor dan bahkan memasangnya juga miring.

Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan pada papan nama itu dan menyayangkan kenapa tulisan seindah itu dituliskan pada papan yang kotor dan dipasangnya miring pula.

Tanpa dapat menahan perasaan hatinya, dia kemudian mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan sambil berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah kotor. Dia menggosok-gosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang sekali.

Tiba-tiba saja timbul sebuah pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia telah terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang dapat dikerjakan, dan karena tak mempunyai kewajiban apa pun yang harus dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini dia merasakan kesenangan. Ahh, dia harus bekerja!

Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah dipandang, dia lalu menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti tadi. Segera dia turun dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang papan nama itu dengan gembira. Ia melihat hasil dari pada pekerjaannya tadi dan tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi tampak buruk dan kotor, sekarang bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri gembira, tidak seperti tadi yang kotor dan muram!

Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan mudah saja terbuka. Dia masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Pada sudut kiri tampak sebuah rak tempat menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan.

Cin Hai senang sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu kotor sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba saja dia melihat benda yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.

Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang lelaki setengah tua yang masuk dari luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi guru silat yang mengajar di bukoan itu.

Guru silat ini baru pulang dari bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian compang-camping tengah menyapu pelataran bukoan-nya dengan asyik sekali. Tadi pun ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia pun mengerti bahwa yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.

“He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.

“Tidak… tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan… dan sudah sepatutnya dibersihkan.”

Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar jawaban Cin Hai, dia dapat menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya, “He, anak muda. Apakah kau mau bekerja di sini?”

Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri. “Suka sekali, suka sekali!”

Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya ialah pekerjaan, maka sekarang begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja ia merasa senang.

“Kau tak berumah dan sebatang kara?” kembali guru silat itu bertanya.

Dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada masa itu memang banyak sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai, orang-orang yang hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup sebatang kara.

Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.

“Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerja saja di sini, juga melayani segala keperluan murid-murid bukoan.”

“Baik, baik Loya,” jawab Cin Hai dengan gembira sekali.

Pada saat itu dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa dan tidak lama kemudian dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat belas tahun.

Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi. Anak-anak muda itu menyebut ‘suhu’ dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.

Louw-kauwsu segera memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata bahwa orang yang gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya adalah mewakili Louw-kauwsu mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu adalah para murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat. Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang di situ.

Terhadap seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja tidak ada di antara mereka yang menaruh perhatian dan anak-anak murid itu segera memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja ingin memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!

Terhadap seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh perhatian dan anak-anak murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!

Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biar pun bertubuh gemuk pendek, tetapi berwajah tampan juga. Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari Bu-tong-pai, satu cabang dengan Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak Ting Sun takabur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,

“Ehh, siapa namamu?”

“Nama saya Cin Hai,” jawab Cin Hai.

“Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,” kata Louw Sun Bi tertawa. Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke dalam.

“Ehh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku Suhu!”

“Harus menyebut bagaimana?” tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap orang.

“Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti?!”

Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat gemuk pendek itu, tetapi mulutnya menjawab, “Baik, Siauwya.”

Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih. Sementara itu, Ting Sun melatih murid-muridnya.

Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba Louw Sun Bi keluar dan memanggilnya. Cin Hai cepat-cepat menghadap. Guru silat itu diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun.

Gadis itu bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena dia adalah Louw Bin Nio, anak tunggal Louw Sun Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti ayahnya.

“Kau tentu belum makan,” kata guru silat itu dengan suara ramah, “kau makanlah dahulu dan gantilah pakaianmu itu, setelah kau bersihkan tubuhmu.”

Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil berlutut. Ia merasa terharu karena baru sekarang ada orang yang mau memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang belakang dan memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.

Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah menderita lapar dan dingin lagi, dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan bersemangat. Akan tetapi, di samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya.

Entah kenapa, Ting Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan sering kali menghinanya. Pernah pada suatu senja dia berdiri melihat latihan silat, tiba-tiba Ting Sun memanggilnya.

“Kalian lihatlah baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan darah), kedua jari telunjuk dan tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi contoh dengan dua jari tangan. “Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian lihat bagian leher ini!”

Dia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja berdiri bagaikan patung.

“Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian ini!” Sambil berkata demikian, jari tangannya benar-benar menotok leher Cin Hai.

Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekang-nya untuk melawan totokan, tetapi cepat berpikir bahwa kalau dia melakukan hal ini tentu akan terbukalah rahasianya. Maka dia segera mengendorkan semua uratnya dan tidak melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, dia merasa leher itu sakit dan tubuhnya menjadi lemas hingga dia roboh tanpa daya!

“Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa puas dan bangga.

Sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai yang sudah lemas. Dia dapat melihat dan mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya terasa sakit sekali hingga dia tidak berani menggerakkan leher itu.....

Sementara itu, tanpa pedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya. Dalam keadaan menyedihkan itu Cin Hai harus menderita sampai dua jam lebih, barulah pelan-pelan jalan darahnya terbuka dan darahnya kembali mengalir hingga ia dapat cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, dia pura-pura masih lemah dan sakit sehingga berdiri sambil terhuyung-huyung.

“Nah, nah, kalian lihat. Sesudah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka dia akan roboh dengan lemas dan selamanya tak akan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu telah dibebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tapi hal ini akan kalian pelajari kelak bila mana sudah sempurna gerakan tangan kalian.”

Semua murid memandang kagum, sementara dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan tempat itu, sambil di dalam hatinya dia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak demikian baik hati padaku, hmm... akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan hati mendongkol sekali.

Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, dia tak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauhnya beda perangai gadis ini dengan ayahnya.

Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!

Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.

“Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.

Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya.

Cin Hai berdiri di tepi sambil menonton gadis itu bersilat pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji dengan suara kagum.

Bin Nio duduk di atas sebuah bangku.

“Ahh, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kau bersihkan sepatu ini!”

Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.

“Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri majikannya ini.

“Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tapi cobalah kau lihat Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran darinya!”

Cin Hai merasa heran. “Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?” tanyanya.

“Ahh, Ayah tidak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Untungnya ada Ting-kawsu yang mengajarku pada waktu malam. Sayang, sekarang sudah tidak diijinkan lagi oleh Ayah!” Gadis itu tampak kecewa sekali dan Cin Hai yang telah selesai membersihkan sepatunya lalu mundur.

Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan.

“Ehh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”

Cin Hai menjawab perlahan, “Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”

“Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”

“Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi kenapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?”

“Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!” Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai.

Cin Hai pura-pura ketakutan kemudian berkata, “Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”

Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar dia berlaku hati-hati untuk menyampaikan surat rahasia itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat pelayan. Malam itu dia tidak dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.

Pada waktu itu, dia sudah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dengan Ting Sun pasti ada hubungan yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya.

Louw Sun Bi sudah melepas budi padanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Dia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu!

Dengan pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali kemudian membacanya. Ia tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini!

Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar saja sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengah malam!

Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia yang tak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara sehingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio merupakan keponakan Ting Sun sendiri! Namun ternyata dua orang itu sudah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai lalu memutar otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.

Semalaman penuh Cin Hai tidak dapat tidur. Pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu.

Ting Sun menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda dari pada biasanya, dia berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi hubungannya dengan Bin Nio.

Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis!

Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku.

“Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang sudah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?”

“Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!”

Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet ini.

“Katakanlah, jangan takut-takut!”

“Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dahulu saya mohon maaf sebesar-besarnya karena sesudah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya.”

Kini terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi sehingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”

Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan mengenai surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih, “Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya yang baik hati tertimpa kejadian macam ini, ahhh...” Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.

Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada terasa panas hampir meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat dia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan hubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu dia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.

Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tidak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata,

“Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tak pernah khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit dari pada mengobatinya sesudah datang! Karena itu, maka dari pada ribut-ribut dan marah sehingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”

Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Dia memandang wajah Cin Hai dengan hati heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!

“Cin Hai, kau adalah seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?”

“Loya, Siocia sudah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi, maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”

Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi dia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat gagah ini.

“Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan.”

“Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”

Louw Sun Bi memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan pembalasannya, ada aku di sini!”

Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biar pun saya hanya seorang bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak keluar.

Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Dia langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, dia langsung berdiri diam bagaikan patung!

Di sana, di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!

“Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagi pula, kau datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”

Ting Sun kaget bukan main dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepalanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!

“Orang she Ting, aku sudah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tidak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!”

Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar.

Celaka sekali! Orang tua itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini, tapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan rahasianya!

Pada keesokan harinya, sesudah semua anak murid berkumpul, Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di sana dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya itu bahwa sebagai seorang gadis baik-baik dia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.

Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar sudah berada di sana, semua murid yang berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti biasanya, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.

Akhirnya orang yang dinanti-nantikan, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah serta dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian dia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya dia menghadapi semua murid dan berkata,

“Anak-anak sekalian, aku membawa berita yang penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini juga aku akan berangkat meninggalkan Ki-bun.”

“Hendak pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.

“Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi kalian tidak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu pasti akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan kepada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat yang ada di punggung. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”

Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan sudah tiba. Dia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kemarahan dan kebencian itu.

“Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini untuk contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah baik-baik, untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”

Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam.

“Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian dia lalu menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.

Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai sasaran.

“Jangan, Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah serangan Ting Sun. Akan tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa tadi totokannya dikelit.

“Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya.

Ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan ini hebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.

Louw Sun Bi amat terkejut dan marah. Pada saat dia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia merasa terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.

Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi kemudian berlari-lari memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan!

Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biar pun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sangat aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari!

Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari?

Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangannya selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai!

Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun pukulannya itu selalu meleset dan tidak pernah mampu mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja tubuh atau bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!

Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, akan tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biar pun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?

Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerakan tarinya. Sesudah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu.

Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri. Maka, tanpa ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!

Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali dia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!

Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap dia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!

“He, Siauwya, kau kenapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah.

Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya tadi sehingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai sudah mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung!

“Ehh, ehhh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.

Melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, murid-murid bukoan menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat ke dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.

“Anak-anak semua. Lihat, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak ini, sebenarnya dia seorang berilmu tinggi, tetapi dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahun-tahun sehingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!”

Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang kemudian dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai sangat lihai, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi!

Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, karena itu dia lalu bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sesungguhnya engkau ini murid siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”

Dengan sikap hormat dan merendah Cin Hai menjura. “Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa.”

Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kanglam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.

Louw Sun Bi mengira bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak lagi, hanya menyatakan kagumnya. Akan tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.

Louw-kauwsu tak dapat lagi menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya. Akan tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu.

Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian sesudah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Dia tak lupa memberi hormat sambil berkata, “Siocia, aku mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!”

Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Dia insaf betapa dia telah salah mengenal orang…..

********************

Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Kini ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap, matanya lebar dan mukanya bulat, muka yang membayangkan kejujuran dan ketinggian pribudi.

Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!’

Dulu ia sering kali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Akan tetapi sekarang dia mengerti betapa tepat serta mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus dipergunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, sehingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran.

Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk bisa menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya.

Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya sekedar makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih terdapat banyak sekali tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau ‘saudara’ kita yang hidup menderita kesusahan.

Sesudah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu pada waktu masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.

Dengan kepandaiannya, walau pun dia baru mempelajari tiga perempat bagian saja dari Liong-san Kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya ‘Pendekar Bodoh’ karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh.

Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, dia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, dia lalu mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggota Sayap Garuda sedang menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta di dalam pelukannya. Sambil memondong korbannya, orang itu meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur.

Tetapi sekali meloncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”

Anggota Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara dua jari tangan.

Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu segera membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi secepat kilat Cin Hai lalu menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggota Sayap Garuda itu.

Si Penculik menjerit kesakitan, namun ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biar pun telah terluka, dia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!

Cin Hai sudah banyak mendengar mengenai kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh serta kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa salah seorang anggota gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, dia menjadi marah sekali. Dia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.

Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggota Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggota mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!

Selama dalam perantauannya, Cin Hai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu dia sudah banyak menjatuhkan lawannya yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan.

Akan tetapi sekali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, dia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama dia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.

Tiba-tiba hwesio gundul yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,

“Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang itu agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.

Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, karena itu ia mendahuluinya dan langsung mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.

Tetapi sungguh aneh! Lawannya tidak berkelit mau pun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju dan hendak mencengkeram pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan meski pun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!

Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa dia melepaskan sulingnya lantas membuang diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.

“Ha-ha-ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!

Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,

“Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?”

Sebutan kaki anjing merupakan sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam bagaikan pantat kuali, pipinya keriput ada pun matanya yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.

Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja dia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang,

“Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?”

“Tetapi aku tidak akan tinggal diam saja kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”

Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sute-mu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”

Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang segera meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!

Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda lantas menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.

Mendadak nampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak, seorang anggota Sayap Garuda roboh mandi darah!

“Niocu!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras.

Kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah dia tak percaya pada pandangan matanya sendiri. Sesudah jelas bahwa yang menolong dirinya dan sedang mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.

“Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.

“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.

Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras,

“Ang I Niocu yang datang, lekas lari!”

Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa korban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.

“Niocu...!” Sekali lagi Cin Hai berseru girang.

Gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat betapa Cin Hai sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tanpa terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.

“Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”

“Niocu... Niocu... jangan kau tinggalkan aku lagi!”

Mendengar ucapan yang masih bersifat kekanak-kanakan ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.

Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ. Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya mengenai pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang.

Tanpa menyembunyikan sesuatu Cin Hai lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya sehingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menangis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.

“Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” Cin Hai bertanya sambil memandang wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.

“Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah goa rahasia yang disebut Goa Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa goa itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu! Oleh karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu.”

Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa dia sudah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.

“Bukit itu disebut Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat mencari goa itu di sana. Ketahuilah bahwa selain aku, masih terdapat banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan goa itu. Karena itu marilah kau turut bersamaku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”

Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tidak berani membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, dia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.

Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil juga mendapatkan goa itu yang tertutup oleh tumpukan batu-batu yang ratusan banyaknya. Dengan tidak mengenal lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah goa yang luar biasa besarnya dan gelap!

Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati serta merayap beberapa lamanya, ternyata di sebelah dalam goa itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.

Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, tampaklah tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar. Tengkorak itu tingginya paling sedikit tiga kali tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.

Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Mendadak Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan,

“Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”

Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan dia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat dari pada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam.

Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruangan yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan!

“Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”

“Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu.”

Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun goa masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?

Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Dia berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya.

Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar kencang dan mulut terasa kering. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.

Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan dia merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.

Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan mukanya menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi dia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tidak pernah lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.

“Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“

Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat dia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanan-kiri!

Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya kemudian siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu memungut sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di tangannya!

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruangan itu dan terdengar menyeramkan sekali.

“Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”

“Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”

“Hushh...”

“Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang-orang lain! Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kau kira aku tak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah datang dan berada di luar goa!”

Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.

Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali pada saat melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sute-nya!

Akan tetapi pada saat itu tiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu juga telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruangan itu sambil memandang ke kanan kiri....

“Orang yang berada di dalam goa, keluarlah untuk bertemu dengan kami!” terdengar Giok Im Cu berteriak. Suaranya bergema di dalam goa besar itu seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu.

Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran kenapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!

Akan tetapi pada saat itu dari luar goa terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan, “Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk goa ini?”

Sebelum gema suara ini lenyap, orangnya sudah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena orang ini ternyata adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memamerkan dadanya yang berbulu. Juga hwesio ini memegang senjatanya yang lihai, yakni sebatang tongkat ular.

Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam goa itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!

“Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian tak akan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang telah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!”

Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tidak berhasil membunuhmu adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Kini kami akan menebus kekalahan itu!”

“Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”

Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!”

Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Memang kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Toya Seribu Ular luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya sangat cepat dan hebat sehingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.

Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san Kun-hoat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi dari pada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka sebab permainan tongkat Hai Kong Hosiang betul-betul hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut!

Hai Kong Hosiang yang melihat betapa dia dapat mendesak tiga orang lawannya, merasa gembira sekali. Hwesio gundul ini tertawa ha-ha hi-hi sambil memperhebat serangannya. “Ehh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”

Akan tetapi, meski pun dia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san Kun-hoat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tidak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.

“Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “dapatkah kau mengalahkan si gundul itu?”

Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu, kemudian bibirnya yang manis dan merah tersenyum.

“Agaknya tak akan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”

Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya dia berada begitu dekat Ang I Niocu, maka hatinya merasa girang dan terharu sekali.

Tanpa terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi mendadak tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Pada saat pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan mukanya untuk menonton pertempuran yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.

Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa sekarang Kanglam Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka sudah berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang semakin gagah dan ganas saja.

Pada saat itu kembali terdengar suara gaduh di luar goa, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!

“Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak punya waktu lagi untuk melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru.

“Ha-ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!”

Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya.

Asap mengepul semakin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Dia lalu melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat.

Dia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkat hiolouw. Tapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!

Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa mempergunakan tangannya untuk menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Dia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia pun merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.

Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar goa masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul.

Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Kenapa ada banyak sekali orang-orang lihai datang ke goa ini?

Sementara itu, ketika mendengar suara orang masuk ke dalam goa, Hai Kong Hosiang lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu!

Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, dia lantas tersenyum menyindir, “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam goa ini?”

Biauw Leng Hosiang membalas sindiran orang dengan suara memandang rendah, “Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apa bila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!”

“Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang lain! Kepandaian apakah yang kau andalkan maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”

“Sudahlah jangan banyak cakap lagi dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu kembali berkata.

Sekarang Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,

“Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk ke sini terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau? Ketahuilah, aku masih memandang muka Suci-mu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut dihargai sebab memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”

Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang wanita.

”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kau bilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kau kira bahwa aku tidak melihat Kanglam Sam-lojin keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka masuk, akan tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih dulu dari padamu?”

Hai Kong Hosiang menjadi malu dan semakin marah. “Tidak perlu kita mengadu lidah! Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau pun harus dapat mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!

“Hai Kong! Kau kira pinceng tidak akan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!

Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini tentu saja ia merasa senang sekali melihat betapa beberapa kali terjadi pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi,. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.

Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang memiliki darah panas itu sudah mulai menyerang secara hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang pendek pada tangan kanannya, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!

Sambil mengintai Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu sebab dia sedang mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kau duga siapa yang akan menang?”

Sejak tadi Ang I Niocu melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dahulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, dia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri. Kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap.

Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu terus memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat, wajah berseri-seri, serta mulut tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya dia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa heran dan tidak mengerti kenapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!

“Apa katamu?” ia balas berbisik.

Sesudah Cin Hai mengulangi pertanyaannya, dia lalu memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah siapa yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walau pun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, akan tetapi Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam setiap gerakannya. Mungkin pertempuran ini akan berjalan lama.”

Cin Hai memperhatikan baik-baik. Baginya, setiap pertempuran merupakan penambahan pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka dia dapat memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu, dia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal sekali. Dia merasa bahwa untuk dapat mempunyai kepandaian tinggi dan mampu menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, dia masih harus belajar banyak!

Karena merasa jengkel tidak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki kepandaian lebih lihai dari pada yang semula dia sangka, Biauw Leng Hosiang merasa tidak sabar dan tiba-tiba dia bersuit keras.

Dari luar goa terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba saja dari luar menerobos lima orang yang berpakaian seragam. Mereka ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai Kong Hosiang!

Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira yang dibagi menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang.

Sudah tentu saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini segera membuat Hai Kong Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi semakin sibuk lagi. Akhirnya sebuah totokan yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan sudah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!

Apa bila orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat, maka nyawanya tentu melayang. Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan sehingga ia hanya menderita luka dalam yang tak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya sehingga untuk beberapa lama dia hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka di pundaknya yang menembus hingga dadanya.

”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka laksana pantat kuali dan matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.

Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat suci-nya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.

Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu pada saat Biauw Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai segera pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga pada adik seperguruannya yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran aturan perguruan mereka dan berkali-kali dia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka dia lalu mengikuti adik seperguruannya itu secara diam-diam.

Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Goa Tengkorak itu. Dia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan sesudah melihat betapa sute-nya mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia langsung menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sute-nya yang tersesat.

“Biauw-suci, kau lagi-lagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena dia dapat mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.

“Biauw Leng! Apakah kau sudah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dahulu? Percuma saja kau menjadi pendeta apa bila kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentunya masih ingat bahwa di antara segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan menjadi anjing penjilat. Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar sebab mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi tetap saja kau selalu melanggar. Sekarang, marilah kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”

“Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat bahwa kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tapi kau jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan jika diinjak, apa lagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”

Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu semakin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa dia marah sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jeri juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.

“Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya.

Biauw Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu mereka dan yang apa bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai sudah mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun tentu akan dihukum mati oleh suci-nya sendiri!

Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.

Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika dia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka dia merasa bersimpati kepada tokouw ini. Apa lagi kalau dia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka dia tidak dapat lagi menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya pada saat ia pergi bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,

“He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”

Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Dia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu, maka dia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil berseru,

“Hai-ji, hati-hati!”

Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi dia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.

Sementara itu, ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak kelima perwira Sayap Garuda tertegun. Kemudian sesudah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.

Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang sudah pernah ia pelajari. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san Kun-hoat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.

Ada pun perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja sudah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang bagaikan menari-nari di depannya itu!

Melihat betapa kini perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Selain menghadapi ketiga lawannya, nona ini juga berusaha mendekati Cin Hai sehingga dapat bersiap sedia membela serta menolong pemuda itu apa bila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.

Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosiang dan seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali. Suatu saat dia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan tewas seketika itu juga!

Semua perwira merasa amat terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang yang mereka andalkan sudah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.

Ketika melihat sute-nya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba Biauw Suthai menubruk sambil menangis tersedu-sedu!

“Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara memilukan.

Biauw Suthai lantas menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata untuk mengobati luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.

“Hai Kong Hosiang, kau maafkan Sute-ku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”

Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini pergi meninggalkan tempat itu. Biauw Suthai kemudian mengangkat sute-nya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa lagi itu, ia hendak meninggalkan goa.

Akan tetapi Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat dia bertanya, “Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”

Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Ehh, anak muda yang berani, kau siapakah?”

“Suthai tentu sudah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... ehhh… membawanya pergi!”

Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil memondong jenazah sute-nya!

Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka merasa jeri menghadapi Ang I Niocu yang kelihaiannya tadi telah mereka kenal.

Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couw-nya karena sudah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,

“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”

Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa. Ada pun Cin Hai merasa sangat tidak puas melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut terhadap Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali.

Orang ini bertubuh pendek sekali, barang kali sama tingginya dengan seorang anak-anak berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik kian ke mari tiada hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali laksana telinga gajah, sedangkan mulutnya berbibir tebal. Ia memakai jubah panjang yang menggantung hingga ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah ini yang hitam sekali.

“Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu.

Ang I Niocu juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut sebab mengingat betapa lihainya orang ini yang dapat datang ke sana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan dia sendiri dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya.

Ketika ia bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!

Ang I Niocu kemudian mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”

Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.

“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau ini apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.

Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa semakin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri bukan main, apa lagi melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu berbicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), dia merasa semakin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe.

Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, dia melihat betapa telinga gajah itu bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar-benar digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tidak dapat lagi menahan rasa geli di hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memutar-mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.

”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.

“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”

Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!

“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”

Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka dia berkata, “Orang tua, orang baru tertawa kalau hatinya senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentulah berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”

Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkan dirinya, akan tetapi dia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu. “Coba kau ceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan dua mata tetap berputar-putar.

Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh menirukan suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,

“Mati diantar tangis, lahir disambut tawa. Namun bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”

“Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan dia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.

“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!

“Kenapa aku tertawa? Ha-ha-ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”

Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah salah satu tengkorak sehingga tengkorak yang dikebutnya itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!

“Hek Moko, kau jangan terlalu sheji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru!

Ternyata dalam kata-katanya ini Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan tenaga khikang-nya yang sudah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biar pun dia tidak meninggalkan goa itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko.

Hek Moko diam-diam memuji dan dia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari luar goa terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar goa menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di hadapan Hek Moko!

Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggota mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya berupa dua garis melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!

Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Walau pun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sute-nya.

Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama asli mereka sudah dilupakan orang.

Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.

“Kalian Iblis Hitam dan Iblis Putih, sesudah lebih dari lima belas tahun tidak berjumpa, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” Bu Pun Su berkata sesudah berhadapan dengan mereka.

“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kuduga kau masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.

“Hek Moko, jangan berbicara seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, kenapa takut aku menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kau suka, aku tak akan peduli.”

Girang wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi dia telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jeri hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lampau, ia dan sute-nya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu sehingga mereka masih merasa jeri dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.

“Ha-ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian tadi sudah mendengar kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”

Setelah berkata demikian, Hek Moko segera melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar.

Hek Moko menjenguk dan dia segera meloncat sambil memperdengarkan suara tawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh dan memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.

“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.

“Biarlah sekali lagi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!

Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri di dekat Bu Pun Su sehingga hiolouw itu tidak hanya mengancam Si Kakek Jembel saja, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua!

Hiolouw raksasa itu begitu berat sehingga sebelum datang, anginnya sudah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa sehingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini!

Akan tetapi di hadapan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri. Karena itu dia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya menegang dan mata terbelalak.

Biar pun telah memiliki kepandaian tinggi, namun Ang I Niocu mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka dia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apa bila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunya, takut kalau-kalau dianggap lancang tangan.

Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar ke arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.

Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, pada waktu kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seolah-olah besi sembrani yang menarik hiolouw itu sehingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!

Tidak hanya Cin Hai yang tanpa terasa lagi terpaksa meleletkan lidah saking kagum dan herannya, akan tetapi Ang I Niocu juga memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouw-nya mendemonstrasikan kekuatan lweekang-nya yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.

Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lantas berkata dengan suara lemah lembut, “Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang, maka harus dihormati. Apa lagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua dari pada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku tak akan mengampunimu, Hek Moko!”

Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat.

Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka sendiri dan biar pun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus.

Untuk bisa menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekang-nya dan meski pun tenaga lweekang kakek itu sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?

Biar pun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba saja keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk main-main. Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat kematian di iga belakang!

Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”

Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu dia sudah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka kemudian mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!

Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su mempunyai kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau saja mereka tetap meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok.

Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan serangan lainnya! Mereka berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua itu tak akan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!

Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!”

Tubuhnya merupakan bayangan merah segera berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!

Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu semakin cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu sehingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.

Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi dia telah mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biar pun berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali dia tidak mau membiarkan hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah sehingga isinya tumpah atau rusak. Jika ia tidak menyayangi hiolouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja dia akan berhasil mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau dia melakukan ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.

Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat nomor satu di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri dari pada serangan dua lawannya, yaitu dengan membarengi mengirim pukulan maut sebagai serangan balasan, akan tetapi dia tidak sudi menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan.

Tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar, sedangkan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang saling beradu. Kedua iblis itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka.

Kesempatan yang hanya beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan sebaiknya karena tiba-tiba saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana caranya ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas dari pada kedua serangan maut itu.

Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke depan ketika menjalankan pukulan mereka tadi.

Dengan hati terkejut kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil meloncat mundur, takut kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati, kini Si Jembel tua sudah rebah terlentang ada pun hiolouw itu dengan kecepatan luar biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang mereka takuti itu.

Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tak ada kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, sambil rebah terlentang Bu Pun Su lantas mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat sekali, kaki itu bergerak ke bawah melebihi kecepatan luncuran hiolouw, lantas membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun, dan kekuatan hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya kemudian dibelokkan oleh ayunan ini.

Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit sehingga sekarang luncuran dibelokkan ke atas kembali! Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri pula dan dengan kepalanya dia kembali menerima hiolouw itu! Hebat.....

“Aduh, hebat! Aduh... hebat!” Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I Niocu menarik napas panjang karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah lenyap.

Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani lagi sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan terus dan sesudah tiba di tempat hiolouw, dia memegang kaki hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali dia lalu meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan angker dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko.

“Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono, hampir saja kalian merusak hiolouw itu.” Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.

Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas dari pada bahaya maut dan dia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka namun hanya menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Tampaknya kakek aneh ini lebih mementingkan hiolouw dari pada tubuh dan nyawanya sendiri!

Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja merasa penasaran dan tak mau tunduk secara demikian mudah. Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan kiri. Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan akan terampas.

Akan tetapi tasbeh pada tangan kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat diputuskan dengan senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu apa bila batu-batu hitam itu dilepas dari untaiannya, dia dapat pula digunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan ganas!

“Ehh, ehhh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh. Kalian menghendaki pertempuran dan ingin merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan kalian mencoba merusak hiolouw!”

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu lantas berbesar hati. Masih bagus bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah. Akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran sehingga dia tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,

”Ehh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu dari pada tubuhmu sendiri!”

Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang sudah tua dan lapuk ini apalah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun tidak akan ada gunanya bagi manusia. Tapi sebaliknya, umur hiolouw ini telah ribuan tahun dan telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian sesudah tubuhku ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan masih berguna bagi manusia yang masih hidup, karena dia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang hendak berhubungan dengan Tuhan.”

Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana namun mengandung arti yang dalam ini, dan diam-diam dia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat dia temukan.

Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel ini lalu duduk bersila dan berkata kepada Cin Hai,

“He, gundul tolol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!”

Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya hanya sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka dia segera melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka berseri-seri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya!

Cin Hai merasa makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol kenapa sampai sekarang ia terus disebut tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air mata!

Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu menggerakkan tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tidak pantas baginya memegang tangan Ang I Niocu meski pun dara itu adalah seorang yang sangat dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.

“Niocu, ada apakah?” bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.

Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,

“Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau mau melayani kami atau tidak!”

Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu, diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan saksi mati dari pada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu.

Cin Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali. Mereka melihat betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan sudah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!

“Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu…,” bisik Cin Hai.

Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja.”

“Bu Pun Su, awas kau, akan kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari belakang kakek itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!

Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat.

Akan tetapi, seperti ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala sehingga tasbeh itu memukul angin! Legalah dada Ang I Niocu serta Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.

Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersemedhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu sehingga tanpa memandang atau bergerak, dia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun datangnya!

Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biar pun mereka dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat sekali. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka berdua melatih diri dan bahkan mereka sudah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah senjata tasbeh yang lihai.

Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk diam sambil meramkan mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada taranya bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu sudah mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya, ada pun Pek Moko dari belakang juga mengirim serangan-serangan kilat yang mematikan.

Betapa pun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su, karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat dari pada kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke goa itu. Lebih tinggi tingkat kepandaiannya dari pada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai dari pada Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.

Akan tetapi, setelah melihat agak lama, perasaan kuatir mereka tidak saja lenyap, bahkan mereka menjadi tertarik sekali berbareng kagum dan terheran! Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya!

Kakek jembel ini tidak melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis! Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya dapat ia kelit dengan mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tidak dapat dia elakkan, maka kemudian ditangkisnya dengan tulang. Biar pun ada empat buah senjata menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ditangkisnya dengan putaran tulang yang berubah menjadi senjata yang lihai itu!

Kedua iblis itu semakin marah dan penasaran. Sudah puluhan jurus mereka membacok, menusuk, memukul dan melakukan berbagai macam serangan lain, akan tetapi hasilnya selalu sia-sia. Benarkah mereka tak akan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas sedikit pun? Ahh, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih gencar dan hebat.

Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai merasa penasaran sekali melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikit pun. Tapi apakah daya mereka? Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih jauh dari pada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couw-nya, tak berani turun tangan tanpa diperintah.

Cin Hai berpikir, kalau suhu-nya itu bertahan terus saja, apakah dia tidak akan lelah dan akhirnya terkena serangan juga? Dia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring dia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,

“Seorang budiman hanya mencabut pedangnya untuk mempertahankan kehormatan dan namanya. Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah perbuatan seorang gagah, hanya dilakukan oleh kanak-kanak dan orang tolol!” Kemudian dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri, “Aku masih bingung memilih golongan untuk Hek Pek Moko, apakah mereka berdua termasuk anak-anak ataukah orang tolol?”

Karena suasana di sana sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang kadang kala beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu.

Tentu saja kedua iblis itu dapat mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biar pun hanya menduga-duga saja, tetapi ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang ‘memperebutkan benda’ adalah tepat sekali.

Cin Hai memang belum tahu mengapa para tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Goa Tengkorak. Tetapi dia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu yang amat penting dan berharga.

Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau mendengarkan nasehat-nasehat yang keluar dari mulut seorang pemuda? Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.

Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biar pun Bu Pun Su masih dapat membela diri dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan berbahaya dari dua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak kembali, kini lebih keras dari pada tadi,

“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan mesti dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?”

Biar pun Cin Hai sudah berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Cin Hai tidak berputus asa, dia mengulangi lagi kata-katanya dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak.

Akan tetapi pada waktu itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi serangan kedua lawannya. Apa bila dia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal lain, maka kedudukannya akan sangat berbahaya dan pertahanannya akan menjadi lemah. Oleh karena itu teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.

Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan bahwa keadaan suciok-couw-nya berbahaya sekali. Gerakan-gerakan orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak semakin hebat!

Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Bila mana nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku nekat dan membelanya, biar pun untuk itu ia akan mendapat marah sekali pun!

Cin Hai kemudian berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Dia memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, dia lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik,

“Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”

Walau pun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat untuk mendapat sebatang suling. Dengan ujung pedang dia menggunakan lweekang-nya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah sebatang suling terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan bentuknya sangat sederhana.

Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah sangat terdesak, dia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang amat ganjil dan sukar sekali diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai cepat-cepat mengerahkan kepandaiannya dan mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu! Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat mendengar kata-katanya.

Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau dia pun terpaksa menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan suara suling yang nyaring ini!

Dan sangat untung baginya karena tidak hanya dia, bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian sudah terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya oleh karena perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka biar pun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu pun banyak mengendur pula!

Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,

“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan mesti dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”

Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil sehingga ketika tiupannya ditunda, seketika keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar sangat terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan baik. Mendadak kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Hek Pek Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “apa bila bicara mengenai kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga dari pada muridku yang tolol ini! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua turun tangan?”

Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!

”Siancai… siancai…!” Bu Pun menyebut.

Orang tua itu kini menggerakkan tangan kirinya yang semenjak tadi hanya terletak di atas pangkuannya saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka dia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari untaiannya kemudian jatuh berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan tangan kirinya bergerak pula menyambit.

Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata sehingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas lantai!

Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan gemasnya,

“Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”

Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Goa Tengkorak dan melarikan diri.

Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang tua itu, maka dia segera maju dan bersama Cin Hai lalu berlutut sambil menyebut,

“Suhu...”

“Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian.”

“Sudahlah, sudahlah...” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda memang paling doyan berkelahi!”

Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar jelas penyesalannya. “Kiang Im Giok, sekarang kau pergilah ke timur dan mencari Suci-mu di daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu hanya membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau dia masih belum insyaf, bawa dia ke mari. Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!”

Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik, Susiok-couw!” Kemudian Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, “Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?”

“Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”

Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, akan tetapi Cin Hai tiba-tiba berkata,

“Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya terdengar pilu dan terharu sehingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!

“Niocu!” Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhu-nya!

“Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai.

Kemudian kakek ini berdiri dan berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan tindakan kakinya. “Im Giok, tunggu sebentar. Aku masih ragu-ragu, apakah jika Suci-mu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba kau lebih dulu perlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sian-li Kiam-hoat!”

Ang I Niocu tidak berani membantah, segera dia melolos pedangnya. Kemudian dia mulai menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa pada saat itu dia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring tarian pedang Ang I Niocu! Sementara itu, sesudah gerakan Ang I Niocu menjadi cepat sehingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,

“Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”

Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,

“Coba kau serang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”

Sungguh pemandangan yang amat indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat Ang I Niocu, karena tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan tarian Ang I Niocu hingga mereka bagai sepasang penari ulung yang mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah kakek-kakek. Coba kalau yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda, tentu akan indah dan cocok sekali!

Cin Hai tidak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su tadi, akan tetapi, sesudah Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I Niocu. Benar saja, pada tiap gerakan ternyata kakek yang lihai itu sudah dapat mencari dan dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu dia dapat menyerang melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia bersilat! Ia maklum bahwa dalam suatu pertandingan sungguh-sungguh maka tangan kakek itu tentu sudah berhasil merobohkan dirinya dengan mudah!

Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari gerakan-gerakanmu tadi? Ingat, kau terlalu menitik beratkan kepada keindahan gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat kelemahan akibat perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh keindahan gerak tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu, akan tetapi kalau dia waspada, maka kau tentu akan celaka. Nah, kau perhatikanlah dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai ke lima puluh, kau harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku tangan yang memegang pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat gerakan Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air untuk menjaga supaya jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat yang terbuka karena gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?”

Ang I Niocu mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian kakek itu menyuruhnya berangkat dengan segera.

“Kalau tidak salah, Suci-mu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau ke sana. Cin Hai mulai saat ini akan tinggal di sini dengan aku!”

Mendengar disebutnya nama pemuda itu, mendadak wajah Ang I Niocu berubah merah. Agaknya kakek yang luar biasa ini sudah dapat menduga akan isi hati dan perasaannya terhadap pemuda itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai lagi, Dara Baju Merah itu kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu, ditatap oleh Cin Hai dengan pandangan mata sedih.

“Nah, anak bodoh! Mulai saat ini juga kau harus berlatih serta belajar silat dengan rajin. Ketahuilah, aku orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid, tetapi sekali aku mengambil murid maka dia harus belajar dengan baik-baik supaya tidak akan memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut pada segala perintahku, bukan?”

Cin Hai segera berlutut di depan suhu-nya untuk memberi hormat. “Teecu akan menurut segala perintah Suhu.”

“Bagus, sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu sejak kau meninggalkan rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”

Cin Hai dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi sedikit pun, akan tetapi setelah dia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,

“Hanya satu hal yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan Kiang Im Giok!”

Cin Hai tertegun lalu memandang kepada suhu-nya dengan penasaran dan heran. “Suhu, apakah sebabnya maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu seorang yang berhati mulia dan berwatak gagah berani?”

Bu Pun Su menghela napas. “Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang. Hubungan itu dapat meracuni hati kalian berdua!”

Cin Hai memang memiliki watak pemberani dan pantang mundur menghadapi siapa pun juga apa bila dia merasa bahwa pihaknya benar, maka dia lalu berkata lagi,

“Suhu, apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu, hubungan teecu dengan Ang I Niocu itu hanya mendatangkan perasaan kasih sayang suci. Kenapa tidak boleh? Teecu hanya sebatang kara dan hampir semua orang telah memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat, dan hanya Ang I Niocu seorang yang sudah berlaku baik sekali terhadap teecu! Salahkah bila teecu mempunyai rasa kasih sayang yang besar padanya yang timbul karena perasaan terima kasih? Ujar-ujar pernah menyatakan bahwa kasih sayang yang timbul karena hutang budi adalah suci murni!”

Melihat betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum, lalu berkata tenang, “Cin Hai, engkau terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar itu penuh dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah bahwa kenyataan hidup ini jauh sekali bedanya dengan keindahan kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala macam ujar-ujar yang terdengar indah itu ternyata tidak dapat memperbaiki sifat manusia, bahkan menjadikan lebih rusak! Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan segala keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?”

Cin Hai tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya kesusastraan. Memang, sifat gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak cocok dengan perbuatannya

”Cin Hai, kau masih terlalu muda untuk mengerti semua ini. Memang bagimu aku tidak merasa kuatir, akan tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan sekali kalau anak itu menjadi korban dari pada kelemahan hatinya sendiri...”

Cin Hai mengerutkan keningnya. Akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang sudah nampak dewasa dan tinggi tegap, akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhu-nya. Pada waktu itu usianya sudah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam hal pengertian pergaulan pria wanita dia masih bodoh dan hijau.

“Sekarang kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan urusan lain lagi. Ketahuilah, bahwa pikiran yang bercabang tak akan dapat menghasilkan ilmu yang baik. Dan kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hoat dan Sian-li Kun-hoat. Dari Im Giok kau juga sudah mempelajari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat. Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama dan berpokok satu, yaitu menyerang dan membela diri. Betapa pun tinggi ilmu silat seseorang, tapi apa bila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang hanya ada tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Apa bila engkau dapat mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat melawannya dengan mudah.”

Demikianlah, semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan mempelajari sari dan pokok gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat dan merupakan rahasia khusus dari pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama halnya bagi Cin Hai dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini!

Kini ia mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh persilatan tertinggi yang memiliki kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya yang telah dapat memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka menghadapi seorang lawan yang bersilat bagaimana pun juga, Bu Pun Su dapat menirukan semua gerakan itu dengan sama baiknya, biar pun ia belum pernah mempelajari ilmu silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!

Tentu saja, sesudah dapat mengetahui sifat dan pokok gerakan lawan, mudah saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan syarat untuk dapat mengalahkan lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga!

Oleh karena ini, di samping mempelajari pokok-pokok rahasia gerakan silat, Cin Hai juga mendapat latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat dirinya bisa bergerak gesit bagaikan seekor burung walet dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya mempunyai tenaga dalam yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan lawan yang kasar mau pun halus.

Juga untuk latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang khusus dan istimewa, karena dia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut kakek jembel yang luar biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang mau pun khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur semua tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia.

Oleh karena ini, maka latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersemedhi dan mempertebal iman. Jika iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya ‘bunga api dari Tuhan’ menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan menjadi kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya akan melemahkan tubuh dan batin.

Cin Hai mempunyai dasar-dasar serta bakat yang baik, maka tanpa banyak mengalami kesukaran ia dapat menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhu-nya sehingga Bu Pun Su merasa girang sekali.

Waktu berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai sudah menerima gemblengan dan latihan selama tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan dia sekarang telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap dengan wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih saja nampak bodoh, ada pun mukanya yang lebar tidak mengurangi ‘tampang bodohnya’!

“Cin Hai,” kata gurunya pada suatu hari, “kini kau sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat dan agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu silat yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya dapat digunakan pada saat menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan apa bila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik sekali, muridku, dan ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah menyerang orang. Aku hanya bergerak apa bila diserang. Tahukah kau? Kau mengerti dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka kau pakailah ujar-ujar itu sebagai pedoman dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Karena itu, julukan ‘Pendekar Bodoh’ harap kau pakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang yang sesungguhnya pintar adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”

Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud suhu-nya ini sebab semenjak berlatih ilmu di dalam Goa Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup. Kini dia tahu akan maksud suhu-nya yang dahulu memperingatkan bahaya yang akan ada dalam hubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu adalah ‘cinta’ yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua dari padanya. Kalau dara itu sampai tergoda cinta padanya sedangkan perjodohan di antara mereka tak dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa dan derita bagi Ang I Niocu?

Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu, akan tetapi perasaannya ini hanyalah perasaan kasih seorang adik terhadap kakaknya, atau kalau mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati iba terhadap Ang I Niocu.

Pernah ia bertanya pada suhu-nya akan segala peristiwa yang terjadi di Goa Tengkorak itu dan mengapa banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan menceritakan seperti berikut,

“Goa ini dahulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika Raja Hian Tiong mengangkat seorang Tartar bernama An Lu Shan menjadi panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang menguasai tentara. Akan tetapi nasehatnya itu tidak dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya, sesudah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan tentara sejumlah lima belas laksa orang dan memukul ke selatan!

Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesir saja sehingga dengan mudah barisan kerajaan dapat dimusnahkan oleh An Lu Shan.

Kaisar sendiri kemudian mengungsi ke Secuan, ada pun ibu kota lalu diduduki oleh An Lu Shan. Semenjak itu, di mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.

Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri karena dia dicari-cari oleh An Lu Shan untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh dan hanya dia sendiri yang dapat melarikan diri ke daerah ini.

Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang tinggi. Setelah menemukan goa ini dan memperbaikinya sehingga menjadi sebuah tempat tinggal yang besar dan aman, dia kemudian mengumpulkan tulang-tulang binatang besar yang banyak terdapat di goa ini, yakni peninggalan dari jaman purba, lalu dengan kepandaiannya dia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu!

Jangan dikira bahwa itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang binatang yang diukir kemudian dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini dapat dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!

Di dalam pelariannya itu Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga dari dalam istana, karena dia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka An Lu Shan mencari-cari menteri yang setia itu.

Akan tetapi ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan di dalam goa, tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki goa dan Lu Pin selamat serta tinggal di sini sampai datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia dikubur di bawah hiolouw itu.

Kemudian hal ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini. Akan tetapi mereka tidak menyangka bahwa di dalam goa ini terlebih dahulu sudah tinggal seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin sehingga usaha mereka gagal!

Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan rasa heran. “Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib malang itu?”

Bu Pun Su tersenyum. “Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau bukan Suhu-mu sendiri?”

Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di hadapan suhu-nya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu?

“Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan sudah digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu Shan. Yang tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan inilah barang itu!”

Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biar pun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilauan dan sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu LIONG COAN. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka Kerajaan Tang itu.

“Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”

“Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang ini hanya akan menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”

Bu Pun Su tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasehatku. Akan tetapi, sebenarnya bukan pedang yang harus disalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau pun baik hanyalah terjadi karena akibat dari pada perbuatan orang dan hanya merupakan pandangan seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka dia menjadi pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!”

Setelah Cin Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, “Sekarang sudah waktunya kau pergi meninggalkan goa ini, Cin Hai. Ingatlah baik-baik semua pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir ini: Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Bila terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tidak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang sudah mengkhianati bangsa sendiri. Apa bila sekiranya masih ada jalan lain, terhadap mereka ini pun janganlah kau sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”

Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan goa di mana telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.

Ketika meninggalkan Goa Tengkorak, suhu-nya telah memberinya sekantung emas murni sehingga Cin Hai tidak kuatir mengenai biaya perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an buat menemui ie-ienya.

Walau pun dia sama sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thio-nya, yaitu Kwee-ciangkun, akan tetapi dia tak dapat melupakan ie-ie-nya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhu-nya hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang dikasihinya…..

********************
Beberapa pekan kemudian tibalah dia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari ketika dia sedang berjalan di dalam sebuah hutan pohon pek yang indah, tiba-tiba dia mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan kakinya dan di suatu tempat terbuka dia melihat empat orang sedang bertempur hebat sekali.

Cin Hai segera bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika dia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang di antara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang!

Biar pun muka pamannya telah berubah kurus dan rambutnya sudah banyak uban, tetapi Cin Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali kenapa pamannya mengenakan pakaian petani biasa!

Kwee In Liang sedang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju putih, tanda pada pinggir pakaiannya menyatakan bahwa dia adalah seorang tingkat tiga, sehingga lagi-lagi Cin Hai merasa sangat heran. Mengapa pamannya yang juga seorang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!

Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi kawan pamannya, yang juga bertempur dengan hebatnya. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki kepandaian silat, gesit dan hebat, bahkan dengan sekali pandang saja tahulah Cin Hai bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri.

Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda sedang bagian bawah bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya kecil dan ramping, dan wajahnya manis sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan.

Dara manis ini bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian hebat sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang walau pun berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Dia lalu memperhatikan lawan gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman.

Ia menjadi terkejut karena kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan barang kali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya model Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Dua lengan tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang menyerang dengan buas. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!

Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, mampu mendesak lawannya yang hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak lawannya sehingga pada suatu saat yang baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk hingga berhasil menangkap lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di belakang tubuh perwira itu.

Sekali saja ia mengentakkan lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya sehingga perwira itu pun terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!

Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun telah berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu dengan tiam-hoat (ilmu totok) model Mongol akan tetapi cukup lihai hingga berhasil membuat lawannya tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak gadis tadi dan hendak dilarikannya!

“Keparat she Boan, jangan kau ganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan segera melemparkan perwira yang telah dikalahkannya tadi. Ia pun lantas memburu.

Pada waktu mendengar betapa Kwee-ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, Cin Hai yang mengintai di balik sebatang pohon menjadi tercengang dan memandang lebih memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik oleh Biauw Suthai!

Hampir saja Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya, akan tetapi kini sesudah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak perempuan yang dahulu sangat jenaka dan nakal itu, timbullah kegembiraan luar biasa di dalam hatinya.

Untung tadi ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh perhatian. Ketika melihat Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, perwira baju merah itu segera mendahului dengan serangan kakinya sehingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan tubuhnya terlempar! Ternyata bahwa Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.

“Ha-ha-ha! Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa? Kau tolak pinanganku yang kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?” Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!

Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu! Orang she Boan ini memang lihai, maka dia cepat mengelak sambaran pertama yang mengarah lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua sudah cepat menyambar tepat ke arah pundak kirinya. Hampir saja benda itu mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan merendahkan tubuhnya. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya merendah, tanpa dapat dikelit pula benda ke tiga telah menyambar pundak kanannya!

Dia tidak merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang disambar adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas kesemutan sehingga dia terpaksa melepaskan tubuh Lin Lin.

Dan pada saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa sudah terbebas cepat melompat ke samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kakinya karena babatan kaki perwira she Boan itu tadi.

Perwira itu merasa kaget sekali saat melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir buah kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang ada di depannya itu, dan dia maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya. Ia tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik pohon besar, maka sekali ini ia menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari.

Tetapi aneh, di sana tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan matanya, akan tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat orang lain kecuali mereka berempat!

“Orang she Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau, tetapi tunggulah kedatanganku pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”

Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan menyangka bahwa benar-benar orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu berkata,

“Boan-enghiong, kenapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan jodohmu dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang lain!”

“Tidak perlu merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja di pesta ulang tahunmu. Kita berunding kembali dengan baik-baik.”

Sesudah berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ dengan cepat. Kwee In Liang menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,

“Baiknya dia berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”

Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab, “Ayah, kau tidak tahu. Apa bila tidak ada orang pandai yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”

Ia lalu menceritakan betapa ia telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho, sedangkan perwira she Boan itu pun sudah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!

“Sayang, orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya dia tidak mau berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebenarnya dia ingin sekali melihat siapa orangnya yang demikian lihai.

Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut sekali dan cepat ia berseru dengan suara keras,

“Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat menyatakan terima kasih kami!”

Akan tetapi biar pun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.

“Sudahlah, Ayah. Agaknya dia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat itu agaknya masih merasa penasaran dan dia telah menyatakan hendak datang nanti pada hari ulang tahunmu. Kurasa dia tidak mempunyai maksud baik, karena itu kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”

Kwee In Liang menghela napas. “Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar sekali. Tapi aku masih ragu-ragu apakah ia akan bersikap begitu kurang ajar untuk menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam pestaku.”

”Orang macam itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi untuk minta pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku sudah... dipertunangkan...?” Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.

Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka berkata terus terang sehingga tidak malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.

“Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah dia mendesak lebih jauh.”

“Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tidak perlu kiranya kita terlalu takut!” kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku atau suci-ku dapat kuajak datang membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat rendah itu!”

Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu. Pada saat mereka sampai di luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang pemuda berjalan mendatangi.

Pemuda itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain berwarna kuning. Pakaiannya sederhana bagaikan pakaian seorang petani dengan baju luar yang lebar dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan kain pita kuning. Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.

Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian karena dia seakan-akan merasa sudah kenal pada pemuda ini, sedangkan Lin Lin hanya mengerling sekali tanpa perhatian. Akan tetapi, ketika pemuda itu telah berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam, lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,

“Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”

Kwee In Liang memandang tajam. Juga Lin Lin kini memandang penuh perhatian kepada pemuda ini.

“Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal padaku?”

Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya kemudian memberi hormat sambil menjura,

“Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”

“Cin Hai... ?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.

“Engko Hai...!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Ehh, kau sekarang tidak gundul lagi!”

Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat menahan geli hatinya sehingga dia tertawa gembira. Juga Lin Lin tertawa senang sambil memandang dengan sepasang matanya yang bening dan indah seperti mata burung Hong itu.

“Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.

“Aku... aku hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini Ie-thio dan seluruh keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku yang telah lama tidak dapat menghadap.”

“Tidak apa, tidak apa-apa. Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini amat sederhana sehingga Cin Hai maklum bahwa pamannya ini masih saja tidak suka kepadanya, maka dia pun tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,

“Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia dalam keadaan baik-baik saja?”

“Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak lagi tinggal di Tiang-an, telah hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat pangkat lagi dan kini kami telah menjadi orang-orang biasa yang hidup sebagai petani!”

Berita ini betul-betul tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada Ie-thio-nya dengan mata terbelalak dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang malah menegur puterinya.

“Lin Lin, hal itu tak perlu kita bicarakan di sini. Cin Hai, sekarang kau hendak ke mana?”

Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan, karena itu Cin Hai juga tidak hendak merendahkan diri sehingga dia menjawab,

“Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku... aku akan melanjutkan perantauanku...”

“Ehh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang anak-anak Kwee In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.

Karena tiada ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana, “Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”

“Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau betul-betul telah melupakan Bibimu, melupakan kami? Oh, ya! Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi, kami akan mengadakan sedikit perayaan untuk memperingati hari ulang tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!”

“Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang sehingga terpaksa orang tua ini berkata,

“Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah kita jangan mengganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai keperluan penting. Hayo kita pergi!”

Maka berpisahlah mereka, tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil berkata keras-keras, “Engko Hai, jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta sulingmu!”

Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka padanya. Sikap orang tua itu sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk mengunjungi rumahnya.

Akan tetapi Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira. Alangkah indahnya mata gadis itu.

Dan kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai. Diam-diam ia bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian yang tinggi.

Haruskah ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin, apa lagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak dilayani dan dianggap sepi?

Akan tetapi, ia harus melihat ie-ie-nya yang sudah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka menghina atau menganggap rendah kepadanya, karena dia tidak butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, juga ada Lin Lin yang tentu akan menyambut kedatangannya dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya!

Perwira she Boan itu akan datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu tadi, agaknya sukar bagi Lin Lin untuk menyelamatkan diri. Dia harus datang, dan hanya akan melihat-lihat saja dulu. Kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain orang pandai, dia hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi apa bila sampai gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau dia terpaksa harus turun tangan!

Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali kenapa wajah Lin Lin yang manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, pada saat dia teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah ditunangkan dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang, heran sekali!

Diam-diam Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut gembira mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak senang? Ada hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin kemudian dia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin dari pikirannya, akan tetapi dia tidak berhasil!

Dia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun dia tidak bertemu dengan Dara Baju Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh Ang I Niocu mencari suci-nya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki Giok-gan Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.

Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu dia akan mencoba mencari Ang I Niocu. Dia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari, masih ada waktu baginya.

Maka, dengan hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, yaitu sebuah kota di lereng pegunungan yang banyak hutannya…..

********************

Setelah menerima perintah dari Susiok-couw-nya, Ang I Niocu pergi mencari suci-nya ke Lok-bin-si. Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa Giok-gan Kui-bo telah lama pergi meninggalkan daerah itu dan kabarnya merantau ke arah barat.

Sebenarnya Ang I Niocu ingin lekas-lekas kembali ke Goa Tengkorak karena semenjak meninggalkan tempat itu, hatinya tertinggal di sana bersama Cin Hai, pemuda yang telah merebut seluruh isi hatinya itu. Akan tetapi ia tidak berani kembali dan bertemu dengan susiok-couw-nya sebelum bertemu dengan suci-nya. Ia maklum bahwa susiok-couw-nya itu sangat bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas itu diselesaikan, maka ia tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini, dia segera menyusul ke barat, mencari suci-nya.

Daerah barat sangat luas sehingga tak mudah mencari seorang yang tidak diketahui jelas di mana tinggalnya, biar pun orang itu begitu terkenal seperti Giok-gan Kui-bo sekali pun! Oleh karena ini maka Ang I Niocu merantau sampai dua tahun lebih belum juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan sedih sekali.

Ia merasa amat rindu kepada Cin Hai, akan tetapi apa dayanya? Pemuda itu sekarang berada dengan susiok-couw-nya dan dia sekali-kali tidak berani menghadap Bu Pun Su sebelum tugasnya selesai.

Oleh karena memang berwatak baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada hentinya selalu mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang sedang menderita, membela kaum tertindas serta membasmi para penjahat yang mengganas. Maka di daerah barat namanya pun menjadi terkenal sekali.

Setelah dia tiba di sebuah kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya dia mendapat keterangan tentang nama suci-nya. Kiranya suci-nya terkenal sekali di kota ini sebab dengan seorang diri saja Giok-gan Kui-bo telah menghajar habis-habisan pada kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu.

Pertempuran ini terjadi pada saat para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang piauwsu baru yang belum lama membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim barang) di kota itu. Memang Oei-houw Piauwkiok terkenal mempunyai barisan yang terdiri dari jago-jago silat berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti oleh semua orang di kota itu. Juga para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di hutan-hutan dan gunung-gunung apa bila melihat bendera warna kuning dengan gambar kepala harimau, tidak ada yang berani mengganggu.

Akan tetapi Oei-houw Piauwkiok memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan pengawalan barang. Oleh karena itu, pada waktu piauwsu yang baru itu membuka perusahaannya, para saudagar yang hendak mengirimkan barang mulai mempercayakan barang-barangnya kepada piauwsu yang bernama Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok menjadi marah sekali dan terjadilah permusuhan.

Ong Hu Lin ialah seorang piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu silatnya lumayan juga dan ia mempunyai ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya juga seorang piauwsu yang ternama di daerah barat dan dia hanya menggantikan kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari pekerjaan lain. Dengan mengandalkan kepandaiannya, dia lalu mencari nafkah dengan mengawal barang-barang berharga dan mendapat upah sekedarnya.

Pada suatu hari, Ong Hu Lin mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk mengawal kiriman segerobak cita yang amat mahal harganya. Ketika melalui sebuah hutan, tiba-tiba dia diganggu oleh kawanan perampok yang terdiri dari belasan orang.

Ong Hu Lin menghadapi kepala rampok itu dan berkata, “Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku yang sedang mencari nafkah. Kalau kalian menghargai persahabatan, maka sepulangku dari tempat ke mana barang ini harus kukirim, aku akan singgah untuk memberi hormat dan akan membawa sekedar barang hadiah sebagai tanda hormatku.”

Akan tetapi Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu bukan lain adalah kaki tangan para piauwsu di Oei-houw Piauwkiok yang sengaja menyewa tenaga mereka untuk mengganggu Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya itu ditertawakan saja oleh kawanan perampok, dan kepala perampok yang tinggi besar itu membentak,

“Piauwsu hijau jangan banyak cakap. Tinggalkan semua barang-barang ini di sini dan kau pergilah kalau kau sayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi piawsu, dan lebih baik kau tutup saja perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”

Ong Hu Lin marah sekali. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dia lalu dikeroyok. Akan tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup tangguh hingga tak lama kemudian beberapa orang anggota perampok telah roboh mandi darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian perampok itu.

Pada saat itu mendadak muncul tiga orang yang membantu para perampok mengeroyok Ong-piauwsu dan mereka ini bukan lain adalah para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang piauwsu ini lihai juga dan sebentar saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya terancam.

Pada saat itu terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus merdu tapi mendirikan bulu tengkuk sebab tak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan menyambar para pengeroyok itu. Sebentar saja habislah para perampok berikut ketiga orang piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak menari-nari dengan cepat dan ganas.

Di mana saja tangan atau kakinya menyambar, tentu seorang perampok akan terlempar dan bergulingan sampai jauh! Akhirnya semua perampok lari tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan yang terluka.

Ong Hu Lin berdiri memandang dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang menolong dirinya dengan kepandaian luar biasa itu adalah seorang wanita cantik dengan sepasang mata genit dan liar mengerling kepadanya. Mulut wanita itu tersenyum manis. Rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan tergantung di punggungnya, bajunya berwarna hijau dan celananya putih.

Ong Hu Lin sadar dari keheranannya dan buru-buru dia menjura memberi hormat, “Lihiap yang gagah perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”

“Ong-piauwsu, janganlah kau terlalu sungkan. Bukankah kita adalah orang-orang sekaum di kalangan kang-ouw dan sudah seharusnya saling menolong?” Wanita itu menjawab dengan suaranya yang merdu.

Ong Hu Lin terkejut. “Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”

“Bukankah kau Ong Hu Lin piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bok-chiu?” kata wanita itu yang ternyata bukan lain ialah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali aku bertemu dengan tiga orang Piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok itu dan mendengar mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku berpeluk tangan membiarkan saja mereka berlaku sewenang-wenang?”

“Terima kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai bagai bidadari ini?”

Giok-gan Kui-bo mengerling dengan gaya yang manis dan genit, lalu memandang wajah yang tampan itu dengan tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita Bermata Intan).”

Melihat gerak-gerik dan lagak wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang genit, maka dia kemudian berlancang mulut berkata sambil tersenyum manis.

“Sungguh nama dan julukan yang indah dan manis, sesuai benar dengan orangnya.”

Giok-gan Kui-bo berpura-pura marah dan memandang dengan mata melotot, tapi bibirnya tetap tersenyum!

“Lihiap, harap kau jangan kepalang menolong orang,” kata Ong Hu Lin.

“Apa maksudmu?”

“Sudah jelas bahwa diriku yang tidak punya kawan ini dimusuhi oleh kawanan Oei-houw Piauwkiok yang terdiri dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau yang lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka sudilah kau mengawani aku berjalan bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu tidak berani mengganggu lagi.”

“Kalau aku mau apakah upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit.

“Apa pun yang kau minta, Lihiap, biar jiwaku sekali pun akan kuberikan padamu,” jawab Ong Hu Lin yang ternyata pandai bermain kata-kata.

Demikianlah semenjak saat itu mereka berdua menjadi kawan baik yang tak terpisahkan lagi. Ketika Ong Hu Lin bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka sudah ditunggu oleh kawanan piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua piauwsu itu dengan mudah saja dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya piauwsu-piauwsu itu menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi pemimpin piauwkiok itu.

Sebaliknya, Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan tetapi, karena memang sudah biasa merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam sebuah rumah dan mengurus rumah tangga, Kim Lan lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan membuat tempat tinggal sendiri di dalam sebuah goa di gunung yang dekat dengan kota Bok-chiu. Goa ini dia jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja dia pergi menemui Ong Hu Lin di rumahnya.

Giok-gan Kui-bo sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin sebetulnya telah memiliki seorang isteri! Dan isterinya ini bukanlah seorang sembarangan karena isterinya ini adalah Pek-bin Moli Si Iblis Wanita Muka Putih, yakni puteri tunggal dari Pek Moko!

Ong Hu Lin bertemu dengan Pek Moko dan puterinya, kemudian Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya hingga akhirnya dipaksa kawin dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya bila melihat orangnya, setiap pemuda pasti akan bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami Pek-bin Moli yang selain muda dan cantik, juga memiliki kepandaian silat tinggi, karena dalam hal kepandaian silat, selain menerima pendidikan dari ayahnya, Pek Moko, ia juga menerima pendidikan dari supek-nya, yaitu Hek Moko yang lihai!

Akan tetapi celakanya, Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini menjadi gila karena suatu penyakit panas hingga betapa pun cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin tidak tahan melihat keadaan isterinya dan menjadi jijik dan takut!

Oleh karena ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari isterinya yang gila ini hingga akhirnya tiba di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan Kui-bo yang walau pun kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi sikapnya menarik hati dan tidak gila!

Suami yang meninggalkan isterinya ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada saat itu, isterinya yang gila sudah menyusulnya dan berhasil mengetahui tempat tinggalnya! Bahkan isteri yang gila akan tetapi mewarisi kecerdikan ayahnya ini sudah mengetahui pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo! Kalau saja ia tahu, tentu ia akan lari pergi karena sebenarnya dia takut setengah mati kepada isterinya ini dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai sekali.

Maka pada suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya, tahu-tahu jendela kamarnya terbuka dari luar dan terdengar suara yang sangat dikenal dan ditakutinya memanggilnya. Ong Hu Lin membuka matanya dan ia menggosok-gosok mata karena mengira bahwa ia sedang bermimpi.

Ternyata bahwa sambil tersenyum-senyum manis tetapi dengan sepasang mata bersinar menakutkan, di depan pembaringannya telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang berotak miring itu! Pek-bin Moli memakai baju kotak-kotak lucu sekali dan celananya berwarna kuning gading.

“Kau...?!” Ong Hu Lin berseru.

“Hi-hi-hi, kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa sambil menghampiri hingga diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo kau beritahukan padaku di mana adanya sundal yang menjadi kekasihmu itu?”

“Sia... siapa... yang kau... kau maksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.

“Hi-hi-hi-hi, siapa lagi kalau bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan antar aku menemuinya. Atau haruskah aku menggunakan paksaan?”

Biar pun suara isterinya terdengar merdu sekali, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan ancaman hebat sehingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Dia dapat membujuk-bujuk isterinya yang gila itu untuk menunggu sampai besok pagi, karena tidak mungkin malam-malam yang gelap itu mencari goa tempat Giok-gan Kui-bo.

Karena Pek-bin Moli sangat mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa menuturkan cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau dan meluaskan pengalaman.

Sesudah malam tergantikan pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan isterinya itu mengunjungi goa di mana Giok-gan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di situ terheran-heran karena tak ada yang tahu bila mana datangnya seorang wanita cantik yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu telah keluar dari kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita itu adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun berani banyak bertanya.

Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang perhubungan suci-nya dengan Ong Hu Lin. Dia pergi menyelidik dan mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya tinggal di dalam sebuah goa di gunung yang berada tidak berapa jauh dari kota itu. Maka ia pun lalu menyusul ke sana!

Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam goa tempat tinggalnya, menunggu mendidihnya air yang dimasak, ketika tiba-tiba saja tirai bambu yang dipasang di depan goanya itu terbuka. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha hi-hi.

Kim Lian memperhatikan wanita cantik ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di atasnya diikat dengan pita berwarna hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak lucu sekali.

“Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah seorang gadis dusun yang ingin menemuinya.

“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang merampas suamiku? Ha-ha-ha!”

“Kau... kau gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat duduknya.

“Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari telunjuknya yang runcing. “Kau harus mampus!”

Sesudah berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah pipi Kim Lian. Giok-gan Kui-bo marah sekali dan ia menggerakkan tangannya hendak menangkap tangan yang menampar itu. Akan tetapi alangkah herannya saat tangan yang menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan dan…

“Plakk!” pipinya kena tampar!

Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama dia merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada orang berani menghinanya, apa lagi menamparnya!

“Anjing betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan dada turun naik karena marahnya.

“Hi-hi-hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum pernah mendengar tentang Pek-bin Moli?”

Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau ini puteri Pek Moko? Lalu mengapa kau datang-datang memaki dan menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat dia melupakan kemarahannya.

“Hi-hi-hi! Kau sudah berani main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa aku menamparmu? Ha-ha-ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”

Giok-gan Kui-bo melirik keluar goa dan dia melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.

“Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”

“Ha-ha-ha! Ia terlalu cinta padaku, mana dia mau mengobral namaku untuk disebut-sebut kepada sembarang orang? Hi-hi-hi!”

“Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kau kira aku Giok-gan Kui-bo takut kepadamu. Sekarang kau mau apa?”

“Eh, ehh, kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli lalu menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam goa yang sempit itu!

Apa bila Giok-gan Kui-bo lihai sekali gerakan tangannya yang seperti menari-nari dengan buasnya itu, adalah Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu luar biasa lihainya dalam mempergunakan kedua kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam sepatu, tepat di bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja yang menambah kelihaian setiap tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli mempunyai ginkang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas sambil mengirim tendangan bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah menyentuh tanah.

Akan tetapi Giok-gan Kui-bo melawan dengan sungguh-sungguh. Pertempuran itu sangat menarik dan hebat sekali. Tendangan dan pukulan sampai menimbulkan angin mendesir dan suaranya keluar dari goa itu membuat tirai bambu yang berada di luar bergoyang-goyang seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu Lin berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.

Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik ke tempat itu dengan cepat sekali. Dia cepat menyelinap ke samping goa dan bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah dekat, dia melihat bahwa yang datang itu adalah seorang wanita berbaju merah yang luar biasa cantiknya.

“Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah bersembunyi karena aku sudah melihatmu!”

Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia pun keluar dari tempat persembunyiannya.

“Dimana adanya Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu dengan suara kereng.

Ong Hu Lin makin heran. Siapakah wanita ini yang agaknya memiliki kepandaian hebat dan yang datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”

“Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.

“Tak usah kau tahu. Lekas katakan saja di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I Niocu membentak marah sehingga Ong Hu Lin merasa ketakutan. “Dia... dia sedang bertempur melawan isteriku...“

“Isterimu? Siapakah dia?”

“Pek-bin Moli...”

Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke arah tirai bambu yang tergantung di depan goa yang kini bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan dari dalam goa. Ia segera melompat dan menggunakan tangan kiri menyingkap tirai itu.

Pada saat itu pula, dengan Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang mendesak hebat kepada Giok-gan Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu. Tepat pada saat Ang I Niocu membuka tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri Pek-bin Moli sedang melanggar pundak kiri Giok-gan Kuibo yang mengeluarkan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang.

Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin Moli terkejut dan melompat mundur sambil memandang Dara Baju Merah yang menghalang-halangi serangannya tadi.

“Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah Suci-ku kalau dia bersalah. Kesalahannya tidak sangat besar sehingga kau tidak perlu menjatuhkan tangan maut!”

“Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata berputar-putar hebat.

“Aku Sumoi-nya.”

Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli teringat. “Hi-hi, kau tentu Ang I Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”

“Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu memang berotak miring maka percuma saja diajak bicara panjang lebar, “sekarang kau putuskan. Kau pergi dari sini membawa suamimu sebelum ia lari lagi, atau kau biarkan suamimu lari pergi dan kau bertempur melawan aku?”

Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak “Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana dia...? He, Ong Hu Lin...! Tunggu...!”

Wanita gila ini segera berlari keluar sambil berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Sesudah bertemu di luar, dia lalu menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja seperti seekor kerbau ditarik tali hidungnya.

Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di pundaknya walau pun tidak membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.

“Suci, sudah dua tahun ini aku mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di sini kau memperebutkan seorang laki-laki dengan wanita gila itu!”

Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo tak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela napas, karena tahu bahwa kalau berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan sikap lemah dan mengalah. Ia maklum bahwa suci-nya ini mempunyai kebiasaan buruk dan genit hingga banyak orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di dalam hati ia tak begitu jahat.

“Suci, kalau saja kau berada di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh wanita gila itu. Akan tetapi kau telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit luka itu kau anggap saja sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”

Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga wajahnya segera berubah pucat.

“Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum menjatuhkan keputusan pendek dan tegas. Akan tetapi beliau minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Sudah berkali-kali kau melanggar pantangan sebagai orang gagah dan banyak melakukan perbuatan hina. Kau mencuri, merampok, menculik pemuda-pemuda dan kau sudah mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”

Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab, “Im Giok, memang aku sudah bersalah... tetapi apa dayaku? Aku sebatang kara, hidupku merana menderita. Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri, siapakah yang dapat memberi kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidup dalam kesunyian dan mati dengan hati menderita?”

Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan suaranya ketika berkata dengan tegas, “Suci, kau tahu bahwa di dunia ini ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan jahat dan ada pula kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu hatimu yang jahat? Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah kau tidak lagi mempunyai kebersihan batin seorang wanita yang sopan dan menjunjung tinggi kesusilaan?”

“Sudahlah, sudahlah...” tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil menangis. “Kau mana tahu tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan merasa bagaimana celakanya hati yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat dari pada batu!” Kim Lian memandang sumoi-nya dengan mata basah.

Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk ulu hati Im Giok hingga Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah ini teringat akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ahh, Suci, kalau saja kau tahu betapa berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.

“Im Giok, aku memang sudah bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw bahwa sejak hari ini aku Kim Lian akan mencukur rambut dan menjadi nikouw (pendeta wanita) dan bertapa di goa ini. Aku takkan mencampuri urusan dunia lagi dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”

Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan memeluk suci-nya dan mereka berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa sangat gembira mendengar akan keinsyafan suci-nya ini, akan tetapi kata-kata Kim Lian tadi benar-benar menusuk hatinya.

“Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim Lian sambil mengusap-usap rambut sumoi-nya yang halus.

“Suci... aku pun hanya seorang manusia biasa saja yang tidak terbebas dari kesesatan...”

Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang terharu, kemudian dengan tiba-tiba dia mencabut pedang yang tergantung pada punggung Ang I Niocu. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan tergantung riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya!

Ang I Niocu hanya dapat memandang dengan hati terharu sekali. Sesudah kedua kakak beradik seperguruan itu bercakap-cakap saling melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu pergi meninggalkan Kim Lan.

Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya sebab ia ingin segera sampai di Goa Tengkorak dan memberi laporan kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin segera bertemu dengan Cin Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa itu!

Ketika dengan hati berdebar-debar Ang I Niocu memasuki Goa Tengkorak itu, ia melihat Bu Pun Su duduk bersila menghadapi hiolouw yang mengepulkan asap putih. Dia tidak melihat Cin Hai di situ dan diam-diam ia merasa kecewa dan kuatir.

Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Susiok-couw, teecu datang menghadap.”

“Bagus, Im Giok, kau telah kembali. Bagaimana dengan usahamu mencari Kim Lian?”

Dengan panjang lebar Ang I Niocu menceritakan pengalamannya. Ketika ia menceritakan keputusan suci-nya yang nekad dan mencukur rambut untuk masuk menjadi nikouw, tak tertahan pula ia mengucurkan air mata.

Bu Pun Su mengangguk-angguk dan menghela napas.

“Baik juga keputusannya itu. Betapa pun dosa seseorang, asalkan dia dapat insyaf dan kembali ke jalan benar untuk selanjutnya menebus kekeliruan yang sudah-sudah dengan tindakan-tindakan sempurna, maka ia boleh disebut seorang bijaksana.”

Kemudian, sesudah berdiam untuk beberapa lama sambil memandang wajah gadis yang tunduk itu dengan tajam, tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh,

“Im Giok, jika aku tidak salah duga, luka di hatimu akibat gagalnya perjodohanmu dengan pemuda pilihanmu dahulu agaknya kini sudah sembuh dan kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali. Anak, bagi seorang wanita, mendirikan rumah tangga yang baik dan penuh damai adalah jalan yang terutama untuk membebaskan diri dari pada godaan dunia dan untuk memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia. Lihatlah contohnya Suci-mu itu, karena sebagai seorang gadis hidup seorang diri dan tidak mendirikan rumah tangga, maka banyak penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau memiliki iman yang kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya menyiksa diri dengan hidup menyendiri? Kau tidak punya jodoh untuk menjadi seorang pendeta wanita yang tidak akan kawin selama hidupnya!”

Ang I Niocu mendengarkan kata-kata orang tua itu dengan hati berdebar-debar, karena kata-kata itu memang tepat dan seolah-olah susiok-couw-nya dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi karena merasa malu, ia tidak berani mengangkat muka dan tetap bertunduk.

“Im Giok, baiklah kita berterus terang saja. Kau perlu mendapat seorang suami yang baik sekali, dan aku telah melihat seorang pria yang agaknya akan cocok sekali untuk menjadi kawan hidupmu selamanya.”

Tiba-tiba wajah Ang I Niocu memerah dan hatinya makin berdebar. Timbul harapan yang diliputi kekuatiran di dalam hatinya. Siapakah orang laki-laki yang sedang dimaksudkan oleh susiok-nya ini? Apakah Cin Hai?? Ia tak berani bertanya dan masih tetap tunduk.

“Kalau kau setuju, aku bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku mengakhiri masa hidupku dengan menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang manusia sehingga menjadi suami isteri yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”

Terpaksa Ang I Niocu menjawab dengan suara hampir tak terdengar,

“Susiok-couw, bagaimana teecu dapat menjawab kalau teecu tidak tahu siapa... orang yang dimaksudkan itu?”

“Ha-ha-ha, Im Giok. Bukan orang yang tidak kau kenal, bahkan hubunganmu dengan dia akrab sekali!”

Makin berdebarlah hati Im Giok dan ia mendengar dengan penuh perhatian.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar