-------------------------------
----------------------------
044 Topeng Buat Wiro Sableng
SATU
Kuda coklat yang ditunggangi
gadis jelita berpakaian biru tiba-tiba meringkik keras sambil mengangkat kedua
kaki depannya tinggi-tinggi. Si gadis cepat rangkul leher binatang itu dengan
tangan kiri sementara tangan kanan mengusap-usap tengkuknya.
“Tenang Guci……tenang! Tak ada
yang perlu ditakutkan!” berkata si gadis.
“Tak ada binatang buas di
hutan ini. Tak ada binatang berbisa di rimba belantara ini! Ayo jalan lagi.
Kita……”
Baru saja si gadis berucap
begitu tiba-tiba terdengar suara bergemerisik di atas pohon di samping kirinya.
Bersamaan dengan itu terdengar suara tawa bergelak, disusul suara bentakan
keras lantang.
“Di rimba ini memang tak ada
binatang buas! Tak ada binatang berbisa! Yang ada aku!”
Dua sosok tubuh melayang turun
dari atas pohon besar. Begitu menjejak tanah langsung berkacak pinggang sambil
menatap tajam pada sang dara yang berada di atas kuda. Orang di sebelah kanan
memiliki tubuh ramping tinggi, berkulit hitam gelap, memelihata kumis melintang
dan cambang bawuk. Pada kedua lengannya terdapat gelang bahar hitam besar. Pada
lehernya tergantung kalung yang juga terbuat dari akar bahar berwarna hitam.
Lelaki kedua lebih pendek, beralis tebal, mukanya cekung, kulitnya juga sangat
hitam. Kedua orang ini sama mengenakan pakaian kuning dengan ikat pinggang
besar berwarna merah darah.
Walau jelas dari tampang dan
gerak-gerik menyatakan mereka bukan orang baik-baik, apalagi menghadang seperti
itu tetapi gadis di atas kuda sama sekali tidak menunjukkan wajah cemas ataupun
takut. Setelah menatap dengan pandangan dingin, dia lalu menegur.
“Huh! Kalian ini siapa?!”
“Adikku! Orang sudah bertanya,
lekas jelaskan siapa adanya kita!” si tinggi ramping berkumis dan bercambang
bawuk di sebelah kanan berkata.
Yang dipanggil adik tersenyum
lebar. Kedip-kedipkan matanya pada sang dara lalu membuka mulut.
“Kami adalah penguasa rimba
belantara ini……”
“Hebat!” sang dara berseru
seperti memuji tapi pandangan kedua matanya tetap dingin dan mimiknya
menunjukkan betapa dia memandang rendah pada kedua orang itu.
“Syuuuukkuuuurrr kalau di situ
tahu kami hebat! Terima kasih atas pujianmu Mirasani…..”
“Eh! Bagaimana kau bisa tahu
namaku?!” jelas nada suara sang dara menunjukkan rasa terkejut. Tapi wajahnya
tetap saja tidak mengalami peubahan.
“Siapa yang tidak tahu
Mirasani. Gadis maha cantik di kawasan ini. Memilih…..”
“Sudah! Lekas katakan apa mau
kalian!” sang dara memotong ucapan orang dengan bentakan.
“Sabar…..sabar Mira. Apa mau
kami pasti akan kami jelaskan. Hanya aku belum selesai dengan penjelasan
tentang diri kami berdua,” menyahut si muka cekung.
“Kami dikenal dengan julukan
Sepasang Malaikat Kuning…..”
“Apa? Sepasang Malaikat
Kuning?!” seru sang dara lalu dia tertawa gelakgelak.
“Aku sih memang belum pernah melihat
wajahnya malaikat! Tapi aku yakin betul tampang-tampang malaikat tidak seperi
muka kalian! Ha…ha…ha…! Malaikat Kuning? Apa kalian yang kuning? Baju….. Ya itu
betul! Kurasa gigi kalian juga kuning hah?!”
Dua orang di depan sang dara
tampak kerrenyitkan kening lalu ikut-ikutan tertawa gelak-gelak. Si cekung
mengangkat tangannya. Lalu pegang bahu si tinggi ramping di sampingnya seraya
berkata “Ini kakakku. Namanya Tumapel Kuning. Dan yang ini….” si muka cekung
tudingkan ibu jari tangan kirinya ke dadanya sendiri, “Adalah Kunapel Kuning!
Dan perlu kujelaskan aku adalah calon suamimu!”
Untuk pertama kalinya terlihat
wajah si gadis berubah, tapi hanya sekilas.
Pandangannya kembali dingin.
“Jadi itu rupanya maksud kalian menghadangku! Ketika bulan tujuh diadakan
perlombaan mencari jodoh mengapa kau tidak muncul?!”
Kunapel Kuning
manggut-manggut. “Waktu itu kami ada keperluan penting! Lagi pula aku bukan
bangsa pemuda-pemuda tolol yang mau direndahkan dengan segala macam perlombaan
konyol itu!”
“Karena itu kau sengaja
menghadangku di sini!”
“Tepat sekali Mira…..”
“Jangan sebut namaku! Kau
tidak pantas jadi suamiku!” bentak Mirasani.
“Hai!” Kunapel Kuning melengak
sementara Tumapel hanya sungingkan seringai. “Tampangku tidak jelek. Lihat,
alis mataku saja tebal! Kata orang laki-laki beralis tebal dapat menyenangi
istri di atas ranjang! Ha….ha….ha….!”
“Di mataku kau tak lebih dari
seekor kambing bodoh! Pergilah! Kau tidak layak jadi suamiku! Banyak pemuda
yang jauh lebih keren darimu dan semua tidak kupandang sebelah mata!”
“Bisa jadi! Tapi kau belum
tahu bagaimana bahagianya kalau bermesraan dengan diriku! Jangan bandingkan aku
dengan pemuda-pemuda tolol itu Mira….”
“Mungkin kau pandai merayu
perempuan…..”
“Nah…..nah! Kalau kau sudah
tahu….”
“Tapi ingat! Calon suami yang
aku inginkan bukan yang punya tampang gagah atau pandai merayu! Aku hanya akan
memandang kemampuannya dalam ilmu bela diri! Dan mataku melhat kau tidak
memiliki kemampuan itu Katapel!”
“Sialan! Nama adikku Kunapel!
Bukan Katapel!” membentak Tumapel Kuning.
“Kunapel atau Katapel sama
saja! Sama jelek sama tololnya!” jawab Mirasani.
“Kau belum tahu siapa adikku!
Selama tiga tahun terkahir sejak dia ikut bersamaku tak seorang lawanpun
sanggup menjatuhkannya! Kalau kau berusaha menghindar berarti kau menyalahi
sumpah yang selama ini kau gembar-gemborkan!”
“Terus terang sebetulnya aku
memberi kesempatan pada adikmu untuk tidak berlaku sembrono dan mampu mengukur
diri sendiri. Tapi kalau dia memang mau dibikin babak belur kedua tanganku
inipun memang sudah gatal sejak tadi!” jawab Mirasani.
“Kalau adikku sanggup
menjatuhkanmu, kau tak akan mengingkari sumpah dan kawin dengannya?!” tanya
Tumapel Kuning.
“Itu sumpahku dan itu yang
harus kupenuhi!” jawab Mirasani pula.
“Kalau begitu kau turunlah
dari kudamu! Biar cepat urusan ini diselesaikan dan kita bisa duduk di
pelaminan!” kata Kumapel Kuning pula sambil tertawa lebar. Sang dara ikut
tertawa tapi tawa penuh mengejek. “Untuk mengahdapi orang sepertimu tidak perlu
harus turun dari kuda! Lakukan apa maumu! Silahkan menyerang! Jika kau sanggup
menjatuhkan aku ke tanah aku akan menyerahkan diri sebagai calon istrimu!”
“Menghina sekali! Terlalu
menganggap rendah!” ujar Tumapel Kuning tidak senang.
“Tenang saja kakakku! Aku suka
calon istri yang seperti ini! Sekali dia kujatuhkan ke tanah akan kurangkul,
kupeluk dan kuciumi sekujur auratnya! Ha….ha….ha!”
Di atas kuda Mirasani
mengelus-elus kuduk kuda tunggangannya, membuat agar binatang itu tetap tenang,
tidak takut atau terpengaruh oleh serangan orang.
“Tenang Guci…. Jangan takut.
Ikuti isyarat dan perintah yang aku berikan….”
“Mira! Lihat jurus pertama!”
Tiba-tiba Kumapel Kuning berseru. Tubuhnya yang kekar melesat ke depan dalam
satu lompatan di mana kaki kanan langsung melancarkan serangan tendangan. Orang
ini berlaku cerdik. Yang diserangnya bukanlah kaki atau tubuh Mirasani,
melainkan tulang-tulang rusuk kuda tunggangan san gdara. Menurut
perhitungannya, jika tendangannya membuat amblas tulangtulang rusuk binatang
itu hingga tergelimpang jatuh, dengan sendirinya Mirasani akan terbawa jatuh.
Di situ dia lalu akan menubruk dan merangkul sang dara, membuatnya tak berdaya!
Apa yang ada dalam benak dan rencana Kunapel Kuning memang masuk akal dan akan
berhasil jika saja lawan memiliki kepandaian lebih rendah. Tapi yang kemudian
terjadi adalah berlainan dari yang diharapkan si muka cekung itu. Tendangan
Kunapel Kuning datang menderu deras, mengarah rusuk kiri kuda coklat bernama
Guci. Di saat yang sama Mirasani tekankan tumit kirinya ke badan kuda. Binatang
ini maju satu langkah ke depan dan tiba-tiba sekali kaki belakang sebelah
kirinya melesat ke samping.
Kunapel Kuning berseru kage
ketika melihat kaki kuda menyapu ke bawah, laksana pedang membabat ke arah
betisnya! Cepat-cepat lelaki ini tarik pulang tendangannya karena begaimanapun
betisnya tak akan tahan menghadapi benturan keras dengan kaki kuda. Bersamaan
dengan itu tangan kanannya bergerak. Dua jari menusuk ke arah pangkal paha
Guci. Ini merupakan satu totokan ganas karena bukan saja dapat membuat kaku
sebagian tubuh Guci, malah bisa membuatnya lumpuh seumur hidup!
“Totokan jahat!” desis sang
dara dalam hati yang rupanya juga sudah memaklumi bahaya tusukan dua jari kanan
lawan. Kembali tumit kirinya bergerak menekan badan Guci dua kali
berturut-turut. Kuda besar coklat itu mendadak memutar tubuhnya setengah
lingkaran. Pinggul yang besar dan keras binatang itu menghantam pinggul dan
bahu kanan Kunapel Kuning, membuat orang ini terbanting keras dan hampir jatuh
tunggang langgang kalau tidak cepat mengimbangi diri dengan gerakan jungkir
balik di udara.
Dengan wajah mengelam dan dada
turun naik Kunapel Kuning berdiri di samping kakaknya. Kedua tangannya
terkepal. Mulutnya bergetar dan pelipisnya menggembung.
“Kehebatan gadis ini bukan
omong kosong. Tapi dia hanya menggunakan kudanya. Kekuatannya sendiri belum
kujajal!” berkata Kunapel Kuning dalam hati.
Maka kini dia siap membuka
jurus ketiga dengan menyerang langsung ke arah si gadis. Yang ditujunya adalah
bagian pinggang Mirasani. Tetapi ketika si gadis cepat berkelit, lebih cepat
lagi Kunapel Kuning merubah gerakan serangannya. Yang diincarnya kini ialah
kaki kiri sang dara. Kedua tangannya melesat ke depan untuk merengut betis
Mirasani dan melontarkan gadis itu dari punggung kudanya ke tanah!
Di atas kuda sang dara tusuk
badan Guci dengan tumit kiri kuat-kuat hingga binatang ini meringkik lalu
sabatkan kaki depan sebelah kiri ke belakang.
Bukkk!
Kunapel Kuning yang tidak
menduga akan mendapat serangan berbalik seperti itu tak punya kesempatan untuk
mengelak. Lelaki ini mencelat mental dan menjerit keras. Tubuhnya terhantar ke
tanah, sulit bergerak ataupun bagkit karena tulang pinggulnya retak besar!
“Aku sudah memperingatkan
sebelumnya!” berkata Mirasani. “Kau tidak punya tampang dan kemampuan untuk
menjadi calon suamiku! Jadi jangan menyesal!”
Kunapel Kuning keluarkan suara
menggereng, entah karena sakit entah karena marah. Dia berpaling pada kakaknya
seolah-olah memberi isyarat agar si kakak melakukan sesuatu.
“Adikku!” ujar Tumapel Kuning,
“Nasibmu sial sekali. Agaknya akulah yang berjodoh dengan gadis berbaju biru
itu….”
“Sial! Kau yang sialan
Tumapel!” teriak si adik. Sebelumnya tak ada rencana bahwa kakaknya itu
berhasrat terhadap sang dara. Rupanya setelah melihat kecantikan Mirasani
Tumapel Kuning tertarik juga dan jadi blingsatan.
“Mirasani!” berseru Tumapel
Kuning. “Aku mendapat firasat bahwa kau berjodoh jadi istriku! Maksudku istri
paling muda karena sampai saat ini aku sudah punya empat istri dan lebih dari
setengah lusin simpanan!”
“Kau laki-laki hebat!” mulut
si gadis memuji tapi air mukanya menunjukkan rasa jijik. “Apa yang terjadi
dengan adikmu tidak membuka matamu! Kalau kau ingin mengambilku jadi istrimu,
majulah cepat!”
“Ha….ha….! Akan kurasakan
kehangatan tubuhmu jika bersentuhan!” ujar Tumapel Kuning. Dia kencangkan ikat
pinggang merahnya. Lalu melangkah maju mendekat. Dia sengaja datang dari arah
kepala kuda. Kedua kakinya menekan ke tanah kuat-kuat, tubuhnya melesat ke
udara melewati kepala kuda. Ketika menukik turun tangan kanannya meluncur cepat
ke arah dada Mirasani.
“Manusia cabul kurang ajar!”
sang dara membentak marah. Pandangan matanya berkilat.
“Aku bukan manusia cabul!
Pantas kalau seorang calon suami menjajaki dulu sampai di mana kencangnya tubuh
calon istrinya!” menyahuti Tumapel Kuning. Dan gerakan orang ini memang luar
biasa cepatnya hingga tahu-tahu ujung jarinya sudah menempel di pakaian biru
sang dara. Ketika tangan itu hendak meremas, di atas punggung kuda Mirasani
jatuhkan dirinya ke belakang sama rata di atas punggung kuda. Bersamaan dengan
itu kaki kirinya menendang ke atas.
Tumapel Kuning rupanya sudah
tahu gelagat. Tangan kanan yang tadi dipergunakannya untuk menjamah payu dara
Mirasani kini dipakai sebagai tumpuan pada lutut si gadis. Begitu lutut
Mirasani sempat dipegangnya maka lutut itu dipergunakan sebagai tumpuan untuk
membuat lompatan ke depan, meluncur sama rata dengan tubuh Mirasani, malah dia
berada di sebelah atas!
“Kurang ajar!” teriak sang
dara ketika dapatkan tubuhnya hampir kena tindih oleh Tumapel Kuning. Secepat
kilat kedua tinjunya dipukulkan ke atas. Satu menghantam ulu hati, satu lagi
menderu ke arah dada lawan.
Bluk-bluk!
Dua jotosan keras itu tidak
dapat mengenai sasarannya karena keburu tertangkap dalam telapak tangan kiri
kanan Tumapel Kuning.
“Setan!” maki Mirasani.
Perutnya mengumpul tenaga dalam, ketika dia menyentak ke atas tak ampun lagi
tubuh Tumapel Kuning yang ada di atasnya terpental, jatuh dua tombak di sebelah
kiri. Mirasani sendiri ikut jatuh merosot ke samping kiri sosok tubuh kudanya.
“Curang! Kau menggunakan
tenaga dalam!” teriak Tumapel Kuning marah.
DUA
Mirasani tertawa dingin. “Tak
ada perjanjian mempergunakan tenaga dalam atau tidak. Yang jelas kau sudah
kujatuhkan! Jadi lekas angkat kaki dari sini. Bawa adikmu yang meringis seperti
monyet terbakar ekor itu!”
“Aku tidak akan pergi! Apa kau
lupa kalau kau adalah bakal istri mudaku yang kelima?!”
“Tolol dan keras kepala!” maki
Mirasani.
Tumapel Kuning menyeringai.
Kencangkan ikat pinggang lalu melangkah memutari sang dara. Mirasani menepuk
pinggul kudanya. Binatang ini melangkah menjauh hingga kini dia berhadapan
langsung dengan Tumapel Kuning di tengah kalangan perkelahian.
“Ayo seranglah!” teriak
Mirasani.
Kembali lelaki itu menyeringai.
Dia bergerak mendekat. Saat itu didengarnya adiknya berseru. “Tumapel, jika kau
berhasil mengalahkan gadis itu, berikan dia padaku. Aku akan mengganti dengan
apa saja yang kau minta!”
“Boleh-boleh saja Kunapel!
Tapi malam pertamanya tetap bersamaku!” sahut Tumapel pula lalu dia membuka
serangan yang disambut sang dara dengan cepat.
Perkelahian berkecamuk hebat.
Ternyata Tumapel Kuning memiliki ilmu silat luar yang tangguh. Dalam empat
jurus saja Mirasani tampak terdesak hebat. Hanya saja karena Tumapel menyadari
kalau sang dara memiliki kekuatan tenaga dalam lebih tinggi maka dia tak berani
melakukan bentrokan langsung. Namun dia yakin paling lambat dalam sepuluh jurus
di muka dia akan berhasil merobohkan sang dara. Sebaliknya sang dara sendiri walau
terdesak hebat tampak tenang-tenang saja.
Memasuki jurus kedelapan
tiba-tiba terjadi perubahan total. Gempurangempuran Tumapel Kuning amblas dalam
pertahanan tangguh sang dara lalu di jurus kesembilan Tumapel mulai terdesak.
Serangan-serangan kaki dan tangan Mirasani merajalela membuat lelaki tinggi
ramping itu harus bertahan mati-matian. Di jurus kesebelas tinju kanan Mirasani
mendarat di dadanya, membuat Tumapel Kuning terjajar ke belakang dan mengeluh
menahan sakit. Jurus kedua belas pelipisnya kena dihantam dari samping hingga
mencucurkan darah.
“Gadis binal! Akan
kutelanjangi kau di sini juga!” teriak Tumapel Kuning marah. Tangan kirinya
bergerak ke balik punggung pakaian kuningnya. Sesaat kemudian sebilah golok
sepanjang tiga jengkal lebih melintang berkilat di depan dadanya. “Kau pilih
mati atau menyerah!”
“Begini rupanya kemampuanmu!
Mengandalkan senjata menghadapi perempuan!”
“Tak ada perjanjian apakah
harus dengan tangan kosong atau pakai senjata! Kalau kau punya senjata
keluarkan saja!”
“Senjataku hanya ini!” jawab
Mirasani seraya mengangkat tangan kanannya.
Sekilas Tumapel Kuning melihat
tanda merah pada telapak tangan kanan si gadis itu. Mendadak ada rasa tidak
enak ketika melihat tanda itu. Namun karena sudah ditimbun amarah maka dia langsung
saja menyerbu dengan goloknya. Senjata itu mengeluarkan suara menderu-deru
ketika membelah udara, menghambur serangan ke arah Mirasani.
Dara berbaju biru itu mundur
beberapa langkah lalu sambil miringkan tubuh dia kirimkan tendangan terobosan
ke arah lambung lawan. Tumapel Kuning membabat ke bawah. Sekali golokny menabas
kaki sang dara pastilah kaki itu terputus kutung! Tapi Mirasani tidak semudah
itu dipecundangi. Sejak masih berumur lima tahun gadis ini telah mendalami ilmu
silat yang diramu dari tujuh perguruan terkenal di tanah jawa. Dia membuat
gerakan yang menyebabkan mata golok hanya lewat seujung kuku di samping
betisnya. Begitu tabasan senjata lawan least kaki yang menendang terus mencua
ke atas, terdengarlah pekik Tumapel Kuning disertai suara kraakk!
Tulang ketiak lelaki tinggi
ramping itu remuk dan lengan kanannya kini terkulai. Sakitnya bukan main
sementara goloknya mental entah ke mana!
“Manusia-manusia tolol! Kalian
sudah menerima bagian masing-masing!” kata sang dara lalu melangkah mndekati
kudanya.
“Tunggu! Kita belum mengadu
kekuatan tenaga dalam!” tiba-tiba terdengar seruan Kunapel Kuning. Lelaki ini
telah berdiri sambil memasang kuda-kuda, siap untu menghimpun tenaga dalam di
tangan kanan.
Mirasani mencibir. “Kudaku
saja tak sanggup kau hadapi! Masih berani menantang!” Lalu si gadis itu
melompat ke punggung Guci dan membedal kudanya meninggalkan tempat itu.
Suto Klebet duduk
berhadap-hadapan dengan istrinya di ruang tengah gedung kediamannya yang besar.
Dari wajah mereka jelas kedua suami istri ini sedang diselimuti rasa gundah
kalau tidak mau dikatakan cemas.
Setelah berdiam diri beberapa
lamanya akhirnya Rayu Komala, sang istri, membuka pembicaraan.
“Yang aku kawatir kangmas,
kalau-kalau anak kita itu akan menjadi perawan tua karena ulahnya sendiri…..”
Karena suaminya tidak menyahuti maka Rayu Komala meneruskan ucapannya. “Aku tak
habis pikir, apa sebenarnya yang menjadi tujuan Mira. Mengapa dia jadi sampai
membawa sifat seperti itu. Ada satu lagi kekawatiranku. Jika muncul seorang
jago silat dari golongan hitam, atau tua bangka jahat yang sanggup
merobohkannya, apa jadi nasib anak itu bersuamikan orang seperti itu…..”
Suto Klebet masih diam saja.
Istrinya jadi merengut dan berkata “Jangan diam saja kangmas. Kita harus mencari
jalan. Jangan cuma berpangku tangan…….”
“Aku sama sekali tidak
berpangku tangan Rayu. Akupun sebenarnya cemas. Ingat apa kata-kata perempuan
tua dukun beranak yang menolongmu melahirkan Mira sembilan belas tahun lalu…..?
Ketika lahir anak itu membawa tanda merah pada telapak tangan kanannya. Dukun
beranak itu lalu membisikkan penjelasan bahwa kelak bayimu akan menjadi seorang
pesilat ampuh, memiliki watak aneh dan kalau punya suami hanya memilih seorang
yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari dia. Ucapan dukun beranak itu
sekarang terbukti benar. Seharusnya setelah kita mendapat penjelasan itu kita
tidak menyuruhnya berguru pada Ki Demang Juru Gampit. Hampir sebelas tahun
orang sakti itu menggemblengnya hingga dia menjadi pendekar perempuan yang tangguh.
Kita tak bisa menyalahkan Ki Demang….”
“Betul ucapanmu kangmas. Kita
tak bisa menyalahkan orang tua itu. Tapi jika kita bisa bicara dengannya dan
meminta pendapatnya, lalu dia memberi petunjuk pada Mira mungkin gadis itu bisa
merubah segala tabiatnya. Terutama yang menyangkut perjodohan dirinya. Gadis
seusia dia seharusnya sudah bersuami. Paling tidak sudah memiliki calon suami.
Dan sekarang kau lihat saja kangmas. Di luar sana ada lagi dua orang pemuda
yang menunggunya, berminat untuk menjajal ilmu silatnya. Bukan untuk
merendahkan orang, tapi kalau anak kita sampai kawin dengan lelaki yang tidak
tahu juntrungan dan keturunannya apa tidak malu. Kita turunan bangsawan, masih
punya hubungan dekat dengan Keraton karena salah seorang adikku jadi garwo dalem
(istri) Sultan, apa tidak malu kangmas…..?”
“Aku sudah berusaha mencari Ki
Demang Juru Gampit. Tapi orang tua sakti itu lenyap entah ke mana. Mungkin dia
tengah mengelana atau bertapa di satu tempat tersembunyi. Dan tentang dua
pemuda yang datang itu, mengapa tidak kau katakan saja anak kita tak ada di
rumah, lalu menyuruh mereka pergi?”
“Bukan Mira berulang kali
menyampaikan pesan. Jika ada yang datang harus diminta menunggu sampai dia
kembali walau itu bisa satu atau dua hari. Kalau kita abaikan pesannya dan dia
mengetahui, kita bisa kesalahan lagi…..”
Suto Klebet hanya bisa
geleng-gelengkan kepala lalu kedua suami istri itu berdiam diri sampai di
halaman terdengar suara derap kaki kuda.
“Mira datang…..” kata Rayu
Komala lalu bangkit dari kursinya. Suto Klebet mendahului menuju ruang depan.
Begitu sampai di langkan depan
Mirasani segera melihat dua orang pemuda yang sejak lama berada dan menungu di
situ. Pemuda pertama mengenakan pakaian hitam, berikat kepala merah, membekal
sebilah keris dipinggangnya. Wajahnya cukup tampan dan potongannya menyatakan
dia memang seorang ahli silat.
Pemuda kedua berkulit putih.
Sikapnya tampak halus. Karena memelihara rambut panjang wajahnya hampir seperti
perempuan. Dia mengenakan pakaian putih sederhana dan memegang sepotong bambu
kuning sebesar ibu jari. Sudah tahu apa maksud kedatangan orang, Mira tidak
terus ke dalam. Dia langsung menegur. “Siapa di antara kalian yang datang lebih
dulu?”
Pemuda berkulit putih cepat
berdiri dan menjura. “Namaku Suryo Kemikis. Aku datang dari selatan gunung
Merapi. Anak murid perguruan silat Teratai Putih. Guruku…..”
Mira mengangkat tangannya.
“Aku tidak butuh keterangan panjang lebar. Aku hanya ingin tahu apakah kau
mampu menghadapiku sampai sepuluh jurus! Jika aku kalah aku akan tunduk dan
menjadi istrimu…..”
Sepasang mata pemuda bernama
Suryo Kemikis berkilat-kilat karena dua hal. Pertama karena merasa dianggap
enteng menengar Mirasani menyediakan sepuluh jurus untuknya. Kedua karena
melihat kenyataan bahwa gadis yang namanya tersiat ke mana-mana itu bukan saja
cantik tetapi juga memiliki potongan tubuh yang menggiurkan. Betapa bahagianya
kalau dapat memperistrikannya. Dan turunan bangsawan serta hartawan pula!
Ketika Mirasani mendahului
melompat ke halam depan saat itulah kedua orang tuanya muncul. Ibunya langsung
berseru.
“Mira….. Kau pergi dari pagi.
Sebaiknya kau membersihkan diri dulu lalu makan. Kau perlu istirahat….anakku!”
“Melayani tamu dua orang ini
tidak akan makan waktu lama ibu. Aku akan membuktikannya…..” Lalu Mirasani
melambaikan tangna, memberi isyarat pada Suryo Kemikis untuk turun ke halaman
depan.
“Sebelum kita mulai…. “ Suryo
Kemikis berkata begitu berhadapan dengan Mirasani “apakah saya berhadapan
dengan den ayu Mirasani? Saya tak mau kesalahan tangan…..”
“Bagus! Sikapmu tak mau
gegabah, kau memang berhadapan dengan Mirasani. Calon istrimu jika kau mampu
mengalahkanku. Kulihat kau membawa tongkat bambu. Apakah kau akan bertanding
mengandalkan tongkat itu….?”
Si pemuda tersenyum. “Tongkat
ini hanya bawaan iseng saja den ayu. Aku akan mengadu nasib dengan tangan
kosong saja.” Lalu Suryo Kemikis sisipkan tongkat bambu kuningnya ke pinggang
dan pasang kuda-kuda. “Mohon petunjuk, apakah saya yang mulai menyerang atau
den ayu lebih dulu.”
“Karena kau yang minta
digebuk, maka kaulah yang harus menyerang lebih dulu!” sahut Mirasani.
Suryo Kemikis tersenyum tapi
hati pemuda ini mulai terbakar karena ucapanucapan sang dara berbaju biru
selalu merendahkannya. Pemdua dari kaki gunung Merapi ini telah mendalami ilmu silat
selama empat belas tahun pada perguruan silat yag cukup terkenal yakni Teratai
Putih. Perguruan ini merupakan pecahan dari sebuah perguruan silat yang sangat
rahasia di mana kabarnya hanya orang-orang yang ada angkut pautnya dengan
Keraton yang boleh berguru.
Ketika Suryo Kemikis bergerak
melangkah, membuat gerakan meliuk yang indah pada pinggang sementara kedua
tangannya diayun-ayunkan seperti penari maka itulah jurus pertama!
Mirasani menunggu sampai si
pemuda berada cukup dekat. Lalu lengan kirinya dikibaskan, memotong gerakan
lawan. Dia sengaja mencari bentrokan karena hendak menjajal kekuatan orang.
Tapi Suryo Kemikis yang sudah mendengar banyak tentang kehebatan dara ini cepat
menarik tangan kanan dan bersamaan dengan itu susupkan tangan kirinya dalam
gerakan satu sodokan ke arah ulu hati sang dara. Mirasani yang diserang
tiba-tiba memutar tubuh, bergerak satu lingkaran penuh dan wuut! Kaki kiri sang
dara membabat ke atas, menghantam ke arah kepala Suryo Kemikis!
Pemuda itu tersentak kaget.
Tidak menyangka daya capai kaki lawan jauh dan begitu cepat pula gerakannya.
Secepat kilat dia rundukkan kepala. Kaki lawan lewat setengah jengkal dari
batok kepalanya. Sambil miringkan tubuh ke kiri, selagi kaki kiri lawan masih
berkelebat di udara dan seluruh berat tubuh Mirasani hanya bertumpu pada kaki
kanan, Suryo Kemikis hantamkan kaki kanannya untuk menyapu kaki lawan yang
menginjak tanah. Memang kalau labrakan ini mengenai sasaran, tubuh Mirasani
pasti akan jatuh!
Tapi betapa terkejutnya Suryo
Kemikis ketika kaki yang hendak diterjangnya itu tiba-tiba melompat ke atas.
Bersamaan dengan itu tubuh sang dara ikut melesat lalu ada suara menderu di
atas kepalanya. Mendongak ke atas si pemuda melihat tangan kanan lawan yang
membentuk tinju menjotos deras ke arah batok kepalanya. Untuk kedua kalina
Suryo Kemikis tundukkan kepala dan selamat. Namun pukulan lawan ternyata terus
mengejar ke kanan dan bersarang di bahunya tanpa dia dapat mengelak lagi.
Meskipun Suryo Kemikis memiliki sejenis ilmu bertahan yang disebut “Meredam
Pukulan Membendung Tendangan” sehingga ketika pukulan atau tendangan lawan
mengena, daya hantamnya yang keras dapat dikurangi, tetapi tetap saja pemuda
ini terbanting ke kanan. Untuk mencegah agar tubuhnya tidak terbanting mencium
tanah Suryo Kemikis cabut tongkat bambunya, menunjang tubuhnya dengan tongkat
itu lalu berjumpalitan. Di lain kejap dia sudah tegak enam langkah di depan
Mirasani. Tangan kiri memegang tongkat dengan tubuh tampak miring ke kanan.
Mungkin tulang bahunya yang patah, paling tidak retak akibat hajaran sang dara
tadi.
“Kau sanggup mengelakkan jurus
Kincir Berputar tapi tidak mampu menghindar jurus Alu Besi Membobol Lesung!”
kata Mirasani menyebutkan dua jurus yang tadi dikeluarkannya untuk menempur si
pemuda. Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek. “Saatnya kau meninggalkan
tempat ini Suryo Kemikis!”
“Tidak! Aku belum kalah! Aku
belum jatuh menyentuh bumi!” sahut Suryo Kemikis. “Bukankah syaratmu adalah
kalau bagi siapa yang tubuhnya roboh menyentuh tanah….?!”
Mirasani tertawa pendek.
“Matamu buta melihat kenyataan! Otakmu tumpul menilai keadaan! Manusia macammu
memang tak layak jadi suamiku! Majulah jika kau ingin meneruskan pertandingan!
Jangan ragu-ragu mempergunakan tongkat bambumu sebagai senjata!”
Ditantang begitu Suryo Kemikis
jadi panas. Rahangnya menggembung. Didahului satu bentakan pemud aini menyerbu
sambil putar tongkat ambunya demikian rupa hingga mengeluarkan suara menderu
dan cahay kekuningan bertebar.
“Hemm….Jurus Tabir Kipas itu
tak ada gunanya bagimu! Apalagi untuk merobohkanku!” ujar Mirasani.
Suryo Kemikis terkejut ketika
mendengar lawan mengetahui bahkan menyebut jurus serangan yang tengah
dilancarkannya. Segera dia robah jurus yang baru dilancarkan setengahnya itu.
Gerakan tongkatnya kini langsung menghujam lurus ke arah kepala sang dara.
Sedikit lagi akan sampai tiba-tiba tongkat itu menukik ke bawah menghujam dada!
“Jurus Gendewa Jatuh!” seru
Mirasani menyebut jurus yang dimainkan lawan.
Lagi-lagi hal itu membuat
Suryo Kemikis terkesiap sehingga gerakannya menyerang agak terpengaruh. Saat
itulah sang dara berkelebat ke depan. Tangan kanannya berputar lurus tapi dalam
gerakan agak melintir. Inilah jurus Alu Besi Membobol Lesung yang dilancarkan
dalam gerakan lurus. Suryo Kemikis melihat jelas serangan itu namun sama sekali
tidak berkesempatan untuk selamatkan dadanya yang jadi sasaran.
Buukk!
Terdengar keluhan tinggi
disertai mentalnya tubuh Suryo Kemikis. Pemuda ini tergelimpang di dekat tangga
gedung. Tak berkutik beberapa lamnya. Ketika dia mencoba bangkit dari mulutnya
menyembur darah segar. Suryo Kemikis kembali tergelimpang, kali ini pingsan tak
sadarkan diri lagi!
TIGA
Mirasani sama sekali tidak
memperdulikan apa yang dialami Suryo Kemikis. Dia berpaling pada pemuda
berpakaian hitam berikat kepala merah yang tegak di anak tangga gedung
memandangi sang dara dengan pandangan entah kagum entah kecut.
“Giliranmu sekarang!” berseru
Mirasani.
Si baju hitam melangkah
tenang. Empat langkah di hadapan Mirasani dia menjura lalu berkata. “Harap maafkan
kalau aku terlalu bodoh memberanikan diri mencoba nasib…..”
Mirasani tersenyum kecil. “Aku
senang melihat sikapmu yang merendah. Tapi kalau bicara soal nasib, ketahulah
nasibmu tak bakal lebih baik dari oemuda bernama Suryo Kemikis itu!” Mirasani melangkah
pulang balik sambil berkacak pinggang.
“Kuliaht kau membawa keris!
Kau boleh menggunakan senjata itu menghadapiku!”
“Aku lebih suka kalau diberi
petunjuk dengan tangan kosong saja…..”
“Hemmmm Pemuda satu ini sopan
sekali sikapnya. Hanya saying dia pasti tak bisa mengalahkanku,” membatin
Mirasani. Lalu dia bertanya “Siapa namamu, kau datang dari mana dan siapa guru
silatmu?!”
“Namaku buruk saja den ayu.
Jalak Turonggo. Aku datang dari pantai urata. Soal siapa guruku, mohon maaf,
aku sudah dipesan untuk tidak menjual nama guru ke mana-mana. Lagi pula
kehadiranku di sini adalah kemauanku sendiri….”
“Bagus! Kau memang orang silat
sejati. Majulah!”
Meskipun agak sungkan namun
pemuda bernama Jaka Turonggo ini bergerak juga melancarkan serangan pertama.
Meski sikap dan tutur bicaranya sangat sopan namun serangannya ternyata ganas.
Jurus pertama itu dibukanya dengan mengelilingi tubuh si gadis secara cepat
lalu tiba-tiba luncurkan serangan ke arah samping kiri Mirasani. Walau tidak
seperti tadi yakni cepat dapat menebak dan menyebut jurus serangan lawan, namun
mata Mirasani yang tajam sudah dapat melihat keganasan serangan lawan. Di balik
keganasan itu matanya yang jeli dan otaknya yang tajam sekaligus dapat pula
melihat sudur kelemahan serangan si pemuda. Maka diapun keluarkan seruan tinggi
dan berkelebat. Perkelahian berkecamuk hebat. Tiga jurus berlalu cepat.
Memasuki jurus keempat mendadak Jalak Turonggo berseru kaget ketika dia
mendaptkan keris yang sebelumnya terselip di pinggangnya lenyap! Memandang ke
depan dilihatnya senjata itu sudah berada dalam genggaman tangan kiri Mirasani!
Sadarlah si pemuda, jika sang dara mau pasti dia sudah dapat menyusupkan
pukulan berbahaya. Maka Jalak Turonggo rapatkan kedua kakinya, membungkuk
sambil merapatkan kedua belah tangan dan berkata “Terima kasih atas petunjukmu.
Jelas bagiku den ayu bukan tandinganku. Aku terlalu bodoh bercita-cita
mendapatkan istri sepertimu…..” Pemuda itu membungkuk sekali lagi.
Mirasani tersenyum. Hatinya
cukup senang meliha pemuda yang sangat sopan dan tahu diri ini. Maka
dikembalikannya keris Jalak Turonggo seraya berkata. “Kau menerima kekalahan
dengan hati lapang. Aku suka bersahabat denganmu. Sebagai seorang sahabat aku
layak minta tolong….”
“Maksud den ayu?” tanya Jalak
Turonggo.
“Tolong bawa tubuh pemuda
bernama Suryo Kemikis itu dari sini…..”
Jalak Turonggo sebenarnya
merasa tidak senang dengan permintaan itu, namun akhirnya dia mengangguk juga
lalu memanggul tubuh Suryo Kemikis yang masih pingsan dan pergi dari situ. Baru
saja Jalak Turonggo lenyap di kelokan jalan dan Rayu Komala berseru memanggil
anaknya agar segera masuk kedalam, Mirasani melangkah cepat ke arah sebuah arca
dekat pintu gerbang halaman sebelah kiri. Di situ tampak duduk seorang pemuda
berpakaian seba putih, ikat kepalanya juga putih. Rambutnya yang panjang
menjela bahu. Dia duduk sambil menopangkan dagunya pada kedua tangan. Wajahnya
sebetulnya gagah tapi lagaknya yang aneh membuat dia seperti seorang pemuda
tolol.
“Sejak tadi aku melihat kau
duduk di sini. Apa keperluanmu?!” Mirasani menegur.
Si pemuda cepat berdiri,
menjura hormat, menggaruk kepalanya, tertawa lebar lalu menjawab. “Maafkan saya
datang tidak memberi salam. Semua karena kagum melihat perkelahian hebat
tadi…..”
“Sudah, tak perlu bicara
panjang lebar. Jawab saja apa yang aku tanya!” tukas Mirasani.
“Aku yang tolol ini berniat
mengikuti jejak dua pemuda tadi. Siapa tahu…..”
“Memang hanya orang tolol yang
mau digebuk! Bersiaplah!” sahut sang dara.
Pemuda berpakaian putih itupun
tegak bersiap-siap. Caranya berdiri tampak lucu. Tubuh agak miring dan kaki
kanan setengah bersilang dengan kaki kiri. Sikapnya ini membuat Mirasani jadi
jengkel.
“Silahkan menyerang!”
hardiknya.
Si pemuda garuk kepalanya.
“Tadi di situ yang berkata mau menggebuk. Biar di situ saja yang lebih dulu
menyerang!”
Gusarlah Mirasani. Sekali
lompat saja tubuhnya melesat ke depan lalu membalik berputar satu lingkaran
dengan kaki menendang deras.
“Jurus Kincir Berputar yang
bagus!” seru si gondrong menyebut jurus serangan yang dilakukan sang dara.
Terkejutlah Mirasani. Dara ini langsung hentikan serangannya, bertolak pinggang
dan memandang tajam pada si pemuda.
“Kau mengenali jurus yang
kumainkan! Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku pemuda tolol bernama Wiro
Sableng, datang kesasar dari puncak gunung Gede di ujung barat pulau Jawa.
Guruku seorang nenek benama Sinto Gendeng…. Harap dimaafkan kalau aku membuatmu
tidak senang…..”
“Jadi kau….. kau Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212?!”
“Begitulah orang memberi gelar
pada diriku yang jelek dan tolol ini!”
Berubahlah paras Mirasani. Dia
pernah mendengar dari gurunya Ki Demang Juru Gampit bahwa di tanah Jawa ini ada
beberapa tokoh silat yang berkepandaian sangat tinggi. Banyak di antara mereka
yang mengucilkan diri tidak mau dikenal, tidak mau terlalu mencampuri urusan
dunia persilatan. Namun ada pula di antara mereka yang malang melintang berbuat
kebajikan, menolong orang-orang yang tertindas, membasmi kejahatan. Salah satu
di antaranya adalah yang dikenal bernama Wiro Sableng, seorang yang kabarnya
berperangai aneh lucu dan bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Namun
tidak pernah disangkanya kalau sang pendekar ternyata adalah seorang pemuda
padahal sebelumnya dia menduga pendekar itu pastilah seorang yang sudah kakek
tua renta!
“Hai! Kau seperti melamun!
Bagaimana ini? Apakah urusan ini bisa diteruskan….?” Wiro berseru.
“Ah, hari ini mungkin hari
terakhirku bertanding. Aku punya firasat tak bakal menang menghadapi pemuda
ini!” Mirasani membatin. Lalu dengan menabahkan hati dia melangkah menekat.
Dari jarak tiga langkah gadis ini langsung menyerbu, menhujani Pendekar 212
dengan serangan-serangan cepat dan ganas.
“Jurus Alu Besi Membobol
Lesung….ah itu jurus Elang Mematuk Puncak Menara…..Eit! Jurus Ular Keluar
Sarang Memagut Mangsa dan ini jurus Bintang Memagar Rembulan….. Hebat…. Semua
hebat! Tapi lihat akupun bisa memainkannya! Terdengar seruan Wiro berulang kali
yang membuat Mirasani kaget tidak kepalang dan lebih kaget lagi ketika
dilihatnya pemuda itu memainkan jurusjurus yang dikelaurkannya hingga dirinya
menjadi terdesak dan ketika satu sapuan pada salah satu kakinya membuat dia
kehilangan keseimbangan, tak ampun lagi dara inipun jatuh terlentang di tanah!
Di langkan rumah Suto Klebet
dan Rayu Komala terbeliak menyaksikan kejadian itu. keduanya saling pandang
sesaat.
“Kangmas…..Agaknya…..”
“Ya…..ya! Ini akhir dari
segala-galanya. Anak kita telah menentukan pilihannya sendiri!” kata Suto
Klebet menyamung ucapan istrinya lalu keduanya turun ke halaman.
Saat itu Mirasani sudah bangkit
berdiri sambil merapikan pakaiannya. Wajahnya tampak kemerahan bukan karena
malu dikalahan tapi karena jengah menghadapi pemuda yang kini sudah resmi
menjadi calon suaminya sesuai dengan apa yang selama ini menjadi kaulnya.
“Kau tahu semua jurus-jurus
seranganku! Kau sanggup memainkannya, malah meredam dalam bentuk bertahan dan
kalau dipakai menyerang jauh lebih hebat dari yang kumiliki. Apakah kau pernah
menjadi murid guruku Ki Demang Juru Gampit?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk-garuk kepalanya lalu menggeleng. “Ki Demang Juru Gampit, gurumu itu
adalah seorang tua yang bersih dan alim, hampir mendekati kesucian seorang
Wali. Aku yang brandalan ini mana mungkin jadi muridnya!”
“Lalu bagaimana kau bisa tahu
semua jurus-jurusku malah memainkannya dan bahkan merubuhkanku dengan jurus
Meniup Pelita Mendorong Pohon!”
“Semua hanya kira-kira saja.
Tak tahunya kebetulan tepat. Semua jurus itu kumainkan lain tidak karena hanya
melihat saja lalu menirukan. Kalau gurumu ada di sini pasti dia melihat
kekurangan jurus-jurusku itu!”
“Pemuda ini pandai, tapi dia
selalu bersikap merendah. Agaknya dia sengaja menutupi kepandaiannya dengan
sikap ketolol-tololan….” Begitu Mirasani berkata dalam hati. Lalu tanpa
sungkan-sungkan dia memegang lengan Wiro dan membawa pemuda ini ke arah kedua
orang tuanya yang turun dari langkan gedung.
Atas permintaan Wiro
pernikahan dilangsungkan dua hari kemudian. Sama sekali tidka ada pesta
susulan. Karenanya tidak ada tokoh persilatan termasuk Ki Demang Juru Gampit
dan Eyang Sinto Gendeng. Mirasani berulang kali meminta pada suaminya aga tetap
diadakan pesta besar-besaran karena sebagai istri dan juga kedua orang tuanya
merasa bangga memiliki seorang suami yang merupakan pendekar terkenal dalam
dunia persilatan. Tapi karena Wiro menolak dengan keras terpaksa akhirnya sama
sekali tidak ada pesta ataupun selamatan diadakan, kecuali acara pernikahan
yang berlangsung cepat dan sangat sederhana.
EMPAT
Kebahagiaan Mirasani sebagai
seorang istri hanya berlangsung selama satu bulan. Setelah itu suaminya mulai
menunjukkan tindak tanduk aneh. Berkali-kali Wiro pergi meninggalkannya tanpa
pesan atau mengatakan ke mana tujuan ataupun keperluannya. Dua atau tiga minggu
kemudian baru sang suami pulang. Meskipun Mira tak pernah mengadukan keadaan
suaminya pada kedua orang tuanya, Suto Klebet dan Rayu Komala diam-diam sudah
mengetahui apa yang berlangsung dalam rumah tangga baru itu.
Suatu malam Wiro Sableng
muncul kembali setelah selama dua minggu menghilang entah ke mana. Sebelum
sempat ditanya Wiro meletakkan sebuah kotak berukir di atas meja dan berkata
pada istrinya “Bukalah. Semuanya untukmu Mira…..”
Meskipun hatinya tak suka
melihat sikap suaminya itu namun Mira membuka juga kotak kayu berukir yang
terletak di meja. Begitu dibuka kelihatanlah isi kotak.
Sejumput perhiasan emas
bertahta permata serta sejumlah ringgit emas!
“Dari mana kau mendapatkan ini
kangmas Wiro?”
Yang ditanya tertawa lebar dan
usap-usap hidung lalu garuk-garuk kepala.
“Pemberian seorang kaya raya
di Tegalrojo yang kutolong,” sahut Wiro. Dia menatap paras istrinya sesaat lalu
berkata “Kelihatannya kau tidak suka menerima pemberian itu?”
“Tentu saja aku suka kangmas
Wiro. Hanya saja sebetulnya yang aku lebih suka adalah jika kau selalu berada
di rumah bersamaku. Kita masih pengatin baru. Malam-malam sering kulewati
dengan sepi tanpamu. Apakah kau tidak bisa menunda segala kepergian
itu….?"
“Kau tahu sendiri Mira. Aku
seorang pendekar pengelana. Mana mungkin aku mengeram lama-lama di rumah….”
“Aku mengerti kangmas Wiro.
Karena itu aku selalu meminta padamu agar jika kau pergi aku diajak serta…..”
“Pengelanaan seperti yang
kulakukan bukan pekerjaan seorang istri cantik jelita sepertimu Mira….”
“Tapi kita sama-sama orang
persilatan!”
“Tidak Mira. Aku tak akan
pernah mengizinkanmu ikut bersamaku. Terlalu besar bahayanya….”
“Jika itu yang kangmas
cemaskan, bagaimana dengan usulku tempo hari? Membuka perguruan silat….”
“Itu usul baik. Namun tidak
saat ini Mira, urusanku di luaran masih banyak.”
“Jika memikirkan urusan,
perguruan itu tak akan pernah jadi. Apa susahnya? Yang akan dijadikan murid
hanya orang-orang tertentu. Dari Keraton Saladan Jogja….. Bahkan guruku
bersedia membantu…..”
“Kalau begitu biar kau saja
dengan Ki Demang yang melakukannya. Aku pasti membantu……”
“Justru aku ingin menonjolkan
dirimu. Siapa tahu penguasa Keraton tertarik padamu dan memberikan satu jabatan
penting. Kepala Pasukan Kotaraja misalnya…..”
Wiro Sableng tertawa lalu
merangkul dan menciumi istrinya. “Kau istri yang baik, mau memikirkan masa
depan suami, tapi Mira ketahulah, aku tidak suka segala macam jabatan di
Keraton atau di Kerajaan. Aku tetap seperti ini. lelaki bernama Wiro Sableng,
tolol dan gendeng, mengelana ke mana yang diinginkan, berbuat kebajikan bagi
orang banyak. Dengar Mira, aku letih, ingin istrahat dan bermesraan denganmu.
Aku begitu kangen. Aku akan mandi lebih dulu lalu kita naik ke atas ranjang.
Mirasani hanya bisa
mengangguk.
“Besok…..pagi-pagi sekali aku
harus pergi ke selatan. Kabarnya banyak terjadi kejahatan di wilayah itu. ada
tokoh silat golongan hitam yang ikut membantu para penjahat…..”
Peringatan seribu hari
meninggalnya Tumenggung Campak Wungu dihadiri oleh banyak tetamu terutama dari
pihak pejabat Keraton termasuk beberapa orang Pangeran. Di antara para tamu
yang datang turut hadir hartawan Suto Klebet dan istrinya berseta puteri mereka
Mirasani, istri Pendekar 212 Wiro Sableng. Malam itu Mira tampak cantik sekali,
mengenakan kebaya panjang ungu gelap, kain batik tulis, sanggul berhias tusuk
kundai emas dilengkapi giwang besar serta seuntai kalung emas berbetuk bunga
mawar dengan sebuah permata di tengah-tengahnya.
Selama upacara selamatan
berlangsung sepasang mata janda almarhum Tumenggung Campak Wungu tidak
henti-hentinya mengerling pada kalung besar yang melingkar di leher Mirasani.
Begitu upacara resmi selesai, sang janda mendekati Mirasani dan kedua orang
tuanya, bersalam-salaman sambil bicara berbasa-basi.
Suatu saat Sularesmi, begitu
nama sang janda berkata pada Mirasani “Anakku Mira sungguh bagus kalung emasmu.
Di mana kau membelinya? Ah, jika kau bisa memberi tahu siapa pembuatnya tentu
aku mau membuat yang seperti ini….”
Mirasani hanya tersenyum
tersipu. Yang menjawab adalah ibunya “Jeng Sularesmi terlalu memuji. Kalung itu
biasa-biasa saja. Suaminya yang memberikan….”
“Ah, suami Mira…..” ujar
Sularesmi seraya memandang berkeliling seperti mencari-cari.
“Suaminya tidak hadir jeng
Sula. Harap dimaafkan. Dia masih bertugas di selatan…..”
Sularesmi mengangguk-angguk
mendengar penjelasan Rayu Komala itu. Dua hari kemudian, pada suatu siang,
dengan mengendarai sebuah kereta, janda almarhum Tumenggung Campak Wungu muncul
di rumah kediaman hartawan Suto Klebet, langsung disambut oleh Rayu Komala
karena memang saat itu hanya dia sendiri yang berada di gedung besar itu.
“Tidak memberi kabar terlebih
dahulu, tahu-tahu sudah datang berkunjung sungguh satu kerhormatan besar bagi
saya jeng Sula….” Kata Rayu Komala seraya memeluk tamunya lalu membawanya ke
ruangan tamu yang besar dan bagus.
“Apakah jeng Rayu ada baik dan
sehat-sehat….?”
“Berkat doa jeng Sula. Terima
kasih. Saya akan menyediakan minuman….”
“Tidak usah repot. Saya hanya
sebentar jeng.”
“Ah, kenapa begitu
buru-buru…..”
“Kedatangan saya hanya ingin
menyampaikan sesuatu.”
“Sesuatu mengenai apa jeng
Sula?”
“Menyangkut kalung bunga mawar
itu….”
“Kalung bunga mawar…..?
Oooo…..maksud jeng Sula kalung yang malam selamatan itu dipakai oleh puteri
saya?”
“Betul sekali.”
“Ah, rupanya jeng Sula selalu
mengingat-ingat perhiasan itu…..”
Sularesmi tersenyum lalu
berkata dengan suara lebih perlahan seolah-olah takut ada yang bakal mendengar.
“Ketahuilah jeng. Kalung itu sama betul dengan kalung milik saya yang hilang
dua minggu lalu…..” Paras Rayu Komala serta merta berubah.
“Saya tidak mengerti maksud
jeng Sularesmi.”
“Dua minggu lalu rumah
kediaman kami dibobol maling. Seorang penjaga terbunuh. Sekotak perhiasan dan
uang emas amblas dari lemari yang dibongkar paksa. Termasuk kalung emas bunga
mawar bertahta permata tunggal itu….”
“Maksud jeng Sula kalung
itu….”
“Saya tidak mengatakan bahwa
kalung itu adalah milik saya yang hilang. Tapi di dunia ini saya yakin hanya
ada satu kalung seperti itu. jika saya boleh tahu jeng Rayu, dari mana Mirasani
mendapatkan perhiasan itu? Kalau tidak salah kata jeng Rayu malam itu….
perhiasan itu pemberian suaminya, pendekar gagah bernama Wiro itu. Betul
begitu….?”
Rayu Komala mengangguk.
Hatinya tiba-tiba saja menjadi tidak enak di samping ada rasa malu yang membuat
wajahnya menjadi merah.
“Jeng Rayu….” Kata Sularesmi.
“Saya tidak menyangka apalagi menuduh yang bukan-bukan. Hanya saya ingin jeng
Rayu membantu saya mencari tahu dari mana asal muasalnya perhiasan itu…..”
“Menurut Mira ketika suaminya
menghadiahkan perhiasan itu, suaminya menyebut perhiasan itu adalah hadiah dari
hartawan di Tegalrejo yang pernah ditolongnya…..”
“Tegalrejo daerah tandus. Tak
ada seorang hartawanpun diam di sana!” kata Sularesmi pula.
Semakin beubah wajah Rayu
Komala, semakin tidak enak hatinya.
“Jeng Rayu….” Kata Sularesmi
sambil memegang lengan perempuan itu.
“Mungkin saya keliru besar.
Anggap saja saya tidak pernah datang kemari. Lupakan semua pembicaraan kita
barusan. Saya mohon diri….” Lalu janda Tumenggung itu cepat-cepat berdiri.
Ketika suatu malam Mirasani
menuturkan peremuan Sularesmi dengan ibunya yang menyangkut kalung emas bermata
berlian itu, sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak berubah wajahnya. Namun di
lain kejap dia tertawa lebar dan berkata.
“Ada ujar-ujar di dunia ini
Mira. Ujar-ujar itu mengatakan Jika kita tidak punya maka kita akan dihina.
Tapi jika kita punya maka kita akan difitnah! Itulah agaknya yang terjadi pada
diriku. Aku ingin membahagiakan istri sendiri dengan hadiah berupa perhiasan.
Tapi orang lain menuduh dan memfitnah yang bukanbukan….”
“Menurut ibu, janda Tumenggung
itu sama sekali tidak menuduh ataupun memfitnah….”
“Lalu apa maksudnya datang
kemari dan sengaja menebarkan cerita tak masuk akal itu. Apa cuma dia yang
meiliki perhiasan di dunia ini? Jelas dia hendak memecah belah rumah tangga
kita. Memberi malu pada diriku! Perempuan macam apa janda Tumenggung itu!”
Mirasani terdiam beberapa
lamanya. Lalu dia bekata “Ada baiknya kangmas memberi penjelasan beserta
bukti-bukti pada janda Tumenggung itu mengenai asal usul perhiasan itu. kalau
perlu pergi bersama hartawan yang kata kangmas menghadiahkan sekotak perhiasan
dan uang itu…”
Wiro menggeleng. Tinjunya yang
terkepal diletakkan di atas meja.
“Dia telah memberi malu
diriku! Menghina dan merendahkan. Memberi malu pada dirimu juga! Memberi malu
seisi rumah ini! Aku tidak akan menemuinya, apalagi membawa hartawan itu dan
bicara padanya! Ambil kotak berisi perhiasan dan ringgit emas itu Mira! Aku
akan melakukan sesuatu menurut caraku sendiri!”
“Apa yang akan kangmas
lakukan?!” tanya Mirasani cemas.
“Kau tak usah kawatir istriku!
Aku akan melakukan sesuatu yang dapat menghapus malu besar yang dicorengkan
perempuan tak berbudi itu! Di mana kotak itu kau simpan. Ambil dan bawa kemari.
Jangan ada yang kurang isinya!”
Mau tak mau Mirasani pergi
juga mengambil kotak kayu yang diminta Wiro Sableng itu.
Keesokan paginya terjadi
kehebohan yang menggegerkan di rumah kediaman almarhum Tumenggung Campak Wungu.
Seorang pelayan menemukan Sularesmi telah jadi mayat, menggeletak di atas
lantai kamar tidur. Ada bekas cekikan pada lehernya. Perempuan yang malang ini
mati dengan lidah agak terjulur dan mata mendelik. Di atas lantai dekat
jenazahnya tergeletak, tampak kotak kayu berukir berisi perhiasan dan ringgit
emas. Pada dinding kamar yang putih bersih tertera besar-besar tiga deretan
angka : 2 1 2.
LIMA
Ki Demang Juru Gampit
merapikan jubah putihnya lalu mengambil buntalan kecil yang ada di atas
balai-balai. Dia berpaling pada anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun
yang duduk di sudut rumah dan berkata “Kaiman, aku pergi sekali ini cukup lama.
Jaga rumah ini baik-baik dan jangan lupa berlatih terus. Jika kau rajin pasti
kau akan menguasai seluruh kepandaian yang kuberikan. Seperti pandainya kakakmu
yang bernama Mirasani itu….”
“Ucapan itu akan saya
perhatikan kek. Sebetulnya ingin sekali saya ikut bersama kakek. Ingin bertemu
dengan kakak seperguruan yang kabarnya cantik sekali itu…..”
Ki Demang tersenyum. “Belum
saatnya muridku. Suatu ketika kau pasti akan bertemu dengannya. Apakah kudaku
sudah kau siapkan….?”
“Sudah kek. Hai….betulkan
kakak Mirasani itu mempunyai seorang suami yang gagah perkasa. Memiliki ilmu
silat dan kesaktian luar biasa? Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…..?”
Ki Demang Juru Gampit
mengangguk. “Begitu yang kudengar. Aku sendiri belum pernah bertemu muka. Namun
nama besarnya menjulang setinggi gunung Merapi. Itulah sebabnya aku berhasrat
menyambangi muridku. Bisa bertemu dengan Mirasani dan berjumpa dengan suaminya.
Aku pergi sekarang Kaiman. Jaga rumah baik-baik. Jangan lupa sembahyang!”
Habis berkata begitu Ki Demang
menuruni tangga kayu rumah kayu sederhana yang terletak di puncak bukit itu.
langkahnya tetap dan tegap ketika menuju pohon di mana kudanya ditambatkan.
Tetapi langkah ini serta merta tertahan ketika memandang ke depan dia melihat
di atas kuda miliknya yang masih tertambat di pohon tampak duduk seorang pemuda
berpakaian putih berikat kepala putih, berambut gondrong dan sebatang rokok
terselip di sela bibirnya.
Setelah pandangi pemuda tak
dikenalnya itu beberapa ketika maka Ki Demangpun menegur.
“Anak muda, enak sekali
dudukmu di atas punggung kudaku. Siapakah dirimu….?”
“Apakah aku berhadapan dengan
orang tua bernama Ki Demang Juru Gampit?” Pemuda yang di tanya bukannya
menjawab malah balik bertanya.
Dengan sabar si orang tua
menjawab “Benar. Kau tidak salah. Aku adalah Ki Demang Juru Gampit. Kau datang
sengaja mencariku!”
“Aku Wiro Sableng. Bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede!”
“Astaga!” kagetlah Ki Demang
Juru Gampit. “Aku justru tengah bersiap-siap untuk menyambangimu dan muridku!
Tahu-tahu kau muncul di sini! Sungguh senang hatiku bertemu dengan Wiro….”
Meski mulutnya berkata senang tapi hati si orang tua merasa tidak senang
melihat tindak tanduk dan cara bicara si pemuda yang dilihatnya tidak sopan,
berbau kurang ajar.
“Turun dari kuda itu. mari
masuk ke rumah agar kita bisa berbincang-bincang. Mungkin kita bisa
bersama-sama menuju tempat kediaman kau dan istrimu….” Ki Demang mengundang.
Wiro cabut rokok yang terselip
di sela bibirnya lalu mencampakkannya ke tanah. Sekali bergerak saja dia sudah
melompat dan turun ke tanah.
“Ki Demang, aku kemari bukan
untuk berbincang-bincang….”
“Kalau begitu….. Apa yang bisa
kulakukan . Langsung saja sama-sama pergi saat ini?!”
Wiro gelengkan kepalanya.
Sepasang matanya memandang tak berkesip pada orang tua itu. Mulutnya membuka
dan meluncurlah ucapannya “Aku datang untuk membunuhmu!”
Ki Demang Juru Gampit sesaat
terkesiap lalu terdengar gelak tawanya berderai.
“Ada-ada saja kau ini Wiro.
Kau sadar apa yang kau ucapkan barusan? Pasti kau bergurau!”
“Mengenai urusan kematian, aku
tidak pernah bergurau Ki Demang….” Jawab Wiro sambil menyeringai dan
garuk-garuk kepalanya.
“Eh, orang satu ini tampaknya memang
tida bergurau….” Kata Ki Demang Juru Gamp[it dalam hati. Maka diapun memancing.
“Soal kematian anak manusia adalah di tangan Tuhan. Kalau hari ini memang
takdirku sampai umur, aku akan menerima dengan pasrah. Hanya saja ingin
kutanyakan alas an apa yang membuatmu muncul sebagai malaikat pencabut nyawa?”
Wiro tertawa bergelak. “Kalau
kau tanya soal alasan, jawabannya bisa seribu satu orang tua. Apakah kau sudah
bersiap untuk mati…..?”
“Aku sudah siap sejak tadi
anak muda! Aku mempunyai firasat kau sebenarnya bukan….”
Sebelum Ki Demang
menyelesaikan kalimatnya Pendekar 212 Wiro Sableng telah menyergapnya dengan
serangan. Tak bisa berbuat lain Ki Demang Juru Gampit segera menghadapi
serangan itu dengan tenang. Mula-mula dia bertahan sampai dua jurus. Pada jurus
ketiga guru Mirasani ini mulai balas menyerang. Inilah yang ditunggu Wiro
Sableng. Matanya yang tajam memperhatikan gerakan lawan, meredam dan meniru
gerakan itu sambil menyebutkan jurus yang dikeluarkan si orang tua. Ki Demang
Juru Gampit tidak kaget melihat lawan bisa menyebut dan mengenali jurus-jurus
yang dimainkannya. Karena pastilah semua itu diketahui Wiro dari istrinya.
Tetapi orang tua ini merasa kaget sekali ketika dilihatnya Wiro Sableng balas
menyerang dengan jurus-jurus ilmu silat yang diciptakannya sendiri! Dan
celakanya jurus-jurus serangan yang dilancarkan lawan ternyata lebih ganas dan
disertai aliran tenaga dalam tinggi hingga orang tua itu terdesak hebat!
“Luar biasa! Tak bisa
dipercaya!” kata Ki Demang Juru Gampit dalam hati.
“Terpaksaaku mengeluarkan
kesaktian!” Namun orang tua ini tak mendapat kesempatan untuk mengeluarkan
pukulan-pukulan saktinya karena serangan lawan datang tiada henti seperti
curahan hujan!
“Jurus Alu Besi Membobol
Lesung!” teriak Wiro dan tiba-tiba sekali tangan kirinya meluncur menembus
pertahanan Ki Demang.
Ki Demang Juru Gampit melihat
jelas datangnya serangan itu. dia menangkis dengan menghantamkan lengan ke
atas. Tapi kalah cepat. Jotosan Pendekar 212 Wiro Sableng melabrak dadanya
denga keras. Orang tua ini terpental, jatuh terlentang di tanah. Tulang dadanya
remuk. Dua tulang iganya ikut patah!
Melihat hal ini Kaiman murid
Ki Demang yang sejak tadi menyaksikan pertempuran berteriak marah dan berlari
ke arah Wiro sambil mengacungkan tinju.
“Manusia jahat tak berbudi!
Aku akan membalas apa yang kau lakukan terhadap guru!”
Wiro berpaling dan
menyeringai.
“Bocah tolol! Jadi kau
muridnya tua bangka ini! bagus! Guru dan murid akan kubunuh bersama!”
Mendengar ucapan Wiro dan
melihat sorotan mata pendekar itu Ki Demang maklum apa yang bakal terjadi. Maka
diapun berteriak “Kaiman! Lari…. Lekas lari! Selamatkan dirimu! Dia bukan
tandinganmu!”
Sesaat anak berusia dua belas
tahun itu hentikan langkahnya. Tapi bila dilihatnya darah yang mengucur di sela
bibir gurunya, amarahnya memuncak kembali. Dia tidak takut terhadap Wiro. Dia
rela mari bersama gurunya.
“Kaiman! Dengar ucapanku!
Lari! Lekas lari!”
“Muridmu hanya akan lari ke
neraka Ki Demang!” ujar Wiro. Lalu dia melompat untuk menyergap anak itu. Ki
Demang Juru Gampit kumpulkan sisa kekuatannya, melompat dan menangkap salah
satu kaki Wiro Sableng hingga kedua orang itu kemudian sama-sama jatuh
bergulingan. Dengan satu sentakan keras Wiro lepaskan kakinya dari cengkeraman
orang. Saat itu dilihatnya anak lelaki tadi tak ada lagi di situ. Dengan geram
Wiro melangkah mendekati Ki Demang. Orang tua yang dalam keadaan tak berdaya
itu kerahkan tenaga dalamnya. Tangannya bergetar.
Mulutnya berkomat-kamit
membaca sesuatu. Begitu Wiro datang lebih dekat Ki Demang hantamkan tangan
kanannya!
Wuut!
Angin berwarna kebiruan
menderu, menghantam deras ke arah Wiro. Terasa hawa dingin menggidikkan.
Pendekar 212 cepat melompat ke samping. Dari samping dia balas menghantam
dengan pukulan tangan kanan. Tampak cahaya putih berkilauan. Udara panas
menebar. Cahaya itu laksana tombak raksasa menderu menghantam tubuh Ki Demang.
Orang tua itu terpekik.
Tubuhnya sebelah bawah hangus. Gerahamnya bergemelatakan menahan sakit.
“Pukulan Sinar Matahari….”
Desisnya. Dia sudah lama mendengar kehebatan pukulan sakti itu. Siapa menduga
kalau hari itu dia akhirnya menemui ajal dengan pukulan itu. Setelah mengerang
panjang Ki Demang Juru Gampit tampak tak bergeming lagi. Nafasnya melayang
sudah!
ENAM
Pesantren Tunggul Kencono
merupakan pesantren paling besar di Jawa Tengah pada masa itu. Ratusan muridnya
bermukiMn di kaki gunung Sumbing, dekat sebuah lembah yang subur. Saat itu baru
lepas Maghrib dan anak-anak murid pesantren tengah bertadarus mengaji di
bangsal besar bangunan induk sambil menunggu saat sembahyang Isya.
Kiai Bangil Menggolo pimpinan
pesantren duduk di tengah bangsal. Kedua matanya terpejam sedang tangan
kanannya memegang tasbih. Walau dia tengah berzikir khusuk namun telinganya
yang tajam senantiasa dapat mendengar bacaan murid-muridnya yang salah maka
sang kiai memberi tahu kesalahan itu dan meminta si murid mengulang kajinya
sampai betul.
Di antara ramainya gema suara
para murid mengaji tiba-tiba terdengar suara kraak yang disusul oleh patahnya
tiang bangsal di ujung kanan serta miringnya atap bangsal di bagian itu!
Suara para murid yang mengaji
serta merta sirap. Semua kepala dipalingkan ke arah tiang yang patah dan semua
mata ditujukan pada sosok tubuh seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan
pakaian putih yang tegak berkacak pinggang di bawah atap yang miring. Kiai
Bangil Menggolo terus saja duduk bersila dan berzikir seolah-olah sama sekali
tidak terpengaruh atau terganggu oleh apa yang terjadi namun sebenarnya semua
keadaan yang berubah itu tidak lepas dari mata hatinya.
“Apa yang terjadi….?” Sang
Kiai bertanya.
“Seorang pemuda tak dikenal
memukul patah tiang bangsal!” salah seorang murid menjawab.
Perlahan-lahan sepasang mata
Kiai Bangil Menggolo terbuka dan langsung beradu pandang dengan pemuda berpakaian
putih berambut gondrong yang tegak dekat tiang bangsal yang patah.
“Anak muda, betulkah kau yang
mematahkan tiang itu?” bertanya Kiai Bangil Menggolo. Suaranya datar dan
tenang.
“Memang aku yang
melakukannya!” menjawab si pemuda dengan tandas, pongah dan jelas bernada
menantang.
“Hemmm….” Kiai Bangil Menggolo
bergumam dan angguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.
“Apa salah tiang itu hingga
kau memukulnya sampai patah dan merusakbangunan kediaman kami?!”
Yang ditanya menyeringai lalu
menjawab “Tiang itu memang tidak punya salah! Tapi pimpinan pesantren Tunggul
Kencono ini yang punya salah dan dosa besar!”
Semua anak murid pesantren
terkesiap mendengar ucapan si gondrong tak dikenal itu.
Setelah mengusap janggut
putihnya beberapa kali Kiai Bangil Menggolo lalu berucap “Yang namanya manusia
itu tak akan pernah luput dari dosa dan kesalahan. Tapi apakah kau bisa
mengatakan dosa dan kesalahanku, anak muda?”
“Kua diketahui berkomplot
dengan pemberontak di daerah timur untuk merebut tahta, menghancurkan
Kerajaan!” jawab si pemuda.
“Masya Allah!” berucap Kiai
Bangil Menggolo. “Menuduh tanpa bukti sama saja dengan memfitnah. Selama
bertahun-tahun aku tak pernah meninggalkan pesantren. Selama bertahun-tahun aku
tak pernah berhubungan dengan dunia luar. Bagaimana tiba-tiba saja aku dituduh
begitu keji? Berkomplot dengan kaum pemberontak!”
“Untuk menyatakan tuduhan saat
ini tak perlu aku membawa segala macam bukti. Karena semua bukti sudah berada
di tangan Sri Baginda!”
“Kalau begitu, apakah kau utusan
Sri Baginda? Alat Negara?”
“Bukan hanya sekedar utusan
Kiai! Tapi sekaligus membawa perintah untuk menghukum matimu saat ini juga!”
Mendengar kata-kata si pemuda,
puluhan murid pesantren serta merta berdiri dengan sikap siap melindungi
pemimpin mereka bahkan kalau perlu meringkus pamuda tak dikenal itu. Perlu
diketahui pesantren Tunggul Kencono adalah pesantren di mana para murid belajar
berbagai ilmu agama serta dakwah. Sama sekali tidak mengajarkan ilmu silat
apalagi segala macam kesaktian. Namun demikian melihat pimpinan mereka berada
dalam ancaman, para murid pesantren menjadi marah dan bersiap-siap untuk
menjaga segala kemungkinan. Melihat hal ini Kiai Bangil Menggolo cepat memberi
isyarat, menyuruh muridnya tenang dan duduk kembali.
“Anak muda,” kata Kiai Bangil
Menggolo seraya berdiri dari duduknya. “Jika Kerajaan ingin menangkap seseorang
apalagi hendak menjatuhkan hukuman, terlebih dulu orang itu dibawa
kepersidangan pengadilan. Dia akan ditangkap dengan surat resmi bercap
Kerajaan. Dan yang membawa surat penangkapan itu paling tidak adalah sejumlah
perajurit berseragam resmi, bersenjata lengkap! Kau datang seorang diri seperti
gelandangan tak tahu juntrungan. Siapa sebenarnya kau ini, anak muda?!”
Si gondrong tampakberubah
wajahnya mendengar kata-kata Kiai Bangil Menggolo itu. namun kemudian dia
keluarkan suara tertawa bergelak.
“Kalau ingin tahu siapa aku,
dengar baik-baik Kiai! Namaku Wiro Sableng! Murid tunggal Eyang Sinto Gendeng
dari puncak gunung Gede. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Mendengar keterangan si pemuda
terkejutlah Kiai Bangil Menggolo.
“Nama besarmu memang sudah
lama kudengar. Akupun pernah berbincangbincang dengan gurumu dalam suatu
pertemuan beberapa tahun yang silam. Aku yakin ada kekeliruan….”
“Aku yakin tidak ada
kekeliruan!” memotong Wiro Sableng. “Apakah kau sudah siap untuk mati?!”
Wiro Sableng turunkan tangan
kanannya yang sejak tadi bertolak pinggang.
“Kiai!” puluhan murid
pesantren berseru tegang dan tanpa depat dicegah mereka sudah mengelilingi Kiai
Bangil Menggolo, menghadap ke arah si pemuda dengan pandangan beringas.
“Semua mundur!” seru Kiai
Bangil. “Tak ada yang perlu ditakutkan!” orang tua itu lalu mendorong
murid-muridnya ke samping sambil melangkah ke arah Wiro berdiri. Saat itu
tiba-tiba Wiro Sableng pukulkan tangan kanannya ke depan seraya berteriak “Kiai
Bangil! Ajalmu sudah sampai! Terima pukulan Sinar Matahari ini sebagai
hukumanmu!”
Sinar putih menderu dari
tangan kanan Wiro. Kiai Bangil terpental dua tombak, jatuh ke lantai bangsal dalam
keadaan hangus sekujur badannya! Anak murid pesantren yang puluhan orang itu
berpekikan. Sebagian memburu ke arah guru mereka, sebagian lagi melompat ke
arah Wiro. Tapi pemuda itu telah lenyap!
TUJUH
Pagi cerah, langit bersih
membiru, sang surya bersinar lembut. Embun masih tampak melekat di dedaunan.
Dalam udara segar itu di kejauhan terdengar suara orang bersiul. Keras tetapi
entah membawakan lagu apa. Tiba-tiba suara siulan itu lenyap ketika dari
berbagai arah terdengar suitan keras saling bersahutan. Orang yang bersiul
pertama tadi hentikanlangkahnya dan memandang berkeliling. Suara suitan
terdengar lagi berulang kali, jelas saling bersahut-sahutan seperti memberi
suatu tanda.
Orang yang tadi bersiul
kembali memandang berkeliling. “Aneh! Suitan seperti itu biasanya tanda-tanda
yang dibuat oleh orang-orang persilatan! Agaknya ada sesuatu terjadi di sekitar
sini!” begitu orang ini membatin sambil menggarukgaruk kepalanya yang gondrong.
Ketika suara suitan-suitan lenyap. Si gondrong siap melanjutkan perjalanan,
namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba pula kembali terdengar suara suitan
bersahut-sahutan, lebih keras tanda lebih dekat dan lebih riuh tanda lebih
banyak.
“Edan! Ada apa ini! suitan itu
keras menggetarkan gendang-gendang telinga! Suitan yang disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi!” si gondrong tepuk-tepuk telinganya.
Terdengar suara bergemirisik.
Si gondrong cepat membalik. Dari sebatang pohon besar melayang turun sesosok
tubuh. Yang muncul ternyata seorang tua renta berjanggut putih sampai ke dada.
Dia membawa dua bumbung bambu. Satu dipanggul satunya lagi ditenteng. Melihat
orang tua ini si gondrong cepat-cepat menubruk dan jatuhkan diri seraya berkata
“Dewa Tuak. Sungguh pertemuan yang tidak didugaduga! Ah, kau tidak seperti
tambah tua! Tak pernah tambah tua! Luar biasa!”
Si orang tua tertawa tapi si
gondrong melihat ada sesuatu tersembunyi di balik tawa itu.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!
Aku senang bertemu denganmu! Hanya saja keadaan hari ini tidak terlalu
menggembirakan. Berdirilah….”
Si gondrong yang ternyata
Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri perlahan.
“Dewa Tuak, apakah kau
sehat-sehat saja….?”
“Aku sehat dan baik,” jawab si
orang tua yang disebut dengan gelar Dewa Tuak itu, yang merupakan seorang tokoh
silat sangat disegani. “Apakah kau juga baik-baik?”
“Aku sehat, segar bugar!”
jawab Wiro seraya mengacungkan kedua tangan tinggi-tinggi dengan jari terkepal.
“Syukur kalau begitu. Tapi
sehat tubuhmu tidak sehat bagi banyak orang lain. Dunia persilatan telah geger
oleh tindak tandukmu!”
“Apa maksudmu Dewa Tuak….?”
Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan Dewa Tuak.
“Kau masih bisa bertanya
Pendekar 212? Bertanya setelah apa yang kau lakukan, setelah segala sesuatunya
terlambat karena saat ini lebih dari setengah lusin tokoh silat telah mengurung
tempat ini! Siap untuk membantaimu?!”
Wiro memandang berkeliling.
Astaga! Apa yang dikatakan Dewa Tuak ternyata tidak dusta. Di sekelilingnya
tampak tegak tujuh orang, memandang tak berkesip ke arahnya. Beberapa di
antaranya orang-orang itu dikenalnya. Yang pertama adalah seorang kakek yang
mata kirinya picak. Wiro kenal sekali dengan orang tua ini yaitu Lor Gambir
Seta, murid tokoh silat nomor satu Si Raja Penidur.
Yang kedua juga seorang kakek
bertubuh tinggi langsing, dikenal dengan gelar Malaikat Tangan Besi Dari
Puputan, merupakan tokoh paling ditakuti di kawasan timur. Orang yang ketiga
seorang nenek bermata juling, mencekal arit di tangan kiri. Wiro ingat pernah
bertemu dengan perempuan tua ini sebelumnya tapi lupa entah di mana. Orang
keempat seorang pemuda berwajah tirus, memegang tongkat besi di tangan kiri,
seorang sahabat yang dikenal Wiro dengan gelar Pendekar Besi Hitam. Yang kelima
seorang lelaki bertubuh kekar bertelanjang dada bermuka angker karena penuh
cambang bawuk dan guratan bekas luka di kedua pipinya. Wiro tak kenal manusia
satu ini. Orang yang keenam berdiri di bawah sebatang pohon, berpakaian serba
hitam.
Wajahnya tidak kelihatan
karena tertutup caping bambu. Tapi dari hulu golok berbentuk kepala harimau
yang tersisip di pinggangnya, murid Sinto Gendeng segera mengenalnya yakni
seorang tokoh silat dari kawasan barat bernama Menak Jalantra, bergelar Harimau
Pemakan Jantung. Orang yang terakhir seorang nenek bermuka garang. Rambutnya
putih jarang, kepalanya hampir sulah. Dia mengenakan jubah putih dekil penuh
tambalan dan memegang sebuah kaleng rombeng yang sudah karatan “Pengemis
Hantu….” Desis Wiro Sableng ketika mengenali nenek berwajah angker seperti
hantu itu. Dia tahu betul semua orang yang ada di situ adalah tokohtokoh silat
golongan putih, satu aliran dengan dirinya sendiri. Tetapi mengapa semua mereka
memandang dengan air muka yang menunjukkan permusuhan. Sementara Dewa Tuak
dilihatnya beberapa kali menarik nafas panjang.
“Dewa Tuak…. Ada apa ini
sebenarnya?” tanya Wiro Sableng. “Aku mencium hawa pembunuhan….”
Dewa Tuak kembali menghela
nafas dalam-dalam lalu membuka mulut. “Aku tak kuasa menjawab pertanyaanmu,
Wiro. Biar para tokoh itu saja ang memberi tahu….”
Lor Gambir Seta maju
selangkah. “Empat bulan yang lalu kau membunuh Kiai Bangil Menggolo. Orang tua
itu masih keponakan guruku si Raja Penidur. Guru menugaskanku untuk meminta
pertanggung jawabmu….”
“Aku membunuh Kiai Bangil
Menggolo….?!” Wiro kaget besar dan gelenggelengkan kepala. Ketika dia hendak
membuka mulut kembali, Malaikat Tangan Besi Dari Puputan seudah lebih dulu
memotong.
“Tujuh bulan lalu kau membunuh
sahabatku Ki Demang Juru Gampit! Nyawanya adalah nyawaku juga! Jika kau
membunuhnya maka aku minta kau membunuhku sekalian!”
“Hai! Apa-apaan ini?! Dua
orang menuduhku yang bukan-bukan…..!” seru Wiro.
Pemuda berwajah tirus maju dua
langkah dan tancapkan tongkat besi hitamnya ke tanah. “Aku Pendekar Besi Hitam!
Delapan bulan silam kau merampok rumah kediaman bibiku janda almarhum Tumenggung
Campak Wungu! Beberapa minggu kemudian kau membunuh perempuan itu dan
terang-terangan meninggalkan tanda 212 di dinding rumah!”
“Oooladalah!” Wiro garuk-garuk
kepalanya dengan kedua tangan. “Tuduhan keji apalagi yang akan kuterima hari
ini….?!” Murid Sinto Gendeng berpaling pada orang-orang yang belum angkat
bicara.
Nenek bersenjata arit ayunkan
senjatanya beberapa kali lalu bicara dengan suara membentak “Kau memperkosa dan
membunuh murid tunggalku Sintorukmi! Deretan angka 212 kau torehkan di sekujur tubuhnya
yang telanjang….! Aku akan menicincang tubuhmu dengan arit ini. Kenalkan diriku
Arit Sakti Pencabut Raga!”
“Gusti Allah!” seru Wiro.
Hampir jatuh duduk dia mendengar tuduhan itu.
“Memperkosa dan membunuh keji
itu tak pernah aku lakukan. Demi Tuhan….!”
“Sumpah pendekar murtad
sepertimu siapa yang mau percaya!” satu bentakan terdengar. Yang membentak
adalah lelaki bertelanjang dada yang wajahnya penuh cambang bawuk dan guratan
luka. “Kau membunuh adik kembarku ketika dia bersama rombongan pasukan Kerajaan
mengejar dua tokoh pemberontak di selatan lima bulan lalu! Jangan berani
membantah! Aku sendiri menyaksikan kejadian itu!”
“Mati aku…..! Ya Tuhan urusan
gila apa ini semua?!” seru Wiro dengan mulut bergetar.
Harimau Pemakan Jantung
gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sreet! Golok berhulu kepala harimau
terhunus telanjag dari sarungnya.
“Golokku sudah lama tidak
minum darah langsung dari jantung! Hari ini kau akan memberinya minuman,
Pendekar 212….?”
“Apa…..apa pula dosaku
padamu….?” Tanya Wiro.
“Kau mengobrak-abrik perguruan
silatku dua bulan lalu. Membunuh enam orang muridku. Ingat peristiwa di Lembah
Merak Putih….?”
“Lembah Merak Putih?!
Mendengarnyapun baru sekali ini, apalagi pernah datang dan melakukan pembunuhan
di tempat itu….!”
Harimau Pemakan jantung
tertawa. Suara tertawanya seperti harimau menggereng! Wiro berpaling pada orang
ketujuh. Nenek sulah bergelar Pengemis Hantu.
“Dan kau nenek….. Apa pula
yang hendak kau tuduhkan padaku….?” Tanya Wiro.
“Satu bulan lalu kau merampas
satu karung uang hasilku mengemis selama bertahun-tahun. Uang itu tidak jadi
soal bagiku karena mungkin bukan rejekiku. Tapi kau membunuh serta tiga orang
pengemis anak buahku! Menggurat angka 212 di kening mereka! Keji dan sombong!”
“Jika aku membunuh orang tidak
mungkin aku berlaku tolol meninggalkan tanda yang mudah dikenal seperti itu….!”
“Tolol atau cerdik yang jelas
ketololan dan kecerdikanmu berakhir pada kematian!” jawab si nenek sambil
sunggingkan serangai aneh.
“Dewa Tuak!” terdengar suara
Lor Gambir Seta. “Kami ingin tahu di mana kau berdiri. Kau telah menolong kami
mencari pendekar sesat ini. setelah bertemu apakah kau juga akan turun tangan
bersama kami sesuai dengan sumpah ksatria para pendekar golongan putih?
Menegakkan keadilan menghancurkan angkara murka?!”
Dewa Tuak mengeuk tuaknya
beberapa kali lalu batuk-batuk. “Aku sudah tua…. Terlalu tua untuk ikut turun
tangan bersama kalian. Kalian bertujuh saja sudah cukup, biar aku yang bangka
ini menjadi saksi kematian seorang sahabat yang sudah kuanggap anak sendiri.
Mati karena perbuatannya yang keji!”
“Jadi kalian semua hendak
membunuhku?!” Wiro bertanya sambil memandang berkeliling.
“Seharusnya tadi-tadi kau
sudah menyadari bahwa hari ini ada Pendekar 212!” sahut si nenek bergelar Arit
Sakti Pencabut Sukma.
“Kalian semua gila!” teriak
murid Sinto Gendeng. Tanpa sadar tenaga dalamnya ikut mengalir. Akibatnya
suaranya terasa menggetarkan tanah. Tujuh orang tokoh silat terkejut, tapi
hanya sesaat. Di lain kejap ke tujuhnya sudah menyerbu, tiga senjata berkiblat.
Empat orang menyerang dengan tangan kosong. Dalam keadaan seperti itu tangan
kosong bisa membunuh lebih cepat dari pada senjata!
Murid Eyang Sinto Gendeng
berseru keras. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat setinggi dua
tombak ke udara.
“Ke langitpun kau lari kami
kejar!” teriak Arit Sakti Pencabut Raga seraya susul melompat dan babatkan
senjatanya ke arah dua kaki Wiro. Pendekar 212 terpaksa membuang diri
berjumpalitan ke kiri. Tapi dari jurusan ini menderu lengan besi Malaikat
Tangan Besi Dari Puputan, mencari sasaran di batok kepalanya. Wiro lepaskan
pukulan Orang Gila Mengebut Lalat. Malaikat Tangan Besi merasakan tangannya
bergetar dan tubuhnya hampir terjengkang ketika angin sakti melabrak lengan dan
sebagian tubuhnya. Cepat dia turunkan diri ke bawah sementara Wiro saat itu
harus pula menghadapi sambaran golok Harimau Pemakan Jantung yang ganas sekali
menusuk tepat ke arah jantungnya. Di saat yang bersamaan Pengemis Hantu
gerakkan kaleng rombeng berkaratnya ke atas. Sepuluh uang logam menderu mencari
sasaran di tubuh Pendekar 212.
“Mati aku….!” Teriak Wiro
dalam hati. Tangan kirinya segera melepaskan pukulan pertahanan membentengi
tubuh yakni Benteng Topan Melanda Samudera. Pemuda cerdik ini sadar sekali
kalau pukulan sakti itu tidak mungkin menyelamatkannya dari tujuh serangan
maut. Maka secepat kilat tangan kanannya bergerak ke pinggang. Maka
berkiblatlah sinar putih menyilaukan di udara pagi yang cerah itu desertai
suara gaungan laksana seribu lebah mengamuk!
“Kapak Maut Naga Geni 212!
Awas!” teriak Lor Gambir Seta murid si Raja Penidur.
Tring….tring….tring….tring….
Empat uang logam yang ditabur Pengemis Hantu sempat dihantam Kapak Naga Geni
212. Enam lainnya luruh terkena sambaran angin senjata mustika itu. menyusul
suara trang! Kapak sakti beradu badan dengan golok mustika di tangan Harimau
Pemakan Jantung. Kagetlah tokoh silat ini ketika dia merasakan tubuhnya
bergoncang keras hampir terjungkal. Goloknya bahkan nyaris lepas. Ketika dia
meneliti masih untung senjatanya tidak ada yang rompal.
“Kurung yang ketat! Jangan
biarkan tukang perkosa, pembunuh dan rampok ini lolos!” teriak Arit Sakti
Pencabut Raga. Di antara semua penyerang nenek ini yang paling besar dendam
kesumatnya terhadap Wiro.
Wiro putar Kapak Naga Geni
dengan sebat. Tenaga dalamnya dikerahkan penuh. Tubuhnya laksana batu karang
membendung ombak raksasa. Tampaknya dia akan sanggup menghadapi badai serangan
itu. namun tujuh lawannya adalah tokohtokoh silat kelas satu yang kepandaian
masing-masing rata-rata sama tingginya.
Dikeroyok begitu tupa,
meskipun murid Sinto Gendeng sempat menghantam roboh Pendekar Besi Hitam dengan
tendangan kaki kanan hingga pemuda itu pingsan dengan empat tulang iga patah,
namun dalam kecamuk yang luar biasa hebatnya itu dia tak sempat mengelak atau
menangkis bacokan arit si nenek bergelar Arit Sakti Pencabut Sukma! Bahu
kanannya luka besar. Darah mengucur deras. Kapak Baga Geni 212 terlepas dan
jatuh ke tanah! Langsung disambar oleh Harimau Pemakan Jantung.
Pendekar dari gunung Gede itu
sadar apa artinya ini. dengan tangan kirinya dia cepat lepaskan pukulan Sinar
Matahari yang terkenal dahsyat itu. Tujuh orang penyerang serta merta
menyingkir begiut melihat ada cahaya putih menyilaukan berkiblat diserta
tebaran hawa panas luar biasa. Ketika sinar putih dan hawa panas sirna tujuh
orang yang mengejar sama mengumpat dan memaki. Pendekar 212 telah lenyap dari
tempat itu. Semuanya memandang ke arah Dewa Tuak dan diam-diam menyesalkan
mengapa kakek sakti itu tidak mau turun tangan membantu!
DELAPAN
Kuda coklat itu akhirnya
sampai juga ke puncak gunung Gede. “Kita berhenti di sini Guci. Aku sudah
melihat gubuk kediaman guru manusia keparat itu. Kau tunggu di sini….” Mirasani
elus-elus tengkuk kudanya lalu melompat turun. Ketika gubuk kayu di puncak
gunung itu diperiksanya ternyata kosong.
“Keparat! Tak ada siapa-siapa
di sini!” maki Mirasani. Saking jengkelnya hendak ditendangnya pintu gubuk.
Namun tiba-tiba saja ada suara menegur.
“Gadis elok, siapa yang kau
cari! Mengapa marah-marah dan hendak menendang pintu gubukku?!”
Mirasani cepat berpaling.
Suara itu datang dari atas pohon besar enam langkah di samping kirinya. Ketika
mendongak ke atas tampaklah sesosok tubuh kurus kering berbaring di atas cabang
pohon, seolah-olah tengah bergolek berleha-leha di atas ranjang. Padahal cabang
pohon itu hanya sebesar lengan manusia. Melihat sosok tubuh yang tergolek di
cabang pohon itu Mirasani lantas berteriak “Kau pasti Sinto Gendeng, guru
Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Tubuh di atas cabang pohon
tampak bergerak bangkit. Dari sikap berbaring kini tubuh itu duduk berjuntal.
Ternyata dia adalah seorang nenek bertubuh tinggi, berkulit sangat hitam.
Tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut tulang saking kurusnya.
Kekurusan dan kehitaman yang luar bisa ini membuat wajahnya angker hampir
menyerupai tengkorak. Apalagi mukanya dan kedua rongga matanya sangat cekung
sementara rambut dan alis matanya putih. Rambut di kepalanya sebenarnya tidak
dapat lagi dikatakan rambut karena sangat jarang. Anehnya enek angker ini
mengenakan lima buah tusuk kundai terbuat dari perak yang disisipkan bukan pada
rambut tetapi langsung menancap di kulit kepalanya!
“Ada apa kau mencariku?!” si
nenek bertanya. Ternyata dia meamng Eyang Sinto Gendeng. Nenek yang berusia
hampir seratus tahun dan merupakan tokoh silat paling ditakuti karena
ketinggian ilmu dan kesaktiannya.
“Siapa bilang aku mencarimu!”
jawab Mirasani dengan ketus dan merengut.
“Aku mencari suamiku!”
“Edan! Apa kau kira aku
menyembunyikan atau menyekap suamimu di sini? Kau kesasar atau kurang waras?!”
“Muridmu yang tidak waras!
Gila! Busuk! Jahat dan keji!”
“Eh, muridku siapa maksudmu?!”
sepasang mata Sinto Gendeng berkilat tanda si nenek mulai marah.
“Masih bisa bertanya! Siapa
lagi kalau bukan si sableng bernama Wiro itu! apa ada muridmu yang lain?!”
Tubuh yang duduk di cabang
pohon tiba-tba saja meluncur ke tanah seolaholah ada tali penggelantungnya.
Begitu sampai di tanah, si nenek bukannya berdiri tapi duduk menjelepok.
“Mendekat ke sini gadis
bermulut sembrono!” ujar Sinto Gendeng seraya mengoyang-goyangkan jari
telunjuknya. Mirasani hanya mendekat dua langkah.
“Kau mencari muridku atau
suamimu?! Bicara yang betul!”
“Muridmu itu ya suamiku itu!”
“Gila! Muridku masih perjaka!
Belum kawin! Enak saja kau mengakuinya sebagai suami!”
“Nenek pikun! Kau tahu apa
tentang muridmu! Dia mengawiniku sembilan bulan yang lalu! Ternyata dia bukan
pendekar sejati. Tapi perampok! Pembunuh dan pemerkosa….”
Plaak!
Satu tamparan mendarat di pipi
Mirasani. Gadis ini sampai terpekik. Bukan karena sakit tapi karena kaget
bercampur heran. Si nenek dan dirinya terpisah hampir tiga langkah dan
perempuan tua itu dalam keadaan duduk pula. Bagaimana tangannya tiba-tiba bisa
menampar sejauh itu padahal tubuhnya tidak bergerak barang sedikitpun!
“Berani kau bicara tak karuan,
kupecahkan batok kepalamu!” mengancam Sinto Gendeng. “Kau telah mengganggu
ketenanganku di puncak gunung ini. lekas pergi dari sini. Tempat ini bukan
tempat tamasya orang-orang sinting macammu!”
“Guru dan murid sama
sedengnya!” damprat Mirasani.
Tangan kanan Sinto Gendeng
kembali berkelebat. Tapi kali ini Mirasani lebih waspada. Begitu tangan
bergerak dia cepat mengelak lalu lancarkan serangan balasan berupa tendangan ke
arah dada si nenek. Yang diserang tertawa mengekeh. “Aku sudah lama tidak
berolah raga! Serang sepuasmu! Cari tempat yang empuk. Hik….hik….hik….!”
Ketika tendangannya hampir
sampai mendadak Mirasani merasa seperti ada tenaga yang mendorong kakinya
sehingga tendangannya tidak mengena. Dia lipat gandakan tenaganya. Kekuatan
yang mendorong berubah berlipat ganda pula. Akibatnya Mira jadi terpental dan
jatuh ke tanah!
“Ah…. kau bukan kawan yang
baik untuk berolah raga! Kalau begitu duduk saja di tanah sana! Dan ceritakan padaku
mengapa kau muncul di sini seperti orang gila. Memaki dan bicara yang
bukan-bukan tentang muridku!”
Panas dan marahnya Mirasani
bukan kepalang. Cepat dia bergerak bangkit tapi astaga! Seperti yang dikatakan
si nenek dia hanya bisa duduk di tanah seolah-olah pantatnya menjadi lengket!
Betapapun dia berusaha mengerahkan tenaga untuk berdiri tetap saja dia terduduk
begitu rupa! Saking kesal akhirnya Mira hanya bisa terisak menangis!
“Itu saja kepandaian kaum
perempuan! Menangis! Sungguh memalukan!”
mengejek si nenek. “Tubuhmu
boleh kaku tapi mulutmu tidak bisu! Ayo katakan maksud kedatanganmu ke mari!”
“Aku mencari muridmu nek….”
Jawab Mirasani sesenggukan. “Sembilan bulan lalu kami kawin….”
“Sembilan bulan lalu! Lantas
apa sekarang kau jadi bunting! Hik….hik….hik?!”
Mirasani menggeleng. “Kalau
sempat aku hamil, rasanya lebih baik mati saja!”
“Eh, mengapa begitu?!” tanya
Sinto Gendeng.
“Aku menyesal menerimanya
sebagai suami. Kalau saja aku tidak berkaul, tidak dikalahkannya dalam
pertandingan itu….”
“Tunggu dulu! Kau bilang kau
dikawini muridku sembilan bulan lalu! Betul….?”
“Betul….”
“Muridku si Wiro Sableng
itu?!”
Mirasani mengangguk.
“Dusta gila! Muridku betapapun
edannya tak akan dia kawin begitu saja tanpa memberi tahuku seperti anjing
kawin di jalanan saja!”
“Kau boleh tidak percaya! Tapi
demi Tuhan aku tidak berdusta!” Lalu Mirasani menuturkan bagaimana asal
muasalnya sampai dia kawin dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Seribu kali kau berkata aku
tetap tidak percaya! Muridku tidak segila itu….”
“Terserah padamu nek.
Penuturanku belum habis. Beberapa bulan setelah kami kawin baru kuketahui kalau
dia ternyata seorang perampok dan pembunuh keji! Salah seorang korbannya adalah
guruku sendiri. Ki Demang Juru Gampit!”
“Ah! Ki Demang Juru Gampit
katamu?! Dia adalah sahabat lamaku!”
“Dan bukan cuma guruku yang
jadi korbannya. Banyak lagi tokoh-tokoh silat. Bahkan dia juga membunuh Kiai
Bangil Menggolo, ketua pesantren Tunggul Kencono! Merampok! Menculik anak gadis
orang lalu memperkosa dan membunuhnya…..!”
“Tidak…. Muridku tidak akan
pernah jadi dajal seperti itu!” teriak Sinto Gendeng. Tubuhnya yang sejak tadi
duduk tiba-tiba saja berdiri. Ternyata nenek itu tinggi sekali. Setelah berdiam
diri sesaat maka Sinto Gendeng ajukan pertanyaan “Apa maksudmu mencarinya….?!”
“Apalagi kalau bukan
membunuhnya! Dia meninggalkan diriku begitu saja! Membuat malu kedua orang
tuaku! Membunuh guruku…..”
“Kalau begitu kau bermaksud
hendak membunuh suamimu sendiri?!”
“Dia bukan lagi suamiku, tapi
iblis yang harus disingkirkan dari muka bumi!” jawab Mirasani.
“Keliru…. Kau pasti keliru….”
Si nenek gelengkan kepalanya. “Ada yang tidak beres. Pasti ada yang tidak
beres!”
“Kalau ada yang tidak beres,
itu adalah muridmu sendiri!” tukas Mirasani.
“Lepaskan diriku dari pengaruh
yang membuatku kaku ini!”
Sinto Gendeng tidak acuhkan
permintaan orang. Dia mendongak ke langit seolah-olah merenung. “Kau tidak
dapat membunuhnya. Tidak seorangpun dapat membunuhnya!”
Mirasani mendengus. “Muridmu
keparat itu bukan dewa bukan malaikat! Belasan tokoh-tokoh silat dari delapan
penjuru angin mencari dan mengejarnya! Semua ingin membunuhnya! Dan kau tahu
apa yang terjadi satu setengah bulan lalu? Beberapa tokoh silat termasuk
dedengkot bergelar Dewa Tuak berhasil mengepung muridmu itu di kaki sebuah
bukit! Memang dia berhasil kabur! Tapi dalam keadaan luka parah dan senjata
mustika miliknya yaitu Kapak Naga Geni 212 dirampas!”
Mendengar kata-kata Mirasani
itu berubahlah para Eyang Sinto Gendeng.
Beberapa lamanya dia melangkah
mundar mandir. Lalu berpaling pada Mira dan berkata “Aku tidak senang melihatmu
di sini! Aku tidak memerlukan dirimu! Pergilah!” Habis berkata begitu si nenek
lambaikan tangan kirinya lelu melangkah cepat-cepat memasuki gubuk kayu,
membanting pintu keras-keras.
Lambaian tangan Sinto Gendeng
tadi melenyapkan kekuatan aneh yang membuat Mirasani menjadi kaku. Cepat dia
bangkit. Sesaat dia memandang ke rah gubuk. Sadar kalau tak satupun yang bisa
dilakukannya terhadap si nenek, akhirnya Mira melangkah ke tempat dia
meninggalkan Guci, kuda coklatnya.
Di dalam gubuk, Eyang Sinto
Gendeng untuk beberapa lamanya duduk bersila pejamkan mata seperti tengah
bertepekur. Lalu dia angkat kepala, memandang ke sudut kamar di mana tergantung
sebuah sangkar berisi seekor burung merpati abu-abu bermata merah.
“Jantan Apik….” Begitu si
nenek menyebut nama si burung. “Empat tahun lebih kau menemani aku di sini
dengan setia. Hari in kau boleh kembali ke tempat asalmu di gunung Iyang. Ada
satu pesan penting yang kau harus sampaikan pada sahabatku Kunti Kendil…..”
Di dalam sangkar Jantan Apik
angguk-anggukkan kepalanya sambil mengeluarkan suara menggeru terus menerus.
Sinto Gendeng robek bagian terbersih dari pakaiannya yang dekil. Dengan
sepotong kayu berwarna merah dia menuliskan sesuatu di atas potongan kain itu.
lalu kain digulung dan diikatkan ke kaki kanan Jantan Apik. Setelah
mengelus-elus dan menciumi binatang itu, Sinto Gendeng membawanya ke luar
gubuk.
“Pergilah Jantan Apik. Terbang
tinggi-tinggi agar kau lekas sampai di pegunungan Iyang. Sampaikan pesanku dan
temui betinamu!”
Sinto Gendeng lemparkan burung
merpati itu ke udara. Jantan Apik melesat laksana anak panah. Burung ini
berputar tiga kali di atas kepala si nenek sebelum melayang cepat ke arah
timur.
SEMBILAN
Sinto Gendeng terbaring sakit
di atas balai-balai kayu dalam gubuk. Dari mulutnya kerap kali terdengar suara
meracau seperti orang mengigau.
“Kalau mati terbunuh anak itu
akan ku obrak abrik dunia persilatan! Kalau mati anak itu lihat saja….! Lihat
saja….!” Sinto Gendeng batuk-batuk beberapa kali.
Lalu “Ah, mengapa tak ada yang
datang. Padahal semua sudah kusiapkan!” Nenek itu mengangkat tangannya yang
memegang sebuah benda. Benda ini ternyata adalah sebuah topeng yang terbuat
dari bagian terhalus perut rusa betina. Sebulan yang lalu dia sendiri yang
menangkap seekor rusa di rimba belantara di kaki gunung Gede, menyembelihnya
dan mengambil usus besarnya. Usus itu dikeringkan lalu dijadikan sebuah topeng
yang jika dipakai oleh siapa saja tidak akan kentara saking tipisnya.
“Satu bulan sudah berlalu.
Gila…. Tak ada yang muncul! Apakah Jantan Apik tidak sampai ke sana….? Akan
kutunggu tiga hari lagi…. Jika tak ada yang datang terpaksa aku turun gunung
merancah rimba persilatan, mencari anak itu! Kalau sampai dia mati terbunuh
akan ku obrak abrik dunia persilatan! Dewa Tuak….. Dewa Tuak! Kau juga tak akan
lepas dari hukumanku! Aku tidak yakin anak itu melakukan semua kekejian itu!
Aku tidak percaya. Otaknya mungkin sableng, tapi hatinya seputih kapas! Aku
tahu betul…. Aku tahu betul….”
Begitu Sinto Gendeng meracau
berkata-kata seorang diri hampir setiap hari. Dua hari setelah itu, suatu pagi,
belum pupus embun di dedaunan pintu gubuk tiba-tiba terbuka. Sinto Gendeng
palingkan kepalanya. Tiba-tiba laksana ada kekuatan yang menyembuhkannya si
nenek melompat bangkit, duduk di tepi balai-balai. Matanya yang cekung
memandang ke arah pintu yang terbuka, mulutnya yang perot menyeringai.
“Gusti Allah! Kau kabulkan
permintaan si tua bangka buruk ini! Terima kasih Tuhan! Mahesa Edan! Memang
kaulah yang kuharapkan datang….”
Orang yang datang adalah
seorang pemuda yang paling tinggi berusia sembilan belas tahun. Wajahnya keren,
tapi seperti mengantuk dan sebentar saja berada di situ dia sudah tiga kali
menguap!
“Mahesa…. Mendekat ke mari!”
Sinto Gendeng melambaikan tangannya. Pemuda itu datang mendekat. Lalu menjura
“Eyang, teima salam hormatku!”
“Sudah! Jangan memakai segala
macam peradatan. Urusan kita lebih penting! Menyangkut keselamtan dan jiwa
muridku si Wiro Sableng! Sahabatmu!”
“Guru menerima pesanmu yang
dibawa Jantan Apik. Kebetulan saya berada di puncak Iyang tengah menyambangi
guru. Langsung saja guru memerintahkan saya ke mari….”
“Bagus…..bagus. Semuanya
sesuai dengan petunjuk dan kehendak Tuhan. Ada bantuan sangat besar kumintakan
padamu Mahesa….”
Mahesa Edan menguap
lebar-lebar. Sambil ucak-ucak matanya yang berair dia bertanya “Katakan saja
Eyang. Tugas darimu sama saja dengan tugas dari guruku Kunti Kendil!”
“Kau tentu sudah mendengar apa
yang terjadi di dunia persilatan. Muridku si sableng itu dituduh telah berubah
menjadi dajal namaor satu. Merampok dan membunuh! Menculik dan memperkosa….!”
“Memang itu yang saya dengar
Eyang! Tapi sulit dipercaya bahwa Wiro akan berbuat seperti itu!”
“Itulah yang tidak masuk akal
bagiku Mahesa. Apapun yang terjadi anak sableng itu harus diselamatkan. Ini
kewajibanku sebagai guru. Untuk turun tangan sendiri dalam usia yang uzur ini
rasanya sudah tak sanggup. Apalagi sakit keparat ini menyerangku sejak dua minggu
lalu. Melihat kau datang sembuh rasanya penyakitku….”
“Syukur kalau Eyang bisa
sembuh. Katakan apa yang bisa saya lakukan….”
“Kau lihat benda di tanganku
ini Mahesa?” Sinto Gendeng membeberkan benda yang dipegangnya.
“Saya melihatnya Eyang.
Sehelai topeng aneh….”
Sinto Gendeng lemparkan topeng
itu ke arah Mahesa Edan murid Kunti Kendil seorang nenek sakti yang diam di
puncak gunung Iyang.
“Bawa topeng itu, cari Wiro.
Jika bertemu suruh dia mengenakan topeng itu!
wajahnya akan berubah. Wajah
aslinya akan tersembunyi. Dengan demikian tak ada lagi yang akan mengenalinya .
tak ada yang akan memburu dan menghadangnya! Kau bisa mencari muridku itu
bukan?!”
“Saya akan melakukannya
Eyang!”
“Bagus! Nah, selagi hari masih
pagi, pergilah!”
“Tidakkah saya harus melakukan
sesuatu untuk mengurangi penyakit Eyang?” tanya Mahesa lalu kembali menguap.
“Aku sudah sembuh!” jawab
Sinto Gendeng lalu untuk pertama kalinya dia tertawa cekikikan. Mahesa Edan
merasakan tengkuknya dingin. Gurunya si Kunti Kendil memiliki wajah sangat
angker. Tapi nenek satu ini jauh luar biasa angkernya. “Eyang tidak ada
pesan-pesan lainnya untuk Wiro?”
Si nenek merenung sejenak.
Lalu berkata “Bilang padanya, dalam susah pergunakanlah akal, dalam kesulitan
putarlah otak. Tak ada yang dapat mengalahkan kebenaran akal sehat dan otak
cerdik!”
“Saya akan sampaikan kata-kata
Eyang itu padanya. Saya minta diri Eyang….”
Sinto Gendeng menyeringai.
Lalu anggukkan kepala.
“Pergilah cepat. Berlarilah
seperti dikejar setan. Hik…hik…hik…..”
Gadis berpakaian ungu itu
membuka kedua matanya, menatap langit-langit goa lalu memasang telinga lebih
tajam. Dia kembali menangkap suara itu. perlahanlahan, tanpa suara dia mengeser
tubuhnya mendekati sosok tubuh pemuda yang terbaring di samping kirinya dan berbisik
“Wiro, aku mendengar langkah orang mendekati mulut goa!”
“Aku juga. Sangat samar-samar.
Pasti seorang berkepandiaan tinggi. Lekas tiup api pelita….” Balas berbisik si
pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu dia berada di
dalam sebuah goa bersama Anggini murid tunggal Dewa Tuak. Setelah kehilangan
Kapak Naga Geni 212 dan terluka parah di bagian bahu, Wiro berhasil melarikan
diri tanpa menyadari bahwa Anggini mengikutinya. Sebenarnya gadis itu ikut
bersama Dewa Tuak dan tujuh tokoh silat.
Namun karena hatinya meragu
bahwa Wiro benar-benar telah menjadi seorang manusia jahat maka dia tidak turut
mengeroyok si pemuda. Betapapun juga dia masih mempercayai Wiro yang secaa
diam-diam dicintainya. Ketika Wiro jatuh tersungkur kelemasan dalam
pelariannya, Anggini segera menolong muird Sinto Gendeng ini, menaikkannya ke
atas kuda yang sebelumnya memang telah ditinggalkannya di suatu tempat.
Walaupun tidak menyaksikan dengan mata kepala mereka namun tujuh tokoh silat
sama menduga bahwa Angginilah yang telah menolong menyelamatkan orang yang
mereka kejar. Kalau tidak masakan pemuda yang dalam keadaan terluka itu bisa
lenyap seperti itu. Akibatnya antara para tokoh dengan Dewa Tuak timbul rasa
saling tidak enak.
Lebih dari sebulan Anggini merawat
dan menyembunyikan Wiro di dalam goa itu hingga lukanya sembuh. Berdampingan
sekian lama membuat rasa cinta kasih Anggini terhadap di pendekar bersemi
kembali. Sebaliknya Pendekar 212 lebih banyak menghormati sang dara dan merasa
berhutang budi dan nyawa atas pertolongannya. Selain itu Wiro menganggap bahwa
saling menolong adalah hal biasa dan kewajiban dalam dunia persilatan. Kalau
saja pikirannya tidak kacau memikirkan keadaan dan kapak mustikanya, mungkin
murid Sinto Gendeng itu tidak akan seacuh itu.
Pada saat Anggini meniup mati
pelita di dalam goa, saat itu pula di mulut goa muncul sosok tubuh seseorang.
“Wiro! Aku tahu kau ada di dalam sana!” Orang di mulut goa berseru.
Anggini memberi isyarat agar
Wiro tak menjawab. Lalu gadis ini membentak “Siapa kau?!” Tak ada orang bernama
Wiro di sini!”
Orang di mulut goa terkejut
karena tidak menyangka akan mendengar jawaban suara perempuan.
“Jangan berdusta, aku tahu
Pendekar 212 Wiro Sableng ada di dalam sana!”
“Kau pasti tidak tuli! Sudah
ditanya mengapa tidak menerangkan diri?!” kembali Anggini membentak.
“Namaku Mahesa Edan! Aku
sahabat Pendekar 212. Di utus oleh Eyang Sinto Gendeng untuk menyerahkan
sesuatu!”
Anggini saling pandang dengan
Wiro. “Mungkin orang itu menipu. Janganjangan salah satu dari para tokoh yang
mengejarmu….” Berbisik Anggini.
“Aku seperti mengenali
suaranya. Suruh dia masuk tiga langkah! Aku akan bersiap-siap dengan pukulan
Sinar Matahari….” Bisik Wiro. Lalu angkat tangan kanannya. Terasa sakit di
bekas luka yang baru sembuh. Wiro menggigit bibir dan berusaha menahan sakit.
Perlahan-lahan tangannya mulai tampak menjadi keputihan tanda pukulan sakti itu
muncul dan siap dipukulkan.
“Orang di mulut goa!” seru
Anggini. “Maju tiga langkah! Jika kau bukan Mahesa Edan jangan menyesal mampus
percuma di tempat ini!”
“Gila! Kalian mencurigaiku!”
memaki orang di mulut goa tapi dia masuk juga sejauh tiga langkah.
Setelah lebih dekat begitu
rupa Wiro baru dapat melihat wajah orang itu agak jelas dan dia segera
mengenalinya.
“Sahabatku Mahesa Edan!
Selamat datang di tempat persembunyianku ini!”
berseru Wiro lalu dia bangkit
berdiri. Begitu berhadapan dua sahabat itu saling berangkulan. Wiro
memperkenalkan Anggini pada Mahesa Edan. Murid Kunti Kendil ini tampak
terheran-heran dan berkata “Adalah aneh! Gurunya si Dewa Tuak kuketahui ikut
bergabung dengan beberapa tokoh silat mengejarmu! Muridnya justru menolongmu!”
“Pikiran manusia berbeda-beda!
Apa anehnnya!” sahut Anggini.
Mahesa Edan menyeringai lalu
menguap lebar-lebar.
“Bagaimana kau tahu dan bisa
mencariku di sini?” tanya Wiro.
“Aku berhasil menyirap kabar
dari beberapa sahabat. Setelah malang melintang hampir satu bulan akhirnya
sampai ke mari! Nasibmu malang betul sahabat! Betul bukan kau yang jadi dajal
penyebar maut dan segala kekejian yang diburu-buru orang itu…..?!”
“Jika aku percaya dia dajal
yang kau maksudkan itu, sudah dulu-dulu kupenggal batang lehernya!” Yang
menjawab adalah Anggini.
“Ya….ya, aku tahu. Hati
seorang sahabat bisa lebih bersih menilai. Apalagi seorang gadis. Hatinya tentu
putih bersih…..”
Paras Anggini memerah di
kegelapan. Tanpa disuruh dia kemudian menyalakan pelita kembali. Mahesa Edan
kemudian menuturkan riwayat pesan yang disampaikan Eyang Sinto Gendeng.
“Gurumu meminta aku
menyerahkan benda ini padamu dan harus segera kau pakai saat ini juga!”
“Apa itu….?” tanya Wiro.
“Topeng!” jawab Mahesa Edan.
Lalu diserahkannya topeng yang diselipkan di balik baju.
“Topeng….? Buat apa?!” tanya
Wiro lagi.
“Jangan tolol! Saat ini
mungkin ada dua lusin tokoh silat yang mencari dan ingin membunuhmu! Tampangmu
yang sableng itu dikenal di mana-mana! Apa kau masih bisa petantang-petenteng
di luar tanpa dikenali? Atau kau kira kau bisa bersembunyi di goa ini sampai
seratus tahun? Sampai kau dan sahabatmu ini jadi kakek dan nenek?!”
Wiro tertawa geli. Dia
garuk-garuk kepalanya. “Aku mengerti…. Aku tahu apa maksud Eyang Sinto Gendeng.
Terima kasih kau telah menyampaikannya dengan bersusah payah….” Wiro mengambil
topeng itu, langsung memakaikannya ke wajahnya. Karena topeng itu terbuat dari
usus rusa yang sama warnanya dengan kulit muka Wiro, sulit itu mengetahui kalau
saat itu dia memakai topeng.
“Nah…nah….nah! Setan atau
malaikat sekalipun kurasa tidak akan mengenalimu lagi Wiro!” kata Mahesa.
Diam-diam Anggini memuji
keahlian Eyang Sinto Gendeng membuat topeng seperti itu. Wajah Wiro kini
berubah sama sekali. Dia muncul sebagai pemuda lain!
“Ada pesan dari gurumu Wiro.
Beliau minta aku menyampaikan ucapan ini Dalam susah pergunakan akal, dalam
kesulitan putarlah otak. Tak ada yang dapat mengalahkan kebenaran akal sehat
dan otak cerdik!”
“Eh, apa maksudnya itu?”
“Mana aku tahu?” jawab Mahesa.
“Nah, tugasku sudah selesai. Seharusnya aku bisa minta diri saat ini. Tapi aku
lebih suka kalau dapat menyaksikan akhir dari semua kejadian ini! Siapa
sebenarnya yang menjadi biang racun! Aku menyirap beberapa potong kabar.
Mungkin ada baiknya jika kukatakan padamu. Menurut kabar yang terisar di rimba
persilatan, pemuda yang malang melintang berbuat kejahatan itu mengaku sebagai
Pendekar 212 memang memiliki wajah serta cirri-ciri sepertimu….”
“Gila!” maki Wiro sambil
kepalkan tinju.
“Bukan itu saja! Dia juga
memiliki pukulan sakti Sinar Matahari!”
Wiro hampir terlonjak
mendengar keterangan Mahesa Edan itu. “Ilmu kesaktian itu hanya Eyang Sinto
gendeng yang memilikinya! Jika ada orang lain yang menguasainya berabrti dia
mendapatkan dari guruku langsung….”
“Gurumu tak pernah mengambil
murid lain. Berarti dia tak pernah mengajarkan pada siapapun ilmu pukulan Sinar
Matahari itu….” ujar Mahesa Edan.
Wiro garuk-garuk kepala.
“Mungkin dia mencuri ilmu kepandaian itu…. Sulit dipercaya! Apa sebenarnya yang
terjadi!”
Setelah berdiam sesaat Mahesa
Edan melanjutkan bicaranya. “Para tokoh yang melakukan pemburuan terhadap
Pendekar 212 palsu selama ini tak satupun yang berhasil menangkapnya hidup atau
mati. Bahkan semua tokoh silat yang menghadangnya dikalahkan dan dibunuh!
Belasan korban telah jatuh….”
“Akupun jadi korban tuduhan
perbuatan bangsat itu!” ujar Wiro geram. “Ada lagi keterangan lain yang hendak
kau sampaikan Mahesa.”
Murid Kunti Kendil mengagguk.
“Diketahui bahwa Pendekar 212 palsu itu kabarnya mempunyai seorang istri.
Puteri seorang hartawan ternama yang tinggal di sebelah timur Kotaraja! Sang
istri kabarnya tengah mencari0carinya karena meninggalkannya begitu saja dan
membuat dirinya dan kedua orang tuanya malu besar. Gurumu tidak menceritakan
apa-apa tentang istri orang itu. tapi ada tersiar kabar bahwa sekitar sebulan
lalu istri Wiro palsu itu muncul di puncak gunung Gede….”
“Mengapa guru tidak
menghajarnya?!” uajr Wiro seenaknya saking kesalnya.
“Perempuan itu tidak punya
salah apa-apa. Malah dia sengaja mencari suaminya untuk membunuhnya….” Ujar
Mahesa pula.
“Lalu apa rencana para tokhon
silat terhadap keparat itu?” bertanya Wiro.
“Semua menduga bahwa dia
meninggalkan istrinya begitu saja, tapi suatu ketika dia pasti akan muncul
untuk menyambanginya. Karena memang begitu sifat manusia. Sesekali akan merasa
rindu dan ingin berjumpa. Apalagi dia tidak mengetahu kalau istrinya berniat
menghajarnya sampai mati….”
“Kalau begitu ada baiknya kita
melakukan pengintaian di rumah kediaman istrinya….” Ujar Wiro. “Bagaimana
pendapatmu?”
“Justru aku mendengar berita
para tokoh silat yang mengejar akan melakukan hal yang sama. Jika kita ikut
muncul di sana, kita harus berhati-hati….”
“Kenapa harus berhati-hati?
Bukankah mereka tidak mengenali tampangku lagi?! Aku harus datang ke sana!
Mereka merampas Kapak Naga Geni milikku!”
“Aku ikut bersamamu! Ingin aku
melihat sampai di mana kehebatan pendekar itu, yang mampu menjatuhkan semua
tokoh silat!” berkata Mahesa.
“Aku juga ikut!” berkata pula
Anggini.
“Jika Dewa Tuak ada di sana,
kau akan dicurigainya! Dia pasti menanyakan ke mana kau menghilang satu bulan
lebih dan apa saja yang kau lakukan!” Wiro bicara sambil menatap paras gadis
jelita berbaju ungu itu.
“Soal guruku si Dewa Tuak itu,
serahkan saja padaku! Pokoknya aku harus ikut!”
Wiro pegang bahu Mahesa Edan
dan Anggini. Lalu berkata dengan suara agak tercekat. “Aku merasa bersyukur dan
berterima kasih. Ketika semua orang di dunia ini mengutuk dan menginginkan
kematianku, ternyata masih ada dua orang sahabat yang berpolos hati mau
menolong dan ikut bersamaku….”
Mahesa Edan balas menepuk bahu
sahabatnya dan menajwab “Ada sumpah tak terucap di antara para pendekar dunia
persilatan. Makan satu piring, tidur di tikar yang sama, mati satu kubur dalam
membela kebenaran!”
SEPULUH
Rumah besar tempat kediaman
hartawan Suto Klebet tampak sepi, kosong dan gelap. Sejak peristiwa
menghebohkan hampir setahun silam, yaitu dimulai dengan perampokan dan
pembunuhan atas diri janda almarhum Tumenggung Campak Wungu serta perginya
Mirasani tanpa diketahui arah tujuannya, maka Suto Klebet telah mengajak
istrinya pindah ke rumah mereka yang lain jauh di pedalaman. Rumah besar yang
ditinggalkan dalam keadaan tidak terawat itu bukan saja kini menjadi sunyi dan
kotor, tapi jika malam hari diselimuti kegelapan hampir tak beda dengan sebuah
rumah hantu.
Selama enam bulan pertama
memang ada seorang tua yang menjagai rumah itu, namun kemudian penjaga ini
pulang ke kampungnya, hanya sesekali saja menengoki rumah tersebut. Itupun
hanya melihat-lihat belaka, tidak membersihkannya atau melakukan apa-apa.
Suatu hari, ketika malam baru
saja turun di saat kebetulan penjaga tua itu tengah menengok rumah tersebut dan
bersiap-siap untuk pergi, seorang penunggang kuda tampak muncul di pintu
gerbang. Orang ini beberapa lama berdiam diri saja dekat pintu itu seperti
merasa ragu apakah akan masuk ke dalam atau tidak. Walaupun gelap tapi si
penjaga tua segera mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. Buruburu dia
mendatangi seraya berseru dan menjura.
“Den Ayu Mirasani! Ya Gusti
Allah…. Akhirnya den ayu kembali juga….”
Si penunggang kuda memang
adalah Mirasani, puteri satu-satunya hartawan Suto Klebet yang diperistrikan
oleh Pendekar 212 Wiro Sableng palsu.
“Apa yang terjadi dengan rumah
besar ini….?” tanya Mirasani dengan suara bergetar. Si penjaga menuturkan
dengan cepat.
“Kedua orang tua den ayu kini
tinggal di rumah di desa Keminung. Saya siap mengantarkan den ayu ke sana….”
“Tidak perlu. Selama rumah ini
kosong apakah ada orang yang datang kemari?”
“Banyak den ayu! Banyak
sekali!”
“Apa maksudmu banyak?
Siapa-siapa mereka?”
“Saya tidak tahu siapa mereka.
Semua tak ada yang menerangkan diri masingmasing.
Tapi saya tahu mereka adalah
orang-orang kalangan persilatan. Tampang dan pakaian mereka aneh-aneh….”
“Apa yang mereka perbuat di
sini?”
“Mereka menanyakan den ayu.
Tapi yang paling banyak menanyakan suami den ayu. Karena saya memang tidak tahu
maka saya jawab tidak tahu. Dua bulan lalu suami den ayu juga muncul di sini.
Kebetulan saya berada di sini….”
Kagetlah Mirasani “Dua bulan
lalu….? Apa yang diperbuatnya di sini….?’
“Hanya melihat dan memeriksa
sebentar. Lalu pergi. Tapi dia ada meninggalkan pesan. Pada malam hari, hari
kelima bulan lima dia akan datang lagi ke mari. Dia berpesan jika saya bertemu
dengan den ayu agar mengatakannya pada den ayu….”
“Hari kelima bulan lima. Itu
besok malam!” desis Mirasani.
“Astaga! Betul sekali den ayu!
Saya sampai lupa menghitung hari! Untung sekali den ayu muncul saat ini hingga
saya tidak melalaikan amanat suami den ayu!”
“Jangan sebut-sebut dia
suamiku! Sejak satu tahun lalu keparat itu bukan lagi suamiku!” kata Mirasani
lalu turun dari kudanya. “Sembunyikan kuda ini di kebun, lalu kau boleh
pergi….” Mirasani melangkah menuju ke rumah besar. Masih terheran-heran
mendengar ucapan Mirasani tadi, tanpa berani berkata apa-apa si penjaga tua
menuntun Guci menuju kebun jauh di belakang rumah besar yang gelap dan sunyi.
Hari kelima di bulan kelima
adalah hari Jum’at kliwon! Sejak sore huja turun rintik-rintik. Cuaca gelap dan
dingin. Kesunyian yang mencengkam sesekali dirobek oleh suara halilintar yag
menggelegar di kejauhan. Sebuah kamar yang terletak di samping kanan rumah
besar tiba-tiba tampak merambas sinar terang.
Lalu pada beberapa pohon besar
yang banyak mengelilingi tempat itu terdengar suara berbisik-bisik. “Ada orang
menyalakan lampu….”
“Ya, kita lihat saja….” Ada
jawaban berbisik.
“Apa yang ktia lakukan
sekarang? Langsung menggerebek…..?” terdengar suara berbisik lainnya.
“Jangan tolol! Siapapun yang
menyalakan lampu, dia pasti bukan orang yang kita cari. Tunggu saja…..” Lalu
terdengar suara cegluk-cegluk…. Suara seperti seseorang tengah minum dengan
lahap.
Malam merayap terus. Semakin
larut semakin dingin dan tambah gelap.
“Ah….. jangan-jangan bangsat
itu tidak datang. Dia hanya sengaja menyebar kabar tipuan….” Kembali terdengar
suara berbisik di atas sebuah pohon.
“Mungkin….. Sekarang sudah
hampir lewat tengah malam. Biar kita tunggu saja sampai menjelang pagi. Paling
tidak sampai orang yang menyalakan lampu pergi dari sini…..”
“Apapun yang terjadi kita
semua harus tetap di sini. Aku yakin bangsat itu akan muncul di tempat ini. dia
tak akan dapat melupakan istrinya yang cantik itu. Walaupun sang istri akan
menghadangnya dengan senjata di tangan!”
Suara bisik-bisik lenyap.
Suasana kembali sunyi
Tiba-tiba. “Ada orang datang!”
“Aih…. Memang bangsat itu! Aku
kenal sekali tampangnya…..!” Cegluk cegluk cegluk….. “Tunggu sampai dia berada
di jurusan kamar yang terang….”
Dari arah pintu gerbang rumah
besar tampak melangkah cepat sesosok tubuh berpakaian putih. Rambutnya yang
godrong menjela bahu bergoyang-goyang ditiup angin malam. Orang ini melangkah
sambil memandang berkeliling, lalu cepat bergerak ke jurusan rumah yang terang
dan berhenti di depan sebuah jendela yang tertutup rapat. Di sini orang ini
kembali memandang berkeliling. Lalu terdengar suara orang ini memanggil
perlahan.
“Mira….. Kau di dalam
kamar….?” Sepi. Tak ada jawaban.
“Mira…. Aku suamimu. Wiro!”
orang di depan jendela kembali memanggil.
Lampu di dalam rumah tiba-tiba
padam. Bersamaan dengan itu jendela yang tertutup di tendang orang dari dalam
hingga hancur berantakan dan terpentang lebar.
Satu bayangan melompat
melewati jendela. Satu bentakan menggeledek di kegelapan malam.
“Manusia dajal! Aku bukan
istrimu! Kau bukan suamiku! Kau manusia penipu! Rampok besar, pembunuh dan pemerkosa!
Kau datang kemari menerima mampus!”
Begitu menjejak tanah orang
yang melompa langsung menyerang lelaki yang berada dekat jendela.
“Mira….. Tenang?! Kau tahu,
apapun yang kau lakukan tak bakal dapat mengalahkanku! Mari kita bicara dulu
secara baik-baik….”
“Bicaralah nanti dengan
malaikat maut!” teriak si penyerang yang bukan lain adalah Mirasani. Di tangan
kanannya kini terhunus sebilah pedang berkilat! Di atas pohon terdengar suara
berbisik penuh tegang.
“Memang dia!”
“Nyalakan obor dan kurung
tempat ini!”
Lalu terdengar suara suitan
keras sebagai tanda.
Selusin obor tiba-tiba
menyala. Lima di atas pohon, tujuh lainnya di bawah di antara semak belukar.
Serta merta tempat itu menjadi terang benderang oleh cahaya obor. Dan bukan itu
saja. Lebih dari selusin orang telah mengurung halaman samping di mana Mirasani
dan si gondrong berpakaian putih berada. Keduanya terkejut bukan kepalang. Tapi
ada lagi tiga orang yang lebih terkejut dan saling pandang. Ketiganya adalah
Wiro Sableng, Anggini dan Mahesa Edan yang sejak tadi berada pula di tempat itu
dan bersembunyi di tempat gelap. Begitu cahaya obor membuat halaman samping itu
terang benderang dan wajah si gondrong berpakaian putih kelihatan jelas,
Pendekar 212 Wiro Sableng yang kini mengenakan topeng tipis jadi melengak kaget
luar biasa. Potongan tubuh dan wajah si gondrong di seberang sana sama sekali
dengan dirinya!
“Gila! Bagaimana ini bisa
terjadi? Aku tidak dilahirkan kembar! Mengapa bangsat itu sama sekali
tampangnya dengan diriku?!” Wiro garuk-garuk kepala dan tangannya yang lain
mengusap wajahnya sendiri. Namun dia tidak bisa tenggelam dalam keheranan itu
karena di depan sana para tokoh silat yang telah mengurung sudah bersiap-siap
membuat perhitungan. Mereka adalah Lor Gambir Seta murid si Raja Penidur,
Malaikat Tangan Besi dari Puputan lalu Pendekar Besi Hitam, Menak Jelantra
alias Harimau Pemakan Jantung, Pengemis Hantu, Dewa Tuak dan ada lagi beberapa
orang yang tak dikenal tapi dari cirri-ciri mereka jelas menunjukkan semuanya
adalah orang-orang silat berkepandaian tinggi!
“Setan dari mana yang
malam-malam buta kesasar ke tampat ini?!” membentak Mirasani sementara Wiro
palsu suaminya tampak tegak tercekat.
Dewa Tuak maju satu langkah.
Matanya sejak tadi menatap si gondrong tanpa berkesip. “Urusan kapiran!”
katanya dalam hati. “Tidak mungkin ada dua manusia bernama Wiro Sableng di atas
dunia ini! tapi mataku menyaksikan sendiri manusia satu ini sama sekali dengan
murid si Sinto Gendeng itu!” Lalu Dewa Tuak berpaling pada Mirasani. Setelah
berdeham beberapa kali diapun menjawab.
“Kami bukan setan-setan
kesasar perempuan muda! Seperti kaupun kami muncul di sini untuk minta nyawa
busuk suamimu itu! Kami datang dua belas orang, tiga belas dengan dirimu!
Rasanya cukup pantas nyawa dajal ini dibagi tiga belas….!”
“Persetan siapapun kalian!
Kalian tidak layak berada di sini! Soal nyawanya hanyalah aku yang berhak
membunuhnya!” jawab Mirasani.
“Perempuan sundal!” tiba-tiba
nenek bergelar Arit Sakti Pencabut Raga muncul. Sejak tadi dia sengaja berlindung
di tempat gelap. “Jangan bicara besar di depanku! Kau pura-pura berseteru
dengan dajal itu padahal aku tahu kau pasti akan membelanya! Jika itu kau
lakukan, kau akan mampus bersamanya!”
“Nenek busuk bermulut kotor!”
balas membentak Mirasani. “Siapa kau?!”
“Siapa aku tak perlu bagimu.
Tapi suamimu itu telah menculik dan memperkosa muridku Sintorukmi lalu
membunuhnya secara biadab! Katakan apakah kau lebih layak dari aku untuk
membunuhnya?! Katakan! Bangsat haram jadah!”
Tidak tahan membendung amarah
dan dendam kesumat si nenek langsung menyerang Wiro Sableng palsu dengan
senjatanya yaitu sebilah arit. Senjata inilah yang tempo hari berhasil melukai
bahu Wiro asli.
Melihat orang menyerang, Wiro
palsu cepat berkelebat mengelak. Sepasang matanya memperhatikan gerakan orang.
Dua kali lagi si nenek menyerbu. Dua kali pula Wiro palsu berhasil selamatkan
diri. Memasuki jurus keempat, dari sikap bertahan tiba-tiba Wiro palsu kirimkan
serangan balasan dan buk….buk… Tinju kiri kanan melabrak dan dan perut si nenek
hingga perempuan tua ini terjungkal megapmegap, merangkak di tanah tak bisa
berdiri beberapa lamanya!
Belasan pasang mata terbeliak
besar. Dewa Tuak sampai ternganga heran. Arit Sakti Pencabut Raga bukanlah
tokoh silat kemarin. Selama bertahun-tahun dia dianggap sebagai dedengkot
persilatan di daerah barat kali Brantas. Adalah tidak dapat dipercaya, dalam
keadaan memegang senjata andalannya dia dapat dirobohkan hanya dalam empat
jurus!
Berhasil merobohkan lawan,
semangat keberanian Wiro palsu berkobar. Dia memandang bekeliling lalu berkata
“Kalian semua tokoh-tokoh silat gila keblinger! Muncul dengan membawa maksud
keji untuk membunuhku! Apa yang telah kulakukan? Kalian pandai mengarang
fitnah! Kalaupun aku mati di tangan kalian, guruku Sinto Gendeng tidak akan
berlepas tangan!”
“Anjing kurap! Pemuda jahanam
itu menyebut guruku sebagai gurunya!” maki Wiro Sableng asli sambil kepalkan
tinju. Dia hampir hendak melompat kalau tidak ditahan oleh Mahesa Edan dan
Anggini.
Terdengar kembali suara Wiro
palsu “Kalian datang beramai-ramai. Mengeroyok! Itukah jiwa kesatria
manusia-manusia yang katanya tokoh persilatan?! Kalau kalian memang jantan mari
berkelahi satu lawan satu sampai seribu jurus!”
“Manusia iblis! Aku lawanmu
yang pertama!” teriak Pendekar Besi Hitam sambil melintangkan tongkat bsei
hitam di depan dada.
“Hemm….. Aku tidak kenal
padamu!” ujar Wiro palsu sambil memperhatikan pendekar muda itu dengan
pandangan merendahkan “Fitnah apa yang hendak kau tuduhkan padaku?!”
“Aku Pendekar Besi Hitam!
Setahun lalu kau merampok rumah kediaman bibiku janda almarhum Tumenggung
Campak Wungu. Kau juga yang kemudian membunuhnya dan meninggalkan tanda 212 di
dinding kamar!”
“Fitnah keji! Aku tidak akan
membiarkanmu hidup!” teriak Wiro palsu. Dia seperti hendak menyerang tapi kedua
kakinya tetap tak bergerak. Justru saat itu Pendekar Besi Hitam sudah
mendahului dengan menghantamkan tongkat besinya ke arah kepala Wiro palsu. Yang
diserang cepat mengelak dan keluarkan suara tawa mengejek.
“Tongkat Dewa Memukul Puncak
Gunung!” seri Wiro palsu.
Kagetlah Pendekar Besi Hitam
ketika mendengar lawan menyebut jurus serangan yang barusan dilakukannya.
“Ha….ha! Ayo keluarkan seluruh
kepandaianmu! Kalau tidak seelum empat jurus kau akan melosoh di tanah!”
Dengan hati terbakar dan muka
mengelam Pendekar Besi Hitam membentak garang lalu menyerbu kembali. Tongkat
besinya mengeluarkan suara menderu dan memancarkan sinar hitam redup tanda dia
telah mengerahkan tenaga dalam untuk menyerang itu.
“Tongkat Sakti Menusuk Karang….!
Tongkat Sakti Membobol Bendungan….” Mulut Wiro palsu tiada hentinya menyebutkan
jurus-jurus serangan yang dimainkan lawan sementara kedua matanya hampir tidak
berkesip melihat gerakan Pendekar Besi Hitam. Memasuki jurus kelima tiba-tiba
Wiro palsu membuat gerakan aneh. Terdengar kemudian dia berseru “Lihat! Aku
akan menggebukmu dengan jurus silatmu sendiri!”
Tubuh Wiro palsu meliuk ke
kanan lalu melesat ke depan. “Tongkat Sakti Menusuk Karang!” teriaknya lalu
memainkan jurus serangan yang tadi dilancarkan lawan walaupun hanya menggunakan
tangan. Pendekar Besi Hitam terkejut sekali melihat kejadian itu. Lawan bukan
saja memainkan jurus tongkat sakti menusuk karang itu dengan sempurna, malahan
gerakannya lebih cepat dan ganas. Lalu buk!
Pendekar Besi Hitam terlontar
dua tombak sambil semburkan darah segar dari mulutnya. Tulang dadanya hancur.
Tubuhnya melingkar di tanah, entah mati dntah pingsan!
Dewa Tuak tak dapat menahan
hatinya lagi. Sambil memegang bumbung bambu di tangan kiri dia berkata “Mari
layani aku sejurus dua jurus….”
Wiro palsu tertawa lebar.
“Sudah tua bangka begini masih saja mencampuri urusan dunia!”
Dewa Tuak ganda tertawa
mendengar ejekan itu lalu teguk tuaknya dua kali. Saat itulah Menak Jalantra
alias Harimau Pemakan Jantung maju mendahului.
“Dewa Tuak, biarkan aku yang
menghajar dajal keparat ini. akan kucincang tubuhnya sampai lumat!” Sret! Habis
berkata begitu Harimau Pemakan Jantung cabut golok saktinya yang berhulu kepala
harimau. Melihat orang memaksa, dengan sabar Dewa Tuak terpaksa mundur.
SEBELAS
Wiro palsu agak tercekat
ketika melihat sinar angker yang memancar dari golok lawan yang berpakaian
serba hitam dan mengenakan caping bambu itu.
“Perkenalkan dirimu agar aku
bisa menghajarmu pada bagian-bagian tubuhmu yang empuk!”
Terpancing oleh kata-kata
mengejek Wiro palsu Harimau Pemakan Jantung sebutkan gelarnya. Begitu mendengar
gelar orang, Wiro palsu tertawa bergelak.
“Kau rupanya. Jurus apa yang
hendak kau keluarkan manusia harimau bercaping bambu? Jurus harimau keluar dari
goa, jurus harimau mencengkeram bola dunia atau jurus macan tutul menyamar
rembulan….?”
Kagetlah Harimau Pemakan
Jantung begitu mendengar lawannya menyebutkan jurus-jurus paling rahasia dari
ilmu silatnya.
“Bagus! Kau bisa menyebut
jurus-jurus itu dank au akan mampus dalam jurusjurus itu!” Harimau Pemakan
Jantung mengembor. Suara gemborannya tak beda seperti suara harimau menggereng.
Tubuhnya berkelebat, langsung lenyap dan kini hanya sinar goloknya yang tampak
berputar.
“Golok Sakti Memburu Harimau
Sesat!” teriak Wiro palsu menyebut jurus pembuka serangan yang dilancarkan
lawan. Lalu tubuhnya menyelusup ke kiri.
Sungguh luar biasa, dia dapat
berkelit dari serangan yang ganas itu padahal Harimau Pemakan Jantung telah
meyakini jurus itu selama bertahun-tahun. Dengan kertakkan rahang dia kembali
memburu. Enam jurus berlalu cepat. Tubuh Wiro palsu terbungkus sinar golok dan
tampaknya dia tidak bisa berbuat suatu apa.
“Kurang ajar!” Wiro palsu
menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Tibatiba dia berseru keras. Tubuhnya
melesat ke kiri, di arah mana Mirasani berdiri.
Sebelum tahu apa yang terjadi
tahu-tahu Mira merasakan pedang yang dicekalnya terlepas dari tangannya. Di
lain kejap di depan sana Wiro palsu tampak sudah berdiri memegang pedang dan
menghambur menyongsong serangan Harimau Pemakan Jantung. Tapi dia sama sekali
tidak berusaha dekati lawan, melah dari tempatnya berdiri dia mulai mainkan
jurus-jurus ilmu silat lawannya sendiri! Hal ini membuat lawan bukan saja kaget
tapi juga bingung karena tak tahu hendak keluarkan jurus apa untuk membobolkan
jurusnya sendiri!
“Kau takut? Mengapa diam
saja?!” Wiro palsu mengejek.
“Mampus!” teriak Harimau
Pemakan Jantung lalu menyerbu dengan jurus simpanan yaitu Datuk Harimau
Membelah Jantung. Tapi di depan sana tiba-tiba lawannya bergerak menghantam
dengan jurus harimau keluar dari goa lalu macan tutul menusuk matahari!
Harimau Pemakan Jantung
seperti tak berdaya dalam ketersiapannya. Pedang di tangan lawan menusuk deras
pada leher di bagian bawah dagunya! Tokoh silat ini keluarkan suara seperti
ayam dipotong, darah menyembur lalu roboh ke tanah. Kakinya menggelepar-gelepar
sesaat setelah itu tak berkutik lagi alias mati!
Wiro tersentak. Bukan ngeri
melihat kematian itu tapi karena ingat si Harimau Pemakan Jantung itulah yang
dulu mengambil Kapak Naga Geni 212 yang terlepas dari tangannya ketika dia
dikeroyok habis-habisan!
“Gila!” terdengar suara Mahesa
Edan. “Jika begini terus-terusan tokoh silat yang ada di sini bisa mati konyol
semua!” Dia berpaling pada Wiro yang masih memikirkan kapak saktinya.
“Bagaimana pendapatmu Wiro?!”
“Manusia satu ini memang luar
biasa. Tapi tunggu, aku ingat pesan guru yang kau sampaikan. Dalam susah
pergunakan akal. Dalam kesulitan putar otak. Tak ada yang dapat mengalahkan
kebenaran akal sehat dan otak cerdik! Jelas si gondrong yang punya tampang
sepertiku itu memiliki akal dan otak cerdik….”
“Maksudmu…..?” tanya Anggini.
Wiro asli garuk-garuk kepala.
“Dia memang luar biasa. Tapi kalian saksikan sendiri. Semua ilmu silat yang
dikeluarkannya bukan kepandaian dia sendiri. Tapi dia justru memainkan
jurus-jurus silat lawan. Dia menirukannya. Ada sesuatu yang rahasia di balik
keluar biasan itu!”
“Apa maksudmu…..?” tanya
Mahesa Edan tak mengerti.
Wiro kembali menggaruk kepala
dan usap mukanya yang tertutup topeng.
“Maksudku…..enggg….. Pernahkah
kau memikirkan bagaimana kalau kita diserang lawan dengan ilmu silat kita
sendiri? Kita akan kelabakan! Karena kita memang tidak pernah mempelajari
bagaimana cara bertahan jika diserang ilmu silat sendiri. Selama ini semua ilmu
silat hanya memusatkan pada bagaimana jika diserang oleh ilmu silat lain. Tentu
saja memang begitu karena mana ada pikiran senjata mau makan tuannya sendiri!
Kenyataanya kita melihat bangsat yang punya tampang sepertiku itu merobohkan
lawan-lawannya dengan mengandalkan ilmu silat lawannya! Dia sendiri mungkin
tidak memiliki dasar ilmu silat yang andal. Dia hanya memiliki akal dan otak
cerdik! Persis seperti kata Eyang Sinto Gendeng!”
“Kalau begitu apa yang akan
kita lakukan. Semua orang yang ada di sini termasuk kita pasti akan
dikalahkannya jika berani menghadapinya!” berkata Anggini.
“Tunggu dulu, apa yang aku
rasakan belum kusampaikan semua,” kata Wiro pula. “Ada satu keanehan dalam ilmu
silat yang dimainkan orang itu. Dia tak pernah melakukan serangan pertama kali.
Tidak pernah berani melakukan bentrokan senjata. Juga seperti menghindarkan
bentrokan tangan! Mungkin dia tidak memiliki tenaga dalam….”
“Mustahil!” bantah Mahesa.
“Kalau tidak memiliki tenaga dalam mengapa dia mampu melepaskan pukulan sakti
sinar matahari yang menghanguskan itu!”
“Itu yang kepingin aku
menyaksikannya!” kata Wiro.
“Aku berminat sekali untuk
menjajalnya!” kata Mahesa Edan pula.
“Aku juga!” berkata Anggini.
“Tunggu, kita diam saja di
sini sambil menyaksikan beberapa gebrakan lagi….”
“Kalau hanya diam, dua atau
tiga tokoh silat lagi pasti akan dihancurkannya. Aku tak mau guruku ikut jadi
korban!” ujar Anggini.
Wiro garuk-garuk kepala. Di
depan sana dilihatnya Dewa Tuak dan Pengemis Hantu beserta yang lainnya
bergerak dalam bentuk lingkaran, mengurung Wiro palsu.
“Kalian hendak mengeroyokku?!
Pengecut!” teriak Wiro palsu yang melihat gelagat berbahaya itu.
Saat itulah Wiro menghambur
dari tempat persembunyiannya.
“Tak ada yang akan
mengeroyokmu Wiro! Aku yang akan menghadapimu.
Sendirian! Satu lawan satu!”
Wiro asli menyeruak di antara para tokoh silat langsung menghadapi Wiro palsu
dalam jarak lima langkah.
“Siapa pula kau anak muda!
Wajahmu sepucat mayat! Belum kugorok lehermu kau sudah kelihatan seperti tidak
berdarah!”
Wiro asli menyeringai. “Aku
pacar istrimu itu. sejak kau meninggalkannya satu tahun silam, dia telah
mengambilku jadi pacar, jadi kekasihnya!”
“Edan, apa-apaan si Wiro
itu…..!” bisik Anggini pada Mahesa Edan.
“Pemuda kurang ajar! Kenalpun
tidak! Berani kau mempermalukan aku! Mengatakan aku kekasihmu! Pacarmu!”
Mirasani marah sekali sedang Wiro palsu tampak terkesiap sambil usap-usap dagu.
Hati kecilnya bertanya-tanya apa betul pemuda pucat berambut gondrong ini
kekasih istrinya? Meski jelas tadi Mirasani membantah dengan marah tapi bukan
mustahil ada semacam sandiwara dengan kemunculan si muka pucat ini!
“Jika kau mengaku kekasih
istriku, lantas apakah ada silang sengketa di antara kita?” bertanya Wiro
palsu.
“Pasti ada! Karena setelah
satu tahun kabur tiba-tiba kau muncul di sini! Kangen atau kebelet pada
isterimu hah?! Sebagai seorang kekasih aku akan mempertahankan dirinya. Kau
boleh angkat kaki dari sini!”
“Kau memintaku pergi! Kau
takut menghadapiku!” ujar Wiro palsu seraya rangkapkan tangan di muka dada.
Wiro asli juga rangkapkan
kedua tangan di dada. “Siapa takutkan dirimu! Jika kau memang punya nyali
silahkan menyerang lebih dulu. Kau mau keluarkan jurus apa? Jurus kunyuk
melempar buah? Atau orang gila mengebut lalat? Atau benteng topan melanda
samudera, atau jurus membuka jendela memandang rembulan yang romantis itu?
ha….ha…..ha…!” Wiro sebutkan jurus-jurus ilmu silatnya sendiri lalu tertawa
gelak-gelak. Di depannya Wiro palsu tampak membesi tampangnya. Hatinya panas.
Tapi dia tetap tak bergerak di tempatnya. Diam-diam hatinya bertanya-tanya.
Siapa sebenarnya pemuda ini.
Mengapa dia tahu jurus-jurus silat Pendekar 212 dan apakah dia benar-benar
menyangkanya sebagai sebagai Wiro Sableng asli murid Sintto Gendeng dari Gunung
Gede?
“Hai! Kau melamun! Atau memang
tak berani melawanku!” Wiro asli berseru.
“Keluarkan seluruh
kepandaianmu. Silahkan kau memilih bagian tubuhku yang paling lunak!” sahut
Wiro palsu dan tetap saja dia tidak bergerak di tempatnya.
“Bangsat satu ini tidak bisa
dipancing rupanya!” kata Wiro dalam hati. Lalu diapun mulai pasang kuda-kuda
sementara para tokoh yang ada di situ seperti terlupa akan urusan besar mereka
dengan Wiro asli, dan hanya tegak memperhatikan apa yang terjadi.
Perlahan-lahan, dengan gerakan
yang amat jelas Wiro mulai mainkan beberapa jurus serangan. Tapi dianya sendiri
sama sekali tidak melakukan serangan, hanya bersilat di tempat. Lalu sambil
bersilat dia menyebutkan jurus-jurus yang dilakukannya itu.
“Jurus Anjing Buduk Kawin Di
Pasar!” seru Wiro. Kedua tangannya dihimpitkan satu sama lain, ditusukkan ke
depan lalu mulutnya keluarkan suara menggonggong. “Lihat, jurus Monyet Tua
Kegatalan!” Lalu Wiro mencak-mencak sambil kedua tangannya menggaruk ke seluruh
bagian tubuhnya mulai dari kepala sampai selangkangan! “Dan ini jurus Nenek
Sakti Kencing Di Bawah Pohon!” Kali ini Wiro nampak berjingkrak-jingkrak lalu
mengangkat tinggi-tinggi kedua kaki celananya seperti perempuan menyingsingkan
kain, setelah itu dia duduk berjongkok dengan kaki terkembang dan dari mulutnya
terdengar suara menirukan perempuan kencing Serrrr….serrrr……serrrr. Suasana
yang tadinya tegang kini berubah. Beberapa orang tersenyum-senyum menahan geli.
“Kawan kita itu sudah gila
agaknya!” Anggini berkata pada Mahesa.
“Jurus-jurus itu! Aku tahu
betul itu bukan jurus silat Eyang Sinto Gendeng! Apa sebenarnya dilakukan
pendekar konyol itu!”
Dewa Tuak tampak komat kamit.
“Dalam dunia persilatan hanya ada satu pendekar konyol lucu seperti ini. Ah,
apakah dia ……Jangan-jangan…..” Orang tua sakti itu memandang ke arah Wiro palsu
dan Wiro asli. Dia melihat dua persamaan.
Pakaian putih dan rambut
gondrong! Tapi wajah jauh berbeda. Ini membuat kembali si kakek menjadi meragu.
“Hai! Ayo serang diriku!
Jangan bengong saja!” Wiro asli berteriak pada Wiro palsu.
Wiro palsu menyeringai.
Walaupun orang tampak seperti mempermainkannya tapi sepasang matanya tidak
berkesip memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh si gondrong di depannya
itu.
“Manusia pengecut! Kau hanya
berani jual lagak memperagakan ilmu silat picisan. Tapi sama sekali tak berani
menyerangku! Menyingkir dari hadapanku!” membentak Wiro palsu.
Wiro asli tampak marah.
“Pengecut?! Aku pengecut katamu! Lihat, akan kupecahkan kepalamu dalam tiga
jurus!: Wiro berkelebat. Kedua kakinya menggelusur di tanah, kedua tangannya
yang dihimpitkan satu sama lain ditusukkan ke depan.
“Jurus pertama!” serunya.
“Anjing buduk kawin di pasar!”
Sesaat Wiro palsu kaget karena
dia dapat merasakan tusukan dua tangan yang saling berhimpit itu menebar hawa
tenaga dalam yang kuat. Tapi dia tidak takut. Dia sudah melihat jelas setiap
liku gerakan lawan. Sambil maju selangkah dia berseru “Aku akan menghancurkanmu
dengan jurusmu sendiri!” Lalu diapun berkelebat mengirimkan serangan dalam
jurus anjing buduk kawin di pasar itu. ternyata gerakannya lebih sebat. Tusukan
kedua tangannya datang menghujam lebih dulu ke arah kepala Wiro asli!
“Celaka!” seru Anggini.
“Ah! Dia akan kena gebuk
karena kekonyolannya sendiri!” Mahesa Edan ikut keluarkan seruan dan siap
melompat dari persembunyiannya untuk membantu.
Tapi apa yang terjadi kemudian
sungguh mengejutkan semua orang. Didahului oleh suara tawa bergelak, Pendekar
212 Wiro Sableng asli tampak membuang diri ke samping. Apa yang disebut jurus
“anjing buduk kawin di pasar” itu lenyap sama sekali. Kini kelihatan satu
gerakan silat yang mantap. Tubuhnya merunduk, tangan kanannya menderu ke depan.
“Jurus Kunyuk Melempar Buah!”
teriak Wiro asli.
Wiro palsu terkejut sekali. Sadar
kalau dirinya tertipu oleh jurus palsu yang dipakai menyerang tadi dia cepat
merubah gerakan, meniru gerakan serangan yang kini dilepaskan Wiro. Tapi kali
ini dia sial dan terlambat.
Bukkk!
Wiro palsu menjerit keras.
Tubuhnya terpental, perut tertekuk ke depan. Wajahnya sepucat kertas. Dia tegak
dengan tubuh sempoyongan.
“Jurus monyet tua kegatalan!”
teriak Wiro asli.
Dua tangannya menggaruk kian
kemari. Dalam keadaan kesakitan dan terperangah Wiro palsu coba meniru gerakan
lawan tapi Wiro mendadak sontak telah merubah lagi gerakannya seraya berseru
“Jurus orang gila mengebut lalat!” Tangan kirinya membabat ke samping,
mengemplang bahu Wiro palsu dengan keras.
Terdengar suara kraak! Tanda
tulang pangkal lengan orang itu patah. Tubuhnya terpental ke kiri, di arah mana
Mirasani berdiri. Perempuan muda ini yang sejak tadi tak dapat menahan hatinya
lagi melompat ke depan menjambak rambut suaminya itu lalu menariknya
keras-keras ke bawah, perempuan ini hantamkan lututnya! Praas!
Hidung dan mulut Wiro palsu
remuk. Darah berkucuran.
“Jurus nenek sakti kencing di
bawah pohon!” terdengar kembali teriakan Wiro asli. Tubuhnya seperti meluncur
sedang kedua kakinya terkembang. Kali ini dia sama sekali tidak melakukan
“tipuan”. Apa yang disebut jurus nenek sakti kencing di bawah pohon itu
benar-benar dilakukannya. Dengan kedua kakinya dia menjepit tubuh Wiro palsu.
Begitu dia membanting diri ke samping maka tubuh Wiro palsu ikut terhempas
menghantam tanah. Mukanya makin berkelukuran.
“Mana pukulan sakti sinar mataharimu!
Keluarkan pukulan saktimu itu!” Wiro asli berteriak. Dia ingin melihat dengan
mata kepala sendiri apa benar manusia yang memiliki tampang sama dengan dia itu
betul-betul memiliki kesaktian tersebut. Wiro palsu kertakkan rahangnya. Tangan
kirinya yang masih utuh bergerak lamban ke atas. Mulutnya yang hancur
mengeluarkan suara seperti menjampai. Lalu dia memukul ke depan. Sinar putih
menyilaukan dan menghambur hawa panas menderu ke arah Wiro asli. Murid Sinto
Gendeng tidak terkejut. Yang dilepaskan lawan bukan pukulan sinar matahari
wlaau sinar dan panasnya hampir menyerupai. Dan tangan kanan yang melepas
pukulan itu sama sekali tidak berubah menjadi seperti perak sebagaimana kalau
dia melepaskan pukulan sinar matahari yang asli.
Karenanya tanpa tedeng
aling-aling Wiro menghantam dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dia
hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya. Itupun sudah cukup untuk
menghancur leburkan pukulan lawan dan membuat Wiro palsu terhempas jauh. Darah
mengucur dari mulunya! Nenek Arit Sakti Pencabut Raga yang tadi cidera tapi
kini sudah mampu bangkit berdiri tak mau ketinggalan. Senjatanya berkilauan
dalam cahaya obor.
Craaassss!
Arit yang tajam itu memutus
bahu kanan Wiro palsu. Orang ini meraung setinggi langit. Kedua kakinya tak
sanggup lagi menopang tubuhnya yang sudah hancur-hancuran itu. Namun sebelum
tubuhnya benar-benar mencium tanah, dua serangan datang menggebuk.
Yang pertama kaki kanan
Mirasani yang mengahancurkan selangkangannya hingga untuk kedua kalinya Wiro palsu
menjerit keras dan mata membeliak. Hantaman kedua adalah gebukan kaleng rombeng
Pengemis Hantu yang merobek pelipis sampai ke pipi hingga muka Wiro palsu
menjadi sangat mengerikan, penuh luka dan kucuran darah!
“Tahan! Jangan menghantam
membabi buta! Manusia itu sudah sekarat!” terdengar teriakan Dewa Tuak.
Semua irang seperti tersentak
sadar dan kini hanya tegak tak bergerak memandangi tubuh yang terkapar mandi
darah dan mengerang. Erangan itu hanya terdengar beberapa saat lalu lenyap
tanda nyawa orang itu putus sudah! Kesunyian mencekam. Hanya terdengar beberapa
helaan nafas. Di sebelah kiri tampak Mirasani tekapkan kedua tangannya ke
wajahnya, berusaha menahan isakan tangis. Dewa Tuak mendekati Wiro asli.
“Anak muda bermuka pucat! Aku
kagumi kehebatanmu dapat mengalahkan manusia jahat berilmu tinggi itu!” memuji
si kakek. “Aku mengundangmu minum tuak!”
“Terima kasih kek! Sebenarnya
orang itu biasa-biasa saja bahkan boleh dikatakan tidak memiliki ilmu silat
apa-apa! Tapi dia memiliki satu kehebatan memang! Dia punya akal dan otak
cerdik. Dia sanggup memperhatikan dan meniru setiap gerakan silat lawan. Lalu
mempergunakan jurus-jurus silat itu untuk menumbangkan lawan!”
Dewa Tuak manggut-manggut.
Tiba-tiba dia berkata yang membuat semua orang terkejut dan memandang dengan
mata besar. “Anak nakal! Sekarang apakah kau tidak akan menanggalkan topeng
yang membungkus wajahmu itu?!” Wiro asli tersentak kaget.
“Dan kau muridku yang suka
usilan apakah masih akan terus bersembunyi di tempat gelap bersama sahabatmu
itu?!”
Menyadari gurunya telah
mengetahui kehadirannya di situ Anggini diiringi Mahesa Edan segera keluar dari
tempat persembunyiannya. Dewa Tuak kembali berpaling pada Wiro asli.
“Pemuda gendeng! Ayo lekas kau
copot topengmu, tunjukkan tampangmu yang sebenarnya pada semua tokoh silat yang
ada di sini!”
Wiro garuk-garuk kepala.
Akhirnya kedua tangannya diangkat juga ke muka.
Perlahan-lahan dia melepas
topeng yang menutupi wajahnya. Begitu wajahnya tersingkap semua orang
mengeluarkan seruan tertahan. Bahkan ada yang segera mencekal senjata, siap
menyerbu. Mirasani sendiri terpekik keras.
“Kau!” seru Mirasani dan
memandang dengan mata terbeliak ke arah Wiro Sableng asli dan Wiro palsu yang
sudah jadi mayat. Seprti tak dapat mempercayai kedua matanya sendiri! Begitu
juga yang lain-lainnya. Dewa Tuak tersenyum lebar lalu berkata “Pemuda konyol
satu ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang sebenarnya! Yang itu palsu.
Hanya takdir saja yang melahirkan mereka memiliki wajah hampir mirip. Dan
kemiripan itu dimanfaatkannya untuk menjadi modal berbuat jahat. Ditambah
dengan kemampuannya menguasai setiap jurus silat orang lain dengan hanya
melihat sekali saja maka jadilah dia biang racun kejahatan yang malang
melintang selama satu tahun…..”
“Lalu yang kita keroyok tempo
hari siapa?” bertanya Arit Sakti Pencabut Raga.
“Memang dia juga….” Jawab Dewa
Tuak. “Wiro perlihatkan bekas luka di bahumu….”
Wiro membuka baju putihnya.
Mula-mula kelihatan dadanya yang berterakan angka 212. Lalu tampak bahunya yang
ada bekas lukanya dan masih belum begitu kering.
“Berarti kita telah kesalahan
tangan! Mencelakai kawan selongan sendiri…. Aku menyesal…..aku menyesal!” kata
si nenek berulang kali.
Dewa Tuak dan Wiro hanya bisa
tersenyum. Ketika dia berpaling ke kiri dilihatnya Mirasani tegak dan menatap
lekat-lekat ke wajahnya.
“Sama sekali…..sama sekali.
Tidak ada bedanya!” desis perempuan yang dengan sendirinya saat itu telah
menjadi janda.
“Kalau begitu apakah kau mau
mengambilku jadi pengganti suamimu itu…..?” bertanya Wiro.
Sepasang mata Mirasani melebar
berkilat. “Ternyata kau tidak sama dengan dia….”
“Eh, mengapa begitu katamu
sekarang. Tadi kau katakan sama sekali!” ujar Wiro.
“Dia tidak memiliki sifat
konyol dan mulut ceplas ceplos sepertimu! Dia tidak suka mengganggu orang!
Tapi….”
“Tapi…..” meneruskan Dewa
Tuak. “Jika dia suka padamu kaupun tentu tidak menolak!” Semua orang tertawa.
Nenek Arit Sakti mendekati
Wiro. “Anak muda,” kata si nenek. “Aku menyesal sekali telah melukaimu waktu
itu….. Aku mohon maafmu!”
“Apa yang terjadi semua karena
kesalah pahaman belaka nek. Justru aku yang harus minta maaf padamu!”
“Eh, mengapa terbalik begitu?”
bertanya si nenek keheranan.
“Karena terus terang saja,
waktu aku menyebutkan dan memainkan jurus konyol bernama nenek sakti kencing di
bawah pohon itu, aku membayangkan bahwa dirimulah yang sedang kencing itu!”
“Anak kurang ajar!” maki Arit
Sakti Pencabut Raga tapi kemudian bersama semua orang yang ada di situ diapun
turut tertawa gelak-gelak.
“Dewa Tuak…..” kata Wiro. “Aku
ingin minta keterangan. Waktu aku kalian serbu tempo hari, kapakku kena rampas
Harimau Pemakan Jantung. Kau tahu di mana senjata itu sekarang?”
“Jangan kawatir. Aku simpan
baik-baik,” jawab Dewa Tuak. Lalu dari balik pakaiannya dikeluarkannya Kapak
Maut Naga Geni 212 dan menyerahkannya pada Wiro.
“Terima kasih. Semua telah
berakhir kini. Saatnya kita meninggalkan tempat ini!” kata Wiro.
“Memang kami semua akan
meninggalkan tempat ini. Tapi kau tetap di sini Wiro…..” ujar Dewa Tuak.
Sebelum Wiro sempat bertanya apa maksud kata-kata kakek itu tiba-tiba Dewa Tuak
telah menotok punggungnya hingga Wiro jadi tertegun kaku, “Hai! Mengapa kau
menotokku Dewa Tuak?!”
“Seperti kataku tadi! Kami
semua akan pergi tapi kau tetap di sini. Pertama untuk mengurusi jenazah para
sahabat. Kedua, yang lebih penting untuk menemani janda cantik itu.
Ha….ha…..ha…..!”
“Kalian semua konyol!” teriak
Wiro.
“Konyol dan kurang ajar!”
teriak Mirasani.
Dewa Tuak keluarkan suitan
keras. Semua orang yang ada di tempat itu berkelebat dan lenyap dalam
kegelapan. Obor-obor dibuang dan berjatuhan di tanah. Mirasani berpaling pada
Wiro. Pendekar inipun menatap ke arah Mirasani. Dua pandangan saling beradu.
Sesaat Mira tampak tegang. Tapi ketika Pendekar 212 tersenyum, diapun ikut
tersenyum.
“Tolong lepaskan totokan di
punggungku….” Pinta Wiro seraya kedipkan matanya.
“Kau tidak seperti dia kan….?”
“Bukankah kau sendiri tadi
mengatakan aku memang tidak sama dengan manusia paslu itu….?”
Perlahan-lahan Mirasani
gerakkan tangannya untuk melepaskan totokan di punggung Wiro.
“Tunggu, totokan itu tidak
bisa dilepaskan kalau tubuhku masih aterbungkus pakaian. Kau harus membuka
pakaianku dulu, baru melepaskan totokan…..”
Percaya apa yang diucapkan
Wiro maka Mirasani lalu membuka pakaian si pemuda kemudian baru melepaskan
totokan yang bersarang di punggung. Begitu totokannya terlepas Wiro Sableng
tertawa gelak-gelak.
“Apa yang kau tertawakan…..?”
tanya Mirasani heran.
“Kau tertipu…..”
“Tertipu? Tertipu bagaimana?”
“Totokan itu sebenarnya bisa
dilepaskan tanpa membuka pakaianku. Aku mendustaimu karena ingin merasakan
sentuhan jari-jari tanganmu secara langsung! Ha….ha…..ha…..”
“Kalau begitu biar kutotok kau
kembali!”
Mirasani gerakkan tangan
kanannya dengan cepat. Namun sebelum dia sempat menotok Wiro sudah mencekal
lengannya, langsung merangkulnya. Dan Mirasani seperti kena sihir tidak
berusaha untuk melepaskan pelukan hangat itu.
TAMAT