-------------------------------
----------------------------
057 Nyawa Yang Terhutang
1
SUARA BERADUNYA PEDANG
terdengar berkepanjangan di lereng bukit Cemoro Sewu padahal hari masih gelap
dan udara mencucuk dingin. Binatang hutanpun menyingkir ketakutan. Karena yang
terdengar bukan hanya suara beradunya senjata tajam itu namun juga ada bentakan
- bentakan serta hentakan-hentakan kaki yang menggetarkan tanah.
Siapa yang pagi-pagi buta
telah saling baku hantam seolah-olah tidak ada waktu menyelesaikan urusan di
siang hari?
Di antara kerasnya suara
pedang beradu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh. Lalu ada orang yang
bicara dalam kegelapan.
“Bagus! Bagus Wilani! Sepuluh
jurus kau bisa bertahan, sepuluh jurus kau balas, mendesak!
Bagus! Ilmu pedangmu sudah
cukup matang! Yang penting kini adalah berlatih terus!”
“Terima kasih untuk pujian itu
kakek guru! Semua itu berkat gemblengan yang kakek guru berikan!”
Ternyata di lereng bukit
Cemoro Sewu itu bukan terjadi perkelahian, melainkan seorang murid dan guru
tengah berlatih ilmu pedang di gelap buta menjelang dini hari!
Sang guru adalah seorang kakek
berambut putih panjang. Dia mengenakan pakaian berbentuk selempang seperti
pakaian seorang resi dan berwarna hitam. Gerakan tangannya memutar pedang sebat
sekali. Gerakan kakinya kukuh dan ringan. Sesekali pakaian hitamnya di bagian
kaki nampak tersingkap. Astaga! Ternyata kakek yang memiliki ilmu meringankan
tubuh tinggi ini hanya mempunyai satu kaki kanan. Kaki kirinya buntung sebatas
lutut.
Tapi tak kalah hebatnya sang
murid yaitu seorang dara berpakaian serba biru, berambut hitam dikuncir. Meski
seluruh pakaiannya basah kuyup tanda dia telah mengerahkan seluruh tenaga,
gerakannya berkelebat gesit sekali. Putaran pedangnya mengeluarkan angin
menderu-deru, gerakan kedua kakinya tak terduga sehingga setiap bacokan atau
tusukan senjatanya sulit diduga.
“Bagus! Bagus! Sekarang aku
ingin melihat kau menutup serangan terakhirmu dengan jurus Rembulan Mencukur
Bintang. Lakukan!”
Mendengar ucapan sang guru,
gadis baju biru bernama Wilani membentak keras. Lalu tubuhnya melesat ke udara
setinggi dua tombak. Ujung pedang di tangan kanan menderu ke arah sebuah cabang
pohon berdaun lebat. Terdengar suara merambas beberapa kejapan mata. Ketika si
gadis melompat turun kembali kelihatanlah dalam gelap bagaimana seluruh daun di
cabang itu telah gundul laksana dipangkas sedang ranting-ranting besarnya
sedikitpun tak ada yang rusak.
Kakek kaki buntung tertawa
gembira.
“Hebat! Luar biasa Wilani!”
“Terima kasih kakek guru!”
sang dara menyahuti sambil bungkukkan tubuh.
“Sekarang aku ingin menguji
kehebatan senjata rahasiamu! Siapkan kantong jarummu!”
“Saya sudah siap kakek…,” kata
Wilani pula sesaat kemudian.
“Lihat ke arahku!” kata si
kakek sambil mengangkat tangan kanannya dekat-dekat ke kepalanya sampai
setinggi daun telinga. Telapak tangan dan lima jari dikembangkan. Di antara
jarijari tangan yang lima itu terselip empat buah daun kecil.
“Serang empat daun yang
kujepit di antara jari-jari tangan!”
“Siap guru!”
“Tunggu dulu. Ada syaratnya!”
kata si kakek pula.
“Empat helai daun itu harus
tembus tetapi tidak selembarpun boleh lepas dari jepitan jariku.
Bagaimana? Sanggup?!”
“Akan saya coba kek!”
“Nah hantamlah! Tapi awas!
Jangan mata atau hidung atau tanganku yang kau hantam!
Hik…hik…hik!”
Wilani menggerakkan tangan
kanannya ke dalam kantong. Sesaat kemudian tangan itu keluar bersama empat buah
jarum halus berwarna putih. Lalu tangan itu menghantam ke depan.
Terdengar suara berdesing
dalam kegelapan malam. Empat jarum halus melesat tidak kelihatan. Si kakek
menunggu lalu berseru.
“Hai! Hai! Sudahkah kau
melemparkan senjata rahasiamu, Wilani?!”
“Sudah kek! Harap periksa
keempat daun itu!”
Kakek kaki satu turunkan
tangannya dan meneliti. Keempat daun kecil yang dijepitnya di antara jari-jari
tangan kanannya ternyata sudah berlubang kecil di bagian tengahnya. Melihat hal
ini kembali orang tua itu tertawa mengekeh.
“Hebat! Luar biasa! Kau memang
muridku yang andal!”
“Terima kasih guru. Jangan
keliwat memuji!” jawab sang murid tersipu. Waktu tersipu ini ada lesung pipit
muncul di kedua pipinya.
“Sekarang ujian terakhir. Aku
akan menggabung ilmu meringankan tubuhmu dengan kekuatan tenaga dalam serta
kepekaan perasaanmu. Kau siap?!”
“Mohon petunjukmu dulu kek.
Apa yang harus aku lakukan?”
“Hemm…,” si kakek
melompat-lompat ke arah sebuah batu belas langkah di sebelah kanan.
Lalu dia menunjuk ke cabang
sebuah pohon setinggi tiga tombak di samping muridnya. “Kau melompatlah ke
ujung cabang itu dengan punggung menghadap ke batu.
Putar tubuhmu tanpa membuat
cabang bergoyang dan hantam batu ini sampai hancur!”
“Wah! Susah amat kek!”
“Kalau itu saja susah,
berhenti jadi muridku!” jawab si orang tua itu sambil mencibir.
Sang dara garuk-garuk
kepalanya, memandang pada si kakek dan bertanya. “Sekarang kek?”
“Ya sekarang tentu! Apa
menunggu sampai malam Jum’at depan!”
Belum habis si kakek berucap,
tubuh Wilani kelihatan melesat ke udara. Setengah jalan sebelum mencapai cabang
pohon tubuh itu berputar sehingga kini punggungnya menghadap ke arah batu yang
akan menjadi sasaran. Kaki kanan menyentuh ujung cabang pohon. Kejapan itu pula
Wilani putar tubuhnya seraya hantamkan tangan kanan.
Wuutt!
Terdengar deru angina laksana
membelah dinginnya malam. Lalu.
Byaar!
Batu hitam di bawah sana
hancur berkeping-keping.
Meledak tawa si kakek buntung.
Begitu muridnya melayang turun langsung dipeluknya.
“Kau benar-benar hebat Wilani.
Aku tidak akan merasa khawatir melepasmu pergi….”
“Kek, kau tahu aku sebenarnya
tak ingin pergi. Tak mau berpisah denganmu sampai kapanpun. Namun….. Jalan nasibku
membuat semua jadi begini….”
Si kakek lepaskan pelukannya,
dia membimbing muridnya duduk di sebatang tumbangan pohon sementara di sebelah
timur langit perlahan-lahan tampak mulai terang.
“Jalan nasib manusia Tuhan
Yang Maha Kuasa yang menentukan. Kita manusia hanya bisa berusaha bagaimana
agar bisa melaluinya pada jalan yang lurus dan benar. Pelajaran agama yang
kuberikan padamu harus menjadi pegangan hidupmu sampai mati. Lakukan apa yang
diperintah Gusti Allah, jauhkan apa yang dilarang-Nya. Tetapi ada satu hal
muridku. Selama kedua kaki kita masih menginjak bumi selama itu pula pertanda
bahwa kita ini masih hidup di dunia. Hidup di dunia dipengaruhi oleh dua hal.
Yaitu kebaikan dan kejahatan. Dunia penuh dengan hasut dan fitnah. Penuh dengan
setan-setan yang gentayangan. Setan-setan yang tidak kelihatan, yang berupa
mahluk-mahluk halus, tidak perlu kau khawatirkan. Yang harus kau perhatikan
justru setan-setan kasar berwujud manusia. Manusia mahluk paling terpuji. Tapi
karena banyak akal maka manusia juga bisa menjadi mahluk keji. Contohnya itu
manusia-manusia yang telah membunuh ayahmu secara keji. Mereka lebih jahat dari
iblis! Lebih busuk dari Setan!”
“Orang-orang itulah yang akan
aku cari kek!” terdengar suara Wilani agak tersendat.
Si kakek tarik nafas panjang.
“Dendam adalah urusan dunia yang tidak pernah habis. Itu tandanya kita hidup di
dunia. Membela keluarga, apalagi membela kehormatan dan ayah sendiri sama saja
dengan melakukan perang sabil. Namun muridku…. Ketahuilah, di belakang setiap dendam
dapat mengendalikannya. Karena itu Wilani, jika kau membalaskan sakit hati
dendam kesumat pembunuhan atas diri ayahmu, lakukanlah dengan penuh perhitungan
serta keadilan.
Usahakan agar kau jangan
sampai membunuh orang-orang itu, kecuali jika tak ada jalan lain atau dalam
keadaan sangat terpaksa. Kau dengar kata-kataku ini, Wilani?”
“Aku dengar kek dan akan
kujadikan pegangan,” jawab Wilani.
“Bagus! Setelah selesai
sembahyang subuh kau boleh meninggalkan Cemoro Sewu ini…”
Wilani memeluk gurunya lalu
berkata. “Kek, selama dua belas tahun aku tinggal bersamamu di bukit ini,
banyak hal telah kupelajari darimu. Banyak hal telah kuketahui. Namun ada satu
hal yang masih gelap bagiku.”
“Ah….. Hal apakah ituuridku?”
tanya si kakek sambil tersenyum-senyum karena diam-diam dia sudah dapat menduga
apa yang bakal ditanyakan muridnya.
“Sampai saat ini aku tidak
tahu siapa nama kakek….”
Orang tua berkaki buntung itu
tertawa mengekeh.
“Nama….! Itu juga salah satu
urusan manusia di dunia yang fana ini! Siapa namaku apakah ada artinya bagimu?”
“Tentu saja kek! Setiap
manusia pasti punya nama,” jawab Wilani.
“Tapi aku tidak,” ujar si
kakek pula. “Kau boleh memberi nama siapa atau apa saja. Itu tidak akan merubah
diriku. Seorang tua bangka reot berkaki buntung dan akan tetap seperti itu!
Hik… hik…hik!”
Wilani terdiam sesaat.
“Baiklah kalau kakek tidak mau
memberi tahu nama….”
“Bukan tidak mau, karena
memang dari kecil bahkan dari orok tidak ada yang memberi nama padaku! Kedua
orang tuaku mati tenggelam ketika terjadi banjir bandang puluhan tahun lalu.
Aku dihanyutkan banjir ke dalam sebuah rimba belantara. Hidup dan dibesarkan
alam seorang diri.
Hanya berteman beberapa ekor
monyet dan beberapa ekor biatang buas. Untung kemudian ada seorang pencari kayu
yang menemukanku dan memungutku jadi anak. Ketika usia delapan tahun aku
diserahkan pada seorang pandai. Tapi orang tua angkatku itu juga alpa. Mereka
tidak memberi nama apapun padaku! Hik… hik…. hik!”
“Kalau begitu boleh aku
mencarikan nama untuk kakek?”
“Pasti cocok kalau kau yang
mencarikannya!” jawab orang tua itu.
“Aku… Hemm… Biar kau kuberi
nama Datuk Buntung Cemoro Sewu! Bagaimana?”
“Nama hebat! Aku mengucapkan
terima kasih padamu Wilani. Paling tidak, kalau nanti aku mati, akan ada orang
menuliskan nama itu di papan nisanku! Hik… hik… hik!” Si kakek tepuktepuk bahu
muridnya.
“Kek, sebelum aku pergi, aku
ingin mengulang nama-nama orang yang harus kucari itu agar tidak kesalahan
tangan….”
“Bagus! Itu memang bagus!
Cobalah kau menyebutkan keempatnya, lima dengan ibu tirimu itu….”
“Pertama Randulawang. Jabatan
Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Usia saat ini sekitar tiga puluh delapan
tahun. Kedua Rea Pamungkas, jabatan Ketua Perkumpulan Silat Gading Putih
merangkap anggota pengurus Perserikatan Silat Bintang Biru. Usia saat ini
sekitar enam puluh tahun. Orang ketiga bernama Wirasaba, jabatan sama dengan
Rea Pamungkas merangkap Ketua Perkumpulan Silat Mustika Ratu, berumur sekitar
enam puluh lima tahun. Orang ke empat dikenal dengan nama Kajenar, Ketua
perkumpulan Silat Elang Laut. Juga menjabat sebagai pengurus perserikatan.
Umurnya paling lanjut, saat ini sekitar tujuh puluh tahun. Yang terakhir ibu
tiriku sendiri bernama Juminten, usia tiga puluh tahun, sekarang adalah istri
dari Randulawang.”
Ternyata kau masih ingat
kelima nama itu. Apa kau masih ingat wajah-wajah mereka Wilani?”
“Samar-samar, kek. Tapi jika
aku bertemu dengan mereka kembali, pasti aku akan dapat mengenali….”
Si kakek mengangguk. “Ingat
baik-baik muridku. Kelima manusia itu sama jahat dan liciknya. Tapi bukan
berarti di luar mereka di dunia ini semua orang adalah baik. Karenanya selalu
berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatunya. Jangan lekas percaya pada
seseorang yang kelihatannya begitu baik dan selalu hendak menolong. Karena di
balik kebaikan dan pertolongan itu mungkin tersembunyi niat jahat dan hendak
menggolong.
Sebaliknya juga jangan lekas
curiga pada seorang berwajah buruk dan bersikap aneh. Karena di balik wajah dan
sikap itu mungkin ada sifat baik yang tadinya sulit diterka…”
“Terima kasih atas semua
nasihatmu, kek. Ijinkan aku mengambil air sembahyang untuk solat Subuh….”
Si kakek mengangguk. Sekali
lagi dia memeluk murid tunggalnya itu. Ketika Wilani berlalu, orang tua yang
kini mendapat nama Datuk Buntung Cemoro Sewu itu menarik nafas lega.
“Lega rasanya dada ini
sekarang. Kalaupun aku mati hari ini, kepandaianku sudah ada yang mewarisi!”
* * *
2
MASA DUA BELAS TAHUN SEBELUM
WILANI DILEPAS OLEH DATUK
BUNTUNG CEMORO SEWU………………..
Perserikatan Silat Bintang
Biru sedang naik daun. Namanya menjulang mengatasi belasan perguruan silat yang
berdiri jauh sebelumnya. Anak murid perserikatan berjumlah ribuan orang,
tersebar di delapan penjuru tanah Jawa. Semua ini berkat kepemimpinan Adi
Juwono yang dijuluki Raja Tombak Delapan Penjuru Angin. Gelar ini disandangnya
tidak percuma karena dia memiliki sebuah senjata pusaka yakni sebuah tombak
besi berlapis emas. Dalam keadaan biasa tombak ini panjangnya hanya sekitar
tiga jengkal. Tapi jika bagian-bagiannya ditarik, senjata ini bisa berubah
menjadi sepuluh jengkal.
Pada mulanya Perserikatan
Silat Bintang Biru didirikan dan berasal dari empat buah perguruan silat besar
yaitu Perkumpulan Silat Bumi Leluhur pimpinan Randulawang, Perkumpulan Silat
Gading Putih pimpinan Rae Pamungkas, lalu Perkumpulan Silat Mustika Ratu di
bawah kepemimpinan Wirasaba dan yang ke empat Perkumpulan Silat Elang Laut
diketuai oleh Kajenar.
Adi Juwono satu-satunya tokoh
persilatan yang tidak memiliki perguruan atau perkumpulan secara resmi walaupun
muridnya bertebaran dimana-mana. Dia menjadi tokoh silat tunggal yang dihormati
dan disegani kawan maupun lawan. Dibandingkan dengan ilmu kepandaian para ketua
empat perkumpulan silat lainnya, Adi Juwono dua tingkat lebih tinggi dari
mereka. Karena itulah ketika kelimanya bergabung di bawah bendera Perserikatan
Silat Bintang Biru semua pimpinan perkumpulan silat sama menyetujui untuk
mengangkat Adi Juwono sebagai Ketua mereka. Empat lainnya memang jabatan
sebagai Wakil Ketua dan jabatan masing-masing sebagai Ketua pada perkumpulan
silat mereka tetap tidak berubah.
Kemajuan yang dicapai oleh
Perserikatan tentu saja mengangkat nama dan derajat sang ketua yaitu Adi
Juwono. Meskipun nama dan derajat empat wakil ketua ikut terangkat namun ada di
antara mereka yang merasa iri. Apalagi ketika ada yang mengkobar-kobarkan bahwa
Adi Juwono sebenarnya tidak pantas menjadi ketua karena tidak memiliki
perkumpulan silat. Lalu ada yang memfitnah bahwa sang ketua sebenarnya tidak
melakukan apa-apa, yang bekerja keras untuk perserikatan adalah empat wakil
ketua.
Lama kelamaan, suasana ini
menjadi seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Malangnya Adi
Juwono sama sekali tidak arif akan apa yang terjadi secara diam-diam di
belakangnya. Hal ini karena semua orang dilihatnya bermanis muka dan berbaik
turun sapa dihadapannya. Bahkan Adi Juwono sama sekali tidak mengetahui bahwa
Juminten, isteri mudanya yang berusia 18 tahun yang dinikahinya setahun setelah
isteri tuanya meninggal, ikut terlibat dalam komplotan keji yang kelak
menimbulkan bencana bagi diri dan anak-anaknya.
* * *
MALAM ITU HUJAN turun
rintik-rintik. Sesosok tubuh tampak bergerak membungkukbungkuk di belakang
bangunan besar lalu menyelinap mendekati kandang kuda. Di sini sosok tersebut
diam sejenak, memandang berkeliling meneliti keadaan. Ketika dirasakannya aman
maka cepat didorongnya pintu tempat penyimpanan jerami kering lalu menyelinap
ke dalam. Orang ini duduk tak bergerak di sudut ruangan, di atas setumpuk
jerami. Dia memasang kedua telinga, mendengarkan setiap bunyi yang ada di luar.
Kemudian lapat-lapat dia mendengar suara kaki melangkah mendekati kandang kuda.
Diam sesaat. Tak lama kemudian terdengar pintu ruangan jerami berkereketan,
lalu masuklah seorang berpakaian hitam tebal yang wajahnya ditutup dengan
sehelai sapu tangan besar.
“Di sini….,” terdengar suara
berbisik dari sudut ruangan jerami yang gelap.
Orang yang barusan masuk
melangkah ke jurusan datangnya suara itu lalu menjatuhkan diri di hadapan orang
yang mendekam di sudut. Nafasnya terdengar mengengah.
“Mas Randu…. Terlalu berbahaya
pertemuan ini. Kalau sampai ada yang melihat….” Orang yang berusaha duduk
berbisik. Ternyata suaranya adalah suara perempuan. Dan ketika dia membuka sapu
tangan yang menutupi wajahnya, dalam gelap kelihatan sekilas wajahnya. Dia
adalah Juminten. Isteri Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Dan lelaki yang
duduk di hadapannya adalah Randulawang, Wakil Ketua Perserikatan.
“Tak ada yang perlu
dikhawatirkan Juminten. Asal kita bicara berbisik-bisik. Semua orang berada di
bangsal utama tengah mendengarkan fatwa dari guru agama yang datang dari Demak.
Suamimu juga masih belum
kembali bukan?”
“Betul. Para wakil ketua sudah
kuhubungi. Mereka sama menyetujui walau aku masih kurang yakin dengan si Kajenar
itu. Kita hanya tinggal menyusun rencana serta hari pelaksanaannya saja…. Dan
semua itu kuncinya berada di tanganmu dik Juminten.”
“Di tangan saya…?” tanya
perempuan berusia delapan belas tahun itu keheranan.
“Benar,” sahut Randulawang
seraya mendekap pipi Juminten dengan kedua telapak tangannya lalu merangkul
isteri Ketua Perserikatan itu kedadanya. “Apa yang akan kau lakukan sederhana
dan mudah sekali. Namun sangat menentukan….. Setelah itu kamisemua yang akan
mengatur.”
“Apa yang harus saya lakukan
mas Randu…?”
Randulawang yang berusia dua
puluh enam tahun itu tidak segera menjawab melainkan memeluk dan menciumi
Juminten terlebih dulu penuh nafsu hingga perempuan itu kelagapan.
Setelah Juminten ikut
terpengaruh nafsunya barulah dia membisikkan rencananya.
Juminten terkejut ketika
mendengar ucapan Randulawang itu.
“Tak mungkin saya melakukan
hal itu, mas Randu. Sama saja dengan mengkhianatinya.
Lagi pula saya tidak tega. Mas
Adi Juwono punya anak yang masih kecil-kecil. Wilani enam tahun dan Ario Seno
sepuluh tahun…. Kasihan mereka.”
Randulawang tertawa perlahan.
Sambil terus membakar gairah Juminten dengan rabaanrabaan tangannya dia
berkata. “Mengapa musti memperdulikan kedua anak itu. Dia bukan darah dagingmu
dik Juminten. Lagi pula kebahagiaan hidup apa yang kau bakal dapat dari suami
yang selalu sakit-sakitan itu. Dalam usianya yang hampir enam puluh tahun dia
lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dukun untuk berobat dari pada berada
di dekatmu. Kau masih muda, perlu hiburan dan suamimu tidak mampu memberikan
kebahagiaan padamu. Apa kau hendak bertahan sampai kau sendiri nati jadi nenek
reot? Mas Adi bukan pasanganmu. Dia terlalu tua. Usia kalian terpaut hampir
empat puluh tahun. Apa tidak gila itu namanya?!”
Juminten terdiam dan kembali
luluh ketika dipeluk oleh Randulawang dan menggelinjang sewaktu hidung lelaki
ini menggeser di belakang telinganya.
“Kau lebih cocok menjadi
isteriku Juminten. Aku bersumpah akan mengambilmu jadi isteriku kalau rencana
kita selesai. Kau akan bahagia sebagai isteri Ketua Perserikatan yang baru.
Aku bawa kau kemana aku
berkunjung. Tidak seperti sekarang kau selalu ditinggal-tinggal oleh mas Adi
Juwono.”
“Mas Randu. Beri aku waktu
untuk berpikir…,” berbisik Juminten seraya tangan kanannya mengusapi dada Randulawang
yang penuh ditumbuhi bulu.
“Tak ada waktu lagi Juminten.
Semua harus dilakukan dengan cepat. Rencana untuk mengundangnya sudah disiapkan
dua hari setelah dia kembali dari berobat. Setelah itu segala kebahagiaan akan
menjadi milikmu sayangku….”
Juminten hanya bisa diam, tak
mampu keluarkan ucapan untuk menjawab.
“Aku tahu…,” bisik Randulawang
kembali. “Walau kau tidak mengeluarkan sepatah katapun sebagai ucapan tapi aku
tahu hatimu menyetujui rencana ini. Hatimu lebih dekat padaku daripada ke suamimu…..”
Hidung Randulawang menyusup ke
celah dada perempuan itu. Juminten menggeliat dan merangkulkan kedua tangannya
ke punggung lelaki itu ketika Randulawang merebahkan tubuhnya di atas tumpukan
jerami kering.
* * *
3
SUATU MALAM YANG SEJUK sebuah
kereta tampak meluncur menuju Plered. Yang menjadi sais adalah Adi Juwono
sendiri, Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Di sampingnya duduk Juminten.
Di sebelah belakang sambil tertawa-tawa duduk Wilani dan Ario Seno, kakak
beradik putera-puteri Adi Juwono dari mandiang istri pertamanya.
“Sahabat-sahabatku itu ada-ada
saja,” terdengar Adi Juwono berucap. “Mengundang makan malam di Plered. Katanya
ada hiburan serombongan pemain gamelan dari Pajang segala….”
“Saya dengar salah seorang
dari mereka berulang tahun hari ini,” menyahuti Juminten.
“Siapa?” tanya suaminya.
“Mungkin mas Wirasaba.”
Kereta itu meluncur terus tapi
sebentar-sebentar kuda coklat yang menarik kereta nampak seperti liar dan
meringkik berulang kali.
“Kuda ini tidak seperti
biasanya. Meringkik terus sejak tadi…,” kata Adi Juwono. Sang istri diam saja.
Di sebuah pendakian, kereta
berhenti di depan sebuah bangunan kayu yang terletak di dekat sungai kecil.
Siang hari pemandangan di sekitar tempat ini indah sekali. Beberapa lampu
minyak besar tampak menyala menerangi bangunan itu.
Ketika Adi Juwono menolong
istri dan anaknya turun dari kereta, tiga orang keluar dari bangunan. Mereka
adalah Randulawang, Wirasaba dan Rae Pamungkas.
“Ada undangan istimewa malam
ini rupanya!” kata Adi Juwono. “Siapa yang berulang tahun?”
“Saya mas…,”jawab Wirasaba.
“Selamat kalau begitu.” Lalu
Adi Juwono memeluk sahabatnya itu. Kemudian mereka beriringan menuju rumah di
tepi sungai.
Di sebelah belakang Rae
Pamungkas berbisik pada Randalawang. “Ketua ternyata membawa serta kedua
anaknya. Ini diluar dugaan, diluar rencana. Bagaimana ini…?”
“Tak usah khawatir. Serahkan
padaku…,” jawab Randulawang.
“Aku tak melihat saudara tua
kita mas Kajenar,” kata Adi Juwono.
“Dia jadi pelayan di dalam.
Sibuk menyiapkan hidangan….” Jawab Randulawang.
“Eh, kalau tak salah kalian
bilang ada hiburan gamelan dari Pajang. Mana…? Mengapa sepisepi saja?”
“Itu yang mengesalkan saya mas
Adi,” jawab Randulawang. “Sampai saat ini mereka masih belum muncul. Kabarnya
hujan lebat turun di hulu. Mungkin mereka sulit menyeberang sungai.”
“Pesta ulang tahun hanya kita
saja. Tidak mengundang orang-orang atau para sahabat lainnya?” tanya Adi Juwono
lagi.
“Biayanya terbatas mas Adi.
Jadi biar kita-kita saja…,” sahut Wirasaba sambil mengulum senyum.
Rombongan itu sampai di dalam
rumah dimana telah tersedia sebuah meja besar berisi berbagai macam hidangan
dan minuman yang lezat-lezat. Sang ketua duduk di kepala meja sebelah kanan
sedang Juminten di kepala meja di seberangnya. Anak-anak Adi Juwono duduk
mengapit sang ayah. Wirasaba di samping kanan ketua, disebelah kiri
Randulawang, lalu berturut-turut Rae Pamungkas dan Kajenar saling berhadapan.
Setelah mengobrol sambil
sesekali tertawa bergelak yang kelihatannya begitu akrab maka santap malampun
dimulai. Selesai makan masih dihidangkan beberapa penganan dan buah-buah cuci
mulut. Sebelum pertemuan ditutup, Kajenar menghidangkan kopi hangat sementara
dua anak tampak mulai mengantuk.
Setelah batuk-batuk beberapa
kali Rae Pamungkas membuka mulut. Suaranya mula-mula agak bergetar. Namun
kemudian ucapnya lancar juga.
“Mas Adi Juwono. Sambil
menunggu turunnya panas kopi, mengutarakan sesuatu. Kalau ketua tidak
berkeberatan….”
Adi Juwono agak heran
mendengar ucapan Rae Pamungkas itu. “Ah, tentu saja. Silakan mengutarakan apa
saja. Di sini mungkin kita lebih leluasa, tidak diganggu oleh kesibukan seperti
di perkumpulan….”
Rae Pamungkas memandang pada
ke tiga wakil ketua. Dua orang nampak duduk dengan sikap gagah, hanya Kajenar
yang menundukkan kepala.
“Baik mas Adi. Saya langsung
saja pada pokok masalahnya. Sejak beberapa waktu lalu kami mendapat kabar
disertai bukti-bukti bahwa mas Adi ingin menyingkirkan kami dari kedudukan
wakil ketua Perserikatan….”
“Astaga! Pembicaraan apa ini
dimas Rae?!” tanya Adi Juwono dengan suara keras dan sepasang mata membesar.
Wajahnya jelas berubah. Sang Ketua memandang berkeliling.
Randulawang dan Wirasaba
menatap tak berkesip ke arahnya. Kajenar masih saja menundukkan kepala.
“Tenang mas Adi. Pembicaraan
saya belum selesai,” ujar Rae Pemungkas pula. “Maksud untuk menyingkirkan kami
berempat bukan hanya menyangkut kedudukan kami sebagai wakil ketua, tetapi
bahkan lebih jahat dari itu. Mas Adi hendak menghabisi kami semua!”
“Ini gila!” teriak Adi Juwono
seraya menggebrak meja dan bangkit dari kursinya. Papan meja hancur berantakan.
Makanan dan minuman tumpah berpelantingan.
“Ini tidak gila!” teriak
Randulawang sambil memukul meja pula dengan tangan kanannya.
Untuk kedua kalinya meja itu
jadi porak poranda. “Ini tidak gila….”
“Kalau tidak gila maka ini
adalah fitnah!” teriak Adi Yuwono. “Tidak gila dan juga bukan fitnah!” sahut
Randulawang seraya berdiri dari kursinya. “Rencana keji hendak membunuh kami
itu secara tidak sengaja telah mas Adi ceritakan pada Juminten. Istri mas Adi
sendiri!” Adi Juwono kini benar-benar membelalak.
“Aku, menceritakan maksud
jahat hendak membunuh kalian pada istriku? Edan!” Kedua tangan ketua
perserikatan itu tampak terkepal dan dadanya turun naik tanda ada yang
menggelegak di dalam tubuhnya.
Randulawang berpaling pada
Juminten lalu berkata:
“Dik Juminten, coba katakan
dengan jelas rencana apa yang dikatakan mas Adi terhadap kami dan kapan dia
mengatakan hal itu pada dik Juminten!”
Paras Juminten yang cantik
sesaat tampak kemerahan. Tubuhnya seperti menggigil.
“Tak usah takut dik Juminten.
Katakan saja apa yang dik Juminten ketahui,” berkata Wirasaba.
“Waktu itu…waktu itu hari
pertama bulan haji sekitar dua minggu lalu. Mas Adi entah mengapa menceritakan
pada saya bahwa dia hendak menghabisi riwayat empat wakil ketua perserikatan.
Katanya… selama ini mereka selalu merongrong, memfitnah dan menghabiskan harta
dan uang perserikatan untuk kepentingan pribadi. Lalu….”
“Kurang ajar! Kalian semua
pasti telah berkomplot mengarang cerita busuk! Busuk!!!”
Teriak Adi Juwono. Dalam
marahnya ketua perserikatan itu membalikkan meja besar. Juminten menjerit. Dua
anak Wilani dan Ario Seno ikut memekik lalu menangis.
“Kau yang busuk Adi Juwono!”
membentak Randulawang. Dari bawah meja dikeluarkannya sebuah penggada batu.
Dengan benda ini dihantamnya kepala ketua perserikatan dari belakang. Adi
Juwono yang masih sempat melihat cepat merunduk sambil mengirimkan tumitnya ke
perut Randulawang;
Terdengar dua kali suara
bergedebuk. Yang pertama suara penggada yang meleset dari kepala dan kini
menghantam punggung Adi Juwono. Yang kedua suara tumit sang ketua yang sempat
melabrak perut Randulawang hingga orang ini terpental dan gadanya lepas dari
tangan.
Juminten menjerit, lalu
tersandar ke dinding sebelum melosoh ke lantai. Wilani dan Ario Seno sama
memekik ketakutan.
Hantaman pada punggungnya yang
keras bukan saja membuat tulang punggungnya remuk tapi mengakibatkan ketua
perserikatan itu terbanting ke lantai. Sebelum dia sempat berdiri Wirasaba
sudah mendorong kepalanya. Kembali ketua perserikatan itu terbanting ke lantai.
Lalu tampak Wirasaba dan Rae Pamungkas sama-sama mencabut sembilah keris.
Sedang Randulawang memungut penggada yang terjatuh dilantai. Dua keris dan satu
penggada kemudian bertubi-tubi menghantam tubuh Adi Juwono. Darah membasahi
lantai!
Sambil terus menjerit-jerit
Wilani dan Ario Seno lari ke sudut ruangan, coba bersembunyi di balik sebuah
lemari pajangan.
Rae Pamungkas cepat memberi
isyarat pada Randulawang.
“Tak ada jalan lain dimas
Randu. Kedua anak itu harus dihabisi. Kalau tidak bisa jadi masalah dikemudian
hari!”
“Dua kurcaci itu biar aku yang
membereskan! Kalian teruskan menggebuk ketua keparat itu. Pastikan betul bahwa
dia benar-benar mampus baru berhenti membantai!” Habis berkata begitu
Randulawang buang penggadanya lalu cabut sebilah pisau. Dia melangkah mendekati
Ario Seno. Anak usia sepuluh tahun ini semakin keras jeritannya karena
ketakutan. Mulutnya terbuka lebar. Saat itulah seperti telah dirasuk setan,
Randulawang tusukkan pisaunya kemulut Ario Seno. Pisau menembus lidah dan
tenggorokan anak ini, membabat putus sebagian dari anak lidahnya. Darah
mengucur deras. Jeritan anak ini serta merta lenyap.
Belum puas Randulawang angkat
tubuh Ario Seno lalu lemparkan anak ini ke dalam sungai yang mengalir di dekat
bangunan.
“Beres yang satu. Sekarang
tinggal satu lagi!” kata Randulawang seraya melompat ke hadapan si kecil
Wilani. Anak perempuan enam tahun ini menjerit setengah mati. Pisau di tangan
Randulawang membabat ke arah leher.
Sesaat lagi senjata tajam itu
akan menggorok leher si kecil Wilani tiba-tiba ada angin berkesiuran.
Randulawang terpekik. Sesuatu menghantam keningnya hingga luka dan mengucurkan
darah. Bersamaan dengan itu pisau ditangan kanannya mental. Satu tendangan
mendarat di pergelangannya. Selanjutnya dia dapatkan dirinya seperti dibanting
ke dinding ruangan.
Pemandangannya agak berkunang
tapi dia masih sempat melihat sesosok bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh
Wilani. Dia berteriak pada Rae Pamungkas dan Wirasaba. Dua orang yang juga
melihat bayangan sosok hitam itu coba mengejar. Namun orang itu telah lenyap
bersama Wilani dalam kempitannya.
Terhuyung-huyung Randulawang
melangkah ke tengah ruangan. Udara malam berbau amisnya darah ini. Tiba-tiba
Randulawang membalik ke arah Kajenar yang sejak tadi hanya berdiri dekat pintu
ruangan dengan muka pucat dan tubuh basah keringatan.
“Manusia banci!” teriak
Randulawang. “Sejak tadi kau hanya mematung di situ!”
“Jangan harap kau bakal dapat
bagian Kajenar!” Ikut berteriak Rae Pamungkas.
“Aku memang tidak ingin bagian
apa-apa!” jawab Kajenar yang saat itu berusia 58 tahun.
Paling tua diantara mereka
semua. “Aku memang ingin jabatan lebih tinggi dan harta serta uang melimpah.
Tapi bukan begini caranya! Dari dulu aku sudah tidak setuju akan maksud keji
kalian!
Dan ternyata kalian
melakukannya lebih biadab dari rencana gila itu!”
“Tutup mulutmu!” teriak
Randulawang seraya acungkan tangannya yang memegang pisau berdarah.
“Pergi dari sini sebelum
kusobek mulutmu dengan keris ini, Kajenar!” Rae Pamungkas ikut acungkan keris
di tangan kanannya.
Kejenar menyeringai kecut.
“Aku memang akan pergi. Aku muak melihat kebiadaban kalian.
Kalian bertiga dan juga
perempuan jahanam ini boleh mendapatkan harta dan uang serta kedudukan milik
dimas Adi Juwono. Tapi jangan lupa semua harta, uang dan kedudukan itu
bergelimang darah!
Kelak suatu ketika hukum karma
akan menimpa kalian….”
“Bangsat!”
“Anjing!”
Dua buah senjata tajam meleset
ke arah Kejenar. Tapi orang itu telah menyelinap meninggalkan tempat itu. Pisau
yang dilemparkan Randulawang menancap di tiang pintu sedang keris yang
dilemparkan Rae Pamungkas menghunjam pada daun pintu.
* * *
4
PADA ALIRAN SUNGAI MENJELANG
muara itu banyak sekali ditemui kepiting besar yang berenang dari laut menuju
mulut sungai karena perputaran air di sini lebih hangat dari sekelilingnya.
Walaupun kepiting merupakan jenis ikan yang sangat disukai orang dan laku
dijual dengan harga tinggi, namun tidak ada para nelayan yang berani datang
mencari kepiting ke muara sungai itu. Hal ini disebabkan semua nelayan dan
penduduk sekitar muara mengetahui bahwa di tempat itu diam sepasang suami istri
kakek-nenek aneh.
Pagi itu langit agak mendung.
Ombak bergulung besar dan kepiting dari laut ratusan banyaknya berlomba-lomba
menuju muara sungai.
Di atas dua potong papan
kecil, di muara sungai tampak duduk seseorang kakek dan seorang nenek sambil
bernyanyi-nyanyi. Pada papan yang mereka duduki dan mengambang di atas air,
penuh dengan kepiting-kepiting besar. Malah binatang yang sanggup mencabut
daging tubuh itu menjalar sampai ke kaki, tubuh dan kepala dua orang tua
tersebut. Tapi anehnya keduanya tenangtenang saja. Malah sambil menyanyi-nyanyi
mereka mulai mengambil kepiting-kepiting itu satu demi satu, mencopot
kaki-kakinya, merobek kulit badannya yang atos, lalu mengorek isi tubuhnya yang
putih dan menenggaknya mentah-mentah!
“Sudah berapa kau telan?!” Si
nenek bertanya. “Baru empat puluh sembilan ekor!” jawab si kakek.
“Si lamban tolol! Aku sudah
mau seratus!” berkata si nenek.
“Ah, siapa sih yang tidak
kenal kau bune! Nenek terakus di dunia! Hik… hik… hik!”
Di ejek begitu si nenek
anteng-anteng saja dan terus melahap kepiting-kepiting yang berjalaran di
sekujur kaki, badan dan kepalanya.
Seekor kepiting nakal, entah
bagaimana tahu-tahu menyelinap dibalik kain panjang si nenek, terus merayap ke
pangkal pahanya!
Si nenek terlompat menjerit
dan singsingkan kain panjangnya tinggi-tinggi. Begitu dilihatnya kepiting satu
itu segera saja dicantilnya hingga pecah berantakan. Di sini jelas terjadi dua
keanehan. Pertama ketika melompat, si nenek masih di atas potongan papan yang
mengambang.
Tapi papan itu sama sekali
tidak terbalik dan si nenek tidak sampai kecebur ke dalam sungai.
Lalu caranya menyentil
kepiting besar tadi, orang biasa mustahil sanggup membuat binatang berkulit
keras itu hancur berantakan! Lalu mana ada manusia yang makan kepiting seperti
itu? Dan kepiting bisa menjapit putus jari-jari manusia, binatang-binatang ini
juga mengandung racun jahat yang bisa mematikan!
“Kepiting sialan! Dikiranya
aku ini apa!” mengomel si nenek.
“Mungkin sejak kemarin kau
kencing belum cebok bune!”
Kata si kakek lalu dia kembali
tertawa cekikikan.
Selagi kedua orang tua ini
asyik bersantap kepiting, tiba-tiba tardengar si kakek berseru.
“Bune! Lihat ada benda
menggelundung ke arahmu!”
Si nenek berpaling ke arah
yang ditunjuk. Benar. Sebuah benda tampak digulirkan arus sungai ke arahnya. Si
nenek ulurkan kaki kirinya menahan benda itu. Ketika matanya memperhatikan
terkejutlah perempuan tua ini.
“Astaga!”
“Apa yang astaga bune?!”
bertanya si kakek.
Lalu berusaha mendekati
istrinya.
“Lihat pakne! Benda ini bukan
benda sembarangan! Tapi seorang anak manusia!”
Dengan ujung-ujung jari kakinya
si nenek menjepit lengan kanan si anak lalu menyentakkannya ke atas. Sosok anak
itu melayang ke udara, begitu jatuh segera di tangkapnya.
“Kau betul! Seorang anak
manusia! Anak lelaki! Ah, siapa yang tega membuang anak ke dalam sungai?!”
“Mungkin bukan dibuang, tapi
celaka hanyut!” ujar si kakek. “Serahkan bocah itu biar kuperiksa!”
Si nenek lemparkan anak yang
di dapatnya dari dalam air dan si kakek cepat menangkapnya.
Mula-mula dipegangnya anak itu
pada kedua kakinya lalu diangkat tinggi-tinggi hingga air kelihatan mengucur
keluar dari mulutnya.
“Eh, air dalam perut anak ini
bercampur darah!” seru si kakek. Lalu cepat si anak dipangkunya. Mulut si anak
yang terkancing dibukanya lebar-lebar. Si kakek mengerenyit. “Ada bekas luka di
lidahnya. Lidah ini hampir putus! Tenggorokannya robek! Lukanya seperti
mengandung racun! Tampaknya seperti ditusuk dengan senjata tajam beracun….”
“Pakne! Dari tadi kau
memeriksa dan menceloteh! Apa sudah kau pastikan anak itu masih hidup atau
sudah jadi bangkai?!”
“Eh!” si kakek terkejut. “Kau
betul!” Lalu buru-buru dada si anak ditekapkannya ke telinga kirinya. Kedua
matanya membelalang.
“Dig-dug… dig-dug… dig-dug!
Bune! Bocah ini masih hidup!” seru si kakek kemudian.
“Kalau begitu lekas bawa ke
darat. Terus saja ke rumah kita! Tujuh puluh tahun kawin tidak punya anak.
Mungkin bocah itu rejeki kita dari Gusti Allah!”
“Tentu! Tentu akan kubawa ke
darat!” jawab si kakek. Lalu dari atas papan kecil itu si kakek menggenjot
tubuhnya. Kakek tua sambil mengepit anak itu tampak melesat ke darat. Begitu
mendarat di tepi sungai orang tua ini terus lari ke arah sebuah gubuk di bawah
sebatang pohon besar.
Tak lama menunggu muncul
istrinya. Tapi si nenek tidak datang sendirian. Dia tampak menyeret sesosok
tubuh yang sudah jadi mayat! Si kakek memperhatikan tubuh yang diseret si nenek
sesaat lalu berseru. “Yang sudah jadi bangkai itu tak perlu diurus dulu! Bantu
aku menyelamatkan anak ini! Dia terluka dibagian mulut dari keracunan!”
Si nenek lalu ikut memeriksa.
Lalu dia menghela nafas panjang. “Sulit ditolong walaupun dengan mempergunakan
racun kepiting,” berkata si nenek. “Kalaupun dia bisa hidup hanya ada satu dari
dua pilihan. Anak ini akan gagu seumur hidup, atau gila selama hayatnya!”
“Lalu mana yang kau pilih?!”
bertanya si kakek.
“Lebih baik dia jadi orang
gagu daripada jadi manusia gila!” Sahut si nenek. Lalu perempuan tua ini lari
kembali ke muara. Ketika kembali dia membawa lebih dari selusin kepiting besar
yang mengandung racun.
“Kau buka mulutnya
lebar-lebar! Aku akan kucurkan racun kepiting untuk membunuh racun senjata yang
ada dalam mulutnya!”
Si kakek lalu buka mulut anak
itu lebar-lebar. Istrinya cepat mengambil seekor kepiting.
Terdengar suara berderak
sewaktu kepiting besar itu diremasnya. Lalu tampak cairan putih menetes dan
langsung dimasukkan ke dalam mulut si anak. Begitu terus dilakukan sampai semua
kepiting yang dibawanya habis diperas.
“Nyalakan api,” kata si nenek.
“Anak ini harus dihangati terus menerus sampai dia akhirnya siuman.
Menurut perhitungan, melihat
kulitnya yang tidak berdarah serta tebalnya lumut yang melekat di badannya,
paling tidak anak ini sudah satu hari satu malam dihanyutkan air sungai.
Hanya anak luar biasa yang
sanggup bertahan hidup selama itu. Anak ini bukan anak sembarangan!”
“Bagaimana dengan mayat satu
itu? Apa kau bisa mengenali siapa orangnya?” tanya si kakek.
Sang istri menggeleng.
“Mukanya rusak berat. Seperti dicacah dengan senjata tajam. Sebagian tubuhnya
remuk…”
“Menurutmu apa ada hubungan
antara bocah lelaki ini dengan orang itu?”
“Hemm…” si nenek merenung.
“Tidak mustahili” jawabnya kemudian.
“Kalau begitu jenazahnya tidak
boleh kita buang ke sungai atau ke laut. Nanti kita kuburkan sama-sama!”
Si nenek mengangguk tanda
setuju akan apa yang dikatakan suaminya. Sepasang matanya beralih kini
memandangi anak yang masih pingsan itu. Tiba-tiba matanya membesar dan makin
besar.
“Eh, kenapa kau bune? Seperti
melihat setan sungai atau jin laut?!” menegur si kakek.
“Kita tolol dan buta! Coba kau
perhatikan susunan tulang anak ini! Menurut taksiranku usianya tak lebih
sepuluh tahun. Tapi ruas tulangnya sekokoh pemuda tujuh belas tahun. Dan coba
kau perhatikan liku-liku susunan tulangnya! Ayo periksalah…!”
Si kakek turuti apa yang
dikatakan istrinya, lalu dia berpaling memandang pada si nenek.
Tiba-tiba kedua orang ini
sama-sama melompat dan saling berjingkrakan!
“Kita menemukan calon murid!
Akhirnya malah datang sendiri! Bersyukurlah!” ujar si nenek.
Kedua orang tua itu sama
jatuhkan diri berlutut di tanah dan menampungkan kedua tangan ke atas
memanjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa. Setelah itu keduanya kembali
melompat dan berjingrak-jingkrak kegirangan!
* * *
5
SESUAI PETUNJUK GURUNYA,
Wilani meninggalkan bukit Cemoro Sewu dengan menyamar sebagai seorang pemuda.
Setelah dua hari dua malam menempuh perjalanan akhirnya murid Datuk Buntung ini
sampai di pinggiran Kotaraja ketika terjadi suatu keributan. Seekor kerbau
besar bertanduk panjang runcing entah sebab apa tiba-tiba mengamuk dan lari ke
tengah pasar.
Karuan saja seisi pasar jadi
kacau balau. Para pedagang dan orang yang berbelanja lari sambil berteriak
ketakutan. Dua orang pedagang yang bukannya lari tapi berusaha membenahi
dagangannya mencelat ditanduk binatang yang seperti gila itu. Kedua pedagang
itu terguling tak berkutik lagi. Satu tewas dengan usus membusai, satunya
megap-megap merintih karena tulang pinggulnya sebelah kiri remuk.
Di antara kekacauan itu
seorang pemuda tampak duduk berjuntai di atas sebuah cabang pohon sambil
uncang-uncang kaki dan tertawa-tawa menyaksikan keributan itu. Walau orang lain
menderita sengsara bahkan ada yang mati akibat amukan kerbau, tetapi pemuda ini
justru tampak gembira menyaksikan kejadian itu.
“Kurang hebat … ! Kurang seru!
Ayo tanduk terus! Seruduk terus!” Pemuda di atas pohon berteriak-teriak.
Saat itu dibawah pohon
kebetulan lewat Wilani dalam samaran sebagai seorang pemuda.
Dia terheran-heran melihat
kerbau mengamuk, dan lebih heran lagi melihat ada orang yang gembira
menyaksikan kejadian itu. Maka diapun mendongak hendak menegur. Namun dia ingat
pesan gurunya. Orang susah atau senang adalah urusan pribadinya, tak perlu
dicampuri. Dia berpaling ke arah kerbau yang mengamuk. Karena dia satu-satunya
orang yang masih tegak di dekat pasar itu, maka sosok tubuhnya dengan
sendirinya menjadi sasaran kerbau yang mengamuk. Setelah melenguh panjang
binatang ini lalu berlari ke arah Wilani. Kepalanya yang bertanduk runcing
menyeruduk lebih dahulu.
Pemuda di atas pohon tampak
gembira dan berseru : “Bagus! Tanduk pemuda yang sedang pasang aksi itu!
Patahkan pinggangnya!”
Melihat kerbau datang memburu
dan hendak menanduknya, Wilani cepat selamatkan diri dengan melompat ke atas
lalu bergayut pada cabang pohon dimana kebetulan pemuda yang bersorak-sorak itu
duduk berjuntai. Dan jahatnya, agar Wilani melepaskan gayutnya pada cabang
pohon, pemuda itu memukuli jari-jari tangan Wilani sementara di bawah sana
kerbau liar sudah menunggu dengan sepasang tanduk runcingnya.
“Ah, jahat sekali pemuda ini!”
membatin Wilani. Lalu dara yang menyamar sebagai seorang pemuda ini membuat dua
kali putaran di cabang pohon, sesaat kemudian tubuhnya melesat jauh ke tengah
pasar.
Pemuda di atas pohon
menggerutu. Tetapi gerutunya berubah jadi pekikan kaget ketika tibatiba satu
siuran angin menderu dan kraak! Cabang pohon yang di duduki pemuda itu patah.
Tak ampun tubuhnya melayang jatuh dan sepasang tanduk runcing dibawah sana
bergerak berputar mengikuti arah jatuhnya!
“Tolong .. .!” jerit si pemuda
yang jatuh.
Sesaat lagi tubuh si pemuda
akan ditembus dua tanduk runcing, Wilani telah lebih dahulu melompat dan masih
dalam keadaan tubuh melayang di udara, gadis ini hantamkan tangan kanannya.
Inilah pukulan mengandung tenaga dalam tinggi yang terakhir sekali dilatihnya
bersama gurunya untuk menghancurkan batu hitam di bukit Cemoro Sewu. Apa yang
terjadi kemudian membuat semua orang yang ada di tempat itu berdecak kagum,
termasuk seorang pemuda berambut gondrong yang tadi melepaskan pukulan jarak
jauh dan mematahkan cabang pohon sehingga menjatuhkan pemuda yang duduk di
atasnya.
Kerbau jalang itu melenguh
tinggi lalu tubuhnya terhuyung-huyung beberapa kali.
Kepalanya hancur. Salah satu
tanduknya tanggal. Binatang ini kemudian terguling roboh. Empat kakinya
melejang-lejang beberapa kali lalu akhirnya binatang ini diam kaku tanda
nyawanya lepas sudah.
“Pemuda jahat! Tega-teganya
membunuh kerbau gila kemasukan setan!” teriak pemuda yang jatuh dari atas
pohon. Padahal dirinya baru saja diselamatkan Wilani dari celaka besar yang
bisa membawa kematian.
Wilani sampai tercekat
mendengar bentakan itu. “Pemuda aneh, ditolong malah mendamprat!” kata sang
dara dalam hati. Lalu tanpa mengacuhkan lagi dia tinggalkan tempat itu.
“Hai tunggu dulu! Jangan pergi
seenaknya! Ganti dulu kerbauku yang kau bunuh ini!” tibatiba terdengar teriakan
pemuda itu.
Wilani hentikan langkahnya.
Dia menatap wajah pemuda itu sesaat lalu berkata: “Oh, jadi kerbau itu milikmu?
Mengapa kau tidak bisa mengurusnya baik-baik? Waktu dia mengamuk tadi, kau
malah bersorak-sorak gembira. Padahal sudah banyak yang jadi korban akibat
tanduknya.
Bahkan ada yang mati!”
“Betul! Bahkan ada yang mati!”
satu suara menyambungi.
Wilani dan pemuda yang mengaku
pemilik kerbau sama berpaling ke kiri. Disitu tegak seorang pemuda gondrong berpakaian
putih, bicara cengar-cengir seenaknya.
“Hem, bertambah pula satu
pemuda konyol di tempat ini…,” kata Wilani dalam hati. Lalu dilihatnya si
gondrong tadi melangkah mendekati bangkai kerbau.
“Hai! Siapa kau yang berani
mencampuri urusan orang! Pergi! Jangan dekati kerbauku!” teriak pemuda di
hadapan Wilani.
Si gondrong tak perduli. Dia
terus saja melangkah.
“Binatang ini bukan mengamuk!
Apalagi kemasukan setan! Mana ada sih setan yang mau masuk ke dalam sosok tubuh
kerbau! Ha…ha…ha!” Pemuda gondrong tertawa bergelak. Sementara orang sepasar
yang tadi lari menyelamatkan diri kini satu demi satu balik kembali dan
berkerumun di tempat itu.
Si gondrong menyambung
ucapannya tadi : “Saksikan! Akan kuperlihatkan pada kalian semua apa sebabnya
kerbau ini tadi jadi tak karuan begitu rupa!” Dari salah satu bagian tubuh
kerbau yang sudah mati itu si gondrong mencabut sebuah benda berbentuk paku
kecil berwarna ungu. Benda itu kemudian diacungkannya tinggi-tinggi. “Inilah
penyebabnya. Paku kecil ini dicelup dengan sejenis racun beludru yang sanggup
membuat binatang atau manusia menjadi seperti gila dan mengamuk lalu akhirnya
bisa mati! Pemuda ini sebelumnya telah menancapkan paku beracun ke tubuh kerbau
lalu menggiringnya ke tengah pasar. Betul begitu?”
Pemuda yang diajak bicara
tampak terkesiap. Namun di lain kejap dia membentak marah sekali.
“Gondrong! Siapa kau! Kau
bukan orang sini! Pandai sekali kau menyebar fitnah!”
Si Gondrong tertawa lebar.
“Kalau aku suruh orang sepasar
ini menggeledah pakaianmu lalu menemukan beberapa buah paku lagi dalam saku
bajumu, bagaimana?!”
Pucatlah paras pemuda itu.
Sambil melangkah mundur dia berteriak keras pura-pura marah.
“Pemuda gondrong! Ucapanmu
berbisa. Penuh hasutan! Kau tunggu disini. Aku akan panggil pasukan untuk
menangkapmu!” Habis berkata begitu pemuda tadi segera putar tubuhnya dan ambil
langkah seribu.
Kini, dikelilingi oleh
kerumunan orang sepasar, si gondrong tegak berhadap-hadapan dengan Wilani.
“Saudara, kau hampir saja
membuat pemuda itu mati ditembus kerbau, “Wilani berucap.
“Siapa menggali tanduk lobang,
dia sendiri terperosok ke dalamnya!” sahut si Gondrong dengan kata berkias.
Wilani yang baru saja
meninggalkan bukit Cemoro Sewu dan tidak paham akan pepatahpetitih ataupun kata
berkias tentu saja heran mendengar kata-kata si gondrong tadi. Dia memandang
berkeliling. “Lobang katamu saudara? Siapa yang menggali lobang! Aku sama
sekali tidak melihat lobang di sekitar sini!”
Semula si gondrong hendak
tertawa mengakak. Tapi melihat wajah pemuda di depannya benar-benar serius maka
diapun mulai berpikir-pikir. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke wajah
pemuda di hadapannya itu. Lalu ketika diperhatikannya bentuk pakaian maka
diapun tersenyum.
Dipandangi seperti itu
diam-diam Wilani menjadi jengah sampai mukanya merah. Lalu cepat-cepat dia
memutar tubuh meninggalkan tempat itu. Semua orang, termasuk si gondrong
jelasjelas melihat pemuda itu melangkah biasa saja. Tapi di lain kejap
tahu-tahu dia sudah berada di tempat jauh!
“Hem… Dia bukan orang
sembarangan…,” pikir si gondrong lalu cepat-cepat mengejar.
* * *
6
UNTUK DAPAT MENGEJAR pemuda
itu si gondrong harus mengerahkan ilmu lari “kaki angin” yang dimilikinya.
Itupun dia baru bisa mengejar setelah jauh di pinggir Kotaraja sebelah timur.
Menyadari kalau ada orang mengikutinya, si pemuda cepat membalik dan menatap
tajam.
“Ah, kau pemuda di pasar itu
rupanya! Orang berilmu yang pandai mencabut paku dari tubuh kerbau!” kata
Wilani yang menyamar sebagai seorang pemuda itu.
Disambut dengan kata-kata
seperti itu karuan saja si gondrong seperti kelagapan. Dia menggaruk kepalanya
beberapa kali.
“Aku… anu….”
“Kenapa anumu?!”
“Apa…?! Ha… ha… ha…! Anuku
tidak apa-apa!”
Jawab si gondrong setelah
lebih dahulu tertawa mendengar pertanyaan orang.
“Kalau anumu tak apa-apa
baiklah. Sekarang katakan mengapa kau mengikutiku!”
“Hemm…,” si gondrong bergumam
sambil garuk-garuk kepalanya.
“Kepalamu banyak kutu rupanya!
Dari tadi kulihat kau menggaruk terus!” sergah Wilani.
Saking tak bisa menjawab dan
juga saking jengkelnya, pemuda berambut gondrong itu akhirnya hanya bisa
tertawa bergelak sampai keluarkan air mata.
“Eh, kau ini menangis apa
ketawa? Ketawa atau menangis?!” pemuda di hadapan si gondrong bertanya.
“Dengar orang muda…,” si
gondrong kuasai dirinya.
“Aku tertawa karena melihat
kau berpakaian tidak sesuai dengan kodrat sebagaimana kau dilahirkan! Lalu aku
menangis karena penyamaran yang kau lakukan dimataku hanya satu kesiasiaan
saja! Ha… ha… ha…!”
Kini berobahlah paras Wilani.
“Apa maksudmu dengan ucapan
itu?!” tanyanya.
Si gondrong melihat dulu
berkeliling seolah-olah khawatir ada orang di sekitar situ.
Kemudian dengan suara perlahan
dia berkata: “Aku tahu kau bukan pemuda betulan!
Juga bukan Banci. Tapi kau
seorang gadis! Betul kan…?!”
“Mulutmu jahil dan kurang ajar
sekali!” Wilani jadi marah. Tapi diam-diam dia kagum juga dengan ketajaman mata
pemuda berambut gondrong itu. Selama dua hari melakukan perjalanan tak
seorangpun mengetahui penyamarannya. Tapi pemuda konyol yang mengikutinya ini
bagaimana bisa mengetahui?
“Harap maafmu kalau mulutku
terlanjur jahil dan kurang ajar. Tapi betul kan?”
“Saudara siapa kau ini? Guruku
mengatakan di dunia ini ada dua macam setan. Pertama setan yang tidak
kelihatan, kedua setan kepala hitam sepertimu ini!”
“Terima kasih untuk
persetananmu itu. Tapi aku bukan setan seperti tuduhanmu! Lihat, kedua kakiku
masih menginjak tanah!” Lalu si gondrong ini gerak-gerakkan kedua kakinya dan
goyang-goyangkan pinggulnya.
“Baiklah, apakah kau setan
atau bukan tidak perlu dibicarakan panjang lebar! Katakan siapa kau adanya dan
mengapa mengikutiku?!”
“Namaku Wiro Sableng….”
“Siapa?!” tanya Wilani.
“Wiro Sableng!!!” jawab Wiro.
“Ahhhh! Pemuda gila kau ini
rupanya! Pantas!”
“Ternyata mulutmupun jahil dan
kurang ajar!” menukas Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Sudah! Katakan saja mengapa
kau mengikutiku!”
“Pertama aku kagum melihat
kehebatanmu menghancurkan kepala kerbau tadi,” jawab Wiro polos.
“Kagum tidak berarti harus
mengintili orang!” ujar Wilani pula. “Lalu apa alasanmu selanjutnya?!”
“Itu tadi…. Penyamaranmu itu!”
“Apa anehnya aku menyamar?
Siapa saja bisa dan boleh menyamar. Kau mau menyamar jadi perempuan atau jadi
nenek-nenek tidak ada yang melarang! Kenapa kau usilan ingin tahu urusan
orang?!”
Wiro menggaruk kepalanya.
Terus terang dia jengkel oleh ucapan-ucapan yang menyudutkannya itu. Namun
diam-diam dia juga merasa senang dengan sifat dan gaya bicara orang ini.
“Nah kau betul kan banyak
kutu? Buktinya kau menggaruk terus. Saudara, aku nasihatkan padamu, pergi ke
tempat yang banyak monyetnya dan suruh binatang-binatang itu mencari kutumu!”
“Usulmu itu akan aku
pertimbangkan,” sahut murid Sinto Gendeng. “Tapi ada cara yang lebih mudah.
Bagaimana kalau kau saja yang mencari kutuku? Aku duduk di tanah sini. Kau
jongkok di belakangku?!”
Merahlah paras Wilani
sementara wiro tertawa gelak-gelak.
“Manusia bermulut lancang!
Biar aku beri pelajaran padamu!” Lalu sekali kedua kakinya bergerak, Wilani
sudah melompat ke hadapan Wiro dan plaak! Tangan kanannya menampar pipi kiri si
pemuda. Tamparan itu cukup keras dan sempat membuat sang pendekar nanar
beberapa ketika.
Menahan sakit Wiro berkata:
“Ada ujar-ujar mengatakan jika kau di tampar di pipi kiri, berikan pipi
kananmu! Nah silakan tampar pipi kananku!”
Habis berkata begitu lalu Wiro
ajukan pipi kanannya.
Merasa ditantang Wilani angkat
tangan kanannya, siap untuk menampar. Tapi setelah berpikir sejenak akhirnya
dia membatalkan tamparan itu, perlahan-lahan tangannya diturunkan.
Dihadapannya Wiro tertawa gelak-gelak.
“Nah…nah…nah! Kau tidak tega
kan? Terbukti kau memang perempuan! Hanya kaum perempuan yang tidak tegaan!”
“Manusia kampret! Merontokkan
gigimupun aku tega!” teriak Wilani. Kalau tadi memang ada rasa kasihan setelah
menampar pipi si pemuda, maka kini rasa kasihan itu berubah jadi jengkel
setengah mati. Dia membuat gerakan seperti hendak melangkah pergi. Tapi
tiba-tiba tubuhnya berputar dan tahu-tahu kaki kanannya sudah menderu ke mulut
Wiro!
Pendekar 212 belum pernah
melihat gerakan menendang yang demikian cepatnya.
Terlambat sedikit saja dia
melangkah mundur, hancurlah mulutnya. Baru saja dia lolos dari tendangan ganas
itu tahu-tahu lawan sudah menyerbunya kembali. Kali ini dengan pukulan tangan
kosong dari jarak lima langkah.
Wuuuttt!
Angin deras menghantam ke arah
dada Pendekar 212.
Pukulan yang dilepaskan Wilani
adalah pukulan yang sanggup menghancurkan batu.
Murid Sinto Gendeng yang sudah
makan asam garam dunia persilatan segera maklum kalau dirinya tengah diancam
satu pukulan maut. Kuda-kudanya tidak memungkinkannya untuk selamatkan diri
dengan melompat. Maka tidak sungkan-sungkan lagi, Wiropun menangkis dengan
pukulan “dinding angin berhembus tindih menindih”.
Wilani terkesiap ketika
mendengar ada suara deru angin laksana puting beliung menyambar.
Pakaiannya berkibar-kibar dan
tubuhnya laksana mengapung tak bisa maju sedangkan pukulannya tadi seperti
membentur tembok besi!
“Ah! Pemuda ini benar-benar
memiliki kepandaian yang tidak rendah!” kata Wilani dalam hati. Maka dia lipat
gandakan tenaga dalamnya dan kembali menghantam.
Kini Pendekar 212 yang
terkejut. Dia melihat secara perlahan-lahan tetapi pasti tubuh lawan bergerak
maju menembus angin pukulan saktinya. Tubuhnya sendiri terasa bergetar dan
kedua kakinya seperti disapu dan dipaksa mundur. Wiro coba bertahan tanpa
menambah kekuatan tenaga dalamnya. Tetapi akibatnya keringat dingin membasahi
sekujur tubuhnya.
“Kalau kulipat gandakan tenaga
dalamku dan balas menghantam, salah satu-aku atau dia pasti akan celaka!” pikir
Wiro. Akhirnya didahului satu bentakan keras, Pendekar 212 melompat ke atas.
Dari atas dia menghantam pertengahan angin pukulan lawan. Terdengar suara
berdentum. Tanah bergetar. Lalu tampak pasir dan batu-batu kecil beterbangan.
Di tanah ini ada cegukan sedalam satu jengkal!
Di bawahnya Wiro melihat
Wilani hampir terjengkang. Dia sendiri merasakan kesemutan pada sekujur tangan
kanannya sampai ke pangkal bahu.
“Kau hebat!” memuji Wiro.
“Pemuda sableng itu masih bisa
memuji! Tapi jangan-jangan dia justru mengejekku! Eh! Dimana dia?!” Wilani
memandang berkeliling ketika dapatkan Wiro tak ada lagi dihadapannya. Suara
pemuda itu tadi terdengar datang dari belakang. Cepat dia membalik. Dan!
“Gila! Betul-betul kurang
ajar!” memaki Wilani habis-habisan. Kedua tangannya bergerak ke arah kepalanya,
memegang rambutnya yang kini tersingkap riap-riapan!
Di hadapannya Pendekar 212
Wiro Sableng tegak silangkan kaki, berkipas-kipas dengan sehelai sapu tangan
lebar sambil cengar-cengir! Sapu tangan itu adalah ikat kepala yang dikenakan
oleh Wilani. Yang tanpa disadari sang dara yang menyamar sebagai pemuda itu
tahu-tahu sudah lepas dari kepalanya disambar Wiro Sableng!
Jengkel ada marah pun ada
namun yang lebih dirasakan oleh Wilani saat itu ialah kenyataan bahwa dua belas
tahun digembleng oleh Datuk Buntung Cemoro Sewu ternyata kepandaian yang
dimilikinya tidak berdaya menghadapi seorang lawan yang dianggapnya berotak
miring! Padahal baru dua hari dia meninggalkan tempat kediaman gurunya. Begini
hebatkah dunia persilatan hingga dia seperti seekor katak dibawah tempurung?!
Wilani ingin menjerit! Tapi
mulutnya terkancing. Hanya ada butiran air mata terbit di kedua matanya itu
Cepat-cepat dia memutar tubuh untuk tinggalkan tempat itu. Namun belum sempat
membalik tiba-tiba ada orang berseru.
“Kawan-kawan! Ternyata pemuda
yang kita kejar ini seorang dara berparas jelita! Tidak disangka dan sungguh
luar biasa! Niatku untuk menghajarnya biar kubatalkanl Kita tangkap saja dia
hidup-hidup dan bawa ke markas! Kita bisa bersenang-senang bersamanya!
Setuju?!”
“Setuju!!!” terdengar suara
orang banyak menyahuti. Wilani dan juga Wiro jadi terkejut.
Ketika mereka memandang
berkeliling ternyata di sekitar mereka kini terdapat lima belas orang pemuda
berseragam hitam dengan ikat pinggang dan ikat kepala kain merah, enam belas
dengan pemuda yang tadi berseru dan bukan lain adalah pemuda yang membuat
kegaduhan di tengah pasar dengan cara menusuk seekor kerbau hingga mengamuk!
Pada dada kiri baju hitam yang dikenakan ke lima belas pemuda itu terdapat
gambar dua potong gading putih bersilang.
“Anak muda tak tahu diri!”
Wiro mendamprat. “Kalau tadi dia tidak turun tangan menolong, kerbau yang kau
buat gila itu sudah membunuhmu! Sekarang malah datang membawa rombongan untuk
menangkap orang dan berani menyatakan niat kurang ajar!”
“Tutup mulutmu manusia
gendeng! Jangan pasang aksi di depanku! Kau gantinya yang bakal di hajar! Lihat
sekelilingmu!” bentak pemuda yang datang membawa lima belas temannya.
“Hemmm…. Jadi ini yang kau
sebut pasukan itu, hah?! Kalian ini rombongan ketoprak dari mana sebenarnya?!”
Mendengar diri mereka diejek
sebagai rombongan ketoprak, marahlah ke lima belas pemuda berseragam
hitam-hitam itu. Pemuda yang datang membawa mereka terdengar berteriak.
“Sepuluh orang lekas hajar pemuda
gondrong itu! Yang lain ikuti aku berbincang-bincang dengan gadis cantik yang
menyamar sebagai lelaki itu!”
* * *
7
PEMUDA YANG MEMBAWA rombongan
kawannya lima belas orang ini melangkah ke hadapan Wilani diikuti oleh lima
kawannya sementara yang sepuluh orang lagi langsung bergerak mengurung Pendekar
212 Wiro Sableng.
Di hadapan Wilani pemuda tadi
tegak berkacak pinggang. Setelah senyum-senyum sebentar sambil gosok-gosokkan
kedua telapak tangannya satu sama lain dia berkata.
“Kalau sejak sebelumnya aku
tahu kau ini seorang dara begini jelita, pasti tak akan terjadi hura-hura di
pasar itu….”
“Lalu sekarang apa maksudmu?!”
tanya Wilani penuh jengkel. “Hendak membuat keributan lagi?!”
Si. pemuda goyang-goyangkan
tangannya. “Tidak…. Tentu saja tidak. Malah aku akan mengajakmu ke markasku di
kaki bukit. Kita bisa bersenang-senang disana. Banyak makanan dan minuman.
Pakaian bagus-baguspun ada untukmu. Kau tinggal pilih!”
“Markas…? Markas apa itu?!”
tanya Wilani pula. Di seberang sana dia melihat sepuluh orang pemuda berpakaian
serba hitam mulai menyerang Wiro Sableng.
“Ah, yang kusebut markas itu
adalah sebuah rumah bagus di kaki bukit di sebelah selatan kotaraja. Kau pasti
akan senang berada disitu….”
“Bagaimana kalau aku merasa
tidak senang?!” tukas Wilani.
“Tidak mungkin! Tak ada gadis
yang tidak senang berada di tempat itu.”
“Hemmm….rupanya kau sudah
biasa membawa gadis-gadis markasmu itu hah?!”
“Ah, kawan-kawan, Gadis ini
belum apa-apa sudah mulai cemburu,” kata si pemuda pula.
Lima orang kawannya tertawa
gelak-gelak.
“Cemburu berarti cinta!” salah
seorang dari mereka berkata lalu kembali mereka tertawa bergelak.
“Kalian semua gila! Tampang
kalian tidak satupun yang lumayan! Kambing betina budukpun tidak bakal naksir
pada kalian! Apalagi padamu!” kata Wilani seraya mencibir ke arah pemuda yang
tegak di hadapannya. Yang dihina tidak marah malah tertawa mengekeh.
Diam-diam Wilani perhatikan
lima pemuda berpakaian hitam di sekelilingnya. Matanya mengawasi gambar dua
gading putih bersilang di dada kiri baju orang-orang itu. Dia rasa-rasa ingat
sesuatu. Otaknya bekerja keras. Tapi dia tak mampu mengingat.
“Saudari, waktu kita tidak
banyak. Mari ikut bersamaku…,” pemuda di hadapan Wilani membuka mulut.
“Ikut kamu ke mana?!”
“Ah, jangan berpura-pura. Atau
mungkin kau malu. Kalau begitu lima kawanku ini biar tak usah berjalan
bersama-sama kita jika kau memang malu….”
Lalu enak saja pemuda ini
ulurkan tangan hendak menarik lengan Wilani. Wilani ajukan tangan kanannya
seperti hendak menuruti ajakan si pemuda. Tapi tiba-tiba dengan kecepatan yang
luar biasa si gadis tarik lengan si pemuda dan dilain kejap pemuda itu sudah
terlempar ke udara.
Begitu jatuh bergedebukan di
tanah langsung tertelentang dan menggerung kesakitan.
“Kurang ajar! Kau berani
mencelakai putera pimpinan kami!” salah seorang pemuda berpakaian hitam
berteriak marah.
“Gadis binal ini perlu diberi
pelajaran!” kawannya yang lain berkata seraya maju mendekat.
Pemuda yang masih terhenyah di
tanah cepat berteriak. “Awas! Jangan sakiti gadis itu!
Jangan ciderai dia! Tolong
dulu aku berdiri! Gadis itu biar nanti aku yang urus!”
Lima pemuda nampak menggerutu.
Tapi mereka patuh pada si pemuda yang tadi dibanting Wilani ke tanah. Dua orang
segera menolongnya berdiri.
“Jelitaku, aku maafkan
kelancanganmu tadi membantingku hingga tulang-tulang ini serasa remuk. Tapi
berjanjilah kau akan mengurut dan memijitku begitu kita sampai di markas….”
Plaakkk!
Satu tamparan mendarat di muka
si pemuda. Tak ampun lagi untuk kedua kalinya pemuda ini jatuh terbanting di
tanah sambil teraduh-aduh kesakitan. Dari sela bibirnya tampak darah mengucur.
Melihat hal ini lima kawannya
langsung saja menyerbu Wilani. Gerakan mereka mengeluarkan suara angin deras
tanda kelimanya memiliki tenaga luar yang besar dan keras. Sesaat lagi wilani
akan dihantam lima pukulan, tiba-tiba dari samping kiri melesat satu bayangan
putih disertai suara aaa… uu… aa… uuu. Lalu terdengar pekik dua pengeroyok. Dua
lainnya terpental sambil mengaduh kesakitan. Hanya satu yang sempat melompat
mundur selamatkan diri.
Dua pemuda pertama
terhuyung-huyung sambil pegangi bahu kiri. Ternyata tulang-tulang bahu mereka
telah remuk kena hantam sedang wajah masing-masing tampak merah seperti orang
mabok minuman keras!
“Aaa.. uuuu… Aaaaa… uuu….”
Kembali terdengar suara aneh itu.
Dua pemuda yang tadi terpental
dan terguling di tanah berusaha bangkit sambil pegangi perut. Anehnya muka
keduanyapun tampak merah.
Satu-satunya pemuda yang tidak
cidera memandang dengan paras berubah ke arah kiri dimana saat itu tampak
berdiri seorang pemuda tidak dikenal. Pemuda ini berdiri dengan empat anggota
badan tak bisa diam. Kedua tangannya digerak-gerakkan terus ke depan secara
aneh yaitu seperti orang berenang. Kedua kakinyapun dijingkat-jingkatkan. Lalu dari
mulutnya tiada henti terdengar suara “Aaaa… uuu… aaa… uuu!” dan wajahnya
menunjukkan kemarahan. Wilani sendiri selain terkejut juga merasa heran melihat
kemunculan pemuda aneh berpakaian lusuh yang jelasjelas telah menolongnya dari
keroyokan lima pemuda tadi. Wajahnya masih menunjukkan kemarahan. Tapi dibalik
air muka marah itu Wilani melihat adanya bayangan penderitaan.
“Bangsat kurang ajar! Siapa
kau berani menciderai kawan-kawanku?!” teriak pemuda yang barusan kena gampar
Wilani begitu berhasil berdiri.
Saat itu tiba-tiba muncul
seorang penunggang kuda berpakaian bagus. Usianya jelas sudah lanjut, mungkin
sekitar 60 tahun tapi tampak masih gagah. Tanpa turun dari kudanya orang ini
berkata. “Wiseso! Pasti kau lagi yang punya ulah membuat keributan. Sudah
berapa kali aku memperingatkan agar jangan berlaku sembrono seenakmu! Apalagi
sampai membawa murid-murid perguruan! Tinggalkan tempat ini! Bawa semua
temanmu! Kalian bodoh semua! Tak habishabisnya membuat kegaduhan!”
Pemuda yang ternyata bernama Wiseso
itu tampak ketakutan. Begitu juga lima kawannya. Tanpa banyak bicara dan tanpa
menoleh lagi keenamnya segera tinggalkan tempat itu. Diikuti oleh enam orang di
bagian lain. Lalu kemana yang empat lagi? Mereka semua bergeletakan di tanah
dengan kepala atau muka benjut dihantam Wiro waktu mengeroyok Pendekar 212 itu
tadi!
Lelaki di atas kuda memandang
ke arah Wilani dan pemuda aneh yang saat itu masih saja tegak sambil
menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya. Orang ini lantas berkata: “Harap
kalian memaafkan kelakuan puteraku Wiseso dan kawan-kawannya serta melupakan
kejadian ini….”
Habis berkata begitu orang ini
membawa kudanya ke arah Wiro Sableng yang tegak masih memegangi sapu tangan
besar milik Wilani.
“Anak muda, terima kasih atas
pelajaran yang kau berikan pada murid-muridku. Harap maafkan mereka dan lupakan
kejadian ini….” Orang di atas kuda diam sejenak seperti berpikir-pikir. Dia
melirik pada Wilani dan pemuda aneh yang tadi berhasil menghantam roboh empat
orang lawannya dalam gebrakan-gebrakan pendek. Lalu setelah merenung sejenak
dia berkata pada Wiro. “Aku sempat menyaksikan permainan silatmu tadi.
Jurus-jurusmu begitu menawan. Dengan kerendahan hati aku mengundangmu untuk
datang ke perguruanku di selatan Kotaraja. Sekedar untuk bertukar pengalaman….”
Wiro tak hanya menyeringai
tidak menyahut. Orang di atas kudapun tampaknya seperti tidak perlu menunggu
jawab. Maka diapun berlalu setelah lebih dulu membentak pada empat pemuda yang
masih bergeletak di tanah.
“Memalukan sekali! Jika kalian
tidak segera bangun dan minggat dari sini, biar kaki-kaki kudaku memecahkan
dada dan perut kalian!”
Lalu orang itu sentakan tali
kekang kudanya. Meskipun masih dalam keadaan sakit dan nanar akibat hantaman
Wiro, namun mendengar ancaman si penunggang kuda, keempat pemuda yang
bertebaran di tanah buru-buru berdiri lalu dengan melangkah huyung mereka
tinggalkan tempat itu.
Setelah keempat orang itu
melangkah, barulah si penunggang kuda menggebrak tunggangannya meninggalkan
tempat itu.
Untuk beberapa lamanya Wilani
memperhatikan si penunggang kuda tanpa berkesip sampai akhirnya orang itu
lenyap di kejauhan.
“Aku…. Aku rasa-rasa pernah
melihat wajah orang itu. Dimana…?” Sepasang mata Wilani mendadak membesar. “Eh,
jangan-jangan memang dia…,” Wilani hendak bergerak namun suara “Aaaa… uuu… aaa…
uuu,” di sampingnya membuat dia hentikan gerakan kaki dan berpaling.
Pemuda yang tadi menolongnya
kini tegak diam, memandang ke arahnya. Kedua tangannya dan kedua kakinya tidak
lagi bergerak. Mungkin gerakan-gerakan yang dibuatnya tadi adalah sejenis
gerakan silat aneh, pikir Wilani. Kini dalam keadaan tanpa marah dan tegak
berdiam diri seperti itu Wilani dapatkan kenyataan bahwa pemuda ini memiliki
wajah yang tampan.
“Aaaa… uuu…aaa… uuuu….”
“Kasihan, jangan-jangan pemuda
ini tak bisa bicara. Gagu…,” kata Wilani dalam hati.
“Aaaa… uuu… aa… uuu…..!”
Wiro mendatangi dan menegur si
gagu. “Ki sanak, gebrakan silatmu luar biasa sekali. Aku tahu sedikit bahasa
orang bisu. Maukah kau memberi tanda dengan gerakan jari-jari tangan biar aku
tahu apa yang hendak kau katakan …?”
“Aaaa… uuu… aaa…. uuu!” si
pemuda gagu menjawab gerakan dan tanda.
“Ahhh…! Aku mengerti. Akan
kusampaikan pada sahabatku ini…,” ujar Wiro ketika akhirnya dia dapat membaca
tanda-tanda jari yang dibuat pemuda gagu.
“Aaaa… uuu… aaa… uuu…!” Pemuda
gagu itu tiba-tiba palingkan tubuhnya dan tinggalkan tempat itu!
“Hai… Tunggu!” seru Wilani.
Tapi si gagu sudah lenyap. “Aku hendak menanyakan sesuatu padanya tapi mengapa
dia pergi begitu saja…?”
“Tak usah kecewa. Barusan dia
telah meninggalkan pesan lewat bahasa jari…,” ujar Wiro.
“Lekas katakan apa pesannya
itu?l” tanya Wilani tak sabaran.
“Pertama, kita berada di
kawasan Kotaraja. Jangan bertindak sembrono. Kedua jangan ganggu rombongan
orang-orang tadi karena mereka ada di bawah pengawasannya….”
“Di bawah pengawasannya?
Berarti pemuda gagu itu adalah kawan dari orang-orang itu….
Tapi mengapa tadi dia
menghantam empat orang di antara mereka sampai ada yang hancur lengannya?”
“Dengar dulu, penjelasanku belum
selesai…,” kata Wiro pula. “Katanya kalau urusannya beres dia akan menemui kita
kembali….”
“Hanya itu saja pesannya?”
“Ada satu lagi. Dia ingin tahu
siapa namamu.”
Wilani memandang tajam ke arah
Wiro. Làlu menyeringai. “Ah…. Pesan itu bukan dari dia.
Tapi kau yang mengarang!” Wiro
tertawa gelak-gelak lalu garuk-garuk kepala.
“Kita bertiga brsahabat.
Mengapa tidak saling tahu nama?”
Wilani tak menjawab. Dia
tampak tengah berpikir-pikir.
“Eh, kau seperti orang
melamun. Atau ada yang sedang kau pikirkan…?” tanya Wiro. Lalu Pendekar 212
melihat sepasang mata sang dara tiba-tiba membear. Wajahnya yang cantik berubah
ganas. Kedua tangannya dikepalkan.
“Pasti dia…. Pasti dia….! Aku
ingat sekarang! Tanda gading bersilang itu! Pasti!” Lalu Wilani bereriak keras
membuat Wiro terkejut. Tanpa perdulikan Wiro lagi Wilani berkelebat tinggalkan
tempat itu.
“Hai tunggu! Kau mau
kemana…?!” Wiro memanggil.
Wilani tidak tanggapi seruan
orang. Terus saja lari kejurusan lenyapnya rombongan lelaki berkuda bersama pemuda-pemuda
berseragam hitam tadi.
* * *
8
SETELAH MEMPERTIMBANGKAN
apakah dia akan pergi ke arah lenyapnya pemuda gagu atau mengejar ke arah
lenyapnya gadis jelita itu, akhirnya Wiro memilih yang terakhir.
Hari mulai memasuki rembang
petang ketika penguntitan yang dilakukan murid Eyang Sinto Gendeng itu
membawanya jauh ke pinggiran Kotaraja sebelah selatan. Di depannya gadis yang
diikuti tampak berdiri di hadapan pintu gerbang besar sebuah perguruan silat
bernama “Perkumpulan Silat Gading Putih”.
Di sebelah dalam pintu gerbang
terdapat halaman luas sekali yaitu tempat berlatih para anak murid perguruan.
Lalu ada tiga buah bangunan besar mengapit sebuah rumah kayu bertingkat.
Dari tempatnya berdiri Wilani
dapat melihat belasan murid perguruan yang berseragam pakaian hitam dengan
tanda gading putih bersilang di dada kiri tengah berlatih jurus-jurus dasar.
Rahang Wilani menggembung.
Kedua matanya membersitkan dendam kesumat. “Akhirnya kutemui juga salah satu
dari mereka! Orang tua penunggang kuda tadi pasti pembunuh ayahku yang bernama
Rae Pamungkas!” Sekujur tubuh sang dara bergetar. Aliran darahnya terasa panas
dan mengencang. Dadanya turun naik. Cepat gadis ini menguasai dirinya lalu
dengan langkah tegap dia memasuki pintu gerbang.
Ketika Wilani mencapai ujung
depan lapangan luas, beberapa orang pemuda melihat kedatangannya. Salah satu di
antara mereka segera lari ke arah rumah besar itu. Salah satu masuk ke dalam
lalu keluar lagi bersama Wiseso, pemuda yang sempat dihajar habis-habisan oleh
Wilani sebelumnya.
Sesaat pemuda ini merasa heran
melihat kemunculan si gadis di tempat itu. Kemudian dia tertawa lebar dan
cepat-cepat menuruni tangga rumah besar, lari ke arah Wilani. Begitu sampai di
hadapan sang dara sambil senyum-senyum Wiseso berkata.
“Gadis cantik, sungguh besar
hatiku ternyata kau mau juga datang ke markasku menemui diriku….” Wiseso
menjura dalam lalu lanjutnya : “Mari, silakan masuk. Makanan dan minuman akan
segera kusuruh hidangkan. Sementara kau boleh masuk ke karnar pakaian. Pilih pakaian
bagus yang kau inginkan. Aku akan menunggumu di ruangan makan…. Kau tak usah
khawatir. Tak ada satu seorang pun yang akan berada disana kecuali aku. Hanya
kita berdua….”
Wilani sebal sekali melihat
pemuda satu ini. Dia menjawab : “Kucing buduk! Aku mencari manusia bernama Raae
Pamungkas! Dia pasti lelaki berkuda yang kulihat sebelumnya….”
Wiseso terkejut. Dia berpaling
pada dua anak murid perguruan di samping. “Jadi …. Jadi kau kemari mencari
ayahku? Bukan mencari aku?!”
“Hemmm, jadi tua bangka itu
adalah ayahmu! Cepat suruh dia keluar!
Kalau tidak aku akan melabrak
ke dalam sana!”
Wiseso geleng-geleng kepala.
“Bagaimana ini! Aku yang naksir, ayahku yang dicari!”
katanya. “Ayahku saat ini
tengah menemui seorang tamu penting dari Kotaraja. Dia tak bisa diganggu!”
“Siapa bilang tidak bisa
diganggu! Panggil dia sekarang juga! Katakan aku murid Datuk Buntung Cemoro
Sewu datang mencarinya!”
“Datuk Buntung Cemoro Sewu….?
Enggg…. Tak pernah aku mendengar nama itu. Tapi gadisku cantik. Jika maksud
kedatanganmu kemari untuk mendaftar menjadi anak murid perkumpulan silat kami,
tak usah mencari ayahku segala. Kau tak perlu mendaftar. Aku akan mengurus
semuanya. Nanti kau akan diberi latihan khusus di tanah lapang sana atau di
atas ranjang bersamaku. Bukan begitu kawan-kawan…?”
Dua kawan Wiseso mengiyakan.
Lalu ketiga pemuda itu tertawa galak-galak.
Hilanglah kesabaran Wilani.
Dalam hati dia menggeram. “Pemuda ini tidak ada sangkut paut dengan dosa
ayahnya. Tapi kalau tidak kuhajar dia tidak akan kapok! Pasti sudah banyak anak
gadis orang yang dibawanya ke tempat ini secara paksa dan dicemarinya. Habis
membatin begitu Wilani berkelebat dan plaaak… plaaak… plaaak. Tiga kali tangan
kanannya bergerak. Tiga kali tamparan keras melayang. Dua anak murid Perkumpulan
Silat Gading Putih terbanting roboh dengan mulut pecah dan melejang-lejang di
kaki tangga sambil menggerang kesakitan. Wiseso sendiri jatuh duduk di lantai
serambi rumah besar. Pipi kirinya tampak bengkak merah membiru.
Mata kirinya lebam mengucurkan
darah.
“Kau masih tidak mau memanggil
ayahmu?!” bentak Wilani.
“Kau . . . kau. . .!”
Tiba-tiba Wiseso keluarkan satu suitan keras. Serta merta dari perbagai penjuru
menghambur sosok-sosok berseragam hitam.
“Kurang ajar!” maki Wilani.
Dengan cepat dia menghitung. Jumlah anak murid perguruan silat yang datang ke
arahnya lebih dari dua puluh orang. Saking jengkelnya gadis ini langsung saja
tendangkan kaki kirinya ke arah dada Wiseso hingga pemuda ini meraung kesakitan
dan terkapar di dinding rumah besar. Mulutnya muntahkan darah segar lalu
kepalanya miring ke kiri, pingsan!
Lebih dua puluh anak murid
perguruan berteriak marah. Langsung mereka menyerbu ke arah Wilani. Justru pada
saat itu tiba-tiba terdengar ke gaduhan dari bagian atas rumah kayu tingkat yaitu
tempat kediaman pimpinan perkumpulan silat. Sesosok tubuh tampak terlempar
keluar lewat dinding bangunan yang hancur berantakan.
Di saat yang sama, satu
bayangan putih berkelebat di depan tangga rumah besar, langsung berdiri di
samping Wilani seraya membentak membahana tanda orang ini kerahkan tenaga
dalamnya waktu berteriak. Siapakah orang yang berteriak ini? Wilani berpaling
ke samping. Astaga!
Dia bukan lain pemuda rambut
gondrong yang mengaku bernama Wiro Sableng itu!
Merasa orang memandang padanya.
Wiro balas berpaling lalu tersenyum sambil kedipkan mata.
“Kau! Kau mengikutiku!” kertak
Wilani hendak marah.
“Sudah! Apapun yang jadi
urusanmu selesaikan sana. Biar aku menahan monyet-monyet berpakaian hitam itu!”
Sadar kalau orang bermaksud
baik dan hendak menolongnya Wilani anggukan kepala, memutar tubuh dan
berkelebat ke arah rumah panggung.
“Hajar kedua pengacau itu!”
Salah seorang murid perguruan berteriak.
“Yang perempuan tangkap
hidup-hidup! Yang gondrong dicincangpun tak jadi urusan!” teriak yang lain.
Begitu kedua puluh orang itu
mendekat, murid Eyang Sinto Gendeng segera menghantam dengan pukulan “Benteng
topan melanda samudra”.
Semua anak murid perguruan
berseru kaget ketika mendengar ada suara menderu disertai hembusan angin sangat
deras. Masing-masing mereka merasakan laksana dihantam angin puting beliung.
Bagaimanapun mereka berusaha mempertahankan diri tapi akhirnya mereka semua
terseret jauh dan terguling-guling di lapangan. Ketika sambaran angin reda dan
mereka sanggup berdiri, di hadapan mereka terlihat bagaimana tanah lapang
didepan tangga bangunan besar telah ceguk sampai setengah jengkal! Sadar kalau
mereka berhadapan dengan seorang pendekar berkepandaian tinggi, kini tak
satupun berani bergerak. Namun pada waktu itu dari samping kiri tampak
berkelebat seseorang dan dilain kejap dia sudah berada di hadapan Pendekar 212
Wiro Sableng.
“Anak muda! Kedatanganmu sudah
tidak diundang berani pula mengacau! Kalau punya kesaktian andal, mengapa
mempergunakan terhadap anak murid perguruan yang baru belajar ilmu silat
dasar?!”
Wiro memandang pada orang di
hadapannya. Seorang lelaki separoh baya yang memiliki tubuh penuh otot serta
cambang bawuk meranggas menutupi wajahnya.
“Sampean ini siapa?” tanya
Pendekar 212.
Sambil menjawab orang itu
letakkan telapak tangannya di atas dada. “Aku Ronggo Dwikun! Pelatih Kepala
Perkumpulan Silat Gading Putih!”
“Ah, aku berhadapan dengan
seorang kepala pelatih rupanya! Kau tentu ahli dalam melatih ilmu silat tapi
tidak becus menanamkan sopan santun pada anak buahmu!”
“Apa maksudmu?!” tanya Ronggo
Dwikun dengan muka merah.
“Buktinya kawanku tadi datang
dan minta ketemu dengan pimpinanmu, malah diperlakukan secara kurang ajar!”
“Tidak sembarang orang bisa
bertemu dengan ketua perkumpulan….”
“Kedengarannya ketuamu lebih
hebat dari Suiltan! Sultan saja selalu siap menerima kunjungan seorang hamba
rakyat yang punya kepentingan!”
“Katakan apa maksud
kedatanganmu!” Ronggo Dwikun mulai marah.
“Aku sih cuma jalan-jalan
sambil mengantar sahabatku gadis cantik tadi…,” jawab Wiro.
“Kurang ajar! Setelah melukai
putera Ketua kami dan beberapa murid perguruan kowe masih bisa bilang kemari
untuk jalan-jalan! Kalau kau benar seorang pendekar aku menantangmu bertarung
ilmu silat tangan kosong! Jangan hanya berani mengandalkan pukulan sakti!”
“Kalau itu mintamu aku tak
keberatan melayani!” sahut Wiro. Lalu secepat kilat, hampir tidak kelihatan
oleh puluhan pasang mata murid-murid perguruan yang ada di lapangan, murid
Eyang Sinto Gendeng itu menotok urat besar di dada kiri Ronggo Dwikun. Langsung
kepala pelatih ini menjadi kaku dan gagu.
Wiro lalu berpura pasang
kuda-kuda. “Ayo pukullah! Cari sasaran yang empuk!” seru Wiro keras-keras agar
semua anak murid perguruan mendengar. Tapi tentu saja sang kepala pelatih tidak
bisa memukul. Bergerakpun bahkan bicara saja dia tidak mampu! Kagetlah semua
anak murid perguruan melihat kejadian itu dan semakin leleh nyali mereka untuk
berani melakukan sesuatu.
Wiro tertawa gelak-gelak lalu
duduk di tangga bangunan.
“Aku dengar di dalam sana
banyak makanan dan minuman. Lekas dua di antara kalian segera mengambilnya!
Yang berani membantah akan kugebug!”
Dua anak murid perkumpulan
silat segera bergerak melakukan perintah. “Eittt! Tunggu dulu!” Wiro menjambak
pakaian salah satu dari dua murid perkumpulan.
“Aku juga dengar ada
pakaian-pakaian bagus di dalam rumah. Pakaian putihku ini sudah apek. Carikan
sepasang pakaian yang bagus untukku!
Kau dengar…?”
Dengan gemetar anak murid yang
dibentak hanya bisa anggukkan kepala. Wiro lepaskan pegangannya. Tak lama
kemudian berbagai hidangan lezat termasuk buah dan minuman diantarkan di depan
tangga, termasuk sepasang pakaian putih yang bagus. Wiro menyambar sebutir buah
kuini yang harum dan manis. Lalu dia buka baju putihnya. Sambil tertawa-tawa di
hadapan anak murid perkumpulan silat si pendekar sableng ini ganti pakaian
putihnya yang sudah lusuh dan kotor dengan baju dan celana baru yang
dibawakannya untuknya!
Selesai berpakaian Wiro duduk
di tangga bangunan, mulai menyantapi segala hidangan yang diletakkan disana
lalu meneguk minuman. Waktu makan Wiro sengaja mengeluarkan suara berciplakan,
ketika minum dia sengaja pula mengeluarkan suara cegluk-cegluk sehingga anak
murid perkumpulan silat yang melihat jadi jengkel kesal, ada pula yang menelan
air liur dengan geram.
Namun tak seorangpun berani
bergerak dari tempat masing-masing sementara si kepala pelatih masih tegak kaku
dan bisu di pinggiran tangga!
9
KETIKA WILANI BERLARI ke arah
bangunan bertingkat, di depan tangga dia menemukan sesosok mayat yang tadi
seperti dilemparkan dari bagian atas. Mayat ini adalah mayat seorang lelaki tua
berambut dan berjanggut putih. Dia mengenakan pakaian robek dan penuh
berlumuran darah. Wajahnya tidak dapat dikenali lagi. penuh dengan luka-luka
menggidikan seperti disobek senjata tajam dan tampak menggembung bengkak
kemerahan.
Sesaat Wilani terkesiap namun
ketika di atas bangunan sana didengarnya ada suara bentakan-bentakan tanda
tengah terjadi satu perkelahian maka gadis ini cepat melompat menaiki tangga
yang menuju ketingkat atas.
Ketika sampai di bagian atas
rumah itu dia menyaksikan perkelahian seru tengah terjadi antara seorang pemuda
dengan orang yang tengah dikejarnya, yaitu Rae Pamungkas, salah seorang
pembunuh ayahnya. Sedang si pemuda bukan lain adalah pemuda gagu yang telah
ditemunya sebelumnya.
Dari jalannya perkelahian satu
lawan satu itu jelas Rae Pamungkas berada dalam keadaan terdesak hebat.
“Apapun alasan pemuda gagu itu
hendak membunuh Rae Pamungkas, aku lebih berhak darinya!” kata Wilani dalam
hati. Lalu diapun siap menyerbu. Tapi terlambat! Di hadapannya pemuda gagu itu
telah membuntal tubuh Rae Pamungkas, sepasang kakinya laksana menjapit pinggang
ketua perkumpulan silat gading putih sementara kedua lengannya menyikap leher.
Lalu terdengar suara berderak bunyi patahnya tulang leher Rae Pamungkas!
“Aaaa… uuuu…. aaaa…. uuuu!”
Ketika si gagu lepaskan
cekatannya, tubuh Rae Pamungkas langsung roboh ke lantai.
Sekujur tubuh itu termasuk
mukanya tampak cabik-cabik mengerikan serta gembung bengkak kemerahan. Wilani
melirik pada sepasang tangan pemuda gagu. Tangan yang berkuku panjang itu
tampak penuh lumuran darah.
“Ilmu apakah yang dimiliki
pemuda ini sampai kematian Rae Pamungkas begitu dahsyat mengerikan …,” kata
Wilani dalam hati. Tapi begitu dia ingat bahwa maksudnya untuk membalaskan
dendam kesumat terhadap Rae Pamungkas tidak kesampaian karena kedahuluan si
gagu maka gadis ini menjerit keras. Dia melompat ke arah mayat Rae Pamungkas.
Sekali menendang maka mentallah tubuh ketua perkumpulan silat itu ke arah
dinding ruangan. Dinding jebol, tubuh Rae Pamungkas melayang jatuh ke halaman,
tergeletak tak berapa jauh dari mayat orang tua berjanggut dan berambut putih.
Sehabis menendang kembali
Wilani menjerit. Pemuda gagu mendatanginya, mengelus bahunya.
“Aaa… uu… aaa… uuu…!” Lalu
pemuda ini gerakkan jari-jari tangannya. Tetapi Wilani tidak mengerti apa yang
ingin diucapkan si pemuda lewat gerakan-gerakan jarinya itu. Ketika Wilani
merasakan tubuhnya limbung akibat kecewa besar karena dendamnya tak kesampaian,
si gagu cepat merangkulnya.
Apakah yang terjadi sebelum
Wilani naik ke tingkat atas bangunan itu?
Saat itu Ketua Perkumpulan
Silat Gading Putih yakni Rae Pamungkas, salah seorang pembunuh Adi Juwono
tengah menerima kunjungan seorang tamu dari Kotaraja. Tamu ini adalah seorang
kakek yang karena ketinggian ilmu silatnya telah diangkat sebagai salah satu
pimpinan barisan pengawal Sri Baginda, dikenal dengan panggilan Ki Tempur
Sakal.
Melihat ada seorang pemuda tak
dikenal bisa masuk ke tempat itu tanpa diketahui seorangpun, Ki Tempur Sakal
yang tengah bicara hentikan ucapannya dan berpaling pada tuan rumah.
“Dimas Rae Pamungkas,”
bisiknya. “Jika ada orang bisa masuk ke tempat ini tanpa setahu penjaga, itu
pertanda sangat lemahnya pengawasan di tempatmu ini!”
Paras Rae Pamungkas tampak
merah. Dia berdiri dari kursinya seraya membentak.
“Anak muda! Siapa kau?!”
“Aaa… uuu…. aaa…. uuu….!”
“Hemmm…. Dia ternyata gagu,
dimas Rae…!”
“Bangsat! Bagaimana kau bisa
masuk kemari!” kembali Rae Pamungkas membentak.
“Aaa… uuu…. aaa…. uuu….!”
Pemuda gagu itu tiba-tiba gerakkan kedua tangan kakinya.
Suara berkesiuran memenuhi
ruangan disertai terasanya sambaran-sambaran angin dingin menggidikkan.
Melihat gerakan-gerakan yang
dibuat kedua tangan dan kedua kaki si pemuda gagu, terkejutlah Ki Tempur Sakal.
Tokoh silat istana ini
melompat dari kursinya seraya berseru: “Ilmu silat kepiting gila!”
Orang tua ini maju beberapa
langkah lalu berhenti, tak berani lebih mendekat.
“Anak muda! Apa sangkut pautmu
dengan Raja dan Ratu Kepiting Sakti di muara sungai wilayah selatan?!”
“Aaa… uuu…. aaa…. uuu….!”
Yang ditanya menjawab aaa…
uuu… aaa… uuu sambil menggerak-gerakkan jari tangannya.
Ki Tempur Sakal yang kebetulan
tahu sedikit arti tanda-tanda yang dibuat oleh jari-jari tangannya itu menjadi
terkesiap. Dia berpaling pada Rae Pamungkas.
“Apa yang dikatakan pemuda
gagu itu kang mas? Lekas beritahu padaku!” kata Rae Pamungkas.
“Katanya…. katanya dia datang
tidak untuk membuat keonaran. Dia tidak ada urusan denganku. Tapi punya urusan
besar dengan dirimu! Katanya kau telah membunuh ayahnya dua belas tahun
silam….”
Kagetlah Rae Pamungkas
mendengar penjelasan Ki Tempur Sakal itu.
“Siapa nama ayahmu?!” Tanya
Rae Pamungkas menghardik.
Pemuda gagu angkat kedua
tangannya. Jarinya bergerak-gerak cepat.
“Kangmas apa yang
dikatakannya?!” tanya Rae Pamungkas.
“Katanya kau tak perlu
bertanya karena kau tahu jelas siapa yang dimaksudkannya. Dia bertanya apakah
kau sudah siap untuk menerima kematian ….?!”
“Jahanam! Enak saja dia
berbicara!” Rae pamungkas coba mengingat dengan cepat apa yang terjadi dua
belas tahun silam. Peristiwa di sebuah Rumah dekat plered. Dia dan Randu
Lawang.
Lalu disitu ada Wirasaba,
Kajenar dan Juminten!
“Kalau begitu…,” kata Rae
Pamungkas dengan paras memucat sesaat. “Pemuda gagu ini adalah Ario Seno,
putera Adi Juwono…! Tapi bagaimana mungkin? Anak itu bukankah sudah mati
dilempar ke dalam sungai?!”
Di depan sana kembali si gagu
gerak-gerakan jari-jari tangannya.
Ki Tempur Sakal membaca dan
membacakannya pada Rae Pamungkas.
“Dimas, pemuda ini segera
hendak membunuhmu!”
“Akan kulihat sampai dimana
kehebatannya! Kepalanya akan kupecahkan sebelum dia sempat menyentuh tubuhku!”
“Biar aku yang mewakilimu
dimas Rae. Ilmu silat kepiting gila yang dimilikinya bukan ilmu sembarangan.
Selain luar biasa juga mengandung racun kepiting yang bisa membuat orang mati
dengan tubuh gembung merah!”
“Terima kasih kangmas. Wakili
aku! Pecahkan kepalanya!” kata Rae Pamungkas. Dia sama sekali tidak merasa
takut. Tapi mengetahui bahwa pemuda gagu itu adalah putera Adi Juwono mau tak
mau hatinya jadi terpengaruh juga.
Sebagai orang istana tentu
saja tingkat kepandaian Ki Tempur Sakal tidak rendah. Tetapi menghadapi pemuda
gagu yang punya tekad untuk membalaskan dendam kesumat kematian orang tuanya,
tokoh istana ini hanya mampu mendesak dua gebrakan saja. Jurus-jurus berikutnya
dirinya menjadi bulan-bulanan tangan kaki si gagu, Pakaian, kulit dan daging
tubuhnya sampai ke muka robek disambar jari-jari tangan lawan. Darah mengucur
dan racun kepiting mulai bekerja hingga sekujur tubuh orang tua ini tampak
merah membengkak. Pada puncak pertarungan, pemuda gagu kirimkan satu tendangan
ke dada lawannya yang sudah hampir sekarat karena kehabisan darah itu.
Ki Tempur Sakal mencelat ke
dinding ruangan, terus amblas keluar bangunan dan jatuh di halaman bawah dekat
kaki tangga….
Wilani sadar kalau untuk
beberapa lamanya dia telah saling berangkulan dengan pemuda gagu itu. Dengan
wajah bersemu merah dia lepaskah pelukannya. Pada saat itulah Pendekar 212 Wiro
Sableng yang sudah kekenyangan karena barusan habis makan minum sampai gembul
memasuki ruangan.
“Darah dimana-mana…,” kata
Wiro sambil menggaruk kepala. Dia memandang pada Wilani dan pemuda gagu. “Eh,
ki sanak, ternyata kaupun ada di sini….”
“Aaaa… uuu… aaa…. uuu….” Si
gagu menyahuti seraya gerakkan jari-jari tangannya.
Wiro gelengkan kepalanya.
Lalu tanpa terduga pemuda gagu
berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Ki sanak tunggu dulu…,” seru
Wiro. Wilani ikut mengejar ke arah tangga. Tapi pemuda itu sudah lenyap.
“Manusia aneh …. Dia
mendahului aku ….”
“Mendahului apa maksudmu?”
tanya Wiro.
“Lupakan saja hal itu,” sahut
Wilani pula.
“Kita ini sudah bersahabat.
Mengapa kau masih merahasiakan sesuatu padaku…?”
“Aku belum menganggapmu
sahabat!” jawab Wilani.
“Kenapa begitu?!” tanya Wiro.
“Sesuai dengan petunjuk guru,
jangan-jangan kau ini tak lebih dari setan kepala hitam ….”
Sesaat murid Sinto Gendeng
dari gunung Gede itu jadi melongo. Lalu sambil tersenyum dan rangkapkan kedua
tangan di depan dada dia berkata : “Gurumu itu tentu hebat sekali. Apakah kau
yakin dia benar-benar pernah melihat setan kepala hitam? Apakah setan itu
memang kepalanya hitam, tidak merah atau hijau? Ha…ha…ha….”
Wiro hentikan tawanya. Lalu
sambil menarik nafas dalam dia berkata : “Baiklah kalau kau memang tidak ingin
bersahabat denganku. Aku tetap saja gembira, karena dapat mengenalmu. Aku pergi
sekarang. Hati-hati menjaga diri. Ingat pesan si gagu sebelumnya. Ini Kotaraja.
Jangan berlaku sembrono….” Habis berkata begitu Wiro melangkah ke arah tangga
yang menuju ke tingkat bawah.
“Wiro…! Tunggu dulu!”
tiba-tiba terdengar suara si gadis memanggilnya.
Wiro berhenti melangkah dan
berpaling.
“Kau kini bersedia menjadi
sahabatku….?” tanya Wiro.
“Tidak. Belum ….,” jawab
Wilani.
“Kalau begitu ya sudah ….”
Wiro kembali menuruni tangga. Tapi si gadis mengejar dan mendahuluinya lalu
berbalik.
“Tadi, sebelum pergi pemuda
gagu itu kulihat menggerak-gerakkan jari-jari tangannya seperti menanyakan
sesuatu padamu. Lalu kulihat kau menjawab dengan gelengan kepala. Apa yang
ditanyakannya?!”
Wiro tersenyum lebar. “Aku
akan mengatakannya padamu. Kecuali kau bersedia jadi sahabatku dan menceritakan
urusan gila apa yang tengah kau hadapi saat ini. Kelihatannya ini bukan urusan
main-main. Nyawamu sangat terancam. Kau tahu di bawah sana puluhan bahkan
ratusan anak murid persilatan tengah marah besar melihat kematian ketua
mereka!”
Jari-jari tangan Wilani tampak
terkepal. “Baik, aku bersedia jadi sahabatmu. Soal apa urusan yang tengah
kuhadapi bisa kujelaskan kemudian. Sekarang jelaskan dulu apa yang dikatakan
pemuda gagu itu tadi!”
“Dia menanyakan siapa namamu,
lalu aku menjawab dengan gelengan kepala ….”
“Kenapa kau menggeleng?!”
“Karena aku memang tidak tahu
siapa namamu! Kau tak pernah mau mengatakannya!”
sahut Wiro. Lalu seperti tak
acuh Pendekar 212 membalikkan tubuh dan menuruni tangga kembali.
Wilani memegang lengannya.
Dipegang seperti karuan saja hati sang pendekar jadi berbunga-bunga.
“Kita sekarang bersahabat.
Betul?” ujar Wilani.
“Betul!”jawab Wiro.
“Jika kau memang sahabatku
tentu kau mau menolong!”
“Tergantung pertolongan apa
yang mau kau minta!”
“Aku akan menunggu di
reruntuhan candi di sebelah timur. Tapi kau tak boleh datang sendirian….”
“Maksudmu?”
“Kau harus membawa serta
Wiseso, putera ketua persilatan. Dia terkapar pingsan di serambi bangunan
besar….”
Selesai berkata begitu Wilani
langsung melompati deretan anak tangga dan lenyap. Wiro hanya bisa garuk-garuk
kepala. Ketika dia turun ke bawah didapatinya puluhan anak murid perguruan
mendatanginya dengan marah.
“Aku tak ada urusan lagi
dengan kalian! Jika kalian mencari penyakit majulah!” kata Wiro mengancam
sambil siapkan pukulan sakti di tangan kanannya.
Selagi orang banyak tampak
meragu, Pendekar 212 segera melompat ke serambi bangunan besar dimana tersandar
tubuh Wiseso dalam keadaan pingsan. Pemuda ini segera disambarnya, dipanggul di
atas bahu.
“Si gondrong itu menculik
putera ketua kita! Kejar!” seseorang berteriak.
Tapi tak ada yang berani
bergerak, apalagi mengejar. Wiro sendiri melarikan Wiseso ke arah timur sambil
mengomel.
“Apa maunya gadis itu
menyuruhku membawa pemuda ini! Aku juga goblok! Mengapa mau-maunya melakukan
apa yang dimintanya!”
* * *
10
WILANI TIDAK MENUNGGU LAMA.
Wiro muncul memanggul sosok Wiseso beberapa saat setelah dia sampai di
reruntuhan candi. Pemuda yang masih dalam keadaan pingsan itu disandarkannya ke
tembok candi. Lalu dia berpaling pada Wilani.
“Apa yang kau minta aku
kerjakan. Apa yang hendak kau lakukan terhadap putera Rae Pamungkas ini?”
Wilani tak menjawab. Dia
melangkah mendekati Wiseso lalu letakkan telapak tangannya di atas kepala
pemuda ini. Perlahan-lahan Wilani kerahkan tenaga dalamnya sambil mengalirkan
sejenis hawa sejuk ke dalam tubuh Wiseso. Tak selang berapa lama terdengar
suara pemuda itu mengeluh. Lalu tampak dia membuka kedua matanya.
Saat itu matahari hampir
tenggelam tetapi di tempat itu keadaan masih terang sehingga Wiseso dapat
melihat siapa yang berdiri di depannya. Rasa takut membuatnya hendak melompat
berdiri tapi karena lemah, tubuhnya jatuh tertunduk kembali.
Wilani injak tulang kering
kaki kiri Wiseso hingga pemuda ini menjerit kesakitan.
“Baru kuinjak sudah menjerit.
Apa mau kupatahkan tulang kakimu ini?!” sentak Wilani.
“Ampun! Jangan ….!” teriak
Wiseso.
“Bagus, kalau kau tak mau
kusakiti kau harus menjawab beberapa pertanyaanku….”
“Kau…. kau boleh bertanya apa
saja asal jangan menyakitiku. Aku harap kau segera membebaskan diriku! Dimana
aku kau bawa saat ini?!”
“Aku tidak ingin mendengar
segala macam pertanyaan. Justru aku yang akan ajukan pertanyaan. Kau
mengerti?!” Lalu Wilani injak keras-keras tulang kering pemuda itu hingga
Wiseso menjerit kesakitan.
“Ayahmu adalah salah seorang
wakil ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Betul……?” Wiseso mengangguk.
“Katakan dimana aku bisa
menemui ketua perserikatan yang bernama Randulawang….”
“Aku sering mendengar nama itu
tapi tidak tahu dimana dia berada….”
“Kau berdusta!” hardik Wilani.
“Sumpah! Aku tidak berdusta!”
“Perserikatan Silat Bintang
Biru punya nama besar. Masakan kau tidak tahu dimana ketuanya berada!”
“Aku benar-benar tidak dusta.
Aku hanya tahu dan mengurusi Perkumpulan Silat Gading Putih. Soal Perserikatan
hanya ayahku yang tahu. Kalian bisa bertanya padanya ….”
“Ayahmu tak bisa menjawab!”
berkata Wiro. “Dia sudah mati!”
“Apa…?!” teriak Wiseso. “Pasti
kalian yang membunuhnya!”
“Aku memang ingin sekali
membunuhnya. Tapi ada orang lain yang mendahului….”
“Siapa? Katakan padaku!
Siapa…?!”
“Aku membawamu kemari bukan
menyangkut urusan kematian ayahmu! Tapi justru karena kematian ayahku yang
dibunuh oleh ayahmu dan kawan-kawannya!” kata Wilani lalu jambak rambut Wiseso
keras-keras hingga pemuda ini menggerung kesakitan.
Wiro Sableng terkejut
mendengar ucapan Wilani itu. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa berdiam
diri.
“Kalau kau tidak tahu dimana
ketua perserikatan itu berada, kau pasti tahu dimana adanya tiga wakil ketua
perserikatan….”
“Setahuku cuma ada dua wakil
ketua perserikatan,” kata Wiseso pula.
“Coba kau sebutkan siapa-siapa
mereka!”
“Yang pertama ayahku, lalu
Wirasaba….”
“Ada satu orang lagi. Namanya
Kajenar!”
“Orang tua itu tidak pernah
jadi wakil ketua perserikatan. Sejak dulu aku kenal dia sebagai pertapa….”
“Kau tahu dimana Wirasaba
berada?”
“Satu tahun lalu dia masih
membuka perguruan silat Mustika Ratu di kaki bukit Merak Putih.
Lalu pindah ke tempat lain
tapi masih membuka perguruan silat itu dan tetap bergabung dalam perserikatan….
Dimana dia berada sekarang dan memimpin perguruannya aku tidak tahu.”
“Dimana letak pertapaan
Kajenar?” tanya Wilani selanjutnya.
“Lereng timur bukit Rowogiri,
tak jauh dari desa Kalasan,” menjelaskan Wiseso.
Wilani berpaling pada Wiro.
“Apakah semua keterangan orang yang satu ini menurutmu bisa dipercaya?”
“Hemmm…. Coba kulihat dulu
telapak tangan kanannya!” sahut Wiro. Lalu dia membentak.
“Perlihatkan telapak tangan
kananmu!”
Ketakutan Wiseso ulurkan
tangan kanannya. Telapak dikembangkan. Wiro mengurut pertengahan telapak tangan
itu dua kali. Selesai diurut telapak tangan itu tampak bergetar. Wiseso merasa
seperti kesemutan. Mula-mula perlahan saja. Tetapi begitu rasa kesemutan itu
makin keras maka menjeritlah dia saking tidak tahannya.
“Semua keteranganmu dusta!”
sentak Wiro.
Wilani langsung saja hendak
menjambak. Tapi Wiro mencegah.
Wiseso menjerit terus. “Demi
Tuhan! Aku bersumpah! Aku tidak berusta! Aku tidak bohong!
Bebaskan aku! Tolong….
Tolongggg…! Pemuda ini lalu pukul-pukulkan tangannya yang kesemutan itu ke batu
candi. Tapi rasa kesemutan itu malah semakin bertambah. Akhirnya dia
bergulingan di tanah sambil terus menjerit-jerit.
Wiro berbisik pada Wilani.
“Kunyuk itu tidak dusta! Mari tinggalkan tempat ini kalau kau memang hendak
mencari tempat kediaman Kajenar. Itu tempat yang terdekat dari sini….”
“Bagaimana dengan pemuda itu?”
tanya wilani pula,
“Biarkan saja. Nanti kesemutan
yang dirasakannya akan hilang sendirinya… Mari!”
“Mari kemana?!” tanya Wilani.
“Bukankah kita sekarang hendak
mencari tempat kediaman orang bernama Kajenar itu?”
“Itu urusanku! Kau tidak perlu
ikut-ikutan kesana!” Wiro tertawa. “Kau sudah mengakui aku sebagai sahabat.
Berarti urusanmu adalah urusanku juga!”
“Hemm…. bagus kalau begitu.
Tapi apakah dibalik semua maksud baikmu ini tidak tersembunyi maksud lain yang
jahat?” tanya Wilani.
Murid Sinto Gendeng diam-diam
menggerendeng dalam hati. Dia menjawab : “Pelajaran dari gurumu rupanya sangat
mempengaruhi dirimu secara salah! Kau lebih percaya pada setan benaran dari
pada manusia benaran!”
Wilani terdiam sesaat.
Tiba-tiba gadis ini keluarkan seruan pendek dan menghantam ke arah tembok di
samping kiri reruntuhan candi.
Braaaakkk!
Tembok itu hancur berantakan.
Tapi orang yang dilihat Wilani tadi mengendap di balik tembok itu telah lebih
dahulu berkelebat dan melarikan diri, lenyap dalam penghujung sore yang mulai
menggelap itu.
Wiro menyaksikan kejadian itu
tanpa bergerak ataupun mengatakan apa-apa. Ketika Wilani memandang ke arahnya
murid Eyang Sinto Gendeng ini berkata : “Silahkan pergi. Aku tak akan
mengikutimu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu!”
“Aku tadi… aku tadi melihat
ada seseorang menyelinap di balik tembok yang hancur itu…,” menjelaskan Wilani.
“Mungkin itu bukan orang.
Mungkin itu setan yang dikatakan gurumu!” sahut Pendekar 212.
“Ah, dia pasti tersinggung
dengan ucapanku tadi…,” kata Wilani dalam hati. Dia berpikir sejenak. Akhirnya
perlahan-lahan membalikkan diri lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
Setiap lima langkah gadis ini
berpaling kebelakang, merigharap Wiro akan mengikutinya. Tapi saat itu Wiro
justru menggeliat lalu rebahkan tubuhnya di lantai candi berbantalkan lengan
kanannya.
Wilani hentikan langkahnya.
Akhirnya gadis ini berseru : “Wiro! Kau betulan tidak mau ikut bersamaku?!”
Pendekar 212 diam saja.
“Wirol” panggil Wilani
kembali. “Aku menghitung sampai tiga! Kalau kau tidak menjawab akan kutinggal.
Benar-benar kutinggal! Satu….!”
“Dua…Tiga!” terdengar sahutan
Wiro dari arah candi. Lalu kelihatan sosok tubuh pendekar 212 melompat
berkelebat sambil tertawa gelak-gelak.
* * *
11
MALAM HARI BUKIT ROWOGIRI
tampak angker. Tapi dua muda-mudi itu bergerak cepat di kegelapan malam tanpa
rasa takut sama sekali. Sesuai penjelasan Wiseso mereka menuju ke lereng timur
bukit yang tidak seberapa tinggi itu.
“Aku melihat nyala pelita di
sebelah sana,” Wilani berbisik..
“Aku juga,” sahut Wiro. “Pasti
itu tempatnya. Tapi kita harus berlaku hati-hati. Kita melangkah terus menuju
nyala pelita itu. Seratus langkah dari sana kita bersibak. Kau ke kiri, aku ke
kanan. Lalu kita sama-sama mendatangi dari samping….”
“Aku setuju,” kata Wilani
pula.
Seratus langkah dari nyala
pelita yang terlihat di kejauhan, kedua orang itu berpisah. Wiro kemudian
mendatangi dari kanan sementara Wilani dari arah kiri. Tak berapa lama kemudian
keduanya sampai dalam waktu hampir bersamaan di samping nyala pelita yang
ternyata adalah sebuah obor kecil terbuat dari kayu hitam yang ditancapkan di
tanah.
Obor kecil itu tertancap di
tanah di dalam sebuah goa. Wiro dan Wilani ulurkan kepala masing-masing,
meneliti isi goa. Tidak tampak apa-apa atau siapapun selain obor kayu itu.
Ketika Wiro memberi isyarat bahwa dia akan masuk duluan, tiba-tiba dari dalam
goa bergema suara orang.
“Para tetamu yang ada di luar
masuklah. Tak usah ragu-ragu. Goa ini tidak dipasangi peralatan rahasia yang
bisa mencelakai kalian! Aku sudah sangat letih menunggu. Dua belas tahun
mendekam disini akhirnya kalian datang juga….! Masuklah!”
Wiro dan Wilani sama-sama
melengak. Pendekar 212 goyangkan kepalanya. Wilani hanya mengangkat bahu
sebagai jawaban. Akhirnya gadis ini dengan berani mendahului melangkah masuk ke
dalam goa dengan membungkuk-bungkuk agar kepalanya tidak menyundul bagian atas
goa. Ternyata semakin ke dalam goa itu semakin tinggi hingga Wiro dan Wilani
bisa berjalan seperti biasa.
Hanya masuk sekitar tiga puluh
langkah goa itu berakhir pada sebuah dinding batu berwarna kelabu. Di depan
dinding batu, di hadapan sebuah obor kecil duduk bersila seorang kakek
berpakaian serba putih. Tubuhnya halus kurus hanya tinggal kulit pembalut
tulang. Tapi wajahnya masih kelihatan segar. Pandangan matanya tajam. Di
pangkuannya terkembang sebuah kitab kecil bertuliskan huruf-huruf Arab gundul.
Begitu Wilani dan Wiro sampai di hadapannya orang tua ini angkat kedua
tangannya seraya berucap : “Terima kasih Tuhan, Kau telah membimbing mereka ke
tempat ini ….”
Lalu orang tua itu memandang
pada dua muda-mudi di hadapannya. Suaranya bergetar ketika berkata pada Wilani
: “Kau tentulah Wilani, putri dimas Adi Juwono.” Lalu pada Wiro dia menyapa :
“Dan kau tentu Ario Seno, putranya.”
Wiro mendehem dan menyahuti.
“Maaf orang tua. Aku bukan Ario Seno. Namaku Wiro Sableng….”
Berubahlah paras si orang tua.
Dia menatap wajah Wilani sesaat lalu bertanya : “Dimana kakakmu Ario Seno?
Apakah ini berarti nyawanya tidak tertolong lagi sewaktu dilemparkan
Randulawang ke dalam sungai?”
“Saya tidak tahu dimana dia
berada atau apa yang terjadi atas dirinya. Entah masih hidup entah memang sudah
menemui ajal.” Sahut Wilani. “Sebaliknya saya ingin tahu, apakah kau ini orang
tua yang bernama Kajenar, bekas wakil ketua Perserikatan Silat Bintang Biru
merangkap ketua perguruan silat Elang laut….?”
Orang tua yang duduk bersila
tersenyum. “Kalian berdua duduklah,” katanya.
“Terima kasih. Kami lebih suka
berdiri,” yang menjawab Wiro.
“Terserah kalau kalian lebih
suka berdiri. Tak jadi apa….”
“Orang tua, kau belum menjawab
pertanyaanku!” mengingatkan Wilani.
Sepasang mata si orang tua
tampak berkaca-kaca, lalu terdengar suaranya agak bergetar.
“Aku memang Kajenar. Dua belas
tahun lalu aku mengasingkan diri di goa ini. Menunggu dengan pasti bahwa suatu
ketika salah seorang anak dimas Adi Juwono pasti akan muncul kemari untuk
membalas sakit hati dendam kesumat kematian ayahnya. Ternyata kau yang datang.
Bagiku itu sudah cukup. Wilani…. Kau menyaksikan sendiri apa yang terjadi dua
belas tahun lalu di sebuah bangunan dekat Plered. Kau tentu ingat bahwa aku
salah seorang dari mereka. Karena itulah saat ini aku sudah siap menerima
hukuman. Mati adalah bagianku. Lebih cepat kau melakukannya lebih baik bagiku!”
Di pelupuk mata Wilani
terbayang peristiwa dua belas tahun lalu ketika ayahnya dibunuh oleh
Randulawang dan kawan-kawannya.
“Orang tua, kau memang berada
ditempat pembunuhan itu malam dua belas tahun yang lalu.
Tapi aku ingat, kau bukan
salah satu dari mereka. Aku ingat kau hanya duduk diam ditempatmu, tidak
melakukan apa-apa….”
“Tidak melakukan apa-apa
berarti sama saja dengan melakukan pembunuhan. Aku tidak bisa mencegah
kawan-kawanku yang berniat membunuh ayahmu…. Dosaku sama saja dengan dosa
mereka!” Air mata menggelinding di pipi keriput Kajenar.
“Orang tua, dengar. Kami
datang bukan untuk menghukum apalagi hendak membunuhmu.
Kami hanya perlu keterangan
dimana Randulawang dan Wirasaba saat ini berada.”
Mendengar pertanyaan itu
Kajenar berkata : “Kau hanya bertanyakan Randulawang dan Wirasaba. Berarti kau
sudah menemui Rae Pamungkas….”
“Seseorang telah membunuhnya.
Kami kedahuluan!” kata Wilani pula. “Saya menunggu keteranganmu, orang tua!”
“Seharusnya aku tidak boleh
mengkhianati teman-teman, apapun dosa perbuatan mereka.
Tapi kalau hal ini bisa
mengurangi sedikit saja dari dosa-dosaku, aku akan memilih pengampunan di atas
penghianatan.”
Kajenar menatap wajah Wilani
beberapa lamanya lalu berkata : “Randulawang selain masih memegang jabatan
ketua perserikatan silat, dia telah diangkat menjadi Ngabehi. Tempat
kediamannya di pagar selatan kawasan keraton. Dia lebih sering berada disitu
daripada di perguruan silat Budi Luhur yang dipimpinnya ….”
“Lalu dimana manusia bernama
Wirasaba berada?” tanya Wilani.
“Kau pergilah ke air terjun
Ungaran. Wirasaba memindahkan perguruan silatnya ke tempat itu sekitar dua
tahun lalu….”
Wilani berpaling pada Wiro.
Ketika dilihatnya pemuda ini mengangguk maka si gadis berkata pada Kajenar.
“Keteranganmu sangat menolong. Saya dan sahabat saya minta diri sekarang….”
“Minta diri…?” Kajenar kaget
dan berdiri dari duduknya. “Wilani, dosaku terlalu besar. Aku ingin kau
menjatuhkan hukuman mati atas diriku saat ini juga!”
Wilani menggeleng. “Saya tahu
apa yang terjadi dua belas tahun lalu. Kau mungkin salah satu dari mereka. Tapi
kau tidak turut campur dalam soal pembunuhan ayah….”
“Dosaku besar sekali Wilani.
Dimas Adi Juwono, bagaimana aku harus menebus dosa…!” kata Kajenar
berulang-ulang.
“Orang tua, kalaupun kau
merasa berdosa, maka dua belas tahun dalam penderitaan batin sudah merupakan
hukuman bagimu!” Habis berkata begitu Wilani memberi isyarat pada Wiro lalu
mendahului melangkah keluar goa.
Di dalam goa Kajenar menangis
sesenggukan. “Dosaku terlalu besar. Seharusnya aku mencegah mereka saat itu!
Gusti Allah aku orang sesat…aku tak layak hidup lebih lama. Dua belas tahun
sudah cukup lama aku tersiksa dalam tekanan batin. Aku tak sanggup merasakannya
lebih lama lagi….” Kajenar menggerung keras lalu hantamkan kepalanya sendiri
kedinding batu.
Hantaman ini keras sekali dan
pasti akan membuat kapalanya rengkah lalu menemui ajal. Namun satu telapak
tangan tiba-tiba melesat ke depan, menahan kepalanya hingga tidak membentur
tembok.
Tentu saja orang tua itu
terkejut bukan main. Dia melangkah mundur sambil pegangi kening dan memandang
melotot ke depan. Orang yang barusan mempergunakan telapak tangannya untuk
menahan kepalanya ternyata adalah seorang pemuda gagah berambut gondrong.
Sesaat Kajenar memandang tak
berkesiap pada pemuda itu. Lalu perlahan-lahan terbayang kembali peristiwa dua
belas tahun silam. Adi Juwono datang bersama anak perempuan dan anak lelakinya.
Wajah anak lelaki kecil dulu itu jika dia memang masih hidup pastilah sama
dengan wajah pemuda yang tegak di hadapannya dan telah menyelamatkannya dari
kematian yang sangat aib. Sesat bunuh diri!
“Anak muda …,” kata Kajenar
dengan suara bergetar. “Gusti Allah …. Apakah kau Ario Seno, putera mendiang
dimas Adi Juwono …?”
“Aaaa ….uuu ….aaa…uuu…,”
Pemuda yang ditanya menjawab.
“Kasihan, kau tidak bisa
bicara. Kau gagu! Aku yakin lidahmu cacat! Aku yakin itu akibat tusukan pisau
beracun Randulawang! Ya Tuhan! Kau pasti Ario Seno!”
Kajenar ulurkan kedua
tangannya hendak memeluk pemuda itu. Tapi dia hanya memeluk angin. Orang yang
hendak dipeluk sudah lenyap dari hadapannya!
Orang tua itu memburu ke mulut
goa. Hanya kegelapan dan kesunyian yang didapatinya.
Kajenar merasakan tubuhnya
lunglai dan jatuh terduduk di mulut goa. Hampir tanpa suara orang tua ini mulai
menangis sesenggukan.
Di luar goa Wiro dan Wilani
masih sempat mendengar suara Kajenar sayup-sayup sampai.
Namun perhatian mereka tidak
sepenuhnya tertuju kesitu. Hal ini karena di dalam gelap Wilani tiba-tiba
melihat satu sosok bayangan berkelebat. Tanpa banyak cerita kedua muda-mudi ini
langsung lepaskan pukulan sakti. Tapi bayangan itu ternyata lebih cepat.
Hantaman pukulan Wiro dan Wilani hanya sempat menumbangkan dua buah pohon dan
memporak-porandakan rerumpunan semak belukar.
“Aku menaruh dugaan perjalanan
kita sejak dari Kotaraja telah diikuti orang …,” bisik Wilani.
Wiro mengangguk membenarkan.
“Kita tak usah khawatir. Si penguntit itu tak akan bisa sembunyi terus-terusan.
Satu waktu kita akan berhasil
menggebuk dan menangkapnya hidup-hidup ….”
* * *
12
RUMAH BESAR DI LUAR TEMBOK
keraton di kawasan selatan itu bagian luarnya diterangi oleh banyak lampu-lampu
minyak berbentuk lampion. Sebaliknya di sebelah dalam suasana kelihatan
redup-redup saja, bahkan gelap pekat di beberapa bagian.
“Kalau ini rumahnya,
jangan-jangan orangnya sedang tidak ada…,” berbisik Wiro.
“Aku akan menunggu sampai
manusia biadab itu muncul. Tak dapat kumengerti bagaimana seorang jahat seperti
Randulawang yang tega membunuh anak kecil dan mengkhianati atasannya sendiri
kini bisa punya kedudukan sebagai ngabehi!”
Wiro tertawa kecil. “Itu
namanya dunia, Wilani. Eh…namamu betul Wilani bukan? Begitu si kakek dalam goa
memanggilmu!”
“Bukan saatnya bergurau!”
sahut Wilani.
“Jangan ketus. Kalau aku
kesalahan menyebut namamu nanti kau malah marah. Apa kau mau namamu kusebut
Kuini atau Patani…?”
“Kau minta ditampar rupanya….”
“Sudah! Diam. Ada orang
datang…,” kata Wiro lalu menarik Wilani ke balik pohon beringin dimana mereka
berada.
Tak lama kemudian lewat
seorang nenek bungkuk. Walau tubuhnya bungkuk dan dia membawa bakul sarat
berisi sayuran namun nenek ini jalannya cepat sekali. Mulutnya tak
hentihentinya mengunyah susur. Di dekat pohon dia menyemburkan air susur.
Hampir mengenahi kaki Wiro. Murid Sinto Gendeng ini memaki dalam hati. Lalu
disambarnya tangan si nenek. Ditariknya kebalik pohon.
Mengira setan yang menarik
karuan saja si nenek lepaskan bakulnya lalu berteriak.
Susurnya melompat entah
kemana.
“Setan…tolong…! Tol….”
Wiro cepat tekap mulut
perempuan tua ini.
“Nek, berhenti berteriak! Atau
kupencet leher ayammu! Aku bukan setan tahu!”
Sepasang mata nenek berputar.
“Hemmmm…. Hcmmmm.” Dia hanya bisa bergumam lalu angguk-anggukan kepalanya.
Perlahan-lahan Wiro lalu lepaskan tekapannya.
“Sebelum kau kulepas pergi
katakan dulu, apakah rumah yang banyak lampionnya itu adalah rumah Ngahebi
Randulawang…?”
“Ngahebi!” tukas Si nenek.
“Bukan Ngahebi! Tapi Ngabehi!”
“Betul, kau betul! Dari dulu
itu memang rumah Ngabehi Randulawang!” berkata si nenek.
“Bagus! Kau boleh pergi!” kata
Wiro pula lalu tepuk pantat si nenek.
“Pemuda kurang ajar! Kau belum
lahir aku sudah puluhan tahun hidup di dunia! Berani kau memegang pantatku!”
Sambil mengomel seperti itu si
nenek ambil bakul sayurnya. Dia berusaha mencari susurnya yang hilang tapi tak
berhasil. Masih terus mengomel dia melangkah pergi.
“Kalau cuma mau tanya rumah
orang, mengapa main betot seperti setan saja! Lalu memegang pantatku lagi!
Ih…!”
Setelah si nenek lenyap di
kejauhan Wilani berbisik :
“Aku akan masuk ke dalam rumah
itu! Aku khawatir kalau kedahuluan lagi!”
“Aku ikut bersamamu. Tapi…!
Lekas sembunyi. Ada suara kaki kuda mendatangi…,” kata Wiro.
Kedua orang itu kembali
mendekam di balik pohon beringin. Tiga orang penunggang kuda lewat dengan
cepat. Di sebelah depan seorang lelaki mengenakan destar merah berbaju kuning.
Dia mengenakan kalung dari akar bahar di lehernya. Di sebelah depan kalung ini
diganduli sebuah batu mustika yang tampak bercahaya walaupun dalam gelap. Dua
penunggang di belakangnya kelihatannya adalah para pengiring atau pengawalnya.
Sekelebatan dalam gelap Wilani
melihat wajah orang berdestar merah. Tersiraplah darahnya.
Tubuhnya bergetar. Tanpa sadar
jari-jarinya menggenggam lengan Wiro.
“Ada apa…?” bisik Pendekar
212.
“Orang berdestar di sebelah
depan itu. Aku merasa pasti dia adalah Wirasaba. Manusia yang menikam ayahku
dengan keris sampai mati! Padahal ayah saat itu sudah tidak berdaya akibat hantaman
penggada di tangan Randulawang!” Habis berkata itu Wilani segera hendak
melompat keluar dari balik pohon.
“Sabar dulu!” bisik Wiro
seraya pegang lengan gadis itu. “Jika benar orang itu Wirasaba, berarti
Randulawang sedang ada di rumah! Mereka orang-orang berkepandaian tinggi! Kita
jangan bertindak gegabah!”
“Aku rela mati asalkan dapat
membunuh kedua manusia biadab itu!”
“Kau rela tapi aku tak rela
melihat kau mati!” sahut Wiro sambil tersenyum.
“Gila! Dalam keadaan seperti
ini kau masih saja bisa bicara konyol!” kertak Wilani.
“Kita tunggu saja dulu. Jangan
main serbu sembarangan. Lihat suasana baru bergerak….”
Meskipun jengkel tapi Wilani
akhirnya mengikuti juga ucapan Pendekar 212.
Di hadapan rumah besar tiga
penunggang kuda melompat turun dari kudanya. Yang dua tetap berdiri di halaman
sedang yang berdestar merah tampak menaiki tangga. Orang ini
menggoyang-goyangkan sebuah lonceng yang tergantung di atas pintu depan.
Seseorang yang tidak kelihatan membukakan pintu. Sang tamu masuk. Tak lama
kemudian di bagian dalam rumah menyala sebuah lampu, tapi tak cukup terang
sehingga baik Wiro maupun Wilani tidak dapat melihat siapa yang tegak di
hadapan orang berdestar merah itu.
“Tunggu apa lagi sekarang?”
tanya Wilani sudah tidak sabaran.
Wiro memandang berkeliling
lalu anggukan kepala. “Kau masuk dari pintu depan, aku melompat lewat jendela.
Tapi sebelum masuk ke dalam rumah dua pengiring itu harus kita suruh tidur
dulu….”
Dengan gerakan cepat dan
lompatan tanpa suara, Pendekar 212 Wiro Sableng tahu-tahu sudah berada di
belakang dua pengiring yang asyik mengobrol sambil menikmati rokok kawung.
Wiro totok punggung kedua
orang ini hingga keduanya tertegak kaku dan tak mampu keluarkan suara.
Justru pada saat itulah di
dalam rumah terdengar suara bentakan-bentakan keras diseling suara beradunya
pukulan.
“Apa kataku! Kita kedahuluan
lagi!” kata Wilani lalu tanpa perdulikan Wiro gadis ini menghambur ke depan
pintu depan rumah besar. Dia tidak pergunakan tangan untuk membuka melainkah
mendobraknya dengan tendangan kaki kanan!
Begitu pintu itu ambrol gadis
ini melompat masuk. Wiro menyusul sesaat kemudian.
“Wiro! Lihat! Dia…!” Wilani
berseru seraya menunjuk pada sosok tubuh yang saat itu tampak
menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya.
“Aaaaa…..uuuu….aaaa…uuu!”
Di ruangan tamu rumah besar
itu kelihatan tiga orang lelaki. Yang pertama adalah tuan rumah yang bukan lain
memang Randulawang, Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Orang kedua yakni
sang tamu ternyata betul Wirasaba sedang orang ketiga adalah pemuda gagu yang
sudah dikenal oleh Wilani dan Wiro Sableng.
“Pemuda gagu! Jadi dia
rupanya!” ujar Wilani. “Dia selalu mendahuluiku! Sasarannya sama dengan
sasaranku! Tapi kali ini aku tak mau keda-huluan lagi! Dua manusia durjana itu
harus mati di tanganku!” Wilani menggertak. Lupa sudah dia pada pesan gurunya
yaitu agar berusaha untuk tidak membalaskan dendam dengan melakukan pembunuhan.
“Ki sanak! kau mundur! Dua
manusia itu harus mati di tanganku!” teriak Wilani.
Sebaliknya si gagu justru malah
melompat ke hadapan Randulawang sambil berteriak aaa…uuu… aaaa…uuu tiada
hentinya.
. “Bangsat! Tahan dulu! Kalian
berani mencari mampus masuk ke rumah Ngabehi Randulawang!” berteriak Wirasaba.
“Kalian orang-orang gila
kesasar dari mana?!”
“Wirasaba manusia anjing!”
balas berteriak Wilani.
“Apa kau sudah lupa aku? Aku
adalah Wilani anak perempuan Adi Juwono yang kalian bunuh dua belas tahun
lalu!”
Kagetlah Wirasaba dan
Randulawang mendengar ucapan itu. Sementara itu si gagu sambil terus keluarkan
suara aaa…uuu…aaa…uuu kini tampak dia menggerak-gerakkan jari-jari tangannya.
Waktu melihat gerakan
jari-jari tangan itu karuan saja Pendekar 212 menjadi melengak kaget! Dia
hendak mengatakan sesuatu pada Wilani. Tapi sang dara sudah melompat kearah
Randu lawang seraya lepaskan satu pukulan sakti!
Randulawang terkejut sekali
lalu cepat menyingkir. Di sampingnya sebuah guci batu hancur berantakan
dihantam pukulan tangan kosong Wilani.
Kini sadarlah sang Ngabehi
kalau orang memang benar-benar inginkan nyawanya. Maka tak ayal lagi diapun
balas menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi.
Wilani yang sudah nekad ingin
membunuh musuh besarnya itu dengan cara apapun lipat gandakan aliran tenaga
dalamnya di tangan kanan lalu kembali memukul.
Bangunan besar itu berderak
ketika dua pukulan mengandung hawa sakti saling bertabrakan.
Randulawang terpental dan
tersandar ke dinding. Mukanya pucat. Wilani tegak tergontai-gontai.
dadanya terasa sakit.
Didahului oleh teriakan keras murid Datuk Buntung Cemoro Sewu ini cabut
pedangnya lalu menyerbu ke arah lawan.
Randulawang terkesiap ketika
melihat kilauan sinar pedang di tangan sang dara. Dia melompat kekiri,
menyambar sebilah tombak besi berlapis emas.
“Gadis gila!” teriak
Randulawang. “Kalau kau benar anaknya Adi Juwono, lihat baik-baik!
Tombak ini adalah milik
ayahmu! Dengan senjata ini aku akan membunuhmu!”
Disebut dirinya gadis gila,
apalagi mendengar ucapan Randulawang bahwa tombak di tangannya adalah milik
ayahnya, Wilani menjerit keras. Lalu tubuhnya lenyap terbungkus bayangbayang
pedangnya sendiri! Sang dara langsung keluarkan jurus-jurus ganas dari ilmu
pedangnya.
Meskipun memegang tombak
mustika di tangan namun segera saja Randulawang terdesak hebat.
Ketua Perserikatan Silat
Bintang Biru ini menggembor marah. Masakan dia yang sudah berpengalaman begitu
lama dan menyandang nama besar sanggup didesak lawan yang masih hijau.
Maka diapun keluarkan
jurus-jurus simpanannya. Dalam satu gebrakan hebat tombak di tangan Randulawang
yang tiba-tiba bisa berubah panjang berhasil memukul lepas pedang di tangan
Wilani.
Lalu secepat kilat ujung
tombak menusuk ke arah gadis ini!
“Manusia durjana! Aku mengadu
nyawa denganmu !” teriak Wilani.
PuteriAdi Juwono itu melompat
sebat ke kiri. Tusukan tombak lewat satu jengkal saja dari dadanya.
Ketika Randulawang berbalik
dan memburu, gadis ini tampak mengeruk ke balik pakaiannya. Di lain kejap
ketika dia memukulkan tangan kanannya ke depan, melesatlah belasan senjata
rahasia berbentuk jarum halus berwarna putih!
“Awas senjata rahasiai” teriak
Wirasaba memperingatkan. Namun saat itu diapun mendapat serangan dari samping.
“Aaaa….uuuu….aaaa…uuuu.”
Wirasaba menyingkir selamatkan
diri. Namun terlambat. Salah satu tangan pemuda gagu yang bergerak aneh
berhasil menggapai dadanya. Breet! Pakaian kuning wakil ketua perserikatan ini
robek besar bersimbah darah. Wirasaba menggereng keras antara kesakitan dan
marah. Tangan kanannya bergerak ke punggung. Ternyata dia membekal sebentuk
senjata berbentuk keris tetapi memiliki panjang hampir empat jengkal. Senjata
ini memancarkan sinar hitam redup tanda mengandung racun jahat!
“Aaaa…uuuu….aaaa….uuuu…”
Pemuda gagu merangsak terus tanpa perdulikan senjata yang menderu-deru ke
arahnya. Sementara itu Wirasaba merasakan tubuhnya menjadi kepanasan sedang
mukanya tampak merah dan mulai menggembung. Inilah racun kepiting yang telah
mengendap di jalan darahnya yang berasal dari cakaran pemuda gagu.
“Aaaa…uuu…aaa…uuu….” Si gagu
sambut tusukan keris dengan tangan kanannya. Breeettt!
Lengan pakaian pemuda itu
robek. Dagingnya tampak melepuh dan darah yang mengucur kelihatan hitam! Tapi
sambil keluarkan suara aaa…uuu… aaa… uuu…pemuda ini menyeringai. Dia usapkan
tangan kanannya ke lengan kirinya yang luka besar. Ajaib. Luka itu menutup dan
sembuh tanpa bekas!
Melihat hal ini Wirasaba jadi
terbeliak kaget. Sesaat dia berlaku lengah. Dan ini sudah cukup bagi si gagu
untuk melompatinya lalu menggulungnya dengan dua tangan dan dua kaki!
Yang terdengar sesudah itu
hanyalah jeritan wirasaba diseling suara daging tubuhnya seperti dicacah.
Tulang-tulangnya berderak remuk!
Ketika pemuda gagu lepaskan
tubuh Wirasaba, tubuh itu sudah tidak seperti tubuh lagi.
Hancur bergelimang darah.
Mukanya bengkak merah. Salah satu matanya membusai keluar! itulah keganasan
“ilmu kepiting gila” yang didapat pemuda tersebut yang didapat dari sepasang
kakek nenek sakti di muara pantai selatan!
Kembali pada perkelahian
antara Wilani dengan Randulawang. Dengan mempergunakan tombak emas milik Adi Juwono
lelaki itu mampu meruntuhkan delapan jarum emas yang menggempurnya. Enam
lainnya dapat dielakkannya. Tapi dua buah jarum berhasil lolos. Satu menyusup
di paha kirinya, satu lagi di bahu kanan.
“Setan alas! Sudah saatnya kau
menyusul bapakmu!” teriak Randulawang. Dia berusaha mencabut jarum yang
menancap di bahu kanannya tapi sia-sia. Jarum itu amblas sampai ke ekornya!
Menggembor marah Randulawang
lemparkan tombak emas di tangan kanannya ke arah Wilani. Senjata ini melesat
laksana anak panah. Dua jengkal lagi ujung tombak akan mencapai kepala sang
dara, dari samping datang memapas sebilah pedang.
Traaaang!
Tombak emas mental. Pendekar
212 tegak sambil silangkan pedang milik Wilani di depan dadanya! Wilani hendak
mengatakan sesuatu tetapi saat itu Randulawang telah menerjang dengan sebilah
senjata aneh di tangan kanannya.
Senjata ini terbuat dari besi
kuning, bergagang seperti tongkat sedang ujungnya berupa lingkaran pipih yang
luar dan dalamnya sangat tajam. Begitu senjata ini diputar, terdengar suara
menderu dahsyat disertai terpaan angin keras. Wilani merasakan sekujur tubuhnya
seperti berada di atas sampan yang digoyang ombak besar.
Wuuuttt!
Senjata di tangan Randulawang
berkiblat. Wilani melompat mundur. Tapi luar biasanya senjata di tangan lawan
seperti hidup dan kini meluncur ke arah kepalanya. Sekali bagian berlubang dari
senjata ini sempat masuk ke kepala sang dara, pasti putuslah lehernya begitu
senjata disentakan.
Wuuutt!
Senjata Randulawang kembali
membabat, untuk kedua kalinya Wilani berhasil menghindar.
Tapi pada kali ketiga
gerakannya mengelak tertahan oleh dinding. Sebelum lawan mengejar Wilani
hantamkan kedua tangannya. Dua gelombang angin menerpa dahsyat.
Randulawang ganti tertawa,
sekali dia sapukan senjatanya, dua angin pukulan Wilani langsung buyar dan si
gadis sendiri terpekik karena tubuhnya kena dihantam oleh angin serangannya
yang berbalik. Saat itulah senjata Randulawang datang dari atas lalu melesat
kebawah mengincar kepalanya!
“Aaaa…uuu…aaa…uuu!”
Pemuda gagu tampak melompat ke
udara. Kaki kanannya menendang laksana petir menyambar. Kraaaakk!
Terdengar suara patahnya
tulang lengan kanan Randulawang. Breeett!
Senjata Randulawang yang
tadinya bakal membelah kepala Wilani kini terbanting ke atas lalu membabat ke
bawah dan masih sempat merobek pakaian di bagian punggung Wilani!
Jeritan Randulawang seperti
anjing melolong. Tapi hebatnya manusia ini, dalam keadaan tangan cidera begitu
rupa dia masih mampu memindahkan senjatanya ke tangan kiri.
Begitu gagang senjata tergenggam
di tangan kirinya langsung dibacokan ke kepala Wilani.
Sang dara tidak menyangka
kalau lawan mampu melakukan serangan begitu cepat.
Untuk kedua kalinya nyawa
gadis ini terancam. Namun untuk kedua kalinya pula dia selamatkan. Kali ini
oleh kapak sakti bermata dua milik Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kapak Maut Naga Geni 212
mencuat dalam ruangan itu, mengeluarkan suara seperti ratusan tawon mengamuk
disertai berkiblatnya sinar menyilaukan yang menghamparkan hawa panas.
Traaang!
Mata kapak menghantam senjata
di tangan kiri Randulawang. Senjata berbentuk tongkat dan gelang pipih itu
mencelat mental dan terjadilah satu hal yang luar biasa yang tidak diduga serta
tidak dapat dicegah oleh siapapun!
* * *
13
DALAM SEBUAH KAMAR di ujung
ruangan, seoarang perempuan berwajah ayu, berusia sekitar tiga puluhan
tersentak bangun dari tidurnya oleh suara gaduh perkelahian yang terjadi di
ruangan depan. Sesaat dia masih berbaring di atas tempat tidur, berpikir apakah
dia tengah bermimpi atau bagaimana. Tapi suara bentakan serta suara beradunya
senjata jelas datang dari ruangan depan. Bahkan dia mengenali suara seruan
suaminya.
Perempuan di atas ranjang yang
bukan lain adalah Juminten, bekas istri ke dua mendiang Adi Juwono turun dari
pembaringan. Selama kawin dua belas tahun dengan Randulawang perempuan ini
tidak dikaruniai anak.
Dengan penuh perasaan heran
tetapi juga kaget serta kecut Juminten melangkah ke pintu kamar. Pintu kamar
dibukanya lebar-lebar lalu perempuan ini melangkah ke luar.
Malang baginya, dia keluar
dari dalam kamar tepat pada saat senjata tongkat berujung lingkaran pipih tajam
milik Randulawang yang terlepas dan mental akibat hantaman Kapak Maut Naga Geni
212 mental tepat ke arahnya.
“Juminten awas!” teriak
Randulawang memberi ingat. Tetapi percuma. Bagian tajam senjata itu menghantam
pertengahan dada istrinya dengan telak.
Juminten terbanting ke sanding
pintu. Dari tenggorokannya keluar suara seperti orang mengorok. Suara itu
kemudian berganti dengan suara jeritan lalu tubuhnya melosoh ke lantai.
Perempuan keji yang pernah
menghianati suami pertamanya itu mati dengan mata mendelik.
“Juminten!” raung Randulawang
lalu melompat hendak menubruk istrinya.
Ketika Randulawang melompat
saat itu pula pemuda melesat lalu memiting pinggangnya.
Randulawang hantamkan
lututnya. Lutut itu tepat menghantam dagu pemuda gagu. Namun seperti sama
sekali tidak merasakan, pemuda itu terus saja menelikung tubuh Randulawang
sampai akhirnya keduanya jatuh terguling di lantai ruangan.
Randulawang berusaha melepaskan
diri dari jepitan “ilmu silat kepiting gila” tapi tidak mampu. Sebagian besar
tubuhnya saat itu sudah luka berkelukuran dicabik jari-jari tangan pemuda gagu
yang berkuku panjang.
“Jangan bunuh dia! dia
berhutang nyawa ayahku!” teriak Wilani.
Entah mengapa mendengar
teriakan itu pemuda gagu lepaskan cengkeraman mautnya lalu melompat berdiri.
Merasa dirinya bebas, walaupun terluka parah sekujur badannya dan kulit serta
dagingnya mulai bengkak kemerahan Randulawang cepat berusaha bangkit berdiri. Di
hadapannya Wilani melangkah mendekati dengan pedang di tangan.
Randulawang angkat tangan
untuk menghantam dengan pukulan sakti. Tapi tangan itu tak mampu lagi
digerakkan. Dia melangkah mundur, lalu berhenti karena kedua kakinyapun ku tak
bisa lagi dilangkahkan. Racun kepiting gila telah melumpuhkan dirinya secara
aneh yaitu tak mampu menggerakkan anggota badan tapi masih bisa berdiri dan
bicara.
“Jangan! Ampun! Ampuni
dosaku!” teriak Randulawang ketika dilihatnya Wilani mengangkat tangannya yang
memegang pedang.
Namun senjata di tangan si
gadis sudah menderu ke bawah. Luka panjang tampak menyilang dari perut sampai
ke pinggul. Randulawang menjerit setinggi langit. Tubuhnya tergontaigontai.
Matanya melotot. Seperti
kemasukan setan Wilani bacokan lagi pedangnya. Lagi dan lagi….!
Randulawang menjerit dan
meraung. Jerit manusia ini menggidikan bulu tengkuk. Lalu hek!
Suara jeritan itu mendadak
lenyap ketika pemuda gagu dengan tiba-tiba saja melompat dan menusukkan tombak
milik mendiang Adi Juwono ke mulut Randulawang!
Tombak itu menembus lidah
Randulawang terus menusuk sampai bagian belakang tenggorokannya dan akhirnya
tembus ke bagian belakang kepala! Ketika si gagu terus mendorong dan menusukkan
tombak itu ke dinding, tubuh Randulawang terpentang mengerikan seperti disate!
“Aaaa…uuu…aaaa…uuu!” Pemuda
gagu jatuhkan diri dan duduk bersimpuh di lantai. Di sebelahnya agak ke depan
sedikit Wilani telah lebih dahulu berlutut sambil tekap wajahnya dengan kedua
tangan. Bahunya bergoyang-goyang tanda dia tengah menahan goncangan hati yang
sangat hebat.
Berada di belakang Wilani
pemuda gagu perhatikan tubuh gadis itu. Tiba-tiba matanya terpentang
memperhatikan punggung Wilani yang tersingkap akibat bajunya robek oleh
sambaran senjata Randulawang.
“Tanda itu … Tanda itu!” kata
si gagu dalam hati. “Hanya ada satu manusia yang memiliki tanda seperti itu!”
Pemuda ini melompat dan melangkah ke hadapan Wilani. Kedua tangannya langsung
memegang wajah si gadis. Merasa dipegang orang Wilani turunkan kedua tangannya.
Pandangannya beradu dengan
sepasang mata pemuda gagu.
“Jangan berani berlaku kurang
ajar menyentuh diriku!” teriak Wilani hendak marah.
“Aaa … uuu … aaa … uuu….”
Pendekar 212 Wiro Sableng
melangkah di antara kedua orang itu lalu berpaling pada pemuda gagu.
“Ki sanak, ketika sahabatku
ini tadi berteriak pada Randulawang, mengatakan bahwa dia adalah anak Adi
Juwono yang dibunuh dua belas tahun silam, aku melihat kau meggerak-gerakkan
jari tanganmu. Kau menyampaikan tanda mengatakan bahwa kau adalah juga anak
mendiang Adi Juwono …. Betul begitu?”
“Aaa … uuu … aaa … uuu!”
Pemuda gagu mengangguk berulang kali sedang kedua matanya memandang ke arah
Wilani yang saat itu tiba-tiba saja jadi terbelalak mendengar ucapan Wiro dan
melihat pemuda di hadapannya mengangguk berulang kali.
“Jadi ….Kau mengenali siapa
adanya gadis ini?” tanya Wiro ingin kepastian.
Pemuda gagu gerakkan jari-jari
tangannya cepat sekali sementara air mata tampak berjatuhan ke pipinya.
“Wilani, dia mengatakan bahwa
dia mengenali tanda biru yang tersingkap dipunggungmu.
Tanda biru itu katanya serupa
dengan tanda yang dimiliki adiknya. Dia yakin kau adalah adiknya!”
Kedua mata Wilani semakin
membelalak.
“Jadi…. jadi….,” Wilani tidak
meneruskan ucapannya. Jerit tangisnya, pecah lebih dahulu.
Lalu dia menghambur memeluk
tubuh pemuda di hadapannya.
“Kakak Ario…. Kakak Ario Seno!
Betul kau ini kakakku Ario Seno….?” tangis Wilani.
“Aaa….uuu …. aaa …. uuu….”
Wilani merasakan pemuda yang
memeluknya itu menganggukkan kepala.
“Kakak Ario!” jerit Wilani.
“Aku ini adikmu kak! Aku Wilani….!”
Keduanya berangkulan
kencang-kencang dan tenggelam dalam isak tangis. Pendekar 212 hanya bisa tegak
sambil garuk-garuk kepala. Lalu, ketika dia memandang ke arah pemuda yang
memeluk Wilani, dilihatnya walau menangis pemuda itu menyeruakkan senyum. Dan
diperhatikannya bagaimana Ario Seno menggerakkan jari-jari tangannya,
menyampaikan tanda yang berarti : “Jangan cemburu. Aku kakak kandungnya
sungguhan!”
Wiro garuk-garuk kepala lalu
balas menggerakkan jari-jari tangannya, mengatakan pada Ario Seno : “Aku tidak
cemburu. Cuma sedang mencari akal bagaimana caranya pura-pura terharu lalu
ikut-ikutan memeluk adikmu yang cantik itu!”
Ario Seno tertawa lebar dan
kedipkan mata kanannya. Wiro membalas dengan mengedipkan mata kirinya. Tidak
terduga sewaktu dia mengedip begitu sang dara palingkan kepalanya dan melihat
apa yang dilakukan Wiro.
“Ah, celaka! Pasti dia salah
sangka lagi. Pasti dia akan mendampratku lagi!”
Namun sangkaan Pendekar 212
kali ini keliru. Wilani justru tersipu.
Lesung pipit menyeruak di
kedua pipinya. Lalu gadis ini kedipkan mata kanannya pada Wiro! Saking
senangnya murid Sinto Gendeng ini melompat dan bergelantungan pada kayu atas
pintu ruangan sambil mengoncang-ngoncangkan kedua kakinya!
TAMAT