-------------------------------
----------------------------
063 Neraka Krakatau
1Mata manusia biasa akan
melihatnya sebagai suatu hal yang tidak dapat dipercaya. Namun ini adalah
kenyataan. Sebuah perahu kecil meluncur deras seolah membelah air laut di selat
Sunda menuju ke arah Barat Laut. Saat itu tengah hari tepat. Sang surya
memancarkan sinarnya yang paling panas pada puncak ketinggiannya.
Di atas perahu tampak duduk
seorang nenek berwajah angker. Tubuhnya kurus kering. Mukanya seperti tengkorak
karena hanya tinggal kulit pembalut tulang. Dia mengenakan pakaian warna hijau
tua.
Perempuan tua ini memegang
sebuah pendayung di tangan kirinya. Sikapnya mendayung acuh tak acuh saja.
Tetapi kekuatan dayungannya membuat perahu yang ditumpanginya melesat deras di
permukaan air laut yang bergelombang. Rambutnya yang putih panjang riap-riapan
ditiup angin.
Sambil mendayung mulutnya yang
perot terdengar menyanyi. Syair nyanyiannya terasa aneh.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Ketika matahari mulai bergeser
ke barat di kejauhan mulai kelihatan pantai Pulau Rakata. Lebih jauh lagi ke
pedalaman menjulang Gunung Krakatau. Agaknya pulau inilah yang menjadi tujuan
nenek angker itu. Si nenek menyeringai. Aneh! Meski sudah berusia hampir 70
tahun tapi dia memiliki deretan gigi yang masih lengkap atas bawah. Hanya saja
dua taringnya sebelah atas tampak lebih panjang seperti taring srigala hutan
dan membuat tampangnya tambah mengerikan.
Nenek itu kembali tampak
menyeringai. Dia memandang ke lantai perahu.
Astaga! Ternyata di atas
perahu itu dia tidak sendirian. Sesosok tubuh lelaki berusia sekitar 40 tahun
tergeletak tak bergerak. Wajah dan dadanya yang tidak tertutup baju kelihatan
penuh dengan guratan-guratan luka yang dalam dan mengerikan. Tidak dapat
dipastikan apakah lelaki ini masih hidup atau sudah mati. Rupanya dia hanya
pingsan.
Sesaat terdengar orang ini
siuman dan mengerang.
“Air….tolong….” terdengar
suaranya meminta, sangat perlahan.
“Apa? Kau haus? Minta minum?
Baik! Akan kuberi minum!”
Dari lantai perahu nenek ini
mengambil sebuah batok kelapa. Dengan batok ini diciduknya air laut. “Ini!
Minumlah!” Lalu isi batok diguyurkan ke dalam mulut orang yang terbuka setengah
mati menderita haus itu!
Air laut asin itu tentu saja
tidak akan melepas dahaga orang yang meminta.
Sebaliknya orang ini malah
keluarkan suara tercekik. Kedua matanya sejak tadi terpejam kini terbuka
mendelik. Suara cekikan disusul dengan suara erangan tertahan.
Air asin seolah mencekik
tenggorokannya. Lalu sepasang mata itu tidak bergerak lagi dan hanya bagian
putihnya saja yang kelihatan. Mati! Orang yang menggeletak di lantai perahu itu
telah menemui ajalnya!
Anehnya si nenek tertawa
mengekeh mengetahui orang itu mati. Seolah dia sangat membenci orang tua itu
dan sama sekali tidak perduli akan kematiannya.
“Kau akhirnya mampus juga
Sampan! Aku sebenarnya kasihan padamu. Kau hanya anak yang menerima celaka
karena dosa orang tuamu! Tapi tidak usah khawatir.
Masih ada lima orang manusia
lagi yang punya pertalian darah sangat dekat denganmu yang bakal menerima
kematiannya! Hik….hik….hik! Kau tak usah cemas Sampan. Bukankah kau bakal
berkumpul dengan kau punya ibu walau tidak satu liang kubur?! Hik…hik…hik!”
Si nenek mengayuh lagi
perahunya acuh tak acuh. Pantai Pulau Rakata semakin dekat. Dari mulutnya
kembali terdengar suara nyanyian tadi.
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Serombongan burung camar
tampak terbang cerai berai ketika seekor elang besar tiba-tiba muncul dan
menyerbu. Pada saat itulah perahu si nenek angker mencapai tepi pantai Pulau
Rakata pada sebuah teluk yang sempit. Perempuan ini melompat turun ke darat.
Masih sambil menyanyi-nyanyi dia menarik perahu ke bawah sebatang pohon kelapa
di tepi pasir.
Beberapa lama sebelum nenek
dan perahunya mendarat di Pulau Rakata, dua orang lelaki berpakaian serba merah
berlari cepat dari arah gunung.
“Kita sudah memeriksa hampir
seluruh tepian kawah!” berkata orang yang di sebelah kanan. Namanya Supit
Jagal. Di pinggangnya ada sebuah golok besar berbentuk segi empat seperti golok
tukang jagal. “Jangan-jangan cerita tentang batu mustika itu hanya tipuan
belaka!”
Kawannya berhenti berlari.
“Coba kita lihat lagi peta rahasia itu!” katanya lalu mengeluarkan satu lipatan
kertas dari kantong baju merahnya. Lipatan kertas dibukanya kemudian
dibentangkannya di atas pasir. Pada kertas yang terkembang itu terlihat gambar
kasar Pulau Rakata lengkap dengan Gunung Krakatau. Di sekitar kawah ada
tanda-tanda silang. Tanda silang itu juga terlihat pada beberapa bagian peta
yang menghadap ke Selat Sunda. “Tanda silang di sebelah ujung kawah sini
merupakan bagian pulau yang belum kita selidiki. Bagaimana kalau kita
menyelidik ke bagian tanda silang sebelah kanan. Tempatnya tak berapa jauh dari
sini….”
“Aku setuju Tubagus
Singagarang. Agaknya kita tadi terlalu jauh mendarat ke sebelah utara. Ini
gara-gara angin keras di selat tadi….”
Tubagus Singagarang melipat
peta itu kembali dan menyimpannya di dalam saku. Bersama Supit Jagal dia
bergerak ke arah tenggara Pulau Rakata. Angin laut bertiup kencang memapas arah
lari mereka. Di satu tempat Tubagus Singagarang hentikan larinya. Dia menunjuk
ke arah deretan bagian kawah paling gersang dan agak mendaki di bagian Timur.
“Supit, kau lihat benda-benda
aneh yang bersusun di sebelah sana?”
“Ya, aku melihat. Aneh. Benda
apa itu? Berbentuk seperti perahu-perahu kecil.
Tampaknya terbuat dari
potongan pohon-pohon kelapa.”
“Ada tujuh semuanya…..” kata
Supit pula.
“Bukan mustahil di sana
tersembunyinya batu mustika yang kita cari. Mari kita periksa!”
“Mari!” sahut Supit Jagal.
Kedua orang ini segera lari ke
arah deretan benda yang mereka lihat. Begitu sampai di tempat yang dituju
ternyata yang mereka lihat dari kejauhan tadi adalah gabungan-gabungan dua
batang kelapa yang tengahnya dilubang seperti perahu.
“Apa ini?” ujar Tubagus
Singagarang. “Kotak bukan perahu bukan” Lalu dia melangkah mengikuti jejeran
batang-batang kelapa itu sambil menghitung.
“Satu…dua…tiga…empat…lima…enam…”
Memasuki hitungan ketujuh yaitu di hadapan batang kelapa yang ketujuh hitungan
Tubagus Singagarang terhenti.
Langkahnya justru kini
tersurut. Mukanya yang garang mendadak menjadi pucat.
Supit Jagal mendatangi dari
belakang seraya bertanya.
“Ada apa Tubagus? Kau seperti
melihat setan!”
“Lihat….” Suara Tubagus
Singagarang agak bergetar dan jarinya menunjuk ke dalam lobang pada gabungan
batang kelapa ke tujuh.
Supit Jagal maju mendekat
beberapa langkah.
“Astaga!” Orang inipun tampak
terkejut dan berubah air mukanya!
2
Di dalam lubang batang kelapa
yang terletak paling ujung itu terbaring satu sosok tubuh perempuan tua
mengenakan baju kebaya putih dan kain panjang. Kedua matanya terpejam.
Keadaannya demikian rupa hingga kalau tidak diperiksa tidak diketahui apakah
dia dalam keadaan tidur nyenyak, pingsan atau sudah jadi mayat!
Sekujur tubuhnya mulai dari
rambut sampai ke ujung kaki diselimuti oleh sejenis minyak. Batang kelapa
dimana dia terbaring penuh dengan kerumunan semut. Tetapi binatang-binatang ini
tidak satupun yang menyentuh tubuhnya. Kedua orang lelaki itu memperkirakan
minyak pada tubuh perempuan tua itulah yang menyebabkan semut tidak berani
menyentuhnya.
“Coba kau periksa denyut
jantungnya,” kata Tubagus Singagarang.
“Kau saja,” jawab Supit Jagal
menolak. Diam-diam dia merasa ngeri.
Dari kedua bersahabat itu
Tubagus Singagarang memang lebih berani. Dia melangkah mendekati batang kelapa
lalu mengulurkan tangan memegang lengan kiri perempuan tua di dalam lubang
kelapa.
“Tak ada denyut nadi….”
Berucap Tubagus Singagarang setelah memegang dan merasa-rasa beberapa ketika.
Dilepaskannya pegangannya. Dia membungkuk lalu meletakkan telinga kanannya
setengah kuku di atas dada orang dalam lubang. Kemudian dia menggeleng dan
melirik pada Supit Jagal. “Detak jantungnyapun tidak kudengar”
“Berarti orang ini memang
sudah mati!” kata Supit Jagal.
Tubagus Singagarang ingin
memastikan. Diulurkannya tangan kanannya. Jari-jari tangannya membalikkan
kelopak mata kiri orang dalam lubang. Tak ada hitamnya.
Keseluruhan matanya hanya
putih belaka.
“Yang kita lihat memang
mayat!” kata Tubagus Singagarang. Tangannya yang basah oleh minyak yang
menyelimuti tubuh orang dalam lubang digosok-gosokkan pada pakaiannya. Lalu dia
coba mencium tangannya itu. Dia mencium sesuatu.
“Minyak serai bercampur jelaga
kayu besi,” katanya. “Jelas mayat ini sengaja diberi minyak itu untuk
diawetkan!”
Supit Jagal tentu saja heran
mendengar ucapan kawannya itu. “Benar-benar aneh. Kita mencari batu mustika.
Yang kita temui di Krakatau ini mayat perempuan tua yang diawetkan. Untuk apa?
Siapa yang punya pekerjaan?” Dia bertanya sambil memandang ke bawah, ke arah
kawah Gunung Krakatau yang mengepulkan asap berkepanjangan.
“Pertanyaan lain siapa adanya
perempuan tua ini?” sambung Tubagus Singagarang. “Memang aneh…”
“Kau lihat sendiri Tubagus.
Ada tujuh batang kelapa berlubang di tempat ini.
Satu berisi mayat. Berarti
bakal ada enam mayat lagi yang akan dimasukkan pada enam batang kelapa ini!”
“Dugaanmu mungkin benar….”
Sahut Tubagus Singagarang. Dua sahabat ini saling pandang. Di balik rasa heran
mereka jelas ada bayangan rasa ngeri. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Lebih baik lekas-lekas
meninggalkan kawasan kawah Gunung Krakatau ini…” jawab Supit Jagal.
“Lalu bagaimana dengan usaha
kita mencari batu mustika itu?” tanya Tubagus Singagarang dan hendak
mengeluarkan kembali peta yang ada dalam saku pakaiannya.
Tapi tak jadi ketika mendengar
sahabatnya berkata.
“Lupakan saja hal itu. Aku
merasa tidak enak. Ada yang tidak beres di tempat ini Tubagus. Aku mencium
bahaya. Bahaya maut!”
“Aku juga merasakan begitu,”
sahut Tubagus Singagarang. “Tapi kau lihat sendiri. Pulau ini sepi-sepi saja.
Tak ada orang selain kita. Kecuali mayat perempuan tua ini”
“Tidak mungkin Tubagus! Aku
yakin sekali pasti ada orang lain di sini. Mayat itu tidak mungkin berjalan
sendiri sampai kemari! Ada orang yang membawanya. Mengawetkannya dengan minyak
serai bercampur jelaga….”
“Tapi untuk apa? Pekerjaan apa
ini sebenarnya?” ujar Tubagus Singagarang pula. “Bagaimana kalau kita bersembunyi
dan menginati?”
“Terus terang nyaliku mulai
leleh. Kau silahkan saja mengintai, aku biar turun ke bawah terus ke pantai.
Aku akan menunggumu di perahu. Jika sampai rembang petang kau tak muncul
terpaksa aku meninggalkan kau dan menyeberang kembali ke Jawa seorang diri!”
Tubagus Singagarang jadi
berpikir mendengar kata-kata kawannya itu. Lalu dia berkata “Kita sahabat dan
saudara seperguruan. Jika senang sama senang. Kalau susah sama susah. Berarti
matipun harus sama-sama! Aku mengalah. Aku ikut bersamamu. Memang sebaiknya
kita pulang saja. Bukan mustahil cerita dan peta tentang batu mustika itu hanya
dibuat-buat orang saja. Hendak mengacau dunia persilatan!”
Setelah memandang sekali ke
arah sosok mayat dalam lubang pohon kelapa, Tubagus Singagarang dan Supit Jagal
segera hendak berkelebat tinggalkan tepi kawah Gunung Krakatau itu. Tapi baru
saja mereka bergerak tiba-tiba terdengar suara orang menyanyi di kejauhan.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Tubagus Singagarang dan Supit
Jagal jadi terkesiap saling pandang.
“Ada orang menyanyi. Apa
kataku. Ternyata memang ada orang lain di pulau ini!” berbisik Supit Jagal.
Lalu di kejauhan kembali
terdengar suara nyanyian orang tadi
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan
dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
“Siapa yang menyanyi…?” bisik
Supit Jagal. “Syair lagunya aneh mengerikan. Berbau maut!”
“Suaranya suara perempuan.
Dari puncak sini kita belum dapat melihatnya. Kalau tidak memiliki tenaga dalam
tinggi tidak mungkin suaranya terdengar sampai ke sini….”
“Mungkin sekali….Jangan-jangan
orang itu tengah menuju ke sini….” Ujar Supit Jagal pula.
“Bagaimana kalau kita
menyingkir saja dari sini?”
“Baik! Dari pada mencari
urusan….!” Jawab Supit Jagal. Lalu saudara seperguruan itu segera hendak
berkelebat. Namun dari bawah kaki gunung telah lebih dulu kelihatan seorang
berpakaian hijau tua berlari sangat kencang menuju puncak Gunung Krakatau. Di
bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh. Tidak mudah memanggul orang naik ke
puncak kawah gunung. Apalagi berlari dan sambil membawa beban berat seperti itu.
“Kita berhadapan dengan orang
pandai, Tubagus. Kita tak punya kesempatan untuk kabur. Ayo lekas sembunyi di
balik batang kelapa di ujung kiri sana”
Baru saja kedua bersahabat itu
menjatuhkan diri sama rata dengan tanah gunung hingga terlindung oleh batang
kelapa berlubang, dari bawah gunung muncul orang berbaju hijau tadi. Tubagus
dan Supit Jagal yang coba mengintai sama terkejut ketika menyaksikan bahwa yang
muncul adalah seorang nenek berwajah angker seperti tengkorak dengan rambut
putih panjang riap-riapan. Di bahu kirinya ada seorang lelaki yang menurut
dugaan Tubagus dan Supit sudah tidak bernyawa lagi.
Mereka memperhatikan terus. Si
nenek angker melangkah mendekati batangan berlubang di sebelah kiri batang
kelapa yang ada mayatnya. Seperti melempar bungkusan atau kayu, nenek berambut
putih lemparkan sosok tubuh lelaki yang dipanggulnya ke dalam lubang batang
kelapa. Dipandangnya sosok tubuh itu sesaat lalu dia tertawa terkekeh-kekeh.
Disusul dengan nyanyian.
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Habis bernyanyi si nenek
kembali tertawa panjang. “Anak dan ibu sudah kudapat. Hik…hik…hik. Masih ada
lima nyawa lagi. Masih ada lima mayat lagi pengisi lobang neraka itu! Ha…ha…ha!
Awas kalian! Awas kau jahanam Giri Arsana! Kau berada dalam daftar kematian
yang terakhir. Agar kau bisa menyaksikan dan merasakan pahit perihnya melihat
kematian orang-orang yang kau cintai! Bila sudah lengkap kau akan kuundang ke
tempat ini! Hik…hik…hik! Lalu kau akan kujadikan korban terakhir pengisi liang
neraka batang kelapa! Hik…hik…hik!”
Dari dalam sebuah kantong yang
ada di pinggang dan selalu dibawanya kemana-mana nenek angker itu keluarkan
sebuah tabung bambu. Dia membuka penutup tabung lalu melangkah lebih dekat ke
batang kelapa tempat tadi dia melemparkan orang yang dipanggulnya. Dari tabung
itu diguyurkannya sejenis cairan ke seluruh bagian tubuh dalam batang kelapa.
“Kau lihat,” bisik Tubagus
Singagarang. “Dia mengguyurkan minyak pengawet. Berarti orang yang barusan
dicampakannya ke dalam lubang memang sudah tidak bernyawa lagi!”
“Hemmm…Apa yang harus kita
lakukan sekarang?” bertanya Supit Jagal.
“Kita tunggu saja sampai nenek
itu pergi,” sahut Tubagus Singagarang.
“Kalau dia tidak pergi-pergi
dan berada di sini samapi besok…?”
“Tidak mungkin. Dia tidak
mungkin bermalam di sini. Tidak ada tempat untuk menginap….” jawab Tubagus
Singagarang.
“Jangan terlalu yakin. Kita
harus waspada. Kita bukan berhadapan dengan seorang tua bangka biasa.
Sepertinya dia mendekam dendam kesumat yang amat besar. Turut nyanyiannya tadi,
ada lima orang lagi yang bakal dibunuhnya!”
Tubagus Singagarang jadi
gelisah. Bersama sahabatnya untuk beberapa lama dia hanya bisa berdiam diri. Di
nenek rupanya sudah selesai menuangkan cairan pengawet di tubuh mayat. Tabung
bambu disimpannya kembali. Tiba-tiba, tidak terduga oleh dua orang yang
bersembunyi si nenek di ujung keluarkan bentakan menggeledek.
“Permainan kalian sudah
selesai! Aku menunggu sudah cukup lama! Lekas keluar dari balik batang kelapa
dan berlutut di hadapanku!”
3
Tubagus Singagarang dan Supit
Jagal sama-sama tersentak kaget.
“Dia sudah tahu kita di sini,
bagaimana sekarang?” berbisik Supit Jagal.
“Tak ada jalan lain. Kita
keluar saja,” jawab Tubagus Singagarang. Lalu dia mendahului berdiri. Dengan
hati agak kecut Supit Jagal mengikuti.
“Hemmm… Dua ekor monyet
berpakaian merah yang tidak aku kenal! Lekas datang ke hadapanku dan berlutut!”
bentak si nenek sambil tolak pinggang dan memandang mendelik ke arah dua orang
saudara seperguruan itu.
Tubagus Singagarang dan Supit
Jagal memang melangkah mendekati nenek angker itu. Tapi untuk berlutut mana
mereka mau! Jelas si nenek menunjukkan tampang dan sosok angker. Namun sebagai
orang-orang persilatan, dua lelaki berpakaian merah itu mampu menguasai diri,
menekan perasaan takut dan akhirnya muncul keberanian.
“Eh! Mengapa masih belum
berlutut?! Apa kalian tuli tidak mendengar perintahku?!”
“Nenek tua,” kata Tubagus
Singagarang. “Kami tidak kenal kau, kau tidak kenal kami. Mengapa bersikap
begitu keras?!”
“Ah monyet jelek! Rupanya kau
tidak tuli dan juga tidak bisu. Siapa aku kau tidak perlu tahu. Kalian telah
melakukan kesalahan! Apa kalian masih tidak mengerti?!”
“Tentu saja! Kesalahan apa yang
telah kami lakukan?!” sahut Tubagus Singagarang.
“Seluruh kawasan Gunung
Krakatau ini adalah daerah kekuasaanku! Siapa saja yang berada di sini tanpa
izinku berarti mampus! Dan kalian berdua jelas-jelas tadi mengintai apa yang
telah aku lakukan! Dosa kalian tidak bisa diampunkan! Lekas berlutut untuk
menerima kematian!”
Tubagus Singagarang dan Supit
Jagal jadi saling pandang. Sambil menekan gagang golok empat persegi yang
terselip di pinggangnya Supit Jagal membuka mulut untuk pertama kali.
“Kami berdua sudah lima puluh
tahun hidup. Belum pernah mendengar bahwa Gunung Krakatau ini ada penguasanya.
Turut yang kami tahu daerah ini daerah bebas yang bisa didatangi siapa saja!”
“Itu turut pengetahuanmu,
monyet busuk! Tapi turut kekuasaanku kau yang akan mati lebih dulu!” membentak
si nenek.
Dihina seperti itu Supit Jagal
jadi kalap. Dia mendengus lalu menyahuti “Mati hidup di tangan Tuhan! Kalau ada
makhluk yang hampir jadi bangkai hendak membunuh kami, masakan kami hanya
bertumpang dagu?!”
Si nenek mendongak ke langit
lalu tertawa panjang.
“Daerah ini harus bebas dari
mayat siapapun. Kecuali tujuh mayat yang sudah ditakdirkan berkubur di sini.
Kalian berdua hanya cukup pantas untuk jadi umpan kawah Krakatau!”
Si nenek turunkan kepalanya.
Bersamaan dengan itu di ulurkan kedua tangannya ke depan. Tubagus Singagarang
dan Supit Jagal tersirap darah mereka ketika menyaksikan bagaimana dari sepuluh
jari tangan si nenek yang kurus kering itu mencuat keluar sepuluh kuku panjang
hitam dan runcing!
“Sepuluh Kuku Iblis!” teriak
dua lelaki berpakaian merah itu berbarengan. Keduanya sama tersurut mundur
dengan paras berubah!
Si nenek tertawa mengekeh.
“Sekarang kalian sudah tahu siapa aku!” katanya
“Hik…hik…hik!”
Suara tawa si nenek lenyap.
Dari mulutnya keluar suara seperti lolongan srigala. Tubuhnya melesat ke arah
Supit Jagal. Tangan kanannya berkelebat. Lima garis hitam berkiblat di udara.
Supit Jagal berseru tegang. Dia melompat mundur dan cepat cabut golok besarnya.
Dengan senjata itu dia memapaki serangan lima kuku.
Traakk….tarakk…traaakk!
Golok besar itu berhasil
membabat tiga dari lima kuku tangan kanan si nenek.
Tapi apa yang terjadi? Si
nenek hanya ganda tertawa. Mata golok yang dipegang
Supit Jagal tampak somplak
besar di tiga bagian!
Selagi Supit Jagal tertegun
ketakutan, tangan kiri si nenek menderu dari samping. Terdengar jeritan Supit
Jagal. Mukanya sebelah kiri sampai leher koyak besar. Dari lehernya menyembur
darah karena salah satu urat besarnya tersambar putus oleh cakaran kuku iblis si
nenek! Nyawanya tak tertolong lagi. Belum puas si nenek lantas tendang tubuh
Supit Jagal hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam kawah!
Bagaimanapun ngerinya Tubagus
Singagarang melihat kejadian itu namun apa yang terjadi dengan sahabatnya
membuat dia kalap. Tubuhnya melayang di udara.
Kaki kanannya menderu ke tubuh
si nenek dan dengan telak menghantam perutnya!
Si nenek terlempar empat
langkah, tersandar pada batang kelapa yang keempat.
Tapi dia tidak tampak
kesakitan malah tertawa-tawa dan usap-usap perutnya dengan sikap mengejek.
“Monyet jelek! Kau barusan
menendangku atau cuma menggelitik!”
Kejut Tubagus Singagarang
bukan kepalang. Orang lain pasti sudah hancur perutnya dihantam tendangannya
tadi. Si nenek bukan saja tidak merasa apa-apa malah masih sanggup
mempermainkannya!
“Dia bukan lawanku. Aku harus
cari selamat!” membatin Tubagus Singagarang. Dia melirik ke arah Supit Jagal.
Sahabatnya tampak menggeliat-geliat di tanah sambil pegangi mukanya yang koyak
dan mengucurkan darah. Lukanya
kelihatan mulai menghitam
tanda mengandung racun jahat. Nyawanya pasti tidak tertolong lagi.
Rupanya si nenek yang bergelar
Sepuluh Kuku Iblis dapat membaca apa yang ada di pikiran Tubagus Singagarang.
Karena baru saja dia bergerak hendak melarikan diri, perempuan tua ini sudah
melompat menghadang langkahnya.
“Monyet jelek! Kau mau lari
kemana?!” bentak si nenek. Kedua tangannya dihantamkan ke depan. Tubagus
Singagarang cepat membungkuk. Sepuluh larik sinar hitam menderu di atas
kepalanya. Dengan tenaga dalam penuh Tubagus lepaskan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi. Satu sinar kemerahan menggebubu ke arah dada si
nenek. Begitu dadanya terkena pukulan sakti tersebut, Sepuluh Kuku Iblis
tertawa mengekeh. Dia melangkah maju. Dengan kesaktian yang dimilikinya dia
mendorong sinar pukulan lawan, membuat Tubagus Singagarang merasa tangannya
tergetar hebat dan tubuhnya kini terdorong.
Si nenek tiba-tiba membentak
dan hentakkan kaki kanannya ke tanah.
Tanah tebing kawah Gunung
Krakatau itu bergetar hebat. Tubuh Tubagus Singagarang terlempar dua kaki ke
atas. Orang ini berteriak keras ketika menyadari dirinya jatuh tidak lagi di
atas tebing yang sama, tetapi masuk ke bagian kawah. Dia berusaha membuat
lompatan jungkir balik. Namun terlambat. Tubuhnya sudah keburu jatuh ke bawah,
lalu berguling deras menuju kawah panas di bawah sana!
Si nenek tertawa melengking.
Dia melangkah mendekati tubuh Supit Jagal.
“Susul temanmu sana!” bentak
perempuan tua ini. Lalu ditendangnya tubuh yang sudah tak bernafas itu hingga
mencelat mental dan terlempar jatuh ke dalam kawah Gunung Krakatau.
4
Perguruan Silat Melati Putih
pada masa itu merupakan salah satu perguruan yang besar di kawasan Barat Pulau
Jawa. Sejak didirikan sekitar delapan tahun lalu perguruan ini diketuai oleh
Sampan Gayana, putera seorang tokoh silat bernama Giri Arsana yang bergelar
Dewa Berpayung Hitam berusia hampir 70 tahun. Sejak beberapa bulan belakangan
ini Giri Arsana seolah lenyap dari rimba persilatan. Dimana dia berada atau apa
yang dilakukannya tidak seorangpun tahu. Sampan Gayana sendiri tidak berusaha
menyelidiki. Selain kesibukannya mengurus lebih dari dua ratus murid perguruan,
dia juga tahu kalau ayahnya suka-suka berlaku aneh. Dan tingkah laku aneh
seorang toko silat bukan merupakan hal yang luar biasa.
Malam itu udara terasa dingin,
lebih dingin dari biasanya. Dua puluh orang anak murid perguruan kelas dua
tengah berlatih silat di halaman. Tanah tempat latihan ini cukup luas dan
dikelilingi oleh empat bangunan panjang yang menjadi tempat tinggal semua
murid. Tak jauh dari empat bangunan panjang itu terdapat sebuah rumah papan. Di
sinilah sang Ketua Perguruan tinggal seorang diri karena sampai saat itu
usianya yang 45 tahun Sampan Gayana masih belum mempunyai istri.
Selagi dua puluh murid itu
berlatih di bawah penerangan lampu-lampu minyak yang tergantung di bawah
cucuran atap empat bangunan panjang, tiba-tiba terdengar suara nyanyian
mengumandang di seantero lapangan latihan.
Dosa muda salah kaprah
Jangan harap ampunan pasrah
Tujuh samudera akan kutempuh
Seribu badai akan kutantang
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan
dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Suara nyanyian sirap. Mendadak
ada bayangan berkelebat. Lalu tahu-tahu di tengah kalangan latihan telah
berdiri seorang nenek bertubuh tinggi kurus, berwajah seperti tengkorak,
berambut putih riap-riapan.
Dua puluh murid perguruan
sesaat tercekam, lalu mencium sesuatu yang tidak beres, mereka bergerak
menyebar sehingga si nenek terkurung di tengah-tengah.
Si nenek memandang
berkeliling. Wajah tengkoraknya tampak menyeringai.
“Apa benar ini Perguruan Silat
Melati Putih?!” si nenek tiba-tiba ajukan pertanyaan.
Mula-mula tak ada yang mau
menjawab. Namun salah seorang murid akhirnya menyahut membenarkan.
“Apa benar Ketua Perguruan
seorang bernama Sampan Gayana?!” si nenek bertanya lagi.
“Betul. Ketua kami memang
Sampan Gayana,” jawab murid perguruan tadi.
Lalu seorang murid lain
bertanya. “Orang tua harap beri tahu kau siapa dan ada keperluan apa datang
kemari?!”
“Siapa aku bukan urusanmu
budak jembel!” si muka tengkorak membentak yang membuat semua anak murid
perguruan jadi terkejut. “Aku datang mencari Ketua kalian! Panggil dia! Suruh
datang ke hadapanku!”
“Ketua kami sedang
beristirahat. Jika memang ada keperluan besok pagi saja datang kemari”
“Hemmmm…. Jadi kalian tak mau
turut perintahku. Tidak mau memanggil Sampan Gayana! Bagus! Aku mau lihat apa
kalian benar-benar tidak perduli!”
Habis berkata begitu tubuh si
nenek berkelebat. Empat pekikan terdengar serentak merobek kesunyian dan langit
gelap. Empat anak murid perguruan terpental.
Begitu jatuh ke tanah
keempatnya tidak berkutik lagi. Semua telah putus nyawa dengan kepala pecah!
Serta merta kegemparan melanda
tempat itu. Beberapa orang murid perguruan yang menjadi marah melihat kematian
empat teman mereka segera hendak menyerbu.
Tapi gerakan mereka terhenti
ketika si nenek keluarkan suara tawa melengking.
“Hanya orang-orang bodoh yang
ingin mampus lebih cepat!” ujar si nenek sambil tegak bertolak pinggang. Kedua
matanya memandang angker. Membuat para murid yang tadi hendak nekad menyerang
kini hanya bisa tertegun di tempat masing-masing.
Mereka sama maklum kalau tamu
tidak diundang ini memiliki kepandaian sangat tinggi dan bukan tandingan
mereka. Lalu terdengar seseorang berteriak.
“Lekas panggil Ketua!”
Dua orang murid berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Si nenek menyeringai. “Dasar
manusia-manusia tolol!” katanya. “Kalau tadi-tadi saja kalian turuti perintahku
tak akan ada nyawa melayang! Goblok!”
Sampan Gayana yang tengah
tertidur lelap tersentak kaget ketika dibangunkan.
Ketua Perguruan ini tambah
kaget sewaktu di beritahu apa yang terjadi. Cepat dia berganti pakaian lalu
keluar dari rumah papan mendahului dua orang murid yang melapor. Sementara itu
seluruh murid perguruan dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi kini telah
terbangun dan mereka semua menghambur ke tanah lapang. Para murid memberi jalan
begitu Ketua mereka muncul. Sesaat kemudian Sampan Gayana telah berada di
tengah lapangan. Sesaat dia memperhatikan empat orang muridnya yang bergeletak
mati di tanah. Lalu dia memandang ke arah si nenek.
“Nenek, aku tidak kenal
dirimu. Pasal apa membuat kau membunuh empat murid Perguruan?”
Si nenek tidak segera
menjawab. Dia memperhatikan lelaki di hadapannya mulai dari ujung rambut sampai
ke kaki baru membuka mulut.
“Apa benar kau orangnya yang
bernama Sampan Gayana, anak dari Giri Arsana?”
“Kau tidak salah. Aku memang
Sampan Gayana, putera Giri Arsana. Sekarang harap kau memberitahu siapa
dirimu.”
Si nenek tidak menjawab. Dia
mendongak lalu keluarkan suara tawa panjang.
Sampan Gayana yang merasa
dianggap rendah maju satu langkah. “Nenek, kau muncul malam buta. Membunuh
murid-muridku tanpa diketahui apa dosa dan kesalahannya. Tidak ada silang
sengketa di antara kita….”
“Apa yang kau ucapkan itu
benar! Tak ada dosa, tak ada kesalahan dan tidak ada silang sengketa. Tapi aku
beri tahu padamu anak manusia. Kau menanggung dosa turunan! Dosa keji yang
pernah dibuat ayahmu!”
Kening Ketua Perguruan Silat
Melati Putih itu tampak berkerut. “Aku tidak mengerti maksud kata-katamu!”
“Aku kemari memang tidak
membuat kau mengerti! Kau tidak perlu mengerti. Aku hanya ingin satu orang
mengerti. Keluar dari sarang persembunyiannya untuk menerima pembalasan sakit
hati. Selama dia masih bersembunyi secara pengecut, selama itu pula aku akan
mengambil korban satu demi satu orang-orang yang terdekat dengan dia!”
“Siapa yang kau maksudkan
dengan dia itu?!” bentak Sampan Gayana.
Si nenek menyeringai lalu
menjawab. “Giri Arsana! Bapak moyangmu!”
“Aku makin tidak mengerti
dengan juntrunganmu ini!” kata Sampan Gayana.
“Kesabaranku sudah hilang! Aku
terpaksa menangkapmu karena telah membunuh empat murid perguruan!”
Si nenek tertawa. “Sebelum kau
menangkapku lekas kau beri tahu dulu di mana bapak moyangmu itu bersembunyi!
Enam bulan aku sudah mencarinya. Sampai saat ini dia berlaku pengecut tidak mau
memunculkan diri dalam dunia persilatan.”
“Ada urusan apa kau mencari
ayahku?” tanya Sampan Gayana.
“Sudah aku bilang, kau punya
dosa turunan. Berarti bapak moyangmu itu punya kesalahan besar. Sangat besar!
Nah sekarang cepat beritahu di mana dia berada!”
“Kalaupun aku tahu, tidak akan
kukatakan padamu!” jawab Sampan Gayana hilang kesabaran.
“Kalau begitu terpaksa aku
membunuh anak ular untuk memancing keluar bapak ular. Rupanya sudah jadi takdir
seluruh keluargamu harus kuhabisi lebih dulu baru giliran bapak moyangnu itu!”
si nenek tertawa panjang.
Sampan Gayana tidak dapat
mengendalikan amarahnya lagi. Kesabarannya habis. Didahului dengan bentakan
keras dia menghantam ke arah muak si nenek.
Yang diserang ganda tertawa.
Tangan kanannya diangkat.
Wuuuttt!
Sampan Gayana terkejut ketika
merasakan angin dingin yang menyambar keluar dari tangan si nenek. Serta merta
dia sadar bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang jauh lebih tinggi. Maka
cepat-cepat dia menghindarkan terjadinya bentrokan pukulan. Sampan berkelit ke
samping. Dari samping dia kirimkan pukulan berupa sodokan ke leher si nenek.
Rupanya Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini sengaja mengeluarkan jurus-jurus
andalan dan mengandung maut agar dapat menghantam lawannya dengan cepat.
Si nenek masih tampak
tertawa-tawa. Lima jurus dia sengaja membiarkan dirinya diserang habis-habisan.
Jurus keenam Sampan Gayana berhasil memukul bahu perempuan tua ini. Orang lain
pasti akan terpental paling tidak akan melintir tubuhnya dihantam pukulan yang
berkekuatan hampir lima puluh kati itu! Tapi si nenek sedikitpun tidak
bergeming. Malah Sampan Gayana merasakan tangannya yang memukul menjadi pedas.
“Sudah saatnya kau menyusul
ibumu Sampan Gayana!” berkata si nenek sambil mundur dan pentang tangan
kanannya ke depan.
Ketua Perguruan Silat Melati
Putih itu tentu saja terkejut mendengar ucapan si nenek. Tapi sekaligus dia
juga tidak mengerti.
“Apa maksudmu?!” tanyanya
membentak.
Si nenek tertawa. “Ibumu sudah
lebih dulu mampus di tanganku! Kau korbanku yang kedua. Jika bapak moyangmu
masih belum mau keluar dari persembunyiannya untuk mempertanggung jawabkan
dosa, korban selanjutnya akan jatuh! Begitu seterusnya sampai bapak moyangmu
muncul!”
“Manusia keparat! Jadi kau
telah membunuh ibuku!” teriak Sampan Gayana.
Si nenek balas dengan tawa
cekikikan. “Jangan kawatir. Aku akan bawa kau ke tempat maya ibumu tergeletak.
Kalian masih bisa berjumpa dalam alam roh! Hik…hik…hik!”
“Perempuan iblis!” teriak
Sampan Gayana. Tangan kanannya mengeruk ke saku pakaian. Dari dalam saku itu
dia mengeluarkan segenggam benda putih. Benda ini bukan lain adalah bunga
melati putih yang telah mengering. Bunga melati kering ini merupakan senjata
rahasia andalan terakhir sang ketua perguruan. Sekali dia menggerakkan
tangannya, dua belas bunga melati melesat mengeluarkan suara berdesing.
Nenek muka tengkorak angkat
tangan kirinya. Delapan bunga melati kering mental dan hancur berantakan. Tapi
empat lainnya masih sempat menyambar tubuhnya.
Des! Des! Des! Des!
Baju hijau tua yang dikenakan
si nenek kelihatan berlubang di empat bagian.
Namun tubuhnya yang hanya
tinggal kulit pembalut tulang itu sedikitpun tidak cidera!
Berubahlah paras Sampan
Gayana. Puluhan murid perguruan yang menyaksikan kejadian itu juga ikut
melengak kaget. Mereka semua tahu jangankan tubuh manusia, batang pohonpun akan
tembus dihantam senjata rahasia ketua mereka.
Namun nyatanya si nenek tidak
cidera sedikitpun!
Didahului suara tertawa
melengking tinggi nenek muka tengkorak ajukan tangannya ke depan. Lima buah
kuku panjang runcing berwarna hitam mencuat secara aneh dari kelima ujung
jarinya yang kurus kering!
Sampan Gayana terkejut besar.
Dia mundur satu langkah. Di depannya si nenek datang memburu cepat sekali. Dia
tidak mampu menangkis ataupun mengelak ketika lima kuku jari itu berkelebat
mencakar muka dan dadanya. Ketua Perguruan Silat Melati Putih ini menjerit
mengerikan. Darah menyembur dari guratan luka yang sangat dalam di muka dan
dadanya. Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya namun belum kesampaian lututnya
telah goyah. Sebelum roboh ke tanah nyawanya sudah lepas. Dan sebelum dia jatuh
teregelimpang si nenek sambut tubuhnya dengan bahunya. Di lain saat perempuan
tua itu sudah memanggul mayat Sampan Gayana di bahu kirinya.
Puluhan anak murid perguruan
tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berteriak marah dan serempak maju. Ada
yang hanya mengandalkan tangan kosong, ada pula yang menghunus berbagai
senjata.
“Kalian murid-murid setia.
Bersedia membela pimpinan. Tapi apa ada gunanya membela manusia yang sudah jadi
mayat?! Apa kalian hendak membayar kebodohan kalian dengan nyawa?!”
“Perempuan iblis! Kami
bersedia mengorbankan darah dan nyawa asal kau bisa kami bunuh!” teriak seorang
murid dari tingkat paling tinggi.
“Bagus! Kalau begitu lekas
maju agar cepat aku membereskan kalian” kata si nenek pula.
Puluhan murid perguruan yang
tidak takut mati demi membela ketua mereka benar-benar maju. Si nenek tertawa
keras. Tangan kanannya digerakkan. Lima larik sinar hitam berkelebat
mengerikan. Lalu terdengar jeritan susul menyusul. Sembilan anak murid
perguruan roboh dengan muka atau tubuh hangus seperti dipanggang. Puluhan murid
lainnya jadi tercekat. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian kembali mereka menyerbu
dengan nekad. Namun si nenek sudah berkelebat. Tiga murid perguruan yang coba
mengejar mental dihantam tendangan dan pukulannya. Si nenek lenyap. Hanya suara
tawanya saja yang masih terdengar dalam gelapnya malam di kejauhan. Lapat-lapat
kembali terdengar suara nyanyiannya di kejauhan
Sang istri sudah kudapat
Menyusul kini anak keempat
Satu persatu kubuat sekarat
Agar terkikis dendam berkarat
Si nenek lari laksana hantu
malam. Seperti dituturkan sebelumnya mayat Sampan Gayana inilah yang dibawanya
ke tepi kawah Gunung Krakatau lalu dimasukkan ke dalam lubang lebih dahulu
dibunuh dan dibawa ke tempat itu.
Suasana gempar masih melanda
Perguruan Silat Melati Putih ketika seorang pemuda berpakaian putih berambut
gondrong menjela bahu muncul. Puluhan murid perguruan yang tidak mengenal
dirinya dan menaruh curiga langsung mengurungnya.
“Mana Ketua kalian? Aku datang
membawa pesan penting!” kata pemuda yang baru datang sambil menunjukkan sepucuk
lipatan surat. Kedua matanya memandang berkeliling. Tadi dia sempat melihat
beberapa mayat yang digotong ke arah rumah panjang.
Seorang murid dari tingkat
atas yang mengenal pemuda itu menyeruak di antara para murid. “Pendekar 212.
Kau datang terlambat…..”
“Eh, apa yang terjadi?” tanya
tamu muda yang datang yang bukan lain Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng dari Gunung Gede.
“Ketua dibunuh orang tak
dikenal. Mayatnya diculik. Entah dilarikan kemana….”
“Astaga!” Wiro tentu saja
terkejut dan garuk-garuk kepala. “Isi surat dari guruku ini justru hendak
memberi tahu ada bahaya yang mengancam. Ternyata aku terlambat!” Wiro serahkan
lipatan surat pada murid perguruan di depannya. Si murid membacanya sebentar
lalu melipat surat itu kembali.
“Dalam surat Eyang Sinto
Gendeng memberi peringatan ada bahaya bagi anak-anak dan keturunan Giri Arsana.
Diminta agar berhati-hati. Tapi kini tak ada gunanya. Ketua kami sudah menemui
kematian….”
“Coba kau terangkan ciri-ciri
pembunuh itu,” kata Wiro.
Murid perguruan menerangkan
ciri-ciri nenek angker yang membunuh dan menculik mayat Sampan Gayana.
“Kuku hitam mencuat dari
jari-jari tangan….. Hemmmmmmmmmm….” Wiro bergumam dan lagi-lagi hanya bisa
garuk-garuk kepala. “Aku akan coba mencari tahu siapa adanya tua bangka itu,”
kata Pendekar 212 pula. “Namun saat ini aku perlu keterangan siapa dan dimana
saja saudara-saudara kandung Ketua kalian berada…”
“Selama ini Ketua selalu
tertutup. Dia tidak pernah menceritakan siapa kakak dan adiknya. Juga tidak
pernah menerangkan dimana mereka berada. Kami hanya tahu beliau berayahkan
orang sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam.”
“Tapi orang itu pun tiba-tiba
saja lenyap dari dunia persilatan!” kata Wiro. Dia diam sesaat akhirnya berkata
“Aku harus pergi sekarang. Mungkin ada sesuatu yang hendak kalian sampaikan?”
“Kami hanya berharap agar kau
bisa membantu mencari pembunuh Ketua kami. Kabarnya nenek angker itu juga telah
membunuh ibunda Ketua kami…” jawab murid perguruan tadi.
“Akan aku lakukan sebisa
dayaku. Karena istri Giri Arsana masih ada pertalian darah dengan guruku Eyang
Sinto Gendeng. Hanya ada sesuatu yang mengherankan. Mayat istri Giri Arsana
tidak pernah ditemukan. Kalau mayat Ketua kalian diculik si nenek, berarti dia
juga yang menculik mayat si ibu. Untuk apa…?”
Wiro garuk-garuk kepala.
“Kalian bisa memberi tahu ke arah mana larinya nenek pembunuh itu?”
Beberapa orang menunjuk ke
arah kanan. Pendekar 212 tanpa menunggu lebih lama berkelebat ke arah itu.
5
Rumah kecil itu terletak di
pinggiran timur Kotaraja. Lima orang bertubuh kekar dan bersenjata tombak serta
golok di pinggang berjaga-jaga di pintu masuk. Lalu di tempat gelap, tidak
kelihatan oleh pandangan mata menebar lebih dari sepuluh orang yang juga
berperawakan kekar dan menggenggam kelewang atau golok.
Seorang penunggang kuda yang
mukanya ditutup kain hitam sebatas mata memasuki halaman rumah. Kudanya
ditambatkan pada sebuah palang bambu. Lalu dia melangkah cepat menuju ke pintu.
Di depan pintu lima lelaki yang berjaga-jaga cepat menghadang. Yang empat
langsung mengangkat tangan dan mengarahkan tombak pada orang yang barusan
datang ini. Yang satu lagi maju mendekat sambil menghunus golok.
“Harap sebutkan kata rahasia
yang sudah ditentukan!”
Orang bercadar segera
menjawab. “Malam gelap tak ada bintang tak ada bulan.”
Empat tombak diturunkan. Golok
dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Lima orang di depan pintu
menjura. Salah seorang dari mereka cepat membuka pintu.
Orang bercadar segera masuk ke
dalam rumah. Lima penjaga tadi kembali berjaga-jaga.
Mereka kini tinggal satu orang
lagi yang harus ditunggu.
Tak selang berapa lama satu
bayangan putih berkelebat. Belum sempat lima pengawal di pintu memperhatikan
dengan jelas tahu-tahu orangnya sudah berdiri di depan mereka sambil
garuk-garuk kepala.
Lima penjaga memperhatikan
orang ini. Masih muda dan berambut gondrong.
Tidak seperti dua tamu
terdahulu, yang satu ini datang tanpa memakai kain cadar dan sikapnya tampak
konyol urakan.
Empat tombak segera diangkat
dan siap menambus pemuda berpakaian putih yang barusan datang ini.
“Harap ucapkan kata rahasia
yang sudah ditentukan!” kata pengawal yang tegak menghunus golok besar.
Tamu yang datang tidak segera
menjawab. Dia perhatikan si tinggi kekar di depannya lalu melirik pada empat
kawannya yang tegak sambil mementang tombak.
“Saya akan bertanya sekali
lagi! Kalau tidak bisa menjawab kau akan kami bunuh!” kata pengawal di hadapan
tamu muda yang barusan datang.
Pemuda itu garuk-garuk
kepalanya. Dia mengingat-ingat.
“Ah, sialan benar. Aku lupa
sandi yang harus dikatakan itu….”
“Kalau begitu bersiaplah untuk
mati! Kau penyusup yang tidak diundang!”
Pengawal di sebelah depan
angkat tangannya yang memegang golok. Dia juga memberi isyarat pada empat
temannya. Maka empat tombak segera hendak dilemparkan ke arah tubuh pemuda itu.
“Tunggu dulu! Sabar sedikit.
Aku sedang coba mengingat! Nah, aku ingat sekarang! Kata rahasia itu Malam
gelap. Tak ada bintang tak ada bulan! Betul begitu?!”
Lima tangan yang mencekal
senjata diturunkan. Si pemuda tertawa lebar lalu garuk-garuk lagi kepalanya.
Ditepuk-tepuknya bahu pengawal di depannya seraya berkata. “Kau dan
kawan-kawanmu bekerja baik. Aku akan beritahu pada atasanmu di dalam agar
memberikan gaji tambahan.”
“Terima kasih, terima kasih….”
Kata lima pengawal sambil menjura lalu mereka menepi memberi jalan. Yang satu
membuka pintu lalu mempersilahkan pemuda gondrong itu masuk. Yang dipersilahkan
langsung saja nyelonong ke dalam rumah.
Di dalam rumah kecil,
mengelilingi sebuah meja yang di atasnya ada sebuah lampu minyak nampak duduk
tiga orang lelaki. Yang pertama bertubuh tinggi kurus dengan rambut putih
keseluruhannya. Wajah dan sikapnya memancarkan wibawa yang tinggi. Orang ini
adalah Ganda Ariawisesa, Patih Kerajaan. Di samping kirinya seorang lelaki
berkumis tebal, berwajah agak garang. Dialah tadi yang datang dengan memakai
cadar. Namanya Cemani Tanduwisoka. Dia dikenal sebagai orang penting dalam
kerajaan dan menduduki jabatan Wakil Kepala Pasukan Kerajaan. Orang ketiga yang
duduk di sebelah kanan Patih Ganda Ariawisesa adalah salah seorang tangan kanan
sang Patih tanpa ada jabatan dalam Kerajaan. Usinya hampir setengah abad.
Dia mempunyai hubungan baik
dengan semua pejabat Istana dan juga diketahui berhubungan dekat dengan para
tokoh rimba persilatan di kawasan Barat pulau Jawa. Namanya Brambang Santika.
Ketiga orang itu tampak bebas
dari rasa gelisah mereka ketika melihat orang terakhir yang mereka tunggu telah
muncul dan seperti biasanya dengan sikap konyolnya. Setelah memberi hormat pada
orang-orang yang duduk di sekeliling meja, tamu paling muda ini mengambil
tempat duduk di depan Patih Ganda Ariawisesa.
“Kami gembira melihat kau
datang, Pendekar 212.”
Tamu yang terakhir datang
mengangguk lalu menjawab. “Saya hanya mewakili guru Eyang Sinto Gendeng. Semua
di sini sudah tahu bahwa beliau berhalangan datang dan minta disampaikan salam
maaf.”
Patih Ganda Ariawisesa balas
mengangguk.
“Waktu kita tidak banyak.
Karena kita sudah berkumpul semua maka saya kira kita bisa segera mulai
pertemuan rahasia ini.” Patih Kerajaan membuka pembicaraan. “Seperti diketahui
sudah bocor rahasia bahwa Kepala Pasukan Kerajaan dibantu oleh beberapa orang
culas tengah menyusun rencana keji hendak merampas tahta Kerajaan dari tangan
Sang Prabu. Raja sendiri saat ini masih belum tahu. Kita, sebagai orang-orang
yang setia pada Sang Prabu dan Kerajaan harus menggagalkan rencana busuk itu.
Namun Kepala Pasukan yang hendak berkhianat itu memiliki kekuatan dan pendukung
yang cukup kuat. Karenanya dalam bertindak kita harus sangat berhati-hati. Yang
terutama harus dihindari ialah terjadinya pertumpahan darah sesama kita. Saya
sudah menugaskan Cemani Tanduwisoka untuk terus memperhatikan gerak-gerik
Kepala Pasukan Kerajaan. Kelompok-kelompok yang diketahui membantunya harus
dipindah atau dipecah hingga keakuan mereka menjadi berkurang. Lalu sahabat
saya Brambang Santika telah pula meminta bantuan beberapa tokoh silat, baik di
dalam maupun di luar Istana untuk membantu menyelamatkan Sang Prabu dan
Kerajaan. Kami bertiga disini sudah sama setuju untuk minta batuan Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede. Dan kami bersyukur bahwa orang sakti itu telah
bersedia mengutus murid tunggalnya. Sahabat Brambang Santika dan kau Pendekar
212, kalian kebagian tugas paling berat. Yaitu mengawasi gerak-gerik para tokoh
silat di dalam dan di luar Istana yang sudah diketahui jelas membantu gerakan
Kepala Pasukan Kerajaan. Kalian berdua diberi wewenang untuk turun tangan
sampai pada kewenangan untuk menangkap bahkan membunuh mereka. Saya yakin kita
akan dapat menggagalkan kelompok orang-orang khianat itu. Namun saat ini terus
terang ada satu hal yang mengganggu pikiran saya….”
“Coba dikatakan saja Patih.
Siapa tahu kami dapat membantu,” kata Brambang Santika.
“Seperti kalian tahu, putera
tunggal saya kawin dengan Wini Kantili, putri dari Giri Arsana, tokoh silat
Jawa Barat yang bergelar Dewa Berpayung Hitam. Besan saya ini sejak beberapa
bulan lalu tiba-tiba saja lenyap. Tak seorangpun tahu dimana dia berada.
Sesuatu pasti telah terjadi dengan dirinya. Kalau dia memang sudah meninggal
tentu ada kuburnya. Saya dan atas permintaan anak menantu saya sudah menebar
orang menyirap kabar dan menyelidiki. Namun dimana tokoh silat itu berada masih
gelap. Kabar yang disirap oleh orang-orang saya ialah bahwa seorang nenek sakti
juga tengah mencari-cari Giri Arsana. Tampaknya seperti ada silang sengketa
besar antara besan saya dengan perempuan tua itu. Konon dia telah membunuh
istri Giri Arsana dan menculiknya….”
“Tambahan berita buruk, Paman
Patih,” memotong Pendekar 212. “Orang yang sama belum lama ini telah membunuh
dan menculik Ketua Perguruan Silat Melati Putih yaitu Sampan Gayana yang adalah
putera ke empat Giri Arsana, kaka kandung menantu Paman Patih….”
Paras Patih Kerajaan jadi
berubah. “Kalau begitu berarti seluruh keluarga dan turunan Giri Arsana berada
dalam bahaya besar. Bahaya maut! Dari mana kau mendapat berita itu Pendekar
212?” tanya sang Patih.
Wiro lantas menuturkan kisah
kedatangannya ke Perguruan Silat Melati Putih.
“Pembunuhnya seorang nenek
berwajah tengkorak. Lima jari tangannya bisa mengeluarkan kuku hitam panjang….”
Patih Ganda Ariawisesa berdiri
dari tempat duduknya. “Berarti nenek pembunuh itu adalah Sriti Gandini alias
Sepuluh Kuku Iblis!” katanya hampir berteriak.
“Tapi bukankah perempuan itu
sudah lama diketahui mati?” ujar Brambang Santika yang tahu banyak tentang
dunia persilatan.
Cemani Tanduwisoka menyeling.
“Jangan-jangan dia hanya melenyapkan diri untuk sementara. Mungkin membekal
suatu maksud tertentu.”
“Boleh jadi,” kata Patih
Kerajaan. “Namun yang saya tidak mengerti, ada sebab musabab apa Sepuluh Kuku
Iblis membunuhi anak keturunan Giri Arsana?”
“Setahu saya di masa muda dulu
antara Giri Arsana dan Sriti Gandini ada hubungan percintaan,” kata Brambang
Santika.
Pendekar 212 lantas ikut
bicara. “Soal perempuan tua itu jika semua disini setuju biar saya dan Paman
Brambang Santika yang mengurus. Hanya yang perlu dipikirkan ialah keselamatan
menantu perempuan Paman Patih yaitu Wini Kantili.”
“Kau betul Pendekar 212,” kata
Patih Kerajaan. “Saya akan menaruh pengawalan ketat atas dirinya….”
Wiro mengangguk. “Tapi harap
jangan lupa ungkapan Belum dapat anak ular kandangnyapun kalau perlu dirusak”
“Apa maksudmu Pendekar 212?”
tanya Patih Kerajaan pula.
“Jika pembunuh tidak dapat
menembus tembok pengawalan puteri Paman
Patih, bukan mustahil dia akan
membunuh putera Paman Patih lebih dulu….”
Patih Ganda Ariawisesa
mengangguk-angguk “Terima kasih, kau mempunyai pikiran sedalam dan sejauh itu.”
“Untuk saat sekarang ini saya
usulkan agar anak dan menantu Paman Patih diungsikan ke satu tempat yang aman.
Dan tentunya dalam penyamaran hingga sulit diketahui orang.”
“Saya akan mengatur hal itu
sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya,” kata Ganda Ariawisesa. “Sekarang mari
kita kembali pada penanganan orang-orang khianat yang hendak memberontak.
6
Suami istri petani muda itu
duduk bercakap-cakap di bawah pohon di depan kebun sayur mereka yang luas. Saat
itu menjelang sore. Keduanya tampak gembira karena sesekali pembicaraan
diseling dengan gelak tawa.
“Lucu juga kita berpura-pura
jadi petani begini,” kata yang lelaki.
Sang istri menjawab. “Yang
jadi pertanyaan sampai berapa lama kita harus menyamar seperti ini?”
“Mudah-mudahan saja nenek
jahat itu lekas dibekuk,” sahut sang suami. Kedua suami istri petani ini bukan
lain adalah Wini Kantili puteri Patih Ganda Ariawisesa dengan suaminya Raden
Sabrang Winata. Seperti telah direncanakan, guna menyelamatkan kedua orang ini
dari Sepuluh Kuku Iblis maka mereka diungsikan ke pinggiran Kotaraja, menyamar
sebagai suami istri petani. Selain itu tentu saja penjagaan tersamar dilakukan.
Belasan prajurit Kepatihan serta beberapa tokoh silat siang malam bergantian
menjaga keselamatan kedua orang itu. Brambang Santika sewaktu-waktu muncul
untuk memeriksa keadaan. Sementara itu Patih Ganda Ariawisesa dan Wakil Kepala
Pasukan Kerajaan Cemani Tanduwisoka telah berhasil memecah kekuatan mereka yang
berniat melakukan pemberontakan. Beberapa kelompok besar pasukan yang dapat
dipengaruhi kaum pemberontak dipindahkan jauh ke pinggiran Kotaraja lalu
diganti dengan pasukan-pasukan yang setia pada Sang Prabu.
Tindakan ini rupanya tercium
oleh Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan yang merencanakan perebutan tahta.
Maka diam-diam dia segera mengatur siasat.
Satu demi satu direncanakannya
untuk membunuh para pejabat dan tokoh Kerajaan yang setia pada Sang Prabu.
Dalam daftar yang akan dibunuh tentu saja termasuk nama Patih Kerajaan, Wakil
Kepala Istana.
Gerakan kaum pemberontak
rupanya mulai berhasil. Dua hari kemudian Istana dilanda kegegeran karena dua
orang tokoh silat ditemukan mati keracunan!
Kembali pada Raden Sabrang
Winata dan Wini Kantili. Kedua suami istri ini bersiap-siap meninggalkan kebun
ketika langit sebelah Timur kelihatan tertutup asap kelabu. Diantara warna
kelabu itu kelihatan warna merah sesekali menjulang ke langit.
“Ada kebakaran di arah
Kotaraja,” kata Raden Sabrang dengan perasaan kawatir. Istrinya juga tampak
gelisah. Pada saat itu dua orang pengawal muncul, disusul oleh seorang tua
berpakaian berbentuk jubah hitam. Orang ini adalah salah satu dari tiga tokoh
silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal kedua suami istri itu.
“Raden Sabrang, saya mendapat
kabar sedang terjadi kebakaran dekat istana. Saya dan beberapa pengawal akan
segera menuju Kotaraja. Yang lain-lain tetap berjaga-jaga di sini. Harap Raden
berdua jangan kemana-kemana. Masuk saja ke dalam.”
“Pergilah dan kembali dengan
cepat,” jawab Raden Sabrang Winata. Dia membimbing istrinya menuju ke rumah.
Namun baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh,
disusul dengan nyanyian
Yang berdosa berpura lupa
Berlagak bodoh seolah gagah
Kalau tak muncul perlihatkan
dada
Anak turunan kujadikan mangsa
Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak ke empat
Hari ini menyusul anak yang
bungsu
Kubur di Pulau sudah menunggu
Belum habis kejut Raden
Sabrang dan Wini Kantili, tiba-tiba sesosok tubuh nenek berwajah angker sudah
tegak di depan mereka.
“Hik…hik…hik! Kalian pandai
menyamar. Tapi jangan kira aku bisa ditipu!
Sumpah sudah jatuh! Seluruh
turunan Giri Arsana harus mati di tanganku! Kecuali manusia biang racun itu
muncul unjukkan diri menerima kematian!”
Raden Sabrang cepat memegang
bahu istrinya dan menyuruh Wini Kantili berdiri di depannya. Dia lalu
menghadapi si nenek. Lelaki ini sudah dapat menduga siapa adanya nenek bermuka
tengkorak di hadapannya itu.
“Kau pasti manusia yang
berjuluk Sepuluh Kuku Iblis! Si pembunuh kejam orang-orang tak berdosa! Kau
telah membunuh kakak Sampan Gayana dan ibu mertuaku! Sekarang kau menginginkan
jiwa istriku! Sungguh keji! Apa salah kami semua?!”
Sriti Gandini alias Sepuluh
Kuku Iblis kembali tertawa panjang. “Kalian memang tidak punya dosa. Tapi
kalian menanggung dosa turunan! Dosa bapak moyangnya yang bernama Giri Arsana
itu!”
Dua bayangan berkelebat.
Disusul dengan gerakan-gerakan cepat. Lebih dari sepuluh orang pengawal
mengurung si nenek dan di kiri kanannya tegak dua orang tokoh silat Istana.
Salah seorang dari tokoh ini membentak.
“Perempuan sedeng! Lekas
minggat dari sini atau kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
Sepuluh Kuku Iblis mendongak
lalu kembali tertawa panjang. Perlahan-lahan bersamaan dengan sirapnya suara
tawanya dia palingkan kepala pada orang yang barusan menghardiknya. Telunjuk
kirinya ditudingkan tepat-tepat ke muka tokoh silat itu.
“Lelaki jelek! Aku tahu siapa
dirimu! Bukankah kau kunyuk yang bernama Camar Wungu, manusia sombong bergelar
Si Tangan Besi?! Hi…hik…hik. Aku mau lihat bagaimana sepasang tangan besimu
hendak mematahkan batang leherku!”
Lalu si nenek melangkah ke
hadapan tokoh silat Istana itu sambil sorongkan kepalanya. Camar Wungu jadi
kaget sekaligus merasa marah ditantang begitu rupa.
Kedua tangannya seta merta
tampak berubah menjadi kecoklat-coklatan dan keras laksana batang besi.
“Manusia keparat! Kau memang
minta mampus!” Dua tangan Camar Wungu bergerak laksana kilat. Dalam sekejapan
saja sepuluh jari tangannya sudah mencengkeram batang leher si nenek dan
mematahkannya!
Yang terdengar kemudian bukan
jeritan si nenek melainkan jeritan Camar Wungu. Cekikannya terlepas. Kedua
matanya mendelik dan tubuhnya terhuyunghuyung.
Wini kantili menjerit sewaktu
menyaksikan apa yang terjadi dengan tokoh silat Istana itu. Perutnya robek
besar. Darah muncrat dan ususnya membusai mengerikan. Nyawanya tidak tertolong
lagi!
“Manusia jahanam!” teriak
tokoh silat yang satu lagi. Dia hunus senjatanya yaitu sebilah pedang pendek.
Lalu menyerang. Beberapa orang pengawal ikut melompat dengan senjata di tangan.
Si nenek menyambut serangan
itu dengan tawa melengking. Tubuhnya berkelebat. Lima jari tangannya melesat ke
depan. Lalu pekik terdengar susul menyusul. Lima orang berkapar di tanah. Salah
satu diantaranya tokoh silat tadi.
Mereka yang masih hidup
menjadi leleh nyalinya dan tertegun tak berani bergerak.
Kesempatan ini dipergunakan
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis berkelebat menyambar tubuh Wini Kantili.
Suaminya coba menghalangi dengan berusaha menjambak rambut nenek itu. Tapi satu
pukulan pada perutnya membuat dia terlipat lalu roboh ke tanah. Di lain saat
terdengar jeritan Wini Kantili. Muka dan dadanya berlumuran darah oleh lima
guratan luka yang dalam!
Raden Sabrang cepat bangkit
dan berusaha mengejar ketika dilihatnya si nenek hendak melarikan istrinya.
Tapi lagi-lagi hantaman si nenek membuatnya jatuh tergelimpang ke tanah. Kali
ini tak bangkit lagi karena tulang dadanya melesat remuk dan dia mengalami
kesulitan bernafas.
“Win…. Wini….!” Memanggil
Raden Sabrang. Dia berusaha berdiri mengejar tapi roboh lagi.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa
melengking. Tubuh Wini Kantili yang berada dalam keadaan luka parah dan sekarat
dipanggulnya di bahu kiri. Dia memandang berkeliling lalu melompat ke arah
matahari tenggelam. Namun gerakannya tertahan.
Ada dorongan angin dahsyat
datang dari depan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Tubuh Wini Kantili yang ada di
panggulannya hampir terlepas. Si nenek berseru marah sambil melompat ke kiri.
Dia balas menghantam. Tapi ketika melihat wajah orang yang menghadangnya, kedua
matanya jadi terbeliak, hatinya berdenyut penuh rasa tidak percaya. Dia
membatin. “Apakah ini hanya satu kebetulan atau manusia keparat itu memang
hidup kembali? Tapi bagaimana bisa semuda ini?!”
“Perempuan jahat! Jangan harap
kali ini kau bisa membunuh dan kabur seenaknya! Turunkan puteri Patih itu
cepat!” Pemuda di depan si nenek membentak.
“Siapa kau?!” si nenek balas
menghardik.
“Aku utusan dari neraka yang
datang untuk mengambil nyawa busukmu!” jawab si pemuda.
“Gila!” kata si nenek lagi
dalam hati. “Ucap dan lagaknya persis sama dengan si keparat itu! Bagaimana ada
dua manusia bisa mirip satu sama lain?!”
“Jangan kau berani bergurau di
hadapan nenek moyangmu! Lekas menyingkir atau kau jadi korbanku berikutnya saat
ini juga!”
Yang diancam garuk-garuk
kepala dan menyeringai lalu maju selangkah. Si nenek angkat tangan kanannya
siap untuk menghantam. Tapi entah mengapa tiba-tiba saja ada rasa tidak enak
dalam hatinya. Tangannya diturunkan kembali. Kesempatan ini dipergunakan si
pemuda untuk melompat coba merampas tubuh Wini Kantili. Kali ini si nenek tidak
bisa berbuat lain. Dia cepat mengelak ke kiri lalu kirimkan tendangan kaki
kanan. Tapi luput karena yang diserang sudah lebih dulu mengelak dan membalas
dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Sepuluh Kuku Iblis keluarkan
pekik melengking. Tubuhnya lenyap. Tangan kanannya mencakar ke depan. Namun
aneh, sekali ini dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya. Hanya saja serangannya
ini kini mengerahkan lebih dari separuh tenaga dalamnya. Akibatnya si pemuda
merasa seperti disambar angin topan. Tubuhnya terpental. Dada pakaiannya robek.
Selagi dia mencoba mengimbangi diri agar tidak jatuh, nenek berwajah tengkorak
itu kembali menyerbu dengan cakaran ke wajah lawan, tapi lagi-lagi dia tidak
keluarkan kuku-kuku iblisnya.
Dalam keadaan terdesak si
pemuda menghantam sambil kerahkan tenaga dalam. Terdengar suara angin menderu
dahsyat. Si nenek terkejut dan berseru. “Jurus dibalik gunung memukul
halilintar!” Lalu dia cepat batalkan serangannya dan menyingkir mundur dengan
mata mendelik.
Si pemuda yang tentunya adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkejut ketika mendengar lawan menyebut dengan
tepat jurus pukulan yang dilancarkannya.
“Jadi kau….. Jadi kau manusia
yang berjuluk Pendekar 212 itu!” kata si nenek dengan mata masih melotot. Dalam
hati dia lagi-lagi membatin. “Ah, mengapa wajahnya begitu sama.
Kepandaiannyapun tak kusangka begini hebat! Dia bisa berbahaya. Tapi bagaimana
ini! Aku tidak tega mencelakainya! Lebih baik aku lekas pergi dari sini!”
Si nenek keruk saku pakaiannya
mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam.
Murid Eyang Sinto Gendeng yang
sudah punya banyak pengalaman segera tahu benda apa yang ada di tangan si
nenek. Dia coba merampas tapi terlambat. Benda itu telah lebih dulu
dibantingkan Sepuluh Kuku Iblis ke tanah. Terdengar letupan halus. Lalu asap
tebal menggebubu menutup pemandangan sejarak tiga tombak persegi.
Wiro batuk-batuk dan cepat
menyingkir. Ketika asap tebal lenyap, si nenek bersama sosok Wini Kantili yang
dipanggulnya tidak kelihatan lagi di tempat itu!
Pendekar 212 cepat mendatangi
sosok Raden Sabrang yang sedang sekarat terkapar di tanah.
“Raden….”
“Kejar….. Kejar perempuan
iblis itu. Dia melarikan Wini. Tolong istriku…..”
“Terlambat. Tak mungkin
dikejar. Kecuali ada yang tahu kemana perempuan itu membawa istri Raden,” jawab
Wiro lalu dia menotok tubuh Raden Sabrang di beberapa tempat. Totokan ini tak
mungkin menyelamatkan jiwa putra Patih Kerajaan itu. Namun paling tidak dapat
mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
“Aku…aku mendengar dia
menyebut-nyebut Pulau…..” kata Raden Sabrang.
Pemandangannya mulai berkunang
dan gelap.
“Pulau apa…? Pulau apa Raden?
Katakan cepat!”
“Dia hanya menyebut Pulau.
Tidak tahu….” Ucapan Raden Sabrang terputus. Kepalanya terkulai. Nyawa lepas
sudah.
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala. Dia memandang ke arah matahari yang akan segera tenggelam. “Pulau….?
Pulau apa? Ada banyak pulau di pantai Utara. Satu yang terbesar Pulau Rakata.
Mungkin nenek itu membawa korbannya ke sana? Tapi untuk apa…?
Selagi Pendekar 212
berpikir-pikir tiba-tiba dari arah Barat terdengar gemuruh suara derap kaki
kuda banyak sekali. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat palingkan kepala. Lalu dia
melihat rombongan orang-orang itu. Di sebelah depan adalah Patih Ganda
Ariawisesa. Di sebelahnya Cemani Tanduwisoka. Di sebelah belakang menyusul
Brambang Santika bersama dua orang tokoh silat Istana. Lalu di sebelah belakang
lagi puluhan perajurit Kerajaan.
Melihat Wiro berdiri di tempat
itu Patih Kerajaan mengangkat tangan memberi tanda agar rombongan berhenti. Dia
hendak mengatakan sesuatu pada Wiro namun berteriak keras ketika melihat
mayat-mayat yang berkaparan, dua diantaranya adalah tokoh silat Istana yang
ditugaskan untuk mengawal putera dan menantunya. Di sebelah sana malah tampak
pula sosok tubuh Raden Sabrang terkapar tak bergerak lagi.
“Gusti Allah! Apa yang
terjadi?!” teriak Patih Ganda Ariawisesa lalu melompat turun dari kuda.
Tubuh Patih Kerajaan ini
bergetar keras menyaksikan kematian puteranya itu.
Dia duduk bersimpuh di tanah
dan meletakkan kepala Raden Sabrang di atas pangkuannya sambil menangis
terisak.
“Mana Wini menantuku?!”
teriaknya Sang Patih kemudian.
“Perempuan berjuluk Sepuluh
Kuku Iblis yang menculiknya,” menerangkan Wiro.
“Ya Tuhan…” Patih Ganda
Ariawisesa merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Tubuhnya terhuyung-huyung
dan hampir jatuh kalau tidak lekas dipegang oleh Wiro.
“Wini… Ya Tuhan…. Tolong dia. Selamatkan
dia…”
Brambang Santika saat itu
telah pula turun dari kudanya. Sambil memegang bahu sang Patih dia berkata “Ada
pengkhianat di antara kita. Kalau tidak bagaimana mungkin Sepuluh Kuku Iblis
mengetahui menantu dan puteramu berada di tempat ini!”
Sang Patih turunkan kedua
tangannya. Sepasang matanya tampak merah.
“Kau benar sahabatku. Ada
pengkhianat di antara kita. Tapi siapa?!”
“Kelak musuh dalam selimut itu
akan kita ketahui juga. Dia tidak bakalan lolos! Saya berjanji akan mengorek
jantungnya dengan tangan saya sendiri!” kata Brambang Santika pula sambil
mengepalkan tinju kanan.
Wakil Kepala Pasukan Kerajaan
yang masih tetap berada di atas punggung kudanya berkata untuk pertama kali.
“Paman Patih, kau harap di sini saja. Biar kami yang meneruskan pengejaran
terhadap Pagar Paregreg selagi dia masih belum jauh.”
“Tidak! Aku tetap akan
mengejar si Pengkhianat itu!” jawab Patih Ganda Ariawisesa lalu berpaling pada
Wiro. “Pendekar 212. Harap kau suka membantu mengurus jenazah puteraku dan yang
lain-lainnya.”
Wiro garuk-garuk kepala lalu
mengangguk.
7
Sriti Gandini alias Sepuluh
Kuku Iblis duduk termenung di tepi kawah Gunung Krakatau. Di atasnya tujuh buah
batang kelapa kini tiga di antaranya telah berisi mayat yang diawetkan. Yang
pertama istri Giri Arsana. Yang kedua mayat anak lelakinya yaitu anak yang
keempat dan yang ketiga anak bungsunya yaitu Wini Kantili.
Yang dipikirkan si nenek kini
bukan meneruskan rencananya mencari turunan Giri Arsana yang lain guna
memancing orang yang paling dibencinya itu keluar dari persembunyiannya.
Pikiran dan ingatan serta kenangan si nenek kini justru pada murid Eyang Sinto
Gendeng Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Sulit! Gila dan tidak dapat
dipercaya!” katanya berulang kali dalam hati.
“Bagaimana ada kenyataan bahwa
wajah pemuda itu persis sama dengan wajah Giri Arsana sewaktu dia masih muda?
Bukan cuma wajah, lagak dan cara dia bicarapun begitu mirip. Kalau saja aku
masih muda….” Sesaat wajah si nenek tampak menjadi merah. Dia mengusap muka
tengkoraknya berulang kali. Menyadari keadaan dirinya kedua matanya tampak
berkaca-kaca. “Gila!” dia memaki lagi dalam hati.
“Tak mungkin aku harus jatuh
cinta pada pemuda itu! Usiaku paling tidak tiga kali usianya. Lalu wajahku yang
begini angker! Tubuhku yang kurus kering rongsokan! Tapi gila! Mengapa aku
terus teringat padanya! Ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya membahayakan
diriku! Bisa-bisa aku celaka di tangannya sebelum sempat menuntut balas
terhadap Giri Arsana! Dan lebih celaka lagi mengapa aku seperti tidak tega
menjatuhkan tangan keras terhadapnya. Apa lagi membunuhnya! Aku harus
menghindari pemuda itu. Lain halnya kalau Giri Arsana sudah mampus di tanganku.
Mungkin aku bisa mencari
seseorang yang bisa merubah raut wajah dan keadaan tubuhku. Lalu kucari pemuda
itu. Akan kucintai dia seperti ketika aku mencintai Giri Arsana di waktu muda!
Gila! Tidak! Aku tidak akan menyamakan dirinya dengan Giri Arsana. Pemuda ini
pasti jauh lebih baik. Buktinya dia berusaha menyelamatkan anak dan menantu
Giri Arsana. Ah, mengapa aku dilahirkan terlalu cepat ke dunia ini….”
Sepanjang malam itu si nenek
duduk merenung di tepi kawah Gunung Krakatau. Dia bahkan tertidur di situ
sampai pagi. Ketika sinar sang surya menghangati wajah dan tubuhnya baru dia
terbangun. Begitu bangun ingatannya kembali tertuju pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendaki lereng kawah, naik ke atas.
Sinar matahari pagi tepat jatuh di kedua matanya sehingga pemandangannya silau
terganggu. Namun ketika dia mencapai bagian atas kawah, meskipun dalam keadaan
silau kedua matanya masih dapat melihat ada seseorang tegak di hadapan deretan
tujuh batang kelapa berlubang. Si nenek lindungi matanya dengan telapak tangan
menghindari silaunya sinar matahari. Kini dia dapat melihat siapa adanya orang
itu dan dia jadi terkejut hingga berseru.
“Kau!”
Orang yang tegak di depan
deretan batang kelapa itu tampak tenang-tenang saja. Sesaat kemudian baru dia
menjawab.
“Akhirnya kutemui juga kau!
Tidak meleset dugaanku kalau kau memang berada di Pulau Rakata ini. Yang aku
cuma heran mengapa kau melakukan semua kegilaan ini?!”
“Pendekar 212, apapun yang
kulakukan adalah urusanku sendiri. Bukan urusanmu ataupun urusan orang lain!”
Murid Eyang Sinto Gendeng
gelengkan kepala. “Jika pembunuhan terjadi atas diri orang-orang tak berdosa,
apalagi sampai menyangkut kematian menantu dan putera Patih Kerajaan maka
urusan menjadi urusan semua orang. Menjadi urusan orang-orang rimba
persilatan!”
“Kentut busuk!” teriak si
nenek muka tengkorak. “Apakah kalian orang-orang persilatan juga mau tahu apa
yang dilakukan orang terhadap diriku? Derita sengsara apa yang kualami selama
hidupku!”
“Harap maafkan. Kalau kau
menyebut hal itu aku mana tahu. Orang lain juga tidak mau tahu menyangkut
urusan pribadimu…”
Si nenek tersenyum.
“Pasti…Memang selalu begitu akan kudengar ucapan orang! Munafik! Semua
munafik!”
“Nenek….Coba kau terangkan
mengapa kau membunuh ke tiga orang ini, lalu menculiknya. Mengawetkan tubuh
mereka lalu memasukkannya ke dalam lubang-lubang batang kelapa ini!” bertanya
Wiro.
“apa perdulimu! Justru kau
yang harus menjawab pertanyaanku! Ada perlu apa kau datang ke tempat ini?
Menyelidik dan mengejarku?! Kau tahu Gunung Krakatau adalah daerah kekuasaanku.
Neraka bagi siapa saja yang berani datang kemari. Menginjakkan kaki di sini
berarti mati! Termasuk aku!”
Wiro menatap wajah tengkorak
sesaat. Hal ini membuat dada si nenek jadi berdebar. Kenangan lama di masa muda
membuat dirinya seolah terbakar. Perlahan-lahan dia alihkan pandangan matanya
ke tempat lain. Seperti dia tidak kuasa balas menatap pandangan mata pemuda di
hadapannya itu.
“Terus terang aku memang
menyelidik dan mengejarmu. Penyelidikan dan pengejaranku berakhir sampai di
tepi kawah ini. Sekarang aku meminta padamu agar menghentikan semua kegilaan
ini! Jika kau punya dendam kesumat terhadap seseorang, bukan begini caranya
membalas sakit hati!”
“Hemm… ucapanmu terdengarnya
bagus sekali. Kau punya hati kemanusiaan yang tinggi! Tapi dengan caramu itu
kau membela orang lain dan mencelakai diriku!”
“Aku tidak mencelakakan
siapa-siapa. Aku akan segera meninggalkan tempat ini tapi dengan membawa ketiga
mayat ini. Kau harus menolongku menggotongnya ke pantai dan memasukkannya ke
dalam perahu.”
Si nenek melongo lalu tertawa
mengekek. “Aku bukan kacungmu! Jika kau inginkan ketiga mayat itu silahkan
ambil! Tapi jangan lupa. Tinggalkan dulu nyawamu di Pulau Rakata ini!”
“Ini pembicaraan dan urusan
gila tidak akan habis-habisnya!” kata Wiro masih bisa menyeringai. “Kau mau
menolongku membawa mayat-mayat ini ke pantai? Cukup dengan menyeret batang
kelapanya saja”
“Aku ingin membunuhmu!” jawab
si nenek. Kata-kata itu diucapkannya dengan hati perih karena di lubuk hatinya
dia tidak tega membunuh pemuda ini.
Wiro yang sadar bahwa
perkelahian tak mungkin dihindari lagi segera memasang kuda-kuda. Begitu si
nenek menyerbu dia menghantam dengan pukulan “segulung ombak menerpa karang”
Si nenek yang sudah tahu
kehebatan lawannya tidak mau kalah. Dia dorongkan kedua tangannya ke arah Wiro.
Dua gulung angin melesat didahului oleh suara keras. Sedang dari mulutnya nenek
muka tengkorak itu keluarkan suara seperti lolongan srigala yang menggidikkan.
Pendekar 212 tersentak kaget
ketika melihat bagaimana pukulan saktinya musnah dihantam dua gelombang angin
serangan lawan. Pemuda ini cepat menghantam dengan dua serangan sekaligus.
Tangan kiri melepas pukulan “kunyuk melempar buah” sedang tangan kanan
menghantamkan pukulan “kilat menyambar puncak gunung!”
Sepuluh Kuku Iblis berteriak
keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan. Di lain saat Wiro melihat ada lima
larik sinar hitam membabat ke arahnya! Si nenek rupanya sudah keluarkan ilmu
kesaktian yang paling diandalkannya yaitu kuku-kuku iblis!
Wiro cepat menyingkir. Tapi
breeeettt! Baju putihnya masih sempat disambar hingga robek besar di bagian
dadanya. Selagi dia terkesiap kaget begitu rupa si nenek kembali menyambar
dengan lima kuku mautnya. Kali ini Wiro tidak berkesempatan untuk menghindar.
Sesaat lagi lima kuku itu akan merobek muka Pendekar 212 si nenek tiba-tiba tarik
pulang tangannya. Rasa cintanya yang aneh membuat dai tidak tega meneruskan
serangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng
cepat melompat ke depan dan susupkan satu pukulan keras ke dada si nenek.
Sepuluh Kuku Iblis menjerit setinggi langit. Salah satu tulang iganya remuk.
Tubuhnya terpental ke tepi kawah. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya.
Tapi hebatnya perempuan tua ini bangkit berdiri dengan cepat. Sepasang matanya
seperti menyala.
“Bodoh! Terlalu bodoh aku
menanamkan rasa suka terhadap pemuda ini! Aku menyukainya tapi dia inginkan
nyawaku! Lebih baik mati sama-sama!” kata Sepuluh Kuku Iblis dalam hati. Dia
ulurkan kedua tangannya. Sepuluh kuku ini tampak mencuat mengerikan ke arah
Wiro. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendekati Wiro. Mulutnya komat-kamit
membaca mantera. Tiba-tiba dia menghantam ke depan.
Sepuluh larik cahaya hitam
menyambar. Wiro yang sudah menunggu membalas serangan lawan dengan “pukulan
sinar matahari.” Cahaya putih panas dan menyilaukan berkiblat.
Si nenek terdengar melengking
tinggi. Tubuhnya lenyap. Pukulan sinar matahari menghantam pinggiran kawah
hingga tanah kawah hancur terbang sampai setinggi lima tombak. Wiro merasakan
ada angin menyambar di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapi terlambat. Satu
dorongan angin yang sangat deras menghantam dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya
terpental dan jatuh ke dalam kawah!
Si nenek berseru kaget.
Menyesal menyaksikan bagaimana pukulan sakti yang dilepaskannya tadi dengan
mengandalkan seluruh tenaga dalamnya itu membuat mental si pemuda begitu rupa.
Dia melompat memburu sambil ulurkan tangan kanannya. Berusaha menangkap
pergelangan kaki kiri Wiro. Namun terlambat tak ada gunanya. Tubuh murid Eyang
Sinto Gendeng itu telah melayang jatuh menuju kawah Gunung Krakatau yang
mendidih!
Si nenek hanya bisa tertegun
di tepi kawah. Tubuhnya lemas. Kedua matanya dipejamkan. Perlahan-lahan dia
terduduk di tepi kawah dengan sepasang mata berkaca-kaca.
“Aku begitu menyukainya. Tapi
dia keliwat memaksa. Menyesal aku menurunkan tangan keras padanya. Lebih baik
aku mati saja menysulnya!” Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis tiba-tiba
berdiri dan siap hendak melompat menghambur kawah Gunung Krakatau. Namun
seperti ada suara yang mengiang di telinganya. “Tak ada gunanya mati bagimu!
Kematianmu hanya akan memberi peluang bagi orang yang sangat kau benci itu bisa
kembali hidup bebas di dunia ini! Jangan jadi orang tolol!”
“Keparat!” si nenek memaki.
“Hampir aku tertipu oleh kebodohanku sendiri!”
Dia menatap ke arah kawah di
kejauhan sana. Lalu perlahan-lahan diputarnya tubuhnya.
“Tiga nyawa sudah kukirim ke
neraka. Menyusul kini nyawa ke empat, kelima dan ketujuh! Masakan keparat itu
tidak akan keluar dari persembunyiannya! Manusia busuk! Lelaki pengecut!”
8
Goa itu terletak di kaki timur
Gunung Karang. Bagi orang yang tidak tahu seluk beluk daerah sunyi dan jarang
didatangi manusia itu pasti tidak akan mengetahui kalau di situ terdapat sebuah
goa. Apalagi goa ini terlindung oleh sederetan pohon jati tua dan mulutnya
tertutup oleh semak belukar lebat.
Di kawasan kaki gunung yang
sunyi senyap itu tiba-tiba menggelegar suara auman binatang buas. Seekor
harimau raksasa berwarna kuning belang hitam, mendekam di tanah. Tengkuknya
merunduk, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi dan taring-taringnya yang
besar runcing mengerikan. Binatang ini siap melompati sesosok tubuh yang tegak
di hadapannya. Orang yang bakal menjadi mangsa raja rimba itu adalah seorang
nenek bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam. Sekujur daging tubuhnya hanya
tinggal kulit pembalut tulang. Termasuk kulit mukanya hingga wajahnya tidak
beda seperti tengkorak hidup. Sepintas dia kelihatan seperti Sriti Gandini
alias Sepuluh Kuku Iblis. Tapi jika diperhatikan banyak kelainannya.
Nenek satu yang ada di rimba
belantara ini menghiasi kepalanya dengan lima buah tusuk kundai dari perak.
Kelima tusuk kundai itu tidak mungkin disisipkan pada rambut putihnya yang
sangat jarang. Karenanya benda-benda itu disusupkan pada kulit kepalanya! Sepasang
alisnya berwarna putih. Rongga mata dan kedua pipinya sangat cekung hingga
wajahnya jelas jauh lebih angker dari nenek yang bergelar Sepuluh Kuku Iblis!
Menghadapi harimau raksasa
yang siap menerkamnya si nenek tegak tenang-tenang saja. Malah sambil menyeringai
dia bolang-balingkan tongkat kayu di tangan kanannya. Gerakan tongkat ini
diikuti dengan pandangan mata liar harimau besar di hadapannya. Binatang ini
menggereng lalu mengaum keras membuat rimba belantara itu seperti bergetar.
Si nenek bukannya takut malah
tertawa mengekeh.
“Raja rimba!” katanya berseru.
“Apa untungnya menerkam diri tua bangka ini! Tubuhku tak berdaging lagi!
Tulangku keras dan a lot! Kau cari saja mangsa yang lain!”
Raja hutan kembali mengaum
seolah tahu apa yang diucapkan si nenek. Kedua kaki depannya dicakar-cakarkan
ke tanah. Mulutnya dibuka lebar-lebar.
“Kalau kau tidak mau mendengar
ucapanku, kau bakal menyesal!” seru si nenek lagi. Lalu tongkat yang
dipegangnya dilemparkan ke arah binatang buas itu.
Aneh, begitu dilempar tongkat
ini langsung memukul ke arah kepala harimau besar.
Pukulan yang cukup keras itu
membuat sang harimau kesakitan dan mengaum marah.
Sesaat dia jadi bingung apakah
akan terus menerkam si nenek atau menerkam tongkat.
Selagi dia kebingungan seperti
itu tongkat kembali menghantam kepalanya berulang kali. Pinggiran matanya
sebelah kiri robek dan mengucurkan darah. Tak tahan menderita sakit apalagi
tidak mampu berbuat apa terhadap tongkat itu harimau besar ini akhirnya
melarikan diri masuk ke dalam rimba belantara.
Si nenek ulurkan tangannya,
tongkat melayang masuk ke dalam genggamannya. Sambil meneyeringai dia memandang
berkeliling. Lama dia memperhatikan deretan pohon-pohon jati yang berusia
puluhan tahun di sekelilingnya.
“Goa itu seharusnya berada di
sekitar sini. Aneh….kenapa tidak kelihatan lagi? Tak mungkin lenyap begitu
saja!” si nenek berkata dalam hati. Kesal mencari-cari dan apa yang dicari
tidak bertemu akhirnya kembali perempuan tua ini pergunakan tongkatnya untuk
melakukan hal yang mustahil mampu diperbuat oleh orang lain. Tongkat di
tangannya perlahan-lahan berubah jadi lebih panjang. Dengan benda ini dia
menerabas kian kemari. Dalam sekejapan mata saja semak belukar di sekitar itu
habis rambas dibuatnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya berseru.
“Ooooooo…ooo! Itu dia!
Ternyata memang tidak lenyap!” Si nenek melompat kehadapan mulut goa yang kini
kelihatan jelas setelah semak belukar yang menutupinya dibabat habis dengan
tongkatnya tadi.
Sesaat si nenek tegak di depan
mulut goa. Kepalanya didongakkan sedikit lalu dia menghirup dalam-dalam.
Mulutnya menyeringai. Kemudian terdengar tawanya mengekeh.
“Aku mencium baumu tua bangka
jelek!” si nenek berteriak. “Dewa Berpayung Hitam! Aku tahu kau ada di dalam!”
Suara teriakan si nenek bergema
masuk ke dalam goa lalu muncul lagi di mulut goa secara aneh dan keras disertai
deru angin membuat si nenek tersentak.
“Kau tak mau menjawab! Jangan
coba menipuku! Kalau ku sulut api ke dalam goa kau bakal jadi tulang belulang
gosong! Beginikah sambutanmu menerima tamu yang datang dari jauh?!”
Dari dalam goa tiba-tiba
terdengar gema suara tawa mengekeh.
“Tamu yang banyak mulut! Aku
belum melihat tampangmu, belum tahu siapa kamu! Tapi silahkan masuk! Sudah enam
bulan lebih memang aku tidak pernah melihat manusia!”
Nenek di mulut goa batuk-batuk
lalu menerobos masuk ke dalam. Goa ini ternyata cukup dalam dan berkelok-kelok.
Tapi anehnya semakin ke dalam semakin terang. Akhirnya dia sampai di sebuah
mata air.
“Aneh, bagaimana bisa ada mata
air dalam goa ini!” kata si nenek. Dia menengadah ke atas. Di langit-langit goa
ada sebuah celah kecil. Dari sinilah cahaya matahari masuk menerangi bagian
dalam goa!
Nenek itu turunkan kepalanya
kembali. Pandangannya langsung tertuju ke seberang mata air dimana kelihatan
sebuah payung hitam lebar dan keadaan terbuka, terletak di lantai batu.
“Konyol!” si nenek memaki.
“Sudah diketahui orang kau berada di sini masih saja coba sembunyi di balik
payung! Kalau tidak lekas kau singkirkan payung itu jangan menyesal kalau
kurobek-robek!” Si nenek lalu angkat tangannya yang memegang tongkat.
Dari balik payung terdengar
suara tawa mengekeh. Payung hitam lebar itu perlahan-lahan menciut kuncup.
9
Di balik payung itu kini
tampak duduk bersila seorang kakek berwajah putih klimis, bermata cekung dan
berpipi kempot. Dia mengenakan jubah putih dan di bahu serta dadanya
diselempangkan sehelai kain hitam, sehitam warna payungnya.
Orang ini memandang tersenyum
pada si nenek. Tangannya bergerak menyandarkan payung hitam yang baru
ditutupnya ke dinding goa.
“Ternyata kau tidak kalah
jelek dengan diriku!” kata si nenek lalu tertawa mengekeh. Kakek di seberang
mata air ikut-ikutan tertawa hingga goa itu jadi bising dan bergetar oleh suara
tertawa kakek nenek ini.
“Giri Arsana! Kau….”
“Tunggu dulu!” si kakek
memotong ucapan si nenek. “Sebagai tuan rumah aku mungkin tidak bisa bersikap
ramah. Jauh-jauh datang kemari kau tentu haus! Jika ingin minum silahkan ambil
sendiri! Maksudku minum dari telaga itu!”
“Sialan kau!” memaki si nenek.
“Nyawamu terancam dan kau masih saja bisa bicara ngacok!”
“Sinto Gendeng, ada apa kau
datang jauh-jauh dari gunung gede ke goaku ini?!” bertanya si kakek.
Ternyata si nenek adalah Eyang
Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng sedang si kakek bukan lain adalah
Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam yang selama enam bulan terakhir ini
melenyapkan diri dari dunia persilatan tak tahunya sembunyi di dalam goa di
kaki Gunung Karang.
“Kau melakukan tindakan
pengecut yang memalukan tokoh-tokoh silat seangkatan! Apa kau sadar melakukan
hal itu!”
“Tentu saja aku sadar Sinto.
Tapi tindakanku bukan pengecut!”
Sinto Gendeng tertawa
membahak. “Kau bersembunyi di sini! Kau bilang bukan pengecut! Kau tahu apa
yang terjadi di luar sana? Istrimu telah dibunuh oleh Sriti Gandini. Anak
lelakimu yang keempat juga mati di tangannya. Belum lama berselang puterimu
yang kawin dengan putera Patih Kerajaan juga telah dibunuh! Ketiga mayat mereka
tidak ditemukan!”
Kakek berwajah klimis
tundukkan kepala. Lalu terdengar dia menghela nafas panjang. “Aku tahu kemana
Sriti Gandini membawa mayat-mayat anak istriku….”
“Kalau kau sudah tahu apa yang
terjadi mengapa masih tega-teganya sembunyi di goa ini?!” sentak Sinto Gendeng.
“Apa kau ingin melihat seluruh turunanmu dihabisi orang?!”
“Mungkin sudah saatnya aku
keluar goa ini dan berhadapan dengan perempuan sesat itu!”
“Enak saja mulutmu berkata
begitu! Lelaki selalu menuduh perempuan sesat! Aku tanya kau atau dia yang
sesat?” bentak Sinto Gendeng sambil melototkan mata.
“Yah…. Mungkin aku yang
sesat….”
“Bukan mungkin. Tapi
jelas-jelas kau memang sesat!”
“Ya….ya! Kami berdua sama
sesatnya!”
“Nah itu lebih baik dan lebih
adil!” ujar Sinto Gendeng pula. “Lebih cepat kau keluar dari sini lebih baik!
Lebih cepat kau membuat perhitungan dengan perempuan itu akan lebih baik hingga
kami orang-orang di dunia persilatan bisa terhindar dari rasa memihak. Eh,
kakek peot, apa yang menyebabkan kau sampai kabur dan mendekam ke tempat ini?”
Giri Arsana tak mau menjawab.
“Kau merahasiakan sesuatu?”
“Tadinya memang. Tapi biarlah
aku katakan padamu. Aku tengah mengamalkan ilmu baru. Guna dapat menghadapi
Sriti Gandini…”
“Ilmu apa? Sudah tua bangka
dan hampir masuk liang kubur ini kau masih hendak menciptakan ilmu baru? Luar
biasa! Aku kagum padamu. Tapi apa tidak terlambat?”
“Memang terlambat! Rasanya aku
tidak siap. Ku tidak bakal mampu menghadapi perempuan itu. Dia telah mengetahui
kelemahan dan cara mengalahkan diriku. Aku tengah berusaha mencari
penangkalnya, tapi rasanya tidak bakalan dapat….” Wajah si kakek sesaat tampak
sedih.
“Giri….Giri….Itulah akibat
kalau diwaktu muda terlalu mengumbar nafsu. Perempuan mana yang tidak bakal
jadi nekad dan ingin membunuhmu. Selagi muda kau jadikan Sriti Gandini sebagai
kekasihmu. Pasti kau sudah tidur-tidur dengan dia!”
Sinto Gendeng melihat wajah si
kakek merah sesaat. Lalu dia meneruskan ucapannya.
“Setelah kau berpuas-puas
dengan dirinya lalu kau cari kekasih lain. Kau tinggalkan dia. Tapi kemudian
tiba-tiba kau muncul lagi menemuinya. Merayunya dan berjanji akan mengawininya.
Hal itu terjadi berulang kali. Yang paling menyakitkan hatinya adalah ketika
akhirnya kau mengawini adiknya. Tapi selagi perempuan itu menghamili anaknya
yang pertama kau tinggal kabur. Syukur si anak mati ketika lahir hingga dia
tidak ikut menerima malu dan derita hidup karena kelakuan bapaknya yang gila
sepertimu! Ketika istrimu itu meninggal karena sakit, kau kembali menemui Sriti
Gandini. Perempuan itu karena cintanya padamu masih mau berbuat ketololan
menerimamu. Tapi kemudian lagi-lagi kau tingalkan dirinya. Kau pergi ke
seberang memboyong seorang perempuan lain yang kau jadikan istri hingga kau
mendapatkan lima orang anak. Dua anakmu sudah mati di tangan Sriti Gandini.
Juga istrimu! Sekarang kau rasakan sendiri pembalasan sakit hatinya.”
“Yang aku sayangkan…” kata
Giri Arsana pula. “mengapa dia melakukannya ketika kita sudah tua bangka begini
rupa? Kenapa dia tidak membunuhku saja sejak dulu-dulu!”
Sinto Gendeng mendengus.
“Dendam kesumat tidak mengenal waktu Giri. Aku yakin perempuan itu sengaja
menunggu sampai mengetahui dimana letak kelemahanmu…”
“Kau benar,” kata Giri Arsana.
Dia tampak termenung. Lalu terdengar dia berucap. “Di usia setua ini seharusnya
hidupku dalam ketentraman. Tapi apa mau dikata…”
“Apa mau dikata,” menyambung
Sinto Gendeng, “Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang silahkan kau makan sendiri
buburnya.” Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
Dia bolang-balingkan
tongkatnya beberapa kali. “Aku pergi duluan Giri. Aku menyesal tidak dapat membantumu…..
Hanya kau sendiri yang bisa menyelamatkan tiga orang anakmu yang masih hidup
dan membersihkan dirimu dari lumpur dendam.”
“Bagaimanapun kau telah
melakukan sesuatu yang sangat berharga bagiku, Sinto. Mungkin kita tidak akan
berjumpa lagi….”
Sinto Gendeng sesaat tampak
terharu. Sebelum dia lebih jauh tenggelam dalam perasaannya cepat-cepat dia
tinggalkan tempat itu. Tak lama setelah si nenek pergi, Giri Arsana yang
bergelar Dewa Berpayung Hitam berkelebat pula meninggalkan goa. Dia tahu dia
bakal menghadapi kematian cepat atau lambat. Dulu dia merasa takut memikirkan
hal itu. Namun kini ada rasa tegar dalam dadanya untuk menghadapi kenyataan
yang bakal terjadi dengan tabah.
10
Patih Ganda Ariawisesa
memimpin sendiri pengejaran terhadap gembong-gembong pemberontak yang dipimpin
oleh Pager Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan.
Sebelumnya para pemberontak
dengan sengaja telah menimbulkan kebakaran di Kotaraja dengan maksud
mengalihkan perhatian orang-orang Istana. Namun gelagat yang tidak baik ini
sudah tercium oleh Patih Ganda Ariawisesa. Sang Prabu bersama permaisuri dan
putera-puteri mereka yang masih kecil-kecil segera diungsikan ke satu tempat
rahasia. Di Istana terjadi pertempuran seru antara pemberontak dengan mereka
yang setia pada Kerajaan. Pertempuran ini hanya berlangsung sebentar karena
setelah diberi aba-aba oleh Pagar Paregreg, pihak pemberontak segera kabur
meninggalkan Istana. Langsung saja Patih dan Wakil Kepala Pasukan serta
Brambang Santika dan puluhan prajurit melakukan pengejaran. Dalam pengejaran
inilah Patih Kerajaan mendapat pukulan berat atas kematian putera dan lenyapnya
menantunya akibat ulah jahat Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.
Setelah mempercayakan jenazah
pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Patih Kerajaan bersama rombongannya meneruskan
melanjutkan pengejaran.
Pihak yang dikejar melarikan
diri ke arah Barat menyusuri rimba belantara di sebuah kaki bukit.
“Paman Patih,” berkata Cemani
Tanduwisoka yaitu Wakil Kepala Pasukan Kerajaan dengan suara keras-keras agar
terdengar di antara derap kaki kuda yang bergemuruh. “Di depan sana adalah
salah satu daerah pemusatan pasukan pemberontak. Jika kita terus mengejar
jangan-jangan mereka sengaja menjebak kita!”
Patih Ganda Ariawisesa yang
masih dipengaruhi hawa amarah akibat kematian putera yang kehilangan menantunya
tanpa terpikir menjawab dengan suara lantang. “Percepat saja lari kudamu!”
Sebentar lagi kita akan berhasil mengejar mereka!”
Saat itu memang jarak antara
pihak yang melarikan diri dengan yang mengejar hanya terpisah sekitar dua puluh
tombak. Di jalan yang agak mendaki Patih Kerajaan mengharapkan akan dapat
mengejar Pagar Paregreg dan kawan-kawannya. Namun baru saja Patih Ganda
Ariawisesa mengeluarkan ucapan tadi, tiba-tiba dua batang pohon di kiri kanan jalan
tumbang bergemuruh. Bersamaan dengan itu dari mana-mana berlesatan berbagai
macam senjata rahasia. Dalam keadaan seperti itu tanah di depan pihak pengejar
mendadak bergerak secara aneh. Rupanya tanah ini sebelumnya ditutupi dengan
papan-papan tebal yang bisa ditarik ke pinggir jalan dan kini terbentang sebuah
lobang besar yang bagian dalamnya ditancapi bambu-bambu runcing sedang di
dasarnya belasan ekor ular berbisa tampak bekeliaran kian kemari!
Terjadilah neraka bagi pihak
pengejar.
Belasan prajurit menemui
ajalnya. Ada yang tertimpa pohon yang sebelumnya telah ditebang dan sengaja
ditumbangkan. Ada yang ditembus berbagai senjata rahasia dan banyak pula yang
menemui kematian tertancap bambu-bambu runcing yang mencuat di dalam lobang!
Pekik jerit kematian dan suara ringkikan kuda bergabung jadi satu terdengar
mengerikan.
Dua tokoh silat Istana yang
ikut melakukan pengejaran berhasil menyelamatkan diri dari hantaman tumbangan
pohon, namun keduanya menderita luka-luka cukup parah disambar beberapa senjata
rahasia. Salah seorang dari mereka berhasil melompat menghindar dari jatuh ke
dalam lobang maut. Namun ketika dia berusaha menolong kawannya yang telah lebih
dulu terbanting jatuh ke dalam lobang, satu tendangan menghantam punggungnya,
membuat orang ini tak ampun lagi bersama kawan yang hendak ditolongnya jatuh
masuk ke dalam lobang. Yang satu menemui ajal begitu perutnya ditembus batangan
bambu runcing. Satunya lagi hanya bisa menjerit-jerit diserang dan dipatuki
ular berbisa.
Siapakah yang tadi telah menendang
tokoh silat Istana? Tidak seorangpun sempat memperhatikan.
Patih Ganda Ariawisesa dan
Cemani Tanduwisoka dengan kepandaian masing-masing berhasil menghindar dan
menangkis serangan belasan senjata rahasia.
Mereka juga selamat dari
tertimpa tumbangan dua buah pohon besar. Akan tetapi tubuh mereka yang
terpental dari atas kuda celakanya jatuh terlempar ke arah lobang jebakan yang
penuh dengan tancapan bambu-bambu runcing serta ada belasan ular berbisanya!
Kuda tunggangan Cemani
terjerumus jatuh masuk ke dalam lobang, meringkik keras kelojotan ketika
bambu-bambu runcing menembus tubuhnya. Nasib baik bagi Wakil Kepala Pasukan
Kerajaan ini karena dia bisa jatuh berdiri tepat di atas tubuh kuda yang tengah
sekarat, tegak diantara tiga batang bambu.
Sebaliknya Patih Ganda
Ariawisesa bernasib lebih malang. Dirinya terjerumus ke dasar lobang, terjepit
di antara batang bambu. Begitu kakinya menempel di tanah lobang, belasan ular
berbisa segera menyerbu. Patih ini keluarkan kesaktiannya, menghantam dengan
pukulan-pukulan mengandung hawa panas. Beberapa ekor ular mati berkaparan
seperti kena panggang. Namun lebih banyak lagi yang datang, membuat Sang Patih
terpaksa memanjat bambu untuk selamatkan diri.
Selagi Ganda Ariawisesa
berjuang selamatkan nyawanya dia melihat satu hal yang tidak bisa dipercaya dan
membuatnya marah luar biasa!
Saat itu Cemani Tanduwisoka
tengah berusaha mencapai tepi lobang untuk selamatkan diri. Ketika dilihatnya
Brambang Santika berdiri di tepi lobang, dia segera mengulurkan tangan minta
bantuan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh tidak terduga. Brambang Santika
yang merupakan tangan kanan kepercayaan Patih Ganda Ariawisesa bukan menolong
Wakil Kepala Pasukan Kerajaan itu melainkan malah menendang dadanya dengan
keras sehingga Cemani terpental. Dia berusaha bergayut pada salah satu bambu
namun pegangannya terlepas. Tak ampun lagi tubuhnya terjerumus masuk ke dasar
lobang. Saat itu juga belasan ular menyerangnya. Suara jeritan Cemani
Tanduwisoka sungguh menggidikkan!
“Dimas Brambang!” teriak Patih
Ganda Ariawisesa melihat kejadian itu. Saat itu dia sampai terlupa meneruskan
memanjat bambu untuk selamatkan diri. “Apa yang telah kau lakukan?!”
Tambah terkejut Sang Patih
ketika dilihatnya pembantu yang sangat dipercayainya itu tertawa bergelak.
“Patih Kerajaan! Kau terlalu picik untuk melihat kenyataan!”
“Apa maksudmu?!” bentak Sang
Patih. Saat itu seekor ular menjalar di bambu dimana dia berada, berusaha
mematuknya. Ganda Ariawisesa memukul ke bawah.
Ular itu terpental jatuh dan mati
tetapi bambu tempat dia bergantung patah. Secepat kilat Ganda melompat ke bambu
di sebelahnya.
“Sobatku Brambang Santika!
Biar aku yang menjawab pertanyaan Patih tolo itu!” satu suara terdengar.
Diiringi beberapa tokoh silat Istana dan puluhan prajurit, di tepi jalan muncul
Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan pengkhianat yang jadi pucuk pimpinan
kaum pemberontak.
Tentu saja kejut Patih Ganda
Ariawisesa bukan alang kepalang. Matanya memandang melotot berganti-ganti ke
arah Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
Pagar Paregreg maju selangkah
ke tepi lobang. “Patih Kerajaan, sahabatmu Brambang Santika adalah orangku. Apa
itu masih belum jelas bagimu?!”
“Manusia pengkhianat
terkutuk!” teriak Patih Ganda Ariawisesa. “Berarti kau juga yang bocorkan rahasia
penyamaran anak dan menantuku! Manusia kotor!”
Sambil bergantung ke bambu
dengan tangan kirinya, patih menghantam ke arah Brambang Santika dengan tangan
kanannya.
Wuuttt!
Selarik angin deras mengandung
hawa panas menyambar ke arah Brambang Santika. Orang ini cepat menunduk lalu
balas lepaskan pukulan tangan kosong yang tak kalah dahsyatnya. Dalam keadaan
seperti itu tak ada kemungkinan bagi Ganda Ariawisesa untuk mengelak.
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah menangkis pukulan lawan dengan
pukulan pula.
Dalam hal tenaga dalam memang
Sang Patih mempunyai kemampuan lebih tinggi dari Brambang Santika. Namun dia
kalah cepat dalam bergerak. Pukulan lawan sampai lebih dulu hingga tubuhnya
bergetar hebat sementara batang bambu tempatnya bergantung berderak-derak lalu
pecah! Tak ampun lagi Ganda Ariawisesa jatuh terjerumus ke dalam lobang. Di
bawahnya enam ekor ular sama-sama meluruskan kepala menunggu jatuhnya tubuh
Patih Kerajaan itu. Dengan susah payah Ganda Ariawisesa berusaha menggapai
tiang bambu terdekat. Namun saat itu Pagar Paregreg tampak mengangkat mayat
seorang perajurit Kerajaan, lalu sosok mayat itu dilemparkannya ke arah Ganda
Ariawisesa. Diberati timpaan tubuh seperti itu jelas Patih Kerajaan tak akan
mampu menyelamatkan diri. Tubuhnya akan terjatuh ke dasar lobang, disambut oleh
belasan ular berbisa!
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara bentakan nyaring. Sebuah tongkat menyusup ke bawah ketiak kanan
Patih Ganda Ariawisesa. Sebelum dia tahu apa yang terjadi, tubuhnya terangkat
dengan keras ke atas. Lalu seperti sebuah benda membal yang disentakkan ke atas
tubuh Patih Kerajaan itu melayang ke udara, untuk kemudian jatuh sekitar tiga
tombak dari tepi lobang maut. Dalam keadaan seperti itu Sang Patih masih mampu
jatuh ke tanah dengan kedua kaki menjejak lebih dulu. Dia cepat membalik, tepat
pada saat semua orang yang ada di situ sama-sama dilanda rasa kejut.
Di tepi lobang sebelah kiri,
berdiri seorang nenek hitam tinggi. Mukanya seangker setan dan kepalanya ada
lima tusuk kundai perak. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu buruk.
Dengan benda inilah tadi dia mengait ketiak Patih Kerajaan dan
menyelamatkannya.
“Eyang Sinto Gendeng!” seru
Patih Ganda Ariawisesa begitu dia mengenali si nenek.
Yang dipanggil namanya tidak
berpaling ataupun menjawab. Sinto Gendeng tegak tak bergerak. Hanya kedua
matanya yang menyeramkan memandang tak berkesip ke arah Kepala Pasukan Kerajaan
yang berkhianat, lalu pada Brambang Santika. Ketika dia melihat pada beberapa
tokoh silat sesat yang mau-mauan ikut membantu pihak pemberontak, Sinto Gendeng
unjukkan tampang angker dan berkata
“Dunia persilatan sedang
kisruh. Kalian bukannya ambil bagian untuk mencari perbaikan, malah kini masuk
ke dalam kubangan lumpur, mengotori diri dengan jadi kaki tangan pemberontak!
Pangkat dan bayaran berapa yang dijanjikan untuk kalian?!”
Jika saja yang bicara itu
bukan Sinto Gendeng beberapa tokoh silat Istana yang bergabung dengan Pagar
Paregreg pasti sudah menyerbu dab menghantam habis-habisan. Namun karena tahu
siapa adanya nenek tinggi hitam ini, mereka terpaksa menahan diri dan menunggu
sampai Pagar Paregreg bergerak atau memberikan perintah.
Lain halnya dengan Brambang
Santika. Orang ini memang tahu betul kehebatan Sinto Gendeng. Tapi jika dia
bersama Pagar Paregreg dan beberapa tokoh silat itu mengeroyok si nenek, mana
mungkin mereka akan kalah. Maka diapun keluarkan ucapan mengejek.
“Perempuan tua! Apakah yang
kau ketahui tentang urusan Kerajaan. Jangan campur adukkan soal Kerajaan dengan
soal dunia persilatan. Kau sebaiknya bertapa saja di Gunung Gede!”
Darah Sinto Gendeng seperti
mendidih mendengar kata-kata Brambang Santika itu. Namun si nenek masih bisa
sunggingkan senyum malah tertawa melengking.
“Bocah jelek! Kau tentu
dijanjikan jabatan tinggi oleh para pengkhianat! Selama ini kau banyak
berhubungan dengan orang-orang persilatan. Namun ternyata kau tidak banyak
mengenal kehidupan kami. Dalam rimba persilatan manusia ular kepala dua
sepertimu dihabisi lebih dulu!”
Habis berkata begitu Sinto Gendeng
lemparkan tongkatnya ke arah Brambang Santika. Benda ini kelihatan menjadi
tambah panjang dan lentur hingga tak obahnya seperti seutas tali yang siap
menjirat leher Brambang. Melihat orang telah mulai menyerang Pagar Paregreg
cepat angkat tangannya. Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat itu tahu betul
kehebatan Sinto Gendeng segera angkat tangan kanannya memberi tanda.
Melihat isyarat ini tiga orang
tokoh silat Istana yang ikut memberontak segera menerjang masuk ke dalam
kalangan pertempuran terus menyerbu ke arah Sinto Gendeng. Menghadapi keroyokan
tiga musuh ini si nenek dengan memaki terpaksa tarik pulang serangan tongkatnya
yang hampir dapat menjirat batang leher Brambang Santika. Dengan geram Sinto
Gendeng sabatkan tongkatnya sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan sakti.
Dua tokoh silat yang
mengeroyok berhasil menghindar dari hantaman pukulan dan sambaran tongkat. Tapi
tokoh silat ketiga berlaku ayal. Jeritannya menggidikkan ketika tongkat Sinto
Gendeng menggebuk batok kepalanya dengan keras hingga tubuhnya terbanting ke
tanah dan mati di situ juga!
Brambang Santika dan dua tokoh
silat menjadi marah besar melihat kematian kawan mereka. Sama-sama membentak
ketiganya kembali menggempur si nenek.
Diperlakukan seperti itu si
nenek justru malah jadi nekad. Tangan kanannya membabatkan tongkat di depan
dada, menahan serangan lawan yang datang laksana gelombang. Bersamaan dengan
itu tangan kirinya mencabut tusuk kundai perak di kepalanya lalu secepat kilat
dilemparkannya ke arah lawan di ujung kanan yakni tokoh silat Istana yang
kedua. Demikian cepatnya lemparan tusuk kundai orang yang diserang tidak mampu
selamatkan diri. Jeritannya terdengar menggidikkan sewaktu tusuk kundai perak
itu menancap dan menembus lehernya!
Mau tak mau Pagar Paregreg jadi
tercekat juga melihat dua korban telah jatuh di pihaknya. Brambang Santika dan
tokoh silat yang masih hidup tidak akan mampu menghadapi Sinto Gendeng, maka
dia keluarkan suitan keras. Dari dalam rimba di tepi jalan muncul tiga orang
bertubuh tinggi besar bertampang garang dan bersenjatakan golok. Ketiga orang
ini adalah tiga pimpinan rampok berkepandaian tinggi yang menguasai tiga
wilayah di Jawa Barat. Mereka terkenal kejam dan memiliki kepandaian tinggi.
Tanpa banyak cerita lagi ketiga langsung menyerbu masuk ke dalam kalangan
pertempuran! Berarti kini lima orang yang mengeroyok si nenek sakti.
Melihat hal ini Patih Ganda
Ariawisesa cepat menyambar sebilah golok yang tergeletak di tanah lalu melompat
ke samping Sinto Gendeng.
Si nenek menyeringai. “Patih
Kerajaan mari kita berebut pahala mencabut nyawa manusia-manusia pengkhianat
ini!”
Dua orang itu menyambut
serangan lima pengeroyok. Pertempuran berlangsung dengan seru. Sementara itu
Pagar Paregreg diam-diam mengeruk saku pakaiannya mengeluarkan jarum-jarum
halus beracun. Jika melesat di udara senjata ini sulit dilihat. Hanya orang
berkepandaian tinggi saja yang mampu merasakan sambaran anginnya!
Dari tempatnya berdiri Pagar
Paregreg sengaja mencari kesempatan untuk dapat melepaskan senjata rahasianya
secara licik yaitu ketika Sinto Gendeng dalam kedudukan membelakangi dirinya.
“Awas, pukulan sinar
matahari!” Brambang Santika berteriak keras ketika dilihatnya tangan kiri Sinto
Gendeng berubah menjadi putih perak menyilaukan.
Sinar putih panas luar biasa
berkiblat.
Bummm!
Dua lelaki tinggi besar
bersenjata golok menjerit. Tubuhnya mereka terguling jauh dalam keadaan hangus.
Brambang Santika dan lain-lainnya masih sempat menyingkir walau jantung mereka
terasa bergetar keras. Sinto Gendeng tertawa mengekeh tanpa menyadari saat itu
dua puluh jarum halus beracun yang dilepaskan
Pagar Paregreg melesat ke arah
punggung dan kepalanya sebelah belakang!
“Sinto! Awas senjata rahasia
di belakangmu!” Satu teriakan keras memperingatkan menyusul berkelebatnya satu
benda hitam lebar berputar dan des…des…des… Puluhan jarum beracun amblas
tertahan benda itu yang bukan lain adalah sebuah payung hitam terkembang!
11
Ah, Giri Arsana! Kau rupanya!
Terima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku! Menolong kepalang tanggung,
mengapa tidak terus menghajar si pembokong licik itu?!” ujar Sinto Gendeng
ketika melihat siapa yang muncul dan berdiri di sebelahnya.
Patih Ganda Ariawisesa
terkejut sekali ketika melihat siapa yang muncul di tempat itu. Orang ini
adalah Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam dan bukan lain adalah
besannya sendiri yaitu ayah mertua dari Raden Sabrang puteranya yang terbunuh
di tangan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!
Dewa Berpayung Hitam tertawa
mengekeh. “Langka pertemuan memang tidak bisa diduga!” katanya. Lalu dia
menyambung. “Sinto, urusanku sendiri belum selesai. Kalau tidak memandang
dirimu yang jelek tidak akan aku ikut-ikutan mencemplungkan diri dalam
pertempuran gila ini!”
Si nenek balas tertawa. “Dua
orang kakek nenek jelek ditambah seorang Patih Kerajaan menumpas
manusia-manusia keji pemberontak! Apakah itu bukan berarti mencari pahala?
Paling tidak hitung-hitung bisa mengurangi dosa kita selama hidup di dunia
celaka ini!”
Dua kakek nenek itu lalu
sama-sama tertawa terpingkal-pingkal sedang Patih Ganda Ariawisesa hanya bisa
tertegak seperti orang bengong.
Di lain pihak Pagar Paregreg
telah saling memberi isyarat dengan Brambang Santika. Kedua orang gembong
pemberontak ini sudah sama maklum bahwa keadaan kini sangat sulit bagi mereka.
Menghadapi Sinto Gendeng dan Patih Kerajaan saja mereka belum tentu menang
sekalipun masih dibantu oleh beberapa orang berkepandaian tinggi dan puluhan
prajurit. Apalagi kini muncul pula kakek berjuluk Dewa Berpayung Hitam itu.
Sebelum mendapat celaka lebih baik mereka menyingkir.
Pagar Paregreg kembali
lemparkan puluhan jarum putihnya ke arah tiga lawannya. Di saat yang sama dia
memberi perintah agar para pengikutnya menyerbu.
Lalu bersamaan dengan itu
Brambang Santika lemparkan sebuah benda berbentuk bola hitam ke udara. Begitu
melayang jauh bola ini meletus keras dan asap hitam yang sangat tebal
menyungkupi daerah itu!
“Keparat licik!” teriak Sinto
Gendeng.
“Kalian mau lari kemana?!”
ikut berteriak Dewa Berpayung Hitam. Dia menangkis dengan payung terkembangnya.
Puluhan jarum putih lagi-lagi terbendung oleh payung sakti itu. Begitu jarum
menancap amblas di kain payung, si kakek pukul pegangan payung, puluhan jarum
yang menancap di payung serta merta melesat ke depan, kearah Brambang Santika
dan Pagar Paregreg yang saat itu sudah tidak kelihatan lagi dari pemandangan
karena terlindung oleh tebalnya asap hitam. Sempat terdengar satu jeritan tanda
salah seorang dari mereka terkena serangan balik jarum-jarum beracun itu. Namun
sewaktu asap musnah, kedua orang itu telah lenyap. Para pengikut mereka yang
tahu kalau kedua pemimpin mereka sudah kabur, tanpa pikir panjang lagi segera
pula lari berserabutan!
“Maafkan, saya harus mengejar
kedua orang itu!” kata Patih Ganda Ariawisesa pada besannya. Lalu dia melompat
ke punggung seekor kuda yang ada di dekatnya. Sebelum pergi Sang Patih masih
sempat memerintahkan pada sisa-sisa prajurit Kerajaan yang ada di situ agar
mengurus jenazah Cemani Tanduwisoka yang ada dalam lobang.
Dewa Berpayung Hitam berpaling
pada Sinto Gendeng. Si nenek yang maklum arti pandangan ini gelengkan kepala
lalu berkata. “Sekali ini aku tidak akan ikut mengejar mereka. Kau dan besanmu
itu selesaikan urusan sendiri!”
Giri Arsana tampak cemberut.
Namun dia tidak bisa berbuat apa. Payung hitamnya dikuncupkan. Beberapa langkah
di samping kirinya ada seekor kuda besar bekas tunggangan Cemani Tanduwisoka.
Sebelum kakek ini berlalu Sinto Gendeng berkata. “Ada satu hal yang ingin aku
beritahu padamu Giri. Wajahmu di waktu muda mirip sekali dengan muridku Wiro
Sableng.”
Si kakek terdiam sesaat.
“Syukur kalau begitu. Berarti tampang jelek ini bukan cuma satu di dunia. Kalau
saja aku dapat bertemu dengan muridmu itu tentu aku merasa senang melihat
keanehan ini!”
“Kau pasti akan bertemu dengan
dia,” jawab Sinto Gendeng pula.
Dewa Berpayung Hitam tarik
tali kekang kudanya. Sesaat kemudian dia telah lenyap dari tempat itu.
Satu hari satu malam melakukan
pengejaran, dari jejak-jejak yang dilihat Ganda Ariawisesa kedua orang
buronannya melarikan diri ke tepi pantai. Patih Kerajaan ini memang mempunyai
keahlian dalam menyimak jejak. Tak beberapa jauh di sebelah belakang Giri
Arsana alias Dewa Berpayung Hitam semula hendak memutuskan tidak mengikuti apa
yang dilakukan Patih itu. Namun ketika dilihatnya pengejaran itu berlangsung ke
arah pantai dia seperti mendapat dorongan untuk bergabung saja dengan Ganda
Ariawisesa. Dalam hati dia berkata “Sulit mencari tahu dimana perempuan itu
berada kalau dia lagi berkeliaran. Tapi yang pasti suatu saat dia akan berada
di Krakatau. Aku ingat. Sepuluh tahun silam dia pernah mengumbar sumpah akan
menjadikan Krakatau neraka bagiku dan anak istri. Lalu dia lenyap begitu saja.
Kini tahu-tahu muncul melakukan pembalasan sakit hati secara nekad!”
Begitulah kakek sakti itu lalu
bergabung bersama Patih Kerajaan melakukan pengejaran terhadap Pagar Paregreg
dan Brambang Santika. Keduanya akhirnya mencapai tepi pantai, tak berapa jauh
dari sebuah desa nelayan. Di situ ditemui dua ekor kuda yang berkeliaran tanpa
pemilik.
“Pasti itu kuda-kuda bekas
tunggangan kedua manusia keparat itu!” kata Patih Ganda Ariawisesa pula. Lalu
dia menunjuk ke tepi pasir dimana jelas terlihat bekas-bekas kaki manusia. Di
tepi pantai ditemui dua buah biduk dan sebuah perahu. Dua biduk dan perahu ini
berada dalam keadaan hancur berantakan.
“Mereka sengaja merusak biduk
dan perahu ini agar kita tidak dapat mengejar!” kata Giri Arsana pula dengan
geram. “Tak ada jalan lain, kita harus memperbaiki perahu ini. Paling tidak
akan makan waktu setengah hari.”
Kedua orang itu lalu
memperbaiki perahu yang rusak. Menjelang rembang petang mereka berhasil
melakukannya lalu turun ke laut.
“Tujuan ke Pulau Rakata. Kedua
orang itu pasti kabur ke sana…..” berkata Patih Kerajaan.
“Saya juga sudah menduga
mereka pasti kabur ke sana. Kebetulan! Saya juga punya urusan yang harus
diselesaikan di Gunung Krakatau sebelum tempat itu menjadi neraka. Atau ah…..
Mungkin tempat itu memang sudah jadi neraka bagi turunanku. Termasuk diriku
sendiri….”
“Apa maksudmu besan yang terhormat?”
tanya Patih Ganda Ariawisesa.
“Kawah Gunung Krakatau tempat
mendekamnya Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Nenek yang telah membunuh
anak istriku dan menculik mayat-mayat mereka!”
“Kalau begitu dua urusan besar
bisa diselesaikan sekaligus! Tapi ingat, nenek keparat itu adalah bagianku!”
“Tidak bisa! Dia membunuh
istri dan dua anakku! Dia harus mampus di tanganku!” jawab Dewa Berpayung
Hitam.
“Si keparat itu membunuh
puteraku dan juga menantuku!” menukas Patih Kerajaan. “Dia harus mati di
tanganku!”
Kedua orang itu saling melotot
dan hampir bertengkar. Akhirnya Giri Arsana mengalah. ”Kita belum sampai ke
sana, mengapa berlaku tolol saling ngotot. Mari kita berangkat sekarang juga!”
Begitulah keduanya mulai
melayari Selatan Sunda. Kalau Sang Patih pergunakan pendayung untuk mengayuh
perahu maka si kakek sambil tertawa-tawa duduk di bagian belakang perahu dan
putar payung hitamnya. Gelombang angin yang ditimbulkan oleh putaran payung
membuat perahu terdorong ke depan dan melesat membelah air laut hingga dalam
waktu cepat kedua orang itu telah melihat Pulau Rakata dengan Gunung
Krakataunya.
12
Perkara mati memang bukan
kuasanya manusia. Hal ini dialami oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti telah
dituturkan sebelumnya dalam perkelahian dengan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku
Iblis, satu hantaman yang berkekuatan tenaga dalam penuh yang dilancarkan si
nenek telah membuat murid Eyang Sinto Gendeng itu terpental lalu melayang jatuh
ke bawah Gunung Krakatau.
Wiro sendiri hanya sempat
menyadari keadaan dirinya sekejapan saja. Dia tak bisa menolong dirinya dari
kematian dan juga tidak ada manusia lain yang mampu menyelamatkannya. Dalam
keadaan seperti itu dia keluarkan satu jeritan keras yang mengumandang di
seantero kawah. Lalu pemuda ini jatuh pingsan dan tubuhnya melayang cepat
menuju kawah!
Hanya beberapa saat lagi tubuh
Wiro akan amblas masuk ke dalam kawah yang mendidih, tiba-tiba dari lamping
kawah sebelah timur, dari balik sebuah gundukan batu melesat keluar sebuah
benda halus berwarna putih berkilauan. Benda yang melesat ternyata adalah
untaian panjang benang aneh yang dengan cepat menggulung kedua kaki Wiro, terus
ke pinggang dan baru berhenti melibat di batas dada. Sesaat tubuh Pendekar 212
masih tampak melesat deras ke bawah. Tinggal tiga jengkal lagi dari permukaan
kawah tiba-tiba benang aneh itu menyentak keras. Tubuh Wiro terbetot ke samping
lalu melayang berputar beberapa kali sampai daya berat jatuh ke bawah diredam
lenyap. Perlahan-lahan, seperti sebuah layang-layang yang siap diturunkan dari
udara, tubuh Wiro tertarik ke arah lamping kawah, lenyap di balik gundukan
batu.
Sang pendekar siuman dari
pingsannya beberapa saat kemudian ketika ada suara tawa mengekeh menusuk
telinganya. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya.
Apa yang dilihatnya sungguh
aneh. Yang tampak di depannya adalah seorang gadis berwajah cantik berambut
panjang sebahu. Gadis ini mengenakan baju hitam membuat wajahnya yang putih
lebih menonjol kejelitaannya. Si gadis menatapnya dan sama sekali tidak
kelihatan tertawa. Kalaupun dia memang tertawa tak mungkin suara tawanya
seperti orang tua. Mana ada orang tertawa mengekeh tanpa kelihatan mulutnya
terbuka. Lalu siapa yang barusan didengarnya tertawa bergelak itu?
Saat itu didapatinya dirinya
duduk tersandar ke dinding batu. Jauh di bawahnya kelihatan kawah Gunung
Krakatau. Wiro kembali memandang paras cantik itu sambil membayangi apa yang
telah dialaminya. Dia berkelahi dengan Sepuluh Kuku Iblis. Tubuhnya dihantam
mental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Dia berteriak lalu tak ingat apa-apa
lagi. Kenapa kini dia berada di tempat itu?
“Saudari, kau siapa?” Wiro
bertanya. Yang ditanya tidak menjawab.
Berkedip pun tidak. “Eh,
apakah aku ini berada di alam kematian atau kalau aku masih hidup apakah kau
bidadarinya yang telah menyelamatkan diriku?” Wiro perhatikan dirinya sendiri.
Keadaan tubuhnya utuh tak kurang suatu apa. Hanya pakaiannya saja yang tampak
kotor dan robek serta ada noda darah di bagian dada. Lalu terasa dadanya
mendenyut sakit. Bekas hantaman si nenek berjuluk Sepuluh Kuku Iblis rupanya
telah membuat dadanya sakit di sebelah dalam dan sewaktu pingsan rupanya dia
sempat mengeluarkan darah dari mulut. Wiro memandang lagi ke depan. Jelas
dilihatnya kawah Gunung Krakatau. Si gadis di dekatnya tak kunjung membuka
mulut. Sang pendekar angkat tangan kirinya, mulai menggaruk kepalanya. Saat
itulah didengarnya ada suara orang batuk-batuk. Wiro cepat berpaling ke kiri.
Astaga!
Hanya lima langkah di samping
kirinya, di atas sebuah batu duduk seorang kakek berpakaian putih. Rambutnya
yang putih terlihat jarang. Kumis dan janggutnya juga berwarna putih. Matanya
lebar tapi cekung. Wajahnya hanya berupa kulit tipis penutup tengkorak dan
berwarna sangat pucat.
Begitu melihat dan mengenali
orang tua ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera bangkit lalu jatuhkan diri
berlutut.
“Kakek Tua Gila! Jadi kau
rupanya yang menolong saya. Saya sangat berterima kasih padamu. Hutang jiwa
yang dulu-dulu belum sempat saya bayar. Kini…..”
Si kakek tertawa gelak-gelak.
“Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang menyelamatkan dirimu Wiro. Kulihat kau
ada urusan sulit sampai tersesat ke kawah Gunung Krakatau ini. Apakah kau
sengaja bunuh diri hendak mencebur masuk ke dalam kawah?”
“Siapa yang mau bunuh diri
kek?!! Tukas Wiro. “Seorang menghantam saya hingga terpental dan melayang jatuh
ke dalam kawah. Heh, pasti kakek menolong saya dengan benang kayangan!”
Kembali kakek itu tertawa
gelak-gelak. Siapakah sebenarnya orang ini?
Namanya Tua Gila. Dalam dunia
persilatan dia dikenal dengan julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Ada juga yang
memberinya gelar Pendekar Gila Patah Hati. Puluhan tahun lalu, dalam usia muda
dia pernah jatuh cinta pada Sinto Gendeng. Ketika cintanya ditolak dia menjadi
sangat terpukul dan patah hati. Demikian parahnya keadaannya hingga dia seperti
kurang waras dan malang melintang di rimba persilatan membunuh siapa saja
seenak perutnya. Di usia tua, sifat kejamnya berubah.
Malah dia pernah memperlakukan
Wiro sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat langka kepada pemuda itu.
“Kek, saya tidak menyangka
bakal bertemu denganmu di sini. Apa yang tengah kakek lakukan di tempat ini?
Dan siapa gadis ini…?”
“Ah pertanyaanmu banyak amat.
Biar kujawab satu persatu dulu,” jawab Tua Gila. “Pertama aku berada si sini
ingin mengasingkan diri sambil menyempurnakan ilmu-ilmu yang kumiliki. Kedua
tentang gadis ini, dia bernama Minaratih. Dia adalah calon muridku. Aku tengah
mengujinya di tempat ini apakah dia cukup pantas untuk kujadikan murid.
Bagaimana penglihatanmu, apakah kau naksir padanya?”
Wiro garuk-garuk kepala
sebaliknya si gadis kelihatan merah rona wajahnya.
Tua Gila lagi-lagi tertawa
mengekeh.
“Urusan taksir-menaksir ini
biar kita bicarakan nanti,” jawab Wiro sambil garuk kepala dan membuat
Minaratih semakin merah wajahnya. “Saya harus meninggalkan tempat ini dengan
segera. Ada urusan besar di atas kawah sana.
Seorang nenek gila melakukan
pembunuhan atas istri dan anak-anak kakek sakti berjuluk Dewa Berpayung Hitam.
Korban-korban yang sudah dibunuh dijejerkannya mayatnya dalam lobang pohon
kelapa. Diberi cairan pengawet!”
Tua Gila usap janggutnya. “Aku
memang sudah lama mendengar. Urusan di kala muda itu rupanya belum jua
terselesaikan. Kalau memang begitu kau pergilah cepat ke atas sana. Aku dan
muridku biar tetap di sini. Aku sudah tidak begitu senang mengurusi masalah
dunia. Apalagi masalah orang-orang tolol seperti urusan Sepuluh Kuku Iblis
dengan Dewa Berpayung Hitam itu!”
Wiro menjura dalam-dalam lalu
menyalami Tua Gila dan mencium tangan orang tua itu. Pada Minaratih dia tersenyum
mengangguk seraya berkata “Saya senang bertemu denganmu. Saya berharap bisa
bertemu lagi….”
Si gadis tak menjawab. Tapi
ketika Wiro melangkah pergi dia bangkit dari duduknya dan mengikuti kepergian
si pemuda memanjat tebing kawah dengan pandangan matanya sampai akhirnya lenyap
di kejauhan. Di belakangnya terdengar suara Tua Gila batuk-batuk
“Rupanya kau menaksir juga
pada pemuda itu Mina…”
Si gadis berpaling pada Tua
Gila.
“Tapi hati-hati nak,” kata si
kakek pula. “Dia memang orang baik cuma sering-sering dia bertindak dan berucap
konyol seperti orang ini!” Lalu Tua Gila menggaris keningnya dengan telunjuk
kiri. Si gadis hanya bisa tersenyum.
13
Sriti Gandini alias Sepuluh
Kuku Iblis duduk di atas batang kelapa berisi mayat Wini Kantili. Kedua matanya
memandang jauh ke arah pantai. Saat itu dia masih saja mengingat-ingat pemuda
yang dipukulnya jatuh masuk ke dalam kawah.
Hatinya tiada henti dirundung
penyesalan. “Mengapa aku harus memukulnya begitu keras. Ah…..Kalau dia masih
hidup mungkin dirinya bisa membuat aku menjadi orang baik. Tidak nekad tidak
gila membunuhi orang….” Ingatan si nenek lalu tertuju pada Giri Arsana, manusia
yang paling dibencinya.
Selagi dia duduk
termemung-menung dan mengingat-ingat seperti itu, tiba-tiba di pantai dilihatnya
mendarat sebuah perahu. Dua orang penumpang turun ke pasir.
“Hemmmm….” Sriti Gandini
bangkit dari duduknya. Kedua matanya membesar. “Ada lagi dua orang yang minta
mampus. Berani menginjakkan kaki di Pulau Rakata daerah kekuasaanku!”
Si nenek membungkuk mengambil
sekaligus dua buah pecahan batu gunung. Sekali melempar kedua batu itu melesat
ke arah pantai. Jarak antara tempat si nenek berada dengan pantai jauh sekali.
Namun lemparan batu itu melesat membelah udara dan meluncur ke arah dua orang yang
barusan turun dari perahu. Dari hal ini saja sudah dapat dilihat bagaimana
ketinggian ilmu Sriti Gandini.
Di tepi pantai dua orang yang
barusan mendarat adalah Pagar Paregreg, bekas Kepala Pasukan Kerajaan yang
melarikan diri bersama Brambang Santika. Pagar yang melihat datanya dua buah
benda melayang ke arah mereka segera berteriak memberi tahu.
“Awas! Ada benda menghantam ke
arah kita!” Pagar Paregreg jatuhkan diri ke pasir sedang Brambang Santika yang
kurang cepat bergerak, ketika melompat ke samping bahu kirinya masih sempat
disambar benda yang melayang dari puncak kawah itu. Bajunya robek. Daging
bahunya yang terserempet sakit bukan main karena sebelumnya di bagian itu pula
salah satu jarum putih milik Pagar Paregreg yang dibuat mental oleh payung Giri
Arsana sempat membalik menancap di bahunya.
Pagar Paregreg waktu itu cepat
mencabut jarum tersebut dan memberikan obat penangkal racun pada kawannya itu.
Kalau tidak nyawa Brambang Santika mungkin tak bisa diselamatkan dari kematian
akibat racun jarum yang jahat.
Sambil meringis kasakitan
Brambang Santika memandang ke arah puncak kawah Gunung Krakatau. “Aku melihat
ada seseorang di puncak sana! Agaknya kita datang ke tempat yang salah,
Pagar…..”
“Sebelumnya kau sudah bilang
sebaiknya kita tidak melarikan diri ke pulau celaka ini! Padahal banyak
pulau-pulau lain di Selat yang lebih dekat…”
“Sekarang sudah terlambat!”
kata Brambang Santika. “Tak ada gunanya menggerutu.”
“Lihat! Ada satu orang lagi
muncul di atas sana!” kat Brambang Santika.
Pagar Paregreg memandang ke
arah puncak kawah. Betul, memang saat itu dilihatnya ada satu orang lagi
tiba-tiba muncul di tebing puncak kawah Gunung Krakatau.
“Bagaimana kalau kita kembali
naik ke perahu, cari pulau lain yang lebih aman…” mengusulkan Brambang Santika.
“Aku setuju!” jawab Pagar
Paregreg. “Aku punya firasat tidak enak. Aku ingat sesuatu. Bukankah Sepuluh
Kuku Iblis yang punya dendam kesumat terhadap Dewa Berpayung Hitam kabarnya
telah menjadikan pulau ini sebagai markasnya?”
Paras Brambang Santika menjadi
berubah. “Astaga. Berarti kita mencari bencana baru pergi ke tempat ini! Mari
cepat…. Tak lama lagi matahari akan tenggelam. Mungkin gelapnya malam bisa
membantu kita melarikan diri!”
Kedua orang itu segera memutar
tubuh dan lari ke arah tempat mereka meninggalkan perahu. Namun terlambat. Dari
atas puncak kawah salah satu dari dua orang di atas sana tiba-tiba lari ke
bawah. Begitu cepatnya dia berlari hingga debu dan pasir berterbangan di
belakangnya. Dan dalam waktu beberapa kejapan saja orang ini sudah berada di
tepi pasir, mencegat tepat di depan perahu yang hendak dicapai Pagar Paregreg
dan Brambang Santika.
Orang ini adalah seorang nenek
berwajah angker dan tegak memandang bengis sambil bertolak pinggang.
“Kau benar Pagar,” bisik
Brambang. “Orang di depan kita ini adalah Sepuluh Kuku Iblis!”
Sebelum dituturkan apa yang
segera akan terjadi di tempat itu mari kita ketahui dulu apa sebelumnya yang
terjadi di puncak kawah.
Sehabis melemparkan dua buah
pecahan batu Sriti Gandini sebenarnya segera hendak lari menuruni puncak kawah
guna mendatangi dua orang yang barusan mendarat di pantai. Namun langkahnya
tertahan ketika tiba-tiba sebuah kepala, di susul satu sosok tubuh muncul dari
balik tebing kawah. Lalu pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di hadapannya.
“Kau!” teriak si nenek muka
tengkorak begitu mengenali siapa adanya pemuda di depannya yang bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hatinya gembira sekali melihat kemunculan
pemuda yang sejak satu hari belakangan ini selalu diingat-ingatnya. Namun rasa
kejut dan herannya saat itu mengalahi rasa gembira.
“Kau…. Bukankah kau sudah mati
jatuh ke dalam kawah mendidih di bawah sana?!” tanya si nenek.
Wiro menyeringai.
“Urusan mati, urusan nyawa
manusia adalah kekuasaannya Tuhan Yang Maha Kuasa…”
“Kentut busuk!” teriak si
nenek. “Aku bisa membikin mati siapa saja setiap saat!”
“Kalau begitu Tuhanmu dan
Tuhanku berbeda. Atau kau merasa sudah jadi Tuhan?” ujar Wiro lalu tertawa
gelak-gelak.
Si nenek sesaat terdiam.
“Jangan-jangan kau bukan pemuda itu sungguhan. Tapi setannya yang keluar dari
dalam kawah!” Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah mengelilingi Wiro,
memperhatikannya dengan seksama pemuda itu mulai dari ujung rambut sampai ke
ujung kaki.
“Nah apa kau lihat kedua
kakiku tidak menginjak tanah atau punggungku ada lobang?” ujar Wiro.
Si nenek hentikan langkahnya.
“Tunggu dulu, mungkin kau memang bukan setan atau hantu. Tapi…. Biar aku
periksa sekali lagi!”
“Kau boleh periksa asal jangan
suruh aku tanggalkan pakaian bertelanjang!” ujar Wiro mulai konyol padahal yang
dihadapinya adalah seorang manusia yang setiap saat bisa membunuh manusia
lainnya semudah dia membalikkan telapak tangan.
Sepuluh Kuku Iblis melangkah
kembali memutari tubuh Wiro. Ketika dia sampai di belakang pemuda itu, tiba-tiba
secepat kilat dua jari tangan kanannya melesat ke depan.
Dess!
Wiro tersentak kaget dan cepat
membalik sambil memukul. Tapi tangannya tak bisa digerakkan. Sekujur tubuhnya
kaku!
“Keparat licik!” teriak Wiro
begitu menyadari bahwa dirinya kena tertipu dan kini berada dalam keadaan
tertotok.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa
gelak-gelak.
“Anak muda! Kau masih harus
banyak belajar tentang kelicikan manusia dan dunia ini! Untung saja aku ada
rasa suka terhadapmu! Kalau tidak sudah ku bunuh kau sejak tadi!”
“Rasa suka padaku? Sialan!”
maki Wiro dalam hati.
“Tua bangka genit! Sudah bau
tanah masih mau bicara bersuka-suka! Pantas Dewa Berpayung Hitam tidak sudi
kawin denganmu!”
Plaaakkk!
Si nenek tampar muka Pendekar
212 hingga salah satu pinggiran bibir pemuda ini luka dan mengeluarkan darah.
“Ah… Maafkan aku….” Kata si
nenek lalu cepat-cepat menyeka darah di mulut Wiro. Dengan belakang telapak
tangannya dia mengusap luka di mulut. Aneh.
Begitu diusap luka itu segera
sembuh dan tidak berbekas sama sekali.
“Pendekar 212, kau tunggulah
di sini. Aku akan turun ke pantai mengurusi dua ekor monyet di bawah sana.
Seperti aku bilang, Krakatau adalah kawasan kekuasaanku. Siapa saja yang berani
menginjakkan kaki di sini pasti kubunuh!”
Wiro hendak mengatakan bahwa
sebenarnya sudah ada dua orang lain mendekam di tebing kawah yaitu Tua Gila dan
Minaratih. Namun pemuda ini memutuskan untuk diam saja. Si nenek berkelebat
lalu lari menyususri lereng kawah menuju ke pantai.
Dalam waktu singkat si nenek
sudah sampai di pantai dan langsung menghadang Pagar Paregreg serta Brambang
Santika di depan perahu mereka. Dua bola mata si nenek berputar angker.
“Hemmm… Yang satu ini kalau
aku tidak salah adalah Kepala Pasukan Kerajaan. Namamu Pagar Paregeg. Betul
hah!”
“Kau betul nek, aku memang
Pagar Paregreg.”
“Tampangmu sembrawuran!
Pakaianmu lecak! Ada apa Kepala Pasukan Kerajaan sampai menginjakkan kaki di
Pulau Rakata ini?!”
‘Kami ada urusan di tempat
lain. Karena cuaca di laut buruk terpaksa mendarat dulu di sini…” jawab Pagar
Paregreg.
Si nenek tertawa. “Aku tahu
kau berdusta! Tapi tidak jadi apa! Berdusta sebelum mati masih bisa dimaafkan.
Dan kau!” Si nenek menunjuk tepat-tepat ke hidung Brambang Santika. “Aku lupa
namamu! Kau manusianya yang bekerja di Istana, punya banyak hubungan dengan
orang-orang persilatan!”
“Nama saya Brambang Santika,
nek. Nenek sendiri bukankah orang sakti yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis itu?
Kami gembira dengan pertemuan yang tidak diduga ini. Kami tidak ingin
mengganggu lebih lama. Izinkan kami minta diri…”
“Minta diri…?” Sepuluh Kuku
Iblis tertawa mengekeh.
“Ada semacam kutukan di pulau
ini! Siapa yang berani menginjakkan kakinya di sini berarti sudah siap menerima
kematian!”
Berubahlah paras Pagar
Paregreg dan Brambang Santika.
“Beberapa hari lalu ada dua
penyusup muncul di sini. Keduanya tokoh silat bernama Tubagus Singagarang dan
Supit Jagal…”
“Kami kebetulan kenal mereka,”
kata Brambang Santika.
“Ah, bagus sekali! Apakah
kalian berdua tahu kalau orang-orang itu memang sudah lama menunggu-nunggu
kalian?”
“Menunggu kami? Untuk
keperluan apa?” tanya Pagar Paregreg pula.
“Untuk diajak bergabung jadi
mayat!” jawab si nenek lalu tertawa aneh seperti lolongan srigala.
Pagar Paregreg memberi isyarat
pada kawannya. “Nek, kami tidak punya waktu lama. Kami minta diri sekarang
juga!” katanya. Lalu Pagar Paregreg dan Brambang Santika cepat berbalik hendak
tinggalkan tempat itu. Namun si nenek membentak.
“Neraka Krakatau adalah bagian
kalian berdua!” Lalu tanpa banyak cerita lagi Sepuluh Kuku Iblis segera
menyerang dua orang di hadapannya.
Melarikan diri tidak mungkin.
Tak ada jalan lain. Pagar Paregreg dan Brambang Santika terpaksa menyambut
serangan si nenek. Perkelahian seru segera pecah di tempat itu.
Seperti diketahui baik Pagar Paregreg
maupun Brambang Santika adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Namun mereka
menyadari bahwa si nenek bukan seorang yang mudah untuk dikalahkan sekalipun
dikeroyok dua. Karenanya begitu memasuki jurus pertama kedua orang itu langsung
menghantam dengan pukulan-pukulan sakti, menyerang dengan jurus-jurus terhebat
ilmu silat yang mereka miliki.
Lima jurus berkelahi si nenek
tampak tenang-tenang saja. Malah berkelahi sambil tertawa-tawa walaupun saat
itu dirinya agak terdesak.
Meskipun mampu mendesak lawan
namun sampai jurus kesepuluh baik Pagar Paregeg dan Brambang Santika masih
belum mampu menggebuk si nenek. Beberapa kali lengan mereka saling beradu.
Setiap terjadi bentrokan tangan kedua lelaki itu merasakan lengan mereka sakit
bukan main. Memasuki jurus ke dua belas akhirnya kedua orang ini keluarkan
senjata. Pagar Paregreg hunus sebuah golok besar yang bagian tajamnya bergerigi
sedang Brambang Santika mencabut sepasang belati besar berwarna hijau!
Melihat lawan keluarkan
senjata si nenek seperti kesetanan. Dia berteriak tiada henti dan hadapi
serangan senjata lawan dengan gerakan-gerakan kilat disusul dengan serangan
balasan tidak terduga.
Breeettt!
Ujung golok di tangan Pagar
Paregreg berhasil merobek baju hijau yang dikenakan si nenek. Marahlah Sepuluh
Kuku Iblis. Dari mulutnya keluar suara lolongan seperti lolongan srigala. Kedua
tangannya diulurkan ke depan. Sepuluh kuku hitam mencuat keluar dari
ujung-ujung jarinya, runcing panjang mengerikan!
Pagar Paregreg dan Brambang
Santika terkesiap bergidik. Tapi hanya sesaat.
Mereka kemudian kembali
menyerbu. Serangan senjata mereka kini ditujukan pada kedua tangan si nenek.
Trang…..trak!
Golok di tangan Pagar Paregreg
beradu keras dengan jari-jari berkuku panjang.
Senjata itu mental patah dua!
Membuat Pagar Paregreg terkejut dan melompat mundur.
Di sebelahnya Brambang Santika
keluarkan seruan tertahan sewaktu pisau belatinya di sebelah kiri mental
dipukul tangan si nenek. Dia menusuk dengan pisau belati besar di tangan kanan.
Si nenek tahan tusukan itu dengan telapak tangan kirinya lalu secepat kilat
tangan itu berputar tahu-tahu senjata Brambang Santika sudah dirampas. Belum
lagi habis kejut lelaki ini, si nenek sudah lemparkan pisau hijau itu ke arah
pemiliknya!
Brambang Santika menjerit
keras. Pisau miliknya sendiri amblas masuk ke perutnya sampai sebatas gagang!
Selagi dia terhuyung-huyung pegangi perutnya yang bobol si nenek melompat ke
hadapannya sambil mencakar dengan tangan kanan.
Untuk kedua kalinya Brambang
Santika menjerit. Mukanya robek mengerikan.
Kedua kakinya hanya sanggup
bertahan singkat. Lalu tubuhnya tergelimpang roboh tak berkutik lagi!
Pagar Paregreg tidak kuasa
menahan rasa takutnya. Nyalinya telah leleh.
Secepat kilat dia memutar
tubuh melarikan diri. Tapi dari belakang, dengan sekali lompat saja si nenek
mengejar. Lima jari tangan kirinya mencakar ke arah punggung bekas Kepala
Pasukan Kerajaan itu. Kini ganti raungan Pagar Paregreg yang terdengar. Sekujur
daging punggungnya tergurat robek. Darah mengucur deras.
Dalam takut dan sakit yang
amat sangat bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini menghambur masuk ke dalam laut
tanpa ingat bahwa dia tidak bisa berenang.
Tubuhnya mulai di seret
ombak…. Dia menjerit minta tolong namun perlahan-lahan tubuhnya mulai tenggelam
ditelan laut dan tubuh Pagar Paregreg tidak kelihatan lagi!
Sepuluh Kuku Iblis menyeringai
angker. Dia melangkah ke tempat Brambang Santika tergeletak. Sekali tendang
saja sosok tubuh orang itu lenyap pula digulung ombak, diseret air ke dasar
laut!
14
Begitu si nenek sampai ke
hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng ajukan pertanyaan.
“Siapa yang barusan kau bunuh
di pantai sana?” Wiro kawatir yang jadi korban kini adalah tokoh-tokoh silat
sahabatnya atau orang lain yang tidak berdosa.
Sepuluh Kuku Iblis menyeringai.
“Rupanya kau memperhatikan juga. Ada dua orang yang ku kirim ke dasar laut.
Yang pertama adalah Pagar Paregreg…”
“Kepala Pasukan Kerajaan?”
tanya Wiro.
“Siapa lagi kalau bukan dia!
Eh, kau menyesal mengetahui kematiannya?”
“Tidak,” sahut Wiro. “Dia memberontak
pada kerajaan. Kematiannya seperti itu sudah cukup pantas baginya!”
Si nenek tertawa dan
tepuk-tepuk bahu Wiro. “Jadi kau juga benci padanya eh?”
“Siapa korbanmu satu lagi?”
tanya Wiro masih kurang enak.
“Brambang Santika. Orang
kepercayaan Patih Kerajaan yang selama ini menjadi penghubung antara Istana
dengan rimba persilatan….”
“Hemmm…. Pengkhianat satu itu
mampus juga akhirnya,” kata Wiro perlahan.
“Jadi aku tidak membunuh
sahabatmu bukan?” ujar si nenek.
“Dua orang itu memang bukan, tapi
bagaimana dengan mayat-mayat dalam lobang kelapa itu? Mereka tidak punya dosa
kesalahan apapun. Kau telah membunuhnya secara kejam dan memperlakukan jenazah
mereka secara biadab!”
“Anak muda, apakah di dunia
ini masih ada apa yang disebut biadab itu? Tunjukkan padaku siapa
manusia-manusianya yang kau anggap tidak beradab!”
Wiro memaki dalam hati. Dia
tidak bisa menjawab.
“Pendekar 212, kematian ketiga
orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Mereka bukan sanak bukan
kadangmu! Nah mulai saat ini mari kita bersahabat!”
“Siapa sudi bersahabat
denganmu!”
“Karena aku jelek, sudah tua
keriput?” tanya si nenek.
“Aku bersahabat dengan siapa
saja. Aku tidak memilih-milih untuk bersahabat. Tapi manusia-manusia jahat yang
beraja di hati dan bersutan di mata sepertimu ini apakah pantas dijadikan
sahabat?”
“Kalau kulepaskan totokanku
apakah kau mau bersahabat denganku?”
Wiro memaki panjang pendek si
nenek. Namun akhirnya dia hanya ajukan pertanyaan. “Mengapa kau ingin
bersahabat denganku?”
“Karena wajahmu sama dengan
seorang lelaki yang pernah kucintai di masa mudaku!” jawab Sriti Gandini polos
tanpa malu-malu. Sebaliknya paras murid Eyang Sinto Gendeng tampak menjadi
merah.
“Jadi saat ini kau berniat
hendak bercinta denganku? Mengambilku jadi kekasihmu?” tanya Wiro dengan mata
mendelik. “Kalau tua bangka peot ini menjawab ya, mati aku!” kata Wiro dalam
hati. “Aku berada dalam kekuasaannya. Ditelanjanginya pun aku tidak bisa
berbuat apa-apa!”
Si nenek tampak termenung
sesaat. Wajahnya yang angker kelihatan redup.
Lalu terdengar suaranya
perlahan, agak sendu. “Aku cukup tahu diri. Kita tak mungkin bercinta. Hanya
kalau kau mau bersahabat dan aku dapat sering-sering melihatmu itu sudah cukup.
Itu mungkin juga bisa membantuku untuk keluar dari kesesatan. Aku hanya manusia
biasa tidak luput dari kekhilafan…” Nenek ini terdiam sesaat. Wiro melihat
kedua matanya yang angker itu kini berkaca-kaca basah oleh air mata. Lalu si
nenek melangkah mendekatinya. “Aku telah memukulmu hingga jatuh ke dalam kawah.
Tapi kau ternyata masih hidup. Aku tak perlu bertanya bagaimana hal itu bisa
terjadi. Pasti ada seorang sakti menolongmu. Aku tahu kini kalau di tempat ini,
yang kuanggap menjadi kekuasaanku ada orang lain telah lebih dulu berada di
sini. Kau tentu mendendam terhadapku. Tidak jadi apa. Aku akan melepaskan
totokan di punggungmu. Kalau kau sudah bebas kau mau menghukumku aku sudah
pasrah!”
Lalu Sepuluh Kuku Iblis
melangkah ke belakang Wiro dan menekan punggung pemuda ini. Serta merta totokan
yang membuat kaku tubuh Pendekar 212 punah. Wiro berbalik. Kini dia
berhadap-hadapan dengan si nenek itu. Entah mengapa hati sang pendekar menjadi
kasihan melihat si nenek. Untuk beberapa lamanya Wiro pandangi orang tua itu
yang tegak menundukkan kepala.
“Kau ingin membunuhku, aku tak
akan melawan. Aku merasa bahagia kalau dapat mati di tanganmu, anak muda,”
terdengar si nenek berujar.
Wiro tarik nafas dalam dan
garuk-garuk kepalanya.
“Tuhanpun tidak akan menghukum
orang yang sudah bertobat. Kadal jelek semacamku apa mau melebihi Tuhan….?”
Ucapan murid Eyang Sinto
Gendeng itu membuat Sriti Gandini perlahan-lahan angkat kepalanya. Mukanya
tampak pilu sekali. Susah payah dia berusaha menahan tangis tapi tidak bisa.
Suara isakannya mengharukan.
“Nek, kau lebih baik
cepat-cepat pergi dari sini. Sebelum muncul orang-orang yang hendak meminta
pertanggung jawabmu. Tiga mayat dalam lobang kelapa itu biar aku yang
mengurus.”
“Ah… Kau baik sekali, anak
muda. Beruntung gadis yang bisa menjadi istrimu. Dia dulu juga segagah dan
sebaikmu ini. Tapi dia banyak tergoda oleh dunia dan nafsunya sendiri.”
“Maksudmu Giri Arsana alias
Dewa Berpayung Hitam?” tanya Wiro.
“Ah, jadi kau sudah tahu
ceritanya…?” balik bertanya si nenek.
Wiro mengangguk. “Dari
guruku….” Jawabnya. “Nah, apakah kau belum mau pergi dari sini…?”
“Aku menyukaimu, aku akan
menurut apa yang kau katakan. Sekalipun kau suruh aku menghambur masuk ke dalam
kawah sana…” kata Sriiti Gandini pula.
Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya.
“Pergilah cepat….” Kata Wiro.
“Ya, aku segera pergi. Selamat
tinggal Wiro. Aku akan mengenang dirimu selama sisa hidupku…” Si nenek memegang
jari-jari tangan pemuda itu.
“Kau nenek cantik yang pernah
aku lihat…” kata Wiro pula.
Sriti Gandini tersipu-sipu.
Lalu dia membalikkan diri hendak pergi. Namun dua orang yang tiba-tiba muncul
di ujung kawah sebelah timur membuat dia hentikan langkahnya. Kedua matanya
terbuka lebar. Wiro yang juga sudah melihat kedatangan kedua orang itu juga
sama terkejut. “Ah,, si nenek ini terlambat….” Keluhnya dalam hati.
Sesaat kemudian kedua orang
itu sudah berdiri di hadapan Sriti Gandini. Tiga pasang mata saling memandang
seperti dikobari nyala api. Dendam kesumat menggantung di udara. Di sebelah
Barat sang surya kelihatan laksana bola api, siap tenggelam.
15
Sepasang mata Sriti Gandini
memandang membara pada Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam. Dia melirik
sesaat pada Patih Ganda Ariawisesa lalu kembali berpaling pada orang yang
paling dibencinya itu.
“Dicari-cari bersembunyi.
Sekarang malah unjukkan diri!” kata si nenek.
“Sriti! Apa yang telah kau
lakukan terhadap anak istriku?!” bentak Giri Arsana sambil tancapkan payung
hitamnya ke tanah.
Si nenek menyeringai. “Lihat
saja sendiri!” jawabnya. “Mereka ada di sebelah sana. Mereka aku rawat
baik-baik…!” Lalu si nenek tertawa panjang.
Giri Arsana berpaling ke
belakang. Dia melihat ada deretan tujuh buah batang-batang kelapa. Tiga yang
paling ujung berisi sesuatu. Darahnya tersirap. Dua kali lompat saja Dewa
Berpayung Hitam sudah berdiri di depan deretan batang-batang kelapa itu. Ketika
melihat apa yang ada di dalam tiga lobang batang kelapa maka meraunglah kakek
itu. Tubuhnya melosoh ke tanah. Sambil bergayut pada batang kelapa di mana
terbaring jenazah istrinya kakek ini berkata disela isak tangisnya.
Saat itu Patih Kerajaan sudah
tegak pula di samping Giri Arsana. Sang Patihpun tak kuasa menahan diri melihat
mayat menantunya terbujur dalam lobang batang kelapa itu. Sekujur tubuhnya
bergetar. Amarahnya mendidih. Apalagi kalau dia ingat kematian puteranya.
“Istriku…. Anak-anakku… Aku
akan membalaskan sakit hati kematian kalian. Akan kucincang manusia jahanam
itu!” Sekali lagi Giri Arsana berteriak. Lalu dia bangkit dengan gerakan cepat.
Dia memandang sesaat pada Sriti Gandini.
Gerahamnya terdengar
bergemeletukan.
“Sriti! Aku tidak terima
perbuatan biadabmu ini! Kau harus mampus saat ini juga!” tariak Giri Arsana.
Lalu dia melompat ke hadapan si nenek sambil tusukkan ujung payungnya yang
runcing.
Si nenek mendengus. Dia
melompat ke samping sambil tendang badan payung.
Giri Arsana tidak tinggal
diam. Payungnya diangkat ke atas dan kini dipakai untuk menggebuk pinggang
lawan.
Saat itu pula Patih Kerajaan
melompat ke dalam kalangan perkelahian seraya berteriak.
“Sahabatku Giri Arsana! Harap
kau mundur! Aku yang berhak membunuh perempuan celaka ini! Dia telah membunuh
Sabrang putera tunggalku!” Sang Patih lalu dorong tubuh Giri Arsana hingga terhuyung
lalu masuk ke dalam kalangan
perkelahian dan langsung
menyerang si nenek dengan pukulan tangan kosong yang mematikan.
“Patih! Jangan kau berani
macam-macam! Aku lebih berhak membunuh bangsat tua ini! Dia telah membunuh
istri dan dua anakku! Apa kau masih merasa lebih berhak dariku?!” Giri Arsana
balas mendorong tubuh Patih Kerajaan hingga terjajar beberapa langkah. Kedua
orang ini jadi bertengkar perang mulut dan saling dorong mendorong.
“Hentikan ketololan ini!”
teriak Giri Arsana tiba-tiba. “Jika kita sama-sama merasa berhak membunuhnya,
mari kita menghajarnya. Kita hanya berebut cepat!
Siapa yang sanggup membunuhnya
lebih dulu itu lebih baik!”
Ucapan si kakek ada benarnya
juga terasa oleh Ganda Ariawisesa. Maka tanpa banyak bicara lagi diapun
menyerbu bersama si kakek. Diserang dua lawan berat seperti itu Sriti Gandini
tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad bulat untuk membunuh Giri Arsana lebih
dulu. Soal Patih Kerajaan itu bisa diselesaikannya kemudian.
Payung di tangan Giri Arsana
tiba-tiba berkembang. Satu sambaran angin menerpa membuat serangan si nenek
jadi terbendung. Betapapun dia coba merangsak ke depan tetap saja dia tidak
bisa menembus pertahanan lawan yang dibentengi dengan payung sakti itu. Ketika
Giri Arsana mulai memutar-mutar payung hitamnya si nenek merasakan tubuhnya
seperti digulung ombak yang dahsyat. Dia kerahkan tenaga dalam sepenuhnya dan
acungkan kedua tangannya ke depan. Sepuluh kuku hitam mencuat. Giri Arsana jadi
bergeming. Dia pegang payung kaitnya kuat-kuat dan memutar lebih sebat.
Sementara itu Ganda Ariawisesa melancarkan serangan dari samping bertubi-tubi
hingga si nenek merasa sangat terganggu dan tidak bisa memusatkan perhatiannya
pada Giri Arsana.
“Patih keparat! Kau
mengasohlah dulu!” teriak si nenek. Lalu mulutnya menyembur. Segulung asap
kelabu keluar membuntal.
“Patih, lekas tutup
penciumanmu!” teriak Giri Arsana. Tapi terlambat. Patih Kerajaan keburu mencium
asap kelabu yang menyembur dari mulut si nenek. Akibatnya dia merasakan sekujur
tubuhnya menjadi lemas sedang pemandangannya berkunag-kunang. Jika lawannya
menghantam saat seperti itu celakalah dirinya.
Memikir begitu Patih ini cepat
jauhkan diri dari kalangan perkelahian. Dia segera mengatur jalan nafas dan
peredaran darah. Sesaat kemudian dia tampak muntah-muntah.
Muntahnya bercampur darah.
Namun setelah muntah keadaannya jadi membaik.
Sriti Gandini kini lebih dapat
memusatkan serangannya pada Giri Arsana.
Tubuhnya berkelebat cepat
laksana bayang-bayang. Sepuluh kuku jarinya mengeluarkan sinar hitam menggaris
udara dalam sepuluh larik yang mengerikan.
Dengan gigih di nenek kirimkan
serangan susul menyusul. Namun payung hitam di tangan lawan benar-benar
membuatnya mati kutu. Satu kali dia sempat menghantam payung itu dengan lima
cakaran ganas. Tapi kain payung jangankan robek, tergurat sajapun tidak! Giri
Arsana pukul gagang payung dengan tangan kiri. Angin dahsyat menggebubu. Si
nenek coba bertahan tapi gagal. Tubuhnya tersungkur jatuh duduk!
Sambil memaki panjang pendek
si nenek bangkit berdiri. Tangan kanannya menyusup ke balik pakaian hijaunya.
Ketika keluar tampak di tangan itu tergenggam sebatang ranting sirih lengkap
dengan tiga helai daunnya. Melihat daun sirih itu, berubahlah paras Giri
Arsana.
“Benar rupanya dia telah
mengetahui kelemahanku!” kata si kakek dalam hati.
“Sekarang aku hanya tinggal
pasrah!”
“Kau lihat benda ini, Giri
Arsana?” tanya si nenek lalu tertawa panjang seperti lolongan srigala. Dia
mendongak ke langit. Dari mulutnya kemudian terdengar suara nyanyian.
Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak bungsu dan
anak ke empat
Menyusul sekarang Bapak yang
culas
Dendam kesumat segera terbalas
“Tua bangka gila! Kau telah
menyanyikan lagu pengiring kematianmu sendiri!” teriak Patih Kerajaan. Rupanya
keadaannya sudah pulih. Habis membentak
begitu dia segera menyerbu.
Namun dari samping Wiro yang sejak tadi diam saja menghadang serangannya.
“Biarkan mereka menyelesaikan
urusan…. Biar kita menjadi penonton yang baik saja, paman Patih.”
“Pendekar 212! Kau!” teriak
Patih Ganda Ariawisesa.
“Kau kini berbalik membela
perempuan itu? Kau sudah gila rupanya!”
“Dunia ini memang banyak orang
gilanya, Patih. Tapi sekali ini saya belum gila. Saya bilang biarkan
kakek-nenek itu menyelesaikan urusan mereka!”
“Kurang ajar! Kau telah
bersekutu dengan perempuan iblis itu!” teriak Patih
Ganda Ariawisesa. Dengan marah
dia langsung menyerang Wiro. Perkelahian seri terjadi hanya lima jurus. Di
jurus keenam Wiro berhasil menotok tubuh Sang Patih hingga terguling jatuh di
tanah dan tak bisa bergerak lagi. Hanya mulutnya saja yang berteriak memaki
tiada henti.
Begitu Sang Patih jatuh ke
tanah, Wiro cepat melompat ke tempat perkelahian antara Sriti Gandini dan Gairi
Arsana. Saat itu dengan setangkai daun sirih di tangan si nenek melancarkan
serangan. Giri Arsana muncur terus sambil melepaskan serangan-serangan balasan
dengan payungnya. Tapi nyatanya kini setiap serangan ataupun angin pukulan
sakti yang keluar dari payung, hanya dengan melambaikan daun sirih saja, semau
serangan si kakek dapat dimusnahkan oleh si nenek!
“Celaka!” keluh Giri Arsana.
Mukanya tampak pucat.
“Ajalmu sudah dekat Giri!”
kata si nenek sambil lontarkan seringai maut. Daun sirih di tangannya
dihantamkan ke depan. Giri Arsana kembali membentengi dirinya dengan payung
saktinya. Namun kali ini kekebalan payung hitam itu tidak sanggup bertahan
terhadap setangkai daun sirih.
Breeettt…!
Trakk! Trakk!
Kain payung robek besar.
Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu berpatahan. Giri Arsana merasakan seperti
ada aliran panas menjalar ke tubuhnya. Cepat-cepat orang tua ini buang
payungnya lalu melangkah mundur.
“Jangan harap kau bisa lari
Giri! Hanya nyawamu yang bisa membalas segala sakit hati dendam berkarat!”
“Aku tidak bakalan lari Sriti!
Kau ingin membunuhku silahkan! Lakukan cepat! Aku memang orang berdosa!” kata
Giri Arsana pula.
Si nenek tertawa. “Akhirnya
kau menyadari kesalahanmu manusia budak nafsu. Penyesalanmu datang terlambat…!”
Si nenek melompat dan pukulan sirih yang dipegangnya ke kepala Giri Arsana.
Inilah kelemahan Dewa Berpayung Hitam.
Kesaktian, kekebalan dan semua
ilmu yang dimilikinya akan musnah oleh pukulan daun sirih. Hal ini rupanya
diketahui Sriti Gandini setelah puluhan tahun berusaha membongkar rahasia
kehebatan si kakek.
Sesaat lagi setangkai daun
sirih itu akan mampu menghancurkan batok kepala Giri Arsana, tiba-tiba dari
samping berkelebat satu bayangan dan srettt! Tahu-tahu tangkai dan daun sirih
di tangan si nenek terbetot lepas.
Sriti Gandini menjerit keras.
“Pemuda kurang ajar!” teriak si
nenek ketika dilihatnya Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri tegak sambil
senyum-senyum dan kipas-kipaskan daun-daun sirih itu di depan dadanya.
“Kembalikan daun sirih itu padaku! Cepat!”
“Pendekar 212….!” Seru Giri
Arsana. Lalu dia terdiam. Baru dia menyadari bahwa memang betul wajah pemuda
itu memang mirip sekali dengan parasnya sewaktu muda! Namun saat itu dia tidak
bisa memikirkan hal itu lebih lama. Dia berkata “Pendekar 212, serahkan daun
sirih itu padanya. Aku sudah pasrah mati.
Dosaku terlalu besar
padanya….”
“Kalian berdua sama-sama tua,
seharusnya bisa bersabar. Jika silang sengketa antara kalian bisa diselesaikan
dengan damai mengapa tidak berusaha melakukannya?”
“Damai?!” sentak Sriti
Gandini. “Puluhan tahun dia menyakiti diriku. Datang pergi datang pergi dan
kawin! Saudara perempuanku ikut jadi korbannya…”
“Sudah Sriti, kau mau membunuh
aku lakukan saja. Jangan sebut-sebut lagi kejadian di masa lampau itu…” kata si
kakek dengan hati pilu. Lalu perlahan-lahan dia duduk di tepi kawah, bersila pejamkan
mata. Menunggu dirinya untuk dibunuh.
Si nenek melangkah. Tapi
Pendekar 212 cepat menghadang jalannya.
“Apa yang hendak kau lakukan?”
tanya Wiro pada si nenek sambil menatap dengan tajam.
“Apa perlu kau tanya lagi?!”
membentak Sriti Gandini. “Berikan sirih itu padaku!”
“Baik! Sirih ini akan aku
berikan padamu! Kau bisa membunuhnya dengan mudah! Tapi apakah setelah dia mati
kau akan merasa lepas dari segala dendam kesumat?! Istri dan dua anaknya sudah
kau bunuh! Apa itu belum cukup!”
“Tentu saja belum! Dendam
sakit hatiku selama puluhan tahun tidak akan terkikis sebelum dia kuhabisi!”
Wiro ulurkan tangannya yang
memegang daun sirih. “Kakek itu sudah mengakui dosanya. Sudah pasrah menerima
kematian dalam penyesalan yang mendalam. Jika kau hendak membunuhnya silahkan.
Tapi ingat, jangan harap aku mau bersahabat lagi denganmu!”
Si nenek tersurut.
Giri Arsana terheran-heran
mendengar ucapan Pendekar 212 yang membuat si nenek seperti ketakutan.
“Kau manusia jahat!” jerit
Sriti Gandini. Lalu dirampasnya setangkai daun sirih itu dari tangan Pendekar
212. Tapi dia tidak menghantamkan daun sirih itu pada Giri Arsana. Dari
mulutnya terdengar suara memelas perlahan. “Mungkin memang sudah begini takdir
jalan hidupku. Kalau saja aku bisa mati lebih cepat itu akan lebih baik. Apa
artinya lagi hidup ini…”
Sriti Gandini campakkan
setangkai daun sirih itu ke tanah. Lalu tiba-tiba sekali tanpa satu orangpun
bisa mencegahnya nenek ini membuang dirinya ke dalam kawah.
“Sriti!” teriak Giri Arsana.
Dia coba mengejar tapi terlambat. Tubuh si nenek sudah jauh melayang ke arah
kawah. Giri Arsana terduduk di tebing kawah. Kakek ini mulai menangis
sesenggukan.
Saat itu matahari mulai
tergelincir tenggelam seolah-olah meluncur masuk ke dalam laut. Di bawah sinar
mentari yang merah keemasan itu, dari bawah kawah kelihatan ada dua orang
bergerak mendaki ke atas. Yang satu seorang kakek berpakaian putih, mendaki
sambil memanggul sesosok tubuh berpakaian hijau. Di sebelahnya berjalan seorang
gadis berwajah jelita. Rambutnya yang hitam sebahu melambai-lambai tertiup
angin.
Makin tinggi kedua orang ini
naik ke atas tebing kawah. Semakin melotot kedua mata Wiro dan Giri Arsana.
Begitu kedua orang itu sampai di depan mereka, Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Tuhan Maha Besar!” seru
Pendekar 212. “Kakek Tua Gila, lagi-lagi kau menyelamatkan orang dari
kematian!”
Tua Gila yang memanggul tubuh
Sriti Gandini yang saat itu mulai siuman, menurunkan tubuh si nenek lalu
membaringkannya di tanah di hadapan Giri Arsana.
Si kakek menjerit keras lalu
merangkul tubuh orang yang pernah jadi kekasihnya itu. Dia tidak malu-malu
membisikkan ratapan. “Sriti, jika kau mau memaafkan aku. Aku berjanji akan
memeliharamu baik-baik di sisa usiaku yang tidak seberapa lama lagi ini….”
Si nenek tidak menjawab. Kedua
matanya yang sempat hendak dibuka kini dipejamkannya kembali.
Pendekar 212 tersenyum dan
berkata. “Hai nek! Ayo jawab ucapan orang! Apa kau tidak mendengar apa yang
tadi dikatakan si kakek?!”
Si nenek yang sadar kalau
orang sudah tahu bahwa dia berpura-pura pingsan terus akhirnya buka kedua
matanya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Sesaat dia memandang dengan mata
melotot pada Wiro. Wiro membalas dengan senyum dikulum sambil kedipkan mata dan
goyangkan kepalanya ke arah Giri Arsana.
“Kakek itu akan duduk bersila
di situ sampai jadi batu. Kecuali kalau kau mau menolongnya berdiri! Tolong
dia. Dia akan ikut kemana kau pergi. Kalian berdua akan bahagia
selama-lamanya!”
Diperlakukan seperti itu Sriti
Gandini jadi serba salah. Akhirnya diulurkannya juga tangan kanannya. Si kakek
menatap paras nenek itu dengan air mata bercucuran.
Si nenekpun mulai menangis
sesenggukan. Keduanya saling berpegangan tangan dan perlahan-lahan Giri Arsana
bangkit berdiri. Saat itu juga tempat itu dipenuhi tepuk bersorak Wiro, Tua
Gila dan Mirantih.
“Sebaiknya kita yang tak punya
kepentingan tidak perlu berlama-lama di tempat ini…..” kata Wiro pula.
Tua Gila batuk-batuk. “Kau
betul Pendekar 212. Mari kita pergi.”
Wiro mendekati Patih Ganda
Ariawisesa terlebih dulu untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu. Semula
dia menyangka Sang Patih akan menghantamnya,
paling tidak mencaci makinya.
Ternyata tidak. Sang Patih menarik nafas dalam dan terdengar berucap. “Aku
sudah saksikan semua yang terjadi. Mungkin ini semua sudah takdir dari Yang
Kuasa. Kita manusia hanya bisa menerima kenyataan…”
“Saya merasa bersyukur Paman
Patih berkata begitu….” Kata Wiro girang.
Lalu dia memberi isyarat pada
Tua Gila dan Mirantih. “Mari kita pergi. Jenazah di dalam batang kelapa
serahkan saja pada mereka untuk mengurusi.” Ketiga orang itu segera hendak
melangkah pergi. Tiba-tiba terdengar Patih Kerajaan berkata “tunggu dulu!
Apakah kalian melihat dua orang berada di pulau ini?”
“Maksud Paman Patih Pagar
Paregreg Kepala Pasukan Kerajaan yang jadi pimpinan pemberontak itu dan
cecunguk kawannya yang bernama Brambang Santika?!” ujar Wiro.
“Ah, jadi kau sudah melihat
mereka!”
“Keduanya tak perlu diurusi.
Sudah ada yang mengurus sendiri. Ikan-ikan di dalam laut sana!” kata Wiro seraya
menunjuk ke tengah laut. Selagi Patih Kerajaan terheran-heran tak mengerti
Pendekar 212 melanjutkan keterangannya. “Kedua orang itu sudah dihajar
habis-habisan oleh nenek itu. Mayatnya ditendang mental dan masuk ke dalam
laut!”
Patih Kerajaan melepaskan
nafas lega. Wiro, Tua Gila dan Minaratih melangkah pergi. Namun lagi-lagi ada
suara menahannya pergi. Kali ini seruan Sriti Gandini.
“Pendekar 212! Aku tahu
sekarang! Kau sudah dapat sahabat baru gadis cantik itu! Pantas kau tidak mau
bersahabat denganku!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Siapa bilang saya tidak suka bersahabat denganmu Nek. Bukankah sudah saya
katakan kau ini nenek paling cantik di dunia?!” Lalu pada Giri Arsana dia
berkata. “Kek, kau jaga baik-baik sahabat yang cantik itu!”
Semua orang yang ada di puncak
kawah Gunung Krakatau itu termasuk Giri Arsana tertawa gelak-gelak. Si nenek
tampak cemberut. Tapi cuma sebentar Sesaat kemudian terdengar pula suara
tawanya. Malah lebih keras dari tawa yang lain.
TAMAT