-------------------------------
----------------------------
060 Serikat Candu Iblis
1
MUSIM panas sekali ini memang
gila. Delapan purnama telah berlalu tanpa sekali pun turun hujan. Sungai
mengering, danau berubah menjadi lembah tandus.
Pepohonan banyak yang hanya
tinggal ranting-ranting meranggas. Sawah sudah sejak lama menjadi pendataran
liar yang terdiri dari bongkah-bongkah tanah kering kerontang dan alang-alang.
Di bawah teriknya sinar
matahari yang seperti membakar bumi menghanguskan jagat, di sebelah selatan
Gunung Karangpandan, di tepi sebuah rimba belantara kelihatan satu pemandangan
yang bisa dikatakan luar biasa.
Delapan orang lelaki
bertelanjang dada, rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh, setengah berlari
tampak mengusung sebuah tandu. Empat di depan, empat di belakang. Di bagian
tengah tandu ada sebuah tempat duduk kayu yang diberi beratap dan dinding serta
pintu, semuanya terbuat dari kayu jati hitam.
Karena kayu jatinya merupakan
kayu jati paling bagus dan tebal maka keseluruhan tandu itu memiliki berat
tidak kurang dari dua ratus kati! Belum lagi kalau di atas tandu itu ada
orangnya.
Di samping itu, demikian
rapatnya dinding dan pintu tandu, sehingga siapa pun yang ada di dalamnya tidak
dapat dilihat dari luar. Meskipun tandu itu demikian beratnya namun kedelapan
lelaki yang mengusungnya berjalan cepat setengah berlari.
Sambil bergerak, dari mulut
empat orang pengusung di sebelah depan tidak henti-hentinya menyerukan dengan
bersemangat kata-kata hitungan “Satu-dua-tiga-empat…! Satu-dua-tiga-empat!”
Lalu empat teman mereka di sebelah belakang pada akhir hitungan ke empat
menyahuti dengan ucapan “Anjing gila jilat pantat…! Anjing gila jilat pantat!”
Begitu seterusnya sepanjang
perjalanan selalu terdengar: “Satu-dua-tiga-empat…!
Anjing gila jilat pantat!
Satu-dua-tiga-empat…! Anjing gila jilat pantat!”
Tubuh, muka dan kepala delapan
lelaki pengusung tandu tampak basah oleh keringat. Tetapi hebatnya, mereka
tidak tampak letih.
Rombongan pengusung tandu aneh
itu berangkat sejak fajar menyingsing dari arah Magetan menuju ke Barat. Ke
delapan orang pengusung sama sekali tidak mengetahui ke mana sebenarnya tujuan
mereka. Pada saat-saat tertentu di lantai tandu yang tertutup itu mereka
mendengar suara ketukan. Ada kalanya dua ketukan, atau tiga kali ketukan,
kadang-kadang hanya satu kali.
Ketukan-ketukan itu adalah
tanda atau petunjuk yang harus mereka ikuti. Satu ketukan berarti jalan terus
ke depan. Dua ketukan membelok ke kanan. Kalau terdengar tiga kali ketukan pada
lantai tandu berarti mereka harus menikung ke kiri.
Dari dalam tandu juga sesekali
keluar asap tipis berwarna putih agak kelabu. Anehnya, setiap asap putih itu
keluar, ke delapan orang lelaki pengusung seperti berebutan meninggikan hidung,
serentak menghirup asap tersebut. Begitu mereka dapat menghirup asap itu, wajah
mereka kelihatan menjadi kemerahan. Rasa letih di sekujur tubuh masing-masing
menjadi lenyap!
Di suatu tempat terdengar dua
ketukan pada lantai tandu. Delapan pengusung segera membelok ke kanan. Kini
mereka memasuki rimba belantara yang sebelumnya hanya mereka susuri sepanjang
pinggirnya saja. Dulunya rimba belantara ini tertutup kerimbunan daun-daun
pepohonan. Kini sejak dilanda musim kemarau panjang selama delapan bulan, rimba
belantara itu hanya tinggal pohon-pohon nyaris tak berdaun, tidak mampu
membendung teriknya sinar matahari. Di lantai tandu terdengar suara ketukan
satu kali berkepanjangan. Pertanda jalan yang ditempuh adalah lurus ke depan.
Di salah satu bagian hutan,
ketukan satu kali-satu kali tiba-tiba berhenti. Lalu berganti dengan ketukan
tujuh kali-tujuh kali. Delapan orang lelaki pengusung serta merta berhenti
berlari. Suara seruan “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!” langsung
sirap. Semuanya memandang berkeliling dengan mata tidak berkesip.
Sebenarnya sejak memasuki
rimba belantara tadi mereka diam-diam telah mengetahui ada serombongan orang
tengah menguntit mereka. Namun karena tidak mendapat “petunjuk” dari dalam
tandu maka mereka tidak berani melakukan sesuatu dan dengan tenang sambil terus
mengumandangkan ucapan-ucapan “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”,
kedelapannya terus saja berlari.
Kini tujuh ketukan tadi telah
mereka dengar. Itulah satu perintah yang berarti mereka harus berhenti berlari
karena ada bahaya dan mereka harus menghancurkan bahaya itu Delapan lelaki bertubuh
tegap itu tidak menunggu lama. Semak belukar di sekeliling mereka tersibak. Dua
belas orang berpakaian merah dan berikat kepala kain merah muncul. Tampang
mereka rata-rata angker dan masing-masing mencekal sebilah golok besar.
Seorang dari mereka melangkah
maju. Rupanya dia yang menjadi pimpinan dari sebelas kawan-kawannya. Berewok
dan kumisnya sangat lebat. “Kalian rombongan dari mana dan mau ke mana!?”
“Kami dari Magetan, dalam
perjalanan menuju ke Barat.” Salah seorang dari delapan lelaki pengusung tandu
menjawab. Dia adalah yang berada di sebelah kanan depan.
“Barat itu luas. Sebutkan
tujuan kalian dengan jelas. Jangan memberi teka-teki padaku!” bentak si berewok
ini.
“Kami tidak berteka-teki. Kami
bicara apa adanya!” jawab si pengusung di kanan depan. Rupanya dia tidak takut
menghadapi rombongan orang-orang angker yang kini mengurungnya di dalam rimba
belantara itu. Ketujuh temannya juga tidak menunjukkan rasa khawatir. Sikap
mereka tenang tapi sepasang mata masing-masing tidak berkesip mengawasi keadaan
sekeliling mereka.
Lalu kawannya di depan kiri
menyusuli ucapan itu. “Kami sudah menjawab. Sekarang beri jalan jangan
menghalangi!”
Lelaki berewok berpakaian
merah sesaat menatap pengusung itu lalu menyeringai. Setelah itu kembali dia
membentak. “Turunkan usungan! Aku mau lihat apa yang kalian bawa!”
Yang menjawab kembali adalah
pengusung di kiri depan. “Kami tidak membawa barang atau benda berharga. Jadi
tidak perlu tandu diturunkan.”
“Hemm… Begitu kau bilang?”
orang berpakaian merah dengan berewok lebat kembali menyeringai. “Di rimba
belantara Karangkukusan ini aku yang punya kuasa. Aku yang memerintah. Hanya
mereka yang ingin cepat mampus boleh unjuk lagak coba-coba membangkang!”
“Kita sesama teman, mengapa
harus bicara keras? Apalagi sampai memeriksa isi tandu ini!”
“Kita sesama teman kau bilang!
Aku Krincing Wungu tidak pernah punya teman manusia-manusia dogol macammu dan
kawan-kawanmu! Turunkan tandu atau kepala kalian kubikin menggelinding satu
demi satu!”
“Hah! Rupanya kami berhadapan
dengan gembong penjahat rimba Karangkukusan yang terkenal itu!” kata si
pengusung di depan sebelah kiri.
Dari dalam tandu tiba-tiba
keluar asap putih kelabu. Delapan orang lelaki pengusung tandu meninggikan
leher dan menghirup dalam-dalam. Tampang mereka serta merta menjadi merah segar
dan mereka seperti mendapat satu kekuatan dan keberanian. Hal ini tidak lepas
dari pemandangan dua belas orang berpakaian merah, termasuk pimpinannya yang
bernama Krincing Wungu itu.
“Tandu tidak akan kami turunkan!
Terserah kau mau berbuat apa! Adalah bodoh kalau kau tidak melihat tingginya
Gunung Merapi dan dalamnya Samudra Selatan. Kau mencari penyakit sobat!”
Krincing Wungu mendengus. Dia
berpaling pada sebelas anak buahnya lalu goyangkan kepalanya. Melihat isyarat
ini sebelas orang lelaki berpakaian merah segera menyerbu ke arah usungan.
Sebelas golok besar berkelebat mencari sasaran di tubuh atau kepala delapan
orang lelaki pengusung tandu. Dalam keadaan masih memikul beban berat, serangan
ganas itu pastilah akan membawa celaka bagi ke delapan orang yang jadi sasaran.
Namun apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa. Satu orang lelaki pengusung
di bagian depan dan satu lagi di bagian belakang melesat keluar sedang enam
lainnya tetap ditempat masing-masing. Lalu tangan dan kaki mereka yang bebas
bergerak cepat menyambut serangan.
Dua anggota pengusung yang
tadi keluar dari rombongan menyusup dan tahu-tahu sudah berada di belakang
sebelas orang yang menyerbu. Keduanya membuat gerakan-gerakan cepat dan ganas.
Kesebelas penyerang itu kini
seolah-olah terjepit di tengah-tengah. Lalu terdengar jerit pekik. Enam golok
mental ke udara. Empat sosok berpakaian merah roboh dengan kepala pecah. Tiga
lainnya menggelepar-gelepar di tanah sambil pegangi batang leher yang remuk
lalu tak berkutik lagi, mati dengan mata mencelet.
Sisa penyerang yang tinggal
empat dan saat itu tidak lagi memegang senjata karena telah mental atau jatuh.
Mereka melompat mundur dengan muka pucat.
Di pihak para pengusung tandu,
salah seorang di antara mereka yang di bagian belakang kelihatan masih tegak
mengusung tandu tetapi pangkal bahu kirinya luka besar kena hantaman golok.
Darah mengucur deras membasahi
dadanya yang telanjang dan juga celana hitamnya. Dari air mukanya jelas orang
ini menahan rasa sakit yang amat sangat.
Hebatnya, dalam keadaan luka
parah seperti itu dia tetap tegak menahan tandu dengan bahu kanannya. Namun
darah yang terlalu banyak keluar membuat orang ini mulai merasa dirinya limbung
dan pemandangannya mulai berkunang.
Krincing Wungu sesaat masih
tertegak dengan tubuh bergetar dan mata melotot. Dalam hati dia menggeram.
“Siapa orang-orang ini sebenarnya? Tujuh anak buahku mereka bunuh dalam
sekejapan!” Seberkas asap tiba-tiba keluar dari sela-sela lantai tandu. Menyapu
ke arah pengusung yang berada dalam keadaan luka parah tadi.
Orang ini segera menghirup
asap itu, kawan-kawannya di sebelah menyebelah ikut menghirup. Begitu hawa dari
asap aneh masuk ke saluran pernafasan dan paru-parunya, lalu mengalir dalam
saluran pembuluh darahnya, pengusung yang terluka ini merasa ada perubahan
dalam dirinya. Rasa sakit hilang sama sekali. Tubuhnya yang tadi lemah kini
menjadi segar dan kuat sedang pemandangan matanya yang sebelumnya berkunang
kini menjadi pulih dan terang kembali.
Di lantai tandu terdengar
suara ketukan satu kali. Itu pertanda bahwa rombongan pengusung harus segera
bergerak meninggalkan tempat itu, lurus ke depan.
Rombongan ini segera bergerak.
Namun baru maju dua langkah, dari samping didahului suara bentakan garang,
Krincing Wungu melompat setinggi dua tombak ke udara. Di lain saat, tahu-tahu
tubuhnya sudah berada di atas tandu.
2
BEGITU kedua kakinya menginjak
atas tandu. Krincing Wungu segera tusukan golok besarnya ke atap itu. Delapan
orang pengusung tetap tidak bergerak sedikitpun padahal berat tubuh Krincing
Wungu paling tidak sekitar 90 kati!
Sesaat lagi golok Krincing
Wungu akan menembus atap tandu, tiba-tiba atap tandu terbuka dan dari dalam
tandu melesat sebuah tombak, mencuat langsung menusuk selangkangan Krincing
Wungu.
Kepala penjahat hutan
Karangkukusan ini meraung keras. Golok besar terlepas dari tangannya. Kedua
tangannya kini dipergunakan untuk memegangi bawah perutnya dari bagian mana
darah mengucur deras. Sekali lagi Krincing Wungu menjerit. Lalu tubuhnya jatuh
ke bawah. Tiga orang anak buahnya berseru tegang.
Mereka serempak melompat ke
arah di mana tubuh pimpinan mereka bakal jatuh, berusaha menyahuti tubuh itu
agar tidak jatuh ke tanah.
Namun tubuh Krincing Wungu
besar dan berat. Tiga anak buahnya tidak sanggup menahan. Keempat penjahat ini
akhirnya jatuh terkapar di tanah. Krincing Wungu tampak menggeliat. Dari
mulutnya tiada henti terdengar raungan. Suaranya menjadi parau. Tubuhnya
berkelojotan beberapa ketika lalu diam tak bergeming lagi.
“Pemimpin!” seru tiga anak
buah Krincing Wungu lalu menubruk tubuh pemimpin mereka. Tapi Krincing Wungu
sudah jadi mayat.
Di lantai tandu terdengar
suara ketukan satu kali. Itu tanda perjalanan harus dilanjutkan, lurus ke muka.
Delapan lelaki pengusung tandu mendongak. Kaki mereka bergerak. Tandu itu
kembali mereka gotong dan larikan. Dari mulut mereka kembali terdengar suara:
“Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
Tiga orang anak buah Krincing
Wungu perhatikan kepergian rombongan pengusung tandu itu. “Rombongan aneh.
Siapa mereka sebenarnya?” berkata salah seorang dari mereka.
“Aku tak bisa menduga. Tapi
jangan-jangan…” orang ini tidak meneruskan ucapannya. Wajahnya kelihatan pucat
mendadak. Dua temannya tampak ketakutan juga. Dia cepat berdiri seraya berkata,
“Kita tidak bisa mengurus semua mayat ini. Jenazah pemimpin saja yang bisa kita
bawa dari sini. Bantu aku menggotongnya!”
Masih di dalam rimba belantara
Karangkukusan, di arah barat yang bakal dilalui oleh rombongan pengusung tandu
tadi kelihatan gerakan-gerakan di balik semak belukar dan di atas beberapa buah
pohon besar. Lalu terdengar suara suitan-suitan pendek dari arah kanan. Suitan
ini disambut dengan suitan pula dari jurusan kiri.
Ketika suara suitan yang
bersahut-sahutan itu lenyap, serumpun keladi hutan berdaun tinggi dan lebar
tampak bergoyang. Satu tangan muncul di antara daun-daun keladi itu,
menggaruk-garuk satu kepala berambut gondrong. Orang di balik pohon keladi
mendongak ke langit.
“Itu bukan suitan biasa. Siapa
yang tadi berbalas suitan?” orang yang berambut gondrong ini yang ternyata
seorang pemuda bertanya dalam hati. Dia memandang berkeliling. Tidak terlihat
gerakan, tidak terlihat apa pun. Dia mendongak lagi. Saat itulah dia melihat
sebuah benda panjang menjulai di udara hampir tersamar di antara cabang-cabang
pepohonan.
Belum sempat dia menduga benda
apa adanya itu tiba-tiba telinganya menangkap seruan-seruan tak berkeputusan di
kejauhan di arah selatan. Makin lama seruan-seruan itu semakin keras dan tambah
jelas. “Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
“Satu dua tiga empat! Anjing
gila jilat pantat!”
“Edan! Dalam rimba belantara
begini siapa pula yang berteriak seperti itu! Anjing gila mana yang jilat
pantat!” pemuda berambut gondrong di balik pohon keladi besar berkata dalam
hati setengah memaki. Tapi diam-diam dia juga merasa heran dan agak was-was.
“Jangan-jangan itu bukan suara
manusia. Tapi suara hantu rimba belantara!” katanya lagi dalam hati. Dia
memandang ke jurusan datangnya suara-suara seruan ramai itu. Lalu terlihatlah
rombongan pengusung tandu yang terdiri dari delapan lelaki bertubuh besar,
hanya mengenakan celana hitam panjang sebatas betis.
“Hemm…” si gondrong bergumam.
Kedua matanya memperhatikan kaki-kaki delapan orang yang berlari itu. Semuanya
menginjak tanah. “Manusia juga adanya mereka. Tapi jelas berkepandaian tinggi.
Bukan sembarang orang mampu menggotong tandu kayu jati seberat itu. Malah
sambil berseru-seru seperti itu! Dan berlari pula! Gila!” Rombongan pengusung
tandu itu lewat di depan si gondrong yang bersembunyi di balik rumpun keladi.
“Siapa adanya orang-orang itu.
Apa yang ada di dalam tandu? Harta pusaka, perhiasan, emas berlian, atau
seorang putri cantik jelita?”
Tiba-tiba delapan lelaki
bertelanjang dada yang menjadi pengusung tandu mendengar suara tujuh ketukan di
lantai tandu. Tanda bahaya! Mereka baru saja lolos dari satu bahaya, kini
bahaya apa pula yang datang menghadang?
Mereka memandang berkeliling.
Saat itulah terdengar suara berdesir. Lalu sebuah jaring raksasa, entah dari
mana munculnya, laksana turun dari langit jatuh ke bawah, tepat menimpa
rombongan itu. Delapan lelaki pengusung berikut tandu yang diusung kini
terkurung dalam jaring besar.
Delapan pengusung berseru
kaget. Namun sebagai orang-orang yang telah banyak pengalaman, cepat sekali
kemudian mereka menguasai keadaan. Masih dalam keadaan memanggul tandu yang
berat, delapan pasang tangan mereka bergerak ke pinggang. Delapan pasang tangan
kemudian terpentang ke depan.
Kelihatan setiap orang kini
memegang sebilah pisau kecil yang sangat tajam di tangan kiri kanan.
Pisau-pisau kecil itu mereka babatkan ke depan untuk memutus jaring. Namun
jaring yang menjerat rupanya bukan jaring biasa. Atos tak mempan sayatan pisau!
Padahal pisau kecil itu bukan senjata sembarangan. Pernah diuji kesanggupannya
menusuk batu!
Delapan lelaki pengusung tandu
jadi terperangah dapatkan pisau-pisau mereka tidak sanggup memutus jaring.
Sesaat mereka saling pandang. Salah seorang di antara mereka berkata, “Coba
dengan pedang asap!”
Delapan orang itu terdengar
merapal lalu serentak sama-sama meniup. Dari mulut mereka melesat aneh selarik
sinar putih berbentuk pedang panjang.
“Wut… wut… wut… wut… wut… wut…
wut… wut…!”
Delapan pedang asap menghantam
jaring di delapan bagian. Jaring besar itu bergoyang keras seperti mau ambrol.
Tapi ternyata tidak! Benda berbentuk pedang panjang malah tiba-tiba membalik ke
arah mereka. Dalam keadaan kaget kembali ke delapan lelaki pengusung tandu
meniup. Pedang asap pupus lenyap tidak berbekas!
Di kejauhan terdengar suara
ringkikan. Lalu ada suara derap kaki kuda mendatangi. Sebelum itu dari balik
semak belukar dan pohon-pohon besar berlompatan hampir dua lusin orang
bersenjatakan tombak dan pedang.
Sepuluh di antaranya memegang
busur dan membidikkan anak panah ke arah orang-orang yang terjerat itu.
Sementara itu dari atas pohon-pohon di sekitar tempat itu berserosoran turun
sembilan orang berpakaian serba biru. Begitu sampai di tanah mereka langsung
menghunus senjata masing-masing dan menebar mengurung rombongan yang barusan
kena jerat. Berada dalam keadaan tak berdaya di bawah jala serta dikurung rapat
demikian rupa, delapan orang lelaki pengusung tandu kini tegak tak bergerak.
Mata mereka mengawasi para pengurung. Telinga mereka menunggu aba-aba dari
dalam tandu namun tanda yang ditunggu tidak kunjung terdengar. Para pengurung
sendiri kelihatan tidak bergerak dari tempat masing-masing seakan ada yang
ditunggu. Memang benar. Saat itu muncul tiga orang penunggang kuda.
Pemuda gondrong yang mendekam di
balik kerapatan semak belukar dan pohon keladi besar mengeryitkan kening. Salah
satu di antara tiga penunggang kuda itu, yakni yang berpakaian bagus dan
berambut putih dikenalnya sebagai Lawunggeno, Adipati Magetan. Di sebelahnya,
seorang kakek berkulit hitam bermata sangat cekung berambut panjang sebahu.
Orang tua ini mengenakan baju hitam berbelang-belang putih sehingga pakaiannya
seperti bergambar jala atau jaring.
Si gondrong garuk-garuk kepala
di tempat persembunyiannya. Otaknya coba mengingat-ingat. “Aku pernah tahu tua
bangka berkulit hitam itu. Ah… sialan! Masakan aku lupa. Padahal dua bulan lalu
aku melihatnya di pantai selatan. Siapa… Aku ingat! Dia adalah Jala Gandring!
Tokoh silat yang dikenal memiliki keahlian dalam soal jebak-menjebak! Punya
hubungan dekat dengan pembesar di Kotaraja. Betul, dia memang Jala Gandring!”
Lalu pemuda ini memperhatikan
penunggang kuda yang ketiga, yaitu seorang lelaki separuh baya bertampang gagah
dan berpembawaan tegang. Di pinggangnya bergelung seuntai rantai besar yang
terbuat dari perak berkilat. “Pasti itu senjata andalannya,” pikir si pemuda.
Dia coba menduga-duga tapi tidak berhasil mengetahui siapa adanya orang ini.
Setelah menatap orang-orang
pengusung tandu yang terperangkap dalam jaring itu beberapa ketika, orang tua
berkulit hitam tertawa mengekeh. “Tidak percuma dua tahun aku merancang jala
itu. Kini terbukti memang luar biasa. Tak bisa dirobek apalagi dijebol!”
Adipati Lawunggeno majukan
kudanya dua langkah lalu berkata dengan suara keras. “Iblis-iblis perusak
jagat! Hari ini habis riwayat kalian! Sebelum kusuruh pancung lekas turunkan
tandu!”
“Kami tidak layak mengikuti
perintah siapa pun kecuali pemimpin kami!” menjawab lelaki pengusung di depan
kanan.
Lawunggeno menyeringai. “Kalau
begitu aku perintahkan agar pimpinanmu lekas keluar dari tandu!”
“Tandu ini kosong! Kami tidak
membawa barang atau manusia!”
“Jangan berani dusta!” bentak
orang berikat pinggang rantai perak.
“Siapa yang dusta! Kalian
lihat sendiri!” jawab lelaki pengusung tadi.
Lalu dia memberi isyarat
kepada kawannya yang berada di sebelah tengah kanan. Orang ini segera ulurkan
tangan membuka pintu tandu. Begitu pintu terbuka kelihatanlah bagian dalam
tandu. Ternyata memang tandu itu kosong!
Lawunggeno, si rantai perak
dan Jala Gandring melengak dan saling pandang.
“Aneh,” bisik Adipati Magetan
itu. “Aku berani bersumpah. Aku sendiri melihat iblis terkutuk itu masuk ke
dalam tandu sebelum rombongannya meninggalkan Magetan!”
“Mungkin dia menyelinap di
tengah jalan,” kata si rantai perak.
“Aneh… Aku tidak bisa percaya
hal ini,” berkata Jala Gandring. Matanya yang besar dipelototkan melihat bagian
dalam tandu. Tapi di dalam sana memang tidak ada siapa-siapa. Kosong melompong!
Melihat tiga penumpang kuda
itu bingung, pengusung yang di tengah menutupkan pintu tandu kembali. Lalu
kawannya yang di sebelah depan berkata.
“Kalian sudah melihat sendiri
tidak ada apa-apa di dalam tandu. Sekarang izinkan kami pergi!”
“Pergi?!” Adipati Lawunggeno
tertawa bergelak. “Kalian memang boleh pergi. Tapi pergi ke neraka! Selama ini
kalian jadi kaki tangan Serikat Candu Iblis.
Merusak rakyat dan negeri.
Setelah tertangkap begini apakah kami akan membebaskan kalian begitu saja? Enak
betul!”
“Kalian salah sangka! Kami
bukan orang-orang Serikat Candu Iblis!”
“Siapa percaya pada mulut
busuk penipu sepertimu!” bentak Jala Gandring.
“Bunuh mereka! Tinggalkan satu
hidup-hidup!” Lawunggeno berteriak lalu memberi isyarat pada sembilan orang
berseragam biru. Mereka prajurit-prajurit Kadipaten yang ada di bawah
perintahnya dan sengaja mengenakan pakaian seragam biru.
Sembilan orang itu segera
melompat sambil menghujamkan senjata masing-masing.
Melihat hal ini Jala Gandring
cepat berteriak, “Tunggu! Jangan dekati mereka!”
Namun enam dari sembilan orang
berseragam biru sudah terlanjur menyergap ke depan. Senjata mereka berkelebatan
menusuk di antara rongga-rongga jaring. Lalu terjadilah hal yang mengejutkan.
Enam buah tangan melesat keluar dari dalam jala.
Tiga menangkap lengan yang
menusukkan senjata, dua menghantam ke arah dada dan satu ke arah kepala pihak
yang menyerang.
Terdengar pekik keras. Dua
dari penyerang langsung roboh terbanting ke tanah. Yang pertama pecah
kepalanya, yang satu lagi remuk tulang dadanya dan muntahkan darah segar.
Sesaat kemudian keduanya meregang nyawa. Di sebelah kiri, orang berpakaian biru
ketiga tampak terhuyung-huyung sambil pegangi golok miliknya sendiri yang kini
menancap diperutnya. Penyerang ke empat terduduk di tanah. Bahu kanannya luka
besar. Darah mengucur membasahi pakaiannya. Sesaat kemudian tubuhnya rebah ke
tanah. Empat dari pihak penyerang menemui kematian secara mengejutkan. Dua
lainnya sempat melompat mundur menyelamatkan diri.
Paras tiga orang penunggang
kuda jadi berubah kaku membesi. Jala Gandring sangat terpukul karena merasa
terlambat memberi peringatan. Dia sudah tahu sebelumnya bagaimana kehebatan
ilmu orang-orang yang menamakan dirinya Serikat Candu Iblis. Sangat berbahaya
kalau diserang dalam jarak pendek. Orang tua ini mengusap dagunya lalu membisikkan
sesuatu pada Adipati Magetan. Lawunggeno lalu mendekati sepuluh orang yang
tegak dengan busur dengan panah terpentang.
“Ganti panah kalian dengan
panah-panah beracun! Bunuh pengusung tandu itu. Yang paling depan sebelah kanan
biarkan hidup. Dia pasti pimpinan dari tujuh kawannya!”
Sepuluh orang yang tengah
merentang dan membidikkan panah segera turunkan busur masing-masing, lalu
mengganti anak panah dengan anak panah baru yang ujungnya terbuat dari besi dan
berwarna hitam pekat. Seluruh ujung besi anak panah itu mengandung racun yang
amat jahat. Jangankan manusia, seekor gajah pun akan menemui ajalnya dalam
beberapa kejapan saja sekali terkena.
“Izinkan aku membereskan
mereka,” tiba-tiba lelaki gajah berpembawaan tenang loloskan ikat pinggang peraknya.
Tapi sebelum dia bergerak Jala Gandring cepat menghalangi seraya berkata dengan
suara perlahan.
“Dimas Barataji, aku tahu
kehebatan rantai perakmu. Tetapi kalau senjata itu menjebol jala, aku kawatir
delapan manusia iblis itu malah akan punya kesempatan melarikan diri. Seperti
usaha kita selama ini akan sia-sia belaka.”
Sebenarnya Jala Gandring tidak
yakin kalau senjata orang yang bernama Barataji mengalami nasib seperti empat
prajurit Kadipaten Magetan tadi. Hanya saja dia tidak mau Barataji merasa
tersinggung kalau hal itu dikatakannya secara terus terang. Barataji angkat
bahu kemudian anggukkan kepala.
Adipati Lawunggeno lalu
memberi tanda pada sepuluh orang yang telah siap dengan panah beracun. Di dalam
jala delapan lelaki bertelanjang dada tampak menatap angker ke arah sepuluh
orang itu. Seperti yang diperintahkan Lawunggeno kesepuluh pembidik mengarahkan
anak panah mereka pada tujuh orang lelaki pengusung tandu karena yang seorang
harus dibiarkan hidup-hidup. Berarti ada satu atau dua orang yang akan menerima
sambaran lebih dari satu anak panah!
“Hantam!” teriak Lawunggeno.
Dari dalam tandu keluar asap putih. Delapan lelaki pengusung menengadah,
meninggikan hidung dan menghirup. Sepuluh panah beracun melesat. Dalam jarak
yang begitu dekat kecepatan lesat anak-anak panah itu laksana sambaran kilat!
3
Delapan lelaki bertelanjang
dada bercelana hitam mendengus lalu keluarkan bentakan menggidikkan. Kemudian
serentak mereka meniup ke arah datangnya sepuluh anak panah maut.
Enam anak panah mental ke
udara. Dua di antaranya hancur dan satu patah.
Bagian ujung besi yang lancip
mencelat ke salah seorang yang tadi melepaskan panah. Karena tidak menyangka
orang ini tidak sempat menghindar. Mata panah menancap di bahu kirinya. Suara
jeritan menggidikkan. Bahunya tampak menghitam.
Warna hitam ini menjalar ke
bagian tubuhnya yang lain. Sekali lagi terdengar jeritannya lalu tubuhnya
terkapar di tanah!
Walaupun delapan orang lelaki
di bawah jala mengeluarkan kepandaian luar biasa, mengandalkan tenaga dalam
meniup anak panah beracun, namun hanya empat di antaranya masih lolos. Dua
panah beracun sekaligus menancap di dada pengusung tandu di depan kiri. Satu
panah menembus leher lelaki di depan kiri dan satu lagi menembus di perut orang
ketiga, yaitu yang tegak di bagian kanan tengah.
Ketiganya menjerit keras.
Tubuh atas mereka yang tanpa pakaian itu serta merta kelihatan menghitam. Dari
dalam tandu kembali tampak asap mengepul keluar.
Tapi sekali ini apa pun
kekuatan yang ada dalam asap aneh itu tidak sanggup menyelamatkan nyawa tiga
orang lelaki pengusung tandu. Mereka menjerit sekali lagi. Lalu tiba-tiba,
ketiganya mencabut panah yang menancap di tubuh masing-masing.
Sebelum meregang nyawa mereka
masih sanggup melemparkan panah-panah beracun itu keluar jaring.
Empat batang panah kini
berbalik menyerang empat anak buah Lawunggeno.
Luar biasanya, walau anak-anak
panah itu hanya dilemparkan dengan tangan telanjang, tetapi daya lesatnya
hampir tidak beda seperti dilepas dengan busur! Empat jeritan terdengar dalam
rimba belantara itu. Empat sosok anak buah Lawunggeno yang tidak mampu
selamatkan diri terguling di tanah. Tubuh mereka kelihatan hitam sampai ke
muka!
Di dalam jala tiga orang
lelaki pengusung tampak terguling di tanah. Ternyata mereka pun tidak mampu
melawan racun jahat panah yang tadi sempat menancap di tubuh mereka. Lima kawan
mereka kini mengerahkan kekuatan untuk tetap dapat memanggul tandu. Ini bukan
satu pekerjaan mudah, apalagi saat itu mereka tengah menghadapi serangan.
“Kurang ajar! Bakar mereka
hidup-hidup!” teriak Lawunggeno marah sekali.
“Itu memang sudah kurencanakan
Dimas Adipati,” kata orang tua bermuka hitam bernama Jala Gandring. “Agaknya
hanya itu satu-satunya cara memusnahkan manusia-manusia iblis ini!”
“Kumpulkan kayu kering! Tebar
di sekitar jala!” perintah Lawunggeno. Maka semua orang yang ada di situ sibuk
mencari kayu. Karena saat itu musim kering dengan mudah dan cepat mereka
berhasil mengumpulkan kayu lalu ditumpuk mengitari jala.
“Nyalakan api!” teriak
Lawunggeno.
Seseorang segera menyalakan
api membakar tumpukan kayu kering di tiga bagian. Untuk pertama kalinya para
pengusung tandu yang kini hanya tinggal lima orang itu berubah paras mereka.
Jala Gandring tertawa
mengekeh. “Kalian mungkin punya seribu kehebatan! Tapi melawan api kalian tidak
akan sanggup! Aku melihat bayangan ketakutan pada tampang-tampang kalian! Ha…
ha…. Ha…!”
“Kangmas Lawunggeno,” Barataji
membuka mulut. “Kalau mereka dibakar, berarti tidak ada yang bakal selamat
untuk kita tanyai. Bukankah kau ingin salah seorang dari mereka dibiarkan
hidup?”
“Tadinya memang aku
menginginkan begitu Dimas. Tapi setelah mereka membunuh orang-orang kita,
sekarang aku lebih suka mereka mampus semua!”
Kobaran api tampak semakin
membesar. Lima lelaki di dalam jala berteriak teriak. Mereka berusaha
meloloskan diri namun sia-sia saja. Semula mereka mengira api akan turut
membakar jala sehingga mereka bisa menyusup keluar. Tetapi ternyata api hanya
membuat hitam jala, tidak sanggup membakarnya!
Sungguh luar biasa jala
ciptaan Jala Gandring ini. Teriakan kelima orang itu semakin keras
menggidikkan. Bau daging yang terbakar mulai memenuhi seantero rimba belantara.
Lalu satu demi satu kelimanya roboh tergelimpang. Bersamaan dengan itu tandu
kayu jati yang berusaha mereka pertahankan agar tetap dapat mereka usung ikut
pula roboh berbarengan dengan jatuhnya tubuh mereka ke tanah. Api mulai
menjilat kayu tandu yang keras.
Tidak terduga sama sekali,
tiba-tiba atap tandu terbuka dengan mengeluarkan suara keras. Bersamaan dengan
itu dari dalam tandu membumbung asap tebal yang menebar bau aneh.
“Asap candu iblis!” teriak
Jala Gandring seraya menarik kudanya menjauhi tempat itu. “Cepat menyingkir!
Tutup penciuman kalian!”
Semua orang segera menyingkir.
Bau aneh yang keluar bersama asap itu membuat mereka seperti melayang. Untung
semuanya sudah menjauh. Kalau sempat mereka mencium asap itu niscaya mereka
akan jatuh pingsan. Keanehan ternyata tidak hanya sampai di situ.
Laksana batu terlempar keluar
dari mulut gunung yang meletus, dari dalam tandu kayu yang terbakar melesat
keluar satu benda. Meskipun sangat samar-samar karena tertutup oleh ketebalan
asap namun semua orang masih sempat melihat serta mengetahui bahwa benda itu
adalah sesosok tubuh manusia. Sambil melesat orang ini gerakan kedua tangannya.
“Brett!!!”
Jala Gandring terbeliak. Jala
buatannya yang sangat kokoh itu ternyata sanggup dibikin robek. Lewat jalan
yang kini jebol itu, orang di atas sana loloskan diri dengan cepat.
“Ada orang keluar dari dalam
tandu!” seru Barataji.
“Pasti itu Ketua Serikat Candu
Iblis!” teriak Jala Gandring.
“Kurung cepat! Jangan sampai
dia lolos!” teriak Adipati Lawunggeno.
Barataji loloskan ikat
pinggang peraknya. Dia menyentakkan tali kekang kuda.
Binatang ini menghambur ke
depan, Barataji sabatkan rantai peraknya ke arah mana tadi dia melihat
berkelebatnya bayangan sosok manusia. Sinar putih laksana kilat menyambar
menerangi tempat itu, dibarengi oleh suara menggelegar dahsyat. Tapi sasaran
yang dihantam telah lenyap!
Penasaran Adipati Lawunggeno
ikut menghantam. Dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Serangannyapun juga luput, hanya menghantam sebatang pohon kayu
kering di depan sana sehingga patah dan tumbang berantakan.
“Iblis perusak! Kau tak bakal lolos
dari tanganku!” teriak kakek berkulit hitam Jala Gandring. Mata orang tua
berkepandaian tinggi ini memang tak dapat ditipu.
Tubuhnya yang langsing tinggi
melesat ke udara. Pada ketinggian dua tombak dia membuat gerakan membalik. Lalu
laksana seekor rajawali dia menukik ke bawah dan lenyap di balik kerapatan
daun-daun keladi besar yang dikelilingi oleh semak belukar lebat. Sesaat
kemudian dari balik pohon keladi terdengar seruan orang tua itu “Adipati
Lawunggeno! Aku berhasil menangkap Ketua Serikat Candu Iblis!” Adipati
Lawunggeno, Barataji dan belasan orang lainnya segera melompat ke arah pohon
keladi.
4
Apa yang dikatakan Jala
Gandring ternyata benar. Di hadapan si orang tua, di antara batang-batang
keladi tampak meringkuk di tanah sesosok tubuh dalam keadaan menungging, tak
bergerak, tak berdaya, hanya kedua matanya saja yang tampak berputar jelalatan.
Rupanya Jala Gandring telah menotok orang ini dengan satu totokan yang amat
lihay.
Apa sebenarnya yang telah
terjadi?
Ketika ada sosok tubuh melesat
keluar dari tandu kayu yang terbakar dan tiga serangan menghantam ke arah sosok
tubuh itu susul menyusul, dengan kecepatan luar biasa orang yang diserang
membuat gerakan menyusup lalu menghilang ke arah kiri.
Di lain kejap dia sudah
mendekam di balik pohon keladi. Pemuda berambut gondrong yang sebelumnya sudah
berada di tempat itu tentu saja menjadi terkejut ketika tiba-tiba ada seseorang
muncul dekat sekali di sebelahnya, mengeluarkan nafas memburu. Dia berpaling.
Pandangannya membentur sosok tubuh aneh. Di sampingnya saat itu ada seorang
lelaki pendek sekali, mungkin manusia katai, berpakaian berbentuk jubah hitam
penuh dengan hiasan renda-renda yang terbuat dari benang emas. Orang ini
memiliki muka berwarna abu-abu aneh. Kepalanya botak plontos. Sepasang matanya
sipit sedang daun telinganya sangat lebar.
“Eh, kau ini tuyul atau
cucunya tuyul?!” tanya si pemuda. Yang ditanya tersenyum sambil melintangkan
jari telunjuknya di atas bibir. “Jangan bicara keras-keras, nanti mereka dengar
dan tahu aku di sini!”
“Kau siapa?”
“Aku bukan siapa-siapa!”
“Sialan! Bukan siapa-siapa
maksudmu?! Kau pasti orang yang melesat keluar dari dalam tandu kayu. Kau yang
disebut sebagai Ketua Serikat Candu Iblis?! Kau tak mungkin lolos dari
keputusan mereka. Karena kurasa kau memang orang jahat. Aku akan membantu
orang-orang itu meringkusmu!”
“Jangan lakukan itu! Kita
memang tidak saling kenal dan tidak bersahabat. Tapi itu bukan berarti kita
punya silang sengketa. Dengar, biarkan aku lolos dari tempat ini. Aku titipkan
kotak ini padamu!”
Habis berkata begitu lelaki
katai berkepala botak itu masukkan sebuah kotak kayu ke balik pinggang pakaian
pemuda di hadapannya.
“Eh, apa-apaan ini?!” Si
pemuda menolak menerima kotak itu dan berusaha menarik jubah merah orang di
sampingnya. Si katai meniup ke depan. Ada asap tipis menyambar wajah pemuda
berambut gondrong, membuatnya sesaat menjadi lemas.
Kesempatan ini dipergunakan
oleh orang pendek berjubah merah untuk mendorong dada pemuda di depannya hingga
terduduk di tanah. Selagi pemuda ini berusaha berdiri tiba-tiba semak belukar
di sampingnya terkuak dan satu totokan hebat bersarang di punggungnya hingga
dia terdorong keras ke depan dan kaku sekujur tubuhnya. Kepala menekan tanah,
pantat menungging ke atas.
Lebih sepuluh orang mengurung
tempat itu. Tiga di antaranya adalah Jala
Gandring, Barataji dan Adipati
Lawunggeno. “Ha… ha… ha..! Kali ini kau tak bisa lolos lagi Ketua Serikat Candu
Iblis!” kata Jala Gandring.
“Hari ini tamat riwayatmu!
Manusia perusak ini baiknya kita cincang sekarang juga!” kata Barataji. Dia
mengambil sebilah golok dari tangan seorang prajurit Kadipaten yang ada di
dekatnya.
“Tunggu dulu!” berkata
Lawunggeno. “Aku mau lihat dulu tampang manusia ini!” Lalu dengan tumitnya
didorongnya tubuh yang masih berada dalam keadaan kaku dan menungging itu
hingga terguling.
“Hemmm… Tidak dinyana sang
ketua masih muda belia begini.” Lawunggeno jongkok di hadapan sosok tubuh yang
terguling. Dia jambak rambut gondrong si pemuda kuat-kuat lalu membentak.
“Umurmu hanya tinggal beberapa
kejapan saja! Sebelum batang lehermu kutebas, lekas katakan siapa kau
sebenarnya! Di mana markasmu dan siapa saja yang melindungi Serikat Candu Iblis
pimpinanmu!”
“Manusia iblis! Totokanku
hanya membuat kau kaku! Kau tidak bisu! Kau bisa bicara!” bentak Jala Gandring.
Si pemuda kembali menyeringai.
Barataji hilang sabarnya. Dia menggertak dengan menghantamkan rantai peraknya
ke tanah, hanya sejarak dua jengkal dari kepala pemuda yang terguling di tanah.
Tubuh pemuda itu terangkat sampai tiga jengkal lalu terbanting kembali ke
tanah. Tanah yang tadi dihantam ikat pinggang perak berbentuk rantai itu tampak
tenggelam berlobang panjang sedalam hampir dua jengkal. Tanah kering bercampur
debu dan pasir muncrat lalu jatuh kembali menutupi si pemuda.
“Kalau dia tak mau bicara tak
ada gunanya menghabiskan waktu. Tapi dia tidak boleh mati secara cepat. Terlalu
enak baginya! Adipati kau tebas tangan kanannya. Aku akan hancurkan paha
kirinya! Dimas Barataji kau boleh mencari sasaranmu sendiri!” kata Jala
Gandring pula.
Lalu kaki kanannya diangkat
tinggi-tinggi. Tumitnya siap untuk menghancurkan paha kanan pemuda berambut
gondrong itu. Adipati Lawunggeno mengangkat tangan kanannya yang memegang golok
siap membacok, sedang Barataji sudah memutar rantai peraknya. Sasarannya adalah
kaki kiri si pemuda.
Sesaat lagi tiga hantaman akan
melabrak tubuh si pemuda, tiba-tiba pemuda itu masih sambil menyeringai dan
tenang saja mengeluarkan suara. “Kalian membunuh orang yang salah!”
“Bangsat! Apa maksudmu!”
bentak Adipati Lawunggeno. Kaki kanannya ditendangkan ke pinggul pemuda itu
hingga orang ini terlempar beberapa langkah.
Pakaiannya di bagian perut
tersingkap. Di pinggang celananya kelihatan terselip sebuah kotak kayu.
“Kotak candu iblis!” teriak
Lawunggeno, Barataji dan Jala Gandring hampir bersamaan.
Lawunggeno mendahului
membungkuk dan menyambar kotak kayu dari pinggang celana di pemuda. “Lihat!
Seru sang Adipati sambil menunjuk bagian atas kotak di mana terukir tiga buah
hurup besar yaitu SCI.”
“Bukti cukup! Kau masih hendak
berdusta. Kotak ini ada tanda tiga hurup singkatan Serikat Candu Iblis!” teriak
Lawunggeno.
“Mana aku tahu segala macam
huruf atau singkatan!” jawab si pemuda enak saja.
“Buk!” satu tendangan
dilayangkan Jala Gandring hingga pemuda itu terpental dan meringkuk kesakitan
di depan semak belukar.
“Orang tua, aku tahu siapa kau
adanya,” kata pemuda berambut gondrong sambil menahan sakit pada perutnya yang
tadi di tendang. “Kau bukan manusia penjahat dan penjilat yang mencari nama dan
upah dengan berbuat kebajikan. Kau dan kawan-kawanmu menjatuhkan tuduhan keliru
tidak terbukti!”
“Tutup mulut busukmu!” dan
“Plakk!!!” tamparan Adipati Lawunggeno mendarat di pipi si pemuda hingga
bibirnya mengucurkan darah. “Kotak ini lebih dari suatu bukti!”
Lalu Adipati Magetan itu
membuka kotak kayu tersebut. Begitu kotak dibukanya terlihat lapisan benda
coklat gelap. Hidungnya di dekatkan dan dia coba mengendus. “Candu!” teriaknya
lalu isi kotak itu diperlihatkannya pada Barataji dan Gala Gandring.
“Sudah tertangkap basah
berikut barang bukti calon bangkai ini masih terus berdusta!” radang Barataji.
“Kotak ini bukan milikku.
Seseorang menyelinapkannya ke pinggangku.”
Lawunggeno dan Barataji serta
Jala Gandring tertawa bergerak mendengarkan ucapan si pemuda.
“Kau kira kami ini
manusia-manusia pandir yang bisa dikecoh. Di sini tidak ada seorang lain pun
kecuali kau!” bentak Lawunggeno.
“Mungkin ada setan yang
tiba-tiba muncul dan menyelinapkan kotak ini seperti katanya!” kata Jala
Gandring pula, lalu bersama dua orang lainnya kembali dia tertawa gelak-gelak.
“Aku mengerti. Lebih dari enam
bulan kita mengejar manusia terkutuk itu. Puluhan bahkan ratusan manusia
menjadi korbannya, termasuk kerabat dekat kita. Tapi sekali lagi, izinkan dulu
aku menanyainya.”
Adipati Lawunggeno tidak
menjawab. Dia membuang muka sementara Barataji hanya bisa tegak berdiam diri.
Jala Gandring melangkah lebih
dekat. Sesaat dia memperhatikan sosok tubuh pemuda yang terguling di tanah itu.
“Aku tidak yakin bahwa kau benar-benar Pendekar 212, murid nenek sakti dari
Gunung Gede itu. Pendekar 212 yang kukenal adalah manusia sakti mandraguna
penegak keadilan pembela kebenaran. Sebaliknya kau justru saat ini terbukti
sebagai Ketua Serikat Candu Iblis!”
“Aku sudah bilang aku bukan
Ketua Serikat Candu Iblis atau serikat apa pun!”
“Kau muncul di dalam tandu
yang digotong oleh delapan orang anggota Serikat, kau…”
“Kau juga telah membunuh
orang-orangku!” sambung Lawunggeno.
Lawunggeno hendak menendang
pemuda itu tapi Jala Gandring cepat mencegah.
“Setahuku, Pendekar 212 selalu
membekal sebilah senjata yang dalam dunia persilatan dikenal dengan nama Kapak
Maut Naga Geni 212. Bisa kau memperlihatkan padaku senjata mustika itu?”
bertanya Jala Gandring.
“Kapak saktiku ada di balik
pinggang. Kau bisa memeriksa, tapi kau jangan berani menyentuh apalagi
mengambilnya!,”
Mendengar jawaban itu Jala
Gandring, Barataji dan Lawunggeno bergerak ke samping kiri. Jala Gandring
singkapkan baju si pemuda di belakang. Tampaklah sebilah kapak bermata dua yang
memancarkan sinar berkilauan. Pada setiap mata kapak tertera angka 212.
“Hemmm… Dia memang murid Sinto
Gendeng. Ah, bagaimana urusan bisa jadi begini? Meski selama ini dia dikenal
sebagai seorang pendekar golongan putih tapi… rasanya bukan mustahil kalau dia
menempuh jalan sesat karena tergoda oleh keuntungan besar.” Begitu batin jala
Gandring mendua dalam keraguan.
Tiba-tiba Lawunggeno ulurkan
tangan dan menarik kapak itu dari pinggang si pemuda. Jala Gandring terkejut
tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kembalikan senjataku! Kau
tidak menghormati perjanjian kita!”
Lawunggeno mendengus. “Perlu
apa kau menghormati manusia jahat sepertimu? Manusia penyebar candu perusak
kehidupan umat! Senjata ini akan kutahan sampai nanti terbukti kau memang bukan
Ketua Serikat Candu Iblis! Atau mungkin dengan senjatamu ini aku akan
memenggal-menggal tubuhmu!”
“Anak muda, jika kau memang
benar Pendekar 212 coba kau terangkan bagaimana kau bisa muncul disini.
Bagaimana kotak candu ini bisa ditanganmu.”
“Dia bisa mengarang seribu
jawaban, kakang Jala!” kata Lawunggeno pula.
“Mungkin begitu. Sebaiknya
kita dengar dulu keterangannya,” jawab Jala Gandring. Lalu dia berpaling pada
si pemuda, “Bicaralah!”
“Orang tua bernama Jala
Gandring, kita sesama orang-orang dari dunia persilatan. Apakah pantas kau
bicara padaku dalam keadaan aku tertotok dan terguling di tanah seperti ini?!”
“Kau harus bersyukur sampai
saat ini masih bisa bernafas!” bentak Lawunggeno.
“Seharusnya sudah sejak
tadi-tadi kau kami habisi!”
“Pendekar 212,” kata Jala
Gandring. “Kau berada dalam kesulitan besar. Karena itu bicaralah sejujurnya.”
“Aku tak akan bicara sebelum
kau melepaskan totokan di tubuhku dan mengembalikan Kapak Naga Geni 212
padaku!”
“Kalau begitu bersiaplah untuk
mampus!” kata Adipati Lawunggeno. Tangan kanannya yang memegang Kapak Maut Naga
Geni 212 diayunkan sekuat-kuatnya ke arah kepala pemuda yang masih tergeletak
di tanah itu. Jala Gandring tak bisa mencegah, apalagi Barataji. Nyawa si
pemuda memang tidak tertolong lagi!
5
Hanya sekejapan lagi kepala
murid Eyang Sinto Gendeng akan terbelah oleh senjata sakti miliknya sendiri,
tiba-tiba terjadilah satu hal yang aneh. Secara mendadak Adipati Lawunggeno
merasakan bahunya kesemutan. Setelah itu sekujur tangan kanannya menjadi kaku
tak bisa digerakkan. Mukanya serta merta menjadi pucat.
“Dimas Lawunggeno. ada apa
dengan dirimu?” bertanya Jala Gandring terheran.
“Tangan-tanganku… Aku tak bisa
menggerakkannya. Seseorang telah menotokku!” jawab Adipati Magetan itu setengah
berteriak.
Jala Gandring dan Barataji
memandang berkeliling. “Tidak ada seorang lain pun di sini Dimas. Aku tidak
mengerti…” Jala Gandring cepat mendekati Adipati itu.
Ketika dia memegang lengan
Lawunggeno, kagetlah dia. Tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi sebatang
kayu.! Selagi semua orang yang ada di situ kaget heran dan juga ada rasa-rasa
ngeri, tiba-tiba tercium bau harum aneh. Bau ini santer sekali, bau bunga
Kenanga!
“Aku mencium bau bunga
Kenanga…,” bisik Jala Gandring.
“Aku juga,” balas Barataji.
“Itu bunga mayat.” Bulu kuduk jago tua ini mendadak jadi merinding.
Terguling di tempatnya
Pendekar 212 Wiro Sableng menghirup bau bunga itu dalam-dalam. Dia mulai
menduga-duga tapi sulit untuk yakin. “Mungkinkah dia yang sedang menolongku…?”
pikir murid Eyang Sinto Gendeng. Dia memandang berkeliling. Tidak tampak orang
lain ataupun satu bayangan muncul di tempat itu. Dia berpaling ketika tiba-tiba
didengarnya Lawunggeno menjerit. Apa yang terjadi?
Tubuh Adipati Magetan itu
tiba-tiba terangkat ke atas lalu terlempar di sebuah pohon. Punggungnya
menghantam batang kayu dengan keras. Tulang bahunya sebelah kiri patah. Kapak
Naga Geni 212 yang dipegangnya terlepas dan mental lalu menancap pada sebatang
pohon di atas kepalanya. Lawunggeno sendiri kemudian melosoh ke tanah, jatuh
duduk setengah sadar setengah tidak. Sementara itu bau bunga Kenanga semakin
menjadi-jadi.
“Dimas! Apa yang terjadi!?”
seru Jala Gandring, lalu melompat mendapatkan Adipati itu. Barataji ikut
memburu sementara para anak buah Adipati tampak keheranan melihat keadaan
pemimpin mereka. Di antara mereka mulai saling bisik-bisik. “Jangan-jangan
rimba belantara ini ada hantunya… Kalau bukan hantu masakan Adipati bisa
terlempar seperti itu?”
Lompatan yang dibuat Jala
Gandring tidak mencapai Lawunggeno. Dari tempatnya tergeletak, Wiro Sableng
samar-samar melihat ada satu sosok bayangan putih memotong gerakan orang tua
berkulit hitam itu. Bayangan tadi bukan hanya menghalangi lompatan Jala
Gandring, tetapi sekaligus menelikung pinggangnya.
Sesaat kemudian tokoh silat
itu dilemparkan dan melayang ke atas sebuah pohon besar yang kering kerontang,
tinggal cabang dan rerantingan saja!
Baju hitam belang putih yang
dikenakan Jala Gandring terkait pada ujung salah satu cabang pohon. Untuk
beberapa saat lamanya orang tua ini tergantung-gantung di udara.
“Kurang ajar! Siapa yang
berani melakukan hal ini padaku!?” damprat Jala Gandring dalam hati. Dia tarik
pakaiannya kuat-kuat hingga robek besar. Dengan cara begitu dia berhasil
melepaskan diri dari kaitan cabang pohon. Dengan mengerahkan kepandaiannya Jala
Gandring melayang turun ke tanah.
Tapi di bawah sana rupanya dia
sudah “ditunggu orang.” Begitu kedua kakinya menginjak tanah, bayangan putih
tadi yang hanya Wiro yang dapat melihatnya kembali menyergapnya. Kali ini
dengan melancarkan satu tendangan ke arah tulang kering kaki kiri si orang tua.
“Kraak!!”
Jala Gandring memekik keras.
Tubuhnya terbanting jatuh punggung di tanah.
Tulang kaki kiri berderak
patah. Dia tak sanggup berdiri lagi, menggeliat dan melejang-lejang di tanah.
Barataji tentu saja menjadi
kecut melihat apa yang terjadi atas diri Lawunggeno dan Jala Gandring. Khawatir
kalau dirinya pun akan dapat bagian, maka diputar-putarkan rantai peraknya di
sekitar tubuhnya. Ikat pinggang yang merupakan senjata andalan Barataji itu
menderu-deru memancarkan sinar menyilaukan.
Namun meskipun sudah memagar
diri seperti itu nasib Barataji tidak lebih dari kedua orang terdahulu. Rantai
besi yang berputar-putar sebat itu tiba-tiba seperti dibetot oleh satu tangan
raksasa yang tak kelihatan. Selagi Barataji dilanda keterkejutan dan belum
sempat melakukan sesuatu tahu-tahu rantai perak itu sudah menggelung di
lehernya. Demikian kencangnya sehingga Barataji tercekik. Lidahnya terjulur dan
kedua matanya mendelik!
“Tolong…! Aduh! Jangan…!”
teriak Barataji. Dia berusaha melepaskan rantai yang menjerat lehernya namun
tak berhasil. Akhirnya orang ini hanya bisa lari sana lari sini sambil
berteriak tiada henti hingga kehabisan nafas lalu jatuh menggeletak megap-megap
di tanah!
Anak buah Lawunggeno menjadi
gempar. Mereka sebenarnya ingin lari dari tempat itu namun takut pada atasan
maka mereka berkumpul menjadi satu dan mendekam dekat sebuah pohon besar dengan
wajah-wajah yang membayangkan rasa takut amat sangat.
Wiro sendiri saat melihat
bayangan putih yang tadi samar-samar kini bergerak laksana berjalan di atas
awan menuju ke arahnya. “Kalau bukan dia, celaka aku!” pikir Wiro. “Nasibku
akan sama dengan ketiga orang yang berkaparan di sana!”
Makin dekat ke arahnya
bayangan putih yang samar-samar itu semakin jelas. Wiro kini melihat satu sosok
perempuan berpakaian kebaya panjang dan kain putih. Wajah perempuan ini
mula-mula kosong hampa. Perlahan-lahan wajah itu mulai berbentuk. Ketika pada akhirnya
wajah itu terlihat jelas, yaitu wajah seorang gadis berparas cantik yang
dikenalnya, Wiro merasa lega dan tak dapat lagi menahan dirinya untuk
berteriak.
“Suci!”
“Wiro..!” sosok bayangan itu
menjawab. Suaranya hanya Wiro saja yang bisa mendengar.
“Suci, kau datang menolongku.
Terima kasih Suci!”
Sosok tubuh dan bayangan itu
semakin jelas dan akhirnya sempurna seperti manusia adanya. Namun inilah
keanehannya, baik suara maupun sosok dan rupa hanya Wiro yang bisa mendengar
dan melihat. Orang-orang lain di tempat itu tidak.
Siapakah adanya orang yang
muncul secara aneh ini? Manusia atau hantukah dia? Apa hubungannya dengan
Pendekar 212?
Seperti yang dituturkan dalam
serial Wiro Sableng sebelumnya, yaitu Dewi Bunga Mayat, seorang gadis bernama
Suci telah diracun mati oleh kekasihnya. Sang kekasih kemudian kawin dengan
adik tiri Suci. Pengkhianatan dan kematian yang sangat mengenaskan itu telah
menyebabkan roh Suci muncul kembali ke dunia secara menggegerkan. Bukan untuk
berbuat jahat atau menakuti orang, tetapi justru untuk membasmi manusia-manusia
jahat terutama orang-orang sesat dari dunia persilatan. Setiap kemunculannya
pasti dibarengi oleh bau bunga Kenanga yang menggidikkan orang-orang jahat.
Dewi Bunga Mayat memiliki
senjata aneh yaitu bunga Kenanga. Bunga lembut ini bisa berubah laksana sebuah
senjata rahasia sekeras besi. Bunga mayat telah menjadi salah satu senjata
rahasia yang paling ditakuti dalam dunia persilatan.
Pada saat penjelmaannya itulah
Pendekar 212 bertemu dengan Suci. Keduanya saling bercinta dan sulit untuk
berpisah. Namun Suci menyadari bahwa bagaimana pun dunianya dengan dunia Wiro
berlainan. Mereka tidak mungkin bersatu. Perpisahan tidak mungkin dihindari.
Suci kembali ke alamnya. Wiro mendapatkan sekuntum bunga Kenanga yang tidak
pernah layu.
Menurut Suci, bilamana dia
ingin bertemu, terutama pada saat-saat mengalami kesulitan atau bahaya besar,
Wiro harus menggenggam bunga itu dan membayangkan wajahnya. Maka Suci akan
menjelma dan muncul. Selama ini memang murid Sinto Gendeng belum pernah
melakukan hal itu.
Suci mengusap punggung
Pendekar 212 dengan tangan kirinya. Totokan Jala Gandring yang bersarang di
tubuhnya serta merta punah. Wiro cepat berdiri. Sesaat dia tegak
berhadap-hadapan dengan penjelmaan roh Dewi Bunga Mayat yang dilihatnya seperti
manusia biasa, tidak beda seperti saat dulu dia sering-sering melihatnya. Untuk
seketika keduanya saling berpandangan. Kemudian Wiro mengembangkan tangannya.
Suci melangkah masuk ke dalam pelukannya. “Aku… aku kangen padamu Suci,” bisik
Wiro dan membelai mesra rambut gadis itu.
“Aku juga,” balas Suci. “Tapi
kau tak pernah memanggil diriku.”
“Aku ingin tapi aku takut akan
membuatmu susah saja…”
“Apakah selama ini kau pernah
menyusahkan aku?”
Wiro tersenyum. “Entahlah…,”
jawabnya. “Yang jelas saat ini kau telah menyelamatkan aku dari tangan
orang-orang yang bertindak seenaknya itu. Kalau terlambat sedikit saja pasti
aku sudah menyusulmu ke alammu.” Suci tertawa. Wiro tak tahan lagi. Langsung
saja dia mencium kedua pipi, mata dan kening gadis itu.
Semua orang yang ada di tempat
itu meskipun dicekam rasa takut dan sakit akibat cedera, tentu saja
terheran-heran melihat Pendekar 212 berbicara seorang diri, tertawa dan
senyum-senyum, membuat gerakan-gerakan seperti tengah memeluk dan menciumi
seseorang.
“Apa yang dilakukan pemuda
itu?!” bisik Jala Gandring sambil menahan sakit kakinya yang patah.
“Hantu rimba belantara ini
pasti telah masuk ke dalam dirinya!” sahut Lawunggeno.
Di depan sana Wiro mengecup
bibir Suci dengan lembut. “Mari kita tinggalkan tempat ini Suci,” bisik
Pendekar 212.
“Ya, jangan lupa senjatamu!”
“Tentu!” Wiro lepaskan
pelukannya lalu mengambil Kapak Naga Geni 212 yang saat itu masih menancap di
batang pohon di mana Adipati Lawunggeno duduk tersandar.
Selagi Wiro mengulurkan tangan
untuk mencabut senjata itu tiba-tiba Lawunggeno tampak menggerakkan tangan
kanannya. Meninju ke arah bagian bawah perut Pendekar 212. Meskipun dalam
keadaan cedera tulang belikat sebelah kirinya, namun pukulan sang Adipati
adalah pukulan berbahaya karena ditujukan ke bagian yang terlarang. Sekali
jotosan itu mengenai sasarannya Pendekar 212 pasti akan menemui ajal, paling
tidak cacat seumur hidup.
Dari tempatnya berdiri Suci
dapat melihat apa yang dilakukan Adipati Lawunggeno secara licik itu. Dia
berseru memberi peringatan pada Wiro. Sebetulnya Wiro sendiri pun sudah tahu
bahaya yang mengancamnya. Dengan cepat dia menggeser tubuhnya ke samping kiri
sambil melipat kaki.
“Buukkk!” Lutut kanan Pendekar
212 bersarang di muka Lawunggeno. Hidungnya amblas ke dalam, pipi kirinya
remuk. Adipati menjerit. Bersamaan dengan jeritannya itu darah muncrat dari
hidung dan mulutnya. Tubuhnya kemudian terkulai lalu roboh ke tanah.
Wiro sisipkan Kapak Naga Geni
212 ke balik pinggangnya. Sebelum meninggalkan tempat itu dia menghancurkan dulu
kotak kayu berisi candu dengan Pukulan Sinar Matahari. Kotak dan isinya leleh
dan candu yang ada di dalam kotak itu tak dapat dipergunakan lagi.
Jala Gandring yang tidak dapat
menahan kemarahannya ketika melihat Wiro meninggalkan tempat itu, berteriak
pada orang-orang Lawunggeno yang bergerombol di dekat sebuah pohon besar.
“Bunuh orang itu! Jangan
biarkan dia lolos!”
Tapi tidak satu pun dari
mereka berani beranjak dari tempat masing-masing.
Kalau ketiga orang
berkepandaian tinggi itu bisa babak belur dihantam oleh orang yang tidak
kelihatan, nasib mereka bisa lebih jelek dari itu jika mereka berani melakukan
sesuatu.
“Keparat! Kalian semua akan
menerima hukuman dan dipecat!” teriak Jala Gandring marah sekali. Dia coba
berdiri. Tapi kakinya yang patah terasa sakit sekali.
Mau tak mau terpaksa dia
melosoh ke tanah kembali. Dia masih sempat melihat punggung Pendekar 212 di
antara dua batang pohon.
Orang tua bermuka hitam itu
mengambil sebilah golok yang tergeletak di tanah di sampingnya. Senjata ini
secepat kilat dilemparkannya ke arah Wiro. Hanya beberapa jengkal sebelum golok
itu mencapai sasarannya, tiba-tiba ada serangkum angin menderu.
Golok yang dilemparkan
membalik lalu melesat ke arah pelemparnya. Jala Gandring berteriak tegak. Kalau
saja dia tidak cepat jatuhkan diri ke tanah, kepala atau lehernya pasti sudah
kena disambar golok itu.
“Pendekar 212! Kau boleh kabur
saat ini. Tapi kau tak bakal lolos dari tanganku!” gertak Jala Gandring dengan
geram.
6
Udara di tikungan sungai kecil
yang airnya hampir kering sejuk sekali. Pohon-pohon besar yang masih bisa
tumbuh cukup subur karena dekat air memiliki dedaunan yang rindang, membuat
keadaan sekitar situ teduh dari sengatan sinar matahari musim kemarau panjang.
Air sungai yang jernih tampak dangkal. Dasar sungai yang dilapisi batu-batu
kecil terlihat dengan jelas. Di kejauhan terdengar suara burung-burung
berkicau.
Pendekar 212 Wiro Sableng
duduk menyandarkan punggungnya ke batu besar di tepi sungai. Suci membaringkan
tubuhnya berbantalkan pangkuan sang pendekar.
“Selama ini kau baik-baik saja
Suci…?” tanya Wiro seraya membelai pipi gadis itu. Yang ditanya tersenyum.
“Ditanya kenapa tertawa?”
“Duniaku selalu berada dalam
keadaan baik, aman dan tenteram Wiro. Tidak seperti duniamu. Selalu dilanda
keonaran, dikotori oleh manusia-manusia jahat.”
“Semua orang menginginkan
dunia seperti duniamu itu. Termasuk aku…”
“Kau ingin ikut aku ke sana
sekarang?”
“Tentu…” Wiro kemudian sadar
apa arti ucapannya itu.
Dia cepat berkata, “Tidak
sekarang Suci. Aku masih ingin hidup lebih lama di dunia ini.”
Suci tertawa panjang lalu
mencium jari-jari tangan si pemuda.
“Sebetulnya aku ingin kau
selalu berada di dekatku…”
“Yaah, aku mengerti perasaanmu
Wiro. Tapi kau harus menyadari, dunia kita berbeda. Pertemuan sekali-kali
seperti ini sudah merupakan satu hal yang luar biasa…”
“Dunia ini memang aneh. Dan
kekuasaan Tuhan juga kurasa aneh,” kata Pendekar 212.
“Kau betul,” sahut Suci.
“Kalau tidak dengan kekuasaan-Nya yang Maha Besar mana mungkin aku bisa menemuimu.
Mana mungkin kita bisa berdua-dua seperti ini…”
“Dan saling mencintai…”
sambung Wiro.
“Kau masih mencintaiku Wiro?”
tanya Suci. Matanya yang bening menatap wajah pemuda itu.
Wiro balas menatap sepasang
mata yang indah itu, lalu menciumnya seraya berbisik, “Kau tahu aku
mencintaimu. Selalu mengingat-ingatmu. Namun setiap kerinduan datang, aku
sadari kau tidak ada di sampingku.” Suci memeluk Pendekar 212 erat-erat. Ada
air mata mengambang di kedua matanya. “Kau masih menyimpan bunga Kenanga itu,
bukan?”
Wiro mengangguk.
“Kau bisa memanggilku setiap
saat kau ingini. Sebaliknya sulit bagiku untuk muncul dengan kemauan sendiri
jika tidak ada sesuatu hal yang sangat besar dan penting. Seperti kejadian
ketika kau terancam bahaya tadi…”
“Aku akan ingat hal itu,…”
“Wiro…”
“Hemmm…”
“Tadi kau bilang mencintaiku.
Apakah selama ini tidak ada gadis lain di hatimu?”
Wiro tersenyum mendengar
pertanyaan itu. Dalam hati dia berkata “Rupanya roh bisa juga cemburu!”
“Aku tahu apa yang kau ucapkan
di hatimu,” kata Suci tiba-tiba, membuat Pendekar 212 jadi salah tingkah lalu
tertawa gelak-gelak.
“Kau belum menjawab
pertanyaanku Wiro.”
“Aku… memang banyak bertemu
dengan gadis-gadis. Kebanyakan mereka orang-orang dunia persilatan. Sebagian
dari mereka adalah sahabat-sahabatku. Tapi yang rasanya mencintai… mereka
terlalu tolol kalau mau mencintai pemuda sableng sepertiku ini!”
“Bukan mereka. Tapi bagaimana
dengan kau. Apa kau tidak pernah mencintai salah seorang dari mereka?”
“Kalau kujawab pun mungkin kau
tak bakal percaya,” ujar Wiro pula.
“Bilang dulu jawabanmu.”
“Aku pernah mencintai
seseorang dari mereka. Sampai saat ini aku masih tetap mencintainya. Juga
sampai nanti…”
Paras Suci kelihatan berubah.
Suaranya bergetar ketika bertanya, “Siapa gadis yang beruntung mendapatkan
cintamu itu, Wiro?”
“Orangnya sangat cantik.
Melebihi kecantikan seorang bidadari…”
“Siapa orangnya?” tanya suci
lagi dengan suara tercekat dan air mukanya tidak mampu menyembunyikan rasa
cemburu.
“Saat ini orangnya berada
dalam pelukanku. Namanya Suci…” bisik Wiro ke telinga gadis itu.
Suci mengeluarkan desah
panjang lalu memeluk Pendekar 212 ke dadanya sekuat yang bisa dilakukannya.
Keduanya berangkulan kencang seperti tidak mau dipisahkan lagi…
“Aku harus meninggalkanmu
Wiro,” bisik Suci.
“Sekarang?”
Gadis itu mengangguk.
“Secepat itukah?”
“Kita akan bertemu lagi…”
Wiro mengangguk perlahan.
“Sebelum kau pergi ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Mungkin kau bisa
memberi penjelasan.”
“Tentang apa?”
“Serikat Candu Iblis. Siapa
sebenarnya mereka? Aku telah dituduh sebagai ketua komplotan itu. Dalam waktu
dekat pasti ketiga orang tadi akan menyebarluaskan berita bohong bahwa akulah
ketua Serikat Candu Iblis. Berarti semua petugas kerajaan akan memasukkan aku
dalam daftar penjahat, menjadi orang yang dicari-cari dan harus ditangkap hidup
atau mati! Gila!”
“Serikat Candu Iblis satu
komplotan terkutuk. Mereka mulai bergerak sejak dua, mungkin tiga tahun lalu.
Mula-mula secara gelap. Sekarang bahkan berani terang-terangan. Ratusan korban
telah masuk dalam perangkapnya, menjadi pemadat keras. Sekali jadi pemadat
tidak akan bisa keluar lagi dari perangkap terkutuk itu. Untuk mendapatkan
secuil candu mereka harus membayar mahal. Kalau tidak ada uang merampok dan
membunuh pun mereka tidak segan. Aku mendapat kabar banyak orang-orang kerajaan
yang telah jadi pemadat.
Tapi yang menyedihkan kabarnya
ada beberapa di antara mereka yang terlibat sebagai kaki tangan Serikat Candu
Iblis. Beberapa bulan yang lalu aku pernah menumpas salah satu kelompok
komplotan itu.
Tapi mereka seperti sudah
berakar. Satu dibasmi, yang lainnya muncul di mana-mana.”
“Kau sempat melihat orang
pendek berkepala botak pakai jubah merah yang keluar dari dalam tandu tadi?”
tanya Wiro.
Suci menggeleng.
“Keparat itu yang membuat aku
terjebak dan dituduh sebagai sang ketua. Sebelum kabur dia meninggalkan kotak
berisi candu. Aku tertangkap tangan pada saat kotak itu ada padaku. Si katai
botak itu, apakah dia memang Ketua Serikat Candu Iblis?”
“Mungkin ya mungkin juga
bukan. Jaringan kelompok itu luas sekali. Sampai-sampai ke istana. Tapi
siapa-siapa pimpinan utamanya masih sulit diketahui.”
“Aku harus menumpas mereka.
Kalau tidak bakal tambah banyak orang yang masuk perangkap mereka.”
Suci mengangguk. “Aku akan
membantu jika kau perlukan. Mulailah pada sebuah rumah makan dan rumah
penginapan besar di perbatasan. Aku sudah lama mencurigai ada apa-apanya di
tempat itu. Nah Wiro, sekarang aku harus pergi.”
Wiro mencium muka gadis itu
dan memeluk tubuhnya lama sekali baru dilepaskan. “Aku pergi Wiro…”
Pendekar 212 mengangguk. Sosok
tubuh Suci perlahan-lahan kelihatan berubah menjadi samar. Pakaiannya
melambai-lambai tertiup angin pagi. Wajahnya berubah kosong. Keseluruhan diri
gadis itu berubah menjadi bayang-bayang lalu laksana asap membumbung ke udara
dan lenyap.
Pendekar 212 menarik nafas
dalam. Untuk beberapa lamanya dia masih tegak di tepi sungai itu. “Dunia aneh,”
bisik hatinya. “Dan aku bercinta dalam keanehan itu…” Murid Sinto Gendeng
garuk-garuk kepala.
Seperti yang dikatakan Suci,
rumah makan di perbatasan sebelah utara itu memang merupakan rumah makan paling
besar yang pernah dilihat dan dimasuki Pendekar 212 Wiro Sableng. Pengunjungnya
ramai bukan main. Apalagi saat itu tepat tengah hari. Wiro harus menunggu cukup
lama baru pesanannya dihidangkan. Ternyata makanannya juga enak.
Selain bangunan besar itu
dijadikan rumah makan, di sebelah belakang agak menyamping ke kiri terdapat
sebuah bangunan lain yang lebih besar. Inilah tempat penginapan yang terbuat
dari kayu dan bertingkat di sebelah atasnya.
Selesai makan Wiro duduk
pura-pura terkantuk-kantuk. Tapi sebenarnya matanya tengah meneliti keadaan dan
otaknya berpikir-pikir bagaimana dia mulai melakukan penyelidikan.
Seorang pelayan mendatangi.
Wiro mengeluarkan sebuah kantong kain. Dia sengaja memperlihatkan kantong
berisi banyak uang itu kepada pelayan. “Ini bayaranku, kembalinya kau boleh
ambil.”
Si pelayan bukan saja gembira
tapi juga hampir tidak percaya. Sisa kembalian yang dihadiahkan tetamu itu
hampir sama dengan upah nya bekerja satu bulan di rumah makan itu. Si pelayan
membungkuk dan berulang kali mengucapkan terima kasih.
“Kau boleh pergi, biarkan aku
duduk dulu di sini. Aku mengantuk kekenyangan.”
“Tentu… tentu! Raden boleh
duduk di situ selama Raden suka,” kata si pelayan. Sekali lagi dia membungkuk
dan mengucapkan terima kasih.
Ketika dia mengantongi uang
kembalian, kebetulan pemilik rumah makan dan penginapan melihatnya. Dia seorang
gemuk bermata sipit, berambut dicukur pendek dan bermuka berminyak. Hidungnya
sangat merah dan mulutnya kecil. Sepintas tampang orang ini tidak beda dengan
muka seekor babi! Namanya Sentiko.
“Siapa yang memberimu hadiah
uang kembalian itu?” bertanya Sentiko. Si pelayan menunjuk ke arah Wiro yang
duduk di sudut rumah makan dengan setengah terpejam dan kepala
terangguk-angguk. “Uangnya satu kantong. Agaknya dia seorang hartawan muda yang
kaya raya,” menerangkan si pelayan.
Sentiko memperhatikan tamunya
itu sesaat. “Belum pernah dia kulihat sebelumnya. Mungkin dia seorang pedagang
keliling. Jika dia memang banyak uang, Hemmm…” Sentiko melangkah menuju meja
tempat Wiro Sableng berada. Dia mendehem beberapa kali. Ketika dilihatnya Wiro
membuka kedua matanya lebar-lebar, pemilik rumah makan ini cepat membungkuk lalu
duduk di kursi di hadapan Pendekar 212.
“Nama saya Sentiko. Saya
pemilik rumah makan ini. Saya berterima kasih raden mau makan di sini. Apakah
makanan kami cukup enak?”
“Ah..” Wiro garuk-garuk
kepalanya. “Hidangan di sini sungguh lezat. Aku sampai mengantuk kekenyangan.”
“Jika raden memang butuh
istirahat, di samping ada penginapan,” menawarkan Sentiko.
“Aku dalam perjalanan jauh.
Memang perlu istirahat. Mungkin aku perlu menginap barang satu malam…”
Sentiko tertawa lebar. “Saya
akan berikan kamar yang paling bagus untuk raden serta pelayanan paling
istimewa!”
“Pelayanan paling istimewa?”
tanya Wiro seraya keluarkan kantong uangnya.
Dia berpura-pura menghitung
uang yang ada dalam kantong itu lalu menyelipkan kantong kembali ke balik
pinggangnya. Sepasang mata Sentiko berkilat-kilat melirik kantong uang itu.
“Pelayanan macam apa pula itu?”
Sentiko tertawa lebar.
“Tergantung raden maunya apa,” katanya. “Bersenang-senang sampai pagi dengan
gadis-gadis cantik selangit? Seorang atau dua orang sekaligus? Atau cuma mau
dipijat sambil ganti memijat? Atau mungkin raden hanya suka menyaksikan
pertunjukan khusus gadis-gadis di atas ranjang?”
“Ah, yang terakhir itu aneh
kedengarannya,” kata Wiro.
“Memang aneh. Baru di tempat
saya ini ada pertunjukan seperti itu. Raden mau melihat? Saya bisa atur
sekarang juga.”
Wiro menguap. “Sebetulnya,
tubuhku ini sangat letih. Kalau bermain dengan gadis-gadismu aku pasti tambah
ringsek..!”
“Kalau begitu pijat saja
raden. Pasti segala keletihan raden akan lenyap.”
“Itu kalau aku tidak
terangsang. Kalau aku sampai terangsang, berarti sama saja celakanya. Aku ingin
sesuatu yang bisa menyegarkan badan dan pikiran. Mungkin aku hanya perlu tidur
saja…”
Sentiko mendekatkan kursinya
ke kursi Wiro lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Jika kesegaran pikiran
dan tubuh yang raden cari, saya ada obatnya. Kita bicara di tempat lain. Raden
mau mengikuti saya?”
“Obat apa yang sampeyan
maksudkan?” tanya Wiro.
“Lihat saja nanti. Mari…!”
Wiro berdiri dan melangkah
mengikuti orang bertubuh gemuk itu.
7
DI BAGIAN belakang penginapan
terdapat sebuah pintu kayu yang dipalang dengan balok tebal dan digembok dengan
dua buah gembok besi besar. Dua orang lelaki bertubuh tinggi kekar, bertampang
sangar dan hanya mengenakan sehelai celana hitam berdiri di kiri kanan pintu.
Keadaan kedua orang ini mengingatkan Wiro pada delapan orang pengusung tandu
yang menemui ajal di hutan Karangkukusan.
“Betul dugaan Suci. Penginapan
ini menyembunyikan sesuatu. Sesuatu itu ditangani oleh orang-orang Serikat
Candu Iblis. Pasti di sini ada tempat pengisapan candu,” kata Wiro dalam hati.
Dua orang lelaki bertelanjang
dada di samping pintu kayu bersikap hormat ketika Sentiko muncul di hadapan
mereka. “Buka pintu,” kata pemilik rumah makan dan penginapan itu.
Salah seorang dari lelaki
tinggi besar segera mengambil kunci yang digantungkan di pinggangnya. Kawannya
memperhatikan Wiro lalu bertanya pada Sentiko. “Siapa dia?”
“Langganan baru,” jawab
Sentiko pendek.
Pintu terbuka. “Ikuti saya
Raden,” kata pemilik penginapan.
Di balik pintu itu terdapat
sebuah lorong papan yang pada ujungnya membelok ke kiri lurus, lalu membelok
lagi ke kiri. Pada ujung lorong papan ini terdapat sebuah tangga kayu menuju ke
bawah. Wiro mencium bau aneh. Bau madat!
Di bawah tangga terdapat
sebuah ruangan besar yang redup dan pengap karena sama sekali tidak ada lubang
angin. Lantai, dinding dan atap ruangan terbuat dari batu. Menurut dugaan Wiro,
ruangan batu itu berada kira-kira di bawah halaman samping kiri rumah makan. Di
sini Wiro menyaksikan pemandangan yang membuat bulu tengkuknya merinding.
Satu-satunya penerangan di ruangan batu itu adalah rambasan cahaya yang datang
dari lorong papan.
Sekitar seratus orang tampak
bergeletakan di lantai ruangan, beralaskan sehelai tikar dan bantal jerami.
Semua mereka rata-rata berwajah pucat, bermata dan berpipi cekung. Setiap orang
memegang sebuah pipa yang setiap kali mereka sedot sambil memejamkan mata dan
menengadah seolah-olah menikmati sesuatu yang luar biasa.
Tidak seorang pun yang
mengacuhkan kedatangan Sentiko dan Wiro. Mereka semua asyik dengan pipa candu
masing-masing. Selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan mereka mendekam di
situ. Minum dan makan sedikit, menghabiskan waktu hanya untuk menghirup candu.
Kata orang, sekali orang sudah terjeblos ke tempat seperti itu sulit baginya
akan keluar lagi.
Wiro kemudian melihat ada
seorang pengawal bercelana hitam di setiap sudut ruangan batu. Masing-masing
membekal sebuah pentungan dan sebuah kotak kecil yang digantungkan di pinggang.
Mereka duduk di atas sebuah bangku kayu.
“Bagaimana pendapat Raden?”
tanya Sentiko pada Wiro Sableng.
“Ini rupanya yang dinamakan
surga dunia,” jawab Wiro.
“Raden boleh mencobanya.
Secuil pertama tidak dipungut bayaran. Cuilan selanjutnya baru dibayar tapi
harus dibayar lebih dahulu sebelum menikmati cuilan pertama.”
“Yang aku pikirkan saat ini
justru bukan bersenang-senang mengisap candu, tapi…”
“Tapi apa Raden?”
“Aku tiba-tiba saja punya niat
untuk membuka usaha penghisapan candu seperti ini!” kata Wiro pula.
“Saya tahu Raden punya banyak
uang. Tapi tidak sembarang orang bisa membuka tempat penghisapan candu seperti
ini. Bahayanya besar dan harus ada perlindungan serta kepercayaan dari
orang-orang di atas,” menerangkan Sentiko.
“Tempatmu ini sama sekali
tidak ada perlindungan. Jika ada apa-apa kau dan anak buahmu pasti kena bekuk
secara mudah.”
Sentiko tertawa. “Raden tidak
melihat empat pengawal bertelanjang dada yang ada di sudut-sudut ruangan?”
“Mereka memang bertubuh besar
tapi kulihat seperti tidak punya kekuatan,” jawab Wiro.
“Kalau aku membuka usaha
seperti ini manusia-manusia macam mereka tidak akan kupakai!”
“Raden terlalu menganggap
enteng orang,” kata Sentiko dengan air muka kurang senang.
“Dengan tangan kosong mereka
sanggup memukul hancur kepala kerbau bahkan menjebol tembok! Atau mungkin Raden
punya ilmu yang diandalkan dan hendak menjajal mereka?”
Wiro mengangkat bahu. Pengawal
di sudut kanan berdiri dan mendekati mereka.
“Apakah tamu ini sudah siap
untuk diberikan satu cuil?” tanya pengawal itu.
“Bagaimana Raden?” Tanya
Sentiko. “Terima kasih, niatku semakin keras untuk membuka usaha beginian.
Untungnya pasti besar!”
Sentiko tampak kecewa. “Jika
Raden tidak mau bersenang-senang di sini tidak apa. Tapi ada aturan yang harus
dijalankan…”
“Hem… aturan apakah?” tanya
Wiro.
“Pertama Raden harus menjaga
kerahasiaan. Tidak boleh menceritakan kepada siapa pun apa yang Raden telah
lihat di sini.”
“Kalau hanya aturan itu kau
tidak perlu kawatir. Aku tidak akan menceritakan pada siapa pun.”
“Bagus kalau begitu. Sekarang
aturan yang kedua. Raden harus membayarkan sejumlah uang karena sudah masuk
kemari.”
“Tapi aku tidak menghisap
candu,” kata Wiro pula.
“Menghisap atau tidak Raden
tetap harus dipungut bayaran. Tidak banyak. Hanya separuh dari apa yang ada
dalam kantong uang Raden itu.”
“Separuh uang dalam kantong?
Gila! Itu tidak sedikit!”
“Begitu aturan kami agar tidak
sembarang orang masuk kemari!” suara Sentiko yang tadi lunak kini berubah
keras.
“Aku tidak akan membayar!”
Wiro melangkah ke arah tangga. Di depan tangga ternyata telah menghadang
seorang pengawal. Sikapnya garang. Pengawal ini menyeringai. “Kalau kau tidak
mau membayar, tinggalkan lidahmu padaku!”
Tangannya bergerak dan
tahu-tahu dia sudah memegang pisau kecil yang amat tajam. Pisau ini sama dengan
pisau delapan pengusung tandu yang dilihat Wiro di hutan Karangkukusan.
“Kalau kalian memaksa dengan
kekerasan, kalian akan menyesal!”
Si pengawal kembali
menyeringai mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Dia melangkah mendekati Wiro.
“Uangmu atau lidahmu!” ancamnya.
Wiro cepat menjauh. Dia telah
menyaksikan cara berkelahi orang-orang Serikat Candu Iblis di rimba
Karangkukusan. Sekali lawan kena tertangkap pasti celaka. Wiro mundur lagi
ketika pengawal di depannya bergerak maju. Tiba-tiba dari belakang ada yang
menangkap bahunya. Sebelum dia bisa berbuat apa, tubuhnya sudah dibaringkan ke
lantai batu!
Pendekar 212 merasakan tulang
belulangnya seperti remuk. Pemandangannya berkunang. Ketika dia coba berdiri
satu kaki menginjak lehernya dengan keras.
“Ayo keluarkan lidahmu!”
bentak pengawal yang menginjak lehernya demikian keras sehingga lidahnya hampir
terjulur. Di sampingnya tiba-tiba Sentiko membungkuk dan menyambar kantong uang
yang ada di pinggangnya. Tapi tangannya cepat ditangkap Wiro lalu dipuntir
hingga si gemuk ini terpekik kesakitan.
Pengawal yang menginjak
lehernya marah besar. “Kau minta mampus!” teriaknya. Kaki kanannya dihujamkan
kuat-kuat ke leher Wiro. Saat itu Pendekar 212 telah lebih dahulu menghantamkan
tangan kanannya ke tulang kering pengawal yang menginjaknya.
“Kraak!!!”
Pukulan yang disertai tenaga
dalam itu mematahkan tulang kaki si pengawal hingga dia menjerit keras. Selagi
dia terbungkuk-bungkuk kesakitan, masih dalam keadaan terbaring di lantai batu
Wiro hantamkan tumit kirinya keselangkangan pengawal itu. Orang ini meraung
kesakitan. Tubuhnya mental lalu jatuh di lantai, menimpa seorang yang sedang
merem melek menghisap candu!
Tiga orang pengawal melompat
dan langsung menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro berkelit dengan cepat
sambil mengayunkan satu jotosan ke perut lawan yang terdekat.
“Bukk!!” Jotosan itu tepat
menghantam perut. Tapi si pengawal hanya menyeringai. Wiro kerahkan tenaga
dalamnya. Dia kembali lancarkan pukulan. Kali ini ke arah batok kepala si
pengawal yang sama. Namun tiba-tiba ada dua tangan yang kukuh mencekal tangan
kanannya. Selagi dia berusaha melepaskan diri, dua tangan lagi dari samping
kiri melesat. Satu menjambak rambut gondrongnya satu lagi mencekal lehernya.
Menyadari bahaya besar ini
Wiro cepat membuat gerakan “Kincir padi berputar”. Tangan dan kakinya yang
masih bebas menghantam. Dua orang pengawal menjerit kesakitan, lepaskan cekalan
mereka dan terhuyung-huyung sambil mundur.
Yang di sebelah kanan tampak
pecah mata kirinya. Yang satu lagi pegangi perutnya yang kena tendang. Dia
batuk-batuk beberapa kali lalu muntahkan darah segar.
“Setan alas! Kau berani
mengacau di sini!” teriak pengawal ketiga. Tubuhnya paling besar di antara
semua pengawal yang bertugas di ruang pengisapan madat itu.
Dia mendekati Wiro dengan
tangan terpentang. Tiba-tiba dia meniup ke depan.
Serangkum angin menderu lalu
berubah menjadi sebilah pedang. Pedang asap!
Waktu di hutan Karangkukusan
beberapa hari yang lalu Wiro telah melihat ilmu kesaktian aneh ini. Karenanya
dia tidak merasa terkejut. Namun dia harus berhati-hati. Cepat dia menyingkir
selamatkan diri dari tusukan pedang asap. Si pengawal menggeram melihat
serangannya luput. Mulutnya dibuka lebar-lebar lalu dia keluarkan suara
menggerung. Pedang asap seolah berubah menjadi ular, bergelung ke kiri,
menyambar ke arah leher murid Sinto Gendeng!
“Gila!” maki Pendekar 212
dalam hati. Dia rundukkan kepala untuk selamatkan leher tapi dari depan
lawannya menyambut dengan satu jotosan.
Penasaran serta ingin
menjajaki kehebatan-kehebatan lawan, Pendekar 212 balas menghantam dengan tinju
kanan. Dua jotosan saling beradu keras!
Murid Sinto Gendeng keluarkan
keluhan keras. Tubuhnya terlempar sampai lima langkah dan jatuh duduk di lantai
batu. Ketika diperhatikannya tangan kanannya tampak jari-jarinya menggembung
kemerahan!
“Bangsat itu tidak memiliki
tenaga dalam tinggi. Tapi dia mempunyai kekuatan aneh luar biasa!” kata Wiro
dalam hati. Memandang ke depan dilihatnya si pengawal tersandar ke dinding
ruangan. Mukanya mengernyit menahan sakit. Tangan kanannya terkulai. Ketika
Sentiko memperhatikan ternyata tangan pengawal itu telah remuk sampai ke
pergelangan. Sentiko berpaling pada Wiro.
“Kau telah membunuh seorang
pengawal dan mencederai tiga lainnya! Kau bakal menerima hukuman berat! Jangan
harap kau bisa lolos!” Sentiko lari ke arah tangga. Namun Wiro cepat menyusul
dan memegang leher bajunya.
“Jika kau tidak membawa aku
pada pemimpinmu, kupecahkan muka babimu saat ini juga!” gertak Wiro.
Lelaki gemuk itu tampak kecut.
Tapi dalam hati dia menyumpah setengah mati. “Ikuti aku,” katanya kemudian. Dia
menaiki tangga dan melangkah cepat di sepanjang lorong papan. Di pintu dia
mengetuk tiga kali. Tak lama kemudian pintu kayu yang dipalang dan digembok
dibukakan dua pengawal dari luar.
“Teman-teman kalian mendapat
cedera di dalam sana. Cepat kalian tolong!” berkata Sentiko sebelum dia
meninggalkan tempat itu.
Dua pengawal tentu saja
keheranan. Mereka hendak bertanya tapi Sentiko sudah berlalu bersama Wiro. Yang
satu akhirnya menyuruh kawannya untuk masuk ke dalam. “Coba kau periksa apa
sebenarnya yang terjadi.”
Pengawal itu masuk. Tak lama
kemudian dia keluar kembali setengah berlari.
“Jakadolok mati! Tiga kawan
lainnya cedera berat! Bantu aku menolong mereka!”
8
SENTIKO membawa Wiro ke dalam
sebuah kamar di tingkat atas penginapan.
“Kau tidak membawa aku pada
pimpinanmu?” tanya Wiro.
“Sebaiknya kau melupakan saja
niat untuk membuka usaha penghisapan candu. Kau telah membunuh seorang di
antara kami, mencederai tiga orang lainnya! Apakah pimpinanku akan mengabulkan
begitu saja permintaanmu?”
“Kau tak perlu meributkan
apakah dia mengabulkan atau tidak! Yang jelas kau harus mengantarkan aku
padanya!”
“Jika aku tidak mau?” ujar Sentiko.
Wiro melangkah mendekati
pemilik rumah penginapan itu. Baru dua langkah dia maju, tanpa diketahuinya
Sentiko menginjak sebuah tombol kayu di bawah meja.
Lantai yang dipijak Wiro
tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi pemuda ini terperosok ke bawah. Dia ternyata
jatuh ke dalam sebuah ruangan batu sedalam empat tombak.
Tidak mungkin baginya untuk
dapat melompat setinggi itu.
“Keparat!” teriak Wiro memaki.
Di atas lobang Sentiko tertawa mengakak.
Dari dalam lubang Wiro
lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah Sentiko yang tegak di pinggir
lubang. Lelaki gemuk ini cepat menyingkir begitu dia mendengar ada suara angin
menggemuruh dari bawah lubang. Angin pukulan menghantam langit-langit ruangan
hingga jebol berantakan.
“Kau boleh mengamuk di dalam
lubang itu Raden! Sebentar lagi akan ada mahluk-mahluk lucu yang bakal
menemanimu !”
Habis berkata begitu Sentiko
melangkah ke sudat kamar. Di sini dia menarik sebuah kawat. Di Dalam lubang
Wiro mendengar suara mendesis. Tampak ada celah kecil di dinding lobang sebelah
kanan bawah. Lalu lima kepala pipih lebar berwarna hijau kelihatan menjulur!
Kepala lima ekor ular sendok!
Pendekar 212 melompat mundur.
Tapi di lobang yang sempit itu tidak ada ruangan untuk menghindar. Lima ular
sendok melata di lantai lobang. Kepala masing-masing bergerak naik ke atas.
Mulut binatang ini terpentang mengerikan.
Wiro segera siapkan Pukulan
Sinar Matahari. Tetapi dia sadar. Membunuh kelima ular berbisa itu dengan
pukulan sakti di ruangan yang begitu sempit sama saja dengan bunuh diri.
Pukulan saktinya akan berbalik menghantam dirinya sendiri.
Menurut gurunya Eyang Sinto
Gendeng, dia kebal terhadap segala macam racun.
Apakah itu juga berarti kebal
terhadap bisa ular?
***
Kita tinggalkan dulu Pendekar
212 yang tengah menghadapi bahaya terancam lima ekor ular sendok berbisa. Kita
ikuti rombongan Adipati Magetan yang bergerak menuju Kotaraja. Karena
Lawunggeno, Jala Gandring dan Barataji sama-sama menderita cedera, maka
rombongan itu tidak bisa bergerak cepat. Satu hari kemudian baru mereka sampai
di Kotaraja. Lawunggeno langsung memimpin rombongan menuju gedung Kepatihan.
“Astaga, apa yang terjadi
dengan diri kalian?!” tanya Patih Sagara Wisamala
ketika melihat kemunculan
ketiga orang itu. Tangan kiri Adipati Lawunggeno dilihatnya tergantung dalam
kain penyanggah tanda ada bagian bahu atau pangkal lengannya yang patah.
Tapi yang paling menggidikkan
ialah mukanya yang seperti hancur. Hidung melesak ke dalam dan kelihatannya dia
mengalami kesulitan bernafas. Di samping Adipati Magetan itu tegak orang tua
bermuka hitam Jala Gandring, bertopang pada sebuah tongkat. Kaki kirinya
dibalut dan diganjal dengan sepotong kayu. Patih Kerajaan berpaling pada
Barataji. Leher orang ini tampak bengkak membiru. Seperti Jala dan Lawunggeno,
dia pun kelihatan sulit bernafas.
Karena tidak ada satu pun dari
ketiga orang itu yang membuka mulut, Patih Sagara Wisamala kembali bertanya,
“Orang-orang Serikat Candu Iblis yang menghajar kalian?”
Sentak menarik nafas panjang
dan dalam Jala Gandring menjawab. “Kami memang berhasil menjebak rombongan
orang-orang Serikat Candu Iblis di hutan Karangkukusan. Pemimpinnya nyaris kami
tangkap. Tetapi terjadi satu keanehan. Ada satu mahluk yang tidak kelihatan
menolong Ketua Serikat Candu Iblis sehingga dia berhasil lolos.”
“Lolos setelah menghajar
kalian lebih dulu?” tanya Patih Kerajaan.
“Bukan dia yang menghajar
kami. Tapi mahluk yang tidak kelihatan itu. Mahluk tersebut ternyata menjadi
kawan sang ketua.” Barataji yang menjawab.
“Keteranganmu sungguh tidak
dapat kupercaya Dimas Barataji. Coba salah satu dari kalian menceritakan apa
sesungguhnya yang telah terjadi. Yang lebih penting kalian telah bertemu dengan
Ketua Serikat Candu Iblis itu. Apakah kalian mengenal siapa adanya dia?”
“Manusia terkutuk itu ternyata
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid nenek sakti bernama Sinto Gendeng dari
Gunung Gede!” kata Jala Gandring.
“Pendekar 212 Wiro sableng?!
Dia katamu yang jadi Ketua Serikat Candu Iblis?”
Jala Gandring dan Lawunggeno
mengangguk sedang Barataji mengiyakan.
“Tidak dapat kupercaya!
Sungguh tidak aku duga! Bukankah Pendekar 212 seorang tokoh silat muda yang
sangat disegani dan berasal dari golongan putih?
Malah setahuku dia telah
berjasa banyak pada kerajaan. Beberapa kali dia pernah ikut membantu menumpas
pemberontakan.”
“Kakang Patih, biar saya
ceritakan agar jelas bagi kakang Patih,” kata Jala Gandring pula. Lalu dia pun
menuturkan apa yang telah terjadi yaitu sejak dia dan rombongannya berhasil
menjebak orang-orang Serikat candu Iblis di hutan Karangkukusan sampai akhirnya
mereka dibuat babak belur.
“Aneh…” kata patih Sagara
Wisamala sambil melangkah mondar-mandir.
“Hutan Karangkukusan memang
termasuk salah satu hutan angker di kawasan perbatasan. Tapi jika ada satu
mahluk tidak kelihatan menolong Pendekar 212 ini benar-benar tidak masuk akal.”
“Turut penglihatan saya,” kata
Jala Gandring pula, “Agaknya antara Pendekar 212 dan mahluk itu sudah saling
kenal sebelumnya. Mereka akrab. Besar dugaan saya mahluk itu adalah mahluk
perempuan.” “Kuntilanak? Sebangsa peri atau gendaruwo atau penghuni laut
selatan? Atau jin peliharaannya?” ujar Patih Kerajaan sambil memandang pada
ketiga orang di hadapannya satu persatu.
Lawunggeno batuk-batuk
beberapa kali. Dari hidungnya yang cedera masih mengalir darah. Dengan sehelai
sapu tangan basah dia menyeka mukanya lalu berkata. Suaranya terdengar sangau
akibat hidungnya yang rusak.
“Siapa atau apa pun adanya
mahluk itu tidak penting! Lebih penting saat ini ialah menyebarkan pengumuman
penangkapan atas diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Kita sudah mengetahui
kedoknya. Dia bukan lain adalah Ketua Serikat Candu Iblis!”
“Apa yang dikatakan Adipati
Lawunggeno betul. Manusia itu harus ditangkap hidup atau mati,” ikut bicara
Barataji. “Kerajaan harus mengirimkan surat kepada gurunya di Gunung Gede serta
para sesepuh dunia persilatan. Mereka harus ikut bertanggung jawab dan membantu
menangkap pemuda itu!”
Pati Sagara Wisamala tercenung
sesaat. “Antara jasa dan kejahatan memang tidak dapat dibanding-bandingkan,”
katanya. “Walau pemuda itu telah banyak berjasa pada Kerajaan dan dunia
persilatan tetapi menjadi orang jahat, menjadi Ketua dari komplotan perusak
ummat tidak ada ampunnya. Hari ini juga aku akan mengeluarkan surat penagkapan
atas diri Pendekar 212! Berita ini harus diumumkan di seluruh Kerajaan, sampai
di pelosok-pelosok!”
Sehari sebelum kedatangan
rombongan Jala Gandring ke Keraton, pada suatu malam gelap tanpa bulan, delapan
orang lelaki bertubuh kekar hanya mengenakan celana hitam berlari cepat di
wilayah selatan luar Kotaraja. Mereka mengusung sebuah tandu. Gerakan mereka
laksana hantu malam. Dari mulut mereka selalu terdengar ucapan: “Satu dua tiga
empat! Anjing gila jilat pantat!”
Di sebuah persimpangan sunyi
rombongan ini membelok ke kiri. Tak lama kemudian mereka memasuki halaman
sebuah gedung yang berada dalam keadaan gelap gulita. Hanya ada sebuah lampu
minyak menyala dekat tangga depan. Delapan pengusung tandu hentikan
ucapan-ucapan mereka.
Lima orang pengawal muncul
menyongsong kedatangan orang-orang pemuda tandu itu. Dari pihak yang
disongsong, yang bertindak sebagai pemimpin segera berkata: “Beri tahu Raden
Haryo Adipuro kalau kami sudah datang.”
“Raden Haryo memang sudah
menantikan,” jawab pengawal itu. Dia mengangkat tangannya seperti memberi
tanda. Pintu besar gedung kelihatan terbuka.
Delapan lelaki pengusung tandu
segera bergerak. Mereka menaiki tangga gedung, terus masuk ke dalam gedung
bersama tandu yang mereka usung!
Bagian dalam gedung ternyata
berada dalam keadaan gelap. Sebuah lampu minyak terdapat di atas sebuah meja di
tengah ruangan. Nyala apinya yang sangat kecil dan redup tidak dapat menerangi
seluruh ruangan yang cukup besar. Segala yang ada di tempat itu terlihat
seperti bayang-bayang menghitam.
Di sudut kiri ruangan ada
sebuah kursi. Di atas kursi ini, dalam kegelapan tampak duduk seorang lelaki
berbadan kukuh. Sikapnya tenang tetapi air mukanya menunjukkan rasa khawatir
yang coba disembunyikannya.
Delapan lelaki bertelanjang
dada menurunkan tandu di tengah ruangan. Bagian depannya sengaja membelakangi
nyala lampu minyak di atas meja. Para pengusung kemudian berdiri tak bergerak,
empat di samping kiri dan empat lagi di samping kanan tandu. Suasana di ruangan
itu sunyi hening seperti di pekuburan. Kesunyian kemudian dipecah oleh suara
berkeretekan. Bagian depan tandu yang merupakan sebuah pintu perlahan-lahan
terbuka. Di dalam tandu, terbungkus oleh kegelapan kelihatan duduk satu sosok
tubuh anak-anak. Tapi ternyata dia adalah seorang laki-laki katai. Menggunakan
jubah hitam berumbai-umbai kuning emas. Kepalanya botak dan mukanya berwarna
kelabu!
Raden Haryo Adipuro adalah
Kepala Pasukan Pengawal Sri baginda, seorang pejabat tinggi Kerajaan yang
setingkat dengan Menteri. Namun adalah aneh ketika pintu tandu terbuka, dia
segera berdiri dan menjura memberikan hormat pada orang pendek yang duduk di
dalam tandu. Setelah menjura dia duduk kembali dengan sikap hormat, menunggu.
“Raden Haryo” orang di dalam
tandu terdengar berkata. “Aku datang seperti biasa mengantarkan uang
perlindungan.” Lalu dari dalam tandu melesat sebuah kantong. Kantong ini
mengeluarkan suara berdering ketika jatuh di atas meja di samping lampu minyak.
Raden Haryo Adipuro
memperhatikan kantong itu sesaat. Dilihatnya ada kelainan pada ukuran kantong.
Tapi dia diam saja. Tidak berani menanyakan.
Orang di dalam tandu kembali
membuka suara. “Jumlah yang aku sampaikan kali ini jauh lebih kecil. Itu satu
pertanda bahwa perlindungan yang Raden Haryo berikan terhadap Serikat tidak
memadai. Kami kebobolan! Kami sangat kecewa.”
“Ada sesuatu yang terjadi?”
tanya Raden Haryo Adipuro.
“Sebelumnya aku sudah memberi
bisikan. Aku mencurigai Patih Sagara Wisamala. Dia bisa membahayakan Serikat.
Karena itu Raden aku minta untuk menyelidik. Apa yang telah Raden laku kan?”
“Saya telah menyuruh beberapa
orang kepercayaan untuk menyelidik…”
“Orang-orang Raden tidak lebih
dari kerbau-kerbau tolol!” kata si pendek dalam tandu yang membuat Raden Haryo
Adipuro jadi terdiam.
“Beberapa hari lalu
orang-orang Patih Sagara menyerang dan menjebak rombonganku di hutan
Karangkukusan. Delapan orang anggota Serikat tewas! Tiga dibunuh dengan panah
beracun. Lima dibakar hidup-hidup!”
Dalam gelap paras Raden Haryo
Adipuro jadi berubah dan memucat.
“Ini adalah kealpaan yang
tidak dapat dimaafkan Raden Haryo!”
“Saya… saya mengerti Soltan
Ramada,” jawab Kepala Pengawal Istana menyebut nama orang kate yang duduk di
dalam tandu. Kepalanya ditundukkan. Dia tak berani menatap mata orang di
hadapannya itu.
Lalu dia berkata, “Mohon
Soltan Ramada mau memberi tahu siapa pemimpin rombongan yang melakukan
penyergapan itu. Saya akan segera mengambil tindakan.”
“Ada tiga orang. Jala
Gandring, tokoh silat istana sahabat kental Patih kerajaan. Lalu Adipati
Lawunggeno dari Magetan. Yang ketiga Barataji, tokoh silat yang selama ini
menjadi guru para prajurit pengawal istana! Jadi orangmu sendiri!”
Paras Raden Haryo berubah.
Tiga nama yang disebutkan itu adalah tiga orang tokoh berkepandaian tinggi.
“Saya akan menghabiskan mereka! Saya bersumpah!” kata Raden Haryo Adipuro
akhirnya.
“Bagus! Karena memang itulah
satu-satunya jalan untuk mengampuni kelalaianmu! Sekarang aku minta laporan
perkembangan kegiatanmu!”
“Satu tempat penghisapan baru
mulai dijalankan di Kotaraja sebelah timur. Dua lainnya di Sleman dan Klaten.”
“Bagaimana dengan orang-orang
penting yang jadi sasaran Serikat?”
“Tumenggung Jarot Agasa masuk
ke dalam bujukan kita. Salah seorang selir Sri Baginda diam-diam sudah mulai
menghisap. Lalu pangeran tua Dipa Alit dan seorang keponakannya juga berhasil
dibujuk…”
“Bagus, sekarang tugas utamamu
adalah berusaha agar Sri Baginda bisa dibujuk. Kau bisa memperalat gundiknya
yang telah jadi pemadat itu atau melalui pangeran Dipa Alit.”
“Saya siap melakukannya
Soltan.”
“Aku segera pergi. Ada
pertanyaan yang ingin kau ajukan?”
“Tidak. Kecuali permintaan
agar jumlah kiriman candu diperbanyak,” jawab Raden Haryo Adipuro.
“Tak usah kau kawatirkan. Itu
sudah ada dalam benakku!” jawab si botak muka kelabu yang bernama Soltan
Ramada. Tangan kirinya dilambaikan. Pintu tandu tertutup. Delapan lelaki
bertelanjang dada segera mengangkat tandu itu lalu mengusungnya keluar gedung.
Tak lama kemudian di dalam kegelapan malam kembali terdengar suara mereka.
“Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!”
9
GOA batu itu terletak di kaki
selatan Gunung Merapi, tersamar di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar.
Suasana sunyi senyap yang sesekali ditandai oleh kicau burung-burung hutan jadi
terusik ketika dikejauhan terdengar seruan berkepanjangan. “Satu dua tiga
empat! Anjing gila jilat pantat…!”
Makin lama suara itu semakin
keras tanda tambah mendekati goa. Tak lama kemudian terlihatlah rombongan yang
tak asing lagi. Delapan lelaki bertelanjang dada, hanya mengenakan celana
panjang hitam sebetis mengusung sebuah tandu sambil berlari.
Di depan goa rombongan
berhenti. Perlahan-lahan tandu diturunkan ke tanah.
Seorang dari delapan pengusung
melangkah ke sebuah pohon besar di samping goa.
Dengan kedua tangannya yang
kukuh dipeluknya batang pohon itu lalu diputarnya ke kanan. Sesaat kemudian
terdengar suara berderik, disusul dengan suara bersiur.
Lalu terjadilah satu keanehan.
Rerumputan pohon dan semak belukar yang menutupi mulut goa perlahan-lahan turun
ke bawah seolah-olah ditelan bumi. Mulut goa kini kelihatan dengan jelas namun
lima langkah ke sebelah dalam menghadang sebuah batu besar.
Tiba-tiba pintu tandu
berkereketan dan terpentang lebar. Dari dalam tandu melesat keluar satu sosok
pendek berjubah hitam, langsung masuk ke dalam mulut goa.
Di depan batu besar yang
menyumpal mulut goa sebelah dalam, orang ini yang bukan lain adalah manusia
bernama Soltan Ramada mengetuk batu tiga kali berturut-turut. Ketukan yang
disertai pengerahan tenaga dalam itu menggetarkan batu.
Getaran ini menjalar sepanjang
lorong goa dan sampai ke sebuah kursi batu yang terletak di suatu ruangan agak
ketinggian.
Di atas kursi batu ini duduk
seorang lelaki. Baik bentuk tubuh maupun wajahnya yang terlihat samar-samar
karena pada pertengahan ruangan, beberapa langkah di depan kursi batu terdapat
sebuah tirai berwarna merah dengan garis-garis kuning. Di sebelah bawah ada
gambar bulatan setengah lingkaran berwarna merah tua.
Begitu merasakan getaran pada
kursi batu yang didudukinya, orang di balik tirai menekan ujung kanan lengan
kursi. Bagian ini rupanya merupakan sebuah tombol dari peralatan rahasia.
Begitu lengan kursi ditekan, di mulut goa, batu besar yang menutup bergeser ke
kiri. Soltan Ramada segera melompat ke dalam goa. Di belakangnya batu besar
bergeser kembali, menutup mulut goa.
“Kau membawa kabar baik
untukku Soltan?”
Orang yang duduk di atas kursi
batu bertanya. Suaranya keras, bergema panjang di dalam goa itu.
“Tentu, tentu Pangeran!” jawab
Soltan Ramada. Lalu manusia katai ini jatuhkan dirinya dekat tiga alur tangga
batu dan bersujud beberapa lamanya. Kalau tidak disuruh bangkit dia tidak akan
terus bersujud seperti itu.
Orang yang disebut dengan
panggilan Pangeran menyeringai. “Bangunlah Soltan. Berikan laporanmu!”
Soltan Ramada bangkit dari
sujudnya lalu duduk bersila dengan khidmat.
“Sesuai dengan petunjuk
Pangeran saya telah berhasil membuat Pendekar 212 menjadi bulan-bulanan
pengejaran orang-orang Kerajaan dan orang-orang Persilatan. Kini dia dianggap
sebagai Ketua dari Serikat Candu Iblis. Perintah penangkapannya hidup atau mati
telah disebarluaskan di seluruh pelosok kerajaan.”
Mendengar keterangan itu orang
yang duduk di kursi batu tertawa gelak gelak.
“Kau memang pembantuku paling
hebat. Coba ceritakan bagaimana kejadiannya.”
Lalu Soltan menuturkan
peristiwa di hutan Karangkukusan.
“Bagus…! Bagus! Delapan korban
tak jadi apa. Candu palsu dalam kotak yang kau selipkan di pinggang Pendekar
212! Ha…ha…ha.!”
Soltan Ramada ikut tertawa
mengekeh.
“Sekarang aku tidak
susah-susah turun tangan sendiri mencari musuh besarku itu. Orang-orang
berkepandaian tinggi se-Tanah Jawa ini yang akan mengerjakannya.
Menurut perkiraanku, paling
lambat dalam waktu tiga puluh hari manusia sableng itu pasti akan tertangkap!
Kalau dia tidak mati dalam perlawanan maka Kerajaan akan menggantungnya sampai
mampus! Ha…ha…ha….!”
“Berita lain yang
menggembirakan, Pangeran,” kata Soltan Ramada pula.
“Saat ini sudah banyak
orang-orang yang dekat dengan Keraton masuk dalam perangkap candu kita. Dua di
antaranya adalah selir Sri Baginda dan Pangeran Alit.”
“Hebat! Berarti kita sudah
dekat dengan sasaran utama. Yaitu Sri Baginda!”
“Saya sudah perintahkan Raden
Haryo Adipuro untuk melakukan hal itu. Rasa-rasanya segala rencana akan
berjalan mulus. Katakanlah paling lambat kita harus menunggu tiga purnama…”
“Ya, paling lambat memang
sekitar sembilan puluh hari.”
“Kalau Sri Baginda sudah masuk
dalam perangkap Serikat Candu Iblis… Ha… ha… ha… ha…! Tanda kerajaan tak lama
lagi akan lumpuh dan kita dengan mudah bisa merebut tahta!”
“Tahta memang adalah hak
warismu yang sah Pangeran,” kata Soltan Ramada pula.
“Tapi ingat Soltan. Dalam
setiap langkah dan tindakan, dalam setiap saat dan waktu semua orang-orang
kita, terutama kau, harus berlaku hati-hati. Waspada! Aku merisaukan beberapa
orang yang bisa menjadi penghalang. Pertama Patih Sagara Wisamala.”
“Saya memang terus
memata-matainya. Dia telah memberikan tugas khusus pada tiga orang tokoh. Jala
Gandring. Barataji dan Adipati Lawunggeno.”
“Mereka orang-orang
berkepandaian tinggi,” kata Sang Pangeran sambil pangkukan kaki kirinya ke kaki
kanan.
“Tidak usah khawatir Pangeran.
Saya telah membuat Raden Haryo bersumpah bahwa dia harus membunuh ketiga orang
itu. Mereka akan mati dan Raden Haryo saya perintahkan untuk meninggalkan tanda
pada setiap pembunuhan. Yaitu SCI, singkatan dari nama serikat kita.”
“Otakmu sungguh luar biasa
Soltan! Dari siapa kau mendapatkan kepintaran itu?” tanya sang Pangeran dari
balik tirai sambil menyeringai.
“Saya hanya belajar darimu
Pangeran!” jawab Soltan Ramada lalu letakkan keningnya di lantai goa, bersujud!
Lalu sambil terus menempelkan keningnya di lantai Soltan berkata penuh
penjilatan, “Bukankah Pangeran yang ditunjuki orang Pendekar segala cerdik,
segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak?!”
Orang di atas kursi batu
tertawa mengakak. “Kau ingat betul sifat-sifatku itu Soltan,” katanya. “Dan aku
tahu apa akibat dari perbuatan licikmu itu! Semua orang akan menuduh Pendekar
212-lah yang telah membunuh ketiga orang itu. Bukan begitu?”
“Betul sekali Pangeran!” jawab
Soltan Ramada sambil duduk bersila kembali.
“Hemmmm… Soltan, masih ada
satu orang lagi yang berbahaya bagi Serikat Candu Iblis kita. Raden Mas Kuntoro
Abimanunggal, Kepala Pasukan Kerajaan…”
“Saat ini dia masih berada di
luar pulau. Ada kabar dia meneruskan perjalanan ke Tanah Melayu. Dia tidak akan
kembali dalam waktu empat atau lima bulan,” kata Soltan Ramada.
Sang Pangeran
mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. Lalu berkata, “Baiklah Soltan, Kau
tentu perlu istirahat. Apakah kau akan menemui kekasihmu saat ini?”
“Kalau Pangeran mengizinkan.
Sudah satu bulan lebih saya tidak melihatnya…”
Sang Pangeran tertawa lalu
menekan ujung lengan kursi sebelah kiri. Terdengar suara menderu perlahan. Satu
celah tampak di dinding sebelah kiri dekat lorong menuju keluar.
Soltan Ramada bersujud lebih
dahulu, lalu tanpa menunggu lebih lama dia bangkit dan berkelebat ke dalam
celah batu. Di belakang celah itu ternyata terdapat sebuah kamar yang bagus
sekali. Di bagian tengah ada tempat tidur dari batu yang dialas dengan kasur
jerami serta seprai tebal seperti permadani.
Di atas tempat tidur, berdiri
satu sosok tubuh perempuan yang luar biasa buntak dan gemuknya. Lehernya tidak
kelihatan, karena dagunya seperti telah jadi satu dengan dadanya. Wajahnya
merah karena diberi pupur berlebihan. Gincunya tebal bukan kepalang dan alis
matanya yang seperti bulan sabit diberi alat penghitam.
Perempuan gemuk ini tegak
bertolak pinggang dan tersenyum lebar ketika melihat Soltan Ramada masuk ke
dalam kamar batu itu.
“Kanda Ramada!” kata si
perempuan dengan suara lembut dan gerakan mulut serta mata penuh genit. “Kalau
hari ini Kanda tidak sampai datang, dinda niscaya sudah mati menelan
kerinduan…”
“Kekasihku Ramini!” seru
Soltan Ramada seraya melompat naik ke atas tempat tidur. “Rindumu adalah
rinduku juga!” Berdiri berhadap-hadapan tinggi Soltan Ramada hanya sampai
sepusar perempuan gemuk itu. Mendengar ucapan Soltan tadi, perempuan itu
tersenyum lebar. Dia menggerakkan bahunya. Pakaian sebentuk jubah tipis yang
melekat di tubuhnya jatuh ke bawah. Kini perempuan itu berdiri tanpa mengenakan
sepotong pun kain pelindung. Di mata Soltan Ramada, tubuh yang gemuk buntak
penuh lemak itu seindah tubuh bidadari. Dia menjerit keras lalu melompat
merangkul leher si gemuk.
Dari tempatnya duduk di kursi
batu, orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran dapat melihat ke dalam kamar
melalui celah yang masih belum ditutupnya.
Dia tertawa-tawa seorang diri.
“Apa yang aku lihat ini?
Seekor sapi betina bulat melawan seekor kadal sawah? Ha…ha…ha!” dia menekan
ujung lengan kiri kursi batu. Celah di dinding goa menutup kembali.
10
KOTARAJA menjadi geger ketika
dua hari kemudian, yaitu setelah Soltan Ramada menemui Raden Haryo Adipuro,
pagi-pagi sekali telah tersebar luas berita mengejutkan kematian tiga orang
penting. Mereka adalah Jala Gandring, Lawunggeno dan Barataji.
Jika tiga orang penting
menemui kematian secara bersamaan maka hal ini bukanlah suatu peristiwa biasa.
Kematian mereka tidak bisa disebut wajar. Dan memang ketiga tokoh itu tewas
akibat dibunuh!
Jala Gandring dan Barataji
ditemukan mayatnya dalam kamar masing-masing di perumahan khusus untuk
tamu-tamu istana, tak berapa jauh dari tembok Istana sebelah timur. Sedang
Adipati Lawunggeno ditemukan tewas di rumah adik iparnya di kawasan pusat
Kotaraja.
Ketiga orang ini menemui ajal
dengan cara yang sama. Sebatang kayu kecil berbentuk sumpit menancap di
tenggorokan masing-masing. Leher dan sebagian muka mereka kelihatan membiru
tanda kayu maut itu mengandung racun jahat. Pada bagian ujung kayu terdapat
bagian berbentuk bulat pipih. Pada bulatan ini tertera tiga huruf SCI yang
merupakan singkatan dari Serikat Candu Iblis.
Seperti diketahui ketiga orang
yang jadi korban pembunuhan itu memiliki kepandaian silat tinggi serta
kesaktian. Jika mereka bisa dibunuh begitu rupa berarti si pembunuh memiliki
kepandaian yang sangat luar biasa. Atau mungkin ketiganya dibokong satu demi
satu?! Dan siapa pun sang pembunuh, dia adalah anggota Serikat Candu Iblis yang
bahkan dengan sengaja berani meninggalkan tanda!
Pagi itu juga Sri Baginda
memanggil Patih Sagara Wisamala.
“Kita kebobolan Patih,” kata
Sri Baginda.
“Saya mengerti Sri Baginda.
Semua karena kelalaian saya,” jawab Patih Sagara Wisamala. “Yang menjadi korban
pembunuhan ketiganya adalah orang-orang yang saya percayakan untuk menangani
komplotan candu jahat itu.”
“Mereka sekarang secara
terang-terangan dan berani meninggalkan tanda dari Serikat mereka,” kata Sri
Baginda pula. “Aku merasa dipermalukan. Belum lagi rasa tanggung jawab terhadap
orang-orang yang sekarang telah menjadi pemadat. Patih, katakan kalau benar
bahwa ada orang-orang penting dalam Istana yang juga telah masuk perangkap
jahat menjadi penghisap candu!”
“Hal itu memang menjadi
kekhawatiran saya Sri Baginda. Saya akan segera melakukan penyelidikan.” jawab
sang Patih. Dia tidak berani mengatakan terus terang bahwa dia memang sudah
mendengar kabar kalau ada orang-orang yang dekat dengan Istana telah masuk ke
dalam perangkap Serikat Candu Iblis. “Bagaimana dengan Pendekar 212? Masih
belum diketahui di mana dia berada?”
“Belum Sri Baginda. Saya telah
menambah jumlah mata-mata di seluruh pelosok Kerajaan.”
“Jangan terlalu memperhatikan
daerah pelosok. Nyatanya pendekar sesat itu berada di Kotaraja dan sempat
membunuh tiga orang kepercayaanmu!”
Ucapan Sri Baginda itu membuat
air muka Patih Kerajaan menjadi bersemu merah.
“Kuharap kau bekerjasama
dengan Raden Haryo Adipuro. Geledah setiap tempat yang mencurigakan di
Kotaraja. Kalau perlu tempat kediaman para pejabat
yang mencurigakan jangan
segan-segan digeledah. Aku punya dugaan Serikat Candu
Iblis tidak mungkin berkembang
secepat dan seberani itu kalau tidak mempunyai tulang punggung yang mereka
andalkan.”
“Petunjuk Sri Baginda akan
saya laksanakan. Saya mohon diri…”
“Tunggu! Ada satu hal lagi
Patih. Hubungi tokoh-tokoh dunia persilatan. Minta mereka membantu menangkap
atau membunuh Pendekar 212. Kita tidak bisa bekerja sendirian. Kita perlu
bantuan mereka. Kirimkan utusan khusus menemui Sinto Gendeng. Perintahkan dia
menghadapku dalam waktu dekat. Aku ada rencana yang mungkin bisa memaksa
muridnya keluar dari persembunyian.”
“Kalau saya boleh tahu Sri
Baginda, rencana apakah itu?”
Sri Baginda menatap wajah
patihnya itu beberapa saat. Sang Patih jadi merasa tidak enak dipandang seperti
itu. Maka dia cepat berkata, “Jika Sri Baginda tidak percaya bahwa saya tidak
dapat merahasiakan rencana itu, Sri Baginda tidak perlu mengatakannya pada
saya.” Sagara Wisamala menghaturkan sembah hendak berlalu.
“Tunggu Patih! Jangan salah
menduga. Aku percaya padamu. Aku akan katakan rencana itu. Tapi jangan
sekali-kali kau ceritakan pada siapa pun!”
“Saya berjanji tidak akan
membuka rahasia,” kata Sagara Wisamala pula.
“Begitu Sinto Gendeng masuk ke
Istana ini, kita akan menangkapnya. Lalu jika dalam waktu sepuluh hari setelah
dia ditangkap Pendekar 212 yang Ketua Serikat Candu Iblis itu tidak muncul
menyerahkan diri, perempuan tua itu akan kusuruh gantung sampai mati!”
Tersirap darah Patih Sagara
Wisamala mendengar ucapan Sri Baginda itu.
Dalam hati dia membatin.
“Nenek sakti Sinto Gendeng memang bisa dimintakan pertanggungan jawab atas
kejahatan yang dilakukan muridnya. Tapi kalau sampai si nenek digantung, sama
saja dengan menantang perang terhadap orang-orang dunia persilatan!”
***
SENTIKO menggeliat beberapa
kali lalu turun dari tempat tidur. Setelah meneguk air putih dari dalam sebuah
kendi dia naik ke kamar di tingkat atas penginapan. “Keparat bermulut besar itu
pasti sudah mampus dilalap lima ekor ular sendok!” berucap Sentiko dalam hati.
Pintu kamar dibukanya. Sebelum
melihat ke dalam lobang dia membuka semua jendela kamar agar cahaya terang
masuk ke dalam. Lalu baru dia melangkah ke tepi lobang dan memandang ke bawah.
Dia membayangkan akan melihat sosok tubuh Pendekar 212 terkapar tak bernyawa.
Tetapi alangkah terkejutnya
pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini ketika yang dilihatnya bukan sosok
tubuh atau mayat Wiro, melainkan yang tampak adalah bangkai lima ekor ular
sendok bergeletakan menghitam seperti dipanggang!
Apakah yang telah terjadi
didalam lobang dimana sebelumnya Pendekar 212 Wiro Sableng terjebak dan
terperangkap?
Kita kembali pada saat Wiro
berada di dalam lobang dan mengurungkan untuk melepaskan pukulan sinar matahari
karena di ruang batu yang sempit itu pukulan sakti tersebut bisa berbalik
menghantam dan mencelakai dirinya sendiri.
Pada saat lima ekor ular
sendok semakin meninggikan tubuh dan siap mematuk, murid Sinto Gendeng ini
tidak terpikir lagi pada Suci atau Dewi Bunga Mayat yang setiap saat bisa
membantunya jika dipanggil.
Di saat-saat genting seperti
itu hatinya mendua bahwa dirinya juga kebal terhadap bisa ular. Dengan sangat
hati-hati agar gerakannya tidak menarik perhatian lima ekor ular, Wiro merapat
ke dinding di belakangnya sambil kedua tangannya bergerak ke pinggang.
Yang kiri mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212. Tangan kanan mengeluarkan batu hitam pasangan kapak sakti itu.
Tiba-tiba ular paling kanan
bergerak maju. Empat kawannya mendesis dan ikut bergerak. Wiro jatuhkan diri ke
lantai lobang batu. Serentak dengan itu batu hitam diadu dan digeserkannya
kuat-kuat ke mata kapak. Satu gelombang lidah api melesat ke atas. Inilah salah
satu kesaktian yang dimiliki pasangan kapak Naga Geni 212 dan batu hitam
warisan Eyang Sinto Gendeng.
Empat ekor ular sendok
surutkan kepala ke belakang. Yang satu seperti nekad meneruskan mematuk ke arah
muka pendekar 212. Lidah api segera menyambar binatang ini. Tubuhnya langsung
terpanggang hangus lalu jatuh ke lantai lobang.
Wiro gosokkan lagi batu
saktinya ke mata kapak. Kembali lidah api menyembur. Dua ekor ular sendok jatuh
berkaparan dalam keadaan hangus hitam.
Udara di dalam lobang itu
menjadi panas bukan kepalang. Wiro merasa dirinya ikut terpanggang.
Dua ekor ular yang masih hidup
bersurut mundur, memendekkan badan masing-masing, kelihatannya hendak
menyelinap lari lewat celah di bawah dinding.
Wiro tidak mau membiarkan
binatang-binatang itu lolos. Sekali lagi kapak mustika dan batu sakti
digosokannya. Dua ekor ular sendok bergelepakan di lantai.
Murid Eyang Sinto Gendeng
menarik nafas lega. Dadanya turun naik. Hidungnya kembang kempis. Tubuhnya
terasa letih sekali seperti kehabisan tenaga dan basah oleh keringat. Salah
satu lengan pakaiannya baru disadarinya hangus terbakar.
Pendekar ini melosoh dan
menjatuhkan diri ke lantai. Dia berhasil menyelamatkan diri. Namun masih adakah
bahaya baru yang bisa keluar dari celah di bawah dinding itu? Sebelum malam
tiba dia harus keluar dari dalam lobang celaka itu. Wiro memutar akal sambil
memandang berkeliling. Dia harus melakukan sesuatu. Tapi apa dan bagaimana?
Perlahan-lahan Wiro berdiri.
Dia memukul-mukul dinding batu itu dengan tinjunya. Hampir tidak terdengar
bunyi keras ataupun gema pertanda dinding lobang itu tebal sekali. Lalu dia
coba mengukur-ukur jarak antara satu dinding dengan dinding di depannya dengan
kedua tangannya.
“Tolol!” Wiro memaki sendiri.
“Mengapa dengan tangan? Aku bukan monyet atau orang utan yang bisa memanjat
hanya mengandalkan tangan!”
Dikangkangkannya kedua
kakinya. Ternyata kaki kiri dan kaki kanan bisa menempel ke dinding kiri dan
kanan lobang. Hatinya berdebar. Jalan lolos dari dalam lobang itu sudah
terlihat. Tapi memperhatikan keadaan dinding lobang, murid Eyang Sinto Gendeng
kernyitkan kening dan garuk-garuk kepala.
Dinding lobang yang terbuat
dari batu itu ditebali oleh lumut. Jika kakinya menginjak, tidak dapat tidak,
dia pasti akan tergelincir dan jatuh ke bawah kembali.
Dia memerlukan sesuatu untuk
menjadi pegangan.
“Geblek!” Tiba-tiba sang
pendekar kembali memaki dirinya sendiri sambil menepuk jidatnya. Dia keluarkan
kembali Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggangnya. Senjata itu
dibacokkannya ke dinding batu di hadapannya. Begitu menancap, gagang kapak
terus dipegangnya. Lalu kedua kakinya dikembangkan, diinjakkan pada dinding
lobang. Perlahan-lahan tubuhnya diangkat ke atas.
Sekali dicoba gagal, kali
kedua gagal. Kali keempat baru dia berhasil menekankan kedua kakinya pada
dinding lobang. Begitu mendapat kedudukan yang kukuh tubuhnya berhasil bergerak
ke atas. Ketika kepalanya mencapai gagang kapak, Wiro cabut senjata itu dan
sebelum tubuhnya terjatuh ke bawah secepatnya mata kapak dibacokkannya ke
dinding sebelah atas.
Sesaat dia bergantungan pada
gagang senjata ini. Lalu perlahan-lahan tubuhnya beringsut naik ke atas.
Mencapai pertengahan lobang ternyata dinding-dinding lobang itu agak menyempit.
Karenanya kedudukan kedua kakinya menjadi lebih kuat. Tanpa kesulitan akhirnya
Wiro memanjat ke atas dan keluar dari dalam lobang, dengan tubuh serta pakaian
basah mandi keringat.
Sentiko masih tertegun bengong
di tepi lobang ketika tiba-tiba dari atas langit-langit kamar yang jebol
melompat keluar seseorang yang langsung mencekal leher pakaiannya. Sesaat
kemudian manusia bertubuh gemuk ini merasakan tubuhnya terangkat. Sebelum dia
bisa berbuat apa tubuhnya sudah dilemparkan orang ke dinding!
Dinding ruangan yang terbuat
dari kayu hancur berantakan. Sentiko menjerit kesakitan. Badannya yang gemuk
menyangsang di jebolan dinding. Selagi dia berusaha meloloskan dirinya, Wiro
tarik ke bawah celana yang dikenakan si gemuk ini. Lalu dari atas meja dia
menyambar segulung tali.
Ketika Sentiko berhasil lolos
dari dinding dan berusaha hendak berdiri matanya mendelik dan dari mulutnya
terdengar teriakan keras. Ternyata dengan tali tadi Pendekar 212 telah mengikat
anggota rahasia Sentiko, baik yang tunggal maupun yang kembar! Ketika tali
dibetot tentu saja pemilik penginapan dan rumah makan yang juga menjalankan
tempat pengisapan candu ini menjerit kesakitan setengah mati!
Wiro tarik tali yang
dipegangnya. Mau tak mau Sentiko terpaksa mengikuti maju seperti kerbau dicucuk
hidung.
“Ampun… jangan! Apa yang kau
lakukan ini?!” teriak Sentiko.
“Sakit?” tanya Wiro.
“Sakit! Tentu saja! Wadaw!”
“Dengar babi gemuk!” kata Wiro
seraya main-mainkan tali yang dipegangnya.
“Burung perkututmu ini akan
kubetot lepas jika kau tidak menjawab apa yang aku tanya!”
“Bangsat! Setan! Adaw…!”
Sentiko memaki lalu menjerit ketika Wiro sentakkan tali yang dipegangnya.
“Lepaskan tali celaka ini! Bangsat! Atau aku akan berteriak memanggil
pengawal!”
“Kalau kau masih sayang pada
perkututmu, sebaiknya jangan berbuat macam-macam! Lekas katakan siapa pemimpin
Serikat Candu Iblis dan di mana aku bisa menemuinya?” “Demi Tuhan aku tidak
tahu!”
“Jangan dusta!” Bentak Wiro
sambil membuat gerakan hendak menarik tali keras-keras.
“Jangan ditarik! Ampun!”
“Kalau begitu lekas bicara!”
“Sumpah! Aku tidak tahu siapa
pimpinan Serikat Candu Iblis…”
“Lalu siapa yang mengirimkan
candu-candu keparat itu padamu?”
“Seorang penghubung. Aku tidak
tahu siapa orangnya. Dia selalu datang pada malam hari dan meletakkan kotak
kecil berisi candu pada tempat tertentu.”
“Lalu bagaimana caranya dia
menerima uang pembayaran candu serta keuntungan hasil perbuatan celakamu pada
seratus orang-orang yang kini mendekam di kamar bawah tanah itu?!”
“Aku… Aku memasukkan uang di
sebuah kotak. Lalu meletakkannya pada malam hari di satu tempat. Besoknya kotak
itu lenyap tanda sudah diambil oleh orang Serikat Candu Iblis.”
“Aku tidak bisa percaya begitu
saja keteranganmu. Kau sendiri pasti anggota Serikat itu…”
“Demi tuhan aku…”
“Dalam bahaya dan mau mampus
kau menyebut nama Tuhan. Waktu kau menyeret orang-orang itu jadi penghisap
madat dan mendapat keuntungan besar, apakah kau juga ingat Tuhan?!”
Dengan geram Wiro sentakkan
tali. Kembali Sentiko menjerit setinggi langit.
“Babi gemuk, aku tahu kau
tidak mungkin menjalankan pekerjaan terkutuk ini secara bebas kalau tidak ada
yang melindungimu. Katakan siapa pelindungmu!”
“Aku… Tidak ada yang
melindungi. Serikat Candu Iblis hanya menyediakan enam orang pengawal di tempat
ini. Kau sudah melihat mereka kemarin. Bahkan kau telah membunuh seorang di
antaranya…!”
“Aku tidak percaya!” seringai
Wiro. “Kau berdusta. Mukamu kulihat pucat. Kalau kau tidak mau bilang, kupotes
telor kodok dan lontong kumelmu!” Wiro gerakan tangannya yang memegang tali.
“Ampun! Jangan! Aku akan
katakan, Aku akan katakan! Tapi lepaskan dulu ikatan tali celaka itu. Aku bisa
cacat seumur hidup Aku bisa lemah syahwat…!”
Wiro menyeringai. “Ikatan akan
kulepaskan kalau kau sudah mengatakan siapa yang jadi pelindung komplotanmu.
Kau dengar?”
“Ya… ya” kata Sentiko sambil
membungkuk terhuyung-huyung memperhatikan bagian bawah perutnya. Seolah-olah memeriksa
apakah sang burung berikut sarangnya masih tersangkut di sana! Ketika
dilihatnya keadaannya masih baik-baik saja walau bentuknya tidak karuan rupa
lagi maka dia cepat meneruskan ucapannya.
“Baik akan aku katakan.
Orangnya adalah…” Belum sempat Sentiko menyelesaikan ucapannya tiba-tiba sebuah
benda melayang dan menancap di pangkal leher lelaki gemuk itu. Sentiko
menjerit. Pendekar 212 melompat ke jendela. Pohon di seberang bangunan
dilihatnya bergoyang. Seseorang melompat dari atas pohon ke punggung seekor
kuda. Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong. Tapi kuda dan penunggangnya
sudah lenyap di balik tembok. Pukulan yang dilepaskan Wiro hanya sempat merusak
bagian atas tembok hingga runtuh berantakan.
“Kurang ajar!” maki Wiro. Dia
lari mendapatkan Sentiko yang saat itu menggeletak di lantai dalam keadaan
menelungkup. Sebatang kayu kecil berbentuk sumpit yang ujungnya ada bundaran
pipih dengan tulisan SCI menancap di lehernya.
Melihat tengkuk Sentiko yang
mulai menghitam Wiro maklum kalau kayu kecil itu mengandung racun keras.
Sentiko tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Wiro berusaha menotok jalan darah
sekitar kayu yang menancap.
“Dengar, kau tak bakal
apa-apa. Aku akan menolongmu. Tapi lekas katakan siapa pelindung komplotanmu.
Ayo Sentiko! Lekas bilang…”
Kedua mata sipit lelaki gemuk
itu membeliak. Mulutnya membuka.
Ketika Wiro menuruni tangga
dari tingkat atas menuju tingkat bawah penginapan dia berpapasan dengan dua
orang lelaki yang hanya mengenakan celana hitam. Keduanya adalah dua dari enam
pengawal baru yang ditempatkan di situ.
Mereka sejak tadi curiga
mendengar suara ribut-ribut di bangunan sebelah atas lalu lari menaiki tangga,
berpapasan dengan Wiro yang menuju turun.
“Hai! Jangan lari! Kau
pasti…!”
Wiro tidak memberi kesempatan.
Dia melompat dari anak tangga yang kesembilan. Kedua kakinya menendang ke
depan. Dua anggota Serikat Candu Iblis yang berbadan kekar itu mencelat lalu
tergelimpang. Yang satu pecah pelipisnya. Satu lagi hancur mulut dan hidungnya!
11
SEPERTI setiap kali datang,
malam kali ini tidak beda dengan malam-malam sebelumnya. Empat orang pengawal
gedung di luar Kotaraja sebelah selatan itu menyongsong kedatangan rombongan
pengusung tandu. Pintu gedung dibuka dan tandu lalu digotong ke dalam.
Juga seperti dulu-dulu,
ruangan di mana tandu diturunkan berada dalam keadaan suram temaram. Hanya ada
satu lampu minyak kecil di atas meja. Empat orang pengusung di kiri dan empat
lagi di sebelah kanan. Dengan suara berkereketan pintu tandu terbuka. Raden
Haryo Adipuro yang sejak tadi duduk dalam kegelapan berdiri dan menjura memberi
hormat pada si katai Soltan Ramada yang duduk di dalam tandu dengan sikap
seperti seorang raja diraja.
Tanpa memulai pertemuan itu
dengan pembicaraan terlebih dahulu Soltan Ramada langsung melemparkan kantong
uang ke atas meja.
“Kantongmu makin lama makin
kecil Raden Haryo…”
Raden Haryo tampak seperti
hendak membuka mulut. Tapi Soltan Ramada mengangkat tangan dan berkata,
“Waktumu untuk bicara akan kuberikan. Sekarang kau dengar dulu apa yang akan
aku katakan dan jawab jika aku ada pertanyaan!”
Raden Haryo Adipuro anggukkan
kepala.
“Pertama, aku cukup gembira
bahwa kau memang membereskan Jala Gandring, Barataji dan Lawunggeno. Tetapi
pahala yang kau buat itu terkubur bersama kejadian di perbatasan!”
“Pusat penghisapan candu di
sana diobrak-abrik oleh orang tak dikenal. Beberapa orang anggota serikat yang
menjadi pelindung dan pengawal dibunuh. Beberapa lainnya cedera berat.
Bagaimana ini bisa terjadi!? Kau harus menjawabnya nanti!”
“Hal kedua, orang kita di
tempat itu, yakni Sentiko juga tewas. Ada keanehan pada keadaan mayatnya.
Kemaluannya dijirat! Gila betul! Tapi itu tidak membuatku risau! Yang perlu
diungkapkan ialah bahwa Sentiko mati akibat ditancap sumpit beracun yang ada
lambang singkatan Serikat Candu Iblis! Adalah aneh kalau orang Serikat membunuh
kawannya sendiri! Hal ketiga…”
Raden Haryo Adipuro tampak
berdiri dari kursinya. Terdengar dia berucap memotong kata-kata Soltan Ramada.
“Hal ketiga atau keempat atau kelima tidak penting bagiku! Aku ingin bertanya!
Apakah kau juga ingin mati dengan kemaluan dijirat seperti yang terjadi dengan
Sentiko?!”
“Eh!” Soltan Ramada keluarkan
seruan tertahan saking kagetnya mendengar ucapan itu. Dia cepat berdiri.
Delapan lelaki pengusung tandu juga terkesiap mendengar kata-kata yang mereka
anggap sangat berani, bahkan keterlaluan itu. Salah seorang di antara mereka
berbisik pada kawannya. “Kepala Pasukan Pengawal Istana ini ingin cepat mampus
rupanya…”
“Suaramu lain Raden Haryo!
Sejak tadi sebetulnya aku juga heran melihat tubuhmu yang agak langsingan…”
Raden Haryo Adipuro tertawa
bergelak.
“Kurang ajar! Berani kau
tertawa seperti itu di depanku?!” bentak Soltan Ramada melompat dari tandu.
Saat itu tiba-tiba ruangan
tersebut menjadi terang benderang. Lima puluh orang prajurit Kerajaan, dua
puluh di antaranya membawa obor, membanjiri ruangan itu.
Di luar masih ada sekitar
seratus orang prajurit lagi mengurung gedung. Si katai ini memandang
berkeliling dengan paras berubah. Lalu dia kembali berpaling pada orang di
depannya. Saat itu orang ini telah melepaskan ikatan pada rambutnya hingga kini
kelihatan rambutnya yang gondrong.
“Kau!” seru Soltan Ramada.
“Ternyata kau adalah Ketua Serikat Candu Iblis! Pemimpinku sendiri! Sungguh
satu pertemuan yang tidak diduga!” Lalu Soltan Ramada menjura dalam-dalam.
Delapan pengusung yang tidak tahu apa-apa ikut-ikutan menjura. Sesaat suasana
menjadi senyap di ruangan itu.
Suara tawa seseorang kemudian
memecah kesunyian yang mencekam itu.
Orang yang tertawa menyeruak
di antara deretan prajurit yang mengurung. Di sampingnya mengapit dua orang
perwira tinggi kerajaan. Orang yang barusan tertawa ini bukan lain adalah Patih
Sagara Wisamala.
“Soltan Ramada alias Cula
Singkir! Enam tahun kau menghilang tahu-tahu muncul lagi menimbulkan
malapetaka. Dirimu rupanya tidak pernah kering dari kejahatan! Otakmu cerdik
dan licin. Tapi kau tidak bisa menipu diriku dengan begitu cerdik mengatakan
bahwa pemuda berambut gondrong ini adalah Ketua Serikat Candu Iblis! Dia adalah
Pendekar 212, orang tak bersalah yang hendak kau libatkan dan cemarkan namanya!
Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Raden Haryo Adipuro yang jadi kaki
tanganmu sudah ditangkap!”
Berubahlah tampang kelabu
manusia katai berkepala botak itu. Kedua matanya berputar liar. “Aku masih bisa
kabur. Masih bisa lolos…” katanya dalam hati. Matanya melirik ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng.
“Hai!” ujar Wiro seraya
tersenyum lebar dan angkat tangannya. “Apa saat ini ada lagi kotak candu yang
hendak kau berikan padaku?!”
Di balik kulit mukanya yang
kelabu, tampang Soltan Ramada alias Cula Singkir mengelam membesi. Dia
melangkah mundur menuju tandu. Wiro yang sudah maklum kalau tandu itu memiliki
berbagai senjata rahasia maju tiga langkah lalu hantamkan tangan kanannya
melepas pukulan sakti “Dewa Topan Menggusur Gunung”.
Tandu kayu jati yang kokoh itu
mencelat dan hancur berantakan. Soltan Ramada sendiri kalau tidak cepat
menyingkir pasti kena disambar mental. Dengan air muka geram si katai ini
berteriak pada delapan lelaki pengusung tandu.
“Bunuh pemuda gondrong itu!”
Delapan lelaki bertubuh kekar bergerak maju.
Melihat hal ini Patih Sagara
Wisamala cepat memberi perintah pada prajurit-prajurit serta pimpinan mereka.
“Habisi mereka semua!”
“Tunggu dulu!” teriak Pendekar
212. “Paman Patih, mohon maafmu. Mengingat saya yang punya hajat, biar saya
yang mengurusi tetamu-tetamu terhormat itu! Harap yang lain mengawasi si kate
itu. Dia punya banyak akal untuk melarikan diri!”
Lalu Wiro keluarkan Kapak Maut
Naga Geni 212 dan batu saktinya.
Sebelumnya dia telah
menyaksikan kalau manusia-manusia pengusung tandu itu tidak sanggup bertahan
terhadap api. Sebaliknya, delapan orang pengusung tampaknya seperti menganggap
remeh senjata di tangan Wiro. Mereka terus merangsak.
Didahului bentakan nyaring,
Wiro adu kapak dengan batu hitam. Lidah api menyembur. Kini baru delapan orang
itu kaget dan berusaha menyingkir. Namun tiga orang terlambat. Tubuh mereka
segera dilalap api. Ketiganya meraung dan bergulingan di lantai.
Lima temannya dalam marah
seperti menjadi kalap. Dengan nekat mereka menyerbu Wiro. Batu dan kapak
mengeluarkan suara keras ketika saling beradu. Lidah api yang lebih besar
menyambar ke depan. Lima raungan menggema di ruangan itu!
Selagi semua orang seperti
terpukau melihat peristiwa dahsyat itu Soltan Ramada alias Cula Singkir
pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sengaja menyeruak ke dalam
barisan pasukan yang mengurung tempat itu. Tubuhnya yang kecil pendek menyusup
di antara kaki-kaki prajurit. Lalu dari dalam sakunya dia mengeluarkan benda
hitam sebesar ujung jari kelingking. Benda ini dimasukannya ke dalam mulutnya.
Selagi para prajurit itu sibuk
berusaha menangkapnya, Soltan Ramada meniup keras-keras. Asap kelabu menggebubu
dari mulutnya disertai menyebarnya hawa aneh. Begitu hawa itu terhirup ke dalam
pernafasan, lebih dari duapuluh prajurit langsung lemas keliangan. Dua perwira
tinggi tertegun sesaat. Mereka hampir ikut roboh kalau Patih Sagara Wisamala
tidak menarik keduanya menjauhi asap candu iblis.
“Celaka! Manusia katai itu
lenyap!” teriak Patih Sagara. Dia melompat ke pintu depan. Wiro ikut mengejar.
Belasan prajurit mengikuti dari belakang. Di luar terjadi kegaduhan karena
tidak seorang pun prajurit yang mengurung gedung melihat sosok Soltan Ramada.
“Sialan!” maki Wiro. Sementara
Patih Sagara Wisamala terduduk di tangga gedung. Semua orang terdiam
seolah-olah habis daya. Kesunyian mencekam di dalam dan di luar gedung. Namun
tiba-tiba ada satu suara tertawa cekikikan dari arah persimpangan jalan yang
gelap di seberang sana.
“Siapa yang tertawa?” tanya
Patih Sagara pada Wiro.
“Tak dapat saya pastikan. Tapi
itu suara perempuan!” jawab Wiro. Lalu dia mendahului melompati tangga dan lari
ke arah persimpangan. Ketika Patih Sagara mengikuti, semua orang langsung
menghambur pula.
12
DI persimpangan jalan yang
tadinya gelap dan kini diterangi oleh sekian banyak obor, kelihatan Soltan
Ramada tegak tak bergerak. Di depannya berdiri seorang nenek tinggi kurus.
Demikian kurusnya seperti hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kulitnya hitam
pekat seperti jelaga. Pipi dan kedua matanya cekung. Batok kepalanya ditumbuhi
rambut jarang berwarna putih, begitu juga warna alisnya. Lima buah tusuk kundai
perak menghiasi kepalanya. Kelima tusuk kundai itu tidak disisipkan disela-sela
rambut tapi ditusukan ke kulit kepala!
“Guru! Eyang!” teriak Pendekar
212 ketika dia mengenali bahwa nenek di tengah jalan itu bukan lain adalah
Eyang Sinto Gendeng, gurunya sendiri!
Patih Sagara Wisamala
terkesiap. Selama ini dia belum pernah bertemu muka dengan si nenek sakti,
hanya mendengar nama dan kehebatannya saja. Diam-diam hatinya tergetar juga
melihat keangkeran Sinto Gendeng.
Wiro jatuhkan dirinya di depan
sang guru. Si nenek memandang padanya.
“Anak sableng!” si nenek
memaki. ”Apa yang kau lakukan hingga ada orang mengirim kabar bahwa kau
sekarang sudah kaya raya. Jadi pedagang candu kelas kakap! Katanya kau juga
sudah jadi Ketua satu komplotan bejat! Apa memang betul begitu?”
“Semua dusta dan fitnah busuk
dari orang-orang Serikat Candu Iblis,” jawab Wiro.
“Nenek sakti, muridmu tidak
bersalah. Dia memang korban fitnah,” berkata Patih Sagara Wisamala.
Sinto Gendeng melirik pada
sang patih. Dia sebenarnya sudah tahu siapa adanya orang yang barusan bicara
itu namun dia bersikap acuh saja.
“Ah, kalau begitu percuma saja
aku datang jauh-jauh. Orang-orang kerajaan yang tidak bisa mengurus negeri
akibatnya aku dan muridku yang jadi korban. Malah aku menyirap kabar bahwa
diriku akan dijadikan sandera. Jika kau tidak menyerahkan diri maka aku akan
digantung! Busyet!” si nenek cekikikan.
Paras Patih Sagara Wisamala
berubah, sebentar marah sebentar pucat. Dalam hati dia bertanya. “Bagaimana
nenek ini tahu rencana Sri Baginda itu? Ah, aku benar-benar jadi tidak punya
muka.”
“Eyang, bagaimana kau bisa
muncul di sini?” bertanya Wiro.
“Tubuh tua keropos ini tidak
ubah seperti daun kering,” jawab Sinto Gendeng pula. “Mudah ditiup angin dan
melayang ke arah mana saja. Tapi waktu aku sedang melancong makan-makan angin
di persimpangan sini, kulihat si kate botak ini berlari seperti orang dikejar
setan. Celananya basah. Rupanya dia sudah kencing di celana! Hik…hik… hik!” si
nenek tertawa cekikikan.
Patih Sagara Wisamala dan
orang-orang yang berada di tempat itu hampir-hampir tak bisa menahan geli
mendengar ucapan si nenek dengan gayanya waktu bicara. “Wiro! Kowe tahu siapa
adanya kecoak botak ini?!”
“Namanya Soltan Ramada alias
Cula Singkir. Dia seorang pentolan penting Serikat Candu Iblis,” menerangkan Wiro.
“Ah..ah…ah! Jadi namanya
Sultan bercula!” kata si nenek sengaja salah menyebut nama manusia katai itu.
“Karena curiga, begitu kepapasan aku totok tubuhnya. Ternyata dia adalah
bangsat yang harus dibekuk!”
“Kami berterima kasih karena
kau telah menangkapnya. Jasamu akan kami laporkan kepada Sri Baginda,” kata
patih kerajaan.
Si nenek tersenyum. Senyumnya
itu justru membuat tampangnya tambah angker. “Hidup hampir seratus tahun, tak
pernah aku mencari nama meminta pamrih!” Sinto gendeng berpaling pada muridnya.
“Sableng! Kau bangkitlah! Aku bukan orang penting yang patut kau hormati dengan
berlutut!” Sinto Gendeng mengangkat tangannya. Wiro merasakan bahunya yang
dipegang seperti lengket dan ditarik oleh satu kekuatan dahsyat. Dia ingin
menjajal. Dia kerahkan tenaga dalam tubuhnya menjadi seberat seekor gajah.
Sinto Gendeng tampak mengerut tampangnya. Dia lipat gandakan tenaganya menarik
bahu muridnya.
“Brettt!!!”
Pakaian Wiro robek sedang
tubuhnya tetap saja berlutut.
“Anak setan!” maki si nenek
perlahan. “Ternyata kau sudah memiliki tenaga dalam luar biasa…”
“Saya tidak punya apa-apa
eyang. Masih bodoh seperti dulu,” sahut Wiro.
Si nenek melotot lalu
mendongak dan tertawa gelak-gelak. Dia memberi isyarat agar Wiro berdiri.
Setelah muridnya berdiri maka Sinto Gendeng lantas berkata. “Aku tidak punya
kepentingan lama-lama di tempat ini. Sebelum aku berangkat ada satu pegangan
hidup yang hendak kusampaikan dan harus kau ingat baik-baik. Kau mau
mendengarnya anak sableng?!”
“Saya mendengar Eyang…”
“Dalam perjalanan hidup
seseorang, jika dia berbuat satu kebenaran atau kebaikan, tidak ada orang yang
mengingatnya. Tapi bilamana dia berbuat kealpaan atau kesalahan, tidak ada
orang yang melupakannya. Nah, kau ingat hal itu baik-baik agar kau hidup mawas diri
dan mandiri!”
“Saya akan mengingatnya
baik-baik Eyang. Saya mengucapkan terima kasih atas budi baik Eyang
menyampaikan pegangan hidup ini.”
“Bagus! Tetaplah mengasah
otak. Tapi juga jangan lupa mengasah hati!” habis berkata begitu Sinto Gendeng
berkelebat dan di lain saat tubuhnya sudah lenyap dari persimpangan itu.
Untuk beberapa lamanya tempat
itu diselimuti kesunyian. Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara.
Akhirnya Patih Sagara Wisamala melangkah mendekati Soltan Ramada.
“Aku tahu kau bukan Ketua
Serikat Candu Iblis. Sekarang katakan pada kami siapa pemimpinmu dan tunjukkan
di mana markasnya!”
“Aku… aku tidak tahu. Aku
tidak pernah bertemu dengannya. Apalagi tahu di mana markasnya…” jawab si kate.
Pendekar 212 Wiro Sableng
melangkah ke hadapan si katai. “Begitu katamu…?” Dia memandang berkeliling lalu
berteriak. “Tanggalkan seluruh pakaian kecoak ini! Cari tali! Dia pantas
diperlakukan sama seperti si gendut Sentiko!”
Mendengar teriakan Wiro itu
lumerlah nyali si katai. Dia segera meratap.
“Jangan… jangan diikat anuku!
Akan aku katakan. Aku tidak tahu namanya. Ketua Serikat Candu Iblis menyebut
dirinya dengan Pangeran…”
“Pangeran?” ujar Patih Sagara
Wisamala.
Wiro sendiri merasakan
darahnya berdesir mendengar sebutan Pangeran itu. “jangan-jangan si keparat
itu…” katanya dalam hati.
“Betul. Pangeran. Begitu aku
memanggilnya. Aku akan tunjukkan tempat kediamannya… Tapi jangan anuku
diapa-apakan… Kalian boleh pukul aku sampai babak belur. Tapi anuku itu…
jangan…!”
Wiro menyeringai. Dia tarik
leher jubah hitam Soltan Ramada. Lalu orang yang masih berada dalam keadaan
tertotok ini dilemparkannya ke dalam sebuah gerobak.
Dengan petunjuk Soltan Ramada,
pepohonan dan semak belukar yang menutupi mulut goa berhasil disingkirkan.
Namun batu besar yang menghalang di sebelah dalam menjadi persoalan karena
Soltan tidak tahu bagaimana cara membukanya.
Patih Sagara Wisamala sesaat
meragu. Apakah dia terpaksa memperlihatkan kehebatannya membobol batu itu.
Bagaimana kalau ternyata kesaktiannya tidak mampu menghancurkan batu. Atau akan
dimintanya saja Pendekar 212 untuk melakukannya?
Wiro yang melihat sang patih
ragu-ragu segera angkat tangan kanannya.
Kedua kakinya terpentang.
Perutnya mengempis. Tangan kanannya bergetar hebat tanda seluruh tenaga dalam
yang ada di perut tengah dialirkannya ke tangan.
Perlahan-lahan tangan itu
mulai berubah menjadi putih berkilat seperti perak.
Patih Sagara Wisamala
memperhatikan tak berkedip. Dia tahu pukulan sakti apa yang hendak dikeluarkan
Wiro guna menghantam batu, “Pukulan Sinar Matahari.” Selama ini dia hanya
mendengar saja tentang kehebatan pukulan itu. Kini dia akan menyaksikannya
sendiri. Orang-orang lainnya yang berjumlah hampir seratus, menunggu dengan
tegang.
Pendekar 212 membentak keras.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan ke depan. Sinar putih
menyilaukan membersit disertai menghamparnya hawa panas luar biasa, membuat
semua orang yang ada di situ cepat menjauh.
Terdengar suara berdentum.
Batu besar yang menutup mulut goa di sebelah dalam hancur berantakan. Jalan
masuk ke dalam goa kini terbuka lebar. Semua orang leletkan lidah. Patih
kerajaan sendiri tak habis kagumnya menyaksikan pukulan sakti yang tadi
dilepaskan Wiro itu.
Pendekar 212 melompat masuk ke
dalam goa. Untuk beberapa lamanya Pukulan Sinar Matahari masih disiapkannya
karena khawatir akan menemui hal-hal yang tak terduga di dalam sana. Patih
Sagara menyusul masuk sambil menyeret Soltan Ramada. Seluruh ruangan dalam goa
diperiksa, termasuk kamar di mana biasanya perempuan gemuk bernama Ramini
menunggu kedatangan kekasihnya yaitu Soltan Ramada.
Atas petunjuk Soltan Ramada,
semua peralatan rahasia yang ada dalam goa itu diperiksa dan dilumpuhkan.
Ternyata goa itu kosong. Tak ada seorang pun ditemui di tempat itu. Tidak juga
orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu.
“Goa ini kosong! Jangan-jangan
kau mengakali kami!” Patih Sagara Wisamala menggeram dan memandang mendelik
pada Soltan Ramada. Tangannya bergerak mencekik leher jubah si katai ini.
“Saya tidak berdusta. Sekali ini
saya tidak berdusta. Pangeran itu pasti telah melarikan diri…” kata Soltan
Ramada dengan suara ketakutan.
“Awas ada benda jatuh!” satu
dari dua perwira tinggi Kerajaan yang ada di dalam goa berteriak memberi
peringatan. Mengira ada senjata rahasia yang menyerang Wiro dan Patih Sagara
siap hendak menghantam. Ternyata yang melayang jatuh adalah sehelai kertas
putih yang rupanya sebelumnya memang sengaja ditempelkan di langit-langit goa
lalu terlepas dan jatuh ke bawah.
Wiro cepat menangkap kertas
itu.
“Ada tulisan di sebelah
belakang!” seorang prajurit memberi tahu.
Wiro membalikkan kertas itu.
Keningnya mengernyit.
“Sialan keparat!” maki Wiro
kemudian. Kertas itu hendak dirobeknya tapi cepat diambil oleh Patih Sagara
lalu membaca apa yang tertulis di atas kertas itu.
Pendekar 212!
Jangan kau merasa menang.
Bagaimana pun juga aku sempat mempermainkanmu. Dan kau sampai saat ini masih
belum bisa menangkapku. Selama siang selalu berganti dengan malam, selama itu
pula aku akan tetap menjadi musuh bebuyutanmu. Serikat Candu Iblis boleh
musnah. Tetapi Pangeran Matahari tetap tak bisa kau kalahkan! Kita pasti akan
bertemu lagi dan kau tetap berada di pihak yang kalah. Ingat hal itu baik-baik.
Ha..ha…ha…!
Pangeran Matahari
“Pangeran keparat!” terdengar
Pendekar 212 memaki. “Dia rupanya yang jadi biang racun…! Ketua Serikat Candu
Iblis! Bangsat! Satu ketika kelak lehernya pasti akan kupuntir!”
TAMAT