-------------------------------
----------------------------
1
DUA ORANG penunggang kuda itu
menuruni lembah Batusilang dengan cepat. Di sebelah depan adalah seorang lelaki
berdestar hitam, berpakaian sederhana dan berusia sekitar 40 tahun. Di
belakangnya mengikuti lelaki muda berpakaian bagus yang di kepalanya ada topi
tinggi berwarna merah dengan pinggiran kuning, emas, pertanda dia adalah
seorang berpangkat. Dua kuda tunggangan melewati sebuah telaga kecil dan
akhirnya sampai di hadapan sebuah rumah berdinding kayu beratap rumbia.
"Ini tempatnya,"
kata lelaki berdestar hitam seraya hentikan kudanya. Lalu dia melompat turun
sementara yang satu lagi memandang berkeliling dan tetap di atas punggung
kudanya. Orang berdestar melangkah menuju pintu rumah dan mendorong daun pintu
yang ternyata tidak dikunci. Terdengar suara berkereketan. Orang itu masuk ke
dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi.
"Rumah ini kosong. Dia
masih belum datang rupanya."
Orang berpakaian bagus di atas
kuda mengangguk. Dia memandang lagi berkeliling. "Kalau memang belum
datang aku bisa menunggu, Turangga. Sekalian kita bisa istirahat. Yang aku
kawatirkan dia benar-benar tidak datang. Kau tertipu, aku tertipu!"
"Saya yakin dia pasti
datang Tumenggung Purboyo. Silahkan Tumenggung turun dan masuk ke dalam. Menunggu
sambil istirahat."
Orang yang dipanggil dengan
sebutan Tumenggung itu turun dari kudanya. Dia melangkah ke pintu hendak masuk
ke dalam rumah. Namun langkahnya tertahan karena saat itu di bibir lembah
terdengar suara ringkik kuda. Tumnggung Purboyo dan Turangga berpaling,
memandang ke arah Timur lembah Batusilang. Di kejauhan kelihatan seekor kuda
putih berlari menuruni lembah. Penunggarignya seorang berpakaian ungu.
"Ia datang
Tumenggung." kata Turangga gembira.
"Hemm…" bergumam
Tumenggung Purboyo. Wajahnya juga tampak berseri. "Dia menepati janji.
Tidak sia-sia kita meninggalkan Kotaraja jauh-jauh sampai di sini."
"Tadipun saya sudah
bilang. Dia pasti datang."
"Sekali lagi aku ingatkan
padamu Turangga. Jaga rahasia ini baik-baik. Tidak satu orangpun boleh tahu.
Kedua orang tuaku. Orang-orang Istana, apalagi tunangan dan calon mertuaku!
Kalau kejadiari ini sampai bocor, aku cuma ingin membunuh satu orang.
Kau!"
Turangga menyeringai.
"Saya sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun pada keluarga Tumenggung.
Masakan saya hendak membocorkan rahasia? Dulupun saya pernah muda
Tumenggung."
Penunggang kuda yang datang
dari arah Timur lembah itu semakin dekat. Tumenggung Purboyo mengangkat
kepalanya sedikit. "Hemm… Orangnya masih jauh. Tapi bau wewangiannya sudah
tercium sampai ke sini."
Turangga ikut-ikutan
menengadahkan kepala dan menghirup dalam-dalam. Memang benar. Dia juga dapat
mencium wanginya tubuh orang yang datang itu. Kuda putih akhirnya sampai di
depan rumah dan berhenti di hadapan kedua lelaki itu. Tumenggung Purboyo
terkesiap untuk beberapa saat lamanya. "Turangga tidak berdusta. Gadis ini
benar-benar luar biasa. Tak pernah aku melihat dara secantik ini. Ah, kalau
saja aku belum bertunangan pasti aku tak akan ragu mengambilnya sebagai istri!"
begitu Tumenggung ini membatin.
Di sana, di atas kuda putih
duduk seorang dara berwajah cantik sekali. Tubuhnya yang putih mulus terbungkus
oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya yang panjang berhias sebuah pita juga
berwarna ungu. Lalu pada lehernya melingkar sehelai selendang lagi-lagi
berwarna ungu. Sepasang mata sang Tumenggung tak berkesip memperhatikan dara
itu mulai dari kepala sampai ke kaki. Sadar kalau dia membuat orang menunggu
lama, Tumenggung Purboyo membuka topinya dan memberi penghormatan dengan
menganggukkan kepala.
"Maafkan, saya sampai
lupa mempersilahkan turun dan masuk ke dalam rumah."
Dara di atas kuda tersenyum.
Senyumannya seperti panah asmara yang datang menyambar membuat Tumenggung
Purboyo tambah blingsatan sementara Turangga tertegak sambil membasahi bibirnya
dengan ujung lidah berulang kali. Lalu Turangga cepat-cepat membuka pintu
sementara dara berbaju ungu turun dari kudanya dibantu oleh Tumenggung Purboyo.
"Perjalanan yang begini
jauh pasti tidak menyenangkan. Ditambah dengan keadaan di sini. Rumah kayu
buruk ini tidak pantas untuk seorang cantik jelita seperti… Ah, maafkan saya.
Saya belum tahu namanya."
Dara itu kembali tersenyum.
"Saya datang tidak
bernama. Dan akan pergi tidak bernama…"
Dalam herannya Tumenggung Purboyo
cepat-cepat berkata. "Kalau begitu biar saya panggil Dewi saja?
Boleh…?"
"Kalau itu memang cukup
pantas mengapa tidak boleh?" Suara sang dara seindah bulu perindu,
menyejukkan hati Tumenggung Purboyo tapi sekaligus juga membakar panas darah di
tubuhnya. Dia mengikuti gadis itu melangkah menuju ke pintu. Di ambang pintu si
gadis berhenti dan memandang ke dalam. Rumah papan itu berlantai kayu hitam dan
sangat bersih. Di sebelah kiri ada sebuah meja diapit dua buah kursi. Di atas
meja terdapat seperangkat tempat minum. Lalu di bagian tengah terletak sebuah
ranjang dengan tilamnya yang indah dan bantal-bantal yang empuk. Semua ini
telah disiapkan Turangga sehari sebelumnya.
"Maafkan kalau keadaan
dan isi rumafi ini tidak berkenan di hall Dewi," kata Tumenggung Purboyo.
Hidungnya mencium dalam-dalam. Bau wangi tubuh dan pakaian si gadis membuatnya
ingin menerkam gadis itu saat itu juga.
"Saya suka semua yang ada
di sini…" kata si gadis seraya melangkah masuk ke dalam.
"Saya gembira mendengar
hal itu," kata Tumenggung Purboyo dan mengikut masuk.
Gadis berbaju ungu sesaat
masih memandang sekeliling kamar lalu dia duduk di tepi ranjang. Jantung
Tumenggung Purboyo seperti berhenti berdetak.
"Dewi tentu haus. Biar
saya ambilkan minuman."
"Tidak usah. Saya tidak
punya waktu banyak. Tapi saya berjanji akan memberikan kepuasan pada
Tumenggung. Siapa tahu lain kali Tumenggung mau lagi bertemu dengan saya…"
"Melihat keadaan Dewi,
terus terang tiap haripun saya ingin bertemu. Hanya saja keadaan memaksa saya
harus mengatur waktu sebaik-baiknya.
"Saya mengerti,"
kata Dewi. "Apakah Tumenggung tidak akan menutupkan pintu?"
"Ah, saya lupa."
Tumenggung Purboyo cepatcepat menutup pintu.
"Apakah pembantu
Tumenggung di luar sana bisa dipercaya?"
"Dewi tak usah takut. Turangga
bersedia mati jika saya suruh. Dia sangat setia…"
"Sekarang hanya kita
berdua di kamar ini. Tidakkah Tumenggung hendak memeluk saya?"
tanya gadis berpakaian serba
ungu. Senyumnya membuat sang Tumenggung seperti dibuai ayunan sorga. Segera
saja dia melangkah ke hadapan si gadis. Kedua tangannya merangkul erat punggung
gadis itu. Hidungnya menyelusur di lehernya yang putih jenjang dan harum.
"Saya tidak menyangka
kalau orang yang bernama Tumenggung Purboyo ini masih begini muda dan gagah.
Tadinya saya mengira pasti sudah tua renta tapi masih genit dan suka daun
muda…" Si gadis terdengar tertawa perlahan. Lalu balas merangkul tubuh
lelaki itu.
"Saya tidak cukup pantas
untuk gadis secantik Dewi," kata Tumenggung Purboyo pula.
"Tolong bukakan pakaian
saya," bisik si gadis.
Tumenggung Purboyo merasakan
sekujur tubuhnya bergetar panas. Cepat-cepat kedua tangannya meluncur ke bagian
depan tubuh sang dara. Tidak terlihat oleh Tumenggung Purboyo gadis itu tampak
tersenyum aneh. Lalu kedua tangannya yang merangkul perlahan-lahan bergerak ke
atas. Bersarnaan dengan itu terjadi perubahan aneh pada sepuluh jari tangannya
yang halus bersih. Dari ujung-ujung jari mencuat keluar kuku-kuku panjang
berwarna merah. Pada ujungujung kuku terdapat sebuah lobang kecil sebesar
lobang jarum.
Sepuluh jari tangan itu terus
bergerak ke atas, mencapai bahu dan kini bergeser ke arah leher Tumenggung
Purboyo pada saat dia tengah sibuk membuka kancing-kancing pakaian ungu sang
dara. Mendadak ada suara tertawa aneh menggidikkan. Gerakan tangan Tumenggung
Purboyo tiba-tiba terhenti. Bukan oleh suara tawa itu. Tapi oleh sepuluh kuku
panjang berlubang yang mencengkeram dan menusuk dalam di batang lehernya. Darah
muncrat! Kedua mata sang Tumenggung mendelik. Dia merasa darah di sekujur
tubuhnya seperti disedot. Satu jeritan keras menggeledek keluar dari mulut
Tumenggmg ini. Lalu tubuhnya mendadak sontak lemas seperti tidak bertulang
lagi. Ketika cengkeraman pada lehernya lepas, tubuhnya tak ampun lagi jatuh
terbanting ke lantai kayu hitam!
Di luar rumah, begitu
mendengar teriakan tumenggung Purboyo kagetnya Turangga bukan kepalang. Tanpa
pikir panjang lagi dia segera melabrak dan menjebol pintu. Begitu pintu
terpentang segera dia melompat masuk. Begitu masuk begitu kedua kakinya seperti
dipantek ke lantai. Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Mata melotot dan muka
seputih kertas.
Di lantai di hadapannya
tergeletak sosok tubuh Tumenggung Purboyo. Pada lehernya yang berlumuran darah
kelihatan lobang-lobang mengerikan. Kedua matanya terbeliak. Di dekat ranjang
tegak gadis cantik berbaju ungu itu yang sekarang di mata Turangga seperti
telah berobah menjadi setan yang mengerikan!
Gadis itu tegak dengan baju
tersingkap hingga payudaranya kelihatan menyembul. Dia berdiri sambil menyeringai
dan menjilati jari-jari tangannya kanan kiri yang bersimbah darah. Wajahnya
yang cantik penuh noda darah terutama di bagian mulut. Ketika menyeringai
gigigiginya yang sebelumnya putih kini tampak merah oleh lapisan darah!
"Ya Tuhan, apa yang terjadi! Manusia atau ibliskah yang berdiri di depanku
ini?" kata Turangga dalam hati.
"Kacung Tumenggung yang
setia. Apa yang kau saksikan?"
Tentu saja Turangga tidak
mampu menjawab pertanyaan itu. Ketika dilihatnya gadis berbaju ungu itu
bergerak mendekatinya tanpa pikir panjang lagi Turangga segera putar tubuh dan
menghambur ke luar kamar. Di belakangnya terdengar sang dara keluarkan suara
tertawa melengking lalu melompat mengejar.
Turangga lari ke kudanya. Dia
berlaku cerdik. Dia tidak lari mendaki ke arah tebing lembah yang terbuka
melainkan menyusup ke bagian lembah yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar
lebat yaitu di sebelah belakang rumah kayu.
"Lolos…" desis
berbaju ungu. Walaupun bisa tapi dia tidak berusaha mengejar. Dia melangkah ke
arah kuda putihnya. Dari mulutnya masih terdengar suara tertawa melengking
tinggi mengerikan.
***
2
MINUM air jahe hangat dan
manis malam-malam dingin begitu terasa nikmat sekali. Sementara menunggu
datangnya minuman itu Wiro menyantap singkong rebus. Sambil mengunyah dia
memandang berkeliling. Saat itu di kedai kecil di pinggiran desa itu hanya ada
tiga orang tamu. Pertama dirinya sendiri lalu seorang lelaki separuh baya yang
duduk sambil mengangkat kaki seenaknya, lalu seorang tamu lagi yang duduk
menunduk, mengenakan pakaian seperti jubah. Di kepalanya ada semacam kerudung
hingga wajahnya tidak kelihatan.
Pemilik kedai yang merangkap
pelayan datang membawakan air jahe hangat dan meletakkan minuman itu di atas
meja di depan Wiro. Tak sabar menunggu dinginnya minuman Wiro menuangkan air
jahe itu di atas tadah. Ketika dia hendak memegang tadah murid Eyang Sinto
Gendeng ini jadi kaget. Tadah itu bergerak dan bergeser ke kiri hingga tak
terpegang.
"Ah, mungkin mataku yang
sudah lamur!" kata Wiro menyalahi dirinya sendiri.
Diulurkannya tangannya kembali
untuk memegang tadah berisi jahe itu. Hampir tersentuh tibatiba kembali tadah
itu bergerak. Kali ini berpindah ke kanan. Gerakan tadah ini berpindah cukup
cepat namun air jahe di atasnya sama sekali tidak bergoyang apalagi tumpah!
Wiro mernandang berkeliling.
Pandangannya kemudian tertuju pada pemilik kedai.
"Ada apa ‘Den?"
tanya pemilik kedai itu melihat tamunya seperti bingung.
"Tidak. Tidak ada
apa-apa…" jawab Wiro. Dia memandang lagi berkeliling.
Diperhatikannya tamu yang
duduk angkat kaki di sebelahnya. Orang ini asyik menghirup kopi dan mengunyah
pisang goreng. Wiro berpaling ke kanan. Tamu berkerudung itu juga tampak asyik
menyantap makanannya lalu menghirup kopinya kuat-kuat hingga mengeluarkan
suara.
"Brengsek! Apa sebenarnya
yang terjadi di tempat ini? Ada setan yang jahil mengganggu tamu?" Karena
jengkel merasa dipermainkan Wiro keluarkan ucapan. "Setan konyol, aku
makan dan minum membayar. Jadi jangan berani mempermainkan. Jika mau ikut minum
silahkan duduk unjukkan diri. Jangan mengganggu seperti ini!"
"Eh, Raden bicara apa dan
sama siapa?" tanya pemilik kedai.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Tidak… Saya tidak bicara apa-apa…" jawab Wiro.
Pemilik kedai jadi heran.
"Jangan-jangan tamu satu ini otaknya kurang beres. Sejak masuk tadi dia
sudah cengar-cengir cengengesan. Sebentar-sebentar garuk-garuk kepala. Kini
malah ngomong sendirian!"
Wiro duduk tak berkesip
memandangi tadah berisi air jahe itu. Dia melirik pada minuman dalam gelas.
"Coba kupegang gelasnya. Apa bisa bergerak juga," kata pemuda ini
dalam hati. Lalu tangan kanannya diulurkan. Hanya sedikit saja lagi
jari-jarinya akan menyentuh badan gelas, tibatiba gelas berisi air jahe hangat
itu bergerak menjauh! Berubahlah paras Pendekar 212.
"Ada orang pandai
mempermainkanku. Tapi siapa…?" Dua tamu yang ada di situ jelas tidak
bergerak asyik dengan makanan dan minuman masing-masing. Si pemilik kedai juga
tengah mengangkat gorengan pisang dari kuali besar. "Setan… Jangan-jangan
benar-benar ada setan di kedai ini!" Wiro gigit bibirnya. Dia memandang
lagi pada air jahe di atas tadah. "Coba kutipu,"
katanya dalam hati. Kedua
tangannya pura-pura diturunkan ke bawah. Tapi baru sampai di pinggang dengan
cepat diangkatnya kembali. Sekaligus bergerak ke arah tadah di atas meja.
"Biar kupecahkan sekalian!" kata Wiro dalam hati saking jengkelnya.
Namun tiba-tiba sekali tadah
itu melayang ke atas mengarah muka Wiro. Air jahe hangat di atasnya menyiprat
membasahi seluruh wajah sang pendekarl Mata disiram air jahe hangat tentu saja
sakitnya bukan kepalang! Wiro sampai terpekik dan terlompat dari duduknya. Dua
tamu di samping kirinya sampai ternganga karena kaget sedang tamu satunya lagi
hanya menoleh sedikit lalu meneruskan meneguk kopinya.
"Ada apa Raden?"
tanya pemilik kedai. Ketika dilihatnya muka Wiro basah dan pemuda ini
menggosok-gosok kedua matanya tiada henti. Sedang di lantai tadah gelas pecah
berantakan. "Ah, itulah Raden. Minuman masih panas sudah mau diminum. Mbok
ya sabar ditunggu sampai dingin…"
"Mbok sabar… Mbok
sabar!" gerutu Wiro dalam hati. "Mukaku serasa tebal, mataku pedas
enak saja bicara mbok… mbok."
Pemilik kedai itu tidak
memperhatikan Wiro karena salah satu tamunya telah berdiri dan membayar.
Selesai melayani tamunya pemilik kedai bertanya. "Mau tadah baru lagi
Den"
"Tidak usah!" jawab
Wiro. "Biar panas-panas aku sanggup menenggak air jahe ini!" Lalu
saking jengkelnya Wiro teguk air jahe dalam gelas yang masih panas. Mulutnya
sampai ternganga kepedasan dan lidahnya terjulur-julur. Dari dalam sakunya
dikeluarkannya uang pembayar makanan dan minuman lalu diulurkannya. Tapi orang
kedai tidak mau menerimanya. Wiro jadi tambah mengkal.
"Tidak mau dibayar?"
bentaknye sambil mengusap mata kirinya yang masih terasa perih.
"Anu Den…"
"Anu… anu! Anumu nanti
aku guyur sama air jahe panas baru tahu! Ayo ambil uangnya!"
"Anu Den. Tidak perlu.
Sudah dibayar."
"Sudah dibayar? Siapa
yang membayar? Jangan main-main!" kata Wiro dengan keras.
"Itu, tamu berjubah
tadi…" menjawab pemilik kedai.
Wiro berpaling ke kanan. Tamu
yang duduk di situ sudah tidak ada lagi. "Berjubah dan pakai kerudung
itu?"
"Betul Den."
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Wajahnya tak sempat kulihat. Kenalpun rasanya aku tidak. Mengapa dia
membayarkan makanan dan minumanku? Aneh!"
"Tamu tadi, kau kenal
padanya? Sering mampir ke kedai ini?" tanya Wiro.
Orang kedai menggeleng.
"Baru sekali ini saya melihatnya Den."
"Situ tadi sempat lihat
wajahnya?" tanya Wiro pula.
"Hanya sekilas. Wajahnya
seram amat…"
"Seram bagaimana?"
"Mukanya seperti
tengkorak dan sangat hitam. Kedua matanya sangat cekung…"
"Jangan-jangan dia memang
setan!" kata Wiro.
"Apa kata Raden, Setan?
Puluhan tahun berjualan di sini belum pernah ada setan di sekitar sini Den.
Tapi… Raden mungkin betul. Orang tadi mungkin setan… atau hantu…"
"Coba perlihatkan uang
bayarannya tadi," kata Wiro.
Orang kedai keruk saku
pakaiannya. Ketika tangannya diulurkan dan genggamannya dibuka, pucatlah
wajahnya melihat apa yang ada ditangannya. Bukan sekeping uang logam. Tapi
sebuah batu kecil!
Tubuh pemilik kedai itu kini
tampak gemetaran.
Jelas dia sangat ketakutan.
Dengan suara terputus-putus dia berkata. "Maafkan, saya tidak menerima
tamu lagi. Saya harus menutup kedai ini cepatcepat sebelum setan tadi kembali
lagi!"
Wiro geleng-geleng kepala.
"Kalau begitu ambil saja uang ini. Sekalian bayaran makanan dan minuman
orang berjubaah tadi. Sialan! Malah kini aku yang membayarkan! Dasar
setan!"
Wiro meletakkan uangnya di
atas meja lalu cepat-cepat setengah berlari dia berkelebat ke jurusan perginya
orang berjubah tadi. Tak lama berlari Wiro berhasil mengejar orang berjubah
itu. Tapi aneh, tinggal dalam jarak sekitar lima tombak, bagaimanapun dia
mempercepat larinya mengejar tetap saja dia tidak dapat mendekati orang itu.
Wiro kerahkan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh serta ilmu larinya. Dia
hanya mampu maju mendekat sekitar empat tombak setelah itu tidak mampu berbuat
apa-apa lagi.
"Saudara berjubah! Hai!
Tunggu dulu! Berhenti!" Wiro berteriak memanggil. Matanya memperhatikan
kedua kaki orang di depannya. Ternyata kedua kaki itu menjejak tanah. Bergerak
seperti melangkah tapi memiliki kecepatan seperti orang berlari! "Ah dia
manusia biasa juga. Bukan setan!" kata Wiro melihat kenyataan itu.
Orang yang dipanggil acuh
saja. Jangankan berhenti, berpalingpun tidak.
"Sialan!" maki Wiro
dalam hati. Dia mempercepat larinya. Tetap saja dia tidak dapat memperpendek
jarak. Dia mencari akal. "Biar kubuat marah dia!" Lalu kembali Wiro
berteriak.
"Manusia jahat penipu!
Membayar dengan batu! Mengapa pergunakan ilmu untuk menipu orang kecil!"
Orang di depan Wiro keluarkan
suara tawa mengekeh. Lalu tubuhnya lenyap. Wiro hentikan lari. Memandang
berkeliling. Hatinya mulai was-was. "Kalau benar tadi itu bukan manusia
tapi setan, mati aku dicekiknya di tempat sunyi ini!" Lalu Wiro bersiap
membentengi diri dengan pukulan sakti.
Baru saja kumandang suara tawa
itu lenyap dalam kegelapan malam, tiba-tiba satu benda melayang turun dari atas
cabang sebuah pohon. Wiro menyingkir namun benda yang jatuh itu cepat sekali
mendekap leher dan dagunya. Dia merasa seperti ada satu sosok tubuh yang
menduduki bahunya. Wiro membungkuk, berusaha membantingkan sosok tubuh yang
menduduki bahu dan memagut lehernya itu. Namun tubuh itu laksana lengket jadi
satu dengan tubuhnya.
"Keparat sialan!"
maki Pendekar 212. Dia kerahkan tenaga dalam lalu menggebuk ke belakang. Dia
sengaja lepaskan pukulan sakti dalam jurus yang bernama "dibalik gunung
memukul halilintar.”
***
3
PUKULAN ukulan yang bisa
menghancurkan tembok batu itu mengeluarkan suara menderu. Namun bukan saja
pukulan itu tidak mengenai sasaran orang yang mendekam dibahunya, malah lengan
kanannya kena ditangkap. Belum sempat Wiro, membuat gerakan susulan untuk
melepaskan cekalan orang samb,il menghantam dengan tangan kiri, mendadak
lengannya ditarik keras ke depan. Tubuhnya ikut terseret. Kalau dia tidak ikuti
daya tarik seretan itu dan jatuhkan diri di tanah lalu bergulingan, niscaya
Wiro akan terbanting dada atau muka lebih dulu mencium tanah!
Dengan cepat Wiro bangkit
berdiri. Begitu berdiri satu sosok tubuh tahu-tahu sudah tegak di depannya.
Serta merta dia hendak menghantam. Orang didepannya keluarkan suara tertawa
mengekeh. Seperti mengenali suara tawa itu, Wiro tarik pulang tangannya yang
barusan hendak memukul. Kakinya menyurut satu langkah.
"Siapa kau!" bentak
Pendekar 212.
"Anak goblok! Kalau musuh
beneran yang membokongmu, pasti kau sudah mampus dari tadi!" Orang di
depannya menanggalkan jubah di tubuhnya. Di balik jubah itu kini kelihatan satu
tubuh kurus tinggi mengenakan kebaya dalam dan panjang dekil. Wiro keluarkan
seruan tertahan. Tapi dia belum pasti. Tempat itu gelap sekali. Ketika orang di
hadapannya melemparkan kerudung yang menutupi wajahnya baru sang pendekar
benarbenar mengenali dan berteriak.
"Eyang Sinto
Gendeng!"
Ternyata orang itu adalah guru
Pendekar 212 sendiri. Nenek sakti dari Gunung Gede bernama Sinto Gendeng. Wiro
cepat hendak jatuhkan diri memberi penghormatan. Si nenek tertawa dan tarik
pemuda itu hingga dia kembali berdiri.
"Guru, maafkan murid.
Says tidak tahu kalau…"
"Anak setan! Dirimu sudah
kumaafkan!"
"Jadi Eyang rupanya yang
tadi mempermainkan tadah minuman di kedai itu!" Si nenek menyeringai.
"Nek, kau muncul secara
mendadak lengkap dengan segala keanehanmu. Tentu ada sesuatu…"
"Nah otakmu ternyata
masih jalan. Dengar, memang ads satu hal penting yang ingin kubicarakan
denganmu. Kau sudah dengar kegegeran yang terjadi dalam rimba persilatan sejak
tiga bulan terakhir ini?"
"Banyak yang terjadi
Eyang. Kegegeran yang mans maksud Eyang?" tanya Wiro.
"Sompret! Kau masih bisa
bertanya. Apa saja yang kau lakukan selama ini? Bertualang mencari anak
perempuan orang?!" Sepasang mata Sinto Gendeng tampak berkilat-kilat. Wiro
garuk-garuk kapalanya. Kalau tidak benarbenar ads satu peristiwa besar pasti
gurunya tidak semarah itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda ini hanya bisa
tertegak dengan mulut terkancing.
"Kau masih ingat kakek
konyol peminum tuak yang bergelar Dewa Tuak?"
"Tentu saya ingat kakek
satu Itu Eyang. Ada apa dengan dirinya. Apakah dia sudah mendahului kita?"
tanya Wiro.
"Anak setan! Enak saja
kau menyebut orang sudah mati!" bentak Eyang Sinto Gendeng marah.
"Orang tua itu bakal
mengalami kesulitan dan malu besar. Gara-gara perbuatan murid tunggalnya. Gadis
Anggini itu!"
Pares Wiro jadi berubah.
"Kesulitan dan malu besar. Ah… Agaknya sesuatu sudah terjadi atas diri
gadis itu. Eyang, maafkan saya … Apakah, maksud Eyang apakah gadis itu
tahu-tahu bunting?’
Hampir si nenek hendak
menampar muka muridnya itu.
"Kau benar-benar anak
setan! Dari mana kau punya pikiran murid Dewa Tuak bunting! Kau yang membuatnya
bunting? Edan!"
"Lalu, lalu apa yang
sebenarnya telah terjadi Eyang?’
"Anggini telah menjadi
iblis doyan darah! Dia membunuh dimana-mana lalu menghisap darah korbannya!"
"Ya Tuhan!" mengucap
Wiro. "Saya memang mendengar tentang munculnya seorang gadis yang dijuluki
Betina Penghisap Darah. Saya tengah menyelidiki manusia satu itu. Murid tidak
tahu kalau Betina penghisap Darah adalah Anggini, murid Dewa Tuak! Bagaimana
saya bisa mempercayai hal ini?!"
"Kau tak perlu
mempercayainya. Bukti-bukti sudah lebih dari cukup. Banyak orang yang mengenali
dirinya. Sekarang yang kau lakukan adalah mencarinya lalu menyeretnya ke
hadapan Dewa Tuak untuk menerima hukuman. Kalau sampai orang-orang rimba
persilatan yang turun tangan kau tahu sendiri akibatnya. Mereka akan membunuh
gadis itu sampai lumat daging dan tulang-tulangnya.
Sesaat Wiro terdiam.
"Saya tidak habis pikir. Gadis yang begitu baik. Murid yang sangat cerdas
dan periang. Bagaimana tahu-tahu berubah menjadi mahluk haus darah?
"Banyak hal yang bisa
membuat manusia berubah. Aku akan menemui Dewa Tuak. Kau pergi mencari gadis
itu…"
Wiro tegak termangu-mangu.
"Anak setan! Kau dengar
ucapanku tidak?"
"Saya dengar Eyang. Saya
akan mencarinya sampai dapat." Jawab Wiro.
"Tapi ingat satu hal!
Jangan kau main gila!"
"Main gila bagaimana
maksud Eyang?" tanya Wiro pula.
"Aku tahu gadis itu punya
hati terhadapmu dan cantik. Dan kau sendiri… He… he… he…Coba katakan bagaimana
perasaanmu terhadapnya!"
Wiro jadi salah tingkah.
"Saya sudah sangat lama
tidak bertemu. Dia memang cantik. Saya sangat menghormat Dewa Tuak. Bagaimana
mungkin…"
"Anak pandir! Selama laut
masih biru dan gunung masih hijau tak ada yang tidak mungkin di dunia ini!
Karena itu aku ingatkan padamu. Jika kau mengambil keputusan terhadap gadis itu
jangan sampal hatimu mendua. Apalagi sampai kau sempat dirayunya. Sekali kau
bisa dikuasainya berarti ajalmu sudah di mata. Kau dengar itu!"
"Saya dengar Eyang,"
jawab Wiro.
"Sudah! Aku pergi
sekarang. Aku akan menemui tua bangka peminum tuak itu!"
"Eyang, saya ada
usul…" Wiro berkata cepat ketika dilihatnya si nenek hendak berkelebat
pergi.
"Kalau usulmu masuk akal
coba katakana!"
"Bagaimana kalau saya
yang pergi menemul Dewa Tuak dan Eyang yang mencari Anggini."
Kedua mata Sinto Gendeng
membeliak seperti hendak melompat dari rongga matanya yang sangat cekung.
Wajahnya yang angker seperti tengkorak itu kelihatan tambah menggidikkan.
"Usulmu usul kurang ajar!"
kata si nenek. Tangannya bergerak hendak menampar muka muridnya itu.
Wiro tak berusaha menghindari
tamparan itu. Dia tetap tegak tak bergerak, hanya air mukanya saja yang
kelihatan tersenyum.
"Maafkan saya Eyang.
Bukan maksud saya mengajari…" katanya.
Si nenek tarik tangannya, tak
jadi menampar. "Sudah, pergi sana! Makin lama kau petatangpeteteng di
hadapanku, makin gatal tanganku hendak menamparmu!"
"Saya pergi Eyang…"
kata Wiro sambil membungkuk.
Ketika dia hendak melangkah
pergi terdengar si nenek memanggil.
"Ada apa Eyang…?"
"Kau punya duit?"
"Maksud Eyang?"
"Maksudku kau punya bekal
uang…?"
"Engg… ada Eyang."
"Anak sombong! kalau kau
tak punya uang bilang saja! Jangan sok!" Dari balik pakaian dekilnya si
nenek keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Kantong itu
dilemparkannya ke arah Wiro. Terdengar suara berdering. Mau tak mau Wiro segera
menanggapi kantong itu.
Ketika kantong berada dalam
genggamannya, sang guru sudah tak ada lagi di tempat itu!
"Mulutnya konyol, tapi
hatinya baik dan polos…" kata Wiro. Sambil menimang-nimang kantong berisi
uang itu pendekar 212 berpikir. Apa betul Anggini murid Dewa Tuak yang cantik
dan yang dikenalnya sangat baik itu tiba-tiba telah berubah menjadi makhluk
doyan darah hingga dijuluki Betina Penghisap Darah? Kalau bukan gurunya yang
memberi tahu, sulit baginya mempercayai. Wiro menarik nafas panjang. Malam
mulai dingin. Pendekar ini akhirnya tinggalkan tempat itu.
***
4
RIMBA belantara itu sunyi
senyap, redup menggidikkan. Mencari seorang manusia di tempat seperti itu sama
saja dengan mencari seekor semut di rerumputan. Setelah setengah harian
berkeliaran dalam rimba akhirnya wajah seram Eyang Sinto Gendeng yang tegang
menggidikkan kelihatan menyeringai. Dia mendongakkan kepala beberapa lama,
mencium dalam-dalam lalu tertawa mengekeh.
"Dewa Tuak! Aku sudah
dapat mencium harumnya bau tuakmu. Buat apa masih bersembunyi? Hik…hik….
hik!"
Belum habis si nenek tertawa
tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar melayang jatuh sebuah benda bulat panjang.
Ternyata benda ini adalah sebuah tabung bambu sepanjang tiga kaki. Tabung bambu
ini jatuh demikian rupa dengan bagian bawahnya melesat ke arah batok kepala si
nenek. Jelas ini merupakan satu serangan yang mematikan!
Di dalam tabung bambu itu
menebar bau sangat harum dari tuak yang memenuhi tabung sampai ujung teratas.
Walau penuh tapi ketika melayang jatuh isinya tidak sedikitpun muncrat atau
tumpah ke luar. Berarti orang yang melemparkan tabung bambu berisi tuak itu
benar-benar memiliki kepandaian luar biasa!
"Walah! Belasan tahun
tidak bertemu malah kini mau menghancurkan kepalaku! Sungguh keterlaluan!"
berteriak Sinto Gendeng. Dia miringkan kepala serta bahunya sedikit. Begitu
tabung lewat disampingnya segera ditangkapnya. Kepala ditengadahkan sambil
menempel ujung bambu sebelah atas ke bibirnya. Lalu cegluk… cegluk si nenek
meneguk tuak dalam bambu berlelehan membasahi dagu dan pakalannya.
"Ah, tuak setan ini makin
nikmat saja dari tahun ke tahun! Pasti diramu dengan daun ganja!"
Sinto Gendeng teguk lagi tuak
dalam bambu sampai mukanya yang menyeramkan seperti tengkorak itu kelihatan
menjadi merah. Tubuhnya terasa panas dan kedua lututnya mulai bergetar.
"Gila! Masakan aku bisa
mabuk hanya minum beberapa teguk minuman setan ini?!" kata si nenek. Lalu
dia memandang berkeliling. "Dewa Tuak! Kalau belum juga kau menampakkan
diri kupecahkan tabung bambu keparat ini!" Sinto Gendeng berteriak
mengancam.
Saat itu di atas pohon meledak
suara tawa bergelak.
"Tua bangka bodoh! Sudah
tahu tidak tahan minuman keras mengapa kau meneguknya dengan rakus?!"
Suara itu juga datang dari
atas pohon. Lalu terdengar suara dedaunan pohon berkeresek. Bersamaan dengan
itu sesosok tubuh melayang turun sambil terus mengumbar suara tawa. Di lain
kejab sosok tubuh itu sudah berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan Sinto
Gendeng. Dia ternyata seorang kakek-kakek berjanggut putih sepanjang dada.
Pakaiannya kain biru yang diselempangkan seperti pakaian seorang Biksu.
Dipunggungnya tergantung sebuah tabung bambu berisi tuak yang bentuknya sama
dengan tabung bambu yang saat itu dipegang Sinto Gendeng.
"Sinto, lama tidak
bertemu ternyata kau tambah jelek saja!" si kakek yang bukan lain adalah
tokoh sakti bergelar Dewa Tuak itu angkat bicara lalu tertawa mengekeh.
"Nasibmu tidak lebih
baik, Dewa Tuak!" menyahuti Sinto Gendeng. "Tubuhmu semakin reot dan
tampangmu tambah peot! Tua bangka sepertimu ini seharusnya sudah dijadikan
umpan cacing di liang kubur! Hik…hik….hik…."
Kakek nenek tokoh dunia
persilatan itu sama-sama tertawa. Si kakek hentikan tawanya lebih dulu.
"Sebaiknya kau jangan terlalu banyak minum tuak kayangan itu. Aku tidak
kawatir kalau kau sampai mabuk Sinto. Tapi yang aku takutkan nanti kau bisa
ngompol terus-terusan tujuh hari tujuh malam!" Dewa Tuak ulurkan tangannya
mengambil tabung bambu.
"Ala, minuman busuk
begini saja, siapa yang mau minum terlalu banyak!" Sinto Gendeng lemparkan
tabung bambu yang dipegangnya. Tabung itu melesat melintang ke arah si kakek,
kedua kakinya agak tersurut sedikit. Tapi dadanya selamat dari hantaman tabung
bambu miliknya sendiri.
Kalau ada orang pandai ke tiga
yang menyaksikan kejadian itu, maka dia akan segera memaklumi bahwa tenaga
dalam dan kepandaian si nenek tidak berada di bawah Dewa Tuak, malah mungkin
sedikit lebih tinggi. Kalau sebelumnya Dewa Tuak melemparkan tabung bambu dari
atas pohon dalam keadaan membujur ke bawah maka tadi si nenek melemparkan
tabung bambu yang sama dalam keadaan melintang dan tuak di dalamnya sedikipun
tidak tumpah!
Dewa Tuak tancapkan ujung
tabung bambu sebelah bawah ke tanah, lalu dia melompat dan duduk di ujung
tabung bambu sebelah atas. Begitu duduk terdengar bagian bawah perutnya
berbunyi! Buuttttt! Si kakek kentut!
"Sekarang mari kita
bicara. Ada keperluan apa kau mencariku Sinto?" bertanya Dewa Tuak.
"Tunggu!" Sepasang
mata Sinto Gendeng melotot tak berkesip memandang Dewa Tuak.
Kakek ini seperti hendak
ditelannya. "Kau barusan kentut di mulut tabung berisi tuak itu.
Sebelumnya aku sudah meneguk minuman celaka itu. Apakah sebelumnya kau juga
sering kentut di mulut tabung?!"
Dewa Tuak tertawa bergelak.
"Apa perlu kujawab?!" katanya menyahuti.
"Kurang ajar! Kakek
setan! Kau memberi aku minum tuak yang sudah kau kentuti!" Marah Sinto
Gendeng bukan alang kepalang. Dia menyumpah-nyumpah sambil meludah berulang
kali. Lalu tubuhnya berkelebat seraya kirimkan satu hantaman ke arah Dewa Tuak.
Angin hantaman itu dahsyatnya bukan main. Dewa Tuak tahu betul kalau si nenek
kini benar-benar marah. Dia cepat menyingkir sambil cepat-cepat mencabut tabung
bambu menyambut serangan Sinto Gendeng. Si nenek ternyata hanya melakukan
serangan tipuan. Karena begitu lawan berkelit, serangannya berubah dan kini
menjarah ke arah perut Dewa Tuak.
Bukkk!
Byuuur!
Dewa Tuak terpental dan jatuh
duduk di tanah, tersandar ke sebatang pohon. Sebaliknya Sinto Gendeng tegak
terhuyung-huyung sambil mengusapi muka tengkoraknya yang basah kuyup oleh
semburan tuak kayangan yang tadi disemburkan si kakek. Dewa Tuak tahu betul.
Jika tadi si nenek benar-benar menyerangnya saat itu pasti perutnya sudah bobol
dihantam pukulan dan nyawanya tak akan tertolong. Sebaliknya Sinto Gendeng juga
menyadari. Kalau si kakek sungguhan membalas serangannya dengan semburan tuak,
saat itu pasti mukanya sudah hancur dan nyawanya putus!
Dewa Tuak tarik nafas panjang
lalu tertawa gelak-gelak. Sehabis tertawa dia teguk tuaknya dan memandang pada
Sinto Gendeng. "Dua tua bangka edan bercanda dalam rimba belantara.
Padahal mungkin ada satu perkara besar yang harus dihadapi!"
"Syukur kita sama-sama
tahu diri!" kata Sinto Gendeng sambil terus mengeringkan mukanya yang
basah kuyup. "Apa yang kau ucapkan tadi memang betul. Ada satu perkara
besar yang sedang aku hadapi!"
"Ah!" Dewa Tuak
menggeser duduknya hingga lebih enak bersandar ke batang pohon di belakangnya.
"Katakan apa perkara besar itu sahabatku!"
"Sebelum aku menyampaikan
aku ingin bertanya lebih dulu. Aku tidak melihat Anggini muridmu. Bagaimana
keadaannya dan dimana dia saat ini?"
"Anak itu, dia kuharap
baik-baik saja…"
"Kuharap katamu? Berarti
dia tidak ada bersamamu?"
"Betul Sinto, dia pergi
sekitar empat bulan lalu…."
"Kau tahu pergi ke
mana?"
"Katanya ingin
menyambangi beberapa sahabatnya. Siapa tahu mungkin juga dia tengah mencari
muridmu yang sableng itu!"
"Tidak… Dia tidak mencari
Wiro. Tapi tengah melakukan sesuatu yang telah menggegerkan rimba persilatan.
Empat bulan lalu dia meninggalkanmu. Jika dihitung-hitung memang cocok waktunya
dengan semua apa yang terjadi!"
"Eh, kau bicara apa ini
Sinto? Apa yang telah dilakukan muridku Anggini?"
"Kau pernah mendengar
manusia berjuluk Betina Penghisap Darah yang gentayangan sejak tiga bulan lalu
di mana-mana? Melakukan pembunuhan lalu menghisap darah korbannya secara
keji!"
"Aku memang sudah
mendengar kemunculan manusia biadab itu. Lalu apa hubungan keparat itu dengan
muridku Anggini?" bertanya Dewa Tuak.
"Betina Penghisap Darah
ternyata adalah Anggini! Muridmu sendiri!"
Terbeliak mata Dewa Tuak.
Kalau saat itu ada petir menyambar di depan hidungnya mungkin tidak akan
seperti itu dia terkejut.
"Kau tidak sedang sinting
Sinto?"
"Sialan! Siapa yang
sinting!"
"Kau juga tidak ngaco
atau bicara dusta?!"
"Edan! Aku tidak mabok!
Mana mungkin ngaco dan dusta!"
"Kau tidak
memfitnah?!"
"Sompret kau Dewa
Tuak!"
"Lalu bagaimana kau bisa
mengatakan Betina Penghisap Darah itu adalah muridku?"
"Beberapa tokoh silat
mengatakan begitu. Dua diantaranya melihat sendiri. Yang terakhir seorang
pembantu Tumenggung di Kotaraja menceritakan ciri-ciri Betina Penghisap Darah
itu. Semua cocok dengan ciri-ciri muridmu. Wajahnya, pakaiannya. Semuanya! Nah
kau mau bilang apa lagi?!"
Dewa Tuak seperti dihenyakkan
ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia duduk terdiam.
"Kalau bukan kau sendiri
yang datang membawa berita ini dan mengatakannya padaku, aku tak bakalan percaya,"
berucap Dewa Tuak. Suaranya perlahan dan bergetar. "Apa yang terjadi
dengan anak itu…?"
"Aku kawatir dia telah
terperangkap dalam satu ilmu sesat. Ilmu yang mewajibkannya harus membunuh dan
menghisap darah manusia. Setahuku korban-korbannya hanya orang-orang tertentu.
Para bangsawan, para pejabat, tokoh-tokoh silat. Umumnya semua mereka itu masih
muda-muda. Lelaki atau perempuan…"
"Gusti Allah…" Dewa
Tuak mengucap. Dia memandang pada Sinto Gendeng. "Apa yang harus kulakukan
Sinto? Dunia persilatan pasti mengutukku habis-habisan. Maluku hendak
disembunyikan kemana?"
"Kau harus mencari anak
itu. Membuatnya bertobat lalu menghukumnya. Kalau tidak kau sendiri yang turun
tangan, maka pembalasan orang-orang persilatan akan sangat mengerikan. Aku tak
bisa membantumu Dewa Tuak."
"Apakah dia demikian
saktinya hingga tak seorangpun selama tiga bulan ini sanggup
mengalahkannya?"
"Bekal ilmu silat dan
kesaktian yang kau berikan padanya sudah cukup membuat dia menjadi seorang
tokoh muda yang disegani. Apalagi kalau dia mendapat tambahan ilmu setan yang
sulit dipercaya kehebatannya! Lihat saja, mengapa dia harus minum darah setiap
korban yang dibunuhnya? Pasti itu menjadi salah satu keharusan jika dia ingin
menguasai terus ilmu yang climilikinya!"
"Anggini…" Dewa Tuak
menyenut nama murianya dengan nada penuh penyesalan.
Perlahan-lahan kakek ini
berdiri. Dari balik pakaian birunya dikeluarkannya sebuah benda lalu dia
berkata pada Sinto Gendeng.
"Sahabatku, kau menjadi
saksi tunggal. Aku bersumpah akan mencari anak itu dan membunuhnya. Jika dalam
tempo empat puluh hari aku tidak berhasil melakukannya atau aku sampai
dikalahkannya, aku lebih baik memilih mati dari pada harus menanggung malu yang
menyengsarakan!"
Habis berkata begitu Dewa Tuak
masukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulut. Sinto Gendeng hendak mencegah
tapi terlambat.
"Dewa Tuak! Apa yang kau
telan itu?!"
"Racun kematian!"
jawab Dewa Tuak dengan tegar, "Racun itu akan bekerja pada hari ke empat
puluh satu dari sekarang. Jika aku tidak berhasil mencari anak itu. Atau
berhasil tapi tak sanggup meringkus dan membunuhnya, maka pada hari ke empat
puluh satu aku sudah pasrah menemui kematian."
"Jangan tolol! Aku tahu
kau pasti memiliki obat penangkal racun itu di balik pakaianmu. Ayo lekas kau
telan obat penangkal itu!"
Dewa Tuak menggeleng.
"Aku sudah memutuskan
lebih baik mati di hari ke empat puluh satu itu. Dari pada menanggung malu
besar!"
"Tua bangka bodoh!
Mengapa kau jadi begini tolol dan ikut-ikutan sesat?"
"Terus terang aku sudah
terlalu lama hidup di dunia ini. Usiaku sudah lebih dari delapan puluh tahun.
Buat apa menghabiskan sisa hidup dengan menanggung malu? Lebih baik mati
berkalang tanah!"
Sinto Gendeng terdiam. Dia
tidak bisa menyalahkan Dewa Tuak kalau sampai berbuat seperti itu.
"Kau sendiri apa yang
hendak kau lakukan Sinto? Sebagai salah seorang sesepuh dunia persilatan yang
ikut menentukan hitam putihnya masa depan dunia persilatan, apakah kau tidak
akan turun tangan?"
"Aku lebih banyak
memandang pada persahabatan kita. Lagi pula tua bangka sepertiku ini
sepantasnya tidak boleh terlalu banyak mengurusi masalah dunia. Aku sudah minta
muridku Wiro Sableng untuk mencarinya lalu membawanya padamu. Hanya itu yang
bisa kulakukan…"
"Terima kasih
sahabat…." kata Dewa Tuak. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Di
ujung usiaku ini, sebetulnya aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan tinggal
di satu tempat yang sunyi dan tenang. Namun nasibku mengatakan lain…" Dewa
Tuak menarik nafas dalam. Sinto Gendeng mengangguk-angguk. "Kita memang hidup
di dunia ini," katanya. "Tapi kehendak Tuhan lebih banyak menentukan
dari kemauan kita sendiri!"
Dewa Tuak ambil tabung bambu
yang dipangkuannya. Isi tabung itu diteguknya sampai habis. Seperti belum puas
diambilnya tabung satu lagi yang tergantung di punggungnya. Lalu isi tabung
inipun ditenggaknya sampai habis. Perutnya tampak melembung. Sekujur tubuh
terutama mukanya kelihatan merah seperti udang rebus. Kedua matanya juga tampak
merah sekali. Perlahan-lahan kakek ini berdiri.
"Kita berpisah di sini
Sinto. Kalau umur sama panjang aku merasa senang dapat bertemu denganmu
lagi…"
"Itu juga menjadi
keinginanku. Selesaikan urusanmu dengan baik."
Dewa Tuak mengangguk. Sekali
dia berkelebat dirinyapun lenyap dari tempat itu.
***
5
ROMBONGAN orang-orang yang
berburu itu memacu kuda masing-masing menuju ke Timur. Di satu tempat, sebelum
memasuki hutan sasaran, Kepik Kuntolo hentikan kuda seraya mengangkat tangan
memberi tanda. Pangeran Panji Kenanga dan orang-orang yang ada di belakang
penunjuk jalan itu segera hentikan kuda.
"Ada apa Kepik?"
tanya Pangeran Panji Kenanga seraya membetulkan letak busur dan kantong panah
di pinggangnya.
"Saya mengusulkan
sebaiknya kita tidak memasuki hutan ini. Tapi mencari hutan lain saja
Pangeran."
"Heh?!" Pangeran Panji
merasa heran mendengar ucapan pembantunya itu. "Alasan apa kau berkata
begitu Kepik?"
"Saya baru ingat
Pangeran. Pihak Istana telah menetapkan kawasan hutan Kemikir ini sebagai
daerah berbahaya tingkat tiga."
"Daerah berbahaya tingkat
tiga. Hemm…Aku baru mendengarnya. Apa yang telah terjadi? Ada bahaya apa dalam
rimba belantara ini yang membuat wajahmu kulihat jadi berubah pucat!"
"Hutan Kemikir diketahui
sebagai salah satu daerah gentayangannya mahluk yang dijuluki Betina Penghisap
Darah!"
"Ah…! Itu rupanya yang
ada dalam benakmu! Cerita isapan jempol begitu siapa yang mau percaya?"
Pangeran Panji lalu tertawa gelak-gelak. Anggota rombongan lain yang terdiri
dari tiga orang pengawal dan tiga orang kawan-kawan sebaya sang Pangeran
ikut-ikutan tertawa. Salah seorang kawan Pangeran Panji berkata. "Akan
kita lihat! Kalau benar ada mahluk itu dalam hutan sana, apakah dia sanggup
menahan panah dan tombak Pangeran Panji Kenanga!"
"Kudengar…" kata
salah seorang kawan sang Pangeran yang lain, "Makhluk berjuluk seram itu
adalahseorang gadis cantik jelita. Nah, kita muda-muda dan gagah semua. Masakan
tidak satupun yang akan ditaksirnya?"
Kembali tempat itu menjadi
ramai oleh gelak tawa semua orang kecuali Kepik Kuntolo yang kelihatan tetap
tegang.
"Kepik," kata
Pangeran Panji Kenanga pula. "Hutan Kemikir diketahui paling banyak babi
hutannya. Nah apa bukan ini hanya siasat para pejabat tertentu di Istana yang
tidak mau orang lain masuk kemari dan menghabisi babi-babi hutan itu hingga
mereka takut nanti tidak kebagian lagi?!"
Kepik Kuntolo tidak menjawab.
Yang menyahuti malah Jaka Dolok, salah seorang pemuda sahabat sang Pangeran.
"Apa yang Pangeran katakan itu mungkin benar. Sudahlah, mengapa kita harus
berlama-lama di tempat ini. Biar aku yang duluan masuk ke dalam hutan. Kalau
bertemu gadis jelita itu akan aku suruh dia tolong memasakkan hasil buruan
kita!"
Pangeran Panji tertawa.
Digebraknya kudanya mengikuti Jaka Dolok. Yang lain-lain segera pula bergerak.
Kepik Kuntolo sesaat merasa bimbang. Akhirnya diapun mengikuti rombongan itu
masuk ke dalam hutan.
Setelah beberapa lama jauh
masuk ke dalam hutan dan masih belum menemui binatang buruan, Pangeran Panji
berkata. "Aneh, pada kemana semua babi di hutan ini? Satupun tak kelihatan
mata hidungnya…"
Baru saja sang Pangeran
berkata begitu tibatiba lapat-lapat terdengar suara perempuan menyanyikan
pantun.
Hutan Kemikir banyak babinya
Babi diburu diambil dagingnya
Kasihan babi mahluk tak
berdosa
Hendak melawan tak punya daya
Kalau dibiarkan pemburu bersuka-suka
Pesta mereka tak akan pernah
berhenti
Kutolong babi dari derita
Biarlah pemburu kuhukum mati
"Eh, nyanyian itu seperti
ditujukan pada kita?" ujar Pangeran Panji seraya memandang pada
orang-orang dalam rombongannya. Yang dipandangi tenang-tenang saja malah ada
yang tersenyum sementara Kepik Kuntolo tampak gelisah. "Kita harus mencari
tahu siapa perempuan yang menyanyi itu."
"Suaranya merdu. Orangnya
pasti ayu!" kata Jaka Dolok. "Ayo kita mencarinya."
Joko Dolok kembali memimpin
rombongan memasuki hutan lebih jauh ke dalam. Kini rombongan itu bergerak ke
arah datangnya suara nyanyian tadi. Kepik Kuntolo yang mati ketakutan
menunggangi kudanya paling belakang. Sekali-sekali dia menoleh ke belakang,
merasa seolah-olah ada orang atau pandangan mata yang mengikuti gerak gerik
rombongan itu. Tujuh ekor kuda tunggangan mendadak menunjukkan sikap aneh.
Binatang-binatang ini seperti tak mau melangkah maju. Dari mulut mereka keluar
suara mendesis. Lalu. satu demi satu mereka mulai meringkik.
"Tenang! Tenang…!"
kata Pangeran Panji menenangkan kudanya sambil mengusap leher binatang Itu.
Yang lain-lain melakukan hal yang sama hingga tujuh ekor kuda tunggangan itu
kembali tenang dan berhenti meringkik tetapi tetap saja tak mau bergerak.
Tiba-tiba terdengar Jaka Dolok berseru sambil menunjuk ke depan dan hentikan
kudanya.
"Lihat!"
Semua anggota rombongan sama
hentikan kuda dan memandang ke arah yang ditunjuk. Di atas cabang terpendek
sebatang pohon kelihatan duduk seorang gadis berwajah cantik sekali mengenakan
pakaian ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna ungu tergelung di lehernya.
Dia duduk bersandar ke batang pohon sedang kedua kakinya dilunjurkan sepanjang
cabang yang didudukinya. Suara nyanyiannya sirap dan kedua matanya memandang ke
arah lain seolah tidak mau memperhatikan ke datangan rombongan Pangeran Panji.
Yang mengherankan Pangeran Panji dan kawan-kawannya ialah ketika melihat di
bawah cabang pohon di mana sang dara duduk, berkeliaran lebih dari selusin babi
hutan dan anak-anaknya yang gemukgemuk. Binatang ini berkerumun di bawah pohon
seolah-olah binatang peliharaan yang menunggu tuannya.
"Kepik Kuntolo!"
kata Pangeran Panji pada penunjuk jalan. "Ini orangnya yang kau sebut
Betina Penghisap Darah itu?"
"Saya… Saya tidak dapat
memastikan Pangeran." jawab Kepik Kuntolo karena melihat kecantikan si
gadis seperti itu hatinya tentu saja bimbang untuk memastikan bahwa gadis itu
adalah mahluk jahat penghisap darah yang selama ini dikabarkan gentayangan di
hutan Kemikir. Pangeran Panji tersenyum. Dia memandang pada Jaka Dolok dan
berkata dengan suara perlahan.
"Memang terasa aneh kalau
ada gadis secantik ini berada dalam rimba belantara. Lalu babibabi hutan itu
seperti binatang peliharaannya. Berkeliaran di bawah pohon tempat dia duduk.
Apa pendapatmu Jaka?"
"Saat ini yang ingin
kulakukan ialah menyapa dirinya lalu berkenalan. Setelah itu… He….he… he. Kalau
aku yang mendapatkannya lebih dulu jangan kalian mengiri." Jaka Dolok
kedipkan matanya. Kudanya dimajukan sampai ke bawah pohon. Binatang ini tidak
mau bergerak. Dengan susah payah akhirnya Jaka Dolok berhasil juga membuat kuda
ini maju beberapa langkah. Kini kepala Jaka Dolok tepat berada di depan cabang
pohon tempat dara berbaju ungu duduk.
"Gadis cantik di atas
pohon. Namaku Jaka Dolok. Katakan siapa namamu, mengapa berada di rimba ini.
Apakah babi-babi hutan ini peliharaanmu. Lalu yang paling penting apakah aku
boleh berkenalan denganmu?"
Si gadis yang sejak tadi
memandang ke arah kejauhan palingkan kepalanya. Dia memandang ke bawah. Jaka
Dolok kini dapat melihat wajah itu sepenuhnya. Benar-benar cantik sekali hingga
dia jadi terkesiap. Namun dalam terpesona begitu pemuda ini melihat ada kilatan
sinar aneh pada sepasang mata sang dara.
"Hai…!" kata Jaka
Dolok. Dia coba tersenyum. Tangan kanannya diulurkan ke atas hendak meraba
betis si gadis yang tersembul putih dan mulus. Si gadis angkat kakinya hingga
tangan Jaka Dolok hanya meraba cabang pohon.
"Para pemburu telah tiba.
Saat hukuman dijatuhkan!" Gadis di atas pohon terdengar berkata.
"Eh, aku bertanya. Kau
malah bicara apa?" kembali Jaka Dolok membuka mulut.
"Pertanyaanmu banyak
sekali! Gerakan tanganmu tidak sopan! Pergilah!" kata gadis berpakaian
ungu di atas cabang pohon. Tiba- tiba kaki kanannya borgerak cepat sekali.
Wuuut!
"Jaka
awas!"teriakPanji Kenanga yang melihat apa yang terjadi dari kejauhan.
Bukkk!
Teriakan itu terlambat
sebagaimana terlambatnya Jaka Dolok menghindarkan kepalanya dari tendangan kaki
gadis di atas pohon. Tubuhnya terpental sewaktu kepalanya dihantam tendangan
dan terkapar jatuh satu langkah dari hadapan rombongan Pangeran Panji. Tujuh
ekor kuda meringkik keras. Tubuh Jaka Dolok tidak berkutik lagi. Kepalanya
sebelah kanan hancur mengerikan!
"Gadis keparat! Apa yang
kau lakukan terhadap temanku?!" teriak Panji Kenanga marah.
"Kau sudah melihat
sendiri, mengapa masih bertanya?" menyahuti si gadis di atas pohon.
Mendengar jawaban itu
kemarahan Pangeran Panji jadi menggelegak. Dicabutnya tombak besi yang tersisip
di kantong pada leher kudanya. Seniata ini kemudian digebukkannya ke arah si
gadis.
Traakk!
Hantaman tombak besi hanya
mengenai cabang pohon hingga berderak patah. Sedang si gadis sendiri saat itu
sudah melompat dari duduknya. Tubuhnya melayang ke atas. Begitu turun kakinya
menendang lagi. Kali ini tombak di tangan Pangeran Panji yang jadi sasaran
hingga senjata itu mental. Selagi sang Pangeran merasakan pedas pada telapak
dan jari-jari tangan kanannya, dari atas tiba-tiba dara berbaju ungu itu
melayang turun. Kedua tangannya meluncur ke arah batang leher Pangeran Panji.
"Pangeran awas!"
teriak tiga pengawal dan dua temannya berbarengan.
"Astaga! Lihat! Sepuluh
jarinya mengeluarkan kuku panjang merah!" salah seorang anggota rombongan
kembali berteriak.
Saat itu Pangeran Panji telah
siap mencabut golok yang tersisip di pinggangnya. Namun dia hanya sempat
memegang gagang senjata ini. Sepuluh kuku merah yang ada lobang-lobangnya
menancap di tenggorokannya. Tubuhnya terangkat ke atas. Pangeran Panji
berteriak keras.
Matanya membeliak. Lidahnya terjulur.
Darah mengucur deras dari sepuluh lobang pada lehernya yang ditembus sepuluh
kuku merah. Tapi lebih banyak lagi darah yang tersedot lewat ujungujung kuku
berlubang itu!
Pangeran Panji hanya mampu
menggeliat-geliat beberapa saat. Tubuh itu kemudian tampak terkulai. Ketika
cengkeraman dilepas, tubuh Pangeran Panji jatuh ke bawah dan menyangsang diatas
serumpunan semak belukar. Untuk kesekian kalinya kuda-kuda yang ada disitu
mengeluarkan suara ringkikan keras.
"Dia… dia benar-benar
mahluk berjuluk Betina Penghisap Darah itu…" kata Kepik Kuntolo, dengan
suara gemetar dan muka pucat. Karena tidak dapat lagi menahan rasa takutnya
penunjuk jalan ini putar kudanya dan menghambur lari dari tempat itu.
Dua orang pemuda kawan
Pangeran Panji yang ada dalam rombongan sebenarnya juga sudah dilanda rasa
takut. Namun salah seorang dari mereka masih berusaha berteriak pada tiga orang
pengawal agar segera membunuh gadis berpakaian ungu itu. Tiga pengawal segera
menghunus senjata. Dua mencabut golok, satu menyiapkan tombak. Mereka melompat
turun dari kuda masing-masing. Gadis berbaju ungu berdiri dengan kaki
terkembang. Mulutnya dan lidahnya sibuk menjilaiti kedua tangannya yang
berlumuran darah.
Dua golok dan satu tombak
berkelebat. Si gadis keluarkan suara tertawa panjang. Tubuhnya berputar
membelakangi ke tiga penyerang. Tiga orang pengawal menyangka gadis itu hendak
melarikan diri. Tapi mereka tersentak kaget begitu laksana kilat kaki kanan
lawan melesat menghantam kepala mereka satu persatu. Ketiganya mencelat dan
terhempas di tanah saling tindih. Masing-masing mengeluarkan suara erangan
pendek. Tangan atau kaki mereka menggeliat sesaat setelah itu ketiganya tak
bergeming lagi!
Dua orang pemuda yang ada di
tempat itu putus nyali mereka. Tidak tunggu lebih lama keduanya sepera memutar
kuda untuk melarikan diri. Gadis berpakaian ungu tertawa melengking.
"Kalian mau lari
kemana?!" teriaknya. Tubuhnya melesat ke atas cabang pohon. Tepat pada
saat dua pemuda berkuda lewat di bawahnya, dia melompat turun. Kaki kanan menendang,
tangan kiri memukul.
Bukkk!
Pemuda di sebelah kanan hancur
dadanya dan remuk jantungnya. Darah membersit keluar dari tubuhnya yang
melayang terpental. Pemuda kedua siap menerima kematian begitu jotosan tangan
kanan gadis berbaju ungu menderu ke arah batok kepalanya. Tiba-tiba terdengar
suara orang berteriak.
"Anggini! Jangan!"
Sebutan nama itu tidak
mengejutkan si gadis. Yang membuat dia kaget adalah keras dan membahananya
suara teriakan tadi pertanda orang yang berteriak memiliki tenaga dalam sangat
tinggi. Suara teriakan itu membuat gadis berpakaian ungu tarik pulang
serangannya. Pemuda di atas kuda sadar kalau dirinya diselamatkan oleh teriakan
yang tiba-tiba tadi, secepat kilat menggebrak kudanya dan lari dari tempat itu.
Seorang pemuda berpakaian dan
berikat kepala putih berkelebat muncul di antara tebaran mayat. Dia memandang
pada gadis berbaju ungu dengan rasa tidak percaya. Tengkuknya bergidik ketika
melihat kedua tangan gadis itu berlumuran darah. Darah juga kelihatan menempel
di mulut dan wajahnya
"Anggini! Kenapa kau
lakukan ini semua?!"
"Siapa kau!" bentak
gadis berbaju ungu. Kedua matanya memandang tak berkesip.
"Ah, kau tak mengenali
diriku lagi? Aku Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Gurumu Dewa
Tuak dan guruku saling bersahabat. Kita memang sudah sangat lama tidak pemah
bertemu!"
Mulut yang berlumuran darah
itu kelihatan menyeringai. "Untung kau datang sekarang. Kalau tadi-tadi
selagi aku masih haus pasti darahmu akan kuminum! Tapi lain kali, jika kau
berani muncul lagi di hadapanku akan kuhisap seluruh darah yang ada
ditubuhmu!"
Habis berkata begitu gadis
berbaju ungu ini berpaling pada belasan ekor babi hutan dan anak-anaknya yang
masih berkerumun di bawah pohon, Aneh, binatang-binatang itu sama sekali seperti
tidak terusik oleh apa yang terjadi di tempat itu.
"Kalian sudah selamat!
Pergilah!" berkata gadis berbaju ungu lalu lambaikan tangannya. Ada satu
gelombang angin menyapu tubuh babi-babi hutan itu. Serentak, seperti tersadar
binatangbinatang itu keluarkan suara melenguh lalu lari beriringan masuk ke
dalam bagian hutan yang lebih lebat.
Si gadis melirik ke arah
pemuda di sampingnya. Tubuhnya bergerak dan tahu-tahu dia sudah berkelebat dari
tempat itu.
"Anggini! Tunggu!"
teriak Wiro sambil mengejar.
Satu gelombang angin sedingin
es menghantam Pendekar 212. Wiro berseru kaget dan cepat menyingkir. Sambaran
angin dingin yang masih sempat menyapu tubuhnya sebelah kanan membuat dia
menjadi kaku beberapa saat dan tidak mampu meneruskan mengejar!
***
6
PENDEKAR 212 kerahkan tenaga
dalam yang mengandung hawa panas ke bagian tubuhnya yang kaku dilanda pukulan
hawa dingin tadi.
"Luar biasa!"
katanya dalam hati. "Eyang mewariskan pukulan angin es padaku. Tapi untuk
menundukkan musuh dengan pukulan itu membutuhkan waktu. Sebaliknya Anggini
mampu melakukannya dengan sangat cepat. Dewa Tuak setahuku tidak memiliki ilmu
pukulan hawa dingin seperti itu. Pasti gadis ini mempelajarinya dari orang
lain!" Wiro garuk-garuk kepala. Dia menghela nafas ketika memperhatikan
mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. "Heran, kenapa gadis itu berubah
menjadi ganas dan jahat? Apa yang dialaminya?" Wiro melangkah mendekati
mayat pengawal yang saling tumpang tindih.Kembali dia memperhatikan mayat sang
Pangeran. "Yang satu ini kelihatannya bukan pemuda sembarangan." Wiro
membungkuk dan menarik kalung yang masih melingkar di leher yang hancur
mengerikan itu. Ketika diperhatikannya kalung itu terkejutlah murid Sinto
Gendeng. Dia mengenali kalung seperti itu hanya dimiliki dan dipakai oleh
putera-putera Istana.
"Pemuda satu ini pasti
seorang Pangeran…." kata Wiro. "Sri Baginda tentu tidak akan tinggal
diam. Anggini pasti akan dikejar sampai ke ujung dunia sekalipun. Dan Dewa Tuak
akan terseretseret….
Apa yang yang sekarang harus
kulakukan? Mengurusi mayat-mayat sebegini banyak? Biar setan-setan hutan saja
yang mengurus mereka!" kata Wiro lalu tinggalkan tempat itu. Rasa
penasaran membuat dia bergerak ke arah lenyapnya Anggini tadi. Dia mencoba
untuk mengejar gadis itu walau sadar kalau saat itu si gadis sudah berada jauh.
***
BERITA yang disampaikan Kepik
Kuntolo dan pemuda kawan Pangeran Panji yang selamat membuat geger Istana. Sri
Baginda langsung memanggil beberapa Perwira Tinggi. Dua orang tokoh silat
Istana yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan di Istana ikut mendampingi
para Perwira Itu. Mereka adalah Ki Ageng Timur yang dikenal dengan gelar Si
Gelang Setan dan Ki Sambar Tringpali berjuluk Si Cangklong Maut. Kedua tokoh
silat Istana ini sama berusia di atas 70 tahun dan telah mengabdi lebih dari 40
tahun hingga mereka sangat disegani baik di dalam maupun di luar Istana.
Abdi Jalakdiri, pemuda teman
Pangeran Panji yang berhasil lolos dari tangan Betina Penghisap Darah,
melaporkan bahwa dia sempat menyaksikan munculnya seorang pemuda berambut
gondrong, berpakaian dan berikat kepala putih. Pemuda ini memanggil Betina
Penghisap Darah dengan nama Anggini. Sedang si pemuda sempat didengarnya
memperkenalkan diri sebagai Wiro. Jelas kedua orang itu saling mengenal.
"Satu bernama Anggini.
Satunya lagi Wiro," mengulang Sri baginda lalu berpaling pada dua orang
tokoh silat Istana. "Kalian pernah mendengar nama-nama itu?"
"Dalam dunia persilatan
hanya ada satu orang bernama Wiro," kata Ki Sambar Tringgali.
Dia digelari Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212. Murid tunggal seorang nenek sakti di Gunung. Gede. Setahu
saya dia tidak termasuk kelompok orang jahat. Tapi manusia bisa saja
berubah."
"Aku minta kalian
menangkap orang itu. Tangkap hidup-hidup. Seret ke hadapanku. Bunuh di tempat kalau
dia melawan!"
"Akan kami lakukan Sri
Baginda," kata Ki Sambar Tringgali alias Si Cangklong Maut. Lalu
disedotnya cangklongnya (pipa) dalam-dalam.
"Bagaimana dengan si
pembunuh sendiri. Gadis dajal berjuluk Betina Penghisap Darah itu! Namanya
sudah diketahui. Anggini. Apa diantara kalian ada yang kenal atau tahu menahu
tentang dirinya?"
"Saya tidak berani
memastikan. Tapi dari ciri-ciri warna pakaian yang dikenakannya saya bisa
menduga. Saya harap tidak meleset," menjawab Ki Ageng Timur alias Si Gelang
Setan. Di pinggangnya tergantung lima buah besi pipih tajam berbentuk gelang
yang menjadi andalannya dan membuat dia menyandang gelar yang angker itu.
"Sri Baginda ingat pada seorang tokoh silat disegani bernama Dewa
Tuak?"
"Tentu saja. Orang tua itu
pernah beberapa kali membantu Kerajaan menghadapi kaum pemberontak dan para
penyerang dari seberang. Apa hubungan Dewa Tuak dengan Anggini?"
"Gadis penghisap darah
itu adalah murid Dewa Tuak," jawab Ki Ageng Timur.
Terkejutlah Sri Baginda
mendengar hal itu. "Dunia benar-benar telah berubah!" katanya.
"Yang putih dan baik bisa
berubah menjadi hitam dan jahatl Kalian harus mencari gadis itu. Memandang diri
Dewa Tuak kita seharusnya tidak boleh bertindak keras. Tapi mengingat nyawa
puteraku telah direnggutnya secara keji, aku perintahkan kalian mencari dan
membunuh gadis itu! Kemudian cari Dewa Tuak dan perintahkan dia
menghadapku!"
Atas kehendak Sri baginda tiga
kelompok besar dibentuk. Kelompok pertama yang ditugaskan untuk mengambil mayat
Pangeran Panji Kenanga dan kawan-kawannya serta pengawal hutan Kemikir.
Kelompok ini cukup dipimpin oleh seorang Perwira Muda. Kelompok kedua dipimpin
oleh Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali. Mereka ditugaskan untuk mencari
Anggini dan Pendekar 212. Dalam kelompok ini ikut serta Kepik Kuntolo si
penunjuk jalan dan abdi Jalakdiri kawan Pangeran Panji. Kelompok ke tiga
dikepalai oleh seorang Perwira Tinggi dengan tugas mencari Dewa Tuak.
Karena Anggini dan Pendekar
212 sebelumnya diketahui berada di hutan Kemikir maka Kelompok pertama dan
kelompok kedua secara bersamaan segera berangkat menuju rimba belantara itu.
Setelah mayat-mayat yang
ditemukan dalam hutan dimasukkan ke dalam beberapa peti mati, rombongan yang
dipimpin Ki Sambar Tringgali dan Ki Ageng Timur segera melanjutkan perjalanan
menembus lebih jauh ke dalam hutan Kemikir. Kepik Kuntolo, menunjuk jalan yang
sebelumnya menemani Pangeran Panji berburu ikut dalam rombongan ini ditunjuk
sebagai petunjuk jalan karena dia yang mengetahui seluk beluk hutan tersebut.
Saat itu matahari mulai
menggelincir ke titik tenggelamnya. Setelah berunding beberapa ketika rombongan
memutuskan untuk meneruskan perjalanan dan baru berhenti kalau kegelapan
benar-benar tidak memungkinkan untuk ditembus pandangan mata. Tepat ketika
matahari lenyap di ufuk Barat, rombongan mendengar suara gemercik air di
kejauhan.
"Kita berada dekat aliran
anak sungai Opak Kemikir," menerangkan Kepik Kuntolo.
"Kalau begitu kita
berkemah di dekat anak sungai itu," kata Ki Sambar Tringgali.
Kepik Kuntolo mengangguk dan
meneruskan bergerak di depan rombongan. Tak berapa lama kemudian di kegelapan
yang temaram kelihatan sebuah jeram pendek. Air sungai yang jatuh dari bagian
atas jeram inilah yang tadi mereka dengar suara gemericiknya.
"Ah, ternyata kita sudah
keduluan orang," kata Kepik Kuntolo.
"Betul, memang kelihatan
ada seseorang di dekat jeram sana," berkata Ki Ageng Timur sambil menatap
jauh ke arah jeram anak sungai Opak Kemikir yang mulai gelap.
"Astaga!" terdengar
Abdi Jalakdiri berucap.
"Ada apa?" tanya Ki
Sambar Tringgali cepat.
"Orang di dekat jeram
itu! Dia adalah pemuda yang saya terangkan. Yang mengaku bernama Wiro dan
memanggil gadis berpakaian ungu itu sebagai Anggini!"
"Kau tidak salah lihat
anak muda?" tanya Ki Ageng Timur.
"Tidak. Itu memang dia.
Saya mengenali rambutnya yang gondrong!" jawab Abdi Jalakdiri.
"Kalau begitu lekas
kurung daerah sekitar jeram!" perintah Ki Ageng Timur.
Dua puluh orang perajurit yang
ikut dalam rombongan itu, dibawah seorang Perwira Muda segera bergerak dalam
kegelapan. Mereka sudah terlatih baik hingga dalam waktu singkat, tanpa
mengeluarkan suara daerah sekitar jeram dimana pemuda berambut gondrong itu
berada sudah dikurung rapat. Masing-masing perajurit mencekal golok panjang
atau pedang berkeluk. Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali melompat turun
dari kuda masing-masing. Kepik Kunolo dan Abdi Jalakdiri juga turun dari
tunggangan mereka. Namun kedua orang ini tetap di tempat, tidak bergerak
mengikuti langkah dua tokoh silat Istana yang berjalan cepat menuju jeram anak
sungai Opak Kemikir.
***
7
PENDEKAR 212 bukan tidak tahu
kalau saat itu dia tidak sendiri lagi di sekitar jeram. Semula dia menyangka
gerakan-gerakan yang didengarnya didalam gelap adalah gerakan Anggini yang
tengah dikejarnya dan mungkin kembali menemuinya. Namun ketika diketahuinya
bahwa tidak hanya ada satu orang berada di tempat itu, melainkan lebih dari
dari dua puluh orang, murid Sinto Gendeng segera bersiap-siap penuh waspada.
Dia membatalkan membasuh mukanya dengan air sungai.
"Harap berikan jawaban.
Apakah kami berhadapan dengan Pendekar 212 murid Sinto Gendeng dari Gunung
Gede?!" Satu suara menegur. Wiro berpaling. Diam-diam dia terkejut karena
ternyata orang yang bertanya itu sudah berada demikian dekat dengan dia. Hanya
terpisah sekitar tujuh langkah dan ternyata seorang tua berjubah kelabu,
berikat pinggang merah. Pada ikat pinggangnya mencantel lima buah gelang pipih
terbuat dari besi. Orang tua ini tidak sendirian.
Disampingnya tegak pula
seorang tua lainnya, mengenakan baju hitam. Kedua tangan dirangkapkan di depan
dada sedang dimulutnya terselip sebuah cangklong yang mengepulkan asap
terus-terusan. Wiro melirik. Paling tidak sekitar dua puluh orang dilihatnya
mendekam dalam gelap, mengurung tempat itu.
"Orang tua, harap beri
tahu dulu siapa yang bertanya dan ada keperluan apa mengajukan
pertanyaan?"
Semula Ki Ageng Timur hendak
marah melihat orang tidak menjawab pertanyaannya tapi malah balik mengajukan
pertanyaan. Namun kawan di sebelahnya cepat menyahuti.
"Kawanku ini bernama Ki
Ageng Timur, bergelar Si Gelang Setan. Aku sendiri Ki Sambar Tringgali berjuluk
Si Cangklong Maut. Kami adalah utusan Istana dengan tugas menangkap dirimu jika
kau benar Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Saya memang bernama
Wiro. Mengenai gelaran Pendekar 212 itu tidak perlu dibesar besarkan. Ada
persoalan apa Istana mengutus kalian orang-orang tua yang gagah menangkap
diriku? Kesalahan apa yang telah saya lakukan terhadap kerajaan?"
"Kawanmu gadis berbaju
ungu bernama Anggini itu telah membunuh Pangeran Panji Kenanga, putera Sri
baginda!" Terdengar jawaban dari belakang kedua orang tua itu. Yang bicara
ternyata adalah Abdi Jalakdiri, sahabat Pangeran Panji.
"Hemmmm… Begitu!"
Wiro garuk-garuk kepala sambil memandangi dua wajah orang tua di depannya.
"Kalau memang kawanku yang membunuh Pangeran Panji, kenapa aku yang hendak
kalian tangkap?"
"Satu orang berbuat
jahat, kawannya patut diamankan!" sahut Ki Ageng Timur.
Wiro menyeringai. "Aturan
dari mana yang menogatakan begitu Ki Ageng Timur. Jika kawanmu Ki Sambar
Tringgali berbuat jahat, apakah kau mau juga ikut-ikutan ditangkap?!"
Paras Ki Ageng Timur menjadi
merah dalam gelapnya malam. "Sudah! Kau jangan banyak mulut. Sebelum kami
tangkap katakan dulu di mana teman perempuanmu yang telah membunuh putera Sri
Baginda itu?!"
"Mana saya tahu! Sayapun
sedang dalam mengejarnya!"
"Kalau kau mengejarnya,
kau pasti tahu kemana dia melarikan diri!" sentak Ki Ageng Timur.
Wiro kembali menyeringai.
"Saya seperti bertanya jawab dengan anak kecil. Saya tahu sahabat saya itu
telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji. Sayapun mendapat tugas untuk
menangkapnya. Tapi tidak untuk menghadapkannya pada Sri baginda, melainkan
membawanya ke hadapan gurunya!"
"Kau tidak akan berhasil
melakukan hal itu, Pendekar 212. Karena saat ini juga kau harus menyerahkan
diri. Jika kau mau menyerah secara tanpa perlawanan, aku berjanji tidak akan
ada segores lukapun diderita tubuhmu!"
"Kalau saya
melawan?" tanya Wiro pada Ki Ageng Timur.
"Tubuhmu akan kami
cincang sampai lumat!"
"Ah! Mengerikan
sekali!" ujar Wiro sambil sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepalanya.
"Kalau kalian minta keterangan tentang sahabat saya itu, saya rasa itu
adalah satu hal yang wajar.
Tapi kalau kalian menyuruh
saya menyerah dan mencincang jika melawan…" Wiro hentikan ucapannya lalu
tertawa gelak-gelak. "Hutan ini memang banyak hantu dan setannya. Saya
kawatir kalian semua sudah pada kena kesambat hingga meracau dan hendak
melakukan tindakan yang bukan-bukan!"
"Pendekar bermulut
lancang!" bentak Ki Ageng Timur. "Rupanya kau memang minta
dicincang!" Lalu orang tua bergelar Si Gelang Setan ini loloskan lima
gelang besi pipih dari ikat pinggangnya. Tanpa banyak cerita lagi sebuah dari
senjata itu dilemparkannya ke arah Pendekar 212!
Besi hitam pipih berbentuk
gelang itu menoeru dalam gelapnya malam, hampir tak terlihat. Suaranya menderu
seperti angin punting beliung dan mengarah ke leher Wiro.
Pendekar 212 jatuhkan diri.
Karena dia berada di bagian anak sungai yang dangkal maka waktu jatuh sekaligus
dia memukulkan telapak tangan kanannya ke atas air. Air sungai muncrat melesat
ke arah Ki Ageng Timur. Orang tua ini tak menyangka akan diberi perlawanan
seperti itu tidak sempat menghindar. Akibatnya muka dan jubah kelabunya basah
terkena cipratan air. Ki Ageng Timur memaki habis-habisan. Dia mengangkat
tangan kanannya. Gelang besi yang tadi tidak mengenai sasarannya secara aneh
berputar membalik ke arah Wiro, kini menyerang dari belakang. Inilah kshebatan
senjata gelang besi pipih itu hingga tidak percuma Ki Ageng Timur dijuluki Si
Gelang Setan. Sulit bagi lawan untuk mencari selamat dari senjata anehnya ini.
Selagi gelang besi pertama menderu dari belakang, Ki Ageng Timur lepaskan
gelang kedua. Kini Pendekar 212 diserang dari belakang dan dari depan. Saat itu
Wiro tengah bangkit berdiri. Gelang besi pertama yaitu yang datang dari
belakang melesat ke arah batok kepalanya. Sedang yang di sebelah depan
menyambaf ke arah perutnya.
Satu-satunya jalan bagi Wiro
untuk mencari selamat adalah dengan membuang diri ke samping. Akibataya
tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungail Tapi adalah lebih baik basah kuyup
dari pada ditambus gelang besi pipih itu dari belakang dan dari depan.
Begitu serangannya lagi-lagi
luput, Ki Ageng Timur angkat kedua tangannya. Seperti tadi secara aneh dua
gelang maut itu membalik kembali dan untuk beberapa lamanya berputar-putar
diatas permukaan air. Hal ini membuat Pendekar 212 tidak bisa mengeluarkan
dirinya dari dalam air sungai! Kecuali kalau dia mau ditabas oleh dua gelang pipih
yang luar biasa tajamnya itu.
"Sialan!" maki Wiro.
Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu dalam keadaan menelentang di
dalam air dia lepaskan pukulan "Segulung ombak menerpa karang" dengan
pengerahan tenaga dalem tinggi!
Byuur!
Air sungai muncrat disambar
angin pukulan.
Dua buah gelang di atas
permukaan air tampak bergetar keras lalu terpental. Wiro cepat melompat ke luar
dari dalam air. Masih dalam keadaan setengah membungkuk dia lepaskan lagi satu
pukulan tangan kosong yaitu pukulan ‘kilat menyambar puncak gunung."
Ki Ageng Timur berseru kaget
ketika melihat dua buah gelang besi pipihnya sanggup dibuat mental. Tapi dia
tidak kawatir karena begitu mental, dua buah gelang maut itu berputar di udara
laiu melesat ke arah Wiro kembali! Yang membuat dia terkejut adalah ketika
menerima pukulan kedua yang laksana petir menyambar panas ke arah dirinya.
Oranq tua ini lekas melompat setinggi dua tombak untuk selamatkan diri.
Wiro sendiri terkejut bukan
kepalang ketika dilihatnya dua buah senjata lawan dengan dahsyat kembali
menyerang dirinya.
"Setan!" maki Wro.
Terpaksa dia jatuhkan diri dan kembali tercebur ke dalam air. Tidak menunggu
lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari
pinggangnya. Begitu senjata mustika sakti ini dibabatkan ke atas, semua orang
yang ada di tempat itu jadi terkejut ketika mendengar suara menderu seperti
ribuan tawon mengamuk. Air sungai kembali muncrat dan kali ini membasahi hampir
semua orang yang ada di tempat itu.
Traang! Traang!
Kapak Maut Naga Geni 212
membentur dua gelang maut. Wiro merasakan tangannya yang memegang kapak
tergetar keras. Gagang senjata itu hampir terlepas dari tangannya. Sebaliknya
dua buah gelang besi milik Ki Ageng Timur patah dua dan bermentalan di udara!
Ki Ageng Timur sendiri sampai
berseru kaget saking tidak percaya melihat apa yang terjadi dengan kedua
senjata yang sangat diandalkannya itu. Selama ini kalaupun ada lawan yang
sanggup menangkis serangan gelang mautnya maka senjata itu hanya bisa dibuat
mental tapi tidak dapat dibuat patah berantakan seperti yang kini disaksikannya
, sendiri. Selain marah; tokoh silat Istana itu juga merasa malu. Maka
sekaligus dia loloskan tiga gelang maut yang masih mencantel di pinggangnya.
Tiga gelang ini kemudian dilemparkan ke arah Wiro yang saat itu sudah melompat
ke tepi anak sungai. Suara deru tiga buah gelang maut itu laksana topan yang
datang menggila dari laut.
Ternyata saat itu Wiro bukan
hanya menghadapi serangan tiga buah gelang maut, tetapi Ki Sambar Tringgali
rupanya telah mulai turun tangan membantu kawannya. Orang tua satu ini
berpandangan tajam. Melihat apa yang barusan terjadi dia cukup sadar kalau Ki
Ageng Timur tidak akan begitu mudah untuk mengalahkan Pendekar 212. Maka dia
sedot cangklongnya dalam-dalam. Asap yang terkumpul di mulut dan leher serta
dadanya dihembuskan ke depan, ke arah Wiro. Terjadilah hal yang luar biasa.
Asap berwarna kelabu itu
bergulung membuntal-buntal, menyungkup ke arah kepalanya hingga pemandangannya
tertutup padahal saat itu pula tiga buah gelang besi pipih yang dilepaskan Ki
Ageng Timur melesat ke arah kepala, dada dan kakinya! Di samping itu asap ini
mengeluarkan hawa aneh yang bukan saja memerihkan mata dan kulit tetapi jika
sempat memasuki jalan napas akan menyerbu masuk ke dalam paru-paru dan membuat
tubuh menjadi lemas dengan seketika!
Wiro yang sudah maklum kalau
asap caklong orang tua berbaju hitam itu sama berbahayanya dengan serangan tiga
buah gelang besi dengan cepat putar Kapak Maut Geni 212 di sekeliling tubuhnya.
Ki Ageng Timur yang tadi sudah
melihat kedahsyatan senjata di tangan Pendekar 212 tentu saja tidak mau
kehilangan gelang besinya yang kini hanya tinggal tiga. Segera orang tua ini
angkat ke dua tangannya. Tiga buah gelang besi yang melesat di udara bergeser bertebaran
hingga selamat dari sapuan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro. Walau Wiro
terhindar dari serangan gelanggelang besi itu namun asap cangklong yang
dihembuskan Ki Sambar Tringgali ternyata berhasil menyusup lolos dari terpaan
senjata saktinya. Matanya terasa perih. Kulit muka dan kulit tubuhnya laksana
dicucuki oleh puluhan jarum-jarum halus.
"Celaka!" keluh
murid Eyang Sinto Gendeng. Dia melompat menjauhi serangan asap. Namun
terlambat. Walaupun hanya sedikit dia telah sempat menghirup hawa aneh asap
kelabu itu. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Dengan nekad dia kerahkan tenaga
dalamnya sebaryak mungkin ke tangan kiri lalu lepaskan pukulan "sinar
matahari" ke arah Ki Sambar Tringgali.
Orang tua ini berseru kaget.
Karena menyangka asap cangklongnya pasti akan merobohkan lawan maka dia berlaku
sedikit ayal dan wuutt! Sinar menyilaukan dan panas luar biasa menyambar ke
arahnya. Ki Sambar Tringgali cabut cangklongnya dari mulut. Sambil melompat ke
belakang dia pukulkan pipanya itu. Angin keras menggebubu dari mulut cangklong
disertai melesatnya ratusan serpihan-serpihan tembakau bernyala. Benda-benda
panas yang sanggup menembus daging tubuh dan menyusup sampai ke tulang ini
musnah berantakan dihantam gelombang putih panas pukulan sinar matahari. Tangan
Ki Sambar Tringgali yang memegang cangklong tergetar keras. Sambil berteriak
marah orang tua itu melompat tinggi-tinggi. Dia seperti melayang di atas jalur
panas pukulan sinar matahari danhantamkan kepala cangklongnya ke arah kepala
Pendekar 212. Saat itu Wiro sendiri pandangannya masih terhalang oleh kepulan
asap kelabu sedang tubuhnya terasa semakin lemas. Selagi dia berusaha mengatur
jalan nafas dan peredaran darah saat itu pula hantaman cangklong datang. Di
saat yang sama tiga buah gelang besi maut milik Ki Ageng Timur kembali
gentayangan mencari sasaran di tiga bagian tubuhnya! "Celaka! Mati aku
sekarang!" jerit Wiro dalam hati. Dengan sisa tenaganya yang ada
diangkatnya Kapak Naga Geni 212 ke atas lalu disapukannya. Bersamaan dengan itu
dia rundukkan kepala berusaha menghindari hantaman cangklong di tangan ki
Sambar Tringgali.
Trang!
Sebuah dari tiga gelang besi
berhasil ditangkis, dibuat mental berpatahan. Tapi yang dua lagi terus melesat
ke arah kepala dan kakinya. Pada saat Wiro kehabisan daya untuk menyelamatkan
jiwanya tiba-tiba dari arah belakangnya berkelebat satu bayangan ungu. Lalu
terdengar suara pekik dahsyat seolah membelah gelapnya langit malam. Bersamaan
dengan itu di udara melesat banyak sekali benda-benda panjang berwarna hitam
disertai menebarnya bau amis. Di lain kejap terdengar jeritan Ki Ageng Timur
disusul oleh leritan Ki Sambar Tringgali, menyusul pula jeritanjeritan lainnya
hingga tempat itu hiruk pikuk oleh suara jeritan. Ringkikan kudapun kemudian
terdeiiyar tiada henti!
Wiro jatuh terduduk di tanah.
Kapak Naga Geni 212 tergeletak di pangkuannya. Kedua matanya terbuka
besar-besar untuk dapat menyaksikan apa gerangan yang terjadi. Tengkuk murid
Sinto Gendeng ini menjadi sedingin es ketika diketahuinya bahwa benda-benda
panjang yang tadi lewat di atas kepala dan di kiri kanannya adalah ular-ular
berwarna hitam sepanjang satu tombak, Binatang-binatang yang tidak diketahui
dari mana datangnya ini melesat menyerang dan mematuk semua lawan-lawannya. Tak
satu orangpun bisa lolos dari patukan berbisa ular-ular itu.
Ki Ageng Timur dan Ki Sambar
Tringgali dipagut dan dipatuk oleh lima ekor ular. Keduanya menjerit-jerit
tiada henti sam pai akhirnya roboh ke tanah dan tewas! Puluhan perajurit yang
ikut dalam rombongan itu juga termasuk Kepik Kuntolo serta Abdi Jalakdiri ikut
menjadi korban serangan ular. Tak satupun yang lolos dari maut yang datang
secara mendadak tidak terduga ini. "Ya Tuhan, apapun yang terjadi
seseorang telah menolongku!" kata Wiro. Dia berpaling ke belakang dan
masih sempat melihat berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian ungu.
"Anggini!" seru
Wiro. Namun sosok tubuh itu telah lenyap di kegelapan. Ketika Wiro memandang ke
depan kembali matanya jadi mendelak. Puluhan ular yang tadi menyerbu
lawanlawannya kini tidak kelihatan iagi sementara dua puluh lima mayat manusia
bergeletak di hadapannya penuh mengerikan! Saking lemasnya Wiro rebahkan diri
menelentang. Kapak Naga Geni 212 diletakkannya di depan hidungnya guna menyedot
hawa jahat atau racun yang sempat masuk ke,dalam tubuhnya.
***
8
SUARA-SUARA jeritan kematian
yang terdengar susul menyusul serta suara ringkikan kuda yang menggetarkan
rimba belantara di permulaan malam yang gelap itu membuat seorang tua
berjanggut putih dan membawa dua buah tabung bambu berisi tuak terkesiap
sesaat. Dia berada di pinggiran hutan Kemikir.
"Kalau tidak kuselidiki
tidak puas hatiku!" kata orang tua ini dalam hati. Dia berkelebat masuk ke
dalam hutan. Meskipun gelapnya hutan bukan alang kepalang, ditambah beban dua
buah tabung tuak yang dibawanya, namun orang tua ini sanggup bergerak cepat
diantara pepohonan dan semak belukar hingga akhirnya dia sampai di dekat jeram
anak sungai Opak Kemikir.
Dalam kegelapan dilihatnya
banyak sekali sosok tubuh berkaparan di tanah. Ketika dia hendak mendekati,
telinganya menangkap suara hembusan angin. Orang tua ini berpaling.
Darahnya tersirap. Dia melihat
berkelebat dan lenyapnya cepat sekali satu sosok tubuh. Namun meskipun hanya
sesaat matanya yang tajam masih sempat mengenali sosok tubuh dan warna pakaian
orang itu.
"Anggini!" seru si
orang tua yang bukan lain adalah Dewa Tuak. Dia mengejar ke arah lenyapnya
sosok tubuh tadi. Mengejar kira-kira hampir sepeminuman teh di dalam rimba
belantara yang gelap itu akhirnya Dewa Tuak berhasil mengejar orang di
depannya.
"Ah! Benar kau rupanya
Anggini!" kata Dewa Tuak begitu berdiri menghadang di depan gadis berbaju
ungu dengan nafas terengah-engah.
"Orang tua buruk! Kau
bicara dengan siapa?" gadis di depannya membentak, membuat si orang tua
tersirap. Dengan mata mendelik Dewa Tua berkata.
"Muridku, hutan ini
memang gelap. Tapi mustahil kau tidak mengenali aku gurumu sendiri!’
Anggini tertawa tinggi.
"Di dunia ini memang
banyak orang gila. Tapi tidak ada yang segilamu. Muncul dan mengigau mengatakan
aku muridmu!. Hik… hik…hik… Pergilah, jangan membuat aku marah. Biar kuanggap
saja kau sudah pikun dan matamu sudah lamur. Hingga tidak mengenali dan
menganggap aku muridmu!"
Dewa Tuak jadi penasaran. Dia
melangkah mendekati muridnya. Si gadis justru bersurut mundur menjauhi orang
tua itu. Dalam jarak terpisah delapan langkah dia membentak. "Kalau kau
berani datang lebih dekat, kuputus nyawamu!’
Dewa Tuak hentikan langkahnya.
"Anggini, apa yang
terjadi denganmu muridku? Setan mana yang masuk dan menguasai dirimu!’
"Tua bangka keparat! Kau
minta mati roasih belum beranjak dari hadapanku!"
"Anggini! Aku yakin ada
sesuatu yang t:dak beres dalam dirimu! Di dekat jeram aku menemus puluhan
manusia berkaparan jadi mayat! Pasti kau yang membunuh mereka! Kau juga yang
membunuhi beberapa tokoh silat dan menghisap darahnya. Kau juga yang membunuh
Tumenggung Purboyo. Di Kotaraja aku menyirap kabar kematian Pangeran Panji.
Pasti kau yang punya pekerjaan!"
"Tua bangka buruk! Kalau
kau sudah tahu apa yang hendak kau lakukan?!"
"Kau layak menerima
hukuman atas dosa-dosa beratmu itu!"
Anggini kembali perdengarkan
suara tertawa panjang.
"Orang tual Aku tidak
kenal siapa kau…"
"Setan membalikkan matamu
dan iblis mengacaukan otakmu!" sergah Dewa Tuak.
"Dengar tua bangka keparat!
Kalau kau segera menyingkir dari hadapanku kuampuni selembar jiwa busukmu. Tapi
kalau kau masih berdiri di depanku sampai hitungan ketiga, terpaksa akan
kuhisap darahmu sampai habis!"
"Ah! Jadi benar rupanya
apa yang aku dengar. Kau telah berubah menjadi seorang gadis iblis penghisap
darah!"
"Satu!" teriak
Anggini.
Dewa Tuak tidak bergerak di
tempatnya.
"Dua!"
"Dewa Tuak menyeringai,
masih tak beranjak.
"Tiga!" Anggini
meneriakkan hitungan terakhir.
Orang tua itu mendelik dan
menggembor.
Anggini berkelebat ke arah
Dewa Tuak. Tangan kanannya dipukulkan. Angin sedingin es menyapu tubuh orang
tua itu dan terkejutlah Dewa Tuak. Sekujur tubuhnya mendadak menjadi dingin
kaku!
Cepat-cepat orang tua ini
ambil salah satu bumbung bambunya dan teguk tuak di dalamnya sampai tubuhnya
terasa panas dan dia bisa mengusir hawa dingin yang membungkus dirinya. Rasa
kaku yang menguasai dirinya serta merta lenyap.
"Eh, tua bangka ini
ternyata memiliki kepandaian tinggi. Kalau kuhisap darahnya pasti tenaga dalamku
akan berlipat ganda!" Anggini membatin dalam hati. Lalu didahului teriakan
nyaring gadis ini kembali menyerbu.
Dewa Tuak tidak tinggal diam.
Tuak yang masih bersisa di dalam mulutnya disemburkan ke arah muridnya. Anggini
terkejut dan cepat menghindar. Salah satu lengan bajunya masih sempat tersambar
beberapa tetes tuak hingga kelihatan berlubang-lubang.
"Tua bangka kurang ajar!
Terima kematianmu!" teriak Anggini marah. Sepuluh jari tangannya dipentang
ke depan dan sepuluh kuku merah panjang mencuat keluar dari ujungujung jarinya.
Menyambar ke arah batang leher Dewa Tuak. Karena keliwat bernafsu untuk
membunuh dan menyedot darah orang tua itu, Anggini tidak sempat melihat
bagaimana Dewa Tuak memutar tabung bambunya lalu menyodokkan benda itu ke perutnya!
Dukkk!
Anggini menjerit. Tubuhnya
terpental dan jatuh duduk di tanah. Tapi didahului oleh suara bentakan
menggidikkan dia melompat bangkit dan menyerang ke arah orang tua itu kembali.
Dewa Tuak terkejut bukan main. Hantaman ujung bumbung bambunya tadi seharusnya
membuat Anggini luka parah dan patah tulang serta menjadikannya tidak berdaya.
Tapi nyatanya gadis itu sanggup melompat bangkit dan menyerangnya dengan ganas
kembali. Dewa tuak cepat melompat ketika lima jari tangan Anggini menyambar ke
arah lehernya. Tapi gerakannya agak terlambat.
Brett!
Pakaian birunya sempat
terenggut dan robek besar di bagian leher. Kulit lehernya bahkan ikut tergaris
luka dan mengucurkan darah. Sepasang mata Anggini berkilat-kilat melihat
cucuran darah itu. Lidahnya terjulur beberapa kali membasahi bibir.
Tenggorokannya terasa kering. Hasrat untuk meneguk darah orang tua itu jadi
berkobar-kobar. Didahului oleh suara jeritan keras kembali gadis ini menyerang
dengan kedua tangan dipentang ke depan.
"Sepasang tangan anak ini
sangat berbahaya!" kata Dewa Tuak dalam hati. Tangannya bergerak ke
pinggang. Ketika tangan itu digerakkan untuk kedua kalinya, didalam gelap
meluncur selarik benda aneh, membuntal dan bergulung menyambar ke arah ke dua
tangan Anggini. Benda ini bukan lain adalah benang sutera halus yang merupakan
salah satu senjata andalan si orang tua. Benang ini melesat dalam kecepatan
luar biasa dan segera menggulung mengikat kedua pergeiangan tangan Anggini.
Dewa Tuak menggerakkan lagi tangannya. Benang sutera terulur semakin panjang
dan terus melibat sampai ke bahu, terus lagi sampai ke tubuh Anggini. Membuat
gadis itu terikat tak berdaya!
Dewa Tuak menarik nafas lega.
Akhirnya berhasil juga dia meringkus murid yang telah menebarkan mala petaka
besar itu. Dia melangkah maju. Tapi tiba-tiba di depannya Anggini keluarkan
suara tertawa panjang. Di saat yang sama sebuah benda panjang hitam melesat
seolaholah melayang jatuh dari langit. Anggini tertawa lagi. Mulutnya dibuka
lebar-lebar. Benda yang melayang ke bawah itu masuk ke dalam mulutnya dan
lenyap!
Uewa tuak tidak dapat
memastikan benda apa yang masuk ke dalam mulut muridnya itu. Dia juga tidak
bisa menduga ilmu apa sebenarnya kini yang dimiliki Anggini. Lalu dilihatnya
sang murid membuka mulutnya lebar-lebar. Dari dalam mulut itu menyeruak keluar
kepala dan tubuh seekor ular hitam.
"Ya Tuhan! Jadi ular
rupanya yang masuk ke dalam mulutnya tadi!" kata Dewa Tuak dengan mata
melotot!
Anggini tertawa. Ketika
tawanya lenyap terdengar dia berkata. "Dewi lepaskan ikatanku!"
Ular hitam didalam mulut
meluncur keluar lalu kepalanya bergerak cepat. Mulutnya mematuk kian kemari.
Dalam waktu cepat sekali seluruh ikatan benang sutera sakti yang membuat
Anggini tidak berdaya berputusan. Kedua tangan dan sekujur badannya kini bebas
dari ikatan benang sutera itu.
Dewa Tuak sampai ternganga dan
mendelik besar saking tidak percayanya melihat apa yang terjadi. Kedua kakinya
menyurut mundur.
"Saatmu untuk mati tua
bangka keparat!" kata Anggini. Dia mengusap tubuh ular hitam yang sebagian
badannya masih berada di dalam mulut dan lehernya. "Dewi! Bunuh orang tua
itu!" perintahnya pada sang ular. Binatang ini menegakkan kepalanya. Dari
mulutnya terdengar suara mendesis. Lidahnya yang berwarna merah berkelebatan
mengerikan. "Dewi! Kau tunggu apa lagi?!" bentak Anggini.
Ular dalam mulutnya meluncur
keluar.
"Anggini! Jangan!"
tiba-tiba ada satu teriakkan menggeledek.
Mulut si gadis terkancing,
menahan gerakan tubuh ular hitam yang hendak melesat ke arah Dewa Tuak. Gadis
ini berpaling ke arah datangnya suara teriakan tadi., Dari dalam gelap
dilihatnya muncul pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong itu.
"Kurang ajar! Dia muncul
lagi!" kata Anggini dalam hati. Dia memutar tubuh menghadapi pemuda itu.
Dielusnya tubuh ular yang ada dalam m,ilutnya. "Dewi! Sasaranmu berubah.
Bunuh pemuda itu!"
Ular hitam didalam mulut
kembali tegakkan kepalanya. Begitu dia melesat, pemuda berambut gondrong
mendahului menghantam. Dari tangan kanannya berkiblat sinar putih menyilaukan.
Hawa panas seperti hendak membakar tempat itu.
Bummm!
Rimba berlantara berguncang
keras.
Si pemuda cepat menyambar
tubuh Dewa tuak dan melarikinnya dalam gelap. Orang tua ini berusaha melepaskan
diri sambil memaki panjang pendek.
"Aku belum mau jadi
pengecut! Mengapa kau larikan aku?!"
"Jangan jadi orang tolol
Dewa Tuak!"
"Murid sesat itu harus
diringkus dan dihukum!" teriak Dewa Tuak.
"Saat ini kita belum
sanggup melawannya! Dia memiliki senjata ular-ular hitam yang lebih ganas dari
iblis!"
"Sialan! Tuak murniku
pasti akan menghancurkan binatang-binatang celaka itu"
"Bagaimana kalau tidak?
Tubuhmu yang tua rongsokan ini akan dipatuknya—jadi saringan!"
"Sialan! Enak saja kau
mengatakan aku orang tua rongsokan!" Dewa Tuak memukul bahu pemuda yang
melarikannya itu. "Heh, kau mau melarikan aku sampai sejauh mana Pendekar
212?"
"Sabar saja. Kita harus
mencari tempat yang aman. Jauh dari muridmu yang doyan darah itu!"
"Aku tidak mengerti
bagaimana Anggini bisa jadi begitu!"
"Sama. Sayapun tidak
mengerti. Sebelumnya dia juga hendak membunuh saya … "
"Ya Tuhan…" mengucap
Dewa Tuak. "Semoga kau mengampuni dosa muridku itu."
"Tuhan pasti mehgampuni
dosa muridmu Dewa Tuak. Tapi dunia persilatan dan Raja tidak akan
mengampuninya. Anggini telah membunuh Pangeran Panji, salah seorang putera Sri
baginda yang paling dikasihi!"
"Celaka muridku. Celaka
tua bangka ini. Ah, mungkin umpama tadi betul, Wiro. Aku memang tua bangka
rongsokan yang lebih bagus mampus saja saat ini!"
Wiro tertawa bergelak. Dia
turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya.
"Walau rongsokan tubuhmu
ternyata berat juga Dewa Tuak. Berlari jauh memanggulmu membuat saya haus. Saya
minta tuakmu!" Lalu tanpa banyak cerita lagi Wiro ambil salah satu tabung
berisi tuak milik orang tua itu. Cegluk… cegluk… cegluk. Tuak itu disikatnya
sampai mukanya jadi merah. Tangannya gemetaran ketika mengembalikan bumbung
bambu.
Dewa Tuak mengekeh. "Anak
sok jago! Aku saja tidak berani meneguk tuak sekaligus sebanyak yang kau
lakukan!"
"Aku mabok!" kata
Wiro seraya menyandarkan diri ke sebatang pohon. "Kau bukan cuma mabok!
Kau juga sudah ngompol terkencing- kencing!"
"Apa?!" Wiro
turunkan tangannya dan meraba ke bawah perutnya. Bagian bawah celananya
ternyata memang terasa hangat dan basah! "Sialan!" makinya.
"Dewa Tuak kembali
tertawa mengekeh.
"Dewa Tuak! Jangan
tertawa keliwat keras. Kalau muridmu sempat mendengar pasti dia akan muncul di
sini membawa ularnya dan mernbunuh kita berdua!"
Cup! Dewa Tuak tutup mulutnya
dengan telapak tangan kanan. Suara tawanya serta merta lenyap. Rimba belantara
itu kini tenggelam dalam kegelapan dan kesunyisenyapan. Sesaat kemudian
terdengar suara Dewa Tuak berbisik.
"Pendekar 212, aku tidak
betah di tempat gelap begini. Rasanya seperti tikus dalam tanah saja. Aku harus
pergi dari sini. Akan kucari lagi anak itu."
"Jangan tolol. Sebelum
tahu kelemahannya kau tak bakal bisa meringkusnya," kata Wiro.
"Jika ditunggu sampai
kita tahu kelemahannya dan baru turun tangan, rasanya sampai kiamat belum tentu
diketahui rahasia kelemahannya. Modalku sekarang hanya nekad saja. Mukaku sudah
dicelemongnya dengan lumpur busuk. Aku malu besar menghadapi dunia persilatan.
Aku harus pergi, tapi sebelum pergi ada satu hal yang hendak kutanyakan
padamu."
"Hal apa?" tanya
Wiro.
"Kau tahu, hal ini dulu
pernah aku bicarakan dengan gurumu Sinto Gendeng. Tapi nenek konyol itu tidak
mau menjawab secara terus terang. Katanya terserah pada dirimu…"
Wiro merasa dadanya berdebar.
Diam-diam dia sudah dapat menduga hal apa yang hendak dikatakan oleh Dewa Tuak.
"Dengar, ini menyangkut
perjodohanmu dengan Anggini. Setelah kejadian ini rasanya aku tidak terlalu mau
mendesak. Bagaimana dengan dirimu? Apakah kau masih menyukai muridku yang telah
sesat itu?"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Kalaupun suka atau tidak
suka, rasanya hal itu tidak pada tempatnya kita bicarakan sekarang Dewa Tuak.
Usaha kita paling penting adalah menyelamatkan dunia persilatan. Lalu kalau
masih ada kesempatan mungkin kita masih bisa menolong Anggini. Jika dia selamat
ada satu hal yang bakal jadi hukumannya seumur-umur. Dia harus menyendiri. Dia
akan dikucilkan oleh dunia persilatan. Lalu bahaya balas dendam dari keluarga
atau karib kerabat orang-orang yang pernah dibunuhnya akan membayanginya seumur
hidup. Belum terpikirkan apa yang bakal dilakukan pihak Kerajaan!"
Dewa Tuak menarik nafas dalam.
Akhirnya dia berkata. "Aku harus pergi sekarang…"
Karena tak mungkin mencegah,
Pendekar 212 terpaksa diam saja. Dewa Tuak menepuk bahu Wiro. Sekali dia
berkelebat sosok :tbuhnyapun lenyap dalam kegelapan. Beberapa lamanya Pendekar
212 masih duduk tersandar di batang pohon itu. Bayangan wajah Anggini menyeruak
dipelupuk matanya. Dalam hati dia berkata. "Memang sulit mencari gadis
secantik dirinya. Tapi apa lagi artinya kecantikan itu kalau dirinya tiba-tiba
telah berubah menjadi mahluk ibis penghisap darah!" Wiro terdiam sesaat.
"Heh, kalau mencari kelemahannya tidak mungkin, apakah juga tidak mungkin
mencari penyebab mengapa Anggini berubah menjadi manusia jahat penghisap darah?
Rasanya mungkin penyelidikan bisa dimulai dari situ. Tapi berapa lama baru bisa
diketahui sementara banyak korban lagi yang jatuh ditangannya!" Wiro
garuk-garuk kepala kembali. Dengan Wiro huyung-huyung dia bangkit berdiri.
***
9
PERTUNJUKAN reog Ponorogo itu
selesai. Semua penonton satu demi satu meninggalkan tanah lapang luas. Saat itu
hari telah rembang petang. Sinar sang surya tidak lagi terik panas seperti
sebelumnya. Pendekar 212 masih duduk dibangku kecil penjual kopi manis pikulan.
Dia hendak mengulurkan tangan mengambil sebuah pisang rebus ketika tiba-tiba
pandangannya membentur sosok tubuh seorang gadis berpakaian ungu yang berada di
ujung lapangan sana. Gadis ini tengah melepaskan ikatan seekor kuda yang
ditambatkan pada sebatang pohon. "Anggini," desis Wiro.
Dia segera berdiri. Meletakkan
uang di atas bangku yang tadi didudukinya lalu lari ke ujung lapangan. Dia
sampai di tempat itu sesaat setelah gadis berbaju ungu itu memacu kudanya. Wiro
memandang berkeliling. Seorang pemuda dilihatnya tengah mengiring seekor kuda.
Cepat Wiro mendekati orang ini. Dia langsung melompat ke atas punggung kuda
itu.
"Hai! Apa-apaan
ini?!" teriak pemuda pemilik kuda.
"Kupinjam sebentar
kudamu! Nanti juga aku kembalikan!" Lalu Wiro menepuk tangan si pemuda
yang memegang tali kekang. Begitu tali kekang terlepas murid Sinto Gendeng
segera memacu binatang ini ke jurusan lenyapnya gadis berbaju ungu tadi. Di
belakangnya pemuda pemilik kuda berteriak tiada henti.
"Pencuri kuda!! Pencuri
kuda!"
Di pinggiran kota Pendekar 212
kehilangan jejak orang yang dikejarnya. Terpaksa dia memacu kudanya ke tempat
ketinggian. Di sebuah lereng bukit Wiro memandang berkeliling. Jauh di sebelah
Timur kelihatan seorang penunggang kuda bergerak menyusuri sebuah kali kecil.
Wiro segera menuruni bukit, mengambil jalan memotong hingga akhirnya dia
berhasil berada di belakang si gadis.
"Anggini!" teriak
Wiro.
Penunggang kuda berpakaian
ungu di sebelah depan berpaling lalu hentikan kudanya. Wiro sampai di hadapan
gadis itu.
"Wiro…" si gadis
menyebut nama pemuda itu.
Pendekar 212 tersenyum.
Dipandanginya wajah sang dara sesaat. Mata yang selama ini dilihatnya selalu
menyorotkan sinar menggidikkan kini tampak memandang lembut kepadanya.
"Anggini, kita harus
bicara. Turun dari kudamu. Kita cari tempat yang baik untuk bicara."
Anggini gelengkan kepalanya.
"Aku tidak mau
bicara…"
"Kenapa? Kau tahu bahaya
yang mengancam dirimu?"
"Bahaya apa?" tanya
si gadis.
"Jangan pura-pura. Semua
orang sudah tahu siapa dirimu sejak tiga bulan terakhir ini! Semua orang ingin
membunuhmu! Gurumu Dewa Tuak mencarimu ingin menghukummu. Orangorang Kerajaan
juga mencarimu dan mungkin akan menggantungmu!"
Anggini menatap dalam-dalam ke
mata Pendekar 212 hingga membuat pemuda itu sesaat jadi terdiam.
"Lama tidak bertemu,
kukira tadinya kau ingin membicarakan urusan perjodohan itu. Tahutahu kini kau
membicarakan hal-hal yang tidak kumengerti!"
"Kau ini benar-benar aneh
Anggini…"
"Kau yang aneh
Wiro!"
"Dengar, kita harus
bicara!’
"Tidak!"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
Ditatapnya wajah gadis itu. Dipandanginya sekujur tubuh Anggini. Dia tidak
melihat selendang ungu tergulung di leher si gadis. Dulu, pada salah satu ujung
selendang cutera ungu itu, Wiro telah menggurat dengan ujung jarinya angka 212
sebelum mereka berpisah.
"Mana selendang ungumu
Anggini?" tanya Wiro.
Si gadis meraba dadanya.
"Hilang," jawab si gadis.
"Hilang? Berarti kau
tidak menjaganya baikbaik…"
"Buat apa menjaga
selendang itu? Orang yang pernah mengguratkan angka kenangan tidak pernah
memperdulikan aku!"
Wiro jadi ternganga. "Ah,
rupanya dia memang ada hati terhadapku. Dan kini kelihatan marahnya.
"Anggini, dengar. Hal itu
bisa kita bicarakan kemudian. Sekarang ketahuilah. Aku mendapat tugas untuk
membawamu pada gurumu Dewa Tuak!"
"Membawaku pada guruku?
Memangnya ada apa?!"
"Anggini, jangan
berpura-pura terus-terusan. Dirimu dalam bahaya! Kembali pada gurumu berarti
kau masih bisa selamat…"
"Diriku dalam
bahaya…?" Anggini bertanya sambil tertawa.
"Ada banyak orang-orang
persilatan yang ingin membunuhmu! Pihak Kerajaan juga mencarimu! Apa kau masih
hendak berpura-pura?!"
"Kasihan…" tiba-tiba
Anggini berkata.
"Kasihan… Apa yang
kasihan." tanya Wiro heran.
"Aku tidak menyangka,
lama tidak bertemu begitu bertemu kulihat ada sesuatu yang tidak beres dengan
otakmu! Bicaramu tidak karuan!"
Tampang Pendekar 212 tampak
menjadi merah. "Aku…" Dia tidak bisa meneruskan ucapannya. Dalam
hatinya berkata. "Mungkin benar ada ajaran ilmu sesat yang merasuk dalam
tubuh gadis ini. Pada saat dia kumat dia berubah menjadi gadis iblis penghisap
darah. Pada saat dia kembali pada dirinya yang asli, dia akan jadi seperti
ini."
"Aku akan pergi dan
jangan coba mengejarku! Kalau kau bertemu dengan guruku, katakan pada orang tua
itu tidak perlu mencariku! Bukankah dulu aku pergi dengan seizinnya?"
"Betul! Mungkin itu
betul! Tetapi sesuatu telah terjadi dengan dirimu. Kau telah terjerumus… Kau
telah melakukan satu perbuatan sesat yang memalukan!"
"Wiro! Kau menuduhku
telah berbuat aib?!" bentak Anggini. Dalam marahnya gadis ini tangsung
menampar Wiro hingga pinggiran bibir Pendekar 212 luka dan berdarah!
Dari air muka Anggini yang
kelihatan berubah jelas terlihat ada tanda penyesalan atas apa yang telah
dilakukannya. Namun sesaat kemudian gadis ini telah menyentakkan tali kekang
kudanya dan menghambur pergi dari tempat itu. Wiro mana mau tinggal diam. Dia
segera mengejar. Keduanya memacu kuda masing-masing saling bersisian. Di sebuah
jembatan bambu yang melintasi sungai, Wiro terpaksa memberi jalan lebih dulu
pada kuda Anggini, karena jembatan yang kecil itu tidak mungkin dilalui secara
berdampingan.
"Aku sudah bilang jangan
mengejarku Wiro!" teriak Anggini.
"Aku juga sudah bilang
akan membawamu ke pada gurumu Anggini! Aku tidak ingin sesuatu terjadi atas
dirimu!"
"Pemuda keras
kepala!" teriak si gadis marah. Tangan kanannya mengeruk ke saku pakaian
ungunya. Dari tangan itu kemudian melesat dua buah senjata rahasia berupa paku
perak sepanjang setengah jengkal. Senjata rahasia ini mendarat tepat pada lutut
depan kiri kanan kuda yang ditunggangi Wiro. Binatang ini meringkik keras lalu
jatuh terjerambab ke depan. Pendekar 212 cepat melompat. Dia jungkir balik di
udara. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah kembali Anggini sudah lenyap!
Wiro hanya bisa geleng-geleng
kepala. Digaruknya rambutnya dengan kesal berulang kali.
"Masih untung kudaku yang
dihantamnya dergan senjata rahasia itu. Kalau dia sempat mengeluarkan ular-ular
peliharaannya itu celakalah diriku!"
***
10
LEBIH dari tiga bulan
sebelumnya, suatu peristiwa aneh telah terjadi. Saat itu hujan turun luar biasa
lebatnya. Sesekali kilat menyambar dan guntur menggelegar. Air sungai
menimbulkan arus deras. Bagianbagian tanah yang leguk terendam air. Beberapa
rumah yang terlalu dekat dengan sungai tak ampun lagi roboh dan diseret arus ke
hilir. Dalam derasnya curahan hujan dan gelapnya cuaca malam serta dinginnya
udara yang seperti mencucuk sampai ke tulang sungsum, sebuah benda bulat dan
panjang berwarna hitam berkilat meluncur sepanjang sungai yang tengah banjir.
Sulit untuk memastikan benda apa adanya ini. Tetapi ketika kilat menyambar
sekali lagi dan tanah menjadi terang benderang, walaupun sekilas telah terlihat
apa adanya benda yang meluncur itu. Ternyata seekor ular besar berwarna hitam.
Namun ada keanehan luar biasa yang membuat orang akan bergidik dan lari
ketakutan setengah mati jika melihat kepala ular ini. Ternyata binatang ini
tidak memiliki kepala sebagai seekor ular melainkan berbentuk kepala manusia!
Kepala seorang nenek tua berwajah cekung keriput dengan rambut putih riapriapan
basah oleh air hujan!
Di sebuah tikungan binatang
aneh ini berhenti melata. Kepalanya ditegakkan. Dia memandang ke tengah sungai
seperti menembus pemandangan yang gelap dan tertutup curahan hujan lebat.
Sesaat kemudian binatang ini meluncur ke tepi sungai yang banjir besar lalu
masuk ke dalam sungal dan meluncur menuju ke seberang. Luar biasa! Tubuhnya
yang besar berat itu tidak tenggelam ke dalam air. Kepalanya tegak dan arus air
sungai yang deras tidak mampu menyeretnya ke hilir.
Sampai di seberang sungai ular
berkepala manusia ini melata cepat memasuki sebuah hutan belantara dan
menghilang di kegelapan. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan
srigala hutan. Serombongan srigala hutan yang terdiri dan tiga srigala jantan
dan seekor srigala betina lari dalam kegelapan malam. Tujuan mereka adalah arah
sungai, berlawanan dengan arah yang dilalui oleh ular berkepala manusia tadi.
Di suatu tempat srigala-srigala hutan ini saling bertemu dengan ular berkepala
manusia tadi. Keempat srigala itu segera menyalak terus menerus dan
mengelilingi ular berkepala manusia. Tiba-tiba serentak keempat srigala itu
menerkam ke depan. Kepala ular yang berbentuk kepala nenek angker itu keluarkan
suara berdesis. Lidahnya terjulur. Bersamaan dengan itu ekornya melesat
berputar.
Plaak! Plaak! Plaak! Plaak!
Empat ekor srigala hutan
meraung panjang. Tubuh mereka terlempar jauh berkaparan jatuh di tanah yang
becek. Tak satupun diantara mereka yang masih bergerak atau berkutik. Keempat
binatang ini mati dengan kepala hancur dihantam ekor ular berkepala manusia
itu. Seperti tidak ada kejadian apa-apa, ular hitam besar itu kembali melata
cepat memasuki rimba belantara sementara hujan perlahan-lahan mulai mereda. Di
sebuah lobang dekat akar sebatang pohon besar ular berkepala manusia ini
meluncur masuk dan lenyap. Tak lama kemudian dia sudah berada di sebuah goa
tanah yang besar dan ter letak di bagian hutan yang tanahnya agak tinggi. Di
lantai goa bertebaran banyak sekali berbagai macam bunga-bungaan dan ruangan dalam
goa itu berbau harum semerbak. Ular hitam berkepala nenek berambut putih
meluncur ke dinding sebelah kiri lalu meluncur dengan sebagian tubuhnya
tersandar ke dinding goa. Mulut si nenek tampak komat-kamit entah melafatkan
apa. Kemudian perlahan-lahan kedua matanya dipejamkan. Lalu terdengar mulutnya
berkata.
"Maha Ratu, saya sudah
siap…"
Di luar goa kilat kembali
menyambar dan guntur menggelegar: Dinding-dinding dan lantai goa bergetar.
Beberapa bagian tanah berjatuhan ke bawah. Pada saat itulah ada cahaya terang
datang dari arah mulut goa. Si nenek buka kedua matanya. Dia mengernyit silau.
Dia tidak dapat melihat dengan jelas. Apa yang kemudian muncul dilihatnya
secara samar-samar.
Yang muncul adalah seekor ular
yang luar biasa besarnya. Lingkaran tubuhnya lebih dari sepemelukan tangan.
Binatang ini berwarna hitam pekat berbintik-bintik kuning. Ada beberapa
keanehan pada diri binatang ini. Dia tidak melata atau meluncur di tanah
melainkan berjalan karena dia memiliki sebentuk anggota seperti sepasang kaki
kecil. Di bagian dadanya ada dua anggota tubuh serupa sepasang tangan. Pada
tangan sebelah kanan mahluk ini memegang sebuah tongkat kaca yang mengeluarkan
cahaya. Cahaya inilah yang menerangi goa dan menyilaukan pandangan mata si
nenek ular. Bagian kepala dari ular besar hitam berbintik kuning ternyata juga
berupa kepala seorang perempuan. Kalau ular hitam yang tersandar ke dinding goa
memiliki kepala berupa seorang nenek buruk berambut hitam riap-riapan maka ular
yang datang membawa tongkat kaca bercahaya itu memiliki kepala berupa seorang
perempuan muda cantik luar biasa. Kulit wajahnya putih halus. Sepasang alisnya
hitam melengkung seperti bulan sabit. Hidungnya mancung, pipinya
kemerah-merahan sedang bibirnya merah seperti delima merekah. Di atas kepalanya
yang berambut hitam, terletak sebuah mahkota kecil. Pada wajah yang cantik itu
juga terlihat bayangan wibawa dan keagungan yang tinggi. Kalau tidak melihat
pada bentuk tubuhnya setiap lelaki yang memandang pastilah akan terperangah dan
bisa jatuh cinta! Inilah mahluk yang dipanggil si nenek bertubuh ular dengan
nama Maha Ratu.
"Gintani Aruranti, benar
kau sudah siap?"
Nenek bertubuh ular bungkukkan
kepalanya hingga dagunya menempel ke dada ularnya.
"Saya sudah siap Maha
Ratu," katanya.
"Aku gembira mendengar
hal itu. Tapi aku juga bersedih karena sebentar lagi kita akan berpisah. Selama
empat puluh tahun lebih kau mengabdi padaku tanpa cacat dan kesalahan. Aku
menjanjikan padamu bahwa dihari kemudian kau akan kuberikan tempat yang
baik…"
"Terima kasih Maha
Ratu…" kata Gintani Aruranti lalu kembali dia membungkuk.
"Sebelum kita berpisah,
sesuai ketentuan dan sumpah yang mengikat dirimu sejak empat puluh tahun silam,
kau harus memberi tahu dan menyebut nama seorang gadis yang kelak akan
meneruskan pengabdianmu. Kau tahu sesuai ketentuan gadis itu haruslah anak atau
orang yang ada pertalian darahnya dengan dirimu."
Di luar kilat menyambar dan
geledek menggetarkan goa itu. Tanah di bagian atas goa kembali berguguran!
"Mengenai hal yang satu
ini Maha Ratu, harap maafkan saya. Maha Ratu tahu sendiri kalau saya tidak
pernah bersuami, tidak mempunyai anak. Maha Ratu juga tahu kalau saya tidak
punya sanak tidak punya kadang dan saudara. Saya hidup sebatang kara…" Goa
itu sunyi sesaat.
"Aku memang tahu semua
keadaan diri dan pribadimu Gintani Aruranti. Kalau memang sudah begitu
keadaannya terpaksa aku menurut ketentuan para sesepuh untuk mencari sendiri
seorang gadis yang pantas meneruskan pengabdianmu. Mungkin kau bisa memberi
suatu nama atau mengatakan siapa gadisnya?"
"Maafkan saya Maha Ratu.
Saya serahkan bagaimana baiknya saja pada Maha Ratu…"
Maha Ratu bertubuh ular tetapi
berwajah cantik selangit itu pejamkan kedua matanya dan merenung sejenak. Dalam
sikap seperti itu wajahnya kelihatan tambah cantik. Perlahan-lahan kedua mata
yang dipejamkan terbuka kembali.
"Kita mendapat petunjuk
dari para sesepuh, Gintani. Kau hanya menyebutkan, satu warna yang sangat kau
sukai. Urusan selanjutnya para sesepuh dan aku yang akan mengatur."
"Sebuah warna, Maha
Ratu?"
"Ya, kau katakan sebuah
warna yang sangat kau sukai. Mungkin merah, biru, atau mungkin putih…"
"Saya… Sejak kecil saya
suka dengan warna ungu Maha Ratu," kata Gintani Aruranti, si nenek
bertubuh ular.
"Bagus. Itu sudah cukup.
Sekarang bersiaplah untuk berpisah. Pejamkan matamu."
Sesuai perintah Maha Ratu
nenek bertubuh ular itu pejamkan kedua matanya. Perlahanlahan Maha Ratu angkat
tangan kanannya yang memegang tongkat kaca. Bibirnya yang merah bagus bergetar.
Sepertinya dia tengah melafatkan sesuatu. Lalu tangan yang memegang tongkat
kaca itu diputar secara tiba-tiba ke kanan. Saat itu juga satu larik sinar
putih dan sangat panas melesat ke arah tubuh nenek Gintani Aruranti. Dimulai
dari kepala terus ke bagian badan dan terus ke perut lalu terus lagi ke bagian
ekor, sosok si nenek perlahan-lahan mencair leleh. Sesaat kemudian kepala dan
tubuh itu berubah menjadi seonggok debu. Memanjang membujur dilantai goa. Lalu
perlahan-lahan onggokan debu kelabu itu saling bergeser dan menyatu hingga menjadi
satu tumpukan di tengah goa. Setelah bersatu onggokan debu kelabu itu kemudian
mengepul menjadi asap untuk kemudian semuanya lenyap tidak berbekas. Maha Ratu
putar tongkat kacanya ke kiri. Sinar putih panas meredup lalu sirna.
Perlahanlahan pula Maha Ratu memutar tubuhnya. Sosok tubuhnya kemudian lenyap
tanpa bekas.
***
GADIS berwajah cantik itu
merasa heran. Menurut perhitungannya sudah cukup lama dia berjalan tetapi aneh
mengapa belum sampai-sampai juga ke rumahnya. Akhirnya dia berhenti di tepi
jalan dan memandang berkeliling.
"Heran, dimana aku berada
saat ini. Segaia sesuatunya serba asing…"
Selagi dia kebingungan di tepi
jalan seperti itu sementara sebentar lagi hari akan segera malam di kejauhan
terlihat sebuah kereta. Begitu dekat ternyata saisnya adalah seorang gadis
berwajah luar biasa cantiknya dan mengenakan pakaian warna ungu. Pada lehernya
tergelung sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Sais kereta hentikan
kudanya di depan gadis yang duduk di tepi jalan.
"Gadis bunga desa yang
cantik, kau kelihatan seperti orang bingung. Ada apakah maka duduk termenung di
tepi jalan. Sebentar lagi hari akan malam. Tidakkah kau takut berada sendirian
di tempat yang sepi ini?"
Gadis di tepi jalan berdiri.
Sesaat dipandanginya gadis di atas kereta dengan penuh rasa kagum. "Kau
cantik sekali… Pakaianmu sangat bagus. Juga selendangmu. Siapakah kau ini
sahabat?"
Gadis di atas kereta tertawa
lebar. "Kau memanggilku sahabat. Aku gembira mendengarnya. Kau juga
seorang gadis cantik. Kau suka pakaianku ini?"
"Tentu saja suka. Tapi
orang miskin sepertiku ini entah kapan bakal bisa punya pakaian sebagusmu itu.
Mungkin hanya tinggal mimpi seumur hidup …"
Sais cantik jelita itu
tersenyum.
"Kau akan mendapatkan
baju seperti ini. Jika kau memang mau naiklah ke alas kereta. Dudun di
sampingku. Aku akan mengantarkan kau pulang ke rumahmu…"
"Terima kasih. Kau baik
sokali." Ditawari sebaik itu si gadis di tepi jalan segera naik ke atas
kereta dan duduk di samping sais yang cantik itu. Tanpa disadarinya gadis ini
duduk tersandar dan akhirnya pejamkan mata tertidur. Dia tidak tahu berapa lama
dia telah tertidur. Ketika dia bangun didapatinya dirinya berada disebuah
lembah sunyi, tergeletak diatas lantai reruntuhan sebuah candi tua. Di
sekitarnya bertebaran berbagai macam bunga yang menebar bau harum. Saat itu
sang surya baru saja terbit di sebelah Timur.
"Di mana aku ini…?"
tanya si gadis pada dirinya sendiri sambil memandang berkeliling. Ketika dia
mencoba bangkit terkejutlah dia. Kedua tangannya cepat menutupi auratnya
di.bagian dada. Astaga! Ternyata dia dapatkan dirinya berada dalam keadaan
tanpa pakaian sama sekali!
"Ya Tuhan! Apa yang
terjadi dengan diriku!" kata si gadis setengah menjerit dan juga
kelabakan.
"Bagaimana aku akan
pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini?!" Tiba-tiba satu suara
terdengar seolah menjawab ucapan gadis itu.
"Tidak, kau tidak akan
pernah pulang ke rumah seumur hidupmu Anggini!"
***
11
GADIS di bekas reruntuhan
candi itu terkejut dan memandang berkeliling. Tidak dilihatnya seorang lainpun
di tempat itu. Tapi jelas tadi dia mendengar suara. Suara perempuan!
"Siapa yang bicara…"
tanya si gadis ketakutan.
"Aku Maha Ratu. Aku
sahabat dan pemimpinmu. Hanya padaku kau harus menurut perintah. Hanya padaku
kau harus mengabdi… Kau mengerti Anggini?"
Si gadis tidak menjawab. Lalu
ada satu sambaran angin menyapu wajahnya. Sesaat pemandangannya berkunang lalu
mendadak dia merasakan satu kesegaran luar biasa dalam dirinya.
"Kau sekarang mengerti
Anggini?"
"Saya mengerti Maha
Ratu," jawab gadis itu.
"Kalau begitu sebagai
tanda tunduk dan pengabdian membungkuklah tiga kali!" kata suara tanpa
rupa.
Anggini membungkuk tiga kali.
Ketika berdiri lurus-lurus kembali dia ingat sesuatu. Suara itu!
"Maha Ratu… Saya
mengenali suararrtu. Bukankah kau gadis yang mengajakku naik kereta
bersama?"
Terdengar suara tertawa
perlahan. "Kau cerdik dan daya ingatmu tajam. Yang kau lihat sebagai sais
kereta itu memang penjelmaan diriku. Sekarang kita bersahabat. Tapi sebagai
pemimpin ada jarak antara kita. Kau harus tunduk pada diriku. Karena kau hanya
bisa hidup sesuai dengan petunjuk dan perintahku!"
Angin di penghujung sore
memasuki malam itu bertiup keras. Anggini tampak gemetaran kedinginan.
"Kau kedinginan Anggini.
Sudah saatnya mengenakan pakaian…"
"Tapi saya mengalami hal
aneh Maha Ratu. Sebelumnya saya yakin sekali saya mengenakan pakaian. Tahu-tahu
kini mengapa saya berada dalam keadaan seperti ini!"
"Tak usah kawatir…
Melangkahlah ke reruntuhan tangga depan candi. Di undakan sebelah tengah kau
akan menemukan sehelai baju dan celana ungu. Juga sebuah selendang berwarna
ungu…"
"Baju, celana dan
selendang. Terima kasih. Tapi Maha Ratu…"
"Tetapi apa Anggini?’°
"Apakah tidak ada pakaian
dalamnya…?"
Maha Ratu yang tidak kelihatan
terdengar tertawa panjang. "Aku juga perempuan sepertimu Anggini. Jadi
tahu apa kebutuhanmu. Jangan takut. Dalam lipatan pakaian itu kau akan
menemukan pakaian dalam…"
"Terima kasih kalau
begitu Maha Ratu."
"Nah sekarang pergilah ke
reruntuhan tangga. Kenakan pakaian ungu itu cepat."
Mengendap-endap sambil
menutupi auratnya dengan kedua tangan Anggini melangkah ke tempat yang
dikatakan.
Betul saja. Di undakan tangga
ke lima dia melihat pakaian ungu terlipat rapi. Ketika lipatan dibuka memang
ditemuinya pula pakaian dalam seperti yang dikatakan Maha Ratu. Cepat-cepat
Anggini mengenakan semuanya itu. Selesai berpakaian dia tegak sambil memegangi
selendang.
"Cantik sekali kau dalam
pakaian ungu itu Anggini. Lingkarkan selendang itu di lehermu. Jangan dipegang
saja…"
Anggini melingkarkan selendang
ungu dilehernya.
"Dengar baik-baik
Anggini. Pakaian ungu itu bukan pakaian biasa. Kau tidak perlu mencuci atau
menggantinya seumur hidup. Pakaian itu akan selalu berbau wangi. Wewangian itu
akan melekat pula pada dirimu. Kau akan mampu hidup tanpa makan atau minum
selama kau kehendaki…"
Anggini terheran-heran
mendengar kata-kata itu. "Maha Ratu, setahu saya setiap yang hidup harus
dan butuh makan atau minum."
"Kau benar Anggini. Tapi
dirimu sekarang mahluk hidup yang luar biasa. Kau hanya akan hidup dengan minum
darah manusia lainnya. Kau mampu hidup lebih dari seratus tahun! Tanpa minum
darah manusia kau akan menjadi tua keriputan dan akan menemui kematian!"
"Maha Ratu, mana mungkin
says melakukan hal itu. Mana mungkin saya minum darah manusia!"
"Ingat Anggini. Jika kau
mau hidup terus hal itu harus kau lakukan. Di samping itu jangan lupa aku
adalah pemimpinmu yang harus kau ikuti tanpa berani membantah! Kau dengar hal
itu Anggini?!"
"Saya dengar Maha Ratu…
Tapi bagaimana caranya saya minum darah manusia?" tanya Anggini dengan
suara gemetar.
"Mudah saja sahabatku.
Coba kau luruskan sepuluh jari tanganmu!"
Anggini luruskan sepuluh jari
tangannya.
”Perhatikan baik-baik ke
sepuluh jari tanganmu itu!"
Anggini memperhatikan jari-jarinya
sendiri dengan dada berdebar. Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh. Dari
ujung-ujung jarinya seperti tumbuh mencuat keluar kuku yang lancip itu
kelihatan sebentuk lobang sebesar lobang jarum.
"Maha Ratu… Apa yang
terjadi?" Anggini bertanya ketakutan.
"Aku akan terangkan
sahabatku. Setiap kau meluruskan semua jari-jari tanganmu, maka kukukuku merah
panjang itu akan tumbuh keluar. Orang yang akan kau hisap darahnya tinggal kau
cengkeram saja bagian tubuhnya. Yang paling cepat adalah di bagian leher.
Begitu kukukukumu menancap, darah orang itu akan terhisap dengan sendirinya
sampai akhirnya dia menggelepar mati!"
"Saya merasa ngeri Maha
Ratu. Saya takut!"
"Kau sahabatku! Kau tidak
boleh takut…"
"Maha Ratu, bagaimana
says melenyapkan kuku-kuku merah ini?"
"Sangat mudah Anggini.
Kau cukup menekukkan jari-jari tanganmu sedikit saja. Sepuluh kuku itu akan
menghilang. Kau cobalah!"
Anggini menekukkan jari-jari
tangannya. Benar saja. Kesepuluh kuku merah panjang runcing yang ada di ujung
jarinya serta merta lenyap!
"Ada satu hal yang harus
kau ingat Anggini. Korban yang harus kau hisap darahnya hanya terdiri dari dua
jenis manusia, laki atau perempuan. Jenis pertama adalah orang-orang muda
berwajah gagah. Dengan minum darahnya kau akan menjadi kuat dan awet muda
sepanjang usiamu. Jenis kedua ialah orang-orang atau tokoh-tokoh persilatan.
Jika kau berhasil menyedot darah mereka maka kau akan menjadi seorang
berkekuatan luar biasa, memiliki tenaga dalam tinggi yang tidak bisa dikalahkan
oleh siapapun. Selain itu selendang yang ada di lehermu bisa kau pergunakan
sebagai satu senjata yang hebat. Kau bisa menggebuk hancur kepala seekor kerbau
atau membobolkan tembok dengan selendang itu. Selain itu dalam tubuhmu saat ini
sudah ada satu ilmu kesaktian bernama salju pusaka dewa. Dengan ilmu itu sekali
kau memukul lawanmu akan menjadi kaku tegang dan akhirnya mati kedinginan. Jika
kau ingin mengeluarkan ilmu itu, kau cukup hanya mengucapkan kata-kata
"salju pusaka dewa."
"Terima kasih Maha Ratu.
Saya berterima kasih kau telah memberi saya ilmu yang hebat…"
"Masih ada ilmu lain yang
jauh lebih hebat sahabatku. Dan kau akan memilikinya!"
"Ilmu apakah itu Maha
Ratu?" tanya Anggini.
"Kau lihat saja dan
jangan merasa takut!" Maha Ratu mengangkat tangannya yang memegang tongkat
kaca lalu meniup ke depan. Terdengar suara berdesir ramai sekali. Sesaat
kemudian Anggini melihat belasan ekor ular hitam gentayangan laksana terbang
berputar-putar disertai bau amis di dalam goa itu. Tubuh gadis ini mulai
menggigil dan wajahnya sepucat kertas.
"Kataku tidak usah takut.
Ular-ular itu adalah sahabat-sahabatmu…"
"Sahabat-saha…bat saya
Maha Ratu?"
"Betul! Mereka akan
muncul jika kau memanggil. Memanggilnya cukup dalam hati saja dengan berucap.
Para Dewi datanglah! Maka mereka akan datang. Sekarang coba kau ucapkan
panggilan itu dalam hati."
Anggini ragu sesaat. Kemudian
dalam hati dia berkata juga. "Para Dewi datanglah!"
Kembali terdengar riuh.
Ular-ular yang melayang di dalam goa itu tiba-tiba melesat dan menempel ke tubuh
Anggini. Tak ampun lagi gadis ini menjerit ketakutan dan berusaha melemparkan
binatang-binatang yang bergayut di sekujur tubuhnya mulai di leher, dada,
pinggang dan sampai ke kaki. Malah ada satu yang bertengger dan bergelung di
atas kepalanya!
"Jangan lakukan itu
Anggini. Tenang saja. Mereka tidak akan menyakitimu!"
Anggini berdiri dengan tubuh
gemetaran.
"Sekarang dengar
baik-baik," kata Maha Ratu pula. "Jika kau berada dalam bahaya yang
tidak bisa kau hadapi, panggil para Dewi itu. Jika kau menyebut para Dewi maka
mereka akan datang dalam jumlah banyak. Jika kau memanggil Dewi saja maka yang
muncul adalah salah seekor dari mereka. Begitu mereka dipanggil, ular-ular itu
akan melesat dan bergayutan ditubuhmu. Kemudian jika kau suruh mereka menyerang
musuhmusuhmu maka mereka akan melesat mematuk siapa saja sampai mati! Kau
mengerti Anggini?"
"Saya mengerti Maha Ratu.
Tapi bagaimana caranya menyuruh mereka pergi saat ini? Saya masih takut. Sangat
takut."
"Katakan begini: Para
Dewi silahkan pergi! Cukup dalam hati saja."
"Para Dewi silahkan
pergi…" kata Anggini dalam hati.
Belasan ular yang bergelung di
tubuh gadis berpakaian ungu itu serta merta menggeliat lalu melesat lenyap
entah kemana!
Anggini menarik nafas lega.
Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat.
"Anggini aku segera akan
pergi. Ada yang ingin kau katakan atau kau tanyakan?"
”Saat ini saya ingin melihat
wajah Maha Ratu," jawab Anggini.
Sang Maha Ratu tertawa.
"Kita akan sering bertemu seperti ini Anggini. Namun untuk melihatku kau
hanya punya kesempatan sekali dalam sepuluh tahun! Kalau tidak ada pertanyaan
lain aku akan pergi sekarang juga!"
"Tunggu, ada satu
pertanyaan lagi Maha Ratu. Mengapa saya harus hidup dengan cara seperti ini?
Membunuh orang lalu menghisap darahnya!"
"Jawabannya adalah bahwa
kau sudah ditakdirkan menerima nasib seperti itu!"
"Masih ada satu
pertanyaan lagi Maha Ratu…"
"Katakan lekas!"
"Apakah saya boleh
berumah tangga? Maksud saya mempunyai seorang suami?!"
"Tentu saja Anggini. Tapi
ada satu perjanjian. Pertama kau tidak boleh punya anak. sebelum
kau mempunyai tiga suami.
Kedua pada tahun ketiga setiap perkawinanmu kau harus membunuh
suamimu dan menghisap
darahnya! Jika kau ingin kau boleh kawin lagi sesukamu. Tapi harus selalu ingat
akan perjanjian yang sudah ditentukan itu!"
"Maha Ratu…"
"Aku tidak ingin
mendengar pertanyaanmu lagi. Membungkuk tiga kali jika aku pergi. Nah aku pergi
sekarang!"
Anggini membungkuk tiga kali
berturut-turut. Di kejauhan terdengar suara lolongan anjing panjang menggidikkan.
Perlahan-lahan gadis itu melangkah. Astaga. Dia merasakan gerakan tubuh dan
langkahnya ringan sekali!
***
12
PERTEMUAN rahasia itu
berlangsung di kaki Gunung Merbabu. Dihadiri oleh sepuluh tokoh silat termasuk
Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ikut hadir utusan Kerajaan dari
kotaraja.
"Sri Baginda
memerintahkan agar kita melakukan segala daya untuk dapat menangkap gadis iblis
berjuluk Betina Penghisap Darah itu, hidup atau mati!" kata utusan Istana
dalam pertemuan itu.
"Aku mengiusulkan agar
dibuat jebakan-jebakan hingga gadis iblis itu terpancing dan keluar. Selama ini
kita memburunya di mana-mana tapi ia lenyap tanpa jejak. Tahu-tahu dia sudah
muncul di tempat lain melakukan pembunuhan!" kata seorang tokoh silat dari
Selatan. Dia melirik pada Dewa Tuak dengan pandangan penuh kebencian.
"Aku setuju. Tapi harus
diingat. Bahayanya sangat besar," kata Dewa Tuak lalu meneguk tuaknya dari
dalam tabung bambu hingga berlelehan di dagunya.
"Kau gurunya! Kau yang
bertanggung jawab! Kau sendiri yang harus menghadapi muridmu celaka itu!"
Dewa Tuak mengelus janggutnya
dan tidak berkata apa-apa. Maka mereka yang hadir kemudian sibuk mengatur
cara-cara menjebak penjahat tunggal berjuluk Betina Penghisap Darah itu. Ketika
pertemuan rahasia berakhir dan mereka yang hadir siap meninggalkan tempat itu
setelah menerima tugas masing-masing, tiba-tiba di luar terdengar suara
berkerontangan beberapa kali berturut-turut.
"Suara apa itu?"
tanya seorang tokoh silat.
"Aku curiga.
Jangan-jangan itu tipu daya yang dilakukan oleh Betina Penghisap Darah!"
kata utusan Kerajaan. Semua yang hadir saling berpandangan. Langsung tempat itu
menjadi sunyi. Ketegangan menggantung di udara.
Dewa Tuak memandang pada Wiro.
Orang tua ini kedipkan matanya. Wiro balas mengedip. Di luar sana kembali
terdengar suara berkerontangan. Suasana dalam ruangan itu semakin tegang.
Ketegangan ini tiba-tiba dirobek oleh suara Dewa Tuak dan Wiro Sableng.
Keduanya sudah tahu siapa yang ada di luar sana. Tawa Dewa Tuak dan Wiro
Sableng karuan saja membuat semua orang menjadi gusar dan mendelik memandang ke
arah kedua orang ini!
Utusan dari Istana menggebrak
meja seraya membentak. "Apa yang lucu! Sebetulnya kalian berdua tidak
pantas berada di tempat ini! Aku curiga kalian berkomplot dengan gadis iblis
itu!"
Dewa Tuak dan Wiro bangkit
dari kursi masing-masing. Dewa Tuak memandang pada utusan Kerajaan itu lalu
berkata perlahan. "Kau hanya seorang utusan. Kita semua disini berunding
mencari cara untuk dapat menangkap muridku hidup atau mati!"
"Betul! Jika kau tidak
pernan mengambil gadis itu jadi murid, bencana seperti ini tidak akan pernah
terjadi!" ujar utusan kerajaan pula dengan mata mendelik.
Dewa Tuak tersehyum. Dia teguk
tuaknya beberapa kali sebelum menjawrab. "Kau merasa tidak perlu kehadiran
kami berdua tidak jadi apa!" Lalu Dewa Tuak memberi isyarat pada Pendekar
212. Kedua orang itu melangkah ke pintu. Saat itu di luar sana kembali
terdengar-suara berkerontangan. Keras sekali tanda suara itu blerada tepat di
depan pintu.
Sewaktu pintu dibuka, di luar
kelihatan tegak seorang tua berpakaian compang-camping. Wajahnya tidak
kelihatan karena tertutup caping bambu yang lebar. Di tangan kanannya ada
sebuah kaleng rombeng berisi batu. Kaleng inilah yang mengeluarkan suara
berkerontang berisik ketika si orang tua menggoyang-goyangkannya. Di tangan
kirinya orang bercaping ini memegang sebatang tongkat kayu sedang dibahunya dia
menyandan? sebuah kantong butut.
"Sahabatku Kakek Segala
Tahu, kau datang di waktu yang sangat tepat!" berkata Dewa Tuak.
"Tapi saat ini kau tidak
beruntung. Di dalam sana tidak ada yang akan menyediakan kopi hangat untukmu!
Mari kita cari kedai saja. Kita minum di sana sambil ngobrol!"
"Sahabatku Dewa Tuak!
Belasan tahun kita tidak bertemu! Apa kau baik-baik saja?" bertanya si
caping lebar. Ternyata uia auaiah tokoh silat tingkat tinggi yang memiliki
segala macam ilmu pengetahuan dan punya keahlian meramal yang biasa dipanggil
dengan sebutan Kakek Segala Tahu.
"Aku sedang ditimpa
musibah!"
"Musibah apa
gerangan?"
"Sudah nantilah aku
ceritakan." Jawab Dewa Tuak.
"Aku kemari memang tidak
mencari kopi hangat. Harumnya bau tuakmu menyambar hidungku dari jauh. Itu
sebabnya aku kemari! Aku minta tuakmu barang sedikit!"
Kakek Segala Tahu pergunakan
tongkat kecilnya untuk memukul bumbung bambu yang dipegang Dewa Tuak di tangan
kiri. Luar biasa sekali. Bumbung bambu itu melayang ke atas dengan bagian
mulutnya menungging ke bawah. Dengan ujung tongkatnya Kakek Segala Tahu menahan
bibir tabung. Sementara tuak mengucur ke bawah Dewa Tuak berseru keget. Tentu
saja dia tak mau tuaknya tumpah percuma. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat
dia tertawa gelak-gelak!
Bagitu tuak mengucur jatuh
Kakek Segala Tahu tanggalkan caping bambunya. Curahan tuak ditampungnya dengan
caping bambu itu. Setelah penuh, ujung tongkat ditangan kirinya disentakkan.
Bumbung bambu melayang ke arah Dewa Tuak. Kakek berjanggut putih ini cepat
menyambuti tabungnya. Memandang ke depan dilihatnya Kakek Segala Tahu asyik
meneguk tuak harum itu dari pinggiran caping. Karena kepala dan mukanya tidak
terlindung lagi dari caping lebar, semua orang yang ada disitu kecuali Dewa
Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng terkesiap kaget. Ternyata si kakek
berpakaian compang camping itu bermata buta!
"Sahabat, sudah habis hausmu?!"
tanya Dewa Tuak ketika dilihatnya tuak secaping sudah habis diteguknya.
"Sudah… sudah. Enak
sekali rasanya!" jawab Kakek Segala Tahu lalu enak saja capingnya yang
masih basah itu disungkupkannya kembali ke atas kepalanya. Kemudian dipegangnya
lengan Dewa Tuak seraya berkata.
"Aku mendengar kau dan
anak sableng ini tidak dibutuhkan kehadirannya disini. Apalagi aku kakek-kakek
berbaju rombeng, bau dan buta! Ah, lebih baik aku buru-buru pergi sebelum kena
usir pula."
Wiro garuk-garuk kepala lalu
memegang lengan Kakek Segala Tahu. "Kita pergi sama-sama, Kek!" kata
sang pendekar.
"Ya, ya kita, ngobrol di
kedai saja. Akan kuramalkan pada kalian di mana bisa menemui Betina Penghisap
Dajah itu. Lalu akan kuceritakan pada kalian siapa dia sebenarnyal Ayo, mari
kita berangkat!"
Ketigar orang itu, Dewa Tuak,
Wiro dan si Kakek Segala Tahu segera tinggalkan tempat itu. Kakek Segala Tahu
melangkah sambil menggoyang-goyangkan kalengnya.
"Tunggu!"
Utusan dari Istana berseru
lalu mengejar. Dia menghadang langkah Kakek Segala Tahu.
"Orang tua, aku minta kau
mengatakan semua apa yang kau ketahui tentang gadis iblis itu sekarang jugal
Sekaligus harap terangkan apa maksudmu dengan ucapan hendak menerangkan siapa
dia sebenarnya!"
Kakek Segala Tahu menyeringai.
Dengan ujung tongkatnya dia naikkan pinggiran depan caping di kepalanya. Lalu
ujung tongkat itu ditudingkannya tepat-tepat ke muka Utusan Kerajaan itu hingga
hampir menyentuh hidungnya.
"Kau tidak membutuhkan
dua orang sahabatku ini. Berarti kau tidak membutuhkan aku sahabat mereka!
Menyingkirlah! Masakan tega menghadang langkah orang buta sepertiku!"
"Kalau kau tidak mau
memberi keterangan, aku anggap kau berserikat dengan gadis iblis itu! teriak
sang utusan.
"Baik, aku akan bicara.
Tapi kau bicara duluan. Aku mau dengar!" kata Kakek Segala Tahu seraya
menggoyangkan tongkatnya sedikit. Sang utusan membuka mulutnya. Tapi tak ada
suara yang keluar. Astaga! Dia tiba-tiba saja menjadi gagu. Dia coba gerakkan
kedua tangannya. Kedua Kakinya. Gila sekujur tubuhnya ternyata telah kaku.
Ternyata Kakek Segala Tahu telah menotoknya dengan satu gerakan kilat yang
tidak terlihat!
"Anak sableng!" kata
Kakek Segala Tahu pada Wiro. "Sebutkan siapa nama orang sombong ini biar
aku ingat kesombongannya seumur hidup!"
"Namanya Raden Mas
Pertolo Sembito, Kek!" jawab Wiro.
"Oooo… Raden Mas rupanya
dia. Kukira Ikan Mas…!" Kakek Segala Tahu tertawa gelakgelak lalu
melangkah pergi digandeng oleh Wiro dan Dewa Tuak. Orang-orang yang ada di situ
tidak berani menghalangi. Mereka hanya menyesali mengapa hal yang tidak enak
itu terjadi. Dan mereka semua diam-diam menyalahi utusan Kerajaan, yang
bertindak terlalu gegabah terhadap tokoh-tokoh silat tingkat tinggi yang
biasanya memang suka bersifat aneh!
***
13
KAKEK Segala Tahu berjalan di
tengah diapit oleh Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Si Kakek
goyang-goyangkan terus kaleng rombengnya sedang Dewa Tuak tidak habis-habisnya
tertawa dan sesekali sambil jalan dia meneguk tuaknya. Pendekar 212 melangkah
mengiringi dua orang tua itu sambit cengar-cengir. Tiba-tiba Kakek Segala Tahu
hentikan menggoyang kelengnya.
"Ada apa sahabatku?"
tanya Dewa Tuak sementara Wiro juga memasang telinga.
"Aku mendengar suara
derap kaki kuda di kejauhan. Mungkin masih di sebelah Utara sana, di kaki bukit,"
menerangkan Kakek Segala Tahu.
Saat itu Wiro dan Dewa Tuak
memang sudah mendengar suara derap kaki kuda itu, namun antara terdengar dan
tidak. Berarti jelas bahwa kakek berpakaian compang-camping itu mempunyai
pendengaran jauh lebih tajam dari kedua orang tersebut.
"Sebaiknya kita
bersembunyi di balik semak-semak. Mengintai siapa yang bakal lewat di tempat
in!" kata Wiro.
"Aku setuju usul anak
sableng ini," menyahuti Kakek Segala Tahu. "Sambil menunggu yang
lewat mungkin aku bisa menerangkan sedikit apa yang ku ketahui mengenai diri
gadis berjuluk Betina Penghisap Darah itu."
Dewa Tuak dan Wiro lalu
membimbing Kakek Segala Tahu ke balik semak belukar rapat di tepi jalan.
"Kek, sekarang coba kau
ceritakan apa yang kau ketahui tentang Betina Penghisap Darah itu." kata
Wiro begitu mereka duduk menjelepok di tanah, mendekam di balik semak belukar.
"Yang aku ingin tahu apa
betul gadis iblis itu adalah muridku si Anggini!" kata Dewa Tuak yang
duduk bersila sambil memangku tabung bambu berisi tuak.
"Tenang, jangan kesusu
bertanya," jawab Kakek Segala Tahu. "Sebetulnya gadis itu bukan
manusia jahat…"
"Heh!!" Dewa Tuak
dan Wiro sama-sama keluarkan seruan heran. "Apa katamu?" bertanya
Dewa Tuak.
"Tunggu dulu. Bicaraku
belum habis kalian sudah memotong!"
"Kami heran. Nyata-nyata
gadis itu menebar maut. Membunuh dan menghisap darah korbannya. Bagaimana kau
bisa bilang dia bukan manusia jahat?!" ujar Dewa Tuak.
"Dengar dulu. Dia memang
bukan manusia jahat. Dia hanya kejatuhan nasib sengsara. Terkena sumpah turunan
yang dibuat oleh orang lain…"
Wiro garuk-garuk kepala dan
menyeringai. "Ini baru cerita!" katanya. "Teruskan Kek!"
"Kejahatan seperti itu
biasanya dilakukan oleh orang yang makan sumpah. Mungkin dulu kakek atau
neneknya memiliki semacam ilmu hitam. Untuk memelihara ilmu itu biasanya ada
ketentuan berupa sumpah yaitu dia harus membunuh dan menghisap darah manusia
tertentu. Kemudian jika batas waktu kehidupannya habis maka dia harus
menurunkan ilmu tersebut pada anaknya. Jika dia tidak punya anak pada
saudaranya. Jika dia tidak punya saudara maka harus ada seorang lain yang
dijadikan pewaris…"
"Aku mengerti
sekarang!" kata Dewa Tuak dengan nada masgul. "Orang yang punya ilmu
itu tidak punya anak tidak punya saudara. Sumpahnya dijatuhkan pada diri
muridku Anggini yang tidak tahu apa-apa! Kurang ajar! Setan keparat!" Dewa
Tuak tampak marah sekali. "Dewa Tuak," kata Wiro. "Sekarang baru
saya mau bicara denganmu. Sebenarnya beberapa waktu lalu saya telah bertemu
dengan muridmu itu. Memang saya melihat keanehan pada dirinya. Tapi sama sekali
tidak ada tanda-tanda bahwa dia benar-benar telah menjadi gadis momok penghisap
darah. Dia kelihatannya seperti tidak sadar siapa dirinya. Dia malah tidak tahu
apa yang terjadi dalam rimba persilatan. Dia seolah-olah tidak merasa pernah
melakukan kejahatan yang sangat mengerikan itu. Saya coba bicara dengannya tapi
dia malah mendamprat saya.
Mengatakan otak saya tidak
beres. Ketika dia begitu saja hendak pergi, saya berusaha mencegah. Tapi dia
menciderai-kaki-kaki kuda tunggangan saya dengan senjata rahasianya dan
lenyap!"
"Aneh, apa sebenarnya
yang terjadi dengan muridku itu!" kata Dewa Tuak sambil geleng geleng
kepala.
"Ada satu hat lagi. Saya
tidak melihat dia membawa selendang ungu yang merupakan salah satu senjata
andalannya. Menurut Anggini selendang itu hilang. Aneh! Sebelumnya saya melihat
selendang itu ada padanya. Yaitu sehabis dia melakukan pembantaian terhadap Ki
Sambar Tringgali dan Ki Ageng Timur. Kau sendiri juga ada di situ dan sempat
hendak dibunuhnya, Dewa Tuak!"
"Bukan main. Keanehan apa
yang tengah menyengsarakan diriku ini sebenarnya…" keluh Dewa Tuak.
"Kalian akan segera
mendapat jawabnya sobat-sobatku!" kata Kakek Segala Tahu sambil membuka
capingnya dan mengibas-kipaskan topi bambu lebar itu kemukanya. "Dugaanmu
hampir betul. Sebelum aku sampai pada diri muridmu akan kukatakan dulu bahwa
yang jadi biang kerok semua ini adalah seorang manusia yang sudah sejak lama
mati tetapi hidup dalam penjelmaan seekor ular berkepala manusia. Dia dikenal dengan
papggilan Maha Ratu. Sebenarnya dia adalah bekas kekasihmu di masa muda yang
pernah kau kecewakan! Rohnya muncul untuk membalaskan sakit hati terhadapmu,
sahabatku Dewa Tuak."
Dewa Tuak terlonjak melihat
mendengar katakata Kakek Segala Tahu itu. Sementara Wiro ternganga dan
memandang berganti-ganti pada kedua orang tua yang duduk di hadapannya.
"Bekas kekasihku…?"
ujar Dewa Tuak. "Yang mana? Yang namanya siapa? Aku punya banyak kekasih
di masa muda!" kata Dewa Tuak blak-blakan.
"Yang aku maksud adalah
Juminten Dorojalu," jawab Kakek Segala Tahu.
"Juminten Dorojalu!"
seru Dewa Tuak. Kembali tubuhnya terlonjak.
"Maha Ratu memang
berusaha mencari muridmu. Tapi yang didapatnya gadis lain. Gadis itu
kemudian…" Ucapan Kakek Segala Tahu terpotong. Suara derap kaki kuda yang
tadi terdengar di kejauhan kini menderu keras tanda sudah dekat. Tak lama
kemudian serombongan orang berkuda berjumlah lebih dua puluh orang muncul. Di
depan sekali adalah seorang yang mengenakan topi tinggi berwajah garang dengan
kumis melintang dan janggut meranggas. Dia adalah Tumage Jarandiku seorang
pembantu Patih Kerajaan yang sangat dipercaya dan memiliki kepandaian tinggi.
Konon dikabarkan dialah kelak yang bakal dipercayai menduduki jabatan Patih
jika Patih yang sekarang mengundurkan diri dari jabatannya karena uzur. Di
sebelah belakang bergerak empat orang tokoh silat Istana. Lalu menyusul
beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda Kerajaan. Di sebelah belakang
mengikuti sekitar selusin perajurit bersenjata lengkap. Masingmasing anggota
rombongan ini membawa peluit yang digantungkan di leher.
Beberapa puluh langkah dari
tempat Dewa Tuak dan dua orang lainnya itu bersembunyi Tumage Jarandiku
hentikan kudanya. Lalu terdengar dia berkata. "Kita akan segera sampai di
tempat sasaran. Mata-mata sudah meyakinkan bahwa gadis itu berada di. kawasan
ini. Aku menduga berat dia hendak mencari korban di kalangan orang-orang yang
menghadiri pertemuan rahasia itu. Aku kawatir akan keselamatan Dimas Pertolo
Sembito. Saat kita menebar melakukan pengurungan. Beri tanda dengan tiupan
peluit jika kalian melihatnya!" Lalu seusai dengan yang sudah diatur
sebelumnya rombongan itu meninggalkan tempat itu, menebar jadi beberapa
kelompok yang masingmasing terdiri dari dua orang.
Dibalik semak belukar. "Tokoh-tokoh
penting dari Istana muncul secara tiba-tiba. Padahal sebelumnya sudah ada
utusan Kerajaan di sekitar sini. Hemm…" Kakek Segala Tahu diam sejenak
baru menyambung ucapannya. Tadi mereka bicara tentang seorang gadis. Besar
dugaanku gadis yang dimaksudkan adalah Betina Penghisap Darah itu!"
"Muridku Anggini!"
kata Dewa Tuak pula.
"Bukan," menyahuti
Kakek Segala Tahu. "kau lihat saja nanti. Mari kita kembali ke tempat
pertemuan tadi! Kurasa di sana semua keanehan berdarah ini akan berakhir…
" Si kakek bangkit berdiri. Diikuti oleh Dewa Tuak dan Wiro Sableng.
Ketika mulai melangkah Dewa
Tuak sesaat tertegun dan pegangi dada kirinya. "Ada apa Dewa Tuak?"
tanya Wiro.
"Ini adalah hari ke 39.
Berarti umurku hanya tinggal sehari lagi!" sahut Dewa Tuak.
"Eh, kenapa kau bicara
begitu? Apa yang telah kau lakukan sahabatku?" tanya Kakek Segala Tahu
sambil hentikan langkah pula.
"Aku telah bersumpah
untuk dapat menangkap muridku yang sesat itu dalam waktu 40 hari. Kalau tidak
aku sudah siap untuk mati. Aku telah menelan racun yang akan membunuhku pada
akhir hari ke 40!"
"Kau nekad! Gila!"
semprot Kakek Segala Tahu sementara Wiro juga tampak terkejut bukan main.
"Aku belum gila atau
nekad. Hanya tak bakal tahan menanggung malu jika anak itu tidak aku bunuh!"
"Kau bilang umurmu hanya
tinggal satu hari. Apakah kau juga membawa obat penawarnya?"
Dewa Tuak mengangguk.
"Ada," katanya. "Yang penting sekarang kita segera ke tempat
pertemuan itu!"
Ke tiga orang itu segera
bergegas meninggalkan tempat itu.
***
14
BEGITU Kakek Segala Tahu, Wiro
dan Dewa Tuak berlalu, mereka yang tadi menghadiri pertemuan rahasia bertindak
cepat untuk membebaskan Pertolo Sembito dari totokannya. Yang paling dekat
adalah seorang tokoh silat dari Selatan berjuluk Si Kaki Besi. Orang ini
berusia sekitar setengah abad. Ke~!ua kakinya mulai dari pangkal paha berwarna
hitam, memiliki kekuatan seperti besi. Tembok bisa dihantamnya sampai jebol.
Pohon dapat ditumbangkannya dengan sekali tendang saja. Apalagi jika dia
menghantam tubuh manusia!
Baru saja Si Kaki Besi
mengulurkan tangan hendak melepaskan totokan di tubuh utusan dari Istana itu,
tiba-tiba satu bayangan ungu berkelebat. Tahu-tahu tubuh Pertolo Sembito
seperti disambar burung besar dan kelihatan dibawa terbang ke atas sebatang
pohon dan ditegakkan pada salah satu cabangnya. Di sebelahnya berdiri seorang
gadis berpakaian serba ungu dan sehelai selendang ungu melingkar di lehernya.
"Gadis iblis! Betina
Penghisap Darah!" seru beberapa orang hampir bersamaan. Karuan saja tempat
itu jadi diliputi suasana tegang. Semua orang yang ada di sana jadi tercekat.
Lalu terdengar suara tiupan peluit panjang, disusul oleh tiupan peluit lainnya
dari berbagai penjuru. Dalam waktu singkat belasan kelompok masing-masing
terdiri dari dua orang bermunculan di tempat itu.
"Kangmas Tumage
Jarandiku!" seru Si Kaki Besi. "Syukur kau datang. Lihat! Kita sudah
menemukan dan mengurung gadis iblis pembunuh Pangeran Panji itu! Dia di atas
sana!"
Rombongan yang baru datang
sama melihat ke atas pohon.
Di atas pohon gadis berbaju
ungu memandang dengan dingin pada orang-orang di bawahnya. Lalu dia tertawa
cekikikan. Di kejauhan seperti menyambuti terdengar suara lolongan anjing.
Tangan kanan Betina Penghisap Darah yang memegang bahu utusan Kerajaan dan seperti
orang merangkul tiba-tiba bergerak ke leher Pertolo Sembito.
"Lihat jari-jari
tangannya!" Seseorang di bawah pohon berteriak.
Di atas pohon lima jari tangan
kanan gadis berbaju ungu tampak mengeluarkan kuku-kuku panjang runcing berwarna
merah. Ketika lima kuku itu dihunjamkan ke leher utusan Kerajaan yang masih
dalam keadaan tertotok itu, darah kelihatan muncrat! Semua orang yang ada di
bawah pohon tertegun bergidik. Tubuh Pertolo Sembito tampak bergetar keras.
Betina Penghisap darah telah menyedot seluruh darah yang ada dalam tubuh lelaki
itu. Tubuh orang ini kelihatan seperti terkulai. Ketika cengkeraman kuku
dilepaskan Pertolo Sembito tak ampun lagi melayang ke bawah, jatuh bergedebukan
di tanah!
Serta merta tempat itu dilanda
kegegeran. Di atas pohon Betina Penghisap Darah tampak menyeringai sambil
menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah. Kedua matanya memandang ke bawah
siap mencari dan menentukan korban berikutnya. Matanya memperhatikan Tumage
Jarandiku. "Hemm… Manusia satu ini kelihatan seperti orang berpangkat.
Kepandaiannya tentu tidak rendah. Tapi aku lebih suka pada yang memiliki kaki
hitam itu. Ilmunya pasti lebih tinggi. Jika kusedot darahnya ilmu kesaktianku
pasti akan berlipat ganda." Begitu Iblis Penghisap Darah berpikir. Maka
diapun siap-siap melompat turun untuk menyambar Si Kaki Besi. Tapi saat itu
dibawah pohon Tumage Jarandiku justru telah memberi isyarat pada orang-orang
berkepandaian tinggi di sekitarnya.
"Gadis iblis! Dosamu
sudah lewat takaran!" Sudah saatnya kau harus dibunuh! Mayatmu akan kami
cincang lalu kami bakar!" Teriak Tumage Jarandiku.
Sekali lagi dia memberi
isyarat maka bersama dua orang tokoh silat ditambah dua orang Perwira Tinggi
dia melesat ke atas, ke arah cabang pohon di mana Betina Penghisap Darah tegak
berdiri, siap-siap hendak melompat turun menyambar Si Kaki Besi!
"Bagus! Kalian punya
nyali rupanya! Tentu darah kalian sedap kuteguk!?"teriak Betina Penghisap
Darah. Gadis ini lepaskan gulungan setendang ungu yang melingkar di lehernya.
Sekali dia mengebutkan selendang yangsalah satu ujungnya itu ada guratan angka
212, maka angin laksana topan prahara menderu. Dua orang Perwira yang ikut
melompat ke atas pohon berseru kaget. Tubuh mereka mencelat ke bawah begitu
kena tamparan angin pukulan. Yang satu terkapar patah pinggang, meregang nyawa
sambil mengerang tiada henti. Satunya lagi langsung tak berkutik karena
kepalanya pecah sewaktu jatuh menghantam tanah. Hanya Tumage Jarandiku serta
dua orang tokoh silat lainnya masih mampu menerobos terpaan angin pukulan yang
dahsyat itu. Namun tetap saja mereka agak terhuyung-huyung walau berhasil
mencapai cabang pohon di mana Betina Penghisap Darah berdiri sambil
tertawa-tawa.
Luar biasanya begitu mereka
sampai di cabang pohon, semuanya jadi terkejut karena dapatkan gadis iblis itu
tidak ada lagi di tempat itu! Memandang ke bawah terkejutlah mereka semua. Saat
itu si gadis telah berada di bawah sana tengah menyerang Si Kaki Besi yang
dibantu oleh dua orang tokoh silat Istana dan selusin perajurit Kerajaan!
Gerakan-gerakan silat Betina
Penghisap Darah sungguh luar biasa. Dalam beberapa gebrakan saja tiga orang
perajurit tersungkur roboh kena hantamannya. Seorang Perwira Muda kemudian
terpental disambar ujung selendang ungunya. Mata kirinya pecah. Raungan Perwira
Muda ini membuat susana jadi tambah tegang.
Melihat orang-orang si
pihaknya menemui ajal bergelimpangan Si Kaki Besi jadi marah dan mengamuk.
Tubuhnya melayang dan melompat sebat. Kedua kakinya kirimkan tendangan susul
menyusul. Yang diarah adalah bagian-bagian kematian lawan yaitu kepala,
tenggorokan dan dada!
Mendapat serangan dahsyat itu
Betina Penghisap Darah jadi terkesiap juga. Dia hantamkan selendangnya ke arah
perut Si Kaki Besi. Yang diserang cepat melompat dan balas menghantam dengan
tendangan kaki kanan. Ujung selendang tak ampun lagi saling beradu dengan
tendangan itu.
Bukk!
Betina Penghisap Darah
keluarkan seruan pendek. Tangan kanannya bergetar dan ujung selendangnya
terpental ke samping. Di lain pihak Si Kaki Besi tampak terhuyung-huyung hampir
jatuh. Kaki kanannya sakit bukan kepalang hingga dia tegak terpincang-pincang.
Masih untung dilihatnya kakinya tidak cidera.
Mendapat perlawanan keras
begitu rupa Betina Penghisap Darah berteriak keras. Selendang ungu kembali
dikebutnya sedang tangannya sebelah kiri melepaskan pukulan-pukulan aneh yang
menebar hawa dingin.
Beberapa orang perajurit dan
seorang Perwira Tinggi menjerit keras kena hantaman selendang. Yang lain-lain
termasuk Si Kaki Besi terkejut besar ketika mereka merasakan hawa tibatiba menjadi
sangat dingin hingga tubuh mereka serasa kaku. Perajurit- perajurit Kerajaan
yang ilmu kepandaian mereka paling rendah langsung tak bisa bergerak.
Semuanya tertegak tegang kaku.
Sekujur tubuh bergetar, rahang menggembung dan gigi-gigi bergemeletukan. Gadis
berbaju ungu itu telah lepas kan pukulan sakti bernama "salju pusaka
dewa".
Si Kaki Iblis dan beberapa
tokoh silat lainnya maklum kalau lawan memiliki ilmu aneh yang menimbulkan hawa
dingin dan bisa membuat kaku sekujur tubuh serta anggota badan, cepatcepat
alirkan darah dan tenaga dalam hawa panas. Begitu mereka terbebas dari kekakuan
kembali mereka menyerbu si gadis. Kali ini beberapa di antaranya sudah
menghunus senjata sakti yang mereka miliki. Hanya Si Kaki Besi saja yang masih
tetap mengandalkan kedua kakinya.
Di atas pohon sementara itu
Tumage Jarandiku keluarkan teriakan keras yang merupakan syarat. Diikuti oleh
tokoh-tokoh silat yang ada di cabang pohon dia segera melesat ke bawah. Di
bawah sana, beberapa orang tokoh silat Istana yang tadi tidak sempat ikut
melesat ke atas pohon kini telah ikut mengurung Betina Penghisap Darah. Gadis
ini sekarang dikeroyok hampir oleh dua puluh orang. Beberapa diantaranya adalah
tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Serta merta dirinya terdesak. Nyawanya terancam.
Namun gadis itu tampak tenang-tenang saja malah terus menghadapi para
pengeroyoknya sambil tersenyum-senyum tapi tetap saja wajahnya seram mengerikan
karena bercelemongan darah Pertolo Sembito yang tadi telah jadi korbannya
pertama kali. Dalam keadaan perkelahian berkecamuk hebat demikian rupa itulah
rombongan Dewa Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di
tempat itu. Ketiganya masih sempat merasakan hawa dingin aneh yang mencucuk
sampai ke tulang sumsum.
"Anak sesat! Itu dia!"
kata Dewa Tuak dengan sangat marah. "Sebentar lagi dia akan menemui ajal
di tangan para pengeroyok! Kalau aku tidak segera turun tangan bisa-bisa aku
keduluan orangorang itu. Anggini harus mati di tanganku!"
Dewa Tuak hendak melompat ke
arah kalangan pertempuran. Tapi Kakek Segala Tahu cepat memegang lengannya lalu
berpaling pada pendekar 212.
"Anak Sableng, coba kau
katakan dulu padaku apa yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu.
***
15
WIRO menggaruk kepalanya.
"Anggini, murid Dewa Tuak di keroyok hampir oleh dua puluh orang. Dia
mempertahankan diri hanya mengandalkan selendang ungu dan pukulan-pukulan sakti
di tangan kanan. Agaknya…"
"Tunggu dulu!"
potong Kakek Segala Tahu. "Sebelumnya kau mengatakan bahwa ketika kau
bertemu dengan Anggini, gadis
itu bilang selendang yang pernah kau berikan padanya hilang.
Mengapa tahu-tahu kini
selendang itu ada di tangannya?"
"Ini memang satu hal yang
saya tidak mengerti Kek," jawab Wiro.
"Dia pasti berdusta!
Mungkin takut kau akan memintanya kembali!" Dewa Tuak ikut bicara.
"Aku tak bisa menunggu
lebih lama! Aku harus segera turun tangan. Anak itu harus kuhukum mati dengan
tanganku sendiri. Lepaskan peganganmu!" Dewa Tuak menepiskan tangan Kakek
Segala Tahu yang memegang tengannya. Pada saat itu pula terdengar satu suara
bentakan keras disusul dengan berkelebatnya satu bayangan ungu.
"Gadis durjana! Kau
mencemarkan namaku! Terima kematianmu!"
Lalu sepuluh buah senjata
rahasia berbentuk paku perak dengan kepanjangan setengah jengkal melesat di
udara, menghantam ke arah sepuluh bagian tubuh Betina Penghisap Darah!
"Hai! Aku mengenali suara
orang yang barusan berteriak itu!" seru Dewa Tuak dan cepat berpaling.
"Astaga! Kenapa jadi begini!"
"Saya juga mengenali
suara itu! Lihat! Gila!" seru Wiro. "Kenapa bisa jadi dua? Apa
kembar!?"
"Sialan! Aku tak bisa
melihat! Wiro! Lekas katakan apa yang terjadi? Apa yang jadi dua?!"
berseru Kakek Segala Tahu.
Kalau sejak tadi mendiamkan saja kaleng rombengnya kini dia kini dia
goyang-goyangkan benda itu hingga mengeluarkan suara berkerontangan!
"Ada dua dara berpakaian
serba ungu, berwajah hampir mirip satu sama lain. Cuma satu memegang selendang,
satunya tidak!" Wiro menerangkan dengan cepat. Kakek Segala Tahu angkat
bagian depan caping bambunya sedikit lalu berkata. "Apa kataku! Aku memang
sudah duga! Dewa Tuak! Salah satu dari gadis berpakaian ungu itu adalah
muridmu! Kau harus tahu mana muridmu yang sebenarnya dan mana gadis yang
kejatuhan sumpah turun temurun lewat Maha Ratu!"
Dewa Tuak terbelalak.
"Aku bisa pusing!" katanya. "Keduanya hampir tidak berbeda satu
sama lain. Biar aku teguk dulu tuakku!" Habis berkata begitu Dewa Tuak
teguk tuak dalam bambu sampai wajahnya menjadi merah.
Di depan sana gadis berbaju
ungu yang mendapat serangan senjata rahasia dari gadis berpakaian ungu lainnya
pukulkan tangan kirinya serta sebatkan selendang ungunya. Delapan senjata
rahasia berbentuk paku mental. Tiga diantaranya menghantam para pengeroyoknya.
Satu tertembus tepat di keningnya hingga roboh saat itu juga. Dua menjerit
ketika paku-paku perak itu menembus dada dan perut masing-masing. Dua paku
perak lainnya sempat merobek ujung selendang di tangan kanan si dara berbaju
ungu dan satunya lagi menyambar bahu pakaiannya hingga robek besar. Marahlah
gadis ini! Di dahului dengan teriakan melengking keras dia membuat gerakan
demikian rupa untuk dapat membebaskan diri dari para pengeroyoknya. Tujuannya
kini adalah menyerang gadis berbaju ungu yang barusan datang dan membunuhnya!
Tetapi celakanya para
pengeroyok tidak memberi kesempatan. Sepasang mata gadis berbaju ungu itu
tampak berapi-api. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
"Dewa Tuak! Apa kau masih
belum dapat mengenali mana gadis berbaju ungu muridmu?" bertanya Kakek
Segala Tahu.
"Sulit kalau aku tidak
bisa mendekat!"
"Barusan aku mendengar
ada yang melepas senjata rahasia. Kau lihat siapa yang melakukan?!"
bertanya Kakek Segala Tahu.
"Astaga!" seru Wiro.
"Bukankah Anggini memiliki senjata rahasia berupa paku perak seperti yang
tadi dilepaskan gadis baju ungu yang barusan datang? Berarti gadis ini adalah
muridmu Dewa Tuak!"
Dewa Tuak berseru kaget.
"Aku sudah pikun. Mustinya aku bisa menerka sendiri tadi! Wiro, kau betul!
Yang barusan datang ini adalah muridku Anggini!"
"Apa kataku!" ujar
Kakek Segala Tahu. "Sebelumnya aku sudah menduga kalau muridmu tidak
melakukan kejahatan biadab itu. Bukan dia yang jadi Betina Penghisap Darah.
Hanya saja buktinya belum di dapat. Kini rahasia besar itu sudah mulai
tersingkap. Gadis yang memegang selendang harus dibunuh. Dialah Betina Penghisap
Darah yang sebenarnya. Maha Ratu sengaja menyarukan dirinya sebagai anak
muridmu. Namamu tercemar lalu kau akan membunuh muridmu sendiri atau si betina
itu yang akan membunuh kalian berdua, guru dan murid! Kalau itu terjadi berarti
terbalas dendam kesumat Maha Ratu alias Juminten Dorojalu kekasihmu di masa
muda dulu!"
Bergetar sekujur tubub. De.wa
Tuak mendengar hal itu. Tiba-tiba di kalangan pertempuran terdengar suara
jeritan-jeritan mengerikan. Benda-benda aneh berlesatan di udara.
"Ada apa lagi ini!?"
tanya Kakek Segala Tahu.
Sementara itu orang-orang yang
sejak tadi mengeroyok gadis berbaju ungu itu menjadi heran ketika mereka
melihat munculnya gadis berbaju ungu lain yang memiliki wajah mirip. Siapa
gadis satu ini, lalu yang mana di antara mereka sebenarnya adalah Betina
Penghisap Darah?
"Kangmas Jarandiku,
bagaimana ini?" tanya Si Kaki Besi.
"Jangan tolol! Jangan
tertipu. Orang yang kita keroyok ini adalah Betina Penghisap Darah sebenarnya!
Kita sudah saksikan dia membunuh Pertolo Sembito dan menghisap darahnya!
Rapatkan kurungan!"
Mendengar teriakan Tumage
Jarandiku itu, Si Kaki Besi dan yang lain-lainnya segera memperketat kurungan
dan menempur lawan tunggal mereka mati-matian!
Wiro menggaruk kepalanya.
Selintas pikiran muncul si benaknya. "Dua gadis berwajah mirip berpakaian
sama. Bisa muncul bahaya besar pada did murid Dewa Tuak!" Wiro lalu buka
baju putihnya dan berkelebat ke arah gadis baju ungu yang barusan datang.
"Anggini! Lekas kau pakai bajuku ini! Jika nanti orang-orang tidak bisa
lagi membedakan mana dirimu dan mana gadis iblis itu, nyawamu pasti
terancam!"
Gadis berbaju ungu di hadapan
Wiro yang memang adalah Anggini murid Dewa Tuak adanya mengerti jalan pikiran
pemuda itu. Cepat-cepat dia mengenakan baju putih yang diberikan Pendekar 212
lalu mengikuti Wiro bergabung dengan Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu.
"Guru, maafkan muridmu
ini. Saya…"
"Sudah, sudah! Lupakan
segala macam peradatan. Aku merasa ada sesuatu yang hebat tengah terjadi di
kalangan pertempuran. Aku mencium bau amis! Wiro lekas katakan apa yang
terjadi!" kata Kakek Segala Tahu pula.
Saat itu gadis berjuluk Betina
Penghisap Darah berada dalam keadaan terdesak dan terkurung rapat oleh para
pengeroyok. Beberapa kali dia mencoba menerobos guna dapat menyerang Anggini
yang asli namun selalu gagal. Maka dalam marahnya dia lalu merapal ajian
memanggil ular-ular peliharaannya.
"Para Dewi,
datanglah!"
Begitu rapal diucapkan maka
terdengar suara bersiur riuh sekali disertai bau amis. Seolaholah datang dari
langit, belasan ekor ular hitam melesat ke arah si gadis lalu menempel dan
bergelantungan di badannya. Ada yang bergelung di leher, dada, pinggang atau
kaki. Dua ekor ular malah mendekam di atas kepalanya. Melihat hal ini tentu
saja para pengeroyok menjadi bergidik. Dengan ketakutan mereka melangkah
mundur. Yang tadinya belum menghunus senjata kini mencabut senjata
masing-masing.
"Sahabat-sahabatku,
serang dan bunuh mereka!" perintah Betina Penghisap Darah pada ular ular
itu. Semua binatang ini lepaskan gelungannya, mendesis keras dan tiba-tiba
mereka berlesatan ke arah para pengeroyok. Terjadilah hal yang mengerikan.
Puluhan pengeroyok yang berusaha melarikan diri diserang oleh ular-ular
jejadian itu. Ada yang digelung hingga hancur luluh tulang leher atau dadanya.
Namun kebanyakan menemui ajal karena langsung dipatuk! Beberapa tokoh silat
seperti Tumage Jarandiku dan Si Kaki Besi berusaha membunuh binatang-binatang
yang menyerang mereka dengan senjata. Ternyata ular-ular itu tidak mempan di
bacok apalagi pukulan! Keduanyapun mati berkaparan dengan belasan patukan
berbisa melanda kepala dan tubuh mereka!
"Maut! Ganas! Aku mencium
bau maut! Aku merasakan adanya kematian yang ganas! Wiro lekas ceritakan apa
yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu tak tahan lagi.
Ketika kemudian Wiro
menerangkan, orang tua ini berubah wajahnya. "Itu adalah ular-ular
jejadian milik Maha Ratu. Pada gilirannya ular-ular iblis itu pasti akan
menyerang kita!"
Wiro terkejut. "Apa yang
harus kita lakukan?" tanya Pendekar 212 sementara Anggini juga mulai jadi
bergidik dan cepat berjaga-jaga. Dewa Tuak tampak tegang. Dia siapkan tabung
tuaknya. Di depan sana pedataran pertempuran telah menjadi rata. Puluhan mayat
bergelimpangan. Ada yang saling tumpang tindih. Gadis berpakaian ungu tegak berkacak
pinggang sementara ular-ular yang tadi disuruh menyerang dan membunuh kini
kembali bergayutan di tubuhnya.
"Sayang, para tokoh silat
itu ikut mati semua hingga aku tak dapat menghisap darah mereka!" kata si
gadis dalam hati. Mulutnya menyeringai. Perlahan-lahan dia berpaling ke arah
Dewa Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng serta Anggini yang
tegak di kejauhan.
"Gadis itu memandang ke
arah kita." bisik wiro.
"Ah… Giliran kita hendak
dijadikannya korban!" kata Kakek Segala Tahu. "Ular-ular jahanam itu!
Kita harus dapat melawannya. Tapi bagaimana…? Bagaimana!?"
Sementara itu si gadis mulai
berjalan melangkahi tumpukan mayat. Bergerak ke arah empat orang itu. Wiro
segera cabut Kapak Naga Geni 212 dan memegangnya erat-erat di tangan kanan.
Sedang tangan kiri sudah bergetar dengan aliran tenaga dalam yang tinggi. Dia
sudah menyiapkan pukulan "sinar matahari" di tangan itu. Anggini
sudah menggenggam selusin senjata rahasia paku peraknya.
Kakek Segala Tahu gelengkan
kepala. "Ular-ular itu tidak bakal mempan dengan segala macam senjata yang
saat ini kalian pegang…" katanya.
"Lalu apakah kita akan
mampus percuma tanpa perlawanan?" tukas Dewa Tuak.
Betina Penghisap Darah
melangkah terus sambil menyeringai. Ular-ular di tubuhnya mengeluarkan suara
berdesis-desis dan menebar bau amis.
"Kalian semua sudah siap
mampus?" tanya gadis iblis itu lalu hentikan langkah. Wajahnya yang cantik
jelita telah berubah jadi seseram setan, apalagi masih bercelemongan darah!
"Celaka! Aku masih belum
menemukan cara untuk menghadapi ular-ular itu." kata Kakek Segala Tahu.
"Otakku seperti buntu!"
"Kek! Goyangkan kaleng
rombengmu! Siapa tahu kau bisa segera dapat petunjuk." bisik Wiro.
Kakek Segala Tahu mendongak.
Lalu diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi dan goyangkan kaleng yang
dipegangnya. Gadis berbaju ungu di hadapan mereka tertawa bergelak.
"Rupanya kau ingin
mengantar kematian diri dan teman-temanmu dengan nyanyian kaleng rombeng begitu
rupa. Hik.., hik… hik…"
"Sialan! Dia menghina
kalengku!" kata Kakek Segala Tahu. Tiba-tiba dia susul ucapannya.
"Ular! Binatang itu
paling takut dengan api! Kita bisa membunuhnya dengan api!"
Paras Dewa Tuak berubah.
"Tuak murniku bisa kujadikan api! Sahabat, kupinjam dulu tongkat
bututmu!"
Tanpa menunggu jawaban orang
Dewa Tuak, segera mengambil tongkat kayu di tangan kiri Kakek Segala Tahu. Lalu
dirobeknya ujung pakaiannya sendiri dan digulungkannya pada ujung tongkat.
Ujung tongkat itu kemudian dicelupkannya ke dalam tuak dalam tabung bambu.
"Api, kita butuh
api!" kata Dewa Tuak. Matanya membentur Kapak Naga Geni 212 di tangan
Wiro. "Heh, apa kau membawa batu hitam pasangan senjata mustika itu?"
Wiro segera mengerti dan cepat
keluarkan batu hitam yang tersimpan di pinggangnya. Tanpa disuruh dia segera
menghantamkan batu hitam ke salah satu mata kapak. Bunga api memercik terang.
Dewa Tuak dekatkan ujung tongkat yang telah digulung kain dan dicelup tuak.
Serta merta api menyambar dan membakar ujung tongkat seperti sebuah obor!
Di depan sana Betina Penghisap
Darah tertawa tergelak. "Kalian kira api itu bisa menakuti ular-ularku?
Bisa membunuh binatang-binatang ini?"
Dewa Tuak dan Kakek Segala
Tahu tercekat. "Iblis itu betul. Bagaimana kalau binatang jejadian itu
tidak mempan api?" bisik Kakek Segala Tahu.
"Berarti kita semua akan
mati di tempat ini!" jawab Wiro dengan muka mulai pucat.
Dewa Tuak teguk tuaknya sampai
mulutnya penuh. Minuman itu tidak terus ditelannya melainkan tetap dibiarkannya
di dalam mulut. Tangan kirinya memegang tongkat yang ujungnya dikobari api.
Betina Penghisap Darah
keluarkan suara lengkingan.
"Semua lekas berlindung
di belakangku!" perintah Dewa Tuak. Kakek Segala Tahu dan Anggini segera
melakukan apa yang diperintahkan. Hanya Wiro yang masih tegak di sebelah
kanannya. "Kau sudah ingin segera mampus?" bentak Dewa Tuak.
"Mungkin api kapak dan
batu bisa menolong seperti api tuakmu!" jawab Pendekar 212.
"Kau coba saja. Kalau
gagal kau tanggung sendiri akibatnya!"
"Sahabat-sahabatku!
Serang dan bunuh keempat orang itu!" tiba- tiba gadis berpakaian ungu
berikan perintah.
Ular-ular yang bergelayutan di
tubuhnya tegakkan kepala dan mendesis keras. Tiba-tiba binatang ini melesat ke
depan. Dewa Tuak segera semburkan tuaknya. Begitu menyambar api di ujung
tongkat, tuak yang disemburkan itu berubah menjadi buntalan api yang
bergulung-gulung menyambut serangan belasan ekor ular hitam. Di sebelah Dewa
Tuak Pendekar 212 segera pula gosokkan batu hitam sakti dengan mata Kapak Maut
Naga Geni 212. Gelombang api yang sangat panas menderu dan menyambar ke arah
ular-ular yang datang menyerang!
Ular-ular hitam Itu seperti
tahu datangnya bahaya dengan cepat merubah gerakan serangan mereka. Ada yang
melesat ke atas lalu menukik meneruskan serangan. Ada pula yang membelok ke
kiri atau ke kanan lalu kembali menyerang.
Wiro dan Dewa Tuak menjadi
sibuk. Kakek Segala Tahu coba menghantam dengan kekuatan tenaga dalam yang
dahsyat sementara Anggini mulai melepaskan senjata rahasianya. Untuk sementara
serangan-serangan ular itu masih dapat ditahan oleh kobaran api sedang pukulan
sakti Kakek Segala Tahu dan senjata rahasia Anggini tidak mempan. Lalu sampai
seberapa lama Dewa Tuak dan Wiro bisa bertahan? Bagaimana kalau tuak dalam dua
buah tabung itu akhirnya habis dan Wiro keletihan menghantamkan kapak dan batu hitam
terus menerus?
Ular-ular hitam dengan cerdik
melayang-layang di udara, berputar-putar mencari kesempatan. Suatu ketika
binatang ini kembali menyerbu. Dewa Tuak dan Wiro semburkan api tapi celakanya
salah seekor masih sempat menerobos. gelombang api lalu mematuk paha kiri Kakek
Segala Tahu. Orang tua ini berteriak kesakitan dan roboh ke tanah. Wiro tendang
tubuh ular yang tadi mematuk. Binatang ini hanya mencelat mental tapi sama
sekali tidak cidera! Begitu mental binatang ini menyerang kembali. Dewa Tuak
terpaksa menyemburkan lagi dengan tuak berapi.
"Celaka! Tuakku tinggal
sedikit." kata Dewa Tuak.
Betina Penghisap Darah tertawa
bergelak mendengar ucapan itu. Sementara itu ketika tubuhnya tergelimpangan
roboh, sepasang mata Kakek Segala Tahu seolah-olah diberi penglihatan aneh
lewat daya ingatnya yang luar biasa. Dalam kebutaannya dia membayangkan
Pendekar 212 memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Dia seolah-olah melihat adanya
lobang-lobang pada gagang senjata mustika itu.
"Pendekar 212! Suling!
Ular-ular itu… Senjatamu… Senjatamu…senjatamu…" Ucapan Kakek Segala Tahu
hanya sampai di situ. Orang tua ini jatuh terkulai dan pingsan. Namun murid
Eyang Sinto Gendeng sudah maklum apa yang ingin dikatakan oleh si kakek. Segera
dia melompat ke cabang sebatang pohon. Di sini dia duduk bersila dan dekatkan
gagang kapak yang berbentuk kepala naga itu ke mukanya. Ketika Wiro mendekatkan
bibir naga ke bibirnya sendiri, ular-ular hitam yang melayang di udara menunggu
kesempatan tiba-tiba melesat ke arahnya. Melihat sang pendekar dalam bahaya
Dewa Tuak cepat semburkan tuaknya sambil meletakkan tongkat berapi di depan
mulut. Tuak murni menyembur membentuk gelombang api yang dahsyat membuat
ular-ular hitam Itu terpaksa mundur. Anggini lepaskan lagi sepuluh senjata rahasia.
Tapi paku- paku perak itu mental berjatuhan ke tanah begitu mengenai tubuh
ular-ular hitam.
Di atas pohon Wiro susun
jari-jari tangannya pada enam buah lobang di gagang Kapak Maut
Naga geni 212. Senjata mustika
ini memang bisa dijadikan sebagai sebuah seruling sakti. Begitu dia meniup
dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, menggeledeklah suara melengking
yang membuat semua telinga menjadi sakit. Dewa Tuak dan Anggini cepat tutup
kedua telinganya dengan telapak tangan. Betina Penghisap Darah coba bertahan
tapi akhirnya terpaksa juga menutup jalan pendengarannya dengan menusukkan
ujung-ujung jari ke dalam liang telinganya kiri kanan. Ular-ular hitam yang
melayang-layang di udara tampak terlonjak lalu dongakkan kepala. Makin keras
suara tiupan "Seruling" yang dimainkan Wiro semakin kacau
gerakan-gerakan binatang ini di udara. Daun-daun pepohonan tampak
bergerak-gerak. Beberapa di antaranya mulai luruh berjatuhan ke tanah!
Perlahan-lahan Wiro rubah
tiupan serulingnya. Kalau tadi melengking tinggi rendah tidak karuan, kini
nadanya tetap tinggi tetapi membawakan lagu aneh. Ular-ular hitam yang
melayanglayang dl udara tampak melenggak-lenggok jinak mengikuti irama seruling
yang ditiup Wiro. Tetapi dari telinga dan mulut mata mereka kelihatan keluar
tetesan tetesan darah tanda binatangbinatang ini tidak bisa bertahan terhadap
getaran-getaran tiupan suling yang memang dahsyat itu. Satu demi satu ular-ular
hitam itu melayang turun ke bawah dan akhirnya berjatuhan di tanah. Tampaknya
binatang ini seperti mabok. Namun sesaat kemudian mereka melata di tanah menuju
pohon di mana Wiro duduk meniup Kapak Maut Naga Geni 212. Belasan ular kemudian
merayap di batang pohon naik mendekati cabang di mana murid Sinto Gendeng
berada. Tentu saja Dewa Tuak dan Anggini menjadi cemas. Apalagi Pendekar 212
sendiri. Kuduknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Tapi dia
terus saja meniup serulingnya malah menarribah kekuatan tenaga dalamnya. Kini
belasan ular hitam itu telah mencapai cabang tempat Wiro duduk. Mereka meniti
cabang naik ke atas pangkuan Wiro, bergelung ke berbagai bagian tubuh pemuda
itu. Walau tidak satupun yang menggigit atau mematuk namun Wiro yang sudah
tidak sanggup menahan rasa takut akhirnya terkencingkencing. Di bawah pohon
Dewa Tuak dan Anggini terheran-heran melihat apa yang terjadi. Belasan ular
hitam besar itu hanya bergelung-gelung dan berputar-putar di sekitar tubuh
Wiro. Mereka kelihatan menjadi jinak. Di bagian lain di bawah pohon Betina
Penghisap Darah menjadi marah melihat kejadian itu. Dia berteriak pada
ular-ular memberi perintah.
"Para Dewi! Bunuh pemuda
yang meniup suling itu!"
Kalau sebelumnya begitu
mendengar perintah binatang jejadian itu langsung menyerbu dan mematuk
korbannya maka kali ini perintah itu seperti tidak mereka dengar. Ular-ular ini
terus saja bergayut menggelungi tubuh Wiro. Malah ada yang menjilati tubuhnya
yang bertelanjang dada itu!
Melihat hal ini Betina
Penghisap Darah menjadi tambah marah. Dia turunkan kedua tangannya yang dipakai
menutupi telinga. Justru ini adalah satu kesalahan yang mencelakakannya. Begitu
liang telinganya tidak terlindung lagi, suara lengkingan seruling yang ditiup
Wiro langsung menusuk ke dalam telinganya. Dess! Dess! Gendang-gendang
telinganya kiri kanan pecah! Darah mengalir ke luar. Gadis ini berteriak
kesakitan dan berusaha menekap kedua telinganya kembali. Tentu saja sudah
terlambat. Kedua matanyapun kini tampak kelihatan berubah merah. Pemandangannya
seperti tertutup kabut. Lalu darah kelihatan pula menetes dari dua lobang
hidungnya. Sesaat sebelum dia roboh Betina Penghisap Darah pukulkan ke dua
tangannya ke arah Wiro.
Dua gelombang angin dingin
menderu. Pukulan salju pusaka dewa menggebubu. Udara menjadi sangat dingin.
Wiro merasakan tenggorokannya tercekik. Tiupan sulingnya sesaat terhenti oleh
pengaruh hawa dingin luar biasa itu. Jika hal ini terjadi berlama-lama,
ular-ular hitam itu akan terbebas dari pengaruh tiupan seruling dan pasti akan
menyerbu serta membunuh siapa saja yang ads di situl Namun saat itu dari
samping Dewa Tuak dan Anggini sama-sama lancarkan serangan. Dewa Tuak semburkan
minumannya melewati kobaran api di ujung tongkat. Satu gelombang api menderu ke
arah Betina Penghisap Darah. Selagi dia berusaha melompat menghindari sambaran
api, sepuluh senjata rahasia paku perak yang dilepaskan Anggini melesat
menghantam tubuhnya. Hanya tiga yang bisa dielakkannya. Tujuh lainnya menancap
tepat di berbagai bagian tubuhnya. Saat yang sama gelombang api kembali
menyambar.
Wuss!
Betina Penghisap Darah
menjerit keras. Tubuhnya sesaat tampak melayang ke atas kobaran api. Ketika
tubuh itu terhempas ke tanah keadaannya sudah jadi gosong menghitam.
"Selendangku!" seru
Anggini seraya memburu. Tapi selendang pemberian Wiro itu telah ikut jadi abu!
Di atas pohon Wiro merasakan
rasa tercekik pada tenggorokannya lenyap. Serta merta dia meniup sulingnya
kembali. Hal ini membuat Dewa Tuak dan Anggini terpaksa menutup liang telinga
mereka kembali. Satu demi satu ular-ular hitam yang meliliti tubuh Pendekar 212
berjatuhan ke tanah. Binatang ini menggeliat-geliat beberapa lamanya lalu
terjadilah hal yang aneh. Belasan ular itu berubah menjadi jejeran debu hitam
memanjang, lalu debu hitam ini berubah menjadi asap putih yang perlahan-lahan
naik ke udara dan akhirnya lenyap dari pemandangan!
Wiro turunkan Kapak Maut Naga
Geni 212 dari bibirnya. Dia memandang ke bawah. Senjata mustika itu
disisipkannya ke pinggangnya. Due kali dia menggaruk kepala baru pendekar ini
melompat turun ke tanah. Wiro melangkah cepat mendekati Dewa Tuak dan Anggini yang
tengah memeriksa keadaan Kakek Segala Tahu yang seat itu masih berada dalam
keadaan pingsan.
Luka bekas patukan di paha
kiri kakek kelihatan telah membengkak dan berwarna kebiruan. Wiro segera
keluarkan Kapak saktinya kembali. Salah satu mata kapak di letakkannya di
bagian paha yang kena patuk. Lalu murid Sinto Gendeng ini mulai kerahkan tenaga
dalamnya untuk menyedot racun yang ads deism tubuh orang tua itu.
Perlahan-lahan darah kental keluar dari lobang luka. Mula-mula warnanya tampak
hitam, lalu berubah agak kebiru-biruan. Setelah beberapa lama darah itu berubah
lagi menjadi merah. Wiro menarik nafas lega. Dia hentikan pengerahan tenaga
dalam. Racun di tubuh kakek Segala Tahu telah dikuras keluar. Begitu dirinya
bebas dari pengaruh racun yang bisa membunuhnya, Kakek Segala Tahu tampak
menggeliat. Kedua matanya terbuka. Lalu dia bangkit dan duduk di tanah.
"Heh, habis jalan-jalan
kemana aku ini…?" katanya sambil memandang berkeliling. Lagaknya seperti
orang yang tidak buta saja!
"Lagakmu keren
amat!" kata Dewa Tuak. Dia angsurkan bumbung bambunya. "Ini tuakku
masih ada sedikit. Minumlah agar darah di tubuhmu benar-benar segar. Kau tahu,
kau hampir saja jalan-jalan ke neraka!"
Kakek Segala Tahu ambil tabung
bambu itu lalu meneguk isinya sampai habis! Hal ini tentu saja membuat Dewa
Tuak jadi jengkel penasaran tapi hanya bisa geleng-geleng kepala! "Apakah
semuanya sudah berakhir?" tanya Kakek Segala Tahu sambil berdiri.
"Aku tidak lagi mendengar suara ular-ular itu gentayangan di udara. Juga
tidak ada bau amis…"
"Semuanya memang sudah
berakhir Kek…" kata Wiro.
"Eh, mana kaleng
rombengku!" berseru Kakek Segala Tahu. "Aku boleh tidak makan seratus
hari! Tapi aku tidak bisa hidup tanpa kaleng itu!"
"Ini kalengmu Kek,"
kata Anggini seraya menyorongkan kaleng milik si kakek ke dalam genggaman orang
tua itu.
"Ah… Terima kasih…"
Kakek Segala Tahu lalu goyang-goyangkan kalengnya hingga mengeluarkan suara
berisik. Lalu dia berpaling pada Dewa Tuak dan berkata. "Kau sudah bertemu
dengan muridmu. Kau sudah tahu kalau bukan dia yang jadi Betina Penghisap darah
itu. Apakah kau sudah menelan obat penghancur racun dalam tubuhmu?"
Dewa Tuak berseru kaget.
"Astaga! Kalau tidak kau
ingatkan aku hampir terlupa!" Dewa Tuak cepat meraba saku pakaiannya.
Sebelah kiri, lalu sebelah kanan. "Celaka! Obat itu hilang!" serunya
dengan muka pucat. "Matilah diriku!"
"Hilang atau kau lupa
meletakkannya di mana…" kata Kakek Segala Tahu pula.
"Kau
menyembunyikannya?!" menuduh Dewa Tuak.
Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh. "Buat apa aku menyembunyikan obat tak berguna bagiku itu?"
Dewa Tuak jadi kelabakan.
Ketika dia tidak juga menemukan obat penangkal racun yang telah ditelannya itu,
orang tua ini akhirnya duduk terhenyak di tanah.
"Kalian pergi saja. Biar
aku menunggu ajal di sini!" kata Dewa Tuak dengan suara lemas. Dia
memperhatikan dua tabung bambu tuaknya yang telah kosong dengan tatapan mata
sedih. Tibatiba pada salah satu pantat tabung dia melihat sebuah benda
menempel.
"Sialan! Memang aku yang
lupa!" kata Dewa Tuak sambil menepuk keningnya. Dia melompat dan mengambil
benda yang menempel pada bagian bawah tabung bambu. Benda ini adalah segumpal
lilin lembut. Begitu gumpalan lilin dibuka, di dalamnya kelihatan sebuah benda
hitam bulat sebesar ujung jari kelingking. Dewa Tuak segera menelan benda hitam
itu yang bukan lain adalah obat untuk penangkal racun yang telah ditelannya
empat puluh hari yang lalu.
"Dewa Tuak, kau yakin
benda yang barusan kau telan benar-benar obat pemusnah racun yang ada dalam
tubuhmu?" bertanya Wiro.
"Eh, apa maksudmu?"
tanya Dewa Tuak dengan wajah berubah. Diam-diam dia jadi merasa takut
kalau-kalau yang barusan di telannya memang bukan obat itu.
"Tidak, saya tidak ada
maksud apa-apa," sahut Wiro. "Saya hanya kawatir kalau-kalau yang kau
telan tadi bukannya obat tapi tahi kambing bulat bulat!"
"Sialan! Anak kurang
ajar!" maki Dewa Tuak.
Wiro, Anggini dan Kakek Segala
Tahu tertawa gelak-gelak.
TAMAT